Rabith Jihan Amaruli, Nazala Noor Maulany, Singgih Tri Sulistiyono (Sumpah Pemuda Arab, 1934)

SUMPAH PEMUDA ARAB, 1934: PERGULATAN IDENTITAS ORANG ARAB-HADRAMI DI

Rabith Jihan Amaruli, Nazala Noor Maulany, Singgih Tri Sulistiyono

Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, -Indonesia

Alamat korespondensi: [email protected]

Diterima/ Received: 2 Agustus 2018; Disetujui/ Accepted: 31 Agustus 2018

Abstract

This article discusses the Sumpah Pemuda Arab (Arab Youth Pledge) in 1934 which became the forerunner of the formation of the first Arab-Hadrami nationalist organization, the Arab Association of Indonesia (PAI) which later became the Arab Party of Indonesia (PAI). This article conducted by using the historical method. Sumpah Pemuda Arab 1934 is the answer to the struggle of Arab-Hadrami identity and nationalism to fulfill its right as part of Indonesian citizen (WNI). This historical study is important in view of the fact that the phenomenon of the Arabism movement which is now emerging through the involvement of symbols and the identity of the oneness tends to place Arab-Hadrami as opposed to the direction and commitment of the nation.

Keywords: Arab-Hadrami; Identity; Nationalism.

Abstrak

Artikel ini membahas mengenai Sumpah Pemuda Arab pada 1934 yang menjadi cikal bakal pembentukan organisasi Arab-Hadrami nasionalis pertama, Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang di kemudian hari berubah menjadi Partai Arab Indonesia (PAI). Artikel ini disusun dengan menggunakan metode sejarah. Sumpah Pemuda Arab 1934 adalah jawaban dari pergulatan identitas dan nasionalisme orang Arab-Hadrami untuk menunaikan haknya sebagai bagian dari warga bangsa Indonesia. Kajian historis mengenai hal ini penting mengingat fenomena gerakan Arabisme yang saat ini mengemuka melalui pelibatan simbol-simbol dan identitas kearaban cenderung menempatkan orang Arab-Hadrami seolah berseberangan dengan arah dan komitmen kebangsaan.

Kata Kunci: Arab-Hadrami; Identitas; Nasionalisme.

PENDAHULUAN sebuah kajian etnografis yang komprehensif mengenai komunitas yang dulu dianggap oleh Di tengah pusaran politik identitas pasca- pemerintah kolonial Belanda sebagai salah satu Reformasi, pergulatan identitas para keturunan ancaman terbesar dominasi mereka (Alatas, Arab-Hadrami di Indonesia semakin menarik 2010:xvii). untuk dikaji. Lebih dari satu abad sejak kajian Pergulatan identitas orang Arab-Hadrami klasik van den Berg mengenai komunitas Arab- sebagai akibat dari diaspora, dapat dirujuk pada Hadrami pada 1886 dipublikasikan, ia telah fenomena diaspora “tua”, yang telah berlangsung mengawali kajian mengenai komunitas ini dan dalam skala besar sejak pertengahan abad ke-18 telah “mendorong” para sarjana terus mengaji hingga akhir 1950-an (Smith, 1997:1-8). Di tentang diaspora dan hibriditas Hadrami di tengah diskriminasi yang diberlakukan oleh Indonesia pada khususnya serta Asia Tenggara Kolonial Belanda, orang Arab-Hadrami mema- dan Samudra Hindia pada umumnya (Feener, inkan peranan mereka baik di bidang sosial, 2004: 353-372). Berg telah menyuguhkan politik, maupun ekonomi. Di tempat yang baru, 122

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3 , No. 2, 2018, hlm. 121-132 para imigran Hadrami ini turut ambil bagian orang Arab-Hadrami di Indonesia memasuki dalam memperluas pasar bisnis, memperoleh babak baru yang dramatis pada awal abad ke-20. kesejahteraan, dan mengirimkannya kembali ke Para tokoh Arab-Hadrami di Jawa mendirikan tanah Hadramaut (Alatas, 2015: 6). Kontak lembaga pendidikan dan surat kabar yang antara Jawa dan Hadramaut ini sekaligus menjadi membentuk identitas kolektif baru yang moderen gambaran eksistensi komunitas Hadrami di (Mandal, 2002:163). kawasan Asia Tenggara. Para pelaku diaspora Pada awal abad ke-20, hasil dari proses Hadrami, tidak hanya mengirimkan uang kepada diaspora Hadrami ini adalah juga pendirian keluarga mereka, tetapi juga mengirim anak-anak institusi-institusi pendidikan moderen, seperti mereka ke Hadramaut untuk memperoleh Jam’iyyat Khair dan Jam’iyyah al-Islah wa al- pendidikan. Bahkan, ada sebagian dari mereka Irsyad (Al-Irsyad). Kedua lembaga pendidikan yang menjalin kontak dengan aktivitas-aktivitas ini menghasilkan dua kelompok besar dalam politik di Hadramaut (Jonge dan Kaptein, 2002: internal komunitas Arab-Hadrami, yakni 3). Namun, oleh karena gagasan nasionalisme tradisionalis (Jam’iyyat Khair) yang diisi oleh dan diskursus mengenai nation-states, aktivitas golongan Alawiyin (Ar-Rabithah) dan reformis ini menurun drastis (Slama, 2005:111-112). yang diisi oleh golongan Al-Irsyad (Mobini, Kisah di atas adalah gambaran bagaimana 1999). Kedua kelompok ini tidak hanya mewakili dinamika diaspora orang Arab-Hadrami pertentangan yang sama di tanah asal, yakni berlangsung dan upaya mereka dalam beradaptasi Hadramut, tetapi menjadi bahan perdebatan di lingkungan yang baru. Sejarah komunitas mereka di tanah air yang baru. Kelompok Hadrami dan negeri asal mereka, Hadramaut, tradisionalis yang diwakili oleh golongan sayid, adalah sejarah tentang bentuk globalisasi yang dan kelompok reformis yang diwakili oleh paling awal yang berdasar pada pelayaran dan golongan non-sayid, pada masa berikutnya telah perdagangan. Selama berabad-abad, migrasi telah menjelma dari perdebatan sosial menjadi memainkan peran penting dalam kehidupan perdebatan doctrinal (Rijal, 2017: 23). masyarakat Hadrami (Jacobsen, 2009:2). Jumlah Apa yang menarik pada fase tersebut para migran dan intensitas kontak antara tanah air adalah kemunculan intelektual-intelektual “baru” Hadramaut dan komunitas diaspora mereka yang “progresif” yang terlibat aktif dalam semakin meningkat, terutama setelah pengguna- diskursus dan menjadi motor penggerak an kapal uap meramaikan perjalanan laut (Berg, kebangkitan Arab-Hadrami di Indonesia, baik 2010: 95-96; Freitag, 1999: 82). dari golongan non-sayid maupun golongan sayid. Kisah orang-orang Hadrami di Indonesia Diskursus ini juga telah mengubah perdebatan umumnya adalah kisah sukses, terutama dalam dari sayid dan non-sayid menjadi totok dan bidang perdagangan, politik, pendidikan, dan peranakan. Puncak dari pergulatan tersebut agama. Sementara para pelaku diaspora Hadrami adalah Konferensi Keturunan Arab pada Oktober dipengaruhi oleh masyarakat lokal baik secara 1934 yang melahirkan Sumpah Pemuda Arab di sosial maupun budaya. Mereka tidak berlaku pasif Semarang. Sebagai hasil kesepakatan internal terhadap kondisi-kondisi baru yang melingkupi orang Arab-Hadrami, sumpah pemuda ini adalah kehidupan mereka. Bahkan, beberapa dari sebuah langkah revolusioner. Atas dasar itu, mereka memberikan pengaruh sangat kuat artikel ini bertujuan untuk mengaji pergulatan terhadap kehidupan masyarakat lokal, sebagai pemikiran tokoh-tokoh Arab-Hadrami, terutama contoh adalah di bidang pengajaran dan A.R. Baswedan (Al-Irsyad) dan Hoesin Bafagieh pendidikan Islam. Secara umum, ketika beberapa (Ar-Rabithah) dalam menumbuhkan kesadaran pelaku diaspora Hadrami masih melestarikan berbangsa dan bertanah air melalui otokritik kebiasaan dan identitas Hadrami, beberapa dari mereka terhadap tradisi dan pola-pola lama yang mereka justru mendemonstrasikan kreativitas melingkupi kehidupan orang-orang Arab- sosial dan budaya sebagai upaya untuk melebur Hadrami. dengan kebudayan dan kehidupan sosial masyarakat. Dinamika migrasi dan diaspora 123

