<<

PERAN ABUYA KH. ABDURRAHMAN NAWI DALAM MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN ISLAM DI PONDOK AL-AWWABIN DEPOK

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh: MUHAMMAD DHIYA HABIBI 1112011000065

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2016 M

ABSTRAK

Nama : Muhammad Dhiya Habibi NIM : 1112011000065 Judul : Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi Dalam Mengembangkan Pendidikan Islam di Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam mengembangkan pendidikan Islam dancara beliau menerapkan peran tersebut di pondok pesantren Al-Awwabin Depok.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yang bersifat deskriptif, dengan menggambarkan suatu keadaan, kondisi, situasi, peristiwa maupun kegiatan yang dilakukan oleh Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam kaitannya dengan pengembangan pendidikan Islam di pesantren Al-Awwabin Depok. Peran Abuya yang diteliti disini adalah tentang pengembangan pendidikan Islam di pondok pesantren Al-Awwabin Depok dari segi lembaga yang beliau dirikan dan ide serta gagasan yang berhubungan dengan pengembangan pendidikan itu sendiri. Teknik analisa data yang didapat dan ditelaah dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi pada tempat penelitian kemudian diolah, dipelajari dan dideskripsikan menjadi sebuah hasil kesimpulan. Hasil penelitian yang dapat disimpulkan adalah Abuya membangun lembaga pendidikan Islam dan beliau menjadi seorang inovator dalam memberikan ide serta gagasan yang dapat diterapkan di pondok pesantren Al- Awwabin Depok. Dalam membangun lembaga pendidikan Islam beliau membangun pendidikan formal (sekolah) dan non formal (pondok). Adanya lembaga pendidikan formal dan non formal ini dimaksudkan agar peserta didik tidak hanya cerdas dalam sisi keagamaan, namun peserta didik pun cerdas dalam ilmu umum dan teknologi yang sedang berkembang sekarang ini. Selanjutnya dalam hal ide dan gagasan, beliau melakukan beberapa inovasi seperti: membentuk organisasi , mendirikan saluran radio Islam, mengasah bakat santri, menekankan pemahaman kitab kuning, mengadakan pelatihan muballigh (muhadhoroh) serta, membuat rapor dan ijazah pesantren. Semua ini beliau terapkan di pondok pesantren Al-Awwabin bertujuan agar para santri dapat berkembang menjadi sosok multi talenta yang berakhlakul karimah, sehingga ketika mereka terjun ke masyarakat nanti mereka tidak canggung dan mampu membimbing masyarakat agar selalu berada di jalan syariat agama Islam.

i

ABSTRACT

Name : Muhammad Dhiya Habibi NIM : 1112011000065 Title : The Role of Abuya KH. Abdurrahman Nawi in Developing Islamic Education in Al-Awwabin Islamic Boarding School.

This research aims to determine the role of Abuya KH. Abdurrahman Nawi in developing Islamic education and how he applied the role of the pesantren Al- Awwabin Depok. The method used in this research is qualitative descriptive, describing a situation, condition, situation, event or activity conducted by Abuya KH. Abdurrahman Nawi in relation to the development of Islamic education in pesantren Al-Awwabin Depok.

Abuya role researched here is on the development of Islamic education in boarding school Al-Awwabin Depok terms of institutions that he founded and ideas as well as ideas related to the development of education itself. Mechanical analysis of data obtained and analyzed from interviews, observation and documentation at the point of the study and then processed, studied and described into a results conclusion.

The results of research can be concluded is Abuya build Islamic institutions, and he became an innovator in providing ideas and ideas that can be applied at boarding school Al-Awwabin Depok. In building the Islamic educational institutions he built formal education (schools) and non-formal (huts). Their formal educational institutions and non-formal is intended that learners are not just smart in the religious side, but the students were smart in general science and technology that is now unfolding. Furthermore, in terms of ideas and concepts, he made several innovations such as: forming an organization of students, founded the Islamic radio channel, hone talents of students, emphasizing understanding of yellow books, training muballigh (muhadhoroh) as well, report cards and diplomas boarding. All of this, he applied at boarding school Al-Awwabin intended that the students can develop into a multi-talented figure who berakhlakul karimah, so that when they plunge into the community later they were awkward and able to guide people to always be in the way of Islamic religious laws.

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah, taufiq serta rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa teriring kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman kegelapan terhadap ilmu pengetahuan menuju ke zaman yang penuh dengan ilmu pegetahuan seperti saat ini. Pada kesempatan kali ini, penulis berhasil menyelesaikan tugas skripsi yang diberi judul “PERAN ABUYA KH. ABDURRAHMAN NAWI DALAM MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN ISLAM DI PONDOK PESANTREN AL- AWWABIN DEPOK”. Tugas skripsi ini dikerjakan dan diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Pendidikan Agama Islam (PAI) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penyusunan skripsi ini,penulis banyak mendapatkan bantuan, motivasi, serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Prof. Dr. Armai Areif, M.Ag., Dosen Pembimbing, yang dengan penuh keikhlasan membimbing dan memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 4. Drs. Ghufron Ihsan, MA.,Dosen Akademik, yang selalu memberi nasihat dan motivasi dalam membimbing prosesi akademik hingga penulis mampu menyelesaikan seluruh tugas akademik

iii

5. Nenek penulis, Hj. Aliyah serta keluarga tercinta yang senantiasa memberi semangat, doa, kasih sayang, serta berbagai dorongan yang tak terhingga, sehingga terselesaikan penulisan skripsi ini. 6. Kakanda Syifa Hanifah S.Hum, Adinda Sundus Silvia, dan Bukrota Safaril Ibadah, yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan hingga penulisan skripsi ini selesai. 7. Abuya KH. Abdurrahman Nawi, Pimpinan Umum Pondok Pesantren Al- Awwabin, dengan doa dan keikhlasan beliau yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengadakan penelitian di pesantren miliknya. 8. KH. Fathurrahman, MA., Musyrif Tholabah (lurah pondok), yang selalu mendoakan serta memberikan masukan kepada penulis. Serta para asatidz dan guru-guru pondok pesantren Al-Awwabin yang telah memberikan informasi yang sangat berarti bagi penulis. 9. Para sabahat terbaik penulis: Ray, Agus, Fattah, Afrijal, Jeis, Maula, Saifu, Eriico, Abdurrahman, dan Zulham yang telah menemani serta memberikan motivasi kepada penulis dikala penulis menemui hambatan dalam penyelesaian skripsi ini. 10. Segenap teman-teman PAI angkatan 2012 khususnya kelas B, yang telah menemani dan memberikan kenangan-kenangan indah semasa perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian dengan pahala yang berlipat ganda. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 23 November 2016 Penulis

Muhammad Dhiya Habibi

iv

DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SKRIPSI

ABSTRAK ...... i

ABSTRACT ...... ii

KATA PENGANTAR ...... iii

DAFTAR ISI ...... v

DAFTAR TABEL DAN LAMPIRAN ...... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 8 C. Pembatasan Masalah ...... 9 D. Perumusan Masalah ...... 9 E. Tujuan Penelitian ...... 9 F. Manfaat Penelitian ...... 9

BAB II KAJIAN TEORI

A. Peran ...... 11 1. Pengertian Peran ...... 11 2. Peran Ulama () ...... 12 3. Peran Pesantren ...... 13 B. Pesantren ...... 15 1. Pengertian dan Tujuan Pesantren...... 15 2. Unsur-unsur Pesantren ...... 16 a. Kyai...... 16

v

b. Santri ...... 17 c. Masjid ...... 18 d. Pondok/Asrama...... 19 e. Pengajian Kitab-kitab Islam Klasik (Kuning) ...... 20 f. Madrasah (Sekolah) ...... 21 3. Model-model Psantren ...... 22 a. Pondok Pesantren Tradisional (Salaf) ...... 22 b. Pondok Pesantren Modern (Khalaf) ...... 23 c. Pondok Pesantren Komprehensif (Kombinasi) ...... 24 4. Metode Pembelajaran di Pesantren ...... 26 a. Sorogan ...... 26 b. Bandongan ...... 27 c. Weton ...... 28 C. Pendidikan Islam ...... 29 1. Pengertian Pendidikan ...... 29 2. Tujuan Pendidikan ...... 31 3. Pengertian Pendidikan Islam ...... 33 4. Tujuan Pendidikan Islam ...... 35 5. Dasar Pendidikan Islam ...... 37 D. Hasil Penelitian yang Relevan ...... 38

BAB III METODE PENELITIAN

A. Waktu, dan Tempat Penelitian ...... 40 1. Waktu Penelitian ...... 40 2. Tempat Penelitian ...... 40 B. Metode Penelitian ...... 40 C. Teknik Pengumpulan Data ...... 41 1. Observasi ...... 41 2. Wawancara ...... 41 3. Dokumentasi ...... 41 D. Teknik Pengelolaan Data ...... 42

vi

E. Teknik Analisis Data ...... 42 1. Reduksi Data ...... 42 2. Triangulasi ...... 43 3. Penarikan Kesimpulan ...... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Abuya KH. Abdurrahman Nawi ...... 45 1. Biografi Abuya KH. Abdurrahman Nawi ...... 45 2. Kegiatan di Dunia Dakwah dan Pendidikan ...... 49 3. Paham Keagamaan dan Keahliannya ...... 54 B. Pondok Pesantren Al-Awwabin ...... 56 1. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al-Awwabin ...... 56 2. Struktur Organinasi ...... 59 3. Visi dan Misi Pondok Pesantren Al-Awwabin ...... 60 a. Visi Pondok Pesantren Al-Awwabin ...... 60 b. MisiPondok Pesantren Al-Awwabin ...... 60 C. Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi ...... 61 1. Kelembagaan ...... 62 a. Lembaga Pendidikan Formal ...... 62 b. Lembaga Pendidikan Non Formal ...... 65 2. Ide dan Gagasan ...... 73 a. Membentuk Organisasi Santri ...... 71 b. Mendirikan Saluran Radio Islam ...... 74 c. Mengasah Bakat Santri ...... 75 d. Menekankan Pemahaman Kitab Kuning ...... 77 e. Mengadakan Pelatihan Muballigh (Muhadhoroh) ... 79 f. Membuat Rapor dan Ijazah Pesantren ...... 80

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...... 84 B. Saran ...... 84

vii

DAFTAR PUSTAKA ...... 86

viii

DAFTAR TABEL DAN LAMPIRAN

A. Tabel

Tabel 4.1: Daftar Siswa pondok pesantren Al-Awwabin I Tahun 2016/2017 Tabel 4.2: Daftar Siswa pondok pesantren Al-Awwabin II Tahun 2016/2017 Tabel 4.3: Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri MI Tahun 2016/2017 Tabel 4.4: Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 MTs Tahun 2016/2017 Tabel 4.5: Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 MTs Tahun 2016/2017 Tabel 4.6: Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 MTs Tahun 2016/2017 Tabel 4.7: Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 MA Tahun 2016/2017 Tabel 4.8: Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 MA Tahun 2016/2017 Tabel 4.9: Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 MA Tahun 2016/2017 B. Lampiran-lampiran

Lampiran 1 : Wawancara Lampiran 2 : Dokumentasi

ix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Problematika pendidikan agama bagi siswa Madrasah Aliyah di sesungguhnya hampir secara umum sama. Tipologi kesamaan dari problematika dimaksud terlebih adalah yang terjadi seputar kurang terinternalisasi nilai-nilai agama dalam diri siswa. Siswa baru pada tahap diajari agama tapi belum sampai pada tingkat bagaimana siswa diajari untuk beragama. Untuk mengeliminir prolematika yang ada, maka di samping pendekatan yang selama ini telah dicoba untuk dilakukan seperti, perbaikan dan penyusuaian kurikulum yang senafas dengan itu, juga perlu adanya solusi alternatif yang lebih bersifat penyadaran dan pemahaman kembali secara komprehensif akan makna dan aplikasi dari inti pelajaran agama dan bagaimana cara beragama. Oleh karena itu, tauhid sebagai inti dari agama, yang pada akhirnya akan berubah taqwa perlu dirumuskan pada rel yang sebenar-benarnya untuk dipahamkan pada siswa. Apapun pelajaran yang diajarkan pada pendidikan komprehensif akan sangat berpengaruh kuat terhadap pembentukan karakter dan sikap siswa.1 Siswa hanya belajar tentang materi pengetahuan tertentu melalui proses transfer of knowledge (penyampaian pengetahuan) dari orang yang dipandang lebih tau, yaitu guru. Idiom guru itu “digugu dan ditiru” termanifestasi dalam pengetahuannya yang dianggap final, bahwa apa yang disampaikan oleh guru itu pastilah benar. Sementara itu, dimensi sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik) kurang diperhatikan. Penekanan pada aspek kognitif inilah yang menyebabkan proses pendidikan berjalan monoton, intelektualisme, dan verbalisme. Padahal, pendidikan itu sendiri berdimensi ketiga ranah tersebut.

1 Afif HM & Haidlor Ali Ahmad (eds), Bunga Rampai Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2005), h. 33

1

2

Bukan hanya transfer of knowledge, melainkan juga transfer of values (internalisasi nilai) dan transfer of methodology (aplikasi metodologi).2 Pendidikan agama yang dilaksanakan di sekolah dirasakan tidak dapat memberikan bekas yang cukup dalam memperbaiki moral generasi bangsa. Kekurangan jam pelajaran agama dan di sekolah-sekolah umum terutama sekolah negeri dianggap sebagai faktor utama dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama. Karena itu para pelajar tidak mempunyai bekal yang cukup memadai untuk mengcaunter dan membentengi diri dari berbagai pengaruh negatif globalisasi yang ada saat ini.3 Fungsi lembaga pendidikan hendaknya tidak hanya memberikan kesempatan kepada subjek didik untuk mengembangkan pengetahuan. Fungsi penting lainnya ialah menciptakan setting sosial yang memungkinkan implementasi pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Pendidikan yang mengabaikan masalah-masalah sosial tidak akan efektif. Oleh karena itu, lembaga pendidikan seharusnya merupakan contoh kehidupan masyarakat yang ideal.4 Pesantren mengemban beberapa peran, utamanya sebagai lembaga pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan Islam yang sekaligus juga memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarakat, dan sekaligus menjadi simpul budaya, maka itulah pondok pesantren.5 Sistem pendidikan pesantren ketika dinilai parameter modernisasi selalu di pandang negatif karena terlalu mempertahankan tradisi dan kurang tanggap

2 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoriti-Filosofis & Aplikatif-Normatif, (Jakarta: Amzah, 2013), h. xii 3 Jazuli Juwaini, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bening Citrakreasi Indonesia, 2011), h. 164 4 Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), h. 6 5 M. Dian Nafi‟, dkk., Praksis Pembelajaran Pesantren,. (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2007), h. 11

3

terhadap perkembangan dan perubahan zaman. Tetapi, belakangan ini ada aspek tertentu yang secara jujur diakui sebagai kelebihan pesantren.6 Meskipun tidak ada pengakuan secara eksplisit dari para pakar pendidikan di Indonesia, karakter budaya pendidikan pesantren telah diadopsi ke dalam sistem pendidikan nasional. Gejala ini terlihat jelas pada kemunculan „sekolah- sekolah unggul‟ atau boarding school sejak tiga dasawarsa terakhir. Sekarang ini sudah banyak bermunculan sekolah unggulan yang menerapkan „sistem pesantren‟ meskipun di bungkus dengan nama lain seperti boarding school, sekolah internal atau lainnya. Jika boarding school (sekolah berasrama umum) mengadopsi pendidikan pesantren secara diam-diam, maka Departement Agama mengembangkannya secara terbuka.7 Dengan sistem 24 jam atau sistem pendidikan sepanjang hari (full day educational system) yang dijalani, pesantren akan menjadi incaran para orang tua lantaran kesibukannya tidak lagi mempunyai waktu yang cukup untuk memberikan perhatian dan kontrol kepada putra-putrinya setelah pulang sekolah. Dari sudut pertimbangan ini sistem pendidikan pesantren lebih di percaya orang tua dari pada sitstem pendidikan formal terutama bagi orang tua karier yang memiliki komitment tinggi untuk menanamkan akhlak pada putra-putrinya. Pesantren dinilai mampu membentengi para santri dari pengaruh-pengaruh negatif arus globalisasi yang menghadirkan kebudayaan Barat di tengah-tengah kebudayaan kita.8 Dibandingkan dengan lingkungan pendidikan parsial yang ditawarkan sistem pendidikan sekolah umum di Indonesia sekarang ini, sebagai budaya pendidikan nasional, pondok pesantren mempunyai kultur yang unik. Karena keunikannya, pondok pesantren digolongkan ke dalam subkultur tersendiri dalam

6 Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi , (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 82 7 Ibid., h. 83 8 Ibid., h. 84

4

masyarakat Indonesia. 5000 buah pondok pesantren yang tersebar di 68.000 desa merupakan bukti tersendiri untuk menyatakannya sebagai sebuah subkultur.9 Belakangan ini, seperti halnya pengalaman lembaga-lembaga lainnya, pesantren sedang menghadapi berbagai tantangan secara multidimensional: pertama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berjalan dengan super cepat. Perkembangan IPTEK ini mempengaruhi pola pikir, pola pandang, pola sikap, dan pola hidup masyarakat modern; kedua, perkembangan IPTEK ini terutama teknologi informasi mengakibatkan terbentuknya arus globalisasi yang menjamah seluruh penjuru dunia sehingga dunia ini terasa tanpa batas. Apa yang dipegerakan oleh orang-orang yang berada dipojok Barat, dalam waktu sekejap bisa diketahui oleh orang-orang yang berada di pojok paling Timur, dan begitu pula sebaliknya; ketiga, tuntunan masyarakat kontemperer semakin meningkat dan lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan duniawi yang serba materialitis; dan keempat, perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem pendidikan nasional.10 Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, setidaknya pesantren harus bisa bertahan hidup (survival). Ketahanan hidup pesantren di Indonesia ini hingga sekarang telah terbuktikan. membuat perbandingan bahwa pada masa silam, pesantren di Indonesia dapat merespons tantangan- tantangan zamannya dengan sukses. Sedangkan sistem pesantren yang dikembangkan oleh kaum sufi baik di Malaysia maupun Thailand bagian Utara sekarang ini senantiasa merana ditekan sistem sekolah model Barat. Ketahanan hidup pesantren ini tidak lepas dari berbagai faktor, salah satunya adalah keluwesan pesantren menghadapi tantangan-tantangan tersebut dengan cara mengubah bentuk (transformasi), kendatipun perubahan yang dilakukan pesantren tergolong lamban. Nurcholish Masjid pernah membuat pengandaian, jika pesantren mampu merespons tantangan-tantangan zaman itu dengan cepat, niscaya yang terjadi bukan Universitas Gajahmada tetapi Univertitas Krapyak,

9 Said Aqiel Siradj, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 13 10 Mujamil Qomar, Menggagas Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), h. 45

5

bukan Universitas Airlangga tetapi Univertitas Tebuireng, dan sebagainya. Akan tetapi karena perubahan bentuknya lambat, maka pesantren belum mampu mencapai idealisme itu. Hanya saja perubahan bentuk (transportasi) yang lambat ini perlu dicermati secara seksama karena menyentuh berbagai dimensi kepesantrenan.11 Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sudah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu. Di lembaga inilah diajarkan dan dididikkan ilmu dan nilai-nilai agama kepada santri. Pada tahap awal pendidikan di pesantren tertuju semata- mata mengajarkan ilmu-ilmu agama saja lewat kitab-kitab klasik atau kitab kuning. Pada tahap awal juga sistemnya berbentuk nonformal, tidak dalam bentuk klasikal, serta lamanya santri di pesantren tidak ditentukan oleh tahun, tetapi oleh kitab yang dibaca.12 Pada masa awal kelahirannya, pondok pesantren tidaklah selengkap saat ini; dimana ada ruangan khusus tempat para santri tinggal, ada tim pengurus, ada sistem administrasi dengan jadwal pembacaan kitab, lengkap dengan peraturan- peraturan yang harus ditaati oleh para santri. Tumbuhnya pesantren di masa dahulu, terutama di masyarakat pedesaan, dimulai dengan adanya pengakuan suatu lingkungan, masyarakat tertentu terhadap kelebihan seorang ulama di bidang ilmu agama (Islam) dan kesalehannya, sehingga penduduk lingkungan itu banyak yang datang untuk belajar menuntut ilmu pada ulama tersebut.13 Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu, serta telah menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga

11 Ibid., h. 46 12 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), h. 63 13 Nasaruddin Umar. Rethingking Pesantren, (Jakarta: PT Elex Media Kompetindo, 2014), h. 9

6

pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan keagamaan sekaligus lembaga kemasyarakatan, pesantren pada saat ini juga diharapkan mampu berfungsi sebagai pelopor pembaharuan (agent of change). Dalam arti, keberadaanya diharapkan mampu memberikan alternatif pemikiran dan tindakan. Sebab didirikannya lembaga pendidikan pesantren adalah didasarkan atas panggilan kepada manusia untuk menjadi subyek yang selalu sadar dengan kemampuannya, dan agar berpegang teguh pada nilai-nilai etika dan moralitas universal yang bersumber dari mata air Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.14 Pondok pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan lainnya baik dari aspek sistem pendidikan maupun unsur pendidikan yang dimilikinya. Perbedaan dari segi sistem pendidikannya terlihat dari proses belajar mengajarnya yang cenderung sederhana dan tradisional, sekalipun juga terdapat pesantren yang bersifat memadukannya dengan sistem pendidikan modern. Yang mencolok dari perbedaan itu adalah perangkat-perangkat pendidikannya baik perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware) nya. Keseluruhan perangkat pendidikan itu merupakan unsur-unsur dominan dalam keberadaan pondok pesantren. Bahkan unsur-unsur dominan itu merupakan ciri-ciri (karakteristik) khusus pondok pesantren.15 Disamping itu, pesantren ternyata menawarkan materi pendidikan yang sangat varian. Ada pesantren yang menekankan ilmu alat, ilmu fiqh, tasawuf, ilmu Al- dan lain-lain. Penekanan pada materi tertentu didasarkan pada keahlian kyainya, dan kebebasan kyai untuk menawarkan pola-pola pendidikan sesuai dengan seleranya. Bahkan variasi pesantren itu tidak hanya menyangkut penekanan materi pendidikannya, tetapi juga menyangkut kepemilikan lembaga, pola kepemimpinan, sikap terhadap modernisasi, sikap terhadap ilmu-ilmu umum

14 Zainal Arifin Thoha. Runtuhnya Singgasana Kiai. (Yogyakarta: KUTUB, 2003), h. 36 15 M. Bahri Ghazali. Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: CV. Prasasti, 2002), h. 17

7

hingga keterlibatan dalam perpolotokan nasional. Sehubungan dengan bergamnya variasi tersebut, pesantren tidak dapat digeneralisasi.16 Masyarakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab-kitab yang ia ajarkan, ia akan semakin dikagumi. Ia juga diharapkan dapat menunjukkan kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri dan kemampuannya, karena banyak orang datang meminta nasehat dan bimbingan dalam banyak hal. Ia juga diharapkan untuk rendah hati, menghormati semua orang, tanpa melihat tinggi rendah kelas sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak prihatin dan penuh dengan pengabdian kepada tuhan dan tidak pernah berhenti memberikan kepemimpinan keagamaan, seperti memimpin sholat lima waktu, memberikan khutbah jum‟at dan menerima undangan perkawinan, kematian dan lain-lain.17 Salah satu peranulama (kyai) sebagai pemuka agama Islam yang patut dicatat adalah posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan kepada masyarakat sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan telah dilahirkan oleh mereka, baik dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantren. Lembaga-lembaga tersebut memiliki konstribusi yang besar dalam meningkatkan tingkat melek huruf bangsa Indonesia, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang ilmu pengetahuan umum. Para tokoh umat Islam tersebut juga telah berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan, khususnya Islam lewat karya- karya yang telah ditulis atau jalur dakwah mereka.18 Namun dalam dasawarsa belakangan ini banyak ulama sudah tidak produktif dalam penulisan lektur keagamaan, ulama yang terjun ke politik praktis menjadi anggota DPR, sehingga cenderung peran mereka dalam mengembangkan pendidikan Islam menjadi berkurang.

