KRITIK TERHADAP TAREKAT Kajian Terhadap Pemikiran Usman bin Yahya

HALAMAN JUDUL

TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Agama dalam Bidang Pemikiran Islam

Di Susun Oleh:

Siti Suniah (Nim. 12.2.00.1.02.01.0001)

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015

ii

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas segala nikmat dan karunia yang Allah swt limpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dalam rangka memperoleh gelar magister dalam ilmu pengkajian Islam konsentrasi Pemikiran Islam pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga dicurahkan untuk baginda Nabi Muhammad SAW, juga untuk keluarga, sahabat, dan umat yang setia menjalankan sunnah Rasul-Nya. Selama perjalanan menulis tesis ini, penulis telah didukung oleh berbagai pihak terutama yang telah membantu penulis baik dari segi materi maupun nonmateri. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta pembantu rektor dan staffnya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan program S1 dan S2 di kampus UIN Syarif Hidayatullah. 2. Prof. Dr. , MA., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Suwito, MA., selaku ketua Program Doktor, dan Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku ketua Program Magister, yang telah memberikan arahan, saran, dan motivasi kepada penulis, segala bentuk kritik dan perbaikan tentunya beliau hanya berharap agar tesis ini berguna dan bermanfaat untuk umat. 3. Prof. Dr. Yunasril Ali, MA., sebagai pembimbing yang begitu sabar memberikan arahan, koreksi dalam penulisan, meluruskan dan menyempurnakan pemikiran penulis hingga akhir tesis ini. Semoga segala amal kebaikan serta keikhlasannya dalam mendidik, Allah berikan nikmat kepada beliau yang tak terhingga. 4. Segenap Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf akademik, administrasi, perpustakaan yang telah memberikan fasilitas, pemikiran, serta senyum yang setiap hari menghiasi hari-hari kami di lingkungan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

iii

5. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Perpustakaan Perancis, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dan perpustakaan ANRI yang bersedia mencopy seluruh data manuskrip yang berkaitan dengan riwayat hidup Sayyid Usman bin Yahya. 6. Muhammad Noupal, MA., yang telah memberikan penulis bigorafi Sayyid Usman bin Yahya, Sulu>h Zaman dan Qamar al-Zaman. Kala itu, penulis belum menemukan kedua kitab yang begitu penting bagi penulisan ini, hingga beliau memberikannya dengan cuma-cuma. Jazakallah. 7. Ayahanda, H. Dasuki dan Ibunda Hj. Sadiah yang telah mendidik serta membesarkan penulis dengan tulus ikhlas, mengarahkan, medo’akan, dan mendengarkan keluh kesah selepas kuliah. Semoga Allah selalu menyayangi, melindungi, dan mempermudah segala urusannya. 8. Ibu/Bapak Mertua, H. Musidi dan Ibu Zumaroh yang selalu antusias memberikan semangat untuk penulis menyelesaikan studi magister ini dan melanjutkan studi hingga jenjang berikutnya. 9. Suamiku tercinta, Fair Rohmatu Sholeh S.Pi., yang selalu setia membantu, mendorong, dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan studi ini. Suka dan duka, tangis dan tawa, mewarnai perjalanan hidup ini dengan penuh kebersamaan. 10. Kakanda Khoirunnisa S.Psi, Ibnu Ramdani Permana S.Psi, dan adinda Umi Inayah serta keponakanku yang menjadi penyejuk hati setelah melewati segala ujian di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Sofia Alta Salvina dan Aisyah Azra Malika. 11. Kawan-kawan tercinta seluruh Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama Sri Asmita, MA. Hk, Wasilatu Rohmaniyah, Ummul Fadhilah Sari, Susanti Hasibuan, Desi, Taqin yang selalu tertawa riang walaupun terkadang perjalanan ini terasa berat. Semoga ilmu yang telah kita terima, menjadi manfaat yang besar bagi banyak orang.

Akhirnya, penulis hanya bisa bermunajat kepada Allah SWT, agar seluruh pihak-pihak yang telah membantu seluruh proses studi ini diberikan pahala yang berlipat ganda serta nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Penulis memohon maaf atas segala tutur kata yang kurang berkenan, baik dari segi isi maupun pemikiran. Masih banyak kekurangan dan perbaikan, semoga para pembaca bersedia memberikan

iv

saran dan kritik agar menghasilkan karya yang lebih baik lagi bagi penulis.

Jakarta, 17 Nopember 2014 Penulis,

Siti Suniah

v

vi

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Siti Suniah Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang, 17 Nopember 1989 Nim : 12.2.00.1.20.01.0001 Jenjang Pendidikan : S2 Pengkajian Islam Konsentrasi : Pemikiran Islam

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis berjudul ‚KRITIK TERHADAP TAREKAT: KAJIAN TERHADAP PEMIKIRAN SAYYID USMAN BIN YAHYA‛, adalah hasil karya saya kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila di dalamnya terdapat kesalahan dan kekeliruan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Selain itu apabila di dalamnya terdapat plagiasi saya siap menerima sanksi berupa pencabutan gelar akademik yang diberlakukan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Jakarta, 10 Desember 2014 Yang membuat pernyataan,

Siti Suniah

vii

viii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul ‚Kritik terhadap Tarekat: Kajian terhadap Pemikiran Sayyid Usman bin Yahya‛ yang ditulis oleh Siti Suniah NIM 12.2.00.1.20.01.0001 telah melalui proses bimbingan dan bisa diajukan untuk Ujian Pendahuluan.

Jakarta, 12 Desember 2014

Pembimbing

Prof. Dr. Yunasril Ali, MA

ix

x

KRITIK TERHADAP TAREKAT: Kajian Terhadap Pemikiran Sayyid Usman bin Yahya

ABSTRAK

Tesis ini membuktikan bahwa kritik Nusantara terhadap tarekat pada abad ke-XIX muncul sebagai respon internal atas kondisi sosial keagamaan dan politik di Masyarakat. Kritik ini tidak ada kaitannya dengan pembaruan di Makkah yang juga terjadi pada abad XIX. Perbedaan dengan komunitas akademik lainnya, Martin van Bruinessen dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia berkesimpulan pembaruan yang terjadi di Makkah pada abad ke-XIX berdampak pula di Nusantara dengan munculnya kaum pembaru yang lebih radikal dengan mengkritik secara tajam kaum sufi. Sama halnya dengan Michael Fancis Laffan dalam Islamic Nationhood and Colonial berdasarkan penelitian K.F. Holle dan Karel Steenbrink dalam Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19, yang mengaitkan bahwa penentangan-penentangan tehadap kaum tarekat yang berkembang pada abad ke-19 adalah sebagai bentuk oposisi para ulama yang anti-tarekat. Tesis ini mendukung penelitian dari Muhammad Noupal dalam Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya bahwa kritik para ulama terhadap tarekat yang terjadi di abad ke-19, merupakan kritik yang tidak ditujukan untuk salah satu tarekat, melainkan kepada penganut tarekat itu sendiri. Sikap kritis Sayyid Usman bin Yahya, melalui karyanya al-Nas{i>h{ah al-‘Ani>qah dan al-Wathi>qah al-Wafiyyah, membuktikan kritik terhadap tarekat yang lebih individualistik. Penekanannya terhadap kaum sufi Nusantara bukanlah sebagai tokoh anti-tarekat yang terinspirasi kelompok Wahhabi yang disebut beberapa kalangan, namun berupaya meluruskan kaum sufi agar tidak menyimpang dari syari’at. Begitupula Muhammad Syamsu dalam Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya yang menyatakan bahwa kritik yang dilontarkan para ulama abad ke-19, disebabkan penyimpangan yang dilakukan oleh guru dan murid tarekat yang tidak sesuai menjalankan tata aturan dalam mengamalkan ajaran-ajaran tarekat secara benar. Jenis penelitian ini adalah sejarah sosial intelektual, sifat penelitian temasuk dalam penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini menggunakan sumber-sumber atau data-data kepustakaan yang memiliki kaitan langsung dengan masalah yang sedang diteliti seperti buku-buku Sayyid Usman baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berbentuk

xi

manuskrip. Sedangkan data sekunder atau penunjang didapat melalui buku- buku Snouck Hurgronje dan beberapa penelitian yang berkaitan dengan Sayyid Usman. Kemudian, data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif analitis.