Rabith Jihan Amaruli, Nazala Noor Maulany, Singgih Tri Sulistiyono (Sumpah Pemuda Arab, 1934)

METODE Selain itu, orang Arab-Hadrami juga menjadi kelompok yang diawasi oleh pemerintah Kolonial Kajian ini dilakukan dengan menggunakan Belanda, karena dianggap ikut menggelorakan metode sejarah yang mencakup empat tahap, Pan-Islamisme. Sementara itu, di kalangan yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi fakta, pribumi, orang Arab-Hadrami belum dapat dan historiografi. Sumber-sumber yang diterima sepenuhnya. Hal itu karena, meskipun digunakan diperoleh dari Arsip Nasional sama-sama memeluk agama Islam, mereka Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan dianggap memiliki status hukum yang berbeda di Nasional Republik Indonesia (PNRI), mata kolonial (Noer, 1980). Perpustakaan Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Selain antara orang Arab-Hadrami dengan Budaya Universitas Diponegoro, dan koleksi pemerintah kolonial, persoalan juga muncul pribadi. dalam dinamika internal orang Arab-Hadrami. Sumber primer yang dikumpulkan dalam Dinamika yang dimaksud adalah persoalan sayid artikel ini adalah berupa tulisan-tulisan mengenai dan non-sayid. Golongan non-sayid menganggap Sumpah Pemuda Arab 1934 dan Persatuan Arab golongan sayid, menikmati status sosial dan Indonesia (PAI) yang tersebar dalam surat kabar, religius mereka yang mereka dapatkan baik dari seperti Matahari, Aliran Baroe, Zaman Baroe, saudara-saudara Hadrami mereka maupun dari Insaf, dan Nusa Putra. Selain itu, sumber masyarakat pribumi. Pertentangan ini menjadi sekunder yang digunakan adalah berupa artikel latar belakang kelahiran apa yang disebut dengan dalam buku, media massa cetak, dan online. Nahdlah Hadrami (kebangkitan Hadrami). Nahdlah Hadrami bertujuan untuk HASIL DAN PEMBAHASAN menumbuhkan kesadaran orang-orang Arab untuk mengakui persamaan sosial dan pikiran- Dari Persoalan “Bahaya Arab” Hingga Sayid vs pikiran maju dengan mengadopsi ide dan Non-Sayid institusi-institusi moderen (Kesheh, 2007). Terdapat tiga institusi moderen yang “Bahaya Arab” adalah istilah yang disematkan menggambarkan kebangkitan Hadrami, yakni oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk organisasi sosial, sekolah, dan surat kabar mengidentifikasi persoalan orang-orang (Kesheh, 2007: 233). Sekolah moderen pertama keturunan Arab. Identifikasi tersebut muncul dari adalah Jam’iyyat Khair yang didirikan di Batavia kecurigaan pemerintah, bahwa orang-orang Arab pada 1901. Meskipun sekolah ini didirikan oleh adalah motor dari gerakan-gerakan pemberon- kelompok sayid, beberapa pengurus sekolah ini takan melawan pemerintah kolonial (Berg, 1996: berlatar belakang non-sayid. Sekolah ini telah me- 21). Meskipun Berg menyatakan bahwa orang- masukkan kurikulum Barat dengan sekaligus orang Arab yang telah berasimilasi dengan mempertahankan pelajaran keagamaan yang pribumi sejak berabad-abad adalah juga pribumi, tradisionalis. Sekolah ini juga mengundang guru- hal itu tidak mengurangi kecurigaan pemerintah guru dari Timur Tengah untuk mengajar, salah Kolonial terhadap eksistensi orang-orang Arab. satunya adalah Syaikh Ahmad As-Surkati Merujuk pada Indische Staats-regeling (IS), (Kesheh, 2007: 233). orang-orang Arab bersama dengan orang Cina Surkati adalah seorang yang berasal dari dan India, dimasukkan dalam kategori Vreemde Sudan dan mendapatkan pendidikan di Mekah. Oosterlingen (golongan Timur Jauh), yang Selama di Mekah, ia mempelajari dan mene- terpisah dari mayoritas pribumi muslim (Algadri, rapkan gagasan reformisme Islam dari Mesir dan 1996: 59). menjadi aktivis dalam pergerakan modernisme Meskipun dalam politik kolonial, orang Islam pada masa-masa berikutnya (Jonge, 1993: Arab-Hadrami berada pada level dua, di antara 81). Tidak heran pandangan reformismenya orang Eropa pada level pertama dan pribumi pada dengan segera menjadi telah memicu konflik level ketiga, mereka tetap tidak memiliki arti dengan komunitas Hadrami. Pada 1912, ketika ia politis yang penting bagi pemerintah kolonial. mengunjungi temannya, Awad Sungkar Al-Urmei 124

