KRITIK TERHADAP TAREKAT

Kajian terhadap Pemikiran

Siti Suniah, S.S.I., MA.Hum

KRITIK TERHADAP TAREKAT:Kajian Terhadap Pemikiran Sayyid Usman bin Yahya

PerpustakaanNasional: KatalogDalamTerbitan (KDT)

ISBN :978-602-71900-2-3 16,5 x 23,5 cm xi, 149hlm cetakan Ke-1, Maret 2015 CintaBuku Media, Maret 2015 Penulis SitiSuniah, S.S.I., MA.Hum Editor Fair RohmatuSholeh, S.Pi Desain Cover Sri Asmita, MA.Hk Penerbit CintaBuku Media Jl. Musyawarah, KomplekPratama A1 No.8 Kp. Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan Hotline CBMedia 0858-1413-1928 Email: [email protected] © HakPengarangdanPenerbitdilindungioleh UU

ii

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas segala nikmat dan karunia yang Allah swt limpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dalam rangka memperoleh gelar magister dalam ilmu pengkajian Islam konsentrasi Pemikiran Islam pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga dicurahkan untuk baginda Nabi SAW, juga untuk keluarga, sahabat, dan umat yang setia menjalankan sunnah Rasul-Nya. Selama perjalanan menulis tesis ini, penulis telah didukung oleh berbagai pihak terutama yang telah membantu penulis baik dari segi materi maupun nonmateri. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta pembantu rektor dan staffnya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan program S1 dan S2 di kampus UIN Syarif Hidayatullah. 2. Prof. Dr. , MA., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Suwito, MA., selaku ketua Program Doktor, dan Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku ketua Program Magister, yang telah memberikan arahan, saran, dan motivasi kepada penulis, segala bentuk kritik dan perbaikan tentunya beliau hanya berharap agar tesis ini berguna dan bermanfaat untuk umat. 3. Prof. Dr. Yunasril Ali, MA., sebagai pembimbing yang begitu sabar memberikan arahan, koreksi dalam penulisan, meluruskan dan menyempurnakan pemikiran penulis hingga akhir tesis ini. Semoga segala amal kebaikan serta keikhlasannya dalam mendidik, Allah berikan nikmat kepada beliau yang tak terhingga. 4. Segenap Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf akademik, administrasi, perpustakaan yang telah memberikan fasilitas, pemikiran, serta senyum yang setiap hari menghiasi hari-hari kami di lingkungan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. 5. Perpustakaan Nasional Republik (PNRI), Perpustakaan Perancis, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dan perpustakaan ANRI yang bersedia mencopy seluruh data

iii

manuskrip yang berkaitan dengan riwayat hidup Sayyid Usman bin Yahya. 6. Muhammad Noupal, MA., yang telah memberikan penulis bigorafi Sayyid Usman bin Yahya, Sulu>h Zaman dan Qamar al-Zaman. Kala itu, penulis belum menemukan kedua kitab yang begitu penting bagi penulisan ini, hingga beliau memberikannya dengan cuma-cuma. Jazakallah. 7. Ayahanda, H. Dasuki dan Ibunda Hj. Sadiah yang telah mendidik serta membesarkan penulis dengan tulus ikhlas, mengarahkan, medo’akan, dan mendengarkan keluh kesah selepas kuliah. Semoga Allah selalu menyayangi, melindungi, dan mempermudah segala urusannya. 8. Ibu/Bapak Mertua, H. Musidi dan Ibu Zumaroh yang selalu antusias memberikan semangat untuk penulis menyelesaikan studi magister ini dan melanjutkan studi hingga jenjang berikutnya. 9. Suamiku tercinta, Fair Rohmatu Sholeh S.Pi., yang selalu setia membantu, mendorong, dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan studi ini. Suka dan duka, tangis dan tawa, mewarnai perjalanan hidup ini dengan penuh kebersamaan. 10. Kakanda Khoirunnisa S.Psi, Ibnu Ramdani Permana S.Psi, dan adinda Umi Inayah serta keponakanku yang menjadi penyejuk hati setelah melewati segala ujian di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Sofia Alta Salvina dan Aisyah Azra Malika. 11. Kawan-kawan tercinta seluruh Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama Sri Asmita, MA. Hk, Wasilatu Rohmaniyah, Ummul Fadhilah Sari, Susanti Hasibuan, Desi, Taqin yang selalu tertawa riang walaupun terkadang perjalanan ini terasa berat. Semoga ilmu yang telah kita terima, menjadi manfaat yang besar bagi banyak orang.

Akhirnya, penulis hanya bisa bermunajat kepada Allah SWT, agar seluruh pihak-pihak yang telah membantu seluruh proses studi ini diberikan pahala yang berlipat ganda serta nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Penulis memohon maaf atas segala tutur kata yang kurang berkenan, baik dari segi isi maupun pemikiran. Masih banyak kekurangan dan perbaikan, semoga para pembaca bersedia memberikan saran dan kritik agar menghasilkan karya yang lebih baik lagi bagi penulis.

iv

Jakarta, 17 Maret 2015 Penulis,

Siti Suniah, S.S.I., MA.Hum

v

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah ALA–LC ROMANIZATION tables yaitu sebagai berikut:

A. Konsonan Initia Romanization Initia Romanization l l }d ض Omit ا }t ط B ب }z ظ T ت ‘ ع Th ث Gh غ J ج F ف {h ح Q ق Kh خ K ك D د L ل Dh ذ M م R ر N ن Z ز H ة ,ه S س W و Sh ش Y ى {s ص

B. Vokal 1. Vokal Tunggal Tanda Nama Huruf Latin Nama Fath}ah A A َ Kasrah I I َ D{ammah U U َ

2. Vokal Rangkap Tanda Nama Gabungan Huruf Nama Fath}ah dan ya Ai A dan I َ ...ى Fath}ah dan wau Au A dan W َ …و Contoh : H{aul : حول H{usain :حسين

vii

C. Vokal Panjang Tanda Nama Gabungan Nama Huruf Fath}ah dan alif a> a dan garis di atas ىآ Kasrah dan ya i> i dan garis di atas ى ى D{ammah dan wau u> u dan garis diatas ى و

(ة) D. Ta>’ marbu>t}ah .di akhir kata bila dimatikan ditulis h (ة) Transliterasi ta’ marbut}ah Contoh : madrasah : مدرسة mar’ah : مرأة (Ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan sebagainya kecuali dikehendaki lafadz aslinya)

E. Shaddah Shaddah/tasydi>d di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu. Contoh: shawwa>l :ش ّوال rabbana :ربّنا

F. Kata Sandang Alif + La>m  Apabila diikuti dengan huruf qamariyah ditulis al. Contoh : al-Qalam : القلم  Apabila diikuti oleh huruf shamsiyah ditulis dengan menggandeng huruf shamsiyah yang mengikutinya serta menghilangkan huruf l- nya Contoh: An-Na>s : الناس Ash-Shams : الشمس

G. Pengecualian Transliterasi Adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan di asma>’ al-husna> dan ibn, kecuali ,هللا dalam bahasa Indonesia, seperti menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………..……………………. i KATA PENGANTAR……………………………………………. ….iii PEDOMAN TRANSLITERASI………………………………...... vii DAFTAR ISI………………………………………………….. ……..ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………...……..1 B. Permasalahan………………………………………………13 1. Identifikasi Masalah……….…………………………...13 2.Pembatasan Masalah…………………………….……..14 3.Perumusan Masalah………………………….…………14 C. Penelitian Terdahulu yang Relevan………………...…….14 D. Tujuan Penelitian…………………………………… …….17 E. Manfaat Penelitian………………...………………………17 F. Metodologi Penelitian…………………………...………...17 1. Jenis Penelitian……………………...………………...17 2. Sifat Penelitian………………………………………...19 3. Langkah-Langkah Penelitian………………………….20 4. Pendekatan Penelitian…………………………………20 G. Sistematika Penulisan..…………………………………..21

BAB II DINAMIKA TASAWUF NUSANTARA DAN POLEMIK TAREKAT PADA ABAD KE-19 A. Perkembangan Tasawuf menjadi Organisasi Tarekat… 23 B. Gambaran Perkembangan Tarekat di Haramayn dan Nusantara…………………………………………….…26 C. Transmisi Ajaran Tarekat dari Haramayn ke Nusantara……………………………………………… 29 D. Pergulatan Tarekat dan Syari’at di Nusantara…………37 E. Problematika Tarekat di Tengah Masyarakat………… 41

BAB III LATAR SOSIO-HISTORIS DAN KARIR INTELEKTUAL SAYYID USMAN BIN YAHYA A. Latar Sosial Islam di Batavia abad ke-19………………47 1. Masuknya Kelompok Hadrami di Batavia……………..51 2. Sistem Pendidikan Keagamaan………………………...55

ix

B. Biografi Sayyid Usman bin Yahya: Riwayat Hidup dan Karir Intelektual……………………………….60 C. Sayyid Usman bin Yahya sebagai Betawi dan Penasihat Kehormatan Kolonial Belanda………… 65 D. Karya-karya Sayyid Usman bin Yahya……………68

BAB IV KONDISI GERAKAN TAREKAT MASA PEMERINTAHAN KOLONIAL DAN PEMIKIRAN SAYYID USMAN BIN YAHYA TERHADAP TASAWUF A. Dinamika Gerakan Tarekat Masa Kolonial………..73 1. PerananTarekat Naqsabandiyah abad ke-19….77 2. Tarekat Sebagai Basis Antikolonialisme.…….82 B. Pandangan Sayyid Usman bin Yahya terhadap Tareka…….……………………………………...... 85 1. Syarat-syarat Memasuki Tarekat…………….89 2. Kritik terhadap Mursyid ……………………..95 3. Kategori Tarekat yang Muktabarah menurut Sayyid Usman………………………………...97 C. Analisis Pemikiran Sayyid Usman bin Yahya.……98

BAB V RESPON KRITIK SAYYID USMAN DAN PENGARUH KRITIKNYA TERHADAP KAJIAN KEISLAMAN DI BATAVIA

A. Keharmonisan Hubungan Sayyid Usman dengan Kolonial Belanda ………………………………...103 B. Kritik terhadap Tarekat oleh di Minangkabau……………………………………. 110 C. Polemik Kritik Sayyid Usman dan Respon Tokoh Tarekat Setelahnya……………….……………....115 D. Dampak kritik Sayyid Usman terhadap kajian Keislaman di Batavia……………………………..121

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………...129 B. Saran……………………………………………..130

x

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….131 GLOSARIUM……………………………………………………….141 INDEKS……………………………………………………………..143 LAMPIRAN…………………………………………………………147 BIODATA PENULIS……………………………………………….149

xi

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara historis, tasawuf berkembang sejak awal kelahiran Islam (sekitar abad pertama dan kedua Hijriyah atau abad VIII Masehi). Pada masa ini, beberapa orang mengutamakan kehidupan beribadah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih abadi di akhirat. Periode selanjutnya, sekitar abad IX sampai awal X M, tasawuf mulai memfokuskan diri pada tiga hal yaitu jiwa, akhlak, dan metafisika.1 Pada abad ini pula, gerakan-gerakan tarekat mulai berkembang. Annemarie Schimmel menyebutkan bahwa tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syari’at, sebab jalan utama disebut shar’i, sedangkan jalan kedua disebut t}a>riq. Menurutnya, terdapat tiga “jalan” yang terbagi menjadi via purgariva, via contemplative, dan via illuminative, dalam batas- batas tertentu mirip dengan syari’at, tarekat, dan hakikat.2 mengungkapkan bahwa tarekat laksana kita sekarang ini. Di satu tempat tertentu duduklah murid menghadapi gurunya. Guru itu diberi gelar Shaykh. Selain dari mempelajari syari’at-syari’at agama, yang dipentingkan di dalamnya ialah melalui perantaraan guru mempelajari wirid tertentu di dalam menuju jalan Tuhan (Suluk).3 Di antara tarekat-tarekat yang bermunculan di Nusantara ialah Qadiriyyah, Sammaniyah, Syattariyah, Naqsyabandiyah, dan lainnya.4 Ciri khas yang mencolok dalam perkembangan Islam di Melayu- Indonesia adalah nuansa mistik yang begitu kuat. Maka, tasawuf menjadi corak pemikiran yang dominan pada proses islamisasi di Indonesia. Pemikiran sufi terkemuka seperti Imam al-Ghazza>li>>> dan

1 Nur Huda, : Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2007), 243-244. 2 Annemarie Schimel, Mystical Dimension of Islam diterjemahkan Supardi Djoko Damono, Dimensi Mistik dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 101. 3 Hamka, Tasawwuf: Pemurnian dan Perkembangannya (Jakarta: Pustaka Panjimas), 150. 4 Lihat Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik (Jakarta: FA. H.m. Tawi dan Son Bag. Penerbitan, 1966), 291-370.

1

Ibnu ‘Arabi sangat berpengaruh terhadap pengarang-pengarang muslim generasi pertama di Indonesia.5 Di ranah Sumatera, ajaran Martabat Tujuh menjadi sebuah tren tasawuf pada abad XVII. Ajaran tersebut menekankan kepada aspek pengalaman rohani sebagai proses menuju wus{u>l kepada al-Haq. Hamah Fansuri menyebut bahwa zat Allah bersama Kunhi Zat al-Haqq atau asal muasal zat yang Maha Besar. Ahl al-Sulu>k menamai Kunhi zat al-Haqq dengan nama la > ta’ayyun. Penamaan ini disebabkan oleh ilmu ma’rifat para manusia, para wali ataupun para Nabi tidak akan pernah menembusnya atau sampai kepadanya. Walaupun kedudukan Zat Allah pada la> ta’ayuun (tidak nyata) atau Kunhi Zat tidak dapat ditembus oleh ilmu dan ma’rifat manusia, Dia cinta untuk dikenal. Karena itu, Dia menciptakan alam semesta dan seisinya dengan maksud agar diri-Nya dapat dikenal.6 Pemahaman tasawuf ini kemudian menimbulkan polemik keagamaan di masa itu, karena dinilai sebagai bentuk penyelewengan faham yang bermuara pada “bersatunya hamba dengan Tuhan”.7 Kecaman terhadap faham ini muncul dari mufti kerajaan Aceh masa itu, yaitu Shaykh Nur al-Di>n al-Raniri.8 Semenjak abad XV, literatur sufistik pun juga sudah beredar di Jawa. Literatur tersebut digemari karena berisi ajaran-ajaran sufistik yang banyak memiliki kemiripan atau afinitas dengan kepercayaan dan praktik yang berlaku pada zaman pra-Islam.9 Literatur ini lebih dominan terhadap sufistik-sinkretik. Catatan sejarah terekam dalam berbagai jenis kepustakaan Jawa yang mempertemukan tradisi Jawa dengan hal-hal ke-Islaman.10 Simuh menyatakan dalam kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan ajaran Islam dengan tradisi Jawa,

5 Nur Huda, Islam Nusantara, 280. 6 Pernyataan ini sesuai dengan Hadis Qudsi yang sangat dikenal dikalangan para sufi, yaitu Kuntu Kanzan Makhfiyan…..dst. Lihat Sangidu, Wakhdatul Wujud: Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamah Fansuri dan Shamsuddin al-Sumatrani dengan Nur al-Di>n ar-Raniri (Yogyakarta: Gama Media, t. th), 62. 7 Penulis tidak merujuk kepada istilah Wahdat al- Wuju>d, karena istilah ini tidak dimaksudkan sebagai pernyataan terhadap “bersatunya Tuhan dengan makhluk”, Lihat ‘Abd al-Ghani al-Nabalu>si, ‘Id{ah al-Maqs}u>d min Wahdat al-Wuju>d (Damaskus: Maktabat al-‘ilm, 1969). 8 Lihat Muhammad Sa’id, Aceh Sepanjang Abad (Medan: Waspada, 1981), 331-376. 9 Nur Huda, Islam Nusantara, 255 10 Lihat Poerbatjaraka dan tardjan Hardidjaja, Kepustakaan Jawa (Jakarta: Jambatan, 1952), 123.

2 disebut primbon, serat, suluk, dan wirid.11 Sebut saja beberapa kepustakaan Jawa yang masih bersifat kontroversial, seperti Serat Suluk Gatolotjo,12 Serat Suluk Darmogandul, Serat Wirid Hidayat Jati,13 dan serat Centhini yang masyhur pada zamannya. Wirid mengajarkan sebuah paham teologi manunggaling kawula gusti, salah satunya termaktub dalam Serat Wirid Hidayat Jati dengan konsep ajaran martabat tujuh sebagai kelanjutan dari ajaran panteisme dan monisme pra-Islam serta mata rantai utama dalam tradisi teologi kejawen. Namun, karya-karya ini ditentang keras oleh kelompok karya lain yang menekankan aspek syari’at. Oposisi paling kuat terhadap ajaran sufistik-filosofis di Jawa diwakili oleh Wali Songo. Usaha-usaha yang diciptakan oleh Wali Songo di tanah Jawa sukses pada abad ke-XVI, menghasilkan penerimaan Islam yang tidak bertentangan dengan tradisi setempat. Penerimaan tersebut disebabkan oleh beberapa gagasan mistik yang dibawa oleh para wali mempunyai

11 Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita ( Jakarta: UI Press, 1988), 9. 12 Serat Suluk Gatolotjo aslinya berjudul Balsafah Gatolotjo. Namun, hingga saat ini serat suluk gatolotjo maupun darmogandul masih menjadi polemik tentang siapa yang mengarangnya. Menurut HM. Rasjidi , dia mengutip seorang ahli sastra Jawa, Brotokeswa, bahwa yang mengarang Darmogandul dan Gatolotjo adalah seorang Pangeran, putra Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877), bernama Suryonegoro. Lihat HM. Rasjidi, Di sekitar Kebatinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), 36. Namun berbeda halnya dengan Sumarno Nugroho yang mengacu kepada penelitian Dr. Ph. Van Akheren, serat tersebut dikarang oleh seorang tokoh bernama Ngabdullah Tunggul Wulung. Dia pernah memeluk Islam, namun hatinya masih dihinggapi rasa bimbang karena agama leluhur (Budha Jawa atau Hindu) masih melekat didalam dirinya. Kebimbangan tersebut memunculkan konflik dalam pikirannya yang kemudian melanjutkan kegiatan bertapa di Gunung Kelud. Ketika Gunung Kelud meletus, dia turun dan menuangkan hasil perenungannya dalam tulisan serat, yakni Darmogandul dan Gatolotjo. Lihat Djoko Su’ud Sukahar, Gatolotjo dan Sakralitas Yoni (Yogyakarta: Narasi, 2013), 199. 13 Serat Wirid Hidayat Jati dikarang oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita. Hidayat Jati berarti: petunjuk yang sebenarnya. Didalam serat tersebut berisi konsepsi tentang Tuhan (Dzat, Sifat, Asma, dan Af’a>l Tuhan), konsep Manunggaling Kawula Gusti, konsepsi tentang Manusia (penciptaan manusia dan tujuh unsur manusia), tuntunan Budi Luhur dan Manekung. Dalam wirid Hidayat Jati, jelas terlihat adanya gubahan-gubahan dari ajaran martabat tujuh yang disusun oleh Muhammad Ibn Fadllillah dalam kitab al-Tuhfah al-Mursalah ila< Ru

3 sandaran budaya yang sudah kental dalam masyarakat. Penekanan terhadap Islam murni terus dilakukan sebagai proses penting dari islamisasi tersebut.14 Pada dasarnya, Wali Songo juga menjadi anggota tarekat sufi, selain mengajarkan Islam ortodoks. Mereka lebih menekankan tasawuf sunni atau syar’i yang berbeda dengan tasawuf falsafi. Menurut Zarkasyi, ajaran sufisme yang paling mengesankan para Wali Songo adalah kitab Ih}ya> ‘Ulu>m al-Di>n karya Imam al- Ghazza>li>>>.15 Di tanah Batavia sendiri, kepercayaan kepada hal-hal mistik juga mendapatkan tempat yang strategis dalam keberagaman tradisi masyarakat, seperti makam keramat Pangeran Jayakarta yang secara rutin didatangi oleh penduduk setempat. Mereka juga melakukan upacara seperti nyelayat atau nyelawat, mapas, puput puser, nyukur, nginjek tanah, upacara sunatan, kematian, nujuh bulan, cuci tangan, termasuk di dalamnya menentukan hari perkawinan.16 Dari segi agama, kepercayaan terhadap mistik diperlihatkan oleh orang Betawi sebagai kedudukan yang penting, misalnya kepercayaan adanya kuburan Shaykh ‘Abd al-Qa>dir Jaila>ni di daerah Tanjung Priok.17 Pada sebagian masyarakat Betawi, ide-ide mistik, takhayul dan kepercayaan kepada makhluk halus masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bila sedang membangun rumah, ada yang menabur garam di setiap sudut rumah yang akan dibangun guna mengusir para makhluk halus yang mendiami tempat tersebut. Selain garam, uang receh dianggap sebagai kemakmuran rezeki dan bubur merah putih berbungkus daun, keduanya diletakkan untuk sesajen makhluk halus agar tidak mengganggu calon penghuni rumah. Bila ingin membuat sumur, mereka membuat ritual “Menggelinding tampah”.18 Ritual–ritual yang diadakan masyarakat Betawi, merupakan percampuran antara ajaran Islam dengan kebudayaan lokal. Tidak

14 Muhammad Noupal, “Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya: Respon dan Kritik terhadap Kondisi Sosial Keagamaan di Indonesia”, (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2008), 25-26. 15 Zulkifli, in Java: The Role of the Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java (Jakarta: INIS,2002), 7. 16 Lihat Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra dan Budaya Betawi (Jakarta: APPM, 2006), 74-75. 17 Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra dan Budaya Betawi, 74. 18 Muhammad Zafar, “Islam di Jakarta: Studi Sejarah Islam dan Budaya Betawi”, (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2001), 392.

4 hanya dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara kehamilan dan kelahiran terdapat upacara kekeba. Kekeba adalah selamatan tujuh bulan kehamilan, yang dilakukan dalam tiga tahap. Tahapan pertama, mengaji Surat Yusuf, di dalam ruangan disajikan rujak nujuh bulan. Tahapan kedua, mandi tujuh bulan dicampur dengan tahapan ketiga, yaitu meletakkan tujuh jenis bunga yang berbeda. Sisi percampuran ajaran dengan kebudayaan lokal terletak pada bacaan mantra yang dianggap sebagai kesaktian untuk cabang bayi agar tidak diganggu oleh makhlus halus dan melancarkan persalinan.19 Percampuran Islam- sinkretik masih mewarnai perjalanan Islam pada abad ke XIX dan XX. Selaras dengan munculnya sinkretisme sufi Hindu-Jawa yang melahirkan pertemuan antara teologi Islam-Jawa pedalaman yang bersifat mistik dan ajaran sufi yang mendominasi di kalangan masyarakat membuat sebagian mereka yang awam turut serta tanpa mengetahui tasawuf dan organisasi tarekat secara mendalam. Sebagian besar alasannya karena terdapat beberapa kesamaan ajaran budaya yang sudah ada dalam tradisi masyarakat dengan ajaran tasawuf, maka pertemuan keduanya menarik minat masyarakat untuk mendalaminya. Bila kecenderungan penduduk Islam Indonesia berhubungan dengan aspek budaya yang mementingkan usur-unsur mistik di dalamnya, maka tidak heran berbagai macam kritik terhadap tarekat lebih banyak mengarah kepada percampuran mistik dengan tarekat.20 Alasan lain perkumpulan sufi atau biasa disebut dengan tarekat berkembang pesat di Pulau Jawa karena pada saat itu rakyat tengah menghadapi kolonialisasi Belanda, yang menyebabkan mereka berlindung di bawah organisasi non-pemerintah, salah satunya perkumpulan tarekat. Menurut mereka, tarekat mampu meredam tekanan yang diberikan oleh kolonial Belanda dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan agama.21 Bila menjadi anggota tarekat, mereka dapat menemukan figur yang bisa memberikan pengayoman-baik secara spiritual maupun politis-untuk menyalurkan aspirasi mereka. Pergumulan tarekat, budaya, dan politik menjadi sorotan seorang ulama Hadrami, Sayyid Usman bin Abdullah bin ‘Aqi

19 Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta: Logos, 2002), 80-81. 20 Muhammad Noupal, “Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya”,254. 21 Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 127.

5 terhadap tarekat pada zamannya. Ia mengkritik para pemimpin tarekat yang mengajak rakyat untuk ikut serta di dalamnya untuk kepentingan pribadi. Mereka juga melakukan perbuatan bid’ah atau kebingungan agama dan juga menimbulkan kekacauan politik.22 Hal ini dikarenakan kondisi sosial keagamaan masyarakat yang masih awam mengenai tarekat namun memaksa ikut serta tanpa mengetahui syarat-syaratnya. Didukung dengan kitab al-Wathi>qah al-Wafiyyah, ia mengkritisi mursyid yang banyak melakukan kesalahan. Diantaranya adalah, pertama, shaykh sufi mengaku bisa mentransfer zikir kepada pengikutnya secara gaib. Kedua, shaykh sufi menegaskan bahwa mereka dapat mengenal Tuhan sehingga mengetahui segala rahasia- Nya karena shaykh sufi tersebut mengaku bahwa dirinya telah mencapai tingkat auliya>.23 Menurut Sayyid Usman, shaykh sufi ini termasuk ke dalam ahl bid’ah yang sebenarnya fasik (berdosa). Boleh jadi ia memang memiliki kemampuan istidra>j yang ia dapatkan dengan mengikuti setan dan mempraktikkan sihir (magis gaib).24 Sayyid Usman merupakan seorang Mufti Betawi dengan gelar adviseur honorair (penasehat kehormatan) menggantikan mufti sebelumnya, yaitu Shaykh Abdul Gani yang telah lanjut usia pada tanggal 20 Juni 1889. Gelar tersebut diberikan karena sumbangsih yang sangat besar bagi pemerintah kolonial, sekaligus posisinya sebagai karib dari orientalis terkemuka Snouck Hurgronje.25 Sayyid Usman merupakan tokoh ulama Hadrami terkemuka di abad XIX dan awal abad XX. Sayyid Usman lahir di Pekojan, tepatnya di Jakarta Barat, pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 H/1822 M. Ayahnya, Sayyid Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya ialah seorang ‘a>lim, kelahiran Makkah. Ketika Sayyid Usman berusia 3 tahun, ayahnya kembali ke Makkah. Kemudian ia diasuh dan dididik oleh kakek dari pihak ibu, Shaykh ‘Abd al-Rahman al-Mis{ri. Pada usia 18

22 Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002), 158. 23 Sayyid Usman, al-Wathi>qah al-Wafiyyah (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1303), 7-10. 24 Sayyid Usman, Minha>j al-Istiqa>mah fi> al-Di>n bi al-Sala>mah (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1890), 5-11. 25 Azyumardi Azra, “Hadra@mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman.” Studia Islamika 2 (1995), 14-15; Lihat juga Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The ‘Umma Below the Winds, (London: Routledge Curzon Studies on the Middle East, 2003), 88.

6 tahun, Sayyid Usman berangkat ke Makkah untuk menemui ayahnya. Di tanah Suci, ia meneruskan pendidikan agamanya di bawah asuhan ayah dan mufti Syafi’i terkemuka Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.26 Sayyid Usman bermukim untuk belajar agama di Makkah selama 7 tahun. Makkah memang sebagai poros para penuntut ilmu, tak pelak juga bagi orang Hadrami seperti Sayyid Usman, karena Makkah mempunyai peranan penting bagi dinamika Islam dan kehidupan kaum Muslimin.27 Kemudian, ia melanjutkan pengembaraan intelektual ke kampung halamannya, Hadramaut. Disana, Sayyid Usman belajar kepada beberapa ulama, diantaranya Shaykh ‘Abdullah bin H{usein bin T{ahir, Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf al- Jufri dan Habib H{asan bin S{aleh al-Bahar28 dan sempat menikah dengan seorang shari>fah. Beberapa saat di Hadramaut, Sayyid Usman kemudian kembali ke Makkah, lalu menuju Madinah. Dari Madinah, Sayyid Usman melanjutkan pelajarannya ke Mesir, Tunis, Maroko, dan al-Jazair. Di masing-masing daerah Sayyid Usman bermukim selama 5 atau 7 bulan.29 Dari Tunis, ia berlayar ke Istanbul, kemudian pergi ke Palestina, Suriah dan kembali ke Hadramaut. Pada tahun 1862, ia kembali ke Batavia (Jakarta) via Singapura, dan memapankan karir keulamaannya di Batavia.30 Sayyid Usman mulai memusatkan aktivitasnya di Masjid Pekojan. Ia mengajar, berdakwah dan menulis berbagai karya dalam beberapa bidang keilmuan agama. Cara berdakwah yang diterapkan pada abad ke-19 saat itu melalui pengajian-pengajian, ceramah pada saat shalat

26 Azyumardi Azra, “Hadra@mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora,” 10-11. Biografi yang dikemukakan oleh Azra berdasarkan catatan anak Sayyid Usman sendiri terbit tahun 1933, berjudul Qamar al-Zamami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora”, 11. Ahmad Fadli, Ulama Betawi, 80. Ahmad Fadli menuliskan bahwa didaerah- daerah ini Sayyid Usman belajar berbagai macam keilmuan, seperti , tasawuf, tarikh, falak, dan lain-lainnya. 30 Azyumardi Azra, “Hadra>mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora”, 11. Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha, Intelektualisme Pesantren, 40.

7 subuh dan magrib di masjid.31 Ilmu yang diajarkan adalah: fiqh, tauhid, dan akhlak. Dalam pengajaran agama, ia dibantu oleh seorang ulama lain, Shaykh ‘Abd al-Ghani Bima, seorang alumnus Makkah.32 Sayyid Usman menulis lebih dari 50 karangan, sepertiganya dalam bahasa Arab, dan lainnya dalam bahasa Melayu. Sebagian besar karangannya tidak lebih dari 20 halaman.33 Sebagai adviseur honorair (penasehat kehormatan urusan Bangsa Arab), Sayyid Usman harus berdiri diantara dua kepentingan, yakni kepentingan pemerintah kolonial dan kepentingan masyarakat Arab sendiri.34 Pengangkatan Sayyid Usman merupakan usulan dari Snouck Hurgronje kepada pemerintah untuk memberikan penghargaan kepadanya atas karangan yang dirasa sangat bermanfaat bagi pemerintah.35 Kedekatannya dengan Snouck Hurgronje dan beberapa penentangan-penentangan terhadap praktek keagaman lokal menjadikan sebagian ulama dinilai kontroversial. Namun di mata Snouck Hurgronje, Sayyid Usman adalah ulama pembaru. Bahkan, ketika ia dihantam oleh para ulama karena kedekatannya dengan kolonial Belanda, Snouck tetap membelanya. Sikap Sayyid Usman yang menuai kontroversi dikalangan ulama lain dapat dipaparkan secara singkat di dalam latar belakang ini, guna mengetahui beberapa masalah-masalah agama yang dinilai berbeda sudut pandangnya terhadap ulama lain, terutama kepada masalah perkembangan tasawuf dan tarekat di Nusantara. Ia banyak menulis karya mengenai kerancuan sufi-sufi semu (pseudo). Menurut Sayyid Usman, para sufi kini hanyalah menciptakan bid’ah yang menimbulkan keraguan melalui tarekat-tarekat. Kritikan Sayyid Usman menurut Steenbrink merupakan wujud idealisasi masa lampau,36 yang

31 Muhammad Zafar, “Islam di Jakarta: Studi Sejarah Islam dan Budaya Betawi”, (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2001), 164. 32 Ahmad Fadli memberikan informasi berbeda. Sayyid Usman diangkat menjadi Mufti menggantikan Shaykh ‘Abd al-Ghani Bima. Tidak seperti yang diungkap Azra bahwa Shaykh tersebut sebagai pembantu Sayyid Usman. Ahmad Fadli, Ulama Betawi, 80. 33 Muhammad Zafar, Islam di Jakarta, 278. 34 Husnul Aqib Suminto, “Islam di Indonesia; Sinkretisme, Pemurnian dan Pembaharuan”, Studia Islamika, Jakarta, Mo.21, tahun XI, 1985, 161. 35 Muhammad Noupal, “Pemikiran keagamaan Sayyid Usman bin Yahya”, 81. 36 Lihat Steenbrink, Beberapa Aspek Islam di Indonesia Abad 19 (Bandung: Bulan Bintang, 1984), 185. Lihat pula Muhammad Noupal, “Pemikiran keagamaan Sayyid Usman bin Yahya”, 281.

8 menyatakan bahwa generasi sufi terdahulu lebih baik dari masa kini. Sedangkan menurut Azra, hal inilah yang menjadi bukti bahwa Sayyid Usman menentang praktek-praktik sufi, terutama tarekat.37 Begitu juga Laffan mengaitkan hal ini sebagai bentuk oposisi Sayyid Usman terhadap tarekat-tarekat yang berkembang saat itu.38 Hal ini semakin dibuktikan dengan kritiknya terhadap ulama tarekat Naqsyabandiyah, salah satu kritik ditujukan kepada Shaykh Isma’il bin Abdullah al- Minangkabawi39 dalam karyanya yang berjudul Jam’u al-tahqi>qa>t fi Aqsah{ah al-‘ani>qah li al-Mutalabbisiqah (Nasehat yang Elok kepada Orang-Orang yang Masuk Tarekat),41 al- Wathi{ari>qat al-S}ufiyyah (Kepercayaan yang Menyampaikan Segala yang Hak di dalam Ketinggian Tarekat Su>fiyah),42 Ini Boekoe Ketjil buat Mengetahui

37 Azyumardi Azra, “Hadra@mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora”, 23. 38 Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial, 86. Laffan, berdasarkan laporan K.F. Holle, menyebutkan bahwa Sayyid Usman juga menentang perlawanan terhadap kolonial di yang disokong oleh pengikut-pengikut tarekat. 39 Mengenai ketokohan dan karya-karya ulama ini, Lihat Wan Shaghir Abdullah, Penyebaran Islam dan Silsilah Ulama Sejagat Dunia Melayu, vol. 11, 43- 56. Menarik untuk dikemukakan bahwa, kritik Sayyid Usman terhadap Shaykh Isma’il Minangkabau mendapat tantangan dari ulama lokal, seperti halnya Tuanku nan Garang. Tokoh yang belum bisa di identifikasi ini, menulis karya bernada berang dan kasar dalam bentuk sya’ir Melayu untuk memojokkan sang Mufti Betawi. Baca Tuanku nan Garang, [ Kepada Usman mengaturkan surat, dengan bahasa Melayu segala ibarat, luas padaku tidak darurat, semoga manfaat dunia akhirat ]. Naskah koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, kode Naskah 104aKFH_30. 40 Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil Betawi, Jam’u al-Tahqiqariq al-‘Adah (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, t.t), 4. 41 Lihat Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil Betawi, al-Nas{i>h{ah al-‘ani{ari

9

Arti Tarekat dengan Pendek Bicaranya,43 judul lainnya tentang tarekat, khusus pembahasan tentang Ratib Samma>n yaitu Tanbih al- Ghusman di dalam Perkara Ratib Samma>n. Didalam kitab al-Nas{i>h{ah al-‘anil) dan ilmu tentang syarat dan rukun shalat?; Kedua, apakah guru tarekat atau shaykh tarekat boleh memberikan ijazah kepada semua orang, atau ia memilih murid yang telah cukup melaksanakan kewajiban utamanya (fard{u a’in)?.45 Sayyid Usman merasa perlu menjawab hal tersebut yang merupakan kewajibannya sebagai mufti. Sekali lagi, ia tetap mengkritisi orang yang ingin memasuki dunia tarekat dan orang-orang yang menganut ajaran martabat tujuh. Kritik tersebut didasari karena praktek-pratek pada saat itu masuk dalam kategori bid’ah. Dan menurut analisa Azra dan Laffan, karya-karya ini mencerminkan sikap antipatinya terhadap tarekat.46 Berbeda dengan Muhammad Syamsu AS, ia menyebutkan bahwa pernyataan tentang Sayyid Usman sebagai penentang tarekat merupakan asumsi. Ia mengemukakan bahwa Sayyid Usman belajar tasawuf dan tarekat di Makkah dikarenakan gurunya yakni Sayyid Ahmad Zaini Dahlan pembawa tarekat Alawiyah.47 Hal ini juga dikuatkan dengan beberapa karyanya yang membahas tentang kajian sufistik. Karya tersebut terbagi menjadi beberapa tema yang dapat dikaitkan dengan tasawuf. Contohnya seperti Naja

43 Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil Betawi, Ini Boekoe Ketjil (1904). Koleksi literatur langka Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, nomor XXXII-956. 44 Azyumardi Azra, “Hadra>mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora”,24. 45 Sayyid Usman bin Abdullah bin ‘Aqil Betawi, al-Nas{i>h{ah al-‘animi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora”,86. 47 Ahmad Fadli, Ulama Betawi, 83.

10

Injirar,48 Jam’u al-Tahqi>qa>t fi Aqsa>m Khawari>q al- ‘Ada>h, Fas`lu al-Khit`a>b fi Baya>n al-S`awat al-Mud`illi>n. Kitab-kitab ini membahas tentang persoalan- persoalan , syari’at, dan menyinggung masalah tarekat. Sayyid Usman menyebutkan pula dibeberapa bagian kitab ini masalah mengenai syarat-syarat orang yang melaksanakan tarekat secara mendalam agar tidak mengalami kekeliruan. Begitu pula dalam karyanya Tanbih al-Gusma ila>ha illa-Allah yang dibaca dalam Ratib Samma>n. Ia menerangkan adab dan tata cara berzikir yang ketika sedang membaca Ratib Samma>n. Dalam karya-karyanya yang lain, Sayyid Usman juga terlihat sebagai penulis sufi, seperti Risalah Dua Ilmu, Ada>b al-Insab al- Minan, Maslak al-Akhyar. Dari beberapa karyanya tersebut diketahui perhatian besar Sayyid Usman terhadap tasawuf, dengan menekankan perbaikan akhlak. Terutama dilihat dalam kitab Risalah Dua Ilmu, Sayyid Usman membagi pengertian ulama menjadi dua macam, yaitu Ulama Dunia dan Ulama Akhirat. Ulama dunia itu tidak ikhlas, materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh, sedangkan ulama akhirat adalah orang yang ikhlas, tawadhu’ yang berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretense apa-apa, lillahi ta’ala, hanya mencari Ridho Allah semata. Ini mungkin menjadi salah satu bagian dari pandangan tasawuf Sayyid Usman yang pada dasarnya masih ada keberpihakan terhadap perbaikan moral dan akhlak. Masih banyak pandangan-pandangan Sayyid Usman yang belum terungkap oleh peneliti lain terutama di bidang tasawuf. Selain kritik terhadap tarekat, Sayyid Usman juga mengkritisi masalah pemurnian darah sayyid,49 didalam bukunya yang berjudul al- Qawa

48 Sayyid Usman bin Abdullah bin ‘Aqil Betawi, Naja>t al-Akhya>r min al- Injira>r ila al-Ightira>r (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1901). 49 Dibahas dalam Azyumardi Azra, “Hadra>mi Scholars in the Malay- Indonesian Diaspora”, 12. 50 Soedarso Soekarno, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje (Jakarta: INIS, 1993), 49.

11

Inilah yang menjadi acuan dan kritikan Sayyid Usman terhadap para sayyid yang banyak menikah bukan dari golongan shari>>>>>aqq bi al-Bas{i>rah fi Ibn al-Mujtari Khabits al-Sari>rah.51 Masih banyak pemikiran Sayyid Usman yang menjadikan ia ulama yang penuh dengan kontoversi. Begitu pula pemikirannya mengenai , didalam karangannya berjudul Manha>j al-Istiqa>mah fi al-Din al- Sala>mah, Sayyid Usman mengkritik secara tajam jihad yang dilakukan oleh masyarakat Banten pada tahun 1888. Jihad tersebut menurutnya hanya sebagai gangguan keamanan, yang akan membawa sengsara bagi umat Islam. Ia juga pernah berpolemik dengan Shaykh Ahmad Khatib al-Minangkabawi tentang ta’addud Jum’at. Perselisihan timbul antara masjid lama (Masjid Agung atau Masjid Sultan) dengan masjid baru (masjid Lawang Kidul). Masjid baru yang dibangun oleh Masagus Haji Abdul Hamid ini juga akan dipakai untuk menunaikan shalat jum’at. Sayyid Usman membela beberapa ulama Palembang yang menolak adanya shalat jum’at di dua masjid dalam satu daerah yang disebut dalam ta’addud Jum’at. Awalnya, keputusan ini merupakan hasil dari musyawarah agama yang dilakukan oleh para ulama Palembang pada waktu itu. Namun, beberapa ulama memperbolehkan untuk melakukan shalat Jum’at di Masjid baru Lawang Kidul dengan mengambil fatwa dari Shaykh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Timbullah perselisihan diantara keduanya bermula dengan kritik terhadap buku Mu>zil al- Awha>n (1894) karya sayyid Usman dan dikritik oleh Shaykh Ahmad Khatib melalui tulisannya S~ulh` al-Jama>’ataini bi Jaw@zi Ta’addud al- Jum’ataini (1894). Kehidupan Sayyid Usman sebagai Mufti Betawi yang kala itu selalu menjadi kontroversi, menjadi kajian menarik dalam penelitian ini terutama kritiknya terhadap tarekat. Kedekatannya dengan kolonial Belanda juga menjadi pembahasan peneliti dikarenakan banyak yang menganggap kritik tersebut merupakan pengaruh dari kekuasaan kolonial.

