Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab Di Tingkat Lokal

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab Di Tingkat Lokal Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab di Tingkat Lokal Burhan D. Magenda (Universitas Indonesia) Abstract The article focuses on the role of Indonesian of Arab descents in local politics, particularly in two provinces in Outer Islands, East Kalimantan and West Nusatenggara. While much have been researched on the role of Arab descents in national Politics such as studies by Hamid Algadri and Bisri Affendy, little is known about their roles in local politics. In East Kalimantan, Indonesian of Arab descents have played political roles up to the level of Vice Governor and other important positions, as far back as the Sultanates period in the 1950s. Similar important political role have also occurred in West Nusatenggara where Indonesian of Arab descents were the Chairman of Local Parliament (DPRD) and Assistant to the Governors, both in the 1950s and 1960s. The important roles that have been played by Indonesians of Arab descents are made possible by their “local assimilation” to the local indigenous communities, both trough intermarriages; common living in the same residential areas; common Islamic beliefs and their integration into Indonesian political system after dissolution of Indonesian party of Arab descent (PAI) in the 1930s which have differentiated them from the political history of Indonesian of Chinese descent (peranakan Tionghoa). Key words: the Arab Indonesian; local politics; religious assimilation. Pengantar Yang Dipertuan Agung Malaysia sekarang Studi tentang keturunan Arab di Asia adalah keturunan Arab, yakni Tuangku Syed Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya Sirajuddin bin Djamalkulail. Di Indonesia, pada tidaklah banyak jumlahnya, apalagi jika jaman kolonial memang keturunan Arab dibandingkan dengan studi tentang ”Overseas dimasukkan dalam kelompok Timur Asing Chinese” (Tionghoa perantauan). Hal ini (bersama-sama keturunan Tionghoa dan India). disebabkan karena di banyak negara Asia Tetapi, sejak Indonesia merdeka proses Tenggara, keturunan Arab dianggap sama asimilasi berlangsung lancar. Bahkan di jaman dengan pribumi Islam, khususnya di Malaysia, kolonial pun, pembatasan hubungan dan Indonesia, Filipina dan Muangthai. Di Malaysia interaksi antara keturunan Arab dengan khususnya, sejak jaman kolonial, keturunan Arab memang dianggap bagian dari pribumi 1 Untuk sejarah terbentuknya kerajaan-kerajaan di semenanjung Malaya dapat dibaca Andaya, B.W. dan Islam, karena banyak dari kerajaan-kerajaan pri- L. Andaya (2001). Untuk versi sejarah yang lain, lihat bumi didirikan oleh keturunan Arab.1 Bahkan, Trocki (1979). 182 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005 pribumi Islam tidak berjalan efektif. Hal ini sasaran bajak laut dari Sulu yang kemudian dibuktikan misalnya oleh fusi dari Partai Arab menjual korban-korban rampasannya di pasar Indonesia (PAI) ke dalam partai-partai di In- budak di Batavia. Bahkan sampai sekarang, donesia. bajak laut dari Sulu masih merajai perairan utara Walaupun dengan keterbatasan-keterbatasan Kalimantan Timur, misalnya di pulau Derawan.3 ini adalah tetap bermanfaat untuk mencoba Pada masa kekuasaan Pangdam Brigjen membahas dinamika peranan politik keturunan R.Soeharjo di Kaltim (1960–1964), keluarga Sul- Arab di Indonesia, khususnya setelah Indone- tan Bulungan menjadi korban pembersihan oleh sia merdeka. Studi-studi tentang peranan politik Pangdam Soeharjo karena dituduh sebagai di masa kolonial sudah banyak dilakukan agen dari Malaysia, saat terjadi konfrontasi penulis-penulis lain seperti Hamid Algadri.2 Indonesia dengan Malaysia.4 Di daerah Secara khusus, tulisan ini akan membahas tiga pedalaman Bulungan, hidup berbagai suku masalah pokok. Pertama, studi