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3 , No. 2, 2018, hlm. 121-132 di Solo, Surkati ditanya mengenai status pembaharuan. Perdebatan yang dimaksud dalam perkawinan (kafaah) antara perempuan sayid konteks ini adalah gagasan mengenai tanah (syarifah) dengan laki-laki non-sayid. Di sana, ia leluhur dan tanah kelahiran, yakni apakah orang menyatakan bahwa perkawinan tersebut sah Arab-Hadrami harus loyal kepada tanah (Kesheh, 2007: 233). Pada kesempatan lain, ia leluhurnya di Hadramaut, atau tanah kelahiran juga mengritik praktik cium tangan (taqbil). mereka yang baru, Indonesia. Kelompok yang Pandangannya ini telah membangkitkan pertama disebut dengan kaum tua, sedangkan ketidaksukaan para tokoh senior Jam’iyyat Khair kelompok yang kedua disebut dengan kaum konservatif dan mendesak Surkati untuk muda. Kaum tua menganggap bahwa orientasi mengundurkan diri (Kesheh, 2007: 233). tanah air orang-orang Hadrami haruslah pada Pengunduran diri Surkati dari Jam’iyyat tanah leluhur mereka di Hadramaut, sedangkan Khair, telah pula menyebabkan konflik internal kaum muda menentang anggapan tersebut dan tersebut semakin mendalam. Pada umumnya, berkeyakinan bahwa tanah air mereka adalah para pendukung Surkati adalah golongan orang tanah kelahiran mereka yang baru, yakni Arab-Hadrami non-sayid. Melalui bantuan Indonesia. Hal ini seperti digambarkan dalam seorang Kapiten Arab, Syaikh Umar Yusuf Pewarta Arab sebagai berikut. Manggus, Surkati mendirikan Madrasah Al- Irsyad Al-Islamiyah di Batavia. Untuk mendu- “Kaoem Indo Arab yang berada di Indonesia kung lembaga pendidikan barunya ini, Surkati ini, dengan tanah leloehoer kita Hadramaut mendirikan organisasi Jam’iyyah Al-Irsyad Al- masih banyak djoega, oempamanja: Islamiyah Al-Arabiyah (selanjutnya disebut Al- perhoeboengan-perhoe boengan Familier, Irsyad) pada 1914. Seperti halnya Surkati, tujuan warisan dan lain-lainnja, tetapi kendatipoen bagaimana perhoeboengan-perhoeboengan Al-Irsyad adalah menggelorakan gerakan itoe ti dak sebanjak dan serapat perhoe reformisme Islam (Jonge, 2004:378). boengan-perhoeboengan bapak-bapak kita Untuk merespon perkembangan Al-Irsyad kaoem walaiti (totok). Dalam hal itoe yang demikian cepat, sejumlah sayyid mendirikan sangatlah besar bedanja kita dengan mereka sebuah organisasi komunitas yang baru yang itoe ... sedang oentoek kita tjoema ada satoe mereka sebut Rabithah Alawiyah, atau persatuan tanah leloehoer belaka, karena jang para keturunan Nabi. Organisasi ini memiliki sesoenggoehnja tanah air kita dan toempah kantor harian yang disebut Al-Maktab Ad-Daimi darah kita, adalah si tjantik Indonesia ini ... yang melakukan pelayanan pencatatan tentang orang tak dapat menjalahkan kita jang tidak sejarah dan geneologi para sayid (AD/ART memperbintjangkan apa-apa tentang Rabithah Alawiyah). Hadramaut” (Pewarta Arab, 11 Desember 1933:13). Kemunculan dua organisasi ini telah memunculkan dua kelompok besar di internal Selain soal orientasi tanah leluhur dengan Arab-Hadrami, yakni kelompok Irsyadis di satu tanah kelahiran yang baru, kaum muda juga sisi, dan Alawiyah (Alawiyin) di sisi lain. mendorong kepada kaum tua untuk menyudahi Panggung perdebatan mereka dipublikasikan perselisihan tentang siapa di antara mereka yang melalui surat-surat kabar. Menurut Kesheh, memiliki status lebih tinggi, apakah sayid atau terdapat tiga tema utama perdebatan, yakni non-sayid. Bagi kaum muda, daripada mengurus kewajiban mencium tangan sayid (taqbil), hal-hal yang sepele, seperti soal perselisihan batasan perkawinan antara perempuan sayid pengangkatan penghulu, kafaah (perkawinan dengan laki-laki non-sayid, dan penggunaan gelar perempuan sayid), taqbil (mencium tangan), dan sayid (Kesheh, 1999: 92). masalah-masalah yang lain, adalah lebih penting Selain perdebatan sayid dan non-sayid, untuk membahas mengenai persoalan sosial alam pikiran awal abad ke-20 yang diwarnai pula ekonomi di antara mereka. Puncak dari gerakan oleh iklim pergerakan, telah memuncul-kan kaum muda ini adalah Konferensi Peranakan sebagian kecil dari komunitas Arab-Hadrami yang telah menerima gagasan-gagasan 125

Rabith Jihan Amaruli, Nazala Noor Maulany, Singgih Tri Sulistiyono (Sumpah Pemuda Arab, 1934)