51 Sayyid Usman, Qawl al-H{aqq bi al-Basirah fi Ibn al-Mujtari Khabitsi al- Sari

12

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya, penulis hendak meneliti kritik Sayyid Usman bin ‘Aqil bin Abdullah Betawi terhadap tarekat pada abad ke-19 dan 20. Kemudian. Untuk meneliti masalah tersebut akan disebutkan identifikasi masalah. Pertama, sebelum membahas problematika tasawuf Sayyid Usman maupun biografinya, penulis memaparkan dinamika perdebatan tasawuf nusantara sejak abad ke-XVII hingga abad ke-19 dan 20. Hal ini dimaksudkan agar terlihat jelas polemik dan perkembangan tasawuf di nusantara. Kemudian, mengaitkannya dengan masa ketika Sayyid Usman hidup ditengah-tengah masyarakat menjadi seorang Mufti Betawi. Kedua, Sayyid Usman merupakan salah satu ulama Hadrami yang terkemuka pada abad ke-19 dan 20. Pengangkatannya sebagai adviseur honorair voor Arbische Zaken (Penasihat kehormatan untuk urusan Arab) pada masa pemerintahan Kolonial Belanda menjadi posisi yang presticius kala itu. Sebagai penasihat pemerintah, ulama, dan penulis urusan agama, maka timbullah persoalan bagaimana riwayat hidup Sayyid Usman, karir intelektual, karir politik, karya-karyanya dan perlu dipaparkan terutama hubungannya terhadap tiga hal tersebut. Ketiga, polemik dan pergulatan masalah agama dalam kehidupan Sayyid Usman menjadi topik hangat di dalam penulisan ini. Beberapa peneliti sebelumnya menganggap bahwa Sayyid Usman adalah seorang ulama yang antipati terhadap ajaran sufistik. Dengan beberapa karya seperti al-Nas{i>h{ah al-‘ani{ari

2. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi di atas, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

13

a. Pembahasan mengenai Pemikiran dan kritik Sayyid Usman bin Yahya dalam karya-karyanya. Pemikiran ini difokuskan kepada jawaban-jawaban Sayyid Usman ketika umat menanyakan masalah agama yang berkenaan dengan tasawuf dan tarekat, sedangkan kritik ditujukan kepada Pseudosufi dan guru tarekat yang tidak melakukan ajaran tarekat secara benar. b. Fokus permasalahan dari penelitian ini adalah pengaruh kritik Sayyid Usman terhadap dinamika perkembangan tarekat di Nusantara serta respon tokoh tarekat yang dianggap oleh Sayyid Usman menyimpang dari syari’at Islam. 3. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, masalah utama dalam penelitian ini ialah kritik terhadap tarekat: kajian terhadap pemikiran Sayyid Usman bin Yahya. Namun, untuk lebih fokusnya penelitian ini, maka rumusan masalah yang diajukan sebagai berikut: a. Bagaimana kritik Sayyid Usman terhadap tarekat yang berkembang pada abad ke-19 dan 20? b. Bagaimanakah polemik yang terjadi antara Sayyid Usman dengan ulama-ulama yang sezaman mengenai tasawuf dan tarekat? c. Apakah kritik Sayyid Usman memiliki keterkaitan dengan pengaruh pembaruan yang terjadi di Makkah?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak kajian dan penelitian terkait pemikiran ulama-ulama Hadrami, khususnya mengenai Sayyid Usman. Namun, hingga saat ini belum ada kajian khusus terhadap pemikiran tasawufnya dengan berdasarkan karya-karya tulis yang dihasilkannya. Ada beberapa kepustakaan yang relevan dengan pembahasan pada penelitian ini, yang mempunyai kaitan dengan pembahasan Sayyid Usman bin Yahya, diantaranya: Pertama, Azyumardi Azra, “Hadra@mi Scholars in the Malay- Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman”, 1995. Artikel yang dimuat dalam jurnal Studia Islamika ini berbicara mengenai biografi Sayyid Usman, berikut sikap-sikapnya yang dianggap kontroversial, seperti masalah Jihad dan penentangannya

14 terhadap sufi. Dalam jurnal ini, Azra menampilkan pemikiran keagamaan Sayyid Usman secara global menyangkut kritiknya terhadap bid’ah dan tarekat. Ia juga menguraikan kecaman-kecaman Sayyid Usman terhadap kondisi sosial keagamaan masyarakat Indonesia pada masanya. Namun, Azra hanya menampilkan mengenai kritik terhadap tarekat cukup singkat. Deskripsi tentang pemikiran keagamaan Sayyid Usman terutama di bidang tarekat perlu adanya kajian lebih lanjut, disebabkan dalam beberapa karya Sayyid Usman terdapat ajaran-ajaran yang mengandung tasawuf. Kedua, Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-XIX. Buku yang terbit tahun 1984 melalui terbitan Bulan Bintang, membahas tentang posisi politis Sayid Usman sebagai penasihat kehormatan kolonial Belanda serta hubungannya dengan orientalis Indonesianis Snouck Hurgronje. Bahasan mengenai hal ini ditulis dalam satu sub bab. Dalam satu sub bab tersebut, Steenbrink juga berkesimpulan bahwa Sayyid Usman mempunyai sikap yang anti- tarekat dan anti-jihad. Dan disebutkan pula, Sayyid Usman merupakan seorang reformator dalam bidang ibadah. Steenbrink menilai dari karya-karya Sayyid Usman yang memfokuskan pada interpretasi Fiqh dan beberapa persoalan aqidah. Sayangnya, Karel belum melengkapi alasannya mengenai sikap Sayyid Usman yang menurutnya anti- tarekat. Perlu adanya kajian mendalam mengenai dibalik sikap Sayyid Usman yang dinilai menimbulkan banyak kontroversi. Tiga, Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, 2002. Dalam karya ini, Azra mengulang apa yang telah ditulisnya dalam Hadra@mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman (jurnal Studia Islamika, 1995). Buku ini memudahkan peneliti dalam mengulas kembali jurnal yang telah diterbitkan sebelumnya. Namun, sama halnya yang telah dipaparkan dalam jurnal, penjelasan mengenai pandangan Sayyid Usman terhadap tarekat masih cukup singkat. Maka, penelitian ini bermaksud memaparkan secara terperinci kritik Sayyid Usman terhadap masalah-masalah khususnya mengenai tarekat. Empat, Ahmad fadli, Ulama Betawi: Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam abad ke-19 dan 20 (Jakarta: Manhalun Nasyi-in, 2011). Ahmad Fadli dalam edisi terbit tesisnya ini berbicara sepintas mengenai Sayyid Usman berikut sikap anti sufinya. Ahmad Fadli menyimpulkan bahwa Sayyid Usman adalah ulama yang berorientasi pada syari’ah dan mengkritik

15 praktek bid’ah. Tesis ini menyebutkan karya-karya terpopuler yang diproduksi oleh Sayyid Usman. Namun, karena biografi Sayyid Usman ditulis secara ringkas, tesis ini belum menggambarkan bagaimana posisi Sayyid Usman dalam merespon tarekat maupun membahas masalah tasawuf yang termaktub dalam karyanya. Lima, Mastuki HS. Dan M. Ishom El-Saha (eds), Intelektualisme Pesantren, 2006. Mastuki HS. dan M. Ishom El-Saha mengelompokkan beberapa ulama yang terlibat dalam perkembangan pesantren serta menuliskan beberapa biografinya termasuk Sayyid Usman. Buku ini menjelaskan riwayat hidup ulama yang berhasil menyebarkan keilmuannya di Nusantara. Karena berisikan sejumlah biografi ulama- ulama didalamnya, pembahasan mengenai Sayyid Usman juga sangat sedikit. Ranah mengenai tarekat hanya dibahas beberapa paragraf saja. Hal tersebut juga sudah dibahas oleh beberapa peneliti lainnya dalam buku-buku yang telah terbit sebelumnya. Enam, Muhammad Zafar Iqbal, Islam di Jakarta: Studi Sejarah Islam dan Budaya Betawi, 2001. Disertasi ini menelaah tentang perkembangan historis kota Jakarta, pengaruh Islam dalam adat- istiadat Betawi. Tokoh-tokoh yang berperan penting di Batavia juga disebutkan dalam disertasi ini, termasuk Sayyid Usman bin Yahya. Begitupula dengan pembahasan dalam buku sebelumnya, penjelasan mengenai Sayyid Usman hanya menyentuh sejarah intelektual dan karir intelektualnya saja. Tujuh, Muhammad Noupal, Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya: Respon dan Kritik terhadap Kondisi Sosial Keagamaan di Indonesia, 2008. Disertasi ini menampilkan pemikiran keagamaan Sayyid Usman, khususnya melihat pandangan Sayyid Usman terhadap kondisi sosial keagamaan di Indonesia. Pemikiran keagamaan itu di jelaskan dalam 3 bidang keilmuan, yakni bidang akidah, syari’ah, dan tasawuf. Pembahasan mengenai tasawuf dijelaskan pada bab terakhir dan menyinggung sebab-sebab sikap Sayyid Usman yang antipati terhadap tarekat. Namun, disertasi ini menurut peneliti belum menguak pengaruh sikap Sayyid Usman yang sangat concern terhadap tarekat. Perlu adanya kajian yang lebih spesifik dalam satu penelitian utuh pandangan Sayyid Usman terhadap tasawuf dikarenakan ada beberapa karyanya yang belum dikaji serta mengaitkannya dengan dampak kritik Sayyid Usman terhadap tarekat yang berkembang setelahnya.

16

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah utama di atas, maka, penelitian ini bertujuan merekonstruksi kritik Sayyid Usman terhadap tarekat berdasarkan kepada karya-karyanya. Namun demikian, penelitian ini secara rinci mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Mengeksplorasi beberapa kritik Sayyid Usman terhadap tarekat yang berkembang pada abad ke-19 dan 20. 2. Menguraikan perbedaan pemahaman antara Sayyid Usman dan ulama-ulama lain di zamannya mengenai tasawuf dan tarekat. 3. Mengetahui dampak kritik Sayyid Usman terhadap dinamika perkembangan tarekat setelahnya.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Menambah khazanah studi mengenai tokoh ulama Nusantara, terutama mengenai pemikirannya di bidang tasawuf yang selama ini belum mendaat perhatian secara serius dikalangan akademik. 2. Menjadi salah satu bahan rujukan bagi semua pihak yang mempunyai kepentingan dengan kajian terhadap dinamika pemikiran tasawuf di Nusantara, terutama terkait dengan tokohnya Sayyid Usman.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian Kajian ini menganalisis tasawuf Sayyid Usman bin Yahya melalui karya-karya baik yang diterbitkan maupun dalam bentuk manuskrip. Selain itu, dipaparkan pula setting dan latar sosial keagamaan islam Nusantara dan Batavia. Kajian ini termasuk dalam kategori penelitian sejarah sosial dan intelektual. Menurut Kuntowijoyo, sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu, yaitu rekonstruksi apa yang telah dipikirkan, dikerjakan, dikatakan, dirasakan, dan dialami oleh orang. Namun, perlu ditegaskan bahwa membangun kembali masa lalu bukan untuk kepentingan masa lalu itu

17 sendiri.52 Sejarah mempunyai arti penting untuk masa kini dan masa yang akan datang. Sejarah sosial yang terdapat dalam penelitian ini meneliti aspek kehidupan yang menekankan kepada kajian atau analisis terhadap faktor-faktor bahkan ranah sosial yang mempengaruhi terjadinya sebuah peristiwa sejarah. Sejarah sosial disebut juga sejarah mengenai gerakan-gerakan sosial (social movement) yang berkembang dalam sejarah, dan terkadang diartikan sebagai sejumlah aktivitas manusia seperti kebiasaan (manners), adat istiadat (customs) dan kehidupan sehari-hari (everyday life).53 Kemudian, sejarah sosial mengalami perkembangan yang sangat luas. Menurut Azra, sejarah sosial berkembang meliputi beberapa bidang antara lain demografi dan kinship, kajian masyarakat perkotaan (urban), kelompok-kelompok dan kelas sosial, sejarah mentalitas atau kesadaran kolektif, transformasi masyarakat, misalnya akibat industrialisasi dan modernisasi, gerakan sosial atau fenomena protes sosial, sejarah pendidikan, tradisi keilmuan, ilmu dan kekuatan (knowledge and power) serta diskursus (wacana) intelektual.54 Jadi, sejarah sosial menjadi induk dari sejarah intelektual. Sejarah intelektual disebut sebagai sejarah pemikiran (history of thought) atau sejarah ide (history of ideas). Menurut Crane Brinton, sejarah intelektual mencoba mencari kembali dan memahami terhadap penyebaran karya pemimpin kebudayaan. Sejarah intelektual juga mencoba memahami hubungan antara ide tertentu pada satu pihak dan dipihak lain “kecenderungan” (drives) dan “kepentingan” (interest), serta faktor-faktor non-intelektual pada umumnya, dalam sosiologi perorangan dan masyarakat.55 Jadi, penelitian ini terfokus kepada kritik Sayyid Usman dibidang ilmu tasawuf yang didalamnya mengandung polemik, penolakan dan solusi tasawuf yang ingin disebarluaskan oleh Sayyid Usman.

52 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), 17. 53 Azyumardi Azra, “Historiografi Islam Indonesia Antara Sejarah Sosial, Sejarah Total dan Sejarah Pinggiran”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Menjadi Indonesia (Bandung: Mizan, 2006), 5-6. 54 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2002), 82 55 Lihat Crane Brinton, Sejarah Intelektual, dalam Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomiharjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif (Jakarta: Yayasan ilmu-ilmu Sosial, LEKNAS LIPI dan Gramedia, 1985), 201.

18

2. Sifat Penelitian Penelitian yang penulis ajukan termasuk penelitian kepustakaan (library research), maka dalam penelitian ini digunakan sumber-sumber atau data-data kepustakaan yang memiliki kaitan langsung dengan masalah yang sedang diteliti. Adapun langkah kerja yang dilakukan adalah: Pertama, Mengumpulkan buku-buku asli karangan Sayyid Usman dan kumpulan biografinya, baik yang masih dalam bentuk manuskrip maupun yang telah dicetak, seperti al-Nas{i>h{ah al-‘ani{ari

A. Sumber Primer Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah karya-karya asli Sayyid Usman khususnya yang menyangkut pemikiran keagamaan dan kritik terhadap tasawuf yang berkembang pada masa hidupnya. Sumber data primer didapatkan melalui karya yang sudah diterbitkan dan tersebar luas di masyarakat, manuskrip di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dan beberapa yang masih tersimpan dengan baik dalam koleksi keturunan Sayyid Usman.

B. Sumber Data Sekunder Selain dari karya-karya tersebut, penulis juga memasukkan tulisan dari Snouck Hurgronje dan beberapa peneliti lain mengenai Sayyid Usman, atau sumber lain yang relevan dengan penelitian ini.

56 Sayyid Usman bin Abdullah bin ‘Aqil Betawi, Naja>t al-Akhya>r min al- Injira>r ila al-Ightira>r (Batavia: Percetakan Sayyid Usman), 1901.

19

3. Langkah-Langkah Penelitian a. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data dipergunakan teknik dokumenter atau collecting document. Teknik dokumenter digunakan untuk menelusuri tulisan Sayyid Usman yang telah terpublikasi atau tidak, seperti catatan pribadi/harian, catatan pengajian, dan sebagainya. b. Analisis Data Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara deskriptif analitis. Cara yang digunakan melalui langkah-langkah, yaitu mendeskripsikan masalah-masalah penting yang berkaitan dengan pemikiran, ajaran, dan praktek tasawuf Sayyid Usman. Contohnya: dasar pemikiran, pengertian tasawuf, fungsi praktis tasawuf, unsur utama dalam tasawuf, motivasi melakukan ibadah, ajaran tentang wirid dan zikir, dan lainnya. Langkah berikutnya, dilakukan analisis terhadap pemikiran dan ajaran penting tersebut. Dalam analisis ini, juga digunakan analisis kritis dan komparatif. Analisis kritis digunakan untuk menilai dan mengkritisi pemikiran dan ajaran tasawuf Sayyid Usman dari segi kelebihan dan kekurangannya. Selanjutnya, analisis komparatif dipakai untuk membandingkan pemikiran Sayyid Usman dengan tokoh-tokoh sufi lainnya, sehingga dari analisis tersebut dapat ditemukan jawaban dari masalah yang ditemukan jawaban dari masalah yang diteliti, yaitu kritik Sayyid Usman terhadap sufisme yang spekulatif atau pseudosufi.

4. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis sosiologis. Pendekatan sejarah membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku peristiwa.57 Pendekatan ini digunakan mengingat material penelitian berkaitan dengan pemikiran seorang tokoh melalui karya-karyanya di masa lalu, dengan melihat situasi dan kondisi historis sosiologis yang melatarbelakangi kehidupannya. Pendekatan sosiologis terhadap agama tidak hanya memberikan pendekatan perhatian, terdapat depensi keyakinan dan komunitas keagamaan terhadap kekuatan dan proses sosial, tetapi juga kekuatan penggerak

57 Imam Prayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 66.

20 organisasi dan doktrin keagamaan dalam dunia sosial, termasuk pada bentuk dan karakteristik yang khas dari dunia kehidupan yang dimunculkan oleh komunitas-komunitas religious, baik dalam masyarakat primitif maupun modern.58 Pendekatan ini dipakai, dalam rangka untuk menggali data yang terkait langsung dengan perkembangan sosio-politik, yakni perkembangan kekuasaan, pemikiran dan aliran yang berkembang di nusantara pada umumnya. Dari perkembangan sosio-politik itulah, diharapkan dapat mempertajam penelitian ini, sehingga ditemukan kritik Sayyid Usman terhadap tarekat abad ke-19 dan 20.

G. Sistematika Penulisan Tesis ini tediri dari enam bab yang tesusun dalam sistematika penulisan, rinciannya adalah sebagai berikut: o Pada bab ini dijelaskan latar belakang diangkatnya Sayyid Usman sebagai objek penelitian. Selain itu, pada bab ini dijelaskan rumusan masalah, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. o Bab kedua berisi penjelasan tentang dinamika tasawuf yang berkembang di Nusantara. Pada bab ini arah kajian terpusat pada dinamika perkembangan tasawuf abad XIX dan XX di Haramayn dan Nusantara. Pokok pembahasan inti adalah pertama mendiskripsikan permulaan tasawuf yang berkembang di Haramayn dan membentuk jaringan ulama dengan para murid dari Nusantara. Kedua, menjelaskan transmisi ajaran tarekat dari Haramayn ke Nusantara, sehingga terlihat titik temu antara tarekat di Haramayn dan Nusantara. Ketiga, membahas polemik antara pendukung tarekat dengan pihak oposisi yang mengutamakan syari’at terlebih dahulu sebelum memasuki tingkatan-tingkatan dalam tasawuf. Keseluruhan bab ini, berguna untuk melihat latar belakang peristiwa dan perdebatan akademik yang berkenaan dengan tasawuf abad XVII hingga tasawuf yang berkembang di masa hidupnya Sayyid Usman.

58 Michael Northcott, “Sociological Aproaches”, dalam Peter Connoly (editor), Approaches to Study of Religion, (London: Cassel, 1999), 194.

21 o Bab ketiga berisi ketokohan dan karya-karya Sayyid Usman, mencakup biografi Sayyid Usman dan latar sosial abad XIX. Latar sosial difokuskan di Batavia, guna melihat secara dekat kehidupan keagamaan selama Sayyid Usman menetap didaerah tersebut. Dalam bab ini disebutkan pula ketokohan Sayyid Usman sebagai Mufti Betawi dan Penasihat Kehormatan Belanda, serta membahas mengenai karya-karya Sayyid Usman yang terkenal baik berupa jawaban hukum Islam yang diajukan oleh masyarakat, maupun kritik-kritik tajam terhadap tarekat yang berkembang pada masa hidupnya. o Bab keempat berisi tentang kondisi gerakan tarekat pada masa kolonial dan menganalisa pemikiran Sayyid Usman bin Yahya. Untuk melihat kondisi tarekat, akan dibahas tentang dinamika gerakan tarekat masa kolonial, peranan tarekat Naqsyabandiyah abad ke-19. Begitupula disampaikan mengenai kritik Sayyid Usman terhadap tarekat salah satunya kritik terhadap mursyid, kritik ini dipaparkan dalam sub bab tentang polemik Sayyid Usman dengan Shaykh Ismail Minangkabau. Pada bab ini, penulis menambahkan analisis pemikiran Sayyid Usman terhadap tarekat. o Bab kelima berisi analisis terhadap pengaruh kritik Sayyid Usman terhadap dinamika perkembangan tarekat di Nusantara. Menjelaskan hubungan sayyid Usman dengan pemerintah kolonial Belanda. Kemudian, membahas polemik Sayyid Usman dan respon tokoh tarekat setelahnya. Untuk mengelaborasi pengaruh kritik Sayyid Usman, dibahas pula dampak kritiknya di lingkungan hidup Sayyid Usman yakni di lingkungan masyarakat Betawi. o Bab keenam berisi penutup, mencakup kesimpulan penelitian dan saran-saran.

22

BAB II DINAMIKA TASAWUF NUSANTARA DAN POLEMIK TAREKAT PADA ABAD KE-19

Pada bab ini akan membahas tentang perkembangan tarekat menjadi wadah sebuah organisasi dalam ajaran tasawuf . Kemudian, menyinggung keterlibatan ulama Nusantara dengan ulama Haramayn yang menjadi sumber titik temu lahirnya organisasi tarekat di Nusantara. Untuk perdebatan yang menjadi pokok pembahasan, peneliti mengelaborasinya dengan mengaitkan polemik antara pendukung tarekat dengan pihak oposisi anti-tarekat.

A. Perkembangan Tasawuf menjadi Organisasi Tarekat

Sufisme atau tasawuf sebenarnya terus berkembang sejak awal munculnya agama Islam di Makkah dan Madinah. Pada saat itu, di kalangan kaum muslim terdapat individu-individu yang tertarik untuk memusatkan diri pada kepentingan beribadah. Terlihat bentuk nyata tradisi sufi sekitar abad kedua hijriyah. Tokoh-tokoh yang dianggap mewakili tradisi sufi pada abad ini antara lain Hasan al-Basri (21-110 H/642-728M), Ibra>him bin Adham al-Khurasa>ni (w. 777M), dan Rabi’ah al-Adawiyah (w. 801 M). Pada abad berikutnya, muncul Sha>qiq al-Balkh al-Khurasa>ni (w. 810 M), al-Muha>sibi al-Baghda>di (w. 837 M), Dhu> al-Nun al-Mis{ri (w. 859). Selanjutnya pada abad ketiga muncul sufi yang menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Tasawuf pada periode ini berkembang menjadi ilmu tentang moral keagamaan yang kemudian membicarakan zat Ilahi juga tentang ketuhanan yang berhubungan dengan manusia, atau hubungan manusia dengan Tuhannya yang melahirkan konsepsi tentang fana1 seperti yang dikemukakan oleh Abu Ya>zid al-Bust{a>mi (w. 261 H/875 M).2

1 Secara harfiah fana> berarti lenyap, hancur, sirna, atau hilang. Abu> Yazi>d al- Bista>mi mengatakan:” …. Dulu al-H{aqq ta’a>la adalah cermin diri-Nya, tetapi sekarang aku melihat bahwa al-H{aqq ta’a>la adalah cermin diriku karena Ia berbicara dengan lidahku, sedangkan aku telah fana>….” Perkataan fana> dalam ucapan Abu> Yazid dikarenakan adanya Shat}a>h{at. Dalam arti luas, fana> mencakup ke fana’>an dosa besar dan kecil, kefana>’an perbuatan jahat dan sifat tidak terpuji dari para calon sufi. Ketika seseorang mengalami fana>’ dari dirinya dan dari segenap makhluk, bukanlah ia berarti menjadi lenyap sama sekali. Dirinya dan segenap alam tetap ada, tetapi ia

23

Pada periode pertama, tasawuf hanyalah sebagai salah satu bentuk ungkapan keberagamaan seseorang yang sifatnya pribadi, dan tidak dilembagakan ke dalam sebuah tarekat. Seseorang yang memasuki dunia tasawuf memiliki tujuan yang semata-mata untuk menegaskan hubungan spiritual dirinya sebagai hamba (’a>bid) dengan Tuhannya sebagai Yang Disembah (Ma’bu>d). Hubungan spiritual antara ‘a>bid dan Ma’bu>d dalam dunia tasawuf lebih menekankan aspek batin (esoteric) ini dipahami berbeda dengan hubungan antara ‘a>bid dan Ma’bu>d yang diatur melalui doktrin-doktrin fiqh yang lebih bersifat lahir.3 Pada perkembangan Islam berikutnya, pola hubungan spiritual dalam dunia tasawuf semakin tersebar ke berbagai bagian dunia Islam, dan kemudian terlembagakan melalui organisasi tarekat sebagai wadah pelatihan ibadah dan perbaikan akhlak. Tarekat baru terbentuk sebagai organisasi dalam dunia tasawuf pada abad ke-8/14 M. Maka jelaslah, tarekat dianggap menjadi hal yang baru dipelajari oleh sebagian orang dan tidak pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal, termasuk pada masa Nabi. Sehingga, hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu dinisbatkan kepada nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup berabad-abad jauh setelah Nabi.4 Seperti tarekat Qa>diriyyah, diambil dari nama Shaykhnya, yakni ‘Abd al- Qa>dir Jaila>ni (471-561 H/1079-1166 M), tarekat Naqsyabandiyah, yang dinisbatkan kepada Baha>’ al-Di>n al-Naqsabandi (717-791 H/1317-1389 M), tarekat Syattariyah dinisbatkan kepada ‘Abd Alla>h al-Shat{t{a>ri ( wafat 890 H/1485M).5 Walaupun demikian, ajaran tasawuf diyakini oleh para pemeluknya memiliki akar yang kuat dalam ajaran Nabi, terutama dalam metode zikir.

tidak mengetahui dan tidak menyadarinya. Selengkapnya penjelasan fana’> lihat Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), 350-357. 2 Ahmad Syafi’i Mufid, Tangklukan, , dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 27. 3 Rizvi, S.A.A, A History of Sufism in India (New Delhi: Munshiran Manoharlal, 1983), 18. 4 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung, Mizan, 1992), 47; Oman Faturahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), 25. 5 Rizvi, S.A.A, A History of Sufism in India (New Delhi: Munshiran Manoharlal, 1983), 84-88; Oman Faturahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), 25.

24

Ada dua nama yang menjadi sandaran keabsahan silsilah dalam tarekat, yakni Abu> Bakar al-S}iddi>q dan ‘Ali> bin Abi Tha>lib. Seperti silsilah dalam tarekat Naqsyabandiyah yang terhubung kepada Nabi melalui Abu> Bakar al-S{iddi>q, sedangkan dalam silsilah tarekat Syatariyah, Qa>diriyyah, dan sejumlah jenis tarekat lainnya silsilah yang terhubung kepada Nabi melalui ‘Ali> bin Abi> T{ha>lib. Apapun jenis tarekatnya, mereka meyakini bahwa Nabi telah mengajarkan teknik- teknik mistik tertentu kepada Abu> Bakar al-S{iddi>q dan ‘Ali> bin Abi> T{ha>lib dengan karakter individu masing-masing. Mereka pun meyakini, setiap orang lahir dengan karakteristik dan sifat yang beragam, hal inilah yang menjadi penyebab utama munculnya perbedaan teknik, metode, dan ritual di antara berbagai jenis tarekat.6 Adapun dalam silsilah tarekat, secara tradisional merupakan bagian yang sangat penting dalam terciptanya hubungan yang lebih erat dengan para ulama. Sifat dasar dan pola hubungan struktural di dalam tarekat itulah yang mempererat jaringan tersebut. Murid-murid dalam jaringan tasawuf diharuskan mengikuti seluruh ajaran, perintah, dan keinginan shaykh tarekat, baik yang bertatap muka secara langsung maupun yang hanya bertemu dalam silsilah.7 Dan para ulama tersebut secara alamiah membentuk genealogi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, seperti keterlibatan ulama asal India. Mereka memperluas ranah pengaruh tarekat khususnya Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Dalam sejarah panjang, Tarekat Naqsyabandiyah menyebar sampai ke India setelah negeri tersebut ditaklukan oleh Babur, pendiri kekaisaran Moghul, tahun 1526. Kaisar dan bala tentaranya merupakan penganut tarekat Naqsyabandiyah. Penyebaran tarekat Naqsyabandiyah ke wilayah Indialah yang akhirnya berpengaruh terhadap tarekat-tarekat di Nusantara. Semua guru Naqsyabandiyah yang berada di Haramayn pada abad ke-17 adalah guru dari orang-orang Indonesia yang menerima tarekat mereka, termasuk ke dalam tarekat cabang-cabang anak benua India.8 Haramayn menjadi pusat intelektual Dunia Muslim, ulama, sufi, filsuf, penyair, pengusaha, dan sejarawan Muslim saling bertukar

6 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung, Mizan, 1992), 49. 7 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII (Jakarta: Prenada Grup, 2013), 121. 8 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), 53.

25 informasi segala bentuk ilmu pengetahuan. Menurut Gellen, yang dikutip oleh Azra, pengalaman-pengalaman penuntut ilmu ketika di Haramayn, tidak hanya memperkuat kedalaman ilmu untuk diri mereka sendiri tetapi untuk dunia muslim yang lebih besar.9 Analisis lebih lanjut tergambar dalam masyarakat intelektual (intellectual community) ulama yang berada di Haramayn pada abad ke-17. Perkembangan nyata terlihat dari ulama besar sekaligus sufi- sufi terkemuka, yang secara terus-menerus menekankan semangat pembaruan dalam tasawuf. Hal ini memunculkan inti jaringan ulama yang berpengaruh di Makkah dan Madinah. Perkembangan tasawuf dan organisasi tarekat di Haramayn dan jaringan ulama Nusantara yang terlibat di dalamnya akan dijelaskan pada sub-bab berikutnya.

B. Gambaran Perkembangan Tarekat di Haramayn dan Nusantara

Sumber dinamika Islam pada abad ke-17 dan 18 adalah jaringan ulama yang terpusat pada Makkah dan Madinah. Kedua kota suci ini, erat kaitannya dengan muslimin yang menunaikan ibadah haji. Hal ini mendorong para ulama dan penuntut ilmu dari berbagai wilayah dunia Muslim datang dan bermukim disana. Sebagian besar mereka terlibat dalam jaringan ulama yang berusaha untuk memperbaharui dan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam. Tema pembaruan mereka adalah rekonstruksi sosiomoral masyarakat Muslim. Pengembangan gagasan pembaruan dan transmisi jaringan ulama tersebut melibatkan proses yang amat kompleks. Hasil dari proses keilmuan mereka terlihat di bidang hadis{ dan tasawuf (t{ari>qah).10 Ahmad al-Qusha>shi> dan Ibrahim al-Kura>ni> merupakan tokoh yang dominan dalam jaringan keulamaan di Makkah dan Madinah pada abad ke-17. Sayyid Ahmad al-Qusha>shi> memiliki guru yang bernama Sayyid S{ibgha>t Alla>h yang kala itu keilmuannya bersinar di Haramayn, pembelajarannya di Masjid Nabawi melalui riba>t{. Al-Qushashi dan Ah}mad al-Shi>nawi merupakan orang yang paling bertanggung jawab mewariskan ajaran S}ibgha>t Alla>h di Haramayn. Hubungan antara al-

9 S.I Gellen, “The Search for Knowledge in Medieval Muslim Societies: A Comparative Approach,” dalam D.F. Eickelman dan J.Piscatori (peny.), Muslim Travellers: Pilgrimage, Migration and the Religion Imagination, Berkeley: University of California Press, 1990, 58. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 45. 10 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, xxiv.

26

Shi>nawi dengan al-Qusha>shi> tergolong unik, satu sisi al-S{hi>nawi adalah kawan seperguruan al-Qusha>shi> dari Sayyid S}ibgha>t Allah>. Disisi lain, al-S{hina>wi juga adalah guru dan mertua dari al-Qusha>shi>. Ia mengajari al-Qusha>shi> berbagai macam ilmu pengetahuan keislaman, seperti hadis, fikih, kalam, dan tasawuf. Bahkan, al- S{hina>wi pula yang menginisiasi al-Qusha>shi> sebagai khalifah tarekat Syattariyah berikutnya.11 Setelah al-Shina>wi> wafat, tanggung jawab penyebaran ajaran tarekat Syattariyah di Haramayn dialihkan kepada al-Qusha>shi. Al- Qusha>shi merupakan seorang penulis dan pengarang yang produktif pada masanya. Karyanya yang berjumlah puluhan dari berbagai bidang keilmuan, seperti tasawuf, h{adis, fiqh, ushul fiqh, dan tafsir.12 Al-Qusha>shi memiliki murid yang berasal dari berbagai kawasan seperti Hijaz, Yaman, Magrib, India, dan Indonesia. Dalam bidang tasawuf, ia mengafiliasikan diri kepada t{uruq13 seperti Syattariyah, Naqsyabandiyah, dan Qadiriyah. Al-Qushashi juga mempelajari beberapa doktrin Ibn ‘Arabi, khususnya yang telah dirumuskan kembali oleh ‘Abd al-Ka>rim al-Ji>li. Namun, ia selalu berusaha merekonsiliasi wah}dat al-wuju>d dengan syari’at dengan menekankan pentingnya pengamalan ketentuan syari’at dalam praktek sufi. Karya tulis yang dihasilkan berkisar antara 12 sampai 50 buah yang berkaitan dengan hadis, ushul fiqh, tafsir dan tasawuf.14 Tokoh Haramayn kedua yakni Ibrahim al-Kurani. Ia mempelajari berbagai ilmu di beberapa wilayah seperti Persia, Turki, Irak, Syiria, dan Mesir dan terakhir di Madinah. Guru-gurunya yakni Ahmad al- Qushashi, Ahmad al-Shina>wi, Mulla Muhammad Syarif al-Kurani, dan ‘Abd al-Karim al-Kurani. Ibrahim dikenal sebagai shaykh al-shuyu>kh, dikarenakan ahli dalam berbagai keilmuan dan menulis karya yang

11 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), 31. 12 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 88-89. 13 Turu>q atau tara>’iq (bentuk jama’ dari t{ariq/t{ari>qah) berasal dari bahasa arab berarti jalan atau metode atau aliran (madzhab), disebut juga dengan tarekat. Tarekat adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tujuan untuk sampai (wusu>l) kepada-Nya. Tarekat merupakan metode yang harus ditempuh seorang sufi dengan aturan-aturan tertentu sesuai dengan petunjuk guru atau mursyid tarekat masing-masing. Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, 1283- 1289. 14 Carl Brockelmann, Geschichte de Arabischen Litteratur (Leiden: E.J. Brill, 1953-9), vol 2, 514.

27 berkaitan dengan fiqh, tauhi>d, dan tasawuf. Karya Ibrahim yang termasyhur dikalangan ulama jawi yakni ith{a>f al-Dhaki bi Sharh al- Tuh{fah al-Mursalah ila> Ru>h al-Nabi.15 Al-Kurani menulis ith{a>f al- Dhaki sebagai tanggapan atas karya Fad{l Allah al-Burhanpu>ri> yang berjudul al-Tuhfa>t al-Mursalah ila> Ru>h al-Nabi>. John menyimpulkan, karya ini dilengkapi penjelasan singkat yang berjudul al-Haqi>qat al- Muwafiqah li al-Shari>’ah, al-Burhanpu>ri> berusaha mengendalikan jenis tasawuf yang berlebih-lebihan dengan menekankan unsur-unsur penting dalam Islam seperti keberadaan mutlak (wuju>d) Tuhan dan makna shari>’ah.16 Di dalam karyanya itha>f al-Dhaki, Ibra>hi>m al-Kura>ni> menjelaskan penekanannya terhadap syari’at tanpa mengurangi kecintaannya terhadap tasawuf. Para sufi harusnya mengesampingkan cara-cara mistis yang bertentangan dengan syari’at dan kewajiban agama lainnya. Setiap makna yang terdapat dalam al-Qur’a>n maupun matan (h{adis) tidak hanya mengandung makna esoteris (ba>t{in) tetapi juga makna eksoteris (z{a>hir). Jadi, para sufi harus menempatkan pemahamannya sejalan dengan pemahaman ahl al-shari>’ah. Sebagai contoh al-Kurani menjelaskan tentang fana>’ (pemusnahan) dalam Al- Qur’a>n (55:25). Fana>’ jelas bukanlah kematian alamiah (al-mawt al- thabi’i) menurut makna eksoterisnya, sedangkan makna esoterisnya meruakan semacam kematian (al-mawt al-ma’nawi’).17 Bisa dipastikan, dari kedua ulama besar inilah akar keterlibatan murid-murid dan ulama Indonesia terutama dari mata rantai murid- murid mereka yaitu Nu>r al-Di>n al-Ra>niri>, ‘Abd al-Ra’u>f al-Sinkili, dan Muhammad Yu>suf al-Maqassari>. Menurut Azra, setelah al-Ra>niri>, al- Sinkili>, dan al-Maqassari>, muncul murid-murid ulama Indonesia lainnya walaupun dipisahkan oleh rentang waktu, tetap berkaitan dengan rumpun religio-intellectual discourse yang sama. Jaringan ulama Asia Tenggara atau disebut dengan “Southeast Asian Connection” adalah pembentukan dari ulama-ulama Indonesia dan

15 ‘Abd al-Rahma>n al-Jabarti, ‘Aja>ib al-Atha>r fi al-Tara>jum wa al-akba>r, ed. Hasan Muhammad et.al., Kairo, vol.1, 181. Sebuah Copy dari Fawa>’id al-Irtiha>l Ms. Da>r al-Kutub, Kairo, 1093, 166-7. Lihat Azyumardi Azra, Reinaisans Islam Asia tenggara, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2000), 128-129. 16 A.H. John, The Gift Addressed to the Spirit of the Prophet (Canberra: The Australian National University, 1965), 5-7. 17 Ibra>him al-Kurani, ‘Ith{af al-Dha>ki bi Syarh al-Tuhfat al-Mursalah{ ila> Ru>h{ al-Nabi, Kairo: MS. Da>r al-Kutub al-Mishriyyah, Tashawwuf 2578, vol. 6,9,11,15; Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 138.

28

Asia yang bersatu dalam jaringan Haramayn. Sebut saja beberapa ulama sesudah ketiganya antara lain: ‘Abd al-Shamad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari, Shaykh Muhammad Nafis al-Banjari, Nawawi al-Bantani, Akhmad Khatib al-Sambasi, Abd Ka>rim al- Bantani, Ahmad Rifa>’i Kalisasak, Isma’il al-Kha>lidi al-Minangkabawi, Daud Ibn ‘Abd Allah al-Fatani, Junayd al-Batawi, Akhmad Khatib al- Minangkabawi, Shaykh Ahmad Nahra>wi al-Banyumasi, Muhammad Mahfuz al-Termasi, Hasan Must}a>fa al-Garuti, Sayyid Muhsin al- Palimbani, Muhammad Ya>sin al-Padani, ‘Abd Karim al-Banjari, Ahmad Damanhuri al-Bantani, dan lainnya. Sebagian dari mereka setelah menuntut ilmu di Haramayn kemudian kembali ke tanah air, sebagian pula bermukim selama-lamanya di Haramayn.18

C. Transmisi Ajaran Tarekat dari Haramayn ke Nusantara

Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi konversi dan Islamisasi di Nusantara. Pengaruh tersebut menjadi contoh yang unik dari transformasi keberagaman. Contohnya seperti hubungan awal Muslim Nusantara dengan Timur Tengah dan China telah terjalin sejak Abad ke-7 Masehi, dari hal-hal yang bersifat diplomatik, bisnis (perdagangan) sampai keagamaan.19 Teori dengan tingkat aplikabilitas lebih dekat tentang kedatangan Islam di Nusantara menurut Azra, teori yang di kembangkan oleh A.H. John. A.H. John menilai bahwa para sufi pengembara yang pertama kali melakukan penyiaran Islam di Nusantara setidaknya sejak abad ke-13. Faktor yang menjadi keberhasilan para sufi disebabkan mereka menyajikan Islam secara atraktif.20 Proses transmisi ajaran dan gagasan keislaman selalu melibatkan jaringan intelektual (intellectual networks), baik yang terbentuk di kalangan ulama maupun cendekiawan Muslim lainnya. Jaringan tersebut terpusat pada seseorang bahkan lebih yang menjadi tokoh sentral dalam pembentukan dan pengembangan jaringan intelektual.

18 Azyumardi Azra, Reinaisans Islam Asia tenggara (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2000), 151. 19 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII (Jakarta: Prenada Grup, 2013), 20. 20 A.H. Johns, “Sufis, as a Category in Indonesian Literature and History”, (JSEAH, 2, 11 1961), 10-23. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII (Jakarta: Prenada Grup, 2013), 15.

29

Kewibawaan tokoh sentral, menjadi sebuah daya tarik yang membuat para penuntut ilmu berkerumun di sekelilingnya sehingga terbentuklah suatu jaringan intelektual. Azra berpendapat bahwa dalam sejarah, jaringan intelektual inilah yang menjadi sebuah alat transmisi yang paling efektif dalam difusi gagasan-gagasan keislaman.21 Proses konstruksi pemikiran sufistik di Nusantara tidak terlepas dari peranan dan Shams al-Di>n al-Sumatrani di Aceh. Perkembangan tersebut, seiring dengan perluasan kekuasaan kesultanan Aceh pada masa Sultan ‘Ala al-Di>n Ri’ayat Sha>h IV Sayyid al-Mukammil 997-1011 H (1589-1604 M) dan Sultan Iskandar Muda Meuta Alam tahun 1016-1045 H (1607-1636 M). Kitab-kitab karya Hamzah Fansuri dan Shams al-Di>n al-Sumatrani dalam ajaran tasawuf menjadi ajaran formal dan mendapat dukungan luas dari masyarakat di Aceh. Hal tersebut menjadikan minat baru bagi masyarakat Aceh-Nusantara terhadap ajaran tasawuf dan mistiko- filosofis, terutama dalam menyangkut konsep ‘a’ya>n t{a>bit{ah (entitas- entitas permanen).22 Proses masuknya Tarekat Qa>diriyah ke Indonesia dikisahkan melalui Hamzah Fansuri. Ia mendapatkan khila>fat (ijazah untuk mengajar) ilmu Shaykh ‘Abd al-Qa>dir di Ayuthia, ibukota Muangthai (orang Persia dan India menyebutnya sebagai Syahr Nawi), “Kota Baru”. Hal ini tertuang dalam bait yang berbunyi: Hamzah nin asalnya Fansuri Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi Beroleh khilafat yang ‘ali Daripada ‘Abd al-Qa>dir Jaila>ni>23 Beberapa tarekat mulai berkembang di Nusantara sekitar abad ke- 16 hingga abad ke-19. Namun, perkembangan tarekat secara nyata baru terasa pada abad XVII periode Hamzah Fansuri dan Shamsuddin al-Sumatrani. Hamzah Fansuri secara tegas disebut sebagai penganut

21 Azyumardi Azra, Reinaisans Islam Asia tenggara (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2000), 121. 22 Hermansyah, Tibya>n Fi Ma’rifat al-Adyan: Tipologi Aliran sesat menurut Nur al-Di>n al- Ra>ni>ri> (Tangerang Selatan: LSIP, 2012), 13. 23 Shaykh Muhammad Naquib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970), 11; G.W.J. Drewes & LF. Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri (Dordrecht: Foris, 1986), 44-45; Sri Mulyati (et.al), Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2011), 51.

30 tarekat Qadiriyah.24 Kendati demikian, tarekat Qadiriyah yang dianut oleh Hamzah Fansuri dan Shamsuddin al-Sumatrani berbeda dengan yang berkembang pada periode setelahnya. Perbedaan tersebut terletak kepada paham penyatuan manusia dan Tuhan (Wah{dah al-Wuju>d).25 Tarekat Qa>diriyah menempati posisi yang amat penting dalam sejarah Islam, menjadi sebuah cikal bakal berdirinya berbagai macam cabang tarekat di dunia Islam.26 Hamzah dan Shams al-Di>n dikategorikan termasuk dalam aliran pemikiran keagamaan yang sama, keduanya menganut paham wah{dah al-wuju>d dari tasawuf.27 ‘Ibn ‘Arabi dan al-Ji>li> menjadi tokoh yang paling berpengaruh dalam paham wujudiyah mereka. Seperti, alam raya dalam pengertian serangkaian emanasi-emanasi neo-Platonis dan menganggap setiap emanasi sebagai aspek Tuhan itu sendiri. Perintis keterlibatan ulama Indonesia selanjutnya adalah Nur al- Di>n al-Raniri, ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili, dan Muhammad Yusuf al- Maqassari. Kedua nama yang disebutkan terakhir meninggalkan kepulauan Nusantara menjelang pertengahan abad ke-17, mereka menuntut ilmu dari berbagai ulama mancanegara, yakni Ahmad al- Qushashi, Ibrahim al-Kurani, dan Muhammad al-Barzanji. ‘Abd Rauf diangkat sebagai khalifah tarekat Syattariyah oleh Ahmad al- Qushasshi dan kembali ke Aceh setelah gurunya meninggal dunia.28 Nu>r al-Di>n al-Ra>niri hidup di Aceh selama tujuh tahun (1637- 1644) dan pernah menjabat sebagai Shaykh al-Islam atau mufti di kerajaan Aceh pada masa jabatan Sultan Iskandar Tsani dan Awal pemerintahannya pada masa Sultanah Shafiatu al-Di>n.29 Perkembangan aliran-aliran sufi pada masanya ia kemukakan dalam sebuah karya yang berjudul Tibya>n Fi> Ma’rifa>t al-Adya>n

24 Martin van Bruinessen, ”Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syakh Abdul Qadir Jailani di India, Kurdistan, dan Indonesia” Ulumul Qur’an 2 No. 2 (1989) : 69. 25 Ahmad Syafi’I Mufid, Tangklukan Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 62. 26 Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2011), 26. 27 Lihat secara lengkap doktrin dan pemikiran Hamzah fansuri dalam Muhammad Naquib al-Attas, Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970). 28 Azyumardi Azra, Reinaisans Islam Asia tenggara (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2000), 149. 29 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII (Bandung: Mizan, 1994), 212. Lihat Pula Sri Mulyati, Tarekat- Tarekat Muktabarah (Jakarta: Prenada Group, 2011), 15.

31 sebagai hadiah untuk Sultanah S{afiat al-Di>n dengan pembahasan yang berbahasa Jawi. Ia merupakan tokoh ulama pertama yang membahas tentang perbandingan agama di Melayu-Nusantara. Argumentasi- argumentasi dalam kitab tersebut mengacu kepada dua kitab ulama sebelumnya, yakni al-Muntahi> dan Asra>r al-‘A>rifi>n karya Hamzah Fansuri dan Mi’ra>t al-Muhaqqiqi>n karya Shams al-Di>n Sumatrani. Isi kandungan Tibya>n Fi Ma’rifat al-Adya>n adalah agama-agama yang berkembang di dunia sejak kejadian alam, perpecahan sekte-sekte dalam Islam, kaum sufi sesat hingga doktrin wujudiyah. Kitab inilah yang kemudian menimbulkan kontroversi antara ulama sufi dan shari’>ah (Teolog) di kemudian hari.30 Al-Ra>niri> merupakan tokoh yang memiliki pengaruh langsung tarekat di Indonesia dari India. Zaman setelahnya, cabang tarekat India berkembang dahulu di Haramayn, baru kemudian menyebar keseluruh Nusantara, di antaranya Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh ‘Abd Rauf al-Sinkili.31 Tarekat Syatta>riyah juga salah satu jenis tarekat terpenting dalam proses islamisasi dunia Melayu yang dipelopori oleh ‘Abd Rauf al- Singkili di Aceh. Abdurrauf al-Singkili mempunyai murid-murid yaitu, Shaykh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman, Sumatra Barat dan Shaykh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Murid-murid ini berhasil melanjutkan serta mengembangkan tarekat Syattariyah. Shaykh Burhanuddin menjadi khalifah utama bagi semua khalifah Syattariyah di wilayah Sumatra Barat sedangkan Shaykh Abdul Muhyi menjadi salah satu mata rantai utama bagi terhubungnya tarekat Syattariyah. Tarekat Syattariyah menjadi salah satu tarekat yang mengembangkan ajaran tasawuf dengan kecenderungan neosufisme di dunia Melayu-Indonesia. Karakteristik yang paling menonjol dari ajaran neosufisme yakni korelasi yang berkesinambungan antara ajaran syari’at dan ajaran tasawuf.32

30 Hermansyah, Tibya>n Fi Ma’rifat al-Adyan: Tipologi Aliran sesat menurut Nur al-Di>n al- Ra>ni>ri> (Tangerang Selatan: LSIP, 2012), 20. 31 Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah (Jakarta: Prenada Group, 2011), 15. 32 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII (Bandung: Mizan, 1994), 109. Lihat Pula Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah (Jakarta: Prenada Group, 2011), 152.

