PERJUANGAN PADA MASA PERGERAKAN DAN PASCA KEMERDEKAAN (1934-1950)

Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum)

Oleh: Lathifah Maryam NIM: 21140221000001

MAGISTER SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 1490 H/2018 M

ABSTRAK

Lathifah Maryam. Perjuangan Hamid Algadri pada Masa Pergerakan dan Pasca Kemerdekaan (1934-1950)

Peranakan Arab merupakan masyarakat yang memiliki darah Arab dan Pribumi . Pada masa kolonial Belanda peranakan Arab masuk dalam golongan Timur Asing bersama dengan suku Tionghoa-Indonesia dan India-Indonesia. Menurut Van Den Berg, orang orang Arab di Nusantara tidak memiliki kepedulian terhadap perpolitikan di Nusantara selama kepentingan material dan spiritual mereka tidak menjadi taruhan, orang-orang Arab di Nusantara bersikap netral dan membantu kolonial Belanda. Pada masa pergerakan, ditandai dengan munculnya gagasan mengenai Nasionalisme dan organisasi-organisasi pergerakan untuk mewujudkan kemerdekaan di Indonesia, memberikan kesadaran kebangsaan kepada masyarakat Arab dan peranakan untuk sama-sama berjuang melawan kolonial. Hamid Algadri merupakan peranakan Arab yang turut berjuang melawan kolonial Belanda untuk mewujudkan kemerdekaan di Indonesia.

Penelitian dengan judul “Perjuangan Hamid Algadri pada Masa Pergerakan dan Pasca Kemerdekaan (1934-1950)” bertujuan untuk, pertama, menganalisis landasan pergerakan kebangsaan Hamid Algadri di Indonesia yang mendorongnya untuk bergerak melawan kolonial. Kedua, adalah menjelaskan tentang Perjuangan Hamid Algadri pada masa pergerakan dan pasca kemerdekaan di Indonesia. Hasil penelitian ini adalah, bahwa Hamid Algadri merupakan peranakan Arab yang memberikan inspirasi dan berhasil menumbuhkan kesadaran kebangsaan dikalangan peranakan Arab untuk menolak penjajahan dan menjunjung tinggi nasionalisme Indonesia baik masa pergerakan maupun pasca kemerdekaan.

Kata kunci: Hamid Algadri, perjuangan, pergerakan, pasca kemerdekaan.

i

ABSTRACT

Lathifah Maryam. Hamid Algadri’s Struggles on both Movement and Post Independence Period (1934-1950)

Arabian Half Breed are society with Arab and Indonesian blood. In the Dutch collonial period the Arabian half breed is classified to a foreign eastern group along with the Chinese-Indonesian and India-Indonesian. According to Van den Berg, the Arabs in the archipelago did not have any concern for politicsin in this archipelago as long a their material and spiritual was not a bet. The Arabs in this archipelago were neutral and support dutch colonialsm. On movement period, it is marked by the emergence ideas of nasionalism and movement organizations which intended to realize the independence of the republic of Indonesia, it gave national awareness to the Arabian and other half breed to fight against colonialism. Hamid Algadri is an Arabian half breed who fight against the Dutch colonialism and to realize the independence attendence of the republic of Indonesia.

This research entitled Hamid Algadri’s Struggle on both Movement and post Independence Period (1934-1950), aim are first, it tried to analyze the foundation of national movement of Hamid Algadri in Indonesia which encourages him to move against colonialism. Second, it tried to explains Hamid Algadri’s struggles during both in independence and in post independence period in Indonesia. The result of the study is that Hamid Algadri is an Arabia and half breed who has consistant in thought and action to refuge colonialism and uphold Indonesia’s nationalism both in movement and post independence period. Hamid’s thought and consistency is influenced by ethnically, family and education.

Key word: Hamid Algadri, Struggle, Movement, Post Independence period.

ii

KATA PENGANTAR ِ ِ ِ ﺑ ْﺴِﻢ ﱠاﻪﻠﻟ ﱠاﻟﺮ ْﲪَ ِﻦ ﱠاﻟﺮﺣ ِﻴﻢ

Segala puji bagi Allah swt, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas izin dan berkenaan-Nya, tesis yang berjudul “Perjuangan Hamid Algadri pada Masa Pergerakan dan Pasca Kemerdekaan (1934-1950)” dapat penulis selesaikan . Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw, para keluarga dan sahabatnya, Âmîn. Segala bentuk perjuangan yang penulis hadapi selama ini merupakan bagian dari sebuah proses panjang dalam menyelesaikan studi. Begitu banyak pengorbanan yang telah tercurahkan baik waktu dan tenaga yang semuanya membentuk mental sejauh mana bertahan untuk menyelesaikan studi program magister ini. Namun, Alhamdulillah berkat pertolongan Allah Swt. dan optimisme penulis yang diikuti kerja keras , akhirnya selesai semua proses untuk menyelesaikan tesis ini . Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini. Semoga segala amal yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah Swt, dan menjadi ibadah mulia. Penulis mengakui bahwa penulisan tesis ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, maka sebagai tanda penghargaan yang tulus, penulis menghanturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA

2. Ketua program Magister Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Dr. Halid, M.Ag dan Sekretaris Program Magister Adab dan Humaniora Dr.M.Adib Misbachul Islam, M.Hum

3. Bapak Dr. Abdul , M.Ag sebagai pembimbing, yang banyak memberikan saran-saran dan arahan, bimbingan dan motivasi dalam proses menyelesaikan penelitian ini.

4. Penguji tesis, Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag dan Dr. Saidun Derani, MA. yang telah memberikan arahan terkait perbaikan dalam tesis ini.

iii

5. Para dosen pengajar pada Program Magister Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas keikhlasannya memberikan ilmu dan tauladan bermanfaat selama proses studi.

6. Segenap pegawai perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora. 7. Enin tercinta yang senantiasa memberikan motivasi dan doa yang tak kenal lelah, agar penulis dapat terus berjuang dan menyelesaikan studi ini.

8. Hubby dan Naura, Ameera, Shofwa yang selalu memberikan semangat, perhatian, pengertian, dan doa untuk penulis.

9. Terima kasih kepada teman-teman Magister Adab dan Humaniora angkatan 2014. Demikianlah kiranya, semoga tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya, agar dapat menambah wawasan dan informasi mengenai perjuangan peranakan Arab di Indonesia.

Ciputat, Agustus 2018

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK …………………………………………………………………………..i

ABSTRACT ………………………………………………………………………...ii

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………..iii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..v

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………..…1

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………..1

B. Permasalahan : Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah,

perumusan Masalah ………………………………………….9

C. Tujuan Penelitian …………………………………………...11

D. Manfaat Penelitian ……………………………………….....11

E. Penelitian Terdahulu …………………………...... 12

F. Kerangka Teori…….. .……………………………………...16

G. Metodologi Penelitian ………………………….. …………19

H. Sistematika Penulisan……………………………………….23

BAB II INDONESIA MASA PERGERAKAN DAN PASCA

KEMERDEKAAN

A. Pengertian Pergerakan Nasional ……………………. …….25

B. Sejarah Pergerakan Nasional ……………………… ……...35

C. Indonesia Pasca Kemerdekaan……...………………………46

D. Perjuangan Masyarakat Keturunan Arab di Indonenesia….55

v

BAB III BIOGRAFI HAMID ALGADRI

A. Riwayat Kehidupan………… ……………………………...66

B. Pendidikan …………..…………… ………………………..67

C. Karir ………………………………………………………...72

D. Karya-karya………………. ………………………………..83

BAB IV PERJUANGAN HAMID ALGADRI MASA PERGERAKAN

DAN PASCA KEMERDEKAAN

A. Landasan Pergerakan Kebangsaan Hamid Algadri…………85

B. Perjuangan Hamid Algadri : Masa Pergerakan……………..90

C. Perjuangan Hamid Algadri Pasca Kemerdekaan…………...98

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………110

B. Saran dan Rekomendasi……………………………………112

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….113

vi

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, kolonial Belanda harus berhadapan dengan kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajahnya di kepulauan Nusantara ini adalah beragama Islam yang memiliki sifat nasionalisme dan patriotisme tinggi. Terdapat teori yang menyatakan bahwa Islam dibawa dari semenanjung Arabia, disetujui dalam seminar yang diselenggarakan pada tahun 1969 dan 1978 tentang kedatangan Islam ke Indonesia, dinyatakan bahwa Islam di Indonesia didatangkan langsung dari Arab tidak dari India dan bahwa agama Islam telah berangsur-angsur datang ke Indonesia sejak abad-abad pertama Hijriah atau sekitar abad ke 7 dan 8 M, dan diantara para mubaligh Islam periode pertama itu terdapat orang-orang dari Malabar, Gujarat, dan Persia tetapi asalnya orang arab juga.1 Teori Abdul Malik Karim Amrullah (, w.1981) meyakini bahwa Islam datang ke Nusantara pada abad 7 / 8 Masehi.2 Berdasarkan teori diatas, keberadaan masyarakat Arab di Indonesia sudah berlangsung beratus-ratus tahun, diperkirakan sejak penyebaran agama Islam di wilayah nusantara. Kedatangan orang-orang Arab ke nusantara didorong oleh motif perdagangan dan agama, orang-orang Arab yang datang ke Indonesia mayoritas berasal dari Hadramaut hanya satu atau dua diantara mereka yang berasal dari Maskat di tepian teluk Persia, Hijaz, Mesir, atau dari pantai Timur Afrika.3 Pada mulanya jumlah pendatang Arab tidaklah banyak, namun jumlah tersebut meningkat ketika terjadi migrasi besar besaran dari negeri Hadramaut ke sejumlah wilayah di Afrika dan Asia Timur, seperti India, indocina, Malaya dan Hindia Belanda. Diperkirakan migrasi besar besaran orang Arab Hadrami ke Hindia Belanda terjadi pada awal abad ke 18 dan arus migrasi ini bertambah kuat setelah dibukanya terusan

1 A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (almaarif : 1981), h.38 2 Ahwan Mukarrom, Sejarah Islamisasi Nusantara, (: Penerbit Jauhar, 2009), hlm. 57-58. 3 Suratmin, Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989), h.2 2

Suez oleh Prancis pada tahun 1869.4 Mereka menyebar hampir diseluruh kepulauan di Nusantara. Mereka berdatangan karena Baghdad hancur oleh serbuan bangsa Mongol. 5 Maka timbulnya aneka perlawanan seperti perang Paderi (1821-1827), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1903) dan lain-lainnya tidak terlepas dari kaitan ajaran ajaran agama Islam. Namun upaya perjuangan tersebut selalu menemui jalan terjal. Baru pada awal abad ke 20, sistem perjuangan di Indonesia memasuki babak baru dengan munculnya organisasi-organisasi modern yang memperjuangkan kedaulatan Bangsa. Perlawanan yang dilakukan tidak lagi bersifat lokal dengan mengangkat senjata, tapi bersifat nasional melalui organisasi-organisasi modern. Mereka masuk dalam lini-lini yang strategis, seperti bidang budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Dengan adanya formulasi pergerakan yang baru ini, upaya untuk mencapai kemerdekaan semakin dekat. Sehingga Indonesia berhasil mengusir penjajah dan mewujudkan persatuan dan kesatuan. Inspirasi kebangkitan nasional ini dipengaruhi oleh berbagai peristiwa yang mendahuluinya. Masyarakat yang menderita di bawah kekuasaan kolonial ratusan tahun, perlahan memiliki kesadaran untuk memiliki tanah air dan hidup tidak di bawah cengkeraman penjajah. Oleh karenanya timbul rasa nasionalisme untuk memperjuangkan tanah airnya. Bersamaan dengan itu, muncul pergerakan dan perlawanan umat Islam di Nusantara karena pengaruh gerakan pembaharuan abad ke-19 yaitu Pan Islamisme yang dicanangkan oleh Jamaluddin al-Afghani (w.1897). Sedangkan kebangkitan dalam bidang pendidikan dipengaruhi oleh gagasan tokoh reformis Muhammad Abduh (w.1905) untuk merombak sistem pendidikan semakin maju, khususnya pembekalan ilmu agama. Gagasan tentang nasionalisme universal dikemukakan pertama kali oleh Haji Samanhudi pada Kongres Sarekat Dagang Islam di Surabaya pada 1911 dan

4 DR. M. Dien Majid, Berhaji Masa Kolonial, (Jakarta: Sejahtera, 2008), h. 4 5 Pada mulanya datang ke Nusantara di abad ke-13, orang-orang Arab telah banyak berkontribusi terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, Bangsa Arab berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Penyebaran ajaran Islam sering disebut dengan Islamisasi. M.C. Ricklefs, Islamisation and its opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c.1930 to the Present, (Singapore: NUS Press, 2012), hlm. 4. 3 dipertegas lagi pada kongres di pada 1916. Haji Samanhudi menyatakan dalam kongres Sarekat Dagang Islam di Surabaya tahun 1911 bahwa manusia pada prinsipnya dilahirkan dalam fitrahnya sebagai manusia yang bebas. Apabila dalam hidupnya manusia berada di bawah penindasan manusia lain, maka itu bertentangan dengan nilai dasar universal tersebut. Oleh karena itu, kebebasan yang menjadi ciri kehidupan harus diperjuangkan. Ajakan untuk memperjuangkan kebebasan itu oleh Haji Samanhudi dipertegas kembali pada Kongres Sarekat Islam di Bandung pada 1916 dengan menyatakan bahwa kebebasan bagi umat Islam yang identik dengan penduduk pulau jawa hanya dapat diperoleh dengan mengusir penjajah dari tanah jawa.6 Warga pribumi yang memiliki rasa nasionalis membentuk organisasi Serikat Islam (1909), Boedi Oetomo (1908),7 Indische Partij (1912), Perhimpunan Indonesia (1924), dan Partai Nasional Indonesia (1927). Benih nasionalisme juga tumbuh dari golongan Indo-Eropa, Indische Bond (1899), golongan Indo-China, Partai Tionghoa Indonesia (1932), dan golongan Indo-Arab (1934). Mereka bermunculan karena mengalami pengalaman yang sama dengan pribumi di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Masyarakat Arab dari golongan sayid merespon pembaharuan pendidikan yang dipelopori oleh Muhammad Abduh (w.1905) tersebut.8 Mereka mendirikan

6 Taufik Abdullah.,eds, Indonesia Dalam Arus Sejarah: 5, Pergerakan dan Kebangsaan, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012), h.228 7Terkait menjadikan Budi Utomo (BU) sebagai organisasi yang pertama kali memiliki kesadaran kebangsaan tidak sepenuhnya diterima oleh pengkaji sejarah. Ahmad Syafii Maarif misalnya kurang sependapat terkait hal itu. Ia menilai bahwa Budi Utomo adalah organisasi yang terbatas pada Pulau Jawa, belum mencakup seluruh Indonesia. Organisasi modern pertama kali dalam sejarah Indonesia ialah Sarekat Dagang Islam (SDI). Anggotanya terdiri dari kelas menengah, seperti saudagar, pengusaha, dan lain sebagainya, yang hamper merata di wilayah Nusantara. SDI yang selanjutnya bertransformasi menjadi Sarekat Islam (SI) lahir (dan ini juga masih diperdebatkan) pada 16 Oktober 1905, sementara BU lahir pada 20 Mei 1908. (Lihat: Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 16. 8 Kaum sayid asal Hadramaut mulai menyebar dari negeri asal mereka untuk memulai hidup baru di berbagai kawasan di samudera Hindia. Selain daripada Singapura, India menjadi salah satu tempat migrasi yang cukup populer di masa-masa awal. Di tempat inilah, para Sayid berhasil menjalin tali persaudaraan dengan para aristocrat Muslim sehingga dengan cepat mereka dapat menduduki posisi yang cukup berpengaruh. Ada beberapa faktor yang memfasilitasi kaum sayid Hadramaut untuk bermukim di banyak kawasan di Samudra Hindia dan memudahkan mereka mendaki tangga sosial. Pertama, kemampuan berpergian dimudahkan oleh jaringan perdagangan. Kedua, hubungan intelektual mereka dengan 4 lembaga pendidikan dengan nama Jamiat Kheir. Perkumpulan Jamiat Kheir didirikan di Batavia pada tahun 1901 membawa misi akademis. Jamiat Kheir dibentuk dengan tujuan utama mendirikan satu model sekolah modern untuk para pemuda Arab. Yayasan Jamiat Khair di Batavia menjadi model pendidikan baru bagi keturunan Arab.9 Meskipun mayoritas anak-anaknya adalah keturunan Arab, anak- anak Indonesia non Arab juga terdaftar di sana. Model ini kemudian diikuti dengan munculnya sekolah Al-Irsyad al-Islamiyah10. Al-Irsyad merupakan pecahan dari organisasi Jamiat Khair, yang pada tahun 1913 telah terjadi perpecahan dikalangan Jamiat Khair mengenai hak istimewa golongan . Mereka yang tidak setuju dengan kehormatan berlebihan bagi sayyid dikecam dan dicap sebagai reformis yang kemudian mendirikan organisasi Jami’ah al-Islam wa al-Irsyad al-Arabiyah, yang dikenal dengan Al-Irsyad.11 Kesadaran bangsa Indonesia keturunan Arab muncul pada 4 Oktober 1934 ditandai dengan berdirinya Partai Arab Indonesia (PAI). Timbulnya ide mendirikan PAI ini didasari pada prinsip pengakuan tentang tanah air bagi peranakan Arab. Organisasi Islam nasionalis ini dicetuskan oleh AR. Baswedan (w,1986), beranggotakan pemuda-pemuda peranakan Arab di Nusantara yang memiliki rasa nasionalisme terhadap tanah air Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa para pemuda adalah faktor yang penting bagi munculnya organisasi-organisasi nasionalis. Mereka adalah kaum intelegensia dalam struktur sosial masyarakat yang memiliki semangat membara. Organisasi dijadikan sebagai muara untuk menyalurkan gagasan, konsep dan ideologi nasionalisme.

jaringan ulama yang menjadikan mereka bagian dari komunitas intelektual internasional, sehingga kadar keulamaan mereka mudah dikenali. Dalam hal ini, faktor terpenting adalah keanggotaan mereka dalam madzhab Shafii yang mendominasi pesisir Samudera Hindia. Ketiga, penguasaan terhadap bahasa dan sastra arab menjamin penghormatan para penguasa kepada mereka. Keempat, karakter kosmopolitan dari lokalitas tempat mereka berimigrasi memudahkan mereka berintegrasi dengan masyarakat tanpa harus dicap sebagai golongan asing. Lautan Nusantara, contohnya adalah ranah “pluralism cair” (fluid pluralism). L.W.C van den Berg, Orang Arab di Nusantara, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. xxxii. 9 Jamiat Khair merupakan organisasi yang beranggotakan mayoritas orang-orang Arab, yang didirikan di Batavia pada tanggal 17 Juli 1905., dalam : Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1991), h. 68 10 Al-Irsyad didirikan pada tahun 1913 dan mendapat pengesahan dari Belanda pada tanggal 11 Agustus 1915, Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942., h.73 11 Karel A. Steenbrink, , Madrasah,Sekolah : Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), h.60 5

Mereka turut andil menggerakan semangat masyarakat awam untuk melawan kolonial. Baik pemuda pribumi maupun non pribumi memiliki kesamaan motivasi untuk menyatukan kekuatan melawan musuh. Salah satunya adalah tokoh pemuda peranakan Arab, Hamid Algadri (w.1998). Hamid Algadri terlibat aktif dalam berbagai usaha perjuangan nasional. Dimulai dari PAI, ia bersama dengan para pemuda keturunan Arab di Nusantara berupaya menyatukan pandangan non-pribumi, khususnya Arab untuk ikut serta memperjuangkan hak-haknya dari Kolonial Belanda. Bentuk partisipasinya adalah menumbuhkan nasionalisme dalam lingkungan golongan Arab. Ia menyuarakan gagasannya di dalam PAI dengan menulis berbagai pendapatnya atas persoalan yang dihadapi komunitasnya dalam permasalahan sosial dan politik. Terlahir di Pasuruan, pada tanggal 10 Juli 1912 dari seorang kapten wilayah, Hamid diarahkan keluarganya untuk mengenyam pendidikan tinggi. Dalam usianya yang masih belia, ia dapat berpikir dewasa. Saat ia menjadi mahasiswa Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum), tetapi merasa memiliki visi yang sama dengan PAI, sehingga terdorong untuk menyuarakan pendapatnya terhadap kebijakan- kebijakan pemerintahan Hindia Belanda yang merugikan koloni Arab dan pribumi. Oleh karenanya ia dipilih menjadi anggota pengurus besar Partai Arab Indonesia (PAI) di Jakarta. Hamid Algadri tegas dan konsisten dalam pemikiran dan tindakannya dalam menolak penjajahan serta kukuh menjunjung nasionalisme Indonesia. Pergerakan kebangsaan Hamid Algadri semakin terlihat ketika ia melibatkan diri dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia secara langsung dari tangan penjajah. PAI berperan penting mengantarkan Hamid menjadi seorang tokoh peranakan Arab melalui jalan pergerakan kebangsaan bersama tokoh-tokoh kemerdekaan lainnya. Sejak awal berdirinya, PAI memang telah memiliki orientasi yang bertipikal pejuang dan anti penindasan. Ia didirikan untuk melestarikan, dan mengeksplorasi nasionalisme Indonesia dari keturunan Arab. Dalam salah satu misi PAI ditegaskan bahwa Indonesia adalah tanah air keturunan Arab Indonesia. Oleh 6 karenanya keturunan Arab Indonesia harus memenuhi kewajiban sebagai bangsa Indonesia. Dalam kurun waktu 1934-1937, PAI terus memompa semangat nasionalisme dalam kerja dakwah, sosial serta politik. Dalam konteks politik, misi utama adalah menghapus pemisahan keturunan Arab Indonesia dari warga Indonesia yang diatur dalam Undang-undang Belanda. Dalam konferensi yang digelar di pada 4-5 Oktober 1934 itu para pemuda Indonesia keturunan Arab membuat sumpah: "Tanah Air kami satu, Indonesia. Dan keturunan Arab harus meninggalkan kehidupan yang menyendiri (isolasi)”. Sumpah ini dikenal dengan Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab. Menurut AR Baswedan persatuan adalah modal utama bagi Arab peranakan untuk kemudian bersama-sama kaum pergerakan nasional bersatu melawan penjajah.12 Sikap kritis Hamid terlihat dari tulisan-tulisannya di media yang seringkali memprovokasi kebijakan Belanda. Hamid membaca bahwa sikap dan perlakuan Belanda sangat antipati dan selalu waspada terhadap orang-orang keturunan Arab tercermin di dalam kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif. Hingga pada tahun 1854, Pemerintah Hindia Belanda membentuk kebijakan Regering Regleement yaitu peraturan pemerintah yang membedakan kelompok masyarakat menjadi tiga kelas di Hindia Belanda yaitu kelas paling atas adalah kulit putih ( Eropa, Amerika, Jepang ), kelas kedua adalah Timur Asing ( Arab, India, Cina ), dan kelas ketiga adalah pribumi ( masyarakat asli Indonesia ). Dengan adanya kebijakan atau pembagian strata ini akan memengaruhi tata kehidupan sosial, ekonomi, dan politik terutama bagi Pemerintah Hindia Belanda dan orang Timur Asing (orang Arab).13 Kebijakan pemerintah Hindia Belanda lainnya tertuang dalam Exhorbitante Rechten yakni hak bagi Gubernur Jenderal untuk menentukan tempat tinggal bagi golongan-golongan penduduk Hindia Belanda atau pribadi sendiri. Dari kebijakan itu lahirlah kampung Arab, kampung Pecinan, kampung Melayu, pemukiman Eropa,

12 Hamid Algadri, C.Snouck Hurgronje:Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 85. 13 Hosniyah, Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Komunitas Arab Di Malang 1900-1935, Avatara, e-Journal Pendidikan Sejarah, Volume 4, No. 3, Oktober (2016), hlm. 967. 7 dan kampung Pribumi.14 Kampung Arab tersebut dibuat tidak untuk menguatkan etnis Arab di Nusantara, melainkan politik memisahkan etnis mereka dengan masyarakat pribumi. Karena Pemerintah melihat bahwa orang Arab diduga akan mudah merusak kekuasaannya dengan cara memengaruhi orang-orang pribumi untuk bekerja sama melawan Belanda. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan Belanda tersebut tidak lepas dari seorang tokoh yang bernama Snouck Hurgronje. Selama berada di Hindia Belanda, ia menjabat sebagai penasihat-penasihat masalah pribumi dan Arab bagi pemerintah Hindia Belanda. Ia memiliki peran besar dalam membentuk politik terhadap Arab pada tahun 1889. Hamid mencermati arah kebijakan Belanda untuk memisahkan koloni Arab dengan masyarakat pribumi semakin keras. Dimulai dari “Politik Segregasi” ketika menempatkan semua golongan Arab ke dalam strata Vreemde Oosterlingen (golongan Timur Asing), hingga politik adu domba antar etnis Arab antara kalangan maupun non habib. Oleh karenanya, Hamid di dalam PAI bekerja keras untuk menyatukan peranakan Arab di Nusantara agar hak-hak mereka terlindungi. Belanda khawatir kalau masyarakat Arab dan pribumi bersatu, maka terbentuklah kekuatan yang besar. Masyarakat Arab sangat cepat beradaptasi, meskipun sebenarnya mereka adalah komunitas yang memegang tradisi primordialis yang kuat.15 Mereka melakukan interaksi secara terbuka sehingga mencapai pada kemajuan perekonomian di Jakarta pada paruh kedua abad ke-19. Berawal dari proses tersebut, maka timbulah berbagai dinamika pada masyarakat Arab di Jakarta seperti kerjasama perdagangan, kedekatan emosional keagamaan, pendidikan, solidaritas serta pergerakan sosial dan politik. Dinamika sosial yang terjadi di atas sangat terlihat pada komunitas Hadrami di Jakarta. Masyarakat Arab di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Hadramaut. Karena orang-orang Arab yang datang ke Indonesia mayoritas berasal dari Hadramaut. Hanya “satu dua” dari para pendatang Arab yang datang dari Makah, di tepian teluk

14 Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang sejak Zaman Kolonial sampai Kemerdekaan, (: Ombak, 2009), hlm. 34. 15 Siti Hidayati Amal, “Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab - Jawa di Luar Tembok Keraton Yogyakarta ”, Antropologi Indonesia, vol. 29. No. 2, (2005), hlm. 160. 8

Persia, Mesir, atau dari pantai timur Afrika. Sejumah kecil orang Arab yang datang dari berbagai negeri tersebut jarang ada yang menetap di Nusantara. Jika menetap, mereka segera berbaur dengan orang Arab dari Hadramaut. 16 Keberadaan orang-orang Arab di Nusantara, terutama di Jawa telah berhasil dalam dunia perdagangan serta telah berasimilasi dengan penduduk pribumi terutama kalangan bangsawan Jawa, itulah yang menjadi ancaman bagi Bangsa Belanda. Demi menyelamatkan kepentingan ekonomi, mereka membuat kebijakan khusus untuk etnis Arab di Nusantara. Mereka juga khawatir jika pembauran orang Arab dengan kelompok bangsawan Jawa menjadi kekuatan politik yang kuat. Alasan lainnya Pemerintahan Belanda menekan hak kehidupan etnis Arab karena masalah ideologis, yaitu agama Islam. Belanda menganggap Arab identik dengan agama Islam. Nama Hamid sebagai peranakan Arab mencuat setelah berhasil melakukan propaganda-propaganda melalui koran dan siaran-siaran radio. Ia mendukung penuh pribumi untuk melawan kolonial. Apa yang ia suarakan adalah desakan kepada bangsa Indonesia dalam percepatan kemerdekaan. Atas perannya itu, Hamid selalu dilibatkan dalam komponen birokrasi nasional. Di saat bekerja di Sekretariat Perdana Menteri, Hamid mendapat kesempatan menemani rombongan Perdana Menteri Sjahrir (w.1966) di dalam KLB (Kereta Api Luar Biasa) dari Jakarta ke Yogyakarta pada akhir tahun 1945. Adapun pada tahun 1947 ketika Belanda telah kembali berusaha menguasai kembali Indonesia, Hamid dipercaya pada posisi Sekretaris Menteri Penerangan, membantu menjalankan Radio Republik Indonesia dengan menyuarakan propaganda melawan Belanda. Belanda menganggapnya sebagai seorang teroris besar sehingga dijebloskan dalam penjara. Peran Hamid dibutuhkan pemerintah sehingga didaulat menjadi delegasi Indonesia dalam Perundingan Linggajati dan Renville. Ia juga ditunjuk presiden

16 Ketika Imam Ahmad Al-Muhajir hijrah dari Irak ke daerah Hadramaut di Yaman, keturunan Ali bin Abi Thalib ini membawa serta 70 orang keluarga dan pengikutnya. Sejak saat itu berkembanglah keturunan Ali hingga menjadi kabilah atau suku bangsa yang terbesar di Hadramaut, dan dari kota Hadramaut inilah asal-mula peranakan Arab berada di berbagai negara, salah satunya yaitu Indonesia. Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan; Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014), hlm. 8. 9

Sukarno menjadi penasihat delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949.17 Dari latar belakang di atas peneliti tertarik untuk mengkaji mengenai peran tokoh etnis Arab yang memiliki nasionalisme terhadap bangsa Indonesia. Hamid tidak hanya memperjuangkan persatuan peranakan Arab, tetapi juga membantu kedaulatan Indonesia secara penuh, baik dalam kancah nasional maupun di forum internasional. Peneliti merasa belum banyak menemukan karya tulis ilmiah mengenai peranan etnis Arab bagi bangsa Indonesia.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah a. Pemerintahan Belanda menerapkan kebijakan politik diskriminasi dan pemisahan etnis Arab dengan masyarakat pribumi. Tujuannya adalah agar asimilasi dua etnis tersebut tidak membuat kerjasama dalam melawan Belanda. Kondisi ini mendorong para pemuda pribumi dan Indo-Arab untuk melakukan berbagai pergerakan untuk melawan kolonial Belanda. Pergerakan ini dimulai dari dalam organisasi-organisasi nasionalis. b. Hamid Algadri membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat bersama organisasi yang ia ikuti yaitu PAI (Partai Arab Indonesia). PAI memiliki tujuan membentuk gerakan dalam rangka mempersatukan golongan Arab di Nusantara yang berselisih karena politik adu domba Belanda. c. Ideologi dan pemikiran Hamid Algadri banyak yang dituangkan dalam tulisan-tulisan yang dipublikasikan dalam majalah Al-Insjaf dan Aliran Baroe. Selain menjadi penulis tetap, ia merangkap menjadi redaktur, sehingga mudah untuk memproduksi narasi-narasi guna membangkitkan semangat kebangsaan. d. Hamid memutuskan terjun dalam dunia politik. Ia masuk di dalam jajaran birokrasi pemerintahan Indonesia. Peranannya sangat nyata, karena

17 http://menaracenter.org/2016/08/17/wawancara-eksklusif-hamid-Hamid Algadri-soal-arab- indonesia-ii/ diakses pada 15 maret 2018 pukul 21.00 WIB 10

mendapat mandat menjadi penasihat di berbagai forum perjanjian nasional maupun dalam forum Internasional. 2. Pembatasan Masalah Berdasar pada identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini dibatasi pada pembahasan perjuangan yang dilakukan salah satu tokoh Indo-Arab yang bernama Hamid Algadri. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kontribusi komunitas Indo-Arab di Indonesia. Atas dasar pengalaman ekonomi, sosial politik yang sama, mereka memutuskan untuk berjuang bersama masyarakat pribumi, Secara garis besar, yang dimaksud dengan pergerakan kebangsaan adalah keterlibatan Hamid di dalam upaya-upaya untuk mengkritisi Kebijakan Belanda dan upaya memerdekakan bangsa Indonesia. Hamid memiliki pengaruh besar di dalam dua hal. Pertama, peran Hamid di dalam PAI (Partai Arab Indonesia). Ia ikut menumbuhkan rasa nasionalisme masyarakat etnis Arab di Nusantara yang sebelumnya terpecah dan terisolasi oleh kebijakan Belanda. Kedua, peranan Hamid di dalam berbagai birokrasi pemerintahan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Adapun penentuan rentang waktu dalam tesis ini adalah dari tahun 1934 sampai 1950. Kisaran waktu ini didasarkan pada sejarah awal keterlibatan Hamid dalam pergerakan kebangsaan. Ia memulai kiprahnya di dalam organisasi yang menampung peranakan Indo-Arab yaitu PAI hingga karir politiknya mencapai pada puncak prestasinya yaitu ketika ia diangkat sebagai penasihat pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Dalam kurun waktu tersebut, Hamid memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi keteraturan praktik sosial dan persatuan masyarakat Indo-Arab dan pribumi serta asimilasi keduanya. Karirnya semakin melejit karena memegang peranan penting bagi proses perundingan menuju kemerdekaan bangsa Indonesia. Kontribusinya cemerlang dalam berbagai bidang; pidato, penulisan, diskusi hingga perundingan. 3. Perumusan Masalah 11

Dari pembatasan masalah yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut: a. Apa Landasan Pergerakan Kebangsaan Hamid Algadri di Indonesia? b. Bagaimana perjuangan Hamid Algadri pada masa pergerakan dan pasca kemerdekaan ?

