No. 3 Oktober 201 0

TAFSIR DESAIN KURSl Dl KERATON DAN GEDUNG AGUNG

Ed@ Supriyatna Mz*

ABSTRACT Chair is one of the unique visual arts (designs). The Indonesian word 'kuni' is possibly derived from the Arabic word 'kursiyun' which means chair. The term 'kursiyun' which is assumed originally from Kursi verses in Al-Qur'an has different functions and meanings in different contexts. In a social context, chairs are attributes that can be used to present a person's social status and prestige. It was found that in the and Gedung Agung of Yogyakarta, a chair does not only funtion as a place for sitting, but it also serves as a symbolic tool for status display to build an image. Thus, it can also be used as a tool to show wealth, greatness, honor, glory, or a symbol of social status.

Key Words: chair, symbol, art, design, social status

Penterjemah, 1989: 63). Ayat Kursiadalah ayat

h, 2003). Kata kudyun Wapat rah, ayat 255. (Yayasan Penyelenggara yang dapat menahan dan menopangnya (My- Vol. 22, No. 3 OMober2010:294313

zpM, 122). Selain itu, ada istilah amsh kurshi dibagi menjadi tiga kalompok, yaitu technomic, ymg dapat ditafsirkan sebagai tempat yang sociomic, dan ideomic. Technomic yaitu artefak ,*famat tinggi, mulia, dan di atasnya lagi hanya kursi yang dapat berfungsi secara langsung untuk mempertahankaneksistensi masyarakat 2ads Tuhan (Wiartakusurnah, 2003). Bila dikaiin sdengan ayat Kursi, kursi memiliki arti kiasan pendukungnya. Dalam hal id, kursi dibuat untuk _>I-- Rsebagai kekuasaan yang sangat tinggi, memenuhi kebutuhan hidup manusia secara =amahamulia,mahabesar, dan mahaagung. langsung. Sociomic adalah artefak kursi yang -- Dalam konteks budaya, kata kursi mem- dapat berfungsi di dalam subsistem sosial dari - . . Keempat, gaya bknl3 yinitu g~ya mjukpeda-mpek tdcnik dm mtW digwtakan di peramwnbrya mrd. Hal itu dapt diamati sfsm vbud mptW visualimsi a@nikerztjinan mew ukkhyudad Jepa-a yang mmmR mr@k~ti gay+

Oleh desain kmi di maton dm G&mg Wng Yogyakairta juga di-rwhi deb gaya-gaya

ha1 ini, sosi?Icgi ani mamkrikan pwhatlqn

memberikan manfaat yang memprodukdnya ( kmteksmiseni, kladfikasi bsntgk-bent.uk sen1 rnenjadi tiga hieracki seni, yah wni mi (hria7;h art), seni rakyat (folk art), d~mippubr ng dudukan (satmil), kaki O>opularart). (back upright), dan kaki chipah (?hmt Kursi dalirn konteks s&i finhi flapat , difsirkan sebagai karyii seni pa ymg mkniucli kualis prima, adiluhung, dan dkwkan oleh kalangan mial tertsntu, terukiima gdangan rdja dan para priyayi keraton.. ~~~ kehidupan Vd. 22, Mo. 3 ~~76:~372

