<<

KONTRIBUSI UTSMAN DALAM KEHIDUPAN KEAGAMAAN MASYARAKAT ISLAM BATAVIA (1862-1914)

Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M. Hum)

Disusun oleh:

NURHASANAH

2112022100009

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

PRODI MAGISTER SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

KONSENTRASI SEJARAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H / 2017 M

Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puja dan puji saya haturkan kepada SWT, Tuhan sekalian alam, yang telah memberikan kuasa-Nya untuk menggerakkan jiwa, raga dan pikiran penulis agar senantiasa tidak melalaikan kewajiban agama, maupun kewajiban sosial, serta kewajiban akademik. Shawalat serta salam, saya lantunkan kepada penghulu para Nabi dan Rasul, SAW, seorang yang gigih menyebarkan agama cinta kasih, Islam, hingga sampai ke tanah Nusantara.

Tidak terasa, hampir berbilang tahun tugas akhir (tesis) ini selesai dirampungkan. Berbagai macam pengalaman senang dan sedih, mudah dan susah sudah saya alami dalam menyusun tesis ini. Menelisik kebesaran sejarah Jakarta memang amat mengasyikkan, hingga lupa diri, bahwa masa studi ada batasnya. Inilah yang kemudian, “memaksa” saya untuk segera memalingkan diri dari pekerjaan yang lain, mengkhususkan waktu agar kewajiban intelektual ini bisa dipenuhi.

Saran serta kritik selalu saya nantikan, untuk menyempurkan kerja saya. Tidak bisa dielakkan, dalam menyusun suatu bacaan yang bermutu akan selalu dihinggapi oleh kesalahan ketikan, analisa serta pengambilan sumber yang kurang tepat. Oleh sebab itu, setiap masukan yang membangun, akan menjadi bahan pertimbangan saya, untuk selalu berhati-hati dalam menyajikan tulisan sejarah yang kronologis, analitis dan representatif.

Dalam lembar ini, saya ingin mengucapkan terima kasih beberapa pihak, antara lain:

1. Ucapan terimakasih saya tujukan kepada Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Prof. Dr. Sukron Kamil M. Ag, yang telah memberikan nasehat-nasehat serta kiat-kiat bagaimana bisa menyelesaikan studi magister dengan baik dan terukur. Beliau adalah pribadi yang begitu mengesankan. Sosok yang begitu saya hormati. Beliau bisa menempatkan posisi di mana mesti menjadi penunjuk arah dan kapan saatnya menjadi kawan diskusi yang baik. 2. Ungkapan terima kasih saya sampaikan pula kepada jajaran pengurus Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab, terutama kepada Dr. Abdullah M. Ag sebagai Direktur Program, serta Dr. M. Adib Misbahul Islam M. Hum serta jajaran dosen-dosen Program Magister SKI yang telah banyak membantu, membesarkan hati, serta menyemangati saya untuk segera menyelesaikan tugas akhir.

i

3. Ucapan terima kasih, saya sampaikan kepada ayahanda Dr. H. Abdul Chair, Dr. H. M. Muslih Idris, MA, LC, dan Prof. DR. M. Dien Madjid, mereka adalah tokoh yang berjasa besar dalam hidup saya dalam membuka mata mengenal Nusantara, serta mengasihi dan menyayangi saya. Mereka adalah sosok pemandu jalan saya tatkala berada dalam kegelapan hati dan pikiran, serta sahabat yang berimbang dalam membahas pelbagai persoalan sejarah. 4. Kalimat terima kasih saya layangkan pula pada sahabat-sahabat seperjuangan di Magister SKI, utamanya angkatan 2012. Kalian adalah teman berbagi yang terbaik, tempat segala keluh kesah ketika saya susah, dan rekan dialog yang membesarkan. 5. Terimakasih kepada saudara dan saudari kandung saya, yang selalu mendoakan saya. Terima kasih atas masakan lezatnya, dan bermacam nasehatnya yang memberikan keteduhan, ketentraman serta semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 6. Terimakasih pula kepada ayahanda tersayang almarhum H. Nurhasan, dan ibunda tercinta, almarhumah Hj. Sawiyah, mereka adalah sosok besar dalam kesederhanaan. Muara segala kebajikan serta mata air kasih sayang. Tidak ada yang balasan pantas menandingi jiwa besarnya, dari anak manja ini. 7. Terakhir, terima kasih saya sampaikan pula bagi sejawat, kawan, serta pihak-pihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Tidak ada yang bisa membalas kebaikan serta kebajikan kalian semua, selain kuasa dan anugerah dari Allah SWT. Semoga kalian semua mendapat kesenangan, kemudahan dan kelapangan rezeki dalam setiap kesempatan dalam hidup ini.

Harapan saya, semoga tesis ini bisa menjadi bacaan yang baik, menjadi inspirasi bagi kajian sejarah Islam Jakarta di masa depan.

Wasalam

Jakarta, 17 Desember 2016

Nurhasanah, S. Hum

ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Nurhasanah, S.Hum NIM : 2112022100009 Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 20 April 1985 Jurusan : Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas : Adab dan Humaniora

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul “Kontribusi Sayyid Utsman dalam Kehidupan Keagamaan Islam Masyarakat Batavia (1862- 1914)” adalah benar asli karya saya, kecuali kutipan – kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terdapat temuan, kesalahan dan kekeliruan didalamnya, menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar – benarnya.

Jakarta, 17 Desember 2016 Yang membuat pernyataan,

Nurhasanah, S. Hum NIM. 2112022100009

iii

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Nurhasanah NIM : 2112022100009 Program Studi : Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas : Adab dan Humaniora Judul Tesis : Kontribusi Sayyid Utsman dalam Kehidupan Keagamaan Masyarakat Islam Batavia (1862-1914)

Telah berhasil dipertahankan pada sidang munaqosah dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M. Hum), Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam Konsentrasi Islam Nusantara pada Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Konsentrasi Islam Nusantara Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Panitia Sidang Munaqosah

Ketua Sidang Sekretaris Sidang Dr. Abdullah, M.Ag Dr. M. Adib Misbahul Islam, M.Hum NIP: 19690415 199703 1 004 NIP: 19730224 200801 1 009 Penguji I Penguji II

Prof. Dr. M. Dien Madjid, MA Dr. Jajang Jahroni, MA NIP: 19490706 197109 1 001 NIP: 196706121994031006 Tanggal : 26 Oktober 2016 Tanggal : 26 Oktober 2016 Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Abdul Chair Dr. H. Muslih Idris, MA. LC NIP: 195412311983031030 NIP: 195209031986031001 Tanggal : 26 Oktober 2016 Tanggal : 26 Oktober 2016

iv

Pedoman Transliterasi

Huruf Arab Huruf Latin tidak dilambangkan ا b ة t ت ̇ ث j ج ح Kh خ d د ̇ ذ r ر z ز s س sy ش ص ض ط ظ „ ع g غ f ف q ق k ك l ل m م n ن w و h ه ء y ي

v

Vokal Pendek

kataba كتت a = _____

su ila سئل i = _____

̇ ya يذهت u = _____

Vokal Panjang

̅ q قبل ̅ = ... ا

qila قيل i = اي

yaq ̅lu ̅ = يقول

Diftong كيف kaifa = ا ي حول aula = ا و

Sumber : Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mentri P dan K Nomor 158 tahun 1987- Nomor: 0543 b/u/1987.

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...... KATA PENGANTAR...... i HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME...... iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI...... iv ABSTRAKSI...... v PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN...... vi DAFTAR ISI...... viii

BAB I PENDAHULUAN...... 1 A. Latar Belakang...... 1 B. Identifikasi Masalah...... 7 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah...... 8 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...... 9 E. Kerangka Teori...... 10 F. Tinjauan Pustaka...... 11 G. Metode Penelitian...... 12 H. Sistematika Penulisan...... 14 BAB II DINAMIKA KEHIDUPAN MASYARAKAT ISLAM BATAVIA...... 16 A. Letak Geografis Batavia...... 16 B. Struktur Sosial Budaya Masyarakat Batavia...... 19 C. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Islam Batavia...... 26 D. Kondisi Pendidikan Maasyarakat Islam Batavia...... 35 BAB III SEJARAH HIDUP SAYYIDUTSMAN DAN KARYA- KARYANYA...... 50 A. Biografi Sayyid Utsman...... 50

vii

B. Karya-karya Utsman bin Yahya...... 57 C. Interaksi Sayyid Utsman dengan Pemerintahan Hindia Belanda...... 65 D. Relasi Sayyid Utsman dengan dan Masyarakat Islam Batavia...... 67 BAB IV KONTRIBUSI SAYYID UTSMAN DALAM KEHIDUPAN KEAGAMAAN MASYARAKAT ISLAM BATAVIA (1862- 71 1914)...... A. Kontribusi Sayyid Utsman dalam Bidang Keagamaan...... 71 B. Kontribusi Sayyid Utsman dalam Bidang Sosial- Budaya...... 77 C. Kontribusi Sayyid Utsman dalam Bidang Pendidikan...... 79 D. Kontribusi Sayyid Utsman dalam Bidang Dakwah...... 80 BAB V PENUTUP...... 81 A. Kesimpulan...... 81 B. Saran ...... 82

DAFTAR PUSTAKA......

viii

ix

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sejarah merupakan kejadian dan peristiwa yang benar- benar terjadi. Dalam pengertian yang lebih komprehensif suatu kejadian sejarah selalu dikaitkan dengan siapa pelaku peristiwa tersebut, di mana, kapan, dan bagaimana serta mengapa peristiwa itu terjadi.20 Sejarah Islam adalah peristiwa yang berkaitan dengan agama Islam, baik ditinjau dari aspek sejarah proses pertumbuhan, perkembangan dan penyebarannya, tokoh-tokoh yang melakukan pengembangan dan penyebaran agama Islam, termasuk sejarah kemajuan dan kemunduran yang dicapai umat Islam dalam berbagai bidang. Membincang sejarah Islam di Batavia, merupakan hal yang masih dipenuhi dengan teka teki, di mana masih banyak sejarah yang belum diungkapkan kebenarannya. Penulisan sejarah di negeri ini memang mengalami telat waktu. Penduduk negerinya sangat jarang yang berminat mendokumentasikan sejarahnya sendiri sehingga tidak ada jaminan kevalidan sebuah sejarah. Justru yang banyak menulis sejarah negeri ini adalah sarjana-sarjana Barat yang dengan kemungkinan besar banyak diselewengkan sesuai misi mereka. Salah satunya adalah menghilangkan jejak peran para ulama yang kontribusinya sangat mempengaruhi perkembangan Islam di Batavia yang sekarang kita kenal dengan nama Jakarta sampai masa kini. Kehadiran dan penyebaran Islam di Batavia dapat dibuktikan berdasarkan data arkeologis dan sumber-sumber babad, hikayat, legenda, serta berita-berita asing.21 Kehadiran Islam baik para pedagang maupun mubalig muslim telah ada di kota-kota pesisir, yang saat itu sudah berfungsi sebagai pelabuhan-pelabuhan di bawah kekuasaan kerajaan Hindu.

20 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan oleh Nugroho Notosusanto dari Understanding History: a Primer of Hustorical Method, (Jakarta: UI Press, 1986) hlm. 32 21 Buku-buku hasil karya Uka Candrasasmitha. 2

Tekanan penguasa Belanda memunculkan kebencian pada sebagian besar masyarakat Islam di Batavia, timbul sikap permusuhan yang diperlihatkan dengan cara-cara kekerasan yaitu dalam bentuk pemberontakan. Semangat Islam pada saat itu semakin menggelora, agama menjadi label penting dalam perlawanan masyarakat Islam terhadap Belanda. Kekuatan perlawanan yang muncul terpusat dari golongan penganut tarekat, dan lembaga yang berada di luar Batavia, saat melakukan pemberontakan mereka memakai jubah putih, mereka terinspirasi dengan perang Sabil yang mereka anggap sebagai jalan berjihad.22 Melihat masyarakat Islam Batavia yang menjunjung tinggi agama, pemerintah Hindia Belanda membiarkan masyarakat Islam Batavia menunaikan ibadah haji. Awalnya pemerintah Belanda menganggap bahwa kegiatan haji merupakan ibadah yang tidak membahayakan bagi kelangsungan pemerintahan Hindia Belanda. Namun setelah dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869, terjadi peningkatan jumlah jamaah haji, yang kepulangannya ke tanah air disertai dengan pengaruh Pan Islamisme, yakni paham yang bertujuan ingin memerdekakan diri dari penjajahan. Melihat hal demikian, pemerintah Hindia Belanda khawatir dan curiga akan munculnya suatu gerakan penyatuan umat Islam yang bertujuan mendirikan kekhalifahan baru. Pemerintah mengamati bahwa pemberontakan- pemberontakan melawan kolonial sebagian besar berasal dari masyarakat yang telah menunaikan ibadah haji. Pemerintah mulai menyikapi Islam dengan menganggap bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik.23 Pemerintah kemudian membatasi bahkan mempersulit keberangkatan calon jamaah haji, namun masyarakat yang mengakui kedaulatan Belanda sebagai

22 Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional : Nusantara di Abad ke-18 dan ke-19. Jilid IV (Jakarta: Balai Pustaka, 1992) 23 Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda (terj). ( Jakarta: Bhratara, 1973) hlm. 45 3

pemerintahannya yang sah, akan diberikan izin berhaji, namun kepergian mereka disertai dengan pengawasan konsulat Belanda di Jeddah. Tidak Cuma sampai di situ, pemerintah juga mengawasi setiap gerakan masyarakat Islam di Batavia dalam berbagai aspek, terutama di bidang pendidikan. Pemerintah berusaha sekuat tenaga memarginalkan hukum Islam, dan mengedepankan hukum (adat recht) dalam rangka melepaskan masyarakat dari hukum Islam, dan membiarkannya tenggelam dengan kebiasaan lama yang dipengaruhi ajaran- ajaran Hindu dan animisme. Dibukanya Terusan Suez juga mempengaruhi struktur sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Batavia, yang awal abad ke-18 belum banyak mengalami percampuran dengan jenis-jenis suku dan budaya, baik dari etnis yang ada di Nusantara maupun dari etnis asing lainnya. Namun lambat laun keadaan Batavia berubah pada akhir abad ke-18 setelah kehadiran para pedagang Arab yang kebanyakan berasal dari Hadramaut. Awalnya mereka berdagang, lalu berasimilasi dan menikahi wanita-wanita pribumi, kemudian mereka beranak pinak, dan membentuk perkampungan yang dipenuhi oleh peranakan Arab. Salah satunya adalah Pekojan yang menjadi saksi bisu perkembangan Islam hingga sekarang. Pekojan merupakan salah satu pemukiman yang memiliki pengaruh dalam penyebaran Islam di Batavia, terdapat pemukiman orang-orang Arab yang dipandang sangat penting, mereka berdagang di siang hari dan mengajar agama di malam hari. Mereka juga membangun masjid-masjid yang sampai sekarang berdiri kokoh, salah satunya adalah masjid An-Nawier yang dibangun pada tahun 1760. Berdasarkan status sosial, komunitas Arab ini menduduki kelas di atas pribumi. Terlebih lagi para kalangan Sayyid24 dari Hadramaut yang memiliki prestige cukup tinggi, mereka lebih dihormati karena ilmu agamanya, dibanding ulama pribumi.

24 Dalam hal ini Sayyid merupakan sebuah panggilan untuk seorang laki-laki yang berasal dari keturunan cucu Rasul, yakni Husein bin Abi Thalib. M. Hasyim Assegaf. Derita Putri-putri Nabi, Studi Historis Kafaah (Bandung: Rosdakarya, 2000) Cet. I, hlm. 203. 4

Sekitar tahun 1746, seorang ulama Arab bernama Husein bin Abu Bakar Alaydrus (dikenal dengan Husein Kramat Luar Batang), hadir di Batavia saat usianya menginjak 20 tahun. Kehadirannya tidak disukai oleh pemerintah Hindia Belanda yang segera mengusirnya. Kemudian Haji Abdul Kadir selaku penduduk Batavia menolong dan menampung untuk menyembunyikan Habib Husein di rumahnya. Habib Husein menjalankan dakwahnya kepada masyarakat setempat (kini sekitar Pasar Ikan), sekaligus sebagai guru bagi Haji Abdul Kadir. Mengetahui hal tersebut pemerintah mengejar dan menciduk Habib Husein serta para pengikutnya, mereka dipenjara, agar aktifitas dakwah dihentikan. Ini merupakan bagian kecil dari ketidaksukaan pemerintah Hindia Belanda terhadap kalangan ulama, bahkan ada pula yang diasingkan ke daerah lain. Keberadaan mereka dianggap membawa masyarakat kepada sifat fanatik terhadap agama, sehingga akan muncul gerakan-gerakan untuk mendirikan Negara Islam, yang membahayakan keberlangsungan kolonialisme. Penekanan-penekanan pemerintah terhadap kalangan ulama mengalami perubahan besar ketika Sayyid Utsman (seorang keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib) menebarkan sayap dakwahnya di Batavia. Beliau lahir di Pekojan pada 1822, setelah menuntut ilmu ke Negara-negara di Timur Tengah, dan kembali ke Batavia untuk mengamalkan ilmunya kepada ‘/masyarakat secara tatap muka di majelis-majelis taklim, langgar, dan masjid. Kelihaiannya dalam menghadapi kondisi sosio-keagamaan masyarakat, beliau jawab dengan menulis kitab-kitab yang berkaitan dengan permasalahan tentang syari'at Islam, lalu dicetak dengan mesin litografi pribadinya.25 Menurut pengamatannya Islam menjadi agama mayoritas di Batavia, namun kehidupan keagamaan masyarakat saat itu masih dipenuhi dengan unsur-unsur non-Islam seperti takhayul dan mistik, masih adanya kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan magis, dan pola-pola adat kebiasaan lama masyarakat yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan animisme. Hal demikian

25 Abdul Aziz, Peranan Islam Dalam Pembentukan ……… hlm. 60. 5

dapat dibuktikan, dengan adanya pelaksanaan upacara sesajen, penggunaan alat-alat yang dianggap kramat (seperti keris, dan jimat), pengucapan jampe atau mantra, pemujaan makam tokoh- tokoh kramat seperti para wali, mempercayai hikayat atau cerita- cerita Hindu seperti Sri Rama, meletakkan bayi di bawah kolong balai-balai guna menghindari gangguan setan, melakukan pengobatan tradisional dengan kekuatan magis, melakukan perhitungan hari dan waktu yang baik, dalam menentukan usaha bisnis, pernikahan, ataupun suatu perjalanan.26 Penilaiannya tehadap para penghulu dan qhadi khususnya di peradilan agama di Batavia saat itu sangat memprihatinkan, para hakim agama dan penghulu memiliki pengetahuan tentang kitab-kitab hukum Islam yang masih sangat terbatas, mereka diangkat dengan surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan menerima gaji dalam bentuk gulden.27 Keadaan ini mengakibatkan munculnya ketidakmesraan hubungan antara qhadi dengan masyarakat Islam serta qhadi dengan ulama-ulama lainnya. Ketidakmesraan ini diakibatkan oleh ketidaksetujuan atas kerjasama yang dilakukan oleh umat Islam dengan pemerintah yang kafir. Strategi dakwahnya menjadikan beliau aktif dalam administrasi kolonial Batavia, dengan jabatan sebagai Penasehat Kehormatan (Honorair Adviseur) pada kantor urusan Pribumi dan warga Arab (Kantor Voor Inlandsche Zaken). Beliau diangkat menjadi ,28 oleh pemerintah Hindia Belanda untuk periode 1899-1914. Di sana beliau bertugas mencarikan data-data dalam membantu Snouck Hurgronje dalam meneliti kehidupan umat Islam di Batavia. Bantuan tersebut mengundang kesalahpahaman sebagian besar

26 Sayyid Utsman, Manhaj al-Istiqamah fi al-Din bi al-Salamah, (Batavia: Thahiriyah, tt) hlm. 28-30. 27 Snouck Hurgronje, Petunjuk Sayyid Utsman, dalam Kumpulan Karangan, Jilid VIII. hlm. 36 28 Mufti merupakan salah satu jabatan dalam struktur sebuah landraad (pengadilan negeri) yang terdapat pada setiap afdeeling. Pada masa Hindia Belanda mufti ditunjuk dan digaji oleh pemerintah kolonial. Zulkifli, Muhammad Al-Bakri, Fatwa dan Mufti: Hukum, Etika dan Sejarah. (Negeri Sembilan: Universiti Sains Islamic , 2008) hlm. 5. 6

ulama dan masyarakat Islam Batavia atas hubungan Sayyid Utsman dengan Pemerintah Hindia Belanda. Tanpa pandang bulu, Sayyid Utsman menerapkan agama sesuai dengan syariat, terhadap umat Islam berbagai etnis dan suku. Hal itu terbukti ketika beliau pernah meminta kepada Pemerintah Belanda untuk mengembalikan seorang berkebangsaan Arab, yang datang ke Batavia. Orang tersebut berpakaian sufi dan mengaku mampu meramal nasib dan jodoh dengan memberikan mantra atau jampe kepada masyarakat Batavia.29 Beliau pun menilai bahwa orang tersebut adalah sesat yang merusak syariat Islam, dan akhirnya orang tersebut dikembalikan ke negera asalnya. Ada beberapa fatwa Sayyid Utsman yang diamati oleh sebagian ulama pada masa itu, yang dianggap sebagai upaya untuk mencari perhatian kepada pemerintahan yang kafir. Di antaranya fatwa pelarangan menganut tarekat bagi masyarakat yang awam, fatwa pengecaman perbuatan dan perang sabil, khususnya mengenai huru-hara melawan Belanda.30 Hal demikian juga memunculkan pertentangan dan perdebatan di kalangan cendikiawan sampai hari ini. Perjalanan dakwahnya mendapat kelancaran dari pemerintah Hindia Belanda, sehingga muncul anggapan bahwa Sayyid Utsman adalah kaki tangan Belanda. Sejarah terus terukir mengikuti arus globalisasi dan beragam budaya masyarakat pada zamannya, sehingga gejala- gejala sosial, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi dalam masyarakat dapat diungkapkan dan ditumpahkan dalam suatu historiografi. Sejarah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Melalui sejarah kita dapat mengetahui pandangan suatu masyarakat. Penelitian ini merupakan alternatif untuk mengkaji sejarah lokal dari segi aspek budaya tanpa melupakan aspek sosialnya. Selanjutnya tesis ini dimaksudkan untuk mengungkapkan

29 Abdullah bin Utsman Yahya, Suluh Zaman, hlm. 9

30 Sayyid `Utsman bin `Aqil bin Yahya al-`Alawi, Arti Thariqat dengan Pendek Bicaranya (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1889) hlm. 9. 7

masalah-masalah kebudayaan masyarakat yang melahirkan perbedaan pandangan di kalangan masyarakat itu sendiri. Hal inilah yang mendorong semangat peneliti untuk menjadikan masalah tersebut sebagai objek kajian ini, serta berusaha mengetahui nilai-nilai kehidupan yang terkandung didalamnya. Penulisan tesis ini akan mengkaji kontribusi Sayyid Utsman yang mampu menghadapi dan menjawab segudang masalah yang terjadi dalam dinamika kehidupan masyarakat Batavia, dalam bidang sosial budaya dan pendidikan. Sosok Sayyid Utsman pernah dibahas dalam karya-karya para peneliti terdahulu, namun pembahasan-pembahasannya lebih mengedepankan aspek politik. Para peneliti kurang menyoroti kehidupan Sayyid Utsman pada aspek keagamaan, sosial budaya, dan pendidikan. Atas dasar alasan-alasan tersebut dalam penelitian tesis ini penulis akan mengangkat judul KONTRIBUSI SAYYID UTSMAN DALAM KEHIDUPAN KEAGAMAAN MASYARAKAT ISLAM BATAVIA 1862- 1914.

B. Identifikasi Masalah Berdasakan dari uraian yang terdapat dalam latar belakang masalah, terlihat banyak permasalahan yang perlu dikaji. Di antaranya mengenai keberadaan tarekat dan perkembangannya di tengah masyarakat dalam mempertahankan Islam untuk melawan pemerintah Hindia Belanda. Kemudian pasang surut peraturan kolonial dalam memandang dan memperlakukan masyarakat Islam baik pribumi maupun peranakan Arab, khusunya kalangan mubaligh Arab. Dinamika para jamaah haji yang menetap di Mekah yang membentuk komunitas keilmuan dan juga politik dalam pembaharuan Islam di tanah air. Ketidakmesraan hubungan antara kalangan ulama dan masyarakat Islam dengan para mubaligh, qhadi, serta mufti yang diangkat dan digaji oleh pemerintah Hindia Belanda dalam peradilan agama. Para pejabat agama tersebut kurang dihormati karena bekerjasama dengan pemerintah kafir, sementara kalangan ulama pribumi yang anti kolonial memandang sinis dan 8

melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Begitu juga dengan hubungan Sayyid Utsman dengan Pemerintah Hindia Belanda, bukan pencekalan yang beliau dapat, melainkan kelancaran perjalanan dakwahnya, yang mendapat izin dari pemerintah. Kemulusan dakwah ini mengundang pertanyaan dari sebagian besar kalangan ulama dan masyaarakat Islam Batavia, yang menganggapnya sebagai kaki tangan Belanda. Dengan pemaparan permasalahan yang ada, namun tidak semua permasalahan akan dibahas oleh penulis, hal-hal yang penulis utamakan yakni menggali lebih dalam tentang kontribusi Sayyid Utsman dalam kehidupan keagamaan masyarakat Islam Batavia, baik dalam aspek sosial, budaya, pendidikan, serta dakwah. Penulis akan mengkaji lebih dalam tentang pemikiran dan relasi Sayyid Utsman terhadap kondisi sosio-keagamaan masyarakat Islam Batavia. Hal-hal yang wajib dikaji lebih lanjut adalah mengenai interaksi Sayyid Utsman dengan Pemerintah Hindia Belanda, sehingga dakwah yang dijalankan mendapat kelancara, dan masyarakat Batavia mendapat manfaat dari kelancaran dakwah tersebut.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan memiliki wilayah pembahasan yang meluas, maka penulis perlu melakukan pembatasan-pembatasan guna menfokuskan pembahasan. Hal pertama yang diperhatikan adalah batas waktu tema yang diteliti, yakni hanya berkutat pada rentang tahun 1862 masa Sayyid Utsman mengibarkan dakwahnya, hingga akhir hayatnya di tahun 1914. Mengenai tempat, peneliti memilih Batavia sebagai pembahasannya. Mengingat pada masa tersebut merupakan zaman penjajahan Belanda, peneliti akan menyinggung beberapa bentuk interaksi antara Sayyid Utsman dengan pihak Belanda. Peneliti ingin mengungkapkan pengaruh baik dan buruk yang diakibatkan oleh keberadaan penjajah di Batavia, terhadap kehidupan keagamaan masyarakat. Dalam hal ini kehidupan keagamaan yang penulis maksud adalah hal-hal yang berhubungan dengan aspek sosial budaya, dan pendidikan. Di 9

masa itu terjadi perubahan sosio-kultural yang sangat fundamental dalam masyarakat Batavia. Adapun permasalahan pokok yang akan diulas dalam penulisan tesis ini adalah: 1. Siapakah sosok Sayyid Utsman, dan bagaimana sejarah perjalanan hidupnya? 2. Bagaimana pemikiran Sayyud Utsman terhadap kondisi sosio-keagamaan masyarakat Islam Batavia yang terkandung dalam karya-karya tulisnya? 3. Bagaimana hubungan Sayyid Utsman terhadap dengan masyarakat Islam Batavia dan ulama-ulama Batavia lainnya? 4. Bagimana hubungan Sayyid Utsman dengan pemerintah Belanda, dalam hal ini Snouck Hurgronje? 5. Bagimana kontribusi Sayyid Utsman terhadap kehidupan keagamaan masyarakat Islam Batavia?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian tesis ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji lebih mendalam mengenai biografi Sayyid Utsman, dan sejarah perjalanan hidupnya. 2. Menggali lebih mendalam tentang pemikiran Sayyid Utsman terhadap kondisi sosio-keagamaan masyarakatnya Islam Batavia yang terkandung dalam karya-karya tulisnya. 3. Mengkaji lebih mendalam tentang relasi Sayyid Utsman dengan masyarakat Islam Batavia dan ulama-ulama lainnya. 4. Melacak lebih mendalam mengenai hubungan Sayyid Utsman dengan pemerintah Hindia Belanda, dalam hal ini Snouck Hurgronje . 5. Mengkaji lebih mendalam tentang kontribusi Sayyid Utsman terhadap kehidupan keagamaan masyarakat Islam Batavia.

