DIPUBLIKASIKAN OLEH

FAKULTAS PARIWISATA UNIVERSITAS UDAYANA

Analisis Pariwisata terbit sebagai media komunikasi dan informasi ilmiah kepariwisataan, yang memuat tentang hasil ringkasan penelitian, survei dan tulisan ilmiah populer kepariwisataan. Redaksi menerima sumbangan tulisan para ahli, staf pengajar perguruan tinggi, praktisi, mahasiswa yang peduli terhadap pengembangan pariwisata. Redaksi dapat menyingkat atau memperbaiki tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.

SUSUNAN PENGURUS JURNAL ANALISIS PARIWISATA

Penanggung Jawab Drs. I Putu Anom, M.Par. (Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)

Penasehat Dra. Ida Ayu Suryasih, M.Par. (Pembantu Dekan I Fakultas Pariwisata Universitas Udayana) Dra. Ni Made Oka Karini, M.Par. (Pembantu Dekan II Fakultas Pariwisata Universitas Udayana) I Nyoman Sudiarta, SE., M.Par. (Pembantu Dekan III Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)

Ketua Dewan Penyunting Drs. Ida Bagus Ketut Astina, M.Si.

Penyunting Ahli (Mitra Bestari) ▪ Prof. Adnyana Manuaba, ▪ Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch. Ph.D. M.Hons.F.Erg.S.FIPS,SF. Universitas Gajah Mada Universitas Udayana ▪ Prof. Dr. Ir. I Gede Pitana, M.Sc. ▪ Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA. Universitas Udayana Universitas Udayana ▪ Prof. Dr. I Made Sukarsa, SE., MS. ▪ Prof. Dr. Michael Hichcoch Universitas Udayana University of North London ▪ Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS. ▪ Prof. Dae-Sik Je, M.Pd. Universitas Udayana Young San University – Korsel. ▪ Dr. Hans-Henje Hild SES Bonn – Germany

Penyunting Pelaksana ▪ I Wayan Suardana, SST.Par., M.Par. ▪ I Nyoman Sukma Arida, S.Si., M.Si. ▪ IGA. Oka Mahagangga, S.Sos., M.Si. ▪ Yayu Indrawati, SS., M.Par. ▪ I Made Kusuma Negara, SE., M.Par. ▪ I Gde Indra Bhaskara, SST.Par., M.Sc. ▪ Made Sukana, SST.Par., M.Par., MBA. ▪ I Gst. Bagus Sasrawan Mananda, SST.Par.

Tata Usaha dan Pemasaran ▪ AA. Ketut Muliatini, S.Pd. ▪ Wayan Sudarma, SH. ▪ AA. Ketut Muliatini, S.Pd. ▪ I Gusti Putu Setiawan, SH.

ALAMAT PENYUNTING DAN TATA USAHA Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Jl. Dr. R. Goris 7 Denpasar Bali, Telp/Fax : 0361-223798 E-mail : [email protected]

Cover Depan Analisis Pariwisata : Pantai Lovina, Kab. Buleleng, Bali (Kusuma, 2008) © Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Denpasar, Juli 2012

VOL. 12, NO. 1, 2012 PENGANTAR REDAKSI ANALISIS PARIWISATA

Majalah Analisis Pariwisata Volume 12, Nomor 1, Tahun 2012 mengangkat topik, ”Pilihan Pengembangan Pariwisata” sebagai suatu upaya publikasi temuan dari hasil penelitian terbaru. ”Pilihan Pengembangan Pariwisata” diarahkan untuk kembali mengingatkan bahwa pariwisata senantiasa dinamis namun tetap harus dipelajari dan dimaknai proses dari perjalanan kepariwistaan tersebut. Begitu banyak ”pilihan-pilihan” justru mengharuskan para pemegang kebijakan dan para praktisi semakin bijaksana dan tidak hanya ”taken for granted” tanpa memilah dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkan.

Tulisan pertama dari I Made Kusuma Negara berjudul ”Potensi Ikan Air Tawar di Danau Batur sebagai Pengembangan Wisata Alternatif”. Dikatakan Kab. Bangli masih menyimpan potensi pariwisata yaitu ikan air tawar, jika dikelola dengan baik diyakini akan mampu membantu meningkatkan PAD dari sektor pariwisata.

Tulisan kedua masih menyinggung wisata alternatif berjudul ”Analisis Kelayakan Desa Bedulu sebagai Desa Wisata di Kab. Gianyar (Kajian Aspek Pasar dan Pemasaran)” oleh I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda. Hasil penelitiannya menunjukkan pentingnya kajian aspek pasar dan pemasaran agar pengembagan suatu wisata alternatif seperti desa wisata tidak mubazir.

Tulisan ketiga berjudul ”Desa Wisata Berbasis Masyarakat sebagai Model Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pinge” oleh I Made Adikampana. Desa wisata Pinge terletak di Kab. Tabanan dan saat ini sedang giat menata desa untuk menarik perhatian wisatawan. Tulisan ini menekankan aspek perencanaan pariwisata dengan perspektif pemberdayaan masyarakat.

Tulisan keempat berjudul ”Karakteristik Restoran India sebagai Sarana Wisata Baru di Kawasan Wisata, Kuta, Nusa Dua dan Ubud oleh Ni Made Ariani dkk. Pangsa pasar wisatawan sebagai ”the sleeping giant” menuntut praktisi pariwisata untuk menyiapkan infrastruktur memadai dalam kasus penelitian ini adalah restoran India di Bali yang memiliki keseragaman karakter.

Tulisan kelima datang dari pulau Borneo berjudul,”Persepsi Pengunjung Terhadap Kualitas Pelayanan pada Museum Mulawarman Tenggarong” oleh A. Rinto Dwi Atmojo. Disampaikan berdasarkan persepsi pengunjung, pihak pengelola harus lebih memperhatikan aspek perawatan dan aspek promosi untuk semakin meningkatkan kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara ke museum Mulawarman.

Tulisan keenam dari I Putu Anom M. Par, berjudul”Potensi Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan” yang mengulas tentang beraneka potensi yang belum tergarap untuk pengembangan kepariwisataan secara berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan.

Tulisan ketujuh dari I Gusti Agung Oka Mahagangga dkk berjudul”Peran dan Kendala Pemulihan Pariwisata Bali Pascabom (Suatu Kasus Disparda Provinsi Bali)” mengungkapkan secara sintetis-diakronik mengenai upaya dan kendala pemerintah mengatasi krisis pariwisata pascabom sebagai upaya pembelajaran jika peristiwa serupa terulang maka sudah disiapkan langkah-langkah strategik untuk mengatasinya.

Tulisan kedelapan berjudul”Prilaku Berbahasa Wisatawan Jepang di Bali sebagai Pencerminan Karakteristik Wisatawan Jepang” oleh I Made Sendra yang disajikan secara komprehensif dan menarik yang dapat dijadikan pedoman baku bagi para guide Jepang sebagai bekal komunikasi lintas budaya dalam dunia kepariwisataan.

Beberapa tulisan ilmiah tersebut diharapkan mampu memenuhi dahaga para akademisi, mahasiswa dan stakeholders pariwisata termasuk para praktisi yang hingga saat ini masih sulit mendapatkan literatur-literatur ilmiah bidang pariwisata di Indonesia. Besar harapan tim redaksi agar kedepannya segenap pihak, yang terjun di sektor primadona ini dapat menyumbangkan banyak sumbangan pemikiran, kritik, saran dan masukan dalam tulisan ilmiah melalui jurnal majalah analisis pariwisata, Fakultas Pariwisata-Universitas Udayana.

Denpasar, Juli 2012

Redaksi

VOL. 12, NO. 1, 2012 PERSYARATAN NASKAH UNTUK ANALISIS PARIWISATA

1. Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. 2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (abstrak bahasa Inggris). Abstrak tidak lebih dari 250 kata dengan disertai 3-5 istilah kunci (keywords). Naskah berupa ketikan asli dan CD dengan jumlah maksimal 15 halaman ketikan A4 spasi 1½, kecuali abstrak, tabel dan kepustakaan. 3. Naskah ditulis dengan batas 2,5 cm dari kiri dan 2 cm dari tepi kanan, bawah dan atas. 4. Judul singkat, jelas dan informatif serta ditulis dengan huruf besar. Judul yang terlalu panjang harus dipecah menjadi judul utama dan anak judul. 5. Nama penulis tanpa gelar akademik, alamat e-mail dan asal instansi penulis ditulis lengkap. 6. Naskah hasil penelitian terdiri atau judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, tinjauan pustaka dan metode, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan. 7. Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, masalah, pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan. 8. Tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar harus diberi judul serta keterangan yang jelas. 9. Dalam mengutip pendapat orang lain, dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh : Astina (1999); Suwena et al. (2001). 10. Kepustakaan memakai “harvard style” disusun menurut abjad nama penulis tanpa nomer urut. a. Untuk buku : nama pokok dan inisial pengarang, tahun terbit, judul, jilid, edisi, tempat terbit dan nama penerbit. Picard, Michael. 1996. Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore: Archipelago Press. b. Karangan dalam buku : nama pokok dari inisial pengarang, tahun terbit, judul karangan, inisial dan nama editor : judul buku, hal permulaan dan akhir karangan, tempat terbitan dan nama penerbit. McKean, Philip Frick. 1978. “Towards as Theoretical analysis of Tourism: Economic Dualism and Cultural Involution in Bali”. Dalam Valena L. Smith (ed). Host and Guests: The Antropology of Tourism. Philadelphia : University of Pensylvania Press. c. Untuk artikel dalam jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan, singkatan nama majalah, jilid (nomor), halaman permulaan dan akhir. Pitana, I Gde. 1998. “Global Proces and Struggle for Identity: A Note on Cultural Tourism in Bali, Indonesia” Journal of Island Studies, vol. I, no. 1, pp. 117-126. d. Untuk Artikel dalam format elektronik : Nama pokok dan inisial, tahun, judul, waktu, alamat situs. Hudson, P. (1998, September 16 - last update), "PM, Costello liars: former bank chief", (The Age), Available: http://www.theage.com.au/daily/980916/news/news2.html (Accessed: 1998, September 16). 11. Dalam tata nama (nomenklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang baku untuk masing-masing bidang ilmu. 12. Dalam hal diperlukan ucapan terima kasih, supaya ditulis di bagian akhir naskah dengan menyebutkan secara lengkap : nama, gelar dan penerima ucapan.

VOL. 12, NO. 1, 2012

D A F T A R I S I

POTENSI IKAN AIR TAWAR DI DANAU BATUR SEBAGAI PENGEMBANGAN WISATA ALTERNATIF ______(1 – 12) I Made Kusuma Negara

ANALISIS KELAYAKAN DESA BEDULU SEBAGAI DESA WISATA DI KABUPATEN GIANYAR (KAJIAN ASPEK PASAR DAN PEMASARAN) ______(13 – 29) I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda

DESA WISATA BERBASIS MASYARAKAT SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA PINGE ______(30 – 36) I Made Adikampana

KARAKTERISTIK RESTORAN INDIA SEBAGAI SARANA WISATA BARU DI KAWASAN WISATA KUTA, NUSA DUA DAN UBUD ______(37 – 46) Ni Made Ariani, Ni Nyoman Sri Aryanti, I Gusti Agung Oka Mahagangga

PERSEPSI PENGUNJUNG TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PADA MUSEUM MULAWARMAN TENGGARONG ______(47 – 53) A. Rinto Dwi Atmojo

POTENSI KEPARIWISATAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN ______(54 – 61) I Putu Anom

PERAN DAN KENDALA PEMULIHAN PARIWISATA BALI PASCABOM (SUATU KASUS DISPARDA PROVINSI BALI) ______(62 – 78) I Gusti Agung Oka Mahagangga, Putu Agus Wikanatha Sagita, Ida Ayu Ratih

PERILAKU BERBAHASA WISATAWAN JEPANG DI BALI SEBAGAI PENCERMINAN KARAKTERISTIK WISATAWAN JEPANG ______(79 – 93) I Made Sendra

VOL. 12, NO. 1, 2012

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 1

POTENSI IKAN AIR TAWAR DI DANAU BATUR SEBAGAI PENGEMBANGAN WISATA ALTERNATIF

I Made Kusuma Negara [email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud

Abstract

Bali is the common destination for foreign traveller as well as domestic traveller. The problem that often arises is the inequality of economic development of tourism. Bangli District’s PAD is lowest in Bali and they need to explore their potential. Batur Lake’s fish are potentially as an alternative tourism. The purpose of this research is to analyze the public perception related to Batur Lake’s Fishery as an alternative tourism development. In order to achieve the purpose of this research, sampling is done by 100 respondents. There are two variables which divided into two parts: physical and non- physical. Perception index is used in analysing data. Based on the analysing result, there is one conclusion that the public perception related to Batur Lake’s Fishery as an alternative tourism development is as good as what they expected, physicaly and non-physicaly. The potential of Batur Lake’s fishery are supported by the community. There are work ethic variable’s has the highest perception index, and location variabel’s have the lowest perception index.

Key words: public perceptions, tourism potential, and alternative tourism.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata Bali telah tumbuh dan berkembang sedemikian rupa memberikan sumbangan yang besar terhadap pembangunan daerah dan masyarakat Bali baik secara langsung maupun tidak langsung. Meskipun pariwisata Bali diguncang oleh berbagai fenomena seperti, isu virus SARS, teror Bom Bali dan berbagai permasalahan keamanan, pariwisata Bali tetap berupaya untuk menjadi daya tarik wisata utama di Indonesia bahkan di dunia. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, stakeholders pariwisata, pihak keamanan bahkan oleh masyarakat untuk membuat wisatawan domestik maupun mancanegara tetap tertarik mengunjungi pulau dewata. Pariwisata ternyata memberikan peran yang sangat besar bagi penggerak roda perekonomian masyarakat Bali. Harus disadari Bali tanpa pariwisata maka Bali akan kehilangan segalanya bahkan mungkin kebudayaannya yang sudah tersohor itu dapat lenyap begitu saja. Pariwisata Bali dengan demikian sangat mengandalkan destinasi wisata dan atraksi wisata yang dimiliki untuk tetap menarik perhatian wisatawan. Pengembangan pariwisata dengan berbagai potensi terus diupayakan untuk tetap menjaga bahkan semaksimal mungkin memacu pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 2

Kehadiran pariwisata yang diikuti oleh berkembangnya sektor industri jasa pariwisata memberikan multiplayer effect bagi seluruh masyarakat Bali bahkan bagi beberapa pulau di sekitar Bali hingga ke Jakarta sebagai pusat pemerintahan Indonesia. Industri jasa pariwisata berkembang hingga ke pelosok-pelosok desa di Bali yang semula mengandalkan sektor pertanian perlahan berubah bertumpu kepada sektor pariwisata. Fakta ini ternyata menimbulkan beberapa permasalahan seperti tidak meratanya pembangunan ekonomi, terputusnya suatu tradisi masyarakat agraris dan terjadinya perubahan pola pikir masyarakat bahwa berkecimpung di dunia pariwisata lebih ”menjanjikan” dari pada harus bergelut dengan lumpur dalam mengolah tanah persawahan yang mereka miliki. Seperti yang terjadi di Kabupaten Bangli, kawasan wisata Kintamani, tepatnya penyeberangan menuju Desa Trunyan. Pencitraan buruk telah di bangun oleh beberapa oknum sehingga membuat banyak wisatawan kecewa bahkan trauma. Keadaan ini membuat hampir seluruh biro perjalanan wisata di Bali memboikot sehingga tidak ada wisatawan yang berkunjung ke Trunyan. Hingga kini pemulihan nama baik Trunyan akan sulit dihidupkan kembali karena kebanyakan wisatawan sudah trauma dan menginformasikan ketika mereka tiba kembali di negaranya bahwa Desa Trunyan tidak pantas untuk dikunjungi. Sebagai masyarakat Bali yang sangat mengandalkan pariwisata tentunya tidak dapat hanya pesimis menindaklanjuti hal tersebut. Pencitraan desa Trunyan akan dapat dibenahi jika semua komponen terlibat dan duduk bersama mencari pokok permasalahannya. Kabupaten Bangli yang sejak dulu PAD-nya selalu paling rendah di Bali harus makin berbenah diri. Potensi yang dimiliki oleh kabupaten berhawa sejuk ini sangat banyak, namun sayangnya masih belum tertata dengan baik. Sektor pertanian yang sangat menjanjikan ditambah dengan sumber daya alam seperti Danau Batur yang berpotensi pula untuk pengembangan sektor perikanan. Secara teoritis, banyak tipe wisata alternatif yang dapat dikembangkan di Kabupaten Bangli. Seperti misalnya ekowisata, agrowisata atau wisata alam yang dapat disesuaikan dengan potensi yang dimiliki. Pengembangan sektor primer di Bangli masih memiliki potensi besar melalui usaha intensifikasi, yaitu peningkatan produksi per satuan luas dengan menggunakan teknologi kimia-biologi seperti penggunaan varietas unggul, pupuk organik/anorganik, teknologi mekanik dan teknologi budidaya. Kabupaten Bangli yang potensial unggul adalah komoditas arabika, sapi potong, ayam petelur, dan ikan air tawar. Pilihan komoditi unggulan ini sesuai dengan potensi serta dukungan iklim dan alam topografi kabupaten Bangli. Meski Bangli merupakan satu-satunya kabupaten yang tidak memiliki panorama pantai seperti halnya kabupaten lain, namun di Bangli terdapat objek Gunung Batur dan juga Danau Batur yang merupakan danau terluas di Pulau Bali. Selain menawarkan keindahannya, potensi-potensi alam ini juga dapat dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk mengembangkan usaha lain, yaitu membudidayakan ikan air tawar yaitu ikan nila. Dibudidayakannya ikan nila di danau Batur tidak terlepas dari beberapa karakteristik yang dimiliki antara lain : (i) cukup tahan terhadap penyakit; (ii) tahan terhadap kualitas air yang jelek; (iii) memiliki kemampuan untuk beradaptasi pada berbagai lingkungan; (iv) punya kemampuan untuk membentuk protein dari bahan organik; dan (v) mudah tumbuh dalam sistem budidaya yang intensif (Bappeda Bangli, 2010).

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 3

Sebagai salah satu sub sistem agribisnis yaitu sub sektor usaha tani. Budi daya ikan nila dalam jakapung memiliki potensi yang menjanjikan. Dengan hasil ikan yang tidak berbau tanah (karena tidak sempat menyentuh tanah), budidaya ikan nila dalam jakapung dapat dikatakan sebagai produk unggulan daerah yang memiliki daya saing dengan memanfaatkan keunggulan komparatif yang dimiliki Kabupaten Bangli berupa potensi Danau Batur. Jika pembudidayaan ikan nila dalam jakapung telah mencapai angka maksimal, diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yakni kemiskinan dan tenaga kerja khususnya di pedesaan. Kemiskinan disini diartikan sebagai kemiskinan penduduk terutama di pedesaan, maka dari itu dimaksimalkannya pembudidayaan ikan nila dalam jakapung dimaksudkan agar petani nelayan tidak menganggur dan masalah tenaga kerja sedikit demi sedikit teratasi terutama untuk penduduk yang bertempat tinggal di desa sekitar Danau Batur (dalam lingkup mikro). Dimaksimalkannya budidaya ikan nila dalam Jakapung diharapkan diikuti dengan hasil produksi ikannya pun meningkat. Ikan nila Danau Batur yang banyak diminati karena selain sehat, tidak bau dan tidak kotor ini nantinya bisa diekspor sehingga pendapatan untuk kabupaten meningkat. Saat ini produksi ikan nila Danau Batur baru dimanfaatkan oleh penduduk untuk bisnis restoran yang menyediakan menu ikan nila Danau Batur. Danau Batur memiliki potensi yang layak diperhitungkan untuk menunjang kegiatan kepariwisataan. Beberapa petani nelayan sudah mencoba pembudidayaan ikan air tawar yang hasilnya cukup menjanjikan. Tetapi pembudidayaan ini belum secara serius digarap untuk kepentingan pariwisata yang seharusnya dapat memberikan manfaat cukup besar bagi masyarakat lokal dan bagi para wisatawan. Pembudidayaan ikan nila dalam jakapung di Danau Batur bisa menarik minat wisatawan lokal maupun mancanegara untuk berkunjung dan melihat kegiatan petani nelayan dalam memelihara ikan nila. Selain menikmati pemandangan indah Gunung Batur dan Danau Batur, juga dapat menyaksikan secara langsung bagaimana pembudidayaan ikan nila di Danau Batur. Wisatawan terutama wisatawan mancanegara dipastikan akan tertarik untuk mengamati kegiatan tersebut. Keberadaan restoran-restoran yang menyediakan menu olahan ikan nila Danau Batur dapat dirancang sebagai finishing kegiatan berwisata di Batur. Adanya potensi ikan air tawar sebagai pengembangan wisata alternatif di Danau Batur jika dapat direalisasikan bukan tidak mungkin akan menambah PAD Pemkab Bangli dari sektor pariwisata. Termasuk pula peran petani nelayan di sekitar Danau Batur tentunya akan memperoleh peningkatan penghasilan dengan disajikannya berbagai paket tour melalui pengembangan wisata alternatif seperti wisata alam maupun agrowisata.

1.2 Rumusan Masalah Bertolak dari pemikiran diatas maka permasalahan dalam tulisan ini dapat dirumuskan, yaitu : “Bagaimana persepsi masyarakat terhadap potensi ikan air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan wisata altenatif?”

1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan umum penelitian ini adalah sebagai untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap potensi ikan air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan wisata alternatif.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 4

1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi pengembangan. Penelitian ini merupakan kesempatan untuk dapat mengetahui peluang dan dukungan untuk pengembangan potensi perikanan sebagai wisata alternatif. 2. Manfaat operasional berkaitan dengan kebijakan dan pebisnis pariwisata. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah maupun swasta untuk pariwisata alternatif sebagai salah satu komponen penting dalam pengambilan keputusan.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Rangkuti (2005) mengemukakan bahwa persepsi diidentifikasikan sebagai suatu proses dimana individu memilih, mengorganisasikan, serta mengartikan stimulus yang diterima melalui alat inderanya menjadi suatu makna. Meskipun demikian, makna dari proses persepsi tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu individu yang bersangkutan. Persepsi terhadap produk atau jasa berpengaruh terhadap tiga faktor, yaitu : 1. Tingkat kepentingan. Tingkat kepentingan didefinisikan sebagai keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli produk atau jasa, yang akan dijadikan standar acuan dalam menilai kinerja produk atau jasa tersebut. Terdapat dua tingkat kepentingan pelanggan, yaitu : a. Adequate service, yaitu kinerja jasa minimal yang masih dapat diterima berdasarkan perkiraan jasa yang mungkin akan diterima dan tergantung pada alternatif yang tersedia. b. Desired service, yaitu tingkat kinerja jasa yang diharapkan diterima yang merupakan gabungan dari kepercayaan mengenai apa yang dapat dan harus diterimanya. 2. Kepuasan. Kepuasan didefinisikan sebagai respons terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakannya setelah pemakaian. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan, salah satunya adalah persepsi mengenai kualitas jasa yang berfokus pada lima dimensi jasa. Selain itu juga dipengaruhi oleh persepsi kualitas jasa, kualitas produk, harga, dan faktor-faktor yang bersifat pribadi serta yang bersifat situasi sesaat. Persepsi mengenai kualitas jasa tidak mengharuskan pelanggan menggunakan jasa tersebut terlebih dahulu untuk memberikan penilaian. 3. Nilai. Nilai didefinisikan sebagai pengkajian secara menyeluruh manfaat dari suatu produk, yang didasarkan pada persepsi atas apa yang telah diterima dan yang telah diberikan oleh produk tersebut. Pengguna akan semakin loyal apabila produk atau jasa tersebut semakin bernilai baginya.

2.2 Pariwisata Alternatif Koslowski dan Travis dalam Sunarta (2002), pariwisata alternatif merupakan suatu kegiatan kepariwisataan yang tidak merusak lingkungan, berpihak pada ekologis,

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 5

dan menghindari dampak negatif dari pembangunan pariwisata berskala besar yang dijalankan pada suatu area yang tidak terlalu cepat pembangunannya. Selain itu oleh Saglio, Bilsen, dan Gonsalves dalam Sunarta (2002) menyebutkan bahwa pariwisata alternatif adalah kegiatan kepariwisataan yang memiliki gagasan yang mengandung arti sebagai suatu pembangunan yang berskala kecil atau juga sebagai suatu kegiatan kepariwisataan yang disuguhkan kepada wisatawan, dimana segala aktivitasnya turut melibatkan masyarakat. Holden dalam Sunarta (2002), pariwisata alternatif merupakan suatu proses yang mempromosikan suatu destinasi yang kondisinya memang benar-benar layak dan pantas diantara komunitas yang berbeda-beda, dimana diperlukan untuk memperoleh pemahaman, solidaritas, dan kesamaan diantara seluruh komponen. Middleton (1998), menyebutkan bahwa pariwisata alternatif merupakan suatu bentuk produk pariwisata yang mempertimbangkan bahkan menuntut lebih akrab lingkungan dan tidak merusak budaya. Archer and Cooper (1993), menyatakan bahwa pariwisata alternatif merupakan suatu pergerakan yang memiliki jalan keluar untuk “mengobati sakit” dari pariwisata massal (Mass Tourism). Cohen (1987) dalam Gartner (1996), menyebutkan bahwa pariwisata alternatif bersumber dari dua pandangan ideologi yang sejaman, yaitu bahwa pariwisata alternatif merupakan reaksi atas konsumerisme modern, dan pariwisata alternatif merupakan reaksi dari eksploitasi yang dilakukan negara berkembang. Butler dalam Gartner (1996) memaparkan dampak yang mungkin terjadi dari adanya pariwisata alternatif terhadap aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi, yaitu pada Tabel 2.1. Variasi pariwisata alternatif dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1. Pariwisata Adventure Merupakan suatu kegiatan pariwisata alternatif yang bernuansa petualangan (Adventure). Petualangan dalam skala kecil dapat terdiri dari bird watching, scuba diving, dalam skala menengah terdiri dari kegiatan yang bernuansa olah raga seperti canoing, dan rafting. Sedangkan dalam skala besar meliputi kegiatan petualangan seperti halnya taman safari. 2. Pariwisata Alam Merupakan kegiatan pariwisata alternatif yang memfokuskan diri pada studi dan observasi yang berkaitan dengan flora (tumbuhan) dan fauna (binatang), selain itu juga berkaitan dengan kegiatan landscape. 3. Community Tourism Community Tourism atau pariwisata kerakyatan merupakan suatu kegiatan pariwisata yang dijalankan oleh rakyat, baik dari perencanaan sampai evaluasi dan segala manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut sepenuhnya untuk rakyat yang bersangkutan.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 6

Tabel 2.1. Dampak yang Mungkin Terjadi dari Adanya Pariwisata Alternatif Terhadap Aspek Sosial, Lingkungan, dan Ekonomi

Dampak

Sosial Lingkungan Ekonomi

A. Wisatawan - Jumlah Positif Positif Negatif - Tingkah Laku Dipertanyakan Sedikit Positif Negatif - Lokasi Negatif Negatif Negatif - Waktu Positif Negatif Positif - Hubungan Negatif - Netral - Kesamaan Negatif Sedikit Negatif Positif

B. Sumber Daya - Kerapuhan Netral Negatif Netral - Keunikan Netral Negatif Netral - Kapasitas Netral Sedikit Positif Netral

C. Kegiatan Ekonomi - Merugikan Positif Netral Negatif - Kebocoran Sedikit Positif Netral Negatif

D. Politik - Kontrol Lokal Positif Tidak Diketahui Netral - Perencanaan Sedikit Negatif Tidak Diketahui Netral Tambahan

Sumber : Butler dalam Gartner (1996)

III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Obyek Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Dipilihnya Desa Songan sebagai lokasi penelitian, karena pada lokasi tersebut banyak ditemui masyarakat yang berorientasi pada ikan air tawar berupa ikan nila. Obyek penelitian ini adalah masyarakat yang berorientasi pada ikan air tawar berupa ikan nila.

3.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dipergunakan adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif berupa angka-angka yang berhubungan dengan perikanan air tawar, sedangkan data kualitatif berupa penjelasan-penjelasan yang menyangkut perikanan air tawar dan pariwisata di Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli (Kusmayadi dan Sugiarto, 2000). Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diperoleh berdasarkan observasi. Untuk mencapai tujuan penelitian, objek penelitian (masyarakat) diajukan pertanyaan melalui kuisioner yang pertanyaannya telah dipersiapkan sebelumnya (Rangkuti, 2005).

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 7

Selain itu, data sekunder juga dipergunakan dalam penelitian ini, dimana data sekunder merupakan data yang diperoleh dari publikasi yang diterbitkan oleh berbagai instansi yang berkaitan dengan perikanan air tawar, seperti BPS, Dinas Peternakan Kabupaten Bangli, Dinas Pariwisata Kabupaten Bangli serta data sekunder oleh pihak- pihak lain yang berhubungan dengan perikanan air tawar.

3.3 Penentuan Sampel Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling (Dajan, 1993)). Besarnya sampel yang diambil sejumlah 100 responden yang terdiri dari masyarakat di Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.

3.4 Identifikasi Variabel Untuk dapat menjawab pokok permasalahan tentang persepsi masyarakat terhadap potensi ikan air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan wisata alternatif. Variabel-variabel yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu keberadaan berupa potensi fisik dan potensi non fisik, seperti yang tersaji pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Variabel Persepsi Masyarakat terhadap Potensi Ikan Air Tawar di Danau Batur sebagai Pengembangan Wisata Alternatif

Variabel Tingkat I Tingkat II - Jarak - Lokasi Potensi Fisik - Aksesibilitas - Fasilitas penunjang - Petunjuk dan informasi - Etos kerja Potensi Non Fisik - Mentalitas - Sikap masyarakat Sumber : Berdasarkan Hasil Observasi, 2011

3.5 Definisi Operasional Variabel Definisi operasional berbagai variabel dalam penelitian ini yaitu : 1. Potensi fisik, berupa jarak menuju Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, kebersihan lokasi budi daya ikan air tawar, aksesibilitas menuju Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, fasilitas penunjang berupa fasilitas keamanan dan kesehatan, serta petunjuk dan informasi fasilitas di lokasi budi daya ikan air tawar. 2. Potensi non fisik, berupa etos kerja masyarakat sekitar untuk terlibat dalam pengembangan wisata alternatif ikan air tawar, mentalitas masyarakat sekitar dalam kesiapannya mengelola wisata alternatif ikan air tawar, dan sikap masyarakat sekitar untuk terlibat dalam pengembangan wisata alternatif ikan air tawar.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 8

3.6 Teknik Analisis Data Guna menjawab pokok permasalahan, maka digunakan analisis deskriptif kuantitatif dengan indeks persepsi. Sebelum menentukan indeks persepsi, ukuran persepsi dari responden diukur melalui skala Likert. Skala ini merupakan alat untuk mengukur sikap dari keadaan yang sangat positif ke jenjang yang sangat negatif, untuk menunjukkan sejauh mana tingkat penilaiannya terhadap pertanyaan yang diajukan (Kusmayadi dan Sugiarto, 2000). Dalam penelitian ini, responden harus memilih satu dari lima alternatif penilaian, yaitu : Skor 1 = Sangat buruk, Skor 2 = Buruk, Skor 3 = Cukup, Skor 4 = Baik, dan Skor 5 = Sangat baik. Dari kelima skala penilaian diatas, dapat dirumuskan interval untuk masing- masing kelas (Dajan, 1993), yaitu : Interval = R / k dimana : R = Nilai skor tertinggi – nilai skor terendah. k = Jumlah skala penilaian. Dari perhitungan dengan menggunakan rumus diatas, dapat diketahui bahwa interval sebesar 0,8. Berdasarkan interval ini, maka dapat ditentukan skala penilaian seperti yang disajikan pada Tabel 4.2. Indeks persepsi baik secara parsial maupun secara simultan yang diperoleh dengan selanjutnya akan diinterpretasikan dengan berpedoman pada skala penilaian yang terdapat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Interval Kelas yang Dijadikan Dasar Pemikiran

No. Interval Penilaian 1 1,00 – 1,79 Sangat buruk 2 1,80 – 2,59 Buruk 3 2,60 – 3,39 Cukup 4 3,40 – 4,19 Baik 5 4,20 – 5,00 Sangat baik Sumber : Kusmayadi dan Sugiarto, 2000.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Sektor Perikanan dan Pariwisata Kab. Bangli 4.1.1 Sektor Perikanan Budidaya perikanan di Danau Batur memiliki peranan yang strategis sebagai sumber pertumbuhan baru dalam upaya meningkatkan perekonomian Kabupaten Bangli di masa mendatang. Kontribusi perikanan terhadap PDRB 0,44% di tahun 2008 relatif dibandingkan tahun 2004 sebesar 0,40%. Komoditi perikanan yang paling potensial untuk dikembangkan di Danau Batur dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) adalah ikan nila. Adapun luas lahan yang baru dimanfaatkan rata-rata 0,8 Ha per tahun dari potensi lahan perairan Danau Batur yang dapat dikembangkan masih sangat luas yaitu maksimal 5-10% dari luas perairan Danau Batur sebesar 1.607,50 Ha. Adapun benih ikan yang dihasilkan rata-rata pertahunnya sebesar 8.394.120 ekor/tahun dengan luas pembenihan rata-rata 5,59 Ha (Pemkab Bangli, 2009).

4.1.2 Sektor Pariwisata Pariwisata Kabupaten Bangli telah tumbuh dan berkembang dan telah memberikan sumbangan yang besar terhadap pembangunan masyarakatnya. Dalam kurun lima tahun, sarana akomodasi sebagai sarana pokok pariwisata telah mampu menyediakan kamar hotel rata-rata sebanyak 239 kamar. Sebagai pasar wisata yang

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 9

juga diperhitungkan, dalam kurun lima tahun telah mencapai angka 279.464 orang wisatawan manca negara dan 69.680 orang wisatawan nusantara. Sedangkan komposisi kunjungan antara wisatawan manca negara dengan nusantara perbandingannya adalah rata-rata 80% berbanding 20% (BPS, 2010). Kunjungan wisatawan, baik manca negara maupun nusantara tidak terlepas dari beragamnya daya tarik wisata yang dimiliki Kabupaten Bangli. Daya tarik tersebut di katagorikan menjadi tiga, yaitu : (1) daya tarik wisata yang sudah dikembangkan, (2) daya tarik wisata sedang dikembangkan, dan (3) daya tarik wisata yang belum dikembangkan. Dari 32 daya tarik wisata yang dimiliki Kabupaten Bangli, terlihat bahwa sebagian besar atau 68,76% daya tarik wisata tersebut belum dikembangkan yang tersebar di Kecamatan Bangli, Susut, Tembuku, dan Kintamani. Hanya 18,75% saja daya tarik wisata di Kabupaten Bangli yang telah dikembangkan dan sebagian besar berlokasi di Kecamatan Kintamani, dan sisanya berlokasi di Kecamatan Bangli. Sedangkan daya tarik yang sedang dikembangkan sebesar 12,50%, sebagian besar berlokasi di Kecamatan Bangli, yaitu : Desa Adat Pengotan, Taman Bali Raja, dan Kolam Renang Seganing (Bappeda Pemkab Bangli, 2011).

4.2 Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini sebanyak 100 responden yang terdiri dari masyarakat di Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Dari 100 orang responden, 43 orang (43%) berjenis kelamin wanita, dan sisanya sejumlah 57 orang (57%) berjenis kelamin pria. Dilihat dari segi usia, responden dalam penelitian ini memiliki usia terendah 18 tahun dan tertinggi 67 tahun. Mereka terdiri dari usia 18-22 sejumlah 14 orang (14%), usia 23-27 sejumlah 28 orang (28%), usia 28-32 sejumlah 19 orang (19%), usia 33-37 sejumlah 5 orang (5%), usia 38-42 sejumlah 9 orang (9%), serta usia 42 tahun keatas sampai dengan 67 tahun sejumlah 25 orang (25%). Tingkat pendidikan responden terdiri dari sejumlah 21 orang (21%) universitas serta sisanya sejumlah 79 orang (79%) memiliki latar belakang pendidikan SMA.

