Pendidikan Dan Perkembangan Sosial Kemasyarakatan (Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie)

UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4 Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Pembatasan Pelindungan Pasal 26 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap: i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual; ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan; iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar; dan iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran. Sanksi Pelanggaran Pasal 113 1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). 2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pendidikan Pesantren Dan Perkembangan Sosial-Kemasyarakatan (Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie)

Hasbi Indra

PENDIDIKAN PESANTREN DAN PERKEMBANGAN SOSIAL- KEMASYARAKATAN (STUDI ATAS PEMIKIRAN K.H. ABDULLAH SYAFI’IE)

Hasbi Indra

Editor : Dr.Hj.Imas Kania Rahman, P.Pdi Proofreader : Nama Desain Cover : Nama Tata Letak Isi : Tia Dwijayanti Sumber Gambar : Sumber

Cetakan Pertama: Januari 2018

Hak Cipta 2017, Pada Penulis Isi diluar tanggung jawab percetakan Copyright © 2017 by Deepublish Publisher All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA) Anggota IKAPI (076/DIY/2012) Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581 Telp/Faks: (0274) 4533427 Website: www.deepublish.co.id www.penerbitdeepublish.com E-mail: [email protected]

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

INDRA, Hasbi Pendidikan Pesantren dan Perkembangan Sosial-Kemasyarakatan (Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie)/oleh Hasbi Indra.--Ed.1, Cet. 1--Yogyakarta: Deepublish, Januari-2018. xii, 249 hlm.; Uk:17.5x25 cm

ISBN 978-Nomor ISBN

1. Klasifikasi Buku I. Judul No.DDC

PEDOMAN TRANSLITERASI

ك = k ض = dl د = D ا = a

ل = l ط = th ذ = Dz ب = b

م = m ظ = zh ر = R ت = t

ن = n ع = , ز = Z ث = ts

و = w غ = gh س = S ج = j

هـ = h ف = f ش = Sy ح = h

ي = y ق = q ص = Sh خ = kh

Ãã = Panjang أَ وْ = Aw

Ĩĩ = Panjang أُ وْ = Uw

Ũũ = Panjang أَْ يْ = Ay

إِ يْ = Iy

v

CATATAN EDITOR

Pesantren lembaga pendidikan yang tidak asing lagi di telinga ummat sebagai lembaga pendidikan yang telah berperan di tengah bangsa. Lembaga yang lahir jauh sebelum mardeka. Kelahirannya dalam pandangan ilmuan muslim telah eksis berabad silang yang didirikan dan dikembangkan oleh Walisongo, penyebar Islam yang berhasil di Nusantara dengan penyebaran yang persuasif dan damai. Lembaga pendidian ini kemudian mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Pesantren awalnya berbentuk Salafiyah berkembang menjadi Pesantren Moderen dan Pesanren Kombinasi. Pesantren Salafiyah santrinya belajar ilmu agama melalui kitab-kitab klasik; pesantren modern santrinya belajar ilmu agama dan non agama melalui kitab-kitab post klasik, lalu pesantren kombinasi di dalamnya didirikan sekolah formal, belajar agama melaluik kitab klasik setelah mereka belajar di sekolah formal di waktu sore atau malam hari. Pesantren melalui tuntutan zaman selalu mengalami perubahan, apakah itu zaman pertanian, zaman industri dan zaman yang maju sekarang ini. Suatu zaman di mana manusia sebelumnya lebih banyak mengunakan otot, kemudian beralih lebih banyak menggunkan otak, dari zaman yang serba lambat berubah menjadi serba cepat. Untuk menunjang hidupnya lebih banyak mengandalkan kekuatan di luar dirinya, lalu beralih mengandalkan potensi dirinya. Perubahan- perubahan yang terjadi dalam diri manusia dan bagaimana merespon perkembangan yang ada, inilah yang hendak di bangun di pendidikan pesantren. Pendidikan pesantren yang terletak di merupakan produk seorang tokoh yang dalam hal ini K.H. Abdullah Syafi’ie, seperti pesantren pada umumnya memiliki beberapa elemen yang menandainya yang menurut Zamakhsyari Dhohir (Tradisi Pesantren, LP3ES, 1985) – pertama, pondok, kedua, mesjid, ketiga, santri, dan keempat, . Kyai sebagai motor dan menentukan eksistensi pesantren dalam perkembangannya. Sang kyai sebagai tokoh sentral terkadang menentukan hidup- matinya sebuah pesantren, apabila sang tokoh dipanggil oleh Tuhan

vi

atau wafat, atau sang kyai beralih profesi lain menggeluti dunia politik misalnya akan mempengaruhi kualitas serta eksistensi pesantren tersebut di tengah masyarakat. Tidak jarang pula, kematian sang kyai membawa pula “kematian” bagi lembaga pesantren yang didirikannya. Biasanya Dunia politik dunia yang tidak sepenuhnya bagian dari dunia pengabdian sering orang tergoda hanya untuk memenuhi ambisi kekuasaan atau cenderung mengejar hal-hal yang bersifat material dan jauh dari ketulusan yang sejati. Buku Hasbi ini membahas tentang dunia pesantren melalui pemikiran seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren besar di Jakarta, sang tokoh yakni K.H. Abdullah Syafi’ie. Ketokohannya terbentuk setelah melalui pergaulan intelektualnya yang kompleks dan melalui berbagai peran yang dimainkannya selama ia berkiprah di masyarakat. Melalui gerak langkah yang bukan hanya berbicara dari satu podium ke podium yang lain, tetapi, ia melakukan gerak langkah nyata dari apa yang dia katakan tentang pentingnya beragama, tentang pentingnya memiliki ilmu dalam kehidupan, pentingnya membuat manusia sadar dalam beragama dan memiliki kesadaran untuk ikut memperbaiki masyarakatnya. Ia menghadirkan lembaga- lembaga pendidikan Islam – yang bernama Perguruan Islam Asy- Syafi’iyah, sejak dari TK hingga PT – melalui pergaulananya serta pengalamannya baik di dalam negeri maupun luar negeri menjadi perbandingan baginya bahwa pendidikan yang dia lihat yang beraneka ragam memberi pengaruh kepadanya dalam merespon berbagai perkembangan masyarakat yang ada. Hasbi Indra, penulis buku ini, mencoba menelaah berbagai elemen pemikiran tokoh masyarakat Betawi ini ke dalam sebuah buku yang diangkat dari disertasi doktornya yang ber judul, “Pemikiran K.H. Adullah Syafi’ie tentang Pendidikan Pesantren dan Praksinya,” yang ia beri judul Pendidikan Pesantren dan Perkembangan Sosial Kemasyarakatan (Studi atas Pemikiran K.H. Adullah Syafi’ie) Studi yang menggambarkan tentang pemikiran tokoh besar yang telah bergelut degan dunia pendidikan pesantren. K.H. Abdullah Syafi’ie dalam buku ini dipotret kiprah pemikirannya di bidang pendidikan, dakwah, maupun politik. Lebih jauh buku ini ingin melihat seberapa jauh kyai besar yang pernah dimiliki masyarakat Betawi ini mendirikan pendidikan pesantrennya

vii

telah merespon zamannya mungkin masih relevan saat ini. Melalui kiprahnya pula ia memperoleh kehormatan dari masyarakatnya sebagai “-intelektual” – ia sebagai ulama menjaga masyarakatnya dengan ajaran agama yang ia sampaikan di masjid, di radio atau di forum lainnya di Jakarta dan daerah lainnya. Jakarta sebagai kota metropolitan di mana ia berkiprah memang menyimpan banyak masalah, mulai dari persoalan pergaulan bebas, pelacuran, narkoba, korupsi, perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan, sampai persoalan selera hidup yang materialistis dan hedonistis. Semua agenda sosial yang bertali-temali itu, seolah menggugah kesadaran intelektualnya untuk berbuat. Karena itu, kehadirannya di bumi Jakarta yang kompleks, terasa relevan untuk ukuran zamannya. Respons intelektual yang diberikan untuk mengatasi persoalan sosial kemasyarakatan Jakarta di atas ia mendirikan institusi dakwah dan pendidikan. Pendidikan pesantren yang berbentuk Pesantren Salafiyah dan Kombinasi menjadi trade mark pesantren pada masanya. Hanya saja di Pesantrennya ia sentuh dengan modernisasi dimana santrinya juga belajar ilmu non agama dan juga keterampilan yang masih langka di pesantren jenis tersebut pada masanya. Selain itu di bidang pendidikan yang lainnya, ia bangun dalam bentuk Perguruan Islam Asy-Syafi’iyah di Jatiwaringin-Pondok Gede, Jakarta Timur merupakan lembaga pendidikan yang cukup raksasa pada masanya. Pemikirannya berkaitan dengan tujuan pendidikan pesatrennya untuk ukuran zamannya, justru sangat progresif dan responsif. Rumusan itu lain berbunyi, “ingin menciptakan kader ulama dan zu’ama Islam, pewaris bumi tercinta di masa mendatang.” Atau, dalam ungkapan Hasbi, ia bermaksud, membentuk manusia yang memiliki kualifikasi ulama plus, seseorang yang benar-benar menguasai ilmu agama sekaligus menguasai ilmu umum. Suatu gagasan yang baru populer di era 80-an, tetapi telah difikirkan oleh K.H. Abdullah Syafi’ie di tahun 60-70an, di samping santri memiliki keterampilan untuk menjalani kehidupannya. Demikian pula dalam kaitan pemikirannya dengan materi pendidikan, metode pendidikan, pendidik, anak didik serta lembaga pendidikannya telah memberi respon yang maju pada masanya.

viii

Dinamika kehidupan kota Jakarta yang kompleks ia respon dengan lembaga pendidikan dengan berbagai type pesantrennya untuk mencetak anak didik yang siap hidup di tengah masyarakat metropolitan dengan segenap masalahnya, ia hadirkan lembaga pendidikan yang tetap berkompromi dengan tuntutan yang ada, tetapi tetap membawa misi para nabi dan kokoh mempertahankannya. Waallahu a’lam

Bogor, 4 Desember 2017

Dr.Hj. Imas Kania Rahman, M.Pd.I

ix

KATA PENGANTAR

BUKU yang berasal dari disertasi doktor saya di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Buku yang diberi judul, Pendidikan Pesantren dan Perkembangan Sosial-Kemasyarakatan (Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie) melalui penelahan yang cukup lama dan mendalam perlu dicetak dan diketahui oleh masyarakat muslim untuk mengetahui tentang pendidikan pesantren dan perkembangan sosial-kemasyarakatan yang melingkarinya dari prespektif KH. Abdullah syafi’ie. Sebagaimana diketahui bahwa tokoh yang sedang menjadi bahasan buku ini, sudah dikenal luas oleh masyarakat Islam, terutama masyarakat Islam Jakarta dan sekitarnya. Karenanya, untuk menjelaskan peranannya, diperlukan data yang tidak saja komprehensif dan akurat, tetapi juga realistis dan faktual. Sebab, ia hidup dan dibesarkan bersama-sama dengan lingkungan yang kini menyaksikan kebesaran lembaga-lembaga yang menjadi buah tangannya itu. Latar belakang dan kehidupannya relatif telah menyatu dengan umat di mana dia pernah berkiprah, datanya yang akurat secara maksimal harus digunakan dan dibutuhkan pula ketelitian dan kehati-hatian dalam penulisannya. Untuk potret kehidupannya dan lainnya, bahannya sudah teruji dalam sidang ujian, juga dari sisi tantangan yang dihadapi dan gambaran berbagai fenomena yang ada dalam buku ini. Misalnya tantangan yang berkaitan dengan wawasan santri yang harus luas dalam menghadapi berbagai masalah yang ternyata sudah diantispasi olehnya di pendidikan pesantrennya apakah berbentuk salafiyah dimana santri tidak hanya mempelajari ilmu agama melalui , tetapi santri juga mempelajari mata pelajaran non agama, juga lebih antispatif terhadap zaman, santrinya diberikan skill atau keterampilan untuk hidupnya di masyarakat. Juga di pesantren kombinasi, para santrinya belajar sekolah formal di pagi hari dan di sore atau malam hari santri belajar ilmu agama melalui kitab kuning dan pula mereka diajarkan skill tertentu. Saya berutang budi kepada para pejabat Kementerian Agama Bapak Sekjen, Dirjen, Direktut, Kasubdit dan lainnya yang memberi

x

dorongan menyelesaikan studi S3. Juga kepada Prof . Dr. , MA dan Prof. Dr. Abuddin Nata, MA selaku pembimbing disertasi yang diterbitkan ini, juga pihak-pihak lainnya, seperti Civitas Akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayallah Jakarta, memiliki peranan yang amat besar dalam membantu meringankan beban penulis selama disertasi ini diproses untuk disidangkan. Oleh karena itu, ucapan terima kasih yang tulus layak disampaikan buat para pimpinannya, dosen, dan staf perguruan tinggi yang telah dengan sabar meladeni kebutuhan-kebutuhan saya ketika menulis disertasi. Boleh jadi, kalau bukan bantuan dan uluran tangan mereka, buku ini tidak lahir dihadapan para pembaca. Juga terima kasih kepada Dr. Hj. Kania Rahman,.M.Pd.I sebagai editor dan pula penerbit Deepublish yang telah berkenan menerbitkan karya ini. Semoga Allah menjadikan bantuan bapak dan ibu menjadi amal yang berpahala dihadapan Allah SWT. Akhirnya, semoga buku ini bermanfaat bagi pengembangkan pendidikan pesantren ke depan dalam kiprahnya mencerdaskan umat, umat selalu membutuhkan perannya dalam ikut membangun bangsa dalam berbagai aspek kehidupannya. Wallahu a’lam

Bogor, 1 Desember 2017

Hasbi Indra

xi

DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI ...... v CATATAN EDITOR ...... vi KATA PENGANTAR ...... x DAFTAR ISI ...... xii BAB I PENDAHULUAN ...... 1 BAB II JAKARTA DI MASA ABDULLAH SYAFI’IE ...... 33 A. Situasi Sosial-Budaya ...... 33 B. Situasi Politik ...... 48 C. Situasi Ekonomi ...... 69 D. Situasi Kehidupan Beragama ...... 77 E. Situasi Pendidikan Islam ...... 94 BAB III POTRET K.H. ABDULLAH SYAFI’IE ...... 129 A. Riwayat Hidup dan Kepribadiannya ...... 129 B. Kiprahnya dalam Perkembangan Islam di Jakarta ...... 159 BAB IV PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PRESPEKTIF K.H. ABDULLAH SYAFI’IE ...... 163 A. Tujuan Pendidikan ...... 164 B. Materi Pendidikan ...... 172 C. Metode Pendidikan/Pengajaran ...... 183 D. Karakteristik Pendidik/ Ustadz ...... 188 E. Perilaku Anak Didik ...... 198 F. Lembaga Pendidikannya ...... 207 BAB V PENUTUP ...... 227 DAFTAR PUSTAKA ...... 233 TENTANG PENULIS ...... 249

xii

BAB I PENDAHULUAN

K.H. ABDULLAH Syafi'ie merupakan salah seorang ulama Betawi dan sekaligus pendidik. Pada masa mudanya ia pernah belajar ilmu agama kepada para ustadz dan para , dan pada masa berikutnya ia tampil sebagai salah seorang ulama dan pendidik yang mendirikan lembaga pendidikan di Jakarta. Ia juga pendiri dan pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan menjadi Ketua Umum MUI Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tahun 1978-1985. Sejak tahun 70-an, ia telah dikenal sebagai seorang da'i. Melalui Radio al-Syafi'iyah, suaranya bergema menyampaikan risalah Allah kepada umat, dan ceramahnya banyak diminati dan didengar oleh penduduk Jakarta. Di masjid yang ia dirikan yaitu Masjid al-Barkah dan di masjid-masjid lainnya, ia mengajarkan pelajaran agama, melalui beberapa kitab kuning, seperti kitab al-Nashaih al-Diniyah, al-Jalalain, Riyadl al-Shalihin dan lainnya.1 Sejak muda ia telah belajar ilmu agama dengan tekun dan didorong oleh ketekunannya pula mengantarkannya mendirikan institusi madrasah diniyah pada tahun 1928, dan sekaligus menjadi pemimpin dan pendidiknya. Kemudian lembaga pendikannya ia kembangkan berbentuk pesantren tradisional, pesantren kombinasi yang diberi nama pesantren putra-putri dan pesantren khusus yatim piatu. Selanjutnya, institusi tersebut berkembang bersama lembaga

1 Lengkapnya nama kitab al-Nashaih al-Diniyah wal Washaya al-Imaniyah. Kitab ini karangan Syeikh Abdullah bin Alwi Al-Hadad, 1 jilid, tanpa tahun, diterbitkan oleh penerbit Thaha Putra Semarang. Kitab ini bernuansa tashawuf, pembahasannya antara lain berkaitan dengan masalah-masalah takwa, keutamaan shalat, puasa, haji, zakat, etika berdzikir, zuhud fi al-dunya. Kemudian, Tafsir al-Jalalain adalah karangan Muhammad bin Mahalli, ia tidak dapat menyelesaikan karangannya karena wafat, dilanjutkan oleh Jalaluddin Abu Bakar al-Suyuthi. Tafsir ini sebanyak 2 jilid, bercorak Tahlili. Adapun Riyadl al-Shalihin, kitab yang berlandaskan hadits, karangan al-Nawawi Abu Zakaria bin Syarf, 2 juz, pembahasannya antara lain tentang akidah, larangan berbuat bid'ah dan khurafat, etika mendo'akan orang sakit, tentang dan lainnya.

1

pendidikan lain dalam bentuk Perguruan Al-Syafi'iyah, hingga akhir hayatnya ia telah memiliki 40 lembaga pendidikan formal, mulai tingkat Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Umum (SMU)/ Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Pesantren, hingga Perguruan Tinggi, dan 19 lembaga da'wah serta 11 lembaga sosial.2 Dari gambaran-gambaran tersebut dapat dimunculkan beberapa pertanyaan. Mengapa Abdullah Syafi'ie, yang pada awalnya mendirikan Madrasah Diniyah, lalu ia kembangkan dalam bentuk pesantren? Lazimnya pendidikan pesantren yang didirikan oleh para kyai atau ulama mengambil bentuk pesantren tradisional/Salafiyah, mengapa pada masanya ia juga mendirikan pesantren yang berbentuk Kombinasi? Selanjutnya, sejauhmanakah keluarga, lingkungan sekitar, pengalaman yang luas, serta interaksinya baik dengan tamunya dari luar negeri maupun sahabat-sahabatnya di dalam negeri telah mempengaruhi pemikiran dan sikapnya? Institusi pendidikan Abdullah Syafi'ie berawal dari Madrasah Diniyah, kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan yang sangat luas. Gerak langkahnya itu, pada masanya, dapat dikatakan bahwa ia sebagai seorang “visioner”. Ia bukan saja sebagai penggagas dan pendiri institusi pendidikan yang luas dan beraneka ragam itu, tetapi ia telah melakukan langkah “visioner” lainnya. Terlepas dari mendesaknya kebutuhan tenaga pengajar di institusi pendidikan yang baru ia dirikan, dia telah melakukan terobosan dengan mempersiapkan para ustadz dan ustadzah, yang ia sebut dengan istilah musaid dan musaidah.3 Sebagaimana telah diketahui bahwa di dunia pendidikan, tenaga pendidik perlu dipersiapkan secara khusus. Dalam khazanah pendidikan Islam di Indonesia, misalnya, ada yang dikenal dengan Pendidikan Guru Agama (PGA), dan ada pula Fakultas Tarbiyah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sengaja didirikan untuk

2 Lihat Utomo Dananjaya, “K.H.Abdullah Syafi'ie—Khadimutthalabah Perguruan Al-Syafi'iyah”, dalam K.H. Abdullah Syafi'ie—Tokoh Kharismatik 1910-1985, (peny.) Tutty Alawiyah, (Jakarta: t.p. 1999), h.13 3 Tutty Alawiyah, “K.H. Abdullah Syafi'ie—Pribadi, Visi dan Derap Perjuangannya”, dalam K.H. Abdullah Syafi'ie—Tokoh Kharismatik 1910-1985, h. 7

2

mempersiapkan tenaga pendidik. Namun, ia sejak awal di institusi pendidikannya secara sederhana telah melakukan hal tersebut. Selain itu, hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh Utomo Dananjaya, mengungkapkan bahwa motto institusi pendidikan Abdullah Syafi'ie adalah khadimutthalabah, yaitu pelayan bagi penuntut ilmu.4Motto ini memiliki makna yang mendalam. Kedalaman maknanya tergambar dalam niat awal didirikan institusi ini. Disebutkan bahwa institusi pendidikan yang dibuatnya adalah tempat “pelayanan” untuk mengembangkan kecerdasan seseorang, betapa pun rendah status sosialnya, namun pintu untuk mengecap dunia pendidikan selalu terbuka lebar bagi mereka. Hal itu tergambar secara jelas terutama dalam bentuk pesantren khusus yatimnya, di lembaga ini memberikan pendidikan kepada anak-anak yang di “tinggal” orang tuanya atau anak-anak yang miskin secara gratis. Inilah sesungguhnya cita-cita ideal dunia pendidikan, yaitu memberikan pelayanan kepada semua orang, tanpa melihat status ekonomi maupun status sosialnya. Hal ini mengesankan bahwa institusi pendidikannya bukan untuk sarana bisnis, yang hanya melayani bagi orang-orang yang mampu sosial ekonominya, tetapi juga bagi orang-orang yang miskin. Visi pendidikannya demikian maju dan sangat sesuai dengan dinamika masyarakat atau sesuai dengan semangat modernisasi masyarakat yang terus berjalan di daerah Jakarta sebagai kota metropolitan. Banyak langkah “visioner” yang dilakukan Abdullah Syafi'ie, namun paling tidak hal-hal tersebut yang membuat penulis tertarik untuk meneliti sosok ini, terutama yang berkaitan dengan visinya. tentang pendidikan pesantren, di mana secara umum para ulama di Tanah Air banyak berkiprah di dalam sistem pendidikan tersebut. Abdullah Syafi'ie lahir dan besar di kota Jakarta. Kota ini disebut dengan nama Jakarta setelah melalui sejarah yang cukup panjang. Kota Jakarta mulanya bernama Jayakarta, suatu nama yang diberikan oleh Sultan Faletehan atau Tubagus Angke (1568-1597). Penamaan Jayakarta ini, konon diinspirasi oleh salah satu Surat di dalam al-Qur'an, yaitu surat al-Fath, Sultan Faletehan memberi nama

4 Lihat Utomo Dananjaya, “K.H. Abdullah Syafi'ie”, h. 13

3

kota ini dengan Jayakarta (kemenangan yang nyata) setelah ia bersama-sama ulama lain memenangkan pertempuran dengan Belanda dan mengusir mereka dari Jayakarta.5 Dengan demikian Sultan Faletehan atau Tubagus Angke sebagai representasi ulama ketika itu telah melakukan peran yang konstruktif. Di masanya Jakarta telah berkembang menjadi kota metropolitan, di mana perubahan besar-besaran telah terjadi di tengah masyarakatnya, sebagai akibat dari pembangunan dan modernisasi.6 Perubahan-perubahan yang terjadi di kota ini bukan saja pada bidang-bidang fisik, seperti munculnya bangunan- bangunan marcusuar, gedung-gedung pencakar langit, tempat- tempat hiburan, tetapi juga terjadi perubahan pada sistem nilai masyarakatnya. Nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan kehidupan beragama mengalami tantangan yang besar dengan munculnya nilai-nilai baru, seperti sikap hidup yang mementingkan diri sendiri (individualism), dan sikap hidup serba boleh (permisivness), serta sikap hidup lainnya serta semakin maraknya dekadensi moral di tengah remaja Jakarta. Maka, seperti juga pada masa-masa awal tegaknya kota Jakarta, para ulama telah menunjukkan perannya, dan pada masa pembangunan ini, para ulama Jakarta telah terpanggil kembali untuk menunjukkan

5 Jakarta, Ibukota Negara RI disebut "Betawi", dari Batavia, abad ke-14 disebut Sunda Kelapa, 1527 oleh Fatahillah diganti menjadi Jayakarta, oleh Belanda diganti menjadi Stad Batavia. Lalu 1905 diganti menjadi Gemeente Batavia, dan 1926 diganti lagi menjadi Stadsgemeente Batavia. Oleh penjajah Jepang 1942 diganti lagi menjadi Jakarta Toktibetsu Shi. Setelah Indonesia merdeka, pada 1945 diberi nama Jakarta. Namun, pada 1949, pemerintah federal mengganti lagi menjadi Stadsgemeente Batavia, dan tanggal 31 Maret 1950 kembali menjadi Kotapraja Jakarta Raya. Kemudian, pada tanggal 18 Januari 1958 kedudukan Jakarta Raya ditetapkan sebagai Daerah Swatantra; dan melalui PP Nomor 2 tahun 1961 Jo. UU Nomor 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah DK1 Jakarta Raya. Pada tanggal 21 Agustus 1964 dengan UU Nomor 10 tahun 1964 dinyatakan DKI Jakarta Raya sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, dengan nama Jakarta. Lihat Pemerintah DKI, Teguh Beriman (Jakarta: Pemerintah DKI, 1997), h. 11. Juga lihat Sagimun, Jakarta Dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, (Jakarta: Dinas Mesium dan Sejarah, 1988), h. 68-75 6 Tentang keharusan modernisasi di Dunia Ketiga, lihat J.W. Schoorl, Modernisasi-Pengantar Sosiologi Pembangunan, (terj.) Soekadijo dari buku Sociologie Der Modernisering, (Jakarta: Gramedia, 1980), h.1

4

perannya baik dalam wujud sebagai mubaligh, da'i, maupun sebagai pendidik yang juga mendirikan institusi pendidikan Islam.7

7 Pentingnya pendidikan Islam telah diisyaratkan melalui ayat yang pertama kali turun yaitu iqra 'yang terdapat dalam surat al-'Alaq. Arti dari ayat-ayatnya yaitu: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, yang mengajarkan manusia dengan perantara Qalam”. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Q.S. al-'Alaq, 1-5). Dari ayat ini dapat diambil beberapa isyarat penting lainnya yaitu tentang empat komponen pendidikan, yaitu pertama, komponen pendidik, yaitu Allah SWT, yang langsung mengajarkan sesuatu kepada Muhammad. Kedua, komponen anak didik, yaitu Muhammad, yang menerima sesuatu dari-Nya. Ketiga, komponen pelajaran atau materi ilmu yang berupa ayat dari surat al- ‘Alaq. Keempat, komponen sarana pendidikan, yaitu malaikat yang menyampaikan sesuatu kepada Muhammad, lihat Abuddin Nata, Konsep Pendidikan Ibnu Sina, (Jakarta: Disertasi S3 IAIN Jakarta, t.p., 1997), h. 2, lihat pula Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan (terj.) Hery Noer Aly dari buku Ushul al-Tarbiyah wa Asalibuha, (Bandung: Diponegoro, 1989), h- 47. Pentingnya pendidikan atau menuntut ilmu dapat pula dilihat dalam ayat lain, yaitu al-Qur'an Surat al-Isra', 17: 19; al-Jumu'ah, 62: 2- at-Taubah, 9: 122; dan al-Nahl, 16: 78). Selain ayat-ayat tersebut dapat pula diambil isyarat pentingnya pendidikan dari terma-terma al-Qur'an yaitu terma 'aqala disebut 1 kali, ta'qilu 24 kali, naqala 1 kali, ya'qilu 1 kali dan ta'qilun 22 kali, kata-kata itu mengandung arti faham atau mengerti. Lihat , Akal dan wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. II, h. 6. Pentingnya pendidikan itu telah pula diperlihatkan oleh Nabi Muhammad. Pada awal perkembangan agama Islam Muhammad mengajarkan al-Qur'an yang dilakukannya di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam, Lihat Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka Husna, 1988), h. 14. Selain itu, pengajaran agama diberikan di masjid, masjid selain sebagai tempat shalat, juga tempat konsultasi dan komunikasi masalah ekonomi-sosial budaya; tempat santunan sosial; tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya; tempat perdamaian dan pengadilan sengketa; tempat menerima tamu; tempat menawan tahanan; dan tempat penerangan dan pembelaan agama, lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1998), cet. VII, h. 462. Selain itu, Nabi Muhammad pada saat memenangkan peperangan sebagai syarat pembebasan tawanan perang adalah mengajarkan baca-tulis kepada kaum Muslimin, lihat Mohd. Syarif Khan, Islamic Education, (New Delhi: Ashis Publising House, 1986), h. 19-20, lihat pula Affandi Mochtar, "The Tawhidic Foundation to The Philosophy of Education", Lektur, STAIN Cirebon, seri IX/2000, h. 30. Selanjutnya, pada masa Khulafa Rasyidun, Shahabat, Tabi'i al-Tabi'in, pengajaran agama selain di masjid, juga di tempat yang biasanya berdekatan dengan masjid, yaitu kuttab dan madrasah, lihat Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam (terj.) Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 33, lihat pula Fazlur Rahman, Islam, (terj.) Ahsin Muhammad dari buku Islam, (Bandung; Pustaka, 1984), h.263-281. Di Indonesia, pendidikan Islam selain di madrasah, juga di pondok pesantren. Di beberapa daerah, seperti Sumatera Barat ia disebut

5

Di masa pembangunan ini, Jayakarta sebagai kota metropolitan, para ulama semakin dituntut perannya, bukan saja sebagai orang yang berperan untuk membentengi masyarakat dengan ajaran-ajaran agama Islam, tetapi juga berperan di dalam bidang-bidang lain, seperti dalam bidang ekonomi, budaya dan pendidikan. Untuk melaksanakan peran-peran yang luas itu, telah muncul para ulama Betawi yang menurut catatan Alwi Shahab, ada kurang lebih 16 orang seperti K.H. Syafi'i Hadzami, K.H- Zainuddin MZ, K.H. Abdurrahman Nawi dan K.H.Abdul Rasyid.8 Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Abdullah Syafi'ie lahir, dan besar di tengah kota metropolitan Jakarta, sebagai kota yang sangat sibuk dengan pembangunan, guna menyetarakan diri dengan kota-kota besar di negara maju. Dampak dari pembangunan yang besar-besaran ini membawa pengaruh buruk, di mana manusia-manusianya semakin sulit mengenal jati dirinya. Berbagai “penyakit” orang modern muncul yaitu seperti hidup mementingkan diri sendiri, melakukan seks bebas dan hidup bersama di luar pernikahan, serta perilaku-perilaku amoral lainnya.9 Sudah lama diketahui bahwa para remaja di kota Jakarta, diduga telah mengalami krisis akhlak luar biasa, seperti perkelahian antar pelajar atau perkelahian antar sekolah. Kondisi ini menggambarkan seolah-olah hal-hal di atas telah menjadi budaya anak Jakarta. Diperburuk pula dengan kehadiran Narkotika dan Obat (Narkoba) yang meracuni kehidupan Anak Baru Gede (ABG). Narkoba telah membawa dampak buruk pada kehidupan remaja, berikut obsesi hidup dan masa depan mereka. Di antara para remajanya ada yang ingin hidup layak dengan cara mudah: menjual diri. Kehidupan remaja yang diwarnai oleh pacaran terbuka dengan

dengan dan di Aceh disebut dengan Meunasah, Dayah, Rengkang dan Bale, lihat Samsul Nizar, h.6-22, M. Sadli ZA, h. 27-52, dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (ed.) H. Abuddin Nata, (Jakarta: Grasindo, 2001). 8 Alwi Shahab, "Mengenal Lebih Dekat Ulama Betawi", Republika, (Jakarta), 17 Oktober 1999, h. 14 9 Lihat Tarmizi Taher, Pidato Menag RI (Jakarta: Dep. Agama RI: 1995), h. 132

6

melakukan seks bebas, membuat nama Jakarta semakin tercemar.10 Berbagai ekses pembangunan itu telah menimbulkan keprihatinan yang mendalam di kalangan dunia pendidikan. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa pendidikan Islam di tengah kota Jakarta, sungguh menghadapi berbagai problema kehidupan yang sangat kompleks. Institusi pendidikan sesungguhnya memiliki fungsi strategis untuk membentuk manusia yang bermoral dan bermartabat. Pada dekade ini seharusnya fungsi itu semakin menonjol, di mana berbagai “penyakit” sosial semakin menggejalah. Dengan demikian, institusi pendidikan dapat menjadi instrumen pencerahan, baik melalui pendidikan moral maupun pendidikan agama. Bahkan, institusi pendidikan dapat mencegah berbagai perilaku yang berpotensi menurunkan martabat dan kualitas kemanusiaan. Sejauh ini, tampaknya fungsi pendidikan belum berjalan secara maksimal, mengingat masih adanya fakta bahwa institusi pendidikan belum dapat mengantarkan anak didik menuju keseimbangan pribadi antara kecerdasan intelektual (ilmu) dengan kecerdasan emosional (perilaku), yang sejalan dengan tuntunan ajaran agama. Pada umumnya fungsi pendidikan selama ini, seperti yang dikritik banyak kalangan, lebih menekankan kepada pemenuhan kebutuhan jasmaniyah, dan sedikit sekali yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan rohaniyah anak didik. Hal tersebut telah tergambar pada sistem pendidikan Belanda tempo dulu yang kemudian banyak ditiru oleh kaum bumiputera setelah masa kemerdekaan RI. Penyelenggaraan pendidikan tiruan Belanda ini, terbukti hanya dapat memenuhi salah satu unsur kebutuhan manusia, yaitu unsur jasmaninya. Oleh karena itu, melihat kembali orientasi pendidikan sangat penting, terutama di abad modern ini. Dengan demikian, dapat dirancang konsep pendidikan yang mengandung keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani anak didik serta untuk memenuhi kepentingan manusia di dunia ini maupun di

10 Khofifah, Menteri Wanita dan BKKBN era presiden mengungkap, "ada 9000 putri Indonesia lakukan aborsi", Republika, (Jakarta), 30 Juli 2000, h. 4

7

akhirat kelak. Orientasi pendidikan yang hanya mementingkan sisi rohani semata atau kebutuhan jasmani semata, sama sekali tidak sejalan dengan ajaran Islam. Begitu pula institusi pendidikan yang hanya mementingkan ke akhiratan semata, juga tidak sejalan dengan ajaran Islam. Pendidikan yang sering digambarkan sangat berorientasi kepada keakhiratan adalah pendidikan pesantren, terutama pesantren tradisional. Para kyainya banyak mendalami pengetahuan tashawuf, hidup sederhana, sangat tawakkal kepada Allah, bersikap wara' dan tawaddlu serta sifat-sifat sejenis lainnya.11 Hal itu tergambar pula pada sarana dan prasarana pendidikan yang sederhana dan seadanya. Hidup para santrinya dilewatkan di dalam bilik-bilik kecil yang diisi oleh puluhan santri. Padahal, bilik-bilik itu hanya layak di huni dua atau tiga orang dengan ukuran tempat tidur yang terbatas. Bilik-bilik yang kecil itu juga digunakan untuk memasak nasi, mencuci pakaian dan keperluan sehari-hari. Dengan fasilitas yang minim dan terbatas itu, para santri bergulat mencari dan mempelajari pengetahuan agama melalui media belajar kitab kuning, sementara pengetahuan umum tidak mereka pelajari. Di sinilah beban lembaga pendidikan seperti pesantren, menjadi berat. Selain itu, ada pula pesantren yang sudah tersentuh oleh pengaruh modernisasi, mereka belajar agama melalui kitab kuning, juga belajar ilmu umum. Hanya saja mata pelajaran umum, mereka pelajari hanya sebagai pelengkap, tanpa disertai usaha yang sungguh-sungguh untuk menjadikannya sebagai mata pelajaran yang penting untuk dikuasai oleh para santri. Ilmu pengetahuan umum tersebut seolah-olah tidak diperlukan oleh para santri dalam kehidupannya kelak di masyarakat. Orientasi pendidikan yang cenderung kepada kehidupan akhirat, menampilkan pesantren yang sangat statis, dan kehidupan institusi tersebut sangat tergantung kepada para santri yang membayar pendidikan ala kadarnya. Sementara itu, kebutuhan untuk menghidupi pesantren, memelihara sarana pendidikan serta menggaji para ustadznya banyak tergantung kepada belas kasihan

11 Azyumardi Azra, Esei-esei lntelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 97

8

para darmawan, atau dengan meminta sumbangan di pinggir jalan, bahkan ada yang memintanya melalui mobil angkutan penumpang. Inilah dilemma lain dari pendidikan yang sangat berorientasi kepada akhirat. Hadis Nabi yang menyatakan: “tangan di atas lebih baik dari tanganyang di bawah”,12 hanya menjadi hapalan para kyai dan santrinya. Bersamaan dengan hal-hal itu, di samping adanya titik lemah dunia pendidikan pesantren, sebenarnya pesantren menyimpan kelebihan. Kelebihan yang fundamental adalah sebagai tempat pertama dan utama dalam menanamkan akidah agama dan akhlak yang kokoh bagi anak didik. Karena itu, di pesantren sangat jarang atau tidak ada sama sekali perkelahian antarpelajar, bebas dari Narkoba, serta para pelajarnya terhindar dari pergaulan bebas. Ajaran Islam sebenarnya menggambarkan dengan jelas tentang perlunya manusia hidup dalam keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan rohani dan jasmaninya. Kedua-duanya sama-sama diperlukan dan ditekankan. Al-Qur'an, misalnya menyatakan bahwa, “Hendaklah kamu berbuat sebaik-baiknya untuk akhiratmu, tapi jangan melupakan nasibmu di dunia ini" (Q.S.al-Qashas, 28:77). Dalam ayat yang lain dikatakan, "Wahai Tuhanku berilah kepadaku kehidupan dunia yang baik, dan juga akhirat yang baik (Q.S. al- Baqarah, 2: 201). Orientasi pendidikan Islam yang demikian itu perlu terus dikaji dan dikembangkan agar mencapai bentuk idealnya, sehingga mampu mengantarkan umat Islam dalam kehidupan yang seimbang. Kajian- kajian tentang pendidikan Islam yang ideal harus terus menerus dihidupkan baik diperoleh melalui al-Qur'an, al-Sunnah, sejarah peradaban Islam maupun dari ulama dan pendidik Islam. Dalam konteks ini, orientasi pendidikan Islam dalam prespektif seorang ulama atau pendidik Islam amat menarik untuk dikaji, Dalam

12 Muhammad Fuad Abd. Baqi, Shahih Muslim, Kitab Zakat, Bab Tangan Di Atas Lebih Baik Tangan di Bawah, No. 1033 ( Bairut: Dar Ihya al-Turast al-'Arabi, 1954), juz II, h. 717. Lihat pula Ahmad Muhammad Syaqir, Shahih Buchari, Bab Tangan Di Atas Lebih. Baik Tangan Di Bawah, (Bairut: Dar Ihya al-Turast al- 'Arabi, 1904.), cet. II, juz.8, h. 116. Lihat pula, Said al-Lahham, al-Muwattha' Imam Malik, Kitab Shadaqah, Bab al-Yadul Ulya, (Bairut: Dar al-Fikr li al- Tiba'ah wal-Nasr wa al-Tauzi', 1989), cet. I, h. 662

9

hubungan ini penulis ingin mengkaji bagaimana orientasi pendidikan pesantren melalui pemikiran Abdullah Syafi'ie dan usaha-usaha yang dilakukan.13 Melalui kajian ini diharapkan dapat diketahui orientasi program pendidikan yang dilaksanakannya, yaitu apakah hanya berorientasi kepada kepentingan akhirat saja atau untuk kepentingan dunia-akhirat. KH. Abdullah Syafi'ie telah menorehkan gerak langkahnya dalam dunia kependidikan pesantren khususnya di ibu kota Jakarta. Sosoknya gerak dan langkahnya terutama yang berkaitan dengan visi dan pelaksanaan pendidikan di pondok pesantrennya yang mungkin tetap relevan hingga kini dan di masa- masa mendatang, hal-hal tersebut menarik untuk ditulis.Untuk mengetahui hal-hal tersebut di atas, penulis mencoba meneliti sejauh mana pemikiran Abdullah Syafi'ie tentang Pendidikan Pesantren, kompatibel dengan modernisasi yang sedang berlangsung. Sebelum tulisan ini dibuat telah didahului oleh sebuah buku yang sangat lengkap tentang sosok KH. Abdullah Syafi'ie yang berjudul: Abdullah Syafi'ie-Tokoh Kharismatik 1910-1985. Dalam buku tersebut Tutty Alawiyah menyatakan bahwa ia bukan hanya seorang ulama, tetapi juga sebagai pengabdi pada dunia pendidikan Islam. la mengelola dan mengembangkan madrasah/pesantren dari tahun ke tahun dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa. la mendidik para santri baik laki-laki maupun perempuan sebagai kader-kader yang pada waktu itu disebut sebagai musaid- musaidah. Mereka inilah sebagai cikal bakal ustadz-ustadzah di kemudian hari. Selain itu, ia juga memiliki pandangan bahwa murid- muridnya itu bukan saja perlu mendapat pelajaran umum dan pelajaran agama yang mendalam di kelas, tetapi juga harus memiliki skill atau keterampilan. Sebagai pendidik Abdullah Syafi'ie memiliki sikap tawaddlu dan di setiap kesempatan ia selalu mengatakan bahwa dirinya hanya sebagai khadimutthalabah. Pendidikan

13 Tutty Alawiyah, “K.H. Abdullah Syafi'ie—Pribadi, Visi dan Derap Perjuangannya”, hal. 4

10

pesantren yang diselenggarakannya sangat beragam, ada pesantren putra-putri, pesantren khusus yatim dan pesantren tradisional.14 Dalam buku yang sama, Utomo Dananjaya menulis artikel yang berjudul: KH. Abdullah Syafi'ie Khadimutthalabah Perguruan Al- Syafi'iyah (Kharismatik dan Rendah Hati). Ia memberi gelar Khadimutthalabah Perguruan Al-Syafi'iyah. la tidak mau mencantumkan hup “K” (Kyai) di depan hurup “H” (Haji). la rendah hati untuk tidak menyebut dirinya Kyai. Sehari-hari ia memanggil dirinya ustadz kepada murid dan jama'ahnya yang menemuinya. Atau cukup ana saja, kepada teman atau mandor bangunannya. Kerendahan hati dan kesederhanaannya masih terpancar pada sisa-sisa tulisan di papan-papan merek bangunan. Kerendahan hati dan kesederhanaan itulah yang membangun kepercayaan dari segala lapisan. Itulah perwujudan kata-kata yang sering diucapkannya: 'ala qadri al-ma'unah ta'ti al-ma'unah (berusaha hanya sekedar memenuhi kebutuhan).15la juga rendah hati tentang kemampuannya. Sehingga ia sering mengungkapkan, ”nisfu ra'yika ‘ala akhika” '(setengah pikiranmu ada pada saudaramu) adalah keyakinan dan ajakannya.16 Dengan demikian, semua orang menjadi berarti di hadapannya. Dengan modal kerendahan hati itulah ia mendirikan berbagai lembaga pendidikan yang berada di bawah perguruannya.17 Dalam buku itu pula Badaruzzaman menulis dalam judul: “Goresan dan Kumpulan Tulisan”. la menggambarkan bahwa, KH Abdullah Syafi'ie di usianya yang memasuki 70-an, waktunya dihabiskan untuk kegiatan da'wah Islamiyah. Ia mengajak masyarakat dari waktu ke waktu mengamalkan ajaran Islam secara sungguh-sungguh dan sempurna. Dibangunnya masjid-masjid, mushalla dan langgar. Didirikannya pondok pesantren, madrasah dan tempat-tempat kegiatan umat Islam lainnya. Dalam tulisan ini

14 Tutty Alawiyah, “K.H. Abdullah Syafi'ie—Pribadi, Visi dan Derap Perjuangannya”, hal. 4-6 15 Prinsip ini bersumber pada sebuah hadis, lihat Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuti, al-Jami’ al-Shagir, fi ahadits al-Basyiri al-Nadziri,( Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t,t), Juz II, hal.171 16 Prinsip ini dipengaruhi oleh bacaan buku yang bejudul: al-Nashaih al-Diniyah wal Washaya al-Imaniyah, (Semarang: Thaha Putra, tt.), hal. 85 17 Lihat Utomo Dananjaya, K.H. Abdullah Syafi'ie, h. 13.

11

Badaruzzaman mengungkapkan pula berbagai komentar yang positif dari para ulama, seperti , Yunan Nasution, Osman Raliby, KH. Hasan Basri, terhadap peran Abdullah Syafi'ie dalam perkembangan Islam di DKI Jakarta.18 Selanjutnya, dalam buku tersebut Sulastomo menulis dalam judul: “KH. Abdullah Syafi'ie”. Saya akan bertemu dengan KH. Abdullah Syafi'ie dalam rangka penandatanganan perjanjian kerjasama antara Universitas Islam Al-Syafi'iyah dengan Harian Umum Pelita. Saya mengontak Dra. Tutty Alawiyah, kapan waktunya saya dapat bertemu dengan beliau. Kak Tutty menjawab hendaklah datang setengah jam dari waktu Kyai mengajar di majelis ta'limnya. Semula saya agak meremehkan pemberitahuan Kak Tutty. Paling jam karet, kata hati saya. Tetapi, entah karena apa saya tergerak untuk menepati waktu. Dan saya bersyukur dapat menepati waktu. Sebab, ketika saya tiba di rumah Pak Kyai, persiapannya hendak ke majelis ta'limnya sudah selesai semuanya. Tapi, toh Pak Kyai sempat menerima kami sekedarnya sambil menikmati kue-kue yang demikian cepat disajikan.19 Adi Badjuri, dalam tulisannya yang berjudul: “Guruku KH. Abdullah Syafi'ie", menyatakan bahwa Kyai dalam ceramahnya seringkali melukiskan kematian di hadapan jama'ah majelis ta'lim. Pelukisannya itu terkadang disertai dengan tangisan. Jama'ah pun menjadi demikian haru, ikut pula menangis. Bahkan, ada satu dua orang yang di barisan depan meraung-raung, meratap, dan menyesali diri. Dan saat itulah Kyai mengajak umat bertaubat, dengan tawbat nashuha. Di sanalah kekuatan orator Kyai. Dengan kata-kata yang disertai gaya dan ekspresi, di samping keikhlasan jiwanya mengajak umat untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Di tahun 50-an kyai masih bergelut membangun cita-citanya di Balimatraman. Di sanalah para santri “mukimin” diterima tanpa mengenal waktu. Waktu pagi, siang, sore, dan malam hari, kyai duduk bersila membaca kitab kuning al-Nashaih al-Diniyah, Tafsir al-Jalalain, atau Riyadl al-Shalihin, dan lainnya. Satu per satu santri disuruh membacanya. Kyai menyimak bacaan santri, bila bacaan

18 Utomo Dananjaya, K.H. Abdullah Syafi’ie, hal. 22 19 Sulastomo, koran Pelita, Rabu, 4 September 1985

12

tersebut salah ia perbaiki, dan ia beri makna, kemudian diuraikan maksudnya, sampai santri mengerti. Begitulah ia bertindak sebagai pendidik. Santri “mukimin” akan tertawa gembira manakala kyai sedang dalam cerita. Tapi, bila kyai sedang marah para santri menjadi demikian ciut, seakan hilang nyalinya. Takutnya setengah mati. Namun, marahnya kyai hanya sampai di kata-kata, tidak pernah sampai ke lubuk hati. Itu pun hanya sesaat, kemudian akan baik kembali, bahkan sangat baik.20 Abdullah Syafiie selain pendidik juga seorang ulama. Ulama (kyai) memiliki visi tersendiri tentang kehidupan, masyarakat, maupun institusi pendidikan. Dari prespektif al-Qur'an, ulama dilihat sebagai bagian dari umat yang memegang peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan masyarakat yang mardlatillah. Ulama, berasal dari kata bahasa Arab: 'alima, ya'lamu., 'alim yang artinya orang yang mengetahui. Kata 'alim bentuk jamaknya adalah 'alimun. Sedangkan ulama ('ulama) adalah bentuk jamak dari 'alim yang merupakan bentuk mubalaghah, berarti orang yang sangat mendalam pengetahuannya.21 Kata ulama disebut dua kali di dalam al-Qur'an,22 yakni dalam surat Fathir ayat 28 yang artinya: "Dan demikian pula di antara manusia, binatang melata dan binatang ternak ada yang bermacam-macam warna dan jenisnya; sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-bamba-Nya, hanya ulama; sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Pengampun". Dalam surat al-Syura ayat 197 yang artinya: "Dan

20 Koran Pelita, Kamis, 5 September 1985 21 Abu Luwis Ma'lub, al-Munjid, (Bairut: Dar al-Masyhur, 1984), Cet. 27, h. 526- 527. Lihat pula Ibn. Manzur Jamaluddin Muhammad Ibn. Mukarrom al- Anshari, Lisan Arab, (Kairo: Dar al-Misriwah li Ta'lif wa Tarjamah, t.t.), jilid XV, h. 310-316 22 Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfaz al- al- Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hal. 475; Hamid Algar, "Ulama" dalam Mircea Eliade (ed), The Encyclopedia of Relegion, (New York: Macmillan Publishing Company, 1987), vol. XV, h. 115-117. Lihat pula Salatore, "Ulama", dalam Elite Dalam Prespektif Sejarah, (peny.) Sartono Kartodirjo, (Jakarta: LP3ES, 1983), cet. 2, h. 129-130. Lihat juga Dep. Agama, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Binbaga Islam, 1987), jilid 3, h. 989-990

13

apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israel mengetahuinya". Adapun ulama menurut arti terminologi ialah seorang yang ahli ilmu agama Islam, baik menguasai ilmu fiqh, ilmu tauhid atau ilmu agama lainnya, dan mempunyai integritas kepribadian yang tinggi, berakhlak mulia serta berpengaruh di dalam masyarakat. Namun, pengertian ulama dalam perkembangannya yaitu berarti orang yang mendalami ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang bersumber dari Allah SWT. yang kemudian disebut 'ulum al-din, maupun ilmu pengetahuan yang bersumber dari hasil penggunaan potensi akal dan indera manusia dalam memahami ayat-ayat kauniyah yang kemudian disebut dengan 'ulum al-insaniyah atau al- 'ulum atau sains.23 Ulama dalam pengertian pertama pada umumnya berdiam di pedesaan, mereka mendirikan pesantren dan menjadi pemimpinnya, atau mereka menjadi kyai dan menjadi "pelayan" masyarakat dalam melakukan ritual agama, seperti memimpin membaca surat yasin, tahlil dan sebagainya untuk do'a keselamatan orang yang meninggal dunia di akhirat atau untuk keselamatan seseorang dalam kehidupan di dunia. Kehidupan mereka umumnya berbasis pertanian. Para santri membantu kyainya dalam mengelola pertanian. Di samping dari hasil bertani kyai mendapat honor ala kadarnya dari uang bayaran para santri. Pada setiap kenduri atau selamatan orang meninggal dunia, mereka menjadi pemimpin membaca do'a atau tahlil, untuk itu mereka diberi "berkat" berlebih dibandingkan dengan undangan lainnya. Atau kadang-kadang mereka diminta untuk menyembuhkan orang atau anak-anak yang konon dipengaruhi oleh setan, untuk itu ia diberi imbalan. Dalam pandangan hidup atau beragama, ulama di pedesaan memandang segala sesuatu dalam alam ini ciptaan dan di bawah kekuasaan Allah. Allah Maha Kuasa tidak ada yang menyamai-Nya. Allah Maha Esa, tidak ada Tuhan kecuali Dia. Ulama tidak pernah membiarkan adanya ajaran yang membahayakan keesaan-Nya. Mereka berpegang erat kepada kitab suci al-Qur'an dan Hadits, dan

23 Mohammad Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. ke-1, h. 399.

14

menolak adanya penafsiran atau pendekatan rasional kepada kedua- nya. Dalam masalah menerapkan syari'ah mereka sangat loyal terhadap pandangan empat madzhab, terutama pandangan Imam Syafi'i.24 Mereka berpandangan adanya dikhotomi di masyarakat dalam perilaku hidupnya yaitu muslim/kafir, ta'at/maksiat. Orang Muslim adalah orang yang beragama Islam. Orang Muslim ta'at adalah Orang yang tunduk kepada Allah seperti melaksanakan shalat, puasa, zakat dan haji, dan menghindari larangan-Nya. Sementara orang Muslim maksiat adalah orang yang tidak melaksanakan perintah-perintah Allah seperti tidak melaksanakan shalat dan berbuat keburukan seperti suka berjudi, mabuk-mabukkan dan lainnya. Dalam memandang posisi antara laki-laki dan wanita pada umumnya mereka melihat laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan wanita, hal ini dipahami melalui ayat Al-Qur'an (Q.S. 4:34). Oleh karena itu, wanita, dalam hal pendidikan cukup sekadarnya, mereka pada akhirnya akan kembali ke dapur.25 Sementara itu, ulama dalam pengertian kedua, mereka banyak berdiam di daerah perkotaan. Mereka ada yang mendirikan pesantren dan menjadi pemimpinnya. Selain mengandalkan lembaga pendidikan yang dipimpinnya sebagai basis ekonomi, mereka juga menjadi pemimpin ritual beragama, juga sebagai pedagang, politisi, mubaligh; guru atau dosen; dengan keahlian itu mereka banyak menghasilkan uang dan hidup berkecukupan. Modernisasi diperkotaan telah memberi peluang bagi mereka untuk berkiprah di berbagai sektor kehidupan modern, dan memberikan keuntungan ekonomi kepada mereka. Proses pembangunan perkotaan telah memberikan pengaruh yang cukup berarti terhadap cara berpikir dan bersikap mereka. Apalagi Jakarta, sebagai Ibukota Negara dan kota metropolitan, sebagai kota yang sangat pesat mengalami modernisasi dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia; para ulamanya dapat dipastikan

24 Yusni Saby, “A Profile of the Ulama in Acehnese Society”, dalam al-Jamiah IAIN Vol. 38 No. 2, 2000, hal. 279 25 Yusni Saby, “A Profile of the Ulama in Acehnese Society”, hal. 282

15

dipengaruhi oleh proses modernisasi.26 Dalam konteks ajaran tauhid mereka tetap berpegang kepada dua sumber yaitu al-Quran dan Hadits, tetapi mereka berpandangan bahwa penafsiran melalui akal diperkenankan sejauh masih memperkuat ajaran tauhid itu. Dan, dalam konteks posisi antara laki-laki dan wanita, mereka melihatnya sama, namun wanita dapat mencapai tingkat pendidikan setinggi- tingginya. Ulama yang berdiam di pedesaan maupun di perkotaan seperti kota Jakarta dalam visi pengembangan pendidikan Islam tampak cenderung kepada pendidikan ala pesantren. Hanya saja, bagi ulama yang berada di pedesaan pada umumnya banyak bertahan kepada pendidikan pesantren yang bercorak Salafiyah, sementara ulama perkotaan seperti kota Jakarta yang telah dipengaruhi oleh modernisasi memilih pesantren yang bercorak Khalafiyah atau Kombinasi.27 Pesantren asal katanya dari santri mendapat imbuhan awal pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat, dengan demikian pesantren artinya tempat para santri. Ada juga yang memandang kata pesantren gabungan dari kata sant manusia baik dengan suku kata tra suka menolong sehinga kata pesanren dapat berati tempat pendidikan manusia baik-baik.28 A.H. Johns, sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier, berpendapat bahwa pesantren memiliki kata dasar santri. Kata santri itu sendiri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan Berg mengatakan bahwa kata santri berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa berarti orang yang tahu buku-buku agama suci Hindu, atau seorang sarjana yang ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri ini berasal dari kata shastra yang berarti buku- buku suci, buku-buku agama tentang ilmu pengetahuan.29 Dari segi terminologis, pesantren diberi pengertian oleh Mastuhu adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk

26 Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2001), hal. 87 27 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1982), h.18 28 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani, 1997), hal. 5 29 Zaini Muchtarom, Santri dan di Jawa, (Jakarta: INIS, 1988), h.6

16

mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian ini dapat dikatakan lengkap apabila di dalam pesantren itu terdapat elemen-elemen seperti pondok, masjid, kyai, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Dengan demikian, pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam sebagaimana dalam definisi Mastuhu, dan bila ia memiliki elemen- elemen tersebut.30 Lebih jelas mengupas asal usul perkataan santri dan juga tentang kyai karena dua kata tersebut tidak dapat dipisahkan ketika membahas tentang pesantren. Ia berpendangan santri asal kata sastri (sangskerta) yang berarti melek hurup dikonotasikan santri kelas literacy, pengetahuan agama dibaca dari kitab berbahasa arab dan diasumsikan bahwa santri berarti juga orang yang tahu tentang agama (melalui kitab-kitab) dan paling tidak santri dapat membaca al-Quran sehingga membawa kepada sikap serius dalam memandang agama. Perkataan santri juga berasal dari bahasa jawa(cantrik) yang berarti seorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru pergi menetap (terdapat dipewayangan) tentu dengan tujuan dapat belajar dari guru mengenai suatu keahlian. Cantrik dapat juga diberikan pengertian orang yang menumpang hidup atau negenger (jawa). termasuk orang yang datang menumpang di rumah orang orang lain yang mempunyai sawah ladang untuk menjadi buruh tani juga disebut santri tentu ini juga berasal dari perkataan cantrik yakni orang yang mengikuti seorang guru kemanapun ia pergi yang tujuannya untuk belajar darinya.31 Perkataan kyai (laki-laki), dan nyai (wanita) mempunyai arti tua orang jawa memanggil yahi yang berupa singkatan dari kyai dan kepada nenek dipanggil nyai. Kedua arti tersebut terkandung rasa pensucian kepada yang tua sehingga kyai tidak saja berarti sakral,

30 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h.55 31 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 20

17

keramat dan sakti. Begitulah benda-benda yang dianggap karamat seperti keris pusaka, pusaka kraton, kerbau bule disebut juga kyai.32 Biasanya kedudukan kyai sebagai seorang haji atau kaji (jawa) hal ini dapat menerangkan mengapa kemudian proses belajar kepada seorang kyai disebut ngaji. Ngaji merupakan berntuk kata kerja aktif dari perkataan kaji yang berati mengikut jejak haji, yaitu belajar agama dan bahasa arab. Akan tetapi perkataan ngaji sebagai bentuk kata kerja aktif dari aji yang berati terhormat, mahal atau sakti. ini dapat kita buktikan adanya perkataan aji-aji yang berarti jimat. Jadi ngaji dalam artian mencari sesuatu yang berharga atau yang menjadikan diri sendiri aji, terhormat atau berharga.33 Apapun arti istilah-istilah tersebut, sebenarnya ngaji merupakan kegiatan belajar yang dianggap suci atau aji oleh seorang santri yang menyerahkan dan menitipkan hidupnya kepada kyai yang sangat dihormati dan biasanya sudah tua, telah berhaji karena kekuatan ekonominya. maka dengan itu karena banyaknya orang yang menumpang hidup tadi tidak tertampung di rumah kyai mereka mendirikan gubuk-gubuk kecil untuk tempat tinggal yang berdekatan dengan rumah kyai yang disebut pondok atau pesantren. Umumnya keberadaan pesantren di masyarakat diawali adanya pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kyai. Karena adanya keinginan menutut ilmu dari ketinggian ilmu kyai tersebut maka masyarakat sekitar bahkan dari luar daerah datang kepadanya untuk belajar. Mereka lalu membangun tempat tinggal yang sederhana disekitar tempat tinggal guru atau kyai tersebut. Warjoetomo berpandangan bahwa pesantren berdiri di tanah air khusunya di Jawa dimulai dan dibawa oleh Walisongo dan inilah ciakalbakal pertama pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana tanggal 8 April 1419 di Gresik. Pesantren asal katanya dari santri mendapat imbuhan awal pe dan akhiran an yang

32 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta, Rajagrafindo: 1996), hak. 138 33 Ahmad Syafi’i Noer, Pesantren : “Asal-usul dan Pertumbuhannya”, dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam, ed. Abuddin Nata, (Jakarta: Grasindo, 2001),hal. 91

18

menunjukkan tempat, dengan demikian pesantren artinya tempat para santri. Ada juga yang memandang kata pesantren gabungan dari kata sant manusia baik dengan suku kata tra suka menolong sehinga kata pesanren dapat berati tempat pendidikan manusia baik-baik.34 Lebih jelas Nurcholish Madjid mengupas asal usul perkataan santri dan juga tentang kyai karena dua kata tersebut tidak dapat dipisahkan ketika membahas tentang pesantren. Ia berpendangan santri asal kata sastri (sangskerta) yang berarti melek hurup dikonotasikan santri kelas literacy, pengetahuan agama dibaca dari kitab berbahasa arab dan diasumsikan bahwa santri berarti juga orang yang tahu tentang agama (melalui kitab-kitab) dan paling tidak santri dapat membaca al-Quran sehingga membawa kepada sikap serius dalam memandang agama. Perkataan santri juga berasal dari bahasa jawa(cantrik) yang berarti seorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru pergi menetap (terdapat dipewayangan) tentu dengan tujuan dapat belajar dari guru mengenai suatu keahlian. Cantrik dapat juga diberikan pengertian orang yang menumpang hidup atau negenger (jawa). termasuk orang yang datang menumpang di rumah orang orang lain yang mempunyai sawah ladang untuk menjadi buruh tani juga disebut santri tentu ini juga berasal dari perkataan cantrik yakni orang yang mengikuti seorang guru kemanapun ia pergi yang tujuannya untuk belajar darinya.35 Perkataan kyai (laki-laki), dan nyai (wanita) mempunyai arti tua orang jawa memanggil yahi yang berupa singkatan dari kyai dan kepada nenek dipanggil nyai. Kedua arti tersebut terkandung rasa pensucian kepada yang tua sehingga kyai tidak saja berarti sakral, keramat dan sakti. Begitulah benda-benda yang dianggap karamat seperti keris pusaka, pusaka kraton, kerbau bule disebut juga kyai.36 Biasanya kedudukan kyai sebagai seorang haji atau kaji (jawa) hal ini dapat menerangkan mengapa kemudian proses belajar kepada seorang kyai disebut ngaji. Ngaji merupakan berntuk kata kerja aktif dari perkataan kaji yang berati mengikut jejak haji, yaitu belajar

34 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, hal. 5 35 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, hal. 20 36 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, hak. 138

19

agama dan bahasa arab. Akan tetapi perkataan ngaji sebagai bentuk kata kerja aktif dari aji yang berati terhormat, mahal atau sakti. ini dapat kita buktikan adanya perkataan aji-aji yang berarti jimat. Jadi ngaji dalam artian mencari sesuatu yang berharga atau yang menjadikan diri sendiri aji, terhormat atau berharga.37 Apapun arti istilah-istilah tersebut, sebenarnya ngaji merupakan kegiatan belajar yang dianggap suci atau aji oleh seorang santri yang menyerahkan dan menitipkan hidupnya kepada kyai yang sangat dihormati dan biasanya sudah tua, telah berhaji karena kekuatan ekonominya. maka dengan itu karena banyaknya orang yang menumpang hidup tadi tidak tertampung di rumah kyai mereka mendirikan gubuk-gubuk kecil untuk tempat tinggal yang berdekatan dengan rumah kyai yang disebut pondok atau pesantren. Umumnya keberadaan pesantren di masyarakat diawali adanya pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kyai. Karena adanya keinginan menutut ilmu dari ketinggian ilmu kyai tersebut maka masyarakat sekitar bahkan dari luar daerah datang kepadanya untuk belajar. Mereka lalu membangun tempat tinggal yang sederhana disekitar tempat tinggal guru atau kyai tersebut. Sementara itu Mahmud Yunus menyatakan bahwa asal-usul pesantren yang menggunakan bahasa arab pada awal pelajarannya ternyata dapat ditemukan di Baghdad ketika menjadi pusat keilmuan Islam dengan menyerahkan tanah oleh negara dapat ditemukan dalam sistem wakaf, dengan demikian sistem pesantren berasal dari khazanah Islam klasik. Berbagai pandangan tentang asal-usul pesantren dapat dianologikan dengan budaya yang ada pada ala perayaan bagi Muslim yang wafat dengan membaca ayat-ayat al- Quran dengan waktu-waktu 3, 7, 4, 100 dan seribu hari. Substansi pendidikan pesantren yang menggunakan kitab-kitab Islam klasik yang berisi karya ulama fiqh, tauhid dan lainnya. Kitab-kitab klasik seperti aqidat al-awwam, washaya, alfiyah, sullam al-taufiq, fath

37 Ahmad Syafi’i Noer, Pesantren : “Asal-usul dan Pertumbuhannya”, hal. 91

20

almuin, fath qarib, tafsir munir, tafsir jalalain dan lainnya.38 Pendidikan pesantran menggunakan model pembelaran sorogan, bandongan dan halaqah.39 Pesantren ditandai oleh adanya masjid, kyai, santri dan kitab klasik maupun kitab kontemporer sebagai sumber belajarnya.40 Ada pandangan lain bentuk dan sistem pesantren berasal dari India. Sistem yang berlaku pada masa itu seperti penyerahan tanah dari anggota masyarakat untuk keperluan pendidikan yang tidak dijumpai dalam pendidikan Islam di Makkah. Ini menjelaskan bahwa sebelum penyebaran Islam di Nusantara sistem pendidikan telah dilakukan oleh guru-guru yang mengajarkan agama Hindu kepada pemeluknya yang kemudian bentuk ini diteruskan oleh para Walisongo.41 Pesantren mengalami perkembangan terutama dari sisi substansi pelajaran yang awalnya hanya mengajarkan mata pelajaran agama melalui kitab klasik lalu ditambah dengan pelajaran non agama seperti matematika, seperti yang terjadi di pesantren Mambaul Ulum Surakarta.42 Kemudian, di masa berikutnya pesantren secara kelembagaan mengalami perkembangan di mana di pesantren juga didirikan sekolah formal seperti SMP/SMA dan bahkan perguruan tinggi Islam. Pesantren juga mengalami perkembangan yang menamakan dirinya sebagai pesantren modern, pesantren yang pertama didirikan di Ponorogo Jawa Timur, pembelajarannya seperti di sekolah formal, santri belajar mata pelajar agama juga mata pelajaran umum, menggunakan kitab-kitab kontemporer, mereka belajar di kelas, para guru mengajar menggunakan bahasa Arab atau bahasa Inggris, santrinya ditekankan terampil menggunakan dua bahasa itu di dalam kelas atau di luar kelas, santri juga diberikan skill berpidato, diskusi, memimpin dan lainnya.

38 Djunaidatul Munawarah, “Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren”, dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam, ed. Abuddin Nata, (Jakarta: grasindo, 2001), hal. 173 39 Zamakhsjari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 6. 40 Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim, hal. 87-88 41 Ahmad Syai’ie Noer, “Asal-usul, hal. 91 42 Muhammad Kemal Hassan, Modernisasi Indonesia — Respon Cendikiawan Muslim, (Jakarta: LSI, 1987), hal. 31

21

Di pesantren awalnya hanya diberikan mata pelajaran ilmu agama seperti ilmu fiqh, ushul-fiqh, tafsir hadits, tauhid, sirah nabi, llmu bahasa arab melalui kitab-kitab klasik. Namun, kemudian materi pembelajarannya telah mengalami perkembangan ditambah dengan pelajaran non agama seperti matematika, seperti yang terjadi di pesantren Mambaul Ulum Surakarta. Kemudian, di masa berikutnya dari sisi kelembagaan mengalami perkembangan di mana di pesantren juga didirikan sekolah formal seperti SMP/SMA dan bahkan perguruan tinggi Islam. Pesantren berkembang pula yang menamakan dirinya sebagai pesantren modern, pesantren yang pertama didirikan di Ponorogo Jawa Timur, pembelajarannya seperti di sekolah formal, santri belajar mata pelajar agama juga mata pelajaran umum, menggunakan kitab- kitab kontemporer, mereka belajar di kelas, para guru mengajar menggunakan bahasa Arab atau bahasa Inggris, santrinya ditekankan terampil menggunakan dua bahasa itu di dalam kelas atau di luar kelas, santri juga diberikan skill berpidato, diskusi, memimpin dan lainnya. Pesantren yang bercorak Salafiyah ditandai oleh beberapa ciri, yaitu: pertama, menggunakan kitab klasik sebagai inti pendidikannya; kedua, kurikulumnya, khusus pengajaran agama; ketiga, sistem pengajaran terdiri atas sistem pengajaran individual (sorogan) dan klasikal (wetonan, bandongan dan halaqah). Adapun ciri-ciri pesantren yang bercorak Kombinasi: pertama, kurikulumnya terdiri atas pelajaran agama, dan juga pelajaran umum; kedua, di lingkungan pesantren dikembangkan madrasah atau tipe sekolah umum; ketiga, adakalanya tidak mengajarkan kitab-kitab klasik (kitab kuning). Adapun pesantren modern/khalafiyah, pembelajarannya sudah menggunakan system modern, santri belajar ilmu agama dan juga ilmu non agama serta diberikan keterampikan seperti pidato dan penekanan bahasa asing dalam bentuk praktis yang mereka gunakan sehari-hari. Abdullah Syafi’ie di samping memiliki pesantren Kombinasi juga memiliki pesantren Salafiyah.43

43 Lihat Tutty Alawiyah, “K.H. Abdullah Syafi'ie—Pribadi, hal. 6

22

Pesantren Salafiyah juga dalam bentuk pengajaran di kelas dan dengan metode pembelajaran yang bervariasi ia juga mendirikan pesantren Kombinasi, di pesantrennya berdiri sekolah formal juga di pesantrennya ia secara khusus menyediakan tempat anak didik yang ditinggal oleh orang tuanya, dan pendidikan pun diberikan secara geratis. Pesantren dalam bentuk ini di tanah air sesuatu yang masih langkah. Pendidikan yang diselenggarakan secara gratis oleh pemerintah, baru dekade akhir-akhir ini, sementara Abdullah Syafie telah melakukan hal itu sejak lama. Pesantren juga menghadapi tantangan zamannya hanya saja kemajuan zaman belum demikian pesat. Berbeda dengan masa kini yakni era, pesantren mengalami dinamika sesuai dengan tantangan di masanya; masa Abdullah syafi’ie ilmu pengethauan dan teknologi belum mengalai perkembangan yang pesat. Moderrnisasi telah terjadii. Nurcholis Madjid menyatakan bahwa hal itu merupakan keharusan dan tidak bisa dihindari, Islam sebenarnya sangat sesuai dengan modernisasi itu (Al-Qur'an, 7: 54; 25: 2, 32: 7; 40: 3; 10:101; 35:13).44 Modernisasi yang ada di masyarakat ditandai oleh kemajuan IPTEK yang masih terbatas. Masyarakat kian terbuka masyarakat sudah bisa berkomunikasi dengan manusia yang lain di benua lain melalui kabel telpon dan transformasi menggunakan pesawat udara atau kapal laut dan mendapatkan infomasi dari TV., melalui TV dan kabel telpon dengan segera mendapatkan informasi dari benua lain. Kemajuan dalam berbagai bidang keilmuan juga terjadi dari berbagai pengembangan keilmuan. Kemajuan-kemajuan di atas untuk kehidupan manusia. Kontak peradaban terjadi ini dibutuhkan kerjasama dan saling pengertian. Tidak hanya untuk survival tetapi untuk mendapatkan yang terbaik dari semua peradaban, semua istiadat, semua bidang kehidupan. Kearifan pun diperlukan agar dominasi dan hegomoni nilai terelakkan, sehingga kemajemukan dan heterogenitas dapat ditumbuhkan. Selain itu kemajuan IPTEK memiliki manfaat yang besar terhadap umat manusia, dengan IPTEK masyarakat sangat terbantu

44 Qadri Azizy, Melawan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 19.

23

dan lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (sandang, pangan, papan, fasilitas belajar, berobat dan sebagainya). Tetapi juga sebaliknya kemajuan IPTEK dapat mensengsarakan mansusia seperti berkembangnya persenjataan mengakibatkan tejadinya perang di berbagai negara. Modernisasi yang terjadi pada dasarnya berisi sekularisasi yang isinya merupakan kelanjutan dari misi modern dan posmodemisme yang semakin sekuler, semakin maju dan semakin menjauh dari agama.45 Dari sisi lain, Para teori kritis sejak lama sudah meramalkan bahwa kapitalisme akan berkembang menuju pada dominasi ekonomi, politik dan budaya berskala global setelah perjalanan panjang melalui era kolonialisme.46 Di bidang ekonomi ditandai oleh liberalisme perdagangan.47 Liberalisme, atau lebih khusus lagi liberalisasi perdagangan yang bercorak kapitalisme ekonomi memberikan kebebasan individu mendapatkan keuntungan. Intervensi pemerintah terhadap individu sangat dibatasi bahkan harus dihindari.48 Hanya saja di sini ada ketentuan hukum dan penerapannya sangat ketat bagi yang menyalahi berhadapan dengan hukum. Pertumbuhan ekonomi negara menjadi tinggi, serta kemakmuran akan bisa dinikmati oleh rakyat. Namun, ada ekses yakni terjadinya jurang (gap) yang semakin curam antara si kaya dan si miskin. Meskipun dalam kenyataanya pula, si miskin tetap mempunyai ruang gerak atau kesempatan, tidak dijerat monopoli oleh pemerintah, untuk bangkit menjadi kuat dan kaya. Kemajuan zaman serta sistem perdagangan bebas memunculkan sisi positif dan sisi negatif. Kebudayaan Barat yang dianut oleh masyarakat Barat menghegemoni dunia dengan kemajuan IPTEK dan informasi, negara-negara seperti Indoneisa

45 Mansour Faqih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press, 2003), hal. 210 46 Arief Furchan, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hal. 39. 47 Mansour Faqih, Jalan Lain, (Yogyakarta: Insist Press, t.t.), hal. 196 48 Muhaimin et.al., Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 84

24

menjadi konsumen dan memiliki adat istiadat dan kebudayaan leluhur menjunjung nilai-nilai kesopanan dan spiritulaitas keagamaan menjadi sasaran empuk untuk dipengaruhi. Masyarakat Barat, masyarakat rasional, efisinsi, teknikalitas, individualitas, mekanistis, meterialistis, akan menggerus nilai-nilai agama masyarakat. Effek-effek negatif lebih jauh ke hal-hal berikut: 1) terjadi pemiskinan nilai spiritual. Tindakan sosial yang mempunyai nilai materi (tidak produktif) dianggap sebagai tindakan yang rasional, 2) Jauhnya manusia dari makhluk spiritual menjadi makluk material, 3) peran agama digeser menjadi urusan akhirat sedang urusan dunia menjadi wewenang sains (sekularisrik), 4). Tuhan hadir hanya dalam fikiran, lisan tetapi tidak hadir dalam prilaku dan tindakan, 6) gabungan ikatan primordial dengan sistem politik melahirkan nepotisme, birokratisme dan otoriterisme, 7) terjadinya frustasi eksistensial seperti hasrat yang berlebihan untuk berkuasa merasa hidup tidak bermakna, 8) terjadinya ketegangan-ketegangan informasi di kota dan di desa kaya dan miskin—konsumerisme.49 Modernisasi yang ditandai ole gaya hidup dalam 3-F yaitu food (makanan) fashion (mode) dan fun (hiburan). Manuisia yang hanyut dalam globalisasi akan terus cenderung berfikir materialistik, hedonistik, foya-foya dan melupakan masa depan. Di samping menimbulkan dampak negatif juga menuntut adanya persiapan dalam interaksi internasional. Yang mempunyai konsekuensi yang harus dipenuhi oleh generasi muda Indonesia termasuk lulusan pesantren di ataranya memiliki kecerdasan, keuletan, ketangguhan, inovasi dan lainnya. Hanya saja hidup di era modern sering mengarah ke konsumerisme dan pola hidup beas. Ini memerlukan “benteng” sehingga mampu menjadi perisai diri menghadapi konsumerisme dan mampu pula menghadapi kehidupan yang wajar bahkan juga sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama. Contohnya yang ekstrim adalah adanya kebebasan berlebihan termasuk kebebasan seks dan kebebasan kehidupan negatif yang lain. Maka di sini perisai mentalitas menjadi sangat

49 Jalaluddin Rahmat, “Islam Menyongsong Peradaban Dunia Ketiga”, Jurnal Ulumul Quran 2, 1986, hal. 46

25

penting. Dalam bergaul secara internasional pendidikan pesantren perlu mempersiapkan diri. Mempersiapkan mental anak didik dan dalam waktu yang bersamaan mempersiapkan kemampuannya dalam berbagai aspek kehidupan untuk berkompetsi, era ini membutuhkan rasa percaya diri (self confidence). Tenaga pengajar sangat berperan, seorang ustadz adalah seorang mativator, menggerakkan santrinya dengan nilai-nilai progresif dan petarung. Jangan sampai seorang ustadz melewatkan kesempatan untuk memberi motivasi kepada santrinya. Karena Allah sendiri melalui ayat-ayatnya menjadikan motivasi sebagai pendorong kepada Muslim seperti contoh-contoh orang yang memiliki ilmu pengetahuan akan diangkat derajatnya (QS. al-Mujadalah, 11). Tetapi menghadapi hidup bergaul dengan dunia internasional nilai-nilai sufisme perlu di minimalisir, karena di usia mereka adalah usia petarung yang berani hidup dan menunjukkan inilah santri- santriwati yang berani berlaga dengan kompetensi-kompetensi yang dimilikinya. Bahasa asing hal yang penting bagi mereka. Tenaga pengajar dapat mendorong hal itu di tengah mereka mentransfer ilmu-ilmunya. Pesantren di tanah air telah mengalami modernisasi sesuai dengan perkembangan zaman. Pesantren Mambaul Ulum di Surakarta Jawa Tengah telah mengalami modernisasi terutama dalam meteri keilmuan, pesantren tersebut tidak hanya mengajarkan mata pelajaran agama tetapi juga memberikan mata pelajaran umum.50 Perkembangan pesantren yang demikian pesat di seluruh Indonesia dan juga dari segi institusi mengalami modernisasi dengan mengambil bentuk dalam tiga model, model osrisinilnya pesantren Salafiyah berkembang pesantren modern (Khalafiyah) dan berkembang pula model kombinasi dimana di pesantren didirikan pendidikan formal seperti SD, SMP atau SMA. Abdullah Syafi'ie mengambil model Salafiyah seperti yang tergambar dari pesantren tradisionalnya dan pesantren Kombinasi yang ia sebut pesantren putra-putri dan pesantren khusus yatim piatu.

