<<

PEMBAHARUAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI NUSANTARA PADA TAHUN 1905 SAMPAI PASCA KEMERDEKAAN

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh: KOKOM ERNAWATI NIM. 107011001119

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH dan KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 1434 H/2013 M

KATA PENGANTAR

Syukur penulis panjatkan ke hadirat swt. yang telah memberikan berbagai nikmat yang tak terhitung banyaknya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas Baginda Besar Nabi saw. Seseorang yang memberikan teladan bagi umatnya dan karena usahanyalah Islam bisa tersebar dan sampai kepada kita hingga saat ini. Skripsi ini penulis selesaikan untuk memenuhi tugas akhir dalam perkuliahan pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan Skripsi ini, penulis mengetengahkan tema, ‘Pembaharuan Lembaga Pendidikan Islam Jamiat Kheir di Nusantara pada tahun 1905 sampai Pasca Kemerdekaan’. Tema ini diangkat untuk memenuhi kekosongan akan penulisan sejarah pendidikan Islam, khususnya mengenai Lembaga pendidikan Jamiat Kheir dan menggeliatkan kembali kecintaan akan sejarah pendidikan Islam yang sekarang sangat minim di kalangan akademik.

Penulis juga menghaturkan terima kasih yang tulus kepada berbagai pihak yang telah terlibat dan sangat berjasa dalam proses penyelesaian penelitian ini. Atas bantuan dan dukungan merekalah, penelitian ini bisa penulis selesaikan. Pihak-pihak yang berjasa tersebut di antaranya adalah:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu.Dr.Nurlena Rifa’i, M.A. Ph.D. beserta para pembantu dekan dan staf jajarannya. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak Bahrissalim, M.Ag. dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bpk Drs. Sapiudin Shidiq, M.Ag. beserta pengadministrasian jurusan, Bapak Faza Amri, S.Th.I. 3. Dosen penasehat akademik penulis, Bapak Dr. Anshori, L.AL MA, atas bimbingan yang selama ini telah diberikan. 4. Dosen pembimbing skripsi penulis, Bapak Dr.Zaimudin, M.Ag, yang telah memberikan saran dan arahan serta memberi kelancaran dalam proses penulisan skripsi ini.

i

5. Kedua orang tua, Ayahanda Tiswan dan Ibunda Ecih Sukaesih yang telah memberikan segala sesuatu baik material maupun spiritual yang begitu besar, doa dan semangat yang tiada henti sehingga skripsi ini bisa diselesaikan. 6. Adikku tercinta, Ninin Dwi Ernia, yang memberikan kesadaran penulis untuk memberikan teladan yang baik. 7. Teman-teman di Rumah Binaan Ar-Royah, Tasqif, Istisyhaad danMustanir yang telah memberikan momen yang berharga dan tak terlupakan. 8. Musyrifah tercinta, Tri Shinta Wardhani yang setiap saat memberikan lecutan semangat untuk terus melakukan perubahan dalam kehidupan. Tim Halaqoh yang solid, Isnawati, Nurmala Sari, Anahe Musa. 9. Teman special yang selalu dimintai pendapat dan kritiknya, Mike Martaleta Novita Sari Gunawan, dan Aknes Febpitasari.Tim Diskusi Jasmerah Islam, Hikmatul Bilqis, Dlia, Teti Nurjannah, Irma, Elitalia, Ayu Fitri, Ela yang membuka kembali pengetahuan penulis mengenai sejarah Islam. Serta semua pihak yang telah turut membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Mudah-mudahan Allah swt. memberi balasan yang berlipat ganda, atas segala kebaikan mereka tersebut. Amiin ya Rabbal ‘alamiin.

Jakarta, 12November 2013

Penulis,

KokomErnawati

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i DAFTAR ISI ...... iii

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Perumusan Masalah ...... 7 1. Identifikasi Masalah ...... 7 2. Pembatasan Masalah ...... 7 3. Perumusan Masalah ...... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...... 8 1. Tujuan Penelitian ...... 8 2. ManfaatPenelitian ...... 8

BAB II KAJIAN TEORI ...... 9 A. Definisi Pembaharuan ...... 9 B. Pentingnya Lembaga Pendidikandalam Islam...... 11 C. Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam di ...... 14 D. Aspek-aspek Pembaharuan Pendidikan di Indonesia ...... 17 E. Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Pendidikan ...... 18 F. Indikator Pembaharuan Pendidikan Islam ...... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...... 27 A. Jenis Data...... 27 B. Teknik Input Data ...... 28 C. Langkah-langkahPenelitian ...... 29 D. Interpretasi Data ...... 33 E. Laporan Hasil Penelitian ...... 34

iii

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 36 A. Lembaga Pendidikan Jamiat Kheir ...... 36 1. Profil Yayasan Jamiat Kheir ...... 36 2. Latar Belakang Berdiri Lembaga Pendidikan Jamiat Kheir ..... 37 3. Tujuan Pendirian Lembaga Pendidikan Jamiat Kheir ...... 39 4. Aqidah dan Mazhab Jamiat Kheir ...... 42 5. Tokoh Pendiri Jamiat Kheir ...... 42 6. Hubungan Jamiat Kheir dengan Lembaga lainnya ...... 47 B. Jamiat Kheir Merespon Berbagai Kebijakan Negara ...... 48 1. Masa Pemerintah Kolonial Belanda ...... 48 2. Masa Pemerintahan Jepang ...... 56 3. Masa Pemerintahan Orde Lama ...... 59 4. Jamiat Kheir Menghadapi Kebijakan Pendidikan Pada Masa Sekarang ...... 63

BAB V PENUTUP ...... 67 A. Kesimpulan ...... 67 B. Saran ...... 68

DAFTAR PUSTAKA ...... 70 LAMPIRAN-LAMPIRAN

iv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembaharuan di Indonesia mulai berakar pada pergantian abad ke-20, lalu berkembang dari masa ke masa dalam kurun waktu empat puluh tahun, pada tahun 1940 gerakan pembaharuan telah menghujam dalam tanah. Perkembangan dan penyebaran pembaharuan ini berasal dari kelompok-kelompok kecil yang mulanya terpisah satu sama lain, tapi segera menjadi gerakan yang memiliki kekuatan yang diperhitungkan oleh Belanda. Gerakan pembaharuan di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan pembaharuan di dunia. Insiprasi pembaharuan berasal dari luar Indonesia, terutama datang dari Timur Tengah, khususnya Mekah dan Kairo, yang merupakan pusat pembelajaran Islam. 1

Di Mekah, pembaharuan dilakukan oleh Abdul Wahab, dengan gerakan pemurnian akidah dari bid‟ah, sedangkan di Kairo, pemikiran baru atau pembaharuan, seperti dari Muhammad Abduh dan Rashid Ridho yang bergerak dalam pendidikan juga, menggelorakan semangat hati mereka.

1Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1991), h. 69

9

10

“Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan teknologi, tetapi tujuan kedatangan bangsa Barat adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah.Begitu pula di bidang pendidikan.Mereka memperkenalkan sistem dan metode baru tetapi untuk sekedar menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat.”2 “Pembaharuan pendidikan seperti yang mereka sebut itu adalah westernisasi dan kristenisasi, yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijakan penjajahan Belanda di Indonesia yang berlangsung selama 3,5 abad. Belanda berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan beragama yang mereka sesuaikan dengan prinsip-prinsip yang mereka pegang sebagai kaum imperialis dan kolonialis, yaitu kebarat-baratan (westernisasi) dan misi kristenisasi.”3 Pada zaman Belanda telah didirikan beraneka ragam sekolah, ada Sekolah Dasar, Sekolah II, Hollandsch Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Algemeene Middelbare School (AMS), dan lain-lain. Sekolah-sekolah tersebut seluruhnya hanya mengajarkan mata pelajaran umum, tidak memberikan mata pelajaran agama sama sekali, hal ini terkait dengan kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1905 Belanda memberikan aturan bahwa setiap guru agama harus minta izin terlebih dahulu.4

Padahal, seperti kita ketahui bahwa setiap orang muslim wajib hukumnya untuk menuntut ilmu, seperti tertuang dalam Al-Qur‟an surat Al-Alaq, ayat 1-5, yang berbunyi:

 

 

Artinya : bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

2Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. Ke-10, h. 146 3 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h. 49 4 Zuhairini, dkk, Op.Cit., h. 146.

11

Pada pertengahan abad ke-19 pemerintah Belanda mulai menyelenggarakan pendidikan model Barat yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan sekelompok kecil orang Indonesia (terutama kelompok biasa). Sejak saat itu, tersebar jenis pendidikan rakyat, yang berarti juga bagi umat Islam.Selanjutnya pemerintah memberlakukan politik etis dengan mendirikan dan menyebarluaskan pendidikan rakyat sampai ke pedesaan.Belanda tidak mengakui para lulusan pendidikan tradisional, sehingga mereka tidak bisa bekerja di pabrik maupun sebagai tenaga birokrat.Jadi dengan adanya diskriminasi dalam segala aspek kehidupan akibat kolonialisme dan feodalisme, maka terdapat banyak tokoh pemikir dan pejuang rakyat, baik pribadi maupun lewat organisasi yang bangkit dan sadar menolak terhadap perlakuan atas penjajahan tersebut.

Gubernur Jenderal Van Der Capellen pada tahun 1819 M, mengambil inisiatif merencanakan berdirinya Sekolah Dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya kepada bupati tersebut sebagai berikut:

“ dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang dan hukum Negara.”5 Politik pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya dan rasa kolonialisme.Pada tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesterraden.6

Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya politik etis dapat digambarkan sebagai berikut:

(1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), Sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, Vgs) dan sekolah peralihan.

5Zuhairini, Op.Cit, h. 148 6Ibid, h. 149

12

(2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HIS, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan Tinggi

Selanjutnya dari Surat Keputusan Bersama tersebut secara khusus diperkuat lagi ke dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 pada bab XII pasal 20 sebagai berikut:

1. Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut. 2. Cara penyelenggaraan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.

Sementara itu, pada peraturan bersama menteri Pendidikan, Pariwisata dan Kebudayaan dan Menteri Agama nomor 1432/Kab.Tanggal 20 Januari 1951 (pendidikan), nomor K 1/652 tanggal 20 Januari 1951 (agama), diatur tentang peraturan pendidikan agama di sekolah-sekolah sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tersebut.

Dibidang kurikulum pendidikan agama diusahakan penyempurnaan- penyempurnaan, dalam hal ini telah dibentuk kepanitiaan yang dipimpin oleh KH Imam Zarkasyi dari pondok Gontor Ponorogo.Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.7

Begitulah keadaan Pendidikan Islam dengan segala kebijaksanaan pemerintah pada masa Orde Lama. Pada akhir Orde Lama tahun 1965 lahir semacam kesadaran baru bagi umat Islam, dimana timbulnya minat yang dalam terhadap masalah-masalah pendidikan yang dimaksudkan untuk memperkuat umat Islam, sehingga sejumlah organisasi Islam dapat dimantapkan. Dalam hubungan ini Kementrian Agama telah mencanangkan rencana-rencana program pendidikan yang akan dilaksanakan dengan menunjukkan jenis-jenis pendidikan serta pengajaran Islam sebagai berikut:

7BJ. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), h.117

13

1. Pesantren Klasik 2. Madrasah Diniyah 3. Madrasah-madrasah Swasta 4. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 5. Suatu percobaan baru telah ditambahkan pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 tahun, dengan menambahkan kursus selama dua tahun yang memberikan latihan keterampilan sederhana. MIN 8 tahun ini merupakan pendidikan lengkap bagi para murid yang biasanya akan kembali ke kampungnya masing-masing. 6. Pendidikan teologi tertinggi, pada tingkat universitas diberikan resmi sejak tahun 1960 pada IAIN. IAIN ini dimulai dengan dua bagian atau dua fakultas di Yogyakarta dan dua fakultas di Jakarta.8

Dalam menjawab tantangan modernisasi dalam pendidikan yang dibawa oleh pemerintah Belanda, maka umat Islam yang terdiri dari berbagai kalangan mulai mendirikan berbagai sekolah, baik dari organisasi dengan Mulo de Met dan HIS Muhammadiyah, dan Sekolah Adabiyahdi Padang serta Jamiat Kheir yang mendirikan sekolah Jamiat Kheir.

Lembaga pendidikan Jamiat Kheir, didirikan lebih dulu dari sekolah yang lainnya, serta kurikulum yang sudah modern. Didirikan pada tahun 1905 di Batavia, sekolah ini didirikan para pribumi keturunan Arab, golongan as-Syihab yang sangat progresif dan berpendidikan. Mereka adalah Sayid Muhammad al- Fachir bin Abdurrahman al-Masjhur, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Syihab, Sayid Idrus bin Ahmad bin Syihab dan Sayid Syehan bin Syihab.

Jamiat Kheir menjadi satu-satunya lembaga pendidikan modern pertama di Nusantara.Dalam Sekolah Jamiat Kheir sudah diajari ilmu berhitung, sejarah dan ilmu bumi.Kurikulum disusun rapi, dan kelas-kelas terorganisir dengan rapi pula.Itu sebabnya ada yang menyebut Jamiat Kheir sebagai sekolah modern pertama di Indonesia.Bahasa pengantar sekolah itu adalah bahasa Melayu.Bahasa Belanda tidak diajarkan, dan sebagai gantinya diajarkan Bahasa Inggris. Para guru

8Ibid, h. 117-118.

14

yang didatangkan dari negara-negara Arab kemudian juga mengajarkan api perlawanan terhadap penjajahan.

Kaum Alawiyyin yang juga merupakan para ulama adalah pelopor dalam membangun dan menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan agama, pesantren-pesantren, majelis ta‟lim dan sebagainya, yang tersebar di Pulau Jawa dan di beberapa pulau lainnya. Organisasi Jamiat Kheir didirikan pada tahun 1901 M, lebih bersifat organisasi social kemasyarakatan, dimana tujuan awalnya adalah;

Pertama, membantu fakir miskin, baik dalam segi material maupun spiritual.

Kedua, mendidik dan mempersiapkan generasi muda Islam untuk mampu berperan di masa depan.

Dan yang ketiga, menolong umat yang lemah dalam sector ekonomi.

Pada masa pemerintahan Belanda, dikeluarkan kebijakan dalam mengawasi pendidikan Islam sekaligus ulama, yaitu dengan penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini meweajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari Pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar.Ketentuan ini mengharuskan penyelenggaraan pendidikan Islam harus terlebih dahulu mendapatkan izin.9

Begitupula dengan Jamiat Kheir, harus meminta ijin mendirikan sekolah pada Pemerintah Hindia Belanda sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi umat pada masa Kolonial yang memang sungguh memprihatinkan yaitu ditandai dengan adanya system politik devide and rule, yaitu Pemerintah Belanda berusaha untuk mendikotomi pendidikan Islam, bahkan membatasi pendidikan Islam dengan adanya ordonansi guru tersebut.

Perkembangan Sekolah Jamiat Kheir berkembang sangat pesat pada masa Pemerintah Kolonial Belanda, akan tetapi pada masa Pemerintahan Jepang, Jamiat

9Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 115 dan 118

15

Kheir mengalami kesulitan untuk merealisasikan langkah-langkah untuk mencapai tujuannya, dikarenakan Pemerintah Jepang sangat mengawasi dengan ketat segala hal yang berkaitan dengan Arab atau Muslim. Dan pada masa Pemerintah Orde Lama, Jamiat Kheir harus berjuang dari dasar untuk membangun kembali sekolah Jamiat Kheir.

Berawal dari permasalahan itu, maka saya sebagai peneliti mencoba untuk mendalami secara lebih jelas mengenai bagaimana respon Jamiat Kheir terhadap berbagai kebijakan Pemerintah Belanda sampai kebijakan Pemerintah Orde Lama pada tahun 1965. Oleh karena itu, peneliti merumuskan permasalahan tersebut dengan judul “Pembaharuan Lembaga Pendidikan Islam Jamiat Kheir di Nusantara pada Tahun 1905 sampai Pasca Kemerdekaan”.

B. Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah a. Awal masuknya ide pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 b. Pendidikan Islam tidak diberikan kesempatan c. Pendidikan hanya untuk orang Belanda hanya sebagian kecil anak Indonesia yang mengenyam pendidikan. d. Diskriminasi Pendidikan e. Pendidikan Islam dicurigai f. Lembaga Pendidikan Islam kurang diberi kebebasan g. Jamiat Kheir sebagai lembaga pendidikan Islam Modern h. Karakteristik Jamiat kheir i. Respon Jamiat Kheir terhadap kebijakan pendidikan di Indonesia j. Perkembangan Jamiat Kheir sampai tahun 1965 2. Pembatasan masalah Kajian mengenai permasalahan ini difokuskan terhadap perkembangan dan pembaharuan yang dilakukan Jamiat Kheir terhadap berbagai kebijakan pendidikan Islam pada masa awal pembentukan Jamiat Kheir sampai pada masa terjadinya gerakan 30 September 1965 serta tokoh- tokoh yang berpengaruh besar terhadap perkembangan Jamiat Kheir.

16

3. Perumusan masalah Bagaimana eksistensi Jamiat Kheir dalam melakukan pembaharuan pendidikan Islam dari tahun 1905-1965. C. Tujuan dan manfaat penelitian 1. Tujuan penelitian a. Mengidentifikasi factor pendukung berdirinya Jamiat kheir. b. Mengidentifikasi peran Jamiat Kheir dalam penyelenggaraan pendidikan Islam pada masa awal berdirinya sampai masa Orde Lama berakhir. c. Menelaah perkembangan pendidikan Jamiat Kheir sebagai lembaga pendidikan pembaharuan pada masa awal berdirinya sampai pada masa Orde Lama. 2. Manfaat penelitian Manfaat penelitian dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu a. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai pembaharuan yang dilakukan Jamiat Kheir sebagai lembaga pendidikan Islam pada awal abad ke-20.Selain itu, mampu menambah pengetahuan pembaca mengenai perkembangan lembaga pendidikan Jamiat Kheir dan lembaga lainnya pada awal abad ke- 20. Hasil penelitian ini dapat menjadi pendorong bagi penelitian- penelitian lain untuk mengangkat tema yang berkaitan dengan lembaga pendidikan Jamiat Kheir. b. Secara pragmatis Diharapkan mampu menjadi syarat kelulusan dan juga dengan mengetahui perkembangan kebijakan pemerintah maka diharapkan mampu menjadi masukan kepada pihak yang berwenang sehingga dapat memberi sumbangan pemikiran dalam dunia pendidikan saat ini.

