STUDI PEMIKIRAN SYEKH AHMAD KHATȊB AL-MINANGKABAWI TENTANG PEMBAGIAN HARTA WARISAN DI MINANGKABAU DALAM KITAB AL- DÂ`Ȋ AL-MASMȖ`

TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H.)

Oleh: MOH. AHSIN NIM: 21160435100021

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/1441 H

ABSTRAK

Moh. Ahsin, NIM. 21160435100021, STUDI PEMIKIRAN SYEKH AHMAD KHATÎB AL-MINANGKABAWI TENTANG PEMBAGIAN HARTA WARISAN DI MINANGKABAU DALAM KITAB AL-DÂ`Î AL-MASMȖ`. Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H / 2020 M. Tesis ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang pemikiran Syekh Ahmad Khatib tentang pembagian harta warisan di Minangkabau dalam kitabnya al-Dâ`i l-Masmȗ`. Baik itu dari segi fatwa Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi tentang harta kewarisan, fatwa Minangkabau lainnya, faktor yang melatarbelakangi pendapatnya dan metode istinbath yang digunakannya. Secara umum, dalam waris di Minangkabau terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama Minangkabau antara yang menentang keras praktek kewarisan tersebut dan yang memperbolehkannya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis yaitu dengan menulusuri dan menelaah sumber-sumber data yang berhubungan dengan pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb tentang waris adat, kemudian mendeskripsikan atau memberi gambaran atas objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul dengan melakukan analisis yang kemudian membuat sebuah kesimpulan. Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian kepustakaan (Library Reseach) dengan menganalisa dari beberapa sumber data yang ada. Adapun Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua karya Syekh Ahmad Khatȋb yaitu kitâb al-Dâ`i al-Masmȗ` dan kitâb al-Manhaj al- Masyrȗ`, sedangkan sumber sekunder menggunakan data-data berupa kitab-kitab fikih, usûl fikih, kaidah fiqhiyyah, artikel, jurnal dan buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam waris adat Minangkabau terdapat dua pendapat, pertama, pendapat Syekh Ahmad Khatȋb yang sangat menolak adanya praktek kewarisan adat tersebut karena tidak sesuai dengan syariat Islam dan harta yang diwariskan adalah harta haram, pendapat ini diikuti oleh Syekh Jamil Jambek dan Syekh , kedua, pendapat Syekh yang memperbolehkan praktek tersebut dan status harta yang diwariskan adalah seperti harta waqaf atau musabbalah, pendapat ini diikuti oleh Syekh Sulaiman al-Rasuli. Adapun faktor yang melatarbelakangi pendapat Syekh Ahmad Khatib adalah bahwa dalam kewarisan adat tersebut terdapat unsur merampas harta ahli waris lain yang merupakan suatu kezhaliman. Metode istinbat yang digunakan oleh Syekh Ahmad Khatȋb dalam kitab al-Dâ`i al- Masmȗ`adalah metode al-Istinbât al-Bayânȋ dan al-Istinbât al-Qiyâsȋ serta al- Istinbât al-Istislâhȋ. Kata Kunci: Pemikiran, Syekh Ahmad Khatȋb, Waris Adat Minangkabau. Pembimbing: Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A, Dr. Isnawati Rais, M.A. Daftar Pustaka: 1950 s.d 2019

v

الملخص

حممد أحسن، رقم قيادة الطالب، رقم قيادة الطالب 21160435100021، دراسة عن أفكار الشيخ أمحد اخلطيب املنانغكابوي حول اإلرث العادي يف منانغكاباو يف كتابه الداعي املسموع، دراسة ماجستري يف األحكام األسرية، كلية الشريعة والقانون جبامعة شريف هداية اهلل اإلسالمية احلكومية جاكرتا، 2020 م / 1441. هتدف هذه الرسالة إىل معرفة املزيد عن أفكار الشيخ أمحد اخلطيب حول طريقة التوريث يف منانغكاباو يف كتابه الداعي املسموع سواء من حيث فتوى الشيخ أمحد اخلطيب املنانغكابوي حول اتممتلك املرياث نفسها وآراء علماء منانغكاباو اآلخرين ضد رأيه، أو من العوامل الكامنة وراء رأيه، أو طريقة استنباطه اليت استخدمها. بشكلعام، جرى اخلالف بني العلماء يف منانغكاباو يف هذا املرياث العادي يعين بني املعارضني ٍبشدة ممارسةَ هذا املرياث وبني اجمليزين له. يستخدم هذا البحث طريقة التحليل الوصفي من خالل البحث وحتليل مصادر البيانات املتعلقة بأفكار الشيخ أمحد اخلطيب حول املرياث العادي. مث أعطي صورة حملل البحث قيد الدراسة من خالل البيانات أو العينات اليت مت مجعها عن طريق إجراء وحتليل اليت يتوصل هبا إىل نتيجة. نوع البحث املستخدم من قبل املؤلف هو البحث

املكتيب عن طريق التحليل من عدة مصادر وبيانات موجودة. ّا أماملرجع األساسي هلذا البحث هو كتابان للشيخ أمحد اخلطيب ومها كتاب الداعي املسموع واملنهج املشروع، ّاوأم املرجع الثانوي فيستخدم البيانات سواء كانت من كتب الفقه، وأصول الفقه واملقاالت واجملالت والكتب اليت تتعلق هبذا البحث. أظهرت نتائج البحث: أن يف املرياث العادي رأيني ، ،أوالً رأي الشيخ أمحد اخلطيب الذي يرفض بشدة ممارسة املرياث العادي ألنه ال يتوافق مع الشريعة اإلسالمية وعنده أن املمتلكات املوروثة حكمها حرام، وجرى على

هذا الرأي الشيخ حممد مجيل مجبيك والشيخ عبد اهلل أمحد، ا، وثانيًرأي الشيخ عبد الكرمي أمر اهلل الذي يسمح مبمارسة املرياث العادي وعنده أن هذه املمتلكات املوروثة حكمها حكم األموال املوقوفة أو املسبَّلة وجرى على هذا الرأي أيضا الشيخ سليمان الرسويل. أما امل العوالكامنة أو األسباب اليت تدفع رأي الشيخ أمحد اخلطيب فهي أن يف املرياث العريف نوع الغصب واالستيالء و على حقوق الورثة اآلخرين وهو نوع من الظلم. وأما طريقة االستنباط اليت استخدمها يف كتاب الداعي املسموع هي طريقة االستنباط البياين واالستنباط القياسي واالستنباط االستصالحي. الكلمات املفتاحية: الفكر ، الشيخ أمحد اخلطيب ، املرياث العادي يف مينانغكاباو. املشرف: األستاذة د. خزمية توحيد ينجو، د. إسناوايت رئيس قائمة املراجع: 1950 – 2019

vi

ABSTRACT

Moh. Ahsin, NIM. 21160435100021, STUDY OF SYEKH AHMAD KHATIB AL- MINANGKABAWI’S THOUGHTS ABOUT SHARING OF HERITAGE IN MINANGKABAU IN THE AL-DÂ`Î AL-MASMȖ` BOOK. Islamic Family Law Study Program, Faculty of Sharia and Law, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 1441 H / 2020 M. This thesis aims to find out more about the thoughts of Shaykh Ahmad Khatȋb about sharing of heritage in Minangkabau in his book al-Dâ`i al-Masmȗ`. Both in terms of Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi’s Fatwa about the inheritance property itself and other people’s Fatwa in Minangkabawi against his opinion, or from the underlying factors of Sheikh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi’s opinon and the retrieval method he uses. In general, there are differences of opinion among Minangkabau ulama between those who strongly oppose the practice of inheritance and who allow it.

This research uses descriptive analysis method that is by searching and analyzing data sources related to the thoughts of Sheikh Ahmad Khatȋb about customary inheritance, then describing or giving a description of the object studied through data or samples that have been collected by conducting analysis which makes a conclusion. The type of research used by the author is library research by analyzing from several data sources. The primary sources used in this study are two works of Sheikh Ahmad Khatȋb, namely Kitâb al-Dâ`i al-Masmȗ` and Kitâb al- Manhaj al-Masyrȗ`, while secondary sources use data in the form of fiqh books, fikh fiqh, fiqhiyyah rules, articles, journals, and books related to this discussion. The results of the study is there are two opinions about Minangkabau customary inheritance, first, the opinion of Sheikh Ahmad Khatȋb who strongly rejects the practice of customary inheritance because it is not suitable with Islamic Shari'a and the inherited property is forbidden (Haram), this opinion was followed by Sheikh Muhammad Jamil Jambek and Sheikh Abdullah Ahmad, secondly, the opinion of Syekh Abdul Karim Amrullah which allows the practice and the status of inherited property is like waqaf property or musabbalah, this opinion was followed by Sheikh Sulaiman al-Rasuli. As for the underlying factor of Sheikh Ahmad Khatȋb’s opinion in the customary inheritance there is an element of seizing the assets of other heirs which is a tyrannical. The retrieval method used by Sheikh Ahmad Khatȋb in the book al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` is the method of al-Istinbât al-Bayânî and al-Istinbât al-Qiyâsî and Istinbât al-Istislâhî. Keywords: Thought, Sheikh Ahmad Khatȋb, Minangkabau Customary Inheritance. Supervisor: Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A, Dr. Isnawati Rais, M.A. Bibliography: 1950 to 2019

vii

بـســـــــــــــم اهلل الرحمن الرحيـــــم

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas penyusunan tesis ini sebagaimana mestinya. Shalawat serta salam tetap selalu tercurahkan kepada junjungan umat Islam Baginda Nabi Muhammad SAW. suri tauladan dan inspirator dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Tesis yang berjudul ʻʻSTUDI PEMIKIRAN SYEKH AHMAD KHATIB AL-MINANGKABAWI TENTANG WARIS ADAT MINANGKABAU DALAM KITAB AD-DÂ`I AL-MASMȖ`ʼʼ penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Prodi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis ingin mempersembahkan tesis ini untuk kedua orang tua tercinta Ayahanda Almarhum Imam Sumber dan Ibunda Niswatun yang Semoga Allah SWT. selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada Ayahanda dan memberikan panjang umur sehat wal afiat kepada Ibunda tercinta, serta guru-guru penulis. Begitu juga dengan kelima saudara penulis yang selalu memberikan support dan semangat kepada penulis agar tak mudah menyerah untuk menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari bahwa suksesnya penulisan tesis ini tidaklah begitu saja dapat diselesaikan dengan mudah dan bukan semata-mata atas usaha penulis pribadi, namun juga karena bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mempersembahkan ucapan terima kasih yang mendalam kepada: 1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, Lc., M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

viii

3. Dr. Nahrowi, S.H., M.H. dan Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag., Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Prof. Dr. Khuzaemah Tahido Yanggo, M.A, Dr. Isnawati Rais, M.A. Dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan petunjuk kepada penulis dalam penyusunan tesis ini. 5. Dr. Abdurrahman Dahlan, MA. Dr. Umar Haddad, M.Ag. Dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya untuk menguji dan mengarahkan untuk kesempurnaan tesis ini. 6. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staf pengajar pada lingkungan program studi magister hukum keluarga fakultas syariah dan hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak pembelajaran serta motivasi dalam menuntut ilmu di kampus ini. 7. Jajaran staf dan karyawan akademik perpustakaan fakultas syariah dan hukum perpustakaan utama serta perpustakaan sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam pengadaan referensi sebagai bahan rujukan tesis. 8. Rekan-rekan seperjuangan magister hukum keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak berbagi ilmu pengetahuan pengalaman dan informasi seputar pendidikan. Sahabat-sahabat dunia akhirat baik yang berdomisili di STAI Imam Syafi’i maupun yang berdomisili di kontrakan Ciputat yang selalu mensupport penulis lewat ketulusan doa-doanya dan penyediaan tempat tinggal untuk penulis dalam mengerjakan tesis.

Jakarta: 18 Agustus 2020 M 01 Shafar 1442 H

Penulis

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI1

1. Padanan Aksara Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts te dan es ث

J Je ج

H ha dengan garis bawah ح

Kh ka dan ha خ

D Da د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy es dan ye ش

S es dengan garis bawah ص

D de dengan garis bawah ض

T te dengan garis bawah ط

Z zet dengan garis bawah ظ

ʻ koma terbalik di atas, hadap kanan ع

1 Pedoman ini disesuaikan dengan buku pedoman skripsi FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017, hlm. 65-70.

x

Gh ge dan ha غ

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

ʼ Apostrop ء

Y Ye ي

H Ha ة

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab seperti bahasa , terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan A fatẖah ََ __ I Kasrah َ __ U ḏammah َ __ Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan Ai a dan i ـَ يْ

xi

Au a dan u ـَ وْ Contoh:

ẖaula = َح و َلْ kaifa = َك ي َفْ urifa‘ = ُع ِر َفْ kataba = َكتَ َبْ

3. Maddah (Vokal Panjang)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd) yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan  a dengan topi di atas ـَا ȋ i dengan topi di atas ـِ يْ ȗ u dengan topi di atas ـُ وْ Contoh:

yaqûlu =يَقُ ولُْ daʻâ = َد َعا qîla =قِ ي َلْ kâna = َك َانْ

4. Ta’ Marbûţah 1. Ta’ Marbûtah hidup transliterasinya adalah /t/. 2. Ta’ Marbûtah mati transliterasinya adalah /h/. 3. Jika pada suatu kata yang akhir katanya adalah Ta’ Marbûtah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka Ta’ Marbûtah itu ditransliterasikan dengan /h/.

Contoh:

ẖadîqat al-ẖayawânât atau ẖadîqatul ẖayawânât =حديقةْالحيوانات

al-madrasat al-ibtidâʼiyyah atau al-madrasatul ibtidâʼiyyah=المدرسةْاالبتدائيةْ

hamzah =~حمزة.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah/Tasydîd ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah (digandakan).

xii

Contoh:

yukarriru = َيُك ِّررُْ allama‘ = َعلَّ َمْ

al-maddu = َالم دْ kurrima = ُك ِّر َمْ

6. Kata Sandang a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiah ditransliterasi dengan huruf asli atau huruf Lam dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung.Contoh: al-salâtu = َّالص ََلةْ b. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh: al-bâẖitsu = َا لبَ ِاح ُثْ al-falaqu =اَ لفَلَ ُقْ 7. Penulisan Hamzah a. Bila hamzah terletak di awal kata maka ia tidak dilambangkan dan ia seperti alif, contoh: ûtiya =ْأُ وتِ َيْ akaltu =أَ َك ل ُتْ b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof, contoh: syaiʼun = َش ي ءْ taʼkulûna =تَأ ُكلُ و َنْ 8. Huruf Kapital Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata sandangnya, contoh: Al-Qur´an= اَ لقُ رآن

al-Masʻûdî = َالم س عُو ِد يْ

xiii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...... i PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...... iii LEMBAR PERNYATAAN ...... iv ABSTRAK ...... v KATA PENGANTAR ...... viii TRANSLITERASI ARAB-LATIN ...... x DAFTAR ISI ...... xiv

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Permasalahan...... 9 1. Identifikasi Masalah ...... 9 2. Pembatasan Masalah ...... 10 3. Perumusan Masalah ...... 10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 11 D. Metode Penelitian...... 11 E. Definisi Operasional...... 13 F. Review Studi Terdahulu ...... 14 G. Sistematika Penulisan ...... 19

BAB II ADAT DAN SISTEM KEWARISAN ...... 21 A. Islam dan Adat Minangkabau ...... 21 1. Minangkabau Sebelum Masuknya Islam ...... 21 2. Masuknya Islam ke Minangkabau ...... 23 3. Adat Istiadat ...... 25 4. Perpaduan Adat dan Agama ...... 28 5. Sistem Kekerabatan Matrilineal ...... 33 B. Kewarisan Harta Pusaka Menurut Hukum Waris Adat Minangkabau ...... 36

xiv

1. Pengertian Harta Pusaka ...... 36 2. Macam-macam Harta Pusaka di Minangkabau...... 37 3. Asas-Asas Hukum Kewarisan ...... 43 4. Ahli Waris ...... 45 5. Sistem Pewarisan ...... 46 C. Kewarisan Harta Pusaka Menurut Hukum Islam ...... 50 1. Pengertian Kewarisan Islam ...... 50 2. Unsur-unsur Kewarisan Islam ...... 52 3. Asas-asas Kewarisan Islam ...... 54 4. Sistem Pewarisan Menurut Hukum Islam ...... 57

BAB III BIOGRAFI SYEKH AHMAD KHATIB AL- MINANGKABAWI ...... 62 A. Riwayat Hidup Syekh Ahmad Khatȋb ...... 62 1. Silsilah Keluarga Syekh Ahmad Khatȋb ...... 62 2. Perjalanan Pendidikan dan Hijrah ke Mekkah ...... 65 3. Karir dan Prestasi Syekh Ahmad Khatȋb ...... 70 4. Akhir Hayat Syekh Ahmad Khatȋb ...... 74 B. Prestasi Syekh Ahmad Khatȋb Dalam Dunia Keilmuan ...... 75 1. Karya Tulis Syekh Ahmad Khatȋb ...... 75 2. Guru-Guru Syekh Ahmad Khatȋb ...... 85 3. Murid-Murid Syekh Ahmad Khatȋb ...... 88 C. Syekh Ahmad Khatȋb Berpolemik ...... 91 1. Berpolemik Dengan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy`Arȋ ...... 92 2. Berpolemik Dengan Sayyid Utsmân bin `Aqȋl Mufti Betawi ...... 95 3. Berpolemik Dengan Syekh Muhammad Sa`ad Mungka ...... 96 D. Sekilas Tentang Kitab al-Dâ`î al-Masmȗ` ...... 98

xv

BAB IV FATWA SYEKH AHMAD KHATȊB AL- MINANGKABAWI DALAM KITAB AL-DÂ`Î AL- MASMȖ` ...... 101 A. Fatwa Syekh Ahmad Khatȋb Dalam Kitab al-Dâ`ȋ al- Masmȗ` dan Pendapat Ulama Minangkabau Terhadap Fatwa Syekh Ahmad Khatib ...... 101 B. Fatwa Syekh Ahmad Khatȋb dan Fatwa Ulama Minangkabau Lainnya Dalam Tinjauan Fikih dan Usȗl Fikih ...... 117 C. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Fatwa Syekh Ahmad Khatȋb Dalam kitab al-Dâ`î al-Masmȗ` ...... 126 D. Sumber dan Metode Istinbat Syekh Ahmad Khatȋb Dalam kitab al-Dâ`î al-Masmȗ` ...... 129

BAB V PENUTUP ...... 145 A. Kesimpulan ...... 145 B. Saran ...... 146

DAFTAR PUSTAKA ...... 148 LAMPIRAN KITAB AL-DÂ`Î AL-MASMȖ` ...... 158 BIODATA ...... 159

xvi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan hukum kewarisan sangat erat kaitannya harta benda yang apabila tidak diberikan sesuai ketentuan yang pasti maka akan menimbulkan masalah besar.1Hukum kewarisan termasuk salah satu permasalahan penting dalam Islam, terbukti pada awal pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang berlaku pada masyarakat Arab Jahiliyyah. Pada masa sebelum datangnya agama Islam yang berhak mendapatkan warisan hanyalah anak lelaki dewasa, karena merekalah yang mampu memegang amanat menjaga harga diri keluarganya dan yang mampu diajak berperang. Sedangkan kaum perempuan selalu ditindas dan hanya dijadikan sebagai alat pemuas nafsu atau sebagai harta yang bisa diwariskan.2Namun setelah kedatangan Islam kedudukan antara laki-laki dan perempuan disamakan dalam hal sama-sama menerima hak warisan meskipun hanya perbandingannya saja yang berbeda, karena dalam Islam yang ditekankan adalah keadilan berimbang dan bukan keadilan sama rata sebagai sesama ahli waris.3 Pembagian harta warisan telah ditentukan dan diatur oleh Allah SWT baik dari pihak laki-laki mapun pihak perempuan, sebagaimana yang disebutkan dalam surat an-Nisa` ayat 7 yang menetapkan warisan antara laki-laki dan perempuan yang mana pada masa Jahiliyyah harta warisan hanya diberikan kepada anak laki- laki saja, sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan bagian warisan dari

1 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, edisi revisi, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 3. 2 Salmah Intan, “Kedudukan Perempuan Dalam Domestik dan Publik Perspektif Gender (Suatu Analisis Berdasarkan Normatifisme Islam)”, (Jurnal Politik Profetik UIN Alauddin Makassar,III,1,2014),h.1.https://wwwJournal.uin-alauddin. Diakses pada 19-8-2020. 3 Jamhir, Hukum Waris Islam Mengakomodir Prinsip Hukum Yang Berkeadilan Gender, (TAKAMMUL: Jurnal Studi Gender dan Islam serta Perlindungan Anak UIN Ar-Raniry Banda Aceh, VIII, 1, Januari-Juni 2019). h. 1. https://jurnal.arraniry.ac.id/index.php. Diakses pada 19-8- 2020.

1

2

orangtuanya yang telah meninggal,4 tetapi ayat ini tidaklah menjelaskan jumlah bagian yang akan diambil oleh masing-masing ahli waris. Pada ayat 11 dan 12 dalam surat an-Nisâ` Allah menerangkan tentang ahli waris dan bagiannya5 dan pada ayat 176 terdapat pembahasan tentang kalâlah.6 Rasulllah SAW dalam haditsnya menjelaskan pembagian tersebut, seperti yang diriwayatkan dalam kitab sahȋh al-Bukhâri yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ٍ 7 أَ حْلُقوا َالفَرائ َض بأَحهلَها، فََما بَق َي فَ ُهَ وِلَحوََل َرُجل ذََكر )رواه البخاري(. Artinya:”Berikanlah harta warisan kepada yang berhak mendapatkannya, sedangkan sisanya untuk laki-laki yang paling dekat garis keturunannya.” (HR. al-Bukhârȋ).

Di Indonesia terdapat beraneka sistem hukum kewarisan yang berlaku yang sering disebut dengan pluralisme hukum, yang mana hal itu disadari mulai muncul sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, sistem tersebut diberlakukan karena melihat kenyataan bahwa masyarakat pribumi mempraktekkan beragam hukum dalam kehidupan mereka yang mana keadaan tersebut menuntut pemerintahan Hindia Belanda untuk memberlakukan hukum yang sama bagi semua masyarakat pribumi.8 Kenyataan di atas mengakibatkan munculnya tiga teori hukum pada masa penjajahan Belanda yaitu: pertama, teori Receptio in Complexu yang dikenalkan oleh Christian Van Den Berg (1845-1927), seorang ahli hukum Islam yag pernah tinggal di Indonesia pada tahun 1870-1887, yang menyatakan bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang, jika orang itu memeluk agama Islam maka hukum Islam yang berlaku baginya. Menurutnya orang Islam Indonesia

4 Jalâluddȋn al-Suyȗti, al-Durru al-Mantsȗr, (Beirȗt: Dâr al-Fikr, T.th), juz. 2, h. 438. 5 Husein bin Mas`ȗd al-Baghawȋ, Tafsȋr al-Baghawȋ, (Beirȗt: Dâr Ihya` al-Turâts al- Araby, 1420 H), Juz. 1, h. 572. 6 Kalâlah adalah warisan orang yang tidak mempunyai anak dan orangtua, lihat Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Tullâb Fȋ Syarhi al-Minhâj, (Mesir, al-Maktabah al-Tijâriyyah, 1983), Juz.6, h. 398. 7 Muhammad Ibn Ismâȋl al-Bukhâri, Sahȋh al-Bukhâri, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al `Arabȋ, Tth), h. 275. 8 Adelina Nasution, “Pluralisme Hukum Waris Indonesia”, (Jurnal Al-Qadâ IAIN Langsa, V, I, Juli 2018), h. 22. Lihat https://journal.iainlangsa.ac.id diakses pada 12 April 2020.

3

telah mempratekkan hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai kesatuan yang disebut dengan reception in complexu. Ia mendasarkan pendapatnya pada sejarah yang mengatakan bahwa hukum Islam telah berlaku pada masyarakat Indonesia sejak 1883 M yang diperkuat dengan adanya Regerings Reglement9 dan Compendium Freijer10 tahun 1706 M tentang hukum perkawinan dan kewarisan Islam.11 Kedua, teori Receptio yang merupakan bantahan Snouck Hurgronje (1857- 1936) terhadap teori reception in complexu yang pada saat itu menjadi penasehat pemerintahan Hindia Belanda urusan agama Islam dan bumi putra. Menurutnya hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat. Hukum Islam bisa diberlakukan jika telah diterima oleh hukum adat. Teori ini menjadi terkenal setelah disistematiskan dan dikembangkan oleh Cornelis van Vollenhoven dan ter Haar dan para pengikutnya. Teori ini sangat sistematis mengkerdilkan dan bahkan menghapus keberlakuan hukum Islam di Indonesia. Pada saat teori ini berlaku politik hukum Islam benar-benar mengalami kemunduran bahkan dalam jurang kehancuran. Para ahli hukum Islam menentang teori ini dan mengatakan bahwa teori ini adalah teori iblis karena hendak mematikan hukum Islam.12 Ketiga, teori Receptio Exit adalah sebagai teori yang menandakan matinya, keluarnya atau dihapusnya teori receptio, munculnya teori ini di awali dengan pengesahan UUD 1945 oleh PPKI pada 17 Agustus 1945. Menurut Hazairin

9 Regerings Reglement adalah peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen di negeri Belanda untuk mengatur pemerintahan daerah jajahan di Indonesia, sebagai akibat dari perubahan Grodwet (UUD) pada tahun 1848 yang disebabkan adanya pertentangan Staten General (parlemen) dan raja yang berahir dengan kemenangan parlemen dalam bidang mengelola kehidupan bernegara. Lihat https://e-kampushukum.blogspot.com/2016/05/sejarah-tata- hukum-indonesia-pada-masa.html. 10 Compendium Freijer adalah kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris menurut Islam di masa penjajahan Belanda yang ditetapkan pada 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh VOC. Lihat Nafi` Mubarok, Sejarah Hukum Pencatatan Perkawinan di Indonesia, (Justicia Islamica IAIN ponorogo, Vol. 14 No. 1, 2017), h. 77. Lihat http://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/justicia/article/view/1220, diakses pada 29 Juni 2020. 11 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2011), h. 28. 12 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Indonesi, (Jakarta: Rajawali Press, 1998), h. 242.

4

bahwa teori receptio sebagai konstitusi Belanda ini telah lama mati, terhapus sejak berlakunya UUD 1945, sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia.13 Munculnya teori-teori di atas setidaknya telah mempengaruhi keberagaman hukum waris yang diterapkan di Indonesia14, ada tiga sistem hukum yang hidup dan berkembang serta diakui keberadaannya di Indonesia yaitu pertama, sistem hukum kewarisan Perdata Barat (Burgerlijk Wetbook) yang berlaku bagi golongan penduduk Indonesia keturunan Eropa, Jepang dan Cina yang memang sudah tunduk pada hukum BW, kedua, sistem Hukum kewarisan Islam yang berlaku bagi golongan penduduk keturunan Timur Asing khususnya Arab yang memeluk agama Islam dan penduduk asli Indonesia/pribumi yang beragama Islam yang menghendaki atau menyatakan mengikuti Hukum Waris Islam dalam pembagian warisan, dan ketiga, sistem Hukum kewarisan Adat yang berlaku bagi penduduk asli Indonesia/pribumi.15 Hukum kewarisan adat di Indonesia sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat kekerabatan/kekeluargaan di Indonesia, dengan kata lain bahwa hukum waris adat sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang ada dalam masyarakat Indonesia yang berpokok pangkal pada garis keturunan, yang mana hal itu terbagi menjadi tiga macam, yaitu:  Sistem kekerabatan melalui jalur ayah (Patrilineal)  Sistem kekerabatan melalui jalur ibu (Matrilineal)  Sistem kekerabatan melalui jalur kedua-duanya (Bilateral) Di antara sistem kewarisan adat yang diterapkan di Indonesia ada sistem kewarisan adat matrilineal, sebelum masuknya ajaran-ajaran agama di Indonesia seperti agama Hindu, Islam dan Kristen,16 sistem ini berlaku dan diterapkan pada hukum adat Minangkabau. Suku Minangkabau adalah salah satu dari sekian banyak suku yang ada di bumi pertiwi ini, suku Minangkabau memiliki kekhasan tersendiri dalam

13 Hazairin, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Tintamas, 1982), h. 7-8. 14 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Rajawali Press, 2005), h. 12. 15 Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bw), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 65. 16 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti. 1993), h. 23.

5

pewarisan harta peninggalan. Perbedaan mendasar dalam pewarisan ini dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan yang dianut masyarakat Minangkabau yang bersifat matrilineal, yang mana sistem pewarisannya berdasarkan pada garis keturunan ibu17. Dalam petitih adat Minangkabau disebutkan “dari ninik turun ka mamak, dari mamak turun ka kamanakan”, mamak yang dimaksudkan adalah saudara laki-laki ibu, sedangkan kemenakan adalah anak dari saudara perempuan mamak. Adapun yang diturunkan atau diwariskan dalam masyarakat adat Minangkabau tersebut ada dua hal yaitu “sako” (gelar dan jabatan) dan “pusako” (harta benda).18 Sejak masuknya Islam di Minangkabau terjadi banyak perubahan pada masyarakat Minangkabau dalam segi adat, yang mana hal ini menunjukkan bahwa Islam mempunyai pengaruh yang kuat dan besar dalam pribadi setiap individu dari masyarakat Minangkabau, sehingga adat yang berlaku di Minangkabau harus sejalan dengan ajaran Islam dan segala adat yang tidak sejalan dengan aturan Islam dinyatakan tidak berlaku lagi. Petitih adat Minangkabau mengatakan “adat basandi syara`, syara` basandi Kitabullah, syara` mangato, adat memakai” (Adat berdasarkan syara`, sedangkan syara` berdasarkan Al-Qur’an dan hadits, syara` mengatur, adat memakai). Berdasarkan petitih di atas apabila terdapat aturan adat yang menyalahi syara` maka yang dipergunakan adalah aturan syara` sedangkan aturan adat yang telah ada ditinggalkan.19 Dalam adat Minangkabau harta secara umum diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi adalah harta kaum yang diterima secara turun temurun dari ninik ke mamak, dari mamak ke kemenakan menurut garis keturunan ibu. Sedangkan harta pusaka rendah adalah harta yang berasal dari usaha sendiri. Selain itu ada juga yang

17 Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, (Jakarta: Tintamas, 1976), h. 6. 18 A.A Navis, Alam Terkembang Jadi Guru (Adat dan Kebudayaan Minangkabau), (Jakarta: PT Temprint, 1984), h. 158. 19 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984), h. 177.

6

menyebutnya dengan harta bersama, artinya harta yang diperoleh selama hidup berumah tangga.20 Pewarisan harta pusaka tinggi ini sesuai dengan ketentuan waris adat Minangkabau, yaitu diwariskan secara kolektif menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Harta pusaka tinggi tidak boleh dijual dan digadaikan untuk kepentingan pribadi atau untuk beberapa orang, tetapi dipergunakan untuk kemashlahatan kaum.21 Sedangkan harta pusaka rendah yang merupakan hasil pencaharian suami istri diwariskan kepada anak sesuai dengan ketentuan syara` yaitu hukum farâid.22 Harta pusaka tinggi adalah tanah garapan nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun dari niniak (nenek moyang) ke mamak dan dari mamak turun ke kemenakan dalam kaum tersebut.23 Setiap harta yang telah menjadi pusaka selalu dijaga agar tetap utuh demi untuk menjaga keutuhan kaum kerabat. Di Minangkabau kemenakan laki-laki mempunyai hak mengusahakan, sedangkan kemenakan perempuan berhak menguasai. Dalam petitih disebutkan “warih dijawek, pusako ditolong” (waris dijawat, pusaka ditolong) yang maksudnya adalah bahwa warisan harta itu diterima dari mamak dan sebagai pusaka harta itu harus dipelihara dengan baik.24 Hubungan kewarisan mamak dan kemenakan ini adalah ciri khas dari hukum kewarisan adat Minangkabau, kewarisan mamak ke kemenakan didasarkan kepada pemikiran bahwa harta adalah milik kaum dan dipergunakan hanya untuk kepentingan kaum.25

20 Adeb Davega Prasna, “Pewarisan Harta di Minangkabau Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam”, (Koordinat, Vol. 17, No. I (April 2018), h. 40. Lihat http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/kordinat/article/view/8094, diakses pada 4 Januari 2020. 21 Sulaiman Al-Rasuli, Pertalian Adat dan Syara`, (Ciputat: Ciputat Press, 2013), h. 36. 22 LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Pedoman Hidup Banagari, (Padang: Sako Batuah, 2002), h. 70. 23 Yelia Nathassa Winstar, “Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau”, (Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37, Vol. 37, No. 2 April-Juni 2007), h. 167. Lihat http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1483/1398, diakses pada 2 September 2019. 24 A.A Navis, Alam Terkembang Jadi Guru (Adat dan Kebudayaan Minangkabau), h. 159. 25 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 238-239.

7

Pewarisan harta pusaka tinggi dari mamak kepada kemenakan di Minangkabau ini telah menjadi sebab terjadinya perdebatan panjang di kalangan tokoh dan ulama Minangkabau. Di antara ulama yang sejalan dengan sistem kewarisan Minangkabau ini adalah Syekh Abdul Karim Amrullah atau yang dikenal dengan sebutan Haji Rasul (ayah dari Buya ). Menurut Syekh Abdul Karim pewarisan harta pusaka tinggi yang ia sebut dengan harta tua tidak dapat diterapkan padanya hukum kewarisan Islam, beliau menganggap bahwa harta tersebut sama dengan harta musabbalah.26Pendapat ini diterima dan didukung oleh beberapa ulama Minangkabau terutama kaum tua.27 Adapun dari kalangan ulama yang menentang keras pembagian harta warisan di Minangkabau adalah Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi, seorang ulama besar yang juga dikenal sebagai imam sekaligus khatîb serta guru di Masjidil Haram dari madzhab Syafi`i yang lahir di lingkungan adat Minangkabau dan meninggal di Makkah.28 Menurutnya proses pewarisan harta di Minangkabau bertentangan dengan ajaran agama Islam dan harta yang dibagikan secara waris adat adalah harta syubhat/haram karena di dalamnya terdapat unsur merampas (ghasab), bahkan menganggap orang yang masih berpegang dengan sistem adat ini adalah orang yang sesat dan yang mengingkari kewarisan Islam adalah kafir.29 Penentangan Syekh Ahmad Khatȋb terhadap sistem kewarisan adat Minangkabau tersebut dituangkan dalam sebuah karya tulisnya yang berjudul al- Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâd al- Akhawât Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ` (Sebuah seruan yang diperdengarkan sebagai bantahan atas orang yang memberikan harta warisan kepada mamak dan kemenakan sedangkan masih ada ahli waris asal dan fara`) yang dikarang oleh

26 Abdul Karȋm Amrullah, al-Farâid, (Sungai Batang-Maninjau: 1931), h. 118-119. menjadikannya atau) جعله في سبيل هللا :Musabbalah ialah terambil dari bahasa Arab yaitu memberikannya dijalan Allah), lihat Majduddȋn Muhammad Ibn Ya`qȗb al-Fairȗz Abâdi, Qamȗs al-Muhȋt, (Kairo, Dâr al-Hadȋts, Tth), h. 453. 27 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 103. 28 Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatȋb, Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini, (Jakarta: Panjimas, 1983), h. 5-8. 29 Ahmad Khatîb al-Minangkabawi al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâdi al-Akhawât Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, (Cairo: Dâr al-Kutub al- Turots, 1893), h. 15.

8

beliau di Makkah pada akhir abad ke-19 dan dicetak beserta hâmisynya yang ditulis oleh gurunya Sayyid Abȗ Bakar Syata.30 Dalam kitab tersebut Syekh Ahmad Khatȋb berkata: ”Dan telah kalian ketahui dari dalil-dalil yang telah saya paparkan bahwa kewarisan adat yang kalian lakukan adalah termasuk kesesatan yang paling buruk yang hampir menjerumuskan kepada kekufuran, bagaimana tidak sedangkan Allah SWT telah berfirman ”Barangsiapa yang tidak memberikan hukum sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir”.31 ”Selama kalian masih berpegang teguh dengan adat yang jelek ini maka tidaklah kalian dapatkan dari shalat kalian, puasa kalian, haji kalian kecuali hanya rasa letih dan masyaqqah, tidak akan kalian dapatkan dari diri kalian ibadah yang murni dan suci dan tidaklah keluar dari anggota tubuh kalian suatu ketaatan kecuali ditolak di sisi Allah.32 Fatwa Syekh Ahmad Khatȋb ini menunjukkan bahwa beliau termasuk satu- satunya ulama Minangkabau yang lantang menentang praktek waris adat, beliau mempunyai asumsi bahwa kebanyakan harta yang ada di Minangkabau adalah harta syubhat karena diperoleh dengan cara yang tidak benar atau dibeli dengan harta yang tidak halal. Faktor inilah yang menyebabkan Syekh Ahmad Khatȋb tidak mau pulang ke tanah kelahirannya Minangkabau, karena menurutnya penduduk Minangkabau telah berbuat maksiat dan bumi yang ditinggali adalah bumi maksiat, sedangkan menjauhi bumi yang menjadi tempat maksiat adalah wajib. Berdasarkan pemaparan di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb yang dianggap melawan arus pemikiran adat orang Minangkabau. Dalam penelitian ini penulis akan meneliti permasalahan ini dengan kacamata hukum fikih dan usûl fikih. Hal tersebut didasarkan pada dua hal: pertama, karena masalah ini ada kaitan dan hubungan yang erat dengan salah satu bab fikih yaitu farâid, dan telah diketahui bahwa kehidupam manusia tidak

30 Nama kitab yang dikarang oleh Sayyid Abu Bakar Syata adalah al-Qaulu al-Mubram Fȋ Anna Man`a al-Usȗl Wa al-Furȗ` Min Irtsihim Muharramun, kitab ini adalah sebuah risalah yang dikarang atas permintaan Syekh Ahmad Khatȋb sebelum kitab al-Dâ`î al Masmȗ` yang isinya sama-sama menolak praktek waris adat. 31 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâdi al-Akhawât Ma`a Wujȗdi al-Ushȗl Wa al-Furȗ`, h. 14. 32 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâdi al-Akhawât Ma`a Wujȗdi al-Ushȗl Wa al-Furȗ`, h. 9.

9

dapat terlepas dari hukum fikih, kedua, karena masalah ini menyangkut fatwa yang tidak lepas dari istinbat hukum yang merupakan inti dari ilmu usûl fikih.33 Dalam tesis ini penulis akan menfokuskan penelitiannya pada beberapa permasalahan baik yang mencakup pendapat Syekh Ahmad Khatȋb al- Minangkabawi tentang status harta di Minangkabau, pandangan ulama Minangkabau lainnya, faktor dan metode istinbat yang digunakan Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi. Permasalahan-permasalahan di atas akan diuraikan kemudian diteliti oleh penulis dalam tesis yang berjudul Studi Pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb al- Minangkabawi Tentang Pembagian Harta Warisan di Minangkabau Dalam Kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ`.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berangkat dari pemaparan di atas, dapat diuraikan dan diidentifikasi beberapa permasalahan: a. Apa yang dimaksud dengan kewarisan adat? b. Apa saja asas-asas kewarisan adat? c. Bagaimana kewarisan adat ditinjau dari hukum kewarisan Islam? d. Apa yang dimaksud dengan sistem kekerabatan matrilineal? e. Sejak kapan muncul sistem kekerabatan matrilineal? f. Apa faktor yang mempengaruhi adanya hukum kewarisan adat di Minangkabau? g. Bagaimana keadaan sosial masyarakat Minangkabau? h. Bagaimana kedudukan perempuan dan laki-laki di Minangkabau? i. Ada berapa macam harta di Minangkabau? j. Apa yang dimaksud dengan harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah? k. Bagaimana proses pewarisan harta di Minangkabau? l. Siapakah Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi?

33 Al-Zarkasyi, Al-Bahru Al-Muhȋt Fȋ Usȗl al-Fiqh, (Kuwait: Dâr Al-Sofwah, 1992), Juz. 5, h. 5.

10

m. Bagaimana pendapat Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi tentang pembagian harta warisan di Minangkabau? n. Apa faktor yang melatarbelakangi pendapat Syekh Ahmad Khatȋb al- Minangkabawi dalam kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ`? o. Apa metode istinbâth yang digunakan Syekh Ahmad Khatȋb al- Minangkabawi dalam kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ`? p. Bagaimana Fatwa Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi dalam pandangan ulama Minangkabau yang lain?

2. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut di atas, maka penulis membatasi permasalahan dengan memfokuskan kepada pembahasan mengenai bagaimana pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi tentang pembagian harta warisan di Minangkabau dalam kitabnya al-Dâ`ȋ al-Masmȗ`.

3. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan pokok yang menjadi dasar dalam penelitian ini adalah pendapat Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi tentang pembagian harta warisan di Minangkabau dalam kitabnya al-Dâ`ȋ al-Masmȗ`. Permasalahan pokok tersebut dapat dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Bagaimana proses pembagian harta warisan di Minangkabau? b. Bagaimana fatwa Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi tentang pembagian harta warisan di Minangkabau dalam kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` dan argument serta pandangan ulama Minangkabau lainnya terhadap fatwa Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi? c. Apa faktor-faktor latar belakang pendapat Syekh Ahmad Khatȋb al- Minangkabawi dalam kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ`? d. Bagaimana metode istinbath yang digunakannya dalam kitab al-Dâ`ȋ al- Masmȗ`?

11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas dapat dijelaskan bahwa tujuan dari ditulisnya tesis ini adalah mengkaji dan mengetahui lebih dalam mengenai pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi tentang pembagian harta warisan di Minangkabau dalam kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ`, baik dari segi fatwanya, faktor yang melatarbelakangi fatwa tersebut maupun metode istinbathnya. 2. Manfaat Penelitian a. Penelitian ini diharapkan membuahkan hasil secara teoritis tentang masalah pembagian harta pusaka di Minangkabau melalui fatwa Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi dan ulama Minangkabau lainnya. Terlebih lagi masalah kewarisan harta ini sampai sekarang masih menjadi polemik di kalangan masyarakat Minangkabau. b. Mengetahui secara dalam fatwa-fatwa ulama Minangkabau terkait pewarisan harta pusaka beserta argument mereka, serta mengetahui faktor- faktor yang melatarbelakangi pendapat Syekh Ahmad Khatȋb al- Minangkabawi. c. Sebagai acuan maupun tolak ukur dalam menggali suatu hukum baik dari Al-Qur`an maupun hadits baik melalui metode istinbath yang digunakan oleh Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi dalam kitabnya al-Dâ`ȋ al- Masmȗ` maupun ulama Minangkabau lainnya terkait pewarisan harta warisan.

D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian ini adalah penelitian yang berkaitan dengan pemikiran Syekh Ahmad Khatib tentang pembagian harta warisan di Minangkabau, yang mana ada kaitannya dengan salah satu bab fikih yaitu farâid dan juga ada kaitannya dengan istinbath hukum yang merupakan inti dari ilmu ushul fikih.

12

Oleh karena itu pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan fikih dan ushul fikih. 2. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat kepustakaan (Library Reseach), karena sumber datanya hanya diperoleh dari sumber tertulis berupa buku-buku atau kitab- kitab yang berhubungan dengan permasalahan ini. 3. Metode Analisis Penelitian ini adalah penelitian yang mengfokuskan perhatian pada pemikiran seorang tokoh yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Metode analisis yang digunakan adalah disatu sisi mendiskripsikan pemikiran Syekh Ahmad Khatib secara utuh, kemudian disisi lain melakukan analisis terhadap pemikiran itu dengan cara membandingkan pemikiran sang tokoh dengan pemikiran tokoh-tokoh lain. Oleh karena itu metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode analisis komparatif, setelah lebih dahulu dilakukan deskripsi. 4. Data dan Sumber Data Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang dijadikan acuan oleh penulis dalam meneliti perkara ini: a. Sumber Data Primer Metode utama yang dipakai untuk menghimpun data yang dibutuhkan penelitian ini adalah penelitian yang dengan mempergunakan sumber-sumber kepustakaan yang ada kaitannya dengan masalah pokok penelitian yang dirumuskan, baik sumber primer maupun sekunder. Sumber primernya adalah karya-karya Syekh Ahmad Khatîb al- Minangkabawi yaitu kitâb al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâdi al-Akhawât Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al- Furȗ` atau kitâb al-Manhaj al-Masyrȗ` yang merupakan terjemah dari kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` yang isinya dengan kitab al-Dâ`ȋ al- Masmȗ`.

13

b. Sumber Data Sekunder Sebagai bahan analisa perbandingan dalam melihat corak pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi digunakan data-data dari sumber sekunder yang berhubungan dengan pembahasan ini, di antaranya:  Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau.  Ahmad Khatib bin Abdul Latif, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târikhi Hayâti al-Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latif.  Hamka, Islam dan Adat Minangkabau.  Abdul Karim Amrullah, al-Farâid.  A.A Navis, Alam Takambang Jadi Guru.  Sulaiman Al-Rasuli, Pertalian Adat dan Syara`.  Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia.  Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Martilineal Minangkabau.  Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmȋ wa Adilllatuhu dan kitab-kitab fikih lainnya.  Jalâluddȋn al-Mahallȋ, al-Badr al-Tâli` Syarhu Jam`i al-Jawâmi` dan kitab-kitab ushul fikih lainnya.

E. Definisi Operasional Untuk menghindari interpretasi yang tidak sesuai dengan judul penelitian ini, maka perlu adanya penjelasan tentang maksud dari penelitian ini: Yang dimaksud dengan studi pemikiran Syekh Ahmad Khatib dalam tesis ini adalah penelitian tentang fatwa atau pandangannya terkait praktek pembagian warisan di Minangkabau yang diwariskan dari ninik ke mamak dan dari mamak ke kemenakan dalam kitabnya al-Dâ`ȋ al-Masmȗ`, yang dilakukan dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi fatwanya, istidlâl yang digunakan oleh Syekh Ahmad Khatib dalam kitabnya tersebut dan kesesuaian fatwa tersebut dengan pandangan para ahli fikih lainnya.

14

F. Review Study Terdahulu Penelitian tentang pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi tentang pembagian harta warisan di Minangkabau dalam kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` adalah studi yang mengarah pada pemikiran seorang ulama nusantara yang mendunia yang mempunyai pendapat tersendiri dalam pembagian harta waisan di Minangkabau. Sebagaimana yang telah dikemukakan penulis di atas bahwa pembagian harta warisan di Minangkabau ini merupakan persoalan yang sangat rumit dan banyak mengundang perdebatan, bahkan sampai sekarang polemik tentang status harta peninggalan di Minangkabau masih diperdebatkan. Kajian-kajian yang cukup baik terkait pembagian harta warisan di Minangkabau dan seluk beluk tentang adat Minangkabau dapat ditemukan dalam karya Amir Syarifuddin yang berjudul Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau,34 Dalam bukunya Amir mendeskripsikan persoalan-persoalan terkait adat Minangkabau, baik dari sisi adat istiadat, sistem kekeluargaan maupun kewarisan harta pusaka dengan metode deskriptif analisis komparatif. Amir hendak menawarkan relasi antara hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat, dan kritiknya terhadap pendapat Syekh Ahmad Khatib. Di samping itu, karya Amir tersebut juga didukung oleh karya Buya Hamka yang bejudul Islam dan Adat Minangkabau.35 Dalam buku ini Buya Hamka menyinggung tentang proses pewarisan harta pusaka tinggi di Minangkabau yang menurutnya tidaklah menyalahi hukum Islam, beliau beralasan karena para pejuang Islam di Minangkabau dulu meskipun kental dengan kehidupan keIslamannya tidak merubah sedikitpun merubah hukum waris harta pusaka tinggi. Dalam bukunya ini beliau mengutip pendapat Syekh Ahmad Khatib dan pendapat Dr. Abdul Karim Amrullah (ayahnya) bahwa harta pusaka tinggi adalah harta wakaf atau harta musaballah sebagaimana yang pernah dilakukan Umar bin Khatab pada hartanya sendiri di Khaibar, dan berhujjah dengan kaidah fiqhiyyah “al-`âdatu muhakkamah”.

34 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung 1984). 35 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984).

15

Untuk menambah keluasan pemahaman tentang hukum adat karena penelitian ini juga berkaitan dengan hukum adat, maka penulis juga merujuk kepada buku Soerjono Soekanto36 yang berjudul Hukum Adat Indonesia yang didalamnya juga dijelaskan tentang sejarahnya munculnya tiga hukum di Indonesia yang termasuk didalamnya hukum adat. Dalam buku tersebut Soerjono menfokuskan pembahasannya pada hukum adat di Indonesia baik yang bernuansa yang termasuk di dalamnya hukum adat Minangkabau. Begitu juga untuk memperdalam pemahaman tentang segala hal yang berkaitan dengan adat Minangkabau penulis juga merujuk kepada karya A.A. Navis yang berjudul Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau,37 dalam karyanya ini A.A. Navis memaparkan tentang sejarah Minangkabau, tambo, falsafah alam, undang-undang dan hukum adat Minangkabau, penghulu, harta pusaka, fungsi rumah gadang, perkawinan dan kesusastraan. Adapun ketentuan tentang pembagian harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah, penulis merujuk kepada Mochtar Naim dalam bukunya Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, ia memaparkan hasil dari Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tahun 1968 yang didalamnya tercantum hasil keputusan Seminar tentang pembagian harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah serta proses pewarisannya.38 Karya di atas juga didukung dengan karya Yuliandre Darwis, Ph.D yang berjudul Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau,39 buku ini membahas tentang sejarah munculnya pers Minangkabau yang di pelopori dua kubu yaitu kaum ulama muda dan kaum ulama tua Minangkabau yang keduanya mempunyai inovasi dan produktifitas pemikiran yang bagus yang memadukan antara dua unsur yaitu ajaran agama yang universal dengan kearifan dan norma-norma

36 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1981). 37 A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1984). 38 Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, (Padang: Center for Minangkabau Studies, 1968). 39 Yuliandre Darwis, Ph.D, Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013).

16

landasan yang telah ada yaitu unsur adat yang termasuk di dalamnya kewarisan harta pusaka Minangkabau. Dalam buku ini juga disebutkan nama Syekh Ahmad Khatȋb sebagai salah satu pelopor adanya pers Minangkabau. Kajian mengenai pembagian harta warisan Minangkabau juga dapat ditemukan melalui karya-karya lain baik berupa jurnal, tesis dan lain-lainya, di antaranya tesis yang berjudul “Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Terhadap Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan Minangkabau”,40 dan tesis “Pelaksanaan Pembagian Warisan Atas Harta Pencaharian Dalam Lingkungan Adat Minangkabau di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang”.41 Tesis “Pelaksanaan Pewarisan Harta Pusako Rendah Menurut Hukum Adat Minangkabau di Nagari Balingka Kabupaten Agam”,42 “Sistem Pewarisan Kekerabatan Matrilineal dan Perkembangannya di Kecamatan Banuhampu Pemerintahan Kota Agam Propinsi Sumatera Barat”,43. Keempat tesis ini membahas tentang harta warisan Minangkabau dipandang dari sudut hukum adat. “Pergeseran Tanggung Jawab Mamak Kepala Waris Terhadap Anak Kemenakan Pada Masyarakat Pariaman Perantauan Menurut Hukum Adat Minangkabau Kota Jambi” tesis ini membahas tentang tugas mamak yang dulunya mempunyai tugas sebagai pengatur serta penanggung jawab masa depan dan kemashlahatan kemenakan yang semakin lama semakin terkikis tanggung jawabnya dan berpindah tanggung jawabnya kepada ayah biologis yang melahirkannya.44 Adapun jurnal yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah Pewarisan Harta di Minangkabau Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam, yang ditulis

40 Sofira Utama, Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Terhadap Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan Minangkabau, Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, 2008. 41 Ria Agustar, Pelaksanaan Pembagian Warisan Atas Harta Pencarian Dalam Lingkungan Adat Minangkabau di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang, Universitas Diponegoro, 2008. 42 Fahmi Fahrur, Pelaksanaan Pewarisan Harta Pusako Rendah Menurut Menurut Hukum Adat Minangkabau di Nagari Balingka Kabupaten Agam, Universitas Andalas, 2020. 43 Asri Thaher, Sistem Pewarisan Kekerabatan Matrilineal dan Perkembangannya di Kecamatan Banuhampu Pemerintahan Kota Agam Propinsi Sumatera Barat, Universitas Diponegoro, 2006. 44 Edwar, Pergeseran Tanggung Jawab Mamak Kepala Waris Terhadap Anak Kemenakan Pada Masyarakat Pariaman Perantauan Menurut Hukum Adat Minangkabau Kota Jambi, Universitas Diponegoro, 2010.

17

oleh Adeb Davega Prasna.45Jurnal ini membahas tentang pembagian harta waris di Minangkabau yang mana ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam, dalam jurnal ini penulis menyebutkan seluk beluk tentang pewarisan harta di Minangkabau dari sisi asal munculnya harta pusaka serta proses pewarisannya, dan juga menyebutkan secara sekilas perbedaan pendapat di antara para ulama Minangkabau tentang pembagian harta tanpa menyebutkan secara detail sebab munculnya fatwa tersebut. Jurnal “Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau”, yang ditulis oleh Yelia Nathassa Winstar,46 dalam jurnal ini penulis memaparkan tentang pembagian harta pusaka Minangkabau, sistem matrilineal yang berpengaruh pada proses perkawinan, pelaksanaan dua sistem kewarisan yaitu Islam dan adat yang mana harta pusaka tinggi yang diwariskan secara adat dan harta pusaka tinggi yang diwariskan secara hukum Islam. Jurnal “Penerapan Hukum Adat Minangkabau Dalam Pembagian Warisan Atas Tanah (Studi di Suku Chaniago di Jorong Ketinggian Kenagarian Guguak VIII Koto, Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Ibu Kota Sariamak” 47 Untuk memahami seluk beluk tentang kiprah corak pemikiran Syekh Ahmad Khatib maka penulis merujuk pada beberapa karya baik berupa buku, jurnal, tesis dan lain-lainnya, di antaranya Syekh Ahmad Khatȋb, Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini, karya Akhria Nazwar,48 buku ini membahas tentang biografi kehidupan Syekh Ahmad Khatîb mulai dari masa kecil beliau, perjalanan intelektualnya, karya-karyanya, murid-muridnya, serta pendapat para ulama tentang ke pribadian Syekh Ahmad Al-Khatîb, pembaharuan yang dicapai oleh beliau dalam dunia keislaman.

45 Adeb Davega Prasna, “Pewarisan Harta di Minangkabau Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam”, (Koordinat, Vol. 17, No. I, April 2018). 46 Yelia Nathassa Winstar, “Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau”, (Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37, Vol. 37, No. 2 April-Juni 2007), h. 167. 47 Ulfa Chaerani Nuriz, “Penerapan Hukum Adat Minangkabau Dalam Pembagian Warisan Atas Tanah (Studi di Suku Chaniago di Jorong Ketinggian Kenagarian Guguak VIII Koto, Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Ibu Kota Sariamak” (Diponegoro Law Journal, Vol: 6, No. 1, 2017). 48 Akhria Nazwar, Ph.D, Syekh Ahmad Khatȋb, Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini, (Jakarta: Panjimas, 1983).

18

“Peran Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi (1860-1916) Dalam Islamisasi Nusantara”, sebuah jurnal yang ditulis oleh Nadia Nur Indrawati,49 Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi dan Polemik Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara, jurnal ini ditulis oleh Ahmad Fauzi Ilyas,50 inti dari jurnal ini adalah fokus membahas tentang polemik tarekat al-Naqsyabandiyyah yang dilakukan di bumi Nusantara. Dari kajian-kajian di atas penulis dapat menyimpulkan adanya beberapa persamaan dan perbedaan antara penelitian ini dengan kajian-kajian di atas, adapun dari segi persamaannya dapat dilihat dari dua poin: a. Bahwa antara tesis ini dan kajian-kajian di atas sama-sama membahas tentang waris adat di lingkungan adat Minangkabau namun tidak membahas pemikiran Syekh Ahmad Khatib secara detail. b. Bahwa antara tesis ini dan kajian-kajian di atas sama-sama membahas tentang biografi dan pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb namun dalam permasalahan. Adapun dari segi perbedaannya dapat dilihat pada beberapa poin, di antaranya adalah: 1) Penelitian ini meneliti membahas tentang fatwa Syekh Ahmad Khatȋb yang terdapat dalam kitabnya al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` yang dikarang oleh beliau sebagai bentuk penolakan terhadap sistem kewarisan di Minangkabau. 2) Dalam penelitian ini penulis mengkaji tentang jalan pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb dalam kitab tersebut baik dari segi faktor-faktor yang melatarbelakangi fatwa tersebut, metode istinbathnya atau pendapat ulama-ulama Minangkabau tentang pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb. 3) Dalam penelitian ini penulis bukan hanya menukil perbedaan pendapat antar ulama Minangkabau terkait harta pusaka, tetapi penulis juga mencoba memadukan dua pendapat dan juga menggali kebenaran dari pendapat Syekh Ahmad Khatȋb ini.

49 Nadia Nur Indrawati, “Peran Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916) Dalam Islamisasi Nusantara”, (TAMADDUN, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2016). 50 Ahmad Fauzi Ilyas, Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi dan Polemik Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara, (JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2017). E-ISSN: 2628-7435 P-ISSN: 25-28-6110.

19

G. Sistematika Penulisan Keseluruhan tulisan ini terdiri dari lima bab yang mana setiap babnya mengandung beberapa sub pembahasan. Bab I sebagai pendahuluan dari pada pembahasan yang mengambarkan secara umum permasalahan yang sedang diteliti dan digunakan sebagai landasan dalam penyusunan bab-bab berikutnya. Pendahuluan ini memuat beberapa pembahasan yang mencakup latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode Penelitian, definisi operasional, review studi terdahulu, sistematika penulisan. Pada bab II ini karena digunakan sebagai landasan teori pada obyek yang akan diteliti pada bab IV, maka pada bab II ini penulis menggambarkan tentang keadaan Islam dan adat di Minangkabau yang tercakup di dalamnya pembahasan tentang kondisi Minangkabau sebelum dan sesudah masuknya Islam, adat istiadat, perpaduan adat dan Islam di Minangkabau, sistem kekerabatan matrilineal, kewarisan harta pusaka menurut hukum Islam dan adat Minangkabau. Karena tesis ini adalah tesis tentang pemikiran Syekh Ahmad Khatib al- Minangkabawi dalam kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` maka pada Bab III ini penulis menyebutkan tentang segala hal yang berkaitan dengan Syekh Ahmad Khatib al- Minangkabawi yang mana meliputi beberapa sub bab: pertama, riwayat hidup Syekh Ahmad Khatȋb yang mencakup: silsilah keluarga syekh ahmad khatȋb, perjalanan pendidikan, akhir hayat Syekh Ahmad Khatȋb, kedua, kiprah dan prestasi Syekh Ahmad Khatȋb dalam dunia keilmuan yang mencakup karir dan prestasi Syekh Ahmad Khatȋb, guru-guru Syekh Ahmad Khatȋb, murid-murid Syekh Ahmad Khatȋb karya tulis Syekh Ahmad Khatȋb, ketiga, Syekh Ahmad Khatȋb berpolemik, keempat, sekilas tentang kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ`. Kemudian pada bab IV yang mana merupakan inti dan pokok dari penelitian ini maka penulis menyusunnya dalam beberapa pembahasan agar dapat dipahami dengan mudah, yang mana mencakup fatwa Syekh Ahmad Khatȋb dan pandangan ulama Minangkabau terhadap fatwa Syekh Ahmad Khatib, analisis fatwa Syekh Ahmad Khatȋb dan fatwa ulama Minangkabau lainnya, faktor-faktor

20

yang melatarbelakangi fatwa Syekh Ahmad Khatȋb, metode istinbat hukum Syekh Ahmad Khatȋb. Pada bab V yang mana merupakan penutup dari penelitian ini maka penulis mencantumkan kesimpulan yang memuat tentang jawaban dari perumusan masalah yang telah penulis cantumkan dalam bab I dan juga saran. BAB II ADAT DAN SISTEM KEWARISAN MINANGKABAU

A. Islam dan Adat Minangkabau Minangkabau dikenal sebagai suku yang amat kuat dan mengakarnya pengaruh adat yang ada di dalamnya, disamping kuatnya adat istiadat yang mereka pegang mereka juga sangat kuat dalam memegang ajaran agama Islam, karena agama Islam merupakan agama resmi yang dianut oleh masyarakat Minangkabau setelah runtuhnya pengaruh agama Hindu/Budha dan berdirinya kerajaan Islam Pagarruyung. Kuatnya pengaruh Islam dan adat ini dapat dibuktikan dengan petatah yang selalu mereka menjadi slogan mereka “Adat Basandi Syara`, Syara` Basandi Kitabullah”, petatah ini menunjukkan bahwa Minangkabau adalah suku yang mampu memadukan antara ajaran Islam dan ajaran adat dan segala perilaku mereka selalu berdasar pada syara`. Masyarakat Minangkabau sangat kuat dalam memegang ajaran agama Islam sampai dikatakan bahwa tidak ada orang Minangkabau kecuali ia telah memeluk agama Islam. Dalam bab ini akan diperinci beberapa hal yang berkaitan dengan Minangkabau. 1. Minangkabau Sebelum Masuknya Islam Minangkabau adalah suatu lingkungan adat yang terletak kira-kira di provinsi Sumatera Barat. Sejarah telah mencatat bahwa dalam kurun waktu yang cukup panjang, masyarakat Minangkabau telah terstruktur secara rapi dibawah kekuasaan penghulu1 dan pemerintahan adatnya, akan tetapi sangat sulit untuk mengungkap kepastian munculnya Minangkabau dan tidak ada tulisan yang mengindikasikan kemunculan adat Minangkabau. Kenyataan tentang

1 Yang dimaksud dengan “penghulu” disini bukanlah penghulu yang bertugas menikahkan orang, melainkan penghulu yang berkedudukan sebagai pemimpin adat dalam masyarakat. Dalam masyarakat adat Minangkabau, penghulu merupakan sebutan kepada ninik mamak pemangku adat yang bergelar datuk. Lihat Suryami, “Konsep Kepemimpinan dalam Tambo Minangkabau”, (JURNAL KANDAI, Vol. 10, No. 2, November 2014), ISSN 1907 - 204X e-ISSN2527 – 5968, h. 204. Lihat https://ojs.badanbahasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/kandai/article/view/323/142, pada 6 Januari 2020.

21

22

Minangkabau hanya bisa sedikit diketahui dari cerita-cerita tambo,2 kaba,3 dan beberapa sumber lainnya seperti temuan beberapa peneliti yang bisa disimpulkan bahwa Minangkabau sudah ada sebelum Masehi.4 Sebelum menganut aliran kepercayaan, masyarakat Minangkabau sudah memiliki aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-seharinya. Aturan- aturan ini dikenal dengan sebutan “adat” yang digunakan untuk mengatur harmonisasi kehidupan bermasyarakat di Minangkabau.5 Ketika kita menelaah sejarah, akan kita temukan bahwa sebelum masuknya Islam ke Minangkabau, selain menaati peraturan adat, masyarakat Minangkabau juga mengikuti kepercayaan pra-agama, baik animisme maupun dinamisme. Bentuk aktual dari kepercayaan ini adalah mengkultuskan suatu tempat yang dianggap keramat, menaruh sesajian ditempat tersebut dengan harapan dan tujuan tertentu.6 Kepercayaan animisme dan dinamisme ini cukup lama dianut oleh masyarakat Minangkabau, hingga akhirnya menerima pengaruh paham keagamaan dari luar. Agama pertama yang diikuti oleh masyarakat di pulau Sumatera adalah Hindu dan Budha.7 Di Minangkabau sendiri agama Hindu masuk pada abad ke-5 M, disusul dengan agama Budha sekitar abad ke-7 M hingga abad ke-10 M. Agama ini dibawa oleh pendatang dari Hindustan (India) dan dibawa oleh kerajaan-kerajaan yang mengekspansi daerah pulau Sumatera.8

2 Tambo merupakan pendapat yang diambilkan dari cerita-cerita rakyat atau tradisi lisan yang berkembang turun-temurun dari generasi ke generasi. Lihat Saifullah, Febri Yulika, Pertautan Budaya-Sejarah Minangkabau dan Negeri Sembilan, (Padang Panjang Timur: Institut Seni Indonesia Padang Panjang, 2017), h. 2. 3 Kaba adalah prosa berirama Minangkabau yang dapat didendangkan seperti pantun dan sebagainya (Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 99. 4 Unhi, Seminar Nasional Agama, Adat, Seni dan Sejarah di Zaman Milenial, Prosiding, (Denpasar: UNHI PRESS, 2018), h. 371. 5 Yusri Akhimuddin, “Naskah (Asal Khilaf Bilangan Taqwim): Relasi Ulama-Umara di Minangkabau Abad ke-17 dalam Penetapan Awal Ramadan”, (Jurnal Manuskripta, Vol. 2, 2012), ISSN:2252-5343,h.81. Lihat http://journal.perpusnas.go.id/index.php/manuskripta/article/view/27/32, diakses pada 6 Januari 2020. 6 Tamrin Kamal, Purifikasi Ajaran Islam Pada Masyarakat Minangkabau (Padang; Angkasa Raya, 2005), h. 55. 7 Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), h. 27. 8 Tamrin Kamal, Purifikasi Ajaran Islam Pada Masyarakat Minangkabau, h. 56.

23

Menurut Amir Syarifuddin kebudayaan Hindu/Budha yang mula-mula masuk ke Minangkabau apabila dilihat dari lintasan sejarah Minangkabau melalui dua cara: Pertama, melalui jalan dagang yang dibawa oleh nahkoda pedagang yang datang dari Hindia, karena pedagang dari Hindia ini beragama Budha, maka agama itulah yang mula-mula masuk dan berkembang di Minangkabau. Pengembangan agama itu berjalan dengan tidak terencana, karena berlaku sambil lalu di kalangan orang-orang dalam dunia dagang. Pengaruh dan perkembangan agama Budha ini diperkirakan berlangsung abad ke IV M. Kedua, penyiaran agama Budha di Minangkabau mulai berlaku pada waktu raja Aditiyawarman memerintah di Minangkabau pada tahun 1347-1375 M. Aditiyawarman adalah seorang pangeran Majapahit yang dilahirkan oleh seorang ibu asal Melayu bernama Dara Jingga. Namun setelah berakhirnya kekuasaan Aditiyawarman di Minangkabau tidak ada lagi yang meneruskan kekuasaanya yang berujung pada lenyapnya pengaruh agama Hindu/Budha - bersamaan dengan masuknya Belanda dan masuknya agama Islam- tanpa meninggalkan pengaruh yang berarti atas adat.9 Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa keadaan Minangkabau dari kepercayaan tidak jauh beda dengan suku-suku yang lain di Nusantara ini yang mana mereka sama-sama mengikuti aliran kepercayaan animisme dan dinamisme, dan agama pertama yang mereka anut adalah Hindu/Budha. 2. Masuknya Islam ke Minangkabau Mengenai awal mula masuknya Islam di Minangkabau terdapat dua pendapat yang bisa dijadikan pegangan, pertama, adalah pendapat Hamka yang menyatakan masuknya Islam ke Minangkabau terjadi sekitar abad ke-7 Masehi. Pendapat ini dikuatkan dengan sejarah perdagangan orang arab ke berbagai belahan dunia. Kedua, adalah pendapat yang menyatakan pada abad ke-13 seiring dengan penyuniversalan masuknya Islam di Nusantara dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai. Namun perkembangan Islam di Minangkabau

9 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 122.