kasus tentang Dayak dengan jumlah terbanyak adalah Dayak peranan keturunan Arab dalam politik lokal di Kenyah. Daerah-daerah yang tadinya provinsi Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara merupakan wilayah Kesultanan Bulungan Barat. Hal ini didasarkan pada penelitian dengan pemekaran wilayah sejak tahun 2000 lapangan penulis di kedua provinsi ini sejak sudah menjadi beberapa kabupaten, seperti tahun 1977 ditambah pengamatan tetap. Ke dua, kabupaten Malinau. Di sebelah selatan pengamatan tentang peranan politik keturunan kesultanan Bulungan terdapat kesultanan Arab di pentas nasional sebagai suatu “toiur Berau, sedangkan di ujung selatan Kalimantan de horizon”. Bagian ke tiga adalah per- Timur terdapat kesultanan Pasir yang dibangun bandingan pokok dengan keturunan Tionghoa, oleh bangsawan-bangsawan Bugis dari baik pada tingkat lokal dan terutama pada kerajaan Wajo.5 Seperti halnya banyak kerajaan tingkat nasional. 3 Untuk sejarah kesultanan Sulu, lihat bab “The Sulu Studi kasus politik lokal Zone: 1768–1898” dalam desertasi Warren (1975). Provinsi Kalimantan Timur 4 Keterlibatan keluarga Sultan Bulungan dengan Ma- laysia pernah dibuktikan secara hukum. Memang Provinsi Kalimantan Timur terdiri dari ditemukan senjata di kraton Bulungan, tetapi tidak kabupaten-kabupaten yang tadinya merupakan pernah jelas sumbernya. Apakah memang dari Malay- sia seperti yang dituduhkan Pangdam Soeharjo ataukah bagian dari kerajaan-kerajaan lokal. Sampai ada pihak lain yang menaruhnya di situ? Sekitar 30 dengan penghapusan swapraja tahun 1958, keluarga lelaki Sultan Bulungan diangkut dengan kapal terdapat empat (4) kesultanan di Kalimantan ke Samarinda dan semuanya ditenggelamkan di tengah perjalanan. Dalam percakapan dengan penulis, Soeharjo Timur yakni kesultanan Kutai, Bulungan, Berau menghindari masalah ini. Ia juga tidak menyinggung dan Pasuir. Terletak di utara dan berbatasan masalah tersebut dalam otobiografinya (Soeharjo dengan wilayah Sabah dari Malaysia, 1995). Untuk kasus Bulungan, lihat monografi Magenda (1991:59–61). Percakapan dengan Soeharjo kesultanan Bulungan dihuni oleh etnik berlangsung beberapa kali sejak 1985. Bulungan dan berhubungan erat dengan 5 Kerajaan-kerajaan lain yang dibangun oleh migran kesultanan Sulu. Pada abad ke-17 dan ke-18, Bugis, antara lain Tanah Laut dan Pulau Laut di wilayah utara Kalimantan Timur sering menjadi Kalimantan Selatan, serta Pahang di Semenanjung Malaya tempat asal mantan Perdana Menteri Malay- sia, Tun Abdul Razadatu Perak. Berbeda dengan migran 2 etnik Jawa misalnya yang hanya berasal dari kalangan Lihat tulisan Algadri (1996) tentang Achmad Syurkati, non priyayi, migran etnik Bugis Makassar ada yang pendiri Al Irsyad. berasal dari kalangan bangsawan, misalnya Puang A Magenda, Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab 183 dan kesultanan di luar Jawa, terdapat bukti- putrinya dengan pria bangsawan Kutai. Hal ini bukti sejarah bahwa di Kalimantan pun ada disebabkan oleh tradisi kuat di kalangan Sayid kerajaan yang dibangun oleh keturunan Arab. untuk hanya mengawinkan putrinya dengan Kesultanan Pontianak dibawah keluarga kalangan Sayid juga. Ketentuan ini berlaku pula Algadrie adalah yang paling menonjol, bagi keturunan Arab lainnya, khususnya sedangkan kesultanan Berau juga memiliki kalangan non Sayid. Dengan pelonggaran bangsawan-bangsawan keturunan Arab yang norma-norma perkawinan antarkelas sosial dan sudah beberapa generasi melakukan asimilasi. etnik, ketentuan ini makin mengendor, seperti Kesultanan yang terbesar di Kalimantan Timur, juga ketentuan serupa yang berlaku untuk putri Kutai Kertanegara, memiliki pejabat dan bangsawan dari berbagai kesultanan di luar penasehat keturunan Arab yang paling banyak. Jawa.7 Bahkan norma perkawinan serupa yang Kutai Kertanegara merupakan kelanjutan dari berlaku untuk