50 Azyumardi Azra, Esei-esei lntelektual Muslim dan Pendidikan Islam, hal. 87

26

Modernisasi pesantren yang telah terjadi pada decade awalnya tidak menghadapi masalah-masalah yang demikian komplek baik dari sisi ekses negatifnya maupun tantangan yang dihadapinya. Kemajuan IPTEK belum begitu berkembang, komunikasi antar manusia belum semudah dan secepat saat ini. Kini interaksi manusia dalam berkomunikasi dapat dilakukan dalam hitungan detik, demikian pula berbagai informasi juga secara cepat diperoleh melalui alat komunikasi dan TV. Persoalan manusia juga semakin komplek dengan ekses-ekses negatif yang mengirinya seperti timbulnya sikap individualisme, materialisme, pragmatisme, dan kebebasan yang tanpa batas. Pesantren harus menyesuaikan diri, menyiapkan produknya dengan wawasan keilmuan, moralitas yang tangguh serta memiliki skill atau kompetensi untuk mengahadapi era saat ini. Di perkotaan di mana masyakatnya sering ditandai oleh konsumerisme. Ini memerlukan landasan, sehingga mampu menjadi perisai diri menghadapi kompetisi konsumerisme dan mampu pula menghadapi kehidupan yang wajar bahkan juga sesuai dengan nilai- nilai budaya dan agama. Contoh yang ekstrem adalah adanya kebebasan berlebihan termasuk kebebasan seks dan kebebasan kehidupan negatif yang lain. Maka disini perisai mentalitas positif menjadi sangat penting. Dalam waktu yang bersamaan pesantren juga berada di tengah pembangunan bangsa untuk itu pesantren dituntut membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas untuk menghadapi tantangan kehidupan dan tantangan bangsa ke depan. Selain itu diperlukan pula suatu landasan yakni landasan spiritual dengan keimanan, untuk menghindarkan seseorang dari kekosongan jiwa menghadapi kompetisi konsumerisme. Wujud prestasi berupa amal shaleh, hal ini diperoleh setelah melakukan kerja keras, kedisiplinan dan prestasi. Dalam era ini, pendidikan pesantren harus memiliki peran strategis, sebagaimana agama Islam yang berperan sebagai petunjuk, (hudan) dan mendorong menegakkan 'amar makruf dan melarang yang munkar. Pendidikan pesantren harus mampu menjadi benteng, penangkal pengaruh budaya budaya materialisme yang kini menjadi

27

keprihatinan masyarakat sehingga perannya akan dirasakan masyarakat.51 Dalam konteks dunia pesantren ini beberapa ahli telah menulis dengan versi dan pengamatan masing-masing. Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya, Tradisi Pesantren, memulai sorotannya dengan menyatakan bahwa katagori pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional yang sangat statis, dibantahnya. la melakukan kajian terhadap sistem pesantren dan menemukan bahwa sistem pendidikannya ditandai oleh beberapa komponen yaitu ada santri, masjid, kyai serta adanya tempat berdiam para santri. Dia mengungkapkan pula tentang adanya dua katagori pesantren, yaitu pesantren tradisional (Salafiyah) dan pesantren yang sudah berkembang dengan pesat yang berbentuk modern (Khalafiyah) atau (Kombinasi, penulis). Pengkajiannya terhadap beberapa pesantren tua dan terkenal di pulau Jawa, mengantarkanya kepada pandangan bahwa dunia pesantren adalah dunia yang penuh dengan dinamika.52 Kemudian Karel A. Steenbrink menulis buku : Pesantren, Madrasah-Sekolah, salah satu pembahasannya menyoroti sistem pendidikan yang dibawa Belanda ke Tanah Air. Kemudian, dia membahas pula pendidikan tradisional yang bernama pesantren yang mengajarkan membaca al-Qur'an, ilmu-ilmu agama Islam dalam wujudnya yang sangat sederhana. Di masa kemerdekaan, di samping ia melihat adanya perkembangan pesantren yang menjamur di Tanah Air, juga perkembangan pendidikan model madrasah yang banyak juga dikelola oleh pemerintah Indonesia. Model pendidikan madrasah yang menggunakan sistem sekolah, sudah tentu telah menggunakan sistem pendidikan modern, sehingga mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.53 Kemudian, Azyumardi Azra di dalam bukunya Esei-esei Intelektital Muslim dan Pendidikan Islam, mengungkapkan tentang keilmuan pesantren yang mengalami dinamika yang sangat pesat, hal

51 Jalaluddin Rahmat, “Islam Menyongsong, hal. 46 52 Zamakhsjari Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 41. Pesantren dalam katagori Gibb adalah tradisional dan modern, lihat H.A.R. Gibb dan J.H. Kramer (ed.), "Pesantren", Shorter Encyclopedia of Islam, (Leiden: EJ. Brill, 1961), h. 460-462 53 Karel A. Steenbrink, Pesantren-Madrasah-Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 1

28

itu diawali oleh pesantren Mambaul 'Ulum Surakarta. Di pesantren ini di samping mempelajari ilmu-ilmu tradisional seperti al-Qur'an, Fiqh, Bahasa Arab dan lainnya, juga mempelajari mata pelajaran Mantiq, Aljabar, dan Ilmu Falak.54 Selanjutnya, hasil penelitian Mastuhu dalam bukunya Dinamika Pesantren, di bawah topik, “Prinsip Pendidikan Pesantren” ia mengemukakan. Pertama, prinsip wisdom, yaitu mencari kebijaksanaan (to seek wisdom), Prinsip ini membantu santri dalam memahami makna dan tanggungjawab hidup di tengah masyarakat. Kedua, prinsip bebas terpimpin. Dalam prinsip ini, anak didik bertugas belajar dan ustadznya membantu dan membimbing anak didik. Tujuan menuntut ilmu adalah sebagai ibadah kepada Tuhan. Sementara itu, kawasan pendidikannya mencakup pengembangan aspek kognitif, afektif' dan psikomatorik secara seimbang dan serasi. Hal ini dapat dicapai kalau anak didik memiliki kebebasan yang bertanggungjawab. Ketiga, prinsip self government. Prinsip ini memberikan tanggungjawab pada santri untuk mengatur kehidupannya sendiri di pesantren serta mengatur bidang kegiatan seperti belajar bersama, keamanan, menerima tamu, koperasi, penerangan, kerja sosial, olahraga, pramuka dan lainnya. Keempat, prinsip kolektivisme. Prinsip ini dalam hal kewajiban individu harus menunaikan kewajibannya lebih dulu, sedangkan dalam hal hak individu harus mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri dan golongan. Kegiatan-kegiatan dalam menciptakan kebersamaan dilaksanakan, seperti pembuatan tata tertib bersama, baik mengenai kegiatan belajar maupun mengenai kegiatan lainnya.55 Sebelum berlanjut pada bahasan-bahasan substansial di halaman-halaman berikutnya ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan seperti istilah Pemikiran, pendidikan dan Pesantren. Kata Pemikiran, erat kaitannya dengan kata pemikir yang berarti orang cerdik pandai yang pikirannya dapat dimanfaatkan orang lain. Selain

54 Azyumardi Azra, Esei-esei, h,87. Lihat pula dalam Azyumardi, "Pembaharuan Pendidikan Islam", dalam Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Marwan Saridjo, (Jakarta: Amissco. 1996), h. 13 55 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, h.55

29

itu, ada pula kata berpikir yang berarti merujuk kepada kemampuan untuk membedakan, mengidentifikasi dan menunjukkan sesuatu. Adapun kata pemikiran memiliki arti yaitu cara atau hasil berpikir.56 dalam konteks judul mengandung esensi pemikiran dan action. Dalam kontek itu berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat bersikap sesuai dengan tuntutan kekinian. Kata pendidikan terdiri dari kata didik yang mendapat awalan pen dan akhiran an yang berarti memelihara dan memberikan latihan, atau cara mendidik.57 Dalam bahasa Inggris kata pendidikan atau kata education yang berarti mengasuh.58 Dalam bahasa Arab kata pendidikan merupakan terjemahan dari kata tarbiyah yang berarti memelihara. Kata tarbiyah sering disinonimkan dengan kata ta'lim yang berarti pengajaran, dan ta'dib yang berarti pembentukan tindakan atau tatakrama yang sasarannya khusus kepada manusia.59Di kalangan pakar pendidikan Islam terdapat perbedaan penggunaan antara istilah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dih yang secara prinsip istilah-istilah itu mengacu kepada arti pendidikan. Namun, dalam tulisan ini istilah yang digunakan adalah kata tarbiyah yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, menumbuhkan dan memelihara.60 Secara istilah pendidikan Islam dapat mengandung arti mengubah tingkah laku individu atau perorangan dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan kehidupan alam sekitarnya melalui proses

56 Lihat Tim Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.682-683. Lihat pula WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.752-753. Lihat pula Tim Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung: Rosda, 1995), 277 57 W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum, h.250 58 John M. Enchols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1987), Cet. ke-1, h. 267 59 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Obyektives of Islamic Education, (Jakarta: King Abdul Aziz Univ., 1979), h.52. Lihat pula Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Grafindo, 1999), cet. Ke-3, h.286. Lihat pula Iksan Waseno, "Beberapa Catatan Mengenai Penelitian Pendekatan Sosial dalam Pengembangan Pendidikan Islam", dalam Pengantar Kearah Metode Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Agama Islam, (Yogyakarta: IAIN Pres, 1992). h.222 60 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims, h. 52

30

pendidikan. Perubahan-perubahan tersebut harus melalui bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.61 Sementara itu kata Pesantren berasal dari bahasa Sangsekerta yang kemudian memiliki arti tersendiri dalam bahasa Indonesia. Pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan arti tempat, jadi berarti tempat santri. Kata santri itu sendiri merupakan gabungan dua suku kata yaitu sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan untuk membina manusia menjadi orang baik.62 Pesantren dalam pengertian luas tempat satri belajar ilmu agama Islam baik melalui kitab kunig atau sumber lainnya yang ditandai oleh adanya santri, kyai, masjid, dan pondok tempat santri belajar.63 Sumber dari penulisan ini salah satunya dari hasil penelitian atau penelusuran dari tulisan-tulisan dan kaset rekaman ceramah KH. Abdullah Syafi'ie yang berisikan pemikiran kependidikan seperti: al-Muassasat al-Syafi'iyah al-Ta'limiyah, "Berkenalan dengan Perguruan al-Syafi'iyah", dan kasetnya yang berjudul "Zaman Jahiliyah". lalu sebagai bahan-bahan sekunder buku-buku karangan ilmuan Muslim. Kemudian, melalui hasil wawancara putra-putrinya, shahabat, murid-muridnya, tentang pemikiran modernisasi pendidikan dan sosoknya menggunakan teknik probing (menggali informasi lebih mendalam) sehingga diproleh jawaban yang khusus dan tepat.64Juga memproleh sumber data yang shahih penulis menggunakan cara triangulasi yaitu menggali informasi dengan cara mengajukan satu pesoalan kepada beberapa informan hingga pada

61 Mohammad Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, h. 399 62 Lihat, Abu Hamid, "Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan", dalam Agama dan Perubahan Sosial, (ed.) Taufiq Abdullah, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), h. 328. 63 Mastuhu, Dinamika, h.55 64 Irawati Singarimbun, "Teknik Wawancara", dalam Metode Penelitian dan Survei (ed.) Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 150

31

titik jenuh.65 Selain itu hasil dari observasi ke berbagai pesantrennya dengan frekwensi yang memadai untuk menggali berbagai fenomena yang ada di pesantrennya. Untuk materi kajian penulis menggunakan pendekatan hisoris, sosiologis, filosofis dan teologis.66 Dalam buku ini akan dibahas dalam beberapa Bab. Bab I, Pendahuluan, berkaitan dengan dasar pemikiran, pustaka song tokoh, kajian lembaga pesantren, kajian ulama, pengertian- pengertian judul dan metodologi penelitian dan penulisan. Bab II, Pengkajian tentang situasi yang melingkari kehidupan sang tokoh dari aspek sosial-budaya, politik, ekonomi, kehidupan beragama dan pendidikan Islam pada masanya yang secara tidak langsung memberi pengaruh terhadap pemikirannya dalam konteks pendidikan. Bab III, Menjelaskan tentang Sosok dan Kepribadian serta Kiprahnya dalam perkembangan Islam di Jakarta serta pendidikan pesantrennya. Bab IV, Analisis pemikiran sang tokoh yang berkaitan dengan Penyelenggaraan dan Lembaga Pendidikan Pesantrennya. Bab V, beberapa Kesimpulan dan disertakan pula beberapa rekomendasi. Buku ini diharapkan dapat menjadi salah satu khazanah tentang pemikiran pendidikan pesantren dari seorang ulama besar dan pendidik yang lahir, dewasa dan wafat di daerah Betawi ibu kota Jakarta serta menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan pendidikan pesantren di tanah air.

65 Masri Singarimbun, "Tipe. Metode dan Proses Penelitian", dalam Metode Penelitian dan Survei (ed.) Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 6 66 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hal. 27-46

32

BAB II JAKARTA DI MASA ABDULLAH SYAFI’IE

A. Situasi Sosial-Budaya Masyarakat Betawi di kota Jakarta, seperti juga masyarakat lainnya di Nusantara terbentuk melalui proses yang panjang. Kota Jakarta sebelumnya bernama Sunda Kelapa, Jayakarta dan Batavia. Pada tahun 1623 di Batavia. Pada tahun 1623 di batavia yang dikelilingi pagar terdapat 6000 jiwa penduduk dan pada tahun 1638 terdapat 12000 jiwa penduduk. Pada masa kejayaan Batavia antara tahun 1700-1738 terdapat 20.000 jiwa di dalam kota dan 10.000 di pinggiran kota. Ketika pada tahun 1740 terjadi pembunuhan massal orang , penduduk Batavia jauh berkurang. Pada masa pemerintahan Raffles antara tahun 1811-1815 di dalam dan luar kota terdapat 47,217 jiwa penduduk.1 Kemudian, pada tahun 1945 di dalam an di luar kota penduduk Jakarta adalah berjumlah 623-343 jiwa dan diperkirakan pada tahun 1950 mencapai 1.432.085 jiwa.2 Pada masa VOC (Verenigde Oostindiscbe Compagnie) tahun 1798 di Batavia terdapat beberapa golongan penduduk seperti orang Eropa yang memegang jabatan penting dalam VOC,Burgers, yang terdiri dari para profesional dan karyawan Eropa (Kristen), Mardijkers (Kristen Portugis), Papangers (Kristen Spanyol Pilipina), orang Jepang, Kristen Indonesia, Afrika, China, Arab, India, Melayu, dan orang Islam Indonesia. Orang Bali merupakan mayoritas di antara suku bangsa Indonesia di Batavia. Kemudian penduduk Islam menjadi mayoritas dan melahirkan etnis baru, Kaum Betawi. Di masa kolonial di Batavia status sosial paling rendah bagi umat Islam adalah kaum Betawi. Pada abad ke-19 mayoritas penduduk di Jakarta adalah

1 Muhammad Zafar Iqbal, Islam di Jakarta-Studi Sejarah Islam dan Budaya Betawi, (Jakarta: Disertasi IAIN Jakarta, t.p. 2002), h.78-79 2 Muhammad Zafar, Islam, h. 173. Alwi Shahab mencatat, jumlah penduduk Jakarta pada tahun 1945 berjumlah 500.000 jiwa dan pada tahun 1972 meningkat pesat sehingga berjumlah 4.500.000 jiwa, "Urbanisasi", Republika, (Jakarta), 26 Desember 1999, h. 7.

33

orang Indonesia merdeka. Pada masa itu jumlah budak telah menurun sampai 12.000 orang di Batavia.3 Sejak pertengahan abad-19 masyarakat Betawi semakin heterogen, yaitu terdiri dari berbagai etnis yang ada di Nusantara. Heterogenitas ini terbentuk akibat kebijakan VOC yang berusaha memperkuat kekuasaannya di Batavia. Kota ini dibangun pada tahun 1916 di bekas kota Jayakarta yang diserbu dan dibumihanguskan oleh tentara VOC di bawah pimpinan J.P. Coen. Demi keamanan, J.P. Coen melarang penduduk pedalaman Jawa termasuk bekas penduduk Jayakarta, untuk berimigrasi ke Batavia. Tetapi, guna kepentingan pertahanan dan memajukan perdagangan, J.P Coen mendatangkan orang China, orang taklukkan dari Benda, serdadu bayaran Jepang, orang Moor, Bugis, Melayu dan Ambon. Mereka bukan bagian penduduk budak. Sedangkan bagian penduduk lainya adalah para budak yang mayoritas berasal dari India yang disebut dengan "Mardijkers" dan penduduk dari kepulauan Arakan. Daerah lain yang juga menyumbang penduduk ke Batavia, antara lain dari Sumbawa, Nias, Kalimantan dan Sulawesi Selatan.4 Memperhatikan catatan Raffles mengenai dinamika penduduk Jakarta tahun 1815 dan sensus penduduk tahun 1930, ternyata didapatkan adanya etnis yang menghilang, meningkat pesat atau lahir baru, dan kelompok etnis yang baru muncul adalah Batavians (Betawi).5 Etnis ini telah terbentuk secara jelas sekitar pertengahan abad ke-19, sebagai proses hasil peleburan berbagai kelompok etnis. Penggunaan kata Batavians (Betawi) sebagai identitas etnis tidaklah dikenal oleh orang Betawi sendiri di masa lalu, walaupun pada abad ke-18 ulama Betawi asal Batavia yang belajar (atau mengajar) di Makkah dan Madinah telah memakai kata itu di belakang namanya, seperti Abdurrahman al-Batawi (1710-1812), namun hal itu lebih

3 Muhammad Zafar, Islam, h. 173 4 Lance Castles, "The Ethnic Profile of Djakarta", dalam Indonesia, Vol. I/April Modern Indonesia Project (New York: Cornel University, 1967), h. 61-84. Lihat pula Willard A. Hanna, Riwayat Jakarta (Jakarta Yayasan Obor, 1988), h. 64-84. Lihat pula Alwi Shahab, "Betawi Asli", Republika, (Jakarta), 20 Juni 1999, h. 3, lihat pula "Batavia Didominasi Para Budak", Republika, Jakarta), 1 Agustus, 1999, h. 7, juga Agus Husni, "Betawi", Republika, (Jakarta), 1 Desember 1999, h. 7 5 Lance Castles, The Ethnic, h,. 165

34

menunjukkan tempat asal daripada identitas etnis.6 Istilah Betawi sebagai etnis baru populer ketika Husni Thamrin menamakan organisasi yang didirikannya pada tanggal 1 Januari 1923 dengan Perkoempulan Kaoem Betawi. Masyarakat Betawi sebagai kelompok etnis yang cikal bakalnya telah ada pada masa kolonial Belanda, menghadapi situasi sosial yang tidak menguntungkan dalam pengembangan identitas kulturalnya. Oleh VOC, penduduk Batavia dibagi berlapis-lapis berdasarkan ras dan agama. Lapis teratas adalah pegawai VOC dan orang Eropa lainnya. Lapis kedua adalah warga negara yang beragama Kristen (Metizo, Mardijkers, Pampangers). Sedangkan orang China, Arab dan India berada pada lapis ketiga. Dan pada lapis terendah adalah orang bumiputera (asal Nusantara) yang tidak beragama Kristen (beragama Islam, serta budak).7 Kontrol atas pelapisan itu mudah dilakukan, karena kelompok- kelompok etnis berdiam di kampung sendiri dan dipimpin oleh seorang kapiten yang ditunjuk oleh VOC dari mereka yang paling berpengaruh. Perbedaan sosial tercermin pada corak kehidupan dan mata pencaharian mereka. Sementara itu, orang Eropa hidup di rumah mewah dengan banyak pembantu dan budak serta bekerja di sektor modern. Sedangkan orang pribumi mendiami rumah berdinding bambu dan beratap jerami, bekerja sebagai petani, nelayan, serdadu, dan babu.8 Beban sosial orang Betawi semakin berat dengan meluasnya tanah-tanah pertikelir (Particulair Landerijen), baik karena disewakan atau dijual pemerintah jajahan. Hingga tahun 1915 terdapat 582 tanah pertikelir di Jawa, mencakup wilayah seluas 1,3 juta bau (1 bau-0,8 hektar) dan 1,8 juta penduduk. Beberapa di antaranya berwilayah luas dengan penduduk lebih dari 75.000 orang. Kepada penduduk di tanah pertikelir itu, para Tuan Tanah

6 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), cet.II, h. 243, 247. 7 Lihat Ridwan Saidi, "Masyarakat Betawi Asal-Usul dan Peranannya", dalam Ruh Islam (ed.) Aswab Mahasin, (Jakarta: Festival Istiqlal, 1996), h. 1-9 8 Hadisucipto, Sekitar 200 Tahun Sejarah Jakarta-1730-1945, (Jakarta: Dinas Meseum dan Sejarah, 1979), h. 30-34.

35

menetapkan cukai pajak, wajib bekerja untuk pemerintah serta wajib bekerja untuk Tuan Tanah sendiri. Situasi sosial akibat kebijakan kependudukan VOC serta kehidupan tanah pertikelir, tidak memungkinkan etnis Betawi yang sedang dalam proses kelahiran, untuk memiliki kelompok elit penguasa tradisional seperti misalnya kaum di Jawa. Padahal, dalam konteks kelahiran sebuah etnis, kehadiran kelompok elit yang mampu mengeksploitasi sentimen etnis merupakan salah satu faktor menentukan.9 Elit modern hasil pendidikan Belanda juga tidak mungkin lahir, karena sekolah seperti itu hanya terbuka bagi pribumi elit. Selain itu, penarikan diri yang relatif total terhadap segala yang berbau asing, khususnya Belanda merupakan cara pengokohan identitas sebagai orang "Selam" Betawi, sehingga sekolah modern di kota Batavia sendiri sangat jarang mereka manfaatkan. Wajar, jika kaum elit terpelajar yang muncul di Jakarta menjelang kemerdekaan, hampir semua anggotanya berasal dari etnis lain dan tidak banyak memiliki hubungan khusus dengan penduduk asli Betawi. Dalam situasi seperti ini, kelompok yang dipandang elit oleh orang Betawi adalah mereka yang memiliki keunggulan keagamaan. Elit agama yang berasal dari masyarakat Muslim Betawi, mereka dikenal dengan sebutan ustadz, guru mengaji atau ulama haji Betawi. Mereka yang berasal dari keturunan Arab yang mengaku ketururan Hadramaut, dikenal dengan sebutan , sedangkan mereka yang mengaku keturunan Nabi Muhammad disebut habib. Pada umumnya orang Betawi memanggil mereka dengan sebutan wan, kependekan dari kata tuan.10 Meskipun demikian stratifikasi sosial masyarakat Betawi cukup longgar. Hal itu terjadi karena masyarakat Betawi tidak mengenal lembaga istana sehingga feodalisme kurang mendapat tempat. Semangat egaliter yang menjadi salah satu ciri demokrasi, mewarnai kehidupan masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi relatif tidak mengenal pemangku adat (dengan begitu patron budaya juga lemah). Agama Islam telah

9 Anthon D Smith, The Ethnic Revival, (London: Cambridge University: 1961), h. 72. 10 Wetheim, Indonesian Society in Transition, second revised edition, (W. Van Hove The Hague: 1964), h. 140.

36

menjadi institusi lintas belah (cross cutting institution) terhadap perbedaan primordial di luar agama dan status sosial ekonomi. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika perkawinan antarsuku pada etnis Betawi terhitung tertinggi di antara kelompok- kelompok etnis lainnya di Indonesia. Fenomena ini tentu bersesuaian dengan semangat egaliter yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dalam memilih calon istri/suami. Seorang Muslim bisa memilih calon istri/suami atas dasar fisik yang menarik, ekonomi, keturunan dan agama. Tetapi, sebaik-baik pilihan adalah pilihan atas dasar agama.11 Di masa pasca kemerdekaan masyarakat Betawi menghadapi suatu kenyataan bahwa kotanya, yaitu kota Jakarta semakin didera oleh modernisasi dan pembangunan di semua sektor kehidupan. Kota Jakarta yang menjanjikan kehidupan yang sejahtera, menarik para urban yang datang dari seluruh daerah di Nusantara. Masyarakat Jakarta semakin heterogen. Gerak kehidupan masyarakatnya sangat dinamis. Banyak perantau yang hidup di Jakarta mencapai keberhasilan dalam hidupnya. Sementara itu, sebagian besar masyarakat Betawi berada dalam “kegamangan”, seperti juga yang terjadi pada etnis asli di daerah Nusantara lainnya yang dapat ditemukan mereka menjadi “marginal”. Umumnya mereka orang yang berpunya atau dengan kata lain mereka banyak memiliki tanah. Dalam menopang kehidupan sehari-hari mereka menjual tanah. Hasil dari penjualan tanah itu sebagian besarnya mereka gunakan untuk naik haji,12 atau mengirim anak-anaknya belajar agama di Mesir atau Tanah Arab atau di pesantren di Tanah Air. Sedikit sekali dari mereka mengembangkan hasil dari penjualan tanah itu digunakan untuk berdagang. Setelah menjual tanah atau rumah, mereka membeli tanah lain yang harganya lebih murah dan letaknya berada di pinggiran Jakarta. Jadilah, kebanyakan mereka hidup di pinggiran Jakarta, dan sedikit sekali yang bertahan hidup di pusat kota. Mekipun demikian, dalam melihat proses perubahan yang ada di sekitarnya, yakni di kota metropolitan Jakarta, mereka

11 Muhammad Fauzi Syuaib, "Masyarakat Betawi dan Perkembangan Kota Jakarta", dalam Rub Islam, Seminar Budaya Betawi, IAIN Jakarta, 3 Juli 1999, h. 51 12 Alwi Shahab, ‘Robin Hood Betawi”, (Jakarta) Republika, 2001, h. 110.

37

melihatnya secara dewasa. Tidak ada keinginan dari mereka untuk memusuhi para pendatang, tidak ada keinginan mereka untuk memisahkan diri dan menjadi tertutup.13 Adapun budaya masyarakatnya seperti budaya muslim ada umumnya. Budaya masyarakatat betawi seperti masyarakat Indonesia pada umunya yang merupakan perpaduan dari budaya- budaya yang bercorak Hindu-Budha, bercorak Islam, Konghucu dan Kristen. Proklamasi dan konstitusi telah membuat bangsa Indonesia, masyarakat Indonesia menjadi satu subyek budaya yang mempunyai principle of identity dan mempunyai principle of integrity.14 Oleh karena itu, perpaduan seluruh budaya yang ada dapat disebut dengan budaya nasional. Akulturasi budaya terjadi antara budaya Budha atau Hindu (orang India) di Nusantara, menyusul kemudian budaya Islam (orang Arab), budaya Konghucu (China) dan budaya Kristen (orang Belanda). Budaya Budha untuk pertama kali meninggalkan jejaknya dalam sebuah kerajaan Sriwijaya di Palembang, sementara Hindu- Budha meninggalkan jejaknya di Tanah Jawa, seperti adanya Borobudur dan Candi Prambanan di Yogyakarta. Budaya Islam meninggalkan jejaknya di Keraton-keraton di Tanah Jawa seperti Keraton Yogyakarta, Surakarta, Cirebon dan lainnya. Budaya China dapat dilihat dari tempat ibadah mereka di Semarang dan kehadiran mereka sejak masa penjajahan Belanda. Lalu, budaya Kristen terlihat dari cara kehidupan yang ditampilkan oleh penjajah Belanda di Tanah air.15 Budaya Nusantara yang berakar dari berbagai budaya agama menjadi budaya nasional di Indonesia. Budaya bagaikan sebagai sebuah toko serba ada yang sangat besar, maka jenis barang yang dijual untuk dipakai dalam kehidupan ini berasal dari pabrik-pabrik yang beragam. Di antara pabrik kebudayaan itu dapat saja kita golongkan tiga pabrik besar yang menjadi produsen utama.16

13 Muhammad Fauzi Syuaib, "Masyarakat, h. 51 14 T.B. Simatupang, “Agama dan Kebudayaan Nasional”, Tinjauan Empirik, ed. Musa Asy’ari, (Yogyakarta: IAIN Press, 1988), hal. 41 15 Abdul Hadi, “Prospektif Kebudayaan Islam”, dalam Islam dan Transformasi Sosial Budaya, ed. Naufal Ramzy, (Jakarta, Deviri Ganan, 1993), hal. 147 16 Abdul, Hadi, “Prospektif Kebudayaan Islam, hal. 148

38

Pabrik pertama, adalah kebudayaan yang bercorak spiritual magis atau religio-magis dengan corak barang budayanya yang penuh dengan nilai magis, mistis, kebatinan dan karenanya penuh dengan hal-hal yang tidak rasional. Produk Islam seperti tashawuf tidak jarang terlempar ke budaya yang satu ini untuk kemudian di olah menurut coraknya sehingga corak Islam menjadi kabur. Yang paling nyata dari hasil kebudayaan ini adalah kesenian yang di hidupi dengan mitos-mitos lebih berpenampilan lokal. Pabrik kedua, setidaknya cukup menguasai kota dan jiwa masyarakatnya adalah kebudayaan-kebudayaan corak rasional sekuler atau materialisme sekuler. Pabrik yang kedua ini banyak menghasilkan barang-barang budaya yang merujuk pada pola hidup berhura-hura, kemewahan dan tidak jarang konsumennya ialah konsumen utama kebudayaan spiritual magis. Di lapangan ideologi, perwujudannya barangkali pada pemikiran yang berorientasi pada liberalisme, serba bebas, sesuka hati, kapitalisme penguasaan pada modal yang ekploitatif terhadap si lemah, dan komunisme yang menuhankan pemikirannya sendiri dengan dalih tidak bertuhan. Jika pabrik ini memproduk barang barang yang diberi cap spiritual, maksudnya jelas bukan hal-hal yang bermakna ilahiah. Pabrik ketiga katakanlah, Islam. Walaupun sekarang ini bisa menuai perbedaan pendapat tentang pengaruh hasil-hasil kebudayaannya. Berbeda dengan pabrik terdahulu, pabrik ketiga sebagai penghasil barang budaya yang mempunyai landasan barang kemasan yang berbeda. Walaupun Islam sepenuhnya menerima pentingnya nilai-nilai spiritual dan manusia makluk spiritual, kebudayaan Islam tidak bercorak spiritual magis. Meski demikian, Islam mengakui sepenuhnya perlunya akal dan upaya-upaya keduniaan demi kesejahteraan, tampaknya Islam menolak pemujaan terhadap akal dan dunia secara berlebihan. Karena itu kebudayaan ini berada di antara dua kutub kebudayaan tadi ia bercorak rasional transedental, yakin akan kehendak Tuhan dan percaya kegunaan akal. Sesuai dengan sumber pengetahuan yang mesti diakui, yaitu

39

akal dan wahyu dan sesuai pula dengan corak ikhtiarnya untuk memperoleh pengetahuan, yaitu memadukan fungsi fikir dan dzikir.17 Budaya Indonesia termasuk Jakarta mempunyai ideologi Negara yang mengakui eksistensi semua agama dan rakyatnya wajib beragama, agama yang diakui Negara ada enam Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Konghucu. Sebagai bangsa yang menjadi landasan utama adalah. Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti bahwa segala produk budaya bersumber kepada-nya. Sebagai bangsa yang beragama adalah logis kalau memproduk budaya yang bercorak spiritual-religius. Budaya bangsa adalah budaya yang menjadi jati diri bangsa, apakah bangsa itu memiliki watak atau karakter yang baik atau tidak. Budaya Jakarta seperti budaya daerah lain sangat kaya yang menggambarkan jati diri bangsa, saat ini sedang menghadapi tantangan yang dahsyat. Arus budaya pop, terutama yang menyerang generasi muda dan menyerang aspek-aspek kehidupan manusia yang sehat. Budaya yang menyerang generasi bangsa adalah budaya sekuler yang di dasari oleh pandangan hidup materialisme atau hedonisme; menempatkan materi atau kenikmatan di atas segala- galanya. Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang memuja materi yang pada titik ektrimnya tidak peduli dengan segala nilai- nilai religius. Masyarakat semacam ini adalah masyarakat yang tenggelam ke dalam kondisi masyarakat konsumen. Mereka di penuhi oleh keterpesonaan, ketergiuran dan hawa nafsu yang dibangkitkan oleh kondisi ekstasi yang melanda kehidupan masyarakat. Masyarakat yang di kelilingi oleh belantara benda- benda, ditandai oleh makna-makna yang semuanya merasakan kehampaan hidup dan kekosongan jiwa akan makna-makna spiritualitas, moralitas kemanusiaan, di tengah-tengah terbangunnya hidup di atas landasan kegemerlapan pencitraan ketimbang ke dalaman substansi dan transendensi.18 Adanya minuman keras atau dalam bentuk lain dapat menghanyutkan manusia menuju ke kehilangan jati dirinya,

17 Yasraf Amir Pilliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 45 18 Yasraf Amir Plliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, hal. 46

40

kesadisan dan seksual ektrem. Selain itu ada juga benuk lain dalam pergantian produk, maraknya diskursus fashion ekstasi sebagai komoditi dalam menikmati perkembangbiakan bentuk-bentuk seksual. Hidup manusia perkotaan termasuk Jakarta sudah berjangkit bebagai penyakit yang mengiriya. u sebuah siklus ritual semu. Mabuk akibat minuman eras suatu keadaan mental dan spiritual yang mencapai titik puncaknya ketika jiwa secara tiba-tiba naik ke tingkat pengalaman yang jauh dibandingkan kesadaran sehari-hari, sehingga pada ketika itu muncul semacam puncak ke- mampuan diri dan kebahagian yang luar biasa serta trance yang kemudian diiringi oleh pencerahan. Manusia pekotaan juga hanyut dalam berbagai bentuk terapi yoga, latihan spiritual kilat, konser musik rock, astrologi populer, jogging pusat kebugaran, karoke, sepakbola, semua ini bukan sekedar memenuhi obsesi dan melepaskan diri dari karantina kerja akan tetapi menjadikannya sebagai tempat tujuan hidup yang sebenarnya, sehingga mereka mengatakan, "aku adalah orang rock atau aku adalah orang bola".19 Perjuangan masyarakat konsumer untuk mendapatkan keseimbangan psikis melalui hubungan sosial yang luas, tetapi mereka menolak hubungan ini dilandasi oleh nilai-nilai moral dan spiritual. Karena mereka telah tenggelam ke dalam ke-asyikan dan kegairahan dengan diri sendiri (narsisime) yang cenderung memandang dunia sebagai tempat pemuasan hawa nafsu hewani. Munculnya kebudayaan konsumer dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi yang menjadikan konsumen sebagai raja; menghormati setinggi-tinginya nilai-nilai individu yang memenuhi selengkap dan sebaik mungkin kebutuhan aspirasi keinginan dan hawa nafsu yang membuka peluang bagi setiap orang untuk asyik dengan diri sendiri. Kondisi kehidupan masyarakat konsumer perkotaan adalah sebuah kondisi yang di dalamnya hampir seluruh energi dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu kebendaaan, kekayaan, kepuasan seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan dan

19 Yasraf Amir Pilliang, Sebuah Dunia, hal. 46

41

kesenangan. Sementara penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan, peningkatan kesalehan dan pencerahan spiritual hanya memiliki sedikit ruang. Di dalam kebudayaan ini banyak dikuasai oleh hawa nafsu ketimbang ke dalaman spiritual, maka ketika sebuah revolusi kebudayaan timbul yang ada tidak lebih dari pada sebuah revolusi dalam penghambaan diri bagi pelepasan hawa nafsu. Felix Guattari adalah salah seorang dari banyak pemikir kontemporer yang melihat bahwa kini tidak ada lagi perjuangan revolusioner yang dapat hidup tanpa menghambakan diri pada pembebasan hawa nafsu. Dengan mendekonstruksi norma-norma dan moralitas yang mengatur hawa nafsu dengan melepaskan belenggu dan membiarkan hidupnya dalam keaneka ragaman bentuk seksual dan erotika (waria lesbian, masakisme). Sehingga lenyaplah perbedaan antara normal dan abnormal dengan membuka selubung diri selebar selebarnya, seperti yang sering dipelihatkan oleh bitang film Barat, sehingga lenyaplah dimensi rahasia karena membuka katup dan membiarkan modal (capital) mengalir sebebas bebasnya, sehingga lenyaplah nilai guna dengan menghanyutkan diri sedalam-dalamnya dalam gairah kesenangan citraan dan tontonan, serta lenyaplah batas antara realitas dan fantasi.20 Karena itu, revolusi kebudayaan mencapai titik ektrem dan di mungkinkan semakin mempersempit ruang bagi perenungan penghambaan dan pencerahan spiritual. Revolusi budaya ini tengah mengancam budaya bangsa di tanah air. Budaya pop anak muda mulai berkembang. Penampilan mereka mirip dengan saudara-saudaranya yang bule di Barat, tampaknya apa yang mereka lihat melalui televisi hitam-putih langsung ditiru. Saudara bulenya memperlihatkan percintaan bebas para remaja disini telah terpengaruh. Mereka memakai pakaian yang memperlihatkan aurat, di sini juga begitu. Begitu pula dengan pandangan hidup. Saudara bule berpandangan bahwa melakukan seks bebas adalah hak asasi seseorang, maka saudaranya yang disini berpendapat seperti itu pula.

20 Bur Ruswanto, “Diperlukan Reformasi Kebudayaan”, dalam Dialog Kini dan Esok, (Jakarta: Lepenas, 1997), hal. 196

42

Budaya ini ditandai banyaknya mereka berilusi, sehingga sering terjebak dengan gaya hidup hura-hura. Kenyataan hidup ternyata tidak bisa melepaskan diri dari setumpuk masalah, masalah kegelisahan diri, jiwa yang tidak tenteram atau masalah yang berkaitan dengan orang sekitarnya. Untuk menenangkan sementara, mereka lari ke minuman maupun bentuk lainnya. Bentuk pelarian ini menimbulkan semakin rusak mentalnya dan membunuh otensi dirinya di tengah bangsa sedang giat melakukan pembangunan. Akulturasi budaya memang sesuatu yang tidak bisa dielakkan.21 Budaya Barat memang telah lama ada yang di adopsi oleh orang Jakarta, seperti memakai celana, dasi, jas yang mudah diterima oleh masyarakat. Tetapi ada budaya-budaya yang dilandasi oleh kebebasan. Budaya kebebasaan ini sering diekpresikan melalui kebebasan mengeluarkan aurat wanita yang ditonjolkan dan diperlihatkan secara umum dengan kemontokannya. Kemudian budaya hidup bebas antar wanita dengan pria tanpa adanya ikatan perkawinan. Budaya-budaya ini berkembang di Barat. Hanya saja di Barat ada banyak budaya yang patut ditiru oleh kita seperti budaya bersih, disiplin, bekerja keras, dan etos keilmuannya yang tinggi. Di Jakarta sebagai kota besar rasa sosial atau sikap gotong royong mengalami pemudaran, artinya rasa gotong royong masyarakat sudah berkurang, mereka hanya asyik dengan kegiatannya masing-masing atau kegiatan yang hanya memberikan dampak ekonomi. Mungkin ada tersisa rasa sosial tetapi hanya kepada kelompok atau kelompok pertemanan di sekitar kita. Hal ini berdampak kepada konsep keluarga. Kalau di pedesaan memegang pola keluarga besar, yang terdiri dari orang tua, saudara kandung, saudara tiri, garis keturunan dari pihak ayah, ibu, nenek atau kakek, mereka masih saling tolong menolong, rasa solidaritas sosial masih tinggi. Kini rasa solidaritas sosial hanya terbatas pada keluarga inti yaitu ayah, ibu dan saudara sekandung. Masyarakat Jakarta memiliki budaya yang penuh toleransi. Budaya toleransi ini merupakan khazanah budaya Indonesia yang sejak lama bermbang. Budaya toleransi bukan barang yang sudah

21 Bur Ruswanto, “Diperlukan Reformasi Kebudayaan”, hal. 197

43

jadi, tetapi memerlukan pembinaan yang terus menerus, Dalam konstitusi, Negara Indonesia menempatkan semua warga Negara dalam posisi yang sama, tidak ada diskriminasi pada suatu keyakinan atau suku tertentu. Pembinaan toleransi semakin intensif dilakukan pada saat Orde Baru yang semangatnya dirumuskan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Toleransi beragama pada masa Alamsyah Prawiranegara sebagai Menteri Agama di ungkapkan dalam jargon agree disagreemen setuju dalam ketidak setujuan.22 Hanya saja konsep ini belum sepenuhnya diterima dan belum menjiwai para tokoh agama. Hal itu di dorong oleh semangat ajaran agamanya yang memerintahkan untuk menyebarkan agamanya dan memberi kebahagian bagi yang memeluknya. Maka dakwah agama bukan saja terbatas kepada pemeluknya, tetapi juga mengharapkan semua orang menjadi pemeluk agamanya. Akibat dari belum adanya toleransi agama, maka di saat reformasi ini muncul letupan kerusuhan antar etnis di berbagai tempat, dan memakan korban jiwa dalam jumlah yang sangat banyak. Mereka tidak merasa lagi kalau mereka bersaudara dalam sebuah bangsa. Intoleransi yang terjadi antar pemeluk agama tergambarkan dalam peristiwa di mana umat Islam yang sedang menjalankan Hari Raya Idul Fitri di serang oleh saudaranya yang berlainan agama, lupa kalau di antara saudaranya yang sedarah ada yang berbeda keyakinan. Ini terjadi karena diawali oleh dua pemeluk agama yang berebut seorang penumpang, peristiwa membesar, seolah peristiwa ini sudah di skenario sebelumnya, dan kemudian menjadi peristiwa yang tragis yang memakan korban jiwa dan ribuan orang terusir dari tempat tinggalnya. Budaya lain yang disinyalir yaitu budaya sogok-menyogok dan budaya mengerogoti harta kekayaan Negara, yakni budaya korupsi. Korupsi yang tinggi di Indonesia telah menempatkan pada peringkat tertinggi di dunia dan kedua di Asia setelah Banglades. Ini sangat ironis, karena terjadi di tengah bangsa yang mayoritas umat Islam dan di tengah umat beragama, dimana semua agama tidak memperkenankan umatnya melakukan hal tersebut.

22 Hasbi Indra, Departemen Agama Sebagai Perekat Persatuan Nasional" dalam Majalah Ikhlas, No. II, th. III, 2000, Dep. Agama RI, hal. 52.

44

Korupsi telah menggerogoti sendi-sendi moralitas dan ekonomi bangsa. Bangsa ini adalah bangsa yang memiliki sumber daya alam yang besar, saat ini jatuh miskin dikarenakan perilaku korupsi yang akut. Ini terjadi di awali para pengusaha yang umumnya beretnis China. Untuk mengembangkan usahanya memberikan upeti ke penguasa, dengan cara ini mereka mendapat pekerjaan sampai kemudian menjadi pengusaha besar (konglomerat). Begitu pula yang terjadi di pemerintahan, untuk menduduki jabatan tertentu, mereka menggunakan uang pelicin. Mereka yang berwenang membangun infrasrruktur diberikan fee yang cukup untuk membeli rumah dan mobil mewah. Para pengusaha dan penguasa saling bekerjasama dalam melakukan hal itu, dan mereka saling menyimpan rahasia. Gerakan korupsi ini semakin menggejala di berbagai lapisan masyarakat, misalnya untuk menjadi guru, menjadi pegawai dan menduduki jabatan tertentu diperlukan sogokan guna memudahkan rujuannya. Mengurus KTP, SIM di kantor kelurahan dan kantor polisi memerlukan uang yang tidak resmi. Di kampus, untuk mendapatkan nilai bagus perlu pula membayar tenaga pendidiknya (dosen), Korupsi telah menggurita, sehingga mengantarkan bangsa ini pada bencana nasional. Bangsa kian terpuruk, martabat bangsa jatuh di mata bangsa lain. Budaya mistik, budaya lain yang sedang berkembang.23 Budaya ini sebagai budaya nenek moyang yang dapat dikatakan sebagai budaya primitif. Mistik sama artinya percaya dengan mitos, sesuatu yang diragukan terjadi atau bahkan sesuatu yang tidak pernah terjadi. Mistik, akhir-akhir ini semakin berkembang karena di mediasi hampir di semua televisi. Mistik digambarkan ada tempat-tempat berkumpulnya makhluk gaib, atau terdapat jejak manusia yang pernah mengalami kecelakaan dan mati, ruhnya gentayangan, yang dijelaskan oleh seseorang yang katanya memiliki kemampuan untuk melihat hal itu. Digambarkan pula ada tempat, apakah itu di gunung atau di suatu tempat keramat di mana banyak orang mencari rezeki dengan cara melakukan seks bebas antara seorang wanita dan pria yang bukan

23 Bur Ruswanto, “Diperlukan Reformasi Kebudayaan”, hal. 199

45

suami istri. Di televisi digambarkan pula cara mencari rezeki melalui babi ngepet seorang manusia yang berubah menjadi babi dan mencuri uang, atau melalui cara lain yang menggunakan setan. Orang banyak mendatangi dukun-dukun untuk meloloskan diri- menduduki jabatan tertentu, atau bagi artis untuk menambah penampilan agar menjadi menarik, atau dendam seseorang kepada orang lain dengan cara melalui pembalasan yang bersifat mistik. Mistik dapat pula terjadi pada orang yang menunjukkan kekebalan badannya yang tidak mempan ditusuk, atau memakan suatu benda tajam tanpa melukai dan membahayakan nyawanya. Mistik, bukan saja menumpulkan otak manusia, bahkan lebih dari itu, mistik semakin meniadakan kemampuan otak manusia atau otak manusia ditempatkan di dengkul. Padahal, dalam sejarah peradaban umat manusia, manusia di tuntut agar mengembangkan ilmu pengetahuan dan menciptakan teknologi yang dapat memudahkan kehidupan manusia harus melalui hasil kerja otaknya, artinya menempatkan otaknya pada tempat yang tinggi. Begitu pula dalam hal manusia mengembangkan ekonomi yang maju sekarang ini melaiui lembaga keuangannya adalah hasil kerja otak manusia pula. Untuk maju, ekonomi atau usaha diperlukan penerapan manajemen modern, bukan malalui makhluk lain yang pada dasarnya lebih rendah dari manusia. Akibat dari berkembangnya budaya mistik ini, memberikan dampak munculnya budaya malas atau budaya tidak disiplin semakin berkembang di tengah masyarakat. Bila budaya ini semakin menggejala di masyarakat, lambat laun akan membawa kemunduran bangsa ini ke depan. Budaya lain, yaitu budaya kenduri berkembang pula.24Budaya ini bagian tradisi di masyarakat. Terutama di masyarakat Muslim, hampir di setiap momen agama atau momen non agama, sepanjang Tahun dipenuhi oleh budaya kenduri. Untuk menjadi seorang Muslim tampaknya harus memiliki kekayaan yang banyak karena harus mengikuti budaya kenduri. Mulai dari kenduri yang bersifat agama seperti perayaan Isra' Mi'raj, Maulid Nabi, Hari Raya Qurban

24 Bur Ruswanto, “Diperlukan Reformasi Kebudayaan”, hal. 199

46

dan Fitri, kemudian kenduri bulan-bulan tertentu seperti bulan Rajab. Kenduri lain, seperti ada kematian salah seorang keluarga; semuanya memerlukan dana yang tidak sedikit dan dana itu terhitung tidak produktif, Hidup miskin di tengah masyarakat yang mengutamakan kenduri, sungguh menjadi beban psikologis yang berat, karena bagaimanapun manusia semiskin apapun tidak mau dikatakan ia seorang yang tidak berpunya atau tidak sama dengan orang lain. Maka, dapat ditemukan di suatu tempat almarhum yang miskin mewasiatkan anak cucunya untuk menjual sebidang tanah, agar kelak setelah ia meninggal dunia dapat dikenduri dan dido'akan oleh seorang kyai. Padahal, hanya tanah itu yang diandalkan keluarga untuk menopang kehidupan. Di tengah bangsa yang berkembang, budaya-budaya tersebut mengakibatkan akan berkurangnya penggunaan otak dan lemahnya berikhtiyar (ethos kerja), lalu muncul bentuk budaya lain yakni budaya konsumtif. Budaya dimana masyarakat yang hanya mampu membeli sesuatu meskipun kadang dipaksakan. Fenomena ini banyak terjadi di tengah masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif seperti membeli kulkas, TV, mereka meminjam ke rentener. Mereka sebenarnya tidak mampu membeli barang-barang itu, tetapi karena mendahulukan gengsi dan agar bisa dikatakan tetangganya seorang yang kaya, mereka terpaksa membeli. Dapat diduga, mereka tidak mampu membayar hutang, akhirnya rumah yang ditempati terpaksa diambil oleh rentener. Demikian, bangsa Indonesia termasuk masyarakat Betawi memiliki budaya yang beraneka ragam dan ada yang patut dipertahankan ada yang tidak,25 budaya baik yang dapat dikembangkan untuk kemajuan bangsa ini seperti budaya disiplin, bekerja keras, memiliki etos keilmuwan yang kini merupakan budaya Barat. Ini menghindari budaya yang merugikan seperti tidak toleransi, korupsi, mistik dan sebagainya. Budaya-budaya negatif perlu di reformasi sementara budaya positif perlu dikembangkan.

25 Bur Ruswanto, “Diperlukan Reformasi Kebudayaan”, hal. 200

47

B. Situasi Politik Dari sisi politik masyarakat Betawi berada pula dalam lingkaran dinamika politik yang ada. Masyarakat Betawi hidup di Jakarta, Ibukota Negara Indonesia; adanya dinamika politik nasional langsung mereka rasakan. Selain itu di Jakarta, kekuatan-kekuatan politik besar telah muncul baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jakarta telah menjadi pusat perpolitikan nasional, dimana hampir semua partai politik mendeklarasikan dirinya serta menempatkan sekretariat partainya di kota ini. Suasana politik Indonesia telah berkembang sejak era penjajahan Belanda di Nusantara, pada masa ini telah berdiri beberapa organisasi seperti berdirinya Budi Utomo Tahun 1908, Serikat Dagang Islam (SDI) Tahun 1911, dan Indische Partij Tahun 1913.26 Kemudian ada pula partai Sarikat Islam (SI) yang berideologi

26 Kaitan partai politik telah tumbuh pemikiran politik melalui kajian kitab kuning, atau pembelajaran melalui Negara-Negara Islam seperti di Mesir. Pemikiran politik Timur Tengah banyak mempengaruhi pemikiran Islam dalam berpolitik. Dipahami bahwa Islam itu tidak dapat dilepaskan dari masalah politik dan Islam itu adalah ideologi, karena untuk memperjuangkan ideologi Islam yang bersumber kepada Al-Qur'an dan Hadits dan dapat menerapkan syari'at Islam melalui kekuasaan Negara, maka diperlukan partai politik Islam. Di Turki misalnya, ada partai politik yang berideologi Islam dan di Mesir ada partai Ikhwan al-Muslimin, Partai ini memperjuangkan ideologi Islam yang bersinonim memperjuangkan syari'at Islam sebagai suatu kewajiban syar'i sebagian orang Islam memahami adalah dosa bila tidak memperjuangkannya. Paham inilah yang dipegang oleh tokoh Islam pada awal-awal kemerdekaan. Mereka berpandangan karena umat Islam mayoritas di negeri ini hendaklah berdasarkan kepada ideologi Islam, sementara itu tokoh lain seperti Soekarno menyatakan bahwa dasar Negara Indonesia hendaklah merupakan aspirasi seluruh bangsa yang memiliki berbagai agama dan keyakinan, dan Pancasilalah dapat dijadikan dasar Negara. Tetapi Soekarno menyatakan, bahwa kelak umat Islam dapat memperjuangkan cita-citanya itu melalui parlemen. Perhatian tokoh Islam hampir 100 persen ke bidang tersebut sementara bidang lain seperti ekonomi terbengkalai, karena bidang politik adalah bidang yang terhormat dan segera menjanjikan secara ekonomi. Hasil dari pertarungan ini kemudian dirumuskan menjadi dasar Negara yang pertama kali disepakati oleh tokoh-tokoh nasional yang disebut dengan "Piagam Jakarta" yang salah satu isinya adalah "Ketuhanan dan Kewajiban Bagi Umat Islam Melaksanakan Syari'atnya". Tetapi dalam buku sejarah dijelaskan, ada keberatan terhadap kesepakatan itu dari non Islam di Indonesia Timur, mereka akan memisahkan diri bila diberlakukan Piagam Jakarta.26 Melalui pembicaraan antar tokoh perumus dasar Negara, maka dicapai kompromi pada

48

Islam, perjuangannya menentang penjajahan Belanda, menjadi besar dibawah pimpinan Tjokroaminoto Tahun 1913.27 Di Jakarta yang bernama Batavia pada waktu itu menjadi tempat istimewa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.28 Organisasi pemuda Jongjawa muncul di Batavia pada tahun 1915 dan Jong Islamiten Bond (JIB) lahir pada tahun 1926. Pada tanggal 1 Januari 1923 didirikan organisasi Islam Betawi, sebagai gerakan perjuangan bangsa Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 1945 terjadi peristiwa bersejarah “sumpah pemuda” di Batavia dengan ikrar, “Satu Bangsa, Satu Bahasa, dan Satu Tanah Air”, yang menyalakan api perjuangan dari Sabang sampai Merauke. Pada masa perjuangan kebangsaan Indonesia muncul berbagai organisasi pergerakan nasional seperti: Boedi Oetomo (1908), Syarikat Islam (1911), (1912), (1926), Partai Nasionalis

Sila Pertama yang semula Ketuhanan dan kewajiban umat Islam melaksanakan syari'atnya, berganti menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa dan disepakati bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945. 27 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Grafiti Prees, 1987), hal. 5. Lihat pula Hasnul Arifin Melayu, “Islam As an Ideology the Political Though of Tjokroaminoto”, Studia Islamika, Vol. 9, Number 3, 2002, hal. 39 28 Pada masa perjuangan kemerdekaan orang-orang Betawi telah melakukan perlawanan kepada kaum penjajah Belanda. Misalnya di masyarakat Betawi dikenal seorang yang bernama Si Pitung, ia seorang pemberani yang melakukan perlawanan terhadap kaum penjajah. la lahir di Kebayoran Lama, terkenal sebagai perampok yang bertubuh kebal terhadap bacokan dan tembakan. Korbannya adalah orang Belanda dan penghisap darah rakyat jelata. la terkenal di Batavia, karena hasil rampasannya dibagi-bagikannya kepada rakyat jelata. Belanda sangat kesulitan menangkap Si Pitung. Belanda menugaskan tukang cukur untuk mematai-matai Si Pitung, dan mencari rahasia kekebalannya. Tukang cukur tahu rahasianya. Pada saat Si Pitung melepaskan jimat-jimatnya, tukang cukur melaporkannya kepada Belanda. Kompeni menembak Si Pitung dengan pelor emas, terbunuhlah Si Pitung. Selain itu ada versi lain menceritakan bahwa pelor itu tidak mempan, tetapi atas bantuan gurunya, karena ketidaksetujuan atas perilakunya, si Pitung ditangkap dan dipotong-potong serta mayatnya di kubur di beberapa tempat. Tokoh Betawi yang lain yaitu Si Jampang, ia menjadi legenda di daerah Marunda, Jakarta Utara. la lahir di Betawi dan terkenal jago silat dan banyak menolong rakyat menentang penjajah, karena rakyat dibebani pajak yang berat, dan merampas tanah rakyat. Belanda berusaha membunuhnya melalui orang ketiga, yaitu teman Si Jampang. Akhirnya ia terbunuh dan dimakamkan di daerah Marunda. Lihat Taufik Effendi Muluk dan Sutarjo, Beberapa Kumpulan Epos Betawi, (Jakarta: Dinas Mesium dan Sejarah DKI, 1979), h. 12- 24.

49

Indonesia(1927), al-Jam’iyah Al-Khairiyat (1901) dan banyak lagi organisasi pergerakan lainnya. Pergerakan yang ada di Batavia sangat berperan dalam mengantarkan bangsa Indonesia mengusir penjajah Belanda.29 Setelah Belanda dapat diusir dari Nusantara, Jepang menduduki Batavia pada tanggal 5 Maret 1942. Jepang yang menerapkan ajaran “Seikeirei” mendapatkan perlawanan dari K.H. Zainal Mustafa dan pengikutnya. Pertempuran yang terjadi pada tanggal 25 Februari. 1944 menyebabkan terbunuhnya 120 pengikutnya. Kyai Zainal Mustafa ditangkap dan dipenjarakan di Cipinang Jakarta, dan pada tanggal 25 Oktober 1944 ia dibunuh secara kejam dan dimakamkan di Ancol Jakarta.30 Pada masa penjajahan Jepang kalangan Islam berharap tuntutan politik yang sering mendapatkan penolakan dari pemerintahan Belanda sebelumnya, mendapat kompromi dari pihak Jepang.31 Namun, apa yang diharapkan ternyata mengalami nasib yang sama. Pemerintahan Jepang bahkan mengharamkan semua organisasi yang didirikan di masa pemerintahan sebelumnya. Tepatnya, pada tanggal 20 November 1942 semua kegiatan politik termasuk rapat-rapat untuk membicarakan organisasi dan struktrur pemerintah dilarang. Pemerintah Jepang rupanya sangat memerlukan dukungan rakyat untuk usaha-usaha peperangan mereka. Untuk itu, ditunjuklah 4 tokoh bangsa yaitu Soekarno, Moh. Hatta, Ki. Hadjar Dewantara, dan Haji Mas Mansyur. Keempat tokoh ini diharapkan dapat membantu mengerahkan rakyat untuk berada di belakang pemerintahan Jepang. Untuk tujuan itu pula Jepang memberikan perhatian terhadap kalangan Islam dan mengesahkan berdirinya organisasi Muhammadiyah dan NU pada tanggal 10 September 1943, dan mengesahkan Persarikatan Umat Islam di Majalengka, serta Persatuan Umat Islam di Sukabumi tanggal 1 Februari 1943. Pengesahan ini didorong antara lain oleh karena adanya kemunduran kedudukan Jepang dalam berhadapan dengan

29 Muhammad Zafar, Islam, h. 90. 30 Muhammad Zafar, Islam, h. 96. 31 Lihat Kobayashi Yasuka, "Kyai and Japanese Military", Studia Islamica, IA1N Jakarta, Vol. 4, 1997, h. 70-93.

50

Sekutu. Pihak Jepang memerlukan dukungan rakyat Indonesia melalui organisasi-organisasi Islam yang memiliki akar yang kuat di pedesaan. Kemudian mereka memperhatikan pula organisasi- organisasi yang berasal dari kalangan yang netral agama, seperti organisasi Taman Siswa.32 Di masa penjajahan Jepang ini, MIAI didirikan kembali di Jakarta tanggal 5 September 1942. Federasi ini diubah menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia tahun 1943.33 Namun, anggota- anggotanya tidak meliputi organisasi-organisasi Islam di luar Jawa, oleh karena adanya pemisahan administrasi pemerintahan ketika itu. Anggota-aggotanya pun terbatas pada organisasi Islam yang diakui saja. Sungguhpun kegiatan federasi ini terbatas, tetapi ia dapat dianggap sebagai penghimpun kekuatan Islam yang oleh saudara- saudaranya seagama di luar Jawa dapat ditauladani. Kegiatan mereka antara lain menerbitkan semacam buletin Soeara MIAI dan dilanjutkan dengan menerbitkan buletin Soeara Moeslimin Indonesia ketika federasi berubah menjadi Masyumi. Kegiatan lain diadakan, yaitu pada tahun 1943 Masyumi mengadakan pelatihan ulama yang berlangsung selama sebulan yang pesertanya 60 orang, mereka berasal dari berbagai Kabupaten. Kemudian pada tahun 1944 dilaksanakan pula pelatihan selama 3 bulan untuk melatih guru-guru agama, yang jumlah pesertanya 80 orang. Para pesertanya diberi mata pelajaran ilmu pengetahuan umum, semangat dan kepercayaan orang Jepang, metode mengajar, olahraga, dan baris berbaris. Di pelatihan-pelatihan itu telah mempertemukan para ulama dari berbagai kelompok Islam, apakah itu dari Muhammadiyah, NU, PSII dan lainnya. Mereka terkadang berdebat tentang soal agama yang menjadi keyakinan dan pegangan mereka masing-masing. Mereka berdebat pula tentang keyakinan yang dianut oleh pemerintah Jepang dengan “Seikeirei”nya. Sekalipun tidak sepakat dengan keyakinan itu, secara terpaksa mereka dapatkan dalam ruang latihan. Berkah adanya dialog dan perdebatan tentang "Seikeirei" itu,

32 Deliar Noer, Partai-partai Islam di Pentas Nasional, h. 23. 33 Lihat Ahmad Syafi'i Ma'arif, Islam dan Politik Jakarta: (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 15

51

mereka semakin sadar betapa relatifnya ajaran agama orang Jepang dan benarnya ajaran Islam yang mereka anut. Pihak Jepang sangat terpukul dengan jatuhnya bom Sekutu di kota Nagasaki dan Hiroshima yang menelan korban 145 ribu orang dan Kaisar Jepang Hirohito menerima kekalahan secara mutlak. Pada tanggal 15 Agustus 1945 di kota Jakarta terjadi suasana yang tegang dan tersiar berita bahwa Jepang akan menyerah kepada tentara Sekutu. Soekarno dan Hatta menggunakan kesempatan itu untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Rumah Soekarno di Pegangsaan Timur No. 56, pagi jam 10.00 tanggal 17 Agustus 1945 pada bulan Ramadlan. Peristiwa ini memberikan tempat terhormat bagi Jakarta dalam sejarah Nasional Indonesia, dan Jakarta direbut dari tangan Jepang. Setelah proklamasi kemerdekan kelompok pemuda di Gedung Menteng 31 membentuk sebuah organisasi Angkatan Pemuda Indonesia (API). Pada tanggal 19 September 1945 para pemuda itu mengadakan keliling kota supaya rakyat secara pasti mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka. Jakarta mempunyai saham besar dalam perjuangan bangsa Indonesia di masa revolusi antara tahun 1945 sampai tahun 1949. Soekarno sebagai presiden menaruh perhatian khusus dalam pembangunan Jakarta. Di bangun gedung-gedung dan tempat- tempat terpenting seperti Monumen Nasional, Hotel Indonesia, Gedung Sarina, dan Jembatan Semanggi dan banyak lagi bangunan penting lainnya.34 Setelah Jepang jatuh umat Islam memperjuangkan aspirasinya dalam wadah partai Masyumi. Sejak awal-awal kemerdekaan, kedudukan kelompok Islam dalam Badan Usaha Penyelidik Panitia Kemerdekaan (BUPPKI) sangat lemah. Posisi mereka juga dipandang tidak menguntungkan dibandingkan dengan kelompok Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang menurut pimpinan negara (Soekarno) merupakan satu-satunya partai dalam negara baru itu. Sungguh pun partai ini tidak dapat dikatakan mempunyai hubungan dengan PNI yang dipimpin oleh Soekarno pada tahun 1920-an,

34 Muhammad Zafar, Islam, h. 97-98.

52

namun dengan dukungan Soekarno dan Moh. Hatta, partai PNI itu bergema juga. Baru setelah diperbolehkan sistem banyak partai oleh pemerintah, citra PNI sebagai satu-satunya partai negara berubah. Berdiri pula di Komite Nasional Indonesia (KNIP) yang merupakan badan perwakilan rakyat, menunggu terbentuknya parlemen terpilih yang anggotanya dipilih oleh presiden, posisi wakil Islam juga lemah, karena di Badan Pekerjanya dari 136 anggotanya, hanya 2 orang yang berasal dari kelompok politik Islam. Pada waktu merumuskan apa dasar negara Indonesia yang akan dimerdekakan nantinya, komponen-komponen bangsa berselisih tentang hal itu. Umat Islam melalui wakil-wakilnya berpandangan bahwa negara Indonesia hendaklah berdasarkan Syari'ah Islam. Hal tersebut didasari oleh dua hal, pertama, bangsa Indonesia mayoritas beragama Islam. Kedua, Syari'ah Islam yang bersumber kepada al-Qur'an dan Hadits sebagai sumber hukum yang lengkap. Dua sumber itu bukan saja mengatur tentang umat manusia di dunia ini tetapi juga untuk kehidupan manusia di akhirat. Komponen bangsa lain, yaitu kelompok yang menamakan dirinya nasionalis dan non Islam menyatakan bahwa dasar negara hendaklah bersifat netral yang dapat memayungi semua umat beragama yang ada. Alhasil, semua pihak sepakat tentang dasar negara yang memuat sila-sila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Hanya saja umat Islam mengusulkan dalam Sila Pertama hendaklah berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kewajiban Umat Islam Melaksanakan Syari'ah Islam”, sedangkan empat sila yang lain tidak diperselisihkan. Akhir dari perdebatan ini, disepakati dan dipenuhi aspirasi umat Islam itu. Kesepakatan itu disebut dengan “Piagam Jakarta”. Namun, pada waktu itu Moh. Hatta, salah seorang perumus dasar negara mendengar, bahwa bila yang disepakati itu dilaksanakan, mereka yang berada di bagian Indonesia Timur yang umumnya beragama Kristen akan memisahkan diri. Merespons aspirasi ini Moh. Hatta berembuk kembali dengan wakil umat Islam dan disepakatilah sila pertama yang dikenal saat ini, yang berbunyi:

53

“Ketuhanan Yang Maha Esa” (setelah disepakati oleh mereka bahwa Piagam Jakarta mensemangati perumusan sila tersebut).35 Selanjutnya, dalam kaitan menyambut pengumuman pemerintah tanggal 3 Oktober 1945 yang membebaskan rakyat untuk mendirikan partai, umat Islam merasa terpanggil untuk mengorganisasikan dirinya dalam satu wadah politik sendiri untuk memperjuangkan aspirasinya. Dalam rangka merealisasikan hal tersebut, maka diadakanlah Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta tanggal 7 dan 8 November 1945 yang dihadiri oleh hampir semua tokoh organisasi Islam. Muktamar itu memutuskan untuk mendirikan Majelis Syura Pusat bagi umat Islam Indonesia, suatu nama yang mirip dengan Masyumi sebelumnya, yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam. Mulanya hanya empat organisasi yang masuk ke wadah tersebut, yaitu: Muhammadiyah, NU, Persarikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam. Kemudian bergabung pula Persatuan Islam Bandung tahun 1948, Sarikat Muslimin Indonesia Banjarmasin tahun 1949, Al-Irsyad (Jakarta) tahun 1950, menyusul Al-Jam'iyah al- Wasliyah dan Al-Ittihadiyah. Bahkan, Persatuan Ulama Aceh (PUSA) yang sangat berpengaruh besar di daerah itu pada tahun 1949 sampai sekurang-kurangnya tahun 1953 menyatakan diri bergabung pula dengan partai itu. Selain itu, ada pula organisasi Islam yang ditolak untuk bergabung yaitu Ahmadiyah Lahore, yaitu aliran Qadian karena dianggap tidak termasuk ahl al-sunnah wa al-jama'ah.36 Pada masa berikutnya, betapapun pada masa itu banyak orang yang ingin bergabung dengan Masyumi, tetapi akhirnya Anggota Istimewa Masyumi menyatakan putus hubungannya dengan partai ini. Ini terjadi pada puncak-puncaknya pertentangan antara Soekarno dengan Masyumi. Soekarno melihat Masyumi telah

35 Muhammad Kemal Hasan, Modernisasi Indonesia, Respon Cendikiawan Muslim, (terj.) Ahmadi Thaha, (Jakarta: LSP, 1987), h.16. 36 Organisasi Islam yang sejak awal tidak bergabung dengan Masyumi adalah Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Hubungan tokoh-tokoh Partai Politik Tarekat Islam (PPTI) kurang mesra dengan Mejelis Islam Tinggi. Partai Islam di Sumatera Utara bergabung dengan Masyumi dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) menetapkan diri sebagai partai politik pada 22 Nopember 1945, Deliar Noer, Partai, h, 50.

54

bersimpati dengan pemberontak Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Sebaliknya Masyumi, melihat Soekarno sebagai penguasa yang ingin menegakkan kediktatoran dan memberi angin kepada Partai Komunis Indonesia. Pimpinan partai, setelah bermusyawarah dengan pimpinan Anggota Istimewa, menyatakan melepaskan ikatannya dari partai tanggal 8 Nopember 1959. Kebijakan ini diambil untuk menjaga kelancaran kegiatan organisasi-organisasi yang bersangkutan, sekiranya Masyumi nantinya mendapat hambatan dalam geraknya. Selain itu, persoalan keanggotaan, merupakan hal lain yang juga memicu perpecahan dalam Masyumi. Bagaimana hubungan antara Anggota Istimewa dengan partai masih menjadi persoalan yang tidak terselesaikan sepenuhnya. Juga persoalan apakah keanggotaan dalam partai Masyumi, keanggotaannya berdasarkan perorangan ataukah berdasarkan federasi. Bila berdasarkan federasi yang berlaku, berarti penghapusan anggota berdasarkan perseorangan. Sistem keanggotaan yang berdasarkan perorangan disepakati, yaitu tetap menegakkan keanggotaan inti, tetapi masalah hubungan Anggota Istimewa dengan partai masih belum terpecahkan sepenuhnya.37 Perpecahan yang sangat terasa terjadi di tengah umat Islam dengan keluarnya NU dari Masyumi. Perpecahan ini antara lain disebabkan oleh pembagian kekuasaan yang tidak seimbang di dalam pemerintahan. NU mengharapkan agar kursi Menteri Agama dapat ditunjuk dari kalangan mereka. Namun, Dewan Syura Masyumi memutuskan memilih KH. Fakih Usman (berasal dari Muhammadiyah) menduduki kursi Menteri Agama (Menag). Kegagalan tersebut, semakin memotivasi mereka untuk keluar dari Masyumi dan membentuk NU sebagai partai tersendiri. Dalam penerapan berpolitik atau berdemokrasi diselenggaraan Pemilu Pertama di Indonesia Tahun 1955 yang berlangsung secara bebas dan demokratis dan di ikuti oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan partai-partai Islam seperti Masyumi, NU dan Perti, tidak satupun partai yang mendapat

37 Deliar Noer, Partai, h. 86.

55

suara mayoritas. Dalam kampanyenya, partai-partai Islam akan memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara, begitu pula partai PKI yang mencitakan komunis sebagai dasar Negara, partai lainnya menyuarakan nasionalisme kebangsaan. Ketika pada sidang di parlemen, para wakil rakyat terus memperjuangkan ideologi masing- masing, dan mempersoalkan kembali ideologi Negara, yang sudah di sepakati oleh The founding father Tahun 1945. Mereka bertahan pada argumentasi masing-masing. Kondisi itu terus berkepanjangan dan tidak menemukan titik temu atau jalan tengahnya. Sementara itu rakyat merasa tidak puas dengan hasil kerja parlemen karena mereka hanya mempersoalkan dasar Negara, sementara masalah lain seperti masalah kesejahteraan rakyat terabaikan. Mereka berdemontrasi dan meminta kepada Soekarno untuk mengatasi keadaan, Soekarno mengatasi keadaan dengan cara mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang salah satu isinya Kembali kepada UUD 1945.38 Pemilu Pertama yang diselenggarakan pada tahun 1955 ini partai Islam sudah terpecah ke dalam banyak partai. Dalam perolehan suaranya masing-masing, partai Islam di Jakarta mendapat perolehan suara menonjol, di mana perolehan suaranya secara keseluruhan adalah 44,9 persen dengan rincian, yaitu Masyumi meraih 26,1 persen suara, NU 15,7 persen, serta gabungan PSII dan PERTI 3,1 persen. Sementara itu, PNI yang secara nasional meraih 22,3 persen, di Jakarta hanya 19,8 persen, sedangkan PKI 12,6 persen berbanding 16,3 persen secara nasional.39 Secara nasional partai Islam memperoleh 16.518.332 suara dengan 15 kursi di parlemen (termasuk PPTI 85.131suara dengan 1 kursi); dalam konstituante 16.464.008 suara dan 228 kursi terbagi atas Masyumi 7.789.619 suara (112) kursi, NU 6.989.333 (91), PSII 1.059.922 (1), Perti 465.359 (1), PPTI 74.913 (1). Sungguhpun angka ini tidak mutlak memperlihatkan keunggulan, partai Islam sebenarnya bila mereka bisa menggalang sikap dan tindakan bersama, orang lain tidak dengan mudah mempermainkan

38 Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik, hal. 29 39 Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), h.121-121. Lihat pula M. Atho Mudzhar, "" (The Politics of Recycling and the Collapse of a Paradigm), al-Jamiah, IAIN Yogyakarta, No. 5/W2000, h. 3-5- Lihat pula Mendagri, Profil Propinsi DKI Jakarta, (Jakarta: PT. Intermasa, 1990), h. 121 " Deliar Noer, Partai, h. 347.