4.3 Hasil dan Pembahasan 4.3.1 Frekuensi Persepsi Berdasarkan 100 responden, mereka memberikan persepsi terhadap potensi ikan air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan wisata alternatif, bahwa rata-rata sebesar 4% mempunyai persepsi sangat buruk, 19% mempunyai persepsi buruk, 67% mempunyai persepsi cukup, 9% mempunyai baik, serta 1% mempunyai persepsi sangat baik. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 4.1.

4.3.2 Indeks Persepsi Selanjutnya dilakukan perhitungan indeks persepsi dengan menggunakan metode rata-rata tertimbang, seperti yang terlihat pada Tabel 4.2. Berdasarkan Tabel 4.2, bahasan akan dibagi menjadi empat bagian, yaitu potensi fisik, potensi non fisik, persepsi secara parsial, serta persepsi secara simultan. Selanjutnya, masing-masing bagian ini dibagi menjadi beberapa sub-bagian, yaitu sub-bagian jarak, lokasi, aksesibilitas, fasilitas penunjang, dan petunjuk serta informasi untuk potensi fisik, sub- bagian etos kerja, mentalitas, dan sikap masyarakat untuk potensi non fisik. Sedangkan interpretasi masing-masing indeks persepsi yang akan diuraikan, didasarkan atas patokan pada Tabel 3.2. Berikut akan dibahas dan diuraikan secara beruntun, yaitu :

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 10

1. Potensi Fisik. Persepsi masyarakat terhadap jarak, lokasi, aksesibilitas, fasilitas penunjang, dan petunjuk serta informasi adalah cukup, ini terlihat dari indeks persepsinya sebesar 2,8. 2. Potensi Non Fisik. Persepsi masyarakat terhadap etos kerja, mentalitas, dan sikap masyarakat adalah cukup, ini terlihat dari indeks persepsinya sebesar 2,9. 3. Secara Parsial. Secara parsial dari ke-8 variabel tersebut, ditemui seluruh variabel yaitu : jarak, lokasi, aksesibilitas, fasilitas penunjang, petunjuk dan informasi, etos kerja, mentalitas, dan sikap masyarakat, memiliki persepsi yang cukup. 4. Secara Simultan. Secara simultan, persepsi masyarakat terhadap potensi ikan air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan wisata alternatif adalah cukup, ini terlihat dari indeks persepsinya sebesar 2,8. Berdasarkan hasil interpretasi indeks persepsi, mengungkapkan bahwa persepsi masyarakat terhadap potensi ikan air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan wisata alternatif baik dilihat berdasarkan potensi fisik maupun potensi non fisik, memiliki persepsi yang cukup. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi ikan air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan wisata alternatif cukup didukung oleh masyarakat. Berdasarkan data Bali Dalam Angka (2010), potensi ikan air tawar seperti ikan nila untuk dikembangkan di Danau Batur masih memiliki potensi yang luas untuk dikembangkan, mengingat baru hanya 5-10% saja, perairan Danau Batur yang telah dimanfaatkan. Rerata jumlah kunjungan wisatawan dalam kurun waktu lima tahun, baik manca negara maupun nusantara ke Kabupaten Bangli sebesar 349.144 orang, menunjukkan sangat mendukung pasar bagi ikan air tawar di Danau Batur dalam pengembangan wisata alternatif.

Tabel 4.1 Persentase Persepsi Masyarakat terhadap Potensi Ikan Air Tawar di Danau Batur sebagai Pengembangan Wisata Alternatif

Persepsi (%) Variabel Sangat Sangat Buruk Cukup Baik Buruk Baik Jarak 2 21 69 6 2 Lokasi 4 32 55 8 1 Potensi Aksesibilitas 5 19 67 8 1 Fisik Fasilitas penunjang 5 14 74 6 1 Petunjuk dan 5 22 63 10 0 informasi Etos kerja 2 17 68 10 3 Potensi Mentalitas 4 16 65 11 3 Non Fisik Sikap masyarakat 3 13 75 9 0 Rata-rata 4 19 67 9 1 Sumber : Analisis Data Primer, 2011.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 11

Tabel 4.2 Indeks Persepsi Persepsi Masyarakat terhadap Potensi Ikan Air Tawar di Danau Batur sebagai Pengembangan Wisata Alternatif secara Parsial dan Simultan

Variabel Indeks Indeks Indeks Tingkat I Tingkat II Tingkat II Tingkat I Simultan Jarak 2,9 Lokasi 2,7 Potensi Aksesibilitas 2,8 2,8 Fisik Fasilitas penunjang 2,8 2,8 Petunjuk dan informasi 2,8 Etos kerja 3,0 Potensi Mentalitas 2,9 2,9 Non Fisik Sikap masyarakat 2,9 Sumber : Analisis Data Primer, 2011.

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dikemukakan simpulan bahwa persepsi masyarakat terhadap potensi ikan air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan wisata alternatif baik dilihat berdasarkan potensi fisik (jarak, lokasi, aksesibilitas, fasilitas penunjang, dan petunjuk serta informasi) maupun potensi non fisik (etos kerja, mentalitas, dan sikap masyarakat), memiliki persepsi yang cukup. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi ikan air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan wisata alternatif cukup didukung oleh masyarakat. Dilihat secara parsial, ternyata variabel etos kerja memiliki indeks persepsi tertinggi, sedangkan variabel lokasi memiliki indeks persepsi terendah.

5.2 Saran 1. Etos kerja masyarakat perlu dipertahankan sebagai benefit yang tak ternilai bagi pemerintah maupun swasta guna mendukung pengembangan ikan air tawar di Danau Batur. 2. Lokasi pengembangan ikan air tawar di Danau Batur perlu ditata sedemikian rupa, untuk lebih menarik minat wisatawan berkunjung. 3. Sosialisasi mengenai wisata alternatif harus mulai dilakukan sebagai upaya mempersiapkan masyarakat setempat untuk mengenal dan meyakini bahwa wisata alternatif memiliki karakter berbeda dengan model wisata yang mengandalkan mass tourism. 4. Dukungan dari segenap pihak seperti Pemkab Bangli dan stakeholders pariwisata diperlukan untuk pengembangan wisata alternative secara berkelanjutan. 5. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai strategi pengembangan wisata alternatif dan dampak yang ditimbulkan yang nantinya dapat disinergikan dengan penelitian ini untuk dapat dijadikan rekomendasi kepada pemegang kebijakan.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 12

KEPUSTAKAAN

Anonim. Badan Pusat Statistik. 2010. Bali Dalam Angka. Denpasar. ______. BAPPEDA Pemkab. Bangli. 2011. Rencana Profil Industri. Bangli :Percetakan Daerah ______. Dinas Peternakan Perikanan Darat Kabupaten Bangli. 2009. Laporan Tahunan. Bangli : Percetakan Daerah Bisnis Bali. 2009, “Prospektif Budi Daya Ikan Nila di Danau Batur”, Edisi 18 Juli 2009. Cooper, Chris. 1993. Tourism : Principles & Practice. England : Longman Group Limited. Dajan, Anto. 1993. Pengantar Metode Statistik. Jakarta : LP3ES. Diparda Bali. 2011. Statistik Kepariwisataan Bali. Denpasar : Diparda Bali. Gartner, William C. 1996. Tourism Development : Principles, Processes, and Policies. United States of America : Thomson. Kusmayadi dan Sugiarto, Endar. 2000. Metodologi Penelitian dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Middleton, Victor T.C. 1998. Sustainable Tourism : A Marketing Perspective. Oxford : Butterworth Heinemann. Rangkuti, Freddy. 2005. Riset Pemasaran. Jakarta : Elex Media Computindo. Sunartha, Nyoman. 2002. Bahan Mata Kuliah Pariwisata Alternatif pada Fakultas Pasca Sarjana P.S. Kajian Pariwisata Unud.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 13

ANALISIS KELAYAKAN DESA BEDULU SEBAGAI DESA WISATA DI KABUPATEN GIANYAR (KAJIAN ASPEK PASAR DAN PEMASARAN)

I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda [email protected] Fakultas Pariwisata-Universitas Udayana

Abstract

Bedulu village as one of the newly developed tourist villages is an example of the empowerment of local communities to introduce Balinese culture to tourists and to improve their standard of living as a by-product. The purpose of this study is to analyse the feasibility of developing a Tourism Village Bedulu Village in Gianyar regency by analysing aspects of markets and marketing, legal, technical and operational, human resources, economic and financial. Bedulu Tourism Village has a potential market with the number of visits at 213 people in August-December 2011 consisting of: tourists from France (83.10%), Netherlands (1.41%), Australia (0.94%), Japan (0.94%) and domestic tourists (13.62%). Through analysis of the three competitors it can be seen that Bedulu Village has an independent website and competitive prices among all of them. Marketing strategies undertaken include: determination of the location strategy, pricing Strategy with the method of cost plus pricing, and product growth strategies in which the services of a quality product better or different from other tourist villages, promotion through the website, the offensive strategy is a strategy which is focused on change efforts to achieve a better level and training of human resources.

Key words: tourism village potential, strategies, feasibility analysis

I. PENDAHULUAN Pariwisata Bali telah memberikan pangaruh nyata yang besar terhadap perekonomian regional. Hal inipun diperkuat oleh hasil kajian tim konsultan dari Bali Management Project dan Comprehensive Tourism Development Plan for Bali dalam Erawan (1993) yang menyimpulkan bahwa pariwisata telah menjadi generator penggerak bagi pembangunan Bali, paling tidak dalam dua dasa warsa terakhir. Lebih lanjut dikatakan bahwa sektor pariwisata akan tetap menjadi sektor pemimpin (leading sector) dalam pembangunan ekonomi daerah Bali di masa-masa mendatang. Berkembang pesatnya pariwisata di Bali saat ini dapat dilihat dari peningkatan fasilitas, objek, dan daya tarik pariwisata yang ada. Meskipun jumlah kedatangan wisatawan asing yang langsung ke Bali menunjukkan fluktuasi akibat berbagai isu dan peristiwa yang kurang menguntungkan, berbagai pihak yang berkecimpung di dunia pariwisata tetap terangsang untuk menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki untuk kemudian diarahkan pada sektor pariwisata mengingat keterbatasan/ketiadaan sumberdaya alam seperti migas, hasil hutan, dan manufaktur (Pitana, 2005:156-157). Sektor pariwisata, model pembangunan bottom up planning, sejalan dengan paradigma pariwisata yang bercirikan kerakyatan, dan memunculkan berbagai sebutan

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 14

yaitu : pariwisata inti rakyat, pariwisata kerakyatan, resource community base management atau community management (Korten,1986). Hingga akhirnya mengarah pada pengembangan Desa Wisata, Desa Wisata Terpadu, dan Wisata Pedesaan sebagai salah satu bentuk pengembangan pariwisata berkelanjutan yang memiliki pasar tersendiri. Paradigma pariwisata kerakyatan dalam berbagai bentuknya telah lama menjadi paradigma alternatif sebagai kegagalan model modernisasi yang diterapkan di negara- negara berkembang termasuk Indonesia yang memiliki banyak kelemahan karena selalu mengacu pada pertumbuhan dan perkembangan fisik dan kurang memperhatikan masalah sosial budaya masyarakat. Terkait dengan pemikiran tersebut maka desa-desa yang memiliki keunikan mulai dilirik untuk dipersiapkan menjadi Desa Wisata maupun Wisata Pedesaan oleh pemerintah maupun pelaku-pelaku pariwisata (Adhisakti, 2000). Kabupaten Gianyar yang sudah terkenal di mancanegara terutama Desa Ubud, Desa Sukawati dan Desa Celuk ternyata masih memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan bagi sektor kepariwisataan. Salah satu desa di Kabupaten Gianyar yang memiliki potensi alam dan budaya adalah Desa Bedulu. Desa Bedulu menjadi lokasi sejarah kerajaan Bali kuno yaitu Kerajaan Bedahulu dengan peninggalan- peninggalannya yang menjadi ciri khas Desa Bedulu. Pelestarian terhadap budayanya masih terpelihara dengan baik hingga sekarang. Selain pemandangan yang sangat indah dan menarik, adat istiadat dan budaya masih dilaksanakan dan ditaati sampai sekarang. Untuk meningkatkan kunjungan dan mengurangi kejenuhan wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Gianyar (terutama ke daya tarik yang sudah terkenal), maka di buka pangsa pasar yang belum tergarap sejalan dengan konsep alternatif tourism. Ide kreatif dengan menjadikan dan mengembangkan Desa Bedulu menjadi desa wisata yang menitik beratkan pada segi budaya selain desa Ubud yang sudah lebih dahulu dikenal wisatawan. Untuk mengetahui kelayakan dari desa Bedulu sebagai desa wisata sehingga menarik wisatawan datang berkunjung kedesa Bedulu, maka perlu dilakukan penelitian tentang layak apa tidak desa ini dikembangkan sebagai desa wisata, untuk menilainya dibutuhkan aspek penilaian antara lain : aspek pasar yang berdasarkan atas jumlah wisatawan nusantara dan mancanegara yang berkunjung ke Bali yang berperan sebagai demand sedangkan jumlah desa wisata di Bali sebagai supply. Untuk aspek persaingan tidak terdapat desa wisata sejenis yang berada di sekitar desa Bedulu. Penelitian ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pengembangan suatu desa wisata yang stagnan, seperti banyak desa wisata yangsampai sekarang geliatnya sama sekali belum terlihat. Komitmen pemegang kebijakan pun dipertanyakan karena desa wisata yang diharapkan menjadi alternatif pariwisata dan diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi masyarakatnya ternyata banyak yang belum layak jual, karena belum siap dengan sarana pendukung termasuk kegiaatan pemasaran.

II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Studi Kelayakan Proyek Suliyanto (2010:3) menyatakan bahwa kondisi lingkungan yang sangat dinamis dan intensitas persaingan yang semakin ketat membuat seorang pengusaha tidak cukup hanya mengandalkan pengalaman dan intuisi saja dalam memulai usahanya. Seorang pengusaha dituntut untuk melakukan studi kelayakan terhadap ide bisnis yang akan dijalankan agar tidak terjadi ketelanjuran investasi di kemudian hari. Studi kelayakan

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 15

merupakan penelitian yang bertujuan untuk memutuskan apakah sebuah ide bisnis layak untuk dilaksanakan atau tidak. Sebuah ide bisnis dinyatakan layak untuk dilaksanakan apabila ide tersebut mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi semua pihak (stake holder) dibandingkan dampak negatif yang ditimbulkan

2.2 Aspek Menilai Kelayakan Investasi. Menurut Husnan dan Muhamad (2008:17), untuk melakukan studi kelayakan, terlebih dahulu harus ditentukan aspek-aspek apa saja yang akan dipelajari, walaupun belum ada kesepakatan tentang aspek apa saja yang perlu diteliti, tetapi pada umumnya penelitian akan dilakukan terhadap aspek-aspek pasar, teknis, finansial, hukum dan ekonomi negara. Tergantung pada besar kecilnya dana yang tertanam dalam investasi tersebut, maka terkadang juga ditambah studi tentang dampak sosial.

2.3 Aspek Pasar dan Pemasaran Sucipto (2010:47) mengemukakan kajian yang dilakukan dalam aspek pasar dan pemasaran bertujuan untuk menguji sejauh mana pemasaran dari produk yang dihasilkan perusahaan dapat mendukung pengembangan usaha atau bisnis yang direncanakan. Agar kajian aspek pasar dan pemasaran sesuai dengan rencana dan tujuan bagi pelaku bisnis, maka perlu dikaji beberapa faktor yang berkaitan dengan aspek pasar antara lain potensi pasar, peluang pasar atas produk yang diluncurkan untuk dimasa datang serta market share yang dapat diserap oleh bisnis tersebut dari keseluruhan pasar potensial. Kajian aspek pemasaran berkaitan dengan bagaimana penerapan strategi pemasaran dalam rangka meraih sebagian pasar potensial atau peluang pasar yang ada dan besaran market share (pangsa pasar) yang ditentukan dapat diraih sangat bergantung pada penerapan strategi pemasaran yang dipilih. Terdapat tiga hal pokok yang dapat ditelaah dalam aspek pasar, yaitu potensi pasar, analisis pesaing, dan strategi pemasaran.

2.3.1 Potensi Pasar Kotler dan Keller (2009:158) menyatakan bahwa potensi pasar adalah batas yang didekati oleh permintaan pasar ketika pengeluaran pemasaran industri mendekati tidak terhingga, untuk lingkungan pemasaran yang sudah tidak menentu. Dalam menentukan suatu proyek investasi baik dalam bentuk financial assets maupun real assets, maka diperlukan peramalan untuk mengetahui prospek pada masa yang akan datang. Salah satu cara yang terbaik untuk meramalkan jumlah permintaan pada masa yang akan datang adalah dengan menelaah permintaan akan produk tersebut pada masa lalu hingga kini. Suliyanto (2010:105) menyebutkan bahwa analisis permintaan (demand) digunakan untuk mengetahui secara riil jumlah kebutuhan jasa yang akan dihasilkan di daerah dan periode tertentu. Produk yang dihasilkan harus memiliki potensi pasar yang cukup untuk menghasilkan keuntungan, sehingga pengukuran potensi permintaan penduduk dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: 1 Mengukur permintaan produk dengan menggunakan data impor produk bersangkutan. Metode ini dilakukan dengan cara menghitung besarnya produk yang dihasilkan pada suatu daerah ditambah dengan produk yang diimpor dari daerah lain untuk memenuhi permintaan di daerah terebut. Metode ini digunakan jika produksi di daerah tersebut belum mampu memenuhi seluruh permintaan di daerah tersebut.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 16

2 Pengukuran dengan data impor, ekspor dan produksi dalam negeri. Metode ini dilakukan dengan cara menghitung besarnya produk yang dihasilkan di daerah tersebut ditambah dengan produk yang diimpor dari daerah lain dikurangi dengan produk yang diekspor ke daerah lain ditambah dengan cadangan yang merupakan selisih antara persediaan awal dan persediaan akhir 3 Metode Rasio Rantai Metode rasio rantai dilakukan dengan cara membagi komponen-komponen terkecil dari suatu mata rantai variabel yang berpengaruh terhadap permintaan produk bersangkutan. Komponen-komponen yang dipandang berpengaruh terhadap permintaan efektif adalah: jumlah penduduk, pendapatan per kapita, penghasilan/kapita yang dikomsumsi untuk jenis produk dan penghasilan yang dikonsumsi oleh jenis produk terkecil. 4 Judgement Method (Non-Statistical Method) merupakan metode untuk memproyeksikan permintaan atas dasar pendapat. Metode ini dapat dilakukan dengan cara: a. Survei niat beli merupakan metode untuk memproyeksikan permintaan yang akan datang dengan menanyakan kepada calon konsumen (target) pasar apakah mereka akan membeli atau tidak b. Pendapat tenaga penjual. Metode ini memproyeksikan permintaan yang akan datang dengan cara meminta kepada para tenaga penjualan untuk mengestimasikan penjualan tiap produk untuk daerah mereka masing-masing. Setelah itu, semua estimasi dari tenaga penjualan dijumlahkan untuk mendapatkan ramalan penjualan secara keseluruhan. c. Pendapat para ahli. Metode ini memproyeksikan permintaan yang akan datang dengan cara meminta pendapat para ahli di bidangnya untuk mengestimasikan permintaan produk berdasarkan analisis ilmiah. 5. Statistical Method merupakan metode untuk memproyeksikan permintaan atas dasar perhitungan statistik. Metode ini dapat dilakukan dengan cara: a. Analisis Tren merupakan metode analisis yang digunakan untuk memproyeksikan penjualan pada masa yang akan datang dengan berdasarkan pada data sebelumnya. Metode tren yang paling banyak digunakan untuk analisis data adalah metode kuadrat terkecil (trend least square method). b. Analisis Korelasi digunakan untuk mengetahui derajat hubungan linier antar satu variabel dengan variabel lainnya. Jika arah perubahannya searah maka kedua variabel akan memiliki korelasi yang positif.

2.3.2 Analisis pesaing (Competitor Analysis) Menurut David (2009:158) mengemukakan Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (External Factor Evaluation-EFE Matrix) memungkinkan para penyusun strategi untuk meringkas dan mengevaluasi informasi ekonomi, sosial, budaya, demografis, lingkungan, politik, pemerintahan, hukum, teknologi, dan kompetitif. Menurut David (2009:160) menyatakan bahwa untuk mengidentifikasi pesaing- pesaing utama suatu perusahaan serta kekuatan dan kelemahan khusus mereka dalam hubungannya dengan posisi strategis perusahaan yang diteliti dengan menggunakan Matriks Profil Kompetitif (Competitive Profile Matrix-CPM). Faktor keberhasilan penting (critical success) dalam matriks profil kompetitif mencakup baik isu-isu internal maupun eksternal, oleh sebab itu peringkatnya mengacu pada kekuatan dan kelemahan, di mana 4 = sangat kuat, 3 = kuat, 2 = lemah, dan 1 = sangat lemah.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 17

Total rating berada pada rentang 1,0 (rendah) dan 4,0 (tinggi) dan skor rata-rata adalah 2,5. Skor bobot total sebesar 4,0 mengindikasikan bahwa sebuah organisasi merespons secara sangat baik peluang dan ancaman yang ada diindustrinya atau strategi perusahaan secara efektif menarik keuntungan dari peluang yang ada dan meminimalkan pengaruh negatif potensial dari ancaman eksternal. Skor total sebesar 1,0 menandakan bahwa strategi perusahaan tidak mampu memanfaatkan peluang yang ada atau menghindari ancaman yang muncul. Analisis CPM ini menggunakan perusahaan yang diteliti yang kemudian dibandingkan dengan pesaing lainnya. Analisis menggunakan CPM ini lebih baik dibandingkan dengan Internal matriks (Internal Factor Evaluation matrix) dan eksternal matriks (External Factor Evaluation matrix) karena CPM terdiri dari faktor-faktor internal dan eksternal dari perusahaan yang diteliti dengan pesaing utamanya.

2.3.3 Strategi Pemasaran (Marketing Strategy) 1. Matriks Internal-Eksternal (Internal-Eksternal – IE Matrix) IE Matrix memposisikan berbagai divisi suatu organisasi dalam tampilan sembilan sel dapat dilihat pada Gambar 2.1.

2.4 Pengertian Desa Wisata 2.4.1 Pengertian Desa Wisata Terpadu Karena terbatasnya literatur-literatur/pedoman/teori tentang desa wisata atau landasan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas, maka dalam tinjauan

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 18

pustaka/kerangka teoritis akan lebih banyak mengutip dari hasil penelitian yang pernah dilakukan di Bali oleh Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada pada tahun 1992 dan 1994 bekerja sama dengan Direktorat Jendral Pariwisata, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi. Kebudayaan merupakan salah satu modal dasar utama di dalam pengembangan kepariwisataan di Bali. Di dalam jaringan komponen kebudayaan Bali tersebut desa adat berfungsi sebagai pilar penyangga utama struktur budaya yang ada. Berdasarkan ilustrasi yang telah disajikan bahwa faktor kunci tolok ukur keberhasilan pembangunan kepariwisataan di Bali terletak pada keberlangsungan kehidupan budaya desa adat. Untuk itu diperlukan modal pendekatan pengembangan yang mampu menciptakan hubungan timbal balik mutualistik (saling menguntungkan) antara perangkat desa adat dan usaha pembangunan kepariwisataan. Dengan demikian pariwisata akan menjadi bagian tak terpisahkan dari keutuhan kehidupan masyarakat desa adat. Dari ilustrasi dasar-dasar pemikiran, program pengembangan Desa Wisata Terpadu (DWT) merupakan salah satu alternatif jawaban agar usaha kepariwisataan dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat desa adat. Pengertian Desa Wisata Terpadu (DWT) yang dikutip dari Penyusunan Rencana Pengembangan Desa Wisata di Bali adalah :

“Suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan Bali baik dari segi kehidupan sosial budayanya, adat-istiadat keseharian, arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa, serta mempunyai potensi untuk dikembangkan berbagai komponen kepariwisataan, misalnya: atraksi, makan minum, cinderamata, dan kebutuhan wisata lainnya”.

Sesuai dengan batasan tersebut, maka model produk DWT yang ditawarkan haruslah mencerminkan “suasana pedesaan Bali” yang diusahakan sedekat mungkin dengan aslinya. Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti W, 1993). Terdapat dua konsep utama dalam komponen desa wisata antara lain : 1. Akomodasi, sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan atau unit- unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk. 2. Atraksi, seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta setting fisik lokasi desa yang memungkinkan berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi aktif seperti kursus tari, bahasa dan lain-lain yang spesifik.

2.4.2 Pendekatan Pengembangan Desa Wisata Pengembangan dari desa wisata harus direncanakan secara hati-hati agar dampak yang timbul dapat dikontrol. Berdasarkan penelitian dan studi dari UNDP/WTO, dicapai dua pendekatan dalam menyusun konsep kerja dari pengembangan sebuah desa menjadi desa wisata. Terdapat beberapa pendekatan pasar pengembangan desa wisata, yaitu : 1. Interaksi tidak langsung Model pengembangan didekati dengan cara bahwa desa mendapat manfaat tanpa interaksi langsung dengan wisatawan. Bentuk kegiatan yang terjadi misalnya :

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 19

penulisan buku-buku tentang desa berkembang, kehidupan desa, arsitektur tradisional, latar belakang sejarah, pembuatan kartu pos dan lain sebagainya. 2. Interaksi setengah langsung Bentuk-bentuk one day trip yang dilakukan oleh wisatawan, kegiatan-kegiatan meliputi makan dan melakukan kegiatan bersama penduduk dan kemudian wisatawan dapat kembali ke tempat akomodasinya. Prinsip model ini adalah wisatawan hanya singgah dan tidak tinggal bersama penduduk. 3. Interaksi langsung Wisatawan dimungkinkan untuk tinggal/ bermalam dalam akomodasi yang dimiliki oleh desa tersebut. Dampak yang terjadi dapat dikontrol dengan berbagai pertimbangan yaitu daya dukung dan potensi masyarakat setempat. Kriteria desa wisata pada pendekatan ini diperlukan beberapa kriteria, yaitu : 1. Atraksi wisata yaitu semua yang mencakup alam, budaya, dan hasil ciptaan manusia. Atraksi yang dipilih adalah yang paling menarik dan atraktif di desa. 2. Jarak tempuh adalah jarak tempuh dari kawasan wisata terutama tempat tinggal wisatawan dan juga dari jarak tempuh dari ibukota provinsi dan jarak dari ibukota kabupaten. 3. Besaran desa, menyangkut masalah-masalah jumlah rumah, jumlah penduduk, karakteristik dan luas wilayah desa. Kriteria ini berkaitan dengan daya dukung kepariwisataan pada suatu desa. 4. Sistem kepercayaan dan kemasyarakatan merupakan aspek penting mengingat adanya aturan-aturan khusus pada komunitas suatu desa dan hal yang perlu dipertimbangkan adalah agama yang menjadi mayoritas dan sistem kemasyarakatan yang ada. 5. Ketersediaan infrastruktur meliputi fasilitas dan pelayanan transportasi, fasilitas listrik, air bersih, drainase, telepon dan sebagainya. Masing-masing kriteria digunakan untuk melihat karakteristik utama suatu desa untuk kemudian menentukan apakah suatu desa akan menjadi desa dengan tipe berhenti sejenak, tipe one day trip atau tipe tinggal inap.

III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar yang merupakan salah satu desa yang memiliki sejarah Bali kuno dan memiliki potensi wisata yang dapat dikembangkan, dengan adat-istiadat, daya tarik budaya dan alam, upacara keagamaan dan adat-istiadat masyarakat masih dilaksanakan dengan rutin, memiliki keterpaduan objek yang cukup tinggi.

3.2 Penentuan Sumber Data Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah: 1. Data primer adalah data yang belum dipublikasikan dan yang diperoleh langsung dari sumber pertama melalui prosedur dan teknik pengambilan dari observasi dan interview dengan Bendesa Pekraman Bedulu dan tokoh-tokoh masyarakat Desa Bedulu, usaha pesaing serta pelaku pariwisata yang memahami betul kondisi Desa Bedulu. 2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang tidak langsung atau tangan kedua yang telah dikumpulkan oleh orang atau instansi lain. Instansi yang

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 20

dimaksud adalah Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, dan Dinas Pariwisata Provinsi Bali.

3.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut: 1. Teknik Observasi yaitu mengumpulkan data dengan mengadakan pengamatan secara langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh gambaran yang jelas berkenaan dengan potensi yang dimiliki oleh Desa Bedulu dengan pengamatan yang terlibat yaitu mengumpulkan data dengan berpedoman pada panduan observasi yang disediakan dan melibatkan diri dalam lingkungan subyek secara sistematis dan tidak mencolok sehingga akan tercipta suatu interaksi sosial antara peneliti dengan masyarakat Desa Bedulu yang sedang melaksanakan aktivitasnya sehari-hari dengan menggunakan tape recorder, kamera dan handycam. Peneliti dapat menjadikan partisipasi dalam upaya internalisasi tujuan penelitan sambil mengumpulkan data. 2. Metode angket, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada responden dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner terstruktur. 3. Teknik wawancara mendalam (depth interview) yaitu mengadakan wawancara mendalam secara langsung dengan informan kunci, seperti aparat desa, aparat pemerintah, pelaku pariwisata, tokoh tokoh masyarakat dan wisatawan. Wawancara sendiri merupakan suatu proses tanya jawab antra peneliti dengan subyek penelitian untuk memperoleh data, keterangan, pandangan atau pendirian dari subyek tersebut. 4. Studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengambil gambar/foto objek dan kegiatan yang berhubungan dengan penelitian seperti foto rumah tradisional, daya tarik wisata, fasilitas tambahan untuk menunjang kegiatan kepariwisataan di Desa Bedulu.

3.4 Analisis Data Ada pun teknik analisis data yang digunakan adalah Analisis SWOT untuk menemukan strategi dan Analisis aspek pasar sebagai berikut : 1. Mengestimasikan jumlah permintaan pasar yang datang ke Desa Wisata Bedulu dari bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2012 sehingga memperoleh occupancy rata-rata yang dipergunakan untuk menghitung proyeksi pendapatan per tahun. 2. Menganalisis persaingan dengan analisis competitive profile market (CPM) yang membandingkan antara lingkungan internal eksternal desa wisata Bedulu dengan desa wisata lainnya yang dianggap pesaing. 3. Menganalisis strategi pemasaran yang terbaik untuk desa wisata dengan digunakannya metode Analisis Matriks IE

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Pakraman Bedulu Desa Pakraman Bedulu adalah salah satu desa di Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali dengan ketinggian 170 meter diatas permukaan laut. Desa Pakraman (Desa Adat) Bedulu terdiri dari 5 banjar: Banjar Margabingung, Banjar

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 21

Tengah, Banjar Batulumbang, Banjar Lebah, dan Banjar Goa. Desa Bedulu terletak di jalur pariwisata Tampaksiring-Penelokan-Trunyan yang sudah terkenal dihubungkan jalan raya yang baik. Desa ini terletak pada Km. 27 dari Denpasar dan dapat ditempuh kurang lebih 45 menit. Desa Bedulu yang terdiri dari 5 Banjar dengan jumlah penduduk 723 KK.

4.2 Potensi Pasar Desa Bedulu Keberhasilan dari suatu desa wisata sangat ditentukan oleh besarnya permintaan yang akan dihasilkan. Permintaan wisatawan terhadap desa wisata dapat dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Bedulu pada bulan Agustus – Desember 2011 yang dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Desa Wisata Bedulu (Agst–Des 2011)

No. Asal Wisatawan Jumlah (Orang) Distribusi 1 Perancis 177 83,10 2 Belanda 3 1,41 3 Australia 2 0,94 4 Jepang 2 0,94 5 Indonesia 29 13,62 Total 213 100,00 Sumber: Hasil Penelitian, 2011

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa minat wisatawan yang datang untuk tinggal di Desa Wisata Bedulu didominasi oleh wisatawan yang berasal dari Perancis sebesar 83,10 %. Permintaan ini terjadi akibat adanya penawaran dari biro perjalanan wisata dari beberapa negara-negara Eropa. Hal yang menyebabkan wisatawan Perancis tertarik mengunjungi Desa Wisata Bedulu adalah keunikan arkeologi yang terdapat di tempat tersebut secara turun temurun dan adat istiadat tradisional di Bali. Kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Bedulu terjadi akibat adanya hubungan kerja sama dengan perantara, dalam hal ini yaitu biro perjalanan wisata, dan guide freelance. Hal ini dapat dilihat pada produktivitas dari biro perjalanan wisata yang mengirim wisatawan ke Desa Wisata Bedulu pada Tabel 4.2. Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa Biro perjalanan wisata Golden Kriss Tour & Travel dan Talisman Tour & Travel (biro perjalanan wisata) memiliki peran yang besar di dalam mengirim wisatawan untuk berkunjung dan menginap di Desa Wisata Bedulu dengan persentase sebesar 84,98 % dari keseluruhan total jumlah kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Bedulu dan 15,02 % merupakan wisatawan yang datang berkunjung atas inisiatif pribadi maupun melalui informasi dari guide freelance yang datang membawa tamu untuk berkunjung ke Desa Wisata Bedulu. Tingkat kunjungan wisatawan dari bulan Agustus–Desember 2011 ke Desa Wisata Bedulu dengan menginap di akomodasi yang dimiliki oleh penduduk lokal adalah sebesar 5,08 %, sehingga diasumsikan dengan kenaikan 27 % maka proyeksi kunjungan wisatawan lima tahun pada Tabel 4.3.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 22

Tabel 4.2 Sumber Kunjungan Wisatawan ke Desa Wisata Bedulu (Agst-Des 2011)

Golden Talisman Deskripsi Kriss % % Individual % Tour Tour Produktivitas 55 47,41 50 43,10 11 9,48 Berdasarkan Jumlah Kamar / Malam Produktivitas 91 42,72 92 42,25 32 15,02 berdasarkan Jumlah Tamu / Orang Produktivitas 18 43,90 16 39,02 7 17,07 berdasarkan lama menginap /malam Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

Tabel 4.3 Proyeksi Jumlah Wisatawan ke Desa Wisata Bedulu Tahun 2012–2016

Deskripsi / Tahun 2012 2013 2014 2015 2016 Tingkat 6,45 % 8,19 % 10,41 % 13,22 % 16,78 % Kunjungan Wisatawan dengan asumsi 15 kamar Proyeksi Jumlah 544 orang 589 orang 650 orang 736 orang 859 Wisatawan /tahun orang Potensi 36 / orang 39 / 43 / 49/ 57/ Wisatawan yang / tahun orang/ orang/ orang/ orang / akan menginap tahun tahun tahun tahun (Asumsi: 15 kamar) Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

Berdasarkan dari Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa dengan asumsi peningkatan kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Bedulu sebesar 27 % menyebabkan bertambahnya jumlah wisatawan yang akan menginap di akomodasi yang dimiliki oleh penduduk lokal.