ningrat (1994:438) yang

I padti! zamannya. TeWang; k6mep

dkan ditinya sebagai manu secara tetpadu dengan komep kekuamm jagat raya. Hal itu tampak jelas pada ear yang dgunakan para raja keturunan Mataram, scsperti 'rawi, 12-13,124-128). Jadi, dapat dikatakan gelar Hamengku Buwana, Paku Buwana, dm sa Jawa tidak juga gelar Paku Akm mengindikasikan bahwa konsep kekuasaannya tidak terlepas dmgan kekuasaan jagat raya (Soedarsono, 1997: 102). at tinggi itu rnemiliki beban psikdogis yang Kemungkinan besar orientasi psnciptaan berat bagi penggunanya. Oleh sebab itu, desain-desain kursi (termasuk dhampar) di Keraton dan Gedung Agung Yogyakarta juga tidak terlepas dari konsep makrokosmos mat gedhe) dan mikrokosmos (jagat cilk) sebagai landasan untuk melegitimasi kekuasaannya. Dalam konteks ini, diduga kuat bahwa kursi dan juga dhemparsebagai karya seni rupa (detain) dapat pula digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Para penguasa dl Keraton dan Gedung Agung Yogyakarta berkabn erat dengan it sehingga diperlukan pendekatan idedogi untuk pencapaian legitimasi kekuasaan yang bersifat tradisional (Hariyanto, 2005). n merupakan bagian yang tidak Adapun tipe otoritas kekuasaan hadisionat ber- hkan dari ilmu poMk. Menunit Moedjanto orientasi pada kesucian atau sakralitas Wisi 122). dalam konsep kekuasaan Jawa, kuno yang bermuara pada pembenaran secara kekuasaannya mutlak. Kekuasaan raja moral yang bersifat gaib. Selain itu, legitimasi bahasa pedalangan dikatakan gung kekuasaan tradisional di Jawa juga didasarkan pada kepercayaan masyarakat tehadap kesakti- ara bau dhendha hanyakrawati, artinya an, kekuatan mistik, dan sikap religius dari kuasaannya sebesar kekuasaan dewa, seorang pemimpin (Hariyanto, 2005: 17; Ronald, kum, dan penguasa dunia. Oleh 2002: 130). dikata kan wenang widsa ing Kursi para penguasa dirancang dengan anya bahwa raja memegang konsep mistik yang penuh makna sirnbdik itu pun an tertinggi di sduruh negeri sebagai dapat dijadikan 'alat' untuk melegitimasi kekuasaan, kekayaan, keagungan, kehom?atan, atau kejayaan. Hal itu berkaitan dengan status sosial semngdengan upaya memamerkan status (status display) untuk membangun citranya. Oteh karena itu, kajiiseni rupa (detain) yang ada padanya dan yang d-t ini tidak hanya dianaiidari sisi thisdan sudut surnber kas;ekten (km)barglidkingra pandang tersurat saja. Desain kursi juga dapat i pemerintahannye dikaji dari sisi simbotiknya yang hadir Wrat di djanto, 1987: 123). Dalam konteks ini, balik yang terwujud damdedi kursi itu sendiri. Hal Skr dapat dibuktikan madalui analids herme- neutik yang mengandalkan interpretasi atau rnenurut &enedict pwmfsiran wwialat untuk rnernbedah Wrn wujud ideal kekuasaan Jawatmetmin kursi di Keraton dan Gedung Agung YogykaFta. satuan politis yang dikombinasikan IWStR DESAlN KURSI Dl KERATON Keunikan itu tampak ketika akan ditakukan VQ@YAKARTA pemotretan, kursi raja mihditutup piastik agar Di KeFaton Yogyakarta telah banyak dicipta- tidak mudah kotor. Akan tetapj, pada saat aWi kM -in kursi, terutama pada era Hamengku dalem akan membuka plastik tersebut, ia Wana VIII. Kursi di Keraton Yogyakarta melakukan penyembahan pada kursi raja itu. mpakankarya seni rupa masa lalu yang dapat Demikian pula, ketika kursi akan ditutup dtkategorikan sebagai artefak dan warisan kembali, abdi dalm itu juga mslakukan