Kata Kunci : Kritik, Tasawuf, Tarekat, Syari’at, Sayyid Usman

xii

رغطيس اٌجحش

إٌزبئظ اٌّّٙخ فٝ ٘صا اٌجحش أْ أزمبز اؼٌٍّبء ٍٝػ اٌططق اٌصٛفيخ فٝ اٌمطْ اٌزبسغ ػشط ظٙطد ٍٝػ اسزغبثؼخ اٌساذٍيخ في اٌظطٚف االعزّبػيخ اٌسيٕيخ ٚاٌسيبسخ في اٌّغزّغ. ٚ٘صٖ االٔزمبز اليزؼٍّك ِغ اٌزغسيس اٌٛالغ ثّىخ فٝ اٌمطْ اٌزبسغ ػشط. أِب االذزالف ثيٓ اٌّغزّغ األوبزيّٝ اآلذطيٓ، فبسزٕجػ "ِبضرٓ فبْ ثطٚٔيسٓ" فٝ وزبة "اٌططيمخ إٌمشجٕسيخ ثإٔسٚٔيسيب" أْ اٌزغسيس اٌٛالغ ثّىخ فٝ اٌمطْ اٌزبسغ ػشط ٌٗ رؤصيط أيعب ثإٔسٚٔيسيب ثظٛٙض اٌّغسزيٓ اٌّزططفيٓ. ُ٘ يٕمسْٚ اٌصٛفييٓ. ِٚضً ٘صا األِط أيعب " ِبيىً فطأسيس ٌفبْ" فٝ وزبثٗ " األِخ إلسالِيخ ٚاالسزؼّبض" ٍٝػ ِجسأ اٌجحش ٌـ "ٌٝٛ٘ سزيٓ ثطيٕه فٝ وزبثٗ " عٛأت اإلسالَ فٝ إٔسٚٔيسيب فٝ اٌمطْ اٌزبسغ ػشط"، اٌصٜ يطثطٗ أْ اؼٌّبضظبد ٍٝػ اٌصٛفييٓ إٌّشئيٓ فٝ اٌمطْ اٌزبسغ ػشط ٛ٘ شىً ؼِبضظخ اؼٌٍّبء اٌّزعبزيٓ ٌٍططيمخ. ٚزػّذ ٘صٖ اٌطسبٌخ اٌجحش ِٓ ِحّس ٛٔفً فٝ "اٌفىط اٌسيٕٝ ٌٍسيس ػضّبْ ثٓ يحٝ" أْ أزمبز اؼٌٍّبء ٍٝػ اٌططق اٌصٛفيخ فٝ اٌمطْ اٌزبسغ ػشط، ٌيس االٔزمبز ألحس اٌططق، ٚإّٔب أزمبز ٌزبثٝؼ رٍه اٌططيمخ. ِٛٚلف أزمبز اٌسيس ػضّبْ ثٓ يحي ٍٝػ ٘صٖ اٌططيمخ ػٓ غطيك وزبثٗ " إٌصيحخ اؼٌٕيمخ ٚ اٌٛصيمخ اٌٛفيَخ". ٚإٌمطخ اٌٙبِخ ٍٝػ اٌصٛفيخ ثإٔسٚٔيسيب ٌيسذ وبٌشرصيخ اؼٌّبضظخ ٌٍططيمخ اٌصٛفيخ اٌزٝ أٌّٙٗ اٌفطلخ اٌٛ٘جيخ اٌزٝ يسّيٙب ثؼط اؼٌٍّبء، ٌٚىٕٗ يحبٚي أْ يم َّٛ اٌصٛفييٓ ٌئال يٕحطف ِٓ اٌشطيؼخ. ٚثيّٓ ِحّس شّس فٝ وزبة " ٔبشط اٌسيٕٝ اإلسالِٝ ثإٔسٚٔيسيب ٚإٌّبغك اٌّحيطخ ثٙب" أْ االٔزمبزاد اٌزٝ غطحٙب اؼٌٍّبء فٝ اٌمطْ اٌزبسغ ػشط، ٌٛعٛز أحطاف ػٍّٗ اٌّطشس ٚاٌّطيس ٌٍططيمخ. ٚشٌه ٌّربٌفخ إٌظبَ فٝ رطجيك رؼبٌيُ اٌططيمخ اٌصحيحخ. ٛٔٚع ٘صا اٌجحش ٛ٘ اٌزبضيد االعزّبٝػ ٌٍّضمف، ٚصفخ ٘صا اٌجحش ِٓ اٌجحٛس األزثيخ. ٚاسزرسَ ٘صا ٌجحش اٌّصبزض ٚاٌجيبٔبد األزثيخ اٌّزؼٍمخ ثبٌّسبئً اٌّجحٛصخ فٝ وزت اٌسيس ػضّبْ ثٓ يحي، اٌزٝ ٔشطد أَ ٍٝػ أشىبي ِرطٛغبد. ٚأِب اٌجيبٔبد اإلظبفيخ يزُ حصٌٙٛب ػٓ غطيك وزت " سٕٛن ٛ٘ضعطٚٔيٚ "ٛ ثؼط اٌجحٛس اٌّزؼٍمخ ثبٌسيس ػضّبْ ثٓ يحٝ. صُ ٘صٖ اٌجيبٔبد اٌزٝ رُ حصٌٙٛب حٍٍذ رحٍيٍيب ٚصفيب.

اٌىٍّبد اٌطئيسيّخ: ٔمس، رص ّٛف، غطيمخ، شطيؼخ، سيّس ػضّبْ

xiii

xiv

ABSTRACT

This thesis proves that the criticism of scholars of the archipelago to the congregation in the 19th century emerged as internal response on social religious and political conditions in the community. This criticism has nothing to do with an update in that also occurred in the 19th century. The differences with other academic communities, Martin van Bruinessen in Tarekat Naqsyabandiyah in Indonesia concludes renewal that occurs in Makkah in the 19th century is impacted to the archipelago with the appeareance of a more radical reformer with sharply criticized to the Sufis. Similarly, Michael Fancis Laffan in Islamic Nationhood and Colonial based on the research of K.F. Holle and Karel Steenbrink in Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, that links the opposition to the congregation adherents that is developing in the 19th century as a form of opposition to anti-congregation scholars. This thesis supports the research of Muhammad Noupal in Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya that the criticism of the scholars to the congregation that is occurred in the 19th century, is the criticism that is not intended for one of the congregation, but the adherents of themselves. Critical attitude Sayyid Usman bin Yahya, through his article al-Nas{i>h{ah al-'Ani>qah and al-Wathi>qah al-Wafiyyah, proving criticism of the congregation, more individualistic. The emphasis of the Sufis archipelago is not as prominent anti-congregation inspired Wahhabi group called some circles, but the attempt to straighten the Sufi order not to deviate from the shari'ah. Muhammad Syamsu in Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya says that criticism of the scholars of the 19th century, is due to irregularities committed by the teachers and students of the congregation does not conform to apply the rules in practice of the teaching of congregation correctly. This research type is a social history of intellectuals, including the library research. This study uses the resources or library datas that has a direct bearing on the problem that is being researched as the books of Sayyid Usman either already published or are still in the form of manuscripts. While the secondary or supporting data is founded from Snouck Hurgronje books and several studies that related to Shaykh Usman. Then, the data is analyzed by descriptive analysis.

Keywords: Criticism, , Congregation, Shariah, Sayyid Usman bin Yahya

xv

xvi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah ALA–LC ROMANIZATION tables yaitu sebagai berikut:

A. Konsonan Initia Romanization Initia Romanization l l }d ض Omit ا }t غ B ة }z ظ T د ‘ ع Th س J ؽ Gh ط F ف {ػ h Q ق Kh خ K ن D ز L ي Dh ش R َ M ض Z ْ N ظ H ح ,ٖ S س Sh ٚ W ش s} ٜ Y ص

B. Vokal 1. Vokal Tunggal Tanda Nama Huruf Latin Nama Fath}ah A A َ Kasrah I I ِ D{ammah U U ُ

2. Vokal Rangkap Tanda Nama Gabungan Huruf Nama ٜ... َ Fath}ah dan ya Ai A dan I ٚ… َ Fath}ah dan wau Au A dan W Contoh : H{aul : َحٛي H{usain :حسيٓ

xvii

C. Vokal Panjang Tanda Nama Gabungan Nama Huruf Fath}ah dan alif a> a dan garis di atas ىآ Kasrah dan ya i> i dan garis di atas ىِٝ D{ammah dan wau u> u dan garis diatas ىُٛ

(ح) D. Ta>’ marbu>t}ah .di akhir kata bila dimatikan ditulis h (ح) Transliterasi ta’ marbut}ah Contoh : madrasah : ِسضسخ mar’ah : ِطأح (Ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan sebagainya kecuali dikehendaki lafadz aslinya)

E. Shaddah Shaddah/tasydi>d di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu. Contoh: shawwa>l :ش ّٛاي rabbana :ضثّٕب

F. Kata Sandang Alif + La>m  Apabila diikuti dengan huruf qamariyah ditulis al. Contoh : al-Qalam : اٌمٍُ  Apabila diikuti oleh huruf shamsiyah ditulis dengan menggandeng huruf shamsiyah yang mengikutinya serta menghilangkan huruf l- nya Contoh: An-Na>s : إٌبس Ash-Shams : اٌشّس

G. Pengecualian Transliterasi Adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan di asma>’ al-husna> dan ibn, kecuali ,هللا dalam bahasa Indonesia, seperti menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.

xviii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i KATA PENGANTAR ...... iii PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ...... vii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... ix ABSTRAK ...... xi PEDOMAN TRANSLITERASI ...... xvii DAFTAR ISI ...... xix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Permasalahan ...... 13 1. Identifikasi Masalah ...... 13 2. Pembatasan Masalah ...... 14 3. Perumusan Masalah...... 14 C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...... 14 D. Tujuan Penelitian ...... 17 E. Manfaat Penelitian ...... 17 F. Metodologi Penelitian ...... 17 1. Jenis Penelitian ...... 17 2. Sifat Penelitian ...... 19 3. Langkah-Langkah Penelitian ...... 20 4. Pendekatan Penelitian ...... 20 G. Sistematika Penulisan ...... 21