17

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Definisi Pembaharuan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Secara etimologis, pembaharuan berarti (1) proses perbuatan, cara memperbaharui, (2) proses mengembangkan istiadat, metode produksi atau cara hidup yang baru.10

Pembaharuan dalam bahasa Arab diartikan dengan “tajdid” yang secara etimologis berarti shayyarahu jadidan seperti dikatakan, ia memperbaharui perjanjian. Dari beberapa pengertian tadi, bisa dapat dipahami bahwa pembaharuan ditinjau dari sudut etimologi, paling tidak memberikan arti yang saling berkaitan, yaitu: pertama, bahwa sesuatu yang diperbaharui itu telah ada permulaannya. Kedua, sesuatu itu telah berlalu kemudian usang dan rusak. Ketiga, merekonstruksi sesuatu yang sudah usang tersebut agar menjadi lebih baik.11

10 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), cet. Ke-1 edisi IV, h. 142 11 Fattah Wibisono, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 2009), h.9.

18

Secara terminologi, menurut Syamsul Haq Abadu, “pembaharuan agama ialah menghidupkan kembali ajaran al-Qur‟an dan yang tidak dijalankan dan mengamalkan apa yang dikehendaki oleh keduanya”.12

Dalam bukunya , yang berjudul Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, pengertian pembaharuan yaitu:

Dalam bahasa Indonesia selalu dipakai kata modern, modernisasi dan modernisme, seperti yang terdapat dalam “Aliran-Aliran Modern dalam Islam” dan “Islam dan Modernisasi”. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung faham, adat-istiadat, institusi-insitusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan pengetahuan-pengetahuan dan teknologi modern.13

Kata modernisme dianggap mengandung arti-arti negatif, di samping mengandung arti-arti positif, maka untuk menjauhi arti-arti negatif itu, lebih baik kiranya dipakai terjemahan Indonesianya yaitu pembaharuan.14

Ulama lain mendefinisikan pembaharuan agama sebagai membedakan sunah dari bid‟ah, memperbanyak ilmu, memuliakan agama serta memberantas bid‟ah. Dengan melihat dua definisi yang telah disebutkan, dapat kita simpulkan bahwa pembaharuan dalam Islam adalah upaya sistematis untuk menegakkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur‟an maupun sunnah setelah mengalami distorsi, deviasi atau bahkan degenerasi.15

Menurut Rifyal Ka‟bah, beliau memaparkan bahwa pembaharuan dalam bahasa Arab berarti tajdid, mengandung tiga pengertian. Pertama, pembaharuan berarti memunculkan sesuatu yang telah usang dalam bentuk aslinya.Dalam pengertian ini, pembaharuan dapat diandaikan seperti merenovasi atau merekonstruksi sebuah bangunan dengan mengganti sesuatu yang hilang sehingga muncul kembali dalam bentuk aslinya seperti pertama kali dibangun.Jadi,

12Ibid.,h. 9. 13 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah dan Gerakan, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975),cet.ke-1, h.12. 14 Ibid.,h.10. 15 Fattah, Op.cit.,h.9.

19

pembaharuan bukan berarti memunculkan sesuatu yang baru dari sesuatu yang tiada.Kedua, pembaharuan berarti pemahaman terhadap teks agama seperti pemahaman Rasulullah saw serta para sahabatnya. Ketiga, pembaharuan berarti usaha menghidupkan kembali pelaksanaan teks-teks al-Qur‟an dan as-Sunnah dalam realitas kehidupan sehari-hari.16

“Pembaharuan dalam pengertian lazim disebut modernisasi. Secara sosiologis, modernisasi biasanya didefinisikan sebagai suatu proses transformasi suatu masyarakat dalam berbagai aspeknya, seperti ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan juga pandangan dunia, wawasan keagamaan dan sistem kepercayaan”.17 Hasil penyelidikan kaum orientalis Barat yang sudah sejak lama mengadakan studi Islam dan umat Islam, segera melipah ke dunia Islam.Kaum terpelajar Islam mulailah pula memusatkan perhatian pada perkembangan modern dalam Islam dan modernismepun mulai pula diterjemahkan kedalam bahasa- bahasa yang dipakai dalam Islam seperti at-tajdid dalam bahasa Arab, pembaharuan dalam bahasa Indonesia.

Dengan demikian, pembaharuan adalah proses memperbarui sesuatu yang sudah usang dengan yang baru, yang berarti merenovasi sesuatu yang sudah lama dengan sesuatu yang baru untuk memunculkan keasliannya.

B. Pentingnya Lembaga Pendidikan dalam Islam

Lembaga Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam dan sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam. Kebutuhan itu bermacam-macam, antara lain kebutuhan keluarga, pendidikan, hukum, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sebagai lembaga, ia mempunyai beberapa fungsi, diantaranya:

(1) memberikan pedoman pada anggota masyarakat (muslim) bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi

16 Nurdin, “Pembaruan Pemikiran Islam”, tesis pada Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, h. 22,tidak dipublikasikan. 17 Sudirman Tebba, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 tahun Harun Nasution,(Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), h.135.

20

berbagai masalah yang timbul dan berkembang dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan pokok mereka; (2) memberikan pegangan kepada masyarakat dalam melakukan pengendalian sosial menurut sistem tertentu yakni sistem pengawasan tingkah laku para anggotanya; dan (3) menjaga keutuhan masyarakat.18

Pentingnya sebuah lembaga pendidikan menurut Zakiah Darajat yaitu membantu tercapainya cita-cita keluarga dan masyarakat, khususnya masyarakat Islam, dalam bidang pengajaran yang tidak dapat sempurna dilakukan dalam rumah dan masjid.Bagi umat Islam, lembaga pendidikan yang dapat memenuhi harapan adalah lembaga pendidikan Islam, artinya bukan sekedar lembaga yang di dalamnya diajarkan pelajaran agama Islam, melainkan suatu lembaga pendidikan yang secara keseluruhan bernafaskan Islam.19

Menurut Muhammad Arifin, dikutip oleh Ramayulis mengatakan bahwa Lembaga pendidikan merupakan salah satu sistem yang memungkinkan berlangsungnya pendidikan secara berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Adanya kelembagaan dalam masyarakat, dalam rangka proses pembudayaan umat, merupakan tugas dan tanggungjawabnya yang kultural dan edukatif terhadap peserta didik dan masyarakatnya yang semakin berat. Tanggung jawab lembaga pendidikan tersebut dalam segala jenisnya menurut pandangan Islam adalah erat kaitannya dengan usaha menyukseskan misi sebagai seorang muslim.20 Lembaga pendidikan Islam merupakan hasil dari pemikiran yang dicetuskan oleh kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang didasari oleh kebutuhan- kebutuhan masyarakat yang digerakkan, didasari, dan dikembangkan oleh jiwa Islam (Al-Qur‟an dan Al-Sunnah).Lembaga pendidikan Islam secara keseluruhan, bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan dalam pertumbuhan dan perkembangannya mempunyai hubungan erat dengan kehidupan Islam secara

18 Mohmmad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1995), h. 1-2. 19Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), cet. Ke- 7, h. 74. 20Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), cet. Ke- 6, h. 276.

21

umum. Islam telah mengenal lembaga pendidikan sejak detik-detik awal turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad saw. RumahArqambin Abi al-Arqam, merupakan lembaga pendidikan yang pertama.21 Hasan Abd al-Ali yang dikutip oleh Ramayulis mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam bukanlah lembaga beku, tetapi fleksibel, berkembang dan menurut kehendak waktu dan tempat. Hal ini seiring dengan luasnya daerah Islam yang berdampak pada bertambahnya jumlah penduduk Islam.Sejalan dengan hal itu, maka didirikanlah berbagai macam lembaga pendidikan Islam yang teratur dan terarah.Beberapa lembaga yang belajar dengan sistem klasikal, yaitu berupa madrasah.22 Menurut Ramayulis, lembaga pendidikan Islam adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk mengembangkan lembaga-lembaga Islam, dan mempunyai pola-pola tertentu dalam memerankan fungsinya, serta mempunyai struktur tersendiri yang dapat mengikat individu yang berada dibawah naungannya, sehingga ini mempunyai kekuatan hukum tersendiri. Lembaga pendidikan Islam berupa nonfisik mencakup peraturan-peraturan baik yang tetap maupun yang berubah, sedangkan bentuk fisik berupa bangunan, seperti mesjid, kuttab, dan sekolah. Bentuk fisik ini sebagai tempat untuk melaksanakan peraturan- peraturanyang penanggung jawabnya adalah suatu badan, organisasi, orang tua, yayasan, dan Negara.23

Sebagai sistem sosial, lembaga pendidikan harus memiliki fungsi dan peran dalam perubahan masyarakat ke arah perbaikan dalam segala lini.Dalam hal ini lembaga pendidikan memiliki dua karakter secara umum.Pertama, melaksanakan peranan fungsi dan harapan untuk mencapai tujuan dari sebuah sistem.Kedua, mengenali individu yang berbeda-beda dalam peserta didik yang memiliki kepribadian dan disposisi kebutuhan.24

Misi pendidikan adalah mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Ilmu yang dimaksud antara lain; pengetahuan, tradisi, dan nilai-nilai

21 Ibid.,h.276. 22Ibid, h. 277. 23Ibid, h.279. 24 Oemar Hamalik, perencanaan pegajaran berdasarkan pendekatan system, (Jakarta:Bumi Aksara, 2005), cetke-5, h. 23.

22

budaya (keberadaban). Perubahan sosial budaya masyarakat tidak akan bisa dihindari, sehingga menuntut lembaga pendidikan sebagai agen perubahan untuk menjawab segala permasalahan yang ada. Dalam permasalahan ini lembaga pendidikan haruslah memiliki konsep dan prinsip yang jelas, baik dari lembaga formal ataupun yang lainnya, demi terwujudnya cita-cita tersebut, maka diperlukanlah adanya pembentukan kurikulum yang telah disesuaikan. Diharapkan nanti dengan persiapan dan orientasi yang jelas sebagaimana di atas, diharapkan lembaga-lembaga pendidikan akan mampu mencetak kader-kader perubahan ke arah perbaikan di masyarakat. Itulah pentingnya lembaga pendidikan dalam Islam supaya Islam sebagai rahmatan lil „alamin bisa terwujud.25 Dengan demikian, maka bisa dipastikan bahwa proses pembaharuan paling efektif dilakukan melalui lembaga pendidikan, karena pendidikan merupakan sarana untuk melanjutkan estafet perubahan ke arah yang lebih baik. Maka, lembaga pendidikan sudah pasti sangat penting keberadaannya sebagai tempat atau sarana untuk memuluskan proses pendidikan.

C. Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama sesudah abad kesembilan belas, yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islampun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan- persoalan baru itu.

Sebagaimana di Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Dengan jalan demikian, pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa pada kemajuan.

25 Ibid, h. 23.

23

Gaung pembaharuan pemikiran Islam yang menggema di berbagai dunia Islam seperti Mesir, Turki, dan India, akhirnya pada awal abad ke-20 M sampai juga ke Indonesia, dibawa oleh para pelajar yang pulang kembali ke Indonesia membawa pemikiran-pemikiran baru, salah satu di antara pemikiran-pemikiran baru itu adalah dalam bidang pendidikan.26

Terpuruknya nilai-nilai pendidikan Islam, sesungguhnya lebih dilatar belakangi oleh kondisi internal dan eksternal.Dari sisi internal Islam yang tidak menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang harus diperhatikan. Sehingga pada proses selanjutnya ilmu pengetahuan lebih banyak diadopsi bahkan dimanfaatkan secara komprehensif oleh Barat yang pada waktu itu tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan. Sedangkan faktor eksternal yaitu adanya kontak Islam dengan Barat.

Menurut Prof. Suwito, dalam buku Sejarah Sosial Pendidikan Islam mengatakan bahwa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan pendidikan Islam, yaitu:

Pertama, faktor kebutuhan pragmatis umat Islam yang sangat memerlukan satu sistem pendidikan Islam yang betul-betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak manusia-manusia muslim yang berkualitas, bertakwa dan beriman kepada Allah swt. Kedua, agama Islam sendiri melalui ayat suci al-Qur‟an banyak menyuruh atau menganjurkan umat Islam untuk selalu berpikir, dan bermetaforma, yaitu membaca dan menganalisis sesuatu untuk kemudian bisa diterapkan atau bahkan bisa menciptakan hal yang baru dari apa yang kita lihat. Ketiga, adanya kontak Islam dengan Barat, merupakan faktor terpenting yang bisa kita lihat. Adanya kontak ini paling tidak menggugah dan membawa perubahan paradigamtik umat Islam untuk belajar secara terus menerus kepada Barat, sehingga ketertinggalan-ketertinggalan selama ini dirasakan akan bisa terminimalisir.27 Menurut Haidar Putra Daulay, timbulnya pembaharuan di Indonesia, terlebih dahulu diawali oleh pembaharuan Islam yang timbul di Timur Tengah

26 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 41. 27Suwito. Et al, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 164-165.

24

terutama di Turki, Mesir dan India. Maka, latar belakang pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:

Pertama, pembaharuan yang bersumber dari ide-ide yang muncul dari luar yang dibawa oleh para tokoh atau ulama, yang pulang ke tanah air setelah beberapa lama mereka bermukim di luar negeri (Mekah, Madinah dan Kairo). Ide-ide yang mereka peroleh dari perantauan itu menjadi wacana pembaharuan setelah mereka kembali ke tanah air.28

Kedua, yaitu bersumber dari kondisi tanah air yang juga mempengaruhi pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Kondisi Indonesia pada awal abad ke-20 dikuasai oleh kaum penjajah Barat. Dalam bidang pendidikan pemerintah Kolonial Belanda melakukan kebijakan pendidikan diskriminatif terhadap umat Islam.

Steenbrinkmenyebutkan ada beberapa faktor pendorong bagi pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia pada abad ke-20, yaitu:

a. Sejak tahun 1900, telah banyak pemikiran untuk kembali kepada al-Qur‟an dan sunnah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada. Tema sentralnya adalah menolak taklid. Dengan kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah mengakibatkan perubahan dalam bermacam-macam kebiasaan beragama. b. Sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda c. Adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi, baik demi kepentingan mereka sendiri, maupun untuk kepentingan rakyat banyak.

Pembaharuan pendidikan Islam. Dalam bidang ini cukup banyak orang atau organisasi Islam tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari Al- Qur‟an dan studi agama, maka pribadi-pribadi dan organisasi Islam pada

28 Ibid,.h. 41-42.

25

permulaan abad ke-20 ini berusaha memperbaiki pendidikan Islam, baik dari segi metode maupun isinya.29

Menurut Dr. Abdur Rahman Assegaf, dkk. Dalam bukunya yang berjudul, Pendidikan Islam di Indonesia, menyatakan:

“faktor utama internal yang mendorong terjadinya pencerahan pendidikan Islam di Indoensia pada awal abad ke-20 adalah semangat kebangkitan dan pembaharuan Islam. Kelompok modernis yang terdiri dari para tokoh organisasi massa, sosial keagamaan, sosial politik dan sosial ekonomi pada umumnya menyuarakan pemurnian ajaran Islam dengan slogan Kembali kepada Al-Qur‟an dan Sunnah.”30

Jelas sekali bahwa pembaharuan yang ada dalam lembaga pendidikan Islam di Nusantara, tidak akan terlepas dari beberapa faktor, baik faktor internal maupun dari faktor eksternal.

D. Aspek-Aspek Pembaharuan Pendidikan di Indonesia

Pendidikan Islam sebelum masuknya ide-ide pembaharuan, terpusat di pesantren, rangkang, dayah dan . Ciri pendidikan di lembaga tersebut adalah pertama, nonklasikal. kedua metode sorogan, wetonan dan hafalan. Ketiga, materi pelajaran tersebut terpusat pada kitab-kitab klasik. Tinggi rendahnya ilmu seseorang diukur dari penguasaannya kepada kitab tersebut.

Dengan masuknya ide-ide pembaharuan dalam bidang tersebut, maka beberapa ciri dari lembaga pendidikan sebelum masuknya ide-ide pembaharuan tersebut disesuaikan dengan ide-ide pembaharuan. Sistem nonklasikal berubah menjadi klasikal, dilengkapi dengan manajemen pendidikan yang tentu pada tahap awal masih sederhana. Metode mengajar guru tidak lagi semata-mata berpedoman kepada metode sorogan, wetonan dan hafalan, tapi juga telah bervariasi sesuai dengan tuntunan sistem klasikal. Materi pelajaran tidak lagi semata-mata bertumpu pada materi pelajaran agama dengan titik tumpu pada kitab-kitab klasik. Masuknya

29 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1994), cet. Ke-2, h. 26-28. 30 Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), h. 98

26

mata pelajaran nonkeagamaan adalah merupakan salah satu indikasi penting tentang masuknya ide-ide pembaharuan di dunia Islam.31

Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900- 1942, mengatakan bahwa gerakan modern juga mengakui manfaat pendidikan sains di sekolah-sekolah Belanda di Indonesia, dan oleh sebab itu sains juga dimasukkan di sekolah mereka. Bahasa Arab bukan satu-satunya bahasa asing untuk pengembangan ilmu pengetahuan seseorang. Di samping bahasa Arab diajarkan juga bahasa Belanda, Inggris, Perancis dan Jerman di sekolah-sekolah tersebut. Tampak pula berkurangnya pemakaian buku-buku bertuliskan bahasa Arab yang dipergunakan di sekolah, diganti dengan tulisan latin.