Arab yang diselenggarakan di Semarang pada Hadrami yang lain, karena dianggap telah Oktober 1934. menghina nenek moyang mereka di Hadramaut. Hasil dari konferensi tersebut adalah Sumpah Sumpah Pemuda Arab, 1934: Antara “Citra Pemuda Arab dan organisasi Arab-Hadrami Arab” dan Tanah Air Baru nasionalis, Persatuan Arab Indonesia (PAI). A.R. Baswedan atau Abdul Rahman Percik Pemikiran Tokoh-Tokoh Arab-Hadrami Baswedan dilahirkan di Kampung Ampel pada 9 yang Nasionalis September 1908. Kakeknya, Umar bin Abubakar bin Mohammad bin Abdullah berasal dari “Arab Indonesia dibesarkan dengan Hadramaut (Yaman Selatan). Sejak gado-gado, bukan dengan mulukhia. kedatangannya di Nusantara, kakek Baswedan Dengan durian, bukan dengan kurma. telah menikah dengan wanita pribumi (Suratmin Dengan sejuknya hawa gunung, bukan dan Kwartanada, 2014: xvi). Dari nama yang dengan panasnya padang pasir! Mereka disandangnya, tampak bahwa Baswedan bukan dihidupkan bukan di pinggir Dajlah dan berasal dari golongan sayid. Hal ini membuat Furat, tetapi di pinggir Musi, Kapuas, Bengawan, dan Brantas. Lebih gurih keluarga Baswedan tidak berada pada level teratas minyak kelapa daripada minyak samin. dalam golongan internal komunitas Hadrami. Sebab itu jalan selamat bagimu, di hari Sejak kedatangannya di Hindia Belanda, orang depanmu ialah leburkan diri ke dalam Arab-Hadrami meneruskan hirarkhi yang kaku bangsa ibumu. Tanah airmu ialah atas dasar keturunan. Kelompok sayid adalah Indonesia! (Baswedan, 1934). kelompok yang tertinggi dan mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Pernyataan di atas adalah cuplikan tulisan A.R. Husain. Mereka juga disebut Alawi, cucu dari Baswedan berjudul “Peranakan Arab dan Ahmad bin Isa. Dari nama inilah, golongan ini Totoknya,” yang diterbitkan oleh Surat Kabar juga disebut dengan nama Alawiyah. Berturut- Matahari di Semarang pada 1 Agustus 1934. turut setelah golongan sayid, adalah syaikh, qabili Tulisan tersebut dibuat oleh A.R. Baswedan, (gabili), dan masakin. Namun, golongan sayid seorang peranakan Arab-Hadrami, menjelang tetaplah dianggap istimewa (Jonge, 2004: 376- Konferensi Peranakan Arab di Semarang pada 4- 377). 5 Oktober 1934. Tulisan tersebut semakin Keluarga Baswedan adalah golongan membuat heboh, saat satu bulan berikutnya, A.R. Syaikh/Masyaikh, golongan kedua dari hirarkhi Baswedan menyertakan foto dirinya mengenakan komunitas Arab-Hadrami dan masuk dalam blangkon dan pakaian khas Jawa pada surat kabar kategori kelas pedagang. Sebagai generasi ketiga yang sama. Pada foto itu, tampak A.R. Baswedan sejak kedatangan kakeknya, Baswedan dan duduk santai bersama Soeljoadikoesoemo dan banyak orang Arab-Hadrami lain yang dilahirkan istrinya, pasangan priyayi berbusana Jawa, dari pasangan Hadrami-pribumi adalah kategori dengan tulisan yang juga membuat heboh, muwallad (peranakan). Sementara mereka yang dilahirkan di Hadramaut, atau lahir dari “Apakah foto ini tida meroepakan keturunan orang tua Hadramaut masuk dalam peranakan Arab dari generatie jang aken kategori wulaiti (totok) (Suratmin dan dateng?!!!” (Matahari, 1 September 1934; Kwartanada, 2004: 10). Keduanya, muwallad dan Suratmin dan Kwartanada, 2014). wulaiti menjadi bentuk diskriminasi lain dalam komunitas Arab-Hadrami. Tulisan dan foto tersebut, kontan Pendidikan utama yang diperoleh Bas- membuah heboh karena pada masa menjelang wedan berasal dari keluarga, yang sebetulnya medio awal abad ke-20, adalah aneh melihat masih melestarikan nilai-nilai tradisional. seorang peranakan Arab mengenakan pakaian ala Namun, jiwa pemberontak dalam diri Baswedan Jawa. Hal itu telah membuat A.R. Baswedan sepertinya adalah karakter pribadinya yang kuat mendapatkan cercaan dari kelompok Arab- dan kritis. Bakatnya ini semakin kuat dan melekat 126

