KITAB KUNING: Sebagai Kurikulum Di Pesantren Oleh: Sururin
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
KITAB KUNING: Sebagai Kurikulum di Pesantren Oleh: Sururin Pengantar Kitab kuning menjadi istilah yang identik dengan pesantren. Oleh karena kitab kuning menjadi rujukan utama dan menjadi salah satu elemen bagi pesantren. Dengan bahasa ekstremnya, suatu lembaga tidak dapat dikatakan sebagai pesantren apabila di dalamnya tidak mengkaji kitab kuning. Hal ini menunjukkan betapa erat hubungan antara pesantren dan kitab kuning. Dalam pesantren kitab kuning memang paling dominan. Ia tidak saja sebagai khasanah keilmuan, tetapi juga sebagai si stem nilai yang dipegangi dan mewarnai seluruh aspek kehidupan. Kitab kuning mewujud dalam paham keagamaan, tata cara, peribadatan, pergaulan, etik dan cara pandang kehidupan warga pesantren dan masyarakat pengikutnya. Dalam kenyataan ini kitab kuning merupakan tradisi yang hidup sebagai ‘kultur santri’ yang cukup subur dalam masyarakat Indonesia. Dan sebagai tradisi itu pula kitab kuning hidup dalam sejarahnya yang abadi, melampaui keberadaannya sebagai khasanah keilmuan. Dalam pembahasan berikut coba menjawab permasalahan-permasalahan: apakah pengertian kitab kuning?, kapankah ia ada dan bagaimanakah perjalanan sejarahnya sehingga menjadi satu tradisi pesantren?, apakah kitab-kitab yang dikaji dalam pesantren?, mengapa ia menjadi referensi atau rujukan utama dalam dunia pesantren—yang menurut para pengkritiknya mengalahkan al-Qur’an dan al-Sunnah?, dan mengapa pesantren mempertahankan—bahkan melestarikan kitab kuning, dan sebagai pertanyaan terakhir: apa saja yang perlu dibenahi dari kitab kuning?. A. Mengenal Kitab Kuning Istilah kitab kuning pada beberapa puluh tahun terakhir ini belum dikenal, sebab dunia pesantren pada saat itu menutup diri dari dunia luar, terutama dari arus kebudayaan asing (baca: Barat), sebagai satu sikap oposisi diam (silent opposition) terhadap penjajah Belanda. Oleh karena itu, dunia pesantren tidak mengenal adanya buku-buku di luar kitab kuning.1 Andai kata 1 Ali Yafie, Kitab Kuning: Produk Peradaban, dalam jurnal Pasatren, No. I, Vol. VI, 1989, hal. 3 ada yang mengenalnya, maka dilarang mempelajarinya. Pada tahun 1960 terlihat dengan jelas garis pemisah antara kelompok tradisionalis dan modernis, yang lebih cenderung menggunakan ‘kitab putih’ yang biasanya menolak sebagian besar tradisi skolastik dan berpihak pada upaya untuk kembali pada sumber-sumber asli—al-Qur’an dan Hadis.2 Dengan demikian, boleh jadi istilah ini pada awalnya diperkenalkan oleh para peneliti Barat dan kelompok yang tidak sejalan dengan sistem pendidikan yang berlangsung di dunia pesantren yang sangat didominasi kitab kuning. Inilah pula sebabnya mengapa pada awalnya penyebutan istilah kitab kuning ini seringkali dibarengi dengan nada merendahkan (pejorative). Mengapa demikian?, sebab kitab kuning dianggap sebagai bahan rujukan yang berkadar keilmuan rendah, ketinggalan jaman, dan—yang lebih parah lagi—menjadi salah satu penyebab stagnasi berpikir umat.3 Berangkat dari sini, menjadi patut dipertanyakan, apakah kitab kuning?. Secara umum kitab kuning dipahami sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, menggunakan aksara Arab yang dihasilkan oleh para ulama dan para pemikir muslim lainnya, terutama dari Timur Tengah. Pengertian tersebut terlihat kurang luas, oleh karena itu Azyumardi Azra menambahkan bahwa kitab kuning tidak hanya mengunakan bahasa Arab, akan tetapi juga bahasa lokal (daerah), seperti: Melayu, Jawa dan bahasa lokal lainnya di Indonesia dengan menggunakan aksara Arab. Dengan demikian, selain ditulis oleh para ulama Timur Tengah juga ditulis oleh para ulama Indonesia sendiri.4 Sementara, dalam Pengertian yang lebih sempit kitab kuning diartikan dengan buku-buku tentang keislaman yang dipelajari di pesantren ditulis dalam tulisan Arab dan dalam bahasa Arab dengan sistematika klasik.5 Kitab kuning juga dapat diartikan dengan kitab yang berisi ilmu- ilmu keislaman, fiqh khususnya, yang ditulis atau dicetak dalam bahasa Arab/Melayu/Jawa/Sunda dan sebagainya tanpa memakai harakat/syakal (tanda baca/baris).6 2 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, cet. III, 1999), hal. 132 3 Affandi Mukhtar, Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Observasi Umum, dalam Marzuki Wahid, dkk (ed.), Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, ( Bandung: Pustaka Hidayah, cet. I, 1999), hal. 222. Bandingkan dengan:A. Malik Madany, ‘Posisi Kitab Kuning dalam Khasanah Keilmua Islam, dalam jurnal Pesantren, No. I, Vol. VI, 1989, hal. 23 4 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos, cet. I, 1999) hal. 111 5 Mengapa Kitab Kuning, dalam jurnal Pesantren, No. I, Vol. VI, 1989, hal. 2 6 Lihat, misalnya,Ensiklopedi Hukum Islam III, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, cet.II, 