C. Tujuan Penelitian

Penulisan tentang tokoh sejarah khususnya pada tokoh Hamid Algadri adalah dalam rangka untuk melihat kontribusi serta peran yang ia torehkan untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Hamid yang merupakan representasi golongan Indo- Arab tercatat memiliki andil dalam sosial politik pergerakan nasional. Secara individual Hamid adalah orator, penulis dan penasehat. Sedangkan secara kolektif ia bergabung bersama organisasi-organisasi nasional dan memberikan pengaruhnya. Atas dasar itu, pertama, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis landasan pergerakan kebangsaan Hamid di Indonesia. Berbagai latar belakang yang Hamid alami dalam keluarga dan kehidupannya, sehingga mendorongnya untuk bergerak melawan kolonial Kedua, adalah menjelaskan tentang perjuangan Hamid Algadri dalam pergerakan kebangsaan dan pasca kemerdekaan. Hamid berhasil menumbuhkan ideologi nasionalisme golongan Indo-Arab di Indonesia pada 1934, saat ia memutuskan bergabung bersama AR Baswedan dalam PAI. Penelitian ini juga ingin membuktikan, sepanjang karir politiknya, Hamid memberikan pengaruh positif bagi keberlangsungan kemerdekaan Indonesia. Ia menorehkan berbagai peristiwa sejarah yang menghantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaannya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat secara teoritis dan praktis sebagai berikut 1. Secara teoritis, penelitian yang berkaitan dengan kesejarahan tokoh etnis Arab di Nusantara ini dapat memperkaya khazanah historiografi tentang 12

pemikiran, pergerakan serta perjuangannya dalam kehidupan sosial Indonesia pada masa kolonial Belanda pada abad ke-19 dan abad ke -20. Penelitian tentang tokoh kemerdekaan nasional Hamid Algadri yang jarang dikaji ini dapat menambah referensi penulisan sejarah yang baru, khususnya tentang kajian sejarah tokoh-tokoh non-pribumi yang memiliki kontribusi yang besar bagi kemajuan bangsa Indonesia melalui organisasi kemasyarakatan serta mimbar-mimbar perundingan untuk mengkritisi kebijakan Belanda yang merugikan berbagai pihak. 2. Secara praktis, penelitian ini memberikan informasi penting bagi para peneliti dan dosen perguruan tinggi dalam melihat metodologi dan referensi penulisan sejarah. Terutama penulisan sejarah dengan konteks pemikiran seorang tokoh sejarah di masa lalu agar dapat menghasilkan penelitian sejarah yang serupa terhadap tokoh lainnya. Penulisan tentang tokoh sejarah menjadi sangat penting karena dapat memberikan gambaran berkaiatan dengan kehidupan secara antropologis dan sosiologis serta suasana politik yang melingkupinya. Penelitian reflektif historis ini juga dapat memberikan dorongan kepada para peneliti untuk lebih mengeksplorasi tokoh-tokoh Nusantara yang lahir dari asimilasi budaya yang berbeda (Indo-Arab).

E. Penelitian Terdahulu

Sejauh penelusuran peneliti, belum ada tulisan yang spesifik membahas tentang perjuangan Hamid Algadri. Namun terdapat banyak referensi yang berkaitan dengan variabel pokok tesis ini, meliputi biografi Hamid Algadri, kiprah dan sejarah kehidupannya, pergerakan golongan Arab-Indo serta upayanya melawan agresi Belanda. Pertama, Muhammad Ridlo Rachman menulis Pemikiran Hamid Algadri tentang Indo-Arab dan Tanah Air (Studi Kasus dalam Majalah Insjaf dan ALiran Baroe pada Masa Kolonial Belanda 1937-1941).18 Penulis artikel ini bertujuan

18 Muhammad Ridlo Rachman, “Pemikiran Hamid Algadri tentang Indo-Arab dan Tanah Air (Studi Kasus dalam Majalah Insjaf dan ALiran Baroe pada Masa Kolonial Belanda 1937-1941)”, Jurnal Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia (2013). 13 mendeskripsikan pemikiran Hamid Algadri khususnya mengenai tema Indo-Arab dan tanah air. Objeknya terdapat di dalam dua majalah yang terdapat karya Hamid Algadri yaitu majalah Insjaf dan Aliran Baroe pada rentang periode 1937-1941. Di dalam risetnya juga digambarkan mengenai latar belakang kehidupan, lingkungan intelektual, dan gambaran sosial politik yang memengaruhi pemikiran Hamid Algadri. Kontribusi pemikiran pentingnya dituangkan ke dalam majalah ketika ia aktif terlibat di dalam gerakan partainya (Partai Arab Indonesia). Terlebih ketika ia mendapat posisi sebagai redaktur majalah, membuatknya gencar melancarkan provokasi untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan Belanda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemikiran Hamid Algadri terbagi ke dalam dua tema besar yaitu pertama, Indo-Arab. Ia merasa kondisi masyarakat peranakan Arab (Indo-Arab) di Indonesia diadu domba antara pihak sayid dan non sayid. Sehingga Ia meminta etnis Arab untuk bersatu bersama masyarakat umum Indonesia. Kedua, tanah air. Hamid memberikan gagasan bahwa tanah air etnis Arab di Nusantara adalah Indonesia, bersama pribumi, karena tanah kelahiran mereka ada di Indonesia, meskipun nenek moyangnya dari Arab. Tulisan Rachman memberikan kontribusi bagi penulisan tesis ini dalam hal memberikan informasi tentang penelitian studi tokoh. Tokoh yang diangkat adalah Hamid Algadri. Namun pembahasan Rachman berbeda dengan tesis ini. ia menitik beratkan pada kontribusi Hamid dalam perjuangan etnis Arab. Objek yang dikaji adalah teks. Sedangkan peneliti lebih luas dalam mengeksplorasi sepak terjang sejarah Hamid dalam pergerakan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Kedua, Van Den Berg dalam bukunya Orang Arab di Nusantara.19 Buku ini menjelaskan tentang realita bahwa koloni-koloni Arab adalah golongan yang paling menentang terhadap dominasi kolonial Belanda di Tanah Air. Orang Arab Hadramaut meskipun tidak merepresentasikan spiritual bagi Islamisme tetapi mereka memiliki peran dalam mengokohkan Agama Islam di masyarakat pribumi. Berg di

19 L.W.C Van Den Berg, Orang Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, (: Komunitas Bambu, 2010). 14 dalam bukunya menjelaskan tentang pengaruh orang Arab terhadap penduduk pribumi. Komunitas Hadramaut membentuk jalinan kultural hibrida di Nusantara. Mereka bertindak sebagai penasihat bagi penguasa, ulama, serta pedagang. Dengan proses asimilasi dengan pribumi membentuk kekuatan baru untuk melawan penjajah atas dasar kesamaan agama yaitu Islam. Proses asimilasi ini memberikan dampak positif bagi perkembangan budaya dan politik untuk menentang keras segala bentuk penjajahan. Masyarakat pribumi dengan cepat menerima kehadiran mereka karena sama-sama berada pada posisi yang ditekan oleh kekuasaan Belanda. Mereka digolongkan sebagai orang asing yang dikekang hidupnya, tidak diberi kebebasan akses sosial politik dan dituduh sebagai ancaman yang berbahaya bagi kolonial Belanda. Kondisi serupa dialami oleh masyarakat pribumi yang ditempatkan pada golongan terbawah sehingga mereka dijadikan budak di negeri sendiri. Buku ini secara lengkap menceritakan tentang asal usul orang Arab yang menetap di Nusantara hingga mereka berasimilasi dan membetuk kekuatan bersama pribumi unuk melawan kebijakan-kebijakan Belanda yang merugikan mereka. antara orang Arab dan pribumi saling mendukung dalam pergerakan kebangsaan melawan penjajah. Bagi penelitian tesis ini, buku Berg berkontribusi memberikan data sejarah tentang asal mula orang Arab datang ke Nusantara dengan berbagai misinya kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat. Kekuatan yang terbangun antara keduanya membentuk pergerakan untuk melawan kekuasaan Belanda. Buku ini menegaskan bahwa orang Arab ikut bergabung dengan warga pribumi dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda. Ketiga, Disertasi karya Husein Haikal dengan judul Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (1900-1942).20 Karya yang ditulis pada tahun 1986 di Univesitas Indonesia menyajikan beberapa bagian yang dianggap penting dari peran Indo-Arab bagi kemerdekaan Indonesia. Husein menjelaskan bahwa pendatang Arab di Indonesia serta keturunan mereka tidak bisa dipisahkan

20 Husein Haikal, Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (1900-1942), Disertasi, Universitas Indonesia, 1986. 15 dari Islam. Sebagian mereka datang dari hadramaut, tempat dengan praktik-praktik jahiliyahnya masih berjalan. Ini nampak dalam hal pembagian penduduk, serta kegemaran mereka untuk bertengkar yang diterapkan pula di kalangan keturunan mereka di Indonesia. Husein membagi pendatang Arab menjadi tiga yaitu Arab, Arab-Indonesia, dan Indonesia-Arab. Dikatakan sebagai Arab bila para pendatang Arab ini setelah tinggal di Indonesia tapi masih merasa sebagai orang asing, sedangkan Arab Indonesia adalah para pendatang Arab yang kemudian tinggal dan berhasil menyesuaikaan dengan keadaan sekeliling. Umumnya mereka menikah dengan perempuan Indonesia, mereka ikut berjuang bersama orang Indonesia karena ada ikatan darah dan ikatan agama Islam, sedangkan Indo-Arab umumnya adalah muwalad yaitu arab peranakan yang darah Indonesia mereka semakin lama semakin dominan. Mereka tanpa segan berjuang untuk Indonesia bukan hanya karena adanya ikatan darah, ikatan agama, tapi juga ikatan kebangsaan. Mereka berkiblat seutuhnya ke Indoneisa dan mengakui Indonesia sebagai satu-satunya tanah air mereka. Peran Arab-Indonesia juga terlihat dalam mengokohkan Islam di Indonesia disamping menyiarkan bahasa Arab. Banyak organisasi muncul dari mereka seperti al irsyad dan jamiat khair meskipun mereka masih terlibat konflik kecil. Namun dengan lahirnya PAI telah menyatukan peranakan Arab di Indonesia sehingga terwujud cita-cita yang disebut Baswedan sebagai “Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab”. Dari organisasi inilah kerja keras para aktivisnya telah menyatakan Indonesia sebagai satu-satunya tanah air mereka serta mereka harus berbakti pada tumpah darah Indonesia. Mereka bersama-sama mengilhami cita-cita kemerdekaan Indonesia dan sikap memusuhi pemerintah kolonial Belanda. Kontribusi Husein bagi tesis ini adalah ia menguatkan argumen bahwa peranakan Arab di Nusantara ikut berpartisipasi dalam mengawal kemerdekaan bangsa Indonesia. Melalui wadah persatuan orang Arab yaitu PAI, mereka secara bersama menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap tanah yang mereka tinggali. Sebagai konsekuensinya, mereka ikut berjuang untuk merebut kemerdekaan Indonesia. 16

Dari ketiga penelitian di atas, fokus kajiannya adalah potret sejarah tentang pergerakan nasional yang telah ditunjukkan oleh golongan peranakan Arab di Indonesia dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan bersama. Terjadinya pembauran atau asimilasi etnis Arab dan pribumi yang menghasilkan berbagai kemajuan dalam bidang ekonomi, pendidikan dan politik. Ketiga penelitian tersebut berbeda dari topik yang hendak peneliti angkat dalam tesis ini. Tesis ini mnitikberatkan pembahasan pada tokoh Hamid Algadri yang ikut berjuang dalam politik kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

F. Kerangka Teori

Judul yang diangkat pada penelitian ini adalah “Perjuangan Hamid Algadri Masa Pergerakan dan Pasca Kemerdekaan di Indonesia”. Tema utamanya adalah Hamid Algadri sebagai tokoh peranakan Arab di Nusantara yang berkontribusi besar dalam realitas sosial golongan Arab untuk mewujudkan rasa tanggung jawab dan nasionalisme dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah jawaban dan tantangan (Challenge and response) oleh Arnold Joseph Toynbee (w.1975). Tantangan dan jawaban adalah sebuah ruang kausalitas pertempuran antara ide, gagasan, wacana atau gerakan yang muncul dalam suatu kebudayaan yang saling terkait satu sama lainnnya yang bersifat aksi reaksi. Teori ini memunculkan konsep bahwa munculnya setiap ide, gagasan, wacana atau gerakan memiliki relasi yang saling berkaitan dengan beberapa faktor penyebab. Karena itu setiap bentuk gerakan, ide, wacana atau gagasan akan berakhir pada munculnya sebuah kebudayaan baru yang akan membentuk logical concequences yang akan menempati berbagai pos pos dalam pola tantangan dan respon terhadap situasi sosial politik yang berada di sekitarnya.21 Pergerakan Hamid Algadri muncul sebagai tanggapan atas tantangan dari kondisi kolonial belanda yang mengeksploitasi masyarakat Indonesia dan peranakan arab. Jadi pergerakan yang dilakukan oleh Hamid Algadri sebagai seorang

21 Dwi Susanto, Pengantar Ilmu Sejarah (Surabaya : UIN Press, 2014), hlm. 83 17 peranakan arab muncul sebagai tanggapan atas tantangan kesadaran sosial peranakan arab di Indonesia. Kesadaran sosial yang muncul pada Hamid Algadri disebabkan karena diskriminasi yang Hamid dapatkan dari kolonial Belanda juga diperoleh dari pendidikan dan keluarga. Dalam penelitian ini gerakan yang terbentuk adalah pergerakan nasional yang memiliki arti yaitu usaha, kegiatan dan tindakan terencana yang ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga-lembaga masyarakat yang ada.22 Adapun secara terminologi, gerakan merupakan media dari masyarakat untuk menyampaikan rasa ketidak puasan sosial pada penguasa.23 Pergerakan adalah suatu kekuatan yang terlibat dalam perjuangan rakyat dalam perspektif demonstrasi sosial masyarakat politik dengna tindakan untuk mengusahakan agar semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan perencanaan dan usaha- usaha oraganisasi.24 Jadi, gerakan dan pergerakan mengandung arti untuk menggerakkan orang- orang agar mau bekerja dengan sendirinya atau penuh kesadaran secara bersama- sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara efektif. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kepemimpinan. Pergerakan merupakan kebangkitan (untuk perjuangan atau perbaikan) yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memperbaiki suatu kondisi atau keadaan. Sedangkan kata nasional merupakan kata sifat dari pergerakan. Kata nasional disini dipergunakan dengan maksud menunjukkan seluruh aktivitas dari pegerakan di semua lapangan penghidupan yang mempunyai tujuan yang sama, perjuangan melawan kekuasaan kolonial. Dalam pergerakan nasional menunjukkan pergerakan dari segala macam aksi yang menggunakan organisasi untuk menentang penjajahan demi mencapai kemerdekaan.25 Dengan organisasi ini menunjukkan bahwa aksi

22 KBBI online. Diunduh pada 30 April 2018, pukul 20.00 WIB. 23 Basrowi dan Sukidin, Teori-teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif, (Surabaya: Insan Cendekia, 2003), hlm. 17. 24 Muchtar E. Harahap, Mahasiswa dalam Politik, (Jakarta: NSEAS, 1993), hlm 36. 25 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, (Yogyakarta: Ombak, 2014), hlm. 270. 18 tersebut disusun secara teratur dalam arti ada pemimpinnya, anggota, dasar dan tujuan yang ingin dicapai.26 Sejarah pergerakan nasional Indonesia merupakan sejarah yang mencakup aliran-aliran dalam historis yang menuju ke arah pembentukan nasionalisme Indonesia. Pemahaman sejarah pergerakan nasional berarti pengetahuan atau penguasaan peristiwa-peristiwa penting yang berlangsung dalam rangka lepas dari belenggu penjajah, untuk menjadi negara adil dan makmur.27 Sejarah pergerakan nasional Indonesia dapat diartikan pula sebagai fenomena historis hasil dari perkembangan faktor ekonomi, sosial, politik, kultural dan religius yang saling ada interaksi. Karenanya, ia dapat dianggap gerajan ekonomi, sosial, politik, dan kultural yang memperluas motivasi dan orientasi aktivitas organisasi pergerakan.28 Tujuannya adalah untuk mencapai Indonesia merdeka, yang dijiwai oleh semangat persatuan dan kesatuan, sehingga melahirkan momentum sejarah yang amat penting. Kuntowijoyo mengartikan bahwa sejarah pergerakan nasional adalah timbulnya gagasan nasionalisme; golongan-golongan sosial; gerakan-gerakan agama; sosial, kebudayaan, pendidikan dan politik; dekolonisasi.29 Oleh karena itu, jika membaca sejarah pergerakan nasional bangsa Indonesia, hal itu meliputi periode sekiar empat puluh tahun, sampai terbentuknya bangsa Indonesia pada tahun 1945, yang ditandai oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia.30

26 Ayis Budi Santosa dan Encep Supriatna, Sejarah Pergerakan Nasioanl: Dari Budi Utomo 1908 hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2008), hlm. 2 27 Trisnowaty Tuahunse, Hubungan Antara Pemahaman Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia dengan Sikap terhadap Bela Negara, https://media.neliti.com/media/publications/125345- ID-none.pdf. diakses pada 20 Maret 2018, pukul 20.30 WIB. 28 Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 3. 29 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: PT Bentang Budaya, 2001), hlm. 55. 30 Ayi Budi Santosa dan Encep Supriatna, Buku Ajar Sejarah Pergerakan Nasional (Dari Budi Utomo 1908 Hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945), (Bandung: Universitas Indonesia, 2008), hlm. 2. 19

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang paling relevan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Demikian karena penelusuran terhadap pemikiran Hamid Algadri secara historis dan sosiologis merupakan bagian dari produk sosial. Creswell menjabarkan bahwa penelitian kualitatif adalah cara mengeksplorasi serta memahami makna-yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang-dianggap berasal dari permasalahan sosial yang terdapat di dalam masyarakat. Sifat dari penelitian ini adalah eksploratoris, yaitu mendeskripsikan masalah penelitian dengan cara mengeksplorasi suatu konsep atau fenomena sehingga mudah dipahami.31 Jika jenis penelitian ini digunakan, maka peneliti harus dapat mengeksplorasi aktivitas pergerakan kebangsaan Hamid Algadri perspektif sejarah dan sosiologi. Gambaran hasil penelitian ini akan menjadi jelas manakal peneliti menghadirkan perspektif-perspektif dari data kepustakaan (library research) untuk mendukung identifikasi data tokoh yang dikaji.

2. Sumber Data Berangkat dari jenis penelitian yang kualitatif, maka sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data literal. Adapun sumber data dalam penelitian ini ada dua macam: sumber data primer dan sumber data sekunder.32 Sumber data primer adalah sumber data utama yang terdapat informasi- informasi pokok mengenai permasalahan yang sedang dikaji. Dalam konteks tesis ini, peneliti menggunakan buku literal karya Hamid Algadri sebagai referensi utama. Buku tersebut dapat memberikan pemikiran serta paradigma Hamid terhadap realitas sosial pada saat itu. Adapun sumber data sekunder adalah data penunjang yang dijadikan penguat dari data primer, diperoleh dari buku, jurnal, artikel, hasil penelitian serta majalah

31 John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed Edisi Ketiga, terj. Achmad Fawaid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 4. 32 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), hlm. 83. 20 yang memiliki korelasi dengan penelitian yang dikaji, yaitu kontribusi dan peran Hamid Algadri dalam pergerakan kebangsaan di Indonesia.

3. Tehnik Pengumpulan Data Di dalam tehnik pengumpulan data kualitatif, dokumen pokok yang dibutuhkan adalah data-data perpustakaan, bisa berupa koleksi pribadi Hamid Algadri kumpulan buku karya Hamid, kitab biografinya, berkas surat-surat dan artikel-artikel yang ia tulis pada media surat kabar. Hal ini karena Hamid pernah menjadi redaktur majalah USI (Usi-blad, majalah mahasiswa Indonesia) dan majalan Insjaf. Tulisan-tulisannya dapat dijadikan bahan analisis untuk mengetahui gambaran perjuangan organisasi, kegiatan kemasyarakatan serta sikap Hamid terhadap penguasa saat itu. Adapun langkah pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu pertama, deskripsi dokumen kepustakaan dan kedua, analisis yang terdiri dari interpretasi dan historiografi. Pertama, deskripsi dokumen. Langkah ini bertujuan untuk menguraikan atau menjelaskan data apa adanya. Sesuai dengan corak kualitatif yaitu lebih menekankan kepada kedalaman informasi sehingga sampai pada makna yang sebenarnya. Peneliti dituntut dapat mendeskripsikan masalah penelitian yang benar-benar mudah dipahami dengan cara eksplorasi suatu konsep atau fenomena tertentu. Dalam konteks ini, peneliti melakukan eksplorasi terhadap peran Hamid Algadri dalam pergerakan nasionalnya. Ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan kesejarahan Hamid yang terdapat dalam sumber data primer dan sumber data sekunder yang tersedia. Kedua, analisis. Tehnik ini dimaksudkan untuk menginterpretasi sebuah data yang telah terkumpul. Kemudian menggunakan analisis historiografi karena tesis ini adalah kajian kesejarahan. Interpretasi data dilakukan dengan menyusun hipotesis yang kemudian diformulasikan baik dengan cara deskriptif maupun proposional. Dalam konteks ini data-data sejarah Hamid dalam realita sosial peranakan Arab di Indonesia dan 21 kiprahnya di parlemen dijadikan media untuk mengungkap seberapa besar perannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Historiografi adalah langkah terakhir dalam sebuah penelitian yang menggunakan metode sejarah. Langkah yang dilakukan adalah interpretasi terhadap sejarah menurut pendapat seseorang (peneliti) dan seleksi dilakukan dalam memilih fakta-fakta sejarah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian dengan metode sejarah. Interpretasi dan seleksi harus melibatkan pendirian pribadi peneliti. Fakta sejarah yang dibutuhkan dalam historiografi harus diolah terlebih dahulu oleh peneliti sejarah dari data-data sejarah. Dalam hal ini, peneliti mengintisarikan pergerakan Hamid Algadri dengan merujuk kepada tulisan-tulisan Hamid Algadri serta keterlibatan bersama tokoh sejarah nasional.

4. Tehnik Analisis Data Dalam penelitian, proses analisis data secara keseluruhan melibatkan usaha memaknai data yang ada berupa teks atau gambar tertentu. Peneliti dituntut mempersiapkan data, melakukan analisis dengan tinjauan berbeda, memperdalam pemahaman terhadap data tersebut, menyajikan data dan kemudian membuat interpretasi makna yang lebih luas.33 Secara umum, analisis penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu metode penelitian dengan tehnik mengumpulkan data sesuai dengan yang sebenarnya. Kemudian data tersebut diolah, disusun, dan dianalisis sehingga menggambarkan masalah-masalah dalam penelitian secara objektif.34 Dalam konteks ini, sebagaimana telah disinggung dalam teori analisis kualitatif, peneliti melakukan beberapa langkah analisis data sebagai berikut: a. Kodifikasi data. Peneliti mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Langkah ini melibatkan identifikasi karya-karya Hamid Algadri sebagai bahan analisis utama. Topik yang dicari berkaitan dengan perjuangan kebangsaan Hamid Algadri.

33 John W. Creswell, Research Design……, hlm. 274. 34 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2016), hlm. 8 22

Langkah ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai kontribusi Hamid dalam tingkat nasional. Kodifikasi meliputi rekam jejak Hamid Algadri sebagai aktivis (anggota) dari PAI (Partai Arab Indonesia), serta informasi- informasi tambahan yang menguatkan peran Hamid dalam mengkritik keras kebijakan Pemerintahan Belanda tentang upaya mereka membeda-bedakan antara ras pribumi dan ras Arab kemudian melakukan isolasi secara teritorial. Ia melakukannya agar hubungan Arab (Islam) dan masyarakat pribumi yang sudah terlanjur baik tidak retak karena diskriminasi kelas sosial yang dibuat Belanda. b. Interpretasi data. Peneliti menganalisis topik-topik yang sudah dipilih, mendalaminya secara detail untuk menemukan sejarah secara runtut selama masa hidup Hamid Agadri. Sehingga dapat diketahui bagaimana keabsahan dan validitas sejarah perjuangan Hamid Algadri dalam kancah nasional.

5. Pendekatan Dengan melihat topik utama yang membahas tentang peran nyata Hamid Algadri dalam pergerakan kebangsaan, tentu peneliti harus berhasil mengeksplorasi fakta-fakta sejarah kehidupan Hamid. Oleh karena itu, peneliti menggunakan pendekatan historis di dalam tesis ini. Secara umum pendekatan historis dapat diartikan sebagai penelaahan serta sumber-sumber lain yang berisi informasi masa lampau dan dilaksanakan secara sistematis. secara sempit, ia dapat diartikan sebagai peninjauan atas suatu permasalahan dilihat dari tinjauan sejarah, dan menjawab permasalahan serta menganalisisnya dengan metode analisis sejarah. Tujuannya adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengevaluasi, memverifikasi bukti-bukti untuk mengungkapkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. Pendekatan historis digunakan dalam tiga macam pendekatan yaitu kajian teks, kajian konteks sejarah, dan kajian hubungan antara teks dan masyarakatnya.35 Dalam konteks penelitian tesis ini, pendekatan penelitian yang digunakan dapat

35 Roland N. Stromberg, European Intellectual History Since 1789, (New York: Mereditc- Century, 1968), 3. 23 memudahkan untuk mengekspos dan mengeksplorasi dengan rinci tentang rekam jejak sejarah hidup Hamid Algadri. Pertama kajian teks. Teks merupakan pangkalan data yang dapat memberikan informasi sejarah. Teks yang dimaksud adalah buku- buku karya Hamid, majalah yang memuat tulisan Hamid dan buku dari penulis lainnya yang berisi tentang historiografi Hamid. Dari analisis terhadap teks karya Hamid tersebut dapat ditemukan pemikiran tokoh tersebut. Kedua, kajian konteks sejarah adalah penelusuran secara mendalam tentang sejarah hidup tokoh. Informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber data. Salah satunya saksi hidup yang mengetahui secara rinci tentang pergerakan kebangsaan Hamid. Ketiga, kajian hubungan antara teks dan masyarakatnya merupakan implementasi dari pendekatan sosiologis. Masyarakat pada di masa hidup Hamid juga dapat menjadi gambaran empiris tentang realitas sejarah. Gambaran tersebut sekaligus menjadi alat uji fakta sejarah yang valid dan otentik atas apa yang telah ditulis dalam berbagai teks.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang langkah-langkah penelitian serta tersusun dengan baik sehingga memudahkan pemahaman, maka penulisan tesis ini disusun secara sistematis dalam lima bab, sebagai berikut Bab pertama adalah pendahuluan atau gambaran umum yang menjelaskan latar belakang masalah, permasalahan yang terdiri dari identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian, kerangka konseptual, penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian tesis ini, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua membahas tentang variable pokok penelitian ini yaitu teori pergerakan nasional yang meliputi identitas nasional, dan sejarah Indonesia masa pergerakan dan pasca kemerdekaann . Ini ditulis untuk memberi kerangka batasan- batasan pergerakan yang dilakukan Hamid Algadri. Bab ini juga menceritakan perjuangan masyarakat keturunan Arab di Indonesia. Bab ketiga menjelaskan tentang biografi Hamid Algadri meliputi riwayat kehidupan, pendidikan, karya-karyanya, dan karir Hamid Algadri. Dalam bab ini 24 dapat diketahui lingkungan serta ideologi yang membentuk pemikiran Hamid Algadri dalam pergerakan kebangsaan. Bab keempat membahas tentang landasan pergerakan kebangssan Hamid Algadri dan perjuangan Hamid Algadri untuk mewujudkan kemerdekaan di Indonesia serta mempertahankan kemerdekaan. Maka perjuangan Hamid Algadri terbagi menjadi dua yaitu perlawanan terhadap kolonial Belanda dan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bab kelima memuat tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti. Hasil ini berfungsi untuk menjawab rumusan masalah. Bab ini juga berisi tentang saran dan rekomendasi kepada peneliti selanjutnya sebagai bahan pengembangan penelitian tentang kontribusi peranakan Arab di Indonesia.

