PERAN ULAMA SELAKU PEWARIS NABI DALAM KONTESTASI PEMILU- PILPRES TAHUN 2019 DI INDONESIA (Sebuah Kajian Living Hadis)
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
DOI: http://10.0.121.251/osf.io/r5chk PERAN ULAMA SELAKU PEWARIS NABI DALAM KONTESTASI PEMILU- PILPRES TAHUN 2019 DI INDONESIA (Sebuah Kajian Living Hadis) Abdul Muiz Amir Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, Indonesia [email protected] ABSTRACT This study aims to find a power relation as a discourse played by the clerics as the Prophet's heir in the contestation of political event in the (the elections) of 2019 in Indonesia. The method used is qualitative based on the critical teory paradigm. Data gathered through literary studies were later analyzed based on Michel Foucault's genealogy-structuralism based on historical archival data. The findings show that, (1) The involvement of scholars in the Pemilu-Pilpres 2019 was triggered by a religious issue that has been through online social media against the anti-Islamic political system, pro communism and liberalism. Consequently create two strongholds from the scholars, namely the pro stronghold of the issue pioneered by the GNPF-Ulama, and the fortress that dismissed the issue as part of the political intrigue pioneered by Ormas NU; (2) genealogically the role of scholars from time to time underwent transformation. At first the Ulama played his role as well as Umara, then shifted also agent of control to bring the dynamization between the issue of religion and state, to transform into motivator and mediator in the face of various issues Practical politic event, especially at Pemilu-Pilpres 2019. Discussion of the role of Ulama in the end resulted in a reduction of the role of Ulama as the heir of the prophet, from the agent Uswatun Hasanah and Rahmatan lil-' ālamīn as a people, now shifted into an agent that can trigger the division of the people. Keywords: The Role of Ulama, Heir of The Prophet, Pemilu-Pilpres 2019. ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk menemukan relasi kuasa sebagai sebuah diskursus yang diperankan oleh ulama selaku pewaris Nabi dalam kontestasi perhelatan politik pada Pemilu- Pilpres 2019 di Indonesia. Metode yang digunakan adalah kualitatif yang berbasis pada paradigma critical teory. Data dikumpulkan melalui kajian literatur kemudian dianalisis berdasarkan teori genealogi-strukturalisme Michel Foucault yang berbasis pada data arsip historis. Hasil temuan menunjukkan bahwa, (1) keterlibatan Ulama dalam perhelatan Pemilu-Pilpres 2019 dipicu oleh isu agama yang bekembang melaui media sosial online terhadap sistem politik anti Islam, pro komunisme dan liberalisme. Akibatnya meciptakan dua kubu dari kalangan Ulama, yaitu kubu yang pro terhadap isu tersebut yang dipelopori oleh GNPF-Ulama, dan kubu yang menepis isu tersebut sebagai bagian dari intrik politik yang dipelopori oleh Ormas NU; (2) secara genealogi peran Ulama dari masa ke masa mengalami transformasi. Pada awalnya Ulama memainkan perannya sekaligus Umara, lalu kemudian bergeser menajadi agen of control untuk menghadirkan dinamisasi antara persoalan Agama dan Negara, hingga bertransformasi menjadi motivator dan mediator dalam menghadapi berbagai isu perhelatan politik praktis, khusunya pada Pemili-Pilpres 2019. Diskursus peran Ulama pada akhirnya menimbulkan reduksi terhadap peran Ulama sebagai pewaris Nabi, dari sosok agen uswatun hasanah dan rahmatan lil-‘ālamīn selaku pemersatu umat, kini bergeser menjadi agen yang dapat memicu perpecahan umat. Kata Kunci: Peran Ulama, Pewaris Nabi, Pemilu-Pilpres 2019. A. Pendahuluan Perhelatan kontestasi politik melalui Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia pada tahun 2019 didominasi oleh isu agama, sehingga masing-masing kubu Calon Presiden (Capres) menggunakan strategi pendekatan diplomasi kepada Ulama demi meraih dukungan dari masyarakat Muslim. Dukungan Ulama tersebut terakomodasi melalui beberapa Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam di Indonesia, di antaranya Nahdlatul Ulama’ (NU), Front Pembela Islam (FPI), Persatuan Alumni (PA) 212, dan lain sebagainya. Strategi tersebut merupakan hal yang lumrah, mengingat penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Terlebih strategi yang sama telah terbukti dapat memenangkan Anis Baswedan- Sandiaga Uno sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada perhelatan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) tahun 2017 yang silam.1 Berdasarkan pemaparan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) oleh Denny JA., yang merilis tentang pemetaan dukungan Ormas Islam pada Pilpres 2019 yang menunjukan bahwa, Pasangan Calon (Paslon) Capres Jokowi-Makruf lebih banyak mendapatkan dukungan dari Ormas Islam NU. Sedangkan Paslon Capres Prabowo-Sandiaga lebih banyak mendapatkan dukungan dari Ormas Islam Muhammadiyah, FPI, dan Persatuan Alumni (PA) 212. Bila elektabilitas kedua Paslon di kalkulasi berdasarkan persentase perolehan dukungan melalui Ormas-ormas tersebut, maka Paslon Jokowi-Makruf lebih unggul dengan perolehan sekitar 56,8-63,2%, sedangkan Paslon Prabowo-Sandi hanya mendapatkan perolehan sekitar 36,8-43,2%.2 Polemik keterlibatan Ulama dalam perhelatan politik di Indonesia menuai berbagai tanggapan dari para cendekiawan muslim, di antaranya Kiswanto (2010), mengungkapkan bahwa peran dalam ranah politik praktis dapat berimpikasi pada memudarnya karismatik mereka selaku uswatun hasanah (figur teladan yang baik), sebab kontestasi politik tentu 1Muhamad Mustaqim, “Ulama, Agama, Dan Politik,” Detiknews.Com, last modified 2018, accessed May 18, 2019, https://news.detik.com/kolom/d-4155900/ulama-agama-dan-politik. 