priyayi Jawa dan Sunda semakin kerajaan Hindu. Mulawarman diyakini berasal mengendor sejak tahun 1960-an. Sekarang kita dari Jawa. Dengan demikian, etnik Kutai sudah biasa menyaksikan putri Sunan Solo merupakan perpaduan dari etnik asli Kalimantan atau Sultan Yogya menikah dengan laki-laki dari Timur, Melayu pesisir dan Jawa. Hal ini dicirikan kelas sosial biasa namun terdidik (sering oleh persamaan nama serta gelar Jawa dan disebut ”bangsawan ilmu”). Tradisi perkawinan Melayu. Keturunan Arab juga dipercaya sudah ”cross social class” ini sudah dibiasakan di berpengaruh di kesultanan Kutai sejak abad kalangan priyayi Jawa sejak masa kolonial, ke-18, khususnya sebagai penasehat Sultan dengan memberikan kesempatan magang dan pejabat wilayah. Adalah tradisi kesultanan kepada pria terdidik dari kelas sosial lebih Kutai untuk memberikan pemimpin dari etnik rendah dan kemudian menjadikannya menantu lain jabatan penting seperti pemimpin etnik atau bagian dari keluarga.8 Bugis-Makassar menjadi Syahbandar dan Di antara tokoh-tokoh kesultanan Kutai dan pemimpin etnik Banjar serta keturunan Arab kemudian menjadi tokoh politik Kalimantan memegang jabatan kepala wilayah seperti Timur dari keturunan Arab dapat disebut dua Penjawat (semacam Wedana di Jawa; lebih nama yakni Aji Raden Sayid Muhammad dan tinggi dari Camat sekarang).6 keluarga Sayid Baraqbah.9 Tokoh pertama, Aji Di kesultanan Kutai, keturunan Arab juga Raden Sayid Muhammad adalah pejabat berhak memakai gelar bangsawan Kutai seperti Kesultanan Kutai yang atas biaya kesultanan Aji Raden, yang jarang diberikan kepada menamatkan sekolahnya di Sekolah Pamong pejabat Kutai dari etnik Banjar. Hal ini menunjukkan tingkat asimilasi yang cukup 7 Keluhan ini dikemukakan misalnya oleh Aji Raden tinggi. Pejabat-pejabat Kutai dari keturunan Djokoprawiro (wawancara, Malang, 8 Juli 1979), dan Aji Raden Padmo, mantan Sekwilda Kalimantan Arab umumnya adalah dari kelas sosial atas, Timur (Samarinda, 17 Juni 1979). Menantu AR Padmo, yakni golongan Sayid. Memang ada keluhan M.Ardans SH kemudian menjadi Gubernur Kalimantan dari bangsawan-bangsawan Kutai yakni timur,
Recommended publications
  • Asian Socialists and the Forgotten Architects of Post-Colonial Freedom
    Lewis, S. L. (2019). Asian Socialists and the Forgotten Architects of Post-Colonial Freedom. Journal of World History, 30(1-2), 55-88. https://doi.org/10.1353/jwh.2019.0028 Publisher's PDF, also known as Version of record Link to published version (if available): 10.1353/jwh.2019.0028 Link to publication record in Explore Bristol Research PDF-document This is the final published version of the article (version of record). It first appeared online via University of Hawaii Press at https://muse.jhu.edu/article/729105. Please refer to any applicable terms of use of the publisher. University of Bristol - Explore Bristol Research General rights This document is made available in accordance with publisher policies. Please cite only the published version using the reference above. Full terms of use are available: http://www.bristol.ac.uk/red/research-policy/pure/user-guides/ebr-terms/ Asian Socialism and the Forgotten Architects of Post-Colonial Freedom, 1952–1956 Su Lin Lewis Journal of World History, Volume 30, Numbers 1-2, June 2019, pp. 55-88 (Article) Published by University of Hawai'i Press For additional information about this article https://muse.jhu.edu/article/729105 Access provided at 11 Jul 2019 10:40 GMT from Bristol University Asian Socialism and the Forgotten Architects of Post-Colonial Freedom, 1952–1956* SU LIN LEWIS University of Bristol N a photograph taken in 1953, Sutan Sjahrir arrives off an airplane in IRangoon and is greeted warmly on the tarmac by Burmese socialist leaders U Ba Swe and U Kyaw Nyein, as well as his close friend Ali Algadri, the Arab-Indonesian chargé d’affairs.