25

BAB II

INDONESIA MASA PERGERAKAN DAN PASCA KEMERDEKAAN

A. Pengertian Pergerakan Nasional Secara etimologi, pergerakan berasal dari kata gerakan yang berarti peralihan tempat atau kedudukan. Sedangkan pergerakan memiliki arti yang sama yaitu usaha, kegiatan dan tindakan terencana yang ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga-lembaga masyarakat yang ada.36 Adapun secara terminologi, gerakan merupakan media dari masyarakat untuk menyampaikan rasa ketidakpuasan sosial pada penguasa.37 Muchtar berpendapat bahwa pergerakan adalah suatu kekuatan yang terlibat dalam perjuangan rakyat dalam perspektif demonstrasi sosial masyarakat politik dengan tindakan untuk mengusahakan agar semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan perencanaan dan usaha-usaha oraganisasi.38 Jadi, gerakan dan pergerakan mengandung arti untuk menggerakkan orang- orang agar mau bekerja dengan sendirinya atau penuh kesadaran secara bersama- sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara efektif. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kepemimpinan. Pergerakan merupakan kebangkitan (untuk perjuangan atau perbaikan) yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memperbaiki suatu kondisi atau keadaan. Sedangkan kata nasional merupakan kata sifat dari pergerakan. Kata nasional disini dipergunakan dengan maksud menunjukkan seluruh aktivitas dari pegerakan di semua lapangan penghidupan yang mempunyai tujuan yang sama, perjuangan melawan kekuasaan kolonial. Dalam pergerakan nasional menunjukkan pergerakan dari segala macam aksi yang menggunakan organisasi untuk menentang penjajahan

36 KBBI online. Diunduh pada 30 April 2018, pukul 20.00 WIB. 37 Basrowi dan Sukidin, Teori-teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif, (Surabaya: Insan Cendekia, 2003), hlm. 17. 38 Muchtar E. Harahap, Mahasiswa dalam Politik, (Jakarta: NSEAS, 1993), hlm 36. 26 demi mencapai kemerdekaan.39 Dengan organisasi, menunjukkan bahwa aksi tersebut disusun secara teratur dalam arti ada pemimpinnya, anggota, dasar dan tujuan yang ingin dicapai.40 Susanto Tiroprojo menjelaskan bahwa istilah “pergerakan” berbeda dengan istilah “perjuangan”. Pergerakan memiliki pengertian yang khas, sementara perjuangan mempunyai arti luas. Untuk mengilustrasikan istilah perjuangan ini, dapat di contohkan dengan perjuangan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Hasanudin, dan sebagainya, yang selanjutnya disebut sebagai peristiwa-peristiwa dalam perjuangan nasional Indonesia.41 Perlawanan-perlawanan mereka masih bersifat lokal dan tidak terorganisir secara modern42, dan secara langsung belum mensyaratkan akan persatuan Indonesia. 1. Nasional Nasional yang dimaksudkan ialah membahas tentang cita-cita nasional dengan beragam aspek yang meliputinya, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai kemerdekaan bangsa. Untuk memahaminya secara lebih mendalam tentang konsep nasional ini, maka tidak berlebihan jika diuraikan tentang identitas nasional dengan segala turunannya. a. Identitas Nasional Sebelum menguraikan mengenai identitas nasional, kiranya perlu menelisik terlebih dahulu mulai dari dua akar kata yang membentuknya, yakni “identitas” dan “nasional’. Hal ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman dari akar katanya, sehingga tanpa ragu dalam mengambil intisari yang ada dalam pengertian tersebut. Secara etimologi, kata identitas berasal dari kata identity, bahasa Inggris, yang memiliki pengertian harfiah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Dalam terminologi

39 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, (Yogyakarta: Ombak, 2014), hlm. 270. 40 Budi Santosa dan Encep Supriatna, Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo 1908 hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2008), hlm. 2 41 Susanto Tirtoprojo, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Pembangunan, 1984), hlm. 7. 42 Tidak terorganisir secara modern yang dimaksud di sini ialah bahwa ia tidak memiliki ciri- ciri sebagai organisasi modern, seperti memiliki struktur kepengurusan yang tetap, tujuan dan program kerja. 27 antropologi, identitas sering diartikan sebagai sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran pribadi sendiri, golongan, kelompok, komunitas dan negaranya sendiri.43 Identitas juga dapat dipahami sebagai istilah yang merangkum nama manusia yang mempertalikan mereka dalam kaitan dengan interaksi dengan pihak lain dan mengorientasikan dirinya dengan berbagai dunia sosial. Sementara dalam kaitannya dengan dunia sosial, paling tidak terdapat tiga bentuk identitas, yakni identitas sosial, identitas pribadi, dan identitas kelompok. Ketiga bentuk identitas itu dalam realitas sosial yang saling berkaitan antara satu identitas dan identitas yang lain.44 Sementara kata nasional dalam identitas nasional dapat diartikan sebagai identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, bahasa maupun non-fisik seperti keinginan, cita-cita dan tujuan. Sehingga identitas nasional bisa diartikan sebagai keseluruhan atau totalitas dari kepribadian individu-invidivu secara nasional yang membentuk bangsa tersebut.45 Konsep mengenai identitas nasional mengacu kepada identitas-identitas yang sifatnya nasional. Ia bersifat buatan dan sekunder. Bersifat buatan, karena identitas nasional dibuat, dibentuk, dan disepakati oleh warga suatu bangsa sebagai indentitasnya setelah mereka bernegara. Sementara disebut sekunder, karena identitas nasional lahir belakangan dibandingkan dengan identitas kesukubangsaan yang memang telah dimiliki warga bangsa itu sendiri. Dengan kata lain sebelum mereka memiliki identitas nasional, warga bangsa telah memiliki identitas primer yaitu identitas kesukubangsaan.46 Proses pembentukan identitas nasional memutuhkan waktu yang tidak pendek di antara warga bangsa yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan identitas merupakan hasil konsensus masyarakat tersebut. Tidak menutup kemungkinan ada warga bangsa yang tidak setuju dengan identitas yang diajukan oleh kelompok

43 Maryanto, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Andi, 2015), hlm. 2. 44 M.D. La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina dan Singkawang di Era Reformasi 1998-2008, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), hlm. 39. 45 Sidarto Danusubroto dkk, Prosiding Focus Group Discussion Pakar I, (Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila UGM, 2014), hlm. 39. 46 Abd. Rahman dan Baso Madiong, Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi, (Makassar: Celebes Media Perkasa, 2017), hlm. 82. 28 tertentu dan sejenisnya. Inilah penyebabnya sebuah negara yang baru merdeka mengalami pertikaian internal yang bisa jadi secara larut-larut, karena saling mengangkat identitas kesukubangsaan menjadi identitas nasional. Indonesia relatif berhasil membentuk identitas nasionalnya, kecuali pada saat proses pembentukan ideologi Pancasila. Jika dilihat dari proses lahirnya identitas nasional, maka identitas nasional itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, identitas cultural unity atau identitas kesukubangsaan. Cultural unity yang dimaksudkan di sini ialah merujuk pada bangsa dalam pengertian kebudayaan atau bangsa dalam arti sosiologis antropologi. Cultural unity disatukan oleh kesamaan ras, agama, suku, dan antargolongan (SARA). Unsur-unsur tersebut menjadi identitas kelompok yang membedakan dengan kelompok lainnya. Kedua, identitas political unity atau identitas kebangsaan. Political unity merujuk pada bangsa dalam pengertian politik, yakni bangsa-negara. Kesamaan primordial dapat saja menciptakan bangsa tersebut untuk negara, namun hampir bisa dipastikan bahwa negara yang hanya terdiri dari satu suku bangsa tidak terjadi. Dengan demikian negara baru perlu menciptakan identitas baru pula untuk bangsanya, yang selanjutnya disebut identitas nasional.47 b. Bentuk Identitas Nasional Indonesia Dalam konteks identitas nasional Indonesia, ada beberapa bentuk identitas nasional Indonesia, di antaranya adalah: 1) Bahasa nasional atau Bahasa Persatuan, yaitu Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia berawal dari bahasa melayu yang digunakan sebagai awal pergaulan yang kemudian diangkat sebagai bahasa nasional pada tanggal 28 Oktober 1928. 2) Bendera Negara, yaitu Sang Merah Putih Warna merah menandakan berani dan putih yang berarti suci. Dalam catatan sejarah, bendera merah putih pertama kali dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945, namun telah ditunjukkan pada peristiwa Sumpah Pemuda. 3) Lagu Kebangsaan Indonesia, yaitu Indonesia Raya

47 Abd. Rahman dan Baso Madiong, Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi, (Makassar: Celebes Media Perkasa, 2017), hlm. 83. 29

Lagu Indonesia sebagai lagu kebangsaan pertama kali dinyanyikan pada tanggal 28 Oktober 1928. 4) Lambang Negara, yaitu Garuda Pancasila Garuda adalah burung khas Indonesia yang dijadikan sebagai lambang negara. 5) Semboyan Negara, yaitu Bhineka Tunggal Ika artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Ini menunjukkan bahwa Indonesia ialah bangsa yang heterogen, namun tetap berkeinginan untuk menjadi bangsa yang satu, yakni Indonesia. 6) Dasar Falsafah Negara, yaitu Pancasila. Berisi lima sila yang dijadikan sebagai dasar falsafah dan ideologi dari negara Indonesia. Pancasila juga berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi nasional. 7) Hukum Dasar Negara, yaitu UUD 1945 Merupakan hukum dasar tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan dan dijadikan sebagai pedoman penyelenggaraan negara. 8) Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia Bentuk negara kita adalah kesatuan, bentuk pemerintahannya republik, dan sistem politik yang digunakan ialah demokrasi. 9) Konsepsi Wawasan Nusantara Sebagai cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan memiliki nilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai kebudayaan nasional dan sebagai negara kesatuan Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa, sehingga Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat kompleks. c. Unsur-Unsur Pembentuk Identitas Nasional Identitas nasional Indonesia terbentuk oleh bermacam unsur fisik, dan non- fisik. Salah satu identitas yang melekat pada bangsa Indonesia adalah sebutan sebagai bangsa yang majemuk. Kemajemukan ini merupakan perpaduan dari unsur- 30 unsur yang menjadi inti identitas Indonesia, yakni: sejarah, kebudayaan, suku bangsa, agama, dan bahasa.48 1. Sejarah Menurut catatan sejarah, sebelum menjadi sebuah negara bangsa (nation state), Nusantara pernah mengalami masa kejayaan. Dua kerajaan besar yakni Sriwijaya dan Majapahit dikenal sebagai pusat-pusat kekuasaan di Nusantara, yang pengaruhnya menembus batas-batas teritorial. Kebesaran dua kerajaan tersebut turut serta menjadi rujukan semangat perjuangan manusia Nusantara ketika penjajahan asing mulai menapakkan imperialismenya. Semangat juang tersebut sekaligus menjadi ciri khas bagi cikal bakal bangsa Indonesia. Selanjutnya ia menjadi unsur pembentuk identitas nasional sebagai bangsa yang pantang menyerah dan pejuang kebebasan. Hal ini tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan dukungan bangsa Indonesia bagi kemerdekaan setiap bangsa di dunia.

2. Kebudayaan Kebudayaan menjadi unsur pembentukan identitas nasional meliputi tiga unsur, yaitu akal budi, peradaban, dan pengetahuan. Pertama, aspek akal budi. Ini tampak dari keramahan dan kesantunan orang Indonesia yang telah dikenal dunia. Kedua, aspek peradaban. Peradaban tercermin dalam dasar negara (Pancasila) yang menunjukkan kekuatan atas nilai-nilai bersama yang majemuk. Ketiga, aspek pengetahuan. Ini dapat dilihat dari kekayaan pencapaian bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim. Kapal Pinisi dan sejumlah candi yang menawan merupakan unsur identitas pengetahuan bangsa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Keragaman budaya lokal merupakan kekuatan dari eksistensi kebudayaan nasional. Hal ini sekaligus sebagai bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah manusia yang kreatif dan inovatif, yang mampu mengadopsi pengetahuan, nilai, dan budaya asing, lalu mengembangkannya menjadi produk peradaban yang bernilai tambah dan menjadi ciri khas tersendiri bagi bangsa.

48 A. Ubaedillah, Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi dan Pencegahan Korupsi, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 61. 31

3. Suku Bangsa Kemajemukan merupakan pembentuk identitas lain bangsa Indonesia. Tradisi bangsa untuk hidup bersama dalam kemajemukan merupakan unsur utama pembentukan identitas yang perlu terus dipupuk, dikembangkan, dan dilestarikan. Kemajemukan bangsa yang tercermin dalam ribuan suku, bahasa, dan budaya, serta kesatuan atas kemajemukan merupakan gambaran bahwa Indonesia adalah kesatuan atas keberagaman yang secara simbolik diungkapkan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang dicengkeram burung Garuda. 4. Agama Identitas lain dari kemajemukan alamiah bangsa Indonesia ialah keragaman agama dan keyakinan. Urgensi eksistensi keragaman unsur agama dan keyakinan ini menjadikan para pendiri bangsa menempatkannya pada posisi penting dalam konstitusi negara, sebagai upaya negara untuk wajib melindungi rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Perumusan dasar negara Pancasila telah sepakat menembatkan dasar spiritualitas dalam urutan pertama dari kelima sila Pancasila. Hal ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia berkewajiban untuk beragama secara kebudayaan, yakni suatu sikap dan perilaku beragama yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip toleransi. 5. Bahasa Unsur lain pembentuk identitas nasional ialah bahasa Indonesia. Keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu telah dijamin oleh UUD 1945. Ribuan etnis dan keberagaman budaya dapat dipersatukan dengan bahasa Indonesia. Kesadaran akan unsur pemersatu bahasa Indonesia ini dapat ditelusuri pada peristiwa lahirnya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Momentum tersebut telah memberikan nilai tersendiri bagi pembentukkan identitas nasional Indonesia, sebagai unsur pemacu sekaligus pembentuk pemersatu dan nasionalisme Indonesia yang masih relevan hingga saat ini. d. Parameter Identitas Nasional Ialah suatu ukuran atau patokan yang dapat digunakan untuk menyatakan sesuatu yang menjadi ciri khas suatu bangsa. Sesuatu yang diukur tersebut ialah unsur suatu indentitas seperti kebudayaan yang menyangkut , norma, dan teknologi, sesuatu yang secara alami atau ciri yang sudah terbentuk seperti geografis. 32

Identitas nasional memiliki indikator-indikator sebagai berikut:49 1. Indentitas nasional menggambarkan pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas masyarakat sehari-harinya. Identitas ini menyangkut adat istiadat, tata kelakukan, dan kebiasaan. Ramah tamah, hormat kepada orang tua, dan gotong royong merupakan salah satu identitas nasional yang bersumber dari adat istiadat dan tata kelakuan. 2. Lambang-lambang yang merupakan ciri dari bangsa dan secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi bangsa. Lambang-lambang tersebut biasanya dinyatakan dalam undang-undang, seperti Garuda Pancasila, bendera, bahasa dan lagu kebangsaan. 3. Alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, seperti bangunan, teknologi, dan peralatan manusia. Identitas yang berasal dari alat perlengkapan ini seperti bangunan yang merupakan tempat ibadah (Borobudur, Prambanan, masjid dan gereja), peralatan manusia (pakaian adat, teknologi bercocok tanam), dan teknologi (pesawat terbang, kapal laut, dan lain-lain) 4. Tujuan yang ingin dicapai suatu bangsa. Indentitas yang bersumber dari tujuan ini bersifat dinamis dan tidak tetap seperti budaya unggul, prestasi dalam bidang tertentu. e. Pengertian Bangsa Sampai saat ini para ahli belum memiliki definisi tunggal mengenai pengertian “bangsa”. Artinya, setiap ahli memiliki perbedaan dalam mendifinisikan “bangsa”. Hal ini tergantung dari sudut pandang yang diambil. Kendati demikian, dengan sudut pandangnya masing-masing, para ahli tetap berusaha menguraikan definisi “bangsa”. Salah satu ahli terkemuka yang mencoba mendifinisikan “bangsa” ialah Anderson, bahwa bangsa adalah komunitas politik yang dibayangkan (imagined). Disebut bayangan kaarena anggota-anggota suatu bangsa, termasuk bangsa terkecil, akan mengenal, menemui, atau mendengar tentang sebagian besar teman-teman sebaya mereka. Meskipun demikian, dalam pikiran mereka ada perasaan sebagai

49 Maryanto, Pendidikan Kewarganegaraan….., hlm. 9. 33 suatu komunitas. Sebagai suatu bayangan imajener, bangsa bersifat terbatas karena bangsa yang terbesar sekalipun memiliki batas yang jelas, walaupun elastis, yang memisahkan mereka dari bangsa-bangsa lain.50 Sementara Ernest Renan (w.1892), mengatakan bahwa bangsa adalah satu jiwa, une natioan est un ame. Artinya bangsa adalah jiwa. Di tempat lain, Renan berkata: une nation est un grand solidarite, satu bangsa adalah satu solidariteit yang besar. Menurutnya, bangsa atau kebangsaan tidak tergantung pada persamaan bahasa. Bangsa juga tidak memerlukan persatuan agama, bahkan tidak memerlukan persatuan turunan. Bangsa adalah satu jiwa.51 Maka syarat bangsa ialah: “Kehendak akan bersatu”. Orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Renan menyebut syarat bangsa: “le desir d’etre ensemble”, yakni kehendak akan bersatu. Menurut definisinya, maka yang menjadi bangsa ialah satu gerombolan manusia yang mau bersatu, dan meresa dirinya bersatu.52 Dan yang dapat menjadikan individu-individu bisa bersatu menjadi sebuah bangsa yang satu adalah karena adanya rasa persamaan nasib, tidaklah cukup untuk mendirikan bangsa. Harus ada persatuan antara manusia dengan tanah tempat manusia tersebut hidup dan berpijak. Hal senada juga disampaikan oleh Bung Hatta (w.1980). Menurutnya, kebangsaan adalah sesuatu yang berhubungan dengan perasaan terikat dengan suatu tanah air (home country), suatu wilayah. Dalam perasaan tersebut, kandungan utamanya ialah kesamaan nasib dan pengalaman sejarah, bukan etnis, agama atau sekat-sekat primordial lain. Kebangsaan identik dengan cinta tanah air, atau yang dalam bahasa kontemporer sekarang, untuk kasus Indonesia, berarti keindonesiaan.53 Karenanya, kemerdekaan harus berdasarkan pada asas kebangsaan. Selanjutnya Bung Hatta mengartikan kebangsaan dengan mengungkapkan: “Membangun semangat kebangsaan pada bangsa yang tidak merdeka, artinya membangun kemanusiaannya. selanjutnya

50 Sukadi, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Andi, 2017), hlm. 39. 51 Soekano, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 153. 52 Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno Vs Bung Hatta, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 187. 53 Zulkifli Suleman, Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm.194. 34

membangkitkan kegembiraan dan keberanian menantang maut, sudi menderita sakit yang sesakit-sakitnya, seperti yang dapat dialami sewaktu perang besar 1914-1918. Bagaimana juga bodoh dan penakut orang, pada suatu saat yang penting ia sudi berkorban hendak membela Tanah Airnya”. 54

Kebangsaan, imbuhnya, juga berguna untuk menjadi anggota terhormat dalam hubungan antar bangsa; bangsa yang diperbudak atau dijajah, berdasarkan norma dalam hubungan antarnegara, tidak dianggap sebagai anggota aktif dalam hubungan internasional. Kebangsaan lebih utama daripada semangat internasional (internasionalisme), khususnya ketika terjadi konflik antar negara. Suatu negara yang memiliki berbagai suku bangsa dan ras berupaya untuk membentuk suatu bangsa baru dengan identitas kultural yang baru pula. Hal ini dilaksanakan guna dapat bertahan lama dan mampu mencapai tujuan. Proses terbentuknya suatu negara terpusat modern yang penduduknya meliputi satu nasionalitas (suatu bangsa) merupakan proses penbentukan negara-bangsa. Namun pengertian satu bangsa berbeda dengan pengertian bangsa dalam istilah bangsa- negara. Dalam konteks bangsa-negara, bangsa mencakup jumlah kelompok masyarakat (berbagai suku bangsa dan ras) yang lebih luas daripada dalam suku bangsa. Adanya kesamaan identitas kultural dalam suku bangsa lebih sempit cakupannya daripada identitas kulutal dalam bangsa-negara. 55 Para pendiri negara kita sejak dari semula menggagasi terbentuknya sebuah negara bangsa (nation state). Dalam pandangan politik Eropa, gagasan negara- bangsa adalah hal baru. Namun cikal-bakal gagasannya telah ada dan pernah terjadi secara nyata dalam zaman-zaman sebelum zaman modern sekarang ini. Sebagai bangsa besar, kita harus memahami pengertian “negara-bangsa” itu secara benar. Negara-bangsa merupakan suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh Indonesia. Dalam bahasa Arab, pengertian “bangsa” sering diungkapkan dengan istilah ummat, seperti “”, “Persatuan Bangsa”, yang terjemah Arabnya ialah “al-umam al-Muttahidah”, “Umat-umat Bersatu”. Sehingga “negara-bangsa” adalah negara untuk seluruh ummat, yang didirikan

54 Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1952), hlm. 91. 55 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 1992), hlm. 42. 35 berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu.56 Tujuan dibentuknya negara bangsa ini ialah guna mewujudkan maslahat umum (maslahat al-‘ammah) atau (maslahat al-mursalah), yakni kebaikan untuk seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali. Dari sini dapat dikatakan bahwa negara- bangsa bukanlah negara yang pembentukannya didasarkan atas kepeloporan seseorang tokoh kuat yang dominan seperti negara kerajaan, sebab semua kebijakan pemerintah harus dibuat dengan sepenuhnya tunduk kepada maslahat umum.57 Sementara itu semangat nasionalisme atau paham kebangsaan sebagaimana dikemukakan oleh , meminjam definisi Stanley Benn, bahwa berkaitan dengan nasionalisme, paling tidak ada lima hal yang melekat bersamanya, yakni: (1) semangat ketaatan kepada suatu bangsa (semacam patriotisme); (2) dalam aplikasinya kepada politik, “nasionalisme” menunjuk kepada kepada kecondongan untuk mengutamakan kepentingan bangsa sendiri; (3) sikap yang melihat amat pentingnya penonjolan ciri khusus suatu bangsa, dan, karena itu; (4) doktrin yang memandang perlunya kebudayaan bangsa untuk dipertahankan; (5) nasionalisme adalah suatu teori politik, atau suatu teori antropologi, yang memberi titik tekan bahwa manusia secara alami terbagi-bagi menjadi berbagai bangsa, dan bahwa ada kriteria yang jelas untuk mengenali suatu bangsa beserta para anggotanya itu.58 Sejarah pergerakan nasional Indonesia merupakan sejarah yang mencakup aliran-aliran dalam historis yang menuju ke arah pembentukan nasionalisme Indonesia. Pemahaman sejarah pergerakan nasional berarti pengetahuan atau penguasaan peristiwa-peristiwa penting yang berlangsung dalam rangka lepas dari belenggu penjajah, untuk menjadi negara adil dan makmur.

B. Sejarah Pergerakan Nasional Sejarah pergerakan nasional Indonesia dapat diartikan pula sebagai fenomena historis hasil dari perkembangan faktor ekonomi, sosial, politik, kultural dan religius

56 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 42. 57 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, hlm. 43 58 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan, 2013), hlm. 53. 36 yang saling berinteraksi. Karenanya, dapat dianggap sebagai gerakan ekonomi, sosial, politik, dan kultural yang memperluas motivasi dan orientasi aktivitas organisasi pergerakan.59 Tujuannya adalah untuk mencapai Indonesia merdeka, yang dijiwai oleh semangat persatuan dan kesatuan, sehingga melahirkan momentum sejarah yang amat penting. Tidak jauh berbeda, Kuntowijoyo (w.2005) mengartikan bahwa sejarah pergerakan nasional adalah timbulnya gagasan nasionalisme; golongan-golongan sosial; gerakan-gerakan agama; sosial, kebudayaan, pendidikan dan politik; dekolonisasi.60 Sementara Henk Shculte Nordholt mengartikan bahwa sejarah pergerakan nasional adalah alat revolusi dalam rangka revolusi Indonesia.61 Oleh karena itu, jika membaca sejarah pergerakan nasional bangsa Indonesia, hal itu meliputi periode sekitar empat puluh tahun, yang dimulai sejak lahirnya organisasi- organisasi modern yang menyuarakan nasionalisme dan kebangsaan sampai terbentuknya bangsa Indonesia pada tahun 1945, yang ditandai oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia.62 Gagasan tentang nasionalisme universal dikemukakan pertama kali oleh Haji Samanhudi pada Kongres Sarekat Dagang Islam di Surabaya pada 1911 dan dipertegas lagi pada kongres Sarekat Islam di Bandung pada 1916. Haji Samanhudi (w.1956) menyatakan dalam kongres Sarekat Dagang Islam di Surabaya tahun 1911 bahwa manusia pada prinsipnya dilahirkan dalam fitrahnya sebagai manusia yang bebas. Apabila dalam hidupnya manusia berada di bawah penindasan manusia lain, maka itu bertentangan dengan nilai dasar universal tersebut. Oleh karena itu, kebebasan yang menjadi ciri kehidupan harus diperjuangkan. Ajakan untuk memperjuangkan kebebasan itu oleh Haji Samanhudi dipertegas kembali pada Kongres Sarekat Islam di Bandung pada 1916 dengan menyatakan bahwa kebebasan

59 Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 3. 60 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, ), hlm. 55. 61 Henk Shculte Nordholt (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 117 62 Ayi Budi Santosa dan Encep Supriatna, Buku Ajar Sejarah Pergerakan Nasional (Dari Budi Utomo 1908 Hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945), (Bandung: Universitas Indonesia, 2008), h 2. 37 bagi umat Islam yang identik dengan penduduk pulau jawa hanya dapat diperoleh dengan mengusir penjajah dari tanah jawa.63 Penjajahan Belanda atas Indonesia berlangsung pada awal abad ke-20, yang diwarnai dengan munculnya kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda 1901. Kebijakan itu terkenal dengan sebutan “Politik Etis”, yang terdiri atas irigrasi, edukasi dan emigrasi. Kebijakan itu oleh sebagian sejarawan dianggap sebagai angin segar bagi bangsa Indonesia. Khususnya edukasi yang diusahakan oleh pemerintah kolonial, pada gilirannya telah menghasikan elite baru yang semakin menyadari tentang kedudukannya yang dibedakan dalam sistem masyarakat kolonial. Dari sinilah lahirnya gagasan yang direalisasikan dalam bentuk pergerakan modern.64 Pergerakan nasional ditandai dengan lahirnya organisasi-organisasi pergerakan. Pertama masa berdiri organisasi seperti Sarekat Islam, Budi Utomo,dan Indische Partij. Kedua, Masa radikal/nonkooperasi. Masa ini diawali dengan berdirinya organisasi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Perhimpunan Indonesia (PI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Ketiga, Masa moderat/kooperasi. Pada masa ini berdiri organisasi seperti Parindra, , dan Gapi. Selain itu juga berdiri organisasi keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi perempuan. Satu per satu pergerakan nasional tumbuh di Indonesia, seperti Sarekat Islam (1912), Indische Partij (1912), (1912). dan lain sebagainya. Bersamaan dengan itu, organisasi lokal dan regional, seperti Rukun Minahasa (1912), Perkumpulan Pasundan (1914), Sarekat Ambon (1920), Sarekat Celebes (1930) bermunculan bagaikan cendawan di musim hujan. Kaum pelajar juga tidak mau kalah ketinggalan. Kaum muda terdidik juga turut ikut serta mendirikan organisasi yang dikhususkan bagi mereka, sehingga lahirlah organisasi-organisasi

63 Taufik Abdullah.,eds, Indonesia Dalam Arus Sejarah: 5, Pergerakan dan Kebangsaan, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012), h.228 64 Iin Nur Insaniwati, : Karier Politik dan Perjuangannya, 1924-1968, (Magelang: Indonesia Tera, 2002) hlm. 13. 38 pemuda seperti Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Java (1918), (1925), Jong Celebes dan lain sebagainya.65 Semua organisasi yang berdiri sebelum tahun 1920 tersebut menunjukan gejala yang sama, yakni pencarian komunitas dan identitas baru yang masih terikat pada kebudayaan dan agama masing-masing. Pada periode ini, ide tentang kemerdekaan belum dirumuskan secara jelas karena pada umumnya organisasi tersebut belum membicarakan tentang bangsa, sehingga nasionalisme yang dikembangkan lebih bercorak kultural daripada politik.66 Dalam kaitannya dengan pembaharuan Islam sebagai perwujudan dari adanya gerakan pembaruan di Indonesia, maka muncullah tokoh-tokoh yang terkemuka. Di Sumatra muncullah tokoh seperti Syaikh Ahmad Khatib (w.1916) dari Minangkabau. Murid-muridnya antara lain Syaikh Djamil Djambek (w.1947), Haji (w.1945), dan Haji (w.1933). Sementara di Jawa, antara lain Kiai Haji (w.1923) dengan organisasi Muhammadiyah (1912), Haji Samanhudi dengan Sarekat Dagang Islamnya (1911), dan Haji Abdul Karim, pendiri Perserikatan Ulama (1913). Sebagaimana telah dijelaskan di muka, pada dasarnya pergerakan nasional ialah meliputi berbagai macam aksi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi secara modern ke arah perbaikan hidup bangsa Indoensia. Dalam hal ini, arah yang ingin dicapai ialah cita-cita nasional, yakni cita-cita mencapai kemerdekaan bangsa.67 Keinginan masyarakat Indonesia untuk melakukan pergerakan nasional dilatarbelakangi oleh keadaan bangsa yang memprihatinkan karena dampak dari penjajahan. Sebagai fenomena historis, Pergerakan Nasional merupakan hasil konvergensi dari berbagai faktor seperti politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan dengan semua interelasinya.68 Sebagaimana dipahami bahwa penjajah yang hadir di Indonesia telah menerapkan sistem eksploitasi kolonial, dengan ciri adanya dominasi politik, eksploitasi ekonomi, dan penetrasi kultural.

65 Iin Nur Insaniwati, Mohammad Roem: Karier.. hlm. 14. 66 Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 6. 67 Mohamad Sidky Daeng Materu, Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1985), hlm. 8. 68 Sartono Kartodirdjo, Kolonialisme dan nasionalisme di Indonesia abad 19-20, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1967), hlm. 78. 39

Pada perkembangannya sistem yang diterapkan Belanda mengalami perubahan. Sistem yang dianggap Belanda sudah tidak efisien diganti dengan sistem baru, yakni liberalisme, pada tahun 1870. Pada masa ini, sistem politik dan ekonomi yang diterapkkan di Indonesia adalah atas dasar liberal. Indonesia terbuka bagi modal Belanda dan Negara-negara Eropa lainnya. Mereka dengan mudah dapat membuka perkebunan-perkebunan, seperti: perkebunan teh, kopi, kina, gula dan lainnya, yang cukup luas dan tersebar merata di daerah jawa dan Sumatera Timur.69 Hasil politik Liberal, atau yang juga sering disebut Politik Pintu Terbuka tersebut ternyata lebih menguntungkan daripada Politik Tanam Paksa yang sebelumnya diterapkan. Meskipun Nampak tidak begitu memeras, namun sistem yang diterapkannya tersebut juga sama-sama bertujuan eksploitasi. Pada kisaran abad XX, munculah Politik Etis. Politik ini bisa dianggap sebagai antitesa atas sistem politik liberal kolonial yang selama ini dijalankan, sebab politik etis didasarkan pada nilai-nilai kesusilaan. Politik etis ini lahir karena ada anggapan bahwa bangsa Indonesia telah menyelamatkan Belanda dari kesulitan ekonomi, sehingga Belanda perlu melakukan balas budi. Salah satu pemimpin Liberal yang memiliki pengaruh besar dan menitikberatkan perlunya Politik Etis ini ialah Van Deventer (w.1915). Konsep politik etis tersebut bermula dari tulisannya dalam majallah De Gits terbitan bulan Agustus tahun 1899 yang berjudul “Een Ereschuld”. Van Deventer menyebutkan, penderitaan dan kemunduran ekonomi yang terjadi di antara penduduk pribumi disebabkan oleh eksploitasi kapitalisme Belanda yang gagal dalam mengangkat kesejahteraan penduduk.70 Van Deventer juga termasuk orang yang mengecam dicampuradukkannya keuangan negeri induk dengan negeri jajahan.71 Selain itu usulan Van Deventer yang terkemuka ialah bahwa pemerintah Belanda harus memperlihatkan budi baiknya dengan melakukan perbaikan-perbaikan dalam bidang pengairan, pendidikan, dan pemindahan penduduk. Ketiga usulan itulah yang selanjutnya familiar disebut dengan Trilogi Van Deventer.

69 Sartono Kartodirdjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Dep. Dik Bud, 1975), hlm. 90. 70 Juniarti, Raja Banawa Dari Belanda, (Semarang: Intra Pustaka Utama, 2004), hlm. 94. 71 Sartono Kartodirdjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia., hlm. 36. 40

Dalam praktiknya politik balas budi tersebut ibarat pepatah “jauh panggang dari api”. Pelaksanaanya tidak lebih hanya sebatas pengelabuhan semata, karena dijadikan simbol secara damai untuk memperoleh dominasi yang lebih kuat. Pada dasarnya ia juga merupakan eksploitasi. Misalnya, bahwa kaum imperialis menaruh perhatian pada pendidikan dan pengajaran, tetapi hal itu justru ditujukan agar penduduk bersedia mengabdi untuk kolonialisme Belanda.72 Di samping adanya rasa tidak suka akan penjajahan yang dilakukan oleh kaum kolonial, ada faktor-faktor lain yang menginspirasi kaum pribumi mendesak untuk melakukan pergerakan nasional. Faktor-faktor tersebut di antaranya ialah yang datang dari dalam negeri dan luar negeri. a. Faktor dari dalam negeri Faktor-faktor yang berasal dari dalam negeri,73 di antaranya ialah: Pertama, kenangan kejayaan masa lampau. Dalam hal ini, sebelum kedatangan bangsa Barat, di wilayah Nusantara sudah berdiri kerajaan-kerajaan besar seperti: Mataram, Sriwijaya, dan Majapahit, yang masing-masing memiliki masa kegemilangan. Kejayaan masa lampau tersebut menjadikan insiprasi untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Kedua, lahirnya golongan terpelajar. Pada awal abad 20, sejalan dengan diterapkannya Politik Etis, pendidikan menjadi salah satu aspek yang begitu diperhatikan oleh Belanda. Namun hanya sebagian kecil rakyat Indonesia yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah modern. Meskipun hanya sedikit, melalui penguasaan bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah modern tersebut, mereka dapat mempelajari ide-ide modern yang berkembang saat itu, seperti liberalisme, nasionalisme, demokrasi, pan-Islamisme, dan sejenisnya. Bahkan gagasan tentang pergerakan nasional pertama kali muncul dari kaum ini, baik yang ada di Tanah Air maupun di Negeri Belanda.74 Ketiga, penderitaan dan kesengsaraan akibat imperialisme. Imperialisme telah melahirkan penderitaan dan sangat menyengsarakan rakyat. Eksploitasi

72 Mohamad Sidky Daeng Materu, Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia, hlm. 9. 73 Iramdhan, Paham Nasionalisme dan Pergerakan Kebangsaan di Indonesia dari Tahun 1900-1942, dalam Jurnal SOSIO-E-KONS, Vol. 9 No. 1 April 2017, hlm. 50. 74 Ahmad Syafi’I Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: PT Mizan Publika, 2009), hlm. 93. 41 kekayaan yang diterapkan kaum penjajah di antaranya ialah dengan cara menarik pajak yang tinggi kepada pribumi. Pada masa ini, rakyat tertindas oleh dua belah pihak, yakni kaum feudal dengan hak-hak istimewanya dan dari Belanda dengan hak monopolinya untuk mengekspoitasi bumi Indonesia.75 Atas eksploitasi ini munculah ungkapan bahwa “Indonesia adalah gabus tempat negeri Belanda terapung”. Pada gilirannya politik drainage76 tersebut mencapai puncaknya saat mulai diterapkannya tanam paksa (cultuurstelsel) dan berlanjut pada sistem ekonomi liberal. b. Faktor dari luar negeri Faktor yang datang dari luar negeri, di antaranya: Pertama, Kemenangan Jepang terhadap Rusia pada tahun 1905. Kemenangan Jepang tersebut telah mematahkan anggapan yang selama ini mengemuka, bahwa Barat (Eropa) tidak bisa dikalahkan oleh Timur (Jepang). Kemenangan Jepang atas Rusia tersebut secara tidak langsung membawa kepercayaan yang kuat akan kekuatan bangsa Asia.77 Kedua, Kebangkitan nasionalisme Negara-negara Asia-Afrika. Hal tersebut telah memberikan dorongan kuat bagi bangsa Indonesia untuk melawan penindasan pemerintah kolonial. Di antara bangsa-bangsa yang berjuang melawan dominasi Barat, yang menginsipasi bangsa Indonesia tersebut di antaranya adalah: 1. Gerakan Turki Muda. Dengan tokoh utamanya Mustofa Kemal Pasha, gerakan ini berjuang untuk mencapai perbaikan nasib, yang telah melahirkan revolusi pada tahun 1908. Pada gilirannya, gerakan ini telah berhasil menjadikan negerinya menjadi bangsa modern. 2. Pemberontakan Boxer di China. Pemberontakan yang terjadi pada tahun 1899 ini berupaya untuk melawan kesewenang-wenangan bangsa Barat. 3. Kebangkitan nasionalisme India, dan kehadirannya tokoh karismatik, Mahatma Gandhi. 4. Kemerdekaan Cina pada 1912 sebagai buah daru Revolusi Tiongkok dan pembentukan Partai Kuomintang oleh Sun Yat Sen.

