View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE

provided by Forum Arkeologi

TIPOLOGI BANGUNAN KOLONIAL BELANDA DI SINGARAJA Typology of Dutch Colonial Building in Singaraja

Gendro Keling Balai Arkeologi Bali Jl. Raya Sesetan No. 80 Denpasar 80223 Email: [email protected]

Naskah diterima: 06-04-2016; direvisi: 13-06-2016; disetujui: 25-07-2016

Abstract The presence of architecture, both traditional and , has historical and archaeological values and can be regarded as an identity of a city. However, modernization often leaves no place for historical buildings that actually have important roles in shaping the characteristic of place. The aim of this research is to identify the typology or the types of colonial architecture buildings in Singaraja and its characteristics. This research used descriptive- qualitiative method. The data were collected through literature study, observation, and interview. The analysis was done through categorization based on the similarity of types, form, structure, and character of building. The result of this research shows that some of the architectural styles which exist in Singaraja are style, style, and gothic style. In general, the typologies of colonial buildings in Singaraja are government building, residential building, public infrastructures, etc with relatively small in size and very adaptive to the climate and natural conditions in , especially Singaraja. Keywords: architecture, typology, colonial, singaraja.

Abstrak Keberadaan arsitektur, baik tradisional maupun kolonial, memiliki nilai historis dan arkeologis dan dapat dianggap sebagai identitas suatu kota. Namun, modernisasi seringkali tidak menyisakan tempat untuk bangunan tua atau bersejarah yang sebenarnya memiliki peran penting dalam pembentukan karakteristik suatu tempat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tipologi atau tipe-tipe bangunan-bangunan peninggalan kolonial di Singaraja beserta karakteristik arsitekturnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, observasi, dan wawancara. Analisis dilakukan melalui pengelompokan berdasarkan kesamaan tipe, bentuk, struktur, dan karakter bangunan. Penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa gaya arsitektur yang ada di Singaraja antara lain gaya art deco, landhuis, dan gothic. Secara umum, tipologi bangunan kolonial di Singaraja antara lain, gedung pemerintahan, rumah tinggal, sarana umum, dan lain-lain dengan karakteristik bentuk yang relatif kecil, dan sangat adaptif terhadap iklim dan kondisi alam di Indonesia, khususnya Singaraja. Kata kunci: arsitektur, tipologi, kolonial, singaraja.

PENDAHULUAN dan kelangkaan, biasanya sangat dikenal oleh Warisan budaya kota atau yang disebut masyarakat yang secara langsung menunjuk dengan urban heritage adalah objek-objek dan pada suatu lokasi dan karakter kebudayaan kegiatan di perkotaan yang memberi karakter suatu kota. Banyak bangunan kuno yang budaya yang khas bagi kota yang bersangkutan. terlantar dan tidak terpelihara karena kurangnya Keberadaan bangunan kuno dan aktifitas apresiasi masyarakat terhadap usaha pelestarian masyarakat yang memiliki nilai sejarah, estetika, bangunan tua di berbagai kota di Indonesia. Hal

Tipologi Bangunan Kolonial Belanda di Singaraja 65 Gendro Keling ini menjadi kontroversi, di satu sisi bangunan Trust, Komunitas Pecinta Kota Tua, Komunitas kolonial dianggap sebagai bukti kelam sejarah Historia, Paguyuban Pelestarian Budaya penjajahan Belanda sehingga sering kali Bandung, dan lain-lain. Dengan disahkannya bangunan tersebut dihancurkan dan telantar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang begitu saja. Tidak dapat dipungkiri bahwa Bangunan Gedung (UUBG) dan diperkuat keberadaan bangunan tua di Indonesia menjadi dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 salah satu wajah yang menambah keragaman tentang Cagar Budaya (UUCB) membuka wujud kebudayaan Indonesia. Penjajahan yang peluang bagi perlindungan dan pemanfaatan dilakukan oleh bangsa asing terhadap Indonesia bangunan bersejarah. Apabila keberadaan memang memberikan sejarah kelam, akan arsitektur kolonial Belanda tersebut tetap utuh tetapi seharusnya posisi sejarah dapat menjadi hingga masa yang akan datang, sungguh menjadi indah apabila ditempatkan pada posisi yang warisan budaya kota yang tidak ternilai bagi jati benar dan tepat (Artadi 2011). diri sebuah kota. Arsitektur kolonial Belanda Seringkali bangunan menjadi saksi merupakan peninggalan dari urban heritage bisu dari berbagai peristiwa pada masa sekaligus bukti sejarah karena dalam berbagai digunakan di alam maupun di sekitarnya. aspek berbeda dengan bangunan modern pada Oleh karena itu, selain bangunan mempunyai masa kini, walaupun dibangun dengan gaya nilai ruang, keindahan, konstruksi, dan yang sama. Perkembangan arsitektur kolonial teknologi (arsitektural) juga mempunyai nilai Belanda bukan hanya diterapkan pada bangunan sejarah. Makin lama bangunan berdiri makin pemerintah dan fasilitas umum lainnya, tetapi membuktikan tinggi nilai sejarah budaya serta juga dipakai pada bangunan rumah tinggal teknik pembuatannya. Sangat disesalkan di orang asing khususnya Belanda. Penggunaan beberapa tempat di Indonesia banyak terjadi gaya bangunan kolonial pada bangunan kolonial pembongkaran bangunan bernilai budaya dan sebagai simbol hegemoni penjajah saat itu. sejarah tinggi dengan berbagai alasan. Hal ini Pada abad ke-16, orang Belanda datang ke terjadi sebagai akibat dari kurangnya apresiasi Indonesia hanya untuk berdagang, tetapi pada terhadap kedua nilai tersebut. perkembangannya, tujuan awal orang–orang Negara-negara maju di Eropa pernah Belanda ini berubah menjadi keinginan untuk menyesali pembongkaran-pembongkaran memonopoli perdagangan. Belanda mendirikan bangunan lama, baik karena perang maupun gudang-gudang (pakhuizen) untuk menimbun karena dorongan kebutuhan lainnya. Oleh barang dagangan yang berupa rempah-rempah, karena itu, mereka berusaha melindunginya antara lain di dan Jayakarta. Tahun dengan berbagai peraturan dan undang-undang 1602 Belanda membentuk organisasi dagang yang diterapkan secara konsisten. Meskipun yang diberi nama Vereenigde Oost-indische bangunan itu dikategorikan sebagai bangunan Company (VOC) (Kartodirjo 2014, 82). Selain milik pribadi dan peninggalan sejarah, pemilik memiliki modal besar mereka juga mendirikan bangunan tidak boleh merombak apalagi gudang penyimpanan barang dagangan serta membongkar bangunan tersebut. kantor dagang, kemudian ditingkatkan menjadi Bercermin dari kejadian tersebut, di benteng pertahanan sekaligus tempat tinggal. Indonesia mulai muncul kesadaran dari berbagai Sekitar abad ke-17, Belanda mulai memperkuat kalangan dan akademisi dalam usaha pelestarian posisinya di wilayah Indonesia dengan bangunan bersejarah. Berbagai komunitas melakukan berbagai intervensi, termasuk di pecinta warisan budaya mulai bermunculan dalam bidang politik. Berkuasa secara politis dan menunjukkan eksistensinya, beberapa dan bertempat tinggalnya bangsa Eropa turut di antaranya adalah Balai Pelestarian Pusaka mempengaruhi keberadaan unsur fisik kota- Indonesia (BPPI) atau Indonesian Heritage kota di Indonesia. Inilah awal mula munculnya