24

selanjutnya ditandai dengan diperintahnya Raja Sultan Alif yang beragama Islam pada abad ke-16.10 Adapun menurut Amir Syarifuddin bahwa Islam masuk dan berkembang di Minangkabau melalui tiga tahap:11 Tahap pertama yaitu melalui jalan dagang, hal itu terjadi karena keterbukaan suku Minangkabau serta memiliki komoditi dagang yang diperlukan, mengundang datangnya saudagar-saudagar bangsa asing untuk memasuki dan mengembangkan pengaruhnya di Minangkabau sekitar abad ke VII. Kebanyakan pedagang-pedagang tersebut berasal dari Persia, Arab dan Gujarat yang telah memeluk Islam. Tahap kedua, terjadi pada saat pesisir barat Minangkabau berada dalam pengaruh kerajaan Islam Aceh. Aceh adalah salah satu bagian pulau Sumatera yang lebih dahulu masuk Islam, karena letaknya di pintu terdepan maka kemungkinan Aceh adalah daerah yang paling cepat untuk menerima pengaruh dari luar. Menurut catatan Ibnu Batutah Islam masuk ke Aceh pada penghujung abad pertama Hijriyah yang dibawa oleh pedagang Arab dan India yang melakukan perdagangan di sepanjang pesisir Aceh. Penyebarannya melalui metode penetrasi damai, toleran membangun, berbaur dengan adat yang ada. Perkembangan dan penyiaran tahap ketiga terjadi pada waktu kekuasaan kerajaan Islam di Pagaruyung. Pagaruyung pada periode ini adalah pusat pemerintahan Minangkabau yang masih memeluk agama Budha yang dipimpin oleh seorang raja bernama Anggawarman Mahadewa, namun sebagian besar masyarakat Minangkabau telah banyak menganut agama Islam. Namun setelah Raja Anggawarman Mahadewa memeluk Islam maka dia mengganti namanya menjadi Sultan Alif, setelah itu agama Islam menjadi agama resmi di Istana

10 Afrinaldi, “Rekonstruksi Pendidikan di Minangkabau (Tinjauan Analisis Psikologi Sosial)”, (Jurnal Ta`dib Faculty of Education Batusangkar, Vol. 12, No. 2, Desember 2009), h. 193- 194. Lihat https://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/takdib/article/view/169/168, diakses pada 25 Desember. 11 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 133.

25

Pagaruyung.12 Dengan berkuasanya Islam di istana raja, maka hal itu mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan Islam di Minangkabau, semenjak itu sistem pemerintahan di kerajaan Pagaruyung mengalami perubahan yang signifikan yaitu berdasarkan adat dan syara` yang diungkapkan dalam pepatah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” dan setelah itu seluruh masyarakat Minangkabau dinyatakan resmi memeluk agama Islam.13 Dari sini dapat dilihat bahwa Islam di Minangkabau mengalami beberapa tahap untuk dapat beradaptasi dengan adat yang ada di Minangkabau ini semua terjadi karena kuatnya pengaruh adat di kalangan masyarakat Minangkabau. 3. Adat Istiadat Kata “adat” berasal dari bahasa Arab yang berarti segala sesuatu yang diulang-ulang dalam bentuk dan cara yang sama.14Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa adat adalah aturan (perbuatan dsb) yang lazim, diturut dan dilakukan sejak dahulu kala. Pendapat lain mengatakan bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta “a” (berarti “bukan”) dan “dato” (yang artinya “sifat kebendaan”). Dengan demikian, maka adat sebenarnya bersifat immaterial artinya adat menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan.15Kata “adat” sering dihubungkan dengan kata “istiadat” yang mempunyai arti segala aturan (tindakan dsb) yang sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun.16 Gabungan dua kata di atas dalam istilah Minangkabau adalah sebuah peraturan yang mengatur tata cara pergaulan antara masyarakat dengan perorangan serta pergaulan antara perorangan dengan sesamanya.17

12 Bakhtiar, dkk, Ranah Minang di Tengah Cengkeraman Kristenisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 16-17. 13Fani Ratny Pasaribu, Manajemen Istano Basa Pagaruyung, (Jurnal Pariwisata Universitas Bima Sarana Informatika, Vol. 6, No. 1, April-2019), P-ISSN: 2355-6587 E-ISSN: 2528-2220, h.74. Lihat https://www.researchgate.net/publication/333477989_Manajemen_Istano_Basa_Pagaruyung, diakses pada 9 Desember 2019. 14 Murtada al-Zabȋdî, Tâjul `Arûs, (Cet. Dâr al-Hidayah, T.th), Juz 8, h. 443. 15 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), h. 70. 16 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 11. 17 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 140.

26

Berdasar pada definisi yang telah disebutkan bahwa adat menyangkut hal-hal yang berbasis kepercayan, menurut M. Nasroen maka “adat” Minangkabau merupakan suatu pandangan hidup yang kekal, segar serta aktual karena didasarkan pada beberapa poin: pertama, ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata dan juga pada nilai yang positif, teladan baik serta keadaan yang berkembang, kedua, kebersamaan dalam arti seseorang untuk kepentingan bersama dan kepentingan bersama untuk seseorang, ketiga, kemakmuran yang merata, keempat, pertimbangan pertentangan, yakni pertentangan menghadapi secara nyata serta dengan mufakat berdasarkan alur dan kepatutan, kelima, meletakkan sesuatu pada tempatnya, keenam, menyesuaikan diri dengan kenyataan, ketujuh, segala sesuatunya berguna menurut tempat, waktu dan keadaan. Masyarakat tradisional Minangkabau menjadikan alam sebagai pedoman hidupnya dan sebagai sumber analogi dalam melahirkan norma-norma yang mengatur kehidupan, juga menuntun dalam berpikir dan bertindak, falsafah alam ini tercantum dalam ajaran alam takambang jadi guru. Belajar dari alam merupakan orientasi berpikir yang dominan dalam masyarakat Minangkabau.18 Masyarakat Minangkabau percaya bahwa sebagian adat yang mereka miliki tidak dapat berubah, meskipun sebagian lainnya dapat mengalami perubahan karena beradapatasi dengan perkembangan zaman.19Oleh karena itu masyarakat Minangkabau membagi adat dalam beberapa tingkatan: Pertama, adat yang sebenarnya adat (adat nan sabana adat), yang dimaksud dengan adat yang sebenarnya adat adalah suatu kenyataan atau undang-undang yang berlaku dalam alam yang merupakan kodrat ilahi atau sesuatu yang telah dan terus berjalan sepanjang masa, seperti adat air membasahi, adat api membakar dan sebagainya.

18 A. A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, h. 57. 19 Dwi Rini Firdaus. et. al. “Potret Budaya Masyarakat Minangkabau Berdasarkan Keenam Dimensi Hofstede”, (Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, Vol. 6, No. 2, Agustus 2018), h. 121. Lihat https://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/download/23229/15171&ved, diakses pada 9 Desember 2019.

27

Kedua, Adat yang diadatkan (adat nan diadatkan) adalah sesuatu yang dirancang dan dijalankan serta diteruskan oleh nenek moyang yang mula menempati Minangkabau untuk menjadi peraturan bagi kehidupan masyarakat dalam segala bidang. Adat yang diadatkan meliputi seluruh segi kehidupan, terutama segi kehidupan sosial, budaya dan hukum. Misalnya tentang nilai kerjasama, perlindungan terhadap anak dan perempuan dan lainnya. Ketiga, Adat yang teradat (adat nan teradat) yaitu adat kebiasan setempat yang dapat bertambah pada suatu tempat dan dapat pula hilang menurut kepentingan. Pelaksanaan adat ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat, oleh karena itu adat yang teradat dapat berbeda antara satu negeri dengan negeri yang lain menurut keadaan, waktu dan kebutuhan anggotanya,20 seperti adat matrilokal (suami tinggal di keluarga pihak isteri) dapat berbeda dari negeri satu ke negeri yang lain. Umpamanya malam ke berapa setelah menikah suami diantarkan ke rumah isteri, atau malam ke berapa anak menantu bermalam dirumah orangtua suami, atau deretan keberapa kamar yang akan ditempati pengantin baru dan yang lainnya. Keempat, Adat istiadat yang dalam pengertian khusus adalah kebiasaan yang sudah berlaku dalam suatu tempat yang berhubungan dengan tingkah laku dan kesenangan. Misalnya pidato adat, ritual pasambahan untuk tamu dan sebagainya.21 Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa keempat macam adat di atas berbeda dalam kekuatannya, karena berbeda kekuatan sumber dan luas pemakaiannya, yang paling rendah adalah adat istiadat. Adat istiadat ini dapat naik ke tingkat adat yang teradat bila telah dibiasakan secara meluas serta tidak menyalahi kaidah pokok yang disepakati. Dalam tingkatan adat yang teradat juga dapat berubah menjadi adat yang diadatkan apabila kebiasaan itu telah menyeluruh di negeri dan telah diakui kebaikannya oleh banyak orang.22A. A.

20 Husni Thamrin, “Enkulturasi Dalam Kebudayaan Melayu”, (Al-Fikra: Jurnal Ilmiyah ke Islaman, Vol. 14, No. 1, Januari-Juni 2015), h.110. Lihat https://ejournal.uin- suska.ac.id/index.php/al-fikra/article/view/3903, diakses pada 9 Desember 2019. 21 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, h. 72. 22 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 146.

28

Navis menjelaskan bahwa peluang terjadinya penyimpangan dengan syara` sangat besar terjadi pada dua jenis adat ini (adat istiadat dan adat nan teradatkan), karena merupakan pengembangan dari nilai atau pandangan universal.23 Amir Syarifuddin melanjutkan bahwa apabila -adat yang teradat yang telah menjadi adat yang diadatkan- telah diyakini kebenarannya dan telah diterima oleh masyarakat sebagai suatu norma yang mengikat maka dapat pula naik menjadi adat yang sebenarnya adat, misalnya kata pepatah”Yang tua dimuliakan, yang kecil dikasihi” sudah menjadi suatu yang bersifat universal. Keempat tingkat adat itu dalam penggunaan sehari-hari dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu: adat, yang mana terkandung di dalamnya adat yang sebenarnya adat dan adat yang diadatkan. Kedua: istiadat, yang mana terkandung di dalamnya adat yang teradat dan adat istiadat dalam arti yang sempit, keseluruhan dari keempat tingkatan adat di atas menyimpulkan kata”adat istiadat Minangkabau”.24 Keterangan di atas menunjukkan kental dan kuatnya serta uniknya budaya adat istiadat yang dipegang oleh masyarakat Minangkabau, tingkatan- tingkatan adat di atas adalah tatanan yang telah disusun oleh nenek moyang meeka untuk menjaga kelestarian adat istiadat alam Minangkabau. 4. Perpaduan adat Minangkabau dan Hukum Islam Sebagaimana telah diketahui oleh banyak kalangan bahkan yang berada di luar lingkungan Minangkabau, bahwa masyarakat Minangkabau sangat identik dengan adatnya, mengingat kuat dan mengakarnya adat istiadat dalam kehidupan mereka. Idrus Hakimy seorang tokoh adat Minangkabau menyatakan bahwa adat Minangkabau adalah suatu ajaran yang dituangkan dalam bentuk petatah petitih atau dengan kata lain norma-normanya dinyatakan dalam arti kiasan yang sangat dalam, dengan suatu ajaran dasar Alam takambang menjadi

23 A. A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, h. 83. 24 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 146.

29

guru (belajar kepada alam).25 Petatah petitih merupakan dasar hukum adat Minangkabau dalam mengambil segala tindakan yang akan dilakukan mencakup segala aspek kehidupan bermasyarakat di Minangkabau seperti politik, ekonomi sosial budaya, pertahanan dan keamanan.26 Masuknya Islam pada masyarakat adat Minangkabau, tahap demi tahap memberi pengaruh yang besar pada adat istiadat Minangkabau. Puncak dari pengaruh masuknya Islam adalah dirubahnya falsafah adat sebanyak 4 kali yang pada awalnya berfalsafah “adat basandi alua jo patuik” (adat bersendikan alur dan patut), kemudian setelah kedatangan Islam pepatah tersebut berubah menjadi “adat basandi alua, syara` basandi dalil” (adat bersendikan alur, syara` bersendikan dalil), pepatah tersebut menunjukkan bahwa keduanya setara dan independen. Setelah itu pepatah tersebut berubah lagi menjadi “adat basandi syara` syara` basandi adat” (adat bersendikan syara`, syara` bersendikan adat), perubahan ini menunjukkan kesetaraan keduanya dan ketergantungan satu dengan lainnya. Kemudian terakhir kali adat ini berubah menjadi “adat basandi syara`, syara` basandi kitabullah” (adat bersendikan syara`, syara` bersendikan kitabullah). Perubahan-perubahan yang terjadi 4 kali tersebut adalah dalam rangka penyesuain antara adat dengan Islam hingga agama Islam menjadi satu- satunya agama yang diakui oleh masyarakat Minangkabau hinga saat ini.27 Awal mula terjadinya pembenturan antara adat Minangkabau dengan Islam adalah pada awal penyiarannya yaitu dalam bidang sosial, khususnya yang menyangkut sistem kekerabatan yang menentukan sistem perkawinan dan kewarisan, hal tersebut dikarenakan adat Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal sedangkan Islam menganut sistem kekerabatan

25 H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997), h. 57. 26 H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, (Bandung: CV. Remaja Karya, 1988), h. 17. 27 Yelia Nathassa Winstar, “Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau”, (Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37, Vol. 37, No. 2 April-Juni 2007), h. 167. Lihat http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1483/1398, diakses pada 2 September 2019.

30

bilateral.28Dalam sistem tempat tinggal keluarga, menurut adat Minangkabau suami tinggal di rumah yang disediakan oleh istri (matriokal)29 bahkan merupakan suatu aib di masyarakat Minangkabau jika seorang suami membawa istrinya ke rumah ibunya yang tanahnya merupakan tanah kaum mereka.30 Sedangkan yang dikehendaki Islam rumah keluarga disediakan oleh suami. Dalam agama Islam pemegang kekuasaan dirumah tangga adalah ayah atau laki-laki,31 sedangkan dalam adat Minangkabau yang berkuasa adalah ibu yang didampingi oleh mamak dan ayah hanya sebagai tamu. Berkaitan dengan tanggungjawab rumah tangga, Islam membebankan sepenuhnya kepada ayah,32 sedangkan dalam adat Minangkabau yang memikul tanggung jawab itu adalah ibu atau mamak. Dalam proses perpaduan dan penyelarasan antara adat dan hukum Islam Amir Syarifuddin menjelaskan beberapa tahap yang telah dilalui oleh masyarakat Minangkabau: Tahap pertama, adat dan syara` (hukum Islam) berjalan sendiri-sendiri dalam batas yang tidak saling mempengaruhi, ini berarti bahwa masyarakat Minangkabau menjalankan agamanya dalam bidang akidah dan ibadah, tetapi

28 Parental adalah Kerabat yang dihitung dari dua garis keturunan (ayah dan ibu), lihat Pius A Partanto M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 2003), h. 569. 29 S. Fatimah, “Gender dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau; Teori, Praktek dan Ruang Lingkup Kajian”, (Jurnal Ilmiah Kajian Gender, Vol. 2, No. 1, 2012), h. 11. Lihat https://www.researchgate.net/publication/274744425_Gender_Dalam_Komunitas_Masyarakat_Minangkab au_Teori_Praktek_Dan_Ruang_Lingkup_Kajian/link/58d58fe8458515337864b8e5/download, diakses pada 2 September 2019. 30 Marlina, “Potret Matrilineal dalam Rumah Untuk Kemenakan” Karya Iyut Fitra, (Jurnal Madah,XI,II,Oktober2018),h.250.Lihathttps://scholar.google.com/scholar?cluster=28774944065378 99266&hl=en&oi=scholarr, diakses pada 3 Oktober 2019. 31 Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar RA. bahwa Nabi SAW bersabda: ُّ ُّ ِ ِِ ِ َِّ ِ ِ ِِ ِِ أَالَ ُكل ُك ْم َرٍاع، َوُكل ُك ْم َم ْسُؤ ٌول َع ْن َرعيَّته، فَال َ م ُ اَيع َعلاَ اَََّا َرٍاع، َوُوَ َم ْسُؤ ٌول َع ْن َرعيَّته، َو َّاََُل ُ َرٍاع َعلَا ْأَوِ ي َيْته، َوُوَ

َم ْسُؤ ٌول َعَْ ُه ْم،...)رواه مسلم( Lihat Muslim, Sahȋh Muslim, (Beirut: Dâr al-Jȋl, 1334), juz. 6, h. 7. 32 Kewajiban itu berdasar pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 233, lihat Sulaimân bin Muhammad al-Bujairamy, Tuhfat ul-Habib `Alâ Syarh al-Khatȋb, (Beirut: Dâr al- Kutub al-Ilmiyyah, 1996), juz. 4, h. 451.

31

yang menyangkut kehidupan sosial, adat lama masih berlaku. Dalam proses ini berlaku falsafah ”Adat bersendi alur dan patut dan syara‟ bersendi dalil”.33 Dalam tahap kedua, salah satu pihak menuntut haknya pada pihak lain hingga keduanya sama-sama diperlakukan tanpa menggeser kedudukan yang lain, bahkan pada pelaksanaannya salah satu di antara keduanya bersandar pada pihak yang lain. Hal ini tergambar dalam pepatah adat “Adat bersendi syara`, syara` bersendi adat”, pepatah tersebut mengandung arti bahwa adat dan syara` saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan. Ungkapan yang sama juga di daerah lain seperti aceh dan Sulawesi seperti pepatah Sulawesi“Adat hula-hula to syaraa, Syaraa hula-hula to adati” artinya adat bersendi syara`, syara` bersendi adat.34 Amir Syarifuddin melanjutkan bahwa dalam beberapa hal penyesuaian dalam bentuk ini memberatkan kepada pihak yang melaksanakannya, karena pada waktu yang sama harus mematuhi dua tuntutan yang berbeda yaitu tuntutan adat dan tuntutan syara`. Tahap kedua ini mungkin bisa diterapkan pada sistem perkawinan dimana seorang anak adalah kewajiban bagi seorang ayah untuk membesarkannya, tetapi jika anak telah besar maka anak tersebut adalah kemenakan bagi mamaknya. Bila mamak telah menemukan jodoh si anak, maka hak melaksanakan akad nikah baru diserahkan kepada ayah. Dari sini dapat dilihat perpaduan antara ajaran syara` dan tuntutan adat. Namun dalam kaitannya dengan harta pusaka pada tahap ini Islam belum dapat mempengaruhi adat, hal itu dikarenakan syara` belum dapat memisahkan harta pribadi dari harta kaum. Prestasi yang dapat dicapai oleh syara` pada tahap ini hanyalah memperkenalkan lembaga baru yaitu hibah dan wasiat. 35 Tahap ketiga, dalam tahap ini meskipun ajaran Islam telah memberi pengaruh pada beberapa aspek kehidupan tetapi pengaruh tersebut belum bisa

33 Zuhri Humaidi, “Fiqih dan Lokalitas dalam Perspektif Multikulturalisme”, (Taswirul Afkar; Jurnal Refleksi Pemikiran Islam dan Kebudyaan, Vol. 26, No. 2, (2008), h. 115-116. Lihat http://madah.kemdikbud.go.id/index.php/madah/article/view/72/64, diakses pada 4 Oktober 2019. 34 Muhamad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum, Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), h. 223. 35 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 174.

32

dianggap banyak oleh sekelompok penyiar agama yang datang setelahnya yang dikenal dengan gerakan reformis Islam, yang ingin membawa Minangkabau kembali ke Kitabullah, mereka menganggap bahwa di Minangkabau masih banyak berlaku perbuatan yang dianggap maksiat oleh ajaran Islam.36 Gerakan pemurnian ajaran agama itu dalam sejarah Indonesia dikenal dengan sebutan kaum Padri. Gerakan ini dipelopori oleh tiga haji yang pulang dari Mekkah yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji Abdurrahman dari Piobang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari Luhak Tanah Datar, mereka berpendapat bahwa umat Islam di Minangkabau baru memeluk Islam namanya saja, belum benar-benar mengamalkan ajaran Islam yang sejati.37 Ide pemurnian Islam itu mendapat sambutan dari sekelompok pemuka agama di Minangkabau, terutama kelompok yang tidak puas dengan keadaan keagamaan masyarakat Minangkabau, akhirnya konflik antara pemuka agama yang ingin pemurnian agama dengan pemuka adat yang ingin bertahan dengan adat yang ditolelir oleh sebagian pemuka agama pun tidak dapat dihindarkan. Kaum tua atau kaum adat Padri menganggap bahwa aktifitas kelompok pemurnian tersebut sangat berbahaya dan dapat menghancurkan tatanan adat Minangkabau, maka kemudian kaum tua meminta bala bantuan kepada Belanda pada tahun 1821-1937 M dan terjadilah perang Padri. Tetapi pada akhirnya konflik ini berkembang menjadi konflik antara kaum Padri baik dari pemuka agama maupun pemuka adat melawan Belanda, hal itu dikarenakan adanya pengkhiatan dari pihak Belanda yang ingin menguasai tanah Minangkabau.38

36 Merry Kurnia, “Pergumulan adat dan Agama (Nikah Sasuku di Minangkabau Dalam Novel Salah Pilih Karya Noer Sutan Iskandar)”, (Ensiklopedia, Jurnal Lembaga Penelitian dan Penerbitan Hasil Peneltian Ensiklopedia, Vol. 1, No. 1, Januari 2019), h. 68. Lihat https://www.neliti.com/publications/271844/pergumulan-adat-dan-agama-nikah-sasusuku-di- minangkabau-dalam-novel-salah-pilih, diakses pada 4 Oktober 2019. 37 K. Subroto, “ & Gerakan Padri”, (JURNAL SYAMINA, Vol. 17, Maret-April, 2015), h. 12. Lihat https://media.neliti.com/media/publications/9058-ID-hukum-waris- islam-dipandang-dari-perspektif-hukum-berkeadilan-gender.pdf&ved, diakses pada 5 Oktober 2019. 38 Putri Citra Hati, Dakwah Pada Masyarakat Minangkabau (Studi Kasus Pada Kaum Paderi), (Islamic Comunication Journal, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2018), h. 113. Lihat https://www.researchgate.net/publication/330964034_Dakwah_Pada_Masyarakat_Minangkabau_Stu di_Kasus_Pada_Kaum_Padri, diakses pada 6 Oktober 2019.

33

Konflik terbuka ini berakhir dengan suatu konsensus yang dicapai di antara pemuka adat dan pemuka agama yang diadakan di bukit Marapalam. Dalam konsensus itu dirumuskan hasil-hasil yang disebut Piagam Bukit Marapalam. Isi dari piagam itu yang terpenting yang menjadi ciri dari proses penyiaran Islam tahap ketiga adalah pepatah: “Adat Basandi Syara`, syara` basandi Kitabullah, syara` mengato, adat memakai” (Adat bersendi Syara`, syara` bersendi Kitabullah, syariat menetapkan, adat mengamalkan). Rumusan adat tersebut memberi petunjuk bahwa yang berlaku dalam kehidupan sosial Minangkabau adalah hukum syara`. Dalam pelaksanaan hukum syara` itu terkandung arti bahwa masyarakat Minangkabau juga telah melaksanakan adatnya dengan syara` dalam bentuknya yang sempurna.39 5. Sistem Kekerabatan Matrilineal Sistem kekerabatan pada masyarakat hukum adat Minangkabau oleh para ahli hukum disimpulkan dalam rumusan kata-kata matrilineal, geneologis, teritorial, karena ia diambil dari garis ibu maka ia bernama matrilineal (matri=keibuan, lineal=garis).40 Pada sistem kekerabatan matrilineal bagi yang seketurunan seperti ini disebut satu suku (se-suku), orang yang berada dalam satu kesatuan suku itu meyakini bahwa mereka berasal dari ibu yang sama yaitu ibu yang mula-mula datang ke tempat itu untuk membangun kehidupan. Kemudian ibu asal beranak dan bercucu, rumah yang mula dibangun di tempat itu tidak dapat lagi menampung seluruh keluarga yang sudah berkembang itu, kemudian mereka membangun rumah-rumah disekitar rumah asal itu, yang mana apabila ditelusuri ke atas secara garis keibuan maka akan terlihat bahwa

39 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 177-178. 40 Maryati Bakhtiar, “Hukum Waris Islam Dipandang dari Perspektif Hukum Keadilan Gender”, (Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. I Maret, 2016), h. 11-13. Lihat https://media.neliti.com/media/publications/9058-ID-hukum-waris-islam-dipandang-dari-perspektif- hukum-berkeadilan-gender.pdf&ved, diakses pada 1 September 2019.

34

mereka berasal dari ibu yang sama. Kesatuan yang berasal dari rumah gadang yang sama itu disebut “separuik”.41 Sedangkan pengertian kaum dalam adat Minangkabau lebih banyak hubungannya dengan nama kesatuan geneologis yang menguasai kelompok harta bersama. Bila penguasa harta bersama adalah kesatuan tingkat rumah, maka serumah dapat disebut “kaum”. Organisasi kaum, eksistensi dan kelangsungannya ditentukan oleh unsur-unsur pokok yaitu: pemerintahan, anggota dan harta pusaka. Harta pusaka yaitu harta yang didapat oleh ibu asal di tempat itu secara mencancang melateh dan diperuntukkan bagi seluruh generasi penerusnya secara kolektif yang penggunaan diatur oleh kepala dari kesatuan kaum.42 Dalam sistem kekerabatan matrilineal ini anak-anak hanya mengenal ibu dan saudara-saudara ibunya, ayah dan keluarganya tidak masuk dalam clan anaknya karena ayah termasuk clan ibunya pula.43Para ahli Antropologi sependapat bahwa garis-garis keturunan matrilineal merupakan yang tertua dari bentuk garis keturunan lainnya. Para ahli dari barat banyak menulis tentang Minangkabau yang ada kaitannya dengan sistem kekerabatan Minangkabau. Salah satu dari para ahli tersebut adalah Branislaw Malinowsky yang mengemukakan sistem kekerabatan Minangkabau sebagai berikut: a. Keturunan dihitung menurut garis ibu. b. Suku dibentuk menurut garis ibu. c. Pembalasan dendam merupakan tata kewajiban bagi seluruh suku. d. Kekuasaan di dalam suku menurut teori terletak di tangan ibu tetapi jarang dipergunakan. e. Setiap individu diharuskan menikah dengan orang luar suku.

41 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 186. 42 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 188. 43 Misnal Munir, “Sistem Kekerabatan dalam Kebudayaan Minangkabau: Perspektif Aliran Filsafat Strukturalisme Jean Claude Levi-Strauss”, (Jurnal Filsafat UGM, Vol. 25, No. 1, Februari 2015), h.14. Lihat https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/12612/9073, diakses pada 1 September 2019.

35

f. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya. g. Pernikahan bersifat matrilokal (suami mengunjungi rumah istri). 44 Yaswirman mengatakan bahwa kekerabatan matrilineal ini dapat dilihat dari beberapa aspek di antaranya: 1) Aspek Geneologis (keturunan) Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa kekerabatan matrilineal Minangkabau berasal dari rumah gadang yang mempunyai satu ibu kandung sebagai orang pertama yang membangun kehidupan di dalamnya. Kemudian dari satu ibu itu muncul dan berkembang anak dan cucu yang menjadikan rumah asal tidak mampu menampung mereka lagi, yang mengharuskan mereka membangun rumah-rumah disekitar rumah asal, dari rumah-rumah tersebut apabila ditelusuri maka akan terlihat bahwa mereka berasal dari ibu kandung yang sama. 2) Batas Kewenangan Antara Laki-Laki dan Perempuan Kendati kekerabatan Minangkabau bercorak matrilineal bukan berarti bahwa laki-laki tidak berperan dalam rumah tangga. Sesuai dengan peran masing- masing, laki-laki yang satu geneologis dengan perempuan mempunyai tanggung jawab yang ketat sebagai pelanjut generasi dalam rumah gadang. Suami dalam adat Minangkabau mempunyai dua tanggungjawab yaitu menjadi suami yang ideal sebagai urang sumando dan berkewajiban menjaga martabat kaumnya di rumah anak dan istrinya, begitu pula bertanggungjawab sebagai ninik mamak dari saudara-saudara perempuan, putera-puteri saudara perempuannya dalam satu garis keturunan matrilineal. Sedangkan perempuan dalam sistem kekerabatan Minangkabau tampil sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab penuh kepada anggota keluarganya. Dia yang mengasuh dan membesarkan anak-anaknya, dan jika dalam suatu keluarga tidak memiliki harta pusaka, maka ibu yang bekerja mencari nafkah. 45

44 P.R. Rauda, Sistem Matrilineal dalam Adat dan Budaya Minangkabau, (Bandung: CV. Lubuk Agung, 2004), h. 217. 45 Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Martilineal Minangkabau, h. 120-126.

36

B. Kewarisan Harta Pusaka Menurut Hukum Waris Adat Minangkabau 1. Pengertian Harta Pusaka Harta pusaka dalam pengertian umum adalah sesuatu yang bersifat materiil yang ada pada seseorang yang mati yang dapat beralih kepada orang lain semata akibat kematiannya.46Dalam pengertian di atas disebutkan kata “materiil’ untuk memisahkannya daripada “sako” yaitu perpindahan yang berlaku dari orang yang mati kepada yang masih hidup dalam bentuk gelar kebesaran menurut adat, oleh karena itu harta pusaka berupa kekayaan yang berbentuk barang atau benda yang diterima atau diwarisi dari leluhur secara bersama-sama oleh suku atau kaum, misalnya: sawah, ladang, rumah gadang, keris dan pakaian kebesaran penghulu dan yang lainnya.47 Bagi alam pikiran Minangkabau yang dimaksud dengan harta ialah benda-benda yang tidak bergerak seperti tanah, sawah, ladang, rumah. Setiap orang yang memiliki harta tersebut disebut sebagai orang yang berharta, tanpa memiliki salah satu dari empat benda tersebut maka seseorang dianggap urang kurang (orang berkekurangan dalam segala hal) dan dipandang rendah. Hal ini dikarenakan masyarakat Minangkabau menganut paham materialism, yang mana pemikiran akan benda menjadi salah satu tolak ukur yang paling utama untuk menilai seseorang.48 Menurut A. A. Navis dalam adat Minangkabau bagi seseorang yang ingin memperoleh suatu harta ada empat hal yang bisa dilakukan: 1) Pusako (pusaka) yaitu warisan yang menurut adat Minangkabau diterima dari mamak oleh kemenakan. 2) Tambilang Basi (tembilang besi), yaitu harta yang diperoleh dari usaha sendiri baik dengan cara manaruko sawah atau membuka hutan untuk perladangan.

46 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 212. 47 H. Julius Dt. Malako Nan Putiah, Membangkik Batang Terandam Dalam Upaya Mewariskan dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa, (Bandung: Citra Umbara, 2007) h. 111. 48 A. A Navis, Alam Terkembang Jadi Guru (Adat dan Kebudayaan Minangkabau), h. 157.

37

3) Tambilang Ameh (tembilang emas), yaitu memperoleh harta dengan cara membeli. 4) Hibah yaitu harta yang diperoleh dari pemberian yaitu pemberian harta ayah kepada anaknya seperti pemberian tanah, sawah, ladang.49 Dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa keberadaan harta pusaka merupakan hal yang sangat urgensi dalam kehidupan masyarakat Minangkabau karena harta tersebut menjadi tolak ukur keberadaan dan martabat seseorang di masyarakat. 2. Macam-macam Harta Pusaka di Minangkabau a. Pusako Tinggi Harta pusaka tinggi adalah harta yang sudah dimiliki keluarga hak penggunaannya secara turun temurun dari beberapa generasi sebelumnya hingga bagi penerima harta itu sudah kabur asal- usulnya.50Harta pusaka tinggi berupa tanah garapan nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun dari niniek (nenek moyang) ke mamak dan dari mamak turun ke kemenakan dalam kaum tersebut. Amir Syarifuddin menyebutkan bahwa ciri-ciri khusus dari harta pusaka tinggi adalah:  Tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya.  Oleh karena itu yang memilikinya adalah kaum secara bersama untuk kepentingan bersama,  Oleh karenanya tidak dapat berpindah tangan ke luar kaum yang memilikinya kecuali bila dilakukan oleh kaum secara bersama-sama pula.51 Adat Minangkabau tidak mengenal sistem jual beli terhadap harta pusaka tinggi, tetapi apabila terjadi sistem pindah tangan maka yang berlaku adalah sistem gadai bukan jual beli karena di Minangkabau

49 A. A Navis, Alam Terkembang Jadi Guru (Adat dan Kebudayaan Minangkabau), h. 158. 50 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 212. 51 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 217.

38

tidak ada orang yang mau dan dapat menjual hartanya seperti sawah, ladang, rumah, karena selain harta ia merupakan milik bersama dan adat pun tidak membenarkannya. Namun ada beberapa hal mendesak yang memperbolehkan seseorang menggadaikan harta pusaka tersebut sebagaimana yang diungkapkan A. A. Navis:52 a) Maik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah). Upacara tersebut harus diadakan secara agung sebagaimana upacara perkawinan ataupun penobatan penghulu yang membutuhkan biaya yang cukup besar, karena prosesi upacara tersebut dilakukan secara bertahap seperti pada waktu tiga hari, tujuh hari, tiga kali ujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan yang terakhir tiga kali seratus kali dan semua itu membutuhkan biaya untuk makan dan minumnya. b) Managakkan gala pusako (mendirikan gelar pusaka), yaitu mendirikan penghulu baru menggantikan penghulu yang tidak dapat berfungsi lagi baik karena mengundurkan diri atau meninggal dunia. c) Gadih gadang indak balaki (gadis dewasa belum bersuami), yaitu biaya yang dibutuhkan untuk persiapan dan pelaksanaan perkawinan seorang gadis yang mahal karena perjamuan yang berlarut-larut. d) Rumah gadang katirisan (rumah gadang katirisan) yaitu biaya yang diperlukan untuk memperbaiki rumah gadang yang telah rusak tidak layak dihuni dan membutuhkan perbaikan. b. Pusaka Rendah Amir Syarifuddin mendefinisikan harta pusaka rendah sebagai harta yang dipusakai seseorang atau kelompok yang dapat diketahui secara pasti asal-usul harta itu.53Menurutnya bahwa hal ini dapat terjadi bila harta itu diterimanya dari satu angkatan di atasnya seperti ayah atau mamaknya, begitu pula dari dua tingkat atasnya yang masih bisa dikenalnya atau harta itu diperolehnya dari usahanya sendiri.

52 A. A Navis, Alam Terkembang Jadi Guru (Adat dan Kebudayaan Minangkabau), h. 167- 168. 53 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 217.

39

Pada awalnya di Minangkabau hanya dikenal adanya harta pusaka, setiap kaum memiliki harta pusaka yang merupakan unsur pokok dalam kekerabatan matrilineal. Harta tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga dan menjadi milik bersama anggota keluarga tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, muncul istilah harta pencaharian atau harta pusaka rendah. Adanya harta pusaka rendah ini disebabkan berkembangnya anggota keluarga sehingga kebutuhan keluarga semakin meningkat. Keadaan ini mendorong masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dengan cara mengelola tanah ulayat atau tanah milik kaum yang kemudian hasil dari mengelola tersebut dipakai untuk kebutuhan sehari-sehari.54 Pemisahan antara harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah berlangsung secara berangsur-angsur dan baru sampai pada akhirnya di kerapatan antara para ninik dan mamak, alim ulama, cerdik pandai dan angkatan muda yang dikenal dengan “Kerapatan Orang Empat Jenis” di 02-04 Mei 195255yang menghasilkan dua ketetapan:  Harta pusaka tinggi yang telah didapati turun temurun dari nenek moyang menurut garis ibu, diturunkan sepanjang adat.  Harta pencaharian yang menurut adat bernama harta pusaka rendah diturunkan menurut peraturan syara`. Hasil kesepakatan yang dicapai dalam rapat tersebut dikuatkan dengan seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tanggal 21-25 Juli 1968 yang dihadiri oleh banyak kalangan baik dari pemuka adat, ulama, cerdik pandai dan para hakim pengadilan yang

54 Alfi Husni, “Pembagian Waris Harta Pusaka Rendah Tidak Bergerak Dalam Masyarakat Minangkabau Kanagarian Kurai”, (Jurnal Al-Hukama, The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 6, No. 2, Desember 2016), h. 304. Lihat https://jurnalfsh.uinsby.ac.id/index.php/alhukuma/article/download/318/268&ved, diakses pada 12 Desember 2019. 55 Yelia Nathassa Winstar, “Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau, (Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37), h. 164.

40

menghasilkan beberapa poin, di antaranya keputusan huruf F dalam seminar tersebut menetapkan:56 a) Harta Pusaka di Minangkabau merupakan harta badan hukum yang diurus dan diwakili oleh mamak kepala waris di luar dan di dalam pengadilan. b) Anak kemenakan dan mamak kepala waris yang termasuk ke dalam badan hukum itu masing-masing bukanlah pemilik dari harta badan hukum tersebut. c) Harta pencaharian diwarisi oleh ahli waris menurut hukum Faraid. d) Yang dimaksud dengan harta pencaharian ialah seperdua dari harta yang diperdapat oleh seseorang selama dalam perkawinannya ditambah dengan harta bawaannya sendiri. e) Seseorang dibenarkan berwasiat baik kepada kemenakannya maupun kepada yang lainnya hanya sebanyak-banyaknya sampai sepertiga dari harta pencaharian. Namun pada kenyataannya terkadang harta pencaharian dalam proses pewarisannya terjadi percampuran. Kronologinya sebelum adanya pemisahan antara harta pusaka dan harta pencaharian, mamak yang telah wafat meninggalkan dua jenis harta. Pertama, harta yang diwarisi mamak dari ninik, yang merupakan harta milik kaum secara kolektif. Kedua, harta pencaharian mamak yang diperolehnya dan dihasilkan dari usahanya sendiri. Kemenakan yang melihat harta tersebut menganggap bahwa kedua harta tersebut adalah hak miliknya yang kemudian dicampurkannya menjadi satu. Sedangkan dalam kenyataannya hak kemenakan atas peninggalan mamaknya hanyalah harta pusaka tinggi yang murni itu, sedangkan harta pencaharian adalah hak milik ahli waris orang yang meninggal yang ditetapkan secara hukum Islam.57

56 Mochtar Naim Ed, Menggali Hukum Tanah Dan Hukum Waris Minangkabau, h. 243. 57 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 274.

41

Kasus ini muncul disebabkan karena kemenakan menganggap bahwa harta pencaharian mamak adalah haknya karena harta tersebut dihasilkan dari harta pusaka tinggi. Mamak semasa hidup bekerja dan bercocok tanam dari tanah warisan nenek moyang dan hasilnya dibelikan dan diwujudkan dalam bentuk tanah. Oleh karena itu ketika mamak meninggal maka harta tersebut dianggap sebagai bagian dari harta pusaka tinggi.58 Dalam adat Minangkabau sistem matrilineal mengharuskan para penduduk Minangkabau untuk mewariskan harta pusaka menurut garis ibu. Oleh karena itu -sebagaimana yang telah disebut pada pembahasan sebelumnya- dalam beberapa tahap proses penyelarasan antara adat dan Islam di Minangkabau dalam kaitannya dengan harta pusaka Islam belum dapat sepenuhnya mempengaruhi sistem kewarisan karena belum dapat memisahkan antara harta pribadi dan harta kaum. Melihat sistem kewarisan harta pusaka di Minangkabau dan terjadinya perbenturan antara adat dan Islam dalam bidang sosial terutama kewarisan mengundang banyak perdebatan yang sengit baik dari kalangan ulama maupun pembesar adat. Perdebatan tersebut tidak hanya antara kaum ulama dan kaum adat saja, bahkan antar sesama ulama. Perdebatan di atas setidaknya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: pertama, kelompok yang menentang dan menolak keras sistem pewarisan harta warisan Minangkabau karena bertentangan dengan aturan agama dan mengharuskan penerapan hukum waris Islam pada harta pusaka. Kedua, kelompok yang menentang dan menolak keras sistem kewarisan Islam yang berpendapat bahwa sistem kewarisan Islam tidak boleh diterapkan karena hanya akan merusak tatanan adat Minangkabau yang telah lama berjalan. Ketiga, kelompok yang bersikap

58 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 235.

42

akomodatif dan berusaha mensinergikan antara kewarisan Islam dengan kewarisan adat Minangkabau. Adapun kelompok pertama dipelopori oleh Syekh Ahmad Khatîb, beliau adalah seorang ulama asli Minangkabau yang menjadi imam sekaligus Khatîb di Masjidil Haram Mekkah. Beliau berpendapat bahwa semua harta di Minangkabau harus diwariskan secara Islam dan menolak keras praktek waris adat tersebut karena bertentangan dengan agama Islam, bahkan menganggap tanah, rumah, dan kebanyakan harta di Minangkabau adalah syubhat, bahkan bumi di Minangkabau dicap sebagai bumi maksiat yang wajib untuk ditinggalkan, oleh karenanya beliau menetap di Makkah sampai wafat tahun 1916 M/1334 H.59 Kelompok kedua dipelopori oleh Datoek Soetan Maharadja dengan nama asli Mahjoeddin seorang pemuka adat di Minangkabau, dia sangat menolak akan penerapan waris Islam pada harta pusaka Minangkabau, bahkan pernah berseru, “Awas, jangan zaman Padri sampai berulang, kita jangan sampai menyerahkan diri kepada orang Mekkah (mengikuti pendapat Syekh Ahmad Khatîb), bahkan negeri kita Minangkabau cukup indah dan sebagai taman Firdaus mempunyai wanita cantik-cantik ketimbang di tanah Arab yang panas terik.”60 Penolakan Datoek Soetan Maharadja terhadap sistem kewarisan Islam karena trauma akan terjadinya kembali perang Paderi, yang mana termasuk pemicunya adalah perseteruan antara kaum adat dan kaum agamis yang baru datang dari Mekkah, mereka berupaya menerapkan hukum Islam secara kaffah yang berujung pada sikap menyalahkan bahkan mengkafirkan adat istiadat masyarakat Minangkabau ketika itu. Kelompok ketiga yang mana mencoba mensinergikan antara dua sistem kewarisan, kelompok ini dipelopori oleh Syekh Abdul Karim Amrullah, yang mana hidup pada masa dimana fungsi dari harta pusaka

59 Ahmad Khaṭȋb, al-Dâ„ȋ al-Masmȗ„ Fȋ al-Raddi „Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâd al-Akhawât Ma‟a Wujȗd al-Uṣȗl Wa al-Furȗ„, h. 17. 60 Yuliandre Darwis, Ph. D, Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau (1859-1945), (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2013), h. 88-89.

43

tinggi dan harta pusaka rendah telah dipisahkan. Beliau berpandangan bahwa harta pusaka tinggi harus diwariskan secara hukum adat dan harta pusaka rendah diwariskan secara hukum Islam.61Perdebatan dan perselisihan tentang kewarisan tersebut akan diuraikan penulis pada bab selanjutnya. 3. Asas-Asas Hukum Kewarisan Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu dalam kewarisan, asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan dan kehartabendaan, karena hukum kewarisan suatu masyarakat ditentukan oleh struktur kemasyarakatan.62 Menurut Amir Syarifuddin bahwa berdasar pada sistem kekeluargaan ini, muncul ciri khas struktur masyarakat Minangkabau yang menimbulkan bentuk atau asas tersendiri dalam hukum kewarisan, asas-asas hukum kewarisan adat Minangkabau tersebut adalah:63 a. Asas Unilateral Artinya bahwa hak kewarisan hanya berlaku dalam satu garis kekerabatan, satu garis keturunan disini ialah garis kekerabatan melalui ibu, dan harta warisnya dari atas diterima dari nenek moyang hanya melalui garis ibu dan ke bawah diteruskan kepada anak cucu melalui anak perempuan. Amir mengatakan bahwa dalam kenyataan waktu ini asas unilateral ini telah mengalami perubahan disebabkan anggapan terhadap urang sumando dalam masalah perkawinan. Waktu ini urang sumando bukan dianggap sebagai tamu lagi tetapi sudah diberikan kepadanya peranan penting sebagai kepala di lingkungan keluarganya dan menetap serta bertanggung jawab penuh terhadap anak dan istrinya.

61 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 103. 62 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 231. 63 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 231-235.

44

Dalam segi kehartabendaan juga terjadi perubahan harta kaum secara kuantitas sudah berkurang dari segi fungsi juga sudah mulai melemah. Sedangkan harta pribadi dan harta bersama sudah semakin banyak dan kuat kedudukannya. hal ini menyebabkan kewarisan sudah menjangkau keluar kaum dengan arti melalui garis kerabat laki-laki dengan berlakunya kewarisan ayah-anak. b. Asas Kolektif Asas ini berarti bahwa yang berhak atas harta pusaka bukanlah perorangan tetapi suatu kelompok secara bersama-sama maka dalam hal ini harta tidak dapat dibagi kepemilikannya kepada masing-masing ahli waris dan disampaikan kepada kelompok penerima dalam bentuk kesatuan yang tidak terbagi. Dalam sistem kolektif ini yang diperbolehkan hanyalah memakai, mengusahakan dan menikmati hasil pengelolaannya.64Hak kolektif ini didasarkan kepada kenyataan bahwa harta itu tidak diketahui secara pasti asal-usulnya. Menurut Amir Syarifuddin Dalam perkembangan pada waktu ini sifat kolektif masih berlakuwalaupun lapangannya sudah semakin menyempit. Seorang ayah telah menduduki posisi kepala keluarga, memperlakukan anak-anaknya secara sama dan tidak terpisah-pisah.65 c. Asas Keutamaan Artinya bahwa dalam penerimaan harta pusaka atau penerimaan peranan untuk harta pusaka terdapat tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih diutamakan dibandingkan dengan yang lain. Oleh karena itu dalam adat Minangkabau ada beberapa tingkatan dalam lapisan kekerabatan:

64 Eric, “Hubungan Antara Hukum Islam dan Hukum Adat Dalam Pembagian Warisan di Dalam Masyarakat Minangkabau”, (Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora dan Seni, Vol. 3, No. 1, April,2019),h.67.Lihathttps://www.researchgate.net/publication/337833923_Hubungan_Antara_Huk um_Islam_Dan_Hukum_Adat_Dalam_Pembagian_Warisan_Di_Dalam_Masyarakat_Minangkabau, diakses pada 25 Desember 2019. 65 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 235.

45

Pertama, kerabat bertali darah yaitu hubungan antara pewaris dan ahli waris yang disebabkan oleh kesamaan keturunan yang melalui jalur perempuan. Kedua, bertali adat yang berarti bahwa antara satu dengan lainnya tidak diketahui bertali darah tetapi mempunyai hubungan kerabat karena sukunya sama. Ketiga, bertali budi, yang berarti antara satu dengan yang lain tidak ada hubungan darah maupun suku tetapi mereka berasal dari luar suku yang bergabung dan mempunyai jasa pada suku tersebut, Keempat, Bertali emas yang berarti mereka sama seperti bertali budi tetapi mereka bersandar pada kaum tersebut untuk mengusahakan tanah ulayat suku itu, untuk dapat diterima dalam suku tersebut mereka harus melakukan penyerahan emas.66 4. Ahli Waris Pengertian ahli waris disini adalah orang yang berhak meneruskan peranan dalam pengurusan harta pusaka. Pengertian ini didasarkan pada asas kolektif dalam pemilikan dan pengolahan harta dan hubungan pribadi seseorang dengan harta yang diusahakannya sebagai hak pakai dalam genggam beruntuk. Sesuai dengan tertib susunan menurut ibu maka ahli waris menurut adat Minangkabau dihitung dari garis ibu. Sebagaimana juga ghalibnya bahwa pengertian ahli waris ini barulah muncul apabila telah ada salah satu anggota keluarga yang meninggal dan meninggalkan harta pusaka.67 Kematian seseorang yang memakai harta menyebabkan kembalinya harta tersebut kepada kaum, kemudian pengolahannya diserahkan kepada orang lain, orang yang meneruskan itu disebut sebagai ahli waris. Dasar dari pewarisan dan siapa yang menjadi ahli waris dinyatakan dalam pepatah adat:

66 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 235-236. 67 Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, (Jakarta: Rinka Cipta, 1997), h. 91.

46

Birik-birik turun ke semak Tiba disemak berilah makan Harta ninik turun ke mamak Dari mamak turun ke kemenakan Dari pepatah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan ahli waris adalah mamak terhadap harta ninik dan kemenakan terhadap harta mamak. Amir Syarifuddin menyebutkan bahwa dasar kewarisan mamak ke kemenakan adalah karena sebuah pemikiran bahwa harta adalah milik kaum dan dipergunakan hanya untuk kepentingan kaum, dan pengertian kaum dalam adat Minangkabau adalah kelompok kerabat yang bertalian darah menurut garis ibu dan yang terdekat dari kerabat itu ialah mamak ke kemenakan.68 5. Sistem Pewarisan Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan sistem pewarisan adalah proses beralihnya harta dari pewaris kepada ahli waris. Dalam adat Minangkabau yang dimaksud dengan peralihan disini sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bukan peralihan secara kepemilikan melainkan peralihan peranan dalam pengelolaan dan penguasaan harta. Proses pewarisan ini berbeda-beda sesuai dengan tingkatan harta tersebut dan macam-macamnya: a. Pewarisan Harta Pusaka Tinggi Menurut Hamka,69 pusako tinggi adalah harta pusaka yang di dapat dari tembilang besi dan pusaka rendah di dapat dari tembilang emas.70 Tembilang Besi adalah harta yang diperoleh secara turun temurun dari orang-orang terdahulu, sedangkan tembilang emas adalah berasal dari usaha sendiri.71

68 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 238-239. 69 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, h. 202. 70 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, h. 96. 71 A. A Navis, Alam Terkembang Jadi Guru (Adat dan Kebudayaan Minangkabau), h. 158.

47

Mengenai pembagian harta pusaka tinggi seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa harta ini diwariskan secara kelembagaan (kolektif)72 tidak dapat dibagi-bagi namun hanya dipergunakan untuk diambil hasilnya, seperti yang telah disebutkan bahwa anak perempuan adalah pihak yang paling utama dalam menerima harta tersebut sedangkan anak laki-laki hanya bertugas mengawasi dan menjaganya. Sebagaimana yang disebutkan di atas bahwa harta pusaka tinggi berupa tanah garapan nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun dari niniek (nenek moyang) ke mamak dan dari mamak turun ke kemenakan dalam kaum tersebut. Sesungguhnya pengaturan lebih jelasnya adalah harta pusaka tinggi itu tidak diwariskan dari mamak ke kemenakan tapi dari Uo (nenek) kepada mande (ibu) dan dari mande ke anak perempuannya. Adapun yang diwariskan mamak ke kemenakan adalah berupa hak untuk melakukan pengaturan atas pemakaian harta pusaka tinggi tersebut yang merupakan wewenang mamak sebagai kepala waris. Proses perpindahan kekuasaan dari mamak ke kemenakan dalam adat Minangkabau disebut Pusako Basalin.73 Amir Syarifuddin mengatakan bahwa dalam pewarisan harta pusaka, asas-asas kewarisan yang telah disebutkan berlaku sepenuhnya, oleh karena itu sistem pewarisannya harus dilakukan secara kolektif menurut garis keturunan ibu (matrilineal), karena harta adalah milik kaum dan harus kembali untuk kepentingan kaum pula.74 Proses pewarisan harta pusaka tinggi dalam adat Minangkabau menurut Amir Syarifuddin adalah semisal dalam suatu

72 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur‟an dan Hadits, (Jakarta: Tintamas, 1982), h. 15. 73 Yelia Nathassa Winstar, Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau, (Jurnal Hukum Dan Pembangunan Tahun Ke-37), h. 167. 74 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 243.

48

rumah didiami oleh seorang ibu bersama anak-anaknya, maka harta atau tanah seluruhnya berada dalam penguasaan ibu, apabila ibu tersebut meninggal dunia maka penguasaan harta tersebut diteruskan oleh anak perempuan tertua, dan dalam pengelolaannya dibantu oleh saudara laki-lakinya (mamak). Kemudian apabila perempuan tersebut meninggal maka hak penguasaan diserahkan kepada saudara perempuannya yang lebih muda dan terus seperti itu sampai habis perempuan dalam garis vertikal di rumah itu. Kemudian seandainya dalam suatu rumah didiami dua orang ibu masing-masing dengan anak-anaknya dan telah hidup secara terpisah, maka harta yang dimiliki secara bersama tersebut dibagi pengurusannya secara bergiliran. Bila ibu yang dalam satu giliran itu mati maka peranan dan gilirannya di diteruskan oleh anak-anak perempuannya. Giliran tersebut terus menyambung dan akan berakhir bila anak perempuan dari giliran ibu itu habis putus tali warisnya begitu pula anak laki-lakinya. Dalam keadaan ini maka penguasaan harta beralih kepada ibu yang satunya.Keluarga dari dua ibu tersebut dinyatakan punah dan terputus apabila sudah tidak ada lagi ahli warisnya yang perempuan, hingga tidak ada penerusnya, dalam keadaan ini maka harta beralih kepada waris yang lebih jauh.75 b. Pewarisan Pusaka Rendah Islam mempunyai pengaruh besar dalam proses pemisahan antara harta pusaka tinggi dengan harta pusaka rendah. Ada beberapa pertimbangan yang dapat menjelaskan mengenai pengaruh agama Islam terhadap pemisahan antara harta pusaka rendah dan harta pusaka tinggi: 1) Islam membawa ajaran tentang hidup berkeluarga dan tanggung jawab terhadap keluarga.

75 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 244.

49

2) Dalam Al-Qur’an Allah SWT memberi perintah secara khusus kepada ayah untuk membiayai anak dan istrinya. 3) Banyaknya ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang perintah berbakti kepada kedua orang tua.76 Dengan adanya pengaruh dari ajaran Islam mengenai tanggung jawab maka semakin jelas perbedaan antara harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah karena adalah suatu keaiban ketika seorang laki-laki membiayai istri dan anaknya dari harta keluarga istrinya, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an: ِ ٍ ِ ِّاَََل ُال قَ َّ ُام َن َعلاَ اََسآء ِبَا فَ َّض َ اهلل ي َْع َضُه ْم علا ي َْعض َوِبَآ أَنْ َفُق اْ ِ ِِ .. م ْن أَْمَ اِل ْم Artinya:”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki- laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa`: 4/34). Al-Zamakhsyary mengatakan bahwa di antara hal yang menjadikan laki-laki menjadi pemimpin adalah harta mereka yang dikeluarkan untuk mahar pernikahan dan nafkah isteri-isteri mereka.77 Oleh karena itu –sebagaimana yang telah disebutkan di atas- seminar pada tanggal 21-25 Juli 1968 di Padang menghasilkan beberapa poin yang di antaranya menyangkut pembagian harta pusaka rendah yang mana harta pencaharian tersebut diwarisi oleh ahli waris menurut hukum faraid”.78Dari keterangan di atas terlihat bahwa sistem pembagian warisan di Minangkabau tergolong unik karena dilakukan dengan cara adat dan Islam, meskipun dalam kenyataan terjadi banyak polemik dan perdebatan di kalangan ulama Minangkabau terkait keabsahannya.

76 Alfi Husni, “Pembagian Waris Harta Pusaka Rendah Tidak Bergerak Dalam Masyarakat Minangkabau Kanagarian Kurai”, h. 305. 77 Mahmȗd bin `Amr al-Zamakhsyarȋ, Tafsîr al-Kassyâf `An Haqâiqi al-Tanzȋl Wa `Uyȗn al-Aqâwil Fȋ Wujȗhi al-Ta`wȋl, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-`Arabȋ, Tth), h. 537. 78 Mochtar Naim Ed, Menggali Hukum Tanah Dan Hukum Waris Minangkabau, h. 243.

50

C. Kewarisan Harta Pusaka Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Kewarisan Menurut Hukum Islam Kata waris secara etimologi berasal dari bahasa Arab waratsa-yaritsu- irtsan-wamiratsan yang berarti keadaan hidup seseorang setelah kematian orang lain yang mana dengan itu dia mengambil apa yang telah ditinggalkan oleh mayit.79 Waris lebih umum dari sekedar harta tetapi mencakup ilmu, kemulyaan dan martabat. Dalam hadits Nabi Muhammad SAW bersabda: اَعلماء ورثة النبياء )رواه أي داود واَرتميع واين حبان(.80

Artinya:“Ulama adalah pewaris para Nabi”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban). Adapun hukum waris secara terminology yang disebutkan dalam KHI adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.81 Dalam redaksi lain Hasby as- Shiddieqy mengemukakan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, penerimaan setiap bagian ahli waris dan cara-cara pembagiannya.82 Sedangkan Amin Suma dalam bukunya Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam mengemukakan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menetapkan berapa bagian masing-masing ahli waris,

79 Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmȋ Wa Adilllatuhȗ, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985), Juz. 7, h. 243. 80 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: al-Maktabah al-`Asriyyah, Tth) Juz. 3, h. 317. Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Mesir: al-Babi al-Halabi, 1975) Juz: 5, h. 48, Ibnu Hibbân, Sahȋh Ibn Hibbân, (Beirut: Muasssat al-Risâlah, 1993), h. 289. Syamsuddin al- Barmawi dalam kitabnya al-Lâmi` al-Sabih bahwa hadits ini diriwayatkan oleh banyak perowi menurut Ibnu Hibban dalam kitabnya “Kitab al-Du`afâ” bahwa sanad dari hadits ini adalah sahȋh, begitu juga pendapat al-Hâkim bahkan hadits ini disebutkan imam Bukhari dalam kitab sahihnya namun tanpa menyebutkan sanad. Namun beberapa ulama hadits juga mengkritik hadits ini seperti al-Turmudzi yang mengatakan bahwa sanad dari hadits tidak muttasil, begitu juga al-Daruqutni mengatakan bahwa hadits ini tidak mahfudz. lihat Syamsuddin al-Barmâwi, al-Lâmi` al-Sabȋh bi Syarhi al-Sahȋh, (Suria: Dar al-Nawâdir, 2012) h. 464. 81 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: 2007) h. 51. 82 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 281.

51

dan mengatur kapan pembagian harta kekayaan pewaris dilaksanakan.83Menurut Ali Al-Sabuni bahwa hukum waris adalah perpindahan pemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup baik berupa uang, barang-barang kebutuhan hidup.84 `Alauddin al-Haskafy mendefinisikan hukum waris sebagai kaidah- kaidah fiqhiyyah dan perhitungan yang mengatur bagian masing-masing ahli waris,85 Wahbah Zuhaily menambahkan ilmu yang membahas tentang hukum kewarisan ini disebut juga dengan ilmu faraid karena faraid adalah bentuk jama` dari kata faridah yang bermakna bagian yang telah ditentukan, berdasar pada ketentuan dari Allah”86 dan hadits Nabi“ )فريضةً من هللا( firman Allah SWT belajarlah kalian ilmu farâid”. Dari“ تعلّموا الفرائضMuhammad SAW: 87 beberapa pendapat di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur perpindahan harta dari mayit kepada ahli warisnya. Berdasarkan pengertian hukum waris di atas dapat diketahui adanya tiga unsur yang masing-masing merupakan unsur esensial dalam hukum waris yaitu: pertama, seseorang yang meninggalkan warisan/pewaris yang pada saat wafatnya meninggalkan harta kekayaan/warisan, kedua, Ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu, ketiga, harta warisan atau harta peninggalan yaitu kekayaan yang ditinggalkan yang beralih kepada para ahli waris itu.88

83 Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 108. 84 `Ali Al-Sabȗni, Hukum Waris, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1994), h. 31. 85 `Alâuddȋn al-Haskafȋ, al-Durru al-Mukhtâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), h. 761. 86 Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmȋ Wa Adillatuhȗ, h. 243. 87 Ibnu Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, (Damaskus: DârIhyâ` al-Kutub al-`Arabiyyah, T.th), juz. 4, h. 369. 88 Sigit Sapto Nugroho, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Solo: Pustaka Iltizam, 2016), h. 18-19.

52

2. Unsur-unsur Hukum Kewarisan Islam Ada beberapa unsur yang harus dipenuhi terkait pewarisan harta (tirkah). Adapun unsur-unsur dalam hukum kewarisan Islam ada tiga:89 a. Adanya al-Muwarrits, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Dalam KHI pasal 171 b. disebutkan: “Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”.90

Dapat dilihat bahwa syarat sah seseorang dikatakan sebagai muwarrits adalah ia benar-benar telah meninggal dunia, baik meninggal secara haqȋqi, secara yuridis (hukmȋ) atau secara taqdiri.91 1) Meninggal secara haqȋqi, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melakukan pembuktian bahwa ia telah meninggal atau hilangnya nyawa seseorang dari jasad yang dapat dibuktikan oleh panca indra atau dokter.92 2) Meninggal secara hukmȋ, adalah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Hal ini terjadi seperti kasus orang yang dinyatakan hilang (al-mafqȗd) dan tidak diketahui tempat dan keadaannya, yang kemudian oleh hakim dihukumi -setelah melakukan upaya tertentu- bahwa dia telah meninggal.93 3) Meninggal secara taqdȋrȋ, yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia secara taqdȋrȋ (perkiraan). Hal itu terjadi pada janin yang keluar dari rahim ibunya karena tindak kejahatan yang dilakukan seseorang seperti pukulan keras pada perut wanita hamil yang

89 Mustafâ Bughâ, dkk, al-Fiqh al-Manhaji `Alâ Madzhab al-Imâm al-Syâfi`ȋ ra., (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1992), h. 74. 90 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: 2007), h. 114. 91 Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfat al-Muhtâj fȋ Syarh al-Minhâj, (Mesir: Maktabah Tijâriyyah Kubrâ, 1983), Juz. 6, h. 387. 92 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 106. 93 Sirâjuddȋn al-Bulqȋnȋ, al-Tadrib Fȋ al-Fiqh al-Syafi`ȋ, (Riyâd: Dâr al-Qiblatain, 2012), Juz.2, h. 2.

53

menyebabkan gugurnya janin yang mewajibkan adanya al-ghurrah (diyat atau denda janin berupa budak). Imam Abu Hanȋfah berpendapat bahwa janin tersebut bisa mendapat warisan dan mewariskan karena diperkirakan adanya kehidupan sewaktu terjadinya pemukulan tersebut. Sedangkan Jumhur Ulama berpendapat bahwa janin tidak mendapat warisan karena tidak adanya bukti kehidupan yang berdampak pada hak kewarisannya.94 b. Adanya al-Wârits (orang yang menerima warisan) yaitu orang mempunyai hubungan dengan si mayit baik karena keturunan, kekerabatan, perkawinan atau walâ` yang termasuk dari sebab-sebab menerima warisan. Dalam KHI disebutkan dalam 171 c. disebutkan bahwa: “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.95

Syarat seseorang dikatakan sebagai al-Wârits adalah bahwa ia benar-benar masih hidup setelah kematian muwarits baik hidup secara haqȋqi maupun taqdȋri. 1) Hidup secara haqȋqi, kehidupan yang tetap dan berlangsung setelah kematian muwarrits yang dapat diketahui dengan panca indera. 2) Hidup secara taqdȋri (anggapan), yaitu kehidupan yang dikira-kirakan ada pada janin ketika kematian muwarrits, maka ketika janin tersebut lahir dan hidup maka janin tersebut telah mendapatkan hak waris meskipun pada saat kematian muwarrits dia hanya berupa segumpal darah, maka pada keadaan ini janin tersebut dikira-kirakan kehidupannya pada saat kematian muwarrits.96 c. Adanya al-Maurȗts, yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh muwarrits (tarikah) baik berupa harta atau berupa hak, seperti hak qisâs dan menahan barang dagangan sampai dibayar harganya. Hal ini telah disebutkan dalam KHI pasal 171 d. e. yang berbunyi:

94 Ibnu Qudâmah, al-Mughnȋ, (Riyâd: Dâr `Âlami al-Kutub, 1997), Juz. 6, h. 320. 95 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, h. 114. 96 Syihâbuddȋn al-Ramlȋ, Nihâyah al-Muhtâj, (Beirut, Dâr al-Fikr, 1984), Juz. 6, h. 30.

54

“Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya”. “Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhȋz) pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat”.97 Adapun syarat daripada al-Maurȗts adalah tidak adanya penghalang yang menghalangi kewarisan atau mengetahui sisi dan sebab terjadinya kewarisan seperti adanya ikatan kekerabatan yang muncul dari tali nasab, perkawinan atau walâ`.98 Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa keabsahan kewarisan tergantung dengan adanya unsur-unsur di atas, maka apabila satu unsur tidak terpenuhi maka pewarisan tersebut dianggap tidak sah menurut syariat Islam. 3. Asas-asas Kewarisan Islam Hukum kewarisan Islam yang lazim disebut hukum Faraid adalah hukum yang bersumber dari wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, hukum kewarisan Islam mengandung asas-asas yang dapat digali dari keseluruhan ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al- Qur’an dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Sukris Sarmadi mengatakan bahwa asas-asas hukum kewarisan Islam adalah sama dengan asas hukum kewarisan dalam KHI, pendapat ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Muhammad Daud Ali dan Amir Syarifuddin. Asas-asas tersebut di antaranya adalah:99 a. Asas Ijbari (Paksaan) Hukum Islam menjalankan asas ijbari yang berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung

97 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam,), h. 114. 98 Wahbah Zuhailȋ, al-Fiqh al-Islâmȋ Wa Adilllatuhȗ, h. 254. 99 Fadlih Rifenta, Tonny Ilham Prayogo, “Nilai Keadilan Dalam Sistem Kewarisan Islam”, (Al-Manâhij: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 13 No. 1, Juni 2019), h. 114. Lihat https: /ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/almanahij/article/download/2117/1669/&ved, diakses pada 12 Desember 2019.

55

kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Unsur paksaan tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan pindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan. Menurut Amir Syarifuddin adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi: yaitu dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta dan dari segi kepada siapa harta itu beralih.100 Adapun unsur ijbari yang dilihat dari segi cara peralihan maka dapat dilihat dari firman Allah dalam surat an-Nisa` ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi laki-laki maupun perempuan memiliki bagian dari harta peninggalan orangtua mereka. Unsur Ijbari yang dilihat dari segi jumlah yang berarti bahwa bagian ahli waris telah ditentukan dan ini yang نصيبا مفروضا dapat dilihat dari ayat 7 tersebut yang menyebutkan berarti bagian yang telah ditentukan. Unsur Ijbari yang dilihat dari segi siapa-siapa yang menerima peralihan harta yang dapat dilihat dari surat an-Nisa` ayat 11, 12, 176. b. Asas Bilateral Pengertian dari asas bilateral adalah bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan dan laki-laki. Asas bilateral ini secara tegas dapat ditemui dalam ketentuan Al-Qur’an surat an-Nisa` ayat 7, 11, 12 dan 176. Sebagaimana yang disebutkan di atas pada ayat 7 bahwa bagi laki-laki maupun perempuan memiliki bagian dari harta peninggalan kedua orangtua mereka. Adapun pada ayat 11 disebutkan bahwa perempuan mendapatkan bagian dari kedua orangtuanya setengah bagiannya laki-laki, begitu juga ibu dan ayah mendapat bagian 1//6 dari anaknya baik laki-laki maupun perempuan apabila ada bersama cucu, dan 1/3 apabila tidak bersama cucu. Kemudian ayat 12 yang menyebutkan bahwa ada laki-laki yang meninggal maka saudaranya baik dari laki-laki maupun perempuan

100 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 19.

56

berhak atas warisannya, begitu pula sebaliknya apabila yang meninggal adalah perempuan. Pada ayat 176 menyebutkan tentang kalâlah yaitu ketika seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan tetapi mempunyai saudara perempuan maka saudara perempuan yang berhak atas hartanya begitu pula sebaliknya apabila yang meninggal adalah perempuan. c. Asas Individual Pengertian dari asas individual adalah setiap ahli waris secara individu berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainnya. Dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak menerima semua harta yang telah menjadi bagiannya. Ketentuan ini dapat dilihat pada surat an-Nisa ayat 7, 11, 12, 176 yang menjelas secara terperinci hak masing-masing menurut bagian yang telah ditentukan. Menurut Amir Syarifuddin bahwa pembagian secara individual ini adalah ketentuan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh setiap muslim dengan sanksi yang berat atas pelanggarnya sebagaimana yang disebutkan pada ayat 13-14 surat an-Nisa`.101 d. Asas Keadilan Berimbang Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan kegunaan. Dapat dikatakan bahwa faktor jenis kelamin tidak menetukan dalam hak kewarisan, yang artinya laki-laki mendapat hak kewarisan begitu pula perempuan mendapat hak kewarisan sebanding dengan yang didapat lelaki. Hal ini terlihat jelas tercantum dalam surat an-Nisa` ayat 7 yang menyamakan antara laki-laki dan perempuan. Ditinjau dari segi jumlah bagian memang terdapat ketidak samaaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi hal tersebut bukan berarti

101 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 22.