32

Ulama sufi Nusantara selanjutnya ialah Shaykh Yusuf al- Maqassari. Kisah perjalanan menuntut ilmunya bermula dari Banten menuju Saudi Arabia lewat Ceylon (Srilangka). Sebelum sampai ke Saudi Arabia ia singgah ke negeri Yaman dan berguru kepada Shaykh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Shaykh al-Kabir Mazjaji al- Yamani Zaid al-Naqshabandi. Di sini Shaykh Yusuf dianugerahi ijazah tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian, ia melanjutkan perjalanan ke Zubaid di negeri Yaman pula, Syakh Maulana Sayed Ali dan menerima ijazah tarekat al-Baalawiyah. Sesampainya di Haramayn, ia berguru kepada Syakh Ibrahim Hasan bin Shiha>buddi>n al-Kurdi al-Kurani dan menerima ijazah tarekat Syattariyah. Shaykh Ibrahim terkenal dengan nama Mulla Ibrahim.33 Shaykh Yu>suf al-Maqassari> telah memperoleh ijazah dari tarekat Qadiriyah, tarekat Naqsyabandiyah, tarekat Baalawiyah dan Syattariyah. Kemudian, ia melanjutkan perjalanannya ke negeri Syam (Damaskus) menemui Shaykh Abu al-Bara>kat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati. Shaykh ini memberikan ijazah tarekat Khalwatiyah karena Shaykh Yusuf mempunyai kemajuan yang signifikan dari amalam-amalan syari’at dan amalan hakikat dan diberikan gelar Ta>j al-Khalwat Hadiyatullah. Risalah Safi>nat al-Naja>h menyebutkan bahwa Syakh Yusuf menerima lima ijazah tarekat berikut silsilahnya. Tidak hanya lima tarekat, Syakh Yusuf juga mempelajari berbagai macam tarekat, di antaranya, tarekat Dasuqiyah, Shaziliyah, Chistiyah, Rifa>’iyah, al- Idrusyah, Ahmadiyah, Suhrawardiyah, Maulawiyah, Kubrawiyah, Madariyah, Makhduniyah. 34 Beberapa ulama yang telah disebutkan di atas, yakni al-Ra>niri, al- Sinki>li, dan al-Maqassari merupakan ulama abad ke-17 yang membawa gagasan pembaruan di Nusantara, melalui guru-guru mereka di Haramayn. Hal ini membuktikan bahwa, transmisi ajaran tarekat- tarekat yang berkembang di Nusantara merupakan hasil dominasi keilmuan yang diajarkan para guru-guru di Haramayn. Abad ke-17 menjadi pemicu perkembangan tarekat pada abad selanjutnya. Pada abad ke-18 terdapat ulama Palembang, yakni ‘Abd al- Shamad al-Pa>limbani, ulama Banjar, yakni Muha~mmad ‘Arsyad al- Banjari dan ulama Pattani, yakni Da>wud Bin ‘Abd Allah. Ketiganya

33 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia (Jakarta: C.V. Rajawali, 1983), 43. 34 Abu Hamid, Shaykh Yusuf Makassar: Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 92-93.

33 merupakan ulama aabad ke-18 yang mentransmisikan ajaran tarekat dari Haramayn ke Nusantara. Muhammad ‘Arsyad al-Banjari adalah ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga Islam serta memperkenalkan gagasan- gagasan keagamaan baru ke Kalimantan Selatan. Ia dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan. Muhammad ‘Arsyad mendapatkan pendidikan dasar keagamaan hanya dari ayah dan para guru setempat, dikarenakan belum adanya atau pesantren yang telah berdiri pada masa itu di wilayahnya. Ketika berumur tujuh tahun, diriwayatkan bahwa Muhammad ‘Arsyad mampu membaca Al-Qur’an secara sempurna, sehingga seorang sultan yang berkuasa yaitu Sultan Tah}li>l Allah> mengajaknya untuk tinggal di istana beserta keluarganya. Beranjak dewasa, Muhammad ‘Arsyad dinikahkan dengan seorang perempuan bernama Bajut.35 Tetapi ketika istrinya sedang mengandung, Sultan memerintahkan untuk menuntut ilmu di Makkah.36 Inilah awal mula transimisi keilmuan seorang ulama Banjar dari Haramayn ke Nusantara khususnya daerah Kalimantan Selatan. Makkah menjadi tempat pertama Muhammad ‘Arsyad menimba ilmu dan menempati sebuah rumah di daerah Syamiyah yang hingga sekarang masih dipertahankan para imigran Banjar. Ia mempelajari agama bersama-sama dengan tokoh abad ke-18 lainnya yaitu empat ulama Nusantara dan satu ulama dari Fattani, Thailand. Kelima sahabat itu diantaranya adalah: a. Shaykh ‘Abd al-S{amad al-Palimbani, dari Palembang, Sumatera. b. Shaykh Abdurrahman Masri al-Batawi, dari Betawi, Batavia. c. Shaykh Abdul Wahhab Sadengreng Bunga Wardiyyah, dari Bugis, Sulawesi. d. Shaykh Muhammad ‘Arsyad al-Banjari dari Martapura, Banjar, Kalimantan.

35 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 92. 36 Untuk biografi lengkap Muhammad ‘Arsyad, lihat zamzam, Syekh Muhammad ‘Arsyad; Jusuf Halidi, Ulama Besar Kalimantan Selatan: Syech Muhammad Arsjad al-Banjari; Tamar Djaja, “Syech M. Arsyad Banjar.” Dalam Pusaka Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1965); Shaghir Abdullah, Syeikh Moh. ‘Arsyad al-Banjari, Martapura: Sullamul ‘ulum, 1980; M.S. Kadir, Syeikh Muhammad ‘Arsyad l-Banjari Pelopor Da’wah Islam dan Kalimantan Selatan, Mimbar Ulama, 6, (1976), 69-79; Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, edisi perenial, (Jakarta: Prenada Media, 2013), 328-329.

34 e. Shaykh Daud bin Abdullah al-Fat{ani, Thailand.37 Guru Shaykh Muhammad Arsyad di Haramayn antara lain: Syaikh At}a>illah bin Ahmad al-Mis}ri, Syaikh Muhammad Sulaima>n al-Kurdi, Shaykh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Mada>ni, Shaykh Ahmad bin Abdul Mun’im al-Damanhuri, Shaykh Hasan bin Ahmad ‘Akisi al-Yamani, dan beberapa guru yang memberikan sanad kepadanya yakni: Shaykh Abi> al-Faidh Muhammad Murthada bin Muhammad al-Zabi>di, Syaikh Salim bin Abdullah al-Bas{ri al-Makki, Syaikh Sulaiman bin Sulaiman al-Ahdal.38 Haramayn menjadi tempat utama bagi Muhammad ‘Arsyad dalam menimba ilmu, tiga puluh tahun di Makkah dan lima tahun di Madinah menjadi sebuah pembuktian bahwa Muhammad ‘Arsyad membawa misi keilmuan yang cukup kuat ke Nusantara terutama pada bidang fiqh atau syari’at. Namun menurut Steenbrink, tidak hanya ilmu Fiqh saja, ilmu tasawuf juga menjadi perhatiannya. Muhammad ‘Arsyad membawa tarekat Sammaniyah ke Banjar yang ia pelajari dari Syakh Abdul Karim al-Sammany dan sempat menulis buku di bidang tasawuf yang berjudul Kanz Ma’rifah.39 Berbeda dengan pendapat Bruinessen bahwa penyebaran tarekat Sammaniyah ke Kalimantan Selatan adalah M. Nafis al-Banjari. Ia mengatakan bahwa Muhammad Arsyad tampaknya bukan orang yang bersinggungan dengan penyebaran tarekat Sammaniyah, walaupun ia telah mempopulerkan qasi>dah atau pujian Shaykh Samman yang sampai sekarang masih digunakan.40 Di Palembang, Tarekat Sammaniyah juga mendapat tempat istimewa, karena tiga ulama asal Palembang pernah belajar pula kepada Shaykh Samman, yakni ‘Abd al-Shamad Palimbani, Tuan Haji Ahmad, dan Muhyiddi>n bin Shiha>buddin. Namun, yang paling menonjol ialah ‘Abd al-Shamad Palimbani. Peeters menyebutkan tiga data yang menjadi kesimpulan bahwa pengaruh tarekat Sammaniyah begitu diistimewakan di Palembang. Pertama, dalam Hikayat Shaykh Muhammad Shamad disebutkan, Sultan Mah{mu>d Baha>’ al-Di>n tahun 1776 memberi uang wakaf sebesar 500 real untuk za>wiyah tarekat

37 Tim Pustaka Basma, 3 Permata Ulama dari Tanah Banjar (Malang: Pustaka Basma, 2012), 16-17. 38 Tim Pustaka Basma, 3 Permata Ulama dari Tanah Banjar (Malang: Pustaka Basma, 2012), 16-17. 39 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 96. 40 Bandingkan dengan pendapat Martin van Bruinnesen, , Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995), 66.

35

Samman di Jeddah. Kedua, Bah{r al-‘aja>ib disebut bahwa kitab ini ditulis oleh Kemas Muhammad bin Kemas Ahmad atas perintah Sultan Mahmud Badaruddin, atas perintahnya pula Kemas Muhammad menulis Hikayat Kramay Shaykh Muhammad Samman. Ketiga, dalam Syair perang dengan Belanda, Sultan Mahmud Badaruddi>n mengerahkan ulama untuk membaca ratib Samma>n.41 Tarekat selanjutnya adalah tarekat gabungan serupa dengan Sammaniyah, guru-guru sufi ini disebut-sebut sebagai ulama terpenting dalam pemurnian ajaran tasawuf di Nusantara yakni Shayh Islamil Al Khalidi Al-Minangkabawi, Shaykh Muhammad Shaleh al- Zawawi, dan Syakh Ahmad Khatib al-Sambasi. Ketiga ulama sufi ini mengajarkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Tarekat Muzhariyah, dan tarekat Qadiriyah. Ketiga Tarekat ini memiliki penganut terbesar dibandingkan dengan Tarekat Rifaiyah, Samaniyah, Syattariyah, Tijaniyah, Alawiyah, Saziliyah, dan lainnya.42 Tarekat Naqsyabandiyah akan dijelaskan lebih terperinci pada bab selanjutnya Pada Abad ke-20, masuklah tarekat Tija>niyah yang dibawa oleh para jama>’ah haji Indonesia. Kedatangan Tarekat Tijaniyah diawali dengan kehadiran Syakh ‘Ali bin ‘Abdullah al-thayyib yang ditandai dengan pengajaran Tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet, Cirebon. Tarekat Tijaniyah diperkirakan datang ke Indonesia pada awal abad ke-20 M (antara 1918 dan 1921). Menurut Pijper, sebelum tahun 1928 tarekat ini tidak mempunyai pengikut yang besar di Pulau Jawa dan mulai berkembang setelah tahun 1928. Pada tahun yang sama, pemerintah kolonial mendapatkan laporan bahwa terdapat tarekat baru yakni Tarekat Tijaniyah.43 Sedangkan Tarekat Haddadiyah muncul atas dasar kreativitas umat Islam Indonesia, yang dipelopori oleh para haba>ib turunan Arab. Pemurnian ajaran tasawuf yang bercorak filosofis menjadi ajaran tasawuf yang menekankan kepada shari’ah terjadi pada abad ke-19 melalui tokoh-tokoh sufi yang berasal dari Indonesia setelah kembali dari mencari ilmu di Saudi Arabia.44

41 Jeroen Peeters, Kaum Tuo Kaum Mudo; Perubahan Religius di Palembang (Jakarta: INIS, 1997), 23-24. 42 Ahmad Syafi’I Mufid, Tangklukan Abangan, dan Tarekat, 65. 43 G.H. Pijper, Fragmenta Islamica: Beberapa Studi tentang Islam di Indonesia Abad ke-20, terjemahan oleh Tujimah (Jakarta: UI Press, 1987), 82. Lihat pula Sri Mulyati (et.al), Tarekat – Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), 223. 44 Ahmad Syafi’I Mufid, Tangklukan Abangan, dan Tarekat, 65.

36

D. Pergulatan tarekat dan syari’at di Nusantara

Pertentangan teologi di Nusantara merupakan sebuah manifestasi dari teologi Timur Tengah sebelumnya, konteks yang berkembang di Nusantara seperti mistiko-sufistik Ketuhanan dan konsepsi alam menjadi kontroversi. Pro dan kontra berkembang di kalangan para Mashayikh, seperti Abu> Yazi>d (261 H), al-Hallaj (279 H), al-Junayd (297 H), ‘Abd al-Qa>hir al-Baghda>di> (429 H), Ibn Taymiyah (w.728 H) dan Imam al-Ghazza>li> (505 H), yang memiliki pemikiran teolog sufi yang menurut Ibra>him Madku>r disebut juga dengan tasawuf sunni.45 Menurut Said Agil Siraj, tasawuf ini dinamakan tasawuf ‘irfani, karena ma’rifat sufistik pada hakikatnya adalah irfa>n atau gnost.46 Seiring berjalannya waktu, eksistensi sufi terkadang banyak dipertanyakan. Keberadaannya yang dikenal sebagai sosok manusia suci yang senantiasa dipuja dan diagung-agungkan banyak kalangan tampak menuai berbagai gugatan. Seperti eksekusi terhadap al-Halla>j menjadi salah satu bukti ‘penggugatan’ dalam konteks ini. Dengan demikian, benar jika dikatakan bahwa sufi pada gilirannya telah melahirkan anti-Sufi. Jika eksekusi terhadap al-H{alla>j adalah bukti kelahiran anti-Sufi dari luar Sufi, maka fenomena anti-sufi juga timbul dari dalam Sufi itu sendiri. Praktik-praktik shaykh sufi yang dianggap melebihi batas kewajaran menjadikan praktik sufisme ditinjau kembali. Kebangkitan besar Islam pada abad ke-18 dan awal abad 19, menyediakan pondasi-pondasi esensial bagi reformis modern, baik yang dilakukan oleh para Sufi reformer maupun kaum Wahhabi yang

45 Ibra>him Madku>r, Fi> al-Falsafat al-Isla>miya>h: Manha>j wa Tat{bi>q (Kairo: Da

37 menggantikan posisi tarekat di Haramayn. Respon yang bersifat reformis menimbulkan kritik tajam bagi perkembangan tarekat diberbagai belahan dunia. Pasca Perang Dunia II, mayoritas penduduk Muslim, mengkhawatirkan bahaya kelompok Sufi dalam berbagai aktivitas politik. Sehingga, kelompok anti-sufi membenci segala bentuk kekuasaan politik praktis kaum sufi dan menimbulkan konfik ideologi.47 Berbagai macam alasan anti-sufi mulai dari pergulatan antara syari’at dan tasawuf yang menyimpang, motif kelompok, hingga motif kekuasaan. Di Uni Soviet, pergulatan sufistik lebih mengarah kepada hal-hal yang berkaitan dengan politik. Kaum Sufi lokal, menolak untuk meninggalkan komitmen klasik terhadap jihad, mereka selalu mencurahkan diri untuk melawan rezim ateis, bahkan bertindak lebih eksklusif. Beberapa orang sufi berusaha menghindari diri dari deportasi dibawah kepemimpinan Shaykh dari cabang Qa>diriyah Batal Haji. Batal Haji terkenal karena kekerasan dan eksklusivisme puritannya. Ia menolak makan dengan orang yang belum masuk ke dalam tarekatnya dan menikah hanya dengan golongannya sendiri.48 Menurut Michael Kemper dalam penelitiannya terhadap Anti- Sufisme Soviet, tarekat sufi memang dianggap sebagai musuh utama Negara dan bangsa komunis. Pertengahan tahun 1920, pergerakan anti- agama diperluas secara besar-besaran, terutama agama Islam. Pusat utama ibadah, masjid-masjid, dan 1000 ulama Muslimin terpinggirkan. Imam dan Shaykh Sufi dieksekusi dan diasingkan.49 Gerakan kaum Wahhabi merupakan contoh kritik yang keras dan total terhadap sufisme. Kecaman keras kaum Wahhabi awal terhadap praktik-praktik sufi yang populer barangkali menjadi ciri khas mereka yang paling terkenal. Pendiri Wahha>biyah yakni Muh{ammad Ibn ‘Abd al-Wahha>b memiliki pengaruh kuat dalam hal ini, sosok Ibn Taymiyah menjadi inspirasi dari seorang ‘Abd al-Wahhab. Ia menganjurkan membentuk kembali masyarakat sesuai dengan aturan yang ada dalam

47 Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti Sufis (England: Curzon Press, 1999), Alih bahasa oleh Ade Salimah, Sufi dan Anti-Sufi (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), 226. 48 Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti Sufis, 32-34. 49 Michael Kemper, “Studying Islam in the Soviet Union,” Uva-DARE, the institutional repository of the University of Amesterdam (2009): 6, http://handle.net/11245/1.314795, (diakses 11 Desember 2014).

38 komunitas Islam pertama di Madinah, dorongan ketaatan kepada syari’at, serta menghapus bid’ah-bid’ah sesat yang terdapat pada abad- abad yang lalu dalam upaya kembali menuju Negara Islam yang orisinil. Perbedaan yang signifikan antara kaum Wahhabi dan kaum sufi adalah penolakan kaum Wahhabi terhadap pandangan mistik sebagai salah satu sarana yang valid untuk mencapai komunitas Muslim yang sesungguhnya. Kaum Wahhabi menyerukan untuk mengikuti ajaran murni Islam yang berasal dari wahyu.50 Tak hanya sampai kaum Wahhabi, tokoh-tokoh yang disebut- sebut pembaru abad ke-20 seperti Muh{ammad Abduh (w. 1905 M) yang meyakini bahwa sufisme yang dipraktikkan pada zamannya itu telah menyimpang jauh dari agama Islam yang otentik. Dalam al- Waqa>’i’ al-Mi{sriyyah, dia melancarkan kritik terbuka kepada tarekat- tarekat sufi tertentu karena telah bersalah memperkenalkan bid’ah- bid’ah yang tidak bisa diterima dimasjid-masjid dan menurutnya berperan dalam kemerosotan masyarakat. Hal ini tertual dalam artikel pada tanggal 30 November 1880. Dalam artikel tersebut, ia mendukung usaha untuk melarang beberapa praktik sufi yang berlebihan di masjid Imam al-H{usayn dan Sayyidah Zaynab di Kairo.51 Begiu pula dengan Rasyi>d rid{a> (w. 1935 M) yang mengkritisi konsep fana>’, tidak ada tujuan logis dalam hubungan spiritual murid dan guru, bahkan kritiknya melampaui ‘Abduh terhadap keraguannya tentang keabsahan aspek-aspek inti sufisme.52 Kritik terhadap tasawuf yang muncul diberbagai bagian dunia Islam, terjadi pula di Nusantara. Jauh sebelum tarekat berkembang pesat, terdapat berbagai pergulatan sengit antara kaum sufi dengan para ulama yang lebih menekankan kepada aspek shari>’ah sebelum menuju gerbang sufistik. Mistisisme merupakan bagian dalam dari ajaran agama atau dimensi esoteris. Ibaratnya, syari’at yang disebut sebagai dimensi esoteris merupakan kunci, sedangkan isi rumahnya adalah mistisisme atau dimensi esoterisnya.53

50 Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti Sufis, 32-34. 51 Lihat Muhammad Abduh, “ Ibt{a>l al-bida’ min niz{a>rat al-awqa>f al- ‘umu>miyah’, dalam al-‘A’ma>l al-ka>milah, II, 23-26; mulanya dipublikasikan dalam al-Waqa>’i al-Mis{riyyah, 958, 27 Dzulhijjah 1297/30 Noveber 1880. 52 Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti Sufis (England: Curzon Press, 1999), Alih bahasa oleh Ade Salimah, Sufi dan Anti-Sufi (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), 150. 53 Nur Syam, Pembangkangan Kaum Tarekat (Surabaya: LEPKISS, 2004), 32.

39

Pergulatan yang paling menonjol di Nusantara adalah problematika syari’at dan tasawuf. Dalam hal ini terjadi antara Shaykh Siti Jenar dengan Wali Songo. Pada awal mulanya, padepokan yang didirikan oleh Siti Jenar untuk menimba ilmu sejati (ilmu ke- Allah-an), sehingga orang dari para ulama, pimpinan wilayah sampai keturunan bangsawan menjadi muridnya. Serat Siti Jenar mengkisahkan tentang penolakan Siti Jenar dan para pengikutnya untuk meninggalkan kewajiban sembahyang dan mengosongkan masjid.54 Guna mendapat penjelasan dari Siti Jenar, Para Wali mengadakan pertemuan dengannya. Namun, pemanggilan ketiga barulah Siti Jenar mau menemui para wali. Para Wali memanggil Siti Jenar dengan tiga alasan, pertama tentang ilmu ke-Allah-an yang diajarkan oleh Siti Jenar. Kedua, sikapnya yang meremehkan Para Wali. Ketiga, sikapnya yang meninggalkan shalat dan mengosongkan masjid. Siti Jenar memberikan penjelasannya terhadap persoalan pertama. Keberanian dalam menyebarkan ilmu ke-Allah-an karena dorongan terhadap pemahamannya atas Allah sebagai Sang Pengasih kepada semua yang diciptakannya.55 Melalui pemahaman ini, Siti Jenar berpendapat bahwa ciptaan dapat memahami ilmu ke-Allah-an tanpa harus berguru kepada ulama atau belajar tentang ilmu agama secara mendalam. Karena ilmu ke-Allah-an itu potensi alamiah yang dititipkan Tuhan kepada semua makhluk-Nya.56 Di samping itu, Siti Jenar tidak meneliti terlebih dahulu dan mempertimbangkan latar belakang orang-orang yang belajar kepadanya. Bahasa penolakan terhadap syari’at tidak diungkapkan secara langsung oleh Siti Jenar, namun hal ini disimpulkan oleh para wali. Menurut mereka, syari’at merupakan bentuk ketaatan seorang Muslim untuk meramaikan masjid terutama shala>t lima waktu di Masjid dan Shalat Jum’at dengan berjama’ah. menegaskan kesalahan besar dari Siti Jenar adalah menyebarkan ilmu ke-Allahan

54 Sunan Ghiri Khedaton, Boekoe Siti Jenar Ingkan Tulen (Kediri: Tan Khoen Swie, 1931), cet,2, 14. 55 Sunan Ghiri Khedaton, Boekoe Siti Jenar Ingkan Tulen, 12-14. 56 Reynold A.Nicholson, Aspek Rohaniah Peribadatan Islam di Dalam Mencari Keridhaan Allah, Terj. Nasir Budiman, (Jakarta: PT>.RajaGrafindo Persada, 1995), cet.2, 70.

40 kepada sembarang orang tanpa mempertimbangkan latar belakang serta kemampuan muridnya.57 Sunan Giri mengatakan bahwa pertolongan terhadap muridnya bukanlah menjadi pertolongan, melainkan menimbulkan sikap yang sesat bagi orang yang mempelajarinya.58 Menurut Aris Fauzan, dalam serat Siti Jenar yang menjadi perhatian Sunan Giri adalah sikap gegabah Siti Jenar dalam menyebarkan ilmu ke-Allahan kepada setiap orang.59 Sedangkan dalam pengajarannya, tentang ilmu ke-Allahan ataupun Pangeran Sejati, Sunan Giri menyetujui tentang pemahaman Siti Jenar, tetapi Pangeran itu tidak bisa dijadikan bahan pembicaraan yang tidak dapat disentuh, Ada-Nya adalah gaib.60 Kritik terhadap tarekat kali ini mencapai puncaknya sekitar pertengahan abad ke-19. Polemik yang muncul kini tak lagi hanya seputar orisinalitas antara konsep ajaran tasawuf dengan syari’at, melainkan mengacu pula terhadap konsep ajaran dalam berbagai organisasi tarekat. Berbagai alasan diketengahkan termasuk pula latar sosial abad ke-19, yang pada saat itu umat Islam Nusantara sedang mengadakan perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Sebut saja Perang Paderi (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1903), pemberontakan di Kalimantan Selatan (1859), kasus Haji Ripangi di Kalisasak (1859), serta tidak kalah pentingnya adalah peristiwa pemberontakan kaum dan ulama di Cilegon tahun 1888.61 Faktor lain yang menyebabkan kritik terhadap tarekat di Nusantara juga munculnya kritik dari kaum pembaru. Setelah pergantian abad, kaum pembaru yang lebih radikal dari Makkah berdampak pula di Nusantara. Kritik ini lebih ditujukan kepada shaykh-shaykh yang berpengaruh dalam sebuah organisasi tarekat. Contohnya adalah kritik terhadap tarekat Naqsyabandiyah yang dilancarkan oleh Salim bin Sumayr kepada Shaykh Isma’il al- Minangkabawi. Kemudian, kritik ini menjadi awal mula pergulatan

57 Sunan Ghiri Khedaton, Boekoe Siti Jenar Ingkan Tulen, 15. 58 Sunan Ghiri Khedaton, Boekoe Siti Jenar Ingkan Tulen, 15. 59 Aris Fauzan, “Shaykh Siti Jenar”, Tesis Pascasarjana UIN, 2004, 166. 60 Sunan Ghiri Khedaton, Boekoe Siti Jenar Ingkan Tulen, 15. 61 Kajian terhadap berbagai pemberontakan yang terjadi pada abad ke-19 bisa ditinjau kembali dalam Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Islam di Indonesia abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).

41 antara guru sufi dan ulama yang berbasis syari’at dengan berbagai maksud dan tujuan masing-masing pihak.

E. Problematika Tarekat di tengah Masyarakat

Tarekat merupakan perkumpulan yang mempraktikkan bentuk dari ajaran tasawuf. Kemudian tasawuf adalah sebuah aspek dalam ajaran Islam yang mementingkan kemurnian dalam hati seseorang untuk berhubungan dengan Tuhan. Menurut Sri Mulyati, bila ditinjau dari sisi sejarah, tarekat memainkan peran politis strategis yang sangat penting di Nusantara maupun di berbagai belahan dunia Islam. Namun secara normatif, tarekat termasuk ke dalam bidang kegiatan keagamaan. Keadaan ini bisa dikatakan sebagai hasil dari interaksi antara politik dan agama dan termasuk ke dalam hubungan antara agama dan negara, hubungan antara negara dan masyarakat juga hubungan antara agama dan masyarakat.62 Salah satu unsur yang paling utama dalam tarekat adalah kerjasama yang solid antara mursyid dan murid. Baiat yang menjadi pengikat di antara keduanya secara resmi hingga menimbulkan kesetiaan dan ketaatan murid kepada mursyid sebagai wakil Tuhan. Keakraban antara mursyid dan murid adalah penting bagi inti sari ketaatan pendekatan keduanya kepada Tuhan. Juga tak kalah pentingnya adalah penunjukkan murid sebagai wakil (khalifah) oleh seorang Shaykh. Kemudian, hubungan antara mursyid dan murid yang dekat membentuk bagian dari rantai keagamaan yang biasa disebut dengan silsilah.63 Melihat pengaruh yang dimiliki Shaykh Sufi inilah yang dapat mengubah perilaku masyarakat, baik di pedesaan maupun di kalangan penguasa. Pemimpin kharismatik ini juga memiliki daya tarik yang berkenaan dengan politik, birokrasi maupun militer.64 Seiring dengan kuatnya pengaruh kolonialisme di Nusantara pada abad ke-19 organisasi tarekat juga menguat di berbagai daerah. Tak dapat dipungkiri, terkadang tarekat juga membantu merumuskan gagasan-gagasan kemerdekaan dari penjajahan. Protes yang

62 Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 66. 63 Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, 68. 64 Karl D Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Peberontakan: Kasus Jawa Barat (Jakarta; Graffiti, 1990), 303.

42 mengatasnamakan keagamaan dan kebebasan, kemudian menjadi suatu pergerakan politik.65 Menurut Martin, tarekat sesungguhnya tidak hanya mempunyai fungsi keagamaan. Setiap tarekat memiliki ikatan seperti keluarga besar, setiap anggotanya beranggapan bahwa diri mereka bersaudara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, beberapa tarekat memiliki kekuatan politik yang cukup kuat. Banyak Shaykh tarekat yang memiliki pengikut dalam jumlah yang banyak sehingga Shaykh tersebut memiliki peranan penting dalam politik.66 Dukungan kuat hadir dari para murid dari Shaykh tarekat demi ketaatannya dan kesetiaannya dengan Mursyid. Ketaatan mistis itulah yang tidak dapat menghalangi seseorang untuk terlibat dalam militansi politis. Hubungan sosial guru sufi dengan masyarakat sangat kuat, karena tarekat lekat hubungannya antara masyarakat dengan agama. Kehidupan yang berlandaskan sisi esoterik merupakan unsur yang paling dicari oleh masyarakat ketika mereka merasa kekurangan dimensi spiritual.67 Sepanjang mengenai tarekat yang berkembang di tengah- tengah masyarakat, prinsip asli tarekat dan sikap hidup akan selalu berhubungan satu dengan lainnya. Begitu juga ketika melihat adanya tekanan fisik, psikologis, ekonomi, dan politik maka tak sungkan untuk keluar dari tekanan tersebut. Sebagai contoh tekanan pemerintah Belanda terhadap rakyat di Minangkabau pada tahun 1908, tarekat Syattariyah muncul sebagai pembela rakyat dan memprotes kebijakan yang memberatkan rakyat.68 Meski pada dasarnya tarekat dibentuk sebagai wadah keagamaan, ketika ada keberatan mengenai politik dan ekonomi, tetap tarekat akan tampil sebagai penyedia jaringan komunikasi yang cukup penting. Sejauh tidak ada organisasi yang cukup kuat pada abad itu, kemungkinan tarekatlah yang merupakan wahana terbaik untuk menyalurkan aspirasi. Martin berpendapat, bahwa perlawanan dan pemberontakan tidak diorganisir oleh tarekat, tetapi terbukti bahwa tarekat menjadi alat bagi kelompok perlawanan sebagai penyedia jaringan organisasi dan jaringan

65 Husnul Aqib Suminto, Politik Islam di Hindia Belanda (Jakarta: LP3S, 1985), 64-66. 66 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, 16. 67 Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, 69. 68 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, 29.

43 komunikasi. Tentunya, dengan diiringi dukungan Shaykh tarekat dalam upaya memperoleh dukungan dari rakyat.69 Keistimewaan tarekat melalui dukungan Shaykh sufi juga diduga muncul dari kekuatan magis yang dimilikinya. Melalui jimat- jimat tersebut para guru tarekat mampu memindahkan kekuatan pelindung magis dengan berkeyakinan bahwa jimat ini akan melindungi mereka ketika peperangan terjadi.70 Selain problematika tarekat yang menyangkut kekuatan politik di masyarakat, hal yang tak kalah penting juga mengenai pengetahuan masyarakat mengenai tarekat yang murni. Aspek yang berkaitan dengan pengetahuan mengenai tarekat akan diuraikan pula dalam pembahasan ini. Karel menyebutkan pada permulaan abad ke-19, telah tersebar lima macam guru yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan. Pertama, guru ngaji yang mengajar mengenal huruf Arab, rukun Islam, membaca al-Qur’an dan mempraktikkan shalat lima waktu. Kedua, guru kitab yang sebagian besar mengajar di pesantren tradisional. Ketiga, guru tarekat yang juga terbentuk dari -kyai yang mengajar di pesantren, namun pengajarannya terpisah dari pengajaran kitab. Umumnya, calon anggota tarekat rata-rata lebih tua dari santri-santri biasa yang mengaji bersama dengan guru kitab. Keempat, guru untuk ilmu gaib atau penjual jimat yang terkadang berasal dari guru kitab atau guru tarekat. Kelima, guru yang tidak menetap di satu tempat yang terdiri dari orang arab dan golongan yang pergi dari satu gua ke gua lain dengan beberapa murid pilihan.71 Melalui penelitian Karel mengenai kehidupan keagamaan abad ke-19 ini, terlihat bahwa yang mengikuti kajian-kajian tarekat melalui guru tarekat adalah orang tua yang telah lanjut usia yang diragukan tingkat pengetahuan keislamannya. Orang tua yang telah lama menjalani kehidupannya lebih banyak bertani daripada menuntut ilmu

69 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, 30-31. 70 Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaun Tarekat Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qa>diriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa ( Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 42. Magico Mysticism atau yang biasa disebut dengan ilmu kekebalan ini dipercayai sebagai perantara kekuatan supranatural antara manusia dengan Tuhan. Para ahli magis membagi perantara kekuatan dalam dua dimensi; melalui sesuatu yang diucapkan berupa do’a-do’a, mantra, wirid dan melalui benda-benda tertentu (jimat). 71 Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 152-154.

44 semasa mudanya juga menjadi alasan konkrit lemahnya pengetahuan mengenai ibadah, terutama yang berkenaan dengan amalan syari’at.72 Sedangkan dalam pengamalan tarekat, dibutuhkan pengetahuan yang luas mengenai ilmu-ilmu yang fard{u, seperti t{aha>rah, berpuasa, shalat, mengerjakan sifat-sifat terpuji, dan lain sebagainya. Pengetahuan mengenai ilmu ini merupakan pintu masuk utama dalam mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf di bawah organisasi tarekat. Maka, masalah mengenai tarekat pada abad ke-19 di Nusantara tidak hanya pergulatan mengenai tarekat dan syari’at saja. Problematika ini terjadi di luar kapasitas masing-masing tarekat, yang menjadi fokus utama adalah masyarakat awam yang minim pengetahuan syari’at kemudian ia tertarik masuk tarekat karena alasan politik, ekonomi, maupun pengajaran tarekat yang sesuai dengan ajaran mistik.

72 Muhammad Noupal, “Pemikiran Keagamaan”, 280.

45

46

BAB III LATAR SOSIO-HISTORIS DAN KARIR INTELEKTUAL SAYYID USMAN BIN YAHYA

Setelah memaparkan titik temu lahirnya organisasi tarekat dari Haramayn ke Nusantara, di bab ini akan membahas mengenai latar sosio-historis awal mula masuknya kelompok Hadrami di Batavia, mengenal sistem pendidikan, serta mengenal lebih dekat sosok Sayyid Usman bin Yahya baik dari segi karir intelektual maupun karya-karya yang ia hasilkan.

A. Latar Sosial Islam di Batavia abad ke-19

Kedatangan Islam di Jakarta sebenarnya masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Menurut Uka, kedatangan Islam terlihat ketika kota ini direbut oleh tentara Fadhillah Khan. Pelabuhan Sunda Kelapa memang awalnya tertutup oleh orang Islam karena penguasa khawatir pengaruh Islam akan berkembang kuat di Jakarta. Raja Sunda Pajajaran memberikan sambutan yang baik atas kedatangan orang- orang Portugis di bawah pimpinan Jenrique Lemedan. Tahun 1522, mereka mengadakan perjanjian yang tertuang dalam prasasti Padrao yang berisi perjanjian militer dan perdagangan. Raja Sunda berharap dengan perjanjian tersebut, ia mendapat bantuan dari orang Portugis apabila mendapat serangan dari tentara Islam dari Demak dan Cirebon. 1 Namun, Ridwan Saidi membantah keras bahwa motif penaklukan Fatahillah atas Sunda Kelapa sebagai perang agama. Alasannya adalah penguasa Pakuan Pajajaran bekerjasama dengan Portugis. Menurutnya, alasan atas nama agama sulit dimengerti karena Islamisasi Pakuan dan Nusa Kalapa telah berlangsung selama 35 tahun. Kekeliruan yang dilakukan oleh sebagian sejarawan yakni pada saat menarik garis permulaan sejarah Jakarta. Garis awal tersebut dimulai dari era penaklukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Ridwan berpendapat, masyarakat Betawi sudah tersusun jauh sebelum kedatangan Fatahillah, ia membuktikannya dengan naskah kuno Purwaka Caruban Nagari yang disusun tahun 1720 berdasarkan Negara Kertabumi, telah berdiri sebuah pondok pesantren yang diasuh ulama

1 Uka Tjandrasasmita, Sejarah Jakarta dari Zaman Prasejarah sampai Batavia (Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1977), 11.

47 asal Campa yaitu Shaykh Hasanuddin pada abad ke-15 di kampung Kuro, Karawang. Hal itulah yang menunjukkan adanya komunitas muslim beberapa puluh kilometer di sebelah timur bandar Sunda Kelapa.2 Di luar kenyataan, tentara Portugis datang beberapa bulan setelah kota itu direbut oleh pasukan Demak dan Cirebon dibawah pimpinan Fadhillah Khan. Di tangan Fadhillah Khan, Sunda Kelapa akhirnya menjadi Jayakarta dan beberapa arsitekturnya dibuat menyerupai kota kadipaten di Jawa Islam. Pusat kota terdapat alun-alun yang diapit oleh bangunan Masjid di Barat, keraton atau dalem di Utara, dan rumah patih Jayakarta di Timur. Jayakarta yang berarti “Kemenangan Murni” terinspirasi dari ayat al-Qur’an surat al-Fath ayat pertama, yakni: Inna Fatahna> laka Fathan Mubi>na dan kemenangan Rasulullah atas Makkah pada bulan Ramadhan 8 Hijriah/Januari 6330 M. Fatahillah adalah tentara muslim pertama yang telah menaklukan Banten dan kemudian menguasai Sunda Kelapa dari Pajajaran pada tahun 1527.3 Setelah Sunda Kalapa berganti nama menjadi Jayakarta, Fatahillah diangkat menjadi bupati Jayakarta dan bertanggung jawab kepada Syarif Hidayatullah yang menjadi penguasa di Cirebon kala itu. Namun, setelah Syarif Hidayatullah wafat tahun 1568, penguasa Jayakarta dipimpin oleh Tubagus Angke dan Pangeran Jayakarta Wijayakrama berkedudukan sebagai bawahan kerajaan banten sampai akhirnya direbut oleh J>.P. Coen pada tanggal 30 Mei 1619.4 Selanjutnya kota Jayakarta dan keraton Pangeran Jayakarta dibakar dan dikuasai oleh J.P. Coen. Pada Abad ke-17, kegiatan keagamaan yang bersifat Islam tidak lagi terletak di pusat kota Setelah itu Jayakarta diberikan nama baru, Batavia. Sejak itu Batavia resmi menjadi pusat colonial Belanda di Indonesia. Arsitektur bangunan kota dibangun dengan gaya Barat. Aktivitas keagamaan Islam mundur ke pedalaman. Daerah yang ditempati adalah ke Timur menyisir Kali

2 Ridwan Saidi, Babad Tanah Betawi (Jakarta: Gria Media Prima, 2002), 71 dan 109. 3 R. Soekomo, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1973), 60. 4 Tawalinuddin Haris, Kota dan Masyarakat Jakarta, dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial abad XVI-XVIII (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2007), 24.

48

Sunter sampai Jatinegara Kaum, di sana mereka mendirikan Masjid Assalafiyah tahun 1620.5 Sedangkan abad ke-18, pemerintah Hindia Belanda mulai melonggarkan aktivitas keagamaan di Batavia. Penyiar agama Islam yang terdiri dari orang Arab, Betawi, Jawa, Banten, dan Bugis mulai mengadakan berbagai aktivitas pengajian di beberapa Masjid, seperti Masjid Luar Batang, Masjid Kampung Bandan, Masjid Pekojan daerah Batavia Utara. Sedangkan di bagian Barat Batavia ada Masjid Kebon Jeruk, Masjid Angke, Masjid al-Mansur, Masjid Tambora, dan Masjid al-Makmur.6 Tak hanya mengupas sejarah Islam di Batavia, ia juga tidak terlepas dari bagian komunitas penduduknya. Etnis Betawi yang menduduki daerah Batavia tidak luput dari penelitian ini. Abdul Aziz berpendapat, etnis Betawi terbentuk pada permulaan abad ke-19 berdasarkan percampuran antar suku bangsa, yang berasal dari campuran wilayah-wilayah di Nusantara. Istilah Betawi menurutnya merujuk kepada Batavia, nama yang digunakan penjajah Belanda untuk kota Jakarta. Sebelum dinamakan Betawi, mereka menamai dirinya sebagai Orang Selam.7 Sayangnya, Lance Castle, pengamat Indonesia asal Australia mengatakan bahwa asal mula etnis Betawi adalah budak. Penelitiannya menunjukkan, bahwa tahun 1930 sebagian dari nenek moyang Betawi adalah budak belian (slave) yang berasal dari India dan kawasan timur Indonesia yang dipekerjakan oleh penjajah Belanda. Hal ini membuat suatu perdebatan sengit antara peneliti dengan orang Betawi ketika diadakan debat publik di Gedung Nyi Ageng Serang Jakarta.8 Menurut Willard Hanna, bahwa orang Batavia asli pada zaman penjajahan Belanda, merupakan orang asing yang berdarah campuran

5 Tim Peneliti, Sejarah Perkembangan Islam di Jakarta Abad XVII sampai dengan awal Abad XX, laporan hasil penelitian dasar (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1979), 20. 6 Lihat Tim Peneliti, Sejarah Perkembangan Islam di Jakarta, 37; Ahmad Fadli, Ulama Betawi (Jakarta: Manhalun Nasysi-in Press, 2011), 47. 7 Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta: Logos, 2002), 2-4. 8 Untuk melihat lebih jelas pendapat Lance Castles Lihat Lance Castle, Profil Etnik Jakarta (Jakarta: Penerbit Masup Jakarta, 2007); Zaenuddin HM, Dibilang Keturunan Budak, Orang Betawi Marah Besar dalam Nostalgia di Jakarta (Jakarta: Javamedia, 2008), 6.

49 yang mayoritas pendatang baru dari Eropa dan Cina. Dan tidak lupa migrasi Cina juga ikut membentuk suku bangsa Betawi.9 Hal ini ditepis oleh Wolly Candramilla dalam penelitiannya pada tahun 2002 melalui tes DNA, ia menyimpulkan bahwa tidak terbukti adanya migrasi wanita dari cina ke dalam populasi Betawi. Dalam penelitiannya ia melakukan pengambilan darah atau sel epitel rongga mulut 78 orang Betawi. Kesimpulannya ialah populasi Betawi berasal dari tiga garis Ibu berhaplotipe I, II, III. Haplotipe I ditemukan dalam populasi Sunda dan Melayu. Haplotipe II dan III ditemukan populasi yag dibawa oleh wanita selain dari Sunda dan Melayu, tetapi masih dalam ruang lingkup Indonesia.10 Sedangkan Menurut Ridwan Saidi, perkataan suku bangsa Betawi muncul secara resmi pada sensus penduduk tahun 1930. Tetapi kata Betawi yang digunakan jauh lebih lama dari tahun tersebut. Di dalam bahasa Melayu Brunai perkataan Betawi artinya Subang. Meskipun di Jawa Barat ada tempat bernama Subang tetapi amat sulit diterima nama suku mengacu pada perhiasan. Ada pula pengertian Betawi dari bahasa melayu Polynesia Purba resapan Maori perkataan yang terdekat dengan Betawi adalah pitawi. Pitawi berarti suci, atau larangan. Konsonan p dan b paling mudah bertukar-tukar. Orang-orang yang kecamatannya berdekatan, seperti: Telaga Jaya, Batu Jaya, dan Pakis Jaya, terkadang mengidentifikasikan dirinya sebagai Melayu, kadang sebagai Betawi. Bahkan adapula yang mengatakan Betawi dan Melayu adalah sama.11 Orang Betawi sebenarnya adalah komunitas suku yang dalam naskah abad XVI dan XVII disebut sebagai orang Melayu, lebih tepatnya orang Melayu di Jawa. Awal mula kedatangan mereka, diperkirakan dari Sumatera ataupun Kalimantan Barat yang bermigrasi ketanah Jawa. Nothofer memperkirakan, migrasi tersebut baru terjadi pada kurun waktu abad ke-10 M.12

9 Willard Hanna, Hikayat Jakarta (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), 78. 10 Penelitian selengkapnya Lihat Wolly Candramilla, “Variasi Genetik Populasi Betawi berdasarkan Polimorfisme DNA Mitokondroin,” Tesis Pascasarjana IPB, (Bogor: IPB, 2002). 11 Ridwan Saidi, Riwayat Tanjung Priok dan Tempat-tempat lama di Jakarta (Jakarta: Perkumpulan Renaissance Indonesia, 2010), 60-61. 12 Ridwan Saidi, Sejarah Jakarta dan Peradaban Melayu-Betawi (Jakarta: Timpani Publishing, 2010), 64-65.

50

Setelah membahas latar sosial Islam di Batavia secara mendalam, selanjutnya akan diuraikan kelompok pendatang atau kelompok pendamping etnis Betawi di Batavia untuk melihat rekonstruksi keagamaan dan kajian keislaman di Batavia. Kelompok inilah yang mendukung ulama Betawi dalam kiprahnya memperjuangkan dan memajukan perkembangan Islam di Batavia.