BAB II DINAMIKA TASAWUF NUSANTARA DAN POLEMIK TAREKAT PADA ABAD KE-19 A. Perkembangan Tasawuf menjadi Organisasi Tarekat ...... 23 B. Gambaran Perkembangan Tarekat di Haramayn dan Nusantara …………………………………………………..……..………26 C. Transmisi Ajaran Tarekat dari Haramayn ke Nusantara ...... 29 D. Pergulatan tarekat dan syari’at di Nusantara ...... 37 E. Problematika Tarekat di tengah Masyarakat………………….41

xix

BAB III LATAR SOSIO-HISTORIS DAN KARIR INTELEKTUAL SAYYID USMAN BIN YAHYA A. Latar Sosial Islam di Batavia abad ke-19 ...... 47 1. Masuknya Kelompok Hadrami ke Batavia ...... 51 2. Sistem Pendidikan Keagamaan di Batavia ...... 55 B. Biografi Sayyid Usman bin Yahya: Riwayat Hidup dan Karir Intelektual ...... 60 C. Sayyid Usman bin Yahya sebagai Betawi dan Penasihat Kehormatan Kolonial Belanda ...... 65 D. Karya-karya Sayyid Usman bin Yahya ...... 69

BAB IV KONDISI GERAKAN TAREKAT MASA PEMERINTAHAN KOLONIAL DAN PEMIKIRAN SAYYID USMAN BIN YAHYA TERHADAP TASAWUF A. Dinamika Gerakan Tarekat Masa Kolonial ...... 99 1. Peranan Tarekat Naqsyabandiyah abad ke-19 ...... 103 2. Tarekat Sebagai Basis Antikolonialisme ...... 108 B. Pandangan Sayyid Usman bin Yahya terhadap Tarekat ...... 111 1. Syarat-syarat Memasuki Tarekat ...... 115 2. Kritik terhadap Mursyid ...... 121 3. Tarekat yang Muktabarah menurut Sayyid Usman ...... 123 C. Analisis Pemikiran Sayyid Usman bin Yahya ...... 124

BAB V RESPON KRITIK SAYYID USMAN DAN PENGARUH KRIIKNYA TERHADAP KAJIAN KEISLAMAN DI BATAVIA A. Keharmonisan Hubungan Sayyid Usman dengan Kolonial Belanda...... 129 B. Kritik terhadap Tarekat oleh Ulama di Minangkabau ...... 136 C. Polemik Kritik Sayyid Usman dan Respon Tokoh Tarekat setelahnya...... 141 D. Dampak Kritik Sayyid Usman terhadap Kajian Keislaman di Batavia ...... 147

xx

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ...... 155 B. Saran ...... 156

DAFTAR PUSTAKA ...... 157 GLOSARIUM ...... 167 INDEKS ...... 169 LAMPIRAN ...... 173 BIODATA PENULIS ...... 175

xxi

xxii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara historis, tasawuf berkembang sejak awal kelahiran Islam (sekitar abad pertama dan kedua Hijriyah atau abad VIII Masehi). Pada masa ini, beberapa orang mengutamakan kehidupan beribadah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih abadi di akhirat. Periode selanjutnya, sekitar abad IX sampai awal X M, tasawuf mulai memfokuskan diri pada tiga hal yaitu jiwa, akhlak, dan metafisika.1 Pada abad ini pula, gerakan-gerakan tarekat mulai berkembang. Annemarie Schimmel menyebutkan bahwa tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syari’at, sebab jalan utama disebut shar’i, sedangkan jalan kedua disebut t}a>riq. Menurutnya, terdapat tiga ‚jalan‛ yang terbagi menjadi via purgariva, via contemplative, dan via illuminative, dalam batas- batas tertentu mirip dengan syari’at, tarekat, dan hakikat.2 mengungkapkan bahwa tarekat laksana kita sekarang ini. Di satu tempat tertentu duduklah murid menghadapi gurunya. Guru itu diberi gelar Shaykh. Selain dari mempelajari syari’at-syari’at agama, yang dipentingkan di dalamnya ialah melalui perantaraan guru mempelajari wirid tertentu di dalam menuju jalan Tuhan (Suluk).3 Di antara tarekat-tarekat yang bermunculan di Nusantara ialah Qadiriyyah, Sammaniyah, Syattariyah, Naqsyabandiyah, dan lainnya.4 Ciri khas yang mencolok dalam perkembangan Islam di Melayu- Indonesia adalah nuansa mistik yang begitu kuat. Maka, tasawuf menjadi corak pemikiran yang dominan pada proses islamisasi di Indonesia. Pemikiran sufi terkemuka seperti Imam al-Ghazza>li>>> dan

1 Nur Huda, : Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2007), 243-244. 2 Annemarie Schimel, Mystical Dimension of Islam diterjemahkan Supardi Djoko Damono, Dimensi Mistik dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 101. 3 Hamka, Tasawwuf: Pemurnian dan Perkembangannya (Jakarta: Pustaka Panjimas), 150. 4 Lihat Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik (Jakarta: FA. H.m. Tawi dan Son Bag. Penerbitan, 1966), 291-370.

1

Ibnu ‘Arabi sangat berpengaruh terhadap pengarang-pengarang muslim generasi pertama di Indonesia.5 Di ranah Sumatera, ajaran Martabat Tujuh menjadi sebuah tren tasawuf pada abad XVII. Ajaran tersebut menekankan kepada aspek pengalaman rohani sebagai proses menuju wus{u>l kepada al-Haq. Hamah Fansuri menyebut bahwa zat Allah bersama Kunhi Zat al-Haqq atau asal muasal zat yang Maha Besar. Ahl al-Sulu>k menamai Kunhi zat al-Haqq dengan nama la > ta’ayyun. Penamaan ini disebabkan oleh ilmu ma’rifat para manusia, para wali ataupun para Nabi tidak akan pernah menembusnya atau sampai kepadanya. Walaupun kedudukan Zat Allah pada la> ta’ayuun (tidak nyata) atau Kunhi Zat tidak dapat ditembus oleh ilmu dan ma’rifat manusia, Dia cinta untuk dikenal. Karena itu, Dia menciptakan alam semesta dan seisinya dengan maksud agar diri-Nya dapat dikenal6 Pemahaman tasawuf ini kemudian menimbulkan polemik keagamaan di masa itu, karena dinilai sebagai bentuk penyelewengan faham yang bermuara pada ‚bersatunya hamba dengan Tuhan‛.7 Kecaman terhadap faham ini muncul dari mufti kerajaan Aceh masa itu, yaitu Shaykh Nur al-Di>n al-Raniri.8 Semenjak abad XV, literatur sufistik pun juga sudah beredar di Jawa. Literatur tersebut digemari karena berisi ajaran-ajaran sufistik yang banyak memiliki kemiripan atau afinitas dengan kepercayaan dan praktik yang berlaku pada zaman pra-Islam.9 Literatur ini lebih dominan terhadap sufistik-sinkretik. Catatan sejarah terekam dalam berbagai jenis kepustakaan Jawa yang mempertemukan tradisi Jawa dengan hal-hal ke-Islaman.10 Simuh menyatakan dalam kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan ajaran Islam dengan tradisi Jawa,

5 Nur Huda, Islam Nusantara, 280. 6 Pernyataan ini sesuai dengan Hadis Qudsi yang sangat dikenal dikalangan para sufi, yaitu Kuntu Kanzan Makhfiyan…..dst. Lihat Sangidu, Wakhdatul Wujud: Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamah Fansuri dan Shamsuddin al-Sumatrani dengan Nur al-Di>n ar-Raniri (Yogyakarta: Gama Media, t. th), 62. 7 Penulis tidak merujuk kepada istilah Wahdat al- Wuju>d, karena istilah ini tidak dimaksudkan sebagai pernyataan terhadap ‚bersatunya Tuhan dengan makhluk‛, Lihat ‘Abd al-Ghani al-Nabalu>si, ‘Id{ah al-Maqs}u>d min Wahdat al-Wuju>d (Damaskus: Maktabat al-‘ilm, 1969). 8 Lihat Muhammad Sa’id, Aceh Sepanjang Abad (Medan: Waspada, 1981), 331-376. 9 Nur Huda, Islam Nusantara, 255 10 Lihat Poerbatjaraka dan tardjan Hardidjaja, Kepustakaan Jawa (Jakarta: Jambatan, 1952), 123.