sembah trdisional. Kebiasaan lama dan warisan terlebih dahulu. Misterinya, kwrsi raja itu dibetj tmdbnal itu rnasih tetap hiupterpadu Ice dalam sesaji berupa bunga yang dipincuk daun jaringan kehidupan modem (Holt, 2000:7). pisang. Hal itu mencerrninkan bahwa kursiyang Keunikan kursi di keraton adalah rnakna simbolik- digunakan raja-raja di Keraton Yogyakarta nya yang penuh misteri. Makna itu senantiasa masih dianggap sakral, mistik, dan diwariskan terkait dengan simbol reliiyang ada hubungan- secara tradisional. nya dengan mitos. Di Keraton Yogyakarta juga terdapat ernpat Mitos dianggap dapat memberikan arah buah singgasana raja yang diberi nama Dhampar kepa& kelakuan manusia dan merupakan se- Kencana. Dhampar Kencana berfungsi untuk macam pedoman untuk kebijaksanaan manusia. sarana duduk seperti halnya kursi. Menurut Fungsi utama mitos itu ialah menyadarkan penuturan Gusti Bendara Pangeran Haryo manusia tentang adanya kekuatan-kekuatan gaib. Joyokusum (28 September 2007), di Keraton Mitos tidak memberikan bahan infomsi rnenge- Yogyakarta terdapat empat dhampar kencana. nai kekuatan-kekuatan itu, tetapi mitos rnernbantu Dhampar kencana yang pertama dibuat pada manusia agar dia dapat menghayati dayadaya abad ke-18 di era Sultan Hamengku Buwana I. itu sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi Dhampar kencana kedua dibuat di era Sultan dan menguasai alam dan kehidupan sukunya Hamengku Buwana VI pada abad ke-19. Adapun (Peursen, 1976:37-38). Oleh sebab itu, para ahli Dhamparkencanayang ketiga dibuat di era Sul- telah membagi dua jenis lingkungan dalam tan Harnengku ~uwana~lf sekitar a~rabad ke- kehidupan manusia mitis yaitu yang bersifat 19. sakral (angker) dan yang lainnya profan Dhamparkencana yang ditampilkan di mu- (Peursen, 1976:38,55,70). seum Keraton Yogyakarta saat ini adalah Selain itu, mitos juga merupakan dongeng singgasana yang keempaf dbuat pada era Sul- untuk menyampaikan pesan-pesan kehidupan tan Hamengku Buwana VIII, abad ke-20. sehari-hari, lahir dari imajinasi yang tidak masuk Dhampar kmnakmgat ini merupakan kursi aka1 (Geertz, 1992:51; Ahimsa-Putra, 2001 :77). raja yang berukuran terbesar dibandingkan Peiwujudan pesan-pesan itu dapat berupa gaya dengan tiga dhdmpw sebrdumnya. Dhampar tulisan, gambar, fotografi, atau representasi kmcana Iceernpat-danamparan-nya yang ada yang didukung oleh rnakna (Barthes, 2004:153). di museum bukanlah yang adi, tetapi duplikat- Sudah barang tentu termasuk juga gaya kursi nya. Bem4uk dhmpar dan ampamn brakhir di Keraton Yogyakarta yang senantiasa dimitos- inilah yang digunakan sebagai singgasana raja kan, penuh makna, dan dipandang sakral. Mito- oleh SUMHat-tmngku Buwana MII, Harnengku logi selalu dikaitkan dengan simbol ritual yang 5uwana IX, dan Hamengku BwnaX pada saat dipandang sakral, yang bersentuhan dsngan upacam-upacara resmi di kemton, terutama kosmologi, estetika, dan moralitas (Gee*, upacara penobatan raja. 1992:51). Dalam konteks ini, makna, simbd, Empat dhampar kencana yang asli itu dan konsep mernerlukan penjelasan tekstual maihtersimpan di Bang~alPmbayeksa yam sesuai dangan konteksnya. berada di lingkunggn Kerabn Yogyakarta Dalam pengamatan awal, ditemukan (Saedarsono, 1997: 147-148). Oleh sebab itu, keunikan budaya di Keraton Yogyakarta. empat dhamparsebagai kursi raja tersebut tidak Eddy Supriyetna Mz. - Tati