66 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus 2016 (65 - 80) rancangan kota kolonial Belanda di Indonesia. pemerintahan yang oleh Belanda dibangun Arsitektur kolonial Belanda adalah arsitekur mendampingi kota tradisi puri. Arsitektur yang dibangun dan berkembang pada masa kotanya dapat dipahami sebagai akulturasi kolonialisme Belanda di Indonesia, termasuk dari beberapa etnis dan bangsa-bangsa lain, masa pemerintahan VOC dan pemerintah antara lain seperti pengaruh India (arsitektur Kerajaan Belanda. Rentang waktu Arsitekur peribadatan), Belanda (arsitektur kolonial, kolonial Belanda ini dimulai sejak kedatangan jembatan, sampai Pelabuhan Pabean), Cina orang-orang Belanda melalui VOC-nya hingga (bangunan kelenteng/kong tjo), eksistensi masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam Kerajaan Buleleng (peninggalan arsitektur sejarah perjalanannya arsitekur kolonial puri), bahkan juga Islam (adanya perkampungan Belanda di Indonesia mengenal berbagai Bugis). Makna historis ini juga menjiwai macam gaya dan aliran, misalnya the empire tampilan ragam hias dalam arsitekturnya, yang style atau disebut juga arsitektur indis, art deco, pada asal mulanya memiliki ciri ornamen khas school, dan de stijl (Akihary 1990, Buleleng. Dari semua pengaruh heterogenitas 12). Peninggalan penjajahan tersebut masih di atas, penelitian ini berfokus pada pengaruh dapat dilihat melalui objek-objek arsitektur bangsa Belanda, terutama dalam bidang yang ada di Indonesia. Bangunan-bangunan arsitektur bangunannya. dengan gaya arsitektur kolonial Belanda Berdasarkan uraian di atas, permasalahan masih banyak dijumpai di kota-kota yang yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah pernah diduduki oleh Pemerintah Kolonial bagaimana tipologi bangunan kolonial Belanda Belanda pada saat penjajahan berlangsung, di Singaraja dan bagaimana karakteristik salah satunya adalah Kota Singaraja. Singaraja arsitektur dari bangunan-bangunan tersebut. pernah dijadikan sebagai ibu kota Provinsi Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Sunda Kecil yang membawahi wilayah Bali, mengetahui tipologi bangunan kolonial Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Belanda di Singaraja serta untuk mengetahui Timur. Sebagai pusat Pemerintahan Sunda karakteristik arsitektur dari bangunan-bangunan Kecil ketika itu, Singaraja memiliki beragam tersebut. Dengan memahami dan memecahkan bentuk arsitektur peninggalan Belanda. Dengan permasalahan di atas, output dari penelitian ini demikian, Singaraja sangat menarik diteliti diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk untuk mengetahui tipe-tipe bangunan kolonial penulisan-penulisan sejarah bidang arkeologi, Belanda yang ada. khususnya sejarah arsitektur pada masa Kota Singaraja yang terletak di Bali kolonial di daerah Bali. Selain itu, penelitian Utara menjadi penting dan unik, ketika tradisi ini diharapkan juga dapat dijadikan sebagai yang menyelimutinya berkembang atau acuan oleh pemerintah daerah dan stakeholders berubah tidak secepat kota-kota lainnya di dalam upaya penataan kawasan perkotaan tanpa Bali. Perkembangan bangunan kolonial di mengesampingkan keberadaan bangunan- Singaraja tidak terlepas dari pengaruh Eropa bangunan kuno yang bersejarah, sehingga yang mempengaruhi wilayah ini. Hal ini dapat tercipta sebuah kota modern dan bernuansa diketahui dari perjalanan sejarah hubungan kota kuno. Dalam memecahkan masalah yang antara raja-raja Buleleng dengan kaum kolonial. dikaji, beberapa teori arsitektur yang digunakan Seperti yang ditulis dalam sejarah bahwa adalah teori tipologi dan tipomorfologi. Terkait Buleleng merupakan wilayah yang strategis dengan tipologi, Iswati (2003, 124) menyatakan untuk dikembangkan. sebagai berikut. Keunikan lain Singaraja sebagai salah “Tipologi adalah studi tentang tipe. satu kota di daerah pesisir, ialah dari segi Tipe adalah kelompok dari objek yang morfologinya terdapat dua lapis pusat kota memiliki ciri khas struktur formal yang

Tipologi Bangunan Kolonial Belanda di Singaraja 67 Gendro Keling sama. Tipologi merupakan studi tentang yang berupa pemilahan atau pengklasifikasian pengelompokan objek sebagai model, bentuk keragaman dan kesamaan jenis. Data melalui kesamaan bentuk dan struktur, yang diperoleh di lapangan diklasifikasikan yaitu studi tentang tipe dengan kegiatan terlebih dahulu, kemudian diidentifikasi lebih kategorisasi dan klasifikasi untuk jauh berdasarkan bentuk kenampakan luar, menghasilkan tipe. Kegiatan kategori serta keruangan untuk mendapatkan kesamaan dan tipe tersebut sekaligus dapat dilihat tipe dan sifat dari data tersebut. Penelitian keragaman dan keseragamannya.” ini mengikuti teori tipologi dari Iswati dan Menurut Johnson (1994, 288), tipologi tipomorfologi yang dikemukakan oleh Moudon adalah kajian tipe. Tipe berasal dari kata typos dan Norberg-Schulz. Penelitian dilanjutkan (Yunani) yang berarti impresi, gambaran, atau dengan analisis arsitektural dan analisis figur dari suatu objek. Secara umum, tipe stilistik untuk mengetahui bentuk dan gaya sering digunakan untuk menjelaskan bentuk arsitekturnya, kemudian analisis kontekstual keseluruhan, struktur, atau karakter dari suatu dan analisis komparatif digunakan untuk bentuk atau objek tertentu. Menurut Rossi mengetahui konteks dan perbandingan antara (1982, 67), jika ditinjau dari objek bangunan, bangunan satu dengan yang lain. tipologi terbagi atas tiga hal pokok, yaitu site (tapak) bangunan, form (bentuk) bangunan, dan METODE organisasi bagian-bagian bangunan tersebut. Penelitian mengenai arsitektur kolonial Berdasarkan teori yang dikemukakan di ini dilakukan di Singaraja. Kota Singaraja atas, dapat disimpulkan bahwa tipologi adalah merupakan bagian dari wilayah administrasi suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu Kabupaten Buleleng (gambar 1). Secara tentang tipe. Tipologi arsitektur atau dalam hal astronomis kota Singaraja terletak pada 8º3'40"- ini tipologi bangunan erat kaitannya dengan suatu penelusuran elemen-elemen pembentuk suatu sistem objek bangunan atau arsitektural. Elemen-elemen tersebut merupakan organisme arsitektural terkecil yang berkaitan untuk mengidentifikasi tipologi dan untuk membentuk suatu sistem. Elemen-elemen tersebut mengalami suatu proyek komposisi, seperti penggabungan, pengurangan, stilirisasi bentuk, dan sebagainya. Teori tipologi dalam penelitian ini digunakan untuk mengklasifikasikan data melalui kesamaan bentuk, struktur, dan karakter dari bangunan kolonial di Singaraja. Teori selanjutnya adalah tipomorfologi yang merupakan metode untuk mengetahui bentuk-bentuk arsitektural. Menurut Moudon (1994, 289-290), tipomorfologi adalah pendekatan untuk mengungkapkan struktur fisik dan keruangan. Studi tersebut merupakan gabungan dari studi tipologi dan morfologi. Menurut Norberg-Schulz (1980, 203), tipomorfologi dideskripsikan sebagai kelompok Gambar 1. Peta Singaraja. objek berdasarkan kesamaan sifat-sifat dasar (Sumber: Peta dibuat Rusdianto, diolah Penulis)

