Tafsir Desain Kursi Di Keraton Dan Gedung Agung
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
No. 3 Oktober 201 0 TAFSIR DESAIN KURSl Dl KERATON DAN GEDUNG AGUNG YOGYAKARTA Ed@ Supriyatna Mz* ABSTRACT Chair is one of the unique visual arts (designs). The Indonesian word 'kuni' is possibly derived from the Arabic word 'kursiyun' which means chair. The term 'kursiyun' which is assumed originally from Kursi verses in Al-Qur'an has different functions and meanings in different contexts. In a social context, chairs are attributes that can be used to present a person's social status and prestige. It was found that in the Palace and Gedung Agung of Yogyakarta, a chair does not only funtion as a place for sitting, but it also serves as a symbolic tool for status display to build an image. Thus, it can also be used as a tool to show wealth, greatness, honor, glory, or a symbol of social status. Key Words: chair, symbol, art, design, social status Penterjemah, 1989: 63). Ayat Kursiadalah ayat h, 2003). Kata kudyun Wapat rah, ayat 255. (Yayasan Penyelenggara yang dapat menahan dan menopangnya (My- Vol. 22, No. 3 OMober2010:294313 zpM, 122). Selain itu, ada istilah amsh kurshi dibagi menjadi tiga kalompok, yaitu technomic, ymg dapat ditafsirkan sebagai tempat yang sociomic, dan ideomic. Technomic yaitu artefak ,*famat tinggi, mulia, dan di atasnya lagi hanya kursi yang dapat berfungsi secara langsung untuk mempertahankaneksistensi masyarakat 2ads Tuhan (Wiartakusurnah, 2003). Bila dikaiin sdengan ayat Kursi, kursi memiliki arti kiasan pendukungnya. Dalam hal id, kursi dibuat untuk _>I-- Rsebagai kekuasaan yang sangat tinggi, memenuhi kebutuhan hidup manusia secara =amahamulia,mahabesar, dan mahaagung. langsung. Sociomic adalah artefak kursi yang -- Dalam konteks budaya, kata kursi mem- dapat berfungsi di dalam subsistem sosial dari - . Keempat, gaya bknl3 yinitu g~ya mjukpeda-mpek tdcnik dm mtW digwtakan di peramwnbrya mrd. Hal itu dapt diamati sfsm vbud mptW visualimsi a@nikerztjinan mew ukkhyudad Jepa-a yang mmmR mr@k~ti gay+ Oleh desain kmi di maton dm G&mg Wng Yogyakairta juga di-rwhi deb gaya-gaya ha1 ini, sosi?Icgi ani mamkrikan pwhatlqn memberikan manfaat yang memprodukdnya ( kmteksmiseni, kladfikasi bsntgk-bent.uk sen1 rnenjadi tiga hieracki seni, yah wni mi (hria7;h art), seni rakyat (folk art), d~mippubr ng dudukan (satmil), kaki O>opularart). (back upright), dan kaki chipah (?hmt Kursi dalirn konteks s&i finhi flapat , difsirkan sebagai karyii seni pa ymg mkniucli kualis prima, adiluhung, dan dkwkan oleh kalangan mial tertsntu, terukiima gdangan rdja dan para priyayi keraton.. ~~~ kehidupan Vd. 22, Mo. 3 ~~76:~372 ningrat (1994:438) yang I padti! zamannya. TeWang; k6mep dkan ditinya sebagai manu secara tetpadu dengan komep kekuamm jagat raya. Hal itu tampak jelas pada ear yang dgunakan para raja keturunan Mataram, scsperti 'rawi, 12-13,124-128). Jadi, dapat dikatakan gelar Hamengku Buwana, Paku Buwana, dm sa Jawa tidak juga gelar Paku Akm mengindikasikan bahwa konsep kekuasaannya tidak terlepas dmgan kekuasaan jagat raya (Soedarsono, 1997: 102). at tinggi itu rnemiliki beban psikdogis yang Kemungkinan besar orientasi psnciptaan berat bagi penggunanya. Oleh sebab itu, desain-desain