75 Soegeng Reksodihardjo, Dr. Cipto Mangunkusumo, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1992), hlm. 27. 76 Politik drainage yang dimaksudkan di sini ialah Pengerukan (pengambilan paksa) kekayaan Indonesia oleh Belanda pada saat Penjajahan, seperti dengan melakukan tanam paksa dan sejenisnya. 77 Mohamad Sidky Daeng Materu, Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia., hlm. 10. 42

5. Pemberontakan rakyat Filipina terhadap penjajahan Spanyol. Ketiga, Masuknya paham-paham baru. Dalam hal ini, terjadinya revolusi Amerika dan Reolusi Prancis telah melahirkan paham-paham baru seperti liberalisme, demokrasi, nasionalisme, dan sejenisnya. Sementara pada sisi yang lain ada gerakan Islam yakni pan-Islamisme. Adanya hubungan antara Eropa, Islam dan Asia telah menyebabkan paham-paham tersebut menyebar ke wilayah Asia, tak terkecuali ke Indonesia. a. Paham Barat 1. Liberalisme Secara sederhana liberalisme dapat dipahami sebagai paham yang mengutamakan kebebasan dan kemerdekaan individu. Istilah yang berasal dari bahasa Latin, libertas, tersebut memiliki artinya kebebasan, sementara dalam bahasa Inggris, liberty, yang artinya kebebasan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kebebasan ialah kebebasan individu untuk memiliki tempat tinggal, mengeluarkan pendapat, dan berkumpul. Di Negara Eropa, liberalisme didukung oleh kaum borjuis dan terpelajar di kota. Yang menjadi pokok bahasan utama dalam liberalisme adalah individu. Paham yang lahir dari reaksi atas penindasan yang dilakukan oleh kaum bangsawan dan kaum agama di zaman absolute monarchie ini beranggapan bahwa masyarakat harus mementingkan individu, sebab dalam komponen masyarakat terdiri atas individu- individu. Dengan kata lain bahwa masyarakat merupakan akibat dari adanya individu. Dengan begitu maka kemerdekaan individu harus dijamin.78 2. Sosialisme Paham ini menghendaki agar suatu masyarakat disusun secara kolektif, supaya mereka menjadi suatu masyarakat yang sejahtera. Tujuan sosialisme adalah untuk mewujudkan masyarakat sosialis. Caranya

78 Iramdhan, Paham Nasionalisme dan Pergerakan Kebangsaan di Indonesia dari Tahun 1900-1942, dalam Jurnal SOSIO-E-KONS, Vol. 9 No. 1 April 2017, hlm. 49. 43

dengan jalan mengendalikan sarana produksi secara kolektif, dan memperluas tanggung jawab negara bagi kesejahteraan rakyat. Bapak Sosialisme yakni Karl Marx mengemukakan bahwa sejarah masyarakat merupakan perjuangan-perjuangan kelas. Sementara semboyan mereka ialah "bersatulah kaum proletar sedunia." Paham ini memiliki titik tekan pada masyarakat bukan individu. Dengan demikian, sosialisme merupakan lawan dari liberalisme. 3. Demokrasi Dalam arti sempit, demokrasi dapat dipahami sebagai pemerintahan di tangan rakyat. Sementara dalam arti luas, demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mengakui hak segenap anggota masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam memengaruhi keputusan politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu tokoh pegiat demokrasi, yakni John Locke (1632 – 1704) mengamini perjuangan rakyat Inggris untuk menentang kekuasaan mutlak raja. Menurutnya, pemerintah hanyalah sebagai alat yang dibentuk untuk menjamin kepentingan rakyat terhadap hak-hak politis, mencakup hak individu, hak politik, hak atas kebebasan, dan hak milik. b. Paham Islam (Pan-Islamisme) Paham yang berasal dari gagasan Jamaluddin al Afgani (1839 – 1897) ini bertujuan untuk menyatukan umat Islam sedunia. Ide besar tersebut tidak bisa lepas dari kondisi abad ke-19 pada saat itu. Sebagaimana dipahami bahwa pada abad ini terjadi kemunduran di negara Islam. Sementara pada saat bersamaan terjadi kemajuan luar biasa di negara Barat, yang disertai dengan pengembangan kekuasaan (penjajahan). Menurut Jamaluddin, negara Islam dapat melawan penjajahan tersebut apabila mereka bersatu. Dengan melihat contoh campur tangan Inggris di Afganistan, di Mesir, di Irak, dan di Iran, ia yakin bahwa Islam memang harus bersatu. Pada gilirannya ide ini memperoleh dukungan hampir dari semua pemimpin Islam, tokoh intelektual. Sekaligus telah 44

menginspirasi negeri Islam untuk mengadakan gerakan nasional dalam melawan penjajahan. 79 Penderitaan-penderitaan yang telah lama dirasakan, ditambah lagi faktor- faktor yang mengemuka baik dari dalam maupun luar negeri tersebut, telah mendorong dan sekaligus sebagai katalisator untuk mempercepat lahirnya Pergerakan Nasional. Pergerakan Nasional pada saat itu bukanlah menjadi pilihan, melainkan suatu keharusan. Semangat pergerakan nasional yang melahirkan semangat nasionalisme Indonesia tersebut paling tidak memiliki tiga dimensi dalam rangka menumbangkan dominasi politik kolonial. Ketiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk membangun suatu masyarakat yang berkeadilan sosial dan menghentikan penetrasi kultural untuk menghidupkan kembali kepribadian bangsa ini. Pergerakan nasional ditandai dengan lahirnya organisasi-organisasi pergerakan. Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa masa Pergerakan Nasional dapat dibagi dalam tiga tahap berikut, yakni: masa pembentukan, masa radikal/nonkooperasi, dan masa moderat/kooperasi. Organisasi-organisasi yang lahir pada masa-masa tersebut memiliki corak dan ciri masing-masing. Meskipun demikian, tujuannya tetap sama, yakni mencapai kemerdekaan Indonesia dan melenyapkan kolonialisme yang sudah mengakar kuat di Indonesia.80 Bentuk pergerakan nasionalnya juga berbeda motif. Ada yang bermotif politik, agama, dan keduanya. Ketika Belanda resmi menyerah tanpa syarat kepada Jepang, maka seketika itu Indonesia merdeka dari kolonial Belanda. Namun, kesejahteraan yang diharapkan rakyat Indonesia masih jauh dari kenyataan. Pasalnya, menyerahnya Belanda berarti diserahkannya pula Indonesia kepada bangsa kolonial yang baru, yakni Jepang. Pada masa penjajahan Jepang, Jepang berusaha mengakomodir dua kekuatan, Islam dan Nasionalis, Jepang beranggapan bahwa organisasi-organisasi Islamlah yang sebenarnya memiliki massa yang patuh dan hanya dengan pendekatan agama,

79 Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 27. 80 Abdul Haq, Gerakan Islam di Korea dan Indonesia pada Awal Abad Kedua Puluh, (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985), hlm. 69. 45 penduduk Indonesia dapat dimobilisasi. Organisasi-organisasi besar Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persyarikatan Ulama, Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang kemudian dilanjutkan dengan Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) diperkenankan meneruskan kegiatannya. Hanya para pemimpin Islam di kalangan kelompok-kelompok elite Indonesia, diberikan izin untuk menerbitkan majalahnya sendiri. Dapat dikatakan bahwa posisi tertinggi pertama dalam pemerintahan militer yang secara resmi dipercayakan kepada orang Indonesia adalah jabatan Kepala Kantor Urusan Agama. Yang jauh lebih penting dari organisasi-organisasi Islam masa pendudukan Jepang, Masyumi diizinkan untuk mempertahankan identitasnya sampai akhir masa pendudukan. Para pemimpin federasi Islam pada akhirnya menjadi pegawai pemerintah, dan dipercayakan beberapa tanggungjawab dalam administrasi pusat dan daerah dalam masalah-masalah Islam. Orang-orang Islam masa pendudukan Jepang bukan saja memainkan peran utama dalam korps perwira angkatan bersenjata Indonesia yang didirikan pada masa pemerintahan Jepang, akan tetapi Masyumi sendiri diperkenankan untuk mengorganisir pasukan militer atas namanya sendiri.81 Bagi golongan Nasionalis dibentuk lembaga-lembaga baru, seperti Gerakan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia) yang hanya berumur beberapa bulan sejak Mei 1942, dan Poesat Tenaga Rakyat yang didirikan pada Maret 1943. Jepang kemudian menjanjikan kemerdekaan Indonesia dengan mengeluarkan maklumat Gunseikan no.23/29 April 1945, tentang pembentukkan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Keanggotaan BPUPKI didominasi oleh golongan nasionalis, yang disebut dengan golongan kebangsaan.82 Proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 15 Agustus, Jepang sudah menyerah tanpa syarat kepada sekutu, menandatangani instrument menyerah pada tanggal 2 September yang secara resmi mengakhiri perang pasifik dan perang Dunia II.

81 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, (Bandung: Pustaka Jaya. 1980), hlm.242 82 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo, 1993), hlm.264 46

C. Indonesia Pasca Kemerdekaan Ketika Jepang semakin terdesak dalam perang Pasifik, perdana menteri Kiniaki Kaiso di depan resepsi Ulimereo Diet (parlemen) yang ke-85 tanggal 7 September 1944 menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dalam waktu yang dekat. Sebagai realisasinya pada tanggal 9 April 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). BPUPKI terdiri atas 38 orang anggota, yang terdiri dari 8 orang Jepang dan 15 orang dari golongan Islam, dan selebihnya dari golongan nasionalis sekuler dan Jawa.83 Tugas BPUPKI adalah merumuskan bentuk negara, batasan negara, dasar filsafat negara, dan masalah-masalah lain yang perlu dimasukkan dalam konstitusi. Dalam sidang-sidangnya BPUPKI mengalami berbagai perdebatan ideologis yang sengit antara golongan Islam dengan golongan nasional sekuler tentang dasar-dasar negara yang akan diberlakukan di negara yang akan berdiri. Sebenarnya yang diperjuangkan oleh para tokoh Islam bukanlah realisasi negara Islam, tetapi lebih tepat pada adanya jaminan terhadap pelaksanaan syariat ajaran-ajaran Islam. Sedangkan golongan nasionalis yang dipelopori dan Muhammad Hatta menghendaki negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan

Islam.84 Untuk meredam perpecahan, akhirnya disepakati untuk membentuk “Panitia Sembilan” yang terdiri dari lima orang dari golongan sekuler, yaitu Sukarno, Muhammad Hatta, Achmad Subarjo, Muhammad Yamin dan A.A Maramis. Sedangkan golongan Islam diwakili oleh H. , Kiai Wahid Hasyim,

Abikusno, dan Abdul Kahar Mudzakir. Setelah bergumul selama lebih kurang 21 hari, akhirnya pada 22 Juni 1945 suatu sintesis dan kompromi politik dapat diwujudkan antara dua pola pemikiran yang berbeda. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Dalam piagam ini terdapat anak kalimat pengiring pada sila pertama: “dengan kewajiban

83 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru ,(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.154 84 M. Ali Haidar, dan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1998), hlm.239 47

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. 85 M. Hatta dalam sidang PPKI setelah kemerdekaan berhasil dengan mudah meyakinkan anggota bahwa hanya suatu konstitusi “sekuler” yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia. Maka demi persatuan bangsa, akhirnya anak kalimat itu pada tanggal 18 agustus 1945 dibuang dari pembukaan UUD 1945.86 Tujuh kata dalam anak kalimat yang tercantum dalam sila pertama Pancasila dengan segala konsekuensinya dihapuskan dari konstitusi. Bahkan kantor urusan agama seperti yang diperoleh Islam selama pendudukan Jepang, oleh panitia pun ditolak.87 Yang sedikit agak melegakan hati umat Islam adalah keputusan Komite Nasional Islam Pusat (KNIP), pengganti PPKI, yang bersidang tanggal 25, 26, dan 27 November 1945. Komite yang dipimpin oleh Sutan Syahir, pimpinan utama Partai Sosialis Indonesia (PSI) itu antara lain membahas usul agar dalam Indonesia merdeka ini soal-soal keagamaan digarap oleh satu kementrian tersendiri dan tidak lagi diperlakukan sebagai bagian tangung jawab Kementerian Pendidikan. Sedikit banyak keputusan tentang kementerian Agama ini merupakan semacam konsesi kepada kaum muslimin yang bersifat kompromi; kompromi antara teori sekuler dan teori muslim.88 Meskipun Departemen Agama dibentuk, namun hal itu tidak meredakan konflik ideologi pada masa sesudahnya. Di beberapa wilayah pinggiran, beberapa kelompok Muslim menolak sikap kompromi ini dan bersikeras untuk bertempur demi merealisasikan sebuah negara Islam. Di antara gerakan pemberontakan Islam yang terbesar adalah Dâr al-Islam, yang didirikan oleh mantan aktivis Sarekat Islam

85 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia ., hlm.29 86 Alasan penerimaan perubahan Piagam Jakarta dari golongan Islam ada tiga: pertama, golongan Islam yang menerima penghapusan tujuh kata tersebut atas lobbi M. Hatta dalam pembicaraan mereka pada pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945.lagipula kata ketuhanan ditambahkan dengan “Yang Maha Esa” menurut interpretasi golongan Islam tentang kalimat itu adalah nama lain dari tauhid dalam Islam, sebab Islam lah yang mengenal keesaan Tuhan (tauhid). Kedua, suhu politik sehari setelah proklamasi, terutama di Jakarta, sangat tinggi, maka tidak harus mengalami perdebatan-perdebatan yang mengancam persatuan bangsa. Ketiga, golonggan Islam berharap setelah enam bulan setelah proklamasi akan diadakan pemilihan umum dimana mereka akan ikut serta dan yakin akan memenangkannya mengingat jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru , hlm.157 87 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 265 88 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam ., hlm.266 48 bernama Kartosuwiryo. Ia berperang melawan Belanda pada tahun 1947 dan pada tahun 1948 ia tidak mau menerima perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda, keluar dari partai Masyumi, bertahan untuk melanjutkan pertempuran militer dengan caranya sendiri, dan menyatakan dirinya sebagai imam untuk sebuah pemerintahan Islam sementara, Negara Islam Indonesia. Negara Islam ini ditegaskan sebagai negara yang berdasarkan al-Qur’an dan hadis, dan sebuah republik konstitusi dengan sebuah parlemen hasil pemilihan. Sang imam, yang dipilih oleh parlemen, merupakan kepala negara. Negara baru tersebut menegaskan bahwasanya negara memberikan perlindungan yang sama di muka hukum, hak standar kehidupan yang tinggi, dan kebebasan beribadah, berbicara, dan perwakilan untuk seluruh warga. Pertempuran militer melawan Belanda dan belakangan melawan Republik Indonesia terus berlangsung hingga gerakan ini akhirnya dibasmi pada tahun 1962.89 Setelah wakil Presiden mengeluarkan maklumat no.x tentang diperkenankannya mendirikan partai-partai politik, tiga kekuatan muncul kembali. Pada tanggal 7 November 1945 Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) lahir sebagai wadah aspirasi umat Islam, 17 Desember 1945 Partai Sosialis yang mengkristalisasikan falsafah hidup Marxis , dan 29 Januari 1946, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mewadahi cara hidup nasionalis “sekuler” pun muncul. Partai- partai yang berdiri sesudah itu dapat dikategorikan ke dalam tiga aliran utama ideologi yang terdapat di Indonesia di atas. Tiga kekuatan ideologi di atas memunculkan tiga alternative dasar Negara: Islam, Pancasila, dan Sosial Ekonomi. Tetapi dalam perjalanan sidang Konstituante itu, perdebatan ideologis mengenai dasar negaranterkristal menjadi Islam dan Pancasila. 90 Selain munculnya perbedaan ideologi dalam masyarakat Indonesia, setelah proklamasi bangsa Indonesia juga masih harus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari pihak-pihak yang ingin menguasai kembali tanah air Indonesia. Indonesia pada era 1945-1949 dimulai dengan masuknya Sekutu diboncengi oleh Belanda (NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang, dan

89 Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam :III, (Jakarta: Grafindo,200), hlm.339 90 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 267 49 diakhiri dengan Pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai posisi kabinet, Aksi Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya. 15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Pihak Sekutu di Perang Dunia II. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook. Peristiwa konflik pertama yang terjadi pasca kemerdekaan adalah peristiwa 10 November 1945 atau pertempuran Surabaya. Pertempuran yang terjadi antara Belanda dan Indonesia dilatarbelakangi oleh perbedaan persepsi mengenai kepemilikan senjata. Tentara Keamanan Rakyat dan rakyat Indonesia yang baru saja mendapatkan senjata rampasan dari tentara Jepang diperintahkan untuk menyerahkan kembali senjata tersebut kepada sekutu. Hal ini dilakukan Belanda untuk melemahkan pertahanan Indonesia demi keinginan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Bandung Lautan Api, merupakan peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung pada tanggal 24 Maret 1946. Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul dan membumbung tinggi di udara, dan semua listrik padam. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga terjadilah pertempuran, pertempuran terbesar terjadi di Dayeuhkolot yang terletak di sebelah selatan Bandung, terdapat gudang amunisi besar milik tentara sekutu. Dalam pertempuran ini, Muhammad Toha dan Ramdan anggota dari BRI (Barisan Rakyat Indonesia) menghancurkan gudang tersebut. Pembumihangusan Bandung dianggap sebagai strategi yang tepat dalam perang kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat Indonesia tidak 50 sebanding dengan kekuatan sekutu dan NICA. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya.91 Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jenderal datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Loard Killean. Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat - terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut : Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949, Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya. Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.92 Van Mook kepala Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dengan gigih memecah RI yang tinggal 3 pulau ini Bahkan sebelum naskah itu ditandatangani

91 Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia: Dari Era Klasik Hingga Terkini, (Yogyakarta: Diva Press, 2014), hlm.324 92 George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, (Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 248 51 pada tanggal 25 Maret 1947, ia telah memaksa terwujudnya Negara Indonesia Timur (NIT), dengan presiden Sukowati, lewat Konferensi Denpasar tanggal 18 Desember 1946.93 Pada bulan tanggal 25 Maret 1947 hasil perjanjian Linggajati ditandatangani di Batavia Partai Masyumi menentang hasil perjanjian tersebut, banyak unsur perjuang Republik Indonesia yang tak dapat menerima pemerintah Belanda berdaulat di seluruh Indonesia. Dengan seringnya pecah kekacauan, maka pada prakteknya perjanjian tersebut sangat sulit sekali untuk dilaksanakan. Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa, memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara militer negara baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat tergantung pada Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan kekuatan RI hengkang dari Jawa Barat.94 Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya Negara Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Belanda terus "mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisionil' mereka yang pertama.95 Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera,

93 George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, hlm. 250 94 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, hlm. 10 95 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, hlm. 16 52 perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggajati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda. Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik. Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1 Agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi Tiga Negara, yang terdiri dari wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .96 Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh kedua belah pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggajati, karena plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi yang direncanakan

96 George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, hlm. 281 53

Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia Serikat. Pada tanggal 19 Januari 1948 ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggajati : hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten tetap daerah Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer.97 Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama dan sesudah perundingan Linggajati. Seperti melalui persetujuan Linggajati, melalui perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama, jantung Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan Seperti sesudah persetujuan Linggajati, pribadi lain yang jauh dari pusat kembali diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir, kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap langsung bertanggung jawab jika sesuatu salah atau dianggap salah. Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya pemerintahan Amir Sjarifuddin. Seluruh anggota yang tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Soekarno menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidensil' darurat (1948- 1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.98 Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama terdiri dari orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-

97 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, hlm. 24 98 George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, hlm. 292 54 pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta. Agresi Militer II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Syafruddin Prawiranegara adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II Dengan bedirinya PDRI, roda pemerintahan tetap berjalan walaupun hanya pemerintahan darurat.99 Dengan adanya PDRI dan Sjafruddin Prawiranegara dipilih sebagai pejabat Presiden sementara maka eksistensi Negara Indonesia tetap ada serta merdeka dan berdaulat karena dihadapan pemerintah Belanda, pemerintahan RI de facto di pimpin oleh Soekarno dari penjara, meskipun sebenarnya de jure pemerintahan berada di tangan Syafruddin Prawiranegara dan kedudukan Soekarno yang berada dalam tahanan bukan lagi sebagai kepala Negara yang merdeka dan berdaulat. Jadi, dengan diberikan mandat dari Presiden kepada kepala pemerintahan darurat RI maka posisi Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat Presiden sementara (Ketua PDRI) karena hanya sebagai pemegang jabatan sementara saja berdasarkan mandat yang diterimanya dari Presiden Pertama RI Soekarno.100 Sehari setelah PDRI didirikan, Sjafruddin Prawiranegara selaku ketua PDRI menyampaikan pidato radio yang ditransmisikan ke seluruh stasiun radio. Isi pidato itu ialah, “Belanda berhasil menawan Presiden dan Wakil Presiden dan mengira dengan ditawannya para pemimpin tertinggi, menyebabkan aparatur Negara putus asa. Negara Republik Indonesia tidak hanya Soekarno – Hatta sekalipun keduanya merupakan pemimpin. Hilangnya Soekarno - Hatta sementara atau selamanya, rakyat

99 Adnan Buyung Nasution, Benteng Republik di Masa Revolusi ., dalam buku Mr Syafruddin Prawiranegara: Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah, (Jakarta: Republika, 2011), hlm. 28 100 Adnan Buyung Nasution, Benteng Republik di Masa Revolusi ., dalam buku Mr Syafruddin Prawiranegara: Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah ., hlm. 29 55

Indonesia tetap menghadirkan pemerintahan baru”. Kepada seluruh angkatan perang Republik Indonesia Sjafruddin Prawiranegara juga menyerukan pertempuran di tiap tempat dengan berbagai cara untuk membasmi Belanda. Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem-Roijen.101 Selanjutnya perundingan kembali terjadi antara Indonesia dan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar, merupakan pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949, yang menghasilkan kesepakatan: Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat dan Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.102 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, berselang empat tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan ketika penyerahan kedaulatan ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.

D. Perjuangan Masyarakat Keturunan Arab di Indonesia

1. Asal-Usul Imigran Arab

Keberadaan orang-orang Arab di Indonesia tidak ada secara serta merta atau tiba-tiba ada. Ia memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang. Apalagi jika melihat bahwa ternyata para pahlawan Indonesia tidak sedikit dari mereka adalah keturunan Arab. Untuk semua itu, kiranya perlu mengkajinya dalam lingkup sejarah yang cukup memadai.

101 Adnan Buyung Nasution, Benteng Republik di Masa Revolusi ., dalam buku Mr Syafruddin Prawiranegara: Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah ., hlm. 30 102 Adnan Buyung Nasution, Benteng Republik di Masa Revolusi ., dalam buku Mr Syafruddin Prawiranegara: Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah ., hlm. 551 56

Pada umumnya orang Arab yang berdiam di Indonesia berasal dari Hadramaut, daerah pesisi di Tanah Arab paling selatan, yaitu di Yaman (sekarang). Kedatangan mereka umumnya untuk berdagang, menjual barang-barang jadi dan membeli rempah-rempah dari negeri kepulauan Indonesia. Menurutnya, kontak dagang itu telah terjadi jauh sebelum Indonesia kedatangan bangsa Eropa. Tetapi perjalanan dagang tersebut tidak semuanya langsung mencapai Indonesia. Ada yang datang melalui Gujarat (pesisir barat India).103 Hadramaut tertelak di sudut barat daya Jazirah Arab, membentar sekitar empat puluh tujuh tahun sampai lima puluh satu derajat bujur timur. Dalam sejarahnya, Hadramaut telah dipisahkan dari wilayah Arab oleh Rub al-Khali, atau Empty Quarter, yakni sebuah kawasan kosong yang merupakan suatu dataran gurun yang luas sampai ke wilayah utara.104 Sebagai konsekuensinya, kaum Hadrami yang bermukim atau tinggal di dataran tinggi sudut Samudra Hindia memandang wilayah selatan dan timur sebagai tujuan kontak ekonomi dan budaya, yang perdagangan maritimnya sudah aktif sejak sekitar lima abad SM. Setelah mengalami zaman kemunduran pada abad 300 M, mereka bangkit kembali sejak masuknya Islam ke Arab Selatan. Sekitar sejak 10 abad M, para pedangan Hadrami kembali menjelajahi Afrika Timur dan India. Hingga mereka berhijrah ke Asia Tenggara guna mencoba berdagang dan mencari penghidupan yang lebih memadai, yang tidak dapat ditemukan dan disediakan oleh tanah airnya. Van Den Berg dalam buku Orang Arab di Indonesia menjelaskan bahwa pada abad pertenaghan telah terjalin hubungan dagang yang cukup erat antara Arab Selatan, khususnya Maskat, Teluk Persia dan Nusantara. Dapat dikatakan bahwa para navigator dan pedagang Arablah yang telah memperkenalkan Islam di Nusantara. Pertama, di negeri Aceh, kemudian Palembang dan pada abad XVIII di Pulau Jawa.105 Sementara itu para ahli lainnya menenggarai bahwa rute perdagangan tetap antara Arab Selatan dan Kepulauan Asia Tenggara dimulai sejak abad ketujuh. Adapun gelombang pertama migrasi ke Nusantara berlangsung sekitar akhir abad

103 Zulyani hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), hlm. 30. 104 Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan: Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan, (Jakarta: Buku Kompas, 2014), hlm. 9. 105 Van Den Berg, Orang Arab di Nusantara, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 95. 57 kedelapan belas. Di sejumlah kota di Indoensia, mereka membentuk koloni seperti di Jakarta, Cirebon, Aceh, Tegal, Semarang, Surabaya, , Palembang, Aceh, Gresik, Pontianak, dan lain-lain. Oleh sebab mayoritas penduduk wilayah Nusantara beragama seperti mereka yakni Islam, maka orang-orang Hadrami dengan mudah melakukan perbauran. Mereka yang berhijrah ke Indonesia semuanya laki-laki, karena yang perempuan dilarang berhijrah. Karenanya, mereka selanjutnya melakukan perkawinan dengan masyarakat pribumi.106

2. Lapisan Sosial Keturunan Arab di Nusantara

Orang-orang Arab terbagi dalam berbagai suku bangsa (qabilah) dan perkauman, serta beberapa lapisan sosial di daerah asalnya. Identitas itu paling mudah dikenali dari nama kaum atau hamula (kelompok kekerabatan). Itu sekaligus menjadi sebab bahwa nama kaum sangat penting bagi mereka. Kelompok kekerabatan itu dapat ditelusuri sampai kepada tokoh cikal-bakal. Dengan begitu orang Arab bisa ditelusuri identitas dirinya sejak dari ‘keturunan siapa?’, ‘qabilah apa?’, ‘sub-qabilah apa?’ dan akhirnya ‘keluarga siapa?’. Sementara itu, nama keluarga orang Arab didasarkan atas garis keturunan laki-laki. Dengan kata lain, orang-orang Arab yang datang ke Indonesia ternyata memiliki sistem pelapisan sosial yang cukup unik. Beberapa pelapisan sosial tersebut di antaranya107: pertama, golongan Ba Alwe atau Al alwe. Golongan ini terdiri dari sayid (tuan) yang biasanya disematkan kepada mereka yang berasal dari keturunan Husin108, dan syarif (orang terhormat) yang digunakan oleh orang-orang keturunan Hasan. Jika orang-orang dari golongan ini memiliki anak perempuan, maka kepadanya diberi gelar Syarifah. Golongan pertama ini biasanya berperan dalam bidang keagamaan, perdagangan, dan politik. Keturunan Syekh Abu Bakar, al-Idrus, al-Atas, al-Ahbsyi, al-Haddad dan lain sebagainya adalah golongan dari lapisan pertama yang ada di Indonesia.

106 Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan: Membangun Bangsa Merajut., hlm. 10. 107 Zulyani hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, hlm. 30 108 Hasan dan Husen merupakan cucu Nabi Muhammad dari anak perempuannya Fatimah. 58

Kedua, golongan al-Qabail artinya yang memanggul senjata. Golongan ini biasanya golongan yang menjadi pemimpin qabilah, penguasa dan sulta-sultan. Oleh karena kekuasaannya, maka golongan kedua ini lebih menonjol daripada golongan pertama. Golongan kedua ini antara lain: al-Kethiri, al-Fas, al-Faris, al-Makarim, al- Jabri, Bin Thalib, Bin Mari, Bin Badar, Bin Khamis, dan sebebagainya. Ketiga, golongan Masyaik atau Masyaikh. Mereka ialah orang-orang yang memiliki keahlian dalam ilmu pengetahuan, khususnya keagamaan. Di Negara Indonesia, mereka antara lain keeturunan dari keluarga al-Bafathol, al-Bawazir, al-Amudi, al-Ishak Bin Afif, dan seterusnya. Keempat, golongan al-Qerwan. Mereka ialah orang-orang yang terdiri dari kelompok keluarga yang memiliki keterampilan khusus, seperti tukang kulitm tukang besi, tukang emas, tukang kayu, dan sebagainya. Kelima, golongan al- Khertan atau para petani.109

3. Interaksi Sosial Keagamaan

Interaksi antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Arab, khususnya yang berasal dari Haframaut (Yaman), telah terjalin sekal masuknya agama Islam ke Indonesia. Yang membawa dan menyebarkan Islam ke wilayah Indonesia adalah para pedagang yang berasal dari Hadramaut. M. Riza Sihbudi dalam buku Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek menjelaskan bahwa bahwa sejak saat itulah jumlah orang-orang Arab yang ada di wilayah Belanda, khususnya yang berasal dari Hadramaut semakin banyak. Kebanyakan dari mereka adalah kaum Adam, yang kemudian sebagian besar dari mereka menikahi110 penduduk pribumi.111 Di kota-kota

109 Zulyani hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia.., hlm. 30 110 Dalam kaitannya dengan penggolongan lapisan dengan pernikahannya dengan penduduk pribumi, mereka cenderung menyesuaikan diri, yakni dengan menganggap bahwa asal-usulnya masih ‘murni’ atas golongan yang terlahir dari perkawinan laki-laki Arab dengan wanita pribumi. Golongan pertama disebut walaiti, sementara golongan kedua disebut muwalla. Golongan kedua tersebut dianggap lebih rendah oleh golongan pertama, karena memiliki darah keturunan pribumi. Namun golongan kedua inilah yang justru mau berbaur dengan penduduk setempat, sehingga membuat mereka lebih mudah diterima daripada suku bangsa keturunan asing lain. (Lihat: Zulyani hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia..,hlm.30). Selain itu interaksi tersebut melahirkan ekses berupa pudarnya tradisi Arab dalam berbahasa dan berbusana. Orang Arab campuran cenderung menggunakan budaya Pribumi. Mereka lebih sopan dan mudah bergaul, dibanding dengan orang Arab yang lahir dari Hadramaut. (LihatL Van Den Berg, Orang Arab di Nusantara., hlm. 194. 111 M. Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 19. 59 besar Jawa, golongan Pribumi yang kaya karena memiliki usaha/industri berusaha mencari hubungan erat dengan orang Arab. Apabila ia menyelenggarakan pesta, orang Arab selalu diundang. Hal tersebut dipercaya dapat menaikkan harga dirinya, lebih lagi jika orang Arab tersebut dapat diambil sebagai menantu atau iparnya. Jika orang Arab dapat memiliki istri dari kaum elite, hal itu berbeda dengan orang Cina dan Eropa. Orang Cina yang ingin mempersunting orang Pribumi, hanya dapat memperolehnya dari kelas bawah. Begitu juga dengan orang Eropa yang jarang sekali mengakui secara sah isteri dari golongan Pribumi. Orang Eropa ini biasanya mencari gundik dari kelas bawah.112 Orang Arab berhasil dalam hal ini. Tidak sampai di situ, bahkan yang berasal dari golongan sayid dan/atau syarif, mereka bisa mendapatkan puteri raja. Pada tahun 1859 jumlah orang Arab diperkirakan 4992 orang, dan bahkan hingga tahun 1885 jumlah mereka mencapai 10.888 orang. Dalam pada itu, Hamid Algadri dalam buku Islam dan Keturunan Arab: dalam Pemberontakan Melawan Belanda mengatakan bahwa Menurut sensus Belanda pada tahun 1930, orang Arab seluruhnya (keturunan Arab dan Arab asli) berjumlah 71.345 jiwa. Hal itu tentu meningkat pesat dibandingkan tahun 1905 yang baru berkisar 30.000 jiwa, dan 45.000 jiwa di tahun 1920. Sementara pada saat yang bersamaan (tahun 1930), jumlah penduduk Indonesia seluruhnya sebanyak 60,593 juta orang.113 Pada waktu itu juga tentu sudah terjadi interaksi antara masyarakat pribumi dan orang-orang Arab. Pada saat itu interaksi penduduk Indonesia dan orang-orang Arab sudah begitu massif. Selain dalam konteks pernikahan dalam kehidupan sosial, interaksi lain dalam hal ekonomi juga menjadi hal yang tidak bisa ditinggalkan. Sebagaimana dikemukakan oleh Van Den Berg, terletak pada jenis sarana kehidupan mereka.114 Pengaruh orang Arab terhadap perekonomian golongan Eropa dan Cina relatif kecil, karena jumlah mereka yang tidak begitu banyak dan modal yang terbatas. Begitu juga bagi penduduk Pribumi. Golongan Cina dan Eropa tidak begitu signifikan. Salah satu yang menjadi sarana kehidupan pribumi pada saat itu ialah