57

tidak adil, karena keadilan tidak hanya diukur dengan pendapatan tetapi juga diukur dari kegunaan dan kebutuhan.102 Kebutuhan materi laki-laki lebih banyak dibandingkan kebutuhan perempuan, karena laki-laki memikul kewajiban ganda yaitu terhadap dirinya dan keluarganya termasuk di dalamnya perempuan, sebagaimana yang disebutkan dalam surat an-Nisa` ayat 34. e. Kewarisan Semata Akibat Kematian Hukum kewarisan Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata karena adanya kematian, yang berarti harta seseorang tidak dapat dialihkan apabila belum terjadi kematian, yang berarti juga bahwa segala proses peralihan harta yang terjadi sebelum kematian seseorang tidak bisa dikatakan sebagai pewarisan.103 4. Sistem Pewarisan Menurut Hukum Islam Pewarisan adalah cara bagaimana melaksanakan penerusan atau peralihan atau pembagian harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris.104Di dalam hukum Islam dikenal sistem kewarisan secara individual bilateral, dengan adanya sistem kewarisan individual dapat diartikan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Selain bersifat invidual, kewarisan Islam juga bersifat bilateral yang mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui 2 jalur (ayah dan ibu). Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang berhak menerima warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki- laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.105

102 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 23. 103 Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Martilineal Minangkabau, h. 117. 104 Hilman Hadi Kusumo, Hukum Waris Indonesia Menurut perundang-undangan Hukum Adat, Hukum Hindu dan Hukum Islam, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), h. 21. 105 Ahmad Haries, “Analisis Tentang Studi Komparatif Antara Hukum Kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Adat”, (FENOMENA, Jurnal Penelitian, Vol. 6, No. 2, 2014), h. 220. Lihat https: //journal.iainsamarinda.ac.id/index.php/fenomena/article/viewFile/169/126&ved, diakses pada 25 Desember 2019.

58

Dalam sistem kewarisan Islam ada beberapa hal yang harus dipenuhi agar kewarisan tersebut dianggap sah:106 a. Pewarisan berlaku setelah pewaris meninggal, jadi tidak ada pewarisan tanpa adanya kematian. b. Harta (tirkah) yang akan dibagikan harus memenuhi 2 syarat:  Harta waris itu adalah harta yang benar-benar hak milik pewaris (almarhum) baik yang berwujud benda maupun yang tidak berwujud.  Harta tersebut telah bersih dari kewajiban keagamaan dan keduniawian, dalam KHI pasal 175 ayat (1) menyebutkan tentang hal yang berkaitan dengan harta dan pewaris yang dibebankan kepada ahli waris: 1) Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai; 2) Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewarisan maupun penagih piutang; 3) Menyelesaikan wasiat pewaris; 4) Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak; Kewajiban a, b, c merupakan tindakan pemurnian harta peninggalan pewaris untuk dapat melaksanakan kewajiban membagi harta warisan kepada ahli waris yang berhak dan pelaksanaanya membutuhkan biaya yang dapat diperoleh dari harta peninggalan pewaris.107 c. Ahli waris, apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima dapat dibedakan menjadi tiga bagian:108 1) Ahli waris ashâb al-furȗd, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang telah ditentukan besar kecilnya, seperti 1/2, 1/3, 1/6. Jumlah mereka 14 orang, 4 dari laki-laki: Suami, Saudara laki-laki seibu, ayah, kakek, dan 9 dari perempuan: Ibu, nenek, Istri, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara

106 Agus Wantaka, dkk, “Pembagian Warisan Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat Jawa (Studi Komparasi)”, (AL-HIDAYAH, Vol. 1, No. 1, Januari 2019), h. 17. http://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/pas/article/view/344 107 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawâris, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), h. 49. 108 Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1995), h. 71.

59

perempuan seibu, saudara perempuan.109Bagian mereka telah ditentukan dalam Al-Qur’an yaitu 1/2, 1/5, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6. 2) Ahli waris Asâbah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah harta dibagikan kepada ahli waris ashâb al-furȗd. Ashâbah ini terbagi menjadi dua:110  Asâbah Nasabiyyah, yaitu kerabat laki-laki si mayit yang mana hubungan antara mereka dengan simayit tidak ada perempuan ditengahnya, seperti anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, paman (saudara ayah), anak perempuan dengan saudara laki- lakinya, saudara perempuan bersama anak perempuan. Ashabah ini terbagi menjadi 3: - Asâbah Bi al-Nafsi, yaitu setiap kerabat laki-laki si mayit. - Asâbah Bi al-Ghair, setiap perempuan yang mempunyai bagian yang ditentukan (fardun muqaddar) yang ada bersamanya laki-laki yang sederajat, yang dengannya dia menjadi Asâbah. - Asâbah Ma`a al-Ghair, setiap perempuan yang menjadi asâbah karena bersama perempuan lain.111  Asâbah Sababiyyah, yaitu asâbah orang yang dimerdekakan kepada orang yang memerdekakan, asâbah ini terjadi jika orang yang dimerdekakan tersebut tidak mempunyai ahli waris dari ashabu al-furȗd atau asâbah nasabiyyah. 3) Ahli waris dzawil arhâm, yaitu ahli waris karena hubungan darah dan menurut ketentuan Al-Qur’an tidak berhak menerima warisan, atau setiap kerabat yang bukan termasuk ashabu al-furȗd dan asâbah yang mengambil semua bagian warisan ketika sendiri,112 dan termasuk dari dzawil arhâm adalah cucu dari anak perempuan baik laki-laki maupun perempuan, anak dari saudara perempuan,

109 Khatîb al-Syarbȋnȋ, Mughnȋ al-Muhtâj Ilâ Ma`rifati Alfâdzi al-Minhâj, Juz. 4, h. 18. 110 Wahbah Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmy wa Adilllatuhȗ, Juz. 8, h. 334. 111 Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfatu al-Muhtâj Fî Syarhi al-Minhâj, Juz. 6, h. 428. 112 Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adilllatuhȗ, Juz. 8, h. 334.

60

anak perempuan dari saudara laki-laki, kakek rahim atau yang disebut jadd fasid, nenek rahim atau yang disebut jaddah fâsidah113, paman atau mamak (saudara ibu), bibi (saudara ibu) dan selainnya yang tidak termasuk dari ashâb furȗd.114 Adapun bagian ahli waris dzâwil furud yang harus didapatkan oleh setiap individu dari harta warisan telah diperinci dalam KHI dalam beberapa pasal: 1. Anak perempuan berhak menerima bagian (Pasal 176 KHI): a. Setengah apabila hanya seorang dan tidak disertai anak laki-laki; b. Dua pertiga bila dua orang atau lebih dan tidak disertai anak laki-laki; c. Apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan; 2. Ayah berhak mendapat bagian (Pasal 177 KHI): a. Sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak; b. Seperenam bagian bila pewaris meninggalkan anak; 3. Ibu berhak mendapat bagian (Pasal 178 KHI): a. Seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih; b. Sepertiga bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih; c. Sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah; 4. Duda berhak mendapat bagian (Pasal 179 KHI): a. Setengah bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak; b. Seperempat, bila pewaris meninggalkan anak; 5. Janda berhak mendapat bagian (Pasal 180 KHI): a. Seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak; b. Seperdelapan bagian bila pewaris meninggalkan anak; Adapun ahli waris yang dikategorikan sebagai ahli waris dengan bagian yang tidak ditentukan (asâbah) maka disebutkan dengan perincian berikut: 1. Anak laki-laki berhak mendapat bagian ( Pasal 176 KHI): a. Seluruh harta bila seorang atau dua orang atau lebih dan tidak ada ahli waris lain yang berhak;

113 Jadd fasid adalah orang yang terhubung dengan mayit dengan lantaran ibu seperti ayahnya ibu, jaddah fasidah adalah orang yang masuk dalam hubungannya dengan mayit ayah di antara dua ibu seperti ibunya ayah dari ibu mayit (umm abi al-umm). Lihat Sulaiman al-Bujairamy, Tuhfatu al-Habȋb Ala Syarhi al-Khatȋb, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), Juz. 4, h. 11. Ibnu Abidin, Hâsyiyah Ibn Âbidin, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2000), Jz. 6, h. 793. 114 Wahbah Zuhailȋ, al-Fiqh al-Islâmȋ Wa Adilllatuhȗ, Juz. 8, h. 381.

61

b. Sisa harta sesudah pembagian oleh ahli waris lain menurut bagian yang ditentukan; c. Apabila bersama dengan anak perempuan mengambil seluruh harta bila tidak ada ahli waris yang berhak atas bagiannya, maka bagian dua berbanding satu dengan anak perempuan; 2. Cucu laki-laki dan perempuan dari anak laki-laki berhak mendapat bagian yang sama dengan anak laki-laki (seayah) dan bagiannya tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan ayahnya serta cucu laki-laki bagiannya dua berbanding satu dengan cucu perempuan (Pasal 176 jo. Pasal 185); 3. Anak perempuan dan laki-laki sekandung atau seayah berhak mendapat bagian yang sama dengan ayahnya dan bagiannya tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan ayahnya serta bagian anak laki- laki berbanding satu dengan anak perempuan (Pasal 176 jo. Pasal 185). Dari perincian ahli waris dan bagiannya di atas terlihat bahwa ada di antara ahli waris dengan kedudukan tertentu dan bagian yang telah pasti dan ada di antara mereka ahli waris yang tidak disebutkan bagiannya secara pasti seperti anak laki-laki dan saudara laki-laki-kandung atau seayah.

BAB III BIOGRAFI SYEKH AHMAD KHATÎB AL-MINANGKABAWI

A. Riwayat Hidup Syekh Ahmad Khatȋb Sejarah perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat dipisahkan dengan ulamanya, di antaranya adalah Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi. Prestasinya dalam kancah keilmuan membuat Nusantara disegani banyak kalangan, terlebih singgungannya melalui Haramain. Beliau sangat disegani, sehingga tidak heran karena prestasinya yang tinggi beliau dijadikan pengajar, imam dan khatib di Masjidil Haram. Melalui belaian kasih sayangnya dalam dunia pendidikan telah lahir generasi-generasi brilian baik dari tanah Sumatera maupun luar Sumatera yang mampu mereformasi dan memperbarui serta mempunyai pengaruh besar dalam dunia pendidikan di Nusantara di antaranya Syekh Abdul Karim Amrullah (tokoh pembaharu nusantara, ayah Buya Hamka), Haji (tokoh kemerdekaan), KH. Hasyim Asy`ary (pendiri ), KH. (pendiri Muhammadiyyah) dan lain-lainnya, karena pestasi tinggi yang diraih Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi ini beliau mendapat julukan “Bapak Reformis Islam Indonesia”. 1. Silsilah Keluarga Syekh Ahmad Khatȋb Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi adalah seorang ulama besar dari kalangan melayu yang tinggal di Haramain. Beliau adalah seorang yang ahli dalam ilmu fikih (faqȋh), syekh dan mufti madzhab Syafi`i di tanah Haramain sekaligus seorang imam di Masjidil Haram.1Nama lengkap beliau adalah Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf bin `Abdurrahman bin `Abdul `Aziz al-Minangkabawi, beliau dilahirkan di Kota Gadang pada hari Senin 6

1 Nadia Nur Indrawati, “Peran Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916) Dalam Islamisasi Nusantara”, (TAMADDUN, Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2016), e-ISSN 2528-5882 p-ISSN 2355-1917. Lihat http://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/tamaddun/article/view/940, diakses pada 7 Februari 2020.

62

63

Dzulhijjah tahun 1276 H/26 Mei 1860 M.2 Ayahnya berasal dari Kota Gadang, sedangkan ibunya dari Kota Tuo.3 Ayahnya, Abdul Latif, merupakan Khatȋb Nagari, sedangkan kakeknya, `Abdurrahman yang bergelar Datuk Rangkayo Basa adalah seorang jaksa di Padang. Jika garis keturunan itu ditarik ke atas, maka menjadi Abdurrahman bin Tuanku `Abdul `Aziz. Tuanku `Abdul `Aziz adalah ulama besar di Minangkabau pada masa Perang Padri.4 Pada nama kakek beliau terdapat perbedaan pendapat, menurut Hamka bahwa nama kakek beliau adalah “`Abdurrahman bin `Abdul `Aziz”,5 sedangkan menurut Syekh `Umar Abdul Jabbâr nama kakek beliau adalah “`Abdullah bin `Abdul `Aziz”, pendapat kedua ini diperkuat dengan perkataan Syekh Ahmad Khatȋb dalam kitab biografinya “al-Qaulu al-Nahȋf”, beliau mengatakan “Sesungguhnya aku adalah Syekh Ahmad Khatȋb bin `Abdul Latȋf bin `Abdullah bin Kalân”6. Menurut Syekh Ahmad Khatȋb kakeknya adalah seorang ulama besar yang berasal dari Hijaz yang berhijrah ke tanah Minangkabau, karena pada saat itu tanah Hijaz sudah dikuasai oleh keluarga Sa`ȗd yang mengakibatkan tergerusnya akidah Salafus Sâleh. Abdullah hijrah ke Minangkabau dengan tujuan untuk menyebarkan dan mempertahankan akidah tersebut. Abdullah hijrah ke tanah Koto Gadang, karena kearifan dan keluasan ilmunya beliau ditunjuk sebagai imam sekaligus Khatȋb, dari gelar inilah beliau diberi laqab (sebutan) Khatȋb.7 Syekh Ahmad Khatȋb mengatakan aku diberi gelar “Khatȋb” karena ayahku dulu adalah seorang khatȋb di Kota Gadang”. Gelar

2 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latif, (Kudus: Maktabah Ibnu Harjo al-Jawi, 2016), h. 19. 3 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, Dari Minangkabau Untuk Dunia Islam”Otobiografi Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi” (1860-1916 M), (Yogyakarta: Gre Publishing 2016), h. 31. 4 M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta; Gelegar Media Indonesia; 2010), h. 190. 5 Hamka. Ayahku, (Jakarta: Djaja Murni, 1967), hlm. 25. 6 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latif, h. 18. 7 Umar Abdul Jabbâr, al-Siyar Wa al-Tarâjȋm, (Jeddah: Mamlakah al-Arabiyyah al- Sa`udiyyah: 1982), h. 38.

64

ini tidak berubah dengan meninggalnya seseorang tetapi gelar ini diwariskan secara turun temurun kepada seluruh keluarga.8 Dalam adat Minangkabau apabila seseorang meninggal maka mereka membuat suatu perayaan, kemudian diundang semua penduduk kampung dan dibuatkan makanan, setelah itu berdirilah salah seorang dari mereka untuk berpidato, lalu disampaikan pidato balasan oleh pihak lain selain keluarga si mayit, kemudiam berdirilah orang yang berpidato pertama, lalu ia memberikan gelar kepada anak kecil dari keluarga mayit tersebut.9 Ibu Syekh Ahmad Khatȋb bernama Limbak Urai, anak ketiga dari Tuanku Nan Renceh. Jika dilihat dari jalur keturunan Ibu, Ahmad Khatȋb merupakan cucu dari Tuanku Nan Renceh.10 Sementara Tuanku Nan Renceh sendiri merupakan menantu dari Tuanku Bagindo Khatȋb, yang pernah menjabat sebagai Regen (Bupati) Agam dan salah seorang tokoh agama yang disegani di Koto Tuo.11

Syekh Ahmad Khatȋb adalah anak tertua dari lima bersaudara dari ibunya yang bernama Limbak Urai (Aminah), kelima saudara tersebut adalah Ahmad, Mahmud, Aisyah, Hafsah dan Safiyah. Sedangkan saudara tirinya berjumlah enam belas, karena ayahnya memiliki istri lebih dari satu, dari ibu tirinya yang bernama Dariyan beliau mempunyai tiga saudara yaitu Yunus, Fatimah, Kultsum, sedangkan dari ibu tiri yang bernama Maryam binti Syekh Ahmad al-Khalidi12yang mempunyai satu keturunan bernama Fatimah.

8 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latif, h. 19. 9 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latif, Dari Minangkabau Untuk Dunia Islam, Otobiografi Syeikh Ahmad al-Khatȋb al-Minangkabawi” (1860-1916 M), h. 33. 10 Tuanku Nan Renceh ialah salah seorang penyebar Islam pada suku-suku batak tahun 1804. Lihat, al-Habib `Alwȋ bin Tâhir al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Terjemahan oleh Ali Yahya dari al-Madkhal ilâ Târȋkh al-Islâm Fî l-Syarq al-Aqsâ, (Jakarta: Lentera Basritama: 2001), h. 182. Ia juga merupakan ulama terkemuka pada zaman Paderi. Tuanku Nan Renceh bersama Kaum Padri memaklumkan jihad melawan kaum Muslim yang tidak mau mengikuti ajaran-ajaran mereka. Lihat, , Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Cetakan Keempat, (Bandung: Mizan: 1998), h. 292. 11 Hamka, Ayahku, h. 230 12 Syekh Ahmad al-Khâlidi adalah seorang ulama besar dan masyhur di Mekah yang berasal dari tanah Jawa, lihat: Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al-Syekh Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latif, h. 20.

65

Sedangkan dari ibu tirinya yang bernama Asiyah (Padang) beliau mempunyai dua belas saudara yaitu Halimah, Latifah, Yusya`, Abdullah, Muhammad Said, Maimunah, Utsman, Abu Bakar, Rajih, Jawahir, Umar dan Abdul Ghaffar.13 Melihat silsilah Syekh Ahmad Khatȋb di atas, dapat disimpulkan bahwa beliau adalah seorang putera Minangkabau, yang lahir dari keluarga yang berlatar belakang agama dan adat yang kuat. 2. Perjalanan Pendidikan Syekh Ahmad Khatȋb a. Berangkat ke Mekkah Pertama Syekh Ahmad Khatȋb berasal dari keluarga yang dinaungi keilmuan dan nilai-nilai Islam, lingkungan yang dipenuhi suasana keagamaan sangat memudahkannya untuk bisa menerima transfer keilmuan. Mengenai rihlah ilmiyyah pertamanya Syekh Ahmad Khatȋb mengungkapkan:”Semenjak kecil saya sudah mencintai ilmu dan ulama, pertama kali saya belajar membaca dengan ayah saya sewaktu beliau masih menjadi seorang guru di pemerintahan”.14 Dalam urusan mendidik Syekh Abdul Latȋf Khatȋb sangat keras dalam mendidik Ahmad Khatȋb, dalam biografinya beliau mengatakan: “Ayahku sangat keras dalam mendidikku sampai ketika aku salah dalam membaca atau menghafal beliau langsung mendorongku sampai jatuh ke tanah kemudian menginjakku dan tidak ada yang boleh menolongku”. Kerasnya didikan Syekh Abdul Latȋf Khatȋb adalah karena beliau sangat berkeinginan agar anaknya bisa menghafal Al-Qur`an, tetapi apa daya saat itu hafalan Ahmad Khatȋb kecil sangat lemah, sehingga ketika menghafal beberapa ayat dalam Al-Qur`an atau pelajaran yang lain seakan-akan seperti memindahkan gunung”.15 Sikap keras sang ayah kepada Ahmad Khatȋb (kecil) bukanlah tanpa alasan melainkan ayahnya sangat berharap besar agar anaknya dapat

13 Amirul Ulum, Syekh Ahmad al-Khatȋb al-Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramain, (Yogyakarta: CV. Global Press: 2017), h. 59. 14 Ahmad Khatȋb bin Abdul Latȋf, Dari Minangkabau Untuk Dunia Islam”Otobiografi Syeikh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi” (1860-1916 M), h. 38. 15 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latif, h. 19.

66

dengan mudah menggali hukum syariat Islam langsung dari sumbernya, meski hal itu dirasa berat oleh Ahmad Khatȋb (kecil) namun dengan kegigihan dan ketekunannya akhirnya beliau pun berhasil menghafal Al- Qur`an.16 Melihat dari kisah masa kanak-kanak Syekh Ahmad Khatȋb di atas dapat diketahui bahwa beliau memperoleh pendidikan agama dari lingkungan keluarga sendiri. Kemudian pada masa selanjutnya beliau memperoleh pendidikan dasarnya berupa pendidikan agama di kota Bukittinggi lewat jalur pendidikan informal yang dikelola oleh ulama- ulama setempat. Setelah itu beliau belajar di Sekolah Rendah (setingkat SD-SR), dilanjutkan ke Kweekschool (Sekolah Guru).17 Pada saat berumur 11 tahun yaitu pada hari Kamis 10 Rabiul Awwal 1287 H/10 Juni 1870 M, ayahnya bersama dengan kakek dan pamannya yaitu Syekh Latȋf Khatȋb, Syekh Abdullah dan Syekh Abdul Ghani al-Minangkabawi beserta beberapa putranya berangkat untuk menunaikan ibadah haji. Berangkatlah Ahmad Khatȋb beserta rombongannya meninggalkan kepulauan Sumatera menuju rute haji menaiki kapal. Rombongan baru sampai di tanah suci pada 15 Sya`ban dan menginap di kediaman Syaikhah Ummu Salihah istri dari Syekh Ahmad al-Khâlidȋ menantu Syekh Ismâil al-Khâlidȋ seorang mursyid Tariqah Naqsabandiyyah Khâlidiyyah.18 Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Ahmad Khatȋb (kecil) bersama ayahnya dan tiga saudaranya tidak ikut pulang, tetapi menetap disana untuk memperdalam pendidikan keIslaman. Di Mekkah Ahmad Khatȋb mulai belajar di maktab (sekolah non formal) bersama Sulaiman putra Syekh Ahmad al-Khalidiyyah. Di maktab ini beliau mulai belajar Al-

16 Pendapat ini dikemukakan oleh Syekh Umar Abdul Jabbar yang masih menemui masa dimana Syekh Ahmad Khatib masih menjadi khatib dan imam di Masjidil Haram. Umar Abdul Jabbar, al-Siyar Wa al-Tarâjȋm, h. 38. 17 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta; Kencana: 2012), h. 173. 18 Amirul Ulum, Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramain, h. 62.

67

Qur`an kepada Syekh Abdul Hâdi19 dan istrinya Syaikhah Fâtimah, dari tangan dua orang inilah Ahmad Khatȋb (kecil) berhasil mengkhatamkan Al-Qur`an dengan ilmu tajwidnya meskipun bi al-nazar (dengan melihat), sedangkan Sulaiman berhasil menghafalnya karena kecerdasan otaknya dan hafalannya yang kuat.20 Kemudian setelah menamatkan pembelajaran Al-Qur`an Ahmad Khatȋb bersama Sulaiman diutus oleh Syaikhah Salehah ke Masjidil Haram untuk memperdalam ilmu agama kepada ulama-ulama besar disana. Di tempat yang penuh berkah ini Ahmad Khatȋb belajar di bawah bimbingan Sayyid Umar Syatâ, Sayyid Abu Bakar Syatâ,21 dan Sayyid Utsmân Syatâ,22 dan Syekh Zainȋ Dahlan. Di antara disiplin ilmu yang diajarkan di Masjidil Haram pada saat itu adalah ilmu Tauhȋd, Tafsȋr, Hadits, Fikih, Usȗl Fikih, Usȗl Hadȋts, Nahwu, Saraf, Balâghah, Mantiq, Tarȋkh, Siyar (kisah hidup Nabi Muhammad SAW), dan Ilmu Riyâdiyat (Matematika).23

19 Syekh Abdul Hadi adalah orang yang sholeh yang diberkahi dan dermawan, beliau adalah seorang muallaf yang berasal dari Inggris, beliau masuk Islam ketika di Mesir, kemudian belajar dan mendalami Al-Qur`an sampai beliau menghafalnya, kemudian menikah dengan Syaikhah Fâtimah di Mesir istrinya adalah wanita tunanetra yang juga penghafal Al-Qur`an, beliau bersama sang istrikemudian hijrah ke Mekah dan menetap disana, beliau bersama sang istri menjadi pengajar Al-Qur`an yang masyhur di Mekah yang menjadi rujukan banyak orang dalam hal yang berkaitan dengan Al-Qur`an, lihat. Ahmad al-Khatib bin Abdul Latif, al-Qoulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târikhi Hayâti al-Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latif, h. 22. 20 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latif, h. 22. 21 Beliau adalah guru besar di Masjidil Haram yang dikenal kealimannya terutama dalam madzhab Imam Syafi`I, beliau pengarang kitab I`anatu al-Tâlibîn Hasyiyah dari Fathul Mu`in karangan Syekh Ahmad bin Abdul Aziz al-Malaibarî al-Hindî, kitab ini sangat terkenal dan dipelajari hampir disemua pondok-pondok di Indonesia, terutama pondok salaf, lihat Syekh Abdullâh Abdurrahmân al-Muallimy, `Alâmu al-Makkiyȋn, (Makah: Dâr Furqân Turâts Islamy, 2000), h. 560. 22 Keluarga Syata dikenal sebagai keluarga yang kental dengan nuansa keilmuwan dan nilai-nilai keagamaan, kaum jawi sangat akrab dan banyak pula yang berguru kepada mereka, banyak ulama Nusantara yang lahir dari didikan keluarga ini diantaranya Syekh Abdullah al- Tarmasy, Syekh Mahfudz al-Tarmasî, Asnawi Kudus, Syekh Umar bin Harun al-Saranî, Syekh Ma`sum al-Samaranî, Syekh Abdus Syakur al-Tubanî, KH. Hasyim Asy`arȋ, KH. Ahmad Dahlan, KH. Abdul Hamid al-Qudsy dan lai-lain. Lihat Amirul Ulum, Syekh Ahmad Khatȋb al- Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramainh, 65-66. 23 Syekh Hasan bin Muhammad, Al-Dauru al-Tarbawȋ Li Halaqati al-Ilmi bi `Ahdi al- Malik Abdul Azȋz (Makkah: Mamlakah al-Arabiyyah al-Saudiyyah, 1429 H), h. 82.

68

Namun ketika semangat Ahmad Khatȋb dalam menuntut ilmunya masih sangat kuat dan rasa haus akan keilmuan sangat besar, beliau mendapat pesan surat dari ibundanya Aminah yang sudah lama memendam rasa rindu kepada anaknya untuk kembali pulang ke tanah kelahirannya Minangkabau. Mendapat pesan dari ibunda tercintanya Ahmad Khatȋb (kecil) tidak mampu menolak dan akhirnya kembali ke tanah air setelah lima tahun (1287-1292 H) berada di tanah Haramain.24 b. Berangkat Ke Mekkah Kedua Setelah Syekh Ahmad Khatȋb kembali ke tanah air dan melepas kerinduannya kepada ibunya pada tahun 1294 H yaitu dua tahun setelah kepulanganya ke tanah air, datanglah kabar bahwa ayahnya Syekh Abdul Latȋf pulang ke Padang, mendengar kabar tersebut beliau bergegas mendatangi Padang untuk mengunjungi ayahnya.25 Namun kedatangan ayahnya ke Padang kali ini membawa kabar sedih karena istrinya yang berada di tanah Haramain Maryam binti Syekh Ahmad al-Khâlidiyyah telah berpulang ke rahmatullâh, tetapi yang menambah kesedihan Ahmad Khatȋb adalah bahwa ketika ayahnya berniat kembali ke Mekkah beliau melarangnya untuk ikut padahal rasa rindu untuk kembali mencari ilmu di tanah suci Mekkah sangatlah besar. Beliau mengatakan “Saking rindunya hati ini untuk bisa kembali ke Mekkah hingga aku setiap malam bermimpi diriku sudah berada di Mekkah, tetapi ketika aku terbangun ternyata semua itu hanyalah mimpi belaka akupun merasa sedih dan kecewa”.26 Dalam keadaan suasana hati yang gundah tersebut Ahmad Khatȋb tidaklah putus asa, beliau selalu berdoa dan bermunajat kepada Allah SWT agar dibukakan jalan untuk bisa kembali ke tanah suci Mekkah, disela waktu penantian itu beliau mengisi waktunya dengan belajar kepada ulama

24 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 23. 25 Amirul Ulum, Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramain, h. 68. 26 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 26

69

di Koto Tuo bernama “Tuanku nan Mudo” yang dalam bahasa Arab disebut “al-Syekh al-Mufti” beliau belajar darinya matan kitab “al- Minhaj”27 dan Tafsîr Jalalain sampai lima juz.28 Waktu demi waktu telah berlalu dan beliau masih tekun berdoa agar dibukakan jalan untuk kembali ke Mekkah, akhirnya doa yang dipanjatkannya tidaklah sia-sia, Allah mendatangkan kabar untuknya bahwa gurunya Sayyid Utsmân Syatâ berkunjung ke tanah Sumatera Barat, mendengar itu Ahmad Khatȋb pun bergegas untuk menemuinya. Mereka berdua akhirnya bertemu dan pertemuan itu adalah pertemuan yang sangat membahagiakan dalam hidup Ahmad Khatȋb.29 Dalam pertemuan tersebut Ahmad Khatȋb mengungkapkan rasa rindunya untuk kembali tanah Haramain, rasa ingin kembali itu semakin kuat ketika gurunya menceritakan prestasi teman-teman seangkatannya di Masjidil Haram, namun keinginan itu belum dapat terlaksana karena terkendala biaya. Akhirnya Ahmad Khatȋb bersama gurunya sepakat untuk mengumpulkan semua keluarga dan menasehati mereka tentang keutamaan ilmu dan ulama dan menggerakkan hati mereka agar mempelajari ilmu dan memulyakan ahli ilmu. Dalam pertemuan itu Syekh Utsmân Syatâ meminta agar anak mereka Ahmad Khatȋb ini ikut bersamanya ke Mekkah demi memperdalam ilmu agama. Berkat nasehat dan arahan dari Syekh Utsman Syata itu, mereka akhirnya rela untuk

27 Kitab ini dikarang oleh Syekh Yahya bin Syaraf al-Nawawi atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Nawawi (631-676 H) beliau adalah ulama besar madzhab Syafi`îyang berasal dari kampong Nawa yang ada di Syria, tingkatan beliau dalam madzhab Syafi`I adalah Muharrir al-Madzhab yaitu orang yang mengumpulkan semua pendapat ulama madzhab Syafi`I kemudian menyaring dan memisahkan antara pendapat yang râjih dan marjûh, kitabnya “al-Minhâj” adalah sebuah matan dari ilmu fikih, kitab ini termasuk kitab yang sangat penting dan rujukan utama dalam madzhab Syafi`I dan telah banyak ulama-ulama yang mensyarahi dan menghasyiyahkan kitab tersebut, lihat Muhyiddȋn Abȗ Zakariyâ Yahyâ bin Syaraf al-Nawawȋ, Minhâj al-Tâlibîn Wa Umdatu al-Tâlibîn, (Jeddah: Dar al-Minhaj, 2005), h. 15. 28 Eka Putra Wirman, “Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi, Icon Talabul Ilmi Minangkabau Masa Lalu Untuk Refleksi Sumatera Barat Hari Ini dan Masa Depan”, (JURNAL ULINNUHA, Vol. 6, No. 2, Desember 2017), h. 164. Diterbitkan oleh Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Imam Bonjol Padang. Lihat https://ejournal.uinib.ac.id/jurnal/index.php/ulunnuha/article/view/598&ved, diakses pada 3 Februari 2020. 29 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 24.

70

melepaskan Ahmad Khatȋb pergi bersamanya dan mengumpulkan uang untuk biaya kehidupan Ahmad Khatȋb selama di Mekkah.30 Sesampainya Ahmad Khatȋb di tanah Haramain Ahmad Khatȋb menetap di kediaman Syaikhah Ummu Salihah. Kedatangan beliau kedua kalinya di tanah Haramain disambut dengan semangat yang lebih kuat. Ahmad Khatȋb belajar berbagai fan ilmu baik ilmu agama maupun ilmu umum seperti ilmu Tafsȋr, Hadȋts, Usȗl Tafsȋr, Fikih, Usȗl Fikih, Hisâb, Al-Jabâr, Handasah (arsitek), Haiatul Mîqât, bahasa Inggris dan disiplin ilmu lainnya.31 3. Karir dan Prestasi Syekh Ahmad Khatȋb Syekh Ahmad Khatȋb termasuk seorang ulama yang tekun, rajin, dan cerdas, beliau mengatakan “Kalau aku merasa kesulitan memahami suatu bidang keilmuan, aku akan mengkonsentrasikan dan mencurahkan semua waktuku untuk ilmu itu, sampai aku dapat memahaminya, itulah kebiasaanku ketika aku mengajar di Haramain”.32 Ketekunan beliau ini dapat dibuktikan dengan prestasi yang dicapainya, dalam jangka waktu sembilan tahun beliau berhasil menyelesaikan studinya dengan ulama-ulama terkemuka di Mekkah. Di usianya yang masih terbilang muda yaitu 19 tahun Syekh Ahmad Khatȋb sudah memiliki keilmuan yang luas dan disegani oleh banyak kalangan, namanya pun sudah mulai terkenal di kalangan masyarakat Mekkah sebagai ulama muda yang mempunyai pengaruh cukup besar. Disamping keilmuannya yang begitu luas, beliau juga terhiasi oleh sifat-sifat terpuji sepeti istiqâmah, takwa, zuhud, wara`, serta kesungguhannya dalam menuntut ilmu. Sifat-sifat terpuji dalam diri Syekh Ahmad Khatȋb inilah yang membuat hati Syekh Saleh al-Kurdȋ33 tertarik untuk menjadikannya sebagai menantu. Syekh

30 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 26. 31 Amirul Ulum, Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramain, h. 74. 32 Amirul Ulum, Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramain, h. 74. 33 Beliau adalah seorang ulama sekaligus saudagar kaya di Mekah, Ia aktif menjadi penjual dan penyalur kitab-kitab keagamaan yang berasal dari seluruh daratan Timur Tengah. Lihat, , dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta; Djambatan; 1992), h. 90.

71

Ahmad Khatȋb dinikahkan dengan putrinya yang bernama Khadȋjah pada tahun 1879 M yang pada akhirnya beliau memutuskan untuk berdomisili di Mekkah.34 Namun pernikahan ini tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1883 M Khadijah wafat, dari pernikahan ini Syekh Ahmad Khatȋb dikaruniai dua orang anak, yaitu Abdul Karȋm dan Abdul Malik. Kemudian Syekh Ahmad Khatȋb dinikahkan kembali oleh Syekh Saleh Kurdȋ dengan puterinya yang bernama Fatimah, adik dari Khadijah. Syekh Ahmad Khatȋb dikaruniai anak dari pernikahannya ini dan diberi nama Khadijah binti Ahmad Khatȋb dan Abdul Hamid Khatȋb.35 Belum berselang lama dari pernikahan tersebut Syekh Ahmad Khatȋb diangkat menjadi Khatȋb di Masjidil Haram, hal itu dikarenakan kepiawaiannya dalam berorasi dalam sebuah acara yang sengaja diadakan oleh mertuanya Syekh Saleh al-Kurdȋ untuk memperlihatkan keilmuan menantunya di hadapan para ulama besar Mekkah. Dalam orasi tersebut para ulama terkesima dan terkagum-kagum oleh pidato yang disampaikan oleh Syekh Ahmad Khatȋb, setelah itu beliau diangkat menjadi Khatȋb di Masjidil Haram.36 Di awal abad 20, Syekh Ahmad Khatȋb bukan hanya dikenal sebagai sebagai Khatȋb dari mazhab Syafi‟i, tetapi juga sebagai guru sekaligus imam di Masjidil Haram. Prestasi ini merupakan penghargaan dari Syarif „Ainur Rafȋq, penguasa Makkah saat itu. Syekh Ahmad Khatȋb pernah suatu ketika menegur kesalahan bacaan Syarif „Ainur Rafiq ketika mengimami shalat Maghrib di Istana, hal ini membuat Syarif Ainur Rafiq kagum kepada Syekh Ahmad Khatȋb karena kefasihan lidahnya dalam bacaan shalat dan keberaniannya untuk membenarkan suatu kesalahan meskipun masih terbilang muda. Setelah

34 M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, h. 190. 35 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 36. 36 Amirul Ulum, Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramain, h. 76.

72

kejadian tersebut Syarif „Ainur Rafȋq mengijinkan Syekh Ahmad Khatȋb untuk mengajar di Masjidil Haram. Beliau juga mengangkat Syekh Ahmad Khatȋb sebagai imam dari Mazhab Syaf‟i di Masjidil Haram.37 Dalam riwayat lain Syekh Abdul Jabbâr mengatakan bahwa di antara faktor Syekh Ahmad Khatȋb menjadi pengajar di Masjidil Haram adalah karena kedekatan mertuanya dengan Syarif „Ainur Rafȋq dan juga setelah melihat prestasi yang dicapai Syekh Ahmad Khatȋb, mertuanya mengatakan kepada Sayyid Ainur Rafȋq “saya berharap Tuan menunjuknya sebagai pengajar, imam dan Khatȋb di Masjidil Haram”, akhirnya permintaan tersebut diamini oleh Sayyid Ainur Rafȋq.38 Syekh Ahmad Khatȋb mengajar di serambi Masjidil Haram tepatnya di Bab al-Ziyâdah. Majelis ilmunya banyak dihadiri oleh para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia terutama Indonesia. Ada yang menyebutkan bahwa halaqah tersebut dihadiri kurang lebih 100 pelajar, kebanyakan dari mereka menjadi ulama besar dan pelopor di negeri mereka masing-masing.39 Kelebihan Syekh Ahmad Khatȋb dari ulama lainnya terletak pada metode dan cara mengajar, yang bertumpu pada pemahaman dan diskusi. Syekh Ahmad Khatȋb lebih banyak berdiskusi dengan para muridnya, sehingga peran mereka lebih terlihat aktif.40 Menurut Syekh Hasan Maksum,41 pengajaran gurunya tersebut secara zahir adalah seperti kebanyakan ulama yang mengajar, namun ketika dilontarkan kepadanya beberapa permasalahan akan terlihat posisinya sebagai ulama ensiklopedis.

37 Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatȋb, Ilmuwan Islam di Permulaan Abad Ini, (Jakarta: Panjimas, 1983), h. 29. 38 Umar Abdul Jabbar, al-Siyâr wa al-Tarâjim, h. 39. 39 Ahmad Fauzi Ilyas, “Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi dan Polemik Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara”, (JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2017). Lihat http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/JCIMS/article/view/1008, diakses pada 13 Januari 2020. 40 Umar Abdul Jabbâr, Siyar wa Tarâjȋm, h. 40. 41 Ja‟far, “Tarekat dan Gerakan Sosial Keagamaan Syekh Hasan Maksum”, (TEOSOFI, Jurnal Tasawwuf dan Pemikiran Islam, Vol. 5, No. 2, 2015), h. 269-293. Diterbitkan oleh UIN Sumatera Utara Medan. Lihat http://jurnalfuf.uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/view/107, diakses pada 3 Februari 2020.

73

Posisinya sebagai imam, khatȋb sekaligus pengajar di Masjidil Haram adalah sebuah posisi penting dan prestisius dan merupakan sebuah kepercayaan yang sangat langka untuk orang non-Arab. Semua literatur mencatat bahwa kedudukan ini dicapainya karena ketinggian dan kedalaman ilmu yang dimilikinya dalam berbagai bidang. Dengan posisi yang penting ini, maka dapat dikatakan bahwa Syekh Ahmad Khatȋb termasuk tokoh sentral dunia Islam pada masanya. Syekh Ahmad Khatȋb telah menjadi bagian dari jaringan ulama Harâmain yang mempunyai peran menyebarkan gagasan- gagasan keilmuam dan pembaharuan ke seluruh dunia Islam, karena itu diskursus dunia Islam akhir abad 19 dan awal 20 harus mencantumkan nama besar putra Agam ini.42 Pengaruh, prestasi dan kebesaran Syekh Ahmad Khatȋb dalam skala internasional ini bukan hanya di Haramain, tetapi juga melebar ke Jazirah Arab, bahkan lebih dari itu, terbukti dengan gelar “Bey Tunis” yang diterima beliau dari pemerintah Turki yang lazimnya diberikan kepada bangsawan Tunisia yang berjasa besar bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Pengaruh dan prestasinya juga dapat dilihat pada skala nasional, yaitu pada murid- muridnya yang kebanyakan dari mereka menjadi ulama-ulama reformis dan berpengaruh di daerahnya, bahkan bisa dikatakan bahwa perkembangan gerakan intelektual Indonesia dimulai dari murid-muridnya yang tersebar di Nusantara.43

Berdasarkan keterangan diatas dapat diketahui bahwa Syekh Ahmad Khatȋb adalah ulama Nusantara yang tekun, berani, cerdas dan mempunyai prestasi dan pengaruh yang luar biasa, yang jarang dicapai oleh ulama Nusantara bahkan dunia, karena gelar Khatȋb serta imam dan pengajar di Masjidil Haram adalah sebuah kehormatan yang hanya diperoleh oleh

42 Eka Putra Wirman, “Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi, Icon Talabul Ilmi Minangkabau Masa Lalu Untuk Refleksi Sumatera Barat Hari Ini dan Masa Depan”, h. 165. 43 Wahyuddin G, “Awal Munculnya Gerakan Intelektualisme Islam di Indonesia Abad 20”, (Jurnal Adabiyyah, Fakultas Adab & Humaniora UIN Alauddin ISSN Print : 1412-6141 ISSN Vol. 10, No. 2, 2010), h. 185. Lihat http://journal.uin- alauddin.ac.id/index.php/adabiyah/article/view/1951, diakses pada 4 Februari.

74

seseorang yang telah mencapai tingkat tinggi baik dari keilmuan, ketakwaan, akhlak maupun keistiqamahan. 4. Akhir Hayat Syekh Ahmad Khatȋb Syekh Ahmad Khatȋb pernah berkata kepada murid kesayangannya yaitu Syekh Abdul Karȋm Amrullâh “Biarlah aku meninggal di tanah suci ini”44kata-kata ini tidaklah mengisyaratkan bahwa beliau tidak mencintai tanah airnya, Syekh Ahmad Khatȋb adalah ulama yang sangat mencintai tanah kelahirannya, bentuk cintanya itu telah dibuktikan dengan banyaknya karya tulis yang ditulis sebagai solusi atas problem yang dihadapi masyarakat di tanah airnya dan juga dibuktikan dengan murid-murid hasil didikannya yang banyak berkiprah dan berjasa dalam perubahan dan perkembangan intelektual di Indonesia sehingga beliau mendapat julukan sebagai “Bapak Reformis Islam Indonesia”.45 Dalam otobiografinya Syekh Ahmad Khatȋb “ketika aku sudah mulai menua, umurku telah mencapai 58 tahun, dan tubuhku pun mulai melemah serta penyakit-penyakit telah menggerogoti tubuhku” kata-kata ini mengisyaratkan akan kedekatan ajalnya. Syekh Ahmad Khatȋb menulis sebuah pesan kepada anak-anaknya “wahai anak-anakku renungilah perjalanan hidupku yang telah aku tuliskan untuk kalian, siapakah aku? di manakah aku sekarang? aku adalah keturunan Indonesia, datang dari negara Islam yang jauh, tapi kemudian Allah menanamkan rasa cinta kepada kakekmu untuk mencintaiku. Kakekmu memberikan semuanya untukku, jiwa dan hartanya, semua itu adalah berkah dari ilmu dan kemuliaannya, bukan karena dunia dan kenikmatannya. Kita berbeda kewarganegaraan, kemiskinan dan kekayaan, tapi karena keberkahan ilmu yang dititipkan kepadaku Allah menundukkan dunia untukku”.46

44 Hamka, Ayahku, h. 58. 45 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995) h. 38 46 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 93.

75

Syekh Ahmad Khatȋb adalah benteng yang kokoh bagi tanah Nusantara dan Haramain, darinya telah lahir ulama-ulama besar di Nusantara meskipun jasadnya di Haramain, namun ia tidak pernah lupa dengan tanah airnya, itulah bentuk pengabdiannya kepada Islam dan tanah kelahirannya. Setelah lama menahan rasa sakit yang tak kunjung sembuh akhirnya pada hari Senin 9 Jumadil Awal 1334 H/13 Maret 1916 M seusai shalat Isya` Syekh Ahmad Khatȋb kembali ke rahmatullah,47 semua merasa kehilangan akan sosok ulama yang banyak berjasa pada dunia Islam ini. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat kepadanya dan meninggikan derajatnya diakhirat kelak dan semoga selalu terlahir generasi-generasi yang kokoh dan kuat seperti Syekh Ahmad Khatȋb. Âmin yâ Rabbal `Âlamin.

B. Prestasi Syekh Ahmad Khatȋb Dalam Dunia Keilmuan 1. Karya Tulis Syekh Ahmad Khatȋb Syekh Ahmad Khatȋb adalah salah satu di antara ulama-ulama Indonesia yang paling aktif dan produktif dalam berkarya tulis. Bagi yang meneliti dan membaca tulisannya akan memahami betapa dalam dan luasnya cakrawala keilmuan yang dimilikinya. Namun kebanyakan karya beliau mengarah pada pembahasan fikih dan kritikan terhadap praktek-praktek keagamaan di Nusantara yang dinilai menyimpang dari jalur syariat. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah ulama yang selalu mengikuti perkembangan tanah airnya meskipun bertempat tinggal di Mekkah. Terdapat perbedaan pendapat tentang jumlah karya tulis yang ditulisnya, ada yang mengatakan karya tulis tersebut mencapai 49 dan ada pula yang mengatakan 47 karya,48namun dalam kitab al-Qaulu al-Nahȋf Syekh Ahmad Khatȋb hanya menyebutkan 47 kitab. Sebagian karya tulisnya memang ditulis dengan bahasa Arab dan sebagian lain ditulis dengan bahasa Melayu. Dalam otobiografi yang ditulisnya, beliau menyebutkan kitab-kitab

47 Amirul Ulum, Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramain, h. 95.

48 Umar Abdul Jabbâr, Siyâr wa Tarâjȋm, h. 41.

76

karangannya lengkap disertai dengan alasan penulisannya, kitab-kitab tersebut adalah:49 1. Kitâb al-Nafahât Hâsyiyat al-Waraqât (kitab Usul Fiqh), (karya ke-1) kitab ini adalah karya pertama yang ditulisnya dalam bahasa arab pada tahun 1306 H ketika mengajar di Masjidil Haram sebagai hâsyiyah (penjelas) atas kitab al-Waraqât dalam usul fikih. Alasan ditulisnya kitab ini adalah karena tidak adanya hasyiyah yang dapat menjelaskan kesulitan ibarah kitab al-Waraqât tersebut. Oleh karena itu ditulisnya kitab ini dengan tujuan agar mempermudah para pencari ilmu dalam memahaminya. 2. Kitâb al-Jawâhir al-Naqiyyah Fȋ al-A`mâl al-Jaibiyyah, (karya ke-2) kitab ini adalah karya keduanya dalam bidang al-Mȋqat (ilmu Falak) yang ditulis pada tahun 1309 H. Syekh Ahmad Khatȋb dalam otobiografinya mengatakan bahwa alasan ditulisnya kitab ini adalah karena banyaknya permintaan dari penduduk di Nusantara agar menulis sebuah kitab tentang ilmu falak. Akan tetapi ketika itu beliau belum menguasai ilmu tersebut dan belum menemukan guru yang tepat untuk mengajarinya, sehingga keadaan tersebut mendorongnya untuk belajar secara otodidak sampai akhirnya beliau memahaminya. Kitab ini dicetak oleh Penerbit Matba`ah Maimaniyah di Mesir atas biaya menantunya Muhammad Majid al-Kurdȋ dan dihamisynya juga dicetak “Risâlah al-Mâdirnȋ Fȋ al-`Amal bi ar-Rub` al-Mujȋb”. 3. Kitâb al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fi al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhawât Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, (karya ke-3) kitab ini ditulis beliau pada tahun 1309 H, kitab ini ditulis sebagai bantahan atas tradisi masyarakat Minangkabau yang sudah turun-temurun terkait sistem pewarisan harta kepada mamak (saudara laki-laki) dan kemenakan dengan mengabaikan anak dan orangtua.

49 Ahmad Khatȋb bin Abdul Latif, Dari Minangkabau Untuk Dunia Islam”Otobiografi Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi” (1860-1916 M), h. 38.

77

Alasan yang mendorongnya menulis kitab ini adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh orang-orang Nusantara terkait sistem kewarisan yang bersebrangan dengan sistem kewarisan Islam. Syekh Ahmad Khatȋb menyampaikan persoalan ini kepada gurunya Sayyid Abȗ Bakar Syatâ yang kemudian oleh gurunya ditulis sebuah risalah kecil yang berjumlah tiga lembar. Namun risalah ini dirasa kurang cukup untuk menyelesaikan persoalan mereka, pada akhirnya keadaan tersebut memaksa Syekh Ahmad Khatȋb untuk menulis kitab al-Dâ`i al-Masmȗ` ini. Karangan beliau ini mendapat apresiasi besar dari gurunya Sayyid Abȗ Bakar Syatâ. Ketika kitab ini diterbitkan, kitab ini menggemparkan wilayah Minangkabau pada masanya dan menuai berbagai kritikan dari berbagai pihak, termasuk murid-muridnya. 4. Kitâb Raudat al-Hussâb Fȋ A`mâli al-Hisâb (karya ke-4), dalam bahasa Arab yang dikarang beliau tahun 1310 H. Kitab ini membahas ilmu perhitungan (Matematika), al-Muqâbalah, al-Jabr, al-Munâsakhah. Dalam hal ini juga Syekh Ahmad Khatȋb belajar secara otodidak, beliau mengumpulkan berbagai kaidah matematika baik dari buku ilmu matematika klasik maupun kontemporer. Kitab ini mendapat apresiasi besar dari gurunya Sayyid Abȗ Bakar Syatâ karena ilmu ini belum pernah diajarkannya kepada Syekh Ahmad Khatȋb. Kitab ini dicetak oleh temannya bernama Muhammad al-Kisymirȋ al-Kutbȋ di Bab as-Salam Mesir dipercetakan al-Maimaniyyah, dan di hamisynya (pinggirannya) dicetak juga Syarh as-Sakhâwiyyah karangan Imâm al-Mahallȋ. 5. Kitâb `Alamul Hisâb Fȋ `Ilmi al-Hisâb, (karya ke-5) dalam bahasa Melayu, yang dikarangnya pada tahun 1310 H. Alasan dikarangnya kitab ini adalah setelah penduduk di Nusantara mengetahui akan kitab Raudhatul Hussâb mereka meminta agar dibuatkan kitab yang sama namun dalam bahasa Melayu. 6. Kitâb al-Nukhbah al-Bahiyyah Terjemah Daripada Khulâsah al-Jawâhir al-Naqiyyah Pada Bicara A`mal al-Jaibiyyah, kitab ini adalah terjemahan dari kitab al-Jawâhir al-Naqiyyah Fȋ al-A`mal al-Jaibiyyah (karya ke-6)

78

dalam bahasa Melayu dalam bentuk ringkasan. Alasan ditulisnya kitab ini adalah karena permintaan penduduk di Nusantara, kitab ini dicetak oleh menantunya Muhammad Majid al-Kurdȋ di percetakan al-Miriyyah di Mekkah, dan di hamisynya dicantumkan kitab Ilmu al-Hisab dan al- Nukhbah al-Bahiyyah. 7. Kitâb al-Riyâd al-Wardiyah Fȋ al-Usȗl al-Tauhȋdiyyah Wa al-Furȗ` al- Fiqhiyyah, (karya ke-7) dalam bahasa Melayu ditulis tahun 1311 H, alasan dikarangnya kitab ini adalah ibunya ketika datang ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji dan bermukim disana, beliau meminta agar dibacakan bab-bab yang berkaitan dengan ibadah, maka tergeraklah hatinya untuk menulis kitab tersebut, dan kitab ini banyak dibaca di Nusantara dan berulang kali dicetak. Cetakan pertama di Mesir dan cetakan kedua di Mekkah di percetakan al-Mairiyyah. 8. Kitâb al-Manhaj al-Masyrȗ`, (karya ke-8) dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1311 H, alasannya adalah karena permintaan dari penduduk Nusantara setelah dituliskannya kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` mereka meminta agar kitab tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Melayu. Syekh Ahmad Khatȋb dalam kitab tersebut menambahkan pembahasan farâid, kitab ini dicetak oleh menantunya Muhammad Majid di Mesir di percetakan al-Maimaniyyah, dan di hamisynya dicantumkan kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ`. 9. Kitâb Dau`i al-Sirâj, (karya ke-9) dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1312 H. Alasannya adalah ketika para penjajah Belanda menjajah Indonesia mereka mendirikan beberapa sekolahan, banyak anak-anak orang Islam yang dipaksa sekolah ditempat tersebut. Termasuk pelajaran yang diajarkan di sekolahan itu adalah mendustakan Nabi Muhammad SAW dalam kisah Isra` dan Mi`raj dengan argumen-argumen palsu yang tujuannya menyesatkan umat Islam Indonesia. Kitab tersebut ditulisnya dalam bahasa Melayu yang isinya membantah kebohongan para penjajah itu dengan argumen-argumen yang kuat tentang proses Isra` Mi`rajnya

79

Nabi SAW. Kitab ini dicetak oleh Muhammad Majid al-Kurdiȋ dipercetakan al-Mairiyyah Mesir. 10. Kitâb Sulhi al-Jamâ`atain Fȋ Jawâzi al-Jum`attain, (karya ke-10) dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1312 H, alasan ditulisnya kitab ini adalah sebagai jawaban atas hukum ketidaksahan melaksanakan shalat jumat lebih dari satu pada satu tempat yang difatwakan oleh Sayyid Utsman bin Yahya mufti Betawi. Kitab ini dicetak oleh Muhammad Majid al-Kurdy di percetakan al-Mairiyyah di Mekkah. 11. Kitâb al-Radd `Ala Taftȋh al-Muqlatain, (karya ke 11) dalam bahasa Arab yang ditulis tahun 1313 H. Kitab ini adalah bantahan atas kitab yang ditulis oleh Sayyid Utsman bin Yahya dalam kitabnya Taftȋh al-Muqlatain Fȋ al-Radd `Ala Sulhi al-Jamâ`atain. Syekh Ahmad Khatȋb menyebutkan bahwa dalam kitabnya Sayyid Utsmân sangat marah akan kitab yang dikarangnya dan Sayyid Utsmân pun menghujat Syekh Ahmad Khatȋb, tetapi Sayyid Utsmân tidak mampu lagi menjawab argument yang dipaparkan oleh Syekh Ahmad Khatȋb yang akhirnya terdiam dan tidak menyanggah lagi. Kitab ini dicetak oleh Muhammad Majid al-Kurdȋ di percetakan al-Mairiyyah di Mekkah. 12. Kitâb Nȗr al-Syam`ah Fȋ Ahkâmi al-Jum`ah, (karya ke-12) dalam bahasa Melayu ditulis pada tahun 1314 H, alasan ditulisnya kitab ini adalah karena permintaan penduduk di Nusantara agar dituliskan sebuah kitab yang membahas tentang shalat Jumat, kitab ini dicetak oleh Muhammad Majid al-Kurdȋ di percetakan al-Mairiyyah di Mekkah. 13. Kitâb al-Jawâhir al-Farȋdah Fȋ al-Ajwibah al-Mufȋdah, (karya ke-13) dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1314 H, alasannya adalah banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang datang dari kampung halamannya terkait solusi tentang keharaman yang telah menyebar ke semua tempat. Kitab ini dicetak oleh Muhammad Majid al-Kurdȋ di percetakan al- Mairiyyah di Mekkah. 14. Kitâb Mu`ȋn al-Jâiz Fȋ Tahqȋqi Maknâ al-Jâiz, (karya ke-14) dalam bahasa Melayu yang ditulis tahun 1315 H. Kitab ini adalah bantahan atas

80

perdebatan yang terjadi di kalangan orang-orang Melayu terkait makna jâiz (kebolehan) apakah satu atau bermacam-macam. Kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 15. Kitâb al-Suyȗf Wa al-Khanâjîr `Alâ Riqâbi Kulli Man Yad`ȗ Li al-Kâfir, (Karya ke-15), dalam bahasa Arab pada tahun 1316 H. Kitab ini ditulis sebagai sanggahan atas risalah yang memperbolehkan berdoa untuk orang kafir yang ditulis oleh Sayyid Utsmân Batâwi, tetapi kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 16. Kitâb al-Qaulu al-Mufȋd Syarh Matla` al-Sa`ȋd, (karya ke-16), dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1327 H. Kitab ini ditulis atas permintaan salah satu kerabatnya untuk mensyarahi kitab Matla` as-Sa`ȋd yang terbilang sebagai kitab yang sulit dipahami, tetapi kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 17. Kitâb al-Natȋjah al-Mardhiyyah Fȋ Tahqȋqi al-Sanah al-Syamsiyyah Wa al-Qamariyyah, (karya ke-17), dalam bahasa Arab yang ditulis tahun 1317 H. Kitab ini menerangkan tentang penentuan bulan Syamsiyah dan Qamariyyah, namun kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 18. Kitab Fathi al-Mubȋn Li Man Salaka Tarîqa al-Wâsilȋn, (karya ke-18), dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1318 H. Kitab ini ditulis karena melihat penduduk kampung halamannya telah mengambil jalan (tarȋqah) yang telah keluar dari jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW. Kitab ini dicetak oleh Muhammad Majȋd al-Kurdȋ di percetakan al-Mairiyyah di Mekkah. 19. Kitâb al-Durrah al-Bahiyyah Fȋ Adâ` Zakat al-Dzurah al-Habasyiyyah, (karya ke-19), dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1319 H. Kitab ini ditulis atas permintaan penduduk Dagistan terkait perselisihan di antara mereka tentang tata cara mengeluarkan zakat jagung, namun kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 20. Kitâb Fathi al-Khabȋr Fȋ Basmalah al-Tafsȋr, (karya ke-20) dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1319 H. Ditulis ketika beliau mengajar tafsir

81

al-Jalâlain kepada para pelajar dari Nusantara, namun kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 21. Kitâb al-`Umdah Fȋ Man`i al-Qasr Fȋ Masâfati al-Jiddah, (karya ke-21), dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1320 H. Kitab ini ditulis karena adanya pertanyaan dari sebagian ulama Nusantara tentang jarak antara Mekkah dan Jeddah apakah termasuk jarak yang diperbolehkan qasar atau tidak?, kitab ini ditulis dengan dibantu oleh Syarif Ainur Rafȋq dalam pengukuran jarak antara Mekkah dan Jeddah, namun kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 22. Kitâb Kasyfi al-Râni Fȋ Hukmi Wad`i al-Yad Ba`da Tatâwul al-Zamân, (karya ke-22) dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1321 H. Kitab ini ditulis karena adanya pertanyaan tentang dakwaan dari seseorang terkait penguasaan rumah yang telah lama ditempati orang yang tinggal di rumah tersebut, namun kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 23. Kitâb Halli al-`Uqdah Fȋ Tashȋhi al-`Umdah, (karya ke23) dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1321 H. Kitab ini ditulis sebagai jawaban atas sanggahan guru beliau di Nusantara Syekh Mukhtâr bin Utârid al- Bantâni yang mengkritik kitab beliau al-`Umdah, namun kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 24. Kitâb al-Aqwâl al-Wâdihat Fȋ Hukmi Man `Alaihi Qada`u al-Salawât, (karya ke-24), dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1321 H. Kitab ini ditulis atas pertanyaan orang-orang Nusantara tentang hukum orang yang mempunyai qadâ sholat, namun kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 25. Kitâb Husni al-Difâ` Fȋ al-Nahyi `An al-Ibtidâ`, (karya ke-25), dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1322 H. Kitab ditulis untuk menjawab problematika bid`ah dalam tarekat yang dicetuskan oleh sebagian masyarakat Nusantara, namun kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 26. Kitâb al-Sârim al-Mufrȋ Lȋ Wasâwisi Kulli Kâdzibin wa Muftarin, (karya ke-26), dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1323 H. Kitab ini

82

adalah sebagai bantahan atas perilaku sebagian ahli tarekat di Nusantara yang merubah amaliyah-amaliyah dalam tarekat, namun kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 27. Kitâb Maslak al-Râghibȋn Fȋ Tarȋqi Sayyidi al-Mursalȋn, (karya ke-27), dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1323 H. Kitab ini menerangkan tentang tarekat yang dijalankan oleh salafus sâleh, kitab ini dicetak oleh Muhammad Majid al-Kurdȋ di percetakan al-Mairiyyah di Mekkah. 28. Kitâb Zaghli al-Kâdzibȋn Fȋ Tasyabuhihim Bi al-Sadiqȋn, (karya ke-28), dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1324 H. Kitab ini adalah jawaban atas sanggahan orang-orang yang tidak terima akan kritikan Syekh Ahmad Khatȋb dalam beberapa amaliyah tarekat yang keluar dari jalur syariah, kitab ini dicetak oleh Sayyid Ahmad al-Seggaf di percetakan Sayyid Abdul Wahid al-Tubȋ di Mesir. 29. Kitâb Kasyfi al-Ghain Fȋ Istiqlâli Kullin Min Qaulai al-Jihah wa al-`Ain, (karya ke-29), dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1324 H. Kitab ini menerangkan tentang perselisihan pendapat terkait al-Jihah (arah) dan al-`Ain (sumber arah), kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 30. Kitâb al-Âyât al-Bayyinât Li al-Munsifȋn Fȋ Raddi Khurafât Ba`di al- Muta`asibȋn, (karya ke-30), dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1325 H. Kitab ini ditulis setelah menyebarnya kitab Zaghlu al-Kâdzibȋn, dari kitab ini banyak orang telah bertaubat dari amaliyah tarekat yang menyeleweng dari jalur syariat, tetapi kitab tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh semua kalangan, ada beberapa ulama fanatik tidak terima akan hal itu dan menulis sebuah risalah kepada Syekh Ahmad Khatȋb yang isinya mengkritik kitab Zaghlu al-Kâdzibȋn. Kitab ini dicetak oleh Sayyid Ahmad al-Seggaf dipercetakan Sayyid Abdul Wâhid al-Tûbȋ di Mesir. 31. Kitâb al-Saifi al-Battâr Fȋ Mahqi Kalimâti Ba`di Ahli al-Ightirâr, (karya ke-31), dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1325 H. Kitab ini ditulis sebagai jawaban atas surat kritikan yang ditujukan ke Syekh

83

Ahmad Khatȋb atas kitab al-Âyât al-Bayyinât. Kitab ini dicetak oleh Sayyid Ahmad as-Seggaf dipercetakan Sayyid Abdul Wahid al-Tûbî di Mesir. 32. Kitâb al-Hâwȋ Fȋ al-Nahwi, (karya ke-32), dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1326 H. Kitab ini ditulis atas permintaan penduduk di Nusantara agar memudahkannya dalam memahami ilmu nahwu, kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 33. Kitâb Sullam al-Nahwi, (karya ke-33), dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1327 H. Kitab ini adalah ringkasan dari kitab al-Hâwȋ Fȋ al- Nahwi yang dirasa terlalu besar bagi para penuntut ilmu di Nusantara, kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 34. Kitâb al-Mawâ`iz al-Hasanah Li Man Yarghabu Min al-A`mâl al- Hasanah, (karya ke-34), dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1327 H. Kitab ini ditulis atas permintaan muridnya yang ingin pulang ketanah air, kitab ini adalah sebuah kitab yang berisi nasehat-nasehat baik, kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 35. Kitâb al-Khuttah al-Mardiyyah Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yaqȗlu Bi Bid`ati al-Talaffuzi Bi al-Niyyah, (karya ke-35), dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1327 H. Kitab ini ditulis sebagai jawaban atas kitab yang ditulis muridnya yang bertujuan membid`ahkan pengucapan niat dalam suatu ibadah, dicetak oleh anak beliau Abdul Karȋm di percetakan al-Mâjidiyyah di Mekkah. 36. Kitâb al-Syumȗs al-Lâmi`ah Fȋ al-Raddi `Alâ al-Marâtib al-Sab`ah, (karya ke-36), dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1328 H. Kitab ini ditulis sebagai keterangan atas bahayanya meyakini adanya 7 tingkatan dalam kehidupan, dicetak oleh Abdul Karim di percetakan al- Majidiyyah di Mekkah. 37. Kitâb Raf`u al-Iltibâs `An Hukmi al-Anwât al-Muta`âmal Bihâ Baina al- Nâs, (karya ke-37), dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1326 H. Kitab ini menerangkan tentang hukum zakat uang yang beredar, dicetak oleh anak beliau Abdul Karȋm di percetakan al-Mâjidiyyah di Mekkah.

84

38. Kitâb Iqnâ` al-Nufȗs Bi Ilhâqi Aurâqi al-Anawât Bi `Umlati al-Fulȗs, (karya ke-38), dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1330 H, kitab ini sebagai bantahan akan risalah yang ditulis Sayyid Ahmad al-Husaini dari Mesir tentang wajibnya zakat pada uang kertas, dicetak oleh anak beliau Abdul Karȋm di Beirut. 39. Kitâb Tanbȋhi al-Ghâfil Li Sulȗki Tarȋqati al-Awâil Fȋ Mâ Yata`allaqu bi al-Tarȋqah al-Naqsyabandiyyah, (karya ke-39), dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1330 H. Kitab ini ditulis sebagai kritikan atas amaliyyah yang dilakukan para pemimpin tarekat Naqsyabandiyyah yang melenceng dari syariat, kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 40. Kitâb Salli al-Husâm Li Qat`i Khurafâti Tanbȋh al-Anâm, (karya ke-40), dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1329 H. Kitab ini adalah bantahan atas kritikan yang dilontarkan para pemimpin tarekat Naqsyabandiyah dalam kitab Tanbȋh al-Anâm, kitab ini sampai sekarang belum dicetak. 41. Kitâb al-Qauli al-Sidq Fȋ Ilhâq al-Walad Bi al-Mutalliq, (karya ke-41), dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1331 H. Kitab ini menerangkan tentang status anak zina dari perempuan yang ditalak suaminya yang melahirkan anak pada masa `iddah, yang mana terjadi perbedaan pendapat antar Mufti madzhab Syafi`i dan Syekh Ahmad Khatȋb, kitab ini belum dicetak. 42. Kitâb al-Bahjah al-Saniyyah Fȋ al-A`mâl al-Jaibiyyah, (karya ke-42), dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1331 H. Kitab ini ditulis atas permintaan murid beliau yang agar menuliskan kitab lebih mudah dari kitab al-Jawâhir al-Naqiyyah, kitab ini belum dicetak. 43. Kitâb Tanbȋh al-Anâm Fȋ al-Raddi `Alâ Risâlati Kaffi al-Awâm `An al- Khaudi Fȋ Syarikât al-Islâm, (karya ke-43), dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1332 H. Kitab adalah bentuk pembelaan Syekh Ahmad Khatȋb kepada Jam`iyyah Islamiyyah bernama Serikat Islam yang dituding oleh sebagian ulama Nusantara sebagai Jami`yyah sesat dan munkar, dicetak oleh anak beliau Abdul Karȋm dipercetakan Mesir.