1. Masuknya Kelompok Hadrami ke Batavia13 Batavia menjadi tempat pertemuan kelompok etnis dari berbagai kawasan Nusantara yang ikut mempengaruhi pertumbuhan kota. Dengan demikian, Batavia pada masa kolonial berkembang dari interaksi berbagai daerah, ragam budaya, etnis, begitupula kesenian.14 Komunitas India, Eropa, Cina, dan Islam berbaur dalam berbagai sarana dan fasilitas pembangunan di Jakarta. Tak hanya sarana dan fasilitas yang beragam, komunitas etnis ini juga ikut menyumbangkan proses asimilasi terhadap warga pribumi, terutama komunitas Hadrami yang datang dari sebuah propinsi di Yaman Selatan. Kedatangan orang Arab Hadramaut secara masal terjadi pada abad XVIII, sedangkan di pantai Malabar persinggahan mereka terjadi sebelumnya. Aceh adalah tempat pertama yang didatangi, selanjutnya Pontianak dan Palembang. Sedangkan untuk wilayah Jawa, orang Hadramaut mulai banyak berdatangan seelah tahun 1820. Wilayah Jawa seperti Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Sumenep menjadi tempat menetap para koloni-koloni Arab.15 Batavia menjadi pusat terbesar koloni Arab di Nusantara pada tahun 1844. Mereka berasal dari berbagai daerah di Hadramaut dan dari segala lapisan masyarakat. Sebagian besar mereka yang datang ke pulau Jawa via Singapura, terlebih dahulu transit di Batavia kemudian

13 Untuk mengetahui lebih jauh migrasi Hadrami hingga sampai ke Batavia, lihat perjalanan kontemporer Hadrami antara tahun 1896-1972, Friedhelm Hartwig, “Contemplation, Social Reform and the Recollection of Identity. Hadramī Migrants and Travellers between 1896 and 1972, Die Welt des Islams 41 (2001): 311-347, http://www.jstor.org/stable/1571308 (diakses 8 Juli 2014). 14 Tawalinuddin Haris, Kota dan Masyarakat Jakarta (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2007), 1. 15 Van Den Berg, Orang Arab di Nusantara (Depok: Komunitas Bambu, 2010), 100.

51 menyebar ke daerah-daerah lain. Kedatangan koloni Arab ini,16 menjadikan Pemerintah Belanda mengharuskan adanya kepala koloni untuk mengatur keluar masuk anggota orang Arab ini. Pemerintah Belanda memberlakukan sistem wijken-en passen stelsel. Sistem tersebut mewajibkan orang Arab yang tinggal di Pekojan yang ingin keluar dari tempat tersebut, harus memiliki pas jalan.17 Selama rezim kolonial, orang Arab menurut hukum digolongkan sebagai Vremde Oosterlingen. Golongan ini disebut sebagai orang Timur Asing, seperti orang Cina dan orang asing Asia lainnya. Kategori pendatang ini, menurut hukum Belanda, menyandang status resmi “setara” dengan pribumi, namun mereka tetap mempunyai batasan peraturan hukum. Seperti ketetapan hukum agar para imigran Asia diwajibkan tinggal di kampung tertentu dan tidak diperbolehkan meninggalkan kampung tersebut tanpa izin. Tujuannya adalah agar orang pribumi terhindar dari pengaruh bahaya yang ditimbulkan dari para imigran Asia, termasuk orang Arab.18 Golongan Sayyid di Hadramaut merupakan perwakilan agama dan hukum. Menurut Berg, seorang Sayyid dihormati dan dihargai dimanapun ia berada. Sejumlah Sayyid dianggap sebagai orang suci (wali>), bahkan selama hidupnya dianggap termasuk golongan ahl al- kasyf. Golongan Sayyid di Hadramaut merupakan unsur yang terlalu konservatif. Masih menurut Berg, mereka menentang setiap pembaruan, baik materil maupun intelektual, khususnya pembaruan yang datang dari Eropa. Contohnya ketika ia menemukan peristiwa ketika seorang Arab yang cukup dihormati di Batavia memohon kepada Sultan Sa’iu>n untuk membuka sekolah ilmu matematika dan fisika, Sultan menolaknya. Alasan yang dikemukakan oleh Sultan karena ia takut mendapat tantangan dari para Sayyid.19 Sepanjang abad ke-19 dan dua dekade pertama abad ke-20, orang Hadrami disebut sebagai asing oriental. Aturan Pemerintah kolonial

16 Van Den Berg, Hadrami dan Koloni Arab di Nusantara, (Jakarta: INIS, 1989), 72-73. 17 Alwi Shahab, Saudagar Baghdad dari Betawi (Jakarta: Republika, 2004), 31. 18 Huub De Jonge, Sebuah Minoritas Terbelah Orang Arab Batavia, dalam kumpulan Jakarta-Batavia Esai Sosio Kultural (Jakarta; KITLV, 2007), 155.

19 Penjelasan mengenai golongan Sayyid mengenai posisi sosial bangsa Arab, Lihat Van Den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (Jakarta: INIS, 1989), jilid III, 61-63.

52 memaksakan suatu sistem hukum dan pemerintahan yang membagi populasi ke dalam tiga kategori rasial besar: Eropa, asing oriental dan pribumi. Hadrami membentuk kelas terbesar kedua setelah cina. Hadrami ditempatkan dalam pemukiman yang di desain khusus untuk muslim asing. Seperti di Batavia, daerah Pekojan menjadi salah satu pemukiman untuk orang asing oriental seperti orang Hadrami.20 Pekojan merupakan salah satu kampung tertua di Jakarta yang di bangun pada abad ke-18. Hingga abad XX, kampung ini menjadi tempat kediaman etnis Arab. Berg meneliti perkampungan ini pada tahun 1884-1886. Menurutnya, sebelum dihuni oleh etnis Arab yang datang dari Hadramaut, Pekojan lebih dulu merupakan pemukiman orang Benggali dari India.21 Dalam bahasa Melayu Pakojan artinya “tempat orang-orang Kojah”, dan dalam bahasa Persia khawa>jah berarti “Benggali”, atau lebih tepatnya adalah penduduk asli Hindustan. Pada mulanya, orang Benggali ini menempati daerah Pekojan sebagai penduduk terbanyak dari kelompok minoritas Muslim lain. Namun, lama kelamaan jumlah etnis Arab yang datang meningkat secara tajam menggantikan orang Benggali. Etnis Arab ini kemudian menetap di Pekojan secara berdampingan dengan orang Cina dan beberapa orang pribumi.22 Meskipun keturunan Arab menjadi kelompok minoritas karena sistem wijken-en passen stelsen yang diberlakukan oleh pemerintah Belanda, kegiatan keagamaan masih tetap berjalan meski dalam pertemuan yang relatif singkat. Kegiatan keagamaan berpusat pada beberapa masjid yang dibangun di daerah ini. Masjid pertama yang didirikan pada tahun 1760 adalah Masjid an- Nawir atau biasa disebut Masjid Pekojan. Dibagian belakang masjid ini terdapat makam pendirinya yaitu Syarifah Fatmah. Pada akhir abad ke-18, masjid ini diperluas oleh Abdullah bin Husein Alaydrus. Masjid kedua, masjid Zawiyah yang didirikan oleh Habib Ahmad bin Hamzah

20 Natalie Mobini kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadrami di Indonesia (Jakarta: Akbar Media Sarana, 2007), 32-33.

21 Van Den Berg, Hadrami dan Koloni Arab di Nusantara (Jakarta: INIS, 1989), 72; Lihat Pula Alwi Shahab, Saudagar Baghdad dari Betawi (Jakarta: Republika, 2004), 29; Bandingkan dengan Huub De Jonge, Sebuah Minoritas Terbelah Orang Arab Batavia, dalam kumpulan Jakarta-Batavia Esai Sosio Kultural (Jakarta; KITLV, 2007), 151. 22 Van Den Berg, Hadrami dan Koloni Arab, 72; Huub De Jonge, Sebuah Minoritas Terbelah Orang Arab Batavia, 152.

53 al-‘At{t{as. Masjid Zawiyah ini pada awalnya hanya sebuah mushola, kemudian diperluas menjadi sebuah masjid. Habib Ahmad bin Hamzah merupakan guru dari Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas yang meneruskan perjuangannya dengan mendirikan majlis taklim di Empang, Bogor. Masjid ketiga, Masjid Langgar Tinggi di Jl. Pekojan Raya yang didirikan oleh Shaykh Said Naum. Masih ada lagi sejumlah masjid di Pekojan, seperti Al-Al-Anshar, Masjid Kampung Baru, dan Masjid Raudhah (masjid ini digunakan untuk peribadatan kaum wanita di Pekojan).23 Menurut pengamatan Berg24 dalam penelitiannya mengemukakan bahwa, keturunan Arab di Nusantara cenderung berasimilasi dengan masyarakat pribumi. Menurut Berg, ketiadaan isteri dari kelompok Hadrami di Nusantara membuatnya menikah dengan perempuan- perempuan pribumi. Tak hanya pada abad ke-19, orang Arab campuran ini telah berasimilasi dari generasi ke generasinya. Berg menemukan ada orang Arab campuran yang telah menetap selama berabad-abad lamanya. Hanya di beberapa wilayah seperti, Pontianak, Kubu, Siak, dan Palembang yang ditemukan baru menetap diwilayah tersebut selama 100 tahun. Khusus di Batavia, tak hanya proses asimilasi yang telah disebutkan Berg dari hubungan pernikahan campuran, kedekatan kelompok Hadrami maupun orang Arab di Nusantara terjalin dari genealogi intelektual (intellectual genealogy).25 Jaringan intelektual antara ulama Betawi dengan orang Arab patut diperhitungkan. Wacana keagamaan yang diterima oleh ulama Betawi pribumi dari para gurunya baik dari Makkah atau bangsa Hadrami yang menetap di Batavia, menjadi salah satu faktor penguat keharmonisan di antara mereka, bahkan kepada masyarakat Betawi umumnya. Kepercayaan terhadap penghormatan Sayyid dan Habib menjadi salah satu faktor

23 Alwi Shahab, Saudagar Baghdad dari Betawi (Jakarta: Republika, 2004),30- 31 24 Sensus yang dilakukan Berg dilaksanakan pada tahun 1885 di Jawa dan Madura, ia juga membandingkan dengan angka statistik resmi dari tahun 1870 dan 1859. Asimilasi yang dimaksud Berg adalah dari faktor pernikahan. Seperti orang Arab yang menikah dengan perempuan pribumi dan orang arab campuran yang menikahi putrinya kepada laki-laki pribumi. Lihat selengkapnya Van Den Berg, Orang Arab di Nusantara, 95-99. 25 Ahmad Fadli, Ulama Betawi (Jakarta: Manhalun Nasysi-in Press, 2011), 68.

54 pendukung mereka menerima dengan baik keturunan Arab yang berasal dari Hadramaut dan Makkah. Sayyid secara etimologi yang berarti “tuan” atau “junjungan”. Masyarakat Arab golongan Sayyid adalah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui putrinya, Fatimah az-Zahra melalui cucunya Husein bin Ali bin Abi Thalib. Sedangkan keturunan Nabi Muhammad melalui cucunya Hasan bin Ali bin Abi Thalib disebut Syarif yang kebanyakan tinggal di Hadramaut, Yaman. Kata Sayyid maupun Syarif hanyalah sebagai atribut keterangan nama, bukan sebagai gelar yang mereka sandang. Gelar keduanya adalah Habib (kekasih).26 Sebagian besar sayid Alawi berasal dari wilayah Hadramaut, Yaman, yang berperan besar dalam dakwah Islam. Sayid bermakna “pemimpin atau petunjuk”. Sayid pun digunakan digunakan untuk julukan bagi ahli tasawuf dan para wali.27 Pada abad ke-19 dan hingga saat ini, interaksi yang terjadi antara habaib dan ulama terlihat sangat harmonis. Bagi masyarakat Betawi, penghormatan terhadap habaib sama saja dengan penghormatan mereka terhadap ulama.28 Seperti apa yang dilakukan oleh pemilik rumah orang Betawi, foto-foto, kalender tahunan, dan figura yang berisi sanad keilmuan yang ia terima dari gurunya, terpasang jelas nama dan foto para habaib dan bersanding dengan ulama-ulama Betawi.

2. Sistem Pendidikan Keagamaan di Batavia Deskripsi mengenai sistem pendidikan di Indonesia pada abad ke- 19 dan 20 tidak terlepas dari peranan tempat menimba ilmu seperti surau, masjid, madrasah, kemudian berkembang menjadi pesantren tradisional. Tempat atau lembaga pendidikan ini menjadi barometer untuk mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan Islam di Nusantara. Tempat menimba ilmu yang sering digunakan para ulama dalam hal pengajaran salah satunya adalah masjid. Menurut Snouck, masjid di Indonesia bila dibandingkan masjid di beberapa negara yang mayoritas penduduknya muslim, masjid menjadi

26 Hafidz Dasuki, dkk, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), 257. 27 Muhammad Zafar Iqbal, Kafilah Budaya: Pengaruh Persia terhadap Kebudayaan Indonesia (Jakarta: Citra, 2006), 28. 28 Ahmad Fadli, Ulama Betawi, 71.

55 pusat pengaruh agama Islam yang sangat besar terhadap kehidupan penduduk secara keseluruhan.29 Sebut saja di wilayah seperti Sukabumi, Cianjur, bahkan di Yogyakarta masjid dijadikan tempat menimba ilmu agama. Di Sukabumi terdapat masjid besar dekat dengan alun-alun para kyai memberikan pelajaran agama di serambi atau di dalam masjid meskipun tempatnya tidak beraturan. Di Cianjur, pengajarannya hanya untuk orang dewasa yang ingin belajar kitab kuning, dan diadakan setiap hari senin dan kamis. Sedangkan di Yogyakarta dipusatkan di masjid Pakualam dan Kesultanan. Namun, pengajian ini hanya diberikan pada waktu-waktu tertentu.30 Di Jakarta, masjid juga difungsikan sebagai tempat menimba ilmu agama. Pengajarannya berupa ilmu-ilmu fiqh, hadis, ushuluddin, dan tasawuf. Selain masjid, tempat mengajar agama juga dilakukan di tempat ibadat yang kecil atau langgar.31 Signifikansi ulama Betawi dalam pembaruan Islam di Betawi tidak hanya terlihat dari aktivitas dalam menulis kitab atau risalah keagamaan, mereka terlibat pula dalam institusi sosial keagamaan dan pendidikan umat. Inilah yang mengakibatkan sistem pendidikan Islam di Batavia semakin berkembang. Menurut Fadli, hampir semua ulama Betawi memiliki (intellectual genealogy). Jaringan ini tersebar melalui system pendidikan tradisional semacam langgar (musola), masjid, madrasah, pondok pesantren dan majelis taklim serta mursyid khalifah (mystical genealogy).32 Tahun 1760, masjid An-Nawir atau Masjid Pekojan menjadi pusat menimba ilmu. Mulanya, Shaykh Abdul Ghani Bima menjadi pengajar tetap di masjid tersebut, kemudian atas permintaannya, pengajaran diteruskan oleh Sayyid Usman bin Yahya.33 Di mata pribumi, masjid menjadi wadah yang sangat dinantikan dalam menimba ilmu agama. Sayangnya, menurut kecurigaan Van den Berg, masjid juga difungsikan sebagai tempat orasi untuk menentang pemerintah Hindia Belanda saat khutbah

29 Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda (Jakarta: Bhratara, 1973), 28. 30 G.F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1984), 61. 31 G.F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia, 61. 32 Ahmad Fadli, Ulama Betawi, 68. 33 Abdullah bin Usman bin Yahya, Sulu>h zama>n (Jakarta: Percetakan Sayyid Usman, 1330), 8.

56 jum’at berlangsung. Ide-ide Pan Islamisme menurutnya masih jelas berkumandang di beberapa masjid di Jawa dan Madura. Setiap wilayah terdapat satu masjid yang terpusat dan terbesar dalam suatu distrik atau kabupaten, sehingga mudah mengetahui kandungan isi dari khutbah jum’at tersebut. Hanya Batavia, Cirebon, Semarang, Demak, Kudus, Surabaya, Gresik, Sumenep, Surakarta, dan Yogyakarta yang mengadakan shalat jum’at lebih dari satu masjid dikarenakan wilayah tersebut memiliki beberapa masjid.34 Pada abad ke-18 perkembangan Islam di Batavia makin meningkat seiring dengan munculnya ulama dan habaib, baik ulama keturunan pribumi maupun dari Hadramaut. Salah satu muballig yang datang dari hadramaut adalah Habib Husain al-alaydrus (w.1751M), ia mendirikan masjid Kramat Luar Batang pada tahun 1735. Keturunan Hadramaut lainnya adalah Sayyid Ali bin Abdurrahman Ba’lawi. Ia juga mendirikan masjid al-Mukarramah di Kampung Bandan Mangga Dua pada tahun 1715. Masjid yang mereka dirikan menjadi pusat dakwah Islam yang paling efektif kala itu. Ceramah, pengajian, pengajaran fiqih, tauhid, al-Qur’an, hadits menurut manhaj Ahlu al- Sunnah wa al-Jama>’ah dan hukum Islam menurut madzhab imam syafi’i adalah pokok utama pembahasan para ulama tersebut. Disamping itu, diajarkan pula ilmu tasawuf, tarekat, bela diri, kekebalan, gambang kromong dan rebana.35 Pertunjukan kekebalan dimodifikasi menjadi sebuah kesenian al-madad yang pada awal pertunjukan diharuskan membaca tahliilan, manaqib, dan surat-surat al-Qur’an. Selain dari ulama Hadramaut yang telah dibahas, ulama dan kyai pribumi juga mendapat tempat di hati masyarakat Batavia untuk menuntut ilmu agama, Guru Marzuki adalah salah satunya. Guru Marzuki adalah salah satu ulama Betawi yang mendirikan pesantren di tanah miliknya. Pengajaran yang diberikan oleh Guru Marzuki terbilang cukup unik, para santri mengikuti kemana Guru Marzuki melangkah. Terkadang, ia mengajar sambil berjalan di kebun dan berburu bajing (tupai). Para santri mengikuti dengan formasi

34 Van den Berg, “Van den Berg's Essay on Muslim Clergy and the Ecclesiastical Goods in Java and Madura,” Southeast Asia Program Publication at Cornell University no.84 (2007) : 133, http://www.jstor.org/stable/40376432/ (diakses 8 Juli 2014). 35 Tim Peneliti, Sejarah Perkembangan Islam di Jakarta, Abad XVII sampai Abad XX, Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1979, 37.

57 kelompok, terdiri dari empat atau lima orang dan belajar kitab secara bersamaan. Setelah satu kelompok selesai, kelompok lain yang belajar kitab yang sama menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama dengan kelompok sebelumnya. Sedangkan untuk mengajar di masjid, Guru Marzuki tetap mengajar dengan cara duduk.36 Ulama Betawi lainnya yang bergerak dalam wilayah pendidikan islam di Batavia, yaitu KH>. Muhammad Mansur dan Muhammad Husni Thamrin. Pendidikan Islam di kalangan masyarakat Batavia mengalami perkembangan meskipun agak perlahan. Sebagaimana pada masyarakat Nusantara lainnya, pendidikan Islam di Batavia berbentuk madrasah dan begitupula berbentuk pesantren yang kemudian berkembang secara cepat pada abad ke-19.37 Pada Abad ke-19, budaya pesantren makin melekat ditengah- tengah masyarakat, praktek pesantren dalam skala yang lebih besar menjadi prioritas utama yang terbentuk dalam sebuah lembaga. Hubungan kyai khususnya kepada ulama-ulama Timur Tengah dan ketertarikan santri dalam mengembara menuntut ilmu, memberikan warna baru bagi masyarakat dan melekat kuat dalam tradisi keilmuan.38 Pesantren yang dipimpin oleh kyai memiliki posisi penting dalam proses pendidikan, pada abad ini, kyai disebut dengan haji. Masyarakat patuh kepada kyai sebab ia memberikan pengajaran agama sebagai siraman rohani bagi para penduduk. Jelas, tugasnya juga mengawasi perkembangan keagamaan mereka. Tidak jarang, kyai mendapat tempat teratas dalam struktur masyarakat.39 Cara belajar yang dipraktekkan kyai seringkali menggunakan metode membaca teks sebaris demi sebaris kemudian menerjemahkannya kedalam bahasa daerahnya masing-masing. Bahasa daerah itu tergantung kepada asalnya, seperti bahasa Melayu, Jawa, Sunda disertai dengan sharh{. Pengajaran berikutnya meneruskan bacaan yang lalu, kyai menunjuk seorang murid untuk membaca teks dan member arti. Kitab-kitab yang dibaca biasanya memiliki

36 Manaqib Guru Marzuki (al-Shaykh Ahmad Marzuqi bin Mirshod) yang berasal dari kitab Fath{ Rabbi al-Ba>qi> fi> Mana>qib al-Shaykh Ahmad al-Marzu>qi> yang ditulis oleh puteranya KH. Muhammad Baqir. Lihat pula Ahmad Fadli, Ulama Betawi (Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2011), 101. 37 Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial: Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam (Jakarta: Penamadani, 2003), 77. 38 Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramayn ke Nusantara jejak Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana, 2006), 11. 39 Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramayn ke Nusantara, 15.

58 terjemahan bahasa daerah, diantara baris-baris Arabnya, atau baris- baris dalam baasa Arab itu mempunyai jarak yang agak lebar dan oleh murid tersebut digunakan untuk menulis arti dari kata-kata bahasa Arab yang belum ia mengerti.40 Pola pengajaran yang diterapkan sesuai pengajaran diatas bermula dari masa penjajahan, namun kegiatan tersebut banyak dilakukan di masjid atau di rumah. Para habi>b seperti Habi>b Alwi bin al-Haddad, Habi>b Ali Husein al-Attas, atau ulama-ulama asal Betawi seperti K.H. Abdul Majid, memberikan pelajaran agama melalui kitab kuning, baik diselenggarakan di lokasi masjid maupun di rumah ulama tersebut.41 Sebagai lembaga yang mandiri dari sudut ekonomi dan hukum, pesantren telah membentuk jaringan yang luas. Pesantren ini terbuka untuk semua orang, tanpa perbedaan dari segi sosial, serta cita-cita persamaan hak serta kesederhanaan hidup. Pesantren difungsikan sebagai lahan subur untuk membina dan memperkuat sosok elit sosial yang baru. Seperti yang telah disebutkan bahwa kyai, shaykh dan ulama menjadi sosok teladan bagi sebuah masyarakat.42 Dari sudut ekonomi, pesantren tidak memerlukan ukuran khusus dalam mengeluarkan biaya pengajaran. Sebagai gantinya, seorang santri membantu gurunya untuk menggarap lahan sawah maupun dalam bidang lainnya. Setelah selesai menimba ilmu di pesantren, para santri kembali ke desa dengan berbagai aktivitas, ada yang mencoba mencari nafkah dengan berdagang, ada pula yang langsung menjadi guru pengajian di sekitar tempat tinggalnya.43 Gagasan pendidikan Islam di Batavia mulai mengalami perkembangan pesat. Pada tahun 1901, Jami’at Khaer dan al-Irsyad menjadi organisasi sosial pertama di Jakarta. Namun, pengukuhan secara resmi oleh pemerintah Belanda pada tahun 1905. Organisasi sosial ini mendirikan sebuah madrasah di Pekojan, kemudian menyusul di Krukut, Tanah Tinggi, dan Jatinegara. Sedangkan al-Irsyad

40 Deliar Noer, Gerakan modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3IS, 1982), 16.

41 Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial, 80. 42 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Bag.2 Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), 135. 43 Van den Berg, “Van den Berg's Essay on Muslim Clergy and the Ecclesiastical Goods in Java and Madura,” Southeast Asia Program Publication at Cornell University no.84 (2007) : 146, http://www.jstor.org/stable/40376432/ (diakses 8 Juli 2014).

59 didirikan pada tahun 1913 oleh Ahmad Soorkati, seorang guru asal Sudan. Sebelumnya, Ahmad Soorkati telah menjadi guru di Jami’at Khaer dan mempunyai sebuah asrama yang berfungsi sebagai tempat kursus. Kemudian, asrama itu menjadi Madrasah al-Irsyad al- Islamiyah. Selain dua madrasah ini, terdapat juga madrasah lainnya yakni Madrasah ‘Unwanul Falah yang didirikan oleh Habib Ali al- Habsyi di Kwitang. Madrasah terakhir ini sejalan juga dengan madrasah-madrasah Jami’at Khaer, karena pendirinya adalah anggota perkumpulan itu.44 Bagi komunitas Hadrami di Hindia, awal abad ke-20 sebagai nahdah al-hadramiyyah atau kebangkitan kaum Hadrami. Nahdah ini di tandai dengan kemajuan dalam aspek budaya, pendidikan, dan peradaban. Kemunculan nahdah ini terlihat elit-elit baru di masyarakat yang mendirikan asosiasi atau perkumpulan sukarela, sekolah modern, dan surat kabar. Nahdah juga menandai “kebangkitan” dalam sebuah identitas baru yang dinamakan dengan patriotisme territorial. Hadrami di tanah Hindia pada mulanya hanya memunculkan eksistensinya sebagai orang-orang dari satu negeri, mereka lebih menunjukkan kesetiaannya pada negerinya tersebut, Hadramaut. Namun, pada abad ke-20, kali ini bagi orang Hadrami, Hadramaut dianggap sebagai al-watan al-mahbub (tanah air tercinta) dan cinta tanah air atau wataniyah merupakan sebagai tugas dari tiap putranya. Orientasi baru tanah air “kehadramian” ini menimbulkan fokus baru sentimen ke-Arab-an yang muncul diakhir abad ke-19.45 Perhatian orang hadrami yang paling khusus ditujukan oleh para peneliti yaitu Sayyid Usman bin yahya, ulama terkemuka dan pembaru abad ke-19 dan 20.

B. Biografi Sayyid Usman bin Yahya: Riwayat Hidup dan Karir Intelektual

Nama lengkap Sayyid Usman adalah Al-Habib Sayyid ‘Utsman bin ‘Abd Allah bin ‘Aqil bin Yahya Al-‘Alawi> Al-Husaini yang biografinya tertera dalam Qamar Zaman karya anaknya, ‘Ali bin Alwi bin ‘Utsman bin Yahya, menceritakan bahwa ayahnya lahir di Pekojan,

44 Abdul aziz, Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta: Logos, 2002), 146. 45 Natalie Mobini Kesheh, Kebangkitan Hadrami di Indonesia (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2007), 38.

60

Batavia, pada tangal 17 Rabi’ul Awal 1238 H/1822 M. Ayah Sayyid Usman bernama Sayyid ‘Abd Allah bin ‘Aqil bin ‘Umar bin Yahya, lahir di Makkah dan seorang Hadrami. Ibunya, Aminah adalah putri dari Shaykh ‘Abd Al-Rahman bin Ahmad Al-Mis{ri.46 Biografi Sayyid Usman juga ditulis oleh Muhammad bin ‘Alwi ‘Abd Allah dalam sulu>h zaman.47 Catatan sejarah perjalanan ayah dari Sayyid Usman, Sayyid ‘Abd Allah ketika datang ke Batavia dari Hadramaut memang belum diketemukan hingga saat ini. Namun, wilayah Pekojan sebagai pusat kediaman Hadrami sudah ada sejak abad ke-18. Pijper juga mengatakan pada umumnya orang Arab di Indonesia berasal dari Arab Selatan, Hadramaut. Analisa ini ia dapatkan dari penulis Siria bernama Sha>kib Arslal bin Yahya ke Makkah untuk menemui sanak saudaranya. Maka, pendidikan agama sepenuhnya ia peroleh dari kakeknya Shaykh ‘Abd Rahman al-Mishri. Pengajaran pertama yang ia dapatkan dari kakeknya adalah ilmu adab, akhlak, dan membaca al-Qur’an. Kemudian, dilanjutkan dengan ilmu tauhid, fiqh, dan tasawuf. Semakin ia beranjak dewasa, tingkat

46 Shaykh ‘Abd Al-Rahman bin Ahmad Al-Mis{ri datang ke Nusantara melalui Palembang dan Padang dengan tujuan berdagang, kemudian ia memilih Petamburan, wilayah Batavia, yang sekarang terletak di Jakarta Barat sebagai tempat tinggalnya. Di Petamburan, dia membeli sebidang tanah dan membangun masjid, salah satu fungsinya di gunakan untuk mengabdi kepada masyarakat yaitu memberikan pengajaran seputar masalah keislaman. Dengan maksud pengabdiannya tersebut, Shaykh Al-Mishri hengkang dari pekerjaannya sebagai pedagang. Ia terkenal sebagai seorang ahli dalam bidang astronomi (ilmu falak) dan astrologi. Keahliannya tersebut dipergunakan untuk mengoreksi arah kiblat dari beberapa masjid di Palembang, walaupun koreksinya itu memunculkan berbagai perdebatan, ia tetap dihormati oleh otoritas Belanda di Batavia. Ketika wafat pada tahun 1847, ia dikuburkan di halaman masjid yang dia telah bangun. 47 Abdullah bin Usman bin Yahya, Sulu>h zama>n (Jakarta: Percetakan Sayyid Usman, 1330H); Ali bin Usman bin Yahya, Ini Hikayat Bernama Qama>r Zaman Menyatakan Keadaan Almarhum al-Habi>b Usman dan T{ariqahnya (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1343 H/1924 M). 48 G.F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia (Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1984), 116.

61 keilmuan yang diajarkan makin beragam diantaranya adalah nahwu, shorf, tafsir hadis, serta ilmu falaq.49 Sayyid Usman merasa perlu menimba ilmu yang lebih luas lagi di Makkah. Selain itu, ia juga ingin bertemu ayah dan sanak saudaranya. Maka, ia berangkat ke Makkah ketika usia 18 Tahun. Tepat pada tahun 1257 H/1841 M, Sayyid Usman berlayar menuju Makkah dan langsung menimba ilmu kepada ayahnya dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.50 Sayyid Usman menetap di Makkah sekitar 7 tahun. Sekitar tahun 1264 H/1848 M, ia menuntut ilmu ke Hadramaut. Karir intelektualnya ia lanjutkan kembali untuk mendapatkan sanad dari guru-guru di Hadramaut. Diantaranya ialah Sayyid Abdullah bin Husein bin T>}a>hir, Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya, Sayyid Hasan bin S}a>lih al-Bahr, Sayyid Muhammad bin Husain bin T}a>hir, dan Sayyid ‘Alwi bin Saqqafah dari klan bin Sahl atas petunjuk guru-gurunya. Karena lamanya di Hadramaut, ia hafal betul seluk beluk propinsi yang ia curahkan dalam sebuah peta besar wilayah-wilayah Hadramaut.52 Sayangnya, beberapa tahun kemudian, guru yang sangat ia hormati meninggal dunia. Inilah yang membuat Sayyid Usman melanjutkan perjalanan kembali ke kota Makkah pada tahun 1272 H/ 1855 M. Tujuan keduanya adalah ke kota Madinah, hendak berziarah ke makan Rasulullah. Ia menyempatkan diri untuk menuntut ilmu kepada ulama di Madinah, Shaykh Muhammad al-‘Azab dan Sayyid Umar bin Abdullah al-Jufri. Tak lama berselang menetap di Madinah, ia melanjutkan lagi ke Mesir. Di Mesir, ia bertemu dengan sanak saudara dari pihak ibu Aminah binti Abdurrahman al-Mis{ri di wilayah distrik dimyath. Selama delapan bulan menetap di Mesir, Sayyid Usman melanjutkan perjalanan kembali ke , negeri yang berbatasan dengan Mesir.53

49 Abdullah bin Usman bin Yahya, Sulu>h zama>n, 2-3. 50 Abdullah bin Usman bin Yahya, Sulu>h zama>n, 3. 51 Abdullah bin Usman bin Yahya, Sulu>h zama>n, 4. 52 Peta tersebut masih tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan kode 1090/1091 yang di buat pada tahun 1309 H/ 1891 M, kode 1092. 53 Abdullah bin Usman bin Yahya, Sulu>h zama>n, 5.

62

Tunisia juga sebagai salah satu negri yang ingin dikunjungi Sayyid Usman. Berkat jalinan persahabatan yang erat dengan wazir, ia menjadi tamu kerajaan yang dihormati. Karir intelektualnya pun merambah ke negeri ini, ia berguru pula kepada ulama besar di Tunisia, Shaykh Muhammad bin Abdul Jawad dan Shaykh Ahmad bin Manshur.54 Selain dari kedua guru ini, Sayyid Usman juga bertemu dengan Mufti Pasya di wilayah distrik Qabis, perjalanan menuju distrik ini sekitar 5 mil dari pusat kota Tunisia. Karena keilmuan dari Mufti Pasya sangat beragam, maka Sayyid Usman menuntut ilmu selama 5 bulan di Qabis.55 Setelah dari Tunisia, Sayyid Usman berangkat lagi ke Alzajair untuk menuntut ilmu. Kemudian, melanjutkan perjalanan ke kota Fes, salah satu kota besar di Maroko. Atas petunjuk dari penduduk sekitar, Sayyid Usman bertemu dengan alim ulama di kota tersebut dan belajar ilmu syariat dan tasawuf (hakekat) selama 7 bulan lamanya, kemudian berangkat berlayar lagi ke negeri istanbul.56 Selama perjalanan ke Istanbul, Sayyid usman sempat singgah di Marsilia dan beberapa pulau yang ada di sekitar Marsilia. Seperti pulau Malta, Qibris, dan Karita yang menjadi penghubung perjalanannya ke Istanbul. Sayangnya, Sayyid Usman berada di Istanbul hanya sekitar 3 bulan, dikarenakan rombongan dari bangsa Eropa harus pergi ke Palestina dan Sayyid Usman terpaksa harus mengikuti rombongan tersebut. Sayyid Usman tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, ia meniatkan juga ziarah ke Bait al-Maqdis. Tidak lupa, perjalanan keilmuannya masih terngiang dalam hatinya, ia menyempatkan diri berguru kepada Shaykh Abd al-Qa>dir al-Jaza

54 Sayyid Usman, Dhikr al-Masha>’ikh al-Muallif, (manuskrip), 1. 55 Abdullah bin Usman bin Yahya, Sulu>h zama>n, 5. 56 Abdullah bin Usman bin Yahya, Sulu>h zama>n, 5. 57 Abdullah bin Usman bin Yahya, Sulu>h zama>n, 7.

63

Mengenai perjalanan hidup, karir intelektual dan karya-karyanya akan dijelaskan secara lebih mendetail pada sub bab berikutnya. Sebelum wafat Sayyid Usman mewasiatkan kepada keluarga agar makamnya tidak memakai kubah dan tidak mengadakan haul untuk dirinya. Sayyid Usman wafat pada tanggal 21 Safar 1331 H, bertepatan dengan tanggal 19 Januari 1914 M, jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta.58 Namun, makam Sayyid Usman dipindahkan oleh keluarga pada masa Gubernur Ali Sadikin. Kini, makamnya masih terlihat sangat terawat di sebelah selatan masjid Al- Abidin di jalan Masjid Abidin, Sawah Barat, Pondok Bambu, Jakarta Timur. Sekitar 10.000 orang mengantarkan jenazahnya ke pemakaman TPU Karet, Jakarta. Inilah yang menjadikan Sayyid Usman sebagai tokoh pembaru abad ke-19 yang dihormati oleh masyarakat luas dan masyarakat Betawi khususnya.59 Sayyid Usman meninggalkan beberapa putera, diantaranya ‘Aqil, ‘Alwi, Hasan, Muhammad, Hamid, Husein, Abdurrahman dan Yahya. Sedangkan anak puterinya ada lima orang, yakni Khadijah, Sida, ‘Alwiyyah, Nur, dan Muhani.60 Sayangnya, diantara anak Sayyid Usman tidak ada yang melanjutkan estafet keilmuan, terutama dalam bentuk karya tulis dan penerbitan. Justru, dakwah Sayyid Usman dilanjutkan oleh anak muridnya. Sayyid Usman berhasil mendidik muridnya dari Kuningan yang dikenal dengan sebutan Guru Mughni dan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi yang biasa di sebut Habib Ali Kwitang. Guru Mughni adalah satu dari enam ulama Betawi yang mempunyai ikatan genealogi keilmuan dengan ulama-ulama di Timur Tengah.61 Menurut Aziz, tidak banyak ulama Betawi yang belajar kepada Sayyid Usman dikarenakan kedudukannya sebagai penasehat

58 Sayyid Usman, Sulu>h Zaman, 18. 59 Sayyid Usman, Sulu>h Zaman, 18. 60 Berdasarkan budaya patrilineal masyarakat arab, garis keturunan berasal dari pihak ayah. Jadi, nama-nama anak perempuan Sayyid Usman bin Yahya tidak dicantumkan dalam garis keturunan, Silsilah Keturunan Hasan bin Yahya (Tc. Th. Tk) plano. 61 Biografi tentang Guru Mugni ditulis oleh Lutfi fatthullah, cicit dari Guru Mugni, lihat selengkapnya dalam Ahmad Lutfi fathullah, Pribadi Rasulullah SAW, Telaah Kitab Taudhi>h al-Dala>’il Fi Tarjamat Hadist al-Sya>mil Karya Guru Mugni Kuningan (1860-1935) (Jakarta: Al-Mugni Press, 2005).

64

Belanda. Walaupun Sayyid Usman memiliki karya dan ilmu yang cukup, ulama Betawi tetap enggan berguru kepadanya.62

C. Sayyid Usman bin Yahya sebagai Mufti Betawi dan Penasihat Kehormatan Kolonial Belanda

Untuk memahami pengangkatan Sayyid Usman menjadi Adviseur Honorair voor Arbische Zaken (Penasehat Kehormatan untuk Urusan bangsa Arab), terlebih dahulu melihat perjalanan orientalis Snouck Hurgronje yang menjadi benang merah kerjasama Snouck dengan Sayyid Usman hingga mengantarkannya ke ranah politik pemerintah Hindia Belanda. Pada akhir tahun 1884, Snouck Hurgronje bermukim di kota Makkah selama enam bulan (februari-agustus 1885). Hubungan dengan kaum Muslimin Hindia Belanda di Makkah menjadi penghubung baginya untuk menjalin kedekatan dengan kaum Muslimin di Nusantara. Hal ini menjadi keuntungan yang sangat berarti bagi Snouck, karena dengan bermukim dan menjalin hubungan dengan kaum Muslimin di Makkah menjadi penentuan sebagai penasihat pemerintah untuk urusan-urusan Islam (1889-1906).63 Ia banyak mengetahui tentang Sayyid Usman yang kala itu menjadi salah satu ulama Nusantara yang diakui karya-karyanya oleh masyarakat pribumi. Snouck mengadakan penelitian intensif mengenai Islam di Makkah sekaligus Islam di Nusantara. Ia memberikan warna baru dalam wacana keislaman yang tidak dimiliki oleh peneliti lain pada zamannya. Karyanya yang bentuk buku, artikel, dan ulasan, dicetak dalam berbagai penerbitan.64

62 Abdul aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, 61. 63 Lihat catatan perjalanan Snouck Hurgronje ke Makkah dan kontroversi keislamannya dalam Husnul Aqib Suminto, “Politik Islam Pemerintahan Belanda,” Disertasi UIN Jakarta, 1984, 174-176); P.SJ>. Van Koningsveld, Snouck Hurgronje En Islam; Acht artkelen over Leven en werk van een orientalist uit het koloniale tijdperk (Snouck Hurgronje dan Islam, Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial Belanda), terj. PT. Girimukti Pasaka, (Jakarta: PT. Girimukti Pasaka, 1989), 171-178. 64 A.J Wensinck, “Snouck Hurgronje Verspreide Geschriften (Gessamelte Schriften),” review of the Royal Asiatic Society, by R.A. Nicholson, Bookpage:

65

Sekembalinya ia dari Makkah pada tahun 1886, Snouck kemudian mengajar kembali di Leiden. Disinilah permulaan Snouck dan Sayyid Usman saling berkirim surat. Sayyid Usman menjelaskan berbagai kondisi sosial di Nusantara dan Snouck sangat tertarik untuk meneliti dan mengumpulkan data tentang lembaga Islam di Hindia Belanda untuk melanjutkan kembali penelitiannya tentang Islam setelah Makkah.65 Keterangan ini berbeda dengan Muhammad Noupal, perkenalan antara Snouck dan Sayyid Usman terjalin setelah ia tiba di Nusantara pada tahun 1889. Sayyid Usman diminta olehnya untuk memberikan segala informasi yang dibutuhkan Snouck dalam penelitiannya. Ia mengirimkan surat kepada Sayyid Usman bahwa ia akan memberikan gaji sebesar seratus gulden perbulan. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan informasi kepada pemerintah Hindia Belanda tentang keadaan Islam di Nusantara.66 Mengenai perkenalan Snouck dengan Sayyid Usman, lebih tepatnya sebelum Snouck datang ke tanah air. Alasannya adalah ketika Snouck berada di Makkah, ia mencari informasi mengenai ulama di Nusantara yang berkaitan langsung dengan ulama pribumi di Makkah. Ia juga sempat mengunjungi Shaykh Ahmad Zaini Dahlan dan mengikuti kajian keislamannya, yang tidak lain adalah salah satu guru dari Sayyid Usman. Tepat pada tanggal 11 Mei 1889, Snouck datang ke Batavia. Kemudian, pada tanggal 15 Maret 1891 Snouck diangkat menjadi Penasehat Urusan Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Islam, dan pada tanggal 11 Januari 1889 ia diangkat menjadi Penasehat Urusan Pribumi dan Arab hingga tahun 1906.67 Sayyid Usman diangkat sebagai Penasehat Kehormatan Belanda untuk Urusan Arab pada bulan April 1891. Namun informasi pengangkatannya baru terlihat ketika Snouck Hurgronje dan Sayyid Usman saling mengirim surat pada tahun 1889 untuk keperluan pemerintahan. Dalam pembicaraannya dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada bulan juni tahun 1889, Snouck telah memberitahukan kepada Gubernur Jenderal bahwa Sayyid Usman akan

Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, http://jstor.org/stable/10.2307/25220562 (diakses 4 Juli, 2014). 65 P.SJ>. Van Koningsveld, Snouck Hurgronje En Islam, 172. 66 Muhammad Noupal, “Pemikiran Keagamaan,” 91. 67 Husnul Aqib Suminto, “Politik Islam Pemerintahan Belanda,” 173.

66 menjadi pendampingnya ketika sedang melakukan penelitian di Batavia.68 Ketika Snouck berkirim surat kepada Gubernur Jenderal tanggal 5 Juli 1890, Snouck menyertakan juga tulisan Sayyid Usman yang berjudul Manha>j al-Istiqa>mah fi> al-Di>n bi al-Sala>mah. Inilah yang membuat Gubernur Jenderal menyetujui agar Sayyid Usman menjadi pendamping Snouck Hurgronje. Snouck juga menjelaskan isi kandungan dari karya tersebut, terutama pada bagian jihad atau perang suci. Ia merincikan bahwa Sayyid Usman mengutuk orang-orang yang ikut dalam perang Cilegon. Atas dasar karya itulah, Snouck merasa para penganut tarekat di Banten sedikit berkurang.69 Snouck mengusulkan kepada direktur Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan agar Sayyid Usman menjadi Penasehat honorer. Snouck menyertakan karya Sayyid Usman yang dianggap sangat bermanfaat bagi pemerintah. Isi surat tertanggal 5 april 1891 ini sebagai berikut: “Mengingat banyak sekali hasil karyanya, maka pengakuan memberi salah satu tanda penghargaan dari pemerintah, menurut penglihatan saya, Sayyid Usman justru berhak atas hal itu. Bentuk tanda penghargaan itu, yang memang pantas bagi kedudukan dan lingkup pekerjaannya, rupanya adalah salah satu gelar kehormatan” Pada penutup surat, Snouck terlihat sangat mengusulkan Sayyid Utsman sebagai penasehat Honorer untuk urusan pribumi dan Arab, dengan menyebutkan: “Barangkali saya perlu memberanikan diri untuk memberi pertimbangan kepada paduka Tuan, sudilah mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk mengusulkan Sayyid Utsman bin Abdullah bin ‘Aqi>l bin yahya al-‘Alawi sebagai Penasehat Kehormatan untuk Urusan Bangsa Arab”.70 Pengangkatan Sayyid Usman sebagai Penasehat Kehormatan untuk Urusan Bangsa Arab adalah untuk membantu pemerintah Belanda dalam menyelesaikan berbagai persoalan mengenai hukum Islam ataupun persoalan yang terjadi diantara masyarakat Arab. Contohnya pada tahun 1893, terjadi persoalan tentang pembagian harta waris milik ayah dari Sayyid Abdullah bin Muhammad bin

68 Goobe dan C. Andriaance, Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje IX Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Belanda (Jakarta: INIS 1993), 1623. 69 Goobe dan C. Andriaance, Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje IX, 1627. 70 Goobe dan C. Andriaance, Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje IX, 1626.