68 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus 2016 (65 - 80) 8º23'00" Lintang Selatan dan 114º25'55"- bahan dalam tahapan analisis data. Teknik 115º27'28" Bujur Timur. Berdasarkan analisis yang dipergunakan dalam penelitian pengamatan di lapangan, pola permukiman di ini bersifat kualitatif, yaitu memahami data kota Singaraja ini telah mengarah pada perkotaan untuk memperoleh informasi mengenai fungsi dengan tingkat heterogenitas yang cukup dari suatu artefak atau fitur. Penelitian ini tinggi. Secara administratif, wilayah Singaraja menggunakan empat teknik analisis, yaitu berbatasan dengan Laut Bali di sebelah utara, analisis arsitektural, analisis stilistik, analisis Desa Gitgit di sebelah selatan, Desa Kerobokan kontekstual, dan analisis komparatif. Analisis di sebelah timur, dan Desa Pemaron di sebelah arsitektural adalah analisis terhadap suatu barat. Penelitian ini menggunakan metode bangunan yang pada dasarnya berkenaan dengan deskriptif-kualitatif. Metode digunakan untuk bagian struktural yang tampak di permukaan mengumpulkan, mengolah, menganalisis, dan tanah, dan juga bentuk dan teknologi pondasi menafsirkan data yang diperoleh, baik yang bangunan (Puslitarkenas 1999, 88). Analisis bersumber dari studi pustaka maupun lapangan. arsitektural dalam penelitian ini adalah analisis Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa mengenai bentuk arsitektur secara keseluruhan tahap, antara lain studi pustaka, pengamatan dengan pengamatan secara mendalam pada lapangan (observasi), dan wawancara. Tahap ciri-ciri arsitektur kolonial Belanda pada studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan umumnya. Analisis stilistik ditujukan untuk bahan-bahan literatur dan bacaan berupa naskah- mengungkapkan perkembangan bentuk gaya naskah, artikel, buku-buku, terbitan ilmiah, data- arsitektur dalam suatu periode. Hal ini dapat data informasi geospasial untuk pengolahan dilakukan pada beberapa bangunan. Penelitian peta, dan penelusuran informasi tentang objek ini menekankan pada langgam atau gaya yang penelitian lain yang masih relevan. Tahap terdapat pada arsitektur kolonial Belanda berikutnya yaitu obsevasi atau pengamatan yang memiliki ciri khas. Analisis kontekstual lapangan. Dalam studi arkeologi, observasi dilakukan untuk mengetahui hubungan adalah pengamatan tinggalan arkeologi di bangunan dengan bangunan-bangunan di lapangan, untuk memperoleh gambaran tentang sekitarnya yang ditujukan untuk mengetahui potensi data arkeologi dari suatu tempat atau fungsinya serta hubungan bangunan dengan areal. Pengamatan lapangan dilakukan terhadap lingkungannya untuk mengetahui sumber daya objek penelitian dan keadaan lingkungan lingkungan, sesuai dengan konteks bangunan secara mendalam, disertai pencatatan secara didirikan. Konteks yang terkait dalam sistematis dan pendokumentasian. Kemudian, penelitian ini ialah analisis yang menekankan tahap wawancara dilakukan dengan beberapa perhatiannya kepada hubungan antardata. informan dari instansi yang berbeda, yaitu Penerapannya pada penelitian ditekankan pada veteran, instansi pemerintah daerah, kepala desa, hubungan antara arsitektur kolonial Belanda dan tokoh masyarakat. Teknik wawancara yang dengan kondisi lingkungan fisik di sekitarnya, digunakan adalah wawancara tidak terstruktur. sekaligus hubungan keletakan antara arsitektur Meskipun demikian, arah pertanyaan selalu kolonial Belanda yang satu dengan yang dipusatkan pada pokok-pokok permasalahan lainnya. Studi komparasi atau perbandingan tertentu, sehingga wawancara ini dapat dilakukan dengan maksud untuk mengetahui menghasilkan informasi pembanding untuk kemungkinan adanya persamaan tipe-tipe data tertulis yang sudah ada. bangunan kolonial Belanda di Singaraja dengan Setelah data kepustakaan dan lapangan kota-kota lain, seperti Malang, Surabaya, dan terkumpul, data tersebut kemudian diseleksi Bandung dengan pertimbangan bahwa berada dan diolah lebih lanjut untuk dijadikan dalam kurun waktu yang sezaman.

Tipologi Bangunan Kolonial Belanda di Singaraja 69 Gendro Keling HASIL DAN PEMBAHASAN dan 1 desa, yaitu Kelurahan Banyuasri, Gambaran Umum Kota Singaraja Kelurahan Kaliuntu, Kelurahan Kampung Kota Singaraja merupakan bagian dari Anyar, Kelurahan Kampung Bugis, Kelurahan wilayah administrasi Kabupaten Buleleng, Kampung Kajanan, Kelurahan Kampung Baru, yaitu sebagai ibu kota Kabupaten Buleleng Kelurahan Banjar Bali, Kelurahan Banjar yang merupakan salah satu dari delapan Jawa, Kelurahan Banyuning, Kelurahan Astina, kota/kabupaten di Bali. Kabupaten Buleleng Kelurahan Kendran, Kelurahan Singaraja, merupakan kabupaten yang paling luas Kelurahan Liligundi, Kelurahan Paket Agung, dibanding kabupaten lain di Bali, sehingga pada Kelurahan Banjar Tegal, Kelurahan Bratan, masa kolonial Belanda, Kabupaten Buleleng Kelurahan Penarukan, Kelurahan Sukasada, dan disebut sebagai Bali Utara. Bila ditinjau secara Desa Baktiseraga. Sebagai kota yang memiliki geologis, wilayah ini tersusun atas batuan hasil kecenderungan penduduk yang tinggi dan letusan gunung berapi yang terjadi pada masa dapat melayani seluruh wilayah perencanaan yang berlainan. Batuan tersebut pada umumnya dalam skala regional, serta didukung oleh terdiri dari breksi, lava, dan tufa, kecuali adanya fasilitas dan prasarana, pola pergerakan sepanjang pantai utara yang tersusun dari penduduk pada umumnya bergerak menuju endapan aluvial, sedangkan jenis tanah pada ke kawasan niaga yang berada di sepanjang wilayah ini adalah tanah regosol dengan tekstur Jalan Ahmad Yani, Diponegoro, dan sekitarnya yang sebagian besar dalam kategori tekstur yang merupakan pusat pertokoan. Di samping sedang. Secara klimatologis, di daerah pantai pergerakan intrawilayah, pola pergerakan minimal 1.250 mm dan di daerah pegunungan penduduk juga mengarah keluar wilayah maksimal 2.500 mm (BPS Kabupaten Buleleng dengan skala pergerakan sedang dan rendah 2011, 23). yang didominasi pergerakan ke tempat wisata, Kondisi topografi di wilayah Singaraja seperti Lovina, bahkan keluar dari Kabupaten berada pada ketinggian antara 10-500 meter di Buleleng sendiri. atas permukaan laut (mdpl), dengan morfologi Beberapa etnis yang tinggal di Singaraja lahan dataran yang memiliki sudut lereng 0-5% antara lain, Cina, Arab, Bugis, Bali, dan orang- pada ketinggian 0-40 meter dan perbukitan orang Eropa. Masing-masing etnis menempati dengan sudut lereng 5-30% pada ketinggian wilayah tertentu. Orang Arab menempati daerah 40-1.400 meter. Luas seluruh wilayah Kota Kauman, orang Bugis menempati kawasan Singaraja adalah 27,89 km². Penduduk Kota Bugisan, orang Cina menempati wilayah Singaraja berdasarkan Statistik Buleleng 2003 Pecinan, orang Bali menempati Kampung Bali, berjumlah 82.527 jiwa, dengan kepadatan sedangkan orang-orang Eropa, terutama orang 3.200 jiwa/km² dan rata-rata pertumbuhan Belanda, menempati pusat kota. Dalam hal ini penduduknya mencapai 1,01%/tahun. Dari akan dikaji bangunan peninggalan kolonial data kependudukan di atas, Kota Singaraja Belanda di Kampung Bali, Kampung Pecinan, dapat digolongkan kelas kota kecil, di mana Kampung Kauman, dan Kampung Eropa berdasarkan kriteria BPS mengenai kelas kota, dengan pertimbangan peninggalan di kampung kota kecil adalah kota dengan jumlah penduduk tersebut mewakili karakteristik masing-masing antara 20.000 sampai 100.000 jiwa (BPS etnis, mulai dari Arab, Cina, Belanda, dan Bali. Kabupaten Buleleng 2011, 53-54). Dilihat dari perkembangan sejarah, pola Arsitektur Kolonial di Indonesia permukiman di Kota Singaraja telah mengarah Aristektur kolonial Belanda umumnya pada perkotaan dengan tingkat heterogenitas disesuaikan dengan peranan dan kedudukan yang cukup tinggi. Secara administratif Belanda di daerah koloninya, sebagai penguasa Singaraja terbagi menjadi 18 kelurahan dalam segala hal. Langgam yang terdapat pada