85

44. Kitâb Irsyâd al-Hayâra Fȋ Izâlati Ba`di Syubahi al-Nasârâ, (karya ke-44), dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1332 H. Kitab ini menjawab kebohongan yang dilontarkan oleh orang-orang Perancis terkait agama Islam, dicetak oleh anak beliau Abdul Karȋm di percetakan Mesir. 45. Kitâb Hâsyiyah Fathi al-Jawâd, (karya ke-45), dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1332 H. Kitab ini adalah penjelas dari Fathu al-Jawâd, kitab ini berjumlah 5 Jilid setiap jilidnya berisi 50 halaman. 46. Kitâb al-Fatâwâ, (karya ke-46), dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1332 H. Kitab ini berisi fatwa-fatwa Syekh Ahmad Khatȋb yang bermula dari pertanyaan yang sampai kepadanya. 47. Kitâb al-Qauli al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târikhi Hayâti al-Syekh Ahmad al- Khatȋb bin Abdul Latif, (karya ke-47), dalam bahasa Arab yang ditulis pada tahun 1334 H yaitu pada tahun wafat Syekh Ahmad Khatȋb. Kitab ini menerangkan riwayat hidup beliau, ditulisnya ketika berumur 58 tahun ketika beliau mulai diuji dengan berbagai penyakit. Kitab ini ditulis atas permintaan dari murid-murid beliau agar menulis biografi beliau sebagai panutan bagi generasi berikutnya.50 Berdasarkan dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Syekh Ahmad Khatȋb adalah ulama yang produktif dan mempunyai keilmuan yang konprehensif karena menguasai berbagai fan keilmuan baik yang berkaitan dengan agama maupun keilmuan umum. Apabila diperhatikan Syekh Ahmad Khatȋb juga ulama yang kritis dan mempunyai kepedulian yang besar dalam menghadapi dan menyikapi berbagai problem yang terjadi di masyarakat terutama di Nusantara, terlihat banyak dari karya beliau yang membahas problem-problem yang terjadi di Nusantara. 2. Guru-Guru Syekh Ahmad Khatȋb Adapun guru-guru yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan Syekh Ahmad Khatȋb ada empat. Dalam biografinya Syekh Ahmad Khatȋb

50 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 65-85.

86

mengatakan “Guru-guruku yang paling berpengaruh dalam hidupku ada empat orang: Pertama, Sayyid Umar bin Muhammad Syatâ (1259-1330 H), beliau adalah kakak dari Sayyid Abu Bakar Syatâ, beliau dikenal sebagai seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu agama, beliau banyak menghafal kitab-kitab matan seperti matan al-Âjurȗmiyah,51 al-Imrȋtȋ, Alfiyyah Ibn Mâlik, Nazam Warâqat dan matan-matan lainnya. Dalam mengajar Sayyid Umar tidak mau memulai pelajarannya kecuali para murid telah menghafal matan kitab yang sudah menjadi mata kuliah.52Di bawah arahan gurunya ini Syekh Ahmad Khatȋb belajar kitab al-Âjurȗmiyah dan syarahnya yang dikarang Syekh Zainȋ Dahlân,53 kemudian kitab Kafrâwi,54 kitab-kitab tersebut diperuntukkan bagi para mubtadi`ȋn.55 Kedua, Sayyid Utsmân bin Muhammad Syatâ (1263-1295 H), beliau adalah ulama yang sangat berjasa dalam kehidupan Syekh Ahmad Khatȋb - seperti yang telah dijelaskan sebelumnya-karena perantara beliau Syekh Ahmad Khatȋb dapat kembali ke Mekkah setelah ayah dan keluarganya melarangnya. Syekh Ahmad Khatȋb mengatakan “kepadanya aku belajar kitab Khâlid56, al-Azhariyyah,57 “Qatru al-Nadâ Wa Ballu al-Sada”, dan kitab-kitab tata bahasa arab lainnya yang sering dipakai untuk tingkat lanjutan, dan kepadanya juga aku membaca beberapa kitab fikih madzhab Syafi`i seperti kitab Abi Qâsim (Fath al-Qarȋb al-Mujȋb Fȋ Syarh Alfâdzi al-Taqrȋb), Syarh

51 Kitab Matan al-Âjurȗmiyyah adalah kitab Nahwu (tata Bahasa Arab) bagi para pemula yang berisi tentang kaidah-kaidah bahasa Arab yang dikarang oleh Syekh Muhammad bin Muhammad bin Dawȗd al-Sanhaji (672-723 H). 52 Amirul Ulum, Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramain, h. 65. 53 Nama dari kitab ini adalah Mukhtasar Jiddan. 54 Kitab Syarah Kafrâwȋ adalah syarah kitab matan al-Âjurȗmiyah yang dikarang oleh Syekh Hasan bin Ali al-Kafrawi (1202 H). Lihat: Hasan al-Kafrawy, Syarh al-`Allâmah al-Syekh Hasan al-Kafrâwȋ, (Kota Baru: Makâtib Sulaiman Mar`î, t.th), h. 4. 55 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 43. 56 Nama kitab Khalid adalah Syarh al-Syekh Khâlid `Ala Matni al-Âjurȗmiyyah yang dikarang oleh Syekh Khâlid bin Abdullâh al-Jurjâwȋ al-Azharȋ, (838-905 H), lihat: Khairuddȋn al- Ziraklȋ, al-I`lâm, (Beirut: Dâr al-Ilmi lil Malayȋn, 2002), Juz: 2, h. 297. 57 Nama lengkap kitab ini adalah “al-Muqaddimah al-Azhariyyah Fȋ Ilmi al-Arabiyyah” yang juga dikarang oleh Syekh Khâlid al-Jurjâwȋ.

87

al-Zubad yang bernama Ghâyatu al-Bayân Syarh Zubad Ibn Ruslân), al- Iqnâ`( al-Iqnâ` Fȋ Halli Alfâdzi Abi Syujâ), al-Minhâj al-Qawȋm, dan beberapa kitab tauhȋd.58 Ketiga, Sayyid Abu Bakar Syatâ (1226-1310 H), beliau adalah salah seorang guru besar di Masjidil Haram yang dikenal dengan keilmuannya, terlebih dalam fikih madzhab Syafi`i, beliau mempunyai karya yang sangat masyhur yaitu I`ânatu al-Tâlibîn sebagai syarah dari kitab Fathul Mu`ȋn karya Syekh Zainuddîn al-Malaibârȋ. Sayyid Abu Bakar Syatâ termasuk murid kesayangan Syekh Zainȋ Dahlân dan juga teman akrab Syekh Nawawi al- Bantânî dan Syekh Mahfȗz al-Tarmasȋ.59 Syekh Ahmad Khatȋb mengatakan “Bahwa aku belajar kepadanya berbagai macam kitab, di antaranya: Fathul Mu`în,60Syarh al-Manhaj sebanyak dua kali,61seperempat dari kitab al-Tuhfah,62Tafsir Jalalain,63al- Bukhârî dan beberapa kitab lainnya dalam fan keilmuan yang berbeda-beda seperti Mantiq, Badȋ`, Ma`ani, Bayân dan Tauhȋd, Syekh Ahmad Khatȋb mengatakan “aku mengikuti pelajarannya sampai beliau meninggal dunia”. Sayyid Abu Bakar Syatâ dikenal sebagai orang yang berwibawa, disegani dan dermawan, murid-muridnya sering berdiskusi dengannya ketika berada di halaqah. Apabila ada permasalahan yang rumit yang belum terpecahkan maka murid-muridnya tidak diperkenankan berpindah ke permasalahan lain sehingga mereka memahami dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Rumahnya menjadi tempat berkunjung para pencari ilmu, menjadi tempat diskusi, tiap orang yang masuk ke rumahnya

58 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 44. 59 Amirul Ulum, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramain, h. 65. 60 Namanya adalah Fathu al-Mu`ȋn bi Syarhi Qurrati `Ain bi Muhimmati al-Dȋn, karya Syekh Zainuddȋn al-Malaibârȋ (987 H). 61 Namanya lengkapnya adalah Fathu al-Wahhâb Bi Syarhi Manhaji al-Tullâb, karya Syaikh al-Islâm Syekh Zakariyâ al-Ansarȋ (926 H). 62 Nama lengkapnya adalah Tuhfatu al-Tullâb Fȋ Syarh al-Minhâj, karya Syekh Ibnu Hajar al-Haitamȋ (974 H), kitab ini merupakan kitab pegangan para ulama Syafi`iyyah setelah kitab-kitabnya Imam Nawawi dalam berfatwa, bahkan dikatakan “Seorang ulama tidak dikatakan sebagai ahli fikih sebelum dia membaca kitab Tuhfah”. 63 Kitab tafsir ini dikarang oleh dua ulama besar yaitu Imam Jalâluddȋn al-Mahallȋ (864 H) dan Imam Jalâluddȋn al-Suyutȋ (911 H).

88

dimulyakan, beliau sering membantu orang-orang yang kesusahan, dan masih banyak kebaikan yang beliau lakukan yang tidak dapat disebutkan.64 Keempat, Sayyid Ahmad Zainȋ Dahlân mufti Mekkah Musyarrafah, beliau adalah gurunya para ulama di Mekkah. Syekh Ahmad Khatȋb sangat menghormati gurunya ini dan memberinya beberapa gelar, di antaranya Sayyidi (tuanku), Sanadi (sandaranku), Maladzi (tempat kembaliku), `Umdati (peganganku), Khitamu al-Muhaqiqȋn (akhir dari para ulama ahli tahqiq), al- `Allâmah al-Fadil al-Jihbidz al-Kâmil. Syekh Ahmad Khatȋb mengatakan “kepada beliau aku belajar Syarh Jam`il Jawâmi`65 dan sebagian dari tafsȋr al-Baidawî,66 sampai ketika beliau berangkat ke Madinah Munawwarah untuk berziarah kepada Nabi Muhammad SAW yaitu pada permulaan tahun 1304 H, pada saat keberangkatannya ke Madinah ini beliau jatuh sakit kemudian wafat dan disemayamkan di Madinah Munawwarah.67 Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Syekh Ahmad Khatȋb adalah seorang ulama yang benar-benar dalam keilmuannya dan jelas sanad keilmuannya karena guru-guru yang menjadi sandaran keilmuannya bukanlah sembarang ulama, melainkan ulama-ulama yang keilmuannya telah mendunia dan memiliki banyak murid serta karya kitab. 3. Murid-Murid Syekh Ahmad Khatȋb Syekh Ahmad Khatȋb adalah guru, imam sekaligus khatȋb di Masjidil Haram, banyak gagasan pembaharuan yang dilontarkannya melalui murid- muridnya yang ikut menimba ilmu kepadanya. Semua itu dilakukannya karena beliau mengetahui dirinya sudah tidak lagi pulang ke Indonesia pasca kepergiannya ke Mekkah yang kedua kalinya. Sebenarnya kebanyakan murid-

64 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 45. 65 Mungkin yang dimaksud adalah kitab al-Badru al-Tali` Syarh Jam`u al-Jawâmi` karya Imam al-Jalâluddȋn al-Mahallȋ. 66 Nama kitab ini adalah “Anwâr al-Tanzȋl Wa Asrâru al-Ta`wil” karya Imâm al-Baidâwȋ (685 H). 67 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 45.

89

muridnya berstatus para jamaah haji yang menetap dan mencari ilmu di Mekkah. Syekh Ahmad Khatȋb sangat terbuka terhadap murid-muridnya, bahkan beliau tidak melarang murid-muridnya untuk membaca karya-karya Muhammad Abduh, Jamâluddȋn al-Afghâni dan pembaharu Islam lainnya yang dikatakan sebagai icon reformer dunia Islam. Sebab itu sangat wajar jika murid-muridnya memiliki dan juga mengembangkan corak pembaharuan keagamaan yang beragam. Menurut Burhânuddȋn Daya, Syekh Ahmad Khatȋb telah melahirkan ulama-ulama penggerak kegiatan berijtihad, baik yang mengobarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam (Golongan Modernis), maupun yang menentang pembaharuan (Golongan Tradisionalis).68 Murid-murid Syekh Ahmad Khatȋb kebanyakan menjadi ulama-ulama besar yang mempunyai wibawa dan kedudukan, membawa perubahan dan pembaharuan di tengah masyarakatnya, itu semua bersumber dari keikhlasan dan ketekunan Syekh Ahmad Khatȋb dalam mendidik dan membimbing mereka. Murid-murid didikan Syekh Ahmad Khatȋb datang dari berbagai daerah di Nusantara ini baik dari Sumatera maupun luar Sumatera, di antaranya:69 Pertama, dari Sumatera Timur adalah Syekh Muhammad Zein Tasak Batu Bara, Syekh Muhammad Nȗr (mufti Kerajaan Langkat), Syekh Muhammad Nȗr Ismâȋl (Qadi Kerajaan Langkat), Syekh Hasan Maksȗm (Mufti Kerajaan Deli), Syekh Mustâfa Husein (pendiri pesantren Purba Baru), Syekh Abdul Hamȋd Mahmȗd (pendiri madrasah Ummil Arabiyyah di Asahan). Kedua, dari Sumatera Barat, Syekh Jamȋl Jambek di Bukit Tinggi, Syekh Tayyib di Tanjung Sungayang, Syekh Abdullah Ahmad (pendiri sekolah Adabiyyah tahun 1912 M dan Majalah al-Munir tahun 1911 M) di Padang, Syekh Abdul Karim Amrullâh di Padang Panjang, Syekh Khatȋb

68 Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990) h. 63-64. 69 Ahmad Fauzi Ilyas, “Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi dan Polemik Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara”, h. 92.

90

Muhammad Ali, Syekh Sulaiman al-Rasȗli, Syekh Bayang Muhammad Dalȋl, Syekh Muhammad Jamȋl Jaho, Syekh Taher Jalâluddȋn. Ketiga, dari Jawa, KH. Hâsyim Asy`arȋ (Pendiri NU), KH. Ahmad Dahlân (Pendiri ), KH. Wahab Hasbullâh (salah satu pendiri NU), KH. Bisri Syansuri, KH. Abdul Halîm Majalengka (pelopor pembaharu Islam Jawa Barat, pendiri Hayâtul Qulȗb). Keempat, dari Malaysia, Syekh Muhammad Saleh (mufti Kerajaan Selangor), Syekh Muhammad Zein Simabur (mufti Kerajaan Perak), Syekh Muhammad Mukhtâr bin Atarid, termasuk diantara nama-nama muridnya yang berada di Mekah.70 Menurut Murni Jamal, Syekh Ahmad Khatȋb berhasil menyebarkan pikiran dan ajarannya ke Indonesia dan Malaya khususnya Minangkabau karena memang sebagian besar muridnya berasal dari sini. Beliau membekali murid-muridnya dengan dua pelajaran penting yaitu pertama, membuka pintu menjalankan ijtihad, kedua, keharusan memurnikan agama dari praktek- praktek keagamaan yang tidak benar. 71 Menurut Burhânuddȋn Daya, murid-murid Syekh Ahmad Khatȋb yang berasal dari Sumatera terbagi menjadi dua golongan yaitu kalangan Kaum Mudo dan Kaum Tuo yang lahir di kurun seperempat abad menjelang decade terakhir abad XX, dari kalangan kaum Mudo tercantum beberapa nama, di antaranya Muhammad Taib Umar, Abdullâh Ahmad, Abdul Karȋm Amrullâh, Muhammad Jamil Jambek, Daud Rasyȋdȋ, Abdul Latîf Syakȗr, Abbâs Abdullâh, Ibrâhȋm Mȗsâ Parabek, Haji Agus Sâlim, Sutan Darap Pariaman. Sedangkan dari kalangan Kaum Tuo, tercatat Khatȋb Alȋ, Sulaimân al-Rasȗli, dan Muhammad Jamȋl Jaho. Nama-nama yang telah disebutkan di atas tidaklah asing bagi kalangan masyarakat Minangkabau.72

70 Eka Putra Wirman, “Syekh Khatib al-Minangkabawi, Icon Talabul Ilmi Minangkabau Masa Lalu Untuk Refleksi Sumatera Barat Hari Ini dan Masa Depan”, h. 166. 71 Murni Djamal, Haji Abdul Karȋm Amrullâh Pengaruhnya Dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau Pada Awal Abad ke-20 (Jakarta: Leiden, 2002) h. 14. 72 Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, h. 77.

91

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Syekh Ahmad Khatȋb adalah seorang ulama yang tekun, mempunyai tekad yang besar dan berpendirian kuat dalam mendidik murid-muridnya, karena di bawah bimbingannya banyak lahir ulama-ulama besar yang membawa perubahan besar di kancah keilmuan terutama Nusantara baik yang berhaluan modernis maupun tradisionalis. Oleh karena itu Syekh Ahmad Khatȋb disebut sebagai Bapak Reformis Islam Indonesia.

C. Syekh Ahmad Khatȋb Berpolemik Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa Syekh Ahmad Khatȋb adalah ulama yang mempunyai jaringan internasional, ahli dalam berbagai disiplin ilmu, baik agama maupun umum, mempunyai keinginan tinggi dalam mempelajari berbagai ilmu, senang menghadiri majlis ulama dan produktif dalam mengarang kitab.73Syekh Ahmad Khatȋb sangat kritis jika dihadapkan dengan suatu permasalahan, terlebih masalah yang berkaitan dengan agama, jika tidak sependapat dengan pendapat seseorang maka beliau akan menyanggahnya dengan sebuah karya, jika disanggah lagi maka akan ditanggapi lagi, sehingga problem yang ada dalam benak kedua belah pihak yang sedang berpolemik akan terurai dan akan saling menemukan jawabannya masing-masing.74 Di antara ulama-ulama yang berpolemik dengan beliau adalah KH. Hâsyim Asy`arȋ terkait keabsahan ,75Sayyid Utsmân bin Aqȋl Mufti Betawi terkait kebolehan mendirikan shalat Jumat di dua masjid,76Syekh Muhammad Sa`ad Mungka terkait permasalahan seputar Tarekat

73 Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Dari Minangkabau Untuk Dunia Islam, h. 38. 74 Amirul Ulum, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramain, h. 120. 75 Ahmad Khatib bin Abdul Latif, al-Qoulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târikhi Hayâti al-Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latif, h. 83. 76 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 83. Lihat juga, Ahmad Fauzi Ilyas, “Polemik Sayyid Utsmân Betawi dan Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi Tentang Shalat Jumat”, (Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies, Vol. 2 No. 2 Juli-desember 2018), h. 244. Diterbitkan oleh UINSU PRESS, E-ISSN: 2528-7435 P-ISSN: 2528-6110, Lihat https://www.researchgate.net/publication/331046194_Polemik_Sayyid_Usman_Betawi_Dan_Sye kh_Ahmad_Khatib_Minangkabau_Tentang_Salat_Jumat, diakses pada 4 Februari 2020.

92

Naqsyabandiyyah77dan masih banyak lagi. Polemik-polemik tersebut dapat diketahui dari beberapa karya tulisnya yang menunjukkan perdebatannya dengan ulama lain. 1. Berpolemik dengan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy`Arȋ KH. Hasyim Asy`arȋ adalah ulama besar Indonesia pendiri organisasi Nahdlatul Ulama yang lahir pada tahun 1871 M, selain dikenal sebagai seorang ulama beliau juga dikenal sebagai pejuang dan ulama pembaharu terutama dalam bidang pendidikan di pesantren. Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang ini juga termasuk murid dari Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi.78Beliau belajar ilmu fikih kepada Syekh Ahmad Khatȋb ketika berada di Mekkah, di bawah bimbingan Syekh Ahmad Khatȋb beliau diizinkan untuk membaca tafsir al-Manar.79 Polemik yang terjadi antara dua ulama besar ini adalah dimulai dari munculnya organisasi Sarekat Islam yang berdiri pada tahun 1912 yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto, yang awal mula berdiri untuk melawan penindasan penjajah Belanda,80 tetapi dengan berjalan waktu -menurut Hadratus Syekh Hâsyim Asy`arȋ- organisasi ini menjadi sebuah organisasi yang fanatik akan golongannya dan menganggap salah orang yang tidak masuk dalam organisasi itu. Ketika melihat organisasi ini telah muncul dan mulai mempengaruhi masyarakat awam, Hadratus Syekh Hasyim Asy`arȋ menulis sebuah kitab untuk mengingatkan masyarakat awam akan bahayanya organisasi tersebut dan juga untuk mengkritik organisasi tersebut, kitab tersebut bernama “Kaffu al-`Awâm `An al-Khaudi Fȋ Syarikat al-Islâm”. Hadratus Syekh Hasyim Asy`arȋ berfatwa dalam kitabnya bahwa hukum masuk ke dalam organisasi itu adalah haram dan merupakan bid`ah dalâlah

77 Ahmad Fauzi Ilyas, “Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi dan Polemik Tarekat Naqsabandiyyah di Nusantara”, h. 99. 78 Muhammad Rifai, Hâsyim Asy`arȋ Biografi Singkat 1871-1947, (Jakarta: Al-Ruzz Media, 2010), h. 13. 79 Uswatun Hasanah, “Genealogi Pemikiran Pendidikan KH. Hasyim Asy`arȋ”, (Analisis: Jurnal Studi keIslaman, Vol. 19, No. 1, Juni 2019), h. 9. Diterbitkan oleh UIN Raden Intan. Lihat https://doi.org/10.24042/ajsk.v19i1.3397, diakses 4 Februari 2020. 80 Yasmis, “Sarikat Islam Dalam Pergerakan Nasional Indonesia (1912-1927 M)”, (Jurnal Sejarah Lontar, Vol. 6, No. 1, Januari-Juni 2009) h. 22. Lihat http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/lontar/article/view/2505, diakses pada 5 Februari 2020.

93

(sesat) yang melenceng dari syariat Islam. Fatwa beliau ini bukanlah tanpa dasar melainkan berpegangan pada beberapa argumen, di antaranya: Pertama, bahwa Sarekat Islam ini berdasar pada sumpah, yaitu bahwa anggota yang ada dalam organisasi ini wajib disumpah untuk meninggalkan banyak hal, sedangkan Allah SWT melarang bersumpah dalam surat an-Nur ayat 53: Katakanlah wahai Muhammad, “Janganlah kalian bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang ma`ruf (sudah dikenal)”, beliau mengatakan “jadi yang diminta dari kalian adalah ketaatan yang sudah ma`ruf bukan sumpah yang dipenuhi kemungkaran, kemunafikan dan kebohongan. Sumpah yang kalian lakukan adalah sumpah yang tidak ada dasarnya baik dari Al-Qur`an maupun hadits”. Kedua, kebanyakan anggota organisasi ini sangat fanatik terhadap golongannya, mereka akan rela melakukan apapun untuk menolong golongannya baik yang zalim atau mazlum dan menafikan orang yang bukan dari golongannya meski orang tersebut adalah orang yang saleh, padahal Nabi Muhammad SAW bersabda: ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ٍ ِ لَْي َس منَّا َم ْن َد َعا إََل َع َصبيَّة، َولَْي َس منَّا َم ْن قَاتَ َل َعلَى َع َصبيَّة، َولَْي َس منَّا َم ْن َم َات َعلَى ٍ 81 َع َصبِيَّة )رواه أبو داود(. Artinya:”Tidak termasuk golonganku orang yang mengajak pada kefanatikan, dan tidak termasuk golonganku orang yang berperang atas dasar fanatik, dan tidak termasuk golonganku orang yang mati karena membela kefanatikan. (HR. Abu Dawud). Ketiga, bahwa kebanyakan pemimpin organisasi ini adalah orang-orang bodoh, fasik, tidak shalat dan tidak puasa, tidak punya rasa perhatian terhadap agama dan ilmu, sedangkan Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya melarang menjadikan orang bodoh sebagai pemimpin.82 Keempat, bahwa dalam organisasi ini terdapat sumpah kepada selain Allah SWT, seperti ucapan mereka “jika aku melanggar sumpah ini maka aku rela mencair seperti air yang aku minum ini”, dan ini adalah sumpah yang tak

81 Abu Dawȗd, Sunan Abi Dawȗd, h. 332. 82 Hâsyim Asy`arȋ, Kaffu al-Awâm `An al-Khaudi Fȋ Syarikat al-Islâm, (Manuskrip lama tulisan tangan Syekh Hâsyim Asy`arȋ, 1331 H), h. 6.

94

berdasar pada dalil apapun.83Sebenarnya masih banyak argument yang beliau paparkan dalam kitabnya, namun empat argument ini dianggap dapat mewakili argument-argumen yang lain. Setelah kitab ini sampai kepada Syekh Ahmad Khatȋb, beliau membaca dan meneliti setiap argumen yang dipakai oleh Hadratu al-Syekh Hâsyim Asy`arȋ, menurut Syekh Ahmad Khatȋb bahwa argument yang disampaikan oleh Hadratus Syekh Hâsyim Asy`arȋ tidaklah tepat dan semua tuduhan yang disampaikannya salah bahkan tidak ada satu kemungkaran pun yang dilakukan oleh organisasi “Sarekat Islam” itu. Pendapat Syekh Ahmad Khatȋb berdasar bahwa amaliyah yang dilakukan organisasi semuanya baik, karena tujuan dari berdirinya organisasi itu adalah untuk menyatukan umat Islam, beramal sesuai dengan Al-Qur`an, meninggalkan kemungkaran yang sering dilakukan seperti zina, mencuri, mabuk, riba, judi dan lain-lainnya, menjalankan perintah agama seperti shalat, zakat, puasa, haji, saling mencintai dan mengasihi sesama muslim, saling tolong menolong dalam kebenaran dengan harta dan nyawa, mereka bersumpah untuk melakukan itu dan yang melanggar akan diputus tali persaudaraannya. Dengan alasan tersebut beliau menulis sebuah kitab yang berjudul Tanbȋhu al-Anâm Fȋ al-Raddi `Ala Risâlati Kaffi al-Awâm `An al- Khaudi Fȋ Syarikat al-Islâm, sebagai sanggahan atas pendapat muridnya Hadratus Syekh Hâsyim Asy`arȋ. 84 Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Syekh Ahmad Khatȋb dalam menyikapi suatu permasalahan tidaklah memihak atau tanpa dasar, melainkan beliau meneliti, mendengar serta memahami permasalahan dari dua kubu yang saling berselisih, setelah itu mencari akar permasalahan yang menjadi sebab perselisihan, sehingga mampu menghukumi secara detail dan benar.

83 Hâsyim Asy`arȋ, Kaffu al-Awâm `An al-Khaudi Fȋ Syarikat al-Islâm, (Manuskrip lama tulisan tangan Syekh Hâsyim Asy`arȋ, 1331 H), h. 7. 84 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 83.

95

2. Berpolemik dengan Sayyid Utsmân bin `Aqȋl Mufti Betawi Polemik yang terjadi antara Sayyid Utsmân dan Syekh Ahmad Khatȋb terkait dalam persoalan mendirikan salat Jumat di dua masjid di Palembang, awal mula munculnya polemik ini adalah ketika seorang tokoh di Palembang bernama Mas Agus Abdul Hamid pada tahun 1890-an mendirikan masjid jami` baru di Palembang yang menjadi tempat salat Jumat di samping masjid lama bernama Masjid Agung Kesultanan.85 Dalam hal ini Sayyid Utsmân menulis sebuah kitab yang berjudul Muzȋlu al-Auhâm Wa al-Taraddud Fȋ Amri Salât al-Jumat bi al-Ta`addud, dalam kitab itu beliau berfatwa bahwa “Barangsiapa yang memperbolehkan dua Jumatan pada satu tempat maka dia sungguh telah salah”,86 atas fatwa diatas Syekh Ahmad Khatȋb menanggapi “tetapi pada kenyataannya ulama Mekkah telah berfatwa tentang kebolehan hal tersebut”. Kemudian Syekh Ahmad Khatȋb menulis sebuah kitab sebagai bantahan atas fatwa Sayyid Ustmân yang berjudul “Sulhu al-Jamâ`atain Fî Jawâzi Ta`addudi al-Jum`atain”.87 Dalam kitab ini, turut dilampirkan jawaban dari empat ulama besar Arab: Syekh Muhammad Imbâbi dari al-Azhar Mesir, Syekh Muhammad Babasil dari Mekkah, Sayyid Ja„far Ismâ„îl dari Madinah yang juga sebagai mufti mazhab Syâfi„i dan dari Sayyid Ahmad Zainȋ Dahlân yang pernah dimintakan fatwa serupa semasa hidupnya. Bahkan, jawaban fatwa dari Syaikh Muhammad Sa„îd Babasil dilengkapi dengan persetujuan 9 ulama Syâfi„i di Mekkah sebagai penguatan dan dukungan atas fatwa mufti, yaitu Syekh „Alawî bin Saleh bin „Aqil, Syekh „Umar Bâjunaid, Syekh Muhammad al-Khayyât, Syekh „Umar al-Syâmi, Syekh Muhammad Saleh Bâfadal, Syaikh „Abdul

85 Ahmad Fauzi Ilyas, “Polemik Sayyid Usman Betawi dan Syekh Ahmad Khatȋb Minangkabau Tentang Salat Jumat”, h. 244. Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 70. 87 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 70.

96

Hamȋd Kudus, Syekh Muhammad Zain Sumbawa, Syekh Husain al-Habsyî, dan Syekh Muhammad „Umar Syatâ‟.88 Setelah membaca kitab yang ditulis oleh Syekh Ahmad Khatȋb sebagai bantahan atasnya, Sayyid Utsmân menulis sebuah kitab berbahasa Arab berjudul Taftȋh al-Muqlatain Wa Tabyȋn al-Mafsadatain al-Mukhba‟atain Fȋ al-Risâlah al-Mu‟ammah bi Sulh al-Jamâ„atain, dalam kitab ini Sayyid Utsmân memperkuat otoritasnya sebagai ulama besar Nusantara (Betawi) dengan menampilkan geneologi keilmuannya dari ulama-ulama besar Haramain dan Hadramaut.89 Setelah kitab Sayyid Utsmân Betawi yang berjudul Taftih al-Muqlatain terbit dan sampai ke tangan Syekh Ahmad Khatȋb, pada tahun 1897 Syekh Ahmad Khatȋb lantas membantah kitab tersebut dengan menulis sebuah karya berjudul Itsbât al-Zain li Sulh al-Jamâ„atain bi Jawâz Ta„addud al-Jum„atain Fȋ al-Raddi „Alâ al-Kitâb al-Musammâ Taftih al-Muqlatain.90 Menurut Syekh Ahmad Khatȋb -setelah menulis kitab ini- bahwa ulama Betawi tersebut tidak lagi membalas bantahan atas karyanya.91 Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Syekh Ahmad Khatȋb adalah ulama yang kritis dan berpendirian kuat serta keilmuan yang tinggi karena mampu mengimbangi ulama sekelas Sayyid Utsman yang merupakan mufti Betawi dan refrensi utama hukum Islam di Nusantara pada masa penjajahan Belanda. 3. Berpolemik dengan Syekh Muhammad Sa`ad Mungka Dalam polemik kali ini Syekh Ahmad Khatȋb telah menulis empat kitab secara berturut-turut dalam bahasa Arab-Melayu yang menunjukkan perdebatan yang berlangsung secara terus-menerus dan dalam tempo waktu yang cukup lama antara beliau dengan Syekh Muhammad Saad Mungka.

88 Ahmad Fauzi Ilyas, “Polemik Sayyid Usman Betawi dan Syekh Ahmad Khatȋb Minangkabau Tentang Salat Jumat”, h. 246. 89 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 71. 90 Ahmad Fauzi Ilyas, “Polemik Sayyid Utsmân Betawi dan Syekh Ahmad Khatȋb Minangkabau Tentang Salat Jumat”, h. 248. 91 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 71.

97

Keempat kitab tersebut adalah Izhâr Zaghli al-Kâdzibîn fî Tasyabbuhihim bî as-Sadiqîn, Fathu al-Mubîn fîmâ Yata„allaqu Bi Umȗr al-Dîn, Al-Ayât al- Bayyinât lî al-Munsifîn fî Raddi Khurâfât Ba„di al-Muta„assibîn dan Al-Saif al- Battâr Fȋ Mahqi Kalimât Ba„di Ahl al-Ightirâr.92 Hal yang melatarbelakangi mengapa ia menulis kitab pertamanya adalah bahwa salah satu tokoh ulama kaum muda yang pernah menjadi muridnya dan pendiri majalah al-Munir, Syekh Abdullâh Ahmad menulis surat kepada gurunya di Mekkah yang berisi permintaan fatwa terkait tradisi tarekat Naqsyabandiyah yang ada di Minangkabau dan sekaligus dalil-dalil yang menjadi sandaran atas amaliyah ulama Minangkabau tersebut.93 Menurut Syekh Ahmad Khatȋb bahwa di Minangkabau banyak amalan tarekat Naqsyabandiyyah yang tidak ada dasarnya baik dari Al-Qur`an maupun Hadits. Beliau mengkritisi rabitah dan beberapa wirid serta kaifiyyah yang ada didalamnya. Menurut Syekh Ahmad Khatȋb bahwa tarekat Naqsyabandiyyah tidak ada dasarnya dalam syara` yang ada dalam syariat hanya talqȋn secara perorangan.94 Menurutnya bahwa tarekat yang benar yaitu tarekat Nabi SAW, sahabat, dan ulama-ulama terdahulu yang mengedepankan syariat dalam tarekat. Hal ini berbeda dengan tarekat pada saat itu di Minangkabau yang lebih direduksi makna dan pengamalannya dalam bentuk baiat dan wirid yang diajarkan oleh guru mursyid kepada muridnya tanpa memperhatikan ilmu-ilmu syariat. Bahkan Syekh Ahmad Khatȋb menambahkan bahwa pada masanya tarekat dijadikan alat untuk menumpuk harta dan kekayaan dunia.95

Sikap keras Syekh Ahmad Khatȋb terhadap tarekat Naqsyabandiyyah ini tidaklah menjadi dalil dirinya anti terhadap tarekat, sebab beliau sendiri adalah

92 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 74-78. 93 Ahmad Fauzi Ilyas, “Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Polemik Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara”, h. 100. 94 Amirul Ulum, Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramain, h. 128. 95 Ahmad Fauzi Ilyas, “Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi dan Polemik Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara”, h. 101.

98

seorang sufi yang gemar melakukan ibadah dan amalan dzikir. Hamka mengatakan “Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi juga seorang sufi, tetapi beliau tidak menyetujui cara tarekat yang memakai kaifiyat-kaifiyat yang bid`ah itu”.96 Mengetahui apa yang dikemukakan oleh Syekh Ahmad Khatȋb, Syekh Sa`ad Mungka yang merupakan tokoh senior ulama Kaum Tua, ulama paling keras dalam menentang pendapat Syekh Ahmad Khatȋb mengarang sebuah kitab yang menentang gagasan tersebut berjudul Irghâm Unuf al-Muta‟annitîn Fî Inkârihim Rabitah al-Wâsilîn.97 Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Syekh Ahmad Khatȋb termasuk ulama yang sangat keras terhadap segala sesuatu yang melenceng dari jalur syariat terutama dalam bidang tasawwuf, karena menurutnya amaliyah-amaliyah tarekat yang dipraktekkan di Minangkabau banyak yang tidak sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

D. Sekilas Tentang Kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` merupakan kitab yang ditulis oleh Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi, kitab ini ditulis sebagai bantahan atas amaliyah dan tradisi yang sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat Minangkabau yaitu terkait pewarisan harta kepada saudara dan kemenakan dengan mengabaikan anak, dan orangtua serta ashâb al-furȗd dan asâbât.

Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab dan dicetak di Mesir di percetakan al- Maimaniyyah pada tahun 1309 H/1891 M oleh menantunya Muhammad Majid al- Kurdy, bersama hamisynya (pinggirannya) kitab al-Qaulu al-Mubram Fȋ Anna Man`a al-Usȗl Wa al-Furȗ` Min Irtsihim Muharram yang ditulis oleh gurunya Sayyid Abu Bakar Syatâ yang juga berisi tentang bantahan-bantahan terhadap pewarisan Minangkabau yang dianggap keluar dari jalur syariat.98

96 Hamka, Ayahku, h. 76-77. 97 Amirul Ulum, Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramain, h. 130. 98 Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti al- Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf, h. 67.

99

Kitab ini terbilang kitab yang sangat ringkas karena hanya berisi 24 halaman tetapi faedah yang terkandung di dalamnya sangatlah besar, berisi 5 (lima) sub bab, bab pertama membahas tentang dakwaan orang Minangkabau atas keabsahan sistem kewarisan di Minangkabau, bab kedua membahas tentang bantahan Syekh Ahmad Khatȋb atas dakwaan tersebut yang disertai dalil aqli dan naqli, bab ketiga membahas tentang mafsadah yang muncul dari praktek waris adat, bab keempat berisi tentang nasehat untuk bertaubat dan syarat-syarat melakukan taubat, bab kelima berisi tentang keutamaan ilmu dan ulama yang mengamalkan ilmunya. Dalam kitab ini Syekh Ahmad Khatȋb mengawali tulisannya dengan muqaddimah (pendahuluan) seperti kebiasaan yang dilakukan para ulama ketika mengarang suatu kitab yang dimulai dengan basmalah, hamdalah dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW yang disertai ayat dan hadits sebagai barâ`atu istihlâl.99 Argumen-argumen yang dipakai oleh Syekh Ahmad Khatȋb kebanyakan diambil dari Al-Qur`an, hadits, dan pendapat para ulama terdahulu, yang diperkuat dengan ilmu mantîq (logika) yang tak terbantahkan. Syekh Ahmad Khatȋb mengatakan bahwa dirinya menulis kitab ini untuk menasehati masyarakat kampung halamannya tentang keharaman mempraktekkan waris adat yang mana bertentangan dengan syariat Islam. Semua itu dilakukannya karena dirinya merasa bahwa menasehati dan menunjukkan orang ke jalan yang benar adalah suatu kewajiban, apalagi itu masalah itu menyangkut kampung halamannya sendiri.100 Dalam kitab tersebut Syekh Ahmad Khatȋb menyebutkan alasan-alasan orang Minangkabau mempertahankan sistem kewarisan tersebut dan menganggap bahwa alasan tersebut adalah khurafât yang menyeret mereka ke dalam neraka Jahannam.101 Alasan penolakannya adalah bahwa pelaksanaan kewarisan tersebut

99 Bara`atu istihlal adalah kalimat yang dipakai sebagai pembuka dari suatu pidato atau karya tulis yang mengisyaratkan tentang isi pembahasan yang akan dibahas, lihat Ibrahim al- Baijury, Tuhfatu al-Murȋd `Ala Jauharat al-Tauhȋd, (Cairo: Dar al-Salâm, 2006), h. 38. 100 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 2. 101 Ahmad Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 6.

100

termasuk perbuatan maksiat dan akan menimbulkan mafâsid (banyak kerusakan), untuk memperkuat argument tersebut beliau menyertakan ayat dan hadits yang melarang praktek tradisi tersebut, dan memperingatkan para pelakunya dengan dosa di dunia dan siksaan akhirat. Dalam kitab ini Syekh Ahmad Khatȋb membantah satu-persatu alasan orang-orang yang mempertahankan kewarisan Minangkabau dengan dalil-dalil `aqli (tahqȋq dan ilzâmi)102 dan naqli (Al-Qur`an dan hadits). Kemudian pada akhir bab kitab ini beliau mengakhiri tulisannya dengan mengingatkan masyarakat Minangkabau agar meninggalkan waris adat ini dan kembali kepada kewarisan yang sesuai dengan jalur syariat, tidak hanya itu Syekh Ahmad Khatȋb juga mengingatkan para ulama agar bersama-sama menasehati umat. Syekh Ahmad Khatȋb menegaskan bahwa ulama yang mengetahui kemaksiatan tersebut dan membiarkan itu dilakukan maka dia termasuk golongan ulama sȗ` (fasiq). Pada bagian penutup Syekh Ahmad Khatȋb menerangkan keutamaan ilmu dan ulama yang mengamalkan ilmunya sebagai nasehat dan isyarat kepada umat tentang pentingnya belajar ilmu dan beramal dengan ilmu.103 Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa beliau adalah seorang ulama yang sistematis dalam berkarya serta berwawasan tinggi dalam berbagai fan ilmu terutama ilmu waris, terlihat dari metode beliau dalam menjawab argumen-argumen orang yang tidak sejalan dengannya. Syekh Ahmad Khatȋb sangat simpati terhadap proses kewarisan adat yang ada di tanah kelahirannya Minangkabau yang menurutnya bertentangan dengan ajaran syariat, beliau sangat berharap kuat agar masyarakat Minangkabau mau meninggalkan adat tersebut.

102 Dalil tahqȋqi ialah ketika mustadil (orang yang berdalil) mendakwa bahwa muqaddimah qiyasnya benar, sedangkan dalil ilzami ialah ketika muqaddimah qiyas yang dipakai mustadil diterima oleh lawan debatnya, lihat ta`likan kitab Sa`duddȋn al-Taftazânȋ, Syarh al-Nasafȋ (Pakistan: Maktabah al-Busyrâ, 1430 H), h. 34. 103 Ahmad Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 23. BAB IV FATWA SYEKH AHMAD KHATȊB AL-MINANGKABAWI DALAM KITAB AL-DÂ`Î AL-MASMȖ`

A. Fatwa Syekh Ahmad Khatȋb Dalam Kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` dan Pendapat Ulama Minangkabau Tentang Fatwa Syekh Ahmad Khatȋb Syekh Aḥmad Khatȋb termasuk ulama yang mempunyai cakrawala keilmuan yang tinggi terutama dalam ilmu fikih, banyak karya yang beliau tulis namun kebanyakan karya-karya tersebut mengarah pada pembahasan fikih, oleh karena itu beliau sangat masyhur di kalangan ulama sezamannya dengan kedalaman ilmu fikihnya. Dalam kitabnya ad-Da`i al-Masmu` sangat terlihat akan kedalaman keilmuan Syekh Aḥmad Khatȋb, dalam kitab ini beliau sangat menolak keras praktek pembagian waris di Minangkabau karena telah melenceng dari jalur syariat Islam untuk memperkuat pendapatnya beliau mendatangkan dalil-dalil baik dari yang berupa naqli maupun aqli yang diperkuat dengan pendapat para ulama baik dari kalangan sahabat maupun tabi`in maupun tabi`it tabi`in dan lain- lainnya, yang menunjukkan kedalaman dan keluasan keilmuan beliau. 1. Fatwa Syekh Ahmad Khatȋb Dalam Kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Syekh Aḥmad Khatȋb adalah termasuk ulama penentang keras praktek pembagian harta warisan di Minangkabau, Hamka mengatakan bukti kerasnya penentangan Syekh Aḥmad Khatȋb sekaligus teguhnya ia dengan pendapatnya, ia tak mau pulang ke Minangkabau dan memilih menetap di Mekkah sampai wafat pada 1916 (1334 H).1 Dalam kitabnya ad-Da`i al-Masmu` Syekh Aḥmad Khatȋb memulai fatwanya dengan berkata:

اعلموا وفّقكم اهلل للعمل بالشريعة ّالغراء والتمسك بالطريقة البيضاء أن أىل اجلاىلية كانوا على طرزكم من ادلواريث على خالف الشريعة قبل أن يبعث إليهم نبينا صلى اهلل عليو موسلّ ولكن دلا جاءىم النيب صلى اهلل عليو موسلّ آمنوا جبميع ما جاء بو ّ 1 Hamka, Islam Dan Adat Minangkabau, h.102-103.

101

102

النيب صلى اهلل عليو م وسلّمن غري تفرقة بني حكم وحكم آخر كما ّيدل عليو قولو ِ ِّ ِ ِ ِ ِ ِ تعاىل " فَالَ َوَربِّ َك الَ ي ُْؤمنُ َون َحىََّت ُي َك ُم َوك ف َيما َش َجَر ب َْي نَ ُه ْم ُُث ىالَ ََيُدوا ِْف أَ ُنفسه ْم ِّ ِ َحَرًا ج ِّشلىا قَ َضْي َت َويُ َسل ُمواْ تَ ْسل ًيما، كانوا ّيورثون الرجال دون النساء والكبار دون الصغار ويقولون ث ّالنورأموالنا من ال يركب اخليل وال يضرب بالسيف وكانوا يتوارثون باحللف ِف صدر اإلسالم...ُثّ نسخ ذلك ّوأقر التوارث باذلجرة فقط ُثّ نسخ ذلك بالوصية للوالدين واألقربني ُثّنسخ ذلك بآيات ادلواريث واألحاديث ادلذكورة ِف زللّها، والقصد ىنا بيان حكم التوريث على خالف الشريعة وبيان ما يرتتب عليو ّورد 2 ما يتمسكون بو من العلل الواىية ادلوصلة للهاوية. Artinya:”Ketahuilah -semoga Allah memberi taufiq kepada kalian semua untuk beramal dengan syariat yang penuh sinar dan berpegang dengan jalan yang bercahaya- bahwa orang-orang Jahiliyyah dahulu seperti keadaan kalian (orang-orang Minangkabau) dalam urusan pewarisan yang melenceng dari syariat sebelum diutusnya Nabi SAW kepada mereka tetapi ketika Nabi SAW datang kepada mereka dengan membawa ayat-ayat yang jelas maka semuanya beriman dengan segala apa yang dibawanya tanpa membeda-bedakan antara satu hukum dengan hukum yang lain, sebagaimana yang ditunjukkan dalam firman Allah SWT:”Maka Demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. Mereka dahulu memberikan warisan kepada laki-laki dan meninggalkan perempuan, memberikan kepada yang besar dan meninggalkan yang kecil, mereka berkata kami tidak memberikan harta kami kepada orang yang tidak bisa menunggangi kuda dan tidak bisa menebas dengan pedang, mereka dahulu saling mewarisi dengan jalan halif (janji untuk saling menolong) di permulaan Islam, kemudian hukum ini di nasakh dan diganti dengan mewarisi dikarenakan hijrah kemudian di nasakh dengan wasiat kepada kedua orangtua dan kerabat kemudian di nasakh dengan ayat-ayat waris dan hadits-hadits yang menerangkan tentang waris. Dan tujuan dari ditulisnya kitab ini adalah menjelaskan hukum pewarisan harta warisan yang melenceng dari jalur syariat dan menjelaskan konsekuensi dari pelaksanaan pewarisan tersebut serta menolak semua argument-argumen mereka yang lemah yang mengantarkan ke dalam neraka Hawiyah.

2 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 4.

103

Syekh Aḥmad Khatȋb melanjutkan fatwanya dan berkata:

وال ّشك أنكم أيها الوارثون حبكم العادة قد غصبتم وظلمتم أموال الورثة حبكم الشرع بغري طيب نفس منهم وادلعتمد أنو ال فرق ِف كون الغصب كبرية وأن فاعلها يستحق ذلكالوعيد الشديد بني القليل والكثري وال بني األرض وغريىا ألن أموال الناس 3 وحقوقهم وإن قلتّ ال يسامح فيها بشيء. Artinya:”Dan tidak dapat dipungkiri bahwa kalian wahai orang yang mengambil warisan dengan hukum adat benar-benar telah mengghasab dan mengambil secara dzalim harta orang-orang yang berhak menerima warisan menurut hukum syariat dengan tanpa adanya kerelaan hati dari mereka, dan menurut pendapat yang mu`tamad bahwa tidak ada perbedaan dalam urusan ghasab termasuk dosa besar dan pelakunya berhak mendapatkan ancaman yang berat, baik barang yang dighasab itu sedikit atau banyak baik berupa tanah atau lainnya hal itu dikarenakan harta dan hak orang lain meskipun sedikit tidak dapat diabaikan begitu saja.4

ومنها أي من ادلفاسد ادلرتتبة على التوريث على خالف الشريعة الظلم بأخذ أموال ىِ الورثة الشرعيني وقد ورد الوعيد الشديد بذلك قال تعاىل يَا أَي َُّها الذ َين َآمنُوا َال تَأْ ُكلُوا ِ ِ ِ ِ ۚ ۚ أَْموالَ ُكم ب َْي نَ ُكم بالْبَاطِل إىال أَن تَ ُك َون ذبَارًة َعن تَ ر ٍاض ِّم ُنكم وَال تَ ْقتُ لُوا أَ ُنفس ُ كم َ َ َ ْ َ َ ْ ِ ى ِ ِ ِ ِ ِ ۚ إ ىن اللوَ َك َان ب ُك ْم َرح ًيما )22( َ وَمن ي َْفَع ْل ذَل َك عُْدَوانًا َوظُْلًما فَ َسْو َف نُ ْصليو نَ ًارا ِ ىِ ِ .5 َوَك َان ذَل َك َعلَى اللو يَس ًريا )30( ومنها أي من ادلفاسد ادلرتتبة على التوريث على خالف الشريعة أكل احلرام بأكل ادلرياث الوارثني فما دمتم عليو ال يقبل لكم صالة وال زكاة وال حج وال صدقة وال دعاء وال غريىا، قال ابن رسالن ِف زبده3 "وطاعة شلن حراما يأكل # مثل البناء فوق موج َيعل" ألن شرط قبول األعمال أكل احلالل فما دام اإلرث على خالف الشرع كان مأكلكم حراما ومشربكم حراما وسكناكم حراما ألن مجيع ما بأيديكم من أراضي الزراعة والدور وغريمها وأكثر األموال شلا جرى عليو اإلرث بغري ّحق أو شلا نتج

3 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 4. 4 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 5. 5 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 8.

104

شلا ثّور بغري ّحق أو ا شلّاشرتي البادل ادلوروث بغري ّحق وىو معلوم عندكم واستعمال ذلك كلو وتناولو حرام.6 يا إخواين أما مسعتم أن سبب اإلرث القرابة بسبب النسب من األصول والفروع واحلواشي ي ّقدم فيو من ّقد مو الشرع وأن أوالد األخوات من ذوي 7 األرحام ال ّيستحقون اإلرث إالّ بعد فقد ذوي الفروض والعصبات. Artinya:”Dan termasuk dari mafsadah yang timbul dari pewarisan yang melenceng dari jalur syariat berbuat kedzaliman dengan mengambil harta ahli waris syar`i sedangkan telah ada ancaman keras tentang hal tersebut, Allah SWT berfirman:”Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama-suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu (29). Dan barang siapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah (30)”. Dan termasuk dari mafsadah yang timbul dari pewarisan yang melenceng dari jalur syariat memakan makanan yang haram dengan memakan harta ahli waris syar`i, maka selama kalian masih melanjutkan pewaisan tersebut maka tidaklah diterima shalat, zakat, haji. sedekah, doa dan ibadah-ibadah lainnya, Ibnu Ruslan mengatakan dalam kitab Zubadnya: “dan ketaatan yang muncul dari orang yang memakan haram seperti bangunan yang dibangun di atas ombak” hal itu disebabkan syarat dari diterimanya suatu amal adalah makanan yang halal, dan selama pewarisan yang melenceng dari jalur syariat itu masih dilakukan maka makanan kalian haram, minuman kalian haram, tempat tinggal kalian haram karena semua yang ada pada kalian baik tanah ladang, rumah, dan yang lainnya dan kebanyakan harta yang diwariskan dari pewarisan yang tidak benar tersebut atau yang dihasilkan dari pewarisan tersebut atau yang dibeli dengan harta warisan tersebut dan itu semua kalian mengetahuinya dan memakai semua itu serta memakannya adalah haram. Wahai saudara-saudaraku apa kalian tidak mendengar bahwa sebab dari kewarisan adalah adanya hubungan kekerabatan yang disebabkan nasab baik baik hubungan orangtua, anak, maupun kerabat, didahulukan yang harus didahulukan menurut syara`, dan anak dari saudara perempuan (kemenakan) adalah termasuk dzawil arham yang tidak berhak atas hata warisan kecuali telah tiada ashab al-furȗd dan asabât.

6 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 9. 7 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 15.

105

Berdasar pada fatwa di atas maka dapat diketahui bahwa Syekh Aḥmad Khatȋb dalam kitabnya menganggap bahwa pembagian harta warisan di Minangkabau ini tidak sesuai dengan hukum Islam dan status harta yang dihasilkan dari sistem waris adat ini adalah harta syubhat, bahkan beliau mengecam keras orang yang mempraktekkan waris adat tersebut sebagai orang yang sesat dan kafir. Fatwa Syekh Aḥmad Khatȋb dapat dirangkum dalam beberapa beberapa poin:

a. Pelaksanaan waris adat telah menyalahi perintah Allah dan Rasulnya dalam Al-Qur‟an dan hadits. b. Ahli waris adat termasuk dalam kategori asabah bi al-nafs dan dzawil arhâm yang tidak berhak menerima harta warisan selama masih ada ashâb al-furȗd. c. Harta yang diwariskan dengan cara adat merupakan harta yang syubhat dan haram dimakan. d. Pelaksanaan waris adat banyak menimbulkan dampak dan mafsadah yang besar bahkan dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam kekufuran. Pada poin pertama yang menyangkut pembagian harta warisan di Minangkabau yang menurut Syekh Ahmad Khatȋb menyalahi perintah Allah dan Rasulnya adalah berdasar pada beberapa argumen: Pertama, bahwa dalam Al-Qur`an telah diatur bagian laki-laki dan perempuan, bahwa laki-laki mendapat bagian dari harta peninggalan orangtuanya begitu juga perempuan yaitu bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Sedangkan yang terjadi dalam pembagian harta warisan di Minangkabau adalah bahwa harta warisan hanya diserahkan kepada keturunan dari jalur ibu, sedangkan dari jalur ayah tidak mendapatkan apapun dari bagian warisan.8 Kedua, bahwa termasuk sebab adanya hak kewarisan dalam Islam adalah adanya hubungan kekerabatan (qarabah) antara pewaris dan yang diwarisi, adapun tentang hubungan kekerabatan tersebut telah dijelaskan

8 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 2.

106

dalam Al-Qur‟an dan hadits yaitu yang paling dekat hubungannya dengan si mayit secara nasab seperti anak dan orangtua. Sedangkan dalam pewarisan Minangkabau yang berhak menerima warisan adalah garis keturunan ibu meskipun itu terhitung jauh hubungan kekerabatannya dengan mayit seperti kemenakan.9 Ketiga, menurut Syekh Aḥmad Khatȋb pembagian harta warisan di Minangkabau berdasar pada sikap tolong menolong dan perjanjian (al-nusrah wa al-`ahd) yang maksudnya bahwa yang membantu mereka selama hidupnya dan memenuhi kebutuhannya merekalah yang berhak menerima warisan meskipun itu bukan anaknya sendiri. Oleh karena itu dalam adat Minangkabau yang berhak menerima warisan adalah kemenakan karena mereka yang membantu saat terjadi kesusahan dan memenuhi kebutuhan mereka di saat kekurangan. Sedangkan dalam Islam kewarisan yang didasarkan oleh sikap tolong menolong dan perjanjian meskipun pernah disyariatkan tetapi sistem tersebut telah dinasakh (dihapus).10 Pada poin kedua yang menyangkut ahli waris adat yang menurut Syekh Aḥmad Khatȋb termasuk asabah bi al-nafs dan dzawil arham adalah dikarenakan dalam ilmu Farâid hukum dari asabah bi al-nafs adalah mereka mendapatkan harta warisan secara keseluruhan dari kerabatnya atau budaknya jika mereka sendiri (tidak ada ahli waris lain), yakni sudah tidak ada ashâbu al-furȗd atau mendapatkan sisa dari harta warisan setelah dibagikan kepada ashâbu al-furȗd. Sedangkan hukum dari dzawil arhâm dalam madzhab Imam Syafi`i adalah tidak mendapatkan bagian sama sekali, apabila si mayit tidak mempunyai ahli waris kecuali dzawil arhâm maka harta yang ditinggalkan dialihkan ke baitul mâl.11Sedangkan yang terjadi dalam pembagian harta

9 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 3 10 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`,h. 3. 11 Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtâj Fȋ Syarh al-Minhâj, juz. 6, h. 390-391.

107

warisan di Minangkabau adalah bahwa mamak dan kemenakan tetap mendapatkan harta warisan meskipun terdapat ashâbu al-furȗd.12 Pada poin ketiga yang menyatakan bahwa harta Minangkabau adalah harta syubhat dan haram dimakan didasarkan pada sebuah pemahaman bahwa harta yang diwariskan di Minangkabau terdapat unsur ghasab (merampas) hak ahli waris yang berhak menerima warisan secara farâid. Hal itu terjadi karena secara farâid harta peninggalan mayit adalah hak milik daripada ahli waris sesuai ketentuan Al-Qur‟an dan hadits, namun ketika harta tersebut diberikan kepada ahli waris dari jalur ibu maka secara otomatis harta tersebut telah diambil dengan tidak adanya kerelaan dari pihak ahli waris faraid. Dalam memperkuat argumennya tersebut Syekh Aḥmad Khatȋb mengutip beberapa dalil baik dari Al-Qur‟an maupun hadits, diantaranya: Pertama, firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 188: ِ ِ ِ ِ ى ِ ِ ِ ِ َوالَ تَأْ ُكلُواْ أَْمَوالَ ُكم ب َْي نَ ُكم ب الْبَاطِل َوتُْدلُوا ِْبَا إَىل ْاحلُكام لتَأْ ُكلُواْ فَرًيقا ِّم ْن أَْمَوال النى ِاس ِ ِ ب ِاإلُْث َوأَنتُ ْم تَ ْعلَُم َون )البقرة3 111( Artinya:”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil (haram) dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”(QS. al-Baqarah: 1/188). Menurut Syekh Aḥmad Khatȋb bahwa kata “memakan harta” pada ayat di atas tidaklah secara khusus tetapi maksud dari memakan disini adalah segala perilaku yang menyebabkan habisnya harta orang lain. Oleh karena itu penggunaan kata memakan pada ayat di atas hanya sebagai isyarat bahwa kebanyakan harta dihabiskan secara dzalim dengan cara dimakan.13 Kedua, firman Allah dalam surat an-Nisa` ayat 14:

12 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 6. 13 Syihâbuddȋn al-Âlusy, Rȗh al-Ma`âny Fȋ Tafsȋri Al-Qur‟an al-`Adzȋm Wa Sab`i al- Matsâny, Juz. 1, h. 466. Lihat juga Aḥmad Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ`, h. 9.

108

ِ ِ ِ ِ َوَمن ي َْع ِص اللىوَ َوَرُسولَوُ َوي َتَ َعىد ُحُد َودهُ يُْدخْلوُ نَ ًارا َخالًدا ف َيها َولَوُ َعَذ ٌاب ُّمه ٌني النساء3) 14( Artinya:”Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”(QS. An-Nisa`: 4/14). Menurut Syekh Aḥmad Khatȋb -sebagaimana yang beliau kutip dari pendapat sebagian mufassirin- bahwa makna kata “mendurhakai” pada ayat di atas adalah dengan melanggar ketentuan hukum waris yang telah ditentukan oleh Allah seperti mempraktekkan hukum waris adat terhadap harta yang ditinggalkan mayit.14 Ketiga, Firman Allah dalam Surat an-Nisa` ayat 2: ِ ِ ى ِ ِ ِ ِ َوآتُواْ الْيَتَ َامى أَْمَو َاذلُْم َوالَ تَ تَبَىدلُوا ْ ْاخلَب َيث بالطيِّب َوالَ تَأْ ُكلُواْ أَْمَو َاذلُْم إَىل أَْمَوا ل ُك ْم إنىوُ َك َان ل ِ ُحوبًا َكب ًريا )النساء3 2( Artinya:”Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.” (QS. An-Nisa`:4/2).

Ayat terakhir ini diperuntukkan untuk harta waris yang di dalamnya terdapat hak anak yatim yang belum baligh.15 Keempat, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Humaid al-Sâ`idî ra dari Nabi Muhammad SAW bersabda: ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َال َي ُّل ل ُم ْسلٍم أَْن يَأْ ُخَذ َع َصا أَخيو إىال بط َْيبَة ن َْفسو، َوذَل َك شلىا َشىدَد َصل ىاهللُ َعلَْيو ى ى ِ ِ ِِ ِِ 16 َو َسل َم َما َحىرَم اللوُ م ْن َمال الُْم ْسلم َعلَى الُْم ْسلم )رواه ّالبزار( Artinya:”Tidak halal bagi seorang muslim mengambil tongkat saudaranya kecuali dengan kerelaan hatinya, hal itu dikarenakan Nabi SAW

14 Ibnu Katsir, Tafsȋr Ibnu Katsȋr, Juz. 2, h. 203-204. 15 Aḥmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 6. 16 Al-Bazzâr, Musnad al-Bazzâr, (Madinah: Maktabah al-Ulum Wa al-Hukm, 2009), juz. 9, h. 167.

109

sangat keras dalam urusan yang diharamkan Allah SWT terkait harta orang muslim atas orang muslim lainnya.” (HR. al-Bazzâr).

Kelima, hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas`ud ra: ٍ ِ ُّ ِ ِ ِ َع ِن ابْ ِن َم ْسعُود قَ َال ق ُْل ُت3 يَا َرُس َول اهلل أَ ُّي الظْلم أَظْلَ ُم قَ َال ذَراعٌ م َن األَْر ِض ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ْ ِ ى ي َْنتَق ُصَها الَْمْرءُ الُْم ْسل ُم م ْن َح ِّق أَخيو فَ لَْي َس َح َصاةٌ م َن األَْرض يَأ ُخُذَىا أَ َحٌد إال ِ ِ ِ ِ ِ ىِ طُِّوقَ َها ي َْوَم الْقيَ َامة إَىل قَ ْعر األَْر ِض، َوالَ ي َْعلَ ُم قَ ْعَرَىا إالى اهللُ َعىز َوَج ىل الذي َخلََقَها )رواه اإلمام أمحد(.17 Artinya:”Diriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, ia berkata: aku bertanya: ya Rasulallah SAW kedzaliman apakah yang paling besar? Beliau bersabda:”Sehasta tanah yang diambil oleh orang muslim dari saudara sesama muslim, tidaklah sebutir kerikil dari tanah yang diambil seseorang kecuali ia dibebani tanah sampai dasar bumi pada hari kiamat, dan tidak mengetahui dasarnya kecuali Allah `Azza wa Jalla yang menciptakannya. (HR. Imam Ahmad).

Dua hadits di atas memberikan sebuah kesimpulan bahwa jika mengambil sebagian kecil dari harta seseorang tanpa kerelaannya meskipun hanya berupa kayu kecil atau batu kerikil yang tidak ada harganya dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam siksa yang amat pedih, kemudian bagaimana dengan siksaan orang yang mengambil harta orang lain dengan jumlah yang besar. Pada poin keempat Syekh Ahmad Khatȋb menyatakan bahwa waris adat mempunyai banyak dampak dan mafsadah yang besar adalah bahwa praktek waris adat ini berdampak negatif terhadap rutinitas orang yang mempraktekkan waris adat ini baik yang bersifat ibadah maupun muamalah. Adapun dampaknya pada amaliyah ibadah menurut Syekh Ahmad Khatȋb adalah bahwa amaliyah ibadah yang dilakukan oleh orang yang mempraktekkan waris adat seperti shalat, puasa, haji dan ibadah lainnya tidaklah sah dan tidak ada yang didapatkan darinya kecuali hanya rasa letih

17 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad, juz. 6, h. 26.

110

dan lelah, hal itu dikarenakan semua ibadah yang dilakukannya dilandasi oleh hal yang haram. Syekh Ahmad Khatȋb mengutip sebuah hadits: 18

"من اكتسب ماال من حرام فإن ّتصدق بو مل يقبل منو وإن تركو وراءه كان زاده إىل النار"...19 Artinya:“Barangsiapa yang memperoleh harta dengan cara yang haram maka apabila ia menyedekahkannya maka tidak diterima sedekah itu dan jika ia meninggalkannya dibelakangnya (tidak menginfakkannya) maka harta itu akan menjadi bekal dia untuk masuk keneraka…. Sedangkan dampak negatif dari waris adat pada muamalah seperti pernikahan, menurut Syekh Ahmad Khatȋb bahwa pernikahan yang dilakukan oleh pelaku waris adat adalah tidak sah, hal itu dikarenakan dalam madzhab Imam Syafi`i syarat sahnya suatu pernikahan adalah adanya dua saksi yang adil, sedangkan tidak dianggap adil orang yang terus menerus melakukan dosa besar yang di antaranya waris adat, maka ketika suatu pernikahan yang di dalamnya terdapat saksi yang tidak adil maka pernikahan tersebut adalah tidak sah,20 Rasulullah SAW bersabda:

21 ال" نكاح ّ إال ّبويل أي عدل وشاىدي عدل ان(.")رواه ابن حبّ Artinya:”Tidaklah sah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali yakni wali yang adil dan dua saksi yang adil".(HR. Ibnu Hibbân).

Kemudian ketika suatu pernikahan tidak dianggap sah maka hal tersebut juga berdampak pada status anak yang dilahirkan dari hubungan

18 Aḥmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 9. 19 Riwayat hadits yang dikutip Syekh Aḥmad Khatȋb dengan redaksi ini tidak penulis temukan diberbagai kitab hadits, namun penulis temukan dengan redaksi lain yang semakna: yaitu hadits yang diriwayatkan al-Qasim bin Mukhaimirah beliau berkata:” Rasulullah SAW bersabda: ِ ِ ٍ ِِ ِ ِِ ِ ِ ىِ ِ ِ ِ ِِ ِ َمن ْاكتَ َس َب َم ًاال م ْن َمأَُْث ، فَ َو َص َل بو َرمحًا ْأَو تَ َصىد َق بو ْأَو أَنْ َفَقوُ ِف َسب ِيل اللو ُمج َع ذَل َك َمجًْعا، فَ ُقذ َف بو ِف َجَه َنىم )رواه أبو داود(. Artinya:”Barangsiapa yang memperoleh harta dari cara yang haram kemudian digunakan untuk menyambung tali silaturrahim atau bersedekah atau diinfakkan dijalan Allah maka semua harta itu akan dikumpulkan dan dengan harta itu ia dimasukkan kedalam api neraka. (HR. Abȗ Dâwȗd). Lihat Abȗ Dâwȗd, al-Marâsȋl, (Beirut: Muassah al-Risâlah, 1408), h. 142. 20 Pendapat ini berdasar pada pendapat Khatȋb al-Syarbini dalam , Mughni al-Muhtâj Ilâ Ma`rifati alfâdzi al-Minhâj yang merupakan syarah daripada Minhâju al-Tâlibîn karya Imam Nawawi, lihat Khatȋb al-Syarbȋnȋ, Mughni al-Muhtâj Ilâ Ma`rifati alfâdzi al-Minhâj, juz. 4, h. 234. 21 Ibnu Hibbân, Sahȋh Ibn Hibbân, h. 386.

111

pernikahan tersebut. Syekh Ahmad Khatȋb berpendapat bahwa status anak yang dilahirkan oleh orang yang mempraktekkan waris adat adalah anak zina, beliau mengatakan: فيرتتب على عدم صحة النكاح بعدم عدالة الشهود والويل أن األوالد احلاصلني من ىذه األنكحة أوالد زنا ال أوالد شبهة ألنكم عادلون بأن ىذا التوريث من الكبائر وأن ارتكاب الكبرية يبطل العدالة والوطء مع العلم ببطالن النكاح وطء زنا كما قيل... 22

Artinya:”Maka dari pernikahan yang tidak sah itu karena tidak adanya dua saksi yang adil dan wali nikah timbul masalah yang besar lain yaitu anak yang lahir dari pernikahan tersebut dihukumi sebagai anak zina bukan anak syubhat, hal itu karena kalian telah mengetahui bahwa pewarisan adat yang kalian lakukan adalah dosa besar, dan melakukan dosa besar dapat menghilangkan sifat adil seseorang, dan hubungan intim yang dilakukan dengan mengetahui bahwa pernikahan tersebut tidak sah adalah perbuatan zina sebagaimana pendapat yang dikatakan sebagian ulama…

Pernikahan mereka tidaklah sah dikarenakan hilangnya kriteria adil pada pribadi seorang saksi yang telah mempraktekkan waris adat, oleh karena itu menurut Syekh Ahmad Khatȋb bagi orang yang mempraktekkan waris adat wajib memperbarui akad nikahnya atau mengikuti (taqlid) madzhab Hanafî yang tidak mensyaratkan adanya kriteria adil dalam saksi nikah.23 Berdasarkan dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penolakan Syekh Ahmad Khatȋb terhadap praktek waris adat tersebut adalah karena waris tersebut menyalahi syariat Islam karena dalam prakteknya terdapat unsur merampas hak ahli waris lain (ghasab) yang berdampak pada status syubhat harta yang diwariskan, dan juga praktek tersebut menimbulkan banyak mafsadah dan dampak buruk terhadap keabsahan praktek ibadah dan muamalah yang mereka lakukan.

22 Aḥmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 21. 23 Aḥmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 21.