67

Syahab. Harta tersebut diakui oleh Lembaga Yatim Piatu sebagai wali atas adik-adiknya yang di bawah umur.71 Namun, dari catatan Sayyid Usman sendiri, ia tidak pernah menjelaskan perihal pengangkatannya sebagai Penasihat Kehormatan India Belanda untuk urusan Arab. Dari seluruh karya tulisnya, Sayyid Usman tidak mencantumkan gelar tersebut. Hanya sebutan mufti Betawi yang pernah ia cantumkan ketika hendak berkirim surat kepada beberapa orang. Sayyid Usman lebih suka menyebut dirinya sebagai al-‘Abd al-Dzali>l.72 Kedudukannya sebagai Penasehat Urusan Arab, Sayyid Usman diharuskan berdiri diatas dua kepentingan. Kepentingan pemerintah kolonian dan masyarakat Arab khususnya. Posisi ini dirasa sangat sulit, dikarenakan pada masa Sultan Turki masih menganggap bahwa orang Arab dan seluruh orang Islam di Hindia Belanda sebagai warga negaranya. Ketika tahun 1890, empat pemuda Arab ditugaskan untuk belajar ke Istambul, atas gagasan konsul Turki di Batavia. Kemudian. Pemerintah Belanda menawarkan pembangunan sekolah bagi anak- anak Arab di Batavia dan mengajukan usul tersebut kepada Sayyid Usman. Sayyid Usman meneruskan ide itu kepada masyarakat Arab di Batavia, namun mereka menolak dan menentang keras. Sayyid Usman dinilai mendukung segala aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah Belanda.73 Sayangnya, posisi Sayyid Usman sebagai Penasehat Urusan Arab, menjadi kontroversi di kalangan orang-orang Arab. Al-Baqir menuliskan sebuah essai tentang orang-orang ‘Alawiyah dan perannya terhadap Islam di Indonesia, tidak menyebutkan nama Sayyid Usman. Padahal, bisa dikatakan pengaruh Sayyid Usman abad ke-19 telah tersohor di Nusantara dengan berbagai karya-karyanya. Hal ini bisa disebabkan seperti apa yang dikatakan Snouck, orang-orang Hadrami

71 Sayyid Usman, Snouck beserta Ch. W. Margadant, diangkat oleh Mahkamah tinggi Hindia Belanda untuk memberikan keterangan dan masukan perihal gugatan tersebut. Lihat perkara Snouck Hurgronje ini dalam Goobe dan C. Andriaance, Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje IX, 1637-1641. 72 Muhammad Noupal, Kontroversi tentang Sayyid Usman bin Yahya Sebagai Penasehat Snouck Hurgronje, “Annual International Conference on Islamic Studies,” IAIN Surabaya, 10. 73 Surat Snouck Hurgronje kepada Gurbernur Jenderal W. Roose-Bom tanggal 5 Desember 1902,1732. Lihat pula Husnul Aqib Suminto, “Politik Islam Pemerintah Hindia Belanda,” 234.

68 merasa sungkan karena Sayyid Usman banyak berkolaborasi dan menjalin kerjasama dengan Pemerintahan Hindia Belanda.74

D. Karya-karya Sayyid Usman bin Yahya

Sayyid Usman merupakan ulama yang sangat produktif dalam menulis, disebutkan bahwa karya tulisnya mencapai 126 buku, baik yang diterbitkan maupun yang masih berbentuk manuskrip. Penerbitan buku dilakukannya sendiri di percetakan litograf miliknya.75 Sedangkan yang masih berbentuk manuskrip disimpan oleh keturunannya dan beberapa murid-murid yang pernah menimba ilmu kepadanya. Selain karya tulis, Sayyid Usman juga meninggalkan tulisan berupa surat-menyurat untuk Snouck Hurgronje dan Pemerintah Belanda ketika ada berbagai masalah mengenai agama. Surat menyurat ini juga masih tersimpan baik di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Karya pertama yang ditulis oleh Sayyid Usman pada tahun 1875 adalah kitab manasik haji yang terdiri dari 49 halaman. Isinya merupakan tuntunan untuk masyarakat pribumi dalam menunaikan haji dan umrah. Jama’ah haji biasa atau disebut jama’ah yang baru menunaikan ibadah haji, sehingga menurut Snouck, jama’ah haji biasa ini tidak memiliki pengetahuan agama secara mendalam. Berbeda halnya dengan jama’ah haji muqi>min yang telah lama menetap di Makkah. Maka, buku pertama Sayyid Usman dipersembahkan untuk masyarakat pribumi sebagai penuntun yang berisi syarat, rukun dan wajib haji. Dilengkapi pula dengan doa-doa penuntun dalam melaksanakan ibadah haji dan umrah.76

74 Goobe dan C. Andriaance, Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje IX, 1631; Azyumardi Azra, Hadrami Scholar in The Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman, Journal Studia Islamika 2, 2 (1995), 14. 75 Martin menyebut Sayyid Usman bin Yahya sebagai pionir yang menerbitkan karyanya dalam bentuk cetakan litograf, kitab al-qawa>nin al-shar’iyyah diterbitkan pada tahun 1881 dengan menggunakan percetakan litograf miliknya. Kitab tersebut tersebar ke berbagai pelosok daerah termasuk Batavia dan Sunda. Lihat Martin Van Bruinessen, “Kitab Kuning: Books in Script Used in the Pesantren Milieu,”Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (1990): 231, http://www.jstor.org/stable/27864122 (diakses 8 Juli 2014). 76 Sayyid Usman, Kitab Manasik Haji (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1875).

69

Karya tulis terakhir adalah Fard}u Nasi>h}at yang ditulis pada tahun 1912, 2 tahun sebelum Sayyid Usman wafat. Buku-buku Sayyid Usman berbahasa Arab, Melayu, dan beberapa yang menggunakan bahasa Jawa dan Sunda. Kitab yang sangat populer semasa hidupnya adalah Manha>j al- Istiqa>mah fi> al-Din al-Sala>mah Sayyid Usman juga membahas masalah jihad. Karya ini menjelaskan masalah jihad di Banten yang terjadi pada tahun 1888. Sayyid Usman menilai, bahwa jihad di Banten hanya menjadi gangguan keamanan yang akan membawa sengsara bagi umat Islam.77 Menurut Snouck, Sayyid Usman memang seorang yang menghasilkan karya sastra terbanyak dan terpopuler baik di kalangan masyarakat muslim Nusantara maupun di kalangan Pemerintah Hindia-Belanda. Karangan Sayyid Usman sangat khas bila di jumpai pada masa sekarang, hal ini dikarenakan sebagian dari karya tulisnya sekitar 20 halaman, ada pula yang cukup tebal sekitar 182 halaman sebagai buku petunjuk untuk para hakim agama dan penghulu. Ada beberapa keistimewaan dari karangannya, pertama tulisan-tulisan pendek Sayyid Usman yang disebut Snouck sebagai brosur atau pamflet berisi tentang pengetahuan dasar dari beberapa bagian hukum Islam maupun pengetahuan tentang doa dan ratib sehari-hari, seperti Masla>k al- akhyar yang berisi tentang doa memakai pakaian, doa masuk ke dalam masjid, do’a sayyid al-istigfa>r, doa ketika sakit, do’a nis{fu sya’ban, do’a awal bulan muharram, juga didalamnya termasuk ratib al-hadda>d ‘Abd Allah bin ‘Alawi al-Haddad beserta wiridnya. Kumpulan doa-doa yang dikarang dengan bahasa Arab dan beberapa cetakan diterjemahkan kedalam arab melayu menjadikan karya tulis ini populer di kalangan betawi khususnya. Pesantren-pesantren salaf, pengajian anak-anak, bahkan majlis ta’lim para wanita masih menjadikan kitab masla>k al-akhyar penuntun doa-doa mereka. Tampaknya, karangan Sayyid Usman ini ditujukan untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk membaca dan mengamalkannya. Keistimewaan kedua, karya Sayyid Usman terbit apabila terdapat suatu masalah khusus dan terdapat pertanyaan dari masyarakat, maka Sayyid Usman menulis sebuah karangan ringkas pula berupa brosur tentang masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Menurut

77 Muhammad Zafar Iqbal, “Islam di Jakarta, Studi Sejarah Islam dan Budaya Betawi,” Disertasi Pascasarjana UIN Jakarta, 2002, 281.

70

Snouck, walaupun Sayyid Usman seorang Arab, bertahun-tahun menuntut ilmu di beberapa negeri, dan sebagian ilmu tentang hukum Islam ia peroleh di Hadramaut dan Makkah, ia tetap lahir dan separuh hidupnya menetap di Batavia. Jadi, ia sudah memahami karakteristik sebagian masyarakat pribumi, sebagian lagi ia peroleh dari para penghulu, guru agama, yang sejak bertahun-tahun datang kepadanya dari Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, untuk meminta jawaban atas persoalan-persoalan yang sedang mereka hadapi.78 Contohnya, pada peristiwa Masjid baru di Palembang yang menguras perhatian Sayyid Usman dan mengeluarkan 8 karya tulisnya yakni, Jam’u al-Fawa>id mimma> yata’allaqu bi Shala>t al-Jum’ah wa al-masa>jid (1893); Menyenangkan hati yang bimbang di dalam perihal Jumat Palembang (1893); Muzi>l al-awh>am wa al-taraddud fi Amri S{ala>t al-Jum’ah bi al- ta’addud (1894); Tafti>h al-Muqlatayni wa Tabyi>n al-Mufsidatayni (1895); Daf’u al-Wa>qi’at al-Mu’ayyan al-ladzaini fi S{ulhi al- Jama>’ataini (1895); Iqna> al-Ma’a>nid bi ma> ja>’a fi Bina> al-masa>jid (1895); Jawab Atas Empat Soal di dalam Perihal Masjid-Masjid antara Wajib menghormatkannya dan haram menghinakannya (1902); Khula>s{at al-Qawlu al-Sadi>d fi Man Ih{da

78 Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VII (Jakarta: INIS, 1992), 63

71

Usman inilah yang membuat namanya tak hanya terkenal di Batavia, tetapi juga di seluruh pelosok Nusantara dan Haramayn.79 Karya Sayyid Usman yang juga dipakai dalam pemerintahan Belanda untuk mengatur tata aturan hukum Islam yaitu al-Qawa>nin al- Shar’iyyah li ahl al-maja>lis al-h{ukmiyyah wa al-ifta>’iyyah (Ini Kitab segala aturan hukum syara’ bagi ahli majelis hukum syar’I dan majelis fatwa syar’I yaitu yang disebut rad agama). Kitab ini tebit pada tahun 1298 H/1881 M yang ditujukan untuk memberikan petunjuk praktis bagi pribumi tentang peraturan hukum Islam dengan tulisan yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Tujuh bab pertama menjelaskan sumber hukum agama yang berasal dari al-Qur’an, Hadis{, Ijma’, dan Qiyas. Pada bab 8 sampai 13 Sayyid Usman menguraikan kewajiban- kewajiban terpenting tugas seorang qadi, dan isi bab yang sering dibicarakan para ulama tertera pada bab 19, tentang persyaratan hukum mengenai hubungan para suami terhadap kelahiran dan derajat.80 Inilah yang menjadi sebuah kontroversi baru yang hingga sekarang masih diperdebatkan oleh kalangan ulama hadramaut.81 Sayyid Usman menerangkan bahwa kaum muslimin dibagi menurut kelahiran, pekerjaan, dan tingkatan derajat. Pengertian ini menimbulkan polemik berkepanjangan bahwa wanita sharifah tidak diperkenankan menikahi non sayyid. Karena kelahiran, seorang Arab dengan sendirinya menduduki derajat yang lebih tinggi daripada orang bukan Arab.82

79 Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang 1984), 141-142. 80 Sayyid Usman, al-Qawa>nin al-Syar’iyyah li ahl al-maja>lis al-h{ukmiyyah wa al-ifta>’iyyah (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1881). 81 A.S. Bujra, “Political Conflict and Stratification in Ḥaḍramaut,” Middle Eastern Studies 3, No. 4 (1967): 357, http://www.jstor.org/stable/4282218 (diakses 8 Juli 2014). 82 Sayyid Usman, al-Qawa>nin al-Syar’iyyah li ahl al-maja>lis al-h{ukmiyyah, 87.

72

BAB IV KONDISI GERAKAN TAREKAT MASA PEMERINTAHAN KOLONIAL DAN PEMIKIRAN SAYYID USMAN BIN YAHYA TERHADAP TASAWUF

Dalam bab ini, akan membahas masalah-masalah yang terjadi antara tahun kedatangan Sayyid Usman 1863-1914 di Nusantara dan khususnya di Batavia. Pada masa ini, pemerintah kolonial Belanda mulai mendeteksi kebangkitan umat Islam akibat pengetahuan agama bertambah, kehidupan ekonomi masyarakat yang mulai bangkit, serta timbulnya gerakan fanatisme Islam yang dinilai Pemerintah kolonial sebagai kekuatan untuk menghancurkan kekuasaannya. Gerakan fanatisme Islam ini menurut mereka seperti Pan Islam dan tarekat yang harus diwaspadai perkembangannya.

A. Dinamika Gerakan Tarekat Masa Kolonial

Pentingnya kedudukan mistik dalam Islam di Indonesia tidak dapat diabaikan, teutama bila mengupas sejarah Islam Indonesia pada pertukaran abad yang lalu. Panteisme tumbuh subur dalam kehidupan rohaniah dan kehidupan emosional masyarakat yang telah dipengaruhi berabad-abad lalu dari agama Hindu dan Budha.1 Representasi kebangkitan Islam di Indonesia tidak dapat mengabaikan pengaruh mistik yang sudah ada sejak lama. Selain mistik, mereka juga mngekspresikan kehidupannya dengan dukungan dan ketaatan hukum agama dalam bentuk menjalankan syari’at Islam.2 Walapum ritual terhadap kepercayaan mistik masih kukuh dalam sandaran kejiwaan masyarakat di Indonesia. Senada dengan pendapat Snouck, sejak awal para Muslimin Indonesia lebih menghargai mistik daripada syari’at, bertafakkur yang bersifat keagamaan lebih diutamakan daripada menunaikan kewajiban beribadah yang terbilang cukup banyak. Dalam penelitiannya terhadap

1 Husein Djajadiningrat, “”, dalam Kenneth W. Morgan (ed.), Islam the Straight Path (New York: The Ronald Press Company, 1958), 393; Lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3S, 1982), cet.2, 14. 2 Julia Day Howel, “Sufism and the Indonesian Islamic Revival,” Journal of Asian Studies 60, No. 23 (2001); 701, http://www.jstor.org/stable/2700107 (Diakses 8 Juli 2014).

73

Islam di Hindia Belanda dijelaskan Snouck bahwa pengaruh zaman Hindu menguntungkan arah mistik ini. Dapat dikatakan, mistik dalam bentuk yang beraneka ragam itu telah memancarkan pengaruhnya kepada seluruh masyarakat di Hindia Belanda.3 Pengaruh mistik itulah yang membuat suatu gerakan atau orde yang disebut tarekat. Pada masa perkembangan Islam di Nusantara, terjadi pergumulan filosofi yang berhubungan dengan munculnya ajaran Manunggaling Kawula Gusti4 di Jawa dan ajaran Wuju>diyyat di Aceh yang dikembangkan Hamzah Fansuri.5 Ajaran Tasawuf falasafi (mistiko-filosofis) ini menuai polemik berkepanjangan dalam sejarah.6 Uniknya kemudian, tasawuf akhlaqi atau tasawuf ‘amali> lebih berkembang pada abad selanjutnya. Terlebih ketika organisasi tarekat masuk ke Nusantara abad ke-19 dengan corak tasawuf yang berorientasi kepada syari’at. Tiga tarekat terpopuler di Nusantara kala itu adalah Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syattariyah.7 Harmonisasi tasawuf yang berdekatan dengan syari’at inilah yang menimbulkan gagasan ditengah ulama yang mengakibatkan timbulnya “neo-sufisme”. Menurut Fazlur Rahman, neo-sufisme merupakan tasawuf yang telah diperbarui, kandungan estatik dan metasifisiknya digantikan dengan kandungan dari dalil-dalil yang lebih mengarah kepada ortodoksi Islam.8 Badri Yatim dalam disertasinya memperkuat proses-proses peralihan yang terjadi pada abad ke 19 berkembangnya tasawuf ortodoks kearah populer. Tak seperti pada abad ke 17 dan 18 yang lebih mengarah kepada tasawuf falsafi, hal ini dikarenakan gagasan- gagasan pemurnian yang dibawa oleh gerakan Wahhabi semakin menguat di penghujung abad ke-18 M. Halaqah-halaqah ilmiah di

3 Snouck hurgronje, Islam di Hindia Belanda (Jakarta: Bhatara, 1973), 43. 4 Faham Manunggaling Kawula Gusti beserta pokok ajarannya, lihat Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, trans. Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1991). 5 Pokok-pokok ajaran Hamzah Fansuri tentang wujudiyyat selengkapnya lihat Syakh Naquib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970). 6 Faham ini menuai siksaan dan cercaan dari lawannya, seperti Abu Manshur al-Hallaj yang dihukum bunuh, Shaykh Hamzah Fansuri yang ajarannya dilarang beredar, bahkan buku-buku karangannya dibakar, Lihat Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Syeikh Hamzah Fansuri (Yogyakarta: Gelombang Pasang 2004), 8. 7 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam, 12. 8 Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 193- 205.

74

Masjidil Haram dan Masjid Nabawi semakin kuat membersihkan diri dari ajaran-ajaran tasawuf populer dan bahkan dari ajaran tasawuf falsafi, kemudian memperkuat tasawuf yang sejalan dengan syari’at.9 Sehingga, kitab tasawuf yang dipakai adalah karya Imam al-Ghazza>li> >> yang berjudul ih}ya> ‘Ulu>m al-Di>n. Kitab ini banyak di pakai dalam halaqah-halaqah karena lebih berorientasi kepada akhlak daripada kehidupan mistik.10 Kitab yang berorientasi kepada akhlak inilah yang menjadikan tarekat lebih bergema dibandingkan tarekat yang lebih bernuansa mistik-filosofis. Tarekat-tarekat yang berkembang di Makkah abad ke- 19 adalah tarekat yang bernuansa syari’ah, seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, atau Sammaniyah. Sedangkan tarekat Syattariyah yang penekanannya lebih kepada mistik-filosofis, pengikutnya makin berkurang dan bahkan tidak berkembang lebih jauh.11 Dari seluruh tarekat yang berorientasi kepada syari’at, tarekat Naqsyabandiyahlah yang mempunyai pengikut terbanyak. Pergantian dari tarekat Syattariyah ke tarekat Naqsyabandiyah menjadi pertanda awal mulanya kondisi tasawuf dari corak mistik kepada neosufisme.12 Tarekat-tarekat ini makin berkembang ketika kaum muslimin dari Indonesia menunaikan ibadah haji. Peningkatan jama’ah haji terjadi pada abad ke-19 diiringi pula dengan meningkatnya gerakan tarekat di Indonesia. Kita dapat menyimpulkan, proses peralihan tarekat yang terjadi di Haramayn pada abad ke-19, sejalan dengan perkembangan tarekat dan meningkatnya antusiasme masyarakat dengan berbondong-bondong memasuki dunia ini. Pengetahuan akan dunia Islam, makin dirasa oleh kaum muslimin di Nusantara, terutama ketika mereka melakukan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ancaman terhadap ekspansi kolonial menjadi ancaman yang paling serius dan paling banyak dibicarakan oleh kaum muslimin saat itu. Keadaan ini paling tidak memberikan motivasi yang cukup kuat bagi sebagian masyarakat

9 Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci Hijaz (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), 236. 10 Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter Part of 19th Century (Leyden: Late E.J. Brill Ltd., 1931), 201-203; Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan, 201- 203. 11 Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan, 242. 12 Muhammad Noupal, “Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya,” Disertasi UIN Jakarta, 2008, 255.

75

Indonesia untuk mengadakan gerakan perlawanan terhadap penjajah kolonial.13 Melalui pengaruh-pengaruh tersebut, tarekat Qa>diriyah- Naqsyabandiyah mulai menemukan bentuknya sebagai gerakan masa pada paruh kedua abad 19. Tarekat Qa>diriyah Naqsyabandiyah merupakan gerakan tarekat yang memiliki massa terbesar pada masa kolonial. Kasus-kasus pemberontakan terhadap kolonial sejak permulaan abad ke-19 sampai awal abad 20 mengindikasikan bahwa tarekat ikut serta di dalamnya. Ada dua faktor yang mempengaruhi organisasi tarekat ikut serta dalam sebuah pemberontakan terhadap penjajah; Pertama, tujuannya murni untuk melakukan penentangan terhadap pemerintah kolonial; kedua, sebagai respon atas kemerosotan kehidupan perekonomian masyarakat dan penindasan terhadap rakyat jelata. Martin menyebutkan, bahwa tarekat mampu menyediakan jaringan untuk melakukan komunikasi antar daerah dan mobilisasi bahkan diyakini memiliki teknik spiritual untuk memberikan perlindungan dan kekuatan magis pada saat pemberontakan berlangsung.14 Dari catatan sejarah, tarekat Naqsyabandiyah terlibat sebanyak tiga kali dalam perlawanan terhadap pemerintahan kolonial dan satu dukungan terhadap partai politik. Pertama, keikutsertaan pada pemberontakan di Banten tahun 1888. Dilaporkan bahwa Shaykh ‘Abd Karim Banten penggagas tarekat ini tidak tertarik terhadap aktivitas- aktivitas yang berkenaan dengan politik, namun penerusnya Haji Marzuki ini sangat anti Belanda. Walaupun tarekat ini tidak memimpin dalam pemberontakan, Belanda tetap khawatir terhadap pengaruhnya yang dapat mengalahkan kekuatan kolonial. Kedua, perlawanan yang dilakukan suku Sasak, pengikut tarekat Naqsyabandiyah Shaykh Guru Bangkol. Ketiga, dukungan terhadap

13 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995), 199. 14 Martin berasumsi dalam beberapa kasus pemberontakan yang melibatkan organisasi tarekat, bukanlah tarekat itu sendiri yang mempelopori pemberontakan. Akan tetapi, para pemberontak (diluar dari anggota-anggota tarekat) yang menyusup masuk ke dalam tarekat untuk memperoleh kesaktian. Menurut laporan resmi, menjelang pemberontakan banyak orang yang datang mendatangi shaykh-shaykh tarekat yang memiliki ilmu kekebalan, minta di bai’at oleh mereka. Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 339.

76 partai politik oleh 3 cabang terbesar tarekat Naqsyabandiyah di Pulau Jawa, diantaranya di Rejoso, Mranggen, dan Suryalaya.15 Sebelum membahas lebih jauh perlawanan tarekat pada masa kolonial, agaknya sedikit menyinggung secara terperinci peran tarekat Qa>diriyah dan Naqsyabandiyah di Pulau Jawa. Hal ini penulis batasi hanya di Pulau Jawa dikarenakan untuk mempersempit cakupan wilayah pembahasan. Pertama, memperjelas peranan dan gerakan tarekat Qa>diriyah dan Naqsyabandiyah di Pulau Jawa kemudian mengaitkannya dengan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Kedua, fokus terhadap kritik Sayyid Usman terhadap tarekat.

1. Peranan Tarekat Naqsyabandiyah abad ke-19 Seperti yang telah dibahas dalam bab 2, pergumulan tarekat Naqsyabandiyah tidak terlepas dari peran Shayh Isma’il Al- Minangkabawi, Shaykh Muhammad Shaleh al-Zawawi, dan Syakh Ahmad Khatib al-Sambasi. Ketiga ulama sufi ini mengajarkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Tarekat Muzhariyah, dan tarekat Qadiriyah. Ketiga corak tarekat ini, hanya ada dua tarekat yang mengalami perkembangan pesat dan pengikut terbesar di tengah masyarakat. Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang dikembangkan oleh Syakh Ismail Al-Khalidi al-Minangkabawi, dan Tarekat Naqsyabandiyah wa Qadiriyah yang dikembangkan Syakh Ahmad Khatib Sambas.16 Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah menyebar keseluruh Nusantara dan menonjol di kawasan Minangkabau. Sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah wa Qadiriyah penyebarannya lebih terkonsentrasi di Jawa, Kalimantan, dan Sumbawa. Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah hanya tersebar di wilayah Madura, sebagian Jawa Timur dan Kalimantan Barat serta sempat berkembang di Riau.17 Kata Naqsyabandiyah Khalidiyah sendiri berasal dari Mawla>na Kha>lid al-Kurdi al-Baghdadi, yakni salah seorang murid dari khalifah

15 Harapandi Dahri, Meluruskan Pemikiran Tasawuf (Jakarta: Pustaka Irfani, 2007), 253-254.

16 Martin Van Bruinessen, “Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Survei Historis, Geografis dan Sosiologis (TheNaqsyabandiyah Brotherhood in Indonesia: A Historical, Geographical and Sociological Survey),” Journal of Southeast Asian Studies 25, No. 2 (1994), http://www.jstor.org/stable/20071667 (diakses 8 Juli 2014). 17 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 200.

77

Ghulam ‘Ali. Khalifah Ghulam ‘Ali adalah khalifah tarekat Naqsyabandiyah yang dianggap paling berjasa dan populer mengembangkan ajaran tarekat ini di Makkah dan Madinah.18 Kemudian, di tangan Mawla>na Kha>lid al-Kurdi silsilah pengikutnya di kenal sebagai pengikut Khalidiyah. Di Makah, Ghulam ‘Ali mengangkat khalifah bernama ‘Abd Alla>h al-Makki> (w. 1852 M), dan Shaykh Isma>’il Kha>lidi al-Minangkabawi adalah salah satu anak murid dari ‘Abd Alla>h al-Makki.19 Shaykh Isma>’il Kha>lidi secara langsung menjadi guru pertama bagi murid-murid asal Nusantara dalam mengenal tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Makkah.20Dalam tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Shaykh Isma>il al-Khalidi menerima bai’at dari Shaykh ‘Abd Allah Affandi al-Khalidi, murid Shaykh Kha>lid al-Uthma>ni al-Kurdi. Namun, Shaykh Isma>’il juga menerima bai’at secara langsung dari Shaykh Kha>lid al-Uthma>ni al- Kurdi, seorang mujaddid (pembaru) dalam tarekat Naqsyabandiyah yang terkenal di Jabal Qubays di Makkah.21 Untuk lebih jelas ajaran tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang digagas oleh Shaykh Isma’il al-Minangkabawi, akan kita bahas inti ajarannya untuk melihat dibagian mana kritik yang dilontarkan Shaykh Salim bin Sumayr yang selanjutnya menjadi referensi bagi Sayyid Usman bin Yahya. Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah berisi ajaran tarekat antara lain kesempurnaan rabit{ah, dhikr ithm al-dha>t, dhikr nafyi ithba>t, dhikr al-lat{a>if, adab sulu>k, adab ziarah mursyid, do’a khatam, tawassul, tawajjuh, bagian-bagian lat{i>fah dan sebagainya.22 Pokok- pokok ajaran tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah diantaranya, pertama, masalah bai’at dan talqi>n. Talqi>n adalah langkah awal bagi seorang murid (calon sa>lik) sebelum di bai’at menjadi anggota tarekat

18 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung, Mizan, 1992), 65. 19 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedia Tasawuf jilid II (Bandung: Agkasa, 2008), 934. 20 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, 68. 21 H.W. Shaghir Abdullah, Syeikh Isma’il al-Minangkabawi: Penyiar Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, (Solo: C.V. Ramadhani, tt), 16-19; Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, 51; Sofyan Hadi, “al-Manhal al-adhb li-dhikr al-qalb: Kajian atas Dinamika Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau,” tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 192. 22 Sofyan Hadi, “al-Manhal al-adhb li-dhikr al-qalb,” 29.

78 dan menjalani kehidupan tasawuf. Sedangkan bai’at merupakan sebuah ucapan, janji atau ikrar penyerahan diri dari seorang murid kepada shaykhnya. Ikrar dan janji bai’at adalah kesetiaan untuk mengikuti dan menjalankan dengan sungguh-sungguh segala macam bentuk zikir dan ritual yang berlaku dalam ajaran tarekat yang dimasukinya itu.23 Dalam pengambilan tarekat Naqsyabandiyah, bai’at diawali dengan mandi taubat dilakukan setelah shalat isya, bahkan ditetapkan waktu terbaik untuk mandi taubat dilaksanakan pada jam satu lewat tengah malam. Selanjutnya mengganti pakaian dengan kain kafan dan menganggap dirinya sebagai sesosok mayat dihadapan Shaykh mursyid yang membimbingnya. Mengganti pakaian dengan kain kafan putih adalah ritual terpenting dalam ajaran tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau.24 Dalam tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Shaykh Isma’il tidak menyertakan rumusan-rumusan bai’at dan talqi>n dengan kain kafan ketika sedang di bai’at. Hal ini disebabkan, para pengikut dari Shaykh Isma’il didominasi oleh kalangan istana. Kehidupan istana memang diketahui terkenal dengan kemewahan dan kehidupan yang glamour. Maka, menurut Shaykh Isma’il hal itu tentulah sulit untuk menjadikan mereka dengan tampilan kesederhanaan dan meninggalkan kemewahan secara total.25 Kedua, Shaykh atau Mursyid memiliki kedudukan penting dalam tarekat. Ia merupakan pemimpin yang mengawasi muridnya dalam kehidupan lahir dan pergaulan sehari-hari, agar tidak menyimpang daripada ajaran-ajaran Islam dan terjerumus dalam maksiat. Dia sekaligus menjadi perantara dalam ibadah dan hubungan antara murid dan Tuhan, ini merupakan salah satu keyakinan di kalangan ahli tarekat Naqsyabandiyah.26

23 Lihat Jala>l al-Di>n, Rahasia Mutiara al-Tari>qah al-Naqsyabandiyah (: Partai Politik Umat Islam (PPTI), 1950), 8-13. 24 Lihat tata cara pengambilan bai’at dan talqin dalam Jala>l al-Di>n, Rahasia Mutiara Tariqah 6-8; H. A. Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah (Jakarta: al- Husna al-Zikra, 1999), 88-89; Sofyan Hadi, “Naskah MADQ,” 40. 25 Dalam Naskah MADQ, berbunyi: Baikkan olehmu “ َح ِّس ْن ِث َيا َب َك َما ا ْس َت َط ْع َت َفإِ َّن َها * َز ْب ُن الّ ِر َجا ِل ِب َها َو ُي َع ُّز َو ُي ْك َر ُم akan pakaian berapa kuasamu * maka bahwasanya ianya ialah perhiasan segala laki- laki dangan dialah (serupakan?) Lihat lebih detail syair MADQ Shaykh Isma’il al- Minangkabawi dalam Sofyan Hadi, Naskan MADQ, 39. 26 Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo: C.V. Ramadhani, 1985), 79.

79

Dalam tarekat, kedudukan seorang guru sangatlah penting. Hubungan yang terjalin tak hanya sekedar hubungan antara murid dan guru, melainkan kedudukan ini tergambar pula dalam wirid-wirid yang diajarkan oleh guru kepada muridnya. Menurut Deliar Noer, ajaran wirid tersebut mengharuskan seorang murid mengenang Tuhan dengan mengingat guru. Jadi, guru sebagai perantara. Hal ini ia yakini merupakan sebuah ajaran yang bertentangan dengan Islam yang emang tidak mengenal perantara dalam hubungan Tuhan dengan hamba- Nya.27 Menurut Snouck, pentingnya kedudukan guru dalam tarekat tergambar dalam kepatuhan muridnya, yang seringkali buta terhadap kepatuhannya itu. Apapun doktrin-doktrin yang diajarkan oleh Shaykhnya maka sang murid akan mengikuti, termasuk pemberontakan-pemberontakan terhadap Pemerintah Belanda. Adapun mengenai kemudaratan murid atau pengikut sebuah gerakan tarekat, terdapat laba atau keuntungan material yang diperoleh Shaykh bersangkutan dari murid-muridnya. Terkadang pula, murid dharuskan mengantar berbagai pemberian atau hadiah kepada gurunya sebagai “bayaran” karena murid itu telah menyerap berbagai macam ilmu dari gurunya.28 Ketiga, Pokok dalam ajaran tarekat Naqsyabandiyah ini adalah rabi>t{ah dan wasi>lah. Ra>bit{ah menurut bahasa yakni bertali, berkait, atau berhubungan. Bila dikaitkan dalam bertarekat, rabi>t{ah yakni menghubungkan ruhaniah murid dengan ruhaniyah guru dengan menghadirkan rupa/wajah guru mursyid atau shaykh ke hati sanubari murid ketika berzikir atau beribadah guna mendapatkan wasi>lah (jalan/jembatan) dalam rangka perjalanan murid menuju Allah atau terkabulnya do’a.29 Keempat, Ajaran tarekat Naqsyabandiyah berisi empat dasar amalan yang harus dilakukan secara berurutan, yakni shari’at, tari>qat, haqi>qat, dan ma’rifat. Jalan ini ditempuh agar seorang murid bisa mencapai kedalam tujuan sulu>k atau khalwat. Ritual sulu>k ditujukan untuk latihan yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu untuk

27 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam, 13. 28 C. Snouck hurgronje, “Een Arabish Bondgenoot der Nederlandsch Indische Regeering”, dalam Verspreide Geschriften, Iva, (Boon and Leipzig: Lur Scroeder, 1924), 74. Lihat pula, Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam, 13 29 H.A Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah, 71.

80 memperoleh keadaan mengenai ah{wa>l dan maqa>m dari orang yang melakukan kegiatan tarekat.30 Peranan Shaykh Ismail amat signifikan. Ia merupakan tokoh yang menyebarkan tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Sumatera Barat hingga Bengkulu, Jambi dan Riau. Karyanya yang ia hasilkan antara lain, Kifayah al-Ghula>m fi> Bayan Arkan al-Islam wa Syuru>tih, Risa>lah Muqa>ranah ‘Urfiyyah wa Tawzi’iyyah wa Kamaliyyah. Karena kredibilitas Shaykh Isma’il, tarekat yang dipimpinnya menjadi populer dikalangan masyarakat bahkan di kalangan para penguasa.31 Tarekat Qa>diriyah-Naqsyabandiyah muncul di Nusantara sebagai tarekat sufi pada permulaan tahun 1850 atas perpaduan tarekat yang digagas oleh Ah}mad Kha>tib Sambasi>, seorang shaykh sufi asal Kalimantan yang menetap di Makkah. Ia menyatukan dan mengembangkan metode spiritual dua tarekat besar, Qa>diriyah- Naqsyabandiyah yang menjadi tarekat yang saling melengkapi untuk mencapai seseorang pada tingkat spiritual tertinggi. Secara universal, ajarannya sama dengan tarekat sufi lainnya, yaitu memberikan keseimbangan secara mendalam bagi para anggotanya dalam menjalankan syari’at Islam dan memelihara segala aspek di dalamnya. Selain itu, tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah menggunakan metode “psikologi-moral” untuk membimbing anggota tarekat agar memahami dan merasakan hakikat beribadah kepada Tuhan secara sempurna dan membentuk kesadaran kolektif dalam membangun kesatuan jama’ah spiritual dan moral.32 Tarekat Qa>diriyah-Naqsyabandiyah telah membangun system sosial-organik yang cukup kuat di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Harmonisasi tarekat ini bersama dengan kondisi sosial masyarakat Jawa membawanya hingga ke puncak perkembangan

30 Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, 121-122; Sofyan Hadi, al- Manhal al-adhb li-dhikr al-qalb, Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 48. 31 Yang Dipertuan Muda (sultan-sultan Melayu), Raja Ali bersama seluruh kerabatnya menjadi murid Shaykh Isma’il dan mengamalkan zikir Naqsyabandiyah bersama-sama dua kali seminggu, Lihat Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Sufi Terkemuka (Jakarta: Prenada media Group, 2006), 167. 32 Struktur kelembagaan dalam dunia tarekat dan peran-peran pembinanya, Lihat al-‘Arif billa>h Sayyid ‘Abdul Wahha>b al-Sya’ra>ni, al-Anwa>r al-Qudsiyyah fi Ma’rifati Qawa>’id al-S{u>fiyyah (Jakarta: Berkah Utama, tt); Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaun Tarekat Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qa>diriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 28- 29.

81 yang pesat. Salah satu buktinya antara tahun 1885 sampai tahun 1915- satu tahun setelah Sayyid Usman wafat pada tahun 1914– tarekat Naqsyabandiyah masih diatas puncak perkembangannya.33 Tiga aspek dalam tarekat Qa>diriyah-Naqsyabandiyah yang menjadi pusat perhatian masyarakat dan itu masih dikembangkan oleh para anggotanya. Pertama, ajaran pusat teladan (the doctrine of the exemplary centre) terhadap guru spiritual: shaykh, khalifah atau badal- nya. Kedua, ajaran keruhanian bertingkat (the doctrine of the graded spirituality) bagi seluruh anggotanya dalam menaiki jenjang spiritual secara kompetiif dan terbuka. Ketiga, ajaran tentang lingkungan atau wilayah ideal (the doctrine of the thetre centre), zona yang meniscayakan nilai-nilai keagamaan dapat terlaksana dan terpelihara dengan baik.34

2. Tarekat Sebagai Basis Antikolonialisme Dalam perjalanan sejarah, tokoh penggagas dalam dunia tarekat maupun pengikutnya dalam dunia Islam, baik yang bercorak panteistik (wujudiyah) maupun yang berorientasi kepada tarekat ‘amali> atau yang lebih dikenal dengan tasawuf sunni> atau akhla>qi>, adalah orang yang tidak serta merta menghilangkan hiruk pikuk kebutuhan duniawi. Tak jarang pula para pemimpin tarekat juga bertindak sebagai pemimpin politik, paling tidak memiliki kedekatan dengan penguasa pada zamannya.35 Begitu pula tak dapat dipungkiri, pemimpin tarekat Naqsyabandiyah juga mengalami hal yang sama.36 Pengaruh guru-guru tarekat menjadi bahaya besar bagi kekuasaan Belanda. Penghormatan yang diberikan masyarakat kepada seorang guru, kepatuhan terhadap shaykh tarekat melebihi penghormatan itu. Praktek tarekat terkadang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, hal ini menyebabkan pemerintah Belanda mengalami kesukaran untuk mengawasi dan mengamati mereka. Lain halnya dengan pengawasan yang dilakukan terhadap amal ibadah yang berkaitan dengan agama Islam yang bukan dalam rangka organisasi

33 Muhammad Noupal, “Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya,” 259. 34 Clifford Geerzt, Islam Observerd; Religious Development in and Indonesia, terj. Hasan Basari (Jakarta: YIIS, t.t.), 43-53. 35 Ahmad Safi’i Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa (Jakarta: Yayasan Obor, 2006), 76. 36 Sofyan Hadi, “al-Manhal al-adhb li-dhikr al-qalb,” 215

82 dalam tarekat.37 Dengan demikian, para pemimpin tarekat yang dianggap berbahaya diasingkan oleh Pemerintah Belanda.38 Perhatian serius terhadap tarekat diawali pada abad ke-19. Dua perhatian pemerintah Belanda difokuskan pada masalah tarekat dan haji. Hal ini dikarenakan, fanatisme masyarakat terhadap keduanya makin meningkat. Inilah yang menurut pemerintah kolonial menjadi sebuah ancaman bagi kekuasaannya. Kekhawatiran Pemerintah Belanda terhadap tarekat pada mulanya didasari oleh perlawanan yang diberikan tarekat Sanusiyah terhadap kolonialisme Perancis. Kekhawatiran itu bersamaan dengan meningkatnya gerakan Pan Islamisme yang marak diperbincangkan oleh masyarakat. Walaupun pemerintah terlihat bersifat netral, tetapi praktik-praktik keagamaan tetap menjadi perhatian pemerintah.39 Pemerintah Belanda telah memprediksi ketakutan mereka terhadap gerakan tarekat di Indonesia. Diduga, tarekat mampu menjadi basis kekuatan untuk memberontak. Kekhawatiran ini jelas terlihat ketika peristiwa Cianjur Sukabumi tahun 1885, peristiwa Cilegon Banten 1888 dan peristiwa Garut 1919 yang dipimpin oleh pemimpin- pemimpin yang fanatik terhadap tarekat.40 Menarik untuk dikaji kekhawatiran K.F>.Holle, ketika penduduk banyak berdatangan dan berduyun-duyun untuk mengikuti tarekat Naqsyabandiyah di Priangan. Ia mengirimkan surat untuk Gubernur Jenderal di Batavia tertanggal 5 September 1886 yang berisi kekhawatirannya terhadap tarekat Naqsyabandiyah yang semakin berkembang pesat.41 Fanatisme masyarakat terhadap tarekat ini menurutnya akan mengancam keberlangsungan pemerintahan kolonial. Holle secara tidak langsung bertukar pikiran dengan Residen Priangan (Peltzer) terhadap masalah tarekat ini. Timbul pertanyaan- pertanyaan yang cukup penting; Apakah banyaknya orang masuk tarekat merupakan ungkapan protes sosial dan politik terhadap keadaan yang makin memburuk di Indonesia? Ataukah hanya merupakan satu akibat dari meningkatnya hubungan dengan Timur

37 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam, 23. 38 Salah satu yang telah diasingkan Pemerintah Belanda yaitu Haji yahya dari Simabur, minangkabau, Lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam, 29. 39 Muhammad Noupal, “Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya,” 69. 40 Husnul Aqib Suminto, “Politik Islam Pemerintahan Hindia Belanda: Het Kantoor Voor Inlandsche Zaken 1899-1942,” Disertasi UIN Jakarta, 1984, 94. 41 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, 23.

83

Tengah yang membuat Islam Indonesia lalu pelan-pelan menyesuaikan diri dengan Islam Arab? Apakah itu menunjukkan penolakan terhadap kekuasaan Belanda? Atau lebih merupakan pengelakan dari semua urusan duniawi yang menjadi sikap kesalehan dalam beragama tanpa implikasi politik?.42 Martin berpendapat, pertanyaan yang diajukan Holle diatas, jawabannya tidaklah selalu sama. Tarekat menampakkan aspek yang tidak sama pada waktu dan tempat yang belainan. Menurutnya, mustahil menjelaskan tarekat di Indonesia dengan teori umum yang sederhana dikarenakan fenomena tarekat sangat kompleks dan beragam.43 Peristiwa Cianjur Sukabumi adalah peristiwa pertama yang lahir atas pemberontakan gerakan tarekat. Meskipun peristiwa ini belum sampai dikatakan sebagai pemberontakan, namun peristiwa itu cukup menyita perhatian pemerintah Belanda. K.F. Holle yang pada saat itu menjabat sebagai Adviseur Honorair urusan pribumi menyatakan bahwa tarekat Naqsyabandiyah yang berada di Cianjur secara tidak langsung menjadi ancaman bagi Pemerintah Belanda, terlebih para pegawai dari pribumi merupakan anggota dari tarekat ini.44 K.F. Holle dan Muhammad Musa (1822-1866) Penghulu Besar kab. Limbangan Garut, berasumsi bahwa pengikut tarekat yang berada di daerah Cianjur memiliki fanatisme yang besar terhadap tarekat Naqsyabandiyah. Muhammad Musa juga berusaha mempengaruhi pemerintah kolonial bahwa tarekat Naqsyabandiyah itu berbahaya. Di balik itu, ia berusaha mempertahankan kedudukannya agar guru-guru tarekat Naqsyabandiyah tidak memiliki pengaruh di daerah jabatannya sebagai penghulu. Muhammad Musa juga berkeinginan mengamankan kedudukan Penghulu Kepala untuk putranya yang cacat. Ia merasa, guru tarekat merupakan saingan yang berat untuk mendapatkan jabatan tersebut.45 Bertepatan dengan peristiwa cianjur, Sayyid Usman mengeluarkan pamflet yang berisi kritiknya terhadap tarekat.

42 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, 25. 43 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, 25. 44 Surat Holle ke Residen tanggal 13 Mei 1885. (Mailrapport 642a/1885). Lihat Aqib Suminto, Politik Islam Pemerintahan Hindia Belanda, 95. 45 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, 24-26.

84

Sayangnya, pamflet tersebut juga dimanfaatkan Muhammad Musa untuk kepentingan pribadinya sendiri.46 Snouck Hurgronje yang datang pada tahun 1889 menjadi angin segar bagi Pemerintah Belanda dalam urusan agama Islam. Snouck meyakinkan kepada Pemerintah, bahwa Islam tidak mengenal lapisan kependetaan seperti agama Kristen. Kyai sebagai sumber ilmu bagi masyarakat Islam tidak a priori fanatik. Penghulu juga sebagai bawahan pribumi, bukan sebagai atasan. Ulama yang independen juga bukan sebuah ancaman, karena mereka ingin menghabiskan kehidupan di dunia ini hanya untuk ibadah. Pergi haji pun bukan berarti fanatik untuk melakukan pemberontakan.47

B. Pandangan Sayyid Usman bin Yahya terhadap Tarekat

Ilmu tasawuf atau yang populer dengan t{ari>qah48 yang tersebar di Nusantara, menghantarkan para masyarakat kepada pemujaan terhadap orang-orang keramat. Orang akan berziarah ke makam dan mengaji, menyembelih binatang kurban, mengadakan selamatan yang sederhana atau berbuat apa saja untuk menyenangkan orang-orang yang dikeramatkan. Hampir di seluruh dunia Islam, khususnya di kalangan Islam Indonesia, pemujaan orang keramat meresap dalam sekali.49

46 Martin tidak menyebutkan judul dari karya Sayyid Usman yang dipakai Muhammad Musa sebagai pedoman. Dilihat dari tahun kejadian (1886), Sayyid Usman menulis karya yang berkaitan dengan kritik terhadap tarekat Naqsyabandiyah yakni al-nasi>hah al-‘ani>qah. Karya ini ditulis bertepatan dengan tahun 1885, saat itu Pemerintah Belanda tengah menaruh perhatian serius terhadap tarekat. 47 Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun (The Hague, 1958), 21. 48Snouck menyamakan istilah tasawuf dengan tarekat dalam pembahasannya mengenai Islam di Hindia Belanda. Ia melihat bahwa orang yang bertarekat adalah orang yang percaya dengan tempat keramat dan hal- hal yang bersifat mistik. Snouck agaknya keliru dalam hal ini, istilah tasawuf dan tarekat memiliki arti masing-masing. Terlebih, ia hanya melihat bahwa keduanya berhubungan dengan sinkretisme. Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui keadaan jiwa, baik maupun buruk, kemudian bertekad untuk membersihkan jiwa dari sifat buruk, kemudian berusaha menuju jalan (sulu>k) untuk berada dekat dengan Allah SWT. Sedangkan tarekat adalah organisasi persaudaraan dalam menjalankan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Lihat Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), 1283-1289. 49 Snouck hurgronje, Islam di Hindia Belanda, 42-43.