70 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus 2016 (65 - 80) arsitektur kolonial Belanda tetap memuat ide- arsitektur kolonial yang masih berdiri kokoh ide dari Eropa, tetapi pada perkembangannya hingga kini. disesuaikan dengan bahan dan iklim yang Pembabakan tersebut dapat dibagi empat, ada di Indonesia, bahkan terdapat pula gaya yaitu sebagai berikut. (1) Abad ke-16 sampai percampuran antara arsitektur Belanda tahun 1800-an. Waktu itu Indonesia masih dengan tradisional (Syarifudin 2007, 48-50). disebut sebagai Hindia Belanda, di bawah Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia kekuasaan VOC. Pada periode ini, arsitektur mengalami pengaruh occidental (barat) dalam kolonial Belanda kehilangan orientasinya berbagai segi kehidupan termasuk kebudayaan. dan tidak mempunyai suatu bentuk orientasi Hal tersebut antara lain dapat dilihat dalam yang jelas, yang lebih buruk lagi bangunan bentuk kota dan bangunan. Namun demikian yang ada tidak diusahakan untuk beradaptasi tidak dapat dipungkiri bahwa para pengelola dengan iklim tropis basah di Indonesia. (2) kota dan arsitek Belanda, tidak sedikit yang Tahun 1800-an sampai tahun 1902, waktu itu menerapkan konsep lokal atau tradisional di Pemerintah Belanda mengambil alih Hindia dalam merencanakan dan mengembangkan Belanda dari tangan VOC, sehingga Belanda kota, permukiman, dan bangunan-bangunan pada saat itu mulai mengambil bentuk yang (Sumalyo 1993, 3). megah, dan bangunan dengan gaya megah Jika ditinjau dari segi masa, ini dipinjam dari gaya arsitektur neo-klasik perkembangan arsitektur dibedakan dalam yang sebenarnya agak berlainan dengan gaya dua hal, yaitu perubahan secara perlahan- arsitektur nasional Belanda pada waktu itu. lahan atau evolusioner, dan yang kedua adalah Gaya ini sering disebut dengan gaya empire perubahan secara revolusioner (secara cepat). states. Bangunan ini sebenarnya tidak cocok Penggolongan dalam kategori pertama adalah dengan budaya Indonesia. (3) Tahun 1920-an, arsitektur tradisional dan kategori kedua adalah periode ini ditandai dengan makin banyaknya arsitektur modern. Arsitektur kolonial termasuk masyarakat Eropa, terutama Belanda yang dalam kategori kedua. Arsitektur kolonial tinggal di Indonesia. Hal ini mempengaruhi lahir dan berkembang sesuai dengan masa- bentuk arsitektur bangunan yang berorientasi masa penjajahan Belanda di Indonesia. Dalam pada induknya di Belanda. (4) Tahun 1920-an waktu yang lama yaitu kurang lebih 350 tahun, sampai tahun 1940-an. Pada tahun 1920-an terjadi perkembangan dan perubahan bentuk mulai muncul pergerakan baru dalam dunia dari arsitektur kolonial ini. Dimulai sekitar aristektur, baik nasional maupun international, abad ke-16 sampai dengan sekitar tahun 1960- di Belanda yang kemudian mempengaruhi gaya an. Tercatat banyak bangunan karya arsitek arsitektur kolonial di Indonesia. Gaya tersebut Belanda yang dapat dijadikan bahan referensi kadang diikuti langsung dan kadang pula sekaligus warisan budaya Indonesia. Petrus dicampur (ekletisme) atau gaya campuran. Pada Berlage, Maclaine Pont, Thomas Karsen, J. masa itulah muncul arsitek yang memandang Emei, Schoemaker, dan lain-lain merupakan perlu untuk memberikan ciri khusus pada deretan nama arsitek dan beberapa karyanya arsitektur Hindia Belanda, dan menggunakan masih bisa disaksikan saat ini. Sebut saja kebudayaan tradisional (Handinoto 1996, 129- kompleks Institut Teknologi Bandung karya 130). Maclaine Pont yang disebut sebagai arsitektur kolonial yang bernuansa Indonesia, Museum Tipologi Bangunan Kolonial Belanda di Sonobudoyo di Yogyakarta, Villa Essola di Singaraja Bandung, dan bekas kantor Gubernur Batavia, Kajian tentang arsitektur kolonial, yang saat ini telah dialihfungsikan sebagai terutama di Singaraja, masih sangat minim Museum Fatahillah, merupakan karya-karya ditemukan. Dalam hal ini digunakan beberapa

Tipologi Bangunan Kolonial Belanda di Singaraja 71 Gendro Keling studi mengenai arsitektur kolonial Belanda di Bali pada tahun 1849 merupakan masa periode kota lain sebagai pembanding. Antara tahun kedua perkembangan arsitektur kolonial di 1920-1940, pembangunan Kota Bandung Indonesia (tahun 1800-1902). mencapai puncaknya. Arsitek Belanda yang Kontak pertama Belanda dengan Bali tinggal di Indonesia kala itu melakukan inovasi dimulai sekitar abad ke-16, saat Gelgel menjadi dalam hal seni bangunan yang berbeda dari pusat pemerintahan kerajaan. Utusan Belanda yang mereka lakukan di negeri asalnya yang meminta izin kepada Raja Dalem Sagening beriklim subtropis. Hal ini berkaitan dengan untuk mendirikan basis dagangnya di Kuta. Di upaya mencari identitas arsitektur kolonial samping tujuan dagang, pemerintah Belanda Belanda di Indonesia dengan arsitektur Jawa mulai melakukan rongrongan politik dan sebagai rujukannya. Upaya ini menghasilkan memperkuat pengaruhnya di Bali. Pada tahun seni bangunan baru yaitu arsitektur indis. 1882, pemerintah Belanda secara berangsur- Perpaduan gaya arsitektur ini mempunyai angsur menguasai politik di Bali dan mulai karakter seperti memadukan budaya barat menempatkan pegawai pemerintahannya di dan Nusantara, bentuknya simetris, memiliki setiap kerajaan di Bali (Agung 1984, 8). Kondisi ritme vertikal dan horizontal yang relatif tersebut bisa dikatakan bahwa masa penjajahan sangat kuat, konstruksi bangunan disesuaikan di Bali sangat singkat bila dibandingkan dengan iklim tropis, terutama pada pengaturan dengan masa penjajahan di Indonesia pada ruang, pencahayaan, perlindungan terhadap umumnya. Dengan demikian, arsitektur hujan, pengaturan sirkulasi udara, memiliki bangunan peninggalan kolonial Belanda di Bali ruang yang luas, tembok tebal, atap tinggi, dan tidak sebanyak peninggalan kolonial Belanda umumnya menggunakan lantai dari marmer di Jawa. Secara umum, bangunan arsitektur (www.bandungheritage.org). kolonial di Bali lebih banyak ditemukan di Handinoto (1993, 1-16) menyatakan Kota Singaraja. Hal ini disebabkan karena pusat bahwa sebelum tahun 1900, arsitektur Belanda pemerintahan dahulu berada di kota ini, sebelum di Surabaya mempunyai mutu yang rendah. dipindahkan ke Denpasar. Peninggalan ini pada Hal ini diakibatkan karena tidak adanya arsitek umumnya juga tidak terlalu besar dan lebih profesional yang berpendidikan akademis banyak berfungsi sebagai rumah tinggal, rumah yang berpraktik di Indonesia kala itu. Setelah dinas, dan beberapa sarana pendukung lain. tahun 1900, mulai berdatangan arsitek dari Tipologi arsitektur kolonial Belanda di kota- negeri Belanda ke Surabaya dan menerapkan kota besar jumlahnya cukup banyak, antara lain akulturasi arsitektur lokal dan Eropa dengan gedung-gedung umum, sarana pemerintahan, karakteristik seperti menggunakan banyak bangunan militer, rumah tempat tinggal, gavel pada bagian facade, menggunakan tower sarana peribadatan, monumen, dan pertamanan pada pintu masuk, terdapat beberapa detail (Soekiman 1982, 664-665). Berdasarkan ornamen khas Belanda, dan menyesuaikan pengamatan di lapangan, tipologi tinggalan dengan iklim daerah setempat. kolonial Belanda yang ada di Singaraja dapat Artadi (2011) mengatakan bahwa dijelaskan sebagai berikut. arsitektur kolonial di Kabupaten Buleleng Gedung-gedung umum meliputi sarana tersebar di beberapa kawasan bersejarah di Kota pendidikan (SMPN 1 Singaraja dan SDN 1 Singaraja, seperti bangunan sarana perkantoran Singaraja), gardu listrik, dan Jembatan Pabean. dan perumahan di Jalan Veteran, Jalan Gajah SMPN 1 Singaraja dibangun pada abad ke-19 Mada, Jalan Ngurah Rai, dan di sekitar Masehi. Bangunan ini pada mulanya digunakan Pelabuhan Pabean. Berdasarkan periodisasi sebagai sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Onderwijs). Bangunan ini memiliki luas 43,5 Indonesia, masa awal Belanda menundukkan meter x 24 meter, terletak di Jalan Gajah Mada