Sedangkan kegunaan tesis ini adalah: 1. Menambah khazanah pengetahuan bagi para mahasiswa, penulis, dan peneliti, tentang sejarah Islam Nusantara yang berkaitan dengan Sayyid Utsman. 2. Menjadi inspirasi bagi para mahasiswa, penulis, dan 10

peneliti Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tertarik mengembangkan wacana kesejarahan tentang Sayyid Utsman. 3. Menjadi bahan penelitian lanjutan bagi para mahasiswa, penulis, dan peneliti tentang Sayyid Utsman di berbagai institusi, baik negeri maupun swasta.

E. Kerangka Teori Tesis ini mengulas tentang ulama Betawi dan kontribusinya terhadap perkembangan Islam pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tesis ini memperkuat teori yang mengungkapkan adanya keterkaitan intelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Timur Tengah dan melakukan pembaharuan di tanah air. Tesis ini menggunakan pendekatan sosial-intelektual historis untuk menggali fenomena sejarah dengan metode deskriptif- interpretatif analitis Penelitian tesis yang diangkat ini amat dekat kaitannya dengan peran-peran antar subjek, maka tepat kiranya jika menggunakan pendekatan ilmu sosial dalam analisanya. Pendekatan ini menyinggung bagaimana kontribusi Sayyid Utsman dalam membentuk kehidupan masyarakat Batavia sesuai dengan nilai-nilai Islam berdasarkan Alqur’an dan Hadits. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa pada masa Sayyid Utsman, telah terjadi penyimpangan- penyimpang yang dilakukan oleh masyarakat Islam Batavia. Baik ulama maupun masyarakat memiliki keterkaitan yang dapat dibahas melalui suatu pendekatan sosiologis, yakni menggunakan konsep interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial dinamis yang terkait pada relasi antar perseorangan, individu dengan kelompok, kelompok satu dengan kelompok lainnya. Interaksi sosial sendiri adalah kunci bagi keberlangsungan aktivitas dalam kehidupan sosial. Secara sederhana, interaksi sosial bisa terjadi apabila dua orang saling bertemu, menegur, memperkenalkan diri, bahkan saling 11

mempengaruhi.31 Pendekatan dengan penekanan interaksi sosial dipandang baik guna mengungkap lebih jauh hal ihwal komunikasi yang terjalin antara Sayyid Utsman sebagai ulama dengan masyarakat Islam Batavia, dan kalangan ulama lainnya, serta interaksi Sayyid Utsman dengan pemerintah Hindia Belanda.

F. Tinjauan Pustaka Penulis mendapat beberapa kajian tentang Sayyid Utsman sebagai ulama Batavia pada akhir abad ke-19, yang ditulis oleh penulis-penulis handal. Tidak banyak upaya yang dilakukan untuk mengkaji secara kritis tetang sumber-sumber pemikiran Sayyid Utsman, dan khususnya tentang bagaimana gagasan- gagasan dan pemikiran Sayyid Utsman yang mempengaruhi perjalanan historis Islam di Batavia. Kurangnya perhatian dari para peneliti masa kini, untuk melakukan upaya pengkajian terhadap sejarah sosial-intelektual, karena kebanyakan perhatian mereka dicurahkan hanya untuk menyoroti persoalan sejarah politik Islam. Sosok ulama Sayyid Utsman pernah ditulis sejarah hidupnya oleh beberapa tokoh intelektual hebat, diantaranya; Azyumardi Azra dalam Islam Nusantara. Azra membincang tentang sosok Sayyid Utsman sebagai ulama penting di Batavia yang anti bid’ah. Namun Azra menilai bahwa hingga saat ini masih ada hal yang belum terjawab tentang Sayyid Utsman, yakni mengenai motif fatwa-fatwa kontroversialnya. Oleh karena itu, Azra mengharapkan harus diadakan penelitian yang benar-benar lengkap mengenai Sayyid Utsman.32 Kemudian dalam karya yang berjudul Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab, Mr. membicarakan asimilasi keturunan Arab yang dihalang- halangi oleh pemerintah Hindia Belanda. Selain itu ada juga pembahasan mengenai Sayyid Utsman, namun dalam

31 Yusron Razak, Sosiologi Pengantar (Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008) hlm. 57. 32 Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Jakarta: Prenada Media, 2002) hlm. 164. 12

pembahasan yang dipaparkan Algadri kurang mengedepankan aspek sosial, karya Algadri tersebut lebih mencondongkan pembahasan pada aspek politik .33 Dalam riset Prof. Lodewijk Willem Cristian van den Berg, diungkapkan bahwa keturunan Arab di Nusantara dapat cepat membaur dengan masyarakat pribumi. Namun riset tersebut hanya mengulas komunitas keturunan Arab di Nusantara secara global, pembahasannya kurang memadai. Berg tidak memaparkan keberadaan Sayyid Utsman dalam kehidupan keagamaan masyarakat Islam Batavia.34 Begitu juga dalam karya yang berjudul Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, karangan Karel A. Steenbrink,35 yang mengungkapkan bahwa Sayid Usman adalah seorang pembaharu.36 Namun penulis menilai bahwa pembahasan Steenbrink kurang memadai, kajiannya tidak mengungkapkan tentang kontribusi Sayyid Utsman dalam kehidupan keagamaan masyarakat Islam Batavia.

G. Metode Penelitian Sebagai kajian historis maka metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah. Dengan metode ini peneliti melakukan pelacakan terhadap asal mula kehadiran dan perkembangan Islam di Batavia. Hal ini dipandang penting, sebagai upaya untuk melakukan penelitian terhadap perkembangan yang terjadi di masyarakat Batavia. Metode sejarah meliputi empat tahap yakni: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Heuristik adalah tahap

33 Hamid Algadri, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab (Jakarta: Sinar Harapan, 1984). hlm. 137 34L. W. C. Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (Jakarta: INIS, 1989) hlm. 95. 35 Nama lengkapnya Karel A. Steenbrink, lahir di Breda, Belanda pada 16 Januari 1942. seorang Professor Emeritus Intercultural theology di Universitas Utrecht dan sudah banyak menulis buku tentang sejarah Islam di Indonesia. 36 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hlm. 31 13

mengumpulkan sumber sejarah secara sistematis dan effektif dengan mengikuti kaidah-kaidah ilmiah. Tahap kritik adalah menilai sumber-sumber yang diperoleh secara kritis. Tahap interpretasi adalah pemberian atau makna pada sumber yang telah dikritik agar dapat ditemukan keterkaitan antara sumber yang satu dan lainnya. Tahap historiografi adalah tahap penulisan sejarah yakni menyajikan suatu gambaran yang utuh tentang pokok permasalahan yang dikaji. Desain penelitian yang dikembangkan adalah bentuk eksploratif, artinya suatu penelusuran sumber-sumber arsip dan kepustakaan yang memungkinkan ditemukannya data-data historis baik yang bersifat primer, sekunder, maupun tersier.37 Dalam sumber primer, peneliti mempergunakan sekitar 2 manuskrip dan 45 kitab yang merupakan hasil karya Sayyid Utsman, penulis juga menggunakan 3 manuskrip kumpulan dari surat-surat dan karangan-karangan Snouck Hurgronje, serta beberapa naskah koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan kajian tesis ini. Sementara sumber sekunder yang digunakan penulis adalah karya-karya para ilmuwan yang telah dicetak baik dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan sumber tersier yang penulis gunakan berasal dari ensiklopedia dan beberapa buku teks. Melalui pendekatan multidimensional maka pemahaman terhadap sumber-sumber tersebut akan menggunakan berbagai konsep ilmu sosial, khususnya antropologi dan sosiologi.

37 Sumber primer adalah bukti-bukti tertulis tangan pertama mengenai sejarah yang dibuat satu zaman dengan waktu peristiwa yang terjadi, ditulis oleh orang yang ada atau hadir pada peristiwa tersebut. Contohnya adalah catatan harian, korespondensi, dan surat kabar. Jenis ini dapat pula mencakup peninggalan atau naskah yang dibuat setelah kejadian oleh orang yang ada pada peristiwa tersebut. Sementara sumber sekunder adalah istilah yang digunakan dalam historiografi untuk merujuk pada karya-karya sejarah yang ditulis berdasarkan pada sumber-sumber primer dan biasanya dengan merujuk pula pada sumber-sumber sekunder lainnya. Sedangkan sumber tersier adalah kompilasi berdasarkan sumber primer dan sekunder. Jenis ini sering ditujukan untuk menampilkan informasi yang diketahui dengan cara nyaman tanpa klaim mengenai orisinalitasnya. Contoh umum adalah ensiklopedia dan buku teks. Allan, J. Lietman, and Vallerie French. Historians and The Living Past (Illionist: Haarlan Davidson, 1978). hlm. 38 14

Kerangka analisis yang dikembangkan sesuai dengan pendekatan multidimensional, dengan demikian konsep- konsep ilmu sosial akan banyak dilibatkan di dalamnya. Berangkat dari pemikiran Weber bahwa perubahan yang terjadi dalam berbagai aspek keagamaan berasal dari para pemimpin agamanya,38 maka perkembangan masyarakat sangat ditentukan oleh kharisma, otoritas dan status sosial seorang ulama sebagai pemimpin kehidupan beragama.

H. Sistematika Penulisan Penyajian tesis ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama merupakan bab pendahuluan, sebagaimana yang telah diuraikan di bab satu yang memaparkan beberapa pembahasan pokok mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Penelitian kemudian disajikan dalam empat bab berikutnya. Penjelasan bab per bab ditampilkan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Bab dua mengetengahkan pokok tinjauan terkait dengan Dinamika Kehidupan Masyarakat Islam Batavia 1862-1914. Permasalahan yang dibahas dalam bab ini terkait uraian tentang letak geografis Batavia dan Sejarah Pemerintahan Batavia, Struktur Sosial Budaya Masyarakat Batavia, Kehidupan Keagamaan Masyarakat Islam Batavia, dan Kondisi Pendidikan Masyarakat Islam Batavia. Selanjutnya, pembahasan pada bab tiga, Sejarah Hidup Dan Pemikiran Sayyid Utsman dalam Karya-Karyanya. Di dalamnya membahas tentang sejarah hidup, pemikiran serta karya-karya Sayyid Utsman. Kemudian akan dibahas pula mengenai interaksi Sayyid Utsman dengan pemerintah Hindia Belanda, dan relasi Sayyid Utsman dengan ulama-ulama dan Masyarakat Islam Batavia.

38 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. terjemahan Soeheba Kramadibrata (Jakarta: UI Press, 1985) hlm. 14. 15

Kemudian, bab empat akan dijelaskan tentang Kontribusi Sayyid Utsman dalam Kehidupan Masyarakat Islam di Batavia 1862-1914, dalam Bidang Keagamaan, Bidang Sosial Budaya, Bidang Pendidikan dan dalam Bidang Dakwah. Pada bagian terakhir, bab lima akan dibahas kesimpulan kontribusi Sayyid Utsman terhadap kehidupan sosio- keagamaan masyarakat Islam di Batavia dalam bidang Keagamaan, Sosial Budaya, Pendidikan dan Dakwah. Bagian ini dapat menarik benang merah dari paparan pada bab-bab sebelumnya menjadi satu rumusan yang dipahami. Bab ini sekaligus menjadi bab penutup. 16

BAB II

DINAMIKA KEHIDUPAN

MASYARAKAT ISLAM BATAVIA

Dalam bab ini pembahasan yang akan dikaji mengenai letak geografis Batavia pada tahun 1862-1914. Pembahasan selanjutnya mengenai kondisi kehidupan keagamaan masyarakat Islam Batavia yang masih dipenuhi dengan praktik-praktik tradisi Hindu dan paganimisme, serta struktur sosial masyarakat Batavia yang terbagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan agama, ras, etnis, dan suku bangsa. Selanjutnya akan dikaji pula kondisi pendidikan Islam masyarakat Islam Batavia sebelum maupun sesudah kehadiran Sayyid Utsman, yang telah menumbuhkan majelis-majelis taklim, sehingga melahirkan kader-kader dakwah untuk generasi di masa berikutnya. Pemaparan tentang dinamika masyarakat Islam Batavia akan penulis sajikan berdasarkan beberapa bidang, di antaranya bidang politik, bidang sosial- budaya, bidang keagamaan, dan bidang pendidikan.

A. Letak Geografis Batavia

Batavia merupakan nama sebuah kota yang sebelumnya bernama Sunda kelapa yang pernah menjadi pelabuhan sebagai basis kekuatan bagi Kesultanan Jayakarta pada rentang waktu 1527. Letak Batavia saat itu merupakan daerah yang sekarang kita kenal dengan nama Pasar Ikan dan Kota Tua yang terdapat di Jakarta Utara. Di mana kedua tempat tersebut menjadi pusat perdagangan terbesar di Nusantara. 20

20 Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hlm. 2. 17

Para utusan Belanda datang membawa misi-misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi (Zending). Kemudian Pemerintah Batavia saat itu memindahkan pusat pemerintahan dari yang awalnya terletak di kawasan Kota Tua dan Pasar Ikan, beralih ke daerah Menteng (dulu, Weltevreden) tepat pada tahun 1809. Pemindahan pusat pemerintahan ini dilatarbelakangi karena daerah Kota Tua telah menjadi sarang penyakit malaria dan kolera.32 Ada pun batas-batas Menteng, pada tahun 1862 adalah sebagai berikut: Sebelah Barat : Sungai Ciliwung Sebelah Timur : Gunung Sahari- Pasar Senen (Grote Zuideweg) Sebelah Selatan : Kramat Raya sampai Prapatan Sebelah Utara : Jalan Pos (Postweg) dan Jalan Dr. Sutomo (Schoolweg)

Pemindahan pusat pemerintahan Batavia berada di sekitar Lapangan Banteng (dulu Lapangan Singa), di seberangnya dibangun sebuah istana yang megah untuk Gubernur Jenderal, kemudian digunakan sebagai tempat penerima tamu penting (kini berfungsi sebagai gedung Departemen Keuangan), dan beberapa asrama dan mess militer di sekitar Lapangan Banteng juga dibangun oleh Daendels sebagai pusat pertahanan militer. Pembaharuan tersebut menjadikan kota ini menjadi Batavia Baru (Nieuw Batavia) yang meluas ke berbagai penjuru.

32 Alwi Shihab, Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe. hlm 50-51. Lihat juga A. R. T. Kemasang , The Dutch Role in the 1740 Chinese Pogroms in Java, hlm. 3-26. Bisa juga ditelusuri dalam Leonard Blusse, Batavia 1619-1740: The Rise and Fall of a Chinese Colonial City, hlm. 159- 178. Adanya pembantaian kurang lebih 10.000 orang Cina tewas, setelah diserang oleh pasukan tentara Belanda. Mayat-mayat yang berserakan dengan penuh darah membawa dampak buruk bagi kebersihan dan kesehatan masyarakat daerah Pasar Ikan dan Kota Tua, di mana saat itu daerah tersebut menjadi sarang penyakit malaria dan kolera. 18

Pemerintahan ini mengalami perubahan setelah kehadiran seorang ilmuwan Belanda Snouck Hurgronje 33 yang memohon izin untuk mengadakan penelitian terhadap studinya yang dianggap memberi keuntungan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Melalui lembaga Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang telah didirikan oleh Raffles), mendukung rencana Snouck tersebut. Setelah mendarat di Batavia pada tanggal 11 Mei 1889, Snouck bekerja sebagai pegawai pemerintah, dan dengan mudah menjalin keakraban dengan pribumi Batavia, termasuk ulama. Melihat kepintaran Snouck dalam mendekati penduduk jajahan, Gubernur Jenderal Cornelis Pijnacker Hordijk mengabulkan permohonan penelitian itu, dan menunjuk beberapa orang untuk menjadi asisten Snouck, salah satunya adalah Sayyid Utsman, ulama peranakan Arab yang tinggal di Batavia. Snouck menduduki jabatan resmi sebagai penasihat resmi bidang bahasa Timur dan hukum Islam (Kantoor Adviseur voor Oostersche Talen en Mohammedaans Rechts). Pada 20 Juni 1889 Snouck menulis nasihat berjudul “Bedevaart en Pelgrims” yang mengusulkan pada konsul Belanda di Jeddah agar membatasi dan jangan mempermudah kepergian penduduk Hindia Belanda ke Makkah. Snouck menyadari bahwa imigran Arab merupakan tokoh yang berperan dalam kebangkitan perlawanan bangsa Indonesia. Maka pada 22 Desember 1902 Snouck menentang kebijakan “eijken en passentelsel” yang melonggarkan masuknya imigran Arab dan mencabut pemisahan pemukiman orang Arab di Nusantara. Snouck mengatakan:

“Adanya orang Hadramaut di negeri ini dipandang dari sudut politik selalu merugikan dan menjadi suatu bahaya. Jika batas yang sekarang berlaku bagi mereka

33 Snouck hurgronje seorang orientalis Belanda yang lahir di Tholen, Oosterhout pada 8 Februari 1857 dan meninggal di Leiden pada 26 Juni 1936 pada umur 79 tahun. 19

mengenai tempat tinggal dan kebebasan bepergian dicabut, dan pulau Jawa terbuka bagi mereka, maka jumlah mereka akan menjadi puluhan ribu dan tidak mungkin lagi mengawasi mereka.” 34

B. Struktur Sosial Budaya Masyarakat Batavia Membincang masyarakat Batavia yang terdiri atas berbagai bangsa, ras, etnis, suku, dan agama. Semua itu merupakan hal penentu dalam struktur kehidupan sosial, penempatan pekerjaan, alokasi tempat tinggal, dan berbagai peluang bisnis lainnya. Kehidupan masyarakat Batavia mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari Pemerintah Hindia Belanda kala itu, yakni mengkotak-kotakan etnis-etnis berdasarkan tempat tinggal di Batavia, seperti Kampung Pecinan untuk etnis Cina, Pekojan untuk peranakan Arab, dan lain sebagainya. Dalam lingkup pemukiman ini, pemerintah mengangkat seorang kepala kampung, yang akan bertanggungjawab atas apa yang dilakukan warganya. Mereka diwajibkan mematuhi aturan- aturan yang telah dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda, mulai dari pembayaran pajak, pemakaian busana, penampilan fisik, menjaga perdamaian dengan etnis lain, dan harus meminta izin kepada pemerintah jika meninggalkan kampung untuk bepergian dalam beberapa waktu ke daerah lain. Mereka yang meinggalkan kampung harus membekali diri dengan passen stelsel (surat izin jalan, yang didapat dari pemerintah Belanda, dengan sejumlah persyaratan).35 Berdasarkan Aturan Pemerintah (Regeering Reglement) yang disingkat RR nomor 75, pemerintah Hindia Belanda menggolongkan masyarakat yang berada di bawah kekuasaannya menjadi tiga kelompok: 1. Kelompok pertama terdiri dari orang-orang Eropa

34 Hamid Algadri, C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) hlm. 85 35 Mona, Lohanda, Growing Paints, the Chinese and the Dutch in Colonial Java 1890-1942 (Jakarta: Yayasan Loka Cipta Karya, 2002) hlm. 27. 20

(Europeanen) meliputi bangsa Belanda, Portugis, Inggris, Perancis, Jerman, baik warga yang aktif maupun non-aktif dalam pemerintahan. Dalam Ketetapan Umum Perundang- undangan (Algemeene Bepaling van Wetgeving) tahun 1894, pemerintah menetapkan bahwa kedudukan pribumi yang beragama Kristen, disamakan dengan orang-orang Eropa menduduki kelas teratas.36 2. Kelompok kedua terdiri dari orang-orang dari Timur Asing (Vreem de Oasterlingen) meliputi orang-orang China, Jepang, Arab, Persia, India, Srilanka, Bangladesh, dan Filipina. Orang-orang dalam kelompok ini dikenal dengan sebutan Moor, biasanya orang-orang India mencari nafkah sebagai pedagang tekstil dan barang-barang yang didatangkan dari Bombay.37 Orang-orang Arab sangat bergantung pada pembelian lada di , mereka bertanggung jawab untuk menyediakan rempah-rempah dari Asia ke negara-negara di Timur Tengah. 3. Kelompok ketiga merupakan kaum pribumi yang beragama Islam (Inheemsen, atau lebih populer dengan sebutan Indische). Meliputi, orang-orang yang berasal dari Jawa, Sumatra, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Sunda, Bali, dan budak-budak belian yang didatangkan oleh Belanda dari berbagai daerah dan negara.38 Perkawinan-perkawinan yang terjadi antar suku dan antar bangsa tersebut menjadi cikal bakal orang Betawi di kemudian hari. Penggolongan

36 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia ……… hlm. 9. 37 Tawalinuddin Harris, Kota dan Masyarakat Jakarta: Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial Abad XVI-XVIII. 38 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1977) hlm. 182-183. Bisa ditelusuri dalam Lihat juga B. Ter Haar, Adat Law in Indonesia (Jakarta: Bhratara, 1962) hlm. 151. Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru, yang lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar tahun 1815-1893. Perkiraan ini diperkuat oleh sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Batavia tahun 1615 hingga 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. 21

kelompok-kelompok ini memberi tekanan kepada pribumi Islam yang setiap gerak-geriknya mendapat pengawasan pemerintah. Dalam kelompok pribumi itu, pemerintah masih membedakan lagi ke dalam beberapa tingkatan, yaitu: a. Tingkat pribumi pertama, meliputi orang-orang yang berasal dari keturunan kerajaan-kerajaan yang setia kepada Belanda. Mereka diangkat dan diamanahi jabatan-jabatan dalam pemerintahan di tingkat kabupaten, tingkatan pribumi ini disebut .39 Ciri khas mereka berjalan sambil berjongkok dengan kedua telapak tangan terkatup ketika melewati orang Eropa seperti menghormati seorang ningrat Jawa. Bahkan, priyayi yang bekerja sebagai pegawai kolonial meski telah mengecap pendidikan Barat pun harus duduk di lantai ketika memberikan laporan pada pegawai Belanda muda. b. Sementara tingkat pribumi kedua meliputi orang-orang yang taat beragama Islam, kalangan ini dikenal dengan , gerak-gerik mereka selalu diawasi dan dicurigai oleh pemerintah yang khawatir akan adanya pergerakan mendirikan negara Islam. c. Tingkatan pribumi terakhir disebut kaum , yang merupakan keturunan dari kerajaan Majapahit yang tunduk di bawah kerajaan Islam, mereka anti dan kontra terhadap pemerintahan Belanda. Kaum Abangan ini dicurigai akan merebut pemerintah dari Belanda, dan menghidupkan lagi kerajaan Majapahit.40

39 Alfian, Islamic Modernism Indonesian Politics: The Movement During The Dutch Colonial Period 1912-1942 (University of Wisconsin, Microfilms, 1969) hlm. 228. Dapat juga telusuri D. M. G. Koch, Menuju Kemerdekaan Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia Sampai 1942, terj. Abdoel Moeis (Jakarta: Yayasan Pembangunan, 1951) hlm. 8-9. 40 Deliar, Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980) hlm. 28-34. Telusuri juga Chr. L. M. Penders, Indonesia Selected Documents on Colonialism and Nationalism 1830-1942 (Queensland: Queensland University Press, 1977) hlm. 31-33` 22

Selain itu pemerintah juga menerapkan aturan ketat mengenai cara berpakaian masyarakat Batavia yang beraneka ragam bangsa dan suku bangsa, di antaranya, pemerintah memperbolehkan pribumi Kristiani memakai pakaian bergaya Eropa. Bagi bangsa-bangsa Timur, diwajibkan memakai pakaian berdasarkan budayanya masing-masing, sedangkan pribumi Islam dianjurkan memakai pakaian sesuai adat daerah asalnya. Kebaya dan kain sarung menjadi pakaian khas bagi perempuan Batavia, dan sementara baju koko dan celana panjang merupakan pakaian khas bagi pria Batavia. Berdasarkan peraturan tersebut pemerintah akan memberi sanksi kepada siapa saja yang meniru-niru atau meminjam pakaian yang tidak sesuai dengan budaya dan bangsanya sendiri.41 Masyarakat Batavia dikonsentrasikan pada perkampungan-perkampungan yang namanya diambil berdasarkan suku komunitas yang menempatinya, seperti Pecinan tempat tinggal bagi masyarakat Cina, Kampung Melayu bagi masyarakat yang berasal dari wilayah Melayu, Kampung Ambon tempat tinggal masyarakat yang berasal dari Ambon, Kampung Bali untuk masyarakat yang berasal dari Bali, Kampung Bandan, Kampung Pekojan dan lain sebagainya. Beraneka ragam suku dan bangsa yang memiliki banyak budaya, pastinya memiliki beraneka ragam bahasa. Bahasa- bahasa daerah yang mereka miliki agak sukar diterapkan dalam pergaulan di masyarakat Batavia, sehingga mereka memilih bahasa Melayu sebagai alat komunikasi. Meskipun jumlah masyarakat Jawa mendominasi kota Batavia, namun masyarakat menganggap bahasa Melayu lebih mudah diucapkan daripada bahasa Jawa dan Sunda,42 Hal ini