16 Mujamil Qomar, Menggagas Pendidikan Islam, op. cit., h. 2 17 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1984), h. 60 18 Rosehan Anwar & Andi Bahruddin Malik (eds), Peran dan Fungsi Ulama Pendidikan, (Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur Pendidikan Agama, 2003), h. 129

8

Abuya KH. Abdurrahman Nawi adalah merupakan sosok kyai yang ramah dan gigih di dalam mengajar serta mendidik para santrinya di pondok pesantren Al-Awwabin, dengan segenap ide serta gagasannya, beliau berusaha memajukan pondok pesantren tersebut dalam bidang keilmuan, agar dapat bermanfaat bagi masyarakat, agama maupun bangsa. Tentang pesantren yang didirikan, Abuya KH. Abdurrahman Nawi bermaksud untuk membina kader-kader muslim yang menguasai ilmu agama dengan baik, dalam rangka membantu pemerintah dalam bidang pendidikan. Abuya mengutamakan penguasaan ilmu-ilmu alat bagi santri-santrinya, yaitu dengan pengajaran ilmu nahwu, shorof dan bahasa Arab. Maka diluar kurikulum sekolah yang mengikuti kurikulum dari Departemen Agama, santri yang mukim pada sore dan malam hari diharuskan mengikuti halaqah mengaji kitab-kitab di bidang nahwu, shorof, bahasa Arab, tauhid, fiqh, , hadist dan . Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap Abuya. Oleh karena itu penulis menulis sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul : “PERAN ABUYA KH. ABDURRAHMAN NAWI DALAM MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN ISLAM DI PONDOK PESANTREN AL-AWWABIN DEPOK”.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diindentifikasi permasalahannya sebagai berikut : 1. Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi di pondok pesantren Al-Awwabin Depok banyak yang belum terungkap. 2. Ide maupun gagasan Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam mengembangkan pondok pesantren Al-Awwabin Depok yang masih terpendam. 3. Masyarakat luas banyak yang belum mengenal sosok Abuya KH. Abdurrahman Nawi. 4. Kontribusi Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam pengembangan pendidikan Islam tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas.

9

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis perlu memberikan batasan masalah hanya pada bagaimana peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi yakni di bidang kelembagaan pendidikan dan seputar ide maupun gagasan beliau dalam mengembangkan pendidikan Islam di pondok pesantren Al-Awwabin Depok.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apa saja peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam memajukan pondok pesantren Al-Awwabin Depok? 2. Bagaimana peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam mengembangkan pendidikan Islam di pondok pesantren Al-Awwabin Depok?

E. Tujuan Penelitian

Setiap karya ilmiah tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai, begitu juga dengan penulisan ini. Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan yang diharapkan tercapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam mengembangkan pendidikan Islam di pesantren Al-Awwabin Depok. 2. Untuk mengetahui cara penerapan peran yang dilakukan Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam mengembangkan pondok pesantren Al-Awwabin Depok.

F. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai dunia pesantren dan pendidikan Islam, umumnya bagi masyarakat khususnya bagi penulis.

10

2. Untuk memberikan informasi lengkap mengenai peran serta gagasan Abuya KH. Abdurrahman Nawi di pondok pesantren Al-Awwabin khususnya bagi kalangan sendiri (intern) dan umumnya kalangan luar (ekstern). 3. Dapat dijadikan bahan bacaan baik bagi santri pondok pesantren Al-Awwabin Depok maupun masyarakat.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Peran

1. Pengertian Peran Dalam kamus besar bahasa Indonesia, peran adalah “Perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat”.19Peran tidak dapat dipisahkan dengan status (kedudukan), walaupun keduanya berbeda, akan tetapi saling berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya, karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Peran diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang berbeda, akan tetapi kelekatannya sengat terasa sekali. Seseorang dikatakan berperan atau memiliki peranan karena dia (orang tersebut) mempunyai status dalam masyarakat, walaupun kedudukan itu berbeda antara satu orang dengan orang lain, akan tetapi masing-masing dirinya berperan sesuai dengan statusnya. Sedangkan menurut Wahjosumijo, peran adalah “Sejumlah tanggung jawab atau tugas yang dibebankan dan harus dilaksanakan oleh seseoang”. 20 Selanjutnya, Soerjono soekanti mengatakan, “Penanan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peranan”.21 Sarlito Wirawan Sarwono juga mengemukakan hal yang sama bahwa harapan tentang peran adalah harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang prilaku-prilaku yang pantas, yang seyogyanya ditentukanoleh seseorang yang mempunyai peran tertentu.22

19 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 854 20 Wahjosumijo, Kepemimpinan Kepada Sekolah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 155 21 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 243 22 Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), h. 235

11

12

Dikutip oleh Soleman B. Toneko dari pendapat Koentjaraningrat tentang peran ia mengatakan, “Adapun segala cara berlaku dari individu-individu untuk memenuhi kewajiban dan untuk mendapatkan hak-hak tadi, merupakan aspek dinamis dari status atau kedudukan. Cara-cara berlaku itu disebut peranan, yang dalam bahasa asingnya disebut role.23 Dari penjelasan yang dipaparkan di atas terlihat suatu gambaran bahwa yang dimaksud dengan peran adalah seperangkat prilaku, sikap, kewajiban dan hak-hak khusus yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status tertentu. 2. Peran Ulama (Kyai) Ulama (Kyai) adalah orang yang memiliki pengetahuan agama Islam yang luas yang berfungsi sebagai pengayom, panutan, dan pembimbing di tengah umat atau masyarakat.Sejarah bangsa Indonesia telah mengukir berbagai peran yang mengadumkan yang dimainkan ulama (kyai). Kerukunan umat beragama pada dekade 1970-1980-an telah berhasil dan terbina dengan baik berkat dukungan ulama, sehingga kerukunan itu dapat mengokohkan peraturan dan kesatuan bangsa yang menjadi modal melalui komunikasi interpersonal yang dilakukan melalui ceramah-ceramah agama dan khutbah Jum‟at di masjid-masjid.24 Peran sosial adalah refleksi autentik dari semangat amar ma‟ruf nahi munkar. Karena itu, setiap manusia diminta untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan („amal shalih) demi memperoleh dua kebahagiaan hidup: „dunia maupun akhirat.‟ Di dalam banyak tempat, Al-qur‟an selalu mengingatkan umatnya agar berlomba- lomba kalian dalam berbuat baik jika ingin tampil menjadi umat terbaik dalam menciptakan sejarah. Kelanjutan logisnya, berbuat baik merupakan tindakan bermakna bagi manusia untuk menentukan derajat dirinya dihadapan Allah SWT.25 Salah satu peran ulama (kyai) sebagai tokoh Islam yang patut dicatat adalah posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan

23 Soleman B. Taneko, Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan, (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 88 24 Rosehan Anwar op. cit., h. 1 25 Khaeroni, Peran Sosial Santri dan , (Jakarta: Penamadani, 2007), h. v

13

(enllightenment) kepada masyarakat di sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan keagamaan telah mereka dirikan, baik dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantren. Semua lembaga itu ikut mengantarkan bangsa Indonesiamenjadi bangsa yang terpelajar. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau jalur dakwah yang mereka tempuh dengan gigih. Disamping berbagai fungsi dan peran di atas, para ulama (kyai) sebagai tokoh Islam telah mewariskan sejumlah khazanah keagamaan menomental, misalnya, berupa kitab-kitab keagamaan yang bernilai tinggi. Karya tulis tersebut merupakan media penting untuk mengkomunikasikan pemikiran mereka sekaligus mencerminkan kualitas keilmuan dibidang yang mereka geluti. Salain itu lewat ormas-ormas keagamaan, mereka juga telah berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sepanjang sejarah tanah air dengan mendirikan organisasi-organisasi keagamaan kemasyarakatan seperti Peraturan Tarbiyah Islamiyah, , , Persatuan Islam dan sebagainya. Dibawah kepemimpinanmeraka yang punya perhatian besar terhadap masalah sosial telah membantu pemerintah dalam mengangkat tingkat pendidikan dan kesejahteraan rakyat Indonesia melalui lembaga-lembaga pendidikan, panti asuhan dan kegiatan sosial lainnya.26 Selanjutnya, berkaitandengan fungsi ulama sebagai pewaris nabi pada fungsi tabligh maka ulama harus mengacu beberapa tugas yaitu memberi keteangan jiwa dan motivasi yang ikhlas. Materi penyampaian dapat membangkitkan intensitas imaniah, kemudian direalisasikan dalam bentuk perbuatan. Sebagai fungsi tibyan, dalam penyampaiannya ulama memerlukan nalar untuk memaparkan ajaran agama secara jelas dan mudah dipahami. Kemudian sebagai uswatun hasanah, ulama harus menjadi suri tauladan dan pemimpin yang baik bagi masyarakat. 3. Peran Pesantren Pesantren mengemban beberapa peran utamanya sebagai lembaga pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan Islam yang sekaligus juga memainkan

26 Rosehan Anwar, op. cit., h. 113

14

peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarakat, dan sekaligus menjadi simpul budaya, maka itulah pondok pesantren. Biasanya peran-peran itu tidak langsung terbentuk, melainkan melewati tahap demi tahap. Setelah sukses sebagai lembaga pendidikan pesantren bisa pula menjadi lembaga keilmuan, kepelatihan dan pemberdayaan masyarakat.27 Dari pondok pesantren lahir para juru dakwah, para mualim, dan ustadz, para kyai pondok pesantren, tokoh-tokoh masyarakat, bahkan yang memiliki profesi sebagai pedagang, pengusaha ataupun bidang-bidang lainnya yang banyak. Hal ini tidak lain karena di dalam kegiatan pondok pesantren, terdapat nilai-nilai yang sangat baik bagi berhasilnya suatu kegiatan pendidikan. Sehingga, bisa dinyatakan sesungguhnya pendidikan pondok pesantren terletak pada sisi dan nilai tersebut, yaitu proses pendidikan yang mengarahkan pada pembentukan kekuatan jiwa, mental ataupun rohaniah. Selama beberapa dekade, pondok pesantren telah memberikan pendidikan rohaniah yang sangat berharga bagi para santri untuk menjadi kader-kader umat yang bergerak dalam berbagai bidang kehidupan di atas. Di dalam pendidikan itulah terbentuk jiwa yang kuat yang sangat menentukan filsafat hidup para santri.28 Di samping itu pesantren juga berperan dalam berbagai bidang lainnya secara multidimensional baik berkaitan langsung dengan akitvitas-aktivtas pendidikan pesantren maupun di luar wewenangnya. Dimulai dari upaya mencerdaskan bangsa, hasil berbagai observasi menunjukkan bahwa pesantren tercatat memiliki peranan penting dalam sejarah pendidikan di tanah air dan telah banyak memberikan sumbangan dalam mencerdaskan rakyat. Pesantren telah terlibat dalam menegakkan negara dan mengisi pembangunan sebagai pusat perhatian pemerintah. Hanya saja dalam kaitan dengan peran tradisionalnya, sering diidentifikasi memiliki tiga peran penting dalam masyarakat Indonesia: 1) Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional,

27 M. Dian Nafi‟, dkk.,loc. cit., h. 11 28 Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 121

15

2) sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional, dan 3) sebagai pusat reproduksi ulama.29

B. Pesantren

1. Pengertian dan Tujuan Pesantren Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran anyang berarti tempat tinggal santri. 30 Istilah “santri” berasal dari bahasa sangsekerta “shastri”, artinya orang yang belajar kalimat suci dan indah. Para wali songo kemudian mengadopsi istilah tersebut sebagai “santri”. Salah pengucapan dalam hal ini biasa, misalnya, kata “syahadatayn” di jawa menjadi “” dan seterusnya. Jadi, “shastri” atau “santri” adalah orang yang belajar kalimat suci dan indah, yang menrut pandangan Wali Songo berarti kitab suci Al-qur‟an dan Hadits. Kalimat-kalimat suci tersebut kemudian diajarkan, dipahami dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.31 Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari- hari.32 Tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. Adapun tujuan khusus pesantren ialah: a. Mendidik siswa/santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan dan sehat lahir batin sebagai warga negara yang berpancasila;

29 Mujamil Qomar, op. cit., h. 26 30 Haidar, op. cit., h. 18 31 Tim Penulis Rumah Kitab, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta: Renebook, 2014), h. ix 32 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 40

16

b. Mendidik siswa/santri untuk menjadikan manusia muslim selaku kader- kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan sejarah Islam secara utuh dan dinamis; c. Mendidik siswa/santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggungjawab kepada pembangunan bangsa dan negara; d. Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan/masyarakat lingkungannya); e. Mendidik siswa/santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental-spiritual; f. Mendidik siswa/santri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa.33 2. Unsur-unsur Pesantren Sebuah lembaga pendidikan dapat disebut sebagai pondok pesantren apabila di dalamnya terdapat sedikitnya lima unsur, yaitu: a. Kyai Kyai adalah tokoh sentral dalam suatu pesantren, maju mundurnya suatu pesantren di tentukan oleh wibawa dan karisma sang kyai.34 Kyai adalah komponen paling penting yang amat menentukan keberhasilan pendidikan di pesantren. Kyai merupakan key person, kunci perkembangan lembaga yang bernama pondok pesantren. Ini terkait erat dengan keberadaan sang kyai yang umumnya adalah pendiri atau merupakan keturunan pendiri pesantren. Dengan demikian pertumbuhan dan perkembangan suatu pondok pesantren amat bergantung pada figur kyai makanya, tidak heran apabila fitur seorang kyai dijadikan salah satu pertimbangan dalam memilih pondok pesantren. Apalagi kalau dikaitkan dengan kedalaman ilmu, keberkahan, serta kemasyhuran sang kyai.

33 Ibid., h. 7 34 Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 22

17

Maklum, kyai merupakan sosok yang dijadikan rujukan oleh para santri, tidak hanya dari kelebihan ilmu agamanya, tetapi juga dari tindakannya. Selain sebagai orang tua, para santri sering memandang sang kyai sebagai orang yang patut diteladani dan diikuti segala tindak tanduknya. Jelasnya, kyai tidak hanya dirujuk sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik yang dapat memberikan ketauladanan hidup dan kehidupan.35 Kyai dalam pesantren merupakan figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan. 36 Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan hidup suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian dan ke dalam ilmu, kharismatik, wibawa dan keterampilan kyai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya.37 Para kyai/nyai selalu memberikan wejangan kepada para santri sebagai calon pemimpin dan agen perubahan di masa depan, sehingga dalam jiwa mereka tertanam kesadaran untuk mempersiapkan diri menjalankan hal tersebut sekembalinya mereka di tengah-tengah masyarakat di kampung. Kepemimpinan yang dimaksudkan oleh pesantren bukanlah dalam makna jabatan formal dan politik, melainkan kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya, di mana mereka harus memandu dan mencerahkan masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.38 b. Santri Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren. Para santri tinggal di pondok yang menyerupai asrama. Mereka melakukan kegiatan sehari-hari seperti mencuci, memasak dan lain sebagainya di tempat tersebut. Walaupun ada juga

35 Mahmud, Model-model Pembelajaran di Pesantren, (Ciputat: Media Nusantara, 2006), h. 6 36 Muhammad M. Basyuni, Revitalisasi Spirit Pesantren;Gagasan, Kiprah, dan Refleksi, (Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2006), h. 35 37 Hasbullah, op. cit., h. 49 38 Tim Penulis Rumah Kitab, op. cit., h. xii

18

santri yang bekerja, dan santri yang tidak menginap di pondok.39 Santri ini dapat digolongkan kepada dua kelompok: 1) Santri mukim, yaitu santri yang berdatangan dari tempat-tempat yang jauh yang tidak memungkinkan dia untuk pulang kerumahnya, maka dia mondok (tinggal) di pesantren. Sebagai santri mukim mereka memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. 2) Santri kalong, yaitu siswa-siswa yang berasal dari daerah sekitar yang memungkinkan mereka pulang ke tempat kediaman masing- masing. Santri kalong ini mengikuti pelajaran dengan cara pulang pergi antara rumahnya dengan pesantren. Yang membedakan antara pesantren besar dengan pesantren kecil biasanya terletak pada komposisi atau perbandingan antara kedua kelompok santri tersebut. Biasanya pesantren-pesantren besar mempunyai santri mukim yang lebih besar dibandingkan santri kalong, sedang pesantren yang tergolong kecil, mempunyai lebih banyak santri kalong.40 c. Masjid Masjid diartikan secara harfiah adalah tempat sujud, karena di tempat ini setidak-tidaknya seorang muslim lima kali sehari semalam melaksanakan shalat. Fungsi masjid tidak saja untuk shalat, tetapi juga mempunyai fungsi lain seperti pendidikan dan lain sebagainya. Di zaman Rasulullah masjid berfungsi sebagai tempat ibadah dan urusan-urusan sosial kemasyarakatan serta pendidikan.41 Di masa perkembangan awal Islam, masjid berfungsi juga sebagai institusi pendidikan. sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasul bersama sahabatnya ketika hijrah ke Madinah, yang dibangun pertama kali adalah masjid. Di tempat inilah para sahabat nabi tersebut

39 Nur Efendi, Menejemen Perubahan di Pondok Pesantren, (Yogyakarta: Teras, 2014), h. 127 40 Hasbullah, loc. cit., h. 49 41 Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 20

19

mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari Islam lebih jauh bersama Rasulullah.42 Tradisi yang dipraktekan Rasulullah ini terus dilestarikan oleh kalangan pondok pesantren. Para kyai selalu mengajar santri-santrinya di masjid atau mushalla. Mereka menganggap masjid atau mushalla sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan nilai-nilai keislaman kepada para santri, terutama ketaatan dan kedisiplinan. Penanaman sifat disiplin kepada para santri dilakukan melalui kegiatan shalat jama‟ah setiap waktu di masjid atau mushalla, bangun pagi, serta yang lainnya. Oleh karena itu masjid dan mushalla merupakan bangunan yang pertama kali dibangun sebelum didirikan bangunan dan fasilitas lainnya.43 d. Pondok/Asrama Kata pondok berarti kamar, gubuk, rumah kecil yang dalam bahasa Indonesia menekankan kesederhanaan bangunan. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa pondok itu berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti ruang tidur, wisma, atau motel sederhana.44 Pada beberapa pesantren yang telah maju, asrama pesantren dibangun layaknya sebuah kompleks yang dikelilingi pagar pembatas. Ini dilakukan supaya proses keluar masuknya para santri bisa diawasi. Dalam komplek itu, biasanya terdapat batas pemisah yang jelas antara perumahan kyai dan keluarganya dengan asrama santri, baik putra maupun putri. Pertanyaan, kenapa harus ada asrama? Setidaknya ada empat alasan utama pesantren membangun pondok (asrama) untuk para santrinya, yaitu: pertama, ketertarikan santri untuk belajar kepada seorang kyai dikarenakan kemasyhuran atau kedalaman serta keluasan ilmunya yang mengharuskannya untuk meninggalkan kampung halamannya untuk menetap pada tempat yang selalu dekat dengan kyai; kedua, pondok pesantren umumnya tumbuh dan berkembang di daerah yang jauh dari

42 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRDS Press, 2005), h. 109 43 Mahmud, op. cit., h. 10 44 Nur Efendi, op. cit., h. 123

20

keramaian pemukiman penduduk sehingga tidak terdapat perumahan yang cukup memadai untuk menampung para santri dengan jumlah banyak; ketiga, terdapat sikap timbal balik terhadap kyai dan santri yang berupa terciptanya hubungan kekerabatan seperti halnya hubungan ayah dan anak. Sikap timbal balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama; keempat, untuk memudahkan pengawasan dan pembinaan secara intensif dan istiqomah. Dan, hal ini dimungkinkan jika tempat tinggal antara kyai dan santri berada dalam satu lingkungan yang sama.45 e. Pengajian Kitab-kitab Islam Klasik (Kuning) Kitab kuning yang merupakan khazanah Islam produk ulama al-salaf al-shalih, dijadikan panduan oleh para kyai, nyai dan santri untuk memahami substansi ajaran yang ada dalam Al-qur‟an dan Hadits. 46 Kepintaran dan kemahiran seorang santri diukur dari kemampuannya membaca serta mensyarahkannya (menjelaskan) isi kitab-kitab tersebut. Untuk tahu membaca sebuah kitab dengan benar, seorang santri dituntut untuk mahir di dalam ilmu-ilmu bantu, seperti nahwu, sharaf, balaghah, ma‟ani, bayan, dan lain sebagainnya. Kitab kitab klasik biasanya ditulis atau dicetak di kertas berwarna kuning dengan memakai huruf arab dalam bahasa Arab, Melayu, Jawa dan sebagainya. Huruf-hurufnya tidak diberi vokal, atau biasa disebut dengan kitab gundul.47 Kriteria kemampuan membaca dan mensyarahkan kitab bukan hanya merupakan kriteria diterima atau tidaknya seseorang sebagai ulama atau kyai pada zaman dahulu saja, melainkan juga sampai saat sekarang. Salah satu persyaratan seseorang telah memenuhi kriteria sebagai kyai atau ulama adalah kemampuannya membaca serta menjelaskan isi kitab- kitab tersebut.