72 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus 2016 (65 - 80) no. 109, Kelurahan Banjar Bali, Kecamatan pada bagian baratnya. Bagian puncak (nok Buleleng (gambar 2). Pada tahun 1946-1958, acroterie) memakai hiasan lingkaran pipih ditumpuk dengan hiasan bola-bola. Pada bagian atap terdapat dua jendela semu dari kayu dengan lubang ventilasi. Kemuncak atap depan voorschot berbentuk polos dan dihias dengan bilah kayu yang dipasang vertikal dan motif hias art deco dari bahan bilah-bilah kayu. Arsitektur art deco berkembang antara tahun 1920 sampai 1940-an dan gemanya juga mulai dirasakan juga di negeri jajahan Belanda, termasuk Indonesia (Syarifudin 2007, 55). Sarana pendidikan lainya adalah SDN 1 Singaraja. Sekolah ini dikelilingi pagar tembok keliling dan memiliki dua pintu gerbang, yaitu di sebelah utara dan di sebelah timur. Gambar 2. Gedung bekas MULO, Bangunan ini memiliki lima bangunan, yaitu sekarang menjadi SMP 1 Singaraja. (Sumber: Dokumen pribadi) tiga buah bangunan untuk ruang belajar, satu buah bangunan untuk ruang guru, dan satu buah bangunan ini difungsikan sebagai SMAN 1 ruang untuk WC/toilet. Bangunan dari tinggalan dan SMPN 1 Singaraja, kemudian tahun 1958 kolonial Belanda, yaitu ruang belajar. Denah sampai sekarang difungsikan sebagai SMPN 1 bangunan berbentuk persegi panjang, dengan Singaraja. Tata ruang bangunan ini berbentuk konstruksi bangunan terdiri dari bagian kaki, model W, bagian depan memakai 5 pintu double badan, dan atap. Dinding bangunan terbuat dari dan 10 buah jendela double. Lantai bangunan batu bata yang diplester. Atapnya berbentuk terbuat dari tegel berwarna abu-abu berukuran limas. Tiap-tiap ruang memiliki dua buah pintu 20 cm x 20 cm. Bagian depan memakai masuk dan empat buah jendela, masing-masing serambi, dan tiang-tiang kayu sebanyak 11 berada di arah utara dan selatan, serta terdapat di tiang sisi samping kiri utara, 6 tiang pada satu buah pintu dan dua buah jendela. Bagian bagian tengah dan pinggir selatan, serta 11 tiang atas pintu dan jendela terdapat ram yang terbuat pada sisi serambi selatan. Bagian atas tiang dari kayu dan dihiasi dengan kaca, serta di atas menggunakan struktur penguat konsol dan masing-masing ram terdapat tiga buah lubang bagian bawah tiang menggunakan umpak beton. angin. Pintu depan berbentuk kupu tarung dengan Bangunan gardu listrik terletak di Banjar dua buah kaca pada bagian atasnya.masing- Kampung Bali, Kecamatan Buleleng, memiliki masing pintu terdapat ventilasi dengan motif tinggi 6,5 meter dengan luas bangunan 3 meter kotak-kotak kayu. Serambi selatan memakai x 2,7 meter. Gardu ini berbentuk balok. Pada dua pintu double dengan empat jendela double. sisi persegi, terdapat lima buah ceruk-ceruk Bagian atap berbentuk atap kembar, bagian panjang dan masing-masing terdapat dua buah tengah W memakai satu pintu. Bagian atap, ventilasi persegi dengan tanda X di tengahnya. pada pinggir-pinggir memakai emper sebagai Pintu terletak di sebelah selatan dan jendela kaki. Pada bagian bangunan sisi utara memakai terdapat di sisi barat dengan bahan besi, daun 13 tiang pada serambi, sedangkan pada bagian jendela berdaun double, bagian sisi barat tengah sisi utara dengan tujuh buah tiang. terdapat arsah satu buah, bagian atap terbuat dari Bangunan paling utara memakai atap tingkat beton cor berbentuk segi empat dengan bagian

Tipologi Bangunan Kolonial Belanda di Singaraja 73 Gendro Keling permukaan datar di bagian kaki. Bangunan ini pintu tunggal dan satu buah pintu ganda pada digunakan untuk mengontrol sirkulasi listrik di bagian selatan. Kaca pintu dilengkapi terali besi wilayah Singaraja dan sekitarnya. yang disusun dengan motif belah ketupat. Pada Jembatan Pabean terletak di Kelurahan bagian atas masing-masing jendela dilengkapi Kampung Tinggi, Kecamatan Buleleng yang dengan ventilasi yang ditutup dengan terali besi dibangun sekitar abad ke-18. Bangunan ini dengan motif hias geometris dan garis vertikal. terbuat dari beton dengan arsitektur melengkung Di samping timur bangunan memakai jendela dan bilah vertikal. Bagian pondasi jembatan ganda berjumlah lima buah. Bagian depan terbuat dari susunan batu kali dan bagian dalam memakai empat buah tiang dengan bentuk struktur memakai besi cor baja dan lapisan beton balok berukuran 14 cm x 44 cm, di samping dengan tebal 63 cm. Bagian sisi dasar memakai timur dengan tiang enam buah, dan serambi beton dan dilapisi dengan aspal. Bagian dinding samping barat dengan enam buah tiang. Di memakai pilar-pilar beton sebanyak 11 buah sekeliling bangunan luar terdapat selasar dengan sistem perkuatan bilah melintang tiga melingkar dan bagian dalam atap bangunan buah di bagian atasnya. Bagian atas memakai dilapisi dengan plafon bersusun. Pada bagian balok melengkung dari ujung ke ujung dan pada atas masing-masing jendela dan pintu terdapat dinding masing-masing sisi memakai pagar deretan ventilasi bujur sangkar berukuran 20 pengaman dari bahan besi yang tersusun dari cm x 20 cm. Bagian dalam terdapat tiga bilik barat ke timur. Bagian kanan dan kiri jembatan memanjang ke belakang. Di bagian depan terdapat masing-masing sebuah anak jembatan bangunan terdapat dua arca dengan angka yang bentuknya lebih kecil. Anak jembatan tahun pembuatan gedung, yaitu 1922. Atapnya tersebut dilengkapi dengan pagar yang terbuat berbentuk limas bersusun dua. dari besi yang tersusun secara vertikal dan Kantor bupati pada awalnya berfungsi horizontal. sebagai Kantor Gubernur Sunda Kecil yang Selain bangunan tersebut, terdapat juga didirikan sekitar awal abad ke-19 Masehi. bangunan sarana pemerintahan, meliputi Saat ini digunakan sebagai Kantor Bupati Perpustakaan IKIP Singaraja, kantor bupati, Buleleng. Bangunan ini memiliki luas 746,81 Kantor Pelabuhan Buleleng, dan Gedung m2, berada di Jalan Pahlawan, Kelurahan STKIP. Perpustakaan IKIP Singaraja awalnya Banjar Tegal, Kecamatan Buleleng. Bangunan merupakan gedung pengadilan, didirikan ini berbentuk persegi panjang dan menghadap pada tahun 1922, terletak di Jalan Pahlawan, ke utara, serta memiliki struktur tiang bulat. Kelurahan Banjar Tegal, Kecamatan Buleleng. Bagian depan bangunan ini berupa serambi/ Saat ini berfungsi sebagai gedung perpustakaan lobi dan dilengkapi dengan pilar sebanyak dua IKIP Singaraja. Luas bangunan adalah 22 meter buah. Bagian tengah berupa ruangan kerja yang x 12,5 meter berdenah memanjang dengan arah terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian timur utara-selatan. Bangunan ini memiliki struktur dan bagian barat. Bagian belakang bangunan ini tiang persegi pada serambi depan dan samping. berupa aula dengan ruang kerja berada di sisi Pondasi bangunan dibuat dari bahan susunan timur. Pada dinding-dinding bangunan bagian batu kali dengan tinggi 55 cm. Lantai bangunan atas terdapat celah-celah sebagai ventilasi terbuat dari bahan tegel berwarna abu-abu yang dan sirkulasi udara. Selain itu bangunan berukuran 20 cm x 20 cm. Pada bagian depan ini dibuat dengan arsitektur terbuka untuk bangunan di depan pintu utama, terdapat tangga memaksimalkan pencahayaan yang masuk dan naik dengan tinggi 150 cm, memiliki serambi juga sirkulasi udara. depan dan samping. Serambi depan memakai Kantor Pelabuhan Buleleng terletak di dua buah jendela berdaun tiga dan pintu bekas pelabuhan kuno dan menghadap ke utara. double, bagian samping barat memakai empat Bangunan ini terletak di Kelurahan Kampung