4.3 Analisis Pesaing Desa Wisata yang dianggap sebagai pesaing adalah Desa Wisata Mas di Kecamatan Ubud, Desa Wisata Bona di Kecamatan Blahbatuh, dan Desa Wisata Kendran di Kecamatan Tegalalang. Pemilihan terhadap tiga desa wisata ini didasarkan atas kedekatan lokasi antara Desa Wisata Bedulu dan tiga desa wisata lainnya yang memiliki karakteristik yang hampir sama dan berlokasi di Kabupaten Gianyar. Analisis terhadap ketiga pesaing dilakukan dengan menggunakan analisis Competitive Profile Matrix (CPM) yang membandingkan antara profil Desa Wisata Bedulu dengan 3 (tiga) pesaing utamanya dengan critical success factors yang merupakan faktor-faktor kritis dari masing-masing desa wisata dan memuat faktor-faktor pada lingkungan internal dan eksternal dari masing-masing desa wisata tersebut. Matriks persaingan dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 23

Tabel 4.4 Competitive Profile Matrix

Desa Wisata Desa Wisata Desa Wisata Desa Wisata Critical Success Bedulu Mas Bona Kendran Bobot Factor Rating Skor Rating Skor Rating Skor Rating Skor

Advertising 0,20 3 0,40 4 0,60 2 0,20 3 0,60 Kualitas Produk 0,15 3 0,45 3 0,30 3 0,30 3 0,45 Harga yang Kompetitif 0,10 4 0,40 2 0,20 2 0,20 3 0,30 Manajemen 0,10 2 0,30 4 0,20 3 0,20 3 0,20

Posisi Keuangan 0,15 2 0,45 2 0,30 3 0,30 3 0,45

Customer Loyalty 0,10 3 0,20 3 0,30 3 0,30 3 0,30 Global Expansion 0,15 2 0,30 2 0,45 1 0,15 3 0,45 Market share 0,05 2 0,10 2 0,10 2 0,10 2 0,15 Total 1,00 2,60 2,45 1,75 2,90 Sumber : Hasil Penelitian, 2011

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa harga dari Desa Wisata Bedulu lebih kompetitif dengan manajemen desa wisata yang lebih baik dibanding ketiga pesaing. Penggunaan iklan dari keempat perusahaan didominasi Desa Wisata Mas yang secara aktif mempromosikan secara komprehensif melalui internet, biro perjalanan dalam negeri dan luar negeri, media masa di Bali dan Jakarta, Desa Wisata Bedulu mempromosikan produknya secara komprehensif melalui website sendiri (www.dewibedulu.com) dan biro perjalanan wisata di dalam negeri (Golden Kriss Tour dan Taliman Tour & Travel), Desa Wisata Kendran melakukan promosi melalui blog di internet, dan Biro Perjalanan Wisata dalam negeri sedangkan Desa Wisata Bona melakukan promosi melalui media masa, biro perjalanan wisata di dalam negeri dan melalui mulut ke mulut (words of mouth). Kualitas produk yang dimiliki oleh keempat desa wisata adalah relatif sama yaitu produk desa wisata yang unik dan hanya dimiliki oleh masing-masing desa. Desa Wisata Bedulu memiliki beberapa daya tarik wisata seperti Goa Gajah, Yeh Pulu, Sejarah tentang Bali Kuno, beberapa atraksi wisata, antara lain : belajar menari, dan memasak. Desa Wisata Mas memiliki daya tarik dalam mempelajari tentang lukisan Bali dan topeng, Desa Bona memiliki daya tarik untuk mempelajari tentang peralatan yang terbuat dari bambu dan Desa Kendran dengan wisata alamnya. Strategi pemberian harga yang kompetitif diberlakukan oleh Desa Wisata Bedulu yaitu sebesar Rp 350.000,- per orang untuk semalam termasuk penginapan, makan pagi dan paket perjalanan.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 24

Manajemen dari Desa Wisata Mas terdiri atas ahli yang berpengalaman dan memiliki keterampilan untuk mengelola desa wisata memiliki jaringan yang kuat dibidang perhotelan dan biro perjalanan wisata. Desa Wisata Bona dan Kendran memiliki tim ahli dibidang perhotelan dan guiding sedangkan Desa Wisata Bedulu hanya memiliki satu orang ahli yang kompeten dibidangnya sedangkan pengurus yang lain baru mulai belajar untuk mengelola sebuah desa wisata didaerahnya. Desa Wisata Bona dan Desa Wisata Kendran memiliki posisi keuangan yang bagus dengan modal yang memadai dikarenakan memperoleh dana pemberdayaan desa wisata dari PNPM mandiri. Desa Wisata Mas memiliki orang-orang yang paham dibidang manajemen dan memiliki kemampuan untuk berdiri sebagai desa wisata yang mandiri, akan tetapi ketidak kompakan didalam pengeluaran dana oleh masing-masing masyarakat yang menyebabkan Desa Wisata Mas memiliki permasalahan dalam hal keuangan. Sedangkan bagi Desa Wisata Bedulu memerlukan dana pembangunan dan renovasi dengan meminjam melalui Bank BNI sebesar Rp 120.000.000 dengan bunga 14 % dan akan memperoleh dana bantuan dari Bank Indonesia sebesar Rp 225.000.000,- yang akan dipergunakan sebagai modal kerja dan mengembalikan utang yang dipinjam sebelumnya. Wisatawan yang berkunjung kemasing-masing Desa Wisata memiliki keterikatan dan akan melakukan kunjungan kembali atau menginformasikan teman- temannya untuk datang berkunjung.. Ekspansi global yang terbaik dilakukan oleh Desa Wisata Mas karena beberapa masyarakat di Desa Mas memiliki biro perjalanan wisata di Bali dan mengundang beberapa pakar dibidangnya yang berasal dari Amerika Serikat untuk memberikan pengetahuan dan kesempatan untuk merubah desa wisata menjadi lebih baik. Market share dari semua Desa Wisata adalah relatif sama dengan mayoritas dikunjungi oleh wisatawan dari Eropa dan Australia.

4.4 Strategi Pemasaran Berdasarkan temuan di lapangan maka strategi pemasaran yang dapat direalisasikan adalah sebagai berikut : 1. Analisis Lingkungan Internal / Internal Factors Analysis Summary / IFAS (Kekuatan dan Kelemahan) Kekuatan (strengths) Desa Wisata Bedulu a. Lokasi yang strategis yang terletak didekat daerah tujuan wisata Goa Gajah, sekitar 10 menit dari Ubud b. Kualitas pelayanan yang baik dan ramah. c. Desa Wisata Bedulu memiliki paket wisata dengan harga kompetitif untuk pasar utama seperti Perancis, Belanda, Australia, Jepang dan Indonesia. d. Terdapat alternatif paket perjalanan yang dapat menjadi pilihan dari wisatawan, seperti tur keliling Bali yang dapat dijadikan alternatif tur baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. e. Fasilitas ruangan kantor yang menarik dan memadai. Dengan adanya fasilitas kantor yang cukup lengkap untuk kepentingan pekerjaan akan mempercepat dan mempermudah produktivitas dari karyawan. operasional dari Desa Bedulu didukung oleh peralatan dan sistem komunikasi antara lain: telepon, laptop dengan saluran internet, dan sebuah mobil pick up. f. Memiliki kerjasama dengan beberapa biro perjalanan wisata di Bali g. Kerjasama dengan guide yang memiliki lisensi seperti guide inggris, perancis, dan jepang.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 25

Kelemahan (weaknesses) a. Desa Wisata Bedulu merupakan sebuah Desa Wisata yang baru berdiri sehingga belum dikenal oleh konsumen. b. Karyawan bagian manajemen yang belum profesional dan ahli didalam menangani desa wisata c. Karyawan dari Desa Wisata Bedulu tidak memiliki pengalaman dan latar belakang pendidikan dibidang desa wisata karena karyawan yang direkrut adalah anak SMA yang telah tamat dan tidak melanjutkan pendidikannya kejenjang selanjutnya yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik terutama bahasa inggris dan memiliki keinginan untuk belajar. d. Pengambilan keputusan oleh tenaga staf operasional dianggap cukup lambat sehingga pelanggan banyak yang beralih kepada penginapan yang ada di Ubud. 2. Analisis Lingkungan Eksternal / External Factors Analysis Summary / EFAS (Peluang dan Tantangan) Peluang (opportunities) a. Desa wisata yang memiliki pangsa pasar masih terbatas sehingga terdapat peluang untuk mengambil pasar . b. Jumlah kunjungan wisatawan yang melakukan kegiatan semakin meningkat terutama untuk wisatawan dengan pasar utama seperti Perancis, Belanda, Australia, Jepang dan Indonesia. c. Meningkatnya disposible income masyarakat di kawasan Asia Pasifik d. Hak cuti karyawan yang semakin panjang, dengan rata-rata 3 minggu dalam satu tahun. e. Tingkat mobilitas masyarakat yang tinggi sebagai akibat majunya murahnya transportasi udara membuat jarak antara satu negara dengan negara lain semakin dekat dan mudah dikunjungi. f. Pemberian tunjangan sosial yang semakin baik kepada karyawan dan pensiunan oleh perusahaan-perusahaan swasta, dan negeri. g. Tumbuhnya kelas menengah yang relatif cukup besar dalam piramida penduduk dunia sehingga menyebabkan mereka memiliki keinginan untuk melakukan kegiatan wisata pada saat liburan. Tantangan (threats) a. Persaingan dengan Desa Wisata yang memiliki ceruk pasar yang sama b. Situasi dan kondisi keamanan dan kestabilan politik di Indonesia seperti ancaman teroris, atau bentrokan antar suku/banjar c. Keadaan alam dan budaya di Bali yang tidak dijaga dengan oleh masyarakat Bali dapat menyebabkan wisatawan tidak akan datang berkunjung ke Bali terutama untuk masalah sampah dan kemacetan lalu lintas yang sering mengganggu kenyamanan wisatawan ke Bali.

Strategi-strategi yang diperoleh berdasarkan analisis SWOT dapat diuraikan sebagai berikut : Strategi S-O 1. Strategi penetapan lokasi atau outlet dilakukan untuk mengenalkan produk Desa Wisata Bedulu kepada calon wisatawan. Desa Wisata Bedulu memiliki lokasi yang strategis yang berada dijalur wisata Goa Gajah, Kabupaten Gianyar sehingga mudah untuk mencapai Desa Wisata ini, memiliki parkir yang cukup dan aman dari macam-macam gangguan, dan memiliki ruangan AC dengan interior dan eksterior

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 26

yang menarik sehingga nyaman untuk melakukan kegiatan transaksi penjualan dari unit bisnis yang dimiliki oleh Desa Wisata ini. 2. Strategi harga yang digunakan oleh Desa Wisata Bedulu adalah metode cost plus pricing dengan menetapkan margin yang diinginkan oleh Desa Wisata dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan pesaing. 3. Product growth strategies di mana Desa Wisata Bedulu memiliki beberapa produk jasa yang berkualitas lebih baik atau berbeda dengan produk lain, dengan tujuan agar memiliki kesempatan untuk meningkatkan pangsa pasar dengan menarik pelanggan yang berbeda. Strategi W – O 1. Promosi Desa Wisata Bedulu dilakukan melalui website yang memberikan informasi tentang produk-produk yang dimiliki dan gambaran umum mengenai Bali selain itu untuk melakukan promosi yang benar dan tepat sasaran dapat diketahui melalui segmentasi pasar yang dilakukan sebelumnya sebagai berikut: 2. Wisatawan Perancis yang melakukan kegiatan memperoleh informasi mengenai Bali melalui teman/relasi (67%), agen perjalanan (53%), Perusahaan penerbangan (15%), dan kedutaan indonesia (8%). Untuk memperoleh calon wisatawan potensial maka promosi dan pemasaran perlu dilakukan melalui internet dan juga ajang trade fair seperti Salon Mondiale du Tourisme serta melalui iklan dibeberapa majalah travel trade and consumer magazines. 3. Bagi konsumen di negara Belanda, pemasaran yang efektif adalah melalui teman- teman atau konsumen yang puas sebelumnya (word of mouth) dan internet, sedangkan penjualan secara langsung, promosi lewat koran dan majalah kurang efektif bagi pasar Belanda. Wisatawan Belanda akan mencari informasi sebelum perjalanan dan desa wisata masih diperhitungkan sebagai sumber informasi dan mempengaruhi pilihan daerah tujuan wisata dan biasanya ini terjadi pada kelompok wisatawan yang lebih tua biasanya membina hubungan baik dengan satu desa wisata. Strategi S – T 1. Melakukan offensive strategy merupakan strategi yang lebih menitikberatkan pada usaha perubahan untuk mencapai tingkat yang lebih baik. Bentuk strategi ini dapat berupa modifikasi pasar, yaitu dengan menggaet kelompok bukan pemakai (non- user) mengintensifkan penawaran Desa Wisata Bedulu kepada non-user, dan merebut konsumen pesaing. Bentuk lain dari strategi ini adalah modifikasi produk, yaitu mengubah karakteristik produk sedemikian rupa, sehingga semakin menarik konsumen saat ini untuk membeli dengan cara menawarkan manfaat baru dari suatu produk kepada konsumen sekarang untuk mendorong kunjungan yang lebih banyak dan lebih sering dengan melakukan diversifikasi produk terhadap beberapa aktivitas tur dan paket lainnya yang dapat digabung dengan produk tersebut. 2. Melakukan penurunan terhadap biaya operasi dilakukan dengan melakukan kontrak perjanjian tentang pembagian komisi dan sistem kerja yang sesuai dengan kedua belah pihak. Strategi W – T 1. Melakukan training dibidangnya masing-masing di mana Desa Wisata Bedulu selalu melakukan pelatihan terhadap karyawan untuk memberikan standar pelayanan yang berkualitas dengan cepat dengan harga yang murah.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 27

2. Merancang proses kerja yang efisien dan efektif yang mengacu pada SOP (standard operating procedures). Sistem penanganan reservasi terhadap Desa Wisata dimasukkan dalam satu website.

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan analisis pasar dan pemasaran yang dilakukan terhadap pengembangan Desa Bedulu sebagai desa wisata dapat diambil kesimpulan adalah : 1. Pengembangan Desa Bedulu layak dikembangkan karena memiliki potensi pasar dengan proyeksi jumlah kunjungan wisatawan untuk tahun 2012 sebesar 544 orang per tahun, tahun 2013 (589 orang), tahun 2014 (650 orang), tahun 2015 (736 orang) dan tahun 2016 (859 orang) terutama dengan adanya kerjasama dengan Golden Kriss Tour and Travel dan Talisman Tour & Travel yang turut memberikan kontribusi untuk mengirim wisatawan menginap dan menikmati tur yang ditawarkan oleh Desa Wisata Bedulu. 2. Berdasarkan analisis pesaing dapat diketahui bahwa harga dan manajemen dari Desa Wisata Bedulu lebih murah dibanding ketiga pesaing (Desa Wisata Mas, Bona dan Kendran) 3. Strategi-strategi yang diperoleh antara lain: Strategi penetapan lokasi atau outlet dilakukan untuk mengenalkan produk Desa Wisata Bedulu kepada calon wisatawan, Strategi harga yang digunakan oleh Desa Wisata Bedulu adalah metode cost plus pricing dengan menetapkan margin yang diinginkan oleh Desa Wisata dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan pesaing, Product growth strategies di mana Desa Wisata Bedulu memiliki beberapa produk jasa yang berkualitas lebih baik atau berbeda dengan produk lain, dengan tujuan agar memiliki kesempatan untuk meningkatkan pangsa pasar dengan menarik pelanggan yang berbeda, Melakukan offensive strategy merupakan strategi yang lebih menitikberatkan pada usaha perubahan untuk mencapai tingkat yang lebih baik, melakukan training dibidangnya masing-masing di mana Desa Wisata Bedulu selalu melakukan pelatihan terhadap karyawan untuk memberikan standar pelayanan yang berkualitas dengan cepat dengan harga yang murah dan merancang proses kerja yang efisien dan efektif yang mengacu pada SOP (standard operating procedures).

5.2 Saran Terdapat sejumlah saran yang masih sangat diperlukan : 1. Konservasi bangunan tidak dilakukan dengan penyeragaman, melainkan mempertahankan pola-pola arsitektur dan tatanan khas sesuai tata aturan desa. 2. Dalam menampilkan atraksi hendaknya dapat membedakan antara atraksi yang sakral, setengah sakral dan yang profan. 3. Bagi manajemen Desa Wisata Bedulu perlu membuat standar kelayakan perhitungan aspek finansial dan ekonomi dengan memperluas metode yang dipergunakan. 4. Pengembangan fasilitas seperti akomodasi diharapkan tidak merusak lingkungan yang ada sebelumnya dan sesuai dengan tata ruang desa. 5. Memperbaiki dan mengembangkan Mandala Wisata Samuan Tiga di Desa Bedulu sehingga dapat menambah daya tarik dari desa wisata tersebut.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 28

KEPUSTAKAAN

Adhisakti, Laterna T. 2000. Strategi Pengembangan Desa Wisata di Indonesia dalam Makalah Seminar Nasional Pemberdayaan Pariwisata Berbasis Kerakyatan dalam Menyongsong Otonom Daerah Bali. Brigham, E.F, Houston, J.F. 2001. Manajemen Keuangan. Buku 1 dan 2. Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga David, F. 2009. Manajemen Strategis Konsep. Buku 1. Edisi 12. Jakarta: Penerbit Salemba Empat Erawan, Nyoman. 1993. Pariwisata dalam Kaitannnya dengan Kepribadian Bangsa. Dalam TR. Sudarta, dkk (ed). Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Upada Sastra. Denpasar. Husnan, S dan Muhamad. 2008. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat. Yogyakarta : UPP STIM YKPN Kotler, P dan Keller 2009. Manajemen Pemasaran. Edisi 12 Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga. Lim, dan Park, 2007. Environmental and Economic Study of a Total Wastewater Treatment Network System. Journal of Environment Management. Vol.88 No.1. Lu, Sadler dan Camp, 2005. Economic Feasibility Study of Variable Irrigation of Corn Production in Southeast Coastal Plain. Journal of Sustainable Agriculture. Vol.26, No.3. Nasrullah. 2007. Studi Kelayakan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja Kota Salatiga. Journal PRESIPITASI. Vol.3. No.2 Mukodim. 2009. Analisis Studi Kelayakan Investasi Pengembangan Usaha PT. Aneka Andalan Karya. Proceeding PESAT. Vol.3.No.1 Neba, 2010. Developing Rural Tourism as an Alternative Strategy for Poverty Alleviation in Protected Areas: Example of Oku, Cameroon. International NGO Journal. Vol.5. No.1 Pitana, Gde. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Penerbit : Bali Post. Denpasar. Sartono, 2001. Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi, Edisi Keempat, Yogyakarta, BPFE. Satoto, R. 2005. Analisis Kelayakan Investasi Apotek Kimia Farma 82 Kartika Plaza Kuta Unit Bisnis Area Bali, PT Kimia Farma Apotek (Persero), Tesis, Program Studi Magister Manajemen UNUD tidak dipublikasikan. Suratman, 2001. Studi Kelayakan Proyek – teknik dan prosedur penyusunan laporan, Edisi Pertama, Yogyakarta, J&J Learning. Suryawan dan Pujaastawa, 2009. Karakter Wisatawan Nusantara Ke Bali, Denpasar: Puslit Kebudayaan dan Kepariwisataan, UNUD bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Sucipto, A. 2010. Studi Kelayakan Bisnis – Analisis Integratif dan Studi Kasus. Cetakan 1. Malang: Aditya Media. Suliyanto. 2010. Studi Kelayakan Bisnis – Pendekatan Praktis. Edisi 1. Yogyakarta: Penerbit Andi. Tista, 1986. Sejarah Bali. Denpasar: Proyek Penyusunan Sejarah Bali Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. Trejos, B, Chiang L.H. 2009. Local Economic Linkages to Community-Based Tourism in Rural Costa Rica. Singapore Journal of Tropical Geography. Vol 1. No.1.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 29

Umar, H. 2002. Metode Riset Bisnis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Warsika, P.D. 2009. Studi Kelayakan Investasi Bisnis Properti (Studi Kasus: Ciater Riung Rangga). Jurnal Ilmiah Teknik Sipil. Vol.13. No.1. Widianto, Handoyo, dan Fajarwati. 2008. Pengembangan Pariwisata Pedesaan (Suatu Usulan Strategi bagi Desa Ketingan). Jurnal Bumi Lestari. Vol.8. No.2. Wijaya, B. 2009. Studi Kelayakan Investasi Penambahan Villa Pada PT Bagus Agro Pelaga di Kabupaten Badung, Tesis, Program Studi Magister Manajemen UNUD tidak dipublikasikan. Wilson, S., Fesenmaier, D.R., Van Es, J.C. 2001. Factors for Success in Rural Tourism Development. Journal of Travel Reseach Vol 40. No.132 Wirawan. 2003. Analisis rencana investasi pada jaringan”shop & ride” di Buleleng dan Jembrana, Tesis, Program Studi Magister Manajemen UNUD tidak dipublikasikan. Zubir, Z, 2006. Kelayakan Usaha untuk Hotel dan Penginapan. Edisi Satu. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 30

DESA WISATA BERBASIS MASYARAKAT SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA PINGE

I Made Adikampana [email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud

Abstract

This study is to formulate a model of community empowerment through improved local community participation in Pinge’s Village Tourism. The model useful for solving problems of lack of community participation in village tourism development, as a result of the powerlessness of the community in identifying benefits/contributions of tourism. Based on existing products and potential of community in Pinge, can be formulated two model of community empowerment in village tourism development. First; strengthening institutional capacity (institutional building) and the role of communities in Pinge to participate actively in the process of village tourism development. Second, strengthening access to and opportunities for communities in Pinge to enhance the economic benefits of village tourism.

Key words: model, development, ccommunity empowerment, village tourism, tourism benefit

I. PENDAHULUAN Desa wisata dikembangkan sebagai reaksi atas berbagai dampak negatif pengembangan pariwisata konvensional, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan pedesaan dan kualitas hidup masyarakat lokal (Roberts dan Hall, 2001). Sejalan dengan kecendrungan tersebut, pengembangan desa wisata di Desa Pinge, Tabanan, Bali, yang selama ini terlupakan, bertujuan untuk menjaga kelestarian morflogi desa, kehidupan pedesaan dan sebagai alat prioritas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik, peluang pekerjaan dan kesempatan berusaha (Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2002). Namun kenyataannya masyarakat Desa Pinge mempunyai tingkat sosial ekonomi yang relatif masih rendah. Hal ini menunjukkan minimnya partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata, akibat dari ketidakberdayaan masyarakat dalam mengidentifikasi peluang ekonomi pariwisata (Campbell, 1999). Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian tentang model pemberdayaan masyarakat Desa Pinge dalam pengembangan desa wisata menjadi penting untuk dikaji. Terutama penemuan suatu model yang diharapkan dapat diterapkan untuk peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan produk Desa Wisata Pinge.

II. METODE PENELITIAN 2.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menerapkan metode penelitian kualitatif. Penggunaan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian akan menghasilkan konsepsual penafsiran dari

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 31

objek amatan secara keseluruhan (Altinay dan Paraskevas, 2008). Penelitian kualitatif ini memiliki beberapa keunggulan. Pertama, penelitian dilatarbelakangi permasalahan ilmiah untuk objek secara keseluruhan sehingga menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Kedua, mampu menyesuaikan diri dengan realitas dinamis dalam penelitian, karena tidak bersifat parsial atau membuat objek secara spesifik. Ketiga, desain penelitian bersifat fleksibel, sehingga dapat diperbaiki dan disempurnakan selama proses penelitian sedang berlangsung. Keempat, karena mengikuti logika induksi maka metodologi kualitatif dapat menyumbang teori baru setelah penelitian. Kelemahan penulisan deskriptif adalah tidak sampai menjelaskan hubungan kausalitas, latar belakang situasional, serta tidak menjawab pertanyaan "mengapa sesuatu itu terjadi". Oleh karena itu perlu dilengkapi dengan metode historis. Penggunaan metode historis dalam studi ini didasari atas keyakinan bahwa setiap fenomena sosial pasti memiliki akar-akar sejarah yang luas, yang sangat berkaitan dengan kondisi sekarang dan di masa yang akan datang.

2.2 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini akan menggunakan beberapa teknik-teknik pengumpulan data seperti studi pustaka, wawancara mendalam, dan focus group discussion/FGD (Veal, 2006). Teknik wawancara mendalam dan FGD dipilih untuk mendapatkan pemahaman atas pengetahuan lokal tentang pariwisata dan kegiatan ekonomi masyarakat lokal.

2.3 Bagan Alir Penelitian Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan secara rinci dalam gambar 2.1 Alur Pikir penelitian berikut :

Gambar 2.1 Alur Pikir

Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 32

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Produk Desa Wisata Pinge 3.1.1 Atraksi Desa Wisata Pinge memiliki hawa sejuk karena terletak pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Desa Wisata Pinge terletak 34 Km dari Denpasar. Lokasinya 17 Km di bagian utara Kota Tabanan. Untuk dapat pengalaman perjalanan wisata yang tidak terlupakan, maka perjalanan dari Denpasar sebaiknya melalui Bedugul – Pertigaan Desa Pacung – Jati Luwih – Yeh Panes – Desa Wisata Pinge – Tabanan – Alas Kedaton. Memiliki potensi alam pedesaan dengan bangunan tradisional Bali, Desa Wisata Pinge termasuk salah satu daya tarik wisata dengan panorama yang indah. Tata letak desa yang teratur memanjang dan dibelah oleh satu jalan besar dengan arsitektur tradisional yang rapi dan sejajar.. Desa Wisata Pinge menyimpan pula potensi budaya terutama potensi arkeologi di sebuah pura yaitu Pura Natar Jemeng (Wisata Dewata, 2011). Wisatawan yang berunjung ke Desa Wisata Pinge ingin menikmati suasana pedesaan dan keindahan serta hamparan sawah yang luas. Beberapa kegiatan wisata yang dapat dilakukan di Desa Wisata Pinge diantaranya (Wisata Bali, 2012): 1. Hiking, wisatawan dapat berjalan kaki di dalam desa sambil menikmati suasana pedesaan dan pertanian. Setelah itu pengunjung dapat beristirahat di rumah- rumah penduduk sambil menikmati makanan atau minuman yang dipesan sebelumnya. 2. Tracking, wisatawan dapat menikmati area pertanian Desa Pinge sambil menikmati atmosfer pedesaan yang nyaman dan tradisional. 3. Cycling, dilakukan wisatawan dengan bersepeda sambil menikmati sauasana pedesaan. 4. Car touring, wisatawan menikmati suasana Bedugul, Jatiluwih singgah di Pinge dan Tabanan dengan rute cukup jauh dilakukan dengan memakai mobil seperti VW safari atau kendaraan unik lainnya. Mendukung potensi tersebut, Desa Wisata Pinge memiliki kelompok sadar wisata Pinge Asri yang menangani kegiatan wisata. Kelompok ini mengelola segala sesuatu berkaitan dengan kepentingan wisatawan, seperti: 1. Memandu wisatawan menikmati pola pemukiman, rumah tradisional, aktivitas sosial, dan budaya. 2. Memandu kegiatan pertanian. 3. Menjelaskan fasilitas yang tersedia bagi wisatawan. 4. Menawarkan potensi tinggalan arkeologi. 5. Layanan bagi wisatawan yang ingin memanfaatkan fasilitas home stay.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 33

Gambar 2. Sebaran Atraksi Desa Wisata Pinge

Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

3.1.2 Amenitas Amenitas atau fasilitas wisata yang terdapat di Desa Wisata Pinge berupa akomodasi (home stay), tempat coffee break, toilet, arena pementasan kesenian, dan souvenir shop. Ketersediaan fasilitas tersebut cukup mendukung kepariwisataan Desa Pinge.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 34

Gambar 3. Fasilitas Desa Wisata Pinge

Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

3.2 Model Pemberdayaan Masyarakat melalui Pengembangan Produk Desa Wisata Pinge Pemberdayaan masyarakat atau komunitas lokal merupakan paradigma yang sangat penting dalam kerangka pengembangan kepariwisataan. Pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan tersebut oleh Murphy (1987) dikatakan bahwa pariwisata sebagai “community industry”, sehingga keberlanjutan pembangunan pariwisata sangat tergantung dan ditentukan oleh dukungan, penerimaan, dan toleransi terutama dari masyarakat di sekitar kegiatan pariwisata (lokal). Memastikan bahwa pengembangan pariwisata di Desa Wisata Pinge dapat berkelanjutan, maka hal mendasar yang harus diwujudkan adalah memfasilitasi keterlibatan luas masyarakat lokal dalam proses pengembangan dan mengoptimalkan manfaat sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi dari kegiatan desa wisata tersebut. Dalam rangka memfasilitasi keterlibatan dan optimalisasi manfaat Desa Wisata Pinge bagi masyarakat lokal, maka model pemberdayaan masyarakat yang akan dirumuskan dalam pengembangan Desa Wisata Pinge diarahkan pada: 1. Penguatan kapasitas dan peran masyarakat Desa Pinge untuk turut serta aktif dalam kegiatan dan proses pembangunan desa wisata. 2. Penguatan akses dan kesempatan berusaha bagi masyarakat Desa Pinge untuk meningkatkan manfaat ekonomi desa wisata.

3.2.1 Penguatan Kapasitas dan Peran Masyarakat Desa Pinge Pengembangan pariwisata berbasis pemberdayaan masyarakat, berorientasi kepada penguatan peran dan partisispasi masyarakat dalam proses pengembangan. Proses pengembangan dimulai dari kegiatan perencanaan, implementasi, dan kontrol terhadap pengembangan. Dalam kaitan ini, diperlukan partisipasi dan penguatan lembaga masyarakat Desa Wisata Pinge seperti Kelompok Sadar Wisata Pinge Asri, Desa Adat dan Dinas Pinge, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok usaha pariwisata lainnya agar dapat memiliki peran aktif dalam proses pengembangan pariwisata. Beberapa aspek yang terkandung dalam penguatan kapasitas dan peran masyarakat dalam pengembangan Desa Wisata Pinge adalah :

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 35

1. Kapasitas institusi masyarakat; aspek ini berhubungan dengan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat dalam hal pengetahuan berorganisasi dan keahlian untuk pengelolaan dan pengembangan organisasi. Pihak yang bertanggung jawab dalam aspek ini adalah pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi non pemerintah. 2. Pelibatan masyarakat dalam proses pengembangan (perencanaan, implementasi, dan monitoring/evaluasi) a. Perencanaan; keterlibatan masyarakat Desa Pinge terutama untuk identifikasi masalah atau persoalan, identifikasi potensi pengembangan, analisis dan prediksi terhadap kondisi di masa mendatang, dan perumusan alternatif rencana. b. Implementasi; bentuk keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program pengembangan Desa Wisata Pinge. c. Monitoring/evaluasi; keterlibatan masyarakat dalam tahap pengawasan dan evaluasi serta memperoleh manfaat untuk kesejahteraan masyarakat Desa Pinge.

3.2.2 Penguatan Akses dan Kesempatan Berusaha Masyarakat Desa Pinge Di Desa Wisata Pinge kesempatan berusaha dalam kegiatan desa wisata telah berkembang. Hal ini ditunjukkan oleh pengembangan usaha masyarakat di bidang akomodasi (home stay), souvenir shop, dan penyediaan makanan dan minuman khususnya oleh ibu-ibu yang tergabung dalam PKK. Namun mengingat keberadaan produk Desa Wisata Pinge yang cukup beragam yaitu atraksi berbasis alam dan budaya, maka perlu diupayakan keterlibatan lain seperti pemandu wisata lokal dan menyediakan transportasi lokal. Penguatan usaha ekonomi masyarakat akan memberikan sejumlah manfaat, antara lain: 1. Meningkatnya suplai terhadap fasilitas penunjang pariwisata yaitu akomodasi, makanan dan minuman, serta cindramata. 2. Menyediakan pemasukan tambahan bagi penyedia barang dan jasa layanan pariwisata 3. Meningkatkan permintaan pasar terhadap produk lokal, sehingga akan mendorong keberlanjutan adat tradisi masyarakat lokal 4. Menggunakan tenaga kerja dan tenaga ahli lokal misalnya: pemandu wisata, pelaku seni, dan pekerja home stay. 5. Membuka sumber dana bagi usaha perlindungan atau konservasi sumberdaya alam dan sumberdaya budaya 6. Menumbuhkan kesadaran masyarakat lokal terhadap nilai-nilai lokalitas budaya dan keunikan alam. Penguatan usaha ekonomi masyarakat sebagai salah satu ranah penting dalam pemberdayaan masyarakat, terutama berkaitan dengan optimalisasi kontribusi pengembangan desa wisata terhadap ekonomi masyarakat Desa Wisata Pinge. Sebagaimana telah menjadi prinsip pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, bahwa pengembangan pariwisata harus memberikan manfaat ekonomi yang sebesar- besarnya bagi masyarakat lokal. Selain itu, pariwisata mempunyai agenda dalam mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat, sehingga akses masyarakat lokal terhadap manfaat ekonomi Desa Wisata Pinge harus dioptimalkan.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 36

III. SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan Berdasarkan eksisting produk Desa Wisata Pinge dan potensi masyarakat Desa Pinge dapat disimpulkan bahwa model pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan desa wisata adalah sebagai berikut 1. Penguatan kapasitas institusi (institutional building) dan peran masyarakat Desa Pinge untuk turut serta aktif dalam kegiatan dan proses pembangunan desa wisata. 2. Penguatan akses dan kesempatan berusaha bagi masyarakat Desa Pinge untuk meningkatkan manfaat ekonomi desa wisata.

4.2 Saran Berdasarkan model pemberdayaan masyarakat Desa Pinge, dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pengembangan potensi, kapasitas, dan partisipasi masyarakat melalui pengembangan Desa Wisata Pinge. 2. Peningkatan potensi dan kapasitas sumberdaya lokal melalui pengembangan usaha produktif yang terkait dengan desa wisata. 3. Pengembangan regulasi dan insentif utuk mendorong perkembangan usaha ekonomi masyarakat Desa Pinge. 4. Penguatan kemitraan melalui pengembangan jejaring desa wisata dan Peran Pemkab Tabanan dan stakeholders untuk secara serius menggarap desa wisata yang ada di wilayahnya. 5. Penelitian lanjutan diperlukan untuk menetapkan segmentasi pasar, peluang dan kendalanya sehingga dapat dijadikan rekomendasi bagi segenap komponen untuk pengembangan desa wisata secara berkelanjutan

KEPUSTAKAAN

Altinay, Levent and Paraskevas, Alexandros, 2008, Planning Research in Hospitality and Tourism, Elsevier, UK. Campbell, 1999, Ecotourism in Rural Developing Communities, Annals of Tourism Research, 26: 534-553. Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2002, Studi Pengembangan Desa Wisata Pinge Kecamatan Marga Tabanan, Bali. Murphy, Peter E., 1987, Tourism A Community Approach, Methuen, New York. Roberts, Lesley and Hall, Derek, 2001, Rural Tourism and Recreation, CABI Publishing, UK. Veal, A. J., 2006, Research Methods for Leisure and Tourism: A Practical Guide, Prentice Hall, England. Available From : http://www.wisatadewata.com, diakses tanggal 16 Januari 2012. http://bali.panduanwisata.com, diakses tanggal 8 Juli 2012.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 37

KARAKTERISTIK RESTORAN INDIA SEBAGAI SARANA WISATA BARU DI KAWASAN WISATA KUTA, NUSA DUA DAN UBUD

Ni Made Ariani Ni Nyoman Sri Aryanti I Gusti Agung Oka Mahagangga [email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud

Abstract

As the one as the top destination in the world Bali become popular with the tourist from India. So, Bali must prepare the carrying facility who adapted with character indian tourist. The Restaurant of India maybe one of the facility that the tourist needed and that special restaurant has opening in Kuta, Nusa Dua and Ubud. With Qualitative approach, this research saying that character all of Indian restaurant in Bali have equal in management, lay out an the food menu aspect. Only the Indian restaurant at Sunset Road and at Ubud have different think, from capacity and natural atmosphere aspect.

Key words : character, indian restaurant, food menu, and management.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata sudah bukan kata asing bagi warga masyarakat dunia saat ini. Terlebih Bali yang sudah terkenal hingga ke mancanegara dengan berbagai julukan dari yang eksotis hingga fantastis. Bali merupakan destinasi utama pariwisata di Indonesia dan bahkan di dunia. Pulau Bali terkenal di seluruh dunia karena memiliki daya tarik adat-istiadat, tradisi maupun destinasi wisata yang beraneka ragam. Pariwisata pun telah telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bali dan memberikan kontribusi besar dalam pembangunan. Peranan pariwisata tersebut dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) dan penyerapan tenaga kerja. Hingga tahun 2000, sektor pariwisata menyumbang 33,19% untuk PDRB atas dasar harga berlaku. Sedangkan penyerapan tenaga kerja pada tahun 1995 jumlah yang terserap pada sektor pariwisata sebesar 18,57% dan pada tahun 2003 adalah 22,86% (Pitana, 2002 : 11). Kebudayaan Bali yang unik merupakan faktor utama pesatnya perkembangan Pariwisata Bali secara umum. Namun tidak dapat dipungkiri tanpa kehadiran sarana wisata sebagai penunjang kegiatan wisatawan selama berlibur di Bali, tentunya angka kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali tidak akan meningkat pesat. Kehadiran sarana akomodasi wisata baik berupa hotel maupun restoran sangat berperan dalam memberikan kenyamanan kepada wisatawan. Akomodasi wisata yang berkualitas juga dapat memberikan citra positif terhadap pasar sehingga wisatawan dari mancanegara tersebut dapat memberikan informasi yang baik ketika kembali ke negaranya masing- masing.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 38

Seperti di Kabupaten Badung khususnya di seputaran kawasan wisata Kuta, pertumbuhan jumlah jasa sarana wisata meningkat cukup signifikan dari tahun ke tahun. Hal ini sebagai respon terhadap pasar wisatawan yang datang ke Bali semakin beragam dan memiliki selera yang berbeda pula. Disamping hal tersebut seperti tampak pada tabel 1.2 terdapat pertambahan jumlah Bar dan Catering yang menandakan pola konsumsi wisatawan tidak hanya di restoran atau rumah makan melainkan dapat pula memanfaatkan bar dan jasa catering tersebut.