41 Kees van Dijk, Sarung, Jubah dan Celana: Penampilan Sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), hlm. 66. 42 Muhammad Zafar Iqbal, Islam di Jakarta Studi Sejarah Islam dan Budaya Betawi. Tesis Ph.D, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana IAIN Syahid, 2002) hlm. 141. 23

menyebabkan bahasa Betawi lebih bercorak Melayu. Di samping itu keberadaan masyarakat Arab pun memberi pengaruh terhadap bahasa Betawi hingga masa kini, terbukti pada beberapa kosakata di antaranya ane, yang berasal dari bahasa Arab ana, artinya saya, ente dari kata anta berarti kamu, fulus dari kata fhulus berarti uang, masjid dari kata masajid, kitab dari kata kitaabun, dan kosakata-kosakata lainnya. Begitu juga dengan pengaruh bahasa yang dibawa oleh orang Cina, pasti pembaca pernah mendengar kata pe-goh yang berasal dari bahasa Cina yang berarti seratur lima puluh, go-pe yang berarti lima ratus, dan masih banyak kosa kata lainnya. Pada akhir tahun 1869 Terusan Suez dibuka, ini menguntungkan bagi perkembangan jaringan perhubungan dan komunikasi antar benua Eropa dan Asia. Adanya beberapa perkembangan teknologi, seperti penemuan kapal uap yang manfaatnya sangat berperan bagi masyarakat Batavia dalam menunaikan ibadah haji, sebelumnya mereka berangkat menggunakan kapal laut yang menghabiskan waktu dalam perjalanan berbulan-bulan lamanya. Pada tahun 1881 telah dibangun jaringan kereta api Batavia–Buitenzorg (kini Bogor), Kota–Tanjung Priok, dengan menggunakan tenaga uap, kemudian diganti dengan tenaga listrik pada tahun 1897. Kemajuan masyarakat Batavia terlihat pada tahun 1890, dengan adanya penggunaan alat-alat teknologi seperti mesin cetak litografi, percetakan foto, fonograf, kotak musik, dan pengiriman suara, naskah, dan gambar melalui mesin cetak. Sehingga terbit buku-buku yang mengandung cerita-cerita tentang jagoan Betawi yang populer seperti Si Pitung, Si Jampang Jago Betawi, Nyai Dasima, Tuan Tanah Kedaung, Macan Kemayoran, dan Si Ayub dari Teluk Naga, sudah dikenal melalui lenong, bahkan sudah dilayarlebarkan. Bahkan kisah tragis Sara Specx bersama sang kekasih telah menjadi cerita rakyat di Betawi secara turun-temurun. Kisah tersebut diangkat ke dalam sebuah roman oleh Tio Ie Soei, seorang sastrawan Melayu Tionghoa. Judulnya, Sara Specx: Satoe Kedjadian jang betoel di Betawi di Djaman Pamerentahannja Jan Pieterszoon Coen dalam tahun 1629 (Hiboerankoe, 24

1926, dengan nama Tjoa Pit Bak). Selain itu mereka juga sudah mulai mengenal berita harian Bintang Betawi. 43 Dalam penerbitan suatu karangan atau karya ilmiah, pemerintah memberlakukan proses uji sensor terhadap semua kalangan masyarakat Batavia, termasuk mengawasi isi dan dampak karya ilmiah tersebut bagi kepentingan pemerintahan. Hal itu terbukti dengan adanya pelarangan penerbitan Oud en Nieuw Oost-Indien, karya Valentyn.44 Pencabutan hak terbit Bataviasche Nouvelles,45 yang pernah beredar selama 16 bulan. Penentangan atas karya-karya ini diakibatkan oleh ketidaksukaan pemerintah. Peredaran karya-karya tersebut dianggap berbahaya bagi keberlangsungan kolonial Belanda, dikhawatiran saingan-saingan VOC akan mendapat keuntungan dari berita-berita tersebut. Pada tahun 1899 pemerintah Hindia Belanda menyuguhkan kepada masyarakat Batavia, pertunjukan musik, festival populer, pesta anak-anak, kembang api, parade militer, prosesi, dan tarian-tarian. Bahkan diadakan juga sebuah resepsi di kediaman Gubernur Jenderal Carel Herman Aart van der Wijck, yang mengundang sebagian penduduk priyayi untuk berpartisipasi dalam acara tersebut. Kegelamoran masyarakat elit Batavia tergambar pada tahun

43 Matthew Isaac, Cohen, Komedie Stamboel:Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891-1903. (Ohio University press, 2006) hlm. 7. 44 Nama lengkapnya Francois Valentine, seorang pendeta yang berkelana ke Hindia Belanda, dan pernah menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu. Dalam karyanya, ia menggambarkan flora-fauna, menjelaskan perkembangan, serta mengkritik tingkah laku kehidupan para pejabat VOC atas penduduk jajahannya mengenai politik, perang dan kontrak dagang. 45 Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnemente atau sering disingkat sebagai Bataviasche Nouvelles adalah surat kabar modern pertama yang terbit di Batavia pada 7 Agustus 1744, berbahasa Belanda, yang bermaksud memuat kabar dalam negeri, berita kapal, serta kritik tentang pola hidup pejabat VOC. Tahun 1776-1809 dapat terbit lagi dengan nama yang berbeda, Het Vendu Nieuwus (Berita Lelang), tetapi surat kabar ini tidak memuat keterangan dalam negeri, dan disensor sangat ketat. Izin penerbitan diberikan kepada L. Dominicus, seorang juru cetak di Batavia, karena diperlukan publikasi tentang pelelangan yang pernah diadakan VOC. 25

1903 yang telah mengimport mobil dari negara-negara Eropa dan Amerika, diperkirakan jumlah mobil mencapai tiga juta unit sedangkan sepeda motor 5,5 juta unit.46 Keberadaan mobil begitu cepat bertambah dan membuat Batavia menjadi sangat ramai.

Nusantara yang sekarang menjadi bangsa Indonesia, sumber daya alamnya dikeruk terus menerus oleh penjajah Belanda. Sehingga keuntungan mengalir terus ke negeri Belanda, sementara rakyat Indonesia tetap miskin. Keadaan ini sangat menggelisahkan kaum Importir Belanda yang membawa barang hasil industri dari Eropa ke Indonesia. Importir Belanda tidak dapat menjual barangnya karena daya beli masyarakat sangat rendah, sedangkan industri di negeri Belanda sedang pesat. Mereka menginginkan agar Indonesia yang banyak penduduknya itu menjadi pasar bagi industri Belanda. Sedangkan para eksportir mendapat laba besar dengan membawa barang mentah dari Indonesia. Untuk memenuhi kaum importir tidak ada jalan lain yang harus segera ditempuh selain memperbaiki dan membuat ekonomi rakyat Indonesia yang sudah rusak.

Selain itu pada tahun 1899 terbit sebuah artikel oleh Van Devender berjudul “Hutang Kehormatan” dalam majalah De Gids. Di situ ia mengemukakan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia selama ini hendaknya dibayar kembali dari perbendaharaan Negara. Peristiwa itu dapat dipandang sebagai ekspresi ide yang baru kemudian dikenal dengan politik etika. Van Devender menganjurkan program ini untuk memajukan kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki irigasi agar memprodusi pertanian, menganjurkan transmigrasi dan perbaikan dalam bidang pendidikan. Ia juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda secara kultural yang lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi bangsanya.

46 JJ. de Vries, Batavia Sudah Dijejali Mobil dalam Batavia Digital (Batavia: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 1925) 26

Faktor lain yang menyebabkan berlangsungnya politik etika ini ialah kebangkitan Nasional dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, berdirinya Sarikat Islam sebagai partai politik pertama di Indonesia yang didasarkan atas organisai Barat didirikan tahun 1919, adanya Volksraad tahun 1918 yang merupakan saluran bagi orang Indonesia untuk menyatakan pendapatnya terhadap pemerintah Hindia Belanda.

C. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Islam Batavia Pada tahun 1642 pemerintahan Hindia Belanda mengumpulkan peraturan yang akan diberlakukan kepada masyarakat Islam Batavia. Kumpulan peraturan tersebut dikenal dengan nama Statuta Batavia atau Statuten van Batavia.47 Kemudian pemerintah Hindia Belanda mengamati bahwa jauh sebelum kedatangan Bangsa Eropa, Islam telah mendapat tempat di hati masyarakat Batavia. Masyarakat masa itu sudah menerima Islam dalam berbagai dimensi kehidupan, baik pidana maupun perdata. Pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa kondisi di daerah jajahannya telah terlebih dahulu mengadopsi hukum Islam (Mohammedan Recht) dan hukum pidana adat (Adat Recht) dalam menyelesaikan suatu permasalahan dalam berbagai bidang.48 Melihat hal demikian, timbul keinginan VOC untuk menandingi dan mengganti secara paksa dengan hukum Belanda yang telah dibuat oleh VOC. Namun hal tersebut mengalami perbenturan, karena terdapat perbedaan pemahaman dalam hukum-hukum tersebut. Salah satunya pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran yakni, “Suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan,” namun menurut VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu

47 Bernard, Hubertus Maria Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia. hlm. 504 48 Bustanul Arifin, Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional. (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) hlm. 33. 27

dipidana dengan hukuman yang setimpal.49 Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah pemaksaan pemberlakuan hukum Belanda yang harus digunakan para hakim pribumi kepada pelaku kejahatan, seperti dipenjara cap bakar, dirantai, diasingkan ke suatu daerah, dan dihukum pancung yang disaksikan masyarakat. Pada mulanya pemerintah Hindia Belanda tidak mempunyai keberanian untuk ikut campur dalam kehidupan masyarakat Islam berada di bawah jajahannya, hal itu disebabkan kurangnya pengetahuan pemerintah terhadap agama Islam, belum adanya keahlian berbahasa Arab yang memadai sehingga menimbulkan ketakutan adanya pemberontakan orang-orang Islam fanatik, namun di lain sisi Belanda juga optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi Belanda. Selain ketakutan yang dialami, Belanda juga belum mengetahui sistem sosial kehidupan agama Islam yang berlangsung di Batavia waktu itu, keengganan mencampuri masalah Islam ini terdapat di Undang-undang pemerintah Hindia Belanda yang berbunyi: “Setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umum hukum agama”, akibatnya pada tahun 1865 pemerintah Belanda tidak sudi memberikan bantuan bagi pembangunan suatu masjid.”50

Berdasarkan data-data yang penulis dapat, sejak tahun 1862 hingga tahun 1914 menggambarkan bahwa Islam merupakan agama mayoritas di Batavia, disusul Kristen,

49 Pemerintah Hindia Belanda berusaha mengganti Hukum Islam dan hukum Pidana Adat (terutama yang tak sejalan dengan tujuan misi-misi pemerintah Hindia Belanda). Namun peraturan-peraturan yang diterapkan oleh pemerintah VOC seringkali berubah-ubah sesuai dengan kepentingan pemerintah VOC yang seringkali merugikan rakyat. Hardy Haldi. Sejarah Hukum Pidana di Indonesia (Sebuah artikel). 50 Pasal tersebut terdapat dalam undang-undang Hindia Belanda di ayat 119 RR 28

Budha, Hindu dan lain-lain. Pada masa itu bisa dikatakan bahwa etnis Betawi serta pribumi yang berasal dari Jawa, Sumatra, Sulawesi dan daerah lainnya, kebanyakan menganut agama Islam. Khusus bagi etnis Betawi, keluar dari agama Islam adalah suatu perbuatan tercela dan hina. Sedangkan agama Kristen pada umumnya berasal dari keturunan atau peranakan bangsa Eropa, seperti Belanda, Portugis, Inggris, Jerman, dan bangsa lainnya. Untuk penganut agama Budha, merupakan masyarakat dari keturunan etnis China. Begitu juga dengan agama Hindu yang merupakan sisa-sisa keturunan dari masyarakat Hindu Pajajaran, yang pada masa Kesultanan Jayakarta tunduk sebagai penduduk Zimmy, serta orang-orang pendatang dari India.51 Dalam aspek peribadatan, pemerintah Hindia Belanda-Inggris memberikan kelonggaran dalam hal praktik adat istiadat, tradisi, ritual dan kekerabatan di dalam lingkup masyarakat Batavia, namun ketetapan pemerintah Hindia Belanda seringkali tidak konsisten, terkadang banyak peraturan yang telah dibuat namun tidak dijalani bahkan dilanggar pula. Pada era kekuasaan Raffles, hukum yang berlaku di Batavia adalah hukum Islam dan Deandles yang menginspirasi Van den Berg untuk melahirkan teori pengakuan pemerintah kolonial terhadap berlakunya hukum Islam bagi masyarakat setempat.52 Van Der Berg, merumuskan pandangan tentang hukum Islam (Mohammadansche Recht) yang berlaku bagi masyarakat Islam, walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan. Pandangan itu didukung oleh laporan-laporan Winter Solomon Keyzer (1823-1868) dan diperkuat oleh data-data Carel Frederik Winter (1799-1859), yang menyatakan bahwa hukum Islam adalah hukum yang sebenar-benarnya berlaku bagi masyarakat Islam saat itu. Dalam teorinya Berg menyatakan bahwa: “Bagi orang Islam yang berlaku penuh adalah hukum Islam sebab dia telah memeluk Islam walaupun dalam

51 Badan Pusat Statistik. Agama Masyarakat Batavia Tahun 1862. 52 A. Rahmat Rosyadi, M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 75 29

pelaksanaannya masih terdapat penyimpangan- penyimpangan. Ketaatan mereka masih terbatas pada shalat lima waktu, zakat, puasa dan haji, sedangkan ajaran Islam lainnya masih kurang diperhatikan misalnya ajaran Islam tentang ekonomi dan perbankan Islam. 53 Menurut Berg, karakteristik dari teori ini adalah: hukum Islam dapat berlaku bagi pemeluknya, dan masyarakat Islam harus mentaatinya, hukum Islam berlaku secara umum, baik dalam bidang ekonomi, hukum pidana maupun hukum perdata. Berg tidak segan-segan membuat pengakuan terhadap kewenangan badan-badan peradilan agama untuk menjalankan yurisdiksi hukumnya berdasarkan hukum Islam berdasarkan staatsblaad 1882 No.152. Ia juga aktif melakukan pengkajian dan pengumpulan beberapa bahan tertulis tentang asas-asas hukum Islam (Mohammedaansche Recht, 1882) menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi, kajian tentang hukum keluarga dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura (1892) dan menerjemahkan beberapa kitab berbahasa Arab seperti Fath al-Qarib dan Minhaaj ath-Thalibin ke dalam bahasa Prancis. Dengan karya-karya itu Berg mengupayakan agar hukum Islam dijalankan oleh hakim-hakim dari Belanda dengan bantuan penghulu atau qadhi-qadhi Islam. 54 Van Leur mencatat bahwa keberadaan hukum Islam lebih banyak diperbincangkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yang termarjinalkan akibat dari pola politik kolonial Belanda serta rekayasa ilmiah kaum intelektualnya. Hal itu terbukti ketika teori receptio in complex ini menjadi acuan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan

53 Said Agil Husein Al-Munawwar, Islam dalam Pluralitas Masyarakat Indonesia (Jakarta: Kaifa, 2004) hlm. 176. Sebelumnya teori ini juga disebutkan oleh H.A.R. Gibb, Sajuti Thalib, Receptio A Contratrio, Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam. (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 5. Secara fakta teori Berg lebih rinci dibandingkan teori yang dikemukakan H.A.R. Gibb, sebab prakteknya hingga sekarang umat Islam Batavia masih banyak yang belum taat dalam menjalankan ajaran Islam. 54 Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, (Bandung: Pustaka Setia, 2011) hlm. 81. 30

dikeluarkannya peraturan sebagai berikut: ”Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang pribumi atau dengan mereka yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk kepada hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama (godsdienstige wetten) atau ketentuan-ketentuan lama mereka”. 55

Begitu juga dengan permasalahan hukum, awalnya pemerintah Belanda tidak ingin mencampuri organisasi pengadilan Agama. Tetapi pada tahun 1882 dikeluarkan penetapan Raja Belanda yang dimuat dalam Staatsblad 1882 nomor 152. Disebutkan bahwa di tempat-tempat di mana telah dibentuk pengadilan pribumi (landraad) maka di sana dibentuk pengadilan agama (raad). Ini merupakan bentuk keikutcampuran pemerintah Hindia Belanda dalam urusan hukum agama Islam. Melihat umat Islam yang semakin besar jumlahnya, pemerintah Hindia Belanda mencari jalan keluar untuk mengimbangi dakwah para mubaligh, dengan mengeluarkan receptie theorie, yang disusun oleh Snouck dan dipertajam oleh van Vollenhoven. Teori baru tersebut telah memutar balikan fakta, pasalnya teori itu menganggap hukum Islam hanya berlaku ketika diterima oleh hukum adat, sehingga umat Islam belum tentu tunduk pada hukum Islam tersebut.56 Kemudian terjadi perubahan politik hukum, pemerintah Hindia Belanda merasa perlu memperlakukan hukum Barat (Belanda) untuk semua penduduk jajahan, termasuk untuk golongan pribumi, yang terkenal dengan teori unifikasi hukum. Karena kebijakan ini dianggap Snouck kurang strategis untuk menghentikan pemberlakuan hukum Islam, maka unifikasi ini digagalkan olehnya.

55 Peraturan itu ditegaskan dalam RR tahun 1855, Staatblad 1855 Nomor 2. Bahkan dalam ayat 2 pasal 75 RR Bustanul Arifin, Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) hlm. 33. 56 Erman, Rajagukguk, Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme, makalah pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati. Bandung ke-37, 2 April 2005. 31

Kemudian langkah yang diambil bukan memaksakan hukum Belanda, tetapi yang utama adalah membentuk opini serta mempengaruhi dan mengacaukan fikiran masyarakat terlebih dahulu dengan melahirkan teori receptie yang sengaja dihembuskan untuk mengacaukan sistem hukum yang telah ditaati masyarakat ketika itu, yakni hukum Islam. Tujuan utama mereka agar antara adat, hukum Islam, dan hukum Belanda terjadi perbenturan. Jika pergumulan terjadi, maka hukum Belanda yang telah didukung oleh kekuatan politik dan sarjana hukum lulusan Belanda yang loyal terhadap produk hukum Belanda menjadi menguat. Sementara hukum Islam dengan sendirinya akan lemah. Usaha ini ternyata efektif dan berhasil, sehingga sampai sekarang pun hukum Islam berada dalam ketidakberuntungan di tanah air ini. Setelah dibukanya Terusan Suez, yang memudahkan komunikasi dalam berbagai bidang secara internasional, dalam bidang pendidikan para siswa pribumi mampu menuntut ilmu ke beberapa negara di Timur Tengah, begitu juga masyarakat Islam yang berniat menunaikan ibadah haji, namun kepergian mereka telah menimbulkan pengaruh Pan Islamisme yang cukup kuat dari Turki, terutama dari para siswa pribumi dan jamaah haji yang bermukim di tanah suci, sebagian mereka pulang ke tanah air membawa kefanatikan dalam beragama.57 Hal demikian menimbulkan kekhawatiran bagi kolonialis Belanda pada tanah jajahannya, kemudian mereka mencari segala cara untuk menghentikan pengaruh Pan Islamisme yang akan merugikan pemerintah Belanda. Christian Snouck Hurgronje mengeluarkan kebijakan Islam Policy yang pada intinya hukum Islam harus dijauhkan dari masyarakat Nusantara khususnya Batavia, bagi Hurgronje Pan Islamisme adalah tindakan yang berbahaya tapi sia-sia.58 Menurut Hurgronje lebih baik mencari jalan lain yang

57 Istilah Pan Islamisme sendiri diciptakan oleh Sultan Abdul Hamid II untuk melawan kekuasaan barat. Anthony Reid, The Contest of North Sumatra, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1969, hlm. 3, 65, 66 dan 109. 58 Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje jilid IX, (Jakarta: INIS, 1994) hlm. 102 32

lebih halus dari pada memaksakan hukum Belanda. Karena politik seperti ini semakin membangun kebencian pribumi dan dinilai kurang efektif. Mengamati umat Islam di Batavia yang jumlahnya besar, serta segala permasalahan keagamaan yang sering terjadi, pemerintah mengangkat seorang mufti, ahli fiqh. Mufti bertugas di Landraad, yang merupakan cikal bakal Departemen Agama yang kita kenal sekarang. Tugas mufti mengurusi peribadatan, pernikahan, perceraian dan hukum waris, serta permasalahan keagamaan masyarakat. Hurgronje merumuskan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian yaitu; bidang agama murni (ibadah), bidang sosial kemasyarakatan dan bidang politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep Splitsingstheori.59 Pemerintah Hindia Belanda mengadakan program pendidikan yang bercorak Barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa. Dengan demikian hilanglah kekuatan cita-cita Pan Islamisme dan akan mempermudah penyebaran agama Kristen. Dalam bidang politik haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islamisme, penumpasan itu jika perlu dilakukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata. Setelah diperoleh ketenangan, pemerintah kolonial harus menyediakan pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud baik pemerintah kolonial dan akhirnya rela diperintah oleh orang- orang Belanda. Dalam bidang agama, menunaikan ibadah dengan secara murni, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan maka pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan, serta

59 Pada hakikatnya, Islam tidak memisahkan ketiga bidang tersebut, oleh Snouck diusahakan agar umat Islam pribumi berangsur-angsur memisahkan agama dari segi sosial kemasyarakatan dan politik. 33

memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji. Sedangkan di bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat tersebut yang telah dipilih sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa. Hurgronje menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam hukum dan peraturan. Di Batavia sudah berdiri masjid-masjid, namun pada masa itu belum ada tempat khusus untuk jamaah wanita. Selain masjid, sudah berdiri pula beberapa langgar, tempat sholat yang ukurannya lebih kecil dari masjid. Wanita Islam lebih sering masuk ke sebuah langgar daripada masuk ke masjid. Pada umumnya masjid dikunjungi oleh jamaah pria yang sholat lima waktu, sholat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha. Sedangkan wanita sholat dan mengaji di langgar dengan jamaah wanita lainnya, apabila di sebuah langgar ada jamaah pria, maka wanita dilarang bercampur dengan pria dalam satu langgar tersebut, dengan alasan dikhawatirkan pria dan wanita tersebut saling memandang dan menimbulkan dosa besar.60 Kekhawatiran ini membuat mufti Batavia menyarankan wanita untuk shalat di rumah masing-masing.61 Terlebih lagi wanita dilarang masuk masjid dan langgar dalam keadaan haid serta nifas, tidak diperbolehkan shalat, puasa, membaca, menyentuh dan membawa al-Qur’an, thawaf saat berhaji, dan berjimak. Selain itu masjid juga merupakan tempat yang biasa digunakan dalam setiap tanggal 27 Rajab, yang dikenal dengan Isra Mi’raj. Dalam perayaan ini masyarakat berduyun-duyun memasuki masjid untuk mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh ulama tentang Isra Mi’raj. Kegiatan tersebut biasa terjadi di masjid Pekojan, dipimpin oleh ulama-ulama keturunan Arab. Selain di masjid, terdapat pula kelompok-

60 Sayyid Utsman, bin Abdullah bin Aqil bin Yahya bin Al-Alawi, Jam’al-Fawaid mimma Yataallaqu bi salat al-Jum’ah wal Masajid (Batavia: cetakan baru, 1926) hlm. 82. 61 Sayyid Utsman, bin Abdullah bin Aqil bin Yahya bin Al-Alawi, Perhiasan Bagus bagi Anak-anak Perempuan (Batavia: cetakan baru, 1927) hlm. 12. 34

kelompok kecil yang berkumpul di rumah-rumah, dan langgar untuk memperingati peringatan Mi’raj yang besar-besaran. Peringatan Mi’raj ini dijadikan sebagai hari yang luar biasa, satu hari sebelumnya sebagian besar masyarakat Islam Batavia menghentikan aktifitas sehari-harinya, para pedagang menutup toko-toko dan tempat-tempat bisnis lainnya. Mereka menyibukkan diri mengundang teman-temannya, untuk berzikir bersama dan membaca saduran cerita Mi’raj, kitab al- Zahr al-Basim. Dalam kitab tersebut, ada tata cara yang tertulis dalam permulaan kitab, di antaranya: para jamaah tidak diperbolehkan duduk di atas kursi, mereka diperkenankan duduk di lantai, jamaah tidak diperbolehkan merokok, dengan alasan malaikat membenci asap tembakau, mereka disarankan untuk membakar kemenyan yang berbau harum seperti dupa.62 Membincang wanita Islam di Batavia, penulis akan membahas perilaku wanita dalam kehidupan keagamaan. Dalam perayaan Isra’Mi’raj wanita diperbolehkan untuk mendengarkan ceramah di masjid, namun tidak diperbolehkan masuk ke tempat pria, mereka harus terpisah. Hal demikian merupakan satu bukti adanya pemisahan antara jamaah wanita dan pria, yang mendapat pengaruh dari bangsa Arab. Dalam mempelajari agama, mereka lebih menyukai guru sesama wanita, sayangnya saat mengaji kebanyakan mereka tidak memakai penutup kepala yang biasa disebut kudungan. Berdasarkan data pengadilan agama Batavia, sekitar tahun 1900-an terdaftar beberapa wanita Arab dan pribumi yang mengadukan tuntutan perceraian terhadap suami mereka. Kepada penghulu setempat, mereka mengaku telah keluar dari agama Islam (murtad), alasan ini merupakan cara pintas mereka untuk mengakhiri pernikahan. Menghadapi kasus demikian, para penghulu Batavia tidak bisa menentukan keputusan terhadap tuntutan perceraian tersebut, karena mereka belum dapat menemukan jalan keluarnya. Ini membuktian bahwa pada masa itu para penghulu di Batavia belum memiliki imu pengetahuan yang cukup.