Penggunaan sistem pendidikan Barat memberikan patokan bagi pelajar tentang tahap-tahap studi mereka, sedangkan pada pesantren dan surau, tahap- tahap kemajuan belajar ini tidak dapat diketahui. Sekolah modern Islam pun menekankan pengertian, bukan hafalan.32

Dengan demikian, maka pembaharuan di lembaga pendidikan yang selanjutnya akan diteliti adalah pembaharuan meliputi metode pembelajaran, materi pembelajaran, sistem pembelajaran, manajemen pembelajaran (mengenai hubungan dengan bidang diluar pendidikan).

E. Gerakan Pembaharuan Pendidikan Nusantara Abad Ke-19 Sampai Abad Ke-20 Gerakan pembaharuan di Indonesia dipengaruhi oleh gagasan pembaharuan di Timur Tengah yang notabene sebagai poros bagi para pelajar Indonesia untuk belajar menuntut ilmu. Banyak tokoh Nusantara yang bermukim di Mekah, seperti Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, yang menjadi guru dan menyebarkan gagasan pembaharuan Islam kepada ulama nusantara yang berguru kepadanya selama mengikuti pendidikan di Mekah. Murid-murid Syaikh Ahmad Khatib ini kemudian berperan sebagai penggerak pendidikan Islam yang mempengaruhi perkembangan keislaman di tanah air.

31 Haidar Putra Daulay, Op,Cit., h. 50. 32Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1990), cet. Ke-5, h. 326-327.

27

Gagasan pembaharuan tersebut lebih dulu diterima oleh para tokoh di Minangkabau dan mulai menampakkan pengaruhnya pada awal abad ke-19 melalui Gerakan Paderi yang dirintis oleh Haji Sumanik dan Haji Piobang yang melakukan langkah perubahan tradisi negatif yang berlangsung di lingkungan masyarakat Minangkabau seperti berjudi, minum tuak dan menyambung ayam yang tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Pada pergantian abad ke-19, banyak orangIslam Indonesia mulai menyadari perlunya perubahan-perubahan, apakah dengan cara menggali mutiara-mutiara Islam dari masa lalu yang telah memberi kesanggupan kepada saudara mereka seagama di Abad Pertengahan untuk mengatasi Barat dalam ilmu pengetahuan serta dalam memperluas daerah pengaruh, atau dengan menggunakan metode baru yang telah dibawa ke Indonesia oleh kekuasaan kolonial serta pihak missi Kristen.33

Gagasan inilah yang merupakan gerbang yang mempertemukan pemikiran dengan cita-cita perjuangan yang terealisir dalam sebuah pergerakan atau organisasi sosial, terutama dalam bidang pendidikan.

Gagasan-gagasan dan gerakan-gerakan pembaharuan pendidikan Islam mengalami puncak ketika pendidikan dengan cara tradisional tidak mampu lagi membendung gerak dan pemikiran para tokoh pembaharu. Berikut beberapa gagasan dan gerakan pembaharuan yang secara langsung dan tidak langsung merupakan presentasi dari gerakan pembaharuan yang terjadi di antara abad 19 dan 20.

1. Sumatra Thawalib

Sumatra Thawalib tumbuh dari Surau Jembatan Besi, kejadiannya bermula dari inisiatif para siswa tentang usaha mendirikan organisasi.Perkumpulan ini dinamakan Perkumpulan Sabun, sebuah perkumpulan yang memenuhi keperluan sehari-hari para pelajar, seperti sabun, pensil, tinta dan lain sebagainya.Perkumpulan ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, perkumpulan yang berbentuk koperasi

33Deliar Noer, Op.cit., h. 37.

28

pelajar ini mulai dapat memenuhi kebutuhan yang lain, misalnya, menjahit pakaian, pangkas rambut dan berbagai kebutuhan lainnya.Laba atau keuntungan yang diperoleh dialokasikan untuk menggaji para guru.

Pada tahun 1918, Perkumpulan Sabun diganti menjadi Sumatra Thuwailib dan perubahan kegiatan inipun diperluas pada bidang-bidang pelajaran agama, yaitu mempelajari Islam dan meluaskan ajarannya.

Seorang guru dari sekolah tersebut, Haji Jalaluddin Thaib, pada tahun 1919 mengintrodusir cara-cara mengajar modern ke dalam Thawalib: sistem berkelas yang lebih sempurna, pemakaian bangku-bangku dan meja, kurikulum yang lebih diperbaiki dan kewajiban pelajar untuk membayar uang sekolah. Pada tahun berikutnya Thaib menjadi ketua dari Sumatra Thawalib, nama baru dari perkumpulan sebelumnya.

Bahan pelajarannya berupa mata pelajaran seperti, ilmu bumi dan sejarah, juga diajarkan walaupun mata pelajaran utama tetap agama untuk pelajar-pelajar tingkat tinggi, kitab-kitab Abduh dan Rashid Redha, terutama Tafsir al-Manar, dipergunakan. Mereka juga membaca kitab-kitab Taqi al-Din Ahmad ibn Taimiyah yang “tidak tunduk” pada otoritas manapun dan yang sangat kritis mengancam bid‟ah, pemujaan wali-wali keramat, bai‟at dan ziarah ke tempat-tempat keramat.34

2. Sekolah Adabiah Salah satu tokoh dan pelopor pembaharu pendidikan Islam di Nusantara adalah Syekh dari Padang Panjang.Pada tahun 1906, beliau mengunjungi Syekh Tahir Djalaluddin di Singapura. Di dalam kunjungannya itu, Abdullah Ahmad banyak terpengaruh oleh ide-ide pendidikan dari Tahir Djalaluddin dan di sisi lain sekolah gubernemen yang dilihatnya di kota Padang. Maka pada tahun 1907 Abdullah Ahmad mendirikan sekolah Adabiah di Padang Panjang. Sekolah Adabiah berdiri karena merasa keperluan terhadap pendidikan yang sistematik dan kenyataan bahwa tidak semua anak-anak

34Ibid.,h. 56.

29

dari pedagang di Padang dapat masuk sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah.35 Sekolah Adabiah yang memakai metode pengajaran dan kurikulum modern umurnya tidak sampai satu tahun, karena harus dipindahkan dari Padang Panjang ke Padang.Di Padang Sekolah Adabiah itu mengalami perkembangan sangat pesat.Pendidikan umum lebih mendapat perhatian serius daripada pendidikan agama, karena ilmu pengetahuan banyak diminati orang Padang. Dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan khususnya pendidikan umum, maka Abdullah Ahmad pun merekrut empat orang guru berbangsa Belanda, di samping dua orang Indonesia, yang memiliki ijazah untuk mengajar tingkat HIS. Pada tahun 1916 Sekolah Adabiah ini diakui oleh pemerintah sebagai HIS pertama yang didirikan organisasi Islam.Setahun kemudian sekolah ini mendapat subsidi penuh dari gubernemen.36 Di samping mengurus Sekolah Adabiah dan mengembangkan perkembangannya, Abdullah Ahmad tetap memperlihatkan kepedulian tinggi kepada persoalan-persoalan agama.Pada tahun 1910, dia menerbitkan majalah al-Manar, terbit dua kali sebulan.Majalah ini dapat bertahan terbit sampai tahun 1916.Sejalan dengan lembaga pendidikan yang didirikannya, majalah ini mengkaji ilmu pengetahuan umum seperti, ilmu bumi, astronomi, dan kesehatan, di samping ilmu agama yang menjadi pusat perhatian.37

3. Sekolah Diniyah Pendiri Sekolah Diniyah adalah Zainuddin Labai El-Yunusi, murid dari Syekh Abdullah Ahmad di Surau Jembatan Besi.Sekolah ini memakai sistem sekolah modern pada tahun 1916.Proses pendidikan di Sekolah Diniyah ini berlangsung hingga sore hari. Lembaga pendidikan Islam ini diorganisasikan berdasarkan sistem klasikal dan tidak menerapkan sistem sebagaimana terdapat pada pendidikan tradisional.Mata pelajaran yang

35Ibid, h. 50. 36 Karel A. Steenbrink, Op.Cit, h. 40. 37 Deliar Noer, Op.Cit., h. 47-48.

30

disusunnya berbeda dengan biasanya, dimulai dengan pengetahuan dasar bahasa Arab sebelum memulai membaca al-Qur‟an.38 Di samping mata pelajaran agama ada juga mata pelajaran umum, seperti sejarah dan ilmu bumi.Pada tingkat tertinggi pengajarannya menggunakan buku-buku berbahasa Arab.Di sini terlihat perbedaan antara Sekolah Adabiah yang lebih menekankan pengetahuan umum dengan Sekolah Diniyah yang lebih menekankan pengetahuan agama. Sekolah diniyah ini pun berkembang pesat dan mendapat sambutan luar biasa dari umat Islam di Minangkabau.Sampai tahun 1922, tercatat 15 sekolah yang memiliki model dan sistem seperti yang berlaku di sekolah Diniyah.Setelah Zainuddin Labai wafat, yang melanjutkan cita- citanya kemudian adiknya yang bernama Rahmah El-Yunusiyah.Beliau tertarik memadukan sistem koedukasi dalam Sekolah Diniyah, karena itulah Sekolah Diniyah ini menerima murid putera dan puteri.Menurutnya, banyak problema yang dialami wanita, dan problema itu hanya bisa dipecahkan oleh kaum wanita pula.Oleh karena itu, dia memandang perlu untuk mendirikan sekolah wanita. Pada tanggal 1 November 1923, Rahmah El-Yunusiyah pun mendirikan sekolah khusus bagi puteri yang diberi nama al-Madrasah al-Diniyah.39

4. Persyarikatan Ulama Persyarikatan ulama adalah sebuah gerakan pembaharuan yang pertama kali muncul dan berkembang di daerah Majalengka, Jawa Barat.Organisasi ini berdiri pada tahun 1911, atas inisiatif Haji Abdul Halim yang lahir di Cibelerang, Majalengka tahun 1887.40 Dalam kongres Persyarikatan Ulama pada 1932, Halim mengusulkan agar organisasi ini mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang benar-benar dapat melahirkan alumni-alumni yang mandiri. Menurut Halim, selama ini yang terjadi adalah banyak alumni dari sekolah yang

38 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1982), h. 44. 39 Deliar Noer, Op,Cit., h. 62. 40Ibid., h.8.

31

didirikan pemerintah sangat tergantung kepada pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah atau bidang usaha lainnya.Kongres pun menerima usulan Halim tersebut, dan ia pun merealisasikan cita-citanya itu dengan mendirikan “Santi Asrama” tepatnya pada tahun 1932. Santi Asrama ini dibagi pada tiga tingkatan: permulaan, dasar dan lanjutan. Yang istimewa dari Santi Asrama ini tidak hanya diberikan pengetahuan agama dan umum saja, tetapi juga keterampilan-keterampilan khusus yang bernilai ekonomis.Misalnya, keterampilan khusus dalam bidang pertanian, pekerjaan tangan (besi dan kayu), menenun dan mengolah berbagai bahan, seperti membuat sabun.Keterampilan- keterampilan khusus diberikan sebagai komitmen dan cita-cita ideal dari Halim sebagai pendiri Persyarikatan Ulama agar alumni-alumni menjadi mandiri dan dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.Santi Asrama ini menjadi proyek percontohan yang dilakukan oleh Persyarikatan Ulama sebagai kontribusi untuk kemajuan dan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia yang sesuai dengan tuntutan zaman.

5. Sekolah Muhammadiyah Salah satu organisasi sosial yang terpenting di Indonesia diawal abad ke-20 M adalah Muhammadiyah.Organisasi ini didirikan pada 18 Nopember 1912 oleh K.H. . Pendiri perkumpulan Muhammadiyah ini merupakan seorang murid Syaikh Ahmad Khatib yaitu Kiai Ahmad Dahlan, beliau melakukan pembaharuan di tengah setting sosial keagamaan yang ditandai oleh meluasnya praktik taqlid yang dianggap sebagai penyebab kejumudan. Langkah pembaharuan telah dilakukan di lingkungan keraton, misalnya Ahmad Dahlan pernah mencoba meluruskan arah kiblat masjid keraton yang kemudian mendapatkan tantangan keras dan membuat marah para tokoh ulama senior di lingkungan keraton karena dianggap melakukan perombakan agama.41

41Ibid.,h. 85.

32

Kiai haji Ahmad Dahlan tidak langsung mendirikan persyerikatan Muhammadiyah.Mula-mula beliau mendirikan lembaga pendidikan. Pada tahun 1911 Kiai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah agama yang khas dengan namaSekolah Muhammadiyah. Sekolah Muhammadiyah ini memang tidak sama dengan pendidikan agama yang dikenal selama ini.42 Ada dua model persekolahan, yaitu: (a) Model persekolahan umum. Sekolah pertama yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 1911 di , Yogyakarta.Sekolah ini merupakan sekolah tingkat dasar yang berawal dari sebuah pengajian.Sekolah ini mempunyai murid laki-laki dan perempuan sekaligus, yang diajar dengan menggunakan papan tulis dan kapur, bangku-bangku, serta alat peraga. (b) Madrasah. Selain mendirikan sekolah, beliau juga mendirikan madrasah yang mengikuti model gubernamen, bersifat agamis yang disebut sebagai madrasah.Perbedaannya dengan sekolah terletak pada kurikulum, yaitu 60% agama dan selebihnya nonagama.Sementara di Muhammadiyah dilakukan pembaharuan terhadap teknik interaksi belajar.Teknik interaksi belajar yang dipakai adalah dengan model pembaruan yang memadukan sistem pendidikan Barat dengan model pesantren, yaitu pelajaran yang diberikan kepada murid laki-laki dan perempuan secara bersamaan (coeducation).43

6. Madrasah Salafiyah Tebu Ireng Madrasah Salafiyah Tebu Ireng adalah sekolah dibawah organisasi terbesar di Indonesia, yaitu Nadhlatul Ulama. Pada awalnya Nadhlatul Ulama tidak menerima pembaharuan yang sedang terjadi, akan tetapi setahap demi setahap, Nadhlatul Ulama mulai menerima pembaharuan pendidikan yang selama ini ditentangnya. Meskipun terbatas di perkotaan,

42 Mardanas Safwan dan Sutrisno Kutoyo, K.H. Ahmad Dahlan, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1999), cet. Ke-2, h. 42 43 Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 200-201

33

Nadhlatul Ulama telah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dengan system modern. Pembaharuan yang dilakukan Tebuireng pertama kali adalah dengan mendirikan Madrasah Salafiyah pada tahun 1919 sebagai tangga untuk memasuki tingkat menengah pesantren Tebuireng. Di Madrasah Salafiyah ini, bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Indonesia dan untuk beberapa pengajaran tertentu dipakai bahasa Arab. Bahasa asing lainnya juga diajarkan di madrasah ini bersama pengetahuan umum.44

Bermunculnya sekolah-sekolah Islam modern tersebut ternyata telah menggeser posisi surau, pendidikan tradisional, yang terdapat di Indonesia, kecuali di pulau Jawa yang masih ada beberapa organisasi yang bergerak dalam pendidikan memegang teguh pendiriannya dengan tidak menerima pembaharuan, dikarenakan adanya protes keras dari para wali murid. Masyarakat kala itu, tidak hanya tertarik pada pengetahuan agama semata, tapi juga menginginkan diadakannya ilmu pengetahuan umum, disamping ingin mendapatkan ijazah agar mudah mendapatkan pekerjaan.

Dengan munculnya pergerakan dalam bidang pembaharuan pendidikan menjadi awal perjuangan menegakkan agama Islam sehingga kemudian Islam sebagai idealisme dan kejayaan umat Islam sebagai realita („izzul islama wal muslimin) dapat direalisasikan secara kongkrit dengan menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya. Umat Islam mulai saat ini menyadari cita-cita yang demikian besar lagi berat tersebut hanya akan dapat lebih efektif dan efisien manakala menggunakan alat pergerakan yang bernama“organisasi”.

F. Indikator Pembaharuan Pada Lembaga Islam Beberapa lembaga pendidikan yang sudah disinggung sebelumnya, indikator pembaharuan pada lembaga pendidikan Islam bisa dilihat pada sistem dan isi pendidikan Islam. Menyangkut sistem pendidikan, lembaga pendidikan

44Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. Ke-10, h. 203

34

Islam yang mengalami pembaharuan menyempurnakan lembaga pendidikan yang semula di surau, langgar, mesjid dan tempat-tempat semacamnya menjadi madrasah, pondok pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan yang berdasarkan keagamaan.Demikianlah sistem klasikal mulai diterapkan, bangku, meja, papan tulis mulai digunakan dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran agama Islam. Pembagian jenjang kelas pun mulai diadakan.45 Isi pendidikan Islam setelah mengalami pembaharuan mempengaruhi pula tujuan pendidikan Islam dan materi-materi pendidikan Islam. Bila sebelum adanya gerakan pembaharuan titik berat pelajaran pada penguasan bahasa Arab secara fasih dan mengetahui ajaran Islam, maka gerakan pembaharuan Islam ini menghendaki agar murid-murid menggali ajaran-ajaran Islam dari sumbernya yang asli kemudian dapat mengembangkannya. Maka dari itu pendidikan Islam lebih banyak ditekankan pada penguasaan secara aktif ilmu alat yakni Bahasa Arab dan ditambah pula diajarkan ilmu pengetahuan umum. Sejalan dengan pembangunan yang semakin meningkat dan kemajuan- kemajuan yang telah dicapai. Agar lulusan sekolah-sekolah agama khususnya madrasah, bisa menyesuaikan diri dengan di alam yang telah maju, maka timbul usaha-usaha dari pihak pemerintah untuk lebih meningkatkan mutu madrasah ini agar sejajar dengan sekolah-sekolah umum yang sederajat.46 Menurut Haidar Putra Daulay, dipandang dari sudut masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam ke dalam dunia pendidikan, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperbarui. Pertama, metode yang tidak puas hanya dengan metode tradisional pesantren saja, tetapi diperlukan metode-metode baru yang lebih merangsang untuk berpikir. Kedua, isi atau materi pelajaran sudah perlu diperbarui, tidak hanya mengandalkan mata pelajaran agama semata-mata yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Sebab masyarakat muslim sejak awal abad kedua puluh di Indonesia telah merasakan peranan ilmu pengetahuan umum bagi kehidupan individu maupun kolektif.