56

mereka. Sekurang-kurangnya sudah pasti bahwa tawaran pertama untuk membentuk kabinet akan diberikan kepada mereka, bila mereka dapat dianggap sebagai satu kesatuan.40 Selanjutnya beberapa waktu kemudian, suasana politik di Jakarta mengalami ketidakpastian. Parlemen yang bertugas mengemban aspirasi rakyat, terjebak dalam pembicaraan tentang dasar negara. Umat Islam melalui para wakilnya mengusulkan kembali untuk memberlakukan "Piagam Jakarta", agar syari'ah Islam berlaku di negara Indonesia. Sementara, pihak lain yakni suatu kaum yang menyebut dirinya nasionalis dan non Islam ingin tetap mempertahankan rumusan Pancasila yang telah disepakati.41 Sebagai negara yang baru belajar berdemokrasi, memperjuangkan aspirasi bagi setiap orang hal yang lumrah. Persidangan di parlemen pada waktu itu berlangsung seru dan memakan waktu yang panjang dan melelahkan bagi wakil rakyat. Persidangan parlemen belum mencapai suatu keputusan, sementara rakyat merasakan pembicaraan wakil-wakilnya tidak menyangkut langsung kebutuhan-kebutuhan pokok hidup mereka yang sulit dipenuhi. Mereka melakukan demontrasi di luar istana kepresidenan agar presiden Soekarno segera membubarkan parlemen, karena lembaga itu dianggap tidak memikirkan nasib rakyat. Soekarno merespons hal itu dan mengeluarkan Maklumat 5 Juli 1959; yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945. Kemudian, Soekarno membubarkan Parlemen (DPR), dan bersama-sama dengan TNI dan organisasi politik pendukungnya seperti PNI, PKI dan NU menciptakan Demokrasi Terpimpin. Hal itu untuk sementara membawa turunnya suhu politik bagi masyarakat Jakarta. Namun, pada tahun I960 partai terpopuler di Jakarta yaitu Masyumi dilarang, karena dituduh melibatkan diri dalam pemberontakan terhadap pemerintah pusat di Sumatera. Dan di tahun I960 ini pula semua pegawai negeri dipaksa mengikuti ide politik Soekarno yaitu (NASAKOM) yang terdiri dari: Nasionalisme, Islam dan Komunisme. Para pegawai yang tidak setuju dengan ide itu diberhentikan dari pekerjaan mereka. Alhasil, Soekarno, sesuai

40 Muhammad Kemal Hasan, Modernisasi Indonesia Raspon, h.16. 41 Mendagri, Profil, h. 170

57

dengan konsep demokrasi terpimpinnya dalam memerintah menggunakan cara-cara yang otoriter, dan menjadikan politik sebagai "panglima". Akibat dari pengutamaannya terhadap politik, ekonomi rakyat mengalami keterpurukan. Di tengah keadaan yang genting ini partai politik besar seperti PKI bersaing dengan TNI untuk dekat dengan Soekarno. Masing-masing kekuatan itu saling mencurigai. Di saat Soekarno tampak sakit-sakitan, sementara mekanisme pergantian kepemimpinan belum ada; PKI menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan coup de taat. PKI membunuh beberapa Jenderal TNI serta menguasai sarana-sarana vital lainnya, sementara di berbagai daerah mereka melakukan penganiayaan dan pembunuhan terhadap umat beragama. Kekuatan TNI yang juga didukung oleh umat beragama tidak bisa dilumpuhkan, dan dengan berbagai elemen bangsa yang ada seperti TNI, dan umat beragama, PKI dapat dikalahkan di berbagai tempat.42 Perjalanan Negara di bawah Soekarno ini terus berlangsung, namun untuk memberikan warna terhadap ideologi Negara masih terus ada. Dari kalangan Islam muncui kelompok , Negara Islam Indonesia serta yang ditunjukkan oleh Partai Komunis Indonesia. Puncaknya PKI ingin menguasai Negara seperti yang mereka lakukan pada Tahun 1948 di Madiun. Pada malam Tahun 1965 terbunuh 7 Jenderal AD, dan juga pembunuhan terhadap umat beragama terjadi berbagai daerah. Tetapi perebutan tempat vital seperti RRI terjadi antara TNI dengan pasukan PKI, PKI dapat dikalahkan dan banyak terbunuh. Kemudian situasi dapat dikendalikan oleh Soeharto diiringi banyaknya korban terbunuh dari anggota PKI. Pada saat itu situasi Jakarta sangat tegang, terjadi demonstrasi di mana-mana. Gerakan mahasiswa yang terdiri dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Anshar, Persatuan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI) dan lainnya bersatu di dalam wadah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI); begitu pula para pelajarnya, mereka bersatu di dalam wadah Kesatuan Aksi

42 Lihat BJ. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta:Grafiti Press, 1995), h. 145.

58

Pelajar Indonesia (KAPI). Mereka bersama-sama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di bawah kepemimpinan Soeharto dapat mengalahkan Partai Komunis Indonesia (PKI), Soeharto kemudian mendapat Surat Perintah 11 Maret 1965 dari Soekarno. Dengan surat perintah tersebut ia memegang kendali keadaan, lalu beberapa waktu kemudian ia tampil menggantikan Soekarno sebagai presiden RI. Rezim Soekarno dinamai Orde Lama (ORLA) sementara rezim Soeharto dinamai Orde Baru (ORBA). Alhasil, Soeharto mengambil alih pemerintahan dan ia dikukuhkan di Sidang MPRS, melalui Sidang ini pula PKI dan organisasi di bawahnya dinyatakan terlarang. Soeharto di awal pemerintahannya berjanji ingin melaksanakan UUD 1945 secara konsekwen, dan membuat strategi pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi. la mulai mengatur masalah politik yakni membatasi hak-hak politik seperti dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1970 yang intinya melarang pegawai negeri menjadi anggota partai politik dan menetapkan mereka harus memiliki mono loyalitas (kesetiaan tuggal).43 Di awal pemerintahan, Soeharto telah mencanangkan untuk mengoreksi perjalanan pemerintahan sebelumnya yang sangat berorientasi ke bidang politik dan bertekad untuk benar-benar menjalankan amanah UUD 1945. Prioritas pembangunan ekonomi menjadi prioritas utamanya dan menempatkan bidang politik pada prioritas berikutnya. Sebagaimana diketahui tegaknya Orde Baru dan tumpasnya kekuatan PKI, tidak lepas dari peran umat Islam yang merupakan bagian terbesar di negeri ini. Peran umat Islam dan tokoh-tokohnya tidak kecil dalam peristiwa tersebut. Kalau saja umat Islam membiarkan TNI sendiri dalam menghadapi PKI, tentu TNI akan kewalahan dan mungkin mengalami kekalahan; jadilah bangsa Indonesia berada di bawah kekuasaan PKI. Menyadari peran yang sangat besar dalam meruntuhkan pemerintahan Orde Lama, umat Islam minta diperhatikan aspirasi

43 Edi Riyanto, penyt. dalam Partai Politik Era Reformasi, (Jakarta: PT. Abadi, 1998), hal. 56; lihat pula Rusli Karim, Perjalanan,, hal. 153

59

politiknya. Karena mereka merasa bahwa setelah tumbangnya Orde Lama yang otoriter dan digantikan oleh Orde Baru, pemerintahan yang baru akan menumbuhkan suasana yang demokratis.44 Oleh karena itu, adalah tepat bila mereka ingin memperjuangkan beberapa aspirasinya. Pertama, beberapa tokoh Masyumi berusaha untuk merehabilitasi Masyumi yang dibubarkan pada tahun I960 oleh rezim ORLA. Kedua, memperjuangkan agar Islam menjadi dasar negara dan memberlakukan "Piagam Jakarta", sehingga menjelang Pemilu 1972 para pemimpin Islam berupaya menjadikan dasar Islam sebagai dasar negara. Ketiga, kalangan tokoh Islam yang lain hendak mendirikan partai politik Islam yang baru, salah satunya adalah Moh. Hatta, mantan Wakil Presiden RI ini ingin mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII), namun ditolak oleh penguasa ORBA. Ketiga daftar keinginan para tokoh Islam itu tidak satu pun yang diterima oleh pemerintah. Pemerintah beralasan bahwa saat ini bukan saatnya lagi untuk membicarakan persoalan-persoalan yang bersifat ideologis. Sejak saat ini pula pemerintah melakukan kontrol yang sangat ketat terhadap politik Islam. Apa pun yang berbau Politik Islam senantiasa dicurigai oleh pemerintah.45 Harapan umat Islam ternyata hampa, justru yang terjadi sebaliknya, di mana hampir semua aspirasi umat Islam disumbat. Umat Islam ternyata dijadikan teman hanya pada saat menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI), tapi setelah itu umat Islam dipandang sebagai momok yang menakutkan bagi pemerintah Orde Baru. Pemerintah Orde Baru yang dipimpin Soeharto pada dekade ini, dalam kebijakannya banyak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang juga bersifat ideologis, baik melalui tokoh-tokoh TNI yang nasionalis maupun tokoh-tokoh agama tertentu yang bergabung dalam sebuah Lembaga yang bernama CSIS. Lembaga yang berkantor di Jakarta ini memiliki jaringan kuat secara internasional. Sudah umum diketahui bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) inilah

44 Lihat Affan Gafar, "Islam dan Politik Dalam Era ORBA", h. 20. 45 Alfian, Pemikiran dan Pembaharuan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1980), h. 2.

60

sebagai think tank yang memasok semua kebijakan pemerintah yang akan ditetapkan, termasuk menetapkan kebijakan-kebijakan untuk membatasi gerak politik Islam.46 Pada bidang politik, pemerintahan Soeharto menyelenggarakan Pemilu Pertama tahun 1972, yang diikuti oleh partai-partai Islam seperti NU, PSII, Parmusi, kemudian Sekber- , partai PNI, Murba, Partai Kristen Indonesia.47 Penyakit politik lama yang mengusung ideologi masih terus mewarnai kampanye politik, dan mereka akan menerakannya apabila memenangkan Pemilu. Kampanye diwarnai oleh hujatan, saling serang dan bahkan saling kafir-mengkafirkan, akibat yang lebih fatal terjadi perkelahian antar pendukung dan bahkan memakan korban jiwa. Partai-partai yang berbasis Islam pun sesama mereka terjadi pertarungan yang sengit terutama adanya perbedaan khilafiyah. Pemilu di DKI Jakarta telah menghasilkan perolehan suara partai Islam berkisar 36,16 persen, dengan rincian NU mendapat 23,19 persen, PSII 4,83 persen, PARTI 0,59 persen dan PARMUSI 7,55 persen. Sementara itu, Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber- Golkar) mendapat 45,71 persen, dan sisanya untuk partai-partai lainnya.48 Melihat fenomena partai-partai politik Islam yang hanya berkutat masalah ideologi dan melupakan kemakmuran masyarakat

46 Yang memasok konsep berbagai kebijakan Orde Baru, ditengarai adalah Ali Murtopo, seorang Jenderal, penasihat presiden Soeharto terdekat pada waktu itu. Ada dua kelompok dibawahnya, kelompok yang pertama adalah para tokoh Katolik (Kristen) Indonesia yang terdiri dari Liem Bian Kie, Liem Bian Khoen, Herry Tjan dan Moerdopo, mereka mempunyai hubungan dekat dengan Ali Murtopo. Kelompok kedua adalah dari Universitas Gajah Mada Yogayakarta yang sekuler dan tidak simpatik terhadap Islam. Mereka adalah Sumiskun, Sulistyo, Sugiharto, Soekarno dan Suroso, dikenal bersifat anti presiden Soekarno serta memusuhi aspirasi Islam. Kelompok ketiga adalah kelompok Bandung dengan tokohnya Rachmat Toleng dan Midian Sirait. Ketiga kelompok ini merupakan think tank atau tenaga pemikir Golkar untuk modernisasi Indonesia. Konsep modernisasi mereka berdasarkan pemikiran Sutan Sjahrir, Ketua PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang dibekukan pada tahun I960. Ditambah antogonisme mereka terhadap Islam dan anti Komunisme. Muhammad Kemal, Modernisasi, h. 10. 47 Bachtiar Effendi, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 143 48 Lihat Affan Gafar, "Islam dan Politik Dalam Era ORBA", dalam Ulumul Qur'an, No.2, Vol. IV, tahun 1993, h. 19.

61

Islam yang mayoritas ditimpa oleh kemiskinan; menyaksikan sengitnya persaingan antar partai Islam yang saling menyerang masalah-masalah yang bersifat khilafiyah, serta saling mengkafirkan dan diwarnai oleh bentrok massa, dan jauh dari program perbaikan nasib rakyat, karena terfokus menjual ideologi. Maka kalangan muda Islam seperti Nurcholish Madjid dan kawan-kawan mengeluarkan pemikiran politik yang intinya de-ideologi partai Islam, dengan jargon: "Islam Yes, Partai Islam No". Tentu saja pandangan ini mendapat kritik dari mereka yang tidak setuju.49 Sementara itu pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang kontroversial yang dipandang sangat merugikan umat Islam. Ketika pra Sidang Umum MPR 1973, sebuah Komite Pekerja yang dipimpin oleh Daryatmo (seorang pejabat militer) terbentuk, telah menyusun draf GBHN.50 Dalam draf itu tercantum beberapa hal yang mengundang keprihatinan umat Islam yaitu: (1) Menggantikan pelajaran agama dengan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dalam semua tingkat sekolah umum, (2) Anggaran Belanja Negara tahun 1973/1974 untuk urusan keagamaan diturunkan dari satu milyar dua ratus dua puluh enam juta, menjadi hanya Rp. 800 juta, (3) Masuknya aliran kepercayaan dalam GBHN sebagai bagian dari agama resmi yang kedudukannya setingkat dengan agama-agama lain. Persoalan lain yang juga menimbulkan reaksi umat Islam setelah SU-MPR adalah masalah UU Perkawinan yang disodorkan pemerintah ke MPR pada tanggal 6 Agustus 1973 yang beberapa pasalnya sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Terhadap Draf itu, terutama umat Islam di Jakarta banyak menentang dan melakukan demontrasi ke Gedung MPR-DPR Senayan Jakarta.lamUntuk memudahkan pemerintah membina partai politik, maka melalui UU No. 3 Tahun 1975, pemerintah menyederhanakan partai politik sehingga menjadi tiga partai yairu Partai Golkar yang didukung pemerintah dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi partai non pemerintah. PPP adalah partai gabungan partai Islam yaitu partai

49 Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia, Manusia Pancasila, (Jakarta: Galia Indonesia, 1984), hal. 1 50 Muhammad Kemal Hasan, Modernisasi Indonesia, h. 186.

62

PSII, NU, Parmusi dan lainnya. PDI merupakan gabungan partai nasionalis dan agama. Kemudian, pada tahun 1977, pemerintahan Orde Baru kembali lagi menyelenggarakan Pemilu. Karena ekses-ekses Pemilu sebelumnya pemerintah menetapkan peserta Pemilu hanya terdiri dari tiga kontestan, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai- partai yang bergabung di PPP adalah partai-partai Islam, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Murba dan partai nasionalis lainnya bergabung dengan PDI. Peserta Pemilu kali ini disederhanakan oleh pemerintah, dimaksudkan agar ekses-ekses negatif dari pelaksanaan Pemilu dapat berkurang. Pemerintah saat ini tengah giat-giatnya melaksanakan pembangunan untuk mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu, semua komponen bangsa dan kekuatan politik yang ada diharapkan dapat mendukung program pemerintah tersebut. Partai politik karena itu diharapkan tidak lagi berorientasi kepada ideologi, tetapi hanya berorientasi kepada program-program yang dapat mendukung pembangunan bangsa. Pada Pemilu kali ini di DKI Jakarta, PPP memenangkan suara pemilih yaitu 44,09 persen, Golkar pada Pemilu sebelumnya memenangkan suara pemilih, memperoleh suara 39,84 persen, dan PDI mendapat suara 16,07 persen. Pada Pemilu Tahun 1977, Golkar mendapat suara mayoritas. Sementara PPP dan PDI pada urutan dua dan tiga. Pada saat ini kampanye Pemilu kembali lagi diwarnai oleh ketegangan antar kontestan yaitu partai Islam dengan partai yang bercorak nasionalis, yang memunculkan benturan fisik, dan menimbulkan korban jiwa. Di Matraman Jakarta telah muncul pertentangan ideologi antara simpatisan Golkar dan PPP. Para pemuda Berland, yang sebagian besar anak tangsi dan banyak menjadi anggota Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan ABRI (FKPPI) menjadi pendukung Golkar. Sedangkan warga Pal Merah dan Tegalan di seberangnya lebih banyak menjagokan PPP. Pada saat kampanye Pemilu mereka saling mengejek. Buntutnya terjadilah beberapa kali bentrokan.51 Begitulah fluktuasi perolehan suara yang

51 Alwi Shahab, Robin, h. 67

63

tinggi serta pertarungan yang ketat antara organisasi peserta pemilu (OPP) tampak menjadi warna yang dominan di DKI Jakarta. Hal itu tampaknya merupakan ciri khas kehidupan politik di DKI Jakarta, yang pada gilirannya menjadi cermin paling kongkrit dari tingginya dinamika kehidupan politik di daerah ini. Berbagai pertimbangan masih adanya komponen bangsa yang masih mempersoalkan ideologi yang ada dan sering menimbulkan berbagai konflik dan ketegangan, pemerintah melalui Keputusan MPR No. II Tahun 1978 yang merupakan wujud penjabaran Pancasila berupa Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila (P-4), dimana setiap warga Negara diharuskan mengikuti penataran P-4., dimana di setiap daerah termasuk di DKI Jakarta dibentuk BP-7.52 Penetapan Pancasila sebagai ideologi negara dimaksudkan agar bangsa Indonesia lebih berkonsentrasi kepada pembangunan ekonomi dan tidak menghabiskan energi bangsa berpolemik tentang ideologi negara. Penciptaan Pancasila sebagai ideologi negara telah mendapat penentangan dari sebagian umat Islam, yang klimaksnya menimbulkan peristiwa berdarah yang merengut korban jiwa dengan apa yang disebut dengan Peristiwa Tanjung Priok.53 Penyelenggaraan pemilu yang ada sangat dominan dikelola oleh orang-orang yang sedang memerintah, dan pegawai pemerintah diarahkan memilih partai tertentu, untuk itu mereka memilih di kantornya masing-masing, bagi mereka yang tidak memilih partai pemerintah akan di black list atau diminta untuk keluar dari pegawai negeri. Satu sisi perhatian masyarakat sudah mengarah kepada berbagai program pembangunan termasuk pembangunan ekonomi, tetapi sisi yang lain, aspirasi rakyat yang berbeda tersumbat, suara alternatif dalam konsep ekonomi pun sulit berkembang. Pemilu yang ketiga diselenggarakan pada Tahun 1983, suara pemenang pemilu masih diperoleh oleh Golkar. Pemilu masih saja menegangkan karena diwarnai oleh bentrokan antar peserta Pemilu yang fanatik dengan partainya. Sementara itu, di tengah masyarakat terutama umat Islam masih terus berlangsung suara tidak setuju dengan penerapan

52 Nugroho Notosusanto (ed), Sejarah National, (Jakarta: P dan K, 1983), h. 486. 53 Lihat Majalah Tempo, Jakarta, 18 Januari 1980, h. 25-27

64

Pancasila sebagai ideologi Negara satu-satunya dan dengan gencarnya melaksanakan penataran P-4 di tengah masyarakat.54 Suara-suara yang menyuarakan ketidaksetujuan pada ideologi ini di tindak secara tegas melalui kekuatan militer. Tahun 1982 Pemilu kembali lagi diselenggarakan dan Golkar mendapat 246 kursi, PPP 24 kursi dan PDI 24 kursi. Pemilu kali ini tambah semarak, menegangkan sekaligus memprihatinkan, karena kembali lagi diliputi oleh suasana panas dan bahkan memakan korban jiwa. Hal ini semakin mengundang pernyataan keprihatinan banyak pihak dan dan bahkan menjadi kajian pemerintah untuk mengurangi ekses dari penyelenggaraan Pemilu di masa-masa berikutnya. Paralel dengan janji pemerintah untuk lebih memfokuskan pada pembangunan ekonomi, mengantarkan kebijakan pemerintah untuk memperkuat Pancasila sebagai ideologi bernegara dan berbangsa. Membaca kondisi masyarakat yang masih bertikai masalah ideologi, pemerintah semakin memperkokoh Pancasila, Pancasila bukan saja sebagai ideologi partai politik, tetapi juga untuk seluruh bangsa agar rakyat sepenuhnya berada dalam aroma pembangunan yang sedang dijalankan pemerintah. Untuk itu Soeharto mengeluarkan UU. No. 3 dan UU No.8 Tahun 1985. Melihat kebijakan ini banyak perlawanan yang dilakukan terutama oleh umat Islam, karena dipandang menjadikan Islam sebagai bagian dari Pancasila yang sebenarnya mereka berkeyakinan Islamlah di atas Pancasila, beberapa kasus terjadi menentang kebijakan ini dan banyak aktivis Islam yang di black list atau dikejar-kejar oleh militer. Perjalanan politik Indonesia memang sejak tahun 1970-an kondisinya sudah nampak tidak stabil. Adanya perpecahan di intern umat Islam dengan banyaknya partai Islam, yang membawa tema yang bersifat ideologis. Juga munculnya perpecahan di tubuh partai non pemerintah, yakni di dalam tubuh partai-partai nasionalis. Partai-partai tersebut sangat berorientasi kepada ideologinya yakni Islam dan nasionalisme, menyebabkan Pemilu penuh ketegangan dan memakan korban jiwa. Kondisi tersebut telah memunculkan keprihatinan kelompok muda Islam yang berpikiran "liberal",

54 Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia, Manusia Pancasila, (Jakarta: Galia Indonesia, 1984), hal. 1.

65

terutama kepada partai Islam, mereka mempertanyakan tentang hubungan antara agama dan politik. Nurcholish Madjid, salah seorang pemikir muda Islam ketika itu menulis dan mengeluarkan jargon, "Islam, Yes; partai Islam No".55 Dengan jargon ini ia dan kawan-kawannya ingin meletakkan bahwa partai Islam, bukanlah tujuan, tapi hanya sarana untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. la melihat bahwa eksponen partai Islam lebih mengutamakan memperjuangkan ideologi Islam, yang telah diperjuangkan selama beberapa dekade, tapi selalu gagal, daripada memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Perjuangan "ideologi" yang sensitif ini telah menyebabkan munculnya pertikaian pada saat Pemilu dengan partai yang bercorak lainnya. Visi yang muncul sejak tahun 70-an dan pada dekade tahun 80- an masih menginspirasi kebijakan Pemerintah Pusat di Jakarta untuk membuat kebijakan bukan saja mengurangi jumlah partai Islam, tapi juga sepenuhnya mengendalikan partai yang ada di bawah kendali pemerintah. Tepatnya pada tahun 1985 usaha pemerintah untuk semakin memantapkan Pancasila sebagai ideologi bernegara dan berbangsa menjadi kenyataan, yaitu dengan menyatuazaskan semua Organisasi Sosial-Politik yang hidup di Tanah Air. Dengan ditetapkannya UU No. 3 dan UU No. 8 Tahun 1985 ini pemerintah bukan saja secara leluasa mengontrol partai-partai politik, tetapi juga termasuk mengontrol semua organisasi sosial yang ada. Kebijakan pemerintah tersebut dirasakan oleh umat Islam sebagai upaya yang sistematis dari penguasa yang didukung oleh kelompok "nasionalis- agamis" tertentu untuk meminggirkan kelompok Islam yang memiliki jumlah mayoritas di negeri ini dalam semua bidang kehidupan. Peranan pemerintah yang didukung oleh ABRI sangat kokoh dan kuat, sehingga berbagai kebijakan terhadap publik pasti dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, pemerintah mendapat kritik dari tokoh-tokoh terkenal yang tinggal di Jakarta, seperti Moh. Hatta, Syafruddin Prawiranegara, dan Jenderal A.M. Nasution. Moh. Hatta berpandangan bahwa Indonesia ke depan hendaknya diperkuat

55 Muhammad Zafar, Islam, h. 210-212.

66

dengan basis moral dan tetap mengikat diri pada kesejahteraan religius penduduknya. Komitmen semacam inilah membuat orang bertanggung jawab pada negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kritik lain diberikan pula oleh Syafruddin Prawiranegara terhadap campur tangan militer di bidang politik, sepeiti intervensi militer terhadap Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Pengontrolan yang begitu ketat terhadap kelompok Islam, pemberedelan terhadap media massa, kecenderungan memperkaya sekelompok kecil orang, serta sistem pengangkatan anggota MPR. A.H. Nasution juga memberikan kritiknya terhadap penyimpangan-penyimpangan konstitusional yang tampak dalam rekonstruksi sosial politik pemerintah yang dikuasai oleh ABRI. Mengenai pembangunan ekonomi yang dianggapnya sebagai sistem yang terlalu cenderung ke arah sistem kapitalisme dan liberalisme.56 Kehidupan perpolitikan disederhanakan demi lebih fokus kepada pembangunan ekonomi, sekaligus rasa ideologis di masyarakat diminimalkan. Pemerintah lebih fokus pada pembangunan ekonomi seolah memandang bidang politik bukan hal lebih penting. Pembangunan politik bersifat monolitik, ruang aspirasi rakyat menyampaikan pendapat di atur melalui atas, sebagaimana terlihat pada pengarahan presiden pada acara Kelompencapir di berbagai daerah. Suara alternatif dalam pembangunan dibungkam. Demi mengamankan fokus pembangunan ekonomi dan menjaga stabilitas Negara, peran meliter sangat menonjol di bidang- bidang strategis dalam pemerintahan dan juga sebagai kepala daerah dan bahkan kepala desa banyak dipercayakan kepada pihak militer. Kondisi yang tidak kondusif ini menyadarkan umat Islam untuk merubah strategi dari politik simbol menjadi politik substansif. Perubahan ini terjadi tidak by design oleh umat Islam tetapi muncul karena kondisi terpaksa karena politik simbol tidak mendapat tempat. Hikmah yang dapat diambil bagi umat Islam, mereka tidak terpaku lagi kepada ideologinya yang memang hanya sebagian kecil saja dari doktrin Islam, tetapi banyak masalah yang

56 Muhammad Zafar, Islam, h. 202-204

67

dihadapi bangsa termasuk umat Islam yang mendesak dikerjakan seperti membangun masalah ekonomi bangsa. Perubahan ini sedikit mengendorkan ketegangan, yakni penghadapan antara umat Islam dengan pemerintah. Meredanya ketegangan ini diikuti pula oleh adanya akomodasi pemerintah terhadap umat Islam. Mereka mengakomodasi kepentingan umat Islam dalam kehidupan bermuamalah, dengan di keluarkannya UU Perkawinan untuk mengatur masalah perkawinan, nikah, thalak dan rujuk. Demikian, bangsa Indonesia terutama umat Islam selama beberapa dekade ini telah terjerat dengan masalah ideologi. Kalau pada masa-masa Komunis Tahun 60-an dapat dipahami, para tokoh Islam bersikeras memperjuangkan ideologi, karena mengimbangi gerakan ideologi komunis yang sering menggunakan kekerasan dalam mencapai cita-citanya. Tetapi setelah era komunis, seharusnya cita-cita ideologis sudah dikurangi sebagaimana yang pernah dijadikan kebijakan Orde Baru yang mengarahkan partai-partai untuk berfikir program, dengan kata lain sudah berfikir "membumi" alias tidak di awang-awang, yakni untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.57 Tetapi era pasca komunis, berfikir ideologis masih saja mewarnai orang-orang Muslim termasuk partai-partai Islamnya. Akibat ini semua, menimbulkan banyak korban jiwa yang mengiringinya. Belum lagi banyak aktivis Islam yang secara diam- diam mencerca Pancasila dan mempertentangkannya dengan ajaran Islam, yang akibatnya banyak dari mereka yang disiksa dan kehidupan mereka merasa tidak tenang, karena selalu di kejar-kejar oleh aparat keamanan. Kemudian karena konsentrasi umat Islam bersifat ideologis, sisi kesejahteraan dan kualitas umat terabaikan. Selama beberapa dekade ini secara esensial pembangunan politik tidak menyentuh persoalan kebebasan yang seharusnya dimiliki oleh warga Negara, karena pembangunan politik yang dilakukan pemerintah menggunakan pola satu arah. Baru masa reformasi pembangunan politik mendekati esensi yang sebenarnya, partisipasi politik rakyat mulai berkembang, partisipasi rakyat dalam

57 Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik, h. 212

68

berpolitik mencapai puncaknya dengan sistem dipilihnya wakil rakyat, presiden dan wakilnya langsung oleh rakyat. Hanya saja dalam kontek umat Islam, tetap saja memunculkan belasan partai politik yang cenderung menjadi kendaraan untuk meraih kekuasaan. Gambaran-gambaran di atas memperlihatkan bahwa situasi politik di tengah masyarakat Indonesa termasuk masyrakat Betawi sejak masa penjajahan dan pasca kemerdekaan, berada dalam situasi yang tidak "menguntungkan" atau terpinggirkan. Di tengah bangsa yang sedang mengalami dinamika politik pada masa penjajahan, mereka ikut mengusir penjajah. Juga, pada awal-awal kemerdekaan, melalui organisasinya, mereka pun ikut mensosialisasikan kemerdekaan itu ke tengah masyarakat. Pasca kemerdekaan, mereka ikut meramaikan suasana perpolitikan di Tanah Air, hingga mereka ikut merasakan imbas dari dinamika politik yang ada itu.

C. Situasi Ekonomi Kehidupan ekonomi atau perdagangan telah bersenyawa dengan para da’i yang mensyiarkan Islam ke Nusantara yang datang di daerah pantai tempat kegiatan perekonomian. Orang-orang Muslim terlibat dengan kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan dan sekaligus mengembangkan syi'ar Islam. Orang-orang yang memeluk Islam semakin banyak, mereka berdiam mulai dari pantai sampai ke daerah-daerah pedalaman. Di sini pusat kekuasaan Islam tumbuh, sebagai peralihan dari daerah pantai ke tempat yang jauh dari pantai, tumbuh pusat-pusat kerajaan Islam seperti Yogyakarta atau Surakarta. Adanya peralihan ini, orientasi dan profesi masyarakat sudah beragam, berdagang atau kegiatan ekonomi bukan satu-satunya bahkan kegiatan ekonomi tidak lagi dipandang sebagai bidang kegiatan yang utama atau terhormat. Bidang kehidupan yang terhormat adalah menjadi pegawai raja atau menjadi pelayan kerajaan yang tentu menggunakan pakaian yang bersih dan rapi disertai dengan gaji dan tunjangan ekonomi yang memadai meskipun tanpa bekerja keras atau menyingsingkan lengan baju seperti yang dilakukan oleh seorang pedagang.58

58 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: LSIK, 1997), hal. 196

69

Sejak perubahan orientasi ini, perekonomian Islam mengalami pasang surut karena mentalitas umat Islam mengalami perubahan dari mental dagang ke mental priyai. Pusat-pusat kegiatan umat Islam pun beralih dari daerah pantai ke daerah kosmopolit. Sementara itu, penjajah yang sengaja datang ke Nusantara menguasai kegiatan perekonomian, dengan kekuatan senjata dan kecerdikan politik, mereka menaklukan raja-raja Islam dan menguasai bandar- bandar perdagangan. Jalur-jalur laut yang strategis yang dulu dikuasai oleh umat Islam kini dikuasai oleh penjajah. Orang-orang Barat datang ke Nusantara untuk menguasai perekonomian. Motif ekonomilah yang mendasari orang-orang Barat datang ke Nusantara. Orang-orang Barat menyadari, bahwa untuk menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera lagi terhormat di mata Negara-Negara lain, atau menjadi Negara yang tetap survive di tengah-tengah kompetisi bangsa lain ekonomi harus maju. Melalui kemajuan ekonomi pula mereka dapat mengembangkan lebih jauh lagi kemajuan teknologi, baik untuk alat transportasi maupun untuk mengembangkan senjata perang yang dapat digunakan untuk menguasai bangsa lain. Nusantara adalah daerah yang sangat subur. Nusantara adalah negeri yang terdiri dari ribuan pulau dan mengandung sumber daya alam yang kaya. Pulau-pulau ditumbuhi oleh hutan yang lebat, berbagai makhluk, sumber nabati dan satwa alam ditemukan. Berbagai hewan baik yang buas seperti harimau, macan, atau hewan yang tidak buas seperti kancil, rusa, ayam, angsa, semuanya ditemukan di Nusantara. Berbagai sumber daya alam sangat lengkap mulai dari kopi, lada, cengkeh, dan juga sumber bumi seperti minyak, timah dan banyak lagi ditemukan di Nusantara. Nusantara adalah negeri yang subur, apa saja dapat menjadi tumbuh dan dapat dimanfaatkan. Bangsa Belanda datang ke Nusantara yang pertama kali mereka dirikan adalah usaha dagang dengan nama VOC.59 Guna memperkuat penguasaan perekonomian, mereka menguasai jalur-

59 Badri Yatim, Sejarah, hal. 234

70

jalur perdagangan. Dengan penguasaan ekonomi mereka dapat menjajah Nusantara selama 300 Tahun. Dalam kaitan ini setelah kemerdekaan Indonesia salah satu yang menjadi cita-cita the founding father di dalam UUD 1945, bahwa tujuan berdirinya Negara ini adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Cara mencapainya dibuatlah dalam salah satu fasalnya yaitu melalui kegiatan koperasi. Koperasi adalah bentuk kegiatan ekonomi yang didirikan dan dikelola secara bersama-sama atau berkelompok, hasil dari kegiatan ekonomi ini merupakan keuntungan bersama, begitu pula kalau mengalami kerugian. Watak kebersamaan yang melekat pada koperasi ini yang membedakan kegiatan ekonomi yang bersifat liberal yakni merupakan usaha individu yang hasilnya untuk perorangan. Hanya saja untuk mengantarkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, selama kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini, tampaknya masih menjadi cita-cita atau hanya bersifat angan-angan, pesan ini belum tercapai. Di awal-awal kemerdekaan, Soekarno salah satu pemimpin Negara, dan juga elit Negara yang lain masih merasakan euforia kemerdekaan, misalnya Soekarno menyebut bahwa masa revolusi belum selesai. pemerintah pada saat itu terpusat berkonfrontasi dengan , karena Negara ini dianggap berpihak ke Inggris sebagai Negara kolonialisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan isu ini, elit-elit politik yang menjadi panutan rakyat, disibukkan oleh perdebatan tentang ideologi Negara. Orang Islam bersikukuh Islamlah yang pantas menjadi ideologi Negara, begitu pula dengan umat yang lain atau kelompok lain berpegang pada ideologinya; sehingga bagaimana mengembangkan ekonomi tidak mendapatkan perhatian. Ahli ekonomi memang masih dihitung dengan jari tetapi yang paling banyak adalah ahli politik atau agamawan yang banyak terjun ke dunia politik. Memang, memahami ekonomi memiliki tingkat kesulitan karena berkaitan dengan hitung menghitung, sementara masalah politik adalah masalah kepandaian bicara dan bersilat lidah. Perekonomian bangsa Indonesia, baru pada dataran konsep yang tercantum di dalam Undang-Undang, sedang bagaimana implementasi dari cita-cita ekonomi koperasi seperti yang diinginkan

71

Hatta belum ada rumusannya.60 Para agamawan di sekolah-sekolah agama sebenarnya telah belajar masalah ekonomi hanya saja yang di pelajari baru sekitar masalah muamalah, seperti jual beli yang masih sangat sederhana dan baru berada pada tahapan teoritis; perlu jujur dalam timbangan, dalam jual beli hendaklah dilakukan dengan keridlaan, dan bunga bank itu haram dan laihnya. Pada masa Soekarno, kajian ekonomi telah ada di Kampus- kampus melalui buku-buku teks yang berkiblat kedua poros ke Barat yang menganut ideologi kapitalisme dan poros yaitu Timur menganut ekonomi sosialisme. Sistem ekonomi kapitalisme, ekonomi pasar/bebas merupakan pikiran Max Weber, sementara sosialisme berasal dari ide Marx yang berkembang di Negara-Negara 61 komunisme. Dua ide ekonomi besar inilah yang mewarnai pemikiran ekonomi di Kampus di Indonesia, sementara ekonomi Islam belum mengalami perkembangan, hal ini bukan saja terjadi di Indonesia tetapi juga di Negara-Negara Islam lainnya seperti Mesir atau Turki yang sekuler. Di dua Negara inipun masih mengunakan ekonomi kapitalisme. Di masa ini, di Indonesia paling tidak ada dua sosok pemikiran ekonomi yang muncul, yaitu sosialisme yang dianut oleh Sutan Syahril yang telah berkembang di Timur dan ekonomi kerakyatan yang dianut oleh Hatta yang belum ada wujudnya. Di masa Soekarno telah terjadi dua pertarungan paham ekonomi, yaitu sosialisme dan kapitalisme. Namun dengan kejatuhan dan bubarnya Partai Komunis Indonesia (PKI) Tahun 1965, paham sosialisme pun ikut jatuh. Kemudian hubungan Indonesia dengan Negara seperti Uni Soviet dan China mengalami keterputusan. Banyak orang Indonesia yang terlibat dengan partai komunis lari ke Negara-Negara tersebut. Atau mereka yang sedang belajar di negeri itu takut untuk pulang ke tanah air. Perubahan rezim dari Soekarno ke Soeharto mengalihkan kiblat ekonomi ke Barat.62 Banyak mahasiswa yang dikirim untuk

60 Tolchah Mansoer, Teks Resmi dan Beberapa Soal tentang UUD 1945, (Bandung: Alumni, 1977), hal. 63 61 Fachry Ali, Islam, Ideologi dan Dominasi Struktural,( Bandung: Mizan, 1984), hal 21 62 Fachry Ali, Islam, Ideologi, hal 21

72

belajar ekonomi ke Amerika Serikat, salah satunya di universitas Berkeley antara lain seperti Sumitro, Sadeli, dan Ali Wardana. Banyak pula mereka hanya sekedar membuka wawasan melalui studi singkat di Negara yang menganut sistem kapitalis. Literatur ekonomi kapitalis mereka lahap. Setelah menyelesaikan studi dan membawa gelar doktor yang baru sedikit orang Indonesia yang meraih gelar itu, mereka pulang menjadi teknokrat-birokrat dan menerapkan teori- teori ekonomi kapitalis di Indonesia dalam kondisi masyarakat yang berbeda. Teori-teori ekonomi kapitalis, sebagai suatu surnber pembengunan, teori ekonomi lain seperti sosialisme tidak beraku, dan juga ekonomi Pancasila (koperasi) yang tercantum dalam UUD 1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan kemudian dimasyarakatkan dalam pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Tapi ekonomi Pancasila kurang mendatakan pengembangan, para ilmuwan tentu mereka tahu begitu banyak literatur tentang ekonomi dan begitu banyak madzhab dalam ekonomi, dan sebagai ilmuwan juga mengakui adanya keterbatasan satu sistem ekonomi. Mereka begitu taklid kepada madzhab kapitalisme, padahal, ibarat seorang guru silat mereka tidak akan memberikan semua jurus kepada muridnya, karena khawatir muridnya akan melawan guru. Begitu pula dalam perkembangan ilmu dan teknologi, bagi seorang yang berjiwa nasionalis tidak semua memberikan jurus-jurus ilmu serta kelemahan-kelemahan dari suatu teori keilmuwan. Bila itu yang dilakukan semua Negara bisa menjadi Negara industri dan memiliki kemajuan dalam bidang teknologi, kalaupun itu di dapat diperlukan orang-orang genius atau membeli melalui ilmuwan yang bersifat "oventurir". Urusan ekonomi seratus persen diserahkan sepenuhnya oleh Soeharto ke tangan para lulusan Berkeley dan "gengnya", dalam beberapa waktu mereka menerapkan ekonomi kapitalis, ternyata benar dapat mensejahterakan masyarakat dan membawa Negara maju dalam banyak" hal. Mereka menerapkan teori yang mereka pelajari dengan teori pertumbuhan dan kelak akan menetes ke bawah (trackel down effect). Investasi berbagai Negara berdatangan, menanamkan modalnya di Negara Indonesia yang sedang

73

membangun ekonominya.63 Maka di buatlah strategi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bertahap, Pelita demi Pelita. Sementara itu yang menguasai ekonomi dan diberi peluang berusaha seluasnya adalah mereka yang beretnis China seperti yang pernah terjadi di masa penjajahan dulu. Pertumbuhan ekonomi dirasakan pergerakannya, sementara itu inflasi dapat ditekan. Kemudian, mereka berpandangan Negara Indonesia yang baru merdeka butuh dana yang besar. Indonesia ibarat Negara yang baru kalah perang, seperti yang terjadi pada Jepang, banyak donor yang menawarkan uangnya untuk dihutang dengan bunga yang cukup menguntungkan para pendonor itu. Indonesia adalah Negara yang banyak sumber daya alamnya, maka tidak perlu khawatir untuk membayar hutang karena akan dibayar dengan minyak atau dengan timah atau dengan yang lainnya. Mereka sangat yakin bahwa bangsa Indonesia ini anak yang baik. Bak dipucuk ulam tiba, mereka dihubungi oleh pemerintah untuk melakukan kesepakatan berhutang dengan bayar mencicil. Jadilah ekonomi Indonesia sangat bertumpu kepada hutang ke Negara donor dengan bunga yang tinggi, hutang semakin membengkak, dan pengurasan alam Indonesia berkelanjutan. Secara parsial dan nampak dipermukaan, ekonomi Indonesia dilihat melalui produksi brutonya mengalami pertumbuhan, merambat hingga pertumbuhan 7 persen. Perkembangan ekonomi yang kemudian diketahui semu ini mendapat pujian dari "Lembaga Penghutang Dunia" yaitu IMF dan WORLD BANK, bahwa Indonesia akan menjadi Negara yang maju di Asia Tenggara.64 Memang sangat sulit menebak dalamnya laut, dan apa latar belakang pujian itu. Padahal, mereka juga tahu penggerogotan terhadap hutang-hutang yang mereka kucurkan dan hanya beberapa persen realisasinya karena di korup. Mereka berdiam seribu bahasa dan tidak peduli sama sekali. Memang, bagi mereka yang penting hutang terbayar, apakah Negara ini karena salah pengelolaannya, nanti akan bangkrut itu bukan urusan mereka, bila perlu suatu Negara akan terus berhutang

63 Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia Menyongsong Abad XXI, (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), hal.1 64 Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia Menyongsong Abad XXI, hal.2

74

sepanjang keberadaan Negara itu masih ada atau dunia ini belum kiamat. Strategi ekonomi kapitalisme di Indonesia membiarkan berbagai monopoli oleh segelintir orang menguasai berbaga sumber perekonomian baik hulu maupun hilir. Nama-nama mereka yang umumnya beretnis China dapat disebut seperti Liem Soe Liong, , dan banyak lagi nama lain oknum yang beretnis Tionghoa menjadi kolaborasi pemerintah dalam menjalankan roda perekonomian selama Orde Baru. Perekonomian juga melibatkan kaum militer, sehingga banyak dari mereka yang menjadi komisaris di perusahaan-perusahaan mereka dan banyak pula perusahaan- perusahaan yang besar didirikan oleh militer yang konon dikatakan untuk kesejahteraan para perajurit. Seharusnya mereka tidak menerapkan begitu saja teori-teori ekonomi kapitalis, teori-teori itu hanyalah sebagai suatu surnber saja, bukankah ada sumber teori ekonomi lain seperti sosialisme, dan juga bukankah ada ekonomi Pancasila (koperasi) yang tercantum dalam UUD 1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan kemudian dimasyarakatkan dalam pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Sebagai ilmuwan tentu mereka tahu begitu banyak literatur tentang ekonomi dan begitu banyak madzhab dalam ekonomi, dan sebagai ilmuwan juga mengakui adanya keterbatasan satu sistem ekonomi. Hanya saja mengapa mereka begitu taklid kepada madzhab kapitalisme. Ibarat seorang guru silat mereka tidak akan memberikan semua jurus kepada muridnya, karena khawatir muridnya akan melawan guru. Begitu pula dalam perkembangan ilmu dan teknologi, bagi seorang yang berjiwa nasionalis tidak semua memberikan jurus-jurus ilmu serta kelemahan-kelemahan dari suatu teori keilmuwan. Bila itu yang dilakukan semua Negara bisa menjadi Negara industri dan memiliki kemajuan dalam bidang teknologi, kalaupun itu di dapat diperlukan orang-orang genius atau membeli melalui ilmuwan yang bersifat "oventurir". Sementara itu, ekonomi yang selalu dicanangkan pemerintah setiap waktu dan di setiap kesempatan, adalah ekonomi Pancasila, hanya menjadi wacana atau life service saja dan tidak pernah dikembangkan. Gejala yang tidak sehat ini telah ditangkap oleh

75

Mubyarto, ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM) dan secara khusus menulis tentang perekonomian yang berkeadilan yaitu perekonomian Pancasila yang sesungguhnya.65 Indikator kemajuan perekonomian di Indonesia itu hanya sedikit ahli yang melakukan kritiknya, karena memang pembangunan berbagai bidang dirasakan oleh masyarakat. Melihat keberhasilan yang semu ini, maka melalui kebijakan Sumarlin yang sedang menduduki kursi perekonomian saat itu mengeluarkan gebrakan dengan kebijakan untuk mempermudah pendirian Bank oleh Swasta. Maka berdirilah puluhan Bank yang banyak didirikan oleh pengusaha sebagai alat untuk mengumpulkan uang masyarakat untuk menghidupi berbagai perusahaannya di tanah air, baik di pusat maupun di daerah. Konsep ekonomi Orde Baru, di samping kajian politik dan lainnya ini banyak pula hasil kajian dari lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang pada saat itu dipengaruhi oleh kakak beradik Yusuf Wanandi, Sofyan Wanandi dan Ali Murtopo sebagai tokoh-tokoh yang berpengaruh.66 Sementara itu kalangan Islam termasuk cendikiawannya belum mendapat tempat untuk ikut merumuskan berbagai kebijakan ekonomi Negara. Di Negara yang mayoritas Muslim ternyata tidak cukup bijak untuk menempatkan mereka sebagai lawan, oleh pemerintah. Kondisi ekonomi perekonomian dunia masih cukup baik, membuat perkeonomian Indonesia berjalan dengan baik dan dipandang fundametalnya kuat.67 Ekonomi nasional belum muncul kepermukaan yang dipenuhi oleh KKN, juga belum muncul banyaknya rekayasa dan kamuflase yang menyenangkan pimpinan Negara dan rakyat, ekonomi saat ini dipujikan Bank Dunia, ekomi yang maju. Ekonomi Indonesia tetap mengandalkan hutang. Dalam

65 Tulisan-tulisan tentang hal itu antara lain, “Pemberdayaan Ekonomi Rakyat”, 1998, “Ekonomi Pancasila Lintasan Pemikiran Mubyarto”, 1997; “Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila”,1987, lihat Republika, Rabu, 25 Mei 2003, hal.1-11 66 Lihat Muhammad Kemal Hasan, Modernisasi Indonesia, hal. 10, dan Ali Murtopo, Strategi Kebudayaan, (Jakarta: CSIS, 1978). 67 M. Anwar Arsyad, Perkembangn Ekonomi Indonesia, 1987-1988, (Jakarta: UI Press, 1988), hal. 9

76

perkembanganya tida keberpihakan kepada pengusaha kecil dan menengah hanya berpihak pada konglomeras. Umat Islam sebagai pemeluk mayoritas di negeri ini menjadi fondasi yang kuat, belum berperan dalam berekonomi. Pembangunan yang mengandalkan hutang terus menjadi ideologi pemerintah dalam pembangunan hingga paling tidak hingga tahun 80-an. Kondisi ekonomi di Jakarta yang merupakan ibu kota Indonesia menjadi barometer kemajuan perekonomian nasional dengan massifnya pembangunan infrastruktur baik gedung pencakar langit maupun jalan-jalan raya banyak dilakukan tentu didanai dengan cara berhutang ke negara donor dengan bunganya yang tinggi yang nanti harus dibayar oleh negara terutama melalui sumber daya alamnya yang terus diandalkan.

D. Situasi Kehidupan Beragama Masyarakat Betawi adalah masyarakat yang sangat taat dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam dan juga berpegang teguh kepada agamanya. Hal itu dapat dipetik dari ungkapan HAMKA berikut : "Sungguh begitu adalah sangat mengagumkan kita, menilik betapa teguhnya orang Betawi memeluk Islam. Selama 350 tahun antara penjajah (Belanda) dan anak negeri asli (Betawi) masib tetap sebagai "minyak dan air". Sekalipun bertemu dalam botol tidak pernah bersatu. Bagaimanapun kerasnya mengaduk minyak dalam botol kecil dalam air, sehabis adukan itu, di saat itu pula mereka berpisah kembali".68 Selain itu, di masyarakat Betawi atau masyarakat Jakarta, seperti juga pada masyarakat Nusantara lainnya ditemukan berbagai bentuk paham dan keyakinan agama,69 ada agama Budha, Hindu, Katolik, Protestan, Konghucu dan Islam.70

68 Alwi Shahab, Robin, h.93 Lihat pula Muhammad Fauzi Syuaib, Ruh, h. 49 69 Agama merupakan bagian yang penting dalam kehidupan manusia. Manusia pertama diciptakan Allah bernama Adam, ia selain sebagai simbol penciptaan manusia pertama, juga sebagai nabi. Setelah berakhir era Nabi Adam, dikirim pula ke umat-umat berikutnya para nabi lain seperti Nabi Nuh, Zulkifli, Ibrahim, Ismail, Musa, 'Isa, dan Muhammad sebagai nabi yang terakhir. Para nabi yang secara jelas disebutkan di dalam al-Qur'an kurang lebih jumlahnya

77

25 nabi. Al-Qur'an selain mengungkap nama-nama nabi itu, juga mengungkapkan beberapa agama yang ada, seperti agarna Yahudi, Nashrani, dan agama Islam sendiri. Semua itu menunjukkan adanya pluralitas agama dalam kehidupan umat manusia (Q.S.al-Baqarah,132, al-Nisa', 163-165, al- Maida, 48). 70 Sebelum agama Islam diturunkan dan Muhammad belum diangkat sebagai Rasulullah seorang pendeta Yahudi telah bersaksi dan menyatakan kepada Abu Thalib, paman Muhammad, bahwa ia telah melihat ada tanda-tanda kerasulan pada dirinya, sebagaimana yang ia baca dalam ayat-ayat Injil. Muhammad kemudian menjadi Rasul dan mendapat wahyu Allah untuk diajarkan kepada umatnya, ajaran ini ia sebarkan ke penjuru kota Madinah dan Makkah, bahkan keluar dari kota itu. Setelah Muhammad meninggal dunia, Islam tersebar melalui para Sahabat Besar seperti Abu Bakar al-Siddik, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan juga para Sahabat Nabi lainnya, baik yang berpuak Bani Umayyah maupun Bani 'Abbasiyah, serta pengikut-pengikut Islam di masa-masa berikutnya. Atas semangat keagamaan yang mereka warisi dari orang-orang sebelumnya, mereka menyebarkan agama Islam ke seluruh dunia hingga ke Nusantara. Bahkan, Islam telah membentuk peradaban tersendiri selama kurang lebih 7 abad. Lihat Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (terj). Ali Audah dari buku Hayatu Muhammad, (Jakarta: Pustaka, 1982), h. 63, lihat pula Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), cet. Ke-5, h. 56-88, Lihat pula M.A. Shaban, Sejarah Islam, (terj.) Mahnun Husein dari Islamic History: A New Interpretation, (Semarang: IAIN Walisongo, 1996). h. 1-87. Selanjutnya, kapan Islam datang? Dalam kaitan ini ada beberapa teori, teori pertama Islam datang langsung dari negara Arab; teori ini dimunculkan oleh Sir John Crowfort. Asas teori ini didasarkan karena kaum Muslimin dan Melayu berpegang dengan madzhab Syafi'i yang lahir di Tanah Arab, teori ini didukung oleh Azyumardi Azra, lihat Wan Azmi, "Islam di Aceh, Masuk dan Perkembangannya Hingga Abad XIV", dalam A. Hasymi (ed). Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma'arif, 1993), h. 180. Juga lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), cet. II, h. 243-247. Teori kedua, Islam datang dari India. Teori ini dikemukakan oleh C. Snough Horougnje/Pijnapel. Asas teori ini didasarkan karena perhubungan perniagaan yang teguh antara India dengan gugusan pulau-pulau Melayu, sedangkan Pijnapel Islam berasal dari Gujarat dan Malabar, lihat Wan Husen, Islam, h. 180, lihat pula Azyumardi Azra, Jaringan h. 24. Teori Ketiga, Islam datang dari Bengal. Teori ini dikemukakan oleh S.Q. Fatimi, asas teori ini dikaitkan dengan bentuk dan gaya batu nisan (batu nisan Malik al-Shalih) mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal, S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, (Singapura: Malaysian Sosiological Institute, 1963), h. 31. Teori keempat, Islam datang dari China. Teori ini dikemukakan oleh Emanuel Godinho de Readie, seorang ilmuan Spanyol yang menulis pada tahun 1613-H., tepatnya akidah Muhammad diterima di Patani dan Pam di Pantai Timur yang dikembangkan oleh Parameswara tahun 1411-H., lihat Wan Husen, h. 180, juga S.Q. Fatimi, h. 67. Teori kelima, Islam datang dari Mesir. Pendapat ini dari Keijer. Teori ini dipertimbangkan dengan adanya kesamaan antara Mesir dan Nusantara yang penduduknya Muslim menganut madzhab Syafi’i, Azyumardi Azra, Jaringan, h. 27. Dari lima teori ini tampaknya hanya dua yang

78

Sebagaiman dicatat di dalam sejarah, agama Islam diperkirakan datang di Jakarta pada tahun 1526 yang dibawa oleh Fatahillah.71 Fatahillah menguasai Jayakarta setelah mengalahkan tentara kolonialisme Belanda.72 Pada masa itu masyarakat banyak menganut

dapat diterima yaitu teori Arab dan Mesir, karena adanya kesamaan madzhab yang dianut Muslim Indonesia bermazhab Syafi'i, sedangkan di Bengal Muslimnya menganut madzhab Hanafi yang tidak dianut di sini. Selanjutnya kapan Islam datang ke Nusantara? Pertama, ada yang berpandangan Islam datang pada abad ke-7 M, di mana orang-orang Arab telah bermukim di sepanjang rute dagang antara Laut Merah dan Cina pada abad VIII. Pendapat pertama dipegang oleh kebanyakan sarjana di Tanah Air dan Malaysia dan yang kedua, berpendapat Islam datang ke Nusantara pada abad ke-13-M. Pendapat kedua dipegang oleh Sarjana Barat. Hal tersebut didasarkan pada laporan bahwa tahun 1292 Marcopolo sedang menunggu pergantian musim di Perlak. Di Perlak begitu banyak orang Muslim yang merubah keyakinan penduduk di sana, M. Atho Mudzhar, "Islam in Indonesia" (The Politics of Recycling and the Collapse of a Paradigm), Al-Jami'ah, IAIN Yogyakarta, No. 5/VI/2000, h. 4, lihat pula Kamaruzzaman, "Kontribusi Daerah Aceh Terhadap Perkembangan Awal Hukum Islam di Indonesia", Al-Jami'ah, IAIN Yogyakarta, No. 5/VI/2000, h. 153. Dari dua teori itu saling menguatkan, yang pertama menggambarkan bahwa kedatangan orang Islam masih dalam misi perdagangan sekaligus berda'wah; islamisasi masih terbatas untuk individu. Teori kedua membuktikan bahwa agama Islam telah dianut oleh masyarakat luas di Nusantara. Kemudian melalui cara apa Islam masuk ke Nusantara? Pertama, melalui para pedagang Islam yang berdagang di Nusantara. Kedua, agama Islam disebarkan melalui mubaligh dari India. Ketiga, Islam disebarkan melalui kalangan sufi, lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 1999), h. 51-72, lihat pula Rifai dan Saefuddin, "The Indonesian Islamic Culture: From Aceh to Istiqlal, Suplemen pada Ulum Al-Qur'an, Vol. Ill, No. 1 (1992), h. 3. Dari gambaran tersebut tampaknya penyebaran Islam di Nusantara dilakukan oleh mubaligh yang berprofesi sebagai pedagang. 71 Badri Yatim, "Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi", dalam Ruh Islam, ed. Aswab Mahasin, (Jakarta: Istiqlal, 1996), h. 13. 72 Orang-orang Barat belajar di universitas-universitas Islam terkenal di Cordova, Sevilla, Malaga, Granada dan Salamanka di Spanyol. Mereka menterjemahkan karya-karya Ibn Rusyd di Toledo Spanyol. Hasil dari belajar itu mereka menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan memiliki semangat meneliti. Setelah mereka kembali ke negaranya, dengan ilmu yang dikuasai dan semangat meneliti yang tinggi, mereka menciptakan kapal-kapal yang bermesin uap dan teknologi persenjataan. Dengan penguasaan itu mereka melakukan perjalanan jauh dan menemukan sumber-sumber alam baru. Christoper Colombus (1492-M) menemukan Benua Amerika, dan Vasco de Gama (1498-M) menemukan jalur yang singkat ke Timur melalui Tanjung Harapan. Penemuan-penemuan ini sangat berharga bagi mereka untuk mencari sumber alam yang baru, dan penguasaan mereka terhadap daerah- daerah yang baru. Sehingga orang Portugis yang beragama Katolik datang dan

79

agama Hindu dan kepercayaan animisme. Pada masa itu rakyat pada umumnya mengikuti agama sang rajanya.73 Kedatangan Fatahillah telah banyak merubah keyakinan masyarakat, sehingga banyak dari mereka menjadi Muslim. Pemeluk agama Islam di Jakarta terus berkembang dari masa ke masa, baik pertumbuhannya karena arus urbanisasi dari daerah-daerah maupun perkembangan penduduk yang ada di Jakarta sendiri. Namun, pemeluk agama Islam di Batavia pada masa penjajahan Belanda banyak mengalami hambatan dalam melaksanakan ajaran agamanya. Pada masa ini masyarakat Muslim sulit sekali untuk tetap mempertahankan iman dan mengembangkan agama Islam. Para da'i mengembangkan agama Islam melalui masjid maupun lembaga lainnya. Mereka melaksanakan tradisi Islam seperti membaca tahlil saat seorang Muslim meninggal dunia, dan kegiatan keagamaan lainnya, dan hal itu dikerjakan dengan semangat tinggi. Perkembangan agama Islam pada masa ini tidak mendapatkan perhatian pemerintah Belanda, karena pemerintah hanya membantu misi-misi Kristen untuk melakukan Kristenisasi di Indonesia.74

menguasai Timor Timur. Kemudian di sekitar abad 16, orang Belanda yang beragama Kristen datang ke Nusantara dan menaklukkan beberapa kerajaan Islam dan menjajah Nusantara selama kurang lebih 3 abad. Bangsa Belanda datang di Bandar Jakarta pada tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, mereka mencari rempah-rempah yang merupakan komediti penting di Eropa. Untuk memperkuat penguasaan di Jakarta, di bawah pimpinannya Pieters-zoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619 melakukan penyerbuan ke istana Pangeran Jayakarta. Pihak Belanda mengalahkan Pangeran dan memusnahkan kraton, masjid dan bangunan-bangunan di seluruh kota Jayakarta. Setelah menguasai ini ia mendirikan kota baru yang diberi nama Batavia. Belanda mendapat perlawanan dari Pangeran Ahmad Wijayakrama. Dengan dibantu oleh ulama mereka bergerilya ke sebelah Timur Jakarta dan mengkonsolidasikan kekuatannya di tepi Kali Sunter, daerah ini kemudian diberi nama Jatinegara, yang berarti negara/ pemerintah sejati. Lihat Muhammad Zafar, Islam, h. 139 73 Muhammad Zafar, Islam, h. 139 74 Belanda berusaha keras untuk menghalangi perkembangan Islam di Batavia dan menganggap Islam sebagai musuh besar, mereka mengembangkan agama Kristen dan melarang penyiaran agama Islam. De Haan dalam bukunya "Oud Batavia", mengatakan bahwa umat Islam dilarang sunatan, membangun masjid serta sekolah Islam. Siapa yang menjalankan upacara-upacara agama Islam, harta bendanya dapat disita, tetapi acara-acara Kristen tidak dilarang. Muhammad Zafar, Islam di Jakarta, h. 151-158. Selain itu, pihak Belanda telah melibatkan kalangan intelektual seperti Voetius (w. l676) guru besar teologi

80

Namun demikian, kaum Muslimin dengan semangat tinggi terus mengembangkan syi'ar Islam melalui pendirian berbagai masjid sebagai sarana ibadah. Pada tahun l620-an berdiri Masjid Al-Ma'mur di daerah Tanah Abang, yang didirikan oleh Tumenggung dari Mataram. pada tahun 1717 berdiri masjid Kampung Sawah (sekarang dikenal dengan masjid Al-Mansyur, untuk mengabadikan nama H. Muhammad Mansyur, anggota al-Jam'iyah Al-Khairiyat), masjid Angke didirikan pada tanggal 2 April 1761, masjid Jamik Tambora, terletak di daeah Jembatan lima Jakarta Barat, didirikan pada tahun 1762, dan masjid Istiqamah di daerah Tegal Parang (Mampang Prapatan) yang berdiri pada tahun 1805.75 Dalam pelaksanaan kegiatan agama di masyarakat Betawi, pemerintah kolonial Belanda jelas-jelas melarang masyarakat membangun masjid, mengadakan acara-acara keagamaan seperti perkawinan, sunatan, pengajian, dan lain-lain. Kepada mereka yang mengadakan acara keagamaan di muka umum, selain keagamaan (Kristen) dikenakan hukuman berupa penyitaan harta.76Akan tetapi, larangan itu mulai melonggar memasuki abad ke-18 sehingga numcullah masjid-masjid di wilayah Batavia, seperti masjid al-Mansyur di Jembatan Lima (berdiri 1717), masjid Luar Batang (1750) dan sebagainya. Berdirinya masjid-masjid yang terpencar di berbagai penjuru Batavia itu dapat dijadikan bukti semakin tersebarnya agama Islam di bagian-bagian tertentu wilayah ini, karena berdirinya masjid itu menunjukkan adanya jama'ah (komunitas muslim) di wilayah yang

Universitas Ultrecht. la mengirim murid-muridnya ke Hindia Belanda sebagai pendeta. la mendefinisikan Islam sebagai penolakan sepenuhnya terhadap Tuhan yang benar dan janji ajaran al-Kitab, dan pengingkaran terhadap doktrin teologis penebusan dosa dan doktrin trinitas. la menganggap bahwa Islam sebagai musuh yang paling menakutkan di antara agama-agama non Kristen. Dalam karya-karyanya ia menkritik ajaran Islam tentang surga, dan menyebut Muhammad telah dijangkiti penyakit "epilepsy” atau kegilaan. Islam di Hindia Belanda ia pandang sebagai musuh alamiah Kristen, dan kaum Muslimin dipandang pula kaum yang tidak dapat dipercaya dan panatik. Islam dipandang pula sebagai dinamit berbahaya dan sebagai ancaman bagi keamanan orang- orang Eropa di Hindia Belanda, Karel A Steenbrink, Dutch colonialism and Indonesian islam: Contacts and conflics 1596-1950, (Amsterdam: Rodopy, 1993), h. 50-53. 75 Badri Yatim, Peran Ulama, h. 13 76 Willard Hanna, Hikayat, h. 87.

81

bersangkutan. Pada abad ke-18, Islam dapat dikatakan sudah tersebar di penjuru Batavia dan sekitarnya, karena dalam kasus Pieter Erberfeld, disebutkan adanya pengerahan pasukan Islam dari Parung.77 Di Batavia Timur pada abad ke-19 agama Islam semakin berkembang. Sebagai bukti adalah berdirinya masjid di Kelurahan Bidana Cina pada tahun 1839 atas jasa seorang dari Makasar, haji Imam Muhammad. Pada mulanya masjid ini terkenal dengan nama masjid Pos Bidara China, namun pada tahun 1868 dinamakan masjid Nur al-Sabah (cahaya pagi), karena di tempat itu dulu sering diadakan pengajian setelah shalat subuh.78 Pada permulaan abad-20 Belanda memulai politik etis atas nasihat-nasihat Snouck Hurgrounje yang ahli agama Islam. Pada masa ini telah tumbuh berbagai organisasi pergerakan untuk melawan penjajahan. Belanda menerapkan liberalisme politik karena takut akan berkembangnya fanatisme Islam. Penjajah Belanda yang sebelumnya berusaha keras menghalangi perjalanan jama'ah haji, namun pada permulaan abad-20, kebijakan mereka melunak, dan mereka memberikan pelayanan dan melindungi para jama'ah haji,

77 Daerah Parung, adalah daerah yang berada di luar Jakarta, yang saat ini termasuk wilayah Bogor-Jawa Barat. Sementara itu Pieter Erberfeld adalah anak campuran Jerman Siam dari Pieter Janz, seorang tukang sepatu asal Jerman. Ibunya adalah seorang (Siam). La mempunyai istri bernama Margaretha, dan seorang putri bernama Aletta. Dia semula beragama "Serani" sebutan oleh orang Betawi. Kemudian ia masuk Islam setelah menerima pelajaran agama Islam dari Haji Abbas seorang guru besar agama Islam. Semangatnya untuk menentang Belanda menjadi menggelora. Di samping itu ia melawan Belanda karena masalah warisan rumah. Pada tahun 1720-an secara diam-diam di rumahnya menjadi tempat pengikut Surapati dan kelompok yang benci dengan Belanda. Di rumahnya di simpan senjata seperti keris, tombak, jimat dan diadakan pengajian untuk menggelorakan semangat menentang Belanda. Gerakannya tercium oleh Belanda, karena seorang pembantunya bernama Ali, mencintai budak perempuan Erderfeld yang bernama Sarina, yang dianggap anaknya sendiri. la tidak menyetujui Ali mencintai Sarina. Hal itu menimbulkan ketidak senangan Ali, dan ia melaporkan gerakan tuannya kepada Kapten Cruse, bahwa majikannya diam-diam akan berperang melawan Belanda. Pada tahun 1722 Erderfeld ditangkap Belanda, bersama pengikutnya sebanyak 17 orang diadili pada 8 April 1722 dan mendapat hukuman mati. lihat Uka Tjandrasasmita, Sejarah Jakarta, Dari Zaman Prasejarah Sampai Batavia Tahun 1715, (Jakarta: Dinas Mesium dan Sejarah DKI Jakarta, 1977), h. 103-105. 78 Muhammad Zafar, Islam, h. 165.

82

hinga jumlah jama'ah haji semakin meningkat.79 Tentu saja perkembangan Islam dan institusi ibadah semakin berkembang dan bertambah. Agama Kristen di Nusantara pada dekade ini juga mengalami perkembangan termasuk di Batavia karena masih mendapat dukungan dari pemerintah penjajah. Misalnya, dalam memberikan subsidi, pihak Kristen mendapat subsidi paling besar dari pihak pemerintah Belanda, dibandingkan dengan penganut agama Islam yang jumlahnya mayoritas di Tanah Air, seperti tergambar dalam tabel berikut:80 Subsidi dalam tahun (jumlah)

1936 1937 1938 1939 Protestan 686.100 683-200 696.100 844.000 Katolik 286.500 290.700 296.400 335-700 Islam 7.500 7.500 7.500 7.600

Selain itu, pihak penjajah Belanda dalam berbagai kebijakan lainnya telah menunjukkan keberpihakannya untuk melakukan Kristenisasi baik melalui pendidikan maupun melalui pemberian bantuan beras (rice christians).81 Perlakuan pemerintah Belanda yang diskriminatif itu telah menyemai rasa kecemburuan dari pihak yang merasa dirugikan dan mengalami diskriminasi. Kebijakan pemerintah Belanda yang terang- terangan mendukung ekspansi agama Kristen di tanah jajahan menimbulkan image yang tidak baik di mata umat. Akibatnya di pihak bumiputra, memandang penjajah Belanda sebagai penjajah yang Kristen dan memandang suku-suku yang lain di Tanah Air seperti suku Melayu, Jawa, Betawi dan lainnya sebagai orang "Selam" atau Islam.

79 Muhammad Zafar, Islam, h, 167. 80 Deliar Noer, Gerakan modern islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LPES, 1980), h. 190. 81 Hadisutjipto, Sekitar 200 Tahun, h. 31. Lihat pula Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.36.

83

Pihak Belanda telah menyemaikan rasa antipati antar-pemeluk agama. Kebijakan Belanda itu pada fase-fase berikutnya semakin dikembangkah oleh pemeluk-pemeluk Kristen. Pemeluk-pemeluk Kristen yang semula banyak mengandalkan misionaris berbangsa Barat, mulai mendidik rakyat Indonesia yang beragama Kristen untuk bertugas sebagai misionaris. Para misionaris lokal ini kefanatikannya untuk menyebarkan agamanya tidak kalah dengan para misionaris asing. Mereka menyebarkan agamanya secara sistematis dengan berbagai taktik dan strateginya, dan disampaikan kepada semua orang tanpa kecuali. Ekspansi agama ini, dilakukan pula melalui berbagai sarana baik sarana penyebaran pamplet, brosur-brosur, buku-buku agama, maupun melalui bantuan sosial lainnya, seperti melalui panti asuhan anak yatim, bantuan dana untuk anak jalanan, maupun bantuan dalam bentuk dana pendidikan ke masyarakat luas termasuk ke masyarakat Muslim. Melalui berbagai kegiatan ini, mereka telah dapat menarik pemeluk Islam berpindah ke agama mereka. Penyebaran agama yang sejak awal didukung oleh pemerintah Belanda telah menjadi gerakan yang bersifat internasional; melalui kajian yang bersifat akademik serta dilakukan dengan berbagai cara, dengan sasaran kepada semua orang, dan di dukung oleh dana yang tidak terbatas. Tetapi, penyebaran agama ini menghadapi suatu kenyataan bahwa agama lain seperti agama Islam memiliki eksistensi serta memiliki ajaran yang sama pula untuk memanggil manusia untuk memiliki keyakinan agamanya. Akibat dari ekspansi agama Kristen ini, di tengah masyarakat sering terjadi konflik, karena yang menjadi sasaran da'wah mereka adalah orang-orang yang telah beragama. Kehidupan beragama bagaikan “api dalam sekam”, karena kebijakan penyebaran agama tanpa melihat apakah sasaran mereka sudah memeluk agama. Sementara itu, umat Islam merupakan mayoritas di negeri ini termasuk di Jakarta. Jumlah umat Islam di awal kemerdekaan memiliki jumlah pemeluk kurang lebih 90 persen. Kemudian dalam beberapa tahun berikutnya populasi umat Islam mengalami penurunan yang signifikan. Menurut data mutakhir pada tahun 2000

84

pemeluk Islam Indonesia hanya berjumlah sekitar 88 persen."82 Penurunan jumlah umat Islam ini diperkirakan banyak pemeluknya melakukan konversi ke agama lain. Agama Islam sendiri ajaran intinya adalah Tauhid yaitu paham pengesaan Tuhan. Tuhan dalam ajaran Islam adalah satu (Esa), Tuhan tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dia tidak bersekutu dengan Tuhan lain, apakah Tuhan itu berupa makhluk atau benda mati, seperti berhala-berhala yang disembah oleh kaum Quraisy Makkah (Q.S.al-Ikblas-. 1-5). Namun selain adanya doktrin keesaan Tuhan, dalam Islam ada pula ajaran tentang perlunya toleransi terhadap agama lain. Atas dua landasan doktrin Islam itu, hubungan antarumat beragama dilakukan. Sebagaimana diketahui, agama Islam seperti agama lainnya diturunkan untuk disebarkan kepada siapa pun. Apakah penyebaran itu kepada orang yang belum beragama atau yang sudah beragama? Ajaran Islam tidak memberikan batasan yang jelas. Namun, etika Islam mengisyaratkan hendaklah agama, disebarkan kepada orang yang belum memeluk agama. Berdasarkan etika Islam inilah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berkedudukan di Jakarta memandang perlu adanya kesepakatan antar umat beragama di Indonesia untuk membatasi penyebaran agama hanya pada orang yang belum memeluk agama resmi yang diakui oleh pemerintah. Hal tersebut diperlukan agar hubungan antar pemeluk agama di Indonesia selalu mengalami harmonisasi. Adanya kekosongan pengaturan cara da'wah agama bagi misionaris, mengakibatkan penyebaran agama sering menimbulkan protes dari pihak-pihak yang tidak rela dida'wai. Konsekuensi lebih lanjut dari kekosongan itu, di tengah masyarakat telah muncul keresahan dan bahkan di tingkat grass root, sering muncul konflik dan tindak kekerasan antara satu pemeluk agama dengan pemeluk agama lainnya. Oleh karena itu, wajah agama yang sebenarnya berwujud kedamaian dan ketenangan, justru menunjukkan wajah lain yang lebih menyeramkan berupa konflik dan kekacauan di tengah masyarakat.

