PERANAN LEMBAGA SENSOR FILM TERHADAP PERFILMAN : UPAYA DAKWAH MELALUI SENSOR

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos. I.)

Oleh ACHMAD FADLI NIM : 104051101929

KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H. / 2008 M.

PERANAN LEMBAGA SENSOR FILM TERHADAP PERFILMAN INDONESIA : UPAYA DAKWAH MELALUI SENSOR

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh Achmad Fadli NIM 104051101929

Pembimbing

Drs. Helmi Rustandi, M. Ag. NIP 150235946

KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H. / 2008 M. PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PERANAN LEMBAGA SENSOR FILM UPAYA

DAKWAH MELALUI SENSOR telah diujikan dalam sidang munaqasyah

Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 16

Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos.I.) pada Program Studi Konsentrasi Jurnalistik.

Jakarta, 16 Desember 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekertaris Merangkap anggota,

H. Mahmud Jalal, MA. Dra. Hj. Musfirah Nurlaily. MA NIP: 150202342 NIP: 150299324

Anggota,

Penguji I Penguji II

Rubiyanah, MA. Dra. Hj. Asriati Jamil, M.Hum. NIP: 150286373 NIP: 150244766

Pembimbing

Drs. Helmi Rustandi, M.Ag. NIP: 150235946 ABSTRAK

Perfilman Indonesia kini sudah bangkit kembali. Hal ini ditandai dengan banyaknya perfilman Indonesia yang diproduksi dan diputar di bioskop sepanjang tahun 2008 film yang masuk di lembaga sensor film sudah mencapai 77 buah judul. Film sebagai media komunikasi massa dibuat dengan tujuan tertentu, kemudian hasilnya tersebut ditayangkan untuk dapat ditonton oleh masyarakat. Karakter psikologisnya khas bila dibandingkan dengan komunikasi interpersonal yaitu film bersifat satu arah. Jadi bila dibandingkan dengan jenis komunikasi lainnya, film dianggap jenis yang paling efektif. Salah satu kelebihan yang dimiliki film, baik yang ditayangkan lewat tabung televisi maupun layar lebar, film mampu menampilkan realitas kedua (the second reality) dari kehidupan manusia. Kisah-kisah yang ditayangkan bisa lebih bagus dari kondisi nyata sehari- hari, atau sebaliknya bisa lebih buruk. Film haruslah sesuai dengan arah dan tujuan perfilman Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang perfilman yaitu pelestarian dan pengembangan nilai budaya bangsa, pembangunan watak dan kepribadian bangsa serta peningkatan harkat dan martabat manusia, pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, peningkatan kecerdasan bangsa. Setiap industri perfilman Indonesia pastilah sudah tidak asing mendengar Lembaga Sensor Film yaitu satu- satunya lembaga yang menjadi regulator perfilman di Indonesia karena fungsinya melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukkan dan atau penanyangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia. Selain itu, setiap film yang akan diputar atau ditayangkan baik dibioskop maupun ditelevisi terlebih dahulu harus disensorkan ke lembaga sensor film untuk mendapatkan surat lulus sensor. Peranan lembaga sensor film terhadap perfilman merupakan bagian dari dakwah dikarenakan sensor film bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif perfilman begitu pula dengan dakwah secara universal ialah mengajak umat manusia ke arah yang lebih baik di dunia dan di akhirat. Skripsi ini lebih lanjut akan membahas bagaimana peranan Lembaga Sensor Film terhadap perfilman Indonesia, sebagai upaya dakwah melalui sensor. Metodologi yang peneliti gunakan adalah kualitatif yang memungkinkan untuk mengumpulkan informasi mengenai peranan lembaga sensor film dan data- data yang diperoleh dianalisis kembali untuk lebih dikembangkan. Dalam menganalisis peneliti menggunakan metode analisis deskriptif yaitu menggambarkan sebagaimana mestinya secara sistematis mengenai keberadaan lembaga sensor film. Dalam era globalisasi dimana era keterbukaan ini segala informasi bisa masuk begitu juga dengan perfilman baik itu film impor maupun lokal menyerang budaya bangsa ini terlebih atas modernisasi budaya. Keberadaan lembaga sensor film itu sendiri untuk menyaring perfilman dan menjaga moralitas bangsa selain itu lembaga sensor film merupakan sebagai gardaya budaya bangsa untuk menjembatani keragamaan kebudayaan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, sudah seharusnya lembaga sensor film ini harus diperkuat.

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ...... i LEMBAR PERNYATAAN ...... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... iii LEMBAR PENGESAHAN...... iv ABSTRAK ...... v KATA PENGANTAR...... vi DAFTAR ISI...... ix DAFTAR GAMBAR...... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...... 6 D. Metodologi Penelitian...... 7 E. Sistematika Penulisan...... 10

BAB II : TINJAUAN TEORITIS A. Peranan...... 12 B. Film ...... 13 C. Komunikasi massa ...... 22 D. Sejarah Perfilman Indonesia ...... 26 E. Pengertian Sensor Film...... 31 F. Dakwah ...... 35

BAB III : GAMBARAN UMUM LEMBAGA SENSOR FILM A. Latar Belakang Berdirinya LSF...... 40 B. Visi dan Misi...... 43 C. Fungsi, Tugas, dan Wewenang LSF ...... 44 D. Struktur Organisasi LSF...... 47 E. Program kerja LSF ...... 49 F. Mekanisme Administarasi Penyensoran...... 51 G. Pedoman dan Kriteria Penyensoran...... 53 H. Tata Tertib Penyensoran ...... 56 I. Tarif Biaya Penyensoran...... 57

BAB IV : ANALISIS LEMBAGA SENSOR FILM TERHADAP PERFILMAN INDONESIA A. Peran LSF dalam melindungi masyarakat dari dampak negatif Perfilman...... 59 1. Peran LSF dalam penyensoran film pornografi…………62 2. Peran LSF dalam penyensoran film kekerasan………….65 B. Konsistensi LSF dalam Penyensoran ...... 67 C. Faktor Pendukung dan Hambatan Sensor Film ...... 68

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan...... 70 B. Saran-saran ...... 72 DAFTAR PUSTAKA...... 73

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Struktur Organisasi...... 48 Gambar 2 Skema: Prosedur Administrasi Penyensoran film dan Rekaman Video ...... 52 Gambar 3 Tarif Penyensoran...... 57

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dewasa ini, media massa yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah seperti surat kabar, radio, televisi, internet dan film memberikan kemudahan bagi para da`i untuk menyampaikan pesan dakwah. Karena dengan menggunakan media massa tersebut maka jangkauan dakwah tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu.1

Sebagai media komunikasi massa film dibuat dengan tujuan tertentu, kemudian hasilnya tersebut ditayangkan untuk dapat ditonton oleh masyarakat.

Karakter psikologisnya khas bila dibandingkan dengan sistem komunikasi interpersonal yaitu film bersifat satu arah. Jadi bila dibandingkan dengan jenis komunikasi lainnya, film dianggap jenis yang paling efektif.2

Salah satu kelebihan yang dimiliki film, baik yang ditayangkan lewat tabung televisi maupun layar lebar, film mampu menampilkan realitas kedua (the second reality) dari kehidupan manusia. Kisah-kisah yang ditayangkan bisa lebih bagus dari kondisi nyata sehari-hari, atau sebaliknya bisa lebih buruk.

1 Mustafa Mansur, Jalan Dakwah, (Jakarta : Pustaka Ilmiah, 1994), h. 26. 2 Joseph M. Boggs, The Art of Watching Film, (Terj) Asrul Sani (Jakarta : Yayasan Citra Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, 1986), h. 5. Mengikuti dunia perfilman, nampaknya kini film telah mampu merebut perhatian masyarakat. Lebih-lebih setelah berkembangnya teknologi komunikasi massa yang dapat memberikan kontribusi perkembangan dunia perfilman.

Meskipun masih banyak bentuk-bentuk media massa lainnya, film memiliki efek ekslusif bagi para penontonnya. Puluhan bahkan ratusan penelitian berkaitan dengan efek media massa film bagi kehidupan manusia betapa kuatnya media itu mempengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan para penontonnya.3

Peran besar media massa terhadap pola perilaku masyarakat ternyata lebih besar dipengaruhi oleh film dan acara di televisi. Dalam media film, ternyata film yang hadir dalam bioskop juga memiliki permintaan yang cukup banyak. Terlebih sekarang dunia perfilman Indonesia sudah berkembang sangat pesat. Hal ini menandakan film sudah menjadi media yang memiliki penonton cukup banyak di masyarakat.

Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh sekali, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga sebagai sarana penerangan dan pendidikan. Dalam ceramah-ceramah penerangan atau pendidikan kini banyak digunakan film sebagai alat pembantu untuk memberikan penjelasan. Kendati merupakan sarana untuk menghibur, namun keberadaan film bukanlah semata untuk memuaskan penontonnya belaka, ketika hadir di tengah masyarakat. 4

Film punya banyak peranan, yang antara lain dapat pula memberi pengaruh kepada perilaku masyarakat. Di dalam film BCG (Buruan Cium Gue)

3 KH. Miftah Faridl, Dakwah Kontemporer Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi, (Bandung ; Pusdai Press, 2000), Cet Ke-I. h. 96. 4 Onong Uchjana Effendy, Ilmu,Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, h. 209 mendapat kritikan dari masyarakat dikarenakan selain dari judul film tersebut yang bisa memprovokasi anak-anak remaja untuk melakukan adegan demikian selain itu, film tersebut mengumbar hawa nafsu. Film Ada Apa Dengan Cinta?

Diwarnai adegan mencium mesra lawan mainnya, bahkan dalam Ca Bau Kan lebih vulgar lagi. Dalam hal kevulgaran ini, banyak insan film menangkis dan berkelit, “ adegan seperti itu memang tengah membudaya di masyarakat, dan itulah kebenaran dan keindahan yang harus diketahui masyarakat’’.

Tapi, apakah hal itu ditanggapi sama oleh para remaja yang tergolong

ABG usai menyaksikan adegan-adegan tersebut? Di benak mereka terjadi proses kognitif berupa legitimasi pengesahan sikap bahwa mereka bisa dan

”harus’’berkelakuan seperti adegan film- film tersebut. Apalagi atas nama modernitas dan mengikuti jaman, mereka mutlak mengikuti pola hidup tersebut.5

Kehadiran Lembaga Sensor Film (LSF) ditanggapi beragam oleh insan perfilman di satu sisi, lembaga itu dinilai sebagai “ penyelamat’’ masyarakat agar tidak diracuni oleh tontonan yang negatif tetapi di sisi lain, ada pula yang menggangap lembaga itu membungkam kebebasan berbicara pembuat film dan menghambat kreativitas dalam membuat karya seni.

Lembaga Sensor Film atau LSF merupakan bagian tidak dapat tepisahkan dalam perkembangan perfilman di Indonesia. Sebelum dinikmati oleh penonton, baik film bioskop maupun film televisi, sebuah film harus lulus sensor terlebih dahulu. Lembaga sensor memiliki wewenang untuk menyeleksi bagian–bagian mana dari sebuah film yang patut dikonsumsi, atau bagian mana yang harus dipotong, atau ditiadakan. Sensor bertujuan untuk melindungi warga negara dari penetrasi informasi. Arus akulturasi yang kuat dikhawatirkan menembus dinding- dinding rawan, terutama bagi generasi muda, sehingga pesona hiburan tidak begitu saja meruntuhkan benteng moral anak bangsa

Diyakini tampilan yang menyesatkan bisa melahirkan ketidaksadaran berkepanjangan. Bahkan hal itu akan bermuara pada satu persepsi, bahwa citra itu adalah suatu kewajaran sebagai konsekuensi kemajuan jaman. Akan menjadi lebih menjerumuskan lagi, manakala wujud persepsi dikukuhkan sebagai panutan, sehingga melahirkan pola perilaku yang dianggap sebagai modernisasi budaya.

Di sisi lain, keberadaan LSF sendiri dianggap membendung kreativitas para sineas dalam memproduksi sebuah film. Namun, apabila suatu film tak melewati pintu sensor, dikhawatirkan anak-anak bisa teracuni oleh tontonan yang selayaknya menjadi konsumsi orang dewasa.6

Sensor itu sendiri adalah bertujuan untuk menjaga moralitas yang selama ini cendrung jauh dari budaya ketimuran. Moral anak bangsa sekarang telah dititik nadir, berbagai film import telah masuk negara Indonesia, ditambah dengan menyempitnya dunia dengan adanya arus globalisasi. Selain itu, sensor bertujuan amar ma’ruf nahyi ‘anil munkar yang merupakan bagian dari dakwah yaitu menyuruh kepada kebajikan dan mencegah dari kemunkaran atau kejahatan. Yang sebenarnya demi kemaslahatan bersama.

Dalam Al-Qur`an dijumpai lafadz “amar ma`ruf nahi munkar’’ pada beberapa tempat. Sebagai contoh dalam QS. Ali Imran : 104

5 Ilham Prisgunanto, Praktik Ilmu Komunikasi Dalam Kehidupan Sehari-hari, 2004 h.        

Artinya: “ Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Bila dicermati, ayat di atas menyiratkan bahwa amar ma`ruf nahi munkar merupakan perkara yang benar- benar urgen dan harus diimplementasikan dalam realitas kehidupan masyarakat.

Secara global ayat tersebut menganjurkan terbentuknya suatu kelompok atau segolongan umat yang intens mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kejelekan. Kelompok tersebut bisa berupa sebuah organisasi, badan hukum, partai ataupun hanya sekedar kumpulan individu-individu yang sevisi.7 Selain itu ketertarikan peneliti atas perkembangan dunia perfilman yang kini mulai bangkit kembali dan bagaimana peranan lembaga sensor film sebagai regulator film terhadap perfilman indonesia oleh karena itu, maka penelitian ini diberi judul :

PERANAN LEMBAGA SENSOR FILM TERHADAP PERFILMAN

INDONESIA : UPAYA DAKWAH MELALUI SENSOR

B. Batasan dan Rumusan Masalah

231 6 www. hitamputih-geliatfilmindonesia.htm di akses tanggal 5 maret 2008. 7 Da`wah Vol No.1 Juni 2004 Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut peneliti perlu membuat batasan masalah. Adapaun Batasan Permasalahan yaitu : ”Bagaimana Peranan

Lembaga Sensor Film (LSF) terhadap film pornografi dan kekerasan.”

Adapun Rumusan Masalahnya sebagai berikut

1. Apakah peran Lembaga Sensor Fim (LSF) dalam melindungi masyarakat

dapat di implementasikan.

2. Bagaimana kriteria penyensoran yang diterapkan oleh LSF dapat dipatuhi

secara konsisten.

3. Faktor apa saja yang menjadi pendukung dan hambatan sensor film.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sedangkan tujuan penelitian ini terbagi menjadi tujuan secara umum dan khusus yaitu :

1. Secara umum ingin memberikan kontribusi kepada khalayak berupa

tulisan dan teori mengenai LSF. Serta mengetahui peranan Lembaga

Sensor Film terhadap perfilman nasional dan proses penyensoran yang

dilakukan terhdap film nasional dan film barat

2. Secara khusus yaitu, peneliti ingin memperoleh wawasan dan pengetahuan

mengenai Lembaga Sensor Film yang merupakan satu-satunya institusi

pemerintah yang berhak mengeluarkan status edar perfilman

Adapun manfaat penelitian ini antara lain : 1. Secara Akademis yaitu, ingin memberikan kontribusi penelitian mengenai

peranan lembaga sensor film dan dapat menambah khazanah ilmu

pengetahuan terhadap Jurusan Konsentrasi Jurnalistik dan Fakultas

Dakwah dan Komunikasi pada umumnya.