45 Zuhirini, dkk, Op.Cit., h. 216-217 46 Ibid, h. 221 & 231

35

Ketiga, manajemen. Manajemen pendidikan adalah keterkaitan antara sistem lembaga pendidikan dengan bidang-bidang lainnya di pesantren. Jadi, bisa terlihat indikasi terpenting dari pendidikan Islam pada masa pembaruan, yakni. Pertama, dimasukannya mata pelajaran umum ke madrasah. Kedua, penerapan sistem klasikal dengan segala kaitannya. Ketiga, ditata dan dikelola administrasi sekolah dengan tetap berpegang kepada prinsip manajemen pendidikan. Keempat, lahirnya lembaga pendidikan Islam baru yang diberi nama dengan madrasah. Kelima, diterapkannya beberapa metode mengajar selain dari metode yang lazim dilakukan pesantren sorongan dan wetonan.47

47 Haidar Putra Daulay, Op.Cit., h. 58-59

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini akan menguraikan mengenai metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan skripsi. Penulis mencoba untuk memaparkan berbagai langkah yang digunakan dalam mencari sumber-sumber, cara pengolahan sumber dan analisis serta cara penulisannya.

A. Jenis Data

Data-data yang dipaparkan di dalam penulisan ilmiah ini bersifat sosial, sehingga metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif.Metode penelitian kualitatif dikembangkan lagi dengan menggunakan metode penelitian hitoris, karena data-data yang dipaparkan bersifat masa lampau dan sumber-sumber yang dikaji bersifat sejarah.

Metode historis merupakan suatu metode yang sesuai digunakan untuk penelitian ini dengan asumsi bahwa data-data yang dibutuhkan berasal dari masa lampau. Seperti yang diungkapkan oleh Louis Gottschalk48 mengatakan bahwa “metode historis (sejarah) adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.”

48 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 2008), h. 39

27

28

Menurut Gilbert J.Gbarraghan, seperti dikutip oleh Dudung Abdurrahman, mendefinisikan metode historis sebagai,

“seperangkat aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan menyajikan sintesa dari hasil-hasil yang dipakai dalam bentuk tertulis.”49 Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa metode historis adalah proses penelitian sejarah dengan menggunakan proses ilmiah yang dliakukan secara sistematis, dari mulai menentukan topik dan judul, pengumpulan sumber, pengujian sumber, analisis dan penyajian hasil penelitian tersebut dalam bentuk tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan dari penelitian historis adalah membuat rekonstruksi peristiwa masa lalu secara sistematis dan obyektif dengan cara mengumpulkan, memverifikasi dan mensistematiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.

B. Teknik Input Data

Teknik peneltian yang dipergunakan untuk mengkaji skripsi ini adalah

a. Studi dokumen Studi dokumen mempunyai arti metodologis yang penting karena dokumen menyimpan sejumlah besar fakta dan data sejarah serta diharapkan mampu menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah.Pada penelitian ini dokumen yang digunakan adalah dokumen-dokumen yang tersimpan di yayasan Pendidikan Islam Jamiat Kheir yang terletak di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dokumen berupa AD ART, Susunan kepengurusan, Visi dan Misi Jamiat Kheir, Sejarah berdirinya Jamiat Kheir beserta faktor-faktor berdirinya Jamiat Kheir serta program kerja Sekolah-Sekolah Jamiat Kheir yang berada di bawah yayasan Jamiat Kheir.

49 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 43-44

29

b. Studi pustaka Studi pustaka dalam suatu penelitian dijadikan sumber penulisan yang tentunya berhubungan dengan tema yang dikaji.Sumber pustaka dapat berupa buku, artikel dan media lainnya.Dengan studi pustaka ini diharapkan mampu menambahkan pemahaman teori dan konsep yang diperlukan dalam penelitian. Studi pustaka ini dilakukan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Jurusan Sejarah Peradaban Islam dan Perpustakaan Imam Jama‟.

c. Wawancara Menurut Lexy J. Moleong dalan bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif menjelaskan bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.50

Wawancara adalah salah satu cara memperoleh informasi secara lisan dari informan yang memenuhi kriteria sesuai dengan objek penelitian. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan informan yang tahu dan paham mengenai Yayasan Sekolah Jamiat Kheir, yaitu Kepala Sekolah, Guru dan Kepala Yayasan Sekolah Jamiat Kheir. Informan-informan tersebut antara lain adalah Bapak Ahmad Sauqhi Al-Gadri, beliau menjabat sebagai Kepala Pengurus Harian di Yayasan Jamiat Kheir di Tanah Abang, Jakarta Pusat.

C. Langkah-Langkah Penelitian Pelakasanaan penelitian dilakukan melalui tahapan sesuai dengan metode penelitian yang digunakan yaitu metode historis.Penulis menggunakan tahapan sebagaimana yang diungkapkan diawal, yaitu heuristik, kritik atau analisis sumber, interpretasi, historiografi.

50 Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (: Remaja RosdaKarya), cet. Ke-28, h. 186.

30

a. Heuristik

Heuristik merupakan tahap pengumpulan data-data yang relevan dengan masalah penelitian.Langkah pertama yang dilakukan oleh penulis adalah mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang berhubungan dengan pembaharuan pendidikan dan sejarah lembaga pendidikan. Sumber yang banyak digunakan dalam mengkaji tentang judul skripsi ini adalah sumber sekunder, yaitu sumber yang sudah diperoleh berdasarkan rekonstruksi pemikiran orang lain. Menurut Helius Sjamsuddin sumber kedua (secondary sources) adalah apa-apa yang yang ditulis sejarawan sekarang atau sebelumnya berdasarkan sumber- sumber pertama.Sebagian besar sumber-sumber tertulis yang telah penulis sebutkan di atas adalah sumber sekunder.51

Pada tahap pengumpulan sumber-sumber literature ini, penulis berusaha mencari dan memilih pusat-pusat informasi yang sekiranya memiliki sumber- sumber yang dibutuhkan terutama yang berisikan data dan informasi mengenai pembaharuan pendidikan.Pusat informasi yang dimaksud adalah perpustakaan.

Setelah sumber-sumber yang berhubungan dengan masalah penelitian diperoleh dan dikumpulkan, proses selanjutnya dilakukan penelaahan serta pengklasifikasian terhadap sumber-sumber yaitu pemilihan dan penggolongan sumber-sumber, sehingga diperoleh sumber yang relevan dengan masalah penelitian yang dikaji.

b. Kritik sumber

Kritik merupakan metode yang digunakan untuk menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian. Setelah penulis melakukan pengumpulan sumber-sumber pada tahap heuristik, tahap selanjutnya adalah kritik sumber. Kritik sumber dilakukan untuk mengetahui kebenaran dan ketepatan sebuah sumber sejarah. Kritik sumber ini perlu dilakukan karena penelitian sejarah berusaha untuk menuliskan masa lalu dengan benar dan objektif. Penulisan yang benar dan objektif itu sangat tergantung dari sumber yang digunakan oleh sejarawan. Seorang

51 Helius Sjamsuddin, Metode Penelitian Sejarah, Jurnal llmiah pada Workshop Penelitian dan PengembanganKebudayaan, 2008, h. 3.

31

sejarawan harus bersikap dan berpikir secara kritis dengan tidak menerima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis dalam sumber-sumber sejarah tersebut.

Kritik sumber sejarah secara umum dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Kritik eksternal

Kritik eksternal merupakan kritik terhadap materi sumber yang dilakukan dengan melakukan pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber- sumber sejarah secara terperinci, sebagaimana yang dikemukakan oleh para sejarawan, bahwakritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak.

Kritik eksternal dilakukan dengan melihat tahun terbit sumber yang digunakan dan mengetahui latar belakang penulis buku, artikel dan surat kabar untuk mengetahui kredibilitas dari sumber tersebut. Tahun terbit artinya angka penerbitan sumber tersebut dapat menunjukkan informasi sesuai dengan zaman masalah penelitian serta keaslian sumber, sedangkan latar belakang penulis adalah untuk mengetahui unsure pendidikan penulis dan mengetahui apakah para penulis sumber merupakan orang-orang yang sezaman atau tidak dengan proses kebijakan pemerintah Belanda, Jepang ataupun pada masa pemerintahan Orde Lama.

Mengenai tahun penerbitan buku sumber, penulis banyak mempergunakan buku dalam rentang waktu tahun 1980an sampai tahun 2010, mengenai kredibilitas penulis dalam buku-buku yang digunakan dalam skripsi ini dapat dipercaya karena penulis banyak menggunakan buku karya doktor dan professor seperti buku karya Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, Prof. Dr. Kuntowijoyo, Prof.Dr. Deliar Noer, Prof. Aqib Suminto, Louis Gottschalk dan lain-lain.

32

Unsur latar belakang penulis menjadi salah satu pertimbangan dalam menilai sumber.Karena isi dan penjelasan yang dituangkan dalam sumber- sumber tersebut sangat dipengaruhi oleh subjektifias pribadi para penulisnya. Oleh karena itu, para penulis sumber terssebut oleh penulis dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

1. penulis yang berlatar belakang pendidikan, seperti Ramayulis, Zakiah Darajat, Hasbullah dan lain-lain

2. penulis yang berlatar belakang sejarah, seperti Deliar Noer, Zuhairini, Karel. A. Steenbrink, Ahmad Mansur Suryanegara, Taufik Abdullah, B.J. Bolland dan lain-lain.

Pengklasifikasian diatas dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam memahami suatu peristiwa, baik penulis yang berlatarbelakang pendidikan dan penulis yang merupakan sejarawan, sama-sama memberikan kontribusi dalam penulisan skripsi ini, serta membantu penulis dalam menilai dan melakukan kritik eksternal dan internal.

2. Kritik Internal

Kritik internal merupakan kritik terhadap aspek dalam yang berupa isi sumber yang digunakan untuk mengetahui keaslian dari aspek materi sumber sehingga sumber-sumber tersebut dapat diandalkan reabilitas serta kredibilitasnya.Sebagaimana dikemukakan Helius Sjamsuddin bahwa “kritik internal menekankan aspek “dalam” yaitu isi dari sumber dengan mengadakan evaluasi terhadap kesaksian/tulisan dan memutuskan kesaksian tersebut dapat diandalkan atau tidak”.52

Penulis melakukan kritik internal terhadap sumber tertulis, yaitu buku- buku dengan cara membandingkannya antara buku yang satu dengan buku yang lainnya. Cara ini disebut cross check (konfirmasi silang) yaitu membandingkan isi sumber yang satu dengan yang lainnya, baik berupa buku- buku, dokumen-dokumen maupun artikel.Kritik internal terhadap sumber

52 Helius Sjamsuddin, Metode Penelitian Sejarah, Loc.Cit, h. 3.

33

dilakukan dengan pertimbangan pada pemilihan informasi atau data dan isi materi sumber tersebut.Contoh buku karangan Deliar Noer, isi dari buku ini merupakan hasil dari penelitian beliau di lapangan, mengenai sejarah perkembangan pemikiran pembaharuan di Indonesia pada tahun 1900- 1942.Karya Deliar Noer ini sangat membantu dalam menambah informasi atau data dalam penyusunan skripsi ini, karena masalah-masalah perkembangan pembaharuan yang diteliti oleh Deliar Noer tersebut merupakan salah satu bagian yang dikaji oleh penulis.

Pada tahap kritik eksternal penulis melakukan penelaahan terhadap sumber yang sudah diperoleh pada tahap heuristik, dengan meninjau baik dari tahun terbit serta penulis sumber untuk dapat mengetahui apakah sumber- sumber tersebut layak atau tidak digunakan dalam penelitian ini.Sementara kritik internal, penulis melakukan penelaahan lebih dalam terhadap sumber. Setelah sumber-sumber tersebut ditelaah penulis melakukan perbandingan antara isi sumber yang satu dengan sumber yang lain atau disebut juga dengan cross check (konfirmasi silang), sehingga diperoleh dua jenis sumber yaitu sumber yang benar-benar layak digunakan dan sumber yang tidak layak digunakan dalam penelitian ini.

c. Interpretasi Data

Setelah melakukan heuristik dan kritik sumber, maka proses selanjutnya dari penelitian sejarah ini adalah proses interpretasi, yaitu penafsiran sumber- sumber sejarah. menurut Kuntowijoyo, interpretasi merupakan kegiatan analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan) data-data yang telah diperoleh. Tahap ini merupakan tahap mengolah, menyusun, dan menafsirkan kata-kata yang diperoleh tentang lembaga pendidikan Islam pada masa diberlakukannya kebijakan pendidikan yang telah dikumpulkan pada heuristic dan telah dinilai dalam tahap kritik, selanjutnya akan dianalisis dan ditafsirkan sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang dikaji.

Pada tahap interpretasi penulis melakukan penyusunan terhadap fakta- fakta yang sesuai dan layak digunakan dalam penelitian, yaitu dengan cara

34

membagi fakta-fakta yang sudah diperoleh ke dalam beberapa kelompok. Fakta-fakta dalam masing-masing kelompok tersebut merupakan fakta-fakta yang saling berhubungan, kemudian dalam setiap kelompok fakta dilakukan penafsiran sehingga diperoleh suatu kerangka fakta. Sehingga fakta-fakta tersebut dapat menjawab permasalahan yang dikaji.

Berdasarkan dari hasil penelaahan sumber, diperoleh fakta yang penulis susun sebagai berikut:

a) Latar belakang pembaharuan di Indonesia

b) Pengaruh adanya pembaharuan terhadap Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia

c) Respon Jamiat Kheir sebagai lembaga pembaharuan pendidikan Islam terhadap berbagai kebijakan negara terhadap bidang pendidikan.

d. Laporan Hasil Penelitian

Dalam analisis data kualitatif metode yang digunakan untuk membahas sekaligus sebagai kerangka berpikir pada penelitian ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu suatu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun data, kemudian diusahakan pula dengan analisa dan interpretasi atau penafsiran terhadap data-data tersebut.Dalam menganalisa data yang telah terkumpul digunakan metode Induktif yaitu masalah yang bersifat khusus, kemudian diarahkan pada penarikan kesimpulan yang umum.

Dalam data ini, penulis melakukan analisis terhadap sejarah perkembangan pembaharuan dengan pendekatan pendidikan Islam.Jadi, dari permasalahan lembaga pendidikan yang sedang berkembang pada tahun 1905-1965, ditarik kesimpulan ke arah pergerakan pembaharuan umat Islam.

Dalam menyajikan laporan hasil penelitian, terlebih dahulu penulis melakukan tahap-tahap yang telah diuraikan sebelumnya, lalu melakukan tahap terakhir, yaitu membuat laporan hasil penelitian. Penulis melakukan langkah- langkah yang diantaranya, yaitu melakukan penyusunan kerangka tulisan dan

35

pokok-pokok pikiran yang akan dituangkan ke dalam tulisan jadi (sebenarnya), berdasarkan data-data yang diperoleh untuk mempermudah penulisan. Selanjutnya yaitu melakukan penulisan setelah materi atau bahan tersusun dan kerangkan tulisan selesai dibuat. Tulisan akhir dilakukan bab demi bab, sesuai dengan proses penelitian yang dilakukan secara bertahap, kemudian dilakukan pengecekan melalui pengeditan dan pengoreksian.

Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam prosedur penelitian.Setelah melakukan langkah heuristik, kritik, dan interpretasi, langkah yang terakhir adalah penulisan sejarah atau historiografi.Laporan hasil penelitian dituangkan dalam bentuk karya ilmiah yang disebut skripsi.Laporan tersebut disusun secara ilmiah, yakni dengan manggunakan metode-metode yang telah dirumuskan dan teknis penulisan yang sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah yang telah dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Lembaga pendidikan Jamiat Kheir 1. Profil Yayasan Jamiat Kheir Yayasan Jamiat Kheir terletak di jalan K.H. Mas Mansyur No. 17, kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang, Kota/Kabupaten Jakarta Pusat, Propinsi DKI Jakarta. Jamiat Kheir didirikan pada tahun 1901 sebagai sebuah organisasi dan mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905 dengan bestuit nomor 4. Sementara Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir diaktekan oleh notaris pemerintah Belanda yaitu Jan Willem Roellofs Valk, pada tanggal 19 Oktober 1919.53

Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir memiliki beberapa tingkat pendidikan, yaitu:

a. Taman Kanak-Kanak Tanah Abang b. Taman Kanak-Kanak c. Madrasah Ibtidaiyah Putra Tanah Abang d. Madrasah Ibtidaiyah Putri Tanah Abang e. Madrasah Tsanawiyah Tanah Abang f. Madrasah Aliyah Tanah Abang g. Institut Agama Islam Jamiat Kheir Tanah Abang

53Dokumen Resmi dari Yayasan Jamiat Kheir.