2

disebut primbon, serat, suluk, dan wirid.11 Sebut saja beberapa kepustakaan Jawa yang masih bersifat kontroversial, seperti Serat Suluk Gatolotjo,12 Serat Suluk Darmogandul, Serat wirid Hidayat Jati,13 dan serat Centhini yang masyhur pada zamannya. Wirid tersebut mengajarkan sebuah paham teologi manunggaling kawula gusti, salah satunya termaktub dalam Serat Wirid Hidayat Jati dengan konsep ajaran martabat tujuh sebagai kelanjutan dari ajaran panteisme dan monisme pra-Islam serta mata rantai utama dalam tradisi teologi kejawen. Namun, karya-karya ini ditentang keras oleh kelompok karya lain yang menekankan aspek syari’at. Oposisi paling kuat terhadap ajaran sufistik-filosofis di Jawa diwakili oleh Wali Songo. Usaha-usaha yang diciptakan oleh Wali Songo di tanah Jawa sukses pada abad ke-XVI, menghasilkan penerimaan Islam yang tidak bertentangan dengan tradisi setempat. Penerimaan tersebut disebabkan oleh beberapa gagasan mistik yang dibawa oleh para wali mempunyai

11 Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita ( Jakarta: UI Press, 1988), 9. 12 Serat Suluk Gatolotjo aslinya berjudul Balsafah Gatolotjo. Namun, hingga saat ini serat suluk gatolotjo maupun darmogandul masih menjadi polemik tentang siapa yang mengarangnya. Menurut HM. Rasjidi , dia mengutip seorang ahli sastra Jawa, Brotokeswa, bahwa yang mengarang Darmogandul dan Gatolotjo adalah seorang Pangeran, putra Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877), bernama Suryonegoro. Lihat HM. Rasjidi, Di sekitar Kebatinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), 36. Namun berbeda halnya dengan Sumarno Nugroho yang mengacu kepada penelitian Dr. Ph. Van Akheren, serat tersebut dikarang oleh seorang tokoh bernama Ngabdullah Tunggul Wulung. Dia pernah memeluk Islam, namun hatinya masih dihinggapi rasa bimbang karena agama leluhur (Budha Jawa atau Hindu) masih melekat didalam dirinya. Kebimbangan tersebut memunculkan konflik dalam pikirannya yang kemudian melanjutkan kegiatan bertapa di Gunung Kelud. Ketika Gunung Kelud meletus, dia turun dan menuangkan hasil perenungannya dalam tulisan serat, yakni Darmogandul dan Gatolotjo. Lihat Djoko Su’ud Sukahar, Gatolotjo dan Sakralitas Yoni (Yogyakarta: Narasi, 2013), 199. 13 Serat Wirid Hidayat Jati dikarang oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita. Hidayat Jati berarti: petunjuk yang sebenarnya. Didalam serat tersebut berisi konsepsi tentang Tuhan (Dzat, Sifat, Asma, dan Af’a>l Tuhan), konsep Manunggaling Kawula Gusti, konsepsi tentang Manusia (penciptaan manusia dan tujuh unsur manusia), tuntunan Budi Luhur dan Manekung. Dalam wirid Hidayat Jati, jelas terlihat adanya gubahan-gubahan dari ajaran martabat tujuh yang disusun oleh Muhammad Ibn Fadllillah dalam kitab al-Tuhfah al-Mursalah ila< Ru

3

sandaran budaya yang sudah kental dalam masyarakat. Penekanan terhadap Islam murni terus dilakukan sebagai proses penting dari islamisasi tersebut.14 Pada dasarnya, Wali Songo juga menjadi anggota tarekat sufi, selain mengajarkan Islam ortodoks. Mereka lebih menekankan tasawuf sunni atau syar’i yang berbeda dengan tasawuf falsafi. Menurut Zarkasyi, ajaran sufisme yang paling mengesankan para Wali Songo adalah kitab Ih}ya> ‘Ulu>m al-Din karya Imam al- Ghazza>li>>>.15 Di tanah Batavia sendiri, kepercayaan kepada hal-hal mistik juga mendapatkan tempat yang strategis dalam keberagaman tradisi masyarakat, seperti makam keramat Pangeran Jayakarta yang secara rutin didatangi oleh penduduk setempat. Mereka juga melakukan upacara seperti nyelayat atau nyelawat, mapas, puput puser, nyukur, nginjek tanah, upacara sunatan, kematian, nujuh bulan, cuci tangan, termasuk di dalamnya menentukan hari perkawinan.16 Dari segi agama, kepercayaan terhadap mistik diperlihatkan oleh orang Betawi sebagai kedudukan yang penting, misalnya kepercayaan adanya kuburan Shaykh ‘Abd Qa>dir Jaila>ni di daerah Tanjung Priok.17 Pada sebagian masyarakat Betawi, ide-ide mistik, takhayul dan kepercayaan kepada makhluk halus masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bila sedang membangun rumah, ada yang menabur garam di setiap sudut rumah yang akan dibangun guna mengusir para makhluk halus yang mendiami tempat tersebut. Selain garam, uang receh dianggap sebagai kemakmuran rezeki dan bubur merah putih berbungkus daun, keduanya diletakkan untuk sesajen makhluk halus agar tidak mengganggu calon penghuni rumah. Bila ingin membuat sumur, mereka membuat ritual ‚Menggelinding tampah‛.18 Ritual–ritual yang diadakan masyarakat Betawi, merupakan percampuran antara ajaran Islam dengan kebudayaan lokal. Tidak

14 Muhammad Noupal, ‚Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya: Respon dan Kritik terhadap Kondisi Sosial Keagamaan di Indonesia‛, (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2008), 25-26.

15 Zulkifli, Sufism in Java: The Role of the Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java (Jakarta: INIS,2002), 7. 16 Lihat, Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra dan Budaya Betawi (Jakarta: APPM, 2006), 74-75. 17 Lihat, Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra dan Budaya Betawi, 74. 18 Muhammad Zafar, ‚Islam di Jakarta: Studi Sejarah Islam dan Budaya Betawi‛, (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2001), 392.

4

hanya dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara kehamilan dan kelahiran terdapat upacara kekeba. Kekeba adalah selamatan tujuh bulan kehamilan, yang dilakukan dalam tiga tahap. Tahapan pertama, mengaji Surat Yusuf, namun di dalam ruangan disajikan rujak nujuh bulan. Tahapan kedua, mandi tujuh bulan dicampur dengan tahapan ketiga, yaitu meletakkan tujuh jenis bunga yang berbeda. Sisi percampuran ajaran dengan kebudayaan lokal terletak pada bacaan mantra yang dianggap sebagai kesaktian untuk cabang bayi agar tidak diganggu oleh makhlus halus dan melancarkan persalinan.19 Percampuran Islam-sinkretik masih mewarnai perjalanan Islam pada abad ke XIX dan XX. Selaras dengan munculnya sinkretisme sufi Hindu-Jawa yang melahirkan pertemuan antara teologi Islam-Jawa pedalaman yang bersifat mistik dan ajaran sufi yang mendominasi di kalangan masyarakat membuat sebagian mereka yang awam turut serta tanpa mengetahui tasawuf dan organisasi tarekat secara mendalam. Sebagian besar alasannya karena terdapat beberapa kesamaan ajaran budaya yang sudah ada dalam tradisi masyarakat dengan ajaran tasawuf, maka perkumpulan tasawuflah yang banyak diminati oleh masyarakat. Bila kecenderungan penduduk Islam Indonesia berhubungan dengan aspek budaya yang mementingkan usur-unsur mistik di dalamnya, maka tidak heran berbagai macam kritik terhadap tarekat lebih banyak mengarah kepada percampuran mistik dengan tarekat.20 Alasan lain perkumpulan sufi atau biasa disebut dengan tarekat berkembang pesat di Pulau Jawa karena pada saat itu rakyat tengah menghadapi kolonialisasi Belanda, yang menyebabkan mereka berlindung di bawah organisasi non-pemerintah, salah satunya perkumpulan tarekat. Menurut mereka, tarekat mampu meredam tekanan yang diberikan oleh kolonial Belanda dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan agama.21 Bila menjadi anggota tarekat, mereka dapat menemukan figur yang bisa memberikan pengayoman-baik secara spiritual maupun politis-untuk menyalurkan aspirasi mereka.

19 Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta: Logos, 2002), 80-81. 20 Muhammad Noupal, ‚Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya‛,254. 21 Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 127.

5

Hal inilah yang menjadi kritik tajam seorang ulama Hadrami, Sayyid Usman bin Abdullah bin ‘Aqiqah al-Wafiyyah, ia mengkritisi mursyid yang banyak melakukan kesalahan. Diantaranya adalah, pertama, shaykh sufi mengaku bisa mentransfer zikir kepada pengikutnya secara gaib. Kedua, shaykh sufi menegaskan bahwa mereka dapat mengenal Tuhan sehingga mengetahui segala rahasia-Nya karena shaykh sufi tersebut mengaku bahwa dirinya telah mencapai tingkat auliya>.23 Menurut Sayyid Usman, shaykh sufi ini termasuk ke dalam ahl bid’ah yang sebenarnya fasik (berdosa). Boleh jadi ia memang memiliki kemampuan istidra>j yang ia dapatkan dengan mengikuti setan dan mempraktikkan sihir (magis gaib).24 Sayyid Usman merupakan seorang Mufti Betawi dengan gelar adviseur honorair (penasehat kehormatan) menggantikan mufti sebelumnya, yaitu Shaykh Abdul Gani yang telah lanjut usia pada tanggal 20 Juni 1889. Sumbangsihnya yang sangat besar bagi pemerintah kolonial, sekaligus posisinya sebagai karib dari orientalis terkemuka Snouck Hurgronje.25 Sayyid Usman merupakan tokoh ulama Hadrami terkemuka di abad XIX dan awal abad XX. Sayyid Usman lahir di Pekojan, tepatnya di Jakarta Barat, pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 H/1822 M. Ayahnya, Sayyid Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya ialah seorang ‘a>lim, kelahiran Makkah. Ketika Sayyid Usman berusia 3 tahun,

22 Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002), 158. 23 Sayyid Usman, al-Wathi>qah al-wafiyyah (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1303), 7-10. 24 Sayyid Usman, Minha>j al-Istiqa>mah fi> al-Di>n bi al-Sala>mah (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1890), 5-11. 25 Azyumardi Azra, ‚Hadra@mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman.‛ Studia Islamika 2 (1995), 14-15; Lihat juga Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The ‘Umma Below the Winds, (London: Routledge Curzon Studies on the Middle East, 2003), 88.