82 Dep. Agama, Data Keagamaan Tahun 2000, (Jakarta: Depag, 2000), h. 3-4

85

Munculnya setiap konflik agama, mengundang para tokoh agama untuk bertemu dan mencari jalan keluar guna meredam konflik yang terjadi, begitulah terjadi berulang-ulang. Untuk mengatasi masalah tersebut dibentuklah wadah bagi para tokoh agama untuk melakukan dialog antar mereka. Masalahnya ternyata tidak dapat diatasi secara memadai adanya pemikiran agar pemerintah dilibatkan dalam mewujudkan sebuah ketentuan atau undang-undang yang mengatur penyebaran agama. Menyadari hal ini pada masa Menteri Agama Prof. Dr. H. A. , telah menyampaikan konsep pemikiran tentang upaya menciptakan kerukunan antarumat beragama dengan jargonnya yang monumental "setuju dalam ketidaksetujuan" (agree in disagreement). Gagasan ini menekankan bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik, meskipun ia mengakui, di antara satu agama dengan agama-agama lainnya selain terdapat perbedaan juga terdapat persamaan-persamaan.83 Selain itu, pada masa Alamsjah Ratuprawiranegara sebagai Menteri Agama RI (1978-1983), telah mengeluarkan Surat Keputusan No. 70/1978 yang berisi pedoman tentang tata cara penyiaran agama, yang antara lain isinya (1) penyiaran agama dilarang ditujukan kepada orang-orang yang telah memeluk suatu agama lain, (2) penyebaran agama dilarang untuk menggunakan bujukan pemberian materiil, uang, pakaian, makanan/minuman dan lain-lain agar supaya orang tertarik untuk memeluk sesuatu agama, (3) penyiaran agama dilarang dilakukan melalui buletin, pamflet, majalah/buku-buku; atau di rumah kediaman orang yang beragama lain.84 Sementara itu, umat Islam termasuk di Jakarta, memiliki perbedaan dalam pandangan dan perilaku beragama, yang kadang- kadang memunculkan konflik. Dalam Islam memang diperbolehkan untuk berpandangan berbeda dalam sikap beragama, seperti yang diisyaratkan dalam satu hadits, bahwa perbedaan pada umatku

83 Lihat Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta: IAIN Press, 1988). Lihat pula Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 48-56. 84 Lihat Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 70/1978. Lihat pula Hasbi Indra, "Departemen Agama Sebagai Perekat Persatuan Nasional", Majalah Ikhlas, No. II Th. III Februari 2000, Dep. Agama, h.51.

86

sebagai suatu rahmat.85 Hanya saja perbedaan ini sering menimbulkan konflik "bathin". Perbedaan yang menajam di tengah umat Islam semakin nampak, ketika munculnya gerakan pembaruan Islam di abad modern. Gerakan yang dipelopori oleh Abdul Wahab mulanya muncul di Saudi Arabia.86 Gerakan tersebut muncul dilatarbelakangi oleh tumbuhnya kesadaran di benak Abdul Wahab, bahwa Islam pada dekade yang lalu pernah mengalami masa kejayaan selama berabad-abad dan menjadi kampiun dunia; mengapa Islam kini terpuruk? Dia melihat bahwa umat Islam telah melupakan al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman hidupnya. Bahkan, umat Islam bukan saja melupakan dua sumber itu tetapi dalam perilaku kehidupannya telah banyak bertentangan dengan ajaran Islam yang dipenuhi oleh bid'ah dan khurafat. Di Tanah Air semangat itu ditangkap oleh mereka yang pernah belajar di Makkah.87

85 Lihat dalam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi, al-Jami' al- Shaqir, (Beirut: Dar Kutub Al-'Ilmiyah, 1954), cet. 4 juz I, h. 13. Juga dalam Musthafa Said Al-Khin, Atsar Al-Ikhtilafi fi Qawaid al-Ushuliyah fi Ikhtilafi al- Fuqaha', (Beirut: Muassasat al-Risalah, 1989), cet. 5, h. 46. 86 Lihat Snouck Hurgronje, Pan Islamisme dari Mekkah, terjemahan dari Verspreid Geschriften Van C. Snouck Hurgronje, oleh Soedarso Soekarno, (Jakarta: INIS, 1996), jilid VI, h. 15 87 Wujud perbedaan itu muncul dengan berdirinya Muhammadiyah. Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta oleh Moh. Darwis yang lahir di Yogyakarta tahun 1869, anak seorang Kyai Abu Bakar bin Kyai Sulaiman, khatib di masjid Sultan kota itu. Ibunya adalah anak haji Ibrahim seorang penghulu. Setelah ia menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam pelajaran nahwu, fiqh dan tafsir, ia pergi ke Makkah tahun 1890, selama 1 tahun belajar di sana. Salah seorang gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib. Kembali ke Yogyakarta, ia meluruskan arah kiblat orang shalat. Organisasi yang didirikannya disebut sebagai organisasi pembaharu. Organisasi yang didirikannya didasarkan kepada al-Quran dan Hadits, dan tidak menganut satu madzhab. Agak mirip dengan organisasi ini adalah Persatuan Islam (Persis), yang didirikan di Bandung oleh Haji Zamzam dan Haji . Organisasi ini mulai berkembang oleh dua anggotanya yaitu Ahmad Hasan dan (yang terakhir mantan Perdana Menteri RI). Organisasi yang berbeda dengan paham keagamaan dua organisasi sebelumnya yaitu Nahdatul Ulama (NU). Organisasi ini didirikan atau salah satu pelopornya adalah K.H. Wahab Hasbullah di Surabaya tahun 1926. Organisasi ini berpegang kepada madzhab Syafi'iyah, lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, h. 85-247. Sebagai contoh perbedaan dalam bentuk amalan ibadah, organisasi Muhammadiyah dan PERSIS tidak membaca tahlil dan talqin ketika mayat

87

Dalam konteks perkembangan pemikiran keagamaan di Jakarta menunjukkan dinamikannya. Pemikiran keagamaan (Islam) yang bersumber kepada al-Qur'an dan Hadits yang dipahami umat Islam, menghadapi tantangan yang mendasar dengan adanya modernisasi yang terjadi. Jakarta, sebenarnya sejak lama telah mengalami modernisasi, bahkan sejak masa penjajahan Belanda. Hanya saja diskursus modernisasi yang dihadapkan dengan pemikiran keagamaan baru bergema pada masa kemerdekaan. Deliar Noer menulis dengan judul: "Umat Islam dan Masalah Modernisasi". la menuntut agar masyarakat Indonesia melihat ke depan dengan sikap yang dinamis dan aktif, memiliki sikap terbuka terhadap pemikiran dan penemuan ilmiah. Kaum Muslim harus mengatasi masalah-masalah intern umat dan tinggalkan taklid buta, jangan terlalu perhatikan kekuasaan politik, dan umat Islam harus menghadapi tuntutan zaman dengan jujur dalam keadaan modern. Indonesia sangat memerlukan "modernisasi yang demokratis".88 Nurcholish Madjid, saat masih usia muda, menyatakan bahwa modernisasi suatu keharusan, bahkan suatu kewajiban mutlak, sebagai perintah dan ajaran Tuhan (Q.S, 16:3; 27:28). Modernisasi bisa dicapai oleh manusia dengan ilmu. la mengkhawatirkan munculnya sekularisme, ia sangat tegas menolak segala macam bentuk sekularisme. Dia menyatakan Islam tidak memisahkan antara agama dan politik, karena Islam adalah aqidab, syari'ah dan nizham (sistem). Dia mengajak orang Islam harus meningkatkan mutu iman, dan ilmu untuk pembangunan umat Islam.89 Kemudian Sidi Gazalba seorang dosen tentang modernisasi. Menurut dia westernisasi adalah pemindahan bentuk-bentuk budaya Barat pada masyarakat Indonesia. Melalui proses westernisasi di Indonesia telah dan akan bersekutu dengan "Kristenisasi". Dia memberi contoh modernisasi dan westernisasi yang terdapat di daerah Jakarta. Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI dalam membangun

dimakamkan, dan tidak membaca do'a qunut di raka'at akhir shalat subuh; sementara NU sebaliknya. Ketiga organisasi ini berkembang pula di Jakarta. 88 Deliar Noer, dalam Majalah Api, 3 Oktober 1966, h. 7-10. 89 Nurcholish Madjid, "Modernisasi ialah Rasionalisasi Bukan Westernisasi", Membina Demokrasi, (Bandung: t.p. 1968), h. 5,11.

88

kotanya menghalalkan segala cara, seperti melegalisir dan menarik untung dari judi, memperbanyak gedung bioskop untuk memutar film-film porno dan sadis (dari Barat). night club, massage serta stembath harus ada di pojok kota dan lain-lainnya. Sidi Gazalba mengajak umat Islam menguasai ilmu pengetahuan, dan memadukan ibadah dan mu'amalah.90 Sementara itu, H.M. Rasyidi ilmuan Islam terkemuka mengungkapkan kecurigaan tokoh-tokoh Islam terhadap konsep modernisasi, sebagai alat atau ambisi relegio-politik. Dia menyatakan pula bahwa kata modern dipergunakan oleh orang Kristen sebagai suatu cara untuk menarik orang supaya dia meninggalkan sifat-sifat keislamannya. Ketika bulan puasa ada yang mengatakan puasa mencegah kemajuan dan mari kita menjadi modern dan melupakan puasa. Demikian beberapa pandangan dari cendikiawan Muslim itu menunjukkan penerimaannya adanya modernisasi, hanya saja harus disertai dengan sikap kehati-hatian terhadap dampak-dampaknya. Selanjutnya, dalam kaitan perkembangan sarana ibadah, pada masa pasca kemerdekaan masjid di Jakarta semakin bertambah. Atas prakarsa Presiden Soekarno, di Jakarta Pusat, di lokasi yang berdekatan dengan Istana Negara, berdiri sebuah masjid yang sangat megah, masjid ini diberi nama masjid Istiqlal (Istiqlal, berarti kemerdekaan dimaksudkan mensyukuri kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia dari tangan penjajah). Pada tahun berikutnya berdiri pula masjid yang cukup megah yang diberi nama masjid al- Azhar, yang berdiri di daerah Kebayoran Jakarta Selatan, dan menjadi kebanggaan masyarakatnya. Sejalan dengan berkembangnya tempat ibadah umat Islam, di Jakarta berdiri pula tempat-tempat ibadah agama lain. Bersebelahan dengan masjid Istiqlal berdiri Gereja yang cukup megah yang didirikan oleh komunitas agama Katolik. Dan tak jauh juga dari masjid Istiqlal, berhadapan dengan stasiun Gambir berdiri tegak Gereja yang cukup megah yang didirikan oleh komunitas agama Kristen-Protestan. Tempat-tempat ibadah agama lainnya seperti agama Budha, Hindu dan Konghucu, juga banyak berdiri di Jakarta.

90 Sidi Gazalba, Modernisasi dalam Persoalan: Bagaimana Sikap Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 8, 26.

89

Tempat-tempat ibadah umat beragama itu melambangkan bahwa di masyarakat Jakarta telah berkembang berbagai agama, dan agama dijamin eksistensinya. Dalam kaitan dengan kelembagaan berbagai agama berkembang pula di Jakarta. Di Jakarta telah berdiri Kantor Pusat organisasi-organisasi keagamaan, seperti organisasi WALUBI, KWI, PGI dan lainnya; masing-masing pengikutnya mengalami perkembangan hari demi hari, baik melalui pendatang maupun melalui kelahiran. Kantor organisasi keislaman pun ditemukan pula di Jakarta, seperti Muhammadiyah yang berkantor di Menteng, dan NU di Kramat Raya Jakarta Pusat, juga organisasi Islam lainnya. Masing-masing organisasi keagamaan itu memiliki pengikutnya, dan dari masa ke masa mengalami perkembangan.91 Sementara itu, dari persentase pemeluk agama di daerah Jakarta pada tahun 1983 sebarannya sebagai berikut: Di Jakarta Selatan pemeluk Islam 90,80 persen; Katolik 3,84 persen; Protestan 3,73 persen, Hindu 0,73 persen dan Budha sebanyak 1,07 persen. Di Jakarta Timur pemeluk Islam berjumlah 87,85 persen, Katolik 4, 72 persen, Protestan 5,27 persen, Hindu 1,02 persen dan Budha 1,14 persen. Di Jakarta Pusat pemeluk Islam berjumlah 84,42 persen, Katolik 5,09 persen, Protestan 6,63 persen, Hindu 1, 36 persen dan Budha 2,51 persen. Di Jakarta Barat pemeluk Islam berjumlah 80,38 persen, Katolik 4,13 persen, Protestan 4,42 persen, Hindu 0,9 persen dan Budha 10,18 persen. Di Jakarta Utara pemeluk Islam berjumlah 81,05 persen, Katolik 7, 19 persen, Protestan 7,19 persen, Hindu 0, 95 persen dan Budha 3,79 persen. Di DKI Jakarta pemeluk Islam berjumlah 85,50 persen, Katolik 4,77 persen, Protestan 5,20 persen, Hindu 0,97 persen dan Budha sebanyak 3,56 persen. Dari gambaran itu pemeluk Islam merupakan kelompok majoritas di Jakarta. Di Jakarta muncul lembaga-lembaga keagamaan, seperti pusat- pusat pengajian, majelis ta'lim, lembaga da'wah, radio da'wah dan munculnya tim-tim kasidah. Misalnya di Daerah Khusus DKI tercatat sebanyak 646 tempat pengajian, 3.510 majelis ta'lim, 132 buah lembaga da'wah, 23 buah radio swasta yang menyelenggarakan radio

91 H.M. Rasyidi, "Usaha Mengkristenkan Indonesia dan Dunia", Suara Muhammadiyah, No. 1-2,1968, h. 3.

90

da'wah dan 323 buah tim kasidah. Sementara itu, agama Katolik dan Protestan mengembangkan kelompok-kelompok do'a, kelompok Kitab Suci yang mencoba menggali dan menghayati kehidupan iman atau keagamaan mereka.92 Demikian pula tempat-tempat ibadah umat beragama, pada tahun 1980 jumlah langgar sebanyak 4.662 buah, tahun 1981 bertambah menjadi 4.666 buah, tahun 1982 berjumlah 4.843 buah, pada tahun 1983 berjumlah 4.970, tahun 1984 berjumlah 5.407 dan tahun 1985 naik menjadi 5.519 buah. Adapun jumlah masjid di DKI Jakarta, tahun 1980 berjumlah 1.487 buah, tahun 1981 berjumlah 1.418 buah, tahun 1982 berjumlah 1.464 buah, pada tahun 1983 berjumlah 1.594, tahun 1984 berjumlah 1.660 dan tahun 1985 naik menjadi 1.729 buah. Adapun jumlah Gereja di Jakarta, tahun 1980 berjumlah 664 buah, tahun 1982 berjumlah sebanyak 664 buah, tahun 1981 bertambah menjadi 675 buah, tahun 1982/ 1983/1984, dan tahun 1985 berjumlah 723 buah. Adapun jumlah Kelenteng, Pura/Kuil tahun 1980/1981/1982/1983 dan tahun 1984 berjumlah 165 buah dan tahun 1985 berjumlah 162 buah. Secara umum dalam soal beragama masyarakat Betawi dikenal sangat taat menjalankan ajaran agama.93 Namun, dalam menghadapi pemeluk agama lain, seperti dikatakan Ridwan Saidi, mereka sangat toleran.94 Demikian pula dalam menghadapi umat seagama yang berbeda paham.95 Dalam paham agama yang dianut oleh masyarakat Betawi banyak diwarnai oleh tharikat-tharikat yang dianggap serasi dengan syari'ah, seperti tharikat Qadariyah, Naqsyahandiyah dan Qadariyab wa Naqsyabandiyah. Adapun dalam masalah paham fiqh masyarakat Betawi adalah penganut madzbab Syafi'i. Namun, corak keagamaannya menurut Badri Yatim yang mengutip Deliar Noer adalah tradisionalis. Selanjutnya, ia mengutip pula Azyumardi Azra, corak keagamaan seperti itu justru merupakan hasil dari proses pembaharuan pra-modernis. Corak keagamaan tersebut adalah

92 Mendagri, Profil, h. 173-175 93 Badri Yatim, Peran Ulama, h. 25 94 Lihar Alwi Shahab, Robin, h. 94 95 Alwi Shahab, Robin, h. 95.

91

seperti pembacaan berzanji dalam hampir setiap acara perkawinan, dan membaca Hikayat bila hendak berlayar dan lainnya.96 Dalam perilaku kehidupan kaum Betawi memiliki pula keyakinan atau kepercayaan mistik, bentuk-bentuk keyakinan yang diwariskan oleh agama Hindu yang dianut oleh nenek moyang mereka. Dalam Islam memang dikenal konsep makhluk gaib, yaitu seperti malaikat, jin dan roh manusia. Tetapi di masyarakat Betawi mereka mengenal makhluk halus seperti kuntilanak, yang digambarkan sebagai menyerupai perempuan dengan rambut panjang yang menutupi bagian punggungnya yang berlubang; atau tuyul, yang dianggap sebagai makhluk yang biasa membantu manusia mencuri uang orang, atau ruh jahat yang mengakibatkan penyakit fisik yang disebut kesambet. Keyakinan ini dipengaruhi oleh keyakinan lokal, yang dapat ditemui pula antara lain pada acara kehamilan dan kelahiran. Pada masa kehamilan dikenal upacara kekeba, yaitu selamatan tujuh bulan kehamilan. Di kalangan masyarakat Betawi ada ungkapan ''kayak enggak dikebain", sebagai ungkapan penghinaan yang ditujukan kepada orang yang berbuat tidak senonoh menurut ukuran masyarakat.97 Dalam bentuk-bentuk peribadatan sebagai perwujudan hubungan langsung manusia dengan Allah SWT, mereka aktif melakukan shalat wajib baik sendiri-sendiri di rumah atau berjama'ah di masjid-masjid atau di mushalla. Apabila datang bulan Ramadlan, mereka menyambut gembira bulan suci itu dan melaksanakan puasa wajib sebulan penuh, serta melaksanakan ibadah lainnya sebagai penyempurna ibadah puasa. Selain itu, mereka membayar zakat fitrah, dan menutup ibadah puasa dengan melakukan shalat idul fitri, dan bermaaf-maafan. Mereka saling kunjung mengunjungi, yang lebih muda kepada yang lebih tua, anak kepada orang tuanya, murid kepada ustadznya, dan seterusnya. Bagi mereka yang mampu pergi haji ke Baitullah. Apabila mereka telah melaksakan ibadah haji berarti telah sempurna ibadahnya. la merasa terhormat, siap menjadi panutan masyarakat dan mampu menjadi pimpinan upacara keagamaan sekurang-

96 Badri Yatim, Peran, h. 25 97 Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos, 2002), h. 80.

92

kurangnya memimpin membaca do'a dan selamatan. Upacara- upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia dilakukan seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan dan kematian, hal-hal itu tidak pernah hilang sepanjang kehidupan manusia. Di dalam upacara-upacara tertentu seperti pada saat mulai mendirikan rumah, menempati rumah baru, dan lain sebagainya, selalu dibacakan do'a selamat. Upacara-upacara seperti itu pada dasarnya dilakukan selain sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat yang diberikan Allah kepadanya, dan bukti kepatuhan terhadap ajaran agama, serta merupakan do'a kepada Allah agar mereka senantiasa diberikan keselamatan dalam kehidupan di dunia ini dan di akhirat kelak. Aktivitas keagamaan lainnya ialah pengajian-pengajian, majelis ta'lim, peringatan hari besar Islam yang dilakukan di masjid-masjid, mushalla-mushalla atau tempat-tempat tertentu. Pengajian- pengajian dan majelis ta'lim baik yang dilakukan mingguan atau bulanan yang umumnya berkelompok-kelompok. Ada pengajian kelompok bapak-bapak, kelompok ibu-ibu, kelompok remaja dan pemuda. Majelis ta'lim ini merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan agama, serta menghayati dan mengamalkannya serta tempat untuk bersilaturrahmi di antara mereka. 98 Di dalam peringatan hari-hari besar Islam serta penyelenggaraan kegiatan Maulid Nabi, Isra' Mi'raj, dan peringatan Tahun Baru Islam, biasanya dilakukan dengan upacara keagamaan seperti mendatangkan penceramah-penceramah baik yang berasal dari dalam maupun dari luar Jakarta. Tujuannya, sebagai penyegaran suasana rutinitas ta'lim atau mencari sesuatu yang baru.99 Selain itu, dapat juga dilihat kegiatan anak-anak setiap sore pergi mengaji, belajar bahasa Arab dan membaca al-Qur'an di masjid-masjid, mushalla atau rumah-rumah ustadz tertentu. Suasana kehidupan beragama seperti ini semakin semarak apabila datang bulan Ramadlan, karena setiap malam umat Islam memenuhi masjid

98 Meutia Farida, "Sistem Nilai Dan Etos Kerja Masyarakat Betawi di Pantai Jakarta", dalam Ruh, h. 43 99 Lihat Alwi Shahab, "Komunitas Kampung Sawah", Republika, 2 Januari 2000, h. 7.

93

dan mushalla untuk melakukan shalat tarawih dan witir berjama'ah. Sebagian yang lain, setelah shalat berjama'ah, menambah ibadahnya dengan tadarus (membaca al-Qur'an). Masyarakat Betawi sangat taat dengan agamanya yaitu agama Islam. Sehingga orang Betawi disebut pula sebagai orang "Selam". Penyebutan ini untuk membedakan mereka dengan orang Belanda yang menjajah Batavia yang umumnya mereka beragama Nasrani. Kehidupan sehari-hari orang Betawi sangat kental dengan tradisi agama.100 Demikian situasi kehidupan beragama di Jakarta yang ditandai oleh adanya dinamika dalam berbagai hal. Di masa penjajahan, umat Islam mengalami diskriminasi dari pemerintah Belanda. Namun, umat Islam tetap mengembangkan syi'ar Islam melalui masjid serta mengamalkan ritual agamanya. Masjid telah tumbuh sejak masa penjajahan dan berkembang pada masa kemerdekaan. Begitu pula dengan sarana ibadah umat agama lain. Pemikiran keagamaan dalam merespons medernisasi juga mengalami dinamika. Aktivitas da'wah umat beragama ditandai oleh dialektika, dan untuk mengurangi konflik antar umat beragama, dibuatlah aturan mainnya. Sementara itu, masyarakat Betawi sendiri pada umumnya mengamalkan ajaran agama dalam bentuk madzhab Syafi'i, namun terhadap keyakinan lain mereka memiliki sikap yang sangat toleran.

E. Situasi Pendidikan Islam Pendidikan Islam atau keagamaan Islam di masyarakat Betawi Jakarta mengalami perkembangan meskipun agak perlahan. Pendidikan yang awalnya diselenggarakan masyarakat dalam bentuk yang sangat sederhana yakni membaca al-Quran, kemudian mengambil bentuk dalam sebuah lembaga pendidikan, ada yang berbentuk pesantren, ada yang berbentuk diniyah, juga berbentuk madrasah. Pendidikan pesantren pendidikan indigenous Nusantara. Institusi pendidikan ini telah ada pada masa Walisongo yang didirikan oleh Raden Rahmad pada abad 16 di daerah Gresik Jawa Timur. Pesantren awalnya tumbuh di tanah Jawa saat ini

100 Deliar Noer, Gerakan, h. 15

94

berkembang pula di luar Jawa. Di luar Jawa sebenarnya pendidikan agama ada yang disebut dengan surau seperti di Sumatera Barat, dayah di Aceh dan langgar di Sumatera Selatan. Kini nama-nama itu telah menjadi trade mark disebut dengan pesantren. Dalam pandangan Zamakhsjari Dofier, pendidikan pesantren memiliki empat ciri: yakni ada masjid, kyai, santri dan ada kitab kuning sebagai materi kajian di pesantren.101 Pendidikan pesantren dapat menjadi pendidikan unggul baik keilmuan maupun mentalitas dan moralitas santri, Karena di pesantren santrinya belajar mulai jam 5 pagi hingga jam 9 atau 10 malam, artinya belajar mereka paling tidak selama 16 jam. Mereka belajar tanpa diganggu oleh kebisingan atau hai lain seperti pengaruh media TV atau radio. Sangat logis santri pesantren banyak ilmunya. Begitu pula mereka unggul dalam moralitas karena mereka senantiasa diberikan pelajaran untuk berperilaku yang baik, baik di dalam kelas maupun di luar ruang kelas, contoh-contoh perilaku baik itu langsung diberikan oleh kyai atau ustadz pengganti kyai, Dalam kehidupan sehari-hari mereka mengerjakan sendiri pekerjaan mencuci pakaian dan mengurus segala kebutuhan. Bangun sebelum waktu shalat subuh, tidur jam 9 malam teratur setiap hari, mereka melakukannya dengan kegembiraan, tanpa mengeluh; hasilnya mereka menjadi pejuang hidup yang tangguh tanpa mengenal putus asa. Mungkin yang masih kering dari pola pembelajaran pesantren adalah sentuhan terhadap prakarsa atau lebih tepatnya kreatifitas santri. Pola pembelajaran yang kering dari dialogis atau terlarang melakukan kritik kepada kyai seniornya atau pola belajar yang monolitik tidak menumbuhkan kreatifitas santri. Padahal, sifat Allah adalah Maha Pencipta, maka di diri manusia sifat itu berbentuk kreatifitas untuk mengembangkan ciptaan Allah di bumi (QS. al- Imran, 3: 190; al-Mukminun, 23: 12-15). Di pesantren, santri belajar membaca Al-Qur'an dengan tajwidnya. Juga mengkaji ilmu agama melalui bimbingan seorang guru atau kyai dan mereka umumnya memiliki rujukan melalui kitab

101 Zamakhsjari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994), .hal. 44-55.

95

kuning. Mulanya mereka belajar masalah akidah, ibadah, dan muamalah kemudian ditambah dengan pelajaran-pelajaran seperti mantiq, balaghah, faraidl dan bidang lainnya. Belajar kitab kuning dalam pesantren ini melalui tingkatan- tingkatannya, mulai tingkat awal kemudian sampai tingkat lanjutan sesuai dengan keberadaan lamanya mereka belajar di pondok itu. Cara mereka belajar menggunakan model sorogan, yaitu santri perindividu belajar langsung ke kyai dengan cara mendengarkan bacaan dan pemahamannya, dan juga melalui cara bandongan, yaitu santri belajar ke kyai secara kelompok dengan cara mencatat di sisi kitabnya atau memberi arti di bawah teks kitab tertentu. Juga dengan cara halaqah yakni santri belajar bersama, mendiskusikan suatu masalah untuk dipecahkan bersama-sama.102 Belajar agama di pondok pesantren pada saat penjajahan digunakan pula oleh kyainya untuk menumbuhkan semangat guna melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dalam kajian mereka disampaikan ada dorongan agama untuk membela orang- orang tertindas, ada pula dorongan dari agama melalui ajaran jihad yakni berperang dengan musuh yang melakukan penjajahan di Nusantara. Di masa penjajahan ini berkembang pula institusi pendidikan yang didirikan oleh kaum penjajah untuk menyiapkan kaum bumi putera sebagai tenaga-tenaga administrasi di pemerintahan. Tempat belajar mereka di kelas, ada tingkatan atau kelas-kelas, dalam mata pelajarannya mereka belajar ilmu-ilmu umum seperti aljabar, biologi, kimia yang sebelumnya ilmu-ilmu ini pernah dikembangkan orang Islam pada masa kemajuannya. Ada yang berprofesi sebagai guru, yang khusus mengajar, ada pula yang menangani administrasi. Kemajuan siswa juga dievaluasi melalui ulangan atau evaluasi akhir tahun, dari evaluasi ini siswa yang kurang cerdas akan tertinggal kelas.103 Lulusan sekolah ini diberi ijazah dan mereka bekerja di

102 Depag, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta: Ditbinrua, 2001), hal. 44-46 103 Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), hal.4-17

96

pemerintahan dengan gaji yang cukup, mereka memiliki sepeda dan memiliki rumah yang bagus. Sistem yang diterapkan penjajah mempengaruhi pula pendidikan di pesantren, terutama dalam materi pelajaran, mereka bukan saja belajar agama tetapi juga belajar ilmu aljabar, sejarah dan lainnya. Inilah tonggak dinamika yang substantif di pesantren.104 Dari model pendidikan pesantren yang orisinil saat itu memproduk lulusan yang tangguh menghadapi penjajahan dan bercita-cita menjadi Syuhada. Kemudian pada masa awal-awal kemerdekaan selain mereka banak bercita-cita menjadi pelayan agama, ada pula menjadi politisi dan ikut merumuskan Dasar Negara RI. Pada masa-masa kemerdekan, pesantren terus berkembang dan jumlah pesantren semakin banyak. Perkembangan pesantren ini di iringi pula oleh perkembangan pendidikan model Balanda yang diteruskan oleh pemerintah Indonesia, hanya saja dalam rangka membentuk nasionalisme dan pembentukan manusia yang utuh, pelajaran ditambah dengan menambah pelajaran agama dan kewarganegaraan. Sejalan dengan perkembangan ini, pesantren pun terus mengalami dinamika dalam pendidikannya. Banyak pesantren telah menerapkan pembelajaran melalui kelas, mata pelajaran juga ditambah dengan mata pelajaran ilmu umum yang lebih banyak. Dalam perkembangannya, pesantren yang mengajarkan pelajaran kitab kuning mengalami pasang surut para santrinya, dan kemudian diperlukan penambahan sarana balajar maupun sarana tempat tidur para santri. Maka, para pengelola pesantren mendirikan sekolah umum, mengadopsi model pendidikan umum, dengan menambah pendidikan agama di jam sore atau malam. Selain mendirikan sistem madrasah di pesantren, mereka juga mendirikan perguruan tinggi agama, atau Ma'had Aly bahkan ada perguruan tinggi umum atau universitas.105 Ada pula pesantren yang menjadi tempat berdiam tetapi mereka belajar di luar pesantren tetapi mereka di waktu malam belajar kitab kuning ke kyai di pesantren itu.

104 Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998), hal. 87-88. 105 Amin Haedari, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Modern, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), hal. 49.

97

Dari dinamikanya, pesantren dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe; yaitu pesantren salafiyah yaitu pesantren yang memfokuskan dirinya belajar ilmu agama melalui kitab kuning. Ada pula pesantren di samping belajar kitab kuning, siswanya belajar ilmu umum di sekolah formal seperti SLTP/SMU atau madrasah yang disebut dengan pesantren kombinasi. Ada pula pesantren yang hanya menekankan santrinya belajar ilmu agama dan umum, adapun kitab kuning tidak dibebankan kepada santri yang disebut dengan pesantren khalafiyah atau 'asyriyah/modern. Di pesantren model ini santri ditekankan membiasakan bahasa asing baik bahasa Inggeris maupun bahasa Arab baik di kelas maupun di luar, pengajar pun memberikan pe;ajran dengan dua bahasa asing itu. Di pesantren santri mendaptkan pula keterampilan-keterampilan yakni keterampilan pidato, kepemimpinan dan lain sebagainya. Bentuk pesantren model ini juga berkembang di seluruh Indonesia. Dinamika pesantren terus berlanjut, bahwa ada pemilik atau pengasuh pesantren yang berfikir bahwa pesantren bukan saja tempat belajar ilmu tetapi juga dapat dijadikan sebagai tempat meningkatkan keterampilan, apakah itu jahit menjahit, pertukangan dan seterusnya. Terpikir pula oleh mereka, bahwa banyak pesantren yang menerirna wakaf berupa tanah atau lahan yang luas, sangat disayangkan kalau tidak diolah. Berbagai potensi yang ada mereka kembangkan. Hal ini didasari pemikiran bahwa pesantren dapat dijadikan sebagai pusat untuk pengembangan berbagai potensi yang ada untuk kemaslahatan masyarakat.106 Dari pengembangan potensi ini, pesantren dapat pula memberikan pengalaman kepada santrinya dalam bidang perikanan, pertanian, sehingga pengalaman ini dapat digunakan untuk hidupnya setelah berada di tengah-tengah kehidupan di masyarakat, selain mereka menjadi pemimpin agama di masyarakat. Hanya saja pesantren yang mengembangkan hal itu jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Dari potensi ini pesantren dapat mengembangkan diri menjadi pesantren yang mandiri, dan dalam pembelajarannya dapat mendanai sendiri, dan karena kayanya pesantren, mereka dapat

106 Hasbi Indra, "Pesantren dan Masyarakat"', Ikhlas, Majalah Depag., Nomor 23. Th. V Juli 2002, hal. 30-34.

98

memberikan pembelajaran kepada santri secara gratis. Dengan pengembangan potensi pesantren ini, pesantren terjaga kemandiriannya dari berbagai intervensi pihak lain atau dapat membawa pesantren kepada kepentingan sesaat. Dengan demikian, bila potensi pesantren dikembangkan ia dapat menjadi bagian dari pergerakan perekonomian secara nasional. Dengan demikian pula pesantren dapat mengamalkan hadits bahwa al-yad al-'ulya khairun win al-yad al-sufla/ tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Pendidikan pesantren di masa Abdullah Syafi’ie telah tersebar ke seluruh Indonesia meskipun jumlahnya santrinya masih belum begitu massif dan pesantren belum mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pesantren dalam perkembangannya harus memenuhi dinamika zaman guna merespon berbagai perubahan dalam pengelolaan pendidikannya. Perubahan memang diperlukan dan hal itu sesuatu yang abadi sepanjang kehidupan manusia, sepanjang hal itu sesuatu yang baik. Dalam dunia pesantren sebenarnya telah dipegang kaidah al-muhafazhatu 'ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah/ memelihara khazanah lama yang baik dan mengambil yang baru yang baik.107 Adanya perubahan sosial yang demikian cepat telah menimbulkan berbagai tantangan baru, tidak terkecuali bagi pesantren. Karena itu, pesantren sebagai institusi sosial yang telah banyak memberikan kontribusi besar dalam pengembangan kehidupan rohaniah masyarakat Muslim, dituntut pula agar dapat menjawab segala persoalan yang ditimbulkan dari arus perubahan sosial tersebut. Perkembangan pesantren telah ada tetapi sangat gradual dan bersifat reaktif. Perubahan yang terbaik adalah mensyaratkan perencanaan dan kajian yang mendalam terhadap masa depan, kemana perkembangan dunia ini bergerak, dan kesanalah perubahan pesantren bergerak. Keberadaan pesantren yang umumnya adalah pesantren Salafiyah yang secara khusus hanya mengkaji kitab kuning dan tidak diberikan ilmu umum. Dalam menghadapi hidup ini setiap orang

107 Depag, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, hal. 82

99

memerlukan wawasan keilmuan termasuk ilmu eksakta atau MIPA. Para santri juga seharusnya diberikan ilmu siyasah yang kelak mereka dapat menjadi pemimpin di masyarakat, mareka bukan saja mahir menjadi imam, mahir membaca doa, tapi tampil untuk memperbaiki masyarakat dengan pengetahuan umumnya dan bahkan memiliki skill untuk menopang hidupnya. Dalam kaitannya dengan pemahaman masyarakat terhadap MIPA atau teknologi, dewasa ini dapat di bagi menjadi tiga kelompok yaitu (1) kelompok technological innovator, mencakup hanya 15 persen dari seluruh penduduk dunia, tetapi menguasai seluruh inovasi teknologi yang terdapat di dunia ini, (2) kelompok technological adopters, mencakup kira-kira setengah dari penduduk dunia yatu kelompok bangsa-bangsa yang mampu menguasai teknologi-teknologi baru hasil inovasi, terutama teknologi baru di bidang produksi serta komunikasi, dan (3) kelompok technologically exclude, mencakup kira-kira sepertiga dari penduduk dunia ini, yaitu kelompok penduduk dunia yang tidak mampu memperbaharui teknologi tradisional mereka dan tidak mampu pula menguasai inovasi-inovasi yang dihasilkan oleh masyarakat-masyarakat di luar wilayah mereka.108 Wilayah yang termasuk ke dalam katagori technologically exclude ini tidak selalu berupa suatu Negara atau bangsa, kebanyakan berupa kantong-kantong dalam suatu Negara. Negara-Negara yang tidak mampu mengikuti dinamika teknologi global, pada umumnya berangsur- angsur mengalami kemunduran dan keterasingan dan akhirnya lumpuh. Ini disebabkan ekspor mereka yang berupa komoditas primer seperti pertanian, perkebunan, kehutanan dan hasil-hasil pertambangan sedikit demi sedikit digusur oleh produk-produk sintetis. Di samping itu, persoalan-persoalan demografis juga turut memperburuk keadaan Negara-Negara yang tidak mampu mengikuti dinamika teknologi global ini. Negara-Negara golongan ini memerlukan serangkaian reformasi melalui pendidikan.

108 Rifat Hamdy, Meningkatkan Mutu Pendidikan MIPA di Pondok Pesantren, Makalah, disampaikan ke Ditjen Bagais, 2001, hal. 1-4.

100

Di Indonesia, kalau diperhatikan secara lebih mikro, akan diketahui banyak wilayah yang merupakan kantong-kantong dari keterkucilan teknologi (pockets of tecknologically exclude areas). Dalam dunia pendidikan lebih terasa di lingkungan pondok pesantren dikarenakan lokasi dan lingkungannya yang umumnya bersifat terkucil secara teknologis. Kalau ini terus berlangsung, tentu mereka akan berada dalam keterbenaman dalam kemiskinan materil yang berlangsung selama ini. Kita akan semakin bergantung pada golongan penduduk yang berkecukupan secara meteril yang jumlahnya sungguh tidak banyak dalam menyelesaikan masalah- masalah mendesak yang dihadapi bangsa. Tentu saja ini merupakan situasi yang tidak sehat.109 Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah memberikan pendidikan MIPA di pondok pesantren. Masalahnya bagaimana cara mengatasi ketakutan serta kecurigaan terhadap metematika dan ilmu pengetahuan alam yang dibiarkan tumbuh dalam masyarakat pesantren dari generasi ke generasi memerlukan peninjauan ulang yang mendasar terhadap kehidupan budaya dan keagamaan kita. Untuk seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga santri tradisional, kata "hukum alam" akan membuatnya terkejut karena yang di dengarnya setiap hari selama ini adalah "hukum Tuhan". Bagaimana mungkin bahwa alam yang merupakan ciptaan Tuhan mempunyai hukumnya sendiri? Masih banyak lagi prasangka- prasangka yang harus diatasi untuk membuat pendidikan MIPA diterima dengan hati terbuka dan minat yang cukup besar oleh setiap anggota dan setiap generasi baru. Kalau kita betul-betul ingin meningkatkan kemampuan bangsa di bidang teknologi di masa depan, tidak boleh dibiarkan adanya anak-anak muda yang buta matematika dan buta ilmu pengetahuan alam. Memang benar, tidak semua santri akan berminat menjadi ahli matematika, ahli ilmu pengetahuan alam atau ahli teknologi. Akan tetapi suatu masyarakat hanya akan berhasil mengembangkan kemampuan teknologi yang cukup tinggi kalau dalam masyarakat tadi terdapat lapisan-lapisan penduduk dengan tingkat pemahaman

109 Hamdy, Meningkatkan Mutu Pendidikan MIPA, hal. 5.

101

tentang matematika dan ilmu pengetahuan alam yang beragam, dari kemampuan yang bersifat ekspertise sampai ke pemahaman yang bersifat apresiatif. Pada dasarnya setiap Negara atau masyarakat yang ingin mengalami revolusi ilmiah; yaitu loncatan raksasa dalam penguasaan matematika dan ilmu pengetahuan alam harus mampu mengembangkan empat lapisan penduduk dengan penguasaan yang berbeda-beda tentang matematika dan ilmu pengetahuan alam ini. Paling atas adalah lapisan alpha-plus scientists, yaitu ilmuwan dengan kemampuan yang sangat tinggi. Jumlah kelompok ini pada bangsa manapun tidak pernah besar. Pada lapisan kedua terdapat kelompok alpha professions yang jumlahnya jauh lebih besar daripada kelompok pertama tadi. Tugas kelompok kedua ini adalah melakukan supporting researche, the high class design and development. Pada lapisan ketiga terdapat ilmuwan yang akan melakukan secondary technical jobs. Pada lapisan keempat adalah para politisi, birokrat dan masyarakat umum dengan pemahaman tentang metematika dan ilmu pengetahuan alam yang memadai sehingga mereka itu mengerti apa yang dibicarakan para ilmuwan.110 Oleh Karena itu, pengetahuan matematika dan ilmu pengetahuan alam harus dimiliki oleh seluruh lapisan penduduk. Mereka yang tidak mempunyai keinginan untuk menjadi ahli matematika atau ahli ilmu pengetahuan alam pun perlu tahu apa matematika dan ilmu pengetahuan alam itu. Inilah mengapa para santri tidak boleh dibiarkan menjadi buta matematika dan ilmu pengetahuan alam. Alasan yang bersifat sosio-culrural harus ditangani. Kebutaan terhadap matematika yang dibiarkan melembaga, artinya dibiarkan menjadi suatu hal yang dipandang biasa akan menimbulkan akibat- akibat yang sangat membahayakan kehidupan budaya dan politik pada taraf global dan trans-personal. Mereka yang buta matematika pada umumnya akan mudah merasa jengkel dan terganggu apabila mereka berhadapan dengan manusia pemikir dan selalu tidak sabar menghadapinya dan kemudian menolak argumen-argumen yang

110 Hamdy, Meningkatkan Mutu Pendidikan MIPA, hal. 6

102

bersifat logis. Masyarakat yang membiarkan tumbuhnya kebutaan metematika dan ilmu pengetahuan akan selalu menolak argumen- argumen yang menuntut pemikiran rasional, sistematis dan tidak berpihak. Secara singkat, kebutaan matematika dan ilmu pengetahuan alam yang melembaga akan membuat masyarakat kehilangan kemampuan untuk berfikir secara disipliner dalam menghadapi masalah-masalah nyata dari masalah-masalah yang relatif sepele, sampai pada masalah-masalah yang benar-benar gawat. Untuk dapat hidup dalam zaman modern tanpa menjadi bingung sangat dibutuhkan sejumlah pengetahuan tentang ilmu pengetahuan alam. Dalam kehidupan sehari-hari, ketika berhubungan secara pribadi dengan produk teknologi baru, kita sebenarnya memerlukan penguasaan tentang sejumlah konsep dasar tentang sains dan teknologi. Kalau tidak, kita hanya menjadi budak dari peralatan teknologi yang serba modern itu. Sebagai contoh, mungkin ada di- antara kita yang terbiasa mengendarai mobil tanpa mempunyai gambaran tentang struktur mobil sebagai satu sistem. Akibatnya, kalau ada suatu hal yang tidak beres dengan mobil, yang dapat kita lakukan pergi ke bengkel. Begitu pula pemakai computer, banyak sekali yang tidak memahami perangkat keras dari computer sebagai suatu sistem. Kalau terjadi gangguan lalu menjadi bingung. Contoh serta fakta itu memperlihatkan bahwa hidup dalam zaman modern dengan mempergunakan peralatan yang serba modern akan menjadi sangat membingungkan dan bahkan menakutkan, kalau kita tidak membekali diri dengan apa yang disebut dengan scientific literacy. Selain itu, masing-masing pesantren perlu berupaya untuk menggarap berbagai potensi yang dimilikinya sehingga dengan potensi yang dimiliki lulusannya bukan saja menguasai ilmu agama, ilmu umum dan juga keahlian. Perhatian terhadap ilmu agama dan ilmu umum serta keterampilan sudah saatnya diperlakukan sama di pesantren. Ke depan, pesantren dengan potensi yang dimilikinya dapat memenuhi kebutuhan seperti sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai dengan gedung dan sarana perpustakaan lengkap diisi oleh buku agama, umum dan juga buku keterampilan. Kemudian, dalam pembelajaran ke depan, pesantren

103

sudah harus melakukan pembelajaran melalui sarana teknologi dan memperkenalkan santrinya dengan alat itu sehingga mereka tidak gagap (shock condition) dengan kemajuan teknologi.111 Ke semua itu memerlukan manajemen pengelolaan pesantren yang baik, apalagi di era saat ini. Sistem manajemen pesantren yang baik, kelak akan memproduk lulusan yang memiliki nilai kompetitif dibandingkan dengan produk pendidikan lainnya. Selama ini masih banyak manajemen pengelolaan di berbagai pesantren sangat tergantung pada komando kyai sebagai pemilik tunggal. Sehingga sampai keputusan dari hal-hal yang bersifat strategis hingga hal-hal yang teknis harus berkonsultasi dulu kepada kyai. Sistem pengelolaannya belum terbagi dan belum secara otomatis berjalan. Bila sistem pengelolaannya yang sudah terbagi, ini akan meringankan beban kerja kyai, dan kelak akan memunculkan kader- kader penerus manakala kyai sudah sepuh atau telah wafat. Selain pesantren ada pula di Jakarta pendidikan diniyah yang didirikan oleh masyarakat. Sebenarnya Pendidikan Diniyah telah berdiri bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Di masa pemerintahan Hindia Belanda yang penduduknya sebagian besar beragama Islam terdapat pendidikan diniyah dengan berbagai macam bentuk penyelenggaraan. Pada waktu itu pendidikan diniyah mendapat bantuan dari para Sultan selaku penguasa setempat.112 Setelah Indonesia merdeka, pendidikan diniyah mendapat dukungan dalam Maklumat BPKNIP Tanggal 22 Desember 1945, bahwa dalam memajukan pendidikan dan pengajaran sekurang- kurangnya diusahakan agar pengajaran yang berlangsung di langgar, surau, masjid dan madrasah berjalan terus. Kemudian dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan ini diupayakan diantaranya dengan Peraruran Menteri Agama No. 3 Tahun 1983 Tentang Kurikulum Madrasah Diniyah yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan, sehingga cita-cita pendidikan pada Pendidikan Diniyah dapat dicapai secara selektif. Kemudian dengan dimuatnya

111 Rifat Hamdy, “Meningkatkan Mutu Pendidikan MIPA”, hal. 7 112 Tim Depag, Pola Pengembangan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Depag, 2003), hal. 1

104

Pendidikan Diniyah dalam UU Sisdiknas NO. 20 Tahun 2003 institusi ini semakin kokoh keberadaannya. Awal didirikan pendidikan diniyah pada masa penjajahan salah satunya dimaksudkan untuk memberikan pelajaran agama bagi anak-anak Muslim yang buta dengan agamanya. Kemudian pada masa kemerdekaan dimaksudkan pula agar anak-anak Muslim memiliki pemahaman agama dan pengamalannya yang cukup bagi siswa yang belajar di sekolah umum. Selain itu, ada pula pendidikan ini yang diselenggarakan di pesantren, juga dimaksudkan untuk mendalami ajaran agama Islam serta mengamalkannya secara konsisten.113 Pendidikan Diniyah yang didirikan di luar pesantren siswanya berasal dari mereka yang belajar di sekolah umum karena di sekolah umum mereka belajar agama sangat minim sehingga untuk meningkatkan pengetahuan agama serta pendidikan moral mereka belajar di diniyah. Sementara itu, diniyah yang di pesantren, umumnya mereka belajar agama sembari belajar ilmu umum dan siswanya tinggal di pesantren. Pendidikan Diniyah ini sebagian besar mengunakan metode pembelajaran kelas, dan juga lulusannya diberikan ijazah, setelah lulus mereka dapat pula meneruskan ilmu agama ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam kaitan kurikulum Pendidikan Diniyah sesuai dengan keputusan Menteri Agama No. 3 Tahun 1983 membaginya menjadi 3 tingkatan, yaitu Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha dan Diniyah Ulya. Kemudian berkembang menjadi 3 tipe, yaitu: tipe A berfungsi membantu dan menyempurnakan pencapaian tema sentral pendidikan agama pada sekolah umum terutama dalam hal praktik dan latihan ibadah serta membaca al-Qur'an; (2) tipe B berfungsi meningkatkan pengetahuan agama Islam sehingga setara dengan Madrasah. Pendidikan Diniyah ini berorientasi kurikulumnya ke Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah; (3) tipe C berfungsi untuk pendalaman agama dengan sistem pondok pesantren. Materi pembelajarannya berkisar pelajaran al-Qur'an,

113 Tim Depag. Pola Pengembangan, hal. 3

105

Akidah-Akhlak, Ibadah, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab.114 Pendidikan Diniyah seperti juga pendidikan Islam lainnya berada di tengah masyarakat yang terus perkembang. Harus juga mempersiapkan diri dengan kurikulum pembelajarannya. Di Diniyah ini ada siswa yang bersekolah di dua sekolah, yaitu sekolah umum dan sekolah Diniyah, maka muatan pembelajarannya sangat padat. Pembelajaran seperti ini membutuhkan orang-orang hero atau luar biasa ketahanan tubuh dan kerja otaknya. Ketahanan tubuh tentu saja memerlukan gizi yang prima, maka hal ini sangat sulit dipenuhi ketika dihadapkan bahwa mereka yang belajar di Diniyah memiliki orang tua yang sederhana. Oleh karena itu, terutama di Diniyah memerlukan kurikulum yang integratif yakni memadukan ilmu agama dan ilmu umum, bagi mereka yang sekolah di sekolah umum dan juga sekolah diniyah, maka akan semakin memperkokoh pengetahuannya. Tetapi bagi mereka yang hanya belajar di diniyah, apakah itu di dalam pesantren atau di luar pesantren, maka integrasi keilmuwan akan memberikan wawasan luas terutama pengetahuan mereka terhadap ilmu-ilmu umum. Di pendidikan diniyah yang semata mengajarkan ilmu agama, maka seperti yang diuraikan dalam pembahasan lembaga pendidikan pesantren diperlukan adanya pemberian wawasan kepada mereka dalam pengetahuan matematika dan ilmu pengetahuan alam dengan dasar pemikiran yang sama seperti tersebut di atas. Ada lagi di Jakarta pendidikan madrasah, pendidikan yang memberikan pelajaran agama Islam pada tingkat dasar dan menengah yang umumya didirikan pemerintah. Perkembangan madrasah berkembang di berbagai daerah. Misalnya di Sumatera Barat sejak lama berdiri Madrasah Adabiyah, pendidikan madrasah saat ini telah berkembang di seluruh Indonesia.115 Pendidikan Madrasah ini pendidikan yang sudah menyerap sistem pendidikan modern, baik pengelolaannya maupun proses pembelajaran serta materi pelajaran yang bukan saja belajar agama tetapi juga belajar

114 Tim Depag, Pola Pengembangan, hal. 24 115 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 99

106

ilmu-ilmu umum.116 Hal itu disebabkan bahwa munculnya model pendidikan madrasah karena adanya persentuhan atau kontak langsung dengan model pendidikan Barat melalui kyai dan ulama yang pernah belajar di Timur Tangah. Model pembelajaran Madrasah diadakan seperti model pembelajaran sekolah umum, belajar di ruang kelas dan bertingkat serta dilakukan evaluasi harian dan tahunan.117 Di pendidikan madrasah pada awal-awal kemerdekaan di kurikulum pembelajarannya, di samping memberikan mata pelajaran agama juga mata pelajaran umum. Misalnya dalam kurikulum Madrasah Ibtidaiyah Tahun 1936, Pelajaran Agama terdiri dari belajar membaca Al-Qur'an, Tauhid, Fiqh dan Ushul Fiqh, Tafsir dan Hadits serta Akhlak. Adapun mata pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Berhitung, Ilmu Bumi, Sejarah, Ilmu Alam, Menggambar dan pekerjaan tangan. Begitu pula gambaran kurikulum Madrasah Tsanawiyah Tahun 1931, pelajaran agamanya Tafsir, Hadits/Musthalah, Tauhid, Fiqh/Hikmah Tasyri' dan Ushul Fiqh, Tarikh Islam; adapun mata pelajaran umum yakni: Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Ilmu Tumbuh-Tumbuhan, Ilmu Hewan, Ilmu Tubuh Manusia, Ilmu Berhitung, Bahasa Inggris, dan gerak badan.118 Pendidikan madrasah semakin berkembang pada masa berikutnya baik yang didirikan oleh masyarakat maupun pemerintah. Madrasah ini didirikan untuk memberikan pengetahuan agama juga umum bagi anak didik. Lulusannya tidak hanya dapat bekerja menjadi pegawai negeri seperti di Departemen Agama setelah selesai dari Madrasah Aliyah, mereka juga dapat meneruskan ke IAIN atau STAIN. Pendidikan Madrasah pada dekade ini tidak hanya memberikan kepada siswa pelajaran agama dan umum juga pelajaran keterampilan seperti tergambar dalam pelajarannya: Al-Qur'an, Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqh-Ushul Fiqh, Sejarah dan Peradaban Islam, Ilmu Kalam, Tarikh Tasyri', dan Sejarah Agama. Adapun ilmu umum seperti Pendidikan Pancasila, Bahasa dan Sastra, Sejarah

116 Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim, hal. 92 117 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1995), hal. 172 118 Abdul Rahman Saleh, Madrasah dan Pendidikan anak bangsa (Jakarta: Rajagrafindo, 2003), hal. 202-208.

107

Nasional dan Sejarah Dunia, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Matematika, Bahasa Inggris, Pendidikan Orkes dan Pendidikan Seni, dan Pendidikan Keterampilan yaitu Administrasi Urusan dan Peradilan Agama serta Bimbingan dan Penyuluhan Agama serta Bahasa Arab. Pendidikan madrasah mendapatkan perhatian pemerintah serta juga membuka kemungkinan menggali berbagai potensi dari siswa Madrasah bukan hanya potensi ilmu agama saja tetapi juga punya potensi menguasai ilmu umum, dan lainnya. Untuk itu pada tahun 70-an dibuatlah Kesepakatan 3 Menteri yakni Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. SKB 3 Menteri itu memberi peluang lulusan Madrasah bukan saja dapat bekerja di Departemen Agama tetapi juga di departemen lain, dan juga mereka dapat melanjutkan pendidikannya ke universitas umum, seperti melanjutkan ke Fakultas Kedokteran, Teknik, Hukum dan sebagainya. Untuk itu dibuatlah kurikulum tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah kelas 1 dan 2, dan kelas 3 dibagi ke dalam 4 Program Studi yaitu Agama Islam, Bahasa, Ilmu Sosial dan Ilmu alam dengan kurikulum sebagai berikut: 119 Pada kurikulum Madrasah Ibtidaiyah, mata pelajaran agama seperti Al-Qur'an-Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqh, SKI, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pengetahuan Sosial, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Matematika, Pengetahuan Alam, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, dan muatan lokal. Untuk kelas 1 dan 2, 32 jam perminggu, untuk kelas 3, 40 jam perminggu, untuk kelas 4, 5 dan 6, 42 jam perminggu. Pada kurikulum Madrasah Tsanawiyah mata pelajaran hampir sama dengan Madrasah Ibtidaiyah, kecuali berbeda ada tambahan pelajaran Bahasa Inggris dan keterampilan, Teknologi Informasi dan Komunikasi. Untuk kelas 1, 2 dan 3, 41 jam perminggu. Kemudian pada tingkat Aliyah kelas I dan II, jam pelajarannya perminggu 43 jam dalam mata pelajaran yaitu: Al-Qur'an-Hadits, Fiqh, Akidah-Akhlak, dan SKI, Pendidikan Kewarga-negaraan, Bahasa (Sastra Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris), Matematika,

119 Hasbullah, Sejarah Pendidikan, hal. 173

108

Kesenian, Pendidikan Jasmani, Ilmu Pengetahuan Sosial (Sejarah, Geografi, Ekonomi dan Sosiologi), Ilmu Pengetahuan Alam (Fisika, Kimia dan Biologi), Teknologi Informasi dan Komunikasi, Keterampilan Bahasa Asing dan Muatan lokal. Kemudian untuk kelas III Aliyah, siswa di bagi kepada Program Studi Agama Islam, Bahasa, Ilmu Sosial dan Ilmu Alam. Kurikulum Program Sudi Agama Islam seperti Al-Qur'an-Hadits, Fiqh, SKI, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa (Sastra Indonesia, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris), Matematika, Kesenian, Pendidikan Jasmani, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ushul Fiqh, Tashawuf, Tauhid, Teknologi dan Komunikasi, Keterampilan Bahasa Asing dan Muatan Lokal. Untuk semester 1 dan 2, 44, 42 jam perminggu. Program Studi Bahasa, mata pelajarannya seperti Al-Qur'an- Hadits, Fiqh, SKI dan Bahasa Arab, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Matematika, Kesenian, Pendidikan Jasmani, Sejarah, Antropologi, Sastra Indonesia, bahasa asing lain, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Keterampilan dan Muatan Lokal. Untuk semester 1 dan 2, 44, 43 jam perminggu. Adapun kurikulum Program Studi Ilmu Sosial meliputi AI- Qur'an, Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqh, SKI, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa (Sastra Indonesia, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris), Matematika, Kesenian, Pendidikan Jasmani, Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Keterampilan/ Bahasa asing dan Muatan Lokal. Untuk semester 1 dan 2, 45, 42 jam perminggu. Adapun untuk Program Studi Ilmu Alam, hampir sama dengan kurikulum Program Studi Ilmu Sosial, hanya saja berbeda pada mata pelajaran khusus yaitu Fisika, Biologi, Kimia dan Matematika.120 Tampaknya, Program Studi Agama Islam, masing-masing komposisi mata pelajarannya 30 persen untuk pelajaran agama dan 70 persen untuk mata pelajaran umum. Sementara itu untuk Program Studi Bahasa, Ilmu Sosial dan Ilmu Alam, komposisi mata pelajaran agama 30 persen dan mata pelajaran umum 70 persen.

120 Abdul Rahman Saleh, Madrasah dan Pendidikan, hal. 41

109

Ada pula tuntutan madrasah agar dapat diharapkan untuk menjadi ulama, atau madrasah yang lulusannya diharapkan menguasai ilmu agama belum terpenuhi, maka didirikanlah Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK), yaitu mata pelajarannya hampir semua mata pelajaran agama dan penguasaan bahasa Arab bagi siswanya menjadi mutlak. Selain tuntutan di atas, ada pula tuntutan bahwa tidak semua siswa Madrasah dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, banyak dari mereka yang tidak melanjutkan pendidikan. Oleh karena itu sebaiknya siswa mendapatkan keahlian atau keterampilan. Merespon hal itu, maka didirikan pula Madrasah Aliyah Keterampilan (MAK), dimana siswa Madrasah di samping belajar agama juga belajar ilmu keterampilan seperti perbengkelan, jahit-menjahit, elektronik dan lainnya agar kelak mereka selesai pendidikannya dapat langsung turun di dunia kerja. Begitu pula guna merespon percepatan pengembangan Madrasah seluruh Indonesia diperlukan tipe ideal. Untuk itu dibentuklah Madrasah Model yang diharapkan dapat menjadi contoh bagi Madrasah pada umumnya di tanah air yang dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan, laboratorium IPA, laboratorium Bahasa Inggris/Arab, laboratorium computer, bahan-bahan pelajaran seperti teks penunjang, buku pustaka, alat peraga dan lain-lain. Dalam hal personel, dipersiapkan guru Madrasah ini bergelar master sedikitnya satu orang untuk setiap mata pelajaran, guru kelas atau guru mata pelajaran biasa yang terlatih melalui kegiatan pelatihan di dalam maupun luar negeri. Kemudian perkembangan lebih lanjut untuk terwujudnya efisiensi dalam pengelolaan Madrasah yang meliputi tingkat dasar sampai menengah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah), maka dibuat pula Madrasah Terpadu dalam hal administrasi, kurikulum, personel, sarana dan prasarana dan integrasi pembiayaan.121 Pendidikan Madrasah berada di zaman yang berubah yangalumninya bukan saja membutuhkan ilmu agama, ilmu umum, tetapi juga keterampilan untuk masuk ke dunia kerja. Karena lulusan

121 Abdul Rahman Saleh, Madrasah dan Pendidikan, hal. 42

110

Madrasah tidak semuanya dapat meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk itu diperlukan Madrasah yang bukan saja profesional dalam pengelolaannya, tetapi juga lengkap dalam sarana dan prasarana pembelajarannya baik yang berkaitan dengan pengembangan keilmuwan maupun yang berkaitan dengan peningkatan skill siswa. Untuk mencapai hal itu Madrasah lebih banyak dibantu oleh pemerintah dalam proses pembelajaran, sementara itu kemampuan pemerintah sangat terbatas. Jalan lain yang bisa ditempuh melalui partisipasi civitas Madrasah. Hanya saja jalan itu masih memerlukan pemikiran. Sementara itu banyak pula Madrasah yang diselenggarakan non pemerintah yang pengelolaan dan pembelajarannya dilakukan seadanya. Hal lain yang dapat dilakukan oleh Madrasah untuk mempersiapkan siswanya di era global ini adalah memperhatikan dan meningkatkan kemampuannya dalam bidang bahasa, baik Arab maupun Inggris; penguasaan bahasa bagi pencari kerja era ini menjadi syarat mutlak. juga penguasan skill tertentu yang dibutuhkan dunia kerja. Idealnya, setiap Madrasah memiliki laboratarium bahasa, juga memiliki sarana dan prasarana untuk meningkatkan skill siswa baik dalam bidang perbengkelan, jahit- menjahit. Untuk mengembangkan hal itu perlu pula Madrasah melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan atau lembaga teknis lainnya. Siswa Madrasah dapat pula dipersiapkan wawasan dan mentalnya agar memiliki mental kewirausahaan melalui pembinaan perkoperasian atau bentuk lainnya. Hal-hal tersebut memerlukan Madrasah yang berkualitas, ini tentu saja memerlukan manajemen civitas Madrasah atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Melalui model manajemen ini, pengelolaan Madrasah tidak lagi terpusat di Kepala Sekolah untuk meningkatkan kualitasnya, tetapi sudah melibatkan berbagai unsur, selain kepala sekolah, guru dan partisipasi Komite Sekolah yang terdiri dari orang tua siswa dan mereka yang peduli dengan kualitas sekolah yang bersangkutan. Dengan berjalannya MBS ini, pengelolaaan sekolah akan mengarah kepada transparansi dan akuntabilitas. Aspirasi orang tua dan para ahli yang peduli terhadap

111

perkembangan Madrasah akan dapat diserap guna kemajuan sekolah. Di saat pemberdayaan Madrasah agar mandiri dalam pengelolaan, maka MBS adalah jawaban yang tepat, Hanya saja, problema yang tengah dihadapi adalah masih minimnya kepedulian orang tua siswa dan tokoh masyarakat dalam pemberdayaan Komite Sekolah tersebut.122 Untuk merespon keinginan masyarakat agar Madrasah memberikan sesuatu yang dapat dilihat atau dirasakan terhadap anak didik, maka kurikulum yang berbasis keahlian atau mengandung kompetensi sangat diperlukan. Tidak bisa dipungkiri, dunia sekolah salah satunya untuk mempersiapkan anak didik untuk terjun ke masyarakat, dan masyarakat terutama orang tuanya ingin melihat kemampuan anak-anaknya dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari, apalagi bila ia tidak meneruskan pendidikannya lebih tinggi karena alasan finasial atau alasan lainnya. Idealnya sekolah mempertimbangkan produknya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosialnya. Masalah yang lain dari pendidikan madrasah ini yaitu dalam kurikulumnya terus ditingkatkan penyatuan antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam mata pelajaran yang diberikan ke siswa; materi ilmu agama sudah terintegrasi dengan ilmu umum seperti terintegrasi dalam ilmu bioiogi, ilmu fisika, ilmu ekonomi, sehingga siswa sudah terbiasa melihat ilmu dalam bentuk integratif yang tidak memandang ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Untuk pengembangan materi lebih dalam, mereka dianjurkan mendalami berbagai literatur lainnya. Ilmu-ilmu yang sudah terintegratif itu akan semakin memperkuat keyakinan mereka tentang Tauhid atau keesaan Allah, dan juga dapat memperbaiki moralitas siswa dalam bentuk pengamalan sehari-hari di sekolah dan di rumah. Dalam kaitan itu Aminuddin Rasyad, Guru Besar Ilmu Pendidikan UIN Jakarta, menyatakan bahwa muatan pembelajaran siswa Madrasah sangat padat, belasan disiplin ilmu yang terpisah

122 Lihat, Husnul Yakin, “Manajemen Pendidikan Dalam Prespektif Islam”, Edukasi Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 1 Nomor 1 Januari – Maret 2003, hal. 13-14

112

antara ilmu agama dengan ilmu umum harus dikuasai.123 Sebagaimana organ tubuh yang lain dari manusia mengalami kelelahan, maka otak manusia pun juga ada batasnya dan mengalami kelelahan. Segudang teori diberikan tetapi hanya sebagian kecilnya saja yang diperoleh atau dipahami, maka segi afektifnya saja yang terjamah, tetapi segi psikomotorik hanya sedikit yang tersentuh. Maka, ketika ada penerapan antara teori dengan praktik sering tidak sejalan dan dalam bentuk riilnya dapat dilihat masih belum siap mereka terjun di dunia kerja atau dalam bentuk aplikasi moralitas di masyarakat terasa semakin memprihatinkan. Ajaran yang seharusnya, berbeda dengan senyatanya, maka ini akan menciptakan orang-orang yang lain di bibir lain pula di hati. Demikian, Madrasah sebagai institusi pendidikan yang mencerdaskan dan mempribadikan anak didik, yang mempersiapkan siswanya bukan saja dengan ilmu agama tetapi juga ilmu umum, yang dalam pembelajarannya telah dilakukan secara integratif sehingga waktu yang ada dapat digunakan secara efesien dan mendapatkan hasil yang optimal. Selain itu, Madrasah perlu membekali siswanya suatu kompetensi atau keahlian (skill) bahasa dan lainnya guna sebagai bekal baginya di masyarakat setelah lulus. Perjalanan pendidikan Islam (pesantren, diniyah dan madrasah) yang ada Nusantara telah berlangsung sejak lama. la menyatu dengan tersebarnya Islam ke berbagai belahan bumi yang luas di mana agama Islam muncul, di sana seakan tumbuh model pendidikan Islam. Sampailah agama Islam di Nusantara terutama Jakarta melalui para da'i yang membawa semangat pendidikan yang pernah dialami di negaranya. Atau ada pula lembaga pendidikan yang dibuat oleh seorang murid yang pernah belajar dari seorang ulama yang umumnya berasal dari Timur Tengah, yang mengambil bentuk pesantren, diniyah dan madrasah. Pendidikan Islam di Jakarta yang umumnya juga di Nusantara dimulai dalam lingkungan keluarga atau famili. Pendidikan untuk anak telah dimulai ketika usianya kira-kira empat tahun atau lima tahun. Tujuan dari pengajaranya agar si anak dapat membaca al-

123 Aminuddin Rasyad, Ikhlas, Majalah Depag.,No. 22 Th. 16, 2002, hal. 11.

113

Qur'an. Ada pula si anak mengunjungi guru yang mempergunakan rumahnya sebagai tempat mengaji atau mempergunakan langgar di kampung yang bersangkutan. Pada tingkat ini mempelajari al-Qur'an dimaksudkan hanya bisa membaca, tidak dimaksudkan untuk mengerti kandungannya. Pelajaran yang diberikan tidak diberikan dalam kelas yang teratur, guru mengajar anak didik satu demi satu secara bergiliran di tengah riung rendahnya murid lain membaca ayat al-Qur'an, yang nantinya akan dibaca di hadapan sang guru. Dengan demikian kemajuan si murid sangat tergantung kepada ketekunan dan kecakapannya.124 Pendidikan yang masih sederhana yang tidak berjenjang dan tidak ada perbedaan usia, mereka duduk mengelilingi gurunya untuk menerima pelajarana. Mereka membentuk halaqah atau lingkaran dan menerima pelajaran yang sama. Tidak ada kurikulum tertentu berdasar umur, lama belajar atau tingkat pengetahuan. Apa yang akan dlpelajari sepenuhnya diserahkan kepada si murid. Waktu masuk pun terserah kepada mereka, sehingga banyak di antara mereka yang datang dan pergi tanpa kepastian waktu. Kemudian dengan berjalannya waktu mereka disamping mempelajari al-Qur'an, diajarkan pula bacaan dan cara shalat serta praktiknya, juga diajarkan ilmu tauhid yang garis besarnya berpusat pada sifat dua puluh, soal iman yang benar sehingga siswa dapat menghindari dari iman selain Allah yang menyebabkan seorang jatuh ke dalam syirik, sebab syirik dipandang sebagai dosa yang tidak terampuni oleh Allah. Waktu belajar biasanya diberikan pada waktu petang atau malam hari, karena pada siang hari atau pagi hari, siswa banyak membantu orang tuanya mencari nafkah atau mengolah sawahnya. Kemudian pendidikan ini ada yang berkembang di mana muridnya belajar di kelas dan berdasarkan usia, sudah ada kurikulumnya dan ada pengelolanya, jam belajarnya ada yang pagi ada yang siang hari, pendidikan ini disebut dengan pendidikan diniyah, murid yang menyelesaikan belajar di diniyah memperoleh ijazah. Melalui pendidikan yang masih sederhana juga ada yang melalui pendidikan diniyah, setelah dianggap selesai pendidikannya

124 Deliar Noer, Gerakan, h. 16.

114

ada yang berkeinginan melanjutkan pelajarannya, dan ada pula yang sudah merasa cukup dengan pelajaran yang dicapainya. Namun, kebiasaan yang mereka lakukan seperti melaksanakan shalat berjama'ah di masjid tetap dikerjakan, dan selesai melaksanakan shalat jama'ah mereka mengadakan syarah pengajian yang gurunya berasal dari kampung sendiri atau guru yang berasal dari luar kampung itu. Mereka yang ingin lebih jauh lagi memperdalam pengetahuan agama, sering pergi merantau umumnya mendatangi pesantren atau surau-surau terkenal. Di tempat ini mereka mulai mempelajari bahasa Arab, mereka mempelajari ilmu agama seperti ilmu fiqh, ushul fiqh dan lainnya yang umumnya ditulis dalam bahasa Arab pula. Cara belajar mereka biasanya, ada seorang kyai yang membaca teks se baris demi sebaris dengan menerjemahkan ke dalam bahasa pengantar (bergantung pada daerahnya: Melayu, Jawa, atau Sunda, disertai dengan komentar atau syarah atau komentar seperlunya). Pelajaran berikutnya biasanya dimulai dengan pembacaan bagian yang lain, oleh seorang murid yang ditunjuk oleh kyai dengan membaca teks dan memberi arti. Kitab-kitab yang dibaca biasanya telah mempunyai terjemahan bahasa daerah, di antara baris-baris bahasa Arabnya, atau baris-baris dalam bahasa Arab itu mempunyai jarak yang agak lebar yang biasanya digunakan oleh si murid untuk memberi arti terhadap kata-kata bahasa Arab yang belum dimengertinya. Atau di pinggir kitabnya diberikan keterangan- keterangan oleh kyai dalam pembahasannya. Kitab-kitab itu biasanya hasil cetakan dari Cairo. Makkah atau Istambul.125 Di Jakarta, pola pengajaran seperti itu, di masa penjajahan dan awal kemerdekaan banyak dilakukan di masjid atau di rumah. Para habib seperti habib Alwi bin al-Hadad, habib Ali Husein al-Attas, atau ulama-ulama asal Betawi seperti K.H. Abdul Majid, memberikan pelajaran agama melalui kitab kuning, baik diselenggarakan di lokasi masjid maupun di rumah ulama tersebut.