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3 , No. 2, 2018, hlm. 121-132 pada diri Baswedan saat ia memasuki dunia hampir satu dekade sebelumnya (Hayaze’, pendidikan. Ia mendapatkan pendidikan dari di 2017:9). Baswedan sempat menawarkan diri Madrasah Al-Irsyad, di bawah pimpinan Syaikh untuk ikut menulis dalam penerbitan tersebut. Ahmad As-Surkati. Kemudian, ia juga Namun, Bafagieh menolaknya. melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah Meski demikian, Bafagieh dan Baswedan Arab moderen yang bernama Hadramaut School adalah tokoh nasionalis yang berdarah Arab- di Surabaya (Suratmin dan Kwartanada, 2004: Hadrami. Melalui Persatuan Arab Indonesia yang 33-34). Baswedan menikah dengan Syeikhun dan kemudian berubah menjadi Partai Arab memiliki sembilan anak. Setelah istri pertama Indonesia, mereka aktif menumbuhkan kesada- meninggal pada 1948, ia menikah lagi dengan ran berbangsa dan bertanah air Indonesia di Barkah Al-Ghanis pada 1950 dan memiliki dua tengah orang-orang Arab-Hadrami anak (Suratmin dan Kwartanada: 54-56). (https://majalah.tempo.co/read/155585/meng Baswedan banyak bekerja di dunia enang-hoesin-bafagih-dan-tonil-fatimah, diakses jurnalistik dan politik. Ia sempat bergabung di pada 8 Agustus 2018). Persahabatan Bafagieh harian Soeara Oemoem di Surabaya yang diasuh dan Baswedan sudah dimulai sejak 1924. oleh dr. Soetomo. Meski tidak lama ia bekerja di Mengenai awal pertemuannya dan persahabatan- harian ini, harian ini telah memulai babak baru nya dengan Baswedan, Bafagieh menuturkan. dalam sejarah hidup Baswedan sebagai jurnalis. Setelah memutuskan keluar, Baswedan pindah ke “Saya mulaikan penuturan saya semenjak Semarang pada akhir 1934. Di sini, Baswedan pada tahun 1924 yang lalu! Pada masa itu, melanjutkan bakat jurnalistiknya dengan bekerja masing-masing dari kaum muda Al- di harian Matahari (http://www.majalah. Irsyad dan Ar-Rabi-thah terbit semangat tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/15/IM opposite terhadap kaum tuanya yang Z/mbm.200, diakses pada 8 Agustus 2018). senantiasa menjadi halangan buat mereka Tulisan-tulisannya di harian Matahari, telah mencapai cita-cita kemajuan lebih jauh, mengantarkan Baswedan pada dunia pergerakan mengikuti perubahan zaman. Maka dan politik. Sikapnya yang kritis terhadap tradisi beberapa pemuda Al-Irsyad dengan Arab-Hadrami menjadikannya tokoh penting beberapa pemuda Ar-Rabithah itu telah rekonsiliasi totok dan peranakan. dapat mengadakan semacam “persatuan” Selain Baswedan, tokoh lain yang dikenal yang bisa melahirkan satu perkum-pulan kritis adalah Hoesin Bafagieh. Berbeda dari bersama “Bibliotheeq At-Tahdi biyah” di Baswedan yang berasal dari golongan non-sayid, Surabaya sekedar buat tempat mereka Hoesin Bafagieh adalah jurnalis dan tokoh bergaul dan mendekat-kan hubungan, pergerakan orang Arab-Hadrami yang berasal tetapi dengan tanpa satu dasar yang tegas dari golongan sayid. Tidak diketahui secara pasti dan tentu. Hanya berdasar atas perasaan kapan tanggal, bulan, dan tahun kelahiran Hoesin ingin bersatu dan jengkel terhadap kaum Bafagieh. Namun, diyakini ia dilahirkan di tuanya masing-masing. Saudara AR. Surabaya pada 1900, beberapa tahun sebelum Baswedan termasuk golongan itu dari Baswedan dilahirkan (Hayaze’, 2017: 9). Bafa- pihak Al-Irsyad, seperti juga saya dari gieh menikah empat kali selama hidupnya, tetapi pihak Ar-Rabithah (Hayaze’, 2017:9- ia tidak pernah memiliki dua istri dalam waktu 10).” bersamaan. Dari empat pernikahan tersebut, Bafagieh mendapatkan 11 anak. Ia meninggal Saat itu, lembaga yang disebut Ar-Rabithah pada 1958 di Surabaya (Hayaze’, 2017:9). belum berdiri. Apa yang dimaksud Ar-Rabithah Seperti halnya Baswedan, Bafagieh juga oleh Bafagieh adalah kelompok Alawiyin. Sebagai dikenal sebagai jurnalis yang kritis. Ia dikenal seorang Arab-Hadrami berlatar belakang sayid, sebagai pendiri majalah Harian Baroe pada 1939 Bafagieh adalah salah satu tokoh jurnalis dari dan bersama-sama dengan Salim A. Miskati, kalangan Alawiyin yang cukup penting. Bersama- Bafagieh mendirikan majalah Zaman Baroe sama dengan Baswedan, ia mendirikan Jam’iyyah 127

Rabith Jihan Amaruli, Nazala Noor Maulany, Singgih Tri Sulistiyono (Sumpah Pemuda Arab, 1934)

At-Tahdibiyah, organisasi muwallad pertama Bahkan, mengenai gelar sayid (tuan) ini, yang didirikan pada 1 Agustus 1924 di Surabaya. Baswedan mengusulkan untuk diganti menjadi Salah satu tujuan dari organisasai ini adalah al-akh (saudara). Gelar sayid ini selain menjadi menyatukan golongan muwallad dari dua penghambat kompromi antara dua kelompok kelompok utama, yakni Al-Irsyad atau golongan yang bertikai, sekaligus menjadi masalah yang Syaikh/ Masyayikh dengan golongan Ar- menyebabkan pertikaian berlarut-larut (Algadri, Rabithah atau Alawiyin. Majalah Zaman Baroe 1996:166-167). Kelompok kaum tua yang menyebutkan tujuan organisasi At-Tahdibiyah kontra-kaum muda bukan tidak tinggal diam. adalah “mengangkat derajat sosial orang Arab Oleh karena mereka tidak memiliki media untuk Hindia dengan mengesampingkan seluruh merespon gagasan kemajuan kaum muda Arab- perasaan dan kepartaian (Hayaze’: 2017:10-11). Hadrami, mereka menggunakan saluran media Sebetulnya, selain organisasi At- surat kabar yang dimiliki oleh Indo Arabische Tahdibiyah, orang Arab-Hadrami telah memiliki Verbond (IAB) yang dipimpin oleh Al-Amudi organisasi baru yang dinamakan Indo Arabische (Algadri, 19996:166). Verbond (IAV) pada 1930. Organisasi ini meniru Namun demikian, tidak berarti bahwa gerakan Belanda Indo yang menamakan diri Indo kelompok sayid sama sekali tidak ada yang Europeesch Verbond (IEV). Pendiri organisasi berpihak pada gagasan Baswedan. Nuh Al-Kaff ini adalah Al-Amudi, seorang keturunan Arab asal dan Abu Bakar Al-Atas misalnya, adalah sebagian Ambon dan tinggal di Surabaya. IAV gagal untuk kelompok sayid yang turut menggelorakan menjadi wadah semua kelompok dalam internal nasionalisme Indonesia bagi orang Arab- komunitas Arab-Hadrami karena ketergantu- Hadrami dan sekaligus berperan penting dalam ngannya pada dukungan orang-orang kaya dan pembentukan Persatuan Arab Indonesia (PAI) karakter organisasinya yang tidak dapat selain Hoesin Bafagieh. Usaha kelompok muda melepaskan diri dari sistem sosial yang berlaku di dari golongan sayid ini dilakukan secara diam- Hadramaut. Sentimen ras yang menyatakan diam untuk menghindari cercaan dari kelompok bahwa orang keturunan Arab adalah orang Arab, sayid lain yang memiliki orientasi kebangsaan telah menyebabkan perasaan tidak puas dari para yang berbeda (Suratmin dan Kwartanada, 2004: anggota. Baswedan adalah salah satu anggota IAV 83-84). yang akhirnya memutuskan keluar dari organisasi Puncak dari gagasan kaum muda Arab- ini (Hayaze’, 2017: 10-11). Hadrami ini adalah berlangsungnya Konferensi Peranakan Arab Indonesia pada 3-5 Oktober Dari Konferensi Keturunan Arab 1934 di 1934 di Semarang. Pada hari pertama konferensi, Semarang hingga Sumpah Pemuda Arab 1934 tibalah di Semarang tokoh-tokoh Arab-Hadrami baik dari unsur Al-Irsyad maupun Ar-Rabithah. Tampaknya, usaha kaum muda untuk merebut Mereka adalah orang-orang yang aktif mengambil simpati dari kalangan Arab-Hadrami mulai bagian penting dalam pertentangan di antara dua memperoleh hasil. Usaha tersebut terutama perkumpulan tersebut. Mereka yang berjumlah digelorakan oleh kelompok non-sayid yang sekitar 40 orang itu, datang dari Surabaya, dipimpin oleh Baswedan. Usaha ini, selain Semarang, Pekalongan, Solo, dan Jakarta sebagai upaya untuk melancarkan kampanye (Suratmin dan Kwartanada, 2014: 80). persatuan dan nasionalisme orang Arab- Konferensi ini dimotori oleh dua orang Hadrami, sekaligus menjadi kritik terhadap status jurnalis beretnis Arab terkemuka Nuh Al-Kaff sosial golongan sayid. Mereka menganggap dari Pewarta Arab sebagai Ketua Komite dan A.R. bahwa kelompok sayid adalah kelompok yang Baswedan dari Matahari sebagai Ketua paling bertanggung jawab terhadap kemunduran Konferensi. Selain keduanya, terdapat pula kehidupan sosial budaya orang Arab-Hadrami. sederet nama jurnalis beretnis Arab yang turut Status kelompok sayid yang dianggap istimewa, terlibat aktif dalam konferensi, dua di antaranya bagi Baswedan adalah wujud dari pengakuan adalah Hoesin Bafagieh dan A. Miskati dari bahwa Hadramaut adalah satu-satunya tanah air. Zaman Baroe. Jurnalis memang menjadi motor 128

