Bumi Cinta Karya Habiburrahman
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
E-Book by Ratu-buku.blogspot.com 1. Tiba di Moskwa Gumpalan tipis lembut bagai kapas nan putih itu terus turun perlahan lalu menempel di aspal, re- rumputan, tanah, atap-atap gedung dan menye- puh kota Moskwa menjadi serba putih. Kota katedral itu seolah diselimuti jubah ihram orang- orang suci. Dalam suasana serba putih, Moskwa seolah memamerkan keindahan sihirnya di mu- sim dingin. Jalan-jalan yang putih. Katedral-katedral dan bangunan berbentuk kastil yang disepuh salju. Pucuk-pucuk cemara araukaria yang bertahtakan butir-butir putih. Taman-taman yang menjelma hamparan permadani serba putih. Air mancur yang membeku menciptakan keindahan ukiran kristal. Dan, pesona jelita muka nonik-nonik muda Rusia dalam balutan rapat palto merah muda tebal berkelas. Semua berpadu menjadi si- hir kota Moskwa di musim dingin. Sihir musim dingin kota Moskwa adalah sihir impian surgawi dalam negeri-negeri dongeng. 7/994 Matahari samasekali tidak ada tanda-tanda me- nampakkan sinarnya. Pohon-pohon bereozka di kanan-kiri jalan sesekali bergoyang dihempas angin. Pohon-pohort bereozka itu nampak begitu pasrah kepada takdir Tuhan seru sekalian alam. Ia meranggas diam dalam dingin yang mencekam. Daun-daunnya telah tanggal satu per satu sejak musim dingin mulai memakai jubah putihnya. Angin dingin terus berhembus perlahan dari kutub utara, menambah suhu udara semakin dingin membekukan apa saja. Salju beterbangan dan melayang turun perlahan. Pohon-pohon pinus di hutan-hutan ke- cil di pinggir bandara Sheremetyevo menggigil kedinginan. Suhu minus empat belas derajat celcius. Orang-orang menutupi tubuhnya dengan pakaian tebal serapat-rapatnya. Rumah-rumah dan gedung-gedung menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat. Tak boleh ada sedikit pun angin dingin yang masuk. Sebab, membiarkan angin dingin leluasa memasuki rumah dan gedung, kadangkala bisa mengundang aroma 8/994 jahat kematian. Alat-alat pemanas ruangan dinyalakan sepanjang siang dan malam, demi menghangatkan badan. Salju yang turun perlahan dan hawa dingin yang menggigit tulang, samasekali tidak menghalangi arus lalu lalang orang-orang di bandara Sheremetyevo. Tiga buah taksi datang menurunkan penumpang. Dengan tergesa-gesa setelah membayar ongkos dan menurunkan koper bawaan, para penumpang itu masuk ke dalam bandara. Dua shuttle bus "marshrutka" nampak menaikkan penumpang yang baru keluar dari bandara. Para sopir carteran berebutan pen- umpang. Seorang lelaki setengah baya, yang punggungnya sedikit bongkok berwajah khas Rusia, dengan hidung mancung sedikit bengkok ke kiri memandangi orang-orang yang keluar bandara dengan wajah dingin. Tangan kanannya memainkan kunci mobil, sementara tangan kir- inya ia masukkan ke saku palto-nya (Mantel 9/994 musim dingin yang sangat tebal) yang tebal dan kusam. Lelaki berhidung bengkok ke kiri itu terus me- mainkan kunci mobilnya. Kedua kakinya ia gerak-gerakkan mengusir dingin. Tiba-tiba kedua kakinya berhenti. Mulutnya menyungging seny- um. Kedua matanya begitu berbinar menatap dua anak muda berwajah asing; wajah Asia Tenggara. Ia sangat hafal wajah-wajah bangsa-bangsa yang keluar dari bandara Sheremetyevo. "Yas, kamu