45 Mahmud, op. cit., h. 11 46 Tim Penulis Rumah Kitab, loc. cit., h. ix 47 Nur Efendi, op. cit., h.129

21

Karena sedemikian tinggi posisi kitab-kitab Islam klasik tersebut, maka setiap pesantren selalu mengadakan pengajian “kitab-kitab kuning”. Kendatipun saat sekarang telah banyak pesantren yang memasukan pelajaran umum, namun pengajian kitab-kitab klasik tetap diadakan.48 Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.49 Dalam praktiknya, pesantren umumnya memisah tempat pengajian kitab bagi santri putra dan putri. Mereka diajar ditempat yang berbeda dan tidak jarang oleh guru yang berbeda pula. Meski terkadang guru laki- laki mengajar santri putri, namun keadaan ini tidak berlaku untuk sebaliknya. Namun, ada juga pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan secara bersama (co education) antara santri putra dan putri, di dalam tempat yang sama. Hanya saja, antara santri putra dan putri dipasang hijab (pembatas) berupa kain atau dinding kayu.50 Apabila jenis pesantrennya dikatagorikan khalafiah atau kombinasi, ciri pesantren bertambah satu, yaitu ada ruang kelas untuk pembelajaran formal. f. Madrasah (Sekolah) Madrasah merupakan ”isim makan” kata “darasa” dalam bahasa arab, yang berarti “tempat duduk untuk belajar” atau populer dengan sekolah. Lembaga pendidikan Islam ini mulai tumbuh di Indonesia pada awal abad ke-20.51 Pada beberapa pondok pesantren yang telah melakukan pembaharuan, di samping masjid dan mushalla yang menjadi tempat belajar, juga disediakan madrasah atau sekolah sebagai tempat untuk

48 Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 23 49 Hasbullah, op. cit., h. 50 50 Mahmud, op. cit., h. 12 51 Hasbullah, op. cit., h. 66

22

mendalami ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum yang dilakukan secara klasikal. Madrasah atau sekolah ini biasanya juga terletak di dalam lingkungan pesantren. Madrasah yang dikhususkan untuk mendalami ilmu-ilmu agama biasa disebut pendidikan diniyah. Sedangkan madrasah atau sekolah yang di dalamnya diajarkan pula ilmu-ilmu umum, maka penyelenggaraannya mengikuti pola yang telah ditentukan oleh Departemen Agama atau Departemen Pendidikan Nasional. Madasah atau sekolah ini dilengkapi dengan sarana dan prasarana sebagaimana lazimnya pendidikan sistem sekolah, seperti ruang kelas proses belajar mengajar, perpustakaan, laboratorium, lapangan olahraga, dan lainnya. Jadi, pondok pesanten yang juga yang menyelenggarakan sistem pendidikan sekolah, akan mempunyai dua macam kegiatan pembelajaran, yaitu pembelajaran ala pesantren dan pembelajaran ala sekolah.52 3. Model-model Pesantren Secara umum, pesantren dapat diklasifikasikan menjadi tiga model, yakni: pesantren tradisional (salaf), pesantren modern (khalaf), dan pesantren komprehensif (kombinasi). a. Pondok Pesantren Tradisional (Salaf) Pondok pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15 dengan menggunakan bahasa Arab. Pola pengajarannya dengan menerapkan sistem “halaqoh” yang dilaksanakan di masjid atau . Hakekat dari sistem pengajaran halaqoh adalah penghafalan yang titik akhirnya dari segi metodologi cenderung kepada terciptanya santri yang menerima dan memiliki ilmu. Artinya ilmu itu tidak berkembang ke arah paripurnanya ilmu itu, melainkan hanya terbatas pada apa yang diberikan oleh kyainya. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kyai

52 Mahmud, op. cit., h. 14

23

pengasuh pondoknya. Santrinya ada yang menetap di dalam pondok (santri mukim), dan santri yang tidak menetap di dalam pondok (santri kalong).53 Pesantren salafi, pesantren yang masih tetap mempertahankan nilai- nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa desa adalah benteng terakhir dalam mempertahankan tradisi-tradisi keislaman. Materi pelajaran yang dikemukakan di pesantren ini adalah mata pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Metode penyampaian adalah wetonan dan sorogan, tidak memakai sistem klasikal. Santri dinilai dan diukur berdasarkan kitab yang mereka baca. Mata pelajaran umum tidak diajarkan, tidak mementingkan ijazah sebagai alat untuk mencari kerja. Yang paling dipentingkan adalah pendalaman ilmu- ilmu agama semata-mata melalui kitab-kitab klasikal.54 b. Pondok Pesantren Modern (Khalaf) Pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren karena orientasi belajarnya cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara klasik dan meninggalkan sistem belajar tradisional. Penerapan sistem belajar modern ini terutama nampak pada penggunaan kelas-kelas belajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasioanl. Santrinya ada yang menetap ada yang tersebar di sekitar desa itu. Kedudukan para kyai sebagai koordinator pelaksana proses belajar mengajar dan sebagai pengajar langsung di kelas. Perbedaannya dengan sekolah dan madrasah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol sebagai kurikulum lokal.55 Pesantren modern (khalaf) adalah pesantren yang selain bermateriutamakan pendalaman agama Islam (tafaqquh fi al-din), tetapi

53 M. Bahri Ghazali. op. cit., h. 14 54 Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 24 55 M. Bahri Ghazali. op. cit., h. 15

24

juga memasukan unsur-unsur modern, seperti penggunaan sistem klasikal atau sekolah dan pembelajaran ilmu-ilmu umum dalam muatan kurikulumnya.56 Pesantren corak ini telah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi pelajaran dan metodenya sudah sepenuhnya menganut sistem modern. Pengembangan bakat dan minat sangat diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan bakat dan hobinya secara proporsional. Sistem pengajaran dilaksnakan dengan porsi sama antara pendidikan agama dan umum, penguasaan bahasa asing (bahasa Arab dan Inggris) sangat ditekankan. Pada pola ini materi pelajaran telah dilengkapi dengan mata pelajaran umum, dan ditambah pula dengan memberikan aneka macam pendidikan lainnya, seperti keterampilan, kepramukaan, olahraga, kesenian dan pendidikan berorganisasi, dan sebagian telah melaksanakan program pengembangan masyarakat.57 c. Pondok Pesantren Komprehensif (Kombinasi) Pondok pesantren ini disebut komprehensif karena merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara yang tradisional dan yang modern. Artinya di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan, bandongan dan wetonan, namun secara reguler sistem persekolahan terus dikembangkan. Bahkan pendidikan keterampilan pun diaplikasikan sehingga menjadikannya berbeda dari tipologi kesatu dan kedua. Lebih jauh dari pada itu pendidikan masyarakat pun menjadi garapannya. Dalam arti yang sedemikian rupa dapat dikatakan bahwa pondok pesantren telah berkiprah dalam pembangunan sosial kemasyarakatan.58 Pesantren komprehensif (kombinasi) merupakan gabungan antara pesantren salaf dengan pesantren khalaf. Artinya, antara pola pendidikan

56 Mahmud, op. cit., h. 16 57 Haidar Putra Daulay, loc. cit., h. 24 58 M. Bahri Ghazali. loc. cit., h. 15

25

modern sistem madrasah/sekolah dan pembelajaran ilmu-ilmu umum dikombinasikan dengan pola pendidikan pesantren klasik. Jadi, pesantren modern dan kombinasi merupakan pesantren yang diperbaharui atau yang dipermodern pada segi-segi tertentu untuk disesuaikan dengan sistem sekolah dengan tetap memelihara pola pengajaran asli pesantren dalam pembelajaran kitab-kitab salafi (kitab kuning).59 Corak pendidikan pada pesantren ini sudah mulai mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi tidak sepenuhnya. Prinsip selektifitas untuk menjaga nilai tradisional masih terpelihara. Misalnya, metode pengajaran dan beberapa rujukan tambahan yang dapat menambah wawasan para santri sebagai penunjang kitab-kitab klasik. Manajemen dan administrasi sudah mulai ditaati secara modern meskipun sistem tradisionalnya masih dipertahankan. Sudah ada semacam yayasan, biaya pendidikan sudah mulai dipungut. Alumni pesantren corak ini cenderung melanjutkan pendidikannya kesekolah atau perguruan tinggi formal. proses belajar mengajar dilaksanakan secara klasikal dan nonklasikal, juga didikkan keterampilan dan pendidikan berorganisasi. Pada tingkat tertentu diberikan sedikit pengetahuan umum. Santri dibagi jenjang pendidikan mulai dari tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah. Metode: wetonan, sorogan, hafalan, dan musyawarah.60 Berdasarkan pengelompokan diatas, menurut Mahmud, tipologi pesantren secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pesantren tipe salafiyah, memiliki ciri-ciri: a. Para santri belajar dan menetap di pesantren. b. Kurikulum tidak tertulis secara eksplisit, tetapi berupa hidden kurikulum (kurikulum tersembunyi yang ada pada benak kyai). c. Pola pembelajaran mengunakan metode pembelajaran asli milik pesantren (sorogan, bandongan, dan lainnya). d. Tidak menyelenggarakan pendidikan dengan sistem madrasah. 2. Pesantren tipe khalafiyah, memiliki ciri-ciri:

59 Mahmud, loc. cit., h. 16 60 Haidar Putra Daulay, loc. cit., h. 24

26

a. Para santri tinggal dalam pondok/asrama. b. Pemaduan antara pola pembelajaran asli pesantren dengan sistem madrasah/sistem sekolah. c. Terdapat kurikulum yang jelas. d. Memiliki tempat khusus yang berfungsi sebagai sekolah/madrasah. 3. Pesantren tipe kombinasi, memiliki ciri-ciri: a. Pesantren hanya semata-mata tempat tinggal (asrama) bagi para santri. b. Para santri belajar di madarasah atau sekolah yang letaknya di luar dan bukan milik pesantren. c. Waktu belajar dipesantren biasanya malam atau siang hari pada saat santri tidak belajar disekolah atau madrasah (ketika mereka berada di pondok/asrama). d. Umumnya pembelajaran tidak terprogram dalam kurikulum yang jelas dan baku.61 4. Metode Pembelajaran di Pesantren Secara garis besar metode pembelajaran yang dilaksanakan di pesantren, dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, di mana di antara masing-masing metode mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu: a. Sorogan Kata sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti “sodoran atau yang disodorkan”. Maksudnya suatu sistem belajar secara individual di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Seorang kyai atau guru menghadapi santri satu per satu, secara bergantian. Pelaksanaannya, santri yang banyak itu datang bersama, kemudian mereka antri menunggu giliran masing- masing. Dengan sistem pengajaran secara sorogan ini memungkinkan hubungan kyai dengan santri sangat dekat, sebab kyai dapat mengenal kemampuan pribadi santri secara satu persatu. Kitab yang disorogkan kepada kyai oleh santri yang satu dengan santri yang lain tidak harus sama.

61 Mahmud, op. cit., h. 17-18

27

Karenanya kyai yang menangani pengajian secara sorogan ini harus mengetahui dan mempunyai pengetahuan yang luas, mempunyai pengalaman yang banyak dalam membaca dan mengkaji kitab-kitab.62 Sistem pengajaran dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan santri yang biasanya pandai menyorogkan sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca dihadapan kyai itu. Dan kalau ada salahnya kesalahan itu langsung dihadapi oleh kyai itu. Di pesanten besar “sorogan” dilakukan oleh dua atau tiga orang santri saja, yang biasa terdiri dari keluarga kyai atau santri- santri yang diharapkan kemudian hari menjadi orang alim.63 Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri. Kendatipun demikian, metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung. Sistem sorogan ini menggambarkan bahwa seorang kyai di dalam memberikan pengajarannya senantiasa berorientasi pada tujuan, selalu berusaha agar santri yang bersangkutan dapat membaca dan mengerti serta mendalami isi kitab. b. Bandongan Sistem bandongan ini sering disebut dengan halaqah, di mana dalam pengajian, kitab yang dibaca oleh kyai hanya satu, sedangkan para santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kyai. Para santri memperoleh kesempatan untuk bertanya atau meminta penjelasan lebih lanjut atas keterangan kyai. Sementara catatan-catatan yang dibuat santridi atas kitabnya membantu untuk melakukan telaah atau mempelajari lebih lanjut isi kitab tersebut setelah pelajaran selesai.64 Orientasi pengajaran secara bandongan atau halaqoh itu lebih banyak pada keikut sertaan santri dalam pengajian. Sementara kyai berusaha

62 Hasbullah, op. cit., h.51 63 M. Bahri Ghazali. op. cit., h. 29 64 Mujamil Qomar, op. cit., h. 145

28

menanamkan pengertian dan kesadaran kepada santri bahwa pengajian itu merupakan kewajiban bagi mukallaf. Kyai tidak memperdulikan apa yang dikerjakan santri dalam pengajian, yang penting ikut mengaji. Kyai dalam hal ini memandang penyelenggaraan pengajian halaqoh dari segi ibadah kepada Allah, dari segi pendidikan terhadap santri, dari kemauan dan ketaatan para santri, sedangkan segi pengajaran bukan merupakan hal yang utama.65 c. Weton Sistem pengajaran dengan jalan wetonan dilaksanakan dengan jalan kyai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu dan santri dengan membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kyai. Dalam sistem pengajaran yang semacam itu tidak dikenal absensinya. Santri boleh datang boleh tidak, juga tidak ada ujian.66 Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang diartikan berkala atau berwaktu. Pengajian weton tidak merupakan pengajian rutin harian, tetapi dilaksanakan pada saat-saat tertentu, misalnya pada setiap selesai sholat jum‟at dan sebagainya. Apa yang dibaca kyai tidak bisa dipastikan, terkadang dengan kitab biasanya atau dipastikan dan dibaca secara berurutan, tetapi kadang- kadang guru hanya memetik di sana sini saja, peserta pengajian weton tidak harus membawa kitab. Cara penyampaian kyai kepada peserta pengajian bermacam-macam, ada yang dengan diberi makna, tetapi ada juga yang hanya diartikan secara bebas.67 Metode sorogan dan wetonan sama-sama memiliki ciri pemahaman yang sangat kuat pada pemahaman tekstual atau literal. Bersamaan dengan penggunaan metode ini berkembang pula tradisi hafalan. Bahkan di pesantren, keilmuan hanya dianggap sah dan kokoh bila melalui transmisi dan ‟hafalan‟, baru kemudian menjadi keniscayaan. Lebih jauh lagi, parameter kealiman seeorang dinilai

65 Hasbullah, loc. cit., h.51 66 M. Bahri Ghazali. loc. cit., h. 29 67 Hasbullah, op. cit., h. 52

29

berdasarkan kemampuannya menghafal teks-teks. Dengan begitu, tidak mengherankan jika lulusan pesantren menunjukan profil penyampai ilmu agama kepada masyarakat.68

C. Pendidikan Islam

1. Pengertian Pendidikan Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Bagaimanapun sederhana komunitas manusia memerlukan pendidikan. Maka dalam pengertian umum, kehidupan dan komunitas tersebut akan ditentukan oleh aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.69 Istilah pendidikan adalah terjemah dari bahasa Yunani paedagogie yang berarti “pendidikan”, orang yang tugasnya membimbing atau mendidik dalam pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri disebut paedagogos, Istilah ini berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin).70 Beberapa ahli mengartikan pendidikan sebagai berikut: a. M. Alisuf Sabri: Pendidikan itu adalah usaha sadar dari orang dewasa untuk membantu atau membimbing pertumbuhan dan perkambangan anak/peserta didik secara teratur dan sistematis kearah kedewasaan.71 b. M. Ngalim Purwanto: Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.72 c. Nurani Soyomukti: Pendidikan adalah segala suatu dalam kehidupan yang memengaruhi pembentukan berfikir dan bertindak individu. Kurun waktu kehidupan yang panjang dan saling berkaitan dengan

68 Mujamil Qomar, op. cit., h. 144 69 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), h. 28 70 Armai Arief, op. cit., h. 17 71 M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), h. 7 72 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 11

30

perubahan-perubahan cara berfikir masyarakat juga turut menjadi pembentuk seorang individu.73 d. Hasbullah: Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai- nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangan, istilah pendidikan atau peadagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan secara sengaja oleh orang dewasa agar dia menjadi dewasa.74 e. Syaiful Sagala: Pendidikan itu dapat dipahami sebagai proses melatih peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan melalui sejumlah pengalaman belajar sesuai bidangnya dan pikiran, sehingga peserta didik memilliki karakter unggul menjunjung tinggi nilai etis dalam berinteraksi dengan masyarakat sebagai bagian dari pengabdiannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup dirinya maupun keluarganya. Fungsi utama pendidikan memberikan layanan akademik melalui proses ketatalaksanaan pendidikan yang dipandu oleh kaidah atau aturan yang berlaku.75 Sejalan dengan definisi-definisi yang dikemukakan para ahli di atas, ada yang berpendapat bahwa dalam pengertian pendidikan itu harus terkandung hal-hal yang pokok sebagai berikut: a. Bahwa pendidikan itu tidak lain merupakan usaha dari manusia. b. Bahwa usaha itu dilakukan dangan sengaja atau secara sadar. c. Bahwa usahanya itu dilakukan oleh orang-orang yang merasa bertanggungjawab kepada masa depan anak. d. Bahwa usahanya berupa bantuan atau bimbingan rohani dan dilakukan secara teratur dan sistematis.

73 Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2010), h. 29 74 Hasbullah, op. cit., h. 1 75 Syaful Sagala, Etika dan Moralitas Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), h. 43

31

e. Bahwa yang menjadi objek pandidikan itu adalah anak/peserta didik yang masih dalam pertumbuhan/perkembangan atau masih memerlukan pendidikan. f. Bahwa batas/sasaran akhir pendidikan adalah tingkat dewasa atau kedewasaan.76 Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaanya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggungjawab atas tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan hakikat dan ciri kemanusiaanya.77 Pendidikan dalam sejarah peradaban anak manusia adalah salah satu komponen kehidupan yang paling urgen. Aktivitas ini telah dan akan terus berjalan semenjak manusia pertama ada di dunia sampai berakhirnya kehidupan di muka bumi ini. Bahkan kalau ditarik mundur lebih jauh lagi, kita mendapatkan bahwa pendidikan telah berproses semenjak Allah menciptakan manusia pertama, Adam yang berada di surga, di mana Dia mengajarkan nama-nama yang para malaikat sendiri pun sama sekali belum mengenalinya.78 Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan itu adalah tuntunan/pimpinan/bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang kepada orang lain. Tuntunan/pimpinan/bimbingan itu harus dapat merealisasikan potensi-potensi yang dimiliki oleh anak didik yang bersifat menumbuhkan serta mengembangkan baik jasmani maupun rohani. 2. Tujuan Pendidikan Tujuan adalah merupakan sasaran atau maksud yang ingin dicapai. 79 Dalam pendidikan kita tak dapat mencapai sesuatu sebelum kita menjadikannya tujuan. Itu sebabnya tujuan itu sangat penting dalam

76 M. Alisuf Sabri, loc. cit., h. 7 77 Djunaidatul Munawwaroh & Tanenji, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), h. 5 78 Sri Minarti, loc. cit., h. 17 79 Mudyo Ekosusilo, Dasar-dasar Pendidikan, (Semarang, Effahar, 1990), h. 39

32

pendidikan, apakah itu pendidikan oleh orang tua, lembaga pendidikan atau oleh negara dalam rangka pendidikan nasional.80 Pendidikan sebagai suatu bentuk kegiatan manusia dalam kehidupannya juga menempatkan tujuan sebagai suatu yang hendak dicapai, baik tujuan yang dirumuskan itu bersifat abstrak sampai pada rumusan-rumusan yang dibentuk secara khusus untuk memudahkan pencapaian tujuan yang lebih tinggi. Begitu juga dikarenakan pendidikan merupakan bimbingan terhadap perkembangan manusia menuju kearah cita-cita tertentu, maka yang merupakan masalah pokok bagi pendidikan ialah memilih arah atau tujuan yang ingin dicapai.81 Pendidikan bertujuan mewujudkan manusia yang beriman, bertakwa, cerdas, sehat jasmani dan rohani, memiliki keterampilan memadai, berakhlak mulia, memiliki kesabaran yang tinggi dan selalu introspeksi diri, tanggap terhadap persoalan, mampu memecahkan masalah dengan baik dan rasional, dan memiliki masa depan yang cerah, baik di dunia maupun di akhirat.82 Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan diri, bersama-sama dengan tujuan hidup manusia.83 Menurut UU No 4 tahun 1950 pada bab II pasal 3 ditulis bahwa, “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.84 Sedangkan di dalam UU Nomor 2 Tahun 1989, secara jelas disebutkan tujuan pendidikan nasional, yaitu : “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang

80 Nasution, Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 16 81 Hasbullah, op. cit., h. 10 82 Tatang, Ilmu Pendidikan, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), h. 67 83 Nurani Soyomukti, op. cit., h. 30 84 Mudyo Ekosusilo, op. cit., h. 40

33

mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”85 Menurut Hasan Langgulung, “Tujuan pendidikan sama seperti tujuan hidup manusia, sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Manusia, dalam usahanya memelihara kelanjutan hidupnya mewariskan berbagai nilai budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian masyarakatnya bisa hidup terus86. Menurut Tatang, “Tujuan pendidikan adalah membangun karakter anak didik yang kuat menghadapi berbagai cobaan dalam kehidupan dan telaten, sabar, serta cerdas dalam memecahkan masalah yang dihadapi”.87 Di dalam buku Pendidikan Karakter secara umum orang memahami bahwa tujuan pendidikan adalah mengarahkan manusia agar berdaya, berpengetahuan, cerdas, serta memiliki wawasan dan keterampilan agar siap menghadapi kehidupan dengan potensi-potensinya yang telah diasah dalam proses pendidikan.88 Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang berpegang teguh pada pancasila dan agar membentuk peserta didik yang memiliki karekter yang baik. 3. Pengertian Pendidikan Islam Dalam konteks Islam, pendidikan secara bahasa (lughatan) ada tiga kata yang digunakan. Ketiga kata tersebut, yaitu (1) “at-tarbiyah”, (2)”al-ta‟lim”, dan (3)”al-ta‟dib”. Ketiga kata tersebut memiliki makna yang saling berkaitan saling cocok untuk pemaknaan pendidikan dalam Islam. Ketiga kata itu mengandung makna yang amat dalam, menyangkut manusia dan

85 Hasbullah, op. cit., h. 11 86 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-husna, 1988), h. 305 87 Tatang, op. cit., h. 64 88 Fatchul Mu‟in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik & Praktik, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2011), h. 289

34

masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain.89 Pendidikan Islam menurut istilah dirumuskan oleh pakar pendidikan Islam, sesuai dengan perspektif masing-masing. Diantara rumusan tersebut adalah sebagai berikut : a. Haidar Putra Daulay: Pendidikan Islam adalah proses pembentukan manusia kearah yang dicita-citakan Islam.90 b. Sri Minarti: Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang secara khas memiliki ciri Islami, berbeda dengan konsep pendidikan yang lain yang kajiannya lebih menfokuskan pada pemberdayaan umat berdasarkan Al-qur‟an dan hadis.91 c. Arifin: Pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah. Oleh karena Islam mempedomani seluruh aspek kehidupan manusia muslim baik duniawi maupun ukhrawi.92 d. Sutrisno dan Muhyidin Albarobis: Pendidikan Islam adalah usaha sadar untuk membimbing manusia menjadi pribadi beriman yang kuat secara fisik, mental dan spiritual, serta cerdas, berakhlak mulia, dan memiliki keterampilan yang diperlukan bagi kebermanfaatan dirinya, masyarakatnya, dan lingkungannya.93 Dikutip oleh Sri Minarti dari Sajjad Husain dan Syed Ali Asraf mendefinisikan pendidikan Islam sebagai pendidikan yang melatih perasaan murid-muridnya dengan cara-cara tertentu sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan terhadap segala jenis pengetahuan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan sadar akan nilai etis Islam.94

89 Ramayulis, op. cit., h. 33 90 Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 3 91 Sri Minarti, loc. cit., h. 25 92 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 11 93 Sutrisno & Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2012), h. 22 94 Sri Minarti, loc. cit., h. 26

35

Karekteristik pendidikan Islam dalam kenyataannya memperlihatkan bentuk implementasinya yang khas di Indonesia. Memiliki sejarah pertumbuhan dan perkembangannya yang panjang, dalam perkembangan terakhir, pendidikan Islam di Indonesia menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.95 Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang diberikan oleh seorang guru, ustad, maupun orang yang mumpuni dibidang agama Islam kepada seseorang maupun murid (siswa) yang berasaskan Al-qur‟an dan sunnah nabi Muhammad. 4. Tujuan Pendidikan Islam Pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani. Menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta.96 Pendidikan Islam sebagai sebuah protes memiliki dua tujuan, yaitu tujuan akhir (tujuan umum) yang disebut sebagai tujuan primerdan tujuan antara (tujuan khusus) yang disebut tujuan sekunder. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah penyerahan dan penghambaan diri secara total kepada Allah. Tujuan ini bersifat tetap dan berlaku umum, tanpa memerhatikan tempat, waktu, dan keadaan. Tujuan antara pendidikan Islam merupakan penjabaran tujuan akhir yang diperoleh melalui usaha ijtihad para pemikir pendidikan Islam, yang karenanya terikat oleh kondisi locus dan tempus. Tujuan antara harus mengandung perubahan-perubahan yang diharapkan subjek didik setelah melakukan proses pendidikan, baik yang bersifat individual, sosial, maupun profesional. tujuan antara ini perlu jelas keberadaannya sehingga pendidikan Islam dapat diukur keberhasilannya tahap demi tahap. Tujuan antara inilah

95 Said Aqiel Siradj, dkk., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 191 96 Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 65

36

yang biasanya dijabarkan dalam bentuk kurikulum atau program pendidikan.97 Menurut Armai Arief, “Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mempersiapkan anak didik atau individu dan menumbuhkan segenap potensi yang ada, baik jasmani maupun rohani, dengan pertumbuhan yang terus menerus agar dapat hidup dan berpenghidupan sempurna, sehingga ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi dirinya dan umatnya”98. Menurut Arifin, “Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan batin, dunia dan akhirat”.99 Menurut Sri Minarti, “Tujuan pendidikan Islam antara lain sebagai berikut”: a. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah di muka bumi yang memakmurkan dan mengelola bumi sesuai dengan kehendak Tuhan. b. Mengarahkan manusia agar seluruh tugas kekhalifahannya dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah sehingga pelaksaannya terasa ringan. c. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya. d. Membina dan mengarahkan potensi akal jasmaniah untuk mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya. e. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.100 Sedangkan menurut Tatang, “Tujuan pendidikan Islam adalah mewujutkan : a. Insan akademi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah.