85

Keadaan organisasi tarekat pada masa Sayyid Usman akan dibahas melalui beberapa poin. Pertama, sampai masa Sayyid Usman menetap di Batavia, gerakan tarekat berkembang cukup pesat. Pusat gerakan tarekat dinamakan sebagai kantong-kantong tarekat. Hal ini ia katakan, mengingat tarekat Naqsyabandiyah yang diperkenalkan oleh Shaykh Yusuf al-Makassari di Sulawesi Selatan, menyebar pula ke Banten, Cianjur, dan Bogor. Tak hanya bagian Jawa Barat, tarekat ini menyebar pula ke jawa Tengah.50 Diduga, sebagian dari mereka berasal dari orang yang awam terhadap tata cara dalam memasuki dunia tarekat. Kedua, proses ortodoksi dalam tarekat terjadi dalam skala besar yang dilakukan oleh ulama-ulama di Haramayn. Kecaman dari para ulama fiqih terhadap aktivitas tarekat yang menyimpang dari amalan-amalan syari’ah menjadi salah satu bagian penting dalam hal ini. Kecaman yang membekas dari Salim bin Sumair dan Akhmad Kha>tib al-Minangkabawi juga sebagai contoh dari proses ortodoksi dalam tarekat yang cukup membekas dalam sejarah kritik terhadap tarekat.51 Dalam karya Sayyid Usman, memang kita tidak dapat menemukan pernyataan-pernyataan tentang berbagai macam aspek tasawuf didalamnya. Contohnya seperti maqa>m, ahwa>l, fana>, atau ma’rifat.52 Ketiga bukunya yang utama membahas tarekat al-Nas{i>h{ah al-‘ani{ari

50 Martin van Bruinnesen, Tarekat Naqsyabandiyah, 45. 51 Muhammad Noupal, Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya, 264. 52 Muhammad Noupal, Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya, 275.

86 pengetahuan mereka terhadap tarekat yang pada saat itu sedang berkembang dengan pesat. Karya pertama kritik terhadap tarekat adalah al-Nas{i>h{ah al- ‘anih kepada Shaykh Nawawi al-Bantani untuk meluruskan gerakan tarekat yang menyimpang. Dokumen yang terkait masalah ini tersimpan di Arsip Nasional Jakarta dengan kode MGS 23-5-1886 No.91/c. Satu bundel di dalamnya terdapat beberapa surat dari Makkah yang ditujukan kepada Sultan Deli dan Langkat yang membahas masalah perdebatan dua tokoh di Makkah, yakni antara Shaykh Sulaiman Effendi dan Shaykh Khalil Pasya.53 Perselisihan tersebut mengakibatkan buku-buku Sulaiman Effendi dilarang beredar bahkan terjadi pembakaran karya- karyanya di Makkah. Tash{i>h yang diberikan Shaykh Nawawi terhadap karya Sayyid Usman adalah bentuk dukungan Shaykh Nawawi terhadap sufisme yang berorientasi kepada syari’at, perkataan dan perbuatan para sufi 54 haruslah mutaba’ah kepada Nabi Muhammad SAW.

53 Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 184. 54 cuplikan dari tash{i>h dari Shaykh Nawawi al-Bantani: “Ini Kitab al-Nasi>hat ‘ala Niqat tinggi segala kedudukannya, sahih segala maknanya, bagaimanapun tiada begitu, sebab, ia kumpul daripada perkara ulama besar-besar. Adapun orang-orang yang mengambil tarekat, jikalau adalah perkataan dan perbuatan mereka itu mufakat pada syara’ Nabi Muhammad sebagaimana ahli-ahli tarekat yang benar, maka maqbul; dan jika tiada begitu maka tentulah seperti yang telah jadi banyak di dalam anak-anak murid Syekh Isma’il Minangkabau.” Maka bahwasanya mereka itu bercela akan zikir Allah dengan (…) dan mereka itu bercela-cela akan orang yang tiada masuk di dalam tarekat. Mereka itu hingga, bahwasanya mereka itu menegah akan mengikut bersembahyang padanya dan bercampur makan padanya dan mereka itu benci padanya istimewa pada bahwasanya Shaykh Ismail itu hanyasanya mengambil ia akan tarekat itu: asalnya karena kumpul harta buat bayar segala hutangnya. Maka ia di dalam asal mau jual agama dengan dunia adanya. Ini salinan teks Syekh Nawawi itu… Lihat Karel Steenbrink, Beberapa Aspek, 185; Azyumardi Azra, Islam Nusantara, 163-164; Muhammad Shoheh, Cerita Perbantahan Dahulu Kala: Pembelaan dan Sanggahan Tuanku Nan Garang atas Kritik Sayyid Usman bin Yahya Tahun 1885. Jurnal Manuskrip Nusantara 4, No. 1 (2013), 16.

87

Menurut Karel, surat ini bukanlah larangan untuk orang-orang yang ikut serta dalam tarekat. Shaykh Nawawi juga membenarkan bagi ahli-ahli tarekat yang masih mutaba’ah terhadap ketentuan syara’ yang telah di ajarkan oleh Nabi Muhammad. Hanya saja ada sebagian praktik-praktik yang menurut Sayyid Usman dan Shaykh Nawawi menyimpang dari aturan bertarekat.55 Di tahun 1888, Sayyid Usman menulis sebuah karya lagi yang berkenaan dengan kritiknya terhadap tarekat berjudul “Kepercayaan yang Menyampaikan Segala yang Haq di dalam Ketinggian Tariqah S{ufiyyah”. Karya ini pada awalnya berbahasa Arab, kemudian diterjemahkan untuk mengulangi semua kesalahan dan penyelewengan yang berlaku dalam tarekat. Sayyid Usman juga mengulangi syarat- syarat masuk tarekat pada kitab ini. Karya ini juga menunjukkan bahwa ia mengalami kesukaran untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap tarekat walaupun telah terbit karyanya yang berjudul al- Nas{i>h{ah al-‘anim al-Di>n karya Imam Imam al-Ghazza>li>, al-Fiyyah al-Zubad fi> al-Fiqh al-Sya>fi’i karya Ibn Ruslan al-Ramli, Gha>yah al-Baya>n fi Sharh Zubad Ibn Ruslan karya Shamsuddin al-ramli, al-Risa>lah al- Qushairiyyah fi> ‘Ilm al-Tasawwuf karya ‘Abd al-Karim al-Qushairi,

55 Karel Steenbrink, Beberapa Aspek, 185. 56 Sayyid Usman bin Yahya, Ini Boekoe Ketjil buat Mengetahui Arti Tarekat dengan Pendek Bicaranya (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1891), 6-8; Azyumardi Azra, Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002) , 161.

88

‘Awa>rif al-Ma’a>rif karya al-Suhrawandi, Nubdhah al-S{u>fiyyah karya Shaykh Ahmad Zaini Dahlan.57 Selain dari tiga karya utama yang membahas kritiknya terhadap tarekat, masih ada beberapa kitab yang dibuat untuk mendukung gagasannya dalam hal ini. Seperti Najad al-ana>m karangan Sayyid Usman, bahwa setiap mukallaf wajib mempelajari segala aspek yang menyangkut rukun Islam, terutama masalah shalat. Sayyid Usman merinci syarat-syarat istinja, syarat shalat, rukun shalat, beserta didalamnya beberapa shalat sunnah. Kemudian, menjelaskan seluruh rukun Islam secara mendetail.59 Inilah mengapa Sayyid Usman mengkritik guru tarekat yang menarik muridnya, padahal ia masih sangat awam mengenai rukun Islam.

57 Sayyid Usman, al-Watsiqah al-Wafiyyah, 5. 58 Sayyid Usman bin Abdullah bin ‘Aqil Betawi, Najar ila al-Ightira>r (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1901. 59 Sayyid Usman bin Yahya, Irsya>d al-ana>m (Jakarta: Percetakan Sayyid Usman, t.t). Kitab ini terdiri dari 32 halaman yang dikategorikan dalam fas{al berdasarkan urutan rukun Islam.

89

Syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh setiap orang untuk memasuki dunia tarekat adalah faktor mendasar sebelum ia di bai’at. Kitab-kitab terdahulu sudah banyak sekali menjelaskan mengenai masalah-masalah ini. Adapun syarat-syarat yang muwa>faqah menurutnya ada banyak sekali, sehingga Sayyid Usman hanya menyebutkan beberapa inti dari syarat masuk tarekat dan ia menekankan bahwa ia hanya mengambil sebagian kecil dari ulama-ulama sufi yang telah mengarang kitab-kitab tasawuf.60 Walaupun begitu, syarat-syarat masuk tarekat di kitab al- Nas{i>h{ah al-‘aniqah al- wafiyyah ini agaknya sudah mencakup bagian-bagian dasar mengenai syarat-syaratnya. Sayyid Usman memulai prakatanya dalam kitab al-Nas{i>h{ah al- ‘anih{ah terdiri 7 pasal yang mengenai tarekat, tiga pasal pertama menyatakan bahwa seorang murid diharuskan mendalami terlebih dahulu ketiga cabang ilmu Islam, yaitu ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu sifat hati. Ilmu tauhid disebutkan dalam perkara utama karena setiap muslim diharuskan mempelajari ilmu tersebut untuk memahami Tuhan dan sifat-sifatnya. Ilmu tauhid sebagai ilmu dasar bagi seorang mukallaf. Ilmu fiqh juga menjadi bagian penting untuk mengimpelementasikan segala rangkaian ibadah dalam Islam, seperti fard{u ‘ain, fard{u kifayah, dan sunnah muakkad.

60 Sayyid Usman, al-Wathi>qah al-wafiyyah fi> ‘Uluww Sya’n T{ari>qah al- S{u>fiyyah, (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1303), 2. 61 Hingga kini, Kitab Salim bin Sumayr yang menurut Sayyid Usman ditulis dalam bahasa arab sekitar 3 halaman penuh belum ditemukan begitupun oleh para peneliti sebelumnya. Sumber utama referensi tentang syarat-syarat masuk tarekat itu hanyalah dalam kitab al-Nas{i>h{ah al-‘anih{ah al-‘ani

90

Sedangkan yang terakhir adalah ilmu sifat hati. Ilmu sifat hati merupakan penyempurna dari dua ilmu sebelumnya, ilmu ini diperlukan untuk membentuk budi pekerti dan akhlak yang baik pada diri seseorang.62 Dalam Kitab al-wathi>qah diterangkan mengenai tiga cabang ilmu Islam ini dengan disertai dengan dalil dari Shaykh Sha’ra>ni. Sayyid Usman mengutip Shaykh Sha’ra>ni dikarenakan dalilnya mencakup alasan-alasan konkrit mengenai syarat masuk tarekat. Seseorang yang belum mengetahui ilmu tauhid, ditakutkan pada saat ia sedang menjalani khalwat, maka ia akan mendapat godaan setan yang menyerupai Tuhannya. Kekhawatiran bila ia tidak berilmu, maka akan tersesat karena ketidaktahuannya tentang ilmu ketuhanan. Sedangkan bila ia belum menjalankan ibadah yang berkaitan dengan syari’at, ditakutkan pada saat ia sedang menjalani ibadah, ibadahnya merupakan amalan yang membuat terjerumus kedalam dosa. Dan terakhir, bila ia belum mengerti ilmu tasawuf secara sungguh-sungguh, ia mengira amalannya sudah khushu>’, khudu>r, dan ikhlas, namun ternyata amalan tersebut hanya dapat menjatuhkannya ke dalam sifat- sifat riya, sum’a>t, dan takabbur.63 Sayyid Usman menyebutkan dua bagian dari sifat hati dengan merincikan antara sifat hati dari akhlak terpuji dan sifat hati yang terkeji dan wajib dihindari oleh para penganut ajaran sufi. Sifat hati yang pertama yaitu ikhlas, yang berarti tulus beramal karena Allah ta’ala tanpa mengharap balasan apapun dari manusia. Kedua, wara’ yaitu dengan meninggalkan segala larangan-larangan Allah termasuk sesuatu yang shubhat, walapun dalam keadaan darurat. Seperti kelaparan, tertimpa musibah, bahkan kematian. Hal ini didukung oleh kitab al-Qushairi> yang menyebutkan bahwa seseorang tidak dapat masuk tarekat bila ia masih melakukan pekerjaan atau memakan hal- hal yang subhat. Kutipan ini ada di dalam kitab al-wathi>qah yang berbunyi: “Jangan yang masuk t{ari>qah menghalalkan satu biji-bijian yang subhatnya sekalipun di waktu d{aru>rah..”64

62 Sayyid Usman bin Yahya, al-Nas{i>h{ah al-‘aniqah al-wafiyyah, 2. 64 Sayyid Usman, al-Wathi>qah al-wafiyyah, 5

91

Ketiga, zuhd yaitu meninggalkan sifat tamak, menjauhkan diri dari kenikmatan dunia serta bersifat tawad{u dan khusyuk dalam menjalankan ibadah tanpa memikirkan keindahan dunia.65 Sedangkan sifat hati yang terkeji yang disebut sifat hati para ahli maksiat, Sayyid Usman juga merincikan bagian-bagian tersebut. Pertama, ujub yaitu memperlihatkan kebaikan diri sendiri dengan mengharapkan pujian dari orang lain. Kedua, takabbur yaitu membanggakan diri karena harta, ilmu maupun jabatannya dan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Ketiga, riya yaitu beramal karena ingin dipuji oleh orang lain. Keempat, Hasad atau dengki serta disebutkan dalam bagian ini cinta akan harta di dunia baik yang halal maupun yang haram. Maka, Sayyid Usman menganjurkan untuk menghindari sifat-sifat terkeji ini sebelum memasuki dunia tarekat.66 Pasal Keempat, taqwa yaitu mematuhi segala perintah Tuhan dan meninggalkan segala perbuatan jahat. Sayyid Usman menyebutkan bentuk takwa disini mengerjakan perintah agama, menuntut ilmu, serta segala rukun Islam wajib dipenuhi. Ia mengharuskan menunaikan tiga pasal terdahulu secara lengkap. Kemudian, Sayyid Usman pun menyebutkan untuk menghindari maksiat yang terdiri dari tujuh anggota badan. Pertama, maksiat mata agar tidak melihat yang haram. Kedua, maksiat telinga agar tidak mendengar orang yang sedang mengumpat. Ketiga, maksiat mulut agar tidak berdusta berdusta ketika berbicara. Keempat, maksiat tangan agar tidak mencuri. Kelima, berjalan ditempat yang haram. Keenam, maksiat perut agar tidak makan dari harta yang haram. Terakhir, maksiat hawa nafsu agar tidak melakukan perbuatan zina.67 Pasal kelima, Sayyid Usman meringkas kembali apa yang telah dibahas dalam pasal kedua. Ia menekankan agar tertib dalam menjalankan ibadah dari ibadah fard{u a’in, fard{u kifayah, dan sunnah muakkad. Untuk masalah ibadah yang fard{u a’in, jika ia seorang suami, maka tidak hanya dilakukan untuk dirinya sendiri, melainkan hal ini harus diajarkan kepada istri dan anak-anaknya. Mengajarkan perilaku baik kepada anak istrinya dan tak lupa untuk mencari rizki yang halal untuk seluruh keluarga dalam tanggungannya. Kemudian,

65 Sayyid Usman bin Yahya, al-Nas{i>h{ah al-‘ani

66 Sayyid Usman bin Yahya, al-Nas{i>h{ah al-‘anih{ah al-‘ani

92 setelah fard{u a’in telah sempurna ia kerjakan, barulah meningkat kepada amalan-amalan fard{u kifayah. Terakhir, amalan-amalan yang berkaitan dengan sunnah muakkad boleh dijalankan dengan mengikuti amalan yang berdasarkan kepada amalan Nabi Muhammad SAW, sebagai muta>ba’ah Rasulullah. Setelah sempurna dalam mengerjakan ketiganya, barulah seseorang dapat mengikuti tarekat dengan menjalankannya secara benar.68 Oleh karena itu, atas dasar penekanan- penekanan amalan yang dikemukakan oleh Sayyid Usman ini, tidaklah mudah bagi seseorang untuk memasuki tarekat sebelum semua syarat- syarat ini terpenuhi. Mengenai amalan yang muta>ba’ah kepada Rasulullah, Sayyid Usman mengutip dalil kepada Shaykh Suhrawandi dari kitab al-‘awa>rif yang berbunyi: “Barangsiapa bersangka bahwa nanti dapat rahasia tarekat dengan bukan daripada muta>ba’ah, maka ialah kena kehinaan daripada penggoda shait{an dan kena keliru adanya….” Menurut Sayyid Usman, pernyataan mengenai kesempurnaan amalan seorang sufi terletak kepada ibadah-ibadah yang memang dilakukan pula oleh Rasulullah semasa hidupnya.69 Syarat muta>ba’ah ini amatlah berat dijalankan oleh orang biasa yang belum sampai kepada tingkatan ini. Tingkatan muta>ba’ah ini harus dilalui setelah mampu melaksanakan amalan yang bersifat fard{u a’in dan fard{u kifayah. Pasal keenam, Sayyid Usman masih berbicara seputar menuntut ilmu yang menurutnya sangat wajib dalam memenuhi syarat masuk tarekat. Isu muta>ba’ah yang telah disinggung dalam pasal kelima, dirincikan secara mendalam pada bab ini. Menurut Sayyid Usman, muta>ba’ah Nabi Muhammad SAW terhasil apabila seseorang lebih mendahulukan menuntut ilmu. Apabila seseorang telah menuntut ilmu, maka ilmu tersebut ia sampaikan kembali kepada orang lain. Tak hanya sampai pada perkara menuntut ilmu, ia harus mengamalkan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Sedangkan pada pasal terakhir, Sayyid Usman lebih merinci masalah tiga bagian penting dalam Islam yang tak boleh terpisahkan, yaitu syari’at, tarekat, dan hakekat. Dengan mengutip karya Shaykh Ahmad Zaini Dahlan salah satu gurunya sebagai Mufti Syafi’i di Makkah, dalam kitabnya Nubdhah al-S{u>fiyah merinci tiga aspek ini.

68 Sayyid Usman bin Yahya, al-Nas{i>h{ah al-‘aniqah al-wafiyyah, 4.

93

Syari’at sebagai petunjuk dalam melaksanakan semua perintah dan larangan dari Tuhan, tarekat sebagai implementasi dari aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh syari’at, dan hakekat sebagai rasa kesadaran bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah milik Tuhan dan apa yang terjadi dalam kehidupan ini merupakan ketentuan Tuhan.70 Mengenai masalah syari’at, Sayyid Usman mengutip dalil dari fatwa al-Kholi>li yang melazimkan syari’at sebagai bagian dari syarat masuk tarekat. Bila syarat ini tidak terpenuhi, maka orang tersebut akan mendapatkan bahla serta termasuk ke dalam ahli bid’ah.71 Sayyid Usman menambahkan, tarekat itu harus terdiri dari dua aspek. Pertama, eksoteris, yaitu implementasi atas segala bentuk perintah yang telah ditetapkan oleh syari’at. Kedua, esoterik, yaitu sifat-sifat yang telah disebutkan dalam pasal-pasal sebelumnya. Jadi, keduanya harus berjalan secara beriringan. Jika tidak, maka haram hukumnya bagi siapa saja untuk mengikutinya.72 Menurut Azra, sikap yang ditunjukkan dalam kitab al-nas{i>h{ah memperlihatkan bahwa Sayyid Usman adalah seorang yang puritan. Penekanan terhadap syari’at memang sudah ada dalam perkembangan sufisme. Azra juga menyimpulkan, nada bahasa dalam kitab ini sangatlah kasar, hal ini terlihat ketika Sayyid Usman menyebut orang- orang jahil atau pseudosufi (sufi semu).73 Kitab kedua karangan Sayyid Usman yang berkenaan dengan tarekat adala kitab al-Wathi>qah al-Wafiyyah. Kitab ini terdiri dari 19 halaman yang diterjemahkan Sayyid Usman kedalam bahasa Arab Melayu. Substansi dari kedua kitab ini terlihat sama, Sayyid Usman masih menjelaskan mengenai tata cara menjadi seorang sufi yang benar. Pembahasan mengenai beberapa tema yang sama antara lain:74 (1) seorang sufi yang benar haruslah yang memiliki segala amalan- amalan yang menopang dirinya sebagai penganut tarekat; (2) sifat zuhud dan wara’ haruslah tertanam dalam diri sufi; (3) sifat takwa juga

70 Sayyid Usman, al-Nas{i>h{ah al-‘aniqah al-wafiyyah, 4. 72 Sayyid Usman, al-Nas{i>h{ah al-‘animi> Scholars In The Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid ‘Uthma>n, Studia Islamika Indonesian Journal for Islamic Studies 2, No. 2 (1995), 28. 74 Sayyid Usman, al-Wathi>qah al-wafiyyah fi> ‘Uluww Sha’n Thari>qah al- S{ufiyyah (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1303), 19.

94 salah satu sifat yang terpenting bagi seorang sufi karena dengan sifat ini, segala perintah Tuhan akan ia jalani dan takut akan segala perbuatan jahat baik zahir maupun batin. Dalam kitab al-wathi>qah ini, Sayyid Usman menambahkan beberapa poin yang ia tidak cantumkan dalam kitabnya terdahulu mengenai cirri-ciri sufi yang benar, yaitu: (1) Ahl al-t{ari>qah yang benar bila diberikan nasihat dari orang lain akan ia terima dengan lapang dada, menunjukkan segala kebenaran dengan penuh mahabbah, (2) Ijazah yang diberikan oleh seorang guru haruslah untuk murid- murid yang mampu menjalankan amalan-amalan tarekat secara sempurna serta lengkap segala syarat-syaratnya.75 Syarat-syarat masuk tarekat secara rinci dijelaskan dalam kitab Sayyid Usman mencakup kedalam ketiga aspek mendasar yakni tauhid, fiqh, dan tasawuf. Aspek pengajaran mengenai masalah tauhid yang diutamakan Sayyid Usman adalah pembahasannya mengenai wuju>d Allah. Keberadaan Allah sangat penting bagi seorang sufi, bahwa Allah senantiasa melihat dirinya sedang melaksanakan perintah-Nya dan senantiasa melihat ketika ia melakukan perbuatan maksiat. Aspek ilmu fiqh terlihat diawal pembahasan bahwa seorang sufi sama saja dengan seorang mukallaf yang wajib melaksanakan seluruh rukun Islam secara sempurna. Ketika seorang sufi telah melaksanakan segala ketentuan syari’at, barulah ia dapat dikatakan sufi yang benar. Aspek terakhir yakni ilmu tasawuf itu sendiri yang menjadi penyempurna ilmu-ilmu sebelumnya. Ilmu sifat hati yang terpuji ini akan membentuk menjadi seorang sufi yang kaffah dalam menjalankan seluruh rangkaian ibadah kepada Tuhan-Nya.

2. Kritik terhadap Mursyid Karya Sayyid Usman tentang tarekat dan guru sufi berawal dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh masyarakat tentang hukum mengamalkan salah satu tarekat, bukan semata-mata tanpa sebab akibat. Hal ini dikarenakan masyarakat awam perlu mengetahui apakah tarekat itu perlu diutamakan daripada ibadah-ibadah shalat fard{hu yang menyangkut masalah-masalah berwudhu, rukun shalat, dan syarat-syarat shalat. Pertanyaan selanjutnya lebih mengarah personal, yakni antara guru tarekat dan muridnya. Apakah seorang guru tarekat bisa leluasa memberikan ijazahnya kepada siapa saja yang ia kehendaki ataukah

75 Sayyid Usman, al-Wathi>qah al-wafiyyah, 19.

95 seorang murid yang sudah mampu menjalankan ilmu syari’at (fardhu ‘ain).76 Mengenai kritik terhadap mursyid, Sayyid Usman merujuk kepada beberapa kitab terdahulu, seperti kitab nata>ij al-afka>r, fath al- mu’i>n karya Imam al-Sha>fi’i, risalah Sayyid Ahmad Fa>d{il, serta ih{ya> ulu>m al-di>n karya Imam al-Ghazza>li>>. Bila dikaitkan mengenai kritik terhadap mursyid, hal ini tampaknya sudah berlangsung lama. Bisa diperkirakan, kritik ini bermula ketika paradigma sufistik berkembang ditengah-tengah umat muslim. Hingga saat Sayyid Usman hidup, kritik ini masih berlaku bahkan tumbuh subur menjadi oposisi bagi kaum sufi. Dalam kitab al-wathi>qah pada pasal ketiga mengenai kritik terhadap mursyid, Sayyid Usman terlihat mengutip ulama-ulama terdahulu yang telah disebutkan di atas. Hal-hal yang menarik dalam pasal ini adalah Sayyid Usman mencoba memperlihatkan keadaan yang sama dengan kejadian yang dialami ulama terdahulu, antara lain: (1) Sebagian dari shaykh tarekat adalah penganut sufi semu (pesudosufi). Mereka berusaha mengajak orang-orang ja>hil masuk kedalam tarekat yang dipimpinnya; (2) Orang-orang ja>hil tersebut pada saat itu tidak memiliki pengetahuan terhadap ilmu tauhid, fiqh dan tasawuf. Sehingga, diantara mereka banyak yang menghalalkan perbuatan yang haram; (3) Shaykh sufi tertentu mengaku bisa mentransfer rahasia zikir (mengingat Tuhan) kepada para pengikutnya, padahal pencapaian tersebut belum tentu ada pada dirinya; (4) Mereka mengaku telah bertemu Nabi Muhammad Saw ketika sedang bermimpi bahkan saat terjaga.77 Dalam kitab Boekoe Ketjil, Sayyid Usman lebih menekankan kritiknya terhadap shaykh sufi yang terlihat lebih mementingkan pada harta kekayaan duniawi dan status pangkatnya di depan para penguasa daripada keshalehan murni. Seharusnya, Shaykh sufi adalah panutan para muridnya dalam menjalankan segala tata aturan dalam dunia sufi. Namun, sebagian dari mereka malah mengeksploitasi muridnya untuk kepentingannya sendiri.78

76 Sayyid Usman bin Yahya, al-Nas{i>h{ah al-‘aniqah al- wafiyyah, yang berisi mengenai kritik terhadap mursyid maupun sebagian lagi kritik untuk orang awam yang mengikuti ajakan shaykh sufi tersebut. Sayyid Usman, al- Wathi>qah al-wafiyyah, 7-10. 78 Sayyid Usman, Ini Boekoe Ketjil , 6-8.

96

Dalam al-Wathi>qah al-wafiyyah pula, Sayyid Usman menyebutkan beberapa kesalahan yang dilakukan oleh Shaykh Sufi. Pertama, mengaku menjadi seorang sufi padahal ia belum mampu memenuhi syarat-syaratnya. Bila ia diperingatkan oleh shaykh sufi maupun ulama, ia berkata-kata dengan perkataan yang kasar. Kedua, Mereka mengaku telah bertemu Nabi Muhammad Saw ketika sedang bermimpi bahkan saat terjaga. Ketiga, Mereka telah mengenal Tuhan sehingga dapat mengetahui segala rahasia-rahasia-Nya. Klaim yang mereka kemukakan kepada masyarakat dan muridnya Karena Shaykh sufi tersebut sudah sampai kepada tingkat auliya>’. Keempat, adanya wanita yang bukan muhrim pada malam hari untuk melakukan kegiatan tarekat. Kelima, Shaykh sufi itu mengklaim bahwa seseorang yang sudah memasuki salah satu tarekat maka ia akan memiliki kesaktian. Keenam, menambahkan ajaran sufi tetapi berbau bid’ah, seperti bertapa, bersemedi, dan lain sebagainya. Ketujuh, buku-buku tarekat milik pseudosufi yang memakai dua kalimat syahadat hanyalah sebagai topeng untuk mengelabui murid-muridnya.79 Sejatinya, mursyid merupakan mu’allim yang bertindak pula sebagai murabbi>. Selain mengajarkan hal-hal yang bersifat amalan- amalan tasawuf, mursyid juga sebagai pembimbing terhadap praktik- praktik ilmu yang ia ajarkan. Apabila seorang mursyid meninggalkan amalan syari’at, maka gugurlah ia sebagai murabbi>. Oleh karena itu, sebagai mursyid diharuskan untuk mempraktikkan ajaran syari’at dan tasawuf secara seimbang. 3. Tarekat yang Muktabarah menurut Sayyid Usman Sayyid Usman memulai pembahasan dalam kitab al-Nasi>hah al- ‘Ani>qah berupa kritikan terhadap guru-guru yang mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah atau tarekat lainnya kepada masyarakat awam, tanpa mengetahui syarat-syarat masuk tarekat terlebih dahulu. Hal ini bukan barang baru dalam penetapan memasuki dunia tarekat. Sebelumnya, ulama lain telah menyebutkan hal tersebut, seperti Shaykh Salim bin Sumayr, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Shaykh al-Ramli, Imam al- Ghazza>li>>, al-Qushairi, al-Suhrawandi, Sahl al-Tusturi, al-Sya’ra>ni, Junayd al-Baghdadi, Abu Hamzah, Ibnu Hajar, Shyakh Izzuddin Abd al-Salam, Shaykh Muhammad al-Khalili, Shaykh ‘Abd al-Qa>dir al- Jaila>ni, Shaykh Mustafa al-Aidrus. Begitu pula beberapa ulama Hadrami, seperti Muhammad bin Umar Bahraq dalam Mawa>hib al-

79 Sayyid Usman, al-Wathi>qah al-wafiyyah, 10-13.

97

Quddu>s; Shaykh Abdullah al-Haddad dalam Nas}a>ih al-Di>niyyah, Shaykh Tha>hir Husein, Shaykh al-Jufri dalam Kanz al-Bara>hin dan Shaykh Ali Abdullah al-Saqaf.80 Dalam kitab al-wathi>qah al-wafiyyah, Sayyid Usman memaparkan nama-nama tarekat yang terpercaya (mu’tamad). Dalam edisi terjemahan, Sayyid Usman menyebutkan bahwa tarekat di dunia Islam memang sangatlah banyak, namun Sayyid Usman hanya menyebut 15 macam tarekat.81 Sedangkan dalam edisi Arab, Sayyid Usman menyempurnakannya dengan menyebutkan tarekat yang absah dan memiliki keterkaitan pada ajaran al-Junayd bin Muhammad al- Baghdadi (w.297), Al-Sadah al-‘Alawiyah (al-‘Alawiyah), Imam al- Gazz>ali> (Imam al-Ghazza>li>yah), ‘Abd al-Qa

ni (Qa>diriyyah), Shaykh Ibnu al-Madyan al-Ghurabi, Shaykh Abi Hasan al-Syadzili (Syadziliyah), Sayyid Ahmad Rifa’i (Rifa’iyyah), Shaykh Ishaq al- Kazrumi, Shaykh al-Sayyid Ahmad al-Badawi, Shaykh ‘Umar al- Qarkhi, Shaykh Baha’ al-Din al-Naqsyabandi (Naqsyabandiyah), Shaykh Ibrahim al-Khalwati (Khalwatiyah), Shaykh Ibn ‘Arabi, dan Shaykh Ahmad al-Qushashi (al-Qushashiyah). Menurutnya, walaupun tarekat ini memiliki perbedaan, tetapi tarekat tersebut muwa>faqa>t terhadap pentingnya syari’at atas praktik-praktik kaum tarekat.82 Sekali lagi, Sayyid Usman menitikberatkan bahwa beberapa tarekat masih berada di jalan kebenaran. Ia tidak secara total mengklaim bahwa seluruh tarekat itu berada dalam kesalahan dalam amalannya. Namun, beberapa shaykh sufi yang dianggap Sayyid Usman yang kurang terhadap syarat-syarat mengenai tarekatlah yang menjadi pemicu terhadap kritik-kritik ini.

C. Analisis Pemikiran Sayyid Usman bin Yahya

Dalam merumuskan syarat-syarat yang telah dikemukakan Sayyid Usman dalam beberapa bukunya, terdapat enam syarat yang mencakup

80Sayyid Usman bin Yahya, Fas}hl al-Khita>b fi baya>n al-S{awa>b (Jakarta: Percetakan Sayyid Usman, t.t), 29-34. Lihat Pula Muhammad Noupal, “Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya, Disertasi UIN Jakarta, 2008, 286. 81 Sayyid Usman, al-Wathi>qah al-Wafiyyah, 2. 82Sayyid Usman, al-Wathi>qah al-Wafiyyah, 2; Azyumardi Azra,. “Hadra>mi> Scholars “, 26.

98 secara keseluruhan dalam memenuhi syarat seseorang dalam memasuki tarekat, antara lain: 1. Ilmu fard{u a’in sebagai aspek utama dalam memenuhi kewajiban bertarekat. Ilmu tersebut antara lain ilmu tauhid, fiqh, dan ilmu sifat hati. Ilmu ini merupakan pondasi awal bagi seseorang yang ingin menjadi sufi. 2. Mampu menyelesaikan seluruh amalan yang berkenaan dengan kewajiban fard{u a’in, fard{u kifayah, dan sunnah muakkad secara berurutan. 3. Mampu mengamalkan seluruh sifat-sifat terpuji dan meninggalkan sifat-sifat terkeji. 4. Melazimkan bermujahadah melawan segala hawa nafsu yang berkaitan dengan kesenangan dunia dan meninggalkan segala perbuatan maksiat. 5. Bertaqwa kepada Allah serta memenuhi persyaratan telah menuntut ilmu syari’at secara benar. 6. Mampu muta>ba’ah terhadap Sunnah Nabi Muhammad SAW. Syarat tarekat ini merupakan sebuah kritik Sayyid Usman terhadap tarekat yang berkembang pada masanya. Ia melihat bahwa organisasi tarekat yang dipimpin oleh beberapa Shaykh Sufi tersebut tiada menggunakan syarat ini ketika sebagian masyarakat awam mengikuti kegiatan tarekat. Sayyid Usman menegaskan pandangannya ini, bukanlah kepada organisasi dalam tarekatnya. Ia menepis kritik tajam ini dimaksudkan atas kebenciannya terhadap tarekat, tetapi kepada Shaykh yang harus bertanggung jawab atas penyebaran tarekat yang tidak memenuhi persyaratan. Pernyataan tentang pertanggungjawaban Shaykh sufi ini bukanlah hal baru dalam dunia tarekat, begitupula pernyataan Sayyid Usman dalam kitabnya al-nas{i>h{ah al-‘ani>qah ini. Sayyid Usman mengambil referensi itu dari gurunya yakni Shaykh Ahmad Zaini Dahlan, mufti syafi’i di Makkah. Ia menyatakan bahwa Shaykh sufi yang meniadakan syarat bagi para muridnya itu tidak layak sebagai guru tarekat, niatnya juga tidak benar pada hukum syara’.83 Jika

83 Guru Tarekat harus menguasasi aspek dasar dari tarekat. Pertama, aspek eksoteris yang terkandung di dalamnya aspek-aspek syari’at secara keseluruhan. Kedua, aspek esoterik yang berisi kemampuan batin dalam menjalankan segala perbuatan baik dan hati yang berakhlak mulia. Lihat al-Nas{i>h{ah al-‘Ani>qah, 10-13.

99

Shaykh Ahmad Zaini Dahlan memberlakukan hal ini di Makkah, maka otomatis hal ini pula berlaku di Nusantara. Senada dengan Azra, sebelum Sayyid Usman, sudah banyak yang melakukan kritik dan penentangan terhadap sufi semu atau pseudosufi. Daud bin Abdullah al-Fattani berpesan bahwa buku-buku yang membahas masalah wahda>t al-wuju>d hanya boleh dibaca oleh para ahli tarekat yang telah memiliki dasar yang kuat terhadap tarekat . Dalam catatan pengantarnya, ia tetap mendahulukan kritiknya terhadap kaum pseudosufi yang salah memahami konsep, seperti wahda>t al-wuju>d yang dipahami melalui makna yang literal saja.84 Shihabuddin bin Abdullah bin Muhammad, salah satu ulama Palembang juga termasuk ulama yang menyebarkan ajaran sufisme yang berorientasikan kepada syari’at dengan referensi kepada beberapa ulama, seperti al-Junaid, al-Qusyairi, dan Imam al-Ghazza>li>. Ia bahkan lebih tajam dari beberapa ulama di zamannya, mengharamkan masyarakat untuk membaca karya-karya tentang martabat tujuh. Penentangannya terhadap tasawuf falsafi ini semata-mata karena ketakutannya bila kaum muslimin akan tersesat. Dia menganggap bahwa mereka akan salah memahami karena tidak mempunyai dasar yang kuat dalam pengetahuan Islam terutama syari’at.85 Menurut Azra, dugaan sementara kritik Sayyid Usman terhadap tarekat karena ia merupakan ulama yang cenderung syari’ah oriented.86 Sebagian karya Sayyid Usman adalah mengenai syarat tarekat dan syarat untuk menjadi ahli tarekat. Karya Sayyid Usman terlihat sangat kaku, bahkan tidak menyentuh ranah lain selain bagian- bagian dasar dari tarekat itu sendiri. Penekanan terhadap syarat-syarat tarekat itulah, yang menjadi alasan sebagian peneliti untuk menyimpulkan bahwa Sayyid Usman memandang masalah tarekat ke sudut syariah. Namun, tak dapat dipungkiri, pernyataan masalah tarekat muncul kepermukaan dalam karya Sayyid Usman disebabkan persoalan tarekat dalam masyarakat.87 Maka, tidak heran, bahwa Sayyid Usman lebih banyak mengeluarkan karya yang dibutuhkan masyarakat untuk menjadi panduan mereka agar tidak tersesat dalam menjalankan ajaran Islam.

84 Azyumardi Azra, Islam Nusantara, 132. 85 Azyumardi Azra, Islam Nusantara, 129. 86 Azyumardi Azra, Islam Nusantara, 152. 87 Sayyid Usman, al-Nas{i>h{ah al-‘Ani>qah, 1.

100

Terlihat jelas bahwa kurun abad ke-19 ajaran tarekat di Nusantara bukanlah tarekat yang masih berpegang kepada ajaran- ajaran filosofis, melainkan lebih mengutamakan aspek syari’ah. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada masa Sayyid Usman, lebih bersifat personal, kasuistik, dan tidak umum. Maka, penyimpangan tarekat yang menjadi fokus kritik Sayyid Usman, bukanlah mengarah kepada ajaran tarekat yang diajarkan kepada pionirnya.88 Selain Sayyid Usman yang menegaskan kritiknya terhadap tarekat, masih ada beberapa ulama lain setelahnya yang juga memaparkan kritiknya melalui beberapa karya. Bahkan, setelah Sayyid Usman wafat, kritik terhadap tarekat menjadi perbincangan hangat.

88 Muhammad Noupal, “Pemikiran Keagamaan,” 268.

101

102

BAB V RESPON KRITIK SAYYID USMAN DAN PENGARUH KRIIKNYA TERHADAP KAJIAN KEISLAMAN DI BATAVIA

Pembahasan mengenai kritik tasawuf pada abad XIX, menjadi tema menarik di kalangan peneliti Barat maupun lokal. Selain kritik yang dilontarkan oleh Sayyid Usman, kritik terhadap tasawuf juga kembali hangat di kalangan tokoh ulama dari Minangkabau. Sebut saja Shaykh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1852-1915), Shaykh ‘, dan Shaykh (1862-1947) yang mengusung kritiknya terhadap amalan-amalan yang dilakukan oleh tarekat Naqsyabandiyah. Bab ini memuat pengaruh kritik terhadap tasawuf yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, termasuk di dalamnya respon dari murid Shaykh Isma’il al- Minangkabawi melalui sebuah karya yang berbentuk syair. Terakhir, penulis mengelaborasi kritik ini dengan menghubungkannya terhadap pemikiran keagamaan pada masyarakat Betawi, tempat dimana Sayyid Usman berkiprah dan mengembangkan karir intelektualnya.

A. Keharmonisan Hubungan Sayyid Usman dengan Kolonial Belanda

Christian Snouck Hurgronje adalah seorang sarjana yang paling menonjol dalam mengembangkan kajian Islam, khususnya di Nusantara, setelah pendahulunya yaitu Van den Berg.1 Tidak hanya kepada Sayyid Usman, ia juga menjalin relasi dengan beberapa tokoh pribumi. Ketika bermukim di Arab tahun 1889-1936, ia sering mengadakan pertemuan dan menjalin hubungan dekat dengan tokoh- tokoh bangsa Indonesia yang perannya sangat kuat di Nusantara, hal inilah yang mempermudah Snouck ketika ia menjadi penasihat urusan pribumi dan Arab.

1 Untuk biografi selengkapnya, lihat A.J. Wensinck, “Christian Snouck Hurgronje: 8 Februari 1857-1936,” dalam Nico Kaptein dan Dick van der Meiji, ed., Delapan Tokoh Ilmuwan Belanda bagi Pengkajian Islam di Indonesia (Jakarta: INIS, 1995). Lihat Affandi Mochtar, “Sumbangan Kerjasama Indonesia-Belanda Pasca Kolonial dalam Bidang Kajian Islam di Indonesia”, Disertasi UIN Jakarta, 40-56; Husnul Aqib Suminto, “Politik Islam Pemerintah Hindia Belanda: Het Kantoor Voor Inlandsche Zaken 1899-1942”, Disertasi UIN Jakarta, 169-182.

103

Keadaan inilah yang menjadikan seorang Snouck menjabat sebagai Penasehat urusan Pribumi dan Arab. Karir keilmuan dan penelitian lapangan menjadikan ia sosok yang berpengalaman terhadap urusan-urusan Islam. Seperti pengalamannya dalam melakukan penelitian lapangan di Makkah pada tahun 1885, di Jawa pada tahun 1889-1890 dan terakhir di Aceh pada tahun 1891. Pengalamaan dalam menjabat sebagai Penasehat urusan Bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam sejak 1891 juga menjadi penopang ia dalam memahami karakteristik bahkan menguasai penduduk Muslim tersebut.2 Dalam sebuah karya Snouck, ia menyebut Sayyid Usman sebagai sahabat Pemerintah Hindia-Belanda. Sebutan inilah yang mencerminkan kedekatannya terhadap seorang orientalis Belanda pada saat itu. Sehingga, para peneliti menyimpulkan hubungan ini amat berpengaruh kepada setiap fatwa yang dikeluarkan oleh Sayyid Usman sebagai mufti Batavia. Ilmuwan Barat yang mengutamakan kajian ini adalah Nico Kaptein dalam jurnal Sayyid ‘Uthma>n on the Legal Validity of Documentary Evidence dan The Sayid and The Queen; Sayyid ‘Uthma>n on Queen Wilhelmina’s Inauguration on the Throne of The Netherlands in 1898 yang menguatkan posisi Sayyid Usman sebagai sahabat karib bagi pemerintah Belanda.3 Nico Kaptein juga menyempurnakan penelitiannya mengenai Sayyid Usman secara mendalam dengan menerbitkan Islam, Colonialism and the Modern Age in the Netherlands East Indies; A Biography of Sayyid ‘Uthman (1822-1914). Dalam buku ini pula, Nico Kaptein menyebutkan bahwa Sayyid Usman sebagai partner of C. Snouck Hurgronje. Tak hanya Nico, Karel A. Steenbrink dalam Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 dan P.SJ. Van Koningsveld dalam Snouck Hurgronje dan Islam, berpendapat bahwa keduanya memiliki kedekatan yang sangat kuat.

2 Husnul Aqib Suminto, “Politik Islam Pemerintahan Hindia Belanda”, 19. 3 Dengan senang hati Sayyid Usman membacakan do’a keselamatan untuk ratu Wilhelmina tepat pada tahun 1898. Tentunya menurut Snouck, Sayyid Usman sangat mempercayai dan mempermudah segala pekerjaannya sebagai adviseur urusan keagamaan dalam pemerintah Belanda. Lihat selengkapnya mengenai pembacaan do’a untuk ratu Wilhelmina dalam Nico Captein, “The Sayyid and The Queen: Sayyid ‘Uthma>n on Queen Wilhelmina’s Inauguration On The Throne Of The Netherlands In 1898”, Journal of Islamic Studies 9:2 (1998): 158-177, http://jis.oxford journals.org/ at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (diakses, 22 September, 2014).