Tabel 1.2 Jumlah Restoran, Rumah Makan, Bar,Catering dan Jumlah Kursi di Kab. Badung

Restoran Rumah Makan Bar Catering

Tahun Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Kursi Kursi Kursi Kursi 2004 97 12.992 413 23.808 287 9.364 1 100 2005 131 15.463 429 25.087 302 9.644 2 200 2006 185 18.449 452 25.980 324 10.343 4 400 2007 192 19.534 446 25.965 322 10.239 4 400 2008 236 22.299 451 26.208 336 11.096 4 400 2009 237 25.281 457 27.188 345 11.452 5 500 Sumber : Disparda Badung, 2010.

Inovasi dalam mengemas produk dan melihat trend pasar dalam pengembangan sarana wisata seperti restoran tidak dapat dielakkan. Pasar pariwisata Bali yang dinamis tidak hanya dikunjungi oleh wisatawan asal Eropa, Jepang maupun Australia. Para praktisi pariwisata pun dituntut cermat melihat peluang dan potensi pasar yang dinamis. Sebagai pasar baru yang dipandang potensial wisatawan mancanegara yang berkunjung langsung ke Bali adalah wisatawan asal India. Wisatawan India bagaikan sleeping giant (raksasa yang sedang tidur). Potensinya sangat luar biasa, mengingat lebih dari 10 juta orang India berwisata ke penjuru dunia setiap tahunnya. Tempat yang paling banyak dituju adalah Inggris, Dubai, dan Fiji. Sementara Indonesia tahun 2009 dikunjungi turis dari India sebesar 116.001 orang atau meningkat dibandingkan tahun 2008 hanya 90.720 orang (Sukamdani, 2010). Untuk Bali kunjungan wisatawan mancanegara asal India, berdasarkan data awal yang diperoleh hingga pertengahan tahun 2009, berdasarkan data Kajian Ekonomi Regional Bali yang diterbitkan Bank Indonesia Denpasar, selama Januari-Mei 2009, kunjungan wisatawan India ke Pulau Dewata mencapai 10.856 orang. Kunjungan selama Januari tercatat 1.713 orang, bulan berikutnya sempat turun menjadi 1.629 wisatawan, Maret naik lagi 1.808 orang, April meningkat 2.085 orang dan Mei melonjak mencapai 3.621 orang. Meningkatnya kunjungan wisatawan India juga didukung keberadaan sejumlah rumah makan khas negeri itu, seperti Queen`s of India di sebelah Bali Dynasty, Jalan Kartika Plaza, Tuban, Kuta, dan Queen`s Tandoor di Gallery Seminyak, Jalan Raya Seminyak (Bagoes Oka, 2009). Keberadaan restoran atau rumah makan khas India dengan demikian akan semakin dibutuhkan dengan terus meningkatnya jumlah wisatawan India berkunjung ke Bali. Restoran India hingga saat ini belum diketahui jumlah pastinya, akan tetapi berdasarkan penjajagan awal restoran India tersebar di beberapa wilayah seperti di Legian, Seminyak, Sunset Road, By Pass Nusa Dua dan Ubud.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 39

Karakteristik restoran India di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya belum diketahui secara umum, karena kecenderungannya pemilik restoran tersebut adalah orang India asli. Selain itu restoran India di Bali masih baru berkembang sehingga sangat ideal dan menarik untuk diketahui karakteristiknya, sebagai suatu upaya pengembangan restoran India di Bali yang dapat memacu perkembangan pasar wisatawan India untuk semakin tinggi minatnya berkunjung ke Bali. Sebagai sarana wisata yang baru berkembang dengan demikian memiliki ciri khusus yang mungkin sangat berbeda dengan restoran asing yang sudah terlebih dahulu berkembang di Bali. Untuk itu diperlukan kajian atau penelitian terapan untuk mengetahui secara valid dan mendalam tentang karakteristik restoran India sebagai sarana wisata baru di kawasan wisata Kuta, Nusa Dua dan Ubud. Hal ini penting untuk dilakukan sebagai upaya mengenal dan memaksimalkan pelayanan restoran India sebagai industri jasa pariwisata yang memiliki prospek pasar cukup cerah sehingga Bali tidak akan hanya bergantung kepada pasar tradisonal seperti Jepang dan Australia.

1.2 Perumusan Permasalahan Bertolak dari pemikiran diatas maka permasalahan dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut : ”Bagaimana Karakteristik Restoran India di Kawasan Wisata Kuta, Nusa Dua dan Ubud?”

1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui Karakteristik Restoran India di Kawasan Wisata Kuta, Nusa Dua dan Ubud.

1.4 Tinjauan Pustaka 1.4.1 Batasan Karakteristik Restoran India Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian karakterisitk adalah ciri-ciri khusus yang sifatnya khas sesuai dengan perwatakan tertentu (Poerwadamita, 2001). Karakteristik dengan demikian memiliki ciri yang membedakan antara benda atau objek satu dengan yang lainnya. Karakteristik Restoran India dalam penelitian ini adalah ciri-ciri khusus yang dimiliki beberapa restoran India sebagai industri jasa yang memberikan pelayanan berupa makanan dan minuman yang memiliki cita rasa makanan dari Negara India.

1.4.2 Batasan Pengertian Sarana Wisata Baru Sarana Wisata merupakan kelengkapan daerah tujuan wisata yang diperlukan untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya. Pembangunan sarana wisata di daerah tujuan wisata maupun objek wisata tertentu harus disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Lebih dari itu selera pasar pun dapat menentukan suatu sarana wisata. Berbagai sarana wisata tersebut adalah hotel, biro perjalanan, alat transportasi, restoran dan rumah makan (Suwantoro, 2004 : 22).

1.4.3 Batasan Pengertian Restoran Restoran adalah satu usaha komersil yang menyediakan jasa pelayanan makan dan minum yang dikelola secara profesional. Sarana wisata baru dalam penelitian ini

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 40

adalah restoran India yang perkembangannya baru saja dimulai. Hal ini sejalan dengan mulai diliriknya pasar wisatawan mancanegara asal India tersebut.

1.4.4 Batasan Pengertian Pengembangan Menurut Poerwadarminta (2001) pengembangan adalah suatu proses atau cara menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna dan berguna, sedangkan menurut Badudu (1994) pengembangan adalah hal, cara atau hasil kerja mengembangkan. Jadi pengembangan dalam hal ini dapat diartikan membuat menjadi ada dari yang belum ada, dari yang sudah ada menjadi lebih baik dan dari sudah baik menjadi lebih baik, demikian seterusnya (Arismayanti, 2005). Pengembangan Objek wisata mempunyai tiga faktor menentukan (Yoeti, 1996) yaitu : 1) Tersedianya objek wisata, yaitu tersedianya objek dan daya tarik wisata; 2) Adanya fasilitas aksesibilitas, yaitu sarana dan prasarana penunjang sehingga memungkinkan wisatawan mengunjungi suatu daerah wisata; 3) Tersedianya fasilitas amenities yaitu sarana kepariwisataan yang dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pengembangan objek wisata merupakan proses perencanaan strategis yang terfokus pada implementasi strategi termasuk pengoraganisasian, pengarahan dan pengendalian secara sederhana. Langkah awal yang harus dilakukan adalah identifikasi posisi atau prestasi objek wisata kemudian disusun strategi pengembangan sehingga dapat disusun program-program yang diarahkan untuk dapat mencapai kondisi yang diharapkan. Pengembangan dalam penelitian ini adalah upaya dari pengelola restoran India untuk memajukan usahanya yang baru sesuai dengan target yang dimiliki. Upaya tersebut mencakup langkah atau strategi dalam mewujudkan visi dan misi yang dimiliki.

1.5 Metode Penelitian 1.5.1 Lokasi Penelitian Terdapat beberapa buah restoran India di kawasan Kuta yang tersebar dari Legian hingga ke Seminyak. Lokasi penelitian ini dengan demikian adalah di Jalan Legian, di Jalan Seminyak dan jalan Sunset Road.

1.5.2 Definisi Operasional Variabel Dalam rangka membatasi permasalahan yang diteliti maka ruang lingkup penelitian ini adalah kepada karakteristik restoran India dengan indikator sejarah berdirinya, pengelolaan, lay out restoran dan menu makanan yang dijual kepada para wisatawan.

1.5.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Data Kualitatif adalah data yang berisikan urain informasi terpercaya tentang objek penelitian yaitu tentang kendala yang dihadapi pengusaha dalam pengembangan restoran India di kawasan Kuta. 2. Data Kuantitatif berupa angka-angka sebagai hasil dari penelitian di lapangan tentang karakteristik restoran India sebagai sarana wisata baru di kawasan Kuta. Sumber data adalah dalam penelitian ini adalah sumber data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari pengelola restoran dan sumber data sekunder yaitu data

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 41

yang diperoleh dalam bentuk tulisan, laporan, media massa atau sumber tertulis lainnya.

1.5.4 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode teknik pengumpulan data yaitu : 1. Observasi adalah cara pengumpulan data melalui pengamatan yang terfokus kepada karakteristik dan kendala pengembangan restoran India di kawasan wisata Kuta 2. Kuesioner adalah pengumpulan data dengan cara memberikan daftar pertanyaan yang telah disusun untuk pengelola restoran 3. Studi Kepustakaan adalah pengumpulan data dari literatur, media massa dan sumber tertulis lainnya yang memiliki relevansi dengan objek penelitian.

1.5.5 Teknik Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini populasinya adalah 8 buah restoran India yang tersebar di Kawasan Kuta, Nusa Dua dan Ubud yaitu Gateway Of India Sanur, Gateway Of India Kuta, Gateway Of India Seminyak, Queen`s of India di sebelah Bali Dynasty, Jalan Kartika Plaza, Tuban, dan Queen`s Tandoor di Gallery Seminyak, Indian Delites Ubud, O’ India Sunset Road dan India Dhaba, By Pass Nusa Dua. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010 : 117). Populasi dalam penelitian ini yang tidak lebih dari 10 pengelola restoran, maka peneliti menggunakan seluruh populasi sebagai objek penelitian. Dengan kata lain, populasi dalam penelitian ini merupakan populasi kecil sehingga tidak digunakan sampel karena keseluruhan objek penelitian dapat dijangkau oleh tim peneliti (Bungin, 2010). Dalam istilah kuantitatif, objek penelitian yang kecil ini disebut sebagai sampel total, yaitu keseluruhan populasi merangkap sebagai sampel penelitian (Surakhmad, 1978).

1.5.6 Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif yaitu menguraikan, menggambarkan dan menjelaskan secara sistematis data yang diperoleh dilapangan dengan tujuan memperoleh gambaran yang jelas dan objektif. Analisis deskriptif kualitatif dalam penelitian ini berwujud persentase jawaban dari kuesioner tentang karakteristik responden yang kemudian diperbandingkan antara satu dengan yang lainnya. Perbandingan tersebut dilakukan untuk melihat karakter restoran India secara umum di Kawasan Kuta, Nusa Dua dan Ubud. Setelah melakukan perbandingan dilakukan analisis data secara kualitatif untuk melihat kendala yang dihadapi restoran sesuai dengan masing-masing karakternya. Informasi yang diperoleh dari para pengelola restoran akan diolah yang selanjutnya menghasilkan suatu data kualitatif. Terakhir Tim Peneliti akan berusaha memberikan interpretasi secara kualitatif terhadap kendala yang dihadapi tersebut dengan berlandaskan kepada data kuantitatif dan data kualitatif yang diperoleh selama penelitian berlangsung.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 42

II. PEMBAHASAN 2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di di Kuta dan Nusa Dua di Kab. Badung dan di Ubud Kabupaten Gianyar. Kuta adalah kawasan wisata yang sudah terkenal dengan keindahan pantainya dan saat ini telah diminati pula oleh wisatawan asal India. Nusa Dua adalah kawasan wisata yang lebih elit dengan sebagian besar wisatawan yang menginap di sana adalah untuk berbisnis, transit dan berwisata. Kawasan wisata Ubud dengan keasrian alam pedesaan lebih menarik kunjungan wisatawan yang ingin menikmati masa liburnya jauh dari hingar bingar keramaian dan Ubud juga ternyata mulai dilirik oleh wisatawan asal India. Selama ini Ubud lebih sering dikunjungi oleh wisatawan asal Eropa dan Jepang.

2.2 Karakteristik Restoran India di Kuta, Nusadua dan Ubud Dilihat dari pengelolaan dan sistem penyajiannya maka restoran dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu formal restoran, informal restoran dan spesial restoran. Berdasarkan hasil observasi di lapangan terdapat lima restoran India di Kuta, dua restoran India di Nusa Dua dan satu restoran India di Ubud. Terdapat satu restoran India pula di Sanur tetapi tidak dibahas dalam penelitian ini. Restoran India yang pertama kali berdiri adalah Restoran Gateway Of India sekarang berlokasi di Seminyak. Restoran ini berdiri sekitar tahun 1998 semula bernama LG Gateway of India berlokasi di Jalan Legian Kuta. Sebagai owner adalah Mr. Anil Kumar Kalra Warga Keturunan India bekerjasama dengan salah satu restoran India ternama di Jakarta. Mr. Anil melihat pangsa pasar yang semakin baik untuk wisatawan India kala itu. Dirinya memberanikan diri berinvestasi di sektor yang sebelumnya tidak pernah digeluti. Bekerjasama dengan rekan asal India yang sudah berpengalaman di mengelola restoran Mr. Anil membuka usaha jasa restoran India dengan mengontrak sebagaian tempat dari Group LG Restoran. Tidak tanggung-tanggung, Mr. Anil langsung mencoba tipe spesial restoran dengan ciri khasnya masakan India tepatnya India Utara (Punjab). Saat itu Mr. Anil survei ke daerah Jawa Barat untuk mencari peralatan restoran seperti, piring, mangkok, gelas dan cangkir dari tanah liat. Termasuk Tandori (Alat Panggang khas India dari tanah liat yang berbentuk guci besar). Untuk peralatan dapur lainnya ia memesan di Denpasar. Masakan India memiliki rasa yang khas dengan dasar bumbu yang hampir serupa untuk semua jenis makanan yaitu jinten, bawang bombay dan bawang putih. Beberapa bumbu penting lainnya didatangkan langsung dari India. Termasuk Master Chef didatangkan langsung dari India dengan beberapa asisten (cook) dari Jakarta. Saat itu Mr. Anil merekrut satu orang manager dan 15 orang pelayan yang dibagi menjadi dua shift terbagi menjadi shift siang dan malam. Latar belakang pendidikan tidak diutamakan dari sekolah pariwisata atau sejenisnya melainkan yang dicari adalah kepribadian jujur dan pekerja keras. Terbukti di masa-masa awal sudah menunjukkan peminat yang cukup tinggi berkunjung ke restorannya. Selain wisatawan asal India, para ekspatriat asal India juga menjadi pangsa pasarnya. Ditambah lagi banyak wisatawan asal Eropa terutama asal Inggris yang sangat fasih dengan masakan India. Menjelang tahun ke-3 Mr. Anil memisahkan diri dari Group LG Restoran dan membuka usahanya di Seminyak dengan nama yang sama hingga saat ini dengan menambahkan kata Seminyak menjadi Gateway of India Seminyak. Tidak lama Mr. Anil

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 43

dengan dibantu oleh Putranya yang kini menjadi CEO Gateway of India Mr. Vikram Kumar Kalra membuka usaha jasa restoran di Kuta dengan “bemo corner” bernama Gateway of India Kuta. Restoran ke-2 dibuka dengan alasan untuk menarik perhatian wisatawan yang hendak ke pantai Kuta. Pertimbangan dibukanya restoran India ke-2 miliknya ini karena wisatawan asal India terus meningkat dan permintaan bufffet di hotel-hotel semakin tinggi. Gateway of India kini melayani pula delivery service untuk wilayah Kuta dan sekitarnya. Disamping itu para asisten chef atau cook telah mendapatkan ilmu memasak yang cukup dari master chef dan telah siap untuk mandiri. Meskipun untuk bumbu dasar dan beberapa hal spesifik lainnya masih dikerjakan oleh master chef lalu didistribusikan ke Gateway of India Kuta. Sebanyak 10 orang tenaga kerja direkrut menjadi pelayan dan 2 orang direkrut sebagai kasir. Supervisor pelayan adalah senior mereka dari Gateway of India Seminyak begitu pula terdapat kasir kepala yang semula bertugas di Gateway of India Seminyak. Memasuki tahun 2002 Mr. Anil mengembangkan usahanya dengan melirik kawasan Sanur yang bernama Gateway of India Sanur. Dilanjutkan dengan membuka restoran India di Ubud bernama Indian Delites tahun 2005, lalu O’India Sunset di Sunset Road Kuta dan Indian Dhaba di Nusa Dua setelah tahun 2008. Untuk dua Restoran yang terakhir adalah bertujuan untuk menjaring lebih banyak tamu dengan bekerja sama melalui travel agent. O’India Sunset dan India Dhaba memiliki perbedaan tampilan dengan restoran-restoran sebelumnya yang hanya berkapasitas untuk 25-30 orang tamu dan tempat parker yang kurang memadai. O’India Sunset dan India Dhaba berkapasitas 150-200 orang dengan parkir yang luas dan disiapkan untuk bus-bus travel. Dalam rangka membatasi permasalahan yang diteliti maka ruang lingkup penelitian ini adalah kepada karakteristik restoran India dengan indikator lama berdirinya, asal pemiliknya, jumlah tenaga kerja, latar pendidikan tenaga kerja, masa kerja, jenis makanan, rata-rata pendapatan per hari, rata-rata pendapatan per hari bila high season, rata-rata harga menu makanan, rata-rata jumlah modal termasuk pula sumber modal dan kerjasama dengan travel agent.

2.2.1 Lay Out Restoran India di Kuta, Nusa Dua dan Ubud Restoran merupakan tempat orang-orang mengerjakan berbagai kegiatan mulai dari mempersiapkan bahan makanan hingga hidangan siap dinikmati oleh para tamu atau pelanggan. Restoran memerlukan rasa nyaman dengan penyajian yang profesional dan memperhatikan estetika sehingga diperlukan penataan ruang sesuai dengan ciri khas yang dimiliki. Untuk Restoran India di Kuta, Nusa Dua dan Ubud memiliki tata ruang restoran yang tidak jauh berbeda. Meskipun ada beberapa ciri khas tertentu yang berkaitan dengan lokasi restoran dan pangsa pasar. Untuk tata letak dekorasi hampir kesemua restoran bernuansa India dari pernak-pernik, harum wangi dupa dan seragam yang dikenakan pelayan. Warna cerah seperti merah dan hijau mengisi setiap sudut restoran. Table set up yang digunakan adalah penataan meja A’la Carte yang masuk dalam kategori restoran mewah untuk penyajian lunch maupun dinner. Dalam penataan A’la Carte di tata peralatan makanan dan minuman di atas meja seperti serbet makan, piring makanan pembuka, pisau dan garpu makan utama, piring roti dan mentega, pisau roti dan mentegadan gelas air.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 44

Penataan meja makan pada dasarnya tergantung pada jenis hidangan yang akan disajikan dan jenis pelayanan yang digunakan. Disertai dengan vas bunga, asbak, tempat garam dan merica yang kesemuanya di tata di atas meja secara seimbang dan rapi sehingga menampilkan suasana yang tenang dan asri. Untuk Restoran Gateway of India Kuta, Seminyak dan Sanur memiliki penataan yang serupa. Sedangkan O’India dan Indian Dhaba lebih berkesan istemewa dan eksklusif. Sedangkan Indiaan Delites Ubud sebenarnya mirip dengan di Kuta, Seminyak dan Sanur namun karena terletak ditengah area persawahan membuat restoran ini tampak natural dan indah pemandangannya.

2.2.2 Menu Makanan India Ciri khas masakan India adalah rasa pedasnya yang bukan hanya karena cabai melainkan perpaduan rempah-rempah dan cara memasaknya yang unik. Menu masakan India dapat dilihat dari beragam roti sebagai pengganti nasi, kare, sayuran dan daging panggang. Selain itu aneka minuman dan manisan India juga diwarnai dengan aroma serupa seperti cita rasa Yogurt, asam dan manis berlebihan. Kesemuanya memiliki bumbu dasar yang sama sehingga masakan India apa pun yang dinikamti oleh wisatawan memiliki aroma yang serupa. Adapun jenis makanan yang berupa roti yang biasa disantap sebagai pengganti nasi dengan dimasak di dalam tandori adalah seperti tertera pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Menu Roti India No. Nama Makanan Penjelasan 1 Plan Nan Roti Gandum 2 Cheese Nan Roti Gandum dan Keju 3 Butter Nan Roti Gandum dan Mentega 4 Garlic Nan Roti Gandum dan Bawang Putih 5 Onion Nan Roti Gandum dan Bawang Bombay Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

Nan merupakan makanan pokok orang India dengan bahan dasar tepung gandum yang dibentuk bulat-bulat seperti cara membuat martabak dan kemudian dilebarkan lalu dimasukkan ke dalam tandori. Orang India asli umumnya lebih suka menikmati plan nan atau garlic nan, sedangkan orang Eropa atau luar India lebih menyukai cheese nan. Nan akan dinikmati dengan cara menyobek roti tersebut menggunakan tangan atau pisau/garpu lalu makanan berupa daging seperti kare atau sayur dimasukkan kedalam sobekan nan tersebut. Pada tabel 4.2 disampaikan berbagai menu utama makanan India. Samosa dan adalah menu favorit wisatawan asal India maupun asal Inggris yang terkenal di seluruh dunia. Selain menu utama di atas masih terdapat banyak jenis makanan India, namun pada dasarnya menggunakan cita rasa seperti keenam makanan di atas seperti untuk sayuran menggunakan kedelai, kare dan menggunakan alat panggang yang disebut tandori. Selain menu utama di atas makanan India tidak dapat dipisahkan dari berbagai jenis yang terbuat dari daun mint, mangga, asem dan bawang bombay. Sebagai hidangan penutup restoran India menawarkan berbagai jenis manisan seperti tertera pada tabel 4.3.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 45

Tabel 4.2 Menu Utama Makanan India

No Nama Makanan Penjelasan 1 Masala Balutan tepung gandum yang diddalamnya berisi daging dan kentang 2 Paneer Jenis sayuran dan kedelai yang dicampur dengan daging dapat diolah juga dengan dipanggang di dalam tandori 3 Samosa Tepung gandum yang digoreng dapat berisikan kentang, daging ayam atau daging kambing 5 Chicken Curry Kare Ayam 6 Mutton Tika, Prawn Tika Daging dan ikan Panggang India (tandori) dan Chicken Tika 7 Biryani India ; ayam, kambing, ikan laut Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

Tabel 4.3 Jenis Manisan dan Minuman India

No Jenis Manisan/Minuman Penjelasan 1 Gulab Jamun Mirip seperti onde-onde dengan rasa manis yang amat sangat 2 Gajar Halwa Manisan dari wortel 3 Kulfi Ice Cream India 4 Lassie Minuman yogurt dapat dicampur dengan mangga, gula, nenas dan garam. 5 Masala Tea Teh India yang dicampur dengan rempah-rempah (kayu manis dan susu) Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

Sebagian besar wisatawan mengatakan sangat menikmati menu makanan yang ada karena sangat mirip dengan daerah asalnya yaitu India. Menurut CEO Gateway of India hingga saat ini master chef yang dimiliki telah bertambah menjadi tiga orang yang memang didatangkan langsung dari India. Hal ini dilakukan selain untuk memperluas pangsa pasar dan usahanya juga untuk menjaga keaslian rasa sehingga pihaknya tidak hanya mengejar kuantitas tetapi juga kualitas. Menurut pengakuan CEO Mr. Vikram, berbagai terobosan sudah dan akan terus dilakukan dengan melakukan berbagai inovasi dalam berbagai bidang. Mulai dari pengembangan restoran dari satu tempat ke tempat lain, perbaikan Sdm, higenitas, bahan makanan berkualitas hingga pemasaran dengan menggunakan IT. Sebelumnya pengelolaan Gateway of India masih sangat berhati-hati dalam pengembangan usaha. Trial and error dilalui secara bertahap hingga menemukan format pengembangan restoran dengan tidak hanya menunggu pasar melainkan berani untuk menjemput bola. Gateway of India yakin dengan kemampuan master chef yang dimiliki dan pengalaman selama lebih dari sepuluh tahun akan tetap mampu bertahan di tengah persiangan yang semakin kompetitif. Kuncinya menurut Mr. Vikram adalah keuletan dan kecepatan merebut peluang selain kemampuan managemen secara internal. Karakteristik Restoran India yang dimilikinya yang berada di Kuta, Nusa Dua dan Ubud diharapkan akan terus mampu menarik pasar dengan cita rasa khas yang dimiliki. Selain keaslian, hospitality juga menjadi hal utama dalam melayani para tamu. Oleh karena itu sedikit berbeda dengan ayahnya sebagai sang perintis, Mr. Vikram cenderung berinovasi dalam bidang pemasaran dan networking. Rencananya Gateway

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 46

of India akan kembali membuka cabang di lokasi-lokasi strategis yang masih dirahasiakan tempatnya.

III. SIMPULAN DAN SARAN 3.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Bahwa karakteristik restoran India di Kuta, Nusa Dua dan Ubud cenderung memiliki kesamaan karena dimiliki oleh satu orang. 2. Perbedaanya hanya pada lokasi terutama di Ubud yang alami dan di Nusa Dua serta sunset road yang memang peruntukkannya untuk tamu dalam jumlah besar melalui travel agent. 3. Untuk pengelolaan, penataan restoran dan menu makanan tidak ada perbedaan karena pengelolaan dilakukan oleh satu managemen, penataan restoran cenderung menggunakan A’la Carte atau european style dan sebagian besar menu makanan adalah ciri khas makanan dari India Utara (Punjab)

3.2 Saran Adapun saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian adalah : 1. Mempertahankan karakteristik yang sudah dimiliki dengan selalu memperhatikan perkembangan pasar. 2. Pengelolaan yang konservatif harus sedikit demi sedikit diubah menuju pengelolaan yang profesional. 3. Persaingan yang semakin kompetitif harus diwaspadai untuk selalu berusaha meningkatkan pelayanan dan tidak cepat berpuas diri.

KEPUSTAKAAN

Alamsyah, Yuyun. 2008. Bangkitnya Bisnis Kuliner Tradisional. Jakarta : PT. Gramedia Arismayanti, Ni Ketut. 2005. Pengembangan Objek Wisata Jatiluwih Sebagai Kawasan Pelestarian dan Budaya di Kab. Tabanan. Dalam Jurnal ”Analisis Pariwisata”, Volume 7, Nomor 1, 2005. Denpasar : PS. Pariwisata Unud. Badudu-Zain. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Bungin, H.M Burhan. 2010. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Kencana Goodman Jr, Raymond J. 2002. F & B Service Management. Jakarta : Erlangga Marpaung, Happy. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. : Alphabet. McIntosh/Goeldener. 1986. Tourism, Principles, Philosophis. Canada : JW. Sains Inc. Pitana, I G. 1996. Balinicia Cybernetica : Pariwisata & Religiusitas Kekinian Masyarakat Bali. Disampaikan dalam Diskusi Purnama Kedasa dalam Rangka Karya Agung Eka Dasa Bhuana-Bhatara Turun Kabeh di Besakih, Karangasem. Poewardarmita. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdiknas. Jakarta : Mutiara. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung : Alfabeta. Suryabrata, Sumadi. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Torsina, M. 2000. Usaha Restoran yang Sukses. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer. Yoeti, Oka A. 1982. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung : PT. Angkasa. Available from www.kabarbisnis.com. “Indonesia Tak Serius Garap Wisatawan India”. Available from www.mediaindonesia .com. “Jumlah Wisatawan India ke Bali Melonjak”.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 47

PERSEPSI PENGUNJUNG TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PADA MUSEUM MULAWARMAN TENGGARONG

A. Rinto Dwi Atmojo Dosen Politeknik Negeri Samarinda

Abstract

The purpose of this study is to determine the perceptions of visitors about the condition and service facilities in the museum Mulawarman Tenggarong. The method used is a quantitative method to convert qualitative data into quantitative data. This type of study is the observation, interviews, and questionnaires. The sampling technique used was accidental sampling with a sample of 20 respondents. Conclusions obtained in this study were how the visitor's perception of the quality of service at the museum Mulawarman Tenggarong. Both the aspects of service, including cleanliness and safety, and a general assessment of the attractions in the museum Mulawarman Tenggarong and visitor perceptions of service conditions and facilities at the museum Mulawarman Tenggarong. It was found that most states have improved the condition and service facilities in the museum Mulawarman Tenggarong.

Key words: perception, visitors, and service quality.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Objek wisata di Kabupaten Kutai Kartanegara, Tenggarong beraneka ragam bentuk dan jenisnya yang membuat wisatawan domestik dan wisatawan Asing tertarik mengunjunginya. Daya tarik wisata seperti museum kayu, tanjung harapan, hingga pulau kumala merupakan beberapa daya tarik wisata unggulan yang dimiliki Kabupaten Kutai Kertanegara. Salah satu daya tarik wisata di Kabupaten Kutai Kertanegara yang terkenal adalah Museum Mulawarman. Museum peninggalan zaman Hindu notabene peninggalan Kerajaan Kutai semula berfungsi sebagai pusat kekuasaan atau istana raja. Kemudian bangunan ini diganti rugi oleh Pemerintah Daerah Tinggi I Kalimantan Timur kepada pemiliknya yaitu Sultan Kutai XIX (raja terakhir) bernama Sultan Aji Muhammad Parikesit dengan biaya sebesar Rp 64.000.000. Secara umum bangunan museum terlihat terawat dengan baik akan tetapi sangat disayangkan benda-benda koleksinya kurang terawat. Selain itu tidak adanya pusat informasi yang menunjang untuk wisata pendidikan, tidak tersedianya alat pendingin udara dan penerangan yang kurang memadai serta kurangnya informasi yang diberikan oleh pihak Museum Mulawarman adalah faktor-faktor penghambat memajukan daya tarik wisata ini. Namun, dalam usaha mengembangkan objek wisata Museum Mulawarman pemerintah Provinsi Kalimantan Timur melalui Dinas Pendidikan Kalimantan Timur dan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Kartanegara selaku pihak pengelola sudah berupaya mempromosikan objek wisata museum Mulawarman agar dapat dikenal di dalam negeri

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 48

maupun luar negeri dan menjadi wisata pendidikan bagi yang masyarakat luas yang berminat.

1.2 Rumusan Masalah. Berdasarkan uraian diatas yang dikemukakan oleh penulis, maka perumusan masalah yang akan di angkat dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana Persepsi Pengunjung Terhadap Kualitas, Kondidi dan Pelayanan Pelayanan pada Museum Mulawarman Tenggarong?”.

1.3 Tujuan Penelitian. Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana persepsi pengunjung terhadap kualitas pelayanan dan pada Museum Mulawarman Tenggarong. 2. Untuk mengetahui Persepsi Pengunjung Tentang Kondisi dan Pelayanan Fasilitas di Museum Mulawarman Tenggarong.

1.4 Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode penelitian kuantitatif. Adapun pengertian kuantitatif yaitu bersifat objektif dan bisa di tafsirkan semua orang yang menekankan validitas. Metode Pengumpulan daya yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) Observasi, (2) Angket (Questionnaire ), dan (3) Penelitian Kepustakaan (Library Research). 2. Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel menggunakan metode penarikan contoh secara kebetulan (Accidental Sampling), dengan metode ini proses pengambilan contoh dilakukan tanpa perencanaan yang seksama. Responden yang dimintai informasinya benar- benar diperoleh secara kebetulan tanpa suatu pertimbangan tertentu. 3. Teknik Pengolahan Data Data yang telah terkumpul terkait dengan pola pengembangan fasilitas di daya tarik wisata di Museum Mulawarman Tenggarong dianalisis dengan secara deskriptif kualitatif. Teknik analisis persepsi wisatawan terhadap pengembangan fasilitas Museum Mulawarman Tenggarong menggunakan Skala Likert’s yang umum digunakan dalam kuisioner, dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset berupa survei yang digunakan untuk pengukuran sikap, prilaku, pendapat dan persepsi seseorang tentang fenomena sosial. Skor yang diberikan pada jawaban sering dijumlahkan, maka skala likert’s sering disebut likert’s summated ratings. Tingkat pengukuran data yang berskala Likert’s adalah ordinal sehingga apabila akan dianalisis dengan statistik parametik, maka harus dinaikkan terlebih dahulu menjadi skala interval, biasanya disediakan lima pilihan skala dengan format seperti dibawah ini : (1) Sangat Setuju : Skor 5, (2) Setuju : Skor 4, (3) Tidak Ada Pendapat : Skor 3, (4) Tidak Setuju : Skor 2, dan (5) Sangat Tidak Setuju : Skor 1.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 49

II. HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1 Persepsi Pengunjung Tentang Kondisi dan Pelayanan Fasilitas di Museum Mulawarman Tenggarong. Persepsi para pengunjung terhadap pelayanan yang ada di Museum Mulawaman Tenggarong akan sangat memberikan masukan bagi pihak pengelola dalam upaya pengembangan objek wisata khususnya dari segi fasilitas objek wisata yang merupakan sesuatu yang mutlak dibutuhkan oleh para pengunjung di suatu daya tarik wisata. Berdasarkan kuesioner yang diajukan kepada pengunjung sebagai responden yang berjumlah 20 orang dengan penilaian meliputi pelayanan fasilitas objek wisata, kebersihan, keamanan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Persepsi Pengunjung Tentang Kondisi dan Pelayanan Fasilitas di Museum Mulawarman Tenggarong

Persepsi Bobot No Aspek SB B C KB SKB Persepsi 1 Pelayanan 3 11 4 2 0 75 2 Kebersihan 1 10 6 0 3 66 3 Keamanan 2 11 8 0 0 78 4 Penilaian secara umum 5 11 4 0 0 81 Jumlah 11 43 22 2 3 300 Persentasi 14% 53% 27% 2% 4% 100% Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

Berdasarkan Tabel 2.1, menunjukkan secara keseluruhan persepsi atau penilaian responden terhadap kondisi objek wisata Museum Mulawarman Tenggarong meliputi pelayanan fasilitas objek wisata, kebersihan, keamanan dan penilaian secara umum di daya tarik wisata adalah Baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan akumulasi jumlah keseluruhan jawaban responden sebagian besar menilai Baik dengan persentase sebesar 53% dan sebagian lagi menilai cukup sebesar 27% bahkan ada yang menilai Sangat Baik yaitu sebesar 14%. Angka ini membuktikan bahwa kondisi dan pelayanan fasilitas objek wisata saat ini di Museum Mulawarman Tenggarong belum memadai dalam memenuhi kebutuhan dan menciptakan kenyamanan pengunjung atau wisatawan selama berwisata di Museum Mulawarman Tenggarong. Selain ada yang menilai sangat kurang baik dan kurang baik adapula sebanyak 4% sangat kurang baik dan hanya sebesar 2% yang menilai kurang baik. Namun jika dibandingkan dengan persentase terhadap pengunjung yang menilai baik, cukup dan sangat baik tentu angka ini jauh berbeda. Berdasarkan kuesioner responden Museum Mulawarman yang meliputi beberapa aspek yang meliputi 2 aspek yaitu intangible yaitu aspek pelayanan dan aspek tangible yaitu aspek kebersihan, keamanan, produk, dan promosi. Penilaian secara umum dari aspek intangible adalah pelayanan yang diberikan oleh Pengelola Museum Mulawarman kepada pengunjung Museum Mulawarman Tenggarong sebagian besar pengunjung menyatakan baik, ini terlihat berdasrkan hasil dari kuesioner baik dari pelayanan pembelian tiket masuk, pengelola Museum semaksimal mungkin mentertibkan pengunjung yang datang mengantri untuk membeli tiket masuk dengan memberi pembatas atau membuat barisan antrian dipenjualan tiket agar terciptanya ketertiban pengunjung yang baru datang dan pengunjung yang sudah tiba terlebih dahulu di

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 50

Museum Mulawarman. Penitipan barang, barang-barang bawaan pengunjung Museum Mulawarman sangat diperhatikan oleh petugas atau pengelola Museum Mulawarman demi terjaganya keamanan serta kenyamanan pengujung saat berada di Museum Mulawarman. Berdasarkan penilaian secara umum dari aspek tangible adalah sebagai berikut : 1. Aspek kebersihan yang diberikan oleh pengelola Museum Mulawarman kepada pengujung Museum Mulawarman Tenggarong, sebagian besar pengujung menyatakan bahwa kebersihan di Museum Mulawarman baik, ini terlihat berdasarkan hasil dari kuesioner karakteristik pengujung mengenai kebersihan di Museum Mulawarman. Pengelola membentuk organisasi kebersihan baik didalam area Museum maupun di luar Museum guna menjaga kebersihan di objek wisata budaya Museum Mulawarman, serta pengelola juga menyediakan tempat-tempat pembuangan sampah disetiap sudut serta menyediakan toilet yang bersih. Fakta ini sesuai dengan kata pepatah mengatakan bersih itu indah. 2. Aspek keamanan yang diberikan oleh pengelola kepada pengujung Museum Mulawarman Tenggarong, sebagian besar pengujung menyatakan bahwa keamanan di Museum Mulawarman Tenggarong baik, ini terlihat dari hasil kuesioner karakteristik pengujung mengenai keamanan di objek wisata budaya Museum Mulawarman Tenggarong, baik keamanan didalam Museum yang meliputi kemanan keselamatan benda-benda dimuseum dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab serta keamanan pengujung dari hal-hal yang ditadak diinginkan seperti perampokan dan keamanan diluar seperti kemanan penitipan barang atau kendaraan. Keamanan kendaraan juga sangat diperhatikan demi menjaga agar tidak terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti : pencurian motor/mobil, pencurian helm dan lain-lain. 3. Aspek produk yang ada di Museum Mulawarman Tenggarong seperti informasi yang berupa keterangan yang terletak dibawah benda-benda bersejarah, tata letak, dan pencahayaan yang tepat sehingga informasi dapat disampaikan kepada pengujung. 4. Aspek promosi Adapun pengelola Museum Mulawarman Tenggarong menyediakan fasilitas yang berguna untuk memenuhi kebutuhan wisatawan seperti toko souvenir, ini bertujuan selain Museum Mulawarman merupakan wisata budaya yang menunjukkan benda-benda bersejarah atau peninggalan kerajaan Kutai Kartanegara toko souvenir ini juga berfungsi mempromosikan hasil dari kerajinan tangan khas Kalimantan Timur. Berdasarkan hasil dari kuesioner persepsi pengunjung terhadap kualitas pelayanan pada Museum Mulawarman Kutai Kartanegara yang meliputi beberapa aspek yaitu aspek tangible dan intangible dari pelayanan, kebersihan, keamanan, dan promosi secara umum penilaian diatas rata-rata yang menyatakan bahwa pelayanan di Museum Mulawarman baik.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 51

Diagram 2.1 Persepsi Pengunjung terhadap Kondisi dan Pelayanan Fasilitas Museum Mulawarman

2% 4% SB 14% 27% B C 53% KB

SKB

Sumber: Hasil Penelitian, 2011.