97 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistimologi Islam dalam Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2014), h. 89 98 Armai Arief, op. cit., h. 21 99 Arifin, op. cit., h. 40 100 Sri Minarti, loc. cit., h. 40

37

b. Insan kamil, yang berakhlakul karimah. c. Manusia yang berkpribadian. d. Manusia yang cerdas dalam mengkaji ilmu pengetahuan. e. Anak didik yang bermanfaat bagi kehidupan orang lain. f. Anak didik yang sehat jasmani dan rohani. g. Karakter anak didik yang menyebarkan ilmunya kepada sesama manusia.101 Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang perilakunya didasari dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah, yaitu manusia dapat “merealisasikan idealitas Islam”, yang menghambakan sepenuhnya kepada Allah. 5. Dasar Pendidikan Islam Dasar adalah landasan tempat berpijak atau tegaknya sesuatu agar dapat berdiri kokoh. Dasar suatu bangunan, yaitu fundamen yang menjadi landasan bangunan tersebut agar tegak dan kokoh berdiri. Demikian pula dasar pendidikan Islam, yaitu fundamen yang menjadi landasan atau asas agar pendidikan Islam dapat tegak berdiri dan tidak mudah roboh karena tiupan angin kencang berupa ideologi yang muncul, baik di era sekarang maupun yang akan datang.102 Dasar pendidikan Islam adalah identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-qur‟an dan Hadits. Kemudian dasar tadi dikembangkan dalam pemahaman para ulama dalam bentuk qiyas syar‟i, ijma‟ yang diakui, ijtihad dan tafsir yang benar dalam bentuk hasil pemikiran yang menyeluruh dan terpadu tentang jagat raya. Manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan kemanusiaan dan akhlaq, dengan merujuk kepada kedua sumber asal (Al-qur‟an dan Hadits) sebagai sumber utama.103

101 Tatang, op. cit., h. 65 102 Sri Minarti, op. cit., h. 41 103 Jalaluddin& Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 37

38

Dikutip oleh Sutrisno & Muhyiddin Albarobis dari Muhammad Shafiq ia mengatakan pendidikan Islam harus diarahkan menurut konsep tauhid. Hal ini mengingat pentinnya tauhid sebagai fondasi yang harus dibangun di atas ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang ditransfer kepada anak didik melalui proses pendidikan.104 Bagi orang mukmin, standar nilai yang harus diacu tentu saja sengat jelas, yaitu wahyu. Apa yang diperintahkan oleh Allah pastilah baik dan yang dilarang- Nya tentulah buruk. Apa yang menurut Allah benar pastilah benar dan apa yang menurut-Nya salah tentulah salah. Di sinilah konsep tauhid memainkan perannya yang sangat sentral sebagai penyatu pandangan kaum mukminin. Oleh karena itu, pendidikan Islam mutlak harus dibangun diatas tauhid sebagai fondasinya.105

D. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Yeni Rahmawati seorang mahasiswa jurusan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010. Tentang “Sejarah Berdirinya dan Berkembangnya Pondok Pesantren Al-Awwabin Kota Depok Tahun 1962-2008”, Dia menyimpulkan bahwa pondok pesantren Al-Awwabin terletak pada satu kota tetapi berada di dua kecamatan yang berbeda yakni berada di Jl. Raya Sawangan No.21 Pancoran Mas Depok dan Jl. H. Sulaiman No. 12 Sawangan Depok, serta perkembangan yang dilakukan pondok pesantren Al-Awwabin diantaranya: bidang pendidikan, bidang dakwah, dan bidang sosial keagamaan. Persamaannya adalah tempat penelitian yang telah diteliti, namun penelitian ini lebih fokus membahas tentang seluk beluk sejarah Al-Awwabin dan kota Depok serta perkembangan pondok pesantren Al-Awwabin secara umum, sedangkan yang penulis teliti adalah tentang bagaimana peran Abuya sebagai pendiri dan pimpinan umum dalam mengembangkan pendidikan Islam di pesantren Al-Awwabin serta upaya apa saja yang beliau lakukan untuk memajukan pondok pesantren Al-Awwabin.

104 Sutrisno & Muhyidin Albarobis, op. cit., h. 23 105 Ibid., h. 24

39

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Darmuji seorang mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. Tentang “Peran KH. Abdurrahman Nawi dalam Pengembangan Dakwah di Kota Depok”. Persamaannya adalah tempat penelitian yang telah diteliti, namun penelitian ini lebih memfokuskan tentang pengembangan dakwah yang dilakukan oleh Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam ruang lingkup kota Depok serta beberapa peran Abuya dalam strategi dakwah khususnya di kota Depok. Namun yang penulis teliti tidak hanya segi dakwah yang telah dilakukan oleh Abuya KH. Abdurrahman Nawi, melainkan apa saja peran Abuya dalam memperkembangan pendidikan Islam serta ide dan gagasan apa saja yang telah beliau lakukan dalam memajukan pondok pesantren Al-Awwabin.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu, dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian Adapun waktu penelitian yang dilakukan penulis adalah mulai tanggal 17 Juni 2016. 2. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di pondok pesantren Al-Awwabin Depok dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

B. Metode Penelitian

Dalam sebuah penelitian metode merupakan hal yang sangat penting, karena dengan metode yang baik dan benar akan memungkinkan tercapainya tujuan penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis yaitu metode yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penilaian, dan berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu106. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang hasil penelitiannya disimpulkan secara deskripsi, agar dapat memudahkan penulis dalam memperoleh data dan menyimpulkan hasil data yang diperoleh di lapangan nanti. Penelitian kualitatif sendiri adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll. 107 Dengan metode ini, penulis akan menggambarkan mengenai peran serta gagasan Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam mengembangkan pendidikan Islam di pondok pesantren Al-Awwabin.

106 Pedoman Penulisan Skripsi, (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta 2015), h. 63 107 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 6

40

41

C. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah berbagai cara yang digunakan untuk mengumpulkan data, menghimpun, mengambil, atau menjaring data penelitian.108 Pada umumnya seseorang yang ingin memperoleh data, menggunakan teknik pengumpulan data yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Maka dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teknik, yaitu : 1. Observasi Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.109 Observasi yaitu penulis melakukan pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap objek yang dipandang dapat dijadikan sumber data. Dalam penelitian ini penulis melakukan observasi lapangan. Hasil pengamatan tersebut akan menjadi salah satu data untuk bahan rujukan yang selanjutnya akan dianalisis dalam penelitian. 2. Wawancara Wawancara adalah cara menjaring informasi atau data melalui interaksi verbal/lisan. 110 Wawancara ini dilakukan dalam bentuk dialog langsung dengan informan baik itu tenaga pendidik, anak dari Abuya KH. Abdurrahman Nawi, tata usaha, maupun alumni yang telah menyelesaikan pendidikannya di Al-Awwabin. 3. Dokumentasi Dokumen merupakan catatan atau karya seseorang tentang sesuatu yang sudah berlalu. Dokumen tentang orang atau sekelompok orang, peristiwa, atau kejadian dalam situasi sosial yang sesuai dan terkait dengan fokus penelitian adalah sumber informasi yang sangat berguna dalam penelitian kualitatif. Dokumen itu dapat berbentuk teks tertulis, artefac, gambar maupun foto. Dokumen tertulis dapat pula berupa sejarah kehidupan (life histories), biografi, karya tulis, dan cerita. Di samping itu ada juga material budaya, atau

108 Suwartono, Dasar-dasar Metodologi Peneltian, (Yogyakarta: ANDI, 2014), h. 41 109 Pedoman Penulisan Skripsi, op. cit., h. 66 110 Suwartono, op. cit., h. 48

42

hasil karya seni yang merupakan sumber informasi dalam penelitian kualitatif.111 Teknik dokumentasi menjadi salah satu teknik penunjang validnya suatu data penelitian, karena penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, maka penulis menggunakan ini sebagai pembantu dalam mengambil hasil kesimpulan dalam penelitian.

D. Teknik Pengelolaan Data

Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklarifikasi data-data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan utuh.

E. Teknik Analisis Data

Teknis analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini memakai tiga jalur kegiatan, yakni: 1. Reduksi Data Reduksi data menunjukan kepada proses pemilihan, pemokusan, penyederhanaan, pemisahan, pentransformasian data “mentah” yang terlihat dalam catatan tertulis lapangan (writer-up field noters). Oleh karena itu reduksi data berlangsung selama kegiatan penelitian dilaksanakan. Ini berarti pula reproduksi data telah dilakukan sebelum pengumpulan data di lapangan, yaitu pada waktu penyusunan proposal, pada saat menentukan kerangka konsepsual, tempat, perumusan pertanyaan penelitian, dan pemilihan pendekatan dalam pengumpulan data. Juga dilakukan pada waktu pengumpulan data, seperti membuat kesimpulan, pengkodean, membuat tema, membuat cluster, membuat pemisahan dan menulis memo. Reduksi data dilanjutkan sesudah kerja lapangan, sampai laporan akhir penelitian lengkap dan selesai disusun.112

111 Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan, (Jakarta: Prenadamedia, 2014), h. 391 112 Pedoman Penulisan Skripsi, op. cit., h. 407

43

Reduksi data sangatlah penting dilakukan agar memudahkan peneliti dalam melakukan kegiatan penyimpulan dari hasil data penelitian dan demi menghindari kesalahan dalam rangka penarikan kesimpulan. 2. Triangulasi Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling penting banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. 113 Hal itu dapat dicapai dengan jalan: a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu; d. Membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berbeda, orang pemerintahan; e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Data yang ditringulasikan adalah data yang bersifat sekunder seperti wawancara. Konsep triangulasi ini merupakan cara tepat untuk memperoleh data hasil penelitian, dengan mengeksplorasi data dari sumber key informan baik dari pelakuobjek peneliti, maupun lingkungan sekitar yang ada hubungan langsung dengan si objek peneliti, hal ini diharapkan sang peneliti memiliki hasil data yang baik dan jelas dari berbagai sumner agar dalam proses penarikan kesimpulan nanti, peneliti dapat menyimpulkan hasil penelitiaannya dengan baik dan cermat.

113 Lexy J. Moleong, op. cit., h. 330

44

3. Penarikan Kesimpulan Setelah data yang terkumpul direduksi dan selanjutnya disajikan, maka langkah yang terakhir dalam menganalisis data adalah menarik kesimpulan atau verifikasi.114 Kegiatan utama ketiga dalam analisis data yaitu penarikan kesimpulan/verifikasi. Sejak pengumpulan data, peneliti telah mencatat dan memberi makna sesuatu yang dilihat atau diwawancarainya. Memo dan memo telah ditulis, namun kesimpulan akhir masih jauh. Penelitian harus jujur dan menghindari bias subjektivitas dirinya.115

114 Pedoman Penulisan Skripsi, op. cit., 71 115 Muri Yusuf, op. cit., h. 409

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Abuya KH. Abdurrahman Nawi

1. Biografi Abuya KH. Abdurrahman Nawi Pada hari Rabu 08 Desember 1920 di Tebet Melayu Besar, lahir seorang bayi laki-laki dari pasangan H. Nawi bin Su‟iddan dengan „Aini binti Rudin. Anak kesembilan dari pasangan tersebut diberi nama Abdurrahman. Dia adalah salah satu dari tiga putra H. Nawi diantara 10 bersaudara. Tebet saat itu merupakan perkampungan masyarakat Betawi. Sebagaimana lazimnya masyarakat Betawi yang secara turun temurun fanatik memeluk Islam dan kuat menjalankan syariatnya, Abdurrahman tumbuh dalam lingkungan kampung Tebet yang juga sarat dengan nilai-nilai dan budaya keagamaan. Ada mushalla yang menjadi tempat berkumpul anak-anak untuk menjalankan shalat lima kali dalam sehari semalam. Di sana juga sering diadakan pengajian dan perayaan hari-hari besar Islam seperti maulid, isra‟ mi‟raj dan lain-lain. Dalam masyarakat pun acara-acara perkawinan, nujuh bulan kehamilan, kelahiran anak, kematian dan ngirim arwah selalu di isi dengan bacaan-bacaan barzanji, shalawat, tahlil, dan membaca Al-qur‟an. Di samping itu, ada pula ceramah agama dari seorang guru atau ulama yang dihormati karena penguasaannya yang mumpuni terhadap ajaran-ajaran Islam. H. Nawi maupun istrinya „Aini bukan seorang tokoh agama bagi masyarakatnya,juga bukan keturunan dari ulama. Mereka hanyalah seorang yang taat beragama dan senang kepada ulama. Sehari-hari mereka dikenal sebagai pedagang nasi ulam di warung pedok. Pada waktu-waktu tertentu H. Nawi selalu menyempatkan diri untuk mengikuti pengajian yang diadakan oleh para ulama dan habib di kampung Melayu atau di kampung Kwitang. Di Tebet tak ada ulama besar atau habib yang mengadakan pengajian rutin dengan dihadiri oleh ratusan kaum muslimin dari berbagai kampung Jakarta dan

45

46

sekitarnya. Juga tidak ada madrasah atau sekolah Islam tingkat dasar sekalipun, yang menjadi tempat belajar bagi anak-anak dan remaja. Tempat belajar yang lazim bagi anak-anak dan remaja kampung saat itu adalah ta‟lim atau pengajian intensif tentang ilmu agama dan bahasa Arab dengan memakai kitab-kitab tertentu yang diselenggarakan di rumah guru (mu‟allim). Besar kecilnya ta‟lim diukur dari materi dan kitab yang diajarkan, yang biasanya sesuai dengan ke‟aliman (penguasaan) guru terhadap ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. H. Nawi yang pedagang itu mendidik putranya Abdurrahman untuk rajin shalat dan mengaji sebagaimana saudara-saudaranya yang lain. Mula-mula Abdurrahman belajar mengaji dengan guru yang ada di Tebet, yaitu Mu‟allim Ghazali dan Mu‟allim Syarbini. Di sini ia belajar membaca Al-qur‟an serta dasar-dasar akidah dan praktek ibadah. Ketekunan Abdurrahman untuk mengaji nampak lebih giat dibanding saudara-saudara dan anak-anak yang lain. Maka H. Nawi terus mendorongnya untuk belajar dan mengaji serta memperingatkannya untuk tidak main-main. Dengan dorongan orang tua dan didikan para gurunya, lama-kelamaan Abdurrahman merasakan nikmatnya belajar dan hausnya mencari ilmu. Dalam hatinya tumbuh himmah dan ghirah yang kuat untuk belajar agar mampu menguasai ilmu-ilmu keislaman yang begitu luas. Gurunya yang lain, KH. Muh. Zain bin Sa‟id, pernah suatu saat memberinya wejangan, bahwa manusia itu akan dipandang karena 3 hal: jagoan, kekayaan dan ilmu. Ketika ia ditanya: “kamu mau jadi apa?”, maka jawabnya spontan “mau menjadi orang yang berilmu”. Lantas sarannya, untuk itu tak ada jalan lain kecuali kamu harus rajin belajar. Jadilah Abdurrahman sebagai remaja yang pekerjaannya setiap saat hanya mengaji dan belajar. Di Tebet saat itu belum ada sekolah. Di Bali Matraman, beberapa kilometer dari Tebet, ada madrasah Asy-Syafi‟iyyah tapi hanya tingkat Ibtidaiyyah. Ada madrasah tingkat Tsanawiyyah Jam‟iyyatul Khaer di Tanah Abang, namun cukup jauh untuk pulang pergi bagi Abdurrahman menurut ukuran saat itu. Hal demikian tetap tidak menjadi penghalang bagi Abdurrahman untuk mewujudkan cita-citanya, menguasai ilmu-ilmu agama, bahasa Arab maupun

47

pengetahuan umum. Dari pergaulannya sesama teman yang suka mengaji dan petunjuk guru serta orang tua, dia tidak kehabisan guru di sekitar Tebet yang di rumahnya membuka pengajian mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Di Bukit Duri ia belajar mengaji kepada KH. Muhammad Yunus, KH. Basri Hamdani, KH. Muhammad Ramli dan Habib Abdurrahman As-Segaf. Dia juga mengaji kepada KH. Muh. Zain, Kebon Kelapa, Tebet, KH. M. Arsyad bin Musthofa, Gg Pedati, Jatinegara, KH. Mahmud, Pancoran, KH. Musannif, Menteng Atas, KH. Ahmad Djunaedi, Pedurenan, KH. Abdullah Husein, Kebon Baru Tebet, KH. Abdullah Syafi‟I, Bali Matraman serta Habib Husein Al-Haddad, Kampung Melayu. Agak jauh lagi dia juga mengaji kepada KH. Hasbiyallah, Klender, KH. Mu‟allim, Cipete, KH. Khalid, Pulo Gadung, Habib Ali Jamlullail dan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang, Habib Abdullah bin Salim Al-Attas, Kebon Nanas, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Haddad, Kramat Jati, Habib Ali bin Husein al-Attas, Kemayoran, dan Ustadz Abdullah Arifin, di Pekojan. Meski Abdurrahman Tidak pernah belajar di sekolah maupun di pesantren, namun dia mengaku cara belajarnya tidak kalah dengan cara belajar santri di pesantren. Dalam sehari dia biasa mengikuti pengajian di tiga tempat, yang masing-masing 2 atau 3 mata pelajaran. Sistem belajar yang ia ikuti, biasanya memakai kitab. guru membaca „ibarah dalam kitab dan menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, kemudian menerangkan maksud dari „ibarah tersebut dengan penjelasan yang sangat luas dan mendalam. Tidak jarang seorang guru menyuruh murid untuk membaca, menanyakan i‟rab, terjemah dan maksudnya kepada murid. Pelajaran tentang nahwu atau sharaf juga memakai sisem tamrin (latihan) untuk mengetahui sejauh mana murid memahami setiap materi pelajaran. Kitab-kitab yang disusun dalam bentuk nadzam (sya‟ir) juga disuruh dihafal oleh setiap murid. Semangat Abdurrahman memahami dan menguasai pelajaran memang sangat tinggi. Setelah mendengarkan penjelasan-penjelasan guru, dia mencatat dengan baik apa yang perlu. Setelah pengajian usai, dia pun tidak segan-segan

48

bertanya dan bermusyawarah dengan teman-temannya untuk mengulang dan mendalami pelajaran yang sudah lewat. Dan dia selalu berusaha memuthala‟ah (mengulangi) pelajarannya sendiri di rumah bila dia belum menguasai benar suatu pelajaran. Dia tidak pernah mau ketinggalan dari teman-temannya dalam menguasai pelajaran. Jika suatu saat dia merasa ketinggalan, maka dia pun berjanji “awas, tunggu besok, saya pasti kalahkan dia”. Dan, malamnya dia pun tak mau tidur sebelum benar-benar menguasai pelajaran besok. Guru-guru di mana Abdurrahman belajar memang mempunyai latar belakang yang beragam. Ada yang berasal dari pesantren salafiyah, ada pula yang dari madrasah dan Arab. Maka Abdurrahman selain kitab-kitab yang diajarkan di pesantren, dia juga belajar kitab-kitab baru („ashriyyah) yang diajarkan di madrasah. Dalam ilmu nahwu dan sharaf misalnya selain dia belajar kitab-kitab Al-jurumiyah, „Imrithy, Kawakib, Ibn „Aqil, Syudzur adz- Dzahab, Mughnil Labib, dia juga belajar Nahwul Wadhih dan Qawa‟id al- Lughah al-„Arabiyyah, kitab baru yang dipakai di madrasah. Bahkan ia juga belajar Balaghah, Badi‟, Ma‟ani, Manthiq serta Nushush Adabiyyah, syi‟ir dan sastra Arab kepada para Habaib, seperti Habib Abdurrahman As-Segaf, Habib Husein bin Ali, Habib Abdullah bin Salim Al-Attas dll. Selain Ilmu nahwu, sharaf dan bahasa Arab sebagai ilmu alat benar-benar dia pelajari dan kuasai dengan baik, Abdurrahman yang mengaku terus belajar mengaji sampai umur 30-an telah menekuni juga pengajian dalam ilmu-ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Tauhid, Tafsir, Hadits bahkan juga ilmu-ilmu umum. Satu kitab tidak cukup sekali ia pelajari, tetapi bisa berkali-kali kepada beberapa orang guru. Kitab Taqrib, Fathul Mu‟in, Fathul Wahhab, Bughyatul Mustarsyidin, I‟anatut Thalibin, Asybah wan Nazhair, Tijanud Durar, Jawahir Kalamiyah, Sanusi, Maraqil „Ubudiyah, Nashaih ad-Diniyah, Ihya „Ulumiddin, Tafsir Jalalain, Tafsir Munir, Qami‟ut Tughyan, Jawahir Bukhari, Shahih Bukhari sudah beberapa kali dia pelajari. Meski pada umur 18 tahun dia sudah menikah, namun kegiatan belajar tidak terhenti,serta dia juga berdagang untuk mencari nafkah. Orang tuanya

49

yang kemudian hari berdagang emas dan ekonominya berkecukupan juga tetap membantu kebutuhan belajarnya. Ibunya membantu membelikan kitab-kitab yang diperlukan, sementara bapaknya membantu kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. Dia percaya bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha dan doa hamba-Nya, dan akan menolong hamba-Nya yang berjuang menegakkan agama-Nya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Atas setiap orang akan diberi pertolongan menuju keahlian/bakat yang diciptakan” (kullun muyassarun lima khuliqa lahu). Dengan sistem belajar tidak formal selama kurang lebih 25 tahun itu, memang dia tidak memperoleh ijazah atau syahadah. Tetapi hasil dari belajarnya tidak di ingkari telah mencapai tingkat pengajaran yang tinggi dalam sistem sekolah formal. Karenanya, dia pun akhirnya diakui telah menguasai ilmu-ilmu bahasa Arab dan syari‟ah yang mumpuni. Suatu saat, dihadapan ulama besar Kyai Abdurrahman Tua, Kampung Melayu, Abdurrahman Nawi mengikuti semacam ujian terbuka diikuti oleh sekitar 30-an peserta dari beberapa kampung di Jakarta dan sekitarnya. Kyai memanggil satu per satu peserta, kemudian dibukakan kitab tertentu dan disuruhnya membaca. Setelah itu dibukakan lagi kitab yang lain dan disuruhnya membaca, sampai beberapa kali. Setelah selesai, Kyai Abdurrahman Tua mengumumkan, hanya ada dua peserta yang dinyatakan lulus, yaitu Abdurrahman Nawi, Tebet, dan Turmudzi, Bukit Duri. Dari sini Abdurrahman Nawi merasa memperoleh pengakuan atas penguasaan ilmu yang ia pelajari.116 2. Kegiatan di Dunia Dakwah dan Pendidikan Sebagaimana tradisi masyarakat Betawi, KH. Abdurrahman Nawi yang oleh para murid dan keluarganya dipanggil dengan “Abuya” ini, pada tahun 1962 membuka pengajian di rumahnya, Tebet Barat VI H. Pengajian yang diberi nama As-Salafi itu mengajarkan kitab-kitab tertentu sesuai dengan kemampuan dan minat para pesertanya. Untuk bapak-bapak dan ibu-ibu di

116 Kawiyan (ed), Berdakwah Tanpa Kenal Lelah, (Biografi KH. Abdurrahman Nawi), h. 1-3

50

bacakan kitab Taqrib, Tijan Durar, Nashaih Diniyah. Sedangkan untuk pemuda dan para ustadz di bacakan kitab Qawa‟idul Lughah, Ibnu „Aqil, Fathul Mu‟in, Bughyah Mustarsyidin, Asybah wan-Nazhair, Qami‟ut Tughyan. Pesertanya datang dari beberapa kampung di Jakarta dan sekitarnya, seperti Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Menteng Dalam, Bukit Duri, Kp. Melayu, Pancoran, Pangadegan, Tangerang, Bekasi dan terutama pemuda Tebet sendiri. Melihat perkembangan pengajian yang semakin ramai, pada tahun 1976 di atas tanah milik pribadi dan orang tuanya seluas 360 m2 dibangun gedung majelis ta‟lim/madrasah 2 lantai dan mushalla. Pada tahun 1979 setelah bangunan selesai, maka diresmikanlah penggunaannya oleh Dr. KH. Idham Khalid, dan nama As-Salafi diganti dengan nama „Al-Awwabin‟. Selain untuk kegiatan pengajian, juga diselenggarakan pendidikan formal Madrasah Tsanawiyah. Minat masyarakat untuk belajar kepada Abuya KH. Abdurrahman Nawi semakin tinggi. Mereka ingin anak-anak mereka bisa nyantri (mukim dan belajar) di Al-Awwabin. Maka, sekitar tahun 1981/1982 bersama beberapa tokoh masyarakat, Abuya KH. Abdurrahman Nawi berusaha mencari lokasi yang mungkin untuk didirikan pesantren, di mana ada madrasah dan asrama. Akhirnya didapat sebuah lokasi di kampung Sengon, Kel. Pancoran Mas, Depok I. Mula-mula dibebaskan tanah seluas 4.200 m2. Pada akhir tahun 1982 berhasil didirikan 1 unit gedung sekolah 5 lokal dan 1 unit asrama, dan diresmikanlah berdirinya pondok pesantren Al-Awwabin di atas lokasi sekitar 8.000 m2. Hingga kini pesantren tersebut telah berhasil membangun 4 unit gedung sekolah, 1 unit masjid/mushalla, 1 unit aula, 2 unit asrama santri serta 4 rumah pengasuh dan guru. Di sana ada Madrasah Ibtidaiyyah, Tsanawiyah dan Aliyyah, dengan jumlah murid sekitar 400 anak, 180 di antaranya mukim (tinggal) di asrama. Pesantren Al-Awwabin pada tahun 1992 membuka lagi cabang di Bedahan, Sawangan, Depok di atas tanah seluas 2,5 ha. Di sana juga dibuka Madrasah Tsanawiyah dan Aliyyah dengan santri sekitar 160 anak.