62 Sayyid Utsman, bin Abdullah bin Aqil bin Yahya bin Al-Alawi, al- Zahr al-Basim fi atwar Abi l-Qasim (Batavia: cetakan baru, 1924) hlm. 2-8. 35

Namun di balik kecintaan masyarakat terhadap agama, penulis akan menggambarkan bahwa masih ada masyarakat saat itu yang hidup dengan unsur-unsur non-Islam seperti mistik, kekuatan-kekuatan magis, dan pola-pola adat kebiasaan lama yang diserap. Yang pada akhirnya unsur-unsur tersebut memperlemah keagamaan masyarakat Batavia.63 Kehidupan masyarakat Islam Batavia sejak kecil dididik untuk menghormati tiga kalangan elit masyarakat, di antaranya 1. Tokoh keturunan cucu Rasul, yang dikenal dengan sebutan Sayyid atau habib. Mereka dihormati karena dianggap mulia dan kuat beribadah.64 2. Guru agama, dalam hal ini guru yang mengajarkan membaca Al-Qur’an (guru mengaji). Dalam kalangan ini, masyarakat masih terdapat tingkatan-tingkatan berdasarkan apa yang diajarkan guru tersebut. Semakin tinggi ilmu pengetahuan yang diberikan, maka semakin tinggi pula rasa hormat masyarakat terhadap guru tersebut. Sebagai contoh, guru yang mengajar dipandang lebih terhormat bila dibandingkan dengan guru yang hanya mengajar baca tulis Al-Qur’an.65 3. Tuan haji. Kalangan ini cukup dihormati oleh masyarakat Islam, karena harta yang dimilikinya, tidak sedikit kalangan ini mengamalkan hartanya untuk membangun masjid atau langgar untuk kebutuhan masyarakat Islam.

D. Kondisi Pendidikan Masyarakat Islam Batavia Sebelum mendeskripsikan kondisi masyarakat Islam Batavia, penulis akan membahas pendidikan yang pernah beroperasi pada masa Sayyid Utsman semasih hidup. Karena Sayyid Utsman hidup pada masa Pemerintah Hindia Belanda, penulis juga akan menyinggung lembaga-lembaga pendidikan yang pernah beroperasi.

63 Anwarudin Harapan, sejarah, sastra dan Budaya Betawi (Jakarta, APPM, 2006) hlm. 7 64 Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta, Logos, 2002) h. 38 65 Abdul Aziz, Peranan Islam…, hlm. 22 36

Pada zaman pemerintah Belanda menyediakan sekolah yang beraneka ragam bagi pribumi untuk memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Pendidikan bagi pribumi awalnya terbatas pada pendidikan rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara vertikal sehingga masyarakat pribumi yang sudah lulus dari pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi, sekalipun melalui jalan yang sulit. Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Nusantara dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Bangsa Belanda yang dimotori oleh VOC datang ke Indonesia bukan untuk menjajah melainkan untuk berdagang. Mereka dimotifasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, sekalipun harus mengarungi laut yang berbahaya sejauh ribuan kilometer dalam kapal layar kecil untuk mengambil rempah-rempah dari Indonesia. Namun para pedagang itu merasa perlu memiliki tempat yang permanen di daratan dari pada berdagang dari kapal yang berlabuh di laut. Kantor dagang itu mereka perkuat dengan senjata, yang kemudian menjadi benteng yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan teritorial. Setelah peperangan kolonial yang banyak akhirnya Indonesia jatuh di bawah pemerintahan Belanda. Namun penguasaan daerah jajahan ini baru selesai pada permulaan abad ke 20. Metode kolonialisasi VOC sangat sederhana. Mereka mempertahankan raja-raja lokal Indonesia yang berkuasa dan tetap menjalankan pemerintahan. Tetapi VOC memberlakukan monopoli hak berdagang dan eksploitasi sumber-sumber alam terhadap raja-raja beserta rakyatnya. Adat istiadat dan kebudayaan asli setempat dibiarkan tanpa perubahan aristokrasi tradisional digunakan oleh Belanda untuk memerintah negeri ini dengan cara efisien dan murah. Karena 37

VOC tidak mencampuri kehidupan orang Indonesia secara langsung, maka sangat sedikit VOC perbuat untuk pendidikan bangsa. Kecuali usaha menyebarkan agama Kristen di beberapa pulau di bagian timur, itu merupakan kegiatan pendidikan pertama yang dilakukan VOC. Pada permulaan abad ke 16 hampir seabad sebelum kedatangan Belanda, pedagang Portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu di hasilkan. Biasanya mereka didampingi oleh misionaris yang memasukkan penduduk kedalam agama katolik. Salah satu misionaris yang paling berhasil diantara mereka adalah Ordo Jesuit di bawah pimpinan Feranciscus Xaverius. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama. Seminari dibuka di Ternate, kemudian di solor dan pendidikan agama yang lebih tinggi dapat diperoleh di Goa, India, pusat kekuasaan portugis saat itu. Bahasa portugis hampir sama populernya dengan bahasa Melayu, kedudukan yang tak kunjung di capai oleh bahasa Belanda dalam waktu 350 tahun penjajahan kekuasaan Portugis melemah akibat peperangan dengan raja-raja Nusantara, dan akhirnya dilenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605. Setelah VOC dibubarkan, para Gubernur/ komisaris jendral harus memulai system pendidikan dari dasarnya, karena pendidikan zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Pemerintahan baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran aufklarung atau Enlightenment menaruh kepercayaan akan pendidikan sebagai alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan sosial. Pada tahun 1808 Deandels seorang Gubernur Belanda mendapat perintah Raja Lodewijk untuk meringankan nasib rakyat jelata dan orang-orang pribumi, serta menghentikan perdagangan budak. Usaha Deandels tersebut tidak berhasil, bahkan menambah penderitaan rakyat, karena ia mengadakan dan mewajibkan kerja paksa (rodi). Di bidang pendidikan Deandels memerintahkan kepada Bupati-bupati di Pulau Jawa agar mendirikan sekolah atasa usaha biaya sendiri untuk mendidik anak-anak mematuhi adat dan kebiasaan sendiri. Kemudian Deandels mendirikan sekolah Bidan di Batavia. Kemudian Pada masa Pemerintahan 38

Inggris (1811-1816) tidak membawa perubahan dalam masalah pendidikan walaupun Sir Stamford Raffles seorang ahli negara yang cemerlang. Ia lebih memperhatikan perkembanagan ilmu pengetahuan, sedangkan pengajaran rakyat dibiarkan sama sekali, karyanya terkenal dengan judul History of Java. Setelah ambruknya VOC tahun 1816 pemerintah Belanda menggantikan kedudukan VOC. Statuta Hindia Belanda tahun 1801 dengan terang-terangan menyatakan bahwa tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada perdagangan dan kepada kekayaan negeri Belanda. Pada tahun 1842 Markus, menteri jajahan, memberikan perintah agar Gubernur Jendral berusaha dengan segenap tenaga agar memperbesar keuntungan bagi negerinya. Walaupun setiap Gubernur Jenderal pada penobatannya berjanji dengan khidmat bahwa ia akan memajukan kesejahteraan Hindia Belanda dengan segenap tenaga. Prinsip yang masih dipertahankan pada tahun 1854 ialah bahwa Hindia Belanda sebagai “negeri yang direbut harus terus memberi keuntungan kepada negeri belanda sebagai tujuan pendidikan itu. Sekolah pertama bagi anak Belanda dibuka di Batavia pada tahun 1817. Prinsip yang dijadikan pegangan tercantum di Statuta 1818 bahwa sekolah-sekolah harus dibuka di setiap tempat bila diperlukan oleh penduduk Belanda dan diizinkan oleh keadaan. Gubernur Jendral Van der Capellen (1819-1823) menganjurkan pendidikan rakyat dan pada tahun 1820 kembali regen-regen diinstruksikan untuk menyediakan sekolah bagi penduduk untuk mengajar anak-anak membaca dan menulis serta mengenal budi pekerti yang baik. Anjuran Gubernur Jendral itu tidak berhasil untuk mengembangkan pendidikan oleh regen yang aktif. Tahun 1826 bidang pendidikan dan pengajaran terganggu oleh adanyan usaha-usaha penghematan. Sekolah- sekolah yang ada hanya diperuntukkan bagi pribumi yang memeluk agama Nasrani. Alasannya adalah karena adanya kesulitan keuangan yang berat yang dihadapi pemerintah Hindia Belanda sebagai akibat perang Diponegoro (1825- 39

1830) yang mahal dan menelan banyak korban serta peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839). Kesulitan keuangan ini menyebabkan raja Belanda meninggalkan prinsip-prinsip liberal dan menerima rencana yang dianjurkan Van den Bosch,66 untuk memanfaatkan pekerjaan budak menjadi dasar eksploitasi kolonial. Ia membawa ide penggunaan kerja paksa (rodi) sebagai cara yang ampuh untuk memperoleh cara usaha maksimal, yang kemudian terkenal dengan cultuur stelsel atau tanam paksa yang memaksa penduduk pribumi untuk menghasilkan tanaman yang diperlukan di pasaran Eropa. Van den Bosch mengerti, bahwa untuk memperbaiki stesel pembangunan ekonomi bagi pemerintah Hindia Belanda dibutuhkan tenaga-tenaga ahli yang banyak. Setelah tahun 1848 dikeluarkan peraturan-peraturan pemerintah akan tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan pribumi. Terbongkarnya penyalahgunaan system tanam paksa merupakan faktor dalam perbahan pandangan. Peraturan pemerintah tahun 1854 menginstruksikan Gubernur Jenderal untuk mendirikan sekolah dalam tiap kabupaten bagi pendidikan pribumi. Peraturan tahun 1863 mewajibkan Gubernur Jenderal untuk mengusahakan terciptanya situasi yang memungkinkan penduduk pribumi menikmati pendidikan secara merata. Sistem tanam paksa dihapuskan tahun 1870 dan digantikan dengan undang-undang Agraria 1870. Pada tahun itu di Nusantara timbul masa baru dengan adanya undang- undang Agraria dari De Waal, yang memberi kebebasan pada pengusaha-pengusaha pertanian partikelir. Usaha-usaha perekonomian semakin maju, masyarakat lebih banyak lagi membutuhkan pegawai. Sekolah-sekolah yang ada dianggap belum cukup memenuhi kebutuhan. Itulah sebabnya maka usaha mencetak calon-calon pegawai makin dipergiat lagi. Kini tugas departemen adalah memelihara sekolah-sekolah yang ada dengan lebih baik dan mempergiat usaha-usaha perluasan sekolah-sekolah baru. Pada tahun 1893 muncul

66 mantan Gubernur di Guyana, jajahan Belanda di Amerika selatan. 40

perbedaan dalam pengajaran penduduk pribumi, hal ini disebabkan:67 1. Hasil sekolah-sekolah pribumi kurang memuaskan pemerintah kolonial. Hal ini terutama sekali disebabkan karena isi rencana pelaksanaannya terlalu padat. 2. Di kalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka menyadari bahwa yang harus mendapat pengajaran itu bukan hanya lapisan atas saja. 3. Adanya kenyataan bahwa masyarakat pribumi sangat membutuhkan pendidikan baik lapisan atas maupun lapisan bawah.

Untuk mengatur dasar-dasar baru bagi pengajaran pribumi, dikeluarkanlah Indisch Staatsblad 1893 nomor 125 yang membagi sekolah bumi putra menjadi dua bagian: a. Sekolah-sekolah kelas I untuk anak-anak priyai dan kaum terkemuka. b. Sekolah-sekolah kelas II untuk rakyat jelata.

Perbedaan sekolah kelas I dan kelas II antara lain: Kelas I Tujuannya memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah, perdagangan dan perusahaan. Lama bersekolah 5 tahun. Mata pelajaran yang diberikan membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam, menggambar, dan ilmu ukur. Tenaga pendidik berasal dari lulusan Kweekschool. Bahasa pengantar yang digunakan Bahasa Daerah/Melayu Kelas II Tujuannya memenuhi kebutuhan pengajaran di kalangan rakyat umum. Lama bersekolah 3 tahun Mata pelajaran yang diberikan hanya membaca, menulis dan berhitung. Tenaga pendidik berasal dari kalangan yang sudah mampu membaca menulis dan berhitung, bukan dari lulusan sekolah tinggi. Sehingga untuk menjadi guru di kelas II, lebih

67 Prof. Dr. H. Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (Bandung: Prosfect, 2007), hlm. 36 41

mudah dan besar peluangnya. Bahasa pengantar yang digunakan Bahasa Daerah/Melayu Kemudian pada tahun 1914 sekolah kelas I diubah mejadi HIS (Hollands Inlandse School) dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sedangkan sekolah kelas II tetap menggunakan Bahasa Daerah/Melayu, namun namanya berubah menjadi sekolah Vervolg (sekolah sambungan) dan merupakan sekolah lanjutan dari sekolah desa yang mulai didirikan sejak tahun 1907. Sejak dilaksanakannya politik etika tampak sekali kemajuan dalam pendidikan dengan diperbanyaknya Sekolah Rendah, sekolah yang berorientasi Barat untuk orang Cina dan pribumi didirikan. Demikian juga pendidikan dikembangkan secara vertical dengan didirikannya MULO dan AMS yang terbuka bagi pribumi untuk melanjutkan ke tingkat universitas. Dalam rangka memperbaiki pengajaran rendah bagi kaum pribumi, maka pada tahun 1907 diambil dua tindakan penting yaitu: 1. Memberi corak dan sifat kebelandaan-belandaan pada sekolah kelas I, misalnya: a. Bahasa Belanda dijadikan mata pelajaran sejak kelas 3 b. Di kelas 6 bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar c. Lama belajar menjadi 7 tahun d. Tahun 1914 dijadikan KIS dan menjadi bagian pengajaran rendah barat e. Murid-muridnya berasal dari anak-anak bangsawan dan terkemuka 2. Mendirikan Sekolah Desa Maksud pemerintah untuk memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia tidak tercapai, karena sekolah-sekolah bumi putra kelas II merupakan lembaga yang mahal dan memerlukan anggaran yang besar. Maka atas perintah Gubernur Jendral Van Heutsz tahun 1907 didirikan sekolah- sekolah desa. Bangunannya didirikan oleh desa dan guru- gurunya juga diangkat oleh desa pula, jadi bukan pegawai negeri. Jadi susunan pengajaran bagi anak-anak Indonesia untuk sekolah rendah ada tiga, yaitu: a. Sekolah Desa, bagi anak-anak biasa 42

b. Sekolah kelas II, yang kemudian diubah menjadi Sekolah Vervolg c. Sekolah kelas I, yang sejak tahun 1914 dijadikan HIS bagi anak-anak bangsawan dan aristocrat

Sistem sekolah pada zaman pemerintahan Hindia Belanda Secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu. 1. Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs) Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar mempergunakan system pokok yaitu: a. Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. b. Sekolah Rendah Eropa, yaitu ELS (Europese Lagere school), yaitu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan Timur asing atau Bumi putra dari tokoh- tokoh terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun 1818. c. Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school), suatu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan tmur asing, khususnya keturunan Cina. Pertama didirikan pada tahun 1908 lama sekolah tujuh tahun. d. Sekolah Bumi Putra Belanda HIS (Hollands Inlandse school), yaitu sekolah rendah untuk golongan penduduk Indonesia asli. Pada umumnya disediakan untuk anak-anak golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri. Lamanya sekolah tujuh tahun dan pertama didirikan pada tahun 1914. e. Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah, di antaranya 1. Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini disediakan untuk golonagan bumi putra. Lamaya sekolah tujuh tahun, pertama didirikan tahun 1892. 2. Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan pribumi. Lamanya sekolah tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun 1907. 3. Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakn kelanjutan dari sekolah desa, juga diperuntukan 43

bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama kali didirikan pada tahun 1914. 4. Sekolah Peralihan (Schakelschool) Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa (tiga tahun) kesekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya lima tahun dan diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Disamping sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah khusus untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun 1922 dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1872, tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS. 2. Pendidikan lanjutan (Pendidikan Menengah) a. MULO (Meer Uit gebreid lager school) MULO adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang berbahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga sampai empat tahun. Yang pertama didirikan pada tahun 1914 dan diperuntukan bagi golongan pribumi dan Timur Asing. Sejak zaman Jepang hingga sampai sekarang bernama SMP. Sebenarnya sejak tahun 1903 telah didirikan kursus MULO untuk anak-anak Belanda, lamanya dua tahun. b. AMS (Algemene Middelbare School) Merupakan sekolah menengah umum kelanjutan dari MULO, berbahasa Belanda dan diperuntukan golongan pribumi dan Timur asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun 1915. AMS ini terdiri dari dua jurusan (afdeling), yaitu Jurusan A (yang memperlajari pengetahuan kebudayaan) dan Bagian B (yang memperlajari pengetahuan alam) pada zaman Jepang disebut sekolah menengah tinggi, dan sejak kemerdekaan disebut SMA. c. HBS (Hoobere Burger School) Disebut juga sekolah warga Negara tinggi, HBS adalah sekolah menengah kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan golongan pribumi yang 44

berasal dari tokoh-tokoh terkemuka. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda dan berorientasi ke Eropa Barat, khususnya Negara Belanda. Lama sekolahnya tiga tahun dan lima tahun. Didirikan pada tahun 1860 3. Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs ) Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah Belanda banyak mencurahkan perhatian pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah kejuruan yang ada adalah sebagai berikut: a. Sekolah pertukangan (Amachts leergang) Yaitu sekolah berbahasa daerah dan menerima sekolah lulusan pribumi kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan (vervolgschool). Sekolah ini didirikan bertujuan untuk mendidik tukang-tukang, didirikan pada tahun 1881 b. Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) Adalah sekolah pertukangan berbahasa pengantar Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun menerima lulusan HIS, HCS atau schakel. Bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor jurusanya antara lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan pembuat batu c. Sekolah teknik (Technish Onderwijs) Adalah kelanjutan dari Ambachtsschool, berbahasa Belanda, lamanya sekolah 3 tahun. Sekolah tersebut bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk menjadi pengawas, semacam tenaga teknik menengah dibawah insinyur. d. Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan Eropa yang berkembang dengan pesat. e. Pendidikan pertanian (Landbouw Onderwijs) Pada tahun 1903 didirikan sekolah pertanian yang menerima lulusan sekolah dasar yang berbahasa pengantar Belanda. Pada tahun 1911 mulai didirikan sekolah pertanian (cultuurschool) yang terdiri dari dua jurusan, pertanian dan kehutanan. Lama belajaranya sekitar 3-4 tahun, dan bertujuan untuk menghasilkan pengawas-pengawas pertanian dan kehutanan. Pada tahun 1911 didirikan pula sekolah pertanian menengah 45

atas (Middelbare Landbouwschool) yang menerima lulusan MULO atau HBS yang lamanya belajar 3 tahun. f. Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs). Pendidikan ini merupakan kejuruan yang termuda. Kemudian sekolah yang sejenis yang didirikan oleh swasta dinamakan Sekolah Rumah Tangga (Huishoudschool). Lama belajarnya tiga tahun. g. Pendidikan keguruan (Kweekschool). Lembaga keguruan ini adalah lembaga yang tertua dan sudah ada sejak permulaan abad ke-19. Pada abad ke-20 terdapat tiga macam pendidikan guru, yaitu: 1. Normalschool, sekolah guru dengan masa pendidikan empat tahun dan menerima lulusan sekolah dasar lima tahun, berbahasa pengantar bahasa dearah. 2. Kweekschool, sekolah guru empat tahun yang menerima lulusan berbahasa belanda. 3. Hollandschool, Indlandschool kweekschool, sekolah guru 6 tahun berbahasa pengantar Belada dan bertujuan menghasilkan guru HIS-HCS. 4. Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs) Karena terdesak oleh tenaga ahli, maka didirikanlah: a. Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School) Sekolah Tehnik Tinggi ini yang disingkat THS didirikan atas usaha yayasan pada tahun 1920 di Bandung. THS adalah sekolah Tinggi yang pertama di Indonesia, lama belajarnya lima tahun. Sekolah ini kemudian menjelma menjadi ITB. b. Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school) RHS didirikan pada tahun 1924 di Batavia. Lama belajarnya 5 tahun, yang tamat dari AMS dapat diterima di RHS. Tamatan ini dijadikan jaksa atau hakim pada pengadilan. c. Pendidiakn tinggi kedokteran. Lembaga ini di Indonesia di mulai dari sekolah dasar lima tahun. Bahasa pengantarnya bahasa 46

Melayu. Pada tahun 1902 sekolah dokter Jawa diubah menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Artsen) yang menerima lulusan ELS, dan berbahasa pengantar Belanda. Lama belajarnya 7 tahun. Kemudian syarat penerimaannya ditingkatkan menjadi lulusan MULO. Pada tahun 1913 disamping STOVIA di Batavia didirikan sekolah tinggi kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) Yang lama belajaranya 6 tahun dan menerima lulusan AMS dan HBS.

Hingga awal abad ke-20 sebagian besar masyarakat pribumi Batavia dapat dikatakan masih buta aksara Latin. Sementara kalangan priyayi yang bersekolah di lembaga pemerintah Belanda dapat menulis dan membaca, baik dalam bahasa Latin maupun bahasa Belanda. Namun bagi kalangan Santri dan Abangan di Batavia, beberapa dari mereka mampu membaca bahasa Arab, yang mereka pelajari di majelis-majelis taklim, ada juga yang enggan bepergian, lalu mereka memanggil guru untuk mengajar di rumah. Sistem pendidikan majelis taklim dan madrasah yang ada di tengah masyarakat Batavia hanya menyediakan barisan ulama dan pejuang tangguh yang siap berjuang dan bertempur di medan dakwah, namun hal tersebut tidak cukup banyak menyediakan para politisi dan diplomat. Masyarakat Batavia mengembangkan hukum Islam melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di sekolah- sekolah. Pendidikan agama berpusat pada pendidikan membaca huruf Arab, dengan tujuan mampu membaca al- Qur’an. Kemudian setelah mahir, mereka mempelajari Nahwu dan Saraf.68 Sistem pengajarannya masih tradisional, pelajaran disampaikan secara text book, terjemahan secara perkata,

68 Clifford, Geertz, Islam yang Saya Amati di Maroko dan Indonesia, terj. Hasan Basri (Jakarta: Yayasan Ilmu Ilmu Sosial, 1982) hlm. 8152. C. A. O. Van Nieuwenhuijze, Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia (The Hague and Bandung: W. Van Hoeve LTD, 1958) hlm. 42-43. Telusuri juga Deliar Noor, Gerakan ...... hlm. 52-53 47

berdasarkan ucapan dan hafalan guru. Dalam penyampaian sebuah ilmu, tidak ada penelitian secara mendalam untuk mengkritisi kebenaran dalam suatu ajaran. Apa yang disampaikan oleh guru, selalu dipatuhi murid-muridnya.69 Ilmu agama yang diajarkan di antaranya ilmu Tafsir, Hadits, Fiqh, dan Kalam.70 Setiap murid tidak diperkenankan mengkritisi dan menggali hukum untuk menyelesaikan permasalahan- permasalahan baru, mereka dilarang menafsirkan al-Qur’an terkecuali menyampaikan tafsir-tafsir yang terpakai, mereka hanya diperbolehkan mencari persoalan-persoalan dalam kitab fiqh yang bermazhab Syafii. Umat Islam pada masa itu meyakini bahwa ijtihad tidak dibenarkan, bagi mereka keterangan-keterangan tentang nabi dan sahabat telah termaktub dalam kitab-kitab tafsir, hadits, dan fiqh. Hal demikian melahirkan paham bahwa pintu ijtihad telah tertutup.71 Para murid dipersiapkan untuk menjadi guru atau ustadz agar dapat mengembangkan ilmu ke tempat tinggalnya, ada juga yang dipersiapkan untuk menjadi qhadi. Sekitar tahun 1906 pendidikan tradisional tersebut mengalami perubahan, adanya penambahan mata pelajaran umum di sekolah-sekolah Islam. Sistem pendidikan diubah dari sistem halaqah menjadi berkelas-kelas sesuai dengan kurikulum seimbang antara materi agama dan umum.72 Vlekke melaporkan bahwa sejak tahun 1900-an pemerintah Hindia Belanda mulai memperluas pengetahuan

69 Robert, Herndon Fife, The Revolt of Martin Luther (New York: Columbia University Press, 1957) hlm. 20. 70 Aboebakar, Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Sinar Pujangga, 1952) hlm. 284. Telusuri juga Chr. L. M. Penders, Indonesia Selected Documents on Colonialism and Nationalism 1830-1942 (Queensland: Queensland University Press, 1977) hlm. 252-253. 71 Harun, Nasution, Pembaruan Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) hlm. 78-81. Telusuri juga Snouck, Hurgronje, Mekka: in the Latter Part of the 19th century: Daily Life, Customs and Learning of the Moslems of the East-Indian-Archipelago, trans. J. H. Monahan. (Leiden: Brill, 1931) hlm. 268-284. 72 Ahmad Syafii, Maarif, Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985) hlm. 65 48

pribumi dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk mencerdaskan pribumi.73 Usaha ini merupakan salah satu tujuan politik etis74 yang disuguhkan kepada penduduk jajahannya dalam bidang pendidikan. Namun penulis menilai usaha pendirian sekolah itu bermodus menandingi atau menyaingi beberapa sekolah atau lembaga Islam, modus tersebut bertujuan untuk mengimbangi dakwah yang dilakukan oleh kalangan ulama, pemerintah menganggap semakin besar pengetahuan agama, maka seorang muslim akan memiliki sifat fanatik pada agamanya, dan berusaha mendirikan Negara Islam, yang membahayakan keberlanjutan kolonialisme Belanda. Sekolah-sekolah Islam pada masa itu dikategorikan sebagai sekolah liar. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan yang membatasi dan mematikan sekolah-sekolah tersebut. Pemerintah mengeluarkan peraturan kepada guru ngaji, mewajibkan dan menuntut badan hukum bagi pengurus-pengurus yang mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Saat itu pemerintah merasa berkepentingan untuk mengawasi madrasah, majelis taklim, serta lembaga-lembaga Islam lainnya. Peraturan tersebut dikenal dengan nama ordonansi guru ngaji yang dibuat pada tahun 1905, yang menyebutkan bahwa izin tertulis untuk mengajar harus diberlakukan kepada lembaga-lembaga Islam, daftar mata pelajaran dan peserta didik harus diketahui, serta metode pengawasan pemerintah juga harus dibuat.75 Ordonansi tersebut dimaksudkan untuk membatasi gerakan pendidik agama dan secara umum dimaksudkan untuk menghambat kemajuan Islam.76 Penulis menilai bahwa pemerintah kolonial bersikeras, melalui

73 Bernard, Hubertus Maria Vlekke, Nusantara ……… hlm. 386. 74 Pembayaran hutang budi atau ganti rugi atas eksploitasi yang telah dilakukan pemerintah Hindia Belanda. 75 Syamsul Kurniawan, Pendidikan di Mata Soekarno: Modernisasi Pendidikan Islam dalam Pemikiran Soekarno (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2009) hlm. 21. 76 H. A. R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2000) hlm.169-170. 49

berbagai kebijakannya menolak peranan Islam dalam kehidupan publik. Akibat kebijakan diskriminatif tersebut, pendidikan Islam menghadapi kesulitan-kesulitan dan bahkan terisolasi dari arus modernisasi. Lembaga-lembaga pendidikan di Hindia Belanda pada waktu itu termasuk dalam pengurusan Onderwijis en Eeredienst (sekarang menjadi Departemen Pendidikan Nasional) yang tiap kabupaten ditunjuk satu orang untuk bertanggung jawab. Pemerintah menyediakan Hollands Indische School (HIS), sekolah khusus para qadhi, penghulu atau hakim dididik di sana, setelah tamat mereka yang lulus dengan baik diangkat menjadi naib pada tiap onderdistrik (kecamatan). Nantinya tugas mereka hanya membuat pencatatan pernikahan, perceraian, dan perujukan. Pada tingkat desa, pemerintah menunjuk mudin, orang yang bertindak sebagai pengantara dari masyarakat Batavia yang akan melakukan pernikahan, perceraian, dan perujukan.77 Mudin bertanggung jawab mengurus, memandikan, mengafani, menshalati, dan menguburkan jenazah secara Islam, mudin juga bertugas sebagai imam shalat di masjid- masjid di tingkat pedesaan.