112

2. Pendapat Ulama Minangkabau Tentang Fatwa Syekh Ahmad Khatib Setelah berakhirnya masa Syekh Ahmad Khatȋb datanglah seorang ulama yang memandang masalah ini berbeda dengan pandangan Syekh Ahmad Khatȋb hingga beliau memberikan pendapat yang berbeda pula dalam hukumnya, di antara mereka adalah Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) yang merupakan murid Syekh Ahmad Khatȋb sendiri. Ada empat murid Syekh Ahmad Khatib yang meneruskan gagasan- gagasan tentang pembaharuan dan merealisasikan sebagian pandangan- pandangan Syekh Aḥmad Khaṭīb dalam persoalan-persoalan agama, mereka adalah Syekh Abdul Karim Amrullah, Dr. H. Abdullah Aḥmad, Syekh Muḥammad Ṭayyib Umar dan Syekh Jamil Jambek. Keempat ulama ini juga dikenal sebagai empat serangkai dan bapak pembaharuan Minangkabau,24mereka ini juga yang belakangan diistilahkan dengan kaum muda atau kelompok pembaharu.25 Syekh Abdul Karim Amrullah adalah seorang ulama yang belakangan sudah melihat harta pusaka tinggi dalam bentuknya yang sudah terpisah dari harta pencaharian.26Namun demikian tidak selamanya seorang murid mempunyai pandangan yang sama dengan gurunya. Hal itu adalah suatu kewajaran, karena Syekh Ahmad Khatȋb dalam metode pengajarannya menggunakan sistem diskusi dan tidak mengajarkan kepada murid-muridnya taklid, oleh karenanya sangat wajar jika kemudian murid-muridnya memiliki

pemahaman yang berbeda dengan gurunya. Syekh Abdul Karim berpendapat bahwa harta pusaka di Minangkabau sama dengan harta wakaf atau musabbalah.27Menurutnya harta pusaka tinggi yang beliau sebut dengan harta tua adalah harta benda yang asalnya tidak

24 Murni Djamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah: pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke 20 (Jakarta: INIS, 2002), h. 20. 25 Pembaharuan yang mereka bawa adalah pemikran-pemikiran yang mereka adopsi dari ajaran Muḥammad Abduh. Lihat UlinNuha, Syekh Aḥmad Khatȋb al-Minangkabawi; Icon Thalibul Ilmi Minangkabau Masa Lalu Untuk Refleksi Sumatera Barat Barat Hari Ini dan Masa Depan, h. 166. 26 Hamka, Sejarah Islam di Sumatera (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1950), h. 39. menjadikannya جعله في سبيل هللا :27Musabbalah ialah terambil dari bahasa Arab yaitu (memberikannya) di jalan Allah. Lihat, Majd al-Dȋn Muḥammad Ibn Ya„qȗb al-Fairȗz Âbâdȋ. Kamus al-Muhȋṭ, (Kairo: dār al-Hadits, Tth), h. 1012.

113

diketahui. Harta itu dikelola oleh para pembesar setiap suku, lalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya: dari ninik ke mamak dan dari mamak ke kemenakan, begitulah seterusnya. Syekh Abdul Karim mengatakan bahwa hukum kewarisan Islam tidak dapat diterapkan, karena harta itu bukan milik orang yang wafat, dia hanya sebagai pengelola harta tersebut semasa hidupnya.28 Harta itu adalah milik suku bukan perorangan dalam suku tersebut. Oleh karena itu beliau menganggap bahwa harta tersebut sama dengan harta musabbalah.29 Syekh Abdul Karim Amrullah menolak pemikiran gurunya Syekh Aḥmad Khaṭīb yang mengatakan bahwa harta pusaka di Minangkabau adalah harta rampasan. Syekh Abdul Karim menekankan bahwa harta pusaka di Minangkabau tidak bisa disebut harta rampasan (ghasab). Hal ini sebagaimana yang beliau tulis dalam bukunya al Farāiḍ sebagai berikut:

أدافون منتفكن ىرت توا يع أدا دمينعكبو إيت ىرت غصب )رمفاسن( سكايل كايل تيدقلو دعن فسيت –يعين- والوفون سبنرث كمانكن منرمي دار فدا مامأ دان يع مودا منرمي دار فدا يع توا دعن تيدق منورة أتوران فرائض يع بليئو مناكن دميكني إت دعن فساك جاىليو, سدع يع دكتاكن غصب منورة لغة دان اصطالح علماء الشرع3 استيالء حق الغري عدوانا – أخذه ظلما وقهرا. أرتيث معراسي- مربوة- حق –ملك- أورع الين دعن جالن أنياي أتو معمبل أكندي دعن أنياي دان فقساءن دعن تيدا جالن يع دىارسكن. فداحل نينق مويعث أورع منعكابو يع مول 2 منجنجع ملتو أتو 2 منروكو دان معهدفكن تانو مايت يع بلم دفثاي ألو سأورع مانسيو مباح إيت تيدقلو برنام مرمفس.30

Artinya:“Adapun menetapkan harta yang ada di Minangakabau itu harta (ghaṣab), sekali-kali tidklah dapat dengan pasti.Walaupun sebenarnya kemenakan menerima daripada mamak dan yang muda menerima daripada yang tua dengan tidak menuruti aturan farāiḍ yang beliau

28 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, h. 103 29 Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, h. 33. 30 Abdul Karim Amrullah, al Farāiḍ, h. 117.

114

(Syekh Aḥmad Khaṭīb) namakan demikian itu dengan pusaka jahiliyah. Sedang yang dikatakan ghaṣab menurut bahasa dan istilah ulama syaraʻ: “Istīlā‟u haq al-gair „udwāna, akhzuhu ẓulman wa qahran.” Artinya mengerasi, merebut hak milik orang lain dengan jalan aniaya, atau mengambil akan dia dengan aniaya dan paksaan dengan tiada jalan yang diharuskan. Padahal nenek moyang orang Minangkabau yang mula-mula mencancang malateh atau menaruko dan menghidupkan tanah mati yang belum dipunyai oleh seorang manusia mubah (hukumnya) itu, tidaklah bernama merampas.” Dalam memperkuat argumennya Syekh Abdul Karim mengemukakan ka`idah usûliyyah yang terkenal yang berbunyi: “al-`Âdatu Muhakkamatun wa- al-`Urfu Qadin” artinya:”Adat adalah diperkokoh dan `Urf (tradisi) adalah berlaku”.31 Dalam hal ini pandangan Syekh Abdul Karim bukan hanya sebagai penolak pendapat Syekh Aḥmad Khaṭīb, tetapi juga upaya untuk mengkrompomikan kewarisan Islam dan adat Minangkabau, yang mana pandangan ini juga diterima oleh Syekh Sulaiman al-Rasuli.32 Syekh Sulaiman al-Rasuli dalam kitab karangannya Pertalian Adat dan Syara` mengatakan: “Adapun harta pusaka (tinggi) ialah sebahagian daripada sawah dan ladang untuk perumahan dan pekarangan, yang mana asalnya dicancang dilateh digulung ditaruko oleh ninik moyang dengan sengaja punya sepayung sesuku sekaum dan serumah. Harta ini tidak dijual digadaikan dihibahkan dan lain-lain sebagainya hanya tetap turun-temurun sebagaimana pusaka gelar dan suku yang tersebut di atas karena harta pusaka bukan kepunyaan seorang dua orang yang dapat ditentukan, hanya kepunyaan kaum suku dan payung, yang menguasai harta ini adalah mamak rumah, mamak kaum dan penghulu tidak diserahkan kepada semenda dan anak kemenakan.”33 Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Syekh Sulaiman al- Rasuli juga menyetujui bahwa harta pusaka tinggi tidak boleh dijual digadai maupun dihibahkan karena harta tersebut adalah milik kaum secara kolektif, Syekh Sulaiman al-Rasuli juga menganggap bahwa keadaan harta pusaka

31 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, h. 103. 32 Sulaiman al-Rasuli, Pertalian Adat dan Syaraʻ, (Ciputat Press, 2003), h. 26. 33 Sulaiman al-Rasuli, Pertalian Adat dan Syaraʻ, h. 37.

115

tersebut sama halnya dengan sako (gelar) dalam adat Minangkabau yang diturunkan kepada generasi berikutnya apabila pemegang gelar tersebut telah meninggal seperti gelar “khatîb” yang diturunkan kepada anak sepeninggal ayahnya. Namun meski ada beberapa ulama Minangkabau yang tidak setuju dengan pendapat Syekh Ahmad Khatȋb tentang waris adat, ada juga beberapa ulama yang sepaham dan mendukung pendapatnya, di antara ulama yang mendukung pendapatnya adalah murid-muridnya ketika di Mekkah, di antaranya Haji Abdullah Ahmad dari Padang Panjang dan Syekh Muhammad Jamil Jambek dari Bukittinggi. Haji Abdullah Ahmad adalah pelopor gerakan pembaharuan yang disebut dengan “Kaum Muda” yang punya misi membersihkan Islam dari kejumudan, khurafat, bid`ah dan lain sebagainya. Pada tahun 1912 M terjadi perselisihan antara Haji Abdullah Ahmad dengan Datuak Sutan Maharajo seorang pimpinan gerakan dari Darek yang juga seorang pelopor surat kabar yang banyak diterbitkan di berbagai tempat di Sumatera pada tahun 1894. Awal terjadinya perselisihan tersebut adalah perselisihan antara Abdul Majid sahabat Haji Abdullah Ahmad dengan Datuak Sutan Maharajo menyangkut masalah pemindahan percetakan “Orang Alam Minangkabau” yang dipegangnya, namun perselisihan tersebut ternyata berkembang menjadi perselisihan antara kaum adat dan kelompok agama. Menurut Datuak Sutan Maharajo, kelompok Haji Abdullah Ahmad telah menentang kaum adat dan merusak tatanan adat Minangkabau yang telah lama diperjuangkannya. Hal itu dikarenakan kelompok Haji Abdullah Ahmad telah mengikuti pendapat gurunya Syekh Ahmad Khatȋb dalam menolak dan menganggap praktek waris adat sebagai suatu kesesatan. Datuak Sutan Maharajo yang awalnya menyokong dan membantu “Kaum Muda” akhirnya berbalik dan bergabung dengan kelompok “Kaum Tuo” seperti Syekh Sa`ad Mungka, Syekh Khatȋb Ali, Syekh Sulaiman Al-Rasuli dan mencaci “Kaum Muda” menganggap mereka sebagai “Kaum Wahabi”, “Kaum Khawarij”.34

34 Aḥmad Rivauzi, Pertumbuhan dan Pertumbuhan Pendidikan Islam di Minangkabau, (Rurats: Jurnal Penelitian dan Pengabdian, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2019), h. 115.

116

Adapun Syekh Muhammad Jamil Jambek (Inyiak Jambek) yang dikenal sebagai ulama pengkritik tarekat di Minangkabau yang juga dikenal sebagai ulama reformis pembawa metode baru dalam pengajaran ilmu yaitu dengan cara berpidato di atas mimbar yang mana sebelumnya pembelajaran di Minangkabau terpaku pada halaqoh (duduk melingkar).35Setelah cukup lama belajar di Mekkah kepada Syekh Ahmad Khatȋb beliau kembali pulang ke tanah air dengan semangat yang tinggi untuk memurnikan Minangkabau dari takhayul, khurafat dan kesalahan dalam menjalankan syariat Islam. Benturan pertama dan terberat yang dihadapi Syekh Jamil Jambek seusai kembalinya dari Mekkah adalah masalah adat Minangkabau, khususnya hukum waris. Syekh Jamil Jambek termasuk ulama asli Minangkabau yang menolak sistem pewarisan harta di Minangkabau, menurutnya bahwa hukum waris telah diatur dalam Islam dan hukum Islam telah menetapkan bahwa harta pusaka diwariskan kepada anak kandung dengan ketentuan yang telah disebutkan dalam Al-Qur‟an yaitu bagian anak laki-laki lebih besar daripada bagian anak perempuan. Sedangkan adat Minangkabau menentukan bahwa harta pusaka diwariskan kepada kemenakan, bukan kepada anak laki-laki. Syekh Jamil Jambek tetap berpegang teguh kepada pendapat gurunya karena dia yakin bahwa itulah yang benar apalagi gurunya telah mengarang dua kitab yang memperkuat pendiriannya yaitu al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` dan al-Manhaj al- Masyrȗ‟.36 Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antar ulama Minangkabau dalam pembagian harta warisan di Minangkabau adalah permasalahan yang sangat penting dan rumit. Perbedaan pendapat di antara ulama tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa apakah semua harta pusaka harus diterapkan di dalamnya hukum waris Islam dan apakah pewarisan harta pusaka tinggi terdapat unsur ghasab (merampas) atau tidak.

35 Adlan Sanur Tarihoran, Syekh M. Djamil Djambek Pengkritik Tarekat yang Moderat di Minangkabau, (Al-Hurriyyah, Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2011), h. 6. 36 https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2011/12/14/981/syeikh-jamil- jambek-sang-penentang-hukum-adat.html

117

B. Fatwa Syekh Ahmad Khatȋb dan Fatwa Ulama Minangkabau Lainnya Dalam Tinjauan Fikih dan Usȗl Fikih Dalam menanggapi fatwa Syekh Ahmad Khatȋb ini, Amir Syarifuddin mengatakan “Bila diperhatikan dari fatwa Syekh Ahmad Khatȋb dalam kitabnya ad-Dâ`ȋ al-Masmȗ` dapat kita pahami bahwa pendapat beliau ini didasarkan pada pemahaman bahwa mamak mewariskan hartanya kepada kemenakan, yang mana hal tersebut sangat menyalahi dan sangat bertentangan dengan tuntunan syara`. Menurut Amir Syarifuddin bahwa konklusi Syekh Ahmad Khatȋb tersebut adalah benar bila premise yang dikemukakan yaitu bahwa harta pusaka adalah hak pribadi bagi pewaris dan karena itu harus diwariskan secara hukum faraid adalah benar. Tetapi bahwa harta pusaka adalah harta pribadi adalah tidak benar. Harta pusaka yang berada ditangan seseorang adalah milik kaum secara kolektif yang berada ditangannya sebagai hak pakai. Pemakai hanya memiliki hasil yang didapat dari harta pusaka dan tidak memilki harta pusaka itu sendiri, oleh karena itu harta pusaka tidak dapat diwariskan kepada anak-anak. Oleh karenanya konklusi dari Syekh Ahmad Khatȋb yang tercantum dalam sanggahan beliau tersebut adalah tidak tepat.”37 Menurut penulis dalam sanggahan Amir Syarifuddin begitu juga Syekh Abdul Karim Amrullah atas fatwa Syekh Ahmad Khatȋb di atas didasarkan pada pemahaman tentang dalil-dalil yang dikemukakan oleh Syekh Ahmad Khatȋb di dalam kitabnya yang mana apabila dilihat secara sekilas maka seakan-akan dalil- dalil tersebut mengacu pada pemahaman bahwa bahwa harta pusaka yang berada di tangan seorang mamak adalah hak penuh pribadi orang tersebut yang mengakibatkan adanya unsur perampasan atau memakan harta anak yatim, yang berujung pada persepsi bahwa fatwa Syekh Ahmad Khatȋb tidak pada tempatnya atau dalam istilah lain tidak tepat dan salah. Namun menurut penulis apabila diperhatikan dan diteliti lebih dalam lagi fatwa dan istidlal (pengambilan dalil) yang digunakan oleh Syekh Ahmad Khatȋb dalam kitab tersebut akan terlihat bahwa sebenarnya kritikan beliau adalah harta

37 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 277.

118

pusaka tinggi yang telah dicampur oleh kemenakan dengan harta pencaharian yang dimiliki oleh mamak dari hasil kerja kerasnya sendiri, yang telah diaku sisi oleh kemenakan dan dicampurkan kedalam harta pusaka tinggi, yang menurut hukum syara` hal tersebut tidaklah dibenarkan. Pendapat yang penulis paparkan di atas ini didasarkan pada beberapa argumen: Pertama, bahwa pada kenyatannya memang terjadi percampuran antara harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah/pencaharian, pencampuran harta pencaharian dengan harta pusaka tinggi itu terjadi ketika mamak meninggal dunia dan tidak mewasiatkan harta pencaharian tersebut secara tertulis, maka oleh kemenakan harta tersebut dicampur kedalam harta pusaka tinggi tanpa adanya izin dan kerelaan dari ahli waris mamak yang telah meninggal. Argumen ini didasarkan pada pernyataan yang dipaparkan H. Mansur Dt. Nagari Basa dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang dari tanggal 21-25 Juli 1968, dalam seminar ini beliau berkata:

”Menurut biasanja sampai hari ini belum ada perobahan keadaan harta pusaka itu, baik harta pusaka itu berasal dari harta pusaka jang dipakai nenek atau dari mamaknja jang telah lalu, ataupun harta itu berasal dari pentjarian orang itu sendiri. Kalau dia mati tanpa wasiat apa-apa, biasanja harta itu (pusaka tinggi dan harta pentjarian) akan dikuasai oleh kemenakannja, isteri dan anaknja tidak dapat berkuasa apa- apa. Kalau terdjadi perkara di Pengadilan Negeri biasanja kalah anak dan isterinja itu dan akan menang pihak kemenakannja. Oleh karena itu didaerah Minangkabau ini biasanja kalau seorang laki-laki banjak mempunjai harta pentjarian, kalau ia bermaksud akan mempusakakan harta pentjariannya itu kepada anaknja, biasanja dibelikan kepada barang-barang atau hutan tanah atas nama anaknja dengan surat keterangan. Kalau tidak demikian maka maksudnya akan sia-sia belaka.38 Demikianlah eratnja hubungan keluarga kesukuan di Minangkabau, sehingga keluarga jang djauh dalam kaumnja itu lebih dahulu mendapat pusaka atau mewarisi harta seseorang, daripada anak kandungnja sendiri. Begitu pula imbangnja segala apa jang terjadi buruk baik malang dan mudjur semuanja akan dibebankan kepada kaum pesukuan itu. Umpama seorang meninggal dunia meninggalkan hutang

38 Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, h. 134.

119

kepada seseorang, maka jang ditagih dan jang wajib membajar menurut adat adalah kemenakannja, bukanlah anaknja. Begitupun kalau terdjadi sakit seseorang maka sisakit itu didjemput dan dibawa oleh kemenakan kerumah tangganja walaupun dia itu tidur dirumah anaknja atau isterinja sendiri. Apalagi jang sakit itu penghulu. Sekarang timbul pertanjaan:”dimanakah letaknja pepatah jang mengatakan:”Adat bersendi Sjara`, Sjara` bersendi Kitabullah”, seperti tersebut di atas tadi?”. 39 Pernyataan H. Mansur Dt. Nagari Basa di atas membuktikan bahwa dalam kenyataannya memang terjadi perampasan dan percampuran antara harta pusaka murni dan harta pencaharian. Bahkan Amir Syarifudin sendiri mengakui terjadinya perampasan dan percampuran antara dua jenis harta tersebut, Amir Syarifuddin mengatakan:”Sebelum adanya pemisahan fungsi harta pencaharian dari harta pusaka, kemenakan yang masih hidup menemukan dari peninggalan mamaknya dua bentuk harta. Pertama harta pusaka yang diwarisi mamak dari ninik yang asal-usulnya dapat ditelusuri berasal dari nenek moyang pemilik asal. Kedua harta percaharian mamak, yang diperolehnya semata-mata dari hasil usahanya sendiri yang menurut hukum Islam harus diserahkan kepada ahli warisnya yang ditetapkan oleh syara` yang utama adalah anak. Amir Syarifudin melanjutkan “Menurut kenyataan yang berlaku pada waktu itu, si kemenakan tidak menyerahkan harta pencaharian mamaknya kepada anak-anak dari mamaknya itu, tetapi menggabungkan harta tersebut kepada harta pusaka dan menjadikannya harta pusaka pula. Semenjak itu mulailah terjadi kesalahan menurut tinjauan syara` yaitu mencampurkan hak orang lain (yaitu anak dan isteri) ke dalam kelompok harta pusaka. Yang semula harta itu adalah harta yang hak (halal), tercampur dengan yang tidak hak (halal) yang dalam istilah hukum Islam disebut harta syubhat. Pada generasi berikutnya terjadi pula pencampuran harta pencaharian dengan harta pusaka yang sudah tercampur itu. Makin lama semakin banyak didalamnya tercampur unsur yang tidak hak.40

39 Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, h. 134. 40 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 274.

120

Pemaparan H. Mansur Dt. Nagari Basa di atas tentang adanya percampuran dan sengketa di Pengadilan sama persis dengan apa yang dikutip oleh Syekh Ahmad Khatȋb dalam kitabnya, beliau mengatakan: من ادلفاسد ادلرتتبة على ىذه الضاللة قطيعة الرحم بني األوالد وأوالد األخوات وذلك بسبب استيالء اإلخوة وأوالد األخوات على ما تستحقو األوالد شرعا من مال أبيهم فيتداعون ويتشاركون ويتخاصمون ويتهاجرون بسبب ذلك حَّت إن األخوات وأوالد األخوات يدعون مجيع ما َيدون عند األوالد عند حاكمهم أنو ذلم فينصرىم ويبيعون ديارىم وعقارىم...41 Artinya:“Termasuk dari mafsadah yang ditimbulkan oleh kesesatan ini (waris adat) adalah terputusnya tali kekerabatan antara anak simayit dan kemenakan, hal itu disebabkan sikap mamak dan kemenakan yang menguasai harta orangtuanya yang seharusnya menjadi hak anak menurut syara`, kemudian mereka saling menuduh, saling berebut, bermusuhan dan tidak saling sapa bahkan sampai terjadi saudara perempuan mayit (bundo kanduang) dan anak-anaknya (kemenakan) mengakui sisi dihadapan penghulu mereka bahwa semua yang dimiliki anaknya simayit adalah milik mereka, maka penghulu (hakim) tersebut memenangkan dakwaan saudara perempuan mayit (bundo kanduang) dan anak-anaknya (kemenakan), kemudian dengan itu mereka menjual rumah dan ladang yang seharusnya menjadi hak anak simayit tersebut. Kemudian dalam kaitannya dengan kemenakan -sebagaimana yang disebutkan H. Mansur Dt. Nagari Basa di atas- yang mana dirinya selalu memenuhi semua kebutuhan mamak baik ketika sakit dan atau terbelit hutang atau kebutuhan-kebutuhan lainnya, Syekh Ahmad Khatȋb juga menyebutkan dalam kitabnya: إن إخوتنا وأوالد أخواتنا ىم الذين يقضون ديوننا إذا تداينا وىم الذين ميرضوننا إذا مرضنا وينفقون علينا إذا افتقرنا ويسعون ِف حوائجنا إذا احتجنا واألوالد على العكس فكيف نورثهم ونرتك ىؤالء الذين بذلوا أنفسهم وأمواذلم وأرواحهم إلينا فنحن رلبورون على

41 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 11.

121

توريثهم كيف ال وقد قال تعاىل ىل جزاء اإلحسان إال اإلحسان وقال صلى اهلل عليو وسلم من أسدى إليكم معروفا فكافئوه ..42 Artinya:“Bahwa saudara dan anak saudara (kemenakan) kami adalah orang- orang yang membayarkan hutang kami jika kami berhutang, merawat kami jika kami sakit, memberi nafkah jika kami membutuhkan, dan melapangkan kesusahan kami. Sementara anak kami tidaklah seperti demikian. Maka bagaimana mungkin kami akan mewariskan kepada anak- anak kami dan meninggalkan mereka yang telah mengorbankan semuanya untuk kami. Bukankah Allah sudah berfirman: Tiadalah balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan pula” dan Rasul juga telah bersabda: Siapa yang berbuat baik padamu maka balaslah kebaikannya.” Berdasarkan peristiwa dan fakta yang terjadi di atas yang dipaparkan oleh dua pakar adat tersebut, penulis menyimpulkan bahwa kritik keras Syekh Ahmad Khatȋb dalam kitabnya tersebut sebenarnya tepat dan benar karena memang pada masa itu (yaitu ketika ditulisnya kitab ini) telah terjadi perampasan dan percampuran antara harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah yang dilakukan oleh kemenakan. Pencampuran antara dua harta yang dilakukan oleh kemenakan tersebut dengan tanpa adanya keridhaan dari ahli waris syar`i bisa dikatakan sebagai ghasab, karena pengertian ghasab sendiri baik secara etimologi maupun terminology sebagaimana yang diungkapkan para fuqaha adalah: ِ ِ ِ ِ الْغَ ْص ُب لُغَةً أَ ْخُذ ىالش ْيء ظُْلًما وشرعا ً اال ْست َيالء ُ َعلَى َح ِّق الْغَْ ري عُْدَوانًا أَ ْي َعلَى ِ ِ 43 جَهة التى َعدِّي َوالظُّْلِم .. Artinya:”Ghasab secara bahasa adalah mengambil sesuatu secara dzalim, sedang secara istilah adalah menguasai hak orang lain secara paksa dan aniaya. Karena yang dilakukan oleh kemenakan pada masa itu adalah merebut atau menguasai hak ahli waris lain secara paksa dan dzalim. Kemudian pencampuran yang dilakukan oleh kemenakan tersebut telah menyebabkan banyak mafsadah yang besar di antaranya permusuhan dan pertikaian antar

42 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 4. 43 Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatu al-Muhtâj Fȋ Syarhi al-Minhaj, (Mesir: al-Maktabah al- Tijariyyah, 1983), Juz. 6, h. 2.

122

kerabat dan segala sesuatu yang mengantarkan pada keharaman adalah haram sebagaimana kaidah ushuliyyah yang berbunyi: كل ما أدى إىل احلرام فهو حرام.44 Artinya:”Segala sesuatu yang mengantarkan pada keharaman maka hukumnya adalah haram‟.

Kedua, dalam kitabnya Syekh Ahmad Khatȋb menyatakan:

فإن كثريا شلا ّتورثونو لإلخوة وأوالد األخوات ىو من كسبكم الذايت وليس واصال إليكم من اإلخوة وأوالد األخوات...45 Artinya:”…karena kebanyakan harta yang kalian (orang-orang Minangkabau) wariskan kepada mamak dan kemenakan adalah harta pencaharian yang kalian dapatkan dari hasil kerja kalian sendiri dan bukan dari harta pusaka tinggi yang kalian dapatkan dari mamak dan kemenakan (kalian yang terdahulu)… Statemen di atas diungkapkan Syekh Ahmad Khatȋb ketika membantah argument kaum adat bahwa alasan mereka tidak mewariskan harta tersebut kepada anak-anak mereka adalah karena harta tersebut bukan milik orangtua mereka melainkan mereka dapatkan dari mamak mereka dan mamak tersebut mendapatkannya dari mamak mereka pula dan begitu seterusnya. Syekh Ahmad Khatȋb membantah pernyataan tersebut dan mengatakan bahwa yang mereka wariskan selama ini kepada kemenakan mereka bukanlah harta pusaka tinggi yang mereka dapatkan dari mamak mereka tetapi yang mereka wariskan kepada kemenakan mereka adalah harta pencaharian yang didapat dari usaha mereka sendiri. Pernyataan Syekh Ahmad Khatȋb di atas sangatlah jelas bahwa dalam kenyataannya memang terjadi percampuran karena pada statemen tersebut beliau menyebutkan bahwa kebanyakan yang diwariskan kepada mamak dan kemenakan adalah harta pencaharian yang dihasilkan dari kerja keras si mayit itu sendiri.

44 Tâjuddȋn al-Subkȋ, al-Asybah wa al-Nadzair, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1991), h. 121. 45 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 14.

123

Ketiga, bahwa kitab ini dikarang oleh Syekh Ahmad Khatȋb pada tahun 1309 H bertepatan dengan tahun 1891 M yang mana pada masa itu belum terjadi pemisahan antara harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah atau pencaharian dalam masalah pembagiannya dan sangat mungkin terjadinya pencampuran antara harta pusaka tinggi dan harta pencaharian, karena pemisahan dan tatacara pembagian harta pusaka tersebut baru terjadi dan baru dilakukan di Kerapatan Orang Empat Jenis di Bukittinggi 02-04 Mei tahun 1952 yang dikuatkan dengan seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tanggal 21-25 Juli tahun 1968. Berdasarkan keterangan di atas sangatlah jelas bahwa yang dikritik oleh Syekh Ahmad Khatȋb adalah pencampuran yang terjadi antara harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah oleh karena itu tidaklah heran bila Syekh Ahmad Khatȋb mengatakan harta di Minangkabau tersebut adalah harta syubhat atau haram sebagaimana yang dikatakan oleh Amir Syarifuddin dalam bukunya Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau.46 Jadi penulis menyimpulkan hukum syubhat terhadap harta di Minangkabau yang dikemukakan oleh Syekh Ahmad Khatȋb adalah dikarenakan adanya percampuran antara harta pusaka tinggi dan harta pencaharian yang merupakan hak daripada ahli waris mayit. Faktor inilah yang menjadikan Syekh Ahmad Khatȋb enggan untuk pulang ke Minangkabau, tetapi meskipun ia menghukumi harta di Minangkabau sebagai harta syubhat beliau tidaklah tinggal diam tetapi yang dilakukannya adalah memberikan solusi bagaimana cara bertasarruf dengan harta tersebut. Menurut Syekh Ahmad Khatȋb bahwa harta tersebut dihukumi sebagai maal dhai` (harta yang hilang) yang dapat dimiliki oleh orang yang memegangnya apabila dia termasuk orang yang fakir, dengan niatan akan dikembalikan kepada pemiliknya atau ahli warisnya apabila telah ditemukan.47

46 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 274. 47 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 18.

124

Istinbat hukum terhadap mâl dâi` yang dilakukan oleh Syekh Ahmad Khatȋb tersebut didasarkan pada metode qiyas (analogi), karena adanya kesamaan antara mâl dâi` tersebut dengan harta di Minangkabau yang telah tercampur yaitu sama-sama tidak diketahui pemiliknya. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan harta syubhat yang telah terlanjur menyebar di Minangkabau tersebut Syekh Ahmad Khatȋb menulis sebuah kitab dengan judul al-Jawâhir al-Farȋdah fȋ al- Ajwibah al-Mufȋdah, dalam bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1314 H dicetak oleh Muhammad Majid al-Kurdy di percetakan al-Mairiyyah di Mekkah sebagai solusi atas permasalahan yang mana apabila keharaman telah menyeluruh ke semua tempat. Dalam kitab al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` ada dua hal yang menjadi catatan yang seharusnya dicantumkan oleh Syekh Ahmad Khatib dalam kitab tersebut, yaitu: pertama, pembagian harta, dalam kitab ini Syekh Ahmad Khatib tidak mengklasifikasikan harta pusaka Minangkabau menjadi dua bagian yaitu harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah, melainkan menghukumi dua harta tersebut dalam satu hukum. Kedua, bahwa Syekh Ahmad tidak memberikan definisi khusus atau batasan-batasan terkait harta pusaka tinggi yang mana seharusnya definisi ataupun batasan-batasan tersebut dicantumkan agar menjadi acuan istinbath hukum bagi para pembaca sesudahnya. Adapun pendapat Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) yang menyatakan bahwa harta pusaka tinggi tidak dapat diterapkan hukum waris Islam (faraid), adalah karena harta tersebut milik kaum yang dimiliki secara kolektif dan tidak dimiliki secara pribadi, sedangkan hukum waris Islam mengurusi harta warisan yang dimiliki sebagai harta pribadi oleh orang yang meninggal. Syekh Abdul Karim menghukumi harta tua tersebut sebagai harta musabbalah, hukum musabbalah ini dilakukan oleh Syekh Abdul Karim ini karena menurutnya terdapat kesamaan illat (sebab) antara harta pusaka tinggi dan harta musabbalah yang mana kedua harta tersebut telah dibekukan tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum.48

48 Perilaku Umar bin Khattab ra. ini diriwayatkan Ibnu Umar dalam sebuah hadits:

125

Namun menurut penulis bahwa pengqiyasan harta pusaka tinggi dengan harta musabbalah yang dilakukan oleh Syekh Abdul Karim tidaklah tepat karena dalam ilmu fikih harta musabbalah adalah harta yang dibekukan tasarrufnya dan hasilnya boleh dimanfaatkan oleh semua orang Islam sebagaimana yang dilakukan oleh sayyidina Umar ra., namun kenyataannya dalam harta pusaka tinggi hasil dari harta tersebut hanya boleh dimanfaatkan oleh anggota dari suku tersebut, sedangkan orang lain dari lain suku meskipun yang beragama Islam tidak berhak mengambil manfaatnya. Meskipun begitu sebagian ilmuwan seperti Prof. Amir Syarifuddin mengatakan bahwa status harta pusaka tinggi di Minangkabau dikatakan sebagai waqaf dzurri,49 karena menurutnya harta tersebut telah dibekukan dan hasilnya ditujukan kepada anak cucu orang yang telah meninggal dan terdapat beberapa kesamaan antara keduanya.50 Menurut penulis hukum wakaf dzurri dapat dianggap sah apabila dalam harta pusaka tinggi tersebut terpenuhi semua syarat dan rukunnya, tetapi apabila tidak ada atau ada namun tidak terpenuhi maka hukum wakaf tersebut tidak dapat dianggap sah, seperti contohnya shigat (ucapan yang menunjukkan bahwa pemilik

ِ ى ِ ى ِ ِ ِ ِ َع ِن ابْ ِن عُ َمَر، قَ َال3 َأَص َاب عُ َمُر ْأَر ًضا خبَيْبَ َر، فَأَتىَ ِىالنىيب َصلى اهللُ َعلَيْو َو َسل َم يَ ْستَأْمُره ُ ف َيها، فَ َق َال 3 يَا َرُس َول اهلل، إ ِّين ِ ِ ُّ ِ ِ ِ ْ ِ ِِ ِ ِ َأَصبْ ُت ْأَر ًضا خبَيْبَ َر، َملْ أُص ْب َم ًاال قَط ُىَو أَنْ َف ُس عنْدي منْوُ، فََما تَأُمُرين بو؟ قَ َال3 »إ ْن شئْ َت َحبَ ْس َت ْأَصلََها، َوتَ َصىدقْ َت ِ ِ ِ ِ ِ «ِبَا ، قَ َال3 فَ تَ َصىد َق ِبَا عُ َمُر، أَنىوُ َال ي ُبَاعُ ْأَصل َُها، َوَال ي ُبْتَاعُ، َوَال يُ َور ُث، َوَال يُ َوى ُب، قَ َال3 فَ تَ َصىد َق عُ َمُر ِف الُْفَقَراء، َوِف ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ الُْقْرََب، َوِف ِّالرقَاب، َوِف َسب ِيل اهلل، َوابْ ِن ىالسب ِيل، َو ىالضيْف، َال ُجنَ َاح َعلَى َم ْن َوليَ َها ْأَن يَأ ْ ُك َل منْ َها بالَْمْعُروف ، ْأَو يُطْع َم ِ ٍ ِ (Muslim bin al-Hajjâj, Sahîh Muslim, h. 1256 َصد ًيقا َغيْ َر ُمتََمِّول فيو )رواه مسلم(. ) Artinya: Dari Ibnu Umar, berkata: Umar Radhiyallahu „anhu telah memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW seraya berkata,”Aku telah mendapatkan bagian tanah, yang saya tidak memperoleh harta selain ini yang aku nilai paling berharga bagiku, maka apa akan engkau perintahkan kepadaku, wahai Nabi? Engkau memerintahkan aku dengan sebidang tanah ini?” Lalu Beliau menjawab,”Jika engkau menghendaki, engkau wakafkan tanah itu (engkau tahan tanahnya) dan engkau sadaqahkan hasilnya,” lalu Umar menyedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwaris, tetapi diinfakkan hasilnya untuk fuqara, kerabat, untuk memerdekakan budak, untuk kepentingan di jalan Allah, untuk menjamu tamu dan untuk ibnu sabil. Orang yang mengurusinya, tidak mengapa apabila dia makan sebagian hasilnya menurut yang makruf, atau memberi makan temannya tanpa ingin menimbunnya. (HR. Muslim). 49 Yaitu waqaf yang diperuntukkan untuk keluarga orang yang meninggal baik kerabat, anak, cucu maupun keturunannya. Lihat Musthafa Al-Khan, dkk, al-Fiqh al-Manhajȋ`Ala Madzhab al-Imam as-Syafi`i Rahimahullah, (Damaskus: Darul Qalam, 1992), Juz. 5, h. 35.

50 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 272.

126

harta tersebut telah mewakafkannya) yang merupakan syarat sah daripada wakaf, maka perlu dilihat dalam harta pusaka tinggi tersebut apakah pemilik asal dari harta tersebut telah benar-benar mengucapkan shigat wakaf tersebut ataukah tidak, apabila ia telah melafadzkannya maka bisa dianggap sah namun apabila tidak maka tidak bisa dianggap sah. Dari keterangan di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa fatwa Syekh Ahmad Khatib tepat dan sangat relevan dengan zamannya karena kenyataannnya pada saat itu telah terjadi percampuran antara dua harta tersebut. Namun setelah terjadinya pemisahan antara dua harta tersebut terutama pada seminar yang dilakukan di Kerapatan Orang Empat Jenis di Bukittinggi 02-04 Mei tahun 1952 yang dikuatkan dengan seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tanggal 21-25 Juli tahun 1968 maka bisa dikatakan bahwa harta pusaka tinggi adalah termasuk wakaf dzurri apabila telah terpenuhi semua syarat dan rukunnya. C. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Fatwa Syekh Ahmad Khatȋb Munculnya suatu fatwa atau hukum selalu di pengaruhi oleh suatu sebab yang ada pada pibadi atau lingkungan orang yang berfatwa, karena seseorang tidaklah berpendapat atau berfatwa kecuali atas pemahaman yang ia dapatkan, sebagaimana kaidah yang sudah masyhur dikalangan ulama: ِ ِِ 51 ْاحلُ ْكم َعلَى ىالش ْيء فَ ْرعٌ َع ْن تَ َصُّوره . Artinya:”Vonis hukum terhadap sesuatu adalah bagian (hasil) dari pemahaman tentang hakikatnya. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa munculnya fatwa Syekh Ahmad Khatib ini bukanlah tanpa sebab melainkan ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Dalam penelitian ini dari beberapa literatur yang penulis baca ada beberapa faktor yang melatarbelakangi pendapat Syekh Ahmad Khatib: Pertama, sikap ijtihad dan kedalaman ilmu Syekh Ahmad Khatib dalam bidang ilmu faraid, sebagaimana yang telah diketahui dari biografi Syekh Ahmad Khatib bahwa sebagian besar kehidupan beliau telah dihabiskan untuk mencari

51 Ibnu al-Najjâr, Syarh al-Kaukab al-Munȋr, (Damaskus: al-Maktabah al-Ubaikân, 1997), Juz. 1, h. 50.

127

ilmu kepada para ulama-ulama terkemuka di Mekkah ketika keberangkatannya sejak umur 11 tahun bersama ayahnya sampai umur 16 tahun kembali ke Minangkabau, kemudian dua tahun setelahnya dijemput kembali oleh gurunya Sayyid Utsman Syatha untuk kembali ke Mekkah. Di Mekkah Syekh Ahmad Khatib disamping kesibukannya menjadi imam, khatib dan juga menulis karya- karyanya, beliau juga mendalami ilmu faraid sekaligus mengajarkannya kepada para pelajar di Masjidil Haram. Kedalaman ilmunya tentang faraid ini dibuktikan dengan karyanya al-Manhaj al-Masyru` yang di dalamnya juga dicantumkan pembahasan tentang ilmu faraid. Karena sikap ijtihad dan kedalaman ilmunya dalam bidang faraid ini yang membuatnya berani mengkritik praktek pembagian harta warisan di Minangkabau. Kedua, pengetahuan Syekh Ahmad Khatib tentang praktek pembagian waris yang dilakukan oleh penduduk Minangkabau dan surat yang datang dari penduduk asli Minangkabau yang berisi pengaduan sekaligus pertanyaan tentang keabsahan praktek pembagian harta warisan yang ada di Minangkabau, dalam kitab al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Hayâti al-Syekh Ahmad Khatȋb Ibni Abdi al- Latȋf, beliau mengatakan:

ُث ّ ّإن أىل بلدي كتبوا سؤاال فيما جرى ِف بلدىم من ادلرياث ادلخالف للمرياث الشرعي، وىم ثون ّيورأوالد األخوات دون البنني والبنات وغريىم من أىل الفروض والعصبات اتباعاً لعاداهتم القدمية اليت جرت فيما بينهم من السنني القدمية مع اعتقادىم أهنم سلطئون فيو وعاصون بو، فما حكمهم وحكم أمواذلم؟52 Artinya:”Kemudian penduduk negeriku (Minangkabau) mengirimkan kepadaku surat yang berisi pertanyaan terkait persoalan yang terjadi di negeri mereka yaitu persoalan pewarisan harta yang melenceng dari pewarisan Islam, yang mana mereka mewariskan harta peninggalan mereka kepada anak-anak dari saudara perempuan mereka (kemenakan) dan meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan mereka dan ahli furȗd dan asabât dengan maksud mengikuti adat istiadat lama yang telah mereka jalankan sejak dulu, namun meski seperti mereka tetap berkeyakinan bahwa mereka salah dan berdosa dalam melakukan pewarisan tersebut, maka apa hukum orang yang melakukan pewarisan tersebut dan hukum harta yang diwariskan?

52 Ahmad Khatib, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Hayâti al-Syekh Ahmad Khatȋb Ibni Abdi al-Latȋf, h. 66.

128

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulam bahwa faktor yang mendorong fatwa Syekh Ahmad Khatib adalah pengetahuannya dan pengaduan yang datang dari penduduk Minangkabau tentang praktek pembagian warisan yang dilakukan oleh penduduk Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Ketiga, sikap fanatik penduduk Minangkabau yang menolak untuk merubah praktek pembagian warisan yang telah mereka temukan dari pendahulu- pendahulu mereka dan menyalahkan siapa saja yang tidak setuju dengan praktek tersebut. Dalam kitab al-Da`I al-Masmu` beliau mengatakan:

دلا ت بطلبتشرفّ العلم الشريف جبوار بيت اهلل ادلنيف وانتظمت إىل سلك ادلدرسني حبرم ّ ّ بلد اهلل األمني وقرأت بو درس علم الفرائض قراءة شلارس ذلا رائض تذكرت ما عليو أىل بالد قطر مننكابو اجلاوي ِف قسمة ادلواريث على ما ىم عليو من قبيح األىواء، وذلك يأ هنم اإلخوةورثون وأوالد األخوات مع وجود الفروع من األبناء والبنات وينكرون على من العادةخيالف ىذه الذميمة اذا ّ بني لو فيو الطريقة ادلستقيمة متعلّلني بأ آهنم وجدوا بائهم آهنم وجدوا على ذلك وأهنم تابعون ذلم ِف سلوك ىذه ادلسالك..53 Artinya:”Ketika aku dianugerahi untuk mencari ilmu yang mulya disamping Baitullah yang agung dan menjadi staf pengajar di kota Mekkah yang aman dan mengajar ilmu faraid dengan metode pengajaran praktis, aku teringat apa yang dilakukan penduduk tanah kelahiranku Minangkabau dalam pembagian harta warisan yang didasarkan pada hawa nafsu belaka, yang mana mereka mewariskan saudara laki-laki mereka dan anak saudara peempuan mereka (kemenakan) sedangkan masih terdapat anak kandung dari mayit baik laki-laki maupun perempuan dan mengingkari (menyalahkan) siapa saja yang menyeleweng dari adat yang tercela ini ketika dijelaskan kepada mereka jalan yang benar, mereka beralasan bahwa mereka telah menemukan pendahulu-pendahulu mereka melakukan adat tersebut dan mereka akan mengikuti adat tersebut… Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pandangan Syekh Ahmad Khatib terhadap sikap fanatik penduduk Minangkabau yang tidak mau merubah praktek tersebut yang mendorong Syekh Ahmad Khatib untuk berani berfatwa dan menentang praktek pewarisan tersebut.

53 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 1-2.

129

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa fatwa Syekh Ahmad Khatib ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas baik yang bersifat internal yaitu sikap ijtihad yang dilakukan Syekh Ahmad Khatib dan eksternal yaitu sikap fanatic yang dimiliki oleh penduduk Minangkabau. D. Sumber dan Metode Istinbat Syekh Ahmad Khatȋb Dalam sub bab ini penulis hendak mengfokuskan pembahasan pada sumber dan metode istinbat hukum Syekh Ahmad Khatȋb. Metodologi berasal dari bahasa Inggris methodology, yang berasal dari bahasa Latin methodus dan logia, yang kemudian diserap oleh bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan, dan logos berarti akal atau rasio.54Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia metodologi adalah ilmu atau uraian tentang metode, sedangkan metode sering diartikan sebagai cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan kerja suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.55 Dengan demikian yang penulis maksudkan dalam metodologi ini adalah cara atau wacana yang digunakan oleh Syekh Ahmad Khatȋb dalam membangun sebuah hukum untuk menjawab persoalan waris adat Minangkabau. Namun sebelum memasuki pembahasan metode istinbat Syekh Ahmad Khatȋb, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan definisi dari istinbat, kemudian penulis akan masuk ke sumber hukum yang digunakan oleh Syekh Ahmad Khatȋb. Kata istinbat secara etimologi adalah “al-Istikhraj”, yaitu mengeluarkan, diambil dari kata:“Istanbata al-faqiihu” yang maknanya mengeluarkan pemahaman yang belum tampak sebelumnya (bathin) melalui ijtihad dan pemahaman yang benar.56 Sedangkan menurut terminologi yang dimaksud dengan istinbat yaitu mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada dalam Al-Qur‟an dan hadits, dengan ketajaman nalar dan kemampuan yang optimal.57

54 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet. ke-2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 41. 55 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 581. 56 Abi Fadal Jamâluddȋn Muhammad ibn Mukram, Lisân al-Arab, (Beirut Libanon, Dar al-Sadar, 1863), Jilid. X, h. 410. Lihat juga Elia A. Elias & ED. E. Elias, Kamus al‟Asyri Modern Dictionary, (Beirut: Dâr al-Jabal, 1982), h. 685. 57 Hasanuddin, Perbedaan Qira‟at Dan Pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum Dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 187.

130

Adapun istinbat dilihat dari pembagiannya maka terbagi menjadi tiga: pertama, al-Istinbat al-Bayani yaitu istinbat yang dilakukan untuk menjelaskan suatu hukum dari nash baik Al-Qur‟an maupun hadits, metode ini banyak berkaitan dengan segi kebahasaan. Kedua, al-Istinbat al-Qiyasi yaitu metode yang dilakukan untuk mengetahui hukum suatu peristiwa baru yang tidak tercantum dalam Al-Qur‟an maupun hadits dengan menganalogikannya dengan peristiwa yang telah ada hukumnya dalam Al-Qur‟an maupun hadits Ketiga, al-Istinbat al- Istislâhi yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui hukum suatu peristiwa baru yang tidak terdapat Al-Qur‟an maupun Hadits dengan cara penalaran logika yang didasarkan prinsip kemaslahatan.58 Karya tulis Syekh Ahmad Khatȋb meskipun meliputi berbagai disiplin ilmu sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, tetapi di antara disiplin-disiplin keilmuan yang telah beliau kuasai hanya ilmu fikih lah yang membawanya mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakat. Syekh Ahmad Khatȋb dalam kitabnya al-Dâ`ȋ al-Masmū„ berpandangan bahwa agama Islam sudah sempurna dan semua aspek yang berkaitan dengan kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan ibadah maupun muamalah harus diatur dengan hukum Islam termasuk daripadanya hukum kewarisan. Kenyataan tersebut mengharuskan seseorang untuk mengikuti aturan tersebut serta tidak memperbolehkan siapapun untuk berijtihad atau menggunakan akal fikirannya dalam masalah pembagian warisan.59 Berangkat dari latar belakang keilmuan Syekh Aḥmad Khatȋb yang sangat komprehensif, terlihat bahwa sumber dari istinbat hukum yang digunakan oleh Syekh Aḥmad Khatȋb adalah metode istinbat yang didasarkan pada empat dalil yaitu: Al-Qur‟an, Hadits, Ijma‟ Qiyas. Keempat dalil tersebut juga beliau perkuat dengan kaidah-kaidah baik usûliyyah, fiqhiyyah maupun mantiqiyyah (logika). Dalam beristinbat Syekh Aḥmad Khatȋb tidak menggunakan metode lain karena dalam kitab ini beliau hanya menguraikan hukum yang disertai dengan

58 Wahbah Zuhailȋ, Usȗl al-Fiqh al-Islâmi, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), h. 1040. Lihat juga Ibrahim asy-Syathiby, al-Muwâfaqât, (Mekkah: Dâr Ibn `Affan, 1997), Juz. 5, h. 126. 59 Aḥmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 1-2.

131

dalil-dalil dari Al-Qur‟an, Hadits, Ijma‟ ataupun Qiyas dan prinsip kemaslahatan. Uraian sumber dan metode istinbat tersebut adalah: 1. Al-Qur’an dan Hadits Sistematika beristinbat yang dilakukan Syekh Aḥmad Khatȋb khususnya dalam pembagian harta warisan di Minangkabau ini, berdasar pada sumber legitimasi hukum Islam yang paling pokok dan utama yaitu Al-Qur‟an dan hadits. Mengenai hukum pembagian harta warisan di Minangkabau ini Syekh Ahmad Khatȋb beristidlal dengan surat an-Nisa` ayat 11-14, dari ayat- ayat tersebut Syekh Ahmad Khatȋb mengharamkan secara mutlak praktek pembagian harta warisan di Minangkabau. Pengharaman tersebut disebabkan karena adanya kesarîhan/kejelasan nash dalam surat an-Nisa` 11-14 yang juga diperkuat dengan beberapa dalil dari hadits, karena menurutnya Nabi Muhammad SAW dalam hadits- haditsnya terutama dalam pembagian harta warisan telah mendahulukan dzawil furȗd kemudian memberikan sisa harta tersebut kepada ashâb al- Asabât yang termasuk di dalamnya mamak, hadits-hadits tersebut diantaranya adalah: Pertama, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra: ِ ِ ٍ ِ ى ِ ِ ى ِ ى ِ ِ َعن ابْن َعبىاس َرض َي اللوُ َعْن ُهَما، َعن النى ِّيب َصلى اهللُ َعلَْيو َو َسل َم قَ َال3 »أَ ْحلُقوا َالفَرائ َض » ِ ِ ِ ِ ٍ 60 بأَْىلَها، فََما بَقي فَ ُهَ وألَْوَىل َرُجٍل ذََكر «)رواه البخاري(. Artinya:”Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dari َ Nabi SAW bersabda:”bagikan harta waris kepada ahli warisnya (asabul furudh), dan jika tersisa maka untuk laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si mayit”. (HR. al-Bukhârȋ). Kedua, yang diriwayatkan oleh Jabir RA: ٍِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َع ْن َجابر قَ َال َجاءَت اْمَرأَةُ َسْعد بْ ِن ىالرب ِيع إَىل َرُس ولاهلل َصلى اهلل َعليو َوسلم بابْ نَتَ ْي َها ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ م ْن َسْعد فَ َقالَ ْت يَا َرُس َول اهلل َىاتَان ابْ نَتَا َسْعد بْ ِن ىالرب ِيع قُت َل أَبُ ُومهَا َمَع َك ِف أُ ُحد ِ ِ ِ ِ َشه ًيدا، َوإ ىن َعىمُهَما أَ َخَذ َم َاذلَُما فَ ل َ ْم يََد ْع َذلَُما َماالً، َوالَ ي ُْن َك َحان إالى َوَذلَُما َم ٌال قَ َال ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ فَ َق َال ي َْقضي اهللُ ِف َذلك قَ َال فَ نَ َزلَ ْت آيَةُ الْم َرياث فَأَْرَس َل َرُس ُول اهلل َصلى اهلل َعليو

60 Muhammad bin Ismâil al-Bukhârȋ, Sahȋh al-Bukhârȋ, Juz. 8, h. 152.

132

ِ ٍ ِ وسلم إَِىل َعِّمِهما فَ َق َال أَْعط ابْ نَيت سْعد الث ُّلُثَ ِْني وأُىم ُهما الثُّمن وما بقي فَ ُهو لَ َك.) رواه رواه َ َ ْ َ َ َ ُ َ ََ َ َ َ أمحد ِفمسنده (. 61 Artinya:”Diriwayatkan dari Jabir RA beliau berkata: bahwa istri Sa`ad bin ar-Rabi` datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa dua anak perempuannya, seraya berkata:”ya Rasulullah dua anak perempuan ini adalah anak dari Sa`ad bin ar-Rabi`, ayahnya mereka mati syahid diperang Uhud bersamamu, dan paman mereka mengambil semua harta mereka dan tidak menyisakan sedikitpun dari bagian harta warisan ayahnya, sedangkan mereka berdua tidak dapat menikah kecuali dengan adanya harta, kemudian Rasulullah SAW berkata:”Allah SWT telah memutuskan perkara tersebut kemudian turunlah ayat waris (surat an-Nisa`), kemudian dipanggillah paman tersebut dan Nabi SAW berkata:”berikan kepada kedua anak perempuan itu 2/3 dari harta ayahnya dan 1/8 kepada ibunya dan yang tersisa dari harta tersebut adalah milikmu. (HR. Ahmad). Menurut Syekh Ahmad Khatȋb dalil-dalil yang telah disebutkan di atas sudah sangat jelas dan sarîh tentang kewajiban membagi harta warisan sesuai tuntunan syara` dan tidak mungkin ditakwil maupun dibantah. Syekh Ahmad Khatȋb mengutip sebuah kaidah usuliyyah yang berbunyi: ال اجتهاد ِف مورد النص .62 Artinya:”Tidak diperbolehkan atau tidak sah berijtihad pada sesuatu yang telah ditentukan oleh nash”. Kaitannya dengan kaidah ini Muhammad Musthafa Zuhaily mengatakan “bahwa yang dimaksud dengan nash pada kaidah di atas adalah Al-Qur‟an, Sunnah dan Ijma` yang mufassar (terinterpretasikan) dan muhkam (yang sudah jelas maknanya) baik dari Al-Qur‟an maupun Sunnah”.63 Menurut Syekh Ahmad Khatȋb 64 bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits mawarits mempunyai derajat dalil Qat`ȋ (pasti) yaitu Qat`ȋ al-Dalâlah dan

61 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz. 5, h. 2239. 62 Muhammad Mustafa Zuhailȋ, al-Qawâid al-Fiqhiyyah wa Tatbȋqâtuhâ Fȋ al-Madzâhib al-Arba`ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), h. 499. Lihat juga Wahbah Zuhailȋ, Usȗl al-Fiqh al- Islâmy, Juz. 1, h. 38. Lihat juga Muhammad Sidqȋ al-Ghazzȋ, Muasȗ`at al-Qawâ`ȋd al-Fiqhiyyah, (Beirut: Muassat ak-Risâlah, 2003), Juz. 11, h. 1011. 63 Muhammad Mustafa Zuhailȋ, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah Wa Tatbȋqâtuhâ Fȋ al- Madzâhib al-Arba`ah, h. 499. 64 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 2.

133

Qat`ȋ al-Tsubȗt yang mana tidak mungkin untuk diijtihadi maupun ditakwil,65melainkan harus diamalkan secara keseluruhan sebagaimana yang telah ditentukan oleh syara` bahkan orang yang berijtihad dalam konteks ini dipastikan salah dan berdosa atau bahkan bisa juga dihukumi keluar dari agama pada beberapa keadaan.66 Hal ini dikarenakan kebolehan berijtihad pada suatu permasalahan adalah disebabkan tidak adanya nash yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi, oleh karena itu apabila terdapat nash yang mengaturnya maka ijtihad tidak berlaku.67Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa kaidah usȗliyyah di atas mempunyai dasar yang kuat karena didasarkan pada beberapa dalil Al-Qur‟an, di antaranya:68 Surat al-Ahzab ayat 36: ِ ِ ِ ٍ ِ ى ِ ِ ِِ َوَما َك َان ل ُمْؤم ٍن َوَال ُمْؤمنَة إذَا قَ َضى اللوُ َوَرُسولُوُ أَْمًرا أَْن يَ ُك َون َذلُُم ْاخليَ َرةُ م ْن أَْمرى ْم ِ ). َوَم ْن ي َْع ِص اللىوَ َوَرُسولَوُ فَ َق ْد َض ىل َضَالًال ُمبينًا (األحزاب3 36 Artinya:”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah

65 Dalil-dalil syara` dipandang dari segi dilalahnya terbagi menjadi empat: pertama, Qath`i ats-Tsubut wa ad-Dalalah yaitu dalil yang pasti maknanya dan jelas ketetapan sanadnya dan tidak menerima ijtihad atau ditakwil, seperti nash-nash yang mutawatir dan ayat-ayat kewarisan, kedua, Qath`i al-Tsubȗt Dzanni al-Dalâlah yaitu dalil yang sanadnya qath`i tetapi dalam maknanya dzanni (masih bisa ditakwil), ketiga,Dzanni al-Tsubȗt Wa Qath`i al-Dalâlah yaitu dalil yang ketetapan sanadnya masih ditingkatan dzan dan belum sampai ketingkatan qath`i tetapi dalam segi maknanya pasti dan tidak menerima takwil atau ijtihad, dalil ini biasanya terdapat pada hadits âhad yang telah diterima pengamalannya oleh umat seperti hadits tidak dibolehkannya wasiat kepada ahli waris, keempat, Dzanni al-Tsubȗt Wa Dzanni al-Dilâlah yaitu dalil yang secara makna dan sanadnya masih ditingkatan dzanni atau masih bisa menerima ijtihad dan takwil, seperti hadits yang tentang niat, lihat `Alâuddȋn al-Bukhâri, Kasyfu al-Asrâr Syarh Usȗl al-Bazdawȋ, (Mesir: Dâr al-Kitab al-Islâmî, tth), Juz. 1, h. 84. Lihat juga Mahmȗd al- Munyâwi, al-Mu`tasar Min Syarhi Mukhtasar al-Usȗl Min Ilmi al-Usȗl, (Mesir: al-Maktabah al- Syâmilah, 2011), h. 239-240. 66 Mahmȗd al-Munyâwi, al-Mu`tasar Min Syarhi Mukhtasar al-Usul Min Ilmi al-Usȗl, h. 240. 67 (yang artinya“qiyas (ijtihad القياس فرع انعدام النص :Para ulama usȗl fikih mengatakan adalah bentuk dari ketiadaan nash” yang berarti bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang melakukan ijtihad pada suatu permasalahan ketika sudah terdapat nash yang mengaturnya. Lihat Muhammad Hasan Heutou, al-Wajȋz Fȋ Usȗl al-Tasyri` al-Islâmȋ, (Kuwait: Dâr al-Fârabȋ, tth), h. 317. 68 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I`lâmu al-Muwaqqi`ȋn `An Rabbi al-`Âlamȋn, (Saudi Arabiyyah: Dâr Ibnu al-Jauzȋ, 1423), juz. 4, h. 36.

134

dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. al-Ahzab: 21/36). Surat an-Nur ayat 51: ِى ِِ ِ ِ ىِ ِِ ِ ِ إمنَا َك َان قَ ْوَل الُْمْؤمن َني إذَا ُدعُوا إَىل اللو َوَرُسولو ليَ ْح ُك َم ب َْي نَ ُه ْم أَْن ي َُقولُوا َمسْعنَا َ وأَطَْعنَا ِ ِ َ وأُولَئ َك ُى ُم الُْمْفل ُح َون )النور3 51(. Artinya:”Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan "Kami mendengar dan kami patuh", dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. an-Nur: 18/51). Mengenai kesarîhan dari ayat-ayat waris di atas dapat diperhatikan dari beberapa sisi: yang berarti bahwa Allah SWT ْيُى ِص ْي ُن ُن هللا ُ a. Firman Allah SWT menfardhukan dan mewajibkan kepada kalian, makna tersebut diambil yang dinasabkan karena posisinya فريضة هن هللا ِ dari kata masdar setelahnya 69. ْيُى ِص ْي ُن ُن هللا ُ sebagai masdar muakkad dari kalimat kata فِي أَ ْو ََل ِد ُم ْن b. Pada surat an-Nisa` ayat 11 Allah SWT memakai kata “aulad” adalah bentuk jama` dari kata “walad”, kata tersebut diidhafahkan (disandarkan) pada dhamir (kata ganti) “kum” dalam ilmu usul fikih ketika kata jama` disandarkan kepada dhamir maka kata tersebut berfaidah umum yang mencakup semua anak mayit baik yang laki-laki maupun perempuan. Penjabaran di atas juga berlaku pada kata yang terdapat pada ayat ke 12.70 أَ ْز َو ُاجُن ْن (itu adalah batasan-batasan yang ditentukan Allah) تِ ْل َل ُود حُدهللا c. FirmanNya oleh banyak mufassirin dikembalikan kepada hukum تِ ْل َل isim isyarah ini warisan Islam yang telah jelas pembagiannya, yang mana ayat tersebut kemudian diikuti dengan ancaman neraka dan siksa yang pedih bagi yang

69 Abu Hayyân al-Andalusȋ, al-Bahr al-Muhȋt Fȋ al-Tafsȋr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1420 H), Juz. 3, h. 544. 70 Jalâluddȋn al-Mahallȋ, al-Badru at-Tâli` Fȋ Jam`i al-Jawâmi`, (Beirut: Muassah ar- Risalah, 2005), juz. 1, h. 342.

135

melanggarnya, yang menunjukkan bahwa menjalankan warisan Islam adalah hal yang tidak bisa diganggu gugat.71 Kesarihan dari ayat dan hadits di atas yang mendorong Syekh Ahmad Khatȋb untuk menolak keras pengambilan hukum waris dengan menggunakan dalil urf atau adat, karena menurutnya adat atau kebiasaan (`urf) itu sah dan bisa digunakan sebagai dalil hukum apabila memenuhi dua syarat: 1) Adat atau `urf tersebut harus diterapkan pada sesuatu yang belum ada batasan atau ketentuannya dalam syara`. 2) Adat atau `urf tersebut tidak bertentangan dengan nash-nash agama.72 Misalnya permasalahan batas waktu suci dan haid, batas waktu nifas, kafâah dalam pernikahan, mahar mitsil, nafkah istri dan tempat tinggal, muru`ah (kehormatan) dan al-hirz (tempat penyimpanan) barang curian dan lain- lainnya yang belum ada batas ketentuannya dalam syara`, maka dalam hal ini adat dan kebiasaan bisa berlaku. Berbeda dengan permasalahan waris yang tata cara dan ketentuannya telah diatur oleh syara`, oleh karena itu Syekh Ahmad Khatȋb menganggap tidak tepat penggunaan adat atau `urf sebagai dalil dalam permasalahan ini.73 Berdasarkan pemaparan di atas Syekh Ahmad Khatȋb mewajibkan masyarakat Minangkabau mengikuti hukum kewarisan Islam untuk memberikan hak kewarisan kepada yang berhak dan menghukumi orang yang melaksanakan praktek waris adat sebagai orang yang telah terjerumus ke dalam kesesatan yang hampir menjerumuskannya ke dalam kekufuran. 74 Syekh Ahmad Khatȋb mengutip sebuah ayat:

71 Jalâluddȋn al-Suyȗtȋ, al-Durru al-Mantsȗr Fȋ al-Tafsȋri Bi al-Ma`tsȗr, (Beirut: Dâr al- Fikr, tth), juz. 2, h. 453. 72 `Alâuddȋn al-Salihi al-Hambali, al-Tahbȋr Syarh al-Tahrȋr Fȋ Usȗl al-Fiqh, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2000), juz. 8, h. 3851, lihat juga Muhammad Sidqȋ al-Ghazzȋ, Mausȗât al- Qawâ`id al-Fiqhiyyah, (Beirut: Muassat al-Risâlah, 2003), Juz. 9, h. 193, Muhammad Sidqȋ al- Ghazzi, al-Wajȋz Fȋ Îdahi Qawâid al-Fiqh al-Kulliyah, (Beirut: Muassat al-Risâlah, 1996), h. 34. Ibnu al-Najjâr, Syarh al-Kaukab al-Munȋr, juz. 4, h. 448. Ibnu al-Subkȋ, al-Asybâh Wa al-Nadzâir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), juz. 1, h. 41. 73 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 12. 74 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`,h. 14.

136

ى ِ ى ِ ِ َوَنم ملْ َْي ُكم دبَا أَ َنزَل اللوُ فَأُْولَئ َك ُى ُم الْ َكافُر َون )ادلائدة3 44(. Artinya:”Barangsiapa yang tidak menghukumi sesuatu menurut apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. al-Maidah: 6/44).

ِ ِّ ِ ِ ِ ِ ِ ِّى فَالَ َوَربِّ َك الَ ي ُْؤمنُ َون َحىََّت ُيَك ُم َوك فيَما َش َجَر ب َْي نَ ُه ْم ُُث ىال َ ََيُدوا ِْف أَ ُنفسه ْم َحَرًاج شلا ِّ ِ قَ َضْي َت َويُ َسل ُمواْ تَ ْسل ًيما )النساء3 65(. Artinya:”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa`: 4/65).

Dalam menafsirkan ayat ini Syekh Ahmad Khatȋb75 menukil pendapat Imam al-Razi yang mengatakan:76“Ketahuilah bahwa dalam ayat ini Allah SWT bersumpah bahwa tidaklah seseorang dikatakan beriman kecuali telah memenuhi tiga syarat ini: implikasinya adalah َحتَّ َى َيُح ِّن ُو َىك فِ َيوا َش َج َر بَ ْينَ ْهُن Pertama, firmanNya bahwa barang siapa yang tidak ridha dengan hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW yang termasuk juga hukum kewarisan Islam tidaklah ثُ َّن ََل يَ ِج ُد ْوا فِي أَنفُ ِس ِه ْن َح َر ًجا ِّه َّوا dianggap orang yang beriman, kedua, firmannya yaitu tidak terdapat keresahan dalam hati mereka terhadap apa yang قَ َض ْي َت yang berarti tunduk َو َيُسلِّ ُو ْىا تَ ْسلِ ًيوا ,engkau (Muhammad SAW) putuskan, ketiga dan patuh secara dhahir dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW.77 Berdasar pada keterangan di atas terlihat bahwa Syekh Ahmad Khatib dalam beristinbat beliau menggunakan dalil-dalil baik dari Al-Qur`an maupun

75 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`,h. 16. 76 Abu Abdillâh Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husein al-Taimî yang masyhur dengan sebutan Fakhruddin al-Razi, wafat tahun 606 H, beliau adalah seorang ulama besar dizamannya yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu bahkan dikatakan bahwa beliau menguasai ilmu umat-umat terdahulu, beliau mencetuskan banyak karya diantara karya terkenalnya adalah Tafsir Mafâtȋh al-Ghâib atau yang terkenal dengan sebutan al-Tafsȋr al-Kabȋr, lihat al-Zirakly, al-A`lâm, (Beirut: Dâr al-Ilmi lil Malâyȋn, 2002), juz. 6, h. 313. 77 Fakhruddin al-Razi, Mafâtȋh al-Ghâib, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-`Arabi, 1420 H), juz. 10, h. 128.