51

Tentang pesantren yang didirikan, Abuya KH. Abdurrahman Nawi bermaksud untuk membina kader-kader muslim yang menguasai ilmu agama dengan baik, dalam rangka membantu pemerintah dalam bidang pendidikan. Abuya mengutamakan penguasaan ilmu-ilmu alat bagi santri-santrinya, yaitu dengan pengajaran ilmu nahwu, sharaf dan bahasa Arab. Maka diluar kurikulum sekolah yang mengikuti kurikulum dari Departemen Agama, santri yang mukim pada sore dan malam hari diharuskan mengikuti halaqah mengaji kitab-kitab di bidang nahwu, sharaf, bahasa Arab, tauhid, fiqh, tafsir, hadist dan akhlaq. nahwu, sharaf dan bahasa Arab masing-masing diajarkan 4 kali dalam seminggu. Siswa Tsanawiyah harus hafal 181 kaidah dalam Nahwul Wadhih, sementara siswa Aliyah mulai belajar Ibnu „Aqil. Abuya sendiri mengajar pada halaqah 1 kali dalam seminggu, selain dibantu para guru yang dipercaya. Dalam mengajar, Abuya memang cukup cermat dan sabar. Dalam setiap pengajian (majlis ta‟lim) ia hanya mengajar dengan kitab, agar pengajian terarah Abuya membacakan „ibarah suatu kitab dengan menjelaskan i‟rab seperlunya, kemudian menerjemahkan kedalam bahasa Indonesia secara bebas, tidak memakai sistem ‟bermula‟ untuk mubtada, „itu‟ untuk khabar dsb. Berdasarkan pengalamannya belajar kepada beberapa guru dan merujuk berbagai macam kitab, Abuya berusaha menyampaikan ilmu secara sederhana agar mudah ditangkap oleh para muridnya. Abuya juga mampu memberikan penjelasan-penjelasan yang cukup luas sehingga menjadi mantap dan menarik. Prinsip Abuya dalam mengajar, biar sedikit asal betul-betul paham dari pada banyak tapi tak ada yang dipaham. Abuya juga berprinsip bahwa setiap murid yang belajar sesuatu tentang agama harus mampu mengamalkan ilmunya dalam sikap dan perilakunya sehari hari. Dari sini banyak orang yang senang belajar kepada Abuya KH. Abdurrahman Nawi. Orang yang pernah mengikuti pelajarannya pun tertarik untuk selalu mengikutinya. Karna itu, di luar pesantren Al-Awwabin, Abuya mempunyai pengajian rutin di beberapa masjid dan majlis ta‟lim, selain juga

52

mengajar tetap kitab Fathul Mu‟in pada Radio Asy-Syafi‟iyyah sejak tahun 1982. Pengajian tetap yang sampai sekarang masih berjalan antara lain: a. MT. Al-Awwabin, Tebet Barat, untuk kaum ibu (senin malam), untuk para guru (sabtu pagi) dan untuk kaum bapak (minggu pagi). b. MT. Al-Ikhwan, Jl. Tawes, Tebet Barat. c. MT. Al-Istiqomah, Pondok Kopi, Jakarta Timur. d. MT. Nurul Iman, Lampiri, Pondok Kelapa, Jakarta Timur. e. MT. Al-Barokah, Pinang Ranti, Jakarta Timur. f. MT. Darus Shalihin, Kebon Tebu. g. MT. Baitur Rahmah, Cawang Kapling, Jakrta Timur. h. MT. Guru Salma, Jatinegara, Jakarta Timur. i. MT. An-Nur, Bekasi . j. MT. Tanjung Barat, Jakarta Selatan. k. MT. Darus Sa‟adah, Jeruk Purut, Cilandak, Jakarta Selatan. l. MT. Subulus Salam, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Pengajian atau ta‟lim tersebut biasanya dilaksanakan sekali seminggu, ada yang dilakuakan sehabis sholat Shubuh (Tanjung Barat), ada yang di waktu pagi (07.00-09.00 WIB), ada yang di waktu siang (10.00-12.00 WIB), ada yang sore hari sehabis sholat „Ashar, dan kebanyakan dilakukan sehabis sholat Magrib (18.30-19.30 WIB). Setiap pengajian diikuti oleh peserta-peserta yang tetap, dari kalangan kaum bapak, ustadz dan pemuda, serta sebagian juga ada kaum ibu. Sebagian besar peserta adalah penduduk asli Betawi, tetapi tidak sedikit juga orang Sunda, Jawa maupun Sumatra dan Sulawesi. Selain pengajian yang dilakukan secara tetap, Abuya juga sering di undang untuk pengajian-pengajian umum diberbagai wilayah seJABOTABEK. Abuya sejak tahun 1984 juga menjadi salah seorang khatib di masjid Baiturrahim Istana Negara. Abuya juga pernah dan sebagian masih aktif dalam kegiatan organisasi dakwah. Sebelum sibuk dalam kegiatan pesantren, Abuya pernah menjabat sebagai ketua NU Cabang Jakarta Selatan, dan mengikuti Muktamar NU di Surabaya (1971) serta Muktamar NU di Semarang (1979). Sejak tahun 1989 menjadi guru tetap pada pengajian bulanan PBNU Jl. Kramat

53

Raya Jakarta. Abuya juga pernah menjabat sebagai kordinator dakwah majlis ta‟lim pusat umat Islam At-Thohiriyah (1971-1978), dan ketua umum ikatan majlis ta‟lim kaum bapak (IMTI), Depok (1984-1988). Yang menjadi kelebihan Abuya KH. Abdurahman Nawi dibandingkan kyai lain, bahwa dia tidak hanya mengajar dan berdakwah secara langsung, tetapi juga menulis kitab. Hingga sekarang tercatat ada 12 buah kitab yang telah ditulis dan diterbitkan dalam bahasa Melayu dengan tulisan Arab, yaitu : a. Al-Amtsilah at-Tashrifiyyah, tentang sharaf b. Ilmu Nahwu Melayu, tentang ilmu nahwu c. Sullamul al‟Ibad, tentang akidah (tauhid) d. Tujuh Kaifiyat, tuntunan shalat-shalat sunnah e. Tiga Kaifiyat, tuntunan shalat khusuf dll f. Mutiara Ramadhan,tuntunan puasa dan ibadah Ramadhan g. Pedoman Ziarah Kubur h. Pedoman Penyembelihan Qurban dan Aqiqah i. Pelajaran Ilmu Tajwid, tentang tajwid j. Risalah Tahajjud, tuntunan shalat tahajjud k. Miskatul Anwar Fi Haflati An Nabi Al-Mukhtar, tentang maulid l. Terjemah Tanqihul Qoul. Motivasi menulis kitab-kiab tersebut adalah untuk membantu umat Islam secara luas bagaimana ilmu dan cara menjalankan ibadah-ibadah dengan benar. Abuya merasa bahwa tidak semua orang bisa membaca dan mempelajari kitab- kitab fiqh berbahasa Arab, karenanya dia menulis kitab bahasa Melayu yang disusun dengan cara yang mudah, lengkap dan praktis agar setiap orang mudah paham dan bisa mengamalkannya. Kitab-kitab yang ditulis memang kebanyakan tentang tuntutan ibadah praktis selain juga tentang nahwu dan sharaf. Dan kitab-kitab karangan Abuya KH. Abdurrahman Nawi hingga kini banyak diminati umat Islam, karena juga dibaca dan diajarkan oleh para ustadz-ustadzah di wilayah JABOTABEK.117

117 Ibid., h. 4-6

54

3. Paham Keagamaan dan Keahliannya Abuya KH. Abdurrahman Nawi adalah seorang ulama yang secara jelas mengikuti paham agama yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia, yaitu dalam bidang fiqh mengikuti madzhab Syafi‟i, dalam akidah mengikuti Abul Hasan Al-Asy‟ari dan dalam tasawuf mengikuti Imam Al-Ghazali. Baginya, paham yang sering disebut sebagai Ahlussunnah wal Jama‟ah itulah yang telah diajarkan oleh para ulama pendahulu dan diajarkan melalui kitab-kitab yang mu‟tabar, tidak diragukan. Abuya menegaskan bahwa kita tidak perlu mencari- cari model sendiri, tinggal ikut dan mengamalkan. Apalagi bagi orang awam, masyarakat luas, mereka tak mungkin mencari sendiri paham-paham yang harus diyakini. Mereka yang tidak tahu bahasa Arab dan tak mampu membaca kitab-kitab itu perlu mengikuti dan mempraktekkan ajaran-ajaran agama yang sudah jadi. Semua yang telah dijalankan dalam masyarakat adalah hasil didikan para ulama yang harus dijaga dan dilestarikan, tak perlu dirubah-rubah lagi. Kalau ada hal-hal baru, tugas para ulama adalah untuk mencari dan merumuskan hukumnya dengan merujuk kepada kitab-kitab yang sudah ada. Dalam mengajar fiqh, Abuya memakai kitab pegangan Taqrib (Fathul Qarib) dan Fathul Mu‟in karangan Al-Malibary, dua kitab fiqh yang populer di kalangan pesantren dan bermadzhab Syafi‟i. Abuya menjelaskan apa yang ada dalam kitab tersebut secara detail, dan terkadang menambah keterangan dengan mengacu pada kitab-kitab lain yang sealiran, seperti I‟anatut Thalibin. Dalam mengajar tauhid, Abuya lebih banyak memakai pegangan kitab Tijan Durar atau Jawahirul Kalamiyah, kitab tentang tauhid yang mengacu pada aliran Asy‟ariyah yang banyak diikuti oleh umat Islam Indonesia. Abuya menekankan pola pemahaman keimanan dengan dasar dalil naqly (Al-qur‟an dan Hadist) maupun aqly yang lazim dipahami kalangan Ahlussunnah wal Jama‟ah. Begitu juga dalam tasawuf, Abuya memakai pegangan kitab Maraqil Ubudiyah atau Nasahaih ad-Diniyah yang mengacu pada ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali. Bahkan jika diperhatikan lebih jauh, Abuya Kyai Abdurrahman Nawi tidak saja mengikuti paham dan aliran dasar yang umum dianut kalangan

55

Ahlussunnah wal Jama‟ah, tetapi mengamalkan berbagai amaliyah keagamaan yang telah menjadi tradisi dalam mayoritas masyarakat Indonesia, seperti mengirim doa dan tahlil, membaca Barzanji dan Burdah serta wirid doa-doa tertentu. Dalam kitab Mutiara Ramadhan, Abuya bukan saja menjelaskan shalat tarawih 20 roka‟at, tetapi juga menunjukkan lebih teknis bacaan setiap roka‟at dalam istilah “Kayfiyah Khatmil Qur‟an” menurut ijazah Habib Husain al- Haddad. dengan menjelaskan datangnya lailatul qadar bisa dihitung berdasar hari awal Ramadhan. Abuya juga menunjukkan bacaan-bacaan selingan pada shalat Tarawih dan Witir dalam bulan Ramadhan. Selain itu Abuya juga menambahkan beberapa qashidah (syair bahasa Arab) antara lain gubahan Habib Abdullah bin Husein Thahir serta Habib Ahmad bin Muhammad al- Muhdhar, yang baik untuk perpisahan langsung oleh guru. Beberapa kitab Abuya yang lain juga memuat tentang tuntunan amaliyah keagamaan semacam ini, yaitu Pedoman Ziarah Kubur, Tiga Kayfiyat dan Tujuh Kayfiyat. Abuya menjelaskan dasar hukum, hikmah/faidah serta tatacara (syarat dan rukun) dari amaliyah ziarah kubur, beberapa shalat sunnah seperti shalat Awwabin, Tasbih, Birrul Walidain dll. Amaliyah-amaliyah tersebut oleh sebagian ulama (kalangan pembaharu) di pertanyakan hukumnya, sementara dikalangan ulama yang ahli tasawuf merupakan amal keutamaan yang sunnah. Bagaimana pandangan Abuya terhadap paham dan aliran keagamaan yang tidak dianutnya? Abuya memandang paham dan aliran keagamaan di luar Ahlussunnah wal Jama‟ah yang dia ikuti merupakan bagian dari agama Islam juga. Asal paham dari aliran serta madzhab tersebut tetap bersumber dari Al- qur‟an dan Sunnah Rasul. Yang penting menurut Abuya, janganlah antara golongan-golongan itu saling menyalahkan, saling menghina dan melecehkan. Karena kita semua bersaudara. Abuya KH. Abdurrahman Nawi dikenal keahliannya dalam ilmu nahwu dan sharaf. Dalam mengajarkan ilmu nahwu untuk kalangan khusus para guru (ustadz) atau santri senior biasanya dia memakai kitab pegangan Ibnu‟Aqil, syarah Alfiyah Ibnu Malik, kitab yang tinggi dan mendalam dalam ilmu nahwu.

56

Tetapi dalam menjelaskan suatu masalah, Abuya tidak hanya mengacu pada salah satu kitab, tetapi menjelaskannya dengan uraian yang luas dan lengkap, baik berdasar kitab-kitab salaf maupun yang baru seperti Syudzurudz Dzahab, Mughnil Labib, Nahwul Wadhih dan Qawa‟idul Lughah. Untuk para murid yang pemula dia akan menyajikan pelajaran dengan sistematikanya sendiri yang dipandang lebih praktis, yang diambil dari penguasaannya terhadap kitab- kitab tersebut. Bahkan untuk mereka, pada tahun 1960 Buya telah menulis kitab khusus berjudul Ilmu Nahwu Melayu. Dan selain penguasaan terhadap ilmu nahwu dan sharaf yang bersifat teoritis, Abuya juga banyak mendalaminya dalam penguasaan bahasa Arab, baik lisan maupun tulisan. Bahkan Abuya juga banyak menguasai syi‟ir (nushush adabiyah) yang sering menghiasi pembicaraan dan pengajarannya. Keahliannya dalam bidang ini dibuktikan pula dengan ditunjuknya Abuya sebagai pengajar ilmu nahwu dan sharaf dalam Ma‟had „Aly Darul Arqom Perguruan Asy-Syafi‟iyyah, Jatiwaringin, tahun 1983-1985. Abuya KH. Abdurrahman Nawi juga dikenal sebagai ahli di bidang fiqh, sebagaimana terlihat dari semua pengajiannya mengkaji fiqh, di samping tauhid dan tasawuf. Sebagaimana disebut di atas, dia sejak 1982 mengajar Fathul Mu‟in dalam ta‟lim angkasa radio Asy-Syafi‟iyyah, Jakarta.118

B. Pondok Pesantren Al-Awwabin 1. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al-Awwabin Pada tahun 1962, Abuya KH. Abdurrahman Nawi mengadakan pengajian kitab-kitab kuning yang bersifat non-formal yang bertempat diruang paviliun rumahnya. Pengajian ini diberi nama As-Salafiah dengan harapan para jama‟ah dapat mengikuti jejak salafus shaleh (orang-orang terdahulu yang shaleh) dan pengajian ini bertempat di kampung Tebet yang sekarang Tebet Barat VI H, Jakarta Selatan. Pengajian tersebut diikuti oleh banyak kalangan, mulai dari orang tua, remaja, dan orang-orang dewasa yang datang dari berbagai tempat, diantarnya: Kebayaoran Lama, Kebayoran Baru, Kebon Baru, Pengadegan,

118 Ibid., h. 6-8

57

Bukit Duri, Kampung Melayu, Karang Tengah, Bekasi, dan para pemuda setempat. Pengajian atau majlis ta‟lim yang telah dibuka kian terus berkembang hingga pada tahun 1976 Abuya telah mampu membuka cabang-cabangnya diberbagai tempat, baik itu di mushola-mushola atupun di masjid-masjid yang mendapat dukungan dari kalangan masyarakat luas, ulama, dan umum. Namun, yang namanya perjuangan tidak lepas dari tantangan dan cobaan, karena majlis ta‟lim yang beliau bina tersebut mengalami pasang surut,dan memang sudah menjadi sunnatullah. Dari pengajian itulah berkembang pemikiran untuk mendirikan pendidikan formal, guna menolong masyarakat dari belenggu kebodohan dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Pada tahun 1976 Abuya KH. Abdurrahman Nawi mengajak jama‟ah majlis ta‟lim dan kenalan dekatnya untuk membangun gedung sekolah permanen dua tingkat di atas tanah milik pribadinya yang berlokasi di Jalan Tebet Barat VI H, Jakarta Selatan dengan luas tanah seluas 300 m2 ditambah dengan kavling mushola yang meupakan wakaf dari almarhum orang tua beliau. Akhirnya pada tahun 1979, tepatnya pada hari minggu diresmikanlah bangunan itu oleh KH. . Peresmian tersebut sekaligus dengan peresmian pergantian nama dari As-Salafiah menjadi Al-Awwabin. Dan pada tahun itu pula mulailah penerimaan murid baru untuk tahun ajaran 1979/1980. Kemudian dari tahun ke tahun pendidikan itu berjalan dengan pesat hingga sampai tahun 1982/1983. Mengingat banyaknya calon santri yang berminat mukin di pesantren Al-Awwabin Tebet, Sedangkan kapasitas tempat yang ada tidak menampung dan dilahan sekitarnya telah padat ditempati rumah-rumah penduduk, serta tidak mungkin lagi memperluas lokasi disekitar pesantren Al- Awwabin Tebet. Maka dengan demikian terpaksa Abuya KH. Abdurrahman Nawi mengambil kebijaksanaan untuk mencari lokasi yang tepat bagi pendidikan. Maka dengan izin Allah, Abuya sebagai pimpinan umum pondok pesantren Al-Awwabin mendapatkan lokasi yang tepat dan beliau membebaskan sebidang tanah yang terletak di kampung. Sengon, Kelurahan

58

Pancoran Mas, Depok yang dijadikan cabang pondok pesantren Al-Awwabin I dengan luas tanah sekitar 4200m2 dengan harga Rp.20.000/m2. Abuya KH. Abdurrahman Nawi sengaja mengambil tempat di daerah Depok mengingat di daerah ini masih kurang sekali lembaga pendidikan Islam apalagi pondok pesantren. Sedangkan lembaga pendidikan Islam khususnya pondok pesantren sangat di butuhkan sekali oleh kaum muslimin untuk memberantas kebodohan dan mempersiapkan generasi Islam yang memahami serta menggali hukum-hukum Islam dari kitab-kitab kuning. Pada pertengahan tahun 1982/1983 dimulai peletakan batu pertama yang disaksikan oleh ribuan umat muslim yang terdiri dari para ulama, habaib, dan para pejabat pemerintahan setempat. Akhir tahun 1982 masuk tahun 1983 telah selesai bangunan lima lokal dan satu asrama, pada saat itu pula diresmikan oleh KH. Idham Chalid dan pejabat pemerintah setempat serta dinyatakan kedudukan pondok pesantren Al-Awwabin cabang Depok. Pada tahun 1983/1984 mulai menerima murid baru untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan mukim (untuk para santri mukim). Pondok pesantren Al-Awwabin merupakan pondok pesantren pertama dikota Depok untuk wilayah Pancoran Mas. Tahun demi tahun pondok pesanten Al-Awwabin semakin berkembang. Pada tahun 1987/1988 kembali membuka Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga sampai pada tahun ajaran 1991/1992 telah sampai pada kelas IV MI. Asal usul santri pondok pesantren berasal dari wilayah antara lain Jambi, Kalimantan, Padang, Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan masyarakat sekitar pondok pesantren itu sendiri. Abuya KH. Abdurrahman Nawi bercita-cita ingin mengembangkan pesantren dengan membuka pondok pesantren di berbagai tempat dengan tujuan memelihara syiar Islam. Perkembangan selanjutnya, Abuya mengembangkan dakwah beliau dengan mendirikan pondok pesantren yang masih satu kota/wilayah Depok, yaitu di Jalan H. Sulaiman No. 12 desa Perigi, Kelurahan Bedahan Kecamatan Sawangan, Depok. Awal sejarahnya bermula ketika beliau ingin mendirikan pondok pesantren Al-Awwabin cabang II di

59

daerah Sasak Panjang, Bojong Gede, Bogor (5 km dari Bedahan). Karena di Sasak Panjang sudah ada pondok pesantren yang didirikan oleh H. Jaini, akhirnya Abuya KH. Abdurrahman Nawi mencari tempat yang lain dengan maksud melebarkan dakwah Islam. Setelah beliau mencari-cari lokasi, akhirnya beliau mendapatkan lahan untuk membangun pondoknya di desa Perigi, Kelurahan Bedahan Kecamatan Sawangan, Depok. Beliau membebaskan tanah tersebut pada tahun 1989 seluas 1600 m2 dan kemudian berkembang sampai sekarang manjadi seluas 2,5 ha. Pada tahun 1989 pesantren Al-Awwabin mulai membangun sekolah dan asrama. Untuk pembukaan tahun ajaran pertama pada tahun 1993 untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) juga mukim (bagi para santri yang mukim). Pondok pesantren Al-Awwabin II cabang Bedahan, diperuntukan bagi santriwati saja, dan pembangunan pesantren ini akan terus dikembangkan. Harapan Abuya KH. Abdurrahman Nawi adalah semoga pondok pesantren Al-Awwabin akan terus melebarkan sayapnya dengan membuka pondok pesantren di berbagai tempat dan wilayah untuk memelihara syiar Islam. Sejak saat itulah kegiatan kepesantrenan berjalan secara rutin. Adapun kegiatan rutin di pesantren tersebut bertujuan untuk membentuk pribadi santri yang memiliki kecakapan mental, spiritual dan intelektual. Di samping itu juga kegiatan rutin tersebut membekali para santri dengan beberapa keterampilan baik dalam bidang teknologi, keorganisaasian dan ketangkasan dalam menyampaikan gagasan dimuka umum yang semuanya itu dibutuhkan kelak ketika terjun kedalam masyarakat. Dimana dengan harapan bagi santri dikemudian hari menjadi kader-kader dakwah di tengah-tengah masyarakat yang melanjutkan tongkat estafet perjuangan dan peran Abuya dalam syiar Islam. 2. Struktur Organisasi Struktur organisasi atau struktur kepengurusan di pondok pesantren Al- Awwabin adalah sebagai berikut: a. Pimpinan umum : Abuya KH. Abdurrahman Nawi b. Wakil pimpinan umum : Ust. Drs. H. Ahmad Muchtar

60

c. Sekretaris : Ustz. Hj. Zakiyah d. Bendahara : Ustz. Hj. Busyroh e. Pimpinan bidang pendidikan : Ust. Drs. H. Ahmad Muchtar f. Pimpinan bidang pesantren I : Ust. Drs. H.Fatchurrahman, MA g. Pimpinan bidang pesantren II : Ustz. Diana Rahman Stuktur organisasi dan pengurusan pondok pesantren Al-Awwabin dari dulu hingga sekarang tidak ada batas waktu penjabatan jadi tetap sama pemegang jabatannya. 3. Visi dan Misi Pondok Pesantren Al-Awwabin a. Visi Pondok Pesantren Al-Awwabin Visi dari pondok pesantren Al-Awwabin adalah menjadi pondok pesantren progresif dan berkualitas dambaan umat pilihan masyarakat. Hal ini dikarenakan pondok pesantren Al-Awwabin merupakan pondok pesantren progresif dalam arti pondok pesantren yang berkelanjutan untuk memberikan pola pendidikan agama maupun umum yang berlandaskan IMTAQ (iman dan takwa). b. Misi Pondok pesantren Al-Awwabin Misi dari pondok pesantren Al-awwabin itu sendiri antara lain: 1) Pola pendidikan yang Islami. 2) Ikut memperoses dalam meningkatkan jumlah ragam spesialis keilmuan, institut-institut sosial dan fungsional antar lain: penguasan bahasa Arab, penguasan metode dakwah, penguasaan ilmu-ilmu agama, penguasaan ilmu-ilmu sosial. 3) Menyiapkan generasi Islam yang bewawasanIPTEKberlandaskan IMTAQ dan membentuk generasi Islam yang aktif, kreatif, dan inovatif. 4) Menumbuh kembangkan semangat berprestasi baik dalam bidang akademis maupun non-akademis.119