125 Deliar Noer, Gerakan, h. 17.

115

Seorang murid yang baru masuk pesantren biasanya tidak langsung belajar ke kyai, kecuali ia telah sanggup mengikuti pelajaran kyai tersebut. Mereka umumnya belajar terlebih dahulu kepada asisten kyai. Setelah dirasa cukup mereka dapat membaca dan dapat memahami ala kadarnya kitab yang berbahasa Arab, barulah ia menyertai kelompok yang langsung mengaji kepada kyai pesantren tersebut. Oleh karena itu mudah dimengerti, kalau sistem pendidikan model ini memberi hasil yang sangat minim, meskipun waktu yang dipergunakan terkadang cukup lama. Waktu dan tenaga yang dipergunakan dengan hasil yang minim itu tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh, bila mempergunakan sistem pendidikan modern. Kemajuan seorang santri sangat tergantung semata-mata pada ketekunan dan kecakapannya. Kepatuhan dan kedisiplinan hanya diserahkan kepada santri sendiri. Untuk memperoleh pengetahuan agama yang memuaskan diperlukan waktu belasan tahun. Hanya sedikit orang yang dapat mencapainya, kecuali mereka memiliki kemauan keras dan berani menghadapi berbagai keprihatinan dan kesulitan dalam menuntut ilmu agama hingga pada tingkat yang paling tinggi. Oleh karena itu, banyak di antara santri yang mengundurkan diri, setelah nyantri dalam waktu yang singkat atau setelah mereka menjadi santri dalam beberapa tahun. Ada pula mereka yang pindah ke pesantren lain dengan harapan memperoleh nasib baik dengan memperoleh ilmu yang memadai. Kebanyakan mereka kembali ke kampung halaman, dengan sekedar pengetahuan agama untuk dipakai sehari-hari atau untuk menjadi guru mengaji atau menjadi ustadz di kampungnya. Pelajaran awal yang diberikan biasanya ilmu fiqh yang ditekankan pada pelajaran thaharah, shalat, zakat, puasa dan haji. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi mereka mempelajari ketentuan nikah, thalak dan rujuk serta belajar faraidl (hukum warisan), Berbekal ilmu-ilmu itulah mereka nantinya kembali ke kampung

116

halamannya untuk menjadi ustadz atau da'i, menjadi pemuka masyarakat atau ada pula mereka yang menjadi orang kebanyakan.126 Di Batavia atau Jakarta pada awal-awal kemerdekaan berkembang pendidikan berbentuk diniyah, sebagai model pendidikan agama yang telah mengadopsi sistem modern. Pendidikan yang sudah bersifat klasikal, mempunyai kurikulum yang bertingkat, adanya evaluasi, tenaga pengajarnya diberi imbalan sesuai dengan keahliannya dan sebagainya. Modemisasi pendidikan agama di Jakarta telah muncul pada tahun 1901.127 Masyarakat Arab di tempat ini telah mendirikan diniyah atau madrasah dengan tujuan menyelenggarakan pendidikan umum dan agama. Meskipun usaha pertama ini gagal, namun pada tahun 1905 organisasi al-Jam'iyah al- Khairiyat berhasil mendirikan sekolah pertama bagi masyarakat Arab di Jakarta. Mata pelajaran yang diberikan terdiri dari ilmu agama dan ilmu umum, bahasa Inggris diwajibkan sebagai bahasa kedua setelah bahasa Arab di samping bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa

126 Modenisasi pendidikan terjadi pula di daerah yang lain. Di Sumatera Barat melalui prakarsa yang pernah berkunjung ke Singapura tahun 1906, mendirikan sekolah Adabiyah di Padang Panjang yang sepenuhnya menggunakan sistem klasikal. Pelajaran yang diberikan di samping pelajaran agama juga mempelajari ilmu umum seperti ilmu hitung, lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 25. Juga modernisasi pendidikan terjadi di Solo yang berbentuk sekolah tinggi di Kraton Surakarta. Sekolah tinggi yang didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono yang digabungkan dengan masjid, selain diberikan pelajaran bahasa Arab, juga diberikan pelajaran ilmu falak, aljabar dan mantiq, Karel A. Steenbrink, Pesantren, h. 36. Organisasi Muhammadiyah menyelenggarakan pendidikan modern, yaitu tahun 1923 mendirikan sekolah dasar dan sekolah pendidikan guru, lihat Muslih Shabir, "The Educational Reform of The Muhammadiyah Reflection of Muhammad 'Abduh's Influences", Ihya Ulum Al-Din, IAIN Semarang, Vol. 2, Number 1, Februari 2000, h. 72-89 Juga di kalangan NU sejak lama mengadopsi sistem modern, yaitu tahun 1916, di Madrasah Salafiyah dalam kurikulumnya selain mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam, juga di tambah pelajaran ilmu berhitung, bahasa Belanda dan ilmu sejarah, lihat Deliar Noer, Gerakan, h. 85- 86. Juga terjadi di Majalengka. Abdul Halim sebagai pelopor mendirikan pendidikan Jami'at 'Anat Al-Muta'allimin yang menggunakan sistem kelas, juga ia mendirikan pendidikan yang bukan hanya mengajarkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum juga mempelajari pelajaran yang meningkatkan skill, seperti pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, lihat dalam Jalaluddin, “Santi Asromo K.H, Abdul Halim”, Disertasi IAIN Jakarta, (Jakarta, t.p., 1990). 127 Deliar Noer, Gerakan, h. 80-83

117

pengantar. Tenaga gurunya diambil dari orang Indonesia dengan kreteria yang ketat serta guru yang didatangkan dari Timur Tengah seperti Ahmad Soerkati.128 Madrasah yang berdiri pada tahun 1905 di Tanah Abang ini mampu menampung banyak murid laki-laki. Selain itu, bagian perempuan juga dibuka oleh al-Jam'iyah al-Khairiyat pada tahun 1919. Tenaga pengajar al-Jam'iyah al-Khairiyat putri adalah orang Arab dari luar negeri dan para kyai pilihan Indonesia. Setelah terjadi perpecahan ditubuh organisasi ini, muncul organisasi baru yaitu Al-Irsyad, Madrasah Al-Irsyad didirikan di Batavia pada tahun 1913, madrasah ini juga sangat penting bagi pendidikan di Jakarta karena banyak guru-gurunya berasal dari Timur Tengah. Madrasah ini menganut model Timur Tengah, terutama model negara Mesir dan . Pada dasarnya sekolah yang dikelola kedua organisasi ini tidak berbeda dengan sistem pendidikan gubernemen, walaupun keduanya memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada pendidikan agama. Model pendidikan diniyah atau madrasah yang berkembang di Batavia, juga sebagai respons dari model pendidikan yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Pendirian sekolah-sekolah pemerintah Belanda ini di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan oleh pemerintah, juga dimaksudkan agar kaum bumiputera yang umumnya beragama Islam dibentuk kepribadiannya, menjadi berkepribadian orang-orang Eropa yang liberal dan rasional. Sehingga, dengan terbentuknya cita-rasa, pola budaya, dan pemikirannya, mareka diharapkan tidak melakukan penentangan terhadap pemerintah Belanda. Munculnya model pendidikan madrasah juga karena adanya persentuhan atau kontak langsung dengan model pendidikan Barat melalui para kyai atau ulamanya. Beberapa orang Indonesia yang belajar di India dan Mesir meskipun jumlahnya lebih kecil dibandingkan generasi sebelumnya yang belajar ke Makkah, rupanya telah mengenal model pendidikan Barat. Selain itu, kelompok- kelompok masyarakat Arab di kota besar di Indonesia pada awal abad ke-20 juga telah mendatangkan guru-guru dari Tunisia dan

128 Deliar Noer, Gerakan, h. 68-73

118

Syria. Guru-guru itu sudah berkenalan dengan sistem pendidikan Barat, terutama dari Perancis di negaranya masing-masing.129 Selain madrasah-madrasah tersebut muncul banyak madrasah lain seperti madrasah al-Khairiyat yang didirikan di Kuningan pada tahun 1925 oleh K.H. Rahmatullah bin H. Mughni, Madrasah al- Azhar di Pulo Gadung didirikan pada tahun 1928 oleh K.H. Mukhtar, Madrasah Islamiyah di Kampung Kecil Kebayoran Lama pada tahun 1934 dipimpin oleh Ustadz Haji Hamid, Madrasah Al-Wathaniyah di Klender pada tahun 1934 didirikan oleh K.H. Chayyar, dan dalam waktu bersamaan didirikan madrasah Raudlatil Athfal oleh K.H. Mursyidi yang kemudian menjadi madrasah Al-Falah, dan madrasah Dar al-Ta'mil al-Islami di Kampung Kecil didirikan oleh K.H. Rahmatullah Sidiq pada tahun 1938, dan di Klender pada tahun 1933. K.H. Zayadi mendirikan pesantren al-Ziyadah yang kemudian menjadi madrasah.130 Berdiri pula madrasah al-Khairiyat al-Mansuriyah, pada permulaan bernama madrasah Nahdlatul Ulama (tidak ada hubungan dengan NU) didirikan pada tahun 1930 oleh K.H Mansur di Pekojan Jakarta barat, pada tahun 1945-1950 ketika dipimpin oleh K.H. Ahmadi mempunyai 45 guru dan 1700 murid. Madrasah al- Hidayah (kampung Basmol) Kebun Jeruk Jakarta Barat didirikan pada tahun 1942 oleh K.H. Ma'ud. Madrasah al-Jihad didirikan atas usaha H. Abdullah Daud pada tahun 1945 dan ketika dipimpinnya pada tahun 1950 madrasah ini mempunyai 29 guru dan 1000 murid. Demikian pula madrasah Raudlah al-Muta'allimin Mampang Prapatan yang didirikan pada tahun 1945 oleh beberapa kyai terkenal seperti K.H. Abdul Razak Ma'mun. Madrasah ini telah membuka cabangnya di Grogol Jakarta Barat pada tahun 1945-1950 memiliki 50 guru dan 1000 murid. Madrasah-madrasah ini punya sistem pengajaran yang cukup baik. Di samping pelajaran al-Qur'an, bahasa Arab dan Akhlak, juga diberikan pengetahuan umum. Masa

129 Lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah-Sekolah, (Jakarta: KP3ES, 1986).h. 25 130 Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), h. 131. Lihat pula Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: LSIK, 1995), h. 149-150.

119

belajarnya adalah 3 tahun (masa dasar), 4 tahun Ibtidaiyah, 2 tahun ijazah, 4 tahun mu'allimin, 2 tahun takhassus dan waktu 5 tahun diperlukan untuk mencapai tingkat tinggi, yaitu takhassus. Selanjutnya, dalam kaitan kurikulum banyak madrasah memberikan 70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum (sejarah, matematika, geografi, ilmu falak, dll.). Kemudian muncul pula bentuk-bentuk madrasah bertingkat seperti Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan pesantren. Sebagian besar buku-buku yang dipergunakan adalah buku- buku berbahasa Arab seperti Matiah Al-Bahrain wa Majmah al- Bahrain, Minhaj al-'Abidin, al-Dar al-Samin, Matan al-Ajramiyah, Al- Fiqh al-Wazih, Khulasah Nur al-Yaqin, beberapa buku akhlak dan tata bahasa Arab. Pendidikan Islam dari madrasah ini cukup bermanfaat dan menggembirakan. Sebagian besar lulusan madrasah ini melanjutkan studi di bidang agama Islam di berbagai perguruan tinggi di negara-negara Timur Tengah. Pendidikan madrasah dan juga pendidikan pesantren yang berkembang di Betawi ini sebelum masa kemerdekaan, juga menjadi tempat menanamkan semangat perlawanan terhadap Belanda yang sedang menjajah.131Karena dicurigai sebagai tempat perlawanan kepada penjajah, institusi pendidikan ini mengalami diskriminasi dari kaum penjajah. Kemudian, berdiri pula madrasah al-Irsyad pada tahun 1950, pada tingkat Tsanawiyahnya yang menerapkan masa belajar 3 tahun dengan kurikulumnya 60% agama dan 40% umum, ditingkatkan menjadi Pendidikan Guru Agama Persiapan (PGAP). Sebagai lanjutan dari PGAP ini dididirikan satu Perguruan Tinggi Islam Jakarta (PTI) pada tanggal 14 November 1951 oleh Yayasan Wakap Perguruan Tinggi Islam Jakarta. Perguruan Tinggi ini merupakan lembaga pendidikan Islam pertama yang didirikan setelah Indonesia mardeka. Perguruan ini memiliki satu fakultas: Fakultas Hukum dan Pengertahuan Masyarakat, dengan jumlah mahasiswa 85 orang (1951- 1952). Pada tahun 1959, PTI menjadi Universitas Islam Jakarta dengan dua fakultas: Hukum dan Pengetahuan Masyarakat; dan fakultas Ekonomi dan Perusahaan. Setahun sebelumnya berdiri Perguruan

131 Lihat Zuly Qadir, “Pendidikan Islam Transformatif”, Afkar, Edisi No. 11 Tahun 2001, h. 30-33

120

Tinggi Muhammadiyah Jakarta dengan fakultas Ilmu Pendidikan, dan Ilmu Sosial yang terletak di Jalan Limau, Kemayoran Baru. Kemudian perguruan ini dengan fakultas Ilmu Pendidikan menjadi Institut Peguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) dan dengan fakultas Ilmu Sosial menjadi Universitas Muhammadiyah. Dasar perguruan ini adalah sekolah Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1938 di Jakarta. Selain itu untuk meningkatkan guru-guru agama Islam pada tanggal 15 Mei 1957 di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama Islam, dengan Mahmud Yunus sebagai Dekannya. Dalam bulan Agustus I960, Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) menjadi Institut, dan berdasarkan Keputusan Presiden No. 11 tahun I960, ADIA menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.132 Institusi pendidikan Islam di Jakarta pada masa penjajahan dan masa Orde Lama belum mengalami perkembangan yang signifikan. Karena pada masa penjajahan umat Islam mengalami diskriminasi dalam pendidikan. Sementara pada masa Orde Lama umat Islam disibukkan oleh urusan berpolitik, dan pemerintahpun masih memusatkan perhatian pada pembangunan politik, dan politik menjadi "panglima", sementara bidang lainnya belum mendapat perhatian. Secara kelembagaan dan kualitas pendidikan Islam belum mengalami perkembangan yang berarti. Pada masa penjajahan dan Orde Lama model pendidikan pesantren belum populer seperti yang ada di Jawa. Ada pesantren al- Ziyadah yang didirikan oleh K.H. Zayadi yang kemudian menjadi madrasah, juga jauh hari sebelumnya ada pesantren yang didirikan oleh KH. Ahmad Marzuki di Klender. Pesantren yang didirikannya memiliki santri mukim sekitar 50 orang, namun tidak dapat bertahan setelah ia meninggal dunia. Sebab, bertahan dengan pendidikan pesantren (tradisional) tidak mampu bersaing dalam persaingan dunia pendidikan yang sangat kompetitif di Jakarta, dan santri yang sedikit tidak mampu membiayai pesantren itu.

132 Zuly Qadir, “Pendidikan Islam Transformatif”, hal. 34

121

Barulah pada dekade Orde Baru di Jakarta muncul banyak pesantren sebagai "metamorphosis" dari model madrasah. Pesantren- pesantren yang ada merupakan kelanjutan dari institusi madrasah yang ada sebelumnya, selain muncul pesantren-pesantren yang baru. Perubahan bentuk ini dilatarbelakangi oleh paling tidak dua hal. Pertama, adanya gerakan pemerintah menegerikan sekolah madrasah yang sebelumnya dikelola oleh swasta atau oleh masyarakat. Gerakan ini sangat mengkhawatirkan para pendiri dan pengelola madrasah kehilangan hak "miliknya". Kedua, dari segi simbol panggilan pengelola atau pemimpin madrasah, panggilan khasnya di masyarakat adalah ustadz, sementara panggilan khas pemimpin pesantren yaitu kyai. Di masyarakat panggilan kyai tercitrakan "lebih berwibawa" daripada panggilan ustadz. Adapun Pondok Pesantren yang dapat dicatat di Jakarta sebanyak 72 pesantren seperti pesantren al-Wathaniyah, Dar al-Najah, al-Qariyah Thayyibah, Persatuan Islam 69, Dar al-Rahman, al-Jauhariyah, Nur al- Qur'an, Hub al- Wathan, al-Siddiqiyah, dan lainnya. Pada masa Orde Baru ini Pendidikan Islam mengalami dinamika yang memadai. Pendidikan Islam baru memperoleh perhatian yang cukup baik dari pemerintah maupun dari umat Islam sendiri. Terutama madrasah mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah. Hanya saja pemerintah dalam menangani pendidikan Islam mengarah kepada penyeragaman dalam pengelolaannya, sehingga kreativitas dalam mengelola pendidikan mengalami hambatan yang cukup berarti.133 Pada masa ini telah berkembang madrasah model, seperti Madrasah Aliyah Pembangunan Khusus (MAPK) di Ciputat Jakarta Selatan. Dalam kaitan dengan kurikulumnya dikembangkan, jika sebelumnya dibuat proporsi hampir 100 persen mata pelajaran agama; menjadi 70 persen untuk mata pelajaran umum dan 30 persen mata pelajaran agama.

133 Dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang di sutradarai oleh Rano Karno, sekaligus pemeran Si Doel, digambarkan betapa anak Betawi masih langka mengecap pendidikan umum. Si Doel yang telah meraih gelar Insinyur (Ir.) disebut oleh ayahnya Sabeni "Tukang Insinyur". Si Doel juga digambarkan seseorang yang pandai mengaji serta jujur prilakunya. Lihat Rano Karno, "Masyarakat Betawi Dalam Si Doel Anak Sekolahan", h. 1-4, Seminar Budaya Betawi, IAIN Jakarta, 3 Juli l999.

122

Selain itu, adanya persamaan status antara Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dengan Sekolah Menengah Umum (SMU)/ Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sehingga lulusannya dapat melanjutkan pendidikannya di Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gajah Mada (UGM), serta universitas umum lainnya. Sementara itu, pendidikan pesantren pun yang umumnya dikelola oleh masyarakat, secara kuantitatif mengalami perkembangan. Demikian institusi pendidikan model madrasah yang menjadi pilihan utama masyarakat Betawi pada masa penjajahan dan awal- awal kemerdekaan. Dan, setelah masa Orde Baru, baru pondok pesantren menjadi institusi andalan dalam mencerdaskan putra- putrinya. Pilihan terhadap sekolah agama bagi putra-putri Betawi memang sengaja ditanamkan oleh orang-orang Belanda yang menjajah Nusantara. Orang-orang Belanda mengatakan bahwa bagi orang Betawi tempat belajar mereka yang paling tepat adalah di madrasah atau sekolah agama. Orang-orang Belanda menanamkan pula bahwa bagi orang Muslim di dunia ini hanyalah sementara, hidup yang kekal bagi mereka adalah di akhirat kelak, dan kehidupan dunia ini hanyalah bagi orang kafir. Pandangan tersebut tertanam di benak masyarakat Betawi, karenanya dalam soal pendidikan mereka lebih memilih sekolah agama. Bagi mereka yang kaya mengirim anak-anaknya sekolah agama baik di Saudi Arabia maupun Mesir. Sementara itu, bagi perempuan Betawi, mereka banyak sekolah di sekolah agama ala kadarnya, karena bagi mereka sekolah hanyalah sebagai pelengkap dalam hidup, yang penting bagi mereka menjadi ibu rumah tangga kelak karenanya banyak perempuan Betawi yang nikah di usia muda.134

134 Dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan, Zainab yang diperankan oleh Maudy K, menggambarkan anak perempuan Betawi yang sejak muda ditunangkan oleh orang tuanya dengan Si Doel. Namun, orang tua perempuannya, memutuskan pertunangan itu, dan menjodohkannya dengan pengusaha sukses. Zainab tidak menerima begitu saja perjodohannya. Zainab masih ingin melanjutkan sekolah. Akhirnya Zainab kursus bahasa Inggris. Yang lebih mengejutkan lagi Zainab terpilih menjadi None Jakarta. Lihat Nasharuddin Umar, "Perempuan Betawi Menyonsong Milenium ke-3", h. 1-6, Seminar Budaya Betawi, IAIN Jakarta. Lihat pula Aida Vitayala SB, "Peran Perempuan

123

Sementara itu, di Jakarta muncul pula sekolah yang dikembangkan oleh zending Kristen atau Katolik yang menerapkan sistem pendidikan Belanda, yang mereka jadikan pula sebagai pembawa misi penyebaran agamanya. Melalui sarana pendidikan ini agama Kristen secara sistematis dida'wahkan.135 Sekolah-sekolah Kristen yang berkembang di Jakarta ini seperti sekolah Tarakanita dilengkapi dengan fasilitas yang serba lengkap, dan dikelola secara profesional, Sehingga logis, jika prestasi yang mereka capai menyamai prestasi sekolah yang dikelola oleh pemerintah atau bahkan melebihinya. Atas prestasi yang mereka capai, banyak pula umat Islam yang mempercayakan putra-putrinya di didik di sekolah tersebut atau sekolah sejenisnya. Tentu saja siswa yang beragama Islam harus tunduk kepada ketentuan sekolah, serta mereka dibolehkan pula untuk mengikuti pelajaran agama Kristen. Di duga kuat telah banyak anak didik yang beragama Islam yang dididik di sekolah-sekolah Kristen mengalami konversi dalam agamanya. Mereka berpindah agama melalui sekolah-sekolah Kristen atau Katolik itu, dikarenakan mereka telah menerima ajaran agama tersebut melebihi pemahaman mereka terhadap agamanya sendiri (agama Islam). Apalagi, bila mereka tidak menerima ajaran agamanya, terutama dari lingkungan keluarga, maka kebingungan terhadap ajaran agamanya akan muncul, dan ia berpindah agama.136 Sementara itu dalam potret pendidikan agama di Jakarta, pendidikan madrasah pada tahun 80-an menyerap rata-rata 50-60 ribu murid baru untuk berbagai jenjang baik jenjang pendidikan dasar (Ibtidaiyah), pendidikan menengah pertama (Tsanawiyah)

Betawi Menyongsong Milenium III", h. 1-7, Seminar Budaya Betawi, IAIN Jakarta, 3 Juli 1999 135 Lihat Hadisutjipto, Sekitar, h. 47. 136 Pengakuan Aviliani, sarjana dan pengamat ekonomi, dan salah seorang pembawa acara talk show di ANTEVE, setelah masuk ke sekolah SMU Tarakanita, ia berubah memeluk agama Kristen. Kini, ia kembali memeluk agama Islam atas kesadarannya sendiri. Lihat Republika, 22 Desember 2002, h- 2. Dalam konteks ini pula ketika "Majelis Pendidikan Katolik dan Protestan melakukan penentangan terhadap RUU-SISDIKNAS yang akan disahkan oleh DPR-RI bulan Mei 2003, , SEKUM MUI menyatakan ada 16000- 19000 pertahun anak didik Muslim yang "murtad" melalui institusi pendidikan non Islam, Republika, Selasa 6 Mei 2003,h.1

124

maupun pendidikan menengah atas (Aliyah). Pada dekade ini di Jakarta tercatat sebanyak 493 buah sekolah Madrasah Ibtidaiyah, 196 buah Madrasah Tsanawiyah dan 68 buah sekolah Madrasah Aliyah dengan murid seluruhnya berjumlah 145.592 orang dan guru sebanyak 8.898 orang. Dalam kaitan ini pemerintah DKI Jakarta telah memprakarsai program pendinamisan madrasah dengan maksud meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah-madrasah yang ada, agar anak didik tamatan madrasah ini memiliki pengetahuan setingkat dengan sekolah-sekolah umum. Hal ini dilakukan mengingat makin meningkatnya pola pikir warga Ibukota serta makin pesatnya pembangunan dan teknologi sehingga mampu menjawab tantangan melalui pendidikan formal keagamaan. Kegiatan-kegiatan untuk terwujudnya cita-cita itu dilakukan melalui penataran bagi guru-guru dan pengadaan alat-alat peraga. Di samping itu, diusahakan perluasaan pembangunan sarana pendidikan, dalam rangka pemerataan kesempatan belajar. Selain madrasah di Jakarta, terdapat kurang lebih 72 buah Pondok Pesantren. Pondok Pesantren memiliki murid sebanyak 11.889 orang dan guru sebanyak 360 orang. Untuk agama Katolik juga sudah dibangun sebuah seminari menengah yang mampu menampung sekitar 300 murid.137 Di Jakarta, selain tumbuh pesantren bercorak Salafiyah, juga tumbuh pesantren-pesantren yang bercorak Kombinasi, seperti didirikannya pesantren putra-putri, dan pesantren khusus yatim Abdullah Syafi'ie. Selain itu, di pinggiran Jakarta bermunculan pula pesantren yang bercorak Khalafiyah seperti pesantren Dar al-Najah di Jakarta Selatan, pesantren al-Hamdiyah dan al-Tawwabin di Depok. Kemudian bermunculan pula pesantren plus, seperti pesantren Madaniyah di Parung Jawa Barat merupakan pesantren terpadu (Sekolah Menengah Umum yang siswanya tinggal di pesantren).138

137 Mendagri, Profil, h. 175 138 Lihat Azyumardi Azra, "The Rise of Muslim Elite Schools: A New Pattern of "Santrinization in Indonesia", dalam al-Jami'ah, IAIN Yogyakarta, No.64/XII/1999, h. 67.

125

Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa situasi pendidikan Islam termasuk di Jakarta mulanya sangat sederhana. Umat Islam Betawi belajar agama di rumah atau masjid dengan sistem halaqah atau sorogan. Pendidikan Islam lebih banyak bercorak madrasah pada masa penjajahan, dan mengalami diskriminasi. Begitu pula pada masa Orde Lama pendidikan madrasah belum berkembang secara signifikan. Kemudian, pada masa Orde Baru madrasah (Diniyah) banyak berkembang menjadi pesantren. Selain berkembang pula pendidikan madrasah dan pendidikan Tinggi Islam. Dari berbagai uraian di atas, dapat digambarkan bahwa situasi sosial kemasyarakatan yang berkembang di masyarakat Betawi atau Jakarta, posisi sosial mereka "terpinggirkan" baik di masa penjajahan maupun di masa pasca-kemerdekaan. Di tengah masyarakat Betawi berkembang pula budaya yang sesuai dengan nilai Islam dan patut dikembangkan, ada pula budaya yang tidak perlu dikembangkan. Masyarakat etnis Betawi berciri demokratis, egaliter dan tidak eksklusif. Situasi politik umat Islam di Betawi pada masa penjajahan, terpusat perjuangannya untuk mengusir negara penjajah. Kemudian, di Jakarta pada pasca kemerdekaan euporia politik sangat menonjol, terutama pada masa Orde Lama concern umat Islam hanya terfokus untuk menempatkan agama Islam sebagai ideologi negara. Pada masa ini, ditandai pula oleh adanya berbagai konflik kepentingan antar partai politik, juga antar partai politik Islam, yang juga terjadi di Jakarta. Kemudian pada masa Orde Baru umat Islam mengalami marginalisasi di bidang politik. Pada masa ini di Jakarta telah terjadi kompetisi antar partai politik termasuk di antaranya adalah partai-partai politik Islam. Ada pula penyatuan partai-partai politik termasuk partai politik Islam ke dalam satu partai dalam satu wadah yang disebut Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Masyarakat Betawi berada dalam dinamika perpolitikan itu. Masyarakat Indonesia temasuk masyarakat Betawi di masa Orde Lama belum melihat perkembangan ekonomi tapi setelah Orde Baru merasakan perkembangan hal itu hanya saja perkembangan itu belum diwarnai oleh umat Islam, ekonomi kapitaslis berkembangan

126

dan pembangunan ekonomi mengandlkan hutang ke negara donor. Dalam kehidupan beragama khususnya di Jakarta ditandai oleh adanya dinamika, baik yang menyangkut aktivitas umat beragama, lembaga agama maupun lainnya. Masyarakat Betawi sangat taat menjalankan ajaran-ajaran Islam, hal itu tergambar dalam perilaku beragamanya. Namun, mereka memiliki toleransi terhadap keyakinan agama yang pluralitas di Jakarta. Selanjutnya situasi pendidikan Islam di Jakarta mengalami dialektika, semula pendidikan Islam bertumpu kepada sistem pendidikan non-formal, seperti mengaji kitab ke seorang habib atau kyai di rumah, di masjid, namun kemudian berkembang pula pendidikan ala madrasah, dan ala pesantren. Pendidikan Islam di Jakarta pada masa penjajahan dan Orde Lama berkembang sangat lambat. Baru pada masa Orde Baru banyak mengalami perkembangan baik yang dikelola pemerintah maupun masyarakat., Dalam kontek di tengah masyarakat Betawi selain tumbuh pesantren tradisional (Salafiyah), tumbuh pula pesantren Khalafiyah/Modern atau Kombinasi. Masyarakat Betawi pada umum bersekolah di madrasah maupun di pesantren, terutama di pesantren Salafiyah atau Khalafiyah atau Kombinasi.

127

128

BAB III POTRET K.H. ABDULLAH SYAFI’IE

A. Riwayat Hidup dan Kepribadiannya Abdullah Syafi'ie lahir di Balimatraman Jakarta pada tanggal 10 Agustus 1910 dan wafat lebih kurang 16 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 3 September 1985, juga di Jakarta. Ayahnya bernama H. Syafi'ie bin Sairan yang memiliki profesi sebagai seorang pedagang besar (grosir buah-buahan). Sementara itu, ibunya bernama Nona bin Sya'ari yang juga berjiwa dagang, ia memiliki kemampuan membuat kecap untuk diperdagangkan (home industri). Keduanya berbahagia menerima kehadiran Abdullah, kebahagiaan mereka bertambah dengan lahirnya saudara-saudara Abdullah yaitu Rogayah dan Aminah.1 Abdullah, di usia yang masih sangat muda, bersama orang tuanya telah melaksanakan ibadah haji ke Makkah.2 Ketika di usia yang telah mencapai dewasa atau kurang lebih 18 tahun, atas restu kedua orang tuanya, dia menyunting seorang gadis yang bemama Siti Rogayah binti K.H. Ahmad Muchtar untuk dijadikan istrinya.3 Istrinya adalah seorang terpelajar dan pernah menjadi pembaca al- Qur'an di Istananegara di depan Presiden Soekarno pada tahun 1949. Abdullah dan keluarga besarnya merasa bangga dengannya karena memiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam seni membaca al- Qur'an. Setahun lebih setelah masa perkawinan, Abdullah Syafi'ie dan keluarga besarnya berbahagia, mendengar bahwa istrinya telah mengandung anak pertama. Setelah sembilan bulan di dalam

1 K.H. Abdul Rasyid pada tanggal 13 Nopember 1999, dan K.H. Abdul Hakim pada tanggal 4 Nopember 1999 (keduanya putra Abdullah Syafi'ie), wawancara 2 Lihat Utomo Dananjaya, "K.H. Abdullah Syafi'ie Khadimutthalabah Perguruan Al-Syafi'iyah—Kharismatik dan Rendah Hati", dalam Abdullah Syafi'ie-Tokoh Kharismatik 1910-1985, (Jakarta: t.p, 1999), h. 12. 3 Saudara Rogayah yaitu KH. Ahmad Khatib, H. Hayati, KH. Murtadla Ahmad, H. Satiri Ahmad dan Hj. Sayidah Alimad, wawancara dengan Ida Farida.

129

kandungan Rogayah, lahirlah anak yang dinanti, seorang putri yang mereka beri nama Muhibbah. Beberapa tahun kemudian lahir pula seorang putri lain yang mereka beri nama Tutty Alawiyah. Pemberian nama ini menurut pengakuan yang bersangkutan, bahwa ayahnya sangat mengagumi salah seorang gurunya yang bernama Habib Alwi al-Hadad (bentuk ta'nis dari Alwy yang kemudian menjadi Tutty Alawiyah).4 Pada waktu itu, memang Abdullah Syafi'ie sedang tekun menuntut ilmu agama dari satu guru ke guru yang lain, termasuk kepada guru yang dia kagumi yaitu Alwi al-Hadad. Beberapa tahun kemudian menyusul lahir anak ketiga, kebahagiaan mereka bertambah karena ternyata anak yang baru lahir adalah seorang putra. Abdullah memberi nama sang putranya dengan nama Abdul Rasyid, beberapa tahun kemudian lahir pula Abdul Hakim, dan yang terakhir lahir pula seorang anak putri yang mereka beri nama Ida Farida. Lengkap sudah kebahagiaan Abdullah dan istri serta keluarga besarnya, menerima sepasang putra dan tiga orang putri dalam kehidupan mereka. Namun, pada tahun 1951 keluarga itu berduka cita dengan meninggalnya Rogayah, seorang istri dan ibu dari anak- anak yang mereka cintai dipanggil kehadirat Allah. Dan beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1958, keluarga itu kembali lagi mengalami kedukaan yang mendalam, karena Muhibbah, putri tertua Abdullah Syafi'ie dipanggil kehadirat Allah SWT. Abdullah Syafi'ie masih energik dan kuat serta masih memerlukan dorongan dan semangat dalam mencapai obsesi atau cita-cita hidupnya. Setelah beberapa tahun ditinggal istrinya, dengan direstui oleh keluarga dan putra-putrinya dia menyunting seorang gadis yang bernama Salamah. Dari perkawinan kedua ini ia memperoleh sepuluh orang anak,5 anak-anak dari Salamah yaitu Moh. Surur, Syarif Abdullah, Moh. Zaki, Elok Khumaira, Ainul Yakin, Syafi'i Abdullah, Nufzatul Tsaniyah, Muhammad, Thuhfah, dan Laila Sakinah.6

4 Tutty Alawiyah, "K.H. Abdullah Syafi'ie, Ayahku", Kompas (Jakarta), 15 September 1985. 5 Ida farida, Abdul Rasyid dan Abdul Hakim, wawancara. 6 Ainul Yakin, 29 Desember 2002, wawancara.

130

Abdullah Syafi'ie yang sehari-harinya mendapat panggilan dari saudara-saudaranya dan masyarakat dengan panggilan Dulloh, ia mewarisi bakat dagang dari orang tuanya. Ketika ia menuntut ilmu agama di berbagai tempat, ia telah berdagang barang-barang keperluan masyarakat berupa kain dan .7 Bahkan kemudian, setelah ia menerjunkan dirinya di tengah masyarakat, ia dikenal sebagai seorang ulama yang energik. Berbagai aktivitas ia lakukan, mulai dari memberikan pengajian di beberapa majelis ta'lim, mendirikan dan mengelola pendidikan agama yang kemudian berkembang secara luas, namun demikian profesi dagangnya tetap tidak ditinggalkan. Di tengah kegiatannya memberikan pengajian, baik di daerah Jakarta maupun di luar Jakarta, dia tidak lupa membawa barang-barang dagangannya. Tampaknya, berdagang telah menjadi bagian dari hidupnya di samping ia sebagai da'i dan pendidik. Dari hasil laba perdagangan itulah ia jadikan modal untuk mendirikan dan mengembangkan institusi pendidikannya.8 Namun, betapapun besar bakat dagangnya ia tidak lupa diri untuk terus menuntut ilmu pengetahuan agama. Abdullah Syafi'ie, awalnya memasuki Sekolah Rakyat (SR) hanya selama 2 tahun.9 Kemudian, ia belajar dari satu ustadz ke ustadz yang lain, dari habib ke habib yang lain. Dibantu oleh fasilitas yang diberikan oleh sang ayah, berupa sepeda yang masih termasuk barang mewah ketika itu, dia mendatangi guru-gurunya untuk belajar dalam bidang ilmu agama. Bahkan, ia pernah belajar ke seorang guru yang berada di kota Bogor yang jaraknya puluhan kilometer dari kota Jakarta. Pada waktu itu, kota Bogor terhitung kota yang sangat jauh dari kota Jakarta karena masih minimnya fasilitas transportasi umum menuju ke sana.10 Guru-guru Abdullah Syafi'ie yang dapat dicatat pada tahun 30- an adalah: Muallim al-Musonnif di mana ia belajar ilmu nahwu, ustadz Abdul Madjid dan KH. Ahmad Marzuki tempat ia belajar ilmu

7 Ida Farida, Abdul Rasyid dan Abdul Hakim., wawancara. 8 Abdul Rasyid, Abdul Hakim, wawancara. 9 Lihat Tuty Alawiyah (peny.), KH. Abdullah Syafi'ie-Tokoh Kharismatik, 1910- 1985, (Jakarta: t.p., 1999), h. 2. 10 Abdul Hakim, wawancara.

131

fiqh. Belajar tashawuf ke KH. Ahmad Marzuki, setelah sang kyai meninggal dunia, ia belajar ilmu tashawuf, tafsir, dan juga belajar berpidato ke habib Alwi al-Haddad yang tinggal di kota Bogor. Kemudian, pada tahun 50-an, ia belajar ilmu hadits kepada habib Salim bin Jindan di Jatinegara.11 Cara belajar Abdullah Syafi'ie dari satu guru ke guru yang lain disebut cara belajar rihlah. Cara belajar seperti ini di dunia Islam sudah mentradisi dan sudah berkembang sejak masa-masa awal perkembangan agama Islam. Di masa itu para penuntut ilmu pengetahuan agama, melakukan perjalanan yang sangat jauh dari satu kota ke kota yang lain, dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka memerlukan waktu yang cukup lama untuk menuntut ilmu pengetahuan kepada para ilmuwan (ulama) pada waktu itu.12 Hal tersebut telah diceritakan dalam sebuah hadits, di mana Jabir bin Abdullah mencari satu hadits kepada Abdullah bin Unais yang menempuh perjalanan selama 1 bulan.13 Pentingnya menuntut ilmu, memang telah diisyaratkan oleh Allah SWT., sejak awal turunnya al-Qur'an seperti yang tergambar dalam kata iqra' (Q.S. al-'Alaq, 1). Selain itu, dalam ayat yang lain dikatakan, bahwa orang yang berilmu akan mendapat derajat yang tinggi dari Allah dengan beberapa derajat (Q.S. al-Zumar, 9; al- Mujadalah, 11). Pentingnya menuntut ilmu telah diungkap pula di dalam hadits: bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.14 Dianjurkan pula untuk berteman dengan orang yang berilmu;15 memiliki ilmu pengetahuan hendaklah melalui belajar. Bagi orang yang menghendaki kebaikan dari Allah hendaklah ia memiliki ilmu pengetahuan agama.16 Dengan semangat ajaran Islam itu, Abdullah Syafi'ie menempatkan diri sebagai penuntut ilmu agama yang tekun dan

11 Abdul Rasyid, wawancara. 12 Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), h. 47-49. 13 Lihat Ahmad Muhammad Syaqir, dalam Shahih Buchari, (Bairut; Dar al-Turats al-'Arabi, t.t.), juz I, h. 29 14 Lihat dalam Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, al-Jami' al- Shaqir, (Bairut: Dar Kutub Ilmiyah, 1954), juz I, h. 7, 15 Said al-Lahham, Al-Muwattha Imam Malik, (Bairut: Dar al-Fikr, 1989), h. 664 16 Lihat Ahmad Muhammad Syaqir, Shahih Buchari, h. 27.

132

tahan uji serta mengantarkannya menjadi ulama yang tangguh di kemudian hari. Semangat keilmuan Abdullah Syafi'ie memang telah tumbuh sejak usia muda dan kemudian berlanjut sampai usia tuanya. Di usia mudanya ketika selesai belajar dari seorang guru, ia mendalami pelajararannya, mendiskusikan dengan saudara- saudaranya yang di rumah atau di lingkungan tetangga rumahnya. Hingga sampai usia tuanya, semangat keilmuan tetap tinggi sebagaimana yang telah dikatakan oleh Abdul Hakim: "Dia meluangkan waktunya kurang lebih 4 jam setiap hari untuk membaca kitab, dan di setiap habis membaca kitabnya ia selalu membuat catatan yang berupa intisari.17 Bahkan, pada menit terakhir dia akan dipanggil Tuhan, dia meminta kepada putra-putrinya agar selalu membaca sebuah kitab, seperti yang diungkapkan Abdul Rasyid berikut ini: "Beliau memiliki semangat keilmuan yang tinggi dan semangat membaca yang kuat, bahkan sebelum ia dipanggil Allah masih sempat mengingatkan sebuah kitab untuk dibaca.18 Di usia muda Abdullah Syafi'ie, bangsa ini memang masih berada di bawah negara penjajah kolonialisme Belanda. Pada masa ini situasi pendidikan kaum bumiputera sangat memprihatinkan, dan di dalam bidang pendidikan kolonialisme Belanda melakukan tindakan diskriminatif. Pada masa ini, apabila kaum bumiputera melakukan kegiatan pendidikan, selalu dicurigai oleh pemerintah jajahan Belanda sebagai lembaga yang memompakan semangat kaum “republiken” untuk mengusir mereka dari Nusantara. Di masa ini pendidikan yang telah memiliki sistem yang modern adalah sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Sekolah-sekolah modern ini didirikan oleh pemerintah jajahan di berbagai daerah, termasuk pula mereka mendirikan sekolah modern di daerah Batavia. Sementara itu, pendidikan yang didirikan oleh kaum bumiputera, umumnya mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki sistem sendiri yaitu sistem pesantren, madrasah/diniyah. Pendidikan formal pada masa ini masih sangat jarang. Oleh karena itu, dengan

17 Abdul Hakim, wawancara. 18 Abdul Rasyid, wawancara.

133

terbatasnya lembaga pendidikan Islam yang ada, mereka banyak menjalani pendidikan yang bersifat informal. Abdullah Syafi'ie, setelah cukup lama menuntut ilmu pengetahuan agama, tibalah waktunya dia mengamalkan ilmu-ilmu yang dimiliki. Di usia yang sangat muda, tepatnya pada tahun 1928, ketika ia masih berusia 18 tahunan, ia telah mendirikan madrasah, yang tempatnya berlokasi di tanah wakaf yang diberikan oleh Syafi'ie, sang ayah di kampung Balimatraman. Mengapa ia berminat mendirikan madrasah? Dan mengapa pula ia memilih mendirikan madrasah/diniyah bukan pesantren atau sekolah umum? Pertama, secara sosiologis ia melihat bahwa bangsa Indonesia terutama etnis Betawi masih banyak dilanda oleh kebodohan, sehingga secara sosial mereka terpinggirkan. Kedua, ia mendirikan madrasah bukan yang lainnya, karena pada saat itu sekolah Islam yang biasa didirikan oleh ulama Islam di Batavia adalah madrasah, madrasah lebih diminati masyarakat dibandingkan dengan pesantren. Ketiga, masyarakat Betawi, yang umumnya beragama Islam yang taat lebih memilih madrasah, karena untuk masuk ke sekolah yang didirikan Belanda tidak mungkin di mana kolonialisme Belanda pada waktu itu melakukan diskriminasi pendidikan terhadap umat Islam. Keempat, pendirian madrasah pada waktu itu oleh ulama Islam, dapat dikatakan sebagai bentuk respons dari adanya modernisasi yang terjadi di Batavia; juga pengaruh dari ulama Islam yang pernah mengecap pendidikan di Timur Tengah. Kelima, sebagai orang yang dibesarkan di tengah komunitas Betawi yang religius atau agamis tentu saja Abdullah Syafi'ie dalam memilih pendidikan Islam, ia tidak memilih mendirikan model sekolah umum, tetapi lebih memilih model atau bentuk madrasah. Selanjutnya, pada usia kurang lebih 21 tahun ia telah memiliki sertifikat, atau beslit dari Racben Scahf, sebagai pertanda ia telah layak untuk menjadi seorang pendidik. Di madrasah yang dia dirikan, ia bersama istrinya Rogayah mengajarkan ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu akhlak dan ilmu-ilmu lainnva.19

19 Harian Terbit Jakarta, 11 maret 1984

134

Kemudian sejak tahun 1954, ia mengembangkan institusi pendidikannya dalam bentuk pesantren. Institusi pendidikan dalam bentuk pesantren ini kemudian mengambil bentuk beragam pesantren, ada pesantren putra-putri, pesantren khusus yatim dan ada pesantren tradisional. Di pesantrennya ia mendirikan Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), pendidikan Taman Kanak-kanak, Majelis Ta'lim, poliklinik, hingga Universitas Islam Al-Syafi'iyah (UIA) di Jatiwaringin.20 Dari pilihannya untuk merubah madrasah menjadi pesantren yang berbentuk Khalafiyah/Kombinasi, di mana di dalam pesantrennya ada sekolah umum, menunjukkan pula sebagian dari alasan-alasan tersebut di atas masih mendasarinya, sehingga ia merubah madrasahnya menjadi pesantren Khalafiah/Kombinasi, meskipun ia juga mendirikan pesantren berbentuk Salafiyah. Ia mendirikan pesantren Salafiyah atau Traditional, sebagai bagian dari cita-citanya untuk membentuk ulama yang benar-benar menguasai khazanah keilmuan kitab kuning. Ulama jenis tersebut terus mengalami kelangkaan di tengah masyarakat Betawi yang hidup di tengah kota Jakarta yang mengalami modernisasi yang pesat, dan diiringi oleh ekses-ekses negatifnya. Berbagai ekses modernisasi itu antara lain, banyak munculnya keretakan suami-istri di rumah tangga, sehingga menimbulkan anak-anak yang terlantar. la juga melihat ekses lain yaitu banyaknya kaum urban di Jakarta yang tidak memiliki pendidikan dan keterampilan menyebabkan banyak anak mereka terlantar dan hidup miskin. Merespons hal tersebut Abdullah Syafi'ie mendirikan pesantren khusus yatim-piatu, yaitu untuk membekali anak-anak tersebut agar hidup mandiri. Di tengah kota Jakarta yang kompleks, Abdullah Syafi'ie tumbuh dan berkembang serta berinteraksi dengan penduduk ibukota Jakarta yang beranekaragam. la berinteraksi, berkenalan dan bersosialisasi dengan banyak orang yang bukan saja berasal dari etnis Betawi, tetapi juga berasal dari etnis Ambon, Bali, Jawa, dan Sumatera. Hasil dari interaksi itu, tumbuhlah kesadaran di dalam diri

20 Utomo Dananjaya, K.H. Abdullah Syafiie, Berkenalan, hal. 13

135

Abdullah Syafi'ie untuk berkelompok atau berorganisasi. la kemudian menjadi anggota sebuah partai politik Masyumi, dan ia bergaul akrab dengan pemimpinnya seperti M. Natsir.21 Bahkan, ia dapat mengajak M. Natsir untuk bergabung dalam Mudzakarah Ulama yang ia pimpin, yang biasanya dalam mudzakarah itu para peserta mengkaji agama melalui kitab kuning.22 Pada masanya, organisasi politik Masyumi pernah menjadi wadah satu-satunya bagi umat Islam dalam membawa aspirasi umat, apakah mereka yang berasal dari Muhammadiyah, NU, dan kelompok Islam lainnya. Namun, sebagai sebuah partai politik yang tentu tidak lepas dari berbagai kepentingan, baik kepentingan individu maupun kelompok, hal itu telah pula menjangkiti partai satu-satunya umat Islam itu. Sebagai konsekuensinya, di tubuh partai Islam yang terdiri dari berbagai latar belakang itu telah muncul friksi dan memunculkan perpecahan di tengah umat. Perpecahan yang terjadi salah satunya disebabkan oleh adanya satu kelompok yang merasa tidak terakomodasi di dalam kekuasaan. Satu demi satu mereka menyatakan diri berpisah dari Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi.). Setelah Masyumi membubarkan diri, Abdullah Syafi'ie tidak lagi menjadi anggota partai politik mana pun. Namun, pada tahun 1977, ia mengaktifkan diri di Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan ia menjadi Ketua I di MUI Pusat. Pada tahun 1978-1985, ia dipercaya menduduki jabatan puncak sebagai Ketua Umum MUI di DKI Jakarta dan kemudian pada tahun 1982, ia ditunjuk sebagai anggota penasihat di MUI Pusat yang diketuai oleh HAMKA.23 Abdullah Syafi'ie sebagai ulama, sangat diharapkan sumbangsihnya di organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI sebagai kelembagaan ulama pada masa ini memang diharapkan perannya dalam mengawal kehidupan masyarakat, apalagi di masyarakat Jakarta yang heterogen dan kompleks dengan segala

21 Hasil wawancara dengan K.H. Moh. Syafi'i Hadzami tanggal 10 Maret 2001, yang bersangkutan adalah salah seorang ulama di DKI, pemimpin pesantren dan pernah menjabat Ketua Umum MUI DKI Jakarta, tahun 1985 22 K.H. Moh. Syafi’i Hadzami, wawancara. 23 K.H. Syafi'i Hadzami, wawancara.

136

persoalannya. Bergabungnya Abdullah Syafi'ie di MUI, keulamaannya semakin dikenal di masyarakat. Di organisasi MUI itu, ia menjalin hubungan yang baik dengan Ali Sadikin sebagai gubernur DKI, dan menjadi mitra pemerintah DKI dalam mendorong adanya modernisasi atau pembangunan di segala sektor kehidupan masyarakat. Namun dalam hal-hal tertentu, untuk membentengi moral masyarakat banyak kebijakan pemerintah DKI, dia kritik dan kritik itu ada yang mendapat perhatian pemerintah, ada pula yang tidak. Misalnya kebijakan pemerintah dalam melokalisasi wanita tuna susila; melegalisasi perjudian dan sebagainya. Begitu pula kritiknya terhadap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan berbagai kepentingan umat Islam. Dalam hal melokalisasi wanita tuna susila, pemerintah DKI berpandangan bahwa pelacuran hal yang sudah berlangsung lama dalam kehidupan manusia. Upaya untuk membatasi ekses-ekses pelacuran agar tidak menjangkiti masyarakat luas, karena sering dilakukan di sembarang tempat, pemerintah mengajukan konsep “lokalisasi” untuk mengatasinya. Kebijakan pemerintah itu sangat ditentang oleh Abdullah Syafi'ie dengan MUI-nya. Abdullah Syafi'ie berpandangan bahwa tindakan pemerintah yang telah melegalisasi perbuatan pelacuran sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Pelacuran tersebut sangat dilarang agama karena termasuk perbuatan zina. Jangankan melakukan zina, mendekati saja tidak dibolehkan oleh agama. Karena itu, Abdullah Syafi'ie menentang keras upaya lokalisasi pelacuran yang dilakukan oleh Pemda DKI, walaupun hal itu masih tetap berlangsung.24 Demikian pula yang berkaitan dengan kebijakan melegalisasi perjudian. Pemerintah Daerah Khusus Jakarta (DKI) di bawah Gubernur Ali Sadikin telah melegalisasi perjudian. Ali Sadikin dan pemerintahannya memandang bahwa dana yang akan diterima dari hasil perjudian sangat besar dan dapat mendukung percepatan pembangunan kota Jakarta. Pemerintah berpandangan pula bahwa,

24 K.H. Syafi'i Hadzami, wawancara.

137

daripada para penjudi itu berjudi ke negara lain seperti Singapura, lebih baik mereka berjudi di Jakarta serta ikut membangun kotanya. Abdullah Syafi'ie dan MUI melihat kebijakan itu sangat bertentangan dengan ajaran agama. Perbuatan judi itu sendiri di dalam agama Islam sebagai perbuatan dosa, karenanya hasil yang diperoleh melalui perjudian otomatis bersifat haram untuk dimakan dan dikonsumsi.25 Pada contoh yang lain, terhadap adanya wacana di pemerintahan untuk mengambil jalan yang pragmatis untuk membakar orang yang meninggal dunia. Pemerintah DKI melihat bahwa kota Jakarta sudah sangat ramai dan padat, sementara itu lahan yang ada sudah sangat terbatas untuk menampung semakin bertambahnya orang yang meninggal dunia. Untuk itu, sebagai jalan keluarnya ada wacana yang berkembang di pemerintahan untuk membakar mayat. Abdullah Syafi'ie juga menentang wacana ini.26 Namun, di tengah kota Jakarta yang kompleks dengan segala masalahnya, kehidupan masyarakat Betawi sangat kental dengan aroma agama. Apa yang terjadi di Jakarta sebagai kota metropolitan, masyarakat Betawi seolah-olah tidak terpengaruh dengan hiruk pikuk kehidupan di kota ini. Mereka tetap berpegang kepada nilai- nilai agama, memilih pendidikan di sekolah agama. Tradisi beragama tetap mereka selenggarakan seperti membaca al-Qur'an, membaca berzanji ketika anak lahir serta membaca tahlil ketika seorang meninggal dunia, dan pada acara perkawinan mereka sangat kental dengan aroma agama. Kentalnya aroma agama di masyarakat Betawi tidak lepas dari peranan ulama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakatnya. Ulama yang ada di masyarakat Betawi menurut Badri

25 Ketidaksetujuan Abdullah Syafi'ie di dengar melalui ceramahnya di radio Al- Syafi'iyah, wawancara dengan Rahmat S dan A. Nasihin tanggal 29 Desember 2002. Versi Kamaluddin, adalah pembongkaran kuburan untuk dibangun gedung-gedung atau sarana masyarakat lainnya. 26 Lihat Badri Yatim. "Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi", Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996), h. 10-30

138

Yatim ada tiga katagori.27 Pertama, para ulama yang menuntut ilmu pengetahuan di Haramain, mereka mempelajari ilmu agama seperti ilmu fiqh, tauhid, hadits, nahwu dan sharaf. Mereka bermukin di kota Makkah dan Madinah, berguru dengan ulama di sana, selama bertahun-tahun. Hingga merasa cukup dengan ilmunya, mereka kembali ke Tanah Air dan mengabdikan dirinya di tengah masyarakat. Namun, ada pula mereka yang tetap bermukim di sana sampai wafatnya baik ketika mereka sedang menuntut ilmu maupun dalam pengabdian mereka menjadi pengajar di Tanah Suci. Kedua, adalah ulama Betawi yang dipandang masih ada aliran darah dengan Rasulullah. Mereka hidup di Tanah Air selama beberapa generasi dan telah merasa Indonesia sebagai Tanah Airnya dan Betawi tempat leluhur keduanya. Kiprah mereka dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia sangat besar, dan dalam waktu yang cukup panjang, sejak generasi awalnya tiba di Tanah Air. Mereka menjadi ulama terpandang. Dengan kedalaman ilmu pengetahuannya dan kefasihan bahasa serta penguasaannya terhadap kitab suci al-Qur'an dan Hadits, mereka sering disebut dengan habib. Ketiga, adalah ulama yang pernah menunaikan ibadah haji dan mereka sangat tekun menuntut ilmu agama melalui para habib maupun menuntut ilmu agama melalui para gurunya yang lama mukim di Tanah Suci. Mereka belajar secara otodidak dan menjadikan dirinya terpandang di tengah masyarakat Betawi. Ulama ini produks lokal tetapi kemampuan ilmunya cukup tinggi dan kiprah mereka di tengah masyarakat sangat menonjol.28

27 Lihat pula Nico Kaptein, The Muhimmat al-Nafais: A Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian Muslim's from the End of the Nineteenth Century (Jakarta:INIS, 1997), h. 6-7. 28 Ulama-ulama yang cukup menonjol adalah Zainuddin,MZ dan Tutty Alawiyah. Zainuddin MZ, yang meraih gelar Sarjana Muda (BA) di IAIN Syarif Hidayatullah, yang kini berganti nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. la disebut da'i "sejuta umat". Cara berda'wahnya yang menarik, baik melalui kaset maupun berda'wah langsung di tengah umat. la telah berda'wa hampir di seluruh tanah air, dan populer di Nusantara. Kiprah melalui da'wah dirasakannya belum cukup untuk memperbaiki kondisi bangsanya, dan melalui otokritik terhadap partainya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan tidak ditemukan titik temu, ia kemudian bersama-sama beberapa temannya mendeklarasikan partai baru, yang diberi nama Partai Persatuan Pembangunan

139

Para ulama ini telah berperan dalam mencerdaskan masyarakat Betawi, seperti tergambar dalam kiprah KH. Abdullah Syafi'ie. la telah meninggalkan karya monumental dalam bentuk institusi pendidikan atau dalam bentuk pemikiran-pemikirannya di bidang agama dan pendidikan, baik melalui tulisan, ceramah di majelis ta'lim, melalui Radio Al-Syafi'iyah maupun melalui kaset yang berisikan pesan moral dan keagamaan. Hingga saat ini menurut Alwi Shahab banyak bermunculan ulama beretnis Betawi yang memiliki komitmen keislaman yang sangat kuat. Dari generasi mudanya dapat dicatat adalah Habib Rizieq Shihab dan KH. Misbahul Anam, Husein Alatas. Seangkatan dengan mereka adalah KH. Fachrurazy Iskak, KH. Damanhuri dan Habib Husein bin Syech Abu-bakar. Di atas mereka adalah KH. Zainuddin MZ, KH. Abdul Rasyid, Hj. Tutty Alawiyah,29 dan Suryani Taher. Seangkatan dengan mereka adalah Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Habsyi, Habib Ali Abdurrahman Assegaf, Habib Idrus Jamalullail. Di atas mereka ini adalah KH. Syafi'i Hadzami, KH. Abdurrahman Nawi. Angkatan ulama yang lebih tua dari mereka adalah KH. Tahir Rohili, Habib Muhammad al-Habsyi, Dr. Nahrawi Abdussalam, KH. Mursyidi, KH. Abdul Razak Chaidir, KH. Abdul Razak Makmun, KH. Salam Jaelani, KH. Saleh Jaelani, dan KH. Abdullah Syafi'ie. Umumnya para ulama Betawi ini adalah murid Habib Ali Kwitang yang sampai wafatnya tahun 1968 dalam usia 102 tahun, ia melakukan da'wah Islam selama 80 tahun lebih. Habib Ali mendirikan majelis ta'limnya di Kwitang tahun 1887, ia mendirikan madrasah 'Unwan al-Falah di kampungnya dan karenanya ia

Reformasi (PPPR), dan ia menjadi Ketua Umum. Nama lain adalah Tutty Alawiyah AS—putri Abdullah Syafi'ie. la meraih gelar Sarjana Lengkap (Dra.) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak kecil ia dipersiapkan ayahnya menjadi da'i. Setelah ayahnya meninggal ia diberi tugas mengembangkan Universitas Islam Al-Syafi'iyah, dan menjadi Rektornya, dan juga menjadi Pimpinan Umum Pesantren Yatim-Piatu Jatiwaringin. Pada masa Presiden Prof. Habibie, ia dipercaya di kabinetnya. Setelah selesai masa kementeriannya, karena concernnya terhadap dunia akademik, melalui bidang keilmuannya, ia memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kini, gelar baru melengkapi namanya menjadi DR. Hj. Tutty Alawiyah AS. 29 Alwi Shahab, Republika, 17 Oktober 1999, h.7

140

memiliki banyak murid. Perguruannya, perguruan Islam pertama yang mengajarkan pengetahuan umum di samping lulusannya mahir bahasa Arab.30 Para ulama itu sebenarnya telah membentuk jaringan yang demikian luas baik secara lokal maupun adanya komunikasi dengan para ulama internasional terutama yang ada di Haramain pada Abad ke-17-18.31 Pandangan keagamaan mereka yang berbasis kepada kitab- kitab klasik memiliki kesamaan dengan para ulama yang ada di Makkah dan Madinah. Mereka berkiprah dalam memasyarakatkan ilmu agama, dan meninggalkan kader-kadernya. Generasi demi generasi berestafet, ada di antara mereka menjadi kader ulama yang mumpuni, dan ada juga kader-kader yang mengabdikan dirinya dalam bentuk menjadi da'i, memimpin acara-acara keagamaan baik yang bersifat ibadah murni, seperti memimpin do'a dan tahlil bagi yang meninggal dunia maupun memimpin pembacaan berzanji pada bulan Maulid Nabi Muhammad SAW. Penampilan mereka yang positif, menimbulkan konsekuensi positif pula di tengah masyarakat. Mereka menunjukkan ke “ulamaan” di manapun mereka berada. Mereka menjadi obor penerang bagi masyarakat; menjadi penengah ketika terjadi pertikaian di tengah masyarakat; menjadi personifikasi bagi para pengagumnya; menjadi penasihat pemerintah dalam melaksanakan amanah kekuasaanya; menjadi penerang dan pencerah bagi masyarakat untuk kembali ke ajaran agama; dan menjadi sosok yang serba sempurna di tengah masyarakat. Dengan sosoknya yang berperan lengkap di tengah masyarakat, ulama etnis Betawi mendapat pengakuan secara kultural di tengah masyarakat. Kedalaman ilmu dan pengakuan yang diperolehnya dari masyarakat tidak membawa mereka menjadi lupa diri. Mereka tetap merasa kecil dan fakir, rendah hati dan tak pernah merasa lebih dari orang lain, mereka memiliki falsafah hidup "andap asor” bahwa “di atas langit ada langit” pula.

30 Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), cet. Ke-2, h.264- 265. 31 Lihat Alwi Shahab, Republika, 16 Januari 2007, hal. 7

141

Penghargaan masyarakat Betawi terhadap ulamanya dapat digambarkan dalam banyaknya masyarakat bersilaturrahmi, minta nasihat dan belajar ke ulama. Dalam pelayanannya, ulama Betawi tidak membedakan status sosial dan etnis masyarakat. Dari sinilah barangkali ulama Betawi semakin mendapat simpati masyarakat. Peran ulama Betawi melalui salah seorang tokohnya, yaitu Abdullah Syafi'ie benar-benar telah melaksanakan fungsinya sebagai pengayom masyarakat Islam di DKI Jakarta, yang salah satunya melalui wadah MUI. Keulamaan Abdullah Syafi'ie tidak diragukan lagi. Sebab, pada umumnya ulama di Tanah Air memiliki jaringan yang luas, seperti yang diungkap Azyumardi Azra,32 dimulai dari mala rantai salah satu gurunya yaitu K.H. Ahmad Marzuki. Hal tersebut dapat dilihat dari silsilah ulama Betawi abad 17 kepada ulama Betawi abad 19 berikut ini: Jalur Ahmad al-Qusyasyi lahir 661, Sulaeman al-Bahili lahir 666, Ahmad Zaini Dahlan dan Abu Bakar Syata al-Dimyati, murid- muridnya, Umar Bajunaid dan Mukhtar Atharid. Jalur Abdul Azizi al- Zamzani lahir 662, Ali al-Halabi, Abdullah Syarkawi dan Abdul Ghani Bima, muridnya Umar Sumbawa. Silsilah ulama Betawi kepada tiga ulama (Mukhtar Atharid, Umar Bajunaid dan Umar Sumbawa) dan selanjutnya kepada dua ulama Haramain ternama abad ke-17 (Al-Qusyasyi dan Al-Zamzami). Dari beberapa ulama itu telah memproduks ulama-ulama Betawi yang disegani yaitu K.H. Moh. Mansur,33 K.H. Abdul Majid, K.H.

32 Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, hal. 265 33 Moh.Mansur, lahir tahun 1878 di Kampung Sawah, Jembatan Lima. Ayahnya seorang yang ‘alim yang meneruskan kepemimpinan masjid kuno di Kampung Sawah (sekarang bernama al-Mansyuriyah) yang didirikan oleh kakek buyutnya yang bernama Abdul Muhit. Kepada ayahnya ia pertama kali berguru belajar agama, dan setelah ayahnya meninggal ia berguru ke kakak kandungnya K.H. Mahbub. la belajar di Makkah selama 4 tahun dan berguru ke Syaikh Mukhtar Atharid al-Bogori, Umar Bajunaid al-Hadrami, Ali al-Maliki, Said al- Yamani dan Umar Sumbawa. Gurunya yang terakhir pernah mengangkatnya sebagai sekretaris pribadi, karena dianggap cakap dan rapih serta tertib tulisannya. Ilmu-ilmu yang dipelajari ilmu fiqh, qira'at, ushul fiqh, beberapa cabang ilmu bahasa Arab, tafsir, hadits dan ilmu falak; ia dikenal sebagai ahli falak. Abdul Majid, lahir di Pekajon tahun 1887, ayahnya bernama K.H. Abdurrahman bin Sulaiman Nur bin Rahmatullah—Rahmatullah ini konon masih keturunan pangeran Diponegoro. Pertama kali ia belajar agama pada

142

Ahmad Khalid, K.H. Mahmud Romli, K.H. Ahmad Marzuki, dan K.H. Abdul Mughni. Adapun Abdullah Syafi'ie berguru ke K.H. Ahmad Marzuki dan memiliki isnad ke Abdul Aziz Al-Zamzami.34

ayahnya sendiri. Setelah belajar di Makkah ia berguru ke Mukhtar Atharid, Umar Bajunaid al-Hadrami, Ali Maliki dan Said al-Yamani. Ilmu yang dipelajarinya adalah fiqh, Ushul fiqh, tafsir, hadits dan bahasa Arab. la dikenal alim dalam tashawuf, tafsir, ilmu falak dan bahasa Arab. Di mata murid- muridnya ia dikenal banyak menujukkan keluarbiasaan, yang dalam bahasa Arab, disebut Khariqul 'adah. la meninggal dan dimakamkan di Pesolo Bosmol. Ahmad Khalid, anak orang biasa yang bukan ulama, ia berasal dari Bogor menikah dengan orang Gondangdia. Tidak ada catatan guru mengajinya yang paling awal, tetapi ia pernah bermukim di Tanah Suci selama 11 tahun. Guru- gurunya adalah Syaikh Mukhtar Atharid dan Umar Bajunaid. la belajar ilmu agama pada umumnya. la dikenal di kalangan ulama Betawi sebagai ahli hadits dan tashawuf. la terkenal di kalangan muridnya anti merokok. la di kubur di Tanah Abang dalam usia 72 tahun. Mahmud Romli, lahir daerah Menteng, asal usul yang lain tidak terlalu jelas. Para muridnya dan bahkan anaknya sendiri berprinsip tidak sopan untuk menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi kecuali kepada gurunya, kecuali apa yang dituturkan sendiri oleh sang guru tanpa diminta oleh muridnya. Sedikit informasi yang ada bahwa ia pergi ke Makkah bersama orang tua dan tiga saudaranya. Namun, mereka meninggal di sana kecuali Guru Mahmud. la kemudian mengembara di sana selama 17 tahun. la dikenal sebagai "jagoan" lagi tegas. Postur tubuhnya yang besar menunjang keberaniannya berhadapan dengan siapapun. la dikenal sebagai ulama tafsir. la meninggal sekitar tahun 1959—dalam usia 93 tahun. Abdul Mughni, lahir pada tahun I860 di daerah Kuningan. la belajar agama pertama kali pada ayahnya H. Sanusi bin Qais. la belajar pula ke H. Jabir dan Sayyid Usman bin Yahya. Dalam usia 16 tahun ia belajar di Makkah ke Syaikh Atharid, Umar Bajunaid, Said al- Yamani, Ali Maliki, Abdul Karim al-Dagestani, Mahfudz Al-Tremasi dan Muhammad Umar Syata. Setelah di tanah air ia mengajar ilmu fiqh, tauhid, tafsir, hadits dan beberapa cabang ilmu bahasa Arab. Ia dikenal ulama yang kaya harta, sehingga untuk mengurus kekayaannya itu ia sengaja menyewa pengacara. Lihat Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos, 2002), h. 49-60. 34 Ahmad Marzuki, lahir tahun 1876 di Meester Cornells, ayahnya bernama Ahmad Mirsad, merupakan keturunan keempat dari Sultan Laksana Mayang, salah seorang Pangeran dari kesultanan Melayu Pattani di Muangthai Selatan, meninggal ketika usianya 6 tahun. Melalui ibunya Siti Fatimah, ia diminta belajar agama ke kakeknya Syihabuddin al-Maduri, khatib dan pendiri masjid Rawa Bangke. Ia mendalami al-Quran kepada Haji Anwar dan berlajar mengkaji kitab ke Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan yang kelak menjadi ayah tirinya. Di usia yang keenam belas tahun ia belajar di Makkah, berguru dengan Syakh Ali al-Maliki, Umar Bajunaid, Umar Sumbawa, Mukhar Atharid, Ahmad Khatib al-Minangkabau, Mahfud Al-Tremasi, Said al-Yamani, Abdul Karim al-Degestani dan yang lainnya dalam ilmu fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits dan mantiq. la juga mendalami tashawuf dan memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat al-'Alawiyah dari Syaikh Muhammad Umar Syata. Setelah kembali ke tanah air, atas permintaan Sayyid Usman Banahsan ia mengajar di

143

Dengan demikian semakin jelas memperlihatkan keulamaan Abdullah Syafi'ie, ditambah lagi dengan keberadaannya yang pernah menjadi pemimpin MUI, baik tingkat Pusat maupun tingkat DKI; lembaga tersebut merupakan representasi keulamaan seseorang di Tanah Air. Keulamaannya memang telah melalui ujian yang panjang, bahkan sejak ia masih muda. Pada masa mudanya ia telah bergelut dengan pendalaman ilmu agama, dan dengan bertambah usianya semakin dalam ilmu agamanya, seperti ilmu hadits dan ilmu-ilmu agama lainnya. Abdullah Safi’ie juga tekun dalam beribadah. Seperti tidak kenal lelah, ia membangunkan sendiri para santrinya untuk melaksanakan shalat subuh dan menjadi imam shalat, dan juga melaksanakan shalat wajib lainnya secara berjama'ah di masjid Al- Barkah atau di masjid Jatiwaringin. Apabila kondisinya kurang sehat ia menjadi ma'mum shalat. Setiap selesai shalat, memimpin dzikir, seperti membaca tasbih 33 kali dan tahmid 33 kali, dan seperti juga pada umumnya ulama Betawi di acara tertentu membaca ratib hadad. Ratib ini biasanya disebut dengan "wirid Betawi" karena tidak ditemukan pada komunitas etnis lain, dan juga selalu dibaca dalam kegiatan keagamaan yang penting seperti pada saat mengantar orang naik haji.35 Abdullah Syafi'ie memiliki semangat tinggi, di sela-sela memimpin MUI, ia tetap meluangkan waktunya untuk mengelola atau mengontrol institusi pendidikannya yang beranekaragam mulai dari pondok pesantren, sekolah umum hingga Universitas Islam Al-

masjid Rawabangke selama 5 tahun. Di sini ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya. Santrinya ditaksir sekitar 50 orang. Metode mengajarnya tidak lazim pada waktu itu, ia mengajar sambil berjalan di kebun dan berburu tupai. Santri belajar perkelompok sebanyak 5 orang untuk kitab yang sama. Seseorang dari mereka menjadi jurubaca, selesai membaca memberikan penjelasan. Selesai satu kelornpok dilanjutkan oleh kelompok yang lain, mengkaji kitab yang lain dengan metode yang sama. Mengajar dengan cara duduk dilakukannya untuk konsumsi masyarakat umum. Meskipun demikian ada pula santrinya yang mengikuti pelajarannya menjadi jurubaca. Ia di samping guru agama, juga sibuk berbisnis (antara lain usaha taksi dalam kota dan angkutan bus trayek Jakarta-Kerawang). Abdul Aziz, Islam, h. 56-58 35 Abdul Aziz, Islam, 107. Bunyi salah satu Ratib Hadad, yakni Bismillah alladzi la yadhurru ma’a ismihi syaiun fi al-ardli wa la fi al-sama’i wa huwa al-sami al- ‘alim.

144

Syafi'iyah (UIA). Dia meluangkan waktunya yang cukup untuk mengabdi di dunia pendidikan yang dia rintis. Selain itu, ia juga seorang mubaligh yang andal. Karena "orator”nya ia diundang ceramah bukan saja di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri seperti ke Negara Malaysia dan Singapura. Kecintaannya terhadap dunia dakwah diawali melalui pengajiannya di masjid al-Barkah di dekat rumahnya. Peminat pengajiannya hari demi hari kian membesar, memenuhi ruang masjidnya. Peminat pengajiannya pun makin meluas di Jakarta. Maka untuk memenuhi dahaga agama bagi umat Islam di Jakarta muncullah idenya untuk membentuk kelompok pengajian, yang ia sebut dengan majelis ta 'lim. Majelis ta 'lim ini kini telah menyebar luas di seluruh Indonesia, Selain melalui forum majelis ta 'lim ini, ia menyampaikan da'wahnya melalui pemancar radio yang didirikannya di Balimatraman. Risalah da'wahnya di rekam di studionya agar dapat didengar oleh peminatnya di waktu yang lain. Abdullah Syafi'ie, di saat ia memimpin MUI Jakarta, masih meneruskan aktivitas kesehariannya. Perjuangan yang dilakukannya telah dirasakan dan banyak memberi manfaat kepada banyak orang, karena dilakukannya sejak ia masih muda hingga ke usia tuanya. Di usianya yang kurang lebih 75 tahun, fisiknya sudah sangat lemah, dia dirawat di Rumah Sakit Islam, dan tepat pada tanggal 3 September 1985 ia menghembuskan napasnya yang terakhir dan di makamkan di Jatiwaringin Jakarta. Abdullah Syafi’ie menerima Rasa Belasungkawa dari presiden Soeharto,"36 dan Pimpinan MUI Pusat mengajak kaum Muslimin untuk melakukan shalat gaib. Lebih kurang 5 Surat Kabar Nasional dan Warta Berita Antara, menjadikan Abdullah Syafi'ie sebagai Berita Utama, dan mengungkapkan sejarah hidupnya. Pos Kota memuat judul: "Ulama Besar KH. Abdullah Syafi'ie Meninggal Dunia Selasa Dini Hari";37 Suara Karya berjudul: "Kita Kehilangan Ulama Besar KH. Abdullah Syafi'ie Tutup Usia";38Kompas mengambil judul: "Ulama

36 Berita Buana, 6 September 1985. 37 Koran Harian Pos Kota, Rabu 4 September 1985. 38 Koran Harian Suara Karya, Rabu 4 September 1985.

145

Besar KH. Abdullah Syafi'ie Telah Tiada";39 Pelita mengambil judul: ''KH. Abdullah Syafi'ie Berpulang ke Rahmatullah”40 dan Warta Berita Nusantara yang berjudul "Ulama Besar KH. Abdullah Syafi'ie".41 Banyak pernyataan dukacita dari tokoh nasional, baik dari kalangan militer, birokrasi maupun ulama, seperti yang disampaikan oleh tokoh-tokoh nasional berikut ini: , mantan Wakil Presiden RI yang pada waktu menjabat Wakasad TNI, menyatakan, "Almarhum adalah ulama besar yang selalu memperjuangkan umat Islam".42 Sementara itu Syukron Makmun, salah seorang ulama di Jakarta mengatakan bahwa, ''Ulama seperti KH. Abdullah Syafi'ie belum ada duanya, sulit mencari ulama seperti beliau. Semangat perjuangannya untuk membela agama tidak pernah padam dalam situasi dan kondisi bagaimanapun".43 Prof. Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup RI. ketika itu menyatakan, "Semangat beliau begitu menggelora, bersemangat untuk mengembangkan da'wah dari beliau lebih besar dari daya tahan fisiknya. la adalah seorang yang mempunyai keyakinan yang kuat terhadap perjuangan menegakkan agama Allah.44 Munawir Sjadzali, Menag RI mengatakan, Ulama seperti almarhum kini semakin langka, kita belum lama merasa kehilangan atas kepergian ulama terkenal seperti KH. EZ Muttaqin, dan KH. Syukri Ghazali".45 Lukman Harun politisi dan PP Muhammadiyah berkomentar, "la orang yang paling kuat da'wahnya, terutama dalam memasyarakatkan akidah Islamiyah".46 Duka yang mendalam mengiringi Abdullah Syafi'ie, jenazahnya diiringi oleh ratusan ribu pengagumnya, yang digambarkan oleh Harian Pelita dan Kompas "bagaikan lautan manusia", mereka datang dan kalangan luas. Mereka yang melayat tampak Menteri Agama RI, H. Munawir Sjadzali, yang mewakili pemerintah RI, juga Menpen

39 Koran Harian Kompas, Rabu 4 September 1985. 40 Koran Pelita, Rabu 4 September 1985. 41 Koran Pelita, 3 September 1985. 42 Lihat Berita Antara, Rabu 4 September 1985. 43 Lihat Pos Kota, 4 September 1985. 44 Lihat Pikiran Rakyat, Rabu 4 September 1985. 45 Lihat Suara Karya, Rabu 4 September 1985. 46 Lihat Suara Karya, Rabu 4 September 1985.