2Fauziah Mursid and Andri Saubani, “Peta Dukungan Ormas Islam Di Pilpres 2019 Menurut Survei LSI,” Republika.Co.Id, last modified 2019, accessed May 12, 2019, https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/ppbvl9409/peta-dukungan-ormas-islam-di-pilpres- 2019-menurut-survei-lsi. 1 akan mengakibatkan terjadinya konflik politik.3 Selain itu Malik (2014), juga menilai bahwa keterlibatan Ulama dalam ranah politik praktis hanyalah dimanfaatkan sebagai instrumen untuk mendongkrak elektabilitas politik identitas tertentu. Sehinga akan berimplikasi pada nilai-nilai agama yang semakin dangkal dan parsial.4 Belum lagi Keterlibatan Ulama dalam ranah politik praktis akan diperhadapkan pada layak atau tidaknya secara kompetensi keilmuan dan pengalaman praksis seorang Ulama, utamanya ketika mereka memainkan strategi politik yang penuh dengan intrik. Kekhawatiran tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Ma’arif (2012), bahwa sulit untuk menemukan pribadi Muslim yang kompeten secara psiko-religio-kultural yang dapat bersikap dan berprilaku secara relijius, objektif, dan realistik, utamanya dalam menghadapi kontestasi politik yang sarat kepentingan pragmatis. Kecuali bila mereka memiliki kualitas yang terdidik dan mumpuni.5 Bila merujuk pada sejarah, fenomena keterlibatan Ulama dalam perhelatan politik bukanlah hal yang baru, sebab peristiwa serupa telah terjadi sejak masa awal pemerintahan umat Islam. pada masa Rasulullah misalnya, ditemukan riwayat yang menyebutkan tentang beberapa Sahabat yang melakukan lobi-lobi diplomasi untuk mendapatkan jabatan struktural politik kepada Rasulullah saw. Namun Rasulullah dengan tegas menolak permohonan tersebut. Hal itu dapat dilihat melalui beberapa riwayat hadis, salah satunya hadis yang diriwayatkan oleh Abū Dzar Al-Ghifārī sebagai berikut: َع ْن أَبِي ذَ ٍّ ر، َقا َل: "قُ ْل ُت: يَا َرسُو َل هللاِ، أَ ََل تَ ْستَ ْع ِملُنِي؟ َقا َل: فَ َض َر َب بِيَ ِد ِه َع َلى َم ْن ِكبِي، ثُ َّم َقا َل: »يَا أَبَا ذَ ٍّ ر، إِ َّن َك َض ِعي ٌف، َوإِ َّن َها أَ َما َنةُ، َوإِ َّن َها يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة ِخ ْز ٌي َو َندَا َمةٌ، إِ ََّل َم ْن أَ َخذَ َها بِ َح ِ ق َها، َوأَدَّى الَّ ِذي َع َل ْي ِه فِي َها ".6 (Di riwayatkan dari Abū Dzar Al-Ghifārī berkata: Saya berkata: Wahai Rasulallah tidak Engkau memberikan aku jabatan?, Rasulullah bersabda sembari menepuk pundakku dengan tangannya “Wahai Aba Dzar, engkau adalah seorang yang lemah, sementara jabatan itu adalah amanah. Dan ketika hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagimu, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan apa yang semestinya ia tunaikan dalam kepemimpinannya.”). Hadis terebut di atas bukanlah dalil yang menandakan bahwa Ulama tidak dibolehkan terlibat dalam perhelatan politik. Sebab Rasulullah sendiri selain sebagai 3Heri Kiswanto, Gagalnya Peran Politik Kiai Dalam Mengatasi Krisis Multidimenasional (Yogyakarta: LKIS, 1995). 132. 4Abdul Malik and Ariyandi Batubara, “Commodification in Political Activities in Seberang Kota Jambi,” Kontekstualita, 29, no. 2 (2014): 99–114. 5Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas Dan Masa Depan Pluralisme Kita, ed. Husni Mubarok, Digital. (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2012). 9-10. 6Muslim bin Hajjāj Al-Nisāburī, Shahīh Muslim, ed. Muhammad Fuad Abd Al-Baqi (Beirut: Dar Al- Ihyā’ Al-Turats, n.d.). Jilid 3, 1457. 2 pemimpin spritual Agama, Rasulullah juga memerankan perannya sebagai pemimpin Negara. Demikian pula para Sahabatnya (Khulafā’ Al-Rāsyidīn). Bahkan Rasulullah telah suskses menunjukan kepiawaiannya selaku Agamawan sekaligus Negarawan. Oleh karena itu hadis tersebut hanya ingin menegaskan bahwa pra-syarat seorang pemimpin tidak hanya cukup dengan berdasarkan karakteristik kesalehan relijius semata, melainkan seorang pemimpin atau yang terlibat dalam urusan politik haruslah memiliki kompetensi yang mapan dalam hal ilmu manajemen pemerintahan dan ketata negaraan. Terlebih Ulama memiliki beban moral selaku pewaris Nabi yang bertujuan untuk menebar nilai-nilai ajaran Islam yang rahmatan lil-‘ālamīn (kedamaian terhadap semesta alam), sebagaimana yang telah berhasil dicontohkan oleh Rasulullah. Peran Ulama sebagai pewaris