137

hadits kemudian menjelaskan hukum yang terkandung di dalamnya secara terperinci, maka dari sini terlihat bahwa metode istinbat yang dipakai Syekh Ahmad Khatȋb adalah al-Istinbat al-Bayani karena metode yang dipakai adalah dengan menjelaskan hukum yang tekandung dalam Al-Quran dan hadits. 2. Ijma` Ijma` adalah kesepakatan atau konsensus para ulama mujtahid dalam suatu permasalahan yang terjadi setelah zaman Rasulullah SAW. Kemudian yang dimaksud dengan Ijma` disini adalah ijma` yang dikembalikan kepada makna harfiahnya seperti yang difahami di masa awal-awal Islam, yaitu permufakatan para ulil amri atau ahlu hilli wal `aqdi78 tentang urusan yang menyangkut kemashlahatan umum.79 Menurut Hasbi al-Shidieqî jadi ijma` yang harus digagas adalah ijma` kalangan tertentu yang berkredibel secara keislaman dan keilmuwan umum bukan sembarang ulama.80 Syekh Ahmad Khatȋb berpendapat bahwa hukum waris Islam adalah termasuk permasalahan mujma` `alaihâ (yang telah disepakati para ulama) yang tidak boleh dilanggar karena tergolong min al-ma`lum min al-dini bi al- darûrah (permasalahan yang sudah jelas hukumnya dalam agama dan diketahui semua orang).81Dalam masalah ini para ulama menyebutkan bahwa orang yang melanggar dan tidak mengamalkan permasalahan yang mujma` `alaihâ yang tergolong min al-ma`lûm min al-dini bi al-darûrah tanpa ada rasa ingkar dalam hatinya maka hukumnya haram (fâsiq), tetapi apabila disertai rasa ingkar dalam hatinya maka hukumnya kafir.82

78 Yang dimaksud dengan Ahlu al-Hilli Wa al-`Aqdi dalam bab ijma` adalah para ulama dari kalangan mujtahid, lihat al-Isnawi, Nihayat al-Sȗl Fȋ Syarhi Minhâji al-Wusȗl, (Mesir: `Alâm al-Kutub, Tth), Juz. 3, h. 237. 79 Fakhruddin ar-Razi, al-Mahsȗl Fȋ Ilmi Usȗl al-Fiqh, (Mesir: Muassah al-Risâlah, tth), h. 20. 80 Muh. Hasbi Al-Siddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990) h. 65. 81 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 5. 82 Hukum kafir tersebut disebabkan karena pengingkaran terhadap ijma` yang berimplikasi terhadap pengingkaran terhadap Nabi Muhammad SAW. Lihat Jalâluddȋn al-Mahallȋ, al-Badr al-Tâli` Fȋ Halli Jam`i al-Jawâmi`, h. 163.

138

3. Qiyas (Analogi) Qiyas adalah menyamakan suatu permasalahan yang tidak ada nash hukumnya kepada permasalahan yang sudah ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum dalam pandangan seorang mujtahid.83 Menurut al-Zarkasy, Qiyas merupakan sumber hukum Islam yang paling banyak memberikan andil besar dalam perkembangan hukum Islam. Hal itu dikarenakan nash-nash dari Al-Qur‟an, hadits maupun ijma` sangatlah terbatas sedangkan permasalahan-permasalahan baru selalu muncul tanpa batas, padahal semua permasalahan baru harus diketahui hukumnya, oleh karena itu dibutuhkan adanya qiyas untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.84 Dalam qiyas terdapat empat rukun yang harus terpenuhi agar qiyas dianggap sah dan dapat menetapkan hukum: pertama, al-Asl (permasalahan pokok yang telah ada hukumnya), kedua, al-Far` (permasalahan yang akan dicari hukumnya dan akan diqiyaskan kepada al-Asl), ketiga, Hukmu al-Asl (hukum dari permasalahan pokok/al-Asl), keempat, al-`Illah al-Jamiah (persamaan illat/sebab yang terdapat pada kedua permasalahan).85 Syekh Ahmad Khatȋb dalam mengharamkan pewarisan adat Minangkabau juga menggunakan sumber hukum Islam yang keempat ini yaitu Qiyas, terlihat di awal kitabnya beliau menyamakan praktek pewarisan adat yang dilakukan oleh orang Minangkabau dengan yang dilakukan orang-orang Jahiliyyah pada zaman Nabi Muhammad SAW, bahkan menurutnya orang- orang Jahiliyyah ketika kedatangan Nabi Muhammad SAW dengan membawa syariat Islam mereka rela meninggalkan semua adat tersebut termasuk pewarisan adat dan mengikuti syariat Islam secara keseluruhan.86

83 Abu Zur`ah al-`Irâqȋ, al-Ghauts al-Hâmi` Syarh Jam`i al-Jawâmi`, (Beirut: Dâr al- Kutub al-`Ilmiyyah, 2004), h. 514. 84 Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhȋth Fȋ Usȗl al-Fiqh, Juz. 4, h. 5. 85 Taqiyuddin as-Subki, al-Ibhâj Fȋ Syarhi al-Minhâj Lil Baidawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), juz. 3, h. 37. 86 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 3-4.

139

Metode qiyas ini digunakan oleh Syekh Ahmad Khatȋb dikarenakan menurutnya antara kedua praktek pewarisan tersebut terdapat kesamaaan yaitu orang Jahiliyyah tidak memberikan warisannya kepada wanita dan di Minangkabau tidak memberikan warisannya kepada laki-laki, dan juga orang- orang Jahiliyyah dan orang Minangkabau sama-sama mewariskan hartanya karena adanya al-`ahd (ikatan perjanjian) dan nusrah (sikap menolong) yang maksudnya adalah bahwa orang yang menolong mereka adalah yang berhak mendapatkan warisan.87 Penqiyasan hukum yang dilakukan Syekh Ahmad Khatȋb ini didasari dengan realita yang diketahui olehnya bahwa orang-orang Minangkabau memberikan harta warisannya berdasar dua alasan:88 a. Sistem kewarisan yang sudah terbangun sejak lama. Menurut Syekh Ahmad Khatȋb orang-orang Minangkabau berargumentasi: Bahwa mereka sudah mendapatkan para pendahulu mereka melakukan sistem kewarisan seperti itu, mereka tidak mau menentang/berbeda dengan yang ada itu, karena harta tersebut sampai kepada mereka dari mamak bukan dari orang tua mereka begitu juga mamak mereka juga dari mamak mereka pula, maka tidak mungkin bagi mereka untuk mewariskannya kepada anak-anak mereka. Dengan ungkapan lain bahwa kewarisan yang mereka jalankan saat ini adalah kewarisan yang sudah berlangsung turun-temurun, sehingga mereka merasa kesulitan merubahnya. Jika harta yang mereka dapatkan adalah harta yang diwarisi dari mamak bukan dari ayah maka etikanya mereka juga mewariskannya kepada kemenakannya bukan kepada anaknya. Menurut Syekh Ahmad Khatȋb bahwa argument orang-orang Minangkabau ini sama dengan argument yang dikemukakan orang-orang kafir yang termaktub dalam Al-Qur‟an, yang berbunyi: ِ ٍ ِ ِِ إنىا َوَج ْدنَا آبَاءنَا َعلَى أُىمة َوإنىا َعلَى آثَارىم ُّمْقتَُد َون )الزخرف3 25/23 .(

87 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`,h. 4. 88 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`,h. 4.

140

Artinya:” "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka". (QS.al-Zukhruf: 25/23). b. Orang Minangkabau beralasan bahwa saudara dan anak saudara perempuan (kemenakan) adalah yang membayarkan hutang mereka kelak jika mereka berhutang, merawat mereka jika mereka sakit, memberi nafkah jika mereka membutuhkan89dan melapangkan kesusahan mereka kelak. Sistem kekerabatan Minangkabau memberlakukan pola kehidupan yang demikian, sehingga kondisi sakit, berhutang, tidak memiliki biaya hidup atau sedang berada dalam kesulitan merupakan tanggungjawab saudara dan anak saudara bukan tanggungjawab anak. Dilihat dari proses istinbat yang dilakukan Syekh Ahmad Khatȋb dengan cara qiyas ini terlihat bahwa metode yang digunakan adalah al-Istinbat al-Qiyasi karena beliau mengqiyaskan perilaku orang Minangkabau dengan perilaku kaum Jahiliyyah. Kemudian sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa dalam beristinbat Syekh Ahmad Khatȋb juga memperkuat argumentnya dengan beberapa kaidah fiqhiyyah atau usuliyyah, diantaranya: Pertama, kaidah usuliyyah: ال اجتهاد ِف مورد النص. 90 Artinya:”Tidak diperbolehkan atau tidak sah berijtihad pada sesuatu yang telah ditentukan oleh nas”. Sebagaimana yang dipaparkan di atas bahwa kaidah ini digunakan oleh Syekh Ahmad Khatȋb untuk mengharamkan praktek waris adat dan mengharuskan praktek hukum Islam terkait warisan, alasannya karena hukum waris telah diatur dan terdapat nashnya dalam Al-Qur‟an dan hadits, dan tidak

89 Di Minangkabau, apabila seorang laki-laki bercerai dengan istrinya atau sudah tua, maka ia akan tinggal di surau kepunyaan suku, dan makan di rumah saudara perempuan mereka. 90 Muhammad Mustafa Zuhailȋ, al-Qawâid al-Fiqhiyyah wa Tatbȋqâtuhâ Fȋ al-Madzâhib al-Arba`ah, h. 499. Lihat juga Wahbah Zuhailȋ, Usȗl al-Fiqh al-Islâmy, Juz. 1, h. 38. Lihat juga Muhammad Sidqȋ al-Ghazzȋ, Muasȗ`at al-Qawâ`ȋd al-Fiqhiyyah, Juz. 11, h. 1011.

141

diperbolehkan berijtihad atau memakai hukum yang bertentangan dengan nash 91Al-Qur‟an maupun hadits. Kedua, kaidah fiqhiyyah: أنحق اهلل مبين على ادلسازلة، وحق اآلدمي مبين على ادلشا حة.ح 92

Artinya:”Bahwa hak Allah didasarkan pada pengampunan, dan hak manusia didasarkan pada kekikiran”. Dalam kaidah ini Syekh Ahmad Khatȋb menganggap bahwa waris adat menimbulkan suatu kemadharatan yang termasuk dosa besar karena terdapat unsur merampas (ghasab) harta ahli waris lain yang berhak menerimanya. Dalam konteks ini Syekh Ahmad Khatȋb mengatakan bahwa tidak ada bedanya antara merampas harta yang sedikit dan harta yang banyak karena semua itu adalah hak orang lain dan hak antar manusia didasarkan pada kekikiran (tidak ada unsur kerelaan).93 Ketiga, kaidah usuliyyah:

94 العربة بعموم اللفظ ال خبصوص ّالسبب. Artinya:”Bahwa yang lebih diprioritaskan (dalam penetapan hukum) adalah keumuman redaksi sebuah teks (dalil) bukan penyebab yang melatar belakangi (munculnya sebuah teks)”.

Kaidah ini digunakan oleh Syekh Ahmad Khatȋb ketika mengutip sebuah ayat: ِ ى ِ ِ ِ إ ىن اللوَ يَأُْمُرُك ْم أَن ت َُؤُّدوا ْاألََمانَات إَ ىل أَْىلَها )النساء3 4/51 (

91 Wahbah Zuhailȋ, Usul al-Fiqh al-Islâmy, Juz. 1, h. 38. Muhammad Mustafâ Zuhailȋ, al- Qawâid al-Fiqhiyyah wa Tatbȋqâtuhâ Fȋ al-Madzâhib al-Arba`ah, h. 499. Lihat juga Muhammad Sidqȋ al-Ghazzȋ, Muasȗ`ât al-Qawâid al-Fiqhiyyah, Juz. 11, h. 1011. 92 Kaidah sangat masyhur dikalangan Fuqâhâ` dan Usȗliyyȗn, banyak hukum fikih yang didasarkan pada kaidah ini seperti had meminum khamr, zina dan mencuri, qisâs dan lain-lainnya, lihat Abu Bakar Syatâ, Hâsyiyah I`ânatu al-Talibȋn, `Alâ Halli Alfâdzi I`anatu al-Thalibin, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), juz. 2, h. 316. Lihat juga Zakariya al-Ansarȋ, al-Ghurar al-Bahiyyah Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah, (Mekkah: al-Maimaniyyah, tth), juz. 4, h. 320. 93 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`,h. 3-4. 94 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 318.

142

Artinya:”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya… (QS. An-Nisa`: 4/58). Menurut Syekh Ahmad Khatȋb ayat di atas meskipun turun berkaitan dengan Bani Syaibah (salah satu suku bangsa Arab) tetapi yang dianggap dalam pemahaman sebuah dalil adalah keumuman lafadz dari dalil tersebut bukan sebab turunnya. Kemudian beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan amanah disini adalah umum mencakup semua bentuk amanat yang termasuk di dalamnya amanat dalam pembagian harta warisan.95 Istidlal dengan ayat tersebut dilakukan oleh Syekh Ahmad Khatȋb untuk menunjukkan bahwa mafsadah yang terkandung dalam waris adat sangatlah besar, di antaranya adalah khianat atas amanah yang telah diberikan Allah, karena harta warisan merupakan amanat Allah SWT yang harus diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Kemudian tidak diberikannya harta tersebut kepada ahli waris merupakan suatu bentuk pengkhianatan terhadap amanat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Syekh Ahmad Khatȋb berpandangan bahwa semua makna kata amânah pada ayat-ayat Al-Qur‟an merupakam Faraidullah yaitu kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepada umat manusia yang mana di dalamnya mencakup pembagian harta warisan secara syar`i. Keempat, kaidah fiqhiyyah:

التابع حكمو حكم ادلتبوع.96 Artinya:”Pengikut itu hukumnya seperti yang diikuti”. Kaidah ini dikutip oleh Syekh Ahmad Khatȋb untuk menyatakan bahwa dosa orang yang melakukan waris adat ini adalah sama dengan orang yang pertama kali mencetuskan waris adat ini. Bahkan Syekh Ahmad Khatȋb menyatakan bahwa dosa waris adat ini lebih besar dari dosa zina atau membunuh. Alasannya karena dosa zina dan membunuh hanyalah sekali, sedangkan waris adat ini dosanya terus menerus bertambah dan berkembang

95 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`,h. 10. 96 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`,h. 10.

143

seiring dilestarikannya kewarisan tersebut. Menurutnya dosa jariyah tersebut tidak akan berhenti sampai waris adat tersebut ditinggalkan.97 Kelima, kaidah usuliyyah ِ ِ 98 الوسائلُذلا ُح ُ كمادلقاصد . Artinya:”Sesuatu yang menjadi perantara itu mempunyai hukum seperti hukumnya tujuan”. Kaidah ini adalah termasuk dari pembahasan ilmu Usûl Fikih yang disebut Saddu al-Dzarai`, yang berarti

ِ 99 الوسيلةُ ِادلوص لةُإىل ىالش يء ِ ادلمنوع ِادلشتمل على َمفسدٍة . Artinya:”Sesuatu yang mengantar pada sesuatu yang dilarang yang mengandung suatu kemafsadahan”. Kaidah ini digunakan Syekh Ahmad Khatȋb Khatȋb sebagai penguat argumennya bahwa waris adat menimbulkan banyak mafsadah, di antaranya timbulnya permusuhan, pertikaian antara anak-anak pewaris dan kemenakan sebagaimana yang telah terjadi dan perbuatan tersebut adalah haram, segala sesuatu yang mengantarkan pada keharaman maka hukumnya adalah haram.100 Kaidah terakhir ini menurut penulis adalah kaidah yang universal yang mewakili semua madharrat yang telah disebutkan oleh Syekh Ahmad Khatȋb di atas. Berdasar pada kaidah-kaidah usȗliyyah maupun fiqhiyyah serta faktor- faktor yang telah disebutkan di atas terlihat bahwa dalam beristinbat Syekh Ahmad Khatȋb sangat mempertimbangkan segi kemashlahatan dan kemadharatan pada praktek pembagian harta warisan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa metode istinbat yang juga digunakan oleh beristinbat Syekh Ahmad Khatȋb dalam permasalahan ini adalah al-Istinbat al-Istislâhi karena

97 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 11. 98 Abdullâh al-`Anzȋ, Taisȋr Ilmi Usȗl al-Fiqh, (Beirut: Muassat ar-Rayyan, 1997), h. 204. 99 Abdullâh al-`Anzȋ, Taisȋr Ilmi Usȗl al-Fiqh, h. 204. 100 Ahmad Khatȋb, al-Dâ`ȋ al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâda al-Akhâwat Ma`a Wujȗdi al-Usȗl Wa al-Furȗ`, h. 11.

144

dalam beristinbath beliau sangat mempertimbangkan kemashlahatan dan kemadharatan. Berdasarkan keterangan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sumber yang digunakan oleh Syekh Ahmad Khatȋb dalam kitabnya al-Dâ`ȋ al- Masmu` adalah empat sumber yaitu Al-Qur‟an, Hadits, Ijma` dan Qiyas. Sedangkan metode yang digunakan dalam beristinbat adalah metode al- Istinbat al-Bayani dan al-Istinbat al-Qiyasi serta al-Istinbat al-Istislâhi yang mana ketiga istinbat tersebut merupakan inti dari cara menghasilkan hukum dalam disiplin ilmu keIslaman. BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang tercantum pada bab-bab sebelumnya dan sebagai penutup dalam penelitian ini, maka penulis memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan pembagian harta waris di Minangkabau prosesnya tergantung pada harta yang akan dibagi. Dalam adat Minangkabau harta pusaka (peninggalan) terbagi menjadi dua yaitu harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Adapun harta pusaka tinggi proses pewarisannya dilakukan dengan cara adat yaitu diwariskan dari ninik ke mamak dan dari mamak ke kemenakan melalui jalur ibu (matrilineal). Sedangkan harta pusaka rendah proses pewarisannya dilakukan sesuai ketentuan farâid. 2. Syekh Ahmad Khatȋb dalam kitabnya menganggap bahwa waris adat Minangkabau ini tidak sesuai dengan hukum Islam dan harta yang dihasilkan dari sistem waris adat ini adalah harta syubhat karena adanya unsur merampas hak ahli waris yang telah ditentukan oleh syara` dan banyak menimbulkan dampak buruk dan mafsadah yang besar bahkan dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam kekufuran. bahkan mengecam keras orang yang mempraktekkan waris adat tersebut sebagai orang yang sesat dan kafir. Pendapat ini didukung oleh beberapa ulama Minangkabau di antaranya Haji Abdullah Ahmad dan Syekh Muhammad Djamil Djambek. Adapun ulama menyangkal dan tidak sependapat dengan Syekh Ahmad Khatȋb di antaranya Syekh Abdul Karim Amrullah (Ayah Buya Hamka) yang menganggap bahwa harta pusaka Minangkabau tidak bisa dikatakan sebagai harta ghasab karena harta tersebut dihasilkan dari nenek moyang secara turun temurun dan dimiliki secara kolektif, pendapat ini disetujui oleh Syekh Sulaiman Al-Rasuli. 3. Adapun faktor yang mempengaruhi fatwa Syekh Ahmad Khatȋb dalam kitab al-Dâ`i al-Masmȗ` ada dua faktor, pertama, sikap ijtihad dan kedalaman ilmu Syekh Ahmad Khatib dalam bidang ilmu faraid. Kedua, pengetahuan Syekh

145

146

Ahmad Khatib tentang praktek pembagian waris yang dilakukan oleh penduduk Minangkabau dan surat yang datang dari penduduk asli Minangkabau yang berisi pengaduan sekaligus pertanyaan tentang keabsahan praktek pembagian harta warisan yang ada di Minangkabau. Ketiga, sikap fanatik penduduk Minangkabau yang menolak untuk merubah praktek pembagian warisan yang telah mereka temukan dari pendahulu-pendahulu mereka dan menyalahkan siapa saja yang tidak setuju dengan praktek tersebut. 4. Adapun metode istinbath yang digunakan Syekh Ahmad Khatȋb dalam kitab al-Dâ`i al-Masmȗ` adalah metode al-Istinbât al-Bayânȋ, al-Istinbât al-Qiyâsȋ, al-Istinbat al-Istislâhȋ, yang mana ketiga istibath tersebut dilakukan dengan menjelaskan suatu hukum dari nash baik Al-Qur’an maupun hadits dan juga dengan mengqiyaskan permasalahan yang belum ada hukumnya dengan permasalahan yang telah ada nash hukumnya, begitu mempertimbangkan kemashlahatan dan kemadharratan dari praktek waris adat tersebut. B. Saran Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam penelitian ini, penulis ingin menyampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Karena persoalan pembagian harta warisan sampai sekarang masih menjadi polemik di masyarakat Minangkabau maka penulis menyarankan kepada seluruh lapisan masyarakat agar menelusuri dan meneliti lebih dalam masalah ini agar polemic ini cepat terselesaikan, dan kepada para peneliti selanjutnya agar melakukan pendataan terhadap kasus sengketa harta pusaka yang terjadi di masyarakat baik yang telah tercatat dalam pengadilan ataupun yang belum. 2. Penulis menyarakan agar semua lapisan masyarakat lebih mendalami lagi ilmu faraid agar tidak terjadi sengketa maupun pertikaian dalam pembagian harta warisan yang mana sering terjadi karena ketidaktahuan akan ilmu faraid ini. 3. Penulis menyarankan kepada pembaca ketika membaca suatu pendapat atau fatwa seorang ulama agar memperhatikan dengan seksama dan meneliti secara detail baik dari sisi fatwanya, faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya fatwa tersebut, kondisi sosial dan biografi daripada orang yang

147

berfatwa. Hal ini bertujuan agar pembaca tidak salah paham dalam memberikan suatu kesimpulan 4. Saran penulis agar para pembaca membaca karya-karya Syekh Ahmad Khatȋb terutama biografinya yang tertera dalam kitabnya al-Qaulu al-Nahȋf, karena dengan membaca biografinya akan tumbuh dalam diri pembaca semangat yang kuat dalam menuntut ilmu dan berkarya serta berkhidmah menyelesaikan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat, karena dalam karya-karya beliau terlihat luasnya cakrawala keilmuannya serta dalam pemahamannya dalam urusan agama, dan kritisnya dalam menanggapi suatu permasalahan. Pada akhirnya dengan mengucapkan Alhamdulillah penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi taufik, rahmat dan hidayahnya sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian ini. Dalam penelitian ini penulis menyadari bahwa penelitian ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat berharap kritik dan saran demi memperbaiki tesis ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1971 Buku Abdul Jabbâr, Umar, al-Siyar Wa al-Tarâjim, Jeddah: Mamlakah al-Arabiyyah al- Sa`udiyyah: 1982

Abdurrahman al-Muallimȋ, Abdullah, A`lâmu al-Makkiyȋn, Mekkah: Dâr Furqân Turâts Islâmy, 2000 `Abidin, Ibnu, Hâsyiyah Ibn Âbidȋn, Beirut: Dâr al-Fikr, 2000

Abu Zakariyâ Yahyâ bin Syaraf al-Nawawi, Muhyiddȋn, Minhâju al-Tâlibȋn wa `Umdatu al-Tâlibin, Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2005 Ahmad, Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013 Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Indonesi, Jakarta: Rajawali Press, 1998 ______, Asas-asas Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum, Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1991 Amrullah, Abdul Karȋm, al-Farâid, Sungai Batang: Maninjau: 1931 Anwar, Chairul, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Jakarta: Rinka Cipta, 1997 ______, Dari Minangkabau Untuk Dunia Islam”Otobiografi Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabau” (1860-1916 M), Yogyakarta: Gre Publishing 2016 Anzi, Al, Abdullah, Taisir Ilmi Ushul al-Fiqh, Beirut: Muassat al-Rayyân, 1997 Ansari, Al, Zakariya, al-Ghurar al-Bahiyyah Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah, Mekkah: al-Maimaniyyah, tth `Anzi, Al, Abdullah, Taisȋr Ilmi Usȗl al-Fiqh, Beirut: Muassat ar-Rayyân, 1997 Amran, Rusli, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang Jakarta: Sinar Harapan, 1981 Andalusȋ, Al, Abu Hayyân, al-Bahr al-Muhȋt Fȋ al-Tafsȋr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1420 H

148

149

Asy`ary, Hasyim, Kaffu al-Awâm `An al-Khaudi Fȋ Syarikat al-Islâm, Manuskrip lama tulisan tangan Syekh Hasyim Asy`ary, 1331 H Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Waris Islam, edisi revisi, Yogyakarta: UII Press, 2011 Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Cetakan Keempat, Bandung: Mizan: 1998 ______, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Jakarta; Kencana: 2012 A. Elias & ED. E. Elias, Elia, Kamus al’Asri Modern Dictionary, Beirut : Dâr- al- Jabal, 1982 A. Partanto M. Dahlan Al-Barry, Pius, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 2003 Bajurî, Al, Ibrahim, Tuhfatu al-Murȋd `Ala Jauharat al-Tauhȋd, Cairo: Dâr al- Salam, 2006 ______, Hâsyiyah al-Syekh al-Bâjury, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Islâmiyyah, Tth Baghâwȋ, Al, Husein Ibn Mas`ȗd Tafsȋr al-Baghâwi, Beirut: Dâr Ihya` al-Turâts al-`Araby, 1420 H Bazzâr, Al, Musnad al-Bazzâr, Madinah: Maktabah al-Ulum Wa al-Hukm, 2009 Baihaqȋ, Al, Abu Bakar, Sunan al-Baihaqȋ, Lubnân: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003 Barmâwi, al, Syamsuddin, al-Lami` al-Sabȋh bi Syarhi al-Sahȋh, (Suria: Dar al- Nawâdir, 2012) Barmawy, Al, Muhammad, al-Fawâid al-Saniyyah Fȋ Syarh al-Alfiyyah, Mesir: Maktabah al-Tau`iyyah al-Islamiyyah, 2015 Bukhâri, Al, Muhammad Ibn Ismâil, Sahȋh al-Bukhâri, Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al `Arabȋ, Tth Bujairamȋ, Al, Sulaimân Ibn Muhammad, Tuhfat al-Habib `Ala Syarh al-Khatȋb, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996 Bugha dkk, Mustafa, al-Fiqh al-Manhajî `Alâ Madzhab al-Imâm al-Syâfi`I ra., Damaskus: Dâr al-Qalam, 1992 Bukharî, Al, `Alauddin, Kasyfu al-Asrâr Syarh Usȗl al-Bazdawȋ, Mesir: Dâr al- Kitab al-Islâmy, tth Bulqinî, Al, Sirâjuddîn, al-Tadrȋb Fî al-Fiqh al-Syafi`î, Riyad: Dâr al-Qiblatain, 2012

150

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: 2007 Dkk, Bakhtiar, Ranah Minang di Tengah Cengkeraman Kristenisasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2005, Dt. Malako Nan Putiah, H. Julius, Membangkik Batang Terandam Dalam Upaya Mewariskan dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa, Bandung: Citra Umbara, 2007 Dâwud, Abû, Sunan Abȋ Dâwud, Beirut: Maktabah `Ashriyyah, tth D. A. H, Rustam, Wasiat Wajibah Bagi Non Muslim sebagai Pengganti Bagian Ahli Waris dalam Perspektif Fiqh dan Hukum Waris Indonesia Semarang: Lembaga dan Pengabdian kepada Masyarakat, 2013 Djakfar dan Taufik Yahya, Idris, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1995 Daya, Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990 Djamal, Murni, Haji Abdul Karim Amrullah Pengaruhnya Dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau Pada Awal Abad ke-20 Jakarta: Leiden, 2002 Fairȗz Âbâdȋ, Al, Majdudȋn Muḥammad Ibn Ya‘qȗb, Kamus al-Muhȋṭ, Kairo: dār al-Hadits, Tth Ghazzy, Al, Muhammad Sidqȋ, Muasu`at al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Beirut: Muassat ar-Risalah, 2003 ______, al-Wajiz Fi Idhahi Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, Beirut: Muassat ar-Risalah, 1996 Haddad, Al, Al-Habib Alwi bin Thahir, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Terjemahan oleh Ali Yahya dari al-Madkhal ilâ Târikh al-Islâm fi Asy- Syarq al-Aqshâ, Jakarta: Lentera Basritama: 2001 Haskafȋ, Al, `Alauddin, Al-Durru al-Mukhtâr, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002

Heutou, Muhammad Hasan, al-Wajiz Fi Ushul at-Tasyri` al-Islami, Kuwait: Dar al-Farabi, tth Hasanuddin, Perbedaan Qira’at Dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997 Haitamȋ, Al, Ibnu Hajar, Tuhfat al-Muhtâj Fȋ Syarhi al-Minhâj, Mesir: Maktabah Tijâriyyah Kubrâ, 1983

151

Hakimy Dt. Rajo Penghulu, H. Idrus Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997 ______, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, Bandung: CV. Remaja Karya, 1988 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Jakarta: Kencana, 2011 Hamka, Ayahku, Jakarta: Djaja Murni, 1967 ______, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984 ______, Sejarah Islam di Sumatera Jakarta: Pustaka Panjimas, 1950 Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976 ______, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: Tintamas, 1982 Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti. 1993 Hibban, Ibnu, Shahȋh Ibn Hibbân, Beirut: Muasssat al-Risalah, 1993 Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad, Cairo: Dâr al-Hadȋts, 1995 Ibn Muhammad, Hasan, Al-Daur al-Tarbawȋ Li Halaqati al-Ilmi bi `Ahdi al- Malik `Abdul Azȋz, Makkah: Mamlakah al-Arabiyyah al-Saudiyyah, 1429 H Iraqi, Al, Abu Zur`ah, al-Ghauts al-Hâmi` Syarh Jam`i al-Jawâmi`, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2004 Isnawȋ, Al, Nihayat al-Sȗl Fȋ Syarhi Minhâji al-Wusȗl, Mesir: `Alam al-Kutub, Tth Jauziyyah, Al, Ibnu Qayyim, I`lamu al-Muwaqqi`ȋn `An Rabbi al-`Âlamin, Saudi Arabiyyah: Dâr Ibnu al-Jauzȋ, 1423 H Kamal, Tamrin, Purifikasi Ajaran Islam Pada Masyarakat Minangkabau Padang; Angkasa Raya, 2005 Kafrawȋ, Al, Hasan, Syarh al-`Allâmah al-Syekh Hasan al-Kafrâwȋ, Kota Baru: Makatib Sulaiman Mar`i, t.th Kusumo, Hilman Hadi, Hukum Waris Indonesia Menurut perundang-undangan Hukum Adat, Hukum Hindu dan Hukum Islam, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991 Latif, Ahmad Khatib bin Abdul, al-Dâ`i al-Masmȗ` Fȋ al-Raddi `Alâ Man Yuwarritsu al-Ikhwah Wa Aulâdi al-Akhawât Ma`a Wujȗdi al-Ushȗl Wa al-Furȗ`, Cairo: Dâr al-Kutub al-Turâts, 1893

152

______, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târikhi Hayâti al-Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latif, Kudus: Maktabah Ibnu Harjo al-Jawi 2016 LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Pedoman Hidup Banagari, Padang: Sako Batuah, 2002 Mardinȋ, Al, Sabt, Al-Rahabiyyah Fȋ Ilmi al-Farâid, Damaskus: Dâr al-Qalam, 1998 Mahallȋ, Al, Jalâluddȋn, al-Badru al-Tâli` Fȋ Jam`i al-Jawâmi`, Beirut: Muassah al-Risâlah, 2005 Majah, Ibnu, Sunan Ibn Mâjah, Damaskus: Dâr Ihya` al-Kutub al-Arabiyyah, T.th, Mukram, Abi Fadal Jamaluddin Muhammad ibn, Lisân al-Arab, Beirut Libanon, Dar al-Sadar, 1863 Munyâwȋ, Al, Mahmud, al-Mu`tasar Min Syarhi Mukhtasar al-Usûl Min Ilmi al- Usȗl, Mesir: al-Maktabah al-Syamilah, 2011 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014 Naisâbȗrȋ, Al, Muslim Ibn al-Hajjâj, Shahȋh Muslim, Beirut: Dar Ihya` at-Turats al-`Araby, Tth Naisaburȋ, Al, Al-Hâkim, al-Mustadrak, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990 Nazwar, Akhria, Syekh Ahmad Khatib, Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini, Jakarta: Panjimas, 1983 Nasution, dkk, Harun Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta; Djambatan; 1992 Nugroho, Sigit Sapto, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Solo: Pustaka Iltizam, 2016), Navis, A.A, Alam Terkembang Jadi Guru (Adat dan Kebudayaan Minangkabau), Jakarta: PT Temprint, 1984 Qudâmah, Ibnu, al-Mughnȋ, Riyad: Dâr `Alami al-Kutub, 1997 Ramlȋ, Al, Syihâbuddȋn, Ghayat al-Bayân Syarh Zubad Ibni Ruslan, Beirut: Dâr al-Ma`rifat, Tth ______, Nihâyah al-Muhtâj, Beirut: Dâr al-Fikr, 1984 Rasuli, Al, Sulaiman, Pertalian Adat dan Syara`, Ciputat: Ciputat Press, 2013, Rauda, P.R., Sistem Matrilineal dalam Adat dan Budaya Minangkabau, Bandung: CV. Lubuk Agung, 2004

153

Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2000 Râzi, Al, Fakhruddȋn, Mafâtîh al-Ghaib, Beirut: Dâr Ihya` al-Turâts al-`Arabi, 1420 ______, al-Mahsȗl Fȋ Ilmi Usȗl al-Fiqh, (Mesir: Muassah al- Risâlah, tth), Rofiq, Ahmad, Fiqih Mawâris, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998 Rifai, Muhammad, Hasyim Asy`ari Biografi Singkat 1871-1947, Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2010 Salȋhȋ, Al, al-Hambali, `Alauddin, at-Tahbȋr Syarh al-Tahrȋr Fȋ Usul al-Fiqh, Riyad: Maktabah al-Rusyd, 2000 Suyȗtȋ, Al, Jalâluddȋn, al-Durru al-Mantsur Fȋ al-Tafsȋri Bi al-Ma`tsur, Beirut: Dâr al-Fikr, tth Subkȋ, Al, Taqiyuddȋn, al-Ibhâj Fȋ Syarhi al-Minhâj Li al-Baidâwi, Beirut: Dâr al- Kutub al-Ilmiyyah, 1995 Subkȋ, Al, Ibnu, al-Asybâh Wa al-Nadzâir, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991 Sabunȋ, Al, Ali, Hukum Waris, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1994 San`ânȋ, Al, Abdurrazzâq, Musannaf Abdurrazzâq Al-San`ânȋ, India: al-Majlis al- Ilmy, 1403 H Siddieqȋ, Al, Muh. Hasbȋ, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990 Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015 Syatâ, Abu Bakar, Hasyiyah I`ânatu al-Talibȋn, `Ala Halli Alfâdzi I`ânatu al- Talibin, Beirut: Dâr al-Fikr, 1997 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet. ke-2, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997 Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia, Bandung: Rajawali Press, 2005 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Jakarta: Alfabeta, 2015, Suma, Amin Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004 Suprapto, M. Bibit, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta; Gelegar Media Indonesia; 2010

154

Syaukanȋ, Al, Muhammad ibn Ali, al-Qaulu al-Mufȋd Fȋ Adillati al-Ijtihâd Wa al- Taqlȋd, Kuwait, Dâr al-Qalam, 1396 H Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984 Tirmidzi, al, Muhammad bin Isa, Sunan al-Tirmidzi, Mesir: al-Babi al-Halabi, 1975. Tabrâni, Al, Sulaimân, al-Mu`jam al-Kabȋr, Cairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1994 Taftazânȋ, Al, Sa`duddȋn, Syarh al-Nasafȋ, Pakistan: Maktabah al-Busyrâ 1430 H Ulum, Amirul, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramain, Yogyakarta: CV. Global Press: 2017 Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, Jakarta: Rajawali Press, 2013 Yulika, Saifullah Febri, Pertautan Budaya-Sejarah Minangkabau dan Negeri Sembilan, Padang Panjang Timur: Institut Seni Indonesia PadangPanjang, 2017 Zabȋdȋ, Al, Murtada, Tâjul `Arȗs, Cet. Dâr al-Hidâyah, T.th, Zamakhsyarȋ, Al, Mahmȗd bin `Amr, Tafsȋr al-Kassyâf `An-Haqâiqi al-Tanzȋl Wa `Uyȗn al-Aqâwil Fȋ Wujȗhi al-Ta`wȋl, (Beirut: Dȋr Ihyâ` al-Turâts al- `Araby, Tth), Zarkasyi, Al, Al-Bahru Al-Muhȋt fȋ Usȗl al-Fiqh, Kuwait, Dâr Al-Safwah, 1992 ______Tasynȋf al-Masâmi` Syarh Jam`i al-Jawâmi`, Makkah: Maktabah Qurtȗbah, 1998 Ziraklî, Al, Khairuddȋn, al-A`lâm, Beirut: Dâr al-Ilmi lil Malâyȋn, 2002 Zuhailî, Muhammad Mustafa, al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha Fi al- Madzahib al-Arba`ah, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2006 ______, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmȋ Wa Adilllatuhȗ, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985 Jurnal Akhimuddin, Yusri, “Naskah (Asal Khilaf Bilangan Taqwim): Relasi Ulama- Umara di Minangkabau Abad ke-17 dalam Penetapan Awal Ramadhan”, Jurnal Manuskripta, Vol. 2, 2012 Afrinaldi, “Rekonstruksi Pendidikan Surau di Minangkabau (Tinjauan Analisis Psikologi Sosial)”, Jurnal Ta`dib, Vol. 12, No. 2, Desember 2009 Bakhtiar, Maryati, “Hukum Waris Islam Dipandang Dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender”, JURNAL ILMU HUKUM, Vol. 3, No. 1, 2016

155

Eric, “Hubungan Antara Hukum Islam Dan Hukum Adat Dalam Pembagian Warisan di Dalam Masyarakat Minangkabau”, JURNAL MUARA ILMU SOSIAL, HUMANIORA, DAN SENI, Vol. 3, No. 1, April 2019 Firdaus, Dwi Rini, “Potret Budaya Masyarakat Minangkabau Berdasarkan Keenam Dimensi Hofstede”, Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, Vol. 6, No. 2, Agustus 2018 Fatimah, S, “Gender dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau; Teori, Praktek dan Ruang Lingkup Kajian”, Jurnal Ilmiah Kajian Gender, Vol. 2, No. 1, 2012 G, Wahyuddin, “Awal Munculnya Gerakan Intelektualisme Islam di Indonesia Abad 20”, Jurnal Adabiyyah, Vol. 10, No. 2, 2010 Hasanah, Uswatun, “Genealogi Pemikiran Pendidikan KH. Hasyim Asy`ary”, Jurnal Studi keIslaman, Vol. 19, No. 1, Juni 2019 Hati, Putri Citra, “Dakwah Pada Masyarakat Minangkabau (Studi Kasus Pada Kaum Paderi)”, Islamic Comunication Journal, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2018 Haries, Ahmad, “Analisis Tentang Studi Komparatif Antara Hukum Kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Adat”, FENOMENA, Vol. 6, No. 2, 2014 Humaidi, Zuhri, “Fiqih dan Lokalitas dalam Perspektif Multikulturalisme”, Taswirul Afkar; Jurnal Refleksi Pemikiran Islam dan Kebudayaan, Vol. 26, No. 2, 2008 Husni, Alfi, “Pembagian Waris Harta PUsaka Rendah Tidak Bergerak Dalam Masyarakat Minangkabau Kanagarian Kurai”, AL-HUKAMA, The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 6, No. 2, Desember 2016 Ilyas, Ahmad Fauzi, “Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Polemik Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara”, JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2017

_____, “Polemik Sayyid Utsmân Betawi dan Syekh Ahmad Khatȋb al- Minangkabawi Tentang Shalat Jumat”, Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies, Vol. 2 No. 2 Juli-desember 2018 Intan, Salmah, “Kedudukan Perempuan Dalam Domestik Dan Publik Perspektif Gender (Suatu Analisis Berdasarkan Normatifisme Islam)”, Jurnal Politik Profetik, Vol. 3, No. 1, 2014 Jamhir, Hukum Waris Islam Mengakomodir Prinsip Hukum Yang Berkeadilan Gender, (TAKAMMUL: Jurnal Studi Gender dan Islam serta Perlindungan Anak UIN Ar-Raniry Banda Aceh, VIII, 1, Januari-Juni 2019) Ja’far, “Tarekat dan Gerakan Sosial Keagamaan Shekh Hasan Maksum”, Jurnal Tasawwuf dan Pemikiran Islam, Vol. 5, No. 2, 2015

156

Kurnia, Merry, “Pergumulan adat dan Agama (Nikah Sasuku di Minangkabau Dalam Novel Salah Pilih Karya Noer Sutan Iskandar)”, Ensiklopedia of Jurnal, Vol. 1, No. 1, Januari 2019 Marlina, “Potret Matrilineal dalam “Rumah Untuk Kemenakan” Karya Iyut Fitra”, Jurnal Madah, XI, II, Oktober 2018 Munir, Misnal, “Sistem Kekerabatan dalam Kebudayaan Minangkabau: Perspektif Aliran Filsafat Strukturalisme Jean Claude Levi-Strauss”, Jurnal Filsafat UGM, Vol. 25, No. 1, Februari 2015 Nadia, Nur Indrawati, “Peran Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860- 1916) Dalam Islamisasi Nusantara”, TAMADDUN, IV, I, Januari-Juni 2016 Nasution, Adelina, “Pluralisme Hukum Waris Indonesia”, Jurnal Al-Qadâ, V, I, Juli 2018 Nathassa Winstar, Yelia, “Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun, Vol. 37, No. 2, April-Juni 2007 Prasna, Adeb Davega, “Pewarisan Harta Di Minangkabau Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam”, Koordinat, Vol. 17, No. I April 2018 Ratny Pasaribu, Fani, “Manajemen Istano Basa Pagaruyung”, Jurnal Pariwisata, Vol. 6, No. 1, April 2019 Subroto, K, “Tuanku Imam Bonjol & Gerakan Padri”, JURNAL SYAMINA, Vol. 17, Maret-April, 2015 Thamrin, Husni, “Enkulturasi Dalam Kebudayaan Melayu”, Jurnal Al-Fikra, Jurnal Ilmiyah ke Islaman, Vol. 14, No. 1, Januari-Juni 2015 Wantaka dkk, Agus, “Pembagian Warisan Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat Jawa (Studi Komparasi)”, AL-HIDAYAH, Vol. 1, No. 1, Januari 2019 Wirman, Eka Putra, “Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Icon Tholabul Ilmi Minangkabau Masa Lalu Untuk Refleksi Sumatera Barat Hari Ini dan Masa Depan”, JURNAL ULINNUHA, Vol. 6, No. 2, Desember 2017 Yusuf A, Hasanuddin, “Sejarah dan Perkembangan Islam di Aceh”, Jurnal Ar- Raniry, No. 82, 2003 Yuslem Dkk, Nawir, “Posisi dan Kontribusi Hukum Islam Dalam Pengembangan Hukum Nasional”, Jurnal Analitica Islamica, Vol. 5, No. II, November 2003 Yasmis, “Sarikat Islam Dalam Pergerakan Nasional Indonesia (1912-1927 M)”, Jurnal Sejarah Lontar, Vol. 6, No. 1, Januari-Juni 2009

157

Sumber Online https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2011/12/14/981/syeikh-jamil- jambek-sang-penentang-hukum-adat.html https://e-kampushukum.blogspot.com/2016/05/sejarah-tata-hukum-indonesia- pada-masa.html.

هذه الرسالة ّالمسماة

بالداعي المسموع في ّالرد على من ثّيور اإلخوة وأوالد األخوات مع وجود األصول والفروع

تأليف

العالم العالمة ّالمدرس بالمسجد الحرام ّالمكي الشيخ أحمد الخطيب بن الشيخ عبد اللطيف الخطيب بن عبد اهلل المنانغكابوي الجاوي فسح اهلل في ّمدته آمين

المطبعة الميمنية – مصر

1309ه احلمد هلل الباعث الوارث ّاملنزه عن صفات احلوادث منزل الكتاب هدى للناس ّمنزها عن

شوائب العوج وااللتباس أوضح ّاحملجة وأقام على خمالفه ّاحلجة حبيث مل يبق لذي رأي فيه مدخل

خللوه عن اخلطأ واخللل ّبّي ملا فيه األحكام تبيانا قال تعاىل يَا أَي َُّها النَّ ُاس قَْد َجاءَُكم ب ُْرَه ٌان ِّمن ِ ِ ِ َّربِّ ُك ْم َوأَ َنزلْنَا إلَْي ُك ْم نُ ًورا ُّمبينًا )النساء: 174( وقال ّجل شأنه الْيَ ْوَم أَ ْكَمْل ُت لَ ُك ْم دينَ ُك ْم َوأَْْتَْم ُت ِ ِ ِ ِ َعلَْي ُك ْم نْعَمِِت َوَرض ُيت لَ ُك ُم ْاْل ْسََلَم دينًا )املائدة:3( ّفرض الفرائض وبيّنها ّوسن األحكام وعيّنها ومل يرتك من هذا القبيل فتيَل ومن أصدق من اهلل قيَل، فالسعيد من اهتدى هبديه وعمل على

مقتضى أمره وهنيه فجرى على سننه القومي يف التحليل والتحرمي ويف العبادة واملعامَلت تاركا لقبيح

ِ األهواء والعادات متبعا لنهج السلف الصاحل من خيار األمة غري قائل إنَّا َوَج ْدنَا آبَاءَنَا َعلَى أَُّمة إذ

ّكل خري يف اتباع سلف ّوكل ّشر يف ابتداع من خلف وقد ّذم اهلل قوماً اتبعوا شهوات الدنيا فقال ِ ِ ِ ِ ۖ فَ َخلَ َف من ب َْعده ْم َخْل ٌف أَ َضاعُوا َّالصََلَة َواتَّ بَ عُوا َّالشَهَوات فَ َسْو َف ي َْلَقْوَن َغيًّا )مرمي: 59(

والصَلة والسَلم على أفضل اخللق على اْلطَلق املبعوث مبكارم األخَلق ّاملبّي بصريح األحاديث ِ ِ ِ ِ أحكام الفرائض واملواريث قال صلى اهلل عليه وسلمّ وهو الصادق فيما أخرب "أَ ْحلُقوا الَفَرائ َض بأَْهلَها 1 ِ ِ َّ ِ ِّ َِّ ِ ِ ِ َِّ فََما بَق َي فَ ُهَو ألَْوَىل َرُجل ذََكر " والقائل تَ َعل ُموا ال َْفَرائ َض َوَعل ُموهُ فَإنهُ ن ْص ُف الْعْلم َوإنهُ ي ُْن َسى َوُهَو ِ ِ ِ ِ ِ أََّوُل َما ي ُْن َزعُ م ْن أَُّمِِت والقائل الْعْل ُم ثَََلثَةٌ فََما سَوى ذَل َك فَ ُهَو فَ ْضلٌ: آيَة ٌ ُُْم َكَمةٌ، أَْو ُسنَّةٌ قَائَمةٌ، أَْو ِ فَِر َيضةٌ َعادلَة ٌ إىل غري ذلك من األحاديث الشهرية الِت هي أظهر من مشس الظهرية وعلى آله وأصحابه وعرتته وعلى تبعهم بإحسان على هنجه وسنته )وبعد( فيقول كثري املساوي املتشرف جبوار

1 أخرجه البخاري )6732(، ومسلم 1615

1

بيت اهلل الذي يلجأ إليه ّكل آوي أمحد اخلطيب بن عبد اللطيف اخلطيب بن عبد اهلل املنكابوي

اوياجل وفقه مواله ملا حيبّه ويرضاه:

ملا ت بطلبتشرفّ العلم الشريف جبوار بيت اهلل املنيف وانتظمت إىل سلك املدرسّي حبرم ّ ّ بلد اهلل األمّي وقرأت به درس علم الفرائض قراءة ممارس هلا رائض تذكرت ما عليه أهل بَلد قطر

مننكابو اجلاوي يف قسمة املواريث على ما هم عليه من قبيح األهواء، وذلك أهنم يورثون اْلخوة

وأوالد األخوات مع وجود الفروع من األبناء والبنات وينكرون على من خيالف هذه العادة الذميمة

اذا ّبّي له فيه الطريقة املستقيمة متعل ّلّي بأهنم وجدوا آبائهم على ذلك وأهنم تابعون هلم يف سلوك هذه املسالك مع أنه ال رأي مع وجود النصوص القرآنية واألحاديث النبوية فإن نالقرآ الكرمي

وأحاديث النيب عليه أفضل الصَلة والتسليم قد بي ّنا ذلك بأوضح بيان حبيث مل يبق بعده شبهة ِ َّ ِ ِ ِ َّ ِ ِ ِّ ِ ِ ْلنسان، قال تعاىل على لسان سيد الثقلّي: يُوص ُيك ُم الله ُ يف أَْوالَدُك ْم للذَكر مثْلُ َحظ األُنثَ يَ ّْي فَإن ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ُك َّن ن َساء فَ ْو َق اثْ نَتَ ّْي فَ لَُه َّن ث ُلُثَا َما تَ َرَك َوإن َكانَ ْت َواحَدًة فَ لََها النِّ ْص ُف َوألَب ََويْه ل ُك ِّل َواحد ِّمْن ُهَما ِ ِ ِ َّ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ُّالسُد ُس ممَّا تَ َرَك إن َك َان لَهُ َولٌَد فَإن ملْ يَ ُكن لهُ َولٌَد َوَورثَهُ أَب ََواهُ فَألُِّمه الث ُّلُ ُث فَإن َك َان لَه ُ إ ْخَوةٌ فَألُِّمه ِ ِ ِ ِ ِ ِ ُّالسُد ُس من ب َْعد َوصيَّة يُ يوص هبَا أَْو َديْ ن آبَ ُآؤُك ْم َوأَ ُبناؤُك ْم الَ تَْدُر َون أَي ُُّه ْم أَقْ َر ُب لَ ُك ْم ن َْف عاً فَر َيضةً َِّ ِ َّ ِ ِ ِ ِ َّ َّ ِ ِّم َن الله إ َّن اللهَ َك َان َعليما َحك ًيما )11( َولَ ُك ْم ن ْص ُف َما تَ َرَك أَْزَو ُاج ُك ْم نإ ملْ يَ ُكن هلَُّن َولٌَد فَإن ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ َك َان َهلَُّن َولٌَد فَ لَ ُك ُم ُّالربُُع ممَّا تَ َرْك َن من ب َْعد َوصيَّة يُوص َّي هبَا أَْو َديْن َوَهلَُّن ُّالربُُع مم َّا تَ َرْكتُ ْم نإ ملْ يَ ُكن َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ل ُك ْم َولٌَد فَإن َك َان لَ ُك ْم َولٌَد فَ لَُه َّن الثُُّم ُن ممَّا تَ َرْكتُم ِّمن ب َْعد َوصيَّة تُ ُوص َون هبَا أَْو َديْن َوإن َك َان َرُجلٌ ِ ِ ِ ِ ِ يُ َور ُث َكَلَلَةً أَو ْامَرأَةٌ َولَهُ أَ ٌخ أَْو أُ ْخ ٌت فَل ُك ِّل َواحد ِّمْن ُهَما ُّالسُد ُس فَإن َكان َُواْ أَ ْكثَ َر من ذ َل َك فَ ُه ْم ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َِّ َّ ِ ِ ُشَرَكاء يف الث ُّلُث من ب َْع د َوصيَّة يُ َوصى هبَآ أَْو َديْن َغْي َر ُم َض ٍّآر َوصيَّةً ِّم َن الله َواللهُ َعل ٌيم َحل ٌيم )12(

2

ِ َِّ ِ َّ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ تْل َك ُحُد ُود الله َوَمن يُطِع اللهَ َوَرُسولَهُ يُْدخْلهُ َجنَّات ََْتِري من ََْتتَاه األَنْ َه ُار َخالد َين ف َيه ا َوذَل َك ِ َّ ِ ِ ِ ِ الَْفْوُز الَْعظ ُيم )13( َوَمن ي َْع ِص اللهَ َوَرُسولَهُ َوي َتَ َعَّد ُحُد َودهُ يُْدخْلهُ نَ ًارا َخالًدا ف َيها َولَهُ َعَذ ٌاب ُّمه ٌّي )النساء: 14(.

وقد ورد يف األحاديث الصحيحه "أنه صلى اهلل عليه وسلم كان يبدأ بذوي الفروض مث

ِ ِ ِ ِ ِ يعطي العصبة ما بقي ويقول أ َ ْ حلُق وا ا َلف َرائ َض بأ َْه ل َه ا ف ََم ا ب َق َي فَ ُه َو أل َْ وَىل َرُج ل ذََك ر " وقال جابر ِ ِ ِ ِ ِ َِّ َّ َّ ِ َّ ِ رضي اهلل عنه " َجاءَ ْت ْامَرأَةُ َسْعد بْ ِن َّالرب ِيع م ْن َسْعد إَىل َرُسول الله َصلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم بابْ نَتَ ْي َها َِّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ فَ َقالَ ْت : يَا َرُس َول الله َهاتَان ابْ نَتَا َسْعد بْ ِن َّالرب ِيع ، قُت َل أَبُ ُوُهَا َمَع َك ي َْوَم أُ ُحد َشه ًيدا ، َوإ َّن َعَّمُهَما ِ ِ ِ ِ ِ أَ َخَذ َم َاهلَُما ، فَ لَ ْم يََد ْع َهلَُما َم ًاال ، َوَال ت ُْن َك َحان إَّال َوَهلَُما َم ٌال َ.فق َال : ي َْقضي اللَّه ُيف ذَل َك ، فَ نَ َزلَ ْت ِ ِ َِّ َّ َّ ِ َّ ِ ِ ِ ِ آيَةُ الْم َرياث ، فَ بَ َع َث َرُس ُول الله َصلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم إَىل َعِّمهَما فَ َق َال : ) أَْعط ابْ نََِْت َسْعد الث ُّلُثَ ّْي ِ ِ ، َوأَْعط أَُّمُهَما الثُُّم َن ، َوَما بَق َي فَ ُهَو لَ َك ("، إىل غري ذلك من اآليات واألحاديث املبيّنة ألحكام املواريث.

وحيث إن أهايل البَلد املذكورة إخواننا يف الدين والنصيحة مأمور هبا هلل ولرسوله

وللمسلمّي والسيما ّهذه البَلد هي بَلدي وبَلد آبائي وأجدادي. )بَلد هبا نيطت ّعلي ْتائمي

# وأّ ول أرض ّمس جسمي تراهبا( فأهلها أ ّحق عندي ببذل النصيحة ّواحلث على ترك هذه العادة

القبيحة شفقة ً عليهم من أليم العذاب يف يوم العرض على ّرب االرباب ومن مناقشة احلساب يف أخذ أموال مستحقي الفرائض على وجه االغتصاب فشرعت يف َترير هذه العجالة وجعلتها إليهم

وإىل من شاكلهم يف طريقتهم هذه من طريف رسالة تنوب عين يف ُمافلهم املنيفة بتأدية هذه

النصيحة الشريفة ومسيتها بالداعي املسموع يف رد على من يورث اْلخوة وأوالد األخوات مع وجود

3

األصول والفروع وها أنا قد ُبعثت به إىل ناديهم ومث ّلته بّي أيديهم حبيث يكون منهم مبسمع إذا

ت ُليت لديه املوعظة يتوب إىل اهلل وخيشع، وإين على أمل أكيد وشوق ما عليه من مزيد بأن جييبوا

رجع صويت هذا بالقبول ويلب ّوا هذا الداعي إىل اهلل بأنه لديهم مقبول فأكون قد أديت األمانة إىل

أهلها وأوصلت الضالة إىل ُمل ّها وأنقذ ُت طائفة مؤمنة ّهوة اهلاوية إىل أعلى درجات جنات ق ُطوفها

دانية وإن أعرضوا عنها صفحا ً وطووا عن اْلصغاء هلا كشحا ً ُكنت قد فككت رقبِت من ربقة

الكتمان ُوخرجت بذلك عن الضمان وإين أتوسل إىل اهلل العظيم بنبي هّ الوجيه الكرمي أن جيعلها يف ُمل القبول وأن يبلغنا وإخواننا هؤالء منها أقصى املأمول إنه مسيع قريب وما توفيقي إال باهلل عليه

توكلت وإليه أنيب.

وهذا أوان الشروع يف املقصود مستعينا مبن بيده مفاتيح الكرم واجلود )فنقول( اعلموا

وف قكمّ اهلل تعاىل للعمل بالشريعة ّالغراء والتمسك بالطريقة البيضاء أن أهل اجلاهلية كانوا على طرزكم من التوريث علي خَلف الشريعة قبل أن يبعث إليهم نبينا صلى اهلل عليه وسلم ولكن ملا

جاءهم النيب صلى اهلل عليه وسلم باآليات البينات آمنوا جبميع ما جاء به صلى اهلل عليه وسلم من

ِ ِّ ِ غري تفرقة بّي حكم وحكم آخر كما يدل عليه قوله تعاىل فَََل َوَربِّ َك َال ي ُْؤمنُ َون َحَّىّت ُحيَك ُم َوك ف َيما ِ ِ ِ ِ ِّ ِ َش َجَر ب َْي نَ ُه ْم ُمثَّ َال َجيُدوا يف أَ ُنفسه ْم َحَرًجا ِّممَّا قَ َضْي َت َويُ َسل ُم وا تَ ْسل ًيما )النساء: 65( كانوا ّيورثون الرجال دون النساء و الكبار دون الصغار ويقولون ال نورث أموالنا من ال يركب اخليل وال يضرب

بالسيف وكانوا يتوارثون باحللف أي العهد والنصرة وكانوا يف صدر االسَلم أيضا على املشهور كما

َِّ ِ يدل عليه َوالذ َين َعَقَد ْت أَْْيَان ُ ُك ْم فَآتُ ُوه ْم نَصيبَ ُه ْم ) النساء: 33( مث نسخت ذلك بآيات املواريث املتقدمة واألحاديث الواردة املذكورة يف ُملها.

4

والقصد هنا بيان حكم التوريث علي خَلف الشريعة و بيان ما يرتتب عليه ّورد ما ِ يتمسكون به من العلل الواهية املوصلة للهاوية فلنذكر أ ّوال ً ونقول إهنم ْتسكوا يف توريثهم َم ْن ذُك ر

بأمور )منها( أهنم يقولون إننا وجدنا أسَلفنا ّيورثون كذلك فَل يليق بنا أن خنالفهم على ذلك ألن

أخوالنا إمنا وصل إليهم ما وصل من األموال من أخواهلم فليس آلبائنا فيها شيء حّت ّنورثها أوالدنا ِ )ومنها( أن قلوبنا ُج ب لت على ُمبة أوالد أخواتنا دون أوالدنا فَل ّنورث الإ من حنب ّه )ومنها( أن

إخوتنا وأوالد أخواتنا هم الذين يقضون ديوننا إذا تداين اّ وهم الذين ْيرضوننا إذا مرضنا وينفقون

علينا إذا افتقرنا ويسعون يف حوائجنا إذا احتجنا واألوالد على العكس من ذلك فكيف ّنورثهم ونرتك هؤالء الذين بذلوا نفوسهم وأمواهلم وأرواحهم إلينا فنحن جمبورون على توريثهم كيف ال وقد

ِ ِ َِّ ِ قال تعاىل َه ْل َجَزاءُ ْاْل ْح َسان إال ْاْل ْح َس ُان )الرمحن: 6٠( وقال صلى اهلل عليه وسلم من أسدى إليكم معروفا فكافؤوه.

)ومنها( أن العادة ُّمك مة والشريعة ّمؤسسة بالعادة وهي بالشريعة فراعينا اجلانبّي ّفورثنا

اْلخوة وأوالد األخوات مراعاة ً للعادة و عملنا بالشريعة يف غريه ًمراعاة هلا )ومنها( أن ّنا إذا أردنا

التوريث على طبق الشريعة نشأت منه مفسدة أعظم من التوريث على خَلف الشريعة ألنه يرتتب

عليه نزاع ٌ ٌوخصام ٌوقتال بيننا وبّي إخواننا وأخواتنا وأوالد أخواتنا وبينهم وبّي أوالدنا وقد قال الفقهاء أن أصغر املفسدتّي جيوز ارتكابه لدفع أعظمهما )ومنها( أننا إذا أردنا توريث األوالد

احتجنا إىل ّرد ما بأيدينا من األموال إىل ورثة من ورث ْنا منهم وهم كذلك فيتسلسل ويستعذر اْلرث

الشرعي ) ومنها( أن شرط التوريث كون املال مملوكا للمورث وما بأيدينا ليس مملوكا لنا فَل جيوز لنا

أن ثّنور مال غرينا لورثتنا إىل غري ذلك من اخلرافات الِت تنفر من مساعها األسافل فضَل عن

5

األفاضل وينادي ببطَلهنا ُرمال السواحل لكن أردنا أن نقطع أطماعهم مما يظنوه شيأ ً ويزعمونه

دليَل ً دارئا ً ألننا ّمأمورون ببيان ما جاء به النيب صلى اهلل عليه وسلم لنخرج من الكتمان الذي ورد ِ َِّ ِ ِ ِ ِ ِ فيه الوعيد الشديد قال تعاىل إ َّن الذ َين يَ ْكتُُم َون َما أَ َنزلْنَا م َن الْبَ يِّ نَات َو ْاهلَُد ىى من ب َْعد َما ب َيَّ نَّاهُ للنَّ ِاس ِ ِ ِ ۖ ىِ َّ َّ ِ ِ َِّ يف الْكتَاب أُول َئ َك ي َْلَعنُ ُه ُم اللهُ َوي َْلَعنُ ُه ُم الَلعنُ َون )البقرة: 159( وقال تعاىل إ َّن الذ َين يَ ْكتُُم َون َّ ِ ِ ِ ِِ ِ ۖ ىِ ِ ِِ َِّ ِّ َما أَ َنزَل اللهُ م َن الْكتَاب َويَ ْشتَ ُر َون به ََثَنًا قَل ًيَل أُول َئ َك َما يَأْ ُكلُ َون يف بُطُوهن ْم إال النَّ َار َوَال يُ َكل ُمُه ُم َّ ِ ِ ِ ِ ىِ َِّ ِ اللهُ ي َْوَم الْقيَ َامة َوَال ي َُزِّكيه ْم َوَهلُْم َعَذ ٌاب أَل ٌيم )البقرة: 174(أُول َئ َك الذ َين ْاشتَ َرُوا َّالضََللَةَ ب ْاهلَُد ىى ِ ِ ِ ۖ ِ ِ َّ ِ َِّ َوالَْعَذ َاب بالَْمْغفَرة فََما أَ ْصبَ َرُه ْم َعلَى النَّار )البقرة: 175( وقال تعاىل َوإ ْذ أَ َخَذ اللهُ ميثَ َاق الذ َين ِ ِ ِ ِِ ِِ ِ ۖ ِ أُوتُوا الْكتَ َاب لَتُبَ يِّ نُ نَّهُ للنَّاس َوَال تَ ْكتُُمونَهُ فَ نَبَُذوهُ َوَراءَ ظُُهوره ْم َو ْاشتَ َرْوا به ََثَنًا ق َل ًيَل فَبْئ َس َما

يَ ْشتَ ُر َون )ال عمران: 1٨7( فهذه اآليات وإن كانت يف اليهود لكتمهم صفته صلى اهلل عليه وسلم ِ وغريها إال أن العربة بعموم اللفظ، ُوالكتم ُترك إظهار الشيء احملتاج إىل اظهاره فيؤخذ من هذه اآليات أن من كتم شيئا ً من أحكام الشرع مع احلاجة إىل إظهاره فقد حلقه هذا الوعيد الشديد

فوجب علينا ُّرد هم إىل الطريق املستقيم بقدر االستطاعة ورد شبههم واجلري معهم حّت نلزمهم

إبطال ما هم عليه بالدالئل القطعيّة ألنا مأمورون مبخاطبة كل قوم بقدر عقوهلم.

)فنقول إ ّن قولكم( إن ّا وجدنا أسَلفنا يورثون كذلك فَل يليق بنا أن خنالفهم )نقول لكم

يف جوابه( أتؤمنون مبا جاء به النيب صلى اهلل عليه وسلم وتنقادون له و تعتقدون حّق يته أم ال )فإن

قلتم ال قلنا( قد خرجتم عن دين االسَلم وصرمت يف مهالك الكفر والردة وحللتم يف مقام البعد

والطردة ووجب علينا االعتزال عنكم)وان قلتم نعم( )قلنا لكم( ما وجدمت عليه أسَلفكم هو مما

جاء به النيب صلى اهلل عليه وسلم أم ال )فإن قلتم نعم( )قلنا( قد كذبتم وردتكم آيات املواريث

6

وإمجاع املسلمّي على خَلف ما أنتم عليه املعلوم من الدين بالضرورة )وإن قلتم ال( )قلنا( أجيب

عليكم االنتهاء عنه والرجوع إىل ما جاء به النيب صلى اهلل عليه وسلم أم ال )فإن قلتم ال( )قلنا(

أنكرمت الواجب اجملمع عليه املعلوم من الدين بالضرورة ومن أنكر واجبا معلوما من الدين بالضرورة

فقد كفر )وإن قلتم نعم( )قلنا لكم( انتهوا عما أنتم عليه وخافوا عقاب اهلل وانتقامه ألن اهلل ِ سبحانه وتعاىل يعاقب كل من خالفه وعصاه وينتقم منه قال تعاىل فَ لََّما َآسُفُونَا انْ تَ َق ْمنَا مْن ُه ْم ِِ ِ ِ ِ ِ )الزخرف: 55( و قال تعاىل َوَمن يُ َشاقق ا َّلرُس َول من ب َْعد َما تَ بَ ََّّي لَهُ ْاهلَُد ىى َوي َتَّب ْع َغْي َر َسب ِيل ِِ ِِّ َّ ِِ ۖ ِ الُْمْؤمن َّي ن َُوله َما تَ َو ى ىل َونُ ْصله َجَهنَّ َم َو َساءَ ْت َمص ًريا )النساء: 155( السيما أنه يرتتب على التوريث على خَلف الشريعة معاص كثرية )منها( الغصب لَلستيَلء على حق الغري ظلما وقد ورد

ِ ِ الوعيد الشديد يف ذلك كتابا ً وسنة ً )أما الكتاب( فقوله تعاىل َوَال تَأْ ُكلُوا أَْمَوالَ ُكم ب َْي نَ ُكم بالْبَاطِل ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َوتُْدلُوا هبَا إَىل ْاحلُكام لتَأْ ُكلُوا فَرًيقا ِّم ْن أَْمَوال النَّ ِاس ب ْاْلْمث َوأَنتُ ْم تَ ْعلَُم َون )البقرة: 1٨٨( و قوله تعاىل ِ ِ ِ ِ َوَمن ي َْع ِص اللَّهَ َوَرُسولَهُ َوي َتَ َعَّد ُحُد َودهُ يُْدخْلهُ نَ ًارا َخالًدا ف َيها َولَهُ َعَذ ٌاب ُّمه ٌّي )النساء: 14( قال ۖ ِ ابن عباس فيما فرض اهلل من املواريث وقال تعاىل َوآتُوا الْيَتَ َام ىى أَْمَو َاهلُْم َوَال تَ تَبََّدلُوا ا ْخلَب َيث ِ َّ ِ ۖ ِ ِ ۖ ِ ِ بالطيِّب َوَال تَأْ ُكلُوا أَْمَو َاهلُْم إَىىل أَْمَوال ُك ْم إنَّهُ َك َان ُحوبًا َكب ًريا )النساء: 2(.