77 B. Ter Haar, Adat Law in Indonesia, ...... hlm. 78-80 84

BAB III

SEJARAH HIDUP SAYYID UTSMAN

DAN KARYA-KARYANYA

Pembahasan yang akan penulis sajikan dalam bab ini mengenai keberadaan Sayyid Utsman, sebagai ulama yang berdakwah melalui lisan kepada masyarakat Islam dengan berceramah di masjid, langgar, dan majelis taklim di Batavia. Kemudian Sayyid Ustman juga menyampaikan dakwah melalui tulisan-tulisan yang beliau tempelkan di dinding masjid dan diajarkan kepada masyarakat Islam Batavia. Di dalam tulisan tersebut kita dapat mengetahui pemikiran-pemikiran beliau dalam bidang keagamaan dan sosial budaya. Kemudian akan dikaji pula interaksi Sayyid Utsman dengan pemerintah Hindia Belanda, yang telah menjalin kerjasama dalam bidang keagamaan, kemudian diangkat sebagai mufti. Selain itu akan dibahas pula relasi Sayyid Utsman dengan Masyarakat Batavia dan kalangan ulama lainnya, baik pribumi maupun Arab. Banyak kalangan masyarakat yang sangat menghomati dan berkeinginan menuntut ilmu kepada Sayyid Utsman, namun tidak sedikit pula masyarakat dan kalangan ulama yang mengecam dan mencibir atas fatwa-fatwa beliau yang dianggap memihak pemerintahan kafir.

A. Biografi Sayyid Utsman Sayyid Utsman lahir dari keluarga yang mencintai ilmu dan agama, merupakan salah satu keturunan Nabi Muhammad saw85 dari pihak Fatimah Azzahra86 yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib. Mereka memiliki putra bernama Hussein87 yang anak cucunya tersebar ke beberapa kawasan, mulai dari jazirah Arab berkembang ke Asia Selatan, India, lalu tersebar pula ke Asia Tenggara, seperti Aceh, Surabaya, dan Batavia tepatnya di Pekojan. Pada awal abad ke-19 pernah hadir seorang ulama bernama Sayyid Abdullah, yang kemudian hari mempersunting Syeikah Aminah, putri dari seorang ulama Mesir Syaikh Abdurrahman bin Ahmad Al-Misri.88 Dari pernikahan tersebut lahir Sayyid Utsman, yang kemudian menjadi ulama terpenting di Batavia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

85 Muhammad bin Abdullah, lahir di Mekkah 20 April 570 dan wafat di Madinah, 8 Juni 632 M. di usia 62 tahun. 86 Fatimah putri Nabi Muhammad yang ke empat, lahir di Makkah pada hari Jum'at 20 Jumadi al-Tsani. Mendapat gelar Az-Zahra (wajah yg berseri-seri), wafat di usia 27 tahun, sekitar bulan Desember 632 M. 87 Hussein bin Ali, putra kedua Fatimah binti Muhammad saw. lahir 3 Sya’ban 4 H /8 Januari 626, dan terbunuh sebagai syahid pada pertempuran Karbala 10 Muharram 61 H / 10 Oktober 680. 88 Syaikh Abdurrahman disebut-sebut sebagai salah satu dari empat murid yang belajar di Mekah. Ketiga kawannya yang pulang bersamanya ke Nusantara adalah Syaikh Abdush Shamad Al-Falimbani, Syaikh Arsyad Banjar, dan Syaikh Abdul Wahhab Bugis.

85

Sayyid Abdullah memiliki kakek yang bernama Sayyid Umar, lahir di Hadramaut tepatnya di Desa Qarah Asy Syaikh. Sayyid Umar kemudian hijrah dan wafat di kota Madinah. Ayah Sayyid Abdullah yang bernama Sayyid Agil, merupakan seorang yang cukup terhormat di Mekah, berkedudukan sebagai pemimpin kaum Sayyid dan digelari Sayyid Syaikh As-Sadah yang disandangnya selama 50 tahun. Ketokohan Sayyid Agil membuat sejumlah individu keluarga Bin Yahya atau keturunannya, dinisbahkan nama belakang ”Bin Agil”. 89 Sayyid Utsman bernama lengkap Utsman bin Abdullah bin Agil bin Umar bin Yahya al-Alawi al-Husseini, lahir di Batavia tepatnya kampung Pekojan pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 H (2 Desember 1822 M). Sekitar tiga tahun setelah kelahiran Sayyid Utsman, Sayyid Abdullah bertolak ke Mekah.90 Perjalanan jauh tersebut menunjukkan tradisi atau kebiasaan bangsa Arab untuk berziarah ke berbagai tempat, berkelana ke berbagai negeri untuk menyiarkan agama Islam. Kemudian Sayyid Utsman dirawat dan tumbuh dalam asuhan kakeknya Syaikh Abdurrahman, yang mendidiknya dengan berbagai ilmu secara tidak formal. Ilmu-ilmu yang diberikan di antaranya dasar-dasar ilmu agama, membaca Al-Qur’an, , ilmu tauhid, fiqh, tasawuf, nahwu, sharaf, tafsir, hadits, dan ilmu falak. Selain berguru kepada kakeknya, Sayyid Utsman dikabarkan sempat berguru pula kepada Syeikh Salim bin Sumair.91 Berikut ini merupakan garis keturunan Sayyid Utsman:

89 Sayyid Utsman, “Aqd al-Jumaan fii Adaab Tilaawat al-Qur’an, (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, t.t), hlm. 116. 90 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hlm.135. 91 Nama lengkapanya Syaikh Salim bin Abdullah bin Sa’ad bin Abdullah bin Sumair Al- Hadhromi Asy-Syafi’i, dilahirkan di desa Dzi Ashbuh, desa dikawasan , Yaman. Pengarang kitab Safinah al-Najaah yang wafat di Batavia pada tahun 1271 H (1855 M).

86

Silsilah Nasab Sayyid Utsman (1822-1914 M)92

Khadijah (565-570 / 619-623 M) Muhammad Saw (570-632 M)

Ali bin Abi Thalib (599-661 M) Fatimah Azzahra (w.11 H / 606-632 M)

Hasan (Lahir 3 H / 625-669 M) Hussain (4-61 H / 626-680 M)

Ali, Abu Muhammad Zainal Abidin (658-713 M)

Muhammad Al-Baqir (676-743 M)

Ja’far Shadiq (702-765 M)

Muhammad Ad Dibaj Ali Al-Uraidhi (wafat 112 H)

Ali Muhammad al-Naqib (wafat 334 H)

Sultan Perlak I, Aceh Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah (840-864 M) Isa Ar-Rumi (214-298 H)

Ahmad Al-Muhajir (820-924 M)

Abdullah/Ubaidillah (wafat 383 H)

Alwi Al Awwal (820-924 M)

Muhammad Sahibus Saumiah

Alwi Atsani

Ali Khali Qasam (523-529 H)

Muhammad Shahib Mirbath (wafat + 1161 M)

Ali

Muhammad Faqih Muqaddam Yusuf Al Mukhrowi Alwi Alghoyyur

Abdul Wahhab Ali

Muhammad Mawla al-Dawilah Muhammad Akbar Al Ansari

Alwi Abdul Muhyi Al Khoyri

Ali Syekh Muhammad Al-Alsiy

Hasan Syekh Khaliqul Idrus

Yahya Muhammad Yunus Ahmad (wafat 986 H) Pangeran Sabrang Lor (w. 1521 M) Abdul Qadir / Pati Unus Agil

92 Sumber diambil dari kitab Az-Zahrul Bhasim fi Athwar Abil QasimAbdurrahman dan wawancara dengan Bapak Muhammad bin Salim bin Athos selaku pengelola Rabithah Alawiyah bagian nasab, Syaich pada tanggal 28 May 2014 pukul 11.15. Umar (Wafat 1212) Agil (Wafat 1242)

Abdullah (1209 -1286 H) Utsman ( 1248-1332 H / 1622-1914 M)

87

Saat Sayyid Utsman berusia 18 tahun, Syaikh Abdurrahman wafat pada tahun 1848. Di usia muda itu beliau memutuskan untuk bertolak ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah berhaji, beliau menuntut ilmu agama selama 7 tahun kepada mufti Mekah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan93 yang menganut mazhab Syafii.94 Pada tahun 1848 Sayyid Utsman meneruskan perjalanan ke Hadramaut untuk melepas rindu kepada ayahnya serta mempererat tali persaudaraan dengan keluarga besarnya (dari pihak ayah),95 lalu berkunjung ke beberapa makam para wali, dan memperdalam ilmu Tasawuf kepada Sayyid Abdullah bin Husein Bin Thahir.96 Kemudian Sayyid Utsman menuju Madinah berguru kepada Syekh Muhammad bin Al-‘Azab,97 Sayyid Umar bin Abdullah al-Jufri,98 Sayyid Alwi,99 dan Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahar100 selama beberapa bulan. Sayyid Utsman bertemu dan bergaul dengan para pelajar dan ulama Nusantara,101 yang saat itu Arab Saudi berada di bawah jajahan Kerajaan Inggris. Semangat yang besar dalam menjalin tali persaudaraan, membawa Sayyid Utsman ke distrik Dimyath Mesir, untuk menemui sanak keluarga (dari pihak ibu), dan bermukim selama delapan bulan untuk mengenyam berbagai disiplin

93 Sayyid Zaini lahir pada 1817 dan wafat pada 1886 M, seorang ulama besar di Mekkah yang bergelar Bahrul Akmal (lautan kesempurnaan) karena keluasan ilmu yang dimilikinya sebagai Pembela paham Ahlus Sunnah wal jama’ah dari serangan Paham Wahabi. 94 Syafi’i adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i, lahir di Ashkelon, Gaza, Palestina, 150 H / 767 M, dan wafat di Fusthat, Mesir 204H / 819M. Dasar-dasar Mazhab Syafi'i adalah berpegang pada Al- Qur’an, Sunnah/hadits, Ijma, dan Qiyas. Lihat Abu Zahrah, Muhammad, Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman (Jakarta: Lentera, 2005). Christian Snouck Hurgronje, Orientalist (Leiden: Leiden University Library, 2007) hlm. 26. 95 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hlm. 135. 96 Sayyid Abdullah lahir di Tarim, Yaman Selatan pada tahun 1191 H. Menimba ilmu dari ulama-ulama besar di Hadhramaut dan ulama-ulama besar dari Makkah dan Madinah. Seorang ulama ahli tasawuf paling besar pada masanya. Wafat pada tahun 1272 H di usia 81 tahun. Karya- karya (kitab) yang cukup fenomenal, antara lain Diwan (kumpulan syair), al-Washiah an-Nafi’ah fi Kalimat Jami’ah, Dzikru al-Mu’minin bima Ba’atsa bihi Sayyidil Mursalin (berisi tentang ajakan untuk mengerjakan amal salih), Silmu at-Taufiq (tentang fiqih), Miftahul I’rab (tentang ilmu nahwu) dan Majmu’. 97 Nama lengkapnya Syekh Muhammad bin Muhammad bin Al-‘Azab Pengarang kitab Maulid Al 'Azab. 98 Sayyid Umar bin Abdullah al-Jufri, guru besar tasawuf. 99 Nama lengkapnya Sayyid Alwi bin Saggaf Al-Jufri, guru besar tasawuf. 100 Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahar lahir di kota Kholi’ Rasyid (Houthoh) tahun 1191 H. Seorang guru besar tasawuf, wafat di Dzi Isbah pada 23 Dzul Qa’dah 1273 H. 101 Sayyid Utsman. Ilmu Kemestian di Perihal Kematian (tk, tc, tt). Pernah juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Sunda oleh Ali Zainal Abidin, anak dari Sayyid Hasan bin Utsman Yahya dalam bahasa Sunda, Ilmu Kawajiban dina Perihal Kamautan.

88

ilmu dari beberapa ulama ternama di negeri itu. Dari sana beliau mendapat rekomendasi seorang guru besar, rekomendasi untuk mempersunting Syarifah102 Khadijah. Tak lama kemudian, beliau mengunjungi Tunis, dan menjadi tamu kehormatan seorang menteri Kerajaan Tunis. Di sana beliau berguru kepada Syekh Muhammad bin Abdul Jawad dan Syekh Ahmad bin Manshur, dan berguru dengan mufti Pasya selama lima bulan di distrik Qabis, kira-kira 5 mil perjalanan dari ibukota . Beliau rajin menjalin tali silaturahmi dengan komunitas ulama di sana, khususnya dengan Mufti Tunis. Dari Tunis beliau bertolak ke Aljazair dan singgah di kota Fes untuk menelisik ilmu-ilmu eksoterik baik zahir maupun batin. Lalu beliau beralih ke Maroko, untuk memperdalam ilmu syari’at dan hakikat. Saat itu negara-negara Afrika Utara yang Sayyid Utsman singgahi tersebut sedang berada di bawah jajahan Perancis. Perancis, dan negara-negara Eropa lainnya sedang dalam masa kuat dan memperlihatkan diri sebagai negara-negara penjajah. Sayyid Utsman menyaksikan berbagai macam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh umat Islam atas nama pan-Islamisme dan kelompok tarekat terutama Qadiriyah103 dan Sanusiyah104, yang memakai ideologi jihad dan istilah perang Sabil.105 Umat Islam seringkali berada di pihak yang kalah dengan berjatuhan korban jiwa baik anak-anak maupun dewasa. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa kekuatan umat Islam tidak akan mampu menandingi senjata yang diproduksi oleh negara-negara penjajah tersebut, dan perlawanan-perlawanan itu hanya akan membahayakan nyawa umat Islam. Kemudian Sayyid Utsman menyeberangi Turki dan menetap selama tiga bulan di Istambul, untuk bertemu dengan mufti, dan berguru pada Syaikh al- Islam selama tiga bulan, dan menyampaikan surat dari Pasya Madinah kepada salah satu menteri Sultan Turki. Kemudian Sayyid Utsman menuju Masjid al-

102 Syarifah adalah gelar kehormatan yang diberikan kepadaanak perempuan yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau, Hasan dan Husain putra Fatimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Pernikahan ini ditujukan untuk menjaga dan meneruskan nasab atau darah keturunan Rasul. 103 Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi, berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, "Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya." 104 Tarekat Sanusiyah yang dipelopori oleh Syekh Muhammad Sanusi al Mahdi, yang lahir pada 12 Rabiul Awal 1202 H / 22 Desember 1787 M di al-Wasitah, Mustaghanim, . Syekh Sanusi bermazhab Maliki, menekankan untuk senantiasa berjihad fi Sabilillah menentang penjajah, melakukan perang Sabil dan sebagainya. Tarekat ini terpengaruh dengan al-Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan Abu Hamid al-Ghazali. Syekh Sanusi wafat pada bulan Safar tahun 1276H/1859M di al-Jaghbub, Libya. 105 Sayyid Utsman, Buku Kecil Buat Mengetahuikan Arti Tarekat dengan Pendek Bicaranya, (Batavia, Percetakan Sayyid Utsman, 1889) hlm. 6.

89

Aqsa, Palestina untuk berguru kepada Syaikh Abdul Qadir Al Jaziri, dan melanjutkan perjalanan ke Suriah, Persia dan berakhir ke Hadramaut, beliau pamit kepada keluarga untuk kembali ke tanah kelahirannya.106 Perjalanan Sayyid Utsman dari negara ke negara lainnya menunjukkan ketidakpuasan akan ilmu yang telah didapat, beliau dahaga akan ilmu, dan perjalanan tersebut membuahkan pemahaman ilmu agama dan pengalaman serta pengetahuan atas keadaan di berbagai negara Islam di Timur Tengah yang sangat luas. Sehingga setelah pulang ke Batavia, Sayyid Utsman sudah terlebih dahulu mengerti informasi dan perkembangan yang terjadi di Asia, Afrika dan Eropa. Beberapa peneliti terdahulu menilai bahwa Sayyid Utsman memiliki gaya berbusana perlente. Hal itu dilatarbelakangi atas kepandaian beliau menggauli masyarakat dengan berbagai budaya dan suku bangsa di beberapa negara. Pada tahun 1862 M, setelah menetap beberapa bulan di Hadramaut beliau transit di Singapura dan kembali ke Batavia, saat itu usia beliau menginjak empat puluh tahun. Untuk mengetahui secara seksama, penulis menampilkan peta perjalanan Sayyid Utsman menuntut ilmu, sebagai berikut:

106 Abdullah bin Utsman, Suluh Zaman (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, t.t) hlm. 5- 7.

90

Peta Perjalanan Sayyid Utsman Menuntut Ilmu (1822-1914)

Menetap di Kembali ke Hadramaut Batavia Beberapa bulan 1862 Syekh Abdul Qadir Al-Jaziri Palestina 1861

Syekhul Islam Istambul 1860 Selama 3 bulan

Beberapa ulama Fes, Maroko 1859

Syekh Muhammad Syekh Ahmad bin Mufti Pasya bin Abdul Jawad Manshur Tunis 1858 Tunis 1858 Tunis 1858

Beberapa Ulama di Mesir 1857

Syaikh. Muhammad Sayyid Umar b Al-‘Azab Abdullah Al-Jufri Madinah 1856 Madinah 1856

Syd. Abdullah Syd. Alwi b Syd. Hasan b Syd Muhsin Syd. Alwi b Syd. Ahmad Syd.Abdullah Husein b Taher Sagaf AlJufri Shaleh AlBahr b As-Saqaf Zein Habsyi Junaid Syihabuddin Hadramaut Hadramaut Hadramaut Hadramaut Hadramaut Hadramaut Hadramaut 1848-1856 1848-1856 1848-1856 1848-1856 1848-1856 1848-1856 1848-1856

Sayyid Abdullah Sayyid Zaini Dahlan Syaikh Ahmad Sayyid Muhammad (Ayah Sayyid Utsman) Mufti Mazhab Syafii Dimyathi bin Husein Al-Habsyi Mekah 1840-1848 Mekah 1840-1848 Mekah 1840-1848 Mekah 1840-1848

Syaikh Abdurrahman Al-Misri Kakek (dari Ibu) Batavia Sayyid Utsman Masa Belajar 1825-1840 (1822-1914 M) Syaikh Salim bin Sumair Batavia

91

Setiba di tanah air, beliau segera mengunjungi makam kakek dan ibunya di Petamburan, serta makam Sayyid Hasyim (kakak sulungnya) di Surabaya. Kemudian beliau beserta istri dan anak-anaknya pindah dan menetap ke Jati Petamburan, Tanah Abang. Selama lima puluh dua tahun Sayyid Utsman berdakwah, dikabarkan beliau sakit selama beberapa hari dan kemudian meninggal. Sebelumnya beliau menitip pesan kepada keluarganya agar tidak dibuatkan kubah di pemakaman, bahkan beliau menolak apabila diadakan haul untuk memperingati kematian beliau. Sayyid Utsman meninggalkan seorang istri dan 13 (tigabelas) anak, di antaranya: 6 (enam) orang anak laku-laki, yakni: 1. Alwi bin Utsman, memiliki 10 orang anak 2. Aqil, memiliki 6 orang anak 3. Yahya, memiliki 12 orang anak 4. Abdullah, memiliki 4 orang anak 5. Hasan, memiliki 13 orang anak 6. Hamid, memiliki 8 orang anak Sementara anak perempuan sebanyak 7 (tujuh) orang, yakni: 1. Fatimah, memiliki 1 orang anak 2. Roqiyah, memiliki 1 orang anak 3. Sayidah, memiliki 5 orang anak 4. Khodijah, memiliki 5 orang anak 5. Ummu Hany, memiliki 6 orang anak 6. Alwiyah, tidak memiliki anak 7. Nur, tidak memiliki anak.

Setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya pada masa Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, pemerintah daerah melakukan penataan tata ruang kota dengan mengadakan pembongkaran dan pemindahan pemakaman di Petamburan. Terjadi keanehan dalam penggalian makam Sayyid Utsman yang posisinya bersebelahan dengan Syekh Abdurrahman Al-Misri, setelah penggalian tanah sedalam lebih dari enam meter, para penggali makam tidak menemukan tubuh jenazah beserta kain kafan. Kemudian pihak keluarga memutuskan untuk memindahkan tanah yang sudah digali tersebut ke pemakaman yang beralamat ke Jalan Mesjid Abidin Pondok Bambu, Jakarta Timur.

B. Pemikiran Sayyid Utsman dan Karya-karyanya Ada beberapa sejarawan yang berbeda pendapat dalam pelaporan jumlah karya Sayyid Utsman. Di antaranya, Steenbrink mengungkapkan bahwa Sayyid Utsman menulis lebih dari 50 karya,107 sementara Ricklefs108 dan Henri

107 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hlm. 135.

92

Chambert Loir109 yang melaporkan bahwa ada lebih dari 100 karya Sayyid Utsman. Di balik perbedaan pendapat tersebut, penulis bersependapat dengan Prof. Dr. Dien Madjid M. A.110 yang mengatakan bahwa selama hidup Sayyid Utsman telah menulis sebanyak 144 karya, baik yang tipis berkisar 20 puluh halaman maupun yang tebal. Penulisan karya-karya tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi sosial keagamaan masyarakat Islam nusantara, yang kemudian beliau terapkan dengan mengeluarkan fatwa-fatwa di Batavia. Di dalamnya mengandung pemikiran-pemikiran Sayyid Utsman dalam menjawab permasalahan atau perdebatan yang terjadi di masyarakat. Metode penulisan Sayyid Utsman, di antaranya menulis dengan huruf Arab, ada juga yang menggunakan bahasa Arab, dan sebagian besar berbahasa Melayu, cara penyampaiannya mudah dipahami. Terdapat ciri khas pada cover setelah tulisan judul, beliau selalu menuliskan identitas penulis, seperti berikut ini: Karangan hamba yang dhaif (lemah) Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya bin Alawi Al Huseini Gofarallah li Walidayni Amin.