membuat aku pangkling. Sudah sembilan tahun kita tidak bertemu. Kamu sekarang jauh lebih gagah dan lebih ganteng dari Ayyas saat SMP dulu." Kata pemuda berkaca mata. "Ah yang benar aja Dev?" Sahut Ayyas. "Sungguh. Dulu kamu itu paling kecil dan pal- ing krempeng di kelas. Sekarang jadi tinggi dan lumayan gagah. Tidak menyangka. Apa karena kamu sering makan daging unta waktu kuliah di Arab sana?" 10/994 "Ah Devid...Devid, caramu bicara kok tidak berubah, segar dan masih suka guyon. Lha kamu sendiri ini tambah gemuk dan putih. Apa karena suka makan daging Beruang Putih selama kuliah di sini?" "Beruangnya Mbahmu!" "Sudah Dev, cepetan yuk, jangan bercanda terus. Masya Allah, dingin sekali Dev. Ini aku sudah rangkap empat lho. Plus jaket tebal yang kubeli di New Delhi. Wuih ternyata masih tem- bus. Dev, ayo cepatlah, mana taksi atau busnya! Bisa mati membeku aku kalau agak lama di sini." Ayyas menggigil dalam jaket hijau tuanya. Uap hangat keluar dari mulutnya saat bicara. Ia ken- cangkan kuncian sedekap kedua tangan di dadanya. "Kita bisa naik bus, metro, atau marshrutka. Tapi kita naik taksi carteran saja ya. Biar tidak repot angkat barang." Jawab Devid yang nampak lebih tenang dan berpengalaman, sambil mem- benarkan letak kaca matanya. Ia mengenakan 11/994 palto hitam dan perlengkapan musim dingin sem- purna layaknya orang Rusia pada umumnya. "Boleh lah. Yang penting cepat sampai aparte- men. Uh, dinginnya masya AllahV Laki-laki berhidung bengkok ke kiri mendekat. Dengan muka dingin ia menyapa dua pemuda itu dengan bahasa Rusia. "Dabro dentl Vi otkuda?" (Selamat siang! Kalian dari mana?) Devid geleng-geleng kepala dan memasang muka tidak mengerti. "Dev, tidak usah main-mainlah. Jawablah, ma- sak kamu tidak bisa bahasa Rusia? Dingin nih!" Protes pemuda berjaket hijau tua. "Tenang Yas. Aku mau pura-pura tidak bisa bahasa Rusia. Supaya engkau tahu, bagaimana si Rusia tua ini memperlakukan kita. Dia pasti men- gira kita berdua ini benar-benar makanan em- puknya. Katanya kau mau meneliti sejarah Rusia, ya biar tahu sekalian watak asli masyarakatnya." "Oke, tapi cepat ya, aku sudah mau beku rasanya!" 12/994 "Kholodno? (dingin) Sapa lelaki Rusia lagi. " What? What is kholodno?" Jawab Devid pura-pura tidak tahu. "Kholodno, kholodno..." Kata lelaki Rusia sambil mendekap dadanya dan menggigilkan tu- buhnya. Ia lalu menunjuk-nunjuk pemuda ber- jaket hijau tua lantas berakting menggigil. Kemudian ia menawarkan untuk naik taksinya. Lalu terjadilah dialog dengan bahasa isyarat antara lelaki Rusia berhidung mencong ke kiri itu dengan pemuda berkaca mata. Pemuda berkaca mata lalu mengambil pena dan secarik kertas dari saku paltonya. Ia menulis alamat apartemennya, dan menyerahkannya pada lelaki itu. Meskipun ditulis dengan huruf latin dan tidak dalam huruf Cyrilic Rusia, lelaki itu bisa membaca. "Mmm, Panfilovsky, Smolenskaya..." Gumam lelaki Rusia itu seraya mengambil pena dari saku paltonya. Ia menulis angka dua ratus dolar di atas secarik kertas itu dan memperlihatkan pada pemuda berkaca mata. Melihat angka yang 13/994 tertulis seketika pemuda itu menggelengkan ke- pala tidak setuju. "Gila orang Rusia ini Yas! Dia sangat yakin kita bisa dibodohin dan dibantainya dengan mudah. Masa