)وأما السنة( فقوله عليه الصَله والسَلم "من ظلم ًشربا من أرض طوقه اهلل إياه يوم القيامة من سبع أرضّي"، قيل أراد طوق التكاليف ال طوق التقييد وهو أن يكلف محلها يوم القيامة

واألصح كما قاله البغوي إنه خيسف به االرض فتصري البقعة يف عنقه كالطوق أخرجه الشيخان عن

عائشة رضي اهلل عنها، وقوله عليه الصَله والسَلم يف ما رواه البخاري وغريه "من أخذ من األرض

شربا بغري حقه خسف به يوم القيامة إىل سبع أرضّي"، وقوله عليه الصَلة والسَلم فيما رواه مسلم

7

ِ ِ ِ ِ : "ال ُيأخُذ َأحٌد شْب اًر من ِاألرض بغري ِّحقه، إال طََّوقه َاهلل إىل ِسبع َأرضّي َيوم القيامة"، وفيما رواه

اْلمام أمحد باسناد صحيح "من أخذ من األرض شربا ً بغري حقه طوقه من سبع أرضّي" والطرباين

وابن حبان واْلمام أمحد "أْيا رجل ظلم شربا من االرض كلفه اهلل عز وجل أن حيفر له حّت يبلغ به

سبع أرضّي مث يطوقه يوم القيامة حّت يقضى بّي الناس"، واْلمام أمحد والطرباين "من أخذ أرضا

بغري حقها كلف أن حيمل تراهبا إىل احملشر"، وروى الطرباين يف الكبري "من ظلم من األرض شربا

كلف أن حيفره حّت يبلغ املاء مث حيمله إىل احملشر" واْلمام أمحد والطرباين "من أخذ شيئا من

األرض بغري حقه طوقه من سبع أرضّي ال يقبل منه صرف وال عدل"، واْلمام أمحد بسند حسن

والطرباين يف الكبري عن ابن مسعود "قلت يا رسول اهلل اي الظلم أظلم فقال ذراع من األرض

ينتقصها املرء املسلم من حق أخيه فليس حصاة من االرض يأخذها إّال طوقها يوم القيامه إىل قعر

األرض وال يعلم قعرها إّال اهلل ال ّذي خلقها"، واْلمام أمحد بإسناد حسن "أعظم الغلول عند اهلل

ذراع يف االرضي َتدون الرجلّي جارين يف األرض أو يف الدار فيقتطع أحدُها من حظ صاحبه

ذراعا إذا اقتطعه طوقه من سبع أرضّي"، والطرباين "من غصب رجَل أرضا ظلما لقي اهلل وهو عليه

غضبان"، والطرباين يف الكبري والصغري "من أخذ من طريق املسلمّي شربا جاء به يوم القيامه حيمله

من سبع أرضّي" وابن حب ّان يف صحيحه عن أيب محيد الساعدي رضي اهلل عنه قال قال ل رسواهلل

صلى اهلل عليه وسلم "ال ّحيل ملسلم أن يأخذ عصا أخيه بغري طيب نفس منه قال ذلك لشدة ما

م ّحراهلل من مال املسلم على املسلم". )وال شك أنكم( أيها الوارثون حبكم العادة قد غصبتم وظلمتم أموال الورثة حبكم الشرع

بغري طيب نفسه منهم واملعتمد أنه ال فرق يف كون الغصب ًكبرية وأن فاعلها يستحق ذلك الوعيد

8

الشديد بّي القليل والكثري وال بّي األرض وغريها ألن أموال الناس وحقوقها وإن قل تّ ال يسامح

فيها بشيء وملا ذكر اجلَلل البلقيين بعض األحاديث السابقة يف غصب األرض قال هل يلحق

باالرض غريُها إذ ال قائل بالفرق يف التحرمي كما استويا يف التحرمي استويا يف الوعيد الشديد أو

ّيفرق بأن الغصب يف األرض يعظم ضرره خبَلف غريها هذا موضع نظر وقد ّحيتج لعدم الفرق حبديث "ثَلثة أنا خصمهم يوم القيامة فإن من مجلتها رجل استاجر أجريا فاستوىف منه العمل ومل

يوفه أجره" فقد توعّد هبذا الوعيد الشديد يف غصب حقه من األجرة وأيضا األصحاب ّمصرحون بأنه ال فرق يف كون الغصب كبرية بّي األرض وغريها من األموال ّويدل على عدم الفرق أيضا

حديث العصا املتقدم. )ومن مسع هذه األحاديث( وتأمل بعّي بصريته يف هذا الوعيد الشديد إن

كان مؤمنا بقلبه نزع نفسه من توريث اْلخوة وأوالد األخوات و أشفق على نفسه و محاها عن

هذه املهالك قبل أن يغلق عليه باب التوبة بالغرغرة وقبل أن يندم حيث ال ينفع الندم وان مل يندم

على مبارزة الشريعة ويتمادى على اتباع نفسه األ مارة فَل خيلوا أمره ّ)إما( أن يكون ّشاك ا فيما أخرب

به النيب صلى اهلل عليه وسلم و من شك فيه فهو ٌمنافق ٌمنسلخ عن اْلْيان واْلسَلم )وإما( أن

يكون مغلوبا على عقله بالشهوات والل ّّذ ات فيخشى عليه أن خيتم عليه بسوء اخلاْتة ومما يشهد

ذلك أن ّنا قد شاهدنا بعض من ّيورث على خَلف الشريعة عند حضور موته قيل له ِّورث باْلرث ِ الشرعي فقال ال وإن كان شرع ا ّلنيب كذلك فهذا ُخ ت م عليه بسوء اخلاْتة كيف واملعصية ُبريد الكفر أجارنا اهلل وأوالدنا و أحبابنا من ذلك.

ِ )ومنها( أكل أموال اليتيم نإ كان يف الورثة ٌيتيم وقد دور الوعيد الشديد فيه قال تعاىل إ َّن َِّ َِّ ِ ِِ ۖ ِ الذ َين يَأْ ُكلُ َون أَْمَو َال الْيَتَ َام ىى ظُْلًما إمنَا يَأْ ُكلُ َون ف ي بُطُوهن ْم نَ ًارا َو َسيَ ْصلَْوَن َسع ًريا )النساء:1٠(

9

قال ابن حجر يف الزواجر قوله إمنا ياكلون اخل خربان ويف بطوهنم متعلق بيأكلون خَلفا ملن منعه أو

ِ ِ ِ حال من نار أي نارا كائنة ً يف بطوهنم وذكر وتاكيدا أو مبالغة على حد قوله تعاىل ي َُق ْ ول ُْ وَن ب أ َفْ َواه ه ْم ِ ِ ِ ِ و قوله تعاىل َوال َ ط َائ ر ي َط ْي ُر جب َن َ َاح ْي ه وأفاد كونه ظرفا ً لياكلون نأ بطوهنم أوعية النار بأن خيلق اهلل

هلم نارا ياكلوهنا يف بطوهنم أو جمازا من إطَلق املسب ّب وإراده السبب لكونه يفضي إليه ويستلزمه واملراد باألكل هنا سائر أنواع اْلتَلفات فإن ضرر اليتيم ال خيتلف بكون إتَلف ماله بأكل أو غريه

وخص األكل بالذكر أل ّن عامة أمواهلم ذلك الوقت األنعام وهي يؤكل ُحلم ها و ي ُ َشرب لبن ُها أو

لكونه هو املقصود األعظم من التصرفات، والسعري ُ ُاجلمر املتّ َق د من ُسعرت َالنار أوقدهتا ولشدة الوعيد الذي تضمنته هذه اآلية.

قال ابن دقيق العيد أكل مال اليتيم ّجمرب لسوء اخلاْتة والعياذ باهلل و من مث ّ ملا نزلت اآلية ِ ِ َّترجت الصحابة رضوان اهلل عليهم وامتنعوا من خمالطة اليتامى حّت نزل قوله تعاىل َوإ ْن ُت َال ط ُْ وُه ْم ِ فَإ ْخ َوان ُ ُك ْم ، وزعم أن هذه ناسخة ٌ لتلك ٌوهم ٌفاحش أل ّن تلك يف منع أكلها ظلما ً وهذا ال ينسخ وإمنا املراد أن خمالطتهم املمنوعة الشديدة الوعيد والعقاب والعَلمة على سوء اخلاْتة وتأكيد العذاب

هي الِت على وجه الظلم وإال كان من أعظم القربات يف اآليه األوىل يف الشق األّ ول والثانية يف ِ ِ َِّ ِ َِّ الشق الثاين وهذا ظاهر جلي وقد مجع تعاىل بينهما يف قوله ّعز ّوجل َوال َ تَ ْق َرب ُْ وا َم َال ال ْي َت ْي م إ ال ب ال ْ ِت ِ ه َي أ َ ْح َس ُن َح َّّت ي َْب ل َُغ أ َ ُش َّد ه ُ وقد نب ّه تعاىل على تأ ّك د حق األيتام ومزيد االعتناء بقوله قبل هذه َِّ ِ ِِ ِ ِ َّ ِ اآلية َولْيَ ْخ َش الذ َين لَْو تَ َرُكوا م ْن َخْلفه ْم ذُ ِّريَّةً ضَعافًا َخافُوا َعلَْيه ْم فَ ْليَتَّ ُقوا اللهَ َولْيَ ُقولُوا قَ ْوًال َسد ًيدا )النساء: 9( إذ املراد بشهادة السياق خَلفا ملن محل اآلية على أهنا يف الوصية بأكثر من الثلث أو

حنو ذلك احلمل ملن كان يف حجره ٌيتيم على أنه حيسن إليه حّت يف اخلطاب فَل خياطبه إّال بنحو

10

ياب ُ ّين مم اّ خياطب به أوالده ويفعل معه من الرب واملعروف واْلحسان والقيام يف ماله ما حيب أن يفعل مباله وبذريته من بعده فإن اجلزاء من جنس العمل وجاء التشديد يف أموال اليتامى أو الظلم فيها

أحاديث كثرية موافقة ملا يف اآلية من ذلك الوعيد الشديد َتذيرا للناس من هذه الوخيمة املهلكة ما

أخرجه مسلم وغريه "يا أبا ّذر إ ّين أراك ضعيفا ً وإ ّين أ ّحب لك ما أحبه لنفسي ال تأ ّمرن على اثنّي

وال ّتلّي مال يتيم"، وما أخرجه الشيخان وغريُها "اجتنبوا السبع املوبقات أي املهلكات قالوا يا

رسول اهلل ما هن؟ قال الشرك باهلل والسحر وقتل النفس الِت حرم اهلل الإ ّباحلق ّوالربا وأكل مال

اليتيم" احلديث، وما رواه ّالبزار "الكبائر سبع اْلشراك باهلل وقتل النفس بغري حق وأكل الربا وأكل

مال اليتيم" احلديث، وما أخرجه احلاكم وصححه "أ ٌربع حق على اهلل أال يدخلهم اجلنة وال يذيقهم ِ نعيمها ُم دم ن اخلمر وآكل الربا وآكل مال اليتيم بغري حق و ّالعاق لوالديه". وما أخرجه ابن حبان يف صحيحه أن من مجلة كتابه صلى اهلل عليه وسلم الذي أرسله مع

عمرو بن حزم إىل أهل اليمن "وإن أكرب الكبائر عند اهلل يوم القيامة اْلشراك باهلل و قتل النفس

املؤمنة بغري حق والفرار يف سبيل اهلل يوم الزحف وعقوق الوالدين ورمي احملصنة و تعلم السحر وأكل

الربا وأكل مال اليتيم"، وما أخرجه أبو يعلى "يبعث يوم القيامة قوم من قبورهم ّتأج ج أفواههم نارا ِ َِّ َِّ فقيل من هم يا رسول اهلل قال أمل تر أن اهلل يقول إ َّن الذ َين يَأْ ُكلُ َون أَْمَو َال الْي َتَ َام ىى ظُْلًما إمنَا يَأْ ُكلُ َون ِ ِِ يف بُطُوهن ْم نَ ًارا )النساء:1٠(" وهي حديث املعراج عند مسلم "فإذا أنا برجل قد ّوك ل هبم ٌرجال ّيفكون حلاهم جييئون بالصخور من النار سيقضي يسوهنا يف أفواههم فتخرج من أدبارهم فقلت يا

جربيل من هؤالء قال الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إمنا يأكلون يف بطوهنم نارا" ويف تفسري

القرطيب عن أيب سعيد اخلذري عن النيب صلى اهلل عليه وسلم أنه قال "رأيت ليلة أسري يب قوما هلم

11

مشافر كمشافر اْلبل وقد وكل هبم من يأخذه مشافره مث جيعل يف أفواههم صخرا من نار ترج من

أدبارهم فقلت يا جربيل من هؤالء قال هم الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما".

)فيا إخواين( أما آن لكم الرجوع إىل أقوم طريق وقد اجنلت لكم أسباب التوفيق باألخذ

هبذه األحاديث الواردة عن النيب الشفيق فإن أخذمت هبا تلحقوا يف الدرجات العلى مبصاحبة أعلى

رفيق وإن كمّصد عن احلق اتباع هواكم املؤدي إىل فعل ما ال يليق فيخشى عليكم سوء اخلاْتة عند

مفارقة احلبيب والصديق، )ومنها( أي مما يرتتب على التوريث علي خَلف الشرع األمن من مكر

اهلل تعاىل وذلك ألن من ْتادى على خمالفة الشريعه يف توريث من مل يرث شرعا مع عدم اخلوف من

وعيده وأليم عذابه تبّي أنه أمن مكر اهلل وهو من الكبائر دلورو الوعيد الشديد بذلك قال تعاىل فََل َِّ ِ ِ ىِ َِّ ِ يَأَْم ُن َم ْكَر الله إال الَْقْومُ ْاخلَاسُر َون )األعراف: 99( وقال تعاىل َو ذَل ُك ْم ظَنُّ ُك ُم الذي ظَنَنتُم بَربِّ ُك ْم ِ أَْرَد ُاك ْم فَأَ ْصبَ ْحتُم ِّم َ ن ْاخلَاسِر َين )فصلت: 23(.

وإي ّاكم أن تغ رتّوا بإعطاء اهلل لكم هذه األموال املغصوبة وإمهاله لكم حّت ْتتعتم هبا

وزعمتم أنه أنعم عليكم مبا َتب ّون فإن ذلك ليس بنعمة بل هو نقمة ٌواستدراج ففي احلديث إذا

رأيت اهلل يعطي العبد مبا ّحيب أي مبا حيبه العبد وهو ٌمقيم على معصيته فإمنا ذلك منه استدراج مث ِّ ِِ ِ ِ ِ ِ تَل قوله تعاىل فَ لََّما نَ ُسوا َما ذُكُروا به فَ تَ ْحنَا َعلَْيه ْم أَبْ َو َاب ُك ِّل َش ْيء َحَّى ّت إذَا فَرُحوا مبَا أُوتُوا ِ ِ أَ َخ ْذنَ ُاهم ب َْغتَةً فَإذَا ُهم ُّمْبل ُس َون )األنعام: 44( أي آيسون من النجاة و كل خري وهلم احلسرة واحلزن واخلزي الغرتارهم برتادف النعمة عليهم مع مقابلتهم هلا مبزيد االعراض واالدبار فكيف

تأمنون من مكر اهلل بارتكابكم هذه املعصية الفظيعة والضَللة القبيحة وهي توريثكم اْلخوة وأوالد

12

األخوات مع وجود األصول والفروع وتالفون أوامر اهلل ألجل الدنيا الفانية الِت حَلهلا حساب

وحرامها عقاب.

أما مسعتم ما قصه اهلل تعاىل علينا من قصة بلعام عامل بين إسرائيل حيث أمن مكر اهلل

فقنع بالفاين من حطام الدنيا عن الباقي من نعيم اجلنة فأطاع هواه وقبل مابذل له على أن يدعو

على موسى على نبينا وعليه أفضل الصَلة والسَلم فاندلع لسانه على صدره وصار يلهث كالكلب

وسلبه اهلل اْلْيان والعلم واملعرفة وكذلك برصيصا العابد مات على الكفر بعد عبادته الِت ال تطاق

وكابن السقاء ببغداد من مشاهريها فضَل ً وذكاء ً وقع له مع بعض األولياء أنه أنكر عليه فدعى عليه فانتقل به احلال إىل القسطنطينية فهوى امرأة فتنصر ألجلها مث مرض فألقي على الطريق يسال فمر

به بعض من يعرفه فسأله عن حاله فحكى له فتنته وأنه تنصر واآلن يريد أن يستحضر حرفا واحدا

من القرآن فَل يقدر عليه وال ْير خباطره قال ذلك الرائي فمررت عليه بعد قليل فرأيته ُمتضرا وجهه

إىل املشرق فصرت كل ما أدرت وجهه إىل القبله التفت للمشرق وال زال كذلك حّت خرجت

روحه.

وكان مبصر مؤذن عليه سيما الصَلح فرأى نصرانية من املنارة فافتنت هبا فذهب إليها

فامتنعت أن َتيبه لريبة فقال النكاح فقالت أنت مسلم وال يرضى أيب فقال إنه ّيتنص ر فقالت االن

أجيبك فتنصر ووعدوه أن يدخلوه عليها ففي أثناء ذلك اليوم رقي سطحا حلاجة فزل ّت به قدمه

فوقع ميتا فَل هو بدينه وال هو هبا فنعوذ باهلل من مكره ونعوذ به منه ومبعافاته من عقوبته وبرضاه

من سخطه، ومن مث قال العلماء اذا كانت اهلداية مصروفة واالستقامة على مشيئته موقوفة والعاقبة

مغيبة واْلرادات غري معلومة وال مغالبة فَل تعجبوا بإْيانكم وصَلتكم ومجيع قربكم فإهنا ُمض

13

فضل ربكم وجوده فلرمبا سلبها عنكم بإصراركم على معاصيه كالتوريث على خَلف الشرع وغريه

فتقعوا يف ّةهو الندم حيث ال ينفع الندم فعليكم بالتوبة واْلقَلع عما أنتم عليه وإنقاذ مهجتكم من أليم عقابه إن كنتم مؤمنّي.

)ومنها( أي من املفاسد املرتتبة على التوريث على خَلف الشريعة الظلم بأخذ أموال الورثة

َّ ِ َّ ِ ۖ َِّ الشرعيّي وقد دور الوعيد الشديد قال تعاىل َوَال ََْت َسَََّب اللهَ َغافًَل َعَّما ي َْعَم ُل الظال ُم َون إمنَا ِ ِ ِ َِّ ي َُؤِّخُرُه ْم ليَ ْوم تَ ْش َخ ُص فيه ْاألَبْ َص ُار )إبراهيم: 42( وقال تعاىل يا أَي َُّها الذ َين َآمنُوا َال تَأْ ُكلُوا أَْمَوالَ ُكم ِ ِ َِّ ِ ۖ ۖ ِ َّ ِ ب َْي نَ ُكم بالْبَاطِل إال أَن تَ ُك َون َتَ َارةً َعن تَ َر اض ِّم ُنك ْم َوَال تَ ْقتُ لُوا أَ ُنف َس ُك ْم إ َّن اللهَ َك َان ب ُك ْم ِ ىِ ِ ِ ۖ ىِ َِّ َرح ًيما )النساء: 29( َوَمن ي َْفَع ْل ذَل َك عُ ْدَوانًا َوظُْل ًما فَ َسْو َف نُ ْصليه نَ ًارا َوَك َان ذَل َك َعلَى الله ِ ِ َّ ِِ ِ ِ ِ يَس ًريا )النساء:3٠( و قال تعاىل َما للظالم َّي م ْن َمحيم َوَال َشف يع يُطَاعُ )غافر: 1٨( وأخرجه الشيخان عن أيب بكر رضي اهلل عنه "أنرسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم قال يف خطبته مبىن يف

حجه الوداع إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا يف شهركم هذا يف

بلدكم هذا وستلقون ربكم فيسألكم عن أعمالكم أال فَل ترجعوا بعدي ّكف ارا ً يضرب بعضكم

رقاب بعض"، وروى مسلم عن أيب ذر قال "قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم فيما يرويه عن ربه

أنه قال يا عبادي إ ّين ّحر ُمت الظلم على نفسي وجعلته حراما بينكم فَل تظلموا"، وروى أمحد

والبيهقي عن ابن عمر "اتقوا الظلم فإن الظلم ٌظلمات يوم القيامة" وروى الشيخان عن أيب موسى ى ِ ِ ِ ِ ۖ ِ َّ "أن اهلل ْيلي للظامل فإذا أخذه مل يفلته مث قرأ َوَكَذ ل َك أَ ْخُذ َربِّ َك إذَا أَ َخَذ الُْق َر ىى َوه َي ظَالَمةٌ إن ِ ِ أَ ْخَذهُ أَل ٌيم َشد ٌيد )هود: 1٠2(".

14

فيخشى عليكم يف ْتاديكم على هذه املظلمة باخذ أموال الوارثّي أن حيل عليكم هذا

الوعيد الشديد وروى مسلم عن أيب هريرة أنه صلى اهلل عليه وسلم قال "أتدرون من املفلس من

أمِت من يأيت يوم القيامة بصَلة وصيام وزكاة فيأيت قد شتم هذا وأكل مال هذا وسفك دم هذا

وضرب هذا فيعطي هذا من حسناته وهذا من فإن فنيت حسناته قبل أن يقضي ما عليه أ ُخذ من

خطاياهم فط ُرحت عليه مث ط ُرح يف النار"، وروى الطياليسي ّوالبزار عن أنس " ُالظلم ثَلثة ٌفظلم ال ِ يغفره اهلل ٌوظلم يغفره وظلم ال يرتكه فأما الظلم الذي ال يغفره فالشرك قال تعاىل إ َّن ِّالشْرَك لَظُْل ٌم ِ ِ َّ ِ ِِ ِ ىِ ِ َعظ ٌيم )لقمان: 13( وقال تعاىل إ َّن اللهَ َال ي َْغفُر أَن يُ ْشَرَك به َوي َْغفُر َما ُد َون ذَل َك لَمن يَ َشاء ُ

)النساء: 116( أّما الظلم الذي يغفره اهلل فظلم العباد أنفسهم فيما بينهم وبّي ّرهب م وأما الظلم الذي ال يرتكه اهلل فظلم العباد بعضهم بعضا حّت يدين لبعضهم من بعض"، وروى الديلمي عن

حذيفة "الظلمة وأعواهنم يف النار" وروى اخلطيب عن علي رضي اهلل عنه "اتق دعوة املظلوم فإمنا

يسألون اهلل تعاىل ّحق ه وإن اهلل ال ْينع ذي حق حقه" وروى الطيالسي عن أيب هريرة رضي اهلل عنه

"دعوة املظلوم مستجابة وإن كان فاجرا ففجوره على نفسه"، وروي عن عبد اهلل بن أنيس قال

مسعت رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم يقول "حيشر العباد يوم القيامة حفاة ً عراة ً ًغرال ًهبم ا فيناديهم

مناد بصوت يسمعه من بعد كما يسمعه من قرب أنا امللك ّالد ي ّان الذي ال ينبغي ألحد من أهل اجلنة أن يدخل اجلنة وواحد من أهل النار يطلبه مبظلمة حّت اللطمة فما فوقها وال ينبغي ألحد من

أهل النار أن يدخل النار وعنده مظلمة حّت اللطمة فما فوقها وال يظلم ربك أحدا قلنا يا رسول

اهلل كيف وإمنا أتى اهلل حفاة عراة قال باحلسنات والسيئات جزاء ً وال يظلم ربك أحدا وعن ابن عباس قال يؤخذ بيد العبد واألمة يوم القيامه فينادى به على رؤوس اخلَلئق هذا فَلن ابن فَلن من

15

كان له عليه حق فليات حقه قال فتفرح املرأة أن يكون هلا حق على ابنها أو أخيها مث قرأ فَََل ِ أَ َنس َاب ب َْي نَ ُه ْم ي َْوَمئذ َوَال ي َتَ َساءَلُ َون )املؤمنون: 1٠1( قال فيغفر اهلل من حقه ما يشاء وال يغفر من حقوق الناس شيئا فيقضي فينصب العبد للناس مث يقول اهلل ألصحاب احلقوق ائتوا إىل حقوقكم

قال فيقول يا رب فنيت الدنيا فمن أين أوفيهم ّحقوقهم فيقول اهلل ملَلئكته خذ من حسناته فأعطوا

كل ذي حق حقه بقدر طلبته فإن كان وليا هلل وفضل له مثقال ذرة ضاعفها اهلل حّت يدخل اجلنة

هبا وإن كان عبدا شقيا و مل يفضل له شيء ٌ فتقول املَلئكه رب ّنا فنيت حسناته وبقي طالبون فيقول اهلل خذ من سيئاهتم فأضيفوه ىلإ سيئاته مث ّصك وا له ّصك ا إىل النار". فيا فرحة الورثة الشرعيّي

حينئذ حبسنات الورثة العاديّي إن كان هلم حسنات وإال فرحوا باعطاء سيئاهتم للورثة العاديّي

فاعتربوا هذه األحاديث واآلثار وانصفوا من نفسكم و اختاروا هلا ما ينجيها من هذه األهوال

بالتوبة والندم على ما سلف من الظلم بأخذ املواريث من مستحقيها.

)ومنها( أي املفاسد املرتتبة على التوريث على خَلف الشريعة أكل احلرام بأكل مرياث

الوارثّي، فما دمتم عليه ال يقبل لكم صَلة وال زكاة وال حج وال صدقة وال دعاء وال غريها قال ابن

رسَلن يف زبده: وطاعة ٌ ممن حراما ً يأكل# مثل البناء فوق موج جيعل، وذلك ألن شرط قبول

األعمال أكل احلَلل ما دام اْلرث على خَلف الشرع كان مأكلكم حراما ومشربكم حراما

وملبسكم حراما وسكناكم حراما ألن مجيع ما بأيديكم من أراضي الزراعة والدور وغريُها و أكثر

األموال هو مم اّ جيري عليه اْلرث بغري حق أو مم ّا نتج مم اّ ورث بغري حق أو مم اّ اشرتى باملال املوروث

بغري حق وهو معلوم عندكم واستعمال ذلك كله وتناوله حرام وروي " ّأن سعيد بن جبري سأل رسول

اهلل صلى اهلل عليه وسلم أن يسأل اهلل أن جيعله جماب الدعوة فقال له أطب طعمتك تستجب

16

دعوتك" وملا ذكر النيب صلى اهلل عليه وسلم احلريص على الدنيا قال " ّرب أشعث أغرب دّمشر يف

األسفار مطعمه حرام وملبسه حرام وغدا باحلرام يرفع يديه فيقول يا ّرب يا ّرب فأ ّن يستجاب

لذلك" ويف حديث ابن عباس عن النيب صلى اهلل عليه وسلم "أ ّن هلل ملكا على بيت املقدس ينادي

كل ليلة من أكل حراما مل يقبل منه ٌصرف وال ٌعدل " فقيل الصرف النافلة والعدل الفريضة وقال

صلى اهلل عليه وسلم "من اشرتي ثوبا بعشرة دراهم ويف َثنه درهم حرام مل يقبل اهلل صَلته ما دام

عليه منه شيء" وقال صلى اهلل عليه وسلم "كل حلم نبت من حرام فالنار أوىل به" وقال صلى اهلل

عليه وسلم "من مل يبال من أين اكتسب املال مل يبال اهلل من أين أدخله النار" وقال عليه الصَلة

والسَلم "العبادة عشرة أجزاء تسعة منها يف طلب احلَلل"، روي هذا مرفوعا وموقوفا على بعض

الصحابة وقال صلى اهلل عليه وسلم "من أصاب ماال من مأمث فوصل به رمحا أو تصدق به أو أنفقه

يفسبيل اهلل مجع اهلل ذلك مجيعا مث قذفه يف النار".

)فما دمتم( على هذه العادة القبيحة فَل تنالون من صَلتكم وصيامكم وحجكم إال ّ جمرد

التعب واملشقة وال تكاد تصفو لكم عبادة وال تصدر من جوارحكم طاعة مقبولة ملا روى أبو هريرة

رضي اهلل عنه املعدة حوض البدن والعروق إليها واردة فإذا صحت املعدة صدرت العروق بالصحة

وإذا سقمت صدرت بالسقم ومثل الطعمة من الدين مثل األساس من البنيان فإذا ثبت األساس

وقوى استقام البنيان وارتفع وإذا ضعف األساس ّواعوج اهنار البنيان ووقع وقال تعاىل أَفََم ْن أَ َّس َس ِ َِّ ِ ِِ ِ ِ ب ُْن يَانَهُ َعلَ ىى تَ ْقَو ىى م َن الله َور ْضَوان َخْي ٌر أَم َّم ْن أَ َّس َس ب ُْن يَانَهُ َعلَ ىى َشَفا ُجُرف َهار فَانْ َه َار به يف نَار ۖ َّ ِ َّ ِِ َجَهنَّ َم َواللهُ َال ي َْهدي الَْقْوَم الظالم َّي )التوبة: 1٠9( ويف احلديث "من اكتسب ماال من حرام فإن تصدق به مل يقبل منه وإن تركه وراءه كان زاده اىل النار".

17

)فيا إخواين( أسسوا أعمالكم بأساس احلَلل وانتهوا عما أنتم عليه من الضَلل لرتتقوا

بتوريثكم باْلرث الشرعي إىل مراتب الكمال و تفوزوا جبنان األعمال وتنتظموا مع املؤمنّي الذين

يؤمنون بالغيب يف سائر األحكام واألحوال وقد روى صاحب رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم أيب

بكر الصديق أنه شرب لبنا من كسب عبده مث سأل عبده فقال كهنت لقوم فأعطوين فأدخل

أصابعه يف فيه وجعل يقيء حّت ظننت أن روحه ستخرج مث قال اللهم إ ّين أعتذر إليك مم اّ محلت

العروق وخالط األمعاء ويف بعض األخبار "أ ّن النيب صلى اهلل عليه وسلم أ ُخرب بذلك فقال أ ََ وَم ا

علمتم أن الصديق ال يدخل جوفه إال طي ّبا ً"، وكذلك شرب عمر رضي اهلل عنه من لَب إبل الصدقة

غلطا ً فأدخل أصبعه وتقيأ، وقال عبد اهلل بن عمر رضي اهلل عنهما لو صل ّيتم حّت تكونوا كاحلنايا

وصمتم حّت تكونوا كاألوتار مل يقبل ذلك منكم إال ّ بورع حاجز وقال سفيان الثوري رضي اهلل عنه

من أنفق من احلرام يف طاعة اهلل كان كمن طهر الثوب النجس بالبول والثوب النجس ال يطهره إال

املاء والذنب ال يكفره إال احلَلل وقال ابن عباس رضي اهلل عنه ال يقبل اهلل صَلة امرئ يف جوفه

حرام وقال سهل التسرتي ال يبلغ العبد حقيقة اْلْيان حّت يكون فيه أربع خصال أداء الفرائض

بالسنة وأكل احلَلل بالورع واجتناب النهى من الظاهر والباطن والصرب على ذلك اىل املوت، وقال

سهل رضي اهلل عنه من أكل احلرام عصت جوارحه شاء أم أىب علم أو مل يعلم ومن كانت طعمته

حَلال أطاعته جوارحه ووفقت للخريات إىل غري ذلك من مآثر الصاحلّي. فهؤالء الذين جيب

االقتداء هبم ويتعّي التشبه بآثارهم ال أسَلفكم املنتسبون للطريقة احملمديه مع كوهنم خمالفّي

ألحكامها يف اْلرث بالشريعة القائلّي إن ّا وجدنا آباءنا على أّم ة وإن ّا على آثارهم مقتدون فيما هم عليه من العادة وفقنا اهلل وإياكم ملا حيبه ويرضاه.

18

)ومنها( أي من املعاصي املرتتبة على التوريث على خَلف الشريعة اخليانة يف األمانة وذلك

ألن املال املوروث هو أمانة اهلل تعاىل ملستحقيه وخيانتهم فيه بأخذهم إياه اقيتاتا ً على الورثة

الشرعيّي وعدم إيصاله إليهم وقد ورد الوعيد الشديد يف اخليانة يف األمانات قال تعاىل إِ َّن اللَّهَ ِ ِ ِ يَأُْمُرُك ْم أَن ت َُؤُّدوا ْاألََمانَات إَى ىل أَْهلَها )النساء: 5٨( وإن نزلت يف بين شيبة لكن العربة بعموم اللفظ

ال خبصوص السبب، قال احلافظ أبو نعيم يف احللية ومم ّن قال إن اآلية ّعامة يف اجلميع الرباء بن عازب وابن مسعود وأيب بن كعب قالوا األمانة يف كل شيء يف األموال وغريها واألمانة يف النفس

بأن خيتار هلا األنفع واألصلح هلا يف الدين والدنيا وأن جيتهد يف خمالفة شهواهتا وإراداهتا فإهنا ّالسم

الناقع املهلك ملن أطاعها يف الدنيا واآلخرة. قال أنس ّفلما خطبنا رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم َِّ إىل أن قال أال ال إْيان ملن ال أمانة له وال دين ملن ال عهد له وقال تعاىل يَا أَي َُّها الذ َين َآمنُوا َال ِ َتُونُوا اللَّهَ َو َّالرُس َول َوَتُونُوا أََمانَات ُك ْم َوأَنتُ ْم تَ ْعلَُم َون )األنفال: 27( أي ال تونوه بارتكاب معاصيه و خمالفة أوامره ونواهيه الِت من مجلتها خمالفة أمره يف اْلرث الذي أمر به يف ُمكم كتابه.

وأمانة اهلل بالعلماء أن حيملوا العامة على الطاعة و األخَلق احلسنة و االعتقادات

الصحيحة وأن ينهوهم عن املعاصي وسائر القبائح كالتعصبات الباطلة الِت من مجلتها تعصباتكم

على التوريث على خَلف الشريعة روي أ ّن اهلل تعاىل خلق الدنيا كالبستان وزي ّنها خبمسة أشياء بعلم العلماء وعدل األمراء وعبادة الصاحلّي ونصيحة املستشار وأداء األمانة فقرن إبليس مع العلم

الكتمان ومع العدل اجلور ومع العبادة الرياء ومع النصيحة الغش ومع األمانة اخليانة، وروى الطرباين

ال إْيان ملن ال أمانة له وال صَلة ملن ال طهور له احلديث وروى البزار عن علي كرم اهلل وجهه قال

"كنا جلوسا مع رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم فطلع علينا رجل من أهل العالية فقال يا رسول اهلل

19

أخربين بأشد شيء يف هذا الدين وألينه فقال صلى اهلل عليه و سلم ألينه شهادة أن ال إله إال اهلل

وأن ُممدا عبده ورسوله وأ ّشد ه يا أخا العالية األمانة إنه ّال دين ملن ال أمانة له وال صَلة وال زكاة"

احلديث.

وقد عظم اهلل سبحانه وتعاىل أمر األمانة تعظيما بليغا وأ ّك ده تأكيدا شديدا فقال عز وجل ِ إنَّا َعَر ْضناَ ْاألََمانَةَ أي التكاليف الذي كلف اهلل هبا عباده من امتثال األوامر الِت من مجلتها اْلرث ِ ِ ِ الشرعي واجتناب النواهي الِت من مجلتها حرمان الورثة الشرعيّي َعلَى َّالسَم َاوات َوْاألَْر ِض َو ْاجلبَال ِ ِ ِ ۖ ِ فَأَب ََّْي نأَ َْحيمْلنَ َها َوأَ ْشَفْق َن مْن َها َوَمحَلََها ْاْل َنس ُان اي آدم وذريته إنَّهُ َك َان ظَلُ ًوما َجُه ًوال )األحزاب:

72( أي لنفسه بقبول تلك التكليفات الشاقه ّجدا جهوال أي مبشقتها الذي ال تتناهى،

واألحاديث واآلثار يف ذم اخلائن يف األمانه كثرية ال َتصى واخليانة فيها شاملة لرتك التوريث على

خَلف الشريعة.

فليتق اهلل مؤمن رأى هذا الوعيد الشديد ولينته عن اخليانة يف األمانة الشاملة لرتك اْلرث

الشرعي كما عرفت وليبادر ملا هو خري له عند اهلل وليرتك ما هو ّشر له عند اهلل واخللق أمجعّي فإننا جند مجيع احليوانات ذوات التمييز ولو بعض التمييز حينون إىل أوالدهم وجند مجيع املال على توريث

الفروع واألصول وأنتم خبَلف ذلك عاقب اهلل من ّسن هذه الطريقة القبيحة قال رسول اهلل صلى ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ اهلل عليه وسلم "َم ْن َس َّن يف اْل ْسَلم ُسنَّةً َح َسنَةً فَ لَهُ أَ ْجُرَها َوأَ ْجُر َم ْن َعم َل هبَا ب َْعَدهُ م ْن َغْري أَْن ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ي َْن ُق َص م ْن أُ ُجوره ْم َش ْيءٌ َوَم ْن َس َّن يف اْل ْسَلم ُسنَّةً َسيِّئَةً َك َان َعلَْيه وْزُرَها َو وْزُر َم ْن َعم َل هبَا م ْن ِِ ِ ِ ِ ِِ ب َْعده م ْن َغْري أَْن ي َْن ُق َص م ْن أَْوَزاره ْم َش ْيء ٌ وصح أيضا من سن خريا ،فاسنت به ، فله أجره ومثل

أجور من اتبعه غري منتقص من أجورهم شيئا ، ومن ّسن شرا ، ّفاسنت به; كان عليه وزرها ومثل

20

أوزار من اتبعه غري منتقص من أوزارهم شيئا"، ويف رواية "من سن سنة حسنة فله أجرها ما عمل هبا

يف حياته وبعد مماته حّت ترتك ومن سن سنة سيئة فعليه إَثها حّت ترتك ومن مات مرابطا جرى ِ ِ عليه عمل املرابط حّت يبعث يوم القيامة" وعن الرتمذي "َم ْن ْأحيا ُسنَّةً من ُسنَِِّت ْقد أُميتَ ْت بَعدي ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ َّفإن لهُ من األجر م َثل َم ْن َعم َل هبا من َغري ْأن ي َْن ُق َص من أُ ُجوره ْم شيءٌ َوم ِن ابْ َتد َع بدعةً َضَللَة ًال ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ي َْر َضاها اهللُ ورسولُهُ كان عليه مثلُ آثام َمن َعم َل هبا ال يُنق ُص ذلك من أوزار الناس شيئًا َوَم ْن ابْ تََد َع ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ب ْد َعةَ َضََللَة َال ت ُْرضي اللهَ َوَرُسولَهُ َك َان َعلَْيه مثْلُ آثَام َم ْن َعم َل اهبَ َال ي َْن ُق ُص ذَل َك م ْن أَْوَزار النَّاس

َشْيئًا"، وروى ابن ماجه وغريه ان هلذا اخلري خزائن ولتلك اخلزائن مفاتيح فطوىب لعبد جعله اهلل مفتاح للخري و مغَلقا للشر وويل لعبد جعله اهلل مفتاحا للشر مغَلق للخري و يف اخلرب الصحيح

لعن اهلل من أحدث حدثا قال ابن القيم الكبرية تتلف باختَلف احلدث نفسه فكلما كان أكرب

كانت الكبرية أعظم.

)فيا إخواين( إن هذه األحاديث كما تصدق على من أبدع هذه الضَللة تصدق على من

عمل هبا ألنه متبوع ملن بعده فاعتربوا وتفهموا إن كنتم من ذوي األلباب عظم هذه املعصية فإن

الزنا وقتل النفس إَثه مرة واحدةبَلف هذه الضَللة فإن إَثها ال يزال يربو ويزداد إىل أن ترتك فكونوا

أنتم أول من تركها وابتدعوا البدعة احلسنة برتكها لتقطعوا اْلمث عن أسَلفكم ّوتبد لوا السيئات

باحلسنات إىل يوم القيامة وسارعوا إىل مغفرة من رب ّكم وجنة عرضها السماوات واالرض أعدت للمتقّي وال تكونوا ممن يؤمنون ببعض الكتاب ويكفرون ببعض وكونوا مفاتيح للخري ومغالق للشر

وال تكونوا مفاتيح للشر مغالق للخري وصح "من رغب عن سن ِتّ فليس مين" ورواه الطرباين "ما من

أّم ة ابتدعت بعد نبيها يف دينها بدعة إال أضاعت مثلها من السنة"، والطرباين وابن عاصم "ما َتت

21

ّظل السماء من إله يعبد أعظم عند اهلل من هوى يت ّبعه"، فَل تتبعوا هواكم باالستمرار على هذه الرزية فإن االستمرار على املعصية معصية أعظم من فعلها.

)ومنها( أي مما يرتتب على التوريث على خَلف الشرع إيقاع العداوة والبغضاء بّي األوالد

وأوالد األخوات والتهاجر كما هو مشاهد وهو حرام ملا روى أبو داود والنسائي "ال ّحيل ملسلم أن

يهجر مسلما فوق ثَلث فمن هجر فوق ثَلث فمات دخل النار" وروى الشيخان "ال ّحيل ملسلم أن يهجر أخاه فوق ثَلث ليال يلتقيان فيعرض هذا ويعرض هذا" احلديث وروى مسلم "تعرض

األعمال يف كل يوم اثنّي ومخيس فيغفر اهلل عز وجل يف ذلك اليوم المرئ ال يشرك باهلل شيئا اال

امرءاًكانت بينه وبّي أخيه شحناء فيقول اتركوا هذين حّت يصطلحا" واملوصل اىل مّاحملر ُّمرم. )ومنها( أنه قد يؤدي إىل عقوق الولد ألبيه بسبب علمه أن ماله لغريه فيكون ذلك

التوريث سببا ْليقاع لدالو يف العقوق، وكل شخص منكم ولد ألبيه قد يقع بسبب ذلك ومن

تسبب يف إمث شخص شاركه يف ذلك اْلمث، ردوو يف العقوق الوعيد الشديد قال تعاىل َو ْاعبُُدوا اللَّهَ ِ ِِ ۖ ِ ِ ِ َوَال تُ ْشرُكوا به َشْيئًا َوبالَْوالَد يْ ِن إ ْح َسانًا )النساء: 36( قال ابن عباس يريد الرب هبما مع اللطف ولّي اجلانب فَل يغلظ هلما يف اجلواب وال حيد النظر إليهما وال يرفع صوته عليهما بل يكون بّي

َّ َِّ ِ ِ ِ يديه مثل العبد بّي يدي سيده تذلَل ّهلما وقال تعاىل َوقَ َض ىى َربُّ َك أَال تَ ْعبُُدوا إال إيَّاه ُ َوبالَْوالَديْ ِن ِ ۖ ِ ِ ِ ِ َّ َّ إ ْح َسانًا إَّما ي َْب لُغَ َّن ع َند َك الْكبَ َر أَ َحُد ُُهَا أَْو كََل ُُهَا فَََل تَ ُقل هلَُما أُ ٍّف َوَال تَ ْن َهْرُُهَا َوقلُ هل َُما قَ ْوًال ِ ِ ُّ ِّ ِ ِ ِ ِ َكرْيًا )23( َو ْاخف ْض َهلَُما َجنَ َاح الذل م َن َّالرْمحَة َوقُل َّر ِّب ْارَمحُْه َما َكَما َرب َّيَاين َصغ اًري )اْلسراء: 24(

وروى الطرباين عن ثوبان:"ثَلثة ال ينفع ّمعهن عمل ُالشرك باهلل وعقوق الوالدين والفرار من

الزحف" وروى أمحد والنسائي واحلاكم عن ابن عمر:"ثَلثة حرم اهلل تبارك وتعاىل عليهم اجلنة ُمدمن

22

اخلمر ّوالعاق للوالدين والديوث الذي ّيقر يف أهله اخلبث" أي الزنا فيهم مع علمه به وقيل هو

الذي ال ْينع الناس عند دخوهلم على زوجته وقيل هو الذي يشرتي جارية ً ّتغين للناس وغري ذلك من األحاديث الواردة يف العقوق.

)ومنها( أي من املفاسد املرتتبة على هذه الضَللة قطيعة الرحم بّي األوالد واْلخوة وأوالد

األخوات وذلك بسبب استيَلء اْلخوة وأوالد األخوات على ما ّتستحقه األوالد شرعا من مال

أبيهم فيتداعون ويتشاكون ويتخاصمون ويتهاجرون بسبب ذلك حّت إن اْلخوة وأوالد األخوات

ّيدعون مجيع ما جيدون عند األوالد عند حاكمهم أنه هلم فينصرهم ويبيعون ديارهم وعقارهم، وقد

ورد الوعيد الشديد يف قطيعة الرحم قال تعاىل:"واتقوا اهلل الذي تساءلون به واألرحام )النساء: 1("

ِ َّ ِ ِ ِّ أي واتقوا األرحام أن تقطعوها، قال تعاىل:" فَ َه ْل َع َسْيتُ ْم إن تَ َولْيتُ ْم أَن ت ُْفسُدوا يف ْاألَْر ِض َوت َُقطعُوا ىِ َِّ َّ َِّ أَْرَح َام ُك ْم )22( أُول َئ َك الذ َين لََعنَ ُه ُم اللهُ فَأَ َصَّمُه ْم َوأَْعَم ىى أَبْ َص َارُه ْم )ُممد: 23( وقال تعاىل َوالذ َين َِّ ِ ِ ِ ِِ َّ ِِ ِ ِ ِ ۖ ىِ يَ ُنق ُض َون َعْهَد الله من ب َْعد ميثَاقه َوي َْقطَعُ َون َما أََمَر اللهُ به أَن يُ َوص َل َوي ُْفسُد َون يف ْاألَْرض أُول َئ َك َّ ِ َهلُُم اللْعنَةُ َ وَهلُْم ُسوءُ َّالدار )الرعد: 25(. وأخرج الشيخان عن أيب هريره قال قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم "إ ّن اهلل خلق اخللق

حّت إذا فرغ منهم قامت الرحم فقالت هذا مقام العائذ منك من القطيعه قال نعم أما ترضّي أن

أصل من وصلك وأقطع من قطعك قالت بلى قال فذاك لك، قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم

ِ َّ ِ ِ ِّ ىِ َِّ :اقرؤوا ان شئتم فَ َه ْل َع َسْيتُ ْم إن تَ َولْيتُ ْم أَن ت ُْفسُدوا يف ْاألَْر ِض َوت َُقطعُوا أَْرَح َام ُك ْم ، أُول َئ َك الذ َين َّ لََعنَ ُه ُم اللهُ فَأَ َصَّمُه ْم َوأَْعَم ىى أَبْ َص َارُه ْم )ُممد: 23-22("، وروى الرتمذي وقال حديث حسن وابن ماجه واحلاكم وقال صحيح اْلسناد عن أيب بكرة رضي اهلل عنه قال قال رسول اهلل صلى اهلل عليه

23

وسلم "ما من ذنب أجدر أي أحق أن ّيعجل اهلل لصاحبه العقوبة يف الدنيا مع ما ّيد خره له يف اآلخرة من البغي وقطيعة الرحم" وروى الشيخان "ال يدخل اجلنة قاطع" قال سفيان يعين قاطع رحم

وروى أمحد بسند روات ُه ٌثقات "أن أعمال بين آدم تعرض َّكل مخيس وليلة مجعة فَل يقبل عمل ُ قاطع رحم" وروى البيهقي "أنه أتاين جربيل عليه السَلم فقال هذه ليلة النصف من شعبان وهلل فيها

عتقاء من النار بعدد شعر غنم كلب ال ينظر اهلل فيها إىل مشرك وال إىل مشاحن وال إىل قاطع رحم

وال إىل مسبل إزاره خيَلء وال إىل ّعاق لوالديه وال إىل مدمن مخر" احلديث، وروى ابن حبان وغريه

"ثَلثة ال يدخلون اجلنة مدمن مخر وقاطع ومصدق بالسحر" وروى أمحد خمتصرا وابن أيب الدنيا

والبيهقي "يبيت قوم من هذه األمة على طعم وشرب وهلو ولعب فيصبحوا قد مسخوا قردة ً وخنازير

وليصيبنهم ٌخسف ٌوقذف حّت يصبح الناس فيقولون خسف الليلة ببين فَلن وخسف الليلة بدار

فَلن خواص ّولنرسلن عليهم حجارة من السماء كما أرسلت على قوم لوط على قبائل فيها وعلى دور ولنرسلن عليهم الريح العقيم الِت أهلكت عادا على قبائل فيها ودور بشرهبم اخلمر ولبسهم

احلرير واتاذهم القينات يأ املغن ّيات وأكلهم الربا وقطيعتهم الرحم".

وروى الطرباين يف األوسط عن جابر رضي اهلل عنه قال "خرج علينا رسول اهلل صلى اهلل

عليه وسلم وحنن جمتمعون فقال يا معشر املسلمّي اتق اهلل وصلوا أرحامكم فإنه ليس من ثواب

أسرع من صلة الرحم وإياكم والبغي أي الظلم فإنه ليس من عقوبة أسرع من عقوبة بغي وإياكم

وعقوق الوالدين فإن ريح اجلنة يوجد من مسرية لفأ عام ِواهلل ال جيدها عاق وال قاطع رحم وال

شيخ زان وال جار إزاره خيَلء إمنا الكربياء هلل رب العاملّي" وروى األصبهاين "كنا جلوسا عند

رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم فقال ال جيالسين اليوم قاطع رحم فقام فّت من احللقة فأتى خالة له

24

قد كان بينهما بعض الشيء فاستغفر هلا واستغفرت له مث عاد إىل اجمللس فقال النيب صلى اهلل عليه

وسلم إن الرمحة ال تنزل على قوم فيهم قاطع رحم" وروى الطرباين "إن املَلئكة ال تنزل على قوم

فيهم قاطع رحم" وروى الطرباين بسند صحيح عن األعمش قال كان ابن مسعود رضي اهلل عنه

جالسا بعد الصبح يف حلقة فقال انشد اهلل قاطع رحم ملا قام عنا فإن ّا نريد أن ندعو ربنا وإن ابواب

السماء مرتاحة أي ّبضم فسكون ففتح واجليم خمففة مغلقة دون قاطع رحم، وروى الشيخان "الرحم معلقة بالعرش تقول من وصلين وصله اهلل ومن قطعين قطعه اهلل" و غري ذلك من االحاديث الواردة

يف حق قاطع الرحم.

)فيا إخواين( إذا كانت هذه العادة القبيحة تنشأ منها هذه املفاسد العظيمة والذنوب

الوخيمة فكيف يرضاها املؤمن على نفسه وكيف يأمن من نزول هذا الوعيد عليه فإن رأى نفسه

ّموس عا له يف قالرز فهو استدراج، فقد يوافقه يف بعض غزاته ُعذاب احلريق فإننا نسمع يف كل عام

احلريق الذي ّحيل بكم حّت نإ النار تستوعب مجيع ق ُراكم وينزل بكم القحط والبَلء فما ذلك إال

من شؤم هذه املعصية الفظيعة إن كنتم تعقلون فيخشى عليكم أن يأخذكم اخلسف إن مل تنتهوا َوَال َّ ِ َّ ِ ۖ َِّ ِ ِ ِ ََْت َسَََّب اللهَ َغافًَل َعَّما ي َْعَم ُل الظال ُم َون إمنَا ي َُؤِّخُرُه ْم ليَ ْوم تَ ْش َخ ُص فيه ْاألَبْ َص ُار )إبراهيم: 42(

فداركوا أنفسكم قبل أن تندموا حيث ال ينفع الندم فإن األمم املاضية است ُ ِدرُج وا حّت طغوا وأمنوا ِ ۖ ِ ِ ِ من مكر اهلل فأخذهم اهلل أخذ عزيز مقتدر، قال تعاىل َوأُْملي َهلُْم إ َّن َكْيدي َمت ٌّي )القلم: 45( َّ ۖ ِ ِ ِ وقال تعاىل َكَل لَيُ ْنبََذ َّن يف ْاحلُطََمة )اهلمزة: 4( وقال تعاىل َوَما ي ُْغِين َعْنهُ َمالُهُ إذَا تَ َرَّد ىى )الليل: .)11

25

)ومنها( أي املعاصي املرتتبة على هذه الضَللة اتباع اهلوى واْلعراض عن احلق، وذلك

التباعهم هواهم يف أخذ مرياث الوارثّي وإعراضهم عن احلق مبنع حقوق الورثة، وروى الطرباين وأبو

نعيم ما َتت ظل السماء من إله يعبد أعظم عند اهلل من هوى متبع، )ومنها( احلمية لغري دين اهلل

محيتهم هلذه العادة يف أن ال تبطل، )ومنها( معاندة احلق الذي هو اْلرث الشرعي، )ومنها(

اْلصرار على املعصية باْلصرار على التوريث على خَلف الشريعة )ومنها( الفرح باملعصية وذلك

ألنه يفرحون بقبض املرياث الذي يورثونه من غري مورثهم )ومنها( االنتصار للنفس بالباطل

بانتصارهم على األوالد بأخذ ما ّاستحق وه عند حاكمهم )ومنها( تريب آخرة الشخص لدنيا غريه

الرتكاهبم هذه املعصية الِت تكاد أن تكون كفرا لدنيا أوالدي أختهم )ومنها( أكل الدنيا باضاعة

الدين لرضاه هبذه العادة القبيحة واملفسدة العظيمة ألجل الدنيا الِت يغصبوهنا من األوالد، وروى ابن

عساكر "أال أنب ّئكم ّبشر الناس من أكل وحده ومنع رفده وسافر وحده وضرب عبده أال أنبئكم

ّبشر من هذا من باع آخرته بدنيا غريه أال أنبئكم ّبشر من هذا من أكل الدنيا بالدين وأكل الدنيا باضاعة الدين" منطبقا عليكم فإنكم أكلتم أموال الورثة بالبهتان وأضعتم دينكم مبخالفة حكم

الرمحن فما أعظم هذه املصيبة عند ذوي األلباب فتفهموا واعتربوا.

)ومنها( الرضا بالكبرية برضاهم هبذا التوريث )ومنها( اْلعانة على هذه الضَللة )ومنها(

حرمان الورثة وهذه كل ّها عّد ها ابن حجر يف الزواجر من الكبائر فَل يرضى هبذه الكبرية املرتتبة

عليها هذه الكبائر إّال ّكل من احنل ّت من عنقه ربقة ُ اْلْيان واْلسَلم فما جيب على العلماء إّال ِ التبليغ، فكل عاقل أعرف يف أمر دينه مبا ينفعه ه ّويضروليخرت األصلح له وليجتنب ما هو ُم ض ر

بدينه فإ ّن أعظم الضرر ضرر الدين. وروى ابن عدي وأبو نعيم والبيهقي واخلطيب وابن عساكر

26

وابن النجار " َابن آدم عندك ما يكفيك وأنت تطلب ما يطغيك َابن آدم ال بقليل تقنع وال من كثري

تشبع َابن آدم اذا اصبحت معافا يف جسدك امنا يف سربك عندك قوت يومك فعلى الدنيا العفاء ورواه الديلمي إذا أراد اهلل بعبده خريا أرضاه مبا قسم له وبا رك له فيه" أي فَل يطلب غريه من

احلَلل فكيف من احلرام وروى والديلمي "خري املؤمنّي القانع ّوشرهم الطامع" وروى مسلم

والنسائي من ق تلُ َتت راية محية ينصر للعصبية ويغضب للعصبية فقتلته جاهلية" وروى أبو داود

"ليس من ّا من دعا إىل عصبية وليس منا من مات عصبية" ويشمل هذان احلديثان املتعصبّي على

إقامة هذه الضَللة وما معىن قوله "ليس منا" أنه ليس على طريقة املؤمنّي.

)فيا إخواين( كونوامن املتخلقّي باخَلق املؤمنّي واملندرجّي َتت قوله تعاىل إَِّمنَا ِ َِّ ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ الُْمْؤمنُ َون الذ َين إذَا ذُكَر اللهُ َوجلَ ْت ق ُلُوب ُُه ْم َوإذَا تُليَ ْت َعلَْيه ْم آيَاتُهُ َزَادتْ ُه ْم إْيَانًا َوَعلَى َرِّهب ْم ي َتَ َوَّكلُ َون َِّ ِ ِ ِ ِ ِ )2( الذ َين يُق ُيم َون َّالصَلََة َوممَّا َرَزقْ نَ ُاه ْم يُنفُق َون )3( أُْولَئ َك ُه ُم الُْمْؤمنُ َون َحًّقا )األنفال: 2-3(، ِ َِّ ِ ِِ ِ َِّ َّ وقال تعاىل قَْد أَفْ لَ َح الُْمْؤمنُ َون * ال ذ َين ُه ْم يف َصَلهت ْم َخاشعُ َون * َوالذ َين ُه ْم َع ِن اللْغِو ُمْعِر ُض َون * َِّ ِ َّ ِ ِ َِّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َوالذ َين ُه ْم للزَكاة فَاعلُ َون * َوالذ َين ُه ْم لُفُروجه ْم َحافظُ َون * إال َعلَى أَْزَواجه ْم ْأو َما َملَ َك ْت أَْْيَان ُُه ْم ِ ِ ِ ِ َِّ ِِ ِ ِ فَإن َُّه ْم َغْي ُر َملُوم َّي * فََم ِن ابْ تَ غَى َوَراءَ ذَل َك فَأُولَئ َك ُه ُم الَْع ُاد َون * َوالذ َين ُه ْم َألمانَاهت ْم َوَعْهده ْم َِّ ِِ ِ ِ ِ َِّ ِ ِ ِ َراعُ َون * َوالذ َين ُه ْم َعلَى َصلََواهت ْم ُحيَافظُ َون * أُولَئ َك ُه ُم الَْوارثُ َون * الذ َين يَرثُ َون الْفْرَدْ و َس ُه ْم ف َيها ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َخال ُد َون )املؤمنون: 11-1( وقال تعاىل التَّائبُ َون الَْعابُد َون ْاحلَامُد َون َّالسائ ُح َون َّالراكعُ َون َّالساجُد َون ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َِّ ۖ ِ ِِ ْاآلمُر َون بالَْمْعُروف َوالنَّ ُاه َون َع ِن الُْم َنكر َو ْاحلَافظُ َون حلُُدود الله َوبَ ِّشر الُْمْؤمن َّي )التوبة:112( ِ َِّ ِ وقوله ّعز ّوجل َوعبَ ُاد َّالرْمحَ ِن الذ َين ْيَْ ُش َون َعلىَ األرض َهْوناً َوإذَا َخاطَبَ ُه ُم اجلاهلون قَالُواْ َسَلَماً* َِّ ِِ ِ ِ ِ َِّ ِ ِ َوالذ َين يبيتُ َون لَرِّهب ْم ُس َّجداً َوقيَاماً* َوالذ َين ي َُقولُ َون َرب َّنَا ْاصر ْف َعنَّا َعَذ َاب َجَهنَّ َم إ َّن َعَذاب ََها َك َان

27

ِ َِّ ِ ِ َغَراماً* إن ََّها ساءت ُم ْستَ َقّراً َوُمَقاماً* َوالذ َين إذا أَ َنفُقواْ َملْ يُ ْسرفُواْ َوَملْ ي َْقتُ ُرواْ َوَك َان ب ََّْي ذَل َك قَ َواماً* َِّ َِّ ِ َِّ َّ ِ َّ ِ َوالذ َين الَ يَْدعُ َون َم َع الله إلَ َها َآخَر َوالَ ي َْقتُ لُ َون النَّ ْف َس الّت َحَّرَم الله ُ إال ب ْاحلَِّق َوالَ ي َْزنُ َون َوَمن ي َْفَع ْل ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ ذل َك ي َْل َق أَثَاماً* يُ َض َاع ْف لَهُ الَْعَذ ُاب ي َْوَم الْق َيامة َوَخيْلُْد فيه ُمَهاناً* إال َمن تَ َاب َو َآم َن َوَعم َل َعَمَلً ِ ِ َّ ِِ َّ ِ ِ ِ ِ َصاحلاً فَأُْولَئ َك ي ُبَ ُدِّل اللهُ َسيِّئَاهت ْم َح َسنَات َوَك َان اللهُ َغُفوراً َّرحيماً* َوَمن تَ َاب َوَعم َل َصاحلاً فَإنَّهُ ِ َِّ َِّ ِ ِ َّ ِ ِ َِّ ِ ي َتُ ُوب إَىل الله َمتاباً* َوالذ َين الَ يَ ْشَهُد َون ُّالز َور َوإذَا َمُّرواْ باللْغو َمُّرواْ كراماً* َوالذ َين إذَا ذُِّكُرواْ ِ ِ ِ ِ َِّ ِ ِ ب ََايَات َرِّهب ْم َملْ َخيُّرواْ َعل َْي َها ُصّماً َوعُ ْميَاناً* َوالذ َين ي َُقولُ َون َرب َّنَا َه ْب لَنَا م ْن أزواجنا َوذُِّريَّاتنَا ق َُّرَة ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ أَْعُّي َو ْاجَعْلنَا لْل ُمتَّق َّي إَماماً* أُْولَئ َك ُْجيَزْوَن الْغُْرفَةَ مبَا َصبَ ُرواْ َوي ُلََّقْوَن ف َايه ََتي َّةً َوسَلماً* خالدين فيَها ِ َّ ِ َح ُسنَ ْت ُم ْستَ َقّراً ومقاماً* قل َما ي َْعبأ ب ُك ْم َرِّيب لَْوالَ دعاؤكم فَ َق ْد َكذبْ تُ ْم فَ َسْو َف يَ ُك ُون لَزاماً )الفرقان: 33-77(فهذه صفات املؤمنّي فكونوا موصوفّي هبا جعلنا اهلل منهم وحّي فرغنا من بيان بعض

ما يرتتب على هذه الضَللة أردنا أن ّنتم الرد على بقيه الدالئل. )فنقول ان قولكم( فَل يليق بنا أن خنالفهم على ذلك نقول لكم أن هذه املقالة مبثابة قول

ِ ِ ِِ الكفار إنَّا َوَج ْدنَا آبَاءنَا َعلَى أَُّمة َوإنَّا َعلَى آثَارهم ُّمْقتَُد َون )الزخرف: 23( فَل يغين من اهلل شيئا ِ ِ ِ َوقُ ْل َجاء ْاحلَ ُّق َوَزَه َق الْبَاطلُ إ َّن الْبَاط َل َك َان َزُهوقًا )اْلسراء:٨1( فعدم اللياقه املذكورة هو إذا كانت أسَلفكم على هدى من اهلل يف هذا التوريث وقد عرفتم من ما سردنا لكم من األدلة أن هذا

التوريث الذي أنتم عليه من أعظم الضَلالت الِت كادت أن تكون كفرا كيف ال وقد قال تعاىل

َّ ِ َّ ىِ ِ َوَمن مل ْ َْحي ُمك مبَا أَ َنزَل اللهُ فَأُول َئ َك ُه ُم الْ َكافُر َون )املائدة: 44( فإن اآلية تدل بظاهرها على أن من مليرض حبكم اهلل فهو كافر ومن مجله أحكام اهلل املواريث الشرعية فيتعّي عليكم خمالفتهم وإال ّ

كنتم من أ ّضل املضل ّّي. )وأّم ا قولكم( فليس آلبائنا فيها شيء اخل فهو خطأ بّي كما يعرفه العقَلء

28

من املؤمنّي الذين مبا جاء به النيب صلى اهلل عليه وسلم ألن قولكم هذا يدل بداهة على اشرتاطكم

توريث األبناء بكون املال البد وأن يكون واصَل اليك من آبائكم وهذا الشرط ال ينطبق على

أعمالكم فإن كثريا مما ّتورثونه لإلخوة وأوالد األخوات هو من كسبكم الذايت وليس واصَل إليكم

من اْلخوة وأوالد األخوات فقد أبطلتم قولكم بفعلكم فما كَلمكم إال ّ جمرد هذيان ال حيتاج إىل

إقامة الربهان لكن قصدنا إقامة ّاحلجة عليكم وإلزامكم بكَلمكم. )وأما قولكم( إن قلوبنا ُج بلت

على ُمبة أوالد أخواتنا دون أوالدنا فَل ث ّنورإال من حنبه، )فنقول لكم يف جوابه( إن قضي ّة كَلمكم هذا أن سبب اْلرث احملبة مكم فلزأنكم لو أحببتم غري اْلخوة وأوالد األخوات ورثتموه،

واألمر عندكم ليس كذلك فبطل قولكم بفعلكم أيضا واحملبة املؤدية إىل خمالفة أوامر اهلل تعاىل هي

ِ من تسويل الشيطان قال تعاىل َوَزيََّن َهلُُم َّالشْيطَ ُان أَْعَم َاهلُْم فَ َصَّدُه ْم َع ِن َّالسب ِيل فَ ُه ْم َال ي َْهتَُد َون )النمل 24( وهذه جمارات لكم. ِ وأما شرعا ّفنفص ل يف قول كم )بأن أقول لكم( مل َ مل تورثوا الشرعي؟ )فإن قلتم( اقتداء ً بأسَلفنا فقد تقدم اجلواب عنه )وإن قلتم( هكذا عنادا أو ظهر من حالكم ما يقتضي العناد

كقولكم ذلك يف حالة املخاصمة أو حالة الدعوى أو غري ذلك مما يفيد العناد فقد عاندمت ما جاء

به النيب صلى اهلل عليه وسلم اجملمع عليه املعلوم من الدين بالضرورة ومن عاند ما جاء به النيب صلى

اهلل عليه وسلم فقد كفر ّوارتد عن اْلسَلم والعياذ باهلل، قال الشيخ ابن حجر يف اْلعَلم بقواطع

اْلسَلم عند ّعد األلفاظ املكفرة أو قال له خصمه أحاكمك حبكم اهلل فقال ال أعرف احلكم أو ما

جيري احلكم هنا فقد كفر أو قيل له ّقص شاربك فإنه سنة فقال باْلنكار ال أفعل فقد كفر أيضا ً، والضابط يف التكفري أن كل قول أو فعل أفاد العناد أو االستهزاء أو سخرية بالدين أو حبكم من

29

أحكام الشريعة فهو ّمكف ر )وإن قلتم( ُمبةًيف أوالد األخوات )نقل لكم( ال جيوز خمالفة الشريعة يف

أحكامها للمحبة فإن قلتم نفعلها وإن خالفت الشريعة فالظاهر من هذا القول املعاندة للشريعة

فيكفر قائله وكذا إذا قيل لكم حيرم عليكم أكل هذه األموال الِت من أخوالكم فيجب عليكم ردها

وأجبتم جبواز أكلها وعدم وجوب ردها فإن هذا اجلواب يقتضي الكفر أيضا ألن ابن حجر عدها

من ّاملكف رات قول الشخص جيوز يل أكل احلرام أي املعلوم حرمته من الدين بالضرورة ولقوهلم "من

استحل حراما فقد كفر" ّفحص انو إْيانكم من أن يقع منكم لفظ مكفر فتحبط أعمالكم وتطلق زوجاتكم و َتصل الفرقة بينكم وبينهن مبجرد هذا اللفظ إن كان قبل الدخول وإن كان بعده فعدم

العودة إىل اْلسَلم إىل مضي العدة والبد يف عود املرتد إىل االسَلم من التوبة والتربي مما كفر به

فينبغي التنبه هلذه املسالة فإهنا مهمة وكثريا ما يغفل عنها ويظن نأ من وقع يف ّمكف ر مما ّمر يرتفع

حكمه عنه مبجرد ّتلف ظه بالشهادتّي وليس كذلك بل البد من اْلتيان بالشهادتّي والتربي ممّا كفر

به و إذا ف ُقد أحدُها فهو باق على كفره، فإذا وطئ زوجته قبلها وبعد الفرقه فوطؤه زنا وأوالده أوالد

الزنا.

