PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

MEMANDANG LAKI-LAKI DALAM FILM KOMEDI DEWASA: Analisis Visual dengan Perspektif Psikoanalisis

Thesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Oleh:

Maria Dovita

096322006

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis berjudul: “Memandang Laki-Laki dalam Film Komedi Dewasa: Analisis Visual Quickie Express dengan Perspektif

Psikoanalisis” merupakan hasil karya dan penelitian saya pribadi. Di dalam thesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi. Peminjaman karya sarjana lain adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis di dalam catatan kaki dan daftar pustaka.

Yogyakarta, September 2013

Maria Dovita

iii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Nama : Maria Dovita NIM : 096322006

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul: Memandang Laki-Laki dalam Film Komedi Dewasa: Analisis Visual Quickie Express dengan Perspektif Psikoanalisis

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan pada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk perangkat data, mendistribusikannya secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan saya sebagai penulis.

Demikian pernyataaan ini saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, September 2013

Maria Dovita

iv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

KATA PENGANTAR

Sedikit bercerita, penelitian ini terlalu lama di gagasan, begitupun di penulisan. Kalau diibaratkan nasi, bukannya sudah dingin, tapi lebih dari sekadar basi. Bagaimana bisa memakan waktu begitu panjang, bukan karena terlalu dihayati atau dipikir benar-benar. Melainkan disebabkan otak yang terlalu tumpul dan tangan yang terlampau berkarat. Apa yang saya lalui bukanlah sebuah detour, kalau boleh meminjam istilah Ricouer. Jalan-jalan itu tampak saling bertindihan. Begitu semrawut hingga sukar dibedakan mana jalan mana rerumputan. Meski dengan kondisi demikian, thesis ini selesai juga. Selesai sejauh yang dapat dituliskan dalam lembaran, tapi tidak terhenti di pemikiran.

Dalam tempo yang tidak singkat itu, sudah banyak sekali pihak yang membantu saya: entah itu dengan sekadar bernyinyir-nyinyir, menyindir, atau yang meminjamkan bahan bacaan dan sumbang pemikiran secara sukarela. Di kertas yang masih terluang ini, untuk itu saya menyampaikan terimakasih kepada:

1. Dr. G. Budi Subanar, S.J. selaku Ketua Program Ilmu Religi dan

Budaya dan pembimbing II, buku Visual Methodologies yang Romo

pinjamkan sangat membantu saya dalam merancang penelitian ini.

Dan, terimakasih atas program “satu hari, satu halaman”, yang

terbukti ampuh mendisiplinkan saya dalam menulis.;

2. Dr. Katrin Bandel selaku pembimbing utama, terimakasih untuk

kritisisme dan saran yang membantu saya untuk mempertajam

analisis dalam penelitian ini;

3. Sri Mulyani, Ph.D. selaku reviewer, terimakasih telah bersedia

meluangkan waktu untuk membaca dan mengkritisi tulisan ini;

v PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

4. Segenap dosen IRB, baik yang masih mengajar atau tidak: Dr.

Baskara T. Wardaya, Dr. St. Sunardi, Dr. Budiawan, Dr. G. Junus

Aditjondro, Y. Devi Ardhiani, M.Hum., Dr. Ishadi S.K., Dr. Hary

Susanto, terimakasih atas segala bimbingan dan pengarahan;

5. Staf Sekretariat Pascasarjana, Mbak Desi, terimakasih atas semua

„pesan-pesan mesranya‟ baik melalui SMS maupun Facebook yang

selalu mengingatkan saya akan kewajiban-kewajiban administrasi di

IRB. Terimakasih pula untuk Mas Mul yang membuat suasana kampus

IRB menjadi begitu bersih dan menyenangkan;

6. Teman-teman IRB 2009, dengan urutan alfabetis: Abed (seorang

„pendeta‟ metroseksual, pastinya bukan aseksual), Agus (jejaka

Palembang yang selalu riang gembira), Anes (tipe idola para wanita),

Elli (aktivis Marxist pemerhati rakyat kecil), Herlinatiens (novelis yang

saya cemburui keproduktifannya), Leo (lelaki Jawa tulen yang saya

puji ketenangan dan keluwesannya), Mbak Lulud (seorang suster

sekaligus traveller berdaya juang tinggi), Luc (seorang antropolog luar

dalam), Iwan (post-filsuf yang menolak gaek, sangat bergaya dalam

fashion dan tulisan), May (seorang aktivis ekofeminis yang sekarang

entah di mana), Mas Probo (cukup dua kata: analitis, dan

problematis), Rino (sekarang esmod muda yang ceria), Titus

(pelawak seumur hidup yang jenial), dan Virus (sastrawan muda Jogja

berbakat yang „katanya‟ tipe lelaki setia) - terimakasih atas lelucon-

lelucon nakalnya yang lalu mengilhami saya melakukan penelitian ini;

7. Teman-teman IRB lintas angkatan lintas generasi yang terus

menginspirasi saya dengan caranya masing-masing, utamanya untuk

angkatan 2012, you guys rock!;

8. Keluarga besar di Batusangkar: Cibu, Apa, dan Dodo atas dukungan

finansial dan pengertian yang tiada bandingan;

vi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

9. Sahabat-sahabat terkasih: Ndut, Runi, Mesi, dan Balo, terimakasih

telah menemani saya menuntaskan tulisan ini, meski itu dengan

dengkuran kalian;

10. M.C., terimakasih telah menjadi „konselor pribadi‟ yang

menyenangkan. Without you, this thesis would be stylistically awful, as

my life would be literally dreadful. Let‟s go home, shall we?