Sementara di bagian akhir, beliau menyebutkan tempat dan waktu penulisan, namun ada pula beberapa karya yang tidak dicantumkan keterangan tersebut. Seperti pada contoh di bawah ini: Telah diselesaikan kitab ini di Betawi pada akhir bulan Syawal 1310

Di bawah ini merupakan karya-karya Sayyid Utsman, yang telah penulis peta-petakan sesuai bidangnya. Pemetaan ini bertujuan untuk mempermudah pembahasan mengenai kontribusi Sayyid Utsman yang akan dibahas pada bab empat. Pemetaan karya-karya tersebut di antaranya: Karya-karya dalam bidang Keagamaan 1. Jawazu Ta'addudil Jum'atain, ditulis tahun 1286 H/1869 M. Kitab yang berisi pedoman pendirian shalat Jum’at. 2. Tahrir Aqwa ‘Adillah. Dikarang pada tahun 1872 M, yang ditulis sebagai pedoman untuk menetapkan arah kiblat. 3. Kitab Haji dan Umrah. Ditulis pada tahun 1873, sebagai pedoman tata cara menunaikan ibadah haji dan umrah untuk bekal para calon jamaah haji dan umrah. 4. Jam’ul Fawaid Mimma Yata allaqu bi Shodaqati Al-Jum’ati wa Al- Masajid. Ditulis di pada akhir bulan Syawal 1310 H, terdiri dari 83

108 Nama lengkapnya Prof. Merle Calvin Ricklefs, Ph.D. Sejarawan kontemporer Australia periode 1600-an hingga 1900-an. Lahir pada 1943, objek utama penelitiannya adalah mengenai sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan pengaruhnya pada kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Ia banyak mengungkap aspek pergulatan masyarakat Jawa dalam menghadapi perubahan budaya pada masa 1600 hingga kini akibat masuknya pengaruh kebudayaan Islam dan Barat. 109 Henri Chambert-Loir adalah peneliti sejarah asal Perancis, sejak 1971 ia telah menerjemahkan enam karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Prancis, di antaranya Perjalanan Penganten karya Ajip Rosidi dan Para Priyayi karya Umar Kayam. 110 Putra Aceh yang lahir pada , kini menjadi Guru Besar pada Fakultas Adab dan Humaniora di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

93

halaman. Kitab ini membahas keutamaan segala hal mengenai hari Jum’at, mulai dari membaca surat Al-Kahfi, hukum, syarat dan sah shalat Jum’at, rukun, dan syarat khutbah, serta syarat jamaah shalat Jum’at. Selain itu dibahas pula mengenai masjid, mulai dari pahala mendirikan, syarat mewaqafkan, dan menentukan kiblat. 5. Aslahul Halal bi Talibi Al-Halal. Terdiri dari 24 halaman, di dalamnya tidak ada keterangan tempat dan waktu kitab ini ditulis. Kandungan kitab ini mengenai keutamaan mencari kekayaan dengan pekerjaan seperti menjahit, menanam pohon, dan pekerjaan lainnya yang mendapat pahala. Sayyid Utsman menilai bahwa mencari kekayaan dengan cara meminta- meminta kepada manusia bukanlah pekerjaan yang terpuji, haram dan dosa hukumnya.111 6. Al Qawaninu Syar’iyah lil Mahkamah wal Iftaiyah. Ada juga yang menyebutnya Al-Qawanin asy-Syar'iyah li Ahli al-Majalis al-Hukmiyah wa al-Iftaiyah. Kitab ini dikarang pada tahun 1881 M/1317 H, yang dilatarbelakangi oleh kurangnya pengetahuan agama khususnya ilmu fiqh, di kalangan para penghulu saat itu. Kitab ini berisi lengkap menerangkan soal-soal pernikahan, perceraian (thalak) dan menyambung pernikahan kembali (rujuk) yang sangat berguna bagi Mahkamah-mahkamah Syar’iyah yang menganut madzhab Syafi’i di Batavia.112 Alasan ditulisnya kitab ini karena belum ada ulama-ulama Melayu terdahulu, yang mengkaji pembahasan dalam perkara-perkara tersebut, sehingga kitab ini laris terjual, dan harus dicetak ulang dengan mesin litografi ukuran kecil milik pribadi Sayid Utsman. 7. Tawdhihu Al-Adillati ‘ala Syuruthi Syuhudi al-Ahillali. Latar belakang ditulisnya kitab ini adalah karena pada tahun 1882 umat Islam di Batavia terbagi dua dalam menentukan awal puasa Ramadhan. Sebagian masyarakat mulai puasa Ramadhan pada hari Minggu dan sebagian lainnya mulai puasa pada hari Senin. Kitab ini membahas dan memberikan jalan keluar, mengenai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Islam Batavia mengenai hari pertama bulan Ramadhan, menentukan hari raya umat Islam. 8. An-Nasihah al-Aniqah li al-Mutalabbisin bi al-Thariqah (Nasihat yang Elok kepada Orang-Orang yang Masuk Tarekat), dikarang pada tahun 1886 M.113 Kitab ini, dilatarbelakangi dengan maraknya penganutan tarekat yang dilakukan oleh masyarakat Islam di luar Batavia, di antaranya Banten, Cilegon, Padang, dan beberapa daerah lainnya di Nusantara. Menurut Sayyid Utsman, masyarakat Islam Nusantara agaknya belum siap untuk menganut tarekat, hal ini dikarenakan seorang yang hendak

111 Sayyid Utsman. Aslahul Halal bi Talibi Al-Halal (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman) hlm. 20 112 Sayyid Utsman. Al-Qawanin asy-Syar'iyah (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman) hlm. 69-87. 113 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, An-Nasihah al-Aniqah li al- Mutalabbisin bi al-Thariqah (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1886) hlm. 11-12

94

bertarekat hendaknya menguasai tiga cabang ilmu Islam yakni ilmu tauhid, fiqh, dan ilmu sifat hati (tasawuf) secara murni. 9. An-Nasihatu Al-Mardhiyyatu fi Ar-Raddi ‘ala al-Wasiyat al- Manamiyah.114 Ditulisnya kitab ini dilatarbelakangi oleh peredaran surat wasiat yang diterima oleh masyarakat Islam yang berisi tentang seseorang yang mengaku bermimpi berjumpa dengan Rasul, dan mendapat saran untuk melakukan amal-amal perbuatan agar mendapat keberkahan bahkan menolak atau menghindari bencana (setelah membaca surat wasiat tersebut). Di dalamnya, terdapat berita-berita tentang datangnya hari kiamat. Dalam menghadapi permasalahan tersebut Sayyid Utsman menulis kitab ini untuk menyelamatkan masyarakat untuk tidak mempercayai berita-berita bohong dari surat wasiat tersebut. Kitab ini menegakkan syariat dan menghimbau kepada masyarakat untuk selalu meggunakan akal sehat dalam menerima surat wasiat tersebut. 10. Manhaj al-Istiqamah fi ad-Dini bi as-Salamah.115 Ketika menyelesaikan kitab ini pada 5 Zulkaedah 1307 H/1890 M, Sayyid Utsman sudah diangkat mejadi mufti Batavia, beliau berusaha menjembatani umat Islam dengan pemerintah. Kandungan kitab ini mengenai keberadaan masyarakat Islam yang berada di bawah penjajahan Belanda. Di dalamnya yang dapat penulis simpulkan adalah: a. Sayyid Utsman memandang bahwa keberadaan masyarakat Islam di bawah penjajahan kaum kafir merupakan keburukan yang tak terelakkan. Namun meskipun begitu, beliau menolak perlawanan masyarakat Islam terhadap penjajah, dan beliau tidak akan melakukan suatu keputusan yang berlawanan dengan syariah Islam, meskipun dibujuk rayu oleh pemerintah sekalipun. Di dalamnya berisi kritik terhadap pemberontakan petani Banten yang terjadi pada tahun 1888. b. Sayyid Utsman dalam kitabnya memeri saran kepada masyarakat Islam agar tetap menjalankan ibadah dan menghomati peratuan-peraturan pemerintah Hindia Beanda, selama tidak melanggar syariat Islam. Ini merupakan etika atau sikap masyarakat Islam yang diharapkan Sayyid Utsman dalam menghadapi penjajahan. Jika semua dilaksanakan maka masyarakat Islam akan hidup berdampingan saling menghomati dengan kaum kafir. Penulis menyimpulkan bahwa kitab Manhajul Istiqomah merupakan karya Sayyid Utsman yang bertujuan untuk menyatakan kebenaran agama Islam, menyampaikan kebajikan kepada saudara seagama Islam, dan menyelamatkan umat Islam baik dunia maupun akhirat.

114 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya. An-Nasihatu Al-Mardhiyyatu fi Ar- Raddi ‘ala al-Wasiyat al-Manamiyah (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1891), dan Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya. Al-I’lan bi al-nasihah al-Matlubah (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1903) 115 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Manhaj al-Istiqamah fi ad-Dini bi as-Salamah. (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman) hlm. 15.

95

11. Mazil al-Auham wa at-Taraddud fi Amri Shalah al-Jumu'ah Ta'addud, ditulis tahun 1312 H. 12. Taftih al-Maqallatain wa Tabyin al-Mufsidin al-Makhba-ataini fi ar- Risalah al-Ma'mati bi Shulhi al-Juma'ataini, ditulis tahun 1313 H. 13. Perhiasan Bagus. Sayyid Utsman menulis kitab ini dikhususkan untuk anak perempuan agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang salah. 14. Risalah Sifat Duapuluh,116 merupakan sebuah kitab Usuluddin yang mengandung ilmu Tauhid, berbahasa Melayu tulisan huruf Arab yang mudah dipahami oleh masyarakat Batavia. Pemikiran Sayyid Utsman dalam karya tersebut adalah, sebagai umat Islam yang baik, seharusnya sebelum melakukan ibadah, wajib mengenal siapa tuhan (Allah) Yang akan disembahnya beserta sifat-sifatNya. Dalam pengenalan tehadap Allah ini mengalami perbedaan di kalangan ulama, ada yang mengatakan pengenalan harus diajarkan secara rinci, dengan taklid yang disertai dalil, dan adapula yang menganggap bahwa pengenalan tidak boleh diajarkan secara rinci, dan lain sebagainya. Hal demikian melatarbelakangi Sayyid Utsman untuk menulis karya ini, dengan tidak mencantumkan referensi sumber buku-buku beserta para pengarangnya. Menurut beliau masyarakat Islam Batavia merupakan masyarakat awam, maka dalam mengajarkan pengenalan terhadap Allah tidak boleh secara rinci dan meskipun disertai dengan dalil secara global namun pengajarannya tidak boleh berlebihan, karena akan menimbulkan kebingungan, perselisihan dan perdebatan antar masyarakat, yang membawa masyarakat kepada perbuatan dosa. Untuk memperkuat pendapat tersebut Sayyid Utsman menyimpulkan, bahwa diantara dosa besar adalah membawa masyarakat Batavia yang awam dan tidak terbiasa dengan ilmu pemikiran tentang zat Allah dan sifat-Nya, serta persoalan-persoalan yang belum sampai kepada akal masyarakat Batavia. Ini adalah suatu kesesatan, karena nanti masyarakat Batavia akan menjadi ragu dengan ilmu tersebut dalam masalah pokok agama. Bahkan mungkin masyarakat akan menghayalkan Allah yang mustahil bagi-Nya. Masyarakat akan menjadi kafir dan melakukan bid’ah, dan akan senang dengan akal yang sedikit. Oleh karena itu pengajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, Sayyid Utsman membatasinya dengan hal- hal yang memang wajib diketahui, seperti mengenal sifat-sifat Allah dan RasulNya.117 Untuk memantapkan dan menguatkan iman dengan cara membaca Al-Qur’an, mempelajari tafsir serta maknanya, dan melakukan kewajiban-kewajiban beragama lainnya.118 Di antaranya memahami rukun

116 Sayyid Utsman. Risalah Sifat Duapuluh. (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman) hlm. 16. 117 Sayyid Utsman, Risalah Dua Ilmu, (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman) hlm. 17. 118 Sayyid Utsman, Saun al-Din ‘an Nazaghat al-Mudillin (Batavia: tanpa penerbit, 1312 H) hlm. 18.

96

dan wajib shalat, puasa, zakat, berhaji, dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum halal dan haram suatu perbuatan.119 15. Samth asy-Syuzur wa al-Jawahir fi Hilli Takhshish an-Nuzur li as-Sadah. 16. Kitab al-Faraidh. Kitab ini berisi tentang pernikahan dan warisan 17. Saguna Sakaya. Pembahasan kitab ini sama dengan Kitab Faraidh. 18. Hadits Keluarga. 19. Maslakul Akhyar (Kumpulan Do’a). 20. Iqazhuniyan fimaa yat ‘alqu bilahillah was Shiyam. Kitab ini dikarang pada tahun , yang dilatarbelakangi oleh kurangnya pengetahuan ulama dalam menentukan waktu sholat, bulan Ramadhan, dan waktu-waktu lain yang dijadikan waktu ibadah dalam kalangan para penghulu saat itu. Oleh karena itu Sayyid Utsman mengarang kitab ini khusus untuk menerangkan persoalan rnasuk bulan Ramadhan, Hilal dan puasa. 21. Al-Zharul Basim fi Athwar Abil Qasim. Kitab ini ditulis dengan bahasa Melayu dan dilatarbelakangi oleh kurangnya pengetahuan agama, tentang kisah suri tauladan Nabi Muhammad Saw. Dalam kitab ini, Sayyid Utsman menerangkan kisah Maulud dan Mi’raj Nabi Muharnmad Saw. Kitab ini selalu dibaca oleh mayarakat Batavia di setiap peringatan Mi’raj 27 Rajab.120 Di dalam terdapat peraturan-peraturan atau tata tertib yang ditulis Sayyid Utsman dalam permulaan kitab untuk menghormati Nabi Muhammad Saw. Masyarakat Batavia pun mentaati tata tertib tersebut, yang berbunyi: Dalam memperingati hari Mi’raj para jamaah tidak diperkenankan duduk di atas kursi, melainkan duduk di lantai, tidak diperboleh merokok, dengan alasan malaikat membenci asap tembakau, mereka diperkenankan membakar kemenyan yang berbau harum seperti dupa. Sedangkan bagi jamaah wanita diperbolehkan mendengarkan ceramah Mi’raj di tempat yang terpisah dari tempat pria, dan tidak diperbolehkan masuk ke tempat pria.121

22. I’anatut Mustarsyidin, Kitab ini dikarang pada tahun , yang dilatarbelakangi oleh kurangnya pengetahuan agama, khususnya ilmu fikih, di kalangan para penghulu saat itu. Berbahasa Arab, yaitu kitab untuk penolak fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah dan Muhamrnad Abduh. 23. Terjemah Rukun Islam atau Terjemah Hukum Islam. 24. Sa'adah al-Anam 25. Tamyiz al-Haq. Menurut pemikiran Sayyid Utsman di kitab tersebut, bahwa kolonialisasi di Indonesia merupakan hal yang buruk bagi masyarakat Islam, namun sepanjang kolonialisasi tersebut tidak menghalangi masyarakat Islam

119 Sayyid Utsman, Adab al-Insan (Batavia: al-Maktabah al-Thahiriyah, tanpa tahun) hlm. 12. 120 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, al-Zahr al-Basim fi atwar Abi l- Qasim. (Batavia: Cetakan Baru, 1924) hlm. 8. 121 Ibid hlm. 2-4.

97

untuk melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, tidak perlu melakukan perlawanan dengan mengatasnamakan jihad di jalan Allah. Hidup di bawah penjajahan ini memang menyedihkan, namun ini lebih baik daripada melakukan perlawanan 26. Perihal Hukum Azan. 27. Irsyad al-Anam. Merupakan kitab fiqh yang ditulis dalam bahasa Melayu huruf Arab yang mudah dipahami oleh masyarakat. Sayyid Utsman menyajikan pedoman pelaksanaan ibadah bagi masyarakat Islam secara sederhana dan praktis. Sayyid Utsman menulis kitab ini sebagai pedoman untuk mengatur tentang shalat, puasa, dan zakat. 28. Taftih al-'Uyun. 29. Miftah as-Sa'adah. 30. Tafsir Surah Kahfi. 31. As-Silsalah an-Nabawiyah. 32. Qamus Tiga Bahasa. 33. Qamus Kecil. 34. Hukum Gambar Mekah dan Madinah, Penerbitan peta buminya, yang memuat sebuah peta besar dari tanah airnya, Hadramaut. Maksud utama penerbitan itu ialah memperluas pengertian yang lebih baik tentang keanehan, adat istiadat dan pekerjaan penduduk Arab Selatan, yang telah mengirimkan kelebihan penduduknya ke negeri-negeri Islam lainnya sejak berabad-abad lampau. 35. Atlas Arabi. 36. Hikam ar-Rahman. 37. Hadits Empat Puluh. 38. Bab al-Minan. Kandungan kitabnya sebagai berikut: Segala puji bagi Tuhan seru sekalian alam, dan shalawat dan sejahtera atas nabi Muhammad SAW dan keluarganya dan sahabatnya. waba'du, kemudian daripada itu maka rukun Islam lima perkara : pertama mengucap dua kalimat syahadat, kedua sembahyang lima waktu, ketiga memberi zakat jka ada hartanya, ke empat puasa bulan Ramadhan, ke lima pergi haji jika mampu pergi. Adapun artinya Islam ialah menerima segala perintah Allah SWT dan menjauhkan segala larangan-Nya. Adapun yang dikata orang-orang Islam itulah yang mengucap dua kalimat syahadat, dan sembahyang puasa. Adapun artinya iman yaitu percaya, dan rukun - rukunnya enam perkara : pertama percaya pada Allah SWT bahwa Allah SWT Tuhan yang mejadikan sekalian alam, kedua percaya kepada malaikat bahwa mereka itu hamba Allah SWT yang mulia yang amat menuruti perintah Allah SWT, ketiga percaya kepada sekalian kitab yang turun dari langit kepada sekalian rasul, ke empat percaya pada sekalian rasul, kelima percaya pada hari kiamat daripada sirat dan timbangan amal, dan surga, dan neraka, dan syafaat nabi Muhammad SAW, ke enam percaya kepada taqdir tuhan Allah SWT atas tiap - tiap sesuatu yang jadi atau yang tidak jadi

98

39. Toudjouh Faidah. Dalam kitab ini Sayyid Utsman menyampaikan penting shalat berjamaah. 40. Khulasah al-Qaul al-Sadid fil Man ihdats Ta’addud al-Jum’at fi al-Masjid al-Jadid. Dalam kitab ini Sayyid Utsman memaparkan bahwa menurut mazhab Syafii, dalam satu jama’ah hanya boleh diadakan salat Jumat di satu tempat saja. Bilamana peraturan ini dilanggar, maka kedua salat Jum’at yang diadakan itu menjadi tidak sah. 41. Risalah Dua Ilmu,122 beliau membagi Ulama menjadi 2 macam yaitu Ulama Dunia dan Ulama Akhirat. Ulama dunia itu tidak Ikhlas, materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh, sedangkan Ulama akhirat adalah orang yang ikhlas, tawadhu, yang berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretensi apa-apa, lillahi ta’ala, hanya mencari Ridho Allah semata. 42. Soal Jawab Agama. 43. Khutbah Nikah. 44. Al-Qu’an Wa Al-Dua. 45. Ringkasan seni membaca Al-Qur’an. 46. Atlas Arabi. 47. Ringkasan Seni Menentukan Waktu Sah Untuk Shalat. 48. Ilmu kalam. 49. Hukum Perkawinan. 50. Ringkasan Undang-Undang Saudara Susu. 51. Buku Pelajaran Bahasa dan Ukuran Buku. Vvew2 52. Cempaka Mulia. Berisi perihal penyelenggaraan jenazah 53. Kitab Al-Manasik dan Ilmu Falak. 54. Dan masih banyak kitab lainnya.

Karya-karya dalam bidang Sosial Budaya: 1. Adabul Insan. 2. Khawariq Al-Adat. 3. Ringkasan Ilmu Adat Istiadat. 4. Al-Silisilah Al-Nabawiyah. 5. Membahas Al-Qur’an dan Kesalahan Dalam Berdo’a. 6. Ringkasan Unsur-unsur Do’a. 7. Ringkasan Tata Bahasa Arab. 8. Mukhtashar al-Qamus. 9. Salam al-Muslimin. 10. Thariqussalamah minal Khusran wan Nadamah, berbentuk sya’ir dalam bahasa Arab menolak Muhammad Abduh dan Jamaluddin al Afghani. 11. Ringkasan Hukum Pengunduran Diri Istri Secara Sah.

C. Interaksi Sayyid Utsman dengan Pemerintahan Hindia Belanda

122 Sayyid Utsman, Risalah Dua Ilmu, hlm. 17.

99

Setelah menuntut ilmu di berbagai Negara di timur Tengah Sayyid Utsman kembali ke Batavia dengan ilmunya yang mapan disertai pengalaman yang luas, namun beliau tetap menghidupkan diri dan keluarganya dengan berdagang. Di sela-sela berdagang, Sayyid Utsman mengisi waktu untuk ceramah di masjid Pekojan dan masjid Petamburan, mulai sekitar tahun 1862- 1883 beliau menebarkan sayap dakwah secara lisan. Kemudian Sayyid Utsman mendapat tawaran mengajar dari mufti Batavia Syaikh Abdul Ghani Bima,123 yang telah lanjut usia. Sayyid Utsman menerima tawaran tersebut, dan mengajar ilmu agama dengan mengkaji kitab-kitab salaf setelah shalat Jum’at hingga waktu asar di masjid Pekojan. Sementara di masjid Petamburan beliau mengadakan pengajian majelis taklim di hari Rabu. Melihat kondisi keagamaan masyarakat Islam Batavia, sekitar akhir tahun 1884 Sayyid Utman mulai menumpahkan pemikirannya ke dalam tulisan yang berisi tentang jawaban-jawaban dari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Tulisan-tulisan yang beliau tuangkan di antaranya mengenai etika Islam (akidah dan akhlak), doa-doa, nasihat-nasihat yang sumbernya diambil dari hadits-hadits, dan hukum Islam (fiqh). Tulisan-tulisan tangan tersebut beliau tempel di dinding masjid (seperti layaknya majalah dinding), yang sengaja dipampang untuk dibaca oleh masyarakat Islam Batavia. Bila beliau telah menyelesaikan tulisan lain, maka tulisan yang telah ditempel diganti dengan tulisan yang baru.124 Di masa-masa itulah Sayyid Utsman mulai menyampaikan dakwah melalui tulisan. Selain berdakwah melalui tulisan, Sayyid Utsman juga telah menyampaikan ilmu kesenian berupa gambar atau lukisan, di antaranya gambar Peta Hadramaut, Atlas Arabi, yang mengandung informasi letak-letak lokasi daerah tersebut, ini sangat bermanfaat bagi persiapan keberangkatan calon jamaah haji. Ketajaman hafalan beliau mengenai keturunan-keturunan Alawiyyin, dituangkannya dengan merangkai susunan gambar pohon. Sekitar tahun 1881 an Sayyid Utsman sudah mulai berinteraksi dengan van den Berg yang mengunjungi percetakan litografi, dan mencari keterangan mengenai umat Islam yang termaktub dalam kitab-kitab beliau. Kemudian Sayyid Utsman membantu Berg dengan memberikan data-data mengenai umat Islam pada umumnya, bantuan tersebut bisa dikatakan sebagai kerjasama yang tidak mengikat. Kerjasama ini menunjukkan bahwa Sayyid Utsman adalah seorang peranakan Arab yang memiliki sifat terbuka kepada siapa saja (baik penganut Islam maupun non Islam), sepanjang tidak bertentangan dengan syariat agama. Pada tahun 1889 Sayyid Utsman menjalin hubungan dengan Snouck Hurgronje setelah menerima tawaran dalam memberikan bantuan informasi tentang kehidupan umat Islam Nusantara, khususnya di Batavia untuk memenuhi penelitian Snouck. Hubungan ini lambat laun menjadi persahabatan, di mana Snouck merasa adanya sikap keterbukaan dari seorang peranakan Arab

123 Nama lengkapnya Syeikh Abdul Ghani Al-Bimawi Bin Subuh Bin Isma'il Bin Abdul Karim Al-Bagdadi, lahir di paruh terakhir abad ke-18 kira-kira tahun 1780 di Bima. 124 Azyumardi Azra, Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 2002) hlm. 143-144.

100

yang sudi bekerjasama dengan pihak pemerintah Hindia Belanda. Sekitar tiga tahun berikutnya pemerintah menilai sikap keterbukaan dan luasnya ilmu pengetahuan yang dimiliki Sayyid Utsman, mengangkat beliau sebagai Mufti Batavia pada tahun 1891. Karya tulis Sayyid Utsman semakin subur setelah memiliki percetakan mesin litografi. Setiap karya yang telah diselesaikan, beliau harus terlebih dahulu menyerahkannya kepada pemerintah Hindia Belanda. Kemudian setelah diperiksa oleh pemerintah, karya tersebut dizinkan untuk dicetak dan disebarluaskan kepada masyarakat Islam. Ada beberapa nasehat yang disampaikan oleh Sayyid Utsman kepada Snouck, di antaranya: 1. Mengadakan pengangkatan penghulu dan hakim agama yang memiliki ilmu pengetahuan Islam yang baik. Hal ini penting, mengingat kondisi peradilan agama yang menjadi penentu dalam membuat keputusan suatu perkara yang terjadi di masyarakat. 2. Memberikan sanksi kepada masyarakat yang menukar suku atau bangsa orang lain, yang tidak sesuai dengan budaya dan bangsanya. Sanksi ini diberikan kepada orang yang memakai pakaian yang tidak sesuai dengan budaya dan bangsanya. Misalnya, orang pribumi memakai pakaian orang Eropa, atau bangsa lain. 3. Menyarankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mewajibkan calon jamaah haji agar memiliki tiket pulang, demi terhindar dari hutang. Hal ini dilatarbelakangi dengan kasus-kasus yang menyulitkan jamaah haji, misalnya kehabisan uang untuk membeli tiket pulang ke tanah air. Menghadapi permasalahan tersebut, jamaah haji yang tidak memiliki tiket pulang sering hidup bergelantungan di tanah suci, untuk mengumpulkan ongkos pulang ke tanah air, mereka berjualan dan meminta-minta. Bahkan ada pula yang dijadikan buruh perkebunan di Singapura oleh pemilik maskapai, yang menganggap bahwa tenaga jamaah haji yang bekerja di perkebunannya, sebagai ganti rugi untuk memenuhi ongkos pulang ke tanah air. 4. Memberantas surat wasiat yang beredar di kalangan masyarakat, mengenai hal-hal yang di luar akal sehat. Surat wasiat tersebut dibawa oleh jamaah- jamaah haji yang menyebarkan ke masyarakat umum. Pemerintah Hindia Belanda pun dibuat ketar-ketir atas surat wasiat tersebut, dan memberi dukungan kepada Sayyid Utsman yang menentang surat wasiat tersebut.

D. Relasi Sayyid Utsman dengan Ulama dan Masyarakat Islam Batavia Dalam bab dua, telah penulis jelaskan bahwa kedudukan sosial imigran Arab beserta keturunan-keturunannya di Batavia mendapat tingkat yang lebih tinggi daripada kaum pribumi. Sekian banyak imigran asing yang tinggal di Batavia dengan berbagai tujuan, imigran Arab terutama kalangan ulama mendapat kedudukan istimewa di mata masyarakat Islam Batavia. Di mata masyarakat Islam mereka tidak dianggap sebagai kaum penjajah, melainkan

101

mereka dianggap sebagai sultan kaum pribumi125 yang menunjukkan arah kebenaran melalui ilmu pengetahuan agamanya. Begitu juga dengan keberadaan Sayyid Utsman, di mata masyarakat Islam Batavia dipandang sebagai ulama yang tinggi ilmunya. Banyak yang berkeinginan menuntut ilmu kepada beliau, namun tidak sedikit pula yang memandang beliau sebagai mata-mata Belanda sehingga keinginan menuntut ilmu tersebut sirna. Sepeninggal Abdurrahman Al-Misri, ketika Sayyid Utsman beranjak remaja sudah mulai aktif mengurus masjid Pekojan. Ketika itu datang seorang pemuda yang melaksanakan shalat di masjid Pekojan. Pemuda itu bernama Syekh Nawawi Al-Bantani126 yang menyatakan bahwa tempat sholat imam sebagai penunjuk arah kiblat masjid tersebut salah, dan harus segera dibetulkan. Mendengar hal tersebut Sayyid Utsman tidak terima, dan tetap mempertahankan pendapat bahwa posisi kiblat tersebut sudah benar dan tidak perlu dirubah. Sementara Nawawi berusaha memperkuat pendapatnya, atas izin dan karamah127 nur basyariyyah128 yang diberikan oleh Allah, Syekh Nawawi mampu menggambar Ka’bah dengan jarinya dan menunjukkannya kepada Sayyid Utsman. Mengetahui karamah tersebut Sayyid Utsman merasa takjub, dan akhirnya dengan penuh hormat Sayyid Utsman segera mengikuti nasehat Syekh Nawawi merubah tempat sholat imam masjid Pekojan dengan menggeser ke kanan.129 Hingga kini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat tempat sholat imam dipindah atau digeser, tidak sesuai dengan tempat sholat imam yang sebelumnya. Menurut penulis, dari kasus di atas menunjukkan bahwa seorang Sayyid merupakan manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Dan Sayyid Utsman seorang ulama yang menghargai dan menghormati pendapat orang lain yang berbeda dengan pendiriannya. Pendiriannya yang kuat mampu diredam atas dasar kebenaran cahaya Islam. Sayyid Utsman merupakan ulama yang selalu menjaga komunikasi dengan para ulama lainnya, baik dalam negeri maupun luar negeri. Komunikasi tersebut biasanya mengenai permasalahan keagamaan yang dihadapinya. Apabila menemukan suatu masalah dalam memutuskan sesuatu, Sayyid

125 Hamid, Algadri, C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) hlm. 31 126 Nama lengkapnya Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi, lebih dikenal dengan Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, lahir di Tanara, Serang pada 1813. Seorang ulama yang memiliki lebih dari 115 kitab yang meliputi bidang fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Meninggal di Mekah pada 1897. 127 Karamah adalah hal/perkara atau suatu kejadian yang luar biasa di luar nalar dan kemampuan manusia awam yang terjadi pada diri seorang wali Allah. 128 Sifat-sifat kemanusiaan yang baik seperti jiwa pemaaf, mau menolong, jujur, mengikuti aturan. Bila semua terpenuhi maka akan muncul perbuatan-perbuatan mulia. Dengan karamah tersebut Ka’bah akan terlihat di manapun Syekh Nawawi berada. 129 Nama asli Masjid Pekojan ini adalah Masjid Jami' Annawier yang dididirkan tahun 1760 M / 1180H, dibangun di atas lahan yang disumbangan oleh Syarifah Fatimah. Kemudian masjid ini diperluas oleh Sayyid Abdullah Bin Hussein Alaydrus. Masjid tua ini kini masuk dalam daftar bangunan bersejarah yang dilindungi dengan pengesahan berupa SK. Mendikbud R.I. No. 0128/M/1988.