sekali jalan dari Sheremetyevo ke Smolenskaya dua ratus dolar. Padahal kalau naik bis paling 25 rubel. Terlalu jauh bedanya." "Ya sudah Dev, kita naik bis saja, yang murah." "Tidak Yas. Kalau naik bis belum sampai apartemen nanti kau sudah membeku duluan. Bisnya itu berhenti di mana saja, berkali-kali. Bisa dua jam kita di jalan. Apalagi kalau nanti macet." "Terus bagaimana? Aduh semakin dingin Dev." "Aku tawar sekali ya. Jika dia tidak mau kita cari taksi lain." Devid minta persetujuan, Ayyas mengangguk. Devid lalu menulis angka empat puluh dolar dan ia tunjukkan pada lelaki berhidung bengkok ke kiri itu. Lelaki itu menggeleng. Ia lalu menulis 14/994 angka delapan puluh. Pemuda agak gemuk berkaca mata itu menggeleng seraya melangkahkan kaki ke arah kerumunan sopir tak- si yang lain. Segera lelaki Rusia itu meraih pundaknya dan menulis angka lima puluh dolar. Devid kembali menggeleng dan mengibarkan tangan 16/994 lelaki Rusia berhidung bengkok ke kiri itu. Tangannya meraih tas koper dan menyeretnya dengan langkah pasti. Ayyas bergegas mengikuti. Baru lima langkah, Rusia berhidung bengkok ke kiri itu mengejar dan kembali memegang pundaknya. Dengan suara agak parau ia mengatakan, "Oke!" Lelaki Rusia setengah baya itu dengan wajah dingin tanpa senyum memberi isyarat dengan tangan kanannya agar Devid dan Ayyas men- gikutinya. Lelaki berhidung bengkok ke kiri itu berjalan sambil memain-mainkan kunci mo- bilnya. Ia samasekali tidak memedulikan Devid dan Ayyas yang sedang menyeret koper dan barang-barang bawaan. Devid dan Ayyas men- gikuti di belakangnya. Lelaki Rusia itu membuka mobilnya. Ayyas kaget dan tertegun sesaat. Mobil merah tua yang sangat kusam. "Dev, mobilnya rongsokan begitu!" Protes Ayyas. 17/994 "Kita naik saja. Kalau kau tidak naik taksi yang seperti ini belum benar-benar mengenal Moskwa!" Jawab Devid mantap. "Kalau mesinnya ngadat di jalan gimana?" "Ya berdoa saja semoga tidak." Sopir berhidung bengkok ke kiri itu membuka bagasi dan memberi isyarat agar Devid dan Ayy- as memasukkan koper dan barang-barang bawaannya ke bagasi. Ia sendiri hanya melihat, tak ada basa-basi membantu menaikkan koper. Setelah semua barang masuk, ia membanting tu- tup bagasinya dengan keras. Ia langsung masuk dan menyalakan mesin. Beberapa kali dicoba tidak nyala, kali yang ke empat barulah menyala. Mobil kusam merah tua itu meraung-raung. Devid bergegas masuk. Ayyas agak ragu, tapi Devid menarik lengannya untuk segera masuk. Mereka duduk di kursi belakang. Mobil merah tua buatan Jepang itu bergerak meninggalkan bandara Sheremetyevo. Salju tipis masih turun, tapi jarang-jarang. Sopir tua itu mengarahkan mobil merah tuanya melewati Leningradskoye 18/994 Shosse. Memasuki jembatan jalan tol MKAD, 2x2x1 Moskovsky Koltso Automomobilny Daroga, salju sudah tidak turun lagi. Tapi di mana-mana pemandangan putih terhampar. "Dablo Pozhalovath v Moskve!" Seru sopir Rusia setengah baya itu setengah bergumam dengan wajah tetap dingin memandang ke depan. "Apa katanya?" Tanya Ayyas pada Devid. "Lho katanya kamu sudah bisa bahasa Rusia." "Cuma dikit-dikit. Terus si Rusia tua ini ngomongnya kayak bergumam sih, jadi tidak jelas." "Ya dia cuma mengatakan selamat datang di Rusia." "O." Mobil kusam merah tua itu