74 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus 2016 (65 - 80) Tinggi, Kecamatan Buleleng. Bentuk arsitektur memiliki luas 70 meter x 28 meter. Denah bangunan ini bergaya landhuis. Saat ini berfungsi bangunan berbentuk persegi dengan pola tata sebagai restoran dengan luas 16,84 meter x 9 ruang melingkar, sedangkan bagian tengah meter. Tata letak ruangan dibagi menjadi dua, bangunan berupa taman. Bagian pondasi yaitu ruangan depan dan belakang. Pondasi ditinggikan 40 cm dari permukaan tanah. Pada bangunan ini ditinggikan 50 cm dari permukaan bagian serambi, terdapat dua buah tangga naik tanah, dan untuk menuju ke lantai ruangan di bagian kanan dan kiri dengan tiga buah dalam, terdapat empat anak tangga pada bagian anak tangga yang berhadapan dengan pintu depan bangunan. Pada bagian tubuh bangunan utama. Serambi depan ditopang dengan tiang- terdapat pilar berbentuk bundar. Jumlah tiang tipe corinthian yang berjumlah delapan pilar pada bagian depan bangunan sebanyak buah dengan pola garis-garis, bunga, dan sulur empat buah dan bagian samping kanan dan daun. Bagian sudut timur dan barat serambi kiri masing-masing sebanyak dua buah. Pada ditopang dengan tiang-tiang polos berbentuk umpak bagian samping bangunan terdapat persegi. Keseluruhan tiang-tiang tersebut tidak motif pelipit. Bagian umpak pilar berbentuk berdiri di atas lantai, tetapi terletak di atas persegi delapan (pentagonal) dan silinder hias pagar keliling selasar. Bagian samping timur dengan motif batu sikat warna hitam. Pada bangunan juga terdapat sebuah serambi yang masing-masing pilar terdapat struktur penguat berbentuk seperti serambi depan. Bagian atas berbentuk segitiga siku-siku yang menyangga jendela samping dilengkapi dengan tritisan bagian emperan bangunan. Pada bagian depan yang disangga dengan kerbil (penyangga) yang bangunan terdapat tiga pasang pintu ganda. Tiap terbuat dari bahan besi cor dengan motif hias satu pasang pintu terdapat empat daun pintu. sulur-suluran. Namun, atap tritisan sudah tidak Pada tiap daun pintu terdapat tiga jendela yang asli lagi dan terbuat dari seng. Bagian tembok dilengkapi terali sebagai komponen keamanan bangunan dengan ciri khas Eropa, yakni postur yang berbentuk silinder. Pada bagian depan yang tinggi untuk mempermudah sirkulasi bangunan terdapat enam buah jendela. Masing- udara, mengurangi panas dan lembab sebagai masing jendela tersebut terletak mengapit adaptasi dengan lingkungan beriklim tropis. pintu. Tiap jendela dilengkapi dengan tiga buah Bagian serambi depan memakai repel beton. kaca. Jendela ini bersifat permanen sehingga Pada bagian atasnya, terdapat relief dengan tidak dapat dibuka. Pada masing-masing bagian motif hias geometris, tetapi saat ini telah atas jendela dan pintu terdapat dua buah kaca terhalang oleh bentuk atap hasil renovasi. Pintu patri (stained glass) berwarna coklat, sehingga dan jendela bergaya model krepyak. Pintu ruang jumlah keseluruhannya adalah 12 buah. Untuk samping dan tengah yang menghubungkan menghubungkan ruangan dalam bagian depan antarruang berbentuk kupu tarung ganda, dengan belakang, terdapat tiga buah pintu ganda. dengan pintu bagian dalam berukuran lebih Pada tiap-tiap bagian atas pintu, terdapat lubang kecil. Setiap bagian atas dari pintu terdapat ventilasi berbentuk persegi yang dilengkapi ventilasi berbentuk persegi (kecuali ventilasi dengan terali besi dengan motif hias geometri pintu depan yang berbentuk setengah lingkaran) huruf S. Atap bangunan berbentuk trapesium yang dilengkapi dengan terali besi dengan yang terbuat dari asbes segi empat. Pada bagian motif hias garis-garis, belah ketupat, persegi, atap bangunan terdapat tiang listrik. dan diagonal. Bagian-bagian ruangan dibuat Gedung STKIP memiliki gaya art deco. berjejer melingkar, mulai dari depan, samping Bangunan ini awalnya berfungsi sebagai kanan, kiri, dan belakang yang berbentuk persegi rumah dinas Gubernur Sunda Kecil, terletak di panjang. Pada masing-masing sudut kanan Banjar Tegal, Kecamatan Buleleng. Bangunan dan kiri atap serambi depan terdapat hiasan ini didirikan sekitar abad ke-20 Masehi, dan noc acrotieri berbentuk cerobong asap semu

Tipologi Bangunan Kolonial Belanda di Singaraja 75 Gendro Keling dengan boven licth (lubang angin) berbentuk patung penjaga dengan angka tahun pembuatan lima garis horizontal. Atap berbentuk trapesium bangunan tersebut 6-8-21 (6 Agustus 1921). melingkar dengan hiasan pada atap top gevel Rumah Bapak Ida Bagus Citarasa (kemuncak) berbentuk kerucut yang berjumlah merupakan bangunan bergaya landhuis, terletak empat buah yang terdapat pada masing-masing di Jalan Surapati no. 9, Buleleng. Bangunan sudut atap. ini menghadap ke selatan dengan luas lahan Selanjutnya, terdapat rumah tempat 11 are. Denah bangunan berbentuk persegi tinggal, meliputi kediaman controleur, rumah panjang dengan pembagian bangunan terdiri kediaman milik Ida Bagus Citarasa, dan rumah dari halaman rumah depan, bagian tengah, dan kepala sekolah ELS. Kediaman controleur halaman belakang. Bangunan induk memiliki didirikan pada tanggal 6 agustus 1921, dan pada ukuran panjang 37 meter dan lebar 6,40 meter. awalnya berfungsi sebagai kantor controleur. Bagian pondasi ditinggikan dengan ukuran 60 Saat ini, bangunan tersebut sudah berubah cm dari permukaan tanah. Dinding bangunan fungsi menjadi bangunan Kantor Legiun berupa batu yang diplester dan dicat putih. Atap Veteran Replubik Indonesia Cabang Singaraja. bangunan berbentuk limas. Pada bagian timur, Bangunan ini terletak di Jalan Pahlawan, Banjar terdapat pintu terbuka dan tidak memiliki daun Tegal, Kecamatan Buleleng dengan luas lahan pintu. Lantai bangunan menggunakan semen. 275 m2 dan luas bangunan 22 meter x 12,5 Pencahayaan pada rumah ini menggunakan meter, serta terletak di sebelah barat gedung empat buah jendela berukuran besar di bagian perpustakaan IKIP Singaraja. Bangunan ini depan dan empat buah jendela di bagian dibangun memanjang ke belakang ke arah belakang rumah. Terdapat lubang angin di utara, dengan teras dan pintu masuk dari arah atas jendela yang berbentuk kolom kecil untuk utara. Bagian pondasi ditinggikan 60 cm dari sirkulasi udara. permukaan tanah dengan lantai bangunan Kediaman kepala sekolah ELS dibuat terbuat dari tegel berwarna abu-abu berukuran pada tahun 1921 yang awalnya berfungsi sebagai 20 cm x 20 cm. Struktur ruangan terbagi menjadi rumah dinas kepala sekolah Europeans Lager enam ruangan, yaitu bagian depan sebanyak dua School. Saat ini, bangunan tersebut berfungsi ruangan, bagian tengah sebanyak dua ruangan, sebagai rumah tinggal pribadi yang terdiri dari dan bagian belakang sebanyak dua ruangan. tujuh ruangan dan memiliki luas 15 meter x 14 Atap bangunan berbentuk persegi dengan meter. Denah bangunan ini berbentuk persegi genteng yang masih asli. Bagian tengah ruang panjang. Bagian pondasi lantai bangunan pertemuan diperkuat dengan balok melintang ini ditinggikan 60 cm dari tanah sekitarnya. horizontal dengan siku-siku pada tembok. Pada Ketebalan tembok bangunan pada dinding luar ruang besar bagian tengah, bagian atapnya adalah 60 cm dan tembok sekat antarruang di diperkuat dengan struktur gawangan yang dalam bangunan adalah 20 cm. Pada bagian terbuat dari balok kayu. Bagian samping timur depan bangunan terdapat satu pasang jendela menggunakan enam buah jendela lokal dan ganda berbentuk kupu tarung dan dua jendela satu pintu double, serta masing-masing jendela tunggal. Pada bagian atas masing-masing dilengkapi dengan terali besi dengan motif jendela terdapat lubang angin yang terbuat dari geometris. Pada pintu sekat ruang samping tegel dengan motif ceplok bunga. Pada bagian dilengkapi dengan hiasan stained glass (kaca belakang bangunan terdapat beranda dengan patri). Jendela bagian depan dan samping lebar dua meter dan garasi berbentuk persegi. utara juga berbentuk kupu tarung ganda dan Atapnya berbentuk limas dengan jendela dilengkapi dengan emperan pada bagian yang berukuran lebar sebagai usaha untuk atasnya. Pada bagian depan bangunan, terdapat menambah pencahayaan alami dari matahari.