2. Secara Praktis yaitu, agar dapat dijadikan contoh bagi penelitian-penelitian

selanjutnya serta memberikan kontribusi informatif dan langkah positif

mengenai keberadaan sensor film untuk melindungi dan menyaring dari

efek dampak negatif perfilman.

D. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan metode yang dapat membantu dalam upaya mempermudah dan menyempurnakan penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan analisis deskriptif yang menurut Hadari Nawawi yaitu metode yang diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dll) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.8 Metode ini memiliki langkah-langkah penerapan diantaranya adalah :

a. Jenis penelitian

8 Soejono dan H. Abdurrahman, metodologi penelitian suatu pemikiran dan penerapan, (Jakarta ; Rineka Cipta, 2005), h. 23. Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan terjun langsung ke lokasi penelitian.

b. Subyek penelitian adalah sumber tempat memperoleh keterangan. Adapun yang menjadi subyek penelitian adalah anggota Lembaga Sensor film (LSF).

c. Obyek penelitian adalah film tentang pornografi dan kekerasan yang dikeluarkan oleh lembaga sensor film. Sumber data adalah mereka yang dapat memberikan informasi tentang obyek penelitian. Peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu suatu pemecahan masalah dengan mengumpulkan informasi dan data sebanyak-banyaknya melalui sumber data yang ada.

1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran yang dipandang ilmiah dalam suatu penelitian terhadap hasil yang diperoleh secara keseluruhan. Data yang dipakai adalah data primer yaitu data yang diperoleh dengan wawancara langsung dengan narasumber. Adapun dalam pengumpulan data-data sebagai berikut :

a. Wawancara (interview), yaitu wawancara terstruktur peneliti mengadakan

wawancara mendalam dengan anggota lembaga sensor film yaitu dengan

Djamalul Abidin Ass, selaku wakil Ketua Komisi B lembaga sensor film

yang beralamat di Jl. MT. Haryono kavling 47-48 Jakarta Selatan,

mengenai peranan LSF terhadap perfilman Indonesia, sebagai upaya dakwah melalui sensor, guna mendapatkan informasi yang lengkap dan

aktual.

b. Pengamatan ( observasi ), yaitu mengadakan pengamatan langsung untuk

memperoleh data yang diperlukan. Teknik Observasi yang peneliti

gunakan bersifat mengamati secara langsung yang memungkinkan melihat

dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian

sebagaimana yang terjadi pada keadaan yang sebenarnya. Selain itu,

peneliti mengadakan penelitian langsung ke Lembaga Sensor Film (LSF)

beralamat di Jl. MT. Haryono Kavling 47-48 Jakarta Selatan.

c. Dokumentasi, metode ini digunakan untuk memperoleh data-data yang

tidak diperoleh dengan cara interview. Yaitu peneliti menelaah dan

mengkaji buku-buku sebagai pegangan dalam menentukan dasar-dasar

teoritis yang erat kaitannya dengan sasaran pembahasan atau masalah yang

dikaji.

2 . Teknik Analisis Data

Analisa data merupakan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam penelitian ini metode yang peneliti gunakan adalah metode analisis deskriptif yaitu cara melaporkan data dengan menerangkan, memberi gambaran dan mengklasifikasikan serta menginterpretasikan data yang terkumpul secara apa adanya dan kemudian menyimpulkannya, kemudian diterangkan secara luas.

3. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan memproses berbagai data yang berhasil dihimpun menjadi sesuatu yang berarti dan dapat menjadi informasi dalam bentuk penulisan skripsi ini.

Adapun penyusunan skripsi ini secara teknis, peneliti mempergunakan buku pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan tahun 2007 Cet II oleh CeQDA (center for

Quality Deveploment and Assurance)

F. Sistematika Penulisan

Penulisan ini disusun secara sistematis dan terdiri dari lima bab dengan masing- masing babnya akan menjelaskan segala hal yang mendorong berhsilnya penelitian ini, antara lain :

BAB I Dalam bab ini terdiri dari latar belakang masalah, batasan masalah,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta metodologi

penelitian

BAB II Membahas kerangka teoritis tentang, Pengertian Peranan, Film, Jenis

film, dan unsur-unsur film, komunikasi massa, Dampak media massa,

Dampak kehadiran film dan Sejarah perfilman Indonesia, Pengertian

Sensor Film, Hubungan Sensor dan Dakwah, pengertian Dakwah,

Subjek dan Objek dakwah, Media dakwah, Metode dakwah. BAB III Gambaran Umum mengenai Lembaga Sensor Film meliputi, latar

belakang berdirinya, visi dan misi Lembaga sensor film terhadap

perfilman Indonesia, Struktur kelembagaan sensor film, program

kerja LSF Mekanisme penyensoran film dan rekaman video oleh

LSF, Pedoman Penyensoran, Tata Tertib penyensoran dan, Tarif

Biaya Penyensoran.

BAB IV Analisis mengenai peranan lembaga sensor film terhadap perfilman

Indonesia, Bagaimana upaya lembaga sensor film dalam melindungi

masyarakat dari dampak negatif perfilman, Konsistensi lembaga

sensor film terhadap dalam penyensoran, Faktor apa yang menjadi

pendukung dan hambatan sensor film, dan bagaimana analisis

lembaga sensor film terhadap film pornografi dan kekerasan.

BAB V Penutup, yang berisisi tentang kesimpulan dari pembahasan bab-bab

sebelumnya. Kesimpulan ini merupakan jawaban dari masalah yang

ada. Bab ini diakhiri beberapa catatan sebagai saran-saran dan juga

terdapat daftar pustaka, lampiran-lampiran.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Peranan

Peranan adalah dari kata dasar ”peran” yang ditambahkan akhiran ”an”.

Peran memiliki arti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Sedangkan peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.9 Dalam kamus besar Indonesia, peranan ialah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.10 Sedangkan dalam kamus ilmiah populer peranan memiliki makna sebagai fungsi; kedudukan atau bagian kedudukan.11

Menurut Grass Masson, sebagaimana yang pernah dikutip oleh David

Berry peranan ialah seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu, dan harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma yang dalam masyarakat norma tersebut dapat

9 Departemen Pendidikan dan Kebudyaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1996 ), Edisi Ke-2, h. 751. 10 Ibid h. 667. 11 M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, ( Surabaya : Arkola, 1994 ),h. 585. diartikan sebagai kewajiban seseorang untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat di dalam pekerjaannya dan dalam pekerjaan-pekerjaan lainnya.12

Dalam perspektif ilmu psikologi sosial, peranan didefinisikan dengan suatu perilaku atau tindakan yang diharapkan oleh orang lain dari seseorang yang memiliki suatu status di dalam kelompok tertentu. 13

Peranan merupakan fungsi yang bisa terwujud jika seseorang berada di dalam satu kelompok sosial tertentu. Peranan merupakan sebuah perilaku yang memiliki suatu status dan bisa terjadi dengan atau tanpa adanya batasan-batasan job description bagi para pelakunya.14

B. Film

Film secara sederhana, sebetulnya hanyalah susunan gambar yang ada dalam selluoid, kemudian diputar dengan mempergunakan teknologi proyektor yang sebetulnya telah menawarkan nafas demokrasi, bisa ditafsirkan dalam berbagai makna. Ia menawarkan berbagai pesan, bisa dimanfaatkan dalam kegunaan.15

Kalau surat kabar bersifat visual, dan radio besifat audio, maka film merupakan penggabungan dari keduanya yaitu serentak visual dan audio dan dengan demikian masuk pada golongan media yang bernama The Audiovisual

Media.

12 N Grass, w, s Masson and A.W. MC Eachern, Explorations Rote Analysis dalam David Berry, pokok-pokok pikiran dalam sosiologi, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995 ), h. 99-100. 13 Dr. W. A Gerungan Dipl. PSYCH, Psikologi social, (Bandung : PT. Eresso, 1998), h. 135 14 Ibid, h. 135. 15 Gatot prakoso, film pinggiran - Antologi film pendek, eksperimental & Dokumenter. Film adalah alat komunikasi massa yang mengoperkan lambang-lambang komunikasinya dalam bentuk bayangan-bayangan hidup di atas layar putih. Ini dilakukan atas bantuan proyektor, sedangkan filmnya sendiri tidak dari rentetan foto di atas seluloid. Jadi lambang-lambang komunikasi yang bersifat audiovisual itu yang kelihatan hidup, pada hakikatnya tidak lain dari pada rentetan beribu-ribu foto yang setiap foto menunjukkan satu fase dalam proses tertentu yang hanya mempunyai perbedaan kecil dengan foto sebelumnya dan sesudahnya. Dengan bantuan proyektor rentetan foto itu dapat membedakan tiap foto di atas layar putih, karena semuanya telah melebur menjadi satu gerakan tertentu, yang mengakibatkan kelihatan hidup.16

Menurut Onong Uchjana Effendi (2000), film merupakan medium komunikasi yang ampuh, bukan saja untuk hiburan tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Alex Shobur (2003), bahwa film merupakan bayangan yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami dalam kehidupan sehari-hari yang menyebabkan selalu ada kecendrungan untuk mencari relevansi antara film dengan realitas kehidupan.17 Efek dari film adalah peniruan yang diakibatkan oleh anggapan bahwa apa yang dilihatnya wajar dan pantas untuk dilakukan setiap orang.

Bila dilihat lebih mendalam, film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film memiliki realitas kelompok masyarakat pendukungnya

FFTV – IKJ dengan YLP, ( Fatma Press: 1997 ), h. 22 16 Drs Anwar Arifin, Strategi komunikasi sebuah pengantar ringkas (Bandung : CVAmico 1984), h. 28. 17 Aep Kusnawan et. al.,komunikasi & penyiaran Islam – mengembangkan Tabligh melalui Media mimbar, Media cetak, Radio, Televisi, Film dan Media Digital, (Benang merah press: Bandung itu, baik realitas dalam bentuk imajinasi ataupun realitas dalam arti sebenarnya.

Film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang tinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang.

Sehingga dalam perkembangannya, film bukan lagi sekedar usaha menampilkan

“Citra Bergerak” (moving images). Namun, juga telah diikuti oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia, atau gaya hidup.18

Dalam perkembangannya, film telah mengukuhkan diri sebagai anak kandung teknologi modern. Diawali ketika film diartikan sebagai medium komunikasi massa, yakni penyampai berbagai jenis pesan dalam peradaban modern ini. Kemudian berlanjut di mana film dimanfaatkan sebagai medium ekspresi artistik, yaitu menjadi alat bagi seniman-seniman film untuk mengutarakan gagasan, ide, lewat suatu wawasan keindahan.19

Dalam bentuknya sebagai sebuah kesenian, film adalah sama dengan media artistik lainnya, karena ia memiliki sifat-sifat dasar dan media lain yang terjalin dalam susunannya yang beragam. Seperti halnya seni lukis, pahat, drama, musik, puisi, pantonisme, seperti novel, dan sebagainya. Selain sebagai kesenian, film juga merupakan salah satu media komunikasi massa, di samping surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Sebagai media komunikasi massa, film dibuat dengan

2004 ).h. 95 18. Victor C. Mambor, satu Abad “ Gambar idoep” di Indonesia, Http://Kunci.co.id /Teks/Victor I. diakses 14 Maret 2008. 19 Marselli Soemarno, Apresiasi film: suatu pengantar ( Jakarta: pustaka Yayasan Citra tanpa tahun terbit ), h. 8 tujuan tertentu kemudian hasilnya tersebut ditayangkan untuk dapat ditonton oleh masyarakat dengan peralatan teknis.20

Berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1992 tentang perfilman, film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, elektronik, atau lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan atau lainnya.

Sedangkan perfilman itu sendiri adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan, jasa, teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukkan, dan atau penanyangan film.21

1. Jenis Film

Dalam perkembangannya, ada begitu banyak jenis film. Masing-masing jenis dibuat dengan maksud-maksud tertentu dan untuk melayani keperluan publik terbatas maupun publik yang lebih luas. Namun pada dasarnya, film dapat dikelompokkan ke dalam dua pembagian besar, yaitu film teatrikal dan non teatrikal. Pendapat lain suka menggolongkannya menjadi film fiksi dan film non fiksi.

Film teatrikal adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor/aktris. Film teatrikal umumnya bersifat

20 Pranajaya, film dan masyrakat, h.9-10 komersial, yaitu dipertunjukkan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau diputar dalam acara televisi dengan dukungan sponsor iklan tertentu. Film teatrikal mempunyai sejumlah kategori (genre); film horor, film komedi, film action, film musikal, film koboi, dan sebagainya.22 Sedangkan film non teatrikal adalah jenis film yang mengambil kenyataan sebagai objeknya. Film non-teatrikal juga memiliki sejumlah kategori, meski kebanyakan bukan tujuan komersial.23

Film teatrikal dengan non-teatrikal memiliki banyak perbedaan termasuk di dalamnya ragam dari masing-masing film yang bisa dijabarkan sebagai berikut:

(a) Film Cerita, film yang mengandung cerita yang lazim dipertunjukkan di

gedung-gedung bioskop dengan layar lebar. Film cerita disebut juga

dengan istilah ”story film’’ cerita di sini dapat berupa cerita drama,

misteri, komedi, romantik.

(b) Film Berita (Newsreel), film mengenai fakta dan peristiwa yang sungguh-

sungguh terjadi, disajikan kepada masyarakat melalui media televisi

dengan dipandu gambar film dan berita, maka pesan/ penerangan akan

lebih merasuk di hati pemirsa.

(c) Film Dokumenter, film fakta terhadap suatu peristiwa yang pernah terjadi,

yang disimpan untuk keperluan kenang-kenangan atau keperluan sejarah.

Film dokumenter dapat mengungap peristiwa lama dan bermanfaat bagi

generasi mendatang untuk melihat segala sesuatu yang diperbuat oleh

generasi sebelumnya. Film dokumenter sebagai dokumentasi yang bernilai

sejarah yang sangat berharga.

21 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32 (d) Film Kartun (Cartoon), film yang dibuat dari lukisan/ gambar yang

dirangkai menjadi bentuk cerita yang dapat bergerak seperti yang

dikehendaki oleh pembuatnya. Sekarang pembuatan film kartun

menggunakan teknik tinggi, sehingga hasilnya dapat dipakai sebagai

tontonan yang menggembirakan.

(e) Film Laga, film yang banyak berisi tentang aksi, perkelahian, atau

keributan. Ada kalanya film silat masuk dalam kategori ini, lebih spesifik

lagi film silat mengisahkan tentang Cerita Cina (Mandarin) dengan banyak

menampilkan adegan perkelahian dengan adu ketangkasan bermain silat.24

(f) Film Iklan, yang berisi kegiatan menyampaikan berita, di mana berita itu

disampaikan atas pesanan pihak yang ingin agar produk atau jasa yang

dimaksud disukai, dipilih, dan dibeli oleh khalayak ramai.25

(g) Film Sejarah, melukiskan kehidupan di masa lalu, sebagian mengartikan

film kehidupan seorang tokoh tersohor dan peristiwanya; biasa disebut

film biografi.