Akan halnya atap rumah, terlalu lama berjemur, lama kelamaan tirislah di beberapa bagian. Thesis ini persis demikian. Dengan segera dapat ditemukan bolongan-bolongan yang mengganggu. Kacamata yang saya pakai, belum begitu terang dalam melihat. Kalaupun thesis ini tak dapat menjadi contoh bagaimana seharusnya thesis itu dibuat, setidaknya thesis ini dapat menjadi kebalikannya. Untuk ini, saya rela menjadi pengikut Jung, yang suatu kali bilang: “Mistakes are, after all, the foundations of truth, and if a man does not know what a thing is, it is at least an increase in knowledge if he knows what it is not.”

Yogyakarta, September 2013

Maria Dovita 096322006

vii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ABSTRAK

Perempuan sebagai pajangan tentunya bukan hal yang asing dalam sinema kita. Begitupun dalam film komedi. Sedari masa jaya di tahun 1970- an hingga dewasa ini, wilayah dada dan paha perempuan tak pernah absen dipajankan. Kontras halnya dengan tubuh laki-laki. Tubuh laki-laki lebih sering dihadirkan dalam bingkai yang non-erotis. Laki-laki juga acap kali didudukkan sebagai penonton, ketimbang yang ditonton. Quickie Express, sebuah film komedi dewasa keluaran tahun 2007 berpotensi untuk menghadirkan seksualitas laki-laki dengan agak banyak. Maka, dengan menyorot film Quickie Express secara partikuler, penelitian ini hendak menunjukkan bagaimana persisnya tubuh laki-laki ditampilkan dan dikonsumsi. Penekanannya bukan soal apakah tubuh itu tampak atau tidak, tapi yang terpenting bagaimanakah kamera memposisikan „penonton‟ untuk memandang tubuh tersebut. Untuk mencapai tujuan itu, dipakailah pendekatan psikoanalisis seperti yang diterapkan oleh Neale. Pendekatan ini menimbang keterpandangan tubuh laki-laki dengan meninjau dimensi fetishisme, voyeurisme, dan identifikasi. Dengan demikian, perkara bingkai dan gerakan kamera, jalur cerita, lanjut arah pandang karakter di dalam layar, menjadi titik perhatian yang penting dalam melakukan analisis. Dari pengkajian yang dilakukan terlihat bahwa kamera masih bersikap hati-hati dalam menampilkan tubuh laki-laki. Di satu sisi, kamera ingin menjaga supaya tubuh itu kelihatan, di saat yang bersamaan berusaha pula untuk menutup-nutupinya. Di samping itu, laki-laki juga memiliki kontrol terhadap narasi, hingga ia mampu mengembalikan pandangan „penonton‟ bahkan balik mengobyektivikasi. Di sinilah letak bedanya antara pengkonsumsian terhadap tubuh perempuan dan laki-laki. Bila perempuan dapat dipandang dari segala arah dan oleh laki-laki mana saja, maka keterpandangan terhadap tubuh laki-laki serba terbatas. Dalam Quickie Express diperlihatkan tubuh laki-laki tidak dapat dinikmati sembarang wanita, melainkan melalui kaca mata tante-tante girang serta waria.

Kata kunci: pandangan, „penonton‟, fetishisme, voyeurisme, identifikasi

viii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ABSTRACT

Watching female flesh on the center of the screen is nothing extraordinary in Indonesian cinema. Comedy movies are no exception. Since the heyday of comedy on 1970s until recently, female breast and thigh have always been on display. In a stark contrast, male objectification is rare. Male body hardly connotes a sexual object. In fact, male used to be framed as a spectator, rather than a spectacle. Quickie Express, an adult comedy released on 2007, has a great potential to explore male sexuality. Focusing particularly on the visual aspect of Quickie Express, this research aimed to investigate how male body is displayed and consumed. The emphasis is less on whether the body is seen or not, but more on how the camera directs „the spectator‟ to look at that body. To pursue that goal, this research applied psychoanalysis approach as suggested by Neale. This approach determined the exposure of male body by considering the dimension of fetishism, voyeurism, and identification. Therefore, camera‟s frame and movement, narration process, and spectatorial look of each character on the screen, would be closely examined. The result showed that camera reacted ambivalently when exposing male body. On the one side, camera seemed to ensure that the male body is shown, while, simultaneously, it made an attempt to cover that body. Besides, male has an enormous control toward the narration, so he is able to turn back „the spectator‟ gaze, and in turn, objectivise its spectator. Here lies the difference between the way how male body and female body is consumed. Female body can be seen in any direction by any male, meanwhile male body is only can be seen in a flash, limited only through the eye of unhappyly married women and transvestites.