secara fisik, termasuk tidak dapat keberadaannya di lingkungan Kernton cara akurat. Esensinya, dhampar karta. Temyata, ha1 itu selaras dengan tidak dapat dilihat (Joyokusumo, status display yang telah diteliti Morris (I977: atau diamati langsung secara fisik 121-1 24). mpatdharnparIrencamyangdis'hpan Dengan demikian, wajar bifa dhampgtf kencana tidak dapat disentuh dan diamati sercara langsung oleh rnasyarakat uumum, termasuk oleh para peneliti, tetapi apabila dhampar kencana ditihat sebagai pebnda dapat diamati secara visual harrya semiotika, kesakralan dhampar kmcana itu dhakmi sebagai upaya untuk mmc@hkn&n membangun misteri buday& yang sampai saat ini masih dianggap mistik sesuai dengan warisan budaya Wawen. Tampaknya, pada era Hamengku Buwam Vlll ini banyak didptakan desain kwd yaw sesuai zamannya. Selain dham@w ksma, ada delapan kursi yang dibuat atas parintah para penguasa di Keraton Yogyakarta. Salah satu keunikan dad delapan kursi itu memiliki amperan dengan gapyang sama. Tarnpaknp, semua amparan kursi raja yang digunakan Sul- tan Hamengku Buwana VIII, permaisuri, maupun kwsi tamunya mempunyai karabrbtik desain yang diduga dipengawhi pyaRegience dari Eropa yaitu stool dedgn pada abad ke- -lam konteks hierarki seni (Hauser, 1982: 17, juga ada kemiripan dengan stool design @),dhamparkenmm sebagai produk Maya dari Inggris, bahkan mirip dhhgWIkdari tmdisi Wasuk di dalam kelompok seni tinggi atau Jawa. Perbedaannya, ampamn dibud lebih Wni adi luhung yang dianggap skral. k&il dan pendek, karena berfurrgsi sebagai i. Berdasarkan bukWuleti dan analisis di bantalan telapak kaki orang yang duduk di kursi. . Delapan kursi itu diberi wama emas, simbol kemegahan dan kejayaan. Uniknya, kedelapan kwsi itu mrupakan hasil pertemuan antara seni dari Prands dengan seni tradisional dari Jawa melalui suatu proses difusi dan akulturasi. Keistimewaannya, kursi-kursi itu menjadi penuh misteri, khas Keraton Yogyakarta, dan memiliki kapentingan politik keraton yan wujud yang sangat luar biasa. Berdasarkan haitan dengan kikuasaan yaiau bsrbagai referensi dan situs internet, tampaknya upaya membangun citra raja. Warn konwks Mum ditemukan desain-desain kursi yang Msakini, orang sering menyebutnya sama dengan kursi-kursi pada em Himengku llpaya untuk 'rnenebar pesonaJkekuasmn mng Buwana Vlll ini. Walaupun wujud kursinya @a. Dengan tampilnya raja yang duduk gagah penuh rnakna simbolik dan cenderung di-' #rkasa di atas dhampar kencan&, kekuasaan pengawhi desain kursi gaya Prancis, thpl raja itu telah dinyatakan terlegitimasi dan diakui gaya-gaya kursi di era Hamengku Buwana Vlll