kursi (termasuk dhampar) di Keraton dan Gedung Agung Yogyakarta juga tidak terlepas dari konsep makrokosmos mat gedhe) dan mikrokosmos (jagat cilk) sebagai landasan untuk melegitimasi kekuasaannya. Dalam konteks ini, diduga kuat bahwa kursi dan juga dhemparsebagai karya seni rupa (detain) dapat pula digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Para penguasa dl Keraton dan Gedung Agung Yogyakarta berkabn erat dengan it sehingga diperlukan pendekatan idedogi untuk pencapaian legitimasi kekuasaan yang bersifat tradisional (Hariyanto, 2005). n merupakan bagian yang tidak Adapun tipe otoritas kekuasaan hadisionat ber- hkan dari ilmu poMk. Menunit Moedjanto orientasi pada kesucian atau sakralitas Wisi 122). dalam konsep kekuasaan Jawa, kuno yang bermuara pada pembenaran secara kekuasaannya mutlak. Kekuasaan raja moral yang bersifat gaib. Selain itu, legitimasi bahasa pedalangan dikatakan gung kekuasaan tradisional di Jawa juga didasarkan pada kepercayaan masyarakat tehadap kesakti- ara bau dhendha hanyakrawati, artinya an, kekuatan mistik, dan sikap religius dari kuasaannya sebesar kekuasaan dewa, seorang pemimpin (Hariyanto, 2005: 17; Ronald, kum, dan penguasa dunia. Oleh 2002: 130). dikata kan wenang widsa ing Kursi para penguasa dirancang dengan anya bahwa raja memegang konsep mistik yang penuh makna sirnbdik itu pun an tertinggi di sduruh negeri sebagai dapat dijadikan 'alat' untuk melegitimasi kekuasaan, kekayaan, keagungan, kehom?atan, atau kejayaan. Hal itu berkaitan dengan status sosial semngdengan upaya memamerkan status (status display) untuk membangun citranya. Oteh karena itu, kajiiseni rupa (detain) yang ada padanya dan yang d-t ini tidak hanya dianaiidari sisi thisdan sudut surnber kas;ekten (km)barglidkingra pandang tersurat saja. Desain kursi juga dapat i pemerintahannye dikaji dari sisi simbotiknya yang hadir Wrat di djanto, 1987: 123). Dalam konteks ini, balik yang terwujud damdedi kursi itu sendiri. Hal Skr dapat dibuktikan madalui analids herme- neutik yang mengandalkan interpretasi atau rnenurut &enedict pwmfsiran wwialat untuk rnernbedah Wrn wujud ideal kekuasaan Jawatmetmin kursi di Keraton dan Gedung Agung YogykaFta. satuan politis yang dikombinasikan IWStR DESAlN KURSI Dl KERATON Keunikan itu tampak ketika akan ditakukan VQ@YAKARTA pemotretan, kursi raja mihditutup piastik agar Di KeFaton Yogyakarta telah banyak dicipta- tidak mudah kotor. Akan tetapj, pada saat aWi kM -in kursi, terutama pada era Hamengku dalem akan membuka plastik tersebut, ia Wana VIII. Kursi di Keraton Yogyakarta melakukan penyembahan pada kursi raja itu. mpakankarya seni rupa masa lalu yang dapat Demikian pula, ketika kursi akan ditutup dtkategorikan sebagai artefak dan warisan kembali, abdi dalm itu juga mslakukan sembah trdisional. Kebiasaan lama dan warisan terlebih dahulu. Misterinya, kwrsi raja itu dibetj tmdbnal itu rnasih tetap hiupterpadu Ice dalam sesaji berupa bunga yang dipincuk daun jaringan kehidupan modem (Holt, 2000:7). pisang. Hal itu mencerrninkan bahwa kursiyang Keunikan kursi di keraton adalah rnakna simbolik- digunakan raja-raja di Keraton Yogyakarta nya yang penuh misteri. Makna itu senantiasa masih dianggap sakral, mistik, dan diwariskan terkait dengan simbol