146

Harmoko, Menteri Sosial Nani Sudarsono, Wakasad Try Sutrisno, KH. Noer Ali, KH. Syafi'i Hadzami, KH. Syaifuddin Zuhri, Ny. dan lainnya, dari para petinggi negara hingga ke rakyat kecil, dari keluarga hingga ke santrinya; para ulama bergantian memimpin shalal jenazahnya.47 Beberapa tahun setelah ia meninggal dunia, tepatnya pada masa pemerintahan presiden B J. Habibie, dia dianugerahi Bintang Mahaputera oleh pemerintah, dengan Keppres RI Nomor 076/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999.48 Pada tahun 2000 ini namanya terpateri di salah satu jalan Jakarta.49 Ibarat pepatah yang menyatakan, "Gajah mati meninggalkan gading, ulama mati meninggalkan karya dan keharumannya". Dia dipanggil Tuhan, diiringi oleh ratusan ribu pelayat, belasan kali dishalatkan oleh pengagumnya. Sepanjang jalan dari Balimatraman ke Jatiwaringin kota pelajar yang dia dirikan, berjarak belasan kilometer, penuh dengan orang yang berkabung dari segala lapisan masyarakat; mobil yang membawanya sangat perlahan, hanya bisa didorong untuk sampai ke peristirahatan terakhimya.50 Demikian Abdullah Syafi'ie, ia seorang ulama terpandang. Keulamaanya dikesankan bukan hanya melalui kedalaman ilmu agamanya, seperti mengarang kitab al-Muassasat Al-Syafi'iyah al- Ta'limiyah, Bir al-Walidain, Penduduk Dunia Hanya Tiga Golongan, Mu'jizat Saiyiduna Muhammad, Madarijul Fiqhi dan lainnya, tetapi juga melalui praktik ibadah mahdlah-nya. Juga amalan-amalan seperti dzikir setelah melakukan shalat lima waktu, dan berdo'a kepada Allah, seperti yang dikerjakan oleh ulama pada umumnya. Demikian pula ia seorang pendidik yang meninggalkan lembaga-lembaga pendidikan yang cukup ternama dan dikenal. Sebagai ulama dan pendidik ia didukung oleh kepribadian yang kuat dan pendirian yang istiqomah baik soal akidah maupun soal beragama, dia memiliki keluasan dalam pandangan dan pergaulan,

47 Suara Karya, Rabu, 4 september 1985 48 Sinar Harapan, 3 September dan Kompas 4 September 1985 49 Namanya menjadi nama jalan di Manggarai Jakarta Timur, atas persetujuan pemerintah DKI. Lihat Republika, Rabu, 31 Mei 2000, h.10. 50 Lihat Tutty Alawiyah (peny.), K.H. Abdullah, h. 3.

147

dia tawaddlu', energik dan hemat serta memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sebagai pribadi ia memiliki sosok badan yang kuat, seperti yang diungkap Tutty Alawiyah berikut ini: "Apabila beliau mengajar di majelis-majelis tal'im atau di masjid-masjid besar Jakarta secara duduk bersila, badannya kelihatan tegak, tidak bongkok, dan apabila berdiri di mimbar tegak, nampak seperti badan atlit yang sehat". Sejalan dengan pandangan ini H.M. Amirin mengungkap pula sebagai berikut: "Saya sering memperhatikan kyai sebagai sosok yang prima dan kuat, bukan saja melihat badannya yang tegap, tetapi ketika dia duduk bersila di tengah halayak yang juga duduk bersila masa yang panjang di acara itu, tidak membuat badannya rebah atau bersender ke dinding, seperti yang umumnya diperlihatkan oleh yang lain ".51 Adapun pandangan-pandangan yang menyatakan betapa kokoh pendiriannya, dapat diungkap dari berbagai kesan tokoh- tokoh berikut. "Osman Raliby sebagaimana dituturkan Badaruzzaman, menyatakan bahwa sangat kagum kepadanya, dia adalah seorang ulama yang tidak mudah dibeli imannya, imannya kuat sekali dan bergandengan dengan 'amal shalih-nya. Apalagi dalam akidah ia sangat kokoh mempertahankannya." Sementara itu, HMS Mintaredja (eks Menteri Sosial) berpandangan, "Kyai mempunyai pandangan yang tidak bisa dipengaruhi oleh siapa pun, walaupun beliau mempunyai status resmi sebagai Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat maupun sebagai Ketua Umum MUI Jakarta Raya (1978-1985), ia tetap hanya berbakti kepada nusa, bangsa berdasarkan ajaran Allah".52 Dia memiliki sikap yang tegas dan istiqamah dalam pendirian, namun menempatkan dirinya sebagai ulama yang dapat menghormati orang-orang yang berbeda madzhab dengannya, seperti yang ditegaskan oleh KH. Abdussalam Djaelani berikut ini:

51 Lihat Tutty Alawiyah (peny.), h. 142-143,188. Lihat pula Abdul Rosyid dan Abdul Hakim, wawancara. 52 Wawancara dengan H.M. Amirin, tanggal 5 Maret 2000

148

"Kyai betul-betul fanatik di dalam agama Islam dan sangat khawatir terhadap Islam. Pandangannya terhadap madzhab cukup fair dan luas. Ia dapat berkawan dengan segala madzhab manapun juga. Tetapi haluannya kepada ahl al-sunnah wa al- jama'ah tidak akan bergeser tanpa harus mengurangi pendapat orang lain walaupun dari golongan Syi'ah".53 Sebagai seorang ulama yang memiliki prinsip yang sangat tegas dalam pendirian, termasuk terhadap kebijakan eksekutif DKI. Kebijakan pihak pemerintah DKI yang tampaknya menghalalkan segala cara demi pembangunan kota Jakarta mengundang kritiknya yang tajam. Seperti pada soal-soal legalisasi perjudian, lokalisasi WTS dan adanya wacana pemerintahan DKI untuk membakar mayat/membongkar mayat, telah mengundang kritiknya yang sangat keras. Demikian pula dalam masalah strategi orang-orang tertentu yang melakukan pendangkalan atau perusakan akidah Islam, yang disebutnya sebagai aliran Islam yang menyesatkan seperti Islam jama'ah, Inkarus Sunnah, dan Aliran kepercayaan. Dia mengkhawatirkan pula rencana pemerintah mengajarkan lima agama (Panca agama), kepada anak didik, yang dipandangnya akan mencampur-adukkan akidah dan akan merusakkan akidah Islam.54 Namun, keteguhan Abdullah Syafi'ie dalam memegang agama mendapat penilaian dari rekannya HAMKA seperti yang dikatakan oleh Badaruzzaman berikut: "Seperti DR. Hamka yang telah mengenalnya semenjak sama- sama berada di atas kapal haji di tahun 1950, dan kini sering sama-sama bertemu dalam forum MUI. Melukiskan bagaimana kalau Pak Kyai sedang berhadapan bersama-sama dengan para Pejabat Tinggi Negara. Kalau giliran dia bicara (KH. Abdullah Syafi'ie) maka ia bicarakan agama. Maksudnya supaya Menteri

53 Badaruzzaman, "Goresan dan Kumpulan", Tokoh Kharismatik (peny.), Tutty, “ dalam KH. Abdullab Syafi'ie-Tokoh Kharismatik 1910-1985 (Jakarta: Perguruan Al-Syafi'iyah, 1999), h. 25. 54 Kritik kerasnya terhadap kebijakan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI yang melegalkan perjudian di daerahnya. Lihat, dalam Tutty Alawiyah (peny.), h.26.

149

bisa taat, supaya ingat akan bari kiamat. Tidak hidup di dunia ini saja".55 Selain itu, Abdullah Syafi'ie memiliki kepribadian yang terbuka dan luwes dalam bergaul. Dia terbuka bergaul dengan berbagai kalangan yang luas. Meskipun ia sangat berpegang teguh kepada paham ahl al-sunnah wa al-Jama'ah, namun dia bergaul dengan tokoh-tokoh dari kalangan Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya, seperti bergaul dengan HAMKA, Natsir, K.H. Masykur dan K.H. Idham Khalid. Dia bergaul pula dengan tokoh-tokoh pemerintah, seperti Moh. Hatta, , Emil Salim, Sutami, Alamsyah Ratuprawiranegara, Harmoko.Try Sutrisno, Ali Sadikin dan banyak lagi tokoh lain.56 Dia bergaul pula bersama masyarakat luas dengan kelas sosial yang paling bawah sekalipun, seperti bergaul dengan karyawan, tukang-tukang batu, yatim piatu, ibu-ibu tua yang miskin dan murid-murid yang tinggal di sekitar Perguruan al- Syafi'iyah. Pergaulannya yang luas, ditunjukkannya pula dengan perjalanan ke beberapa negara Eropa seperti ke Jerman dan Belanda, serta berkunjung ke Menteri Pertahanan (Menhan) Malaysia, ia juga ke negara Arab-Afrika, seperti ke Kuwait, Mesir, Maroko, baik sebagai kunjungan pribadi maupun atas undangan menjadi tamu negara. la tanpa canggung bertemu dan berbicara dengan tamu- tamunya dalam bahasa Arab yang fasih. la berbicara dengan tamu dari negara Timur Tengah, seperti Syekh Abdul Azizi al-Kufaily sebagai Sekretaris Jenderal Jami'ah Madinah, dan Syekh Muhammad Nasher al-Ubudy, keduanya dari Saudi Arabia. Juga bertemu dengan Ketua Rabithah al-'Alam Islami Ali Harakan. Demikian pula tamu penting dari dalam negeri seperti Moh. Hatta (mantan Wakil Presiden Pertama RI) dan Adam Malik (Wakil Presiden di masa Orde Baru) dan tokoh-tokoh nasional lainnya pernah berkunjung pula ke lembaga pendidikannya. Sementara itu, keluasan pandangannya dalam beragama dinyatakan sendiri oleh HAMKA sebagai berikut: Ketika saya, KH.

55 Tutty Alawiyah, h.56. Juga Kasetnya, Tentang "Zaman jahiliyah", Side A 56 Badaruzzaman, "Goresan, h. 23.

150

Hasan Basri serta Kyai, sama-sama pergi ke Yogyakarta sebagai basisnya Muhammadiyah, kami melaksanakan shalat Jum'at di sana yang khatibnya adalah KH. Hasan Basri. Sebagaimana tradisi di masjid-masjid Yogya pada umumnya setelah adzan, khatib langsung berdiri menyampaikan khutbahnya. Tidak ada shalat qabliyah seperti di masjid Al-Barkab yang dipimpinnya. Ternyata Pak Kyai mengikuti jama'ah lain. la tidak melakukan shalat sunnah qabliyah.57 Dia juga memiliki sikap tawaddlu'. la selalu menyebut dirinya orang pinggiran, tetapi dari segi pergaulannya tidak pernah canggung berdialog dan bertukar pikiran dengan semua lapisan masyarakat baik dengan kaum awam maupun dengan cendekiawan.580 Sebagai pendidik, ia lebih banyak berkarya-nyata dalam membentuk lembaga-lembaga pendidikan. Prinsipnya dalam pendidikan adalah khadimutthalahah. Hal itu menurut Utomo Dananjaya menggambarkan betapa tawaddlu' kyai ini. Sikap tawaddlu' nya tergambar pula dalam prinsipnya bahwa, sebagian dari pengetahuanmu, berada pada orang lain, seperti ungkapan arabnya. nisfu ra'yika 'ala akhika.59 Dalam mendirikan lembaga pendidikannya ia tidak mengenal lelah, dan di setiap pekerjaan yang akan dilakukannya senantiasa memohon kekuatan dari Allah SWT, baik melalui shalat malam maupun melalui ibadah umrah ke Tanah Suci. Hal ini diungkap oleh Abdul Hakim berikut ini: "Setiap hendak mengerjakan pembangunan gedung pendidikan yang besar, beliau semakin tekun melaksanakan shalat malam, dan selain itu. saya perhatikan setiap pulang dari habis umroh, Ayah mengeluarkan ide untuk membangun institusi pendidikan seperti berdirinya pesantren putra-putri, yatim, begitu beberapa kali dia lakukan”.60

57 Abdul Rasyid, dan Abdul Hakim, wawancara. Lihat pula Tutty Alawiyah, dalam KH. Abdullah Syafiie, h..8 58 Badaruzzaman, "Goresan, h. 25-26. 59 Lihat Utomo Dananjaya dalam Tutty (peny.), h. 2 60 Utomo, h. 12.

151

Ketika ia mendirikan dan mengembangkan institusi pendidikan yang menjadi obsesinya, sifat ketelitian dan rasa hematnya tampak. Sebagaimana yang diungkap oleh Zulfahmi berikut ini: "Kyai selalu saja memiliki ide untuk membangun pendidikan Islam, seolah pembangunan yang dilakukannya tidak pernah berhenti. la selalu mengawasi para pekerja pembangunan dan selalu teliti dan hemat dengan bahan-bahan yang tersisa untuk selalu dimanfaatkan untuk gedung yang sedang dibangun". Hal yang sama diungkap pula oleh Utomo Dananjaya seperti berikut: "Tamunya diajak berkeliling dan melibat hasil atau proses pembangunan. Pada saat seperti itu tidak jarang beliau berhenti memungut paku yang tercecer. la akan marah kepada mandor atau kuli yang menyia-nyiakan sisa semen, atau potongan kayu. Lihat saja tegel pecah pun masih dipasang, tidak dibuang sia-sia. Kadang-kadang kita menemukan ruang dengan bentuk kusen yang berbeda model atau ukuran. Kusen itu barang bekas yang dimanfaatkan kembali". Lebih lanjut ia menyatakan-. "Sikap hemat dan sikap cermat akan nampak nyata dalam membeli bahan bangunan, Beliau akan selalu mendapat harga yang paling miring untuk barang berkualitas baik, Beliau tidak segan-segan melaksanakan dan memilih sendiri, sehingga memperoleh barang yang sebaik-baiknya".61 Karakteristik lain Abdullah Syafi'ie, ia memiliki tingkat kepedulian sosial yang tinggi, seperti yang diungkap H.M. Amirin berikut: "Kyai memiliki rasa sosial yang tinggi. Ketika sekolah melaksanakan hari libur nasional ia tidak sepenuhnya meliburkan sekolahnya. Sekolahnya tetap buka, sekalipun hanya untuk setengah hari, karena ia kasihan kepada para pedagang yang biasa berdagang di lingkungan sekolahnya. Selain itu, kepada para siswanya, dan juga kepada kaum Muslimin seringkali ia membagi-bagikan keperluan untuk

61 Abdul Hakim, wawancara.

152

shalat atau membagi-bagi kitab al-Qur'an yang dicetak dipercetakannya.62 Selain karya-karya tersebut di atas ia meninggalkan pula karya tulis, juga karya yang terekam di berbagai kasetnya Karya-karya yang sempat terkumpul oleh peneliti sebanyak sepuluh buah karya tulis, di samping karya terjemahannya. Kaset-kaset yang jumlahnya ratusan, dengan keterbatasan penulis hanya beberapa yang dapat penulis temukan. Karya-karya tertulis, berikut kaset-kasetnya akan penulis ungkap kandungannya berikut ini. • Karya yang berjudul: al-Muassasat Al-Syafi'iyah al-Ta'limiyah. Karya ini menjelaskan tentang latar belakang dia mendirikan pendidikan madrasahnya, serta menggambarkan pula tentang materi pendidikan/ pelajaran. • Karya yang berjudul: Bir al-Walidaini. Karya ini membicarakan bagaimana kondisi seorang ibu yang sedang mengandung dan setelah melahirkan; dan bagaimana pemberian nama kepada si anak; proses memelihara anak dan mengisi jiwanya serta ke arah mana anak dididik. Perlunya sejak dini menanamkan jiwa agama dan pengamalan agama, menceritakan perlunya seorang anak berbakti kepada orang tua serta keberuntungan yang diperoleh seseorang apabila berbakti atau berakhlak kepada kedua orang tua. • Karya yang berjudul: "Berkenalan dengan Perguruan al- Syafi'iyah". Karya ini menggambarkan tentang latar belakang serta tujuan, kurikulum dan lainnya yang berkaitan dengan pendirian pesantren putra-putri, pesantren khusus yatim dan pesantren tradisional. • Karya yang berjudul: "Penduduk Dunia Hanya Ada Tiga Golongan". Dalam karya ini Abdullah Syafi'ie menyoroti manusia dalam tiga kelompok, yaitu pertama kelompok mukmin, kedua kelompok kafir, dan ketiga kelompok munafiq. Manusia kelompok pertama adalah manusia yang meyakini Allah serta mengikuti perintahnya serta menjauhi larangannya. Manusia kelompok kedua adalah manusia yang tidak percaya

62 Utomo Dananjaya, dalam Tutty, h. 12.

153

kepada Allah serta senantiasa melanggar perintah-Nya. Manusia kelompok ketiga adalah manusia yang berada di tengah keraguan, sehingga apa yang terucapkan sangat berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya. Dua bentuk manusia tersebut yaitu manusia yang kafir dan munafiq senantiasa mereka dalam kerugian terutama di akhirat. • Karya yang berjudul: "Mu'jizat Saiyiduna Muhammad". Karya ini berbicara tentang mu'jizat Nabi Muhammad, juga mu'jizat nabi-nabi lainya seperti nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan lainnya. Nabi Muhammad dalam pandangannya mempunyai kelebihan dibandingkan dengan nabi-nabi lainnya. Misalnya Muhammad adalah cahaya, alam semesta ini ada karena ada cahaya Nabi Muhammad. Mu'jizat nabi-nabi lainnya juga dipunyai oleh Nabi Muhammad. • Karya yang berjudul: Al-Dinu wal-Masjid. Karya ini membahas tentang hubungan yang erat antara agama dan tempat ibadah (masjid). Pentingnya membangun masjid bagi umat Islam. Orang yang ikut membangun masjid serta memakmurkannya akan mendapatkan keutamaan dan pahala yang besar. • Karya yang berjudul: Madarij al-Fiqhi. Abdullah Syafi'ie membahas di dalam kitab ini tentang pengertian agama, pengertian Islam, pengertian iman dan rukun-rukunnya; juga berbicara tentang najis dalam konteks shalat, juga masalah pelaksanaan shalat, tentang qunut dan lainnya. • Karya yang berjudul: Hiddyah al-Awwam. Karya ini membahas tentang sifat-sifat Allah yang wajib dan yang mustahil. Kemudian ia membahas pula masalah iman kepada para malaikat, kitab-kitab Allah, juga iman kepada nabi-nabi Allah dengan sifat-sifatnya seperti sifat fathanah dan lainnya. • Karya yang berjudul: Al-Ta'lim al-Din. Karya ini membicarakan ajaran tentang siapa pencipta manusia, apa agamanya, siapa imamnya, kiblatnya dan siapa saudaranya, siapa yang menciptakan alam yang luas ini, juga membahas tentang rukun Islam dan rukun iman. • Karya yang diberi judul: Al-Mahfuzhat (sebanyak III jilid). Karya ini berisi sejumlah materi hadits utama yang singkat,

154

seperti hadits tentang keutamaan iman, tentang keutamaan membaca al-Qur'an, keutamaan orang yang menuntut ilmu serta manfaat orang berilmu dan sebagainya. Karya tulis Abdullah Syafi'ie tersebut semuanya di bidang ilmu agama Islam. Karya tulisnya ada yang berkaitan dengan bidang pendidikan Islam seperti dalam tulisan yang berjudul al-Muassasat Al-Syafi'iyah al-Ta'limiyah, "Berkenalan dengan Perguruan Al- Syafi'iyah" dan lainnya. Karya tulisnya yang berkaitan dengan bidang ilmu tauhid terlihat dalam tulisannya yang berjudul al-Ta'lim al-Din. Karya tulis yang berkaitan dengan bidang hadits terdapat dalam tulisannya yang berjudul al-Mahfuzhat. Dari karya-karya itu tampaknya minat keilmuan Abdullah Syafi'ie di bidang keilmuan agama Islam cukup bervariasi. Adapun materi atau kandungan kaset-kasetnya ialah: • Berjudul "Fungsi Ulama", 14Mei 1982: Side A : Pada bagian ini Abdullah Syafi'ie antara lain menjelaskan bahwa "manusia senantiasa mengalami kerugian, kecuali orang yang beriman dan beramal shalih. Iman harus pula diiringi oleh 'amal shalih, tanpa hal itu, iman seseorang tidak diterima oleh Allah. Kemudian ia menjelaskan tentang keutamaan menuntut ilmu pengetahuan, orang yang menuntut ilmu pengetahuan termasuk ilmu agama akan mendapatkan pahala yang besar. Fungsi ulama sangat penting di tengah masyarakat. Ulama dalam pandangannya bagaikan bintang yang menjadi petunjuk di waktu malam. Apabila ia kabur, maka sulitlah untuk menemukan jalan. Ulama itu adalah pewaris para nabi. Pada saat para orang tua tidak peduli lagi dengan "butanya" sang anak terhadap al-Qur'an dan pengetahuan agama, maka ulama harus turun ke rumah-rumah, seperti turunnya ABRI ke desa-desa, memfungsikan diri untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam menjalankan fungsinya sebagai guru, para ulama hendaklah memberikan materi yang gampang-gampang dan menyampaikan berita gembira, dan

155

jangan berupa ancaman, karena nantinya mereka akan semakin jauh dari agama. Side B : Abdullah Syafi'ie masih menjelaskan tentang fungsi ulama yaitu untuk mengenalkan Allah dan Muhammad. • Berjudul "Hijrah Nabi Muhammad SAW". Side A : "Abdullah Syafi'ie menceritakan bagaimana perjuangan Rasulullah mensyi'arkan agama Allah di Makkah dalam rangka menghadapi kaum Qurays. Kemudian bagaimana Rasulullah melalui perjuangan hebat untuk lolos dari penangkapan kaum Qurays pada saat perjalanan hijrahnya ke Madinah, bersama-sama dengan Abu Bakar." Side B : "Rasulullah tiba di Madinah dan disambut dengan antusias dan bersuka cita oleh kaum Anshar dan Muhajirin. pada saat di kota Madinah, banyak pengikutnya yang berharap agar Rasulullah singgah dan bermalam di rumahnya dan hal itu merupakan kebanggaan bagi mereka. Namun, Rasulullah dengan bijaksana mengambil sikap. Rasulullah membiarkan ontanya berjalan, hingga di satu titik tertentu ontanya berhenti dan di sanalah Rasulullah bermalam, dan di tempat itulah kemudian didirikan masjid pertama di Madinah." • Berjudul "Ukhuwah Islamiyah". Side A : "Bahwa umat Islam di manapun mereka bersaudara. Umat Islam itu bagaikan bangunan yang satu sama lain saling mengokohkan. Umat dilarang membenci, bermusuhan dan saling menzhalimi dan saling memfitnah. Ingatlah bahwa manusia itu lemah, sementara Allah Maha Kuasa. Bukti lemahnya manusia itu, ia tidak dapat melepaskan dirinya dari takdir kematian, apabila ruh sudah di dada, mata sudah "melang", tidak ada yang dapat menolong sekalipun ia seorang dokter. Dia akan meninggalkan semua harta yang dimilikinya," • Berjudul "Kemuliaan al-Qur'an": Side A : "Bahwa mu'jizat itu adalah sesuatu yang menyalahi kebiasaan yang tampak yang terjadi pada diri Nabi. Al-Qur'an adalah mu'jizat terbesar Nabi Muhammad SAW. Al-

156

Qur'an itu harus dibaca dan dimengerti oleh umat, agar umat mengenal Allah, hari kiamat dan lainnya. Untuk itu orang tua memegang peran besar agar anak-anaknya tidak buta al- Qur'an. Peran orang tua ini sangat penting karena orang tualah yang dapat membentuk anaknya, apakah menjadi Yahudi, Majusi, dan Nasrani. Selain itu, umat Islam dalam kehidupannya tidak cukup hanya belajar al-Qur'an dan ilmu agama, tetapi juga ia harus belajar teknologi, ilmu kedokteran dan ilmu ke duniaan lainnya; karena dunia adalah jembatan untuk menuju akhirat." Side B : "Di dalam diri manusia ada hati, hati itu terkadang kena penyakit, bahkan hati itu bisa mati. Apabila hati itu mati maka iman akan merugi selamanya. • Judul: "Menyambut Bulan Rajab": Side A : "Bulan Rajab bulan yang sangat dihormati, bahkan di masa Nabi apabila datang bulan ini, perang dihentikan dan dilakukan gencatan senjata. Pada bulan ini dianjurkan bagi umat untuk memperbanyak istighfar, meminta ampun atas dosa-dosa yang dilakukan. Ada beberapa syarat agar seseorang diampuni dosa- dosanya, yaitu (1) orang yang menyesali perbuatannya, (2) tidak melakukan maksiat lagi, dan (3) apabila ia berdosa kepada anak Adam, dia hendaklah meminta maaf langsung kepada yang bersangkutan. Side B : "Dijelaskan tentang pentingnya melaksanakan kewajiban shalat. Shalat itu tiang agama, apabila seseorang tidak shalat maka berarti dia merubuhkan agama. Shalat adalah amalan utama bagi umat Islam untuk keselamatannya di akhirat. Karena amalan shalatlah yang pertama ditimbang, apabila timbangan shalatnya baik, maka amalan atau perbuatan buruknya dapat saja tidak dilihat lagi." • Judul "Zaman Jahiliyah". Side A : "Ilmu al-Islam, dan ilmu al-iman" sesuatu yang harus diketahui. Setelah mempelajari ilmu-ilmu itu barulah dapat melaksanakan ibadah. Tanpa mengetahui hal-hal itu

157

banyak perbuatan manusia yang rusak. Yang lebih parah lagi tidak percaya kepada Nabi Muhammad. Padahal, tanpa perantara Nabi Muhammad tidak ada amal yang diterima oleh Allah. Mereka secara tidak sadar jatuh kepada murtad (keluar dari agama Islam). Mereka itu berpegang kepada pemahaman dalam UUD 1945, yang menyatakan agama dan keyakinan; kata keyakinan mereka pahami sebagai aliran kepercayaan. Pada hal kata "atau" di dalam bahasa Arab "an" adalah athap. Pada saat ini berkembang pula pendapat bahwa pemerintah akan menerapkan mata pelajaran "Pancaagama" kepada anak didik, yang tentu akan diajarkan oleh seorang guru yang tidak memiliki satu keyakinan agama. Tentu saja kalau dia meyakini suatu agama, ia akan mengajarkan sisi negatif dari agama yang lain. Sebagai seorang guru, saya sangat sedih. Anak-anak kita di masa mendatang akan semakin jauh dari nilai-nilai agama. Kalau demikian, kita bagaikan telah membunuh anak-anak kita sendiri, dan itu berarti kita sama dengan orang-orang Jahiliyah dahulu," Side B : "Apabila anak-anak kita tidak mengenal agama, mereka pasti di akhirat kelak tidak bisa menjawab siapa Nabinya? Apa sifat-sifatnya? Dan sebagainya." • "Tentang Surat al-Naziat". Side A : "Allah memerintahkan kepada malaikat untuk memasukkan ruh kepada seseorang, setelah ditetapkan rezeki, ajal, dan ketetapan lainnya. Kemudian, hanyut di air yang deras, orang itu berharap ada orang lain yang dapat menolongnya agar diangkat ke daratan. Bila kita tidak menolong orang tersebut tegalah hati kita. Demikian pula orang tua kita mengharapkan do'a dari anak yang shalih, agar segala dosa orang tua mendapatkan keampunan dari Allah. Namun, sayangnya banyak anak yang lupa mendo'akan orang tuanya." Side B : "Manusia itu asalnya dari mani sesuatu yang kotor. Kemudian, mani itu menjadi berharga kalau manusia itu beramal shalih. Manusia itu nantinya pasti akan menemui

158

ajalnya, pada saat orang sedang sekarat, dia akan melihat semua amal perbuatannya di dunia, di saat itu bacakanlah atau ajarkanlah kalimah La ilaha illallah." Tampaknya, materi keilmuan yang dibahas Abdullah Syafi'ie di dalam kaset-kasetnya itu sangat beragam. Materi yang dibicarakan berkisar masalah-masalah yang berkaitan dengan proses penciptaan manusia dan pada saat tiba ajalnya; masalah yang berkaitan dengan masalah keimanan dan keislaman; masalah yang berkaitan dengan pentingnya shalat dan pengampunan dosa; masalah yang berkaitan dengan kemulyaan kitab suci al-Qur'an; masalah pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta masalah-masalah lainnya. Masalah-masalah yang dibicarakannya umumnya masalah aktual dalam kehidupan masyarakat Jakarta.

B. Kiprahnya dalam Perkembangan Islam di Jakarta Selain berkiprah dalam bidang pendidikan ia telah menunjukkan kiprahnya dalam berbagai kegiatan atau perkembangan agama Islam di kota Jakarta. Sebagai seorang ulama ia berperan sebagai penjaga moral masyarakat dengan menggunakan masjid sebagai tempat untuk memberi pengajaran Islam kepada umat. Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam, pertama kali ia dirikan di dekat rurnah tinggalnya dan ia namai masjid itu dengan nama Masjid al-Barkah. Pada saat itu di Jakarta, nama masjid masih banyak dinamai dengan nama lokasi di mana masjid itu berdiri, seperti masjid Manggarai, masjid Kwitang dan lain-lain. Namun, sejak ia memberi nama masjid dengan sighat bahasa Arab itu, maka kemudian nama-nama masjid di Jakarta mulai menggunakan sighat bahasa Arab, seperti masjid Istiqlal, masjid al-Azhar. Hal itu diungkap Tutty Alawiyah berikut: "Saat berdirinya masjid al-Barkah, nama-nama masjid di Jakarta, biasanya diberi nama dengan nama kampungnya, seperti masjid Manggarai, masjid Kebon Jeruk, masjid Matraman dan lain-lain. Sejak saat itulah nama masjid al- Barkah dikenal karena ramainya jama'ah dan pandainya KH.

159

Abdullah Syafi'ie memikat dalam tabligh-tablighnya. Dan berkembang pula sejak itu masjid-masjid yang diberi nama dengan sighat Arab, tidak lagi disebut nama kampungnya".63 Dengan demikian Abdullah Syafi'ie telah mengilhami penamaan masjid-masjid yang ada di Jakarta dalam penamaan yang menggunakan sighat bahasa Arab. Sementara itu, kota Jakarta sebagaimana diketahui sebagai Ibukota Negara dan juga sebagai kota metropolitan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dinamika terjadi, sebagai akibat dari derasnya pembangunan, yang juga menimbulkan dampak yang sangat negatif di tengah masyarakat Jakarta, berupa munculnya dekadensi moral, dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Untuk mengatasi dampak dari pembangunan itu, ia mulai membentuk masyarakat muslim yang belajar agama melalui pengajian yang diselenggarakan di masjid. Masjid dijadikannya bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi ia jadikan pula sebagai tempat mengajar agama yang biasa penyelenggaraannya pada Selasa malam. Dalam pengajian agama ini Abdullah Syafi'ie membaca kitab- kitab, seperti kitab Riyadl al-Shalihin dan lainya. Di samping itu pula, Abdullah Syafi'ie memberikan pengajian di masjid-masjid yang ada di sekitar Jakarta, seperti masjid al-Azhar, yang waktunya seminggu sekali atas permintaan masyarakat Betawi di sana. Pada saat Nisfu Sa'ban ia biasa berpidato di kota Pekalongan dan Tegal dalam peringatan Haul seorang Habib yang sangat dicintai masyarakat di sana. Juga berda'wah di luar negeri seperti ke Malaysia dan Singapura.64 Model pengajian yang dilakukan oleh Abdullah Syafi'ie ini di kemudian hari banyak ditiru dan mengalami perkembangan yang sangat pesat di Tanah Air, yang biasa disebut dengan Majelis Ta'lim. Majelis Ta'lim ini telah berkembang ke seluruh Tanah Air dengan mengambil nama yang beraneka ragam, seperti Majelis Ta'lim al- Hidayah, Majelis Ta'lim al-Muhajirin, dan sebagainya.

63 H.M. Amirin, wawancara. 64 Tutty Alawiyah, wawancara.

160

Selain melalui forum pengajian ini, Abdullah Syafi'ie menyampaikan pesan-pesan agama Islam melalui alat komunikasi yang canggih dan modern yaitu melalui Radio Al-Syafi'iyah yang ia dirikan. Dia sangat pandai beretorika dalam pidatonya, suaranya lantang. Jika ia di mimbar, isi pidatonya sering vokal dan sesekali diselingi oleh sindiran dalam bahasa Betawi. Karena begitu mantap isi tabligh-nya, maka tidak jarang jama'ah yang mendengar pidato tersebut ada yang menjerit dan menangis histeris terutama ketika ia menjelaskan tema-tema yang berkaitan dengan datangnya hari kiamat. la menyadari, bila ia memberi pengajian melalui alat teknologi canggih yang pada saat itu melalui radio, maka jangkauannya sangat luas. Selain itu, melalui pesan-pesan agamanya yang disampaikan melalui sarana yang ia miliki, dimaksudkan sebagai benteng umat dari pengaruh ajaran Partai Komunis. Ia mendirikan Radio al- Syafi'iyah tahun 1967 untuk mengimbangi atau melawan pengaruh Universitas Rakyat yang didirikan PKI.65 Melalui stasiun radio itu pula ia mengingatkan umat Islam untuk menyelamatkan diri dan keluarganya dari pengaruh buruk Kwa Hwe, Toto Koni, dan perjudian lainnya. Abdullah Syafi’ie menghimbau pula para pendengarnya agar menghindarkan diri dari Night Club dan Stambath. Melalui radio pula ia sering mengkritik kebijakan Gubernur Ali Sadikin tentang legalisasi perjudian, pelacuran, dan pembakaran/pembongkaran mayat. Melalui stasiun radionya pula ia menyampaikan bahwa generasi muda Islam, di samping harus memiliki ilmu pengetahuan umum, juga hendaklah memiliki pengetahuan agama dan akidah yang kuat dalam menghadapi godaan pesatnya pembangunan kota Jakarta. Untuk membentuk generasi muda Islam yang berkualitas dan dapat membentengi mereka dari dampak pembangunan yang ada, ia menganjurkan kepada umat agar mendirikan tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat pendidikan yang Islam. Dia menghimbau agar umat Islam peduli dan memberi bantuan kepada setiap usaha

65 Tutty Alawiyah, dalam K.H. Abdullah Syafi’ie, h. 7

161

mendirikan masjid dan tempat pendidikan Islam. Dia menghimbau agar umat Islam memberikan bantuan sesuai dengan kemampuannya. Dari radio itu pula ia menggembirakan orang-orang yang telah membantu mendirikan tempat ibadah dan tempat mendidik generasi muda Islam disertai dengan pemberian pahala dari Tuhan. Melalui radio pula ia mempertanggung-jawabkan atau memberikan laporan kepada umat yang telah memberikan bantuan. Melalui himbauan dari radio ini pula bantuan mengalir dari para dermawan yang kaya maupun para dermawan yang berasal dari orang kebanyakan. Melalui salah satu metode yang ia lakukan inilah institusi pendidikan agama dan masjid yang sedang ia bangun semakin berkembang dan telah ada wujudnya.66 la sangat menyadari bahwa kekuatan teknologi dapat mengawetkan pesan-pesan agama yang pernah ia sampaikan, dengan tujuan agar nantinya dapat didengar pula oleh umat di kemudian hari. Untuk itu, pada setiap ceramah yang ia berikan melalui Radio al-Syafi'iyah, direkam oleh petugas di stasiun radionya dalam berbagai kaset. Selama perjalanan hidupnya telah ratusan kaset yang dihasilkannya yang isinya menyangkut berbagai tema agama. Hingga sekarang ini Radio al-Syafi'iyah masih terus memperdengarkan ceramah agama Abdullah Syafi'ie dari kaset-kaset yang ada, di samping tetap merekam berbagai ceramah agama dari putra-putri Abdullah Syafi'ie seperti ceramah agama Tutty Alawiyah, Abdul Rasyid dan Ida Farida. Ceramah agama melalui radio serta merekam ceramah agama melalui kaset-kaset sekarang ini telah menjadi budaya.

66 Utomo Dananjaya, K.H. Abdullah Syafi’ie, h. 19.

162

BAB IV PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PRESPEKTIF K.H. ABDULLAH SYAFI’IE

Dalam dunia pendidikan pada umumnya dikenal ada beberapa komponen pendidikan. Dalam konteks komponen pendidikan ini para ahli pendidikan memiliki pandangan yang berbeda. Misalnya, Soetari Imam Bernadib berpendapat bahwa, ada lima macam komponen pendidikan formal, yaitu tujuan, pendidik, anak didik, alat, dan lingkungan.1 Marimba tidak memasukkan lingkungan sebagai komponen pendidikan. la berpendapat bahwa komponen pendidikan ialah tujuan, pendidik, anak didik, alat, dan kegiatan (usaha).2 Selanjutnya, Sudjana mengajukan pendapat bahwa komponen pendidikan ialah tujuan, pendidik, anak didik, materi pendidikan, metode, evaluasi, waktu penyelenggaraan, jenjang pendidikan, dan penyelenggaraan.3 Dalam Bab ini dengan terbatasnya data penulis membatasi diri hanya membahas beberapa komponen pendidikan, antara lain komponen tujuan, materi pendidikan, metode pendidikan, komponen pendidik yang titik tekan pembahasan pada kharakteristiknya dan komponen anak didik yang titik tekan pembahasan pada perilakunya. Komponen- kompoenen ini dalam pandangan Abdullah Syafi’ie sangat relevan dengan kondisi kekinian dan dapat merepon tuntutan perkembangan masyarakat.

1 Soetari Imam Bernadib, Pengantar Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: FIP-IKIP Yogyakarta, 1971), h.12 2 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: al-Ma'arif, 1964), h.19. 3 Sudjana, S.F, Pendidikan Nonformal, (Bandung: PTDI Jawa Barat, 1974), jilid I, h. 44

163

A. Tujuan Pendidikan Dalam konteks tujuan pendidikan rumusan tujuan pendidikan telah merespon esensi pendidikan di era apapun. Manusia sebagai objek dan sekaligus subjek pendidikan mengalami perkembangan dari masa ke masa berikutnya. Abdullah Syafi’ie dalam konteks ini berpandangan bahwa esensi manusia sebagai ciptaan Allah yang diciptakan dari segumpal darah dan kemudian diberi ruh oleh Allah SWT, dan ia diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. (Q.S. al- Dzariyat, 56).4 Ia menggambarkan dengan enam tahapan penciptaan manusia. Tahapan pertama, manusia berada dalam sulbi seorang Ibu, ia pindah ke rahim lebih kurang sembilan bulan ia berada di sana. Tahap kedua, manusia lahir ke dunia, pada tahap ini manusia diwajibkan untuk beramal dan dibebani oleh suatu kewajiban untuk berbakti kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Pada tahap ini, kehidupan manusia diakhiri oleh ajal atau kematian. Tahap ketiga, manusia berada di alam kubur (alam barzah). Pada tahap ini manusia diuji oleh dua malaikat yang bernama Munkar dan Nakir. Mereka menanyakan beberapa pertanyaan kepada manusia: tentang siapa Tuhannya? Siapa Nabinya? Apa agamanya? Siapa imamnya? Apa kiblatnya? Dan siapa saudara-saudaranya? Manusia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bila manusia mampu menjawab

4 Lihat Abdullah Syafi'ie, Kaset Side A, "Surat al-Naziat". Dalam merumuskan tujuan pendidikan hendaklah diambil dari falsafah hidup. Penyusunan tujuan pendidikan menurut ajaran Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi empat aspek. Pertama, aspek tujuan dan tugas hidup manusia— di mana manusia diciptakan hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT. (Q.S.51:56). Kedua, memperhatikan sifat dasar manusia, bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Ketiga, tuntutan masyarakat, baik berupa pelestarian nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan masyarakat maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dan tuntutan dunia modern. Keempat, memperhatikan kehidupan ideal Islam yang mengandung nilai untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia serta mendorong manusia untuk berusaha keras meraih kehidupan di dunia maupun di akhirat serta berusaha memberantas kemiskinan. Lihat Nelson F. Du Bois, et.al, Educational Psychology and Instructional Desicions, (Home-wood, Illinois: The Dorsey Press, 1979), h. 14. Lihat pula Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1997), h 47. Lihat juga Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda, 1993), h. 153.

164

pertanyaan-pertanyaan itu dengan baik, ia akan lulus. Bila tidak, ia akan menghadapi suatu kesulitan dalam menghadapi fase berikutnya. Tahap keempat, sebagai tahap yang sangat menentukan yakni hari kiamat. Pada hari itu manusia akan dihisab, ia berada dalam kesendirian, wajahnya ada yang berseri-seri, dan ada pula yang pucat pasi. Manusia secara pribadi bertanggung-jawab atas perbuatannya, tidak seorang pun yang mampu menolongnya baik orang tua maupun saudaranya. Tahap kelima, setelah manusia dihisab dan ditimbang semua amal kebaikannya, manusia mengambil dua tempat yang dijanjikan Allah, apakah ia masuk surga atau masuk ke neraka.5 Dari gambarannya, ia selain membuat tahapan atau proses yang dilalui manusia sejak berada di dalam kandungan seorang Ibu, ia ingin pula menegaskan bahwa setiap manusia pada akhirnya akan menemui ajalnya, dan kemudian ia akan mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya selama di dunia ini. Oleh karena itu, melihat proses perjalanannya, manusia jangan lupa untuk mengabdi atau menyembah kepada-Nya. Dalam kaitan tujuan pendidikan ini, beberapa ulama Islam telah mengungkap rumusannya. Misalnya, Muhammad Quthub menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam ialah untuk membentuk “manusia yang sejati”, sebagaimana yang digambarkan al-Qur'an tersebut di atas.6 Pengertian yang diberikan oleh Muhammad Quthub tentang “manusia sejati” ini adalah dapat dipahami bahwa manusia yang sejati adalah manusia yang benar-benar menghambakan diri kepada Tuhan, melaksanakan segala perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Istilah yang lain al-Attas menyatakan, bahwa tujuan pendidikan menurut Islam adalah menghasilkan “manusia yang baik”.7Marimba berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam

5 Abdullah Syafi'ie, "Hari Akhirat", dalam Kumpulan Khutbah Jum'at dan 'Id, (Jakarta: Perg. Al-Syafi'iyah, t.t.), juz I, h. 3-7. 6 Muhammad Quthub, Minhaju al-Tarbiyah al-Islamiyah (Cairo: Dar al-Syuruq, 1993), cet. 14, h. 19. 7 Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, (ed), Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), h.l.

165

adalah terbentuknya “kepribadian Muslim”.8 Al-Abrasyi mengemukakan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah terwujudnya “manusia berakhlak sempurna”.9 Sedangkan menurut Munir Mursi, tujuan akhir pendidikan Islam adalah turwujudnya “manusia yang paripurna”.10 Sejalan dengan pandangan-pandangan di atas, pendapat yang hampir serupa telah dikemukakan pula dalam Rekomendasi 300 Sarjana Muslim yang mengadakan Konperensi Pendidikan Islam di Makkah tahun 1977. Mereka merumuskan tujuan pendidikan Islam adalah : “Membentuk pribadi Muslim yang sejati, mewujudkan manusia yang baik budi pekertinya dan menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya. Pandangan ini sejalan pula dengan fiman Allah yang menyatakan bahwa, “manusia diciptakan hanya menyembah Allah semata, mereka senantiasa berikrar dalam shalatnya, ibadahnya, hidup dan matinya hanya untuk Tuhan semesta alam”.11 Dalam hubungan ini Sayyid Husein dan Ali Asraf menyatakan bahwa tujuan yang paling penting dari pendidikan ialah “mengingatkan kembali kepada setiap manusia akan ikrarnya kepada Tuhan, di setiap shalatnya agar ia memenuhi janji, hingga ia dipanggil Tuhan”.12 Berikutnya Madjid Irsan memberi pengertian, yaitu terbentuk: “insan yang baik, baik hubungannya dengan Allah maupun dengan alam ciptaan Allah untuk kepentingan manusia, juga hubungannya dengan sesama. la selalu berlaku adil dan ihsan, lulus dalam setiap ujian hidup yang dilalui di dunia dan mempersiapkan dirinya menghadapi hari akhirat, sebagai hari berhisab dan hari menerima balasan yang setimpal”.13 Tujuan yang dikemukakan oleh Majid Irsan

8 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat, h. 39. 9 Muhamad 'Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Bustami A. Gani dan Djohar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 10. 10 Muhammad Munir Mursi, al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa Tatawwuruhafi al-Bilad al-Ambiyah, (Qahirah: Dar al-Maarif, 1986), h. 53. 11 Lihat dalam Muzayyin Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat (Jakarta: IAIN, 1988), h.9. 12 Sayyid Husein dan Ali Ashraf, Horizon Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), h. 61. 13 Majid Irsan al-Kailani, Falsafatu al-Tarbiyah al-Islamiyah (Makkah: Maktabah al-Hadi, 1988), h. 81.

166

itu, tampaknya masih tetap berakar kepada posisi manusia sebagai insan pengabdi Tuhan dalam pengabdian yang sebenar-benarnya. Manusia yang seperti itu adalah manusia yang meyakini bahwa itulah basis yang kokoh untuk menjalani kehidupan serta ia memiliki kearifan terhadap lingkungannya. Ia selalu berhasil mengatasi semua problema kehidupan, dan optimis dalam menyongsong masa depannya, dengan amal-amalnya, dan optimis pula menyongsong kehidupan akhirat. Dalam pengertian tersebut, ia memang tidak secara jelas mensyaratkan ilmu pengetahuan, namun bila dicermati lebih jauh sikap ‘ubudiyah yang benar kepada Allah, serta kemampuan untuk arif terhadap lingkungan, dan mampu pula mengatasi berbagai problema yang dihadapinya, tidak lain sosok manusia seperti itu adalah manusia yang memiliki ilmu pengetahuan. Dari pengertian-pengertian yang telah diungkap itu tampaknya tujuan pendidikan Islam yang telah diajukan oleh para ahli pendidikan Islam, pada intinya mereka menekankan kepada “akidah” islamiyah. Misalnya Muhammad Quthub dengan ungkapan “membentuk manusia yang sejati”; Madjid Irsan dengan ungkapan “insan yang baik ‘ubudiyahnya”; dan pandangan para sarjana sebagai hasil Kongres Pendidikan Islam di Makkah dengan ungkapan membentuk “pribadi Muslim yang sejati”. Mereka pada hakikatnya sangat menekankan kepada aspek keimanan, Selain itu, mereka menekankan pula perlunya ilmu pengetahuan umum bagi peserta didik agar dapat mengantarkan mereka menyonsong masa depannya. Pengertian-pengertian yang diberikan oleh beberapa ahli pendidikan Islam itu, tampaknya sangat sejalan atau memiliki substansi yang sama dengan pengertian tujuan pendidikan yang diberikan oleh Abdullah Syafi'ie dalam rumusannya di atas. Untuk merespon zamannya, Abdullah Syafi'ie membuat rumusan tujuan pendidikan dalam bentuk yang lebih operational. Pada pendidikan pesantren putra-putri, misalnya, Abdullah Syafi'ie membuat rumusan tujuan pendidikan, yaitu: "ingin membentuk siswa-siswi yang menguasai ilmu pengetahuan agama setingkat Tsanawiyah dan Aliyah, dan pengetahuan umum setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMA).

167

Lebih jauh lagi pesantren putra-putri ingin menciptakan kader ulama dan zu'ama Islam, pewaris bumi tercinta di masa mendatang.14 Dengan kata lain, ia bermaksud, membentuk manusia yang memiliki kualifikasi ulama plus, yaitu seorang yang benar-benar menguasai ilmu agama, juga sekaligus menguasai ilmu umum. Kemudian dalam rumusan tujuan pendidikan pesantren tradisionalnya, yaitu, “ingin menciptakan ahli agama (ulama) yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang tinggi agar mereka nantinya dapat merespons persoalan-persoalan kemasyarakatan”. Mereka mengkaji ilmu pengetahuan agama melalui khazanah klasik yang biasa disebut dengan kitab kuning. Selanjutnya untuk tujuan dari pesantren khusus yatim ialah, “ingin membentuk manusia yang berilmu, dan memiliki al- al-karimah” serta memiliki keterampilan.15 Lebih jauh lagi rumusan-rumusan tujuan pendidikan dalam tingkat aplikasinya, ia ingin menanamkan skill kepada-anak didiknya. Misalnya di pesantren putra-putri yang didirikannya ia ingin membentuk manusia yang memiliki keahlian atau keterampilan, seperti keterampilan mengajar atau memiliki keterampilan berda'wah. Di samping itu, dalam konteks pesantren khusus yatim ia menginginkan agar anak didik memiliki keterampilan seperti keterampilan menjahit atau bertukang, supaya kelak mereka dapat hidup secara mandiri tanpa menggantungkan dirinya kepada pihak lain. Untuk melihat relevansi pandangan pendidikan Abdullah Syafi'ie dalam bentuk operational, dapat dibandingkan dengan pandangan beberapa pakar pendidikan Islam berikut ini: Hasan Langgulung memberikan definisinya yaitu, “tujuan pendidikan Islam hendaklah direncanakan dalam format yang dekat, format yang jauh, dan yang lebih jauh lagi”. Hal ini dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan Islam versi Hasan Langgulung dalam format yang dekat, di mana ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada peserta didik segera berguna atau bermanfaat setelah mereka lulus

14 Lihat, Abdullah Syafi'ie dkk, Berkenalan Dengan Pesantren Al-Syafi'iyah, (Jakarta: t.p. 1981), h.4-21 15 Abdulah Syafi’ie dkk., Berkenalan, h. 20.

168

dari pendidikan. Kemudian, untuk format yang jauh dan lebih jauh lagi, di mana ilmu yang diajarkan kepada siswa untuk modal sepanjang hidupnya serta memberi manfaat dalam menyongsong kehidupannya kelak. Dalam pendidikan Islam bagi Hasan Langgulung hendaklah mencakup mata pelajaran yang segera dapat diterapkan seperti mata pelajaran matematika, kesenian, juga mata pelajaran ilmu sosial yang dapat memahami masyarakatnya serta mata pelajaran agama atau yang besifat moral yang berguna bagi kehidupan manusia di akhirat.16 Al-Syaibani ketika memberikan penjabaran tujuan pendidikan Islam adalah: (1) Tujuan-yang berkaitan dengan individu: mencakup perubahan-perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan rohani serta kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat; (2) Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat: mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan dalam masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat; (3) Tujuan professional: yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi dan sebagai kegiatan masyarakat.17 Al-Abrasyi menjabarkan tujuan akhir pendidikan Islam menjadi: (1) Pembinaan akhlak, (2) Menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat, (3) Penguasaan ilmu, dan (4) Keterampilan bekerja dalam masyarakat.18 Bagi Asma Hasan Fahmi tujuan akhir pendidikan Islam dapat dirinci menjadi: (1) Tujuan keagamaan, (2) Tujuan pengembangan akal, dan akhlak, (3) Tujuan pengajaran kebudayaan, dan (4) Tujuan pembinaan kepribadian.19 Munir Mursi menjabarkan tujuan akhir pendidikan Islam sebagai berikut: (1) Bahagia di dunia dan akhirat, (2) Menghambakan diri kepada Allah, (3) Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat Islam, dan (4) Akhlak mulia.20 Dari

16 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psychology dan Pendidikan (Jakarta: al-Husna, 1986), h. 262 17 Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (terj.) oleh Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 399. 18 Abrasyi, Dasar-dasar, h. 15-18. 19 Lihat dalam Munir Mursi, al-Tarbiyah, h. 17. 20 Munir, al-Tarbiyah, h. 18-19

169

pandangan beberapa pakar pendidikan tersebut, dapat dikatakan tujuan pendidikan Abdullah Syafl'ie pada tingkat operasional telah memiliki substansi yang sama dengan berbagai definisi yang telah dikemukakan para ahli itu. Tampaknya tujuan pendidikan Abdullah Syafi'ie memiliki jangkauan ke depan dan cukup lengkap. Pertama, tujuan pendidikan yang dimilikinya sangat responsif terhadap perkembangan zaman, namun tetap menghunjam ke bumi, atau dengan kata lain tidak tercerabut dari esensi pendidikan tradisional untuk membawa manusia menjadi hamba Tuhan. Kedua, tujuan pendidikannya mengarah kepada terbentuknya anak didik yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam, serta sekaligus memiliki pengetahuan umum yang luas, dan memiliki keterampilan atau spesialisasi untuk menjadi da'i, menjadi pendidik, atau memiliki keterampilan tertentu. Kalau dalam beberapa tahun yang lalu para ahli pendidikan di Tanah Air berpendapat bahwa dunia pendidikan harus ada hubungannya dengan dunia kerja, yang biasa disebut dengan link and macht; maka Abdullah Syafi'ie dalam dunia pendidikannya, dapat dikatakan telah mendahului ide-ide yang banyak mendapat sambutan saat itu. Dalam berbagai tujuan pendidikan yang dirumuskannya, tampaknya ada keinginan yang kuat untuk membentuk manusia dalam posisi penghambaan diri yang total terhadap Tuhan. Bahkan, lebih jauh lagi ingin menciptakan seseorang yang memiliki kualifikasi ulama, yang setiap kurun apa pun memiliki peran yang sangat penting dan strategis di dalam masyarakat. Dia sangat menyadari, bahwa ulama sebagai penjaga moral masyarakat telah mengalami kelangkaan. Sementara itu, di Jakarta di tempat dia hidup tengah dilanda arus modernisasi yang sangat pesat. Kota Jakarta atau di tengah masyarakat Betawi telah terjadi perubahan besar-besaran baik dalam wujud fisik maupun perubahan terhadap nilai-nilai baru yang dibawa oleh para pendatang domistik maupun orang-orang asing. Nilai-nilai yang mereka bawa terutama dari orang-orang asing, sangat berbeda dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat Betawi. Kemajuan yang dicapai dalam wujud fisik seperti

170

menjamurnya Night Club dan tempat hiburan malam, gedung bioskop dan lainnya. Sementara itu, di masyarakat muncul tantangan untuk menangani bidang-bidang kehidupan yang baru seperti tumbuhnya pabrik-pabrik, industri, sarana transpormasi yang tentu memerlukan keterampilan atau skill. Dalam kerangka itulah Abdullah Syafi'ie mencoba menghadirkan lembaga pendidikannya yang tetap berakar dalam pendidikan Islam, tetapi juga tidak lupa merespons perkembangan yang sangat pesat dari lingkungannya, seperti tergambar pada institusi-institusi pendidikannya. Dari prespektif lain, tujuan pendidikan Abdullah Syafi'ie yang berangkat dari esensi penciptaan manusia berbeda dengan pandangan pendidikan yang berasal dari ahli pendidikan Barat. Banyak pakar pendidikan Barat dalam merumuskan tujuan pendidikannya hanya melihat kebutuhan untuk memenuhi aspek jasmani manusia semata, sementara aspek rohani yang juga melekat pada diri manusia terabaikan.21 Tujuan pendidikan Abdullah Syafi'ie tampaknya dimaksudkan pula untuk merespons dan menstimulus terhadap potensi-potensi yang ada di dalam diri manusia, juga merespons adanya dinamika yang berkembang di dalam masyarakat. Sebagaimana diketahui kehidupan masyarakat dipenuhi oleh persoalan yang sangat kompleks. Berbagai kebutuhan dasariyah manusia harus segera dipenuhi, seperti kebutuhan sandang pangan, papan dan kebutuhan- kebutuhan yang bersifat rekreatif. Selain kebutuhan dasar itu, manusia perlu berkomunitas dan berkomunikasi dengan sesamanya. Selain itu, manusia memerlukan hak-haknya, seperti hak berkumpul, hak berbicara, hak beragama dan lainnya. Semua kebutuhan manusia itu tidak dapat dipenuhinya secara sendiri-sendiri, tetapi harus dipenuhi melalui interaksinya dengan sesama di masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, manusia harus mengerti dan

21 Lihat Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 163. Juga bandingkan dengan pandangan Abdullah Syafi'ie bahwa manusia yang berbakti kepada Allah adalah manusia yang dapat menimbang dengan adil antara kepentingan dunia dan akhirat, rohani dan jasmani, lihat dalam "Sikap Hamba yang Bakti", dalam Kumpulan Khutbah jum'at dan 'Id, (Jakarta: Perg. Al-Syafi'iyah, t.t, ), Juz. II, h. 6.

171

memahami lingkungannva, agar ia dapat hidup sebagai manusia yang berbudaya dan berperadaban. Untuk membentuk kehidupan manusia yang berbudaya dan berperadaban tidak ada jalan lain yang harus dilalui, melalui institusi pendidikan atau pembelajaran. Adanya dinamika yang berkembang di tengah kehidupan manusia atau di tengah masyarakat, mengandung kensekuensi logis, bahwa institusi pendidikan harus pula menyesuaikan dirinya dengan tuntutan yang ada di masyarakat. Bila tidak, institusi pendidikan akan mengalami degradasi peran dan fungsinya untuk membentuk manusia yang memiliki budaya dan peradaban yang tinggi. Demikian pula tujuan pendidikan Islam harus menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan bahkan mengarahkannya agar sesuai dengan masyarakat yang bernaung di bawah Cahaya Ilahi.22 Dari gambaran-gambaran terdahulu dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan Abdullah Syafi'ie demikian maju mengharapkan agar anak didiknya memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum, juga memiliki al-akhlaq al-karimah. Selain itu, diharapkan pula anak didik memiliki skill yang mumpuni atau keterampilan yang memadai agar kelak mereka dapat mandiri di tengah kehidupan masyarakat. Tujuan pendidikannya telah melampau zamannya. Tujuan pendidikan pesantrennya sangat sesuai dengan kondisi masyarakat modern saat ini.

B. Materi Pendidikan Dalam konteks ilmu pengetahuan, Abdullah Syafi'ie memandang semua ilmu dapat dipelajari baik ilmu agama maupun

22 Abdullah Syafi'ie, "Perlunya Memelihara Nur Ilahi", dalam Khutbah Jum'at dan ‘Id (Jakarta: Perg. Al-Syafi'iyah, t.t.) Juz II, h. 19-22. Masyarakat ideal dalam pandangan Ali Syari'ati adalah ummat. Konsep ini menggantikan semua konsep semacamnya yang dalam berbagai bahasa dan budaya menunjuk kepada pengelompokan manusia atau masyarakat, seperti "bangsa, rakyat, masyarakat, suku, dan lain sebagainya". Itulah kata ummat, kata yang sarat dengan semangat progresif serta mengandung pandangan sosial yang dinamis, commited dan ideologis, lihat Ali Syari'ati, Sosiologi Islam, terjemahan dari On the Sociology of Islam, terj. Saifullah Mahyuddin, (Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 159.

172

ilmu umum seperti ilmu kedokteran.23 Oleh karena itu, dalam kaitan dengan materi pendidikan Islam, ia melihat bahwa kandungan pendidikan Islam meliputi disiplin yang luas atau mencakup disiplin ilmu agama maupun disiplin ilmu umum. Pendidikan Islam tidak cukup hanya mengajarkan satu bidang ilmu agama saja, tetapi juga hendaklah mengajarkan bidang ilmu umum pula, bahkan diajarkan pula hal-hal yang bersifat seni dan keterampilan. Hal itu dikemukakan oleh H.M. Amirin berikut: “Pelajaran-pelajaran agama Islam sangat digemarinya, bahkan sejak ia pertama kali mendirikan madrasahnya. Hal ini dapat dilihat dari kegemaran Kyai terhadap mata pelajaran fiqh, tauhid, akhlak dan ilmu alat seperti sharaf dan nahwu”.24 Sejalan dengan perjalanan kehidupannya yang tinggal di kota metropolitan Jakarta, wawasannya semakin berkembang, maka mata pelajaran umum pun mendapatkan perhatiannya. Hal itu terungkap sebagaimana dituturkan oleh H.M. Amirin lebih lanjut: “Kyai semula tidak mengizinkan untuk memberikan mata pelajaran umum, namun lama kelamaan ia mengizinkan siswa menerima pelajaran itu, seperti pelajaran bahasa Inggris, al-jabar dan mata pelajaran umum lainnya”.25 Selain itu, “hal-hal yang bersifat seni atau hal-hal yang menunjang siswa untuk mengekpresikan anleq atau bakat siswa mendapatkan perhatian pula dari Kyai”.26 Kemudian, di Perguruan Al-Syafi'iyah anak didik diberikan pula pelajaran ilmu agama melalui kitab kuning yang diberikan di kelas, seperti kitab al-Nashaih al-Diniyah, Tafsir al-Jalalain, Riyadl al- Shalihin dan banyak lagi.27 Hal yang hampir sama dikemukakan pula oleh Soleh RM berikut;

23 Lihat Abdullah Syafi'ie, Kaset side A, dalam "Kemulyaan al-Qur’an". 24 H.M. Amirin, wawancara. 25 H.M. Amirin, wawancara. 26 H.M. Amirin, wawancara. 27 Belajar menggunakan sistem halaqah untuk mengkaji kitab kuning semula diberikan di Masjid al-Barkah. Namun dengan pertimbangan santri wanitanya, maka pengkajian kitab kuning diadakan di kelas, Nazir, Lc. (pengelola halaqah) tanggal 6 Maret 2000, wawancara.

173

“Lembaga pendidikannya memberikan pelajaran-pelajaran ilmu agama, seperti pelajaran fiqh, tauhid, akhlak dan ilmu alat seperti sharaf dan nahwu”. Kemudian, sejalan dengan berjalannya waktu kyai mengizinkan pula untuk diberikan mata pelajaran umum, seperti bahasa Inggris, aljabar, ilmu ukur dan lainnya. Di samping itu, juga mengkaji beberapa kitab kuning".28 Pandangan Abdullah Syafi'ie tentang materi pendidikan Islam mencakup materi pendidikan yang luas yang tampaknya telah mencakup semua kebutuhan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Hal tersebut sangat sejalan dengan pandangan al- Qur'an yang tidak pernah meletakkan batas atau penghalang jalan bagi manusia untuk menuntut ilmu pengetahuan (Q.S Fushilat, 41: 53). Sejalan dengan ajaran Islam itu pula, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa “materi pendidikan Islam mencakup seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat yang menjadi dasar bagi kemajuan dan kejayaan hidup umat manusia”.29 Selanjutnya, menurut Ibn. Sina, materi pendidikan Islam meliputi pendidikan agama, pendidikan akhlak, pendidikan akal, pendidikan keterampilan, dan pendidikan sosial.30 Demikian pula yang diungkap oleh Mohammad Fadlil al-Ghamaly secara lebih rinci menjelaskan, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang terkandung dalam al-Qur'an yang “meliputi ilmu agama, ilmu sejarah, ilmu falak, ilmu bumi, ilmu jiwa, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu biologi, ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu kemasyarakatan, ilmu ekonomi, ilmu balaghah serta sastra Arab dan ilmu mempertahankan negara dan ilmu yang dapat mengangkat derajat diri manusia”.31 Demikian pula Afzalur Rahman mencoba menghimpun ilmu pengetahuan, seperti “ilmu astronomi, ilmu arkeologi, ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu pendidikan, ilmu

28 Soleh RM, wawancara. 29 Lihat dalam Madjid Irsan al-Kailani, al-Fikrah al-Tarbawi 'inda Ibnu Taimiyah (Madinah: al-Turats, 1979), h. 91 30 Lihat Taisir Syaikhul Ardh, al-Madkhal ila Falsafah Ibn. Sina, (Beirut: Dar Anwar, 1976), h, 331. 31 Mohammad Fadlil al-Ghamaly, al-Tarbiyah al-Insan al-Jadid (Tunis: Mathba'ah al-Ittihad al-'am al-Tunisiyah al-Sighly, t.t.), h. 119.

174

kimia, ilmu biologi, ilmu fisika dan sebagainya yang terdapat dalam al-Qur'an”.32 Dalam konteks ini pula Ibn Khaldun membuat klasifikasi ilmu pengetahuan yang dapat dijadikan materi pendidikan Islam. Pertama, ilmu lisan (bahasa) yang terdiri dari ilmu lughah, nahwu, sharaf, balaghah, ma'ani, bayan, adab (sastra) dan syair. Kedua, ilmu naqli yakni ilmu yang dinukilkan dari al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Ilmu ini terdiri dari ilmu membaca al-Qur'an, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu dasar-dasar istimbath. Ketiga, ilmu 'aqli yaitu ilmu yang bersumber dari hasil pemikiran filsafat, yang termasuk kelompok ini adalah ilmu mantiq, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu teknik, ilmu berhitung, dan ilmu tingkah laku manusia.33 Sementara itu, al-Ghazali membagi ilmu dalam klasifikasi kewajiban mempelajarinya ada dua, yaitu yang pertama termasuk wajib 'ain mempelajarinya seperti ilmu syari'ah, dan wajib kifayah mempelajarinya seperti ilmu-ilmu kontemporer.34 Pandangan beberapa ahli pendidikan Islam di atas termasuk pandangan Abdullah Syafi'ie, melihat materi pendidikan Islam yang dikaji melalui dua sumbernya yaitu al-Qur'an dan Hadits. Hal itu menunjukkan cakupan ilmu yang sangat luas, seluas kemampuan manusia dalam mengungkap misteri alam yang terbentang ini. Selain itu, dalam mempelajarinya tidak membedakan mana ilmu yang sangat penting untuk dipelajari dan mana yang tidak penting, mana yang sangat penting atau wajib 'ain bagi pribadi untuk mempelajari dan mana yang wajib kipayah untuk mempelajarinya, seperti yang menjadi pendapat al-Ghazali tersebut. Pendapat al-Ghazali tersebut tampaknya sangat bias. Karena al-Qur'an sendiri tidak mengisyaratkan hal tersebut. Bahkan, al- Qur'an seperti dalam surat Fushilat di atas, sangat menekankan untuk menuntut semua ilmu pengetahuan. Kalaupun ada bentuk penekanan, paling banter al-Qur'an memerintahkan bagi sebagian orang untuk menuntut ilmu agama, dan jangan semua maju ke

32 Afzalur Rahman, Qur'anic Sciences (Singapura: Pustaka Nasional, 1981), h. 1. 33 Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Mesir: Mathba'ah Mustafa Muhammad, 779 H), h. 400. 34 Abu Hamid al-Ghazali, Ihya 'Ulumuddin (Bairut: Dar al-Fikr, t.t..), h. 56.

175

medan perang (Q.S. at-Taubah: 122). Al-Qur'an tidak membedakan kedua ilmu atau dengan kata lain ajaran Islam tidak membuat dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Bahkan, seperti yang dilihat oleh ahli tafsir di atas memandang ilmu dalam wawasan yang sangat luas dalam bentuk pemetaan ilmu yang bersifat kauniyah dan yang bersifat qur'aniyah, Konsekuensi dari pandangan al-Ghazali tersebut diduga telah mengantarkan umat Islam ke dalam pandangan adanya dikhotomi ilmu.35 Hal itu semakin jelas dengan adanya ilmu-ilmu agama seperti ilmu f'iqh, tauhid, akhlak pada satu sisi, dan pada sisi yang lain ada pula mata pelajaran umum seperti ilmu matematika, kimia, kedokteran dan sebagainya. Lebih jauh lagi, dikhotomi ilmu tergambar pula dalam bentuk institusi pendidikan, ada bentuk pendidikan madrasah, pesantren, ada pula bentuk sekolah yang khusus belajar ilmu pengetahuan umum. Padahal, sebagaimana diketahui bahwa dalam perjalanan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan Islam yang pernah membentuk peradabannya, ilmuwan Islam seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan lainnya, mereka bukan saja dikenal sebagai fuqaha atau teolog, tetapi mereka juga menguasai ilmu kedokteran, menguasai filsafat, menguasai astronomi, menguasai ilmu sejarah. Ibn Sina selain dikenal sebagai ulama juga dikenal sebagai pakar kedokteran, begitu pula dengan Ibn Rusyd.36 Kemudian lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang di Spanyol, daerah yang pernah berada di bawah kekuasaan Islam, seperti di Cordova, Sevilla, Salamanka, Granada, dan lainnya, adalah lembaga pendidikan Islam yang di

35 Lihat Amrullah Ahmad, "Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam", dalam Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 53. 36 Ibnu Sina, nama lengkapnya Abu Ali al-Husein Ibn. Sina. Di Barat, ia dikenal dengan nama Avicenna. Lahir dekat Buchara dan meninggal tahun 428H/1037M. Karyanya dalam bidang kedokteran dan banyak memberi inspirasi dasar dalam kemajuan ilmu kedokteran Eropa, yaitu Kitab al-Syifa dan al-Qanun fi al-Thibbi. Adapun Ibn Rusyd, nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, ia dikenal sebagai Averrus. la dilahirkan di Cordova tahun 520H/ 1126M. la sangat dikagumi baik di dunia Islam maupun di dunia Barat. Dalam bidang kedokteran, ia menulis buku al-Kulliyat fi al-Thibbi. Lihat Tim Penyusun Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Binbaga Islam, 1981), h. 161-163.

176

dalam kurikulumnya tidak memisahkan antara pelajaran agama dengan pelajaran ilmu umum. Pandangan seperti itu menyebabkan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam mengalami “kemandekan”. Sementara itu, dunia ilmu pengetahuan di negara-negara Barat mengalami kemajuan yang pesat, bahkan mereka telah menjadi “kiblat” dunia dalam pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk “kiblat” dunia Muslim. Dalam ilmu ekonomi mereka mengembangkan sistem ekonomi liberalisme atau kapitalisme yang hampir semua negara di dunia menganutnya.37 Karena sistem ekonomi liberalisme telah senyatanya memberikan kesejahteraan kepada rakyat bagi negara yang menganutnya, terutama di negara-negara Barat. Dalam bidang rekayasa teknologi mereka telah mencapai kemajuan teknologi yang tiada tara, mereka mampu menciptakan pesawat udara yang kecepatannya mampu melampaui kecepatan suara dan mereka telah mencapai planet yang jaraknya sangat jauh dari bumi, yang beberapa dekade yang lalu hanya bersifat hayal. Dalam bidang teknologi informasi mereka telah menemukan dan mengembangkan alat informasi yang canggih, sehingga dunia yang luas dan lebar dapat dibuat menjadi kecil, atau dalam istilah Yasraf Amir dunia dapat dilipat.38 Sehingga, berbagai peristiwa yang jauh jaraknya hanya dalam hitungan menit bahkan detik telah dapat diketahui. Dalam bidang pengembangan demokrasi dan penghormatan terhadap hak- hak asasi manusia (HAM), mereka telah menjadi “kiblat” negara- negara seluruh dunia. Namun demikian, ternyata kemajuan yang telah dicapai, telah pula mengantarkan nestapa kemanusiaan di belahan bumi yang lain. Pengembangan ilmu pengetahuan telah menyerap dana trilyunan dolar yang dikeluarkan oleh negara-negara besar, yang sebagian besar dana tersebut merupakan hasil eksploitasi dari Dunia Ketiga. Dari hasil-hasil eksploitasi itu pula telah mengantarkan kehidupan

37 Lihat Fachry Ali, Islam, Ideologi Dunia dan Dominasi Struktural (Bandung: Mizan, 1984), h. 83-118. Lihat pula Muhammad Quthub, "Islam dan Kapitalisme", dalam Salah Paham Terbadap Islam, (Bandung: Pustaka, 1982), h. 118-128. 38 Lihat Yasraf Amir Pilliang, Sebuah Dunia Yang Dilipat (Bandung: Mizan, 1998).

177

rakyat mereka mengalami kesejahteraan yang berganda dibandingkan dengan masyarakat Dunia Ketiga. Sementara itu, di negara-negara yang masih terbelakang, alih-alih mereka mengembangkan ilmu pengetahuan dan melakukan penelitian yang bersifat unggulan, untuk memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya sungguh sangat sulit. Akibat dari “ego” mereka untuk terus mengembangkan ilmu dan teknologi, seperti mengembangkan pesawat udara yang dapat sampai ke planet, yang menguras dana yang sangat besar; telah membuat mereka kehilangan kesadaran. Bahwa masih banyak manusia yang lain yang umumnya di Dunia Ketiga seperti yang terjadi di negara-negara Afrika, menderita lapar, kekurangan gizi, dan dalam frekwensi yang besar dan hampir di setiap harinya mereka meninggal dunia. Dunia Barat yang menyatakan dirinya sebagai negara modern dan menjunjung tinggi hak-hak dasar manusia, ternyata memiliki pandangan “nasionalisme yang sempit”. Sementara itu, di dunia Islam dengan cara pandang adanya dikhotomi ilmu tersebut mengalami “kemandekan” dalam pengembangan ilmu dan teknologi, dan bahkan kini dalam banyak hal “mengekor” ke dunia Barat. Menyadari hal itu, umat Islam perlu mengkaji dirinya dan melihat kembali esensi ajaran Islam yang sebenarnya memandang dunia dalam bentuk yang utuh atau holistik.39 Untuk keperluan itu, ilmu harus dipandang tidak dikhotomik semua ilmu yang memberikan manfaat pada manusia dalam kehidupannya penting dipelajari oleh semua Muslim. Sebagai respon adanya ekses negatif dari berbagai pengembangan ilmu dan teknologi Naquib al-Attas dan Ismail al- Faruqi memandang perlunya melakukan upaya Islamisasi ilmu.40 Mengapa pula kemajuan ilmu, teknologi dan informasi yang telah diciptakan dunia Barat sekarang ini, justru tidak membawa dunia

39 Lihat Ja'far Idris, Islam dan Perubahan Sosial, (terj.) Rahmani Astuti dari Islamic Social Science,(Bandung: Mizan, 1984), h.20. 40 Isma'il al-Faruqi, "Islamization of Knowledge: Problems, Principles and Prospektif, " dalam Islam: Source and Purpose of Knowledge, (Herndon: IIIT, 1988), h. 23. Lihat pula Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education, (Malaysia: ABIM, 1991), h. 39.

178

semakin damai, tetapi justru membawa manusia saling menghancurkan dan bahkan merendahkan martabat manusia pada titik yang rendah?41 Barat memang telah mencapai kejayaannya. Akibat kejayaan yang diperoleh telah membawa mereka terjebak kepada kekaguman yang tinggi terhadap dirinya sendiri (narsisisme) atau akalnya semata. Kekaguman itu telah melampaui kewajaran, sehingga menganggap dirinya mampu memecahkan segala masalah yang dihadapi. Akibat yang lebih jauh lagi telah membawa mereka sangat percaya kepada kemampuan diri, dan secara tidak disadari pula mereka semakin tidak percaya kepada kekuatan yang berada di luar dirinya, seperti adanya Kemahakuasaan Tuhan. Mereka tidak percaya lagi kepada sesuatu yang bersifat metafisika dan hal-hal yang bersifat transendent; dan mereka hanya percaya kepada sesuatu yang nyata atau yang bersifat empiris dan positivistik. Mereka semakin jauh dari ajaran agama yang berasal dari Tuhan, juga semakin jauh mencampakkan nilai-nilai moralitas dan nilai-nilai yang berasal dari ajaran agama. Mereka tidak mempedulikan lagi nilai-nilai utama seperti nilai perkawinan. Mereka memandang perkawinan hanya menambah beban kehidupannya. Jadilah kehidupan mereka diisi dengan kehidupan bersama, tanpa diikat oleh tali pernikahan atau mereka hidup dengan cara semen leven, kumpul kebo, seks bebas yang dilakukan sebagai sesuatu yang sudah biasa, mereka lakukan hal itu tanpa merasa berdosa sedikit pun. Belajar dari berbagai gejala yang menurunkan martabat kehidupan umat manusia itu, timbul kesadaran para pemikir di atas untuk merekonstruksi kembali ilmu-ilmu Islam yang diwarisi oleh Barat, yang telah mereka reduksi tanpa nyawa spiritual. Barat telah memisahkan nilai-nilai spiritual dari ilmu, atau ilmu-ilmu yang mereka pelajari dan kembangkan kering dari nilai-nilai moral, karenanya mereka katakan, ilmu, netral nilai atau bebas nilai.42

41 Lihat Hasbi Indra, "Diskursus Pendidikan Islam Kontemporer", dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (ed.) Abuddin Nata, (Jakarta : Grasendo, 2001), h. 298-304 42 Hasbi Indra, "Diskursus..", h.. 299.

