SEJARAH ARSITEKTUR Melalui Visual - Estetik Diorama dan Litografi Nusantara

YUKE ARDHIATI SEJARAH ARSITEKTUR Melalui Visual-Estetik Diorama dan Litografi Nusantara

YUKE ARDHIATI PENERBIT UP2M FTUP

Sejarah Arsitektur : Melalui Visual-Estetik Diorama dan Litografi Nusantara

Yuke Ardhiati

Hak Cipta Yuke Ardhiati

Cetakan 20, Mei 2020 Diterbitkan oleh UP2M FTUP Jl. Raya Lenteng Agung Srengseng Sawah Jakarta 12640 Jakarta Selatan Tel.021- 7864730 email: [email protected]

Desain Sampul : Menyunting lukisan Borobudur: Nature in Meditation (2000) karya Srihadi Soedarsono (lahir 1931) Medium lukisan oil in canvas 90 x 100 cm (35.4 x 39.4 in)

Perpustakaan Nasional – Katalog Dalam Terbitan Ardhiati, Yuke, Pengantar, Antariksa Sudikno. Jakarta- UP2M FTUP, 2020 Xvi + 148; 15,5 cm x 23 cm

ISBN : 978-602-53164-6-3

i

Sejarah Arsitektur : Melalui Visual-Estetik Diorama dan Litografi Nusantara

Y U K E A R D H I A T I

Penerbit: UP2M FTUP Universitas Pancasila Jl. Raya Lenteng Agung Srengseng Sawah Jakarta Selatan

ii

Cetakan Pertama, 2020 Hak cipta pada penulis. Dilarang menerbitkan ulang atau mengalihmediakan terbitan ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari penulis. UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

iii

....Teruntuk Anak Bangsa, yang mencintai karya Arsitektur sebagai ungkapan rasa bersyukur dan cara untuk mencintai kecerdasan Ilahiah yang mewujud dalam sosok rupa lahiriah ... dari sebuah ruang di tengah kesunyian untuk pengisi semesta harapan Jakarta, era pandemic covid-19, 2020

iv

Ungkapan terimakasih tak terkatakan, kepada seluruh pribadi mulia, yang ikut menyemai kebajikan, hingga buku ini hadir tersedia, semoga jejak pena ini menginspirasi Anak Bangsa

v

Kata Pengantar sekaligus Sambutan Dari Pakar Arsitektur

Prof. Antariksa Sudikno Guru Besar Arsitektur Universitas Brawijaya

Dalam menyusun sebuah buku mengenai sejarah arsitektur masa lampau pada umumnya ternyata antara satu penulis dengan penulis lainnya tidak sama. Hal yang menarik adalah bagaimana kehebatan seorang penulis buku sejarah arsitektur dalam mengumpulkan dan menghimpun sumb-sumber yang ingin dijadikan bahan tulisannya. Perbedaan dalam mencari dan mengumpulkan informasi dan data inilah merupakan keahlian seorang penulis dalam mencari sumber utama, terutama sumber informasi dimasa lampau.

Sudah sewajarnya kalau penyusunan buku ini melewati sebuah proses pengerjaan yang membutuhkan ketelitian dan ketajaman dalam mengambil dan menyusun berbagai macam data yang digunakan dalam penulisan.

vi

Tentu saja tahapan-tahapan yang telah dilakukan penulis adalah merekam jejak-jejak masa lampau melalui observasi, pengumpulan, dan penelusuran keberadaan arsip-arsip langka, yang masih tersimpan dengan baik.

Pendekatan litografi dan diorama telah yang dilakukan, menghasilkan temuan-temuan historis arsitektural yang tersusun dengan baik. Pustaka-pustaka inipun disusun berdasar pada sumber-sumber, seperti semi historiografi, arsitektur tradisional , pustaka daerah, arsitektur Nusantara, arsitektur modern Indonesia, dan sejarah arsitektur dan perkotaan pun digunakan. Hal inilah yang menjadi sebuah kelengkapan dalam menyusun dan menulis sebuah buku sejarah arsitektur.

Penyajiannya ditulis dalam susunan gambar-gambar atau lukisan-lukisan arsitektur yang di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa historis pada masa itu. Beberapa bagian diungkapkan dalam buku ini mengenai budaya arsitektur peradaban Eropa pada masa pemerintah Hindia-Belanda turut mengisi dan memberi makna dalam perkembangan arsitektur di Indonesia.

vii

Inilah bumi Nusantara tempat kita berpijak, tempat kita belajar tentang sejarah arsitektur masa lampau, yang menyenangkan dan membanggakan.

Membaca dan memahami sebuah diorama itu, seperti halnya kita sedang bertamasya dan diperkenalkan secara visual tentang sejarah arsitektur masa lampau dalam bentuk demensional. Sebuah diorama terwujud dan terbentuk melalui latar sejarah, arsitektur bahkan arkeologi yang sangat kuat sebagai dasar utama dalam mempelajari dan memahami diorama tersebut dengan baik. Diorama dibentuk dalam tatanan fisik arsitektural, dan biasanya diisi oleh para perilaku sejarah, dan bisa juga disebut para pahlawan barangkali, diisi dengan peristiwa-peristiwa sejarah masa lampau dan diletakan di dalam ruangnya. Bahkan lukisan-lukisan pun dapat memperkuat catatan sejarah masa lampau yang menjadi bagian dalam mengisi diorama tersebut.

Mempelajari sejarah dan arsitektur Nusantara, bukan berarti kita kembali ke sejarah arsitektur masa lampau. Hal ini penting untuk dipahami bagi para arsitek akademisi dan sejarahwan arsitektur. Bagaimana menafsirkan arsitektur Nusantara masa lampau?

viii

Apa yang bisa kita ambil dari masa lampau dan tumbuhkembangkan untuk masa kini?

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dengan mempelajari arsitektur Nusantara? Sebenarnya hanya dengan gambar-gambar dan diorama yang tersajikan inipun, kita bisa belajar banyak mengenai sejarah, teknologi maupun material yang digunakan di masa lampau. Demikian juga peristiwa sejarah kegiatan dari para pelakunya yang tertuang pada gambar atau lukisan diorama tersebut yang dapat menceriterakan sebuah aktifitas-aktifitas masa lampau dan juga menjelaskan sisi arsitektur bangunannya. Hal ini dikarenakan arsitektur adalah sebagai tempat bernaung, yang menaungi aktifitas atau peristiwa bersejarah yang telah berlangsung dimasa lampau sampai setelah kemerdekaan dapat menjadi sebuah sumbangan catatan yang tertulis dalam buku sejarah arsitektur ini.

Buku ini menjadi sangat menarik karena mengajak kita untuk bisa memahami dalam melihat sejarah arsitektur melalui visual-estetik diorama dan litografi tentang Nusantara.

ix

Objek arsitektur ini yang terdapat di wilayah Nusantara menjadikan tempat kajian yang dapat memunculkan tinggalan fisik arsitektural yang terbentuk karena geografis kulturalnya.

Pondok Blimbing Indah, Malang 18 Mei 2020

Antariksa Sudikno

x

P rakata oleh Penulis

Sebagai profesi yang berbasis kebudayaan, Arsitek Indonesia sepatutnya mensyukuri keragaman arsitektur yang tersebar di tanah air. Keragaman inilah yang terekam sebagai sejarah peradaban, yang tersimpan sebagai koleksi museum, dokumentasi, dijumlah lukisan, serta gambar litografi.

Tradisi merekam peristiwa melalui lukisan diwariskan oleh pemerintah kolonial. Tercatat beberapa di antaranya, Josias Cornelis Rappard (1824-1898), seorang tentara KNIL yang juga melukis keelokan nusantara. Dari lukisan-lukisannya mampu mengungkapkan ragam arsitektur vernacular nusantara. Ketrampilan dalam mereka mengguratkan pena, mampu merekam peristiwa kelampauan yang tidak mungkin lagi kita alami.

xi

Melalui keindahan rendering yang dianggitnya, bahkan kita dapat menyingkap wujud asli puluhan tahun lampau dari sosok arsitektur yang menjadi objeknya.

Berangkat dari kekaguman atas karya-karya lukisan itu, saya terdorong untuk memuliakan karya seni lukis tersebut sebagai metode pengenalan sejarah arsitektur yang unik.

Sejumlah jejak keindahan dan peradaban nusantara yang langka itupun terhimpun. Sejumlah karya lukis anggitan Abraham Salm (1857-1915). Objeknya, terutama di daerah sekitar Jawa Timur. Sementara itu, pelukis Auguste van Pers (1815-1871) melukis objek di Batavia, serta tema batavia lainnya karya Andries Beeckman dan Charles Theodore Deeleman.

Beberapa karya, dua pelukis kakak beradik Adrianus Johannes Bik (1790-1872) dan Jannes Theodorus Bik (1796-1875) melukis sejumlah karya yang merekam kekunoan pada Borobudur, Artja Domas, Candi Mendut, Prambanan di bawah komando Profesor Caspar G C Reinward melalui ekspedisi ke beberapa pulau ke Jawa, Sumbawa, Adonara, Solor Timor, Ombai, Bandanaira, Kisar, Ambon dan pulau lainnya.

xii

Sementara itu koleksi pelukis Johannes Muller 1859, melukis reruntuhan candi Jabung di Probolinggo, petilasan Macan Putih di Banyuwangi, Kompleks Percandian Dataran Dieng, Candi wringin lawang, Candi Muteran melengkapi tema percandian. Di sisi lainnya, lukisan naturalis Antoine Payen (1792-1853) melengkapi objek-objek yang terlewat. Pelukis Belgia, M.E.H.R van den Kerkhoff (1830-1908), bekerja sebagai admistratur pabrik rokok Tanah Wangi, Malang. Dan juga karya lukis Franz Wilhelm Junghun (1809-1864), Paulus Lauters (1806-1875).

Lalu, bagaimana memulainya?

Sejumlah pustaka yang selama ini menjadi panduan belajar kelampauan arsitektur nusantara, ingin saya perkaya menjadi cara belajar sejarah arsitektur yang menyenangkan. Terobosan kecil ini barangkali bukan sesuatu kebaharuan. Hanyalah gerbang masuk dari arah pandang yang sedikit berbeda.

Meskipun kelak hasilnya belum sepenuhnya menggembirakan, namun saya ingin menawarkan cara belajar sejarah arsitektur melalui alur cerita/ storyline sejarah dalam bingkai teori Hegelian.

xiii

Yaitu tinggalan Presiden Soekarno yang luput dari pembahasan sejarah kebangsaan yang diwujudkan melalui diorama. Kini, 51 kotak diorama masih terpajang di empat sisi dinding hall Museum Sejarah Kebangsaan di Tugu Nasional. Tepatnya mengisi di ruang basemen/ bawah tanah. Komposisi diorama yang ditampilkan, memang bukan sepenuhnya merupakan gagasan Presiden Soekarno (1964) , karena di era Presiden Soeharto (1970) juga menambah serta menguranginya ketika meneruskan projek tersebut.

Beruntunglah saya menyimpan arsip kesejarahan yang berperan sebgai storyline diorama tersebut, berikut adegan-adegannya yang dinamai draibooken. Ketika buku tersebut diserahkan, sempat terjadi diskusi panjang dengan salah satu penganggitnya, seniman Edhi Sunarso (alm.). Karena memahami semangat yang ada di dalamnya, maka saya memberanikan diri untuk mengawinkan seluruh adegan diorama, sebanyak 51 (lima puluh satu) kotak menjadi metode awal untuk mengenal sejarah arsitektur. Adapun, sebagai pelengkapnya akan ditambahkan gambar digital dari sepilihan karya lukisan/ liografi era kolonial sebagaimana telah saya utarakan sebelumnya.

xiv

Dan, apabila terjadi ketiadaan sumber gambar pendukung, maka akan diperkaya dengan foto dokumentasi, ataupun karya lukisan pelukis maestro Indonesia.

Saya berharap, kesiapterapan mahasiswa arsitektur/ arsitek/ maupun publik secara luas dalam memahami arsitektur di Indonesia dapat terjembatani oleh keelokan karya seni yang terhimpun.

Jakarta, Mei 2020

Yuke Ardhiati

xv

Pengantar Penerbit

Pustaka referensi ini kami terbitkan di hadapan publik sebagai upaya untuk memberikan apresiasi terhadap karya diorama di Museum Kebangsaan Indonesia di Tugu Nasional (Monas), dan karya-karya lukis para seniman era Kolonial dan era kekinian yang ternyata mampu menjadi karya inspiratif dalam mempelajari arsitektur nusantara. Melalui cara masuk ke gerbang keilmuan arsitektur dengan ‘membaca’ karya seni rupa, akan menjadi sebuah metode yang menyenangkan di era digital ini.

Terbitnya pustaka ini diharapkan dapat melengkapi memori tentang arsitektur nusantara. Oleh karena itu, selayaknya “memori” tentang masa kelampauan nusantara yang telah diolah sebagai pustaka rujukan ini akan dapat menggerakkan perhatian para arsitek, calon arsitek, perupa, calon perupa, serta generasi milineal untuk diserap spiritnya. Selamat membaca.

Jakarta, Mei 2020 Dede Lia Zariati

Penerbit UP2M FTUP Universitas Pancasila

xvi

Daftar Isi

Kata Pengantar sekaligus Sambutan Pakar vi Prakata Penulis xi Pengantar Penerbit xvi Daftar Isi xvii Daftar Gambar xviii Bagian I Pendahuluan 1 Bagian II Tinjauan Pustaka Sejarah Arsitektur 7 Bagian III Memahami Diorama 18 Di Museum Sejarah Kebangsaan di Tugu Nasional Bagian IV Arsitektur Nusantara dalam Diorama dan Litografi

IV. 1. Membaca Diorama Sisi A dan B 25 IV. 2. Membaca Diorama Sisi C dan D 60 IV. 3 Membaca Diorama Sisi E dan F 91 IV. 4 Membaca Diorama Sisi G dan H 106 IV. 5. Membaca Diorama Sisi Tengah 131

Epilog 137 Daftar Pustaka 139 Biografi Penulis 143

xvii

Gambar Adegan Diorama Hal Adegan no.1 Masyarakat Indonesia Purba (3.000 - 2.000 SM) 27

Adegan no.2 Bandar Sriwijaya (Abad ke-7 s/d ke-13) 29 Adegan no.3 Candi Borobudur (824) 34 Adegan no.4 Bendungan Waringin Sapta (Abad ke-11) 38 Adegan no.5 Candi Jawi Perpadan Sivaisme-Buddhisme (1292) 40 Adegan no.6 Sumpah Palapa (1331) 43 Adegan no.7 Armada Perang Majapahit (Abad ke-14) 47 Adegan no.8 Utusan Tiongkok ke Majapahit (1405) 49 Adegan no.9 Peranan Pesantren dalam Penyatuan Bangsa (Abad-14) 51 Adegan no.10 Pertempuran Pembentukan Jayakarta (22 Juni 1527) 53 Adegan no.11 Armada Dagang Bugis (Abad ke-15) 56

Adegan no.12 Perang Makassar 58 Adegan no.13 Perlawanan Pattimura (1817) 60 Adegan no.14 Perang (1825 – 1830) 63