    [Show full text]
  • Bab Iv Kiprah Abdul Rahman Baswedan Dalam Memperjuangan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1934- 1947
    BAB IV KIPRAH ABDUL RAHMAN BASWEDAN DALAM MEMPERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA TAHUN 1934- 1947 A. Peran Abdul Rahman Baswedan Pada Masa Kolonial Belanda Tahun 19341942 Abdul Rahman Baswedan lahir ditengah-tengah masyarakat yang diisolasi oleh pemerintah kolonial, namun pergaulan yang ia rintis jauh melampaui batas-batas etnisnya, Ia bergaul erat dengan kawan-kawan dari golongan Tionghoa, terutama dengan sesama aktifis. Abdul Rahman Baswedan berkawan baik dengan Liem Koen Hian pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang kemudian menginspirasinya untuk mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI) suatu saat nanti. Sejak muda A.R. Baswedan kerap berkomunikasi dengan siapapun dari kalangan manapun karena ia tidak pernah membeda-bedakan seseorangan untuk diajak berteman dan 91 92 bertukar pikiran.1Abdul Rahman Baswedan banyak belajar tentang keindonesiaan semenjak berkenalan dengan tokoh nasionals yaitu Dr. Sutomo. Di tambah lagi dengan mondoknya dalam keluarga tokoh Partai Syarikat Islam (PSI) Soerowijono.2 Sebelum abad ke-20, lingkungan kehidupan untuk masing-masing etnis dibedakan satu dengan yang lainnya oleh pemerintah kolonial Belanda yang menerapkan kebijakan politik segregasi yaitu membagi penduduk menjadi tiga golongan berdasarkan rasnya, kelas paling rendah adalah Inheemschen (atau Inlender), golongan bumi putra (pribumi) ; diatasnya adalah Vreemede Oosterlingen (Timur Asing ) yang meliputi suku Arab ,Tionghoa, India, dan yang paling tinggi adalah golongan warga kulit putih yaitu Eropa, Amerika, Jepang. Dimasukanya orang-orang Arab ke dalam golongan Timur Asing Vreemde Oosterlingen, mereka sering mendapat perlakuan yang diskriminatif dari penguasa Eropa.3Setatus 1 Didi Kwartanada, “Dari Timur Asing ke orang Indonesia :Pemuda Tionghoa dan Arab dalam Pergerakan Nasional (1900-1942).” Perisma: Jurnal ,Vol. 30. 2 (Agustus 2011),p. 31 2Muhamamad Husnil, Melunasi Janji Kemerdekaan Indonesia Biografi Anis Rasyid Baswedan,( Jakarta: Zaman, 2014), p.