102

Utsman tidak segan-segan meminta pendapat kepada beberapa mufti di negara- negara Timur Tengah. Komunikasi tersebut ditempuh dengan cara surat menyurat untuk pembenaran dan memperkuat karya yang mengandung pemikiran beliau, yang kemudian dijadikan sebagai fatwa-fatwa. Setelah fatwa- fatwa Sayyid Utsman diperkuat dan disetujui serta didukung oleh mufti-mufti yang mumpuni di Timur Tengah, maka beliau dengan percaya diri mengeluarkan fatwa-fatwa tersebut. Yusuf an-Nabhani mufti Beirut,130 Syekh Hussain al-Jisr di Syiria131 adalah ulama-ulama Timur Tengah yang dikabarkan pernah dimintai pendapatnya oleh Sayyid Utsman. Ketika menghadapi masyarakat Islam nusantara yang mulai terkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran Syekh Muhammad Abduh,132 dan Sayyid Rasyid Ridha133 yang dibawa oleh pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di Mesir dan beberapa Negara Timur Tengah lainnya, Sayyid Utsman menentang pemikiran-pemikiran kedua ulama pembaharu tersebut. Penentangan ini mendapat dukungan dari Yusuf an-Nabhani134 mufti Beirut. Dikabarkan bahwa keluasan ilmu dan pengalaman Sayyid Utsman membuat masyarakat Batavia sangat menyegani beliau. Saat itu kaum pribumi belum banyak yang berkecimpung sebagai ulama, di era tersebut ulama di Batavia bisa dihitung sekitar belasan orang, mereka berasal dari kalangan Arab (dalam hal ini para Sayyid atau Habib). Sementara kaum pribumi hanya berusaha menuntut ilmu dari ulama-ulama tersebut, dan berusaha menjaga silaturahmi dalam rangka menghormati ulama-ulama Arab di Batavia.

130 Nama lengkapnya Syekh Muhammad Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An Nabhani dilahirkan pada 1909 di daerah Ijzim. Ia adalah seorang qadi (hakim), penyair, sastrawan, dan seorang ulama terkemuka di daerah Turki Utsmani 131 Syaikh Hussain Al Jisr, ulama yang mendirikan Sekolah Islam Nasional (Al Madrasah Al Wataniyyah Al Islamiyyah) di Tripoli. Ia percaya bahwa kemajuan hanya akan mencapai bangsa Muslim saat percaya dikombinasikan pendidikan agama dengan ilmu-ilmu modern 132 Syekh Muhammad Abduh lahir di Manhallat Nash, sebuah dusun di dekat sungai Nil, propinsi Gharbiyyah Mesir pada tahun 1849 M. Ide yang di sebarkan yaitu mengobarkan semangat ummat Islam untuk bangkit melawan kekuasaan Barat. Arbiyah Lubis. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) hlm. 116. 133 Nama lengkapnya Muhammad Rasyid Ridha ibn Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn Baharuddin ibn Munla Ali Khalifah al-Baghdadi., yang dikenal dengan Sayyid Rasyid Ridha. Lahir pada tahun 1865 di al-Qalamun, desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Ia adalah seorang keturunan Nabi, sekaligus murid terdekat Syekh Muhammad Abduh, yang melanjutkan pemikiran-pemikiran gurunya dengan melahirkan karya- karya yang menentang pemerintahan absolut kerajaan Utsmani dan menentang politik Inggris dan Perancis. Wafat pada tahun 1935. Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al- Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1994) hlm. 280. 134 Syeikh Yusuf bertentangan dengan pemikiran Muhammad Abduh dalam metode tafsir. Muhammad Abduh menyerukan perlunya penakwilan nas atau ayat Alqur’an agar tafsir merujuk pada tuntutan situasi dan waktu. Ia juga bertentangan dengan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya yang sering menyerukan reformasi agama. Menurut dia, tuntutan reformasi itu meniru Protestan, dalam Islam tidak ada reformasi agama (seperti dalam pemahaman Protestan).

103

Sayyid Utsman sangat disegani oleh ulama-ulama di Batavia karena keluasan ilmu yang dimiliki setiap menjelang bulan Ramadhan beliau mengumpulkan para ulama-ulama baik ulama-ulama Batavia maupun diluar Batavia. Bertempat di Masjid keramat Luar batang di makam Waliyullah Habib Husein bin abu bakar al Idrus. Forum silahturahim para ulama yang di gagas oleh Sayyid tersebut hingga saat ini masih tetap di lestarikan, maka setiap akhir kamis di bulan Syaban para ulama dan masyarakat dari berbagai daerah datang berkunjung keluar Batang. Kunjungan tersebut dilaksanakan untuk bersilahturahim menyambut bulan Ramadhan dan mengambil Tabaruk dari Shohibul makam dengan suguhan hidangan khas nasi kebulinya. Karena biasanya para ulama selama bulan Ramadhan jarang keluar rumah, mereka fokus beribadah di rumah.

71

BAB IV

KONTRIBUSI SAYYID UTSMAN DALAM KEHIDUPAN KEAGAMAAN

MASYARAKAT ISLAM BATAVIA 1862-1914

Membincang kontribusi Sayyid Utsman, terlihat jelas dalam karya-karya beliau yang telah penulis jabarkan sesuai dengan bidangnya pada bab tiga dalam tesis ini. Sementara dalam bab empat ini, penulis akan membahas tentang kontribusi Sayyid Utsman dalam kehidupan masyarakat Islam Batavia, di mana penulis mempetakan kontribusi Sayyid Utsman ke dalam empat bidang. Kontribusi yang pertama adalah di bidang kegamaan, dalam kontribusinya Sayyid Utsman sangat keras dalam memberantas tradisi dan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan syariat Islam (bid’ah). Kemudian kontribusi yang kedua adalah di bidang sosial budaya, Sayyid Utsman telah memberikan peraturan atau tata tertib dalam berpakaian sesuai dengan suku, budaya, dan bangsa. Kemudian dalam bidang pendidikan, kontribusi Sayyid Utsman yang memulai penyampaian ilmu- ilmu agama melalui majelis-majelis taklim, yang hingga kini tumbuh subur dan menjamur. Yang terakhir adalah kontribusi dalam bidang dakwah, keluasan ilmu yang dimiliki Sayyid Utsman mendorong masyarakat Islam Batavia untuk berguru atau menuntut ilmu kepada beliau. Sifat terbuka Sayyid Utsman dalam memberikan ilmu kepada masyarakat Islam Batavia, telah melahirkan ulama- ulama yang hingga kini menyambung estafet dakwah.

A. Kontribusi Sayyid Utsman di Bidang Keagamaan Kontribusi Sayyid Utsman di bidang keagamaan dapat ditunjukkan dalam beberapa karya beliau yang membahas permasalahan keagamaan, di antaranya yang berkaitan dengan ketuhanan (tauhid). Di bidang keagamaan ini, Sayyid Utsman dengan gigih berani mengembangkan Islam di tanah Batavia yang berdasarkan syariat. Perjuangan Sayyid Utsman dalam bidang keagamaan tertumpu ke arah pemartabatan syariah dan pengembangan mazhab Syafii, serta penentangan terhadap khufarat dan hukum adat yang meyalahi syariat Islam. Di tengah-tengah masyarakat yang memiliki multi kultural, Sayyid Utsman memandang bahwa masyarakat Islam Batavia masih ada saja yang mempercayai cerita-cerita Hindu seperti Sri Rama dan jin Padjajaran. Oleh karena itu perlu adanya pemahaman untuk memurnikan akidah masyarakat Islam dari percampuran kepercayaan yang bukan Islam yang bisa mengakibatkan syirik. Menurut Sayyid Utsman, cerita-cerita di atas merupakan hikayat bohong yang berasal dari tradisi Hindu dan kepercayaan

72

animisme Jawa.135 Oleh karena itu sebagai ulama yang ingin menyelamatkan masyarakat Islam terhadap akidah yang tidak benar, Sayyid Utsman menulis beberapa kitab untuk disuguhkan kepada masyarakat Islam yang berisi tentang ajaran ketuhanan atau tauhid. Sayyid Utsman sangat memahami tingkat kemampuan masyarakat Islam Batavia dalam mencerna ilmu pengetahuan agama. Sebagai panduan praktis, Sayyid Utsman menulis Risalah Sifat Duapuluh, sebagai bacaan yang mudah dicerna untuk memahami tuhan yang disembah.136 Menurut Sayyid Utsman masyarakat Islam Batavia adalah kumpulan orang-orang yang awam, maka dalam mengajarkan pengenalan terhadap Allah sebaiknya tidak secara rinci dan meskipun disertai dengan dalil secara global namun pengajarannya sebaiknya tidak perlu berlebihan, karena akan menimbulkan kebingungan, perselisihan dan perdebatan, yang membawa masyarakat kepada perbuatan dosa. Untuk memperkuat pendapat tersebut Sayyid Utsman menyimpulkan, bahwa di antara dosa besar adalah membawa masyarakat Batavia yang awam dan tidak terbiasa dengan ilmu pemikiran tentang zat Allah dan sifat-Nya, serta persoalan-persoalan yang belum sampai kepada akal masyarakat Batavia. Di mana mereka terlahir di daerah koloni Hindia Belanda yang sebelumnya pernah dikuasai oleh kerajaan Hindu Padjajaran. Meskipun kerajaan Hindu Padjajaran telah ditaklukkan oleh kerajaan Islam Demak pada tahun 1527, namun tidak mampu merubah kebiasaan sosial dan budaya masyarakat Batavia dalam memaknai ibadah dalam kehidupan beragama Islam. Sebagian besar masyarakat Batavia yang telah memeluk agama Islam masih belum bisa melepaskan tradisi dan kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua mereka sebelumnya. Kebiasaan atau tradisi orang tua sebelumnya seperti menyuguhkan sesajen untuk roh kepercayaan nenek moyang mereka, menentukan hari baik untuk melakukan pembangunan rumah, melakukan perjalanan jauh, melaksanakan pernikahan, dan tradisi- tradisi lainnya. Dalam pelaksanaan acara pernikahan, masyarakat Islam masih belum melepaskan tradisi yang mengharuskan pengantin untuk menjalani ritual-ritual adat seperti disabet, ditendang, dilempari butiran beras, disawer dengan uang koin dan lain sebagainya. Tradisi ritual tersebut berlaku bagi pengantin yang melangkahi saudara kandungnya yang lebih tua. Sayyid Utsman sangat menentang masyarakat Islam yang masih mempercayai dukun yang mengaku mampu meramal nasib seseorang. Dukun melarang seorang calon ayah memotong-memotong binatang saat istrinya sedang mengandung janin (hamil). Dukun menganjurkan bagi keluarga yang sedang hamil untuk membuat rujak sebagai sesajen untuk roh nenek moyang. Selain itu ada juga masyarakat Islam yang terbiasa mengubah redaksi dua kalimat syahadat, dengan ucapan “Asyhadu Alla ila ha Illallah wa Asyahadu Anna Muhammad

135 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Manhajul Istiqomah fi ad-Dini bi as-Salamah. (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1890 M) hlm. 15

136 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Risalah Sifat Dua Puluh (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman) hlm. 16.

73

Sabilullah.“ Bacaan ini dianjurkan oleh dukun kepada calon ibu yang akan melahirkan. Setelah anak tersebut lahir ke dunia, dukun menganjurkan anak tersebut diletakkan di kolong bale. Dan masih banyak lagi tradisi-tradisi yang dilakukan masyarakat Islam Batavia yang dianjurkan oleh dukun.137 Menurut Sayyid Utsman, tradisi dan kebiasaan ritual yang dilakukan masyarakat Islam tersebut tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu dalam karyanya yang berjudul Manhajul Istiqomah, Sayyid Utsman menegaskan bahwa semua hari adalah baik, dalam pernikahan dianjurkan hari Jum’at di bulan Syawal. Mengenai pengantin yang melangkahi saudara tuanya, tidak perlu melakukan ritual yang berakibat mubazir dengan membuang bahan pokok makanan dan uang. Sebaiknya ritual tersebut dihilangkan dan diganti dengan doa. Begitu juga dengan seorang calon ayah, diperbolehkan memotong binatang dengan syarat membaca bismillah sebelum memotongnya. Sementara calon ibu yang sedang akan melahirkan dilarang mengubah redaksi dua kalimat syahadat. Menurut Sayyid Utsman perubahan redaksi tersebut merupakan bid’ah keji, ini perbuatan yang sangat durhaka, pelakunya bisa dikatakan kafir. Sayyid Utsman menyarankan agar calon ibu membaca doa Karbi.138 Dan mengenai anak yang baru lahir ke dunia tidak perlu diletakkan di bawah kolong-kolong balai, melainkan anak bayi tersebut wajib dibacakan adzan ke telinga kanan dan dibacakan iqamah ke telinga kiri bayi tersebut, dengan tujuan agar terhindar dari bisikan-bisikan dan gangguan syetan. Mengenai peribadatan, Sayyid Utsman memiliki kontribusi yang sangat mempengaruhi masyarakat Islam Batavia, yakni mengutamakan sholat berjamaah yang mana pahalanya jauh lebih besar daripada sholat seorang diri.139 Hal tersebut terlihat pada masjid atau mushola di Batavia yang selalu dibanjiri oleh masyarakat Islam. Begitu juga dengan karya yang berjudul Jam’ul Fawaid, yang membahas tentang sholat Jum’at dan keutamaan masjid mulai dari pahala mendirikan, syarat mewaqafkan, dan menentukan kiblat.140 Pada tahun 1882 masyarakat Islam di Batavia terbagi dua golongan dalam menentukan awal puasa Ramadhan. Sebagian masyarakat mulai puasa Ramadhan pada hari Minggu dan sebagian lainnya mulai puasa pada hari Senin. Mengetahui kondisi demikian, Sayyid Utsman menulis Tawdhihu Al- Adillati ‘ala Syuruthi Syuhudi al-Ahillali. Kitab ini membahas, dan memberikan jalan keluar, mengenai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Islam Batavia mengenai hari pertama bulan Ramadhan, menentukan hari raya umat Islam. Sayyid Utsman juga telah merancang

137 Tradisi-tradisi bid’ah yang dilakukan masyarakat Islam Batavia tersebut dapat ditelusuri dalam karya, Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Manhajul Istiqomah fi ad-Dini bi as-Salamah. (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1890 M) hlm. 29. 138 Doa Karbi adalah doa yang dianjurkan dibaca saat mengalami kesulitan. Doa ini terdapat dalam karya. Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Maslakul Akhyar (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman) hlm. 26. 139 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Toudjouh Faidah. (Semarang: Maktabah al-Munawar, tt), hlm. 8. 140 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Jam’ul Fawaid. (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman) hlm. 6.

74

almenak atau kalender untuk menentukan jadwal bulan Ramadhan, hari raya Idul fitri, Idul Adha, dan hari-hari Islam lainnya. Bagi calon jamaah haji yang akan berangkat ke Mekkah pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sangat mendapat kemudahan dalam tata cara tentang syarat-syarat sholat Qasar, sholat jamak, aturan menghadap kiblat, doa masuk tanah haram, doa melihat ka’bah, doa masuk masjidil haram, rukun haji, doa dan sunah thowaf, doa meminum air zamzam, doa sa’i, doa melewati lorong Mina, doa wukuf di Arofah, dan doa-doa lainnya yang berkaitan dengan haji dan umrah.141 Kemudahan tersebut didapat karena para calon jamaah sudah mampu membaca buku kecil yang berjudul Manasik Haji, dimasukkan di saku baju. Buku kecil tersebut merupakan karya Sayyid Utsman yang sengaja ditulis khusus untuk para calon jamaah yang pada masa itu belum ada pelatihan-pelatihan manasik haji yang resmi di bawah Pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu, Sayyid Utsman juga menggambar peta Hadramaut yang digunakan Pemerintah Hindia Belanda sebagai peta Arab yang disebarluaskan kepada calon jamaah haji yang dikhawatirkan tersesat di tanah Arab. Lebih dari itu, Sayyid Utsman juga telah berkontribusi sebagai ulama pertama yang mencetuskan peraturan bahwa para calon jamaah haji wajib memiliki karcis berangkat ke tanah Arab beserta kembali ke tanah air. Peraturan ini diberlakukan demi kebaikan dan kelancaran para calon jamaah haji agar tidak terlibat hutang dan mengalami kesulitan dalam keuangan untuk biaya hidup saat berhaji hingga kepulangan mereka ke tanah air. Analisa yang dimiliki Sayyid Utsman didapatnya dari fakta yang telah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, banyak terjadi jamaah haji yang tidak bisa kembali ke tanah air dikarenakan tidak memiliki karcis kepulangan. Sebagian mereka terpaksa berdagang di Negara Arab untuk mengumpulkan biaya pulang ke tanah air, sebagian jamaah haji yang lainnya terpaksa membuat perjanjian hutang kepada pihak agen atau perusahaan kapal laut Singapura yang bersedia membawa mereka kembali ke tanah air dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Salah satu syarat yang harus dilakukan jamaah haji tersebut adalah bekerja tanpa mendapat upah di perkebunan milik perusahaan tersebut selama beberapa tahun sampai hutang mereka lunas, hal ini sangat membebani jamaah haji. Mengetahui analisa Sayyid Utsman sebagai penasehat kantor agama pada masa itu, Pemerintah Hindia Belanda segera memberlakukan peraturan memiliki karcis berangkat dan karcis kembali, dan memberi sanksi bagi yang melanggarnya. Di abad 19 setelah peraturan tersebut diberlakukan, para ulama pribumi yang telah melaksanakan haji dan kembali ke tanah air, kebanyakan dari mereka membawa ajaran yang berusaha untuk melepaskan diri dari pemerintahan non-Islam dalam hal ini disebut dengan ajaran Pan Islamisme. Di mana ajaran tersebut semakin berkembang setelah kembalinya para pelajar pribumi yang menuntut ilmu di Mesir dan jazirah Arab lainnya, mereka

141 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Manasik Haji, (Jakarta: Medan Jaya) hlm. 1-48.

75

terinspirasi dengan Jamaluddin Alafgani dan Muhammad Abduh yang menyerukan perlawanan terhadap kaum colonial atas nama jihad di jalan Allah. Menghadapi kondisi demikian, Sayyid Utsman sebagai mufti Batavia mengeluarkan fatwa yang menolak pemikiran-pemikiran kedua tokoh. Penolakan tersebut bukan semata-mata posisi Sayyid Utsman sebagai mufti yang diangkat Pemerintah Hindia Belanda, melainkan ini kebaikan untuk keberlajutan kehidupan masyarakat Islam di bawah kolonialisasi yang sedang terjadi. Menurut pemikiran Sayyid Utsman kolonialisasi merupakan hal yang buruk bagi masyarakat Islam, namun sepanjang kolonialisasi tersebut tidak menghalangi masyarakat Islam untuk melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, tidak perlu melakukan perlawanan dengan mengatasnamakan jihad di jalan Allah. Hidup di bawah penjajahan ini memang menyedihkan, namun ini lebih baik daripada melakukan perlawanan karena keberadaan masyarakat Islam saat itu tidak memiliki kekuatan yang cukup dalam menghadapi kaum kolonial yang kekuatannya dilengkapi dengan berbagai macam senjata dan meriam. Menurut Sayyid Utsman perlawanan masyarakat Islam tersebut tidak dapat disebut sebagai jihad, apabila perlawanan terhadap kaum kolonial tersebut dibiarkan, tidak menutup kemungkinan masyarakat Islam akan banyak berjatuhan korban jiwa. Pada akhirnya tidak ada lagi masyarakat Islam di tanah Batavia, ini sangat merugikan masyarakat Islam. Kepulangan para jamaah haji ke tanah air tidak hanya membawa pemikiran-pemikiran yang telah diuraikan di atas, sekitar tahun 1884-1885 sebagian masyarakat yang telah menunaikan haji, dan telah kembali ke tanah air ada yang membawa lembaran surat wasiat. Secara tidak sadar surat tersebut diedarkan untuk mengecohkan pemikiran masyarakat Islam Batavia. Surat wasiat itu berisi tentang seseorang yang mengaku bermimpi berjumpa dengan Rasul, dan mendapat saran untuk melakukan amal-amal perbuatan tertentu, yang wajib dilaksanakan agar mendapat keberkahan dan tertolak atau terhindar dari suatu bencana. Di dalamnya, terdapat berita-berita tentang datangnya hari kiamat, dan peristiwa-peristiwa yang jauh dari alam fikiran masyarakat Islam Batavia. Dalam menghadapi edaran surat wasiat tersebut Sayyid Utsman menulis kitab An-Nasihatu Al-Mardhiyyatu fi Ar-Raddi ‘ala al-Wasiyat al-Manamiyah, dan Al-I’lan bi al-Nasihah al-Matlubah 142 untuk menyelamatkan masyarakat agar tidak mempercayai berita-berita bohong dari surat wasiat tersebut. Kitab ini menegakkan syariat dan menghimbau kepada masyarakat untuk selalu menggunakan akal sehat dalam menerima surat wasiat tersebut. Sebagai mufti, Sayyid Utsman sungguh telah menjadi jembatan antara Pemerintah Hindia Belanda dan masyarakat Islam. Beliau mampu memahami kebutuhan masyarakat Islam terhadap ilmu pengetahuan agama, di mana pada masa itu ulama nusantara kebanyakan menganut ajaran tarekat yang diikuti

142 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya. An-Nasihatu Al-Mardhiyyatu fi Ar- Raddi ‘ala al-Wasiyat al-Manamiyah (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1891), dan Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya. Al-I’lan bi al-nasihah al-Matlubah (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1903)

76

oleh masyarakat Islam lain di luar tanah Batavia. Mengetahui hal itu, Sayyid Utsman menulis kitab yang berjudul An-Nasihah al-Aniqah li al-Mutalabbisin bi al-Thariqah (Nasihat yang Elok kepada Orang-Orang yang Masuk Tarekat).143 Menurut Sayyid Utsman, masyarakat Islam Nusantara agaknya belum siap untuk menganut tarekat, hal ini dikarenakan seorang yang hendak bertarekat hendaknya menguasai tiga cabang ilmu Islam yakni ilmu tauhid, fiqh, dan ilmu sifat hati (tasawuf) secara murni. Sementara pengetahuan agama masyarakat Islam Batavia mengenai hal-hal terkecil saja masih belum dapat dipahami dengan baik dan benar. Apalagi jika masyarakat harus menelan mentah-mentah mengenai tiga cabang ilmu Islam tersebut. Sayyid Utsman tidak semata-mata menolak keberadaan tarekat itu sendiri, melainkan menolak tingkah laku yang dilakukan para ulama yang mengajarkan ibadah sesuai tarekat yang dianutnya. Kebanyakan dari tingkah laku atau praktek ibadah yang diajarakan mengandung unsur bid’ah dan menyalahi aturan syariat agama Islam. Berkat nasihat yang ditulis tersebut, Sayyid Utsman telah berkontribusi terhadap kehidupan masyarakat Islam Batavia yang tidak menganut ajaran tarekat. Masyarakat Islam Batavia sedikit demi sedikit mampu meninggalkan tradisi bid’ah, terutama setelah mendengarkan ceramah-ceramah yang mempelajari karya Manhajul Istiqomah. Karena tujuan Sayyid Utsman menulis Manhajul Istiqomah adalah menyatakan kebenaran dalam beragama, menyampaikan kebajikan kepada saudara seagama Islam, dan menyelamatkan umat Islam baik dunia maupun akhirat. Hal demikian terbukti hingga kini belum ada penemuan tentang keberadaan tarekat di Batavia. Sayyid Utsman juga memiliki kontribusi perihal mengenai kematian, di mana beliau telah menulis karya yang berjudul Ilmu Kemestian di Perihal Kematian, yang berisi tentang tata cara mengurus jenazah mulai dari memandikan, mengkafankan, menyolatkan, menguburkan, hingga melaksanakan wasiat yang telah diberikan oleh jenazah tersebut kepada keluarga yang ditinggalkannya. Hal ini sangat bermanfaat bagi amil-amil yang bertugas sebagai penyelenggara pengurusan jenazah yang telah ditunjuk oleh pemerintah setempat. Karena pada masa itu, belum dapat ditemukan pelatihan-pelatihan resmi yang dikhususkan para amil, sehingga para amil di Batavia masih sangat membutuhkan ilmu dan pengetahuan yang berkaitan dengan tugas mereka.144 Melalui karya Ilmu Kemestian di Perihal Kematian yang dicetak dan disebarkan kepada halayak umum, maka para amil dapat mempelajarinya sendiri. Sayyid Utsman menitikberatkan status bangsa dan berfikiran terbuka untuk bekerjasama dengan kaum non-Islam, dalam hal ini Pemerintah Hindia Belanda. Pelibatan diri dalam bekerjasama dengan pemerintahan Hindia Belanda ini merupakan strategi Sayyid Utsman sebagai cara untuk tetap

143 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya. An-Nasihah al-Aniqah li al- Mutalabbisin bi al-Thariqah (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1886) hlm. 11-12 144 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Ilmu Kemestian di Perihal Kematian (Surabaya: tt), hlm. 1-16.