6

ayahnya kembali ke Makkah. Kemudian ia diasuh dan dididik oleh kakek dari pihak ibu, Shaykh ‘Abd al-Rahman al-Mis{ri. Pada usia 18 tahun, Sayyid Usman berangkat ke Makkah untuk menemui ayahnya. Di tanah Suci, ia meneruskan pendidikan agamanya di bawah asuhan ayah dan mufti Syafi’i terkemuka Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.26 Sayyid Usman bermukim untuk belajar agama di Makkah selama 7 tahun. Makkah memang sebagai poros para penuntut ilmu, tak pelak juga bagi orang Hadrami seperti Sayyid Usman, karena Makkah mempunyai peranan penting bagi dinamika Islam dan kehidupan kaum Muslimin.27 Kemudian, ia melanjutkan pengembaraan intelektual ke kampung halamannya, Hadramaut. Disana, Sayyid Usman belajar kepada beberapa ulama, diantaranya Shaykh ‘Abdullah bin H{usein bin T{ahir, Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf al- Jufri dan Habib H{asan bin S{aleh al-Bahar28dan sempat menikah dengan seorang shari>fah. Beberapa saat di Hadramaut, Sayyid Usman kemudian kembali ke Makkah, lalu menuju Madinah. Dari Madinah, Sayyid Usman melanjutkan pelajarannya ke Mesir, Tunis, Maroko, dan al-Jazair. Di masing-masing daerah Sayyid Usman bermukim selama 5 atau 7 bulan.29 Dari Tunis, ia berlayar ke Istanbul, kemudian pergi ke Palestina, Suriah dan kembali ke Hadramaut. Pada tahun 1862, ia kembali ke Batavia (Jakarta) via Singapura, dan memapankan karir keulamaannya disana.30 Di Batavia, Sayyid Usman memusatkan aktivitasnya di Mesjid Pekojan. Ia mengajar, berdakwah dan menulis berbagai karya dalam

26 Azyumardi Azra, ‚Hadra@mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora,‛ 10-11. Biografi yang dikemukakan oleh Azra berdasarkan catatan anak Sayyid Usman sendiri terbit tahun 1933, berjudul Qamar al-Zamami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora‛, 11. Ahmad Fadli, Ulama Betawi, 80. Ahmad Fadli menuliskan bahwa didaerah- daerah ini Sayyid Usman belajar berbagai macam keilmuan, seperti , tasawuf, tarikh, falak, dan lain-lainnya. 30 Azyumardi Azra, ‚Hadra>mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora‛, 11. Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha, Intelektualisme Pesantren, 40.

7

beberapa bidang keilmuan agama. Cara berdakwah yang diterapkan pada abad ke-19 saat itu melalui pengajian-pengajian, ceramah pada 31 saat shalat subuh dan magrib di masjid. Ilmu yang diajarkan adalah: fiqh, tauhid, dan akhlak. Dalam pengajaran agama, ia dibantu oleh seorang ulama lain, Shaykh ‘Abd al-Ghani Bima, seorang alumnus Makkah.32 Sayyid Usman menulis lebih dari 50 karangan, sepertiganya dalam bahasa Arab, dan lainnya dalam bahasa Melayu. Sebagian besar karangannya tidak lebih dari 20 halaman.33 Sebagai adviseur honorair (penasehat kehormatan urusan Bangsa Arab), Sayyid Usman harus berdiri diantara dua kepentingan, yakni kepentingan pemerintah kolonial dan kepentingan masyarakat Arab sendiri.34 Pengangkatan Sayyid Usman merupakan usulan dari Snouck Hurgronje kepada pemerintah untuk memberikan penghargaan kepadanya atas karangan yang dirasa sangat bermanfaat bagi pemerintah.35 Kedekatannya dengan Snouck Hurgronje dan beberapa penentangan-penentangan terhadap praktek keagaman lokal menjadikan sebagian ulama dinilai kontroversial. Namun di mata Snouck Hurgronje, Sayid Usman adalah ulama pembaru. Bahkan, ketika ia dihantam oleh para ulama karena kedekatannya dengan kolonial Belanda, Snouck tetap membelanya. Sikap Sayyid Usman yang menuai kontroversi dikalangan ulama lain dapat dipaparkan secara singkat di dalam latar belakang ini, guna mengetahui beberapa masalah-masalah agama yang dinilai berbeda sudut pandangnya terhadap ulama lain, terutama kepada masalah perkembangan tasawuf dan tarekat di Nusantara. Ia banyak menulis karya mengenai kerancuan sufi-sufi semu (pseudo). Menurut Sayyid Usman, para sufi kini hanyalah menciptakan bid’ah yang menimbulkan keraguan melalui tarekat-tarekat. Kritikan Sayyid Usman menurut

31 Muhammad Zafar, ‚Islam di Jakarta: Studi Sejarah Islam dan Budaya Betawi‛, (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2001), 164. 32 Ahmad Fadli memberikan informasi berbeda. Sayyid Usman diangkat menjadi Mufti menggantikan Shaykh ‘Abd al-Ghani Bima. Tidak seperti yang diungkap Azra bahwa Shaykh tersebut sebagai pembantu Sayyid Usman. Ahmad Fadli, Ulama Betawi, 80. 33 Muhammad Zafar, Islam di Jakarta, 278. 34 Husnul Aqib Suminto, ‚Islam di Indonesia; Sinkretisme, Pemurnian dan Pembaharuan‛, Studia Islamika, Jakarta, Mo.21, tahun XI, 1985, 161. 35 Muhammad Noupal, ‚Pemikiran keagamaan Sayyid Usman bin Yahya‛, 81.

8

Steenbrink merupakan wujud idealisasi masa lampau,36 yang menyatakan bahwa generasi sufi terdahulu lebih baik dari masa kini. Sedangkan menurut Azra, hal inilah yang menjadi bukti bahwa Sayyid Usman menentang praktek-praktik sufi, terutama tarekat.37 Begitu juga Laffan mengaitkan hal ini sebagai bentuk oposisi Sayyid Usman terhadap tarekat-tarekat yang berkembang saat itu.38 Hal ini semakin dibuktikan dengan kritiknya terhadap ulama tarekat Naqsyabandiyah, salah satu kritik ditujukan kepada Shaykh Isma’il bin Abdullah al- Minangkabawi39 dalam karyanya yang berjudul Jam’u al-tahqi>qa>t fi Aqsah{ah al-‘ani>qah li al-Mutalabbisiqah (Nasehat yang Elok kepada Orang-Orang yang Masuk Tarekat),41 al- Wathi{ari>qat al-S}ufiyyah

36 Lihat Steenbrink, Beberapa Aspek Islam di Indonesia Abad 19 (Bandung: Bulan Bintang, 1984), 185. Lihat pula Muhammad Noupal, ‚Pemikiran keagamaan Sayyid Usman bin Yahya‛, 281. 37 Azyumardi Azra, ‚Hadra@mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora‛, 23. 38 Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial, 86. Laffan, berdasarkan laporan K.F. Holle, menyebutkan bahwa Sayyid Usman juga menentang perlawanan terhadap kolonial di yang disokong oleh pengikut-pengikut tarekat. 39 Mengenai ketokohan dan karya-karya ulama ini, Lihat Wan Shaghir Abdullah, Penyebaran Islam dan Silsilah Ulama Sejagat Dunia Melayu, vol. 11, 43- 56. Menarik untuk dikemukakan bahwa, kritik Sayyid Usman terhadap Shaykh Isma’il Minangkabau mendapat tantangan dari ulama lokal, seperti halnya Tuanku nan Garang. Tokoh yang belum bisa di identifikasi ini, menulis karya bernada berang dan kasar dalam bentuk sya’ir Melayu untuk memojokkan sang Mufti Betawi. Baca Tuanku nan Garang, [ Kepada Usman mengaturkan surat, dengan bahasa Melayu segala ibarat, luas padaku tidak darurat, semoga manfaat dunia akhirat ]. Naskah koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, kode Naskah 104aKFH_30. 40 Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil Betawi, Jam’u al-Tahqiqariq al-‘Adah (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, t.t), 4. 41 Lihat Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil Betawi, al-Nas{i>h{ah al-‘ani

9

(Kepercayaan yang Menyampaikan Segala yang Hak di dalam Ketinggian Tarekat Su>fiyah),42 Ini Boekoe Ketjil buat Mengetahui Arti Tarekat dengan Pendek Bicaranya,43 judul lainnya tentang tarekat, khusus pembahasan tentang Ratib Samma>n yaitu Tanbih al- Ghusman di dalam Perkara Ratib Samma>n. Didalam kitab al-Nas{i>h{ah al-‘anil) dan ilmu tentang syarat dan rukun shalat?; Kedua, apakah guru tarekat atau shaykh tarekat boleh memberikan ijazah kepada semua orang, atau ia memilih murid yang telah cukup melaksanakan kewajiban utamanya (fard{u a’in)?.45 Sayyid Usman merasa perlu menjawab hal tersebut yang merupakan kewajibannya sebagai mufti. Sekali lagi, ia tetap mengkritisi orang yang ingin memasuki dunia tarekat dan orang-orang yang menganut ajaran martabat tujuh. Kritik tersebut didasari karena praktek-pratek pada saat itu masuk dalam kategori bid’ah. Dan menurut analisa Azra dan Laffan, karya-karya ini mencerminkan sikap antipatinya terhadap tarekat.46 Berbeda dengan Muhammad Syamsu AS, ia menyebutkan bahwa pernyataan tentang Sayyid Usman sebagai penentang tarekat merupakan asumsi. Ia mengemukakan bahwa Sayyid Usman belajar tasawuf dan tarekat di Makkah dikarenakan gurunya yakni Sayyid

42 Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil Betawi, al-Wathi{arimi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora‛,24. 45 Sayyid Usman bin Abdullah bin ‘Aqil Betawi, al-Nas{i>h{ah al-‘animi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora‛,86.