    [Show full text]
  • Perjuangan Hamid Algadri Pada Masa Pergerakan Dan Pasca Kemerdekaan (1934-1950)
    PERJUANGAN HAMID ALGADRI PADA MASA PERGERAKAN DAN PASCA KEMERDEKAAN (1934-1950) Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum) Oleh: Lathifah Maryam NIM: 21140221000001 MAGISTER SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1490 H/2018 M ABSTRAK Lathifah Maryam. Perjuangan Hamid Algadri pada Masa Pergerakan dan Pasca Kemerdekaan (1934-1950) Peranakan Arab merupakan masyarakat yang memiliki darah Arab dan Pribumi Indonesia. Pada masa kolonial Belanda peranakan Arab masuk dalam golongan Timur Asing bersama dengan suku Tionghoa-Indonesia dan India-Indonesia. Menurut Van Den Berg, orang orang Arab di Nusantara tidak memiliki kepedulian terhadap perpolitikan di Nusantara selama kepentingan material dan spiritual mereka tidak menjadi taruhan, orang-orang Arab di Nusantara bersikap netral dan membantu kolonial Belanda. Pada masa pergerakan, ditandai dengan munculnya gagasan mengenai Nasionalisme dan organisasi-organisasi pergerakan untuk mewujudkan kemerdekaan di Indonesia, memberikan kesadaran kebangsaan kepada masyarakat Arab dan peranakan untuk sama-sama berjuang melawan kolonial. Hamid Algadri merupakan peranakan Arab yang turut berjuang melawan kolonial Belanda untuk mewujudkan kemerdekaan di Indonesia. Penelitian dengan judul “Perjuangan Hamid Algadri pada Masa Pergerakan dan Pasca Kemerdekaan (1934-1950)” bertujuan untuk, pertama, menganalisis landasan pergerakan kebangsaan Hamid Algadri di Indonesia yang mendorongnya untuk bergerak melawan kolonial. Kedua, adalah menjelaskan tentang Perjuangan Hamid Algadri pada masa pergerakan dan pasca kemerdekaan di Indonesia. Hasil penelitian ini adalah, bahwa Hamid Algadri merupakan peranakan Arab yang memberikan inspirasi dan berhasil menumbuhkan kesadaran kebangsaan dikalangan peranakan Arab untuk menolak penjajahan dan menjunjung tinggi nasionalisme Indonesia baik masa pergerakan maupun pasca kemerdekaan. Kata kunci: Hamid Algadri, perjuangan, pergerakan, pasca kemerdekaan.
    [Show full text]
  • THE ARABS of SURABAYA a Study of Sociocultural Integration a Thesis Submitted for the Degree of Master of Arts of the Australian
    THE ARABS OF SURABAYA A Study of Sociocultural Integration * LIBRARY ^ A thesis submitted for the degree of Master of Arts of the Australian National University by ABDUL RACHMAN PATJI June 1991 I declare that this thesis is my own composition, and that all sources have been acknowledged. Abdul Rachman PatJi ACKNOWLEDGMENTS This thesis has grown out of an academic effort that has been nourished by the support, advice, kindness, generosity, and patience of many people to whom I owe many debts. I am grateful to AIDAB (Australian International Development Assistance Bureau) for awarding me a scholarship which enabled me to pursue my study at the ANU (the Australian National University) in Canberra. To all the administrators of AIDAB, I express my gratitude. To LIPI (Indonesian Institute of Sciences), I would like to express my appreciation for allowing me to undertake study in Australia. My eternal thank go to Professor Anthony Forge for inviting me to study in the Department of Prehistory and Anthropology at ANU. I express my deepest gratitude and appreciation to Professor James Fox, my supervisor, for his scholarly assistance, encouragement, and supervision in the preparation of this thesis. He has always been an insightful commentator and a tireless editor of my work. I wish to thank all my teachers in the Department of Prehistory and Anthropology and all staff of the Department who always showed willingness to help during my study. The help rendered by Dr Doug Miles in commenting on Chapter I of this thesis and the attention given by Dr Margot Lyon during my study can never been forgotten.