(h) Film Perang, menggambarkan peperangan atau situasi di dalamnya atau

sesudahnya.

(i) Film Futuristik, menggambarkan masa depan secara khayali.

(j) Film Anak, mengupas kehidupan anak-anak.

22 Soemarno, Apresiasi film, h.3-4. 23 Ibid, h. 4-5. 24 YS Gunadi ( Ed ), Himpunan Istilah Komunikasi ( Jakarta : PT Grasindo, 1998 ), h. 44- 45. 25 B.H. Hoed, “ dampak Komunikasi Periklanan: sebuah ancangan dari segi semiotic”, dalam semiotik”, dalam semiotic : mengkaji tanda dalam artefak. EKM Masinambow dan Rahayu S Hidayat ( ED ) ( Jakarta : Balai Pustaka, 2001 ), h.186. (k) Film Adventure, film petualangan. Sebagian mengartikannya film

pertarungan yang tergolong dalam film klasik.

(l) Film Crime Story, film yang umumnya mengandung sifat-sifat heroik.

(m) Film Seks, menampilkan erotisme.26

(n) Film Misteri/ Horor, mengisahkan cerita yang menyeramkan.

2. Unsur Film

Terdapat beberapa yang menjadi unsur sebuah film. Unsur film tersebut adalah :

a. Title (judul)

b. Crident title, meliputi : produser, karyawan, artis, dll

c. Tema film

d. Intrik, yaitu usaha pemeranan film untuk mencapai suatu tujuan.

e. Klimaks, yaitu benturan antar kepentingan

f. Plot (alur cerita)

g. Suspen atau keterangan, masalah yang terkatung-katung.

h. Million setting, latar belakang terjadinya peristiwa, masa waktu, bagian

kota, perlengkapan aksesoris, dan fesyen yang disesuaikan.

i. Sinopsis, yaitu untuk memberi ringkasan atau gambaran dengan cepat

kepada orang yang berkepentingan.

j. Trailer, yaitu bagian film yang menarik.

k. Character, yaitu karakteristik pelaku-pelakunya.

26Kusnawan, dkk, Komunikasi Penyiaran Islam, h. 100-101. Adapun struktur-struktur sebuah film adalah sebagai berikut :

(1) Pembagian cerita (scene)

(2) Pembagian adegan (squence)

(3) Jenis pengambilan gambar (shoot)

(4) Pemilihan adegan pembuka (opening)

(5) Alur cerita dan community

(6) Intrique meliputi jealousy, pengkhiatan, rahasia bocor, tipu muslihat, dll.

(7) Anti klimaks, penyelesaian masalah.

(8) Ending, pemilihan adegan penutup.27

Untuk membuat sebuah film cerita, dibutuhkan suatu kerja kolektif untuk pembuatan film yang baik dibutuhkan saling mendukung antar unsur-unsur pokok itu adalah : penulis skenario, sutradara, bintang film, juru kamera, juru tata suara, dan produser.

Penulis skenario (scenarioman) bertugas menyusun alur cerita (plot), dan garis besarnya sampai bagian yang sekecil-kecilnya. Ia juga menyusun dialog yang selaras dengan derak dan setting yang digambarkan dalam penulisan skenarionya, sehingga dapat dikatakan bahwa sebuah skenario film yang baik adalah film dalam bentuk tertulis (literatur).

Pada awalnya penulis skenario menghasilkan skenario kasar atau draft screenpalay, yang setelah dikaji kembali berubah menjadi catatan cerita yang dapat dijalankan dalam film. Hal-hal yang dituntut dari seorang skenario film adalah ketelitian, daya imajinasi, dan kreativitas disamping pengetahuan

27 Ibid, h. 100-101. mengenai teknik pengungkapan film. Skenario dapat dikatakan dasar pembuatan film.

Sutradara berperanan sebagai pemegang pimpinan dalam pembuatan film, bidang kerjanya tidak hanya pada satu segi saja, melainkan pada seluruh pembuatan film. Sutradara memimpin pembuatan-pembuatan skenario, permainan para bintang film yang mendukung film bersangkutan, pengambilan gambar- gambar oleh juru kamera, perekaman suara oleh juru rekam, penyusunan gambar oleh penyusun film sampai seluruh film selesai.

Karena itu, seorang sutradara dituntut mempunyai pengetahuan bidang perfilman, mempunyai kepribadian menarik dapat berorganisasi dan memiliki kreativitas serta daya artisitik yang memadai.

Bintang film adalah pemegang peran (pemain) dalam film seorang bintang film dituntut mempunyai kemampuan akting sesuai dengan apa yang dituliskan dalam skenario serta sejalan dengan apa yang diinginkan sutradara. Namun tidak mustahil seorang bintang film diperbolehkan mengembangkan kemampuan aktingnya dalam sebuah adegan, diluar apa yang ditulis skenario sejauh masih dalam jalur cerita.

Juru kamera (cameraman cinematographer) bertugas mengambil gambar untuk disusun menjadi sebuah film. Ia bertanggung jawab sepenuhnya atas segala fotografis film yang dibuat. Untuk membuat gambar-gambar film seorang juru kamera dibantu oleh director of fotography, yaitu orang yang ahli dalam pemakaian peralatan foto dan orang yang ahli menjalankan kamera (camera operator), juga oleh focus fuller atau camera assistant. Kerja juru kamera masih dibantu oleh tenaga teknik yang mempersiapkan segala peralatan yang digunakan.

Juru tata suara bertugas mengatur berbagai suara alam film. Suara dalam sebuah film dapat berupa suara alam, musik dan berbagai bunyi lainnya. Seorang juru tata suara harus mempunyai kepekaan bunyi dan karakter suara yang tinggi.

Dalam pekerjaannya penata suara (sound engineer, sound man) dibantu oleh beberapa tenaga ahli seperti ahli mikrofon (boomman).

Juru dubbing (sound mixer), orang yang bertugas menggumpulkan suara yang telah direkam oleh juru rekam pada pita-pita yang terpisah ke dalam satu pita induk master sound track . Setelah unsur bunyi tersusun dan direkam dalam pita, pita suara itu diletakkan pada pita film. Dengan begitu ketika film diputar suara akan muncul secara bersamaan dengan gambar.

Produser bertanggung jawab atas modal yang dipakai dalam pembuatan sebuah film. Produser memiliki wewenangnya mencari sutradara yang sesuai, bersama sutradara mencari bintang film, juru kamera, dan juru tata suara.

Tugasnya antara lain menggurus perijinan pembuatan film sampai soal distribusi dan peredarannya. Bagi produser film selain benda seni juga merupakan barang dagangan.28

C. Komunikasi massa

Definisi yang paling sederhana tentang komunikasi massa dirumuskan

Bittner (1980:10) : “ Mass communication is messages communicated through a

28 “ Film”, h.308. mass medium to a large number of people” (komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang). Ahli komunikasi yang lain mendefinisikan komunikasi dengan memperinci karakteristik komunikasi massa. Gerbner menulis (1967) menulis, “” (komunikasi massa adalah produksi dan distribusi mass communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of the massages in industrial societies berlandaskan technology dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri).29

1. Dampak Media Massa

Sesuai dengan tujuannya, komunikasi massa mempunyai fungsi untuk memberikan informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Sudah dapat dipastikan bahwa komunikasi akan memberikan dampak atau pengaruh terhadap pembaca, pendengar dan penontonnya. Apabila pengaruhnya tidak ada, maka tujuan komunikasi itu sendiri tidak berjalan.

Dampak komunikasi massa, selain positif juga mempunyai dampak negatif. Pengelola komunikasi massa dapat dipastikan tidak berniat untuk menyebarkan dampak negatif terhadap khalayaknya, yang diinginkan adalah pengaruh positif. Apabila ada dampak negatif bisa dikatakan sebagai efek samping. Namun efek samping itu cukup membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak.

29. Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya. Bandung. Komunikasi massa harus mempunyai efek menambah pengetahuan, mengubah sikap, dan menggerakkan perilaku kita. Efek yang terjadi pada komunikasi tersebut terdapat pada tiga aspek. Ketiganya adalah efek kognitif, afektif, dan behavioral.

a. Efek Kognitif

Pembaca surat kabar atau majalah, pendengar radio, dan penonton televisi merasa mendapatkan pengetahuan setelah membaca, mendengar, dan menonton.

Banyak ilmu pengetahuan yang diperoleh dari komunikasi tersebut, sehingga komunikasi atau media massa dijadikan sebagai kebutuhan utama setiap hari.

Apabila media massa tersebut telah berhasil menambah wawasan atau pengetahuan, maka sudah dapat dilihat bahwa komunikasi massa telah mempunyai pengaruh secara kognitif.

b. Efek Afektif

Komunikasi massa juga akan memberikan dampak atau efek afektif kepada khalayaknya. Efek afektif lebih berkonotasi kepada perubahan sikap dan perasaan. Dalam membaca berita sedih dalam majalah atau surat kabar, seseorang juga terseret perasaan sedih. Demikian juga sebaliknya, orang akan merasa gembira ketika menonton peristiwa lucu di televisi. Tidak ada orang yang merasa gembira, ketika mendengar dari radio berita jatuhnya pesawat terbang yang mengakibatkan ratusan penumpang meninggal seketika.

Cet. Ke-21.h. 188.

c. Efek Behavioral

Setelah mendapatkan ilmu atau pengetahuan lalu merasakan sesuatu, maka efek yang terakhir dari komunikasi adalah berubahnya perilaku dari pembaca, pendengar dan penonton. Bila televisi menyebabkan anda lebih mengerti bahasa

Indonesia, maka televisi menimbulkan efek proposial kognitif. Bila anda membaca penderitaan orang miskin, lalu tergerak untuk membantunya, maka itu dinamakan efek proposial afektif. Tetapi anda telah mengirimkan wesel kepada penderita tersebut, maka itu disebut efek proposial behaviaoral. Lapangan dampak atau efek komunikasi massa berada pada ketiga sektor tersebut, yakni pada pengetahuan (kognitif), perasaan (afektif) dan pada sikap perilaku (behavioral)

( Jalaluddin Rakhmat, psikologi komunikasi : 230 ).30

2. Dampak Kehadiran Film

Dampak dari teknologi film diantaranya dampak positif dan negatif.

Dampak negatif jika sering ditampilkannya adegan kekerasan. Salah satunya bisa mendorong kemunculan perilaku kriminal di masyarakat. Lebih rawan lagi jika adegan kekerasan dalam film ditonton oleh anak di bawah umur. Mereka (anak- anak) belum mengerti betul tentang acara tersebut. Anak-anak tidak dapat mencerna adegan tersebut dan tidak mengetahui bahwa adegan-adegan yang ditayangkan adalah adegan berbahaya dan tidak untuk ditirukan. Anak-anak pada usia 6-9 tahun memiliki keingintahuan yang besar hingga mereka melihat dan mempraktikkan adegan kekerasan tersebut tanpa menyaringnya terlebih dulu.

Akibatnya, tak sedikit kalangan yang mengecam perfilman, sekaligus menghimbau agar mengurangi adegan-adegan tersebut dalam film.

Selain dampak tersebut, dampak negatif film digambarkan pada film

”Buruan Cium Gue”. Film yang diperankan oleh bintang-bintang muda seperti

Masayu Anastasia dan Hengky Kurniawan ini telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Kontroversi film “Buruan Cium Gue” sesungguhnya menjadi bagian dari sejarah film Indonesia dan dunia sejagat. Tetapi film “Buruan

Cium Gue” patut mendapat sorotan khusus, mengingat para pemainnya adalah kaum remaja yang diperankan untuk mengumbar nafsu birahi secara vulgar. Dan konyolnya, syuting maupun setting film ”Buruan Cium Gue” sendiri diambil di sebuah sekolah, padahal lembaga pendidikan merupakan simbol yang menjunjung nilai etika dan moral pada posisi tertinggi. Reaksi penolakan masyarakat atas pemutaran film ini sudah benar.

Peristiwa dalam film memotivasi dan merangsang masyarakat untuk meniru atau memperaktikkan yang dilihatnya dalam tayangan film tersebut, akibatnya perilaku masyarakat semakin jauh dari norma yang ada. Film berdampak positif pada saat adegan-adegan yang ditayangkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan baru bagi orang yang menonton. Film berfungsi seperti media massa lainnya yaitu memberi wawasan dan pengetahuan kepada penonton, dan juga sebagai sarana hiburan. Untuk menghasilkan film yang bermutu,

30 Drs. H. Anwar Mafri, M.Ag, Etika Komunikasi Massa : Dalam Pandangan Islam (Jakarta : Logos, 1999), Cet.II,h. 30-32. diperlukan kesadaran dan tanggungjawab terhadap film yang dihasilkan, agar memiliki dampak positif bagi masyarakat.31

D. Sejarah Perfilman Indonesia

Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop- bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy,

Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Nike Ardilla, Paramitha

Rusady.

Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu.

Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90- an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.

Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film

Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman

31 http://letuce.blogs.friendster.com/adianindya/2007/06/dampakfilm.html Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil.

Setelah itu muncul film-film lain yang lain dengan segmen yang berbeda- beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film Jelangkung yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di

Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas

Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Sherina (film oleh Joshua,

Tina Toon), yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan, Tusuk

Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan oleh Nia Dinata.

Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul Pasir Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet.

Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata.

Selain itu juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film

Indonesia juga kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun. Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.

Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda

G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film ini dibuat dengan aktor lokal oleh Perusahaan

Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31

Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung setelah itu, lebih dari 2.200 film diproduksi.

Sudah sejak lama ada beberapa pihak baik itu institusi, media ataupun perorangan yang berusaha menggolongkan film-film Indonesia sepanjang masa yang layak menjadi film yang terbaik berdasarkan kategori-kategori tertentu.

Salah satunya adalah tabloid Bintang Indonesia yang pada akhir tahun 2007 berusaha memilah film-film apa saja yang dapat dikategorikan sebagai film

Indonesia terbaik. Dari 160 film yang masuk dipilihlah 25 film yang dapat dikategorikan sebagai film-film Indonesia terbaik sepanjang masa. Film-film tersebut dipilih oleh 20 pengamat dan wartawan film yakni: Yan Widjaya

(wartawan film senior), Ilham Bintang (wartawan film senior), Ipik Tanojo (Bali

Post), Eric Sasono (pengamat film), Arya Gunawan (pengamat film), Noorca M.