112 Van Den Berg, Orang Arab di Nusantara., hlm. 184. 113 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab: dalam Pemberontakan Melawan Belanda, (Jakarta: Mizan, 1996), hlm. 185. 114 Van Den Berg, hlm. 182 60 berhutang. Meskipun mengandung riba, namun penduduk Pribumi hanya dapat meminjam hutang kepada golongan Arab. Hal ini bukan berarti penduduk Pribumi tidak boleh meminjam kepada selain golongan Arab, namun golongan Arablah yang pandai menarik simpati masyarakat. Saat menjual barang-barang dagangan, golongan Arab cenderung menerapkan sistem cicilan, sementara yang lain cenderung tunai. Melekatnya unsur riba yang diterapkan orang Arab bagaimanapun juga, oleh Berg, dipandang bersifat positif. Ia menguntungkan kaum pribumi. Mereka berperan sebagai penghubung dengan orang Eropa atau Cina dengan masyarakat yang setengah, atau bahkan benar-benar biadab.115 Interaksi yang lainnya ialah bidang keagamaan. Dalam konteks ibadah haji dan/atau menuntut ilmu agama misalnya, jumlah orang-orang Indonesia yang pergi ke Mekah, Saudi Arabia, semakin meningkat. Deliar Noer mengungkapkan bahwa tahun 1886 orang-orang Hindia Belanda yang pergi ke Mekah mencapai 5000 orang, tahun 1890: 7000 orang, dan tahun 1899-1909 rata-rata mencapai 7300 orang.116 Orang-orang yang datang ke Indonesia tidak saja yang berasal dari Hadramaut. Negara-negara Arab lain seperti Maroko, Saudi Arabia, Mesir, , dan Palestina juga menapakkan ‘kakinya’ ke Indonesia.117 Motif utama orang-orang Arab datang ke Indonesia ialah untuk berdagang. Namun seiring dengan berjalannya waktu, perhatian mereka juga dicurahkan pada bidang agama dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, masyarakat Arab berhasil membentuk lembaga pendidikan di beberapa daerah. Di Jakarta misalnya, orang-orang Arab mendirikan sekolah bernama Jamiatul Khair. Lembaga yang didirikan pada 1901 oleh keluarga Shahab, Ali dan Idrus serta Syekh Said Basandi ini resmi diakui oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905. Itu pun dengan syarat tidak boleh membuka cabang di luar Batavia118. Kendati demikian, organisasi yang tempat berdirinya berada di Jl. Pekojan I, Tambora, Jakarta Barat ini selanjutnya tersebar ke berbagai daerah, sekalipun dengan nama yang berbeda.119 Lembaga pendidikan tersebut di antaranya

115 Van Den Berg, Orang Arab di Indonesia, hlm. 183 116 Deliar Doer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, hlm. 30. 117 M. Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah: Masalah dan.., hlm. 20. 118 Batavia adalah nama kota sebelum diubah menjadi Jakarta. 119 Hadiyansyah (ed), Masjid-Masjid Bersejarah Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 107. 61 adalah Al-Jam’iyah al-Arabiyah al-Islamiyah yang didirikan pada tahun 1911 di Solo dan Al-Irsyad yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Soorkati pada 1913. Organisasi-organisasi tersebut mempunyai peranan penting dalam rangka mempererat hubungan antara orang-orang Arab dan penduduk pribumi. Apalagi pada saat itu lembaga pendidikan tersebut mendatangkan guru-guru dari Negara Arab secara langsung. Selain mempererat hubungan kultural, interaksi tersebut juga mengakibatkan terjadinya perkembangan Islam di masing-masing wilayah. Hal itu disebabkan misalnya, kedatangan kaum cendikiawan dan ulama Arab juga dibarengi dengan masuknya penerbitan dari Arab ke Indonesia. Beberapa penerbitan tersebut antara lain: Al-Want (Kairo), Al-janna (Beirut), Rawdat al-Iskandariyah (Iskandaria), Al-Jawaib (), Al-Ahram (Iskandaria), Tsamarat al-Funun (Beirut), Al-Insan (Istanbul), Lisan al-Hal (Beirut), Al- dan Al-‘Urwat al-Wutsqa (Paris).120

4. Reaksi Keturunan Arab Terhadap Gerakan Nasional

a. Adat-Istiadat Perkembangan sosial masyarakat Indonesia selaras dengan kesadaran akan identitas nasional cukup memengaruhi identitas diri keturunan Arab. Hal ini sebagai konsekuensi logis, misalnya atas berlakunya pelapisan sosial yang ada pada orang- orang Arab. Pergerakan dan kebangkitan nasionalisme telah memengaruhi sikap sosial mereka. Hal tersebutlah yang mendorong gerakan modernism Arab Indonesia. Salah satu hasilnya adalah penyempitan golongan Keturunan Arab menjadi dua, yaitu: golongan Ba alwe atau Al alwe dan golongan Al Irsyad yang menyebut dirinya Irsyadin. Kedua golongan tersebut masih tetap mencermintakan pengelompok berdasarkan garis keturunan. Bahwa golongan pertama merasa sebagai keturunan Nabi, sementara yang kedua menganggap diri sebagai keturunan Arab yang lebih terbuka dan moderat. Hubungan antara keduanya dalam aktivitas sehari-hari tidak bisa harmonis. Hal ini dikarenakan adanya sikap yang secara cukup ketat mengagungkan kemurnian keturunan. Dapat disinyalir bahwa perkawinan antar kedua golongan tersebut tidak muda terjadi.

120 M. Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah: Masalah dan.., hlm. 21 62

Bagi keturunan Arab, hubungan kekerabatan sangatlah penting. Bentuk keluarga yang terjadi cenderung keluarga luas terbatas. Pada bentuk ini keluarga batih (ahlel) yunior lebih suka tinggal bersama dalam lingkungan rumah tangga senior (ahlel bet). Keturunan Arab di Pekalongan misalnya, pengertian ahlel diartikan keluarga batih (terdiri dari ayah ibu dan anak-anak yang belum kawin). Bisa pula diartikan keluarga luas atau famili atau kesatuan saudara dekat. Yang termasuk dalam saudara dekat adalah mereka yang berasal dari garis keturunan satu kakek-moyang. Tentu saja masih saling mengenal. Hal tersebut tanpa mengecualikan pada garis keturunan nenek moyang. Banyak kasus keturunan dari pihak wanita sampai dua generasi ke bawah juga dapat digolongkan keluarga ini. Menurut adat orang Arab di Indonesia, perkawinan yang ideal adalah antara seolang laki-laki dengan gaadis anak saudara perempuan ayah. Dengan begitu perkawinan tersebut cenderung bersifat endogamy klen (kawin dalam lingkungan keluarga sendiri). Namun sementara ini sebagaian orang Arab sekarang lebih suka mengembangan kekerabatan melalui perkawinan keluar klen, yang berarti mempererat hubungan sesame keturunan Arab.121 Di Indonesia, orang Arab dikenal sebagai pedangang. Kendati demikian, mereka tidak ekspansif seperti orang Cina. Mereka lebih dikenal sebagai pedangan atau pengusaha tekstil, rempah-rempah, perkayuan dan permata. Namun saat ini corak generasi Arab Indonesia lebih beragam. Mereka dapat merambat ke dalam pekerjaan politik, teknokrat, dan birokrasi. Hal ini terjadi lantaran mereka memiliki kemampuan berbaur yang tinggi. b. Membentuk Partai Politik Dalam segi kebudayaan, orang-orang Arab sudah memiliki corak pekerjaan yang beragama. Mereka tidak lagi berkutat pada aspek perdagangan, sebagaimana motivasi awal mereka berhijrah ke Nusantara. Saah satu ranah yang mulai ditapakki orang-orang Arab ialah pada pekerjaan politik. Pada tahun 1930-an, orang-orang Indonesia keturunan Arab, yang biasanya disebut sebagai golongan Indo-Arab mulai terlibat dalam kegiatan politik. Kiprah keturunan Arab dalam bidang politik sudah berlangsung sejak lama. Namun baru nampak saat mereka mereka mendirikan

121 Zulyani hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia..,hlm. 32 63

Persatuan Arab Indonesia (PAI)122 tahun 1934. PAI didirikan oleh Abdurrachman Baswedan, salah satu poltisi Indo-Arab yang menonjol.123 Jika menelisik sejarahnya lebih dalam, proses pendirian PAI itu tidak gampang. Semua itu tidak terlepas dari kerja keras A.R Baswedan. Pada waktu itu ia menggalang koloni-koloni masyarakat Arab yang ada di Indonesia untuk menghadiri Konferensi Masyarakat Arab di Semarang. Wakil-wakil dari Al Irsyad dan Arrabitah dari berbagai kota berkenan menghadiri konferensi tersebut. Pada gilirannya pertikaian dan perdebatan antara kedua kelompok itu tidak dapat dihindarkan. Namun pada akhirnya, konferensi tersebut menyepakati untuk membentuk sebuah organisasi masyarakat Arab di Indonesia yang diberi nama (PAI), dan dikhususkan untuk Arab peranakan saja.124 Momen konferensi125 tersebutlah yang dikenal dengan Sumpah Pemuda Keturunan Arab. Awal mulanya, PAI berbentuk persatuan. Karena suhu politik menentang penjajah meningkat, pada tahun 1940-an PAI mengubah namanya menjadi Partai Arab Indonesia. Perubahan tersebut sekaligus membawa pesan tersirat bahwa telah lahir kesadaran baru masyarakat Indonesia untuk secara proaktif terlibat dalam persoalan kebangsaan yang dihadapi oleh bangsa. Orang-orang Arab tidak lagi mengidentifikasikan dirinya sebagai orang asing. Sebalinya mereka merasa bahwa mereka telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Kompromi pun dilakukan untuk melepaskan gelar “syarif” dan “sayid”. Sementara itu penggunaan kata “Arab” tetap dipakai bukan berarti mereka hendak mempertahankan identitasnya. Akan tetapi hal tersebut dilakukan tidak lain hanya untuk menggalang solidaritas semata. Sebetulnya persoalan kebangsaan pada saat itu menjadi salah satu hal yang cukup mendapat perhatian serius oleh orang-orang Arab. Di satu sisi terdapat

122 Ketika PAI berdiri PNI telah membubarkan diri akibat desakan dari pemerintah Belanda. Pemimpinnya, Soekarno dimasukkan ke dalam penjara. Selanjutnya Hatta dan Syahrir membentu PNI-Baru. Tidak berlangsung lama, partai itu juga harus bubar dan mereka diasingkan di Digul. 123 M. Riza Sihbudi, dkk, Konflik dan diplomasi di Timur Tengah, (Bandung: PT Eresco, 1993), hlm. 154. 124 Dundin Zainudin, Dinamika kewarganegaraan kelompok sosial di perkotaan: studi kasus di Bandung dan Semarang, (Jakarta: LIPI, 2010), hlm. 138. 125 Dalam Wikipedia Ensiklopedia Bebas disebutkan dalam konferensi itu disepakati pengurusan PAI sebagai berikut: AR Baswedan (Ketua), Nuh Alkaf (Penulis I), Salim Maskati (Penulis II), Segaf Assegaf (Bendahara), Abdurrahim Argubi (Komisaris). Tokoh PAI lainnya adalah Hamid Algadri, Ahmad Bahaswan, HMA Alatas, HA Jailani, Hasan Argubi, Hasan Bahmid, A. Bayasut, Syechan Shahab, Husin Bafagih, Ali Assegaf, Ali Basyaib, dll. 64 gagasan agar masyarakat Arab melebur ke dalam bangsa Indonesia. Hal tersebut terus bergema di kalangan Arab terutama yang sudah sadar bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Sementara pada sisi yang lain, sebagian besar masyarakat Arab juga tidak mau mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka. Oleh sebab itu, pada saat itu pula A.R. Baswedan terus mendorong kesadaran tersebut agar tumbuh dan membesar. Ia sadar betul bahwa jika persoalan tersebut belum tuntas dan dibiarkan terus berlangsung, maka potensi ancaman yang tidak diinginkan bisa meledak sewaktu-waktu. A.R Baswedan menyadari bahwa sentimen antar ras adalah sesuatu yang laten di berbagai belahan dunia. Dengan demikian, jika masyarakat Arab tetap mengaku dirinya sebagai orang asing, maka kemungkinan besar mereka juga akan menjadi korban dari sentimen antar ras yang ada di Indonesia.126 PAI secara total memperjuangkan Indonesia. Mereka tidak lagi sebagai organisasi yang hanya mendorong orang-orang Arab untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Lebih dari itu, mereka adalah sebuah organisasi yang turut andil proaktif menggagas lahirnya bangsa Indonesia di kemudian hari. Oleh karena itu PAI gigih mendukung mosi Volksraad yang dipromotori oleh M.H. Thamrin, Soetardjo, dan Wiwoho. Mereka menuntut pemerintah Belanda untuk menggunakan istilah ‘Indonesier” (orang Indonesia) sebagai pengganti kata inlander (pribumi). Semua itu harus diterapkan dalam dokumen-dokumen resmi dan menetapkan kewarganegaraan Hindia. Selanjutnya melakukan penyelidikan agar mengubah Volksraad menjadi semacam parlemen yang sesungguhnya.127 Ternyata kekuasaan pemerintah kolonial amat kuat dan besar. Karenanya mosi tersebut tidak pernah berhasil diwujudkan. Meskipun demikian, paling tidak adanya mosi tersebut telah menjadi simbol mulai bersatunya bangsa Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Ialah hak-hak yang selama masa penjajahan diabaikan oleh pemerintah Belanda. Tak terkecuali hak untuk memerintah dirinya-sendiri secara otonom. Hamid Algadri dalam buku Suka Duka Masa Revolusi menjelaskan bahwa dalam perjalanan sejarah, PAI tidak segan mengkritik dengan tajam segala ketidakberesan golongan pendiri. PAI juga giat melakukan pembinaan asas

126 Purnawan Basundoro, “A.R Baswedan: dari Ampel ke Indonesia,” dalam Jurnal Lakon Vol. 1 No. 1 Mei 2012, hlm. 29. 127 Purnawan Basundoro, “A.R Baswedan: dari Ampel ke Indonesia,” 45. 65 kebangsaan Indonesia. Selain itu, PAI selalu berpihak pada gerakan nasional, tanpa menghiraukan tentangan dari pihak Belanda.128 Selaras dengan hal itu, pemerintah kolonial mulai menyoroti gerak-gerik PAI. Pemerintah kolonial gelisah dan khawatir terhadap gerakan baru kalangan Arab tersebut. Hal ini dikarenakan mereka secara nyata menarik kaum Arab peranakan kepada pihak anti penjajahan. Pada saat itu Pemerintah Belanda telah dan terus melakukan penangkapan terhadap para pemimpin utama partai politik berhaluan nasioal yang dianggap radikal, dan membubarkan partainya. Tak luput juga mangasingkan mereka.129 Tidak jarang PB PAI dan rumah-rumah pemukanya didatangi oleh intelijen menanyakan soal kegiatan yang dilakukan. Ketika tentara Jepang masuk ke Indonesia, tak lama kemudian pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah di Kalijati. Penyerangan tersebut dipimpin oleh Gubernur Jendral Tjarda Van Strakenborg Stachouwer. Pada zaman Jepang itulah semua partai politik dibubarkan oleh Jepang. Dengan demikian, Partai Arab Indonesia juga bubar.130 Pada akhir 1945, ia bergabung dengan dan Mohammad Roem dalam partai Masyumi.131

128 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, (Jakarta: UI press , 1991), hlm. 50. 129 Sutarmin, Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya, 67. 130 Sutarmin, Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya, hlm. 97. 131 M. Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah: Masalah dan .., hlm. 22. 66

BAB III BIOGRAFI HAMID ALGADRI

A. Riwayat Kehidupan Hamid Algadri merupakan keturunan arab (peranakan Arab) di Nusantara yang memiliki kontribusi besar bagi bangsa Indonesia. Ia termasuk salah seorang pejuang anti kolonialisme (Belanda) sekaligus menjadi perintis kemerdekaan Indonesia melalui berbagai forum-forum nasional dan internasional yang penting. Ia terlahir di Pasuruan pada 10 Juli 1912 dari seorang ayah yang bernama Muhammad Hamid Algadri. Saat itu Pasuruan adalah daerah pesisir yang terletak di utara pulau Jawa. Tempatnya sangat strategis dan menjadi kota Bandar karena terdapat pelabuhan serta berbagai aktivitas perdagangan dan transportasi angkutan perdagangan. Di sepanjang pantainya didirikan banyak pabrik gula oleh Belanda. Ayahnya adalah tokoh muslim di Pasuruan. Ia diangkat sebagai Kapitein der Arabieren (Kepala masyarakat Arab) di Pasuruan.132 Secara silsilah keturunan, Hamid Algadri berasal dari tanah Hadramaut di jazirah Arab dan dari garis keturunan ibu dari Malabar, India. Namun Hamid Algadri lahir di tanah Jawa. Meskipun gelar yang didapat ayah dan kakeknya adalah pangkat prestis yang diberikan Belanda, namun perlu ditegaskan bahwa jabatan tersebut tidak memengaruhi prinsip dasar ayahnya sebagai etnis Arab di Nusantara dan berpihak pada kebijakan Belanda. Namun ia menganggap jabatan ini menguntungkannya untuk memberikan perlindungan terhadap golongan etnis Arab di Nusantara agar tidak mendapat perlakuan semena-mena dari Belanda seperti dalam engenaan pajak

132 Saat itu pemerintah Hindia Belanda meggolongkan penduduk di Indonesia menjadi beberapa golongan: orang Eropa (Europeanen), orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) dan orang pribumi (Inlanders). Orang Cina dan Arab masuk golongan Vreemde Oosterlingen. Sikap dan perlakuan Belanda yang sangat antipati dan selalu waspada terhadap orang-orang keturunan Arab tercermin di dalam kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif. Hingga pada tahun 1854, Pemerintah Hindia Belanda membentuk kebijakan Regering Regleement yaitu peraturan pemerintah yang membedakan kelompok masyarakat menjadi tiga kelas di Hindia Belanda yaitu kelas paling atas adalah kulit putih ( Eropa, Amerika, Jepang ), kelas kedua adalah Timur Asing ( Arab, India, Cina ), dan kelas ketiga adalah pribumi ( masyarakat asli Indonesia ). Hosniyah, Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Komunitas Arab Di Malang 1900-1935, Avatara, e-Journal Pendidikan Sejarah, Volume 4, No. 3, Oktober (2016), hlm. 967. 67 tinggi dan mengurus surat-menyurat kependudukan serta mendapatkan perlindungan hidup.133 Hamid menikah dengan Zena binti Husein Alatas yang merupakan anak dari pimpinan PAI (Persatuan Arab Indonesia) pada tahun 1942. Pada saat itu Hamid berusia 32 tahun. Sedangkan Zena baru berusia 18 tahun. Pernikahan dilangsungkan di kediamannya yaitu Pasuruan. Banyak tokoh PAI yang datang untuk memberikan selamat pada keduanya. Dari pernikahan Hamid-Zena lahir empat anak, yaitu Ny Atika Nono Anwar Makarim, Maher Hamid Algadri (pengusaha dari Kodel Grup), Ny Adila Suwarno Soepeno dan Sadik Hamid Algadri (pengusaha). Hamid tutup usia pada hari Minggu tanggal 25 Januari 1998 setelah lima hari dirawat di di Rumah Sakit Medistra, Jakarta karena kerapuhan tulang dan radang paru-paru. Ia dikuburkan di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta.

B. Pendidikan

Meskipun terlahir dari etnis Arab (Hadrami), Hamid mengenyam pendidikan modern Barat. Keluarganya berpandangan bahwa sekolah kolonial tidak sampai pada tahapan merusak agama. Namun justru memberikan wawasan luas mengenai pendidikan. Langkah keluarganya dalam pendidikan memang berbeda dari mayoritas etnis Arab yang anti terhadap segala sesuatu dari Barat, termasuk lembaga pendidikannya. Hamid memulai pendidikan formalnya dari sekolah dasar Europesche Lag School (ELS) setelah menyelesaikan sekolah taman kanak-kanak (Frobel School) selama dua tahun. Untuk dapat masuk ke ELS, bukanlah perkara yang mudah karena pada umumnya hanya anak Belanda yang dapat mengambil pendidikan di ELS. Namun karena Hamid merupakan anak dari Kapitein Arab di Pasuruan, sehingga dengan susah payah, ayahnya meminta kebijakan Belanda agar anaknya bisa ikut belajar disana. Adapun pendidikan di lembaga asing Frobel dilatarbelakangi oleh keinginan keluarganya agar Hamid lancar berbicara bahasa Belanda karena bahasa

133 Hamid Algadri, Mengarungi Indonesia Memoar Seorang Perintis Kemerdekaan, (Jakarta: Lentera, 1992), hlm. 2. 68 pengantar di ELS menggunakan bahasa Belanda. Kemudian Hamid melanjutkan sekolah menengah MULO dan AMS-A bagian klasik Barat. Adapun pada tahun 1936, Hamid tercatatat sebagai mahasiswa Rechts Hoge School (Pendidikan Tinggi Hukum) di Batavia. Sehingga ia merupakan keturunan Arab pertama yang menuntut pelajaran di universitas. Namun, peristiwa penutupan RHS oleh pemerintah pendudukan Jepang membuatnya belum sempat menyelesaikan studinya. Sehingga pendidikan ilmu hukum baru diselesaikannya di Universitas Indonesia tahun 1952 melalui inisatif Prof. Djokosoetono yang membuka kesempatan bagi para mahasiswa yang belum sempat menyelesaikan studinya pada masa pendudukan Jepang. Gelar sarjana hukum didapat HA cukup mudah, hanya menempuh ujian tingkat akhir serta mendapat keringanan-keringanan karena alasan telah matang selama masa perjuangan.134 Pada masa itu, orang Arab dan keturunan Arab menentang anaknya bersekolah di sekolah Belanda, baik yang khusus seperti ELS untuk anak-anak Belanda, maupun yang umum yang disediakan untuk anak pribumi seperti HIS (Hollandsch Inlandsche School). Dasar mereka adalah pendidikan Barat adalah bagian dari sekolah Kristen yang akan merusak agama anak-anak mereka. mereka lebih memilih untuk mengirim anak mereka ke sekolah agama seperti madrasah, yang mengutamakan pendidikan agama.135 Keluarga Hamid tidak kawatir sebagaimana pandangan umum para kiai dan -santri desa. Menurut mereka sekolah Belanda tersebut maju dan dapat menyesuaikan dengan situasi yang menuntut modernitas. Namun keluarga Hamid tetap memikirkan pendidikan yang terbaik baginya. Agar berimbang antara pendidikan umum dan agama, sekaligus sebagai antisipasi terhadap kekawatiran masyarakat pada umumnya, Hamid disekolahkan di madrasah pada siang harinya. Jika jadwal sekolah Belanda dan madrasah bertabrakan, orang tuanya mengundang

134 Muhammad Ridho Rachman dalam artikel yang berjudul Pemikiran Hamid Algadri Tentang Indo-Arab Dan Tanah Air (Studi Kasus dalam Majalah Insjaf dan Aliran Baroe pada Masa Kolonial Belanda, 1937-1941). https://www.researchgate.net/publication/318960129. Diakses pada 26 Mei 2018, pukul 22.26 WIB. 135 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan melawan Belanda, (Bandung: Mizan, 1996), cet.1 edisi 3, hlm. 29. Hal serupa dialami oleh para kiai dan santri di desa- desa yang secara tegas menolak pendidikan Barat dan segala yang berbau Barat. Mereka lebih mempercayakan kepada lembaga pendidikan seperti pesantren dan madrasah. 69 guru ngaji ke rumahnya atau lebih dikenal dengan istilah “madrasah rumahan”. Pada sesi ini, guru mengaji memberikan pengarahan dan penjelasan tentang bahaya- bahaya yang akan terjadi dengan sistem pendidikan Belanda. Setelah menjalani aktivitas pendidikan Belanda, apa yang dikawatirkan terjadi. Beberapa kesulitan dihadapi Hamid, karena ia mengenakan terbus (kopiah khas Turki berwarna merah). Terbus identik dengan gerakan Pan-Islamisme136 yang menjadi ketakutan pihak kolonial Belanda. Gerakan ini memberikan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia dalam pergerakan dan perjuangan melawan segala jenis kolonialisme. Jamaluddin Al-Afghani sebagai penggagasnya diikuti Muhammad Abduh secara massif menyebarkan spirit gerakan yang berpusat di Turki ini ke bumi Nusantara. Salah pengaruh yang ketara adalah lahirnya Jamiatul Kheir di Pekojan, Batavia, pada 1901 sebagai organiasi sosial yang membawa semangat tolong menolong. Solidaritas muslim Nusantara terbangun dari komunitas ini. Ayah dan kakek Hamid merupakan penganut gerakan ini sehingga ia mengharuskan Hamid mengenakan kopiah merah saat bersekolah. Hamid mendapat perlakuan yang tidak adil. Sebab kopiahnya, ia diejek oleh murid-murid Belanda, bahkan nyaris terlibat perkelahian. Begitulah terus dialami Hamid pada hari-hari berikutnya karena ia tidak menerima ejekan tersebut. Untuk melerai pertikaian yang berkelanjutan, guru Belanda menyarankan orang tua Hamid untuk melepas kopiah pada anaknya agar tidak kembali mengganggu aktivitas belajar di sekolah. Meski mayoritas murid di sekolah tersebut adalah anak-anak Belanda, namun terdapat beberapa anak Indonesia yang merupakan putra-putra para pegawai tinggi Indonesia di kota Pasuruan. Mereka tidak luput dari ejekan anak Belanda, bahkan mendapatkan perlakuan yang lebih parah daripada Hamid.

136 Pan Islamisme adalahpaham politik yang lahir pada saat Perang Dunia II (April 1936). Kemudian berkembang menjadi gerakan mempersatukan umat Islam. Gerakan ini secara samar-samar pernah diutarakan oleh Al-Thah-Thawi dengan memakai istilah persaudaraan seagama, dan kemudian ditegaskan oleh Sayid Jamaluddin Al-Afgani dan Syekh Muhammad Abduh. B.Setiawan dkk, Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 12, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990), hlm.82. Gerakan ini kemudian memengaruhi bangkitnya pergerakan nasional Indonesia, karena dalam periode peralihan abad ke-20, Islam merupakan ciri utama kebudayaan Indonesia. Salah satu sisi dari gerakan reformasi itu ialah mengidentifikasikan Islam dengan bangsa dan dengan rasa yang semakin tidak sabar terhadap kedudukan sebagai bangsa yang terjajah. Noer menegaskan bahwa pada masa peralihan abad ke-19 ke abad ke-20, Islam identik dengan kebangsaan. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, dan Studi Islam, (Jakarta: LP3S, 1990), hlm. 8-20. 70

Setelah selesai mengenyam pendidikan dasar, Hamid melanjutkan ke MULO (Meer Utgebreid Lager Onderwijs) yang merupakan sekolah menengah pertama yang terutama disediakan untuk murid pribumi pada tahun 1928 – 1933. Awalnya Hamid ingin belajar di HBS (Hogere Burgerschool), sekolah yang juga disediakan untuk murid Belanda, akan tetapi guru kepala tidak mengizinkannya kendati nilai pelajaran Hamid memenuhi syarat untuk bersekolah disana. Keputusan mengambil pendidikan MULO sangatlah tepat. Hamid dapat berkumpul dengan murid-murid yang sebagian besarnya adalah pribumi. Kondisi ini tidak membuat Hamid terjepit seperti pada ELS, bahkan memiliki kesamaan pandangan dengan murid lainnya yang anti Belanda. Di sekolah MULO Hamid terlibat aktif pada ikatan pemuda Islam JIB (Jong Islamieten Bond). Untuk menyuarakan gagasannya, terbitlah majalah JIB (Het Licht) dalam bahasa Belanda untuk memberikan penerangan dan pembela agama terhadap segala bentuk serangan terhadap Islam. JIB berdiri atas anjuran para pemimpin Islam-nasionalis, antara lain The Grand Old Man, Haji Agus Salim, penyebar paham Islam modern, dan oleh karena itu dengan sendirinya sikap JIB juga berwarna Islam-nasionalis dan anti-Belanda.137 Selagi mahasiswa di Rechts Hoge School (Pendidikan Tinggi Hukum), Hamid bergabung dengan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang didirikan oleh AR Baswedan138 tahun 1934. Dengan PAI sebagai wadah, orang Arab ingin menjadi orang Indonesia dan menerima Sumpah Pemuda tahun 1928 yaitu satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa ialah Indonesia.

137 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab……….., hlm.33. 138 A.R Baswedan adalah pendiri Persatuan Arab Indonesia (PAI). Seorang yang lahir di Surabaya, 9 September 1908 ini adalah seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan juga sastrawan Indonesia. AR Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen, dan Anggota Dewan Konstituante. AR Baswedan adalah salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia yaitu dari Mesir. Bersama dengan Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), Rasyidi (Sekjen Kementrian Agama), Muhammad Natsir dan St. Pamuncak, AR Baswedan (Menteri Muda Penerangan) menjadi delegasi diplomatik pertama yang dibentuk oleh negara baru merdeka ini. Mereka melobi para pemimpin negara-negara Arab. https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Baswedan. Diakses pada 26 Mei 2018 pukul 10.46 WIB. 71

Kontribusi Hamid yang signifikan bagi PAI membuatnya diangkat menjadi ketua PAI Cabang Jakarta pada 1936, kemudian menjadi anggota pengurus besar PAI sampai tahun 1942. Semangat nasionalisme dalam jiwanya berkobar dari berbagai pengalaman hidupnya. Ayahnya telah menanamkan jiwa nasionalisme padanya sejak kecil. Kemudian karir pendidikannya juga memberikan pengalaman berharga untuk semakin yakin untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintahan Belanda. Sebut saja keterlibatannya dalam gerakan pemuda JIB pada 1930 yang ia ikuti semasa studi di MULO. Aktif di organisasi ini merupakan titik awal baginya untuk memperjuangkan hak-hak rakyat etnis Arab maupun pribumi di tengah pusaran kekuasaan Belanda. JIB memberikan sarana padanya untuk menyalurkan aspirasi dan gagasan dalam bentuk masa. Tercatat bahwa Hamid pernah mengikuti berbagai organisasi pada masa kuliahnya, yaitu Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) pada tahun 1926. Organisasi yang diprakarsai oleh Raden Tumenggung Djaksodipoera bersama 5 kawannya (Soegondo, Soewirjo, Goelarso, Darwis, dan Abdoellah Sigit) ini menirukan Indonesisch Vereniging (Perhimpunan Indonesia) yang didirikan oleh Mohammad Hatta di Negeri Belanda tahun 1908. PI menjadi sarana untuk menyebarkan ide-ide antikolonial. Dalam 2 edisi pertama, Hatta menyumbangkan tulisan kritik mengenai praktik sewa tanah industri gula Hindia Belanda yang merugikan petani.139 Hamid juga terlibat dalam suatu panitia yang disebut Komisi Besar sebagai wadah perkumpulan organisasi pemuda. Panitia ini menjadi pangkal dari lahirnya putusan Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia (dikenal dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928). Pada durasi tahun 1936-1942, Hamid juga menjabat pada posisi yang penting dalam GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia). Saat itu PAI menjadi salah satu anggotanya. Sehingga Hamid didaulat menjadi wakil PAI dalam GAPI bersama

139 https://id.wikipedia.org/wiki/Perhimpunan_Pelajar_Pelajar_Indonesia. Diakses pada 26 Mei 2018, pukul 11.30 WIB. 72 ketua PB PAI H.M.A Hoesin Alatas yang merupakan mertuanya. Pada kurun waktu yang sama Hamid juga terlibat dalam berbagai gerakan nasional seperti Petisi Sietardjo dan Indonesia Berparlemen dengan memprogandakannya dalam rapat-rapat umum. Organisasi pelajar terakhir yang Hamid ikuti adalah USI (Unitas Studiosorum Indonesiensis). Arah organisasi ini bukan pada politik, melankan pada kegiatan akademik dan kesenian. Ketika USI berfusi menjadi PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia), Hamid terpilih menjadi wakil ketua setelah sebelumnya ia diamanahi menjadi redaktur majalah USI (Usi-blad, majalah mahasiswa Indonesia). Adapun gagasan politiknya, ia salurkan pada majalah Insjaf yang pada saat itu Hamid menjadi redakturnya. Karirnya dalam organisasi kepemudaan sangat menonjol pada saat ia menangani USI. Pada saat yang bersamaan ia menjadi wakil ketua BAPERPI (Badan Perwakilan Pelajar-pelajar Indonesia). Tidak lama ia berkecimpung di organisasi tersebut, Hamid bergabung menjadi anggota kader gerakan anti Jepang yang dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifuddin pada 1942-1945. Setelah Amir ditangkap, diteruskan dalam gerakan yang dipimpin oleh Sjahrir. Inilah awal karir kebangsaan Hamid Algadri.