104

Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengaruh kritik Sayyid Usman, penulis membahas terlebih dahulu hubungan yang terjalin diantara keduanya. Beberapa peneliti berpendapat, bahwa kedekatan keduanya memiliki pengaruh yang cukup kuat. Hal ini juga dimaksudkan untuk menarik garis kesimpulan apakah kritik ini sengaja dibuat untuk membantu pemerintah Belanda memperkuat eksistensinya di Nusantara ataukah hanya asumsi semata? Sebelum Sayyid Usman, Snouck telah menjalin kedekatan dengan beberapa orang yang dianggap dapat memberikan informasi seputar masyarakat. Pertama, ia menjalin kedekatan dengan Raden Abu Bakar Djajadiningrat (w.1916) ketika mereka masih tinggal di Jeddah. Raden Abu Bakar membantu Snouck memberikan informasi tentang kehidupan sehari-hari dan berbagai kebiasaan beragama di Makkah. Informasi terpenting yang Snouck inginkan juga ia dapat darinya, yaitu biografi mengenai beberapa ulama Nusantara yang menetap di Makkah dan memberikan pengajaran keagamaan di sana.4 Kedua, Snouck memiliki relasi di Batavia yang banyak membantunya dalam kontak kerjasama Indonesia Belanda dalam bidang pendidikan, salah satunya adalah Hossein. Hossein menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas Leiden tahun 1913. Kemudian, Hossein menjabat sebagai pegawai pemerintah kolonial Adjunct Adviseur kantor urusan dalam negeri. Ia merupakan spesialis bahasa Arab dan Islam khas Leiden, yang menurut Affandi memiliki perbedaan mencolok dengan arus utama ahli Islam pribumi yang lebih kepada bahasa Arab dan keislaman di Timur Tengah.5 Ketiga, Hasan Mustafa yakni seorang sastrawan Sunda yang menjalin persahabatan dengan Snouck selama 10 tahun. Hassan pun mendapatkan keuntungan atas kawan persekutuannya itu. Atas rekomendasi dari Snouck kepada pemerintah Belanda ia mendapat jabatan sebagai penghulu di Kutaraja pada tahun 1893.6 Kedekatan Snouck yang terakhir dan cukup lama adalah dengan Sayyid Usman. Snouck merasa mendapat dukungan yang amat penuh oleh sahabat karibnya ini dalam hal pemerintahan. Menurutnya,

4 Van Koningsveld, “Pengantar”, dalam Gobee and Adriaanse, ed., Nasihat- Nasihat C.Snouck Hurgronje, jilid 1, xiv-xv. 5 Affandi Mochtar, “Sumbangan Kerjasama Indonesia-Belanda”, 51-53. 6 Affandi Mochtar, “Sumbangan Kerjasama Indonesia-Belanda”, 53.

105

Sayyid Usman telah memberikan kedamaian dan ketentraman bagi kekuasaan Belanda atas daerah jajahannya.7 Keharmonisan yang ditunjukkan Snouck bersama Sayyid Usman tidak hanya pada ranah urusan pemerintah dengan warga keturunan Arab. Hubungan itu juga menyebabkan Sayyid Usman begitu mempercayai Snouck, termasuk identitas kemuslimannya. Hal ini dibuktikan ketika Sayyid Usman menyebut nama Snouck dengan Professor Abdul Gaffa>r. Sebutan ini tercantum dalam surat Sayyid Usman untuk Snouck ketika hendak meninggalkan Hindia Belanda tanggal 1 Februari 1906.8 Hubungan harmonis ini juga disambut oleh Sayyid Usman. Bahkan, ketika Sayyid Usman wafat pada tanggal 19 Januari 2014 Habib ‘Alwi Ibn Uthman bin Yahya mengabarkan hal tersebut kepada Snouck. Habib ‘Alwi juga menyebut Snouck dengan sebutan al-Mukarram akhi>na> fillah ‘Abd al-Ghaffa>r.9 Saat pemerintah Belanda membatasi ruang gerak keturunan Arab dengan mengadakan sistem wijken-en passen stelsel -yang tujuannya menutup komunikasi keturunan Arab dengan masyarakat pribumi- berbanding terbalik dengan perlakuan yang diterima Sayyid Usman. Ia bebas bereksplorasi dengan percetakan litograf miliknya dengan menghasilkan berbagai macam karya mengenai masalah

7 Snouck pernah berkata untuk mendukung kedekatannya dengan Sayyid Usman: “Dukungan orang Islam yang demikian itu untuk penguasa Eropa harganya tidak dapat diragukan, seperti juga pengetahuannya dalam ilmu agama dan yang karena pendirian agamanya yang murni, mendorongnya untuk menentang hal-hal yang selalu merupakan bahaya dan untuk mempertahankan ketentraman dan kekuasaan. Pemerintah Hindia Belanda harus berterima kasih mendapatkan di sana sahabat seorang Sayyid (keturunan Nabi) yang terpelajar tinggi, yang di samping memiliki segala sifat yang menguntungkan yang sudah disebut diatas, juga memiliki kedudukan ningrat Islam tertinggi untuk membuat pengaruhnya di mata jutaan orang Islam tidak dapat diganggu-gugat. Terhadap penentang modern gerakan Naqsyabandia ini saya ingin menarik perhatian kalangan luas.” Lihat C. Snouck Hurgronje, “Een Arabische Bondgenoot der Nederlandsch-Indische Regering”, Rotterdamsche Courant, 14-16 Oktober 1886, 78; Lihat kedekatan Snouck Hurgronje dan Othman Ibn Yahya dalam , C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), 117. 8 P.SJ. Van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam; Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial (Jakarta: Girimukti Pasaka, tt), 155. 9 Kedekatan Snouck Hurgronje dengan Sayyid Usman dipaparkan oleh Koningsveld dengan membuktikan surat-menyurat diantara mereka. Lihat P.SJ. Van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam.

106 keislaman. Kitabnya lebih mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah, fiqh, dan tauhid. Dari seluruh hasil karyanya, memang belum ditemukan kata-kata yang menyudutkan pemerintahan Belanda. Hal inilah yang menurut Snouck bahwa Sayyid Usman adalah teman karibnya yang dapat membantu melanggengkan kekuasaan pemerintah kolonial. Penghargaan-penghargaan atas keilmuan dan dedikasinya terhadap pemerintah pernah diterima oleh Sayyid Usman, tentunya dengan dukungan dari Snouck. Pada tanggal 20 Maret 1890, Gubernur Jenderal memberikan penghargaan padanya dalam bentuk Groote Gouden Star (Bintang Mas Besar).10 Selain itu, Sayyid Usman juga diminta untuk menulis sekaligus membacakan do’a untuk kesejahteraan Ratu Wilhelmina. Tepat pada tanggal 2 september 1898, Sayyid Usman membacakan do’a untuk Ratu Wilhelmina setelah shalat jum’at. Atas kejadian ini, Sayyid Usman mendapatkan perlawanan keras dari masyarakat pribumi serta beberapa ulama dikarenaka do’a itu dibacakan di Masjid Pekojan yang mayoritas adalah keturunan Arab. Do’a itu berisi agar Ratu diberikan keselamatan, panjang umur, dan kesehatan. Reaksi dari masyarakat pribumi maupun menurut keturunan arab agaknya berlebihan. Menurut Snouck, Pembacaan do’a yang diberikan Sayyid Usman untuk Ratu Wilhelmina adalah hal yang biasa dilakukan oleh beberapa pejabat pribumi dan kesultanan di Hindia Belanda.11 Segala penghargaan Belanda yang diberikan kepada Sayyid Usman berdampak negatif di kalangan pribumi, keturunan Arab, bahkan di luar kawasan Hindia Belanda. Puncaknya, ketika surat kabar dan harian Arab di Turki, Mesir, dan Syiria memuat kecaman terhadap Sayyid Usman. Berita mengenai Sayyid Usman dimuat secara terus- menerus dalam harian itu, sehingga orang Arab yang dahulu berteman, kini membencinya.12 Sayyid Usman tidak tinggal diam terhadap citra negatif yang menimpanya. Dalam kitab Hukmu al-‘A>lim al-Gha>lib fi> majhu>l al-

10 Hamid Algadri, C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab, 118. 11 Nico Kaptein, “The Sayyid and The Queen: Sayyid ‘Uthma>n on Queen Wilhelmina’s Inauguration on the Throne of the Netherlands in 1898,” Journal of Islamic Studies 9:2 (1998), 158-177, http://jjs.oxfordjournal.org (diakses 2 Oktober 2014). 12 Hamid Algadri, C. Snouck Hurgronje Politik Belanda terhadap Islam dan keturunan Arab, 119.

107

Mursil wa al-Kha>tib terlihat jelas kekecewaan Sayyid Usman terhadap pemberitaannya yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang tidak peduli terhadap nasib umat Islam. Sikap akomodatif Sayyid Usman terhadap pemerintah Belanda bertujuan agar mereka tidak ikut campur dalam pelaksanaan segala ibadah yang dikerjakan oleh umat Islam. Inilah cuplikan mengenai alasan sikap akomodatifnya terhadap pemerintah Belanda: “ Maka disini disebut segala kebajikan yang terdapat dari kebajikan Gubernemen Belanda, kepada yang berteduh di bawah kerajaan, beserta disebut kelakuan yang wajib atas orang Islam akan membalas baik pada kebajikan “man ashda> ilaikum ma’ru>fan fakaffi‘uhu ” (siapa yang memberikan kepada kalian perbuatan baik, maka cukupkanlah). Adapun kebaikan keadilan itu yang wajib mesti kita ingat baik-baik padanya, maka itu terlalu banyak. Maka yang nomor satu dan yang amat besar daripada itu yaitulah kontrak keadilan dengan tiada campur perkara agama dengan mufakat antara sekalian raja-raja. Artinya tiada menegah akan orang-orang Islam punya melakukan agama; dan kewajiban pula memberikan kesenangan kepada bangsa Islam punya melakukan agama dengan membayar gaji pada penghulu raad agama dan memberi libur (ferei) pada pegawai-pegawai masjid dan pada guru-guru mengajar, dan membantu bikin masjid dan memberhentikan landraad pada bulan puasa dan lain-lain kebajikan yang sekaliannya itu dapat dari sayangnya dan kemurahannya anak-anak negeri dengan beratus tahun. Adapun yang wajib atas sekalian kita dengan perintah agama yang tersebut di awal fasal ini, akan membalas baik kepada keadilan punya kebajikan yang tersebut itu dengan memberi syukur padanya dengan tiada sekali-kali akan berani melanggar larangan jua adanya. Adapun permohonan dan pengharapan sekalian bangsa Islam kepada keadilan, maka yaitulah akan menetapkan kontraknya tiada campur perkara agama jua adanya.”13 Perkataan Sayyid Usman ini menegaskan, bahwa bentuk kerjasama dengan pemerintah Belanda selama menjadi mufti adalah untuk mencapai ketentraman dan keadilan yang harus diterima oleh umat Islam. Ketentraman yang didapat bersumber kepada umat Islam

13 Sayyid Usman, Ini Risalah bernama Sinar Interlam pada Menyatakan Syarekat Islam (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1919). Kitab ini dicetak 4 tahun setelah Sayyid Usman wafat.

108 itu sendiri. Selama mereka tidak melakukan kejahatan terhadap pemerintah, maka pemerintah tidak boleh semena-mena atas umat Islam. Apabila pemerintah memberikan rasa aman kepada rakyat pribumi, maka sepantasnya rakyat berbuat sebaliknya. Sayyid Usman menginginkan adanya ketentraman yang terjalin antara umat Islam dengan pemerintah Belanda. Ketika pemerintah Belanda telah memberikan rasa aman, maka segala bentuk ibadah maupun amalan- amalan akan dikerjakan dengan sempurna, terlebih lagi untuk umat Islam. Namun, sikap akomodatif Sayyid Usman kurang diterima oleh rakyat. Mereka merasa pemerintah Belanda mempersempit ruang gerak mereka. Terutama kepada beberapa tarekat-tarekat yang berkembang secara inklusif di Jawa Barat. Berbagai macam aktivitas yang berkenaan dengan tarekat, dimata-matai oleh Belanda. Tiga peristiwa perlawanan rakyat semasa hidup Sayyid Usman, yang diusung oleh para penganut tarekat menjadi bukti keterlibatan mereka dalam menciptakan suasana yang kurang kondusif. Satu dari ketiga peristiwa perlawanan rakyat yakni pemberontakan rakyat di Cilegon, menjadi salah satu contoh keberanian Sayyid Usman yang mengambil fatwa bahwa perlawanan rakyat itu termasuk ghurur. Dalam kitab manha>j al-istiqa>mah, kerusuhan yang terjadi di Cilegon bukanlah bentuk dari jihad, melainkan perbuatan yang batil, karena tidak memenuhi syarat-syarat apa yang mereka sebut dengan jihad. Sayyid Usman beralasan, peristiwa tersebut tanpa dalil yang kuat dan menimbulkan banyak dharu

14 Sayyid Usman, Manha>j al-Istiqa>mah fi al-Din al-Sala>mah (Jakarta: Thahiriyah, tt), 22.

109

Usman demi melanggengkan kekuasaan kolonial. Agaknya, kedekatan yang dibangun Sayyid Usman ini memang dirasa sangat berlebihan, terlebih lagi fasilitas yang diterima Sayyid Usman sebagai adviseur honorair. Sehingga, semua orang menduga bahwa dirinya tidak punya jiwa nasionalisme dan hanya mementingkan kepentingan asing. Pernyataan ini selaras dengan yang telah dikemukakan Azra bahwa kedekatannya dengan pemerintah memiliki preseden historis. Menurutnya, orang Hadramaut yang menetap di Hindia Belanda mendukung penguasa non-Muslim di tanah Muslim. Begitupula mereka mengabaikan masalah-masalah politik, juga mengabaikan penindasan Belanda sepanjang kepentingan mereka tidak berbahaya.15 Sedangkan menurut Berg, konsep jihad melawan kolonialisme memang lebih bergema di kalangan penduduk pribumi dibandingkan dengan masyarakat Arab. Orang Arab tidak memunculkan sikap fanatisme berlebihan serta tidak membenci orang Eropa selama mereka tidak mengganggu kehidupan beragama. Meski kehidupan mereka di Nusantara berada di bawah jajahan Belanda, mereka percaya bahwa Hukum Islam akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.16

B. Kritik terhadap Tarekat oleh Ulama di Minangkabau

Tarekat Naqsyabandiyah yang sangat kuat di wilayah Minangkabau tak luput dengan hujatan kritikan dari ulama lokal Minangkabau itu sendiri. Seorang ulama Minangkabau yang bermukim di Makkah yaitu Shaykh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1852-1915) menulis kritik yang sangat tajam mengenai ajaran dan amalan tarekat Naqsyabandiyah. Kritik terhangat lebih menonjol ketika Ahmad Khatib al- Minangkabawi yang mendapat tantangan dari ulama-ulama tarekat Naqsyabandiyah, seperti Shaykh Sa’ad Mungka dan Shaykh Khatib ‘Ali Padang. Kritik ini menjadi fokus terhangat disebabkan rata-rata ulama dan masyarakat di daerah Minangkabau banyak yang mengamalkan Tarekat Naqsyabandiyah.17

15 Azyumardi Azra, “Hadra@mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman.” Studia Islamika 2 (1995), 15. 16 L.W.C. Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (Jakarta: INIS, 1987), 114. 17 B.J.O Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi, (Jakarta: Bhratara, 1973), 32-33; Lihat Apria Putra, Naskah

110

Shaykh Ahmad Khatib juga disebut beberapa kalangan sebagai tokoh pembaru abad 19, ia membawa gagasan-gagasan dari Makkah18 sepanjang dua dasawarsa terakhir yaitu abad ke-19 dan 20. Selaras dengan Sayyid Usman, Ahmad Khatib yang berkedudukan sebagai imam mazhab syafi’i sekaligus seorang sufi yang menolak bid’ah dari t{ari>qahnya, seperti Wah{dat al-Wuju>d (panteisme) dan pemakaian rabi>t{ah atau wa>s{ilah (penengah). Ia menempatkan segala bentuk pengajarannya pada penerapan hukum agama dan menolak praktik- praktik mistik.19 Isu hangat masalah pembaruan yang terjadi pada permulaan abad ke-20 dimulai ketika Shaykh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, menulis sebuah risalah berjudul Iz{ha>r zaghl al-ka>zibi>n fi> tashabbuhihim bi al-muhtadi>n.20 Kitab ini tepatnya dibuat pada tahun 1906, tepat 8 tahun sebelum Sayyid Usman wafat. Selama tahun 1906-1908, Ahmad Khatib menulis tiga kitab yang berisi mengenai kritik terhadap tarekat. Diantaranya adalah Iz{ha>r zaghl al-ka>zibi>n fi> tashabbuhihim bi al-muhtadi>n, Al-ayat al-Bayyinah li al-Munfi>n fi> izalah khurafat ba’dh al-Muta’assibin, dan Al-saif Al- Battar fi mahq kalimat ba’dh ahl al-iqhtirar. Ketiganya ditulis dalam bahasa melayu. Ahmad Khatib berpendapat, ajaran-ajaran khusus yang diturunkan Nabi melalui Abu Bakar secara turun-temurun melalui genealogy dalam tarekat tidaklah dapat dipercaya. Ajaran itu tidak

Catatan Haji Rasul: Dinamika Intelektual Kaum Muda Minangkabau Awal Abad XX (Tangerang Selatan: Lembaga Studi Islam Progresif, 41-42. 18 Meski Shaykh Ahmad Khatib membawa gagasan pembaruan dari Makkah yang menolak bid’ah dari ta>riqahnya, ia tetap sebagai seorang sufi yang bermazhab syafi’i yang produktif. Meski konsep Shaykh Ahmad Khatib serupa dengan konsep kaum Wahhabi di Makkah yang membersihkan diri dari khura>fat dan bid’ah, tetap keduanya dengan memiliki perbedaan. Kaum Wahhabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti mazhab Imam Ibn H{anbal dengan mengikuti ajaran Ibn Taymiyah. Kaum Wahhabi menolak pandangan mistik seluruhnya sebagai salah satu sarana yang valid untuk mencapai komunitas Muslim sesungguhnya. Sedangkan Shaykh Ahmad Khatib lebih merujuk kepada kondisi sosial masyarakat yang kala itu melihat organisasi sufi telah menyimpang dari ajaran Islam. Ia menilai, para Mursyid mengajarkan hal-hal yang penuh intrik kesyirikan dan bid’ah. Lihat Murni Jamal, “The Origin of the Islamic Reform Movement in Minangkabau: Life and Thought of Abdul Karim Amrullah”, Studia Islamika, Vo. 5, No. 3 (1998), 6. 19 Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama (Jakarta: Penerbit Wijaya, 1967), 230-231. 20 Shaykh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Iz{ha>r zaghl al-ka>zibi>n fi> tashabbuhihim bi al-muhtadi>n (Kairo: Maktabat al-Taqqaddum al-‘Ilmiyah, 1908).

111 terdapat didalam sumber-sumber lain, kecuali hanya di tarekat Naqsyabandiyah saja. Ia beralasan, ajaran tersebut hanya diperkenalkan oleh shaykh sufi dari zaman ke zaman. Sehingga menurutnya, menambahkan ibadah-ibadah yang demikian atas kemauannya sendiri akan bermuara pada pengingkaran perintah Ilahi.21 Ahmad Khatib al-Minangkabawi dalam pokok pembahasannya berbicara mengenai tarekat Naqsyabandiyah yang tidak memiliki asal dalam syarak. Contohnya, meninggalkan makan daging, sulu>k tidak diperbuat oleh Nabi dan sahabat, dan rabi>t{ah yang juga tidak ada pada asal syarak. Sanad yang menjadi prioritas utama yang harusnya secara langsung kepada Rasulullah hanyalah talqi>n yang diperoleh melalui perseorangan.22 Ahmad Khatib yang mengkritisi amalan rabi>t{{ah, mengungkapkan bahwa amalan tarekat Naqsyabandiyah ini merupakan bid’ah yang tiada berasal pada syar’iat. Sedangkan Haji Rasul terbilang lebih agresif, keras, penuh kecaman, dan tanpa kompromi.23 Haji Rasul mengatakan, buku yang dijadikan referensi oleh para sufi lebih banyak mengutip kepada tradisi-tradisi palsu. Ia mengkritisi hal ini dari segi etika Sang Mursyid, karena kepercayaan terhadap tradisi-tradisi palsu membawa umat Islam jatuh ke dalam lembah pembodohan yang tidak sesuai dengan ajaran tasawuf yang murni, ajaran agama yang dihormati dalam Islam. Kritik selanjutnya, para Shaykh Sufi mencoba membujuk orang untuk ikut serta dalam tarekat mereka dengan mengutip hadis yang lemah dan tak dapat diterima seperti marfu>’, maudhu>’, munkar dan sya>z{, sehingga semua orang mempercayai kealiman dan keilmuannya. Ia pun menyebutkan beberapa kitab tasawuf yang banyak mengandung kekeliruan, diantaranya Tanbi>h al-Ga>fili>n (peringatan bagi Orang-orang Yang

21 Risalah ini telah beberapa kali dicetak ulang, yang pertama dari risalah- risalah ini diterbitkan kembali dalam bahasa Indonesia tahun 1978 oleh A. Mm. Arief (ed.), Fatwa tentang Tharikat Naqsyabandiyah (Medan: Islamiyah, 1978), cet. 4; Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), 111-112. 22 Keterangan mengenai kritik Ahmad Khatib al-Minangkabawi lihat dalam ringkasan M. Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua, Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998 . 395-411. 23 Apria Putra, Naskah Catatan Haji Rasul, 218.

112

Lalai), Durrat al-Wa>’izi>n (Aneka Ragam Pengkhotbah), dan Nuzhat al- Maja>lis (Hiburan Dewan-Dewan).24 Para Reformis di Minangkabau tujuan utama mereka ialah menyerukan kaum muslimin di daerah itu agar kembali kepada sumber-sumber murni dari ajaran-ajaran Islam, yaitu Qur’an dan Hadis. Konsep ini sama seperti konsep kaum Wahhabi di Makkah untuk membersihkan diri dari khura>fat dan bid’ah yang diajarkan oleh para Sufi. Imbauan para reformis diantaranya, meninggalkan taqlid (penerimaan buta) dan membersihkan agama dari praktik-praktik sinkretik serta menggunakan akal dalam hal yang berkaitan dengan hukum agama. Imbauan itu melahirkan dua kelompok yang kemudian dikenal sebagai Kaum Muda dan Kaum Tua. Shaykh tarekat dan ulama tradisional disebut kaum tua, sedangkan kaum muda di prakarsai oleh kaum reformis.25 Pada masa Sayyid Usman, tema pembaruan Islam di Indonesia belum memiliki karakteristik yang kuat. Tema pembaruan masih bersifat pemikiran, barulah pada tahun setelahnya menjadi sebuah gerakan yang sudah bersifat nasional. Sehingga, karya tulis yang dihasilkan oleh Sayyid Usman tidak menyebutkan masalah pembaruan di Indonesia secara mendetail.26 Terkait dengan pendapat para peneliti yang menyimpulkan tokoh- tokoh pengkritik ini sebagai imbas dari pembaruan pada abad ke-19 ini, Azra menyebutkan bahwa sikap itu merupakan sebuah penentangan yang berlebihan dan lari dari kehidupan dunia, Namun dibalik itu, mereka menerima sufisme yang puritan, yang berpedoman kepada rekonstruksi sosial-moral muslim.27 Mengawali era gerakan pembaruan Islam kedua di Minangkabau tahun 1906, kiprah H. Abdul Karim semakin terlihat ketika terlibat diskusi panjang mengenai masalah tarekat

24 H. Abdul Karim Amrullah, Pengantar Usul Fiqh, disunting oleh Hamka, edisi ke-3 (Jakarta: Penerbit Jaya Murni, 1966), 63; Murni Jamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah, 36. 25 Lihat Informasi lebih jauh mengenai Kaum Muda dan Kaum Tua dalam buku Deliar Noer, The Muslim Modernist Movement in Indonesia 1900-1942, 6. 26 Muhammad Noupal, “Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya: Respon dan kritik terhadap Kondisi Sosial Keagamaan di Indonesia”, Disertasi UIN Jakarta, 2008, 145. 27 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 380.

113

Naqsyabandiyah. Haji Abdul Karim menyerang praktik-praktik para pengikut tarekat Naqsyabandiyah yang menganggap Shaykh Sufi sebagai mata rantai antara Tuhan dengan pemuja-Nya, menurutnya, merupakan praktek yang tak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad. Ia menambahkan, siapapun yang ingin dekat dengan Tuhan, secara langsung dapat berinteraksi baik ketika seorang diri, setiap saat bahkan dimanapun hamba itu berada. Penggunaan Shaykh sebagai penengah (ra>bit{ah) antara Tuhan dan manusia merupakan musyrik.28 Setelah Haji Rasul, kritik yang lebih moderat terhadap tarekat Naqsyabandiyah dilakukan oleh Shaykh Muhammad Jamil Jambek (1862-1947). Ia adalah murid dari Ahmad Khatib ketika di Makkah. Kritiknya dinilai Martin lebih moderat karena ia terlihat sangat hati- hati dalam mengemukakan pendapat. Mengenai sumber Naqsyabandiyah yang mengaku bahwa ajarannya termasuk dalam silsilah Abu Bakar, ada silsilah lain yang sejajar melalui Ali. Keduanya bertemu dalam Abu ‘Ali Farmadzi. Shaykh Muhammad Jamil Jambek berpendapat, silsilah yang berbeda ini menggugurkan keshahihan klaim bahwa tarekat itu mewakili ajaran-ajaran khusus yang disampaikan oleh Nabi kepada Abu Bakar. Teori pembaiatan secara ruhaniah oleh seorang pendahulu sangatlah tidak meyakinkan.29 Martin menyebutkan, setelah Shaykh Muhammad Jamil Jambek, masih ada beberapa ulama yang mengkritisi tarekat Naqsyabandiyah. Polemik antara Haji Jalaludin seorang juru dakwah tarekat dengan Shaykh Sulaiman Al-Rasuli juga mewarnai kritik Naqsyabandiyah dari sisi berbeda. Kemudian, pada tahun selanjutnya, terdapat kritik terhadap tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat secara umum, dipaparkan oleh salah satu wartawan asal minangkabau, Joesoef Sou’yb.30 Setiap ulama memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengkritisi isi tarekat itu. Contohnya, Sayyid Usman dengan kritik yang lebih menonjol kepada syarat-syarat masuk tarekat dan mengecam pseudosufi, Ahmad Khatib yang mengkritisi masalah amalan-amalan tarekat Naqsyabandiyah secara keseluruhan, dan Haji

28 Penjelasan mengenai rabi>t{ah yang dikemukakan oleh Haji Rasul lihat deskripsi biografi yang ditulis dalam Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama. 29 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, 114. 30 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, 115-116.

114

Rasul alias ‘Abd al-Kari>m ibn Muhammad ‘Amrullah kritiknya lebih condong kepada masalah yang berkenaan dengan rabit{ah. Terkait dengan kritik tarekat yang terjadi pada abad XX dikalangan tokoh minangkabau, Martin mengungkapkan bahwa polemik yang terjadi pada saat itu bukanlah dalam tataran anti sufi dengan sufi, melainkan antara ulama tarekat itu sendiri. Ia juga memandang bahwa pemahaman pembaru pada sufisme bukanlah sebagai bentuk negatif secara keseluruhan.31 Pendapat ini juga disimpulkan oleh Apria Putra, dalam tesisnya mengenai dinamika intelektual kaum muda Haji Rasul pada abad ke- 20. Menurutnya, kelompok pembaru Minangkabau pada awal abad XX berbeda dengan Wahhabi yang menguasai Makkah. Kaum pembaru di Minangkabau masih menerima formulasi-formulasi sufistik, sedangkan Wahhabi mempunyai corak yang lebih ekstrem dengan menolak segala sesuatu yang berkenaan dengan ajaran sufi.32 Perkembangan tasawuf di Nusantara memang tidak lepas dari berbagai macam kritik dari beberapa ulama yang menginginkan adanya kompromi antara tasawuf dengan syari’at. Kritik terhadap tasawuf juga tidak hanya bergema di Nusantara, bahkan sampai di dunia yang aliran tasawufnya masih sangat kuat. Terlepas dari siapa yang mengkritisi atau yang menjadi pengikutnya, tasawuf tetap tumbuh berkembang pada abad ke-19 hingga abad ke-20 meskipun tak terlepas dari berbagai macam polemik.

C. Polemik Kritik Sayyid Usman dan Respon Tokoh Tarekat setelahnya

Respon dari kritik Sayyid Usman terhadap tarekat dapat dikaji dari salah satu manuskrip yang ditulis oleh murid dari Shaykh Isma’il al-Minangkabawi. Memang, kitab al-nas{i>h{ah al-‘Ani>qah ini merupakan salinan dari karya Shaykh Salim Ibn Sumayr yang kemudian dipaparkan kembali oleh Sayyid Usman dengan bahasa yang lebih mendalam dan lebih mudah dipahami oleh orang awam. Respon terhadap kritik ini, penulis paparkan melalui sebuah manuskrip yang tersimpan dalam koleksi Perpustakaan Republik Indonesia dengan

31 Martin Van Bruinessen, “Controversies and Polemics Involving the Sufi Orders in Twentieth-Century Indonesia” dalam Frederick de Jong and Bernd Radtke, Islamic Mysticism Contested (Leiden: Brill, 1999), 704. 32 Apria Putra, Naskah Catatan Haji Rasul, 225.

115 kode nomor 104a KFH 1/30. Kode KFH diambil dari singkatan nama Karel Frederik Holle (1829-1896) atau yang biasa dikenal dengan K>.F. Holle. Holle merupakan sarjana Belanda yang mendirikan perkebunan teh di Garut dan Bogor, yang sangat concern terhadap budaya dan bahasa Sunda.33 Tak hanya Snouck Hurgronje, Holle juga memiliki teman dekat yang berasal dari orang pribumi, yakni Raden Muhammad Musa. Ia menjabat sebagai hodfpanghulu atau lebih dikenal sebagai Penghulu Besar daerah Limbangan tepatnya di Garut, hal ini menjadi salah satu faktor kedekatannya dengan pemerintah Hindia Belanda. Selain karena pekerjaannya yang menyangkut masalah-masalah pemerintahan Belanda dengan pribumi, faktor terpenting kedekatannya dengan Holle adalah ia telah mempersunting adik dari Muhammad Musa yang bernama Djoeariah. Dengan demikian, statusnya menjadi kakak ipar dari Holle. Kembali dalam pembahasan dalam naskah Cerita Perbantahan Dahulu Kala - yang selanjutnya disebut CPDK- asalnya merupakan milik Holle, kemudian disimpan oleh C. Snouck Hurgronje. Snouck merawat Holle ketika sedang sakit hingga wafatnya di Buitenzorg.34 Tak mengherankan, setelah Holle meninggal dunia, arsip yang dimiliki Holle dikumpulkan oleh Snouck untuk kembali melanjutkan aktivitasnya di Nusantara. Pada permulaan naskah tersebut tertulis: “Copy van eenen brief, dien Sejjid Othman uit Padang Ontring Naar aanleiding van Zyne geschriften tegen de tariqah’s”. Dan pada halaman pertama tidak menyebutkan nama pengarang bahkan judul dari naskah itu. Dalam katalog yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional hanya diberikan judul T{ari>qah. Namun, pengarang menyebutkan pada bait 103, ia menyebutkan Cerita Perbantahan Dahulu kala yang mencakup kepada isi naskah. Judul CPDK ini dirasa lebih sesuai dikarenakan isinya mengenai sanggahan atas tuduhan yang pernah dilontarkan dua ulama Hadrami (Shaykh Salim Ibn Sumayr dan Sayyid Usman bin Yahya) serta tashi>h yang diberikan oleh Shaykh Nawawi al-Bantani atas karya

33 T.E. Behrend (ed), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise D’Extreme Orient, 1998), 398-403. 34 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia (Bandung: Mizan, 2012), 165.

116 kedua ulama Hadrami yang membawa nama Shaykh Isma’il al- Minangkabawi sebagai tokoh sentral yang dikritisi tarekatnya. Manuskrip dengan tema Cerita Perbantahan Dahulu Kala ini ditulis di Bandar Padang (bait 78), Sumatera Barat. Tepatnya adalah di daerah Minangkabau pada tanggal 11 Ra>bi’ul Awwal tahun 1303 H (bait 8, 107, dan 115). Naskah ini terbit setelah wafatnya Shaykh Isma’il al-Minangkabawi (bait 18, 59). Selengkapnya mengenai naskah ini dan ulasan mengenai kritik Sayyid Usman terhadap Shaykh Isma’il al-Minangkabawi sebagai pendiri dari tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah adalah sebagai berikut: Sekarang ini ku membalas Kepada ‘Uthma>n tulus dan ikhlas Di surat kutulis hari sebelas Dengan kina>yah beberapa qiya>s35 Murid dari Shaykh Isma’il al-Minangkabawi yang tidak menyebutkan namanya itu, memakai nama kiasan yakni Tuanku nan Garang. Nama ini untuk memperlihatkan ketegasannya terhadap “hinaan” yang dilontarkan dalam buah karya Sayyid Usman. Dalam baik-bait sya’ir yang dibuatnya, Ia terlihat sangat geram terhadap isu- isu yang berkembang di masyarakat karena gurunya telah menjadi bahan perbincangan panas seputar tarekat yang diajarkan. Ia juga menyampaikan bahwa bait ini ditulis bertepatan dengan hari kesebelas pada bulan rabi’ul awal. Bila kita menarik garis pembahasan antara pembuatan naskah dengan kehidupan Sayyid Usman, yaitu 11 Rabiul Awwal 1303 H/ 11 September 1885 M. Kala itu Sayyid Usman menginjak usia 65 tahun. Usia Sayyid Usman termasuk kedalam usia yang cukup produktif dalam menulis karya-karya baru yang berkenaan dengan agama Islam. Saat itu Sayyid Usman juga sudah menulis beberapa buah kitab yang berisi masalah-masalah keagamaan yang dihadapi oleh masyarakat pribumi. Menarik untuk dikaji, naskah ini ditulis oleh Tuanku Nan Garang pada tahun 1885. Memang, ditahun tersebut al-Nas{i>h{ah al- ‘Ani

35 Bait ke-8 Naskah CPDK.

117 serius dicurahkan untuk membendung pemberontakan yang dilakukan oleh penganut tarekat. Tak dapat dipungkiri, masa terbesar kala itu adalah dari tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian, tahun setelahnya, Sayyid Usman telah menyelesaikan karya kritiknya terhadap tarekat yang kedua beserta terjemahnya, yakni kitab al-Wathi{arih Biarlah biarlah biar salah Ganjarannya besar dari pada Allah Syair ini membuktikan bahwa memang diantara Sayyid Usman dan Shaykh Isma’il belum pernah bertatap muka. Karya Sayyid Usman al-Nas{i>h{ah al-‘Ani

36 Shaykh Muh}ammad al-Ami>n al-Khalidi> Kinali, menyebutkan dalam salah satu naskah Kinali, ditemukan angka tahun wafat yang berbeda dengan keterangan peneliti lainnya. Penjelasan selengkapnya lihat Sofyan Hadi, Naskah al-manhal al- ‘Adhb li-dhikr al-qalb: Kajian atas Dinamika Perkembangan ajaran Tarekat Naqsyabandiyah Kha>lidiyah di Minangkabau. (Jakarta: Lembaga Studi Islam Progresif, 2011). 37 Ismawati, Continuity and Change: Tradisi Pemikiran Islam di Jawa Tengah abad IX-XX, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2006), 1.

118 pamflet merupakan kutipan yang diambil dari karangan kitab Salim Ibn Sumayr. Salim Ibn Sumayr yang kala itu mengecam tarekat yang dibawa oleh Shaykh Isma’il al-Minangkabawi, yang sebagian isinya merupakan kritik terhadap tarekat. Salah satunya adalah bahwa Shaykh Isma’il mengajarkan tarekat kurang dari syarat-syarat masuk tarekat. Sedangkan, murid Shaykh Isma’il yang tidak menyebutkan namanya itu bisa jadi hidup diantara Shaykh Isma’il dan Sayyid Usman. Al-Wathi>qah al- Wafiyyah menjadi tolak ukur sebuah respon kritik yang dilontarkan Sayyid Usman kala itu. Bisa diperkirakan, seorang yang menyebut dirinya Tuanku Nan Garang mengenal Sayyid Usman dan memperhatikan gerak-gerik bahkan polemik yang dihadapi Sayyid Usman semasa hidupnya. Beberapa cuplikan syair yang ditulis oleh Tuanku Nan Garang yang telah mengetahui pamflet mengenai kritik terhadap tarekat yang telah tersebar di masyarakat: Aku mendapat mendengar kabar Surat T{ariqat38 banyak berbiyar Perbuatan ‘Uthman yang bebal Mengapa maka tiada apa engkau sabar

‘Uthman bernama bin Yahya Sungguhlah ini perbuatan sia-sia Engkau seorang yang mulia Tidaklah patut mengata dia Tuanku Nan Garang ini juga mengetahui bahwa Sayyid Usman adalah orang yang terpandang dikalangan masyarakat dan Pemerintah Belanda. Ia menduga, pamflet yang disebarkan oleh Sayyid Usman untuk mengecam gurunya sebagai ahli tarekat. Sehingga, para peneliti seringkali mencap Sayyid Usman sebagai ulama yang anti-tarekat. Kecaman yang dilontarkan Tuanku Nan Garang melalui syair, telah sampai kepada pemimpin tarekat Naqsyabandiyah di Cianjur. Ia bernama Shaykh ‘Abdussalam, yang mencoba meredakan cacian Tuanku Nan Garang. Kami mendengar kabar yang terang Shaykh ‘Abdussalam di ci[a]njur ada melarang

38 Bisa dipastikan kata “Surat T{ari>qat” dalam syair ini adalah selebaran yang ditulis oleh Sayyid Usman mengenai kritik terhadap tarekat dalam bentuk pamflet. Pamflet atau selebaran yang disebarluarkan adalah al-Nas{i>h{ah al-‘ani

119

Menjawabkan nasehat yang engkau karang Dari dahulu sampai sekarang

Itu melarang ada yang sala[h] Kenapa menegah orang yang membela Sekalipun ‘Uthman dikata gila Menegahkan dia nya dari pada mencela

Shaykh Abdussalam juga berkata Kepada murid-muridnya sekalian rata Biar sabar apalah kita Janganlah kamu panjang cerita Namun kelihatannya Tuanku Nan Garang tidak menerima saran dari Shaykh Abdussalam. Ia heran, mengapa sesama penganut tarekat tidak memberikan dukungan kepadanya. Dalam bait ini, kemarahan Tuanku Nan Garang tak dapat terbendung lagi. Ia juga tidak mengklarifikasi secara langsung kepada Sayyid Usman, mengapa Sayyid Usman mengutip karya Shaykh Salim bin Sumayr, kemudian menghubung-hubungkan kepada gurunya. Selanjutnya, Ia memaparkan dalam pamflet tersebut, Sayyid Usman mencela tarekat Naqsyabandiyah adalah palsu dan salah secara keseluruhan. Kata-kata yang dipergunakan Tuanku Nan Garang terlihat sangat kasar dengan menganggap Sayyid Usman sudah gila. Tuanku Nan Garang tidak menerima pernyataan di dalam pamflet yang kala itu tersebar luas di Jawa, bahkan beberapa daerah luar Jawa juga sudah memegang pamflet yang berisi kritik yang ia klaim mencela gurunya. Tari>qat Naqshabandi dikata palsu Janganlah kamu sekalian rusu Biarlah S{obar janganlah kesusu Janganlah menurut hawa dan nafsu

T{ari>qat Naqshabandi dikata sala[h] Da>walah oleh mu kepada Allah Siapa yang benar siapa yang sala[h] /6v/ Di sanalah mengetahui menang dan kalah Mengenai respon terhadap kritik Sayyid Usman melalui syair yang ditulis oleh Tuanku Nan Garang, terdapat keterlibatan antara ketiga tokoh ulama. Diantaranya adalah Shaykh Salim bin Sumayr, Sayyid

120

Usman, dan Shaykh Nawawi al-Bantani. Bila dikaji secara mendalam, respon tersebut tak hanya ditujukan untuk Sayyid Usman semata. Ia juga mengikutsertakan Salim bin Sumayr dan Shaykh Nawawi al- Bantani yang memberikan tash{i>h kepada Sayyid Usman melalui kitab al-nasi{>h{ah al-‘Ani>qah. Ia menganggap, ketiga tokoh yang ia sebutkan membawa agama sebagai tameng untuk mendeskreditkan kelompok, terutama kepada tarekat Naqsyabandiyah. Sayyid Usman dikatakan bahwa ia berbalik menjual agama demi kepentingan pemerintah Belanda. Agaknya, perkataan Tuanku Nan Garang ini berlebihan karena emosi yang sedang meletup-letup. menurut data mengenai keharmonisan Sayyid Usman yang telah dibahas dalam sub-bab terdahulu, tujuan Sayyid Usman hanya untuk terciptanya keamanan dan kapasitas pemberian informasi kepada pemerintah hanya sebagai seorang ulama.39 Sayangnya, Sayyid Usman hingga akhir hayatnya belum memberikan klarifikasi secara tertulis melalui sebuah karya mengenai kritiknya secara khusus kepada Shaykh Isma’il al- Minangkabawi. Ia hanya memberikan contoh kasus yang pernah terjadi antara Shaykh Salim bin Sumayr dengan Shaykh Isma’il al- Minangkabawi tanpa mengetahui motif dari karya Shaykh Salim bin Sumayr mengenai kritiknya tersebut.

D. Dampak Kritik Sayyid Usman terhadap Kajian Keislaman di Batavia

Konteks Pemikiran keagamaan di Jakarta pun memiliki dinamika yang cukup kompleks seperti apa yang terjadi dalam gerakan kaum wahhabi. Jakarta memang sejak lama telah mengalami modernisasi, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda. Pembaruan dalam Islam muncul dalam berbagai aktualisasi. Perbedaan dan aktualisasi terjadi karena para pembaru menghadapi tantangan yang berbeda-beda dan menjalani kehidupan dengan konteks yang berbeda pula. Perbedaan aktualisasi tidak dapat menghalangi

39 Mengenai kapasitasnya sebagai ulama ketika terjadi perselisihan dua masjid di Palembang. Sayyid Usman memberikan informasi mengenai keadaan umat Islam pada waktu itu. Sehingga Snouck merasa terbantu dan mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan kualifikasi kepada calon hakim agama atau penghulu. Lihat Goobe Goobe dan C. Andriaance, Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Belanda VII (Jakarta: INIS 1993), 899.

121 terbentuknya suatu karakter umum yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi sebagai gerakan pembaruan dalam lintasan sejarah Islam. Maka, dapat dikatakan bahwa pembaruan dalam Islam selalu berupaya mengembalikan ajaran Islam kepada bentuknya yang autentik.40 Pemikiran seorang pembaru tujuannya adalah sama, yaitu membersihkan segala ajaran Islam dari berbagai macam distorsi yang menjadi bagian dari proses dialog yang tidak sehat antara ajaran normatif Islam dengan realitas empirik sepanjang perjalanan sejarah umat muslim.41 Begitupula hal-hal yang dilakukan oleh Sayyid Usman dalam meluruskan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat Batavia kala itu. Bila mengulas lebih jauh, terbentuknya Batavia serta Masyarakat Betawi di kota Jakarta melalui proses yang panjang. Sesuai dengan informasi dalam bab ketiga, sejarah Islam di Jakarta memiliki jejak rekam yang amat banyak. Elit agama yang disebut sebagai ulama yang berasal dari masyarakat muslim Betawi menjadi kelompok terpandang karena keistimewaannya di mata masyarakat sebagai orang-orang yang berilmu. Begitupula para kalangan habaib yang termasuk kedalam elit agama setara dengan para ulama di Batavia. Elit agama dalam masyarakat betawi, dikategorikan menjadi dua, yaitu ulama betawi yang merupakan keturunan Rasulullah dan yang bukan keturunan (pribumi). Gelar yang dimiliki Sayyid Usman melekat dengan sebutan habaib. Menurut Forum Ulama dan Habaib Betawi (FUHAB), hal ini dilihat dari batasan psikologis antara ulama yang keturunan Rasulullah SAW dan yang bukan keturunan. Walaupun demikian, dalam persoalan hirarki dan status, orang betawi memposisikan habaib dan ulama Betawi pada posisi yang setara.42 Gelar yang dimiliki Sayyid Usman melekat dengan sebutan habaib yang lahir, besar, dan menetap di Batavia. Gelar ini juga disematkan oleh Sayyid Usman bin Yahya, sebagai salah satu keturunan Arab dari Hadramaut. Tak hanya sebagai salah satu dari

40 Thoha Hamim, Islam dan NU (Surabaya: Diantama, 2004), cet.I, 219. 41 Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban, 152. 42 Hal ini diungkap dalam penelitian mengenai genealogi intelektual Betawi dari abad ke-19 hingga abad ke-21. Penghormatan masyarakat Betawi terhadap habaib sama saja dengan kualitas penghormatan mereka dengan para ulama. Lihat Tim Peneliti Jakarta Islamic Centre, Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal Abad ke-19 Sampai Abad ke-21 (Jakarta: Islamic Centre, 2011), 26.