    [Show full text]
  • George Mc.T. Kahin
    S o m e R ecollections a n d R e f l e c t io n s o n t h e I n d o n e s ia n R e v o l u t io n George Mc.T. Kahin Editor's Note: On July 12-14 of this year, the Indonesian Institute of Sciences (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) and its journal, Sejarah (History) held an international conference in commemoration of the fiftieth anniversary of the Indonesian revolution entitled Revolusi Nasional: Kajian, Kenangan, dan Renungan (National Revolution: Studies, Recollections, and Reflections), at which George McT. Kahin, Emeritus Prcfessor cf International Studies at Cornell University, was invited to give a keynote address. The editors of Indonesia wish to express their gratitude to the Indonesian Institute cf Sciences for permission to publish this address. What can a foreign observer contribute to an understanding of Indonesia's revolution? Perhaps very little, but I would hope enough in terms of perspective and relevant, but now apparently forgotten, elements of history to justify a hearing. If I am at all successful in adding anything to an understanding of the revolution it would be because during one of its most critical periods I was in Yogyakarta and was fortunate enough to gain the confidence of and have numerous talks with some of the Republic's major leaders—and perhaps, from the standpoint of history, because I usually took careful notes.1 My good fortune in meeting these men was probably largely because I was something of a curiosity. Not only was I one of the very few foreigners, and the only American, in Yogyakarta, but I had reached there in August, 1948 by driving a very old jeep flying American flags through the buffer zone and across the status quo line separating Dutch and Republican forces.
    [Show full text]
  • Conceptualizing Homeland Among the Upholders of the Thariqah ‘Alawiyyah in Indonesia
    Code: 19.8.3 Paper presented as a contribution to the International Symposium of Anthropology organized by Journal Anthropologi Indonesia and the University of Indonesia in Jakarta, 12-16 July 2005. Land of the Sacred, Land of the Damned: Conceptualizing homeland among the upholders of the Thariqah ‘Alawiyyah in Indonesia By: Ismail F. Alatas1 ‘The real issue is whether indeed there can be a true representation of anything, or whether any and all representations, because they are representations, are embedded in the language and then in the culture, institutions, and political ambiance of the representer. If the latter alternative is the correct one (as I believe it is), then we must be prepared to accept the fact that a representation is eo ipso implicated, intertwined, embedded, interwoven with a great many other things beside the “truth”, which is itself a representation.’ -Edward W. Said2 The construction of identity among Hadrami migrants in Indonesia has been the subject of extensive historical inquiry. At the centre of these inquiries lies the question of the relationship between the Hadramis in the mahjar (hostland) in this case Indonesia and their homeland, Hadramaut. It is from this transnational connection and 1 Ismail F. Alatas is an honours student at the History Department, University of Melbourne, Australia. 2 Edward W. Said, Orientalism (London: Penguin Books, 1995) p. 272. 1 4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok relationship that different variants of identity were constructed.3 These investigations, however, focus particularly on political and cultural notions of identity as a result of over reliance by historians on secular sources.
    [Show full text]
  • The Development of Islamic Constitutional Thought of the Masyumi and Its Influence in the Formulation of the Indonesian Constitution 1956-2002
    THE DEVELOPMENT OF ISLAMIC CONSTITUTIONAL THOUGHT OF THE MASYUMI AND ITS INFLUENCE IN THE FORMULATION OF THE INDONESIAN CONSTITUTION 1956-2002 THESIS By: Amirul Haidaruddin NIM. C95215047 State Islamic University of Sunan Ampel Surabaya Faculty of Sharia and Law Public Law Department Study Program of Constitutional Law Surabaya 2019 ABSTRACT The thesis entitled "the development of Islamic constitutional thought of the masyumi and its Influence in the Formulation of the Indonesian Constitution 1956-2002‛ aims to answer the question about what is the formulation of the Indonesian constitution 1956-2002 and what is the influence of the development of Islamic constitutional thought of the Masyumi in the formulation of the Indonesian constitution 1965-2002. Data of the research collected by library research study then processed and analyzed qualitatively and presented in descriptive form. data collected in the form of primary and secondary materials that discuss the main problem The results of the study concluded that first, Improvements to the constitution are always carried out in order to bringing Indonesia towards a democratic and constitutional state through the Konstituante in 1965 to 1959, but the Konstituante was made to fail, then continued to the MPR in 1999 to 2002 in which it bringing fundamenal change to the 1945 Constitution where 46 items were changed and about 25 items were not changed, there also 174 additional provisions that has been made. Second, in the formulation of the Indonesian constitution, the Masyumi faction in the Konstituante (1956-1959) has the idea of a more modern body of constitution and in accord to the principles of constitutionalism.
