Kontribusi Komunitas Arab Di Jakarta Abad 19 Dan Awal Abad 20
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
KONTRIBUSI KOMUNITAS ARAB DI JAKARTA ABAD 19 DAN AWAL ABAD 20 MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di Jakarta 09 Juni 2012) Oleh Budi Sulistiono Di Indonesia orang Arab dikaitkan dengan penyebaran Islam, seperti yang dikatakan Hamka (1961) bahwa orang Arab adalah pelopor Islam, mereka telah datang ke negeri- negeri Melayu pada abad ke VII M, atau tahun pertama Islam. Dengan demikian, sejarah masuknya Islam ke Indonesia terutama sejarah perkembangannya tidak terlepas dari sejarah masuknya perantau Arab di Indonesia. Data ini sekaligus memperkuat dugaan bahwa Islam masuk ke Indonesia ini bukanlah diorganisir oleh suatu Negara atau badan yang resmi dari suatu Negara. Masuknya Islam secara sukarela dibawa oleh padagang-pedagang yang mula-mula datang membeli rempah-rempah yang diperlukan dan akan dijual.1 Penghidupan mereka sebagai pedagang yang membawa barang-barang dari Arab dan pulangnya membawa rempah-rempah. Orang-orang Arab yang bermukim di Nusantara sebagian besar berasal dari Hadramaut, dan sebagian lagi ada yang berasal dari Maskat, tepian Teluk Persia, Yaman, Hijaz, Mesir atau dari pantai Timur Afrika.2 Mereka menjadi pedagang perantara, pedagang kecil, pemilik toko, menembus pasar dan menyediakan barang dan jasa yang tidak dilakukan pendatang dari Eropah, juga melakukan kegiatan meminjamkan uang.3 1 Noerman, Moehammad, 1971, Sejarah Kebudayaan, Bukittinggi : Pustaka Saadiyah 2 Hussen Abdullah Badjerei. Al-Irsyad,( Jakarta : PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, 1987) 3 Affandi Bisri, 1999, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943) Pembaharuan & Pemurnian Islam di Indonesia, Jakarta :alKautsar Para perantau Arab mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad ke-18, tetapi mereka mulai banyak menetap di pulau Jawa setelah tahun 1820.4 Menurut statistik tahun 1858 tercatat jumlah penduduk keturunan Arab yang menetap di Indonesia sebanyak 1.662 atau sekitar 30% dari jumlah masyarakat Arab yang merantau pada tahun itu. Para perantau Arab sudah bermukim di kota-kota Maritim Indonesia sejak tahun-tahun permulaan abad 19. Umumnya mereka adalah para pedagang. Biasanya para pedagang Muslim menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menjual barang dagangannya sampai habis agar bisa membeli barang dagangan setempat dan membawanya kembali ke negerinya masing-masing. Selain itu juga pelayaran yang mereka lakukan untuk kembali ke negeri asal tergantung pada musim. Jarak antara Indonesia dan Jazirah Arab memakan waktu yang lama dan amat ditentukan oleh cuaca. Mereka merantau ke Indonesia tanpa membawa istri-istrinya dan seluruhnya terdiri dari laki-laki, tua-muda dan anak-anak. Biasanya mereka menetap berkelompok di perkampungan di dekat pelabuhan kota. Kemudian hubungan antar kelompok pedagang muslim dengan masyarakat pribumi terwujudlah secara bertahap. Kondisi yang sedemikian menyebabkan pedagang Arab tersebut mengadakan jalinan kekeluargaan melalui pernikahan dengan penduduk pribumi, beranak-pinak dan tidak kembali lagi ke negeri asal mereka.5 Bilamana ada yang kembali ke negerinya, mereka hanya sekedar menjenguk keluarga mereka. Data ini menunjukkan hubungan sosial antara orang- orang Arab dengan penduduk setempat nampak sekali dalam hubungan perkawinan penduduk pribumi terutama golongan bangsawan dan pedagang besar akan sangat bangga bila dapat mengambil menantu atau ipar dari kalangan Arab terutama dari 4 L.W.C. van den Berg. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. (Jakarta : INIS, 1986) 5 Hussein Abdullah Badjerei. Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, (Jakarta : Presto Prima Utama, 1996) kalangan Sayid.6 Dari hubungan perkawinan ini banyak di antara orang-orang Arab yang kemudian diangkat menjadi penguasa daerah seperti Pontianak, Demak, Cirebon dan Mataram. Realitas ini membuktikan bahwa mereka tidak hanya berperan sebagai pedagang, tapi mayoritasnya justru melakukan aktifitas sebagai ulama dan juru dakwah. Aktifitas sebagai ulama dan juru dakwah dapat diambil contoh dari strategi yang pernah dilakukan oleh Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus terlebih dahulu membangun masjid, dan kini lebih dikenal dengan nama masjid Luar Batang. Masjid Luar Batang yang awalnya berupa bangunan mushalla, didirikan sekitar abad ke XVIII di Kota Tua Jakarta, tepatnya daerah Pasar Ikan hingga sekarang di Kelurahan Pejaringan, Jakarta-Utara. Persisnya di Jl. Luar Batang V No. 1, Rt. 004/Rw. 003, Jakarta 14440. Langkah mendirikan bangunan Masjid memang memiliki peran yang strategis, antara lain tempat kaum Muslimin: beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, beri’tikaf, membersihkan diri, menggembleng batin untuk membina kesadaran dan mendapatkan pengalaman keagamaan sehingga selalu terpelihara keseimbangan jiwa dan raga serta keutuhan kepribadian, tempat bermusyawarah kaum Muslimin guna memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat, tempat berkonsultasi, mengajukan kesulitan-kesulitan, meminta bantuan dan pertolongan, tempat membina keutuhan ikatan jama’ah dan kegotong royongan di dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, tempat pembinaan dan pengembangan kader- kader pimpinan umat, tempat pengaturan dan kegiatan social. Jalur akulturasi lainnya ialah melaui ritual-ritual keagamaan yang diadakan di lingkungan masyarakat Betawi dengan mempertemukan masyarakat pribumi sekitar dengan keturunan Arab. Seperti dalam pelaksanaan shalat Jum’at dimana pada momen ini terjadi pembauran yang cukup intensif oleh kedua masyarakat tersebut. 