122

Sayyid, genealogi keilmuan yang sampai kepada ulama-ulama Timur Tengah, karya-karya yang mencapai ratusan judul berisi fatwa, do’a- do’a, tuntunan haji, pedoman hukum Islam, bahkan masalah-masalah tarekat yang ditanyakan oleh masyarakat menjadi keistimewaan yang besar bagi Sayyid Usman. Dengan banyaknya karya yang dihasilkan Sayyid Usman, mempermudah bagi masyarakat Betawi mengakses ilmu penetahuan agama, terutama yang berkenaan dengan praktik ibadah. Pengajaran juga diberikan pula oleh habib dan ulama dengan menggunakan metode pesantren tradisional. Maka, pengaruh pesantren tradisional melekat dalam sendi masyarakat Betawi. Pengajaran yang telah diberikan oleh para Habaib dan Ulama Betawi menjadi sebuah karakteristik dalam perkembangan Islam di Jakarta pada masa selanjutnya. Pertimbangan pengajaran lebih mengutamakan konsep syari’at untuk pengamalan masyarakat pribumi dalam menopang kegiatan ibadahnya sehari-hari. Sehingga pesantren tradisional, majlis ta’li>m di lingkungan sekitar mampu menghidupkan suasana pengkajian keislaman. Kemudian, setelah konsep syari’at muncul pula konsep awal memahami tasawuf. Maka, perlu adanya pembahasan singkat mengenai kata syari’at yang akan menjadi konsep dasar pengajaran dalam masyarakat Betawi. Pada mulanya syari’at tidak hadir dalam sunnah menurut maknanya yang lazim. Kata syari’at maupun fiqh seringkali berkenaan dengan hadis yang berkenaan dengan Mu’a>d Ibn Jabal ketika ia diutus oleh Nabi SAW ke Yaman sebagai Qa>d{i dan hakim. Tiga pertanyaan tentang apa yang dapat ia jadikan rujukan ketika membuat keputusan dalam kapasitasnya sebagai hakim. Pertama-tama Mu’a>dh menyebutkan al-Qur’a>n sebagai pedoman utamanya, kedua Sunnah Nabi, dan selanjutnya adalah pertimbangannya sendiri atau hasil ijtiha>d. Istilah syari’at menurut Hasyim Kamali tidak pernah digunakan para Khulafa>’ Ra>syidu>n sepeninggal Nabi. Mereka juga tidak menggunakan fiqih dalam maknanya sebagai pedoman hukum.43 Kemudian, syari’at yang muncul belakangan memberi penetapan- penetapan yang jelas mengenai masalah-masalah fundamental dalam Islam, nilai-nilai moral dan kewajiban-kewajiban praktis seperti shalat,

43 Mohammad Hashim Kamali, Membumikan Syariah: Pergulatan Mengaktualkan Islam (Jakarta: Noura Books PT. Mizan Republika, 2008), 8.

123 puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya. Aturan shari’a>h mencakup pula tentang apa yang halal, haram, dan mu’a>mala>t.44 Maka, jelaslah syari’at yang dipertahankan para ulama Betawi berbentuk kepada kewajiban-kewajiban praktis ibadah serta nilai moral yang terkandung dalam kewajiban tersebut. Dalam pemahaman agama yang dianut masyarakat Betawi banyak diwarnai oleh tarekat-tarekat yang dianggap serasi dengan syari’at, seperti tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Adapun dalam masalah fiqh lebih cenderung kepada penganut mazhab syafi’i. Sedangkan corak keagamaannya menurut Badri Yatim yang merujuk kepada pendapat Deliar Noer adalah tradisionalis. Ia juga merujuk pendapat Azra, bahwa corak keagamaan masyarakat Betawi merupakan hasil dari proses pembaruan pramodernis. Corak keagamaan tersebut terlihat dari pembacaan barzanji dalam setia acara perkawinan, juga membaca Hikayat bila hendak berlayar.45 Secara umum, dalam kajian agama, masarakat Betawi dikenal sebagai masyarakat yang taat menjalankan ajaran agama. Menurut Ridwan Saidi, bila dikaitkan dalam menghadapi pemeluk agama lain, masyarakat betawi sangat toleran. Demikian pula ketika menghadapi umat seagama yang berbeda pemahaman.46 Namun, tarekat yang telah disebutkan diatas tidak berkembang secara kental dalam masyarakat Betawi. Sebagian orang ada yang mengikuti secara terus-menerus, tetapi kebanyakan dari mereka enggan menjadi pengikut dari salah satu tarekat. Meski masyarakat Betawi enggan mengikuti salah satu tarekat, namun, mereka tetap memakai Ratib Saman sebagai doa keselamatan. Ratib Saman merupakan sebuah doa zikir yang menyebutkan sikap- sikap badan didalamnya. Hal ini diatur sesuai dengan aturan-aturan Samma>n, yakni pendiri tarekat Samma>niyah yang terkenal di Nusantara. Ratib tersebut dapat digunakan oleh siapa saja yang ingin membacanya, tanpa harus menjadi anggota tarekat Samma>niyah.47 Justru, corak tasawuf imam Imam al-Ghazza>li> lebih di Ranah Betawi, khususnya beberapa pesantren di Jakarta. Meski

44 Mohammad Hashim Kamali, Membumikan Syariah, 54. 45 Badri Yatim, “Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi”, dalam Aswab Mahasin(ed..), Ruh Islam (Jakarta: Istiqlal, 1996), 13. 46 Alwi Shahab, Robin Hood Betawi (Jakarta: Republika, 2001), 95. 47 Gobee dan Andriaanse, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje VII, 1277.

124

pengajarannya masih bersifat pesantren tradisional namun ada beberapa pesantren modern yang mengkaji kitab Ih{ya Ulu>m al-Di>n. Tak hanya tasawuf dalam hal pengajarannya, nama “Imam al- Ghazza>li>” begitu melekat dalam hati masyarakat. Tak hanya Batavia, di Kota Makasar, Sulawesi Selatan, terdapat perguruan tinggi yang modern dan diberi nama Imam al-Ghazza>li>. Cilacap. Jawa Tengah, terdapat pesantren yang namanya merupakan satu kitab dari karya Imam al-Ghazza>li>, yaitu “Ih}ya ‘Ulu>m al-Di>n” yang berdiri sejak tahun 1929 M. Begitupula, diberbagai kota di Indonesia, terdapat pusat- pusat pendidikan agama yang bernama “Abu Hamid Muhammad al- Ghazza>li>” sehingga pemerintah pusat ikut menerbitkan majalah yang bernama Ih{ya> ‘Ulu>m al-Di>n. Maka, bisa dipastikan pegaruh kitab tasawuf karangan Imam al-Ghazza>li> sangat signifikan dikalangan sufi di Indonesia.48 Memang karena dasar pengajaran dalam masyarakat Betawi lebih terlihat aspek ilmu-ilmu yang diserap melalui ajaran tasawuf Imam al- Ghazza>li>. Tasawuf Imam al-Ghazza>li> sangat diminati, terutama kitab Bida>yah al-Hida>yah yang sangat terkenal seantero pesantren-pesantren salaf.49 Sikap kritis terhadap amalam-amalan tarekat yang menurut Sayyid Usman kurang memenuhi persyaratanya dapat dilihat sebagai teguran untuk kaum sufi agar menelaah kembali segala macam amalan-amalan sufi yang sejalan dengan syari’at islam. Kritik yang telah dikemukakan dalam pembahasan mengenai masalah tarekat, menjadi kunci dalam menganalisa pengaruh tarekat pada kehidupan beragama masyarakat Betawi. Bila melihat karakteristik kehidupan masyarakat betawi dari sisi pengajaran agama, ritual, praktik-praktik ibadah dari seluruh bab sebelumnya, organisasi tarekat kurang berkembang di ranah masyarakat Betawi kini, dikarenakan beberapa hal: 1. Secara Umum, Ulama Betawi bukanlah penganut tarekat yag kental kecuali Guru Marzuki dan Guru Kholid. Guru Marzuki adalah sahabat karib dari Guru Mughni ketika bermukim di Makkah untuk menuntut ilmu. Keduanya bertemu dalam hala>qah Shaykh Muhammad Umar Syatho yang belajar mendalami tarekat Alawiyah.

48 Christian Snouck Hurgronje, Mekkah in the Later Part of the 19th Century English Translation J.H. Monahan (Leiden: E.J. Brill,tp), 160. 49 , “Asal-usul Tradisi keilmuan di Pesantren”, Majalah Pesantren, Vol. I, Jakarta, 1984, pp. 4-11.

125

Namun, ketika sampai di Batavia, Guru Mughni tidak memberikan perhatian khusus kepada tarekat, hanya Guru Marzuki yang menyebarkan tarekat Alawiyah dari Shaykh Muhammad Umar Syatha yang memperoleh ijazaah silsilah tarekatnya dari Shaykh Ahmad Zaini Dahlan.50 2. Hala>qah-hala>qah, ta’li>m, dan beberapa pesantren di lingkungan masyarakat Betawi masih bersifat tradisional. Meskipun adapula yang telah memakai sistim pengajaran modern. Kegiatan dakwah Islam terus berjalan hingga saat ini dengan mempertahankan pengajaran terutama kepada ilmu-ilmu fiqih, tauhid tafsir, hadis, dan beberapa cabang ilmu bahasa Arab. Adapun ta’li>m yang berkenaan dengan tasawuf, isinya lebih kepada perbaikan akhlak, hubungan manusia dengan Tuhan, serta memperbaiki sifat-sifat hati. Tasawuf ini condong kepada ajaran yang diwariskan oleh Imam Imam al- Ghazza>li> dalam Ih{ya Ulu>m al-Di>n dan beberapa kitab-kitab lainnya. 3. K.H. Zarkasyi sebagai salah satu ulama betawi berpendapat, pada saat di zaman Belanda walaupun zikir tidak dilarang, berkumpul terlalu lama tidak diperbolehkan. Sedangkan untuk mengamalkan tarekat diperlukan waktu berkumpul yang lama.51 Penting untuk diingat kembali, Batavia menjadi pusat pemerintahan bagi kolonial Belanda, sehingga kegiatan keagamaan selalu diperhatikan oleh mereka. Sangatlah sulit untuk berkumpul membahas mengenai ilmu agama Islam secara continue bila melihat kondisi tersebut. Masyarakat Betawi pada waktu itu pula masih sangat dangkal memahami serta melaksanakan perintah syari’at. Ulama-ulama Betawi sebagian besar lebih condong kepada perbaikan ibadah, pemahaman tauhid, dan praktik-praktik yang berkenaan dengan ilmu fiqh. Hal ini bertujuan untuk menanamkan dasar agama yang kuat bagi masyarakat Betawi. 4. Faktor terpenting kurang berkembangnya tarekat di Batavia adalah kitab, pamflet, atau risalah Sayyid Usman yang menyebar dikalangan masyarakat Betawi megenai kritiknya terhadap tarekat. Pada saat masyarakat sedang mendalami syari’at dengan ulama Betawi dan Habaib lainnya, kala itu muncul isu-isu yang berkenaan dengan tarekat. Terutama isu mengenai pemberontakan di Cilegon (1888)

50 Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta: Logos, 2002), 57-59. 51 Ahmad Fadli HS, Ulama Betawi (Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2011), 61.

126 yang diduga dalang dibalik pemberontakan tersebut adalah Shaykh Abdul Karim Cilegon, yang memang tokoh ini asing dengan masyarakat Betawi. Meski tak banyak yang berguru kepada Sayyid Usman, risalah mengenai tarekat mau tidak mau mereka temukan di berbagai kesempatan dalam pertemuan-pertemuan. Sehingga, tanpa berguru kepadanya, risalah tersebut sudah sampai kepada masyarakat Betawi yang memang tidak dekat dengan pemahaman tarekat. Kemudian, hal ini juga didukung oleh ulama-ulama Betawi di Makkah yang lebih dekat dengan Shaykh Ahmad Khatib al- Minangkabawi yang telah dibahas dalam tema sebelumnya. Sepak terjang kritik Sayyid Usman bin Yahya dengan Shaykh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menjadikan tarekat kurang berkembang diranah Batavia.

127

128

BAB VI PENUTUP

Berdasarkan analisa yang telah dijelaskan dalam bab-bab terdahulu, bab ini akan menjelaskan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan mengenai kritik terhadap tarekat kajian pemikiran Sayyid Usman bin Yahya. Kemudian, penulis menambahkan saran untuk mengembangkan penelitian selanjutnya.

A. Kesimpulan

Kritik terhadap tarekat yang terjadi pada abad ke-19 merupakan sebuah respon atas kondisi sosial keagamaan dan politik di tengah masyarakat. Pada kenyataannya, sebagian anggota tarekat terdiri dari masyarakat awam yang dekat dengan pengaruh mistik dan jauh dari pengamalan dasar-dasar syari’at Islam. Faktor kolonisasi Belanda juga menjadi pemicu kuat organisasi tarekat tumbuh subur sebagai pelindung mereka terhadap tekanan pemerintah Belanda dalam bidang sosial, ekonomi, politik, maupun agama. faktor kolonisasi menjadi pendukung utama aktivitas organisasi tarekat yang mengubah haluan dari tempat perkumpulan majlis zikir menjadi perkumpulan pemberontakan melawan penjajah. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka anggapan-anggapan peneliti yang mengatakan bahwa kritik tajam yang ditujukan untuk kaum sufi di Nusantara adalah dampak dari pembaruan yang terjadi di Makkah adalah pendapat yang tidak tepat. Tidak ada kaitannya pembaruan di Makkah dengan kritik Sayyid Usman yang memang lebih menunjukkan kondisi masyarakat pada saat itu. Begitu pula anggapan yang mengatakan bahwa kritik ini adalah bentuk oposisi ulama yang anti-tarekat yang mencoba menentang perkembangan tarekat di Nusantara juga tidak benar, karena Sayyid Usman telah membuktikan penerimaannya terhadap tasawuf juga organisasi tarekat selama tidak bertentangan dengan syar’at. Beberapa kitab hasil karyanya berkenaan dengan tasawuf untuk perbaikan akhlak dan kritiknya untuk perbaikan tarekat sebagai contoh dari sikap open- minded nya terhadap keberlangsungan tasawuf di Nusantara. Kritik Sayyid Usman melalui karya-karyanya, hingga kini masih menjadi perbincangan hangat dikalangan akademisi maupun masyarakat Batavia khususnya. Dampak kritik terhadap tarekat,

129 penulis masih merasakannya ketika berada di beberapa majlis ta’lim di sekitar Jakarta. Kitab Ba>b al-Mina>n, Maslak al-Akhya>r, Sifat Dua Puluh, dan beberapa kitab karya Sayyid Usman lainnya menjadi trending topic dalam kajian keislaman di berbagai tempat. Karyanya yang lebih mendorong masyarakat kepada pengajaran fikih dan dasar- dasar tasawuf shar’i, menjadi faktor pendukung bagi masyarakat untuk mengutamakan rutinitas ibadah dibandingkan dengan mengikuti ajaran tarekat yang menurut mereka sangat sukar. Oleh karena itu, pengajaran mengenai intisari tasawuf shar’i saja yang diperkenalkan oleh para ulama, terutama tasawuf yang berkenaan dengan ibadah dan akhlak.

B. Saran

Berdasarkan hasil dari penelitian yang penulis telah lakukan, ada beberapa saran-saran kepada berbagai pihak yang tertarik untuk lebih mengembangkan penelitian ini, sebagai berikut: 1. Telah diketahui, Sayyid Usman telah mengarang ratusan karya dalam bentuk yang telah dicetak maupun masih berbentuk manuskrip. Karya tersebut terdiri dari berbagai macam bahasa, tulisan, dan pemikiran yang terdiri dari beberapa disiplin keilmuan. Oleh karena itu, selain karya yang telah dicetak dan dipelajari diberbagai pesantren tradisional. Ada baiknya penelitian selanjutnya dapat menemukan hasil karya sayyid Usman dalam bentuk manuskrip, terutama yang berkaitan mengenai pandangannya terhadap tasawuf. 2. Perlunya penelitian selanjutnya mengenai respon terhadap kritik dari Sayyid Usman serta pendalaman khazanah keilmuan masyarakat betawi sepeninggal Sayyid Usman khususnya. Penulis melihat, pola pengajaran serta pemikiran mengenai tasawuf menarik dikaji oleh kalangan peneliti. Penelitian mengenai tasawuf dalam masyarakat Betawi sangat sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Semoga dengan adanya penelitian ini, dapat menambah khazanah wawasan keilmuan bagi para pembaca dari berbagai kalangan.

130

DAFTAR PUSTAKA

Manuskrip Usman, Sayyid. Ini Boekoe Ketjil (1904). Koleksi literatur langka Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Jakarta, nomor XXXII-956. _____. Al-Nasihah al-anirah fi Ibn al-Mujtari Khabithi al- Sari

Buku-buku Abdullah, Wan Shaghir. Khazanah Karya Pustaka Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Khazanah, Fathaniyah, 1991. ______. Syeikh Isma’il al-Minangkabawi: Penyiar Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Solo: C.V. Ramadhani, tt. Algadri, Hamid. C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab. Jakarta: Sinar Harapan, 1984. Amrullah, Abdul Karim. Pengantar Usul Fiqh, disunting oleh Hamka, edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Jaya Murni, 1966. Anshori, Afif. Tasawuf Falsafi Syeikh Hamzah Fansuri, Yogyakarta: Gelombang Pasang 2004. Arief, A. Mm. (ed.), Fatwa tentang Tharikat Naqsyabandiyah. Medan: Islamiyah, 1978. Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik, Djakarta: Fa. H.M. Tawi dan Son bag. penerbitan, 1966. Al-Attas, Muhammad Naquib. Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970. Aziz, Abdul. Islam dan Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos, 2002. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII, Jakarta: Prenada Grup, 2013. _____. Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Mizan, 2002.

131

_____. Historiografi Islam Indonesia antara Sejarah Sosial, Sejarah Total, dan Sejarah Pinggiran, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Menjadi Indonesia, Bandung: Mizan, 2006. _____. Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2002. _____. Reinaisans Islam Asia tenggara, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2000. Nicholson, Reynold A. Aspek Rohaniah Peribadatan Islam di Dalam Mencari Keridhaan Allah, Terj.Nasir Budiman, Jakarta; PT>.RajaGrafindo Persada, 1995, cet.2. Behrend, T.E. (ed), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise D’Extreme Orient, 1998. Benda, Harry J. The Crescent and The Rising Sun, The Hague, 1958. Berg, Van Den. Orang Arab di Nusantara , Depok: Komunitas Bambu, 2010. Brinton, Crane. Sejarah Intelektual, dalam Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomiharjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perspektif, Jakarta: : Yayasan ilmu-ilmu Sosial, LEKNAS LIPI dan Gramedia, 1985. Brockelmann, Carl. “Geschichte de Arabischen Litteratur”, Leiden, 1953-9, vol 2. Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren, dan tarekat, Bandung: Mizan, 1995. _____.Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung, Mizan, 1992. _____. “Controversies and Polemics Involving the Sufi Orders in Twentieth-Century Indonesia” dalam Frederick de Jong and Bernd Radtke, Islamic Mysticism Contested. Leiden: Brill, 1999. Burhanuddin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan, 2012. Castle, Lance. Profil Etnik Jakarta, Jakarta: Penerbit Masup Jakarta, 2007. Candramilla, Wolly. Variasi Genetik Populasi Betawi berdasarkan Polimorfisme DNA Mitokondroin, Tesis Pascasarjana IPB, Bogor: IPB, 2002. Dahri, Harapandi. Meluruskan Pemikiran Tasawuf, Jakarta: Pustaka Irfani, 2007.

132

Dasuki, Hafidz dkk. Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994. Daudy, Ahmad. Allah dan Manusia , Jakarta: C.V. Rajawali, 1983. al-Di>n, Jala>l. Rahasia Mutiara al-Tari>qah al-Naqsyabandiyah. Bukittinggi: Partai Politik Umat Islam (PPTI). Fadli, Ahmad. Ulama Betawi: Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam abad ke-19 dan 20 , Jakarta: Manhalun Nasyi-in, 2011. Fathullah, Ahmad Lutfi. Pribadi Rasulullah SAW, Telaah Kitab Taudhi>h al-Dala>’il Fi Tarjamat Hadist al-Sya>mil Karya Guru Mughni Kuningan (1860-1935), Jakarta: Al-Mugni Press, 2005. Faturahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group, 2008. Fauzan, Aris. Shaykh Siti Jenar. Tesis, Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN, 2004. Geerzt, Clifford. Islam Observerd; Religious Development in Morocco and Indonesia, terj. Hasan Basari, Jakarta: YIIS, t.t. Goobe dan C. Andriaance. Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Belanda I. Jakarta: INIS 1993. _____. Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Belanda VII. Jakarta: INIS 1993. _____. Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Belanda IX. Jakarta: INIS 1993. Hadi, Sofyan. Naskah al-manhal al-‘Adhb li-dhikr al-qalb: Kajian atas Dinamika Perkembangan ajaran Tarekat Naqsyabandiyah Kha>lidiyah di Minangkabau. Jakarta: Lembaga Studi Islam Progresif, 2011. Hamid, Abu. Shaykh Yusuf Makassar: Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Hamim, Thoha. Islam dan NU. Surabaya: Diantama, 2004. Hamka. Ayahku: Riwayat Hidu DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta: Umminda, 1982. _____. Tasawwuf: Pemurnian dan Perkembangannya, Jakarta: Pustaka Panjimas. Hanna, Willard. Hikayat Jakarta, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988.

133

Harapan, Anwarudin. Sejarah, Sastra dan Budaya Betawi, Jakarta: APPM, 2006. Haris, Tawalinuddin. Kota dan Masyarakat Jakarta, dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial abad XVI-XVIII, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2007. Hermansyah. Tibya>n Fi Ma’rifat al-Adyan: Tipologi Aliran Sesat menurut Nur al-Di>n al- Ra>ni>ri>, Tangerang Selatan: LSIP, 2012. Huda, Nur. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual di Indonesia, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007. Hurgronje, Snouck. Islam di Hindia Belanda,, Jakarta: Bhratara, 1973. _____. Mekka in the Latter Part of 19th Century, Leyden: Late E.J. Brill Ltd., 1931. _____. Pan Islamisme dari Makkah, terj. Vesrpreid Geschriften Van C. Snouck Hurgronje oleh Soedarso Soekarno. Jakarta: INIS, 1996. Indra, Hasbi. Pesantren dan Transformasi Sosial, Studi Atas Pemikiran KH. Abdullah Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam. Jakarta: Penamadani, 2003. Ismawati. Continuity and Change: Tradisi Pemikiran Islam di Jawa Tengah abad IX-XX. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2006. Al-Jabarti, ‘Abd al-Rahma>n. ‘Aja>ib al-Atha>r fi al-Tara>jum wa al- akba>r, ed. Hasan Muhammad et.al., Kairo, vol.1, 181. Sebuah Copy dari Fawa>’id al-Irtiha>l Ms. Da>r al-Kutub, Kairo, 1093. Jamal, Murni. Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau Awal Abad ke-20. Jakarta: INIS, 2002. Johns, AH. The Gift Addressed to the Prohet, Canberra: The Australian National University, 1965. Kamali, Mohammad Hashim. Membumikan Syariah: Pergulatan Mengaktualkan Islam. Jakarta: Noura Books PT. Mizan Republika, 2008. Kesheh, Natalie Mobini. Kebangkitan Hadrami di Indonesia, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2007. Khedaton, Sunan Ghiri. Boekoe Siti Jenar Ingkan Tulen, Kediri: Tan Khoen Swie, 1931. Koningsveld, P.SJ>. Van. Snouck Hurgronje dan Islam, Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman

134

Kolonial Belanda, terj. PT. Girimukti Pasaka, Jakarta: PT. Girimukti Pasaka, 1989. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995. Al-Kurani, Ibra>him. ‘Ithaf al-Dha>ki bi Sharh al-Tuhfat al-Mursalah ila> Ru>h al-Nabi, Kairo: MS. Da>r al-Kutub al-Mishriyyah, Tashawwuf 2578, vol. 6,9,11,15. Laffan, Michael Francis. Islamic Nationhood and colonial: The Umma Below the Winds, London: Routledge Curzon, 2003. Latief, Sanusi M. Gerakan Kaum Tua, Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1998. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya, Bag.2 Jaringan Asia, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008. Madku>r, Ibra>him. Fi> al-Falsafat al-Isla>miya>h: Manha>j wa Tat{bi>q, Kairo: Dar zaghl al-ka>zibi>n fi> tasgabbuhihim bi al-muhtadi>n. Kairo: Maktabat al-Taqqaddum al-‘Ilmiyah, 1908. Mufid, Ahmad Syafi’I. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa , Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. Mulyati, Sri. Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011. _____. Tasawuf Nusantara: Rangkaian Sufi Terkemuka, Jakarta: Prenada media Group, 2006. Murodi. Melacak Asal-Usul Gerakan Paderi di Sumatera Barat. Jakarta: Logos, 1999. Mochtar, Affandi. “Sumbangan Kerjasama Indonesia-Belanda Pasca Kolonial dalam Bidang Kajian Islam di Indonesia”, Disertasi UIN Jakarta. Al-Nabalu

135

Northcott, Michael. Sociological Aproaches, dalam Peter Connoly (editor), Approaches to Study of Religion, London: Cassel, 1999. Noupal, Muhammad. “Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya: Respond dan Kritik terhadap Kondisi Sosial Keagamaan di Indonesia,” Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2008. Peeters, Jeroen. Kaum Tuo Kaum Mudo; Perubahan Religius di Palembang, Jakarta: INIS, 1997. Pijper, G.H. Fragmenta Islamica: Beberapa Studi tentang Islam di Indonesia Abad ke-20, terjemahan oleh Tudjimah, Jakarta: UI Press, 1987. Poerbatjaraka, dan Tardjan Hardidjaja. Kepustakaan Jawa, Jakarta: Jambatan, 1952. Prayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003. Putra, Apria. Naskah Catatan Haji Rasul: Dinamika Intelektual Kaum Muda Minangkabau Awal Abad XX. Tangerang Selatan: Lembaga Studi Islam Progresif, 2014. Rahman, Fazlur. Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979. Rasjidi, HM. Di Sekitar Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972. Said, H. A. Fuad. Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, Jakarta: al-Husna al-Zikra, 1999. Saidi, Ridwan. Babad Tanah Betawi, Jakarta: Gria Media Prima, 2002. _____. Riwayat Tanjung Priok dan Tempat-tempat lama di Jakarta, Jakarta: Perkumpulan Renaissance Indonesia, 2010. _____. Sejarah Jakarta dan Peradaban Melayu-Betawi, Jakarta: Timpani Publishing, 2010. Sangidu. Wachdatul Wujud: Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani dengan Nuruddin al-Raniri, Yogyakarta: Gama Media, t. th. Sa’id, Muhammad. Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1981. Schrieke, B.J.O. Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara, 1973. Shahab, Alwi. Robin Hood Betawi. Jakarta: Republika, 2001. Solihin, M. Melacak Pemikiran tasawuf di Nusantara. Jakarta: Raja Grafindo persada, 2005. Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta: UI Press, 1988.

136

Siraj, Said ‘Aqil. Ma’rifatullah: Pandangan Agama-agama, Tradisi dan Filsafat, Jakarta: Elsas, 2003. Sirriyeh, Elizabeth. Sufis and Anti Sufis, England: Curzon Press, 1999. Suminto, Husnul Aqib. Politik Islam Pemerintah Hindia Belanda: Het Kantoor Voor Inlandsche Zaken 1899-1942, Disertasi UIN Jakarta, 1984. Sukahar, Djoko Su’ud. Tafsir Gatolotjo dan Sakralitas Yoni, Yogyakarta: Narasi, 2013. Soekarno, Soedarso. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Jakarta, INIS, 1993, 49. Soekomo, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1973. Schimel, Annemarie. Mystical Dimension of Islam diterjemahkan Supardi Djoko Damono, Dimensi Mistik dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986. Smith, Margareth. Studies in Early Mysticism in The Near and Middle East , Oxford: Oneworld, 1995. Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Islam di Indonesia Abad 19, Bandung: Bulan Bintang, 1984. Suwendo, Bambang dkk. Sejarah Sumatera Barat. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Pengembangan Budaya Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978. Su’ud, Djoko. Tafsir Gatolotjo dan Sakralitas Yoni, Yogyakarta: Narasi, 2013. Syam, Nur. Pembangkangan Kaum Tarekat, Surabaya: LEPKISS, 2004. Syamsu, Muhammad. Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Jakarta: Lentera, 1999. Al-Sya’ra>ni ‘Abdul Wahha>b. al-Anwa>r al-Qudsiyyah fi Ma’rifati Qawa>’id al-S{u>fiyyah, Jakarta: Berkah Utama, tt. Rizvi, S.A.A. A History of Sufism in India, New Delhi: Munshiran Manoharlal, 1983. Thohir, Ajid. Gerakan Politik Kaun Tarekat Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qa>diriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002. Tim Peneliti. Sejarah Perkembangan Islam di Jakarta Abad XVII sampai dengan awal Abad XX, laporan hasil penelitian dasar, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1979.

137

Tim Peneliti Jakarta Islamic Centre. Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal Abad ke-19 Sampai Abad ke-21. Jakarta: Islamic Centre, 2011. Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Tasawuf, Bandung: Angkasa, 2008. Tim Pustaka Basma. 3 Permata Ulama dari Tanah Banjar, Malang: Pustaka Basma, 2012. Tjandrasasmita, Uka. Sejarah Jakarta dari Zaman Prasejarah sampai Batavia, Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1977. Usman, Abdullah bin. Sulu>h zama>n. Jakarta: Percetakan Sayyid Usman, 1330. Usman, Ali bin. Ini Hikayat Bernama Qama>r Zaman Menyatakan Keadaan Almarhum al-Habi>b Usman dan Thariqahnya. Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1343 H/1924 M. Usman, Sayyid. Manhab fi baya>n al-Shawab, Jakarta: Percetakan Sayyid Usman, t.t. _____. al-Wathi{ari

138

Zoetmulder. Manunggaling Kawula Gusti, trans. Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia, 1991.

Journal Azra, Azyumardi. “Hadra@mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman,” Studia Islamika Indonesian Journal for Islamic Studies Vol 2, Number 2, 1995. Berg, Van den. “Van den Berg's Essay on Muslim Clergy and the Ecclesiastical Goods in Java and Madura,” Southeast Asia Program Publication at Cornell University no.84 (2007) : 133, http://www.jstor.org/stable/40376432/ (diakses 8 Juli 2014). Bruinessen, Martin Van. “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu,” Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (1990): 231, http://www.jstor.org/stable/27864122 (diakses 8 Juli 2014). _____. ”Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syakh Abdul Qadir Jailani di India, Kurdistan, dan Indonesia,” Ulumul Qur’an 2 No. 2, 1989. Bujra, A.S. “Political Conflict and Stratification in Ḥaḍramaut,” Middle Eastern Studies 3, No. 4 (1967): 357, http://www.jstor.org/stable/4282218 ( diakses 8 Juli 2014). Hartwig, Friedhelm. “Contemplation, Social Reform and the Recollection of Identity. Hadramī Migrants and Travellers between 1896 and 1972,” Die Welt des Islams 41 (2001): 311- 347, http://www.jstor.org/stable/1571308 (diakses 8 Juli 2014). Howel, Julia Day. “Sufism and the Indonesian Islamic Revival,” Journal of Asian Studies 60, No. 23 (2001); 701, http://www.jstor.org/stable/2700107 (diakses 8 Juli 2014). Murni Jamal, “The Origin of the Islamic Reform Movement in Minangkabau: Life and Thought of Abdul Karim Amrullah”, Studia Islamika, Vo. 5, No. 3 (1998). Kaptein, Nico. “The Sayyid and The Queen: Sayyid ‘Uthma>n on Queen Wilhelmina’s Inauguration On The Throne Of The Netherlands In 1898,” Journal of Islamic Studies 9:2 (1998): 158-177, http://jis.oxford journals.org/ at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (diakses, 22 September, 2014). Kemper, Michael “Studying Islam in the Soviet Union,” Uva-DARE, the institutional repository of the University of Amsterdam

139

(2009): 6, http://handle.net/11245/1.314795, (Di akses 11 Desember 2014). Shoheh, Muhammad. “Cerita Perbantahan Dahulu Kala: Pembelaan dan Sanggahan Tuanku Nan Garang atas Kritik Sayyid Usman bin Yahya Tahun 1885,” Jurnal Manuskrip Nusantara 4, No. 1 (2013). Suminto, Husnul Aqib. “Islam di Indonesia: Sinkretisme, Pemurnian dan Pembaruan,” Studia Islamika, Jakarta, Mo.21, tahun XI, 1985. Wensinck, A.J. “Snouck Hurgronje Verspreide Geschriften (Gessamelte Schriften),” review of the Royal Asiatic Society, by R.A. Nicholson, Bookpage: Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, http://jstor.org/stable/10.2307/25220562 (diakses 4 Juli, 2014).

140

GLOSARIUM

Asimilasi : Penyesuaian sifat asli yang dimiliki dengan sifat lingkungan sekitar. Bid’ah : Perbuatan dalam beribadah yang dikerjaan tidak sesuai dengan contoh yang telah ditetapkan, Doktrin : termasuk menambah atau Fanatisme : menguranginya. Fundamental : Ajaran atas suatu aliran politik atau Haplotipe : keagamaan. Keyakinan yang terlalu kuat terhadap ajarannya. Hasad : Segala hal yang bersifat mendasar. Kombinasi genetika dari gen yang Hulu>l : berbeda didalam satu kromosom yang sama dan akan diwariskan kembali secara bersamaan. Konservatif : Membenci nikmat yang Allah

berikan kepada seseorang dan Mana>qib : mengharapkan nikmat tersebut

hilang darinya. Keadaan yang diyakini bahwa Allah Manunggaling Kawula : masuk ke dalam jasmani makhluk, Gusti menempati dan menyatu dengan Martabat Tujuh : makhluk tersebut.

Mempertahankan suatu keadaan,

: kebiasaan, dan tradisi yang berlaku. Muri>d Perjalanan spiritual, biografi atau si>rah seorang shaykh sufi yang : dibaca oleh pengikutnya pada Mursyid waktu-waktu tertentu. : Paham persatuan hamba dengan Muta>ba’ah : Tuhan dalam keruhanian dan Mu’tabarah kebatinan Jawa. Tujuh tahapan penciptaan manusia : yang diajarkan pertama kali oleh Neosufisme Fadl Alla>h al-Burha>npuri berdasarkan martabat-martabat

141

: dalam ajaran sufisme.

Primbon : Seseorang yang berkeinginan untuk sampai kepada Allah SWT dengan Pseudosufi : mengadakan perjalanan spiritual melewati beberapa maqam. Paderi Pemimpin yang mengawasi murid- : muridnya hingg mencapai tingkat tertinggi dalam praktik tasawuf. Rabi>t{ah : Mengikuti ajaran Nabi Muhammad secara benar. Sulu>k Suatu ketetapan yang menentukan : bahwa suatu tarekat itu sah atau tidak untuk diikuti oleh umat Islam Tarekat dan diakui atau tidak kebenarannya. : Tasawuf modern yang diperkenalkan oleh Fazlur Rahman Wahhabi dengan menekankan harmonisasi antara syari’at dan tasawuf. Kitab yang berisikan ramalan untuk menghitung hari baik dalam tradisi masyarakat Jawa. Para sufi yang tidak mempraktikkan ajaran tasawuf secara benar (sufi semu). Peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat (kaum paderi) pada tahun 1803-1838 akibat dari pertentangan masalah agama. Menghubungkan diri dengan mursyid dalam praktik zikir. Dalam ajaran tarekat Naqsyabandiyah artinya perjalanan ruhani dan mengasingkan diri dalam jangka waktu tertentu guna mendekatkan diri kepada Tuhan. Organisasi-organisasi sufi yang menjalankan berbagai macam amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Tuhan.

142

Gerakan reformis di Makkah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan membersihkan diri dari bid’ah, syirik, dan khurafat.

143

INDEKS

84, 85, 103, 104, 105, 106, 107, 108, A 109, 110, 116, 117, 119, 121, 126, 129, 131, 133, 134, 135, 137, 138 abad .. 1, 2, 3, 5, 6, 7, 13, 14, 15, 17, 21, 22, Bengkulu ...... 81 23, 24, 25, 26, 29, 30, 31, 33, 34, 35, Betawi ..4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 19, 48, 49, 50, 36, 37, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 52, 53, 54, 55, 56, 58, 60, 64, 70, 89, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 58, 60, 122, 124, 126 61, 64, 68, 71, 73, 74, 75, 76, 77, 83, 101, 103, 111, 113, 115, 118, 122, 129, 133, 134, 148 C Abd al-Qa>dir Jaila>ni ...... 24, 30 Abd al-Rahman al-Mis{ri ...... 6 Cianjur ...... 56, 83, 84, 86, 87, 119 Abu Ya>zid al-Bust{a>mi ...... 23 Aceh ...... 2, 30, 31, 32, 41, 51, 74, 104, 136 Adviseur Honorair ...... 65, 84 F Ahmad al-Qusha>shi> ...... 26 Ahmad al-Qushashi ...... 27, 31, 98 Fazlur Rahman ...... 74, 141 Ahmad Khatib al-Minangkabawi.... 12, 71, 103, 110, 111, 112, 127 Alawiyah ...... 10, 36, 68, 98, 125 H al-Jazair ...... 7 Hadramaut al-Nas{i>h{ah al-‘ani

B I

Ibnu ‘Arabi Bait al-Maqdis ...... 63 ...... 2, 37 Imam al-Ghazza>li> Banten . 9, 12, 33, 48, 49, 67, 69, 76, 83, 86 .. 1, 4, 37, 75, 88, 96, 97, Batavia .....9, 11, 19, 47, 51, 52, 53, 61, 69, 100, 124, 125, 126 India 72, 88, 89, 90, 94, 108 24, 25, 27, 30, 31, 32, 49, 51, 53, 68, Belanda 5, 8, 12, 13, 15, 22, 36, 41, 43, 48, 137, 139 Indonesia 49, 52, 53, 56, 59, 61, 64, 65, 66, 67, . 1, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 15, 16, 18, 68, 69, 70, 71, 73, 74, 76, 80, 82, 83, 19, 24, 25, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 34,

144

35, 36, 41, 43, 44, 48, 49, 50, 53, 55, 52, 53, 54, 55, 58, 61, 65, 66, 68, 70, 56, 59, 60, 61, 62, 68, 69, 71, 73, 75, 71, 73, 74, 75, 77, 78, 81, 85, 87, 88, 76, 77, 78, 81, 82, 83, 85, 87, 103, 104, 91, 92, 94, 100, 101, 103, 105, 110, 105, 112, 113, 114, 115, 116, 125, 131, 113, 115, 116, 124, 129, 131, 132, 134, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 135, 136, 140 140, 148 O J organisasi ...... 76 Jawa . 2, 3, 5, 24, 31, 32, 36, 42, 44, 48, 49, 50, 51, 54, 57, 58, 59, 69, 70, 74, 77, 81, 82, 86, 87, 104, 109, 118, 120, 125, P 134, 135, 136, 137, 141 Palestina ...... 7, 63 pembaruan ..... 14, 26, 33, 52, 56, 111, 113, K 122, 124, 129 Persia ...... 27, 30, 53, 55 K.F. Holle ...... 9, 84 Karel A. Steenbrink ..... 15, 34, 35, 41, 104 Q

M Qa>diriyah ..... 30, 31, 38, 44, 76, 77, 81, 82, 137 Madinah ...... 7, 23, 26, 27, 35, 39, 62, 78 Makkah ...... 7, 65 Maroko ...... 7, 63 S Martin ....24, 25, 31, 35, 69, 76, 77, 78, 83, 84, 85, 86, 112, 114, 115 Sayyid Usman ... 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, Mesir ...... 7, 27, 62, 107 19, 56, 61, 63, 64, 67, 68, 69, 72, 75, Muhammad ‘Arsyad al-Banjari ...... 34 82, 83, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, Muhammad Noupal 4, 5, 8, 10, 66, 68, 75, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 100, 104, 106, 82, 83, 86, 98, 101, 113 108, 109, 113, 119, 121 Muhammad Syamsu ...... 7 shari>fah ...... 7, 62 Shaykh ‘Abd al-Ghani Bima ...... 8 Shaykh Ahmad Zaini Dahlan ....66, 89, 93, N 99, 126 Shaykh Isma’il al-Minangkabawi .. 41, 78, Naqsyabandiyah 24, 25, 78, 79, 80, 81, 83, 79, 90, 103, 115, 117, 118, 119, 121 84, 85, 86 Simuh ...... 3 Nico Kaptein ...... 104 Singapura ...... 7, 51 Nusantara . 1, 2, 6, 8, 14, 15, 16, 17, 21, 22, Snouck Hurgronje ... 11, 12, 56, 65, 66, 67, 23, 25, 26, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 68, 71, 75, 103, 105, 106, 107, 121, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 45, 47, 49, 51, 124, 125

145

Syarif Hidayatullah4, 8, 24, 27, 48, 49, 57, U 78, 81, 85, 104, 112, 135, 136, 137, 138, 139, 148 ulama Palembang ...... 12, 33, 100

T W tarekat .....9, 27, 76, 81, 85, 87, 90, 99, 119 Wahhabi 37, 38, 39, 74, 111, 113, 115, 141 tarekat Naqsyabandiyah . 9, 10, 22, 24, 25, Wali Songo ...... 3, 40 33, 41, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 86, 90, 97, 103, 110, 112, 114, 117, 118, 119, 120, 121, 141 Y tasawuf ...... 7, 24 Tuanku nan Garang ...... 9, 117 Yaman ...... 27, 33, 51, 55, 123 Yogyakarta 2, 3, 18, 38, 39, 48, 56, 57, 74, 131, 134, 135, 136, 137

146

147

LAMPIRAN

GENEALOGI INTELEKTUAL SAYYID USMAN BIN YAHYA

Shaykh Shaykh Ahmad bin Abdullah al- Muhammad al- Haddad Qusyasyi

Shaykh Ibrahim Shaykh ‘Abd al-Kurani Rauf Sinkli Shaykh Ibrahim Saqaf Bin al-Kurdi Muhammad Shaykh al-Saqaf Abdurrahman Shaykh Abdul bin Abdullah Muhyi Bilfaqih Pamijahan

Umar Bin Abdurrrahman Hasan bin Saqaf al- bin Alwi Hamid Saqaf Ba’alawi Shaykh Abdullah bin Muhammad bin Sulaiman al-Ahdal suliman al- Kurdi Abdullah Bin Said Bin Sumair Abdul Karim al-Samman

Abdullahh bin Abdullahh Hasan Husein bin bin Umar bin Arsyad al- Abdurrahman Abdussamad Shalih al- Thahir Yahya Banjari al-Misri al-Falimbani Bahr

Salim bin Sumair Husein al-Jisr Nawawi Sayid Usman bin Banten Yusuf Yahya Nabhani Ust. Mugni Ali al-Habsyi Ahmad Khatib (Jakarta) (Kwitang) Minangkabau Sulaiman al-Rasuli Hasyim Asy’ari

M. Jamil Abdul Karim Jambek Amrullah

148

: Guru : Satu Zaman : Koresponden

Silsilah ini merujuk kepada beberapa referensi:

 Apria Putra, Naskah Catatan Haji Rasul: Dinamika Intelektual Kaum Muda Minangkabau Awal Abad XX (Tangerang Selatan: Lembaga Studi Islam Progresif, 2014).  Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung, Mizan, 1992).  Abdullah bin Usman, Sulu>h zama>n (Jakarta: Percetakan Sayyid Usman, 1330).  Ali bin Usman, Ini Hikayat Bernama Qama>r Zaman Menyatakan Keadaan Almarhum al-Habi>b Usman dan Thariqahnya (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1343 H/1924 M).  Muhammad Noupal,. “Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya: Respond dan Kritik terhadap Kondisi Sosial Keagamaan di Indonesia,” Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2008.  Ahmad Fadli,. Ulama Betawi: Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam abad ke-19 dan 20 (Jakarta: Manhalun Nasyi-in, 2011).

149

BIODATA PENULIS

Nama : Siti Suniah Tempat Tgl. Lahir : Tangerang, 17 Nopember 1989 Alamat :Jl. Ceger Raya No.03 RT. 05/04 Kelurahan Jurang Mangu Barat Pondok Aren Tangerang Selatan 15223 HP/Email : 085695034941/[email protected]

Keluarga Bapak Kandung : H. Dasuki Ibu Kandung : Hj. Sadiyah Ayah Mertua : H. Musidi Ibu Mertua : Zumaroh Suami : Fair Rohmatu Sholeh, S.Pi

Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Nurul Iman 1997-2002 Sekolah Dasar 02 Pagi Jurang Mangu Barat 1997-2002 Mts Darunnajah Ulujami Jakarta Selatan 2002-2005 MA. Darunnajah Ulujami Jakarta Selatan 2005-2008 S1 UIN Jakarta fakultas Dirasat Islamiyah 2008-2012 S2 UIN Jakarta konsentrasi Pemikiran Islam 2012-2014

150