    [Show full text]
  • Dinamika Internal Kabinet Sjahrir Masa Revolusi Indonesia 1945-1947 Skripsi
    UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA INTERNAL KABINET SJAHRIR MASA REVOLUSI INDONESIA 1945-1947 SKRIPSI Diajukan sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Humaniora Moch. Insan Pratama 0705040339 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH KEKHUSUSAN SEJARAH INDONESIA DEPOK JANUARI 2010 Dinamika internal..., Moch. Insan Pratama, FIB UI, 2010 SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa skripsi/tesis/disertasi* ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya. Jakarta, Moch. Insan Pratama *Pilih yang sesuai. ii Dinamika internal..., Moch. Insan Pratama, FIB UI, 2010 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Moch. Insan Pratama NPM : 0705040339 TandaTangan: Tanggal : iii Dinamika internal..., Moch. Insan Pratama, FIB UI, 2010 iv Dinamika internal..., Moch. Insan Pratama, FIB UI, 2010 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah saya tujukan kepada Allah SWT, yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya memberikan kesempatan kepada saya menjalani pendidikan terbaik di Universitas Indonesia. Selama empat tahun lebih, ilmu yang berguna dan pengalaman yang berharga saya dapatkan dalam lingkungan akademik yang
    [Show full text]
  • The Upsurge of Memory in the Case of Haul
    The Upsurge of Memory in The Case of Haul THE UPSURGE OF MEMORY IN THE CASE OF HAUL: A Problem of Islamic Historiography in Indonesia Ismail F. Alatas The National University of Singapore Abstract: This essay investigates the reasons behind the proliferation of haul celebrations in Indonesia. The study focuses on the construction of haul as a ritual forging collective memory among a particular group of people in the Muslim community. The writer adopts Pierre Nora’s theory of the upsurge of memory which is caused by the acceleration and democratization of history. These two factors bring about the construction of an object which forms the passage of memory among those attending haul. It will be argued that the haul is a social construction by a noble community to demonstrate its existence and domination over others in the Muslim community. It will also be argued that the haul was a reaction towards modernity in the Muslim world and the rise of alternative historiography. The influential position of the aristocracy was based on the construction of collective memory of the people in haul celebrations, which are held all over Indonesia. Keywords: Haul, Sadah> , memory, historiography. Introduction The tradition of haul1 has been a fascinating phenomenon in Indonesia. Today, there are over fifty haul celebrations scattered throughout the Archipelago. There is little attention, however, paid to the study of the emergence of this religious festivity. This essay will look into the reasons behind the proliferation of this celebration, which began in the early Twentieth Century. In approaching the 1 Haul linguistically means circuit.
    [Show full text]
  • Rudolf Mrázek. a Certain Age: Colonial Title Jakarta Through the Memories of Its Intellectuals
    <Book Reviews>Rudolf Mrázek. A Certain Age: Colonial Title Jakarta through the Memories of Its Intellectuals. Durham: Duke University Press, 2010, 328p. Author(s) ABALAHIN, Andrew J. Citation 東南アジア研究 (2011), 48(4): 473-474 Issue Date 2011-03-31 URL http://hdl.handle.net/2433/147145 Right Type Journal Article Textversion publisher Kyoto University 書 評 the State of Thai Studies. In The Study of Thailand: Roeslan Abdulgani, Sukarno’s UN ambassador, and Analyses of Knowledge, Approaches, and Prospects Father Mangunwijaya, the renowned author). Perhaps in Anthropology, Art History, Economics, History, Mrázek at first intended to produce what would amount and Political Science, edited by Eliezer B. Ayal. to an expansion in book form of the work of historical Centre for International Studies, Ohio University. recovery that that documentary series was. However, Reynolds, Craig J., ed. 1991. Thai Identity and Its while Riding the Tigerr argues a clear thesis that Indone- Defenders: Thailand 1939–1989. Clayton: Monash sia’s military dictatorship finds its origins in indigenous University. feudalism, Dutch colonialism, and Japanese militarism, A Certain Age by contrast merely suggests or proposes its theses or, better, simply raises questions. The open- Rudolf Mrázek. A Certain Age: Colonial Jakarta ended, ambiguous nature of the work is reflected in the through the Memories of Its Intellectuals. Durham: very title: what exactly does the author mean by the Duke University Press, 2010, 328p. phrase “a certain age”? The late colonial era being recollected? The moment of recollecting itself, the last When embarking upon the research for A Certain Age, years of the Suharto regime and its immediate after- historian Rudolf Mrázek envisioned quite a different math? The physical age of the interviewees them- book from the one he ended up writing.