119 Profil Pondok Pesantren Al-Awwabin(Depok: Pondok Pesantren Al-Awwabin).

61

C. Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi

Pengembangan masyarakat yang bermuara pada peningkatan tarap hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan kebutuhan dan permasalahan masyarakat sebagai subyek atau obyek, sedangkan kebutuhan masyarakat itu selalu berkembang dan permasalahan masyarakat pun hampir tidak pernah absen di semua lapisan masyarakat, baik secara moril mau pun materil. Dengan adanya pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial keagamaan yang pengasuhnya juga menjadi pemimpin umat dan menjadi sumber rujukan umat dalam memberikan legitimasi terhadap tindakan warganya, sudah barang tentu mempunyai dasar pijakan yang bersifat keagamaan dalam melakukan tindakannya, terutama jika itu dianggap ''baru" oleh masyarakatnya. Hal tersebut, karena watak pimpinan keagamaan dan masyarakat pendukungnya yang fiqih oriented selalu meletakkan kegiatan yang dilakukan dalam pola hitam-putih atau salah-benar menuntut hukum Islam.120 Salah satu kegiatan yang dianggap baru menurut kalangan masyarakat pesantren adalah pengembangan masyarakat, setidaknya kalau dilihat secara kultural dari misi utama pesantren, serta porsi kegiatannya secara global, dalam bidang pendidikan. Sedangkan pengembangan masyarakat, meskipun selama ini sudah dilakukan, hanya bersifat sporadis. Kegiatan pengembangan masyarakat belum dilakukan pesantren secara kelembagaan, di samping tanpa disertai visi yang jelas, serta perangkat pendukungnya yang memadai. Perbedaan watak antara pendidikan non formal (pesantren) dan formal (sekolah) terlihat secara jelas. Diantara yang menonjol adalah Pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin, sebagai lembaga tarbiyah, sebagai lembaga sosial sebagai gerakan kebudayaan. Pesantren di samping merupakan lembaga pendidikan dan keilmuan, ia sekaligus juga merupakan lembaga moral. Ilmu di pesantren mengacu pada pembentukan moral dan akhlaq karimah. Seluruh proses belajar para santri berpusat pada pengenalan, pengakuan, kesadaran, dan keagungan Allah SWT dan

120 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LkiS, 2004), h. 350

62

akhlaq karimah yang terkait secara dialektis, kohesif dan terus menerus dengan seluruh mekanisme belajar para santri. Peran Abuya di pondok pesantren Al-Awwabin Depok yang dapat dilihat dalam dua bentuk, yang pertama adalah dalam bentuk kelembagaan dan yang kedua adalah dalam bentuk ide serta gagasan beliau yang berkaitan dengan pengembangan pendidikan Islam. Semua ini adalah bukti baku peran Abuya dalam mengembangkan pendidikan Islam dan sebagai wadah untuk menyalurkan, merealisasikan ide dan gagasan beliau yang akan dibahas dibawah ini serta sebagai bukti kecerdasan beliau dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dalam keseimbangan pendidikan, karena dua lembaga tersebut mempunyai perbedaan yang amat jelas dan keduanya dibutuhkan oleh masyarakat. 1. Kelembagaan Dalam kelembagaan ini Abuya menjadi seorang pendiri sekaligus pimpinan umum di pondok pesantren Al-Awwabin Depok, dan dalam mengembangkan pendidikan Islam ini Abuya telah mendirikan dua buah lembaga pendidikan, yakni lembaga pendidikan formal (sekolah) maupun lembaga pendidikan non formal (pondok). a. Lembaga Pendidikan Formal Jenjang pendidikan formal yang diadakan di pondok pesantren Al- Awwabin I oleh Abuya mulai dari tingkat MI (Madsarah Ibtidaiyyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan MA (Madrasah Aliyah). Berbeda halnya dengan Al-Awwabin I, Al-Awwabin II selaku cabang hanya menyediakan jenjang pendidikan dari tingkat MTs hingga MA. Al-Awwabin I sebagai pusat bertempat di Jl. Raya Sawangan No. 21 Kecamatan Pancoran Mas, kota Depok, sedangkan Al-Awwabin II yang merupakan cabang dari Al-Awwabin I bertempat di Jl. H. Sulaiman No. 12 Kecamatan Sawangan, kota Depok. Berikut daftar siswa yang menuntut ilmu di pondok pesantren Al- Awwabin:

63

Tabel 4.1 Daftar Siswa pondok pesantren Al-Awwabin I Tahun 2016/2017

No. Kelas Jumlah Siswa

1. I 9

2. II 23

3. III 23

4. IV 12

5. V 25

6. VI 19 Jumlah Seluruh Siswa 109

No. Kelas Rombel Laki-laki Perempuan Jumlah

1. VII 2 23 35 58

2. VIII 2 27 22 49

3. IX 2 38 22 60

4. X 2 25 20 45

5. XI 2 24 28 52

6. XII 1 38

Jumlah Seluruh Siswa 302

Sumber: Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.

Pada tabel diatas terjadi perbedaan jumlah siswa antara kelas satu dengan kelas yang lainnya hal ini terjadi karena mereka berada di dalam tingkatan kelas yang berbeda, dan mereka masuk ke pondok pesantren Al-Awwabin untuk menuntut ilmu pada tahun ajaran yang berbeda pula. Untuk kelas 1-6 diperuntukkan untuk tingkat MI, untuk kelas 7-9 diperuntukkan tingkat MTs, dan kelas 10-12 diperuntukkan untuk tingkat MA.

64

Tabel 4.2 Daftar Siswa pondok pesantren Al-Awwabin II Tahun 2016/2017

No. Kelas Rombel Perempuan Jumlah

1. VII 1 27 27

2. VIII 1 25 25

3. IX 1 42 42

4. X 1 25 25

5. XI 1 25 25

6. XII 1 23 23 Jumlah Seluruh Siswa 167

Sumber: Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.

Pada tabel diatas terjadi perbedaan jumlah siswa antara kelas satu dengan kelas yang lainnya hal ini terjadi karena mereka berada di dalam tingkatan kelas yang berbeda, dan mereka masuk ke pondok pesantren Al-Awwabin untuk menuntut ilmu pada tahun ajaran yang berbeda pula.

Pemisahan kelas antara laki-laki dengan perempuan ini bertujuan untuk pembelajaran kepada para murid agar mereka tidak berbicara atau bercengkrama dengan lawan jenis yang bukan mahromnya, hal ini dilakukan agar terbiasa sedari kecil untuk tidak memiliki kedekatan yang lebih kepada lawan jenis yang bukan mahromnya (pacaran), dan agar mereka lebih fokus dalam menerima pelajaran yang diberikan oleh para guru. Sedangkan di sekolah Al-Awwabin II hanya diprioritaskan untuk perempuan saja. Pada tahun 1999 MTs Al-Awwabin mendapat predikat DISAMAKAN, kemudian pada tahun 2007 predikat ini pun berubah menjadi Akreditasi B, dan terakhir pada tahun 2011 MTs Al-Awwabin meraih predikat yang lebih baik yaitu Akreditasi A. Sedangkan untuk tingkat MA yang sebelumnya berstatus DIAKUI pada tahun 2012 mendapat predikat Akreditasi A. Kurikulum yang digunakan oleh

65

sekolah mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah,diantaranya adalah kurikulum KBK, KTSP dan K13. Di sekolah ini selain disediakan untuk para murid yang bermukim (santri), tetapi disediakan pula untuk mereka para murid yang pulang pergi. Hal ini dilakukan dengan harapan agar murid yang pulang pergi pun dapat mempelajari pelajaran agama Islam secara baik, dengan diiringi materi pelajaran agama yang lengkap. Salah satu program keislaman yang dimasukkan dalam mata pelajaran adalah ilmu nahwu. Ilmu nahwu menjadi salah satu muatan lokal untuk setiap tingkatan kelas baik MTs, maupun MA. Sarana dan prasarana di sekolah ini sudah terbilang lengkap, seperti adanya lab komputer, lab IPA, kantin, perpustakaan, tempat ibadah, tempat olah raga, dan ruang OSIS. Ekstrakulikuler yang ditawarkan sekolah pun cukup menarik minat para murid, seperti: drum band, marawis, pramuka, muhadhoroh (pengkaderan muballigh), BTQ (baca tulis qur‟an), bulu tangkis, basket, futsal, paskibra, dan kaligrafi. Hal ini diadakan demi mengasah kreatifitas serta keaktifan murid dan juga sebagai sarana untuk mencari bakat yang dimiliki para murid.121 b. Lembaga Pendidikan Non Formal Pendidikan non formal yang dibentuk Abuya yakni dengan mendirikan pondok pesantren Al-Awwabin yang beliau pimpin sendiri, adapun kegiatan belajar mengajar yang beliau lakukan di pesantren ini diselenggarakan setiap hari, kecuali pada waktu tertentu ketika kegiatan belajar mengajar itu berada di luar kegiatan pesantren. Waktu-waktu yang ditetapkan oleh Abuya dalam pelaksaan kegiatan belajar ini yakni seusai sholat subuh dari pada pukul 05.30 sampai 06,15, dilanjutkan sehabis sholat ashar pukul 16.15 sampai 17. 15 dan terakhir pada malam hari pukul 19.00 sampai 20.15.

121 Abdul Syukur, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Wawancara Pribadi, 11 Oktober 2016.

66

Untuk pendidikan pesantren Abuya mengklasifikasi kitab untuk para santri sesuai dengan tingkat kemampuan dan kelas mereka. Adapun pembagian tingkatan kelas ini Abuya mengadopsi sistem yang berada di pendidikan formal yakni: 1) Tingkatan Ula (MI) Untuk tingkat ini belum begitu banyak diberikan materi kitab yang sulit, mengingat usia pada tingkatan ini masih terbilang usia anak-anak yang masih ingin bermain. Dalam mensiasati hal demikian Abuya lebih menekankan mereka untuk menghafal tidak dengan memberikan pelajaran-pelajaran yang sulit untuk mereka serap.Karena menurut Abuya usia seperti ini adalah usia emas untuk menghafal pelajaran dengan harapan apa yang telah mereka hafal pada tingkatan Ula ini terus mereka ingat hingga mereka dewasa. Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada tingkatan Ula ini sebagai berikut: Tabel 4.3 Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri MI Tahun 2016/2017

Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin Tahfidz Qur‟an Tahfidz Mahfuzhat Tahfidz Al-Qur‟an Selasa Tahfidz Qur‟an Khot Fiqih Rabu Tahfidz Qur‟an Tahfidz Mahfuzhat Ubudiyyah Kamis Mahfuzhat Tahfidz Sharaf Yasin & Tahlil Jumat Tauhid Tahfidz Mahfuzhat Al-Qur‟an Sabtu Tahfidz Qur‟an Al-Qur‟an Muhadhoroh Minggu Bhs. Arab Tahfidz Sharaf Tajwid

Sumber: Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.

Pada tabel diatas mata pelajaran yang menggunakan kata “Tahfidz” adalah pelajaran menghafal, yaitu santri menghafal pelajaran tersebut dengan cara sistem setoran yang nantinya akan dicatat di kitab mereka masing-masing dan diberi paraf oleh ustad yang mengajarkan mereka. Kemudian mata

67

pelajaran yang tidak menggunakan kata “Tahfidz” selain mata pelajaran Yasin, Ratib dan Muhadhoroh adalah pelajaran yang berisikan materi-materi yang diajarkan dan diterangkan oleh ustad yang mengajarkan mereka, dengan metode Bandongan (Halaqoh) yaitu dimana ustad membacakan dan menerangkan isi kitab tersebut, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat akan penjelasan yang dianggap perlu oleh mereka.

2) Tingkatan Wustho (MTs) Pada tingkatan ini dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu Fashlul Awwal (1 MTs), Fashlul Tsani (2 MTs), dan Fashlul Tsalis (3 MTs). Mata pelajaran yang diajarkan pun berbeda sesuai dengan tingkatan kelas mereka. Pada Fashlul Awwal, sistem kitab yang diberikan masih menggunakan kitab yang berharokat/bersyakal yang dibacakan dan diartikan oleh para guru yang mengajar. Santri hanya menyimak dan mencatat apa yang telah disampaikan guru serta menghafal beberapa kitab yang menjadi dasar dalam pengembangan kitab selanjutnya. Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul Awwal ini sebagai berikut: Tabel 4.4 Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 MTs Tahun 2016/2017

Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin Tahfidz Nahwul Wadhi Tauhid & Akhlaq Tahfidz Qur‟an Selasa Tahfidz nahwul Wadhi Mattan Safinah Tahfidz Mahfudzat Rabu Nahwu Melayu Khulasoh Tahfidz Mahfudzat Kamis Tahfidz Qur‟an Akhlaq Yasin & Ratib Jumat Khot Bhs.arab Sharaf Sabtu Bhs.arab Ubudiyah Muhadoroh Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid

Sumber: Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.

68

Pada tabel diatas mata pelajaran yang menggunakan kata “Tahfidz” adalah pelajaran menghafal, yaitu santri menghafal pelajaran tersebut dengan cara sistem setoran yang nantinya akan dicatat di kitab mereka masing-masing dan diberi paraf oleh ustad yang mengajarkan mereka. Kemudian mata pelajaran yang tidak menggunakan kata “Tahfidz” selain mata pelajaran Yasin, Ratib dan Muhadhoroh adalah pelajaran yang berisikan materi-materi yang diajarkan dan diterangkan oleh ustad yang mengajarkan mereka, dengan metode Bandongan (Halaqoh) yaitu dimana ustad membacakan dan menerangkan isi kitab tersebut, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat akan penjelasan yang dianggap perlu oleh mereka.

Kemudian pada Faslul Tsani, mulai dikenalkan pelajaran kitab-kitab nahwu dan sharaf sebagai dasar tata cara membaca kitab yang berbahasa Arab. Mengingat bahwa sumber ilmu Islam berpacu kepada Al-qur‟an dan hadits yang tidak mungkin dipahami kecuali dengan bekal kedua cabang ilmu tersebut. Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul Tsani ini sebagai berikut: Tabel 4.5 Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 MTs Tahun 2016/2017

Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin Tahfidz Nahwul Wadhi Khulasoh Tahfidz Qur‟an Selasa Tasrif Mahfudzat Sharaf Rabu Tauhid & Akhlaq Nahwul Wadhi Qiroatul Qur‟an Kamis Jurumiyah Mattan Safinah Yasin & Ratib Jumat I‟rob Akhlak & Tauhid Bhs.arab Sabtu Tahfidz mahufdzat Mattan Jurumiyyah Muhadoroh Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid

Sumber: Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.

Pada tabel diatas mata pelajaran yang menggunakan kata “Tahfidz” adalah pelajaran menghafal, yaitu santri menghafal pelajaran tersebut dengan cara sistem setoran yang nantinya akan dicatat di kitab mereka masing-masing dan diberi paraf oleh ustad yang mengajarkan mereka. Kemudian mata pelajaran yang tidak menggunakan kata “Tahfidz” selain mata pelajaran Yasin, Ratib dan

69

Muhadhoroh adalah pelajaran yang berisikan materi-materi yang diajarkan dan diterangkan oleh ustad yang mengajarkan mereka, dengan metode Bandongan (Halaqoh) yaitu dimana ustad membacakan dan menerangkan isi kitab tersebut, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat akan penjelasan yang dianggap perlu oleh mereka. Selanjutnya pada tingkatan wusto yang terakhir yaitu Faslul Tsalis, sudah mulai menggunakan sebagian kitab klasik tanpa harokat. Kemudian pada saat proses pembelajarannya pun santri sudah sedikit-sedikit menerapkan teori ilmu nahwu dan sharaf yang mereka sudah pelajari dan mereka hafal di kelas sebelumnya. Dengan cara memberi syakal sendiri pada kitab mereka kemudian belajar menjelaskan hukum pada baris kalimat menurut kaidah ilmu nahwu dan sharaf. Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul Tsalis ini sebagai berikut:

Tabel 4.6 Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 MTs Tahun 2016/2017

Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin Tauhid &Akhlaq I‟rob & I‟lal Tahfidz Qur‟an Selasa Nadzom Imriti Nahwul Wadhi Nahwul Wadhi Rabu Muhktasor Jiddan Khulasoh Tahfidz Qur‟an Kamis Tasrif Khat Yasin & Ratib Jumat I‟lal & I‟rob Lughotu Takotub Tahfidz Nahwul Wadhi Sabtu Kaylani & Tahfidz Imriti Safinah & Imriti Muhadoroh Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid

Sumber: Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.

Pada tabel diatas mata pelajaran yang menggunakan kata “Tahfidz” adalah pelajaran menghafal, yaitu santri menghafal pelajaran tersebut dengan cara sistem setoran yang nantinya akan dicatat di kitab mereka masing-masing dan diberi paraf oleh ustad yang mengajarkan mereka. Kemudian mata pelajaran yang tidak menggunakan kata “Tahfidz” selain mata pelajaran Yasin, Ratib dan Muhadhoroh adalah pelajaran yang berisikan materi-materi yang diajarkan dan diterangkan oleh

70

ustad yang mengajarkan mereka, dengan metode Bandongan (Halaqoh) yaitu dimana ustad membacakan dan menerangkan isi kitab tersebut, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat akan penjelasan yang dianggap perlu oleh mereka. 3) Tingkatan Ulya (MA) Pada tingkatan ini pun dibagi kedalam tiga kelas sama halnya dengan tingkat Wusto, perbedaannya yaitu kelas pada tingkat ini adalah kelas lanjutan dari tingkatan sebelumnya, yakni Fashlul Robi‟ (1 MA), Fashlul Khomis (2 MA), dan Fashlul Sadis (3 MA). Jadi apabila ada santri yang baru masuk kelas 1 MA di sekolah tidak bisa mengikuti pelajaran yang ada di kelas 1 MA dalam pengajian. Akan tetapi diadakan tes terlebih dahulu demi kesamarataan kompetensi yang dimiliki santri, jika memang santri baru ini belum mempunyai bekal sama sekali, mereka pun wajib mengikuti kelas dasar yaitu Fashlul Awwal. Pada Fashlul Robi‟, proses pembelajarannya sudah banyak menggunakan kitab tanpa harokat. Para santri pun diharapkan sudah mampu mengetahui kaidah-kaidah ilmu nahwu dan sharaf dalam membaca dan menterjemahkan kitab mereka. Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul Robi‟ ini sebagai berikut: Tabel 4.7 Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 MA Tahun 2016/2017

Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin I‟lal & I‟rob Kawakib Qiroah Arrasidah Selasa Kaylani Nahwul Wadhi & Tijan Tahfidz Lubabul Hadits Rabu Annasoih Mattan takrib Akhlaq Kamis Muhktasar Jiddan Muhktasar Jiddan Yasin & Ratib Jumat Tanqihul Qoul Khulasoh Khat Sabtu Kaylani Tahfidz Jurumiyah Muhadoroh

71

Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid

Sumber: Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.

Pada tabel diatas mata pelajaran yang menggunakan kata “Tahfidz” adalah pelajaran menghafal, yaitu santri menghafal pelajaran tersebut dengan cara sistem setoran yang nantinya akan dicatat di kitab mereka masing-masing dan diberi paraf oleh ustad yang mengajarkan mereka. Kemudian mata pelajaran yang tidak menggunakan kata “Tahfidz” selain mata pelajaran Yasin, Ratib dan Muhadhoroh adalah pelajaran yang berisikan materi-materi yang diajarkan dan diterangkan oleh ustad yang mengajarkan mereka, dengan metode Bandongan (Halaqoh) yaitu dimana ustad membacakan dan menerangkan isi kitab tersebut, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat akan penjelasan yang dianggap perlu oleh mereka.

Selanjutnya pada Fashlul Khomis dan Fashlul Sadis, kitab yang digunakan sudah pengembangan dari kitab-kitab sebelumnya serta mengkaji cabang ilmu yang tidak ada pada kelas sebelumnya dengan maksud mengenalkan bukan menguasai. Dengan bermodalkan pengetahuan ilmu alat yang cukup mumpuni, maka tak begitu sulit bagi para santri Fashlul Khomis dan Fashlul Sadis untuk menelaah ilmu yang berada di dalam kitab yang mereka pelajari. Serta pada tahapan ini, santri dapat belajar langsung dengan Abuya KH. Abdurrahman Nawi sebagai guru besar pondok pesantren Al-Awwabin. Dengan cara santri membaca kitab mereka secara mandiri yang dibimbing oleh Abuya. Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul Khomis dan Fashlul Sadis ini sebagai berikut: Tabel 4.8 Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 MA Tahun 2016/2017

Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin Bulughul Maram Tijan Tahfidz Nahwul Wadhi Selasa Qiroah Arrasidah Fathul Qorib Mudzakaroh

72

Rabu Diniyah Mabadi Awwaliyah Nurul Yaqin Kamis Fathul muin Tahfidz Qur‟an Yasin & Ratib Jumat Tahfidz Al-fiyah Tafsir Khat Sabtu Balagoh Tasrif Muhadoroh Minggu At-tibbyan Qowaid Nahwiyah Tajwid

Sumber: Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pondok pesantren Al-Awwabin, 2016. Pada tabel diatas mata pelajaran yang menggunakan kata “Tahfidz” adalah pelajaran menghafal, yaitu santri menghafal pelajaran tersebut dengan cara sistem setoran yang nantinya akan dicatat di kitab mereka masing-masing dan diberi paraf oleh ustad yang mengajarkan mereka. Kemudian mata pelajaran yang tidak menggunakan kata “Tahfidz” selain mata pelajaran Yasin, Ratib dan Muhadhoroh adalah pelajaran yang berisikan materi-materi yang diajarkan dan diterangkan oleh ustad yang mengajarkan mereka, dengan metode Bandongan (Halaqoh) yaitu dimana ustad membacakan dan menerangkan isi kitab tersebut, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat akan penjelasan yang dianggap perlu oleh mereka.

Tabel 4.9 Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 MA Tahun 2016/2017

Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin Bulugul Marom Mantiq Tahfidz Jurumiyyah Selasa Minhatul Mugits Muhktasor Jiddan Tahfidz Al-fiyyah Rabu Ta‟limu taallim Bulugul Marom Husunul Hamidiyah Kamis Fathul Muin Tahfidz Qur‟an Yasin & Tahlil Jumat Mabadi Awwaliyah Tafsir Khat Sabtu Tasrif At-tibyan Muhadoroh Minggu IlmuArud Qowaid Nahwiyah Al-Qur‟an

Sumber: Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pondok pesantren Al-Awwabin, 2016.

Pada tabel diatas mata pelajaran yang menggunakan kata “Tahfidz” adalah pelajaran menghafal, yaitu santri menghafal pelajaran tersebut dengan cara sistem setoran yang nantinya akan dicatat di kitab mereka masing-masing dan diberi paraf oleh ustad yang mengajarkan mereka. Kemudian mata pelajaran yang tidak menggunakan kata “Tahfidz” selain mata pelajaran Yasin, Ratib dan Muhadhoroh adalah pelajaran yang berisikan materi-materi yang diajarkan dan diterangkan oleh

73

ustad yang mengajarkan mereka, dengan metode Bandongan (Halaqoh) yaitu dimana ustad membacakan dan menerangkan isi kitab tersebut, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat akan penjelasan yang dianggap perlu oleh mereka.