Tabel 2.2 Karakteristik Responden Terhadap Kualitas Pelayanan pada Museum Mulawarman Tenggarong

Persepsi Bobot No Aspek SP P TP KP STP Persepsi 1 Pemandu 15 5 0 0 0 95 2 Pencahayaan 16 16 5 3 0 165 3 Lahan parkir 3 10 3 4 0 72 4 Perawatan 7 8 3 2 0 80 5 Sirkulasi udara 8 10 1 1 0 85 6 Fasilitas umum 10 9 1 0 0 89 7 Keramahtamahan 3 6 6 5 0 67 8 Pusat Informasi 16 20 2 2 0 170 Jumlah 78 84 21 17 0 823 Persentasi 39% 42% 10.5% 8.5% 0% 100% Sumber : Hasil Analisis Data, 2011.

Diagram 2.2 Kualitas Pelayanan pada Museum Mulawarman Tenggarong

45% 40% 35% 30% 25% 20% 39% 42% 15% 10% 5% 10,50% 8,50% 0% 0 SP P TP KP STP

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 52

Diagram 2.2 menunjukkan secara keseluruhan persepsi atau penilaian responden terhadap kualitas pelayanan pada objek wisata Museum Tenggarong. Hal ini dapat dilihat berdasarkan akumulasi jumlah keseluruhan jawaban responden sebagian besar menilai puas dengan persentase sebesar 42%, sebagian lagi menilai sangat puas sebesar 39%, yang menilai tidak puas yaitu sebesar 10,5% dan yang menilai kurang puas sebesar 8,5% Angka ini membuktikan bahwa kondisi dan pelayanan fasilitas objek wisata saat ini di Museum Mulawarman Tenggarong belum memadai dalam memenuhi kebutuhan dan menciptakan kenyamanan pengunjung atau wisatawan selama berwisata di Museum Mulawarman Tenggarong. Berdasarakan hasil dari kuesioner karakteristik pengujung terhadap kualitas pelayanan pada Museum Mulawarman Tenggarong dari beberapa kriteria atau indikator-indikator pengujung merasa puas dengan kualitas pelayan yang diberikan. Adapun indikator-indikator yang meliputi kualitas pelayan pada Museum Mulawarman sebagai berikut : 1. Petugas Pemandu, petugas pemandu diobjek wisata sangat diperlukan dimaksudkan untuk memberikan arahan kepada pengujung tentang informasi benda-benda peninggalan bersejarah. 2. Pencahayaan, pencahayaan disuatu objek wisata juga sangat diperlukan terlebih objek wisata yang berada di dalam ruangan. 3. Lahan parkir, lahan parkir juga sangat diperlukan disuatu objek wisata guna tidak menggagu pengujung yang lain. 4. Perawatan, perawatan yang dimaksudkan adalah perawatan yang meliputi benda- benda bersejarah dan perawatan gedung. 5. Sirkulasi Udara, diperlukan sirkulasi udara disuatu ruangan guna untuk memudahkan pergantiannya udara. 6. Fasilitas umum, diadakannya fasilitas umum di suatu objek wisata guna untuk mempermudah pengujung supaya pengujung merasa nyaman. 7. Pusat informasi, pusat informasi disetiap tempat atau tempat wisata juga sangat diperlukan, karena multi fungsi dari pusat informasi yaitu menyampaikan berita- berita atau informasi yang terkait kejadian disuatu tempat tersebut atau keadaaan diobjek wisata sekitar sehingga pengujung bisa mengambil tindakan atau antisipasi demi keselamatan bersama. Beberapa faktor pendukung untuk mendukung supaya terbentuknya mutu pelayanan yang baik dalam kualitas pelayanan pada Museum Mulawarman Tenggarong, Sebagai berikut: 1. Sarana fisik terdiri dari dua unsur yaitu tersedianya karyawan yang baik dan tersedianya sarana dan prasarana yang baik. 2. Tanggung Jawab yaitu dalam menjalakan kegiatan pelayanan, petugas pelayanan harus mampu bertanggung jawab melayani setiap pengunjung dari awal hingga selesai. 3. Responsif yaitu seorang petugas pelayanan harus mampu melayani secara cepat dalam melayani pengunjung. 4. Komunikatif yaitu mampu berkomunikasi artinya petugas pelayanan harus mampu dengan cepat memahami keinginan pengunjung Museum Mulawarman. 5. Keamanan yaitu mampu menjamin keamanan di area wisata sejarah Museum Mulawaraman sehingga pengunjung tidak merasa segan untuk berkunjung ke Museum Mulawarman.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 53

6. Kecakapan yaitu untuk menjadi petugas pelayanan yang khususnya melayani pengunjung, petugas pelayanan harus memiliki kemampuan dan pengetahuan tertentu. 7. Pemahaman yaitu berusaha memahami kebutuhan pengunjung artinya petugas pelayanan harus cepat tanggap terhadap apa yang diinginkan oleh pengunjung. 8. Keramahan yaitu keramahan adalah sikap positif dan perilaku terhormat yang harus ditunjukkan kepada setiap Pengunjung.

III. SIMPULAN DAN SARAN 3.1 Simpulan Berdasarkan hasil uraian penelitian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Berdasarkan penilaian pengunjung yang datang ke Museum Mulawarman Tenggarong merasa pelayanan yang diberikan di Museum sudah cukup baik. 2. Persepsi pengunjung tentang kondisi dan pelayanan fasilitas di Museum Mulawarman Tenggarong yang meliputi penyediaan pelayanan pemandu wisata, kondisi pencahayaan, lahan parkir, perawatan benda-benda bersejarah, sirkulasi udara, fasilitas umum, dan keramahtamahan petugas dalam melayani pengunjung di Museum dikatakan memenuhi keinginan pengunjung, hal ini terbukti dari hasil kuisioner yang telah disebarkan dan sebagian besar pengunjung mengatakan puas dengan pelayan yang diberikan.

3.2 Saran Adapun saran-saran untuk kemajuan Museum Mulawarman Tenggarong, yaitu : 1. Perlunya pemandu wisata untuk memandu wisata di Museum Mulawarman Tenggarong. 2. Perlunya dijaga benda-benda besejarah di Museum Mulawarman Tenggarong. 3. Kebersihan Museum Mulawarman perlu di tingkatkan. 4. Diadakannya tempat pembuangan sampah disetiap sudut ruangan. 5. Lebih dibenahi lagi sistem sirkulasi udara dan penerangan didalam ruangan terutama di ruang bawah tanah.

KEPUSTAKAAN

Anonim. Undang-undang Kepariwisataan No. 21 tahun 2009. Riduwan. 2003. Dasar-Dasar Statistika. Bandung : Alfabeta. Tjiptono, Fandy. 2002. Manajemen JASA . Yogyakarta . http://www.google.com http://www.kamusbesarbahasaindonesia.com http://www.kriteriapelayananbaik.com http://www.accidentalsampling.com

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 54

POTENSI KEPARIWISATAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN

I Putu Anom [email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud

Abstract

This paper purpose to find the diversity the tourist object and tourist attraction in South Sulawesi Province as development to be nature and culture tourism attractions. According to the result of the research which is use 30 persons/respondens in South Sulawesi Province as key informants ; literatures and document data, and by using descriptive analysis. The result is that the tourist object and tourist attraction in South Sulawesi Province as potential to develop the tourism attractions. The tourism will be exist when the South Sulawesi government plan the true tourism resort and tourism attraction areas ; to improve direct flight to Hassanuddin Airport-Makasar, reguler flight from Makasar to Tana Toraja Airport, local tourist transportation, MICE fasilities, quality of tourism human resources ; create the hospitality and cross cultural understanding ; community tourism development and empowerment tourism development.

Key word: the diversity tourism attractions, planning and development tourism.

I. PENDAHULUAN Garis-Garis Besar Haluan Negara mengamanatkan bahwa pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata bertujuan meningkatkan penerimaan devisa, meningkatkan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, memperkenalkan alam dan budaya nusantara serta mempererat pergaulan antar bangsa. Adapun visi kepariwisataan Indonesia adalah “Pariwisata Menumbuhkembangkan Kesejahteraan dan Perdamaian”. Visi ini mengandung pengertian : 1) pariwisata menjadi andalan pembangunan nasional yang secara seimbang mempertimbangkan bidang ekonomi dan bidang – bidang lainnya, demi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia; 2) Indonesia menjadi kawasan pariwisata dunia yang mengutamakan pembangunan pariwisata nusantara dan sekaligus sebagai tujuan wisatawan mancanegara (Depbudpar, 2000). Menurut Undang – Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, maka tujuan pembangunan pariwisata adalah : i) mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional; ii) berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan sumber daya (pesona) alam lokal dengan memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat dan; iii) mengembangkan serta memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri (Depbudpar, 2000). Colman dan Nixon (1978) mengatakan bahwa pembangunan yang menyebabkan peningkatan dibidang ekonomi, bila tidak dibarengi dengan penyebaran yang merata antar mesyarakat, maka pembangunan tersebut dikatakan gagal. Ini telah terbukti saat

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 55

negara Indonesia tertimpa krisis akibat tidak meratanya dampak positif dari pembangunan. Konglomerasi telah melemahkan sendi-sendi perekonomian Indonesia. Konsep pembangunan yang mengagungkan paradigma pertumbuhan, yang percaya sepenuhnya dengan tricle down effect, konsep dasarnya adalah mengembangkan industri besar, secara otomatis akan memberikan pengaruh positif pada perusahaan kecil di bawahnya atau masyarakat di sekitarnya. Ternyata kajian empiris menunjukkan bahwa asumsi teori pertumbuhan ini tidak semuanya berjalan dengan baik. Pembangunan pariwisata di Bali, pada tahun 1970-an dengan memanfaatkan jasa konsultan dari Perancis dengan sponsor UNDP (The United Nation Development Program) dan The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), dibangun komplek hotel di Nusa Dua yang menganut teori pertumbuhan tersebut (Mc. Carthy, 1994). Konsep ini mendapat kritikan yang sangat tajam dimana pariwisata dituduh sebagai neo – kapitalisme, yang hanya mengeksploitasi masyarakat lokal, sementara keuntungan atau manfaat dari pembangunan sebagian besar tersedot ke luar, dinikmati oleh kaum kapitalis. Pariwisata konglomerasi memberikan porsi yang sangat kecil kepada masyarakat lokal. Kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan antar lapisan masyarakat makin besar. Pariwisata konglomerasi juga disinyalemen meningkatkan import barang dan jasa, serta membutuhkan lahan yang sangat luas, sehingga banyak lahan penduduk lokal yang sudah berpindah tangan untuk memenuhi kebutuhan sektor pariwisata yang berskala besar tersebut. Demikian pula kesenjangan pembangunan infrastruktur semakin tajam antar daerah tujuan wisata dengan daerah non tujuan wisata. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka salah satu responnya adalah mengubah paradigma pembangunan, yaitu mengurangi fokus pada pariwisata konglomerasi dan lebih menekankan pada pariwisata kerakyatan dan inipun secara empiris belum terbukti. Pariwisata kerakyatan yang salah satu contohnya adalah pariwisata perdesaan, didorong oleh pemerintah dalam rangka untuk penganekaragaman pendapatan pada masyarakat (Winter, 1987; OECD, 1988) dan mempertahankan kelestarian lingkungan (Mathieson and Wall, 1990; Suandra, 1991; Schneider, 1993; Food Crop Department Bali, 1994). Kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan adalah merupakan masalah klasik pada daerah pedesaan khususnya di negara sedang berkembang. Namun di negara – negara maju masalah yang utama di daerah pedesaan adalah kelebihan produksi pertanian yang disebabkan oleh kemajuan teknologi untuk mengganti tenaga kerja di bidang pertanian, yang ujung – ujungnya memunculkan masalah tenaga kerja. Menurut Almen.R (1993), pertanian di negara Inggris hanya memerlukan 2,5% dari total tenaga kerja yang ada, walaupun lahan yang digarap seluas ¾ dari permukaan negara tersebut. Ini artinya, baik negara yang sedang berkembang maupun negara yang sudah maju menghadapi problem ekonomi dan tenaga kerja terutama di daerah pedesaan. Untuk mengatasi permasalahan ini, ditawarkan pariwisata perdesaan sebagai salah satu solusinya di banyak negara di dunia. Pariwisata yang berkembang di Bali, rupanya mengalami tudingan yang seirama dengan yang dialami oleh negara lain yaitu bahwa industri ini dituduh salah satu sebagai penyebab nilai import tinggi. Demikian juga industri yang gemerlapan ini dituding mengabaikan masyarakat lokal di dalam penyerapan tenaga kerjanya. Namun rasa optimis harus tetap dikobarkan karena mengacu pada hasil penelitian bahwa kalau mesin penggerak penyerapan tenaga kerja pada abad ke – 19 adalah pertanian, pada abad ke – 20 adalah industri manufacturing dan pada abad ke – 21 adalah pariwisata (Dowid J. Villiers, 1999, dalam Salah Wahab,

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 56

1999 dan Anom, 2004). Provinsi Sulawesi Selatan adalah salah satu propinsi di kawasan Timur Indonesia memiliki prasarana bandar udara yang cukup memadai dan bahkan telah ada penerbangan langsung dari luar negeri. Provinsi yang dikenal sebagai asal dari Pahlawan Nasional Hasanudin memiliki pelabuhan laut yang banyak disinggahi/berlabuh kapal-kapal besar. Sehingga berpotensi untuk dikembangkan kepariwisataan yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan pemerintah pusat dan daerah, stakeholders dan masyarakat umum.

II. PERMASALAHAN Berdasarkan uraian pada pendahuluan tersebut di atas maka yang menjadi rumusan permasalahan dalam tulisan ini adalah : 1. Apakah Potensi yang dimiliki Provinsi Sulawesi Selatan untuk Pengembangan Kepariwisataan ? 2. Apa Faktor-Faktor Penghambat yang dihadapi Provinsi Sulawesi Selatan dalam Pengembangan Kepariwisataan ?

III. METODE PENELITIAN Data yang terkumpul dari penelitian yang meliputi : observasi ; dokumentasi Pemda Sulawesi Selatan dan beberapa Pemda Kabupaten ; literatur dan wawancara terstruktur dengan informan kunci sebanyak 30 (tiga puluh) orang responden yang meliputi pegawai Disparda Propinsi dan Kabupaten di Sulawesi Selatan, tokoh-tokoh masyarakat khususnya pengelola objek dan daya tarik wisata, pengusaha biro perjalanan wisata, pengusaha perhotelan dan restoran serta usaha wisata yang lain, pengurus South Sulawesi Tourism Board, para cendekiawan serta tokoh masyarakat yang lain. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan analisis deskriptif dan kajian pustaka.

IV. PEMBAHASAN 4.1 Sarana dan Jasa Pariwisata Wisatawan yang mengunjungi Daerah Tujuan Wisata (DTW) dengan berbagai tujuan perjalanannya antara lain : pesiar atau keperluan rekreasi, hiburan, kesehatan, studi, keagamaan, olah raga, hubungan dagang, sanak keluarga, handaitaulan, konferensi-konferensi, misi dan sebagainya yang walaupun hanya tinggal sementara di daerah yang dikunjunginya, namun kehadiran mereka membutuhkan berbagai macam fasilitas sarana/prasarana maupun jasa pariwisata berupa akomodasi, rumah makan/restoran, bar, jasa transportasi, biro perjalanan dan pemandu wisata, jasa konvensi, jasa atraksi wisata, yang tentunya harus tersedia serta mampu memenuhi kebutuhan wisatawan.

4.1.2 Sarana Pariwisata (Akomodasi, Bar, Rumah Makan/Restoran, Tempat Pertunjukan Atraksi Wisata dan Fasilitas MICE) Provinsi Sulawesi Selatan telah tersedia sarana akomodasi, rumah makan/restoran sebagaimana terlihat pada Tabel 1.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 57

Tabel 1 Jumlah Akomodasi dan Rumah Makan/Restoran di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2006

Rumah Klasifikasi Akomodasi, Hotel Kamar Kursi No Kabupaten Makan Rumah makan/Restoran (buah) (buah) (buah) (buah) 1 Makassar  Hotel Bintang 1 8 317  Hotel Bintang 2 6 260  Hotel Bintang 3 6 435  Hotel Bintang 4 3 249  Hotel Bintang 5 2 450  Hotel Melasti 34 761  Hotel Melasti (Non PHRI) 90 1702  Restoran 15 4168  Restoran (Non PHRI) 19 1825  Rumah Makan 8 405  Rumah Makan (Non PHRI) 143 429 2 Tana  Hotel Bintang 1 4 152 Toraja  Hotel Bintang 2 3 92  Hotel Bintang 3 4 250  Hotel Bintang 4 2 271  Hotel Melati 67 783  Rumah Makan 11 910 3. Luwu  Hotel Bintang 1 2 53  Hotel Melati 26 486  Restoran 1 105 4. Selayar  Hotel Melati 5 77  Rumah Makan 18 420 5. Bulukumba  Hotel Melati 24 266  Rumah Makan 2 80 6. Pare-Pare  Hotel Bintang 1 2 52  Hotel Melati 15 371  Rumah Makan 6 344 7. Wajo  Hotel Melati 19 196  Rumah Makan 2 190 8. Sinjai  Hotel 10 107  Rumah Makan 2 112 9. Bantaeng  Hotel Melati 5 81  Rumah Makan 13 342 10. Bone  Hotel Bintang 1 1 33  Hotel Melati 20 208  Rumah Makan 7 586 11. Soppeng  Hotel Melati 8 92  Rumah Makan 1 40 12. Maros  Hotel 5 73  Rumah Makan 1 200 13. Sidrap  Hotel 8 91 14. Enrekang  Hotel 15 186  Rumah Makan 14 316 15. Barru  Hotel 10 55  Rumah Makan 1 548 16. Jenneponto  Hotel 2 60  Rumah Makan 1 200 J u m l a h 406 8209 265 10791 Sumber : BPD PHRI Sulawesi Selatan, 2005.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 58

Dari tabel 1 terlihat bahwa jumlah kamar hotel terbanyak di Kabupaten/Kota Makassar 4174 buah (50,85%), Kabupaten Tana Toraja 1548 buah (18,86%) dan di Kabupaten Luwu 539 buah (6,57%). Kunjungan wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Sulawesi Selatan antara tahun 2000-2005 di dominasi wisatawan eropa (67,3%), kawasan Asia/Pasifik (12,6%), Asean (11,5%), dan sisanya dari negara lain. Kabupaten yang dikunjungi Tana Toraja (43,25%), Kota Makassar (16,5%) dan Bulukumba (12,00%) (Disbudpar Sulsel, 2005). Kunjungan wisatawan nusantara ke Sulawesi Selatan terdistribusi pada seluruh kabupaten/kota dengan 4 (empat) daerah kabupaten/kota tujuan wisata yang dominan dikunjungi adalah Kota Makassar (51,25%), Tana Toraja (11,60%), Luwu dan Luwu Utara (4,55%) dan Bulukumba (4,05%) (Disbudpar Sulsel 2005). Dilihat dari distribusi kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara ke daerah tujuan wisata Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan telah sesuai dengan distribusi ketersediaan kamar hotel di Kabupaten/Kota tersebut, serta telah ditunjang dengan distribusi ketersediaan rumah makan/restoran akan tetapi kualitasnya masih perlu ditingkatkan. Hasil wawancara dengan stakeholders pariwisata Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Oktober 2006 di Kantor Disbudpar Sulsel Makassar, terungkap ada rencana Pemda Sulawesi Selatan menambah jumlah kamar hotel antara 400-700 buah kamar. Hal ini perlu dikaji secara mendalam agar rencana penambahan jumlah kamar hotel sesuai dengan kebutuhan kamar. Demikian pula rencana untuk mengembangkan wisata MICE dengan telah direncanakan pembangunan Selebes MICE Centre, perlu ditunjang dengan fasilitas yang memadai beserta sumber daya manusianya, ketersediaan tempat pertunjukkan atraksi wisata yang memadai, penataan objek wisata yang telah ada serta diversifikasi objek dan daya tarik wisata dengan penyusunan paket wisata.

4.1.3 Jasa Pariwisata (Transportasi, Biro Perjalanan dan Pemandu Wisata, Jasa Objek dan Atraksi Wisata, Jasa MICE dll) Provinsi Sulawesi Selatan dalam pengembangan kepariwisataan dibagi menjadi 3 (tiga) klaster daerah pengembangan yang meliputi : 1. Klaster 1, Pengembangan Kota Makassar sebagai wisata MICE dan Marine. 2. Klaster 2, Pengembangan Tana Toraja Sebagai wisata budaya dan alam. 3. Klaster 3, Pengembangan Pulau Selayar dan Kabupaten Bulukumba sebagai wisata bahari/marine dengan keindahan taman lautnya. Tana Toraja yang telah terkenal dimancanegara sejak tahun 1974 telah menjadi daerah tujuan wisata unggulan serta menjadi maskot pariwisata Sulawesi Selatan, terutama daya tarik budayanya dengan rumah adat Tana Toraja (Tongkonan), makam/kuburan di bukit-bukit dengan upacara ritual berupa pemotongan kerbau terutama pada upacara penguburan mayat. Ditunjang pula dengan alam yang sejuk, atraksi yang terkait dengan alam seperti hiking, trecking, rafting, dll. Akan tetapi atraksi wisata/entertainment untuk aktifitas di malam hari masih terbatas baik fasilitas tempat pementasannya maupun jenis atraksinya. Demikian pula halnya di Kota Makassar yang rencananya dikembangkan sebagai wisata MICE masih memiliki keterbatasan fasilitas MICE yang walaupun telah direncanakan pembangunan Selebes MICE Centre yang sampai saat ini pembangunannya belum terwujud sepenuhnya. Sulawesi Selatan dalam pengembangan kepariwisataan menghadapi beberapa permasalahan khususnya dibidang transportasi udara dengan keterbatasan penerbangan langsung/direct flight dari luar negeri karena banyak perusahaan

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 59

penerbangan yang tidak lagi singgah di Makassar yang tentunya perlu dikaji secara mendalam, demikian pula penerbangan dari airport Makassar ke bandara yang ada di Tana Toraja hanya 2 (dua) kali dalam seminggu, itupun masih disubsidi pemerintah daerah Tana Toraja. Angkutan/transportasi darat khususnya angkutan wisata masih terbatas terutama dari kota Makassar menuju Tana Toraja dengan lama perjalanan + 8 (delapan) jam harus mempergunakan kendaraan umum atau carteran karena belum tersedia angkutan bus pariwisata yang memadai dengan kapasitas 20 sampai 30 seat ; keterbatasan armada angkutan laut/boat penyebrangan dari Bulukumba ke Pulau Selayar bagi wisatawan yang berminat mengunjungi wisata bahari. Sulawesi Selatan sudah tersedia 8 (delapan) buah perusahaan biro perjalanan yang kinerja operasionalya masih perlu ditingkatkan dengan ditunjang kelancaran transportasi udara sehingga memungkinkan biro perjalanan tersebut untuk mendatangkan wisatawan terutama wisatawan mancanegara karena dilihat dari sisi perdagangan luar negeri, wisatawan mancanegara mampu meningkatkan penerimaan devisa bagi negara, sedangkan wisatawan nusantara merupakan wisatawan yang bertujuan untuk pengenalan daerah nusantara dengan motto “Kenalilah Negerimu dan Cintailah Negerimu”. Disamping itu di Sulawesi Selatan juga telah tersedia toko-toko souvenir dan fasilitas perbankan, informasi dan komunikasi yang mendukung kepariwisataan. Keberadaan pemandu wisatapun masih terbatas baik dari segi jumlah maupun kualitasnya yang perlu mendapat pembinaan. Provinsi Sulawesi Selatan juga memiliki beberapa objek dan daya tarik wisata yang berpotensi untuk dikembangkan antara lain : Pantai Losari, Tanjung Bunga, Benteng Rotterdam Makassar, Makam Pangeran Diponogoro, Pelabuhan Laut, dll di Kota Makassar ; wisata alam perbukitan dan pegunungan yang menawan/eksotik seperti Buntukabobong di Enrekang ; pemandangan danau tempe ; wisata alam dan margasatwa ; kapal phinisi / kapal tradisional Makassar di sekitar perairan Pare-Pare serta pemukiman dan budaya Suku Bugis yang terkenal dengan budaya maritim serta objek dan daya tarik wisata yang lain baik alam maupun budaya serta buatan namun masih menghadapi kendala aksessibilitas / kemudahan pencapaian.

4.2 Faktor-Faktor Penghambat Pembangunan Kepariwisataan. Secara singkat berdasakan hasil penelitian, berikut faktor-faktor penghambat pembangunan kepariwisataan di Provinsi Sulawesi Selatan : 1. Perlu kajian mendalam agar tidak terjadi kelebihan jumlah kamar yang bisa mengakibatkan terjadinya perang tarif terutama pada low season. 2. Fasilitas rumah makan/restoran masih perlu ditingkatkan termasuk keanekaragaman menu makanan maupun teknik penyajiannya. 3. Fasilitas MICE masih sangat terbatas untuk itu perlu secepatnya diwujudkan Selebes MICE Centre agar tersedia fasilitas MICE yang memadai ditunjang SDM yang profesional sehingga kota Makassar bisa dikembangkan terutama sebagai kota dagang, kota maritim dan pusat MICE di kawasan Timur Indonesia. 4. Fasilitas tempat pertunjukan atraksi wisata masih terbatas termasuk pengkemasan atraksi budaya yang memungkinkan untuk disuguhkan kepada wisatawan. 5. Transportasi baik udara, laut dan darat masih terbatas, untuk itu perlu ditingkatkan terutama direct flight dari luar negeri ke makassar sehingga memberikan kesempatan pada biro perjalanan untuk mendatangkan wisatawan mancanegara, penambahan jadwal penerbangan ke Tana Toraja, penyediaan

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 60

angkutan wisata lewat darat, laut yang memadai ditunjang dengan paket wisata dengan diversifikasi objek dan daya tarik wisata. 6. Keterbatasan pengkemasan paket wisata, untuk itu perlu penyusunan paket wisata serta peningkatan kemampuan pramuwisata untuk memberikan informasi yang memadai perihal objek dan daya tarik wisata. 7. Organisasi-organisasi yang terkait dengan kepariwisataan beserta instansi terkait koordinasinya masih terbatas, untuk itu perlu peningkatan koordinasi stakeholder pariwisata dengan baik untuk mengoptimalkan pengembangan kepariwisataan baik dalam penyusunan RUTRW (Rencana Umum Tata Ruang Wilayah) RIP (Rencana Induk Pengembangan) kepariwisataan, RDTRW (Rencana Detail Tata Ruang Wilayah) beserta implementasinya. 8. Dalam pemberdayaan masyarakat lokal terutama dibidang kepariwisataan masih terbatas untuk itu perlu pembinaan masyarakat lokal dalam pengembangan kepariwisataan.

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Adapun simpulan berdasarkan hasil penelitian sebagai berikut : 1. Propinsi Sulawesi Selatan khususnya kota Makassar terutama potensial untuk dikembangkan sebagai kota maritim / perniagaan, perdagangan, jasa termasuk pengembangan wisata MICE sehingga kota Makassar bisa dijadikan pusat MICE di kawasan Timur Indonesia, ditunjang dengan daya tarik wisata alam, pantai, dan pulau buatan seperti Tanjung Bunga, wisata budaya dan wisata buatan. 2. Propinsi Sulawesi Selatan berpeluang untuk dikembangkan kepariwisataan terutama daerah Tana Toraja yang sudah terkenal di mancanegara dengan budayanya yang unik serta alam yang menawan.

5.2 Saran 1. Potensi wisata buatan yang spesifik seperti kapal phinisi yang merupakan kapal tradisional yang bisa dijadikan alat transportasi yang memiliki ciri khas tersendiri yang tidak ada di daerah lain di Indonesia. 2. Beberapa objek dan daya tarik yang lain baik berupa wisata alam, budaya dan buatan juga berpotensi untuk dikembangkan akan tetapi perlu ditunjang aksessibilitas yang memadai serta peningkatan kuantitas dan kualitas prasarana dan sarana kepariwisataan, diversifikasi objek dan daya tarik wisata serta pembinaan sumber daya manusia, baik sebagai pengelola maupun pekerja pariwisata dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

KEPUSTAKAAN

Anonim, 2000, Panduan Operasional PK PK (Pengembangan Kemampuan Pemerintah Kabupaten / Kota), Kerjasama DEPDAGRI dengan BAPPENAS. ______,Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan, Presiden Republik Indonesia. ______, Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 1991 Tentang Pariwisata Budaya. ______,1999, Pembangunan berbudaya dan Berwawasan Lingkungan (Kumpulan Makalah) Semiloka Perencanaan Pembangunan Bali 2000–2004, Puslit

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 61

Kebudayaan dan Pariwisata Unud, dengan Bappeda Tingkat I Bali, November 1999, Denpasar. ______,Undang-undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Bab VIII. ______,2005, Potensi Objek dan Daya Tarik Wisata Kabupaten Tana Toraja, Disbudpar Tana Toraja. ______,2005, Potensi Kepariwisataan Sulawesi Selatan, Disbudpar. Pripinsi Sulawesi Selatan. Anom, I Putu, 2004, Pendidikan Pariwisata di Era Globalisasi, Orasi Ilmiah pada Wisuda Akpar Kupang. Almen, R. 1993, European Restructuring and Changing Agriculture Policis Rural Self Identity and Modes of Life in Late Modernity, Agriculture and Human Values Vol 10 pp.2-12. Ardika, I Wayan. 2002, Komponen Budaya Bali Sebagai Daya Tarik Wisata, Makalah Pada Seminar Pariwisata Budaya Berkelanjutan, Universitas Udayana, Denpasar. Artanegara, I Nyoman, 2002, Korelasi Keragaman Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan Pada Kawasan Desa Candikuning Bedugul, Tesis Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar. Bappeda Tingkat I Bali, 1994, Data Bali Membangun, Bali Regional Development, (1994), Bali Development. Data. Bawa, I Wayan dkk, 2001, Studi Keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM) Bali di Bidang Pariwisata, Unud – STP Bali – BTDC, Denpasar. Colman, D And Nixon, F. 1978, Economic of Change in Less Development Countries, Second editor University of Manchester. Cooper, Chris and Jackson, Stephen. 1997, Distination Life Cycle: The Isle of Man Case Study, (ed Lesley France) dalam The Eartscan in Sustainable Tourism, MK : Easthscan Publication Heunited. Dana, Wayan, 2002, Peluang dan Tantangan Pengelolaan Pariwisata Alternatif (Kasus Pondok Wisata Sua Bali), Tesis Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar. Food Crop Departement Bali, 1994, Project Proposal of Agrotourism Expensive in Bali. Inskeep, Edward, 1991, Tourism Planning and Integrated and Sustainable Development Approach, Van Non Strand Reinhold, New York. Mathieson, A, and wall. G, 1990, Tourism, Economic, Physical and Social Impact. Nelson, J. G Butler, R. Wall. G, 1993, Tourism and Sustainable Development, Monitoring, Planning, Managing, University of Waterloo : Heritage Resources Culture. Palguna, A.A. Ngurah, 2001, Dinamika Masyarakat Menuju Civil Society (Kasus Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton di Kabupaten Tabanan), Tesis Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar. Parining, N, 1998, The Extent to Which Balinese Vegetables Farmers are Able to Meet the Demands of Local Tourist Hotels for Fresh Vegetables, Master Thesis, Curtin University of Technology, Australia. Peace, Douglas G, 1991, Tourism Development, John Walley & Sons, Inc, New York. Pitana, I Gede dkk, 2000, Daya Dukung Bali Dalam Pariwisata (Kajian dari Aspek Lingkungan dan Sosial Budaya), Unud – Bappeda Propinsi Bali, Denpasar. Puja Astawa, IB, dkk, 2000, Pola Pengembangan Pariwisata Terpadu Bertumpu Pada Model Pemeberdayaan Masyarakat di Wilayah Bali Tengah, Puslit Teknologi dan Kesenian Unud, Denpasar.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 62

PERAN DAN KENDALA PEMULIHAN PARIWISATA BALI PASCABOM (SUATU KASUS DISPARDA PROVINSI BALI)

I Gusti Agung Oka Mahagangga Putu Agus Wikanatha Sagita [email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Ida Ayu Ratih BAPUSDA Provinsi Bali

Abstract

Bali tourism has had an effect on all aspects of Balinese society by making Bali vulnerable to security issues. The evidence of that occurred when the Bali bombing tragedy happened on 12 October 2002 and October 2005, when bombs rocked the tourism sector is confirmed by a decrease in the number of tourists. The purpose of this study was to find the role and the constraints faced by the tourism department in the recovery after the explosions so that the future role of tourism services can be optimized and all constraints minimized. This study used a qualitative approach based on primary data and secondary data obtained from the informant (purposive sampling). The results suggest one role in the recovery of the tourism department after the Bali bombing was to implement a policy of the central government which established a recovery team together with Bali’s tourism stakeholders and the public. Constraints in the department of tourism in Bali can be viewed internally and externally and in essence, the tourism department in Bali should have greater power to control the recovery of tourism but is in fact precisely the position of department of tourism sub- ordinate positions.