1999), hal. 950 Pengertian demikian terkadang masih dibatasi dengan tahun karangan, terdapat juga yang membatasi dengan madzhab teologi, dan membatasi kitab kuning dengan kitab yang mu’tabarah saja. Artinya kitab kuning yang diterima di kalangan pesantren. Menanggapi adanya perbedaan dalam pengertian tersebut di atas, dalam pengertian yang luas—termasuk di dalamnya kitab kuning dengan menggunakan bahasa daerah/lokal—maka pengertian ini lebih mengarah pada perspektif historis, sementara dalam pengertian yang terakhir disebut maka itu lebih khusus pada tradisi yang berlangsung di dunia pesantren. Pada pengertian kedua inilah yang sering dipandang dengan pandangan sebelah mata dan banyak diberikan kritik. Kitab kuning juga diistilahkan dengan al-kutub al-qadimah (kitab-kitab klasik/kuno) kebalikan dari al-kutub al-‘asyriyyah (kitab-kitab modern). Istilah yang sering pula digunakan guna menyebut kitab kuning adalah ‘kitab gundul’, sebab cara penulisan dalam kitab tersebut tanpa syakal, tanpa tanda baca dan pemberhentian. Disebut kitab kuning karena pada umumnya kitab-kitab tersebut dicetak di atas kertas berwarna kuning, berkualitas rendah, dan kadang-kadang lembarannya pun lepas tidak terjilid, sehingga mudah diambil bagian-bagian yang diperlukan tanpa harus membawa satu kitab secara utuh. Biasanya para santri hanya membawa lembaran-lembaran tertentu yang akan dipelajari. Karena bentuk tulisannya yang ‘gundul’, maka kitab kuning tidak mudah dibaca, apalagi dipahami oleh mereka yang tidak menguasai gramatika bahasa Arab (nahwu dan sharaf). Format kitab kuning biasanya mempunyai bentuk tersendiri, yang sering kali terdiri dari dua bagian, matan yang menempati margin, dan syarahnya menempati bagian tengah secara luas. Untuk ukuran kertasnya biasanya digunakan ukuran kwarto. Dengan demikian, dapatlah dibedakan karakteristik kitab kuning dan kitab putih. Pada umumnya kitab kuning dikarang oleh ulama sebelum abad XX, bahkan sering kali kitab tersebut dikarang oleh para ulama klasik. Sementara kitab putih tidak membatasi tahun penulisan kitab. Akan tetapi biasanya kitab putih lebih banyak dikarang oleh para ulama masa akhir-akhir ini (mutaakhirin). Karekteristik lainnya, yang jelas kitab kuning ditulis dengan huruf Arab, meskipun bahasa yang digunakan bukan bahasa Arab, semisal bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan sebagainya. Kitab kuning juga lebih menekankan pada mazhab Syafi’I untuk kajian fiqh, Asy’ari dalam kajian teologi, dan al-Ghazali untuk bidang tasawuf. Sementara kitab putih tidak membatasi madzhab-madzhab tertentu sebagaimana dalam kitab kuning. Satu perbedaan penulisan lainnya, yaitu penulisan kitab kuning cenderung tidak mengunakan foot note. Dalam pembahasan berikut kitab kuning dalam pengertian luas dijabarkan dalam lintasan sejarah, sementara dalam arti sempit akan digunakan dalam kajian tetang kurikulum di pesantren. B. Kitab Kuning dan Sejarahnya Tidak diketahui secara pasti kapan kitab kuning menjadi satu rujukan pokok dalam pendidikan Islam di Indonesia. Jelas kitab kuning ada sebelum munculnya pesantren. Menurut Martin Van Bruinessen,7 kitab kuning sebagai kitab klasik berbahasa Arab telah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16. Argumen yang dijadikan dasar adalah diibawanya sejumlah naskah Indonesia yang berbahasa Arab, Melayu dan Jawa ke Eropa sekitar tahun 1600 M. Di antara kitab yang berbahasa Arab adalah kitab yang membahas fiqh: kitab al-Taqrib fi al-Fiqh karya Abu Suja’ al-Isfahani, yang hingga sekarang masih banyak digunakan dalam pesatren dan kitab al-Idhah fi al-Fiqh. Kitab yang disebut terakhir kini sudah tidak dijumpai lagi dalam pesantren. Sementara kitab-kitab yang berbahasa Melayu terdiri dari tafsir tentang dua bab penting dari al- Qur’an, dua hikayat bertema Islam, sebuah hukum pernikahan Islam, dan sebuah terjemahan syair-syair pujian terhadap Nabi (Qasidah burdahnya al-Busyairi). Untuk kitab yang berbahasa Jawa antara lain ‘Wejangan Syeh Bari’ yang sebelumnya dikenal dengan ‘Kitab Sunan Bonang’. Dalam kitab berbahasa Jawa tersebut ditemukan dua judul kitab yang dijadikan sebagai rujukan, yaitu ‘Ihya’ Ulum al-Din karya al-Ghazali dan Tamhid—menurut Martin yang dimaksud dengan Tamhid adalah kitab al-Tamhid fi Bayan al-Tauhid karya Abu Syukur al-Kasyi al-Salimi. Kitab- kitab yang dikirim ke Eropa inilah—sebagaimana tersebut di atas—yang dijadikan Martin sebagai bukti bahwa kitab kuning telah ada di Indonesia pada abad ke-16. Menurut Azyumardi Azra, dalam historiografi tradisional dan berbagai catatan lokal maupun asing tentang peyebaran Islam di Indonesia, tidak menyebut judul-judul kitab yang digunakan dalam masa-masa awal perkembangan Islam di kawasan ini. Meski ada beberapa historiografi tradisional, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan semacamnya juga menyinggung masalah-masalah yang berkaitann