Daftar pelajaran diatas menunjukkan bahwasanya Abuya KH. Abdurrahman Nawi memiliki peran yang penting dalam mengembangkan pendidikan Islam di pesantren Al-Awwabin Depok, dengan meletakan pelajaran sesuai dengan porsi tingkat perkembangan dan kemampuan para santri, hal ini dapat membantu dan memudahkan para santri dalam mengetahui ilmu keislaman secara bertahap.122 2. Ide dan Gasasan Dalam mengembangkan pendidikan Islam, tentunya diperlukan sebuah visi dan misi yang melahirkan beberapa ide dan gagasan agar pendidikan Islam semakin maju dan tujuan pendidikan Islam terealisasikan dengan baik. Dengan adanya pola pengembangan tersebut, santri tidak hanya paham akan ilmu agama, melainkan santri juga memiliki keterampilan yang apik. Keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan yang bernuansa Islami karena para santri tidak hanya dituntut untuk mampu memainkan peran mereka dalam dunia dakwah, melainkan santri juga mampu bertahan hidup di dalam arus tuntutan zaman. Ide dan gagasan beliau tersebut adalah bukti bahwa beliau menyadari bahwa pesantren adalah miniatur dari kehidupan kecil bagi kehidupan bermasyarakat secara luas. Ide dan gagasan Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam mengembangkan pendidikan Islam ini antara lain: a. Membentuk Organisasi Santri Yaitu dengan membentuk organisasi santri seperti IKSAD dan OPPTA. IKSAD (Ikatan Santri Al-Awwabin Depok) dan OPPTA (Organisasi Perempuan Pesantren Terpadu Al-Awwabin) ini dibentuk pada tahun 1993 dengan tujuan untuk melatih para santri dalam bersosialisasi, kerjasama antara satu dengan yang lainnya dan melatih mereka dalam menyelesaikan masalah. Adapun Visi dan Misinya adalah

122 Fathurrahman, Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren), Wawancara Pribadi, 01 Oktober 2016.

74

sebagai organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan potensi, bakat, dan minat santri Al-Awwabin, sehingga pada gilirannya mampu melahirkan kontribusi berarti bagi pengembangan dan kemajuan pondok pesantren pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Berikut merupakan struktural organisasi IKSAD dan OPPTA:

IKSAD Masa Abdi 2016-2017

Ketua : Muhammad Adam Kholid Wakil Ketua : Ahmad Hudzaifi Adnan Sekretaris : Nur Akbaruddin Aziz Bendahara : Muhammad Maula Rahman Seksi Pendidikan : Erri Luthfi T.W Seksi Dakwah : M. Wildan Hadziq Seksi Kesenian : M. Dimas Sholahuddin Seksi Kesehatan : Wisnu Hariyadi Seksi Keamanan : Syukri Ramadhani Seksi Humas& Keperpustakaan : Miftah Sururi Seksi Ubudiyah : Subhan Muyassir Seksi Kebersihan : Ujang Afan Maulana Seksi Olahraga : Ghazy Muhammad Syamil

OPPTA Masa Abdi 2016-2017

Ketua : Rizka Amelia Wakil Ketua : Annisa Trimelinda Sekretaris : Siti Sarah Chairunnida Bendahara : Nur Khofifah Seksi Pendidikan : Sahlatul Ula Seksi Dakwah : Qhotrun Nada Seksi Keamanan : Tsubaitul Fitria Seksi Olahraga : Karimah Vie H Seksi Humas : Catur Amelia K Seksi Ubudiyah : Khoirunnisa

75

Seksi Kebersihan : Nurul Apriyani Sedangkan untuk para alumni Abuya pun membentuk organisasi yang diberi nama IKAAD. IKAAD (Ikatan Alumni Al-Awwabin Depok) ini didirikan pada tahun 2003 dengan tujuan sebagai wadah untuk menjalin interaksi lintas generasi dan silaturahmi alumni pesantren Al- Awwabin, hal ini dilakukan untuk memperkuat hubungan antara murid dan guru. Adapun struktural organisasi IKAAD sebagai berikut:

IKAAD Masa Abdi 2014-2017

Ketua : Ust. Zulcham Mushlihun, S.S.I Wakil Ketua : Ust. Abdurrahman, S.pd Sekretaris : Ahmad Munir, S.Sy : Yuda Narito Bendahara : Faizah Salsabila : Qurrotul Uyun Divisi Kaderisasi : M. Haidir Al-karomi Divisi Litbang dan Intelektual : Zaim Najibuddin Rahman Divisi Humas : Agus Khairuddin, S.Ag Divisi Ekonomi : Lukman Hakim Divisi Pengembangan Minat, Bakat & Hobi Alumni : Charry Dwi Manfaat Program-program IKAAD yang telah diadakan pun cukup menarik perhatian alumni khususnya dan masyarakat luas secara umum, diantaranya seperti: mengadakan pengajian alumni mingguan yang dipimpin oleh musyrif (lurah pondok) KH. Fathurrahman, MA., mengadakan penngajian bulanan alumni yang dipimpin langsung oleh Abuya KH. Abdurrahman Nawi serta guru-guru yang lain, mengadakan acara tahunan yang dilakukan secara rutin yaitu santunan yatim dan muharroman untuk para santri, mengadakan pelatihan perhitungan awal bulan hijriah serta pengijazahan hadits musalsal yang di pimpin oleh Prof. Dr. Yusuf Hidayat, MA. Hal ini bertujuan untuk mewadahi para

76

alumni khususnya dan masyarakat luas secara umum untuk meneruskan pendidikan agama dan mempertahankan akidah ahlussunnah wal jamaah yang sangat dijunjung oleh beliau.123 b. Mendirikan Saluran Radio Islam Abuya tidak menutup mata melihat perkembangan teknologi yang mempengaruhi pergerakan masyarakat dalam menimba ilmu agama yang sudah berbeda pada era globalisasi seperti sekarang ini maka beliau berkeinginan untuk mensyiarkan agama Islam lebih jauh lagi dengan membangun sebuah saluran radio, mengingat saluran radio ini bisa diakses oleh siapapun dan kapanpun orang mau. Saluran radio ini merupakan bentuk usaha yang dilakukan Abuya untuk memperluas serta memperkembangkan pendidikan Islam sampai ke masyarakat. Saluran radio ini diberi nama RIDA FM (Radio Islamic Dakwah Al- Awwabin) dengan gelombang 98,5 FM sebagai sarana penyiaran dakwah Islam. Rida ini dibangun pada tanggal 9 Agustus 2007, Kata rida diambil dari bahasa Arab yang berarti, “selendang”. Selendang ini memiliki beberapa fungsi diantara mampu menutupi serta melindungi tubuh kita ketika kondisi panas maupun hujan, dan mampu memperindah diri kita dalam berbusana. Begitu pun yang diharapkan oleh Abuya, semoga RIDA FM menjadi benteng akidah yang mampu membekali dan menangkal paham-paham yang melenceng untuk umat Islam. Di dalam membangun RIDA ini, niat Abuya murni untuk menyebarkan agama Islam lebih jauh lagi sehingga mereka yang berada diplosok pun mampu mengkaji tentang agama Islam lewat saluran radio. Hal ini dibuktikan dengan tiadanya iklan komersil yang diselipkan di radio ini, yang ada hanya pengajian santri yang di pimpin langsung oleh Abuya dan guru-guru lainnya, lagu-lagu Islami, dan ceramah-ceramah agama yang mampu mengejukkan hati. Adanya saluran radio ini pun dapat dimanfaatkan untuk melatih kemampuan para santri dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan

123 Zulcham Mushlihun, Pembina IKSAD, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2016.

77

baik kepada orang lain agar mereka terbiasa menggunakan tata bahasa yang sopan dan teratur serta memberikan pengalaman kepada para santri tentang dunia penyiaran. Respon masyarakat pun sangat baik mengingat sudah sangat sedikit media yang mensyiarkan agama Islam dengan seutuhnya pada saat ini. Program-program yang diadakan RIDA ini mampu mencuri hati para penikmatnya, seperti: jumpa fans RIDA yang diadakan tiap bulan, silaturahmi rutin kerumah Abuya KH. Abdurrahman Nawi, ziarah ke para wali nusantara, serta pengajian subuh gabungan.124 c. Mengasah Bakat Santri Dalam mengasah bakat para santri ini, Abuya memfasilitasinya dengan mengadakan kesenian marawis, hadroh, qosidah rebana, tari , seni kaligrafi, dan tahsin Al-qur‟an. Manfaat dari pengasahan bakat ini adalah agar santri memiliki ragam kesibukan, tentu kesibukan yang dimaksud disini adalah agar santri memiliki ragam kegiatan yang bermanfaat, mengingat banyaknya kenakalan yang dilakukan remaja serta bosannya mereka dalam belajar menjadi salah satu penyebabnya adalah kurang terkontrolnya waktu luang mereka sehingga mereka memanfaatkan waktu luang tersebut untuk kegiatan yang kurang bermanfaat. Berbeda dengan program kegiatan-kegiatan yang lain, program kegiatan tahsin Al-qur‟an terbilang program baru. Program ini pertama kali diadakan pada tahun 2011 dan masih terlaksana hingga sekarang. Hal ini diadakan untuk membekali santri dengan bacaan Al-qur‟an yang bagus sehingga seminimal-minimalnya mereka mampu mengajarkan Al- qur‟an bahkan mampu mendirikan semacam TPA. Selain itu agar membiasakan para santri untuk membaca Al-qur‟an dengan tajwid dan makharijul huruf yang benar. Sebagaimana sesuai dengan firman Allah SWT:

124 Abdul Rasid, Anak Abuya & Kepala Penyiar RIDA FM, Wawancara Pribadi, 06 Oktober 2016.

78

َوَ رتَ لََالَ قََ رآ نََت ََ رتَ يًَلََ)َامل زَم لَ:٤ََ(َ Artinya: “Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan”. (Q.S. Al-Muzammil:4) Pengasahan bakat ini perlu digali agar santri mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki. Usaha lain yang dilakukan Abuya dalam pengasahan bakat ini adalah mengikut sertakan para santri dalam berbagai macam lomba. Salah satunya adalah lomba festival marawis, terbukti para santri pun mampu menjuarai lomba ini diantaranya: 1) Juara 1 marawis se-JABODETABEK, pondok pesantren Qotrun Nada pada tahun 2008. 2) Juara 1 marawis tingkat umum se-Jakarta Selatan, yayasan Islam Annuriyah pada tahun 2006. 3) Juara 1 marawis ABBAD 06, ikatan jurusan bahasa Arab, FIB Universitas Indonesia. 4) Juara 1 marawis se-windu, pondok pesantren Qotrun Nada, pada tahun 1425 H. 5) Juara 1 marawis pekan raya bahasa dan seni Arab, BEM J PBA FITK UIN Jakarta, pada tahun 2006. 6) Juara 1 festival marawis gebyar muharrom, pondok pesantren Al- Hidayah pada tahun 2005. 7) Juara 1 marawis pekan muharrom 1428 H, PHBI dan Sie. bidang sosial yayasan masjid Ar-rahman Depok 2007. 8) Juara 1 festival marawis, WAPRES RI CUP VI dan Fauzi Bowo CUP pekan nasional, pada tahun 2006. 9) Juara 2 festival marawis pondok pesantren Al-Karimiyah Depok, pada tahun 2006. 10) Juara 1 festival marawis se-JABODETABEK di Blok M, pada tahun 2009.

79

Manfaat dari mengikut sertakan para santri adalah untuk memotivasi dan memberikan semangat berkompetisi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Hal ini menunjukkan bahwa peran Abuya dalam mengasah serta mengembangkan bakat keterampilan santri amatlah baik, karena Islam tidak hanya mengajarkan tentang agama saja, tetapi juga tentang seni dan keterampilan.125 d. Menekankan Pemahaman Kitab Kuning Dalam menekankan pemahaman kitab kuning Abuya memfasilitasi para santri dengan mengintruksikan kepada para guru serta pengabdi untuk memberikan jam tambahan. Jam tambahan yang dimaksud adalah memberikan pengajian diluar jadwal pengajian yang sudah terjadwalkan untuk kelas masing-masing. Kitab yang digunakan dalam pengajian tambahan ini pun sesuai dengan kemauan dan kebutuhan para santri. Jadi santri secara kolektif membagi kelompok masing-masing untuk memilih kitab yang mereka inginkan. Hal ini didasari karena melihat bahwa ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tidak dapat berkembang kecuali dengan mengulang-ngulang (muroja‟ah) dan mendiskusikannya kembali (muthola‟ah). Berkenaan dengan hal tersebut Abuya sering kali memberikan motivasi kepada santri dengan mengutip perkataan ulama yaitu:

ال َّس ب قَ ح ر فَ،َالت ك را رَأ ل فَ Artinya: “Belajar satu kali, mengulang-ngulang seribu kali”. Bukan hanya dengan memberikan pengajian tambahan, penekanan akan pemahaman kitab pun dilakukan dengan cara mewajibkan para santri menghafal beberapa kitab tertentu yang telah dipilih oleh Abuya, diantara:

125 Ahmad Hafidz Kamil, Guru Pesantren Al-Awwabin Depok, Wawancara Pribadi, 16 Oktober 2016.

80

1) Fashlul Awwal: a) Menghafal 60 kaidah nahwu dalam kitab Nahwul Wadhih b) Menghafal 100 hadits dalam kitab Mahfuzhat c) Menghafal surah-surah yang berada pada juz 30 Al-qur‟an 2) Fashlul Tsani: a) Menghafal 90 kaidah nahwu dalam kitab Nahwul Wadhih b) Menghafal 150 hadits dalam kitab Mahfuzhat c) Menghafal 7 bab dalam kitab matan jurumiyah d) Menghafal surah-surah yang berada pada juz 29 Al-qur‟an 3) Fashlul Tsalis: a) Menghafal 150 kaidah nahwu dalam kitab Nahwul Wadhih b) Menghafal 200 hadits dalam kitab Mahfuzhat c) Menghafal 14 bab dalam kitab matan jurumiyah d) Menghafal surah Yasin, Al-waqi‟ah, Ar-rahman dan Al-jumu‟ah e) Menghafal100 bait nahwu dalam kitab Nazhom Imriti 4) Fahlul Robi‟ a) Menghafal 181 kaidah nahwu dalam kitab Nahwul Wadhih b) Menghafal20 bab hadits dalam kitab Tanqihul Qoul c) Menghafal 21 bab dalam kitab matan jurumiyah d) Menghafal seluruh bait nahwu dalam kitab Nazhom Imriti 5) Fahlul Khomis a) Menghafal 200 bait nahwu dalam kitab Nazhom Alfiyyah b) Menghafal 40 bab hadits dalam kitab Tanqihul Qoul c) Menghafal seluruh bait nahwu dalam kitab Nazhom Aqidatul Awwam 6) Fahlul Sadis a) Menghafal 400 bait nahwu dalam kitab Nazhom Alfiyyah b) Menghafal 40 hadits dalam kitab Arbain Nawawi Semua ini dilakukan karena Abuya melihat sudah minimnya orang- orang yang mau mengkaji secara mendalam maupun menghafal keilmuan Islam yang dapat menjadi bekal hidup mereka dan banyaknya para ulama

81

yang telah meninggal dunia, sehingga penyebaran agama Islam tidak seperti dahulu kala.126 e. Mengadakan Pelatihan Muballigh (Muhadhoroh) Pada pelatihan ini, santri diajarkan teknik bagaimana cara mengatur pola bahasa, gestur tubuh serta cara berpaikan ketika ingin berpidato maupun ketika ingin memberikan mauizhoh hasanah (nasihat), di sebuah podium maupun di tempat majlis ilmu. Pelatihan muballigh ini pun memiliki tujuan agar ilmu-ilmu yang telah di dapat oleh para santri mampu dikembangkan dan disampaikan dengan baik kepada masyarakat.Jika dalam berpidato memiliki tujuan untuk memberitahukan sesuatu kepada para pendengar, maka pembicara mengharapkan para pendengar paham dan mengerti apa yang telah disampaikan oleh pembicara. Pidato dengan tujuan seperti ini harus lebih mengutaman isi pidato yang disampaikan. Jadi, naskah pidato harus benar-benar dipersiapkan secara matang agar setelah selesai pidato para pendengar memahami dan mengerti makna hal yang telah dijelaskan. Adapun pelaksanaanya diadakan secara rutin setiap minggu sebanyak satu kali yakni pada malam minggu dengan menggunakan tiga bahasa yaitu bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Indonesia. Metode yang diajarkan pada pelatihan muballigh ini dengan mengelompokkan para santri yang diketuai oleh santri Fashlul Khomis dan dibimbing oleh para pengabdi pondok. Hal ini bertujuan untuk memberikan pembelajaran kepada santri yang sudah terbilang senior dalam mengatur dan memberikan materi yang telah mereka dapatkan selama menimba ilmu di pondok pesantren Al-Awwabin sesuai dengan tema yang telah ditentukan oleh pembina muhadhoroh. Melalui kegiatan muhadhoroh ini para santri dilatih untuk berbicara menyampaikan ceramah di depan teman-temann1ya yang lain secara bergantian lanyaknya seorang dai yang sedang berdakwah.Sebelumnya mereka telah dibekali teknik-teknik berdakwah dan menyampaikan

126 Ahmad Hafidz Kamil, Ibid.,

82

pesan-pesan dakwah tersebut dengan maksud agar mereka memiliki keberaniaan untuk berbicara didepan umum (public speaking). 127 f. Membuat Rapor dan Ijazah Pesantren Peran terakhir Abuya yang dapat dipaparkan oleh penulis adalah membuat rapor dan ijazah pesantren. Bermula dari keinginan Abuya untuk memiliki alat dalam mengukur kemampuan dan untuk meningkatkan kualitas para santri, maka diadakanlah ujian pesantren yang dikenal dengan sebutan Imtihan. Sistem Imtihan ini diadopsi dari sistem yang berada di sekolah formal pada umumnya yaitu dengan mengadakan ujian dalam setahun dua kali (semester ganjil dan genap). Begitupun dengan Imtihan diadakan dua kali dalam setahun yang diberi nama Imtihan Nishfu Sanah dan Imtihan Nihai. Imtihan ini pertama kali diadakan pada tahun 1999 sekaligus pertama kalinya Abuya mengadakan rapor pesantren. Karena menurut Abuya kemampuan dan hasil kerja para santri dalam menuntut ilmu perlu diapresiasi.Berbeda halnya dengan rapor sekolah, rapor pesantren ini sama sekali murni berisikan tentang mata pelajaran agama yang mereka pelajari dalam satu semester tidak ada pelajaran umum didalamnya. Dari rapor ini para wali murid dapat mengetahui sejauh mana prestasi yang telah diraih oleh anak mereka. Pada tahun setelahnya barulah diadakan ijazah pesantren. Ijazah pesantren ini diadakan sebagai bukti kelulusan yang diterima para santri secara sah di pondok pesantren Al-Awwabin, dan pada tahun ini pula pertama kalinya diadakan prosesi wisuda. Wisuda sendiri diadakan sebagai suatu proses pelantikan kelulusan santri yang telah menempuh masa belajar selama di pondok pesantren Al-Awwabin.128

127 Fathurrahman, Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren), Wawancara Pribadi, 01 Oktober 2016. 128 Ibid.,

83

Semua peranan ini adalah bukti perjuangan Abuya dalam mengembangkan pendidikan Islam serta untuk memajukan pondok pesantren Al-Awwabin itu sendiri. dengan berbekal pelatihan muballigh, berorganisasi, kesenian Islam, pemahan kitab yang cukup mumpuni para santri diharapkan mampu menjadi contoh yang baik ketika mereka berada di lingkungan masyarakat mereka nanti, serta dibarengi bekal pendidikan teknologi yang cukup memadai para santri pun diharapkan mampu menjadi sosok figur yang tidak ketinggalan oleh era globalisasi. Hal ini yang sedang dijalankan serta digalakkan oleh Abuya KH. Abdurrahman Nawi sehingga pondok pesantren Al-Awwabin dapat berkembang dari kondisi yang tidak memiliki apa-apa, menjadi pesantren yang terbilang besar karena mempunyai dua buah cabang dan sebuah saluran radio sendiri. Tidak hanya sampai disini Abuya pun terus berusaha memberikan pengajaran yang intensif kepada para santri demi mempertahankan akidah ahlussunnah wal jamaah yang telah beliau dapatkan dari guru-gurunya. Abuya pun menginginkan dengan adanya pondok pesantren Al-Awwabin Abuya memiliki harapan yang amad besar yaitu semoga Al-Awwabin menjadi salah satu pesantren yang mampu mempruduksi ulama maupun orang-orang yang taat kepada syariat Allah dan rasul-Nya, dan menjadi salah satu amal baik disisi Allah.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari seluruh uraian yang telah di bahas pada bab sebelumnya, maka dalam bab ini penulis akan menarik kesimpulan secara umum tentang “Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi Dalam Mengembangkan Pendidikan Islam Di Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok” yang telah penulis teliti. Adapun kesimpulannya, sebagai berikut:

1. Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi adalah membangun lembaga pendidikan Islamdan menjadi seorang inovator dalam memberikan ide serta gagasan yang dapat diterapkan di pondok pesantren Al-Awwabin Depok. 2. Dalam membangun lembaga pendidikan Islam beliau membangun pendidikan formal (sekolah) dan non formal (pondok). Adanya lembaga pendidikan formal dan non formal ini dimaksudkan agar peserta didik tidak hanya cerdas dalam sisi keagamaan, namun peserta didik pun cerdas dalam ilmu umum dan teknologi yang sedang berkembang sekarang ini. Sedangkan dalam hal ide dan gagasan, beliau melakukan beberapa inovasi seperti: membentuk organisasi santri, mendirikan saluran radio Islam, mengasah bakat santri, menekankan pemahaman kitab kuning, mengadakan pelatihan muballigh (muhadhoroh) serta, membuat rapor dan ijazah pesantren. Semua ini beliau terapkan di pondok pesantren Al-Awwabin bertujuan agar para santri dapat berkembang menjadi sosok multi talenta yang berakhlakul karimah, sehingga ketika mereka terjun ke masyarakat nanti mereka tidak canggung dan mampu membimbing masyarakat agar selalu berada di jalan syariat agama Islam. B. Saran

Setelah penulis menguraikan hal-hal tentang Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi Dalam Mengembangkan Pendidikan Islam Di Pondok Pesantren Al-

84

85

Awwabin Depok. Maka, saran yang dapat penulis kemukakan agar sekiranya bisa bermanfaat, antara lain sebagai berikut:

1. Pondok pesantren Al-Awwabin diharapkan agar selalu konsisten dalam meningkatkan kualitas para santri serta meningkatkan sarana dan pra sarana yang lebih baik, mengingat Abuya merupakan ulama sepuh yang sudah tidak banyak berkiprah dalam mengembangkan pondok pesantren seperti dahulu kala. 2. Kepada para santri untuk selalu mendengarkan nasihat para guru yang telah mengajarkan kalian,khususnya Abuya, karena seberapa banyak pun ilmu yang didapatkan, apabila tidak mau mengikuti nasihat dan petuah guru, ilmu diraih itu tidak akan menjadi ilmu yang bermanfaat dan menjadi ilmu yang barokah.

86

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosehan & Andi Bahruddin Malik (eds), Peran dan Fungsi Ulama Pendidikan, Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur Pendidikan Agama, 2003.

Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: CRDS Press, 2005.

Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1984.

Efendi, Nur, Menejemen Perubahan di Pondok Pesantren, Yogyakarta: Teras, 2014.

Ekosusilo, Mudyo, Dasar-dasar Pendidikan, Semarang, Effahar, 1990.

Fathurrahman, Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren), Wawancara Pribadi, 01 Oktober 2016.

Ghazali, M. Bahri, Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: CV. Prasasti, 2002.

Hafidhuddin, Didin, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 1998.

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

HM, Afif & Haidlor Ali Ahmad (eds), Bunga Rampai Pendidikan Agama dan Keagamaan, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2005.

Jalaluddin& Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Juwaini, Jazuli, Revitalisasi Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bening Citrakreasi Indonesia, 2011.

87

Kamil,Ahmad Hafidz, Guru Pesantren Al-Awwabin Depok, Wawancara Pribadi, 16 Oktober 2016.

Kawiyan (ed), Berdakwah Tanpa Kenal Lelah, Biografi KH. Abdurrahman Nawi.

Khaeroni, Peran Sosial Santri dan Abangan, Jakarta: Penamadani, 2007.

Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-husna, 1988.

Mahfudh, Sahal,Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LkiS, 2004.

Mahmud, Model-model Pembelajaran di Pesantren, Ciputat: Media Nusantara, 2006.

M. Basyuni, Muhammad, Revitalisasi Spirit Pesantren;Gagasan, Kiprah, dan Refleksi, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2006.

Minarti, Sri, Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoriti-Filosofis & Aplikatif-Normatif, Jakarta: Amzah, 2013.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.

Mu‟in, Fatchul, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik & Praktik, Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2011.

Munawwaroh & Tanenji, Djunaidatul, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003.

Mushlihun, Zulcham, Pembina IKSAD, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2016.

Nafi‟, M. Dian, dkk., Praksis Pembelajaran Pesantren,. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara, 2007.

Nasution, Teknologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.

88

Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Qomar, Mujamil, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2008.