Key words: role, constraints, tourism department, tourism recovery.

1.1 LATAR BELAKANG Pariwisata merupakan keseluruhan kegiatan yang berhubungan dengan gerakan penduduk di dalam atau di luar suatu negara, kota atau wilayah tertentu atau juga dikatakan sebagai keseluruhan hubungan dengan gejala-gejala atau peristiwa yang timbul dari kegiatan penduduk yang melakukan perjalanan tidak untuk menetap dan tidak untuk mencari nafkah. Pariwisata lebih merupakan gejala yang berkaitan dengan pergerakan manusia secara temporer dan spontan dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan berekreasi. Upaya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan berwisata itu biasanya ditunjang oleh kemapanan ekonomi seseorang dan telah terpenuhinya kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari, sehingga keinginan untuk mendapat pengalaman baru atau melepaskan diri untuk sementara waktu dari rutinitas hidup dapat terpenuhi. Pariwisata juga merupakan suatu kegiatan jasa yang dapat membuka keterisolasian geografis dan sosial melalui bentuk-bentuk sosial dan budaya antara penduduk lokal atau warga masyarakat dengan para wisatawan yang mengunjungi wilayah tersebut. Terdapat tiga kekuatan yang mampu membuka keterisolasian suatu

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 63

masyarakat, yaitu pendidikan, perkembangan industri dan kontak budaya (Cholik, 1994 : 70). Sejak tahun 1960-an pariwisata Indonesia telah tumbuh rata-rata mencapai 10 % (sepuluh persen) lebih setiap tahunnya, sampai dengan awal tahun 1969 perkembangan pariwisata Indonesia berjalan sangat lambat. Hal ini disebabkan karena pemerintah Indonesia pada waktu itu kurang memperhatikan pariwisata sebagai salah satu sumber penghasilan negara. Kemudian pada akhir tahun 1969 pemerintah mulai memperhatikan sektor pariwisata secara teratur agar dapat menambah devisa negara, di samping devisa dari minyak dan gas bumi (Samsurridjal, 1987 : 58). Pembangunan Sektor Pariwisata di Bali menjadi sektor andalan yang mampu meningkatkan devisa, mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat, perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha dalam rangka meningkatkan kesejahtraan masyarakat untuk memupuk rasa cinta tanah air dan memperkaya kebudayaan daerah, meningkatkan keanekaragaman obyek dan daya tarik wisata serta atraksi wisata, peran serta aktif masyarakat dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap mempertahankan kelestarian dan mutu lingkungan hidup sangat diperlukan. Pembangunan Sektor Pariwisata, memberikan manfaat ganda, yaitu bagi pemerintah, masyarakat dan pihak swasta, sehingga pembangunan sektor pariwisata selanjutnya harus mendapat dukungan dari pihak masyarakat, pihak swasta dan pemerintah. Hal ini penting ditekankan, mengingat Provinsi Bali tidak memiliki sumber daya alam yang dapat diandalkan untuk mendukung perkembangan ekonomi, sehingga prioritas pembangunan Daerah Bali diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada pembangunan Sektor Pertanian dalam arti luas ditunjang dengan pembangunan Sektor Pariwisata dan Industri Kecil. Pengembangan Sektor Pariwisata di Bali yang merupakan sektor andalan dan mampu meningkatkan penerimaan devisa, mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat, perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan kesejahtraan masyarakat harus mendapat perhatian, karena dewasa ini pertumbuhan Sektor Pariwisata Bali dapat dikatakan mengalami stagnasi bahkan mengalami penurunan setelah terjadinya ledakan Bom tanggal 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005 di Kuta dan Jimbaran. Keamanan dan kenyamanan merupakan kunci pokok dalam menarik kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Meski promosi dilakukan dengan gencar oleh pemerintah maupun pelaku industri pariwisata, jika keamanan belum dapat diwujudkan hasil promosi tersebut tidak akan mendapatkan hasil maksimal. Kunjungan wisatawan ke suatu negara juga tidak hanya berkaitan dengan keinginan mereka pribadi melainkan juga berkaitan dengan hubungan politis antara negara asal mereka dengan negara yang akan dikunjungi. Hubungan diplomatik antara negara dalam pariwisata sangat besar pengaruhnya karena mereka tidak ingin warga negaranya mengalami masalah di negara lain (travel advisory, travel warning, dll). Apalagi negara tersebut diketahui sedang mengalami konflik (mis. Perang, kerusuhan) atau wabah penyakit (mis. Virus SARS) yang beresiko terhadap warga negaranya (Mahagangga, 2008). Orang asing yang berniat berkunjung ke Bali ketika mengetahui situasi dan kondisinya tidak aman dari media massa bahwa terjadi bom atau sering terjadi tindak kriminal, bukannya tidak mungkin mereka akan mengalihkan waktu liburan mereka ke daerah tujuan wisata lain. Hal ini dilakukan untuk memperkecil resiko terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (kecopetan, penipuan, pemerkosaan, perampokan, dll). Suatu

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 64

ancaman terhadap keamanan dan kenyamanan sangat berarti bagi setiap wisatawan karena mereka mencari kepuasan berwisata bukan mencari masalah dalam berwisata (Mahagangga, 2010). Pertumbuhan pariwisata Bali dilihat dari angka kunjungan wisatawan setelah tragedi Bom Bali I menurun tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Padahal dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan manca-negara ke Indonesia memberikan banyak peluang bagi bangsa Indonesia untuk menambah usaha dan mendapatkan pekerjaan dalam rangka meningkatkan kehidupan perekonomiannya. Tetapi dengan terjadinya Bom Bali I dan Bom Bali II menunjukkan angka penurunan yang berarti signifikan bagi seluruh aspek kehidupan di Bali khususnya dan di Indonesia pada umumnya seperti dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara Langsung ke Bali (2001-2005)

Jumlah Wisman Pertumbuhan No Tahun (Orang) (%) 1 2001 1.356.774 - 2 2002 1.285.844 -5,22 3 2003 993.029 -22,77 4 2004 1.458.309 46,85 5 2005 1.386.449 -4,93 6 2006 1.260.317 -9,10 7 2007 1.664.854 32,10 8 2008 1.968.892 18,26 9 2009 2.337.266 18,71 10 2010 2.592.405 10,92 11 2011 2.832.542 9,26 Rata-rata 8,55 Sumber : Disparda Bali, 2012.

Pada Tabel 1.1 menunjukan bahwa kunjungan wisatawan dari tahun 2002-2006 menurun secara signifikan. Penurunan ini diindikasikan sebagai dampak dari terjadinya Bom Bali I dan II yang mempengaruhi kedatangan wisatawan berlibur ke Bali. Jumlah kunjungan wisman yang langsung datang ke Bali dari tahun 2003 terjadi penurunan dan tahun 2004 kembali meningkat. Penurunan yang sangat signifikan di tahun 2003 hampir mencapai 23 % disebabkan oleh tragedi bom Bali I. Setahun kemudian di tahun 2004 terjadi peningkatan tajam hingga 46,85 % yang sangat melegakan segenap komponen pariwisata di Bali. Akibat Tragedi Bom II di tahun 2005, tahun 2006 setelah pemberlakuan travel warning dari beberapa negara maju, terjadi penurunan kunjungan wisatawan mencapai hampir 10 %. Memasuki tahun 2007 terjadi peningkatan relatif besar mencapai 32,10 % yang tidak terlepas dari upaya berbagai pihak termasuk Disparda Provinsi Bali. Selanjutnya di tahun 2008 sampai 2011 terjadi peningkatan kunjungan wisman yang cukup signifikan meskipun dunia sedang dilanda krisis global. Peran Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Disparda) sebagai perwakilan pemerintah daerah menangani bidang kepariwisataan menjadi sangat penting untuk memulihkan kepariwisataan Bali pascabom. Meskipun demikian, peran tersebut menemui banyak kendala dalam pelaksanaannya karena pariwisata sebagai suatu sistem tidak hanya

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 65

berhubungan dengan satu elemen saja melainkan saling terkait dengan berbagai elemen dan tidak dapat dipisahkan dari situasi-kondisi serta fenomena global. Diperlukan suatu pendekatan bahkan strategi khusus bagi pemerintah daerah Bali dalam hal ini Disparda Provinsi Bali untuk dapat memulihkan pariwisata Bali pascabom. Pendekatan, strategi atau upaya Disparda Provinsi Bali dalam tulisan ini akan dikaji, terutama berfokus kepada peran dan kendala yang dihadapi.

1.2 Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah Peran Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Disparda) dalam Memulihkan Pariwisata Pascabom Bali? 2. Bagaimana Kendala Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Disparda) dalam Memulihkan Pariwisata Pascabom Bali?

1.3 Kerangka Konseptual Teoritis Ada pun teori dan konsep yang digunakan sebagai payung dan pisau analisis dalam tulisan ini adalah ; Teori Sistem (Parson, 1986), Pariwisata (UU RI No. 10 Tahun 2009), Kebijakan Pariwisata (Pendit, 1999), Kendala dan Pemulihan (Balai Pustaka, 2002), dan Peranan Sosial (Veeger, 1993).

1.4 Metode Penelitian Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif sebagai upaya memperoleh pemahaman makna atas fenomena (Muhadjir, 1998). Unit analisisnya adalah peran dan kendala Disparda Provinsi Bali dalam memulihkan pariwisata Bali Pascabom. Teknik penentuan informan dilakukan secara purposive sampling (Koenjaraningrat, 1997), Teknik Pengumpulan Data menggunakan metode observasi, wawancara dan studi pustaka (Moloeong, 2005) dan Teknik Analisis Data Kualitatif yang menekankan interpretasi dari hasil wawancara, hasil observasi, dan catatan lapangan sebagai suatu data yang terpercaya (Geertz, 1995).

II. PEMBAHASAN Praktisi pariwisata sangat merasakan penurunan pendapatan mereka setelah bom Bali I (12 Oktober 2002) dan Bom Bali II (1 Oktober 2005). Pendapatan yang menurun drastis dirasakan mulai dari pedagang acung, pengusaha art shop hingga konglomerat yang bergerak di bidang jasa/hospitality (hotel, restoran, dll). Tragedi Bom Bali tersebut dengan demikian secara nyata diakui mengakibatkan berbagai hal yang sangat merugikan bagi perkembangan pariwisata Bali, yaitu : 1. Tingkat kunjungan wisatawan, baik wisatawan maca negara maupun wisatawan domestik menjadi menurun. 2. Tingkat hunian kamar hotel menurun. 3. Banyak terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan pada berbagai usaha di bidang kepariwisataan (atau paling tidak dirumahkan). 4. Investor tidak berani menanamkan modalnya di Bali karena keamanan tidak terjamin. Selain kenyataan tersebut, terjadi pergeseran pangsa pasar dari wisatawan manca negara dari Eropa seperti Spanyol, Prancis, Inggris dan Jerman. Setelah tragedi Bom Bali wisatawan manca negara yang lebih banyak berkunjung ke Bali adalah

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 66

wisatawan dari negara-negara Asia seperti Jepang, Cina, Taiwan dan Korea. Untuk itu, maka segenap komponen masyarakat khususnya komponen pariwisata bersama-sama dengan pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mengupayakan pemulihan kehidupan Sektor Pariwisata. Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam hal ini Dinas Pariwisata sudah melakukan berbagai upaya dalam pemulihan pariwisata pasca Bom Bali namun belum memberikan hasil yang optimal. Pembangunan Pariwisata di Provinsi Bali menempati prioritas yang menentukan, karena memberikan dampak ganda terhadap pembangunan sektor lainnya, yang selama ini mengalami fluktuasi dalam hal jumlah wisatawan manca negara yang berkunjung ke Bali. Kebijakan Umum Anggaran Tahun 2008 Pemerintah Provinsi Bali dikemukakan mengenai permasalahan yang dihadapi dalam Pengembangan Bidang Kepariwisataan sebagai berikut : 1. Masih rendahnya daya saing industri pariwisata nasional dan belum optimalnya sinergi pembangunan pariwisata dengan pembangunan sosial dan budaya. 2. Persaingan yang semakin ketat antara anegara-negara yang menjadi tujuan wisata. 3. Belum mantapnya keamanan dan kenyamanan pada daerah tujuan wisata. 4. Belum meratanya penyebaran sarana dan prasarana pariwisata yang nenadai di seluruh kabupaten/kota seperti; transportasi, akses informasi, sanitasi lingkungan di beberapa obyek dan daya tarik wisata. 5. Kurangnya pengetahuan dan kemampuan tenaga kerja pariwisata atau rendahnya daya saing sumber daya manusia pariwisata. 6. Belum optimalnya promosi pariwisata. 7. Terbatasnya bahan-bahan promosi pariwisata. Kunjungan wisatawan ke Bali pasca teror bom Bali I dan II secara kuantitas memang tidak menunjukkan penurunan berarti, tetapi secara kualitas terjadi penurunan yang dirasakan oleh komponen pariwisata di Bali. Perkembangan Sektor Pariwisata di Provinsi Bali sebagai sektor andalan dalam kerangka pembangunan daerah, merupakan penggerak pembangunan di segala bidang dan sektor-sektor lainnya, tetapi pascabom Bali mengalami stagnasi, sebagai permasalahan yang perlu segera ditangani bersama oleh pemerintah, masyarakat dan swasta.

2.1 Peran Disparda Provinsi Bali dalam Memulihkan Keadaan Pascabom Kunjungan langsung wisatawan ke Bali periode 2000-2004 merupakan tahun- tahun sulit bagi perkembangan kepariwisataan Bali. Padahal data menunjukkan bahwa pada tahun 2000 jumlah kunjungan langsung wisatawan mancanegara ke Bali meningkat 4,21% yaitu sejumlah 1.355.799 orang pada tahun 1999 menjadi 1.412.839 orang pada tahun 2000 (Disparda, 2004). Pada tahun 2000 ini dinyatakan sebagai kunjungan wisatawan mancanegara terbesar ke Bali secara kuantitas dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Para praktisi pariwisata pun seakan mengalami euphoria dengan harapan kedepannya kunjungan wisatawan mancanegara akan bertambah jumlahnya. Aktifitas kepariwisataan meningkat termasuk daya dukungnya yang menyerap tenaga kerja cukup tinggi. Namun berbagai peristiwa teror yang mengguncang dunia dan Bali menyurutkan harapan optimis tersebut. bom Bali 12 Oktober 2002 disusul dengan bom Bali 1 Oktober 2005 mengurangi angka kunjungan langsung wisatawan mancanegara ke Bali. Beberapa faktor lain diduga sebagai penyebab penurunan kunjungan wisatawan,

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 67

seperti krisis moneter yang melanda dunia dan stabilitas keamanan seperti peperangan dan aksi terorisme. Menyikapi situasi tersebut di atas, peran Disparda Provinsi Bali dituntut mampu memberikan solusi untuk pemulihan pariwisata Bali sesuai dengan Tupoksi yang dimiliki. Secara hierarki Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali berada di bawah Gubernur sebagai Kepala Daerah Tingkat I. Seluruh kebijakan yang dikeluarkan Disparda harus berdasarkan persetujuan Gubernur melalui Sekda atau pun jika seorang Kepala Dinas mempunyai suatu ide pembangunan pariwisata harus sepengetahuan Gubernur atau Sekda dalam mengimplementasikan ide atau kebijakan tersebut. Dalam pembangunan kepariwisataan, Disparda Provinsi Bali mempunyai kedudukan dan peranan cukup signifikan mewujudkan pembangunan kepariwisataan berkelanjutan, dengan diikuti oleh penyelanggaraan pemerintah yang akuntabel. Pemerintah yang akuntabel atau good governance merupakan keharusan yang perlu dilaksanakan dalam usaha mewujudkan aspirasi serta cita-cita masyarakat dalam mencapai masa depan yang lebih baik (Lakip Disparda 2004). Menyikapi tragedi bom, pemerintah berusaha memaksimalkan kinerjanya untuk dapat meningkatkan angka kunjungan wisatawan mancanegara sebagai roda pertumbuhan perekonomian di Bali. Kerja keras pemerintah yang mencakup menjaga keamanan dan kenyaman, upaya promosi dan koordinasi dengan segenap komponen masyarakat dinilai beragam. Ada yang berasumsi keseriusan Pemerintah Daerah dalam recovery Bali sudah maksimal namun banyak pula yang mengatakan usaha pemerintah dalam memulihkan pariwisata Bali tidak optimal sehingga perubahan untuk mencapai target yang diharapkan berjalan sangat lambat. Kenyataannya, secara kuantitas hasil yang terlihat pada saat penelitian dilaksanakan angka kunjungan langsung wisatawan ke Bali sudah mulai pulih kembali (meskipun tidak sebaik kondisi sebelum bom Bali 2002), namun secara kualitas kiranya perlu dilaksanakan penelitian lanjutan yang secara spesifik membahas permasalahan tersebut. Kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk memulihkan pariwisata Bali dengan membentuk tim recovery untuk mengkaji dan memberikan solusi dengan segera untuk mencegah pariwisata Bali tidak terpuruk. Kebijakan dari Pemerintah Pusat bersifat umum dalam arti tidak langsung menangani permasalahan ini hingga ke tingkat bawah. Tugas Pemerintah Provinsi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota mengimplementasikan kebijakan dari Pemerintah Pusat tersebut. Kebijakan dari Pemerintah Pusat secara umum dapat dipilah menjadi dua prioritas yaitu menyangkut keamanan dan promosi Bali sebagai daerah tujuan wisata utama di Indonesia dan di dunia. Kebijakan dari Pemerintah Pusat dengan demikian berjalan sesuai dengan koridor birokrasi dari atas ke bawah dan secara horizontal harus pula dikoordinasikan dengan institusi lain sesuai dengan tugasnya untuk dapat mewujudkan tujuan yang ingin dicapai bersama. Permasalahan keamanan menjadi tanggungjawab Kepolisian Daerah Bali bersama-sama masyarakat untuk menciptakan rasa nyaman bagi wisatawan. Promosi menjadi tanggungjawab Disparda Provinsi Bali bersama stakeholders dalam mempublikasikan Bali ke dunia luar bahwa Bali sudah aman dan layak untuk dikunjungi. Pemerintah Pusat juga dapat mengambil peran ini dengan memanfaatkan kapasitas Hubungan Diplomatik yang dimiliki meyakinkan kepada dunia bahwa Bali merupakan daerah kunjungan wisatawan yang masih tetap menawan dan memikat dengan keunikan budaya yang dimiliki. Kebijakan sangat memegang peranan penting dalam birokrasi moderen. Implementasi dan koordinasi menjadi landasan birokrat dalam mencapai tujuan yang

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 68

ingin dicapai untuk melayani publik. Pola-pola kekuasaan (hirarki) tersusun sedemikian untuk dapat memberikan hasil yang efektif dan efisen bahkan bila perlu diusahakan memperoleh hasil maksimal. Analisis kebijakan adalah sebuah telaah krisis isu kebijakan tertentu, dilakukan oleh analis dan para pihak yang dipengaruhi kebijakan, menggunakan ragam pendekatan dan metode yang menghasilkan nasehat atau rekomendasi kebijakan guna membantu pembuat kebijakan dan para pihak yang akan dipengaruhi kebijakan dalam mencari solusi yang tepat atas masalah-masalah kebijakan yang relevan. Wahab juga mengungkapkan ciri-ciri yang menonjol dari kebijakan publik, yaitu; (1) merupakan rangkaian keputusan politik, (2) melibatkan seorang aktor politik dan atau sekelompok lain, (3) sebagai proses pemilihan tujuan dan sarana untuk mencapainya, (4) berlangsung dalam situasi tertentu, dan (5) ada dalam lingkup atau batas-batas kekuasaan para aktor (Wahab, 1990 : 17). Artinya kebijakan didesain sebagai tawaran jawaban terhadap masalah yang terjadi dan dirancang untuk bisa menghasilkan efek sosial yang dikehendaki. Pandangan sebagai bentuk intervensi sosial, dikembangkan dari pemikiran normatif yang menyepakati kebijakan bukan sekedar sebagai sistem dimana aspirasi (tuntutan dan dukungan) diartikulasikan oleh faktor-faktor kebijakan menjadi sebuah keputusan kebijakan tetapi lebih sebagai bentuk aktivitas birokrasi pemerintah (Siagian, 2000 : 60). Ada pun upaya kongkrit yang dilakukan Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata pasca bom sebagai bagian dari kebijakan yang diterapkan adalah (1) upaya pemulihan keamanan berkoordinasi dengan Polda , (2) upaya promosi dengan melibatkan BTB, PHRI, stakeholders, Media Massa dan masyarakat, Tahap Penyelamatan, Tahap Pemulihan, Tahap Normalisasi dan Tahap Pengembangan. Peran Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata pascabom melalui upaya pemulihan keamanan dan upaya promosi harus berhati-hati karena melibatkan banyak hierarki birokrasi untuk menghindari benturan yang dapat menghambat kinerja dan realisasi program. Adanya peran pemerintah pusat, peran aparat keamanan (Polda), peran lembaga-lembaga pariwisata dan profesi, peran stakeholders pariwisata, peran masyarakat lokal yang kesemuanya memiliki kepentingan dan tidak menutup kemungkinan akan berjalan sendiri-sendiri dan sulit dikoordinir. Sangat beralasan kemungkinan terjadi upaya pemulihan secara partial karena pemulihan bukan hanya demi Bali tetapi demi usaha jasa yang dimiliki seperti hotel dan restoran. Jika mereka menunggu upaya pemerintah dan tidak aktif menjemput bola, para pengusaha takut bisnis mereka akan terancam bangkrut. Seperti hotel yang berkualifikasi internasional tentunya akan memanfaatkan jejaring yang dimiliki untuk dapat bertahan ditengah terpuruknya kondisi pariwisata Bali. Standar kebijakan pariwisata yang diterapkan oleh pemerintah pusat maupun daerah dengan demikian dituntut untuk mampu secara cepat, tepat dan fleksibel menyikapi permasalahan pemulihan semacam ini kedepannya. Birokrasi yang terkesan lamban dengan pola top down harus dikurangi dan disesuaikan dengan kondisi nyata. Hal ini dapat dilakukan jika segenap pihak memiliki kesamaan visi dan misi serta program kerja yang jelas sehingga dikemudian hari jika terjadi hal serupa maka akan cepat dan tepa digunakan langkah-langkah strategis dengan mengandalkan kebijakan- kebijakan pemerintah yang linear dan dituntut kemampuan pemerintah daerah untuk berani mengambil keputusan dengan meminimalkan resiko. Hal yang harus dihindari adalah lahirnya kebijakan-kebijakan yang justru menghambat upaya pemulihan karena perbedaan persepsi yang justru nantinya akan merugikan segenap pihak.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 69

Koordinasi merupakan kata kunci untuk mencapai keberhasilan dalam upaya pemulihan pariwisata pascabom Bali. Kebijakan dari Pemerintah Pusat diteruskan oleh Pemerintah Provinsi Bali melalui Disparda dan instansi terkait lainnya kemudian dikoordinasikan bersama Pemerintah Kabupaten/Kota di Bali. Dalam kenyataannya sangat sulit melakukan koordinasi yang baik diantara berbagai komponen karena perbedaan cara pandang, sistem atau cara bekerja yang berbeda dan perbedaan sasaran yang ingin dicapai. Disinilah tugas berat Disparda Provinsi agar dapat mengakomodir perbedaan tersebut dengan meyakinkan segenap pihak tujuan yang utama dari pemulihan pariwisata adalah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara maupun nusantara ke Bali. Sejalan dengan UU. No.22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom pembangunan pariwisata pascabom Bali diusahakan berjalan sesuai dengan koridor tersebut. Pemerintah Provinsi dalam hal ini Disparda Provinsi Bali memiliki wewenang di bawah Gubernur untuk berkoordinasi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota untuk memulihkan pariwisata pascabom Bali. Koordinasi Disparda Provinsi tidak bersifat searah melainkan timbal-balik sebagai upaya bersama membangun pariwisata Bali. Koordinasi diperlukan untuk dapat menyusun rencana yang strategis dengan melibatkan stakeholders dan masyarakat sebagai salah satu metode perencanaan yang terarah. Penyelenggaraan otonomi daerah pascabom Bali semula dirasakan menimbulkan kesulitan tersendiri karena pemberlakuan Undang-Undang yang baru sehingga sering terjadi salah interpretasi dan menimbulkan penyimpangan dalam implementasi di lapangan. Namun berkat pendekatan yang digunakan oleh Pemerintah Provinsi Bali yang bersifat membina kesalahpahaman dapat diminimalkan terutama dalam pemulihan pariwisata Bali. Kebijakan yang turun dari Pemerintah Pusat dengan dibentuknya tim recovery Bali mengeluarkan langkah-langkah strategis yang dapat dipahami hingga ke tingkat Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam hal ini Disparda Provinsi Bali selalu membuka diri untuk menerima masukan dari para stakehloders untuk dapat diteruskan ke Pemerintah Kabupaten/ Kota sehingga upaya pemulihan pariwisata pascabom tidak berjalan sendiri-sendiri. Kesadaran Pemerintah Daerah Bali untuk bersama-sama berusaha meningkatkan citra pariwisata Bali menjadi senjata ampuh untuk mempercepat pemulihan. Kabupaten Badung sebagai daerah penyumbang PAD terbesar karena memiliki daerah kunjungan wisatawan yang terbesar, terlihat sangat aktif berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Bali dalam upaya pemulihan pascabom. Hubungan Pemerintah Kabupaten bersama stakeholders terlaksana dengan baik dengan tidak melupakan peran masyarakat. Sebagai penyumbang PAD terbesar yang bersumber dari pariwisata usaha Pemkab Badung juga didukung oleh Pemkab/Kota se- Bali. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa Badung sebagai daerah tujuan wisata utama di Bali yang memberikan kontribusi besar bagi pembangunan Bali pada umumnya harus didukung bersama kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali maupu Kebijakan dari Pemerintah Pusat. Koordinasi dengan pihak keamanan juga telah dilakukan oleh Disparda Provinsi Bali dengan meyakinkan para stakeholders untuk turut berperan menjaga keamanan di wilayah kerja masing-masing. Support kepada pihak keamanan diwujudkan pula melalui bantuan informasi maupun materi sebagai motivator bagi aparat keamanan untuk dapat bersama-sama bekerja secara maksimal. Pemasangan CCTV di beberapa

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 70

titik sentral yang dipandang rawan juga dikoordinasikan kepada pihak aparat keamanan. Pemerintah Provinsi Bali melalui Disparda berharap dapat secara optimal mewujudkan Bali yang aman dan nyaman. Tanpa keamanan yang terjamin dipastikan citra pariwisata Bali akan semakin merosot yang berdampak kepada penurunan angka kunjungan wisatawan. Hal ini berarti laju perekonomian Bali akan tersendat yang berdampak pula kepada kesejahterahaan masyarakat yang semakin menurun. Koordinasi bersama media massa baik lokal maupun asing dilakukan secara sinergis untuk dapat memberikan pencitraan positif. Diusulkan kepada media massa agar melaporkan atau menulis peristiwa positif pascabom Bali bukan sebaliknya semakin memojokkan citra pariwisata Bali dengan pemberitaan yang tendensius. Pelaksanaan upacara Kariphubhaya pascabom, toleransi antar etnis/umat beragama yang harmonis, keindahan objek wisata dan keamanan Bali diharapkan dapat dimuat sebagai berita yang menyejukkan bagi para calon wisatawan. Bahkan bertujuan pula bagi negara-negara yang potensial sebagai pangsa pasar wisatawan. Hal ini bertujuan agar negara-negara besar seperti Amerika Serikat yang semula mengeluarkan travel warning dapat menurunkan level-nya menjadi travel advisory atau malah mencabut peringatannya menjadi Bali sudah layak dikunjungi karena pemberitaan yang stabil dan kondusif.

2.2 Kendala Internal dan Eksternal Berdasarkan Hierarki dan Tupoksi kerja yang dimiliki, Disparda Provinsi Bali harus berupaya berperan maksimal mewujudkan pembangunan pariwisata Bali secara berkelanjutan. Dalam kasus pascabom Bali, peran Disparda Provinsi Bali seperti disampaikan di atas harus menghindari benturan birokrasi, kebijakan, kepentingan, dan perbedaan visi dan misi serta program kerja yang berjalan secara partial. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa kendala yang dihadapi Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata pascabom. Kendala pemulihan dapat dilihat secara internal maupun eksternal dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Dalam upaya pemulihan pariwisata oleh Disparda Provinsi Bali kendala internal dan eksternal tampak selalu berdampingan karena tidak terpisahkan sebagai suatu sistem yang memerlukan koordinasi dalam menanganinya. Pengakuan dari beberapa praktisi pariwisata di Bali upaya pemulihan pariwisata dapat berjalan dengan cepat apabila ada goodwill dari pemerintah dan dukungan dari segenap komponen. Selain promosi iklim investasi juga harus ditingkatkan sejalan dengan meningkatnya stabilitas keamanan. Menyatunya persepsi untuk meningkatkan kembali kunjungan wisatawan dan analisa pasar yang tepat diyakini kondisi pariwisata Bali akan semakin membaik dari sebelumnya. Peran Disparda Provinsi Bali dapat dirasakan oleh para stakeholders dengan berbagai kebijakan dan kemudahan yang diberikan untuk dapat mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya ke Bali. Ada pun kendala internal adalah alur birokrasi sering menjadi kendala dalam progress pariwisata khususnya dalam upaya promosi. Pariwisata Bali yang terpuruk mesti segera dipulihkan karena pariwisata sudah menjadi produk penopang perekonomian Bali. Bali masih sangat mengandalkan sektor pariwisata sebagai penggerak perekonomian. Menyikapi hal ini Bali Tourism Board (BTB) pada tahun 2006 telah melakukan langkah pemulihan dengan melakukan road show ke kota-kota di Australia. Berdasarkan data BTB pemulihan pariwisata pascabom yang dilakukan sejak tahun 2002 sudah menunjukkan hasil yang cukup baik. Pihak BTB bersama stakeholders lainnya bekerja keras berkoordinasi dengan Disparda Provinsi Bali bersama masyarakat

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 71

memulihkan kepariwisataan di Bali. Selanjutnya Disparda Provinsi dibawah koordinasi Pemerintah Pusat memberikan persetujuan termasuk pengalokasian dana pemulihan pariwisata tersebut. BTB sebagai gabungan dari sejumlah organisasi kepariwisataan di Bali bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan memfasilitasi industri dan pemerintah dalam meningkatkan mutu objek wisata dan segenap faktor pendukungnya. Visi BTB adalah menjadi organisasi yang mengelola daerah tujuan wisata secara profesional dan memiliki daya saing dengan negara lain. Misi BTB adalah mempromosikan, membangun dan mengelola Bali sebagai daerah tujuan wisata unggulan. BTB sudah mengambil langkah-langkah strategis bersama Disparda Provinsi Bali dengan menyusun rancangan aksi pemasaran, promosi Bali, merangsang kedatangan wisatawan secara berkesinambungan, meningkatkan kesadaran masyarakat Bali akan kepariwisataan, menjembatani dan mengaktifkan komunikasi dua arah serta pertukaran ide antara pemerintah dan sektor swasta. Seperti pada kasus menegangnya hubungan diplomatik Indonesia-Australia, pihak BTB langsung mengambil langkah dengan mengadakan pertemuan bersama praktisi pariwisata dari Australia. BTB Bali bertemu dengan maskapai penerbangan Australia dan 30 praktisi pariwisata membahas operasional tim promosi Bali termasuk membicarakan memburuknya hubungan bilateral kedua Negara agar tidak berdampak kepada kunjungan wisatawan Australia ke Bali. Upaya yang dilakukan praktisi pariwisata adalah ingin secara cepat dan mantap memulihkan pariwisata Bali karena berhubungan erat dengan korporasi yang mereka miliki. Oleh karena itu, tidaklah salah jika mereka juga turut memberikan bantuan baik moril maupun materil kepada Disparda atau masyarakat untuk segera memulihkan pariwisata Bali. Dalam banyak kasus para praktisi pariwisata memberikan bantuan pemikiran maupun materi seperti dalam upaya promosi melalui Pesta Kesenian Bali (PKB). Ketika pihak Pemerintah Provinsi kesulitan mempromosikan PKB karena alokasi dana untuk promosi sangat minim, kerjasama dengan para stakeholders mampu membantu promosi kepada para wisatawan. Para stakeholders mengakui seharusnya pemerintah menyiapkan anggaran yang cukup untuk mempromosikan event-event semacam PKB. Biaya promosi yang terbatas akan menyebabkan arah pemasaran menjadi bias. Para stakeholders seperti ASITA dan PHRI sangat siap men-support promosi yang arah dan jelas tujuannya. Kemampuan networking yang mereka miliki terutama di luar negeri diyakini akan sangat membantu promosi Bali. Kenyataannya, praktisi pariwisata sering bergerak lebih cepat dari pemerintah karena mereka terdiri dari orang-orang professional yang berpengalaman di bidangnya (pariwisata) yang secara langsung mempertaruhkan kapitalnya di dunia pariwisata. Mereka melakukan reaksi cepat karena tidak ingin bangkrut, sehingga modalnya tidak hilang melainkan dapat bertahan atau segera mendapatkan keuntungan. Seperti langkah cepat Kamar Dagang dan Industri Bali (KADIN) mengadakan lobi kepada Pemerintah Pusat dalam pemulihan pariwisata pascabom Bali. Pihak stakeholders juga memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah terkait dengan pemulihan kepariwisataan di Bali. Pencairan dana recovery yang sering terhambat karena masalah birokrasi juga dapat dilihat pada tahun 2006. Praktisi pariwisata yang tergabung dalam Persatuan Hotel dan Restoran (PHRI) Bali mengusulkan perlunya daerah memiliki pos dana tak terduga untuk membantu recovery Bali. Selama ini recovery terbentur oleh minimnya biaya promosi dari pihak pemerintah. Padahal Menbudpar saat itu sudah berjanji untuk meningkatkan biaya