Adegan no.15 Perang Imam Bonjol (1821 - 1837) 68 Adegan no.16 Perang Banjar (1859 – 1905) 70 Adegan no.17 Perang Aceh (1873 - 1904) 74 Adegan no.18 Perlawanan Sisingamangaraja (1877 - 1907) 78 Adegan no.19 Pertempuran Jagaraga (1848 - 1849) 80 Adegan no.20 Tanam Paksa (1830 - 1870) 82 Adegan no.21 Kegiatan Gereja Protestan dalam Penyatuan Bangsa 84 Adegan no.22 Kartini (1879 - 1904) 87 Adegan no.23 Kebangkitan Nasional (20 Mei 1908) 88 Adegan no.24 Taman Siswa (3 Juli 1922) 90 Adegan no.25 Muhammadiyah (18 November 1912) 91 Adegan no.26 Perhimpunan Indonesia (1922) 92 Adegan no.27 STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) (1898-1926) 93 Adegan no.28 Digul (1927) 95 Adegan no.29 Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) 96 Adegan no.30 Romusha (1942 - 1945) 97 Adegan no.31 Pemberontakan Tentara PETA di Blitar (14 Februari 1945) 98

xviii

Adegan no.32 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945) 99 Adegan no.33 Pengesahan Pancasila dan Undang-Undang 101 Dasar 1945 (18 Agustus 1945) Adegan no.34 Hari Lahir ABRI (5 Oktober 1945) 103 Adegan no.35 Pertempuran Surabaya (10 November 1945) 104 Adegan no.36 Kegiatan Gereja Katolik Roma dalam 105 Proses Penyatuan Bangsa Adegan no.37 Gerilya Mempertahankan Kemerdekaan (1945-1949) 106 Adegan no.38 Jenderal Sudirman (1948) 110 Adegan no.39 Pengakuan Kedaulatan (27 Desember 1949) 112 Adegan no.40 Kembali ke Negara Kesatuan (1950) 114 Adegan no.41 Indonesia Menjadi Anggota PBB (28 September 1950) 118 Adegan no.42 Konferensi Asia Afrika (18 - 24 April 1955) 120 Adegan no.43 Pemilihan Umum Pertama (1955) 122 Adegan no.44 Pembebasan Irian Jaya (1 Mei 1963) 123 Adegan no.45 Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober 1965) 125 Adegan no.46 Aksi-aksi Tri Tuntutan Rakyat (1966) 127 Adegan no.47 Surat Perintah Sebelas Maret (1966) 128 Adegan no.48 Penentuan Pendapat Rakyat Irian Jaya (1969) 130 Adegan no.49 Integrasi Timor Timur (1976) 131 Adegan no.50 Konferensi Tingkat Tinggi ke-10 Negara-negara 133 nNo -blok (1992) Adegan no.51 Alih Teknologi (1995) 134

xix

Daftar Gambar hal Gbr.1. Situs Hunian di Gua Song Keplek 28 Gbr.2 Situs Warisan Kerajaan Sriwijaya di Muara Takus 30 Gbr.3 Situasi Awal Candi Muara Takus di Kab. Kampar Riau 30 Gbr.4 Arsitektur di Pinggir Sungai Musi di Palembang 30 Gbr. 5 Benteng Palembang 1881 31 Gbr. 6 Litografi Kraton Palembang di Kuto Gawang 32 Gbr.7 Arsitektur Kedaton Sultan Palembang 33 Gbr.8 Benteng Kuto Besak Karaton Palembang 1797 33 Gbr. 9 Candi Borobudur oleh JC Rappard tahun (1883-1889) 35 Gbr. 10 Borobudur Saat Ditemukan oleh Raffles 35 Gbr.11 Sketsa Karya Daoed Joesoef di Saat Rekonstrusi Borobudur 36 Gbr.12 Borobudur - Nature in Meditation Lukisan Srihadi Soedarsono 36 Gbr.13 Gerbang Candi Borobudur 1850 37 Gbr.14 Pemandangan Sungai Brantas Abraham Salam (1865-1872) 39 Gbr.15 Candi Jawi Warisan Kerajaan Singasari 41 Gbr. 16 Kawasan Candi Jawi di Desa Pandaan 42 Gbr.17 Reruntuhan Candi Jinggo oleh D'Almeida 1864 44 Gbr. 18 Detail Rumah Jawa Kuno pada Relief Candi Jinggo 44 Gbr. 19 Petirtan Jalatunda di Trawas Karya Johannes Muller (1859) 45 Gbr. 20 Candi Tikus di Malam Hari 46 Gbr. 21 Rekonstruksi Rumah Jaman Majapahit 46 Gbr. 22 Relief Kapal Jaman Majapahit di Candi Borobudur 48 Gbr. 23 Tipe Kapal / Jong dari Jawa 48 Gbr.24 Rekonstruksi Denah Keraton Majapahit, Maclaine Pont (1924) 50 Gbr.25 Litografi Rumah Misionarsis di Mojowarno Jombang 52 Gbr.26 Pesantren Tebu Ireng di Jombang 52 Gbr.27 Benteng di Pelabuhan Batavia 1613-1810 54 Gb. 28 The New Gate of Batavia karya Nieuhof tahun 1682 54 Gbr.29 The Castle of Batavia Karya Andries Beeckman Circa 1661 55 Gbr.30 Batavia karya C Reiss W Wallis 1850 55 Gbr.31 Arsitektur Keluarga Bangsawan Bugis 57 Gbr.32 Arsitektur Rumah Bugis 1883 57 Gbr.33 Litografi Benteng Sumbo Opu dan armada Bugis 59 Gbr.34 Peta Fort Duurstede di Saparua oleh Isaac de Graaf (1695) 61

xx

Gbr.35 Litografi Fort Duurstede di Pulau Honimoa 61 Gbr. 36 Fort Duurstede Digambar oleh C.M.W Van der Velde 62 Gbr. 37 Fort Duurstede Digambar oleh Johannes Hogeboom (1693) 62 Gbr.38 Litografi Pangeran Diponegoro 64 Gbr. 39 Sketsa pertempuran pengikut Diponegoro dengan serdadu 64 Belanda di Selarong 1825 Gbr. 40 Litografi Pangeran Diponegoro berjubah putih dan berkuda 65 Gbr. 41 Litografi bukit Manoreh sebagai markas besar Diponegoro 65 Gbr. 42 Lukisan “The Submission of Prince Diponegoro to General 66 De Kock”karya Nicolaas Pieneman (1809-1860)

Gbr. 43 Lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya 67 (1857). Gbr. 44 Bukit Bonjol karya Tijschrift voor Nederlands Indie, 1839 69 Gbr. 45 Litografi Fort de Kock di Bukittinggi 69 Gbr. 46 Litografi Lanting Kotamara, Benteng Terapung dalam 71 Strategi Perang Kesultanan Banjar Gbr. 47 Litografi Keraton Banjar di Martapura 1843 71 Gbr.48 Litografi Keraton Banjar 72 Gbr. 49 Litografi Muara Teweh 72 Gbr.50 Litografi Rumah Apung di Kutai Banjarmasin 73 Gbr. 51 Litografi Rumah Apung di Kutai Banjarmasin 73 Gbr.52 Litografi Makam Raja Dinda karya Carl Bock 1879-1880 73 Gbr. 53 Litografi Masjid di Kotaraja Aceh karya EB Kielstra (1882) 75 Gbr. 54 Litografi Peta Banda Aceh oleh Valentyn 1724-1726 76 Gbr.55 Foto Taman Bunga Teratai Kota Gunungan Aceh, G.B Hooijer 77 Gbr.56 Litografi Kampung Aceh karya J.C.C Rappard (1883-1889) 77 Gbr.57 Balai Istana Sisingamagaraja yang Dilestarikan di Huta Bakara 79 Gbr.58 Lukisan Puputan tahun 1849. Raja Buleleng Bunuh Diri 81 Bersama 400 Pengikutnya Gbr.59 Litografi Suasana Kawasan Pabrik Gula Sebagai 83 Muara Tanam Paksa Tanamaan Tebu Gbr.60 Lukisan Perkebunan Tebu 83 Gbr.61 Litografi Gereja Prostestan di Maluku 1800-1864 85 Gbr.62 Litografi Karya P Blommers, 1898 Gereja dan Sekolah 85 di Lalumpey Manado xxi

Gbr.63 Litografi Gereja Sion di Tomohon 85 Gbr.64 Litografi Gereja di Bogor sekitar1882-1889 86 Gbr. 65 Gereja Protestan Immanuel di Weltevreden/ di depan 86 Stasiun Gambir Gbr.66 Kartini, Kardinah dan Rukmini sedang membatik 87 Gbr.67 Fotografi ex Gedung Rumah Sakit Militer sebagai 89 Sekolah Dokter Jawa Gbr.68 Suasana belajar di Sekolah Dokter Jawa 89 Gbr.69 Gedung Sekolah Dokter Jawa (1851-1902) 94 Gbr.70 Rumah Proklamasi di Jl. Pegangsaan Timur Jakarta 100 Gbr.71 Karya Charles Theodore Deeleman, 1859 102 Gbr.72 Litografi rumah Dutch Royal Army 1792-1862 102 Gbr.73 Lukisan “Laskar Rakyat Mengatur Siasat”, Affandi, 1946 107 Gbr. 74 Lukisan “Kawan-Kawan Revolusi “ karya S. Sudjojono 107 Gbr.75 Lukisan “Persiapan Gerilya” Karya Dullah 108 Gbr.76 Lukisan “Awan Berarak Djalan Bersimpang, Harijadi S, 1955 109 Gbr.77 Fotografi Pelantikan Jenderal Sudirman Pada 28 Juni 1947 111 Gbr. 78 Fotografi Tandu Gerilya jenderal Sudirman 111 Gbr.79 Holland Netherlands Royal karya H Moll 113 C.1730 Lokasi Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1947 Gbr.80 Litografi Istana Koningspein 1880 JC Rappard (Istana Merdeka) 115 Gbr. 81 Litografi Paleis Rijswijk Karya JC Rappard/ 115 Gbr. 82 Litografi ‘Bultenzorg’ atau ‘Sans Souci’ karya Van Imhoff 116 s ekarang menjadi Istana Bogor Gbr. 83 Litografi Istana Cipanas Lama 1880 karya JC Rappard 116 Gbr. 84 Litografi Loji Kebon/ Rumah Residen 1883-1889 117 kini Gedung Agung Istana Kepresidenan di Yogyakarta Gbr. 85 Fotografi Istana Kepresidenan Tampak Siring di 117 Gbr. 86 Postcard Gedung Markas PBB di New York 119 Gbr. 87 Grafis Vector Gedung Concord/ Gedung Asia Afrika 120 Gbr. 88 Soekarno Dalam Konferensi Asia Afrika 1955 di Gedung 121 Merdeka Bandung Gbr. 89 Fotografi gedung Gedung Societeit Concordia 121 Gbr. 90 Penyerahan Pengakuan Kemerdekaan Indonesia oleh 124 Pemerintah Belanda

xxii

Gbr. 91 Presiden Soeharto Meresmikan Monumen Pancasila Sakti 126 di Lubang Buaya Gbr. 92 Dokumentasi saat Presiden Soeharto Memberikan briefing 129 Terkait Adegan Diorama Nomor 47 Gbr. 93 Fotografi Rumah di Timor Timur 132 Gbr. 94 Gedung Kantor PT Dirgantara Indonesia 135 Gbr. 95 Hanggar Pesawat Tutuko N-250 136

xxiii

Bagian I

Pendahuluan

Kesiapterapan dalam memahami sejarah arsitektur melalui visual-estetik adalah upaya menyerap intisari keindonesiaan melalui objek visual dengan arsitektur sebagai latar kesejarahannya. Melalui karya lukisan indah berlatar nusantara1, diperoleh pengalaman estetik yang melahirkan kecintaan dan kebanggaan pada arsitektur. Metode tersebut sebagai strategi untuk mengatasi sejumlah kendala pembelajaran sejarah arsitektur yang selama ini tersaji linier/ kronik, sekaligus sebagai cara belajar yang menyenangkan.

Sejumlah pakar sejarah [arsitektur] memulai merekam arsitektur dari beberapa sudut pandang. Sejumlah pustaka (terbatas) telah berhasil menghimpun 30-an seri arsitektur daerah2 oleh Kementrian Pendidikan Kebudayaan. Juga, kontribusi dari Kementrian Pekerjaan Umum3 hingga sejumlah pustaka yang terbit kemudian4. Namun, ada yang masih luput dari pembahasan yaitu jejak warisan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, berupa esensi arsitektur yang tersirat dalam diorama di Museum Sejarah Kebangsaan di Tugu Nasional.

1 Sejumlah karya lukisan era Kolonial berlatar nusantara terhimpun melalui jagad maya. 2 Sejumlah arsitektur tradisional diterbitkan secara terbatas oleh Kemdikbud RI era Presiden Soeharto 3Pustaka “Kompendium Sejarah Arsitektur” dihimpun oleh Djauhari Sumintardja (ed).,1978). Kehadirannya sangat mencerahkan Arsitek. Sekitar 20 tahun kemudian, pustaka semi historigrafi diperkaya oleh kehadiran pustaka The Indonesian Heritage seri Architecture” (Tjahjono (ed.), 1998) dan Sejarah Kebudayaan Indonesia seri Arsitektur (Tjahjono (ed.), 2007) dan beberapa lainnya. 4 Paska tebitnya buku The Indonesian Heritage, sejumlah pustaka tentang arsitektur-pun terbit namun tidak menyajikan sejarah arsitektur Indonesia secara menyeluruh, akan tetapi berupa sepilihan arsitektur daerah, namun belum tersedia pustaka komperhensif per-wilayah Indonesia, sejak provinsi Indonesia masih berjumlah 27 hingga terjadinya daerah pemekaran menjadi 34 provinsi.

1

Ketika seluruh dunia menghimbau untuk menghormati demikian berharganya kehidupan melalui kebijakan pemerintah untuk berlakunya Work from Home (WFH)5 sejak 13 Maret 2020, kesempatan berselancar ke jagad maya mengamati sejumlah lukisan kuno, sebagai litografi tentang nusantara telah mengilhami penyusunan pustaka sebagai pengkayaan untuk memahami diorama yang saya kemukakan sebelumnya. Celah inilah yang saya unggulkan sebagai gerbang memasuki ranah sejarah arsitektur.

Berdasar sejumlah arsip sejarah pembuatan diorama6, menunjukkan bahwa minat besar Presiden Soekarno pada sejarah berlatar arsitektural. Perhatian itu diawali dengan semacam riset mendalam untuk diwujudkan secara tiga dimensional sebagai minatur. Jejak itu kini masih dapat disaksikan pada serangkaian kotak diorama bernarasi keindonesiaan di Museum Sejarah Kebangsaan Indonesia7.

Harus dikatakan bahwa, antara diorama yang tersaji dalam diorama di Museum Sejarah Kebangsaaan terdapat sejumlah perbedaan dengan konsep awal gagasan Soekarno. Dalam proses perwujudan diorama, konsepsi awal Soekarno telah mengalami perubahan ketika diteruskan oleh Presiden Soeharto. Artinya, diorama yang tersaji merupakan paduan dua penggagas negara. Bagaimanapun, diorama tersebut telah memerikan maknawi keindonesiaan. Narasi yang disandang oleh diorama tersebut merupakan pintu gerbang yang cukup efektif untuk mempelajari sejarah secara singkat, padat, dan maknawi.

5 Work from Home (WFH) secara nasional berlangsung sejak 13 Maret 2020 demi menekan laju peningkatan korban virus corana yang dinamai pandemic covid-19. 6 Terhimpun sejumlah arsip dan dokumentasi dari berbagai sumber sejak penulis melaksanakan studi doktor ilmu sejarah (2001-2004) hingga studi doktor ilmu arsitektur (2009-2013) di Universitas Indonesia 7 Museum Sejarah Kebangsaan berada di basemen Tugu Nasional dengan diorama sebagai media visual 2

Di dalam arsip kesejarahan tentang diorama yang dinamai draibooken 8, yang dibuat atas permintaan Presiden Soekarno (1964) dan Presiden Soeharto (1970) tersingkap sejumlah perubahan signifikan ketika diorama benar-benar terwujud sebagai pengisi museum di lantai bawah tanah di Tugu Nasional itu.

Kedua arsip draibooken tersebut berisi deskripsi, historigrafi dan penafsiran figur itu sekaligus sebagai storyline petunjuk adegan bagi seniman yang ditugasi. Keseluruhan arsip draibooken (1964) dan (1970) 9 menggambarkan benang merah pengungkapan kejayaaan Bangsa. Sekaligus, sebagai media Soekarno maupun Soeharto untuk membanggakan Indonesia.

Dalam penyusunan draibooken, sejumlah mahasiswa jurusan sejarah Universitas Indonesia ditugasi untuk riset bersama-sama dengan seniman ahli gambar figuratif dan pematung. Menyimak kolaborasi multidisiplin yang dilakukan pada masa itu, maka dapat dikatakan terjadinya situasi terstruktur dalam proses penyusunan diorama sebagai metode merepresentasi keindonesiaan dari sudut pandang negarawan.

8 Yuke Ardhiati, (2007). Makalah Seminar Penyempurnaan Diorama Monumen Nasional di Istana Bogor 22- 23 Maret 2007. Diuraikan arsip pembuatan diorama Draaiboeken Laporan Lengkap Lukisan Sedjarah Visuil Museum Sedjarah Tugu Nasional yang diterbitkan oleh Panitia Museum Sedjarah Tugu Nasional tanggal 1 Agustus 1964 berupa 40 adegan sejarah lengkap dengan diskripsi dan historiografi seri A, B1,B2 dan C. Kemudian pada tahun 1970 diterbitkan buku Usul Tambahan Adegan sebanyak 48 adegan seperti yang kini tersaji di Museum Sejarah saat ini, di luar 3 kotak diorama yang berada di tengah hall. 9 Saleh A Djamhari (alm), sebagai salah satu tim sejarawan penyusun draibooken menyampaikan bahwa arsip belum dapat dimunculkan pada masa itu karena merupakan sehimpunan mahasiswa jurusan Sejarah di Universitas Indonesia yang ditugasi. 3

Segagasan dengan Presiden Soekarno dalam upaya mengenali Bangsa Indonesia yang mengusung diorama sebagai upaya kebanggaan Negara. Kecenderungan pengungkapan kejayaaan bangsa telah dilakukan oleh Negarawan sebelumnya10 terutama di masa klasik melalui litografi11, lukisan tangan yang indah yang merepresentasi tokoh dan peristiwa berlatar pemandangan alam sekaligus arsitektur.