Keywords: gaze, „spectator‟, fetishism, voyeurism, identification

ix PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN...... i

LEMBAR PENGESAHAN...... ii

LEMBAR PERNYATAAN...... iii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...... iv

KATA PENGANTAR...... v

ABSTRAK...... viii

ABSTRACT...... ix

DAFTAR ISI...... x

BAB I PENDAHULUAN...... 1

A. Latar Belakang...... 1

B. Rumusan Masalah...... 13

C. Tujuan Penelitian...... 13

D. Manfaat Penelitian...... 13

E. Tinjauan Pustaka...... 15

F. Kerangka Penelitian...... 21

G. Metodologi Penelitian...... 24

H. Skema Penulisan...... 28

BAB II MENYOAL FILM KOMEDI ...... 30

A. Film Komedi: Film untuk Ha-Ha-Hi-Hi?...... 31

B. Meneroka Film Komedi Indonesia Terdahulu...... 35

C. Reformasi dan Kemunculan Film Komedi Dewasa

Indonesia...... 52

D. Melirik Produksi Quickie Express...... 81

E. Tinjauan...... 90

x PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB III POTRET LAKI-LAKI DALAM FILM QUICKIE 93

EXPRESS......

A. Laki-Laki Pekerja: Miskin dan Lusuh...... 95

B. Laki-Laki Calon Pekerja Seks: Seksi dan Saru...... 112

C. Laki-Laki Pekerja Seks: Kaya dan Berkuasa...... 122

D. Tinjauan...... 142

BAB IV MEMANDANG LAKI-LAKI DALAM FILM QUICKIE

EXPRESS...... 146

A. Laki-Laki Pekerja: Seksualitas yang Absen...... 148

B. Laki-Laki Calon Pekerja Seks: Laki-Laki Sebagai 176

Obyek Seks?......