36

37

2. Latar Belakang Berdiri Lembaga Pendidikan Jamiat Kheir Latar belakang berdirinya Jamiat Kheir tidak lepas dari perjalanan bangsa Indonesia yang sejak tahun 1628 M hingga tahun 1918 Msenantiasa terjadi pemberontakan dan perjuangan untuk mengusir penjajahan yang telah bercokol dari tahun 1602 M. ketika jiwa kebangkitan nasional mulai masuk ke dalam jiwa bangsa Indonesia, penjajah Belanda menjadi semakin cemas. Mereka berusaha untuk memadamkan api semangat bahkan mengasingkan mereka-mereka yang dianggap berbahaya terhadap kelangsungan hidup penjajahan di Indonesia. Bangsa Indonesia mulai sadar bahwa kemerdekaan akan sulit dicapai bila hanya mengandalkan perjuangan di medan laga saja. Pejuang-pejuang dan kaum cendekiawan kemudian mulai merintis jalan untuk berupaya merintis perjuangan di medan politik. Dengan lahirnya organisasi-organisasi sosial, baik di bidang perekonomian maupun di bidang pendidikan, serta lahirnya partai-partai politik di Indonesia, merupakan awal dari perjuangan di bidang politik. Salah satu diantaranya adalah organisasi Jamiat Kheir. Jamiat kheir lahir tahun 1901 M dan segera mendapat simpati dari umat Islam. Pada tahun 1901 sebagai langkah permulaan beberapa tokoh masyarakat Arab berinisiatif mendirikan sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial pendidikan berdasarkan Islam, yang diberi nama Jamiat Kheir. Pada mulanya organisasi ini dimaksudkan sebagai wadah kerjasama dan perlindungan, tapi mencerminkan pula sentimen keagamaan yang kuat dari pendiri-pendirinya, yang selalu siap memberi bantuan pada tiap organisasi yang condong pada Islam.Karena anggota dan pemimpin organisasi ini pada umumnya terdiri dari orang-orang yang berada, maka mereka dapat menggunakan sebagian besar waktunya untuk perkembangan organisasi tanpa merugikan usaha mereka untuk pencaharian nafkah.Mungkin hal ini pulalah yang menjadi salah satu penyebab utama yang menunjang kemajuan dan perkembangan Jamiat Kheir.54 Jamiat Kheir didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905, Secara resmi dengan pengesahan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Anggaran

54 Harun Nasution dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Ikapi, 1992), h. 480-481.

38

Dasarnya dapat disetujui.Akan tetapi Jamiat Kheir dilarang untuk mendirikan cabang-cabang organisasi di luar wilayah Batavia.55 Berdirinya Jamiat Kheir lebih didorong oleh pertimbangan-pertimbangan praktis daripada oleh kesadaran-kesadaran filosofis ataupun agama.Dia merupakan pencerminan dari keengganan para pendirinya untuk tetap tertinggal dari kemajuan yang dicapai oleh orang-orang Belanda, serta prestasi yang dicapai oleh orang- orang Cina yang telah berhasil menegakkan sebuah organisasi sosial di kalangan mereka pada permulaan abad.Juga merupakan pencerminan ketidaksenangan terhadap Belanda, yang dirasakan lebih memperlihatkan kecenderungan untuk menganak-emaskan orang-orang Cina dibandingkan dengan perhatian terhadap masyarakat Arab atau Muslim. Jika diperhatikan berdirinya sekolah Jamiat Kheir ada beberapa factor yang mendorong, menurut berkas dari Jamiat Kheir, yaitu: a. Belum ada sekolah yang cocok untuk anak-anak kaum muslimin, sebab sejak tahun 1850 mulai diberlakukannya sekolah oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga abad ke-20 khusus disediakan untuk anak orang Eropa, anak orang Kristen dan anak kaum bangsawan. b. Pendidikan Agama Islam tidak diperkenankan diajarkan pada sekolah Pemerintah Kolonial. c. Semangat pembaharuan Islam di dunia yang dipelopori oleh Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani dan Rashid Ridha membuka cakrawala baru dalam pemikiran orang Arab/keturunan Arab di Indonesia.

3. Tujuan Pendirian Lembaga Pendidikan Jamiat Kheir Di samping bertujuan memberikan bantuan pada anggota perkumpulan dalam masalah kematian dan pelaksanaan pernikahan (pasal 1), Anggaran Dasar tersebut memuat tujuan untuk mendirikan sekolah-sekolah hingga pelaksanaan pengajarannya. (pasal 2). Dan anggotanya tidak saja dari kalangan Arab, tetapi

55Mansur dan Mahfud Junaedi, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005), h. 65.

39

meluas kepada kebangsaan lain, asalkan ia seorang muslim (pasal 4). Penambahan Anggaran Dasar ini disetujui oleh pemerintah melalui keputusan gubernur jenderal pada tanggal 24 Oktober 1906, dikarenakan Anggaran Dasar Jamiat Kheir tidak mengandung tujuan politik serta tidak mengandung hasutan (yang dapat membahayakan keamanan pemerintahan).56 Abdullah bin Alwi Alatas sebagai pemuka gerakan Pan-Islam turut mendukung atas berdirinya organisasi Jamiat Kheir ini. Dikutip dari berkas resmi dari Jamiat Kheir, dinyatakan bahwa tujuan perkumulan ini adalah bergerak di bidang social dan pendidikan. Sifat perkumpulan ini terbuka untuk setiap muslim tanpa ada diskriminasi asal-usul, namun mayoritas anggotanya adalah para habaib, para ulama dan cendekiawan muslim. Setelah perkumpulan ini berjalan selama dua tahun, baru pada tahun 1903 para pendirinya meminta izin resmi kepada Pemerintah Hindia Belanda.Setelah menunggu izin memakan waktu 2 tahun baru keluar pengesahan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Pada tanggal 22 Juni 1910, sesuai dengan rapat anggota bulan April 1910 diajukan kembali perubahan Anggaran Dasar untuk ketiga kalinya.Surat permohonan diajukan oleh Muhammad bin Abdurrahman Syahab sebagai ketua dan Muhammad bin Syech bin Syahab sebagai sekretaris dan perubahan tersebut disetujui pada tanggal 3 Oktober 1910. Tujuan Jamiat Kheir semakin meluas, diantaranya : 1. Mendirikan dan mengurus gedung-gedung sekolah serta bangunan lain di Batavia untuk kepentingan umat Islam, 2. Mengupayakan sekolah-sekolah untuk memperoleh pengetahuan agama, 3. Mendirikan perpustakaan yang mengupayakan buku-buku untuk menambah pengetahuan dan kecerdasan.57 Pada tahun 1919 M, didirikan Jamiat kheir bagian puteri (al-Banat).Dan para pengajarnya yang termasyhur yaitu Mu‟allim Tunus58dan syekh Ahmad

56Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), cet. 8, h. 68-69 57 Deliar Noer, Op.Cit, h. 69

40

Surkati (yang kemudian pindah ke al-Irsyad)59. Pentingnya Jamiat kheir terletak pada kenyataan bahwa yang memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam dan mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang sudah modern seperti: kurikulum, kelas, dan sarana prasana penunjang lainnya. Ide-ide ini berkumandang di kota-kota lain, tetapi organisasi yang tumbuh di Jakarta seakan membeku, pertikaian dengan organisasi al-Irsyad mencerminkan pertikaian dalam lingkungan masyarakat Arab tentang kedudukan sayid dalam masyarakat itu dan pada umumnya dalam masyarakat Islam di Indonesia.60 Jamiat Kheir yang pada awal berdirinya mempunyai tujuan yang bergerak di bidang sosial pendidikan, pada kenyataannya ikut pula dalam bidang ekonomi dan politik.Kegiatan politiknya inilah yang menyebabkan perubahan Jamiat Kheir dari perkumpulan menjadi yayasan pendidikan. Maka ketika sudah menjadi Yayasan Pendidikan, Visi, Misi dan Tujuannya, yaitu:

Visi Yayasan Jamiat Kheir, yaitu: a. Mencerdaskan umat sejalan dengan tantangan kemajuan zaman berpegang teguh pada landasan ajaran Islam. b. Wawasan ke-Islaman secara utuh (kaffah) terpadu antara iman, ilmu dan amal, terintegrasi antara IMTAQ dan IPTEK. c. Wawasan keunggulan, ketekunan, kesungguhan dan keikhlasan dalam rangka ibadah kepada Allah SWT.

Misi Yayasan Jamiat Kheir, yaitu: a. Menyiarkan agama Islam dan bahasa Arab. b. Berkhidmat untuk umat sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW.

58Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1995), Cet.5, h. 319 59Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), h. 55 60Hasil wawancara dengan Pengurus harian Jamiat Kheir

41

c. Menanamkan keyakinan yang kuat dan kebanggaan terhadap kebenaran Islam sebagai petunjuk Allah SWT satu-satunya demi keselamatan hidup di dunia dan akhirat.

Tujuan Yayasan Jamiat Kheir, yaitu: a. Mempersiapkan generasi Islam yang cinta kepada Allah SWT dan taat kepada Rasulullah SAW, sayang kepada sesama, berakhlak mulia, percaya diri, teguh pendirian, selalu bertitik kepada kebenaran dan keadilan, bermanfaat bagi agama, umat dan masyarakat, menerapkan ajaran agama Islam dalam meningkatkan martabat bangsa dan Negara. b. Membentuk kepribadian ulama yang berwawasan luas, ahli dalam bidangnya, mampu berbahasa Arab dan dapat member manfaat bagi masyarakat dan bangsa. c. Menanamkan mahabbah kepada kaum mukminin, utamanya ahli bait/keluarga Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.61

4. Aqidah dan Mazhab Jamiat Kheir Jamiat Kheir sejak didirikan dan untuk selamanya berlandaskan dan mempertahankan Aqidah Ahlusunnah wal Jamaah yang digariskan oleh para salaf terdahulu sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, cinta ahli bait dan para sahabatnya. Dalam menjalankan praktek ibadah, keluarga besar Jamiat Kheir selalu berpegang pada Mazhab Imam Syafii rahimahullah dan atau berdasarkan dalil-dalil yang lebih kuat.62

5. Tokoh Pendiri Jamiat Kheir Tokoh yang akan saya bahas dibawah ini adalah tokoh yang berpengaruh terhadap pembaharuan yang dilakukan di Jamiat Kheir dan berpengaruh dalam menentukan kebijakan dalam tubuh Jamiat Kheir. Tapi, terlebih dahulu akan disinggung tokoh-tokoh pendiri awal Jamiat Kheir.

61Dokumen Resmi Yayasan Jamiat Kheir. 62Dokumen Resmi Yayasan Jamiat Kheir.

42

Pendiri perkumpulan ini adalah : 1. Sayid Ali bin Ahmad bin Syahab, sebagai Ketua 2. Sayid Muhammad bin Abdullah bin Syahab, sebagai Wakil Ketua 3.Sayid Muhammad Al Fachir bin Abdurrahman Almasyhur, sebagai Sekretaris 4. Sayid Idrus bin Ahmad bin Syahab, sebagai Bendahara 5. Said bin Ahmad Basandiet, sebagai Anggota. Salah satu perwujudan cita-cita perkumpulan ini adalah mendirikan sebuah sekolah pada tanggal 17 Oktober 1919 dengan nama sekolah Djamiat Geir School dengan akte notaries Jan Willem Roeloffs Valk nomor 143. Susunan pengurus pertama kali :

1. Sayid Abubakar bin Ali bin Syahab 2. Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus 3. Sayid Ali bin Abdurrahman Alhabsyi 4. Sayid Abubakar bin Muhammad Alhabsyi 5. Sayid Abubakar bin Abdullah Alatas 6. Sayid Idrus bin Ahmad bin Syahab 7. Ahmad bin Abdullah Basalamah63

Jamiat Kheir merupakan pergerakan yang menelurkan generasi-generasi berkualitas, maka selanjutnya akan dibahas mengenai tokoh yang banyak sekali melakukan pergerakan dan menggelorakan perubahan terhadap penjajahan Belanda pada masa itu, tokoh-tokohnya yaitu:

1) Abubakar bin Ali

Habib Abu Bakar dilahirkan di Bandar Betawi (Jakarta) pada hari Senin tanggal 28 Rajab tahun 1287 H/ 24 Oktober 1870 M. kemudian beliau berangkat ke Hadramaut pada akhir tahun 1297 H/ 1880 M bersama ayahnya, Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Shahubuddin Al-Alawy. Guru beliau adalah Ahmad

63Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Ikapi, 1992), h. 480-481

43

Muhammad Bahyan, pas sedang di Hadramaut, beliau belajar kepada Salim Sa‟id Abdul Haq. Beliau menghafalkan kitab Matan al-Zubad.Beliau wafat pada tanggal 25 Dzulqa‟idah tahun 1299 H/ 8 Oktober 1882 M. Orang-orang merasa sangat berat kehilangan dia karena dia adalah seorang yang rajin dalam menuntut ilmu.Ayahnya sangat mencintainya karena kecerdasannya dan kepatuhannya kepada perintahnya.Mudah-mudahan Allah merahmatinya dengan rahmat yang diberikan-Nya kepada orang-orang yang baik.64

Pada tahun 1297 H, saat berusia 10 tahun, bersama ayahnya serta saudaranya Muhammad dan Sidah, berangkat ke Hadramaut. Di sana Abubakar menuntut ilmu dari berbagai guru terkenal, baik di Damun, Tarim, maupun Seywun, di samping mendatangi tempat pengajian dan pertemuan dengan sejumlah ulama terkemuka. la kembali ke Indonesia melalui Syihir, Aden, Singapura dan tiba kembali ke Jakarta pada tanggal 3 Rajab 1321 H. Setelah mendapat gemblengan selama tiga belas tahun di Hadramaut. Kemudian mendirikan Jamiatul Khair bersama Abubakar bin Ali Shahab dan sejumlah pemuda Alawiyyin. Pada tanggal 1 Mei 1926, saat usianya 50 tahun, untuk kedua kalinya kembali berangkat ke Hadramaut disertai dua orang putranya Hamid dan Idrus. Mereka singgah di Singapura, , Mesir dan Mukalla sebelum tiba di Damun, 20 Dzulqaidah 1344 H. Di tempat yang disinggahinya ia selalu belajar dengan para guru dan sejumlah habib. Di Hadramaut ia memperbaiki sejumlah masjid, diantaranya Masjid Al-Mas, bahkan juga membangun Masjid Sakran. Habib Abubakar tidak pemah jemu berjuang untuk kejayaan Islam dan Alawiyyin.65 Habib Ali bin Abubakar Shahab sebagai ketua Jamiat Kheir, juga ikut mendorong organisasi ini ketika pindah dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang). Kegiatan organisasi ini kemudian meluas dengan mendirikan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, Habib Abubakar bersama-sama sejumlah Alawiyyin juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di

64 bin Abu Bakar, Rihlatul Asfar Otobiografi, terj. Ali Yahya, (tanpa penerbit, 2000), h. 16 65http://benmashoor.wordpress.com/2008/08/08/perkumpulan-jamiat-kheir-1901- %E2%80%93-1919/

44

Jalan Karet dan putri (banat) di Jalan Kebon Melati (kini Jl. Kebon Kacang Raya), serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi, Senen.

2) Sayid Ali bin Abdurrahman Alhabsyi66 Beliau adalah Habib „Ali bin „Abdur Rahman bin „Abdullah bin Muhammad al-Habsyi. Lahir di Kwitang, Jakarta, pada 20 Jamadil Awwal 1286H / 20 April 1870M. Ayahanda beliau adalah Habib „Abdur Rahman al-Habsyi seorang ulama dan dai yang hidup zuhud, manakala bunda beliau seorang wanita sholehah bernama Nyai Hajjah Salmah puteri seorang ulama Betawi dari Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur. Adapun kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Dia menikah di Semarang. Dalam pelayaran kembali ke Pontianak, ia wafat, karena kapalnya karam. Adapun Habib Muhammad Al-Habsyi, kakek buyut Habib Ali Kwitang, datang dari Hadramaut lalu bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah dengan para sultan dari klan Algadri. Habib „Abdur Rahman ditakdirkan menemui Penciptanya sebelum sempat melihat anaknya dewasa.Beliau meninggal dunia sewaktu Habib „Ali masih kecil.Sebelum wafat, Habib „Abdur Rahman berwasiat agar anaknya Habib „Ali dihantar ke untuk mendalami ilmunya dengan para ulama di sana.Tatkala berusia lebih kurang 11 tahun, berangkatlah Habib „Ali ke Hadhramaut. Tempat pertama yang ditujunya ialah ke rubath Habib „Abdur Rahman bin „Alwi al-‟Aydrus. Di sana beliau menekuni belajar dengan para ulamanya, antara yang menjadi gurunya ialah Shohibul Mawlid Habib „Ali bin Muhammad al-Habsyi, Habib Hasan bin Ahmad al-‟Aydrus, Habib Zain bin „Alwi Ba‟Abud, Habib Ahmad bin Hasan al-‟Aththas dan Syaikh Hasan bin „Awadh. Beliau juga berkesempatan ke al-Haramain dan meneguk ilmu dari ulama di sana, antara gurunya di sana adalah Habib Muhammad bin Husain al-Habsyi ( Makkah), Sayyidi Abu Bakar al-Bakri Syatha ad-Dimyati, (pengarang I‟aanathuth Thoolibiin yang masyhur) Syaikh Muhammad Said Babsail, Syaikh „Umar Hamdan dan ramai lagi.

66Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Ikapi, 1992), H. 480-481

45

Ia dikenal sebagai penggerak pertama Majelis Taklim di Tanah Betawi. Majelis taklim yang digelar di Kwitang, Jakarta Pusat, merupakan perintis berdirinya majelis taklim-majelis taklim di seluruh tanah air.Majelis taklim Habib Ali di Kwitang merupakan majelis taklim pertama di Jakarta.Sebelumnya, boleh dibilang tidak ada orang yang berani membuka majelis taklim.Karena selalu dibayang-bayangi dan dibatasi oleh pemerintah kolonial, Belanda. Setiap Minggu pagi kawasan Kwitang didatangi oleh puluhan ribu jamaah dari berbagai pelosok, tidak hanya dari Jakarta saja namun juga dari Depok, Bogor, Sukabumi dan lain-lain. Bagi orang Betawi, menyebut Kwitang pasti akan teringat dengan salah satu habib kharismatik Betawi dan sering disebut-sebut sebagai perintis majelis Taklim di Jakarta, tiada lain adalah Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi atau yang kerap disapa dengan panggilan Habib Ali Kwitang. Menurut beberapa habib dan kiai, majelis taklim Habib Ali Kwitang akan bertahan lebih dari satu abad. Karena ajaran Islam yang disuguhkan berlandaskan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, dan nilai-nilai keluhuran budi atau akhlakul karimah. Habib Ali, kata mereka, mengajarkan latihan kebersihan jiwa melalui tasawuf. Dia tidak pernah mengajarkan kebencian, hasad, dengki, gibah, ataupun fitnah.Sebaliknya, almarhum mengembangkan tradisi AhlulBait, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menghormati hak setiap manusia tanpa membedakan status sosial. Dua tahun setelah sang ayah wafat, Habib Ali Kwitang yang saat itu masih berusia 11 tahun, berangkat belajar ke Hadramaut. – sesuai wasiat ayahandanya yang kala itu sudah wafat. Tempat pertama yang dituju adalah rubath Habib Abdurrahman bin Alwi Alaydrus. Di majelis mulia itu ia juga membaca kitab kepada Habib Hsan bin Ahmad Alaydrus, Habib Zen bin Alwi Ba‟abud dan Syekh Hasan bin Awadh bin Makhdzam. Di antara para gurunya yang lain di Hadramaut yaitu Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (penyusun Simthud Durar), Habib Ahmad bin Hasan Alatas (Huraidah), dan Habib Ahmad bin Muhsin Al-Hadar (Bangil). Selama 4 tahun, Habib Ali Kwitang tinggal di sana, lalu pada tahun 1303 H/1886 M ia pulang ke Betawi.

46

Pulang dari Hadramaut, ia belajar kepada Habib Utsman bin Yahya (mufti Batavia), Habib Husein bin Muhsin Alatas (Kramat, Bogor), Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Umar bin Idrus Alaydrus, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas (), Habib Ahmad bin Muhammad Al- Muhdhor (Bondowoso). Ketika terjadi perang di Tripoli Barat (Libya), Habib Utsman menyuruh Habib Ali Kwitang untuk berpidato di masjid Jami‟ dalam rangka meminta pertolongan pada kaum muslimin agar membantu umat Islam yang menderita di Tripoli.Padahal pada waktu itu, Habib Ali Kwitang belum terbiasa tampil di podium. Tapi, dengan tampil di podium atas suruhan Habib Utsman, sejak saat itu lidahnya fasih dalam memberikan nasehat dan kemudian ia menjadi dai.67 Tokoh-tokoh pahlawan Nasional yang pernah menjadi anggota perkumpulan Jamiat Kheir, diantaranya:

a. Raden Umar Said Tjokroaminoto. b. R. Jayanegara, Hoofd Jaksa Betawi, anggota nomor 352. c. R.M. Wiriadimaja, Asisten Wedana Rangkasbitung, anggota nomor 661. d. R. Hasan Djayadiningrat, anggota nomor 273. e. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, anggota nomor 770.

6. Hubungan Jamiat Kheir dengan Lembaga lainnya Jamiat Kheir melakukan hubungan dengan lembaga lainnya ketika memang Jamiat Kheir membutuhkan perlengkapan untuk keperluan pendidikan.Misalnya untuk keperluan bahan bacaan, pengurus Jamiat Kheir mengadakan hubungan dengan luar negeri seperti Turki, Mesir dan Singapura. Tahun 1908 mulailah mengadakan hubungan dengan pemimpin dari surat kabar dan majalah luar negeri, antara lain:

67Dokumen Resmi Yayasan Jamiat Kheir.

47

a. Dengan Direktur surat kabar Al-Muayyad, di Cairo, Mesir yaitu Ali Yusuf. Beliau memberikan informasi mengenai perkembangan Islam di luar negeri dan kegiatan Jamiat Kheir di Indonesia. b. Dengan Direktur surat kabar Al-Liwa, Mesir, Affandi Kamil, saudara Ali Kamil. c. Dengan Direktur surat kabar As-Siasah al-Musawarah, Mesir, Abdul Hamid Zaki. d. Dengan Direktur surat kabar Samarastul Alfunun, Beirut, Ahmad Hasan Tabarah. e. Dengan surat kabar al-Ittihad Al-Utsmani, Turki. f. Majalah al-Iman, Singapura.68

Jamiat Kheir juga mempunyai hubungan dengan organisasi di dalam negeri saat itu, seperti: a. Budi Utomo b. Sarikat Islam pada tahun 1916. Sayyid Abdullah bin Husein Alatas adalah seorang pengurus Jamiat Kheir yang selalu ikut dalam rapat Sarikat Islam di Jakarta. c. Jong Islamiten Bond (Persatuan Pemuda Islam).

B. JAMIAT KHEIR MERESPON BERBAGAI KEBIJAKAN NEGARA 1. MASA PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

a. Kebijakan Pendidikan Pada Masa Kolonial Belanda

Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi muslim terpelajar. Pendidikan Islam dianggap sebagai wahana yang memupuk sumber semangat perjuangan rakyat.Untuk itu pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan peraturan umum yang memberikan ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap sekolah agama (Mohammedaans God Dients Onderwijs)

68Dokumen Resmi Yayasan Jamiat Kheir.

48

dengan Staadblaad 1818 No. 4, yang menyebutkan pengajaran agama harus seijin Gubernur Jenderal.69

Hal tersebut juga dijelaskan oleh Mansur dan Mahfud Junaedi, dalam bukunya yang berjudul Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia bahwa Pada zaman kolonial Belanda telah didirikan beraneka macam sekolah, ada yang bernama Sekolah Dasar, Sekolah Kelas II, HIS, MULO, AMS dan lain-lain. Sekolah-sekolah tersebut seluruhnya hanya mengajarkan pelajaran umum, tidak memberikan mata pelajaran agama sama sekali, hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1905 Belanda memberikan aturan bahwa setiap guru agama harus minta izin dahulu.70

Ketentuan tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa sekolah agama menjadi alat meninggikan akhlak rakyat dan menjadi sumber semangat perjuangan rakyat menentang penjajahan.71Islam juga mengajarkan hukum-hukum Islam kepada kaum muslimin baik laki-laki ataupun perempuan, tua maupun muda, tanpa membedakan umur, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan. Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara, tanpa membeda-bedakan martabat, usia maupun jenis kelamin seseorang.72Hal ini berbeda dengan kebijakan pemerintah Kolonial yang dikeluarkan dalam bentuk kebijakan Pendidikan yang mengatur juga mengenai pendidikan Islam.

Bagi Pemerintah Hindia Belanda, pendidikan tidak hanya bersifat pedagogik kultural, tapi juga bersifat psikologis politis.73Pendidikan dianggap begitu vital dalam upaya mempengaruhi budaya masyarakat. Melalui pendidikan ala Belanda dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat, sehingga akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Di lain pihak,

69 A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (Bandung : Mizan, 1998), hal.71. 70Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 51 71 A. Malik Fadjar, Op. Cit. 72Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, (: al- Izzah, 1996), h. 43 73 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta : LP3ES, 1984), hal. 49.

49

pandangan tersebut juga mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan Islam. Muatan keagamaan pada pendidikan Islam pada akhirnya akan menambah semangat kritis umat Islam terhadap sistem kebudayaan yang dibawakan oleh kaum penjajah.

Tidak dipakainya sistem pendidikan Islam oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sebagaimana yang ditulis oleh Karel A. Steenbrink, juga karena pertimbangan aspek metodiknya yang tidak baik. Seperti dikutip oleh Steenbrink, seorang Inspektur pendidikan pribumi, JA Van Chijs, pada tahun 1865 memberi alasan:

“Walaupun saya sangat setuju kalau sekolah pribumi diselingi dengan kebiasaan pribumi (pendidikan pesantren), namun saya tidak menerimanya karena kebiasaan tersebut (membaca teks Arab dengan hafalan tanpa pengertian) terlalu jelek, sehingga tidak dapat dipakai dalam sekolah pribumi.”74

Selain itu, diasingkannya pendidikan Islam oleh pemerintah Hindia Belanda, karena konsekuensinya yang justru tidak menguntungkan kepentingan politik Hindia Belanda sendiri.Pendidikan Islam dalam prakteknya lebih menekankan kepada aspek keimanan dan keyakinan dalam beragama, yang secara langsung memberi rangsangan dan motivasi untuk melawan penjajah dan pemerintahan yang kafir.Dalam mengawasi pendidikan Islam pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan penerbitan Ordonansi Guru. Ordonansi Guru dikeluarkan pada tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama untuk meminta dan memperoleh ijin terlebih dahulu dari pemerintah Hindia Belanda sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru.75

Ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam, berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura, kecuali Yogyakarta dan

74 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, (Jakarta : LP3ES, 1994),hal. 3 75 Aqib Suminto, Op. Cit. hal. 51.

50

Solo.Latar belakang penerbitan ordonansi guru ini bersifat politis guna menekan pendidikan Islam sehingga tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah.

Bagi umat Islam, ordonansi guru dirasakan sebagai kebijakan yang tidak sekedar membatasi perkembangan pendidikan Islam, tetapi juga mengurangi peranan pendidikan Islam di Indonesia.Dalam prakteknya, Ordonansi Guru tersebut dapat dipergunakan untuk menekan ajaran Islam, karena dikaitkan dengan ketertiban dan keamanan.Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban dan keamanan.

Dalam perkembangannya, Ordonansi Guru mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Ordonansi Guru yang kedua pada tahun 1925, dari keharusan guru agama mendapatkan surat ijin menjadi keharusan guru agama untuk melapor dan memberitahu kepada pemerintah Hindia Belanda.76 Ordonansi guru yang kedua ini tidak hanya berlaku untuk Jawa dan Madura saja, tapi berlaku pula untuk wilayah Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado dan Lombok.77

Namun demikian, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya, ordonansi guru yang kedua itupun digunakan untuk menghambat gerakan umat Islam. Peristiwa yang dialami oleh Muhammadiyah pada tahun 1926 di Sekayu Palembang membuktikan hal tersebut. Pada saat itu, pengurus pusat Muhammadiyah akan meresmikan sekolah Muhammadiyah, tetapi dilarang secara mendadak dengan alasan keamanan dan ketertiban, meskipun sudah memberitahukan rencana tersebut kepada Residen Palembang.78

Selain ordonansi guru, pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan ordonansi sekolah liar.Ketentuan dalam ordonansi sekolah liar mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pemerintah.

76 Aqib Suminto, Op. Cit, hal. 53-54. 77 Ibid. 78Ibid., hal. 5.

51

Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolah harus diberikan secara berkala.Ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan tersebut.Bagi lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah, ketentuan tersebut sangat memberatkan. Lembaga pendidikan Islam belum memiliki aturan yang rapi dan terorganisasi, daftar murid dan guru maupun mata pelajaran. Ordonansi ini dengan sendirinya menjadi penghambat bagi pendidikan Islam.

Reaksi umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua corak, defensif dan progesif.79Corak defensif ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda terhadap sistem pendidikan Islam. Sikap tersebut terlihat dalam sistem tradisional pesantren yang sepenuhnya mengambil jarak dengan pemerintah Hindia Belanda. Di samping mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren dalam hal ini memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang menjadi benteng pertahanan umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam bidang pendidikan. Dengan posisi defensif tersebut, pesantren pada kenyataannya bebas dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda meskipun dengan resiko harus terasing dari perkembangan masyarakat modern.

Selain bersifat defensif, corak responsi umat Islam juga bersifat progresif, yang memandang bahwa tekanan pemerintah Hindia Belanda tersebut merupakan kesetaraan dan kesejajaran, baik dari sudut kelembagaan maupun kurikulum. Ketergantungan pada tekanan penjajah akan semakin melemahkan posisi pendidikan Islam. Begitupun sebaliknya, membiasakan sikap defensif terus menerus akan semakin memberi ruang yang lapang bagi gerakan pendidikan Hindia Belanda. Dalam hal ini diperlukan upaya sekolah ala Belanda, tetapi tidak meninggalkan akar keagamaannya. Usaha dari upaya tersebut adalah tumbuh dan berkembangnya sekolah Islam atau madrasah di berbagai wilayah, baik di Jawa maupun luar Jawa.

79 H. Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 11.

52

Masyarakat yang sebelumnya hanya memiliki pilihan belajar di lembaga pendidikan tradisional, mulai mendapat kesempatan untuk belajar di sekolah- sekolah Hindia Belanda. Sekolah-sekolah Hindia Belanda dalam prakteknya menawarkan pola pendidikan yang berbeda dengan pendidikan Islam tradisional, yang terfokus pada pelajaran agama dan metode hafalan. Sekolah Hindia Belanda memberikan pelajaran membaca, menulis dan menghitung, yang tidak terdapat pada pendidikan Islam tradisional. Hal itu membuat pendidikan Islam tradisional tidak dapat mengimbangi perkembangan sekolah-sekolah Hindia Belanda.

Pada tahun 1907, baru didirikan sekolah untuk anak pribumi Islam.sekolah ini dibagi dalam 6 model dasar Sekolah Dasar. Somersono Mestoko seperti dikutip oleh Ahmad Mansur, menjelaskan bahwa system pendidikan pada masa pemerintah kolonial Belanda terbagi dalam tiga tahapan studi dan kejuruan.80

(1) Lager Onderwijs / pendidikan rendah

(2) Middelbarg Onderwijs / Pendidikan Lanjutan

(3) Hooger Onderwijs / Pendidikan Tinggi

(4) Vakonderwijs / Pendidikan Kejuruan

Walaupun hanya sekolah dasar, tidak setiap rakyat pribumi dapat sekolah dengan begitu saja. Prioritas utama hanya diperuntukkan kepada anak bangsawan. Diskriminasi terjadi antara sekolah HIS ( Hollansch Indische School), sekolah rakyat dengan ELS (Europsche Lager School), sekolah untuk kalangan Belanda dan bangsawan, baik dalam pendanaan, bentuk bangunan sekolah, seragam dan lain-lain. Secara sistemis pendidikan dijadikan media penciptaan stratifikasi social yang feodalistis.81

Pada pertengahan abad ke 19 pemerintah Belanda mulai menyelenggarakan pendidikan model Barat yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan sebagian kecil orang Indonesia (terutama kelompok berada), sejak itu tersebar jenis pendidikan rakyat, yang berarti juga bagi umat Islam. selanjutnya

80Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamandani Pustaka Semesta, 2010), cet. 3, h. 307 81 Ibid, h. 308

53

pemerintah memberlakukan politik etis yang mendirikan dan menyebarluaskan pendidikan rakyat sampai pedesaan. Belanda tidak mengakui para lulusan pendidikan tradisional, sehingga mereka tidak bisa bekerja di pabrik maupun sebagai tenaga birokrat.Pada tahun 1925 muncul juga peraturan bahwa Kiai tidak boleh memberikan pelajaran.Peraturan itu besar sekali pengaruhnya dalam menghambat perkembangan pendidikan Islam.82

b. Reaksi Jamiat Kheir terhadap Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda

Ketika jiwa kebangkitan Nasional mulai masuk ke dalam jiwa bangsa Indonesia, Penjajah Belanda menjadi semakin cemas. Mereka berusaha untuk memadamkan api semangat bahkan mengasingkan mereka-mereka yang dianggap berbahaya terhadap kelangsungan hidup penjajahan di Indonesia. Namun, semangat kemerdekaan itu terus menyala dalam jiwa bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia mulai sadar bahwa kemerdekaan akan sulit dicapai bila hanya mengandalkan perjuangan di medan laga saja. Pejuang-pejuang dan kaum cendekiawan kemudian mulai merintis jalan untuk berupaya merintis perjuangan di medan politik. Dengan lahirnya organisasi-organisasi social, baik di bidang perekonomian maupun di bidang pendidikan, serta lahirnya partai-partai politik di Indonesia, merupakan awal dari perjuangan di bidang politik.

Menilik kondisi pendidikan pada masa Belanda tersebut, maka para pemimpin masyarakat Arab yang progresif merasa terpanggil untuk mengadakan perbaikan-perbaikan tersebut. Lahirnya Jamiat Kheir pada tahun 1901, mempunyai spesifikasi tersendiri bila dibandingkan dengan gerakan-gerakan Islam sebelumnya dalam pemikirannnya. Perbedaan dapatlah dipahami, karena setiap gerakan mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam meninjau kenyataan, serta mempunyai titik tolak sendiri-sendiri.Oleh karena itulah, Jamiat Kheir mendapat simpati dari umat Islam.

82Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 51

54

Hal tersebut membuat Penjajah Belanda menjadi cemas, dan kemudian menuduh bahwa Jamiat Kheir akan mengadakan pemberontakan. Berdasarkan tuduhan tersebut, Belanda kemudian menyerbu rumah-rumah para pemimpin Jamiat Kheir dan memenjarakan beberapa diantara mereka.Pemerintah Belanda kemudian melarang Jamiat Kheir untuk membuka cabang diluar Jakarta.