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 72

promosi dari tahun ke tahun. Pihak pemerintah dalam hal ini Disparda Kabupaten Badung menyambut positif usulan ini. Namun karena kesulitan membagi pos anggaran yang kesemuanya sudah dibagi berdasarkan skala prioritas usulan ini sampai sekarang belum terealisasi. Apabila upaya yang dilakukan BTB dan PHRI Bali ditunjang oleh pemerataan pendanaan, kemampuan SDM dan pembangunan pariwisata yang langsung dirasakan oleh masyarakat setempat, peneliti berasumsi permasalahan seperti perlakuan tidak sopan kepada wisatawan akan hilang karena masyarakat memperoleh profit dari kemajuan pariwisata di desanya. Kesadaran masyarakat pun akan meningkat untuk tetap menjaga keamanan dan kenyamanan di wilayahnya masing-masing. Disparda Provinsi Bali sejak tahun 2003 menerapkan rencana strategik untuk dapat bersinergi secara maksimal bersama stakeholders untuk memulihkan pariwisata Bali. Pada tahun 2004 Disparda mengalokasikan dana sebesar Rp. 125.000.000 untuk pembinaan usaha sarana pariwisata yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pengusaha mematuhi ketentuan yang berlaku. Dana sebesar Rp. 200.225.000 dialokasikan untuk pembinaan usaha jasa pariwisata yang bertujuan pula memberikan pemahaman kepada praktisi usaha jasa pariwisata untuk mematuhi ketentuan yang berlaku. Pembinaan berupa pelatihan atau sosialisasi diharapkan dapat memperbaiki kualitas sarana dan jasa pariwisata pascabom Bali. Program promosi bersama stakeholders juga dilakukan pada tahun 2004 dengan melakukan promosi dalam dan luar negeri. Alokasi dana untuk promosi ini sebesar 1.935.168.000. Target yang ingin dicapai dalam promosi pariwisata untuk menyebarkan informasi kepariwisataan untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Selain itu program pelayanan informasi juga dikembangkan untuk mencetak brosur/cd sehingga tersusun bahan promosi pariwisata yang mudah diterima oleh para wisatawan. Hubungan antara Disparda dengan stakeholders sejatinya bersifat timbal balik dengan menjaga keharmonisan keduabelahpihak. Disparda tidak dapat bergerak mengambil kebijakan sendiri dalam mengambil keputusan seperti pada tragedi bom Bali. Melainkan secara hirarki birokrasi mengikuti kebijakan dari Pemerintah Pusat dan institusi terkait lainnya. Kebijakan dari atas tersebut baru dikondisikan sesuai dengan keadaan yang di terjadi di Bali. Hal ini sering menjadi penghalang Disparda untuk dapat mengambil langkah yang cepat dalam kondisi darurat. Banyak pertimbangan yang mesti dipatuhi dan dilakukan untuk memecahkan suatu permasalahan. Kesulitan Disparda Provinsi Bali bersama Disparda Kabupaten/Kota dalam merespon permasalahan yang dihadapi industri pariwisata pascabom dapat diselesaikan dengan interaksi antara keduabelah pihak. Disparda yang terbelit oleh hirarki birokrasi dapat dibantu oleh stakeholders dengan langsung melobi ke Pemerintah Pusat. Profesionalisme dalam berbisnis membuka jaringan ke Pemerintah Pusat maupun ke jaringan bisnis Internasional. Disinilah tampak bagaimana hegemoni kekuasaan secara praksis memiliki kekuatan yag sulit dibendung. Tidak ada kekerasan tetapi yang terjadi adalah keharusan (mungkin pemaksaaan secara halus) bahwa daerah mutlak menuruti kebijakan dari Pemerintah Pusat. Di sisi lain Otonomi Daerah mengaburkan pemerintahan di daerah antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pada tataran ini kembali hegemoni lahir dalam wujud yang berbeda sehingga sulit menemukan siapa yang mengendalikan dan apa yang dikendalikan. Hegemoni adalah penghalusan kekuasaan, artinya dalam kasus ini perang kekuasaan terjadi tanpa menghasilkan siapa

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 73

pemenangnya karena terikat dalam satu kesatuan yang berkesinambungan namun penuh dengan kekukuhan pada ego sektoral. Berbeda dengan stakeholders pariwisata yang mandiri dan profesional karena mereka bergerak di ranah kapital yang menuntut mereka untuk dapat bertahan dalam kondisi apapun. Perusahaan yang mereka miliki adalah aset dan investasi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya sesuai dengan motif ekonomi. Oleh karena itu tidaklah heran ketika terjadi tragesi bom mereka pun kebingungan dan berpikir keras menyelamatkan perusahaan secara internal (efesiensi, inovasi, dll) maupun eksternal (promosi, merger, dll). Langkah-langkah yang mereka lakukan lebih cepat dari pihak pemerintah daerah yang terbelit oleh lingkaran birokrasi. Ketergantungan diantara keduanya sebagai bagian dari suatu sistem menuntut mereka harus berjalan bergandengan. Permasalahan yang sama dihadapi oleh Disparda Provinsi dan stakeholders yaitu menurunnya kunjungan wisatawan yang berdampak domino terhadap pembangunan Bali. Kedua komponen ini pun tidak dapat berjalan sendiri-sendiri karena akan tetap memerlukan antara satu dengan lainnya. Disparda Provinsi Bali juga masih menemui kendala dalam berkoordinasi dengan Disparda Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali dalam kebijakan-kebijakan pariwisata. Belum jelasnya kewenangan masing-masing pihak sering menimbulkan permasalahan di lapangan. Kenyataan ini sering membingungkan stakeholders dalam berinvestasi pascabom Bali. Belum lagi perubahan kebijakan dari pusat yang sewaktu-waktu dapat merubah kebijakan terdahulu. Interaksi antara Disparda Provinsi Bali bersama stakeholders pariwisata di Bali saling menguntungkan keduabelah pihak. Disparda sebagai bagian dari pemerintah menjalankan tugas dan fungsi di bidang pariwisata dan stakeholders menjalankan tugas untuk kepentingan bisnis yang secara langsung memberikan kontribusi kepada perekonomian daerah dan pembangunan di Bali. Hubungan harmonis ini berjalan berdasarkan kepentingan yang sama yaitu memajukan pariwisata di Bali. Kendala eksternal yang dihadapi dalam upaya pemulihan pascabom Bali, adalah menurunnya kepercayaan pasar terhadap pariwisata Bali, koordinasi bersama stakeholders yang juga terlihat dalam kendala internal di atas, termasuk koordinasi dengan aparat keamanan dan koordinasi bersama masyarakat. George Simmel (1994) dengan pendekatan teori interaksi mengidentifikasi dan menganalisis bentuk yang berulang atau pola-pola sosial, yaitu proses interaksi timbal balik dalam masyarakat. Pendekatan ini mengusahakan keseimbangan antara pandangan nominalis (hanya percaya pada individu riil) dan pandangan realis atau teori organik (realitas sosial bersifat independen dari individu yang membentuknya). Bentuk dan pola diisoliasi dan proses interaksi dapat dibedakan dari isi kepentingan tujuan atau maksud yang dicari melalui proses interaksi. Dalam proses sosial interaksi timbal- balik, apakah terjadi dalam bentuk superordinasi atau subordinasi. Meskipun superordinat bertujuan mengontrol subordinat dalam hal superordinat mempertahankan keinginan subordinat. Dinas Pariwisata Provinsi Bali memiliki tugas memajukan pembangunan pariwisata sesuai dengan visi dan misi yang dimiliki. Peran Disparda dengan demikian tidak terlepas dari stakeholders sebagai praktisi pariwisata dan masyarakat sebagai bagian dari kepariwisataan itu sendiri. Hubungan ini idealnya dibangun berdasarkan timbal balik yang saling menguntungkan untuk memajukan pariwisata di Bali. Hasil observasi dan analisis dari peneliti, kemajuan pariwisata Bali sangat berperan dalam segala aspek kehidupan masyarakatnya. Pemerintah Provinsi Bali

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 74

melalui Disparda memiliki peran superordinat dalam mengatur dan mengembangkan kepariwisataan di Bali. Peran Disparda Provinsi Bali meliputi kehumasan pariwisata, pengembangan objek pariwisata, usaha jasa dan sarana pariwisata, promosi dan kualitas pariwisata dan sumber daya pariwisata. Secara teori terlihat peran superordinat Disparda Provinsi Bali ini memberikan kesan yang besar dalam mengatur dan mengembangkan kepariwisataan di Bali. Stakeholders dan masyarakat terkesan berada pada posisi subordinat yang mengikuti dan tunduk kepada segala kebijakan yang dilakukan Disparda Provinsi Bali. Namun secara kondisi real di lapangan Disparda Provinsi Bali tidak dapat berjalan sendiri dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Stakeholders dan masyarakat merupakan komponen yang sama pentingnya dengan Disparda sebagai penyelenggara kepariwisataan. Jika Disparda berada pada posisi regulasi, pengawasan dan pengembangan maka stakeholders dan masyarakat merupakan komponen yang bersentuhan langsung dengan wisatawan. Interaksi antara ketiga komponen dengan demikian saling tergantung antara satu dengan lainnya. Disparda hanya mampu memberikan kebijakan dan pembinaan terhadap kepariwisataan. Disparda Provinsi Bali tidak berwenang dan tidak memiliki kapabilitas untuk menyelenggarakan usaha-usaha kepariwisataan.sedangkan stakeholders memiliki peran signifikan sebagai penyelenggara kepariwisataan. Masyarakat secara langsung maupun tidak langsung berhubungan erat dengan kemajuan kepariwisataan karena pengaruh positif dari pariwisata pada suatu daerah seyogyanya dirasakan pula oleh masyarakatnya. Jika dikatakan stakeholders dalam interaksinya dengan Disparda berada pada posisi subordinat, tampaknya tidak tepat. Dalam banyak hal stakeholders memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh Disparda Provinsi Bali. Misalkan dalam penyediaan dan penyelenggaraan sektor pendukung pariwisata seperti, hotel dan restoran. Untuk promosi dan kesuksesan usaha tersebut peran Disparda tidaklah terlalu besar dari sisi praktisnya. Justru stakeholders melalui kemampuan management, Sdm dan promosi mereka mampu menarik wisatawan untuk memanfaatkan fasilitas yang dimiliki. Begitu pula dengan masyarakat, mereka memiliki kebebasan dalam menciptakan dan mengembangkan kepariwisataan di masing-masing daerahnya. Misalkan masyarakat mengembangkan atraksi wisata seperti seni pertunjukan Barong, Disparda hanya sebatas memantau, membina dan berusaha mengembangkan melalui hasil penelitian dan kebijakan yang dimiliki untuk menjaga keberlanjutan atraksi wisata tersebut. Masyarakat memiliki keleluasaan dalam usaha promosi, hubungan kerjasama dengan stakeholders dan hubungan langsung pula dengan para wisatawan. Sangat sulit untuk mencari siapa yang memiliki power dan authority terkuat dalam hal ini. Ketiga komponen tersebut terikat dalam hubungan yang jelas dan saling memerlukan dalam melaksanakan masing-masing tugasnya. Keberlangsungan pariwisata di Bali tidak akan pernah lepas dari peran ketiga kompoenen tersebut, Disparda Provinsi Bali di tataran kebijakan, stakeholders dan masyarakat di tataran penerapan kebijakan dan penyelenggaraan pariwisata. Dengan demikian meskipun Disparda Provinsi Bali memiliki tugas untuk mengawasi kepariwisataan agar tidak keluar dari visi dan misi yang dimiliki, tetapi dalam prakteknya Disparda tidak membatasi atau mengurangi peran stakeholders dan masyarakat. Melainkan Disparda hanya memberikan rambu-rambu yang patut diikuti oleh kedua komponen tersebut agar kepariwisataan dapat berjalan dengan harmonis.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 75

Hubungan timbal balik, ini merupakan keterkaitan yang tidak terpisahkan untuk dapat mewujudkan pariwisata Bali yang maju dan berkesinambungan. Kelemahan interaksi mungkin terdapat di Disparda Provinsi Bali karena dalam pelaksanaannya sangat sulit mempersatukan stakeholders dan masyarakat untuk bersatu-padu menjunjung visi dan misi dalam mewujudkan pariwisata Bali yang sejahtera dan berkelanjutan. Di sisi lain Disparda Provinsi sering kesulitan membuat suatu perencanaan dan pengembangan kepariwisataan ke depan karena sistem birokrasi yang rumit dan keterbatasan pengetahuan untuk melihat pangsa pasar pariwisata serta kecendrungan pendekatan pemasaran klasik masih digunakan , yaitu mengikuti trend pasar bukan sebaliknya menciptakan produk pasar yang diyakini dapat menarik angka kunjungan wisatawan. Di sisi stakeholders terdapat kesulitan mereka dalam berinteraksi dengan Disparda Provinsi Bali karena sistem kerja professional sangat berbeda dengan sistem kerja professional. Ketika stakeholders memiliki ide-ide menarik untuk mengembangkan pariwisata belum tentu dapat segera di fasilitasi oleh Disparda Provinsi Bali. Sering stakeholders menganggap Disparda Provinsi Bali lambat dalam mengambil keputusan sehingga berpengaruh kinerja mereka. Kenyataan ini sulit dihindari karena paradigma antara birokta dan professional jelas berbeda dan titik temunya adalah komunikasi yang terbuka diantara kedua komponen untuk menemukan jalan tengah dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Kesulitan interaksi Disparda Provinsi Bali dengan masyarakat terletak pada kurangnya sosialisasi Disparda dalam suatu kebijakan pariwisata. Masyarakat sering merasakan ketidakpahaman mereka terhadap kebijakan-kebijakan atau peraturan yang dianggap menyulitkan peran mereka dalam menjalankan sector kepariwisataan. Pembinaan dari Disparda Provinsi Bali untuk secara rutin turun ke lapangan bersama stakeholders secara berkesinambungan sangat diperlukan. Pembinaan kepada masyarakat terkait sapta pesona misalnya hamper tidak terdengar gaungnya. Kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan dan keamanan di objek-objek wisata masih sangat minim. Kesadaran mereka perlu ditingkatkan dengan sosialisasi dan pembinaan intensif. Kesulitan Disparda dalam hal ini adalah kurangnya dana yang dimiliki untuk melaksanakan pembinaan yang intens. Namun kesulitan ini sebenarnya dapat di cari solusi dengan menggandeng stakeholders untuk bersama-sama memberikan pembinaan dan support kepada masyarakat tentang apa dan bagaimana memberikan rasa nyaman bagi wisatawan yang berkunjung ke daerah mereka. Dari deskripsi diatas, mengutip pandangan Gramsci (Dalam Strinati, 2003 : 195) bahwa hegemoni sebagai hasil kerja para intelektual atau mereka yang berkompeten untuk mengajak masyarakatnya untuk mengimbangi kekuasaan pihak luar. Dalam pengertian ini, diungkapkan bahwa seorang pencipta ide, pelaksana ide maupun penafsir ide sebagai para intelektual yang terlibat dalam usaha mengukuhkan dan menentang hegemoni yang ada di dalam institusi masyarakat sipil. interaksi antara Disparda Provinsi Bali, stakeholders dan masyarakat yang terhegemoni adalah ketiga komponen dalam situasi yang berbeda. Disparda berusaha menghegemoni stakeholders dan masyarakat namun tidak memiliki peran yang sentral dalam interaksi karena minimnya kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki termasuk kemampuan SDM-nya. Disparda pun akhirnya terhegemoni oleh stakeholders sebagai pemegang korporasi yang menggerakkan pariwisata di Bali. Belum lagi hegemoni dari Pemerintah Pusat seperti yang disampaikan pada Bab sebelumnya.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 76

Stakeholders sebagai professional merasa memiliki kemampuan menghegemoni Pemerintah (Disparda) dan masyarakat. Mereka memiliki kapital (modal) dan jejaring untuk membangun korporasinya. Tetapi di sisi lain secara tidak langsung stakeholders terhegemoni oleh pasar, artinya mereka juga dibawah kendali korporasi global yang telah merentangkan sayapnya hingga ke Bali. Stakeholders pun tergantung kepada korporasi-korporasi internasional yang memegang kendali pasar. Masyarakat secara teoritis terlihat yang paling terhegemoni, namun seiring kemajuan zaman, individu-individu di masyarakat semakin kritis sehingga mereka tidak mau terhegemoni begitu saja. Sebagai kelompok sub ordinat (terpinggirkan) masyarakat di Bali khususnya yang telah terlibat dalam pariwisata membangun kekuatannya melalui desa pekraman untuk mengimbangi hegemoni dari Pemerintah maupun stakeholders.

III. SIMPULAN DAN SARAN 3.1 Simpulan Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Peran Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata Bali pascabom adalah mengimplementasikan kebijakan dari pemerintah pusat yang telah membentuk tim recovery pariwisata Bali. Melalui tim recovery Bali fokus pemulihan adalah upaya pemulihan keamanan dan upaya pemulihan promosi. Peran Disparda dalam upaya pemulihan keamanan bekerjasama dengan Polda Bali, praktisi pariwisata dan masyarakat dan peran Disparda dalam upaya pemulihan promosi bekerjasama dengan pemkab/pemkot se-Bali, lembaga pariwisata dan profesi, praktisi pariwisata, dan masyarakat. 2. Kendala Disparda Provinsi Bali dalam menjalankan peran memulihkan pariwisata Bali dapat dilihat secara internal dan eksternal yang pada intinya secara teori Disparda Provinsi Bali memiliki kekuatan besar untuk mengendalikan pemulihan pariwisata namun secara kenyataan justru posisi Disparda menempati posisi sub ordinat. Mengakomodir berbagai kepentingan dan meng-koordinasikan agar selaras secara vertikal-hierarkis ke atas dengan pemerintah pusat dan ke bawah dengan pemkab/pemkot tidak mudah dalam pelaksanaannya. Secara horisontal, untuk dapat menyamakan visi-misi dan program kerja dengan para praktisi pariwisata dan masyarakat juga merupakan kendala yang sulit di atasi karena adanya perbedaaan kepentingan.

3.2 Saran Adapun saran yang dapat disampaikan sebagai rekomendasi sebagai hasil analisis dari penelitian ini adalah : 1. Penyamaan visi-misi dan pembuatan program kerja terhadap segenap komponen tentang pentingnya pariwisata Bali dari berbagai aspek untuk mencegah terjadinya degradasi pendapatan utama masyarakat Bali kedepannya. Tanpa pariwisata Bali akan kehilangan pendapatan utama masyarakatnya yang akan berpengaruh terhadap PAD, proses pembangunan sektor lainnya dan kehidupan sosio-kultrual masyarakat Bali pada umumnya. 2. Perlu menata ulang kembali sistem koordinasi yang disepakati bersama dalam mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan sehingga secara teknis terdeskripsikan Tupoksi/job description masing-masing komponen dengan

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 77

mengedepankan efisensi dan efektifitas kinerja. Hal ini penting untuk mengantisipasi tragedi serupa sehingga kendala-kendala pemulihan pariwisata dapat diminimalkan. 3. Pariwisata Bali sangat tergantung oleh pasar internasional dan kemampuan Bali dalam mengelola kepariwisataannya. Diperlukan penelitian lanjutan mengenai pemetaan sosial untuk melihat posisi Bali dari berbagai aspeknya sehingga akan memudahkan segenap komponen menghadapi berbagai permasalahan dari inovasi, keamanan, promosi hingga koordinasi untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang dapat memberikan kesejahterahaan kepada masyarakat Bali pada khususnya dan kepada Indonesia pada umumnya.

KEPUSTAKAAN

Anonim. 2010. Undang-Undang RI tentang Kepariwisatan Nomor 10 Tahun 2009. Jakarta : Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI ______.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdiknas. Jakarta : PT. Balai Pustaka ______.2003.Buletin Informasi, Pemerintah Provinsi Bali No. 3 Edisi Desember ______. 2004. Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Survai Kepariwisataan Bali di Bali Tahun 2004,Lama Tinggal, pengeluaran dan Karakteristik Wisatawan, Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Denpasar. Appadurai, 1993. ”Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy” Dalam Feathersone. Global Culture, Nationalism, Globalization and Modernity, PP: 295-310. London: SAGE Publication. Agger, Ben, 2003,”Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan dan Implikasinya” Yogyakarta : LKPM. Geertz, Clifford. 1995. Interpretasi Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta. Ginanjar Kartasasmita. 1997. Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta : PT.Pustaka Cidesindo. Hamid, EA, Cholik. 1994. Pengetahuan Pariwisata. Jakarta : Yayasan Bhakti Membangun. Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Mahagangga, I Gst. Ag. Oka. 2008. Premanisme dan Pariwisata. Jurnal Analisis Pariwisata. Vol. 8, No. 2. Denpasar : Fak. Pariwisata Unud. ______. 2010. Premanisme, Pariwisata dan Media Massa. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan. Vol. 5 No. 3 September 2010. Jakarta : Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Muhajir, H. Noeng. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi III cetakan ke delapan. Jakarta: Rake Sarasin. Parson, Talcott. 1986. Fungsionarisme Imperatif, terjemahan Soerjono Soekanto, Seri Pengenalan Sosiologi. Rajawali : Jakarta. Pendit, N.S. 1999. Ilmu Pariwisata; Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta : Pradnya Paramita. Samsurridjal, D Koelang HD. 1987. Peluang dibidang Pariwisata. Jakarta : Pradnya Paramita. Simmel, George. 1994. Sosiological Theory. New York : Harper-Collins.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 78

Simon, Roger, 2001 `Gagasan-Gagasan Politik Gramsci`, Yogyakarta : Insist dan Pustaka Belajar. Soekamto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada. Tan Melly G, 1994, Penggunaan Data Kuantitatif. dalam Koentjaraningrat, Metode- metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia. Yoeti, Oka A. 2000. Pengantar Ilmu Pariwisata. Jakarta : Pradnya Paramita. Veeger Karel J. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta : PT Gramedia.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 79

PERILAKU BERBAHASA WISATAWAN JEPANG DI BALI SEBAGAI PENCERMINAN KARAKTERISTIK WISATAWAN JEPANG

I Made Sendra Dosen Fakultas Pariwisata Unud

Abstract

Based on the result of research show that there was the correlation between speech behaviour of Japanese tourists and their charactersistic, such as, ambiguty, diffidence, etiquette, courtesy, polite, discipline, perfectionist, unsociable and inflexible person. The Ambiguity and polite characteristic is often appeared in direct speech act, indirect speech act, lateral indirect speech act. These kind of speech act have illocutional meaning and perlocutional meaning; and the expressive function of courtesy and dissatisfaction. The ambiguity characteristic of Japanese make the Japanese discourse has ambiguity meaning. The purpose of ambiguity meaning on Japanese discourse is to keep the harmony of their human relation which is can done by telling peseudo intention or tatemae. The discipline, perfectionist, unsociable and inflexible characteristic is appeared in direct speech act, literal speech act, literal direct speech act, non-literal indirect speech act. These kind of speech act have locutional meaning, ilocutional meaning and expressive function of traveling, directive function, commissive function, representative function and declarative function. Based on these characteristic the Japanese discourse tend not ambiguity. Because this type of discourse has the same meaning as the lexical meaning. That is to say that, the Japanese tourist tell about the real intention or honne.

Key Words: speech behavior, illocutional, perlocutional, and discourse.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Jepang sebagai sarana untuk berkomunikasi mempunyai dua komponen, yaitu penutur (Pn) dan petutur (Pt) yang terlibat dan menggunakan bahasa Jepang sebagai media berkomunikasi. Terdapat hubungan langsung antara pramuwisata (P) dengan wisatawan Jepang (WJ) dengan menggunkan Bahasa Jepang (BJ) sebagai alat atau media berkomunikasi. Bahasa sebagai alat ekspresi dapat mengungkapkan aspek- aspek pikiran, perasaan serta psikomotorik penuturnya (Searle, 1969). Berkaitan dengan tuturan, dalam tulisan ini akan mendeskripsikan gambaran prilaku berbahasa (speech behavior) dan memahami sebuah guyub tutur. Guyub tutur yang dimaksud adalah orang Jepang yang datang ke Bali sebagai wisatawan. Penulis melihat fenomena yang sangat menarik dalam sikap dan prilaku tuturan WJ ketika PW memandu mereka yang berbeda dengan wisatawan mancanegara lainnya. Tuturan ini bisa dilihat dalam hubungan antar personal orang Jepang ketika mereka sesama wisatawan Jepang yang tidak saling mengenal, menginap pada satu hotel yang sama, kemudian mereka bertemu di lobby atau di jalan dan mereka jarang

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 80

sekali menyapa dengan memberikan greeting. Demikian juga ketika wisatawan Jepang sedang berjalan di sebuah obyek wisata, ketika diberikan salam selamat pagi, siang, sore atau selamat malam, mereka jarang memberikan respon. Wisatawan Jepang ketika mereka mengalami suatu pengalaman yang tidak menyenangkan, apakah menyangkut pelayanan yang diberikan oleh staff hotel, pramuwisata, waiter atau waitress, jarang sekali mengungkapkan complaint mereka secara langsung pada saat pelayanan itu diberikan dan mereka cendrung diam. Mereka akan mengungkapkan complaint tersebut ketika sudah pulang ke negaranya lewat travel agent dimana mereka membeli produk tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan kebiasaan wisatawan Eropa yang akan complaint langsung apa bila mereka tidak puas terhadap pelayanan yang sudah diberikan. Cara bertutur wisatawan Jepang seperti ini, memberikan kesan tersendiri bagi para pelaku pariwisata khususnya pramuwisata, sehingga menimbulkan suatu persepsi bahwa, wisatawan Jepang terkesan tertutup, sombong, kaku, tidak homoris, tidak fleksibel, menjaga jarak (enryoo). Berdasarkan persepsi tersebut, penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai hubungan tuturan dengan persepsi tentang prilaku berbahasa (speech behavior) WJ. Melalui analisis tuturan ini, penulis bermaksud untuk mengungkapkan, mendeskripsikan prilaku berbahasa WJ yang memiliki keunikan jika dibandingkan dengan wisatawan mancanegara lainnya. Tuturan WJ dalam pemanduan wisata memiliki variasi bentuk, fungsi dan makna tertentu. Penelitian ini mengungkap tuturan-tuturan tersebut berdasarkan pemakaian BJ sesuai dengan konteks, situasi penutur dan petutur, serta latar belakang sosial budaya WJ dan P. Tuturan WJ dan P akan menghasilkan makna yang interpretatif dan kompleks. Untuk menghindari hal tersebut, penulis melakukan aplikasi terhadap makna-makna tuturan yang terjadi antara WJ dan P sesuai dengan konteks situasi tuturannya.

1.2 Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah tuturan WJ dalam kaitannnya dengan gambaran prilaku berbahasa dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimanakah Karakteristik Wisatawan Jepang Dilihat dari Sikap dan Prilaku Berbahasa-Mereka?”

1.3 Kerangka Konsep 1.3.1 Tindak Tutur Austin (Dalam Berten, 1980:61-62; lihat juga Searle, 1969 ) menyampaikan pengucapan suatu tuturan selalu merupakan suatu perbuatan (speech act) atau tindak tutur (TT). Dibedakan tiga macam tindak (perbuatan) yang berperan jika kita mengucapkan suatu tuturan yaitu, lucutionary act, illocutionary act dan perlocutionary act. (1) locutionary act adalah penyempaian suatu makna tertentu. Suatu tuturan menyampaikan isi bahasa yang bermakna (the act of saying something; (2) illocutionary act adalah pengucapan suatu tuturan menggunakan suatu daya (force) yang khas (the act of doing something). Penggunaan daya ilokusional ini, maka tuturan akan menjadi perjanjian, perintah, pernyataan, vonis dan lain-lain. (3) perlocutionary act adalah tuturan dapat mengakibatkan suatu efek psikologis pada pendengarnya (the act of effecting someone), misalnya mereka setuju, merasa takut, puas dan lain-lain. Setiap tuturan paling sedikit mengandung suatu unsur locutionary dan illocutionary act

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 81

1.3.2 Wisatawan Jepang Wisatawan Jepang adalah wisatawan yang melakukan perjalanan dan menginap sementara paling sedikit dua malam jauh dari daerah dimana seseorang bertempat tinggal yang mereka lakukan dengan tujuan utama untuk kepuasan mengisi waktu senggang, kesenangan atau memenuhi kebutuhan akan rekreasi yang disadari dapat dipenuhi, daripada di daearah dimana mereka tinggal (Stears, 1994:8).

1.3.3 Pramuwisata Pramuwisata adalah pelaku pariwisata yang bergerak dalam memberikan jasa pemanduan wisata ketika wisatawan melakukan aktifitas perjalanan wisata (tour). Pramuwisata yang dimaksud di sini adalah mereka yang sudah mendapatkan pendidikan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Bali untuk menjadi pramuwisata yang memiliki sertifikat dan lisensi resmi dalam menjalankan tugas dan kewajiban mereka sebagai pemandu wisata yang terorganisisr dalam wadah Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali (Suyitno, 2001:68).

1.3.4 Prilaku Berbahasa (Speech Behavior) Prilaku berbahasa (speech behavior) dalam tulisan ini, adalah keunikan- keunikan tuturan WJ di Bali, dalam bertutur yang dilatarbelakangi oleh konteks situasi tutur dalam kegiatan pemanduan wisata. Selain itu, tuturan dalam peristiwa tutur pemanduan wisata juga sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosio-kultural yaitu stereotype WJ. Konteks merupakan faktor yang secara sistematis menentukan makna, jenis dan fungsi tindak tutur (TT). Konteks tersebut berupa konteks linguistik dan non linguistik. Konteks linguistik adalah urutan kata yang membentuk frase atau tuturan, serta unsur- unsur supra segmental yang menyertainya. Konteks non linguistik adalah aspek di luar komponen internal bahasa yang berupa konteks situasi dan konteks budaya. Skala kesantunan untuk menggambarkan prilaku berbahasa wisatawan Jepang (WJ), digunakan tiga macam skala pengukur tingkat kesantunan. Ketiga macam skala tersebut adalah (1) skala kesantunan menurut Leech (1993) ; (2) skala kesantunan menurut Levinson (1987); dan (3) skala kesantunan menurut Lakoff (1992) dan Rahardi (2005).

1.4 Metode Penelitian 1.4.1 Metode Pengumpulan Data. Metode observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi dan non- partisipasi. Observasi partisapasi dilakukan ketika melakukan kegiatan memandu wisatawan Jepang, bertujuan untuk mengetahui minat, kesan, emosi, sifat, keunikan prilaku berbahasa (speech behavior) dari wisatawan Jepang. (Rahardi: 2001). Observasi non partisipan dilakukan dengan mengamati persitiwa tutur antara wisatawan Jepang dengan wisatawan Jepang lainnya. Hasil observasi berupa tuturan tentang keunikan yang ditunjukkan oleh wisatawan Jepang. Keunikan tuturan wisatawan Jepang ini dikaitkan dengan data persepsi stereotype wisatawan Jepang oleh pramuwisata. Dari observasi juga dapat diamati ekspresi non verbal wisatawan Jepang, berupa gestures (gerak tubuh), seperti mimik yang menyertai tuturan ketika mereka berbicara. Selanjutnya dilakukan interpretasi untuk mencari makna ekspresi non verbal tersebut dalam ungkapan bahasa non verbal sesuai dengan tradisi dan budaya orang Jepang.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 82

Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, dengan cara mengembangkan daftar pertanyaan dalam bentuk dialog yang lebih mendalam, melalui tanya-jawab yang direspon secara spontan oleh wisatawan Jepang, saat menjemput di airport, mengantar ke hotel, mengantar tour ke obyek-obyek wisata, sampai wisatawan check out kembali ke negaranya. Wawancara secara terstruktur ini bertujuan untuk memperoleh data-data tentang prilaku berbahasa, emosi, minat, sikap dan budaya tuturan wisatawan Jepang. Hasil rekaman ini ditranskripsikan dalam bentuk teks dialog. (Rahardi, 2001). Metode dokumentasi digunakan untuk medokumentasikan teks-teks bahasa Jepang. Teks-teks bahasa Jepang ini diambil dari teks-teks yang memuat program- program tour wisatawan Jepang. Teks-teks yang dimaksud adalah teks-teks program tour yang ditawarkan oleh biro perjalanan wisata, seperti HIS (Harum Indah Sari), JTB (Japan Travel Bureau), Rama Tour dan lain-lain. Program tour yang ditawarkan memuat half-day tour (han nichi tsuaa), full-day tour (ichi nichi tsuaa) dan overland (rikujoo-tsuaa), roundtrip (kaiyuu ryokoo), (Rahardi, 2001).

1.4.2 Metode Analisis Data Setelah data dikumpulkan dianalisis kemudian disajikan secara sistimatik baik dalam bentuk kata, frasa, tuturan maupun teks-teks. Dalam analisis data tuturan digunakan teori TT dan teori metafora untuk mendeskripsikan TT orang Jepang dalam memberikan gambaran prilaku berbahasa (speech behavior) orang Jepang yang ada di Bali. Penganalisaan TT lebih difokuskan untuk mengkaji komponen makna, jenis, dan fungsi TT; sedangkan teori metafora digunakan untuk mengkaji makna-makna kontekstual sosial-budaya dibalik TT orang Jepang (Rahardi, 2001).

2.1 Karakteristik Wisatawan Jepang Dilihat Dari Perilaku Berbahasa (Speech Behaviour) Ketika Berwisata ke Bali 2.1.1 Karakteristik Ambiguity (Aimai). Karakteristik aimai (ambiguity) wasatawan Jepang, bisa dijelaskan dari sudut pandang linguistik pragmatik yang mengkaji prilaku berbahasa yang dimotivasi oleh tujuan-tujuan percakapan. Apa yang dimaksudkan oleh penutur dengan tuturannya tidak dapat diketahui dengan pasti. Hanya dapat dipahami dari kondisi-kondisi yang dapat diamati, tuturan dan konteks. Berdasarkan faktor-faktor ini, penutur bertugas menyimpulkan interpreatasi yang paling mungkin. Namun walaupun demikian, seseorang tidak akan mampu untuk membuat suatu kesimpulan yang pasti mengenai maksud penutur karena tuturan wisatawan Jepang sering dikaburkan. Austin (dalam Leech, 1993) menyatakan bahwa. ’’penutur mengatakan kepada petutur bahwa X (X adalah kata-kata tertentu yang diucapkan dengan suatu makna dan acuan tertentu).’’ Austin menyatakan tindak lokusi dengan penyampaian pesan (komunikasi idesional). Setiap tuturan kesamaran orang Jepang dapat dikaji dari aspek tersurat dan tersirat. Kajian tindak tutur dari aspek tersurat atau penelahaan teks berdasarkan makna leksikal yang secara harfiah menggunakan terminologi makna lokusional. Para Linguist, seperti Leech (1983), dan Wijana (1996), menjelaskan bahwa makna lokusional dari tindak tutur bisa sama atau berbeda dengan makna ilokusionalnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh maksud, niat dan tujuan penutur dalam bertutur. Selain itu, faktor-faktor budaya penutur, konteks dan lingkungan penutur sangat menentukan makna sebuah tindak tutur. Kegiatan bertutur wisatawan Jepang

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 83

memiliki keterkaitan tersendiri, tersetruktur dan terpola sedemikian rupa. Peristiwa tutur wisatawan Jepang berkaitan dengan pesan yang ingin disampaikan, kesan, kehidupan sosial budaya, mentalitas, etika atau prilaku berbahasa. Makna lokusi tuturan kesamaran wisatawan Jepang dapat diamati pada penyampaian informasi yang diberikan oleh wisatawan Jepang (WJ) ketika disapa oleh pramuwisata (P).

Konteks Situasi Tutur 1 (Mizutani,1987:145) : 1. Penutur (Pn) : Kore kara Tanaka-san wa dochira e irasshaimasu ka ? (Sekarang Tuan Tanaka mau ke mana?) 2. Petutur (Pt) : Ee, chotto sono hen made (Ke sana sebentar).

Dalam tuturan di atas (data 2), WJ sebagai petutur (Pt) hanya mengucapkan ’’ee, chotto sono hen made’’, dengan ungkapan seperti ini penuturpun yang mendengar merasa ambigu karena tidak tahu sampai ke mana petutur akan pergi. Petutur tidak mengungkapkan dengan jelas ke mana akan pergi. Begitu juga penutur tidak mendesak petutur untuk memperjelas kemana akan pergi. Hal ini merupakan ungkapan yang sifatnya basa-basi, sebagai gambaran adanya hubungan keakraban antara penutur dan petutur. Pertanyaan tersebut diucapkan oleh P yang ada di hotel kepada WJ yang baru saja dijemput dan check in di sebuah hotel, ketika wisatawan akan ke luar sebentar, sebagai ungkapan keramah-tamahan kepada wisatawan.

Konteks Situasi Tutur 2 Tuturan ini berlangsung di hotel di antara wisatawan Jepang, menceritakan tentang kunjungannya ke salah satu obyek wisata yang ada Bangli yaitu Kintamani. Penutur (Pn) :Sakunen Kintamani e ikimashitara,…(Tahun lalu saya pergi ke Kintamani). Petutur (Pt) : Ee,…….(Ya). 3. Penutur (Pn) : Nagame ga kirei deshita ga,…(Pemandangannya indah tapi,…….). 4. Petutur (Pt) :Ee, ee,…….(Ya, ya). Penutur (pn) : Tachiurimono ga ookute,…(Ada banyak pedagang acungnya). Penutur (Pn): Taihen deshitayo. (Sangat mengganggu lho). 5. Petutur (Pn) :Sou desu ka. Jitsu wa watashi mo kyounen Kintamani e ikimashita ga,…..(Oo..begitu ya. Sebenarnya saya juga sudah pergi ke Kintamani, tahun lalu, tapi……) 6. Penutur (Pn) :Ee, ee….(Ya,ya).