C. Laki-Laki Pekerja Seks: Si Pemburu Narsis...... 187

D. Tinjauan ...... 212

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...... 217

A. Kesimpulan...... 217

B. Saran...... 219

DAFTAR PUSTAKA...... 222

xi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR ILUSTRASI

1.1. Bingkai kamera...... 26

1.2. Sudut pengambilan kamera...... 27

2.1. Gambar sampul VCD Inem Pelayan Seksi...... 46

2.2. Gambar poster dan sampul VCD film Warkop: Sudah Pasti

Tahan (Arizal, 1991), Bisa Naik Bisa Turun (Arizal, 1991),

dan Depan Bisa Belakang Bisa (Tjut Djalil, 1987)...... 50

2.3. Poster film-film komedi dewasa Indonesia: Quickie Express

(Dimas Djayadiningrat, 2007), Namaku Dick (Teddy

Soeriaatmadja, 2008), XXL: Double Extra Large (Ivander

Tedjasukmana, 2009), dan Susah Jaga Keperawanan di

Jakarta atau Urbany Sexy (Joko Nugroho, 2010)...... 80

3.1. Jojo mengepel lantai toserba...... 98

3.2. Jojo dicubit oleh salah seorang pengunjung toserba...... 100

3.3. Perbandingan gambar adegan bikini Jojo dan seorang

perempuan...... 104

3.4. Jojo meraba bagian genitalnya...... 105

3.5. Mudakir dan calon mangsanya...... 106

3.6. Ekspos wilayah perut dan selangkangan Jojo...... 109

3.7. Jojo memasuki restoran Quickie Express...... 111

3.8. Rekan baru Jojo: Marley dan Piktor...... 116

3.9. Latihan tari tiang...... 118

3.10. Jojo, Piktor, dan Marley berlatih tari...... 119

3.11. Jojo, Piktor, dan Marley mencontoh gerakan trainer...... 120

3.12. Jojo, Piktor, dan Marley dipajang pada calon klien...... 123

3.13. Klien pertama Jojo, Piktor dan Marley ...... 125

xii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

3.14. Kencan pertama Piktor...... 127

3.15. Kencan pertama Marley...... 128

3.16. Kencan pertama Jojo...... 129

3.17. Jojo dilecut di tempat tidur...... 130

3.18. Gigolo level advance...... 132

3.19. Kencan Jojo dengan Tante Mona...... 133

3.20. Jojo versus Teddy di lantai dansa...... 135

3.21. Jojo dan Jan Pieter...... 138

3.22. Jan Pieter dan Mateo...... 139

3.23. Perpisahan...... 141

3.24. Jojo sebagai pemburu...... 142

4.1. Gerakan diagonal kamera menyorot Jojo menari...... 149

4.2. Jojo mengembalikan pandangan „penonton‟...... 150

4.3. Menjelang opening title film Inem Pelayan Seksi...... 151

4.4. Bingkai XLS saat Jojo menari...... 153

4.5. Inem si babu seksi...... 154

4.6. Jojo yang menari diambil dari arah belakang...... 155

4.7. Antara Jojo, kerumunan, dan barang obralan...... 156

4.8. Antara klien Jojo dan gadis berpakaian renang...... 160

4.9. Gadis berpakaian renang...... 162

4.10. Jojo di kontrakan...... 168

4.11. Waria dalam film Love is Brondong...... 173

4.12. Kamera bergerak menjauhi pria yang sedang menari...... 179

4.13. Antara instruktur tari, Jojo, dan boneka wanita...... 181

4.14. Memajankan tubuh laki-laki pada khalayak wanita...... 187

4.15 Gerak vertikal kamera menyorot klien pertama Jojo...... 193

4.16 Gerak diagonal kamera menyorot klien pertama Marley...... 195

xiii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

4.17. Perempuan yang disangka klien Piktor...... 196

4.18. Proses de-erotisasi terhadap klien Jojo...... 198

4.19. Keengganan kamera mengobyektivikasi tubuh Piktor...... 202

4.20. Kencan Jojo dengan Lila dan Tante Mona...... 207

xiv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR TABEL

2.1. Data produksi film di Indonesia sesudah Reformasi...... 68

xv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jika ada yang bertanya film Indonesia mana yang membuat saya tercengang-cengang, Quickie Express (Dimas Djayadiningrat, 2007) adalah jawabnya. Menonton film ini tiga tahun setelah rilis, saya masih terheran- heran dengan „kecanggihan‟ yang disajikannya. Kecanggihan yang tidak semata-mata saya tumpukan pada estetika kamera, namun terlebih kepada tema, teks (skrip), dan adegan yang luar biasa „memalukan‟. Barangkali penilaian ini terdengar berlebihan. Sebab, saya tak cukup punya perbendaharaan film-film lokal untuk benar-benar membandingkan. Namun, di balik keterbatasan itu, inilah kali pertama telinga saya menangkap kata seperti „biji‟ begitu lantang diucapkan dalam film nasional.1 Berani kesannya.

Ihwal Quickie Express, film berdurasi 117 menit ini beredar pada penghujung 2007 lewat jaringan bioskop Cinema 21 dan Blitz Megaplex.

Penonton yang tercatat lebih dari 1 juta.2 Jumlah ini tergolong tinggi. Kalau hendak dijejer berdasar peringkat, Quickie Express berada di posisi ke-4.3

Angka ini terbatas pada mereka yang menyaksikan di bioskop. Penonton dari media lain, semisal cakram DVD - mau yang orisinal maupun bajakan, belum lagi masuk hitungan. Begitupun dengan penonton media virtual macam internet. Film yang sama saya temui nangkring di situs youtube semenjak

1 Film Indonesia awal yang menyertakan kata-kata atau dialog ‘kasar’, disebut Kristanto, yakni Bernafas Dalam Lumpur (Turino Djunaidy, 1970). Dalam film ini disebutkan bermacam makian, semisal sundel. (Sumber: Kristanto, JB. 1995. Katalog Film Indonesia 1926 – 1995. Grafiasri Mukti: Jakarta, hal: 79) 2 Sumber: http://filmindonesia.or.id, diakses tanggal 3 Mei 2011 3 Deretan 10 film dengan penonton terbanyak tahun 2007 antara lain: Get Married, Naga Bonar Jadi 2, Terowongan Casablanca, Quickie Express, Film Horor, Suster Ngesot the Movie, Pulau Hantu, Pocong 3, Lantai 13, Kuntilanak 2. (Sumber: http://filmindonesia.or.id, diakses tanggal 3 Mei 2011).

1 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

2009 dalam 11 potongan video. Pada tanggal 1 April 2012, film tersebut diunggah lagi secara utuh dengan jumlah viewer mencapai 1,630,792.4

Bila Quickie Express didudukkan dengan film-film di jamannya, film ini terkesan mencolok. Jelas, Quickie Express hadir di tengah dominasi film-film horor. Sebagaimana diamati Darmawan, periode 2007 – 2008 merupakan jamannya tokoh-tokoh seram menghantui dunia sinema kita.5 Untuk tahun

2007 saja, dari 52 judul film yang diproduksi tahun 2007, hampir setengahnya film horor. Sementara, film drama berjumlah 11 judul. Film komedi bahkan lebih sedikit, hanya 5 judul.6

Tak hanya menang dari segi jumlah, film hantu-hantuan tersebut juga tak kalah menguntungkan dari segi pendapatan. Dari deretan 10 film yang paling laku tahun 2007, 6 judul diantaranya adalah film horor. Film-film tersebut yakni: Terowongan Casablanca (Nanang Istiabudi, 2007), Suster

Ngesot The Movie (Arie Azis, 2007), Pulau Hantu (Jose Poernomo, 2007),

Pocong 3 (Monty Tiwa, 2007), Lantai 13 (Helfy C.H. Kardit, 2007), dan

Kuntilanak 2 (Rizal Mantovani, 2007).7

Singkat cerita, Quickie Express adalah anomali dalam industri film tahun 2007. Film ini membuat penonton terkaget-kaget bukan karena keseramannya, melainkan pada „kekurangajarannya‟. Tak heran jika lalu

Quickie Express digelari film komedi seks pertama Indonesia.8 Film ini dengan gamblang menarasikan berbagai lelucon-lelucon nakal yang ada kalanya tak masuk akal. Kalau tidak dibetah-betahkan, sulit rasanya menikmati film ini

4 Sumber: http://www.youtube.com/watch?v=Seldn3IRWNI, diakses tanggal 16 Agustus 2013 5 Darmawan, Hikmat. “Mengapa film horor (1)” (Sumber: http://new.rumahfilm.org/artikel- feature/mengapa-film-horor-1/, diakses tanggal 18 November 2011) 6 Aartsen, Josscy. 2011. “Film world indonesia: The rise after the fall.” Thesis di Universitas Utrecht, hal: 29 (Sumber: igitur-archive.library.uu.nl, diakses tanggal 14 Juli 2011) 7 Sumber: http://filmindonesia.or.id, diakses tanggal 3 Mei 2011 8 Ditulis Darmawan, film-film komedi terdahulu, taruhlah seperti Permainan Cinta (Willy Wilianto, 1983) dan Montir-Montir Cantik (BZ Kadaryono, 1984) - diketahui juga menjadikan seks sebagai subyek. Hanya, tidak terlalu terang-terangan seperti Quickie Express. Istilah Darmawan, seks yang masih ‘malu-malu’. (Sumber: Darmawan, Hikmat: “Quickie Express: Mengkhianati WARKOP” http://new.rumahfilm.org/resensi/layar- lebar/quickie-express-mengkhianati-"warkop"/, diakses tanggal 25 Maret 2011)

2 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

sampai tuntas. Quickie Express lebih cabul dibanding film kebanyakan. Meski, masih terbilang „lunak‟ jika dipatut-patut dengan film komedi dewasa impor macam American Pie atau Korea punya: Sex is Zero. Quickie Express tak sampai menyertakan ketelanjangan penuh. Kalau yang „sekadar‟ mengintip- ngintip, ya banyak.