di Prancis, ditandai dengan hiasan bermotif kekuasaannya terhadap raja-raja di Keratan kemng. Bentuk kerang tiram rnenjadi elernen Yogyakarta. Status raja ahsultan hams leblh dekoratif yang dominan pada era ini. Rococo rendah dari kolonial Belanda. Dalam bnteks dilafalkan mh wecue kata tumndad dua kata ini, kursi telah dijadikan simbol kekuasaan bsgi Prancis yang berarti rocks (rocailles) yaitu batu para penguasa sebagai status display Msnurut dan shells (coquilles) yaitu kerang (Amnson, Moms (1977: 121-125), status display mewupa- 1965:357-388). Motif hias kerang dan flora pada kan suatu pameran atau peragaan yang bingkai cermin besar yang dipasang di Gedung demonstratif untuk tujuan menampilkan status Agung itu berorientasi pada gaya Rokoka, dan sosial, kekayaan, keunggulan, keagungan bagi kemungkinan dibawa dari Eropa oleh kolonial seorang penguasa. Perebutan status display Belanda. Selain itu, diduga kursi-kursi pada era antara raja dan gubernur melalui shbot kursi kolonial pun mengikuti gaya Rokoko seperti ini berdampak luas dan telah mencapai tMk yang digunakan pada cermin besar itu. puncaknya pada Perang Jawa. Ternyata, Dalam konteks kursi, lstana Presiden dalam peristiwa ini, kursi sebagai simbd sta- "Gedung Agung" yang pada saat i@berfungsi tus displayjuga berfungsi untuk meneguhkan sebagai Gedung Keresidenan pernah terjadi status sosial dan legitimasi para penguasa di tragedi. Uniknya, tragedi tersebut berkaitan erat Yogyakarta. dengan fungsi simbolik kursi. Pada masa Ukuran tinggi rendah kursi menjadi sangat kekuasaan Letnan Gubernur Jenderal Thomas dibutuhkan untuk menunjukkan kekuasaern Stamford hffles (18 September 18 11-1 1 Maret seseorang. Ukuran tinggi rendah kursi juga 1816), di ruang sidang Gedung Kemsidenmitu memiliki makna simbolik yang berkaitan dengem hampir te rjadi peristiwa berdarah yang diSebab- strata sosial yakni tinggi-rendehnya kekuassan kan oleh kekuatan fungsi kursi sebagai simbol seseorang. Dalam konteks ini, persoalan kekuasaan tettinggi di Keraton Yogyakarta. Ketika ukuran tinggi-rendah secara teknis, ergonomis Harnengku Buwana II (Sultan Sepuh) berkunjung dan antropometris dalam konsepsi d-in kursi ke Gedung Keresidenan, para pengiringnya bukan menjadi pertimbangan utama para pernah menghunus keris terhadap ketidak- penguasa. Tinggi dan rendahnya poslsi duduk sopanan para pembantu Raffles karena rnereka seseorang dapat mengindikasikan status telah menyepak alas Dhampar Kencana Sul- sosialnya. tan (Ave dkk., 1979:172). Memang setelah Daendles membuat per- TEMUAN POKOK aturan atau tata cara bertemu dengan para penguasa Belanda itu, setip berkunjung ke Kursi dapat pula dijadikan "alat" simbdik tempat Raffles, pengiring Sultan selhu mem- untuk tujuan status display sebagai upaya nprrhngun@a. Dahm ha1 ini, vtjujud kursi dapat bawa dhampar kencana berikut alasnya. Alas dhampar kencana sengaja dibuat agar Sqttan pula diiadibn"aIat" untuk memarnerkan kekay;a- lebih tinggi dari Raffles pada saat duduk ber- an, rresm~~ohkedudukan, kewibawaan, dampingan. Hal ini tidak diietujui oleh pembantu ,~ungan, kehomtan, kejayaan, abu Raffles yang menganggap Letnan ~i%mur sebapi simbol status sosial. Simbol itu munarl Jenderal lnggris itu hams lebih tinggi kekuasa- dad d&m lingkwgan keraton yang cendecung annya dari Sultan (Houben, 2002:19-20). mdh ditdiin model ideal bagi masyarakat Demikian pula, para residen atau minister Jawa* sebagai wakil Pemerintah Belanda tidak boleh Dalam kontgks ini, raja wnantiasa dimpat- lebih rendah tempat duduknya dari tempat kan srtbagai titisan dewa dam konsep raja- dewa. Jadi, wajar apabilsl kursi para duduk raja (Houben, 2002: 19). perqw Tinggi rendahnya ukuran kursi telah rneng- di Keraton dan Gedung Agung Yogyakarta itu indikasikan bahwa Belanda ingin menunjukkan disakralkan dan dimitoskan sebagai upaya - k. h :. f