10

Ahmad Zaini Dahlan pembawa tarekat Alawiyah.47 Hal ini juga dikuatkan dengan beberapa karyanya yang membahas tentang kajian sufistik. Karya tersebut terbagi menjadi beberapa tema yang dapat dikaitkan dengan tasawuf. Contohnya seperti Najar,48 Jam’u al-Tahqi>qa>t fi Aqsa>m Khawari>q al- ‘Ada>h, Fas`lu al-Khit`a>b fi Baya>n al-S`awat al-Mud`illi>n. Kitab-kitab ini membahas tentang persoalan- persoalan , syari’at, dan menyinggung masalah tarekat. Sayyid Usman menyebutkan pula dibeberapa bagian kitab ini masalah mengenai syarat-syarat orang yang melaksanakan tarekat secara mendalam agar tidak mengalami kekeliruan. Begitu pula dalam karyanya Tanbih al-Gusma ila>ha illa-Allah yang dibaca dalam Ratib Samma>n. Ia menerangkan adab dan tata cara berzikir yang ketika sedang membaca Ratib Samma>n. Dalam karya-karyanya yang lain, Sayyid Usman juga terlihat sebagai penulis sufi, seperti Risalah Dua Ilmu, Ada>b al-Insab al- Minan, Maslak al-Akhyar. Dari beberapa karyanya tersebut diketahui perhatian besar Sayyid Usman terhadap tasawuf, dengan menekankan perbaikan akhlak. Terutama dilihat dalam kitab Risalah Dua Ilmu, Sayyid Usman membagi pengertian ulama menjadi dua macam, yaitu Ulama Dunia dan Ulama Akhirat. Ulama dunia itu tidak ikhlas, materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh, sedangkan ulama akhirat adalah orang yang ikhlas, tawadhu’ yang berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretense apa-apa, lillahi ta’ala, hanya mencari Ridho Allah semata. Ini mungkin menjadi salah satu bagian dari pandangan tasawuf Sayyid Usman yang pada dasarnya masih ada keberpihakan terhadap perbaikan moral dan akhlak. Masih banyak pandangan-pandangan Sayyid Usman yang belum terungkap oleh peneliti lain terutama di bidang tasawuf. Selain kritik terhadap tarekat, Sayyid Usman juga mengkritisi masalah pemurnian darah sayyid,49 didalam bukunya yang berjudul al- Qawa

47 Ahmad Fadli, Ulama Betawi, 83. 48 Sayyid Usman bin Abdullah bin ‘Aqil Betawi, Naja>t al-Akhya>r min al- Injira>r ila al-Ightira>r (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1901). 49 Dibahas dalam Azyumardi Azra, ‚Hadra>mi Scholars in the Malay- Indonesian Diaspora‛, 12.

11

hubungan para suami terhadap kelahiran dan derajat. Didalam buku tersebut, Sayyid Usman menetapkan bahwa seharusnya derajat suami paling sedikitnya sama atau lebih tinggi daripada orang bukan Arab.50 Inilah yang menjadi acuan dan kritikan Sayyid Usman terhadap para sayyid yang banyak menikah bukan dari golongan shari>>>>>aqq bi al-Bas{i>rah fi Ibn al-Mujtari Khabits al-Sari>rah.51 Masih banyak pemikiran Sayyid Usman yang menjadikan ia ulama yang penuh dengan kontoversi. Begitu pula pemikirannya mengenai , didalam karangannya berjudul Manha>j al-Istiqa>mah fi al-Din al- Sala>mah, Sayyid Usman mengkritik secara tajam jihad yang dilakukan oleh masyarakat Banten pada tahun 1888. Jihad tersebut menurutnya hanya sebagai gangguan keamanan, yang akan membawa sengsara bagi umat Islam. Ia juga pernah berpolemik dengan Shaykh Ahmad Khatib al-Minangkabawi tentang ta’addud Jum’at. Perselisihan timbul antara masjid lama (Masjid Agung atau Masjid Sultan) dengan masjid baru (masjid Lawang Kidul). Masjid baru yang dibangun oleh Masagus Haji Abdul Hamid ini juga akan dipakai untuk menunaikan shalat jum’at. Sayyid Usman membela beberapa ulama Palembang yang menolak adanya shalat jum’at di dua masjid dalam satu daerah yang disebut dalam ta’addud Jum’at. Awalnya, keputusan ini merupakan hasil dari musyawarah agama yang dilakukan oleh para ulama Palembang pada waktu itu. Namun, beberapa ulama memperbolehkan untuk melakukan shalat Jum’at di Masjid baru Lawang Kidul dengan mengambil fatwa dari Shaykh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Timbullah perselisihan diantara keduanya bermula dengan kritik terhadap buku Mu>zil al- Awha>n (1894) karya sayyid Usman dan dikritik oleh Shaykh Ahmad Khatib melalui tulisannya S~ulh` al-Jama>’ataini bi Jaw@zi Ta’addud al- Jum’ataini (1894). Kehidupan Sayyid Usman sebagai Mufti Betawi yang kala itu selalu menjadi kontroversi, menjadi kajian menarik dalam penelitian ini terutama kritiknya terhadap tarekat. Kedekatannya dengan kolonial Belanda juga menjadi pembahasan peneliti dikarenakan banyak yang

50 Soedarso Soekarno, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje (Jakarta: INIS, 1993), 49. 51 Sayyid Usman, Qawl al-H{aqq bi al-Basirah fi Ibn al-Mujtari Khabitsi al- Sari

12

menganggap kritik tersebut merupakan pengaruh dari kekuasaan kolonial.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya, penulis hendak meneliti kritik Sayyid Usman bin ‘Aqil bin Abdullah Betawi terhadap tarekat pada abad ke-19 dan 20. Kemudian. Untuk meneliti masalah tersebut akan disebutkan identifikasi masalah. Pertama, sebelum membahas problematika tasawuf Sayyid Usman maupun biografinya, penulis memaparkan dinamika perdebatan tasawuf nusantara sejak abad ke-XVII hingga abad ke-19 dan 20. Hal ini dimaksudkan agar terlihat jelas polemik dan perkembangan tasawuf di nusantara. Kemudian, mengaitkannya dengan masa ketika Sayyid Usman hidup ditengah-tengah masyarakat menjadi seorang Mufti Betawi. Kedua, Sayyid Usman merupakan salah satu ulama Hadrami yang terkemuka pada abad ke-19 dan 20. Pengangkatannya sebagai adviseur honorair voor Arbische Zaken (Penasihat kehormatan untuk urusan Arab) pada masa pemerintahan Kolonial Belanda menjadi posisi yang presticius kala itu. Sebagai penasihat pemerintah, ulama, dan penulis urusan agama, maka timbullah persoalan bagaimana riwayat hidup Sayyid Usman, karir intelektual, karir politik, karya-karyanya dan perlu dipaparkan terutama hubungannya terhadap tiga hal tersebut. Ketiga, polemik dan pergulatan masalah agama dalam kehidupan Sayyid Usman menjadi topik hangat di dalam penulisan ini. Beberapa peneliti sebelumnya menganggap bahwa Sayyid Usman adalah seorang ulama yang antipati terhadap ajaran sufistik. Dengan beberapa karya seperti al-Nas{i>h{ah al-‘ani{ari