    [Show full text]
  • Suka Duka Masa Revolusi. Jakarta: Sinar Harapan
    DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku: Algadri, H. (1991). Suka duka masa revolusi. Jakarta: Sinar Harapan Algadri, H. (1996). Islam dan keturunan Arab dalam pemberontakan melawan Belanda. Bandung: Mizan Azra, A. (1995). Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan Bahar, S. dkk. (Penyunting). (1995). Risalah sidang Badan Penyelidikan Usaha- Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia Baudet, H dan Brugmans, I. J. (1987). Terj. Oleh Amir Sutaarga. Politik etis dan revolusi kemerdekaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Daliman. (2012). Metode penelitian sejarah. Yogyakarta: Ombak. Gottschalk, L. (2008). Terj. oleh Nugroho Notosusanto. Mengerti sejarah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Hamka. (1963). Masuk dan berkembangnya Agama Islam di daerah pesisir Sumatera Utara, dalam risalah seminar sedjarah masuknya Islam ke Indonesia. Medan: Panitia seminar sedjarah masuknya Islam ke Indonesia Hayaze, N. A. K. (2015). A.R Baswedan: revolusi batin sang perintis kumpulan tulisan dan pemikiran. Bandung: PT. Mizan Pustaka Hurgronje, C. S. (1994). Kumpulan karangan Snouck Hurgronje X. Jakarta: INIS Ismaun. (2005). Pengantar Sejarah sebagai ilmu dan wahana pendidikan. Bandung: Historia Utama Press. Jurdi, S. (2010). Sosiologi Islam dan masyarakat modern. Jakarta: Kencana Komandoko, G. (2008). Boedi Oetomo: awal bangkitnya kesadaran Bangsa. Jakarta: PT. Buku Kita Manus, MPB. dkk.
    [Show full text]
  • ISLAMIC REFORMISM in the NETHERLANDS EAST INDIES: the ROLE and THOUGHT of Cabd ALLĀH B
    ISLAMIC REFORMISM IN THE NETHERLANDS EAST INDIES: THE ROLE AND THOUGHT OF cABD ALLĀH B. cALAWĪ B. cABD ALLĀH AL-cATTĀS (1844-1929) BY ALWI ALATAS requirements for the degree of Master of Human Sciences (History and Civilization) Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences International Islamic University Malaysia NOVEMBER 2007 ABSTRACT The Purpose of this study is to examine the thought and role of Sayyid cAbd Allah b. cAlawi al-cAttas (1844-1929) in the Netherlands East Indies and with particular emphasis on his financial and intellectual contributions to the development of Islamic reformism in the region. This study is based on a variety of primary and secondary source that enabled the researcher to highlight various aspects of Sayyid cAbd Allāh’s life and career, and his involvement in intellectual Islamic discourse that took place in the 19th and the first part of the twenties centuries. A Historical and textual analysis method was adopted by the researcher so as to examine the sources of the study, and put the contributions of Sayyid cAbd Allah in their historical context. The overall output of the study is that the case of Sayyid cAbd Allah offers a better understanding of the features of the 19th and 20th century Islamic reformism, and the roles of the Hadhrami community in disseminating the idea of islāh and tajdīd in the Netherlands East Indies. It also paves the way for further biographical works on the distinguished figures of the Hadhrami community who remarkably contributed to the spread of Islamic reformism in the Malay world. ii 4191 4411 iii ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk mengkaji pemikiran dan peranan Sayyid cAbd Allāh b.
    [Show full text]