76 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus 2016 (65 - 80) Terdapat juga ventilasi dalam jumlah yang berbentuk silinder. Pintu ruang utama berbahan banyak untuk mempermudah sirkulasi udara di kayu berbentuk kupu tarung. Ruang utama dalam ruangan. disangga dengan enam buah tiang berbentuk Selain itu, terdapat juga sarana segi empat. Bagian atas tiang terdapat penguat peribadatan, yaitu Klenteng Ling Gwan Kiong dengan motif hias berupa sulur-suluran warna dan Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat emas. Pada ruang suci ditempati sebuah patung Pniel Singaraja. Kendati berupa bangunan Dewa Chen Fu Zen Ren beserta penjaganya dan bergaya Cina, tipologi bangunan peribadatan dewa-dewa lainnya yang terletak di samping Klenteng Ling Gwan Kiong sengaja dikaji kiri dan kanan. Pada struktur kayu di bagian juga dengan pertimbangan bahwa klenteng ini atas ruang utama terdapat relief dua naga dibangun ketika masa pendudukan kolonial yang sedang berkelahi, tetapi relief ini sudah di Singaraja, yaitu tahun 1873. Klenteng Ling sulit diamati karena warna hitam jelaga akibat Gwan Kiong memiliki fungsi sebagai tempat pembakaran dupa dan lilin dalam ruangan ibadah Tri Dharma, yaitu agama Buddha, tersebut. Konghucu, dan Tao. Klenteng ini terletak Gereja GPIB Pniel Singaraja terletak di di Kelurahan Kampung Tinggi, Kecamatan Jalan Ngurah Rai no. 49, Singaraja. Arsitektur Buleleng. Klenteng Ling Gwan Kiong memiliki pada gereja ini menggunakan gaya gothic luas 23,50 meter x 19 meter. Bangunan ini dengan dominasi bentuk lengkung patah. berada di pinggir sungai dan menghadap ke Arsitektur gothic merupakan kelanjutan dan utara. Bangunan ini didominasi oleh warna bentuk ekstrem dari gaya romanesque. Bentuk merah dan emas yang merupakan warna dewa menjulang dan runcing dari romanesque yang berarti kebahagiaan dan panjang umur. menjadi ciri utama dari arsitektur gothic. Kompleks Klenteng Ling Gwan Kiong terbagi Runcing-runcing pada arsitektur gothic sangat menjadi tiga halaman yang dipisahkan dengan dominan, tidak hanya pada menara, tetapi dua gapura. Pada halaman pertama terdapat hampir pada seluruh bagian bangunan, terutama sebuah kolam, sedangkan pada halaman kedua bagian atas pada bagian kolom. GPIB Singaraja terdapat sebuah jembatan. Bangunan inti memiliki menara di bagian depan, menempel terdapat di halaman paling dalam. Pada bagian pada dinding sebelah kiri. Pada dinding menara depan kanan dan kiri bangunan utama, terdapat terdapat lubang untuk sirkulasi udara dan tempat untuk membakar dupa. Pada bagian pencahayaan. Terdapat dormer semu di bagian depan dan bagian dalam bangunan utama samping yang berfungsi untuk sirkulasi udara. terdapat mural (lukisan dinding) berwarna Bagian jendela dominan berbentuk lengkung hitam-putih yang menceritakan kisah-kisah patah dengan atap bangunan berbentuk limas. tradisional Cina yang dimulai sejak awal Gereja ini menggunakan banyak jendela dengan manusia, zaman prasejarah, ditemukannya bagian atas berbentuk lengkung patah untuk agama Tao, zaman keemasan kekaisaran Cina, pencahayaannya. dan kisah-kisah pahlawan tradisional Cina. kuno dan lonceng besi Kentsington Karakteristik Bangunan Kolonial Belanda dengan angka tahun 1800 buatan Inggris di Singaraja terdapat di dalam bangunan utama. Bentuk Arsitektur kolonial di Kabupaten atap ruang utama bagian depan berbentuk Buleleng tersebar di beberapa kawasan di runcing melengkung (yuan shan), sedangkan Kota Singaraja, seperti bangunan sarana ruang samping berbentuk segitiga sama sisi perkantoran dan perumahan di Jalan Veteran, dengan bentuk lengkung tumpul pada bagian Jalan Gajah Mada, dan Jalan Ngurah Rai, serta puncaknya (hok kian). Pada serambi depan luar beberapa bangunan kantor dan pabrik di sekitar bagian dalam terdapat empat pilar balok kayu waterfront/Pelabuhan Pabean. Berdasarkan

Tipologi Bangunan Kolonial Belanda di Singaraja 77 Gendro Keling periodisasi perkembangan arsitektur kolonial relatif kecil bila dibandingkan dengan arsitektur di Indonesia, perkembangan arsitektur di Bali kolonial di daerah lain, seperti di Jawa dan merupakan masa periode kedua perkembangan Sumatra. arsitektur kolonial di Indonesia (tahun 1800- Hasil observasi di lapangan menunjukkan an sampai tahun 1902). Dalam periode ini, bahwa arsitektur kolonial di Singaraja terdapat kekuasaan VOC di Hindia Belanda diambil space berupa halaman terbuka antara jalan alih oleh Pemerintah Belanda. Periode ini dengan bangunan inti. Zona lantai dasar pada juga menjelaskan tentang kemampuan bangsa bangunan kolonial di Singaraja umumnya Belanda dalam setiap karya arsitekturnya ditinggikan 10-100 cm dari permukaan tanah untuk beradaptasi dengan keadaan iklim tropis sekitarnya. Penggunaan tegel berwarna abu- di Indonesia. Ungkapan ini juga ditegaskan abu umum digunakan sebagai bahan lantai. oleh Sumintardja (1981, 4) yang mengatakan Karakteristik pintu dan jendela pada bahwa pada periode ini banyak arsitektur arsitektur kolonial Belanda di Singaraja kolonial Belanda mencoba untuk mengadopsi umumnya tinggi dan lebar. Arsitek Belanda pola ruang rumah tinggal tradisional di daerah mengadaptasi iklim tropis di Indonesia, pesisir pantai utara Sumatra dan Jawa. Hadirnya termasuk di Singaraja, dengan pemakaian bentuk arsitektur rumah tinggal seperti ini jendela dalam jumlah banyak untuk merupakan bagian dari sikap orang Belanda memanfaatkan pencahayaan alami. Bentuk untuk menyesuaikan arsitekturnya dengan pintu dan jendela umumnya berupa kupu kebutuhan dan kondisi iklim tropis basah di tarung atau daun pintu ganda. Pada bagian Indonesia. atas pintu dan jendela terdapat ram dari kaca Karakteristik bangunan kolonial yang yang dibingkai kayu, yang berfungsi untuk ada di Singaraja dapat dilihat melalui fasade- memaksimalkan pencahayaan sinar matahari. nya. Fasade merupakan elemen arsitektur Bagian atap pada arsitektur kolonial terpenting yang mampu menyuarakan fungsi Belanda sebagian besar berbentuk limas dengan dan makna sebuah bangunan (Krier 1988, 72- menggunakan genteng atau seng sebagai bahan 78). Fasade menyampaikan keadaan budaya penyusunnya. Kemiringan atap dibuat tajam saat bangunan itu dibangun, mengungkapkan sehingga langsung mengalirkan air hujan yang kriteria tatanan dan penataan, dan berjasa dalam jatuh. Rumah tinggal umumnya menggunakan memberikan kemungkinan dan kreativitas. kanopi pada atap di bagian serambinya. Fasade berasal dari kata facade atau facies Beberapa ornamen lain yang ada pada yang merupakan sinonim dari kata face atau arsitektur kolonial Belanda di Singaraja wajah dan appearance atau penampilan. Oleh berupa ventilasi udara, ram, menara, dan pilar. karena itu, wajah sebuah bangunan atau fasade Ornamen-ornamen ini merupakan bagian adalah bagian depan yang menghadap ke jalan. yang tidak terpisahkan dari arsitektur. Sebagai Komponen fasade meliputi pintu masuk, zona contoh, ventilasi udara, selain berfungsi lantai dasar, jendela dan pintu masuk bangunan, sebagai hiasan, juga berfungsi untuk sirkulasi atap, serta ornamen lainnya. udara. Pilar-pilar pada arsitektur ini umumnya Pintu masuk merupakan fasade bagian bergaya Romawi, yang selain berfungsi untuk terluar yang langsung ditemui ketika mengamati menopang bangunan, juga berfungsi sebagai arsitektur sebuah bangunan. Tinggalan kolonial penghias bangunan. Belanda di Singaraja umumnya tidak memiliki Berdasarkan uraian di atas, bangunan pintu gerbang. Hal ini dikarenakan arsitektur kolonial Belanda di Singaraja memperlihatkan kolonial di Singaraja merupakan kantor terjadinya “perkawinan” budaya. Pembangunan pemerintahan dan rumah tinggal dengan ukuran arsitektur kolonial Belanda di Singaraja

