<<

DESAKRALISASI BAHASA ARAB: Studi atas Pemikiran Kebahasaan Adonis

Oleh: M. Abd. Rahman NIM: 11.2.00.0.06.01.0116

KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB SEKOLAH PASCA SARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M Abstrak

Tesis ini menunjukkan bahwa modernisasi sastra meniscayakan fundasionalisasi konsep bahasa. Kesimpulan ini bertolak belakang dengan kecenderungan Adonis yang mendasarkan revolusi sastranya pada desakralisasi sastra (yang diasumsikan mengalami kooptasi oleh bahasa agama/Alquran) dan penolakan atas tradisi kesusastraan Arab klasik. Kesimpulan ini juga tidak berarti bahwa penulis sepakat tentang ada dan perlunya sakralisasi sastra atas nama konservasi (bahasa) agama dan sastra klasik. Tesis ini mendukung pendapat Muh}ammad ‘Abiri> yang melihat problem stagnasi bahasa dan sastra Arab secara lebih luas, dalam bingkai konstruksi bahasa Arab itu sendiri, baik secara material, perumusan kaidah maupun formasi nalar kesusastraannya. Mengacu pada perspektif ini, penulis melihat tidak adanya konflik antara bahasa Arab dan bahasa Alquran seperti disinyalir Adonis, dan mencoba merumuskan pembaruan sastra dari bangunan konstruksi bahasa itu sendiri, bukan dengan menolaknya. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif- analitis. Sebagai penelitian kepustakaan, sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua jenis, sumber data primer, yaitu karya Adonis yang berjudul al- Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab yang terdiri dari 4 jilid, al-S}ufi>yah wa al-Suryaliyah, al-Nas}s}} al-Qur’a>ni> wa Aq al-Kita>bah, Agha>ni Mihyar al-Dimashqi> wa Qas}a>’id Ukhra>, Kita>b al- Tah}awwulat wa al-Hijrah fi Aqa>lim al-Nahar wa al-Layl (S}iyaghah Nih}a’i>yah) ; dan sumber data sekunder, mencakup rujukan-rujukan lain yang ditulis oleh pakar lain tentang 1) relasi bahasa dan pemikiran, 2) relasi bahasa Arab dengan Alquran, 3) sejarah yang berkaitan dengan Adonis, 4) juga data-data yang diperlukan dengan analisis dan perspektif metodologis. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitis. Penelitian ini berupaya mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan data-data tentang konsep kebahasaan Adonis dalam berpuisi yang kemudian menjadikan aliran tersendiri dalam puisi Arab. Kesimpulan tesis ini adalah bahwa temuan dalam penelitian ini tidak menguatkan desakralisasi bahasa dan tidak juga menegaskan butuhnya sakralisasi bahasa, melainkan ingin menjelaskan bahwa relasi bahasa dan agama secara spesifik relasi bahasa Arab dan Alquran tidak bertentangan.

vii

تجريد البحث

إستنتج احثالب أن التحديث يف األدب يقتضى تأصيل مفهوم اللغة . وىذا يرفض ما اقرتحو أدونيس الذي بىن أفكاره اللغوية على دفع "التحديث الديين" ورفض الرتاث األديب اهتاما بوجود القرآن تضييقا دينيا على تطوره. ومن ناحية أخرى ال يوافق احلاجات عن التحديث يف األدب حفاظا دينيا وتراثيا. ىذا البحث مؤكد على رأي حممد عابد اجلابري رؤية عامة على أن اجلمود يف اللغة متأثر بطبيعتها التكوينية، مادية كانت او قواعدية او تكوينيتها األدبية. اساسا على ىذا، رأى الباحث على عدم التعارض بٌن اللغة العربية والقرآن كما قالو أدونيس وبىن التحديث األديب على الرتاث اللغوي نفسو، ال على دفعو. ىذا البحث ىو حبث مكتىب، قسم الباحث املصادر واملراجع إىل نوعٌن مها: املصدر األساسي ىو كتب ألدونيس، منها: الثابت واملتحول: حبث يف اإلتباع واإلبداع عند العرب )4 جملدات(، والصوفية والسوريالية، والنص القرآين وآفاق الكتابة، وأغاين املهيار الدمشقي وقصائد أخرى، وكتاب التحوالت واهلجرة يف أقاليم النهار والليل )صياغة هنائية(. أما املصادر الثنائية ىي كل ما كتب عن عالقة اللغة والفكر، وعالقة اللغة بالقرآن، وعن ترمجة أدونيس وكل ما يتعلق بأمور ميثودولوجية. ىذا البحث حبث حتليلي مبينا ومفسرا على بنية رأي أدونيس اللغوي واألديب، وبالتايل مذىبو يف الرتاث العريب األديب. يلخص البحث بأن فكر رفض التقديس اللغوي من جهة و فكر التقديس نفسو من جهة أخرى مقرتحا بأن العالقة بٌن اللغة والفكر الديين عالقة غًن مضادة.

viii

Abstract

This thesis results in that literature modernization has eradicated the foundationalism of language concept in which this statement contradicts the tendency of Adonis that bases their literature revolution on literature desecration (assumed to be ‘suffering’ from cooptation by Alquran) and rejection to classical . However, the statement doesn’t lead to an understanding that the writer agrees with the existence and necessity of making literature as sacred texts for the sake of religion existence and classical literature. This thesis supports and affirms al-Jabiri’s idea which widely views the issues of language and Arabic literature stagnation in term of their contents, theories, and logical literature formation. From this perspective, the writer doesn’t see any contradiction between Arabic language and Alquran as it is annunciated by the Adonis and he tries to reform the literature from its language construction itself. The writer classifies the data resources into two types, primary data which are obtained from Adonis’ works such as al-Tha>bit wa al- Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab (4 volume) , al- S}ufi>yah wa al-Suryaliyah, al-Nas}s} al-Qur’a>niy wa Aq al-Kita>bah, Agha>ni Mihyar al-Dimashqi> wa Qas}a>’id Ukhra>, Kita>b al-Tah}awwulat wa al-Hijrah fi Aqa>lim al-Nahar wa al-Layl (S}iyaghah Nih}a’i>yah) ; and secondary data including some references composed by some experts on 1) The relation between language and thought, 2) the relation between Arabic language and Alquran, 3) the history of Adonis, and 4) some necessary data supporting the research. The data are analyzed using descriptive-analysis method in this research which aims to describe, analyze, and interpret the data concerning the concept of Adonis’ language in composing poetry which eventually turns them into separated school in Arabic poetry. In the end, the research concludes that this thesis doesn’t affirm language as sacred matter nor reinforce it to be. However, the research is intended to specifically explain the relation between language and religion as well as to clearly justify that there is no contradiction between Arabic language and Alquran.

ix

KATA PENGANTAR

Alhamdullillah, tesis ini bisa diselesaikan meski masih banyak kekurangan di sana sini, yang tidak lain adalah karena keterbatasan penulis. Kalaupun di dalamnya ada nilai lebih, tidak lain adalah mau’nah Allah, petunjuk para kiai dan keterlibatan banyak pihak yang telah membantu penulis selama meneliti dan menulis. Oleh karena itu penulis sangat berterima kasih kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA sebagai promotor yang membimbing dan memberi dukungan kepada penulis, Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Yusuf Rahman, MA yang banyak memberi masukan, serta kepada Prof. Dr. Said Agil H. Al-Munawwar, MA, M. Zuhdi, M. Ed, Ph. D, Prof. Dr. Husni Rahim, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Prof. Dr. Yunasril Ali, MA, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, Dr. Ahmad Dardiri, MA yang memberikan wawasan dan pengalamannya yang kaya selama penulis menjalani studi. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih juga kepada para staf dan karyawan serta penjaga Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, atas kejasamanya selama penullisan karya ini. Selanjutnya, kepada Ayahanda H. Achmad Hanafi dan Hj. Siti Latifah, Penulis persembahkan karya ini walau tak akan pernah sebanding dengan jasa yang telah beliau berdua berikan kepada penulis. Doa, bimbingan dan kasih sayangnya yang tulus serta dorongan agar penulis tetap sehat adalah motivasi terbesar sepanjang hidup penulis. Kakak-kakakku: Rukiyatus Shalihah, Emy Farida Damayanti, Abd. Hamid, dan Adikku Kholifatuz Zuhriyah Alfiyanti, dan Eni Hartati. Penulis haturkan rasa terima kasih tak terhingga untuk para almarhumin, masyayikh PP. Nurul Jadid Paiton dan Secara Khusus KH. Moh. Zuhri Zaini dan KH. Hefni Mahfudz yang membimbing dan menguatkan jiwa penulis saat menghadapi kesulitan. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman (tidak bisa disebut satu-satu karena terlalu banyak) yang telah banyak menghibur dan membantu. Akhirnya, Penulis menyerahkan karya ini kepada segenap pembaca dengan besar harapan akan saran dan kritik atas kekurangan tulisan ini. Semoga karya ini dihitung sebagai amal ibadah untuk penulis dan khususnya untuk orang tua penulis, juga para kiai yang membibing.

Semanggi II, 12 Mei 2014

M. Abd. Rahman

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN 1. Konsonan HURUF ARAB HURUF LATIN Tidak Dilambangkan ا B ب T ت Th ث J ج }H ح Kh خ D د Dh ذ R ر Z ز S س Sh ش {S ص }D ض }T ط }Z ظ ‘ ع Gh غ F ف Q ق K ك L ل M م N ن W‘ و H ه ‘ ء Y ى

2. Vokal Tanda Vokal Huruf Latin Vokal Panjang

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i KATA PENGANTAR...... v ABSTRAK ...... vii DAFTAR ISI ...... xi PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ...... xiii

I. Pendahuluan ...... 1 A. Latar belakang Masalah ...... 1 B. Permasalahan ...... 8 C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...... 9 D. Tujuan Penelitian ...... 14 E. Manfaat Penelitian ...... 14 F. Metodologi Penelitian ...... 14 1. Jenis dan Pendekatan ...... 14 2. Sumber dan Metode Pengumpulan Data ...... 15 3. Metode Analisis Data ...... 15 G. Sistematika Penulisan ...... 15

II. Problematika Kebahasaaraban Alquran ...... 17 A. Teori Kebahasaan Alquran ...... 17 B. Dialektika Alquran dengan Kultur Bahasa Arab ...... 22 C. Diskursus kebahasa araban modern ...... 26 1. Kritik Ideologi dalam Bahasa dan Sastra ...... 30 2. Hermeneutika dan Diskursus Kebahasaan ...... 34

III. Pandangan Adonis Tentang Bahasa Arab ...... 37 A. Dialektika Kemapanan dan Kreativitas dalam Gerakan Kebahasaan ...... 37 B. Basis Kemapanan (Tha>ba>t) dalam Puisi Arab ...... 47 C. Basis Kreativitas atau Perubahan (al-Mutah}awwil) dalam Puisi Arab ...... 53

IV. Sastra Arab dan Alquran: Problem Pembacaan Adonis ...... 63 A. Konstruksi Bahasa Arab dan Politisasi Agama ...... 63 1. Puritanisasi Bahasa: Problem Refrensial ...... 65 2. al-Ta’a>li fi al-Siya>sah: Problem Ideologis ...... 73 B. Min al-Khit}a>bah ila al-Kita>bah: Semangat Eksitensialistik .... 77 1. Kreativitas kontra Agama dan Ideologi ...... 80 2. Dilema Masa Depan Antara Kemerdekaan dan Kebebasan ...... 84 C. Merumuskan Sastra Arab Kontemporer ...... 94

V. Penutup ...... 101 1. Kesimpulan ...... 101 2. Saran ...... 102

DAFTAR PUSTAKA ...... 103 GLOSARIUM ...... 113 INDEKS ...... 115 TENTAN PENULIS ...... 117 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah Islam, wilayah Arab merupakan wilayah yang begitu penting, di sana tempat lahir, berkembang, dan bersemayam agama Islam. Bahkan, Arab sangat identik dengan Islam begitupun sebaliknya. Pada perkembangannya Islam menjadi inti dari kebudayaan Arab. Namun, sebenarnya antara Arab dan Islam tidaklah identik. Arab adalah kebudayaan lokal dan partikular, dibentuk ruang dan waktu, sementara Islam, adalah ajaran yang diyakini bersifat universal.1 Adapun bahasa Arab, merupakan salah satu bahasa kuno yang digunakan oleh manusia dalam berkomunikasi. Pada abad pertengahan Masehi, masyarakat di wilayah Asia, Afrika, dan Eropa telah menggunakan bahasa Siriac, Persia, Coptic, Yunani, Latin, dan bahasa Arab merupakan bahasa-bahasa masyarakat dan penguasa di wilayah-wilayah masing- masing.2 Masyarakat Arab memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap bahasa, bahkan sebelum Islam dikenal di dunia Arab. Bagi mereka bahasa tidak hanya sebagai sarana komunikasi antara mereka, melainkan juga sebagai sarana untuk meningkatkan pamor dan kemuliaan diantara bahasa suku-suku lainnya. Bangsa Arab juga dikenal sebagai masyarakat yang paling ahli dalam penggunaan bahasa sesuai dengan sense dan warisan bahasa yang fasih, sesuai dengan yang mereka terima dari para nenek moyang mereka.3 Semenjak Islam dikenal, tidak sedikit yang berpendapat bahwa ada semacam kesejajaran antara keislaman dan kearaban. Tetapi jika hal ini

1Adapun yang menjadi sumber ide tentang universalisme Islam ialah pengertian perkataan ‚Islam‛ itu sendiri. Sikap pasrah kepada Tuhan tidak saja merupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya, tetapi ia diajarkan oleh-Nya dengan disangkutkan kepada alam manusia itu sendiri. Agama Islam merupakan agama yang paling banyak mencakup berbagai ras dan kebangsaan, dengan kawasan pengaruh yang meliputi hampir semua ciri klimatologis dan geografis. Islam tumbuh bebas dari klaim-klaim eksklusivitas rasialitas ataupun linguistis. Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2000), 426. 2Jago Ritonga, ‚Arabisasi dan Perspektif Bangsa Arab terhadap Bahasa Asing,‛ Innovatio 06, no 12 (Juli-Desember 2007), 349, i-epistemology.net/.../1131_in-v6n12-... ( 22 April 2013). 3M. Faisol, ‚Pengaruh Pemikiran Ibnu Mad}a’ Tentang Us}u>l al-Nah}wi al-‘Arabi Dalam Memahami Teks Keagamaan,‛ Jurnal Lingua. www.jurnal.com. (25 maret 2013). 359. ditelusuri lebih jauh, pendapat tersebut tampaknya didasarkan lebih banyak kepada kesan daripada kenyataan. Sebab kenyataannya ialah bahwa bahasa Arab bukanlah bahasa khusus orang-orang Muslim dan agama Islam, melainkan juga bahasa kaum non-muslim dan agama bukan Islam seperti Yahudi dan Kristen. Minoritas-minoritas Arab bukan Muslim sampai sekarang masih tetap bertahan di seluruh dunia Arab, termasuk Jazirah Arabia, kecuali kawasan yang kini membentuk Kerajaan Arab Saudi, lebih khusus lagi provinsi Hijaz (Mekkah-Madinah). Bahkan orang-orang Arab Kristen Libanon adalah keturunan Banu> Ghassa>n yang sudah ter-Kristenkan sejak lama sebelum Rasulullah Saw, yaitu sejak mereka menjadi satelit Kerajaan Romawi yang memeluk agama Kristen sejak raja Konstantin.4 Agama memanfaatkan bahasa sebagai medianya, bahasa atau kata- kata membentuk suasana moral dan intelektual tempat dia hidup atau kata- kata tersebut membentuk lingkungan semantisnya.5 Masing-masing kebudayaan melahirkan satu sistem bahasanya sendiri, dan bahwa sistem pengetahuan dalam satu kebudayaan pasti berbeda sedikit banyaknya dengan sistem pengetahuan dalam kebudayaan lainnya, dengan kata lain bahasa memainkan peran yang fundamental dalam perbedaan tersebut. Bahasa menunjukkan bangsa.6 Kata-kata ini menunjukkan adanya hubungan intrinsik antara bahasa dan sikap, pemikiran dan perilaku suatu bangsa yang dapat diidentifikasi melalui pemakaian bahasa, termasuk dalam puisi dan karya sastra yang lainnya. Namun sejauh manakah bahasa membentuk dan mengawal pemikiran penuturnya serta bagaimana ia

4Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina, 2000), 358. 5Maruli H. Panggabean, Bahasa Pengaruh dan Peranannya (Jakarta: PT Gramedia, 1981), 13. 6Bahasa dapat menggambarkan watak dan pandangan bangsa yang menggunakannya. Pada saat bahasa nasional kita menggunakan kata ‚perempuan‛ untuk menunjukkan kepada ‚wanita‛ maka pada hakekatnya ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menilai mereka harus di-‚empu‛ dalam arti dihormati dan dimuliakan, atau meng-‚empu‛ yakni membimbing dan mendidik. Filosof Inggris, Russel, menyatakan bahwa susunan bahasa menggambarkan kepada kita keyakinan metafisika serta unsur-unsur kejadian alam yang dianut oleh bangsa yang menggunakannya. Ini agaknya yang menjadi sebab mengapa para ulama kita enggan menggunakan kata ‚ada‛ guna manggambarkan eksistensi Tuhan, tetapi menggunakan kata wujud karena kata ‚ada‛ memberi kesan ‚tempat‛ padahal Allah tidak memerlukan tempat. Boleh jadi ini pula sebabnya sehingga bangsa Indonesia yang mayoritas baragama Islam memillih bahasa Indonesia/Melayu dan bukan bahasa Jawa yang telah dipengaruhi oleh agama Budha sebagai bahasa nasional, karena pengertian semantik dalam bahasa Indonesia belum disusupi oleh keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islamiah. M. Quraish Shihab, Mukjizat Alquran Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), 103.

2 merefleksikan pandangan mereka tentang dunia masih menjadi persoalan. Bagaimanapun, hakekat yang tidak dapat dipersoalkan adalah terdapatnya hubungan bahasa dengan kepercayaan dan nilai hidup dalam kebudayaan penuturnya. Bahasa dan konsep pemikiran penutur juga ditentukan oleh cara dan perlakuan penutur itu terhadap setiap sesuatu yang dipandang dan diamati di dunia ini. Setiap satu perlakuan yang dipandang mendorong penutur itu membina pemahaman yang bermakna tentang alam sekelilingnya lalu diungkapkan menggunakan bahasa. Pada tahap ideal, kesatupaduan ini muncul sebagai tritunggal, yaitu satu masyarakat, satu bahasa, satu budaya.7 Ada suatu relasi yang tak terbantahkan antara bahasa, pemikiran dan budaya. Bahasa tidak hanya mewakili sarana utama komunikasi antar masyarakat dari budaya yang berbeda-beda, namun juga menghasilkan relasi kekuasaan yang membentuk persepsi individu dan visi dari dunia sosial.8 Asumsi tersebut beranjak dari suatu pandangan yang mengatakan bahwa sebuah sistem bahasa (bukan hanya kosa kata, tapi juga sistem gramatika dan semantiknya) punya pengaruh yang cukup signifikan dalam cara pandang penuturnya terhadap dunia, termasuk cara menafsirkan dan menguraikannya, yang pada gilirannya juga mempengaruhi cara dan metode berpikir mereka.9 Dalam hubungan bahasa dan pemikiran terdapat hubungan timbal balik yang cukup rumit, selain keruntutan dan kejernihan cara beripikir, pemakaian bahasa juga sangat dipengaruhi oleh kepentingan yang ingin dicapai oleh penggunanya. Bahasa sebagai media pengarang dalam menyampaikan pemikrannya berada di bawah aturan-aturan tradisi yang membentuk sang pengarang, bahkan terkadang seorang pengarang merasa kreativitas dan imajinasinya dibatasi oleh tradisi tersebut. Dalam konstruk budaya seperti inilah Adonis merasakan dirinya tidak bebas berkreasi dan berinovasi dengan bahasa Arab. Dalam karyanya yang berjudul al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi > al-Ittiba>’ wa al-ibda>’ ‘inda al-‘Arab, Adonis sampai pada kesimpulan bahwa

7Zaitul Azma Zainon Hamzah dan Ahmad Fuad Mat Hasan, ‚Bahasa dan Pemikiran Dalam Peribahasa Melayu,‛ GEMA Online Journal of Language Studies 11, no. 03 (September 2011), 33, http://www.ukm.my/ppbl/Gema/GEMA%20vol%2011%20(3)% 202011/pp31-51%20latest.pdf (Maret 2013). 8Denise Lussier, ‚Language, Though, and Culture: Link to Intercultural Communicative Competence,‛ Canadian and International Education 40, no. 02 (September 2011), 34, http://ir.lib.uwo.ca/cgi/viewcontent.cgi?article=1130&context=cie- eci (22 maret 2013). 9Muh}ammad ‘Abiri>, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso (Yogyakarta: LKIS, 2000), 59.

3 wahyu Islam, dan agama samawi lain, merendahkan puisi sebagaimana Plato memandangnya sebagai kesesatan. Pada awalnya masyarakat Arab menganggap puisi sebagai sumber pengetahuan dalam menemukan kebenaran. Namun, dengan kedatangan wahyu, puisi direndahkan menjadi sekadar perkakas karena wahyu agama menyiratkan kebenaran sudah final. Tak ada tempat lagi bagi puisi.10 Dalam tradisi agama samawi, khususnya rangkaian tradisi Semit- Abrahamik,11 wahyu memainkan peranan mediasi yang penting. Pesan- pesan keilahian diterima oleh seorang nabi atau rasul, dan kemudian diwartakan kepada umat manusia. tiada kenabian tanpa warta keilahian, yakni wahyu itu sendiri. Dalam Islam, wahyu utama yang diterima Nabi Muhammad. secara perlahan terhimpun dalam Alquran, yang diterima tanpa dipertanyakan, taken for granted, sebagai pelengkap dan penyempurna dari risalah-risalah kenabian sebelumnya.12 Dalam kebudayaan Arab-Islam di sepanjang sejarahnya, agama menempati posisi yang sangat sentral dan merupakan dasar dari segala tindakan. Ia juga menyatu dengan realitas sistem kekuasaan yang ada. Atas nama agama, segala bentuk, dimensi, dan norma-norma kemapanan diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan dan kebudayaan, termasuk politik, sastra, dan puisi. Oleh karena itu, segala bentuk pembaharuan dan

10Adonis, ‚Puisi memerdekakan kita,‛Majalah Tempo Interaktif, Januari 01, 2008. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/01/WAW/mbm.20081201.WA W128870.id.html (22 April, 2013). 11Salah satu ras manusia yang besar peranannya dalam sejarah peradaban kuno adalah bangsa Semit. Musa As. sebagai pembawa risalah agama Yahudi, Isa As. sebagai pembawa risalah agama Nasrani, dan Muhammad sebagai pembawa risalah agama Islam merupakan putra-putra keturunan bangsa Semit. Islam merupakan Agama ketiga dan yang terakhir di antara agama-agama monoteisme. Di antara dua keturunan bangsa Semit yang masih bertahan saat ini, orang-orang keturunan Arab yang jumlahnya lebih banyak ketimbang keturunan Yahudi telah melestarikan ciri khas fisik dan mental rumpun bangsa ini. Bahasa mereka, meskipun termasuk yang termuda di antara rumpun bangsa Semit dari sisi kesusastraannya, lebih banyak memuat keunikan bahasa asli Semit termasuk iramanya, dibanding bahasa Ibrani dan bahasa serumpun lainnya. Karena itu, bahasa Arab merupakan kunci penting untuk mempelajari bahasa-bahasa Semit lainnya. Agama Islam, dalam bentuknya yang asli, juga merupakan penyempurnaan logis dari agama-agama Semit. Di Eropa dan Amerika, kata ‚Semit‛ memiliki konotasi Yahudi, dan mengingatkan pada penyebaran orang Yahudi di kedua benua tersebut. Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya (Malang: UIN Malang Press, 2008), 25. Dan Philip K. Hitti, History Of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), 9-10. 12Zacky Khairul Umam, Adonis; Gairah Membunuh Tuhan Cendikiawan Arab-Islam (Depok: Penerbit Kepik, 2011), 37-38.

4 perubahan dinilai sebagai penyimpangan dari agama sehingga layak untuk disingkirkan dan dihancurkan.13 Dari pembacaan Adonis terhadap puisi-puisi klasik terbaik (pra- Islam) hingga periode kontemporer dan pembandingan dengan teks Alquran, dia menyimpulkan bahwa, puisi memberi kebenaran mendalam. Ada keharmonisan hubungan antara kata-kata dan benda, antara manusia dan alam. Puisi membuka cakrawala manusia tanpa batas, menjadi modal mencipta. Sebaliknya, Islam mengajarkan kepada kita kebenaran mutlak, final, sempurna. Jika kebenaran sudah paripurna seperti itu, tak ada lagi ruang untuk mencari kebenaran. Semua sudah selesai. Tidak ada tempat bagi manusia untuk berpikir. Satu-satunya yang dapat dilakukannya adalah mentaati apa yang telah disampaikan oleh wahyu. Teks agama menutup cakrawala pencarian kebenaran, dan sebaliknya, teks puisi membuka pintu bagi kita untuk mencari kebenaran. Di sinilah pertentangan wahyu dan puisi yang dipermasalahkan oleh Adonis. Sejak menyadari hal itu, Adonis mencoba untuk tidak melihat dalam kacamata agama. Adonis menggunakan kacamata puisi dan kemanusiaan.14 Memang diakui, bahwa agama atau keyakinan bisa saja menjadi inspirasi bagi puisi, bahkan ideologi politik pun bisa saja menjadi sumber inspirasi bagi puisi, namun permasalahannya adalah seberapa bagus kualitas puisi tersebut. Bagi Adonis, puisi yang bersumber dari keyakinan adalah kelas dua, merupakan bagian dari propaganda ideologi dan mendukung keyakinan. Bagi Adonis, puisi sejati adalah puisi yang mampu membakar, melintasi, dan melampaui segala keyakinan.15 Masih menurut pandangan Adonis, Mereka yang tidak dapat lepas dari kungkungan eksternal ataupun

13 Islam disatukan oleh satu keimanan, Islam dan satu bahasa, Arab. Bahasa Arab dipakai dalam pemerintahan, perdagangan dan kebudayaan mengungguli bahasa-bahasa sebelumnya seperti bahasa Latin, Yunani, Siriac, dan Persia. Jago Ritonga, ‚Arabisasi dan Perspektif Bangsa Arab terhadap Bahasa Asing,‛ Innovatio 06, no 12 (Juli-Desember 2007), 354. i-epistemology.net/.../1131_in-v6n12-... (22 April 2013). 14Adonis, ‚Puisi memerdekakan kita,‛Majalah Tempo Interaktif, Januari 01, 2008, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/01/WAW/mbm.20081201.WA W128870.id.html (22 April, 2013). 15Karya sastra merupakan karya fenomena kehidupan manusia, baik menyangkut kejadian dan peristiwa yang dialami oleh sastrawan (eksternal) maupun perasaan yang bergejolak dalam jiwanya (internal). Perasaan ini dapat dipengaruhi oleh faktor alam, keadaan kehidupan, perkembangan ideologi, dan beraneka ragam fenomena lainnya yang terjadi di tengah masyarakat, di antara faktor-faktor yang mempengaruhi sastra adalah: kesiapan naluri, iklim karakteristik seseorang, peradaban, dan sosial, kemajuan ilmu pengetahuan, agama, kehidupan politik, menjalin hubungan dengan bangsa lain dan peniruan. Ahmad Muzakki, Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2006), 77-81.

5 internal tidak akan mungkin menjadi penyair.16 Selama kita segan menyatakan apa yang ada dalam diri kita, kita tidak dapat berpuisi. Misalnya soal seksualitas yang mungkin tidak bisa diutarakan karena orang yang taat beragama merasa tabu mengungkapkannya. Fenomena tersebut, menurut Adonis, adalah salah satu sumber dari keterpurukan kreativitas di dunia Arab-Islam, pendapat tersebut dia temukan ketika meneliti puisi-puisi terbaik Arab sepanjang masa, mulai dari periode Jahiliyah hingga modern, mulai dari Imri’ al-Qays hingga Kahlil Gibran. Dalam antologi berjudul Diwa>n al-Shi’ri al-‘Arabi> di awal 1960, Adonis menemukan bahwa hampir mayoritas produk puisi Arab mengikuti nalar yang mengekor ke masa lalu secara jumud. Stilistika dan bentuk puisi Arab tunduk pada suatu wujud yang baku, mapan, dan tak tergugat.17 Selain harus mengikuti nilai-nila moral agama, sastra direpresi secara politis. Jika sastra yang semestinya menabuh perubahan, kreativitas, dan dinamis mengalami demikian, maka ini alamat kebudayaan menjadi statis. Adonis menilai bahwa kemunduran sastra menjadi tanda bagi kemerosotan budaya yang di pegang oleh mazhab kemapanan yang statis.18 Dalam salah satu artikelnya yang berjudul al-Nas}s{ al-Qur’a>ni> wa Aq al-Kita>bah Adonis mengungkapakan kegelisahannya tentang bahasa yang dia gunakan selama ini dalam berkarya, dalam bahasa metafora Adonis menulis bahwa ‚dia menulis dalam sebuah bahasa yang mengasingkannya,‛ bagi Adonis hubungan antara seorang penyair Arab dengan bahasanya ibarat seorang ibu yang menyerahkan anaknya sejak janinnya itu mulai bergerak dalam rahimnya. Jika hal demikian yang tejadi maka hubungan bahasa dan

16Sastra mempresentasikan kehidupan, yang dipresentasikan oleh sastrawan atas pembacaan yang dilakukannya terhadap kehidupan. Pembacaan itu sendiri, bukanlah sebuah ‚pembacaan yang bersih‛ dari pengaruh ibu, bapak, tetangga, sekolahan, dan masyarakat. Sastrawan membaca sekaligus dibaca oleh lingkungannya. Ia melakukan perlawanan, koreksi, atau sekedar melakukan transendensi, emansipasi, bahkan liberasi terhadap lingkungannya. Abdul Wachid, Sastra Pencerahan (Yogyakarta: Saka, 2005), 141. 17Adonis menyatakan bahwa mentalitas yang mendominasi dan mengarahkan kehidupan Arab memiliki kekuatan secara historis dan itu memiliki empat karakteristik, di antaranya adalah dalam segi bahasa, menurut Adonis pada tingkatan ungkapan bahasa dicirikan oleh adanya pemisahan antara ide dan pembicaraan. Ide dianggap telah ada sebelum pembicaraan, sementara yang terakhir hanya merupakan bentuk atau gambaran ide yang telah diperbaiki. Oleh karena itu, dalam tingkat ide tidak dapat terjadi inovasi, tetapi hanya dalam ‚bentuk‛-nya saja yang diambil. Karenanya pula, literatur Arab pada dasarnya bersiafat ‚konformis‛. Issa J. Boulatta, Dekonstruksi Tradisi Gelegar Pemikiran Arab-Islam (Yogyakarta:LKIS, 2001), 38-39. 18Zacky Khairul Umam, Adonis; Gairah Membunuh Tuhan Cendikiawan Arab- Islam, 160.

6 penyair adalah hubungan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, dapat dikatakan bahwa penyair adalah pencipta bagi bahasa itu sendiri.19 Alquran memang telah banyak mengubah tatanan kebiasaan orang Arab, mulai dari segi ketauhidan hingga pengaruhnya terhadap bahasa Arab sendiri. Allah telah menjadikan bahasa Arab sebagai penanda Islam, sebagaimana Allah telah menjadikan lautan terbelah dengan tongkat, air yang memancar dari batu sebagai penanda Musa As, dan menjadikan kemampuan menghidupkan orang mati, meciptakan burung dari lempung, menyembuhkan penyakit kusta dan bisu sebagai penanda bagi Nabi Isa As. Era Musa As. adalah ‚era sihir‛, era Nabi Isa As. adalah ‚era kedokteran‛, sementara era Muhammad Saw. adalah ‚era retorika‛.20 Dari sini Adonis berusaha membongkar suatu tatanan yang telah mapan (statis) dalam kebudayaan Arab yang dia anggap memenjarakan dan memisahkan para penyair Arab dari bahasanya, bagi Adonis penyair yang tunduk dalam kungkungan agama dan ideologi apapun bukanlah seorang penyair. Alquran merupakan bentuk komunikasi antara Tuhan dan makhluk- Nya, dengan dipilihnya bahasa Arab sebagai bahasa Alquran telah menjadikannya sebagi teks seperti pada umumnya yang disampaikan melalui bahasa. Jika Alquran sebagai bahasa, maka di dalamnya terdapat dimensi budaya sehingga memungkinkan dialektika antara teks dan budaya Arab. Alquran yang diturunkan dalam bahasa Arab merupakan salah satu bentuk dialektika antara dimensi kewahyuan dan kesejarahan. Bagaimanapun bahasa Arab yang digunakan Alquran adalah bahasa yang lumrah digunakan oleh masyarakat Arab.21 Bahasa merupakan unsur pokok dalam dan prasyarat utama dalam perkembangan peradaban manusia, dari sini lahir berbagai macam teori tentang asal pembentukan bahasa. Dalam hal ini para sarjana bahasa bertolak dari pemahaman meraka tentang menafsirkan Alquran surat al- Baqarah ayat 31.22 Jika hal ini yang diajadikan landasan sebagai teori bagi terbentuknya bahasa maka tidak bisa disangsikan lagi bahwa terdapat hubungan yang substansial antara bahasa dan agama, dengan demikian usia bahasa Arab dan usia Adam As. sama tuanya. Dari sinilah agama menjadi

19Adonis, al-Nas}s} al-Qur’a>ni> wa A<q al-Kita>bah (Bairu>t: al-Da>r al-Ada>b, 1993), 13. 20Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam jilid 2, terj. Khairon Nahdiyin (Yogyakarta: LKIS, 2007), 239. 21Ahmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, 52. 22Ibn Abbas ketika menafsirkan ayat tersebut mengatakan bahwa Allah mengajarkan kepada Adam sebutan-sebutan yang dipakai manusia untuk mengenali. Ibn Asakir berpendapat bahwa Adam As. berbicara dengan bahasa Arab ketika ia di surga. Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam jilid 2, terj. Khairon Nahdiyin, 233-234.

7 faktor pertama dalam mengkaji bahasa dan puisi Jahiliyah. Kajian bahasa dan puisi menjadi sarana untuk mengenali bahasa secara umum, dan memahami Alquran secara khusus. Inilah problem yang dihadapi oleh Adonis sehingga dia mengatakan bahwa dia menulis dengan bahasa yang mengasingkannya.23 Pemahaman yang berbeda akan hadir tentang hubungan antara bahasa dan pemikiran ketika kita memahami bahasa dari sudut epistemologi budaya. Bahasa Arab sebagai bahasa Alquran dan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi masyarakat Arab merupakan dua hal yang berbeda. Dalam pemahaman seperti ini maka kita meletakkan Alquran sebagai teks24 yang sama seperti kitab-kitab yang juga berbahasa Arab lainnya, walaupun bahasa Arab dianggap bahasa paling suci di antara bahasa yang ada di muka bumi ini, namun hal tersebut tidak lantas menjadikan Alquran sebagai sistem etika dalam bahasa Arab, atau menganggap Alquran sebagai pengultusan terhadap bahasa yang menyebabkan keterkungkungan penyair, seperti yang dipahami Adonis.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut: a. Bahwa relasi antara bahasa Arab dan Alquran hanyalah sebatas pemanfaatan belaka, walaupun Alquran memberikan banyak

23Bagi Adonis puisi dan kebenaran puisi bertolak belakang dengan agama dan kebenaran agama. Kebenaran dalam puisi bersifat tidak tetap, tidak pernah final dan senantiasa samar. Puisi dalam makna ini berada di luar kebenaran agama dan menembus batasnya. Dalam posisi ini puisi seperti suatu karakter yang tidak lazim atau bebas tidak ada yang tidak berubah dalam kebenaran puisi. Agama adalah jawaban, sedangkan puisi adalah pertanyaan. Sebab itu agama tidak akan bisa menjadi rujukan puisi. Bahasa puisi adalah dialog antara yang terlihat dan yang tak terlihat, antara alam nyata dan alam ghaib. Puisi adalah objek pertanyaan dan keraguan, bukan objek keimanan dan kepasrahan. Oleh karena itu, kebenaran agama dan kebenaran puisi berada dalam sisi yang bertolak belakang dan memilliki tujuan-tujuan yang bertentangan: agama adalah undang-undang, pengajaran, dan pengakuan, sedangkan puisi adalah pertanyaan, pengamatan, penelitian, dan terobosan. Adonis, ‚Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama‛, Koran Tempo Ruang Baca, 4 desember 2008, www.ruangbaca.com (22 April 2013). 24Memperlakukan Alquran sebagai teks sangatlah menarik. Hal ini mengingat konsekuensi dari perlakuan tersebut yang menempatkan wahyu sebagai komunikasi Tuhan- manusia, di mana Tuhan sebagai pengirim aktif, sedang manusia sebagai penerima pasif, dan kitab suci sebagai kode komunikasi. Komunikasi verbal tersebut, dalam kacamata linguistik, bisa juga dianggap sebagai model komunikasi antara komunikator dan komunikan dengan menggunakan kode komunikasi. M. Nur Khalis Setiawan, Alquran Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), 40.

8

pengaruh terhadap perkembangan bahasa Arab tidak lantas membuatnya terkungkung. b. Bagaimana relasi antara bahasa Arab dan Alquran dalam pandangan Adonis? c. Apa penyebab sebenarnya stagnasi sastra Arab yang disinyalir disebabkan oleh agama ?

2. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah dengan membatasi variabel atau aspek mana yang diteliti dan mana yang tidak. Untuk itu dalam penelitian ini, peneliti membatasi permasalahan pada pandangan Adonis tentang relasi bahasa dan sastra juga tentang ide-ide pembaharuan dalam sastra Arab

3. Perumusan Masalah Rumusan masalah berisi uraian tentang masalah-masalah yang hendak dipecahkan melalui penelitian. Tentunya masalah yang dipaparkan tersebut tidak lepas dari latar belakang yang di kemukakan pada bagian pendahuluan. Dari uraian di atas, permasalahan bukan terletak pada wacana sakralisasi ataupun desakralisasi, karena keduanya berujung pada penolakan terhadap bahasa itu sendiri, melainkan pada pemanfaatan bahasa baik secara parole ataupun langue, sehingga rumusan masalah dari penelitian ini adalah. Bagaimana merumuskan modernisasi sastra Arab berdasarkan fundasionalisasi bahasa?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti mengategorikan beberapa corak penelitian sebelumya. Corak pertama adalah berkenaan dengan relasi antara bahasa dan pemikiran, hal ini disebabkan karena Adonis tidak hanya berhenti pada relasi antara bahasa Arab dan Alquran, tapi juga menjelaskan Alquran dalam rangka melepas bahasa dari beban ideologis yang bersumber dari keyakinan tentang sakralitas Alquran, seolah bahasa Arab juga bersifat sakral, dan akhirnya sakralitas bahasa Arab dapat membatasi kreativitas berpikir para penuturnya. Corak yang kedua adalah relasi antara bahasa Arab dan Alquran. Arabic as a Language between Qur’anic (Sacred) and Historical Designations oleh Kamarudin Salleh. Penelitian ini terbagi dalam beberapa bagian pembahasan, bagian pertama membahas mengenai asal muasa bahasa Arab dan datangnya Islam sebagai awal yang penting dalam membentuk dan mengkaji bahasa Arab. Pada bagian kedua membahas tentang perubahan dan pembaharuan sejarah dalam bahasa Arab selama periode

9 awal Islam (sastra Arab) dan periode pertengahan, dalam arti yang luas, meliputi perkembangan ilmu pengetahuan dan sikap para cendikiawan pada saat itu. 25 Language, Thought and Culture: Links to International Communicative Competence oleh Denise Lussier (McGill University). Penelitian ini bertujuan untuk menjawab isu-isu kontemporer dalam komunitas linguistik dalam konteks di mana kepentingan geo-politik mendominasi, seperti bagaimana pandangan kita tentang masalah budaya dan antar budaya, bagaimana kita mengembangkan nilai-nilai dan sikap yang menjunjung tinggi dan mengakui keragaman dan keterbukaan terhadap budaya lain, dan dapatkah lembaga pendidikan dan universitas memberikan kontribusi terhadap kohesi sosial melalui pendidikannya.26 Isu-isu tersebut tercipta karena di zaman kita sekarang konflik antara agama dan etnik cenderung intensif walaupun telah ada upaya dari pemerintah dan antar pemerintah untuk meredam konflik tersebut. penelitian yang dilakukan oleh Denise Lussier ini mengembangkan konsep International Communicative Competence (ICC) yang melibatkan kognitif, afektif dan faktor-faktor psikologis dan bertujuan untuk mengungkap keterkaitan antara bahasa, pemikiran dan budaya.27 Oleh karena itu Denise Lussier mengungkapkan bahwa kajian kebahasaan pada kontek seperti yang telah disebutkan tidak hanya terfokus kepada unsur-unsur linguistik, sosiolinguistik dan pragmatis atau wacana kebahasaaan semata, tetapi justru harus mengintegrasikannya antar interaksi budaya, pertumbuhan representasi budaya dan transaksi individu dalam proses pembelajaran.28 Languange and thought: Which Side You on, Anyway? Oleh Terry Regier, Paul Lay, Aubrey L. Gilbert, and Richard B. Ivry (Universty of Chicago and University of California, Berkeley) dalam penelitian ini penulis

25Kamarudin Salleh, ‚Arabic as a Language Between Qur’anic (Sacred) and Historical Designations,‛ Jounal Uii, 1. http://journal.uii.ac.id/index.php/Millah/article /viewFile/341/254 (25 maret 2013). 26Denisse Lussier, ‚Language, Thought and Culture: Links to International Communicative Competence,‛ Canadian and International Education 40, no. 02 (September 2011), 30. http://ir.lib.uwo.ca/cgi/viewcontent.cgi?article=1130&context=cie- eci (22 April 2013). 27Denisse Lussier, ‚Language, Thought and Culture: Links to International Communicative Competence,‛ Canadian and International Education 40, no. 02 (September 2011), 32. http://ir.lib.uwo.ca/cgi/viewcontent.cgi?article=1130&context=cie- eci (22 April 2013). 28Denisse Lussier, ‚Language, Thought and Culture: Links to International Communicative Competence,‛ Canadian and International Education 40, no. 02 (September 2011), 34. http://ir.lib.uwo.ca/cgi/viewcontent.cgi?article=1130&context=cie- eci (22 April 2013).