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3 , No. 2, 2018, hlm. 121-132 utama konferensi yang menghasilkan Sumpah 6. Menjauhkan diri dari kehidupan yang Pemuda Arab itu. Selain karena jurnalistik menyendiri dan menyesuaikannya menjadi satu-satunya pekerjaan yang dapat dengan keadaan zaman dan masyarakat diperoleh di luar sebagai pegawai pemerintahan, Indonesia (Majalah Nusa Putra, Mei jurnalis memiliki posisi yang istimewa karena 1950:5). menguasai arus informasi. Bagi mereka, menjadi jurnalis selain untuk mencari pengetahuan dan Kemudian, hal yang paling menggempar- pengalaman adalah mencari kepuasan batin. kan dalam konferensi itu, adalah Sumpah Melalui tulisan, mereka meyakini dapat Pemuda Keturunan Arab yang berisi tiga butir melakukan perubahan-perubahan dalam internal pernyataan, yaitu: kelom-poknya. Melalui sosok Nuh Al-Kaff yang sayid dan A.R. Baswedan yang non-sayid inilah, 1. Tanah Air Peranakan (Keturunan) mengapa Semarang kemudian menjadi tempat Arab adalah Indonesia. penyelenggaraan konferensi. 2. Peranakan Arab harus mening-galkan Baswedan dipilih menjadi ketua dengan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri). banyak pertimbangan. Ia dianggap memiliki latar 3. Peranakan Arab harus memenuhi belakang jurnalis yang kuat dan pergaulan yang kewajibannya terhadap tanah air dan luas. Tercatat, ia pernah bergabung dengan Al- bangsa Indonesia (Hayaze’, 2017: 3). Irsyad, Muhammadiyah di bawah K.H. Mas Mansur, dan menjadi anggota Biblioteeq At- Konferensi ini sebetulnya membahas Tahdibiyah (Jam’iyyah At-Tahdibiyyah) persa- tentang pemilihan pemimpin Arab yang akan tuan antarpemuda Al-Rabithah dan Al-Irsyad duduk dalam Volksraad. Hal ini karena, calon meski tidak berbentuk sebagai organisasi formal. yang diajukan oleh Indo Arabische Verbond Baswedan juga aktif di Yong Islaminten Bond, sudah diajukan oleh kelompok lain (Suratmin redaksi surat kabar Sit It Po pada 1933, redaksi dan Kwartanada, 2014: 84-85). Konferensi surat kabar Soeara Oemoem pada 1933, dan Peranakan Arab-Indonesia juga berhasil memilih redaksi surat kabar Matahari 1934 di Semarang. calon-calon yang mewakili mereka dalam Ia juga dikenal sebagai penganjur pendirian Volksraad, yaitu Mohammad bin Aboebakar Persatuan Arab Indonesia (Bafagieh, 1939:1-5; Alatas, A.R. Alaydroes, Abdullah bin Salim Alatas, Baswedan, 1934:5). dan Ahmad Bachmid. Selain itu, konferensi juga Meski demikian, persolan tanah air dan telah berhasil menghasilkan Persatuan Arab tujuan utama konferensi menjadi bahan Indonesia pada persidangan ketiga dari empat perdebatan penting. Untuk menjawab hal itu, kali persidangan. Konferensi yang berlangsung di Baswedan mengajukan pokok-pokok pikirannya rumah Said Behiloel di Kampung Melayu sebagai berikut. Semarang tersebut telah pula menghasilkan 1. Tanah air peranakan Arab adalah kepengurusan Persatuan Arab Indonesia (PAI) Indonesia. sebagai berikut: A.R. Baswedan (Al-Irsyad) 2. Kultur peranakan Arab adalah kultur sebagai Ketua; Nuh Al-Kaff (Ar-Rabithah) Indonesia. sebagai Penulis I; Salim A. Maskati (Al-Irsyad) 3. Berdasarkan yang di atas peranakan sebagai Penulis II; Segaf As-Segaf (Ar-Rabithah) akan wajib bekerja untuk tanah air dan sebagai Bendahara; dan Abdulrahim Argubi (Al- masyarakat Indonesia. Irsyad) sebagai Komisaris. Sebagai komisaris, 4. Untuk memenuhi kewajiban perlu Argubi dibantu oleh Ahmad Bahaswan (Solo), didirikan organisasi politik khusus H.A. Djaelani (Pekalongan), Mohmad bin untuk peranakan Arab. Aboebakar Alatas dan A.R. Alaydroes (Jakarta) 5. Menghindarkan dari hal-hal yang (Pewarta Arab No. 5, 1934:1). Pada konferensi menjadi sebab perselisihan dalam itu, telah pula diputuskan mengenai azas, tujuan, masyarakat Arab. dan haluan Persatuan Arab Indonesia.