reliiyang ada hubungan- secara tradisional. nya dengan mitos. Di Keraton Yogyakarta juga terdapat ernpat Mitos dianggap dapat memberikan arah buah singgasana raja yang diberi nama Dhampar kepa& kelakuan manusia dan merupakan se- Kencana. Dhampar Kencana berfungsi untuk macam pedoman untuk kebijaksanaan manusia. sarana duduk seperti halnya kursi. Menurut Fungsi utama mitos itu ialah menyadarkan penuturan Gusti Bendara Pangeran Haryo manusia tentang adanya kekuatan-kekuatan gaib. Joyokusum (28 September 2007), di Keraton Mitos tidak memberikan bahan infomsi rnenge- Yogyakarta terdapat empat dhampar kencana. nai kekuatan-kekuatan itu, tetapi mitos rnernbantu Dhampar kencana yang pertama dibuat pada manusia agar dia dapat menghayati dayadaya abad ke-18 di era Sultan Hamengku Buwana I. itu sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi Dhampar kencana kedua dibuat di era Sultan dan menguasai alam dan kehidupan sukunya Hamengku Buwana VI pada abad ke-19. Adapun (Peursen, 1976:37-38). Oleh sebab itu, para ahli Dhamparkencanayang ketiga dibuat di era Sul- telah membagi dua jenis lingkungan dalam tan Harnengku ~uwana~lf sekitar a~rabad ke- kehidupan manusia mitis yaitu yang bersifat 19. sakral (angker) dan yang lainnya profan Dhamparkencana yang ditampilkan di mu- (Peursen, 1976:38,55,70). seum Keraton Yogyakarta saat ini adalah Selain itu, mitos juga merupakan dongeng singgasana yang keempaf dbuat pada era Sul- untuk menyampaikan pesan-pesan kehidupan tan Hamengku Buwana VIII, abad ke-20. sehari-hari, lahir dari imajinasi yang tidak masuk Dhampar kmnakmgat ini merupakan kursi aka1 (Geertz, 1992:51; Ahimsa-Putra, 2001 :77). raja yang berukuran terbesar dibandingkan Peiwujudan pesan-pesan itu dapat berupa gaya dengan tiga dhdmpw sebrdumnya. Dhampar tulisan, gambar, fotografi, atau representasi kmcana Iceernpat-danamparan-nya yang ada yang didukung oleh rnakna (Barthes, 2004:153). di museum bukanlah yang adi, tetapi duplikat- Sudah barang tentu termasuk juga gaya kursi nya. Bem4uk dhmpar dan ampamn brakhir di Keraton Yogyakarta yang senantiasa dimitos- inilah yang digunakan sebagai singgasana raja kan, penuh makna, dan dipandang sakral. Mito- oleh SUMHat-tmngku Buwana MII, Harnengku logi selalu dikaitkan dengan simbol ritual yang 5uwana IX, dan Hamengku BwnaX pada saat dipandang sakral, yang bersentuhan dsngan upacam-upacara resmi di kemton, terutama kosmologi, estetika, dan moralitas (Gee*, upacara penobatan raja. 1992:51). Dalam konteks ini, makna, simbd, Empat dhampar kencana yang asli itu dan konsep mernerlukan penjelasan tekstual maihtersimpan di Bang~alPmbayeksa yam sesuai dangan konteksnya. berada di lingkunggn Kerabn Yogyakarta Dalam pengamatan awal, ditemukan (Saedarsono, 1997: 147-148). Oleh sebab itu, keunikan budaya di Keraton Yogyakarta. empat dhamparsebagai kursi raja tersebut tidak Eddy Supriyetna Mz. - Tati secara fisik, termasuk tidak dapat keberadaannya di lingkungan Kernton cara akurat. Esensinya, dhampar karta. Temyata, ha1 itu selaras dengan tidak dapat dilihat (Joyokusumo, status display yang telah diteliti Morris (I977: atau diamati langsung secara fisik 121-1 24). mpatdharnparIrencamyangdis'hpan Dengan demikian, wajar bifa dhampgtf kencana tidak dapat disentuh