Lalu, apa yang menarik dikaji dari Quickie Express? Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya akan mengingsut-ingsut terlebih dahulu dengan membahas persoalan tema, narasi (alur cerita), lalu berujung pada soal visualisasi.

Mengenai tema, apa yang diusung Quickie Express tidaklah sepenuhnya baru. Meski, masih ganjil di telinga. Jelasnya, film ini mengangkat fenomena gigolo di daerah ibukota. Dikisahkan tentang tiga orang pemuda: Jojo (), Marley (Aming Sugandhi), dan Piktor

() yang sama-sama terjun dalam bisnis prostitusi. Mereka dilatih menjadi “mesin seks tahan banting”, demikian istilah sang germo- yang siap pakai bagi „tante-tante‟ kaya raya. „Tante‟ di sini tak selalu merujuk pada perempuan paruh baya. Akan tetapi, dapat digunakan dalam arti seluas- luasnya: mau yang tua atau kelewat renta, entah itu wanita atau juga waria.

Pokoknya, asal ada fulus, gigolo-gigolo muda nan ceria siap menunggu di depan pintu anda.

Selanjutnya, petualangan tiga jagoan ini mengerucut pada kisah Jojo seorang. Jojo diceritakan sebagai kaum melarat Jakarta yang punya banyak kemauan. Sebelum menekuni profesi sebagai pekerja seks, ia sempat mencicipi pahit getirnya bekerja sebagai petugas kebersihan, pembuat tato, hingga terdampar di tempat tambal ban pinggir jalan. Lalu, ia berserobok dengan Om Mudakir, keturunan Arab centil berjari ngetril. Om Mudakir dengan girang hati merekrut Jojo menjadi „anak asuh‟ di layanan male escort miliknya. Dari sinilah, perlahan kehidupan Jojo mulai berubah.

3 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Jojo sebelum dan sesudah menjadi „anak didik‟ Om Mudakir sangatlah berbeda. Perbedaan yang tampak, umpama: dulu pemutar musiknya konvensional, lalu diganti perangkat digital. Sebelumnya, ia berbaring di kasur kapuk yang usang, kini ditukar kasur pegas ukuran double yang empuk.

Pokoknya, dari segi materi, Jojo serba wah. Hanya, dari segi cinta, ia kalah.

Kisah asmara Jojo kandas di tengah jalan. Gadis yang digandrunginya, Lila

(Sandra Dewi), ternyata anak dari „tante‟ yang memeliharanya. Tambah, ayah

Lila yang seorang mafioso lagi homo terobsesi pula padanya. Rumit dan berbelit-belit. Itulah kata-kata yang pas untuk menggambarkan kehidupan

Jojo. Mengakhiri kemelut, Jojo melepas seragam gigolo lalu naik tingkat menjadi „pemburu‟, the-next-Mudakir!

Telisik punya telisik, fenomena gigolo dan sejenisnya sudah berulang kali diceritakan dalam film-film lawas. Bahkan dari tahun 1970-an saat industri „film mesum‟, yang oleh Imanjaya diistilahkan “sexploitation film”9 - mulai marak. Untuk itu, saya ambilkan dua contoh: Noda Tak Berampun

(Turino Djunaedy, 1970) dan Pria Simpanan (Walmer Sitohang, 1997). Noda

Tak Berampun berdurasi 97 menit. Film ini merupakan kelanjutan dari

Bernafas Dalam Lumpur (Turino Djunaedy, 1970) yang dikenali sebagai “film

Indonesia pertama yang menonjolkan seks, perkosaan dan dialog-dialog kasar.”10 Pria Simpanan durasinya lebih pendek, hanya 79 menit. Film ini dipasarkan dalam bentuk VCD dengan judul yang lebih menantang: Gigolo dan Tante Sex.11

Rais (Farouk Avero), yang berperan sebagai germo dalam Bernafas

Dalam Lumpur, dalam sekuelnya „turun jabatan‟ jadi „laki-laki bayaran‟. Gara-

9 Imanjaya, Ekky: “Idealism versus commercialism in Indonesian cinema: A neverending battle” (Sumber: http://new.rumahfilm.org/artikel-feature/idealism-versus-commercialism-in-indonesian-cinema-a- neverending-battle1/, diakses tanggal 9 Juli 2011) 10 Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-b019-70-732160/bernafas-dalam-lumpur, diakses tanggal 3 Mei 2011 11 Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-p018-97-553142_pria-simpanan-gigolo, diakses tanggal 2 Oktober 2012