13

2. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi di atas, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Pembahasan mengenai Pemikiran dan kritik Sayyid Usman bin Yahya dalam karya-karyanya. Pemikiran ini difokuskan kepada jawaban-jawaban Sayyid Usman ketika umat menanyakan masalah agama yang berkenaan dengan tasawuf dan tarekat, sedangkan kritik ditujukan kepada Pseudosufi dan guru tarekat yang tidak melakukan ajaran tarekat secara benar. b. Fokus permasalahan dari penelitian ini adalah pengaruh kritik Sayyid Usman terhadap dinamika perkembangan tarekat di Nusantara serta respon tokoh tarekat yang dianggap oleh Sayyid Usman menyimpang dari syari’at Islam. 3. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, masalah utama dalam penelitian ini ialah kritik terhadap tarekat: kajian terhadap pemikiran Sayyid Usman bin Yahya. Namun, untuk lebih fokusnya penelitian ini, maka rumusan masalah yang diajukan sebagai berikut: a. Bagaimana kritik Sayyid Usman terhadap tarekat yang berkembang pada abad ke-19 dan 20? b. Bagaimanakah polemik yang terjadi antara Sayyid Usman dengan ulama-ulama yang sezaman mengenai tasawuf dan tarekat? c. Apakah kritik Sayyid Usman memiliki keterkaitan dengan pengaruh pembaruan yang terjadi di Makkah?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak kajian dan penelitian terkait pemikiran ulama-ulama Hadrami, khususnya mengenai Sayyid Usman. Namun, hingga saat ini belum ada kajian khusus terhadap pemikiran tasawufnya dengan berdasarkan karya-karya tulis yang dihasilkannya. Ada beberapa kepustakaan yang relevan dengan pembahasan pada penelitian ini, yang mempunyai kaitan dengan pembahasan Sayyid Usman bin Yahya, diantaranya:

14

Pertama, Azyumardi Azra, ‚Hadra@mi Scholars in the Malay- Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman‛, 1995. Artikel yang dimuat dalam jurnal Studia Islamika ini berbicara mengenai biografi Sayyid Usman, berikut sikap-sikapnya yang dianggap kontroversial, seperti masalah Jihad dan penentangannya terhadap sufi. Dalam jurnal ini, Azra menampilkan pemikiran keagamaan Sayyid Usman secara global menyangkut kritiknya terhadap bid’ah dan tarekat. Ia juga menguraikan kecaman-kecaman Sayyid Usman terhadap kondisi sosial keagamaan masyarakat Indonesia pada masanya. Namun, Azra hanya menampilkan mengenai kritik terhadap tarekat cukup singkat. Deskripsi tentang pemikiran keagamaan Sayyid Usman terutama di bidang tarekat perlu adanya kajian lebih lanjut, disebabkan dalam beberapa karya Sayyid Usman terdapat ajaran-ajaran yang mengandung tasawuf. Kedua, Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-XIX. Buku yang terbit tahun 1984 melalui terbitan Bulan Bintang, membahas tentang posisi politis Sayid Usman sebagai penasihat kehormatan kolonial Belanda serta hubungannya dengan orientalis Indonesianis Snouck Hurgronje. Bahasan mengenai hal ini ditulis dalam satu sub bab. Dalam satu sub bab tersebut, Steenbrink juga berkesimpulan bahwa Sayyid Usman mempunyai sikap yang anti- tarekat dan anti-jihad. Dan disebutkan pula, Sayyid Usman merupakan seorang reformator dalam bidang ibadah. Steenbrink menilai dari karya-karya Sayyid Usman yang memfokuskan pada interpretasi Fiqh dan beberapa persoalan aqidah. Sayangnya, Karel belum melengkapi alasannya mengenai sikap Sayyid Usman yang menurutnya anti- tarekat. Perlu adanya kajian mendalam mengenai dibalik sikap Sayyid Usman yang dinilai menimbulkan banyak kontroversi. Tiga, Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, 2002. Dalam karya ini, Azra mengulang apa yang telah ditulisnya dalam Hadra@mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman (jurnal Studia Islamika, 1995). Buku ini memudahkan peneliti dalam mengulas kembali jurnal yang telah diterbitkan sebelumnya. Namun, sama halnya yang telah dipaparkan dalam jurnal, penjelasan mengenai pandangan Sayyid Usman terhadap tarekat masih cukup singkat. Maka, penelitian ini bermaksud memaparkan secara terperinci kritik Sayyid Usman terhadap masalah-masalah khususnya mengenai tarekat.

15

Empat, Ahmad fadli, Ulama Betawi: Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam abad ke-19 dan 20 (Jakarta: Manhalun Nasyi-in, 2011). Ahmad Fadli dalam edisi terbit tesisnya ini berbicara sepintas mengenai Sayyid Usman berikut sikap anti sufinya. Ahmad Fadli menyimpulkan bahwa Sayyid Usman adalah ulama yang berorientasi pada syari’ah dan mengkritik praktek bid’ah. Tesis ini menyebutkan karya-karya terpopuler yang diproduksi oleh Sayyid Usman. Namun, karena biografi Sayyid Usman ditulis secara ringkas, tesis ini belum menggambarkan bagaimana posisi Sayyid Usman dalam merespon tarekat maupun membahas masalah tasawuf yang termaktub dalam karyanya. Lima, Mastuki HS. Dan M. Ishom El-Saha (eds), Intelektualisme Pesantren, 2006. Mastuki HS. dan M. Ishom El-Saha mengelompokkan beberapa ulama yang terlibat dalam perkembangan pesantren serta menuliskan beberapa biografinya termasuk Sayyid Usman. Buku ini menjelaskan riwayat hidup ulama yang berhasil menyebarkan keilmuannya di Nusantara. Karena berisikan sejumlah biografi ulama- ulama didalamnya, pembahasan mengenai Sayyid Usman juga sangat sedikit. Ranah mengenai tarekat hanya dibahas beberapa paragraf saja. Hal tersebut juga sudah dibahas oleh beberapa peneliti lainnya dalam buku-buku yang telah terbit sebelumnya. Enam, Muhammad Zafar Iqbal, Islam di Jakarta: Studi Sejarah Islam dan Budaya Betawi, 2001. Disertasi ini menelaah tentang perkembangan historis kota Jakarta, pengaruh Islam dalam adat- istiadat Betawi. Tokoh-tokoh yang berperan penting di Batavia juga disebutkan dalam disertasi ini, termasuk Sayyid Usman bin Yahya. Begitupula dengan pembahasan dalam buku sebelumnya, penjelasan mengenai Sayyid Usman hanya menyentuh sejarah intelektual dan karir intelektualnya saja. Tujuh, Muhammad Noupal, Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya: Respon dan Kritik terhadap Kondisi Sosial Keagamaan di Indonesia, 2008. Disertasi ini menampilkan pemikiran keagamaan Sayyid Usman, khususnya melihat pandangan Sayyid Usman terhadap kondisi sosial keagamaan di Indonesia. Pemikiran keagamaan itu di jelaskan dalam 3 bidang keilmuan, yakni bidang akidah, syari’ah, dan tasawuf. Pembahasan mengenai tasawuf dijelaskan pada bab terakhir dan menyinggung sebab-sebab sikap Sayyid Usman yang antipati terhadap tarekat. Namun, disertasi ini menurut peneliti belum menguak pengaruh sikap Sayyid Usman yang sangat concern terhadap

16

tarekat. Perlu adanya kajian yang lebih spesifik dalam satu penelitian utuh pandangan Sayyid Usman terhadap tasawuf dikarenakan ada beberapa karyanya yang belum dikaji serta mengaitkannya dengan dampak kritik Sayyid Usman terhadap tarekat yang berkembang setelahnya.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah utama di atas, maka, penelitian ini bertujuan merekonstruksi kritik Sayyid Usman terhadap tarekat berdasarkan kepada karya-karyanya. Namun demikian, penelitian ini secara rinci mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Mengeksplorasi beberapa kritik Sayyid Usman terhadap tarekat yang berkembang pada abad ke-19 dan 20. 2. Menguraikan perbedaan pemahaman antara Sayyid Usman dan ulama-ulama lain di zamannya mengenai tasawuf dan tarekat. 3. Mengetahui dampak kritik Sayyid Usman terhadap dinamika perkembangan tarekat setelahnya.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Menambah khazanah studi mengenai tokoh ulama Nusantara, terutama mengenai pemikirannya di bidang tasawuf yang selama ini belum mendaat perhatian secara serius dikalangan akademik. 2. Menjadi salah satu bahan rujukan bagi semua pihak yang mempunyai kepentingan dengan kajian terhadap dinamika pemikiran tasawuf di Nusantara, terutama terkait dengan tokohnya Sayyid Usman.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian Kajian ini menganalisis tasawuf Sayyid Usman bin Yahya melalui karya-karya baik yang diterbitkan maupun dalam bentuk manuskrip. Selain itu, dipaparkan pula setting dan latar sosial keagamaan islam

17

Nusantara dan Batavia. Kajian ini termasuk dalam kategori penelitian sejarah sosial dan intelektual. Menurut Kuntowijoyo, sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu, yaitu rekonstruksi apa yang telah dipikirkan, dikerjakan, dikatakan, dirasakan, dan dialami oleh orang. Namun, perlu ditegaskan bahwa membangun kembali masa lalu bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri.52 Sejarah mempunyai arti penting untuk masa kini dan masa yang akan datang. Sejarah sosial yang terdapat dalam penelitian ini meneliti aspek kehidupan yang menekankan kepada kajian atau analisis terhadap faktor-faktor bahkan ranah sosial yang mempengaruhi terjadinya sebuah peristiwa sejarah. Sejarah sosial disebut juga sejarah mengenai gerakan-gerakan sosial (social movement) yang berkembang dalam sejarah, dan terkadang diartikan sebagai sejumlah aktivitas manusia seperti kebiasaan (manners), adat istiadat (customs) dan kehidupan sehari-hari (everyday life).53 Kemudian, sejarah sosial mengalami perkembangan yang sangat luas. Menurut Azra, sejarah sosial berkembang meliputi beberapa bidang antara lain demografi dan kinship, kajian masyarakat perkotaan (urban), kelompok-kelompok dan kelas sosial, sejarah mentalitas atau kesadaran kolektif, transformasi masyarakat, misalnya akibat industrialisasi dan modernisasi, gerakan sosial atau fenomena protes sosial, sejarah pendidikan, tradisi keilmuan, ilmu dan kekuatan (knowledge and power) serta diskursus (wacana) intelektual.54 Jadi, sejarah sosial menjadi induk dari sejarah intelektual. Sejarah intelektual disebut sebagai sejarah pemikiran (history of thought) atau sejarah ide (history of ideas). Menurut Crane Brinton, sejarah intelektual mencoba mencari kembali dan memahami terhadap penyebaran karya pemimpin kebudayaan. Sejarah intelektual juga mencoba memahami hubungan antara ide tertentu pada satu pihak dan dipihak lain ‚kecenderungan‛ (drives) dan ‚kepentingan‛ (interest), serta faktor-faktor non-intelektual pada umumnya, dalam sosiologi