Tuturan di atas (data 3) memunculkan makna lokusional. Makna yang muncul adalah makna leksikal ungkapan-ungkapan tersebut. Maksud penutur hanya untuk memberikan informasi tentang liburannya ke Kintamani. Wisatawan Jepang menghindari pengungkapan pikiran secara lengkap dengan memotong kalimat yang diucapkan dengan menggunakan ungkapan desu ga,….(data 3) atau …masu ga (data 5), sehingga makna tuturannya menjadi samar-samar (aimai) Sekalipun penutur mempunyai kelonggaran untuk mengungkapkan semua tanggapan, pendapat, komentar secara lengkap dan berkelanjutan, tetapi hal itu tidak dilakukan oleh penutur. Hal ini merupakan salah satu etika dan norma kesopanan bertutur wisatawan Jepang. Selain itu dalam tuturan wisatawan Jepang, sering terdapat ungkapan untuk memberikan respon terhadap tuturan yang disebut aizuchi. Dalam percakapan wisatawan Jepang, sering ditemui ungkapan singkat ketika merespon jawaban lawan

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 84

berbicara seperti: Ee.. (data 4 dan 6); juga Ee, atau Hai sou desu ne dan Naruhodo. Aizuchi dipakai untuk memberikan tanda kepada lawan bicara bahwa pendengar Aizuchi memperhatikan dan mengerti maksud dari penutur dan memberikan kesempatan kepada penutur untuk meneruskan pembicaraannnya.

Konteks Situasi Tutur 3 Seorang guide menanyakan kepada tamunya tentang acara (schedule) apakah ia akan tamasya ke Tanah Lot. Penutur (Pn) : Suzuki-san wa Tanah Lot ni ryokou ni narimasu ka. (Apakah Bapak Suzuki akan jadi bertamasya ke Tanah Lot?). 7. Petutur : Iku kamoshiremasen. (Mungkin saya akan pergi ke sana).

Petutur memberikan jawaban dengan menggunakan kamoshiremasen (data 7), terlihat bahwa petutur tidak mengetahui apakah akan pergi ke Tanah Lot atau tidak. Jawaban lain yang bisa diperoleh adalah ’’Mungkin saya akan pergi’’. Arti tambahan dapat diperoleh dengan memperhatikan bahwa, informasi yang diberikan oleh petutur kurang daripada yang dibutuhkan oleh penutur. Kesamaran karena disjungsi terlihat jelas dalam tuturan di atas. Dengan ungkapan di atas petutur terlihat mentaati maksim kualitas dengan menambahkan kata ’’mungkin’’ pada jawabannya. Penjelasan ini akan bisa diterima sebagai penjelasan yang taat akan kerjasama. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa petutur tidak mengetahui apakah ia akan pergi atau tidak ke Tanah Lot. Strategi ini terdiri dari usaha: (a) merumuskan hipotesa yang paling mungkin; (b) menguji hipotesa tersebut dan bila tidak teruji; (c) merumuskan hipotesa berikutnya dan sebagainya. Jenis strategi ini merupakan strategi yang lazim digunakan manusia untuk memecahkan masalah-masalah penafsiran atau interpreatsi (Leech, 1993: 46-47).

Konteks Situasi Tutur 4 Salah satu karakteristik bahasa Jepang adalah pemakaian bentuk negatif untuk bertanya secara halus (hormat). Wisatawan Jepang biasanya menjawab hai (ya) yang bisa konotasinya (tidak/negasi) dan jawaban Iie (tidak) bisa konotasinya (ya/afirmatif), seperti tuturan di bawah ini. Penutur :Sukawati Aato Maketto e kaimoni ni ikimasen ka. (Apakah anda akan pergi ke Pasar Seni Sukawati untuk Shopping?). 8. Petutur1 (Pt1) : Hai, ikimasen.(Ya, saya tidak pergi). Petutur 2 (Pt 2) : Iie, ikimasu. (Tidak, saya pergi).

Di dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, jawaban ’’ya’’ bila bersifat afirmatif dan jawaban ’’tidak’’ bila bersifat negasi (menolak). Di dalam bahasa Jepang, jawaban ’’ya’’ dan ’’tidak’’ tergantung dari sudut pandang petutur (lawan berbicara) apakah ia setuju terhadap pertanyaan yang diajukan oleh penutur (pembicara). Apabila petutur setuju terhadap konten pertanyaan tersebut maka akan dijawab dengan’’ hai’’ (ya) (data 8 Pt 1) yang berarti menolak (negasi); dan sebaliknya apabila petutur (lawan berbicara) tidak setuju dengan isi pertanyaan yang dajukan, maka akan dijawab ’’Iie’’/tidak (data 8 Pt), yang berarti kebalikan dari isi pertanyaan yang diajukan.

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 85

Tuturan ini mencerminkan bahwa karakteristik wisatawan Jepang dalam tuturan, apabila menjawab ’’hai’’/ya, tidak selalu berkonotasi positif; dan jawaban ’’Iie’’/tidak; tidak selalu berkonotasi negatif. Pertanyaan bentuk negatif juga sering muncul dalam Bahasa Jepang sebagai cara untuk memperlembut sikap kurang sopan.

2.1.2 Karakteristik Wisatawan Jepang Bersifat Enryou (Menjaga Muka). Ilokusi mengacu pada tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan. Dalam komunikasi yang berorientasi pada tujuan, meneliti makna sebuah tuturan merupakan usaha untuk merekonstruksi tindakan apa yang menjadi tujuan penutur ketika ia memproduksi tuturannya. Menurut Austin (1960), tindakan ilokusional merupakan penyampaian wacana (komunikasi) interpersonal; dan tujuan ilokusi dibedakan dengan tujuan-tujuan sosial lainnya. Di antara tujuan-tujuan sosial ini adalah mempertahankan kerjasama, sopan santun dan sebagainya. Ilokusi melibatkan sopan santun untuk memperlembut sifat tidak sopan yang secara intrinsik terkandung di dalam tujuan itu. Tujuan lainnya adalah mengurangi ketidakharmonisan yang tersirat dalam kompetisi antara apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan apa yang dituntut oleh sopan santun. Mengelak mengucapkan tuturan yang bersifat langsung merupakan contoh ketidaklangsungan yang sopan. Dalam tuturan seperti itu, penutur seolah-olah hanya dapat memulai percakapan sopan dengan petutur apabila memakai taktik mengelak dan membayangkan bahwa petutur sebagai pendengar tetapi bukan orang yang disapa. Hal ini dapat menjelaskan kearifan yang ada di dalam permintaan-permintaan tak langsung tuturan wisatawan Jepang. Dalam mengungkapkan ide atau pikiran, wisatawan Jepang sering tidak melanjutkan kalimatnya dalam penyampaian ungkapan yang tidak langsung dan samara-samar. Untuk memahami tuturan tersebut maka harus dilihat dari konteks dan situasi tuturannya, seperti terlihat di bawah ini.

Konteks Situasi Tutur 5. Penutur merupakan seorang WJ yang sedang diantar oleh P. Wisatawan Jepang ingin membeli oleh-oleh untuk dibawa ke negeranya. 9. Penutur (Pn) : Watashi wa tegoro na nedan de kaimono shitain desu ga,………(Saya ingin membeli oleh-oleh dengan harga yang lumayan) Petutur (Pt) : Tegoro na nedan nara, Kumbasari Aato Maketto ga ii to omoimasu. (Kalau harga yang lumayan cocok sebaiknya beli di Pasar Seni Kumbasari)

Dengan menyimak tuturan di atas, penutur (wisatawan) menyampaikan bahwa ia ingin membeli oleh-oleh sebelum pulang ke negaranya. Dalam tuturan di atas wisatawan bermaksud agar P mengantarkannya ke tempat berbelanja yang ada memberikan discount atau bisa ditawar. Kalimat yang diucapkan oleh penutur diakhiri dengan kata ’’…node’’(data 9), mencerminkan karakteristik enryou (menjaga muka) yang dilakukan dengan cara pemenggalan kalimat yang di dalamnya terdapat tujuan implisit dari penutur tetapi tidak melanjutkan kalimatnya. Petutur dengan cepat dapat menangkap maksud dari tuturan tersebut. Hal ini berpedoman pada pemahaman terhadap norma-norma tuturan bahasa Jepang. Penutur (wisatawan) yang bersifat enryou (menjaga muka), tidak menggunakan kata-kata yasui nedan de (dengan harga murah), tetapi menggunakan ungkapan tegoro na nedan de yang secara makna lokusional berupa penyampaian pesan ingin membeli

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 86

oleh-oleh dengan harga miring, yang segera dipahami oleh petutur (Pramuwisata), yaitu membeli dengan harga ada discountnya (bisa ditawar); Tingkah laku yang bersifat enryou ini, ditandai pula dengan pemenggalan tuturan yang memakai kata penghubung ’’…..node’’, mengandung maksud implisit yang memiliki makna perlokusional agar petutur mengantarkan penutur ke tempat berbelanja yang murah.

2.1.3 Karaktersitik Wisatawan Jepang Menjunjung Tinggi Etika dan Kesopanan. Tingkah laku yang mencerminkan etika dan kesopanan diungkapkan melalui tuturan yang berupa pernyataan yang secara tidak langsung mengharapkan (memohon) agar petutur melakukan suatu tindakan. Dalam budaya Jepang memohon orang lain untuk melakukan sesuatu secara langsung dianggap kurang sopan. Hal ini bisa dilihat dari konteks situai tuturan ketika seorang guide (Pramuwisata) berada dalam suatu ruangan bersama wisatawan Jepang.

Konteks Situasi Tutur 6 10. Penutur (Pn) : Kyou wa iya na atsui ne. (Hari ini panas sekali ya). Petutur (Pt) :Hai, doumo ki ga tsukimasende,…(Ya, maaf saya kurang tanggap).

Dalam tuturan di atas selain mempunyai makna lokusional melalui pernyataan dari penutur yang mengungkapkan udara dalam ruangan sangat panas (data 10). Makna ilokusional terlihat ketika terdapat pesan implisit yang ingin disampaikan penutur, sehingga petutur bereaksi untuk menyalakan air conditioner merupakan makna perlokusional. Penutur berasumsi bahwa petutur memahami pesannya dengan melakukan tindakan yang dibutuhkan. Tuturan di atas merepresentasikan pencapaian tujuan secara tidak langsung, sebagai suatu cara untuk menunjukkan kesopanan dan etika. melaui tindak ujar tak langsung. Tindak ujar tidak langsung, dapat dianggap sebagai salah satu cara untuk melakukan tindak ujar langsung. Dalam tindak kesopanan bertutur, seseorang mengutarakan maksudnya tetapi tidak mengucapkan secara langsung dalam tuturannya. Atau dengan kalimat tertentu seseorang menghendaki sesuatu yang sebenarnya tidak tersurat dalam tuturannya. Dengan ambiguitasnya tuturan tersebut di atas, petutur harus bisa memahami apakah ilokusi tersebut mengandung daya perintah untuk melakukan sesuatu atau tidak. Penutur menggunkana strategi yang tidak langsung untuk mencapai tujuannya. Ini merupakana salah satu cara untuk mentaati prinsip kesopanan dalam tuturan bahasa Jepang, sehingga hubungah sosial dapat dipelihara dengan baik.

2.1.4 Karakteristik Wisatawan Jepang Sangat Santun Dalam Tuturan Berbahasa. Rahardi (2005:69-70), menyebutkan bahwa kesantunan pemakaian tuturan oleh P terhadap WJ juga berkaitan dengan norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat tuturnya. Norma kesantunan pemakaian bahasa Jepang dibedakan menjadi: (a) tuturan dengan pemakaian bentuk tuturan biasa (futsuugo); (b) tuturan dengan menggunakan tuturan bahasa sopan (teineigo); (c) tuturan dengan menggunakan bahasa halus (keigo). Tuturan bahasa halus (keigo) dibedakan lagi menjadi dua yaitu (a) tuturan dengan menggunakan bahasa hormat merendah (kenjougo); dan (b) tuturan dengan menggunakan bahasa hormat meninggikan yaitu menghormat dengan meninggikan status/kedudukan mitra berbicara (sonkeigo).

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 87

Kesantunan tuturan ketika pramuwisata menjemput wisatawan Jepang di air port bisa dilihat dari tuturan berikut ini:

Konteks Situasi Tutur 7 (Sumber: JTB Indonesia, 2002: 1-3) 11. Penutur (Pn) :Irasshaimase. (Selamat datang) Petutur (Pt) : Arigatou Gozaimasu. Onegaishimasu. (Terimakasih. Tolong bantuan anda selama saya ada di Bali) 12. Penutur (Pn) : O-namae to o-tomari no hoteru wo onegaishimasu. (Tolong nama dan tempat anda menginap) 13. Penutur (Pn):Watakushi wa JTB gaido no Arya to moushimasu. Douzo yoroshiku onegai itashimasu.(Nama saya Arya dari guide JTB. Senang bertemu dengan anda). 14. Penutur (Pt) : Kore kara kuruma ga yobimasu node, shibaraku kechira de o-machi kudasai (Karena sekarang saya akan panggil mobilnya, tolong anda tunggu di sini sebentar). 15. Penutur (Pn) : O-matase itashimashita. Kuruma ga mairimasu node, wasuremono naiyou douzo kuruma ni o-nori kudasai. (Maaf saya telah membuat anda menunggu. Karena mobilnya sudah datang, tolong hati-hati supaya tidak ada barang yang ketinggalan)

Berdasarkan skala kesantunan Levinson (1987), maka kesantunan tuturan yang terjadi antara P dengan WJ ditentukan oleh faktor-faktor seperti: (a) peringkat status sosial antara penutur pramuwisata (P) dengan wisatawan Jepang (WJ) atau sering disebut peringkat kekuasaan (power rating) yang didasarkan atas hubungan asimetrik antara P sebagai pihak yang memberikan pelayanan dengan WJ sebagai pihak yang diberikan pelayanan. Perbedaan status atau kedudukan antara P dengan WJ ketika terjadinya tuturan bisa dilihat dari skala kesantunan menurut Leech (1993), yaitu dilihat dari authority scale atau skala keotoritasan yaitu menunjuk kepada hubungan status sosial antar penutur dengan mitra tutur. Semakin jauh jarak peringkat sosial (social rank) yaitu P sebagai pelayan dengan WJ diberikan pelayanan maka tuturan yang digunakan oleh P akan semakin santun. Jika tuturan di atas di analisis dengan menggunakan konsep skala kesantunan berdasarkan skala peringkat kekuasaan (power rating), skala otoritas (authority scale) yang mengacu pada skala jarak peringkat sosial (social rank) dan aturan norma kesantunan yang berlaku dalam masyarakat Jepang, maka P sebagai pihak yang memberikan pelayanan memiliki status yang lebih rendah jika dibandingkan dengan wisatawan Jepang (WJ) sebagai orang yang diberikan pelayanan memiliki peringkat/status sosial yang lebih tinggi. Sesuai dengan kesantunan dalam tuturan bahasa Jepang, P sebagai orang yang memiliki peringkat sosial yang lebih rendah harus menggunakan tuturan halus meninggikan kepada WJ dalam memberikan pelayanan, sebaliknya P sendiri menggunakan bahasa halus merendah sebagai orang yang memberikan pelayanan, seperti diperlihatkan dalam analisis leksikal dan sintaksis dari tuturan tersebut, di bawah ini. Pada tuturan di atas (data 11) P menggunakan tuturan dengan bahasa halus meninggikan kedudukan mitra tutur untuk menyambut wisatawan Jepang ketika baru tiba di airport dengan mengucapkan Irasshaimase (selamat datang). Irasshaimase adalah tuturan bahasa halus dari verba kuru (datang) yang meninggikan status/kedudukan WJ. Verba kuru secara leksikal memiliki pilihan kosa kata lain yaitu kimasu (tuturan sopan) dan orimasu (tuturan halus merendah). Irasshaimase memiliki

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 88

makna lokusi yang sama dengan makna ilokusi yaitu selamat datang. Secara psikologis tuturan ini menimbulkan makna parlokusi yaitu perasaan dihormati, dihargai ketika baru tiba di bandara. Secara pragmatik Irasshaimase sebagai tuturan yang sifatnya basa-basi bermakna kesopanan dalam konteks situasi tutur ketika menyambut WJ di bandara. Pada tuturan (data 12) di atas, P menggunakan tuturan halus meninggikan mitra tutur (WJ) yang dibentuk secara sintaksis dari nomina hormat yaitu menambahkan awalan o pada nomina (kata benda), seperti o-namae to o-tomari no tokoro wo onegai shimasu (tolong nama dan tempat anda menginap) sebagai makna lokusi; sedangkan makna ilokusinya adalah WJ mengatakan atau memberitahu namanya dan tempat atau hotel ia menginap. Pada data tuturan (13) P memperkenalkan diri yang secara pragmatik bermakna kesopanan ketika pertama kali bertemu dengan WJ dengan menyebutkan identitas diri. Tuturan ini memiliki makna lokusi dan ilokusi yang sama; makna parlokusinya adalah WJ menjadi tahu nama P yang akan mengantar mereka selama berwisata di Bali. P menggunakan tuturan bahasa halus merendah (kenjougo), sesuai dengan skala kesantunan menurut Leech (1993) yaitu adanya jarak peringkat sosial (social rank) antara P dan WJ; juga sesuai dengan skla kesantunan menurut Brown dan Levinson (1987) yaitu adanya hubungan asimetris antara P dan WJ karena adanya perbedaan peringkat kekuasaan (power rating). Semakin jauh jarak peringkat sosial dan peringkat kekuasaan antara penutur dan mitra tutur, maka akan semakin santunlah tuturan tersebut. P menggunakan tuturan bahasa halus merendah, seperti Arya to moushimasu. ~to moushimasu (saya bernama….) secara leksikal bermakna disebut atau dinamai sebagai bentuk tuturan merendah dari verba iu. Pada data (14) P menggunakan tuturan halus meninggikan yang secara sintaksis menggunakan pola o+~masu kudasai pada kalimat ’’shibaraku kochira de o-machi kudasai’’. Tuturan ini mempunyai makna lokusi dan ilokusi yang sama yang meminta WJ untuk menunggu sebentar. Modus tuturannya adalah permintaan/permohonan secara halus dengan konteks situasi tuituran di bandara. Demikian juga pada data (15) ’’kuruma ni o-nori kudasai’’ juga memakai modus permintaan/permohonan yang mempunyai makna lokusi dan ilokusi yang sama yaitu meminta WJ untuk naik ke mobil. Pada data (15) ’’O-matase itashimashita’’. P memakai tuturan bahas halus merendah (kenjougo) yang secara sintaksis dibentuk dari pola kalimat o + ~masu +shimasu/itashimasu. ’’Matase’’ berasal dari kata matsu (menunggu) dijadikan bentuk kausatif (shieki) menjadi ’’mataseru’’ yang artinya membuat menunggu, sehingga o- matase itashimashita mempunyai makna lokusi dan ilokusi yang sama yaitu ’’Maaf saya telah membuat anda menunggu’’ yang diucapkan oleh P kepada WJ ketika diminta menunggu mobil yang akan menjemput. Demikian juga pada tuturan ’’Kuruma ga mairimasu node….…’’data (15), P menggunakan verba halus merendah (kenjougo) ’’mairimasu’’ berasal dari verba ’’kuru’’ yang mempunyai arti leksikal datang. Verba halus merendah tidak hanya dipakai untuk mengungkapkan atau menuturkan aktifitas yang dilakukan oleh pelaku (agent) dari suatu perbuatan; tetapi juga untuk mengungkapkan benda atau berbagai hal yang dimiliki oleh P termasuk perusahaan tempat ia bekerja yang dikatagorikan sebagai uchi no mono (in group). Oleh karena itu P menggunakan tuturan halus merendah dalam menuturkan aktifitas datangnya mobil (milik perusahaan) yang akan menjemput WJ. Dengan demikian dalam tuturan ’’O- matase itashimashita. Kuruma ga mairimashita node, wasuremono nai you douzo kuruma ni o-nori kudasai mempunyai makna lokusi meminta maaf telah membuat WJ

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 89

menunggu; dan WJ supaya berhati-hati agar tidak ada barang-barang mereka yang ketinggalan. Makna parlokusinya adalah memberikan pengaruh secara psikologis kepada WJ supaya selalu berhati-hati sebelum naik ke mobil untuk menghitung barang- barang mereka supaya tidak ada yang ketinggalan/hilang.

2.1.5 Karakteristik Wisatawan Jepang Disiplin dan Perfeksionis. Kesan disiplin dan perfeksionis ini diperoleh melalui interview atau wawancara yang dilakukan di lapangan terhadap beberapa P yang menghandle WJ. Kedisiplinan ini meliputi: kedisiplinan menghargai waktu, mentaati program/schedule perjalanan, disiplin menjaga kebersihan lingkungan, disiplin di objek-objek wisata, hotel dan bandara dan lain-lain. Kedisiplinan ini bisa dilihat dari tuturan P dengan WJ selama mereka berlibur di Bali. Situasi dan konteks tuturan berikut berlangsung ketika P mengantarkan WJ berkunjung ke objek wisata Hutan Mangrove yang ada di wilayah Suwung Kauh Desa Pemogan. Ketika WJ menyaksikan bayak sekali terdapat sampah-sampah yang menyumbat aliran sungai Tukad Badung yang bermuara di kawasan hutan mangrove tersebut.

Konteks Situasi Tutur 8 16. Penutur (Pn) : Kitanai desu ne. Kawa no mizu wa yogorete iru shi, sore ni gomi ga suiro wo fusaide iru. Haieki ni yotte kasen ya umi ga osensare, sakana ni suisen ga chikuseki sareta. (Jorok ya. Air sungai sangat kotor, lagi pula sampah-sampah menyumbat aliran sungai. Limbah cair mengalir ke sungai dan laut, menyebabkan ikan-ikan mengandung racun) 17. Penutur (Pn) : Ashita no puroguramu wa ichinichijuu kankou de, Busakii jiin wo kenbutsu shitain desu ga,…..Jaa, robii de 8 ji han ni mattemasu. (Program besok adalah tamasya seharian mengunjungi Pura Besakih, tetapi……., Kalau begitu saya tunggu di lobby jam 8.30)

Dari data (16) dan (17) WJ menggunakan TT langsung literal yang dituturkan dengan modus dan makna yang sama dengan maksud tuturan. Selain memiliki modus tuturan yang sama dengan maksud penuturnya, TT langsung literal mempunyai muatan makna yang sama dengan muatan makna kata-kata yang menyusun tuturan tersebut. Dalam hal ini WJ ingin mengemukakan pendapatnya tentang kenyataan yang disaksikan yaitu banyaknya sampah yang menyumbat aliran sungai dan air sungai yang berwarna sebagai akibat dari pembuangan limbah sembarangan ke sungai Menurut Wijana (1996:18) menyatakan bahwa tindak ilokusional merupakan tuturan yang berfungsi, baik untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu maupun untuk melakukan sesuatu. Pada tuturan (16), WJ bertutur dengan maksud untuk mengajak supaya memelihara kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah dan limbah ke sungai Dilihat dari modus dan makna tuturan (16) di atas, secara implisit menjelaskan tentang karaktersitik wisatawan Jepang yang sangat disiplin untuk menjaga dan memelihara lingkungan alam sekitarnya. Data tuturan (17), WJ bertutur dengan menggunakan jenis TT langsung literal yang dituturkan dengan modus yang sama dengan maksud tuturan. Dalam hal ini WJ menegaskan program tour yang sudah dibeli yaitu fullday tour seharian ke Pura Besakih. Dilihat dari tuturan tersebut memiliki makna perlokusional yang berupa dampak yang timbul akibat dari sebuah tuturan. Ini berarti makna perlokusional

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 90

dampak atau akibat yang diharapkan dari makna tindak tutur ilokusional. Daya atau pengaruh TT perlokusinal dapat bersifat sengaja atau tidak disengaja tergantung oleh cara penutur bertutur. Dampak atau akibat dari tindak ilokusional tuturan (17) adalah Wisatawan Jepang sangat menghargai waktu. Mereka selalu tepat waktu dalam setiap program perjalanan yang sudah dipraktekkan. Makna perlokusionalnya adalah pengaruh atau efek psikologis terhadap P adalah setiap menjemput WJ harus tepat waktu sesuai dengan permintaan WJ atau schedule-nya. Hal ini mengindikasikan bahwa WJ sangat disiplin dalam memanfaatkan waktu libur yang sangat singkat di Bali dengan jadwal tour yang sangat padat dan perfeksionis.

2.1.6 Karakteristik yang Kurang Ramah dan Tidak Fleksibel. Kesan kurang ramah dan tidak fleksibel ini terungkap dari tindak tutur (speech action) WJ selama diantar oleh P ketika berwisata di Bali. Karakteristik yang kurang fleksibel ini ditunjukkan ketika P mengantar WJ berbelanja di Matahari Depatment Store. Sudah menjadi kebiasaan dalam sistem pembayaran uang kembalian (otsuri) jumlah nominal seratus sampai sembilan ratusan dengan menggunakan permen (kyandii). Kebiasaan pembayaran uang kembalian dengan menggunakan permen ini, tidak dikenal dalam kebiasaan berbelanja di Jepang, sehingga WJ sering tidak puas ataupun komplin. Tuturan ini bisa dilihat dalam tuturan sebagai berikut.

Konteks Situasi Tutur 9. 18. Penutur (Pn) : Dame da….., doshite komakai otsuri wa kyandii de torikaeshita no? Hen da ne. (Jangan….Mengapa kembalian uang recehannya ditukar dengan permen. Aneh ya.) Penutur (Pn) : Ohayou gozaimasu.おはよう ございます)(Selamat pagi). 19. Petutur (Pt) : Eeeeeee…..Dare kashira? (Eeeee…Siapa ya?).

Data tuturan (18) dan (19) di atas menggunakan modus TT Langsung Tidak Literal. TT langsung tidak lieteral merupakan TT yang memuat modus tuturan yang sesuai dengan susunan sintaksis tuturannya, tetapi kata-kata yang menyusunnya tuturan tersebut tidak memiliki kesesuaian semantik dengan maksud penuturnya. WJ bertutur secara langsung mengatakan ’’Dame da’’ Doushite komakai otsuri ga kyandii ni torikaesu no? (Janganlah! Mengapa kembalian recehan saya ditukar dengan permen? ), mengungkapkan kekecewaan, kekesalan, kejengkelan. Maksudnya WJ ingin mengungkapkan kalau berbelanja di negaranya seberapapun kembalian yang berupa uang recehan harus dikembalikan dengan uang recehan pula. Tidak boleh ditukar dengan barang seperti permen. Hal ini menunjukkan bahwa berbelanja di Indonesia tidak ada perlindungan terhadap hak-hak konsumen; Apakah seandainya pembeli kekurangan uang ketika berbelanja di Matahari Department Store bisa membayar dengan permen? Inilah pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh seorang WJ terhadap P yang mengantarkannya. Dilihat dari tuturan tersebut memiliki makna perlokusional yang berupa dampak yang timbul akibat dari sebuah tuturan. Ini berarti makna perlokusional dampak atau akibat yang diharapkan dari makna tindak tutur ilokusional. Daya atau pengaruh TT perlokusinal dapat bersifat sengaja atau tidak disengaja tergantung oleh cara oenutur bertutur. Dampak atau akibat dari tindak ilokusional tuturan (18) di atas, adalah P ketika mengajak WJ berbelanja harus memberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 91

berbelanja di Super Market di Indonesia. Karena ada kebiasaan untuk mengembalikan uang kembalian recehan ditukar dengan permen; Dengan demikian tidak menimbulkan kekecewaan atau komplin bagi WJ. Hal ini menunjukkan bahwa WJ memiliki karakter yang kurang fleksibel untuk menerima sesuatu kenyataan yang menurut orang Indonesia dianggap remeh atau masalah kecil. Data tuturan (19) menggunakan modus TT langsung. TT langsung terjadi apabila tuturan yang membangun tuturan tersebut memiliki kesesuaian dengan modus tuturan, seperti modus introgatif untuk bertanya, deklaratif untuk memberitahukan, imperatif untuk memerintah. Data tuturan (19) yang bermodus introgatif (bertanya) yaitu ’’Eeee…dare kahira? (Siapa gerangan ya?). Jika dilihat dari jenis tindak tutur data (19) termasuk pada TT tidak langsung literal. TT tutur tidak langsung literal merupakan tindak tutur yang modus tuturannya tidak sesuai dengan maksud penuturnya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penuturnya. Pada tuturan (19) ketika ada Penutur (Pn) menyapa WJ dengan salam ’’Ohayou Gozaimasu’’ (Selamat pagi); tetapi wisatawan Jepang tidak menjawab. Malahan mereka diam tertegun sejenak sambil mengucapkan kata-kata tuturan ’’Eeee…dare kashira? (Siapa gerangan orang yang menyapa saya). Seolah-olah bertanya dalam dirinya sendiri. Pertanyaan yang selanjutnya muncul dalam benak WJ itu sendiri adalah ’’Apakah dia kenal saya’’ atau ’’Apakah saya pernah bertemu dengan dia?. Di Jepang orang jarang bertegur sapa atau mengucapkan basa-basi terhadap orang yang tidak dikenal. Dengan demikian tuturan (19) di atas menimbulkan makna perlokusinal yaitu efek atau implikasi dari makna ilokusional berupa suatu stereotype bahwa WJ bersifat kurang ramah, tidak fleksibel, individualistis, jaga jarak, tertutup (introvert). Kehidupan di Jepang sangat begitu bersifat individualis termasuk orang Jepang yang sangat bersifat tertutup dan manusia pendiam. Mereka lebih banyak menunjukkan sesuatu dengan cara berbuat bukan dengan kata-kata (ungkapan verbal). Ada banyak ahli psikologi yang meneliti tentang kepribadian orang Jepang, seperti Earle Okumura menggunakan dua lingkaran konsentris variabel untuk menerangkan perbedaan dasar dalam kejiwaan dan kepribadian wisatawan Jepang dan wisatawan Eropa.

Gambar 3.6.1 Perbedaan dasar Kepribadian Wisatawan Jepang dan Wisatawan Eropa.

Wisatawan Eropa Wisatawan Jepang

Sumber :(Boye De Mente, 1986:20)

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 92

Wisatawan Eropa seperti terlihat dalam gambar di atas, memiliki inti dalam (kejiwaan) dengan kulit luar yang mudah ditembus. Oleh karena itu mudah mengadakan pendekatan terhadap wisatawan Eropa, serta akan menjadi akrab dalam waktu relatif singkat. Wisatawan Eropa dapat melakukan amae kepada setiap orang, walaupun barusaja berkenalan. Namun inti dalam (kejiwaan) yang keras serta besar pada wisatawan Eropa, tidak memungkinkan seseorang membuka dan mengeluarkan semua beban kejiwaannya. Betapapun dekatnya hubungan wisatawan Eropa, bahkan suami-istri, hanya sedikit yang dapat menyatakan bahwa mereka dapat memahami satu sama lainnya. Perbedaan denngan wisatawan Jepang, cenderung untuk bersikap skeptis bahkan mengacuhkan orang lain, sebelum mereka dapat menjalin hubungan amae. Seperti dilihat dalam gambar di atas, wisatawan Jepang memiliki inti dalam (kejiwaan) yang mudah pecah, dengan dua rintangan luar, yang secara anatomi kejiwaan untuk menghindari orang yang belum memiliki hubungan amae dengannya. Rintangan yang pertama tebal dan kuat, dan rintangan yang kedua juga tebal dan terpecah-pecah, menggambarkan bahwa sangat sulit untuk menumbuhkan amae pada wisatawan Jepang, dan diperlukan waktu untuk menimbulkan perasaan amae terhadap orang lain yang baru dikenalnya. Karena itu wisatawan Jepang akan cendrung menjaga jarak (enryoo) dengan orang yang belum dikenal. Manurut Takeo Doi, apabila wisatawan Jepang tidak dapat menunjukkan amae-nya yang merupakan unsur utama bagi perkembangan kepercayaan serta keyakinan terhadap orang lain, akibatnya akan timbul rasa uramu (dendam), (Boye De Mente, 1986: 18).

III. SIMPULAN DAN SARAN 3.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap wisatawan Jepang yang berlibur ke Bali maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Prilaku berbahasa (speech behaviour) wisatawan Jepang ketika berlibur di Bali mencerminkan karakteristik orang Jepang dilihat dari konteks situasi tutur, semua tuturan wisatawan Jepang di Bali memiliki jenis, makna dan fungsi. Komponen makna tindak tutur wisatawan Jepang di Bali adalah lokusional, ilokusional dan perlokusional. Makna lokusional muncul pada jenis tindak tutur langsung. Jenis tindak tutur langsung mempunyai fungsi ekspresif tentang liburan, sapaan (kesantunan) dan keheranan. Selain itu, makna ilokusional dan perlokusional juga ditemukan dalam tuturan wisatawan Jepang di Bali. Kedua komponen makna ini, muncul pada tuturan wisatawan Jepang secara tidak langsung. Tindak tutur tidak langsung dipakai oleh wisatawan Jepang (penutur) untuk memperhalus ujaran atau membuat pembicaraan lebih sopan. 2. Prilaku berbahasa memunculkan stereotype tentang orang Jepang yang bersifat ambiguity (aimai), enryo (diffident), menjunjung tinggi etika (sahou) dan kesopanan ( teinei), santun dalam tuturan (reigitadashii), disiplin (kiritsutadashii) dan perfeksionis (kanzenshugisha), kurang ramah (unsociable/fushakoutekina) dan tidak fleksibel (fuchouseina). 3. Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, tuturan wisatawan Jepang tidak bermakna ambiguity; karena tuturan tersebut memiliki makna yang sama dengan kata-kata yang menyusun tuturan tersebut. Wisatawan Jepang bertutur dengan mengatakan hal yang sesungguhnya yang disebut dengan honne (real intention).

Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 93

3.2 Saran Penelitian ini merupakan studi pragmatik dikaitkan dengan karakteristik wisatawan Jepang ketika berlibur di Bali. Diharapkan agar dengan memahami karakteristik wisatawan Jepang, pramuwisata dapat memberikan pelayanan yang lebih baik, sesui dengan harapan (ekspektasi) wisatawan. Selain itu, studi ini diharapkan dapat memberikan motivasi untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut terhadap tingkah laku wisatawan Jepang (tourist behaviour), dilihat dari latar belakang sosial, budaya dan psikologi.

KEPUSTAKAAN

Austin. 1960. How To Do Thing With Words. New York: Doubleday. Bertens. K.1980. Filsafat Barat Dalam Abad XX. Jakarta PT Gramedia. JTB Indoneshia. 2002. Bari Kankou Annai Tekisuto Nihongo Gaidoyou: Teks Informasi Pariwisata Bali Untuk Guide Jepang. Jakarta: PT JTB Indonesia. Lakoff, G. 1992. The Contemporary Theory of Metaphor. Cambridge: Cambridge University Press. Leech, Geoffrey.1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terjemahan M.D.D. Oka. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Levinson, C. Stephen. 1989. Pragmatic. Cambridge: Cambridge University Press. Mente, Boye De. 1986. Bisnis Cara Jepang. Diterjemahkan Candra Hasan. The Japanese Way of Doing Business. Jakarta: PT Pantja Simpati. Mizutani, Osamu (et.al). 1987. How Tobe Polite In Japanese. Tokyo: The Japan Time. Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ______. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Searle, JR. 1969. Speech Act: An Essay in The Philosophy of Language. Cambridge: Cambridge University Press. Stears, L.1994. Key Features of Tourism System for Tourism Management Studies. University of Technology, Sydney. Suyitno. 2001. Perencanaan Wisata: Tour Planning. (Yogyakarta: 2001). Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta. Andi Offset.