' [ Eddy Supriyatna Mt - Tafsir Desain Kursi di Keratm dan Ge&ng F $ atan rakyat kepada pemimpinnya. kencana juga sebagai akt untuk J- J- orang (Wrnpara kekuasaannya secara gaib; (c) nya, tmasuk kursi yang pernah cam tmsukkategori kursi yang diwujudSBan nya, orang itu dianggap tehh meng- tanpa sandaran tangan dan san$aarrn kebenaran dari Tuhan. Hal itu juga punggung yang berasal dari bentuk dh@W. ati dari konsep kekuasaan Jawa Makna simboliknya adalah raja sebagai hmba sebagai pemimpin juga sebagai Allah, tidak bersandar kepada siapa pun, iliki konsep gung binathara kecuali pada Allah Swt. yakrawati, ratu pinandhita, Esensinya, tidak ada Tuhan yang bgrhak wula-Gusti yang dipengaruhi dimbahselainP?iah (Lgiliha iUa Abh)sebab .Dalam kajian ini juga ditemu- raja sebagai insan kamil yang bertuges semi ga pengaruh budaya yang sa-ngat kuat khalifatullah atau wakil Tuhan di muka bumi. terhadap lahirnya kursi kekuasaan Jawa, Hal itu sea& dengan gelar Hamengky Wma Wtama pada desain dhamparkencana. yang bemakna 'yang memelihara/mlindungi F Dalam konteks dhamparkencana, di dalam dunia.' Konsep khalifatu/lah inl dipengaruhi [ bsanini telah ditemukan tiga aspek yang unik, € .r;. budaya Islam. Tiga pengaruh budaya ini c *:(a) wujud dhamparkencana di-pengaruhi tercermin dalam wujud dhamp8r kmcana 1oleh konsep budaya Hindu. Raja merupakan sehingga wujud kursi-kurd para pwguaaa di sentasi dari konsep raja-dtswa. Dalam Kernton dan Gedung Agung Yogyakarta itu juga p raja-dewa, raja merupakian inkmasi mereAeksikan konsep kekuasaan Jawa dalam (penjelmaan) atau titisan dewa. Hal itu tarnpak visualisasi simboliknya. Walaupun desain / tWwujud ketika raja yang lengkap dengan kursinya ti&& sama den- dh~mprktmma, @rbagai atribut dan ornamennya mzimpu tetapi secara shbolik memiliki makrra tujuan k duduk di atas dhamparkencana sehingga mirip yang sama. Hal itu dapat diamati dari seJarah [ kpertisosok Dewa Wisnu; (b) raja senantiasa istana-btana Presiden di Indormla, hnggunakan konsep manunggaling kawula- Ternyata, sejak era Presiden Soekamo, gusti yang dipengaruhi budaya tradisional konsep protokder Isbw PresidenWh menim, &was yaitu kejawen. Sultan diporlsikan menyesuaikan, mengubah, dm ai manusia yang pari-puma dmdmggap memodifikasi tata krama protokoler di Keraton bersatu atau manunggel dengan Yogyakarta untuk diterapkan di &Jam istana Tuhannya. Hal itu sesuai dengan konsep presidenan Yogyakarta yang cocok untuk @anunggaling kawula-Gustl. @nunggaling Republik (Adams, 20073292). Maknanya, i kawu~a(hamba) Ian gusti (tuan) yang protokoler istana presidenan, yang sekaawg mrmperoleh makna konkmt,dalarnmrwggai- dikenal dengan Gedung Agung itu, juga #aya mkyat dan raja atau benxientasi dan beiajar dari konsep Keraton Pengaruh kejawen yang brkett dengan Yogyakarta, walaupun tidak sepenuhnya konsep mandala dan mancapat mengambil peraturn, tata krama, dan ksngep FmteraD kan da tam ~encl~taan&amoar . yang berlaku di keraton. Oleh sebab itu, kursi- ~bncaia.Diduga kuai konsep ~zgla.n'nYa [ kursi di Gedung Agung pun oenderung miru % Wak terlepas dari konsep orientasf- ritual ke fautan (selatan) karena tempat barmukim gaya-gaya yang ada di Keraton Yqyakarta, mahluk halus berhubungan dengan Myai Ram temsuk gaya kursi di Pura Manqkunsgaran Kidul, ke utara berorientasi ke Gummg hatsrapi %la. Hal itu tampak jelas pada kursi-kursi yang a a& kekuatan gaib dari SyeM dibuat pada era Orde Baru. Uniknya, kuni-kwsi dumadil Qubro, serta konsep duduk yang warisan Brde Baru itu masih tetap digunakan berorientasi ke Timur dan Barat, yahterMt dan deh empat presklen sesudah era OKFe Baru, termasu k Presiden %silo Bambang Yudhqmo ' terbenamnya matahari. Tampaknya, ha1 itu telah diimplementasikan dalam bentuk dhampar dan para pejabat di bawahnya. Bila