...... , Menggagas Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2015.

Rasid, Abdul, Anak Abuya & Kepala Penyiar RIDA FM, Wawancara Pribadi, 06 Oktober 2016.

Sabri, M. Alisuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005.

Sagala, Syaful, Etika dan Moralitas Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013.

Said Aqiel Siradj, dkk., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Sarwono, Sarlito Wirawan, Teori-teori Psikologi Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1984.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Soyomukti, Nurani, Teori-teori Pendidikan, Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2010.

Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistimologi Islam dalam Pendidikan, Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2014.

Sutrisno & Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial, Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2012.

Suwartono, Dasar-dasar Metodologi Peneltian, Yogyakarta: ANDI, 2014.

Syukur, Abdul, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Wawancara Pribadi, 11 Oktober 2016.

89

Taneko, Soleman B., Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan, Jakarta: Rajawali, 1990.

Tatang, Ilmu Pendidikan, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012.

Thoha, Zainal Arifin, Runtuhnya Singgasana Kiai. Yogyakarta: KUTUB, 2003.

Tim Penulis Rumah Kitab, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, Jakarta: Renebook, 2014.

Umar, Nasaruddin, Rethingking Pesantren, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014.

Wahjosumijo, Kepemimpinan Kepada Sekolah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Yusuf, Muri, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan, Jakarta: Prenadamedia, 2014.

Zuchdi, Darmiyati, Humanisasi Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.

Lampiran I

Pedoman Wawancara

Nama : Drs. KH. Fathurrahman, MA

Jabatan : Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren)

Tempat Wawancara : Masjid Al-Awwabin

Tanggal Wawancara : 01 Oktober 2016

1. Pada waktu kapan saja kegiatan belajar di pesantren dilaksanakan? Waktu-waktu yang ditetapkan oleh Abuya dalam pelaksaan kegiatan belajar ini yakni seusai sholat subuh dari pada pukul 05.30 sampai 06,15, dilanjutkan sehabis sholat ashar pukul 16.15 sampai 17. 15 dan terakhir pada malam hari pukul 19.00 sampai 20.15. 2. Mata pelajaran apa saja yang telah dipelajari para santri? Untuk tingkat Ula (MI)

Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin Tahfidz Qur‟an Mahfuzhat Al-Qur‟an Selasa Tahfidz Qur‟an Khot Fiqih Rabu Tahfidz Qur‟an Mahfuzhat Ubudiyyah Kamis Mahfuzhat Shorof Yasin & Tahlil Jumat Tauhid Mahfuzhat Al-Qur‟an Sabtu Tahfidz Qur‟an Al-Qur‟an Muhadhoroh Minggu Bhs. Arab Shorof Tajwid

Untuk tingkat Wustho (Mts) - 1 MTs

Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin Tahfidz Nahwul Wadhi Tauhid & Akhlaq Tahfidz Qur‟an Selasa Tahfidz nahwul Wadhi Mattan Safinah Tahfidz Mahfudzat Rabu Nahwu Melayu Khulasoh Tahfidz Mahfudzat Kamis Tahfidz Qur‟an Akhlaq Yasin & Ratib Jumat Khot Bhs.arab Shorof Sabtu Bhs.arab Ubudiyah Muhadoroh Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid

- 2 Mts

Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin Tahfidz Nahwul Wadhi Khulasoh Tahfidz Qur‟an Selasa Tasrif Mahfudzat Shorof Rabu Tauhid & Akhlaq Nahwul Wadhi Qiroatul Qur‟an Kamis Jurumiyah Mattan Safinah Yasin & Ratib Jumat I‟rob Akhlak & Tauhid Bhs.arab Sabtu Tahfidz mahufdzat Mattan Jurumiyyah Muhadoroh Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid

- 3 MTs

Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin Tauhid &Akhlaq I‟rob & I‟lal Tahfidz Qur‟an Selasa Nadzom Imriti Nahwul Wadhi Nahwul Wadhi

Rabu Muhktasor Jiddan Khulasoh Tahfidz Qur‟an Kamis Tasrif Khat Yasin & Ratib Jumat I‟lal & I‟rob Lughotu Takotub Tahfidz Nahwul Wadhi Sabtu Kaylani & Tahfidz Imriti Safinah & Imriti Muhadoroh Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid

Untuk tingkat Ulya (MA) - 1 MA

Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin I‟lal & I‟rob Kawakib Qiroah Arrasidah Selasa Kaylani Nahwul Wadhi & Tijan Tahfidz Lubabul Hadits Rabu Annasoih Mattan takrib Akhlaq Kamis Muhktasar Jiddan Muhktasar Jiddan Yasin & Ratib Jumat Tanqihul Qoul Khulasoh Khat Sabtu Kaylani Tahfidz Jurumiyah Muhadoroh Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid

- 2 MA

Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin Bulughul Maram Tijan Tahfidz Nahwul Wadhi Selasa Qiroah Arrasidah Fathul Qorib Mudzakaroh Rabu Diniyah Mabadi Awwaliyah Nurul Yaqin Kamis Fathul muin Tahfidz Qur‟an Yasin & Ratib Jumat Al-fiyah Tafsir Khat Sabtu Balagoh Tasrif Muhadoroh Minggu At-tibbyan Qowaid Nahwiyah Tajwid

- 3 MA

Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin Bulugul Marom Mantiq Tahfidz Jurumiyyah Selasa Minhatul Mugits Muhktasor Jiddan Tahfidz Al-fiyyah Rabu Ta‟limu taallim Bulugul Marom Husunul Hamidiyah Kamis Fathul Muin Tahfidz Qur‟an Yasin & Tahlil Jumat Mabadi Awwaliyah Tafsir Khat Sabtu Tasrif At-tibyan Muhadoroh Minggu ilmuArud Qowaid Nahwiyah Al-Qur‟an

3. Pada waktu kapan saja pelatihan muhadhoroh ini dilaksanakan? Pelatihan muballigh (muhadhoroh) ini dilaksanakan secara rutin setiap minggu sebanyak satu kali yaitu pada malam minggu dengan menggunakan tiga bahasa yaitu Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia. 4. Apa tujuan diadakannya pelatihan muballigh (muhadhoroh)? Pelatihan muballigh ini memiliki tujuan agar ilmu-ilmu yang telah di dapat oleh para santri mampu dikembangkan dan disampaikan dengan baik kepada masyarakat. 5. Bagaimana metode pembelajaran pelatihan muballigh ini? Metode yang diajarkan pada pelatihan muballigh ini dengan mengelompokkan para santri yang diketuai oleh santri Fashlul Khomis dan dibimbing oleh para pengabdi pondok. Hal ini bertujuan untuk memberikan pembelajaran kepada santri yang sudah terbilang senior dalam mengatur dan memberikan materi yang telah mereka dapatkan selama menimba ilmu di pondok pesantren Al-Awwabin sesuai dengan tema yang telah ditentukan oleh pembina muhadhoroh.

6. Pada tahun berapa pertama kali diadakan rapor serta ijazah pesantren? Untuk rapor ini diadakan pertama kali pada tahun 1999 sekaligus pertama kalinya diadakan ujian pesantren (Imtihan), kemudian setahun setelahnya barulah diadakan ijazah pesantren dan pada tahun ini juga diadakan prosesi wisuda untuk melepas para santri yang dinyatakan lulus dalam menuntut ilmu di pondok pesantren Al-Awwabin. 7. Apa tujuan diadakan rapor serta ijazah pesantren ini? Tujuan diadakannya rapor adalah sebagai media bagi para wali murid dapat mengetahui sejauh mana prestasi yang telah diraih oleh anak mereka. sedangkan diadakannya ijazah adalah sebagai bukti kelulusan yang sah kepada para santri secara tertulis karena menurut Abuya kemampuan dan hasil kerja para santri dalam menuntut ilmu perlu diapresiasi.

Pedoman Wawancara

Nama : Ust. Abdul Rasyid

Jabatan : Anak Abuya & Kepala Penyiar RIDA FM

Tempat Wawancara : Ruang Aula Pondok Pesantren AL-Awwabin II

Tanggal Wawancara : 06 Oktober 2016

1. Latar belakang didirikannya RIDA FM? Abuya tidak menutup mata melihat perkembangan teknologi yang mempengaruhi pergerakan masyarakat dalam menimba ilmu agama yang sudah berbeda pada era globalisasi seperti sekarang ini maka beliau berkeinginan untuk mensyiarkan agama Islam lebih jauh lagi dengan membangun sebuah saluran radio, mengingat saluran radio ini bisa diakses oleh siapapun dan kapanpun orang mau. Saluran radio ini merupakan bentuk usaha yang dilakukan Abuya untuk memperluas serta memperkembangkan pendidikan Islam sampai ke masyarakat. 2. Pada tanggal berapa RIDA FM didirikan? Rida dibangun pada tanggal 9 Agustus 2007, Kata rida diambil dari bahasa Arab yang berarti, “selendang”. 3. Apakah ada manfaatnya untuk para santri? Ada, dengan cara mengikutsertakan santri dalam menyiarkan salah satu program acara rida tentang pengajian santri ini memberi manfaat diantaranya: melatih para santri dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik kepada orang lain dan memberikan pengalaman sendiri kepada para santri dalam dunia penyiaran.

1. Bagaimana respon masyarakat dengan hadirnya RIDA FM di tengah- tengah mereka? Respon masyarakat tentang kehadiran RIDA sangat baik mengingat sudah sangat sedikit media yang mensyiarkan agama Islam dengan seutuhnya pada saat ini. 2. Program apa saja yang telah diadakan oleh RIDA FM? Program yang telah diadakan RIDA selain program-program acara dalam penyiaran program lain yang berkaitan dengan para penggemar RIDA seperti: jumpa fans RIDA yang diadakan tiap bulan, silaturahmi rutin kerumah Abuya KH. Abdurrahman Nawi, ziarah ke para wali nusantara, serta pengajian subuh gabungan. 3. Apa saja konten yang disiarkan oleh RIDA FM? Yang menjadi konten atau isi yang disiarkan RIDA seluruhnya kegiatan yang berbau Islami tidak ada campur tangan iklan komersil sedikitun maupun hal-hal yang berbau duniawi, diantara acara yang disiarkan RIDA antara lain: pengajian santri yang dipimpin langsung oleh Abuya KH. Abdurrahman Nawi, lagu-lagu Islami, dan ceramah-ceramah agama yang mampu mengejukkan hati.

Depok, 06 Oktober 2016

Interviewer Interviewee

Pedoman Wawancara

Nama : Ust. Abdul Syukur, S.Ag

Jabatan : Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan

Tempat Wawancara : Ruang Kantor Guru

Tanggal Wawancara : 11 Oktober 2016

1. Pada tahun berapa Sekolah Al-Awwabin diresmikan? Pada pertengahan tahun 1982/1983 dimulai peletakan batu pertama yang disaksikan oleh ribuan umat muslim yang terdiri dari para ulama, habaib, dan para pejabat pemerintahan setempat. Akhir tahun 1982 masuk tahun 1983 telah selesai bangunan lima lokal dan satu asrama, pada saat itu pula diresmikan oleh KH. Idham Chalid dan pejabat pemerintah setempat serta dinyatakan kedudukan pondok pesantren Al-Awwabin cabang Depok. Pada tahun 1983/1984 mulai menerima murid baru untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan mukim (untuk para santri mukim). Pondok pesantren Al-Awwabin merupakan pondok pesantren pertama dikota Depok untuk wilayah Pancoran Mas. Tahun demi tahun pondok pesanten Al-Awwabin semakin berkembang. Pada tahun 1987/1988 kembali membuka Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga sampai pada tahun ajaran 1991/1992 telah sampai pada kelas IV MI. Sedangkan untuk Al-Awwabin II Pada tahun 1989 mulai membangun sekolah dan asrama. Untuk pembukaan tahun ajaran pertama pada tahun 1993 untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) juga mukim (bagi para santri yang mukim).

2. Kurikulum apa yang digunakan di sekolah ini? Kurikulum yang digunakan oleh sekolah mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Diantaranya adalah kurikulum KBK, KTSP dan K13. 3. Ada berapakah Jumlah Siswa yang menuntut Ilmu di sini? Untuk Al-Awwabin I ada 411 siswa dengan rincian: a. Siswa MI ada 109 b. Siswa MTs ada 167 c. Siswa MA ada 135 Sedangkan Al-Awwabin II ada 167 siswa dengan rincian: a. Siswa MTs ada 94 b. Siswa MA ada 73 4. Apa saja kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan di sekolah Al-Awwabin? Ekstrakulikuler yang diadakan sekolah untuk mengisi kegiatan para siswa diluar kegiatan belajar mengajar antara lain: drum band, marawis, pramuka, muhadhoroh (pengkaderan muballigh), BTQ (baca tulis qur‟an), bulu tangkis, basket, futsal, paskibra, dan kaligrafi. 5. Ada berapakah jumlah lokal kelas serta apa saja sarana pra sarana di sekolah ini? Untuk lokal sekolah Al-Awwabin I memiliki 18 lokal kelas, yaitu 6 lokal untuk MI, 6 lokal untuk MTs dan 6 lokal lagi untuk MA, adapun Al- Awwabin dua hanya memiliki 6 lokal kelas, 3 untuk MTs dan 3 lagi untuk MA. Selain lokal kelas dan kantor sarana pra sarana di Al-Awwabin yang lain diantaranya adalah: lab komputer, lab IPA, kantin, perpustakaan, tempat ibadah, tempat olah raga, dan ruang OSIS. 6. Pada tahun berapa Al-Awwabin mendapatkan predikat Akreditasi? Pada tahun 1999 MTs Al-Awwabin mendapat predikat DISAMAKAN, kemudian pada tahun 2007 predikat ini pun berubah menjadi Akreditasi B, dan terakhir pada tahun 2011 MTs Al-Awwabin meraih predikat yang lebih baik yaitu Akreditasi A. Sedangkan untuk

tingkat MA yang sebelumnya berstatus DIAKUI pada tahun 2012 mendapat predikat Akreditasi A. Kurikulum yang digunakan oleh sekolah mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Diantaranya adalah kurikulum KBK, KTSP dan K13.

Depok 11 Oktober 2016

Interviewer

Pedoman Wawancara

Nama : Ust. Ahmad Hafidz Kamil, S.Ag

Jabatan : Guru Pesantren Al-Awwabin Depok

Tempat Wawancara : Serambi Masjid Al-Awwabin

Tanggal Wawancara : 16 Oktober 2016

1. Kegiatan apa saja yang Abuya lakukan untuk mengasah bakat para santri? Diantaranya adalah: mengadakan kesenian marawis, hadroh, qosidah rebana, tari saman, seni kaligrafi, dan tahsin Al-qur‟an. Kegiatan ini bagaikan kegiatan ekstrakulikuler yang diadakan oleh sekolah, perbedaannya kegiatan ini dikhususkan kepada para santri yang bermukim di Al-Awwabin untuk mengisi kegiatan kosong mereka ketika kegiatan pengajian sedang tidak berlangsung. 2. Apa manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut? Manfaat dari pengasahan bakat ini adalah agar santri memiliki ragam kesibukan, tentu kesibukan yang dimaksud disini adalah agar santri memiliki ragam kegiatan yang bermanfaat, mengingat banyaknya kenakalan yang dilakukan remaja serta bosannya mereka dalam belajar menjadi salah satu penyebabnya adalah kurang terkontrolnya waktu luang mereka sehingga mereka memanfaatkan waktu luang tersebut untuk kegiatan yang kurang bermanfaat. 3. Prestasi apakah yang pernah diraih para santri? Dari banyaknya kegiatan tambahan ini para santri paling sering menjuarai lomba marawis, karena memang Abuya sendiri sangat suka dan senang dengan kesenian Islam dan akhirnya belaiu pun agak sedikit menggalakkan akan marawis ini. Hasilnya para santri pernah menjuarai beberapa lomba diantaranya:

1. Juara 1 marawis se-JABODETABEK, pondok pesantren Qotrun Nada pada tahun 2008. 2. Juara 1 marawis tingkat umum se-Jakarta Selatan, yayasan Islam Annuriyah pada tahun 2006. 3. Juara 1 marawis ABBAD 06, ikatan jurusan bahasa Arab, FIB Universitas Indonesia. 4. Juara 1 marawis se-windu, pondok pesantren Qotrun Nada, pada tahun 1425 H. 5. Juara 1 marawis pekan raya bahasa dan seni Arab, BEM J PBA FITK UIN Jakarta, pada tahun 2006. 6. Juara 1 festival marawis gebyar muharrom, pondok pesantren Al- Hidayah pada tahun 2005. 7. Juara 1 marawis pekan muharrom 1428 H, PHBI dan Sie. bidang sosial yayasan masjid Ar-rahman Depok 2007. 8. Juara 1 festival marawis, WAPRES RI CUP VI dan Fauzi Bowo CUP pekan nasional, pada tahun 2006. 9. Juara 2 festival marawis pondok pesantren Al-Karimiyah Depok, pada tahun 2006. 10. Juara 1 festival marawis se-JABODETABEK di Blok M, pada tahun 2009. Dan masih banyak lagi kejuaraan marawis yang pernah diraih para santri, tetapi yang paling membanggakan adalah ketika para santri pernah menjuarai festival marawis di Blok M pada tahun 2009 karena team marawis Al-Awwabin mampu menjadi juara 1 dari kurang lebih 110 peserta yang ikut dalam kompetisi itu. 4. Apa yang dilakukan Abuya dalam menekankan pemahaman kitab para santri? Dalam menekankan pemahaman kitab kuning Abuya memfasilitasi para santri dengan mengintruksikan kepada para guru serta pengabdi untuk memberikan jam tambahan. Jam tambahan yang dimaksud adalah

memberikan pengajian diluar jadwal pengajian yang sudah terjadwalkan untuk kelas masing-masing. 5. Apa yang melatar belakangi Abuya dalam menekankan pemahaman kitab untuk para santri? Abuya melihat sudah minimnya orang-orang yang mau mengkaji secara mendalam maupun menghafal keilmuan Islam yang dapat menjadi bekal hidup mereka dan banyaknya para ulama yang telah meninggal dunia, sehingga penyebaran agama Islam tidak seperti dahulu kala.

Depok, 16 Oktober 2016

Pedoman Wawancara Nama : Ust. Zulcham Mushlihun S.S.I

Jabatan : Pembina IKSAD

Tempat Wawancara : Ruang Kantor IKSAD

Tanggal Wawancara : 21 Oktober 2016

1. Pada tahun berapa IKSAD dan OPPTA dibentuk? Pada tahun 1993 IKSAD dan OPPTA dibentuk, dengan tujuan untuk melatih para santri dalam bersosialisasi, kerjasama antara satu dengan yang lainnya dan melatih mereka dalam menyelesaikan masalah. 2. Apa Visi dan Misi organisasi Tersebut? Visi dan Misinya adalah sebagai organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan potensi, bakat, dan minat santri Al-Awwabin, sehingga pada gilirannya mampu melahirkan kontribusi berarti bagi pengembangan dan kemajuan pondok pesantren pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. 3. Pada tahun berapa IKAAD dibentuk? Berbeda dengan IKSAD dan OPPTA untuk IKAAD sendiri dibentuk sepuluh tahun setelah kedua organisasi santri tersebut terbentuk. Pada tahun 2003 IKSAD resmi dibentuk oleh Abuya untuk menjadi organisasi para alumni yang pernah menuntut ilmu di pondok pesantren Al-Awwabin baik mereka yang hanya menuntut ilmu hingga jenjang MA maupun mereka yang hanya sampai tingkat MTs, menurut Abuya mereka tetaplah bagian dari keluarga alumni Al-Awwabin. 4. Apa tujuan IKAAD dibentuk? Tujuan IKAAD ini dibentuk adalah sebagai wadah untuk menjalin interaksi lintas generasi dan silaturahmi alumni pesantren Al-Awwabin kepada guru-guru yang telah mengajarkan mereka ketika menutut ilmu di pondok pesantren Al-Awwabin.

5. Program kegiatan apa saja yang telah dilakukan IKAAD? Diantara kegiatan yang telah diselenggarakan oleh IKAAD seperti: mengadakan pengajian alumni mingguan yang dipimpin oleh musyrif (lurah pondok) KH. Fathurrahman, MA., mengadakan penngajian bulanan alumni yang dipimpin langsung oleh Abuya KH. Abdurrahman Nawi serta guru-guru yang lain, mengadakan acara tahunan yang dilakukan secara rutin yaitu santunan yatim dan muharroman untuk para santri, mengadakan pelatihan perhitungan awal bulan hijriah serta pengijazahan hadits musalsal yang di pimpin oleh Prof. Dr. Yusuf Hidayat, MA. 6. Bagaimana Stuktur Organisasi IKSAD, OPPTA dan IKAAD? Untuk IKSAD dan OPPTA masa jabatan mereka dalam satu periode adalah 1 tahun dan selalu berganti tiap tahunnya dengan kepengurusan yang baru. Adapun kepengurusan IKSAD dan OPPTA pada masa abdi 2016-2017 adalah: IKSAD Masa Abdi 2016-2017 Ketua : Muhammad Adam Kholid Wakil Ketua : Ahmad Hudzaifi Adnan Sekretaris : Nur Akbaruddin Aziz Bendahara : Muhammad Maula Rahman Seksi Pendidikan : Erri Luthfi T.W Seksi Dakwah : M. Wildan Hadziq Seksi Kesenian : M. Dimas Sholahuddin Seksi Kesehatan : Wisnu Hariyadi Seksi Keamanan : Syukri Ramadhani Seksi Humas& Keperpustakaan : Miftah Sururi Seksi Ubudiyah : Subhan Muyassir Seksi Kebersihan : Ujang Afan Maulana Seksi Olahraga : Ghazy Muhammad Syamil OPPTA Masa Abdi 2016-2017

Ketua : Rizka Amelia Wakil Ketua : Annisa Trimelinda Sekretaris : Siti Sarah Chairunnida Bendahara : Nur Khofifah Seksi Pendidikan : Sahlatul Ula Seksi Dakwah : Qhotrun Nada Seksi Keamanan : Tsubaitul Fitria Seksi Olahraga : Karimah Vie H Seksi Humas : Catur Amelia K Seksi Ubudiyah : Khoirunnisa Seksi Kebersihan : Nurul Apriyani Sedangkan untuk IKAAD sendiri masa abdi jabatan dalam 1 periode adalah 2-3 tahun, adapun struktur kepungurusan IKAAD untuk masa abdi 2014-2017 adalah: Ketua : Ust. Zulcham Mushlihun, S.S.I Wakil Ketua : Ust. Abdurrahman, S.pd Sekretaris : Ahmad Munir, S.Sy : Yuda Narito Bendahara : Faizah Salsabila : Qurrotul Uyun Divisi Kaderisasi : M. Haidir Al-karomi Divisi Litbang dan Intelektual : Zaim Najibuddin Rahman Divisi Humas : Agus Khairuddin, S.Ag Divisi Ekonomi : Lukman Hakim Divisi PMB & Hobi Alumni : Charry Dwi Manfaat

Lampiran 2

Foto Abuya KH. Abdurrahman Nawi dan Abuya Muhtadi bin Abuya Dimyati Banten, semoga Allah selalu memberikan kesehatan agar mereka terus mensyiarkan agama Islam.

Foto KH. Fathurrahman, MA, Musyrif Tholabah (Pimpinan Bidang Pesantren) pesantren Al-Awwabin. Semoga Allah selalu memberikan kesabaran kepada beliau dalam membina para santri.

Foto Ust. Ahmad Hafidz Kamil, S.Ag, seorang guru Al-Awwabin yang telah mengabdikan diri kepada Abuya selama 20 tahun.

Foto team hajir marawis pondok pesantren Al-Awwabin serta piala yang pernah diraihnya

Foto Ijazah yang dikeluarkan pesantren, rapot pesantren dan kegiatan ujian pesantren (Imtihan).

Foto Plang, Sekolah, serta Asrama Putra dan Putri Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok.

Foto tower pemancar saluran radio Al-Awwabin, dan foto kegiatan pelatihan dakwah (muhadhoroh) para santri. Kegiatan ini sangat penting agar para santri tidak canggung ketika berbicara di depan umum.

Foto kegiatan pengajian santri dan masjid yang sering kali digunakan para santri dalam mempelajari ilmu-ilmu agama Islam. Semoga Allah menjadikan mereka penerus para ulama dan memperjuangkan agama Islam pada masa mereka nanti.