10 membagi perdebatan tentang bahasa dan pemikiran kedalam dua aliran yaitu aliran Universalis dan aliran Relativis. Madzhab Universalis berpendapat bahwa bahasa dibentuk secara umum oleh kognisi manusia, dalam tatanan ini bahasa membuat perbedaan semantik yang terambil dari bahan universal yang terbatas dan ketika bahasa tidak berbeda secara semantik maka perbedaan linguistik tidak akan mempengaruhi kognisi. Berbeda dengan mazhab Relativis yang sering dikaitkan dengan Sapir- Whorf (1956) yang berpendapat bahwa perbedaan semantik terutama ditentukan oleh konvensi linguistik yang bersifat arbitrer, sehingga bahasa bebas bervariasi. Perbedaan linguistik yang bersifat arbitrer tersebut akan mempengaruhi kognisi. Dengan demikian bahasa membentuk pemikiran dengan cara yang bervariasi dengan menguraikan batasan bahasa. Language and Culture oleh Tengku Sepora Tengku Mahadi dan Sepideh Moghaddas Jafari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara bahasa dan budaya, jika demikian, bagaimana bentuk hubungan antara bahasa dan budaya. Dalam penelitian ini Tengku Sepora Tengku Mahadi dan Sepideh Moghaddas Jafari perpendapat bahwa antara bahasa dan budaya memiliki hubungan yang sangat erat. Artinya, budaya memiliki efek langsung pada bahasa. Penelitian ini menggunakan hipotesis dari Sapir-Whorf yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara bahasa dan pemikiran.29 Peneitian yang dilakukan oleh Zaitul Azma Zainon Hamzah dan Ahmah Fuad Mat Hasan dalam artikelnya yang berjudul Bahasa dan Pemikiran dalam Peribahasa Melayu yang dimuat dalam jurnal Gema Online Journal of Language Studies Volume 11 (3) September 2011. Dalam penelitian yang menggunakan hipotesis Sapir-Whorf menjadikan peribahasa melayu sebagai objek kajiannya. Dalam peribahasa adanya hubungan antara bahasa dengan pemikiran bangsa melayu. Cara bangsa melayu memandang dunianya tersimpul dalam peribahasa yang mereka ciptakan. Hal ini menunjukkan benarnya pernyataan hipotesis Sapir-Whorf. Sapir menjelaskan bahwa bahasa menentukan pemikiran penuturnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahasa adalah bagian integral, yaitu yang perlu atau yang menjadi sebagian dari kehidupan manusia. Bahasa menyerap dalam setiap pikiran dan cara penuturnya itu memandang dunianya. Bahkan terdapat hubungan yang erat antara pemikiran masyarakat, bahasa, dan budaya. Hasil penelitian mendapati bahwa peribahasa Melayu memaparkan pemikiran Melayu dalam lima kategori yaitu pemikiran tentang wujud (metafisik), pemikiran tentang ilmu pengetahuan (epistemologi), pemikiran

29Tengku Sepora Tengku Mahadi, Sepideh Moghaddas Jafari, ‚Language and Culture.‛ International Journal of Humanities and Social Science 02, no. 17, 231. (September 2012) www.ijhssnet.com/journals/Vol_2.../24.pdf (22 Maret 2013).

11 tentang moral (etika), pemikiran tentang pemahaman manusia terhadap alam ini (logika), dan pemikiran tentang keindahan (estetika). Data utama dari penelitian ini adalah peribahasa-peribahasa Melayu yang menggambarkan pemikiran. Penelitian terhadap aspek pemikiran dilakukan berdasarkan lima bidang falsafah dan peneliti menghubungkan semua aspek pemikiran itu dengan hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesisi Sapir-Whorf menyebutkan bahwa pikiran, tindakan atau perilaku ditentukan oleh bahasa. Jenis dari penelitian ini adalah penelitian kualitatif-fenomenologis. Beradasarkan pemikiran filsafat fenomenologi, pendekatan ini mengkaji dan mejelaskan makna pengalaman manusia melalui deskripsi yang mendalam tentang suatu konsep atau fenomena yang dikaji.30 Secara umum Zacky Khairul Umam dalam penelitiannya yang berjudul Adonis: Gairah Membunuh Tuhan Cendikiawan Arab-Islam. menjelaskan tentang pemikiran Adonis yang mengkritik budaya Arab-Islam yang bersifat tetap (Tha>bat) ketimbang dinamis (Mutah}awwil). Hal tersebut dikarenakan dunia pemikiran Arab-Islam terorientasi kepada tradisi kemapanan yaitu Alquran, sehingga hal ini berdampak terhadap perkembangan sastra Arab sampai saat ini. Buku ini banyak mengupas tentang pemikiran Adonis yang kajian dan sastranya konsisten menyerukan revolusi terhadap tirani teosentrisme. Walaupun secara garis besar pembahasan dalam buku ini mengenai kritik keras Adonis terhadap ‚kemapanan‛ budaya Arab namun pada intinya semua itu disebabkan oleh pemahaman masyarakat Arab tentang keterkaitan bahasa dan Alquran. Memahami bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutika oleh Komaruddin Hidayat, berkaitan dengan berpikir, berbahasa dan berbicara, dalam buku ini dijelaskan bahwa dalam proses berbicara selalu terdapat dua dimensi, internal dan eksternal. Dimensi internal merupakan situasi psikologis dan intensi atas kehendak pikir, sedangkan dimensi eksternal diartikan sebagai tindakan menafsirkan dan mengekpresikan kehendak batin dalam bentuk wujud lahir, Hubungan Antara Bahasa dengan Logika Matematika Menurut Pemikiran Wittgenstein oleh Hardi Suyitno. Secara umum penelitan yang dimuat dalam jurnal Humaniora volume 20 yang terbit pada tanggal 1 februari 2008 ini banyak memaparkan pemikiran Wittgenstein yang merupakan tokoh filsafat bahasa pada abad 20. Peneliti menjelaskan dua pemikiran Wittgenstein. Pertama, Tractus Logico Philosophicus bahwa

30Hamzah, Zaitul Azma Zainon dan Ahmad Fuad Mat Hasan, ‚Bahasa dan Pemikiran Dalam Peribahasa Melayu,‛ GEMA Online Journal of Language Studies 11, no. 3 ( 2011) , 3. http://www.ukm.my/ppbl/Gema/GEMA%20vol%2011%20(3)%202011/pp31- 51%20latest.pdf (22 maret 2013).

12 bahasa atau logika bahasa dan salah satu yang penting dalam urainnya adalah tentang teori gambar yang dianggap sebagai teori makna. Tractus Logico Philosophicus dapat dikelompokkan atas tiga bagian utama, yaitu berkaitan dengan hakikat dunia, berkaitan dengan hakikat bahasa, dan berkaitan dengan hakikat logika dan implikasinya bagi matematika, sains, filsafat dan makna kehidupan. Teori ini menunujukkan beberapa tesis yaitu pertama menegaskan bahwa dunia terdiri atas fakta-fakta. Dunia diwakili oleh pikiran, yaitu suatu proposisi yang memuat pikiran atau gagasan, karena dunia, pikiran, dan proposisi bersama-sama dalam bentuk logis yang sama. Kedua, menegaskan bahwa fakta adalah pernyataan keadaan dan sebaliknya pernyataan keadaan adalah kombinasi dari objek-objek. Tesis ketiga menyatakan bahwa suatu fakta atom dapat dipikir dan dibayangkan. Totalitas kebenaran pikiran adalah gambar dunia. Tesis keempat menegaskan bahwa totalitas proposisi membentuk struktur bahasa. Hal ini menunjukkan hubungan antara pikiran, proposisi, dan bahasa. Bahasa terdiri atas keseluruhan proposisi-proposisi, sedangkan proposisi yang bermakna merupakan ekspresi dari pikiran. Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama oleh Akhmad Muzakki. Buku ini menjelaskan bahwa Alquran dapat dipahami dan dikonstruk melalui perkembangan studi budaya. Hal ini merujuk kepada pendapat Fedinand de Saussure dimana bahasa dianggap sebagai proses langue, maka tanda-tanda bahasa merupakan fakta sosial. Karena tanda- tanda bahasa mengacu pada konsep dan gambaran mental yang berdiam dalam masyarakat. Artinya, bahwa bahasa berada dalam inti kebudayaan. Dari pengertian ini para ahli semiotika mengatakan, bahwa kebudayaan merupakan ekspresi dari berbagai sistem tanda yang pusatnya adalah tanda bahasa. Sehingga keberadaan bahasa dan lingkungan kulturalnya menjadi rujukan untuk menemukan maknanya.31

D. Tujuan Penelitian Secara umum tesis ini ingin menegaskan bahwa desakralisasi terhadap bahasa Arab (yang beimbas terhadap keterkungkungan kreativitas penyair Arab) dengan otoritas Alquran ataupun agama yang diagendakan Adonis tidaklah dibutuhkan. Sebab, pada kenyataanya sakralitas bahasa Arab bukan disebabkan oleh Alquran sebagaimana yang dituduhkan oleh Adonis. Melalui kajian terhadap relasi bahasa Arab dan Alquran, peneliti ingin mereposisi bahasa Alquran yang oleh Adonis dipandang sebagai biang kemandekan perkembangan kesusastraan Arab. Pemikiran tersebut

31Ahmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama (Malang: UIN Malang Press, 2007), 4.

13 disebabkan karena Adonis tidak melihat bahwa Alquran memiliki korpus tersendiri dalam kajian linguistik.

E. Manfaat Penelitian Peneliti berharap penelitian ini akan memberikan gambaran lebih rinci tentang hubungan antara bahasa Arab dan Alquran. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan dan mampu membuka cakrawala baru bagi para peneliti bahasa maupun sastra.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini difokuskan pada pemikiran Adonis tentang pemikirannya mengenai relasi antara bahasa Arab dan Alquran yang menjadikan bahan pustaka sebagai pusat kajiannya, oleh karenanya, jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Adapun pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan hermeneutika, yaitu teori tentang pembacaan ulang terhadap suatu teks sesudah pembacaan heuristik (berdasarkan bahasanya atau makna tingkat pertama). Hermeneutika berarti proses penguraian yang bertolak dari isi dan makna yang tampak menuju makna yang tersembunyi. Dalam pembacaan hermeneutik, seorang pengkaji teks, harus berusaha memahami secara kreatif makna teks yang ada di balik struktur.32 Dalam hal ini peneliti akan menempatkan karya Adonis yang berjudul al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-ibda>’ ‘inda al-‘Arab sebagai teks yang akan diteliti secara hermeneutis dalam konteks relasi sakralitas Alquran terhadap bahasa Arab. Berkenaan dengan ketokohan Adonis, pada dasarnya penelitian ini juga bersifat biografis. Namun, karena titik tekannya lebih pada kiprah dan gagasan kebahasaannya dalam kesusastraan, maka pendekatan sejarah yang dimaksud adalah sejarah pemikiran.33

32Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), 216. 33Kuntowijoyo membatasi penelitian tentang Sejarah Pemikiran dengan tiga tugas yang harus dilakukan oleh peneliti, yaitu: 1. Membicarakan pemikiran-pemikiran besar yang berpengaruh pada kejadian sejarah; 2. Membicarakan konteks sejarahnya; 3. Pengaruh pemikiran pada masyarakat bawah. Baca: Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 191.

14

2. Sumber dan Metode Pengumpulan Data Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, maka sumber data penelitian ini dibagi dalam dua jenis. Sumber data primer yaitu karya Adonis yang berjudul al-Tha>bit wa al- Mutah}awwil yang terdiri dari 4 jilid; al-S}ufi>yah wa al-Suryaliyah, al-Nas}s} al-Qur’a>ni> wa Aq al-Kita>bah, Agha>ni Mihyar al-Dimashqi> wa Qas}a>’id Ukhra>, Kita>b al-Tah}awwulat wa al-Hijrah fi Aqa>lim al- Nahar wa al-Layl (S}iyaghah Nih}a’i>yah); dan sumber data sekunder, mencakup rujukan-rujukan lain yang ditulis oleh pakar lain tentang 1) relasi bahasa dan pemikiran, 2) relasi bahasa Arab dengan Alquran, 3) sejarah yang bekaitan dengan Adonis, 3) juga data-data yang diperlukan dengan analisis dan perspektif metodologis.

3. Metode Analisis Data Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis. Penelitian ini berupaya mendeskripsikan, menganalisa dan menginterpretasikan data-data penelitian. Dalam hal ini, penulis berusaha mendeskripsikan sekaligus menkritisi konsep kebahasaan Adonis. Sebagai pisau analisis dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori hermeneutika dari, ini dimaksudkan untuk menganalisis secara jernih tentang posisi bahasa Arab yang digunakan sebagai bahasa Alquran.

G. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab, yang terdiri dari: BAB I: merupakan bab pendahuluan yang mendeskripsikan tentang pokok pikiran dari penelitian ini. Bab ini mencakup sub bahasan alasan atau latar belakang pemilihan masalah yang akan dikaji. Setelah menjelaskan tentang alasan pemilihan masalah yang akan dikaji maka akan dilanjutkan dengan pengidentifikasian masalah, hal ini bertujuan agar dapat diketahui permasalahan apa saja yang dapat di tampilkan. Dari sekian permasalahan yang telah teridentifikasi, maka dibutuhkan adanya pembatasan dalam permasalahan tersebut dengan tujuan agar penelitian yang dilakukan menjadi fokus dan terarah. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai perumusan masalah yang merupakan persoalan yang harus dijawab dalam penelitian ini, maka dari itu perumusan masalah dalam penelitian ini berupa pertanyaan yang harus dijawab dalam penelitian ini. BAB II: Merupakan tinjauan terhadap bahasa Arab dan Alquran, perdebatan seputar bahasa Alquran, secara teoritis dan kerangka

15 teori hermeneutik sebagai landasan atau pisau analitis dalam penelitian ini. BAB III: Pada bab ini akan dipaparkan konsep umum tentang kebahasaaan dalam persepektif Adonis yaitu tentang kategori sastrawan dan karya sastra yang terpolarisasi antara al-Tha>bit wa al- Mutah}awwil (statis dan dinamis), selanjutnya akan dijelaskan kritik Adonis terhadap realitas berbahasa Arab yang terkooptasi oleh sakralitas Alquran dalam bingkai al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil. BAB IV: Pada bagian ini hal pertama yang akan dijelaskan adalah kritik terhadap Adonis dengan cara mendudukkan relasi bahasa dan Alquran pada tempatnya masing-masing, bahwa sakralitas Alquran bukan faktor yang menyebabkan bahasa menjadi terbelenggu, selanjutnya, mengangkat perspektif hermeneutika tentang relasi bahasa dan Alquran untuk mengkritik Adonis dan membangun paradigma bahasa yang konstruktif. BAB V: Bab terakhir dari penelitian ini adalah penutup yang mana akan menjelaskan mengenai kesimpulan dari keseluruhan penelitian ini.

16

BAB II PROBLEMATIKA KEBAHASAAN ALQURAN

Dalam bab ini, perlu didudukkan terlebih dahulu permasalahan seputar bahasa Alquran. Hal ini bertujuan untuk membangun pemahaman yang komprehensif tentang teori kebahasaan Alquran. Sebagai suatu fenomena bahasa, Alquran merupakan satu bentuk komunikasi antara Tuhan dan manusia. Komunikasi tersebut tentu tidak sama dengan komunikasi antara satu individu dengan individu lainnya. Dari segi prosesnya, diturunkannya Alquran kepada Muhammad melalui malaikat Jibril dapat dipahami, bahwa sejak awal Alquran merupakan suatu kitab suci yang sudah berdialog dengan realitas dan kebudayaan bangsa Arab. Untuk mengupas problematika pembahasan tersebut, penulis membagi dalam beberapa sub bab berikut. (1) teori kebahasaan Alquran yang akan membahas proses teoritisasi bahasa Alquran yang menjadi akar dari keseluruhan pembahasan dalam penelitian ini, mula-mula menempatkan akar permasalahan yaitu Alquran sebagai teks suci yang datangnya dari Tuhan di satu sisi, dan Alquran sebagai produk budaya karena Alquran memakai jasa bahasa Arab sebagai media penyampainya. (2) dialektika Alquran dengan kultur bahasa Arab. Dalam sub bab ini akan dilihat bagaimana sebenarnya bahasa Alquran berdialektika dengan bahasa Arab, karena yang digunakan oleh Alquran adalah bahasa Arab yang merupakan bahasa masyarakat Arab dan bahasa Arab tersebut sudah lama digunakan oleh masyarakat Arab sebagai alat komunikasi. (3) diskursus kebahasaan modern. Sub bab yang akan membahas mengenai perkembangan bahasa ini, akan menjelaskan bagaimana sebenarnya bahasa digunakan tidak hanya sebagai alat komunikasi akan tetapi bahasa juga sebagai alat untuk konduktor ideologi, khususnya dalam produk-produk sastra.

A. Teori Kebahasaan Alquran Alquran1 sebagai kitab suci agama Islam yang berbahasa Arab pada masa awal diturunkannya telah memberikan kontribusi yang nyata dalam

1Secara global, ada dua kandungan jiwa atau makna strategis dari Alquran, yaitu: makna instrinsik dan makna instrumental. Makna instrinsik berisi komitmen pribadi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Ia bertujuan membersihkan jiwa, mengangkat kekelaman batin dan menyinari dengan sinar-sinar malaku>t (ketuhanan), menumbuhkan potensi dalam ru>h} serta menyiapkannya untuk menerima rangkaian Tajalli Ila>hi (pengejawantahan sifat- sifat Tuhan) dan pancaran nu>r kerinduan kepada Yang Maha h}aq. Makna intrinsik ini merupakan ajaran spiritual Alquran. sementara makna instrumental berfungsi sebagai sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur, mulia dan kesejatian dalam hubungan horisontal antar hamba. Dalam beberapa kata kunci ia bisa disebut memanusiakan manusia. Kemudian

perubahan kondisi masyarakat Arab pra-Islam. Dalam pandangan umat Islam, Alquran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dalam bentuk teks yang seperti terdapat pada masa kini.2 Bagi kalangan akademisi dan para sarjana Islam, Alquran telah memberikan inspirasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan hal ini dibuktikan dengan perkembangan keilmuan keislaman yang mencapai masa keemasannya pada abad pertengahan Hijriyah. Sebelum Nabi Muhammad wafat, umat Islam pada waktu itu dapat mananyakan langsung kepada Nabi Muhammad (sebagai penjelas paling otoritatif) perihal permasalahan- permasalahan dalam proses pemahaman terhadap Alquran.3 Dengan tidak adanya Nabi Muhammad sebagai penjelas terhadap hal-hal yang sulit dipahami dari Alquran oleh umat Islam, otomatis Alquran sendirilah yang berdialog langsung kepada para pembaca dan pengkajinya. Selama kurang lebih 23 tahun Alquran diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril dengan berbahasa Arab, bahkan Alquran pun beberapa kali menegaskan bahwa memang bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab.4 Bentuk Alquran pada waktu diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril dalam bentuk lisan atau bukan berupa teks.5 menjadi lawan dan alternatif dari laju peradaban dan nilai-nilai yang berakibat dehumanisasi dan demoralisasi. Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis, Menggugat Peran Agama, Membongkar Doktrin yang Membatu (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), 91- 92. 2Alquran yang berbentuk mushaf pada masa sekarang adalah bentuk dari transliterasi dari hafalan Nabi Muhammad dan huffa>z}. M. M. al-A’z}ami, Sejarah Teks al-Qur’a>n dari Wahyu Sampai Kompilasi Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terj. Sohirin Solihin, Anis Malik Thoha, Dll (Jakarta: Gema Insani, 2008), 72-73. 3Dalam hal ini, telah disepakati bahwa hanya Nabi yang merupakan satu-satunya sumber dalam memahami Alquran. Salah satu contohnya adalah pertanyaan sahabat mengenai makna Q.S. al-An’a>m (6): 82 ‚dan mereka tidak mencampuradukkan keimanan dengan kezaliman.‛ Pertanyaan tersebut berangkat dari asumsi bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menghindarkan diri dari berbuat zalim, sekecil apapun perbuatan itu. Nabi kemudian menjawab bahwa yang dimaksud zalim dalam konteks ayat tersebut adalah syirik, sesuai dengan Q.S. Luqma>n (31): 13 ‚sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat.‛ Penafsiran terhadap ayat yang lain yang dilakukan Nabi adalah Q.S. al-fath} (48): 26 ‚dan Allah mewajibkan mereka kalimat taqwa.‛ Kata taqwa dalam ayat ini ditafsirkan oleh Nabi dengan ‚kalimat tauhid‛, yakni ‚tidak ada tuhan selain Allah.‛ M. Nurcholis Setiawan, ‚Alquran dalam Kesarjanaan Klasik Dan Kontemporer Keniscayaan Geisteswissenschaften.‛ Jurnal Study Alquran 1 no. 1( 2006): 80. ِ ِ َّ َّ ِ 4 إنَّا أَنَزلْنَاهُ قُ ْرآناً َعَربيّاً لَعل ُك ْم تَ ْعقلُوَن ﴿يوسف:٢﴾ ِ ِ ِِ ِِ َولَْو ن ََّزلْنَاهُ َعلَى ب َْع ِض اْْلَ ْع َجم َني فَ َقَرأَهُ َعلَيْهم َّما َكانُوا بو ُمْؤمن َني ﴿الشعراء: ١٩٨- ١٩٩﴾ 5Alquran harus diyakini sebagai wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Saw. melalui perantara malaikat Jibril. Tapi fakta bahwa Alquran dihafal dan ditulis oleh para

18

Alquran diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang mempunyai keahlian dalam bidang bahasa, hal ini dibuktikan banyaknya produksi puisi-puisi Arab yang beredar, bahkan puisi menjadi tradisi dalam masyarakat tersebut.6 dalam kondisi sosial seperti inilah Alquran hadir. Banyaknya masyarakat yang mengklaim bahwa Alquran bukanlah kalam ilahi, bahkan menuduh bahwa Nabi Muhammadlah yang mengada-ngada maka tidak heran Alquran menantang mereka untuk membuat satu ayat yang serupa dengan Alquran, dan tentulah tidak ada yang bisa menandinginya.7 Dalam konteks tersebut dapat dikatakan bahwa keunikan dan keistimewaan Alquran dalam bidang bahasa merupakan keunikan dan keistimewaan yang pertama kali dirasakan oleh masyarkat Arab pra-Islam. Bahasa Alquran tidak disibukkan oleh persoalan mistis atau metafisis, dan pada umumnya mengabaikan seluk-beluk dialektis dan abstraks-abstraksi pemikiran filosofis, ilmiah maupun keagamaan. Hal ini berbeda dengan pengungkapan bahasa puisi, bahasa yang melodis ini mengungkapkan pujian-pujian seseorang atau kesedihannya, elemen-elemen metaforanya adalah langit tanpa awan dan padang pasir tak terbatas, atau seekor rusa berlari dengan riangnya.8 Alquran diturunkan dengan menggunakan jasa bahasa, yaitu bahasa Arab. Teks Alquran memang paling fenomenal hal ini disebabkan di satu sisi Alquran merupakan kalam Ilahi dan di sisi lain Alquran tidak bisa dipisahkan dari situasi kultural-historis zamannya, dalam arti Alquran menggunakan bahasa Arab sekaligus dengan sistem bahasa para penuturnya, namun pada kenyatannya tidak ada satupun dari masyarakat Arab bahkan

sahabat Nabi dan disahkan pada zaman ‘Uthma>n bin ‘Affa>n merupakan sesuatu yang perlu mendapat perhatian. Maksudnya, Alquran telah menjadi wahyu yang ditulis, dikodifikasi dalam bahasa Arab. Karena Alquran merupakan diskursus yang ditulis, maka Alquran adalah teks. Pandangan ini sejalan dengan kalangan penganut hermeneutika bahwa setiap diskursus yang disusun atau disempurnakan dalam bentuk tulisan disebut teks. Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Penerbit Fitrah, 2007), 66-67. 6Puisi terbaik dalam bentuk mu’allaqa>t. Mu’allaqa>t adalah kasidah panjang yang indah yang diucapkan oleh para penyair Jahiliyah dalam berbagai kesempatan dan tema. Sebagian mu’allaqa>t ini diabadikan dan ditempel di dinding-dinding Ka’bah pada masa Jahiliyah. Dinamakan mu’allaqa>t (kalung) karena indahnya puisi-puisi tersebut menyerupai perhiasan yang dikalungkan kepada seorang wanita. Abdul Aziz bin Muhammad Faisol, al-Adab al- ‘Arabi> wa Ta>ri>khuhu al-‘As}ru al-Ja>hili> wa ‘As}ru S}odaru al-Isla>m wa al-‘As}ru al-Umawi> (al- Mamlaktu al-‘Arabi>yah as-Sau’di>yah, 1405 H), 75-76. 7 ِ ِ ٍ ِ ِ ٍ ِِ ِ ِ ِ ِِ َوإن ُكنتُ ْم ِف َريْب مِّمَّا ن ََّزلْنَا َعلَى َعْبدنَا فَأْتُواْ ب ُسوَرة من مثْلو َواْدعُواْ ُشَهَداءُكم من ُدون اللّو إ ْن ُكْنتُ ْم َصادق َني ﴿البقرة: ٢٣﴾ 8Malik Ben Nabi, Fenomena Alquran: Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim , terj. Farid Wajdi (Bandung, Komp: Cijambe Indah, 2008), 96.

19 yang paling ahli dalam bahasanya yang dapat menandingi bahasa yang digunakan Alquran dari segi isi, gramatikal maupun stilistika. Karena keunikan dan kekhasan bahasa Alquran itulah beberapa ilmuan muslim seperti Ibn H{azm (456 H) dan Adonis berpendapat bahwa bahasa Alquran tidak bisa disamakan dengan bahasa Arab lainnya, bahasa Alquran adalah bahasa Alquran, kita tidak bisa memberikan nama terhadap bahasa kitab Alquran.9 Adonis membedakan bahasa Arab dengan Alquran bertujuan untuk melepaskan kesakralan bahasa Alquran terhadap bahasa Arab, sedangkan Ibn H{azm berangkat dari asumsi bahwa Alquran tidak hanya me- nasakh syari’at sebelumnya namun juga bahasa sebelumnya yaitu bahasa Arab, dan Ibn H{azm bertujuan untuk membebaskan tradisi berpikir Islam dari qiya>s. Menurut Ibn H{azm, pada mulanya bahasa adalah satu kompetensi yang diberikan Allah kepada nabi Adam seperti dijelaskan dalam QS. 2:3, yang pada akhirnya berkembang selaju zamannya. Akan tetapi Ibn H{azm tidak sepakat jika perkembangan bahasa selalu ditentukan oleh perbedaan geografis antara bangsa satu dan yang lainnya, sebab jika bahasa adalah karakter suatu bangsa, tentunya bahasa satu komunitas adalah satu, sementara fakta membuktikan, sangat dimungkinkan bahasa satu komunitas itu beragam juga. Sehingga diyakini ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan dan perkembangan itu.10 Berkenaan dengan bahasa Alquran, yang lazim dikenal menggunakan bahasa Arab, Ibn H{azm menekankan bahwa Alquran tidaklah benar-benar menggunakan bahasa Arab, melainkan bahasa ilahi, bahasa Qur’a>ni.11 Pendapat ini didasarkan pada fungsi kedatangan Islam yang menurutnya tidak hanya menjadi na>sikh (ralat) bagi agama dan keyakinan sebelumnya, melainkan atas struktur bahasa yang digunakan oleh bahasa Arab juga. Dengan demikian, menurutnya, pemahaman Alquran tidak bisa didasarkan pada pendekatan bahasa Arab pra Alquran.12 Penekanan Ibn H{azm ini, mengingatkan pada sebuah aksentuasi bahasa ala Ferdiand de Saussure, seorang pakar bahasa asal Perancis, yang dikenal dengan diachronic linguistics dan synchronic linguistics.13 Pendekatan yang pertama, diachronic yang berasal dari dia (latin, malalui) dan chronos (latin, waktu), adalah satu model pendekatan yang menganggap bahasa sebagai satu rangkaian historis yang terus berkelanjutan dan

9Adu>ni>s, al-Nas}s}} al-Qur’a>ni> wa Aq al-Kita>bah (: al-Da>r al-Adab), 19. 10Salim Yafut, Ibn H{azm wa al-Fikr al-Falsafi bi al-Maghrib wa al-Andalus (al-Da>r Bayd}a: Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1986), 117. 11 , al-Ih}ka>m fi> Us}u>l Ah}ka>m (Beirut: al-Da>r Kutub ‘Ilmi>yah), 31. 12Salim Yafut, Ibn H}azm wa al-Fikr al-Falsafi bi al-Maghrib wa al-Andalus, 117. 13Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics (America:McGraw-Hill Paperbacks, 1966), 101-106 dan 140-143.

20 berkembang.14 Dengan begitu, penelitian bahasa dilakukan tidak terbatas oleh waktu penggunaan bahasa itu. Berbeda dengan synchronic, syn (latin, dengan/waktu) dan chronic (latin, waktu) adalah satu analisa bahasa tanpa memperhatikan perkembangan yang terjadi pada masa lampau, melainkan menekankan pada era tertentu, di mana bahasa itu dituturkan.15 Turunnya Alquran yang tertanggal pada abad 7 M adalah batasan, bagi Ibn H{azm, untuk melakukan analisa bahasa Alquran. tidak seperti pendekatan diakronik yang melibatkan seluruh perkembangan bahasa Arab, era jahiliyah hingga turunnya Alquran. dengan demikian pendekatan bahasa ala Ibn H{azm adalah pendekatan sinkronik, dengan batasan yang jelas, turunnya Alquran, sebagai bahasa Arab baru, bahasa Qur’a>ni.16 Adapun yang dimaksud sebagai ‚syncronics linguistics‛ adalah bahwa dengan membatasi bahasa Alquran pada Alquran semata, tidak melibatkan kajian linguistik bahasa Arab secara umum. Di samping juga dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan penggunaan prinsip analogi yang tak mendasar seperti dilakukan oleh mayoritas ulama Sunni. Membahas Alquran sebagai Alquran, melepasakan Alquran berbicara sebagai teks. Alquran memang banyak mengubah tatanan kebudayaan masyarakat Arab, Islam menawarkan konsep tauhid yaitu keesaan Allah yang sebelumnya mayoritas masyarakat Arab menyembah berhala.17 Selain dalam wilayah tauhid, Alquran juga memberikan perubahan terhadap produk- produk sastra yang menjadi keahlian masyarakat Arab, seperti puisi. Alquran memang bukan kitab sastra, namun dalam sturktur kebahasaan yang digunakan oleh Alquran dapat ditemukan unsur musikalitas, dan kesamaan bunyi akhir (sajak) yang dapat ditemukan juga dalam struktur bahasa puisi. 18

14J. W. M. Verhaar, Pengantar Linguistik (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992), 6. 15J. W. M. Verhaar, Pengantar Linguistik , 7-11. 16Bila dibandingkan dengan lahirnya ilmu gramatika bahasa Arab, dapat ditemukan kriteria yang jelas antara masa pra nah}w dan pasca nah}w. Artinya, nah}w yang dibuat sebagai teori pemahaman Alquran tidaklah didasarkan pada logika bahasa Alquran. Dengan begitu ulama menjadikan nah}w dan disiplin ilmu bahasa Arab lainnya sebagai perangkat pemahaman Alquran. Mah}mu>d Sha’ra>ni>, Ilm al-Lughah: Muqaddimah li al-Qari’ al-A’rabi> (Kairo: al-Da>r Fikr ‘Arabi>, 1999), 257-263. 17Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradition with Preference to Malay Islamic Literature (Kuala Lumpur: Tass Sdn, 1982), 40. 18Hal-hal yang mencolok dari perkembangan sastra Arab pra-Islam hingga masa awal Islam dapat dilihat dari tema-tema puisi yang banyak digubah pada kedua masa tersebut. Jika pada masa pra Islam puisi-puisi tersebut di dominasi oleh al-H{amasa (puisi yang membicarakan sifat-sifat yang berkaitan dengan keberanian, kekuatan dan mencemooh orang-orang yang penakut, al-Fakhr (tema puisi yang membangga-banggakan kelebihan

21

Dari sinilah Alquran dapat diakatakan juga telah memberikan kontribusinya terhadap perkembangan sastra Arab. Pengaruh Alquran terhadap puisi sangat terlihat dari segi tema-tema puisi yang lahir pasca kehadiran Alquran.

B. Dialektika Alquran dengan Kultur bahasa Arab Pada sub bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa Alquran menggunakan jasa bahasa, yaitu bahasa Arab. Secara tidak langsung antara bahasa Alquran sebagai perwakilan dari bahasa Tuhan terdapat dialektika dengan bahasa Arab yang digunakan sebagai komunikasi oleh mayarakat Arab. Sumber-sumber hukum Islam, Alquran dan Hadis, merupakan pernyataan berbahasa Arab. Islam memiliki karakter Arab hal ini merupakan bentuk konsekuensi dari bentuk historisnya. Hal ini tidak berarti memberikan kesan interpretasi Arabosentris mengenai Islam, karena merupakan bagian dari definisi teologis tentang Islam, karena merupakan bagian dari definisi teologis tentang Islam di mana kitab sucinya, Alquran, dan ritual-ritualnya (termasuk shalat) hanya dapat dilakukan atau dipraktekkan dalam bahasa Arab. Dengan demikian bahasa Arab merupakan medium artikulasi dalam sistem sosiokultural Islam. Bahkan pada masa pra- Islam bahasa Arab sudah merupakan bahasa tertulis yang sophisticated, di antara prestasi budaya dalam bahasa Arab adalah sajak mua’llaqa>t yang sangat bagus. Namun demikian, oleh kaum Muslim Alquran dipandang sebagai kulminasi perkembangan bahasa Arab, sejak saat itu bahasa Arab memperoleh status bahasa Alquran dan pada umumnya didefinisikan sebagai bahasa yang suci. Bahasa Arab sebagaimana bahasa yang lain, merupakan subjek bagi faktor-faktor perubahan sosial, dan oleh karena itu berubah bersama perubahan budaya.19 Bahasa Arab merupakan salah satu alat komunikasi yang di gunakan oleh bangsa arab.20 Dalam perkembangannya bahasa Arab terbagi menjadi yang dimiliki oleh seorang penyair atau sukunya), al-Madh} (berisi pujian kepada seseorang, terutama mengenai sifatnya yang baik, akhlaknya yang mulia) , dan al-Hija’ (berisi tentang kebencian atau ketidaksukaan seorang penyair kepada seseorang dengan cara mencari kelemahannya), maka tema-tema pada masa awal Islam adalah tentang al-da’wah wa al- futu>h} al-islami>yah (sya’ir dakwah dan kemenangan Islam). Sya’ir ini sengaja diangkat sebagai seruan untuk membela agama Allah, dan memerangi orang-orang musyrik. Ahmad al-Iskandari dan Mus}t}afa ‘Ana>ni, al-Was}i>t} fi> al-Adab al-‘Arabi> wa Ta>ri>khihi (Kairo: al-Da>r al-Ma’arif, 1978) 46 dan 98. 19Bassam Tibi, Islam, Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Misbah Zulfa Ellizabet, Zainul Abas (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1999), 94-95. 20Bahasa Arab merupakan rumpun bahasa Semit termuda dibanding bahasa lainnya yang serumpun, walaupun begitu bahasa Arab merupakan kunci penting untuk mempelajari

22 dua yaitu bahasa Arab Fus}ha dan bahasa Arab ‘Amiyah. Bahasa Arab Fus}ha merupakan bahasa yang dipakai oleh Alquran dan dalam pergaulan resmi, sedangkan bahasa Arab ‘Amiyah merupakan bahasa Arab yang dipakai dalam keseharian.21 Oleh berbagai kalangan, terutama umat Islam Alquran sering didefinisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad Saw melalui malaikat Jibril dan menjadi ibadah kepada setiap orang yang membacanya. Pendefinisian tersebut di atas mempunyai dua hal yang dapat disimpulkan, pertama, bahwa Alquran merupakan wahyu yang diturukan hanya kepada Muhammad Saw sebagai mukjizat dan sebagai petunjuk bagi umat Islam. Kedua, bahwa Alquran tersebut harus dibaca dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, karena seyogyanya Alquran menyimpan pesan tentang kebaikan dan kebenaran.22 Dialektika antara Alquran dengan basis kultur bahasa Arab dapat dilihat dari beberapa hal di antaranya, dari proses diturunkannya Alquran kepada Muhammad Saw yang lazim disebut dengan wahyu. Sejak awal diturunkannya, Alquran telah melibatkan dirinya ke dalam sebuah ruang komunikasi. Komunikasi antara Tuhan, malaikat, dan hamba pilihan, yakni Muhammad saw, sebelum disampaikan kepada umat manusia. Setidaknya, hal seperti ini dapat ditemukan dalam konsep wahyu yang telah menjadi konsep sentral dalam memahami Alquran itu sendiri.23 Dalam literatur-literatur akan ditemukan beragam makna tentang wahyu,24 namun pada dasarnya konsep wahyu dalam Alquran adalah pemberian informasi secara rahasia dan cepat. Wahyu tidak lain merupakan bahasa-bahasa Semit lainnya, beberapa alasan bangsa-bangsa yang berbahasa Arab terutama suku nomad, dianggap sebagai representasi terbaik dari rumpun Semit, baik dari sisi biologis, psikologis, sosial maupun bahasa. Kesimpulan ini bisa ditelusuri dari keterasingan mereka secara geografis dan dari keseragaman kehidupan padang pasir yang monoton. Karakteristik etnis mereka yang khas dibentuk oleh lingkungan yang keras dan terisolasi, misalnya yang terdapat di kawasan Arab bagian tengah. Philip K. Hitti, Histoty of Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), 10. 21Imil Badi Ya’qub, Fiqh al- Luhgah al-‘Arabiyah wa Khas}a>is}iha> (Beiru>t: al-Da>r al- Thaqa>fah al-Isla>mi>), 114. 22Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 66. 23M. Faisol Fatawi, Tafsir Sosiolinguistik Memahami Huruf Muqa>t}a’ah dalam Alquran (Malang: UIN Malang Press, 2009), 84. 24Wahyu menurut pengertian kebahasaan, adalah isyarat yang cepat. Sedangkan menurut istilah banyak ulama, wahyu adalah informasi Allah menyangkut agama atau semacamnya yang disampaikan kepada nabi-Nya. M. quraish Shihab, Membumikan Alquran Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan Jilid 2 (Ciputat: Lentera Hati, 2011), 522.

23 proses komunikasi yang mengandung pesan dan bersifat rahasia.25 Konsep wahyu seperti itu memiliki keterkaitan erat dengan basis kultur bahasa yang berkembang di tengah masyarakat Arab. Menurut Nasr Ha>mid Abu> Zayd, bahwa fenomena wahyu tidak dapat dilepaskan dari realitas setempat.26 Masyarakat Arab sebelum Islam datang telah mengenal model-model komunikasi antara manusia dengan alam-alam lain seperti malaikat dan setan atau jin di tengah masyarakat Arab model komunikasi seperti ini tampak trlihat jelas dalam sastra (puisi) dan praktik perdukunan atau yang lebih dikenal dengan istilah saj’ al-kuhha>n.27 Bagi orang Arab, jin bisa berbicara kepada sastrawan (penyair) dan membisikkan puisi kepadanya. Ramalan yang ia sampaikan yang berbentuk ungkapan sastrawi itu bersumber dari jin. Oleh karena itu, bangsa Arab yang hidup pada saat Alquran diturunkan, tidak mengingkari fenomena wahyu. Mereka membenarkan adanya malaikat yang turun membawa kala>m kepada manusia. Pengingkaran mereka hanya ditujukan pada isi wahyu. Maka tak heran, jika mereka mengkategorikan Alquran sebagai jenis-jenis tradisi kebahasaan yang sebelumnya sudah mapan, seperti cerita-cerita masa lalu (asa>t}i>r al-Awwali>n), puisi (syi’ir) dan ucapan seorang dukun.28 Adapun perbedaan antara komunikasi dalam konteks wahyu dengan komunikasi dalam konteks saj’ al-kuhha>n adalah tingkat situasi komunikasi. Yaitu, komunikasi antara manusia dengan makhluk lain yang terkait dalam tingkat eksistensi yang berbeda, Allah dan malaikat dalam konteks Nabi, dan setan dalam konteks jin. Dalam konteks pewahyuan Alquran, Allah secara langsung atau malaikat menyampaikan pesan kepada Nabi. Setelah pesan yang disampaikan itu diterima dan dipahami, maka Nabi pun menyampaikan kepada manusia. komunikasi Nabi didasasrkan pada

25M. Faisol Fatawi, Tafsir Sosiolinguistik Memahami Huruf Muqa>t}a’ah dalam Alquran, 85. 26Nas}r Ha>mid Abu> Zayd, Tekstualitas al-Qur’a>n Kritik Terhadap Ulumul Qur’a>n, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta, LKIS, 2002), 33. 27M. Faisol Fatawi, Tafsir Sosiolinguistik Memahami Huruf Muqa>t}a’ah dalam Alquran, 88. 28 .dongeng atau mitos‛ adalah legenda atau cerita-cerita lama‚ (أساطري) Kata asa>t}i>r Masyarakat Arab memahaminya dalam arti aneka berita atau kisah yang menjadi bahan pembicaraan santai untuk menghabiskan waktu, baik isinya benar dan sesuai dengan kenyataan maupun tidak. Dengan demikian, boleh jadi yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah bahwa Alquran tidak lain kecuali kebohongan atau bahwa ia tidak wajar bersumber dari Allah karena isinya santai, tidak sesuai dengan keagungan Allah. Bisa jadi juga mereka menduga Alquran adalah kutipan dari legenda dan kisah lama yang beredar di Persia, seperti kisah-kisah yang tercantum dalam buku Kalilah wa Dimnah‛. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran (Ciputat: Lentera Hati, 2011), 21.

24 semacam fitrah dan watak yang diciptakan dan ditetapkan oleh Tuhan. Sementara, tukang ramal membutuhkan peralatan dan sarana bantu dalam melepaskan diri dari hambatan-hambatan alam materi, dan untuk berkomunikasai dengan dunia lain.29 Dialektika Alquran dengan basis kultur bahasa dapat dilihat dari relasinya dengan puisi dan sajak. Puisi dikenal sebagai diwa>n-nya masyarakat Arab, walaupun demikian Alquran menolak dianggap sebagai puisi dan Nabi Muhammad sebagai seorang penyair. Meskipun Alquran menolak disebut sebagai puisi namun Alquran tidak merendahkan puisi, justru Alquran memberikan dukungan terhadap puisi yang berguna untuk mewujudkan fungsi Alquran. Maka Alquran membedakan antara puisi yang berisi muatan positif yang mendukung pesan Alquran, dan puisi yang penuh dengan nilai-nilai negatif dalam arti yang bertentangan dengan misi Alquran. Di sini, Alquran menghubungkan puisi dengan nilai agama dan nilai-nilai yang terlahir darinya, dan bahkan menjadikan puisi sebagai sarana pendukung Alquran.30 Hubungan Alquran dengan puisi, pada satu sisi didasarkan pada aspek kesamaan, pada sisi lain didasarkan pada aspek perbedaan hubungan tersebut bersifat dialektis, berangkat dari konsepsi-konsepsi dasar yang ada dalam kebudayaan, jika Alquran menolak dirinya disebut puisi, dan Muhammad disebut penyair, dan penolakan ini memunculkan pendapat puisi dilarang atau paling tidak dibenci (makruh), kesimpulan semacam ini didasarkan pada satu aspek dari hubungan Alquran dengan puisi, sementara aspek lain diabaikan. Teks berusaha menolak sebutan puisi bagi dirinya karena alasan-alasan yang berkaitan dengan konsep bangsa Arab mengenai esensi puisi dilihat dari sumber dan fungsinya. Teks juga menolak Muhammad disebut penyair sebab fungsi penyair dalam masyarakat tersebut berbeda dari fungsi yang deberikan teks terhadap Muhammad. Penyair menjadi corong kabilah, sedangkan Muhammad adalah penyampai misi (risa>lah). Puisi merupakan teks yang menyuarakan kepentingan

29Dalam Q. S. al-Shu>’ara> (42): 51, hanya tiga cara yang ditempuh Tuhan untuk menyampaikan informasi-Nya kepada manusia: a. mimpi/ilham, b. berbicara secara langsung tanpa melihat-Nya, dan c. mengutus malaikat untuk menyampaikan pesan-Nya. Informasi yang diterima seorang nabi melalui malikat, bisa jadi melalui malaikat Jibril, Mikail, atau malaikat yang lain, dan dalam konteks ini Nabi saw. Menerimanya dengan salah satu dari dua cara. Pertama, dengan mengangkat Nabi ke dimensi malaikat. Kedua, adalah dengan menurunkan malaikat ke dimensi manusiawi, dan bila terjadi, maka siapa yang di sekitarnya dapat melihat malaikat itu dalam bentuk manusia. M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan Jilid 2 (Ciputat: Lentera Hati, 2011), 523-524. 30M. Faisol Fatawi, Tafsir Sosiolinguistik Memahami Huruf Muqa>t}a’ah dalam Alquran, 91-92.