52 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), 17. 53 Azyumardi Azra, ‚Historiografi Islam Indonesia Antara Sejarah Sosial, Sejarah Total dan Sejarah Pinggiran‛, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Menjadi Indonesia (Bandung: Mizan, 2006), 5-6. 54 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2002), 82

18

perorangan dan masyarakat.55 Jadi, penelitian ini terfokus kepada kritik Sayyid Usman dibidang ilmu tasawuf yang didalamnya mengandung polemik, penolakan dan solusi tasawuf yang ingin disebarluaskan oleh Sayyid Usman.

2. Sifat Penelitian Penelitian yang penulis ajukan termasuk penelitian kepustakaan (library research), maka dalam penelitian ini digunakan sumber-sumber atau data-data kepustakaan yang memiliki kaitan langsung dengan masalah yang sedang diteliti. Adapun langkah kerja yang dilakukan adalah: Pertama, Mengumpulkan buku-buku asli karangan Sayyid Usman dan kumpulan biografinya, baik yang masih dalam bentuk manuskrip maupun yang telah dicetak, seperti al-Nas{i>h{ah al-‘ani{ari

55 Lihat Crane Brinton, Sejarah Intelektual, dalam Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomiharjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif (Jakarta: Yayasan ilmu-ilmu Sosial, LEKNAS LIPI dan Gramedia, 1985), 201. 56 Sayyid Usman bin Abdullah bin ‘Aqil Betawi, Naja>t al-Akhya>r min al- Injira>r ila al-Ightira>r (Batavia: Percetakan Sayyid Usman), 1901.

19

Republik Indonesia (ANRI), dan beberapa yang masih tersimpan dengan baik dalam koleksi keturunan Sayyid Usman. b. Sumber Data Sekunder Selain dari karya-karya tersebut, penulis juga memasukkan tulisan dari Snouck Hurgronje dan beberapa peneliti lain mengenai Sayyid Usman, atau sumber lain yang relevan dengan penelitian ini.

3. Langkah-Langkah Penelitian a. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data dipergunakan teknik dokumenter atau collecting document. Teknik dokumenter digunakan untuk menelusuri tulisan Sayyid Usman yang telah terpublikasi atau tidak, seperti catatan pribadi/harian, catatan pengajian, dan sebagainya. b. Analisis Data Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara deskriptif analitis. Cara yang digunakan melalui langkah-langkah, yaitu mendeskripsikan masalah-masalah penting yang berkaitan dengan pemikiran, ajaran, dan praktek tasawuf Sayyid Usman. Contohnya: dasar pemikiran, pengertian tasawuf, fungsi praktis tasawuf, unsur utama dalam tasawuf, motivasi melakukan ibadah, ajaran tentang wirid dan zikir, dan lainnya. Langkah berikutnya, dilakukan analisis terhadap pemikiran dan ajaran penting tersebut. Dalam analisis ini, juga digunakan analisis kritis dan komparatif. Analisis kritis digunakan untuk menilai dan mengkritisi pemikiran dan ajaran tasawuf Sayyid Usman dari segi kelebihan dan kekurangannya. Selanjutnya, analisis komparatif dipakai untuk membandingkan pemikiran Sayyid Usman dengan tokoh-tokoh sufi lainnya, sehingga dari analisis tersebut dapat ditemukan jawaban dari masalah yang ditemukan jawaban dari masalah yang diteliti, yaitu kritik Sayyid Usman terhadap sufisme yang spekulatif atau pseudosufi.

4. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis sosiologis. Pendekatan sejarah membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar

20

belakang dan pelaku peristiwa.57 Pendekatan ini digunakan mengingat material penelitian berkaitan dengan pemikiran seorang tokoh melalui karya-karyanya di masa lalu, dengan melihat situasi dan kondisi historis sosiologis yang melatarbelakangi kehidupannya. Pendekatan sosiologis terhadap agama tidak hanya memberikan pendekatan perhatian, terdapat depensi keyakinan dan komunitas keagamaan terhadap kekuatan dan proses sosial, tetapi juga kekuatan penggerak organisasi dan doktrin keagamaan dalam dunia sosial, termasuk pada bentuk dan karakteristik yang khas dari dunia kehidupan yang dimunculkan oleh komunitas-komunitas religious, baik dalam masyarakat primitif maupun modern.58 Pendekatan ini dipakai, dalam rangka untuk menggali data yang terkait langsung dengan perkembangan sosio-politik, yakni perkembangan kekuasaan, pemikiran dan aliran yang berkembang di nusantara pada umumnya. Dari perkembangan sosio-politik itulah, diharapkan dapat mempertajam penelitian ini, sehingga ditemukan kritik Sayyid Usman terhadap tarekat abad ke-19 dan 20.

G. Sistematika Penulisan Tesis ini tediri dari enam bab yang tesusun dalam sistematika penulisan, rinciannya adalah sebagai berikut: o Pada bab ini dijelaskan latar belakang diangkatnya Sayyid Usman sebagai objek penelitian. Selain itu, pada bab ini dijelaskan rumusan masalah, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. o Bab kedua berisi penjelasan tentang dinamika tasawuf yang berkembang di Nusantara. Pada bab ini arah kajian terpusat pada dinamika perkembangan tasawuf abad XIX dan XX di Haramayn dan Nusantara. Pokok pembahasan inti adalah pertama mendiskripsikan permulaan tasawuf yang berkembang di Haramayn dan membentuk jaringan ulama dengan para murid dari Nusantara. Kedua, menjelaskan transmisi ajaran

57 Imam Prayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 66. 58 Michael Northcott, ‚Sociological Aproaches‛, dalam Peter Connoly (editor), Approaches to Study of Religion, (London: Cassel, 1999), 194.

21

tarekat dari Haramayn ke Nusantara, sehingga terlihat titik temu antara tarekat di Haramayn dan Nusantara. Ketiga, membahas polemik antara pendukung tarekat dengan pihak oposisi yang mengutamakan syari’at terlebih dahulu sebelum memasuki tingkatan-tingkatan dalam tasawuf. Keseluruhan bab ini, berguna untuk melihat latar belakang peristiwa dan perdebatan akademik yang berkenaan dengan tasawuf abad XVII hingga tasawuf yang berkembang di masa hidupnya Sayyid Usman. o Bab ketiga berisi ketokohan dan karya-karya Sayyid Usman, mencakup biografi Sayyid Usman dan latar sosial abad XIX. Latar sosial difokuskan di Batavia, guna melihat secara dekat kehidupan keagamaan selama Sayyid Usman menetap didaerah tersebut. Dalam bab ini disebutkan pula ketokohan Sayyid Usman sebagai Mufti Betawi dan Penasihat Kehormatan Belanda, serta membahas mengenai karya-karya Sayyid Usman yang terkenal baik berupa jawaban hukum Islam yang diajukan oleh masyarakat, maupun kritik-kritik tajam terhadap tarekat yang berkembang pada masa hidupnya. o Bab keempat berisi tentang kondisi gerakan tarekat pada masa kolonial dan menganalisa pemikiran Sayyid Usman bin Yahya. Untuk melihat kondisi tarekat, akan dibahas tentang dinamika gerakan tarekat masa kolonial, peranan tarekat Naqsyabandiyah abad ke-19. Begitupula disampaikan mengenai kritik Sayyid Usman terhadap tarekat salah satunya kritik terhadap mursyid, kritik ini dipaparkan dalam sub bab tentang polemik Sayyid Usman dengan Shaykh Ismail Minangkabau. Pada bab ini, penulis menambahkan analisis pemikiran Sayyid Usman terhadap tarekat. o Bab kelima berisi analisis terhadap pengaruh kritik Sayyid Usman terhadap dinamika perkembangan tarekat di Nusantara. Menjelaskan hubungan sayyid Usman dengan pemerintah kolonial Belanda. Kemudian, membahas polemik Sayyid Usman dan respon tokoh tarekat setelahnya. Untuk mengelaborasi pengaruh kritik Sayyid Usman, dibahas pula dampak kritiknya di lingkungan hidup Sayyid Usman yakni di lingkungan masyarakat Betawi. o Bab keenam berisi penutup, mencakup kesimpulan penelitian dan saran-saran.

22