Terinspirasi dari beliau, sayapun akan mengangkat karya- karya arsitektur melalui pembacaan draibooken tahun 1964 sekaligus bertahun 1970, kemudian mendeskripsikan hal-hal kearsitekturan secara lebih detil melalui hasil selancar di jagad maya tentang karya lukisan klasik berlatar nusantara12.

Arsip kesejarahan yang ditampilkan beragam lukisan litografi berlatar arsitektur. Selain menumbuhkan rasa keindahan (rasa estetik), diharapkan mampu menggugah keinginan menggoreskan sketsa sebagai skill dasar arsitek yang beberapa dekade ini terlewatkan. Karena, Arsitek/ calon Arsitek lebih menyukai bantuan computer untuk penggambaran gambar teknis seusai memperoleh data secara lengkap berupa gambar denah, tampak, potongan, sebagai paras bangunan secara 3D13. Akan tetapi, hasil 3D computer tidak mampu menandingi keunggulan gambar litografi sebagai karya manual. Melalui momen estetik inilah, keasikan cara belajar sejarah arsitektur akan dialami.

10 Negara yang mengandalkan lukisan sebagai sumber antara lain di negara besar di Eropa 11 Litografi adalah karya seni berbasis medium batu limestone, sebagai teknik untuk melukis dokumentasi termasuk peta. Objek litografi dikenal sejak 1637 ketika bangsa Eropa mulai menduduki Batavia 12 Litografi suasana nusantara sebagai cara Kolonial untuk menggambarkan keunggulan nusantara 13 CAD sebagai cara penggambaran arsitektural sangat teknis serta presisi, namun kurang terasa estetik 4

Sejumlah arsip lukisan litografi berhasil terhimpun dari berbagai sumber, antara lain Tropenmuseum14, situs Djoko Luknanto, Jack la Motta, Luke Skywalker, situs Indonesia Zaman Doeloe, situs Kekunoan, Pinterest, WowShack, @Potretlawas, serta yang beredar anonim di jagad maya.

Sekalipun cukup sulit untuk menyandingkan kesinambungan antara diorama dengan lukisan litografi, namun upaya ini cukup menarik sebagai metode awal belajar sejarah arsitektur, karena adanya alur cerita/ storyline diorama. Setidaknya akan diperoleh asupan menyeluruh antara lain; (a) sejarah peristiwa terkait karya arsitektur sebagai latarnya, (b) suasana keaslian bumi nusantara, yang sulit ditemukan lagi pada saat ini,

Terkait poin (3) yaitu posisi geografis/ kedudukan karya arsitektur terkait bentuk arsitektural dan bahan bangunan, dan (4) menjadi entry poin untuk mempelajari hal-hal teknis arsitektur. Adapun pemahaman lanjutan; (i) Tata letak/ susunan unit-unit menurut fungsi dan hubungan antar unit, (ii) Denah/ tata-ruang terukur sebagai sistem pola tata-ruang dan fungsinya, (iii) Konstruksi/tektonika, (iv) Bentuk/ pola masing-masing unit serta gaya/ langgam struktur, konstruksi dan bahan bangunan, dekorasi / hiasan/ ornamen khas-nya.

Demi menyajikan cara pembelajaran sejarah arsitektur secara menyenangkan karena tampilan visual yang indah serta mengesankan. Pemahaman secara linier/ kronik akan menjadi bagian studi lanjutan. Dalam mensiasati kejenuhan metode ajar, beberapa upaya diterapkan melalui e-book, video/youtube tayangan.

14 Sejumlah litografi klasik disimpan di Museum Tropen yang kini dapat diakses di jagad maya 5

Termasuk tugas berupa scrapbook bertema Arsitektur Nusantara dan Arsitektur Era Kemerdekaan, dengan membuat sketsa, ringkasan, hingga maket model. Namun, masih dirasakan belum terasa greget-nya. Sehingga, upaya pencarian itu berlanjut pencarian metode belajar sejarah arsitektur dengan cara menyenangkan15. Untuk itu, pustaka ini disajikan sebagai langkah kecil kebaharuan metode belajar sejarah arsitektur. Kekurangan yang belum terjawab dalam pustaka ini dapat ditelelusur melalui pustaka sejarah arsitektur sebelumnya.

Sementara itu, untuk pembahasan Sejarah Arsitektur Dunia dilakukan melalui cara Napak Tilas Muhibah Presiden Soekarno ke mancanegara16, untuk memberikan gambaran kesejarahan [arsitektur] melalui cara pandang Negarawan. Rupa-rupanya, hal ini pulalah yang mendorong Presiden ingin memiliki sebuah monumen khas Indonesia yang kelak disebut Tugu Nasional.

Tercatat beberapa Kota dan Negara tujuan muhibah Soekarno, antara lain; (a) Kota Rangoon dengan Pagoda Shwe Dagon, (b) Washington DC dengan Monumen Washington, (c) Kota Cairo dengan Piramid Gize, (d) Kota New Delhi-Tugu Asoka dan Kutub Minar, (e) Kota Mekah, bangunan kabah dan Hajarul Aswad, (f) Kota Tiongkok dengan Tien An Men, (g) Kota Moskow dengan mausoleum pemimpin Lenin, (h) Kota Paris dengan menara Eifel, dan beberapa kota lainnya.

15 beberapa tahun terakhir ini, tugas mata kuliah sejarah arsitektur saya terapkan tugas membuat scrapbook arsitektur di Indonesia. Mahasiswa menyampaikan ekspresi pemahamannya melalui cara kekinian. 16 Dalam pidatonya tahun 1960, Presiden Soekarno menyebutkan sejumlah negara yang beliau kunjungi

6

II.Tinjauan Pustaka Sejarah Arsitektur

Idealnya, Pengungkapan sejarah dalam bidang arsitektur, selain mampu mengekspresikan kesejamanan ketika sosok- nya ‘hadir’ secara fisik di muka bumi, juga terlekat zeitgeist / jiwa jaman-nya. Dan, hal yang tidak boleh terlupakan adalah keberadaan arsip kesejarahan yang menyertakan penyebutan kapan, dimana, serta bagaimana sosok itu dibangun. Tepatnya, ada bukti tertulis berupa manuskrip atau prasasti.

Beberapa pustaka bertema sejarah arsitektur tidak semuanya merujuk metode di atas, terutama yang difokuskan pada arsitektur tradisional/vernakular, yang bahan utamanya dari material alam. Ketiadaan bukti tertulis inilah yang seringkali menjadi perdebatan antara sejarawan dan penulis sejarah arsitektur. Cara pandang sejarawan murni, mengandalkan akurasi/ otentisitas kesejarahan17, sementara itu pembahasan sejarah arsitektur bertujuan mendokumentasikan keilmuan arsitektur dari waktu ke waktu yang tidak dapat diperoleh dari sumber sejarah.

Sekitar 42 tahun lalu, terbit pustaka sejarah Kompendium Sejarah Arsitektur (Sumintardja,1978). Baru sekitar 20 tahun kemudian, keberadaannya diperkaya oleh kehadiran pustaka The Indonesian Heritage seri Architecture, (Tjahjono, 1998) dan Sejarah Kebudayaan Indonesia seri Arsitektur (Tjahjono, 2007).

17 peran otensitas sejarah berdasar disiplin ilmu sejarah 7

Lalu, sejumlah pustaka lepas ikut memperkaya, namun tidak menyajikan sejarah arsitektur Indonesia secara menyeluruh. Kelangkaan pustaka seri sejarah arsitektur Indonesia ini menandakan adanya stagnansi terutama penulisan arsitektur tradisional yang secara komperhensif belum benar-benar tersedia. Bahkan sejak provinsi Indonesia masih berjumlah 27, hingga terjadinya daerah pemekaran menjadi 34 provinsi.

Dalam menyoroti, pustaka-pustaka yang telah terbit sebelumnya, kategorikan oleh Ardhiati menjadi enam kategori, yaitu; (a) Semi historiografi, (b) Arsitektur Tradisional Indonesia, (c) Arsitektur Percandian, (d) Arsitektur Indonesia Era Kolonial, (e) Arsitektur Modern Indonesia, (f) Arsitektur Kawasan dan Perkotaan.

Kategori Semi Historiografi ini direpresentasi oleh 3 (tiga) pustaka yang merintis ke arah historiografi namun pembahasannya berdasar prioritas yaitu;

(i) Sumintardja, Djauhari.(1978). Kompendium Sejarah Arsitektur. Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, Bandung. (ii) Tjahjono, Gunawan (ed). (1998). Indonesian Heritage Seri Architecture. (iii) Tjahjono Gunawan (ed). (2007). Sejarah Kebudayaan Indonesia Seri Arsitektur.

Pustaka serial Arsitektur Tradisional Indonesia, terhimpun sekitar 39 (tiga puluh sembilan) buku. Secara kuantita buku himpunan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan era 1980-an cukup memadai, meskipun substansinya belum dapat mewakili perkembangan dari ke-27 provinsi menjadi 34 provinsi. 8

Hal yang disayangkan dalam serial ini ada pada subtansi ke-arsitektur-an yang masih jauh dari harapan, terutama ketiadaan gambar denah denah, tampak, potongan serta tata letaknya di dalam sebuah entitas, ataupun tata-ruang secara terukur/skalatis masing-masing unit serta penamaan strukturnya secara lokal. Informasi arsitektural baru tersaji sebagai pelengkap saja.

Serial Pustaka Arsitektur Daerah yang diinsisasi oleh Kemdikbud antara lain;

(i) Abu, Rifai (ed). 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (ii) Abu, Rifai (ed). 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Jambi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (iii)Abu, Rifai (ed). 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (iv) Darwis, Raf & Abu, Rifai (ed.). 1986. Arsitektur Tradisional Tengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (v) Darwis, Raf & Abu, Rifai (ed.). 1986. Arsitektur Tradisional Kalimantan Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (vi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (vii) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Bali. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (viii) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Tamansari. Depdikbud.

9

(ix) Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya. 2002. Arsitektur Tradisional: Betawi- Sumbawa-Palembang-Minahasa-Dani. (x) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provnsi Kepulauan Bangka Belitung. 2013. Melayu di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (xi) Samingoen, Sampoerno (ed). 1993. Album Arsitektur Tradisional Sumatera Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (xii) Soimun & Pannangan, Margariche (ed.) 1993. Arsitektur Tradisional Tana Toraja. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (xiii) Suhardi dan Djoko M.R. 1999. Provinsi Bali dan Budayanya. Depdikbud (xiv) Mardanas, Izarwisma & Abu Rifai (ed.). 1986. Arsitektur Tradisional Sulawesi Tenggara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (xv) Muanas, Dasum & Abu, Rifai (ed). 1998. Arsitektur Tradisional Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (xvi) Pudja, Arinton & Abu, Rifai. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Irian Jaya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (xvii) Sedyawati, Edi (ed). 1995. Konsep Tata Ruang Suku Bangsa Dayak Kenyah di Kalimantan Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (xviii) Sitanggang, Hilderia & Abu, Rifai. 1997. Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (xix) Subagijo, Wisnu & Lindyastuti. 1999. Mengenal Permukiman Masyarakat Batak Karo di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 10

(xx) Sutjiatiningsih, Sri. (ed.). Kota Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (xxi) Syamsidar. 1991. Arsitektur Tradisional Sumatera Barat. Depdikbud . (xxii) Syamsidar; Dakung, Sugiarto; Abu, Rifai (ed.). 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (xxiii) Syafwandi. 1993. Arsitektur Tradisional Sumatera Barat. Depdikbud. (xxiv) Wibowo; Murniatno, Gatut; Sukirman. 1998. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Selain seri yang diterbitkan diatas, Kemdikbud juga berupaya menghimpun pustaka yang dinamai ATLAS, namun penerbitannya seperti terhenti setelah satu buku bertajuk Atlas Arsitektur Tradisional Seri Indonesia Timur yang ditulis oleh Yuke Ardhiati, Bambang Eryudhawan, dan Agus Widiatmoko di tahun 2014.

Pustaka Bertema Arsitektur Nusantara bermunculan antara lain;

(i) Adiyanto, Johanes (ed). 2004. Naskah Jawa Arsitektur Jawa, Wastu Lanas Grafika. (ii) Adiyanto, Johanes (ed). 2004. Dari Lamin dan Bilik Pengakuan Dosa. Wastu Lanas Grafika. (iii) Davison, Julian & Granquist, Bruce.1999. , Periplus. (iv) Dwijendra, Ngakan. 2010. Arsitektur Tradisional Bali di Ranah Publik, Udayana Press.

11

(v) IAI Kepri. Rekam Jejak Arsitektur Melayu: Johor, Penyengat, Daik, Dabo Singkep, Sambas, Mempawah, Serdang Bedagai, Batam. (vi) Jurusan Arsitektur FTUI. 2009. Studi Ekskursi: Sumba, Fakultas Teknik Universitas Indonesia. (vii) Joseph, Lambert. 1998. Arsitektur Tradisional, Maluku Tengah. (viii) Faturrachman, Agus. 1989. Konsepsi Arsitektur Lumbung Sasak (ix) Harun, Ismet; Kartakusumah, Hisma; Ruchiat, Rachmat; Soediarso, Umar. DKI Jakarta. 1991. Rumah Tradisional Betawi. Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. (x) Prijotomo, Josep & Widyarta, Nanda. 2009. Ruang di Arsitektur Jawa. Sebuah Wacana.Wastu Lanas Grafika, Surabaya. (xi) Salura, Purnama. 2007. Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda. Cipta Sastra Salura (xii) Saraswati, Titien. 2013. Bangunan Pengering Tembakau di Jawa, Lanas Wastu Grafika (xiii) Tjahjono, Gunawan 1983. Disertation. Cosmos, Center and Duality in Javanesse Architectural Tradition: The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kuto Gede and Sorroundings. University of California at Berkeley. (xiv) Kosasih, Varani. 2009. Kampung Nage. Sebuah Sketsa Arsitektural. Arsitektur Hijau.. (xv) Antar, Yori (ed.). (2013). Pesan dari Wairebo: Kelahiran Kembali Arsitektur Nusantara. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. (xvi) Ardhiati, Yuke. (2017). Studio Living pada Rumah Kaki Seribu di Papua Barat, Wastu Adiciita, Jakarta

12

Terhimpun sekitar 7 (tujuh) buku, namun substansinya belum mencerminkan kekayaan candi di seluruh Indonesia karena yang disajikan berkisar pada candi-candi terkemuka di Jawa. Subtansi kearsitekturan belum informatif terutama ketiadaan gambar denah, tampak, potongan serta tata letaknya di dalam entitasnya.

P ustaka Arsitektur Modern

Ketika sejumlah pustaka terhimpun, rupanya sudah muncul pula penulisan tentang Arsitektur Modern Indonesia sejak tahun 1989, tercatat 5 (enam) buku, namun pustaka arsitektur modern ini lebih berorientasi pemikiran dan ketokohan seseorang dalam perkembangan arsitektur di Indonesia di awal kemerdekaan, antara lain; (i) Salam, Solichin. 1989. Tugu Nasional dan Soedarsono. Kuning Mas, Jakarta. (ii) Budihardjo, Eko. 1997. Arsitektur sebagai Warisan Budaya. Penerbit Djambatan, Jakarta. (iii) Ardhiati, Yuke. 2004. Bung Karno Sang Arsitek. Komunitas Bambu, Depok. (iv) Ardhiati,Yuke. 2013. Bung Karno dalam Panggung Indonesia. Wastu Adicitta, Jakarta (v) Sopandi, Setiadi. 2017. Friedrich Silaban. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

13

Sejarah Arsitektur Kawasan Dan Perkotaan

Terhimpun yang kontennya cukup membantu memahami kawasan dan perkotaan, al: (i) Dana, Djefry. 1990. Ciri Perancangan Kota Bandung. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. (ii) Danasasmita, Saleh. 1983. Sejarah Bogor Bagian satu. Guna Kawi Gapura Jagat. (iii) Departemen PU. 2006. Sekilas Kawasan Wisata Pengging: Wisata Spiritual, Lumbung Padi & Konservasi Air. Pemda Boyolali. (iv) Antariksa, Arsitektur dalam Dinamika Ruang, Bentuk dan Budaya. 2018.Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta

Berdasar pustaka yang berhasil terhimpun, belum seluruhnya mampu menjawab kebutuhan historiografi sejarah arsitektur Indonesia. Idealnya ke-enam kategori pustaka itu saling beririsan, serta mendukung pemahaman Arsitek/ calon Arsitek.