25 kelompok dalam menghujat musuh-musuhnya dan membantu sekutu- sekutunya, atau di dalam memuji para tokoh dan pemimpinnya. Sementara Alquran adalah teks yang bertujuan merekonstruksi realitas dan mentransformasikannya ke arah yang lebih baik. Dari sinilah muncul penegasan bahwa Muhammad bukan seorang penyair, dukun, atau penyihir, dan bahwa Alquran bukan puisi.31 Puisi tradisional pra-Islam berfungsi sebagai acuan sejarah bagi bahasa Alquran, semenjak para sarjana Muslim melakukan kodifikasi terhadap tata bahas Arab bahasa masyarakat Badui di semenanjung tersebut menjadi sumber otoritatif. 32 Demikianlah, bagaimana Alquran dapat berdialektika dengan basis kultur bahasa Arab, dengan menggunakan bahasa Arab (yang melebihi struktur bahasa pada waktu itu) sebagai sarana penyampai misinya, oleh masyarakat Arab yang pada awalnya Alquran diterima sebagai fenomena kebahasaan. Hal ini akan dijelaskan pada bab-bab selanjutnya.

C. Diskursus Kebahasaaraban Modern Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa tulis tertua di dunia. Lama sebelum Islam, suku-suku Arab telah memiliki pujangga yang menyusun sya’ir dalam bahasa yang sangat baik, dengan kosa kata yang sangat kaya. Sya’ir pra-Islam, yang dihina oleh sejarawan Muslim sebagai kesusastraan Jahiliyah, sebenarnya merupakan salah satu pusaka sastra yang sangat tinggi nilainya. Dalam linguistik, konsep tentang kesadaran bahasa diharapkan dapat mendeskripsikan perasaan manusia berkaitan dengan suatu komunitas tertentu. Dari sudut pandang ini, kebanggaan orang Arab terhadap bahasanya, dengan mengabaikan kesusastraan yang memiliki karakter yang sangat apologetik, sangat jelas memiliki basis material.33 Perkembangan bahasa berbanding lurus dengan perkembangan pengguna bahasa, hal ini dikarenakan manusia selalu bersosialisasi dengan individu lainnya, proses komunikasi inilah yang membuat bahasa dengan sendirinya berkembang. Bahasa tidak hanya sekedar alat komunikasi untuk menyampaikan maksud dari sang penutur, namun bahasa juga membawa elemen-elemen lain yang ada di sekitar bahasa tersebut. Sebenarnya wacana tentang kebahasaan termasuk dalam kajian klasik, namun kajian tersebut tidak kehilangan sifat kekiniannya. Hal ini

31Nasr Ha>mid Abu> Zayd, Tekstualitas Alquran Kritik Terhadap Ulumul Qur’a>n, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta, LKIS, 2002), 172. 32Roger Allen, An Introduction To Arabic Literature (New York: Cambridge University Press, 2000), 59. 33Bassam Tibi, Islam, Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Misbah Zulfa Ellizabet, Zainul Abas, 132.

26 disebabkan oleh sifat bahasa yang dinamis. Pada awalnya, perdebatan dalam wacana kebahasaan lebih difokuskan pada kompleksitas persoalan logika bahasa yang muncul manakala manusia menggunakan bahasa. Pada awalnya persoalan bahasa merupakan persoalan substansi dan bentuk bahasa, sehingga muncul kebutuhan bahwa bahasa harus memilikili ciri logis. Aristoteles adalah peletak dasar logika tradiasional, dia mengembangkan prinsip keteraturan bahasa. Hampir semua kajian dalam wacana kebahasaan yang dilakukan pada masa-masa sesudahnya sampai masa kini pengaruh Aristoteles terasa sangat besar dalam, karyanya yang berjudul Organon, dia menyatakan bahwa sebagaimana alam yang memiliki ketaraturan, bahasa juga memiliki tata bahasa yang mengaturnya. Keteraturan dalam bahasa ini desebut dengan ‚analogi‛. Ciri yang menandai wacana kebahasaan pada masa itu adalah bagaimana menyusun deskripsi gramatikal suatu bahasa.34 Persoalah bahasa yang hanya seputar persoalan tata bahasa, retorika dan logika yang terjadi pada masa klasik tidak menjadi pembahasan lagi pada abad 19, di abad ini wacana kebahasaan lebih mengenai makna bahasa atau semantik, masa inilah yang disebutu sebagai masa pembalikan ke arah bahasa ‚linguistik turn‛. 35 Salah satu tokoh dalam era ini yang juga merupakan pelopor adalah Ludwig Wittgenstein (1889-1951), tokoh ini memulai analisis kebahasaannya dengan memperkenalkan satu teori yang disebut teori gambar (picture theory of language). 36 Pada abad ke 20, wacana kebahasaan lebih difokuskan lagi pada persoalan sistem tanda atau semiotika. Kajian mengenai semiotika dipelopori oleh Ferdinand de Saussure (1857-1915) dan Charles S. Pierce (1839-1914). Dalam kajian ini bahasa tidak hanya dipandang sebagai teks, tetapi juga struktur dan makna. Terdapat dua fakta yang tidak dapat dipisahkan, yaitu antara fakta wacana dengan fakta bahasa. Fakta wacana berkaitan dengan posisi pembicara dan topik yang dibicarakan, serta pertukaran makna dengan teksnya, sedangkan fakta bahasa berkaitan dengan sintaksis, semantik dan tata bahasa. kedua hal tersebut saling

34Benny H. Hoed, ‚Bahasa Sebagai Arena Pertarungan: Sebuah Pendahuluan,‛ dalam Bahasa Negara Versus Bahasa Gerakan Mahasiswa Kajian Semiotika Atas Teks-Teks Pidato Presiden dan Selebaran Gerakan Mahasiswa, ed. Muridan S. Widjojo dan Mashudi Noorsalim (Jakarta, Penerbit: LIPI Press, 2004), 4. 35Benny H. Hoed, ‚Bahasa Sebagai Arena Pertarungan: Sebuah Pendahuluan,‛ dalam Bahasa Negara Versus Bahasa Gerakan Mahasiswa Kajian Semiotika Atas Teks-Teks Pidato Presiden dan Selebaran Gerakan Mahasiswa, ed. Muridan S. Widjojo dan Mashudi Noorsalim, 5. 36Hardi Suyitno, ‚Hubungan Antara Bahasa Dengan Logika Dan Matematika Menurut Pemikiran Wittgenstein,‛ Humaniora 20, no. 1 (2008): 27, http://download.portal garuda.org/article.php?article=3038&val=297 (2 Desember 2013).

27 berkaitan dalam proses dan pembentukan suatu ideologi. Bentuk linguistik memainkan peran dasar di dalam studi sosial, karena bahasa adalah suatu bentuk praktik sosial di antara beberapa praktik sosial dari representasi dan penunjukan. Studi bahasa memiliki dua fungsi, yaitu menggambarkan teori- teori sosial dan semiotik, teori-teori gerakan sosial dan relasi-relasinya, serta teori-teori sistem representasi dan penunjukan. Oleh karena itu, studi bahasa terdiri dari studi perilaku sosial dan studi teks, di mana studi perilaku sosial tidak hanya meliputi teks tetapi juga aksi-aksi sosial sebagai suatu teks tersendiri.37 Konsep bahasa sebagai sistem tanda dikembangkan dan diuraikan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1915), pakar linguistik berkebangsaan Swiss yang secara umum diakui sebagai bapak linguistik modern. Pengertian dasar linguistik de Saussure bertolak dari dikotomi yang dalam bahasa Perancis disebut langue dan parole serta signifiant dan signifie.38 Langue adalah suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat, sementara parole adalah penggunaan bahasa secara individual. Adapun signifiant adalah aspek formal atau citra akustik, bunyi bahasa sebagai tanda, sedangkan signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptual. Dua aspek signifiant dan signifie ini membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan, yang disebut tanda, akan tetapi hubungan tersebut berfisat arbitrer.39 Hubungan arbitrer antara signifiant dan signifie inilah yang sering

37Benny H. Hoed, ‚Bahasa Sebagai Arena Pertarungan: Sebuah Pendahuluan,‛ dalam Bahasa Negara Versus Bahasa Gerakan Mahasiswa Kajian Semiotika Atas Teks-Teks Pidato Presiden dan Selebaran Gerakan Mahasiswa, ed. Muridan S. Widjojo dan Mashudi Noorsalim, 6. 38Ferdinand de Saussure menempatkan langue di atas parole. Penempatan ini merupakan implikasi logis dari asumsi dasar Ferdinand de Saussure bahwa struktur bahasa adalah syarat-syarat yang memungkinkan adanya manifestasi dari berbagai variasi ujaran dan tulisan (parole). Langue merupakan origin, paradigma, pondasi, forma dari parole. Ferdinand de Saussure menyatakan parole tidak dapat dikaji karena bersifat atomistik, historis, dan subyektif pada dirinya. Dari pengertian parole sebagai ungkapan individual yang bersifat subjektif dan tak dapat dikaji karena tidak memiliki pola, muncul pemahaman bahwa individu pun dipengaruhi struktur. Pola yang terdapat dalam setiap individu merupakan produk struktur. Individu berkembang subordinat dari sturktur. Bagus Takwim. Akar-Akar Ideologi ( Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2009), 104. 39Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 14. Signifiant dalam bahasa Indonesia bisa disebut sebagai penanda. Hakikat penanda adalah murni sebagai sebuah relatum, yang pembatasannya tidak terlepas dari petanda. Substansi penanda senantiasa bersifat material seperti bunyi-bunyi, objek, imaji- imaji dan sebagainya. Sedangkan signifie atau lazim disebut petanda merupakan aspek mental dari tanda-tanda, yang biasanya disebut sebagai ‚konsep.‛ Petanda bukanlah ‚sesuatu yang diacu oleh tanda‛ (referen), melainkan sebuah representasi mental dari ‚apa yang diacu.‛ Kris Budiman, Kosa Semiotika (Yogyakarta: LKIS, 1999), 93-94.

28 dimanfaatkan oleh pengarang karya sastra dengan memanipulasi kesepakatan pemakaian bahasa sebagai sitem tanda. Seorang penyair biasanya sangat memanfaatkan kearbitreran ini. Kadang-kadang manipulasi dilakukan sedemikian rupa sehingga hasil karyanya tidak dapat dipahami. Ia tidak perduli karena hal itu dianggapa sebagai licensia poetarum (hak seorang penyair). Istilah langue, parole, dan langage yang diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure dalam bahasa Arab sepadan dengan istilah lisa>n, kala>m, dan z}a>hirah lughawi>yah. Alquran menunjukkan konsep yang sangat jelas tentang bahasa Arab dan mendasarkan konsep wahyunya dan tugas kenabian berdasarkan gagasan ini. Konsep tersebut dimulai dari pengenalan fakta bahwa setiap kaum (komunitas) memiliki lisa>n atau langue-nya masing- masing. Tak seorang pun menciptakan bahasa dari sebuah kefakuman, melainkan melalui tanda-tanda atau bentuk-bentuk yang sarat isyarat dan diwariskan dari generasi ke generasi untuk dikembangkan. Tanda-tanda tersebut berupa jejak dari masyarakat secara turun-temurun selam berabad- abad. Istilah logosfer dipakai untuk menunjuk ‚ruang bahasa‛ sebagai tempat sekelompok manusia menata. Membentuk, dan menyampaikan makna sesuai sejarahnya. 40 Bahasa Arab (lisa>n al-‘Arab) telah tumbuh sejak lama di tempat tinggal bangsa Samiah, yaitu kawasan Hijaz, Najd, dan sekitarnya. Jejak awal yang dikenal berasal dari peninggalan bahasa Akadiyah sampai abad- 20 sebelum Masehi. Bahasa Ibrani (12 SM), Bahasa Finiqi (10 sebelum Masehi), Bahasa Arami (9 SM), dan Bahasa Arab Ba’idah pada awal abad Masehi.41 Sampai sejauh itu belum banyak diketahui kapan mulai tumbuhnya bahasa Arab kecuali periode yang dikenal sebagai periode bahasa Arab Ba’idah dan periode bahasa Arab Ba>qiyah. Dari bahasa Arab Ba>qiyah tersebut, oleh karena berbagai faktor, terbentuklah apa yang disebut al-lughah al-mushtarakah (lingua franca), bahasa masyarakat (langue) yang dikenal oleh mayoritas suku bangsa Arab, utamanya bahasa Quraisy. Alquran disebut ‘Arabi karena diturunkan dengan lisa>n ‘Arabi al- mubi>n yang menjadi lisa>n ‘Arab satu untuk bersama (al-lisa>n al-‘Arabiyah

40Sugeng Sugiono, al-Qur’a>n Tanda-Tanda Bahasa, dan Perubahannya, Pidato pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Bahasa di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2011. http://digilib.uin-suka.ac.id/6991/1/BAB%20I%20DAN%20V.pdf (2 Desember 2013). 41Luis ‘Awwad}, Muqaddimah fi> Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyah (Kairo: Jami>’ al-H}uqu>q Manfu>z}ah, 1993), 50-51.

29 al-wa>hid al-mushtarak) di tengah-tengah bangsa Arab, lisa>n yang kemudian disebut sebagai bahasa Arab fus}ha.42 Secara singkat dapat disebutkan bahwa walaupun Alquran merupakan bahasa Tuhan tidak lantas membuatnya terlepas dari gejala bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Arab. Karena hal inilah Alquran bisa dilihat sebagai korpus linguistik.

1. Kritik Ideologi dalam Bahasa dan Sastra Bahasa merupakan satu elemen yang tak terpisahkan dari segala aspek kehidupan manusia. Sastra sebagai suatu produk dari budaya yang menggunakan bahasa sebagai medianya, merupakan salah satu bentuk dari ekspresi bahasa. Sastra dengan segala bentuknya, puisi, pantun, prosa dan lainnya merupakan satu bentuk komunikasi antara sastrawan dan para pembaca. Komunikasi tersebut berbeda dengan komunikasi sehari-hari, hal ini dikarenakan bahasa yang digunakan dalam sastra penuh dengan gaya bahasa metafora bahkan terdapat juga unsur imajinasi. Sastra merupakan penggunaan sacara khusus kata-kata atau tanda- tanda yanga ada dalam beberapa bentuk kebudayaan manusia dimanapun, di masa kapan pun.43 Karya sastra tidak hanya sekedar permainan kata-kata yang akan tampak sedikit ‚aneh‛ karena struktur kata dalam karya sastra berbeda dengan struktur kata teks lainnya. Dalam sejarah kesusastraan, tujuan dari adanya karya sastra tidak hanya sebagai ekspresi dari para sastrawan melainkan lebih dari hal tersebut, sastrawan mengekpresikan hal-hal yang dialaminya seputar fenomena kehidupan, peristiwa tersebut bisa menyangkut kejadian yang dialami oleh sastrawan itu sendiri (eksternal) bisa juga dari perasaan yang bergejolak dalam jiwa sastrawan. Perasaan tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor alam, keadaan kehidupan, perkembangan ideologi,44 dan beraneka ragam fenomena lain yang terjadi di tengah masyarakat. Bahasa sebagai alat komunikasi pada dasarnya bersifat netral, tetapi dapat digunakan sebagai sesuatu yang bersifat baik atau

42Sugeng Sugiono, al-Qur’a>n Tanda-Tanda Bahasa, dan Perubahannya, Pidato pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Bahasa di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2011. http://digilib.uin-suka.ac.id/6991/1/BAB%20I%20DAN%20V.pdf (2 Desember 2013). 43J. Hillis Miller, On literature, terj. Behtari Anissa Ismayasari (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 12. 44Terry Eagleton, Marxisme dan Kritik sastra, terj. Zaim Rafiqi (Depok: Desantara, 2002), 31.

30

tidak baik. Bahasa menjadi satu-satunya bentuk eksperisi manusia yang dapat mengantarkan maksud dari penuturnya. Pada dasarnya, karya sastra tidak berbeda dengan karya sejarah, filsafat, atau sosiologi. Kesemuaannya mengangkat bahan yang sama, masalah manusia dan kemanusiaan, yang membedakannya adalah bagaimana bahan yang sama itu diolah, disajikan dan diberi penekanan lewat sudut pandang masing-masing. Sejarah, misalnya, mencoba merekonstruksi peristiwa manusia dan kemanusiaan yang terjadi pada masa lalu. Filsafat mencoba mengangkat hakikat keberadaan manusia lewat uraian-uraian rasional, logis. Adapun sosiologi, mencoba mengangkat keberadan individu dalam kaitannya dengan individu dalam kaitannya dengan individu lain dan lingkungan masyarakat dan kebudayaannya.45 Sedangkan karya sastra dapat memanfaatkan fakta historis, pemikiran filosofis, atau fakta sosiologis. Bahkan karya sastra juga dapat menggabungkan ketiganya sekaligus. Secara hakiki, yang membedakan karya sastra dengan karya non-sastra adalah dominasi imajinasi. Dalam karya sastra, dominasi imajinasi sangat penting. Oleh karena itu, dalam karya sastra semua fakta cenderung diperlakukan sebagai fiksi. Fakta dalam karya sastra adalah fiksi. Itu pula sebabnya, penilaian terhadap karya sastra tidak berkaitan dengan masalah benar- salah, tetapi berkaitan dengan kesanggupannya menyajikan keindahan estetik. Dengan begitu, fakta yang kemudian menjadi fiksi itu, semata- mata dimaksudkan, agar lahir keindahan estetik. Dalam kaitan itulah, karya sastra dapat juga dilihat sebagai fakta struktural artistik, fakta sosial-komunikasional, dan fakta intertekstual.46

45Maman S. Mahayana, Sembilan Jawabah Sastra Indonesia Sebuah Orientasi Kritik (Jakarta: Bening Publishing, 2005), 40. 46Sebagai fakta struktural-artistik, karya sastra dipandang sebagai sebuah struktur yang dibangun atas sejumlah unsur yang bersifat fungsional. Kaitan fungsi sejumlah unsur itu, jika memperlihatkan kepaduan dan koherensi, akan melahirkan keindahan estetik. Dalam hal ini, keberhasilannya sangat ditentukan oleh kepiawaian pengarang dalam memanfaatkan dan mengolah fakta menjadi fiksi dan membalurinya dengan imajinasi. Jadi, fakta yang diperoleh lewat pengalaman langsung atau tidak langsung itu, tidaklah ditampilkan sebagai fakta an sich, melainkan sebagai ‚fakta‛ yang direkayasa. Hasilnya adalah sebuah dunia imajinatif yang di dalamnya segala peristiwa serba mungkin terjadi. Sebagai fakta sosial-komunikasional, karya sastra lahir dari sosok seorang sastrawan yang tidak dapat melepaskan diri dari keberadaannya sebagai anggota masyarakat. Karya sastra dalam hal ini, merupakan tanggapan evaluatif sastrawan atas kondisi sosio-kultural masyarakatnya. Anggapan bahwa karya sastra adalah ‚cermin masyarakat‛ sesungguhnya berada di dalam konteks ini. Bagi sastrawan, karya sastra lalu dijadikan sebagai alat untuk melakukan komunikasi tidak langsung dengan masyarakatnya. Jika kemudian terjadi

31

Dalam karya sastra, antara pengarang dan pembaca menempati posisi yang sama-sama penting. Pengarang sebagai pengahasil karya sastra, sedangkan pembaca berperan sebagai penikmat, pengapresiasi bahkan memaknai karya sastra. Dengan kehadiran pembaca inilah karya sastra memainkan peranan sosialnya. Pembaca dapat menemukan dua fungsi dari pembacaannya terhadap karya sastra yaitu fungsi hiburan dan fungsi pelajaran.47 Sebelumnya telah disinggung bahwa karya sastra dapat dilihat sebagai fakta sosial-komunikasional yang merupakan suatu interaksi antara pengarang dengan dunia sekitarnya, interaksi tersebut dapat berupa suatu evaluasi seorang sastrawan terhadap kondisi sosial masyarakatnya. Karena karya satra dapat dilihat sebagai fakta sosial- komunikasional tersebut, karya sastra yang diciptakan oleh pengarang tidak jarang mendapat respon yang positif bahkan juga yang negatif dari masayrakat pembacanya. Dalam menciptakan karya sastra, seorang pengarang membutuhkan ruang yang seluas-luasnya untuk berkreasi, hal tersebut merupakan salah satu faktor penting untuk menuju perkembangan dan kemajuan dunia sastra yang ideal. Kalaupun demikian, masalah kebebasan pengarang tersebut tidaklah berdiri sendiri, ia terkait dengan diri pengarang sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga sebuah negara. Dalam hal ini, karya pengarang akan berhadapan dengan masyarakat pembacanya, bahkan juga berurusan dengan pemerintah yang berkuasa. Pada tahun 1930-an di Indonesia terjadi perdebatan antara ‚seni untuk seni‛ dan ‚seni untuk rakyat‛, yang tidak terbatas di kalangan para seniman saja, melainkan juga melibatkan para budayawan pada umumnya. Hal ini terbukti dengan terlibatnya para sastrawan dalam miskomunikasi atau pemahaman yang berbeda dengan pesan sastrawan, hal itu tidaklah menjadi persoalan. Yang penting bagi sastrawan adalah bahwa ia telah berkarya dan menyampaikan sesuatu lewat karyanya. Soal pemahaman masyarakat pembaca, itu sudah bukan urusan sastrawan lagi. Sedangkan karya sastra sebagai fakta intertekstualitas, didasarkan pada anggapan bahwa karya sastra sebagai sebuah teks, di dalamnya menghadirkan pula teks-teks yang lain, baik yang muncul sebelumnya, maupun yang muncul pada zamannya. Atau, paling tidak, ia mempunyai kaitan dengan teks-teks lain yang sebelumnya telah ada. Teks yang lain itu mungkin saja hanya sebatas mengilhami, mempengaruhi, mengelolahnya kembali, mempebarui atau memberontakinya. Dengan kata lain, karya sastra hadir dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi yang memungkinkan kehidupan karya sastra terus berkembang. Maman S. Mahayana, Sembilan Jawabah Sastra Indonesia Sebuah Orientasi Kritik, 40-41. 47Maman S. Mahayana, Sembilan Jawabah Sastra Indonesia Sebuah Orientasi Kritik, 57-58.

32

Polemik Kebudayaan. Perdebatan mengenai kebudayaan, di samping mengemukakan masalah pokok bentuk kebudayaan yang akan datang. Juga membicarakan bentuk-bentuk kesusastraan yang mesti dipelihara dan dikembangkan dalam rangka memelihara integritas bangsa. Perbedaan pandangan mengenai sastra lama, masuknya kebudayaan Barat, relevansi sastra dalam membangun bangsa, merupakan masalah- masalah yang aktual, bahkan juga sampai sekarang. Polemik ini juga membuktikan bahwa pada dasarnya bangsa Indonesia memberikan tempat yang mamadai terhadap karya seni. Setiap karya sastra yang dianggap mengandung tujuan tertentu dikategorikan sebagai sastra bertendensi, yang pada gilirannya dianggap bermutu rendah.48 Sastra ideologis dan sastra propagandis lebih banyak dikaitkan dengan pengertian negatif. Artinya, fungsi dan manfaat karya seni lebih banyak ditinjau melalu seberapa jauh tujuan yang dapat dicapai dalam rangka melaksanakan niat subjek, dalam hal ini pengarang sebagai anggota masyarakat. Aspek-aspek negatif ini dengan sendirinya telah mengorbankan hakikat karya sebagai rekaan, baik sebagai kualitas estetis maupun studi kultural. Dalam pengertian yang paling ekstrem, sastra bertendensi dikaitkan dengan kelompok Marxis, khususnya Marxis ortodoks. Doktrin Marxis yang paling menonjol adalah hierarki kelas-kelas sosial, dikotomi antara superstruktur idologis, yaitu ideologi umum, agama, ilmu pengetahuan, dan kesenian yang dianggap bertumpu pada infrastruktur material, yang terdiri atas faktor-faktor teknologi, ekonomi, ekologi, dan demografi. Bagi kelompok Marxis karya sastra harus mengandung maksud, yang secara khusus ditujukan pada kepentingan partai. Dalam mengevokasi masalah-masalah sosial sastra Marxis tidak semata-mata menampilkan proses terjadinya antar hubungan, tetapi bagaimana seharusnya hubungan-hubungan itu terjadi. Individu merupakan sistem pendukung masyarakat, bukan sistem tanda yang melahirkannya, sehingga trilogi penulis, teks, dan pembaca berada dalam perspektif yang sama, perspektif kemasyarakatan secara umum. Pikiran merupakan proteksi kolektivitas secara langsung, teks bersifat pasif, karya sastra dengan demikian merupakan semata-mata alat, karya sastra mengabdi pada kelas tertentu, misalnya, sastra lekra harus mengabdi pada kelas yang tertindas. Karya sastra yang tidak memperjuangkan cita-cita partai harus dilarang.49\

48Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 368. 49Nyoman Kutha Ratna, Sastra Dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta, 373- 374.

33

Kritik sastra Marxis diasumsikan menjadi sebuah metode yang mampu mengungkapkan realitas sosial tersebut secara otonom dari subjektivitas kritikusnya. Pandangan ini tentunya juga merupakan konsekuensi dari keyakinan bahwa tindak penerapan Kritik sastra Marxis terhadap telaah sastra identik dengan atau merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan melawan penindasan kelas. Kritik sastra Marxis sebagai metode membaca dan memaknai teks, dipandang punya kemampuan lebih dari alat-alat kritik lainnya, karena pada saat yang sama ia lebih dari sekedar metode. Ia menjadi semacam kekuatan pengungkap realitas yang tidak dikendalikan oleh kritikus penggunanya melainkan beroperasi secara mandiri, lepas dari politis kritikus yang memanfaatkannya. Kritik sastra Marxis juga tidak ideologis karena keberpihakan yang diungkapkannya tidak dipengaruhi oleh suatu weltanschaung tertentu melainkan sesuatu yang telah hadir secara inheren dalam realitas itu sendiri.50 Hubungan antara sastrawan, masyarakat pembaca dan penguasa bukanlah hubungan yang sederhana, hal-hal yang hendak disampaikan oleh sastrawan tidak jarang bertentangan dengan penguasa, akibatnya kebebasan (licentia poetica) dari pengarang sering berbenturan dengan masyarakat atau dari pemerintah yang berkuasa manakala kebebasan tersebut berlawanan dengan norma sosial, norma agama, atau ideologi politik penguasa.

2. Hermeneutika dan Diskursus Kebahasaan Hermeneutika merupakan sebuah metode tafsir dalam aliran filsafat yang memandang bahwa makna suatu tindak (teks atau praktik) bukan sesuatu yang ada pada tindak itu sendiri, namun makna justru ditelusuri melalui orang lain sebagai pasangan komunikasinya dan bersifat relatif bagi penafsirnya. Sebab, walaupun suatu wacana atau wicara ditulis atau dituturkan oleh seseorang, sesuai dengan hakikat bahasa, bagian besar wacana itu tidak ditunjuk untuk diri sendiri, dengan demikian, makna sebenarnya dari wacana itu justru sebagaimana ditafsirkan oleh pasangan komunikasinya.51 Sebagai metode tafsir, hermeneutika menjadikan bahasa sebagai tema sentral, kendati dalam kalangan filsuf hermeneutika sendiri terdapat perbedaan dalam memandang hakikat dan fungsi bahasa, mulai

50Terry Eagleton, Marxisme dan Kritik sastra, terj. Zaim Rafiqi (Depok: Desantara, 2002), xxv. 51Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian Kuasa Bahasa Dalam Wacana Politik Gusdur (Malang: UIN Malang Press, 2007), 54.

34

dari Friedrich Ernts Daniel Schleirmacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911), Martin Heidegger (1889-1976), Hans-Georg Gadamer (1960), Jurgen Habermas (1968), Paul Ricoeur (1969), sampai tokoh post-strukturalisme dan penggagas wacana post-modernisme Jacques Derida.52 Hermeneutika adalah pembacaan ulang (retroaktif) terhadap suatu teks seperti karya sastra sesudah pembacaan heuristik (berdasarkan struktur bahasanya atau makna tingkat pertama). Hermeneutika berarti proses penguraian yang bertolak dari isi dan makna yang tampak menuju makna yang tersembunyi. Dalam pembacaan hermeneutik, seorang pengkaji teks, termasuk di dalamnya teks sastra, harus berusaha memahami secara kreatif makna sastra yang ada di balik struktur. Dalam hal ini, hermeneutika mengacu pada makna (pesan) teks yang bersifat inner, transendental, dan latent (tersembunyi), tidak pada yang manifest (nyata). Tujuannya untuk mendapatkan cakrawala yang dikehendaki sesungguhnya oleh teks, yang dalam teks sastra umumnya (terutama dalam puisi) bersifat simbolik dan metaforik.53 Sebagai bagian ilmu humaniora, sastra termasuk salah satu bidang yang sangat membutuhkan konsep hermeneutika. Sebab, kajian sastra, apapun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, terkait erat dengan karya sastra yang harus diinterpretasi dan dimaknai, semua kegiatan kajian sastra, terutama dalam prosesnya, pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan dalam penafisaran teks sastra.54 Hermeneutika tidak hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut, yakni horison teks, pengarang dan pembaca. Dengan kata lain sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yakni teks, konteks, dan upaya kontekstualisasi. Berdasarkan hal tersebut, hermeneutika menempatkan bahasa sebagai

52Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian Kuasa Bahasa Dalam Wacana Politik Gusdur , 55. 53Sukron Kamil, Najib mah}fuz}: Sastra, Islam, dan Politik Studi Semiotika Terhadap Novel Aula>d H{a>ratina> (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), 102. 54Cahya Buana, Simbol Simbol Keagamaan dalam Syi’ir Jahiliyah (Yogyakarta: Mocopot Offset, 2014), 14.

35

bagian sangat penting dalam kajiannya. Sebab, bahasa dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.55 Bahasa berfungsi untuk membatasi sekaligus memperluas kemungkinan penafsiran teks bagi pembaca. Bahasa bukanlah milik penulis sebagai individu, melainkan milik masyarakat. Bahasa dimanfaatkan secara sosial, dipersiapkan melalui jaringan interaksi sosial, dan dengan sendirinya merupakan sarana utama dalam paradigma penafsiran masalah-masalah sosial. Ciri-ciri bahasa sebagai sistem sosial memberikan ruang kepada pembaca untuk menerobos berbagai dimensi imajinasi dan kreativitas penulis, dengan memanfaatkan secara maksimal konvensi dan tradisi penulisan, citra pemahaman terbagi, khususnya yang terkandung dalam peralatan intrinsik karya sastra.56 Sebagai sebuah metode tafsir yang menggunakan bahasa sebagai tema sentral, karya sastra pastinya menjadi lahan yang potensial bagi kajian hermeneutika. Sastra termasuk salah satu cabang dari ilmu humaniora dan dalam perkembangannya suatu karya sastra membutuhkan suatu penafsiran karena karya sastra menggunakan bahasa sebagai medianya.

55Cahya Buana, Simbol Simbol Keagamaan Dalam Syiir Jahiliyah, 90-91. 56Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiolgi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 95.

36

BAB III PANDANGAN ADONIS TENTANG BAHASA ARAB

Setelah menguraikan relasi antara bahasa Arab dan Alquran dalam bingkai kesusastraan yang menjadi kerangka dalam penelitian ini, maka dalam bab akan dijelaskan bagaimana sebenarnya Adonis, yang merupakan tokoh kajian dalam penelitian ini, melihat bahasa Arab. Dalam pembaruan di dunia Arab Adonis menyampaikan gagasan- gagasannya melalui puisi dan kritik puisi, dia meletakkan dasar-dasar pembaruan. Kebebasan adalah salah satu asas penting yang harus dimiliki untuk merebut hidup baru, Adonis mengatakan bahwa tanpa kebebasan, dunia ini menjadi tak masuk akal, dan manusia tak lagi menjadi manusia (sesungguhnya). Kreasi puitis memang tercipta secara organik dari tradisi di mana si penyair lahir, namun bagi Adonis bahwa seorang penyair haruslah ‚mencipta, dan bukan mengikuti‛.

A. Dialektika Kemapanan dan Kreativitas dalam Gerakan Kebahasaan Banyak teori yang menjelaskan mengenai asa-usul bahasa, teori-teori mengenai asal-usul bahasa tidak hanya menjadi objek kajian para sarjana bahasa melainkan juga dari kalangan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog. Efek dari berbagai kajian bahasa tersebut mengahasilkan sub-sub ilmu dan filsafat bahasa seperti: fonologi, semantik, gramatika, psikolinguistik, neurolinguistik, antropolinguistik, sosiolinguistik, sastra, semiotika, dan hermeneutika. Asal-asul bahasa bersifat spekulatif, karena sifat inilah perkembangan teori kelahiran bahasa sangat bervariasi mulai dari yang bersifat ilmiah, ideologis-rasialis, sampai yang bernada mitos. Secara garis besar, terdapat tiga teori besar yang berkaitan dengan hal ini, yaitu: Teologis, Naturalis, dan Konvensionalis. Aliran Teologis mengatakan, manusia bisa berbahasa karena anugerah Tuhan dan pada mulanya Tuhan yang mengajarkannya pada Adam As. Pandangan ini sering kali didasarkan pada cerita Alquran dan Bibel mengenai kehidupan Adam As. di surga dan dialognya dengan Tuhan. Selanjutnya kaum Naturalis beranggapan bahwa kemampuan berbahasa merupaka bawaan alam, sebagaimana kemampuan untuk melihat, mendengar, maupun berjalan. Terakhir pendapat dari kalangan Konvensionalis, kelompok ini berpendapat bahwa bahasa pada awalnya muncul sebagai produk sosial. Ia merupakan hasil konvensi yang disepakati dan kemudian dilestarikan oleh masyarakat.1 Faktor pertama dalam mengkaji bahasa dan puisi Jahiliyah dapat dilihat dari pendapat yang mengatakan bahwa bahasa adalah anugerah

1Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 30-31. Tuhan kepada nabi Adam As. yang menyebabkan adanya hubungan substansial antara bahasa dengan agama. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa usia bahasa Arab sama tuanya dengan nabi Adam As.2 Kajian mengenai bahasa-puisi menjadi sarana untuk mengenali agama dan memahami Alquran.3 Menurut perspektif di atas bahasa Arab bersifat eternal ketuhanan, dan siapa saja yang meriwayatkannya harus memperlakukannya seperti perlakuannya dalam meriwayatkan hadis. Masih menurut pandangan ini, puisi Jahiliyah dikodifikasi dan bahasanya dianggap sebagai kriteria bagi orisinalitas bahasa.4 Pengetahuan mengenai bahasa dan puisi Jahiliyah

2Ibnu Asa>kir berpendapat bahwa Adam As. berbicara dengan bahasa Arab ketika di surga. Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab vol. II (Beirut: al-Da>r al-Fikr 1986), 151. 3Tafsir sastra terhadap kitab Alquran merupakan kewajiban pertama yang harus diupayakan oleh siapa saja yang memiliki kaitan kebahasa sastraan dengan bahasa Arab, apakah orang Arab ataupun bukan. Seputar Alquran yang berkaitan dengan latar belakang materil dan spiritual tempat di mana Alquran muncul, diwahyukan dalam rentang waktu, dikodifikasikan, ditulis, dibaca, dihafalkan, dan berbicara untuk pertama kalinya kepada masyarkat di lingkungan tersebut. Kepada merekalah Alquran mengerahkan misinya agar mereka bangkit untuk menunaikannya dan menyampaikannya kepada bangsa-bangsa di dunia. Maka, semangat Alquran adalah kearaban, corak warnanya Arab, style-nya Arab ‚sebagai bacaan Arab yang lurus. Di samping itu, harus dipertimbangkan pula semua yang berkaitan dengan latar belakang spiritual dengan segala maknanya dari kata spiritual tersebut yang sangat luas, masa lalu zaman dahulu kala, sejarah mereka, sistem keluarga, atau kabilah, pemerintahan dan berbagai seni meskipun beragam coraknya. Jika kajian sastra berusaha keras mengenal bahasa Arab dan kearaban secara lebih jauh, lebih dalam dan lebih cermat, dengan harapan agar kajian ini dapat mengkaji sastra bahasa Arab secara benar, hal itu karena Alquran ini merupakan puncak tertinggi dan utama sastra ini, merupakan jantungnya yang berdenyut. Amin al-Khulli dan Nasr H{a>mid Abu> Zayd, Metode Tafsir Sastra, terj. Khoiron Nahdliyin (Yogyakarta: Adab Press, 2004), 63-68. 4Masa kodifikasi disebut dengan’as}r al-tadwi>n yaitu masa dimana berlangsung proyek konstruksi budaya secara masif dalam pengalaman sejarah peradaban Islam,antara pertengahan abad ke-2 H dan pertengahan abad ke-3 H. Selanjutnya, peradaban ini membentuk sebuah kerangka rujukan bagi pemikiran Arab dengan segenap disiplin keilmuannya yang beragam. ’as}r al-tadwi>n bukanlah sekadar proses pembukuan dan pembakuan disiplin-disiplin keilmuan, yang sebenarnya sudah muncul sebelum pada masa sebelumnya. Tapi kita harus memahaminya sebagai sebuah rekonstruksi kebudayaan secara menyeluruh, dengan segenap yang dikandung proses tersebut, baik yang berupa eliminasi, dan suplementasi, dominasi, pembungkaman, manipulasi, dan penafsiran, yang kesemuanya itu dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologis dan faktor-faktor sosio-kultural yang beragam. Di masa inilah bahasa Arab dibakukan, beberapa disiplin keilmuan Islam, seperti hadis, fiqh, dan tafsir, dibentuk dan dirumuskan, termasuk penerjemahan tradisi pemikiran filsafat Yunani-Hellenisme ke dalam bahasa Arab. Keseluruhan proses tersebut berlangsung tumpang tindih, berinteraksi antara satu dengan lainnya. Ini berdampak pada hubungan antara bahasa dan pemikiran dalam kebudayaan Islam-Arab. Muh}ammad ‘Abiri>, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso (Yogyakarta: LKIS, 2000), 60-61. 38 menjadi persyaratan pertama dalam mengetahui kemukjizatan Alquran. penguasaan terhadap keduanya menjadi tolok ukur dalam merasakan kemukjizatan Alquran yang pada akhirnya orang Arab sendiri menyadari bahwa mereka tidak mampu membuat yang sama dengan Alquran pada gilirannya mereka bisa mengimani bahwa Alquran benar-benar merupakan wahyu.5 Seperti itulah, orang Arab lebih melihat Alquran pada masa awal Islam dari sisi bahasanya daripada melihatnya dari sisi muatan keagamaanya. Bahasa menjadi sebab mengapa ia menolak atau menerima Alquran. Salah satu faktor sosial yang memberikan pengaruh besar terhadap bahasa adalah agama. Hampir semua agama besar di dunia telah memberikan pengaruh yang besar untuk perkembangan suatu bahasa. Agama Yahudi telah menyebarkan bahasa Aramik dan Ibrani, juga bahasa Yiddik dan Sephardi ke perbatasan Palestina. Agama Islam tidak hanya membawa Alquran, melainkan juga bahasa Arab yang sebelumnya digunakan di sebagian wilayah-wilayah kecil, ke wilayah-wilayah yang luas seperti Eropa, Asia, Afrika, dan Oseania. Bahkan bahasa Arab mempengaruhi bahasa-bahasa pribumi. Bahasa seperti Persia, Hindustani, Turki, Indonesia, Melayu penuh dengan kata-kata Arab. Agama Kristen memberikan kontribusianya terhadap dua bahasa, Latin dan Yunani. Berkat agama Kristen lah kedua bahasa tersebut langsung hidup dan tersebar, dan tidak tenggelam oleh para penjajah yang menggunakan bahasa asing yang masuk ke wilayah tersebut. Karena sudah dimaklumi bahwasannya penjajah tidak hanya menjajah suatu wilayah saja, melainkan juga memberikan pengaruh bahasa bahkan memaksakannnya terhadap bahasa wilayah yang di jajah.6 Dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh positif dan negatif yang berikan oleh agama terhadap bahasa. Bahasa yang di manfaatkan oleh agama untuk menyampaikan pesan-pesannya yang luhur akan cenderung mengalami perkembangan yang lambat secara linguistik. Pada abad pertengahan di Hungaria, semua tulisan harus di tulis dalam bahasa Latin Gereja, menulis dengan bahasa sehari-hari dianggap sebagai perbuatan kejahatan yang menyebabkan pelakunya dihukum, bahkan diancam hukuman mati. Hal tersebut menyebabkan dalam waktu yang lama bahasa Hungaria mengalami terpecah-pecah dalam beberapa dialek yang hanya dalam bentuk lisan, akibatnya memperlambat bahasa tersebut menjadi bahasa nasional. Salah satu hal yang memberatkan Mustofa Kemal terhadap

5Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II , 151. 6Mario Pei, Kisah Daripada Bahasa, terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: Yayasan Dana Buku Franklin 1965), hal 189. 39 huruf-huruf Arab yang digantinya dengan huruf Latin adalah bahwa alfabet Arab telah memperlambat kemajuan bahasa Turki, pembentukannya tidak hanya meliputi penggantian tulisan, melainkan juga bersifat pemurnian bahasa, yang dibersihkan dari kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan Persia yang banyak mangandung sifat-sifat keagamaan.7 Jika relasi antara bahasa dan agama memberikan kesan bahwa agama cenderung memperlambat pekembangan bahasa secara linguistik, hal tersebut bertolak belakang dengan relasi bahasa dengan puisi. Sama halnya seperti agama, Puisi (sastra) menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya, namun puisi memberikan perkembangan terhadap bahasa secara linguistik. Hal tersebut disebabkan oleh pengalam intelektual dari sastrawan. Sedangkan Alquran sebagai performansi dari lisa>n dalam wujud kala>m (parole) adalah tanda-tanda linguistik yang tetap dan tidak berubah karena ia merupakan kala>m tuhan dan bukan kala>m manusia yang setiap saat mengalami perubahan. Sebagai kala>m, Alquran tetap sebagaimana adanya, sebuah korpus linguistik yang sempurna, baik sebagai kala>m potensi (al- kala>m bi al-quwwah) maupun kala>m aktif (al- kala>m bi al-fi’l). Sebagai al-kala>m bi al-quwwah, Alquran menjadi tanda-tanda bahasa yang tetap karena terbingkai oleh lisa>n yang menempati waktu dan oleh faktor- faktor pelestari berupa tradisi lisan (oral) dan terjaga rapi dari segala bentuk manipulasi. Sebagai al-kala>m bi al-fi’l, Alquran adalah tanda-tanda bahasa yang hidup dan aktif karena ia subjek sekaligus objek. Ia berupa tanda-tanda bahasa yang selalu mengalami perubahan akibat terdapatnya pergeseran hubungan antara bentuk-bentuk yang menandakan dengan konsep-konsep yang ditandakan. Sebagai sebuah korpus bahasa, Alquran bukan saja bersifat centrifugal, atau sebuah centrifuge yang menjadi sumber mengalirnya petunjuk, ilmu, dan penalaran, melainkan juga bersifat centripetal, yaitu tempat rujukan bagi petunjuk hidup, konsultasi jiwa, nalar, dan ilmu pengetahuan.8 Dalam paradigma seni sastra dan Islam, konsep baku seni sastra dalam perspektif Islam belum disepakati secara menyeluruh. Belum matangnya paradigma sastra dalam perspektif Islam disebabkan karena adanya perdebatan dan kontroversi yang tidak pernah tuntas tentang seni sastra dalam perspektif Islam. Di satu sisi sebagian besar orang muslim

7Mario Pei, Kisah Daripada Bahasa, terj. Nugroho Notosusanto , hal 190-191. 8Sugeng Sugiono, Alquran Tanda-Tanda Bahasa, dan Perubahannya, (Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Bahasa di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2011). http://digilib.uin-suka.ac.id/6991/1/BAB%20I%20DAN%20V.pdf (2 Desember 2013). 40 mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan seni sastra, apalagi melarang, seni sastra.9 Perdebatan yang tidak pernah tuntas tentang seni dan sastra dalam perspektif Islam disebabkan oleh banyak faktor. Di antara faktor yang sangat menonjol adalah adanya beberapa ayat dan hadith Nabi yang ditafsirkan oleh sebagian besar ulama sebagai bukti secara tekstual kekurang simpatikan Islam dengan apa yang disebut dengan seni sastra. Pendapat semacam ini sebetulnya merupakan warisan dari kritikus sastra abad 2 dan 3 H, ketika mengatakan bahwa sastra menjadi lemah dan tidak berfungsi sejak Islam datang dan memposisikan diri sebagai musuh atas sastra.10 Dalam dunia Islam, mengenai relasi antara sastra dan Islam menimbulkan perdebatan yang panjang. Perdebatan tersebut mengenai seputar bagaimana melihat sisi kompatibelnya karya sastra yang berangkat dari kerativitas yang tanpa batas dengan ideologi agama Islam.11 Di Indonesia, perdebatan mengenai adanya keterkaitan antara sastra dan Islam disebabkan oleh beberapa faktor.12 Pertama, kurangnya perhatian ulama, pemimpin, dan cendikiawan Islam terhadap sastra, bahkan sebagian melihatnya sebagai hasil imajinasi yang tidak ada gunanya. Pihak yang melihat sastra sebagai hasil yang imaginatif tersebut merupakan pihak dari ahli fiqh dimana pihak tersebut sangat ketat terhadap hal-hal yang boleh dan tidak diperbolehkannya menggambarkan dzat Tuhan secara imajinatif. Hal tersebut berbeda dengan para sufi dalam memandang sastra, bahkan, para sufi penyair dalam puisi-puisinya justru mengagungkan cinta dan mengungkapkan bahasa cinta kepada sesama manusia dalam mengungkapkan cintanya kepada Tuhan. Tentu saja hal ini dinilai para ulama fuqaha sebagai suatu hal yang erotis. Para sufi atau fuqaha sufi seperti Ibn Hazm bahkan melihat kecantikan jasmani (yang sering diungkapkan dalam karya sastra) adalah suatu ‚theopani‛ yang mengumumkan dan menjadi saksi bagi kehadiran Tuhan. Kedua, yang harus dikaji ulang mengenai keterkaitan antara sastra dan Islam adalah adanya unsur licentia Poetika (kebebasan berkreasi) dalam karya sastra. Dalam Islam sepertinya tidak ditemukan hal-hal yang seperti ini karena Islam sangat terkait dengan wujud Tuhan yang transenden.

9Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya (Malang: UIN Malang Press, 2008), 6. 10Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, 6. 11Sapardi Djoko Damono, Politik Ideologi dan Sastra Hibrida (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), 54. 12Sukron Kamil, Najib Mah}fuz}: Sastra, Islam, dan Politik Studi Semiotika Terhadap Novel Aula>d H{a>ratina> (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), 45. 41

Padahal licentia Poetika merupakan prasyarat bagi perkembangan sastra. Dalam kasus terhadap cerpen ‚langit Makin Mendung‛ karya Kipanjikusmin yang mendapat reaksi keras dari umat Islam yang bahkan menyeret HB. Jasin ke pengadilan, karena cerpen tersebut dinilai telah menggambarkan wujud Allah.13 Memang harus diakui bahwa perdebatan mengenai keterkaitan antara sastra dan Islam masih terus berlanjut bahkan hingga masa kini. Oleh karena itu wacana modernisasi dalam pemikiran Arab-Islam selalu dianggap tema yang masih hangat, walaupun oleh sebagian pemikir tema tersebut dianggap sebagai tema yang lama untuk didiskusikan. Dalam dunia Arab perdebatan antara sastra dan Islam sangat jelas dirasakan, hal tersebut disebabkan karena penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa puisi dan bahasa Arab sebagai bahasa Alquran. Dengan sendirinya banyak yang beranggapan bahasa Arab menjadi sakral dengan sendirinya karena digunakan sebagai bahasa wahyu. Tradisi berbahasa dalam dunia Arab seakan-akan juga diatur oleh agama, agama telah menjadi suatu barometer untuk menilai bagus atau buruknya sebuah karya sastra. Hal semacam inilah yang menjadi dasar keresahan Adonis dalam memandang posisi bahasa Arab dan puisi dan Islam. Adonis,14 dikenal sebagai penyair pembaharu sekaligus kritikus budaya. pada mulanya dia penyair yang diagungkan dalam khazanah dunia Arab. Maka, kalau dia dipandang sebagai pemikir Arab-Islam seperti

13Sukron Kamil, Najib mah}fuz}: Sastra, Islam, dan Politik Studi Semiotika Terhadap Novel Aula>d H{a>ratina> , 45. 14Merupakan penyair Arab kontemporer dan salah satu yang penyair yang paling penting dalam sejarah kesusastraan Arab. Adu>ni>s merupakan nama pena, sedangkan nama aslinya adalah Ali Ahmad Sa’id, ia di lahirkan di Qassabin, sebuah kota kecil di Suriah. Kecerdasannya dalam berpuisi membantunya dalam mendapatkan pendidikan secara gratis di Damaskus, Beirut, dan Paris. Pada akhirnya Adu>ni>s menjadi seorang penyair sekaligus intelektual yang terkenal. Kemudian Adu>ni>s diangkat sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi di antaranya adalah: di Paris, Jenewa, dan beberapa universitas di Eropa dan Amerika. Sebagai penyair yang filosofis (berpikir) Adu>ni>s mempuyai sepesialisasi dalam hal Arab dan puisi dan mendambakan perubahan yang besar. Oleh karena itu, Adu>ni>s menjadi ikon modernisasi dan renaisans budaya di dunia Arab. Di Beirut Adu>ni>s menjadi seorang nasionalis Lebanon, pada waktu itu Beirut merupakan pusat budaya dunia Arab. Pada tahun 1957, bersama Yusuf al-Khal, Adu>ni>s menerbitkan majalah Shi’ir yang berorientasi untuk mendukung puisi dan prosa dalam bahasa Arab dan berinovasi dan banyak dipengaruhi oleh modernisme Barat. Kemudian, Adu>ni>s menerbitkan majalah sendiri yang diberi nama mawa>qif. Majalah ini mampu menjadi wadah pertemuan para budayawan dan sastrawan yang ada di Barat dan Timur, dan pada akhirnya membuat Adu>ni>s sendiri dituduh mencari kehancuran budaya Arab dengan melanggar tradisi. R. Victoria Arana, The fact on file companion to world poetry, 1900 to the present (New York: An Imprint of Infobase Publishing, 2008), 5-6. http://103.9.88.89/app/2013-10- 22/android/World%20poetry%20-%201900%20to%20the%20Present.pdf 42

Muhammad Arkoun, Nasr H{a>mid Abu> Zayd, ‘Abiri>, H{assan H{anafi, dan seterusnya, Adonis menyebut dirinya sebagai ‚penyair yang berpikir/berfilsafat. Adonis menawarkan suatu hal yang baru dalam dunia kesusastraan Arab yang dia anggap sebelumnya kesusastraan Arab berlandaskan kepada kemapanan teks bukan dari kreativitas penyair. Dalam menjelaskan perkembangan sastra Arab Adonis memetakan dalam dua mainstream besar yaitu tha>bat (yang mapan) dan tah}awwul (yang berubah/kreatif). Kelompok yang pertama oleh Adonis disebut sebagai kelompok yang mendominasi. Hal itu, menurutnya, disebabkan karena perspektif keagamaan telah ikut campur dalam persoalan sastra-puisi. Dalam arti bahwa sistem universal yang diwujudkan oleh agama menjadi faktor mendasar yang menyebabkan masyarakat Arab-Islam sejak abad pertama hijriah hingga munculnya era kebangkitan lebih memilih yang lama (statis) dari pada yang baru (dinamis) sehingga agama menempatkan yang lama dalam posisi sempurna dan menganggap semua yang baru sebagai bentuk penyelewengan dari yang ideal dan sempurna. Menurut pandangan Adonis dalam kebudayaan Arab-Islam selalu terjadi pertentangan dan pertarungan antara pihak atau kelompok yang mengiginkan ortodoksi (kemapaman) dengan pihak atau kelompok yang mengiginkan perubahan dalam semua lini (teologi, politik, budaya, hukum, dan bahasa,sastra,puisi), yang mana masing-masing kelompok merasa sebagai pihak yang benar. Tarik-menarik kepentingan dan juga perebutan klaim kebenaran itulah yang membuat gerak sejarah kebudayaan Arab-Islam menjadi berkembang dinamis, meskipun di sisi yang lain tekadang justru memunculkan anomali dan pertentangan yang tidak jarang juga memakan korban jiwa.15 Adonis mendefinisikan yang mapan (Tha>bit) dalam bingkai kebudayaan Arab sebagai pemikiran yang berdasarkan pada teks, dan yang menjadikan sifat kemapanannya (tha>bat) sebagai dasar bagi kemapanan, baik dalam memahami maupun mengevaluasi. Selain itu, yang mapan (Tha>bit) menegaskan dirinya sebagai makna satu-satunya yang benar bagi teks tersebut, dan berdasasrkan hal itu, ia menjadi otoritas epistemologis. Sementara itu Adonis mendefinisikan yang berubah (al-Mutah}awwil) dengan dua pengertian: pertama, sebagai pemikiran yang berdasar pada teks, namun melalui interpretasi yang membuat teks dapat beradaptasi dengan realitas dan perubahan. Kedua, sebagai pemikiran yang memandang teks tidak mengandung otoritas sama sekali, dan pada dasarnya pemikiran tersebut didasarkan pada akal, bukan naql (tradisi atau wahyu).16

15Fuad Mustafid, Pengantar Redaksi dalam Arkeolgi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam (Yogyakarta: LKIS, 2009), xiii. 16Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam Jilid 1, terj. Khoiron Nahdliyin (Yogyakarta: LKIS, 2007), xxvii-xxviii. 43

Dalam pandangan Adonis, dominasi mentalitas yang hegemonik dalam dunia pemikiran Arab memiliki kekuatan historis dan menurutnya hal tersebut memiliki empat karakteristik.17 Pertama, pada level ontologis, bahwa teologi bangsa Arab yang berkembang cenderung memisahkan tuhan dari manusia dan melihat konsep keagamaan tentang Tuhan sebagai sumber, poros, dan akhir dari segala sesuatu. Pemikiran ini amat abstrak dan rentan dengan jebakan metafisika absolut. Dalam kehidupan sosial-politik, eksistensi komunitas dan negara merupakan proyeksi teologis dan abstraksi metafisis. Manusia tdak hadir di dunia lantara eksistensi dirinya sendiri, tetapi hanya dengan keberadaan Tuhan. Manusia eksis hanya lewat peran agama, komunitas, negara, dan keluarga. Ia tidak mampu memanifestasikan esensi kemanusiaannya sebagai seorang individu otonom, sebab dalam imajinasi kolektif bangsa Arab, ia diandaikan mutlak tidak memiliki kreativitas dan kesanggupan berinovasi. Kedua, pada tingkat psikologis-eksistensialis, mentalitas Arab dicirikan oleh adanya pemikiran ‚preterisme‛ atau kemasalaluan, al- ma>d}awi>yah, yakni keterbelakangan dengan apa yang telah diketahui dan paranoid terhadap apa yang tidak diketahui. Dunia Arab merasa bahwa eksistensinya tergantung pada simbol-simbol dan struktur masa lalu, dan kerap bengis terhadap sesuatu yang berpotensi merongrong dan mengancam hal ini. Mereka menggunakan tradisi yang mengeras dalam kepala mereka untuk melakukan memukul rata segala sesuatu. Manakala semua ini tidak dapat menjelaskan sesuatu yang belum diketahui, maka yang terakhir ini tidak dapat dilakukan. Ketiga, ranah ekspresi dan bahasa Arab ditandai oleh pemisahan antara ide dan pembicaraan. Terdapat pemisahan antara parole dan langue, antara makna dan ujaran. Makna dianggap mendahului ujaran dan ujaran hanyalah gambaran bagi makna atau sekedar hiasan. Gagasan dianggap telah berwujud sebelum pembicaraan, sementara ujaran hanyalah manifestasi atau gambaran ide. Maka, ide tidak dapat diperbarui. Itu pula mengapa, menurut Adonis, khazanah kesusastraan Arab yang melimpah- ruah terus menerus memproduksi bentuk lama dari pada memperbarui. Keempat, perkembangan peradaban Arab dicirikan oleh adanya pertentangan antara unsur-unsur Arab dengan modernitas. Bagi bangsa Arab, apa yang tradisional dan sudah mengeras dalam stok pengetahuan mereka menjadi sumber bagi nilai privat, publik, dan segala hal yang mengatur hubungan manusia dengan dunia. Kepribadian Arab atau kebudayaan Arab berputar-putar dalam lingkaran masa lalu. Modernitas dalam arti sesungguhnya, yang menghargai kreativitas dan inovasi, ditolak

17Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I (Beirut: al-Da>r al-Fikr 1986), 27-31. 44 oleh bangsa Arab. Mereka menolak adanya keraguan, eksperimentasi, kebebasan penelaahan yang mutlak, dan penjelajahan untuk menerka sesuatu yang tidak diketahui. Keempat karakteristik mentalitas kelompok-kelompok yang secara historis mendominasi masyarakat Arab itu, bagi Adonis merepresentasikan kekuatan kontinuitas yang memaksakan ‚konformitas‛ sejak kelahiran Islam, karena perubahan akan mengancam eksistensi mereka. Kelompok- kelompok Arab-Islam yang memiliki gagasan untuk menciptakan dunia baru adalah mereka yang menciptakan konsep baru berkaitan dengan hubungan antara Tuhan dan manusia, antara manusia dengan manusia atau dengan mereka yang memeluk agama, sudah jelas memiliki dimensi politik dan kehidupan baru. Pengalaman sufi misalnya, merupakan penegasan ide-ide abstrak tentang transendensi Tuhan dalam teologi Islam tradisional. Demikian juga kecenderungan rasionalisme Muktazilah dan ilmuwan muslim, kecenderungan sosialistik Qara>mit}ah, kecenderungan ateistik yang menegasikan perlunya nabi dan agama, mereka yang menentang arabisme- atavisme yang ingin menggantinya dengan Islamisme persaudaraan, juga mereka yang memperkenalkan gagasan-gagasan tentang hermeneutika baru yang memberikan prioritas pada akal daripada tradisi, dan mereka yang menganjurkan h}aqi>qah (kebenaran) daripada syari’ah, serta seluruh gerakan yang hendak merevolusi ‚bahasa puitis‛ arab, menurut Adonis secara historis semuanya memliki kekuatan perubahan dan kreativitas dalam ‚warisan‛ Arab, meskipun mereka semua telah ditaklukkan oleh kekuatan kontinuitas dan konformatis yang dominan.18 Dominasi kecenderungan pemikiran Arab terhadap yang mapan (tha>bat) pada umumnya karena terdapat dukungan dari teologi dan politik yang juga cenderung terhadap kemapanan dalam segala manifestasinya. Bagi kecenderungan pertama (yang tetap), masa lalu sudah selesai, sempurna dan tidak perlu ditambah lagi. Dengan demikian, masa kini hanyalah meniru dan menjalankan masa lalu. Sementara itu, kecenderungan kedua (yang dinamis), melihat masa lalu belum selesai dan harus diteruskan dan diperjuangkan hingga mencapai kesempurnaan, dan ini tidak akan pernah didapatkan. Oleh karena itu, perjuangan untuk mendapatkan kesempurnaan tidak pernah berhenti sampai kapan pun. Oleh karena kecenderungan yang pertama begitu dominan maka kecenderungan terhadap perubahan hanya sebagai riak-riak kecil yang sewaktu-waktu dapat dihapus, ditekan, dan bahkan ditiadakan. Oleh karena kecenderungan terhadap kemapanan merupakan kecenderungan yang paling dominan dalam sejarah Arab-Islam maka tidak mengherankan jika kebudayaan mereka kering dari

18Issa J. Boulatta, Dekonstruksi Tradisi Gelegar Pemikiran Arab Islam, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LKIS, 2001), 40. 45 kreativitas, padahal kreativitas ini dalam pandangan Adonis merupakan faktor paling penting dalam pengembangan kehidupan. Pada gilirannya, tidak aneh pula apabila kebudayaan tersebut dalam pertarungannya dengan kebudayaan lain, secara eksternal selalu mengalami kekalahan. Kekalahan ini pada gilirannya memunculkan kompleksitas secara psikologis yang tercermin pada dualisme dalam kehidupan yang tidak pernah terpecahkan.19 Masyarakat Arab-Islam, menurut Adonis, berpikir dan bertindak berdasarkan keyakinan mereka bahwa Islam merupakan dasar norma dalam memandang yang gaib dan sekaligus kehidupan manusia. Mereka mengaitkan secara organik antara agama dan tatanan kehidupan di satu sisi, dan antara agama dengan bahasa, puisi, dan pemikiran di sisi lain. Mereka menyejajarkan pemikiran dan politik dengan agama, begitu juga keabsahan penyair dan pemikir dinilai dengan keabsahan agamanya. Konsep kemapanan dalam agama, politik, dan puisi ini didasarkan pada klaim mengikuti tradisi Nabi dan para sahabatnya. Secara teoritis, sikap mengikuti ini tercermin dalam penggunaan tradisi nabi sebagai norma bagi keabsahan pemikiran dan hukum, dan sebagai sumber keduanya. Inilah akar- akar kemapanan dalam masyarakat Arab-Islam yang menjadi dominan karena didukung oleh kekuasaan. Di sisi lain, terdapat juga akar-akar perubahan yang posisinya sangat marginal. Akar-akar perubahan ini di pelopori oleh kelompok marginal yang coba membangun dan bersandar pada pemahaman baru terhadap agama. Jika akar-akar kemapanan terdapat dalam sikap yang senantiasa mengembalikan segala sesuatu pada norma yang ditemukan di masa lalu dan juga keberlanjutannya, sebagaimana yang dipahami dan dipraktikkan oleh nabi dan para sahabat, maka akar-akar perubahan terdapat dalam sikap mengembalikan segala sesuatu kepada manusia dengan cara meragukan, mempertanyakan, dan terus mencari. Sikap pertama melihat masa kini dalam perspektif masa lalu, sementara sikap kedua melihat masa lalu dengan perspektif masa kini.20 Jika yang pertama muncul dari kemapanan maka yang kedua muncul dari semangat perubahan dan kreativitas.

B. Basis Kemapanan (Tha>bat) dalam puisi Arab Puisi atau Syi’ir diartikan sebagai ucapan atau tulisan yang memiliki wazn atau bah}r (mengikuti prosodi atau ritme gaya lama) dan qa>fiyah (rima akhir atau kesesuaian akhir baris/satar) serta unsur ekspresi rasa dan

19Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I ,18-19. 20Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I, 36. 46 imajinasi yang harus lebih dominan dibanding prosa.21 Dalam kamus Lisa>n al-‘Arab, kata sha’ara dimaknai ilmu dan makrifah. Karena itu kata ash- sha>i’r artinya ulama. Kemudian syai’r berkembang menjadi sebutan untuk puisi. 22 Bagi orang Arab, kata syi’ir mempunyai arti tersendiri sesuai dengan pengetahuan, kemampuan, dan kebiasaan mereka. Dalam pandangan mereka, syi’ir berarti pengetahuan atau kepandaian, dan penyair itu sendiri disebut dengan al-Fat}i>n (cerdik atau pandai). Pendapat ini ada kemiripan dengan pengertian poet dalam bahasa Yunani, yang berarti membuat, mencipta (dalam bahasa Inggris, padanan kata poetry erat berhubungan dengan kata poet dan poem). Poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, sekaligus seorang filosof, negarawan, guru, dan orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi. Dalam tradisi masyarakat Jahiliyah, mereka meyakini bahwa para penyair memiliki pengetahuan magis, karena itu mereka dikenal sebagai ‚ahl al-Ma’rifah‛, yaitu sekelompok orang yang dapat memprediksi kehidupan dan kejadian di masa yang akan datang.23 Puisi merupakan diwa>n (antologi) masyarakat Arab pra-Islam yang melestarikan kebesaran, mencatat keturunan dan peristiwa-peristiwa serta mempertajam semangat kepahlawanan dalam jiwa masyarakat tersebut. Oleh karena puisi merupakan satu-satunya pengetahuan yang dimiliki oleh mereka, maka puisi merupakan ‛Teks‛ dalam kebudayaan pra-Islam.24 Bahkan Adonis menyebutkan puisi pada masa itu merupakan sumber kebenaran masyarakat Arab.25 Ada keterkaitan yang erat antara pencipta puisi (pengarang), karya sastra (puisi) dan manyarakat pembacanya. Pengarang sebagai penghasil karya sastra menempati posisi yang pertama yaitu sebagai kreator dalam terciptanya karya sastra. Tanpa adanya pengarang (sastrawan) tersebut lahirlah karya sastra yang dapat dinikmati oleh para pembaca. Namun, hal

21Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), 11. 22‘Abdul ‘Aziz bin Muh}ammad Fais}al, al-Adab al-‘Arabi> wa Ta>ri>khuhu al-‘As}ru al- Ja.hili> wa ‘As}ru S}adaru al-Isla>m wa al-‘As}ru al-Umawi> (al-Mamlaktu al-‘Arabiyah as- Sau’diyah, 1405 H), 21. 23Ahmad Muzakki, Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2006), 41-42. 24Nasr H{a>mid Abu> Zayd, Tekstualitas al-Qur’an Kritik Terhadap Konsep Ulumul Qur’a>n, terj. Khoiron Nahdliyin (Yogyakarta: LKIS, 2002), 171. 25Adu>ni>s, ‚Puisi memerdekakan kita,‛Majalah Tempo Interaktif, Januari 01, 2008. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/01/WAW/mbm.20081201.WA W128870.id.html (22 April, 2013). 47 tersebut tidak lantas membuat pengarang dapat dipandang lebih penting dari pembaca, antara pengarang dan pembaca menempati posisi yang sama hal ini dikarenakan karya sastra, kreasi pengarang tersebut, tidak akan menjadi bermakna jika hanya dibaca oleh pengarang sendiri. Dengan kata lain karya sastra tersebut baru akan bermakna jika dinikmati dan dibaca oleh masyarakat. Dari sinilah karya sastra (puisi) tersebut menjadi teks yang berinteraksi dengan masyarakat pembacanya.26 Puisi tidak saja menjadi sekedar media untuk mengungkapkan isi hati pengarangnya. Tetapi, ia menjadi catatan perjalanan mereka (Di>wa>n al- ‘Arab). Bahkan jauh sebelum Islam lahir, puisi telah menjadi papan kebudayaan masyarakat Arab, di mana ia bisa dijadikan cermin yang benar untuk melihat potret kehidupan tribalistik bangsa Arab. Di dalamnya dapat ditemukan catatan-catatan sejarah yang valid untuk mengetahui kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Arab. Masyarakat Arab memliki perhatian yang luar biasa untuk mengapresiasi sebuah karya puisi. Mendengarkan gubahan puisi merupakan ‚hobi‛ mereka, bahkan menjadi kebutuhan sehari-hari. Biasanya, mereka sengaja berkumpul di suatu tempat dalam momen-momen atau musim- musim tertentu untuk menikmati keindahan sebuah puisi. Barangkali, pasar Ukaz, Majnah dan Z}i al-Maja>z adalah tempat terkenal yang sering kali dijadikan tempat apresiasi karya puisi penyair ternama Arab.27 Begitulah, kreativitas seni kebahasaan telah mengakar di tengah masyarakat Arab sejak zaman dulu, jauh sebelum Islam datang. Seni-seni seperti ini telah menunjukkan eksistensinya, hingga Alquran pun oleh Allah diturunkan menggunakan segi bahasa sebagai daya pemikatnya. Jika Alquran diturunkan dalam bahasa Arab, maka itu berarti di sana ada dialektika antara bahasa Alquran dengan bahasa setempat.28 Alquran yang oleh Adonis disebut memiliki keindahan bahasa yang luar biasa dan diterima tanpa di pertanyakan, taken for granted, sebagai pelengkap dan penyempurna dari risalah-risalah kenabian sebelumnya.29

26Michel Foucault, ‚Siapa Itu Pengarang?,‛ dalam Hidup Matinya Sang Pengarang Esai-Esai Tentang Kepengarangan Oleh Sastrawan dan Filsuf, ed. Toety Heraty (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), 221. 27M. Faisol Fatawi, Tafsir Sosiolinguistik Memahami Huruf Muqa>tha’ah dalam Alquran (Malang: UIN Malang Press, 2009), 66-67. 28M. Faisol Fatawi, Tafsir Sosiolinguistik Memahami Huruf Muqa>t}a’ah dalam Alquran, 82-83. 29Adu>ni>s, al-Nas}s}} al-Qur’a>ni> wa Aq al-Kita>bah (Beirut: al-Da>r al-Adab), 19-37. 48

Walaupun mempunyai keindahan dalam segi bahasa, Alquran menolak disebut sebagai puisi dan Nabi Muhammad sebagai penyair.30 Bahkan Alquran menyebut seorang penyair sebagai orang gila, penyihir, dukun dan juga dengan setan. Sebutan secara bersama-sama ini berarti bahwa puisi tidak membawa kebenaran. Sebagaimana sihir, perdukunan dan kondisi gila, puisi merupakan bagian dari tindakan setan yang menggoda dan menyesatkan.31 Semenjak Alquran diturunkan di tengah-tengah masyarakat yang mencintai keindahan bahasa, Alquran memberikan sentuhan yang baru terhadap dunia puisi Arab. Walaupun Alquran menganggap puisi sebagai bagian dari kegiatan sihir dan perdukunan namun tidak dapat dipungkiri bahwa dari sekian banyaknya puisi yang terlahir pada waktu itu ada yang berbicara mengenai keimanan dan mengingat Allah, dari sinilah Alquran tidak mengharamkan puisi, melainkan memberikan orientasi lain, mengkaitkan puisi dengan agama dan nilai-nilai yang menyembul darinya sehingga Alquran menjadikannya sebagai sarana untuk mengabdi kepada Alquran.32 Dengan adanya fungsi baru dari puisi yaitu sebagai alat untuk mengabdi terhadap Alquran, mengenai hal ini pernah dijelaskan oleh Nabi dan diperkuat dalam sunnah, ucapan dan tindakannya, beliau bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan ‚puisi tidak lain hanyalah suatu ujaran yang diciptakan‛. Oleh karena itu, puisi yang sejalan dengan kebenaran adalah baik, dan yang tidak sejalan dengan kebenaran tidak mengandung kebaikan‛. Ada sabdanya yang mengatakan puisi pada dasarnya hanyalah ujaran. Di antara ujaran itu ada yang jelek dan ada yang baik.33 Dari hal ini lahirlah genre baru dalam sastra Arab yaitu sastra Islam. Namun sastra Islam bukanlah sastra Arab saja karena Islam melewati batas- batas kebahasaan. Sastra Islam juga bukanlah lawan dari sastra Barat, karena dalam sastra Barat juga terdapat sastra Islam. Adapun yang dimaksud dengan sastra Islam adalah sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan dan ajaran Islam seperti persoalan kemanusiannya, memuji dan mengangkat tokoh-tokoh Islam, mengkritik realitas yang tidak sesuai

Dan Kami tidak‚ . َّل ِ ِ َِّل ِ ِ 30 َوَما َ ْ َاا ُه ا ِّشلْ َ َوَما يَ بَغي اَ ُه ْ ُه َ ْ ٌر َو ُقُهْ ٌر ُّممب ٌر ﴿ يس :٦٩﴾ mengajarkan sya’ir kepadanya (Muhammad) dan bersya’ir itu tidaklah layak baginya. Alquran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan‛. QS. 36:69. 31Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II, 114-115. 32Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I , 146-148. 33Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol I , 147. 49 dengan nilai-nilai Islam, sastra yang memiliki komitmen Islam, atau paling tidak sastra yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam sastra Islam terdapat ru>h} Islam. Berangkat dari misi Islam, berisi pemikiran dan rasa Islami, dan menjadikan Alquran dan Hadis sebagai sumber ilham serta rujukan kreativitas.34 Kemunculan pertama kali sastra Arab dengan genre Islam yakni oleh Hassa>n Ibn Tha>bit, Ka’ab Ibn Ma>lik, ‘Abdulla>h Ibn Rawa>hah, dan al- Na>bighah al-Ja’di. Puisi-puisi Islam periode awal ini berisi tauh}i>d, pujian kepada Nabi, dan deskripsi peristiwa penting yang terjadi. Ka’ab Ibn Ma>lik misalnya mendiskripsikan peristiwa perang Uh}ud dan an-Na>bigah al-Ja’di misalnya mengungkapkan pujiannya kepada Allah. Namun yang paling dominan dan berpengaruh adalah puisi pujian kepada Nabi. Hal ini karena adanya tantangan puisi haja> (ejekan) kepada Nabi dari kaum Quraisy.35 Nabi melihat puisi sebagaimana beliau melihat suatu ujaran. Nabi Muhammad menilai baik terhadap ujaran yang baik dan menilai jelek terhadap ujaran yang jelek. Yang baik adalah selama puisi tersebut dipergunakan untuk memuji Allah dan agama, serta mengejek musuh-musuh Allah dan agama. Dengan demikian, puisi merupakan sarana ideologis, dipakai untuk membela dan memberitakan kabar gembira (memuji, madh}), atau mengkritik dan menyerang (hija>’). Nabi juga memandang puisi memiliki pengaruh dan efektifitasnya. 36 Alquran dan ucapan Nabi menjadi ukuran dan model bagi setiap tindakan dan ucapan. Oleh karena itu, wajar apabila sikap Alquran dan as- Sunnah terhadap puisi menjadi idealita yang dianut oleh para sahabat Nabi dan kaum muslimin secara umum. Dalam pandangan Adonis akar dari problematika epistemologi Arab adalah kecenderungan yang memegang kemapanan teks pada aras keagamaan. Kecenderungan ini menganalogikan sastra, puisi, dan pemikiran secara umum pada agama.37 Dalam memandang sikap Alquran dan sikap Nabi terhadap puisi. Adonis membagi mereka dalam tiga kelompok, yaitu: pihak yang membenci puisi secara berlebihan, puisi sebagai sebagai genre sastra, dan merasa cukup hanya dengan Alquran saja. Kemudian adalah pihak yang membela puisi, namun tidak secara mutlak. Pembelaannya terbatas hanya pada puisi yang tidak bertentangan dengan Islam dan prinsip-prinsip spiritualitas dan moralnya. Kelompok ini bertolak dari keyakinan bahwa puisi merupakan

34Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 92. 35Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 93. 36Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol I, 147. 37Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol I, 152. 50 watak bangsa Arab, yang tidak mungkin mereka tinggalkan. Pandangan ini juga berkesimpulan bahwa Islam tidak melarang puisi selain yang bertentangan dengan prinsip-prinsipnya. Larangan atas puisi tidak dapat didasarkan hanya pada argumen yang menyatakan bahwa Nabi bukan seorang penyair. Sebab, seandainya Nabi bukan seorang penyair yang merendahkan puisi, tentu ke-ummi-annya mengandung arti merendahkan tulisan. Selanjutnya adalah pihak yang berpendapat bahwa puisi dinilai dari substansinya sebagai pengalaman batin murni, yang muncul karena pengalaman itu sendiri, bukan karena dorongan senang atau tidak.38 Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulakan bahwa:39 pertama, Islam mengakui puisi dengan syarat puisi menjadi sarana mengabdi kepada agama dan menjadi sistem yanng mendukungnya. Sarana diberi apresiasi bukan karena sarana itu sendiri, tetapi karena fungsinya. Sebagai sarana menuju tujuan yang lebih mulia dan tinggi, puisi akan menjadi mulia dan tinggi sejauh ia dapat memberikan ilham pada tujuan tersebut dan terkait dengannya, mengabdi dan memberi manfaat kepadanya. Nabi merupakan orang yang pertama kali mentradisikan puisi sebagai sarana ideologis-islami untuk dipergunakan memerangi ideolgi Jahiliyah. Tradisi ini kemudian mengakar pada pertarungan di dalam Islam sendiri. Menurut perspektif ini, keindahan muncul dari agama, dan bersama dengan agama keindahan membentuk kasatuan yang integral, keindahan juga tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri, sebab nilainya tergantung pada sejauh mana ia terkait denga agama. Puisi sendiri menjadi ujaran sebagaimana ujaran-ujaran lainnya, maksudnya bahwa puisi tidak indah pada dirinya sendiri sebagai puisi, keindahannya hanya apabila puisi mengutarakan kebaikan, dan dinilai jelek apabila berbicara kejelekan. Demikianlah, dapat dikatakan bahwa estetika dalam Islam adalah estetika muatan. Fungsi puisi dalam Islam bukan keindahan atau kreativitas melainkan bersifat kemasyarakatan dan moral yang didasarkan pada usaha menonjolkan nilai-nilai utama Islami, yang dapat memberikan inspirasi dan mengagungkan nilai-nilai tersebut. Kedua, muatan yang diakui oleh Islam dan diperjuangkan untuk diekspresikan terlukiskan pada kebenaran-kebenaran yang sudah jelas, yang telah diwahyukan dan disampaikan, kebenaran-kebenaran tersebut bersifat sempurna, mapan dan final. Dari sudut pandang ini, kebenaran merupakan strukrut bahasa. Dengan ungkapan lain, kebenaran berada dalam budaya, bukan dalam alam. Dalam pengertian ini, Islam merupakan kemenangan

38Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I, 153-154. 39Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I, 154-158. 51 budaya atas alam, bahkan Islam terpisah dari alam. Jika kebenaran telah ada dalam ujaran yang diwahyukan, konsekuensinya manusia akan berkembang dan tumbuh melalui jawaban-jawaban yang sudah ada dalam wahyu, bukan dalam pertanyaan-pertanyaan. Jika ada suatu pertanyaan, itu untuk mencari kejelasan akan jawaban-jawaban tersebut, bukan untuk mengekplorasi jawaban-jawaban atau fakta-fakta baru lainnya. Ketiga, kejelasan, kemapanan dan kesempurnaan muatan (isi, makna) menyebabkan tidak adanya pembedaan secara tepat dan cermat antara efektivitas ilmiah di satu sisi dengan efektivitas puitik, dan artisitik secara umum di sisi lain. Demikianlah, batas-batas puisi dan ilmu menjadi membaur sehingga puisi menjadi semacam ilmu, dan kesadaran ilmiah menjadi sebentuk kesadaran puitik. Dalam pandangan Islam sendiri puisi menjadi efektivitas ilmiah: maksudnya menafsirkan realitas keagamaan, menggambarkan, mengagungkan dan mendeskripsikannya. Dengan ungkapan lain, puisi menjadi efektivitas mental-rasional yang muncul dari kesadaran yang sempurna. Dalam pandangan ini, penyair merupakan kesadaran logik. Islam mendudukkan puisi atas dasar kaidah yang mapan yang sejalan dengan kebenaran yang mapan, dan memerangi puisi yang didasarkan pada petualangan dan kemungkinan. Sebagaimana Islam menciptakan iklim yang sehat bagi pemikiran, ia juga menciptakan iklim yang sehat bagi emosi. Keempat, sebagai konsekuensi atas hal di atas, pada tataran ekspresi, adalah bahwa fungsi ujaran puitis hanya terbatas menunjukkan fakta-fakta yang jelas. Oleh karena fakta-fakta tersebut termasuk di antara hal-hal yang melampaui manusia, sebab Rasul sendiri hanya sebagai penukil yang membawa dan menyampaikan fakta-fakta itu, maka cara mengekpresikannya harus sesuai dengan fakta-fakta, tidak boleh banyak kata dan dipaksa-paksa. Di sini, penutur bukanlah orang yang mengatakan, melainkan makna. Penutur hanya sebagai perantara yang dipakai makna untuk mengekpresikan dirinya. Orang Arab adalah pencipta bahasa dan puisi. Keduanya merupakan kreasi alami. Setiap kreasi alami adalah sempurna. Oleh karena itu, mengubah dasar-dasarnya berarti mengubah alamiah itu sendiri, maksudnya mengaburkan kebenaran asal. Karena kebenaran-kebenaran tersebut milik semua manusia maka tempat bagi keindahan puitika bukan pada isi itu sendiri, melainkan dalam formulasinya. Oleh karena isi tersebut dikenali oleh semua orang maka formulasinya juga harus dikenali oleh semua orang. Hal itu hanya dapat terjadi apabila formulasi dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah baku, dan harus mampu mewujudkan kejelasan yang sempurna. Sebagaimana isi berdasar pada dasar pemikiran yang sudah ada sebelumnya, khususnya Islam dan prinsip-prinsipnya maka formulasinya

52 harus mengikuti pola dasar yang sudah ada, yaitu tipe sempurna dari retorika. Dengan demikian, terjadilah kesamaan antara kata dan makna sehingga kata sepadan dengan makna sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan bahwa sebutan (penanda) adalah petanda itu sendiri. Kelima, sebagai kelanjutan dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa Islam menegasikan puisi, bukan karena Alquran secara bahasa dan retorikanya melaumpaui puisi, melainkan karena puisi juga telah menjadi sumber pengetahuan kedua dan puisi telah gugur menjadi sember pengetahuan pertama. Hal itu berarti bahwa puisi telah menjadi wadah bagi pemikiran-pemikiran dan nilai-nilai Islam. Dalam hal ini, peran puisi sama dengan peran ujaran pada umumnya, maksudnya puisi menjadi praktik intelektual yang mengekspresikan sikap kolektif, yaitu sikap umat. Dari sini, bentuk puisi Jahiliyah (melalui adopsi yang dilakukan Islam terhadapnya) mendapatkan dimensi yang mengatasi waktu: ia telah berseiringan dengan isi yang mutlak sehingga sebagai bingkai yang memuat isi, ia menjadi mutlak pula sebagaimana isinya. Sebagaimana puisi sebagai seni telah menjadi sarana untuk mengabdi agama, puisi sebagai bahasa juga telah menjadi sarana atau dokumen untuk menafsirkan dan memahami bahasa Alquran, serta menjadi bukti akan kemukjizatan bahasa tersebut. Karena kemukjizatan Alquran tidak hanya dari sisi makna saja, tetapi uga dari sisi retorika, maka Alquran juga telah menjadi dasar yang menyatukan antara bahasa dan agama. Sekalipun puisi Jahiliyah ditinjau dari sisi waktu mendahului Alquran, namun Alquran mendahului puisi Jahiliyah, lantaran kemukjizatannya, maksudnya lantaran Alquran mengatasi waktu, dan puisi Jahiliyah hanya berfungsi sebagai argumen untuk menetapkan kemukjizatan tersebut. Dari sini, dapat dipahami bagaimana penyatuan antara bahasa dan agama menjadi satu dapat terjadi, dan bagaimana sarjana-sarjana bahasa dan agama, di pihak lain, mengkaji puisi Jahiliyah bukan karena puisi itu sendiri, melainkan karena bahasa puisi tersebut mejadi saksi bagi bahasa Alquran sehingga bahasa puisi Jahiliyah dengan segala kosa kata dan strukturnya telah menjadi kamus atau referen untuk memahami Alquran dan hadis.

C. Basis Kreativitas atau Perubahan dalam Puisi Arab Ketika bersentuhan dengan wilayah sastra maka tidak akan bisa dipisahkan dari kreativitas (dalam hal ini adalah kreativitas dalam berbahasa). Sastra berangkat dari kreativitas dan kreativitas merupakan ru>h} dari kelahiran suatu karya sastra dan kebebasan berkreasi menandakan kemurnian, dan ciri sastra. Dalam wilayah kreativitas manusia cenderung tidak bisa dibatasi, oleh karena itu setiap sesuatu yang dianggap membatasi kreativitas dianggap sebagai reaksioner dan harus dilawan atau dijauhi.