C. Karir

Hamid aktif pada sejumlah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan masa- masa awal pemerintahan Indonesia. 1. Peran Hamid Algadri dalam PAI (1934-1942)

Nama Hamid Algadri mencuat ke permukaan saat ia menjadi anggota Pengurus Besar PAI. Cita-cita Hamid menggabungkan diri dalam gerakan ini adalah mencoba mengubah citra buruk keturunan Arab di Nusantara yang mulai menjalar di kalangan intelektual dengan siapa ia bergaul sehari-hari di dalam kalangan masyarakat pribumi. Pasalnya citra buruk etnis Arab selalu diberitakan dalam harian dan majalah Belanda yang banyak dibaca oleh kaum intelektual Indonesia. Meskipun kenyataannya banyak diantara etnis Arab yang mempraktikkan riba dalam 73 perdagangan, menjadi renternir di pasar-pasar, ditambah dengan golongan keturunan Arab yang keras menentang pendidikan Barat. Dalam suasananya yang demikian, Hamid hendak meluruskan bahwa perilaku sebagian etnis Arab tidak menggambarkan sebenarnya golongan Arab, tidak hanya di Indonesia, di negara sendiri pun, praktik yang demikian juga dilarang karena bertentangan dengan ajaran Islam. Hamid menilai bahwa Belanda berusaha meruncingkan masalah dengan mengeneralisasi praktik buruk etnis Arab, sehingga antara pribumi dengan keturunan Arab tidak akur. Di sisi lain, mereka secara aktif mendorong rentenir dan orang jahat lainnya untuk datang ke Indonesia. Belanda ingin terus menciptakan citra buruk bangsa Arab. Sehingga pribumi benci terhadap keturunan Arab. PAI menegaskan bahwa Indonesia merupakan tanah air mereka. Dengan kata lain, keturunan Arab adalah putra dan bangsa Indonesia dan harus mengabdi pada tanah air Indonesia, sama dengan suku bangsa Indonesia lainnya. Jika terdapat oknum-oknum tertentu yang merusak citra golongan mereka, PAI tegas mengkritik perilaku tersebut dan menkonfirmasi kepada pers secara terbuka tentang perilaku yang menyimpang dari kebiasaan asli etnis Arab. PAI mendukung penuh dan memihak kepada gerakan nasional, bahkan PAI membantu upaya pergerakan nasional. Oleh karena memiliki cita-cita yang sama untuk melawan Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dalam kongres PAI yang kedua di Surabaya pada 25 Maret 1937, PAI mendukung penuh Petisi Sutardjo. Untuk memperbaiki citra buruk yang sudah terlanjur disebarkan oleh surat kabar Belanda, PAI terjun langsung memberantas kaum renternir di kalangan Arab agar terwujud suasana kehidupan yang aman dan sejahtera. Citra Arab yang identik dengan renternir harus diubah dengan usaha pemberantasannya. Oleh karenanya, Hamid mendukung sepenuhnya woekeordonansi yang dimaksudkan untuk memberantas renternir tersebut serta mendesak partai agar tegas menghukum dan memberantas woeker di kalangan Arab. Salah satu pemimpin dari masyarakat Arab pada waktu itu, Husin Bafagih, menulis sebuah drama yang disebut “Fatima” tentang kebencian Arab terhadap riba. 74

Drama itu dilakukan di kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta, Semarang, Surabaya dan lain sebagainya sehingga menjadi sangat populer dengan masyarakat umum. Awalnya propaganda Belanda terhadap orang-orang Arab hampir berhasil untuk merenggangkan hubungan orang Arab dan masyarakat pribumi. Namun menjadi kandas seketika ketika PAI bergerak untuk meluruskan persepsi yang keliru itu. Pada saat majalah Aliran Baroe diterbitkan oleh seorang pemuka PAI, Hosein Bafagih di Surabaya, menyebarkan paham baru Islam-antara lain tentang tanah air, tentang persamaan kedudukan wanita dan pria dalam Islam, dan sebagainya. Banyak di antara penulis dalam majalah tersebut adalah pengikut paham Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh, dan penerbit majalah Al Manar di Mesir, penganjur reformasi dalam Islam. Jasa besar majalah ini adalah ketegasan dan tidak segan mengkritik tentang kebobrokan masyarakat Arab di Indonesia.140 Hamid berpandangan bahwa Partai Arab Indonesia yang didirikan di Semarang pada tanggal 4 Oktober 1934 lebih pada nilai “Persatuan” ketimbang sebuah Partai. Hamid beserta para generasi muda pada waktu itu bersepakat menentang sistem stratifikasi yang telah membagi komunitas Arab. Untuk menyatukan komunitas Arab secara internal, Hamid memanggil dari kelompok Alawi dan non-Alawi untuk bersatu dalam bendera identitas yang sama. Untuk menyeragamkan identitas etnis Arab, segala gelar dilepaskan dan menggantinya dengan panggilan “saudara”. Cara inilah yang digunakan untuk menyamakan rasa persaudaraan, menguatkan komunitas dan tidak diskriminatif terhadap stratifikasi sosial. Secara umum, PAI terbentuk untuk menyatukan diri dengan masyarakat pribumi agar tidak ada kesenjangan dan perbedaan, karena sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan mengusir penjajah. Rasa nasionalisme anggota PAI tertuang dalam sumpah pemuda Indonesia Keturuan Arab pada tahun 1934. Sumpah pemuda Indonesia Keturunan Arab yang disahkan Mohammad Hatta ini berisikan dua poin:

140 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan melawan Belanda, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 174. 75

1. Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia 2. Karenanya mereka harus meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi) Memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia adalah tepat sekali. Dengan sumpah ini, yang ditepati pula sejak itu dalam perjuangan nasional Indonesia menentang penjajahan sambil ikut dalam organisasi Gapi dan kemudian lagi ikut dalam peperangan Kemerdekaan Indonesia dengan laskarnya dengan memberikan kurban yang tidak sedikit, ternyata bahwa Pemuda Indonesia Keturunan Arab, benar-benar berjuang untuk kemerdekaan Bangsa dan Tanah airnya yang baru. Sebab itu tidak benar apabila warga keturan Arab disejajarkan dengan WNI keturunan CIna. Dalam praktik hidup kita alami juga banyak sekali WNI turunan CIna yang pergi dan memihak kepada bangsa aslinya RRC, WN Indonesia keturunan Arab boleh dikatakan tidak ada yang semacam itu. Indonesia sudah benar-benar menjadi tanah airnya. Sebab itulah, salah benar apabila kedua macam WNI itu disejajarkan dalam istilah non pribumi. 141 Jakarta, 24 November 1975

Pada awalnya PAI yang merupakan bentuk persatuan, menekankan pada upaya mempersatukan dua golongan yang bermusuhan dalam masyarakat Arab daripada terjun dalam bidang politik murni. Tetapi sikap ini tidak dapat dipertahankan lama. Pada tahun 1937, PAI terjun dalam dunia politik dan baru pada tahun 1940, PAI mengubah namanya dari “Persatuan” menjadi “Partai” dalam kongres lustrumnya pada tanggal 18-25 April 1940 di Jakarta. PAI beserta partai-partai lainnya dibubarkan pada saat Jepang masuk dan berkuasa di Indonesia. Kemudian militer Jepang gencar melakukan invasi yang dimulai pada 8 Maret 1942. Pada saat kondisi politik sedang hangat karena kependudukan Jepang, Hamid beserta para pimpinan PAI ikut serta dalam gerakan anti-Jepang, yang mula-mula dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifoeddin. Ketika ia ditangkap, diambil alih oleh Sjahrir. Pada bulan agustus, Jepang menyerah pada sekutu dan pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

141 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab……, hlm. 177. 76

Hamid mengakhiri karirnya di PAI pada saat organisasi ini bubar. Pada 3 November 1945, pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat pemerintah tentang partai politik. Meskipun pemerintah menganjurkan agar partai politik yang sudah dibubarkan dapat kembali berdiri, namun pimpinan PAI tetap memutuskan untuk tetap membubarkan PAI dan mempersilahkan mantan anggotanya untuk bergabung bersama partai-partai yang berdiri lagi sesuai dengan ideologi masing-masing. Banyak diantara mereka bergabung menjadi anggota PNI, Masyumi, PSI sampai ke PKI dengan tujuan agar mereka diakui sebagai orang Indonesia secara penuh. Demikian mereka lakukan karena PAI sudah dibubarkan sehingga tidak ada lagi wadah yang bisa menampung aspirasi untuk mempertahankan etnis Arab di Indonesia.

2. Karir Hamid Algadri Pasca Kemerdekaan

Hamid adalah tokoh etnis Arab di Indonesia yang tercatat aktif pada sejumlah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan masa-masa awal pemerintahan Indonesia. Ia adalah seorang pejuang yang merintis kemerdekaan Indonesia keturunan arab dalam berbagai perundingan seperti perundingan Linggajati, perundingan Renville, KMB. Keterlibatannya sebagai salah satu anggota parlemen pada masa awal berdirinya negara Republik Indonesia menjadi jasa yang sangat berharga bagi negara ini. Berikut beberapa catatan karir Hamid dalam pergerakan nasional.

a. Sekretariat Perdana Menteri (1947)

Pada tahun 1947, Hamid bekerja di sekretariat Perdana Menteri. Perdana Menteri Indonesia merupakan pimpinan kabinet dalam pemerintahan Republik Indonesia yang pernah diterapkan dari tahun 1945 hingga tahun 1959. Menurut UUD 1945, Indonesia memang dibangun dengan sistem presidensial, sehingga perdana menteri tidak memiliki ketentuan konstitutional. Namun posisi tersebut kemudian dijamin oleh Pasal 52 UUD Sementara 1950. Ia dipilih oleh Presiden untuk menangani bisnis rutin pemerintah dan yang bertanggung jawab atas Kabinet, yang bertanggung jawab kepada Presiden dan Wakil 77

Presiden. Selain itu Perdana Menteri bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) atau Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS). Inilah awal mula Hamid merasakan duduk di bangku pemerintahan secara langsung, terlibat dalam membantu tugas-tugas perdana menteri. Posisinya sebagai pekerja tinggi pada sekretariat PM tersebut memberikannya dorongan untuk terus berkhidmat pada bangsa ini. Hamid Algadri sudah lama akrab dengan Sjahrir.142 Di saat Sjahrir memimpin gerakan bawah tanah dalam rangka melakukan perlawanan terhadap Jepang, Hamid bergabung dengan kelompoknya hingga Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Oleh karena pada saat Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia, Hamid ditugaskan bekerja di sana. Dalam tugasnya tersebut, ia sempat menemani rombongan Sjahrir di dalam KLB (Kereta Api Luar Biasa) dari Jakarta ke Yogyakarta akhir 1945.

b. Pegawai Tinggi Kementerian Luar Negeri (1946)

Hamid tercatat juga menjadi pegawai tinggi Kementerian luar negeri setelah selesai tugas membantu perdana menteri Sjahrir. Dalam menjalani tugasnya di kementerian tersebut, Hamid memiliki banyak mendapatkan manfaat diplomasi secara internasional. Melalui sidang-sidang dan pertemuan diplomatis ini, Hamid banyak belajar tentang membangun eksistensi Indonesia di mata dunia. Secara optimal ia menggunakan forum ini untuk kepentingan bangsa Indonesia. Perundingan pertama yang mencapai hasil sebuah perjanjian dari serangkaian perudingan yang dilakukan oleh Republik Indonesia dengan Pemerintahan Belanda dikenal dengan Perundingan Linggajati. Peristiwa bersejarah ini diselenggarakan di Desa Linggajati pada tanggal 11-13

142 Sutan Syahrir adalah seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia yang lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909 dan meninggal di Zürich, Swiss, 9 April 1966 pada umur 57 tahun. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Sjahrir adalah orang yang sangat rasional Sjahrir lebih menekankan perjuangan politik pada pendidikan politik. Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, (Jakarta: Penerbit UI, 1991), hlm. 91. 78

November. Persetujuan Linggajati yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (kini Istana Merdeka) di Jakarta. Adapun isi pokok yang dicapai dari Perundingan Linggajati antara lain:143 1) Pengakuan Belanda secara De facto atas eksistensi Negara Republik Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madura, 2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia, dan 3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya. Nilai perjuangan diplomasi yang terkandung dalam perundingan Linggajati sangat besar. Peristiwa ini menampilkan bagaimana para pemimpin bangsa saat itu berusaha agar Republik Indonesia yang baru merdeka 1 tahun diakui sebagai negara yang eksis oleh negara-negara lain karena telah menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Para pemimpin bangsa saat itu berjuang agar kedaulatan Indonesia dipertahankan dari agenda-agenda kolonialisasi. Cita-cita mereka akhirnya terwujud karena Inggris pada tanggal 31 Maret 1947 mengakui kekuasaan de facto dari Republik Indonesia yang disusul Amerika Serikat tanggal 23 April 1947, lalu Mesir pada tanggal 10 Juni 1947 juga mengakui RI secara de facto sekaligus de jure, dan selanjutnya oleh negara-negara timur tengah seperti Lebanon, Syiria, Irak, Afghanistan, Saudi Arabia, Yaman dan Burma.144

c. Anggota KNIP dan Badan Pekerja KNIP (1945-1946)

Ketika Sjahrir diangkat menjadi ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), Hamid diangkat sebagai anggota badan ini kemudian duduk dalam Badan Pekerja KNIP. Hamid yang masih berada di Pasuruan dipanggil dan diberi tugas di Jakarta.

143https://www.kemlu.go.id/id/tentang-kemlu/bangunan-bersejarah/Pages/Museum- Konferensi-Linggajati.aspx diakses pada 1 Mei 2018, pukul 20.00 WIB. 144 https://www.kemlu.go.id/id/tentang-kemlu/bangunan-bersejarah/Pages/Museum- Konferensi-Linggajati.aspx diakses pada 1 Mei 2018, pukul 20.00 WIB 79

KNIP merupakan komite yang dibentuk berdasarkan Pasal IV, Aturan Peralihan, Undang-Undang Dasar 1945 dan dilantik serta mulai bertugas sejak tanggal 29 Agustus 1945 sampai dengan Februari 1950. KNIP merupakan Badan Pembantu Presiden, yang keanggotaannya terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah-daerah termasuk mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). KNIP ini diakui sebagai cikal bakal badan legislatif di Indonesia. Hatta menetapkan bahwa KNIP sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif, ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pekerjaan KNIP sehari-hari dijalankan oleh sebuah badan pekerja yang bertanggungjawab pada kondisi negeri yang genting. Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) akhirnya dibentuk dan diketuai oleh Sutan Syahrir dan wakilnya Amir Syarifuddin serta beranggotakan 28 orang, salah satunya adalah Hamid Algadri. Tugas mereka adalah mengurusi ketatanegaraan Indonesia seperti membuat GBHN dan peran legislatif lainnya .

d. Karir di Kementerian Penerangan (1947)

Pada tahun 1947 Hamid mendapat amanat sebagai sekretaris Menteri Penerangan. Dalam kapasitasnya tersebut, tugas Hamid adalah membantu menjalankan Radio Republik Indonesia (RRI) untuk mengimbangi dalam propaganda Belanda yang sangat gencar. Menduduki jabatan tersebut tidaklah mudah, karena ia harus bisa mencari informasi-informasi penting serta strategis, bahkan rahasia dari kolonial dan menyebarkan kepada rakyat melalui media radio. Apa yang gencar disuarakan Hamid membuat Belanda gusar dan menganggapnya sebagai seorang teroris besar. Bahkan Hamid menyatakan rasa tegangnya ketika Belanda mendatangi rumah Hamid untuk menangkapnya di tengah malam. Tiga puluh tentara mengepung rumah Hamid. Pengawasan Belanda terhadap Hamid semakin intensif pada hari-hari setelah itu. Militer Belanda masih berkeinginan memperbesar kekuatannya di 80

Indonesia, namun keadaan mereka lemah dan menderita pasca Perang Dunia II. Pada periode ini, Hamid terlibat banyak dalam upaya negoisasi politik dengan Belanda. Sehingga ia sering mengalami penangkapan oleh militer Belanda.

e. Konferensi Meja Bundar (KMB) (1949)

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia.145 Indonesia diketuai oleh Moh. Hatta. Ia membawa beberapa anggota. Adapun BFO (Delegasi “Sub-Wilayah” yang masih diduduki oleh Belanda. Sub-Wilayah termasuk daerah Timur Kepulauan Indonesia) diketuai oleh Sultan Pontianak Hamidi II dan Belanda diketuai oleh Van Maarseveen Konferensi ini digelar Untuk mengakhiri perselisihan antara negara Indonesia dan Belanda dengan jalan melaksanakan perjanjian-perjanjian yang telah diadakan antara Republik Indonesia dengan Belanda, terutama mengenai pembentukan Negara Serikat. Hamid ikut dalam peristiwa yang sangat penting bagi kedaulatan bangsa Indonesia ini. Ia didaulat sebagai penasihat dalam KMB tersebut. Karena Hamid banyak berpartisipasi dalam proses menuju kemerdekaan pada perjanjian renvile dan linggajati, sehingga Presiden Sukarno menunjuknya sebagai penasihat delegasi Indonesia dalam KMB itu mendampingi wakil Presiden Hatta. Setelah melalui banyak negosiasi, pada bulan Desember 1949 akhirnya forum tersebut bersepakat untuk Pengalihan Kedaulatan ke negara Indonesia yang baru.

145 https://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Meja_Bundar. diakses pada 1 juni 2018 pukul 21.00 WIB. 81

f. Karir sebagai Anggota DPRS (1950-1955)

Hamid pernah diangkat menjadi anggota DPR-RIS. Pada 25 Desember 1950 di Malang, diadakan konferensi orang keturunan Arab yang dihadiri wakil-wakil dari 21 kota di seluruh Idnonesia untuk membicarakan praeadives Hamid dan konsep Abdullah Bayasut. Pada 26 Desember 1950, konferensi tersebut mengambil keputusan diantaranya: Pertama, membentuk badan yang diberi nama Badan Konferensi Bangsa Indonesia Keturunan Arab. Kedua, menerima struktur badan konferensi tersebut dengan rencana kerjanya ke luar dan dalam. Ketiga, memilih susunan sekretariat pusat sebagai berikut: (a) badan pekerja terdiri dari Hamid Algadri, Said Bahreisj dan Hoesin Bafagih; (b) pembantu di provinsi di seluruh Indonesia.146 Pergerakan nasional Hamid saat menjadi anggota parlemen sangat strategis. Ia duduk dalam Komisi Luar Negeri sering mengadakan kunjungan resmi ke berbagai negara di Asia dan Eropa. Pada Tahun 1950-an yang lebih dikenal dengan periode demokrasi parlementer, Hamid terlibat dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia) sebagai anggota Biro Pusat. Kemudian ia terpilih sebagai anggota dalam pemilu 1955. Setelah pemilu 1955 ia menjadi ketua fraksi PSI dalam Konstituante yang bersidang di Bandung menyusun konstitusi baru. Perannya yang signifikan adalah Hamid menyuarakan sikap politik PSI yaitu tidak menyetujui pembentukan negara Islam di negara Indonesia. Kodisi politik yang sempat menagang akhirnya hasil akhir dalam sidang Konstituante menyatakan Indonesia disetujui kembali ke UUD 1945 sebagai jalan alternatif jalan tengah. Konstituante dibubarkan dan Presiden Soekarno mendekritkan kembali ke UUD 1945. Karir Hamid terus melejit dalam parlemen. Salah satu kegiatan Hamid dalam parlemen adalah menjadi sekjen Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan

146 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan….., hlm. 188. 82 dan Aljazair. Panitia ini didirikan pada tahun 1956 ini juga diikuti tokoh-tokoh parpol seperti Mohammad Natsir, Kasimo, Mr Sunario dan lain sebagainya. Rumah Hamid yang terletak di Jalan Tosari 50 menjadi ramai karena dijadikan tempat berkumpulnya pejuang-pejuang dari Afrika Utara (Maghribi). Pada tahun 1952, dan Tayeb Salim dari NeoDestour Partai Tunisia datang ke Indonesia untuk meminta bantuan dalam melawan Prancis dan menjadi republik baru. Demikian juga pada tahun 1956, dua pemuda Aljazair, Lakhdhar Brahimi dan Muhammad Benyahya, datang meminta bantuan yang sama. Parlemen memberi Hamid tanggung jawab resmi untuk membantu kedua kelompok tersebut. Kemudian Hamid diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Aljazair dan Tunisia Aid Committee. Dua negara tersebut mengharapkan dukungan moral dari partai politik dan dukungan material untuk perjuangan mereka. Hamid juga mengirimkan pejuang gerilya yang berpengalaman, seperti Jenderal Suwarto, ke Aljazair. Apa yang dilakukan Hamid terhadap kedua negara tersebut karena faktor idealisme dan primordialisme. Pertama Hamid ingin membantu negara-negara ini dalam perjuangan mereka melawan kolonialisme sebagaimana Hamid pernah melakukannya pada saat berjuang melawan kolonialisme Belanda yang berkepanjangan di tanah air untuk meraih kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan mendapat pengakuan dari negara-negara lainnya. Yang kedua, Hamid menganggap Tunisia dan Aljazair adalah saudara sendiri karena memiliki ras yang sama, yaitu bangsa Arab. Kedekatan tersebut mendorongnya untuk membantu secara optimal. Usaha Hamid dalam mendukung perjuangan mereka, pada 1957 Hamid diberikan bintang kehormatan dari Republik Tunisia dan Aljazair. Beberapakali Hamid beserta istrinya diundang sebagai tamu kenegaraan ke Tunisia dan Aljazair. Diantara penghargaannya adalah penghargaan Nishan Iftighar oleh Kerajaan Tunisia dan kemudian pada tahun 1992 dianugerahi Wism Jumhuria dari Republik Tunisia. Pada tahun yang sama ia juga dianugerahi Masaf al-Istihaqaq al-Watani. Ketiga pernghargaan tersebut adalah bentuk penghargaan tertinggi. Atas jasanya di luar 83 negerriAdapun di dalam negeri, ia dianugerahi Satya Lencana 1978 dan diakui sebagai Perintis Kemerdekaan. Pada akhir karirnya, yaitu setelah tiada lagi jadi anggota parlemen, Hamid aktif di bidang sosial, misalnya menjadi direktur Yayasan Dana Bantuan.

D. Karya-karya

Hamid Algadri merupakan seorang keturunan Arab yang turut serta dalam pergerakan nasional di Indonesia. Kiprahnya di dalam PAI menjadi permulaan sehingga karirnya melejit. Hal itu karena Hamid terampil dalam mengolah kata. PAI turut memberikan ruang pada Hamid untuk mengembangkan pemikiran kritisnya. Kegemarannya menulis kemudian dituangkan dalam berbagai bentuk karya. Ketertarikannya dalam dunia pena dilatar belakangi oleh riwayat pendidikannya yang tinggi serta pemikirannya yang kritis terhadap kebijakan- kebijakan Belanda yang seringkali mengancam eksistensi koloni-koloni Arab di Nusantara. Berikut karya-karya Hamid Algadri yang merepresentasikan pemikiran kebangsaannya. Buku yang berjudul “C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab” pada tahun 1984. Buku dengan judul Suka Duka Masa Revolusi pada tahun 1991. Hamid juga menulis buku dengan judul Mengarungi Indonesia Memoar Seorang Perintis Kemerdekaan pada tahun 1999 dicetak oleh penerbit Lentera Jakarta. Prime Minister Sjahrir as Statesmen and Diplomat: How the allies became friends of Indonesia and opponents of the Dutch (1945-1949) yang diterbitkan oleh LP3S pada tahun 1995 berbahasa Inggris. Artikel Hamid Algadri dalam Insjaf dan Aliran Baroe a. Dalam Insjaf Oktober 1937 Soal Tanah Air dari Joeroesan Staatrecht

November 1937 Soal Tanah Air dan Masjarakat Indonesia 84

Januari 1938 Soembangan oentoek Petitie Sutardjo

Februari 1938 Keboetoehan Bangsa Arab kepada Westerch Onderwijs

April 1938 Zaman Baroe: Zaman PAI

Agustus 1938 Pemandangan Oemoem terhadap Bangsa Arab

Oktober 1938 Volsraad dan Golongan Arab

Desember 1938 Hak Kerakjatan (Onderdaanschap)

Januari 1939 Sekeliling Soal Indo

Maret-Arpil 1939 Soal Indo di Indonesia

Februari-Maret 1940 Soal Indo, Indonesia dan Hadramaut, Stellingen Badan Statistik

April 1941 Halaman Pernyataan, Tafsiran AD PAI

Mei 1941 Tafsiran AD

b. Dalam Aliran Baroe April 1939 Aliran Baroe dan Modernisme, Indo Arab dan Arab Indonesia

Desember 1940 Soal Indo di Indonesia147

147 Muhammad Ridlo Rachman, “Pemikiran Hamid Algadri tentang Indo-Arab dan Tanah Air (Studi Kasus dalam Majalah Insjaf dan ALiran Baroe pada Masa Kolonial Belanda 1937-1941)”, Jurnal Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia (2013) 85

BAB IV PERJUANGAN HAMID ALGADRI MASA PERGERAKAN DAN PASCA KEMERDEKAAN

A. Landasan Pergerakan Kebangsaan Hamid Algadri

Pergerakan kebangsaan yang ditampilkan Hamid tidak terlepas dari latar belakang keluarga, pendidikan serta kesukuannya. Pertama, faktor kesukuan. Tercatat sebagai etnis Arab yang lahir di tanah Jawa (Pasuruan), Hamid menganggap dirinya dan keluarganya adalah bagian dari masyarakat Indonesia. Sehingga ia merasa risih jika ada pihak tertentu yang berusaha untuk mendiskriminasi kesukuannya. Rasa nasionalismenya muncul saat ia terlibat secara aktif mengkritik kebijakan dan sistem pemerintahan Kolonial Belanda. Suatu pendapat yang tersebar luas di kalangan Eropa, khususnya penjajah di Nusantara adalah bahwa koloni-koloni Arab menentang dominasi mereka. Meskipun pandangan itu keliru untuk menggambarkan tentang orang-orang Hadramaut di Nusantara, namun gagasan ini begitu kuat berakar karena semua orang menyaksikan bahwa keinginan orang Arab Hadramaut adalah menguasai masyarakat.148 Melihat kenyataan itu, Hamid berupaya untuk menghilangkan pendapat yang keliru itu. Jauh sebelum Nusantara dijajah oleh Belanda, orang-orang Arab telah datang dengan damai, menyebarkan ajaran agama. Mereka membawa spiritualisme untuk memberikan tatanan kehidupan lebih baik. Sebaliknya, dalam pandangan orang Hadramaut, negeri Belanda hanya dikenal sebagai kekuasaan penjajah di Nusantara. Konfigurasi politik di Nusantara saat itu menunjukkan bahwa Arab yang diidentikan dengan Islam adalah musuh yang berbahaya bagi Belanda yang identik dengan misi penguasaan dan kristenisasi. Sehingga eksistensi Arab mendapat perhatian yang penuh dari pemerintah Belanda. Dari sinilah kebijakan-kebijakan politik ekspansi Belanda muncul. Hamid telah membaca gerak gerik dan rencana Belanda di Nusantara. Sebenarnya Belanda kawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam

148 L.W.C. Van Den Berg, Orang Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 155. 86 fanatik sehingga mengganggu ekspansi mereka. Sistem politik yang khusus diberlakukan untuk umat Islam dan etnis Arab semakin diperkuat setelah kedatangan Snouck Hurgronje pada tahun 1889.149 Pemerintah Hindia Belanda mempunyai kebijaksanaan yang jelas mengenai masalah Islam. Meskipun Snouck menegaskan bahwa hakekat orang Islam di Indonesia itu tidak penuh damai dalam menjalankan ibadahnya, namun ia pun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme Islam. Ia menganggap musuh kolonialisme adalah Islam sebagai doktrin politik.150 Masih menurut Snouck, Islam seringkali menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan Belanda. Kenyataannya memang demikian, bahwa agama Islam di Indonesia telah menjadi pengikat kuat persaudaraan. Islam merupakan titik identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintahan Asing (kolonial). Kekawatiran Snouck terhadap kekuatan politik Islam di Nusantara didasari oleh dua aspek: internal dan eksternal. Secara internal, kelompok-kelompok keagamaan seperti tarekat tampak memiliki kekuatan yang dapat menjaring dan merangkul masyarakat Islam. Tarekat membentuk kekuatan melalui amalan-amalan spiritual. Sehingga masyarakat tertarik kepadanya. Gerakan ini tidak bisa dianggap remeh, karena bisa saja perkumpulan tersebut menggerakkan perlawanan terhadap kaum Kafir. Adapun secara eksternal, kekhawatiran Snouck muncul ketika banyak dari masyarakat Islam pribumi yang pergi ke timur tengah dengan berbagai alasan. Sebagaian dari mereka lama merantau untuk menuntut ilmu. Ilmu yang diperoleh menjadi bahan dakwah di tengah masyarakat untuk menguatkan ideologi keislaman, sehingga sikap dan semangat melawan kolonial menjadi tinggi. Di lain hal, masyarakat muslim pribumi melakukan perjalanan ke sana untuk memenuhi panggilan Allah, berhaji. Tingkat religiusitas para jamaah meningkat setelah pulang

149 Christian Snouck Hurgronje diangkat sebagai kepala kantor penasehat urusan Arab dan Islam (Adviseur Voor Arabische-en Islamitische Zaken) pada tahun 1889. Snouck adalah salah seorang negarawan-kolonial besar negeri Belanda. Pengetahuan Snouck tentang sifat Islam-Indonesia sangat besar artinya dalam menjalankan politik Islam Belanda menuju sukses. Harry J. Benda menyatakan bahwa hasil terbesar yang diperoleh Belanda adalah karena peranan yang dimainkan Snouck dalam reorientasi politik bersamaan dengan perbaikan taktik militer yang pada akhirnya mengakibatkan perang Aceh. Harry J Benda, “Christian Snouck Hurgronje and the Foundation of Dutch Islamic Policy in Indonesia”, Collected Journal Articles, Continuity and Change in South East Asia, New Haven: Yale University SEA Studies, Monograph Series No. 18, 1970, hlm. 83. 150 Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, (, 1958), hlm. 22. 87 dari haji, sehingga jika ada yang mengusik keimanan mereka, mereka mempertaruhkan. Sensitifitas agama menjadi salah satu pemicu Belanda menerapkan aturan- aturan yang ketat. Agama Islam yang dianut masyarakat pribumi maupun etnis Arab menjadi musuh bagi kolonial. Pada akhirnya hal itu berdampak pada kebijakan politik, kebijakan kemasyarakatan dan tata negara Hindia Belanda untuk etnis Arab dan warga pribumi yang beragama Islam. Belanda menerapkan passen-stelsel, yaitu orang Timur Asing (sebutan etnis Arab di Nusantara) hanya boleh pergi ke tempat lain dari tempat tinggalnya jika mendapat pas izin untuk bepergian.151 Snouck tidak menginginkan adanya pembauran antara keturunan Arab dan warga pribumi (Regerings Reglement) karena dianggap dapat menguntungkan mereka dan merugikan pihak kolonial yang gencar ingin mempercepat penguasaan terhadap tanah Nusantara. Padahal pembauran ini sudah terjadi sejak lama. Hamid merasa perlu memberikan kritik atas status keturunan Arab di Indonesia. Karena di negara-negara bekas koloni Barat, keturunan Arab mempunyai status yang sama dengan orang-orang yang merupakan mayoritas Islam. Seperti di Malaysia, India, dan Bangladesh, keturunan Arab memiliki status hukum yang sama dengan warga asli sebelum dan sesudah berdaulat, namun tidak demikian keadaannya di Indonesia. Oleh karenanya pada tahun 1940-an, Hamid ikut bergabung dengan pergerakan-pergerakan nasional yang terdiri dari kaum peranakan Arab. Ia menyoal status etnis Arab yang telah lahir di Nusantara adalah bagian dari warga pribumi yang mengakui kedaulatan negara, bertanah air dan berbangsa Indonesia. Pemisahan keturunan Arab di Nusantara dengan pribumi sebagaimana diatur dalam undang-undang Belanda justru dapat melemahkan kekuatan “Islam” untuk melawan Belanda. Hamid yang melek sejarah paham bahwa para pendahulunya di perang Paderi, perang Diponegoro dan lainnya memperjuangnkan bangsa dengan segenap jiwa raga dari penguasaan penjajah. Oleh karena itu, Hamid memupuk rasa