Massardi (wartawan film senior), Yudhistira Massardi (Gatra), Leila S. Chudori

(Tempo), Frans Sartono (Kompas), Yusuf Assidiq (Republika), Aa Sudirman

(Suara Pembaruan), Taufiqurrahman (The Jakarta Post), Eri Anugerah (Media Indonesia), Sandra Kartika (Wakil Pemimpin Redaksi Tabloid Teen), Telni

Rusmitantri (Cek n Ricek), Ekky Imanjaya (situs Layarperak.com), Wenang

Prakasa (Movie Monthly), Orlando Jafet (Cinemags), Poernomo Gontha Ridho

(Koran Tempo), dan Ekal Prasetya (Seputar Indonesia). Ke-25 Film tersebut adalah:

1. Tjoet Nja’ Dhien (1986)

2. Naga Bonar (1986)

3. Ada Apa dengan Cinta? (2001)

4. Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985)

5. Badai Pasti Berlalu (1977)

6. Arisan! (2003)

7. (1978)

8. Gie (2005)

9. Taksi (1990)

10. (1986)

11. Tiga Dara (1956)

12. Si Doel Anak Betawi (1973)

13. (Cintaku di) Kampus Biru (1976)

14. Doea Tanda Mata (1984)

15. Si Doel Anak Modern (1976)

16. Petualangan Sherina (1999)

17. Daun di Atas Bantal (1997)

18. Pacar Ketinggalan Kereta (1988) 19. Cinta Pertama (1973)

20. Si Mamad (1973)

21. Pengantin Remaja (1971)

22. Cintaku di Rumah Susun (1987)

23. Gita Cinta dari SMA (1979)

24. Eliana, Eliana (2002)

25. Inem Pelayan Sexy ( 1977 ).32

E. Pengertian Sensor Film

Sensor adalah adaptasi dari bahasa Inggris, yang menurut Oxford

Dictionary : “censor means official with authority to examine letters, books, periodicals, plays, film, etc and to cut-out anything regarded as immoral or in otherways undersirable”.

Menurut UU No. 8 Tahun 1992 pasal 1 angka 4: Sensor Film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu.

Pengecualian (UU Nomor 8 Tahun 1992) lingkup undang-undang ini meliputi seluruh film, kecuali film berita yang ditayangkan melalui media elektronik.

1. Hubungan Sensor dan Dakwah

32 http://id.wikipedia.org/wiki/perfilmanIndonesia diakses 10 Mei 2008. Dalam kamus ilmiah populer sensor berhubungan dengan pancaindera, penilikan, penyelektifan terhadap film33. Menurut Risanuri Hidayat dalam tulisannya “Sensor adalah piranti yang mentransform (mengubah) suatu nilai

(isyarat/energi) fisik ke nilai fisik yang lain, menghubungkan antara fisik nyata dan industri electric dan piranti elektronika. Di dunia industri berguna untuk monitoring, controlling, dan proteksi sering disebut juga dengan Transducer”.

Keberadaan sensor amat diperlukan bagi dunia perfilman untuk menyaring film-film yang berkualitas terlebih dengan adanya arus globalisasi dimana era keterbukaan saat ini kemajuan teknologi informasi atau sering disebut sebagai

ICT information and communication technology siapa pun dapat mengakses media elektronik dimana pun dan kapan pun. Tidak mustahil dengan adanya sensor film, film-film yang berbau pornografi, kekerasan dan kekejaman pun bisa masuk. Oleh karena itu keberadaan sensor film yang dimiliki Lembaga Sensor

Film tidak dapat menjamin apa yang ditonton, dan dilihat bisa membentuk etika moral bangsa ini lebih baik akan tetapi biarkan lembaga sensor film itu berjalan dengan aturan-aturan hukum yang sudah ada.

Sesuai dengan visi yang dimiliki oleh Lembaga sensor film yaitu: terwujudnya masyarakat Indonesia yang memiliki daya saring informasi untuk mempertahankan tata nilai dan budaya. Begitu juga melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukkan dan atau penanyangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan

33 Al Barry M, Dahlan, A Partanto Pius, Kamus Ilmiah Populer, Arkola Surabaya. tujuan perfilman Indonesia yang merupakan fungsi dari keberadaan lembaga sensor film.

Jadi menurut peneliti keberadaan lembaga sensor film sesuai dengan ajaran dakwah yaitu lebih kepada proses dakwah Amar Ma`ruf Nahi Munkar yang merupakan ajakan atau seruan kepada kebaikan dan menjauhi kepada kekejian atau kemunkaran untuk mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

2. Pengertian Amar Ma`ruf Nahi Munkar a. Amar Ma`ruf

yang berarti memerintahkan,34 ا Al-Amru berasal dari kata bahasa Arab

yang padanan katanya adalah ف sedangkan Al-Ma`ruf berasal dari kata

yang berarti kabajikan. 35 ا Perkataan Ma`ruf yang bentuk jama`nya adalah Ma`rufat, menurut abul

A`la Maududi berarti “nama untuk segala kebajikan atau sifat-sifat baik yang sepanjang masa telah diterima sebagai baik oleh hati nurani ummat manusia”36.Amar ma`ruf dengan demikian dapat diartikan sebagai setiap usaha mendorong dan menggerakkan ummat manusia untuk menerima dan

34 Ahmad Warson Munawir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Lengkap, (Pustaka Progressif, Jakarta, 884), h. 921. 35 Ibid, h.921. 36 Abul A`la Maududy, Islamic way of live, terjemahan osman raliby dengan judul pokok- pokok pandangan hidup muslim, penerbit Bulan Bintang Jakarta, 1967, h. 32. melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari hal-hal yang sepanjang masa telah diterima sebagai baik oleh hati nurani manusia itu.

Menurut As-Syahid Abdul Kadir Audah yang diambil dari bukunya Abul

A`la Al Maududy yang berjudul Islamic way of live, terjemahan osman raliby dengan judul pokok-pokok pandangan hidup muslim, amar ma`ruf itu adalah

“menggerakkan orang sehingga tertarik untuk melakukan segala apa yang sewajarnya harus dikatakan atau dilakukan yang cocok dengan Nas-Nasnya syariat Islam”. 37

b. Nahi Munkar

An-Nahyu berasal dari bahasa Arab  yang berarti melarang,

yang padanan katanya ا mencegah. Sedangkan Munkar berasal dari kata

yang berarti perkara keji, munkar. Kalimat ini mengandung arti ا ا sebagai usaha mendorong dan menggerakkan ummat manusia untuk menolak dan meninggalkan hal-hal yang munkar (keji). Perkataan munkar yang bentuk jama`nya munkarat.

Menurut Abu A`la Maududy adalah “...nama untuk segala dosa dan kejahatan-kejahatan yang sepanjang masa telah dikutuk oleh watak manusia sebagai jahat…”

37 As Sahid Abdul Kadir Audah, Islam Dan Perundang-Undangan, Internasional Islamic federation of student organizations, 1970, h. 17. Hal-hal yang oleh watak manusia sepanjang masa dinilai jahat harus disingkirkan jauh-jauh dari kehidupan masyarakat. Begitu pula segala jalan yang akan memudahkan tumbuh dan timbulnya hal-hal yang jahat itu juga harus ditutup rapat-rapat. Sehingga hanya hal-hal yang ma`ruf sajalah yang mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan hidup. Hal-hal yang munkar adalah semacam penyakit masyarakat, yang apabila tidak diusahakan pencegahan dan pemberantasannya akan berakibat musnahnya masyarakat itu. Oleh sebab itulah dimana pun dan kapan pun, ummat Islam diwajibkan untuk melenyapkan yang munkar itu.38 Sedangkan nahi munkar berarti menghimbau kepada umat mansia untuk senantiasa menjauhi segala perbuatan yang sifatnya buruk ataupun keji menurut syariat Islam.

F. Dakwah

1. Pengertian Dakwah

Secara etimologis ( lughatan ) dakwah berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata kerja da`a, yad`u, da`watan. Kata da`a mengandung arti mengajak, menyeru, memanggil, maka da`watan berarti ajakan, seruan, panggilan. Dakwah adalah suatu proses upaya mengubah sesuatu situasi kepada situasi lain yang lebih baik sesuai ajaran Islam, atau proses mengajak manusia kepada jalan Allah yaitu al-

Islam. 39

Syed Qutb, memberikan pengertian dakwah “mengajak atau menyeru orang lain masuk ke dalam sabilillah (jalan Allah), bukan untuk mengikuti da`i

38 Abd. Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, ( Jakarta, Bulan Bintang, 1993 ) Cet. Ke-3,h. 17. 39 Salman, ismah, “ Strategi Da`wah di era millenium” jurnal kajian da`wah, komunikasi & budaya, 2004 vol. VI. No. 1 atau bukan pula untuk mengikuti sekelompok orang. M. natsir, mengatakan :

“bahwa dakwah dalam arti luas adalah kewajiban yang harus dipikul oleh tiap-tiap muslim dan muslimah. Tidak boleh seorang muslim dan muslimah menghindarkan diri daripadanya”.

Lebih lanjut dikatakan: “ Dakwah dalam arti amar ma`ruf nahi munkar adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat, karena fitrah manusia selaku “social being’’ (mahluk ijtima`ie) dan kewajiban yang ditegaskan oleh kitabullah dan sunnah Rasul. Dakwah juga merupakan upaya mendorong manusia agar berbuat kebajikan dan menuruti petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.40 Pendapat Syekh Ali

Mahfudz, dakwah adalah mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.41

Dakwah merupakan istilah yang pada dasarnya dipahami sebagai upaya untuk menghimbau orang lain kepada arah Islam, karena dalam dakwah tersebut terdapat penyampaian pesan informasi ajaran Islam yang berupa ajakan untuk berbuat baik dan larangan berbuat kejahatan. Dengan demikian esensi dakwah itu sendiri adalah aktifitas dan upaya untuk merubah manusia baik individu maupun kolektif dari situasi yang tidak baik kepada kondisi yang lebih baik. Sementara itu dalam bahasa Islam dakwah adalah tindakan mengkomunikasikan pesan-pesan

Islam.

40 Ibid, h. 2

2. Subjek dan Objek Dakwah

Subjek dakwah; bisa seorang atau sekolompok orang yang berorganisasi, bisa dikaji dari sudut pandang al-Islam. Manusia diciptakan Allah dalam bentuk tubuh yang indah dan unik, mempunyai tugas memakmurkan bumi yang telah diciptakan- Nya untuk bekal hidup manusia dalam memcapai kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Manusia diciptakan sebagai khalifah (wakil)Allah dan harus mengabdi kepada-Nya dengan penuh keikhlasan. Diri manusia terdiri dari fisik dan non fisik, kedua-duanya memerlukan pemeliharaan, agar memerlukan peranan dan fungsi untuk menyempurnakan hidup agar mencapai kesimbangan hidup di dunia dan di akhirat.42

Objek dakwah adalah manusia, baik seorang atau lebih, yaitu masyarakat. Pemahaman mengenai masyarakat itu bisa beragam, tergantung dari cara memandangnya. Dipandang dari bidang sosiologi, masyarakat itu mempunyai struktur dan mengalami perubahan-perubahan. Di dalam masyarakat terjadi interaksi antara satu orang dengan orang lain, antara satu kelompok dengan kelompok lain, individu dengan kelompok. Di dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok, lapisan-lapisan, lembaga-lembaga, nilai-nilai, norma-norma, kekuasaan, proses perubahan. Itulah pandangan sosiologi terhadap masyarakat.

Pandangan psikologi lain lagi, demikian pula pandangan dari bidang antropologi, sejarah, ekonomi, agama, dan sebagainya.

41 Abdul Kadir Sayid Abd. Rauf, Dirasah Fid Dakwah al-Islamiyah, Kairo; Dar El- Tiba`ah Al-Mahmadiyah, 1987, Cet.I,h.10. 42. Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Pamulang Timur, Ciputat ; Logos, 1997. h. 33. Penelitian objek dakwah adalah berangkat dari permasalahan yang terdapat di dalam masyarakat itu, baik masyarakat yang telah memperoleh dakwah Islamiyah maupun masyarakat yang belum memperoleh dakwah

Islamiyah. Misalnya, mengapa umat Islam miskin harta padahal potensi untuk memperoleh rezeki telah disediakan Allah, mengapa umat Islam ada yang menjadi penjahat, mengapa umat Islam melakukan cerai, kawin-cerai, kawin.? 43

3. Media Dakwah

Secara etimologi media berasal dari bahasa latin ”median’’ yang berarti alat perantara. Sedangkan media merupakan bentuk jamak dari kata median tersebut. Pengertian semantic media adalah segala sesuatu yang dijadikan sebagai alat perantara untuk mencapai suatu tujuan tertentu.44

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia media adalah ”alat’’ (sarana) komunikasi seperti koran, film, radio, poster, dan spanduk.45

Sementara itu dalam kamus komunikasi pengertian media adalah ” sarana yang dipergunakan oleh komunikator sebagai saluran menyampaikan suatu pesan kepada komunikan, apabila komunikasi jauh tempatnya, banyak jumlah atau kedua-duanya.46

Demikian halnya dengan dakwah yang juga merupakan bagian dari aktivitas komunikasi sangat dibutuhkan media yang dapat menunjang proses kegiatan dakwah Islamiyah, sehingga tujuan dakwah untuk menuju kehidupan masyarakat yang Islami dapat terwujud.

43. Ibid., h. 35-36. 44. Asmuni Syukir, “ dasar-dasar strategi dakwah’’ (Surabaya : Al-ikhlas, 1993) h. 163 45. Depdikbud, “ Kamus Indonesia’’ (Bandung : CV Mundur Maju, 1989).h. 220 Sedangkan pengertian dari media dakwah itu sendiri adalah ” alat objektif yang menjadi saluran yang menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam totalitas dakwah”.47 Media dakwah adalah peralatan yang dipergunakan untuk menyampaikan materi dakwah, pada jaman modern umpamanya : televisi, video, kaset rekaman, majalah, surat kabar dan yang seperti tersebut di atas, termasuk melalui berbagai macam upaya mencari nafkah dalam berbagai sektor kehidupan.48

4. Metode Dakwah

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, metoda diartikan sebagai cara teratur untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang dikendaki.49

Metode dakwah artinya cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da`i untuk menyampaikan materi dakwah, yaitu al-Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu.

Sumber metode dakwah yang terdapat dalam al-Qur`an menunjukkan ragam yang banyak, seperti “hikmah, nasihat, yang benar dan mujadalah atau diskusi atau berbantah dengan cara yang paling baik” (QS. Al-nahl : 125), dengan kekuatan anggota tubuh (tangan), dengan mulut (lidah) dan bila tidak mampu,

46. Ibid,. h. 220. 47. Hamzah Ya`kub, “ Publisistik Islam Teknik dan Dakwah Leadership” (Bandung : CV Diponogoro, 1992), cet ke-4, h. 46. 48. Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Logos, 1997. h. 35. 49. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka 2002 )cet. Ke- 3.h.415 maka dengan hati (hadits riwayat muslim). Dari sumber metode itu tumbuh metoda-metoda yang merupakan opersionalisasinya yaitu dakwah dengan lisan, tulisan, seni, dan bil-hal. Dakwah dengan lisan berupa ceramah, seminar, symposium, diskusi, khutbah, saresehan, brain stroming dan lain-lain. Dakwah dengan tulisan berupa buku, majalah, surat kabar, spanduk, pamphlet, lukisan- lukisan dan lain-lain. Dakwah bil-hal berupa perilaku yang sopan sesuai dengan ajaran al-Islam, memelihara lingkungan, mencari nafkah dengan tekun, ulet, sabar, dan menolong sesama manusia.