53

Semenjak puisi bersentuhan dengan Islam, puisi Arab terpolarisasi menjadi dua kecenderungan. Pertama kecenderungan yang mempertahankan nilai-nilai yang dominan yaitu nilai lama yang diakui oleh Islam, dan baru yang muncul pada masa Islam. Kedua kecenderungan untuk memberontak dan menyimpang dari nilai-nilai tersebut. Sebagai penyair yang berfilsafat Adonis menawarkan suatu pemikiran bagi kemajuan kebudayaan bangasa Arab, yang dia sebut sebagai ‚manifesto modernitas‛ (baya>n al-h}a>da>thah). Dalam pemikiran Adonis mengenai agama, sastra dan kebudayaan terkait dengan konsep wahyu dan sejarah, tradisi dan modernitas, serta puisi dan modernitas.40 Alquran sebagai satu-satunya kitab suci Islam dan merupakan keajaiban bahasa telah memberikan suatu metode yang baru dalam penulisan yang sebelumnya tidak ditemukan dalam tradisi penulisan bangsa Arab, bentuk penulisan baru ini menurut Adonis dapat membangkitkan kreativitas dan inovasi, karena Alquran bukan sebuah kitab puisi atau prosa, pada beberapa bagian tampak sebagai sebuah gabungan misterius antara prosa dan puisi yang memilliki ritme yang teratur.41 Sejak Alquran diterima oleh Nabi Muhammad sebagai wahyu dan sekaligus berposisi sebagai penafsir pertama dan utama dari wahyu keilahian tersebut para sarjana Muslim setelahnya yakni pada era kodifikasi yang terjadi pada rentang tiga abad pertama tahun hijriyah, memandang teks Alquran sebagai teks hukum dan bukan teks sastra, dan Alquran dimapankan menjadi aturan yang represif. Era inilah yang menentukan bagaimana wahyu diartikan hingga kemudian hari. Adonis mengungkapkan bagaimana wahyu tersebut diperlakukan sebagai teks hukum dalam salah satu artikelnya yang berjudul al-Nas}s} qur’a>ni> wa Aq al-Kita>bah ‚kita menyebut Alquran saat ini bukan sekedar buku belaka, melainkan juga sebagai legislator yang melahirkan dan meletakkan dasar-dasar hukum. Alquran yang dijadikan sebagai legislator sebetulnya bersifat politis. Karenanya, dalam cara pembacaan yang umum di Islam, sebagai sebuah teks Alquran utamanya bukannlah suatu kesenian, tetapi ia merupakan suatu moral (akhla>q). ia bukan kitab yang mengalirkan rasa keindahan, tetapi kitab yang menggelontorkan tuntutan untuk tunduk dalam (hukum) Tuhan‛.42 Bagi Adonis wahyu bagaikan ide-ide cemerlang yang mendobrak tradisi Arab-Islam. Namun, dalam perkembangannya, wahyu menjadi pengetahuan agama yang tunggal. Ia bertransformasi menjadi sesuatu yang

40Zacky Khairul Umam, Adu>ni>s; Gairah Membunuh Tuhan Cendikiawan Arab-Islam (Depok: Penerbit Kepik, 2011), 37. 41Adu>ni>s, al-Nas}s} al-Qur’a>ni> wa Aq al-Kita>bah, 21. 42Adu>ni>s, al-Nas}s} al-Qur’a>ni> wa Aq al-Kita>bah, 20. 54 absolut, dan teks wahyu tidak lagi dipandang sebagai sebuah transisi dari episode sejarah yang silam. Wahyu diletakkan sebagai pondasi dasar keberadaan manusia, watak dasarnya secara eksistensial. Pada titik ini wahyu dipandang sebagai dasar dan permulaan secara mutlak, melampaui waktu, masa lalu, sekarang dan masa datang. Maka yang terjadi adalah masa mendatang bukanlah masa penyingkapan melainkan dimensi hafalan dan pengulangan kembali, ia bukan faktor perubahan, melainkan faktor penataan.43 Dalam pandangan Adonis, konsepsi waktu sangat berperan penting dalam perkembangan agama, sastra, atau peradaban. Menurut Adonis agama telah memberikan dampak terhadap sastra. Bangsa Arab menghendaki agar konsepsi waktu dalam sastra mereka dibingkai menurut konsepsi waktu agama. Padahal, agama dan sastra berbeda dalam melihat kekinian dan kemendatangan. Agama berbicara mengenai kebangkitan, pembalasan, surga, neraka, dan seterusnya, bahwa masa mendatang telah diprediksi oleh agama. Salah satu doktrin Islam, sebagaimana tradisi monoteistik sebelumnya, adalah mengetahui masa depan. Sedangkan sastra memandang masa depan sebagai semesta kemungkinan. Dalam teropong agama, masa depan adalah yang akan datang, yang mendatang, yang telah diketahui sebelum muncul. Sementara dalam sastra tidak demikian, masa depan adalah sesuatu yang baru. Dengan sendirinya, Adonis menekankan, sastra lebih berperan dalam menggerakkan sejarah ke depan ketimbang agama. Bagi Adonis, ketika sastra kembali ke masa lalu berarti ia bertabiat meniru agama. Adonis menganggap masuknya perspektif ke-agamaan terhadap sastra (puisi) telah berdampak terhadap keterkungkungan bahasa, agama (teks) memberikan beban moralitas terhadap bahasa, dan hal ini mengakibatkan perkembangan puisi menjadi stagnan. Adonis mempercayai bahwa pembaruan dalam puisi akan memberikan pembaruan dalam kebudayaan secara luas. Penulisan sastra yang baru akan membuka pemaknaan yang baru pula. Menciptakan kehidupan manusia berarti menciptakan makna, suatu aktivitas yang menjadi inti sastra. Lebih jauh lagi, pembebasan puisi merupakan pembebasan bahasa yang akan berpengaruh pada pembebasan pemikiran manusia secara luas.44 Jika kita beranggapan bahwa aktivitas bersastra harus mengandung unsur pembinaan terhadap manusia dan meningkatkan derajat

43Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I , 36-37. 44Zacky Khairul Umam, Adu>ni>s; Gairah Membunuh Tuhan Cendikiawan Arab- Islam, 50. 55 kemuliannya,45 maka dalam hal ini sastra tidak lagi menjadi aktivitas kebahasaan yang darinya lahir kreasi berbagai bentuk ekspresi, namun merupakan perilaku atau praktik ujaran dan tindakan yang bertujuan untuk pembinaan manusia dan meningkatkan derajar kemuliann manusia. Ini, pada tataran utamanya, merupakan praktik keagamaan.46 Adonis menilai puisi sebagai pengetahuan yang lebih tinggi daripada yang disediakan oleh ideologi-ideologi reiligius dan sekuler. Adonis menolak segala bentuk ideologi religius Islam yang memperlakukan puisi hanya sebagai peneguh akidahnya. Puisi berupaya menemukan dimensi- dimensi pengetahuan dan estetika yang tidak terdeteksi oleh setiap sistem pengetahuan yang tertutup. Agama dan ideologi menyediakan jawaban serta solusi yang menjanjikan, sementara puisi mewakili suatu proses kemanusiaan yang selalu gelisah dengan pertanyaan-pentanyaan yang tak kunjung selesai. Kreativitas setubuh dengan kebebasan, dan puisi mengakomodasinya, sahingga kekuasaan dan otoritas yang diwakili oleh sistem politik, religius, atau sistem ideologis-epistemologis tertentu bertentangan dengan puisi. Hal ini bukan berarti Adonis mempertentangkan puisi dan pemikiran, karena: ‚dalam tradisi epistemolgis Arab-Islam, pemikiran adalah jawaban, dan lantaran puisi tidak menawarkan suatu jawaban, maka ia terpisah sama sekali dari dunia pemikiran. Tetapi, meski penyair tidak memberikan jawaban, ini tidak berarti ia tidak berpikir, dengan peran puisi yang mempertanyakan, ia membuka horizon untuk menerawang dan mengembangkan pengetahuan lebih jauh, ia tidak menawarkan sebuah kepastian. Dalam bahasa, puisi dan pemikiran terfusi keutuhan kesadaran, yang bisa dikatakan pemikiran memancar dari puisi ibarat wewangian dari mawar.47 Adonis mengasosiasikan penyair sebagai ‚Nabi‛48 yang mempunyai nubuat kemendatangan serta pengetahuan yang tak diketahui, sang

45Dalam bahasa Arab kata sastra sering diartika dengan kada adab. Dalam kata adab sendiri terkandung makna segala hal yang menghiasi seseorang baik itu sifat dan budi pekerti, sehingga dengan sifat dan budi pekerti tersebut seseorang akan dihormati dan dimuliakan. ‘Abdul ‘Aziz bin Muh}ammad Fais}al, al-Adab al-‘Arabi> wa Ta>ri>khuhu al-‘As}ru al-Jahili> wa ‘As}ru S}odaru al-Isla>m wa al-‘As}ru al-Umawi>, 6. 46Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol I, 55. 47Catherine Cobham, ‚An Introduction to Arab Poetics by Adu>ni>s,‛ International Journal of Middle East Studies 24, no. 3 (Aug, 1992), http://www.jstore.org/stable/164643 (Februari 2014). 48Dalam tradisi keagamaan, nabi memiliki dua karakter yang melekat:pertama, kenabiannya merupakan konsep atau pandangan baru mengenai manusia dan alam. Kedua, kenabiannya meramalkan masa depan dan menjadi kenyataan. Makna kata ‚nabi‛ dalam bahasa Arab menunjukkan bahwa ia menerima wahyu. Artinya, ia tidak aktif malainkan pasif. Ia di beri misi, kemudian ia menyampaikannya. Oleh karena itu, ia disebut rasul. Ia

56 penggubah yang tekun mengasah kebudayaan Arab berdasasrkan prinsip kebebasan, kreativitas, serta perubahan. Kahlil Gibran49 dalam pandangan Adonis, memiliki karakter seperti ini. Gibran merupakan seorang penulis visioner. Orang visioner melihat dunia melalui imajinasi50 atau mata hati. Dunia dilihat olehnya dalam keadaan berubah dan bergerak secara dinamis. Hati dapat merasakan perubahan atau datangnya masa depan dibandingkan dengan pikiran yang hanya mengungkapkan fenomena yang tetap di masa lalu. Dalam konsepsi Adonis tetang imajinasi puitis,51 hati membebaskan sementara pikiran memenjarakan.52 menjadi tempat titipan bagi kala>m Allah. Apa yang ia katakan sama sekali bukan berasal dari diri atau pikirannya sendiri, melainkan yang ia katakan hanya wahyu Allah. Adu>ni>s, al- Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III (Beirut: al- Da>r al-Fikr 1986), 164. 49Bernama asli Jubra>n Khalil Jubra>n atau sering dipanggil Gibran. Lahir di Beshari, sebuah desa di gunung El-Urz, Lebanon pada tanggal 6 januari 1883. Merupakan alumnus Universitas Cambridge dan dianggap sebagai seorang intelektual Arab dan juga ikut andil dalam mengenalkan modernisme di dunia Arab melalui tulisan-tulisannya seperti puisi, novel, cerpen, kritik sastra, essai, kritik seni dan terjemahan karya-karya Shakespare kedalam bahasa Arab, serta lebih dari tiga puluh buku lain di bidang kebudayaan dan sastra dunia. bagi Gibran, menjadi modern bukan berarti meninggalkan tradisi dan kebudayaan masa lalu Arab, tetapi mempertegas otensitas sejarah Arab dan kekayaan kebudayaan masa lalu agar tetap tumbuh dan bersemi di dalam diri seseorang, lalu berkembang menjadi tulisan baru yang orisinal, sama sekali tidak meniru sejarah masa lampau, tetapi mengalami transformasi sesuai dengan kebutuhan sekarang dan masa mendatang dengan tetap menjaga otensitas Arabnya. Issa J. Boulatta, Jendela Modernisasi Sastra Timur Tengah Kajian Atas Karya Sastra jabra Ibrahim Jabra, terj. Taufik Ahmad Dardiri dan Bachrum Bunyamin (Yogyakarta: Penerbit Belukar, 2007), 9-10. 50Imajinasi merupakan salah satu unsur yang membedakan karya sastra dengan karya lainnya. Ada empat unsur yang terkandung dalam karya sastra sehingga membedakannya dari karya tulisan lainnya, yaitu: ‘at}ifah, khaya>l (imajinasi), fikrah (gagasan), s}u>rah (bentuk). Muh}ammad Abdul Gha>ni> al-Mis}ri> dan Majid Muh}ammad al-Ba>ki>r al-Bara>zi>, Tah}li>l al-Nas}s} al-Adabi> Baina al-Nad}ariyah wa al-Nas}s} (: Muassasah al-Waraq, 2002), 24-28. 51Secara umum yang dimaksud dengan istilah imajinasi adalah daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi (pengindraan). Bahasa membutuhkan berbagai kemampuan imajinasi agar tidak terjatuh ke dalam tiga verbalisme yaitu: pertama, tehadap kemungkinan penciutan pengalaman, imajinasi memberi konteks keseluruhan tertentu pada pengalaman, agar pengalam tidak sekedar dibahasakan melainkan digambarkan. Bahasa bersinggungan dengan seni disebabkan oleh kecenderungan menggambarkan yang dimunculkan oleh daya imajinasi. Dengan mengacu pada Heidegger, dapat dikatakan bahwa bahasa puisi itu lebih bersifat menggambarkan dari pada bahasa denotatif. Ia lebih berpotensi memunculkan ‚ketidaktersembunyian‛ di banding bahasa deskriptif dalam ilmu pengetahuan. Bahasa puitik inilah yang sebetulnya ‚membuka‛ pengalaman, bukan menciutkannya. Kedua, terhadap kemungkinan generalisasi oleh bahasa. Imajinasi melengkapi bahasa dengan prisip-prinsip di luar analogi dan asosiasi yakni prinsip posibilitas-logis. Dengan mencari kesamaan banyak hal yang berbeda, daya imajinasi

57

Dengan menempatkan puisi sebagi sebuah visi atau penyair sebagai visioner, Adonis melakukan kritik terhadap permasalahan modernitas dalam puisi Arab. Puisi modern Arab, menurut Adonis, harus melampaui pandangan tradisionalis yang sempit karena kepicikan dan konservatisme menjadi indikasi krisis budaya suatu masyarakat, bahkan krisis identitas. Dominasi mentalis tradisionalis dalam kehidupan Arab dan dalam pemikiran serta perpuisian Arab merupakan kemuduran. Pada dasarnya kajian yang dilakukan Adonis menyerukan kepada keharusan membebaskan Arab dari setiap bentuk atavisme (sala>fi>yah) keharusan menghilangkan kesucian yang dilabelkan pada masa lalu, dan menganggapnya sebagai bagian dari pengalaman atau pengetahuan yang tidak mengikat secara absolut. Konsekuensinya, manusia mesti dilihat sebagai orang, dan esensi kemanusiaan yang sesungguhnya adalah ketika ia menjadi kreator yang mentransformasikan, dari pada sekedar sebagai pewaris yang konformistis.53 Modernitas menurut Adonis bukan semata-mata kualitas karakteristik suatu periode sejarah kontemporer atau terkini. Modernitas lebih merupakan model pemikiran, sikap terhadap dunia, dan konsepsi tentang waktu dan filsafat manusia yang secara total berbeda dari kearifan tradisi yang telah diterima. Misalnya ketika membahas ateisme dalam konteks pemikiran rasionalis Ibn al-Ra>wandi> (w. 1910/1912H) dan al-Ra>zi> (w. 1925/1935), Adonis mengatakan dengan nada setuju bahwa atheisme merupakan bentuk modernitas yang pertama, sebab kritisisme terhadap wahyu dalam masayarakat yang dibangun berdasarkan wahyu bukan semata-mata syarat pertama bagi seluruh kritisisme, tetapi juga syarat pertama bagi seluruh kemajuan. Guna melakukan kritisisme terhadap wahyu, agama harus mampu memilah-milahnya dan mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipertanggungjawabkan. Kemungkinan ini tidak lain muncul dari kesetiaan terhadap realitas yang senantiasa ambigu. Dalam proses tersebut hanya imjanasilah yang sanggup memperkaya realitas, mendekatkan pengetahuan pada kekayaan realitas itu sendiri. Imajinasi itu mendorong kreativitas dalam bahasa. Ketiga, terhadap tendensi pendefinisian realitas yang juga berakibat terhadap pendefinisian kebenaran, imajinasi berfungsi mengisi bahasa. Tatkala bahasa berupaya mendefinisikan realitas, ada bahaya bahwa bahasa sendiri tereduksi menjadi suatu rangkaian penanda (signifier) belaka tanpa referensi langsung terhadap yang ditandakan (siginified). Suatu pengertian atau definisi tentang sesuatu tinggal sebagai definisi belaka. Akibatnya, bahasa menjadi ‚kosong‛, sebab bahasa tampak sebagai rangkaian perumusan yang tersimpan dalam kamus atau memori saja. H. Tedjoworo, Imaji dan Imajinasi Suatu Telaah Filsafat Postmodern (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), 1 dan 53-56. 52Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 167. 53Issa J. Boulatta, Dekonstruksi Tradisi Gelegar Pemikiran Arab Islam, terj. Imam Khoiri, 41-42. 58 dieliminir dengan mengukuhkan akal. Eliminasi ini tidak terbatas pada agama negara atau publik, tetapi juga agama privat atau agama individual itu sendiri. Maka menurutnya, modernitas sama dengan sekularisme dan rasionalisme abosolut sebagai satu-satunya jalan mewujudkan keadilan sosial, persamaan, dan kemajuan. Manusia harus menjadi pusat dunia dengan dirinya sendiri, dan kebebasan atau kehendaknyalah yang mesti mengukir sejarah utuk membangun masyarakat dan negara sesuai dengan ajaran akal. Hanya pengalaman manusia dan efektivitasnya di dunia luar yang dapat membawa pada pengetahuan tentang kebenaran, bukan spekulasi, kontemplasi atau praanggapan keagamaan yang apriori.54 Benih-benih gerakan perubahan dalam puisi menurut Adonis sudah di tanamkan oleh Imri’ al-Qays, seorang penyair pada masa pra-Islam atau periode Jahiliyah dalam bentuk penyimpangan terhadap nilai-nilai Jahiliyah. Imri’ al-Qays dianggap sebagai penyair yang paling pandai dalam berpuisi, dalam hal ini al-Ashma’i mengatakan bahwa Imri’ al-Qays merupakan penyair yang berada di garis depan dalam hal keindahan dalam berpuisi. Ia mendahului orang-orang Arab di dalam mengkreasikan berbagai hal. 55 Walaupun demikian, Imri’ al-Qays meneruskan kehidupannya sebagai orang yang terbuang dan meninggal sebagai orang terusir. Hal ini karena dia dianggap telah melakukan percabulan dalam berpuisi.56 Barang kali untuk menggambarkan bagaimana corak dari puisi Imri’ al-Qays yang dianggap cabul dalam di lihat dari salah satu puisi dari Imri’ al-Qays di bawah ini. Puisi di bawah ini merupakan puisi Imri’ al-Qays untuk menggambarkan kecantikan Unaizah yang merupakan kekasih dari Imri’ al-Qays.

ف ّ ا أجزنا ساحة حلي و نتحى ب ا بطن خبت ى حقاف ق قل

54Nadia M. Wardeh, From, ‚‘Ali> Ah}mad Sa‘i>d to Adu>ni>s: A Study of Adu>ni>s’s Controversial Position on Arab Cultural Heritage (tura>th),‛ Asia Culture and History vol. 2 no. 2 (2010), 16-17, http://www.ccsenet.org/journal/index.php/ach/article/viewFile/6603/ 5189 55Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol I, 206. 56Imri’ al-Qays termasuk dari penyair kalangan bangsawan atau raja karena memang dia merupakan anak seorang raja Yaman yang bernama Hujur al-Kindy, Raja dari kabilah Bani Asad. Nama lengkapnya adalah Imri’ al-Qays ibn Hujr ibn al-Harith ibn A’mr ibn Hujr Ar ibn Mua’wiyah ibn al-Harith al-Akbar ibn ya’rab ibn Thaur ibn Murti’ ibn Mua’wiyah ibn Kindah. Sejak kecil penyair ini dibesarkan di Nejed di kalangan bangsawan yang gemar berfoya-foya. Kebiasaan penyair ini sering bermain cinta, mabuk dan melupakan segala kewajibannya sebagai anak raja yang harus pandai menjaga diri dan berlatih memimpin masyarakatnya. Karena itulah penyair ini sering dimarahi ayahnya bahkan diusir dari istana, disebabkan oleh kelakuannya yang buruk. Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya , 105. 59

ص ت بف دى رأسها فت اي ت ّى ضيم اكلح رياّ ملخ خل مهفهفة بيضاء غري مفاضة ت ئبها مصق اة اا ّسج جل وحيد جيد ا ئم ايس بفاحش ي نصت و مب طّل وف ع يزين ملنت أس د فاحم أثيث ق ا خ ة ملت ثكل ketika kami berdua telah lewat dari perkampungan, dan sampai di tempat yang aman dari intaian kampung Maka kutarik kepalanya hingga Ia (Unaizah) dapat melekatkan dirinya kepadaku seperti pohon yang lunak Wanita itu langsing, perutnya ramping dan dadanya putih bagaikan kaca. Lehernya jenjang seperti lehernya kijang, jika dipanjangkan tidak bercacat sedikit pun, karena lehernya dipenuhi kalung permata Rambutnya yang panjang dan hitam bila terurai di bahunya bagaikan mayang kurma57

Pengusiran terhadap Imri’ al-Qays merupakan suatu bentuk bahwa moral atau nilai-nilai lebih dominan lebih dikedepankan dari pada puisi. Hal ini juga menandakan bahwa puisi dari Imri’ al-Qays tidak bersifat kesukuan dan dengan demikian Imri’ al-Qays berperilaku dan berpikir di luar sistem kesukuan dan nilai-nilainya yang dominan. Sebagian dari puisi dan perilakunya yang menyalahi nilai-nilai tersebut, khususnya yang berkaitan dengan perempuan dan cinta. Cinta, sebagaimana yang ia lihat dan praktekkan, merupakan tindakan menghancurkan, ia tidak hanya meruntuhkan bangunan keluarga dan kesatuannya saja, tetapi juga menghancurkan bangunan nilai dan kesatuannya, demikian, Imri’ al-Qays menyimpang dari pola nilai-nilai Jahilliah. Penyimpangan ini dapat dijelaskan dari pola nilai-nilai Jahiliyah.58 Imri’ al-Qays merupakan bentuk penyimpangan dari model kesusastraan Arab pada masa pra-Islam, yang menurut Adonis tampak dari beberapa sikap yang diambilnya. Pertama, sikapnya yang memberontak terhadap model moralitas. Kedua, sikapnya yang menentang ekspresi yang dimodelkan. Ia tidak terikat dengan sistem ekspresi yang distandarkan. Namun, para penyair yang berkarya dengan gaya individualis sebagaimana Imri’ al-Qays tidak diakui, bahkan mendapat hukuman cambuk.59

57Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, 107-108. 58Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab vol. I , 298. 59Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I, 207-209. 60

Pada periode selanjutnya, pada periode Umayyah banyak penyair yang mengikuti kecenderungan memberontak, kecenderungan yang dipelopori oleh Imri’ al-Qays, hanya saja wujud pemberontakannya berbeda- beda dan beragam. Abu> Mih}jan al-Thaqafi (w. 30 H/650 M) merupakan penyair di barisan depan dalam hal ini. Ia bersikukuh untuk tetap meminum khamr sekalipun di haramkan, namun ia (dalam satu riwayat) bertaubat dan berhenti minum khamr sebelum meninggal. Di antara puisinya yang berkaitan tentang khamr adalah:60

مت فادفىن ىل ج ب مة ت وى ظامي ب د م يت و ها 61

jika aku meninggal, kuburkanlah aku di samping khamar Tetesan tetasannya akan mengairi tulang-tulangku setelah aku mati62

Dalam puisinya, ia menegaskan kenikmatan hingga mencapai ekstasi sebagaimana yang ia nyatakan bahwa kenikmatan itu adalah neraka. Dari sisi ini, ia dapat dianggap sebagai salah astu penyair awal yang memberi dimensi eksistensial terhadap sikap pemberontakannya, sebagaimana tercermin pada tindakannya yang menerjang hal-hal yang diharamkan. Dengan demikian, ia telah memberi makna baru terhadap praktik meminum khamr, bertransformasi dari tataran kebiasaan ke tataran simbolik. Demikian juga dalam puisi-puisi Abu> Nuwa>s (750-810 M dan Abu> Tama>m 805-845 M), dalam karya-karya mereka Adonis berpandangan bahwa karya Abu> Nuwa>s dan Abu> Tama>m telah menunjukkan terhadap kebebasan berbahasa dan tidak terpaku terhadap struktur-struktur kebahasaan yang terdapat dalam masyarakat.63

60Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I , 209-210. 61Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al- ‘Arab Vol. I, 365. 62Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam Vol: I, terj. Khairon Nahdiyyin (Yogyakarta: LKIS, 2007), 302. 63Abu> Tama>m menciptakan dalam bahasa dinamika yang mandiri. Puisinya menggerakkan, bermula dari dirinya sendiri dan cukup dengan dirinya sendiri. Ia tidak menggerakkan melalui temanya ataupun elemen eksternal lainnya. Pengaruh puisinya muncul dari kekuatan bahanya yang unik. Puisinya sendiri efektif dengan sendirinya. Jika puisi Abu> Nuwa>s dapat menggerakkan dari sisi bahasa atau dari balik bahasa maka puisi Abu> Tama>m menggerakkan puisi melalui bahasa itu sendiri (melalui keterkaitan dan hubungan-hubungan bunyi dan imajinasi yang dibangun oleh bahasa). Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II , 109-117. 61

Abu> Nuwa>s dan Abu> Tama>m mengalihkan persoalan kaitan antara kata dengan makna dari format lama yang mengatakan bahwa makna harus sepadan dengan kata, atau sebagaimana dikatakan oleh al-Ja>hiz bahwa keindahan bahasa terletak pada bentuk, bukan pada maknanya ke format baru yaitu bahwa kata terbatas, sementara makna tidak terbatas. Hal ini memberikan pengertian bahwa hal-hal yang tidak terbatas tidak dapat dibatasi dengan yang terbatas dengan cara menjadikan kata sebagaimana mkana menjadi tidak terbatas. Namun, hal ini tidak berarti diharuskan menciptakan kata-kata yang tidak dikenal kamus bahasa, melainkan mempergunakan bahasa dengan cara yang dapat menciptakan dalam setiap ungkapannya suatu dimensi yang menyiratkan bahwa ungkapan tersebut bercabang-cabang dalam berbagai kata sedemikian rupa muncul bahasa kedua yang menyeimbangi bahasa pertama atau memasuki batinnya. Cara inilah yang merupakan metafora.64 Seperti itulah Adonis menjelaskan fenomena berbahasa Arab dalam masyarakat Arab sendiri, anggapan Adonis mengenai keterkaitan bahasa Arab terhadap Alquran dapat dikatakan terlalu berlebihan, lantas bagaimana sebenarnya hubungan bahasa Arab dan Alquran dalam ruang lingkup perpuisian Arab? Hal ini akan dijelaskan dalam bab selanjutnya.

64Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I, 110. Metafora dapat diartikan sebagai pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan, mis. kaki gunung, kaki meja berdasarkan kias pada kaki manusia. Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 152. 62

BAB IV SASTRA ARAB DAN ALQURAN: PROBLEM PEMBACAAN ADONIS

‚Kemajuan sebuah bangsa tidak semata-mata diraih dengan perbaikan struktur ekonomi dan sosio-politiknya tetapi juga, dan ini lebih fundamental, melalui pembebasan kemanusiaan itu sendiri, dengan melepaskan kreativitas yang terpendam di balik stuktur- struktur tersebut.‛ [Adonis, al-Shi’ri>yah al-‘Arabi>yah]1

Pada bab sebelumnya telah ditegaskan tentang keprihatinan Adonis terhadap nasib sastra Arab yang didominasi oleh kalangan tha>bitu>n (statis) dan juga tentang semangat pemberontakannya (pembelaannya atas pemikiran kalangan mutah}awwili>n). Di sini akan ditekankan pada relasi sastra Arab dan Alquran sejak awal persentuhannya, guna menilai akurasi penilaian Adonis bahwa Alquran merupakan biang kemunduran dan stagnasi sastra Arab. Pembahasan dalam bab ini akan dibagi menjadi tiga poin besar. Pertama, tentang relasi yang utuh antara bahasa dan Alquran. Problem refrensial dan polemik politik menjadi kata kunci pembahasan ini sejauh kaitannya dengan teori kebahasaan yang dianut Adonis. Kedua, tentang problematika pemikiran Adonis. Artinya, setelah melalui analisis teoretik dapat ditemukan sejumlah problematika yang melatarbelakangi atau justru mengarahkan pandangan Adonis, seperti kecenderung eksistensialistik di sejumlah puisi-puisinya. Problematika-problematika inilah yang akan digunakan untuk menilai pandangannya tentang relasi Alquran dan sastra Arab. Ketiga, berpijak dari temuan pada poin kedua, akan dievaluasi bangunan teori Adonis tentang ‚revolusi sastra‛ yang ia maksudkan sebagai upaya memajukan nasib bangsa-bangsa Arab, seperti tercermin dalam kutipan di atas. Selanjutnya, perlu adanya perbandingan dengan teori-teori kebahasaan lain, untuk melangkah pada kesimpulan tentang relasi antara bahasa dan sastra Arab dengan Alquran.

A. Konstruksi Bahasa Arab dan Politisasi Agama Ditinjau dari diksi yang sering digunakan, analisis yang dipakai, acuan refrensial yang dirujuk, serta cita-cita yang hendak dibangun, pemikiran Adonis dapat dirumuskan dengan satu kata, anti kemapanan. Baginya,

1Adu>ni>s, al-Shi’ri>yah al-‘Arabi>yah, Muhad}arat Ulqiyat fi> al-Kulij du Fara>nsa Ba>ri>s 1984 (Beirut: al-Da>r al-Adab, 1989), 105. bahasa merupakan entitas yang sedang dalam proses menjadi, selaju kreativitas yang selalu baru. Sebaliknya, ia berpandangan bahwa semua yang berpotensi memotong kreativitas dinilainya sebagai statis, tidak terkecuali agama, melalui Alquran, seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Berangkat dari prinsip ini, Adonis mengafirmasi sejumlah tokoh yang menurutnya menjadi ‚nabi‛ kaum pembaharu. Seperti akan dilihat di bagian selanjutnya, pemikiran Muktazilah bahkan sekelompok ‚Atheis‛2 seperti Ibn Muqaffa’, al-Ra>wandi>, Jabir bin H{ayya>n dan al-Ra>zi> dalam bidang Agama, corak Abu> Nuwa>s Abu> Tama>m, Kahlil Gibran dalam bidang sastra, kelompok Negro-Syi’ah dan Qaramit}ah dari bidang politik,3 diadopsi sebagai kategori dinamis [mutah}awwilu>n]. Sedangkan teologi Shafi’i- Ash’ari, karya-karya sastra al-Ja>hiz, al-Rashafi dan al-Ba>ru>di>>, juga kecenderungan politik penguasa dikategorikan sebagai kelompok stagnan [tha>bitu>n]. Ringkasnya, kelompok mutah}awwilu>n adalah yang anti pada kemapanan dan pemapanan, sedang kelompok tha>bitu>n adalah kelompok status-quo. Kesimpulan Adonis inilah yang mendapat kritik keras dari Nasr Ha>mid Abu> Zayd, bahwa bangunan teori Adonis tidak kokoh, dan mendasarkan pada ciri kesamaan yang dangkal.4 Bagi Abu> Zayd, seakan- akan Adonis menyamakan semua kelompok minoritas yang cenderung memberontak pada ‚rezim,‛ dan menilainya pasti memiliki semangat anti- kemapanan, baik memiliki orientasi yang sama atau sekadar anti logika rezim.

2Atheisme di kalangan ulama muslim tidak dimaksudkan sebagai negasi atas keberadaan Tuhan atau hal-hal metafisik, tidak juga sebagai kehidupan tanpa agama seperti berkembang di beberapa negara Eropa. Atheisme di sini dimaksudkan sebagai penolakan atas peran risalah, yang dipandang sebagai totalitas penghambaan kepada Allah. Tokoh- tokoh yang masuk kategori ini mayoritas berasal dari kalangan filsuf. Baca Abdurrahman Badawi, Min Ta>rikh al-Ilh}a>d fi> al-isla>m (al-Qahirah: Sina li al-Nashr, 1993), 7-8. Terminologi atheisme [zandaqah dan ilh}a>d] juga digunakan oleh Adonis untuk menyebut tokoh-tokoh di atas, sebagai simbol dari pemberontakan atas dominasi logika agama yang lebih banyak dipengaruhi oleh tradisi ‚konservatif‛ yang disebutnya sebagai tha>bat. Baca Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II (Beirut: al-Da>r al-Fikr 1986), 208. 3Dua gerakan ini memiliki motivasi yang sama namun berangkat dari ideologi yang berbeda. Gerakan kaum negro yang dimotori oleh ideologi Syi’ah berhadapan dengan penguasa daulah Umayyah, sementara gerakan Qaramit} dimaksudkan untuk melawan penguasa Abbasiyah yang secara ideologis didukung oleh teologi Muktazilah. Baca Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II, 61-69. 4Nasr H{a>mid Abu> Zayd, Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Penakwilan atas Diskursus Keagamaan, terj. Muhammad Mansur, Khairon Nahdliyyin (Jakarta: ICIP, 2004), h. 334.

64

Namun, yang menarik perhatian penulis di awal bab ini adalah soal posisi Muktazilah, yang mendapat dua respon berbeda bahkan bertentangan. Di satu sisi, Muktazilah dicibir, di sisi lain Muktazilah disanjung. Di satu sisi Adonis menolak pandangan al-Ja>hiz, tapi di sisi lain mengagungkan Abu> Hud}ail al-Allaf, Abu> Ali al-Jubba’i dan Qad}i Abdu al-Jabba>r. Secara otomatis pemikiran Muktazilah memiliki status ambigu dalam pemetaan al- tha>bit wa al-mutah}awwil. Pada dasarnya, Adonis sudah menegaskan bahwa dua kategori tersebut tidak bersifat permanen. Sebagai contoh, pemikiran al-Ja>hiz memang lebih berorientasi pada aspek kebahasaan murni,5 berbeda dengan para ulama generasi berikutnya, yang mengembangkan teori ta’wil dan mutashabih dalam bingkai perdebatan teologis tentang ayat-ayat mutasyabihat.6 Sehingga bisa dibedakan bahwa dalam bidang bahasa-murni Muktazilah tergolong dalam kelompok tha>bitu>n, tapi dalam bidang teologi, muktazilah disanjung sebagai pionir gerakan mutah}awwili>n melalui pendekatan teologi kebahasaannya. Hanya saja, perlu ditegaskan di sini pemetaan yang dangkal seperti ini tidak akan mampu mengantar pada pemecahan masalah yang sedang ditangani Adonis, soal apakah Alquran menyebabkan kemandegan sastra Arab atau tidak. Sebab, pemetaan yang tidak tegas dan pertimbangan yang relatif tidak bisa dijadikan pijakan penilaian. Selain itu, bahasa mencerminkan pemikiran dan merupakan sarana berpikir. Oleh karena itu, problem bahasa dan sastra merupakan cermin dari sebuah pondasi pemikiran yang mendalam, yang menjadi basis bangunan pemikiran di atasnya. Maka memisahkan dunia bahasa dan pemikiran merupakan kesimpulan yang mustahil. Berikut akan diurai pokok pemikiran Muktazilah yang berporos pada soal bahasa. Dari ulasan ini akan diperlihatkan pengaruhnya pada pemikiran tokoh-tokoh al-Mutah}awwili>n lainnya.

1. Puritanisasi Bahasa: Problem Refrensial Dengan ironis, Adonis menyatakan bahwa ‚Aku menulis dengan bahasa yang menafikanku.‛7 Sebab, ‚kenabian merupakan sumber inspirasi satu-satunya menggantikan peranan sastra. Pada posisi itu sastra mengalami penurunan sebatas menjadi aktor kedua.‛8 Adonis

5Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II, 35. 6Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II, 85-86. 7Adu>ni>s, al-Nas}s} al-Qur’a>ni> wa Afa>q al-Kita>bah (Bairu>t: al-Da>r al-Ada>b), 72 8Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III (Beirut: al-Da>r al-Fikr 1986), 235.

65

sangat yakin perubahan mendasar pada sastra Arab terjadi setelah hadirnya Islam. Baik secara materil maupun formal, puisi Arab pasca- masuknya Islam menjadi baku. Sebab, secara formal, baik Rasulullah, para Khulafa al-Ra>shidu>n maupun para raja dinasti-dinasti berikutnya begitu memuliakan posisi puisi Jahiliyah, utamanya dari sisi cara pengungkapan. Artinya secara formal, puisi Jahiliyah dibakukan oleh dimensi agama. Sementara dari sisi material, puisi-puisi Arab-Islam memiliki karakteristik yang etis dan religius. Tema-tema dan diksi tertentu menjadi tabu dalam dunia sastra, seperti soal seks, khamr atau hal-hal yang diharamkan dalam agama.9 Jadi, kehadiran ajaran Islam merupakan ‚nasakh‛ bagi tema-tema sastra sebelumnya. Sepenuhnya diganti oleh ajaran Islam. Di saat bersamaan, kehadiran Islam membakukan format puisi Arab, meski di sisi lain, Alquran membawa corak tersendiri, yakni bukan naz}am bukan pula nathar.10 Pada intinya kedua aspek formal ini membakukan bentuk puisi dan tidak memungkinkan terjadinya pembaruan. Selain itu, kedatangan Islam menjadi poros pengembangan berbagai disipilin keilmuan yang kesemuanya dimaksudkan untuk melayani kepentingan agama. Pada posisi tersebut, kajian bahasa dan sastra tidak lagi independen, dibahas sebagai bahasa dan sastra, tetapi dalam bingkai untuk memahami teks-teks keagamaan. Di situlah titik kematian bahasa dan sastra dalam pandangan Adonis. Baginya, bahasa ada untuk tidak ada, dan diafirmasi bukan untuk dirinya sendiri. Lebih dari itu, orientasi pengembangan ilmu kebahasaan lebih sulit menerima pembaruan, dalam pengertian tidak ada mekanisme yang mengijinkan seseorang mengevalusi bangunan teori yang sudah ada karena dipandang bisa merusak kemapanan sistem keilmuan, dan pada akhirnya sistem pemahaman agama. Bahwa bahasa Arab memiliki dimensi sakral berakar dari penilaian seperti ini, yakni memahami bahasa merupakan kunci memahami agama. Sudah barang tentu bahasa sebagai kunci merupakan bahasa yang sudah baku. Dengan sendirinya upaya pembaruan dalam bahasa dipandang sama negatifnya dengan perbuatan bid’ah dalam tradisi keberagamaan.11

9Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 234. 10Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 23. 11Perilaku bid’ah berarti melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran sunnah. Bagi Adonis, ketentuan seperti ini meniscayakan dua bentuk kemandegan, yang pertama adalah kemandegan konservatif demi sebuah ajaran, dan kemandegan kedua dikarenakan oleh wacana dominan atau opini publik yang disimbolkan oleh jama’ah. Bahkan, dalam teknis dunia sastra, terminologi ibda’ (berkreasi) hanya terbatas pada

66

Dengan urut-urutan logika sedemikian rupa menjadi logis kesimpulan Adonis bahwa Islam dan Alquran merupakan biang kemandegan bahasa dan sastra Arab, atau bahwa satu-satunya cara untuk mengembalikan potensi bahasa adalah dengan melepasnya dari beban-beban ideologis keagamaan (atheisme).12 Akan tetapi, penilaian ini hanyalah penilaian sepintas seputar hubungan bahasa dan agama. Pada kenyataannya, stagnasi bahasa Arab dan tradisi kesusastraannya tidak dimonopoli oleh faktor tah}arruz di>ni> (konservasi agama). Ketika ditanya soal mengapa upaya pemeliharaan ajaran agama, atau untuk memahami Alquran, dilakukan dengan cara kodifikasi dan kanonisasi sastra, Muhammad Abiri> menjawab bahwa cara itulah yang lebih minim risikonya. Sebab, kanonisasi bahasa Alquran juga berarti penafsiran secara individual terhadap Alquran.13 Jelas hal itu merupakan sesuatu yang sangat dihindari. Ditambah dengan faktor bahasa Arab juga menjadi bahasa Alquran, maka kanonisasi kesusastraan Arab menjadi solusi terbaik untuk upaya tersebut. Meski begitu, Alquran tetap bukan faktor tunggal dari fenomena ‚sakralisasi‛ bahasa Arab. Sebab dalam perkembangannya, setidaknya ada tiga poin yang turut mewarnai kodifikasi dan kanonisasi bahasa Arab. Pertama, acuan pengumpulan material bahasa dari komunitas Arab pedalaman (A’rabi). Pilihan acuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa komunitas inilah yang belum tersentuh oleh kosmopolitanisme kota perdagangan dan silang budaya saat itu.14 Karena itu, aspek kebahasaan mereka dinilai lebih murni dan dapat diandalkan dalam kodifikasi bahasa. Pertimbangan di atas memiliki argumen pembenarannya sendiri. Namun, ditinjau dari sudut lain, pemilihan A’rabi sebagai acuan bahasa merupakan langkah yang kurang tepat. Setidaknya, upaya pembukuan dan penulisan kamus dilakukan satu abad setelah munculnya Islam, di mana pada awal kenabian saja, dunia Arab mengalami revolusi sosial secara mendasar, di mana tumbuh dan berkembang nilai-nilai serta pola penggunaan teori-teori seperti jinas, t}ibaq, isti’a>rah, atau menggunakan teori-teori ilmu badi’, dalam pengertian keindahan dalam puisi menjadi sesuatu yang bersifat formal. Baca, Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II , 142-143 dan 207. 12Baginya, hanya dengan atheisme pembaruan yang dilakukan tidak berkenaan dengan perilaku dan kehidupan praktis, tapi juga lebih mendasar pada tataran pemikiran. Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II , 208. 13Muh}ammad ‘Abiri>, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi> (al-Da>r Baid}a: al-Markaz al- Thaqafi> al-‘Arabi>, 1991), 85. 14Muh}ammad ‘Abiri>, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi>, 83-84.

67

hidup kemasyarakatan yang boleh dibilang modern. Masa satu abad juga ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin. Semua perkembangan peradaban itu dapat dipastikan absen dari pandangan dunia kaum pedusunan.15 Akibatnya, kosa kata yang terhimpun dalam kamus dan alam kognisi bangsa Arab mengalami ketimpangan. Kenyataan itu dapat digambarkan sebagai berikut. Kehidupan kaum A’rabi yang kasat dan kasar tidak memungkinkan mereka menangkap sesuatu yang abstrak dan tidak pernah mereka temukan dalam kesehariannya. Semua kosa kata yang ada dimaknai secara relasional dengan benda-benda yang didapati secara kasat mata. Misalnya, kata ‘aql [nalar] yang diderivasi dari kata ‘aqala-ya’qulu yang berarti mengikat, seperti mengikat onta. Begitu juga kata sabab (kausalitas) yang dipahami sebagai tali yang menghubungkan antara tali timba dengan air sumur.16 Dengan demikian, baik nalar maupun hubungan kausalitas kehilangan makna hakikinya. Bahkan, kausalitas hanya dipahami sebagai sesuatu yang relasional, tanpa ada hubungan sebab-akibat. Sejalan dengan itu, si pengumpul pertama kosa kata Arab, Khalil bin Ahmad al-Farahidi menerapkan sistem acak dalam penulisan kamusnya. Artinya, ia mencoba semua kemungkinan kata yang bisa disusun 30 huruf hijaiyah.17 Misalnya dari huruf ka-ta-ba, dapat diperoleh bakata, takaba, bataka, kabata, tabaka dan seterusnya. Pada tahap selanjutnya, al-Farahidi menyeleksi kata-kata bentukan tersebut secara falsifikatif dari komunitas A’rabi, sehingga dapat dibedakan antara kategori musta’ma>l (dipakai, ada secara praktis) dan muhma>l (tidak dipakai, hanya benar secara teori). Akibatnya, poin kedua, secara gramatikal kata-kata dalam bahasa Arab dapat dibenarkan sejauh sudah memiliki acuan rumusnya, seperti kata fa-t}a-qa (fi’il madhi) atau fa>t}iqun (isim fa>’il) dan maft}u>qun (isim maf’u>l). Artinya, sejak saat itulah bahasa ditentukan dengan rumus- rumus hasil elaborasi antara kata yang musta’ma>l dan muhma>l. Sejauh memiliki acuan, maka ia dapat dibenarkan. Inilah cikal-bakal tradisi

15Muh}ammad ‘A, ‚Khus}usi>yatu al-‘Ala>qah baina al-Lughati wa al-Fikr fi> al-Thaqafah al-‘Arabi>yah,‛ dalam al-Tura>th wa al-H{ada>thah, Dira>sat wa Muna>qasha>t, (Bairu>t: al-T{ab’ah al-Tha>niyah, 1999), 144-145. 16Muh}ammad ‘Abiri>, ‚Khus}usi>yatu al-‘Ala>qah Bayna al-Lughati wa al-Fikr fi> al-Thaqafah al-‘Arabi>yah,‛ dalam al-Tura>th wa al-H{ada>thah, Dira>sat wa Muna>qasha>t, 154. 17Kurang lebih ada 12.305.412 kosa kata yang diperoleh dari sistem acak tersebut yang dicatat oleh para penulis sejarah. Muh}ammad ‘Abiri>, Takwi>n al-‘Aql al- ‘Arabi>, 82.