151 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam pemberontakan melawan Belanda, (Bandung: Mizan, 1996), edisi 3, hlm. 98. 88 nasionalisme tersebut untuk meneruskan kiprah mereka menentang penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Kedua, faktor pendidikan.ketidak sukaan Hamid terhadap kolonial Belanda juga dilatarbelakangi dari riwayat pendidikannya. Memang pada waktu itu orang Arab atau keturunan Arab di Nusantara melarang anak-anaknya untuk bersekolah di sekolah Belanda dengan alasan bahwa pendidikan Barat dianggap sebagai sekolah Kristen yang akan merusak agama yang sudah diajarkan dari lingkup keluarganya. Meskipun pada akhirnya Hamid masuk ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School), namun ia mendapat perlakukan yang tidak baik dari teman-teman Belanda. Hamid sering diejek dan tidak jarang harus melayani berkelahi dengan teman- temannya. Keadaan menjadi lebih gawat ketika salah seorang guru Protestan fanatik menunjukkan sikap anti-Islamnya kepada Hamid dengan mengejek agama dan Nabinya. Kejadian yang pernah dirasakan Hamid sejak berada di sekolah tersebut memberi banyak arti dalam kehidupannya. Hamid dewasa menjadi aktivis. Ia terlibat dalam Ikatan Pemuda Islam (Jong Islamieten Bond) atau disingkat dengan JIB. Perasaan anti-Belanda seperti pengalamannya saat bersekolah membentuk jiwa kritis yang dituangkan dalam tulisan. Majalah JIB adalah salah satu yang diterbitkan dalam bahasa Belanda yang merupakan penerangan dan pembela agama terhadap segala bentuk serangan Belanda terhadap Islam, karena majalah ini menjangkau orang non- Islam. Hamid berkembang sedemikian rupa dan mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan kedaulatan Indonesia Ketiga, faktor keluarga. Meskipun kakek dan ayah Hamid memangku jabatan honorer dari pemerintahan Belanda saat itu yaitu sebagai Kapitein Arab di Pasuruan, tapi bukan berarti mereka mengajarkan Hamid untuk cinta dan membela kebijakan- kebijakan Belanda. Jabatan tersebut tidak memiliki ikatan khusus untuk membela Belanda. Faktanya kakek dan ayah Hamid masih pada pendiriannya sebagai keturunan Arab yang cinta terhadap tanah air Indonesia. Jika dipandang, posisi sebagai kapten daerah sangat prestis. Kapten sama dengan kepala daerah yang memiliki wewenang politis pada suatu daerah tertentu. Namun jabatan itu tidak membuat kakek dan ayah Hamid lupa terhadap etnisnya. Mereka mengajarkan nilai- 89 nilai agama sejak kecil dan memberikan pendidikan yang optimal agar Hamid dapat berpikir terbuka terhadap lingkungan sekitar. Salah satu doktrin pergerakan yang melekat pada keluarga Hamid adalah Pan-Islamisme. Hal ini dapat terlihat pada Hamid ketika bersekolah di ELS, ia mengenakan terbus (kopiah merah khas Turki). Pemerintahan Belanda selalu was- was jika ada gerakan yang mengancam kekuasaannya. Jika tarekat adalah bahaya dari dalam, maka gerakan Pan Islam merupakan bahaya yang berasal dari luar. Kecurigaan Belanda banyak mengarah kepada segolongan yang berbau Arab dan Islam, seperti masyarakat pribumi yang menuntut ilmu di timur tengah dan para jamaah haji. Pan Islam merupakan penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama. Turki berusaha menggunakan gerakan ini untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah kerajaan Usmani. Menariknya, situasi saat itu hampir seluruhnya negara-negara di Asia-Afrika dijajah Barat. Gerakan yang menghidupkan ukhuwah islamiyah ini dianggap berbahaya oleh negara-negara penjajah karena bisa membangkitkan semangat perlawanan bangsa-bangsa Islam. Termasuk di Indonesia, gerakan yang cenderung mengarah pada Pan Islam akan mendapat sorotan khusus pemerintah Belanda. Meskipun jarak kepulauan Indonesia dengan Turki dan negara-negara Arab cukup jauh namun Indonesia tidak lepas dari perhatian dunia Islam. Arab dan Turki terus melihat kekuasaan Belanda yang semakin menindas. Apalagi hubungan timur tengah dengan Indonesia sangat baik dengan semakin meningkatkan jumlah jamaah haji tiap tahunnya. Nilai-nilai perjuangan Islam yang ditanamkan keluarga pada Hamid sangat membekas, sehingga ia memiliki semangat yang tidak pernah pudar untuk terus melakukan perlawanan terhadap Belanda. Perlawanan yang ia lakukan bukan dengan mengangkat senjata, melainkan melalui media masa karena keahliannya adalah menulis sebagaimana telah lama ia geluti sejak di bangku sekolah. Adapun peran lain Hamid lebih signifikan bagi bangsa Indonesia yaitu pasca kemerdekaan. Ia masuk ke dalam birokrasi pemerintah Indonesia sebagai bagian penting dalam konferensi- konferensi dan penerangan publik. 90

B. Perjuangan Hamid Algadri : Masa Pergerakan

Sebagaimana diteorikan dalam bab sebelumnya bahwa pergerakan nasional menunjukkan pergerakan dari segala macam aksi yang menggunakan organisasi untuk menentang penjajahan demi mencapai kemerdekaan. Maka secara garis besar, peneliti membagi perjuangan Hamid Algadri menjadi dua yaitu pertama, perjuangan masa Pergerakan. Kedua perjuangan Hamid Algadri pasca kemerdekaan Indonesia.

1. Kritik terhadap Kolonial Belanda

Di dalam melawan kolonial Belanda, Hamid tidak melakukannya dengan senjata dan fisik. Hamid melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan cara propaganda melalui Media Massa. Hamid memiliki peran dalam melawan kolonialisasi Belanda di tanah air Indonesia melalui propaganda-proganda yang ia sebarkan di media masa. Dalam konteks ini, Hamid memberikan banyak peran berupa pemikiran kritis terhadap kebijakaan-kebijakan Belanda. Apa yang ia lakukan memantik semangat perjuangan rakyat lainnya dalam mempertahankan hak-hak hidup di tanah air sendiri dan melawan segala bentuk penindasan. Sikap kritis Hamid sudah terlihat sejak berada di bangku sekolah. Ia juga mahir dalam menulis. Keterampilan ini menjadi media untuk menyalurkan aspirasinya. Hamid sering menyampaikan sikapnya terhadap kolonialisasi Belanda melalui media masa. Tulisannya merupakan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang dirasa sangat merugikan dan tidak adil terhadap keturunan Arab dan masyarakat pribumi. Media koran atau majalah merupakan alat yang strategis untuk menyampaikan data faktual dan propaganda pada saat itu. Selain mudah dijangkau oleh segala kalangan, media masa cukup efektif untuk memberikan informasi penting kepada masyarakat. Dalam masa pendidikan di Rechts Hogeschool, Hamid sering menulis artikel dalam majalah Insjaf. Majalah ini pernah menyebut Hamid sebagai pionier (perintis) dalam masyarakat keturunan Arab atau Arab Indonesia yang meningkatkan 91 pengetahuan dalam sekolah tinggi dan “menjadi pohon pengharapan di kemudian hari”. Sejak saat itu memang banyak pemuda Arab Indonesia yang mengikuti jejak Hamid dengan memasuki Sekolah Dasar (Lagere School). Majalah ini dinamai Insjaf dengan tujuan agar selalu ingat bahwa yang sebenarnya masyarakat Arab butuhkan adalah keInsjafan sehingga memperoleh kemajuan. Terbitnya majalah ini memberikan kesadaran serta tanggungjawab kepada peranakan Arab di Nusantara bahwa mereka adalah bangsa Indonesia yang harus berjuang bersama pribumi untuk menuntuk hak negara kepada pemerintahan Belanda. Salah satu artikel Hamid dalam Insjaf yang berjudul “Soal Tanah Air, dari jurusan Staatsrecht” (Hukum Tata Negara) terbitan Oktober 1937, menjelaskan tentang paham ras dan paham natie (kebangsaan). Hamid tegaskan di situ bahwa paham ras harus dihilangkan dalam Staatrecht, sebagaimana terjadi di negara-negara Eropa, dan harus diganti dengan paham natie yang berarti adanya satu golongan dengan satu negara, satu kepentingan dan satu nasib tanpa mempersoalnkan apakah golongan ini terdiri dari satu keturunan atau lebih. Hamid mengambil contoh, misalnya orang neger di Amerika, yang menurut paham ras memang orang neger, tetapi menurut paham natie ia adalah bangsa Amerika yang sejati. Adapun PAI mencampuri politik, yang bergantung pada staatrecht, bukan suatu perhimpunan para antropolog yang mengenali paham ras.152 Demikian juga dalam artikel Hamid yang berjudul “Kabar Baik, Soal Tanah Air dan Masyarakat Indonesia” dalam Insjaf terbitan November 1937 Hamid menegaskan bahwa PAI berikhtiar dan bertujuan menunjang kebangunan kerakyatan Indonesia yang satu, sebagaimana juga dikehendaki oleh Petisi Sutardji153 dengan rancangan Indisch Burgerschap (kewarganegaan Hindia), yang telah diterima oleh Volksraad. Memang Volsraad masih belum sempurna sehingga badan ini belum dianggap sebagai Badan perwakilan dari masyarakat Indonesia dalam arti yang sesungguhnya tetapi dalam soal Indisch Burgerschap bolehlah diercaya suara

152 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, (Jakarta: UI Press, 1991), hlm. 51. 153 Mengenai petisi Sutardjo, Hamid menjelaskannya dalam artikel yang ia tulis berjudul “Sumbangan untuk orientasi Petisi Sutardjo” yang menghendaki pemerintahan bentuk baru di negeri ini, bukan merupakan koloni tapi sama kedudukannya dengan Nederland. 92

Volksraad adalah suara masyarakat Indonesia. Dan diterimanya prinsip Indisch Burgerschap oleh Volksraad itu bisa diartikan sebagai diterimanya dan diakuinya tujuan PAI terhadap soal tanah air oleh masyarakat Indonesia.154 Hamid memiliki karakter khusus pada setiap tulisannya di Insjaf. Tulisannya bersifat kritik terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah. Sistem kehidupan peranakan Arab di Nusantara pun tak luput dari kekritisannya. Tulisannya yang berbobot itu seringkali memprovokasi pihak lawan (Belanda) sehingga tak jarang, Hamid menjadi buronan mereka. Namun apa yang ia tulis bukanlah atas subjektifitasnya, melainkan disertai penjelasan ilmiah dan alasan ketidaksetujuan terhadap sistem dan kebijaksaan yang diberlakukan Pemerintah Belanda. Salah satu contoh kritiknya terhadap pemerintah adalah dengan mempertanyakan inkonsistensi pemerintah dalam menjalankan Undang-undang yang telah dibuat dan diberlakukan. Misalnya adalah implementasi UU dasar perubahan Inlandsch Staatregeling pada tahun 1922. Hamid secara tegas menyatakan bahwa peraturan tersebut hanya formalistik, demi meredam tuntutan dari golongan Etisch di Perlemen Belanda sehingga perubahan UU yang demokratis kepada penduduk Hindia Belanda dilakukan. Hamid tidak segan untuk mengatakan pemerintah hanya pandai membual tanpa ada praktik. Yang menjadi bahan kritik lainnya adalah tentang aturan kewarganegaraan. Ia mempersoalkan hak kewarganeraan yang masih dualistik yaitu pada bidang staatrecht dan privaatrecht khususnya untuk gologan asing yang lahir di Indonesia. Aturan yang diberlakukan adalah sistem rasial. Hal ini memang sangat menguntungkan pemerintah Belanda untuk memisahkan antara golongan Arab dengan masyarakat pribumi sehingga meminimalisir tingkat pemberontakan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.

2. Peran Hamid dalam PAI

Orientasi kebernegaraan (statehood) komunitas keturunan Arab awal abad ke 20 masih ditujukkan pada Negara Hadramaut yang secara langsung tercermin dalam kurikulum dan bahasa pengantar yang digunakan dalam lembaga pendidikan mereka.

154 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, hlm. 51 93

Pengajarnya pun didatangkan dari Negara Arab yang mengadopsi sistem pendidikan modern, seperti Irak, Hijaz, Mesir, dan Lebanon. Orientasi kebernegaraan ini menjadi kendala ketika paham kebangsan mulai melanda berbagai wilayah, khususnya tanah jajahan, termasuk Hindia Belanda. Identitas dan orientasi politik kearaban yang diwacanakan dalam komunitas arab di Hindia Belanda menjadi kendala ketika dihadapkan pada realitas sosial keturunan Arab. Mayoritas keturunan arab di Hindia Belanda beradat istiadat lokal, berbahasa setempat, dan menjadi bagian dari komunitas etnis lokal melalui perkawinan. Maka, sulit bagi mereka untuk menjadikan Hadramaut sebagai tanah air yang dicita-citakan.155 Deklarasi yang dikumandangkan oleh berbagai organisasi pemuda dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang melintasi batas etnik dan agama berpengaruh pada orientasi kebernegaraan komunitas Arab di Hindia Belanda. deklarasi kebangsaan ini menimbulkan kesulitan bagi komunitas keturunan Arab karena status hukum mereka sebagai orang asing dengan orientasi kebernegaraan kepada negeri yang jauh, yaitu Hadramaut, akan tetapi secara kultural mereka terikat dengan budaya lokal di mana mereka mengembangkan hidupnya. Kondisi inilah yang pada akhirnya menimbulkan perbedaan pandangan tentang semangat kebangsaan yang dimiliki oleh masyarakat keturunan arab di Indonesia, selain perdebatan secara internal di kalangan keturunan arab mengenai golongan-golongan yang terdapat pada masyarakat arab. Pada tahun 1930 berdiri satu perkumpulan yang menamakan dirinya Indo Arabisch Verbond (IAV) pada tahun 1939 berganti menjadi IAB (Indo Arabische Beweging), pengambil inisiatif dan pendiri perkumpulan ini adalah M.B.A Alamudi, seorang keturunan arab kelahiran Amboina. Sebelum mendirikan IAV, Alamudi sudah berkeliling di kota pulau Jawa dan mendapat sambutan yang cukup besar. Saat itu masyarakat arab mulai menyadari bahwa perpecahan yang seringkali terjadi diantara mereka sangat merugikan golongan Arab di Indonesia dan dengan berdirinya IAV diharapkan dapat mempersatukan kembali golongan tersebut. IAV banyak mengandalkan dukungan dari orang kaya dari golongan arab dan masih belum dapat melepaskan diri dari sistem sosial di Hadramaut. IAV kurang

155 Nabil a. Karim Hayaze, A.R. Baswedan: Revolusi Batin Sang Perintis, h.36 94 mengaitkan diri dengan kenyataan dalam masyarakat Indonesia sendiri yang sebagian besar keturunan Arabnya sudah membaur dan sudah terlepas dari sistem sosial di Hadramaut.156 Organisasi IAV yang belum bisa melepaskan diri dari sistem sosial pada akhirnya juga menyebabkan beberapa keturunan arab yang tidak puas dengan sepak terjang IAV. Salah satunya adalah A.R. Baswedan yang menjadi pelopor tercetusnya sumpah yang menyatakan Indonesia sebagai tanah air mereka pada tanggal 4 Oktober 1934 di Semarang, dilanjutkan dengan mendirikan Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada tanggal 5 Oktober 1934. PAI merupakan gerakan Islam- Nasionalis yang memulai gerakannya dari sumpah pemuda arab, sumpah mengaku Indonesia sebagai tanah air keturunan Arab. PAI didirikan di Semarang tanggal 4 Oktober 1934 dengan dasar bahwa Indonesia adalah tanah air mereka. Dengan singkat: Keturunan Arab adalah putra dan berbangsa Indonesia dan harus mengabdi pada tanah airnya, sama dengan suku bangsa Indonesia lainnya. Gerakan ini yang biasanya dinamakan Gerakan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.157 PAI mengakui Indonesia sebagai tanah air keturunan arab harus memenuhi kewajiban mereka sebanyak mungkin terhadap tanah air mereka dan terhadap masyarakat Indonesia. Untuk melakukan kewajiban itu, mereka harus memperbaiki kedudukan mereka di bidang social, ekonomi, dan politik. Kebudayaan keturunan arab adalah kebudayaan Indonesia sepanjang kebudayaan itu tidak bertentangan dengan Islam. Lain halnya dengan IAB yang didirikan oleh M.B.A. Alamudi, pada rapat pertamanya dikatakan bahwa nasionalisme adalah berbahaya dan bahwasanya gerakan nasionalisme tidaklah sehat.158 Pandangan ini justru sangatlah bertolak belakang dengan pandangan PAI yang sangat menjunjung tinggi nasionalisme Indonesia. Maka dapat dikatakan bahwa IAB bertujuan memperkuat ras bahwa keturunan arab adalah orang arab dan harus tetap tinggal di Arab, sedangkan PAI adalah perkumpulan Indo-Arab yang menjunjung tinggi nasionalisme Indonesia.

156 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab., h.167 157 Nabil a. Karim Hayaze, A.R. Baswedan: Revolusi Batin Sang Perintis, h. 37 158 Hamid Algadri, C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab, 155 95

Peran Hamid ketika ia memutuskan untuk menggabungkan diri dalam PAI adalah menyatukan golongan arab untuk menjadi bagian dari Arab-Indo bukan Indo- Arab dan mencoba mengubah citra buruk keturunan Arab di Nusantara yang mulai menjalar di kalangan intelektual. Pasalnya citra buruk etnis Arab selalu diberitakan dalam harian dan majalah Belanda yang banyak dibaca oleh kaum intelektual Indonesia. Hamid tidak menginginkan asimilasi yang telah terjadi puluhan tahun lalu dan hubungan baik Arab dengan Indonesia rusak karena citra buruk ini. Gerakan keturunan Arab ini cepat diterima dalam gerakan nasional. Setelah berhasil menyatukan dua pandangan kelompok keturunan Arab yang berbeda, Hamid mendorong anggota PAI agar memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Konsekuensinya, mereka harus mengakui Indonesia sebagai tanah airnya. Langkah Hamid yang berada pada posisi ketua PAI cabang Jakarta kemudian menjadi pengurus besar PAI sampai tahun 1942 sangat signifikan. Ia dapat ikut menentukan prinsip dan ideologi PAI. Apalagi saat Hamid ditunjuk sebagai wakil PAI dalam GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia)159 bersama ketua PB PAI H.M.A Hosein Alatas. Atas keahliannya berorasi dan berunding, Hamid Algadri sering ditunjuk sebagai pembicara dalam rapat-rapat penting yang diselenggarakan oleh PAI. Salah satu contohnya ketika ia ditunjuk menjadi jubir dalam rangka aksi masa Petisi Soetardjo dan tuntutan Indonesia Berparlemen. Hamid menyampaikan sikap dan pandangan PAI sehingga bermunculan simpati dari partai-partai nasional. Pada tahun 1939 PAI semakin berkembang. Banyak peranakan Arab yang menyatakan diri bergabung dengan PAI. Oleh karena sudah menyebar dibentuklah cabang-cabang dan juga ranting. Hamid Algadri berperan menguatkan pandangan bahwa PAI ini adalah organisasi yang tidak hanya mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka saja, tetapi bahwa keturunan Arab adalah nasionalis yang siap memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari tangan para penjajah. Hamid Algadri ikut berpartisipasi dalam rangka memperjuangkan penyamaan hukum dengan pribumi. Ikut di dalam Petisi Sutarjo merupakan sebuah langkah awal

159 GAPI adalah suatu organisasi yang menjadi payung dari partai-partai dan organisasi- organisasi politik di Indonesia. GAPI berdiri pada tanggal 21 Mei 1939 di Jakarta. 96 memperjuangkan status Indo-Arab melalui jalur politik. Dalam kongres PAI yang kelima di Jakarta tahun 1940, sebagaimana cita-cita Hamid Algadri PAI dapat mencetuskan program perjuangan partainya, sebagai berikut: Politik 1. Mencapai adanya satu massa peranakan Arab Indonesia sebagaimana dicita- citakan oleh PAI 2. Menuntut perubahan politik yang mewujudkan natie Indonesia yang satu. Oleh karenanya menuntut: (a) hapusnya ras criterium yang menjadi dasar dalam membagi masyarakat menjadi beberapa golongan: (b) adanya hak pengadilan yang sama bagi seluruh rakyat 3. Menuntut adanya suatu Parlemen Indonesia yang dipilih oleh dan untuk rakyat serta tempat pemerintah menanggung jawab: (a) menuntut adanya pemerintahan berasaskan kerakyatan (demokrasi): (b) menuntut hak memilih bagi umum dengan cara yang langsung 4. Menuntut Indonesia pada jabatan negeri 5. Menuntut: (a) luasnya hak berkumpul dan bersidang: (b) hak berbicara dan kemerdekaan menyatakan pikiran 6. Menuntut penghapusan rupa-rupa beban adat seperti rodi

Agama

1. Menuntut hapusnya artikel 178 I.S dan Goeroe Ordonnantie 2. Menuntut kembalinya hak mengurus warisan pada umat Islam pada Raad Agama 3. Menuntut hak pemakaian masjid dan kas masjid kembali pada umat Islam 4. Menuntut hapusnya subsidi pada segala agama160

Hasil kongres PAI yang kelima sebagaimana disebutkan diatas, tidak terlepas dari munculnya beberapa kebijakan kolonial Belanda terkait dengan perkembangan agama Islam di Indonesia. Pada tahun 1905 pemerintah Belanda dalam Staatsblad 1905 mengeluarkan Ordonansi Guru, yang menyebutkan bahwa siapa saja yang akan memberikan pelajaran agama untuk meminta izin tertulis terhadap pemerintah kolonial. Disamping itu guru harus membuat daftar dari murid-muridnya dan mengirimkannya secara berkala kepada kepala daerah setempat. Izin tersebut dapat ditarik kembali apabila guru tersebut berulang-ulang melanggar peraturan.161

160 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi., hlm.52 161 Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, (Jakarta: Logos, 1998), hlm. 127 97

Sementara itu kawasan agama yang benar benar netral dan bebas dari campur tangan Belanda semakin menyempit. Maka campur tangan Belanda dapat terlihat pada beberapa hal, yaitu: 1. Peradilan Agama, yang sudah diatur sejak tahun 1882 2. Pengangkatan Penghulu sebagai penasehat pada Pengadilan Umum 3. Pengawasan terhadap perkawinan dan perceraian bagi umat Islam, sejak tahun 1905 4. Ordonansi Perkawinan untuk luar Jawa, 1932 5. Pengawasan terhadap pendidikan Islam 6. Ordonansi Guru 1905 7. Pengawasan terhadap kas Masjid, sejak 1893 8. Pengawasan terhadap Ibadah Haji162 Dalam majalah Insjaf Hamid Algadri juga membuat tafsiran mengenai anggaran dasar PAI mengenai Asas Islam. Menurut Hamid Algadri, Indonesia merupakan tempat peranakan Arab lahir dan menjadi tanah air bagi peranakan Arab. Merupakan kewajiban bagi peranakan Arab untuk turut serta dalam memprioritaskan kepentingan masyarakat Indonesia, karena itulah dalam PAI Hamid Algadri menekankan dan tidak mempermasalahkan golongan Arab yang berasal dari mana, bahwa keturunan Arab adalah orang Indonesia dan memiliki hak serta kewajiban yang sama dengan warga asli Indonesia (pribumi). PAI tidak menginginkan keturunan Arab menggunakan sistem Hadramaut, tetapi meleburkan diri dengan sistem yang berlaku di Indonesia. Hal ini sangat logis karena mereka telah beranak pinak di negeri ini. Maka aturan-aturan yang harus mereka gunakan adalah sesuai dengan kebijakan negara Indonesia. Pada kongres kelima PAI yang diadakan di Jakarta tahun1940 nama PAI yang semula Persatuan Arab Indonesia berganti menjadi Partai Arab Indonesia. Pergantian ini dimaksudkan untuk menyatakan lebih tegas bahwa PAI merupakan partai politik. Ketika GAPI (Gabungan Politik Indonesia) didirikan pada 21 Mei

162 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 30 98

1939, PAI masuk menjadi anggota dan secara aktif turut serta dalam gerakan Indonesia berparlemen.163 Hamid Algadri menuliskan di dalam bukunya bahwa Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa PAI-lah yang dalam segala sepak terjangnya selalu berdekatan dengan cita-cita kebangsaaan dan kenegaraan partainya sendiri di masa lampau yaitu Indische Partij yang di bubarkan oleh gubernur Jendral pada tahun 1921, mengenang pembubaran diri sendiri PAI pada tahun 1946, yaitu dengan masuknya anggota PAI ke partai politik yang ada untuk membaur di dalamnya, dengan begitu maka salahkah jika mereka disatukan pada golongan yang kini di sebut golongan minoritiet karena mereka tidak mengasingkan diri dari golongan umum merekayang sudah bersatu dalam masyarakat kebangsaan kita. Sambutan itu yang di bacakan oleh Ki Hajar Dewantara dan sebagi penutup dari sambutan itu beliau berkata, karena itu kami doakan semoga idam-idaman saudara-saudara sebangsa keturunan Arab tadi menjadi contoh bagi golongan lain yang berketurunan asing lainnya.164

C. Perjuangan Hamid Algadri Pasca Kemerdekaan Indonesia

Sesaat setelah memproklamirkan kemerdekaan bukan berarti Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan. Perjuangan belum berakhir. Indonesia masih harus berjuang mempertahankan kemerdekaannya. Sebab sesaat Sekutu datang ke Indonesia dan diboncengi NICA, tentara Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia. Mereka mulai melakukan penyerangan dan upaya-upaya lain agar Indonesia kembali dalam “kepangkuannya”. Pada tahun 1947 Hamid Algadri menjabat sebagai Sekretaris Kementerian Penerangan, ketika NICA ( Indies Civil Administration) atau Pemerintah Sipil Belanda datang kembali ke Indonesia, para serdadu Belanda sering meledakkan peluru dan menangkap siapa saja yang dianggap sebagai teroris dan ekstrimis. Setelah dilaksanakan Perjanjian Linggajati pada tanggal 25 Maret 1947, yang menyatakan bahwa Belanda mengakui kekuasaan de facto Republik di Sumatera, Jawa, dan Madura, tetapi Belanda mendesak untuk membentuk Gendarmerie, yaitu

163 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, hlm.53 164 Hamid Algadri, Islam dan Keturunan., hlm. 130. 99 polisi yang “bersama-sama” dengan pasukan Indonesia berkewajiban menjaga keamanan dan ketertiban di daerah Republik, dalam arti tentara Belanda boleh masuk kembali dalam wilayah Indonesia. Hamid Algadri, seringkali berpidato ketika melakukan siaran di RRI (Radio Republik Indonesia), dalam pidatonya Hamid selalu memberikan pesan-pesan positif terhadap masyarakat Indonesia untuk terus berjuang mempertahankan kemerdekaan dan tidak gentar dalam melawan Belanda, hal ini dimaksudkan agar bangsa Indonesia tidak terpengaruh oleh propaganda NICA.165 Pada malam hari tanggal 20 Juli 1947, beberapa serdadu Belanda mendatangi kediaman Hamid Algadri di Jl. Serang 13, Hamid Algadri diangkat dengan menggunakan jeep ke tangsi Jagamonyet yang berada di seberang gedung Harmoni. Hamid Algadri ditahan di penjara Bukitduri bersama dengan Mr. Ali Budiarjo, Dr. Darma Setiawan, Walikota Suwiryo, Wakil Walikota Yusuf Yahya, dan Kepala RRI Yusuf Ronodipuro. Penangkapan Hamid Algadri oleh serdadu Belanda karena Hamid Algadri dianggap sebagai ekstremis yang selalu berpidato dalam siarannya di RRI. Akan tetapi pada keesokan harinya Hamid Algadri dan beberapa tawanan lainnya termasuk M.Natsir dipindahkan ke gedung Sekolah Kristen, Jl.Diponegoro 82, kemudian dibebaskan pada malam harinya. Setelah penangkapan yang terjadi pada beberapa tokoh di RRI termasuk Hamid Algadri, kantor RRI yang berada di Merdeka Barat dan kantor telepon di Gambir dirampas dan dikuasai oleh Belanda, akibatnya Hamid Algadri dan beberapa tokoh RRI tidak lagi dapat mengudara dalam menyampaikan protes terhadap Belanda. Seorang utusan dari Dr. Ozinga seorang kepala d RVD (Regering Voorlichting Dients) Dinas Penerangan Belanda mendatangi Hamid Algadri untuk membujuk dan mengajak Hamid Algadri agar bekerja di RVD karena RRI sudah dikuasai oleh Belanda, akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Hamid Algadri dengan menyatakan bahwa “saya adalah seorang republikein yang tidak akan pernah bekerja di RVD tempat tuan bekerja”166. Setelah perjanjian Renville pada tahun 1948 dan Hamid Algadri menjadi salah satu staf delegasi Indonesia, NICA mengeluarkan pengumuman terkait dengan

165 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi., hlm.2 166 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi., hlm.17 100 perintah pengusiran terhadap tiga puluh keluarga Republik dari Jakarta dan pindah ke Yogya sebagai tahanan rumah, termasuk Hamid Algadri. Alasan Hamid Algadri termasuk dalam daftar tiga puluh keluarga yang diusir dari Jakarta, karena: Pertama Hamid Algadri merupakan penasihat Panitia Politik Arab Indonesia yang membela Republik. Pendirian Panitia Politik Arab ini bertujuan untuk menentang usaha Belanda yang hendak menarik orang-orang Arab agar berpihak kepada Belanda. Hasilnya Belanda tidak dapat menarik keturunan Arab untuk berpihak kepada mereka. Kedua Hamid Algadri dituduh telah menerima candu mentah sebanyak 1734,6 kg dari Mukarto, mantan Menteri Luar Negeri untuk dikirim ke Bukitinggi dan Filipina, tuduhan ini merupakan kekeliruan yang sengaja dibuat oleh Belanda agar dapat mengusir Hamid Algadri dari Jakarta dan menjadi tahanan rumah di Yogya.167 Pada Agresi Militer 2, Hamid Algadri ditahan kembali oleh Belanda di penjara Wirogunan.168 Perjuangan Hamid Algadri setelah masa pergerakan terus berlanjut hingga turut serta mempertahankan kemerdekaan demi tercapainya kedaulatan bangsa Indonesia, karena itu berbagai perlawanan perjuangan fisik dan diplomasi atau perjanjian digalakkan untuk mempertahankan kemerdekaan. Beberapa perjanjian atau diplomasi yang diikuti Hamid Algadri, di antaranya: Perundingan Linggajati, Perundingan Renville, dan Konferensi Meja Bundar (KMB). Sebab pada realitanya, selain sebagai sekretaris kementerian penerangan, Hamid Algadri juga diangkat sebagai penasehat dalam delegasi RI pada perundingan-perundingan tersebut.169

1. Peran Hamid dalam PSI

Semangat kebangsaan Hamid Algadri juga bisa dilihat setelah PAI dibubarkan. Sebagaimana dipahami bahwa sesaat PAI dibubarkan, tokoh-tokoh PAI kemudian bergabung kepada partai-partai lainnya. AR Baswedan bergabung dengan Masyumi. Oleh karena ia bergabung dengan partai Islam, ia selanjutnya "dicap" sebagai orang yang tidak tidak nasionalis. Sementara itu Hamid Algadri bergabung

167 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi., hlm. 29 168 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi., hlm. 35 169 Hamid Algadri dan Hamid Basyaib, Mengarungi Indonesia: Memoar Perintis Kemerdekaan Mr. Hamid Algadri, ( Bandung: Lentera, 1999), hlm. 64. 101 dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), pimpinan . Karena Hamid Algadri bergabung dengan partai sosialis, maka ia "dituduh" oleh sebagian peranakan Arab bahwa ia adalah anti-Islam. "Mereka berpendapat, secara tradisional saya seharusnya bergerak di kalangan politik Islam dan menjadi anggota salah satu partai Islam," kata Hamid Algadri (meninggal 1998) dalam memoarnya, Mengarungi Indonesia (1999). Hamid Algadri mengaku bahwa saat itu kebanyakan dari keturunan Arab bergabung dan menjadi anggota partai Masyumi, Nahdlatul Ulama, atau partai-partai Islam lainnya. Sementara itu tidak banyak yang bergabung di PSI. Sebagai keturunan Arab Hamid Algadri memiliki latar belakang Islam yang kuat, dengan keyakinan dan pemahaman Islam yang kuat, di internal PSI sendiri, Hamid Algadri sering melakukan ceramah dan pidato-pidato hingga ke daerah-daerah. berceramah dan berpidato, teman-temannya di PSI sering bergurau bahwa ia lebih pantas menjadi anggota partai politik Islam daripada anggota PSI. Hamid Algadri sendiri mengakui bahwa AD/ART PSI tidak sama sekali menyebutkan hal-hal yang terkait Islam. Apalagi soal ideologi. Tetapi menurutnya, AD/ART PSI tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ia juga meyakini bahwa ajaran PSI itu benar selaras dengan ajaran agama Islam yang ia yakini. Dalam pada itu, dalam rapat-rapat umum di daerah-daerah, Hamid Algadri juga selalu mengaitkan ajaran-ajaran PSI dengan ajaran-ajaran Islam, seperti mengenai keadilan, kebenaran, pemerataan, dan sejenisnya. Melihat bergabungnya Hamid Algadri dengan PSI, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sikap kesukuan atau rasialnya sudah tidak begitu ditonjolkan lagi. Meskipun mayoritas rakyat Indonesia sudah beragama Islam, namun dalam hal kepartaian pun dianggapnya sama. Semua pihak dipandang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Semuanya bisa berdiri sama tinggi dan berduduk sama rata. Jika semangat kebangsaan yang benar itu tidak dimilikinya, secara logis otomatis dalam kalkulasi politik bisa saja ia akan dikucilkan oleh anggota-anggota partai itu. Ia pun bisa jadi tidak dibutuhkan. Namun realita berbicara lain. Ia justru dianggap baik dan dipercaya oleh anggota PSI. Kepercayaan itu bisa dilihat dari posisinya 102 yang ditempatkan pada posisi sentral partai, yakni sebagai Ketua Fraksi Demokrat Sosial di Parlemen pada 1958. Hamid mengatakan: “Saya terlibat dengan PSI sebagai anggota Biro Pusat. Saya berpartisipasi dalam parlemen, ditunjuk pertama tahun 1950, dan terpilih sebagai anggota dalam pemilu 1955. Partai kami percaya pada demokrasi multi-partai, sangat mendukung gagasan hak asasi manusia yang kemudian dideklarasikan di PBB, dan mendorong ekonomi terencana dengan gabungan publik dan sektor swasta. Pada tahun 1958, sebagai Ketua Fraksi Demokrat Sosial, saya menyampaikan pidato mengenai advokasi hak asasi manusia yang berjudul “Perjuangan Manusia Terhadap Alam dan Pengikutnya Selama Berabad-abad.170