diamati secara cermat, karakterisblsi Hal itu berkaitan erat dengan status so~ial gaya kursi di ruangan utama Gedung Agung 5838mng sebagd upaya mmamerks3n st&@ rnempunyai kemiripan dengan kursi di ruang nya (status disjpliay) untuk mmbangun &a, Mmayasa Pura Mangkunegaran Sala, yak Okh sehb itu, kwsi-kuwi yaw pemah dioigb- menggunakan gaya Rokoko (era Loflis XV) dari kan dan digunakan oleh para psnguasa menp Prands. Kursi untuk Presiden dan istri, W&il indikasikan hhwa para pmgwsa tdah kt- Presiden dan istri, atau para tamu agung negara hasil menempatkan dirinya sebagai wong rnemiliki gaya Rokoko versi Louis XV juga. Gaya agung yang harus dihomti 01th wong cifik. ini mirip dengan kursi pangeran dan istrinya atau Stratifikasi sa$hl yang mngendung Mi para sesepuh yang ada di Pracimayiase dalam budaya Jawa itu tercemdn rnelalui (Schoppert dkk., 1999:87-88;Sunarmi; *5:5 simbolisasi pada wujwd desam kufsi yang 6). Tampilnya gayagaya kursi di Gedung Agung digunakannya. yang mirip dengan kursi di Pura Manglumgaran itu, kemungkSnan besarada hubungannya dengan DAFTAR RUJUKAN TinSoeharb yang bemal dari ketuwan dinasti Adams, Cindy. 2007. Bung Karno ~en~ambuh~Lidah Mangkwegara (Ham, XXM217;Artha, 2007: 23). Rakyat. Terj. Syamsu Hadi. Edisi Revisi. : Uniknya, penataan kursi juga dibuat sesuai Yayasan Bung Karno dan Media Pressindo hierarki sosial berdasarkan jabatan orang yang Yogyakarta. duduk di atasnya. Dalam konteks hi, konsep Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 200 1. Swuktumlisme hi- pmxemics diimplementasikan dalam penataan Strauss: Mitas dan krya Sast~Yqyhra serta bentuk kursinya. Hal itu tampak jelas tersirat Press. Atmakusumah, ed. 1982. Tahta untuk &kyat: Gehh- dan tersurat pada kedua tempat yam berbeda Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, lokasi itu. Penataan kursi di ruang utama Jakwta: PT. Gramedia. GedungAgung Yogyakarta memiliki kesarnaan Anderson, Bwtedict R. O'G. 1972. "The Idea af Pow dengan penataan kursi di ruang tengah Praci- in JavaneseCulture," dalam Claire Holt, Cuhure and mayasa. Dengan demikian, dapat ditafsirkan Politics tn lndonw'a. Ithaca and London, GmefI bahwa feodalistik Soeharto nyaris sarna seperti Univenity Press. Soekamo yang tidak ubahnya mirip raja-raja Atonson, Joseph. 1965. Tha! Esrqehpedia of FuriWre. New York: Crown PublSsh, Im. Jawa ya'ng menggunakan konsep stratifikad Artha, Annran Tuti. 2Q07. Bu Tion: Waqsiz Kepraben sosial Jawa sebagai alat legitimasi kekuasa- Soeham. Yogyirkarca; Penerbit Qkqprcws. annya. Asy-Sya'rawi, Spikh Muhammad Mutawalli, 2003. Keutamaan &n Ta@rAyat Kurd. Ti.Addys Aldizar. SIMPULAN Jakarta:Cendikia Sentra Muslim. Ave, Joop dan M. Alwi Dahlan, Toeti Adhitama, Berdasarkan tafsir di atas dapat ditarik Wibisono Singgih, Djoko Sukiman, et al. 1979. kesimpulan bahwa konsep desain yang lstana Presiden . Jakarta: Sekretariat diwujudkan dalam bentuk dan fungsi kursi di Negam Republik Indonesia. Keraton dan Gedung Agung Yogyakarta tidak Baaren, Henk dan A.G. VBlu. 1948. Leerboek Dy hanya berfungsi sebagai sarana duduk. Temyata, Meubelstijlen. Deventer: N.V. Uitgevers- desain kursijuga memiliki fungsi-fungsi simbolik Maatschappij/E.E. Kluwer. yang penuh makna, disakralkan, dan dimitoskan Barthes, Roland. 2004. Mitologi. Terj. Nurhadi dan A Sihabul Millah. Yogyakarta: Kreasi Ma. unkrk tujuan rnemperkokoh legitimasi kekuasaan Blitzer, Charles dan Para Editor Pustaka. 1985. Time- bagi orang yang duduk di atasnya. Bahkan, ada we,Abad Para Raja. Jakarta: Tira Pustaka. kecenderungan desain kursi di lstana Presiden Cassirer, Emst, 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Gedung Agung berupaya mengikuti gaya kursi Esei Tentang Manusia. Terj. Alois A. Nugroho. yang ada di Keraton. Jakarta: PT. Grarnedia.