77

menghidupkan dakwah yang disampaikan kepada masyarakat Islam Batavia yang masih membutuhkan ilmu-ilmu agama. Melalui kerjasama tersebut Sayyid Utsman telah memiliki izin khusus dari Pemerintah Hindia Belanda, di mana setiap tulisan atau karya beliau yang berisi tentang keagamaan dapat dicetak dan disebarluaskan untuk menjadi bacaan bagi masyarakat Islam Batavia saat itu. Padahal pada masa itu, tulisan atau karya seseorang baik pribumi, bangsa Timur maupun bangsa Eropa sekalipun, harus melewati pengawasan dari pihak Pemerintah Hindia Belanda. Apabila tulisan atau karya tersebut lulus uji dari pengawasan pemerintah Hindia Belanda, maka tulisan atau karya tersebut dapat dicetak. Dan Pemerintah Hindia Belanda tidak segan-segan memberi sanksi atau hukuman kepada setiap orang yang mencetak tulisan atau karya dan menyebarkannya tanpa izin khusus dari pemerintah. Dalam kondisi sulit tersebut Sayyid Utsman mampu memposisikan dirinya sebagai ulama yang mampu berdakwah dalam masa penjajahan sekalipun, meskipun ada cibiran-cibiran yang diarahkan kepada beliau, dikarenakan bekerjasama dengan kaum kafir. Meskipun begitu, Sayyid Utsman tetap melanjutkan tulisan atau karya yang menjadi rujukan bagi pihak-pihak yang bekerja dalam bidang keagamaan. Di antaranya tulisan Sayyid Utsman yang berjudul al-Qawanin al-Syar’iyyah li Ahli al-Majalis al-Hukmiyyah wa al- Iftaiyyah, di dalamnya terdapat istilah-istilah tentang perkawinan dan perceraian yang ditulis dalam bahasa Melayu. Karya tersebut sangat bermanfaat bagi pegawai-pegawai pengadilan agama saat itu, di mana saat itu karya sejenis tersebut masih sangat jarang ditemukan.

B. Kontribusi Sayyid Utsman di Bidang Sosial Budaya Kontribusi Sayyid Utsman di bidang sosial budaya, tidak lepas dari ajaran agama yang mempengaruhi tatanan etika dalam pergaulan masyarakat Batavia yang terdiri atas berbagai bangsa, suku, agama, dan ras. Semua itu merupakan hal penentu dalam struktur kehidupan sosial, penempatan pekerjaan, dan penempatan tempat tinggal. Sayyid Utsman ikut terlibat dalam peraturan yang mewajibkan seluruh masyarakat Batavia agar memakai pakaian sesuai dengan bangsa, suku, agama, dan rasnya masing-masing.145 Sebagai penasehat kantor agama, Sayyid Utsman menyampaikan peraturan ini kepada Pemerintah Hindia Belanda yang bertujuan untuk mempermudah pengenalan atau identitas kebangsaan suatu penduduk, dan Pemerintah akan memberi sanksi kepada masyarakat yang melanggar peraturan tersebut. Bagi masyarakat pribumi pakaiannya adalah baju kebaya dan stangen, sementara pakaian untuk masyarakat Arab adalah gamis, jubah, kopiah atau sorban, sedangkan pakaian masyarakat yang berkebangsaan Eropa adalah jas dan topi. Dan bagi seorang yang memakai pakaian yang tidak sesuai dengan budaya dan bangsanya merupakan seorang yang telah menukar identitas kebangsaannya sendiri.

145 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Ini Buku Kecil Buat Menyatakan Pertengahan Hukum Adat Negeri Yang Bersamaan pada Pertengahan Hukum Agama Islam atas Orang yang Menukarkan Pakaian Bangsanya dengan Memakai Pakaian Lain Bangsanya.(Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1904) hlm. 6

78

Peraturan yang digagas oleh Sayyid Utsman ini tidak semata-mata untuk membantu Pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi masyarakat jajahannya, melainkan peraturan ini diajukan dengan tujuan agar masyarakat Batavia menjaga perilaku, etika, norma adat dan ketertiban hidup sesuai dengan bangsa dan budayanya. Hingga kini peraturan tersebut menjadi kebanggaan bagi masyarakat yang berbangsa dan berbudaya, baik di Batavia maupun di daerah-daerah nusantara lainnya yang memiliki berbagai macam budaya. Menurut penulis memakai pakaian sesuai dengan bangsa dan budaya sendiri merupakan wujud dari cinta tanah air, cinta terhadap tanah air sendiri merupakan bagian dari iman. Mengenai kontribusi Sayyid Utsman dalam kehidupan sosial budaya, tidak terlepas dari hubungan antar masyarakat. Masyarakat Islam Batavia hidup bersosialisasi dengan bermacam-macam cara, melalui berdagang, Karya Sayyid Utsman yang berjudul Irsyadul Anam telah memberi pelajaran mengenai hal terkecil dalam kehidupan beragama yang baik, di antaranya mendahulukan kaki kiri ketika memasuki toilet dan mendahulukan kaki kanan ketika keluar dari toilet.146 Selain itu ada juga karya Sayyid Utsman yang ditulis khusus anak perempuan, kitab itu berjudul Perhiasan bagus untuk Anak Perempuan. Di dalamnya berisi tentang peraturan-peraturan khusus anak perempuan. Begitu juga dengan Kitab semacam Tanya Jawab permasalahan, ada karya Sayyid Utsman pada bab Sauwutun Sunduq yang tidak memperbolehkan merekam suara nyanyian ke dalam piringan hitam. Dalam karya Sayyid Utsman yang berjudul al-Zahr al-Basim fi Atwar Abi al-Qasim, kita berbahasa Melayu yang di dalamnya terdapat peraturan- peraturan memperingati hari Isra Mi’raj untuk memuliakan Nabi Muhammad. Di antaranya jamaah diperintahkan duduk di lantai, tidak diperkenankan duduk di atas kursi, jamaah tidak diperkenankan merokok, dengan alasan malaikat membenci asap tembakau. Pembagian ruang untuk mendengarkan ceramah Isra’ Mi’raj harus dipisah antara jamaah pria dan jamaah wanita.147 Pada awalnya masyarakat Batavia masih sangat jarang memeriahkan atau memperingati Isra’ Mi’raj, dikarenakan tingkat perekonomian masyarakat Islam Batavia saat itu masih rendah. Hanya masyarakat dari kalangan- kalangan tertentu yang mampu memperingatinya. Setiap memperingatinya masyarakat Islam Batavia selalu membaca karya Sayyid Utsman tersebut, yang mengundang antusias masyarakat untuk memuliakan Rasul. Tujuh tahun setelah wafatnya Sayyid Utsman Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan meliburkan lembaga pendidikan dalam memperingati hari raya Isra’ Mi’raj yang jatuh pada tanggal 27 Rajab.148

146 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Irsyadul Anam (Jakarta: Sayyid Ali al-Idrus, tt), hlm. 4 147 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, al-Zahr al-Basim fi Atwar Abi al- Qasim. (Batavia: Cetakan Baru, 1924), hlm. 8 148 Staatsblaad 1922 No. 810, Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 28 Desember 1922, No. 2.

79

C. Kontribusi Sayyid Utsman di Bidang Pendidikan Kehadiran Sayyid Utsman di tanah Batavia menumbuhkan majelis-majelis taklim di kehidupan masyarakat Islam Batavia yang harus akan ilmu-ilmu agama. Di mana cara penyampaian dalam pengajaran agama melalui ceramah- ceramah di majelis taklim sangat disukai oleh masyarakat Islam Batavia pada umumnya. Masyarakat Islam Batavia tidak perlu bermalam atau menginap berhari-hari atau bertahun-bertahun di majelis taklim, seperti para santri yang menuntut ilmu di pesantren di tanah Jawa. Karena jarak antara majelis taklim dan rumah-rumah masyarakat Islam Batavia biasanya tidak terlalu jauh. Masyarakat Islam Batavia hanya butuh waktu satu atau dua jam untuk mendengarkan ceramah kegamaan di majelis taklim, setelah itu mereka dapat kembali ke rumah masing-masing dan beraktivitas sesuai pekerjaannya. Mengenai pendidikan Islam di Batavia, kita patut berterima kasih kepada Sayyid Utsman yang telah memberi nasihat kepada Pemerintahan Hindia Belanda agar tidak ikut mencampuri urusan kehidupan beragama, termasuk tidak melarang masyarakat Islam untuk mengikuti pendidikan Islam yang dikembangkan di majelis-majelis taklim di Batavia. Padahal banyak ulama di daerah lain di luar Batavia yang menyebarkan pendidikan agama Islam selalu diawasi dan dicurigai oleh Pemerintah Hindia Belanda, hal ini mengakibatkan masyarakat Islam mengikuti pendidikan agama Islam secara sembunyi- sembunyi, begitu juga dengan ulama yang mengajarkannya terkadang ditangkap dan diasingkan ke dalam penjara yang jauh dari daerah asalnya. Kondisi demikian terjadi karena disebabkan ajaran yang diberikan ulama tersebut mengandung unsur-unsur politik, yakni adanya ajaran yang berusaha untuk mengadakan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Berbeda dengan metode pengajaran yang dilakukan Sayyid Utsman, pendidikan yang diberikan kepada masyarakat Islam Batavia sama sekali tidak menyentuh unsur-unsur politik. Pendidikan yang diberikan Sayyid Utsman murni ajaran agama yang disertai dengan etika atau norma adat yang harus dipatuhi dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Sehingga dengan ceramah terbuka Sayyid Utsman mampu menyebarluaskan pendidikan ilmu agama di majelis-majelis taklim Batavia, dan masyarakat Islam mampu menikmati pendidikan agama Islam secara terang-terangan. Hingga kini majelis-majelis taklim tumbuh subur dan menjamur di Batavia, ini sangat membantu masyarakat Islam Batavia yang awalnya buta huruf Arab kini mampu membaca dan menulis khususnya bahasa Arab Melayu. Masyarakat Islam juga patut berterima kasih kepadaSayyid Utsman yang telah mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk tidak mencampuri urusan perkara agama termasuk di bidang pendidikan, yang mana Batavia telah berdiri beberapa lembaga pendidikan Islam. Meskipun saat itu lembaga pendidikan Islam tersebut mendapat pengawasan ketat terhadap isi kurikulum materi yang diajarkan, namun hal itu hanya sebatas pengawasan saja tidak ada campur aduk Pemerintah Hindia Belanda. Bahkan pemerintah juga memberi gaji kepada guru-guru yang mengajar di lembaga pendidikan

80

Islam di Batavia, hingga kini lembaga pendidikan Islam tumbuh subur di Batavia. Selain itu kontribusi Sayyid Utsman juga terlihat dalam karya tulisnya yang membahas keutamaan mendirikan masjid, sehingga pemerintah Hindia Belanda sudi membantu pembangunan masjid atau merenovasi masjid yang ada di Batavia. Masjid di Batavia selain menjadi tempat sholat bagi masyarakat Islam juga dapat digunakan sebagai tempat menimba ilmu, di mana setiap setelah sholat Jum’at para ulama mensyiarkan ilmu pengetahuan agama kepada masyarakat yang masih sangat membutuhkan ilmu agama.

D. Kontribusi Sayyid Utsman di Bidang Dakwah Pada bab tiga sebelumnya, penulis telah menggambarkan jaringan dakwah Sayyid Utsman yang telah melahirkan ulama-ulama yang hingga kini beranak cucu dan menebarkan estafet dakwah di tanah Batavia. Sebagian catatan sejarah mengungkapkan bahwa tidak banyak ulama Batavia yang menuntut ilmu kepada Sayyid Utsman, hal demikian dilatarbelakangi oleh posisi Sayyid Utsman sebagai penasehat Pemerintahan Hindia Belanda. Bagi kalangan masyarakat Islam pribumi Batavia memiliki penilaian tersendiri dalam memandang seorang ulama yang bekerja sama dengan Pemerintahan Hindia Belanda. Walaupun ilmu seorang ulama luas dan posisinya hanya sebagai penghulu, masyarakat Islam Batavia tidak akan memandangnya secara hormat.149 Masyarakat Islam Batavia memandang sinis ulama yang bekerja sama dengan Pemerintahan Hindia Belanda, mereka menganggap bahwa ulama tersebut bermuka dua. Ini merupakan bukti kefanatikan masyarakat Islam Batavia pada masa itu, yang secara tidak sadar telah menikmati jirih payah Sayyid Utsman dalam mengembangkan dakwah melalui karya-karya tulis Sayyid Utsman. Menurut catatan yang penulis dapat, meskipun banyak yang memandang sinis terhadap Sayyid Utsman namun pada masa itu kebanyakan masyarakat sangat membutuhkan ilmu keagamaan, terutama menuntut ilmu agama kepada Sayyid Utsman yang luas ilmunya. Ada beberapa catatan terdahulu mengungkapkan bahwa beberapa ulama yang pernah menuntut ilmu kepada Sayyid Utsman secara langsung ada tiga orang, di antaranya Sayyid Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Sayyid Kwitang), Mutjaba bin Muhammad (seorang penghulu dari Jatinegara), H. Mughni dari Kuningan (). Meskipun murid yang diketahui hanya tiga ulama di atas, namun ilmu Sayyid Utsman telah mengalir deras secara tidak langsung kepada K. H. Muhammad Manshur (Guru Mansur dari jembatan Lima), K. H Abdul Madjid (Guru Madjid dari Pekojan), K. H. Ahmad Khalid (Guru Khalid dari Gondangdia), K. H. Mahmud Romli (Guru Mahmud dari Menteng Dalam), K. H. Ahmad Marzuki (dari Klender). Selain itu terdapat catatan juga bahwa K. H. Thohir (ulama yang mendirikan majelis taklim Atthahiriyyah) pernah berguru kepada Sayyid Utsman.

149 Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, hlm. 61

81

Penulis berkesempatan mengunjungi beberapa tokoh yang berkaitan keberlangsungan dakwah Sayyid Utsman. Di Jakarta hingga sekarang, masih ada beberapa majelis takim yang melanjutkan estafet dakwah Sayyid Utsman, salah satunya Ustad Nurhadi. 150 Ustad Nurhadi melanjutkan penyampaian dakwah di majelis taklim yang telah dibangun oleh leluhurnya H. Abdurrahman.151 Penulis berkesempatan mengunjungi Majelis taklim yang bernama Irsyadul Anam, nama tersebut diambil dari salah satu kitab Sayyid Utsman. Majelis tersebut berlokasi di daerah Tebet Jakarta Selatan, yang tidak jauh dari kediaman Ustad Nurhadi. Di samping majelis taklim Irsyadul Anam terdapat sebuah masjid, yang mengambil metode penyampaian suara adzannya berdasarkan nasihat atau pembelajaran Islam dari Sayyid Utsman.152 Ketika penulis berkunjung ke masjid tersebut, penulis menemukan beberapa perbedaan dengan masjid- masjid lainnya di Jakarta. Perbedaan pertama, muadzin dari masjid tersebut tidak menggunakan alat pengeras suara ketika mengumandangkan adzan Zhuhur. Perbedaan kedua, tempat sholat wanita dipisahkan oleh tembok, sehingga suara imam yang membaca takbiratul ihram atau bacaan sholat lainnya sama sekali tidak bisa terdengar dengan jelas. Hal tersebut merupakan metode-metode yang disampaikan dalam nasihat-nasihat Sayyid Utsman. Selain itu penulis juga berkesempatan melihat koleksi-koleksi kitab Sayyid Utsman yang dimiliki oleh Ustad Nurhadi. Penulis mendapat pencerahan atas permasalahan tentang pelarangan merekam suara wanita ke dalam piringan hitam. Permasalahan itu terjawab dalam kitab yang berjudul Jawab Soal Masalah di bab Sawtun Sunduq, karya Sayyid Utsman. Pelarangan merekam suara di piringan hitam ini dilatarbelakangi atas ketidaksesuaian dengan budaya masyarakat Islam. Karena suara wanita adalah aurat yang tidak boleh diumbar atau dipertunjukkan ke halayak ramai.

150 Ustad Nurhadi adalah generasi keempat dari H. Abdurrahman, seorang ulama di Jakarta. Untuk mengetahui lebih lengkap tentang nasabnya, penulis sajikan sebagai berikut: Ustad Nurhadi bin Abdurrahim bin H. Ma’ruf bin H. Abdurrahman bin Muhammad Jauhar. 151 H. Abdurrahman, wafat di Batavia pada tahun 1933. Merupakan seorang ulama dari kampung Petunduan, yang pernah menuntut ilmu kepada Sayyid Utsman secara langsung. Ilmu- ilmu yang didapatnya telah diturunkan kepada anak cucunya yang hingga kini dakwahnya masih berjalan. 152 Hasil wawancara dengan Ustad Nurhadi di Tebet Jakarta Selatan, pada 2014, pukul 11.15.

115

BAB V

PENUTUP

Bab penutup ini merupakan bab terakhir yang akan memberikan kesimpulan dari penulisan bab satu hingga bab empat dalam tesis ini. Di bab ini akan disimpulkan tentang kontribusi Sayyid Utsman dalam kehidupan Masyarakat Islam Batavia pada tahun 1862 hingga akhir hayatnya pada tahun 1914. Kontribusi tersebut telah penulis petakan berdasarkan beberapa bidang, yakni bidang kegamaan, bidang sosial budaya, bidang pendidikan dan bidang dakwah.

A. Kesimpulan Sayyid Utsman adalah sosok ulama dari keturunan Hadramaut yang lahir pada 17 Rabiul Awal 1238 H (1822 M), dan tumbuh besar di Batavia. Saat usia Sayyid Utsman 2 tahun, ayahnya Sayyid Abdullah kembali ke Hadramaut. Kemudian Sayyid Utsman berguru kepada kakeknya dari pihak ibu, Syaikh Abdurrahman al-Mishri. Setelah kakeknya meninggal, Sayyid Utsman menyusul ayahnya dan mengunjungi pihak keluarga ayahnya ke Hadramaut dan menjelajahi beberapa Negara Arab, Persia dan Negara lainnya. Di sana Sayyid Utsman menuntut ilmu kepada berbagai ulama- ulama, dan mengunjungi pemimpin-pemimpin Negara Islam. Sayyid Utsman memiliki hubungan yang baik dalam pergaulan dengan ulama-ulama luar negeri, hingga kepulangannya di nusantara beliau masih berkirim surat kepada ulama-ulama atau pemimpin negera yang pernah ia sambangi. Penyampaian Sayyid Utsman dalam mengedepankan nilai-nilai Islam, kemanusiaan, etika, sopan santun, yang semua itu disampaikan melalui media cetak sebagai wadah untuk menyampaikan pemikirannya, dan Sayyid Utsman juga aktif dalam menyiarkan cahaya Islam melalui cara lisan dengan berceramah di masjid-masjid dan beberapa majelis taklim di Batavia. Kontribusi Sayyid Utsman terhadap kehidupan masyarakat Batavia 1862 hingga 1914 di antaranya adalah:

a. Kontribusi Sayyid Utsman di bidang Keagamaan Sebagai ulama Sayyid Utsman telah memberikan pemahaman yang baik serta melindungi keyakinan masyarakat Islam Batavia dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan beragama. Setiap karya yang ditulis oleh Sayyid Utsman merupakan usaha untuk menyatakan kebenaran dalam beragama, menyampaikan kebajikan kepada saudara seagama Islam, dan menyelamatkan umat Islam baik dunia maupun akhirat. Sayyid Utsman juga telah berhasil membuat Pemerintah Hindia Belanda untuk tidak ikut mencampuri urusan tentang kehidupan beragama di negeri jajahannya, serta tidak melarang masyarakat Islam untuk menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya. 116

Kitab-kitab Sayyid Utsman bertujuan mengenalkan kesucian Allah. Sayyid Utsman tidak mentolerir sedikitpun pengajaran ilmu kalam yang melebihi dari pembahasan ulama-ulama salaf. Sayyid Utsman juga menganggap haram pengajaran akidah yang terlalu detail, apalagi jika dilakukan oleh jamaah yang tidak memiliki dasar pengetahuan agama yang memadai b. Kontribusi Sayyid Utsman di bidang Sosial Budaya Masyarakat Islam yang hidup di bawah Pemerintahan Hindia Belanda, di mana gerak gerik kehidupan seseorang selalu diawasi. Setiap orang dibedakan sesuai dengan kelas-kelas tertentu yang berdasarkan etnis, suku, bangsa, agama dan pekerjaan. Kontribusi yang telah diberikan Sayyid Utsman adalah memberi saran kepada pemerintah Hindia Belanda agar memberlakukan peraturan atau Undang-undang yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban masyarakat dalam kehidupan berbangsa. Di mana setiap masyarakat diharuskan berpakaian sesuai dengan bangsa dan budayanya masing-masing. Ini merupakan usaha untuk menjaga perilaku dan norma adat untuk menghormati budaya dan bangsa sendiri. Menurut penulis ini merupakan strategi Sayyid Utsman dalam menjunjung kecintaan terhadap tanah air bagi masyarakat yang berbangsa dan berbudaya. c. Kontribusi Sayyid Utsman di bidang Pendidikan Mengenai pendidikan Islam di Batavia, kita patut berterima kasih kepada Sayyid Utsman yang telah memberi nasihat kepada Pemerintahan Hindia Belanda agar tidak ikut mencampuri urusan kehidupan beragama, termasuk tidak melarang masyarakat Islam untuk mengikuti pendidikan Islam yang dikembangkan di majelis-majelis taklim di Batavia. Padahal banyak ulama di luar Batavia yang menyebarkan pendidikan agama Islam selalu diawasi dan dicurigai oleh Pemerintah Hindia Belanda, hal ini mengakibatkan masyarakat Islam mengikuti pendidikan agama Islam secara sembunyi-sembunyi, begitu juga dengan ulama yang mengajarkannya terkadang ditangkap dan diasingkan ke dalam penjara, bahkan ada juga yang diasingkan ke tempat yang jauh dari daerah asalnya. Kondisi demikian terjadi karena disebabkan ajaran yang diberikan ulama tersebut mengandung unsur-unsur politik, yakni adanya ajaran yang berusaha untuk mengadakan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Metode pengajaran yang dilakukan Sayyid Utsman diberikan kepada masyarakat Islam Batavia sama sekali tidak menyentuh unsur-unsur politik. Pendidikan yang diberikan Sayyid Utsman murni ajaran agama yang disertai dengan etika atau norma adat yang harus dipatuhi dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Sehingga dengan ceramah terbuka Sayyid Utsman mampu menyebarluaskan pendidikan ilmu agama di majelis-majelis taklim Batavia, dan masyarakat Islam mampu menikmati pendidikan agama Islam secara terang-terangan. 117

Hingga kini majelis-majelis taklim tumbuh subur dan menjamur di Batavia, ini sangat membantu masyarakat Islam Batavia yang awalnya buta huruf Arab kini mampu membaca dan menulis khususnya bahasa Arab Melayu.

d. Kontribusi Sayyid Utsman di bidang Dakwah Menurut catatan yang penulis dapat, meskipun banyak yang memandang sinis terhadap Sayyid Utsman namun pada masa itu kebanyakan masyarakat Islam Batavia sangat membutuhkan ilmu keagamaan, terutama menuntut ilmu agama kepada Sayyid Utsman yang luas ilmunya. Ada beberapa catatan terdahulu mengungkapkan bahwa beberapa ulama yang pernah menuntut ilmu kepada Sayyid Utsman secara langsung ada tiga orang, di antaranya Sayyid Ali bin Abdurrahman al- Habsyi (Sayyid Kwitang), Mutjaba bin Muhammad (seorang penghulu dari Jatinegara), H. Mughni dari Kuningan. Meskipun murid yang diketahui hanya tiga ulama di atas, namun ilmu Sayyid Utsman telah mengalir deras secara tidak langsung kepada K. H. Muhammad Manshur (Guru Mansur dari jembatan Lima), K. H Abdul Madjid (Guru Madjid dari Pekojan), K. H. Ahmad Khalid (Guru Khalid dari Gondangdia), K. H. Mahmud Romli (Guru Mahmud dari Menteng Dalam), K. H. Ahmad Marzuki (dari Klender). Selain itu terdapat catatan juga bahwa K. H. Thohir (ulama yang mendirikan majelis taklim Atthahiriyyah) pernah berguru kepada Sayyid Utsman. Penulis berkesempatan mengunjungi beberapa tokoh yang berkaitan keberangsungan dakwah Sayyid Utsman. Di Jakarta hingga sekarang, masih ada beberapa majelis taklim yang melanjutkan estafet dakwah Sayyid Utsman, salah satunya Ustad Nurhadi. Ustad Nurhadi merupakan cucu dari seorang ulama yang bernama H. Ma’ruf bin H. Abdurrahman. Ustad Nurhadi melanjutkan estafet dakwah dengan mempertahankan majelis yang bernama Irsyadul Anam, yang mana nama tersebut merupakan judul salah satu kitab Sayyid Utsman.

B. Saran Terdapat dua saran yang bisa penulis sampaikan, yaitu:Pertama, saran yang bisa diketengahkan adalah agar kajian kesejarahan ulama di Indonesia khususnya Jakarta hendaknya terus dikembangkan. Kumpulan memori masa lalu sejatinya merupakan cerminan agar munculnya para ulama di negeri ini memiliki sejarah yang panjang. Kedua, sebagai wujud aksiologis dari suatu pembahasan kesejarahan, kajian Sayyid Utsman ini dapat dijadikan referensi bagi pemerintah maupun umum untuk mengambil hikmah dari peristiwa masa lalu. Sejarah sejatinya memiliki dimensi sangat luas, mencakup masa lalu, masa kini, masa mendatang. Untuk itu kajian-kajian yang bertujuan sebagai penyelesaian masalah sudah selayaknya diberi ruang untuk member asupan gagasan bagi suatu kebijakan Negara atau setidaknya sikap untuk merespon suatu keadaan.