Menurut Dr. Karel Steenbrink, dalam bukunya Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, mengatakan bahwa pemerintah Belanda melakukan pembagian penduduk Indonesia menurut bangsanya. Walaupun sepanjang sejarah, golongan Arab sudah menjadi peranakan dan dalam beberapa generasi mengasimilasikan diri kepada orang pribumi. Namun, oleh pemerintah Belanda dipisahkan secara resmi dengan alasan untuk „melindungi‟ kaum pribumi. Tetapi alasan yang pasti adalah alasan politik (adanya dugaan kemungkinan untuk mendorong pemberontakan) dan alasan ekonomis, yaitu adanya keharusan untuk membayar pajak lebih banyak daripada orang pribumi.83

Orang-orang Arab di Indonesia banyak menulis surat-surat kabar di Mesir, Syam, dan Asitanah, yang isinya menentang Belanda, dan membangkitkan semangat untuk mengadakan perlawanan. Kekhawatiran Belanda terhadap semangat perjuangan yang dihembuskan orang-orang Arab di Indonesia menyebabkan mereka mengeluarkan larangan bagi orang-orang Arab untuk berpindah dari satu daerah ke daerah lain kecuali dengan izin, bahkan Jawa Tengah menjadi daerah terlarang bagi orang-orang Arab.84

Jamiat Kheir, yang berdirinya tidak mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda pada saat itu, tidak dapat merealisir program-programnya yang telah diinventarisir, seperti menolong fakir miskin, menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak, membentuk lembaga perkawinan dalam artian formal, menolong anggota Jamiat Kheir yang tertimpa musibah dan sebagainya. Maka dari

83 Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 128. 84 Ibid, h. 8

55

itu, para pengurusnya terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk mendapatkan pengakuan resmi berdirinya organisasi tersebut.85

Pada tahun 1903 Jamiat Kheir mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda agar dapat diakui sebagai sebuah organisasi yang legal. Surat permohonan itu ditandatangani oleh Said Basandit, Sayid Muhammad Al-Fakhir Al-Mansur sebagai sekretaris dan Idrus bin Ahmad sebagai bendahara. Pada tahun 1905 M izin dari pemerintah Belanda keluar, dengan syarat tidak boleh membuka cabang di luar Jakarta.

Pada bulan April tahun 1906 Jamiat Kheir mengajukan surat permohonan untuk mendirikan Madrasah dan balai pertemuan karena ada larangan bagi Jamiat Kheir untuk membuka cabang di luar Jakarta, maka Jamiat Kheir mengangkat beberapa orang wakil guna mencapai mufakat dalam menyamakan serta mempersatukan tujuan dan pelaksanaan kerja. Pada bulan ini juga Jamiat Kheir mengajukan surat permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan sekolah.

Pada tahun 1909, Jamiat Kheir untuk pertama kali membuka sebuah madrasah yang memberikan pengajaran secara gratis. Memberikan pendidikan kepada para bapak dan ibu secara rutin setiap minggu dan juga mengupayakan agar pemerintah Hindia Belanda menghapus larangan bagi bangsa Arab untuk bepergian ke luar Jakarta.

Tahun 1910, Jamiat Kheir membina bangunan kos untuk para pelajar. Besarnya biaya kos dibedakan antara yang mampu dan yang tidak mampu. Bagi yang tidak mampu terutama anak-anak yatim tidak dikenakan biaya bahkan diupayakan untuk pakaian dan makanannya. Jamiat kheir juga mengupayakan zakat.86

Jamiat kheir sebagai organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, tidak hanya meningkatkan sarana fisik semata, peningkatan mutu

85 Ibid, h. 9 86 Ibid, h. 10

56

pendidikanpun terus diusahakan, demikian pula peningkatan dalam bidang dakwahnya.

Adapun usaha yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah mendirikan perpustakaan dan percetakan huruf Arab, demikian pula dalam bidang dakwahnya, yaitu dengan menerbitkan surat kabar harian yang diberi nama “Utusan Hindia”, di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokro Aminoto.87

2. MASA PEMERINTAH JEPANG a. Kebijakan Pendidikan Pada Masa Pemerintah Jepang Tidak lama setelah Jepang menggantikan Belanda, Jepang mengadakan perubahan di bidang Pendidikan, diantaranya menghapuskan dualisme pengajaran, yang berarti menghapus dualistis pendidikan yang diterapkan oleh Belanda. Dengan begitu Jepang bermaksud untuk mengambil hati rakyat Indonesia dan Pemerintah Jepang selalu berdalih bahwa pendidikan itu tidak ada perbedaan antara golongan satu dengan golongan lainnya.88 Pada masa pendudukan Jepang ini, menurut Nafilah Abdullah dalam jurnalnya Gerakan Jamiat Kheir 1900-1942, mengatakan bahwa Ulama dan Haji dijadikan sebagai partner yang dapat dipercaya. Mereka diberikan peran untuk ikut serta dalam politik dan pemerintahan.Memang cukup luar biasa, kalau ulama dijadikan sebagai kekuatan dalam bidang pemerintahan, yang hal itu berbeda sekali dengan penjajah Kolonial Belanda. Hal itu dilakukan Jepang karena mereka memandang bahwa penduduk Indonesia terutama Jawa sebagian besar adalah muslim, dan ulama dipandang memiliki posisi lebih tinggi dan lebih besar pengaruhnya daripada posisi pemimpin yang hanya berdasarkan nasionalis. Usaha lain yang dilakukan Jepang terkait sepak terjangnya di Nusantara, yaitu mengirimkan mahasiswa untuk mempelajari Islam ke Arab dan Mesir, dan mereka juga tak segan-segan untuk mendatangkan guru-guru Islam, baik dari Timur Tengah maupun dari Asia, untuk datang ke Jepang. Jepang juga menerbitkan jurnal berbahasa Arab untuk disebarkan ke luar negeri dan pada tahun 1935 mendirikan mesjid pertama di Kobe.89

87 Ibid, h. 18 88 Mansur dan Mahfud Junaedi, Op.Cit., h.60 89 Jurnal Ilmiah, Nafilah Abdullah, Gerakan Jamiat Kheir 1900-1942, h. 55

57

Pendidikan pada masa Jepang disebut Hakku Ichiu yakni mengajak bangsa Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran Asia Raya.Oleh karena itu, bagi setiap pelajar terutama setiap pagi hari harus mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar Jepang, lalu dilatih kemiliteran. Sistem sekolah pada zaman Jepang yaitu hanya ada satu sekolah rendah diadakan bagi semua lapisan masyarakat yang bernama Kokumin Gakko yang berlangsung selama enam tahun. Sekolah-sekolah desa berganti nama menjadi Sekolah Pertama. Adapun susunan pengajaran menjadi: pertama, Sekolah Rakyat enam tahun (termasuk sekolah pertama). Kedua,sekolah menengah tiga tahun. Ketiga, sekolah menengah tinggi tiga tahun (SMA pada zaman Jepang).90 Setelah Jepang merasa dirinya telah kokoh pada tempat mereka berpijak dan merasa pula kalau dirinya merupakan suatu kekuatan yang tiada tandingannya, mulailah mereka melakukan ekspansinya. Keluarlah Dekrit dari Letnan Jenderal Imamura Panglima pertama di Jawa yang berisi larangan semua aktivitas yang berhubungan dengan politik Indonesia, demikian juga melarang kegiatan diskusi dan organisasi yang berhubungan dengan admintistrasi politik negeri.

Sekolah-sekolah swasata ditutup, baru dibuka kembali pada bulan April 1942, yaitu setelah kaum muslimin mengadakan protes terpadu atas diitutupnya sekolah-sekolah tersebut. Tidak demikian dengan nasib yang dialami oleh kaum muslimin keturunan Arab di Indonesia, sekolah-sekolah mereka mendapat peraturan tersendiri, karena dalam pandangan Jepang pengaruh Arab sama mengganggu dan asingnya dengan pengaruh Belanda.91

b. Respon Jamiat Kheir terhadap Kebijakan Pendidikan Pemerintah Jepang

Masyarakat Arab yang merasa Indonesia ini merupakan tanah dan tempat kelahirannya sudah barang tentu tidak menerima atas diskriminasi dan pandangan Jepang terhadap mereka. Protes masyarakat Arab pun tidak terelakkan terhadap penguasa baru ini. Setelah melalui perdebatan diantara kedua belah pihak, akhirnya pemerintah mengizinkan kembali dibukanya sekolah-sekolah yang didirikan oleh

90 Mansur dan Mahfud Junaedi, Op.Cit., h. 60 91 Jurnal Ilmiah, Nafilah Abdullah, Gerakan Jamiat Kheir 1900-1942, h. 58

58

masyarakat Arab, tetapi dengan syarat bahasa Jepang harus dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.

Karena kecurigaan Jepang terhadap pengaruh Islam umumnya dan bahasa Arab khususnya sangat mendalam, maka Kantor Pendidikan Daerah Istimewa Jakarta (Tokubestushie) mengeluarkan peraturan baru, yang isinya melarang pengajaran bahasa Arab di semua sekolah-sekolah swasta, terutama sekolah masyarakat Arab yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa pelajaran umum.

Peraturan tersebut benar-benar memancing kemarahan kaum muslimin, karena bagi mereka dilarangnya pengajaran bahasa Arab sama artinya dengan melarang belajar Al-Qur‟an khususnya dan pelajaran Islam umumnya. Di Jakarta pengurus Jamiat Kheir dan para pengurus madrasah lainnya bersama-sama mendatangi Kantor Pendidikan Daerah, mereka mengharap agar peraturan larangan pengajaran bahasa Arab segera dicabut kembali. Tidak lama kemudian, yaitu setelah Jepang menyadari bahwa tidak mungkin mengikat hak muslim untuk mengajarkan Al-Qur‟an sebagai bahasa suci tersebut, Jepang pun mencabut peraturan tersebut.92

Pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan baru untuk mencapai Nipponisasi, yaitu larangan pengajaran agama yang tidak wajib di sekolah-sekolah lanjutan negeri, hal ini terjadi pada Mei 1943. Menurut Harry J. Benda seperti dikutip oleh Nafillah Abdullah, semua guru-guru Islam diorganisisr dalam suatu Badan Pusat “Pergaboengan Goeroe Islam Indonesia”.

Pada bulan Juli 1943, pemerintah militer mengeluarkan dekrit yang berisi semua pendidikan harus diatur oleh pemerintah. Dengan adanya peraturan tersebut, maka pemerintah Jepang mengatur kurikulum untuk semua sekolah. Bahasa Jepang menjadi pelajaran pokok, para ulama dipaksa melakukan bersaikerei, yaitu membungkukkan badan ke arah matahari terbit setiap pagi.

Para pengurus Jamiat Kheir melihat kondisi seperti ini segera mengambil sikap, yaitu setelah para guru-guru dikumpulkan, mereka sepakat untuk

92Ibid, h. 59.

59

menghentikan kegiatan Yayasan Jamiat Kheir untuk sementara waktu sampai situasi tenang. Hal ini masih terjadi pada tahun 1943.

Dengan demikian, jelaslah bahwa perkembangan Jamiat Kheir pada masa pemerintah Jepang tidak banyak mengalami kemajuan. Hal ini juga mempersulit proses modernisasi sekolah agama termasuk Jamiat Kheir. Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir secara terus menerus selalu mendapat peraturan, dibuka kemudian ditutup, begitu seterusnya. Keadaan seperti itu tidak hanya berlaku bagi Jamiat Kheir, sekolah-sekolah yang lain pun mengalami hal yang serupa, sehingga sulitlah bagi kaum modernis untuk menyelamatkan sekolah-sekolah agama dari gelombang serangan Japanisasi, dan tamatlah riwayat-riwayat sekolah-sekolah swasta. Jadi, demikian jelas bahwa pada masa Pemerintah Jepang, Jamiat Kheir tidak ingin mengikuti kebijakan untuk upacara hormat ke matahari terbit, karena jelas itu merupakan akidah bagi orang Jepang dan menurut Jamiat Kheir, sebagai orang Islam tidak boleh untuk mengikuti aturan tersebut.93

3. MASA PEMERINTAHAN ORDE LAMA a. Kebijakan pendidikan pemerintah masa Orde Lama tahun 1945- 1965

Sejak awal kemerdekaan pemerintah membentuk kementrian Pendidikan, Pengajaran dan kebudayaan (KPP dan K). Khusus untuk mengelola pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah umum, maka bulan Desember 1946, dikeluarkan surat keputusan bersama (SKB) antara menteri PP dan K dan Menteri Agama, yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta, yang berada dibawah asuhan Kementrian PP dan K.

Sejak itulah terjadi dualisme pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Satu pihak, Departemen Agama mengelola semua jenis pendidikan agama baik di sekolah-sekolah agama, maupun di sekolah- sekolah umum, dan di pihak Departemen P dan K mengelola pendidikan pada

93 Ibid, h. 59-61.

60

umumnya dan mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan system pendidikan nasional.

Peraturan bersama dua Menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan & Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia belum mantap sehingga SKB Dua Menteri belum berjalan dengan semestinya.94

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah seelah kemerdekaan, yakni Undang-Undang No. 4 Tahun 1950, belum secara spesifik memberikan ketentuan khusus dalam hal pengaturan terhadap lembaga pendidikan Islam. Meskipun demikian Undang-Undang ini telah memberikan pengakuan terhadap kedudukan sekolah agama (madrasah), yakni seperti tercantum dalam pasal 10 ayat 2 undang-undang tersebut, bahwa “belajar di sekolah agama yang telah mendapatkan pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.”

Sebelum ditetapkannya undang-undang tersebut, Menteri Agama telah mengeluarkan ketentuan yang memberikan pengakuan terhadap madrasah sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam, yakni Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 yang ditetapkan pada tanggal 19 Desember 1946 tentang pemberian bantuan dan subsidi terhadap madrasah.95

Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No.7 Tahun 1952 yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Peraturan ini membagi jenjang madrasah menjadi tiga tingkatan, yaitu Madrasah Rendah yang kemudian menjadi Madrasah Ibdtidaiyah dengan masa belajar 6 tahun; Madrasah Tingkat Lanjutan Pertama yang kemudian menjadi Madrasah Tsanawiyah dengan maa belajar selama 3 tahun dan diikuti oleh lulusan madrasah rendah; dan Madrasah Lanjutan Atas yang kemudian menjadi Madrasah Aliyah dengan lama belajar 3 tahun dan diikuti oleh lulusan Madrasah

94 Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), cet. Ke-10, h. 153- 154 95Nurhayati Djamas, dinamika kebijakan pendidikan islam di Indonesia, h. 179

61

Tsanawiyah. Penjenjangan madrasah merupakan langkah pengaturan system dan kelembagaan pendidikan Islam yang sebelumnya longgar ke dalam bentuk system klasikal.96

Pada tahun 1950 di mana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P&K. hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951. Isinya ialah: a. Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar). b. Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya di daerah Sumatra, Kalimantan, dan lain-lain), maka pendidikan agama diberikan mulai dari kelas I SR dengan catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV. c. Di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas (Umum dan Kejuruan) diberikan Pendidikan Agama sebanyak 2 jam seminggu. d. Pendidikan Agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua atau wali muridnya. e. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.

Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “melaksanakan Manipol Usdek (Manifesto Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia) dibidang mental/agama/kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan

96 Zuhairini, dkk, Op.Cit., h. 180

62

Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing” (Bab II pasal II: I). dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa : “pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah rendah (dasar) sampai universitas”, dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid/ murid dewasa menyatakan keberatannya.”

Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi, suasana pada waktu itu ialah membersihkan sisa-sisa mental G.30 S/PKI.Dalam keputusannya di bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuan yaitu dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu.Dengan demikian maka sejak tahun 1966 pendidikan agama telah menjadi hak wajib mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi umum negeri di seluruh Indonesia.97

b. Respon Jamiat Kheir Terhadap Kebijakan Pemerintah Orde Lama

Menyerahnya Jepang pada tanggal 14 Agustus1945 kepada sekutu, berarti ia harus datang menyerahkan kekuasaannya kepada sekutu, dan sekaligus berarti Jepang memberikan konsesi politik kemerdekaan kepada Indonesia.

Tiga hari setelah Jepang menyerah, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 proklamasi kemerdekaan dikumandangkan di Gedung Pegangsaan Timur. Dengan dipertahankannya proklamasi kemerdekaan, berarti bangsa Indonesia telah lepas dari segala rongrongan penjajah di bumi Nusantara ini.

Sekolah-sekolah yang pada masa pendudukan Jepang telah ditutup kini mulai dibuka kembali.Demikian pula dengan Yayasan pendidikan Jamiat Kheir.Dalam hal ini pengurus Yayasan segera memanggil kembali guru-guru dan murid-muridnya yang telah lama sudah tidak mengajar dan mengikuti pelajaran.

Menurut keterangan yang penulis dapatkan dari Ustadz Syaugi Al-Gadri, bahwa Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir terpaksa harus merangkak dari bawah, karena banyak diantara murid-murid tersebut terutama mereka yang datang dari jauh tidak mendaftarkan diri kembali. Namun begitu, pada awal dibuka kembali

97 Ibid, h. 154-155.

63

sekolah, banyak murid-murid baru yang mendaftarkan dirinya, terutama dari Jakarta. Dan respon yang dikeluarkan Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir mengenai kebijakan pemerintah Orde Lama terhadap pendidikan Islam tidak berpengaruh sama sekali, karena peraturan tersebut dikeluarkan untuk sekolah yang berada di bawah pemerintah langsung atau sekolah Negeri, sementara Jamiat Kheir merupakan sekolah swasta Islam yang memang sebagian besar muatan materi yang diajarkan kepada anak didik sebagian besar berupa ilmu agama, seperti Bahasa Arab, Hadits, Al-Qur‟an dan lain-lain. Jadi, bisa kita simpulkan bahwa pembaharuan yang dilakukan Jamiat Kheir pada masa Orde Lama tidak terlalu signinfikan terasa karena fokus terhadap pembukaan kembali sekolah setelah vakum.98

4. JAMIAT KHEIR MENGHADAPI KEBIJAKAN PENDIDIKAN PADA MASA SEKARANG

Peraturan pemerintah sekarang masih berhubungan dengan undang-undang yang dibuat pemerintah pada tahun 1976, yaitu usaha untuk menyamakan mutu pendidikan umum dan madrasah, yaitu dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri, antara Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam Surat Keputusan Bersama tersebut, dinyatakan bahwa ijazah Madrasah disamakan dengan ijazah sekolah umum yang sederajat. Kemudian diikuti oleh Surat Keputusan Bersama dua Menteri, yaitu antara Menteri Agama (No. 045/1984) dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (No.0299/U/1984), tentang perembukan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Dalam Surat Keputusan Bersama tersebut dinyatakan bahwa lulusan Madrasah dapat dan boleh melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi.