6 L.W.C. van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab Di Nusantara, (Jakarta : INIS, 1987) Jasa ulama Arab Hadramaut telah memainkan peranan penting dalam proses dan perkembangan Islam di kalangan masyarakat Betawi, ditandai tersebarnya majlis- majlis taklim mereka yang telah diikuti oleh masyarakat pribumi (Betawi). Jasa yang lain dengan adanya orang Arab Hadramaut yang menetap di Batavia telah berasimilasi dan berakulturasi dengan budaya masyarakat setempat sehingga melahirkan kebudayaan Betawi yang bernafaskan Islami seperti kesenian musik gambus, dimana dalam setiap acara perkawinan ditampilkan untuk meriahkan acara tersebut. Di saat sekarang, gambus melahirkan sebuah seni musik yang disebut Marawis karena komponen alat musiknya terdiri dari gendang-gendang kecil (Marwas) yang dipakai dalam seni musik gambus. Seni rebana, dan tari Zapin tidak ketinggalan hadir di tengah masyarakat Betawi. Budaya Hadramaut lainnya yang biasa digunakan khususnya pada acara ritual keagamaan yaitu pemakaian gamis (qamis) berupa jubah panjang berwarna putih dengan (iqal) igal yang juga berwarna putih diikatkan di kepala. Penggunaan bahasa pasaran (suqiyah) Arab dan terlepas dari gramatika bahasa Arab. Terkadang bahasa Indonesia dalam percakapannya disisipi bahasa Arab, seperti “Ente (kamu) mau dibikinin gahwah (qohwah) kopi”, kemudian kata “harim” untuk ditujukan kepada wanita baik yang sudah menjadi istri atau belum, kata “syahi” yang berarti teh menjadi bahasa percakapan keseharian mereka dan dipadu dengan bahasa Indonesia. Realitas tersebut sebagai wujud interaksi yang terjadi antara komunitas Arab dan masyarakat Betawi sangat cair dan harmonis. Suasana harmonis juga dapat ditunjukkan, antara lain dalam tradisi haul. Haul dalam pembahasan ini diartikan dengan makna setahun. Jadi peringatan haul maksudnya ialah suatu peringatan yang diadakan setahun sekali bertepatan dengan wafatnya seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat, baik tokoh perjuangan atau tokoh agama/ulama kenamaan. Peringatan haul ini diadakan karena adanya tujuan yang penting yaitu mengenang jasa dan hasil perjuangan para tokoh terhadap tanah air, bangsa serta umat dan kemajuan agama Allah, seperti peringatan haul wali songo, para habaib dan ulama besar lainnya, untuk dijadikan suri tauladan oleh generasi penerus. Hingga sekarang, ulama-ulama Arab Hadramaut ini sangat dihormati. Ada kemungkinan para ulama tersebut diterima dengan baik, mempunyai beberapa penyebab mengapa mereka dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Nusantara, khususnya Jakarta. Penyebabnya sebagai berikut: Pertama, karena keilmuan dan pengetahuan mereka tentang Islam yang haqiqi, dan peranan ulama di sini sangat penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam di Jakarta. Kedua, karena masyarakat Betawi menganggap Islam yang murni lantaran mereka berasal dari negeri kelahiran Islam yaitu Timur Tengah (Arab) dan masyarakat banyak mengatakan mereka lebih menguasai ilmu-ilmu agama dan lebih mengenal Islam. Walaupun lama-kelamaan masyarakat sendiri mulai menyadari bahwa tidak semua orang Arab Hadramaut menguasai ilmu agama dan memahami Islam. Bahkan mereka menyadari tidak hanya orang Arab Hadramaut yang hanya mampu menguasai ilmu-ilmu agama dan memahami Islam. Walaupun demikian, orang Arab Hadramaut (yang biasa dikenal dengan sebutan Sayyid atau Habaib) tetap menempati status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Jakarta yang telah menguasai ilmu- ilmu agama. Ketiga, ada anggapan bahwa para habaib mempunyai nasab langsung kepada Nabi Muhammad SAW dari cucunya Husein. Penghormatan masyarakat Betawi terhadap tokoh tidak sebatas acara haul, melainkan di rumah-rumah mereka, banyak foto yang terpasang foto para habaib dan para ulamanya. Pola interaksi inilah yang menjadi warisan berharga untuk para penerusnya Komunitas Arab di Batavia yang cukup lama terdapat di tiga tempat, dari arah Utara ke Selatan, yaitu Pekojan, Krukut, dan Tanah Abang. Dalam bentangan sejarahnya, dinamika komunitas Arab bermukim di sejumlah tempat, misalnya Kwitang, Condet dan sebagainya. Ulama Hadramaut yang mempunyai pengaruh di Batavia, antara lain Habib Husein bin Abi Bakr bin Abdullah