4 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

gara ini ia cekcok dan bercerai dengan isterinya, Marina (). Lalu,

Marina menikah lagi dengan Budiman (Rachmat Kartolo). Sementara itu, Rais masih menginginkan Marina. Ia pun melakukan segala daya dan upaya untuk merebut mantan isterinya itu. Bahkan dengan jalan menculik anak Marina dan

Budiman. , dalam adegan kejar-kejaran dengan polisi, mobil VW yang dikemudikan Rais kecelakaan. Akhir cerita, Rais mati.12

Agaknya, permasalahan dalam kehidupan pekerja seks laki-laki tak jauh-jauh dari pertentangannya dengan kehidupan rumah tangga atau asmara. Hal serupa juga ditampilkan dalam film Pria Simpanan. Dikisahkan

Yuli (Megi Megawati13) adalah seorang „tante muda‟ yang kesepian, lebih-lebih dari sisi seksual. Suaminya, Yordan (Rengga Takengon), hanya seorang paruh baya yang kebinalannya pun telah diperkosa waktu. Demikianlah, Yulia mulai berpetualang dengan instruktur senamnya, Roy (Andre Bjenk). Hubungan ini terendus suami Yulia yang lantas memerintahkan tukang pukul menciderai alat vital Roy. Derita Roy bertambah ketika Atika (Indah Febrizha), sang kekasih tercinta, pun berpaling dari sisinya. Tinggallah Roy sendiri, menyesali diri.14

Saya paham, tidak sepenuhnya tepat membandingkan kedua film tersebut dengan Quickie Express. Genre-nya jauh berbeda. Yang satu komedi, lainnya drama. Namun, setidaknya ketiga film ini sejalan dalam menggambarkan pekerjaan gigolo yang berkonflik dengan kehidupan percintaan. Bedanya, Jojo dalam Quickie Express meskipun di awal menyembunyikan profesinya dari Lila, namun ia sendiri pula yang membuka

12 Ulasan film ini didapat dari tulisan “BDL + NTB + ?” diterbitkan pada tanggal 13 Maret 1971 (Sumber:http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1971/03/13/fl/mbm.19710313.fl56868.id.htm,diakse s tanggal 20 Mei 2010) 13 Megi Megawati dikenal bermain dalam beberapa ‘film panas’, diantaranya: Gairah 100%, Menentang Nafsu, Membakar Gairah, serta Nafsu Liar. (Sumber: http://www.mail-archive.com/aga- [email protected]/msg14209.html, diakses tanggal 5 April 2011) 14 Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-p018-97-553142/pria-simpanan-gigolo, diakses tanggal 26 Maret 2011

5 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

„aib‟ tersebut. Ia tidak menunggu Lila untuk menangkapnya basah, sebagaimana yang terjadi pada Roy dalam Pria Simpanan atau Rais dalam

Noda Tak Berampun. Jojo tidak ditinggalkan kekasihnya. Ia memilih untuk pergi. Oleh karenanya, tak ada drama mengejar sampai mati seperti yang dilakukan Rais. Jojo malah bangkit dan memulai „kehidupan baru‟. Akan tetapi, jangan terjemahkan „kehidupan baru‟ ini dengan Jojo bertobat atau pun insaf. Ia sudah kadung cinta pada „kehidupan malam‟ yang selama ini digaulinya.

Makanya, Quickie Express tak berpretensi menjadi penceramah moral seperti film-film Indonesia pada umumnya. Sebagaimana dikaji Schmidt, film- film Indonesia cenderung mengambil sikap yang moralistik ketika membahas tema-tema seks. Boleh diambil satu contoh: Virgin (Hanny Saputra, 2004).

Meski Virgin menampilkan kehidupan remaja metropolis yang serba bebas, ujung-ujungnya balik lagi ke „kebijakan moral‟. „Kebajikan‟ yang diajarkannya yakni: “when you maintain bodily integrity, your dreams will come true, but when violate bodily boundaries punishment will follow.”15

Quickie Express, seperti ditulis Darmawan, malah menampik „ceramah moral‟ macam Virgin. Kalaupun ada wacana atau pun moral yang disampaikannya justru ketidakpedulian terhadap wacana dan moral itu sendiri.16 Sikap yang abai terhadap nilai ini dapat dicatat sebagai fenomena yang langka dalam sinema Indonesia. Pasalnya, dari masa Orde Baru, film- film terutama yang berkenaan dengan dunia prostitusi – cenderung moralistik di akhir. Ini dimaksudkan agar bisa lolos dari guntingan badan sensor.17

15 Schmidt, Leonie. 2012. Post- screens: Gender, politics, Islam and discourses of modernity. Amsterdam Social Science Vol. 4: 1, hal: 43 16 Darmawan, Hikmat: “Quickie Express: Mengkhianati WARKOP” (Sumber: http://new.rumahfilm.org/resensi/layar-lebar/quickie-express-mengkhianati-"warkop"/, diakses tanggal 25 Maret 2011) 17 Sen, Krishna. 1994. Indonesian Cinema: Framing the New Order. Zed Books Ltd.: London and New Jersey, hal: 145

6 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Selepas mengurai narasi (skrip), mari beranjak pada persoalan visualisasi. Dengan niatan menggambarkan dunia pergigoloan, tak heran bila

Quickie Express mempertontonkan tubuh dalam kadar berlebih. Namun, jika selama ini saya terbiasa menyaksikan pemeran wanita berbusana menantang, sekarang giliran laki-laki yang melakoni adegan-adegan mendebarkan. Kadar

„buka-bukaan‟ yang ditampilkan Quickie Express termasuk di luar tradisi, meski tak sampai menampilkan full-frontal nudity. Kabarnya Lembaga Sensor

Film (LSF) memotong film ini sepanjang 2 meter.18 Walau, shoot bagian bokong Tora Sudiro dan Amink dapat terlihat jelas di beberapa adegan. Belum lagi gerakan erotis yang diperagakan ketika mereka latihan. Alamak, sangat mencengangkan!