Pada setiap metoda itu memungkinkan terdapat masalah, misalnya : apakah metoda tersebut cocok untuk menyampaikan sesuatu materi, apakah cocok untuk objek tertentu, bagaimana hasil yang dicapai dengan menggunakan metoda tersebut.50

50. Wardi Bachtiar Metodelogi Penelitian Ilmu Dakwah. h. 34.

BAB III

GAMBARAN UMUM LEMBAGA SENSOR FILM

A. Sejarah Singkat Berdirinya Lembaga Sensor Film

Lembaga Sensor Film merupakan salah satu lembaga yang mempunyai wewenang untuk meluluskan suatu film atau tidaknya untuk ditayangkan atau dipertunjukkan, selain itu lembaga sensor film berfungsi untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif perfilman dan menjadi Garda budaya bangsa di

Indonesia dalam menghadapi era globalisasi dengan tetap menghargai nilai-nilai, moral dan kultur bangsa.

Pada 9 September 1925 Eksistensi Sensor film di Indonesia bermula dengan terbitnya ordonasi film yang dimuat dalam Lembaran Negara No. 477 merupakan peraturan perundangan perfilman yang pertama di Indonesia Hindia

Belanda. 5 Januari 1926 Pembaharuan ordonasi film menyangkut penyensoran dimuat dalam Lembaran negara No. 7.

Tanggal 29 Desember 1930 Pembaharuan ordonasi film, dimuat dalam

Lembaran Negara No. 447. 25 Oktober 1940 Penyempurnaan ordonasi film, dimuat dalam Lembaran Negara No. 507, Lembaga yang menyensor film dengan

Nomenklatur de Film Commissie. Film Commisie berada dibawah Departemen dalam negeri (Van Binnenlandse Zaken) bertanggung jawab kepada Gubernur

Jenderal Hindia Belanda. Ketua komisi diangkat/ diberhentikan oleh Gubernur

Jenderal sedangkan anggota diangkat/ diberhentikan oleh Direktur Pemerintahan Dalam Negeri. keputusan Film Commissie hanya bisa diubah oleh Gubernur

Jenderal.

Tahun 1942 Runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda dan masuknya pemerintah militer Hindia Jepang. 1945 – 1946 Kevakuman Lembaga Sensor

Film. 1946 Di kawasan yang diduduki Belanda (Jakarta) oleh Belanda dibentuk kembali Film Commissie. 15 Agustus 1946 di wilayah Republik Indonesia

(Yogyakarta) oleh Dewan Pertahanan Nasional diterbitkan surat keputusan pembentukan Badan Pemeriksaan Film yang diangkat/diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Menteri Penerangan RI.

Tahun 1948 Di kawasan pendudukan Belanda kembali diberlakukan film ordonasi 1940 yang diubah dalam Staatblad No. 155 yang urusan pengawasan film diberlakukan oleh panitia pengawas film dibawah Directeur van Binnelandse

Bestuur.

Tahun 1951 Terbitnya Undang undang No. 23 tahun 1951 yang menetapkan film sebagai aspek pendidikan dan budaya sehingga Pantia Sensor

Film berada di bawah Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan

(PPK).

Tanggal 5 Agustus 1964 Terbitnya Instruksi Presiden No. 012 tahun 1964 sebagai tindak lanjut penetapan Presiden No.1 tahun 1964 yang mengalihkan panitia sensor film dan kementerian PPK kepada Menteri Penerangan. 21 Mei

1965 Terbitnya SK Menteri Penerangan No. 46/ SK/M/65 yang mengatur penyelenggaran penyensoran film di Indonesia melalui lembaga yang bernama

Badan Sensor Film (BSF). BSF beranggotakan 33 orang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri

Penerangan, dengan masa jabatan 3 tahun. Seketaris BSF merangkap jabatan

Kepala Tata Usaha dengan jumlah pegawai sebanyak 23 orang. Penyensoran film dilakukan dengan memperhatikan segi keagamaan, kesusilaan, perikemanusiaan, kebudayaan, adapt istiadat, pendidikan, keamanan dan ketertiban umum, serta situasi politik.

Tanggal 14 Juli 1968 Terbitnya SK Menpen No. 44/SK/M/1968 yang menetapkan BSF berkedudukan di Jakarta dan bersifat nasional, beranggotakan 25 orang termasuk ketua dan wakil ketua. Seketaris BSF tidak lagi merangkap sebagai anggota hanya memimpin Seketariat sebagai unsur pelayanan administrasi dengan 24 karyawan. 30 Maret 1992 Disahkannya Undang-undang No. 8 Tahun

1992 tentang perfilman.3 Maret 1994 Ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 7

Tahun 1994.

Tanggal 28 Oktober 1994 Terbit surat keputusan Menteri Penerangan

Republik Indonesia Nomor 216/KEP/Menpen/1994 tentang Tata Kerja Lembaga

Sensor Film dan Tata Laksana Penyensoran. 26 Oktober 1999 Departemen penerangan RI dibubarkan daalam susunan Kabinet Reformasi.

Atas saran presiden Abdurrahman Wahid, Sekretariat LSF berada dalam naungan Departemen Pendidikan Nasional. 28 Februari 2000 Terbit keputusan

Menteri Pendidikan Nasional No. 28/0/2000 tentang Organisasi dan Tata kerja

Sekretariat Lembaga Sensor Film.

Tahun 2000 Kepenggurusan LSF menyusun rancangan regulasi berupa

Rancangan Peraturan Pemerintah pengganti PP No.7 Tahun 1994 dan Rancangan keputusan Mendiknas pengganti SK. Menpen No. 277 Tahun 1999. 16 Mei 2001

Terbit Surat keputusan kepala Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata

No. KEP. 02/Budpar/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat

Lembaga Sensor Film yang berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 kewenangan fasilitasi penyensoran film dan rekaman video komersial berada dibawah Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.51

B. Visi dan Misi Lembaga Sensor Film (LSF)

Visi dan misi bagi sebuah organisasi atau sebuah lembaga merupakan arah dan tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi atau lembaga tersebut. Visi dan misi merupakan gambaran tentang program yang akan dilaksanakan oleh suatu organisasi, sehingga dengan adanya visi dan misi, suatu organisasi atau lembaga seperti lembaga sensor film akan lebih mudah dalam menentukan program kerja sesuai dengan tujuan lembaga tersebut.

1. Visi LSF

Terwujudnya masyarakat Indonesia yang memiliki daya saring informasi untuk mempertahankan tata nilai dan budaya bangsa.

51. Dokumentasi Lembaga Sensor Film.,sensor film dari masa ke masa. 2. Misi LSF

a. Melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul

akibat peredaran, pertunjukkan dan atau penanyangan film dan reklame

film.

b. Menjadi garda budaya bangsa dan memperkokoh jati diri bangsa dalam

memasuki era perubahan dengan tetap menghargai nilai, moral dan kultural

bangsa.

c. Menjembatani keanekaragaman budaya sehingga tercipta persepsi yang

sama demi persatuan dan kesatuan.

C. Fungsi, Tugas, dan Wewenang Lembaga Sensor Film ( LSF )

1. Fungsi LSF Pasal 4 ayat (1) PP Nomor 7 Tahun 1994 mempunyai fungsi

sebagai berikut :

a. Melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul

dalam peredaran, pertunjukkan dan/ atau penanyangan film dan reklame

film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia.

b. Memelihara tata nilai dan tata budaya bangsa dalam bidang perfilman di

Indonesia.

c. Memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan reklame film yang

diedarkan, dipertunjukkan dan atau ditayangkan dalam menganalisis hasil

pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam

melakukan tugas penyensoran berikutnya dan atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan pengambilan kebijaksanaan kearah pengembangan

perfilman Indonesia.52

2. Tugas LSF

Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 7 Tahun 1994 untuk melaksanakan pasal 4 ayat

(1) dan ayat (2), LSF mempunyai tugas :

a. Melakukan penyensoran terhadap film dan reklame film yang akan

diedarkan, diekpor, dipertunjukkan dan atau ditayangkan kepada umum.

b. Meneliti tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film

dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan atau

ditayangkan.

c. Menilai layak tidaknya tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan

dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor,

dipertunjukkan dan atau ditayangkan.53

3. Wewenang LSF

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 pasal 6 wewenang LSF.

LSF mempunyai wewenang :

a. Meluluskan sepenuhnya suatu film dan reklame film untuk diedarkan,

diekspor, dipertunjukkan dan atau ditayangkan kepada umum.

52. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 pasal 4 ayat 1 53. Ibid. b. Memotong atau menghapus bagian gambar, adegan, suara, dan teks

terjemahan dari suatu film dan reklame film yang tidak layak untuk

dipertunjukkan dan atau ditayangkan kepada umum. c. Menolak suatu film dan reklame film secara utuh untuk diedarkan,

diekspor, dipertunjukkan dan/ atau ditayangkan kepada umum. d. Memberikan surat lulus sensor untuk setiap kopi film, trailer serta film

iklan, dan tanda lulus sensor yang dibubuhkan pada reklame film, yang

dinyatakan telah lulus sensor. e. Membatalkan surat atau tanda lulus sensor untuk suatu film dan reklame

film yang ditarik dari peredaran berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1)

Undang-undang No. 8 Tahun 1992. f. Memberikan surat tidak lulus sensor untuk setiap kopi film, trailer serta

film iklan, dan tanda tidak lulus sensor yang dibubuhkan pada reklame

film, yang dinyatakan tidak lulus sensor. g. Menetapkan penggolongan usia penonton film. h. Menyimpan dan atau memusnahkan potongan film hasil penyensoran dan

film serta rekaman video impor yang sudah habis masa hak edarnya. i. Mengumumkan film impor yang ditolak.54

54. Ibid D. STRUKTUR ORGANISASI LEMBAGA SENSOR FILM MASA

TUGAS 2005-2008

Struktur organisasi Lembaga Sensor Film terdiri beranggotakan 45 orang anggota dan terbagi menjadi dua komisi yaitu komisi A dan komisi B dengan susunan sebagai berikut :

Sumber : Sidang Khusus 3 februari 2006 LSF

Ketua : Hj. Titie Said

Wakil ketua : Drs. Soetjipto, SH., MH

Sekretaris/ Kepala Sekretariat : Pudji Rahaju, SH.

Komisi A

Ketua : Rae Sita Supit, MA

Wakil ketua : Drs. Narto Erawan D., SH., MM.

Sekretaris : RM. Tedjo Baskoro, SH.

Komisi B

Ketua : HM. Johan Tjasmadi

Wakil ketua : Djamalul Abidin Ass.

Sekretaris : AKBP Suyanto

Gambar.1 Struktur Organisasi

KETUA HJ. TITIE SAID

WAKIL KETUA Drs. SOETJIPTO, SH., MH

SEKRETARIS/ KEPALA SEKRETARIAT PUDJI RAHAJU, SH

KOMISI A KOMISI B Ketua : Rae Sita Supit, MA Ketua : HM. Johan Tjasmadi Wakil ketua : Drs. Narto Erawan D.,SH.,MM Wakil ketua : Djamalul Abidin Ass Sekretaris : RM. Tedjo Baskoro, SH Sekretaris : AKBP Suyanto

Anggota : Anggota :

1. Dr. Dendy Sugono 1. Drs. HM. Ichwan Sam 2. Mudjiono, SH 2. H. Anwar Fuady

3. Kombes Pol. Drs. Ahmad Hasan 3. Kol. CAJ. Drs. A. Yani Basuki, M.Si 4. Prof. Dr. Mohammad surya 4. Drs. Nunus Supardi 5. Pastur Alex Soesilo Wijoyo, SJ., Phd 5. Dra. Suwati Kartiwa, M.Si 6. Drs. K. Soeprapto WR., M.Sc 6. Dra. Hj. Machsanah Asnawi, M.Si 7. Drs. Zulkifli Akbar, P.Si 7. PNT. Christian P. Masengi, SH (almarhum ) 8. Drs. H. Ahmad Bagdja 8. Drs. Adnan Harahap 9. Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan 9. Akhlis Suryapati 10. Agus Priyanto, S.Ip 10. Drs. Buntje Harbunangin, P.Si 11. Drs. Oka Diputhera 11. Prof. Dr. Musa Asy`arie 12. Erwin Mansoer, SH 12. Nyoman Widi Wisnawa 13. Albert Siahaan, SH 13. I Nyoman Gurnitha 14. Drs. Soenardi Dwijosusastro, M.Si 14. Drs. Teguh Djokorahardjo, M.Si

15. Drs. Budhi Mulyono Hidayat 15. Drs. Saiful Bahri 16. Drs. Budiharto, MM 16. Drs. HM. Goodwill Zubir 17. Drs. Adrian Sipasulta 17. Drs. Kaharuddin Syah, M.Si 18. Tubagus Maulana Husni 18. Kol. (PNB) Madar Sahib, P.Sc., S.Sp 19. Drs. Suryanto Sastrosuryo

E. Progam Kerja Lembaga Sensor Film

Lembaga Sensor Film merupakan lembaga bersifat non Struktural yang terdiri dari wakil Pemerintah, wakil Masyarakat, wakil Organisasi dan

Professional, lembaga sensor film terdiri dari 45 orang anggota antara lain 16 orang wakil dari instansi/ departemen/ lembaga non departemen, yaitu sebagai berikut : Departemen Agama, Departemen Dalam negeri, Departemen Luar

Negeri, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kebudayaan dan

Pariwisata, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Koordinator

Kesejahteraan Rakyat, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Negara

Pemuda dan Olahraga, Kejaksaan Agung, POLRI, Mabes TNI, BAIS, BIN.

Tujuh orang wakil dari organisasi keagamaan yaitu : Majelis Ulama

Indonesia, Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Konferensi wali Gereja Indonesia

(KWI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Parisada Hindu Dharma, Wali Umat

Budha Indonesia (WALUBI).

Kemudian 14 orang wakil dari tenaga ahli: Perfilman enam orang,

Penyiaran dua orang, Pers satu orang, Pendidikan satu orang, Psikologi satu orang, HAKI satu orang, PGRI satu orang, Kowani satu orang. Dan Delapan orang wakil dari cendikiawan atau budayawan. Kemudian dari 45 orang anggota tersebut terbagi menjadi dua komisi antara lain Komisi A dan Komisi B :

1. Komisi A, yang menangani pemantauan, regulasi dan advokasi bertugas :

a. Melakukan pemantauan perkembangan tata nilai dan tata budaya

masyarakat. b. Menganalisis dan merumuskan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud

pada huruf a, guna dijadikan bahan penyesuaian kriteria penyensoran.

c. Menelaah masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan tugas, fungsi

dan wewenang LSF yang berkaitan dengan regulasi dan advokasi

d. Mempersiapkan nota kesepakatan perjanjian kerja sama antara LSF

dengan pihak-pihak lain.