Dalam buku Kompendium Sejarah Arsitektur, 1978 menampilkan sejarah arsitektur Indonesia melalui lima pembahasan antara lain ; (a) Rumah-Rumah Tradisional, (b) Arsitektur dari masa Kebudayaan Hindu, (c) Arsitektur dari Masa Kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, (d) Arsitektur dari masa Penjajahan Barat, (e) Perkembangan Arsitektur di masa 4 Windu Merdeka. Informasi yang disampaikan oleh buku ini dikemas padat dengan beberapa gambar-gambar arsitektural deserta foto dokumentasi dalam bentuk hitam- putih sebagai percontohan dari beberapa lokasi namun melalui pustaka ini dapat membuka khasanah kearsiteturan di Indonesia. 14

The Indonesian Heritage seri Architecture, 1999 ditampilkan dalam pustaka bergambar dua edisi Inggris dan Indonesia. Buku ini menampilkan wajah arsitektur Indonesia sebagai buah pertemuan antara bangsa Austronesia-Indonesia disajikan dalam 5 bagian utama yaitu: (a) Traditional Architecture, (b) Indonesian Classical Heritage, (c) Cities, Mosques and , (d) Architecture of the 17th to 19th dan, (e) and Identity.

Dalam Traditional Architecture, dibahas keragaman arsitektur tradisional yang menampilkan konstruksi pondasi, konstruksi atap, teknik konstruksi serta ritus pendirian rumah-rumah tradisional direpresentasikan melalui rumah di Toraja, Rumah Batak, , Rumah Panjang di Mentawai, Rumah dan Budaya Megalitik di Nias, Rumah Panjang di Kalimantan, Rumah Jawa, Rumah Bali, Mbatangu di Sumba, Rumah Timor, dan Rumah Dani di Papua.

Pembahasan Indonesian Classial Heritage, diuraikan pengertian arsitektur sebagai; (a) Tempat Tinggal Dewa: Arsitektur dan Kosmologi, (b) Sumber Awal Arsitektur Megalitik Indonesia, (c) Metode Membangun Gedung dengan Batu, (d) Perspektif Arsitektur Candi di Jawa. Dilanjutkan pada (e) Ornamen Candi Klasik di Jawa, (f) Arsitektur Hindu Arsitektur di Jawa Tengah, (g) Candi Borobudur, (h) Arsitektur Budha di Jawa Tengah. Dilanjutkan, (i) Arsitektur Candi Batu di Jawa Timur, (j) Arsitektur Candi Batu Bata di Majapahit, (k) Arsitektur dalam prasasati di Jawa Kuno, (l) Teras Candi, (m) Artificial pada Gua dan Candi, (n) Konservasi dan Rekonstruksi.

15

Dalam bagian Cities, Mosques and Palaces diuraikan; (a) Kejadian dari Tradisi Urban, (b) Arsitektur Masa Islam Awal, (c) Awal Tempat Ibadah Muslim, (d) Keraton dan Kota, (e) Masjid sebagai Ruang Sakral, (f) Masjid di Wilayah Indonesia, Tradisi dan Eklektisisme, (g) Taman sebagai Surga di Bumi, (h) Nisan Muslim dan Pemakaman (i) Kota-Kota di Pesisir. Pada pembahasan Architecture of the 17th to 19th Centuries diuraikan, (a) Pembentukan Kota Abad ke-19 di Jawa, (b) Batavia sebagai Kota Ideal, (c) Bangunan Negara di Abad ke-18, (d) Town-Houses Belanda sebuah perjumpaan dengan Cina. Dilanjutkan (e) Pengenalan Jenis Gedung Baru.

Dalam pembahasan Modern Architecture and dibahas (a) Kehadiran Gaya Indies, (b) Karya Arsitek Belanda di Hindia Belanda, (c) Taman Kota dan Bungalows, (d) Gaya Arsitektur Modern dan International Style, (e) Karya Arsitektur di Awal Kemerdekaan, (f) Karya Arsitektur Kota Modern di Indonesia, (g) Regionalisme dan Identitas dalam Arsitektur Kontemporer, (h) Menuju Kedewasaan Arsitektur Indonesia.

Di dalam pustaka Sejarah Kebudayaan Indonesia – Seri Arsitektur (Kemdikdub, 2007) terbit untuk melengkapi kekosongan sebelumnya dengan enam bagian pembahasan; (1) Pengantar Sejarah Arsitektur, (2) Bermukim di Nusantara: Arsitektur Kehidupan Sehari-Hari, (3) Perjumpaan dengan Budaya India dan Cina, (4) Perjumpaan dengan Budaya Islam, (5) Perjumpaan dengan Budaya Eropa, (6) Membangun Watak Bangsa.

16

Sejarah Arsitektur digambarkan mulai cara bermukim di Nusantara dengan pengenalan “Budaya” Austronesia era prasejarah; (a) Permulaan Bermukim: Penadah Angin, (b) Menghuni di Pohon, (c) Budaya megalit dan kosmologi. Mengulik klasifikasi dan kosmologi, makna rumah dan cara membangun hingga perkembangannya.

Berikutnya membahas perjumpaan dengan budaya India dan Cina, terkait komunikasi budaya dengan India, dan arsitektur diaspora Cina serta hibriditas penghunian. Selanjutnya perjumpaan dengan budaya Islam, dibahas tipologi bangunan ibadah, makam dan kota.

Pada pembahasan perjumpaan dengan budaya Eropa dibahas keberadaan benteng-benteng, rumah, istana, serta bangunan peribadatan: Gereja. Pembahasan tentang Perkotaan (Urbanisme) dan Gemente/ Stadsemente membahas Rencana Pengembangan Kota (Uitbreidingsplan), Balaikota dan Gedung-Gedung Institusi serta Fasilitas-Fasilitas Kota dan Pertamanan, Perumahan Volkshuisvesting, Kleinwoningbouw, Perbaikan Kampung (Kampong Verbeetering) dan Infrastruktur dan Industri. Di akhir pembahasan, tema Membangun Watak Bangsa diprakarsai oleh Ir. Soekarno antara lain pembangunan monumen dan tata kota serta pengembangan kawasan institusi dan kota satelit di Jakarta.

Bila disandingkan, pustaka yang disajikan ini sedikit berbeda dalam menampilkan alur, yaitu berselas dengan storyline diorama Museum Sejarah Kebangsaan. Kehadirannya sekaligus menjadi terobosan kecil untuk belajar sejarah arsitektur secara menyenangkan.

17

III. Memahami Diorama Di Museum Sejarah Kebangsaan

Konsepsi Hegelian

Ke 48 kotak diorama18 di Museum Sejarah Kebangsaan yang ditampilkan periodikal di empat sisi dinding museum menurut Leirissa, masing–masing terpilih oleh Presiden Soekarno untuk merepresentasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia19. Metode yang dilakukan oleh Soekarno tersebut dinilai merujuki semangat filosofis Hegelian20 yang memaknai perjalanan bangsa sejak masa purba menuju ke satu tujuan akhir tertentu yaitu terbentuknya NKRI.

Keselarasan konsep Hegelian atas warisan Presiden Soekarno ditegaskan oleh pernyataannya terkait dasar pembangunan Tugu Nasional dan seluruh isinya termasuk diorama, yaitu “untuk memberi kepada bangsa Indonesia secara visual material (visueel materieel) satu tanda kebesaran, tanda kebesaran kita sebagai bangsa, tanda kebesaran kita sebagai negara” 21.

Agar siapapun yang berkunjung baik orang Indonesia maupun asing setelah keluar akan berkata “Yes, the Indonesian people are great people. Yes, the Indonesian people are becoming a great people again”.

18 Diorama menurut kamus bahasa Indonesia Kontemporer (Salim, hlm 357): pemandangan dalam ukuran kecil yang dibuat seperti aslinya, dilengkapi patung-patung, dan dipadukan dengan warna-warna alami. 19Prof. RZ Leirissa (2007) memimpin 5 (lima) Sejarawan dalam Evaluasi Sisi Sejarah Diorama Monas, yaitu Prof.Dr. Suzanto Zuhdi, Dr. Saleh A Djamhari, Dra.MPM Lili Manus, dan Dr. Ir Yuke Ardhiati, M.T 20 Hasil Evaluasi Diorama Museum Sejarah Nasional di Jakarta, 22 Februari 2007 21 Soekarno, Pidato Pelantikan Panitia Sejarah, Jakarta, 3 Januari 1964

18

Sekalipun akhirnya terdapat tiga kotak merupakan diorama bertema KTT Non Blok, Tetuko dan Masuknya Timor Timur yang ditambahkan di era Presiden Soeharto, namun maknawi diorama tidak berubah. Diorama tersebut memiliki peranan sebagai media visual tiga dimensional untuk mengantar pemirsanya ke nuansa kesejarahan perjuangan pada masa lalu. Sajiannya mudah dicerna namun berkesan mendalam.

Proses Pembuatan Diorama

Selaras dengan pidato Presiden Soekarno terungkap gagasan ’diorama’ di Museum Sejarah, ditindaklanjuti dengan Pembentukan Panitia yang bekerja satu tahun sejak 7 September 1963. Paralel dengan pembentukan panitia tersebut, Presiden juga menugaskan beberapa seniman Indonesia (tidak termasuk pematung Edhie Soenarso) untuk studi banding ke luar negeri guna mempelajari pembuatan diorama. Sekembali ke tanah air, Presiden meminta tiga buah sampel diorama yang memiliki skenario (1) Sumpah Pemuda, (2) Kerawang Bekasi dan (3) Pemberontakan 1926.

Bung Karno merasa kecewa atas hasil sampel tersebut, karena dinilai kurang mampu menggambarkan adegan sejarah seperti yang dimaksudkannya22. Eksperimen adegan gagal dikarenakan keterbatasan materi diorama, yang seharusnya dibuat secara handmade sesuai karakter manusia Indonesia, namun ditampilkan melalui model boneka buatan Jepang. Bung Karno akhirnya menemui seniman yang dianggap tepat untuk menuangkan gagasan diorama tersebut.

22 Pelaksana Pembina Tugu Nasional, Tugu Nasional.Laporan Pembangunan 1961-1978, Jakarta, 1997, Cetakan kedua, hlm. 43 19

Dipanggilah seorang seniman pematung bernama Edhie Soenarso23. Petikan dialog antara keduanya:

”Edhie, Kau bisa buat diorama?” tanya Bung Karno.”Bung, bukankah saya tidak diajak studi banding melihat banding melihat diorama ke luar negeri? jawab Edhie, karena ia tidak termasuk yang ditugaskan.”Kowe punya Nasionalisme Bernegara atau tidak? ”Ya, saya akan coba, Bung, Jawab Edhie “Tidak ada coba-coba! Tantang Bung Karno.

Dialog terakhir itulah pembuka ‘babakan baru’ dunia kesenirupaan Indonesia, termasuk merekam dunia kearsitekturannya sebagai latar peristiwa bersejarah. Bersama seniman Saptoto, Boediani, dan Sutrisno, Edhie Soenarso mengawali pembuatan sampel diorama dengan pembuatan patung-patung mini yang menggambarkan 3 (tiga) buah adegan (terpasang pada kotak diorama sebelah Timur). Ide tersebut dapat diterima oleh kelompok Sejarawan yang terlibat24.

Kemudian tim seniman diberi draaiboeken Laporan Lengkap, Lukisan Sedjarah Visuil Museum Sedjarah Tugu Nasional yang diterbitkan Panitia Museum Sedjarah Tugu Nasional tanggal 1 Agustus 196425, berupa 40 adegan sejarah lengkap dengan diskripsi dan historiografi seri A, B1, B2 dan C.

Bahkan di dalam pidato tersebut, imaji Bung Karno26 terkait dioram telah diungkapkannya:

23 Edhi Soenarso, pematung dan pembuat diorama, karena karya-karyanya yang luar biasa dianggap berjasa besar terhadap bangsa dan negara dalam meningkatkan, memajukan, dan membina kebudayaan nasional. Pada 12 Agustus 2003 dianugrahi Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma 24 Wawancara dengan Edhie Soenarso, pematung dan seniman diorama, Yogyakarta, 15 Februari 2007 25Panitia Museum Sedjarah Tugu Nasional. Laporan Lengkap, Lukisan Sedjarah Visuil Museum Sedjarah Tugu Nasional, Djakarta, 1964 26Kutipan Pidato Soekarno, 16 Agustus 1964 terkait ‘diorama’ di dalam museum sedjarah. 20

…Kemudian di bawah tugu itu akan diadakan satu museum bersedjarah, jang di dalam museum itu, Saudara-Saudara dengan melihat sadja, bisa melihat tingkatan-tingkatan, fase-fase daripada sedjarah Indonesia, masa kebesaran di dalam djaman Bahari, masa kegelapan di dalam djamanya imperialismo Belanda, masa kebangkitan kembali kepada kebesaran. Itu semua akan Saudara-Saudara bisa lihat di dalam museum sedjarah itu…

Ke-40 gagasan Bung Karno tersaji dalam draibooken 1964, kemudian terjadi penambahan/ pengurangan di tahun 1970 selaras dengan diterbitkannya buku Usul Tambahan Adegan sebanyak 48 adegan seperti yang kini tersaji di Museum Sejarah, di luar 3 kotak diorama yang berada di tengah hall.

Kronika Diorama Era Soekarno

Dalam draibooken (1964) memuat konsep 40 adegan saja, diharapkan terdapat 9 buah kotak persediaan yang dapat diisi pada masa selanjutnya. Ke-40 narasi berdasar keinginan Soekarno, atara lain berupa: Delapan adegan pertama, (i) Kebesaran Crivijaya, (ii) Tjandi Barabudur Sedang di bangun, (iii) Prabu Siliwangi Keradjaan, (iv) Majapahit, (v) Faletehan, (vi) Dipati Unus, (vii) Baabullah, (viii) Ali Mughayat Sjah.

Sementara itu Bagian III Hasil Penelitian B1 yaitu Djaman Amanat Penderitaan Rakjat, antara lain (i) Banda, (ii) Sultan Agung Menjerang Betawi, (iii) Iskandar Muda, (iv) Pahlawan Hasanudin, (v) Sultan Ageng Tirtajasa, (vi) Untung Surapati, (vii) Wuku, (viii) Pahlawan Pattimura (ix) Pahlawan Dipanegara.

21

Adapun Bagian III Hasil Penelitian B2 yaitu Djaman Amanat Penderitaan Rakjat, antara lain; (i) Imam Bonjol, (ii) Tanam Paksa, (iii) Djagaraga, (iv) Perang Bandjar, (v) Perang Atjeh, (vi) Perang Sulawesi Selatan, (vii) Si Singamangaradja. Dan pada bagian IV, hasil Penelitian C yaitu Menudju Sosialisme Indonesia, berisi; (i) Ibu Kartini, (ii) Kebangkitan Nasional, (ii) Pemberontakan 1926, (iv) Sumpah Pemuda, (v) Bung Karno Di Depan Pengadilan Kolonial, (vi)Kolonialisme Belanda Diganti Dengan Fascisme Djepang, (vii) Pemberontakan Peta di Blitar, (viii) Lahirnya Pancasila, (ix) Proklamasi, (x) Lahirnya Angkatan Perang, (xi) Hari Pahlawan, (xii) Pengakuan Kedaulatan, (xiii) Konferensi Asia Afrika, (xiv) Dekrit Presiden, (xv) Trikora dan /atau Kembalinya Irian Barat, (xvi) Ganefo

Jejak Arsitektural Diorama27

Akhirnya, adegan diorama yang diwujudkan sebagai pengisi Museum Sejarah Kebangsaan dilaksanakan merujuk pada SK Tugu Monas B|No.06/Kpts/69, di lantai basemen seluas 750 m2 itu. Adegan diorama dimulai dari (a) Masa Kejayaan Nusantara, (b) Masa Perjuangan Melawan Penjajahan, (c) Masa Kebangkitan Nasional hingga Proklamasi Kemerdekaan, (d) Masa Mempertahankan dan Mengisi Kemerdekaan.

Ke -51 adegan tersebut memuat petikan peristiwa pada episode tertentu. Sajian peristiwa ditampilkan berbagai teknik, perpaduan antara seni dan teknologi.