Di samping parade laki-laki bergaya mesum tersebut, Quickie Express disebut-sebut memperkenalkan, sebut saja maskulinitas alternatif- dalam khazanah film Indonesia. Secara spesifik disebutkan, “it [Quickie Express] adds an unusual dimension to the portrayals of masculinities in the post-

Suharto era”.19 Apa yang dinilai „berbeda‟ dari Quickie Express, bahwa pada titik tertentu, peran laki-laki dan perempuan seakan-akan dibalik. Alih-alih menggambarkan perempuan yang pasif, Quickie Express menampilkan perempuan yang aktif dan agresif. Laki-laki yang biasanya ditampilkan sebagai „predator‟, dalam Quickie Express malah diposisikan sebagai yang penurut dan patuh.20

Sebagai pembanding, untuk gambaran perempuan yang pasif, dalam artian yang berlaku sebagai pemanis, bisa ditemukan dengan gampang di film-film komedi Indonesia. Bahkan, pada kebanyakan film cerita.21 Film-film

18 Sumber: http://filmindonesia.or.id 19 Izharuddin, Alicia. Masculinity and sexual humiliation in Quickie Express (Sumber: http://dgreymatter.wordpress.com/2011/11/07/masculinity-and-sexual-humiliation-in-quickie-express/, diakses tanggal 29 Februari 2012) 20 Ibid. 21 Sen, Krishna. Op.cit., hal: 41

7 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Warkop merupakan contoh yang cukup baik untuk ini. Jika James Bond punya koleksi Bond’s girl, Warkop juga punya Warkop’s girl. Kiki Fatmala, Sally

Marcellina, Lidya Kandou, dan Inneke Koesherawati merupakan diantaranya.

Nurul Arifin, mantan gadis Warkop lainnya, mengomentari perannya: “[...] kehadiran saya di film kelompok ini memang seperti kosmetik.” Eva Arnaz, yang membintangi sembilan judul film Warkop, bercerita kerap digoda teman- temannya: “Alaa, mereka [penonton] tuh datang [ke bioskop] gara-gara pengen ngeliat kamu Va”.22

Pengakuan Nurul Arifin, begitupun Eva Arnaz, seturut dengan hasil kajian Laura Mulvey tentang posisi perempuan dalam sinema. Jika Nurul membayangkan dirinya sebagai kosmetik, Mulvey menerjemahkannya dengan

“image”. Dalam pandangannya, kehadiran perempuan dalam film adalah sebagai pajangan, setara benda mati. Seberapapun pentingnya peran perempuan ini, bukanlah untuk kepentingan perempuan itu sendiri.

Melainkan, tegas Mulvey, untuk memenuhi hasrat voyeuristik bagi tokoh laki- laki di dalam film, begitupun penonton. Sebab, penonton akan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh laki-laki dalam film, untuk lalu menikmati perempuan sebagaimana tokoh tersebut menikmatinya.23

Quickie Express, dalam hal ini, bukan pengecualian. Meski dalam artian tertentu, kesenangan melihat ini tak selalu dipuaskannya, bahkan dapat serta-merta buyar. Untuk tak terlalu mengawang, tengok saja adegan ketika Jojo bertemu dengan klien pertamanya. Bagaimana Jojo menatap si klien dari ujung kaki hingga kepala, yang diikuti pula dengan gerak kamera mengikuti alur vertikal. Penonton, mau tak mau turut memandangi (dan menikmati) apa yang menjadi pusat perhatian Jojo: tubuh si perempuan.

22 Badil, Rudy & Indro Warkop (Eds.). 2010. Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta, hal: 178 23 Mulvey, Laura. 1992. “Visual pleasure and narrative cinema” dalam Film Theory and Criticism: Introductory Readings. 4th Edition. Eds. Gerald Mast, Marshall Cohen & Leo Braudy. Oxford University Press: Oxford, hal: 750 - 751

8 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Meski kemudian ia harus dikecewakan, begitu pun penonton, karena si perempuan seksi ternyata (berjenis kelamin) laki-laki.

Lalu, berpikir sederhana, dengan mengekor pada logika Mulvey, apakah ketika laki-laki diposisikan sebagai obyek seksual, seperti yang terjadi dalam Quickie Express- akan menstrukturkan penonton untuk melihat dari sudut pandang perempuan? Dengan kata lain, apakah Quickie Express dapat dibilang menghadirkan semacam female gaze?

Perbedaan seks/gender, untuk tidak langsung mengasumsikan ketidaksetaraan seks/gender- sedikit banyaknya tentu mempengaruhi cara penikmatan laki-laki dan perempuan. Kasarnya, pada tingkatan yang paling ekstrem, jika film biru untuk laki-laki dibuat dengan menitikberatkan pada pemeran perempuan, apakah film biru untuk perempuan cukup dibuat dengan menggeser posisi kamera pada tubuh laki-laki?