78 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus 2016 (65 - 80) tidak semata-mata meniru langgam arsitektur udara dibuat sedemikian rupa sehingga udara induknya di Eropa, tetapi mencoba mengadopsi bebas bersirkulasi ke dalam bangunan, dan local genius dari bentuk arsitektur tradisional. pilar-pilarnya bergaya Yunani, yang selain Bentuk langgam Eropa yang megah dipadukan berfungsi untuk menopang bangunan, juga dengan iklim tropis di Indonesia, khususnya menambah nilai estetis. Singaraja, memberikan gaya baru penampakan Secara umum, bangunan arsitektur Eropa, tetapi mampu menyesuaikan diri kolonial Belanda di Singaraja relatif kecil terhadap keadaan iklim di Indonesia. Adaptasi jika dibandingkan dengan bangunan kolonial yang dimaksud tampak pada bagian ventilasi di daerah lain, semisal Jawa atau Sumatra. yang dibuat sedemikian rupa dan dalam jumlah Bangunan kolonial Belanda di Singaraja lebih banyak dengan tujuan agar sirkulasi udara banyak berfungsi sebagai rumah tinggal atau yang masuk dapat dimaksimalkan. Untuk rumah dinas. Meskipun demikian, kesan megah tambahan pencahayaan, bangunan kolonial dan artistik masih melekat erat pada bangunan- ini memanfaatkan ukuran pintu dan jendela. bangunan itu. Beberapa gaya arsitektur yang Dari segi materi dan bahan yang digunakan, berkembang di Singaraja antara lain art deco, bangunan kolonial Belanda di Buleleng landhuis, dan gothic. Walaupun arsitektur yang menggunakan atap genteng dan seng yang berkembang di Singaraja merupakan gaya gampang ditemukan di Singaraja. Ornamen Eropa, sentuhan langgam tradisional masih yang ditampilkan pada bagian pilar memadukan terlihat dan menggunakan bahan dari wilayah gaya Romawi dan Yunani dengan menyelipkan sekitarnya. ornamen khas Bali. DAFTAR PUSTAKA KESIMPULAN Agung, A.A. Gde Putra. 1984. “Struktur Birokrasi Tipologi bangunan kolonial Belanda yang Tradisional dan Birokrasi Kolonial di Bali.” Widya Pustaka II (2): 8-13. ada di Singaraja terdiri atas bangunan umum Akihary, Huib. 1990. Architectuur and Stedebouw in (meliputi sarana pendidikan, gardu listrik, dan Indonesie 1870-1970. Zhutpen: De Walburg Jembatan Pabean), bangunan pemerintahan Pers. (meliputi gedung pengadilan, rumah dinas, Artadi, Pande. 2011. “Konsep Interior Tropis pada dan kantor gubernur), sarana peribadatan, dan Arsitektur Landhuis di Kota Singaraja.” bangunan rumah tinggal. Secara arsitektural, Artikel dalam website Institut Seni Indonesia karakteristik bangunan kolonial di Singaraja Denpasar. Dipublikasikan 1 April 2011. umumnya tidak memiliki pagar keliling di http://www.isi-dps.ac.id/berita/konsep- sekitar bangunan inti, banyak menggunakan interior-tropis-pada-arsitektur-landhuis-di- tegel sebagai bahan penyusun lantai, terdapat kota-singaraja/. space antara bangunan inti dengan jalan raya, BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Buleleng. 2011. Singaraja Dalam Angka. Buleleng: dan bagian pondasi umumnya ditinggikan 10- Pemerintah Kabupaten Buleleng. 100 cm dari permukaan tanah di sekitarnya. Handinoto. 1993. “Arsitek G.C. Citroen dan Pintu dan jendela dibuat lebar dan tinggi Perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda serta berjumlah banyak yang berfungsi untuk di Surabaya (1915-1940).” Majalah Dimensi memaksimalkan pencahayaan alami yang 19 (Agustus): 1-16. masuk. Karakteristik arsitektural lainnya berupa ______. 1996. Perkembangan Kota dan pintu dan jendela berdaun ganda (kupu tarung), Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya bagian atap berbentuk limas dengan kemiringan 1870-1940. Yogyakarta: Andi Offset. dibuat tajam agar air hujan yang turun langsung Iswati, Tri Yuni. 2003. “Tipologi-Tipologi mengalir ke tanah. Rumah tinggal memiliki Morfologi Ruang Dalam Rumah-Rumah kanopi di bagian atap serambi depan, ventilasi di Kampung Kudusan Kota Gede.” Jurnal Arsitektur Komposisi 1 (2): 123-134.

Tipologi Bangunan Kolonial Belanda di Singaraja 79 Gendro Keling Johnson, Paul Alan. 1994. The Theory of Rossi, Aldo. 1982. The Architecture of The City. Architecture: Concepts, Themes, & Practice. Cambridge: The MIT Press. New York: Van Nostrand Reinhold. Soekiman, Djoko. 1982. “Seni Bangunan Kolonial Kartodirjo, Sartono. 2014. Pengantar Sejarah di Indonesia.” Dalam Pertemuan Ilmiah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium Arkeologi II, disunting oleh Setyawati Sampai Imperium. Yogyakarta: Ombak. Suleiman, 659-669. : Pusat Penelitian Krier, Rob. 1988. Architectural Composition. Arkeologi Nasional. London: Academy Editions. Sumalyo, Yulianto. 1993. Arsitektur Kolonial Moudon, Anne Vernez. 1994. “Getting to Know The Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Built Landscape: Typomorphology.” Dalam Mada University Press. Ordering Space: Types in Architecture and Sumintardja, Djauhari. 1981. Kopendium Sejarah Design, disunting oleh Franck, Karen A., dan Arsitektur. Jilid 1 Cetakan No. 2. Bandung: Lynda H. Schneekloth, 289-311. New York: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Van Nostrand Reinhold. Bangunan. Norberg-Schulz, C. 1980. Genius Loci: Towards a Syarifudin, Andi. 2007. “Tinggalan Arsitektur Phenomenology of Architecture. New York: Kolonial Belanda di Kota Tegal, Jawa Rizolli International Publication. Tengah.” Skripsi, Jurusan Arkeologi Fakultas Puslitarkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional). Sastra, Universitas Udayana. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: www.bandungheritage.org. Diakses 18 Mei 2013. Puslitarkenas.

80 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus 2016 (65 - 80)