179

Pandangan ini ternyata secara tidak sadar banyak pula dianut oleh ilmuwan Islam, mereka terkooptasi dengan pandangan tersebut. Dunia Islam, setelah Barat mengambil alih perkembangan ilmu dan teknologi, menjadi pihak yang inferior. Para ilmuwannya kehilangan orientasi keilmuan, generasi mudanya kehilangan jatidirinya, dan mereka banyak mengikuti pola kehidupan model Barat, baik gaya budaya maupun model berpikirnya. Bukan hal yang aneh di dunia Islam muncul para penganjur untuk mengekor ke Barat, seperti yang dilakukan oleh Kemalis di Turki yang menyatakan, “jika negeri Islam ingin maju tirulah pola kehidupan mereka (orang Barat) seutuhnya”.43 Dunia Islam, akhirnya sangat sulit keluar dari kerangkeng Barat yang hegemonik. Sebenarnya, Barat tidak sepenuhnya dapat disalahkan dengan keringnya epistemologi ilmu dari nilai-nilai moral, karena dalam Islam sendiri telah lama muncul adanya pengkotakan ilmu, seperti yang diungkap di atas. Namun, bila dicermati dengan sungguh- sungguh, al-Ghazali tidak bermaksud sejauh itu, agar ilmu terkotak- kotak atau agar keilmuan dalam Islam mengalami kemandekan. Al- Ghazali sebagai ilmuwan agama hanya ingin mengembalikan agar nilai-nilai agama tetap bersemi dalam lubuk hati setiap umat. Hal itu hanya dapat bersemi melalui kajian terhadap ilmu-ilmu agama Islam, yang waktu itu mungkin, kecintaan terhadap ilmu agama Islam semakin berkurang, dan mereka sangat concern dengan ilmu filsafat yang bersifat helenisme.44 Pandangan al-Ghazali itu sesuai dengan konteks sosial yang ada. Namun karena al-Ghazali adalah seorang ilmuwan yang terkenal dan dipandang sebagai Hujjah al-Islam, ada yang melihat teorinya secara ad-hoc, tanpa ada sikap kritis, dan membawa pandangan mereka, bahwa ilmu yang sangat penting adalah ilmu agama, sementara itu ilmu umum adalah ilmu yang tidak penting. Apalagi pada saat dunia Islam banyak mengalami penjajahan dari negara-negara barat, ilmu-ilmu umum diidentikkan

43 Bahasan lebih lengkap tentang Turki Modern, lihat Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern (Jakarta: Jembatan, 1994). 44 Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), cet-ke.2, h. 218. Lihat pula dalam Khazanah lntelektual lslam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 27.

180

dengan ilmu orang kafir dan haram untuk mempelajarinya, karena dipandang sebagai alat untuk mengokohkan penjajahan mereka di dunia Muslim. Pandangan yang mengidentikkan ilmu-ilmu umum dengan negara penjajah, semakin memerosokkan umat Islam ke dalam pandangan yang salah tentang ilmu. Sebagai konsekuensinya banyak orang Islam yang memilih sekolah pesantren atau sekolah agama, dan memandang sekolah umum atau mata pelajaran umum sebagai sekolah atau mata pelajaran dari kaum penjajah yang kafir. Pandangan yang menempatkan ilmu agama dan ilmu umum dalam tataran yang sama telah menjadi pandangan Abdullah Syafi'ie. Secara lebih jelas dapat dilihat dari komposisi bagaimana materi pendidikan/mata pelajaran pada tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah di madrasahnya sebagai berikut ini: Materi pendidikan tingkat Ibtidaiyah ialah: al-Qur'an, Tauhid, Fiqh, Nahwu, Sharaf, Bahasa Arab, Tajwid, Qiraah, Imlak, Insya, Akhlak, Sejarah Islam, Muhadatsah, Mahfuzhat, al-Khat Arab/Latin, Tafsir, Hadits, Babasa Indonesia, Berhitung, Ilmu Bumi, Pengetahuan Alam. Kemudian pada tingkat Tsanawiyah, materi pelajarannya adalah: Tafsir, Musthalah Hadits, Tauhid, Fiqh/Ushul Fiqh, Sejarah Islam, Akhlaq, Nabwu Sharaf, Babasa Arab, Balaghah, Babasa Indonesia, Babasa Inggris, Sejarah Dunia, Ilmu hayat, Al-jabar, Ilmu Administrasi, Ilmu Ukur, Ilmu Alam, Ilmu Pendidikan, Kesenian. Selanjutnya untuk materi pendidikan tingkat Aliyah, ialah: Ushul Fiqh, Perbandingan Agama, Tafsir, Tauhid, Insya', Balaghah, Sejarah Hukum Islam, Ilmu Pendidikan, Babasa Inggris, Babasa Indonesia, PSPB, Antropohgi dan Kewarganegaraan.45 Dari gambaran-gambaran tersebut dapat dikatakan dalam pandangan Abdullah Syafi'ie, materi pendidikan Islam telah meliputi aspek yang luas, seluas kebutuhan-kebutuhan manusia pada masanya. Kemudian, pandangan Abdullah Syafi'ie tersebut bila dianalisa lebih lanjut berangkat dari kandungan pesan yang terkandung dalam al-Qur'an telah meliputi segala aspek kehidupan

45 Lihat, Abdullah Syafi'ie, al-Muassasat al-Syafi'iyah al-Ta'lim-iyah, (Jakarta: t.p. t.t. ), h. 12-14.

181

manusia baik di dunia maupun di akhirat yang dikemas dalam iman, akhlak, ilmu, dan ‘amal. Implementasi dalam kehidupan tampak bahwa iman merupakan pembenaran yang dimanifestasikan dalam perkataan dan perbuatan. Ilmu adalah sarana untuk mengenal Tuhan, mengetahui berbagai benda alam serta mampu mengolahnya untuk kehidupan umat manusia. Sementara itu, manusia dalam kehidupannya dituntut untuk menampilkan sosok manusia yang paripurna atau manusia yang memiliki budi pekerti, sehingga dia menjadi rahmat bagi lingkungannya. Manusia yang ber-akhlak merupakan bentuk nyata dari pengamalan agama yang diyakininya. Sebagai manusia yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya, dia tidak segan pula melakukan ‘amal-‘amal sosial untuk kepentingan bersama.46 Dilihat dari substansinya, maka keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan dan saling terkait. Iman merupakan sumber utama yang berperan menjadi pengarah atau pedoman bagi manusia dalam menuntut ilmu, juga dalam rangka menempatkan dirinya berinteraksi sesamanya dengan akhlaknya yang mulia, serta dalam melakukan ‘amal-amal yang bersifat sosial. Dengan demikian iman merupakan dasar dari akhlak mulia, akhlak mulia merupakan dasar dari ilmu yang benar, dan ilmu yang benar merupakan dasar dari 'amal shalih. Kemudian, dalam bentuk penerapannya di institusi pesantren tampak jelas tergambar dalam kurikulumnya. Di pesantren sebagaimana biasanya mengajarkan ilmu-ilmu agama untuk memperkuat keimanan anak didik, mengajarkan ilmu agama tentang bagaimana mengimplementasikan rasa keimanan kepada Tuhan dengan jalan melaksanakan perintahNya dalam bentuk ibadah mahdlah, juga mengajarkan ilmu-ilmu yang menyangkut perilaku terhadap sesamanya. Selain itu, diajarkan pula ilmu-ilmu umum, dimaksudkan agar manusia dapat mengelola kehidupan, dimana ia

46 Amal sosial ini menjadi perhatian Abdullah Syafi'ie. Contoh yang berkaitan dengan institusi pendidikannya, di pesantrennya biasanya ada hari libur nasional, namun demi untuk tujuan sosial dia tetap menetapkan siswa masuk, sekalipun hanya masuk setengah hari, agar para pedagang yang ada di sekitar pesantrennya tetap dapat berdagang kepada para siswa. H.M. Amirin, wawancara.

182

memerlukan kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti pangan, papan, dan sebagainya. Dari gambaran terdahulu dapat dikatakan, bahwa pemikiran Abdullah Syafi'ie dalam kandungan pendidikan ini menggambarkan pemikiran yang dapat merespon kurun apapun serta sesuai dengan tuntutan masa kini, sekalipun ia masih tetap berakar dengan sistem pendidikan tradisionalnya sebagai ciri khas pendidikan Islam.

C. Metode Pendidikan/Pengajaran Sebagai seorang pendidik dan sekaligus da'i, Abdullah Syafi'ie tentu saja menggunakan metode pendidikan yang tidak jauh dari semangat ayat al-Qur'an yang mengajak umat manusia dengan cara bi al-hiknah wal mau 'izhah al-hasanah (Q.S. al-Nahl, 125). Metode pendidikannya sejalan dengan cara memandang menusia di era modern yang memandang manusia pada tataran yang sama yang harus dihargai eksistensinya. Pada tingkat penerapan, metode yang digunakannya adalah metode talqin, diskusi, metode penugasan, bimbingan, dan metode lainnya. Metode talqin sangat disenangi oleh Abdullah Syafi'ie.47 Metode ini dilakukan dengan terlebih dahulu memperdengarkan bacaan oleh salah seorang murid yang agak pandai baru diikuti oleh yang lainnya. Langkah ini dalam sistem pendidikan modern dengan istilah sistem tutor sebaya, suatu sistem yang mencoba memanfaatkan peserta didik yang agak pandai untuk membantu temannya yang agak tertinggal. Kemudian, Abdullah Syafi'ie menggunakan metode diskusi. Metode ini sering digunakan pula oleh Abdullah Syafi'ie pada siswa- siswi tingkat akhir di kelas, untuk mendiskusikan suatu masalah yang sedang dibaca di suatu kitab. Hal tersebut tergambar sebagaimana dituturkan oleh Soleh RM berikut ini: “Diskusi terhadap berbagai masalah dilakukan, namun ada suatu hal yang tidak boleh dibicarakan oleh anak didik, masalah tentang dzat Tuhan sama sekali tidak perlu dibicarakan. Hal tersebut diduga kuat kyai mengamalkan salah

47 Zulfahmi, tanggal 4 Januari 2000, wawancara.

183

satu hadis Rasul yang diriwayatkan oleb Abu Naim: Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah dan jangan memikirkan Dzat Allah, sebab kamu tidak mampu melakukannya”.48 Kemudian, ia juga menggunakan metode Penugasan. Abdullah Syafi'ie terkadang menggunakan metode penugasan kepada anak didik. Anak didik diberi tugas untuk mengulangi kembali mata pelajaran yang diberikannya, untuk diulang kembali pada pertemuan berikutnya. Dengan melakukan metode ini, dia sangat mengharapkan anak didik benar-benar menguasai materi-materi yang sudah dipelajarinya.49 Selain itu, digunakan pula metode pemagangan. Dalam sistem pendidikannya digunakan pula metode pemagangan, di mana anak didik dapat menerapkan ilmu yang telah dipelajarinya dari ruang pendidikan. Metode ini digunakan bagi siswa yang telah menyelesaikan pendidikannya, apakah ia mengambil spesialisasi pendidik atau spesialisasi mubaligh.50 Juga Abdullah Syafi'ie menggunakan metode pengulangan. la sangat mementingkan pemahaman siswa terhadap pelajaran yang ia berikan. Oleh karena itu, pada suatu pertemuan, siswa akan diminta lagi mengulangi pelajaran atau bacaan yang sudah dilakukan minggu sebelumnya. Baginya mengerti terhadap makna kata dari apa yang dibacanya sangat penting, untuk pemahaman dan pengertian terhadap substansinya akan mudah diperoleh oleh siswa. Sebagaimana diungkap Soleh RM berikut: “Para siswa ketika mata pelajaran Kyai, selalu bersiap-siap dengan hati yang berdebar, kira-kira siapa yang akan ditunjuknya untuk membaca kembali teks kitab yang telah diberikannya beberapa hari sebelumnya. Maka, selalu ditawarkannya siapa yang akan membaca. Bila ada yang mengangkat tangan dan lancar membaca serta benar, maka siswa lain ikut senang, karena pelajaran berarti akan diteruskan, Namun, bila tidak ada yang menunjuk tangan

48 Soleh KM, wawancara. 49 Soleh R.M, wawancara. 50 Lihat Abdullah Syafi'ie, “Berkenalan, hal. 5

184

maka Kyai akan menunjuk seseorang, tapi bila yang ditunjuk tidak bisa, maka rasa gusar dan marahnya akan tampak, karena siswa belum sungguh-sungguh dalam belajarnya, dan itu pertanda pelajaran tidak akan lanjut pada bahasan berikutnya”.51 Metode lain yang menonjol dari yang bersangkutan adalah penguasaannya terhadap siswa, sepanjang waktu pelajaran yang diberikannya, dia tetap berdiri, yakni tidak menggunakan tempat duduk yang tersedia, tetapi ia mengitari kelasnya.52 Kemudian, ia menggunakan metode evaluasi. Metode ini digunakan untuk mengecek kemampuan siswa dalam penguasaan ilmunya, atau sekaligus mengecek kemampuan guru dalam mengajar anak didik. Dengan metode ini, anak didik dan guru terpacu dan bersungguh-sungguh dalam belajar dan mengajar, karena pada saat tertentu kyai Abdullah Syafi'ie akan melakukan pengecekan mendadak. Pada saat pengecekan itu siswa merasa bergetar di dalam hatinya.53 Metode ini digunakannya pula untuk mempersiapkan seseorang untuk menjadi pendidik yang menguasai kitab kuning. Dia memanggil seseorang pada waktu malam, diminta membaca sebuah kitab dan mengambil pengertiannya. Hal ini diungkap oleh Abdurrahman berikut: “Beberapa orang siswa diminta Kyai untuk datang kerumahnya untuk membaca kitab kuning secara benar, tidak lupa pada saat itu kopi dan makanan kecil telah tersedia. Pada saat menjelang malam bacaan terus dilakukan oleh seorang siswa, Kyai sudah tampak mengantuk, namun di tengah kantuk dan pejaman matanya, pada saat kami salah membaca maka muncullah reaksi beliau dan membenarkan bacaan yang salah”.54 Abdullah Syafi'ie juga terkadang menggunakan metode motivasi berupa pujian yang tidak berlebihan, seperti yang diungkap

51 Soleh RM, wawancara. 52 Soleh RM, wawancara. 53 Soleh RM, wawancara. 54 Abdurrahman, tanggal 13 Maret 2000, wawancara.

185

oleh H.M. Amirin berikut: “Kyai memberi tugas untuk membaca teks sebuah kitab di antara siswanya, ketika tidak ada seorang yang mengangkat tangan dia akan menunjuk seseorang di antara kami, ketika seseorang disuruh membaca dengan suara lantang, maka ia memberi pujian dan terkadang dengan membaca suatu do'a.55 Selanjutnya, ia menggunakan pula metode bimbingan dan Teladan. Metode ini sangat melekat dalam dirinya sebagai seorang ulama, yang senantiasa memberi teladan bagi umat sekitarnya. Hal itu diperoleh dari ungkapan Abdurrahman berikut ini: “Kyai banyak memberikan teladan dan bimbingan kepada anak didik. Teladan dan bimbingan untuk disiplin melaksanakan shalat subuh sudah biasa baginya. Kyai langsung mengingatkan atau membangunkan anak didik untuk segera bersiap-siap melaksanakan shalat subuh itu”.56 Hal yang sama diungkap oleh Amirin: “Kyai, seringkali mengunjungi murid-muridnya di tempat tinggalnya dan kemudian mendo'akan muridnya, dan bahkan terkadang Kyai memberikan barang-barang berupa kain untuk diperdagangkan, maksudnya agar muridnya nantinya dapat berdagang”.57 Dalam konteks metode pendidikan Islam ini para ahli pendidikan Islam mengemukakan pendapatnya. Misalnya Hasan Langgulung berpendapat ada tiga metode pendidikan yang harus diperhatikan, yaitu: Pertama, memperhatikan kemampuan anak didik. Seorang harus membatasi dirinya dalam bicara terhadap anak didik sesuai dengan kemampuan mereka dan memulai dari materi pendidikan yang paling mudah kemudian baru yang rumit. Kedua, memperhatikan fitrah anak didik. Prinsip ini mengesankan bahwa anak didik pada umumnya suka disayang, disapa dengan lembut, guru menghindari dari sikap marah dan berlaku kasar terhadap anak didik. Ketiga, mengembangkan sikap sportifitas, agar anak didik dapat menyadari sendiri perbuatannya. Bila anak didik melakukan kebaikan diberi pujian atau ganjaran, tetapi bila ia membuat kesalahan dapat diberi hukuman.58

55 H.M.Amirin, wawancara 56 Abdurrahman, wawancara 57 H.M. Amirin, wawancara. 58 Hasan Langgulung, Manusia, h. 40.

186

Bagi Fadil al-Ghamaly metode pendidikan Islam adalah: “Motode praktik, metode repitisi, metode diskusi ilmiah, metode tanya jawab, metode historis, metode pemberian kesan dalam jiwa dan pengaruh dalam perasaan, metode ceramah, metode nasihat, metode perumpamaan, metode perbandingan, metode pemberian contoh, metode pemberian motivasi, metode pemberian bimbingan dan metode pemberian ampunan atau taubat”.59 Bila dibandingkan dengan pandangan dari dua pakar pendidikan Islam di atas, maka metode pendidikan Islam yang diterapkan oleh Abdullah Syafi'ie banyak memiliki kesamaan. Abdullah Syafi'ie misalnya telah menerapkan metode diskusi pada anak didik di kelas tertentu dengan materi yang dibatasi yang tidak membicarakan masalah yang berkaitan dengan dzat Allah, seperti yang telah diungkap oleh Soleh RM itu.60 Hal itu berarti Abdullah Syafi'ie telah memahami keterbatasan kemampuan yang dimiliki anak didik seperti yang telah dianjurkan oleh Hasan Langgulung tersebut. Demikian pula Abdullah Syafi'ie telah menggunakan metode- metode seperti yang telah disebutkan seperti metode diskusi, pengulangan, penugasan, metode bimbingan, di mana metode- metode yang diterapkan oleh Abdullah Syafi'ie memiliki kesamaan atau memiliki semangat yang sama dengan pandangan-pandangan yang telah diungkap Al-Ghamaly tersebut. Metode yang digunakan Abdullah Syafi'ie terkesan dinamis, demokratis dan penuh kebijaksanaan, Dengan berbagai metode yang digunakan itu seorang guru tidak akan bertindak otoriter atau diktator atau memaksakan kehendak dan kemauannya terhadap anak didik. Dengan metode itu pula seorang guru tidak melihat muridnya seperti majikan melihat pembantunya, tidak juga melihat murid sebagai obyek semata-mata, tetapi ia melihatnya sebagai

59 Muhammad Fadlil al-Ghamaly, al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur'an, terj. Asmuni S, (Jakarta: Pustaka Kausar, 1995), h. 105-106. 60 Sebagaimana yang telah diakui pula oleh Tutty Alawiyah bahwa ayahnya sering menulis di beberapa kitab dengan ungkapan: "semoga anakku tidak membaca kitab ini", wawancara.

187

obyek sekaligus sebagai subyek. Hal tersebut sangat sejalan dengan visi pendidikan dunia modern yang melihat guru tidak lagi sepenuhnya mempunyai tanggung jawab dalam belajar mengajar, tetapi tanggung jawab itu diserahkan pula kepada si murid.

D. Karakteristik Pendidik/ Ustadz Guru atau ustadz merupakan komponen yang sangat penting dan menentukan dalam proses pendidikan Islam. Menurut Abdullah Syafi'ie guru bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi juga pembentuk watak, karakter dan kepribadian anak didik. Selain itu, untuk dapat mencapai tujuan pendidikan di perguruannya, menurutnya, sangat dibutuhkan guru-guru yang berpaham agama “ahl al-sunnah wa al- jama'ah”, berakidah yang jelas, berilmu serta senantiasa meningkatkan ilmunya, memiliki jiwa yang ikhlas, dan bersikap bijak.61 Dalam konteks paham keagamaan seorang guru ini dapat dipahami dari ungkapan, Soleh RM berikut ini: “Seorang guru yang mengasuh mata pelajaran agama seperti mata pelajaran fiqh, tauhid, akhlak dan sebagainya, dipersyaratkan untuk memiliki paham keagamaan “ahl al- sunnah wa al-jama'ah”, sesuai dengan nama perguruan yang menyebut dirinya sebagai Perguruan al-Syafi'iyah. Namun, untuk guru yang mengajar ilmu pengetahuan umum seperti

61 Bandingkan dengan Arief Rachman, Tahun 2005 Kita tak Punya Guru", Republika, 1 Mei 2000, h. 13. Lihat pula Zakiah Daradjat dkk., Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 29. Islam menempatkan guru pada posisi terhormat. Guru adalah Bapak spiritual anak didik, ia mengisi jiwanya dengan ilmu pengetahuan dan akhlak yang baik. Melalui bimbingan guru anak didik akan menjadi dewasa baik dari segi jasmani maupun rohani. Dalam perjalanan sejarah guru telah menorehkan perannya dalam membentuk para raja atau pemimpin negara. Dalam sejarah Mesir kuno guru adalah filosof, mereka menjadi guru sekaligus filosof, mereka menjadi guru sekaligus menjadi penasihat raja. Kata-kata guru menjadi pedoman bagi raja. Dalam sejarah Yunani kuno tercatat para filosof seperti Socrates, Plato dan Aristoteles sebagai guru yang mempengaruhi perjalanan sejarah Yunani. Aristoteles guru Iskandar Zulkarnain yang kemudian menjadi Kaisar Yunani, karena keberhasilannya sebagai guru, ia disebut sebagai Guru Pertama oleh para filosof Arab. Lihat al- Tibawi, Islamic Education, (London: Luzac, 1978), h. 38. Lihat pula Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 132.

188

mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, Sejarah dan sebagainya, guru itu tidak perlu memiliki paham keagamaan al-Syafi'iyah”.62 Hal yang sama telah diungkapkan pula HM. Amirin berikut: “Guru agama, yang diutamakan Abdullah Syafi'ie adalah guru yang berlatar belakang madzhab Syafi'i dalam pandangan keagamaannya, dan ini menjadi persyaratan penting baginya. Namun, bagi guru yang mengasuh mata pelajaran lain seperti mata pelajaran Bahasa Inggris, Kimia dan lainnya mendapat pengecualian, guru-guru itu dapat datang dari madzhab mana saja. Hanya saja mereka tidak diperkenankan untuk membawa pandangan madzhab-nya ke siswa.63 Hal senada diungkapkan pula oleh Abdurrahman berikut: “Kyai dalam pandangan keagamaannya sangat kuat memegang madzhab Syafi'i. Begitu pula dalam pendidikannya, seorang guru yang dapat diterima mengajar mata pelajaran agama adalah guru yang berpaham madzhab Syafi'i, kecuali bagi guru yang mengasuh mata pelajaran umum, mereka dapat berasal dari pandangan keagamaan lainnya, namun dengan syarat mereka tidak membawa pandangan madzhabnya ke perguruan”.64 Komitmennya terhadap madzbab al-Syafi'i sangat kuat. Hal ini tergambar dari lembaga pendidikannya yang mengambil nama al- Syafi'iyah. Penamaan itu selain wujud kenangan untuk orang tua yang membesarkannya, dan memberinya se bidang tanah untuk mendirikan madrasah; dan sekaligus pula wujud madzhab yang dia cintai dan banyak dianut di negara ini. Pandangan keagamaan ini

62 Soleh RM, wawancara. 63 Dalam khazanah fiqh, ada banyak madzhab fiqh, namun 4 madzhab fiqh yang masih eksis dan banyak dianut di dunia Islam saat ini, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Hambali dan madzhab Syafi'i. Madzhab Syafi'i yang banyak dianut di Indonesia, yaitu suatu madzhab yang dipelopori oleh Imam Syafi'i, lihat Munawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955), h.149. 64 Abdurraahman, wawancara

189

sangat mewarnai semua aspek di lembaga pendidikannya. Namun, betapa pun kokohnya ia dalam memegang madzhab Syafi'i, tidak membuatnya bersikap eklusif dalam pergaulan di tengah masyarakat, pergaulannya demikian luas, melintasi berbagai aliran keagamaan yang ada.65 Selain itu, dalam masalah akidah pendidik, bagi Abdullah Syafi'ie diperlukan akidah yang jelas dan mantap dan ia sangat memprihatinkan guru-guru yang tidak memiliki kejelasan akidahnya, sebagaimana dia ungkap berikut ini: “Pada saat ini masyarakat seakan kembali ke masa jahiliyah di saat Nabi Muhammad dibangkitkan. Untuk membentuk masyarakat yang berjiwa tauhid, dapat dimulai melalui pendidikan agar anak didik memiliki tauhid yang benar. Namun, bagaimana anak didik memperoleh tauhid yang benar kalau saat ini akan diterapkan oleh pemerintah, bahwa anak didik akan menerima mata pelajaran berbagai agama, yang tentu diberikan oleh guru yang tidak jelas akidahnya. Maka, bagaimana anak didik akan mendapatkan akidah yang benar kalau pelajaran agama diberikan oleh guru-guru yang tidak jelas akidahnya itu”.66 Akidah yang dipersyaratkan oleh Abdullah Syafi'ie adalah akidah Islamiyah, yaitu seorang guru yang berakidah tauhid. Akidah tauhid adalah akidah di mana seseorang meyakini benar dan sungguh-sungguh bahwa Tuhan Maha Esa, Tuhan tidak bersyarikat, Tuhan tidak beranak dan diperanakkan.67 Ajaran Tauhid di dalam Islam merupakan ajaran yang fundamental. Dalam pandangan seorang Muslim, seorang yang memiliki akidah yang bertentangan dengan ajaran tauhid, ia akan menanggung dosa besar sebagai dosa yang tidak terampuni oleh Allah. Perlunya akidah yang kuat dan benar ini, semakin penting di saat pihak-pihak penguasa yang mencoba untuk menggantikan pelajaran agama dengan pelajaran budi pekerti, dan

65 KH. Abdul Hakim, wawancara. 66 Abdullah Syafi'ie, "Tentang Zaman Jahiliyah", Kaset, Side A 67 Q.S. al-Ikhlas, 1-5.

190

menggantikannya dengan memberikan pelajaran agama kepada semua kelompok agama yang disebut dengan “Panca agama”. Sehingga, dengan demikian nantinya agama Islam dapat diajarkan oleh orang yang bukan Muslim, yang tentu saja subyektivitas keyakinan agamanya akan muncul dengan menjelekkan agama lainnya. Itulah yang mendasari keprihatinan Abdullah Syafi'ie terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.68 Kemudian, guru yang mengajar di institusi pendidikannya haruslah sosok yang memiliki banyak pengetahuan tentang ilmu agama Islam, apakah itu ilmu fiqh, tauhid, akhlak. Hal tersebut terungkap seperti yang dikatakan oleh Soleh RM berikut: "Guru di perguruan al-Syafi'iyah sangat dianjurkan untuk menguasai banyak bidang ilmu agama Islam. Hal ini sebagai hukum yang tidak tertulis di mana guru-gurunya harus menguasai berbagai ilmu agama, seperti mata pelajaran fiqh, tauhid, hadist, akhlak”.69 Guru yang seperti itu sangat berguna ketika seorang guru yang bertugas sedang berhalangan, pelajaran tetap berjalan. Hal yang sering terjadi di mana seorang guru mengajar di tiga kelas sekaligus, seperti ungkapan Soleh R.M. berikut: “Pada mata pelajaran tertentu yang seharusnya diisi oleh seorang guru yang bertugas, namun karena yang bersangkutan berhalangan, guru yang bertugas di perguruan al-Syafi'iyah harus mengisi mata pelajaran yang kosong di kelas yang lain. Hal yang sering terjadi, di mana seorang guru pernah memberikan mata pelajaran pada tiga kelas dalam waktu yang bersamaan.”70 Di institusi pendidikan al-Syafi'iyah selain diberikan mata pelajaran agama, juga diberikan mata pelajaran umum seperti matematika, fisika, kimia, bahasa Inggris dan lainnya. Guru yang memegang mata pelajaran itu diminta oleh Abdullah Syafi'ie agar guru yang memiliki spesialisasi di bidang itu, seperti ungkapan Soleh RM berikut:

68 Abdullah, "Zaman Jahiliyah". 69 Soleh RM, wawancara. 70 Soleh RM., wawancara.

191

“Kyai Abdullab Syafi'ie sangat menganjurkan, bagi guru yang mengasuh mata pelajaran agama menguasai banyak disiplin mata pelajaran agama. Namun, dalam mata pelajaran yang bersifat umum, Kyai mensyaratkan guru yang mengasuhnya adalah guru fak atau guru yang berasal dari lulusan-lulusan tersebut. Misalnya mata pelajaran matematika harus diasuh oleh lulusan matematika dan yang mengajar ilmu ekonomi yang mengasuhnya adalah guru yang lulusan ekonomi”.71 Seorang guru adalah tokoh panutan dan menjadi tokoh teladan bagi masyarakat. Demikian pula dalam wawasan dan ilmu, menjadi tempat bertanya bagi anak didiknya. Hal tersebut sangat dipahami dan disepakati oleh Abdullah Syafi'ie, maka ia sangat mendorong para gurunya agar senantiasa meningkatkan wawasan dan ilmu pengetahuannya, seperti yang diungkap oleh Amirin berikut: “Kyai sangat memperhatikan para guru, agar para guru memiliki wawasan yang luas serta ilmu yang tinggi. Bentuk dari perhatian Kyai adalah memberikan kesempatan para guru untuk kuliah di University Al-Syafi'iyah dengan pembebasan beban pembayaran. Pada saat dibuka Ma’had al-Muballighin di Jatiwaringin para guru dianjurkan untuk mengikuti kuliah tersebut, tanpa biaya kuliah. Para guru yang berada di Balimatraman yang jaraknya cukup jauh disiapkan kendaraan mobil Kyai untuk membawa mereka ke Jatiwaringin”.72 Guru atau ustadz, bagi Abdullah Syafi'ie suatu sumber ilmu pengetahuan. Untuk itu ia memerlukan penguasaan ilmu yang mendalam dan mesti haus dengan ilmu pengetahuan. Abdullah Syafi'ie tidak segan memberikan fasilitas atau kemudahan bagi guru untuk meningkatkan diri, guna meningkatkan dirinya menjadi guru yang ahli atau profesional di bidangnya. Penempaan guru yang terus menerus, agar mencapai guru yang ideal, mencerminkan semangatnya agar guru-guru memiliki

71 Soleh RM., wawancara. 72 H.M.Amirin, wawancara.

192

kualifikasi yang mengarah kepada tipe ideal, sebagaimana yang menjadi pandangan Al-Ghazali.73 Seorang guru adalah seseorang yang memiliki keikhlasan dalam mengemban tugasnya. Hal ini diungkapkan oleh Saifuddin Amsir berikut: “Banyak anak didik yang didanai oleh beliau, namun dimintanya agar anak didik benar-benar menuntut ilmu pengetahuan serta diminta untuk memiliki jiwa yang ikhlas untuk bersama-sama menerima pelayanan pendidikannya. Begitu juga harapannya terhadap para pendidik”.74 Selanjutnya, seorang guru adalah seorang yang bijaksana dalam mengatasi problema yang dihadapi siswa. Guru yang baik adalah guru yang tidak ceroboh dalam memberikan sanksi kepada muridnya. Karena guru dianggapnya orang yang bijak, maka ketika Abdullah Syafi'ie ingin meluruskan bahwa ada seorang guru yang telah ceroboh memberikan sanksi kepada muridnya, dia tidak langsung menegor yang bersangkutan. Tetapi, dia mengumpulkan para guru untuk melakukan rapat, dan pada saat rapat itu ia menyampaikan bahwa ada seorang guru yang telah bertindak tidak bijaksana, seperti yang diungkap H. M. Amirin berikut ini: “Kyai telah menerima keluhan dan wali murid, bahwa ada seorang guru yang telah bertindak ceroboh memberikan sanksi terbadap anak didik, padahal guru tersebut salah atau keliru dalam mengambil tindakannya. Maka, Kyai tidak memanggil langsung guru tersebut untuk diperingatkan. Tetapi, Kyai memanggil para guru untuk membicarakan hal tersebut di rapat para guru, dan menyampaikan bahwa telah terjadi seorang guru telah mengambil tindakan yang salah. Maka, dia minta agar para guru benar-benar berhati-hati dalam mengambil tindakan, karena kita (para guru) adalah orang

73 Sifat-sifat yang harus dimilikinya : Bersifat kasih sayang dan lemah lembut, bersikap kebapakan, ikhlas dan tidak mengharapkan upah, mampu menjadi pembimbing yang jujur dan terpercaya, tidak pemarah, mampu menjadi teladan, memahami kemampuan murid, mengetahui perkembangan jiwa anak, memegang teguh prinsip dan disiplin. Lihat Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazali, alih bahasa Ahmad Hakim, (Jakarta: P3M, 1986), h. 43- 51. 74 Saifuddin Amsir, tanggal 6 Juni 2000, wawancara.

193

yang membawa amanah Allah untuk membentuk anak didik menjadi anak yang baik”.75 Bagi Abdullah Syafi'ie sendiri, guru bukan hanya harus memiliki akidah yang jelas untuk membawa anak didik kepada keyakinan tauhid yang benar juga seorang guru harus dipersiapkan sejak dia menjadi siswa, karena guru memerlukan pembiasaan dan penghayatan terhadap tugasnya. Hal ini diungkap oleh Soleh RM berikut: “Kyai, sejak awal mendirikan institusi pendidikannya telah melihat bahwa kebutuhan akan tenaga pendidik, tidak dapat dipenuhi secepat mungkin. Apalagi ketika melihat minat masyarakat untuk menitipkan anak-anaknya untuk dididik atau menjadi santrinya semakin besar, sementara tenaga guru masib terbatas, maka dia telah mempersiapkan anak-anak didiknya untuk menjadi guru, dan mengajar dikelas-kelas di bawahnya.”76 Dengan demikian guru menurut Abdullah Syafi'ie hendaklah memiliki kharakteristik, seperti memiliki paham keagamaan “ahl al- sunah wa al-jama'ah”, bagi guru pemegang mata pelajaran agama. Bagi guru yang memegang pelajaran ilmu umum tidak ditekankan untuk memiliki paham keagamaan tersebut. Guru juga hendaklah memiliki akidah yang benar, bila tidak, guru akan membawa anak didik kepada akidah yang tidak benar. Guru agama hendaklah pula memiliki keluasan dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan agama, juga bagi guru yang mengasuh mata pelajaran umum. Seorang guru hendaknya tidak cukup puas dengan ilmu yang dimiliki, dia harus senantiasa meningkatkan ilmunya agar menjadi guru yang memiliki kualitas yang baik. Guru hendaklah memiliki sifat yang ikhlas. Selain itu, guru harus pula memiliki sifat-sifat yang bijak dalam menghadapi anak didik. Kharakteristik-kharakteristik guru yang diajukan Abdullah Syafi'ie tersebut dapat dibandingkan dengan pandangan ahli-ahli

75 H.M.Amirin, wawancara. 76 Soleh, R.M, wawancara.

194

pendidikan Islam berikut. HAMKA misalnya berpandangan, “Seorang guru hendaklah memiliki sifat lemah-lembut, tidak keras hati, pemaaf, bermusyawarah dan tawakkal serta memiliki sifat zuhud, ikhlas, kebapakan, mengetahui sifat murid dan menguasai pelajaran".77 Bagi al-Razi, seorang guru tidak boleh didewa-dewakan baik ketika ia masih hidup maupun sesudah ia meninggal dunia, karena guru bagaimanapun manusia biasa. Sikap yang berlebihan kepada guru akan membawa pemujaan kepada sang guru.78 Ahli lain, Fathiyah berpendapat, bahwa: ''Guru hendaklah bersifat kasih sayang dan lemah lembut, bersifat kebapakan, ikhlas dan tidak mengharapkan upah, mampu menjadi pembimbing yang jujur, terpercaya, tidak pemarah, mampu menjadi teladan, memahami kemampuan murid, mengetahui perkembangan jiwa anak, memegang teguh prinsip dan disiplin".79 Selanjutnya Ibn Sina mengungkap, bahwa "Guru hendaklah berakal, beragama, berakhlak, tidak jumud, luas dalam berpikir, memiliki muru’ah, bersih dan rapi, memahami perkembangan anak, cerdas, hati-hati dan teguh pendirian.80 Ibn Khaldun mengungkap pula, bahwa "Seorang guru harus mengetahui perkembangan anak didik, mengetahui metode mengajar, kuat hubungan batinnya dengan peserta didik, bersifat kasih sayang, menjadi teladan atau panutan bagi peserta didik".81 Al Asraf menegaskan, "Seorang guru bukan hanya seorang yang pandai, tetapi juga harus orang yang beriman dan berakhlak, mempunyai rasa senang mendidik dan mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap anak didik sebagai amanah dari Allah; untuk itu dibutuhkan latihan bagi mereka agar menjadi pendidik yang Islami".82 Al-Abrasyi berpendapat bahwa guru dalam pendidikan Islam harus memiliki sifat-sifat berikut ini: (1) Zuhud, tidak mengutamakan materi, mengajar karena mencari keridlaan Allah semata; (2) harus

77 HAMKA, Tafsir al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982), juz iv, h. 126. 78 HAMKA, Tafsir, juz x, h. 179 79 Fathiyah Sulaiman, Konsep, h. 43 80 Fathiyah Sulaiman, Konsep, h. 220. 81 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 282. 82 Sayid Husen dan Ashraf, Horison, h.153

195

bersih tubuhnya; (3) Harus bersih jiwanya: dari dosa besar, tidak bersifat ria, dengki, permusuhan dan sifat tercela lainnya; (4) Ikhlas dalam pekerjaan: sesuai kata dengan perbuatan, mengakui ketidaktahuannya, bijaksana dan tegas dalam kata dan perbuatan, rendah hati, lemah lembut tanpa memperlihatkan kelemahan, keras tanpa memperlihatkan kekerasannya; (5) Pemaaf, sanggup menahan diri, lapang hati, sabar dan tidak marah karena sebab-sebab yang kecil; (6) berkepribadian dan mempunyai harga diri; (7) Mempunyai sifat kebapakan: ia harus mencintai muridnya seperti mencintai anaknya sendiri; (8) Mengetahui tabiat muridnya: ia mengetahui pembawaan, kebiasaan, perasaan dan memikirkan murid- muridnya.83 Menurut Mahmud Yunus guru haruslah memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1) Hendaklah guru menyayangi muridnya dan memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri; (2) Hendaklah guru memberi nasihat kepada muridnya seperti melarang mereka menduduki suatu tingkat sebelum mereka berhak mendudukinya; (3) Hendaklah guru memperingatkan murid bahwa tujuan menuntut ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk menjadi pemimpin atau bermegah-megah atau berlomba-lomba dan bersaing; (4) Hendaklah guru melarang murid berkelakuan tidak baik dengan cara lemah lembut, bukan dengan cara caci maki, dengan cara menyindir bukan dengan cara terus terang; (5) Hendaklah guru mengajarkan kepada murid-muridnya mula-mula tentang masalah yang mudah dan banyak terjadi di dalam masyarakat; (6.) Guru yang mengajarkan satu macam ilmu janganlah memburukkan ilmu yang tidak diajarkannya, seperti guru Ilmu Fiqh jangan memburukkan Ilmu Hadits; (7) Hendaklah guru mengajarkan masalah yang sesuai dengan kecerdasan muridnya dan menurut kadar kemampuan akalnya, (8) Hendaklah guru mendidik muridnya supaya berpikir dan berijtihad, bukan semata-semata menerima saja dari guru; (9) Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya mendustakan perbuatannya; dan (10) Hendaklah guru memperlakukan semua muridnya dengan keadilan

83 Muhammad Athiya al-Abrasyi, Dasar-dasar, h. 131

196

dan persamaan dan jangan dibedakan antara anak orang kaya dengan anak orang miskin.84 Di dalam bukunya yang lain, Mahmud Yunus menyebutkan bahwa sifat yang harus dimiliki guru ada 17 macam.85 Bila diperhatikan dengan sungguh-sungguh dapatlah diketahui bahwa sifat-sifat guru yang diajukan oleh para ahli di atas tampaknya hanya sebagian saja yang merupakan sifat guru, sebagian merupakan tugas guru. Berdasarkan uraian para ahli di atas dapat diketahui bahwa para ahli tersebut menghendaki sifat-sifat guru dalam pendidikan Islam ialah (1) kasih sayang pada anak didiknya; (2) lemah lembut; (3) menghormati ilmu yang bukan profesinya; (4) adil; (5) menyenangi ijtihad; (6) perkataannya sesuai dengan perbuatan, dan (7) sederhana. Bila dibandingkan pandangan para ahli tentang sifat-sifat atau kharakteristik seorang pendidik dengan pandangan yang dimiliki oleh Abdullah Syafi'ie terhadap guru, maka pandangannya ada yang memiliki kesamaan dengan pandangan para ahli tersebut, ada pula yang memperkaya. Misalnya seorang guru bagi Abdullah Syafi'ie hendaklah memiliki akidah yang kuat, memiliki wawasan ilmu pengetahuan serta ahli di bidangnya, memiliki jiwa yang ikhlas dalam pengabdiannya. Sementara itu pada aspek yang khas dapat dikatakan memperkaya wacana pendidikan Islam adalah karakter gurunya yang memiliki paham keagamaan yang bermadzhab Syafi'i, di mana dalam wacana pendidikan Islam merupakan hal yang baru. Mungkin saja untuk karakter yang khas itu ada ahli pendidikan Islam yang berpandangan, hal itu sebagai kharakter yang ekslusif karena dalam dunia pendidikan diperlukan ekspresi yang beranekaragam, agar memberikan wawasan yang luas pada anak didik. Pada satu sisi pandangan itu tampaknya obyektif, namun pada sisi yang lain harus dipahami bahwa anak didik belum dapat menerima pandangan-pandangan agama yang mengandung kontroversial yang mungkin secara sengaja atau tidak secara sengaja tersampaikan oleh para guru yang mengasuh mata pelajaran agama.

84 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mahmudiah, 1966), h. 114 85 Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta: Mahmudiah, 1961), h. 56-57

197

Sebenarnya dari sudut pandang inklusifisme, Abdullah Syafi'ie telah memberi peluang dengan diperbolehkannya seorang guru yang berpandangan agama madzhab lain untuk mengajarkan mata pelajaran umum di lembaga pendidikannya.

E. Perilaku Anak Didik Bagi Abdullah Syafi'ie anak didik merupakan amanah yang harus dibina potensi-potensinya. Sebagaimana yang ia pahami bahwa di dalam diri manusia ada dua unsur yaitu unsur jasmani dan unsur ruh atau rohani. Pandangan ini sangat berbeda dengan pandangan pendidikan Barat yang sangat menekankan kepada unsur jasmani manusia.86 Dalam membentuk potensi yang ada di dalam diri anak didik, Abdullah Syafi'ie pada tingkat operasionalnya menginginkan anak didik yang memiliki paham keagamaan ahl al-sunnah wa al-jama'ah, berakidah Islam yang kuat, memiliki niat yang ikhlas, memiliki keberanian, memiliki etos keilmuan, memiliki keterampilan, dan berakhlak. Dalam mewujudkan siswa yang memiliki paham agama bermadzhab Syafi'i, institusi pendidikannya disebut dengan Perguruan al-Syafi'iyah. Baginya anak didik memiliki paham keagamaan seperti itu sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar.87 Sebelum memiliki paham keagamaan tersebut menurut Abdullah Syafi'ie yang penting pula bagi anak didik adalah memiliki kemampuan membaca al-Qur'an atau tidak buta al-Qur'an.88 Al- Qur'an bagi seorang Muslim adalah pegangan atau pedoman dalam hidupnya. Dalam mengarungi kehidupan di dunia ini dan untuk menuju kehidupan di akhirat kelak, seorang Muslim hendaklah berpedoman kepada al-Qur'an. Al-Qur'an bagi seorang Muslim bagaikan penerang dalam kehidupannya. Perlunya seorang Muslim pandai membaca al-Qur'an sebagai suatu keharusan baginya. Untuk selanjutnya setelah anak didik pandai membaca al- Qur'an, hendaklah mereka memiliki keimanan atau akidah yang kuat. Hal ini dapat digambarkan ketika anak didik memasuki ruang

86 Lihat Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan, 163 87 Abdurrahman dan Soleh RM, wawancara. 88 H.M.Amirin, wawancara.

198

kelas, maka bacaan pertama bagi mereka adalah membaca Akidah Mujmalah, seperti yang diungkap oleh Soleh KM : "Dalam konteks paham keagamaan Kyai sangat ketat. Anak didik agar memiliki akidah yang kuat, maka di tingkat Ibtidaiyah para santri diwajibkan membaca Akidah Mujmalah".89 Adapun Akidah Mujmalah itu bunyinya: Dan kemudian, maka sesungguhnya kami dan segala puji bagi Allah. Sesungguhnya kami ridla dengan Allah sebagai Tuhan, dan dengan Islam sebagai agama, dan dengan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, dan dengan al-Qur'an sebagai imam, dan dengan Ka'bah sebagai qiblat, dan dengan sekalian mukmin kami bersaudara, dan kami berlepas daripada tiap agama yang menyalahi agama Islam, dan kami percaya dengan sekalian kitab yang diturunkan Allah akan dia, dan dengan sekalian Rasul yang Allah bangkitkan akan dia, dengan sekalian malaikat Allah dan dengan qadar baik dan buruknya dan dengan hari kiamat, dan dengan tiap-tiap barang yang datang yang dibawa oleh Nabi Muhammad-Rasulullah Saw. Atas yang demikian kami hidup dan di atasnya kami mati, dan di atasnya kami bangkit. Insya Allah menjadi orang yang aman sentosa, yang tidak takut atas mereka dan tidaklah mereka berduka cita, dengan karunia Engkau wahai Tuhan seru sekalian alam.90 Penanaman akidah atau pengenalan agama sejak dini atau di tingkat Ibtidaiyah sangat sejalan dengan pandangan beberapa ahli berikut: Erich Fromm menyatakan bahwa, "Pengabdian kepada kekuatan yang trancendent adalah suatu ekspresi kebutuhan pada kesempurnaan kehidupan. Karena itu tidak ada seorang pun tanpa kebutuhan pada agama.”91 Agama dibutuhkan oleh manusia karena manusia memerlukan kerangka orientasi dan obyek pengabdian dalam kesempurnaan kehidupannya. Sekalipun Freud berkesimpulan

89 Soleh RM., wawancara 90 Abdullah Syafi'ie, al-Akidah al-Mujmalah, (Jakarta: Perg. Al-Syafi'iyah, 1983), h.1-3 91 Erich Fromm, Psychoanalisys and Religion (New Haven & London: Yale University Press, 1976), h. 24-25

199

bahwa agama merupakan sekumpulan neurosis masa kanak-kanak, tetapi Fromm dapat juga membuat penafsiran sebaliknya: neurosis dapat menyebabkan manusia tidak mengetahui arah yang lebih tinggi dalam hidupnya,92 sedangkan agama menunjukkan arah tersebut. Piaget banyak mempelajari cara anak-anak mengenal Tuhan. la antara lain mengatakan bahwa Tuhan dikenal oleh anak-anak secara berangsur-angsur. Pada umur tujuh atau delapan tahun anak-anak yang ditanyai Piaget menyatakan bahwa Tuhan itu berada di langit, tidak lebih tua dari pada ayahnya dan tidak lebih bijak.93 Pada umur lebih kurang sepuluh tahun anak-anak tersebut telah mengetahui bahwa bohong tidak benar dan itu merupakan dosa, Tuhan tidak senang pada manusia yang berdosa.94 Tidak ditemukan pernyataan Pieget yang tegas tentang perlunya agama bagi manusia. Tetapi, Laurence Kohlberg yang meneruskan penelitian Pieget sampai pada kesimpulan bahwa manusia memerlukan prinsip-prinsip etika universal tentang keadilan, persamaan dan penghormatan terhadap ketinggian harkat manusia.95 Barangkali tidak salah kalau dikatakan bahwa prinsip-prinsip yang diperlukan itu terdapat dengan jelas di dalam ajaran Islam. Bila hal itu benar, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa berdasar studi Pieget dan Kohlberg itu manusia memerlukan agama. Elizabeth B. Hurlock berkesimpulan bahwa baik secara subyektif maupun obyektif agama itu penting bagi orang dewasa.96 la memaparkan hasil penelitian yang membuktikan bahwa manusia memang berminat pada agama, selain itu juga mempelihatkan hasil penelitian lain yang membuktikan bahwa manusia memang memerlukan agama.97

92 Erich Fromm, Psychoanalisys, h. 27-28. 93 Mary Ann Spencer Pulaski, Understanding Pieget (New York: Harper Row, Publishers, 1980), h. 125. 94 Mary Ann, Understanding, h. 128. 95 Mary Ann, Understanding, h. 133. 96 Elizabeth B. Hurlock, Adolescent Developmen (New York: McGraw-Hill Book Company, 1967), h. 390. 97 Elizabeth B, Adolescent, h. 393.

200

Muhammad Quthub dengan tegas menyatakan bahwa hormat dan beribadah kepada Tuhan merupakan sifat wajar manusia.98 Al- 'Ainaini berkesimpulan bahwa menurut al-Qur'an manusia pada asal kejadiannya adalah bertauhid, tetapi manusia berkemampuan pula untuk menjadi syirik dan jahat; beribadah kepada Tuhan adalah tujuan wujud manusia.99 Muhammad Mahmud Hijazi, tatkala membahas hakikat kejadian manusia tiba pada kesimpulan bahwa hakikat kejadian (fitrah) manusia adalah Muslim."100Tabataba'i menyatakan bahwa salah satu sifat hakiki manusia adalah ingin mencapai kebahagiaan, sifat ini merupakan ketetapan (sunnah) Allah pada manusia, untuk mencapai kebahagian itu manusia memerlukan agama.101 Zakiah Daradjat lebih tegas lagi dalam hal ini, tatkala ia menyatakan bahwa mulai usia kurang lebih tujuh tahun perasaan anak terhadap Tuhan berganti dengan cinta dan hormat, dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya atau iman.102 Sedangkan Krathwohl dan kawan-kawannya menyatakan bahwa menerima adanya peribadatan dalam kehidupan haruslah dijadikan salah satu tujuan pendidikan.103 Berdasarkan pandangan-pandangan berbagai ahli itu dapatlah diketahui bahwa manusia memerlukan agama, dan dalam versi Islam seperti yang diungkapkan oleh 'Ainaini, bahwa yang dimaksud adalah agama Islam yang mengajarkan akidah tauhid, seperti juga yang menjadi pandangan Abdullah Syafi'ie dalam penekanannya untuk membentuk anak didik memiliki akidah yang kuat melalui Akidah Mujmalah-nya. Kemudian, semua anak didik hendaklah memiliki niat yang ikhlas. Untuk belajar atau menuntut ilmu pengetahuan, hal itu

98 Lihat dalam syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims, h. 51. 99 Ali Khalil Abu al-'Ainaini, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur'an al- Karim (Qahirah: Dar al-'arabi, 1980), h. 103. 100 Muhammad Mahmud Hijazi, al-Tafsir al-Wadih, juz 21 (Bairut: Dar al-Jail al- Muqaddasah, 1993), jilid 3, juz 21, h. 28. 101 Sayid Muhammad Husin al-Tabataba'i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, juz 16 (Qum: al-Jama'ah al-Mudamsin al-Mahzab al-Islamiyah, t.th.), h. 178-181. 102 Zakiah Daradjat, llmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 51. 103 David R. Krathwohl, et.al., Taxonomy of Educational Objectives Handbook II: Affective Domain (New York: David McKay Company, Inc., 1974), h. 141.

201

baginya sudah sangat memadai, tidak memandang apakah anak didik tersebut belum sama sekali dapat membaca hurup hijaiyah, atau belum dapat membaca dalam huruf latin, dan juga tidak melihat apakah anak itu memiliki modal harta atau tidak untuk menuntut ilmu.104 Namun demikian, anak didik yang ingin masuk ke lembaga pendidikannya perlu menempuh proses seleksi yang harus dilalui, di mana siswa itu akan ditempatkan, dan biasanya salah seorang yang bertugas untuk menseleksi dilakukan oleh ustadz Rohimi.105 Selanjutnya, Abdullah Syafi'ie sangat memuji bagi anak didik yang memiliki keberanian untuk tampil. Biasanya pada saat ia memberikan pelajaran, dia memerintahkan seorang siswa membaca kitab dan siswa itu membaca dengan lancar, dan bersuara lantang, maka meluncurlah do'anya.106 Dalam hal etos keilmuan Abdullah Syafi'ie sangat menekankan kepada anak didiknya agar benar-benar serius dalam menuntut ilmu pengetahuan. Bila ada anak didik yang tidak disiplin dalam menuntut ilmu pengetahuan, maka ia akan mendapatkan hukuman yang bersifat mendidik.107 Anak didik yang bermalas-malasan dalam menuntut ilmu pengetahuan, katanya, "bagaikan onta di padang pasir".108 Dalam penekanan perlunya anak didik menguasai ilmu pengetahuan, anak didik dilarang untuk menghabiskan waktunya hanya untuk berdzikir, karena waktu yang ada bagi mereka adalah menuntut ilmu pengetahuan, seperti yang diungkap Soleh RM: "Para santrinya dilarang keras mempelajari ilmu al-hikmah. Juga para ustadznya dilarang untuk mengembangkannya, karena hal itu akan mengurangi atau mengganggu konsenterasi para santri dalam menuntut ilmu. Hal yang hampir sama diungkapkan oleh Saifuddin Amsir: Beliau sering mengeluhkan santrinya yang tidak sungguh-sungguh dalam belajar. Begitu pula ia sering mengingatkan para santrinya yang waktunya

104 H.M. Amirin, wawancara 105 HM. Amirin, wawancara 106 HM. Amirin, wawancara 107 Soleh RM, wawancara. 108 Lihat Adi Badjuri, Pelita, (Jakarta), 5 September 1985.

202

hanya digunakan untuk berdzikir kepada Allah. Dzikir itu baik kata kyai, tapi waktumu sekarang ini adalah untuk sebanyak- banyaknya menuntut ilmu, membaca serta mengkaji kitab".109 Kemudian, anak didik perlu pula memiliki keterampilan, apakah itu keterampilan mendidik atau keterampilan dalam berda'wah serta juga keterampilan lainnya yang dapat digunakan langsung dalam kehidupannya. Selanjutnya, anak didik hendaklah berperilaku yang baik atau memiliki akhlak yang baik. Dalam membentuk anak didik agar memiliki akhlak yang baik, Abdullah Syafi'ie, terkadang menegor langsung kepada siswanya, sebagaimana yang diungkapkan Saifuddin Amsir berikut ini. "Beliau pernah menegor saya secara langsung, ketika saya ngobrol dengan santriwati di sebuah toko buku. Dari sisi ini saya melihat kyai sedang menanamkan perilaku akhlak kepada santrinya". Dalam konteks ini pula Soleh RM mengungkap: "Dalam membentuk akhlak, anak didik dianjurkan agar selalu memberi salam bila berjumpa dengan seseorang. Pernah seorang santri melongok ke dalam ruangan dan melihat kyai, lalu siswa itu masuk kembali ke kelasnya. Melihat hal itu kyai memanggil santri itu, dan mengatakan, Anda lain kali jangan begitu, Anda masuk saja dan ucapkan salam, salamilah guru- gurumu dan kemudian Anda boleh pergi".110 Dalam pembentukan akhlak ini pula lebih lanjut Soleh RM menyatakan: "Dalam suatu peristiwa kyai pernah memberikan uang dan menyuruh santrinya untuk memotong rambut yang tampak sudah panjang. Hal ini pernah pula dilakukan kyai kepada seorang yang bukan santrinya, diberinya uang untuk memotong rambutnya yang gonderong".111 Demikian pula bila anak didik tidak berakhlak secara baik, berakibat ia akan mendapatkan sanksi yang berat, seperti ungkapan Soleh RM lebih lanjut berikut ini:

109 Soleh RM, dan Saifuddin Amsir, wawancara. 110 Amsir dan Soleh RM, wawancara. 111 Soleh RM., wawancara.

203

“Bila anak didik tidak menunjukkan akhlak yang baik, seperti berperilaku amoral atau meminum-minuman keras, maka Abdullah Syafi'ie memberikan hukuman yang keras berupa hukuman dengan dikeluarkan dari sekolahnya. Hukuman yang tegas diberikan kepada anak didik agar yang lain tidak melakukan hal yang sama.”112 Penekanan terhadap perilaku anak didik agar memiliki akhlak yang mulia ini, semakin diperlukan apalagi terhadap anak didik yang tinggal di kota Jakarta, sebagai kota metropolitan dan pada saat kehidupan masyarakat yang dikatakan masa modern sekarang ini. Di kota Jakarta sebagai kota metropolitan, diwarnai oleh dinamika pembangunan yang sangat pesat. Sarana dan prasarana kehidupan masyarakat Jakarta dibangun dalam perkembangan yang sangat tinggi, dibangun gedung-gedung bertingkat termasuk pula dibangun tempat-tempat yang memberi peluang bagi seseorang untuk melakukan perbuatan yang amoral, di bangun pula tempat-tempat yang memungkinkan seseorang untuk melakukan perbuatan seks bebas. Demikian pula di tengah masyarakat Jakarta yang sangat heterogen, suasana kehidupannya memungkinkan seseorang memiliki pandangan hidup yang bersifat individualisme, materialisme dan hedonisme, yang hanya mementingkan kehidupan untuk kepentingan pribadinya, mementingkan kebendaan, dan tidak lagi memperdulikan ajaran agama atau etika yang bersumber dari ajaran agama. Akibat dari pandangan hidup seperti itu di kalangan anak muda yang hidup di Jakarta telah dijangkiti oleh perasaan- perasaan terasing di tengah keluarga dan lingkungan. Sehingga, mereka banyak yang lari dari problema kehidupannya, ke obat-obat dan narkotika. Sebagai pelepas dari rasa kesumpekan hidupnya, ada pula yang lari ke dalam kehidupan yang serba boleh, melakukan sek bebas atau wanita panggilan atau laki-lakinya menjadi "gigolo" dan sebagainya. Persoalan akhlak sangat dipentingkan dalam pendidikan Islam di Al-Syafi'iyah, juga di institusi pendidikan Islam lainnya. Di institusi pendidikan Islam pembentukan manusia yang beretika

112 Soleh RM., wawancara.

204

bukan saja terbatas pada mata pelajaran akhlak saja, tetapi juga terkandung pula dalam materi pendidikan Islam lainya, seperti pada mata pelajaran tauhid, fiqh dan lainnya. Pada mata pelajaran fiqh di mana setiap Muslim yang baligh diperintahkan untuk melaksanakan shalat, di dalamnya terkandung pula bagaimana cara shalat yang baik dan sopan dalam menghadap Allah. Sebelum dilakukan shalat kotoran-kototan yang ada yang melekat pada diri seorang perlu dibersihkan, perlu memakai pakaian bersih dan menutup aurat serta mengangkat tangan ketika takbir sebagai penghormatan tertinggi di hadapan Sang Khaliq. Demikian pula dalam mata pelajaran tauhid, Allah Maha Esa sebagai keyakinan setiap umat Islam. Hal yang tidak pantas kalau seseorang menyembah Allah Yang Maha Esa, juga menyembah sesama makhluk ciptaan Allah atau menyembah benda-benda yang diciptakan oleh-Nya.113 Pandangan ini secara lebih luas lagi diungkap oleh Harun Nasution: "Bila kita mengkaji semangat dari seluruh ajaran Islam serta mengamalkannya akan membentuk seseorang memiliki akhlak yang baik. Misalnya dalam ajaran tauhid atau ajaran mengesakan Allah, akan mengantarkan seseorang memiliki keyakinan yang benar bahwa Dialah tempat bergantung, tempat memohon akan sesuatu serta selalu menjaga dirinya baik dalam keadaan suka maupun duka, senatiasa berjalan sesuai dengan ajaran- Nya, itulah tujuan dan makna hidup seorang Muslim. Demikian pula di dalam ajaran Islam yang lain seperti melaksanakan shalat, puasa, haji, zakat dan lainnya, semuanya akan mengantarkan seseorang dalam perilaku yang terpuji".114 Demikian anak didik yang diharapkan oleh Abdullah Syafi'ie di institusi pendidikannya, adalah anak didik yang memiliki pandangan keagamaan al-Syafi'iyah, berakidah yang kuat, memiliki etos keilmuan, berjiwa ikhlas, memiliki keberanian dan berperilaku dengan akhlak yang baik serta memiliki keterampilan.

113 Lihal M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1998), cet. Ke- 7, h. 252-273- Lihat pula Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 139. Lihat juga Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta; Rajagrafindo, 1994) 114 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1998), cet. 5, h. 443

205

Pandangan-pandangan Abdullah Syafi'ie tentang perilaku yang hendaknya dimiliki oleh anak didik tersebut dapat dibandingkan dengan pandangan-pandangan ahli pendidikan Islam berikut: Al-Ghazali berpandangan supaya anak didik menuntut ilmu dengan ikhlas semata-mata karena Allah dan dengan tujuan beribadah, tawaddlu', rendah hati, tidak sombong, memusatkan perhatian sepenuhnya kepada ilmu yang dipelajari. Peserta didik yang baik, tidak mau mempersulit dan memperberat dirinya dengan mempelajari hal-hal yang musykil dan pelik melampaui batas kemampuannya. Menuntut ilmu itu harus bertahap dan peserta didik harus se selektif mungkin memilih manfaat dan kegunaan sesuatu ilmu.115 Mahmud Yunus, tokoh pendidikan Indonesia berpendapat bahwa anak didik hendaknya memiliki tugas-tugas sebagai berikut: (1) Hendaklah mengurangi kesibukan yang berhubungan dengan urusan dunia, artinya urusan yang tidak ada hubungan dengan ilmu yang dipelajari. Kesibukan itu akan mengganggu ketekunan belajarnya. (2) Hendaklah mengurangi hubungan dengan keluarganya, bahkan diajurkan menuntut ilmu dirantau agar ia terjauh dari keluarganya. (3) Hendaklah belajar dengan didasari niat menyucikan diri dan mencari pahala, bukan dengan niat hendak mencari harta benda, kemegahan, dan kehormatan. (4) Para pelajar pemula hendaklah menjauhi perselisihan pendapat para ulama, karena hal itu dapat membingungkan pelajar tersebut; sebagai pemula sebaiknya ia mempelajari satu aliran paham saja, setelah itu bolehlah ia mempelajari paham-paham lainnya. (5) Pelajarilah dahulu semua ilmu, setelah itu barulah memperdalam ilmu tertentu (berspesialisasi).116 Berikutnya Hasan Fahmi berpendapat: (1) Hendaklah pelajar Muslim meninggalkan kelakuan yang buruk, karena kelakuan yang buruk itu akan menimbulkan kesulitan dalam belajar. (2) Hendaklah para pelajar Muslim bersifat merendahkan diri terhadap gurunya, menghormatinya, mematuhinya. (3) Hendaklah para pelajar muslim memiliki semangat yang tinggi dan giat belajar, karena hal itu

115 Abu Hamid al-Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din, h.55 116 Mahmud Yunus, Pokok-pokok, h. 115-116

206

merupakan salah satu kunci keberhasilan belajar. (4) Para pelajar Muslim hendaklah bersifat tabah dalam menuntut ilmu. (5) Para pelajar Muslim hendaklah memiliki sifat selalu merasa ilmunya masih kurang, karena itu ia selalu ingin menambah ilmunya.117 Dari pandangan Abdullah Syafi'ie tersebut terhadap bagaimana seharusnya perilaku anak didik, maka dapat dilihat bahwa pandangannya banyak memiliki kesamaan dengan pandangan- pandangan yang telah diungkap oleh beberapa ahli tersebut, seperti anak didik hendaknya berakhlak, memiliki niat yang ikhlas dan memiliki semangat keilmuan. Hanya saja diduga pandangan Abdullah Syafi'ie lebih mendasar lagi dan sangat sesuai dengan era modern ini ketika ia melihat perlunya etos ilmu yang hendaknya dimiliki oleh anak didik. Ia berpandangan bahwa anak didik dalam menuntut ilmu jangan menghiraukan hal yang lain sekalipun itu baik, seperti perlunya anak didik mengurangi frekuensi dzikir di setiap shalat atau bahkan di luar waktu itu, seminimal mungkin, meskipun itu perbuatan baik. Para anak didik sedang menuntut ilmu pengetahuan, waktu yang ada gunakanlah sebaik-baiknya, juga harus memiliki skill untuk kehidupannya.

F. Lembaga Pendidikannya Awal pendidikan yang didirikannya adalah pendidikan diniyah tahun 1928 di atas tanah yang diwakafkan oleh Syafi'ie yang notabene orang tuanya sendiri. Selain itu ia juga merintis pembelajaran di sebuah pengajian di masjid yang diikuti oleh beberapa orang pelajar. Mata pelajaran yang diberikan pada waktu itu hanya pelajaran al- Qur'an dan ibadah shalat. Sebagai pengajar ia pada tahun 1931 telah mendapat beslit, yakni izin untuk mengajar ilmu agama di mushalla dan langgar. Beslit ini berasal dari Racben Scahf di zaman pemerintah Hindia Belanda. Setelah itu Abdullah Syafi’ie mendirikan masjid al-Barkah di tahun 1933. Para pelajar menggunakan masjid itu untuk belajar. Namun, dengan semakin banyaknya orang yang berminat untuk belajar dengannya, dibangunlah madrasah darurat yang berlokasi di

117 Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Ibrahim Husen (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 167-169

207

rumahnya sendiri dan di sebuah rumah yang disewanya. Pada saat itu mata pelajaran sudah mendapat tambahan. Di samping pelajaran al-Qur'an dan ibadah shalat juga diberikan pelajaran tauhid, fiqh, sirah Nabi, dan pelajaran menulis. Tenaga pengajarnya Abdullah Syafi'ie sendiri dan dibantu oleh istrinya Roqayah bin Ahmad Muchtar.118 Pada tahun 1940-1947, lembaga pendidikannya semakin berkembang yaitu cara belajarnya sudah mulai terarah. Pelajaran- pelajaran lain juga bertambah, seperti pelajaran bahasa Arab, sharaf dan lainnya. Pada saat ini ruang belajar semakin bertambah dengan dibelinya sebuah rumah lain yang masih sangat sederhana yaitu beratap genteng, pagar dari bilik dan lantai dari tanah. lembaga pendidikannya terus berlangsung meskipun dengan seadanya, karena kondisi bangsa masih dalam era kolonialisme Belanda. Tenaga pengajarnya pada saat ini selain Abdullah Syafi'ie dan istrinya serta dibantu oleh para murid yang sengaja dididik untuk menjadi guru. Pada tahun 1948-1960, kondisi madrasahnya semakin ditingkatkan dan disempurnakan. Pada masa ini di madrasahnya sudah mulai mengadakan penyempurnaan pendidikan yang dipandang sebagai madrasah yang sudah memenuhi syarat. Di madrasahnya telah ada kepala sekolah yaitu Abdullah Syafi'ie sendiri, guru-guru sudah bertambah, mata pelajaran sudah terjadual dan teratur menurut ukuran pada waktu itu. Sekolah ini dinamai Madrasah Islamiyah Ibtidaiyah dan jumlah muridnya kurang lebih mencapai 600 siswa terdiri dari 400 laki-laki dan 200 siswi. Pelajaran yang diberikan yaitu al-Qur'an/Tajwid, Ilmu Tauhid, Fiqh, Tarikh, Akhlak, Tafsir-Hadits, Nahwu-Sharaf, Insya', Qira'ah Mahfudhah, Imla', Muhadatsah, sedang jadual diatur di tingkat kelas masing- masing. Guru-guru pada waktu ini adalah Abdullah Syafi'ie, istrinya, juga para guru lainnya seperti Mualim Yunus, Maksum, Hasan Basri, Ali, Safri, Salim Idris, Abdul Gani dan ustadz Ya'qub.119

118 Harian Terbit, Jakarta tanggal 11 Maret 1984 119 Soleh R.M, tanggal 22 Maret 2001, wawancara.

208

I. Pesantren Putra-Putri Pada tahun 1954 Abdullah Syafi'ie membeli tanah di depan masjid al-Barkah. la mengembangkan madrasahnya dan diberi nama Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah (pagi-sore). Pendidikan madrasah ini berada di bawah Yayasan Perguruan Al-Syafi'iyah. Lembaga pendidikan ini kemudian dikembangkan dan disebut dengan pesantren putra dan putri. Pesantren yang pertama kali membuka kelas I dan II, jumlah muridnya ada 24 siswa, 9 tenaga pengajar, sedang jumlah mata pelajarannya berjumlah 20 lebih, santri bergabung dengan santri Ibtidaiyah yang sudah ada. Santri pesantren berasal dari ibukota dan sekitarnya. Santrinya ada yang mukim di tempatnya, ada pula yang pulang ke rumahnya yang dekat dengan pesantren. Waktu pagi, mereka mengaji kitab tertentu yang langsung diasuh oleh Abdullah Syafi'ie. Pada tahun I960 sarana belajar bertambah dengan dibangunnya gedung yang bertingkat sehingga dapat menampung tempat belajar siswa dan tempat mukim para santri. Pada tahun 1963 pesantren mendapat ketetapan Badan Hukum dengan ditingkatkan menjadi Yayasan Pendidikan Islam Perguruan Al-Syafi'iyah dengan Akte Notaris RM. Soerojo No. 100 tahun 1963. Lembaga pendidikan ini berada di Balimatraman Jakarta.120 Pendidikan pesantren yang merupakan pengembangan atau kelanjutan dari pendidikan madrasahnya. Sebagai ulama ia rupanya masih mengembangkan tradisi ulama pada umumnya yang mengembangkan pendidikan Islam dengan berbasiskan kepada pendidikan pesantren, sekalipun ia mendirikan pendidikan formal seperti madrasah yang berjenjang Ibitidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah di perguruannya. Secara umum Lembaga pendidikan yang didirikannya sebagai tempat untuk mencetak para ulama dan zu'ama. Pengembangan pendidikannya terus berlanjut di tempat yang berbeda di Jakarta. Ia mengembangkan pesantren putra-putri di Jatiwaringin Jakarta, pada bulan Agustus 1976 di atas luas tanah 40.000 m2. Peresmian pesantren putra dihadiri oleh para pejabat

120 Abdullah Syafi’ie dkk. Berkenalan dengan Pesantren asy-Syafi’iyah,(Jakarta, t.p.1981), hal. 5,

209

tinggi negara seperti Menteri Agama Mukti Ali, Faisal Tamim sebagai wakil Mendagri, Ny. Nelly Adam Malik, Ny. Ali Sadikin, juga Jenderal A.H. Nasution, HAMKA, Osman Raliby, Yunan Nasution dan lain- lain.121 Pesantren ini menggunakan model sistem keterpaduan antara sistem pesantren tradisional dengan sistem madrasah untuk pendidikan agama, dan sistem sekolah untuk pendidikan umum dan siswa diberikan skill tertentu. Di pesantren ini digunakan sistem yang memadukan antara sistem pengajaran perorangan dan sistem pengajaran bersama. Dengan sistem ini dimungkinkan murid yang berbakat, cerdas dan tekun lebih cepat menyelesaikan program studinya daripada yang lain. Madrasah dan sekolah yang dikenal sebagai bentuk pendidikan klasikal dengan mengutamakan masing-masing untuk pendidikan umum, lebih memungkinkan terlaksananya program studi yang sama bagi seluruh pelajaran yang harus diselesaikan pada waktu yang sama pula. Bentuk-bentuk itu digabung secara terpadu dalam pesantren, menjadi suatu sistem pendidikan yang diatur menjadi: Pertama, madrasah untuk pendidikan agama dengan target pengetahuan agama yang sama dengan Tsanawiyah dan Aliyah. Kedua, sekolah untuk pendidikan umum dan keterampilan dengan target pengetahuan umum yang sama dengan dengan lulusan SMP dan SMA. Ketiga, pesantren untuk lebih mengkhususkan murid mendalami sesuatu bidang pengajaran yang digemarinya, baik melalui kelompok belajar maupun secara perorangan. Waktunya dapat diatur pagi hari setelah subuh atau setelah maghrib/isya'. Hal itu dimungkinkan karena murid tinggal di asrama." Di samping itu, dikembangkan pula suatu metode pengajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris, di mana murid-murid dalam pergaulannya sehari- hari diwajibkan berkomunikasi sesamanya dengan salah satu dari dua bahasa itu.122 Pada pendidikan pesantren putra-putri, para siswanya mempelajari materi pendidikan dengan menggunakan kurikulum

121 Majalah Kiblat, Jakarta, 2 Agustus 1976 122 Abdullah Syafi’ie dkk. Berkenalan, hal. 6,

210

yang dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional maupun kurikulum yang dibuat Departemen Agama serta kurikulum yang berasal dari perguruan Al-Syafi'iyah sendiri. Siswa yang belajar di pesantren ini berlangsung hampir sepanjang hari. Pagi hari, jam 7.30 wib - 11.30 wib mereka belajar di SMP/SMU, artinya mereka belajar materi pelajaran umum, sementara di siang hari, jam 13-00 wib - 17.30 wib mereka belajar di sekolah agama (Diniyah), artinya mereka belajar pelajaran agama. Di malam hari, sekira jam 19-30-20.30 mereka mempelajari ilmu agama melalui kitab kuning yang biasa digunakan pada pesantren Salafiyah. Pada pagi hari dan siang hari mereka belajar dengan sistim klasikal. Setiap tahun diadakan evaluasi untuk menentukan naik tidaknya siswa ke kelas yang lebih tinggi. Para gurunya terdiri dari guru mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum. Metode pendidikan yang digunakan bervariasi baik dengan menggunakan metode diskusi, metode penugasan dan lainnya.123 Dengan cara tersebut diharapkan selama enam tahun seorang murid di pesantren akan memperoleh pengetahuan agama yang setingkat Aliyah dan pengetahuan umum yang setingkat dengan SMA dan dapat berbahasa Arab dan bahasa Inggris. Sedangkan di bidang mental spiritual anak didik akan memiliki kepribadian utama dan menjadi pemimpin umat dan fungsional dengan satu bidang spesialisasi yang dipilihnya yaitu apakah ia akan menjadi pendidik atau menjadi da'i.124 Gambaran tentang pesantren putra-putri Abdullah Syafi'ie baik yang berkaitan dengan jumlah santri, dan jumlah ustadz atau karyawannya di era Abdullah Syafi'ie ( 1984-1985) dan sesudahnya (2001-2002) dapat dilihat dalam tabel berikut:125

123 Ida Farida, pimpinan pesantren putri, 5 Nopember 2002, wawancara. 124 Abdullah Syafi’ie dkk, Berkenalan, hal. 6 125 Data Yayasan Perguruan Islam Al-Syafi’iyah, 2002

211

Data/Kondisi Santri & Ustadz/Karyawan Tahun 1984-1985.