Terdapat 8 (delapan) hall, dimulai dari sisi A dan B bertema Masa Kejayaan Nusantara dengan adegan: (1) Masyarakat Indonesia Purba (3.000 - 2.000 SM)

27 https://monas.jakarta.go.id/diorama/ 22

(2) Bandar Sriwijaya (Abad ke-7 s/d ke-13) (3) Candi Borobudur (824) (4) Bendungan Waringin Sapta (Abad ke-11) (5) Candi Jawi Perpadan Sivaisme-Buddhisme (1292) (6) Sumpah Palapa (1331) (7) Armada Perang Majapahit (Abad ke-14) (8) Utusan Tiongkok ke Majapahit (1405). (9) Peranan Pesantren dalam Penyatuan Bangsa (Abad-14) (10) Pertempuran Pembentukan Jayakarta (22 Juni 1527) (11) Armada Dagang Bugis (Abad ke-15) (12) Perang Makassar

Hall D dan C bertema Masa Perjuangan Melawan Penjajahan, antaraa lain berjudul;

(13) Perlawanan Pattimura (1817) (14) Perang Diponegoro (1825 – 1830) (15) Perang Imam Bonjol (1821 - 1837) (16) Perang Banjar (1859 – 1905) (17) Perang Aceh (1873 - 1904) (18) Perlawanan Sisingamangaraja (1877 - 1907) (19) Pertempuran Jagaraga (1848 - 1849) (20) Tanam Paksa (1830 - 1870) (21) Kegiatan Gereja Protestan dalam Penyatuan Bangsa (22) Kartini (1879 - 1904) (23) Kebangkitan Nasional (20 Mei 1908) (24) Taman Siswa (3 Juli 1922)

Hall D dan E bertema Masa Kebangkitan Nasional hingga Proklamasi Kemerdekaan, berjudul: (25) Muhammadiyah (18 November 1912) (26) Perhimpunan Indonesia (1922) (27) STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) (1898-1926) 23

(28) Digul (1927) (29) Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) (30) Romusha (1942 - 1945) (31) Pemberontakan Tentara PETA di Blitar (14 Februari 1945) (32) Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945) (33) Pengesahan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945) (34) Hari Lahir ABRI (5 Oktober 1945) (35) Pertempuran Surabaya (10 November 1945) (36) Kegiatan Gereja Katolik Roma dalam Proses Penyatuan Bangsa

Hall F dan H, bertema Masa Mempertahankan dan Mengisi Kemerdekaan, dengan judul adegan; (37) Gerilya Mempertahankan Kemerdekaan (1945- 1949) (38) Jenderal Sudirman (1948) (39) Pengakuan Kedaulatan (27 Desember 1949) (40) Kembali ke Negara Kesatuan (1950) (41) Indonesia Menjadi Anggota PBB (28 September 1950) (42) Konferensi Asia Afrika (18 - 24 April 1955) (43) Pemilihan Umum Pertama (1955) (44) Pembebasan Irian Jaya (1 Mei 1963) (45) Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober 1965) (46) Aksi-aksi Tri Tuntutan Rakyat (1966) (47) Surat Perintah Sebelas Maret (1966) (48) Penentuan Pendapat Rakyat Irian Jaya (1969) Di tambahkan di ruang tengah terdapat diorama bertajuk; (49) Integrasi Timor Timur (1976) (50) Konferensi Tingkat Tinggi ke-10 Negara-negara Non- blok (1992) (51) Alih Teknologi (1995) 24

25

IV . Arsitektur Nusantara dalam Diorama dan Litografi

Bagian buku ini adalah upaya menafsir arsitektur kelampauan Indonesia melalui ke-51 diorama di Museum Sejarah Kebangsaan. Cara pembacaannya adalah dengan cara mencermati adanya idea ruang/ spatial serta bangunan arsitektur yang melatari peristiwa kesejarahan yang ditampilkan dalam bentuk miniatur tiga dimensi dalam kotak diorama berukuran sekitar 2 m x1.5 m. Ketika setting adegan sudah diposisikan di kotak diorama, maka peran sang pelukis naturalis gaya mooi indie memberikan suasana dengan panorama sebagai latarnya. Melalui pembacaan ini, benak kita akan dipandu untuk ber-asosiasi pada karya arsitektur yang tercitra, untuk kemudian menelusurinya ke dalam jejak gambar litografi karya beberapa seniman di jamannya, dan beberapa sumber lain ketika gambar litografi tidak/ belum tersedia.

Ketika fotografi masih langka, gambar litografi merupakan sumber primer yang mampu menyampaikan potret pada masa tersebut. Kelak, seusai buku Sejarah Arsitektur ini dapat ditampilkan melalui pendekatan gambar litografi dan diorama, akan dapat dilengkapi dengan gambar teknik arsitektur yang akan melengkapi pengetahuan tentang struktur bangunan dan tektonikanya sekaligus detail ornamennya.

| hal 26

IV. 1. Membaca Diorama Sisi A dan B

1. Adegan Masyarakat Indonesia Purba (3.000 - 2.000 SM)

Teks Asli Diorama no.1: Suasana kehidupannya dalam masyarakat teratur dengan peninggalan budaya yang tersebar di seluruh Indonesia, antara lain ditemukan di Pasemah dan Besuki yang berkembang antara 2.000 SM - 500 SM. Hasil budaya Megalithikum yang terpenting adalah alat serpih, menhir, dolmen, sarkofagus, kubur batu, punden berundak-undak, serta arca. Secara visual arsitektural, gambaran kehidupan masyarakat Megalithikum belum menunjukkan sebagai hunian yang permanen. (sumber: https:// monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 27

Hunian di Kelampauan Indonesia

Gbr.1. Situs hunian di gua Song Keplek di akhir masa Pleistosen-Holesen. Situs prasejarah ini terletak 300 meter di atas permukaan laut di pegunungan kapur Gunung Sewu sekitar 5 km dari desa Punung Kabupaten Pacitan Jawa Timur. (sumber: Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid I, 2012)

| hal 28

2.Adegan Bandar Sriwijaya (Abad ke-7 s/d ke-13)

Teks Asli Diorama no.2 Terletak pada jalur pelayaran antaran Indonesia, Tiongkok, dan India, berperan penting dalam kegiatan perdagangan sehingga menguntungkan bagi Kerajaan Sriwijaya. Kapal-kapal asing banyak berlabuh dan pendeta-pendeta Budha dari Tiongkok sering singgah dan menetap untuk waktu yang lama mempelajari agama Budha. Bandar Sriwijaya akhirnya berkembang menjadi pusat niaga dan budaya. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 29

Arsitektur Tinggalan Sriwijaya

Daerah bekas kerajaan Sriwijaya ditemukan di daerah sungai Musi yang berlokasi di antara Bukit Seguntang dan Sabokingking Sumatera Selatan, tepatnya di desa Karanganyar. Kini, lokasi itu menjadi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Dari berbagai sumber, pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya diperkiraan dipercayai di daerah Muaro Jambi dan candi Muara Takus di Riau.

Gbr. 2 Situs Warisan Kerajaan Sriwijaya di Muara Takus di Kabupaten Rokan Hulu, Riau (sumber: wikipedia.com)

Gbr.3 Situasi awal Candi Muara Takus di Kab. Kampar Riau (sumber: https://pinterst.com)

| hal 30

G br.4 Arsitektur di pinggir sungai Musi di Palembang (sumber: https://pinterest.com)

Melalui litografi, tersingkap kehidupan nelayan dan arsitektur tradisional di pinggir sungai Musi. Telah dikenal atap berbentuk limasan yang menyerupai bentuk atap (di Jawa tengah). Tergambarkan, rumah panggung khas dari tepian sungai, dengan sebuah perahu kecil dan peralatan nelayan yang tertambat. Terlihat, sebuah tangga kayu untuk mencapai rumah. Untuk mengenal arsitektur di wilayah Sumatera Selatan, ditampilkan beberapa gambar litografi yang menunjukkan keberadaan Karaton Palembang sekitar 1881.

| hal 31

Gbr. 5 Benteng Kraton Palembang 1881 (sumber: https://www.flickr.com/photo)

| hal 32

Gbr. 6 Litografi Kraton Palembang di Kuto Gawang (sumber: beritapagi.co.id )

Sejumlah litografi yang ditemukan menggambarkan kebesaran kasultanan Palembang yang memiliki kehidupan maritim serta kehadiran benteng pertahanan. Dan, melalui foto dokumentasi tersingkap bangunan khas kolonial bernuansa Indies dengan atap semacam Limasan pada Keraton Kasultanan Palembang yang dicirikan pada konsep benteng/ pagar tembok.

| hal 33

Gbr.7 Arsitektur Kedaton Sultan Palembang (sumber: https://www.flickr.com/photo)

Gbr. 8 Benteng Kuto Besak Karaton Palembang 1797 (sumber: https://www.nativeindonesia.com/benteng-kuto-besak/)

| hal 34

3. Adegan Candi Borobudur (824)

Teks Asli Diorama no.3

Borobudur didirikan oleh raja Samaratungga dari keluarga Syailendra dengan bantuan sumbangan para penganut agama Buddha secara gotong royong. Keseluruhan bangunan berbentuk stupa raksasa dan mencerminkan alam semesta. Dalam pembangunan candi, hampir 200.000 kaki kubik batu dipergunakan. Sejumlah 504 arca Budha dan 1.555 stupa besar dan kecil melengkapi monumen Buddha yang megah ini.

(sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 35

Jejak Arsitektur Candi Borobudur

Gbr. 9 Candi Borobudur digambar oleh JC Rappard tahun (1883-1889) (sumber: htttps://luk.staff.ugm.ac.id/Borobudur/01.html)

Gbr. 10 Bodobudur saat ditemukan oleh Raffles (sumber: History of )

| hal 36

Gbr. 11 Sketsa karya Daoed Joesoef di saat Rekonstrusi Borobudur (sumber: Repro "Borobudur, Warisan Umat Manusia.")

Gbr. 12 Borobudur - Nature in Meditation karya lukisan Srihadi Soedarsono, 2000

| hal 37

Gbr. 13 Gerbang Candi Borobudur 1850 (Sumber: https://www.pinterest.com.au/)

| hal 38

4. Adegan Bendungan Waringin Sapta (Abad ke-11)

Teks Asli Diorama no.4: Setelah Raja Airlangga berhasil menyatukan wilayah kekuasaannya, kemakmuran rakyat ditingkatkan. Kali Brantas dibendung dekat Kelagen untuk irigasi serta menanggulangi banjir. Rakyat setempat ditunjuk untuk memelihara bendungan. Sebagai imbalan, daerah tersebut dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Akibatnya, pelayaran Kali Brantas bertambah ramai dan pelabuhan Hujung Galuh menjadi pusat perdagangan antar pulau. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 39

Jejak Arsitektur di Kali Brantas

Gbr.14 Pemandangan sungai Brantas Abraham Salam (1865-1872) (sumber: https:wikipedia.org)

| hal 40

4. Adegan Candi Jawi Perpaduan Sivaisme-Buddhisme (1292)

Teks Asli Diorama no.5 Perpaduan Sivaisme dan Buddhisme sebagai hasil sinkretisme Dapat dilihat pada candi Jawi yang terletak di gunung Welirang, di sebelah Barat Daya Pandakan. Candi ini dibangun pada masa raja Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singasari. Puncaknya berbentuk Ratnastupa. Pada bagian atas terdapat arca Buddha Aksobhya dan di bagian bawah terdapat arca Siva Mahadewa. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 41

Arsitektur Candi Jawi perpaduan Sivaisme-Buddhisme

Gbr. 15 Candi Jawi warisan Kerajaan Singasari (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki)

Candi Jawi berada di kaki gunung Welirang, Desa Candi Wates, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. Dibangun atas titah Kertanegara, raja terakhir kerajaan Singasari. Kompleks candi ini menempati lahan seluas 40 x 60 m yang dikelilingi pagar batu bata setinggi 2 meter, serta parit dengan bunga teratai sebagai penghiasnya. Tingginya 24,5 m dengan panjang 14,2 m serta lebar 9,5 m. Bagian bawahnya berciri candi Siwa sementara bagian atas berpundak seperti candi Budha. Sosoknya mirip dengan candi Prambanan yang tinggi dan ramping. Gerbang utama candi Jawi menghadap ke Timur, sebuah petunjuk candi ini bukan sebagai pemujaan atau pradaksina.

| hal 42

Gbr. 16 Kawasan Candi Jawi di desa Pandaan (sumber: Indonesian Heritage)

| hal 43

6. Adegan Sumpah Palapa (1331)

Teks Asli Diorama no.6 Sesudah Gajah Mada berhasil menyelesaikan perang Sadeng pada tahun 1331, maka untuk membela keutuhan negara Majapahit, dia bersumpah untuk tidak akan makan palapa sebelum nusantara dapat dipersatukan. Sumpah Palapa adalah pendahulu cita-cita persatuan Indonesia yang kemudian diperjuangkan oleh para perintis kemerdekaan sejak tahun 1908. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 44

Jejak Warisan Kerajaan Majapahit di desa Sadeng merujuk Candi Jinggo

Gbr. 17 Reruntuhan Candi Jinggo oleh D'Almeida 1864 (sumber: @kekunoandotkom)

Gbr. 18 Detail Rumah Jawa Kuno pada relief Candi Jinggo (sumber : https://nationalgeographic.grid.id/)

| hal 45

Situs Candi Minak Jinggo berada di sebelah Timur situs Kerajaan Majapahit, yaitu Kolam Segaran. di Trowulan Mojokerto. Warisan ini berbahan batu bata merah dan batu andesit. Reruntuhan Keraton Majapait hingga kini belum dapat direkonstruksi.

Pada candi Jinggo ditemukan relief Rumah Jawa Kuno sebagai rujukan ilustri arsitektur pembuat diorama untuk tema kerajaan Majapahit.

Gbr. 19 Petirtan Jalatunda di Trawas karya Johannes Muller (1859) (sumber: https://id.pinterest.com/ )

| hal 46

Gbr. 20 Candi Tikus di malam hari (sumber: pinterest.com)

Gbr.1 2 Rekonstruksi Rumah jaman Majapahit (sumber: KompasTV.com)

| hal 47

7. Adegan Armada Perang Majapahit (Abad ke-14)

Teks Asli Diorama no.7 Sepeninggal Gajah Mada, timbul kesulitan dalam pemerintahan Hayam Wuruk. Pemerintah yang baru berusaha untuk mempertahankan keutuhan Nusantara dengan mengambil tindakan yang ditujukan kepada kemakmuran rakyat dan keamanan daerah- daerah. Hal ini dibuktikan dengan memperkuat armada perang untuk menjaga keutuhan Nusantara dan mengatasi usaha pengacauan, antara lain oleh armada Tiongkok. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 48

Gbr. 22 Relief Kapal jaman Majapahit di candi Borobudur (sumber: Michael J Lowe, 2005)

Gbr. 23 Tipe Kapal / Jong dari Jawa (sumber: Megiser, Hieronymus (1610)

| hal 49

8. Adegan Utusan Tiongkok ke Majapahit (1405)

Teks Asli Diorama no.8 Sejak Majapahit mengalami zaman keemasan, hubungan persaudaraan dengan negara-negara tetangga berlangsung dengan baik. Pengakuan terhadap kedaulatan Majapahit oleh Tiongkok ditandai dengan kunjungan Cheng Ho pada tahun 1405 diterima oleh Wikramawardhana. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 50

Jejak Arsitektur Keraton Majapahit

Gbr. 24 Rekonstruksi Denah Keraton Majapahit oleh Maclaine Pont (1924) (sumber: https://luk.staff.ugm.ac.id/pustaka/Pont/01.html)

| hal 51

9. Adegan Peranan Pesantren dalam Penyatuan Bangsa (Abad ke-14)

Teks Asli Diorama no.9 Salah satu cara menyiarkan Islam di Indonesia adalah melalui pendidikan di pesantren atau pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, atau ulama. Kegiatan pesantren- pesantren beserta kiai-kiai dalam penyebaran agama Islam dan pengembangan pendidikan masyarakat mempunyai peranan penting dalam proses penyatuan bangsa. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 52

Jejak Arsitektur Pesantren Tertua

Gbr. 25 Litografi rumah misionarsis di Mojowarno Jombang yang D ipergunakan sebagai tempat belajar pendidikan Islam (sumber: www.wikiwand.com)

Gbr. 26 Pesantren Tebu Ireng di Jombang dan cara belajar mengaji sambil duduk.

| hal 53

10. Adegan Pertempuran Pembentukan Jayakarta (22 Juni 1527)

Narasi Asli diorama no.10: Untuk membendung pengaruh Portugis yang sejak awal abad ke-16 telah berkuasa di Malaka, Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak mengirim Fatahillah dengan pasukannya. Pada tahun 1527, Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa sebelum Portugis mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kelapa sesuai perjanjian tahun 1522 dengan Raja Pajajaran. Dalam pertempuran pada tanggal 22 Juni 1527 di pelabuhan Sunda Kelapa, Fatahillah berhasil mengalahkan ekspedisi Fransisco de Sa yang dikirim Portugis untuk mendirikan benteng. Nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta yang berarti kota kemenangan. (sumber:https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 54