)وأما قولكم( إ ّن إخوتنا وأوالد أخواتنا هم الذين يقضون ديوننا إذا تداينّا وهم الذين

ّْير ضوننا إذا مرضنا وينفقون علينا إذا افتقرنا ويسعون يف حوائجنا إذا احتجنا واألوالد على العكس

من ذلك فكيف ّنورثهم ونرتك هؤالء الذين بذلوا نفوسهم وأمواهلم وأرواحهم إلينا فنحن جمبورون ِ ِ ِ ِ على توريثهم كيف ال وقد قال اهلل تعاىل َه ْل َجَزاء اْل ْح َسان إالَّ اْل ْح َس ُان )الرمحن: 6٠( وقوله صلى اهلل عليه وسلم "من أسدى إليكم معروفا فكافئوه"، )فنقول يف جوابه( إّهن م ّإمنا فعلوا ذلك ملا

ينتظرون من اْلرث فلو ّورثتم الورثة الشرعيّي لفعلوا معكم مثل ذلك وزيادة أال ترون االوالد بغري

30

أرضكم من املسلمّي والكفرة ّبارون بآبائهم كيف ال وهم مأمورون برب ّ الوالدين كتاباً وسنةً قال ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ ِِ تعاىل أَن ْاش ُكْر ِيل َولَوالَديْ َك إََّيل الَْمصري ُ )لقمان: 14( وقال تعاىل َو ْاعبُُدوا اللهَ َوَال تُ ْشرُكوا به َشْيئًا ۖ ِ ِ ِ َّ َِّ ِ ِ ِ ِ َوبالَْوالَديْ ِن إ ْح َسانًا )النساء: 36( وقال تعاىل َوقَ َض ىى َربُّ َك أَال تَ ْعبُُدوا إال إيَّاهُ َوبالَْوالَديْ ِن إ ْح َسانًا ۖ ِ ِ ِ ِ َّ َّ ِ إَّما ي َْب لُغَ َّن ع َند َك الْكبَ َر أَ َحُد ُُهَا أَْو كََل ُُهَا فَََل تَ ُقل هلَُما أُ ٍّف َوَال تَ ْن َهْرُُهَا َوقلُ هلَُما قَ ْوًال َكرْيًا ِ ُّ ِّ ِ ِ ِ ِ )23 َ(و ْاخف ْض َهلَُما َجنَ َاح الذل م َن َّالرْمحَة َوقُل َّر ِّب ْارَمحُْهَما َكَما َرب َّيَاين َصغ اًري )اْلسراء24( قال صلى اهلل عليه وسلم "ما من رجل ينظر إىل وجه والديه نظرة رمحة إّال كتب اهلل له هبا حجة مقبولة

مربورة" وقال ابن مسعود "سألت رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم أ ّي العمل أحب إىل اهلل قال

الصَلة على وقتها قلت مث أ ّي قال ّبر الوالدين قلت مث أي قال اجلهاد يف سبيل اهلل" وروى الطرباين "أتى رجل إىل رسول اهلل و قال إنين أشتهي اجلهاد وال أقدر عليه قال هل بقي من والديك أحد

قال أمي قال قاتل هلل يف ّبرها فإذا فعلت فانت ّحاج ومعتمر وجماهد" وروى الديلمي "دعاء الوالد

لولده كدعاء النيب ألّم ته" إىل غري ذلك من األحاديث و أيضا إن قضاء الديون والتمريض والسعي

يف احلوائج ال يقتضي التوريث وإال ّالستحق املرياث ّكل من فعلها ولو أجنبيا ّوالَلزم باطل ألننا

شاهدنا كثريا أ ّن بعضكم يقضي دين صاحبه ويسعى له يف حوائجهم ّوْيرضه فلم جندكم ّورثتموه وقد أبطل قولكم فعلكم واألوالد إن صدر منهم ُّضد ذلك ملا يعرفون من أنفسهم أّهن م ُمرومون من

املرياث مبوت أبيهم فالسبب يف ذلك نشأ من عوائدكم القبيحة فأنصفوا من أنفسكم وهل ترون

أنكم إذا رجعتم إىل الطريقة املستقيمة والسنة القوْية ّوورثتم باْلرث الشرعي يصنع معكم أوالد األخوات مثل ما كانوا يصنعونه قبل أم ال فاعرتفوا باحلق يغفر لكم احلق.

31

)يا إخواين( أما مسعتم أن سبب اْلرث القرابة بسبب النسب من األصول والفروع

واحلواشي ّيقد م فيه من ّقدمه الشارع وأن أوالد األخوات من ذوي األرحام ال يستحقون اْلرث إّال

بعد فقد ذوي الفروض والعصبات كما هو معلوم عندكم ونسال اهلل أن يهدينا وإياكم إىل الصراط

املستقيم والتمسك بالدين القومي بالتوريث على طبق شريعة النيب الكرمي. وأّم ا استداللكم يف قوله ِ ِ ِ ِ تعاىل َه ْل َجَزاء اْل ْح َسان إال َّاْل ْح َس ُان )الرمحن: 6٠( قولو النيب صلى اهلل عليه وسلم "من اسدى

اليكم معروفا فكافئوه" فهو ال ينتج ّمد عاكم ألن املراد من املعروف واْلحسان ما كان موافقا للشرع

وتوريث أوالد األخوات مع وجود الورثة الشرعيّي ليس من اْلحسان واملعروف يف الشرع بل هو من

أكرب املآمث ملا يرتتب عليه مما قدمناه لكم من الكبائر فالرضا به والرغبة عن االرث الشرعي ٌكفر

ونعوذ باهلل من ذلك و أيضا يف تسمية االرث على خَلف الشرع إحسانا اّوبر كفر أيضا ألن فيه

استخفافا ّبالد ين حيث تسمى املعصية طاعة.

ّ)وأم ا قولكم( إن العادة ُّمكمة والشريعة مؤسسة بالعادة وهي بالشريعة فراعينا اجلانبّي

فورثنا اْلخوة وأوالد األخوات ًمراعاة للعادة و عملنا بالشريعة يف غريه ًمراعاة هلا فجوابه أن العادة

إّمن ا َتكم فيما ال يوجد له الضابط يف الشرع ال فيما خيالف الشرع عند املؤمنّي بالشريعة حّت لو

قيل الحد منكم إ ّن هذه العادة ّمضادة للشريعة فَل تعمل هبا وأجابه ذلك األحد بأ ّين ال أعمل إّال

بالعادة وإن كانت خمالفة للشريعة َك َف َر والعياذ باهلل أل ّن فيه استخفافا بالشريعة ّومضاد ة هلا قوله ِ َِّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ تعاىل أَ َملْ تَ َر إَىل الذ َين ي َْزعُ ُم َون أَن َُّه ْم َآمنُواْ مبَا أُنزَل إلَْي َك َوَما أُنزَل من قَ ْبل َك يُر ُيد َون أَن ي َتَ َح َاك ُمواْ ِ َّ ِ ِ ِِ ِ َِّ ِ إَىل الطاغُوت َوقَْد أُمُرواْ أَن يَ ْكُفُرواْ به َويُر ُيد َّالشْيطَ ُان أَن يُضلُه ْم َضَلَالً بَع ًيدا )النساء:6٠( و قال ِ ِ ِ َّ ِ ِ ِِ تعاىل َوإذَا ق َيل َهلُْم تَ َعالَْواْ إَىل َما أَ َنزَل اللهُ َوإَىل َّالرُسول َرأَيْ َت الُْمنَافق َّي يَ ُصُّد َون َع َنك ُصُد وًد

32

ِ ِّ ِ ِ ِ ا)النساء:61( وقال تعاىل فََلَ َوَربِّ َك الَ ي ُْؤمنُ َون َحََّّت ُحيَك ُم َوك ف َيما َش َجَر ب َْي نَ ُه ْم ُمثَّ الَ َجيُدواْ يف ِ ِ ِّ ِ أَ ُنفسه ْم َحَرًجا ِّممَّا قَ َضْي َت َويُ َسل ُمواْ تَ ْسل ًيما )النساء: 65( قال الفخر اعلم أهنا يف هذه اآلية ق َ َس ٌم

من اهلل على أّهنم ال يصريون موصوفّي بصفة اْلْيان إالّ عند حصول ثَلثة شرائط األّ ول قوله َحََّّت ِّ ِ ُحيَك ُم َوك ف َيما َش َجَر ب َْي نَ ُه ْم فمن مل يرض حبكم الرسول الذي من مجلته املرياث ال يكون مؤمنا الثاين ِ ِ ِ ِ قوله ُمثَّ الَ َجيُدواْ يف أَ ُنفسه ْم َحَرًاج ِّممَّا قَ َضْي َت قال الزجاجي أن ال يضيق صدرهم الثالث قوله ِّ ِ َويُ َسل ُمواْ تَ ْسل ًيما املراد منه االنقياد يف الظاهر واهلل أعلم اه باختصار.

ّ)وأم ا قولكم( الشريعة مؤسسة بالعادة فهو ٌكذب ٌُمض ألن الشريعة مأخوذة من الوحي من اهلل تعاىل ال من العادة ألن معىن تاسيس شيء على شيء آخر أخذه منه وتأصيله عنه بل إن

معتقد معناه يكفر ألنه يقتضي إنكار كون الشريعة من عند اهلل بل مأخ وذة من العادة وهو كفر

)وقولكم( وهي بالشريعة أي العادة مؤسسة بالشريعة وهو على إطَلقه باطل ألنه لو كان كذلك ملا

خالفت عادتكم الشريعة وقد خالفتها بل الظاهر أ ّن هذه العادة مؤسسة بالضَللة ال بالشريعة كيف

ال وأنتم ال تتزوجون على بنات عمكم وال بنات خاالتكم على مقتضى عادتكم والشرع ّجيوز ذلك

وغريها ممن مل تكن فيها ُمرمية وأيضا أن العتيقة ال ّيزوجها عندكم ّإال األخوال فهو خمالف للشرع خمالفة فَل يصح هذا النكاح ويكون الوطء هبذا النكاح وطء زنا واألوالد احلاصل هبذا العقد أوالد

زنا فكيف تصح لكم هذه الدعوى وف ّقنا اهلل وإياكم ملا حيبه ويرضاه. )وأما قولكم( فراعينا اجلانبّي

ّفورثنا اْلخوة وأوالد اخل فهو ك ٌذب الخيفى على النبيه ألنه ليس يف التوريث على خَلف الشريعة إّال مصادمة الشرع ومضادته وتقدمي العادة على الشريعة ومن صادم الشرع فقد كفر ألن معىن مراعاة

اجلانبّي هو أن ال يلزم من العمل بكل واحد منهما خمالفة اآلخر كما يعرفه من ّشم رائحة العلم،

33

واحلاصل أن من اعتقد معىن هذه املقالة أعين الشريعة مؤسسة بالعادة وبالعكس على هذا التأويل

فقد كفر ملا عرفت، هذا على أن املراد بالتأسيس التأصيل وإن أردمت بالتأسيس التقوية فالواقع أن

عادتكم منابذة للشريعة ال مقوية وإّال ثتمّلور األوالد واآلباء وأنتم مل ّتورثوهم، وكذا الشريعة منافية للعادة حيث خالفتها فهو كَلم كذب حيرم التكلم به للكذب وْليهامه املعىن األول.

)وأما قولكم( أنّنا إذا أردنا التوريث على طبق الشريعة نشأت منه مفسدة أعظم من

التوريث على خَلف الشريعة ألنه يرتتب عليه نزاعٌ وخصامٌ ٌوقتال بيننا وبّي إخواننا وأخواتنا وأوالد أخواتنا وبينهم وبّي أوالدنا وقد قال الفقهاء أن أصغر املفسدتّي جيوز ارتكابه لدفع أكربُها )فنقول

يف جوابه( أن هذه الكلمة عظيمة فظيعة و مقتضية للخلود يف اهلاوية ألن فيها نسبة َ املفسدة إىل

اتباع شريعة سيد املرسلّي ومن نسب املفسدة إىل الشريعة فقد كفر كما قال ابن حجر يف اْلعَلم

فنعوذ باهلل من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا على أن دعواكم املفسدة يف التوريث على طبق

الشريعة ممنوعة وذلك ألن كل من أقروا حبقية التوريث على طبق الشريعة وأرادوا حفظ إْياهنم عن

اْلضاعة وأشفقوا على أنفسهم من النريان احلامية وأرادوا أن يورثوا على طبق الشريعة املصطفوية

أمكنهم أن يت ّفقوا على ذلك و يهجروا كل من خالفهم ألنه خارج عن َس َن املؤمنّي وخمالف لشريعة سيد املرسلّي فاستحق البعد واهلجران واخلذالن وحرمت خمالطتهم ومناكحتهم ألن خمالطتهم

تفضي إىل ترك األمر باملعروف والنهي عن املنكر، وقد ورد الوعيد الشديد يف ذلك قال تعاىل

ِ ِ ِ ۖ ِ ِ ِ َوالُْمْؤمنُ َون َوالُْمْؤمنَ ُات ب َْع ُضُه ْم أَْوليَاءُ ب َْع ض يَأُْمُر َون بالَْمْعُروف َوي َْن َهْوَن َع ِن الُْم َنكر )التوبة: 71(. قال الغزايل أفهمت اآلية أن من هجرُها أي االمر باملعروف والنهي عن املنكر خرج من

املؤمنّي وقال القرطيب جعل اهلل ترك االمر باملعروف والنهي عن املنكر فرقا بّي املؤمنّي واملنافقّي

34

ِ ِ ِ وقال تعاىل َوتَ َع َاونُواْ َعلَى الْ ِّرب َوالتَّ ْقَوى َوالَ تَ َع َاونُواْ َعلىَ اْلْمث َوالْعُ ْدَوان )املائدة: 2( فرتك اْلنكار ِ َِّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ اقرار على االمث و قال تعاىل لُع َن الذ َين َكَفُرواْ من بَِين إ ْسَرائ َيل َعلَى ل َسان َد ُاو َود َوع َيسى ابْ ِن َمْرَميَ ِ ِ ِ ذَل َك مبَا َع َصوا َّوَكانُواْ ي َْعتَُد َون )7٨( َكانُواْ الَ ي َتَ نَ َاهْوَن َعن ُّم َنكر فَ َعلُوهُ لَبْئ َس َم ا َكانُواْ ي َْفَعلُ َون )املائدة: 79-7٨( ففيها غاية التهديد وهنايه التشديد.

وروى أبو داود "أول ما دخل النقص على بين إسرائيل أنه كان الرجل يلقى الرجل فيقول

اتق اهلل ودع ما تصنع فإنه ال حيل لك مث يلقاه من الغد وهو على حاله فَل ْينعه ذلك أن يكون

ِ َِّ أكيله وشريبه وقعيده ّفلما فعل ذلك ضرب اهلل قلوب بعضهم ببعض مث قال تعاىل لُع َن الذ َين َكَفُرواْ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ من بَِين إ ْسَرائ َيل َعلَى ل َسان َد ُاو َود َوع َيسى ابْ ِن َمْرَميَ ذَل َك مبَا َع َصوا َّوَكانُواْ ي َْعتَُد َون )7٨( َكانُواْ الَ ِ ِ َّ َِّ ِ ي َتَ نَ َاهْوَن َعن ُّم َنكر فَ َعلُوهُ ل َبْئ َس َما َكانُواْ ي َْفَعلُ َون )79( تَ َرى َكث ًريا ِّمْن ُه ْم ي َتَ َولْوَن الذ َين َكَفُرواْ لَبْئ َس َما ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ قََّدَم ْت َهلُْم أَ ُنف ُسُه ْم أَن َسخ َط اللهُ َعلَْيه ْم َويف الَْعَذاب ُه ْم َخالُد َون )٨٠( َولَْو َكانُوا ي ُْؤمنُ َون باهلل ِ ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ والنَِِّّيب َوَم ا أُنزَل إلَْيه َمااتَُذ ُوه ْم أَْوليَاء َولَك َّن َكث ًريا ِّمْن ُه ْم فَاسُق َون )املائدة: ٨1( مث قال واهلل لتأ ّمرن

باملعروف ُ ولتنهون عن املنكر ولتأ ّخذن على يد ظامل ّولتاطرن عن احلق أ طرا،ً زاد أبو داود يف رواية

أو ّليضربن اهلل قلوب بعضكم على بعض مث ليلعن ّكم كما لعنهم". وروى الرتمذي "ملا وقعت بنو إسرائيل يف املعاصي هناهم علماءهم فلم ينتهوا فخالطوهم يف

جمالسهم وآكلوهم وشاربوهم فضرب اهلل على قلوب بعضهم ببعض ولعنهم على لسان داود

وعيسى بن مرمي ذلك مبا عصوا وكانوا يعتدون فجلس رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم وكان متكئا ً

فقال ال والذي نفسي بيده حّت تأطروهم على احلق اي تعطفوهم وتقهروهم وتلزموهم باتباع احلق"،

وروى النسائي أين مسعت ل رسواهلل صلى اهلل عليه وسلم يقول "إن الناس أو القوم إذا رأوا املنكر

35

فلم يغريوه ّعم هم اهلل بعقاب" وروى األصبهاين "أيها الناس مروا باملعروف واهنوا عن املنكر قبل أن تدعوه فَل يستجيب لكم وقبل أن تستغفروا فَل يغفر لكم إن األمر باملعروف والنهي عن املنكر ال

يدفع رزقا وال بيقر أجَل وإ ّن األحبار من اليهود والرهبان من النصارى مل ا تركوا األمر باملعروف ّ ّ والنهي عن املنكر لعنهم اهلل على لسان أنبيائ مه مث ّعم وا بالبَلء". وروى اْلمام أمحد والرتمذي وابن حبان يف صحيحه من حديث "ليس منا من مل يرحم

صغرينا ويوقر كبرينا ويأمر باملعروف وينهى عن املنكر" وروى رزين عن أيب هريرة رضي اهلل عنه أ ّن

الرجل يتعلق بالرجل يوم القيامة وهو ال يعرفه فيقول له ما لك إ ّيل وما بيين وبينك معرفة فيقول

َكنت تراين على اخلطأ علىو املنكر وال تنهاين" فتأّم لوا يف هذه األحاديث بعّي بصريتكم فتنتهوا عن السكوت عنه وعن خمالطتهم وكما جيب عليكم النهي عن هذا املنكر جيب عليكم أن تبدءوا

ِ ِ ِ ۖ بانفسكم باالنتزاع عنه لقوله تعاىل أَتَأُْمُر َون النَّ َاس بال ْ ِّرب َوتَ َنسْوَن أَ ُنف َس ُك ْم َوأَنتُ ْم تَ ْت لُ َون الْكتَ َاب ِ َِّ ِ ِ أَفَََل تَ ْعقلُ َون )البقرة44( وقوله تعاىل يَا أَي َُّها الذ َين َآمنُوا ملَ تَ ُقولُ َون َما َال تَ ْفَعلُ َون )2( َكبُ َر َمْقتًا عْنَد ِ اللَّه أَْن تَ ُقولُوا َما َال تَ ْفَعلُ َون )3( )الصف: 2-3( وملا أخرجه الشيخان عن أسامة بن زيد رضي اهلل عنهما قال مسعت رسول اهلل ﷺ يقول: "يؤتى بالرجل يوم القيامة فيلقى يف النار، فتندلق أقتاب

بطنه فيدور هبا كما يدور احلمار يف الرحى، فيجتمع إليه أهل النار، فيقولون: يا فَلن، ما لك؟ أمل

تك تأمر باملعروف وتنهى عن املنكر؟ فيقول: بلى، كنت آمر باملعروف وال آتيه، وأهنى عن املنكر

وآتيه" واألحاديث الواردة يف األمر باملعروف ويف الوعيد على تركه ويف املنع من خمالطة مرتكب

املنكر أكثر من أن َتصى ويف هذا القدر كفاية فإن العاقل يكفيه من القليل ما ال يكفي اجلاهل

من الكثري، قال الشاعر يف حق من ينهى غريه ومل ينته:

36

ِ ِ يا أَي ُّها َّالرج لاملعلِّم َغي ره * هََّل لنَ ْف ِس َك َك َان ذَا التَّ عليم َ َ ُ ُ َُ ُ َُْ َ ْ ُ ِ ِِ ِ ِ ِ ِِ ِ تَص ُف َّالدَواءَ لذي ِّالسَقام َوذي َّالضَىن * َكْيَما يَص ُّح به َوأَنْ َت َسق ُيم ِ ِ ِ ِ ِ ِ َوأََر َاك تُ ْصل ُح ب َّالرَشاد عُُقولَنَا * أَبًَدا َوأَنْ َت م َن َّالرَشاد َعق ُيم ِ ِ ِ ِ َال تَ ْنهَ َع ْن ُخلُق َوتَأْيتَ مثْ لَهُ * َع ٌار َعلَْي َك إذَا فَ َعْل َت َعظ ُيم )فيا إخواين( انت اعن هوهذه املعصية الفظيعة الضَللة الشنيعة واهنوا غريكم فإنكم إن ِ ِ استمررمت عليها خيشي عليكم أن يعمكم العذاب فيدخل صاحلكم يف طاحلكم َواتَّ ُقواْ فْت نَة ًالَّ تُص ََّيَب َِّ ِ الذ َين ظَلَُمواْ م ُنك ْم َخ َّآصة ً )األنفال: 25( وأّم ا قولكم فيجوز رتكاب أصغر املفسدتّي لدفع

أعظمهما فليس مم ّا حنن فيه ألن ما حنن فيه ليس فيه مفسدة إال على زعمكم من شدة ما بكم من

العصبية ولئن سل ّمنا على سبيل التنزل أ ّن ما حنن فيه فيه مفسده فهو من قبيل تعارض املصلحة

احملققة وهي التوريث على طبق الشريعة باملفسدة املتوُهة على زعمكم ألن املفسدة مل َتصل حاال ًّ

فتقدم املصلحة احملققة على املفسدة املتوُهة )وأّم ا قولكم( أننا إذا أردنا التوريث على طبق الشريعة

احتجنا إىل ّرد ما بأيدينا من األموال إىل ورثة من ورثْنا منهم وهم كذلك وهكذا ويتسلسل األمر

ويتعذر اْلرث الشرعي )فنقول لكم يف جوابه( أننا مننع التسلسل وذلك ألنكم إذا أردمت التوبة

والرجوع إىل الصراط املستقيم فإن عرفتم املالك ملا بأيديكم من األموال أو ورثته وجب عليكم ّرد ه

إليهم وإّال فتجري عليه أحكام األموال الضائعة فإن أيس من معرفة أربابه ْتلكه نإ كان فقريا بنية

الغرم لصاحبه إن وجد هو أو وارثه فَل تسلسل وال يتعذر اْلرث الشرعي وسيايت الكَلم على هذه

األموال يف مبحث التوبة فيتوب اىل اهلل يف ما مضى ويعمل بالشريعة يف ما بقى لعل اهلل أن يرضى

عنه اخلصوم.

37

)وأما قولكم( أ ّن شرط التوريث كون املال مملوكا للمورث وما بأيدينا ليس مملوكا لنا فَل

جيوز لنا أن نورث مال غرينا لورثتنا )فنقول يف جوابه( إن هذا اعرتاف باخلطأ فيجب عليكم رد ما

عرفتم مالكه ملالكه أو ورثته إن وجدوا وإال فهو مال ضائع فيجوز أن تتمل ّكوه إن كنتم فقراء بنية

الغرم لصاحبه إن وجد مث تورثونه لورثتكم الشرعية )وقولكم( فَل جيوز لنا أن نورث اخل )يقال لكم(

حيث اقر رمت يف عدم جواز توريثه ألوالدكم فهل جيوز لكم أكله وتوريثه ألوالد أختكم أم ال )فإن

قلتم( جيوز )قلنا لكم( قد أحللتم احلرام اجملمع عليه ومن حل ّل حراما فقد كفر )وإن قلتم( ال )قلنا

لكم( قد رجحتم املرجوح حيث رثتمو أوالد األخوات وأحرمتم األوالد فإ ّن أوالد الشخص بعضه

خملوق من منيهّ وأوالد أخته بعض غريه هو خملوق من ّمين غريه، قال الشاعر يف حق أوالد البنات

الذين هم أقرب شرعا من اوالد االخوات: بنونا بنو أبنائنا، وبناتُنا # ُبنوه ّن أبناءُالرجال األباعد.

فما بقيت لكم من التعل َلتّ سوى العصبية ومحية اجلاهلية وهي ّمؤدية إىل الكفر والعياذ

باهلل، فلذا كان بعض ّاحلجاجمن املتمسكّي هبذه العادة القبيحة يتجادل مع بعض اجملاورين مبكة

امل ّفةمن شراملتمسكّي بالشريعة يف شأن التوريث على خَلف الشريعة إىل أن قال له اجملاور بعد

اجملادلة الكثرية احلاصل أن هّ جيب عليك التوريث باْلرث الشرعي واالنقياد له فإن عاندت كفرت

فأجابه البعض بأنه يرضى بالكفر وال يرجع عما عليه أسَلفه فيا إخواين قد كفر هذا هبذه املقالة من

شدة العصبية فَل تكونوا أنتم على منواله وتنبهوا فإن االنتصار ملا خالف الشريعة على الشريعة كفر

ِ ِ ِ ملا فيه من معاندة الشريعة وتصحيح الباطل وقد قال تعاىل َوقُ ْل َجاء ْاحلَ ُّق َوَزَه َق الْبَاطلُ إ َّن الْبَاط َل

َك َان َزُه اوقً )اْلسراء: ٨1( نعوذ باهلل من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا.

38

)يا إخواين( توبوا إليه توبة نصوحا ّلعل اهلل أن يتجاوز عن سيئاتكم ويصلح أعمالكم يف الباقي من عمرهم فإن قيل إ ّن بعض أكابركم يزعمون أن هذا اْلرث ال يستقيم على الطريق

املستقيم حبيث ال َتصل فيه املنازعة بّي األوالد وأوالد األخوات إال ّ إذا مجع ِّاملورث بينهما وأ ّقر أ ّن

ما بيده من األموال مشرتك بينه وبّي أوالد أخته فإذا مات يكون ما ّخيصه من الشركة مرياثا باْلرث

الشرعي وحينئذ ال ينازع أوالد األخت األوالد بعد موت ث ّاملورفهل جيوز هلذا البعض فعل ُ ذلك

ّتدرجا لإلرث الشرعي حّت يعود التوارث عندهم بسبب ذلك شرعيا بالكلية ليكون بعض الشيء

لَلوالد ألنه لو مل يفعل ذلك حل ُ مِر األوالد بالكلية من املرياث باستيَلء أوالد األخوات قهرا ً عليهم

م أال جيوز )قلنا( ال جيوز ذلك أل ّن شرط اْلقرار بالشركة ن أيكون املال ّاملقر به مشرتكا حقيقة بأن

اشرتاه منه أو أوهبه إياه أو ْتل ّكه بغري ذلك من أسباب امللك وهاهنا دّجمر حيلة فَل يصح هذا

اْلقرار فيما بينه وبّي اهلل وإن ّصح ظاهرا وفيه امث عظيم ألن فيه إقرارا من مرياث قد ورد الوعيد الشديد يف ذلك قال صلى اهلل عليه وسلم "من قطع مرياثا قطع اهلل مرياثه من اجلنة" اي من فعل ما ِ ِ ِ ِ يفوت به ثإر الوارث قطع نصيبه وحظه من اجلنة قال تعاىل من ب َْعد َوصيَّة يُ َوص ىى هبَا أَْو َديْ ن َغْي َر ۖ ِ َِّ ۖ َّ ِ ِ ِ َِّ ۖ ِ َّ ُم َض ٍّار َوصيَّةً ِّم َن الله َواللهُ َعل ٌيم َحل ٌيم )12( تْل َك ُحُد ُود الله َوَمن يُطِع اللهَ َوَرُسولَ هُاي يف ِ ِ ِ ِِ ِ ۖ ىِ شان املواريث على ما قاله ابن عباس يُْدخْلهُ َجنَّات ََْتِري من ََْتتَها ْاألَنْ َه ُار َخالد َين ف َيها َو ذَل َك ِ َّ الَْفْوُز الَْعظ ُيم )13( َوَمن ي َْع ِص اللهَ َوَرُسولَهُاي فيما فرض اهلل من املواريث على ما قاله جماهد ِ ِ َوي َتَ َعَّد ُحُد َودهُ يُْدخْلهُ نَ ًارا َخالًدا فيها اي مؤبدا ان استحل او ظهرت منه قرينه االستحَلل واال ِ املراد للخلود املده الطويله َولَهُ َعَذ ٌاب ُّمه ٌّي )النساء: 12-14(.

39

)فيا إخواين( ال خري يف مال يكون سببا لدخول النار فأشفقوا على أنفسكم وامحوها من

عذاب أليم فهذه من أنواع احليل وقد احتال أصحاب السبت على اصطياد احليتان الِت هناهم اهلل

عن اصطيادها يوم السبت فحفروا هلا حياضا تقع فيها يوم السبت حّت يأخذوها يوم األحد ّفلم ا فعلوا ذلك مسخهم اهلل قردة وخنازير وهكذا كل من يتحيل بأنواع احليل يف َتليل احملرم فإن اهلل ال

خيفى عليه حيل احملتالّي، قال أبو أيوب السختياين خيادعون اهلل كما خيادعون آدميا ولو أتوا األمر

عيانا لكان أهون عليهم، وهذه احليلة من باب إعانة الظامل على ظلمه وقد ورد الوعيد الشديد يف

إعانة الظامل أخرجه احلاكم وصححه عن ابن عمر رضي اهلل عنهما قال مسعت رسول اهلل صلى اهلل

عليه وسلم يقول "من أعان على خصومة بغري حق كان يف سخط اهلل حّت ينزع" وروى أبو داود

"من أعان على خصومة بظلم فقد باء بغضب من اهلل" وروى أبو داود وابن حبان يف صحيحه

"مثل الذي يعّي قومه على غري احلق كمثل بعري ّترد ي يف بئر فهو ينزع منها بذنبه" ومعناه أنه وقع

يف اْلمث وهلك كالبعري إذا تردى يف بئر مهلكة فصار ينزع بذنبه وال يقدر على اخلَلص وروى

الطرباين واألصبهاين من أعان ظاملا بباطل ليدحض بباطله حقا فقد برئت منه ذمة اهلل وذمة رسوله

ومن مشى مع ظامل ليعينه وهو يعلم أنه ظامل فقد خرج من اْلسَلم، فإن قيل إن قصد هذا البعض

هبذه احليلة تليص بعض املال للورثة من يد العصبية ففعله هذه احليلة طاعة حينئذ لقوله عليه

الصَلة والسَلم إمنا األعمال بالنيات وألن أصغر املفسدتّي يرتكب دفعا ألعظمهما فكيف يقال

إن فعله إعانة على معصية وجياب بأن هذه احليلة ُمرمة كما عرفته فَل يكون فعلها هبذا القصد

طاعة إال ّ لو ّتعذ ر غريها كامليتة ال يكون أكلها قربة إال ّ عند تعذر غريها وهنا مل يتعذر غريها

ْلمكان إيصال املال لألوالد بغريها وذلك باْلرث الشرعي أو االنتقال من هذه األرض إىل أرض

40

ث ّيورأهلها بالشريعة مبكة مثَل ألن االنتقال من األرض الِت ف َ َش ْت فيها املعصية ملا ّمر من الوعيد الشديد يف خمالطة أهل املعاصي فارجع إليه إن شئت فالطريق الشرعي املخلص عند اهلل واضح على

من قه وفّاهلل إال أهنم أ ُ ِشربوا يف قلوهبم َّحب أوالد األخوات فزين ّهلم الشيطان أعماهلم فهو املانع باحلقيقة من التوريث بالشريعة ال عدم التمكن فإن اخلائف من عقاب اهلل واملؤمن بقلبه ال يبايل

بشيء يف إرضاء رب ّه فلذا قال بعضهم:

فليتك َتلو واحلياة مريرة#وليتك ترضى واألنام ُغضاب وليت الذي بيين وبينك عامر#وبيين وبّي العاملّي ُخراب إذا صح منك الود فالكل هّي#وكل الذي فوق الرتاب ُتراب

فعليكم باالنصاف فإ ّن احلق أ ّحق أن يتبع والرجوع إىل احلق فريضة وباجلملة فإن هذه

احليلة من باب ذهاب آخرة الشخص بدنيا غريه قال عليه الصَله والسَلم فيما رواه البيهقي ّ"إن

من أسوأ الناس منزلة ً من أذهب آخرته بدنيا "غريه ويف رواية ّ"إن أ ّشر الناس ندامة"ً ويف أخرى "إن

أشر الناس منزلةً يوم القيامة" وروى الرتميذي "من التمس رضا اهلل بسخط الناس كفاه اهلل مؤنة

الناس ومن التمس رضا الناس بسخط اهلل ّوك له اهلل إىل الناس" وروى ابن عساكر "أال أنب ّئكم ّبشر

الناس من أكل وحده ومنع رفده وسافر وحده وضرب عبده أال أنبئكم ّبشر من هذا من يبغض

الناس ويبغضونه أال أنبئكم بشر من هذا من خيشى ه ّشروال يرجى خريه أال أنبئكم بشر من هذا من باع آخرته بدنيا غريه" إىل آخر احلديث املار.

)فيا إخواين( ليس علي إّال البَلغ فأخرج من وبال الكتمان والدين النصيحة وروى ابن

النجار "من جاء يوم القيامة خبمس مل ّيصد وجهه عن اجلنة النصح هلل ولدينه ولكتابه ولرسوله

41

وجلماعة املسلمّي وروى الدارقطين والديلمي ال يزال املؤمن يف فسحة من دينه ما ُمض أخاه

النصيحه فاذا حاد عن ذلك سلب التوفيق" فلذا ُبذلت لكم النصيحة فَل تكونوا مم ّن إذا قيل له اتق

اهلل أخذت ْه ُ ةّالعز باْلمث فحسبه جهن ّم فإ ّن احلق جيب ات ّباعه ولو ظهر على يد عبد ّحبشي فإنكم إن أنكرمت مابذلته لكم فقد أنكرمت ما جاء به صلى اهلل عليه وسلم ألين مل أقله من قبل نفسي فقد

عرفتم يف كل حديث سنده وإن عاندمت فقد عاندمت اهلل ورسوله ألين ُنقلت كَلمهما ومن عاند اهلل

ورسوله فقد كفر فسل ّموا ت َ ْس ل َُم وا من أهوال الوعيد املذكور وتوبوا إىل اهلل توبة نصوحا فإن ترك التوبة ِ ِ ِ ِ ِ عن الكبرية كبرية كما يشري إليه قوله تعاىل َوتُوبُوا إَىل اللَّه َمج ًيعا أَي َُّها الُْمْؤمنُ َون لََعلَّ ُك ْم ت ُْفل ُح َون )النور: 31( أشارت اآلية مبفهومها إىل أن عدم التوبة خسار أي خسار ولذا كانت التوبة من

الكبرية واجبة عينا فورا بنصوص الكتاب والسنة واْلمجاع قال القاضي الباقَلين وَتب التوبة من

تأخري التوبة وأما التوبة من الصغرية فواجبة أيضا فورا عينا.

مث إ ّن التوبة الِت ْتحو اْلمث تنقسم إىل توبة عن ذنب ال يتعلق به حق آدمي وإيل توبة عن

ذنب يتعلق به حق آدم فالضرب األول كوطء أجنبية فيما دون الفرج وشرب اخلمر والضرب الثاين

كأكل أموال الناس بالباطل والقذف وسيأتى حكمهما. وللتوبة شروط )األول( الندم على ما مضى

له من املعاصي )الثاين( العزم على أن ال يعود يف املستقبل إليه أو إىل مثله )الثالث( اْلقَلع عن

ذنب يف احلال بأن يرتكه إن كان ملتبسا به أو اّمصر على املعاودة إليه )الرابع( االستغفار لفظا )اخلامس( وقوع التوبة يف وقتها وهو ما قبل الغرغرة )السادس( أن ال يكون عن اضطرار بظهور

اآليات كطلوع الشمس من مغرهبا )السابع( تدارك ما فات إذا كانت املعصية غري متعلق هبا حق

آدم كرتك عبادة. ففي ترك حنو الصَلة والصوم تتوقف صحة توبته على قضاءها لوجوهبا عليه فورا

42

وفىسقه برتكها فإن مل يعرف مقدار ما عليه من الصلوات مثَل قال الغزايل َّترى وقضى ما َّتق ق أنه تركه من حّي بلوغه ويف ترك حنو الزكاة والكفارة والنذر مع اْلمكان تتوقف صحة توبته على إيصاله

إىل مستحقه.

وإن كانت املعصية حق آدمي فالتوبة منه يشرتط فيها مجيع ما ّ مرويزيد عليه بأنه ال بد من

إسقاط االدمي فإن كان ماال ّرد ه إذا بقي وإال فبذله ملالكه أو نائبه أو لوارثه بعد موته ما مل يربئه

منه ويلزمه إعَلمه به فإن مل يكن له وارث أو انقطع خربه دفعه إىل اْلمام ليجعله يف بيت املال أو

إىل احلاكم املاذون له يف التصرف يف مال املصاحل فإن تعذر بأن مل ينتظم بيت املال قال العبادي

والغزايل صرفه لنفسه بنية الغرم وأحلق الرافعي يف الفرائض واعتمده اْلسنوي وغريه بالصدقة سائر

وجوه املصاحل فإن مل يكن هناك قاض بشرطه صرفه بنفسه يف املصاحل وإن كان هناك قاض بشرطه

غري نلهيف مأذوالتصرف يف مال املصاحل تري بّي الدفع إىل ذلك القاضي وبّي الصرف بنفسه،

قال ابن حجر يف الزواجر من أخذ حراما من سلطان مثَل ال يعرف مالكه فعن قوم يرده إليه وال

يتصدق به وهو اختيار احملاسيب وعن آخرين يتصدق به أي عن مالكه إذا علم أن السلطان ال يرده

إليه وقال النووي املختار أنه إن علم أو ّظن ظن ّا ّمؤك دا أنه ّيصرفه يف الباطل لزمه صرفه يف املصاحل

كالقناطري فإن ّشقعليه لنحو خوف تصدق به على األحوج فاألحوج وأهم احملتاجّي ضعفاء اجلثّة وإن مل يظن أنه يصرفه يف الباطل فليدفعه له أو لنائبه حيث ال ضرر وإال صرفه يف املصاحل و على

نفسه إن احتاج اه . قال الغزايل وحيث جاز صرفه للفقراء فليوسع عليهم أو لنفسه ضي ّق عليها ما أمكن أو لعياله يتوسط بّي التوسعة والضيق وال يطعم غنيا منه إال إن مل جيد غريه اه .

43

فع ُلم مم ّا ذكر أ ّن كل موروث بغري االرث الشرعي من البساتّي واملزارع مم اّ مل يعلم مالكها

االصلي الذي ملكها بالوجه الشرعي وال ورثته إن انتظم بيت املال ردها إليه وإال ّ فإن كان هناك

قاض مستكمل لشروط القضاة أمّي أقامه اْلمام للتصرف يف مصاحل املسلمّي ردها إليه وإال

فليصرفها ملصاحل املسلمّي كالقناطر وإن ّشق عليه ذلك لنحو خوف تصدق به على الفقراء احملتاجّي وإن كان هو ُمتاجا بأن مل ْيلك كفايته لباقي عمره الغالب لنفقته ونفقة ممونه جاز له أن

يتملكه ويصرفه لنفسه وممونه بشرط نية الغرم ملالكه أو وارثه إن وجد أحدا منهم.

)فيا إخواين( احلَلل بّي واحلرام بّي والطريق إىل احلَلل واضح فتوبوا إىل اهلل توبة نصوحا

فإن االستمرار على هذه املعصية ْينع صحة أنكحتكم على مذهب اْلمام الشافعي ألن شرط

صحة النكاح شاهدا عدل وال عدالة ملن أصر على كبرية من الكبائر والتوريث على خَلف الشريعة

من الكبائر متضمن لكبائر شّت على ما تقدم لك، قال يف املغين وال يصح النكاح الإ حبضور

شاهدين عدلّي خلرب ابن حبان يف صحيحه عن عائشة رضي اهلل عنها "ال نكاح اال بويل اي عدل

وشاهدي عدل" وما كان من نكاح على غري ذلك فهو باطل اه .

فيرتتب على عدم صحة النكاح بعدم عدالة الشهود والويل أن األوالد احلاصلّي من هذه

األنكحة أوالد زنا ال أوالد شبهة ألنكم عاملون بأن هذا التوريث من الكبائر وأن ارتكاب الكبرية

يبطل العدالة والوطء مع العلم ببطَلن النكاح وطء زنا كما قيل، لكن الذي جرى عليه ابن حجر

أن الوطء وطء شبهة واألوالد أوالد شبهة لشبهة أيب حنيفة بأنه يقول بصحة النكاح بويل وشاهدين

ولو فاسقّي. فإن مل تعلموا فها أنا قد نبّهتكم فيجب عليكم َتديد النكاح أو تقليد أيب حنيفة يف

القول املتقدم جلواز التقليد بعد العمل والتوبة بالرجوع إىل اْلرث الشرعي ّورد املظامل فإن مل َتددوا

44

األنكحة أو تقلّدوا ومل تتوبوا كنتم ّمستمرين على الزنا أو وطء الشبهة فنعوذ باهلل من ذلك. وهذا كله مبينّ على إقراركم بأن ما أنتم عليه معصية كبرية وإن أنكرمت كوهنا معصية أو عاندمت فقد كفرمت

والعياذ باهلل فتنبهوا و ّتعق لوا بعّي البصرية إذ أنتم مؤمنون باهلل ورسوله ومبا جاء به النيب صلى اهلل عليه

وسلم.

)يا إخواين( كيف ترضون على أنفسكم بأن يكون وطؤكم زنا أو شبهة وأوالدكم أوالد زنا

أو شبهة ألجل أوالد األخوات الذين ال ينفعونكم وال يغنون عنكم من عذاب اهلل شيئا ال يف الدنيا

وال يف االخره وكيف ترضون أن يغضب عليكم رب ّكم ألجلهم وهذا ال يصدر من عاقل. ومما ينبغي

التنبيه له أنه جيب على العلماء منكم وغريهم ممن كان عقد للنكاح أال يعقدوا األنكحة إّال بعد

استتابة الشهود واألولياء من التوريث على خَلف الشريعة أو يأمرهم بتقليد أيب حنيفة يف صحة

النكاح بويل فاسق وشاهدين فاسقّي حّت يصح النكاح وإال كانوا معينّي هلم فيما يوصل إىل الزنا

أو إىل وطء الشبهه فهم شركاؤهم فيه فتوبوا إىل اهلل قبل أن تندموا وال تيأسوا من رمحة اهلل إن اهلل

ِ ِ ِ ِ ِ يغفر الذنوب مجيعا ً وقال تعاىل َوتُوبُوا إَىل اللَّه َمج ًيعا أَي َُّها الُْمْؤمنُ َون لََعلَّ ُك ْم ت ُْفل ُح َون )النور: 31( َِّ َِّ ِى َِّ َّ َِّ ِ وقال تعاىل َوالذ َين َال ي َْدعُ َون َم َع الله إَهل ًا َآخَر َوَال ي َْقتُ لُ َون النَّ ْف َس الِت َحَّرَم اللهُ إال ب ْاحلَِّق َوَال ي َْزنُ َون ۚ ىِ ِ ِ ِ ِ َِّ َوَمن ي َْفَع ْل ذَل َك ي َْل َق أَثَ ًاما )6٨( يُ َض َاع ْف لَهُ الَْعَذ ُاب ي َْوَم الْقيَ َامة َوَخيْلُْد فيه ُمَهانًا )69(إال َمن ِ ِ ىِ َّ ِِ ۚ َّ ِ ت َ َاب َو َآم َن َوَعم َل َعَمًَل َصاحلًا فَأُول َئ َك ي ُبَ ُدِّل اللهُ َسيِّئَاهت ْم َح َسنَات َوَك َان اللهُ َغُف ًورا َّرح ًيما)7٠( ِ ِ ِ ِ َِّ َوَمن تَ َاب َوَعم َل َصاحلًا فَإنَّهُ ي َتُ ُوب إَىل الله َمتَابًا )الفرقان:71(. ِ ِ ﷺ ِ ِ َّ وأخرج مسلم األَ ْشَعر ِّي، رضي اهلل عنه، عن النََِّّيب قَ َال: " ن إاهلل تَ َع َاىل ْيب ُس ُط يدهُ باللْيِل ِ ِ ِ َّ ِ ِ ِِ ليتُوب ُمسيءُ النَّ َهار، َو ْيب ُس ُط يَدهُ بالنَّ َهار ليَتُ َوب ُمسيءُ اللْيل َّحّت تَطْلَُع َّالش ْم ُس من ْمغرهبا"،

45

وروى الرتمذي وصححه " َّإن من قبل املغرب لبابا مسرية عرضه أربعون عاما أو سبعون سنة فتحه

اهلل َّعز َّوجل للتوبة يوم خلق السماوات واألرض فَل يغلقه َّحّت يطلع الشمس منه"، وروى ابن

ماجه بسند جيد "لو ُأخطأمت حّت َتبلغ خطاياكم السماءَ مث ت ُْبتُ ْم َلتاب اهلل عليكم"، وروى احلاكم "إن من سعادة املرء أن يطول عمره ويرزقه اهلل اْلنابة" ورواه الرتمذي وابن ماجه واحلاكم وصححه

"كل ابن آدم خطاء ّوخري اخلطائّي التوابون"، وروى مجاعة وصححوه " َّإن املْؤمن إذَا ْأذنَب ذَنْ با ُ َ َ َ ً ِ ِِ َكانَ ْت نُ ْكتَةٌ َسْوَداءُ يف قَ ْلبه، فإن َتاب َون َزع َو ْاستَ ْغَفَر َصَقلَ ْت قَ ْلبَهُ، ْفإن َزَاد َزَاد ْت حّت تَ ْعلُو قَ ْلبَهُ، َّ ِِ ِ فََذ َلك َّالر ُان ذيال قال اهلل: ) َكَل بَ ْل َر َان َعلَى ق ُلُوهب ْم َما َكانُوا يَ ْكسبُ َون (" وروى الرتمذي ّوحس نه ِ ِ "أن اهلل يقبل توبة العبد مامل يغرغر أي تبلغ روحه حلقومه" وروى األصفهاين "إذَا تَ َاب الَْعْبُد م ْن ِِ َّ ِ ِ ِ ِ َّ ِ ِ ذُنُوبه أ َنْ َسى الله ُ َحَفظَتَه ُ ذُنُوبَهُ، َوأَنْ َسى ذَل َك َجَوارَحه ُ َوَمَعالَمه ُ يف األَْر ِض، َحَّّت ي َْلَقى الله َ ي َْوَم الْقيَ َامة ِ ِ ِ َِّ ِ َولَْي َس َعلَْيه َشاهٌد م َن الله بَذنْب "، وروى الطرباين بسند صحيح "التائب من بالذنو كمن ال ذنب ِ له" وروى البيهقي "َوالُْم ْستَ ْغفُر من الذنب وهو مقيم عليه كاملستهزئ بربه" وروى الشيخان أن نيب ﷺ اهلل قال: "كان فيمن كان قبلكم رجل قتل تسعة وتسعّي ًنفسا، فسأل عن أعلم أهل األرض

ُفدل على راهب فأتاه فقال: إنه قتل تسعة وتسعّي ًنفسا، فهل له من توبة؟ فقال: ال، فقتله فكمل

به مائة، مث سأل عن أعلم أهل األرض، ُفدّل على رجل عامل، فقال: إنه قتل مائة نفس، فهل له

من توبة؟ فقال: نعم، ومن حيول بينه وبّي التوبة؟ انطلق إىل أرض كذا وكذا، فإن هبا ًأناسا يعبدون اهلل تعاىل فاعبد اهلل معهم، وال ترجع إىل أرضك، فإهنا أرض سوء، فانطلق حّت إذا نصف الطريق

أتاه املوت، فاختصمت فيه مَلئكة الرمحة ومَلئكة العذاب، فقالت مَلئكة الرمحة: جاء اتائبً مقبَلً

بقلبه إىل اهلل تعاىل، وقالت مَلئكة العذاب: إنه مل يعمل اًخري قط، فأتاهم ملك يف صورة آدمي،

46

فجعلوه بينهم -أي ًحكما- فقال: قيسوا ما بّي ْاألرضّي، فإىل أيتهما كان أدن فهو له، فقاسوه فوجدوه أدن إىل األرض الِت أراد، فقبضته مَلئكة الرمحة". ِ ِ وروى مسلم واللفظ له والبخاري بنحوه "قال اهللُ ّعز ّوجل : أنَا عْنَد ظَ ِّن َعْبدي ِيب، َوأَنَا ِ ِ ِ َمَعهُ ح َّي يَْذُكُرين، واهلل هلل أفرح بتوبة عبده من أحدكم جيد ضلّته بالفَلة َومن تَ َقَّر َب ّإيل شْب ًرا، ِ ِ ِ ِ ِ تَ َقَّربْ ُت إلَْيه ذَر ًاعا، َومن تَ َقَّر َب إََّيل ذَر ًاعا، تَ َقَّربْ ُت إليه بَ ًاعا، إذا أقبل ّإيل ْيشي أقبلت له أهرول"، َّ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ وروى الشيخان "لَلهُ أفَ َرح بتَ ْوبَة َعْبده ح َّي ي َتُ ُوب إلَْيه ، م ْن أَ َحدُك ْم َك َان ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ َعلَى َراحلَته بأَْرض فَََلة ، فَانْ َفلَتَ ْت مْنهُ َوَعلَْي َها طََع ُامهُ َو َشَرابُهُ ، فَأَي َس مْن َها ، فَأَتَى َش َجَرةً ، ِ ِِّ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ فَ ْاضطَ َج َع يف ظلَها ، قَْد أَي َس م ْن َراحلَته ، فَ بَ ْي نَا ُهَو َكَذل َك إذَا ُهَو هبَا ، ق َائَمةً عْنَدهُ ، ِِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ فَأَ َخَذ خبطَامَها ، ُمثَّ قَ َال م ْن شَّدة الَْفَرِح : اللُه َّم أَنْ َت َعْبدي َوأَنَا َربُّ َك ، أَ ْخطَأَ م ْن شَّدة الَْفَرِح أي

إنه غلط فعكس القضية من ّشدة الفرح فقال بدل أنت ريب أنت عبدي وبدل أنا عبدك أنت

عبدي. ِِ ِ وروى الشيخان لَلَّه أَ َشُّد فَ رحا بِتَ وبِة عبده املْؤِم ِن، ِمن رج ل يف أَر ض دِّويَّ ة مهل َك ة، معه ُ َ ً َْ َْ ُ َ ُ ْ َ َ ْ ُ ِ ِ َراحلَتُهُ، َعلَْي َها طََع ُامهُ َو َشَرابُهُ، فَ نَ َام فَ ْاستَ ْي َق َظ َوقَْد ذََهبَ ْت، فَطَلَبَ َاه َّحّت أَْدَرَكهُ َالعطَ ُ،ش ُمث َّ َقال: أَْرج ُع ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ إىل َم َكاينَ الذي ُكْن ُت فيه، فأنَامُ َّحّت أَُم َوت، فَ َو َض َع َرأْ َسهُ علَى َساعده ليَُم َوت، فَ ْاستَ ْي َق َظ َوعْنَدهُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ راحلَتُه وعلَي ها َزاده وطَعامه و َشرابه، فَاللَّه أَ َشُّد فَ رحا بِتَ وبة العبد املْؤم ِن من هذا بِراحلَته، والدوة َ ُ َ َ ْ َ ُُ َ َ ُُ َ َ ُُ ُ َ ً َْ َْ ُ َ ّ الفَلة القفر واملفازة واألحاديث يف هذا املعىن أكثر من أن َتصى ويف هذا القدر كفاية ملن له قلب

أو ألقى السمع وهو شهيد.

47

فعليكم بالتوبة من هذه الضَللة واالنسَلخ عن هذه النزغة وعليكم بأكل احلَلل فإن

كلأ احلَلل ّينور القلب ويرققه ّوجيلب له اخلشية من اهلل تعاىل واخلشوع لعظمته وينشط اجلوارح للعبادة والطاعة ويزهد يف الدنيا ويرغب يف اآلخرة وهو سبب يف قبول األعمال الصاحلة روى ابن

مسعود عن النيب صلى اهلل عليه وسلم انه قال "طلب احلَلل فريضة على كل مسلم" وقال صلى اهلل

عليه وسلم "من سعى على عياله من حله فهو كاجملاهد يف سبيل اهلل ومن طلب الدنيا حَلال يف

عفاف كان يف درجة الشهداء" وقال عليه الصَله والسَلم "من أكل احلَلل أربعّي يوما ّر نواهلل

قلبه وأجرى ينابيع احلكمة من قلبه على لسانه ويف رواية " ّزه ده اهلل يف الدنيا"، وروي "أن سعداً سأل رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم أن يسأل اهلل تعاىل أن جيعله جماب الدعوة قال له أطب

طعمتك تستجب دعوتك" وقال صلى اهلل عليه وسلم "العبادة عشرة أجزاء تسعة منها يف طلب

احلَلل"، وقال صلى اهلل عليه وسلم "من أمسى وانيا ً من طلب احلَلل بات مغفورا له وأصبح واهلل

عنه راض" قال حيىي بن معاذ: الطاعة خزانة من خزائن اهلل إال أن مفتاحها الدعاء وأسنانه لقم

احلَلل، قال سهل التسرتي: من أحبه ّأن يكاشف بآيات الصديقّي فَل يأكل إّال حَلال وال يعمل

إّال يف سنة أو ضرورة، قال سهل: من كانت طعمته حَلال أطاعته جوارحه ُ ووف ّقت للخريات، وقال

بعض السلف إن أّ ول لقمة يأكلها العبد من حَلل يغفر له ما سلف من ذنوبه ومن أقام نفسه مقام ّذل يف طلب احلَلل تساقطت عنه ذنوبه كتساقط أوراق الشجر إىل غري ذلك من األحاديث

واآلثار.

وحيث إن بعضا من علمائكم يعمل هبذه العادة القبيحة ويأخذ لنفسه من هذا اْلرث

اجلاري على خَلف الشريعة فلنذكر لكم بعض األحاديث الواردة يف ذم العامل الذي مل يعمل بعلمه

48

و يف مدح العامل العامل بعلمه لتختاروا ألنفسكم ما ينفعكم وَتنبوا ما يضركم )أما األول( فما رواه ِ ِ ِ الطرباين وأبو نعيم " َّالزبانيةُ َأسرعُ إىل فسقة القراء منهم إىل عبدة األوثان َفيقولون : يُبدأُ بنا َقبل ِ ِ عبدة األوثان ؟ ُفيقال َهلُم : َليس من يَ ُعلم َكمن ال ُيعلم " ورواه الرتمذي وقال الرتمذي حسن ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ صحيح "َال تَ ُز ُول قََدَما َعْبد ي َْوَم الْقيَ َامة َحَّّت يُ ْسأََل َع ْن عُُمره ف َيما أَفْ نَاهُ َوَع ْن عْلمه ف َيم فَ َع َل َ وَع ْن ِِ ِ ِ ِ ِِ ِ َماله م ْن أَيْ َن ْاكتَ َسبَهُ َ وف َيم أَنْ َفَقهُ َوَع ْن ج ْسمه ف َيم أَبََْله"، ُوروى الطرباين يف الكبري َّ"أن أُ ًناسا من ِ ِ ِأهل اجلنَّة َينطلقون إىل أُ ناس من ِأهل النَّار َفيقولون مبا دخلتُم النَّ َار فواهلل ما دخلنا اجلنَّة َ َّإال مبا َّ تعلمنا منكم َفيقولون إنَّا كنَّا ُ نقولوال نفعل ُ". َّ وروى البزار "يا رسول اهلل اي الناس شر فقال صلى اهلل عليه وسلم الل َّهم اغفر ، ْسل عن ِ ِ ِ ِ اخلري ، وال ْتسأل عن َّالشِّر ، ش ُرار النَّ ِاس ش ُرار العُلماء يف النَّ ِاس "، وروى الطرباين بسند حسن "مثل العامل الذي يعلم الناس اخلري وينسى نفسه؛ كمثل السراج يضيء للناس وحيرق نفسه" والطرباين

والبيهقي "إن أشد الناس عذاباً يوم القيامة عامل مل ينفعه اهلل بعلمه"، وأخرج أمحد والبيهقي "ن ُبِّْئ ُت ِ ِ َّ ِ ِِ ِِ ِ أََّن ب َْع َض َم ْن ي ُْلَقى يف النَّار ي َتَأَذى أَْه ُل النَّار برحيه، فَ َيق ُال لَهُ: َويْ لَ َك َما ُكْن َت تَ ْعَملُ؟ أََم ا يَ ْكفينَا َما ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ َْحن ُن فيه م َن النََّنت َحَّّت ابْ تُلينَا ب َك َوبِنََنت رحي َك , فَ يَ ُق ُول: ُكْن ُت َعالًما فَ لَ ْم أَنْ تَف ْع بعْلم ي"، وعنه صلى اهلل عليه وسلم "ال يكون املرء عاملا حّت يكون بعلمه عامَل" وقال صلى اهلل عليه وسلم "يكون يف

آخر الزمان عباد جهال وعلماء فساق"، قال صلى اهلل عليه وسلم "ال تعل ّموا العلم لتباهوا به

العلماء، ولتماروا به السفهاء، وانصرفوا وجوه الناس إليكم فمن فعل ذلك فهو يف النار وقال صلى

َّ ِ اهلل عليه وسلم َمن َكتم ًاعلم عنده َأجلمهُ اللهُ َيوم القيامة بلجام من نار " وقال صلى اهلل عليه وسلم

49

"ألنا من غري الدجال أخوف عليكم من الدجال، فقيل وما ذلك فقال من األئمة املضلّي" وقال

ِ ِ َِّ ِ صلى اهلل عليه وسلم "َم ِن ْازَد َاد عْلًما َوَملْ ي َْزَدْد ُهَىد َملْ ي َْزَدْد م َن الله إال ب ُْعًدا". وقال الغزايل العامل إما متعرض هلَلك األبد أو لسعادة األبد وإنه باخلوض يف العلم قد حرم السَلمة

وإن مل يدرك السعادة وقال احلسن : "عقوبة العلماء موت القلب، وموت القلب طلب الدنيا بعمل

اآلخرة، وانشدوا:

عجبت ملبتاع الضَللة باهلدى # ومن يشرتي دنياه بالدين أعجب وأعجب من هذين من باع دينه # بدنيا سواه فهو من ذين أعجب

وقال صلى ّاهلل عليه وسلمّ إن العامل ليعذب عذابا يطيف به أهل النار استعظاما ّلشدة

عذابه أراد به العامل الفاجر، قال أسامة بن زيد مسعت رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم يقول: يؤتى

بالعامل يوم القيامة فيلقى يف النار فتندلق أقتاب بطنه فيدور هبا كما يدور احلمار يف الرحى، فيطيف

به أهل النار فيقولون: ما لك؟ فيقول: كنت آمر باملعروف وال آيت، وأهنى عن املنكر وآتيه.

ِ َّ ِى َِّ ِ )وأما فضيلة العلم والعلماء العاملّي( فقوله تعاىل َشهَد اللهُ أَنَّهُ َال إل َهَ إال ُهَو َوالَْمََلئ َكةُ ِ ِ ِ ِ ِ َوأُولُو الْعْلِم قَائًما بالْق ْسط )آل عمران: 1٨( فانظر كيف بدأ سبحانه وتعاىل بنفسه ّوثىن باملَلئكة وصلت بأهل العلم وناهيك هبذا شرفا وفضَل ونبَل فَل يليق بالعلماء أن يدنسوا هذا الشرف باتباع

َّ َِّ اهلوى والعمل مبخالفة الشريعة كالتوريث على خَلف الشريعة و قوله تعاىل ي َْرفَِع اللهُ الذ َين َآمنُوا ِ َِّ ِ ِ م ُنك ْم َوالذ َين أُوتُوا الْعْل َم َدَرَجات )اجملادلة: 11( قال ابن عباس رضي اهلل عنهما: "للعلماء ٌدرجات ِ َفوق املؤمنّي بسبعمائة درجة، ما بّي الدرجتّي مسرية مخسمائة عام؛ وقال عز وجل قُ ْل َه ْل يَ ْستَوي َِّ َِّ الذ َين ي َْعلَُم َون َوالذ َين َال ي َْعلَُم َون )الزمر: 9( إىل غريذلك من اآليات.

50

وقوله صلى اهلل عليه وسلم "من يريد اهلل به خريا يفقهه يف الدين ويلهمه رشده" وقال

صلى اهلل عليه وسلم "العلماء ورثه االنبياء" ومعلوم أنه ال رتبة فوق النبوة وال شرف فوق شرف

الوراثة لتلك الرتبة وقال صلى اهلل عليه وسلم "يستغفر للعامل ما بّي السماوات واألرض"، وأ ّي منصب يزيد على منصب من تشتغل مَلئكة السماوات واألرض باالستغفار له فهو مشغول بنفسه

و هم مشغولون باالستغفار له وقال صلى اهلل عليه وسلم "إن احلكمة تزيد الشريف شرفا ترفع

اململوك حّت يدرك مدارك امللوك" وقد نبه ّصلى اهلل عليه وسلم هبذا على َثرته يف الدنيا ومعلوم أن اآلخرة خري وأبقى وقال صلى اهلل عليه وسلم "أفضل الناس املؤمن العامل الذي إذا احتيج إليه نفع

وإن استغين عنه أغىن نفسه" قال صلى اهلل عليه وسلم "اْلْيان عريان ولباسه التقوى وزينته احلياء

وَثرته العلم" وقال صلى اهلل عليه وسلم "أقرب الناس من درجة النبوه أهل العلم واجلهاد أما أهل

العلم فدل ّوا الناس على ما جاءت به الرسل وأما أهل اجلهاد فجاهدوا بأسيافهم على ما جاءت به

الرسل" وقال صلى اهلل عليه وسلم "ملوت قبيلة أيسر من موت عامل" وقال صلى اهلل عليه وسلم

"العامل أمّي اهلل سبحانه وتعاىل يف األرض" وقال صلى اهلل عليه وسلم "صنفان من أّم ِت إذا صلحوا صلح الناس وإذا فسدوا فسد الناس: األمراء والفقهاء" وقال علي رضي اهلل عنه العامل أفضل من

الصائم القائم اجملاهد وإذا مات العامل ثلم يف اْلسَلم ثلمة ال ّيسد ها إال ٌخلف منه وقال علي

رضي اهلل عنه نظما:

ما الفخر ّإال ألهل العلم إهنم # على اهلدى ملن استهدى ّأدالء، وقدر ّكل امرئ ما كان حيسنه #

واجلاهلون ألهل العلم أعداء، ففز بعلم تعش حيّا أبدا # الناس موتى وأهل العلم أحياء

51

إىل غري ذلك مما ال حيصى.

)فيا إخواين( إذا عرفتم فضل العلماء العاملّي بعلمهم وعقاب غري العامل فكونوا من

العاملّي بعلمكم لتستحق مجيع تلك الفضائل بأن تشدوا عزمكم على إبطال هذه العادة القبيحة

وا وهتجركل من ال يبطلها ألن زمام العوام بأيديكم فإن تعصبتم يف إقامة دينكم ال يقدر العوام على

خمالفتكم ولكين أراكم تتلفون يف األمور الِت ال ضرر هلا يف الدين و تسكتون عما يضر دينكم

وتتعصبون يف إبطال دينكم بتعصبكم على التوريث على خَلف الشريعة فيكون علمكم عليكم ال

لكم فيلحقكم الوعيد الوارد يف ذم علماء السوء فأشفقوا على أنفسكم وال َتسبوا اهلل غافَل عنكم

َّ ِ َّ ِ ِ إن فعلتم ذلك َوَال ََْت َسَََّب اللهَ َغافًَل َع َّما ي َْعَم ُل الظال ُم َون )إبراهيم: 42( أََْحي َس ُب اْل َنس ُان أَن ي ُْت َرَك

ُسًدى )القيامة: 36( والكَلم على ما تب يرتعلى التوريث على خَلف الشريعة من املعاصي والوعيد الشديد ال حيتمله هذا املختصر ويف هذا القدر كفاية وهذا آخر ما أردنا مجعه يف هذه

العجالة فنسأل اهلل العظيم أن جيعلها خالصة لوجهه الكرمي وأن ينفع هبا النفع العظيم.

اللهم إنا نسالك التوبة ودوامها ونعوذ بك من املعصية وأسباهبا ّوذك رنا باخلوف منك قبل

هجوم خطراهتا وامحلنا على النجاة منها ومن التفكر يف طرائقها وامح عن قلوبنا حَلوة ما اجتنيناه

منها واستبدهلا بالكراهة هلا والطعم ملا هو بضدها رب ّنا تقب ّل توبتنا واغسل حوبتنا وَتمل تبعاتنا مبنك وكرمك آمّي اللهم إنا نستغفرك من كل ذنب أذنبنا ما استعمدناه أو جهلناه و نستغفرك من كل

ذنب تبت إليك منه مث عدنا إليه ونستغفرك من الذنوب الِت ال يعلمها غريك وال يسعها إال ّ حلمك

ونستغفرك من كل ذنب دعت إليه نفوسنا من الرخص فاشتبه ذلك علينا وهو عندك حرام

52

ونستغفرك من كل عمل عملناه لوجهك فخالطين فيه ما ليس لك فيه رضا ال إله إال أنت يا أرحم

الرامحّي اللهم اغفر لنا ولوالدينا و ملشاخينا وألصحاب احلقوق علينا وملن أوصانا واستوصانا بدعاء

اخلري يا أرحم الرامحّي اللهم أهلم من كان سببا يف تأليف هذه الرسالة رشدا وارزقهم التوبة عما هم

عليه مما يوجب خسارا أو بعدا ووفقهم ملتابعة الشريعة املطهرة واجعلهم من املتمسكّي بأحكام اهلل

احملرزه وال َتل هبم املكر وألن قلوهبم من قسوة ما هم عليه من الغدر آمّي يا رب العاملّي.

واملرجو ممن اطلع علي هذه الرساله وظائف فيها على ما يوجب سآمة أو مَللة أن ينظر

إليها بعّي اْلنصاف ويصلح ما فيها من اخلطأ واالعتساف بعد إمعان النظر والفكر والتخلي من

داء احلسد والكرب مث يلتمس يل العذر لينتظم يف سلك ّاحملج لّي الغر ألين معرتف بقلة البضاعة

ّومقر بأين على ضعف يف هذه الصناعة ونسأل اهلل تعاىل اهلداية ألقوم طريق إنه نعم املوىل ونعم الرفيق واحلمد هلل رب العاملّي وصلى اهلل على سيدنا ُممد وآله وصحبه أمجعّي وكان الفراغ من

تاليف هذه الرساله مبكة ّاملكرمة اليوم الرابع عشر من م ُّمر احلرام افتتاح العام التاسع والثَلَثائة واأللف من هجرته صلى اهلل عليه وسلم.

53

بعد محد هلل والصَله والسَلم على رسول اهلل قد مت طبع الرسالة املوسومة بالداعي املسموع

يف ّالرد على ما ث ّيوراْلخوة وأوالد األخوات مع وجود األصول والفروع للعَلّمة ّاحملق ق ّوالفخ امة

املدق ّق الشيخ أمحد اخلطيب أحد ّس مدراملسجد احلرام أطال اهلل بقاءه وبل ّغه من مرضاته ما يرام

وقد َتلت طررها ووشيت غررها بالقول املربم يف أن منع األصول والفروع من إرثهم ُّمرم تأليف العَلمة السيد أيب بكر بن السيد ُممد شطا فجاءت دواء مناسبا لعَلج مرض املخالفات وموصَل

إن شاء اهلل ملا قصداهمن الرجوع إىل اهلل والعمل مبا أنزله من اآليات وذلك يف املطبعة امليمنية مبصر

احملروسة احملمية إدارة املفتقر لعفو رب ّه القدير أمحد البايب احلليب ذي العجز والتقصري يف شهر رمضان

سنة 13٠9 هجرية على صاحبها أفضل الصَلة وأمت التحية.

وهذه النسخة الِت بّي أيدينا هي ما كتبها الباحث من النسخة األصلية املطبوعة يف املطبعة

امليمنية مبصر، والسبب يف إعادة كتابتها أن النسخة املطبوعة بدأت ال تظهر منها الكتابة واخلط

وذلك لطول املدة الّت تّمر عليها فأكلها الدهر والزمن فيضطر الباحث يف أن يعيد كتابتها مرة ثانية.

54

BIODATA

MOH. AHSIN lahir di Lamongan Jawa Timur, tanggal 02 Oktober 1991 dari pasangan suami istri yang berprofesi sebagai wiraswasta yakni Bapak Subiyono dan Ibu Mahiroh. Riwayat pendidikan formal dimulai dari TK Darussalam Bulubrangsi (1995-1997), kemudian dilanjutkan ke jenjang pendidikan MI Darussalam Bulubrangsi (1997- 2003). Selepas lulus, penulis melanjutkan pendidikan di MTS Darussalam Bulubrangsi (2003-2006). Selepas lulus, penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Mambaus Sholihin sambil menetap di Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Manyar Gresik (2006-2009). Di tahun yang sama setelah lulus (2009), penulis melanjutkan ke Perguruan Tinggi Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) yang terletak di area Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Gresik. Setelah empat semester di INKAFA, penulis berkesempatan mengikuti seleksi beasiswa masuk perguruan tinggi pada awal 2011 di STAI Imam Syafi’i Cianjur Jawa Barat dan berhasil lulus. Dan tercatat sejak tahun 2011, penulis resmi menjadi mahasiswa jurusan Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah STAI Imam Syafi’i hingga selesai pada tahun 2016.

Setelah lulus dari STAI Imam Syafi’i, penulis mendapat kehormatan untuk mengabdikan diri dengan menjadi asisten dosen di STAI Imam Syafi’i Cianjur dari tahun 2016 sampai sekarang. Saat ini penulis berdomisili di wilayah Pacet Cianjur Jawa Barat.

158