129

Rabith Jihan Amaruli, Nazala Noor Maulany, Singgih Tri Sulistiyono (Sumpah Pemuda Arab, 1934)

Aliran Baroe yang dipimpin oleh Hoesin pada waktu itu, rata-rata memiliki pemikiran yang Bafagieh berhasil menjadi penyebar informasi terbuka dan pergaulan yang luas. dan perkembangan serta ide-ide kemajuan dari Mereka yang menentang pendirian PAI PAI. Aliran Baroe dan Hoesin Bafagieh juga pada masa-masa selanjutnya, mendirikan Indo dianggap berhasil sebagai salah satu corong yang Arabische Beweging (IAB) pada 1939. Menurut “membangkitkan” kesadaran berbangsa dan Pluvier, seperti dikutip oleh Al-Gadri, tujuan bertanah air Indonesia di kalangan orang Arab utama pendirian IAB adalah seratus persen Indonesia (Hayaze’, 2017:17). Perihal PAI, berbeda dengan PAI. Bahkan, melalui Al-Amudi, Bafagieh menulis. ketua IAB, menyatakan bahwa nasionalisme adalah berbahaya dan tidak sehat. Pendirian IAB, “Sekarang menjadi terang, bahwa tidak terutama adalah saat PAI berubah menjadi dapat disangkal lagi, yang itu persatuan organisasi politik sesuai hasil Konggres PAI pada telah tercipta berkat adanya PAI. Hal ini 1937 (Algadri, 1996:168). saja sudah terpaksa nyatakan sekarang, Kalangan pribumi yang mendukung sebab antara mereka yang tidak sabar gagasan Sumpah Pemuda Arab dan PAI berasal banyak bertanya-tanya: “Hasil apakah yang dari kalangan pergerakan terutama yang sudah ditimbulkan oleh PAI dari semenjak berdirinya” (Hayaze’, 2017:46-47). berasaskan Islam. Mereka menganggap bahwa pendirian PAI akan menambah massa dalam Mengenai peran penting Bafagieh dan Islam. Bagaimanapun, Arab akan selalu identik Aliran Baroe, Baswedan menyatakan: dengan Islam. Atas anjuran Pemandangan, surat kabar dari kelompok pergerakan pribumi, nama “Maka jika kita menjebut Aliran Baroe surat kabar Pewarta Arab harus diganti untuk telah berjasa artinya ialah bahwa saudara menghilangkan kesan kesukuan. Mereka Bafagieh yang berjasa” (Hayaze’, 2017:8). mengusulkan untuk mengubahnya menjadi Penyedar. Pewarta Arab pun mengakhiri Sumpah Pemuda Arab 1934 dan kelahiran penerbitan pada Rabu, 17 Oktober 1934 PAI yang revolusioner itu tentu mengundang (Pewarta Arab, 17 Oktober 1934). Kalangan reaksi baik dari kalangan keturunan Arab maupun etnis Cina yang mendukung juga diperoleh dari di luar kalangan Arab, seperti Jawa, Cina, dan kalangan pergerakan, terutama dari kelompok Belanda. Kalangan Arab-Hadrami yang menye- Liem Koen Hian dan Tjoa Tjoe Liang. Mereka tujui gagasan tersebut, rata-rata adalah mereka adalah motor utama Partai Tionghoa Indonesia yang memiliki latar belakang non-sayid dan sayid (PTI) yang telah berdiri pada 1932. Sementara, “progresif”. Golongan sayid yang setuju karena kalangan Belanda yang mendokong masih melalui Sumpah Pemuda Arab yang kemudian bersikat abu-abu. Hal itu terutama karena mereka dikukuhkan menjadi PAI akan menyebabkan sementara masih melihat bahwa pergerakan Arab sekat-sekat stratifikasi sosial yang didasarkan masih belum menampakkan gejala radikal dan pada geneologi “suci” Nabi menjadi longgar dan ekstrim terhadap pemerintah Belanda. Mereka tidak ada lagi. Hal ini secara psikologis dapat yang mendukung penuh adalah Teuuween dari dipahami, karena akan meningkatkan harkat dan Partai Insulinde, sosok yang dikenal nasionalis martabat mereka dan akan menempatkan mereka (Panji Islam No. 34, 19 Agustus 1940:639). pada posisi yang setara dengan mereka yang Sumpah Pemuda Arab 1934 menjadi mendaku sebagai keturunan Nabi itu. Keluarga langkah yang revolusioner, tidak hanya bagi Arab-Hadrami utama yang menjadi penyokong keturunan Arab, tetapi juga bagi seluruh bangsa terbesar PAI adalah Miskati, Baswedan, Sungkar, Indonesia. Bahkan, Ki Hajar Dewantara Basajut, dan Bahaswan. Sementara, mereka dari menyebut arti sumpah tersebut dalam sambutan kalangan sayid yang menyokong hasil Sumpah memperingati Hari Kesadaran Bangsa Indonesia Pemuda Arab dan PAI dilatarbelakangi oleh Keturunan Arab yang ke-20 di Surakarta sebagai pendidikan, wawasan, dan pergaulan. Mereka berikut. yang memililiki latar belakang pendidikan tinggi 130

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3 , No. 2, 2018, hlm. 121-132