Santri Ustadz/karyawan No. Lembaga Ket. Lk Pr Jumlah Lk Pr Jumlah 1. Pesantren Putra 400 - 400 45 27 62 2. Pesantren Putri - 510 510 57 21 78

Santri Ustadz/karyawan No. Lembaga Ket. Lk Pr Jumlah Lk Pr Jumlah 1. Pesantren Putra 300 - 300 43 23 66 2. Pesantren Putri - 475 475 54 25 79

II. Pesantren Khusus Yatim Pesantren Khusus Yatim ini didirikan Abdullah Syafi'ie pada tahun 1977, adalah model lain dalam wacana pesantren di Tanah Air. Pendirian pesantren khusus ini didasari oleh adanya sebagian anak di masyarakat yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan atau mereka yang hidupnya sangat miskin dan memprihatinkan, sehingga untuk masuk ke sekolah mereka kesulitan biaya.126 Selain itu, didorong pula oleh semangat ajaran Islam yang tersirat di dalam ayat-ayat al-Qur'an. Ayat al-Qur'an menganjurkan agar umat berjuang, memberikan pengorbanan untuk memperhatikan dan membela nasib golongan lemah dan masyarakat kecil (Q.S. al-Nisa', ayat 75). Sebaliknya, sikap enggan memperhatikan nasib anak yatim dan sikap mengabaikan kepentingan golongan miskin, sebagai pertanda pembangkangan terhadap ajaran agama (Q.S. al-Ma'un, ayat 2). Pada ayat yang lain diungkapkan bahwa, ada pelarangan untuk menghina dan menghardik anak-anak yatim serta mencelanya (Q.S. al-Dhuha, ayat 9 dan al-Fajr, ayat 17). Pesantren khusus ini sebenarnya telah dirintis oleh Abdullah Syafi'ie tahun 1970 di Balimatraman. Pesantren itu semakin dikembangkan pada tahun 1977 di Jatiwaringin. Di pesantren ini ditampung sebanyak 268 orang putra-putri, kemudian pada tahun

126 Tutty Alawiyah, dkk. Yatim dan Masalahnya, (Jakarta: UIA Press, 1988), hal. 1

212

1980 jumlah santrinya mengalami perkembangan hingga mencapai 340 siswa-siswi.127 Di pesantren khusus ini para siswa diharapkan: Memiliki akhlak yang mulia dan akan menjadi warga masyarakat yang baik, bertakwa kepada Allah serta mengamalkan ajaran Islam dengan cara memahami perkembangan dan perjuangan umat Islam dalam skala national dan international, memiliki pengetahuan umum dan kejuruan yang dipilihnya. Siswa diharapkan pula mampu berkomunikasi dengan masyarakat, berpidato, mengarang, menulis, kerajinan tangan dan kesenian serta lain-lainnya. Siswa diharapkan pula memiliki cinta kasih sesama manusia dan alam sekitar, menghargai seni budaya nasional serta selektif dengan budaya asing, jujur, tabah, berdedikasi, berdisiplin, tekun dan lainnya.128 Siswa yang belajar di pesantren ini adalah anak yatim dan anak golongan tidak berpunya di atas usia SD/Ibtidaiyah. Karena mereka diharapkan cepat kembali ke lingkungan keluarganya, maka masa pendidikan mereka tidak terlalu lama, cukup 3 tahun. Program pendidikan ditekankan kepada pembinaan keterampilan sebagai bekal kehidupannya dan mereka dibekali pula dengan ilmu pengetahuan dan sikap beragama. Program keterampilan yang diberikan kepada mereka hanya merupakan "basic knowledge" untuk membuka kesempatan untuk melanjutkan studinya, di samping untuk bekerja di masyarakat. Adapun jenis program yang disediakan adalah: Pertama, program pendidikan agama dan bahasa Arab. Materi pengajaran agama dan bahasa Arab sebagai sarana penunjang, pendidikan agama diberikan secara selektif .dan dibatasi dalam hal- hal yang bersifat praktis. Kedua, program pendidikan keterampilan, berfungsi untuk pembinaan keterampilan, sebagai bekal kerja mereka di kemudian hari di masyarakat. Pada tahun pertama program keterampilan diberikan secara umum dan mendasar,

127 Tutty Alawiyah dkk, Yatim, hal. 2 128 Abdulah Syafi’ie, Berkenalan, hal. 14-15

213

sedangkan pada tingkat II mereka diharuskan memilih program spesialisasi untuk pendalaman. Pada tahun ini mereka akan dimagangkan pada salah satu perusahaan yang relevan. Ketiga, program pelengkap yang berfungsi sebagai alat pelengkap untuk mendalami agama dan ilmu atau bidang studi yang mendukung pendidikan keterampilan.129 Kegiatan belajar mereka lakukan tidak sekedar menekankan pencapaian dan pengumpulan pengetahuan yang bersifat teoritis, namun ditekankan pula pada hal-hal yang bersikap praktis. Pembinaan kepribadian, sikap dan nilai tidak cukup dilakukan melalui jalan pengajaran belaka, tetapi juga melalui internalisasi dan aplikasi nilai dan norma. Untuk itu diperlukan asrama atau pesantren bagi mereka. Sistem pendidikan yang diterapkan adalah sistem pendidikan pada "sekolah kerja", yang pengaturannya sebagai berikut: Pertama, untuk pendidikan keterampilan pada tahun pertama mereka diperkenalkan dengan dasar-dasar dari pelbagai jenis keterampilan yang dipilih seperti montir, penjahit, beternak, pelistrikan, administrasi perkantoran dan mereka mulai diarahkan melalui seleksi untuk jenis keterampilan yang dipilihnya. Kedua, Semester II tahun II mereka mulai dimagangkan untuk tahap I. Ketiga, pada tahun III semester I mereka kembali ke kampus untuk menguji pengalaman selama kerja magang di lapangan dengan teori yang sudah dipelajari. Setelah itu untuk beberapa lama sebelum penghujung semester II tahun III, mereka kembali kerja lapangan untuk pemantapan ilmu dan praktik yang mereka terima. Kemudian, barulah mereka menempuh ujian akhir. Keempat, pendidikan agama dan pendidikan pelengkap berjalan menurut sistem yang biasa pada madrasah dan sekolah kejuruan setingkat.130 Di pesantren khusus yatim, siswa yang belajar di pesantren ini untuk tahun ajaran 1999/ 2000 sekitar 300 siswa. Para siswanya berasal dari mereka yang tidak mampu dalam ekonomi atau mereka yang telah ditinggal oleh orang tuanya, baik karena meninggal dunia atau karena orang tua yang bercerai. Mereka menjalani pendidikan

129 Abdullah Syafi’ie, Berkenalan, hal. 19 130 Abdullah Syafi’ie, Berkenalan, hal. 20

214

tanpa diambil bayaran atau gratis, juga untuk pakaian seragam disediakan oleh pesantren. Mereka diterima di pesantren melalui tes masuk. Mereka, ada yang belajar di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Di pagi hari mereka belajar mata pelajaran umum di sekolah-sekolah umum dan siang hari mereka belajar mata pelajaran agama di Sekolah Diniyah. Mereka juga mendapatkan latihan skill, seperti keterampilan jahit menjahit. Sesudah shalat 'isya rnereka belajar membaca al-Qur'an dengan menggunakan sistem halaqah. Adapun gambaran pesantren khusus yatim baik yang berkaitan dengan jumlah santri, jumlah ustadz/karyawan di era Abdullah Syafi'ie dan sesudahnya dapat dilihat dalam tabel-tabel berikut: 131 Data/Kondisi Santri & Ustadz/Karyawan Tahun 1984-1985

Santri Ustadz/karyawan No. Lembaga Ket. Lk Pr Jumlah Lk Pr Jumlah 1. Pesantren Khusus Yatim 155 175 330 47 12 59

Data/Kondisi Santri & Ustadz/Karyawan Tahun 2001-2002

Santri Ustadz/karyawan No. Lembaga Ket. Lk Pr Jumlah Lk Pr Jumlah 1. Pesantren Khusus Yatim 150 185 335 48 14 62

Data-data tersebut menunjukkan bahwa jumlah santri era Abdullah Syafi'ie berjumlah 330 dan era sesudahnya berjumlah 335, sementara itu jumlah ustadz/karyawannya era-nya berjumlah 59 dan sesudahnya berjumlah 62. Data-data ini dapat disimpulkan bahwa baik jumlah santri maupun jumlah ustadz/karyawan mengalami kenaikan, meskipun tidak cukup signifikan.

III. Pesantren Tradisional Pesantren Tradisional (Salafiyah) merupakan pesantren "awal" atau cikal bakal dalam pengembangan pesantren yang berkembang pada fase-fetse berikutnya, seperti pesantren Khalafiyah/Kombinasi

131 Data Yayasan Perguruan al-Syafi’iyah, 2000

215

dan pesantren plus sekarang ini. Pesantren ini pertama kali di Nusantara dicetuskan oleh Raden Rahmad, salah seorang Walisongo pada abad 16 yang berlokasi di daerah Gresik Jawa Timur. Pembelajaran pesantren tradisional menggunakan sistem belajar wetonan, sorogan atau sistem halaqah.132 Pesantren tradisional Abdullah Syafi'ie didirikan pada tahun 1977 di Jatiwaringin. Di pesantren ini azasnya tetap memiliki ciri-ciri pesantren tempo dulu, dalam arti tidak mengenal sistem kelas, dan lama belajar. Tetapi, menggunakan sistem kelompok pengajian dengan sistem halaqah. Tetapi masa kemudian di pesantren ini mengalami perkembangan. Berdirinya pesantren ini dimaksudkan agar santrinya dapat memahami kitab-kitab klasik, dan dari institusi pesantren ini diharapkan dapat mencetak para ulama yang dapar merespons problema di masyarakat. Di pesantren ini, diatur kelompok-kelompok pengajian (halaqah) dan para santrinya diwajibkan memilih halaqah, menurut kemampuan dan kebutuhannya. Halaqah, yaitu mengaji salah satu kitab yang sesuai dengan kurikulum yang ditentukan dengan bimbingan seorang badal kyai. Selain itu, dapat dibantu oleh seorang asisten (musaid-musaidat) yang bila perlu bertindak sebagai pengganti tugas badal terutama bagi pelajar yang mendapatkan kesulitan dalam memahami pelajaran. Evaluasi belajar diatur dengan cara yang lain dari sekolah biasa. Untuk halaqah diatur oleh badal, sedangkan untuk paket-paket pendidikan oleh asisten, dan untuk kehidupan di pesantren serta peribadatan oleh para tentor. Prestasi santri terakhir tidak saja ditentukan oleh nilai-nilai prestasi belajar yang dicerminkan di halaqah dan paket-paket pendidikan, tapi ditambah atau dikurangi dengan prestasi kehidupan pesantren atau kepribadian yang diatur oleh "tentor”. Seorang pelajar dapat pindah halaqah atau dapat mengambil paket selanjutnya atas seizin badal atau pimpinan pesantren.133 Adanya modernisasi di pesantren tipe Salafiyah atau tradisional ini santri belajar pelajaran umum, santri wajib mengikuti yang

132 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta, Gema Insani, 1997), hal. 5 133 Abdullah Syafi’ie, Berkenalan, hal. 9

216

sistemnya mirip dengan sistem klasikal pada sekolah biasa. Di program ini materi pelajaran merupakan saripati ilmu-ilmu sosial dan bahasa yang diajarkan di SMP/SMA jurusan sosial dan bahasa, ditambah program khusus da'wah dan tarbiyah. Adapun program pendidikan terdiri dari 3 komponen, yakni: Pertama, komponen ilmu-ilmu agama, yang meliputi bidang pengajaran ilmu tauhid, fiqh, hadits, tafsir dan akhlak/ tashawuf. Kedua, Komponen ilmu alat yang terdiri dari bahasa Arab beserta ilmu alat yang berkaitan dengan ilmu itu. Ketiga, Komponen pengetahuan umum, terdiri dari serangkaian ilmu-ilmu umum dan bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia yang merupakan saripati dari pelajaran di SMP/ SMA ditambah dengan dasar-dasar ilmu dakwah dan pendidikan. Untuk komponen pelajaran ilmu-ilmu agama dan ilmu alat ditempuh melalui sistem halaqah dan sistem sorogan (paket pendidikan), sedangkan untuk pengetahuan umum akan ditempuh melalui pengajaran kelas. Pelaksanaan pendidikan pesantren terdiri dari 4 kelompok santri, yang diatur menjadi: Pertama, kelompok A yang merupakan kelompok dasar diberikan pengetahuan tentang dasar-dasar ilmu-ilmu agama. Kedua, kelompok B merupakan penghalusan dari kelompok A yang standar ilmu agamanya sama dengan tingkat Tsanawiyah. Ketiga, kelompok C yang merupakan kelompok lanjutan akan diberikan ilmu-ilmu agama dalam bentuk lanjutan. Keempat, kelompok D merupakan penghalusan kelompok C yang standar ilmu agamanya sama dengan ilmu-ilmu Aliyah.134 Dalam kehidupan sehari-hari para santri akan dikembangkan pula sistem "tentor" yang lazim dikenal di pesantren. Yang menjadi "tentor” adalah para santri yang dipandang sudah senior, ia diwajibkan membimbing teman-temannya yang masih yunior, baik dalam pemahaman ilmu maupun dalam kehidupan beragama dan ke pesantrenan. Seorang santri yang telah memiliki prasyarat tertentu akan diarahkan menjadi tentor dan kemudian bila telah matang lagi

134 Abdullah syafi’ie, Berkenalan, hal. 11

217

dapat ditunjuk menjadi asisten (musaid-musaidat), dan selanjutnya menjadi badal bahkan akan menjadi kyai di suatu pesantren. Selain sistem halaqah, para santri diwajibkan untuk memilih bahan-bahan pendidikan (disebut paket pendidikan) yang dipilihnya dari paket-paket yang disediakan pesantren. Paket ini menggunakan sistem "sorogan" dengan bimbingan tentor atau para asisten. Sistem ini disamping dapat mengembangkan kreativitas pelajar juga berfungsi mengembangkan kreativitas para tentor dan asisten yang ada. Santrinya tinggal di pesantren dan mereka menyiapkan sendiri kebutuhan makan, pakaian atau lain. Santrinya untuk tahun 1999/2000 berjumlah sekitar 100 santri dan santriwati. Di pondok ini, tidak seperti pondok tradisional lainnya, mereka belajar dengan sistem klasikal di pagi hari atau mulai jam 7.00 wib, hingga jam 11.30 wib. Dan ba'da sh'alat Asyar serta ba'da shalat Isya' mereka belajar kembali melalui media kitab kuning, dengan menggunakan sistem halaqah, atau melalui sistem bandongan untuk melanjutkan materi pelajaran di pagi hari. Materi pendidikan yang berkaitan dengan materi pelajaran agama Islam baik yang berkaitan dengan pengetahuan fiqh, tauhid, akhlak dan gramatika bahasa Arab, dikaji melalui kitab-kitab kuning, dan juga diberikan beberapa pelajaran umum seperti pelajaran IPS, dan bahasa Inggris.135 Di pesantren ini menggunakan pula sistem evaluasi melalui guru mata pelajaran, evaluasi dilakukan tengah semester dan evaluasi akhir tahun untuk kenaikan kelas. Mereka yang menyelesaikan pendidikan diberikan ijazah kelulusan dari sekolah dan mereka dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Adapun perkembangan pesantren tradisional baik yang berkaitan dengan jumlah santri, dan jumlah ustadz/ karyawannya di era Abdullah Syafi'ie dan sesudahnya dapat dilihat dalam tabel berikut:136

135 Drs. Djamaluddin, pimpinan pesantren, wawancara. 136 Data Yayasan Perguruan al-Syafi’iyah, 2002

218

Data/Kondisi Santri & Ustadz/Karyawan Tahun 1984-1985

Santri Ustadz/karyawan No. Lembaga Ket. Lk Pr Jumlah Lk Pr Jumlah 1. Pesantren Tradisional 110 175 285 27 14 41

Data/Kondisi Santri & Ustadz/Karyawan Tahun 2001-2002

Santri Ustadz/karyawan No. Lembaga Ket. Lk Pr Jumlah Lk Pr Jumlah 1. Pesantren Tradisional 75 63 138 24 12 36

Dari tabel itu tergambar bahwa jumlah santri era Abdullah Syafi'ie berjumlah 285 dan era sesudahnya berjumlah 138. Untuk ustadz/karyawan era yang bersangkutan berjumlah 41 dan sesudahnya berjumlah 36. Dari tabel ini dapat disimpulkan bahwa jumlah santri tradisional mengalami penurunan yang cukup signifikan dari jumlah 285 era Abdullah Syafi'ie menjadi 138 setelah era-nya. Begitu pula yang terjadi pada jumlah ustadz/karyawannya. Secara umum dari keseluruhan data yang tergambar dapat dijelaskan bahwa pesantren-pesantren Abdullah Syafi'ie di Jatiwaringin terutama dari jumlah santrinya mengalami stagnasi atau bahkan degradasi, kecuali santri khusus yatim menunjukkan kestabilan. Ini menunjukkan bahwa betapa Abdullah Syafi'ie menjadi sosok yang berarti dalam perjalanan dan perkembangan pondok pesantren yang didirikannya ketika ia masih hidup. Hal itu tampak dari perkembangan pesantren putra ketika ia masih hidup memiliki santri berjumlah 400 dan santri pesantren putri berjumlah 510, pesantren tradisional berjumlah 285 dan pesantren khusus yatim berjumlah 330. Perkembangan pesantren-pesantrennya yang memiliki jumlah santri yang terhitung cukup banyak pada waktu itu, dan menjadikan institusi pesantren sebagai fenomena di DKI Jakarta. Perkembangan berbagai pesantrennya didukung oleh sosoknya yang kharismatik di tengah masyarakat Betawi. Sebagai seorang da'i ia menggunakan fasilitas yang dimilikinya seperti stasiun radionya serta berbagai forum pengajian yang ada, digunakannya untuk memperkenalkan berbagai pesantrennya. Selain itu, ia senantiasa

219

mengontrol sendiri atau dengan "sentuhan-sentuhan" tangan-nya ia mengembangkan pesantrennya.137 Pada masanya tentu tantangan yang dihadapi institusi pendidikan agama berbeda dengan masa sesudahnya. Masa sesudahnya tantangan pendidikan keagamaan di Jakarta menghadapi hal-hal seperti semakin bertambahnya institusi pendidikan. Semakin terpelajarnya masyarakat Betawi yang memberikan pendidikan terhadap anak-anaknya dengan pertimbangan rasional, seperti bersekolah di sekolah umum atau sekolah agama yang dipandangnya berkualitas, atau berdasarkan letak sekolah yang dekat dengan rumahnya. Selain itu, dengan pesatnya pembangunan di berbagai sector kehidupan di Jakarta, tempat tinggal mereka terkena "gusuran", yang menyebabkan banyak penduduk asli Betawi yang berpindah ke tempat lain yang jauh dari pesantren Abdullah Syafi'ie. Hal-hal tersebut merupakan faktor-faktor lain mengapa pesantren Abdullah Syafi'ie era sesudahnya mengalami stagnasi atau degradasi. Hanya saja di masa Abdullah Syafi'ie tantangan yang dihadapi juga kompleks, telah tumbuh institusi pendidikan, baik agama maupun umum, telah berlangsungnya modernisasi, dan berpindahnya penduduk Betawi ke pinggiran; namun sosok dan responsnya atau kiat-kiatnya selalu muncul dalam mengembangkan institusi pendidikannya. Lembaga pendidikan pesantren Abdullah Syafi'ie cukup beragam, ada pesantren yang bercorak kombinasi seperti tergambar pada pesantren putra-putri dan pesantren khusus yatim serta pesantren Salafiyah, seperti tergambar pada pasantren tradisionalnya. Di kedua pesantren yang bersifat khalafiyah/kombinasi itu, materi pelajarannya ditekankan pada penguasaan ilmu agama dan ilmu umum, dan bersifat klasikal. Hanya saja kalau di pesantren putra-putri dan tradisional penyelenggaraan pendidikan lebih bersifat akademik, sementara itu, pada pendidikan pesantren khusus yatim bersifat "sekolah kerja". Kemudian, bila pendidikan pesantren putra-putri dan tradisional diperuntukkan bagi masyarakat umum, maka di pesantren khusus

137 Ainul Yakin, dan Rahmat, wawancara

220

yatim hanya diperuntukkan bagi anak yatim atau anak yang tidak mampu. Sementara itu, materi pelajaran pada pesantren tradisional Abdullah Syafi'ie, hampir 100 persen mata pelajaran agama melalui media kitab kuning selain ada pula mata pelajaran non agama serta keterampilan. Pendidikannya dilakukan dengan sistem klasikal pada pagi hari dan menggunakan sistem halaqah dan bandongan pada sore hari dan malam. Pendidikan model ini dimaksudkan untuk menciptakan seorang ulama yang menguasai ilmu-ilmu keislaman. Dari gambaran-gambaran di atas dapat pula dijelaskan bahwa pemikiran pendidikan Abdullah Syafi'ie tentang pendidikan pesantren ditemukan variasinya, ada pesantren yang bercorak Kombinasi, seperti pesantren putra-putri, dan pesantren khusus yatim. Ada pula pesantren yang cenderung bersifat Salafiyah, yaitu pesantren tradisionalnya yang menggunakan sistem pendidikan yang bervariasi pula. Pada pendidikan pesantren putra-putri di samping menggunakan sistem klasikal juga menggunakan sistem halaqah, seperti yang terjadi pada sistem pendidikan pesantren tradisional. Pada pendidikan pesantren putra-putri dan pesantren tradisional, siswa atau santrinya membiayai pendidikan sendiri, sementara itu pada pesantren khusus yatim, santrinya gratis dalam menjalani pendidikan. Dalam konteks materi pendidikan, di pesantren putra- putri dan pesantren khusus yatim materi pendidikannya meliputi mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum dalam porsi yang hampir seimbang. Sementara itu, di pesantren tradisional, materi pendidikannya hampir seratus (100) persen mata pelajaran agama melalui media kitab kuning dan sedikit diberikan pengetahuan non agama dan juga keterampilan. Pendidikan pesantren di Tanah Air berkembang secara pesat, misalnya pada tahun 1977 jumlah pesantren sekitar 4.195 dengan jumlah santri sekitar 677.384 orang.138 Jumlah tersebut mengalami peningkatan pada tahun 1981, di mana pesantren berjumlah 5.661 dengan jumlah santri sebanyak 938.397 orang. Pada tahun 1985 jumlah pesantren ini mengalami kenaikan lagi menjadi 6.239 dengan jumlah santri mencapai sekitar 1.048.801 orang. Sementara itu, pada tahun 1997 Departemen Agama sudah mencatat 9.388 buah

138 Departemen Agama, Emis, 2002

221

pesantren dengan santri sebanyak 1.770.768 Orang. Kemudian pada tahun 2013/2014 ini pesantren di seluruh Indonesia berjumlah 29.535, sementara di DKI Jakarta jumlah pondok pesantren kurang lebih berjumlah 119 buah.139 Pondok pesantren di daerah ini tumbuh kebanyakan sebagai kelanjutan dari sistem pendidikan madrasah/diniyah, termasuk pondok pesantren yang didirikan oleh Abdullah Syafi'ie. Sebagai gambaran perkembangan pondok pesantren di era Abdullah Syafi'ie dan sesudahnya dapat dilihat dalam tabel-tabel berikut: Tabel: Perkembangan Pondok Pesantren Era Abdullah Syafi'ie (1935 - 1985).

Nama Pondok Pesantren Kabupaten Tipe Tahun Berdiri PP. Al-Ziyadah Jakarta Timur Salafiyah 1935 PP. Al-Wataniyab Putri Jakarta Timur Khalafiyah 1938 PP.Dar al-najah Jakarta Selatan Khalafiyah 1942 PP. Qariyah Thayibah Jakarta Barat Salafiyah 1970 PP. Persatuan Islam 69 Jakarta Timur Khalafiyah 1974 PP. Daral Rahman Jakarta Selatan Khalafiyah 1975 PP. Al-Jaubariyab Jakarta Timur Khalafiyah 1979 PP. Al-Hidayah Basmol Jakarta Barat Khalafiyah 1979 PP. Shaqofah Islamiyah Jakarta Timur Khalafiyah 1980 PP. Nural Qur'an Jakarta Timur Salafiyah 1980 PP. Dar al Fatah Jakarta Timur Salafiyah 1980 PP. Hub al Wathan Jakarta Pusat Salafiyah 1981 PP. Al-Siddiqiyah Jakarta Barat Khalafiyah 1985

139 Departemen Agama, Emis, 2002

222

Tabel: Perkembangan Pondok Pesantren Setelah Era Abdullah Syafi'ie (1986 - 2000),140 Nama Pondok Pesantren Kabupaten Tipe Tahun Berdiri PP. Nahdlab al Hilda Jakarta Barat Salafiyah 1986 PP. Husnayain Jakarta Timur Salafiyah 1986 PP. Mansyunah Jakarta Timur Salafiyah 1986 PP. Al-Wathaniah Jakarta Timur Khalafiyah 1986 PP. Al-Kamal Jakarta Barat Khalafiyah 1987 PP. Tapak Sunan Jakarta Timur Khalafiyah 1990 PP. Ziyadah al Muhtadin Jakarta Timur Salafiyah 1990 PP Al-Wathaniah 9 Jakarta Timur Khalafiyah 1990 PP. Minhaj al-thalibin Jakarta Barat Khalafiyah 1990 PP. Al-Hidayah Jakarta Timur Khalafiyah 1990 PP. Al-Muhajirin Jakarta Utara Khalafiyah 1991 PP. Fisabililah Jakarta Timur Salafiyah 1991 PP. Al-Salafi Jakarta Timur Khalafiyah 1991 PP. Modern Tunaslslam Jakarta Timur Khalafiyah 1992 PP. Kali Baru Jakarta Utara Khalafiyah 1992 PP. Sawarifiyah Jakarta Utara Khalafiyah 1993 PP. Al-Salafiyah Jakarta Timur Khalafiyah 1994 PP. Ibrahimiyah Jakarta Utara Salafiyah 1995 PP. Minhaj al-Rasidin Jakarta Timur Salafiyah 1995 PP. Al-Khunaniyah Jakarta Timur Khalafiyah 1995 PP. Dar al Hikmah Jakarta Selatan Salafiyah 1995 PP. Al-Mitthaqin Jakarta Utara Khalafiyah 1995 PP. Mar'at al- Shalihah Jakarta Barat Salafiyah 1995 PP. Nur al Yakin Jakarta Barat Salafiyah 1996 PP. Siraj al Hilda Jakarta Barat Khalafiyah 1996 PP. Al-Wathaniah 43 Jakarta Utara Khalafiyah 1996 PP.Nitral Hijrah Jakarta Timur Khalafiyah 1998

Dari tabel tersebut tergambar bahwa pesantren yang pertama berdiri di Jakarta adalah pesantren al-Ziyadah pada tahun 1935,

140 Departemen Agama, Emis, 2002

223

kemudian 3 tahun kemudian berdiri pesantren al-Wathaniyah Putri tahun 1938, dan baru tahun 1954 berdirinya pesantren Abdullah Syafi'ie di Balimatraman. Pesantren Abdullah Syafi'ie sebenarnya bercikalbakal dari pengajarannya ilmu agama di madrasahnya pada tahun 1928, dan kemudian tahun-tahun berikutnya mengalami perkembangan yang pesat. Pendidikan agama yang diajarkannya semasa, bahkan lebih mendahului pesantren al-Ziyadah, pesantren pertama yang didirikan di DKI Jakarta. Selain itu ia mengajar ilmu agama di masjid al-Barkah yang menggunakan metode pengajaran bandongan, atau halaqah. Pengajaran ilmu agama yang dilakukan Abdullah Syafi'ie baik melalui institusi madrasah maupun melalui pengajarannya di masjid al-Barkah, yang kemudian berkembang menjadi pesantren, dapat dikatakan merupakan salah satu institusi pendidikan agama "pioneer’' di DKI Jakarta. Dalam wujudnya di lembaga pendidikan pesantren Abdullah Syafi'ie yang pertama kali muncul pada tahun 1954, mengalami perkembangan sehingga ada pesantren yang bersifat Salafiyah, seperti pesantren tradisional, ada pula pesantren yang bersifat Kombinasi, yaitu pesantren putra-putri dan pesantren khusus yatim. Peyelenggaraan pendidikan pesantren tradisionalnya dan pesantren kombinasinya telah merespon modernisasi yang berkembang pada masanya. Dalam konteks lembaga pendidikan pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofier ditandai oleh beberapa hal, yaitu: santri, masjid, ustadz, dan pondok atau tempat tinggal santri. Lebih lanjut ia berpandangan bahwa ada pesantren yang bersifat Salafafiyah, dan ada pesantren yang bersifat Khalafiyah/Kombinasi.141Pesantren Salafiyah, sistem pendidikannya menggunakan sistem tradisional, pengajarannya bersifat halaqah, wetonan, atau bandongan, guru yang mengajar dalam jumlah yang sangat terbatas, materi yang diajarkan adalah materi yang terdapat dalam satu kitab, seperti kitab al- Nashaih al-Diniyah, Tafsir al-Jalalain dan sebagainya. Sementara itu, di pesantren yang bersifat Khalafiyah/Kombinasi, sistem pendidikannya bersifat klasikal; ada tingkatan atau kelas; setiap

141 Zamakhsjari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 41

224

pertengahan tahun atau akhir tahun dilakukan evaluasi atau ujian untuk kenaikan kelas; guru yang mengajar ada yang memegang kelas atau ada pula guru fak atau guru mata pelajaran tertentu. Materi pelajaran terdiri dari mata pelajaran fiqh, tauhid, akhlak, dan ada pula mata pelajaran ilmu umum dan mata pelajaran olahraga dan kesenian.

225

226

BAB V PENUTUP

Abdullah Syafi’ie seorang ulama dan pendidik di Jakarta. Ia hidup di kota yang penuh dengan dinamika dalam berbagai aspek kehidupannya. Ia Dilingkari oleh situasi kehidupan sosial masyarakat yang multi budaya, multi etnik dan multi agama dan di tengah masyarakat yang juga telah dijangkiti penyakit-penyakit a-moral, tetapi juga ia di tengah masyarakat etniknya (Betawi) yang taat dalam beragama. Juga ia dilingkungan politik dan ekonomi yang dinamis yang mengitarinya serta di tengah etniknya yang banyak memilih dididik di madrasah atau di pesantren. Hal-hal ini memberi pengaruh dalam pemikirannya tentang bagaimana ia bersikap dan beraktivitas termasuk dalam pemikirannya seperti apa lembaga pendidikan yang ia akan dirikan. Ia di usia 18-an, telah mendirikan pendidikan yang bernama madrasah. Kemudian di masa kemudiannya ia mendirikan pendidikan pesantren yaitu pesantren kombinasi yang diberi nama pesantren putra-putri dan pesantren khusus yatim piatu dan pesantren tradisional. Pesantren putra-putri berbentuk kombinasi adalah bentuk pesantren yang dapat merespon perkembangan zaman. Di pesantren ini santri mempelajari semua ilmu baik ilmu agama maupun ilmu non agama dan juga mereka diberikan skill atau kompetensi. Pesantren khusus yatim merupakan pesantren langka bukan saja di Jakarta tetapi juga di Indonesia. Pesantren yang memberikan pendidikan gratis bagi mereka yang tidak mampu. Pola ini baru akhir-akhir ini dilakukan pemerintah. Di pesantren ini santri juga belajar ilmu non agama dan juga ilmu agama, tetapi di pesantren ini yang menjadi stressing bagi santri menyiapkan dirinya di bidang keterampilan. Juga pesantren tradisional yang ia dirikan juga santri di samping belajar ilmu agama melalui kitab-kitab klasik tetapi santrinya juga belajar ilmu-ilmu non agama dan juga diberikan keterampilan untuk bekal kehidupannya.

227

Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pendidikan pesantrennya juga memberi respon terhadap modernisasi. Dalam kontek tujuan pendidikan, hal tersebut secara jelas tampak di dalam tujuan operational pesantren putra-putrinya yang bertujuan untuk menciptakan anak didik yang memiliki pengetahuan agama yang setinggi-tingginya dan memiliki pengetahuan umum yang juga setinggi-tingginya, serta memiliki keahlian baik keahlian sebagai mu'allim ataupun sebagai mubaligh. Juga, dalam tujuan pendidikan pesantren khusus yatim, dia ingin menciptakan anak didik yang memiliki ilmu agama dan ilmu umum serta memiliki keterampilan atau skill yang tinggi, agar anak didik kelak dapat mandiri dalam kehidupannya. Di pesantren tradisional, Abdullah Syafi'ie ingin menciptakan anak didik yang menguasai kitab kuning yang di dalamnya terkumpul pemikiran-pemikiran para ulama klasik. Dengan penguasaan itu, mereka diharapkan menjadi ulama yang tangguh di belakang hari di samping mereka memiliki keterampilan berdakwa dan lainnya. Dalam kaitan dengan materi pelajaran, santri tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama seperti ilmu fiqh, ilmu tauhid, ilmu akhlak dan ilmu-ilmu alat seperti bahasa Arab; juga mempelajari ilmu-ilmu umurn seperti ilmu berhitung/matematika, ilmu biologi, ilmu sejarah, ilmu administrasi dan lainnya. Metode pengajarannya sangat bervariasi, di samping menggunakan metode halaqah, juga menggunakan metode diskusi, Tanya-jawab, penugasan, evaluasi dan metode lainnya. Baginya seorang pendidik hendaklah memiliki beberapa kharakteristik. Mereka hendaklah memiliki akidah yang jelas. Bila seorang pendidik tidak memiliki akidah yang jelas, akan membawa konsekuensi terombang-ambingnya anak didik dalam keyakinan agamanya. Lalu, seorang pendidik hendaklah memiliki paham keagamaan “ahl al-sunnah wa al-jama'ah”, terutama bagi pendidik yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, terkecuali bagi seorang pendidik mata pelajaran ilmu-ilmu umum, diperkenankan memiliki paham keagamaan lain. Namun, dengan ketentuan ia tidak menyebarkan paham keagamaannya kepada anak didik. Dan,

228

seorang pendidik hendaklah juga memiliki jiwa pengabdian yang tinggi, memiliki ilmu dan kharakteristik-kharakteristik lainnya. Anak didik dalam pandangannya memiliki beberapa perilaku. Mereka diharapkan memiliki akidah ahl al-sunnah wa al-jama'ah yang kuat serta paham keagamaan madzhab Syafi'i. Lalu, tidak boleh menghabiskan waktunya hanya untuk hal-hal yang tidak berguna. Baginya, seorang anak didik sepanjang waktunya hanya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hal-hal yang menurut kacamata agama yang positif pun, seperti memperbanyak dzikir kepada Allah, dia larang, karena hal itu dipandangnya akan mengurangi semangat santri untuk mendalami ilmu pengetahuan. Juga, santrinya harus memiliki jiwa yang berani, ikhlas serta memiliki al-akhlaqul-karimah, skill dan lain-lainnya. Pemikiran-pemikirannya yang demikian maju di atas jelas dipengaruhi oleh lingkungannya. Orang tuanya sangat mendorong untuk menuntut ilmu. Dia hidup di Jakarta kota metropolitan. Pembangunan kota Jakarta sangat pesat, modernisasi kehidupan terus berlangsung. Dia memiliki pengalaman dan pergaulan yang luas baik di dalam negeri maupun di luar negeri. la hidup di dalam masyarakat etnis Betawi yang terpinggirkan, bahkan sejak masa kolonialisme Belanda. Pengalaman politik serta peristiwa-peristiwa politik yang mengitari, pengalaman kehidupan beragama di masyarakatnya—masyarakat yang religius dan taat melaksanakan ajaran Islam, serta kondisi pendidikan masyarakat Betawi yang relatif terkebelakang; semua itu membekas di dalam dirinya. Oleh karena itu, pemikiran pendidikannya sangat kental dengan nuansa Islam seperti tergambar di dalam pendidikan pesantrennya. Modernisasi kota Jakarta yang telah disebutkan, mempengaruhinya dalam merumuskan tujuan pendidikannya yang menyentuh aspek intelektual, emosi dan psikomotorik. Hal itu tergambar dalam tujuan pendidikan ingin menciptakan anak didik yang menguasai ilmu agama juga ilmu umum disertai dengan ketermpilan yang harus dimiliki oleh para santrinya. Juga di materi pelajaran yang lengkap yang mencakup ilmu yang luas, dan disertai oleh metode pendidikan yang demokratis yang memanusiakan anak didik. Lingkungan telah

229

mempengaruhinya pula dalam melihat kharakteristik seorang pendidik dan perilaku anak didik. Hal penting dicatat, bahwa pendidikan pesantren yang berbentuk Kombinasinya, mungkin secara tak disadari adalah bagian dari proses penting dalam menjembatani adanya di khotomi ilmu yang pernah mendapat pembahasan ramai di tanah air. Dalam konteks pendidikan pesantren Abdullah Syafi'ie, tujuan pendidikan sudah mengarah kepada keseimbangan untuk memenuhi aspek jasmani maupun rohani anak didik. Dari aspek materi, pendidikannya sudah melihat kepentingan yang sama antara menuntut ilmu agama maupun ilmu umum. Juga dari segi metode telah digunakan berbagai metode, baik metode halaqah, bandongan, wetonan maupun metode diskusi, dan sebagainya. Pendidik bukan saja sebagai pengajar semata tetapi juga bertindak sebagai pendidik yang dapat mengembangkan anak didik menjadi manusia yang utuh. Dalam melihat anak didik bukan saja mereka sebagai obyek semata, tetapi juga sebagai subyek. Hal-hal tersebut menurut penulis adalah sebuah embrio untuk menuju integrasi keilmuan Islam. Ini sebuah proses atau embrio yang menarik pula untuk dilakukan kajian oleh kalangan pemerhati pendidikan Islam. Pesantrennya yang berawal dari madrasah yang berdiri tahun 1928, mengalami kemajuan di masanya, namun masa sesudahnya mengalami kemandekan. Ke depan institusi pendidikan pesantrennya diharapkan dapat menjadi institusi pendidikan yang ideal. Untuk itu, diperlukan pemikiran, agar idealisasi dari tujuan setiap pesantrennya dapat dicapai. Misalnya dalam konteks pesantren putra-putri, sudah sejauhmana pesantren ini dapat benar- benar mewujudkan lulusan-lulusan yang seimbang antara penguasaan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum. Belum lagi dunia pendidikan agama Islam dituntut untuk mensejajarkan dirinya dengan pendidikan non Islam atau pendidikan yang dikelola oleh pemerintah, agar lulusannya memiliki pula penguasaan terhadap bidang-bidang ilmu eksakta, seperti ilmu matematika, kimia, biologi dan sebagainya, sebagai suatu tantangan yang aktual yang dihadapi oleh pesantren Abdullah Syafi'ie.

230

Demikian pula yang berkaitan dengan pesantren khusus yatim. Pesantren ini sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terlantar atau anak-anak miskin dan tidak memiliki kemampuan di bidang ekonomi. Diharapkan santri yang dididik di lembaga ini bukan saja memiliki ilmu pengetahuan, berkharakter kuat dan tahan uji, tidak memiliki ketergantungan kepada pihak manapun ketika ia selesai menjalani pendidikan, dan juga memiliki suatu keterampilan. Dengan kata lain kharaktrer kemandirian sangat ditanamkan kepada mereka. Dapat dipahami, kalau stressing pendidikan kepada mereka adalah penguasaan terhadap skill atau keterampilan baik keterampilan dalam bidang jahit menjahit, pertukangan dan seterusnya. Inilah yang patut terus diperhatikan dalam pengembangan pesantren khusus yatim ini ke depan. Kemudian, dalam konteks pesantren tradisional perlu pula mendapat perhatian. Institusi ini menjadi salah satu andalan dalam (tafaqquh fi al-din), dan pemelihara berbagai khazanah keilmuan klasik Islam. Institusi ini mengambil peran yang sangat strategis di era sekarang ini sebagai tempat untuk mencetak ulama yang memiliki kemampuan memahami kitab kuning. Yang menjadi tantangan institusi ini adalah sejauhmana pesantren ini dapat mengantarkan anak didiknya benar-benar memiliki keahlian yang tinggi dalam memahami substansi ilmu-ilmu agama dalam khazanak klasik itu. Juga tantangan berikutnya, sejauhmana lulusan dari pesantren ini dapat menjadi "ulama" yang mumpuni, yang semakin langka akhir-akhir ini. Dalam dunia pendidikan Islam termasuk dunia pendidikan pesantren, banyak hal yang menarik untuk diteliti, baik dari aspek lembaga maupun dari sisi tokoh yang menjadi arsitek berdirinya suatu lembaga. Sebagaimana telah dilakukan oleh penulis kepada seorang tokoh pendidik yang beretnis Betawi, yang hidup di kota metropolitan Jakarta yang masyarakatnya demikian kompleks. Abdullah Syafi'ie, sebagai seorang ulama yang hidup di kota ini, tentu saja tantangan yang dihadapinya jauh berbeda dengan tantangan yang dihadapi oleh ulama yang hidup di kota lain, apalagi yang hidupnya di pedesaan. Dari sisi ini menjadi menarik untuk meneliti

231

tokoh ini. Kiprahnya dalam bidang pendidikan salah satu saja dari sekian kiprahnya, seperti bagaimana dia ber-kiprah melalui stasiun radionya dalam menyampaikan pesan-pesan agama; bagaimana pula kiprahnya dalam pengembangan majelis ta'lim yang menjadi fenomena yang menjamur saat ini. Hal-hal tersebut cukup menarik untuk dikaji oleh kalangan akademisi lainnya. Selain itu, Jakarta sebagai kota metropolitan, kehidupan umat beragamanya banyak mendapatkan tantangan yang luar biasa berupa ancaman tata nilai hidup budaya modern. Di kota Jakarta telah muncul sejumlah ulama yang kiprahnya tidak kecil, maka penelitian terhadap kiprah mereka di tengah masyarakat menjadi penting.

232

DAFTAR PUSTAKA

Abd., al, Baqi, Muhammad Fu'ad, Shahih Muslim, (Bairut: Dar Ihya al-Turast al-Arabi, 1954). ______, al-Mu'jam al-Mufahras li al-Fadh al-Qur'an al-Karim, (Bairut: Dar al-Fikr, 1981). Abdurrahman, Jalaluddin bin Abi Bakar al-Suyuti, al-Jami’ al-Shagir, fi ahadits al-Basyiri al-Nadziri,( Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t,t), Juz II. Afzalurrahman, Qur'anic Sciences, (Singapura: Pustaka Nasional, 1981)). Alawiyah, Tutty, “KH. Abdullah Syafie-Pribadi, Visi dan Derap Perjuangannya”, dalam KH. Abdullab Syafi'ie-Tokoh Kharismatik 1910-1985 (Jakarta: Perguruan Al-Syafi'iyah, 1999). ______, (ed.), Yatim dan Masalahnya, (Jakarta: UIA Press,1988). Al-Faruqi, Ismail, Islamization of Knowledge: “Problems, Principles and Prospektif, dalam Islam”, A Source and Purpose of Knowledge, (Hendorn:IIIT, 1988). Alfian, Pemikiran dan Pembaharuan Politik di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1980). Ahmad, Amrullah, "Kerangka dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam", dalam Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991). Ainaini, Abu Khalil, Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Quran al- Karim, (Qahirah: Dar al-Arabi, 1980). Algar, Hamid, Ulama, dalam Mircea Eliade, ed. The encyclopedia of religion, (New York: Macmilan Publishing, 1987).

233

'Athiyah al-Abrasyi, Muhammad, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Bustami A. Gani dan Djohar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) Al-Ghazali, Abu Hamid, Imam, Ihya Ulumudin, (Cairo: Dar al-Fikr, tt). Ali, H.A., Mukti, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta : IAIN Press, 1988). ______, Islam dan Sekularisme di Turki, (Jakarta: Jembatan, 1994). Ali, Fachry, Islam, Ideologi Dunia dan Dominasi Struktural, (Bandung: Mizan, 1984). Al-Lahham, Said, al-Muwattha’ Imam Malik, (Bairut, Dar al-Fikr li at- Tiba’ah wal-Nasr wa al-Tauzi’, 1989). Abdurahman, Jalaluddin bin Abi Bakar al-Suyuthi, al-Jami' al-Shaqir, (Beirut: Dar Kutub Al-'Ilmiyah, 1954), cet. 4 juz I Amir Pilliang, Yasraf, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Bandung: Mizan, 1998). Al-Nahlawi Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan (terj. Hery Noer Ali) dari buku, Ushul al-Tarbiyah wa Asalibuha, (Bandung: Diponogoro, 1989). Al-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995). Al-Tibawi, Islamic Education, (London: Luzac, 1978), Al-Syaibani, Mohammad Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). Al-Khin, Mustfa Said, Atsar al-Ikhtilaf fi Qawaid al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha, (Bairut: al-Muassasat al-Risalah, 1989). Arifin, Muzayyin, Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat, (Jakarta: IAIN, 1988). Arsyad, M. Anwar, Perkembangn Ekonomi Indonesia, 1987-1988, (Jakarta: UI Press, 1988),

234

Ash-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah Pengantar llmu Hadist, (Jakarta: Bulan Bintang, 1945). Asmaran, AS, Pengantar Akhlak, (Jakarta : LSIK, 1994). Ashraf, Ali, Husein Sayid, Horison Baru Pendidikan Islam, alih bahasa Sori (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989). Attas, al, Syed Muhammad Naquib, Aims and Obyektives of Islamic Education, (Mekkah : King Abdul Aziz University. 1979). ______, “Konsep Pendidikan Dalam Islam”, (terj. oleh Haidar) Bagir dari judul asli The Concept of Education in Islam Framework for an Islamic Philosophy of Education, (Bandung: Mizan, 1992). Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 1999). ______, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999). ______, The Rise of Muslim Elite Schools: A New Pattern of Santrinization in Indonesia", Yogyakarta, al-Jami'ah, 1999, No. 64/XIV. ______,"Pembaharuan Pendidikan Islam", dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amisco, 1996). ______, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar Pembaharu Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung : Mizan, 1995), cet.2. Azmi, Wan Husein, "Islam di ACEH: Masuk dan Perkembangan Hingga Abad XIV", Ali Hasjmi (ed.), Sejarab Masuk dan Perkembangan Islam di Indonesia, (Bandung: al-Maarif, 1993). Aziz, Abdul, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos, 2002). Barnadib, Imam, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta : IKIP, 1971).

235

Badaruzzaman, "Goresan dan Kumpulan", dalam KH. Abdullab Syafie-Tokoh Kharismatik 1910-1985 (Jakarta: Perguruan As- Syafiyah, 1999). Boland, BJ, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: Graffiti Press, 1995). Castles, Lance, The Etnic Profile of Djakarta, dalam Indonesia (New York: Cornel University, 1967), Vol. I. Chalil, Munawar, Biografi Empat Serangkai Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955). Daradjat, Zakiah, Ilmu. Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992). ______, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970). Data Yayasan Perguruan al-Syafi’iyah, 2002, Data Yayasan Perguruan Islam Al-Syafi’iyah, 2002. Dananjaya, Utomo, "KH. Abdullah Syafi'ie-Khadimutthalabah", dalam KH. Abdullah Syafie-Tokoh Kharismatik 1910-1985 (Jakarta : Perguruan As-Syafiyah, 1999). Daud Ibrahim, Marwah, Teknologi, Emansipasi dan Transendensi, (Bandung: Mizan, 1995). 1Depag, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta: Ditbinrua, 2001) Departemen Agama, Data Keagamaan Tahun 2000, (Jakarta: Depag. 2000). ------, Emis, 2000 ------, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Binbagais, 1987). Dhofier, Zamakhsjari, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994). Daerah Khusus Istimewa, Teguh Beriman, (Jakarta: Pemda DKI, 1997). Du Bois, Nelson F, Educational Psychology and Instruksional Decision, (Home-wood: Illinos, the Dorsey Press, 1979).

236

Effendi, Bachtiar, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina, 1998).

Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (terj. Ibrahim Husen), (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). Farida, Meutia, "Sistem Nilai dan Etos Kerja Masyarakat Betawi", dalam Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa, (Jakarta : Yayasan Festival Istiqlal, 1996). Faqih, Mansour, Jalan Lain, (Yogyakarta: Insist Press, t.t.). ______, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press, 2003). Furchan, Arief, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2003). Fromm, Erich, Psychoanalisys and Religion, (New Haven and London : Yale University Press, 1976) Gafar, Affan, "Islam dan Politik dalam Era Orba", Ulumul Qur'an, Jakarta, 1983, No. 2, vol. IV. Ghamaly, al, Mohammad Fadhil, Tarbiyah al-Insan al-Jadidi, (Tunis : Matba'ah al-Ittihad al-Am al-Tunisiyah al-Syghly). ______, Falsafah Pendidikan Dalam al-Qur'an (terj.Asmuni S dari buku asli al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur'ani, (Surabaya : Bina ilmu, 1986). Gazalba, Sidi, Modernisasi dalam Persoalan: Bagaimana Sikap Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Gibb, H.A.R dan J.H, Kramer, "Pesantren" dalam Shorter Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1961). Hadisucipto, Sekitar 200 Tahun Sejarah Jakarta 1730-1945, (Jakarta: Dinas Mesium Sejarah, 1976). Hadi, Abdul, “Prospektif Kebudayaan Islam”, dalam Islam dan Transformasi Sosial Budaya, ed. Naufal Ramzy, (Jakarta, Deviri Ganan, 1993),

237

Haekal, Mohammad Husein, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Pustaka, 1992). Haedari, Amin, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Modern, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003) Hamid, Abu, Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan, dalam Taufik Abdullah (ed.) Agama dan Pembahan Sosial, (Jakarta : Rajawali Press, 1983) Hamid, Algar, dalam The Encyclopedia of Religion, (New York: Macmillan Company, 1987). Hamdy, Rifat, Meningkatkan Mutu Pendidikan MIPA di Pondok Pesantren, Makalah, disampaikan ke Ditjen Bagais, 2001. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982). Hanna, A,Willard, Riwayat Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor, 1988. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo, 1996). Hurgronje C, Snouck, Pan Islamisme dari Mekkah, (Jakarta: INIS, 1996). Hurlock B, Elizabeth, Adolescent Development, (New York: McGraw- Hill Book Company, 1967). Hijazi, Muhammad Mahmud, Muhammad, al-Tafsir al-Wadih, (Qahirah: Mathbaah al-Istiqlal al-Kubra, 1968). Idris, Jakfar, Islam dan Perubahan Sosial, (Bandung: Mizan, 1984). Indra, Hasbi, "Merajut Serpihan Umat" dalam Agama Di Tengah Kemelut (ed.) Hasan M. Noer, (Jakarta: Mediacita, 2001). ------, "Pesantren dan Masyarakat"', Ikhlas, Majalah Depag., Nomor 23. Th. V Juli 2002, ______, "Diskursus Pendidikan Islam Kontemporer" dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (ed.) Abuddin Nata, (Jakarta: Grasindo, 2001).

238

______, "Departemen Agama Sebagai Perekat Persatuan Nasional" dalam Majalah Ikhlas, No. II, th. III, 2000, Dep. Agama RI. Iqbal, Muhammad Zafar, Islam di Jakarta (Studi Sejarah Islam dan Budaya Betawi), (Jakarta : t.p., 2002). Irsan Madjid, al-Kailani, Falsafatu al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Makkah: Maktabah al-Hadi, 1988) ______, al-Fikrah al-Tarbawi Inda ibn Iaimiyah, (Madinah: al-Turas, 1979). Yasuka, Kobayashi, Kyai and Japanese Military, (Jakarta: IAIN, 1997). Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: LSIK, 1997),. ______, Peran Ulama Dalam Masyarakat Betawi, Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996). Yakin, Husnul, “Manajemen Pendidikan Dalam Prespektif Islam”, Edukasi Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 1 Nomor 1 Januari –Maret 2003, Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Mahmudah, 1996). ______, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Mahmudiah, 1961). Jalaluddin, Santi Asromo KH.Abdul Halim, (Jakarta: Disertasi Pascasarjana IAIN, tak diterbitkan, 1990). Jamaluddin, Muhammad Mukarrom al-Anshari, Ibn. Manzur, Lisan Arab, (Cairo: Dar al-Misriyah li Ta'lif wa Tarjamah, t.t.). Kapten, Nico, The Muhimmat al-Nafa 'is.- A Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian muslim's from the End of the Nineteenth Century, (Jakarta: INIS, 1997). Kailani, Madjid Irsan, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Makkah : Maktabatu Hadi, 1988). ______, Al-Fikrotu al-Tarbawi inda Ihnu Taimiyah, (Madman: Dar al- Turast, 1979).

239

Kamaruzzaman, "Kontribusi Daerah Aceh Terhadap Perkembangan Awal Hukum Islam di Indonesia", al-Jami'ah, No. 5/V1/2000. Karim, Rusli, Perjalanan Partai politik di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983). Karno, Rano, "Masyarakat Betawi Dalam Si Doel Anak Sekolahan", Seminar Budaya Betawi, IAIN Jakarta, 3 Juli 1999. Kartodirjo, Sartono, Sejarah Nasional, (Jakarta : Baku Pustaka, 1977). Kemal Hasan, Mohammad, Modernisasi Indonesai-Respon Cendikiawan Muslim, (Jakarta: LSI, 1987). Khaldun, Ibn, Muqaddimah, (Mesir: Mathbaah Mustafa Muhammad, 779 H). Krathwohl, David R, Taxonomy of Educational Obyektives Handbook II. Affective Domain, (New York: David Comapany, 1974). Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta : Pustaka Husna, 1988). ______, Manusia dan Pendidikan-- Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta : al-Husna, 1986). Madjid, Nurcholish, Islam, Doktrin dan Peradaban-- Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992). ______, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994). ______, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997). ______, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997). ______,Modernisasi Ialah Rasionalisasi Bukan Westernisasi, (Bandung: tp. 1968). Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos,1999). Ma'arif, Ahmad Syafi'i, Islam dan Politik, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996).

240

Mansoer, Tolchah, Teks Resmi dan Beberapa Soal tentang UUD 1945, (Bandung: Alumni, 1977), Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Maarif, 1964). Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994). Ma’lun Abu Luwis, al-Munjid, (Bairut: Dar al-Mansyur, 1984). Mas’ud, Abdurrahman, “Pendidikan Islam dalam Era Reformasi dan Globalisasi”, Religia, STAIN Pekalongan, Edisi II/ 1999. Melayu, Hasnul Arifin, “Islam As an Ideology the Political Though of Tjokroaminoto”, Studia Islamika, Vol. 9, Number 3, 2002. Mendagri, Profil Propinsi DKI Jakarta, (Jakarta: Imermasa, 1990). Mochtar, Affandi, 'The Tawhidic Foundation To The Philosophy of Education", Lektur, STAIN Cirebon, No. IX/2000. Mudzhar, M. Atho, "Islam in Indonesia (The Politics of Recycling and the Collapse of a Paradigm)", al-Jami'ah, IAIN Sunan Kalijaga, No. 5/VI/2000. Munawarah, Djunaidatul, “Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren”, dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga- lembaga Pendidikan Islam, ed. Abuddin Nata, (Jakarta: Grasindo, 2001). Muchtarom, Zaini, Santri dan Abangan di Jawa, (Jakarta : INIS, 1988). Munir, Mursi, al-Tarbiyah al-Islamiyah Usuluha Watatawuruha, (Mesir: Dar al-Maarif, 1987). Muhaimin dan Abdul Mujid, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda, 1993). Muhaimin et.al., Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003).

241

Muluk, Taufi Effendi, Beberapa Kumpulan Epos Betawi, (Jakarta: Dinas Mesium, 1979). Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986). ______, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : Bulan Bintang, 1982). ______, Islam Rasional—Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998). Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : Grafindo, 1999). ______, Konsep Pendidikan Ibn Sina, Jakarta : Disertasi S3 IAIN Jakarta, ttp. 1997). ______, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1997). ______, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001). ______, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 2003),

Nizar, Samsul, "Lembaga pendidikan Islam di Nusantara: Melacak Akar pertumbuhan Surau sebagai Lembaga Pendidikan di Minangkabau Sampai kebangkitan Perang Padri", dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (ed.) Abuddin Nata, (Jakarta: Grasindo, 2001). Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 - 1942, (Jakarta : LP3ES, 1980). ______, Majalah Api, 3 Oktober 1966. ______,Partai-partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987). Notosusanto, Nugroho, (ed). Sejarah Nasional, (Jakarta: P&K, 1983). Poerwadarminto, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976). Qadir, Zauli, "Pendidikan Islam Transformatif", Afkar, No. 11, 2001.

242

Quthub, Muhammad, Minhaju al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Mesir: Dar al-Qalam, t.t.). ______, “Islam dan Kapitalisme” dalam Salah Paham Terhdap Islam, (Bandung: Pustaka, 1982). Rahmat, Jalaluddin, “Islam Menyongsong Peradaban Dunia Ketiga”, Jurnal Ulumul Quran 2, 1986. Rahman, Arif, “Kita Tak Punya Guru”, Republika, 1 Mei 2000. Rahman, Fazlur, Islam, (Bandung : Pustaka, 1984). Rasyad, Aminuddin, Ikhlas, Majalah Depag.,No. 22 Th. 16, 2002, Rasyidi, HM, “Usaha Mengkristenkan Indonesia dan Dunia”, Suara muhammadiyah, No. 1, 1968. Riyanto, Edi, (penyt). dalam Partai Politik Era Reformasi, (Jakarta: PT. Abadi, 1998), Ruswanto, Bur, “Diperlukan Reformasi Kebudayaan”, dalam Dialog Kini dan Esok, (Jakarta: Lepenas, 1997), Saby, Yusni, “A Profile of the Ulama in Acehnese in Society”, al- Jamiah, IAIN Sunan Kalijaga, Vol. 38, No. 2, 2000. SB. Vitalaya Aida, "Peran Perempuan Betawi Menyongsong Milenium III", Seminar Budaya Betawi, IAIN Jakarta, 3 Juli 1999. Salatore, Ulama di Elit Dalam Prespektif Sejarah, (Jakarta: LP3S, 1983). Saleh, Abdul Rahman, Madrasah dan Pendidikan anak bangsa (Jakarta: Rajagrafindo, 2003), Saqir, Ahmad Muhammad, Shahih Buchari, (Bairut: Dar Ihya al- Turast al-Arabi, 1904). Saifuddin, dan Rifai, "The Indonesian Islamic Culture From Aceh", Ulumul Qur'an, 1992, vol. III. Sagimun, Jakarta Dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, (Jakarta: Dinas Mesium Sejarah, 1988).

243

Saidi, Ridwan, "Masyarakat Betawi Asal Usul dan Peranannya", dalam Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996). Schoorl, J.W, Modernisasi Pengantar Pembangunan Negara-Negara sedang Berkembang, terj. Soekadidjo, (Jakarta : Gramedia, 1974). SF. Sudjana, Pendidikan Nonformal, (Bandung: PTDI, 1974). Shahab Alwi, “Betawi Asli”, Republika, 20 Juni 1999. ______, “Robin Hood Betawi”, (Jakarta) Agustus Republika, 2001. ______, “Komunitas Kampong Sawah”, Republika, 2 Januari 2000. ______, ”Mengenal Lebih Dekat Ulama Betawi”, Republika, 17 Oktober 1999. Singarimbun Masri, Tipe, Metode dan Proses Penelitian, (Jakarta : LP3ES, 1987). ______, Irawati, “Teknik Wawancara”, (Jakarta: LP3ES, 1987). Shihab, Quraish, Wawasan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1998). Suyuthi, al, Jalaluddin Abdu al-Rahman, al-Jami'u al-Shaqir, (Beirut: Dar Kutub Ilmiyah,"1954), juz I, cet. 3 Sumarno, Kohar Hari, Manusia Indonesia, Manusia Pancasila, (Jakarta: Galia Indonesia, 1984). Sulaiman, Fathiyah Hasan, Konsep Pendidikan al-Ghazali, alih bahasa A. Hakim, (Jakarta : P3M, 1986). Suminto, Aqib, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Yayasan Obor, 1988). Smith D,. Anthony, The Ethnic Revival, (London : Cambridge University, 1961). Steenbrink Karel. A, Pesantren-Madrasah-Sekolah, (Jakarta: KP3ES, 1986). ______, Dutch Colonialism and Indonesian Islam : Contacts and Conflicts 1596-1950, (Amsterdam : Rodopy, 1993).

244

Syafi’i Noer, Ahmad, Pesantren : “Asal-usul dan Pertumbuhannya”, dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga- lembaga Pendidikan Islam, ed. Abuddin Nata, (Jakarta: grasindo, 2001). Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973). Syaibani al, Omar Mohammad al-Toumy, Falsafat Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung dari judul asli Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). Shaban, M.A, Sejarah Islam, Mahnun Husein dari Islamic History: A New Interpretation, (Semarang: IAIN Walisongo, 1996) Shabir, Muslih, "The Educational Reform of the Muhammadiyah reflection of Muhammad Abdu's Influences", Ihya Ulum al- Din IAIN Walisongo, 2000. Simatupang, T.B., “Agama dan Kebudayaan Nasional”, Tinjauan Empirik, ed. Musa Asy’ari, (Yogyakarta: IAIN Press, 1988) Syafi'ie, Abdullah, al-Muassasat as-Syafi'iyyah al-Taklim-iyyah, (Jakarta: Perg. As-Syafi'iyyah, t.t..). ______, "Penduduk Dunia Hanya Tiga Golongan", dalam Kumpulan Khutbah Idul Fitri, (Jakarta : Perg. As-Syafi'iyyah, 1978). ______, Berkenalan Dengan Pesantren As-Syafi'iyah, (Jakarta: Perg. As-Syafi'iyyah, 1981). ______, "Perlunya Memelihara Nur Ilahi", Kumpulan Khutbah Jum'at dan 'Id, (Jakarta: Perg. As-Syafi'iyyah, t.t.) juz II. ______, “Hari Akhirat”, dalam Kumpulan Khutbah Jumat dan Id, (Jakarta : Perg. As-Syafi'iyyah, t.t.). ______, “Sikap Hamba Yang Bakti”, dalam Kumpulan Khutbah Jumat dan Id, (Jakarta: Perg. As-Syafi'iyyah, t.t.), juz I. ______, Akidah Mujmalah, (Jakarta: Perg. As-Syafi'iyyah, 1983). ______, Abdullah Syafi'ie, Kaset Side A, "Surat al-Naziat".

245

______, Abdullah Syafi'ie, Kaset side A, dalam "Kemulyaan al- Qur’an". ______, Abdullah Syafi'ie, "Tentang Zaman Jahiliyah", Kaset, Side A Syarif Khan Mohd. Islamin Ecucation, (New Delhi: Ashis Publisihing House, 1986).. Syariati, Ali, Sosiologi Islam, (Yogyakarta: Ananda, 1982). Spencer, Pulaski, Mary Ann, Understanding Pieget, (New York: Harper Row, 1980). Syaukani, Ahmad, Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001). Syaikhul Ardh, Taisir, al-Madkhal ila falsafah Ibn. Sina, (Bairut: Dar Anwar, 1976). Syuaib, Muhammad Fauzie, "Masyarakat Betawi dan Perkembangan Jakarta", dalam Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa, (Jakarta : Yayasan Festival Istiqlal, 1996). Tabataba'i, al, Sayid Muhammad Husin, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, (Qum: al-Jama'ah al-Mudarrisin al-Mahzah al-Ismailiyah, t.t.) Taher, Tarmizi, Pidato Menag, (Jakarta: Dep. Agama, 1995). Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia Menyongsong Abad XXI, (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), Tibawi, al, Islam Education-Its Tradition and Modernization into the Arab National Systems, (London : Luzac and Company LTD, 1979). Tim, Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990). Tim, Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung : Rosda, 1995). Tim, Penyusun, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Binbaga Islam, 1981). Tjandrasasmita, Uka, Sejarah Jakarta dari Zaman Prasejarah Sampai Batavia tahun 1715, (Jakarta: Dinas Mesium, 1977).

246

Umar, Nasaruddin, "Perempuan Betawi Menyongsong Milenium ke- 3", Seminar Budaya Betawi, IAIN Jakarta, 3 Juli 1999. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani, 1997). Waseno, Iksan, dalam Pengembangan Pendidikan Islam dalam Pengantar ke arab Metode Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Agama Islam, (Yogyakarta : IAIN Press, 1992). Wetheim, Indonesian Society in Transition, (W. Van Hove: the Hague, 1964). Zafar Iqbal, Muhammad, Islam di Jakarta, Studi Sejarah Islam dan Budaya Betawi, (Jakarta: IAIN, tp. 2002). Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 70/1978. Wawancara dengan K.H. Abdul Rasyid pada tanggal 13 Nopember 1999, dan K.H. Abdul Hakim pada tanggal 4 Nopember 1999 dengan Tutty Alawiyah, Ida Farida, tanggal 15 Nopember 1999; dengan H.M. Amirin, tanggal 5 Maret 2000; dengan Saifuddin Amsir, tanggal 4 Januari 2000; dengan Nazir, Lc. (pengelola halaqah) tanggal 6 Maret 2000; dengan Abdurrahman, tanggal 13 Maret 2000; dengan Zulfahmi, tanggal 4 Januari 2000;K.H. Moh. Syafi'i Hadzami tanggal 10 Maret 2001;dengan Soleh R.M, tanggal 22 Maret 2001; dengan Ainul Yakin, 29 Desember 2002; dengan Rahmat S dan A. Nasihin dan Jamaluddin tanggal 29 Desember 2002. Republika, 1 Agustus 1999; Republika, 1 Desember 1999; Republika, (Jakarta), 26 Desember 1999; Republika, (Jakarta), 20 Juni 1999 1999, Republika, (Jakarta), 17 Oktober 1999, Republika, 2 Januari 2000; Republika, Republika, 1 Mei 2000, Republika, Rabu, 31 Mei 2000, Republika, 30 Juli 2000 ; Republika, 22 Desember 2002, Republika Selasa 6 Mei 2003, Pelita,3 September 1985; Pelita, Kamis, 4 September 1985; Pelita, 5 September 1985, Kompas (Jakarta), 4, 15 September 1985. Harian Terbit Jakarta, 11 Maret 1984., Berita Antara, Rabu 4 September 1985.Berita Buana, 6 September 1985, Harian Pos

247

Kota, Rabu 4 September 1985, Harian Suara Karya, Rabu 4 September 1985, Pikiran Rakyat, Rabu 4 September 1985, Sinar Harapan, 3 September , Majalah Kiblat, Jakarta, 2 Agustus 1976; Majalah Tempo, Jakarta, 18 Januari 1980.

248

TENTANG PENULIS

Hasbi Indra lahir 15 Agustus 1958 di Indralaya, Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan, ayahnya bernama H. Hasanuddin dan Ibu Hj. Hasimah. Beristrikan Siti Zubaedah SH bin H. Salamun, dan ibu bernama Hj. Siti Rofiatun, bekerja di Mahkamah Agung RI, memiliki 2 anak yang bernama Alvin Rindra Fazrie, S.Kom., sedang S2 di bidang IT Universitas Hamburg Jerman beristerikan Maria Ulfah, S.Sos., S2 di bidang Budaya di Universitas yang sama, dan Raisa Rindraidah masih kuliah di Ekonomi-Bisnis Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasbi Indra, alumnus sekolah Ibtidaiyah-Aliyah di Madrasah al-Ittifaqiyah Indralaya, OI, Sumatera-Selatan dan se tahun pernah belajar di SPIAIN Yogyakarta; meraih Sarjana Fak. Syariah IAIN Sunan Kalijaga tahun 1985; memproleh Magister tahun 1998/1999 dan Doktor Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2003. Pernah bekerja menjadi pegawai Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, pernah staf Subdit Pembinaan IAIN (1987-1995), sebagai Kasi Pengabdian Masyarakat (1995) dan Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (2008) Diktis; pernah menjadi Kasi Pendidikan Keagamaan dan IPTEK di Subdit Pondok Pesantren (2004); pernah Kasubdit Kurikulum dan Evaluasi Dit. PAIS (2006); pernah Kasudit Pendidikan Diniyah (2010) dan Kasubdit Pendidikan al-Quran (2012-2014), Dit. Pd. Pontren. Pengalaman mengajar sejak tahun 1987-1995 mengajar di UNBOR, Jakarta, UMJ Jakarta 1988-1991 dan UNPAS, Jakarta tahun 2006-2008, Sejak tahun 2006 mengajar di Pascasarjana dan FAI Universitas Ibn. Khaldun, (UIKA) Bogor dan kini Dpk.UIN Sunan Gunung Jati Bandung dan dosen tetap dan sebagai Kaprodi Magister Pendidikan Islam di Pascasarjana di UIKA Bogor. Karya Tulis yang telah dipublikasi antara lain: 1) Berebentuk buku: Wanita Shalihah-dkk, Halam-Haram, dkk. Penamadani, Jakarta, 2003. Aku suci sebelum menikah,

249

Ridamulia Jakarta, 208; Pendidikan Islam Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi, Deepublish, Yogyakarta, 2016, Karya tulis yang sudah dipublikasikan antara lain: “Musyawarah Ditinjau dari Hukum Islam”, Skripsi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 1985; “Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Pancasila, Tesis di S2 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta”, Tahun 1998; “Teori Resistensi dan Peluang Habibie”, Republika Sabtu, 2 Oktober Tahun 1999; “Oposisi Menurut Hukum Islam”, Media Indonesia, Jumat 15 Oktober Tahun 1999; “Maaf Untuk Bangsa”, Pesan, No. 53/Th.II/01/2000; “Rakyat Punya Kuasa”, Pesan No. 64/Th.II/04//2000; “Merajut Serpihan Umat”, Pesan No. 88/Th.II/09/2000; “Depertemen Agama Sebagai Perekat Persatuan Nasional” dalam IKHLAS Depag RI. No. 11 Th. II, 1 Februari 2000; Editor Buku: Islam dan Hegemoni Sosial, Ditperta, 2001; “Diskursus Pendidikan Islam Kontemporer” dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (editor H. Abuddin Nata), Jakarta, Grasindo, 2001, “Hijabul Islam”, Pesan No. 131/Th.III/07/2001;”Pesantren dan Masyarakat’, Majalah IKHLAS Depag, Nomor 23 Th. V Juli 2002; “Agama Itu Damai”, Pesan, No. 202/Th.IV/12/2002; “Dosen IAIN, STAIN dan Tentang Ke depan”; Majalah IKHLAS, Nomor 21, Th.V Maret Tahun 2002; “Pemberdayaan Pesantren”, Pesan, No. 169/Th.IV/05/2002; “Agenda Keterpurukan Umat”, Pesan, No. 183/Th. IV/08/2002; “Pesantren dan Pergolakan Masyarakat’, Majalah Pesantren, edisi VII/th. 1/2002; “Rasionlitas dan Implikasinya’, Pesan No. 220/Th. V/05/2003; “Umat dan Bangsa”, Pesan No. 227/Th. V/05/2003; Sementara itu Karya Buku yang telah dihasilakan, Halal Haram dan Makanan, Penamadani, Jakarta, Tahun 2004; Potret Wanita Shalehah, Penamadani, Jakarta, Tahun 2004; Aku Suci Sebelum Menikah: Petunjuk Praktis Menuju Keluarga Harmonis, Ridamulia, Jakarta, Tahun 2007, Pendidikan Islam, Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi, Deepublish, Yogyakarta, 2017. Berbentuk jurnal yang judul-judulnya 1). Pesantren dan Peradaban, Jabal Hikmah, STAIN Jayapura, Vol. 2, No. 4 Juli 2009; 2). Manajemen Pendidikan Islam, Tawazun, Pansa Sarjana Univ. Ibn.

250

Khaldun, Vol. 4 No. 4 Juli 2010; 3). Pendidikan Diniyah di Era Globalisasi, Yogyakarta, Sosio-Religia, LinkSAS, Vol. 8, Agustuts 2009; 4). Pendidikan Tinggi Islam dan Tantangan ke Depan, Fikrah. FAI Univ. Ibn Khaldun, Vol. 8 No. 1, 2015; 5). Pendidikan Pesantren Era MEA-Proceeding, Seminar Internasional Univ. Ibn. Khaldun; 6). Islamic Religious Education in Era of AFTA, Tarbiya UIN Syahid Jakarta, Vol. 2 No. 2 Des 2015; 7). Pendidikan Tinggi Islam dan Peradaban Indonesia, Jurnal, Tahrir STAIN Ponorogo, Vol.16, No.1 2016; 8). Model Pesantren Kewirausahaan di Era Kompetisi, jurnal Ta’dib UNISBA Bandung, Vo. V. No. 1 2016; 9). Pendidikan Keagamaan Islam dan Manajemen Kenabian, Jurnal Muslim Heritage, Vol. 1, N. 2, 2016; 10). Kurikulum Pendidikan Tinggi Islam di Era Globalisasi, al-Mabsuth, IAI Ngawi, Vol. 11, No. 1 Mare 2017; 11). Salafiya Curriculum at Islamic Boarding School ini The Golabalization Era, Jurnal Tarbiya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017. Pernah pula menulis di Majalah kemenag RI, koran Nasional seperti Republika, Media Indonesia dan Sindo serta Koran lokal seperti Radar Bogor. Pernah pelatihan atau workshop di luar negeri seperti Australia, Malaysia, Singapura dan Turki.

Bogor, 1 Desember 2017

Hasbi Indra

251