2. Komisi B, yang menangani masalah pemantauan, sosialisasi dan evaluasi,

bertugas :

a. Melakukan pemantauan aspirasi dan apresiasi masyarakat terhadap film

dan reklame film yang diedarkan, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan.

b. Menganalisis dan merumuskan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud

pada huruf a, guna dijadikan bahan pertimbangan dalam melaksanakan

tugas penyensoran berikutnya.

c. Mensosialisasikan pandangan LSF dalam pembuatan film Indonesia

menuju perkembangan yang lebih baik dalam satu koordinasi dengan

instansi-instansi terkait, organisasi perfilman, organisasi keagamaan, dan

organisasi kemasyarakatan lainnya.

d. Mengevaluasi hasil kinerja LSF dan mempersiapkan Laporan Tahunan

Ketua LSF kepada Presiden untuk dibahas dalam forum Pelaksana

Harian.55

55. Peraturan Menteri BUDPAR NO. PM. 31/UM.001/MKP/05 F. MEKANISME PELAYANAN ADMINISTRASI PENYENSORAN FILM

DAN REKAMAN VIDEO

Prosedur pelayanan Administrasi penyensoran film dan rekaman video oleh lembaga sensor film yaitu sebagai berikut; apabila Production House mau menyensorkan filmnya harus di daftarkan di Direktorat Film yang berada di

DEBUDPAR untuk di cek keabsahanya kebenaran kepemilikan film begitu pula dengan film impor apakah film tersebut legal untuk masuk di Indonesia, apabila sudah terpenuhi persyaratan-persyaratanya maka diklarifikasi untuk dikirim ke sekretariat LSF kemudian sekretariat LSF inilah yang mengurus penyensorannya untuk di ukur panjang meternya untuk vcd berapa lama menit atau detiknya untuk kemudian dibuatkan berita acaranya disertai sinopsisnya kemudian kelompok penyensor yang akan menyensor dan memutuskan apakah lulus sensor, lulus sensor dengan potongan dan atau di tolak seutuhnya. Berikut adalah gambar prosedur administrasi penyensoran pada Lembaga Sensor Film :

Gambar.2 Skema: Prosedur Administrasi Penyensoran film dan Rekaman video

SEKRETARIAT LSF FORUM ANGGOTA LSF

BERITA ACARA PEMOTONGAN FILM FILM

KASUBAG PELAYANAN KELOMPOK PELAKSANA PROSES SENSOR SENSOR HARIAN

PENGHAPUSAN BERITA REKAMAN REK.VIDEO VIDEO

KETUA LSF SEKRETARIAT

KASUBAG UMUM

KASUBAG PELAYANAN SEKRETARIS HASIL SENSOR

SLS SLS REK FILM VIDEO

Sumber : Brosur lembaga sensor film

G. Pedoman dan Kriteria Penyensoran

1. Untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul

dalam peredaran, pertunjukkan dan atau penanyangan film dan reklame film

yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia.

2. Penyensoran dimaksudkan agar film dan reklame film tidak mendorong

khalayak untuk :

Bersimpati terhadap ideologi yang bertentangan dengan UUD 1945, melakukan perbuatan-perbuatan tercela dan hal-hal yang bersifat amoral, melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum dan perbuatan-perbuatan melawan hukum lainnya, atau bersimpati terhadap sikap- sikap anti Tuhan dan anti agama, serta melakukan penghinaan terhadap salah satu agama yang dapat merusak kerukunan hidup antar umat beragama

3. Sarana pemeliharaan tata nilai dan budaya bangsa

4. Menumbuhkan kemampuan untuk mengendalikan diri di kalangan insan

perfilman dalam berkarya sebagai perwujudan tanggung jawabnya terhadap

masyarakat.

PP No. 7/1994 Pasal 18 ayat (1) Penyensoran dilakukan dengan memeriksa dan meniliti segi-segi :

Keagamaan, Ideologi dan Politik, Sosial Budaya, dan ketertiban umum.

Berdasarkan jumlah film dan reklame film yang masuk bidang yang masalahnya cukup tinggi (berhubungan dengan seks dan kekerasan).

• KEAGAMAAN

1. Yang memberi kesan anti Tuhan dan anti agama dalam segala bentuk dan

manifestasinya

2. Yang dapat merusak kerukunan hidup antar-umat beragama di Indonesia

3. Yang mengandung penghinaan terhadap salah satu agama yang diakui di

Indonesia

• IDEOLOGI DAN POLITIK

1. Setiap adegan dan penggambaran yang merugikan upaya pemantapan dan

pelestarian nilai-nilai pancasila dan UUD 1945

2. Setiap adegan dan penggambaran yang membenarkan ajaran Komunisme,

Marxisme/Leninisme, Maoisme, dan Kolonialisme dan Fasisme

3. Setiap gambar atau lambang yang mengasosiasikan atas pemujaan ajaran

Komunisme, Marxisme/ Leninisme, Maoisme

• SOSIAL BUDAYA

1. Adegan pria atau wanita dalam keadaan atau mengesankan telanjang bulat,

baik dilihat dari depan, samping atau belakang.

2. Close up alat vital, buah dada atau pantat, baik dengan penutup maupun

tanpa penutup.

3. Adegan ciuman yang merangsang. 4. Adegan, gerakan atau suara persenggamaan atau memberikan kesan

persenggamaan oleh manusia/ hewan dalam secara terang-terangan

dan/atau terselubung.

5. Onani dan oral seks.

6. Adegan melahirkan baik orang/ hewan yang dapat menimbulkan birahi.

7. Menampilkan alat-alat kontrasepsi yang tidak sesuai dengan fungsi.

8. Adegan yang menimbulkan kesan tidak etis.

• KETERTIBAN UMUM

1. Mempertontonkan adegan kejahatan yang mengandung :

a) Modus operandi kejahatan secara rinci dan mudah menimbulkan

rangsangan untuk menirunya

b) Dorongan kepada penonton untuk bersimpati terhadap pelaku

kejahatan itu sendiri

c) Kemenangan kejahatan atas kejahatan dan kebenaran

2. Memperlihatkan kekejaman dan kekerasan secara berlebihan.

3. Menitik beratkan cerita dan/atau adegan pada permasalahan seks semata-

mata.

4. Mendorong sentiment kesukuan, keagamaan, asal keturunan dan antar

golongan.

5. Menggambarkan dan membenarkan penyalahgunaan dan/atau kenikmatan

narkotika dan obat-obat terlarang lainnya 6. Mengandung hasutan untuk melakukan perbuatan melawan hukum.56

H TATA TERTIB PENYENSORAN

Pelaksanaan tugas penyensoran pada setiap hari kerja dimulai Pagi hari

Jam 08.30 dan sore hari ; jam 16.00 wib. Penyensoran dilakukan oleh kelompok penyensor yang ditetapkan satu bulan sekali dengan susunan keanggotaan yang berbeda. Kelompok penyensor berjumlah lima orang anggota, terdiri masing- masing merangkap anggota, dan tiga orang anggota.

Susunan kelompok penyensor dimasukkan ke dalam sampul tertutup bersamaan dengan Berita Acara penyensoran, diperkenakan dibuka sesaat sebelum tugas penyensoran dimulai. Penyensoran oleh kelompok penyensor dianggap sah apabila dilakukan sekurang-kurangnya tiga orang anggota.

Anggota kelompok penyensor diharapkan hadir 15 menit sebelum waktu penyensoran dimulai dan mengisi daftar hadir. Kehadiran anggota kelompok penyensor yang terlambat 30 menit dari jadwal yang ditentukan, dianggap tidak hadir. Apabila ketua dan wakil ketua kelompok penyensor berhalangan hadir, maka salah seorang diantara kelompok penyensor dijadikan sebagai ketua kelompok penyensor atas dasar kesepakatan bersama.

Hasil penyensoran oleh kelompok penyensor diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Dituangkan dalam berita acara penyensoran dan di tandatangani oleh seluruh anggota kelompok penyensor yang hadir yang kemudian dimasukkan dalam sampul tertutup.

56. Peraturan Pemerintah .NO. 7 Tahun 1994 Apabila hasil penyensoran tidak tercapai melalui musyawarah untuk mufakat, ketua kelompok penyensor segera melaporkan kepada ketua Lembaga

Sensor Film untuk dicarikan penyelesaiannya.

I. Tarif Biaya Penyensoran

Gambar.3 Tarif Penyensoran

NO. JENIS PENERIMAAN SATUAN TARIF 1 Jenis Film Cerita

a.Film Seluloid ukuran 35 mm dan 70 mm Per meter Rp 75,00

b. Film Seluloid ukuran 16mm Per meter Rp 150,00

c. Film Seluloid ukuran 8 mm Per meter Rp 500,00

d Rekaman Video Per meter Rp1.000,00

2 Jenis Iklan

a. Film Seluloid ukuran 35 mm dan 70 mm Per meter Rp 250,00

b. Film Seluloid ukuran 16 mm Per meter Rp 500,00

c. Film Seluloid ukuran 8 mm Per meter Rp 2000,00

d. Rekaman Video Per meter Rp 5000,00

3 Penerangan/ Dokumenter/ Pendidikan

a. Film Seluloid ukuran 35 mm dan 70 mm Per meter Rp 50,00

b. Film Seluloid ukuran 16 mm Per meter Rp 100,00

c. Film Seluloid ukuran 8 mm Per meter Rp 200,00

d.Rekaman Video Per meter Rp 250,00

Sarana Promosi / Publikasi 4 a. Still Photo Per meter Rp 5.000,00

b. One Sheet Per meter Rp 7.500,00

c. Poster Per meter Rp10.000,00

d. Balliho Per meter Rp 15.000,00

e. Slide Per meter Rp 5.000,00

f. Clise Per meter Rp 5.000,00.57

57. PP. NO.1 Tahun 2002 BAB IV

ANALISIS PERAN LEMBAGA SENSOR FILM TERHADAP

PERFILMAN INDONESIA

A. Peran LSF Dalam Melindungi Masyarakat dari Dampak Negatif

Perfilman

Mengamati berbagai pengertian peran yang dikutip dari berbagai buku dan dikemukan oleh beberapa tokoh di antaranya, N.Gross W.S. Masson and A.W.

MC. Eachern dan David Berry dapat disimpulkan bahwa peran merupakan kewajiban-kewajiban dan keharusan-keharusan yang dilakukan seseorang karena kedudukannya di dalam status tertentu dalam suatu masyarakat atau lingkungan di mana ia berada.

Peran lembaga sensor film seperti yang tertuang dalam peraturan pemerintah No 7 tahun 1994 bahwa lembaga sensor film mempunyai fungsi melindungi masyarakat dari dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia.58

Arah dan tujuan pembuatan perfilman harus berdasarkan Pancasila dan

Undang-undang Dasar 1945 dalam undang-undang perfilman No.8 Tahun 1992 terdapat delapan arah dan tujuan perfilman Indonesia antara lain :

Pelestarian dan pengembangan nilai budaya bangsa, pembangunan watak dan kepribadian bangsa serta peningkatan harkat dan martabat manusia,

58. Wawancara Pribadi dengan Djamalul Abidin, Ass., anggota LSF. pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, peningkatan kecerdasan bangsa, pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman, keserasian dan keseimbangan di antara berbagai kegiatan dan jenis usaha perfilman, terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan, penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma- norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 59

Oleh karena itu, penyensoran melindungi masyarakat dari dampak dan pengaruh kemungkinan negatif perfilman yang tidak sesuai dengan arah dan tujuan perfilman Indonesia. Keberadaan lembaga sensor film bukan sebagai lembaga penjamin moral akan tetapi menyaring terhadap arus infomasi yang dapat merusak tata nilai dan budaya bangsa terlebih dalam era globalisasi ini yaitu era keterbukaan segala informasi bisa masuk begitu pula dengan perfilman semua jenis film bisa masuk baik film impor maupun film nasional tanpa adanya pembatasan terhadap film dan didukung dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi modern atau disebut juga (ICT) information and communication technology siapa pun dan dimana pun dapat mengakses informasi.

Peranan lembaga sensor film terhadap perfilman ini terlihat dari jumlah film yang terdata dan prosentase penyensoran sepanjang tahun 2007 dengan kategori film Indonesia 53 judul atau (0,16%), film impor 207 judul atau (0,40%), program siaran TV 16.628 judul atau (55,42%) yang terdiri dari sinetron, iklan, dan lain-lain (non news, non live program), rekaman video (cakram optic) 13.096 judul atau (44,57%) yang terdiri VCD/DVD, dan palwa (yang diperjual-belikan).

59. Undang-undang REPUBLIK INDONESIA No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman Berdasarkan data-data yang dimiliki oleh lembaga sensor film, yaitu hasil penyensoran film dan rekaman video sepanjang tahun 2007 adalah film nasional yang lulus sensor sebanyak 50 judul, film nasional yang lulus sensor seutuhnya sebanyak 37 judul, film nasional yang lulus sensor dengan potongan sebanyak 13 judul, film nasional yang ditolak 1 judul, film impor yang lulus sensor sebanyak

207 judul, film impor yang lulus seutuhnya sebanyak 124 judul, film impor yang lulus sensor dengan potongan sebanyak 83 judul dan film impor yang ditolak nihil, untuk program TV (format VHS) yang lulus sensor sejumlah 16.585 judul, program TV (format VHS) yang ditolak sebanyak 43 judul, VCD, DVD, Blu-ray dan HD-DVD yang lulus sensor sebanyak 13.062 judul, dan VCD, DVD, Blu Ray disc dan HD-DVD yang ditolak adalah sebanyak 34 judul. Peran LSF terhadap penyensoran yang berkaitan dengan film seks atau porno, kekerasan, politik dan ketertiban umum terlihat dari banyaknya film yang dipotong antara lain film seks atau “porno” yang dipotong sebanyak 2.383, 5 meter, film mengenai (kekerasan atau sadis) yang dipotong sebanyak 539, 3 meter, film yang berkaitan dengan

(politik, ketertiban umum yang dipotong sebanyak 260, 5 meter, rekaman video seks atau “porno” yang dipotong sebanyak 229.834 meter, rekaman video kekerasan atau sadis yang dipotong sebanyak 35.482 detik, rekaman video lain- lain berkaitan dengan (politik, ketertiban umum) yang dipotong sebanyak 5.554 detik.60

60. Dokumentasi lembaga sensor film, Prosentase hasil penyensoran 2007. 1. Peran LSF Dalam Penyensoran Film Pornografi

Peranan lembaga sensor film terhadap perfilman pornografi itu jelas sebagaimana dalam peraturan pemerintah pasal 18 dan 19 No.7 Tahun 1994 dalam sensor film tidak ada kata pornografi akan tetapi lebih kepada visualisasi atau penggambaran adegan seperti adegan lesbian, homo seksual, dan adegan yang dapat menimbulkan rangsangan birahi dan bila tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan peraturan pemerintah oleh karena itu, dipotong atau dihapus, berikut ini adalah bagian-bagian yang dipotong atau dihapus dari film tersebut :

Pertama, adegan pria atau wanita dalam keadaan atau mengesankan telanjang bulat baik dilihat dari depan, samping atau belakang. Kedua, close up alat vital, buah dada atau pantat, baik dengan penutup maupun tanpa penutup.

Ketiga, adegan ciuman yang merangsang, untuk kategori ciuman dilihat dari berapa lama durasinya. Keempat, adegan, gerakkan atau suara persenggamaan atau memberikan kesan persenggamaan oleh manusia atau hewan dalam secara terang-terangan dan atau terselubung. Kelima, onani dan oral seks. Keenam, adegan melahirkan baik orang atau hewan yang dapat menimbulkan birahi.

Ketujuh, menampilkan alat-alat kontrasepsi yang tidak sesuai dengan fungsi.

Kedelapan adegan yang menimbulkan kesan tidak etis.