Jejak Benteng dan Pelabuhan Jayakarta

Gbr. 27 Benteng di Pelabuhan Batavia 1613-1810 (sumber ANRI):

Gb. 28 The New Gate of Batavia karya Nieuhof tahun 1682 (sumber: https://bartelegallery.com)

| hal 55

Gbr. 29 The Castle of Batavia karya Andries Beeckman Circa 1661 (sumber: Rijksmuseum)

Gbr.30 Batavia karya C Reiss W Wallis 1850 (sumber: https://www.atlasandmap.com/)

| hal 56

11. Adegan Armada Dagang Bugis (Abad ke-15)

Teks Asli Diorama no.11 Pelayaran orang-orang Makassar dan Bugis mulai abad ke-15 sudah meliputi seluruh perairan Nusantara. Gambaran tentang luasnya daerah-daerah yang dikunjungi terlihat dengan jelas pada tulisan tentang hukum laut Amanna Gappa dan peta laut Bugis. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 57

Gbr. 31 Arsitektur Keluarga Bangsawan Bugis (sumber: Troppen Museum)

Gbr. 32Arsitektur Rumah Bugis 1883 (sumber: https://www.pinterest.com)

| hal 58

12. Adegan Perang Makassar

Teks Asli Diorama no.12 Sultan Hasanuddin membuka pelabuhan Makassar untuk negara- negara yang ingin berhubungan dengan Makassar. Perkembangan Makassar dan sikap Hasanuddin yang menjalankan politik perdagangan bebas dengan negara-negara lain menimbulkan pertentangan dengan Belanda yang menjalankan monopoli perdagangan sehingga akhirnya timbul peperangan. Pada tanggal 8-9 Agustus 1668, Sultan Hasanuddin memimpin pertempuran mempertahakan benteng Sumba Opu dari serbuan Belanda. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 59

Jejak Benteng di Makassar

Gbr.3 3 Litografi Benteng Sumbo Opu dan armada Bugis (sumber: BPCB Sulawesi)

| hal 60

13. Adegan Perlawanan Pattimura (1817)

Teks Asli Diorama no. 13

Berdasarkan Konvensi London 1814, Belanda berkuasa kembali di Indonesia, serta mengulangi menjalankan monopoli perdagangan dan segala sesuatu yang bersifat exploitatif dilaksanakan kembali. Rakyat Maluku tidak mau menerima politik monopoli Belanda dan kemudian mengadakan perlawanan di bawah pimpinan Pattimura. Pada tanggal 15 Mei 1817 Pattimura bersama rakyat menyerbu benteng Duurstede di Saparua dan berhasil merebutnya. (sumberhttps://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 60

Gbr.34 Peta Fort Duurstede di Saparua oleh Isaac de Graaf (1695) (sumber: http://negerisaparua.blogspot.com)

Gbr.35 Liografi Fort Duurstede di pulau Honimoa (sumber: http://negerisaparua.blogspot.com)

| hal 61

Gbr. 36 Fort Duurstede digambar oleh C.M.W Van der Velde (sumber: http://negerisaparua.blogspot.com)

Gbr. 37. Fort Duurstede digambar oleh Johannes Hogeboom (1693) (sumber: http://negerisaparua.blogspot.com)

| hal 62

14. Adegan Perang Diponegoro (1825 - 1830)

Teks Asli Diorama no. 14 Perang yang dicetuskan pada tahun 1825 oleh Diponegoro merupakan salah satu perlawanan rakyat semesta yang berlangsug secara terus- menerus sehingga Belanda kehilangan sebanyak 15.000 tentara. Dalam pertempuran di sekitar Kali Bogowonto, Diponegoro berhasil mengalahkan pasukan kavaleri Belanda. Dengan perangkap berkedok perundingan, akhirnya Diponegoro ditangkap di Magelang pada tanggal 28 Maret 1830. (sumber:https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 63

Gbr.38 Litografi Pangeran Diponegoro (sumber: Universitas Leiden, 1830)

Gbr. 39. Sketsa pertempuran pengikut Diponegoro dengan serdadu Belanda di Selarong pada bulan September atau Oktober 1825. (sumber: https://gerai.kompas.id/)

| hal 64

Gbr. 40 Litografi Pangeran Diponegoro berjubah putih dan berkuda (sumber: https://republika.co.id/)

Gbr. 41 Litografi bukit Manoreh sebagai markas besar Diponegoro (sumber: http://ensiklo.com/)

| hal 65

Gbr. 42 Lukisan “The Submission of Prince Diponegoro to General De Kock” karya Nicolaas Pieneman (1809-1860) (sumber: Rijksmuseum, Amsterdam)

| hal 66

Gbr. 43 Lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh (1857). (sumber: https://id.wikipedia.org/)

Pelukis Raden Saleh Syarif Bustaman (1814-1880), menggambarkan perlawanan atas lukisan karya Nicolaas Pieneman (1809-1860). Pieneman mendokumentasikan momen penangkapan Diponegoro oleh Pemerintah Belanda tanpa ekspresi yang bermakna. Raden Saleh, justru menggambarkan sosok Pangeran Diponegoro yang gagah, disimbolkan dengan kepala mendongak ketika ditangkap dengan cara licik. Perbedaan ini dipandang sebagai rasa nasionalisme pada diri Raden Saleh terhadap lukisan karya Nicolaas Pieneman yang bertema serupa yang dibuat sebelumnya.

| hal 67

15. Adegan Perang Imam Bonjol (1821 - 1837)

Teks Asli Diorama no. 15

Sekembalinya para ulama dari tanah suci, mereka melihat bahwa keadaan kehidupan masyarakat tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Para ulama yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol mengadakan pembaruan- pembaruan yang ditentang oleh kaum adat. Belanda, untuk memperkuat kedudukannya, kemudian memihak kaum adat. Menyadari kekuasaan Belanda yang semakin luas, akhirnya perlawanan terhadap Belanda dilakukan oeh kaum ulama bersama kaum adat. Tuanku Imam Bonjol menghimpun kekuatannya, antara lain dengan membuat parit-parit pertahanan. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 68

Gbr. 44 Bukit Bonjol karya Tijschrift voor Nederlands Indie, 1839 (sumber: https://www.wikiwand.com)

Gbr. 45 Litografi Fort de Kock di Bukittinggi (sumber: http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/)

| hal 69

16. Adegan Perang Banjar (1859 - 1905)

Teks Asli Diorama no.16

Untuk menjaga agar hasil bumi Kalimantan, seperti batu bara, minyak, karet, dan lain-lain tidak jatuh ke tangan bangsa lain, Belanda berusaha untuk menguasai Banjar melalui campur tangan dalam pemerintahan Kesultanan Banjar. Hal ini menjadi alasan bagi rakyat Banjar untuk mengangkat senjata melawan Belanda di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Penyerangan terhadap kapal Belanda, Onrust, di Lontartur dilakukan oleh Pangeran Suropati, saudara Pangeran Antasari. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 70

Jejak Arsitektur Banjar

Gbr. 46 Litografi Lanting Kotamara, Benteng Terapung dalam Strategi Perang Kesultanan Banjar(sumber: www.pinterest.com)

Gbr. 47 Litografi Keraton Banjar di Martapura 1843 (sumber: https://id.wikipedia.org/)

| hal 71

Gbr. 48 Litografi Keraton Banjar (sumber: https://www.artisanalbistro.com)

Gbr. 49 Litografi Muara Teweh (sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id)

| hal 72

Gbr.50 dan 51 Litografi rumah apung di Kutai Banjarmasin oleh Carl Bock 1879-1880 (sumber: https://twitter.com)

Gbr.52. Litografi Makam Raja Dinda karya Carl Bock 1879-1880 (sumber: https://twitter.com)

| hal 73

17. Adegan Perang Aceh (1873 - 1904)

Teks Asli Diorama no. 17

Aceh menolak tuntutan Belanda agar menghentikan hubungannya dengan negara-negara lain. Belanda segera mengirim ekspedisi yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Kohler. Serangan pertama Belanda gagal, bahkan panglimanya, Kohler, gugur dalam pertempuran di halaman masjid agung Baiturrahman, Banda Aceh. Pembakaran masjid agung Baiturrahman semakin menumbuhkan semangat perlawanan rakyat terhadap Belanda. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 74

Jejak Arsitektur Aceh

Gbr. 53. Litografi Masjid di Kotaraja Aceh karya EB Kielstra (1882) (sumber: pinterest.com)

| hal 75

Gbr. 54 Litografi Peta Banda Aceh oleh Valentyn 1724-1726 (sumber: Oud en Nieuw Oost Indien)

| hal 76

Gbr.55 Foto Taman Bunga Teratai Kota Gunungan Aceh oleh G.B Hooijer (sumber:https://www.kompasiana.com)

Gbr .56 Litografi Kampung Aceh karya J.C.C Rappard (1883-1889) (sumber: Troppen Museum)

| hal 77

18. Adegan Perlawanan Sisingamangaraja (1877 - 1907)

Teks Asli Diorama no. 18 Dengan dalih bahwa zending sering diganggu oleh pasukan Sisingamangaraja, Belanda melakukan ekspansi ke Tapanuli. Bentrokan pertama dengan Belanda terjadi pada tanggal 15 Februari 1878 setelah Sisingamangaraja memberi peringatan kepada pasukan Belanda agar meninggalkan Tapanuli. Perlawanan terhadap Belanda kemudian mendapat bantuan rakyat Aceh dan Minangkabau. Dalam pertempuran di Tanggabatu dekat Balige pada tahun 1884, Sisingamangaraja dapat memukul mundur pasukan Belanda. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 78

Arsitektur Balai di kawasan Istana Sisingamangaraja

Gbr.57 Balai Istana Sisingamagaraja yang dilestarikan di Huta Bakara kabupaten Humbang Hasudutan Sumatera Utara (sumberhttp://www.danautobacenter.com/)

| hal 79

19. Adegan Pertempuran Jagaraga (1848 - 1849)

Teks Asli Diorama no.19 Pada tahun 1841, Belanda memaksakan penghapusan peraturan Tawan Karang yang diakui sebagai lembaga hukum adat di Bali, tetapi ditolak oleh Buleleng dan Karangasem. Walaupun dalam serangan Belanda pada tahun 1840 Buleleng dan Karangasem dapat diduduki, semangat juang rakyat tetap berkobar dan mereka menyiapkan pertahanan di Jagaraga. Pertempuran di muka Pura Dalam Jagaraga berakhir dengan gugurnya seisi pura yang lebih dikenal sebagai Puputan Jagaraga. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 80

Gbr.58 Lukisan Puputan tahun 1849. Raja Buleleng bunuh diri bersama 400 pengikutnya (sumber: Le Petit Journal, 1849)

| hal 81

20. Adegan Tanam Paksa (1830 - 1870)

Teks Asli Diorama no.20 Perang Diponegoro mengakibatkan krisis keuangan bagi Belanda. Untuk mengatasi krisis tersebut, Gubernur Jenderal Van Den Bosch memaksa rakyat di tanah Jawa menanami sebagian besar tanah mereka dengan tanaman yang laku di Eropa, seperti nila, kopi, teh, lada, gula, dan kayu manis. Rakyat yang tidak memiliki tanah dipaksa bekerja di perkebunan- perkebunan. Bagi rakyat Indonesia, tanam paksa merupakan eksploitasi yang luar biasa karena mengakibatkan timbulnya kelaparan akibat dari tidak adanya kesempatan bagi mereka untuk menggarap sawah ladang mereka. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 82

Suasana Perkebunan Tempo Doeloe

Gbr.59 Litografi suasana kawasan pabrik gula sebagai muara tanam paksa tanamaan tebu (sumber: https://www.berbagaireviews.com/)

Gbr.60 Lukisan perkebunan tebu (sumber: http://blogketinggalanzaman.blogspot.com/)

| hal 83

21. Adegan Kegiatan Gereja Protestan dalam Penyatuan Bangsa

Teks Asli Diorama no.21 Gereja Protestan dengan zending-nya giat mengadakan propaganda, terutama di daerah-daerah yang keadaannya masih terbelakang. Pada tahun 1930, berdiri Perserikatan Kaum Kristen dan Partai Kaum Masehi Indonesia. Keduanya merupakan bagian gerakan nasional. Selain bergerak dalam bidang agama, juga giat dalam bidang pendidikan dan sosial sehingga secara langsung membantu menyatukan bangsa Indonesia yang sedang mengalami proses penyatuan bangsa. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 84

Jejak Arsitektur Gereja Protestan

Gbr.61 Litografi gereja prostestan di Maluku 1800-1864 (sumber: https://www.sinodegpm.org/)

Gbr. 62 Litografi karya P Blommers, 1898 Gereja dan Sekolah di Lalumpey Manado Sulawesi (sumber: Tropen Museum)

Gbr .63 Litografi Gereja Sion di Tomohon (sumber: Tropen Museum )

| hal 85

Gbr. 64 Litografi Gereja di Bogor sekitar1882-1889 (sumber: https://kekunoan.com/)

Gbr. 65 Gereja Protestan Immanuel di Weltevreden/ di depan stasiun Gambir (sumber: Tropen Museum)

| hal 86

22. Adegan Kartini (1879 - 1904)

Teks Asli Diorama no.22 Gerakan mengejar kemajuan pada akhir abad ke-19 terbukti dari kebutuhan akan pendidikan. Kartini tampil sebagai pendekar kaumnya ketika pandangan umum masih dihinggapi konservatisme yang kuat bagi anak perempuan. Buah pikiran Kartini untuk membebaskan kaumnya dari keterbelakangan tercermin dalam surat-surat yang dikirim kepada sahabat-sahabat karibnya di negeri Belanda, yang kemudian dihimpun dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

Gbr.66 Kartini, Kardinah dan Rukmini sedang membatik (sumber: https://www.netralnews.com/)

| hal 87

23. Adegan Kebangkitan Nasional (20 Mei 1908)

Teks Asli Diorama no.23 Politik kolonial Belanda tidak menghendaki rakyat Indonesia menjadi cerdas karena hal itu akan membahayakan kedudukan Belanda. Akibatnya, pendidikan modern terpaksa diberikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga terdidik dan untuk meningkatkan masyarakat Indonesia sebagai pasar bagi industri Belanda. Kebangkitan kaum terpelajar Indonesia menimbukan kesadaran nasional untuk merdeka. Cita-cita dr. Wahidin untuk menghimpun tokoh-tokoh pergerakan nasional diwujudkan oleh dr. Sutomo dan kawan-kawan dengan membentuk Boedi Oetomo. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 88

Gbr. 67 Fotografi ex gedung Rumah Sakit Militer sebagai Sekolah Dokter Jawa (sumber: serbasejarah.wordpress.com)

Gbr.68 Suasana belajar di Sekolah Dokter Jawa(sumber: http://www.himapes.com)

| hal 89

24. Adegan Taman Siswa (3 Juli 1922)

Teks Asli Diorama no. 24 Politik pendidikan pada zaman penjajahan tidak dapat dipisahkan dari kepentingan kolonial. Sebagai reaksi, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa di Yogyakarta, yang kemudian berkembang dengan pesat sehingga mengkhawatirkan Belanda. Semangat nasionalisme sangat menjiwai kehidupan Taman Siswa. Pada tahun 1935, berlangsung Kongres Pendidikan Nasional yang pertama dengan tujuan hendak menggalang persatuan dan mencari perumusan tentang penddikan yang bersifat nasional. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 90

25. Muhammadiyah (18 November 1912)

Teks Asli Diorama no.25 Keadaan masyarakat Islam pada abad ke-19 dan pada permulaan abad ke-20 sangat menyedihkan. Agama Islam telah banyak bercampur dengan berbagai ajaran yang bukan berasal dari Qur'an dan Hadist. Bertolak dari keadaan tersebut, Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan tujuan pokok mengadakan pembaruan kehidupan agama Islam. Kegiatannya meliputi bidang-bidang keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 91

2 6.Perhimpunan Indonesia (1922)

Teks Asli Diorama no.26 Perjuangan mencapai Indonesia Merdeka di luar negeri dipelopori oleh mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Pada bulan Februari 1927, Perhimpunan Indonesia berjuang di forum internasional dengan mengambil bagian dalam Kongres Liga Antikolonialisme di Brussels. Selanjutnya, propaganda Perhimpunan Indonesia semakin berani dan tajam sehingga pemerintah Belanda mengadakan penangkapan terhadap empat orang pimpinannya: Moh. Hatta, Abdul Madjid, Ali Sastroamidjojo, dan Nasir Datuk Pamuntjak. Namun, oleh pengadilan, mereka dinyatakan tidak bersalah. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 92

27. STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) (1898 - 1926)

Teks asli Diorama no.27 Gagasan yang didengungkan dari gedung STOVIA, tempat lahir Boedi Oetomo, untuk menaikkan derajat bangsa mendapatkan dukungan di berbagai kota. Konsolidasi segera diadakan, yaitu dengan menyelenggarakan kongres pada tanggal 4-5 Oktober 1908 di Yogyakarta. Dalam perkembangan selanjutnya, Boedi Oetomo tumbuh menjadi perhimpunan nasional yang umum dan besar sehingga apa yang telah dilakukan mahasiswa STOVIA dalam rapat tanggal 9 Mei 1908 dianggap sebagai lahirnya pergerakan nasional Indonesia. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 93

Gbr. 69 Fotografi gedung Sekolah Dokter Jawa (1851-1902) sekarang Museum Kebangkitan Nasional (sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ )

| hal 94

28. Digul (1927)

Teks Asli Diorama no.28 Pergerakan untuk membebaskan bangsa dari penjajahan menyebar ke seluruh Indonesia. Pada tahun 1926 dan 1927, timbul pemberontakan terhadap Belanda di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Barat. Pemberontakan tersebut ditumpas dengan kejam. 13.000 orang ditangkap. Di antara orang-orang yang ditangkap, 1.300 orang dibuang ke Tanah Merah, Digul. Dalam perkembangan selanjutnya, Digul menjadi tempat pengasingan bagi tokoh-tokoh pergerakan nasional, antara lain Moh. Hatta dan Sutan Syahrir. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 95

29. Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928)

Teks Asli Diorama no.29 Dalam lingkungan pergerakan nasional Indonesia, para pemuda telah melahirkan berbagai ragam organisasi pemuda yang pada umumnya masih bersifat kedaerahan dan tidak saling berhubungan satu sama lain. Iklim persatuan Indonesia mempengaruhi dan mendorong mereka untuk membina satu pergerakan pemuda yang berjiwa nasional kesatuan. Usaha ke arah itu dilakukan dalam serangkaian kongres pemuda. Pada kongres pemuda yang kedua, dicetuskan Sumpah Pemuda dan dikumandangkan untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 96

30. Romusha (1942 - 1945)

Teks Asli Diorama no.30 Pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, Subang. Untuk memenangkan perang, Jepang kemudian secara paksa mengerahkan seluruh tenaga dan kekayaan bumi Indonesia. Rakyat dikerahkan untuk melaksanakan kerja paksa pada objek vital dan sarana militer. Mereka mengalami siksaan dan tidak mendapatkan makanan yang cukup. Akibatnya, puluhan ribu romusha menemui ajal di tempat-tempat mereka bekerja. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 97

31. Pemberontakan Tentara PETA Blitar (14 Februari 1945)

Teks Asli Diorama no.31 Pada bulan Oktober 1943, Pemerintah Pendudukan Jepang membentuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) untuk membelah Tanah Jawa, yang mendapat sambutan dari para pemuda. Perasaan benci terhadap Jepang semakin mendalam ketika mereka bertugas membangun kubu-kubu pertahanan bersama para romusha. Menyaksikan penderitaan rakyat serta aspirasi untuk merdeka, Supriyadi, memimpin batalion PETA di Blitar, mengadakan pemberontakan dengan menyerbu markas militer Jepang. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 98

32. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945)

Teks Asli Diorama no.32 Mengetahui bahwa Jepang kalah perang, rakyat Indonesia, baik para pemuda maupun para pemimpin pergerakan kebangsaan, berpacu dengan waktu untuk mewujudkan cita-cita perjuangan, yakni mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia selekas mungkin. Dalam pertemuan rahasia pada malam hari tanggal 16 Agustus 1945 di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta, naskah proklamasi dirumuskan dan ditandatangani oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00, Soekarno, didampingi Moh. Hatta, membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 99

Jejak Rumah Proklamasi

Gbr. 70 Rumah Proklamasi di Jl. Pegangsaan Timur Jakarta sebelum diratatanahkan atas perintah Presiden Soekarno sebagai bagian dari Gedung Pola (sumber: https://www.republika.co.id/)

| hal 100

33. Pengesahan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945)

Teks Asli Diorama no.33 Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, para pemimpin bangsa dengan segera menyusun tatanan kehidupan negara. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengadakan rapat di Pejambon, Jakarta. Rapat menghasilkan keputusan yang sangat penting mengenai ketatanegaraan Republik Indonesia, menjadikan Pancasila sebagai landasan falsafah negara dan Undang-undang Dasar 1845. Rapat juga memilih Soekarno dan Moh. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 101

Jejak Gedung Pancasila

Gbr.K 71 arya Charles Theodore Deeleman, 1859 melukiskan kediaman Panglima Perang, kini menjadi Gedung Pancasila di jl.Pejambon 1859 dari (sumber: Tropen Museum)

Gbr.72 Litografi rumah Dutch Royal Army Commander 1792-1862 (sumber: Tropen Museum)

| hal 102

34. Hari Lahir ABRI (5 Oktober 1945)

Teks Asli Diorama no.34. Pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan pembentukan Barisan Keamanan Rakyat untuk memelihara keamanan dan ketertiban umum di daerahnya masing-masing. Dalam perebutan kekuasaan terhadap Jepang dan perlawanan terhadap Sekutu, serta untuk memperkuat perasaan keamanan umum, disadari perlu suatu angkatan bersenjata yang tangguh. Maka, pada tanggal 5 Oktober 1945, pemerintah mendekritkan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 103

35. Pertempuran Surabaya (10 November 1945)

Teks Asli Diorama no.35 Pasukan Sekutu, termasuk tentara dan opsir-opsir NICA, mendarat di Surabaya pada bulan Oktober 1945 sehingga menimbulkan beberapa insiden yang kemudian meningkat menjadi pertempuran. Setelah Brigjen Mallaby terbunuh, ultimatum dikeluarkan kepada rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata mereka. Rakyat tidak menghiraukannya dan pada tanggal 10 November 1945, pecah pertempuran hebat. Sekutu mengerahkan kekuatan darat, laut, dan udara untuk membinasakan para pejuang Surabaya yang bertempur degan semangat pantang mundur. Oleh rakyat Indonesia, peristiwa ini diabadikan sebagai Hari Pahlawan. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 104

36. Kegiatan Gereja Katolik Roma dalam Proses Penyatuan Bangsa

Teks Asli Diorama no.36 Gereja Katolik Roma melalui misinya mengumpulkan pemuda-pemuda dari berbagai suku dan daerah sehingga terbentuk suatu masyarakat Katolik Roma yang di dalamnya bersemi semangat nasionalisme. Kegiatannya dalam bidang pendidikan dan sosial secara langsung membantu bangsa Indonesia yang sedang mengalami proses penyatuan. Terhadap cita-cita Indonesia Merdeka, Perhimpunan Politik Katolik Indonesia ikut menandatangani petisi Soetardjo 1936 yang menuntut pemerintah kolonial untuk memerdekakan bagsa Indonesia. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 105

37. Gerilya Mempertahankan Kemerdekaan (1945-1949)

Teks Asli Diorama no.37 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dengan menggunakan peralatan perang sederhana, bergerilya bersama rakyat menghadapi musuh yang hendak menegakkan kembali kekuasaan Belanda. Untuk menegakkan kekuasaan Republik Indonesia di daerah- daerah yang dikuasai musuh, disusun kantong-kantong gerilya yang dapat melaksanakan pertahanan secara berdiri sendiri dengan integrasi segenap kekuatan politik, ekonomi, sosial budaya, dan militer. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 106

Lukisan Bertema Gerilya Karya Pelukis Maestro

Gbr. 73 Lukisan “Laskar Rakyat Mengatur Siasat” karya Affandi, 1946 (sumber: Istana Krepesidenan RI)

Gbr. 74 Lukisan “Kawan-Kawan Revolusi “ karya S. Sudjojono (sumber: Istana Kepresidenan RI)

| hal 107

Gbr. 75 Lukisan “Persiapan Gerilya” Karya Dullah (sumber: Istana Kepresidenan RI)

| hal 108

Gbr. 76 Lukisan “Awan Berarak Djalan Bersimpang karya Harijadi S, 1955 (sumber: Istana Kepresidenan RI)

| hal 109

38. Jenderal Sudirman (1948)

Teks Asli Diorama no.38 Yogyakarta, ibu kota RI, direbut Belanda dalam agresi militer kedua tanggal 19 Desember 1948 dan pimpinan pemerintahan ditangkap. Mereka dipindahkan ke Bukittinggi dengan membentuk Pemerintahan Darurat RI. Jenderal Sudirman yang waktu itu dalam keadaan sakit payah memimpin gerilya untuk melanjutkan perjuangan membela kemerdekaan. Jenderal Sudirman baru kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949 setelah pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta sesuai dengan persetujuan antara Indonesia dan Belanda. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 110

Tandu Jenderal Sudirman

Gbr.7 7 Fotografi pelantikan Jenderal Sudirman pada 28 Juni 1947 (sumber: IPPHOS)

Gbr. 78 Fotografi tandu gerilya jenderal Sudirman ( sumber: https://www.berkasilmu.com)

| hal 111

39. Pengakuan Kedaulatan (27 Desember 1949)

Teks Asli Diorama no.39 Perjuangan gigih rakyat Indonesia melawan agresi militer Belanda dan tekanan Dewan Keamanan PBB memaksa Belanda kembali ke meja perundingan. Di Jakarta pada tanggal 7 Juli 1949, tercapai persetujuan untuk mempersiapkan suatu Konferensi Meja Bundar yang akan membicarakan pengakuan kedaulatan Indonesia. Dalam KMB di Den Haag, pemerintah Belanda mengakui kedaulatan di Indonesia pada Republik Indonesia Serikat. Upacara pengakuan kedaulatan di Jakarta dipimin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, ditandai dengan pengibaran Sang Merah Putih. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 112

Gbr. 79 Amsterdam Holland Netherlands Royal Palace karya H Moll c.1730 lokasi Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1947 (sumber: https://www.mapandmaps.com/)

| hal 113

40. Kembali ke Negara Kesatuan (1950)

Teks Asli Diorama no.40 Rakyat di setiap daerah menuntut pembubaran negara serikat. Karena tuntutan rakyat secara spontan, beberapa negara bagian menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia yang merupakan negara bagian dari RIS. Dalam perundingan antara RIS dengan negara bagian RI, tercapai kesepakatan tentang penghapusan bentuk federal dan berdiri kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian diumumkan oleh Mr. Supomo pada tanggal 17 Agustus 1950.(sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 114

Mendiami Istana Kepresidenan RI

Gbr . 80 Litografi istana Koningsplein C.1880-an karya J.C. Rappard sekarang Istana Merdeka (sumber: Tropen Museum )

Gbr. 81 Litografi paleis Rijswijk, Batavia karya J.C. Rappard sekarang Istana Negara (sumber: Tropen Museum )

| hal 115

Gbr . 82 Litografi istana ‘Bultenzorg’ atau ‘Sans Souci’ karya Van Imhoff. Sekarang menjadi Istana Bogor pada tahun 1880-an (sumber: https://pariwisataindonesia.id/)

Gbr. 83 Litografi I stana Cipanas Lama 1880-an karya JC. Rappard (sumber: Tropen Museum)

| hal 116

Gbr. 84 Litografi Loji Kebon atau Rumah Residen Yogyakarta 1883-1889 kini Gedung Agung Istana Kepresidenan di Yogyakarta (sumber: Tropen Museum)

Gbr. 85 Fotografi Istana Kepresidenan Tampak Siring di Bali (sumber: http://kiutour.com/ )

| hal 117

41. Indonesia Menjadi Anggota PBB (28 September 1950)

Teks Asli Diorama no.41 Dalam kehidupan bersama dan bermasyarakat di dunia, kerja sama antar bangsa dalam suatu wadah sangat berguna ntuk memelihara perdamaian dunia. PBB dan organisasi bawahannya bermanfaat untuk mengatasi sengketa antara negara-negara yang telah merdeka dan mempercepat proses dekolonisasi. Menyadari hal itu dan mengingat bantuan dalam menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda, Indonesia terdorong untuk menjadi anggota PBB. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 118

Gedung Pusat PBB di New York

Gbr.86 Postcard Gedung Markas PBB di Newyork (sumber: http://smspostcard.blogspot.com/)

| hal 119

42. Konferensi Asia Afrika (18 - 24 April 1955)

Teks Asli Diorama no.42 Perang dingin antara blok Barat dan blok Timur yang timbul setelah Perang Dunia II berakhir sewaktu-waktu dapat meletus menjadi perang nuklir. Menyadari akan bahaya ini, 30 negara Asia-Afrika mengadakan konferensi yang menghasilkan resolusi Dasasila Bandung. Asia-Afrika menjadi suatu kekuatan yang dapat menjadi penengah antara blok Barat dan blok Timur. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

Gbr. 94 Grafis vector Gedung Concord sekarang Gedung Asia Afrika (sumber: https://www.dreamstime.com)

| hal 120

Jejak Gedung Merdeka sbg venue Asia Afrika

Gbr. 87 Soekarno dalam Konferensi Asia Afrika 1955 di Gedung Merdeka Bandung (sumber: https://www.kompas.com/)

Gbr. 88 Fotografi gedung Gedung Societeit Concordia (sumber: kitlv.nl)

| hal 121

43. Pemilihan Umum Pertama (1955)

Teks Asli Diorama no.43 Pemerintah menyadari bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sebagai salah satu sarana demokrasi. Pada tahun-tahun pertama berdirinya, Republik Indonesia harus menghadapi musuh dari luar sehingga pemilihan umum sulit dilaksanakan. Pemilihan umum dilaksanakan di seluruh Indonesia, diikuti oleh 48 partai politik untuk memilih wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 29 September 1955 dan untuk memilih wakil-wakil rakyat di Dewan Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 122

44.Pembebasan Irian Jaya (1 Mei 1963)

Teks Asli Diorama no.44 Upaya mengembalikan Irian Jaya ke pangkuan Republik Indonesia melalui perundingan selalu gagal. Ketika Belanda bermaksud membentuk pemerintahan boneka di Irian Jaya, Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Setelah Komando Mandala melancarkan operasi militer, Belanda terpaksa menyerahkan Irian Jaya melalui PBB. Pada tanggal 1 Mei 1963, berlangsung upacara penyerahan Irian Jaya kepada Indonesia yang diwakili oleh Sudjarwo Tjondronegoro di Jayapura. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 123

Gbr. 89 Penyerahan Pengakuan Kemerdekaan Indonesia oleh Pemerintah Belanda (sumber: Kompasiana.com)

| hal 124

45. Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober 1965)

Teks Asli Diorama no.45 Pancasila merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa yang telah berkali-kali mengalami percobaan: diuju kebenaran, keampuhan, dan kesaktiannya. Pada tanggal 1 Oktober 1965, G30S/PKI melancarkan pemberontakan dan pengkhianatan dengan membunuh pimpinan TNI AD, kemudian merebut kekuasaan negara. Keberhasilan ABRI dan rakyat yang berjiwa Pancasila di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto menggagalkan dan menumpas kudeta G30S/PKI merupakan kemenangan Pancasila. Pada tanggal 4 Oktober 1965, Soeharto memimpin pengangkatan jenazah para pahlawan dari sumur di Lubang Buaya. Pada tanggal 4 Oktober 1965, Soeharto memimpin pengangkatan jenazah para pahlawan dari sumur di Lubang Buaya.

| hal 125

Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya

Gbr. 90 Presiden Soeharto meresmikan monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya ( sumber: kompasiana.com)

| hal 126

46. Aksi-aksi Tri Tuntutan Rakyat (1966)

Teks Asli Diorama no.46 Sejak kudeta berdarah G30S/PKI berhasil digagalkan dan ditumpas dalam waktu singkat, peerintahan Orde Lama menjadi goyah karena menghadapi krisis politik dan ekonomi yang semakin parah. Mahasiswa yag bergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang disokong oleh segenap kekuatan Pancasila di dalam ABRI, partai-partai politik, dan organisasi- organisasi massa mengadakan demonstrasi tanggal 11 Januari 1966 sampai dengan tanggal 11 Maret 1966 dengan mengajukan Tri Tuntutan Rakyat. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 127

47. Surat Perintah Sebelas Maret (1966)

Teks Asli Diorama no.47 Krisis yang mengguncangkan sendi-sendi negara sesudah kudeta G30S/PKI digagalkan menyebabkan pemerintah kehilangan kepercayaan rakyat. Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan kewibawaan pemerintah dan keamanan nasional. Letjen Soeharto dengan cepat melaksanakan Surat Perintah Sebelas Maret ini dengan memenuhi dua di antara Tri Tuntutan Rakyat: membubarkan Partai Komunis Indonesia dan membersihkan kabinet dari menteri-menteri yang ada indikasi terlibat dalam G30S/PKI. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 128