68

qiyas dalam bahasa, dan akan merembet ke semua disiplin dan model penalaran bangsa Arab. Dalam bahasa Adonis, itulah al-Us}u>l, format- format bahasa yang kelak akan berkembang menjadi wazn dan sebagainya. Di samping itu, perkembangan yang demikian melahirkan sebuah logika internal dari rumus-rumus di atas, bahwa kata yang se-wazan dengan fi’il madhi memiliki dimensi waktu lampau, atau yang sepola dengan isim fa>’il digunakan untuk menyebut pelaku, dan pola maf’u>l berarti untuk kategori objek. Seperti contoh fat}aqa di atas, pada dasarnya kata tersebut tidak memiliki makna. Akan tetapi, dikarena sudah mengikuti pola yang sudah baku, pada siapa pun yang membacanya niscaya meyakini bahwa fa>t}iq berarti orang yang melakukan kata kerja fat}aqa, begitu juga maft}u>q berarti benda yang menjadi sasaran kata kerja tersebut.18 Pada titik inilah al-Ja>biri> menempatkan peran pionir Muktazilah dalam bangunan teori kebahasaan Arab. Logika-logika internal itu dibuat dalam kerangka ideologi teologi mereka tentang tawhi>d yang dipahami sebagai tidak adanya sifat-sifat Allah,19 atau bahwa sifat adalah dzat itu sendiri. Pengaruhnya dalam rumusan bahasa dan logika internalnya adalah tidak adanya kongruensi antara perbuatan dan pola waktu. Pola mas}dar dapat dicontohkan, ia berarti kata kerja yang tidak terjadi dalam bingkai waktu, hal ini untuk membenarkan keyakinan bahwa Af’al Allah tidak terjadi dalam ruang dan waktu.20 Secara teologis, Muktazilah meyakini bahwa Allah sama sekali tidak sama dengan makhluk, tidak butuh ruang dan waktu. Begitu juga rumus- rumus fa>’il yang dimaksudkan sebagai relativisasi hubungan kausal antara pelaku dengan kata kerjanya. Artinya semua kejadian dan perbuatan manusia tidaklah dilakukan secara hakiki oleh manusia. Satu- satunya penggerak dalam semesta hanya Allah. Untuk itu, pola isim

18Muh}ammad ‘Abiri>, ‚Khus}usi>yatu al-‘Ala>qah baina al-Lughati wa al-Fikr fi> al-Thaqafah al-‘Arabi>yah,‛ dalam al-Tura>th wa al-Hada>thah, Dira>sat wa Muna>qasha>t, 146. 19Qad}i Abdul Jabba>r memberi penekanan bahwa yang terpokok dalam sifat Allah adalah Maha Kuasa (qudrah) mengingat sifat-sifat lainnya adalah turunan dari sifat tersebut. Namun, seperti halnya ulama Muktazilah pada umumnya, sifat Maha Kuasa yang dimaksud bukan sesuatu yang independen dari Allah, melainkan dzat Allah itu sendiri. Baca, Qad}i Abdul Jabba>r, Sharh} Us{u>l al-Khamsah (t.tp: Maktabah Wahbah, 1988), 128 dan 151. 20Muh}ammad ‘Abiri>, ‚Khus}usi>yatu al-‘Ala>qah Bayna al-Lughati wa al-Fikr fi> al-Thaqafah al-‘Arabi>yah,‛ dalam al-Tura>th wa al-Hada>thah, Dira>sat wa Muna>qasha>t, 148.

69

fa>’il digeneralisasi untuk semua jenis pelaku kata kerja, dengan catatan bahwa relasi perbuatan itu hanya nisbi.21 Kesimpulan ini juga dapat ditengarai dengan penempatan kata kerja sebagai ‚akar derivasi‛ dan bukan kata benda. Sebab sejak sedianya, logika internal format-format itu hanya menempatkan Allah sebagai aktor tunggal. Bahkan, kelompok Kufah yang sebenarnya menganggap mas}dar (isim/kata benda) sebagai awal mula setiap kata, juga memahami masdar sebagai kata kerja tanpa ruang-waktu.22 Dari dua poin ini kita dapat menengarai bahwa proses kodifikasi bahasa memiliki logikanya sendiri yang tak bisa dikendalikan secara sadar. Bermula dari materi-materi bahasa yang kasat dan fisik tumbuhlah suatu sistem gramatika yang berpatok pada seperangkat rumus baku yang sekaligus memiliki logika internalnya: relativisme kausalitas dan penilaian dan pemahaman melalui proses analogi dengan sesuatu yang akrab dalam pengalaman konkrit dan fisis. Logika tersebut menyatu dalam format yang makin mapan. Melalui dua kecenderungan dalam logika internal itu saja sudah cukup alasan untuk menyebut adanya puritanisasi bahasa, yaitu kecenderungan menolak adanya pengaruh budaya luar, tanpa perlu melibatkan faktor tah}arruz di>ni>. Di sini, perlu dibedakan dua model penolakan terhadap akulturasi, seperti penolakan terhadap adopsi mantiq karena dipandang merupakan bagian dari tradisi helenistik, dan kedua asumsi bahwa adopsi kultural berarti mengganti sistem yang ada dengan yang sama sekali baru dan berasal dari luar. Artinya, kecenderungan kedua ini berarti kebiasaan penggunaan secara instrumental. Dan itu tercermin dalam penggunaan sistem logika internal di atas, di mana setiap kata asing selalu dipahami dalam bingkai pengalaman aktual yang kasat, dan cenderung menolak segala yang berasal dari luar, karena dipandang tidak dimengerti.23

21Penting dicatat di sini bahwa dalam bahasa Arab semua kata kerja memiliki sebutan untuk kategori tempat, alat, pelaku, sasaran, yang diderivasi langsung dari kata dasar tersebut. Misalnya dari kata d}araba (memukul) memiliki derivasi untuk tempat dan waktu peristiwa (mad}rab/isim makan-zaman), untuk pelaku (d}a>rib, isim fa>’il), sasaran (mad}ru>b, isim maf’u>l), alat [mid}ra>b, isim alat]. Untuk contoh terakhir misalnya, semua jenis alat yang digunakan untuk memukul dapat disebut sebagai mid}rab, tidak ada beda antara tongkat pemukul anjing, raket pemukul bola tenis, atau gadah yang digunakan sebagai senjata perang. Tidak lain dimaksudkan bahwa semua itu hanyalah alat yang nisbi, tidak memiliki kausalitas yang mutlak. 22Muhammad Abiri>, ‚Khus}usi>yatu al-‘Ala>qah Baina al-Lughati wa al-Fikr fi> al-Thaqa>fah al-‘Arabi>yah,‛ dalam al-Tura>th wa al-Hada>thah, Dira>sat wa Muna>qasha>t (Beirut: al-T{ab’ah al-Tha>niyah, 1999), 148. 23Al-Ja>biri> mencontohkan respon bangsa Arab atas permisalan yang dituangkan dalam Alquran tentang QS. S}affat ayat 64-65. Di sana Allah mengumpamakan pepohonan

70

Dua logika internal itulah yang kemudian dibakukan oleh al-Ja>hiz bahwa al-fas}a>h}ah} fi> al-lafz}i> la> fi> al-ma’na> (keindahan bahasa terletak pada bentuk, bukan pada isinya).24 Menurutnya, keunikan dan kedalaman makna bisa saja dimiliki oleh bahasa-bahasa lain, berbeda halnya dengan keindahan lafal yang hanya dimiliki oleh format bahasa tertentu, terutama bahasa Arab. Dari uraian ini kita bisa memaklumi penolakan Adonis terhadap pemikiran kebahasaan al-Ja>hiz. Sayangnya, afirmasi terhadap para pemikir Muktazilah lainnya seperti al-Allaf, al-Jubba’i, al-Nazzham dan al-Jabba>r tidak berpijak pada problem serupa. Walaupun an-Nazzham mensinyalir bahwa ‚gaya bahasa Alquran bukan mukjizat, dan manusia sangat mungkin membuat yang serupa bahkan melampaui keindahannya‛25 tapi itu tidak lantas mewarnai pandangan umum Muktazilah tentang al-‘aql qabla wurud al- sam’,26 pengarus utamaan peran akal dibanding wahyu. Sebab, orientasi takwil27 (di mana akal aktif menafsirkan ayat mutashabihat, dan jauh dari tradisi tashbih28 dan tajsid) justru menguatkan pondasi yang dibangun al-Ja>hiz. Dalam konsepsi al-Ja>hiz ayat-ayat mutashabihat tidak boleh dimaknai secara literal karena berkonsekuensi pada tajsid atau tashbih. yang tumbuh di neraka dengan kepala-kepala setan. Perumpamaan seperti itu berbanding terbalik dengan tradisi tashbih dalam kesusastraan Arab, di mana benda abstrak yang mestinya dideskripsikan dengan sesuatu yang konkrit. Muh}ammad ‘Abir>i, ‚Khus}usi>yatu al-‘Ala>qah baina al Lughati wa al-Fikr fi> al-Thaqa>fah al-‘Arabi>yah,‛ dalam al-Tura>th wa al-Hada>thah, Dira>sat wa Muna>qasha>t, 153. 24Adu>ni>s, al-Shi’ri>yah al-‘Arabi>yah, Muha>d}arat Ulqiyat fi> al-Kulij du Fara>nsa Ba>ris 1984, 35. 25Adu>ni>s, al-Shi’ri>yah al-‘Arabi>yah, Muha>d}arat Ulqiyat fi> al-Kulij du Fara>nsa Ba>ris 1984, 41. 26‘Ali al-Shabi, Abu Lubabah, Abdul Madjid Najjar, al-Mu'tazilah Baina al-Fikr wa al-‘Amal (Tunis: Shirkah Tunisiah li al-Tauzi', 1979), 101-104. 27Secara teori, takwil dapat didefinisikan sebagai preferensi salah satu makna yang terkandung dalam sebuah kata karena dipandang lebih akurat, meski bukan makna literal dan butuh perenungan mendalam untuk menemukan relasinya. Baca, M. Quraish Shihab, Logika Agama kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 97. 28Terminologi tashbih ini tidak dimaksudkan sebagai teori penyerupaan yang dikenal dalam disiplin ilmu balaghah. Tashbih yang dimaksud di sini bermakna antropomorphisme, yakni kecenderungan menyamakan Allah dengan manusia, atau lebih tepatnya memahami sifat-sifat Allah sama dengan sifat manusia. Seperti dalam memahami ayat ‚yadullah fawqa aydi>him,‛ sebagian ulama memaknai kata yad berarti kekuasaan, meski dengan relasi makna yang jauh namun lebih akurat sejauh terkait dengan makna yang diinginkan oleh ayat tersebut. Namun, ada sebagian ulama yang menafsirkannya bermakna literal, bahwa Allah pun memiliki tangan, meski tidak bisa diserupakan dengan tangan manusia. Oleh karena itu, tashbih dalam konteks ini hanya bisa dipahami dalam bingkai tajsid. Baca Qad}i Abdul Jabba>r, Sharh} Us}u>l al-Khamsah, 600-605.

71

Yang mesti dilakukan oleh mufassir adalah menafsirkannya dengan potensi makna terjauh namun memiliki akurasi makna dalam pertimbangan tauhid. Dengan demikian, bangunan teori takwil dari al- Ja>hiz berpondasi pada semangat tafsir, bukan lagi memahami makna yang diinginkan teks. Titik perbedaannya, tafsir memberi porsi lebih bagi subjektivitas penafsir dalam memahami teks, bahkan menjadikannya sebagai unsur penentu.29 Sementara pada kecenderungan sebelumnya (utamanya yang dibangun oleh imam al- Shafi’i), teks hanya patut dipahami, bukan ditafsirkan. Sehingga kecenderungan ini bisa mencukupkan diri pada makna literal.30 Di lain pihak, tokoh-tokoh di atas tidak berkeberatan dengan kecenderungan al-Ja>hiz yang mengedepankan aspek bentuk, dan justru memperkayanya dengan teori takwil, yakni mematenkan kecenderungan sastra Arab (disiplin balaghah) sebagai upaya membangun keserupaan dari dua hal yang berbeda, menggunakan format yang indah dengan tetap mementingkan fungsi takwil.31

29Muh}ammad ‘Abiri>, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabi>, Dira>sat Tah}liliyat Naqdi>yah li Nuzm al-Ma’rifat fi> al-Thaqa>fah al-‘Arabiyah (al-Da>r Baid}a: al-Markaz al-Thaqafi> al- ‘Arabi>, 1993), 24-25. 30Bahkan dalam salah satu stratifikasi penggunaan dalil dalam penafsiran ayat-ayat global dalam Alquran, yakni harus dipahami dalam bingkai sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam buku itu, al-Shafi’i dengan sangat tegas menyatakan bahwa satu-satunya cara berijtihad hanyalah dengan qiyas, yaitu menganalogikan status hukum yang belum dijelaskan dalam nas} dengan ketentuan hukum yang sudah ada, karena memiliki keserupaan illat. Dalam epistemologi fuqaha, pemahaman teks tidak dilakukan dengan takwil secara individual. Baca, Muh}ammad bin Idris al-Shafi’i, al-Risa>lah, (Beirut: al-Da>r al-Fikr, t.th), 369-488. 31Orientasi analogi Muktazilah berbeda dengan orientasi imam al-Syafi’i [kalangan fuqaha] yang tetap berpijak pada kesamaan fisik dan konkrit, karena analogi kalangan fukaha berpijak pada penentuan illat hukum, di mana ia harus bersifat konkrit. Seperti kasus penyamaan status hukum kebolehan berbuka puasa untuk pekerja berat, seperti buruh pemecah batu, karena dianalogikan pada status hukum seorang musafir. Langkah pertama yang ditempuh seorang fuqaha, mencari illat pada kasus musafir yang bisa dijadikan pedoman, yakni sifatnya yang bersifat konkrit dan itu adalah mashaqqah, dan bukan perjalanan yang bersifat relatif. Artinya, relativitas jarak ditambah dengan sarana transportasi yang makin canggih, bisa membatalkan relasi illat antara hukum dan sabab (safar). Setelah dipastikan mashaqqah (kesulitan) sebagai illat kebolehan berbuka bagi musafir, maka dengan mudah dilakukan analogi terhadap kasus seperti buruh pemecah batu dan sebagainya. Dalam terminologi ushul fiqih teori ini disebut teori munasabah baina al- illat wa al-h}ukm (teori kesesuaian illat dan hukum). Yang menjadi catatan penulis di sini adalah bahwa analogi kalangan fuqaha dilakukan dengan tujuan memahami teks dan hubungannya dengan kasus yang bersifat konkrit. Berbeda halnya dengan kalangan nuh}at dan mutakalli>m, yang menempatkan takwil sebagai potensi makna yang tidak ada putusnya, dan preferensi makna ditekankan pada relasi makna yang jauh, sulit dipahami. Di situlah makna penilaian al-Ja>biri> bahwa dalam teori takwil, pembaca ditempatkan sebagai pihak penentu makna, dan bukan lagi teks yang

72

Logikanya, kerumitan analogisme yang dibangun akan terpahami dengan peran takwil. Begitu juga keseriusan isi dapat dibingkai dengan format yang indah. Titik singgung konsepsi al-Ja>hiz dan ulama-ulama takwil Muktazilah adalah bahwa pembaca atau pendengar sastra Arab dihadapkan dengan tugas takwil, yakni memilih satu dari sejumlah makna yang berpotensi digunakan, dan bukan lagi efektifitas penggunaan diksi dengan makna yang hendak disampaikan. Secara ringkas dapat kita simpulkan bahwa sastra Arab tidak lagi mengandung unsur logis selain permainan kata-kata, baik dalam arti pembaca disibukkan mencari makna yang tepat atau dengan penggunaan kata- kata kosong. Sampai di sini kita bisa menemukan kontradiksi internal dalam pemikiran Adonis. Karena baik kecenderungan al-Ja>hiz maupun ulama Muktazilah lainnya bertentangan dengan ide yang diusungnya sendiri. Bukan tidak mungkin inilah alasan Adonis mencukupkan peran Muktazilah sebatas sebagai ‚pionir‛ yang memungkinkan kebebasan dalam berpikir, bukan yang membebaskan puisi dan sastra Arab dari kecenderungan formulaikisme bahasa.32 Dan untuk kepentingan yang terakhir ini, Adonis meminjam dari Abu> Nuwa>s dan Abu> Tama>m, seperti dijelaskan pada bab sebelumnya.

2. al-Ta’a>li fi> al-Siy>asah: Problem Ideologis Sakralisasi atau dalam bab ini diungkap dalam bentuk puritanisasi bahasa tidak saja disebabkan oleh faktor kebahasaan. Bahkan dapat dinyatakan bahwa pemikiran kebahasaan seperti dituang di atas merupakan lapis kedua dari pengaruh teologis muktazilah yang sebenarnya juga dipengaruhi oleh interes politik kala itu. Dalam urutan logika sederhana, kepentingan politik menempati faktor utama yang mempengaruhi doktrin teologis, lalu doktrin teologis ini mengarahkan pembentukan dan pengembangan bahasa. Jika dinyatakan bahwa isim fa>’il berarti pelaku nisbi, karena yang hakiki hanyalah Allah, atau masdar merupakan kata kerja yang lepas dari ruang dan waktu, tidak lain dipengaruhi oleh pandangan hendak dipahami. Tentang logika illat dan qiyas fiqhi baca Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi> Us}u>l al-Fiqh (Oman: Maktabah Batha'ir, 1994), 206-211. Baca juga Salim Yafut, H}afariyat al-Ma’rifah al-‘Arabi>yah al-Islami>yah al-Ta’li>l al-Fiqhi> (Beirut: al-Da>r al-Taliah wa al-Nashr, 1999), 62-79. Tentang penilaian al-Ja>biri> baca, Muhammad Abiri>, al- Tura>th wa al-Hada>thah, Dira>sat wa Muna>qashat (Bairu>t: al-T{ab’ah al-Tha>niyah, 1999), 155. 32Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II , 210.

73

Muktazilah yang menolak sifat-sifat Tuhan. Menurut Muktazilah, sifat Allah adalah dzat-Nya. Berbeda dari pandangan tersebut, kelompok Ash’ariyah menyebut dua puluh sifat wajib dan mustahil serta satu sifat jaiz Allah. Bagi kalangan Muktazilah, mengakui adanya sifat yang juga qadim berarti meyakini adanya entitas yang sama qadim bersama Allah, dan itu adalah bentuk kemusyrikan. Pandangan inilah yang disebut doktrin tauhid dalam ajaran Muktazilah, yakni menafikan semua sifat dan menunggalkan Tuhan sebagai yang tidak butuh apa-apa termasuk sifat-sifat.33 Konsekuensi lanjutan dari logika ketuhanan ini adalah tidak qadimnya Alquran, atau bahwa Alquran adalah makhluk dan tidak identik dengan kalam Allah yang azali.34 Sejarah mencatat pandangan Muktazilah ini sebagai pemikiran berdarah, karena dipaksakan kepada semua masyarakat, bahkan menelan korban dari kalangan ulama yang bersikukuh menolak menyebut Alquran sebagai makhluk.35 Sepintas terkesan bahwa pandangan teologis tentang kemakhlukan Alquran ini merupakan penolakan atas sakralisasi Alquran. Tapi pemahaman yang demikian tentu bertentangan dengan pandangan generasi pertama Muktazilah, yang menegaskan bahwa Allah lah pelaku segalanya. Peristiwa mih}nah dan basis pembenaran teologisnya ini tidak lain merupakan upaya sterilisasi Daulah Abbasiyah dari sisa-sisa pengaruh Jabariyah atau kalangan Sunni yang percaya pada sifat-sifat.36 Motivasi politik seperti ini bahkan sudah terlihat dari pandangan generasi awal Muktazilah tentang kebebasan manusia, yang dikemas dengan bahasa keadilan Allah. Menurut mereka, Allah ‚wajib/pasti‛ memberi balasan surga kepada tiap hamba yang taat, dan menghukum pelaku maksiat di neraka, sebab itulah risiko dari perbuatan di dunia, yang menandakan bahwa manusia bergerak atas nama kehendak dan kekuatan sendiri.37 Pandangan ini dikemukakan sebagai counter narasi atas pandangan Mu’awiyah yang melegitimasi kekuasaannya atas nama

33Qad}i Abdul Jabba>r, Sharh} Us}ul al-Khamsah (t.tp: Maktabah Wahbah, 1988), 200. 34Qad}i Abdul Jabba>r, Sharh} Us}ul al-Khamsah, 528. 35Ahmad bin Hambal merupakan korban dari peristiwa ini, dia dipenjara selama delapan belas bulan disebabkan menolak meyakini bahwa Alquran adalah makhluk, Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abd. Rahman dahlan, Ahmad Qarib (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), 180. 36Muh}ammad ‘Abiri>, al-Tura>th wa al-Hada>thah, Dira>sat wa Muna>qashat (Bairu>t: al-T{ab’ah al-Tha>niyah, 1999), 58-59. 37Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2006), 103-117.

74

agama, bahwa dinasti Umayyah sudah merupakan takdir dan pilihan Allah untuk banga Arab-Islam. Pada posisi seperti ini, bahasa merupakan jejak kepentingan politik yang dibingkai dalam doktrin agama, meminjam istilah al-Ja>biri>: tasyi>s al-muta’a>li atau al-ta’a>li fi> al-siya>sah, hingga akhirnya menjadi sebuah mekanisme status-quo yang tak tergoyahkan.38 Kesimpulan ini bisa diurai sebagai berikut. Di samping nahwu dan ilmu kebahasaan menjadi argumentasi teologi, orientasinya juga berkembang ke arah ta’wil, yakni membangun kesamaan-kesamaan (qiyas), di mana hal-hal yang abstrak mesti dicarikan padanannya yang bersifat konkrit dan fisik. Dan sejalan dengan teori takwil, kalangan Muktazilah mematenkan sastra Arab menjadi al-fas}ah}ah fi> alfa>z} la fi> al ma’na> dengan ketentuan al-h}aqqu la fi> al-adha>n bal fi> al-a’ya>n, menjadi sebuah sastra penuh dengan permainan bahasa (kosong), dengan penekanan pada aspek fisik. Sifat bahasa Arab yang fisis dan kasat itu diperkuat oleh kecenderungan sistem gramatikal yang meyakini keterpisahan antara perbuatan dari bingkai ruang-waktu, menempatkan bahasa menjadi entitas yang eternal dan sakral, ahistoris dan tak tersentuh perubahan. Pada periode selanjutnya, ketika perkembangan zaman meniscayakan persilangan budaya Yunani dan Arab, kecenderungan bahasa Arab mengental menjadi sistem nalar yang tidak bisa menerima unsur luar. Perdebatan antara al-Sirafi dan Yunus bin Matta cukup menggambarkan hal ini. Di mana al-Sirafi menyebut adopsi logika ke dalam bahasa Arab berarti ‚ih}dathu lughatin fi lughatin.‛39 Dalam pengertian ini, al-Sirafi menempatkan bahasa Arab sebagai sistem tertutup dan tidak memungkinkan unsur asing merasuk ke dalam. Sekali lagi, kita mendapati faktor agama, khususnya pengaruh Alquran terhadap sakralisasi dan puritanisasi bahasa Arab, sangat lemah, karena yang dominan justru kepentingan politik dan logika

38Muh}ammad ‘Abiri>, al-Tura>th wa al-Hada>thah, Dira>sat wa Muna>qashat, 59. 39Sekali lagi kita bisa membangun distingsi antara kecenderungan kalangan Muktazilah yang disebut sebagai mutah}awwil, dan kalangan fuqaha yang disebut tha>bit, yakni antara kecenderungan al-Sirafi dan al-Ghazali. Kelompok nuh}at seperti al-Sirafi menolak mantiq karena dipandang sebagai unsur asing, dan cenderung mengkoservasi bahasa dari pembaruan. Sementara al-Ghazali, dengan logika shafi’iyahnya justru menyatakan (man la yuhitu bihi ‘ilman fa la> thiqata lahu bi’ulumihi as}lan: ‚orang yang tidak menguasai ilmu mantiq, kualitas keilmuannya tidak bisa dipercaya.‛). Baca, Muh}ammad ‘Abiri>, al-Tura>th wa al-Hada>thah, Dira>sat wa Muna>qashat, 149. Bandingkan dengan Abu> Ha>mid al-Ghazali, al-Mustas}fa min ‘Ilmi al-Us}ul, (Kairo: al- Mahba’ah al-Amiriyah, 1322 H), 10.

75

teologis yang membingkainya. Malahan, doktrin-doktrin teologis ini tidak bisa disebut sebagai doktrin agama, mengingat kemunculannya lebih dimotivasi oleh kepentingan politik, yang memperalat agama sebagai alat legitimasi. Bahwa di dalam Alquran terdapat ayat-ayat tentang kekuasaan mutlak Allah (al-jabr) maupun tentang pentingnya usaha manusia (ikhtiyar/qadr) semua itu tidak bisa dipahami dalam bingkai pertarungan politik antara Umayyah dan Abbasiyah atau para penentang logika Umayyah lainnya. Perdebatan ilmu kalam lebih banyak didominasi oleh pertarungan politik, sehingga di sini tidak bisa kita sebut sebagai faktor agama. Dengan demikian, untuk apa Adonis mengajukan atheisme sebagai solusi atas dehumanisasi dalam kebudayaan Arab? Dan apa arti kutipan-kutipan dari Ibn Muqaffa’, al-Ra>wandi>, Jabir ibn Hayyan dan Zakari>ya al-Ra>zi>? Pandangan Jabir bin Hayyan misalnya yang mengagungkan empirisme dikutip dalam rangka menolak kecenderungan khabar (bahasa agama),40 begitu pula pandangan Zakari>ya al-Ra>zi> yang menyebut Alquran hanyalah mitos dan tidak bisa menjelaskan apa-apa, juga menempatkan filsafat rasional dan ilmu pengetahuan yang diakui sebagai sebagai pengetahuan sejati,41 tidakkah itu hanya menguatkan kecenderungan bahasa yang kasat, fisis dan primitif? Begitu juga al-Ra>wandi> yang menilai bahasa merupakan bakat natural dan tidak berasal dari wahyu,42 pandangan tersebut sejalan dengan logika Muktazilah yang menolak keqadiman Alquran, dan menyebut ‚al-fas}a>hah huwa al-irtija>l‛ (keindahan bahasa terletak pada kepolosan)? Tidakkah dengan begitu, Adonis kembali pada pandangan al-Ja>hiz yang ditentangnya? Jika semua bentuk ‚atheisme‛ ini dimaksudkan sebagai penolakan pada tradisi ‚tha>bat‛ dalam bidang agama, lantas mengapa Muktazilah yang diangkat sebagai spirit pembebasan? Padahal Muktazilah adalah kelompok mutakallim yang paling bertanggung jawab atas perkembangan bahasa yang dinilainya stagnan dan hanya bergerak di dunia fisis.

40Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 106-109. 41Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III , 111. 42Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III , 124.

76

B. Min al-Khit{a>bah Ila> al-Kita>bah: Semangat Eksistensialistik Untuk lebih jauh mengenai pandangan tentang Alquran, kesimpulan Adonis tentang Alquran dapat diringkas sebagai berikut: Pertama, Alquran sering diposisikan sebagai muatan teologis-yuridis semata bahkan lebih identik dengan seperangkat aturan.43 Kondisi yang demikian menyebabkan Alquran kehilangan transendensinya atas puisi jahiliyah, kembali pada budaya oral yang lebih menekankan pada pemahaman dan ketundukan pembaca di depan teks. Artinya, pembacaan puisi dimaksudkan untuk membawa pemahaman tertentu, dan kemudian dilaksanakan.44 Kedua, Alquran dipandang sebagai entitas yang absolut mempengaruhi bangsa Arab, lalu muncul anggapan bahwa bahasa Alquran adalah bahasa itu sendiri, bukan instrumen rasionalitas yang bersifat temporal.45 Dari sinilah muncul sakralisasi bahasa Arab, yang menilainya suprahistoris dan tidak bisa dikenai perubahan. Dan karena Alquran tidak dipandang sebagai transfigurasi atas model penulisan sebelumnya, melainkan lebih sebagai muatan moral penulisan puisi-puisi, maka pola-pola puisi juga dianggap tidak bisa berubah.46 Ketiga, dua disposisi Alquran itu melahirkan manusia yang berfungsi sebatas instrumen bagi agama dan bahasa, bukan pencipta bahasa. Dalam posisi itu, agama dan bahasa adalah entitas yang final, dan manusia harus melaksanakan dan menuturkannya. Dengan ungkapan yang lebih ironis, bangsa Arab bukan makhluk historis,47 sebagai yang pernah hidup di bumi, melainkan sebagai instrumen bagi bahasa. Lebih dari itu, pengalaman menulis berarti menulis tapi tidak menulis.48

43Secara bahasa al-kita>b yang diderivasi dari kataba memiliki pengertian kewajiban atau aturan. Dengan kecenderungan di atas, pengetahuan tentang al-kita>b (begitu juga dengan pengetahuan agama) menjadi elitis, di samping statis. Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al- Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II , 15-16. 44Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III , 301. 45Adu>ni>s, al-Nas}s} al-Qur’a>ni> wa Afa>q al-Kita>bah, 21-22. 46Di sini moral dapat berarti seperangkat etika penulisan maupun moral dalam arti penulisan puisi yang harus memuat pesan moral (akhlak-etika) yang diajarkan dalam Islam. Adonis banyak menceritakan puisi-puisi yang tidak diterima karena muatannya bertentangan dengan ajaran syari'at, seperti puisi Abu> Nuwa>s yang banyak memuji khamr, begitupun beberapa penilaian para sahabat tentang puisi yang baik, Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II , 109-115. 47Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I, 39. 48Frase tersebut mencerminkan budaya yang tidak memperhitungkan peran seorang penyair. Di dalamnya, penyair hanya menuliskan kata yang sudah selesai secara bentuk dan maknanya, tidak ada kreasi dan invensi. Dengan demikian, Adonis menilai puisi Arab mengasingkan para pujangga dari realitasnya sendiri. Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 281-285.

77

Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa terdapat satu faktor lain yang turut menyebabkan kemandegan sastra Arab, yaitu karakateristik sastra klasik Arab yang menurut Adonis lebih bercorak oral dan formulaik.49 Kelemahan corak ini adalah hilangnya individualitas dalam puisi, di mana seorang penyair menulis karya untuk diperdengarkan kepada orang lain.50 Pada posisi itu, ia harus mengkondisikan puisinya dengan pemahaman khalayak pendengarnya, bahkan berupaya memengaruhi pola pikir mereka. Dengan demikian, dalam puisi tidak ada lagi ‚aku kreatif‛ karena selalu terkooptasi oleh kepentingan dialogis-oral. Selain itu tampak dalam uraian tersebut, Adonis menilai Alquran memiliki potensi melampaui corak puisi lama, terutama dari aspek bahwa penekanan keindahan tidak lagi soal irtija>l (kepolosan), melainkan rukyah dan perenungan.51 Hanya saja, dominasi logika tha>bitu>n memutar orientasi revolusi Alquran, yang semula adalah min al-khit}a>bah ila> al-kita>bah, kembali ke corak puisi lama yang oral, dengan pengaruh yang lebih kuat karena karakter kita>bah, dalam pengertian Alquran menjadi seperangkat aturan, termasuk dalam kesusastraan. Sampai di sini kita sudah masuk ke logika Adonis dalam al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil, tentang min al-khit}a>bah ila> al-kita>bah, yang kini dimaksudkan sebagai kritik atas Alquran. Dalam volume pertama karya doktoralnya itu, Adonis menyebutkan tiga pokok pemberontakan (ilh}a>d)- nya,52 sebagai berikut: Pertama, akal melampaui naql.53 Berkenaan dengan hal ini Adonis banyak mengutip pemikiran al-Ra>wandi> (w. 470 H) dan Zakari>ya al-Ra>zi> (w. 313 H/925 M), yang berpusat pada kritik terhadap

49Formulaik(isme) adalah sebutan untuk tradisi kebahasaan yang menempatkan formula (pola-pola) tertentu sebagai rujukan. Tradisi ini identik dengan budaya oral yang lebih mengedepankan aspek "mendengar" daripada "membaca". Sebab, aktvitas mendengar lebih ditujukan pada resepsi audien secara presisif terhadap pesan yang disampaikan. Terlebih dalam lingkup kelompok, aktivitas itu dilanjutkan dengan penyeragaman hasil pendengaran oleh satu audien dengan audien lainnya. Sementara aktivitas membaca lebih mengedepankan penalaran si pembaca atas teks yang dihadapi. A. Teeuw, Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), h. 3. 50Adonis menilai kecenderungan ini menyamakan puisi dengan alam, karena puisi selalu berarti merekam realitas, sehingga aku selalu berarti kita. Adu>ni>s, al-Shi’ri>yah al- ‘Arabi>yah, Muhad}arat Ulqiyat fi> al-Kulij du Fara>nsa Ba>ris 1984, 22-23. 51Adu>ni>s, al-Shi’ri>yah al-‘Arabi>yah, Muhad}arat Ulqiyat fi> al-Kulij du Fara>nsa Ba>ris 1984, 35. 52Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I, 80-117. 53Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I, 85.

78 pengetahuan agama dan bahasa.54 al-Ra>wandi> menolak pandangan bahwa bahasa (Arab) berasal dari wahyu. Sebab baginya, manusia tidak dilahirkan oleh para nabi, melainkan dilahirkan secara turun-temurun oleh para pendulunya, dan memperoleh bekal bahasa secara konvensional. al-Ra>wandi> juga menekankan bahwa dengan akal, manusia tidak nabi dalam mengenal Tuhan.55 Selaras dengan itu, al-Ra>zi> berpendapat bahwa "mengetahui" hanya diperoleh dengan mencari dan menguji, tidak dengan mengingat seperti dilakukan oleh umat Islam yang mendapatkan agamanya secara taklid dari para pendulunya.56 Kedua, kebenaran melampaui syari'at,57 seperti pengetahuan para sufi yang menganggap realitas sebagai entitas tak berhingga, dan bahwa pengetahuan manusia pada umumnya (syari'at) hanyalah kulit dari realitas itu secara utuh.58 Dalam persoalan puisi para sufi menghiasi puisinya dengan kedalaman makna metafisis. Namun Adonis menyebutkan bahwa yang terpenting dari surealisme sufi ini adalah historisitas, yaitu kesadaran untuk melampaui sejarah. Dalam arti bahwa manusia tidak boleh menyerah terhadap sejarah yang ia ciptakan, karena manusia adalah pencipta sejarah.59 Ketiga, kreativitas melampaui konservatisme.60 Inilah yang dianggap sebagai pangkal dari ketiga prinsip ini sekaligus pokok pemikiran Adonis. Kredo puisi Abu> Nuwa>s dan Abu> Tama>m (w. 228 H)61 serta Kahlil Gibran

54Abdurrahman Badawi, Min Ta>rikh al-Ilh}a>d fi> al-Isla>m (al-Qahirah: Sina li al- Nashr, 1993), 46-53. 55Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II, 74-77. Bandingkan dengan Abdurrahman Badawi, Min Ta>rikh al-Ilh}a>d fi> al-Isla>m, 118-119. 56Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II, 116-125. Bandingkan dengan Abdurrahman Badawi, Min Ta>rikh al-Ilh}a>d fi> l-Isla>m, 235. 57Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I, 95. 58Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I, 96. 59Adu>ni>s, al-Nas}s} al-Qur’a>ni> wa Afa>q al-Kita>bah, 172-174. 60Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. I, 99. 61Abu> Tama>m adalah seorang penyair yang hidup dalam kisaran waktu 190-228 H. Dalam pandangan Adonis, dia adalah penyair yang memilih kata-kata asing dan relasi yang jauh. Namun demikian hal itu menunjukkan orisinalitasnya. Ia dianggap sebagai penyair terbaik di antara para penyair muwallad dan Jahiliyah. Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al- Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II, 101-120. Bandingkan dengan Muhammad Sa’id, ‚Tarjamah Abi Tama>m‛, dalam Shahin ‘Atiyah, Sharh} Diwan Abi Tama>m (Beirut: al-Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), 7-8.

79

(w. 1931 M)62 adalah rujukan utama Adonis dalam merangkai kreativitas yang ia bangun atas pundi-pundi kegilaan dan afirmasi terhadap kehidupan.

1. Kreativitas Kontra Agama dan Ideologi Orientasi kritik Adonis terhadap agama sudah jauh bergeser, seperti terlihat pada prinsip pertama dan kedua, tidak lagi terfokus pada Alquran, utamanya Alquran sebagai kredo penulisan, melainkan lebih sebagai syariat dan sesuatu yang berpotensi menjadi formal. Bukan tidak mungkin hal ini disebabkan oleh penilaiannya atas kegagalan Alquran melampaui corak puisi Jahiliyah, sehingga dalam hal ini Alquran diposisikan sederajat dalam kategori kuno dan mesti ditinggalkan. Penekanan Adonis tentang agama tidak lagi berbicara tentang Alquran, melainkan bergeser pada peran risalah, terutama melalui kutipan-kutipan dari al-Ra>wandi>. Menurutnya hanya ada dua kandungan dalam risalah nabi, yakni unsur rasional dan irasional.63 Unsur pertama bisa berkenaan dengan hal-hal yang sudah lumrah dikenal dan bisa diterima oleh akal sehat. Seperti bahaya peperangan, sifat saling bermusuhan, kerusakan moral yang diakibatkan zina dan sebagainya. Sementara yang bersifat irasional adalah hal-hal yang bersifat supra natural, tentang mukjizat, seperti isra’ mi’raj dan hal-hal yang berbau mistik. Dalam pandangan al-Ra>wandi> tidak ada yang positif dari risalah nabi. Sebab, untuk unsur pertama, akal manusia dapat menangkapnya secara mandiri, dan tidak membutuhkan penjelasan dari seorang utusan. Pandangan ini merupakan bentuk logika terjauh dari kebebasan yang didengungkan oleh Muktazilah. Unsur kedua merupakan titik lemah risalah, bahwa jika risalah hanya berisikan ajaran-ajaran metafisis dan irasional, hal itu menandakan bahwa risalah hanyalah bentuk kebohongan dan membuktikan bahwa tidak ada sesuatu yang penting dalam risalah. Sejauh kaitannya dengan puisi, Adonis merasakan sisi negatif agama adalah munculnya kategori tabu dalam pemilihan diksi, yaitu tema-tema yang dilarang dalam agama, seperti khamr, seks dan sebagainya.64 Oleh karena itu, Abu> Nuwa>s diangkat sebagai salah satu ikon dalam semangat pemberontakannya ini.

62Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 159-211 63Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II, 77. 64Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II, 110.

80

Sisi-sisi negatif yang ditimbulkan oleh ‚pengaruh‛ agama ini sama buruknya dengan pengaruh puisi jahiliyah yang masih berbasis komunal dan oral. Telah dipaparkan di atas bahwa komunalisme sastra meniscayakan kematian individu dan hilangnya orisinalisitas demi kepentingan memengaruhi pendengar. Sementara tradisi oral melahirkan formulaikisme, tentang wazn dan qafiyah, yang menjadi trade-mark puisi Arab sekaligus tembok tebal yang menyebabkannya sulit berkembang.65 Ditambah lagi oleh legitimasi keagamaan, bahwa ‚sunnah‛ (mencakup tradisi keagamaan dan tradisi kesusastraan) dipandang sebagai yang benar,66 sehingga muncullah anggapan bahwa puisi yang baik adalah puisi yang kuno, berabad-abad usianya, dan tidak terkait dengan teknik dan kualitas isinya. Guna mempermudah ulasan selanjutnya, diringkas kelemahan agama dan puisi jahiliyah, yang menjadi inti kritik Adonis, ke dalam dua poin berikut, bahwa baik agama maupun puisi jahiliyah: 1) melahirkan formulaikisme sastra; 2) membunuh individualitas dan orisinalitas kreasi sastra. Pada mulanya, Adonis mengutip tradisi ilmiah dengan segenap karakteristiknya sebagai antidot krisis sastra Arab. Namun, mengingat karakteristik ilmu pengetahuan yang positivistik dan hanya berkenaan dengan pembakuan intelektualitas-fisik,67 bukan spiritual, maka selain Abu> Nuwa>s dengan kegilaan dan ekstasenya, Adonis juga banyak mengutip pandangan kelompok sufi dan surealisme sastra, untuk mengurai kekusutan sastra Arab. Tema-tema sufi jelas dimaksudkan untuk menembus formalitas keagamaan, bahwa ma’rifat atau hakikat merupakan upaya melampaui syariat. Meskipun uraian Adonis tidak dimaksudkan sebagai ulasan tentang tasawuf itu sendiri, melainkan sebagai perspektif dalam membangun suatu kecenderungan baru dalam bersastra.68

65Wazn berarti sejumlah pola baku yang dijadikan tolok ukur pembuatan puisi Arab. Sedangkan qafiyah adalah kesamaan rima antar bait-bait puisi. Dalam tradisi sastra arab, puisi yang bagus selalu diidentikkan dengan al-mawzu>n dan al-muqaffat, yakni yang sesuai dengan pola-pola dan aturan yang baku seperti dalam ilmu ‘arudl. Baca Adu>ni>s, al-Nas}s} al- Qur’a>ni> wa Aq al-Kita>bah, 98-113; dan Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al- Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 207. Bandingkan dengan Muhammad al- Damanhuri, al-Mukhtasar al-Shafi (Surabaya: al-Hidayah, t.th.), 3-5. 66Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II (Beirut: al-Da>r al-Fikr 1986), 143. 67Adu>ni>s, al-Shi’ri>yah al-‘Arabi>yah, Muhad}arat Ulqiyat fi> al-Kulij du Fara>nsa Ba>ris 1984, 106. 68Dalam bagian pengantar buku tersebut Adonis menyatakan penolakan sejumlah kalangan dari kelompok surealis maupun sufi tentang penggabung dua model pendekatan yang terkesan bertolak balakang ini. Sebab sufisme berarti aliran keagamaan, sementara

81

Ada empat tema sufistik yang diulasnya dalam bingkai surealistik. Pertama, ma’rifat. Prinsip yang dibangun pada poin ini adalah tentang penyatuan antara objek ilmu dengan sang peneliti.69 Dalam pendekatan formalistik, seorang peneliti harus menjaga jarak objektivitas dengan objek penelitiannya. Tentu objek yang dimaksud dalam penekanan Adonis bukanlah objek penelitian ilmiah, melainkan format wazn dan qafiyah dalam puisi. Aturan-aturan formal dalam puisi tak ubahnya seperti syariat dalam agama, atau seperti prinsip objektivitas dalam penelitian ilmiah. Dalam hal ini, Adonis mengutip pandangan al-Shibli, bahwa ‚unsur pertama dalam ma’rifat adalah Allah yang Mutlak, dan unsur terakhir adalah yang tak berhingga.‛70 Awal dan akhir dalam pendekatan surealistik-sufistik adalah satu, yakni penunggalan antara peneliti dan objeknya, antara puisi dan sang penyair. Dari kutipan itu, Adonis menegaskan bahwa seorang penyair dapat dinilai mencapai kematangan jika tak mengenal lagi jarak antara puisi dan dirinya, atau bahwa dirinya tidak lagi berada di luar puisi.71 Pada poin ini, yang menjadi titik tekan adalah bahwa formalisme dan formulaikisme dalam sastra adalah penjara bagi kreativitas dan keakuan sang pengarang. Poin kedua adalah imajinasi (al-khayyal). Poin ini sebenarnya lebih dimaknai sebagai prasyarat untuk sampai pada tingkat ma’rifat. Adonis menegaskan bahwa al-khayyalu mi’yar al-ma’rifat (imajinasi adalah pondasi ma’rifat).72 Hal ini bisa dijelaskan bahwa ma’rifat berarti pengetahuan yang tidak berhenti pada aspek formal yang bersifat luaran. Ma’rifat adalah jenis pengetahuan yang menembus dan melintas ke hakikat objek.73 Untuk itu dibutuhkan sebuah mekanisme yang memungkinkan seorang penyair sampai ke sana, tak lain adalah imajinasi. Bagi Adonis, imajinasi berfungsi untuk menyingkap sesuatu yang belum diketahui sebelumnya. Baik yang dimaksud adalah format belum pernah ada dan baku (agama dan puisi Jahiliyah, atau dalam pengertian menuju ke arah yang bersifat imajiner dan non-fisis.74 Singkatnya,

surealisme merupakan bentuk atheisme. Namun, Adonis menekankan kedua pendekatan ini tentang sesuatu yang tak terkatakan (surealisme) dan yang terbayang atau tak terlihat (sufisme). Adu>ni>s, al-S}ufi>yah wa al-Suryaliyah, 1-2. 69Adu>ni>s, al-S}ufi>yah wa al-Suryaliyah, 39. 70Adu>ni>s, al-S}ufi>yah wa al-Suryaliyah, 40. 71Adu>ni>s, al-S}ufi>yah wa al-Suryaliyah, 40. 72Adu>ni>s, al-S}ufi>yah wa al-Suryaliyah, 77-78. 73Abu> H{amid al-Ghazali, Bidayatu al-Hida>yah, (Semarang, T}aha Putera, t.th), 40. 74Adu>ni>s, al-S}ufi>yah wa al-Suryaliyah, 92.