2. Perundingan Linggajati

Sebagaimana dipahami bahwa Perundingan Linggajati merupakan perundingan antara Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Linggajati, Jawa Barat. Perundingan yang ditandatangani pada November 1946 dan sah oleh kedua negara pada 25 Maret di Istana Merdeka ini menghasilkan persetujuan tentang status kemerdekaan Indonesia. Perundingan ini dilatarbelakangi oleh masuknya AFNEI171 (Allied Forces Netherland East Indies) yang diboncengi tentara Belanda yakni NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ke Indonesia, sesaat setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan menetapkan “status quo” atas Indonesia. Kehadiran AFNEI ke Indonesia ini pada gilirannya telah melahirkan konflik yang berkepanjangan di Indonesia, seperti peristiwa 10 November 1945, yang selanjutnya perisitiwa itu diperingati sebagai hari Pahlawan.172

170 Cynthia Myntti, Wawancara Eksklusif: Hamid Algadri Soal Arab Indonesia (II), dalam http://menaracenter.org/2016/08/17/wawancara-eksklusif-hamid-Algadri-soal-arab-indonesia-ii/#go- features., diakses pada 19 Juli 2018 171 AFNEI ialah tentara sekutu yang diberi tugas khusus datang ke Indonesia untuk; 1) menerima penyerahan dari pihak Jepang, 2) membebaskan tawanan perang dan interniran serikat, 3) melucuti dan mengumpulkan orang Jepang, kemudian dipulangkan ke negerinya, 4) menegakkan dan mempertahankan keadaan damai kemudian menyerahkan kekuasaan pada pemerintah sipil, dan lainnya. (Lihat: Erwiza Erman dan Ratna Saptari, Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), hlm. 115. 172 Dalam rententan konflik berkepanjangan itu diketahui bahwa pada 30 Oktober 1945 pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur yakni Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh oleh tentara Indonesia. Sehingga hal tersebut membuat pemerintah Inggris murka, dengan lahirnya keputusan Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh (pengganti Mallaby) dalam bentuk ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA. 103

Pada saat yang sama, pemerintah Inggris didaulat Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) untuk bertanggung jawab atas penyelesaian konflik politik dan militer di Asia. Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris saat itu, mengundang Indonesia dan Belanda untuk melakan perundingan di Hooge Veluwe. Perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda pengakuan kedaulatan Indonesia atas Jawa, Sumatera, dan Madura, sementara Belanda hanya bersedia mengakui Jawa dan Madura saja. Selanjutnya bertempat di Konsulat Inggris di Jakarta, pada 7 Oktober 1946, dengan ditengahi Lord Killearn (Inggris), telah terjadi persetujuan untuk saling melakukan genjatan senjata pada 14 Oktober, sebelum mengarah pada perundingan Linggajati. Kemudian pada 11 November 1946 dilaksanakan perundingan di Linggajati. Perundingan yang menghasilkan 17 pasal, di antaranya berisi: Pertama, Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura. Kedua, Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Ketiga, Pihak Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Keempat, Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth/Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni. Hasil perundingan ini tentu cukup berarti bagi Indonesia. Bagaimanapun juga isi perjanjian tersebut memberikan peluang baru bagi Indonesia. Paling tidak Indonesia mendapatkan kedaulatan di negerinya sendiri. Kendati demikian, tak dapat dipungkiri pula bahwa Belanda juga mendapatkan keuntungan dari hasil perundingan. Hamid Algadri mengakui bahwa pencapaian persetujuan tersebut amat rumit. Namun bagaimanapun juga Indonesia memerlukan pengakuan dari dunia internasional, sehingga suaranya akan didengar oleh PBB, dan kedudukan Indonesia akan sederajat dengan Negara-negara lain, tak terkecuali Belanda. Berbarengan dengan dilaksanakannya perundingan tersebut, sementara ketua delegasi RI Sjahrir masih di Linggajati, pada suatu kesempatan Hamid Algadri juga berusaha melakukan counter propaganda Belanda melalui RRI. Ini dilakukan Hamid Algadri supaya rakyat tidak terpengaruh atas propaganda Belanda melalui RVD (Regerings Voorlichting Dienst). Tidak jarang Hamid Algadri melakukannya dengan 104 cukup keras. Saking kerasnya, sampai-sampai pernah ditegur Sjahrir (yang masih di Linggajati), bahwa Hamid Algadri diminta hati-hati karena Belanda bisa melakukan tindakan sewaktu-waktu.173 Misalnya saat terjadi bentrokan beberapa orang Belanda oleh masyarakat Pribumi, Belanda menggambarkan bahwa pemuda Indonesia pengacau. Hal itu kemudian ditanggapi Hamid Algadri dengan menyesalkan perbuatan tersebut, dan Belanda tidak berhak memprotesnya dengan mengungkapkan sekaligus mengingatkan peristiwa pembantaian peduduk Bandaneira yang dilakukan oleh Belanda. Sehinnga atas ungkapannya tersebut membuat Belanda naik pitam. Pada gilirannya kesepakatan itu tidak lantas membuat keadaan kedua belah pihak (Indonesia-Belanda) membaik. Belanda, karena memiliki penafsiran yang berbeda174 atas isi perjanjian tersebut, melalui Gubernur Jendral H.J van Mook, pada 20 Juli 1947 menyatakan tidak terikat lagi dengan perjanjian tersebut. Sehari setelah itu Belanda melakukan agresi militernya, yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda I. Perlu diakui bahwa persetujuan Linggajati telah melahirkan pro dan kontra, baik di kalangan bangsa Indonesia maupun di pihak Belanda. Piahk yang kontra balasan bahwa pemerintah bersama rakyat Indonesia masih cukup kuat dan mampu menghadapi Belanda. Pihak kontra ini menginginkan kemerdekaan seutuhnya, sehingga merasa tidak puas dengan apa yang dicapai dalam persetujuan Linggajati. Sementara itu pihak pro beranggapan bahwa menerima persetujuan Lianggarjati ialah suatu syarat perjuangan untuk memperoleh dasar perjuangan baru dalam menyelesaikan revolusi nasional. Terlebih jika ini bila dikaitkan dengan situasi politik di luar dan dalam negeri.

173 Hamid Algadri, hlm. 2. 174 Penafsiran Belanda yang berbeda atas perjanjian tersebut, di antaranya: Pertama, secara hukum Internasional, Belanda beranggapan bahwa ia masih berdaulat di Hindia Belanda termasuk Republik Indonesia. Kedua, dalam antisipasi pembentukan Negara Indonesia Serikat dan Uni Indonesia-Belanda, selama masa peralihan harus sudah dibentuk sebuah lembaga federal. Selain itu juga harus dibentuk pasukan keamanan. (Lihat: Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 77. Hamid Algadri menjelaskan bahwa Belanda membuat karangan penafsiran perjanjian tersebut dengan mendesak dibentuknya gendarmerie, semacam polisi, yang bersama-sama pasukan Indonesia, bersama-sama berkewajiban menjaga keamanan dan ketertiban di daerah Republik. Bahkan desakan itu disertai dengan ancaman dan ultimatum. (Lihat: Hamid Algadri, Suka-Duka Masa Revolusi, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1991), hlm. 2. 105

Betapapun kerasnya pro-kontra itu tidak bisa dipandang secara hitam-putih. Keduanya harus dimaknai sebagai upaya-upaya yang semuanya ditujukan kepada kebaikan bangsa, dalam tingkatan kadarnya masing-masing. Bagi Hamid Algadri, perundingan Linggajati ini amat penting akan eksistensi Indonesia. Hamid Algadri bahkan sudah memahami akan adanya penafsiran berbeda atas kesepakatan Linggajati yang dilakkan oleh Belanda. Dalam hal ini ia mengungkapkan bahwa Hamid Algadri bahwa Belanda akan menggunakan tafsirannya sendiri dalam pelaksanaan perjanjian Linggajati. Namun, bagi Hamid Algadri, seandainya Belanda akan melanggarnya dan menyerbu ke pedalaman, RI sebagai negara baru sudah memperoleh pengakuan internasional akan mudah menarik campur tangan dari PBB. Dan perhitungan ini akhirnya terbukti saat Syahrir berdebat di forum PBB.175 Untuk menengahi konflik ini, Dewan Keamanan PBB membentuk suatu komite yang selanjutnya lebih populer disebut Komisi Tiga Negara (KTN)176. Bahkan saat menghadiri konferensi Indonesia-Belanda di bawah pengamatan KTN, Hamid Algadri, B. M Diah dan beberapa kawannya di Kaliurang sempat dimasukkan di penjara Wirogunan.177 Pada saat mereka dipenjara, tersiar kabar kematian Supeno, anggota teras Angkatan Baru Indonesia, yang mati ditembak Belanda dalam pertempuran di Jawa Tengah. Sesaat setelah mereka dipindahkan ke Jakarta, mereka kemudian dibebaskan.

3. Perjanjian Renville Setelah Perjanjian Linggajati gagal, Indonesia (dalam hal ini Hamid Algadri, Sjahrir, dan lainnya) tanpa mengenal lelah dan putus asa, dan bahkan selalu menyalakan harapan dalam dada bahwa cita-cita mendirikan negara merdeka akan menemukan jalan terang. Mereka setiap hari membahas situasi politik dan mencari celah-celah kesempatan guna memperkuat kedudukan Indonesia menghadapi

175 Hamid Algadri, Suka-Duka Masa Revolusi, hlm. 10. 176 Disebut Komisi TIga Negara (KTN) karena komisi ini beranggotakan tiga negara, yakni Australia (yang ditunjuk Indonesia), Belgia (ditunjuk Belanda), dan Amerika Serikat (sebagai kubu netral), dengan perwakilannya masing-masing yakni Richard C. Kirby, Paul van Zeeland dan Dr. Frank Graham. 177 Dasman Djamaluddin, Catatan B.M Diah: Peran “Pivotal” Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-’45, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indoinesia, 2018), hlm. 328 106 tekanan Belanda.178 Kemudian mereka berusaha mengupayakan perundingan selanjutnya, yakni melalui Perjanjian Renville179. Perjanjian Renville merupakan perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Nama Renville digunakan sebagai identitas bahwa perjanjian tersebut dilaksanakan di atas geladak kapal perang Amerika Serikat bernama USS Renville, yang pada saat itu sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan yang dimulai pada 8 Desember 1947, dengan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), diadakan dengan tujuan khusus yakni untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggajati. Perjanjian ini berisi mengenai batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda, yang selanjutnya lebih populer disebut dengan istilah “Van Mook Line” (Garis Van Mook).180 Pada 29 Agustus 1947, Belanda mencetuskan garis Van Mook yang membagi dan membatasi Republik Indonesia menjadi tinggal sepertiga, yaitu Pulau Jawa dan kebanyakan pulau di Sumatra. Dalam pada itu, garis tersebut secara sengaja dibuat agar Indonesia tidak mendapatkan wilayah utama penghasil makanan.181 Menurut Hamid Algadri, Perundingan Renville lebih alot dibandingkan Perundingan Linggajati. Persoalan yang menjadi perdebatan panjangnya ialah ikhwal status Indonesia, sebelum dan sesudahnya Negara Indonenesia terbentuk. Bahwa nanti RI hanya akan menjadi satu Negara bagian dalam Negara Indonesia Serikat, dan ini tentu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sekalipun Negara Indonesia Serikat dalam persekutuannya dengan Balanda dijanjikan kesamaan derajatnya, tetapi karena Uni Indonesia-Belanda akan dikepalai oleh Raja Belanda, dan itu yang sulit diterima.182 Banyak pihak yang menganggap Renville adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita revolusi Agustus ’45, yang menuntut

178 Hamid Algadri, Suka-Duka Masa Revolusi, hlm. 21. 179 Perjanjian Renville ini berisi lima poin di antaranya: 1) wilayah Indonesia diakui berdasarkan garis demarkasi (garis van Mook); 2) Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai Republik Indonesia Serikat terbentuk; 3) Kedudukan RIS dan Belanda sejajar dalam Uni Indonesia-Belanda; 4) RI merupakan bagian dari RIS, dan; 5) Pasukan RI yang berada di daerah kantong harus ditarik ke daerah RI. 180 Moehammad Jasin, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 130 181 https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Renville diakses pada 2 Juli 2018, pukul 18.00 WIB 182 Hamid Algadri, Suka-Duka Masa Revolusi, hlm. 24. 107 kemerdekaan nasional tanpa bisa ditawar-tawar. Juga bentuk pengkhianatan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa yang terjajah. Sebab dalam rumusan itu berkonsekuensi bahwa Indonesia mempunyai kedudukan yang sama seperti negara- negara Republik boneka bentukan Belanda, seperti Negara Sumatra Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Madura, dan semacamnya. Jelas bahwa kedaulatan Indonesian telah merosot. Apalagi di atas Indonesia Serikat ada takhta Ratu Belanda yang mempunyai wewenang di atas semua Negara anggota Serikat.183 Perjanjian ini bernasib sama dengan Perjanjian Linggajati. Belanda mencabik-cabik kesepakatan tersebut dengan mendirikan beberapa wilayah, di antaranya Negara Pasundan (27 Februari 1948) dan Negara Madura (15 Maret 1948), untuk menandingi RI. Belanda juga menuntut agar diakui sebagai pemegang kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda selama masa peralihan sampai terbentuk Negara Indonesia Serikat. Tidak sebatas itu, karena RI hanya dianggap Negara bagian, maka Belanda juga mendesak agar TNI dibubarkan. Dalam Perjanjian Renville terdapat klause mengenai rencana diadakannya plebisit daerah-daerah di bawah pendudukan Belanda, yakni suatu pertanyaan kepada masyarakat bahwa mereka ingin bergabung dengan Republik Indonesia atau dengan Negara lain dalam ikatan Negara Indonesia Serikat sebagaimana rekayasa Belanda. Dalam hal ini, Hamid Algadri dan staf delegasi lainnya mendapatkan tugas untuk melakukan kampanye di daerah Jawa Barat. Motto yang demonstrasikan ialah from the bullet to the ballot, dari perjuangan yang mempergunakan peluru beralih ke kartu penmungutan suara. Hamid Algadri dan yang lainnya mendirikan Gerakan Peblisit Republik Indonesia (GPRI), untuk menggalang kekuatan pro Republik. Dengan rencananya yang begitu demikian rupa, hasilnya ialah terjadinya proses percepatan penggabungan negara-negara federal kepada Republik.184 Hamid Algadri dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, termsuk dalam daftar orang-orang yang harus diusir dari Jakarta. Pengusiran tersebut disinyalir karena Hamid Algadri telah menjadi penasehat Panitia Politik Arab

183 Hersri Setiawan, Memoar Perempuan Revolusioner, (Yogyakarta: Galangpress, 2006), hlm. 128. 184 Hamid Algadri, Suka-Duka Masa Revolusi, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1991), hlm. 27. 108

Indonesia, bentukkannya sendiri, yang sengaja dibentuk untuk menentang usaha Belanda yang hendak menarik orang-orang Arab agar pro terhadap Belanda.

4. Peran Hamid dalam KMB (Konferensi Meja Bundar)

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan sebagai suatu usaha diplomasi Indonesia dalam mendapatkan pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan. Pertemuan ini sebagai kelanjutan Perjanjian Roem-Royen. KMB dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. Pihak-pihak yang turut serta dalam pertemuan tersebut di antaranya ialah perwakilan Republik Indonesia, Belanda, BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg)185, dan UNCI (United Nations Commission for Indonesia)186 Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Peran Hamid Algadri di dalam KMB sangat signifikan, yaitu menjadi penasehat delegasi RI. Dalam pertemuan tersebut, Belanda menginginkan adanya keterlibatan keturunan Arab yang pro terhadap Belanda. Sultan Hamid187 (bukan Hamid Algadri) selaku Ketua BFO, sudah memiliki calon delegasi yang siap membantu Belanda. Namun keinginan tersebut ditolak oleh Hamid Algadri. Bersama-sama mantan aktivis Partai Arab Indonesia (PAI), Hamid Algadri menyatakan bahwa tidak perlu ada delegasi dari minoritas Arab. Ia berpandangan bahwa keturunan Arab adalah termasuk bangsa Indonesia. Dengan demikian tidak perlu ada delegasi dari keturunan Arab. Pada gilirannya delegasi BFO tetap bertolak ke Belanda. Ada dua orang keturunan Arab yang ditunjuk untuk menjadi penasehat BFO, yakni Abdulkadir Alsegaf dan Yahya Alaydrus. Ternyata keduanya ialah mantan pengurus dan simpatisan PAI. Saat di Belanda, keduanya menyerahkan

185 BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) merupakan negara-negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia. 186 UNCI adalah Komisi Keamanan PBB 187 Sultan Hamid II, lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli 1913 – meninggal di Jakarta, 30 Maret 1978 pada umur 64 tahun) adalah Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia. Di dalam KMB, ia menjadi perwakiland dari BFO. Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Hamid_II. pada 22 Juli 2018 pukul 20.00 WIB. 109 semua urusan politik dalam KMB kepada Hamid Algadri. Penerimaan Hamid Algadri atas pengangkatannya sebagai penasehat delegasi RI disetujui lantaran anjuran Sjahrir. Selain sebagai penasehat, saat berkirim surat kepada Sjahrir mengenai proses pelaksanaan KMB, Hamid Algadri meminta Sjahrir secara langsung agar mendukung pelaksanaan KMB tersebut. Hamid Algadri yakin KMB paling tidak akan menghasilkan penyerahan kedaulatan kepada RI.188 Setelah penyerahan kedaulatan dan lahirnya Republik Indonesia Serikat sebagai akibat persetujuan KMB, RI hasil proklamasi tidak seluas lagi daerahnya. Sebab berdasarkan hasil KMB, penyerahan kedaulatan RI atas wilayahnya semuanta diserahkan kecuali Papua Bagian Barat. Setahun setelah itu, karena belum merasa sempurna hasilnya dengan tidak masuknya Irian Barat dalam RI, maka pada 1951 Hamid Algadri dan yang lainnya membentuk delegasi yang menuntut agar Irian Barat dimasukkan wilayah RI. Ini selaras dengan hasil KMB bahwa masalah Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah KMB ditandatangi. Kendati demikian, namun Belanda menunjukkan gelagat yang tidak baik. Sehingga usaha Hamid Agadri dan delegasi lainnya berbuah kesia-siaan. Bahkan pada 1953, secara terang- terangan Belanda berencana untuk membentuk “Negara Papua” yang lepas dari Indonesia. Usaha pengembalian Irian Barat melalui perundingan mengalami “jalan buntu”. Karenanya, pada 3 Mei 1956 ditandatangani undang-undang pembatalan KMB.

188 Hamid Algadri, Suka-Duka Masa Revolusi, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1991), hlm. 64. 110

BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Hamid Algadri, sekalipun terlahir sebagai bagian dari peranakan Arab di Nusantara, namun ia memiliki peran yang tak kalah penting bagi perjuangan bangsa Indonesia. Tidak hanya masyarakat pribumi yang menginginkan hidup tenang tanpa penjajahan, Hamid memiliki rasa yang sama karena ia mengaku bertanah air di Indonesia. Ia memiliki rasa nasionalisme yang ditumbuhkan keluarganya. Oleh karenanya Hamid berpartisipasi aktif dalam pergerakan kebangsaan. Hal ini karena ia menginginkan kedaulatan dan eksistensi Indonesia di mata dunia, serta dapat merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda. Hamid terlahir dari dalam lingkungan keluarga yang memperhatikan dunia pendidikan modern pada zaman itu. Padahal pada umumnya anak keturunan Arab dilarang orangtuanya bergaul dengan Belanda. Mereka anti terhadap sistem pendidikan Barat karena kekawatiran akan merusak agama anak-anak mereka. hal ini tidak berlaku bagi keluarga Hamid. Meskipun Hamid bersekolah di pendidikan modern, orang tuanya juga membekalinya dengan ilmu agama di madrasah pada siang harinya. Pendidikan yang ia dapatkan menjadi pintu gerbang lahirnya kesadaran nasionalisme. Nasionalisme terhadap bangsa Indonesia telah tertanam dalam benaknya. Landasan pergerakan Hamid Algadri dilatarbelakangi oleh kesukuan, pendidikan dan keluarga. Pergerakan kebangsaan Hamid memang tidak semenonjol para pahlawan revolusi seperti Sjahrir, Soekarno maupun Hatta, tapi kiprah Hamid penting bagi proses merebut kemerdekaan dari tangan Belanda. Perjuangan Hamid dalam PAI yaitu berhasil ikut serta menyatukan dua pandangan kelompok keturunan Arab yang berbeda, Hamid mendorong anggota PAI agar memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Konsekuensinya, mereka harus mengakui Indonesia sebagai tanah airnya. 111

Hamid melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan cara propaganda melalui Media Massa. Hamid memiliki peran dalam melawan kolonialisasi Belanda di tanah air Indonesia melalui propaganda-proganda yang ia sebarkan di media masa. Dalam konteks ini, Hamid memberikan banyak peran berupa pemikiran kritis terhadap kebijakaan-kebijakan Belanda. Apa yang ia lakukan memantik semangat perjuangan rakyat lainnya dalam mempertahankan hak-hak hidup di tanah air sendiri dan melawan segala bentuk penindasan. Perjungannya adalah berusaha melakukan counter propaganda Belanda melalui RRI. Ini dilakukan Hamid Algadri supaya rakyat tidak terpengaruh atas propaganda Belanda melalui RVD (Regerings Voorlichting Dienst). Hamid Algadri mendirikan Gerakan Peblisit Republik Indonesia (GPRI), untuk menggalang kekuatan pro Republik. Dengan rencananya yang begitu demikian rupa, hasilnya ialah terjadinya proses percepatan penggabungan negara-negara federal kepada Republik. Hamid Algadri merupakan salah seorang pejuang kemerdekaan yang lahir dari peranakan Arab, yang pada masanya peranakan Arab tidak dipandang sebagai bagian dari Indonesia yang turut serta dalam pergerakan dan perjuangan bangsa. Namun Hamid Algadri dengan gigih menyerukan kepada peranakan Arab di Indonesia untuk turut serta mewujudkan kemerdekaan. Dengan berbagai macam tulisan Hamid Algadri bertemakan kebangsaan dan Nasionalisme pada akhirnya dapat menyatukan dan membuka pandangan keturunan Arab, bahwa mereka merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki kewajiban untuk menciptakan kemerdekaan. Ia ikut menumbuhkan rasa nasionalisme masyarakat etnis Arab di Nusantara yang sebelumnya terpecah dan terisolasi oleh kebijakan Belanda. Kedua, peranan Hamid di dalam berbagai birokrasi pemerintahan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, perjuangan Hamid Algadri tidak berhenti. Hamid Algadri terus menyuarakan kepada bangsa Indonesia untuk tidak terpengaruh pada propaganda Belanda dan terus bersatu mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme Hamid Algadri menjadikannya sebagai Perintis Kemerdekaan pada tahun 1978. 112

B. Saran Dan Rekomendasi Pembahasan mengenai tokoh peranakan Arab di Indonesia memang sangat sedikit diekspos dan dijadikan sebagai penelitian ilmiah. Padahal peran dan kontribusi mereka tidak sedikit. Mereka turut mengantarkan Indonesia pada gerbang kemerdekaan. Mengangkat Hamid Algadri sebagai tokoh Indo-Arab memberikan banyak informasi bahwa rasa nasionalisme dapat juga ditunjukkan oleh orang non pribumi. Komitmen Hamid Algadri dalam berbagai pentas perundingan penting menjadikannya tokoh perintis kemerdekaan. Tesis ini mengangkat materi yang sangat substansial. Adapun saran bagi peneliti setelahnya adalah mengangkat kajian tokoh peranakan Arab lainnya yang berkontribusi bagi kemerdekaan Indonesia dan upaya mengusir penjajah dari tanah air.

113

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Primer Algadri, Hamid C.Snouck Hurgronje:Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab, Jakarta: Sinar Harapan, 1984

Algadri, Hamid, Suka Duka Masa Revolusi, Jakarta: UI Press, 1991

Algadri, Hamid, Mengarungi Indonesia Memoar Seorang Perintis Kemerdekaan, Jakarta:Lentera , 1992

Algadri, Hamid, Indo Arab dan Arab Indonesia, Aliran Baroe, April, 1939

Algadri, Hamid, Aliran Baroe dan Moderinisme, Aliran Baroe, Agustus, 1940

Algadri, Hamid, Soal Indo di Indonesia, Aliran Baroe, Aliran Baroe, April, 1939

Sumber Sekunder Buku

Abdullah, Taufik. Indonesia Dalam Arus Sejarah: 5, Pergerakan dan Kebangsaan, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012.

Anwar, Rosihan. Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010.

Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian, Jakarta: Bulan Bintang, 2002.

Aziz Thaba, Abdul. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru ,Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Basrowi dan Sukidin, Teori-teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif, Surabaya: Insan Cendekia, 2003.

Basundoro, Purnawan. Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang sejak Zaman Kolonial sampai Kemerdekaan, Yogyakarta: Ombak, 2009.

Benda, Harry Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Bandung: Pustaka Jaya. 1980 .

Berg, L.W.C van den. Orang Arab di Nusantara, Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.

Budi Utomo , Cahyo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995. 114

Buyung Nasution,Adnan Benteng Republik di Masa Revolusi ., dalam buku Mr Syafruddin Prawiranegara: Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah, Jakarta: Republika, 2011.

Creswell, John W. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed Edisi Ketiga, terj. Achmad Fawaid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Danusubroto, Sidarto . Prosiding Focus Group Discussion Pakar I, Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila UGM, 2014.

Djamaluddin, Dasman. Catatan B.M Diah: Peran “Pivotal” Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-’45, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indoinesia, 2018.

Erman , Erwiza dan Ratna Saptari, Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013.

Hadiyansyah (ed), Masjid-Masjid Bersejarah Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2011.

Hasjmy, Ahmad. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, almaarif, 1981.

Haidar, M. Ali. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1998

Haikal, Husein Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (1900- 1942), Disertasi, Universitas Indonesia, 1986.

Harahap, Muchtar Mahasiswa dalam Politik, Jakarta: NSEAS, 1993.

Hatta, Mohammad . Kumpulan Karangan Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.

Hidayah, Zulyani. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015.

Insaniwati, Iin Nur. Mohammad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya, 1924- 1968, Magelang: Indonesia Tera, 2002.

Jasin, Moehammad. Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Juniarti, Raja Banawa Dari Belanda, .Semarang: Intra Pustaka Utama, 2004.

Kartodirdjo , Sartono dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Dep. Dik Bud, 1975. 115

Kartodirdjo,Sartono. Kolonialisme dan nasionalisme di Indonesia abad 19-20, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1967.

Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Yogyakarta: Ombak, 2014.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: PT Bentang Budaya, 2001.

La Ode, M.D. Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina dan Singkawang di Era Reformasi 1998-2008, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012.

Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam :III, Jakarta: Grafindo,2000.

Madjid, Nurcholish. Indonesia Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Madjid, Nurcholish .Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan, 2013.

Majid, M. Dien. Berhaji Masa Kolonial, Jakarta: Sejahtera, 2008.

Maryanto, Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta: Andi, 2015

Mohamad Daeng Materu, Sidky. Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia, Jakarta: PT Gunung Agung, 1985.

Mukarrom, Ahwan. Sejarah Islamisasi Nusantara, Surabaya: Penerbit Jauhar, 2009.

Noor, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1991.

Nordholt, Henk Shculte (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Rahim, Husni. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, Jakarta: Logos, 1998.

Rahman, Abd. dan Baso Madiong, Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi, Makassar: Celebes Media Perkasa, 2017.

Reksodihardjo, Soegeng Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1992.

Ricklefs, M.C. Islamisation and its opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c.1930 to the Present, Singapore: NUS Press, 2012. 116

Santosa , Ayis Budi dan Supriatna, Encep. Sejarah Pergerakan Nasioanl: Dari Budi Utomo 1908 hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2008.

Setiawan, Hersri. Memoar Perempuan Revolusioner, Yogyakarta: Galangpress, 2006.

Sihbudi,M. Riza. Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Sihbudi, M. Riza. Konflik dan diplomasi di Timur Tengah, Bandung: PT Eresco, 1993.

Soekano, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah,Sekolah : Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1986.

Stromberg, Roland N. European Intellectual History Since 1789, New York: Mereditc-Century, 1968.

Sudirman, Adi. Sejarah Lengkap Indonesia: Dari Era Klasik Hingga Terkini, Yogyakarta: Diva Press, 2014.

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2016.

Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.

Sukadi, Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta: Andi, 2017.

Suleman, Zulkifli .Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

Suminto, Aqib . Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996.

Suratmin. Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989.

Suratmin dan Kwartanada, Didi . Biografi A.R. Baswedan; Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014.

Surbakti,Ramlan Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 1992. 117

Susanto, Dwi. Pengantar Ilmu Sejarah , Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014.

Syafii Maarif, Ahmad. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Syafi’I Maarif,Ahmad Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: PT Mizan Publika, 2009.

Tirtoprojo, Susanto. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, Jakarta: PT Pembangunan, 1984.

Tunggul Alam, Wawan. Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno Vs Bung Hatta, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Turnan Kahin, George Mc. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Ubaedillah,A. Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi dan Pencegahan Korupsi, Jakarta: Kencana, 2016.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Grafindo, 1993 .

Zainudin, Dundin. Dinamika kewarganegaraan kelompok sosial di perkotaan: studi kasus di Bandung dan Semarang, Jakarta: LIPI, 2010.

Zulkarnain, Iskandar. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2005.

JURNAL Amal, Siti Hidayati. (2005). “Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab - Jawa di Luar Tembok Keraton Yogyakarta”. Antropologi Indonesia, vol. 29. No. 2.

Danusubroto, Sidarto dkk Prosiding Focus Group Discussion Pakar I. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila UGM tahun 2014.

Dijk, Kees Van. (2015). “Dakwah The Dissemination and Indigenous Culture of the Islam” 154, no. 2.

Hosniyah. (2016). Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Komunitas Arab Di Malang 1900-1935. Avatara e-Journal Pendidikan Sejarah. Volume 4. No. 3, Oktober.

Iramadhan, Paham Nasionalisme dan Pergerakan Kebangsaan di Indonesia dari Tahun 1900-1942. Jurnal SOSIO-E-KONS, Vol. 9 No. 1 April 2017.

118

Rachman, Muhammad Ridlo. (2013). “Pemikiran Hamid Algadri tentang Indo-Arab dan Tanah Air (Studi Kasus dalam Majalah Insjaf dan ALiran Baroe pada Masa Kolonial Belanda 1937-1941)”, Jurnal Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia.

Riddel, Peter G. (2001). “Arab Migrants and Islamizatin in The Malay World during The Colonial Period”. Indonesian and The Malay World. vol. 29. No. 84.

WEBSITE http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127911-D%2000959%20Makna%20nasionalisme- %20Literatur.pdf. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127911-D%2000959%20Makna%20nasionalisme- %20Literatur.pdf http://menaracenter.org/2016/08/17/wawancara-eksklusif-hamid-Hamid Algadri- soal-arab-indonesia-ii/ http://menaracenter.org/2016/08/17/wawancara-eksklusif-hamid-Hamid Algadri- soal-arab-indonesia-ii/#go-features. https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Baswedan https://id.wikipedia.org/wiki/Perhimpunan_Pelajar_Pelajar_Indonesia. https://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Meja_Bundar https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Renville https://media.neliti.com/media/publications/125345-ID-none.pdf https://media.neliti.com/media/publications/125345-ID-none.pdf. https://www.kemlu.go.id/id/tentang-kemlu/bangunan-bersejarah/Pages/Museum- Konferensi-Linggajati.aspx https://www.researchgate.net/publication/318960129.