Mengenai kondisi Jamiat Kheir sekarang, melalui wawancara langsung dengan Ustadz. Syaugi Al-Gadri, beliau sebagai Ketua Harian di Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir sekarang menyatakn bahwa Jamiat Kheir sekarang

98Hasil wawancara dengan Habib Syaugi Al-Gadri, Jamiat Kheir.

64

mengikuti kurikulum Departemen Agama dan mengenai muatan materinya dapat dikatakan hampir 100% berisi muatan materi Agama Islam. Hal itu terlihat dari muatan materi pendidikan yang diberikan, yaitu:

a. Bahasa Arab n. Faraidh b. Qur‟an Hadits o. Tahfidzul Qur‟an c. Nahwu Shorof p. Imla d. Balaghah q. Insya e. Ilmu Falaq r. Khat f. Tafsir dan ilmu tafsir s. Matematika g. Hadits dan ilmu hadits t. Olahraga h. Qiraatul Kutub u. Kimia i. Bahasa Inggris v. IPA/Biologi j. Bahasa Indonesia w. Sosiologi k. Aqidah Akhlak x. Fisika l. Fiqih dan Ushul fiqih y. PKN m. Sejarah Kebudayaan Islam z. TIK

Sarana dan prasarana yang terdapat di Jamiat Kheir sekarang yaitu gedung milik sendiri, Perpustakaan, Ruang Aula, Laboratorium Komputer, Laboratorium bahasa, Laboratorium fisika, biologi dan kimia, Lapangan volley dan lapangan basket, kantin serta koperasi.99

Program ekstrakurikuler yang diselengarakan di Jamiat Kheir antara lain, yaitu:

- Kesenian marawis - Kaligrafi - Muhadharah 3 bahasa (Arab, Inggris, Indonesia) - Drumband - Pramuka - Pencak silat - Bola basket

99Dokumen Resmi dari Yayasan Jamiat Kheir.

65

- Volley - Qasidah - Dan lain-lain

Buku Kitab/Pegangan yang digunakan di Jamiat Kheir, yaitu:

a. Najhul Lughoh100 b. Tashrif c. Al-Aqoid Diniyyah d. Durusul Fiqhiyah e. Al-Muntakhobat al-Mahfudhot f. Al-Qiroah Rosyidah g. Al-Akhlak lil banin wal Banat h. Silsilah at-Ta‟lim at-Ta‟bir i. Silsilah at-Ta‟lim an-Nahwu j. Silsilah at-Ta‟lim ash-Sharf k. Ta‟lim Muta‟lim l. Al-Hushun al-Mutaalim m. Qira‟ah Tajridiyah n. An-Nahwul Wadhih o. Al-Qiroah Jadidah

Kebijakan pemerintah mengenai Ujian Nasional, Jamiat Kheir mengikuti juga proses Ujian Nasional tersebut dan menurut Ketua Harian tersebut, dinyatakan bahwa Jamiat Kheir selalu meluluskan 100% siswanya.

Dalam proses pembelajaran Jamiat Kheir dari awal berdiri sampai sekarang tetap memisahkan kelas, bahkan gedung dan wilayah untuk siswa laki-laki dan perempuan terpisah. Hal itu tetap dipegang secara kuat, sama seperti kitab-kitab yang digunakan, dari awal berdiri sampai sekarang masih menggunakan kitab yang sama.

100Dokumen Resmi dari Yayasan Jamiat Kheir.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pembaharuan yang dilakukan oleh Jamiat Kheir merupakan semangat untuk melakukan perbaikan dan mengisi kekosongan yang dialami oleh kaum muslimin, terutama dalam hal pendidikan pada masa pemerintah Belanda dengan berperan sebagai pelopor pembaharuan lembaga pendidikan.Pada masa pemerintah Belanda dengan undang-undang yang diskriminatif, Jamiat Kheir bisa mengatasi keadaan dan mendapat izin, meski lingkup gerak dibatasi oleh pemerintah Belanda. Di tengah kondisi seperti itu, Jamiat Kheir menjadi contoh untuk pergerakan yang lainnya dalam hal mengelola pendidikan yang modern, di samping memang Jamiat Kheir adalah wadah awal juga bagi tokoh-tokoh pelopor pergerakan lain setelah Jamiat Kheir.

Pada masa selanjutnya yaitu pada masa pemerintahan Jepang, dari tahun 1942-1945, Jamiat Kheir mengalami stagnanisasi dan pembekuan kegiatan, hal itu dikarenakan pemerintah Jepang memang sangat berhati-hati terhadap masyarakat Arab yang dianggap bukan warga Negara Indonesia asli, juga dikarenakan pengurus-pengurus Jamiat Kheir ikut berperan dalam meraih kemerdekaan.

66

67

Selanjutnya pada masa mengisi kemerdekaan, Jamiat Kheir membuka kembali dari awal dengan mengubah pergerakan, yang semula berbentuk gerakan organisasi kemasyarakatan menggantinya dnegan Yayasan Pendidikan Islam. Pada masa ini, Jamiat Kheir lebih bersikap mengikuti peraturan yang sudah menjadi kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan dan Jamiat Kheir sekarang kondisinya tidaklah sama seperti awal yang mempunyai semangat melakukan pembaharuan lembaga pendidikan, Padahal pendidikan di Indonesia belumlah menemukan model pendidikan yang ideal.

Menilik pembaharuan yang dilakukan Jamiat Kheir, semua sejarawan, baik sejarawan Indonesia maupun sejarawan luar atau kaum Orientalis, sepakat bahwa Jamiat Kheir merupakan pelopor dalam pembaharuan lembaga pendidikan.Hal itu terlihat dalam berbagai argumentasi dan fakta yang menggambarkan keberadaan sekolah-sekolah pada tahun awal berdirinya sekolah Jamiat Kheir masih dalam suasana pembelajaran yang tradisional.Sekolah yang ada pada masa itu, belum menggunakan sistem kelas, masih menggunakan aula besar sebagai ruang belajar bersama, masih menggunakan metode wetonan, sorogan atau hafalan dan yang terpenting adalah belum ada sistem kurikulum yang teratur dan adminstrasi yang rapi.

B. IMPLIKASI Penelitian ini diharapkan mampu memberikan referensi yang memadai mengenai sejarah perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara pada awal abad ke-20, dan khususnya mengenai perkembangan lembaga pendidikan Islam Jamiat Kheir yang masih sangat minim data-datanya. Saya sebagai peneliti berharap bias memberikan implikasi yang bagus untuk mengisi kekosongan data mengenai sejarah perekembangan Pendidikan Islam pada awal abad ke-20 dan juga bagi poenulis pribadi bisa melecutkan semangat untuk terus meneliti mengenai Pendidikan Islam yang masih sedikit terutama mengenai sejarah pendidikannya. C. SARAN

Hal yang sangat penting untuk disampaikan adalah proses pembaharuan dan ekssistensi Yayasan Jamiat Kheir, yaitu:

68

1. Membuat inovasi baru untuk pengembangan pendidikan Islam supaya lebih unggul lagi dibandingkan dengan lembaga pendidikan Islam yang sekarang banyak menjamur dengan kekhasannya masing-masing. 2. Melakukan pembaharuan kembali seperti awal mula berdirinya Jamiat Kheir, memberikan lebih luas kontribusi keislaman dengan semaksimal mungkin melalui berbagai media yang semakin memudahkan pergerakan pembaharuan. 3. Menciptakan dan meluluskan siswa/siswi yang mempunyai akhlak dan basic keagamaan yang kuat dan teguh memegang agama Islam, karena hal itu akan menjadi pegangan kelak ketika siswa menginjak proses belajar di tingkat selanjutnya. 4. Sistem pendidikan sekarang, yang masih menggunakan dualism pendidikan, diharapkan tidak berimbas pada lembaga pendidikan Jamiat Kheir. Jadi, penulis berharap agar Jamiat Kheir memegang teguh dengan visi dan misi yang telah dibuat. 5. Memberikan contoh untuk lembaga pendidikan lainnya mengenai integrasi keilmuan, antara keilmuan Islam dan keilmuan umum, meski sebenarnya ilmu itu tidak terpisahkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung.Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Ali, Mohmmad Daud dan Daud, Habibah.Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1995.

Ali, Sayyid Abu Bakar bin.Rihlatul AsfarOtobiografi.tt.p.: t.p, 2000

Assegaf, Abdur Rahman. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suka Press, 2007.

Baghdadi,Abdurrahman al-. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Surabaya: al-Izzah, 1996.

Boland, BJ. Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafiti Press, 1985.

Daulay, Haidar Putra.Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia.Jakarta: Prenada Media Group, 2007.

Departemen Pendidikan Nasional.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Fadjar, A. Malik.Madrasah dan Tantangan Modernitas.Bandung : Mizan, 1998.

Gottschalk, Louis.Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press, 2008.

Hamalik, Oemar. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan System.Jakarta:Bumi Aksara, 2005.

Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995.

Kurniawan, Syamsul dan Mahrus,Erwin.Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

69

70

Maksum.Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya.Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Mansur dan Junaedi, Mahfud.Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.Jakarta: Departemen Agama RI, 2005.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja RosdaKarya, 2010.

Nasution, Harun dkk.Ensiklopedi Islam Indonesia.Jakarta: Ikapi, 1992.

------. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah dan Gerakan.Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975.

Noer, Deliar.Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1991.

Nurdin, “Pembaruan Pemikiran Islam.tt.p.: t.p., 2006.

Ramayulis dan Nizar, Syamsul.Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam.Jakarta: Quantum Teaching, 2005.

Ramayulis.Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2008.

Safwan, Mardanas dan Kutoyo, Sutrisno.K.H. Ahmad Dahlan.,Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1999.

Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurun Moder.Jakarta : LP3ES, 1986.

------Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Sudirman Tebba, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 tahun Harun Nasution,(Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989)

Suminto, Aqib.Politik Islam Hindia Belanda.Jakarta : LP3ES, 1984.

71

Suryanegara,Ahmad Mansur.Api Sejarah.Bandung: Salamandani Pustaka Semesta, 2010.

Suwito. Et al. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.

Wibisono, Fattah.Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam.Jakarta: Rabbani Press, 2009.

Zuhairini, dkk.Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Jurnal Ilmiah Religi, Vol. VII, No.1, Januari 2008, Nafilah Abdullah, Gerakan Jamiat Kheir 1900-1942. http://benmashoor.wordpress.com/2008/08/08/perkumpulan-jamiat-kheir-1901- %E2%80%93-1919/

KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen : FITK-FR-AKD-098 UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010 FORM (FR) FITK No. Revisi: : 01 Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1 HASIL WAWANCARA

Wawancara dengan Pengurus Harian JAMIAT KHEIR, Bapak, H. Ahmad Syaugi Algadri, pada hari rabu, 20 Maret 2013.

Pertanyaan : Bagaimana peran awal Jamiat Kheir bagi pendidikan Islam di Nusantara?

Jawab : Jamiat Kheir awal mula berdirinya adalah sebagai organisasi massa, yang memiliki anggota dan setiap anggota-anggotanya memiliki kartu anggota dan tercatat di kepengurusan. Jamiat kheir sebagai organisasi massa, maka memiliki program-program social kemasyarakatan, misalnya membantu fakir miskin, kaum dhuafa dan lain-lain. Di samping itu, Jamiat Kheir juga memiliki program untuk pendidikan Islam, dengan mendirikan sekolah Jamiat Kheir. Kita juga sudah mengetahui bahwa jamiat kheir adalah pelopor pendidikan modern pertama di Indonesia, yang kala itu belum ada lembaga pendidikan yang modern, umumnya lembaga pendidkan pada masa itu berbentuk surau, pondok dengan system pendidikan yang belum tersusun secara sistematis dan teratur. Jamiat kheirlah pelopornya dengan sekolah yang memakai kurikulum yang teratur, penggunaan bangku dan meja, papan tulis, belajar di kelas, serta mendatangkan guru dari luar negeri. Di situlah peran Jamiat Kheir dalam pendidikan awal di nusantara.

Pertanyaan : awal berdiri Jamiat Kheir bertepatan pada masa penjajahan pemerintah Kolonial Belanda, peran apa yang telah dilakukan Jamiat Kheir untuk tetap memberikan pendidikan Islam kepada kaum muslim yang pada saat itu sangat minim mendapat pengajaran Islam?

KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen : FITK-FR-AKD-098 UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010 FORM (FR) FITK No. Revisi: : 01 Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1 HASIL WAWANCARA

Jawab : jamiat kheir setelah mendapatkan surat legalisasi dari pemerintah Belanda pada masa itu, melakukan upaya pendidikan Islam dengan memberikan pengajaran yang memang muatan penuhnya mengenai Islam, seperti pengajaran bahasa Arab, dan ilmu-ilmu umum pun tidak ketinggalan untuk diberikan tapi dengan bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Arab. Sebagai tambahannya dengan memberikan pengajaran bahasa Inggris dan Jamiat Kheir tidak memberikan pengajaran Bahasa Belanda karena Jamiat Kheir anti-penjajahan. Pada masa itu pula Jamiat Kheir membuka hubungan korespondensi yang memang sebelumnya sudah ada, dengan dunia Islam internasional melalui instansi-instansi resmi seperti dengan Negara Mesir, Aljazair, Irak dan Negara-negara yang lainnya. Belanda memang menganaktirikan pengajaran Islam tapi, Jamiat Kheir yang memang sudah khas tidak terpengaruh dengan kebijakan Pendidikan pada masa Belanda karena kebijakan tersebut berlaku untuk lembaga pendidikan umum.

Pertanyaan : bagaimana peran Jamiat Kheir pada masa pemerintahan Jepang?

Jawab : pada masa pemerintahan Jepang jamiat Kheir vakum untuk sementara waktu karena pada masa itu guru-guru Jamiat Kheir ikut berperang untuk melawan penjajah Jepang, dan dulu sekolahnya masih di Pekojan belum pindah ke kebon Kacang di Tanah Abang yang seperti sekarang ini.

Pertanyaan : setelah kemerdekaan Indonesia, mulai banyak bermunculan lembaga pendidikan dan pemerintah Orde Lama pun memberikan kebijakan

KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen : FITK-FR-AKD-098 UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010 FORM (FR) FITK No. Revisi: : 01 Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1 HASIL WAWANCARA

mengenai pendidikan Islam begitu diskriminasi dan dualism, bagaimana Jamiat Kheir menghadapi situasi seperti itu? Jawab : setelah kemerdekaan dengan mentri Pendidikannya Daud Yusuf, mengeluarkan kebijakan mengenai lembaga pendidikan Islam yang harus mengikuti kurikulum pemerintah, maka Jamiat Kheir pun ikut ke kurikulum pemerintah supaya lulusannya mendapat ijazah yang sah, dan pada masa itu yang masih bertahan dengan kurikulum sendiri hanya pondok pesantren Gontor dan Darurahmah. Kurikulum tersebut berlaku untuk madrasah, dimana muatannya harus pendidikan Islam 70% dan pendidikan umum 30%. Setelah SKB 3 Mentri, Jamiat Kheir terus berjalan dengan pendidikan dan pengajarannya sampai sekarang, bahkan sekarang Jamiat Kheir sudah 100% pendidikan Islam karena kurikulumnya sudah KTSP. Dan perlu diketahui bahwa banyak lembaga pendidikan yang namanya sama Jamiat Kheir, tapi sebenarnya lembaga pendidikan tersebut tidak memiliki hubungan organisasi atau kepengurusan dengan Jamiat Kheir di Tanah Abang. Pada waktu saya pergi ke daerah Kalimantan Barat, ada yayasan yang bernama Jamiat Kheir, pas ditanya memang yang mempunyai yayasan tersebut adalah alumni dari Jamiat Kheir. Pertanyaan : pada tahun 1965 terkenal dengan pemberontakan G 30S/PKI, apakah Jamiat Kheir melibatkan diri dalam pergolakan tersebut? Jawab : iya, pada masa itu Jamiat Kheir sudah bukan sebagai Organisasi Massa Islam lagi, tapi sejak setelah kemerdekaan, Jamiat Kheir berubah menjadi Yayasan Pendidikan, dan tidak ikut dalam ranah politik praktis. Maka, Jamiat Kheir tidak ikut terlibat dalam pergolakan itu, yang terasa hanya suasana yang menegangkan. Pengurusnya tidak ada yang tertangkap sama sekali.

SUSUNAN PENGURUS AWAL JAMIAT KHEIR

ABDULLAH BIN HUSEIN ALAYDRUS

Berkedudukan sebagai Bendahara SAYID MUHAMMAD ABDURRAHMAN BIN SYAHAB

Berkedudukan sebagai Sekretaris

SAYID IDRUS BIN AHMAD BIN SYAHAB

Berkedudukan sebagai Anggota

ABUBAKAR BIN ABDULLAH ALATAS

Berkedudukan Sebagai Anggota SAYID ABU BAKAR BIN ALI BIN SYAHAB

Berkedudukan sebagai Ketua SAYID ABUBAKAR BIN MUHAMMAD ALHABSYI Berkedudukan sebagai Anggota

SAYID ALI BIN ABDURRAHMAN ALHABSYI

Berkedudukan sebagai Anggota