“saudara-saudara kita jang berke-turunan den Berg, Orang Arab di Nusantara, Arab tadi tidak merasa mempunyai dan terjemahan Rahayu Hidayat. Jakarta: tidak mengakui adanja bangsa dan negara Komunitas Bambu. di luar Indonesia yang mengikat mereka, Algadri, M. Hamid (1996). Islam dan Keturunan baik lahir maupun bathin. Arab: dalam Pemberontakan Melawan … Belanda. Jakarta: Mizan. keikhlasan saudara-saudara keturunan Arab tadi tidak sadja mengun tungkan diri Berg, L.W.C. van den (2010). Orang Arab di mereka sendiri, namun menguntungkan Nusantara, terjemahan Rahayu Hidayat. negara kita pula, sebagai negara yang Jakarta: Komunitas Bambu. “modern” dan berdasarkan “Pantjasila Feener, R. Michael (2004). “Hybridity and the (Algadri, 1996: 211).” “Hadhrami Diaspora” in the Indian Ocean Muslim Networks”, Asian Journal of Social SIMPULAN Science (32) 3: 353-372. Freitag, Ulrike (1999). “Hadramaut: a Religious Sumpah Pemuda Arab 1934 telah menjadi Center for the Indian Ocean in the Late puncak pergulatan identitas orang Arab-Hadrami 19th and Early 20th Centuries”, Studia dari diskriminasi baik yang mereka dapat dari Islamica 89: 165-183. pemerintah Kolonial Hindia Belanda maupun di Hayaze’, Nabil A. Karim (2017). Kumpulan internal orang-orang Arab-Hadrami. Diskrimasi Tulisan & Pemikiran Hoesin Bafagieh: internal yang dimaksud adalah pergeseran Tokoh PAI dan Nasionalis Keturunan perdebatan dari sayid dan non-sayid menjadi Arab. Jakarta: Menara Center. totok dan peranakan. Bafagieh, Hoesin (1939). “Didalam dan Diloear Sumpah Pemuda Arab 1934 meneguhkan Pergerakan”, Aliran Baroe, Surabaya, No. 6 bahwa Indonesia adalah tanah air orang Arab- (Januari 1939) Tahun ke-2, hlm. 1-5. Hadrami. Keturunan Arab adalah putra bangsa Jacobsen, Frode F. (2009). Hadrami Arabs in Indonesia dan harus mengabdi kepada tanah air. Present-Day Indonesia: An Indonesia- Gerakan yang cepat menyebar tidak hanya di Oriented Group with an Arab Signature. Jawa, tetapi juga di Sumatra, Sulawesi, dan London and New York: Routledge. Kalimantan ini menjadi bukti, bahwa orang Arab- Jonge, Huub de (1993). “Discard and Solidarity Hadrami memiliki komitmen bahwa Indonesia Among the Arabs in the East adalah benar-benar tanah airnya. Indies, 1900-1942”, Indonesia, 55 (April):

73-90. REFERENSI Jonge, Huub de dan Nico Kaptein (2002). “The

Arab Presence in Southeast Asia: Some Baswedan, A. R. (1934). Catatan Tentang: Introductory Remarks”, dalam Jonge, Soempah Pemoeda Indonesia Huub de dan Nico Kaptein (Eds). Ketoeroenan Arab. Nasional Press: Transcending Borders: Arabs, Politics, Surabaya. Trade, and Islam in Southeast Asia. Baswedan, A. R. “Peranakan Arab dan Totoknya,” Leiden: KITLV Press. Matahari, Tahun 1 No. 1, Semarang, 1 Jonge, Huub de (2004). “Abdul Rahman Agustus 1934. Baswedan and the Emancipation of AD/ART Rabithah Alawiyah. Hadhramis in Indonesia”, Asian Journal of Alatas, Ismail Fajrie (2015). “Gold and Silver, Social Science 32 (3): 373-400. Branded Horses, and Well-Tilled Land: Kesheh, Natalie Mobini (1997). “Islamic Gender and Hadrami Migration”, Modernism in Colonial Java: The Al- Indonesia Feminist Journal 3 (1): 4-13. Irshad Movements”, Ulrike Freitag dan Alatas, Ismail Fajrie (2010). “Menjadi Arab: William G. Clerence Smith (eds.), Komunitas Hadrami, Ilmu Pengetahuan Hadrami Traders, Scholars, and Statesman Kolonial & Etnisitas”, dalam L.W.C. van

131

Rabith Jihan Amaruli, Nazala Noor Maulany, Singgih Tri Sulistiyono (Sumpah Pemuda Arab, 1934)

in the Indian Ocean, 1750s-1960s. Leiden: Brill. Kesheh, Natalie Mobini (1999). The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942. New York: Cornell Southeast Asia Program. Mandal, Sumit Kumar (2002). “Forging A Modern Arab Identity in Java in the Early Twentieth Century”, dalam Huub de Jonge dan Nico Kaptein, Transcending Borders: Arabs, Politics, Trade, and Islam in Southeast Asia. Leiden: KITLV Press, 2002. Noer, Deliar (1980). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. Rijal, Syamsul (2017). “Internal Dynamics within Hadhrami Arabs in Indonesia: From Social Hierarchy to Islamic Doctrine”, Journal of Indonesia Islam 11(1): 1-28. Slama, Martin (2005). “Indonesian Hadhramis and the Hadhramaut: An Old Diaspora and Its New Connections”, Antropologi Indonesia 29: 107-113. Smith, William G. Clarence (1997). “Hadhramaut and the Hadhrami in the Modern Colonial Era: An Introductory Survey”, Ulrike Freitag dan William G. Clerence Smith (eds.), Hadhrami Traders, Scholars, and Statesmen in Indian Ocean, 1750s-1960s. Leiden: Brill. Suratmin dan Didi Kwartanada (2014). Biografi A.R. Baswedan: Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan. Jakarta: Kompas. “Orang-orang di sekitar Baswedan”, www.majalah.tempo/interaktif.com/id/ar sip/2008/12/15/imz/mbm.200, diakses pada 8 Agustus 2018. “Mengenang Hoesin Bafagih dan Tonil Fatimah”, Edisi 3 Juni 2018, https://majalah. tempo.co/read/155585/mengenang- hoesin-bafagih-dan-tonil-fatimah, diakses pada 8 Agustus 2018.

132