82

objek imajinasi tidak melulu objek yang konkrit tapi juga mencakup hal-hal yang bersifat abstrak. Untuk itu, pada poin ketiga, Adonis menekankan tema cinta (al- hub) bukan sebatas relasi asmara, tetapi perasaan rindu yang tak terkendali dan mengembara. Baginya, cinta adalah sumber kreativitas yang bisa membebaskan manusia sekaligus memperbarui alam.75 Relevan dengan tema sufistik-surealistik, perasaan cinta inilah yang memungkinkan seseorang mengabaikan hal-hal formal dan memilih mengembara dengan bekal imajinasinya. Rasa cinta yang mengarahkan imajinasi lepas sejauh-jauhnya, melebihi lingkar ruang dan waktu. Tidak ada historisitas dalam cinta dan imajinasi, maka sudah dipastikan pula sastra dengan kendali imaji-cinta tidak lagi membutuhkan lokalitas dan formalitas.76 Pengembaraan imaji-cinta inilah yang memungkinkan lahirnya sebuah karya orisinal, yang lebih mengedepankan aspek kebaruan, penemuan, dan bukan sekadar keindahan terlebih yang dipahami dalam bentuk format-format yang sudah ada. Itulah makna poin keempat, bahwa al-bu’du al-jamali (dimensi keindahan) dalam puisi adalah sesuatu yang tidak bersifat formal. Keindahan ‚puisi baru,‛ jika boleh disebut demikian, terletak pada orisinalitas pesan yang dikandungnya (inna al-kashfa huwa nafsahu al- jama>l). Kebaruan dan penemuan ini tidak lagi mementingkan pemahaman khalayak pembaca-pendengar. Puisi baru adalah sepenuhnya menjadi monopoli sang penyair. Maka di situlah, seorang penyair merasakan kelahiran yang tidak berkeputusan. Dalam bahasa Adonis, aspek semantik yang bergerak ke arah penciptaan, bahkan bisa mengubah manusia menjadi alam spiritual, itulah esensi keindahan.77 Atas dasar poin-poin di atas, Adonis menekankan fungsi kita>bah dalam revolusi ‚min al-khit}a>bah ila al-kita>bah‛ ini adalah melakukan invensi yang merasuk ke jantung kehidupan, bukan sekadar yang bersifat lahiriyah, tapi juga ke rahasia penciptaan. Bahwa hal itu meniscayakan penolakan terhadap semua yang bersifat format dan formalistik, dengan sangat tegas Adonis menyatakan ‚jawharu al-ibda’

75Adu>ni>s, al-S}ufi>yah wa al-Suryaliyah, 112. 76Dalam bahasa Adonis, zaman al-hub huwa ma anta fi>hi (waktu di mana kamu berada di dalamnya), zaman ghairu al-zaman al-ta>rikhi (bukan waktu kronologis). Adonis, al-S}ufi>yah wa al-Suryaliyah (Budapest: al-Da>r al-Saqi, 1991), 112. Lebih jauh tentang zaman non-kronologis, baca pemetaan Henri Bergson tentang waktu dalam pengertian time dan dure. Jika yang terakhir berarti waktu yang melaju seperti jarum jam, maka time berarti waktu yang diam, yang mencakup masa lalu, masa kini dan masa depan. Husein Heriyanto, Paradigma Holistik, Dialog FIlsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whiteheaz (Bandung: Teraju, 2003), 182. 77Adu>ni>s, al-S}ufi}yah wa al-Suryaliyah, 132.

83

fi> al-taba>yun78 (esensi pembaruan terletak pada upaya membedai format yang ada),‛ atau mengutip teori trans-substansiasi Jabir bin Hayyan, ‚untuk berubah, watak harus kehilangan substansinya.‛79 Kesimpulan di atas lalu dirumuskan oleh Adonis sebagai prinsip kreativitas juga sebagai prasyarat menjadi penyair atau kritikus sastra, yaitu: 1) prinsip penulisan adalah tidak mengikuti format yang sudah ada; 2) menilai puisi (lama dan baru) dari aspek artistik; 3) keindahan bukan soal kefasihan secara oral, melainkan penggunaan kata-kata sulit yang mengandung banyak interpretasi dan potensi makna; 4) kreativitas dan pengalaman perseptif (tajribah dawqi>yah).80 Seperti halnya al-Ra>zi>, al-Rawandi> dan Jabir bin Hayyan tidak memaksudkan atheismenya sebagai penolakan akan adanya Tuhan, tapi sebatas penolakan atas peran risalah, begitu jugalah Adonis memaksudkan atheismenya sebagai penolakan atas kejumudan, dan formulaikisme sastra. Pada dasarnya tidak ada sesuatu yang baru dari pemikiran Adonis, mengingat kecenderungan serupa ini sudah diprakarsai oleh Abu> Tama>m, bahkan rumusan di atas merupakan adaptasi dari kesimpulan al-S}uli tentang kredo kepenyairan Abu> Tama>m.

2. Dilema Masa Depan Antara Kemerdekaan dan Kebebasan Hingga titik ini, kita tidak menemukan kritik Adonis yang berkenaan langsung dengan Alquran, bahwa Alquranlah yang menyebabkan kemandegan dalam sastra Arab. Pemberontakan Adonis lebih bersifat eksistensial tentang individu yang merindukan kebebasan, karena merasa terkungkung oleh suatu sistem tradisi atau ideologi yang berkembang. Justru yang tertangkap dari penalaran di atas adalah

78Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 57. 79Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II, 78. 80Adu>ni>s, al-Shi’ri>yah al-‘Arabi>yah, Muhad}arat Ulqiyat fi> al-Kulij du Fra>nsa Ba>ris 1984, 53-55. Pada dasarnya tidak ada sesuatu yang baru dari pemikiran Adonis, mengingat kecenderungan serupa ini sudah diprakarsai oleh Abu> Tama>m, bahkan rumusan di atas merupakan adaptasi dari kesimpulan al-S}uli tentang kredo kepenyairan Abu> Tama>m. Menurut al-S}uli, kredo puisi Abu> Tama>m berintikan 1) gaya puisi baru bisa menasakh gaya puisi lama; 2) penekanan pada aspek keindahan, bukan usia puisi [puisi lama dan baru berada dalam posisi setara]; 3) menggunakan kata-kata metropolis; 4) memiliki perspektif, dalam Adu>ni>s, al-S}ufi>yah wa al-Suryaliyah, 43. Bandingkan dengan Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. II, 184-189.

84

mencuatnya semangat individuasi dan semangat eksistensialistik dalam pemikiran Adonis.81 Kesimpulan ini bisa diperhatikan dari logika penolakannya terhadap puisi jahiliyah, peran risalah (sunnah) dan formulaikisme sastra dalam bentuk wazn dan qafiyah, yang tidak lain memerantarai kematian keakuan si penyair, ‚aku menulis dengan bahasa yang membunuhku,‛82 hingga seolah ‚aku menulis tapi tidak menulis.‛83 Penggunaan ‚bahasa kosmopolit dan sulit‛ serta mengandung ‚ragam makna‛ juga perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Sebenarnya kecenderungan ini dikutipnya dari Abu> Tama>m, yakni menggunakan diksi-diksi yang membutuhkan penalaran mendalam, karena relasi makna yang hendak disampaikan dengan diksi yang digunakan sangat jauh. Pada poin ini kita kembali diingatkan pada kecenderungan takwil Muktazilah yang merayakan penafsiran massal, antara penyair dan pembaca, antara Alquran dan para mufassir. Artinya, jika takwil menyibukkan pembaca dengan berbagai penggunaan kata atau kemungkinan makna, maka Adonis mencita-citakan kredo puisi yang dibuatnya juga memiliki kecenderungan yang sama. Yang paling asasi dari ‚kerumitan kata‛ ini adalah tidak adanya keseragaman antara satu pembaca dengan pembaca lainnya. Dengan kata lain, baik takwil maupun kredo puisi Adonis menginginkan sastra individual, dalam pengertian penyair tidak bertanggung jawab soal pemahaman pembaca, begitu pun pembaca tidak perlu memperhatikan makna yang diinginkan oleh sang penyair, dan bisa jadi pemahaman seorang pembaca dengan pembaca lainnya berbeda. Sebaliknya, Adonis menolak kecenderungan teks yang menunggal, baik dalam arti pemahamannya bisa ditangkap secara tekstual dan mudah¸maupun maknanya seragam antara satu pembaca dan pembaca lainnya. Inilah yang menjadi argumen Adonis menolak

81Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menjadikan problem eksistensi manusia sebagai pusat perhatian. Tema-tema yang dibahas dalam aliran filsafat ini adalah tentang hakikat kehidupan, seperti makna dan arti hidup, apa tujuan kehidupan bagi manusia, apakah kehidupan merupakan pilihannya sendiri, mengapa manusia mengalami nasib buruk, apa makna kebebasan serta hubungan antara kehendak bebas dan ketentuan Tuhan. Tokoh-tokoh yang dikenal sebagai tokoh eksistensialis adalah Firedrich Nietzsche, Jean Paul Sartre, Albert Camus, Maleau Ponty, Soren Abey Kierkegard, sementara dari kalangan muslim adalah Mohammad Iqbal. Lebih jauh tentang eksistensialisme, baca N. Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara, Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: Kompas, 206), 1281-1318. 82Adu>ni>s, al-Nas}s} al-Qur’a>ni> wa Afa>q al-Kita>bah, 72. 83Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 284.

85

puisi-puisi yang menabukan sejumlah diksi tentang hal-hal yang diharamkan agama, atau menolak kecenderungan sastra yang digunakan hanya untuk menjelaskan doktrin agama. Selain itu, kepentingan politik atau ideologisasi sastra juga menjadi sasaran kritik Adonis. Dalam pertimbangan prinsip kreativitas di atas, agama dan ideologi memang berpotensi menjadi penghambat kreativitas dan menggantikan peran puisi sebagai sumber inspirasi.84 Sehingga secara tematik isi, puisi menjadi etis dan ideologis, hingga pada tingkat tertentu, kecenderungan puisi itu akan membakukan formatnya sebagai sesuatu yang sakral. Di samping itu, baik agama maupun politik merupakan sejenis propaganda yang bertujuan menyeru dan memengaruhi khalayak, sehingga bahasa dan diksi yang digunakan mesti mudah dipahami secara gamblang dan tidak menyimpan kerancuan dan multi-interpretasi. Seleksi inilah yang tidak memungkinkan kredo Mahmud Sami> al- Ba>ru>di> (1838-1904) dan Ma’ruf al-Rashafi (1875-1945) masuk kategori puisi yang diidealkan Adonis. Meski banyak tokoh menyanjung dan menyebut puisi-puisi al-Ba>ru>di> sebagai puisi modern Arab, tapi bagi Adonis ada kecenderungan yang mencerminkan ‚konservatisme‛ al- Ba>ru>di>, yaitu 1) penekanannya pada kejayaan masa lalu Arab; 2) penekanan pada prinsip sastra klasik; 3) muatan ideologis untuk kebangkitan Arab (bahkan Adonis menyebutnya sebagai penyair kebangkitan Arab).85 Sedangkan puisi-puisi al-Rashafi secara ideologis bertentangan dengan semangat al-Ba>ru>di>, yaitu kritis terhadap masa lalu Arab, bahkan kritik terhadap agama, dengan mengedepankan agama bukan segama ajaran wahyu.86 Namun, tetap membawa semangat ‚masa lalu‛ ideologis, yaitu penekanan untuk kebangkitan, bahkan menjadikan muatan ideologisasi sebagai corak puisi yang harus dikembangkan. Menurutnya, puisi yang baik adalah yang mendidik masyarakat. Tentu dengan begitu, penggunaan bahasa yang mudah dicerna serta beragam bentuk fas}a>hah harus diutamakan. Bahkan, satu syarat yang menjadi

84Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 253. 85Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 48-50. Di antara unsur ideologis dalam puisi al-Ba>ru>di> adalah seruan untuk melawan Daulah Usmaniyah yang despot serta anjuran untuk mengadopsi kebudayaan Barat. Namun, adopsi itu hanya terbatas pada bingkai perkembangan ilmu pengetahuan. Sementara untuk bidang sastra, al-Barudi menekankan kemandirian bahkan pengultusan terhadap masa lalu Arab, dan bahwa Arab tidak membutuhkan Barat. 86Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 65.

86

konsekuensi dari persyaratan itu adalah bahwa puisi lebih baik berupa nathar, bukan naz}am.87 Cukup terlihat bahwa penekanan Adonis bukan lagi pada soal afirmasi atau negasi agama, bahkan tidak ada kaitan sedikit pun dengan pengaruh Alquran terhadap perkembangan bahasa dan sastra Arab. Adonis mencita-citakan sebuah kebebasan yang lebih eksistensial. Dalam rangka penolakan atas dua kredo di atas, dan beberapa model puisi lainnya, Adonis mendefinisikan konservatisme sastra adalah: ihya’u al-ashkal al-qadimah sawa’un ka>nat fanni>yatan wa ijtima’i>yatan, aw siyasi>yatan88 (revitalisasi bentuk klasik dalam bidang sastra, sosio- politik) juga al-taw’iyah al-wat}aniyah (gelora nasionalisme). Resepsinya tentang puisi ‚al-Masa’‛ karya Khalil ibn Mat}ran (1872- 1949) juga memperjelas kecenderungan tersebut. Menurutnya, puisi tersebut masuk kategori ‚puisi jelas‛ dan, dengan begitu ia masuk kategori taqlid (konservatif), terlebih polanya yang menggunakan nathar, sehingga makin jauh dari kategori puisi.89 Bahkan, poin realisme sastra yang digagasnya mengarahkan Adonis menyamakan Khalil Mat}ran dengan al-Ba>ru>di>.90 Di antara sekian kredo puisi Arab, Jama’atu al-Diwa>n yang digerakkan oleh Abbas Mahmud Aqqad menjadi salah satu yang disetujui oleh Adonis lantaran pandangannya bahwa puisi yang baik adalah yang bercerita tentang individu (al-dzat), sedang puisi yang tidak berbicara tentang individu berarti tidak orisinal (s}inai>yah).91 Dalam pandangan ini, puisi merupakan ungkapan perasaan seorang penyair, dan itu tidak akan terlihat pada puisi-puisi politis atau ideologis, karena dengan membaca puisinya saja tidak cukup bagi pembaca untuk mengenali jatidiri si penyair. Untuk itu, Aqqad mengharuskan puisi bercerita tentang kepribadian atau perenungan dan pengalaman individual.

87Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 69. 88Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 55. 89Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 100. 90Meski bagi Adonis ada beberapa kebaruan dalam puisi Khalil bin Mat}ran dibanding puisi al-Ba>ru>di>, seperti unsur subjektivitas bahkan lebih terbuka pada asupan luar . Namun, kebaruan tidak cukup diukur dengan waktu, bahwa Khalil lebih baru dibanding al-Barudi, dalam pengertian tidak lebih modern, tetapi sejauh mana puisi meninggalkan format lama. Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al- ‘Arab Vol. III, 101-102. 91Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 82.

87

Lantas bagaimana Adonis merumuskan sebuah puisi pembebasan, seperti dalam kutipan di awal bab ini, bahwa puisi bisa mengisi program perbaikan nasib masyarakat, di samping perbaikan struktur ekonomi dan sosio-politik? Bagaimana jika puisi pembebasan yang dimaksudkan berupa antologi kata yang tak terpahami atau tidak bisa menyatukan opini publik tentang kemerdekaan, perjuangan dan pembebasan? Sebagai gambaran, selanjutnya akan dikutip empat puisi Adonis untuk merumuskan karakter dan orientasi puisi Adonis, serta mengevaluasi pandangan Adonis tentang peran puisi sebagai media pembangunan struktur sosio-politik-ekonomi bangsa Arab. Keempat puisi itu sebagai berikut: شجرة الشرق صرت أنا ادلرآة عكست كل شيئ غًنت يف نارك طقس ادلاء والنبات غًنت شكل الصوت والنداء صرت أراك اثنٌن انت وىذا اللؤلؤ السابح يف عيين صرت أنا وادلاء عاشقٌن اولد باسم ادلاء يولد ّيف ادلاء 92 صرت ناأ وادلاء توأمٌن Pohon di timur [Aku bagai cermin Memantulkan semua benda Mengubah titik air dan tetumbuhan dalam api Mengubah suara dan seru Aku melihatmu menjadi dua Kamu dan permata yang melayang di mataku Tiba-tiba aku merindukan air Aku dilahirkan bernama air

92Antologi puisi ini terbit pertama kali pada 1965. Adonis, Kitab al-Tah}awwulat wa al-Hijrah fi> Aq>alim al-Nahr wa al-Layl (S}iyaghah Niha’i>yah) (Beirut: al-Da>r al-Adab, 1988), 13.

88

Dan air tercipta dalam tubuhku Aku dan air adalah saudara kembar]

Puisi ini menggambarkan tentang resepsi kultural seseorang berkebangsaan timur, yang mencoba mengadopsi barat namun ingin tetap memelihara identitasnya. Dalam hal ini, sang Aku (Adonis) berperan sebagai cermin, melihat realitas tentang orang-orang di sekitarnya pada masa itu. Frase ‚memantulkan semua benda‛ merupakan penegasan tentang peran puisi sebagai kacabenggala sosial, namun tidak sekadar memantulkan. Ia juga bisa ‚mengubah titik akhir dan tetumbuhan dalam api‛ dan ‚mengubah suara dan seru.‛ Penyair adalah pencipta karena kreasi adalah hakikat dari karya sastra. Lalu, apa yang hendak diubah Adonis? Realitas sosial yang dihadapinya tak ubahnya realitas yang gamang, mendua dan tidak menentu arah. Pilihan antara mengadopsi barat, menolak barat atau kembali ke masa lalu membayangi problem kultural di kala Adonis menulis puisi ini. Dalam konteks seperti itulah Adonis ingin menjadi air, sumber kehidupan sekaligus simbol dinamika sejarah. Dan yang terpenting dalam puisi ini dalah pernyataannya, bahwa ‚aku dan air adalah saudara kembar.‛ Frase penutup ini sekali lagi menegaskan tugas kepengarangan sebagai tugas penciptaan. Secara praksis Adonis pernah mengurai sikap ini secara teoretis tentang dilema antara barat dan timur, di mana ia hanya mengutip sebagian khazanah Barat tentang progresivitas sejarah, namun berpegang pada tradisi sastra yang tidak positifistik.93 Menurut persyaratan yang dibuatnya sendiri, puisi ini sudah bercerita tentang subjektivitas sang penyair, tentang aku yang gelisah. Tidak ada wazn dan qafiyah, namun tetap memelihara format puisi dan bukan prosa (nathar). Namun titik tekan Adonis dalam puisinya bukan pada aspek-aspek teknis tersebut, melainkan pada penemuan dan preferensi kreativitas yang disimbolkan dengan air dan pengarang. Seperti juga akan digambarkan dalam puisi kedua, tugas pengarang merupakan tugas yang supra-historis. Logika yang dibangun dalam puisi takkan bisa terpahami dalam analisis dangkal, karena memang menggunakan kata-kata yang tidak mudah dimengerti atau paling kurang menggunakan kata yang multimakna.

93Adu>ni>s, al-Shi’ri>yah al-‘Arabiyyah, Muhad}arat Ulqiyat fi> al-Kulij du Fara>nsa Ba>ris 1984, 106-108. Di bagian akhir akan dijelaskan apa pertimbangan mendasar Adonis menolak adopsi 100% atas prinsip ilmiah, dan menegaskan bahwa puisi baru tidak bertentangan dengan puisi lama.

89

اإلشارة مزجت بٌن النار والثلوج لن تفهم النًنان غايايت وال الثلوج وسوف ابقى غامض اليفا أسكن يف األزىار واحلجارة أغيب أستقصي أرى أموج 94 كالضوء بٌن السحر واإلشارة Isyarat [Kucoba gabungkan api dan salju Tapi keduanya tak kan pernah paham tujuanku Aku tetap asing dan Tempat tinggalku taman dan bebatuan Aku lenyap Bertanya-tanya melihat bergelombang bagai kilatan sihir dan isyarat] Jika diperhatikan diksi-diksi ‚taman,‛ ‚bebatuan,‛ ‚lenyap,‛ ‚bertanya,‛ ‚melihat,‛ dan ‚bergelombang.‛ Semua itu masih berkenaan dengan kerja kepengarangan dan dapat disebut sebagai gambaran tentang imajinasi. Alam hunian para penyair adalah tempat yang damai sekaligus keras (bagai taman dan bebatuan), ia bertanya- tanya, bergelombang dan tak pernah diam. Pengalaman puitis serupa ini hanya dapat divisualisasikan dengan lukisan tak berbentuk dan hanya menampilkan adukan warna yang khas aliran surealis.95 Tidak ada yang bisa diceritakan oleh sapuan-sapuan warna itu selain hasrat si pelukis dan kreativitas itu sendiri.

94Adu>ni>s, Kitab al-Tah}awwulat wa al-Hijrah fi> Aqa>lim al-Nahar wa al-Layl (S}iyaghah Niha’i>yah), 14. 95Secara teori aliran surealis dimaknai sebagai usaha melepaskan manusia dari cengkraman rasionalisme maupun prasangka-prasangka estetis dan etis. Titik pangkal aliran ini adalah dunia bayangan dan mimpi. Baca, Mudji Sutrisno, dan Christ Verhaak, Estetika Filsafat Keindahan (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 57.

90

بين عينيك وبيني حينما أغرق يف عينك عيين وأرى األمس العتيقا وارى ما لست ادري وأحس الكون جيري 96 بٌن عينيك وبيين Antara Aku dan kedua bola matamu [Saat kularung mataku ke matamu Ku melihat masa lalu yang dalam Ada sesuatu yang tak ku tahu Aku merasa dunia sedang bergerak Di antara aku dan kedua bola matamu] Apa yang terjadi sang penyair melakukan komunikasi yang intim dengan dunianya? Apa yang tampak saat ia tak lagi mengenal siapa dirinya dan siapa yang dilihatnya? Dan apa buah dari tatapan mata sang penyair yang sudah jatuh dalam ekstase puitisnya? Tidak ada apa-apa, sang penyair hanya ‚melihat rahasia penciptaan,‛ yang tak lain adalah kreativitas itu sendiri. Itulah yang dimaksud oleh Adonis sebagai al- kashf atau takshif, bahwa puisi harus membawa pembacanya ke alam spiritual.97 Itulah puncak keindahan puitis. Dan apa yang terjadi setelah itu? Apa yang diberikan kreativitas itu kepada realitas, jawabannya hanya kepustusasaan. Tidak lain karena realitas adalah akhir dari imajinasi, realitas adalah kejatuhan yang tak dikehendaki oleh subjektivitas pengarang. Bagai seorang sufi yang menganggap dunia dan raganya sendiri ibarat penjara.

96Adu>ni>s, ‚Qas}a>id U‛ dalam Adu>ni>s, al-A’ma>l al-Shi’ri>yah, Agha>ni Mihya>r al- Dimashqi> wa Qas}a>id ukhra>, vol. I (Damaskus: al-Da>r al-Muda, 1996), 47. Antologi ini terbit pertama kali pada kisaran dekade 49-55. 97Adu>ni>s, al-S}ufi>yah wa al-Suryaliyah, 132.

91

اليأس ماش على اجفانو سادرا جيره مديد آفاتو تلطمو احلًنة اىن مشي كأهنا سكىن خلطواتو علق بالغيب فأجفانو رميلة األفق كأمنا، من يأسو مشسو 98 تغيب يف الشرق Patah [Ia berjalan dengan tatapan kosong Ditarik rantai kepedihan Ditikam ragu ke mana akan melangkah Dibayangi ragu yang terus bergelantung Kelopak matanya bagai langit berpasir Seakan dari hati yang patah itu Matahari terbenam di ufuk timur] Begitu segeranya keputusasaan sang penyair menghadapi realitas. Bahkan matahari terbenam saat masih berada di ufuk timur. Serangkaian puisi ini cukup mewakili kecenderungan puisi Adonis. Ia adalah wujud kegelisahan sang aku yang mengajak pembaca menghayati sang aku dan membaca keakuannya. Inilah yang penulis maksud bahwa orientasi kredo puisi Adonis mengarah pada individuasi puisi dan anti komunalitas yang identik dengan formulaikisme sastra. Dari sisi konten, apa yang disampaikan Adonis dalam empat puisinya ini hanyalah proses kreatif, alam imajinasi dan distingsinya dengan realitas kongkrit. Sebagai salah satu variasi puisi, orientasi puisi serupa ini dapat diterima, sebagai salah satu ekspresi keakuan sang pengarang, atau dalam rangka edukasi untuk para pengarang muda mengenai proses kreatif atau bagi yang ingin mengenali dunia imajinasi. Namun, keempat puisi ini berasal dari rentang waktu yang berjauhan dan mewarnai hampir seluruh puisi-puisi Adonis. Tema-tema puisi Adonis tidak pernah lebih dari proses kreatif, kebebasan berkreasi,

98Adu>ni>s, ‚Qas}a>id U‛ dalam Adu>ni>s, al-A’ma>l al-Shi’ri>yah, Agha>ni Mihya>r al- Dimashqi> wa Qas}a>’id ukhra>, vol. I, 53.

92

keterkungkungan seorang penyair, dan beberapa tema yang tipikal filsafat eksistensialisme.99 Kredo ini mengingatkan kita pada polemik kebudayaan pada dekade 60-an, antara Lekra dan Manikebu, di mana pihak pertama menolak kecenderungan tipikal Adonis, yaitu dari kalangan Manikebuis (Manifesto Kebudayaan) yang tegas menolak Manipol (Manifesto Politik), ideologisasi yang bersumber dari konsepsi Bung Karno tentang politik, ekonomi dan kebudayaan.100 Dalam standard manipol, karya sastra harus menyeru rakyat untuk cinta tanah air dan rela mati berjuang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara.101 Menyikapi hal itu, sekelompok budayawan berkumpul dan menyatakan bahwa ‚seni untuk seni (l’art pour l’art),‛ bukan ‚alat memenangkan revolusi.‛ Penolakan ini sama persis dengan penolakan Adonis terhadap puisi Sami al-Ba>ru>di>, Khalil bin Mat}ran. Di sini akan

99Tema-tema yang tersebar di seluruh karya puisi Adonis dapat dipetakan menjadi: 1) gairah, seperti at}fal, al-isharah, shajaratu al-sharq (Awraq fi al-rih, 1955-1960), Tah}awwulat al-Ashiq, Simiya’, Majnun Baynal Mauta (mufrad bi shighatil jam’, 1977); 2) kematian, seperti qas}a>id ila al-mawt (qashaid ula, 1949-1955), t}arf al-‘alam, al-mawtu wa al-ma’ad (Agha>ni Mihya>r Dimashqi, 1960-1961); 3) keputusasaan, seperti hudud al-ya’s (qas}a>id u>la>, 1949-1955), kalimat al-ya’s, sahra’ I dan II (awraq fi al-rih, 1955-1960), maraya wa ahlam hawla al-zaman al-maksur, al-zaman al-maksur (al-Masrah wa al-Maraya, 1968). Bahkan, Adonis pernah menulis puisi berjudul bi al-ilah al-mayyit (Aghani Mihyar Dimasyqi, 1960-1961), suatu tema yang sangat khas eksistensialisme, Senada dengan pernyataan Friedrich Nietzsche. Baca Adu>ni>s, al-A’ma>l al-Shi’ri>yah, Agha>ni Mihya>r al- Dimashqi> wa Qas}a>id ukhra>, vol. I-III (Damaskus: al-Da>r al-Muda, 1996) 100Konsepsi Bung Karno ini dikenal dengan Tri-Sakti, yaitu 1) berdaulat dalam politik, 2) berdikari dalam ekonomi dan 3) berkepribadian dan kebudayaan. Tidak hanya menekankan semangat nasionalisme, Bung Karno juga melarang berkembangnya budaya [kesenian] Barat yang disimbolkan dengan musik ngak-ngik-ngok. Baca: Seno Gumira Ajidarma, Bahasa Soekarno: Indonesia Dalam Retorika Dalang, Prisma, Edisi Khusus Volume 32, No. 2& No. 3, 20013, 175. 101Dalam kultur politik seperti itu, Lembaga Kesenian Rakyat [Lekra] yang merupakan lembaga kebudayaan underbow PKI, mengalami masa subur, menjadi sebuah mainstream. Pada masa itu juga mereka merumuskan 5 prinsip estetis ditambah dengan 2 prinsip pokok, yang dikenal dengan 1-5-1. Prinsip-prinsip itu adalah (1) meluas dan meninggi; (2) tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik atau 2 tinggi; (3) tradisi baik dan kekinian revolusioner; (4) kreativitas individual dan kearifan massa; (5) realisme sosial dan romantik revolusioner. Adapun dua prinsip pokok adalah politik sebagai panglima dan turun ke bawah. Lima pasang prinsip yang merupakan kombinasi dari dimensi estetis dan realis, ditopang dengan ideologisasi nasionalisme [politik sebagai panglima] dan pijakan pada realitas [Turun ke bawah] diyakini oleh kelompok Lekra sebagai jaminan karya seni yang dihasilkan tidak saja mementingkan aspek artistik, melainkan sekaligus menempatkan karya seni sebagai alat untuk memenangkan revolusi. Baca Tim Lekra, ‚Asas, Metode, dan Kombinasi 1-5-1‛ dalam Anas S}afwan Khalid (ed.), 50 Tahun Bumi Tarung, (Jakarta: 2011), 85-92.

93

dipertajam kritik atas kecenderungan Adonis, sebagaimana kalangan Lekra mempertanyakan sumbangsih sastra Manikebuis terhadap pertumbuhan nasionalisme Bangsa Indonesia kala itu. Jika puisi memang dimaksudkan untuk membangun bangsa, lantas melalui media apa puisi Adonis mewujudkannya? Sementara kebebasan yang dimaksud hanya bersifat individual bahkan sebatas kebebasan eksistensial yang mengendap di dada sang penyair, dan akhirnya membuatnya pesimis102 melihat realitas sosial. Di sini, dapat diketahui bahwa: 1) asumsi tentang Alquran sebagai biang kejumudan sastra Arab tidak terjelaskan dalam pemikiran Adonis, selain bahwa yang dimaksud adalah politisasi doktrin agama oleh Muktazilah; 2) atheisme dan kritiknya terhadap agama tidak lain dikarenakan Adonis menempatkan agama sebagai ancaman bagi individualitas dan kreativitasnya; 3) pemberontakan dan pembebasan yang dilakukan Adonis hanya bersifat eksistensial yang berakhir dengan pesimisme dan tidak memiliki orientasi ke depan selain kebebasan; 4) pemberontakan eksistensial Adonis menyasar pada doktrin agama dan ideologi sekuler yang berpotensi mendangkalkan isi dan diksi serta mengabsolutkan format. Singkatnya, Adonis menolak semua yang berpotensi membunuh kreativitas individualnya.

C. Merumuskan Sastra Arab Kontemporer Pada pembahasan sebelumnya telah ditegaskan bahwa kritik atas penolakan Adonis, tentang sakralisasi bahasa Arab ini tidak berarti bahwa penelitian ini mendukung kenyataan sakralitas tersebut. Begitu pun ketika penulis mengkritik kredo Adonis yang berprinsip ‚seni untuk seni‛ tidak berarti bahwa penulis sepakat dengan ideologisasi sastra, atau ‚seni untuk

102 Pesimisme yang dimaksud di sini bukan semata-mata berarti melihat kenyataan secara pahit, tetapi lebih pada ketidakacuhan melihat realitas yang tidak ideal. Artinya, sikap ini dilandasi oleh sebuah prinsip universalisme pemikiran yang berpijak pada aspek ideal dan individual. Umumnya, pesimisme ini dikenal dengan humanisme universal. Persentuhan sastra Indonesia dengan tema-tema eksistensialistik terjadi pada medio dekade 50-an dan 60-an, di mana buku-buku Jean Paul Sartre dan terutama Albert Camus cukup mewarnai kelahiran karya-karya lokal. Bukan suatu yang mengherankan jika kehadiran (karya-karya) Adonis di Indonesia justru disambut oleh kelompok Manikebu (Goenawan Mohammad dengan Komunitas Salihara-nya) pada tahun 2009. Orientasi puisi keduanya memiliki keserupaan dalam upaya perjuangan eksistensial. Tentang pengaruh Albert Camus dan wacana filsafat eksistensialisme baca Goenawan Mohammad, Setelah Revolusi Tak Ada Lagi, edisi revisi (Jakarta: Alvabetsastra, 2005), 121-133, dan kesamaan antara Adonis dan Goenawan dalam Goenawan Mohammad, Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai (Jakarta: Katakita, 2008), 21-25. serta salah satu contoh karya sastra Indonesia yang menampilkan pesimisme kalangan eksistensial dalam Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977), 34-36.

94 memenangkan revolusi‛ tanpa catatan. Pada bagian akhir ini akan dievaluasi sistem kebahasaan Adonis. Pokok perhatiannya adalah memeriksa mekanisme yang membuat sistem tersebut tidak bisa efektif dalam memenuhi cita-citanya, membangkitkan bangsa Arab. Pesimisme puisi Adonis, dimaksudkan sebagai diksi-diksi kebebasan yang kritis akan realitas namun tidak berdaya mengubahnya. Seperti menjadi cita-citanya, puisi itu dimaksudkan sebagai celoteh si penyair menghadapi realitas, dan bukan tentang realitas. Realitas yang dimaksud dapat diartikan sebagai kenyataan yang berkembang, bisa juga dipahami sebagai masa lalu. Penolakan atas realitas yang berkembang dimotivasi oleh semangat konservasi puisi dari pendangkalan isi dan diksi, hanya bercerita tentang keseharian dan mudah terpahami. Sementara realitas yang berarti masa lalu dimaknai sebagai format-format, etika dalam bersastra yang membunuh kreativitas sang Aku. Maka dari itu, semakin ideal puisi dalam pandangan Adonis, semakin jauh juga relasi puisi tersebut dari (kepentingan) realitas. Relasi puisi dan realitas bagi Adonis tak jauh berbeda dengan hubungan perkembangan ilmu pengetahuan dengan temuan-temuan sebelumnya. ‚Dalam perspektif ilmu, masa lalu adalah kesalahan. Bahkan, masa lalu adalah wujud kebodohan.‛103 Untuk itu lahirnya sebuah pengetahuan berarti anti-tesis atas pengetahuan sebelumnya. Dari tesis itulah Adonis membangun teori tentang modernisasi, yakni sebagai proyek tentang sesuatu yang belum ada di masa lalu.104 Kesimpulan ini erat kaitannya dengan kutipan Adonis tentang Jabir ibn Hayyan, bahwa untuk menjadi baru, sesuatu harus meninggalkan substansinya.105 Spesifik berkenaan dengan puisi, ia menegaskan bahwa peran puisi baru adalah menolak realitas, karena tugas penting puisi adalah memperkuat kontradiksi antara alam das sein dan das sollen. Bagi Adonis menulis puisi bukanlah menulis realitas tentang keseharian yang bersifat oral dan dangkal. Sebaliknya menulis puisi berarti mendeskripsikan realitas yang seharusnya ada. Untuk itu, poros kebenaran dan keindahan tidak terletak pada realitas dan relevansi puisi dengannya, tapi berpusat pada pengembaraan dan penemuan sang penyair.106

103Adu>ni>s, al-Shi’ri>yah al-‘Arabi>yah, Muhad}arat Ulqiyat fi> al-Kulij du Fara>nsa Ba>ris 1984, 101. 104Adu>ni>s, al-Shi’ri>yah al-‘Arabiyyah, Muhad}arat Ulqiyat fi> al-Kulij du Fara>nsa Ba>ris 1984, 83. 105Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al- ‘Arab Vol. II (Beirut: al-Da>r al-Fikr 1986), 78. 106Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al- ‘Arab Vol. III, 282.

95

Seperti tergambar dalam puisi-puisi di atas, ‚keduanya takkan pernah mengerti tujuanku.‛ Puisi berkenaan dengan rahasia penciptaan yang ditulis bukan untuk dipahami, melainkan sekadar diekspresikan sebagai pelepasan dari hasrat estetis. Dengan demikian, menjadi tidak penting apakah puisi itu terpahami atau tidak di kalangan pembaca. Mengutip pandangan Soebagyo Sastrowardoyo, puisi ditulis untuk sekelompok elit karena sifatnya yang filosofis.107 Bahkan, Adonis sendiri mengemukakan bahwa syarat utama puisi baru adalah penggunaan kata-kata kosmopolit yang susah dipahami, atau memiliki jejaring makna yang rumit.108 Jika yang dimaksudkan hanya untuk menghindar dari penunggalan makna, atau dalam bahasa Goenawan Mohammad ‚untuk mengelak dari rumusan yang mematikan‛109 kecenderungan puisi ini justru terjebak dalam simulakra yang lazim dikenal sebagai solilokui. Penolakan akan realitas tidak saja menyebabkan puisi itu tak terpahami, tetapi tidak memiliki relevansi dan efektifitas dalam konteks masyarakatnya. Sebab, dengan begitu, puisi hidup di luar sejarah110 dan bergerak dalam benak penyair ‚di antara aku dan kedua bola matamu.‛ Pada titik ini, penulis tertarik mengomentari kritik Adonis atas kecenderungan revolusioner ‚seni untuk memenangkan revolusi‛ bahwa letak kesalahan mereka adalah karena menunggalkan realitas dan cita-cita ideologis mereka, seakan-akan mereka hidup dalam ideologi.111 Bahkan,

107Adu>ni>s, al-Shi’ri>yah al-‘Arabi>yah, Muhad}arat Ulqiyat fi> al-Kulij du Fara>nsa Ba>ris 1984, 53. Dalam pandangan Soebagiyo, kualitas puisi (syi’ir) berada jauh di atas prosa (nathar), sebab puisi merupakan hasil oleh pikir mengenai hakikat sesuatu, sementara prosa hanya berkutat pada permainan emosi. Soebagijo Sastrowardoyo, ‚Catatan tentang Simphoni, Mengapa Saya Menulis Sajak,‛ dalam Pamusuk Erneste, Proses Kreatif, Mengapa dan Bagaimana Saya mengarang, Jilid II (Jakarta: Gramedia, 2009), 31-32. 108Bagi Adonis di situlah terletak keindahan puisi, anna al-jamaliyah al-shi’ri>yah takmunu fi al-nas} al-ghamid}, al-mutashabih, alladhi yahtamilatu ta’wilatin mukhtalifah wa ma’ani muta’addidah. [keindahan puisi tersimpan dalam teks yang rumit, metaforis, dan mengandung potensi takwil dan makna yang beragam] Adu>ni>s, al-Shi’ri>yah al-‘Arabi>yah, Muhad}arat Ulqiyat fi> al-Kulij du Fara>nsa Ba>ris 1984, 55. 109Goenawan Mohammad, Kesusastraan dan Kekuasaan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), 15. 110Penyebabnya bukan karena logika cinta yang dapat dimaklumi terjadi pada alam bawah sadar, dan waktu yang bersifat diakronik, melainkan karena penolakan atas historisitas dan realitas. Hal ini diakui oleh Adonis bahwa di dalam sastra memang tak ada logika, dalam arti bahwa bahasa puisi (al-lughah al-shi’ri>yah) digunakan bukan untuk menjelaskan realitas, tapi mencipta. Sementara logika berarti sistem relasional antara kata dan makna atau realitas. Penolakan terhadap mantiq, berarti menolak historisitas. Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab Vol. III, 296- 297. 111Hidup di dalam ideologi sama artinya dengan berjalan dengan kepala di bawah, menilai realitas sebatas dengan idealisme, sesuatu yang harus. Pada titik ini, sebenarnya

96 seperti dalam ulasan sebelumnya, ideologi menyebabkan pendangkalan diksi dan kandungan isi. Dalam pandangan penulis, ‚pendangkalan diksi‛ pada dasarnya difungsikan untuk menggunakan parole di tingkat langue.112 Bahasa-bahasa keseharian adalah tema-tema yang dipahami oleh massa, sementara format puisi yang berkembang merupakan sistem baku yang juga populer di tengah massa. Menjadi wajar jika penggunaan sistem yang sedemikian rupa terkesan mendangkalkan isi dan membakukan format. Namun, di situlah letak kelemahan strategi puisi Adonis. Penolakan terhadap agama dan semua jenis ideologi tidak sekadar menjebaknya menjadi puisi salon,113 tapi sekaligus terjerembab di lembah kedangkalan baik Adonis maupun kelompok ideologis yang dikritiknya berada di posisi yang sama. Jika kelompok ideologis menempatkan ideologi sebagai realitas, maka Adonis menjadikan dunia imajiner di posisi yang sama. Yang terjadi kemudian adalah alienasi pemikiran dengan konteks sosial yang melatarbelakangi. Artinya, pemikiran yang lahir dari kedua corak ini berasal dari kesadaran palsu, bukan refleksi atas realitas, melainkan sebuah pemaksaan epistemologis atas realitas, atas nama ideologi dan keakuan sang penyair. Baca Muh}ammad ‘Abiri>, Nah}nu wa al- Tura>th; Qira>’ah Mu’as}irah fi> Tura>thina> al-Falsafi (al-Da>r Baid}a: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi>, 1986), 12-15. 112Secara teori, parole berarti bahasa sebuah komunitas, bahasa keseharian yang dibedakan dari bahasa resmi dan formal (langue). Ahmad Baso mencontohkan permainan bahasa di dua level ini sebagai strategi kultural dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pada level pertama, sebuah karya menampilkan kisah-kisah atau istilah-istilah yang hanya dimengerti oleh komunitas tertentu, namun di saat bersamaan, karena permainan parole diungkap dalam sebuah lingua franca, bahasa melayu misalnya, maka ia juga menciptakan jejaring makna, bukan saja untuk komunitas tertentu, tapi komunitas di sekitarnya, yang akrab bergaul dengan teks yang sama, sehingga terjalin sebuah relasi makna intertekstual. Dalam konteks sastra Arab, pada dasarnya pengembangan puisi ideologis bisa dibaca dalam bingkai seperti ini. Pesan-pesan yang hendak disampaikan bisa diungkap secara parole, namun tetap dalam bingkai langue yang berupa wazn dan qafiyah. Sebab, tak bisa dimungkiri peran ilmu ‘arudl (wazn dan qafiyah) dalam sastra Arab ibarat bahasa melayu bagi komunitas Nusantara. Yang diperhitungkan dalam hal ini adalah perannya sebagai lingua franca, pengikat emosi dan pembentuk kognisi, yang diyakini membuah efektivitas sebuah konsolidasi pemikiran, melalui ranah sastra. Hanya saja, penggunaan puisi ideologis tidak boleh dimaknai sebagai sloganisasi puisi, karena hal itu berarti mengabaikan unsur estetik dalam karya, seperti puisi-puisi DN. Aidit yang ditolak diterbitkan oleh tim sastra Lekra sendiri (Oe Hay Djoen) karena dipandang tidak ‚tinggi mutu dan tinggi artistik.‛ Tentang pemanfaatan parole dalam level langue, baca Ahmad Baso, Pesantren Studies, Buku 2b (Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial: Sastra Pesantren dan Jejaring Teks-teks Aswaja- Keindonesiaan dari Wali Songo ke Abad 19) (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2012), 53- 58. Dan tentang pengalaman Oey Hay Djoen bersama Aidit, baca Majalah Tempo, edisi Edisi 32/XXXVI/01–7 Oktober 2007. 65. 113Terminologi ini dipopulerkan oleh WS. Rendra yang menolak puisi-puisi liris yang hanya bercerita tentang keindahan alam, dan tidak ada persentuhan dengan problem sosial. Baca, WS. Rendra, Megatruh (Yogyakarta: Kepel Press, 2001) bandingkan dengan Afrizal Malna, Sesuatu Indonesia (Yogyakarta: Bentang, 2000), 44-45.