Gbr. 91 Dokumentasi saat Presiden Soeharto memberikan briefing terkait adegan untuk diorama nomor 47 (sumber: Dok. Edhi Soenarso, 2007)

| hal 129

48. Penentuan Pendapat Rakyat Irian Jaya (1969)

Teks Asli Diorama no.48 Untuk melaksanakan Persetujuan New York 1962 tentang penyerahan Irian Jaya kepada Indonesia, diadakan PEPERA di bawah pengawasan PBB yang dilakukan dengan sistem perwakilan setiap kelompok melalui pemilihan secara bertingkat. Keputusan Dewan Musyawarah PEPERA dengan suara bulat memilih Irian Jaya tetap sebagai bagian dari RI, yang kemudian disahkan oleh PBB pada tanggal 19 November 1969 dengan 84 suara setuju, 6 menolak, dan 30 suara abstain. (sumber:https: //monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 130

49. Integrasi Timor Timur (1976)

Teks Asli Diorama no.49 Keputusan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Timor Timur pada tanggal 31 Mei 1976 di Dili, yang pada hakikatnya merupakan perwujudan kehendak rakyat sebagaimana tertuang dalam proklamasi integrasi Timor Timur 30 November 1975 di Balibo, mendesak pemerintah RI agar dalam waktu sesingkat-singkatnya menerima dan mengesahkan integrasi rakyat dan wilayah Timor Timur ke dalam negara kesatuan RI. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 131

Jejak arsitektur Timor Timur

Gbr. 92 Fotografi Rumah di Timor Timur (sumber: agefotostock)

| hal 13 2

50. Konferensi Tingkat Tinggi ke-10 Negara-negara Non-blok (1992)

Teks Asli Diorama no.50 KTT ke-10 Para Kepala Negara atau Pemerintahan Negara-negara Non- blok diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 1-6 September 1992. Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan konferensi tersebut menegaskan perlunya suatu tata internasional baru berdasarkan perdamaian abadi, keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan pembangunan berkelanjutan. Wakil-wakil dari 100 negara yang merupakan anggota Gerakan Non-blok ikut serta di dalam konferensi tersebut: 8 negara organisasi internasional dan gerakan pembebasan nasional menghadiri konferensi sebagai peninjau, delegasi tamu dari 22 negara organisasi internasional ikut hadir dalam konferensi tersebut. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 133

51. Alih Teknologi (1995)

Teks Asli Diorama no.51 Keberhasilan uji terbang perdana N-250 produksi Industri Pesawat Terbang Nusantara di Bandung pada tanggal 10 Agustus 1995 merupakan prestasi putra-putri bangsa Indonesia yang membanggakan dalam upaya mengembangkan dan menerapkan teknologi tinggi di bidang kedirgantaraan. Berkaitan dengan itu, tanggal 10 Agustus ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional. (sumber: https://monas.jakarta.go.id/diorama)

| hal 134

Jejak Hanggar Pesawat Tutuko

Gbr. 93 Gedung Kantor PT Dirgantara Indonesia (sumber: https://www.indonesian aerospace.com/)

| hal 135

Gbr. 94 Hanggar Pesawat Tutuko N 250 (sumber: https://www.indonesian aerospace.com/)

| hal 136

Epilog

Sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa di abad visual ini, penjelajahan melalui dunia maya menjadi sebuah eksplorasi tak terbatas. Dunia maya, mampu mendobrak segala sesuatu yang semula tersembunyi sebagai dokumen arsip, telah dapat tersingkap sehingga dunia arsip, dokumentasi abad lampau menjadi dekat dengan kekinian.

Ketika sepilihan karya seni rupa tersingkap, sejumlah bangunan latarpun memiliki maknawinya tersendiri. Kekaguman pada karya- karya seni rupa masa lampau, berupa diorama, lukisan litografi ataupun karya lukis lainnya yang berkorelasi dengan kesejarahan ternyata dapat menjadi pintu gerbang untuk mempelajari sejarah arsitektur di nusantara. Meski dari arah pandang yang sedikit berbeda, namun karena kehebatan sang perupa, yang mampu menggoreskan kesan spatial dan karya arsitektur yang menjadi latarnya. Magnit estetik seni visual yang terkandung didalamnya, mampu mengantarkan pemirsa pada arsitektur kelampauannya.

Buku ini, hanyalah sebuah cara untuk ‘menggoda’ para pemula/ pemerhati arsitektur untuk kemudian dapat ‘berlayar’ menyelami persoalan arsitektural yang lebih bersifat tektonik pada pustaka historiografi arsitektur yang telah tersedia.

| hal 137

Dalam menyelami keilmuan sejarah arsitekur, selain pustaka pengantara juga dibutuhkan pengetahuan dasar kesejarahan, diperlukan pula sebuah penjelajalahan serta perjalananan ke situs-situs sejarah. Melalui pengalaman spatial, akan ditemukan pengalaman khas yang barangkali tidak lengkap bila hanya dituliskan dalam pustaka.

Pengalaman yang dikatakan sebagai fenomenologis lebih bernas bila diutarakan melalui penulisan yang lebih sastra ataupun tulisan esai bebas.

Muara dari semua pengetahuan arsitektur yang diperoleh dari bukti kesejarahan, serta pengalaman spatial akan menuntun perilaku khas. Selain memberikan apresiasi serta rasa kebanggaan pada sejumlah karya arsitektur bersejarah sebagai warisan peradaban, pengetahuan itu juga akan mampu menopang pngembangan kreatifivas seorang arsitek, desainer ataupun para pelaku kegiatan budaya lainnya, termasuk bagaimana melakukan konservasi, revitalisasi ataupun adaptasi dalam bangunan bersejarah.

Jakarta, Juni 2020

| hal 138

Daftar Pustaka

Abu, Rifai (ed). 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ______. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Jambi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ______. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Antariksa. 2018. Arsitektur dalam Dinamika Ruang, Bentuk, dan Budaya.Cahaya Atma Pustaka Ardhiati, Yuke, Eryudhawan, Bambang dan Widiatmoko, Agus. 2014. Atlas Arsitektur Tradisional Seri Indonesia Timur.Kemdikbud Ardhiati, Yuke. 2017. Studio Living pada Rumah Kaki Seribu di Papua Barat. Wastu Adicitta ______.2018. De Tjolomadoe. Adaptive Used Bangunan Cagar Budaya. Wastu Adicitta Ardhiati, Yuke dan Hasan, Asikin. 2019. Tiga Relief Tiga Perupa. Narasi Keindonesiaan di Ruang VIP ex. Bandara Kemayoran Jakarta. Direktorat Kesenian. Dirjenbud Adiyanto, Johanes (ed). 2004. Naskah Jawa Arsitektur Jawa. Wastu Lanas Grafika. ____. 2004. Dari Lamin dan Bilik Pengakuan Dosa. Wastu Lanas Grafika. Budihardjo, Eko. 1997. Arsitektur sebagai Warisan Budaya. Penerbit Djambatan

| hal 139

Darwis, Raf & Abu, Rifai (ed.). 1986. Arsitektur Tradisional Kalimantan Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Davison, Julian & Granquist, Bruce.1999. Balinese Architecture. Periplus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Bali. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Tamansari. Depdikbud Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya. 2002. Arsitektur Tradisional: Betawi-Sumbawa-Palembang-Minahasa-Dani. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provnsi Kepulauan Bangka Belitung. 2013. Rumah Adat Melayu di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Dana, Djefry. 1990. Ciri Perancangan Kota Bandung. Gramedia Pustaka Utama Jakarta Danasasmita, Saleh. 1983. Sejarah Bogor Bagian 1. Guna Kawi Gapura Jagat Departemen PU. 2006. Sekilas Kawasan Wisata Pengging: Wisata Spiritual, Lumbung Padi & Konservasi Air. Pemda Boyolali Dwijendra, Ngakan. 2010. Arsitektur Tradisional Bali di Ranah Publik. Udayana Press Faturrachman, Agus. 1989. Konsepsi Arsitektur Lumbung Sasak

| hal 140

Harun, Ismet; Kartakusumah, Hisma; Ruchiat, Rachmat; Soediarso, Umar. DKI Jakarta. 1991. Rumah Tradisional Betawi. Dinas Kebudayaan DKI Jakarta IAI Kepri. Rekam Jejak Arsitektur Melayu: Johor, Penyengat, Daik, Dabo Singkep, Sambas, Mempawah, Serdang Bedagai. Batam Joseph, Lambert. 1998. Arsitektur Tradisional Maluku Tengah. Kosasih, Varani. 2009. Kampung Nage. Sebuah Sketsa Arsitektural. Arsitektur Hijau Mardanas, Izarwisma & Abu Rifai (ed.). 1986. Arsitektur Tradisional Sulawesi Tenggara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Muanas, Dasum & Abu, Rifai (ed). 1998. Arsitektur Tradisional Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pudja, Arinton & Abu, Rifai. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Irian Jaya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Prijotomo, Josep & Widyarta, Nanda. 2009. Ruang di Arsitektur Jawa. Sebuah Wacana.Wastu Lanas Grafika Surabaya Salam, Solichin. 1989. Tugu Nasional dan Soedarsono. Kuning Mas, Jakarta Samingoen, Sampoerno (ed). 1993. Album Arsitektur Tradisional Sumatera Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Soimun & Pannangan, Margariche (ed.) 1993. Arsitektur Tradisional Tana Toraja. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sedyawati, Edi (ed). 1995. Konsep Tata Ruang Suku Bangsa Dayak Kenyah di Kalimantan Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

| hal 141

Sitanggang, Hilderia & Abu, Rifai. 1997. Arsitektur TRadisional Daerah Sumatera Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Suhardi dan Djoko M.R. 1999. Provinsi Bali dan Budayanya. Depdikbud Salura, Purnama. 2007. Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda. Cipta Sastra Salura Saraswati, Titien. 2013. Bangunan Pengering Tembakau di Jawa. Lanas Wastu Grafika Sopandi, Setiadi. 2017. Friedrich Silaban. Gramedia Pustaka Utama Subagijo, Wisnu & Lindyastuti. 1999. Mengenal Permukiman Masyarakat Batak Karo di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sutjiatiningsih, Sri. (ed.). Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tjahjono, Gunawan 1983. Disertation. Cosmos, Center and Duality in Javanesse Architectural Tradition: The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kuto Gede and Sorroundings. University of California at Berkeley Tjahjono, Gunawan (ed). (1998). Indonesian Heritage Seri Architecture. ______(ed). (2007). Sejarah Kebudayaan Indonesia Seri Arsitektur Wibowo; Murniatno, Gatut; Sukirman. 1998. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

| hal 142

Biografi Penulis

YUKE ARDHIATI. Arsitek Profesional IAI. Kini, selain sebagai Arsitek Profesional IAI juga Pengajar Arsitektur di Universitas Pancasila. Alumni FT Arsitektur UNS dan Magister Studi Pembangunan ITB. Menyelesaikan studi doktor Ilmu Sejarah (2005) dan doktor ilmu Arsitektur (2013) di Universitas Indonesia. Kedua disertasinya terbit sebagai setangkup pustaka bertajuk: Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965 (2005) dan Bung Karno dalam Panggung Indonesia (2013). Melalui setangkup karya tentang ide arsitektural Bung Karno ini, menjadi kontributornya dalam penayangan program mediaTV nasional, yang kemudian menjadi materi pembelajaran e-learning yang didorong di masa pandemik covid-19.

Selain makalah juga artikel jurnal internasional. Scopus ID: 57198431091

| hal 143

Publikasi Buku Pustaka

2019 Tiga Relief Tiga Perupa. Narasi Keindonesiaan di Ruang VIP Eks. Bandara Kemayoran Jakarta ( 2018 De Tjolomadoe, Adaptive Re-Used Bangunan Cagar Budaya 2018 Grounded Theory untuk Arsitektur, Seni dan Desain 2018 Studio Living pada Rumah Kaki Seribu di Papua Barat 2017 Historiografi Arsitektur pada Historiografi Indonesia 2017 Kriya Indonesia Menuju Ekonomi Kreatif 2014 Atlas Arsitektur Nusantara, Seri Indonesia Timur, Kemdikbud 2013 Bung Karno dalam “Panggung Indonesia”. Jakarta: Wastu Adicitta. 2013 2013 Sang Padma Yang Meranggas di Mulan Maret 1966 dalam Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional Bag 3. Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia 2012 Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 7. Kemdikbud 2010 9 Windu Prof. Edi Sedyawati. Denpasar: Widya Dharma 2010 Edhi Sunarso dan Kota Jakarta: Diorama Life Karya Bung Karno 2009 Arsitektur era Soekarno. Buku 50 Tahun HUT IAI 2007 Demokrasi Terpimpin. Sejarah Nasional Indonesia Edisi Revisi. Balai Pustaka 2005 Novel Serial Ukel Konde Selebriti Marginal. Jakarta: Rajagrafindo Perss

| hal 144

2005 Bung Karno Sang Arsitek. Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965. JakartaKomunitas Bambu 2005 Sistim Ekonomi Demokrasi Terpimpin untuk Buku 60 Tahun NKRI Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi. Jakarta: Departemen Kominfo 2003 Suara Anak Bangsa:Menyongsong Fajar Tanah Air . Tim Penyunting, HUT ITB ke 44 2003 Arsitektur,Interior, Kria Dan Konstruksi Sosial Teknologi ANT. HUT IAI ke 44

| hal 145

Publikasi Journal Internasional

2013 The New Architecture of Mosque Design to Express The Modernity of Moslems pada Global Advanced Research Journal of Arts and Humanities (GARJAH) September 2013 Vol. 2(4), pp. 075-078 Copyright © 2013 Global Advanced Research Journals http://garj.org/garjah/9/2013/2/4/the-new-architecture-of-mosque- design- to-express-the-modernity-of-moslems

2013 The Idea of “Architecture Stage”: A Non-Material Architecture Theory, Oct. 2013, Volume 7, No. 10 (Serial No. 71), pp. 1323-1328 Journal of Civil Engineering and Architecture, ISSN 1934-7359, USA http://www.davidpublisher.org/Public/uploads/Contribute/5551b9f53bc 54.pdf

2014 The Fashion-Architecture’s Theory: Reflecting Tribe Civilization into Contemporary Age, Dec. 2014, Volume 8, No. 12 (Serial No. 85), pp. 1536-1541 pada Journal of Civil Engineering and Architecture, ISSN 1934-7359, USA https://pdfs.semanticscholar.org/cf7e/98d81b60226ca66e1a07a7db8a94 08390ac5.pdf?

| hal 146

2016 Khora as a New Method in Art and Architecture Field International Journal of Philosophy and Social Sciences. Volume 1, Number 1 (2016), pp. 21-32 © Research India Publications http://www.ripublication.com https://www.ripublication.com/ijpss16/ijpssv1n1_02.pdf

2017 “A” New Museum of Indonesian Batik: An Architecture of “Showing off” pada Journal of Civil Engineering and Architecture 11 (2017) 305-312 doi: 10.17265/1934-7359/2017.03.010 https://www.davidpublisher.org/Public/uploads/Contribute/592fc8a606a cf.pdf

2017 Toward The Tallest Statue Of Garuda Wisnu Kencana: An Exploration of The Architectonic Design of The Land Art of Nyoman Nuarta’s Work pada International Journal of Civil Engineering and Technology (IJCIET) Volume 8, Issue 11, November 2017, pp. 357– 367, Article ID: IJCIET_08_11_038 http://www.iaeme.com/MasterAdmin/UploadFolder/IJCIET_08_11_03 8/IJCIET_08_11_038.pdf

| hal 147

2018 Architectonics: Design of the Nu Art Museum in Bandung . The International Journal of Architectonic, Spatial, and Environmental Design 12 (3): 17-28. doi:10.18848/2325-1662/CGP/v12i03/17-28. Extent: 12 pages https://cgscholar.com/bookstore/works/architectonics-design-of-the-nu- art-museum-in-bandung

2019 An Artificial Intelligent of Princess Mandalika Legend: A New Strategy to Sustain The Resort of Mandalika Lombok pada International Journal of Civil Engineering and Technology (IJCIET) Volume 10, Issue 01, January 2019, pp. 1792-1800, Article ID: IJCIET_10_01_166 http://www.iaeme.com/MasterAdmin/UploadFolder/IJCIET_10_01_16 6-2-3-4-5-6/IJCIET_10_01_166-2-3-4-5-6.pdf

Kontak seluler 0811800075, surel:[email protected] dan [email protected]. URL: https://scholar.google.co.id/citations?user=I9cnBrkAAAAJ&hl=id.

| hal 148