Oleh karena data primer tidak didapatkan berupa potongan-potongan atau hasil penyensoran yang tidak boleh keluar atau dipublikasikan berkaitan dengan rahasia negara, karya seni seseorang, dan kode etik dari LSF maka peneliti menggunakan data sekunder berupa hasil film yang sudah lulus sensor saja dalam hal ini seperti film (ML) Mau Lagi…? merupakan film yang sudah lulus sensor tetapi menuai kontroversial dikarenakan judul dari film tersebut dapat memberikan interprestasi atau asosiasi yang berbeda sehingga film tersebut berubah judul menjadi cintaku selamanya film yang menceritakan romantika pergaulan bebas remaja jakarta penulis oleh Awi suryadi dan Thomas nawilis, penayangan di bioskop oktober 2008 yang diperankan oleh Mike Muliadro, VJ

Marissa, Ratu Felisha, Olga Syahputra, Gusti Randa, Group lawak Cagur, Nadila

Ernesta Taupan Wahyudi, Hardi Fadhillah, dan dr. Boyke Dian Nugraha di produksi oleh Indika Entertainment.

Sinopsis film ini menceritakan tentang tiga orang sahabat, Wisnu (Hardi

Fadhilla), Askar (Mike Muliadro) dan Mario (Tody). Askar dan Mario adalah mahasiswa yang gemar sekali free sex, sedangkan Wisnu hingga kini belum pernah berpacaran.

Askar walau seorang playboy, sangat melarang adiknya (Nadila Ernesta) untuk berpacaran. Sedangkan Mario telah memiliki pacar yang bernama Manda

(Ratu Felisha). Namun akibat cara pacaran mereka yang tidak sehat, Manda pun hamil. Bahkan ia tertular penyakit kelamin yang ditularkan dari Mario. Wisnu, mahasiswa sinematografi yang tampan namun belum pernah pacaran, sedang menyelesaikan tugas akhir berupa film dokumenter tentang pergaulan bebas di kalangan mahasiswa.

Untuk membuktikan bahwa Wisnu tidak dingin terhadap wanita, ahirnya,

Mario pun mengajak Wisnu bertaruh untuk membuktikan kalau dia tidak frigid.

Dalam waktu satu bulan, Wisnu harus dapat pacar dan (ML) bercinta. Wisnu menerima tantangan itu dengan syarat Mario tidak bercinta (ML) dengan pacarnya Manda selama satu bulan. Namun ternyata Wisnu justru jatuh hati pada adik

Askar, berbagai konflik pun terjadi.

Latar belakang produksi film cintaku selamanya adalah mengakomodasi animo masyarakat Indonesia terhadap kebangkitan film nasional, mencoba menguak dunia hedonis remaja Jakarta yang belum sepenuhnya tereksplore oleh film-film nasional saat ini, keprihatinan atas sikap permissive yang makin membudaya dikalangan remaja, memberikan sebuah perenungan bebas secara menghibur tanpa menggurui.

Spesifikasi dari sampel film “pornografi” yang disensor dalam film cintaku selamanya adalah: Pertama setiap pengucapan kata “ML” hanya satu yang lulus sensor yaitu pada adegan taruhan antara Mario dan wisnu karena itu menyangkut awal cerita film tersebut. Kedua adegan orang yang bercinta dari long shot itu dipotong. Ketiga adegan ciuman antara Manda dan Mario dikurangi durasinya. Keempat pada reel kedua adegan ciuman dikurangi. Kelima adegan diskotik yaitu pada saat olga menari di bawah di buang, adegan kolam renang dan kolam spa dikurangi durasinya. Keenam adegan panti pijat dikurangi antara

Mario, Wisnu, dan Vivi. Ketujuh adegan buka baju antara Lala dan Wisnu dipotong. Kedelapan adegan onani dipotong. Kesembilan adegan yang sebelumnya menampilkan dokter perempuan menjadi dr. Boyke supaya penyampaian pesannya lebih dapat mengena.61

2. Peran LSF Dalam Penyensoran Film Kekerasan

Peranan sensor film terhadap film kekerasan itu dijelaskan pada peraturan pemerintah pasal 18 dan 19 No. 7 tahun 1994 tentang kekerasan yang tidak dibolehkan misalnya meresahkan ketertiban umum sebagai berikut : a. Mempertontonkan adegan kejahatan yang mengandung :

(1) Modus operandi kejahatan secara rinci dan mudah menimbulkan

rangsangan untuk menirunya,

(2) Dorongan kepada penonton untuk bersimpati terhadap pelaku kejahatan

itu sendiri, dan kemenangan kejahatan atas kejahatan dan kebenaran. b. Memperlihatkan kekejaman dan kekerasan secara berlebihan. c. Menitik beratkan cerita dan atau adegan pada permasalahan seks semata-mata. d. Mendorong sentimen kesukuan, keagamaan, asal keturunan dan antar

golongan. e. Menggambarkan dan membenarkan penyalahgunaan dan atau kenikmatan

narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya. f. Mengandung hasutan untuk melakukan perbuatan melawan hukum.

Selain itu adegan seperti pencekikan sampai memberikan kecemasan, pemukulan sangat sadis sampai mematikan dan hukuman mati misalnya orang tergantung itu tidak boleh divisualisasikan dan apabila terdapat adegan demikian atau masih memvisualisasikan adegan yang tidak sesuai dengan peraturan pemerintah maka kita akan memotongnya atau dihapus adegan tersebut kita juga

61. Dokumentasi Production House Indika Entertainment, film”ML”dan cintaku selamanya.2008. memberlakukan sensor pada adegan yang tidak sesuai dengan UU Perlindungan

Anak (UU PA. No. 23 Tahun 2002) dan PKDRT (UU No. 23 Tahun 2004).

Berikut ini adalah hasil film yang telah lulus sensor berkaitan ketertiban umum mengenai kekerasan yaitu film yang disutradarai oleh Nayato, produser Shanker RS, penulis Eka D. sitorus, diperankan oleh VJ Ramon,

Sammuel, Sheila Marcia, Metta Yunatria yang diputar 18 mei 2006 yaitu film yang menceritakan kehidupan remaja yang kurang mendapatkan kasih sayang dari keluarga dan mendapatkan intimidasi oleh teman-temannya di sekolah.

Sinopsis: Joshua (VJ Ramon) seorang siswa SMU yang hidup penuh tekanan, baik di keluarga maupun di sekolah. Kedua orang tua Joshua menerapkan pola asuh yang keras. Setiap kekeliruan pasti akan berbuah hukuman yang melukai fisik dan emosi Joshua. Perlakuan yang nyaris sama pun dia terima di lingkungan sekolah. Joshua kerap kali mendapat cacian dan hukuman fisik dari teman-temannya yang menganggap Joshua sebagai Outsider (orang yang aneh).

Ditambah lagi dengan perlakuan sang guru yang pilih kasih. Joshua pernah pacaran dengan Kattie (Metta Yunatria), siswi cantik di sekolah. Tetapi Katie menjadi paranoid terhadap Joshua yang berperilaku aneh, akhirnya Kattie memutuskan secara sepihak hubungan dengan Joshua dan menjadi dekat dengan

Mike (Sammuel), dan hal tersebut dianggap Joshua sebagai sebuah pengkhianatan. Tekanan demi tekanan yang terus diterima oleh Joshua membuat jiwa dan emosinya tidak stabil. Hingga pada suatu hari, Joshua menyandera beberapa teman sekolahnya yaitu Kattie, Jessica, Emi, Mike, Matius dan Jerry.

Hal itu dilakukan karena dia merasa sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan kasar yang selalu diterimanya. Mereka semua tadinya dianggap teman oleh

Joshua, tetapi akhirnya Joshua menyadari bahwa mereka adalah teman-teman yang palsu dan ia hanyalah sebuah lelucon bagi mereka.

Adapun yang berkaitan dengan kekerasan dan ketertiban umum yang tidak sesuai dengan peraturan pemerintah pasal 18 dan 19 No. 7 Tahun 1994 dalam film tersebut yang dipotong atau dihapus adalah bagian atau adegan merakit senjata atau pistol yang diperankan oleh Joshua (VJ Ramon) karena dapat mempengaruhi untuk menirunya.62

B. Konsistensi Lembaga Sensor Film dalam Penyensoran

Anggota lembaga sensor film tetap konsisten karena berjalan sesuai dengan peraturan yang ada seperti Undang-Undang Perfilman No.8 Tahun 1992 peraturan pemerintah No.7 Tahun 1994 tentang lembaga sensor film serta peraturan Menteri DEBUDPAR No.31 tahun 2005 mengenai tata kerja lembaga sensor film dan tata laksana penyensoran yang menjadi regulasi dalam operasional dan pedoman penyensoran akan tetapi dalam undang-undang perfilman ada satu klausul yang mengharuskan pemerintah dan lembaga sensor film harus melindungi masyarakat perfilman atau industri perfilman dalam negeri dikarenakan di era globalisasi era terbuka ini semua jenis film dapat masuk ke

Indonesia begitu pula dengan film impor tidak ada pembatasan atau pun kouta

62. Dokumentasi Indika Entertainment, Ekskul, 2006. untuk film jenis tertentu asal impor yang masuk ke Indonesia asalkan telah legal dan memenuhi persyaratan untuk dapat ditayangkan di Indonesia.63

Pada aplikasinya lembaga sensor film menghadapi situasi yang dilema terhadap perfilman nasional yang apabila film yang tidak memenuhi kriteria penyensoran tidak boleh beredar dimasyarakat dan akan merugikan perusahaan industri perfilman dan mematikan perfilman nasional itu susah untuk bangkit kembali dikarenakan untuk membuat film membutuhkan biaya yang mahal dari empat miliar sampai sepuluh miliar sebab itu penyensoran dapat mengakibatkan bahwa sebuah film diluluskan sepenuhnya, dipotong bagian atau gambar tertentu, ditiadakan suara tertentu, ditolaknya seluruh film untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan atau ditayangkan.

Dan dalam setiap penyensoran itu terdiri dari lima orang yang berbeda latar belakang yang mempunyai persepsi masing-masing tetapi kita tetap berpedoman pada kriteria dan pedoman dalam penyensoran akan tetapi kita anggota sensor film selalu bertukar pikiran dan berdiskusi untuk menentukan jalan tengah jadi tidak menentukan sendiri sehingga mencapai kesepakatan jadi sebelum menyensor kita dibekali pedoman dalam penyensoran.

C. Faktor Pendukung dan Hambatan Sensor Film

1. Faktor Pendukung

Faktor Pendukung yang menjadi kekuatan lembaga sensor film adalah kita di backup pemerintah di dukung peraturan pemerintah, di dukung peraturan

63. Wawancara Pribadi dengan Djamalul Abidin. Ass, Anggota LSF. perundang-undangan, peraturan menteri juga di dukung oleh anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk honor anggota lembaga sensor film.

2. Faktor Hambatan

Kendala yang menjadi hambatan lembaga sensor film ialah tidak adanya perpanjangan tangan kita di daerah-daerah atau biro-biro yang mewakili aspirasi masyarakat di daerah sekarang kita lihat perkembangan televisi terus berkembang hampir di setiap daerah mempunyai stasiun televisi lokal pada tahun 2008 terdapat 325 proses perijinan stasiun televisi lokal dan siapa yang akan menyensor program-program acara televesi lokal sedangkan lembaga sensor film sendiri berkedudukan di ibu kota Republik Indonesia jadi bila ada Production House lokal yang ingin membuat film harus disensorkan ke pusat lain halnya seperti lembaga Komisi Penyiaran Indonesia yang mempunyai KPI di daerah-daerah.64

64. Ibid

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Keberadaan Lembaga Sensor Film merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam industi perfilman baik film yang diproduksi dalam negeri maupun impor. Sulit membayangkan apa yang terjadi dengan kehidupan moral bangsa di negeri ini bila tiada lembaga sensor film terlebih dengan adanya era globalisasi segala sesuatu bisa masuk ke Indonesia begitu pula terhadap perfilman. Implikasinya sangat mengerikan, karena segala produksi film, sinetron,

CD dan DVD baik impor maupun produksi dalam negeri akan ‘bebas ditayangkan’ dan dikonsumsi oleh masyarakat tanpa ada penyensoran

(penyaringan) yang selama ini dilaksanakan oleh lembaga sensor film.

Dapat dibayangkan bagaimana adegan-adegan yang tak patut dan tak layak disaksikan atau ditonton oleh masyarakat terlebih oleh kalangan anak-anak, remaja, dan pemuda seperti film impor yang berasal dari Eropa dan Amerika yang menganut kebebasan (liberalis). Seperti film yang menggambarkan kehidupan

“free seks”. Adegan senggama (hubungan suami istri), lips kissing (ciuman bibir) secara utuh, jelas, dan vulgar akan dapat ditonton bebas tanpa hambatan.

Demikian pula adegan kekerasan (sadistis) dalam film laga (action) dari Hongkong, Korea, Jepang dan China. Akan memberikan dampak peniruan terhadap film tersebut bagi anak-anak.

Lembaga sensor film bukan sekedar melakukan penyensoran akan tetapi melindungi masyarakat dari dampak negatif perfilman yang tidak sesuai dengan arah dan tujuan perfilman Indonesia selain itu, lembaga sensor film sebagai garda budaya bangsa menjembatani akan keanekaragaman budaya untuk menjaga eksistensi budaya bangsa dari terpaan budaya asing (westernisasi cultural) terlebih atas modernisasi jaman.

Lembaga sensor film yang mempunyai misi melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif perfilman merupakan bagian dari dakwah karena dakwah itu sendiri adalah mengajak umat manusia ke jalan yang lebih baik di dunia dan di akhirat (keburukan menuju kebaikan). Dakwah yang diperankan oleh

LSF adalah bagaimana menyaring informasi yang positif terhadap perfilman yang dapat ditonton oleh masyarakat guna terwujudnya masyarakat Indonesia yang memiliki daya saring informasi untuk mempertahankan tata nilai dan budaya bangsa.

Untuk saat ini pra sensor belum dapat diserahkan kepada masyarakat hal ini dikarenakan kondisi sosial ekonomi Indonesia yang belum memungkinkan dan orang tua pun tidak mungkin mengkontrol anaknya selama 24 jam dan belum bisa orang tua dalam menyaring perfilman bagi anaknya. Mungkin nanti bisa bilamana taraf sosial kita sudah baik pendidikan sudah bagus dan ekonomi kita sudah bagus. Sensor film bukan berarti menghambat kreativitas dalam berseni akan tetapi mengarahkan bagaimana Sineas dan Production House dapat membuat suatu film yang berkualitas yang sesuai dengan arah, dan tujuan perfilman tidak sekedar hanya mendapatkan rating dan sharing yang tinggi sehingga mengabaikan norma-norma sosial yang ada.

Pada hakikatnya sensor (self sensor) itu sendiri terletak pada individu masing-masing bagaimana kita apakah akan memilih yang positif atau negatif.

B. Saran

Saran yang dapat peneliti berikan adalah sebagai berikut :

Lembaga sensor film yang merupakan satu-satunya lembaga/institusi yang memberikan status edar perfilman baik itu film impor maupun produksi dalam negeri perlu adanya koordinasi atau sosialisasi dengan Production House atau sineas untuk mengarahkan bagaimana membuat perfilman yang sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia yang sesuai dengan undang-undang perfilman sehingga apabila film tersebut pada tahap launching/pemutaran tidak akan menuai pro dan kontra di masyarakat dan tidak merugikan industri perfilman.