97 yang ditolaknya. Kesimpulan ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Prinsip ‚puisi yang tidak bercerita tentang pandangan subjektif penyair adalah puisi tiruan,‛114 berarti membedakan puisi yang lahir dari spontanitas individu penyair dan puisi yang lahir dari rahim problematika masyarakat dalam segenap matranya. Adonis, begitu pun Mahmud Abbas al-Aqqad dengan Jama’atu al-Diwa>n-nya, meyakini bahwa puisi yang baik adalah puisi yang polos, menunggal tentang reaksi individual dan jauh dari pertimbangan- pertimbangan komunal yang menghilangkan unsur spontanitas dan kepolosan sastra. Oleh karena itu, puisi ideologis dinamainya sebagai s}ina’ah, puisi tiruan, virtual, dibuat-buat, tidak alami, dan tidak polos. Dengan begitu, bukankah Adonis terjerembab dalam prinsip al- fas}a>hah huwa al-irtija>l [keindahan terletak dalam kepolosan] dari al-Ja>hiz yang ditentangnya?115 Dalam redaksi yang berbeda, tidakkah orientasi Adonis justru menolak rawi>yah wa al-ta’ammul (perenungan)? Atau tegasnya, bukankah min al-khit}a>bah ila> al-kita>bah berbalik arah karena al- kitabah huwa al-irtija>l (budaya teks meniscayakan kepolosan) dan jauh dari pertimbangan logis? Sekali lagi fakta ini merupakan akibat langsung dari penolakan terhadap realitas. Kita bisa mengujinya dari orientasi al-tha>bit wa al- mutah}awwil, bahwa pada buku pertama, Adonis memaksudkan al-us}u>l (vol. I) sebagai tiga pondasi revolusi sastranya, yakni 1) akal melampaui naql; 2) kebenaran melampaui syari'at; 3) kreativitas melampaui konservatisme.116 Sementara ta’s}il al-us}u>l (vol. II) dimaksudkan sebagai penolakan atas komunalisme (taw’iyah al-qawmiyah dan ihya’ al-qadim)117 dan s}adamatu al-hada>thah (vol. III) menjadi klimaksnya, bahwa puisi baru harus menolak realitas.118 Dengan demikian, cukup jelas tujuan pemberontakan eksistensial Adonis, yakni menolak realitas kekinian dan masa lalu (agama dan ideologi). Menjadi tidak mengherankan jika puisi-puisi Adonis tidak pernah berbicara apa-apa selain proses kreatif dan dunia imajinasi. Meminjam bahasanya sendiri, justru revolusi sastranya menjadi ‚in’izalul lughah ‘anin nashat} al-fa’il fi al-mujtama’ (melepas bahasa dari peran sosial]‛ atau

114Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al- ‘Arab Vol. III, 82. 115Adu>ni>s, al-Shi’ri>yah al-‘Arabi>yah, Muhad}arat Ulqiyat fi> al-Kulij du Fara>nsa Ba>ris 1984, 35. 116Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al- ‘Arab Vol. I, 85, 95 dan 99. 117Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al- ‘Arab Vol. II, 223. 118Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al- ‘Arab Vol. III, 82.

98

‚tah}wil al-ka>tib/sha>’ir ila shakhs}in la> yataharraku fi> al-hayat (mengubah penyair menjadi individu yang tidak memiliki peran dalam kehidupan)‛ dan bahwa penyair ‚yaktubu du>na an yaktuba (menulis tapi tidak menulis).‛119 Hal itu disebabkan karena kecenderungan solilokui hanya berkutat pada permainan kata-kata atau petualangan dunia makna, dan bukan lagi mencari relasi kata dan makna, yang sebenarnya mencerminkan relasi antara puisi dan realitas. Tandasnya, dunia puisi Adonis hanyalah dunia permainan dan tidak memiliki fungsi lainnya.120 Kembali pada kecenderungan ideologis, kritik terhadap kredo kepenyairan Adonis tidak dimaksudkan sebagai pembenaran atas sloganisasi puisi, atau puisi-puisi slogan yang tidak menyimpan kedalaman artistik. Pengayaan langue dengan parole memiliki maksud berganda. Di satu sisi, parole berarti ideologisasi, sebuah proyek dari masa depan untuk memperkaya sastra dan kebudayaan secara umum. Namun, di sisi lain parole-isasi ini tidak akan efektif tanpa dimainkan di tingkat sistemik, langue, sistem bahasa dan sastra yang mengikat seluruh bangsa Arab, tidak lain yang dimaksud adalah al-wazn dan al-qafiyah, yang ditentang oleh Adonis. Karena bagaimana pun, al-mutazayyi bi zi>yil mahbubi mahbubun (menggunakan bingkai populer lebih digemari).121 Di situlah efektifitas

119Adu>ni>s, al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al- ‘Arab Vol. III, 282. 120secara sepintas kecenderungan Adonis mengingatkan pada semiologi Roland Barthes yang menekankan pada the pleasure of text. Berulang kali, Adonis menyebut jawharul adab huwa fi> bu’dihi al-simiya’i al-tahwili alladhi yahdifu ila tahwili al-insan ila ka’in nurani (hakikat sastra terletak dalam dimensi semiologis-transformatif yang memproyeksikan manusia menjadi makhluk spiritual). Namun, titik perbedaannya adalah penerapan Adonis hanya bersifat instrumental, yakni berhenti di tingkat permainan dan tidak maju ke arah permainan di tingkat langue. Sebab, penekanan the pleasure of text berada di tingkat nalar, bukan kerangka praktis kerja seni. Roland Barthes, The Pleasure of The Text, Translated by Richard Miller (New York: Hill and Wang, 1975), h. 6. Bandingkan dengan Adu>ni>s, al-S}ufi>yah wa al-Suryaliyah, 132. 121Meminjam istilah-istilah Lekra, tinggi mutu ideologi harus dibingkai dalam tinggi artistik. Dalam pengertian itu, realisme sastra tidak bisa disepadankan dengan pamflet politik. Yang dipertimbangkan dari strategi berbahasa ini adalah efektivitas sebuah karya seni. Baca, Tim Lekra, Asas, Metode, dan Kombinasi 1-5-1, 85-92. Dalam bahasa yang lebih epistemologis, sebuah pembaruan tetap membutuhkan pondasi masa lalu (Al-tahdi>th mashrut}un bi al-ta’s}il). Pada poin ini, Adonis sudah melakukan upaya serupa. Ia menamai volume pertama megaproyeknya dengan al-us}u>l, yang disusul dengan ta’s}il al-us}u>l dan lalu s}adamatu al-hada>thah. Sangat disayangkan, struktur kritik Adonis dibangun di atas pondasi amnesia sejarah, pengabaian terhadap al-us}ul. Atau lebih tepatnya, al-us}ul yang dimaksud adonis adalah kalangan al-mutah}awwilu>n, bukan al- Tha>bitu>n. Padahal, al-Tha>bit tidak melulu berkenaan dengan konservatisme atau orientasi status quo yang bersifat politis. al-Tha>bit juga mencerminkan sistem bawah sadar yang mengkondisikan kerja nalar sebuah komunitas. Baca, Muh}ammad ‘Abiri>, al-Tura>th wa al-H{ada>thah, Dira>sat wa Muna>qashat (Bairu>t: al-T{ab’ah al-Tha>niyah, 1999), 159, juga

99 kerja sastra tanpa harus mengorbankan dimensi estetik yang menjadi jantung kerja seni dan sastra. Tanpa usaha seperti ini, menjadikan sastra sebagai asal sekaligus tujuan, sastra untuk sastra atau seni untuk seni, justru akan berkulminasi pada sakralisasi sastra, bukan dalam pengertian tidak dimungkinkannya mengevaluasi dan memodernisasi sastra, tapi tidak adanya persentuhan antara sastra dan realitas. Akibatnya, sastra yang demikian, seperti disinyalir oleh Pramoedya Ananta Toer, ‚tidak ditulis pun tidak mengapa.‛122 Kesimpulan dari seluruh uraian ini adalah bahwa sakralisasi bahasa dan sastra Arab tidak disebabkan oleh Alquran, melainkan oleh budaya bahasa Arab yang bersifat oral dan mengalami teoresasi dari kalangan Muktazilah lalu dimapankan oleh para pendukungnya (Adonis menyebutnya mutah}awwil, progresif) melalui kritik atas kelompok-kelompok yang disebut tha>bit (stagnan).

Muh}ammad ‘Abiri>, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi> (al-Da>r Bayda: al-Markaz al-Thaqafi> al-‘Arabiy, 1991), 38. Ketika Adonis menyatakan bahwa al-shi’ru al-jadid ghayru naqidlin li al-qadim, yang dimaksud adalah tidak bertentangan dengan Abu> Nuwa>s dan Abu> Tama>m, dan bukan al-Ja>hiz atau Sami al-Ba>ru>di>. Pada titik itulah, pembaruan Adonis menjadi kerja instrumental atas nama sebuah the pleasure of text. Sebab yang dimaksud hanyalah penolakan terhadap orientasi yang berbeda dengan gagasan idealnya, dan bukan menggerakkan dari dalam kebudayaan itu sendiri, menggerakkan struktur yang menyimpan kontradiksi yang bersifat laten. Adu>ni>s, al-Shi’ri>yah al-‘Arabi>yah, Muhad}arat Ulqiyat fi> al- Kulij du Fara>nsa Ba>ris 1984, 108. Pernyataan al-Ja>biri> tentang al-Mutazayyi bi zi>yil mahbubi mahbubun merupakan sinyalemen sikap yang berpijak pada masa lalu namun berorientasi ke masa depan, dan tidak berhenti pada tahap kerja takwil. Berkenaan dengan kritik atas kecenderungan bahasa dan sastra Arab, al-Ja>biri> menyayangkan penolakan atas kerja kaum fuqaha yang berpijak pada fahm al-nas}, dan bukan takwil al-nas}. Corak puisi yang instrumental tidak lain disebabkan oleh pengabaian akan fahm al-nas}. Muh}ammad ‘Abiri>, al-Turath wal H{adathah, Dira>sat wa Muna>qashat, (Bairu>t: al-T{ab’ah al-Tha>niyah, 1999), 157. 122Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), 26.

100

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan uraian bab-bab sebelumnya, kesimpulan penelitian ini adalah: Pertama, problem stagnasi kesusastraan yang dihadapi oleh sastra Arab sebenarnya bermula dari ketidakjelian kelompok yang merindukan kreativitas tanpa batas dalam melihat relasi antara bahasa, agama dan ideologi. Adonis yang anti terhadap kemapanan mempunyai anggapan bahwa semua hal yang berpotensi membatasi kreativitas dinilainya sebagai statis, tidak terkecuali agama, melalui Alquran. Adonis meyakini perubahan mendasar dalam sastra Arab terjadi setelah hadirnya Islam. Kehadiran Islam telah membakukan puisi dari sisi materil maupun formal. Secara formal, baik Nabi dan para Khulafa> al- Ra>shidu>n maupun para raja dinasti-dinasti berikutnya begitu memuliakan posisi puisi Jahiliyah, utamanya dari sisi cara pengungkapan. Artinya secara formal, puisi Jahiliyah dibakukan oleh dimensi agama. Adapun dari aspek materil, puisi-puisi Arab-Islam mempunyai karakteristik yang etis dan religius. Dalam agama, tema dan diksi tertentu semisal mengenai seks, khamr menjadi tabu dalam pandangan agama. Dapat dikatakan bahwa, Islam me-nasakh tema-tema sastra terdahulu dan pada saat bersamaan Islam membakukan format puisi Arab, walaupun di sisi lain, Alquran memberikan corak tersendiri, yakni bukan naz}am dan bukan juga nathar. Selain itu, perkembangan berbagai disiplin keilmuan dimaksudkan untuk melayani kepentingan agama. Bagi Adonis titik kematian bahasa dapat dilihat ketika kajian bahasa dan sastra tidak lagi bersifat independen, dibahas sebagai bahasa dan sastra, tetapi dalam bingkai untuk memahami teks-teks keagamaan. Kedua, bahasa sastra harus didasarkan terhadap parole (kala>m) yang berarti bahasa sebuah komunitas, bahasa keseharian yang dibedakan dari bahasa resmi dan formal (langue). Seperti halnya yang terjadi terhadap strategi kultural dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Strategi tersebut memainkan bahasa pada dua level. Pada level pertama, sebuah karya menampilkan kisah-kisah atau istilah-istilah yang hanya dimengerti oleh komunitas tertentu, namun disaat bersamaan, karena permainan parole diungkap dalam sebuah lingua fanca, bahasa melayu misalnya, maka ia juga menciptakan jejaring makna, bukan saja untuk komunitas tertentu, tapi komunitas di sekitarnya, yang akrab bergaul dengan teks yang sama, sehingga terjalin sebuah relasi makna intertekstual. Dalam konteks sastra Arab, pada dasarnya pengembangan puisi ideologis bisa dibaca dalam bingkai seperti ini. Pesan-pesan yang hendak disampaikan bisa diungkap secara parole, namun tetap dalam bingkai langue yang berupa wazn dan qafiyah. Sebab, tak bisa dimungkiri peran ilmu ‘arud} (wazan dan qafiyah) dalam sastra Arab ibarat bahasa melayu bagi komunitas nusantara. Yang diperhitungkan dalam hal ini adalah peranannya sebagai lingua fanca, pengikat emosi dan pembentuk, yang diyakini membuah efektivitas sebuah konsolidasi pemikiran, melalui ranah sastra. Melalui pengayaan antara langue dan parole seperti halnya di atas memiliki maksud berganda. Di satu sisi, parole berarti ideologisasi, sebuah proyek dari masa depan untuk memperkaya sastra dan kebudayaan secara umum. Namun, di sisi lain parole-isasi ini tidak efektif tanpa dimainkan di tingkat sistemik, langue, sistem bahasa dan sastra yang mengikat seluruh bangsa Arab, tidak lain yang dimaksud adalah wazn dan qafiyah, karena bagaimanapun ‚menggunakan bingkai populer lebih digemari‛. Di situlah efektivitas kerja sastra tanpa harus mengorbankan estetik yang menjadi inti kerja seni dan sastra.

B. Saran Dari semua pembahasan yang telah diuraikan, disini dapat ditemukan satu paradigma penting dalam menilai karya sastra dan relasinya diluar kesusastraan, yakni dengan memainkan bahasa pada dua level, parole dan langue. Dengan memainkan bahasa pada ke dua level tersebut dimungkinkan akan memperkaya sastra dan kebudayaan. Efektivitas parole akan maksimal ketika dia dimainkan ditingkat sistemik, langue. Ada banyak hal yang sesungguhnya dapat diurai dari tema-tema tentang relasi sastra dan ideologi, bahasa dan agama maupun keperangan Adonis. Terkait dengan kepengarangan Adonis yang dapat ditelusuri lebih jauh mungkin tentang keterkaitan dia dengan Anton Saa’adah (pendiri dan ketua Partai Nasionalis Sosial Suriah) yang banyak mempengaruhi Adonis dalam berpolitik.

102

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abu> Zayd, Nasr H{a>mid. Tekstualitas al-Qur’an Kritik Terhadap Konsep Ulumul Qur’a>n. terj. Khoiron Nahdliyin. Yogyakarta: LKIS, 2002.

______. Hermeneutika Inklusif Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas diskursus Keagamaan. terj. Muhammad Mansur dan Khoiron Nahdliyin. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2004.

Abu> Zahrah, Imam Muh{ammad. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abd. Rahman dahlan, Ahmad Qarib. Jakarta: Logos Publishing House, 1996.

Adu>ni>s. al-Nas}s} al-Qur’a>niy wa Aq al-Kita>bah. Bayrut: Da>r al-Ada>b, 1993.

______. al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab vol 1. Beirut: Da>r al-Fikr 1986.

______. al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab vol 2. Beirut: Da>r al-Fikr 1986.

______. al-Tha>bit wa al-Mutah}awwil: Bah}th fi> al-Ittiba>’ wa al-Ibda>’ ‘inda al-‘Arab vol 3. Beirut: Da>r al-Fikr 1986.

______. al-Syi’ri>yah al-‘Arabi>yah, Muh}a>d}arat Ulqiyat fi al-Kulij du Fara>nsa Ba>ris 1984. Beirut: Da>r al-Adab, 1989.

______. al-S}ufiyyah wa al-Suryaliyah. Budapest: Da>r al-Saqi, 1991.

______. Kitab al-Tah}awwulat wa al-Hijrah fi Aqalim al-Nahar wa al-Layl (S}iyaghah Nih}a’iyyah). Beirut: Da>r al-Adab, 1988.

______. Agha>ni Mihyar al-Dimashqi wa Qas}a>’id Ukhra, vol. I. Damaskus: Da>r al-Muda>, 1996. al-Damanhuri, Muhammad. al-Mukhtas}ar al-Shafi. Surabaya: al-Hidayah, t.th. Ajidarma, Seno Gumira. Bahasa Soekarno: Indonesia Dalam Retorika Dalang, dalam Prisma, Edisi Khusus Volume 32, No. 2& No. 3, 20013. al-Ghazali, Abu> H}a>mid. al-Mustas}fa min ‘Ilmil Us}ul. Kairo: al-Mahba’ah al- Amiriyah, 1322 H.

______. Bidayatu al-Hidayah. Semarang, T{aha Putera, t.th.

Allen, Roger. An Introduction To Arabic Literature. New York: Cambridge University Press, 2000. al-A’z}ami, M. M. Sejarah Teks al-Qur’a>n dari Wahyu Sampai Kompilasi Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. terj. Sohirin Solihin, Anis Malik Thoha, Dll. Jakarta: Gema Insani, 2008. al-Iskandari, Ahmad dan Mus}t}ofa ‘Ana>ni. al-Wasi>t} fi al-Adab al-‘Arabi> wa Ta>ri>khihi. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1978. al-Mis}riy, Muh>ammad Abdul Gha>niy dan Majid Muhammad al-Ba>ki>r al- Bara>ziy, Tahlil an-Nas} al-Adabiy Baina an-Nad}ariyah wa al-Nas.} Amman: Muassasah al-Waraq, 2002. al-Ja>biri>, Muh}ammad ‘An al-‘Aql al-‘Arabi>. Da>r Bayda: al- Markaz al-Thaqafi> al-‘Arabiy, 1991.

______. ‚Khushusi>yatul ‘Alaqah baynal Lughati wal Fikr fi> al-Thaqafah al-‘Arabiyyah,‛ dalam al-Tura>th wa al-H{ada>thah, Dira>sa>t wa Muna>qasha>t. Bairu>t: al-T{ab’ah al-Tha>niyah, 1999.

______. al-Tura>th wa al-Hada>thah, Dira>sat wa Muna>qasha>t. Bayru>t: al- T{ab’ah al-Tha>niyah, 1999.

______. Nah}nu wa Tura>th; Qira’ah Mu’as}irah fi> Tura>thina> al-Falsafi>. Da>r Baida: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi>, 1986.

______. Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius. terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: Ircisod, 2003. ______. Problem Peradaban Penelusuran Jejak Kebudayaan Arab, Islam dan Timur. terj. Sunarwoto Dema dan Mosiri. Yogyakarta: Belukar, 2004.

______. Post Tradisionalisme Islam. Terj, Ahmad Baso. Yogyakarta: LKIS, 2000.

______. Bunya>t al-‘Aql al-‘Arabi>, Dira>sat Tah}lili>yat Naqdi>yah li Nuzm al-Ma’rifat fi al-Thaqafah al-‘Arabiyah. Da>r Bayda: al-Markaz al- Thaqafi> al-‘Arabi>, 1993. al-Khulli, Amin dan Nasr H{a>mid Abu> Zayd. Metode Tafsir Sastra. terj. Khoiron Nahdliyin. Yogyakarta: Adab Press, 2004. al-Shafi’i, Muhammad bin Idris. al-Risa>lah. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th. al-Shabi, ‘Ali, Abu Lubabah, Abdul Madjid Najjar. al-Mu'tazilah Bayna l- Fikr wa al-‘Amal. Tunis: Shirkah Tunisiah li al-Tauzi', 1979.

Arana, R. Victoria. The Fact on File Companion to World Poetry, 1900 to the Present. New York: An Imprint of Infobase Publishing, 2008.

Badawi, Abdurrahman. Min Ta>rikh al-Ilh}a>d fi> al-Isla>m. al-Qahirah: Sina li al-Nashr, 1993.

Barthes, Roland. The Pleasure of The Text, Translated by Richard Miller. New York: Hill and Wang, 1975.

Baso, Ahmad. Pesantren Studies, Buku 2b (Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial: Sastra Pesantren dan Jejaring Teks- teks Aswaja-Keindonesiaan dari Wali Songo ke Abad 19). Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2012.

Boulatta, Issa J. Dekonstruksi Tradisi Gelegar Pemikiran Arab-Islam. Terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: LKIS, 2001.

______. Jendela Modernisasi Sastra Timur Tengah Kajian Atas Karya Sastra jabra Ibrahim Jabra. terj. Taufik Ahmad Dardiri dan Bachrum Bunyamin. Yogyakarta: Penerbit Belukar, 2007. Buana, Cahya. Simbol Simbol Keagamaan Dalam Syi’ir Jahiliyah. Yogyakarta: Mocopot Offset, 2014.

Burhani, Ahmad Najib. Islam Dinamis, Menggugat Peran Agama, Membongkar Doktrin yang Membatu. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.

Damono, Sapardi Djoko. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.

Driyarkara, N. Karya Lengkap Driyarkara, Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Kompas, 206.

Erneste, Pamusuk. Proses Kreatif, Mengapa dan Bagaimana Saya mengarang, Jilid II. Jakarta: Gramedia, 2009), 31-32.

Fatawi, M. Faisol. Tafsir Sosiolinguistik Memahami Huruf Muqa>tha’ah dalam al-Qur’a>n. Malang: UIN Malang Press, 2009.

Fuller, Andy. Sastra dan Politik Membaca Karya-Karya Seno Gumira Ajidarma. terj. Anton Kurnia. Yogyakarta: Insist Press, 2011.

Foucault, Michel. ‚Siapa Itu Pengarang?,‛ dalam Hidup Matinya Sang Pengarang Esai-Esai Tentang Kepengarangan Oleh Sastrawan dan Filsuf. ed. Toety Heraty. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000.

H{azm, Ibnu. al-Ih}ka>m fi> Us}u>l Ah}ka>m. Beirut: Dar Kutub Ilmiyah.

Heriyanto, Husein. Paradigma Holistik, Dialog FIlsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whiteheaz. Bandung: Teraju, 2003.

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama Sebuah kajian Hermeneutika. Jakarta: Paramadina, 2007.

Hitti, Philip K. History of the Arabs. terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005.

Hoed, Benny H. ‚Bahasa Sebagai Arena Pertarungan: Sebuah Pendahuluan,‛ dalam Bahasa Negara Versus Bahasa Gerakan Mahasiswa Kajian Semiotika Atas Teks-Teks Pidato Presiden Dan Selebaran Gerakan Mahasiswa, ed. Muridan S. Widjojo dan Mashudi Noorsalim. Jakarta, Penerbit: LIPI Press, 2004.

Ichwan, Moch. Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’a>n Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd. Jakarta: teraju, 2003.

Jabba>r, Qad}i> Abdul. Sharh} Us}u>l al-Khamsah. t.tp: Maktabah Wahbah, 1988.

Kamil, Sukron. Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007.

______. Najib mah}fuz}: Sastra, Islam, dan Politik Studi Semiotika Terhadap Novel Aula>d H{a>ratina>. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.

Khalafullah, Muh}ammad A. al-Qur’a>n Bukan Kitab Sejarah, Seni, Sastra, dan Moralitas dalam Kisah-kisah al-Qur’a>n. terj. Zuhairi Misrawi dan Anis Maftukhin. Jakarta: Paramadina, 2002.

Khalid, Anas S}afwan (ed.), 50 Tahun Bumi Tarung. Jakarta:t.tp 2011.

Lubis, Mochtar. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Pustaka Jaya, 1977.

Madjid, Nurcholis, Islam dan Doktrin Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Mahayana, Maman S. Sembilan Jawabah Sastra Indonesia Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening Publishing, 2005.

Malna, Afrizal. Sesuatu Indonesia. Yogyakarta: Bentang, 2000.

Miller, J. Hillis. On literature, terj. Behtari Anissa Ismayasari. Yogyakarta: Jalasutra, 2011.

Misrawi, Zuhairi. al-Qur’a>n Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulralisme. Jakarta: Penerbit Fitrah, 2007.

Muzakki, Ahmad. Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama. Malang: UIN Malang Press, 2007. Muh}ammad Fais}al, ‘Abdul ‘Aziz bin. al-Adab al-‘Arabi> wa Ta>ri>khuhu al- ‘As}ru al-Ja>hili> wa ‘As}ru S}odaru al-Isla>m wa al-‘As}ru al-Umawi>. al- Mamlaktu al-‘Arabiyah as-Sau’diyah, 1405 H.

Mohammad, Goenawan. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi, edisi revisi. Jakarta: Alvabetsastra, 2005.

______. Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai. Jakarta: Katakita.

______. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.

Muzakki, Ahmad. Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan. Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2006.

Nabi, Malik Ben. Fenomena al-Qur’an: Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim. terj. Farid Wajdi. Bandung, Komp: Cijambe Indah, 2008.

Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 2006.

Panggabean, Maruli H. Bahasa Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: PT Gramedia, 1981.

Pei, Mario. Kisah Daripada Bahasa. terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: Yayasan Dana Buku Franklin.

Pradotokusumo, Partini Sardjono. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Rahardjo, Mudjia. Hermeneutika Gadamerian Kuasa Bahasa Dalam Wacana politik Gusdur. Malang: UIN Malang Press, 2007.

Ratna, Nyoman Kutha. Sastra Dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

______. Paradigma Sosiolgi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Rendra, WS. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: PT Gramedia, 1984.

______. Megatruh. Yogyakarta: Kepel Press, 2001. Saussure, Ferdinand de. Course In General Linguistics. America:McGraw- Hill Paperbacks, 1966.

Sa’rani, Mahmud. Ilm al-Lughah: Muqaddimah li al-Qari’ al-‘Arabi>. Kairo: Dar Fikr Araby, 1999.

Sa’id, Muhammad. ‚Tarjamah Abi Tamam‛, dalam S}ahin ‘Atiyah, Syarh} Diwan Abi Tamam. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah.

Setiawan, M. Nur Khalis. Al-Qur’a>n Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.

Shihab, M. Quraish. Mukjizat al-Qur’a>n Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib. Bandung: Penerbit Mizan, 1998.

______. Membumikan al-Qur’a>n Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan Jilid 2. Ciputat: Lentera Hati, 2011.

______. Logika Agama kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam. Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Sutrisno, Mudji dan Christ Verhaak. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Takwim, Bagus. Akar-Akar Ideologi. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2009.

Tedjoworo, H. Imaji dan Imajinasi Suatu telaah Filsafat Postmodern. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.

Teeuw, A. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya, 1994.

Tibi, Bassam. Islam, Kebudayaan dan Perubahan Sosial. terj. Misbah Zulfa Ellizabet, Zainul Abas. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1999.

Toer, Pramoedya Ananta, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003. Umam, Zacky Khairul. Adonis; Gairah Membunuh Tuhan Cendikiawan Arab-Islam. Depok: Penerbit Kepik, 2011.

Verhaar, J. W. M. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992.

Wargadinata, Wildana dan Laily Fitriani. Sastra Arab dan Lintas Budaya. Malang: UIN Malang Press, 2008.

Wachid, Abdul Sastra Pencerahan. Yogyakarta: Saka, 2005.

Yafut, Salim. Ibnu H}azm wa al-Fikr al-Falsafi bi al-Maghrib wa al-Andalus. Da>r Baid}a: Markaz Th}aqafi ‘Arabi, 1986.

______. Hafariyat al-Ma’rifah al-‘Arabi>yah al-Islami>yah al-Ta’lil al- Fiqhy. Beirut: Da>r al-Taliah wa al-Nas}r, 1999.

Ya’qub, Imil Badi. Fiqh al- Luhgah al-‘Arabiyah wa Khas}o>is}iha>. Beirut: Dara ath}-Thaqo>fah al-Isla>miy.

Zaidan, Abdul Karim. Al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh. Oman: Maktabah Batha'ir. JURNAL

Amed, Khawlah. ‚The Arabic Language: Challenges in the Moderrn World oleh.‛ International Journal for Cross-Disciplinary Subjects in Education (IJCDSE) 01, no. 03 (September 2010), http://infonomicssociety.org/IJCDSE/The%20Arabic%20Language_ Challenges%20in%20the%20Modern%20World.pdf (Maret 2013).

Denise, Lussier. ‚Language, Thought and Culture: Links to International Communicative Competence.‚ Canadian and International Education 40, no. 02 (September 2011), http://ir.lib.uwo.ca/cgi/ viewcontent.cgi?article=1130&context=cie-eci (maret 22, 2013).

Cobham, Catherine. ‚An Introduction to Arab Poetics by Adonis,‛ International Journal of Middle East Studies 24, no. 3 (Aug, 1992), http://www.jstore.org/stable/164643 (Februari 2014).

Faisol, M. ‚Pengaruh Pemikiran Ibnu Madha’ Tentang Ushul Al-Nahwi Al- ‘Arabi Dalam Memahami Teks Keagamaan,‛ Lingua Jurnal Imu Bahasa dan Sastra. www.jurnallingua.com. (Maret 2013).

Hamzah, Zaitul Azma Zainon dan Ahmad Fuad Mat Hasan, ‚Bahasa dan Pemikiran Dalam Peribahasa Melayu,‛ GEMA Online Journal of Language Studies 11, no. 3 ( 2011) , http://www.ukm.my/ppbl/Gema /GEMA%20vol%2011%20(3)%202011/pp31-51%20latest.pdf (diakses maret 22, 2013).

Mahadi, Tengku Sepora Tengku dan Sepideh Moghaddas Jafari. ‚Language and Culture.‛ International Journal of Humanities and Social Science 02, no. 17 (September 2012) www.ijhssnet.com/journals/ Vol_2.../24.pdf (diakses pada tanggal 22 Maret 2013).

Nurcholis. Setiawan, M. ‚al-Qur’a>n dalam Kesarjanaan Kelasik Dan Kontemporer Keniscayaan Geisteswissenschaften.‛ Jurnal Study al- Qur’a>n 1, no. 1 ( 2006): 80.

Regier, Terry dan lain-lain. ‚Languange and thought: Which Side You on, Anyway?.‛http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_2_No_17_Septem ber_2012/24.pdf (diakses pada tanggal 22 Maret 2013). Ritonga, Jago. ‚Arabisasi dan Perspektif Bangsa Arab terhadap Bahasa Asing,‛ Innovatio 06, no 12 (Juli-Desember 2007): 349, i- epistemology.net/.../1131_in-v6n12-... (Maret 2013).

Salleh, Kamarudin. ‚Arabic as a Language Between Qur’anic (Sacred) and Historical Designations,‛ Jounal Uii. http://journal.uii.ac.id/index. php/Millah/article/viewFile/341/254 (diakses tanggal 25 maret 2013).

Suyitno, Hardi. ‚Hubungan Antara Bahasa dengan Logika Matematika Menurut Pemikiran Wittgenstein.‛ Humaniora 20, no 01 (Februari 2008): 27, journal.ugm.ac.id/index.php/jurnal-humaniora/article/ (April 2013).

Wardeh, Nadia M. ‚From Ali> Ah}mad Sa‘i>d to Adonis: A Study of Adonis’s Controversial Position on Arab Cultural Heritage (tura>th),‛ Asia Culture and History vol. 2 no. 2 (2010): 16-17,http://www.ccsenet. org/journal/index.php/ach/article/viewFile/6603/5189 (2 Desember 2013

INTERNET Adonis, ‚Puisi memerdekakan kita,‛Majalah Tempo Interaktif, Januari 01, 2008,http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/01/WAW/ mbm.20081201.WAW128870.id.html (diakses 22 Maret, 2013).

Adonis, ‚Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama‛, Koran Tempo Ruang Baca, 4 desember 2008, www.ruangbaca.com (diakses pada tanggal 22 Maret, 2013).

Sugiono, Sugeng. al-Qur’a>n Tanda-Tanda Bahasa, dan Perubahannya. Pidato pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Bahasa di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2011. http://digilib.uin- suka.ac.id/6991/1/BAB%20I%20DAN%20V.pdf (diakses pada tanggal 2 Desember 2013).

GLOSARIUM al-Tha>bitu>n salah satu meinstream Adonis tentang kecenderungan pemikiran dalam dunia Arab. Yaitu kelompok pemikiran yang pada teks, dan anti terhadap perubahan. al-Mutah}awwili>n salah satu meinstream Adonis tentang kecenderungan pemikiran dalam dunia Arab. Yaitu kelompok pemikiran yang pada teks, namun memalui interpretasi yang membuat teks dapat beradaptasi dengan realitas dan perubahan, dan juga memandang teks tidak mengandung otoritas. Puritanisasi kecenderungan menolak budaya dari luar. Taharruz di>ni> konservasi agama. al-Ta’a>li fi> al-siya>sah suatu jejak politik yang dibingkai dalam doktrin agama. Qafiyah kesamaan rima dalam bait-bait puisi. Wazn suatu pola yang dijadikan tolok ukur dalam pembuatan puisi Arab. Eksistensialisme Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menjadikan problem eksistensi manusia sebagai pusat perhatian. Tema-tema yang dibahas dalam aliran filsafat ini adalah tentang hakikat kehidupan, seperti makna dan arti hidup, apa tujuan kehidupan bagi manusia, apakah kehidupan merupakan pilihannya sendiri, mengapa manusia mengalami nasib buruk, apa makna kebebasan serta hubungan antara kehendak bebas dan ketentuan Tuhan. Solilokui kecenderungan berbahasa yang hanya berkutat pada permainan kata atau petualangan dunia makna, bukan berbahasa komunitas. Mu’allaqa>t Qasidah panjang yang indah yang diucapkan oleh para penyair Jahiliyah dalam berbagai kesempatan dan tema. Langue Merupakan bahasa sebagai objek sosial yang murni, sebagai seperangkat konvensi-konvensi sistematik yang berperan penting di dalam komunikasi. Langue merupakan institusi sosial otonom, yang tidak tergantung kepada materi tanda-tanda pembentuknya. Sebagai sebuah institusi sosial langue sama sekali bukan tindakan dan tak bisa pula dirancang, diciptakan, atau diubah secara pribadi karena ia pada hakikatnya merupakan kontrak kolektif yang sungguh-sungguh harus dipatuhi bila kita ingin bisa berkomunikasi. Parole Merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya individu, sebuah tindakan individual. Pertama-tama parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang memungkinkan subjek (penutur) sanggup menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran pribadinya. Selain itu, parole juga dapat dipandang sebagai mekanisme psikofisik yang memungkinkan subjek menampilkan kombinasi-kombinasi tadi. Aspek kombinatif ini mengimplikasikan bahwa parole tersusun dari tanda-tanda yang identik dan senantiasa berulang. Karena adanya keberulangan inilah, setiap tanda bisa menjadi elemen dari langue. Juga, karena merupakan aktivitas kombinatif ini pula, maka parole terkait dengan tindakan individual dan bukan semata-mata sebentuk kreasi. licentia Poetika Merupakan kebebasan sastrawan dalam berkreasi

INDEKS

A B Abbas Mahmud Aqqad, 87 Bahasa Akadiyah, 29 Abu> Ali al-Jubba’i, 65 Bahasa Arab Ba’idah, 29 Abu> Hud}ail al-Allaf, 65 bahasa Arab Ba>qiyah, 29 Abiri, 38, 43 Bahasa Arami, 29 Abdulla>h Ibn Rawa>hah, 50 Bahasa Finiqi, 29 Abu> Nih}jan ath-Thaqafi, 61 Bahasa Ibrani, 29 Abu> Nuwa>s, 61, 62, 64, 73, 77, Bahasa Quraisy, 29 79, 80, 81, 99 Bangsa Samiah, 29 Abu> Tama>m, 61, 62, 64, 73, 79, Banu> Ghassa>n, 2 84, 85, 99 Adam As, 37, 38 C al-Ja>hiz, 62 Charles S. Pierce, 27 al-Na>bighah al-Ja’di, 50 Coptic, 1 al-Ba>ru>di, 64, 86, 87, 93, 99 al-Ja>hiz, 64, 65, 71, 72, 73, 76, 97, D 99 al-Ra>wandi, 59, 64, 76, 78, 80 Das Sein, 95 al-Ra>zi, 59, 64, 76, 78, 84 Das Sollen, 95 Daulah Abbasiyah, 74 Adam, 7, 8 Adonis, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 12, 14, E 15, 16, 20, 37, 38, 39, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, Eksistensialisme, 84, 92, 93 54, 55, 56, 57, 58, 59, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 69, 71, 73, F 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, Ferdinand de Saussure, 20, 27, 28, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 29 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, Friedrich Ernts Daniel 100 Schleirmacher, 35 agama samawi, 4 arbitrer, 11 G al-Lughah al-Mushtarakah, 29 Goenawan Mohammad, 93, 95 Asa>t}i>r al-Awwali>n, 24 al-Rashafi, 64, 86 H al-S}uli, 84 al-Shibli, 82 Hans-Georg Gadamer, 35 al-Sirafi, 75 H{assan H{anafi, 43 atheisme, 64, 67, 76, 81, 94 Hassa>n Ibn Tha>bit, 50 Hijaz, 29 I Martin Heidegger, 35 Ibn H{azm, 20, 21 Mua’llaqa>t, 22 Ibn Muqaffa’, 64, 76 Manikebu, 92, 93 Imri’ al-Qays, 6, 59, 60, 61 Mih}nah, 74 Isa As, 4, 7 Mu’awiyah, 74 Muhammad Abiri, 67, J 68, 69, 70, 72, 74, 75, 96, 99 Jacques Derida, 35 N Jurgen Habermas, 35 Jabariyah, 74 Najd, 29 Jabir bin H{ayya>n, 64 Nasr Ha>mid Abu> Zayd, 24, 26, 43, Jama’atu al-Diwa>n, 87, 97 64 Negro-Syi’ah, 64 K P Kahlil Gibran, 6, 57, 64, 79 Ka’ab Ibn Ma>lik, 50 Parole, 28, 29, 96, 97, 99 Khalil bin Ahmad al-Farahidi, 68 pasar Ukaz, 48 Khalil ibn Mat}ran, 86 Picture Theory of Language, 27 Persia, 1, 5 Pramoedya Ananta Toer, 100 L Q Langue, 28, 29 Licentia Poetica, 34, 41 Qara>mit}ah, 45, 64 Lingua Franca, 29 Qad}i Abdu al-Jabba>r, 65 Linguistik Turn, 27 qafiyah, 80, 81, 82, 84, 89, 96, 99 Lisa>n al-‘Arab, 29 S Ludwig Wittgenstein, 27 Langue, 96, 97, 98, 99 Saj’ al-Kuhha>n, 24 Lekra, 92, 93, 97, 99 Sastra Lekra, 33 Sastra Marxis, 33, 34 M Signifiant, 28 Mazhab Relativis, 11 Signifie, 28, 29 Majnah, 48 Sapir-Whorf, 11 Manifesto Modernitas, 54 Semit-Abrahamik, 4 Muhammad Arkoun, 43 Siriac, 1, 5 Muktazilah, 45, 64, 65, 69, 71, 72, Soebagyo Sastrowardoyo, 95 73, 74, 75, 76, 80, 85, 94, 100 Solilokui, 96, 98 Mazhab Universalis, 11 Sunni, 74 Muhammad Saw, 7 Surealistik-Sufistik, 82 Musa As, 4, 7 T Wazn, 69, 80, 82, 84, 89, 96, 99 tah}arruz di>ni>, 67, 70 Y W Yunani, 1, 5 Wilhelm Dilthey, 35 Yunus bin Matta, 75

TENTANG PENULIS

M. Abd. Rahman, lahir di Sampang-Madura, 29 September 1986. Menyelesaikan Pendidikan Dasar di Sampang (selesai 1998). Menamatkan Madrasah Tsanawiyah (selesai 2001) dan Sekolah Menengah Atas (selesai 2004) di PP. Nurul Jadid Paiton-Probolinggo Jawa Timur. Pada Tahun 2006 Penulis Melanjutkan studi S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan diterima di fakultas Adab dan Humaniora jurusan Bahasa dan Sastra Arab dan Menyelesaikannya di tahun 2010.