Anggota sensor film yang terdiri dari perwakilan organisasi-organisasi masyarakat/departemen pemerintah, Institusi non Pemerintah, dan tenaga ahli/professional harus mengakomodasi aspirasi-aspirasi masyarakat pedesaan terlebih saat ini setiap daerah memiliki stasiun televisi lokal dikarenakan LSF itu sendiri hanya ada satu dan berada di pusat yaitu di ibu kota Jakarta.

Keberadaan lembaga sensor film terhadap produksi film, sinetron, CD dan

DVD perlu adanya kerja sama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selaku lembaga atau committee monitoring of Indonesia yang mengawasi program acara stasiun televisi swasta dan lokal baik live dan non live sehingga terwujudnya tontonan dan hiburan yang bermanfaat bagi penonton.

DAFTAR PUSTAKA

A`la, Abul, Maududy, Islamic way of live, terjemahan Osman Raliby, Bulan Bintang : Jakarta, 1967 Abd. Rauf, Abdul Kadir Sayid, Dirasah Fid Dakwah Al-Islamiyah, Kairo; Dar El-Tiba`ah Al-Mahmadiyah, Cet.I, 1987. Abdul, As-Sahid, Kadir Audah, Islam Dan Perundang-Undangan, Internasional Islamic federation of student organizations, 1970. Abdurrahman, dan Soejono, Metodologi Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan., Jakarta : Rineka Cipta, 2005 Arifin, Anwar, Strategi Komunikasi Sebuah Pengantar Ringkas, Bandung :CVAmico 1984 Bachtiar, Wardi, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Logos : Ciputat, 1997. Boggs, Joseph M, The Art of Watching Film, Terj Asrul Sani. Jakarta : Yayasan Citra Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, 1986 Dahlan, Al Barry M, dan Partanto, A Pius, Kamus Ilmiah Populer, Arkola Surabaya, 1994. Departemen Pendidikan dan Kebudyaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia., Jakarta : Balai Pustaka, Edisi Ke-2, 1996. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, Cet. Ke-3, 2002. Dokumentasi LSF, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32. Effendy, Onong Uchjana, Ilmu,Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003 Faridl, Miftah, Dakwah Kontemporer Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi, Bandung ; Pusdai Press, 2000.

Film, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989. Gerungan, W. A , Psikologi Sosial., Bandung : PT. Eresso, 1998. Gunadi, YS, Himpunan Istilah Komunikasi, Jakarta : PT Grasindo, 1998. Hoed, B.H., “Dampak Komunikasi Periklanan: sebuah ancangan dari segi semiotik”, Jakarta : Balai Pustaka, 2001. Kusnawan, Aep, Komunikasi & Penyiaran Islam ; Mengembangkan Tabligh melalui Media mimbar, Media cetak, Radio, Televisi, Film dan Media Digital, Benang Merah Press: Bandung 2004. Mafri, Anwar, M.Ag, Etika Komunikasi Massa : Dalam Pandangan Islam, Jakarta : Logos, Cet-II., 1999 Mansur, Mustafa, Jalan Dakwah. Jakarta : Pustaka Ilmiah, 1994 MC Eachern, A.W. and Grass, N W S, Masson and Explorations Rote Analysis dalam David Berry, Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi., Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995. Pranajaya, Adi. Film dan Masyarakat, Jakarta: Yayasan Pusat Perfilman, 1993. Prakoso, Gatot, film pinggiran-Antologi film pendek ; eksperimental & Dokumenter, FFTV – IKJ dengan YLP, Fatma Press : 1997 Prisgunanto, Ilham, Praktik Ilmu Komunikasi Dalam Kehidupan Sehari- hari. 2004. Rakhmat, Jalaluddin M.Sc., Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, Cet.-21, 1986 Rosyad, Abd, Shaleh, Manajemen Dakwah Islam., Jakarta, Bulan Bintang, Cet. Ke-3. 1993 Salman, Ismah., “Strategi Da`wah di era millenium” Jurnal Kajian da`wah, komunikasi & budaya, vol. VI. No. 1, 2004. Soemarno, Marselli, Apresiasi Film : Suatu Pengantar, Jakarta: pustaka Yayasan Citra, Tanpa Tahun Terbit. Syukir, Asmuni, “Dasar-Dasar Strategi Dakwah’’ Surabaya : Al-ikhlas, 1993. Warson, Ahmad, Munawir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Lengkap, Pustaka Progressif : Jakarta, 1984 Ya`kub, Hamzah, “Publisistik Islam Teknik dan Dakwah Leadership”., Bandung : CV Diponogoro, Cet ke-4.1992.

Dokumentasi Dokumentasi Lembaga Sensor Film. Dokumentasi Production House Indika Entertainment., film “ML” dan “Cintaku Selamanya”. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 pasal 4 ayat 1 Fungsi Lembaga Sensor Film. Peraturan Pemerintah. NO.1 Tahun 2002 Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Lembaga Sensor Film. Peraturan Menteri Budaya dan Pariwisata NO. PM. 31/UM.001/MKP/05. PP.NO. 7 Tahun 1994 Lembaga Sensor Film. UU No. 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman. Wawancara pribadi dengan Djamalul Abidin, Ass. Anggota LSF, Wakil Ketua Komisi B.,Jakarta, 13/08/2008.

Website

www. hitamputih-geliatfilmindonesia.htm di akses tanggal 5 maret 2008. http://id.wikipedia.org/wiki/perfilmanIndonesia, diakses 10 Mei 2008. http://kunci.co.id/teks/victor I. Mambor, Victor C, Satu Abad “Gambar Idoep” Di Indonesia. diakses 14 maret 2008. www.hitamputih-geliat.filmindonesia.htm. artikel ini diakses 20 maret 2008. http://letuce.blogs.friendster.com/adianindya/2007/06/dampakfilm.html. diakses 10 april 2008.

Wawancara dengan Anggota Lembaga Sensor Film

Nama : Djamalul Abidin Ass

Jabatan : Anggota Lembaga Sensor Film dan Wakil Ketua Komisi B

Tempat : Lembaga Sensor Film, Jl. MT. Haryono kavling 47-48 Jakarta selatan

Hari/tanggal : Rabu, 13/08/2008

Hasil wawancara :

1. Apakah untuk saat ini sensor film dapat diserahkan ke khalayak publik ? Jawab : Di Indonesia dengan kondisi sosial-ekonomi yang sekarang ayah dan ibunya sibuk membanting tulang hal ini yang tidak mungkin orang tuanya untuk mengkontrol anaknya dalam menyaring tontonan film, terlebih dengan media yang berkembang dengan pesat melalui media internet atau online. Seorang anak dapat mengakses situs pornografi begitu pula dengan perkembangan teknologi komunikasi (ICT) melalui handphone sudah beredar gambar-gambar porno apakah orang tuanya dapat mengkontrol anaknya? mungkin nanti setelah tingkat pendidikan sudah tinggi dan kondisi ekonomi sudah bagus dan di banyak negara masih terdapat sensor terlebih di negara-negara ASEAN yang tingkat sosial-ekonominya lebih maju bahkan lebih keras lagi dalam penyensoran contoh kasus kecil ketika film ML begitu heboh banyak protes dari kalangan akademis itu pun masih di potong atau di sensor oleh lembaga sensor bagaimana kalau lolos begitu saja tanpa sensor.

2. Bagaimana lembaga sensor film menanggapi reaksi dari masyarakat perfilman Indonesia (MFI) yang mengatakan sensor menghambat kreativitas dalam berekspresi ? Jawab : Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 dari a sampai i mengenai hak-hak sedangkan yang J mengenai kewajiban-kewajiban warga Negara untuk menghormati hak azasi orang lain, itu diatur oleh UUD 45 bahwa hak itu ada kewajiban juga ada, jadi kalau menggangu orang lain tidak bisa yang menjadi alasan dari para sineas adalah memasung kreativitas, menjegal hak untuk menyampaikan informasi, menghalangi dalam mengkomunikasikan pesan-pesan kepada orang lain, tidak semua pesan dapat disampaikan kepada publik. Lain halnya jika menyampaikan atau mengkomunikasikan pesan-pesan secara perorangan itu tidak masalah akan tetapi tidak bisa kalau menyangkut ranah publik, (public area) sedangkan kita diamanatkan oleh masyarakat untuk melindungi dari dampak negatif perfilman.

3. Bagaimana proses penyensoran yang dilakukan LSF ? Jawab: Dalam proses penyensoran anggota lembaga sensor film mengikuti Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1994 pasal 17, dan 18 ayat 1 tentang pedoman dan kriteria penyensoran misalnya ciuman mana yang boleh dan ciuman mana yang tidak boleh kemudian adegan senggama, adegan, gerakan atau suara persenggamaan atau memberikan kesan persenggamaan tidak boleh tetapi kita juga memperhatikan alur cerita dari perfilman tersebut. Jangan karena kita memotong adegan ciuman kita tidak tahu kesinambungan cerita tersebut apabila film bioskop akan di putar di stasiun televisi juga harus di sensor lagi karena film bioskop terbatas penontonnya sedangkan film yang diputar di televisi siapa pun dapat menontonnya.

4. Bagaimana pelayanan administrasi penyensoran film di LSF ? Jawab : misalnya Fadli punya film mau disensorkan itu harus di daftarkan di Direktorat Film yang berada di DEBUDPAR untuk di cek keabsahanya, kebenaran kepemilikan film begitu pula dengan film impor apakah film tersebut legal untuk masuk di Indonesia, apabila sudah terpenuhi persyaratan- persyaratanya maka diklarifikasi untuk dikirim ke sekretariat LSF kemudian sekretariat LSF inilah yang mengurus penyensorannya untuk di ukur panjang meternya untuk VCD berapa lama menit atau detiknya untuk kemudian dibuatkan berita acaranya disertai sinopsisnya kemudian kelompok penyensor yang akan menyensor dan memutuskan apakah lulus sensor, lulus sensor dengan potongan dan atau di tolak seutuhnya.

5. Bagaimana Lembaga Sensor Film menjembatani keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia ? Pornogarfi di suatu daerah belum tentu porno didaerah lain seperti porno di daerah Bali, Irian, dan Kalimantan begitu pula dengan keadaan di daerah Aceh, Padang dan lainnya mungkin bisa saja dianggap porno akan tetapi kita tetap mengacu kepada peraturan pemerintah mengenai kriteria dan pedoman penyensoran, keberagaman tidak sepenuhnya diberikan kebebasan sepanjang itu tidak dijadikan produk nasional. Kalau di daerah tidak menjadi soal akan tetapi jika menyangkut lingkup skala nasional kita berlakukan sensor.

6. Apakah untuk keanggotaan lembaga sensor film itu sendiri berasal dari kalangan pemerintah ? Jawab : Lembaga Sensor Film merupakan lembaga bersifat non struktural yang terdiri wakil pemerintah, wakil masyarakat, wakil organisasi dan professional, lembaga sensor film terdiri dari 45 anggota antara lain 16 orang wakil dari instansi/ departemen/ lembaga non departemen, tujuh orang wakil dari organisasi keagamaan, 14 orang wakil dari tenaga ahli dan delapan orang wakil dari cendikiawan atau budayawan.

7. Apa saja yang menjadi wewenang Lembaga Sensor Film ? Jawab : Lembaga sensor film hanya menyensor yang bersifat hiburan seperti film-film baik itu film bioskop, sinetron, VCD, DVD, Poster dan lain-lain lembaga sensor film tidak menyensor ranah jurnalistik, news, siaran langsung adapun news atau yang menyangkut jurnalistik domain itu adalah wewenang PWI mengenai siaran langsung itu berkaitan dengan penyiaran dan merupakan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia KPI ).

8. Banyak orang atau masyarakat perfilman yang merasa sensor film itu bersifat radikal, dan otoriter menurut bapak sebagai anggota sensor film bagaimana menanggapinya ? Jawab : karena orang trauma dengan kata sensor sehingga sensor seolah-olah konotasinya kekerasan, otoriter padahal dalam undang-undang perfilman sensor film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film dapat atau tidak dipertunjukkan dan atau ditayangkan kepada umum.

9. Hal apa saja yang menjadi pendukung dan hambatan bagi lembaga sensor film ? Jawab : yang menjadi pendukung lembaga sensor film karena kita di dukung oleh peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, peraturan menteri DEBUDPAR, dan anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk honor-honor kita. Sedangkan kendala atau hambatan lembaga sensor film adalah tidak adanya perpanjangan di daerah-daerah, pada tahun 2008 saja terdapat 325 proses perijinan stasiun pertelevesian baik di daerah dan di Jakarta. Nah untuk program acara stasiun televisi di daerah siapa yang menyensor, sehingga untuk Production House (PH) yang berada di daerah harus menyensorkannya ke lembaga sensor film yang ada di Jakarta.

10. Bagaimana untuk mengetahui bahwa film, VCD, dan DVD yang akan di putar di bioskop ataupun televisi telah lulus sensor film ? Jawab: untuk mengetahui film, VCD, DVD dan VHS yang telah lulus sensor bersamaan dengan keluarnya surat lulus sensor (SLS) adapun untuk kategori film bioskop SLS warna merah dengan garis kuning di atas kategori dewasa, SLS warna biru dengan garis kuning di atas kategori remaja, SLS warna hijau dengan garis kuning di atas kategori semua umur. Kategori (DVD, VCD, LD, BD) SLS warna merah dengan garis kuning atas/bawah kategori dewasa, SLS warna biru dengan garis kuning atas/bawah remaja, SLS warna hijau dengan garis kuning atas/bawah kategori semua umur. Kategori (VHS) untuk di tayangkan stasiun televisi SLS warna merah dengan garis warna kuning atas dan warna unggu di bawah kategori dewasa, SLS warna biru dengan garis kuning atas dan warna unggu di bawah kategori remaja, SLS warna hijau dengan garis kuning atas dan warna unggu di bawah kategori semua umur.

11. Peranan lembaga sensor film terhadap perfilman pornografi dan kekerasan itu seperti apa ? Jawab: lembaga sensor film selain menjadi garda budaya bangsa dalam menjembatani keanekaragaman budaya juga melindungi masyarakat dari dampak dan pengaruh negatif perfilman. Dampak negatif perfilman yaitu seperti film pornografi dan kekerasan dan apabila terdapat adegan-adegan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria penyensoran maka akan kita potong atau sensor sesuai dengan Peraturan Pemerintah pasal 18 dan 19 No. 7 Tahun 1994.

12. Apakah anggota sensor film dalam melaksanakan tugasnya dapat berjalan secara konsisten ? Jawab: Anggota lembaga sensor film tetap konsisten karena berjalan sesuai dengan peraturan yang ada seperti Undang-undang perfilman No.8 Tahun 1992 peraturan pemerintah No.7 Tahun 1994 tentang lembaga sensor film serta peraturan menteri DEBUDPAR No.31 tahun 2005 mengenai tata kerja lembaga sensor film dan tata laksana penyensoran yang menjadi regulasi dalam operasional dan pedoman penyensoran.