Di samping itu, untuk tak terlalu optimis, agaknya persoalan mengenai female gaze ini lebih kompleks dari sekedar merubah fokus kamera. Sebab, sebagaimana dipesankan Steve Neale erotisasi terhadap tubuh laki-laki beresiko memunculkan apa yang disebut sebagai “homosexual overtone”24.

Untuk menghindari kesan homoseksual ini pulalah makanya laki-laki jarang dihadirkan sebagai pajangan serupa perempuan. Jikalau laki-laki mempertontonkan tubuhnya, sambung Neale, tidak langsung dipasang terang-terang di muka penonton. Pandangan penonton selalu dimediasi oleh pandangan tokoh atau karakter lain di film. Dan pandangan ini juga bukan dalam artian seksual, tapi lebih mencerminkan ketakutan, kebencian, atau bahkan agresivitas.25

Lalu, bagaimana dengan para lelaki dalam Quickie Express? Sebagai film yang menokohkan laki-laki, plot film ini pun digerakkan dari sudut

24 Glover, David & Cora Kaplan. 2000. Genders. Routledge: London and New York, hal: 153 25 Neale, Steve. 1993. “Masculinity as spectacle” dalam Screening the Male: Exploring Masculinities in Hollywood Cinema. Eds. Steven Cohan & Ina Rae Hark. Routledge: London and New York, hal: 18

9 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pandang laki-laki. Namun, itu tak berarti cerita akan selalu berpihak kepada si tokoh. Laki-laki di sini tak selalu berfungsi sebagai “bearer of the look”26.

Malah, di banyak kesempatan laki-laki sengaja dipajang sekadar untuk dipandang-pandang. Serupa tontonan.

Untuk menjelaskan poin tersebut, saya mengajukan satu contoh.

Dalam adegan perkenalan dengan calon pembeli (baca: tante), Jojo dan kedua rekannya, separuh telanjang, ditempatkan di ruangan berkaca transparan yang terang benderang. Sedangkan, para tante duduk manis menyaksikan di ruangan lain yang temaram. Posisi mereka membelakangi kamera, paralel dengan penonton. Dengan demikian, tubuh-tubuh yang terpampang jelas-jelas di depan menjadi obyek tatapan baik para tante, maupun penonton yang berada di luar.

Akan tetapi, erotisasi terhadap tubuh laki-laki dalam Quickie Express rupanya berjalan setengah-setengah, alias nanggung. Meski Jojo dan rekan- rekan tampak bugil sebugil-bugilnya, tubuh yang mereka pertontonkan tampak tak istimewa. Mencerminkan tubuh laki-laki kebanyakan ketimbang sebuah persona „ideal‟. Setidaknya ideal dengan mengekor pada macam laki- laki dengan tubuh kekar berisi sebagaimana ditampilkan majalah-majalah gay yang diteliti Boelllstorff27. Alih-alih menawarkan “a perfect product”28, Quickie

Express malah mengusung apa yang diapresiasi Lee sebagai “weird and unorthodox concepts of beauty”29. Benar, di satu sisi Quickie Express dapat menjadi wacana tandingan terhadap konsep maskulinitas atau laki-laki yang dominan. Namun, di sisi lain, kenikmatan memandang yang tadi sudah terjanjikan berkat narasi dan pemosisian kamera, lalu malah berubah menjadi

26 Mulvey, Laura. Op.cit., hal: 750 27 Boellstorff, Tom. 2004. Zines and zones of desire: Mass-mediated love, national romance, and sexual citizenship in gay Indonesia. The Journal of Asian Studies Vol. 63: 2, hal: 381; 384; 394 28 Mulvey, Laura. Op.cit., hal: 754 29 Lee, Maggie: “Quickie Express” (Sumber: http://blog.jokoanwar.com/?p=238, diakses 7 Juli 2011)

10 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kekonyolan. Dengan sendirinya, kesan sensual (dan potensinya menjadi sebuah tontonan homoerotik) pun terpinggirkan, jika tidak hilang sama sekali.

Tentu, dari sudut pandang subyektif, penonton aktual orang per orang, pemaknaan terhadap tubuh laki-laki akan sangat beragam. Oleh karenanya, perbincangan tentang penonton ini baiknya dipilah tepat-tepat.30 Setidaknya, harus jelas perbedaan antara penonton yang sebenarnya dengan penonton sebagaimana diimplikasikan oleh pembahasaan kamera. Penonton yang kedua ini bukan macam penonton yang duduk manis di depan layar, akan tetapi penonton yang menyaksikan dari dalam layar. Penonton yang dibentuk oleh teks film, dan hadir bersama-samaan dengan teks film itu sendiri.31

Persisnya, Mulvey, begitupun Neale, hanya sanggup hingga pembicaraan bagaimana suatu film dapat dinikmati, tanpa bersungguh- sungguh mengetahui bagaimana kejadian sebenarnya di lapangan.32 Ini bisa jadi sebuah keterbatasan. Namun, terlalu sibuk dengan penonton dalam artian fisikal ini malah membuat teks film jadi terpinggirkan. Padahal, jumlah penonton tak membuat suatu film „lebih film‟ ketimbang film lain. Maka, yang menjadi penekanan kemudian adalah apa yang disampaikan dan dimuat di dalam teks alih-alih menelaah pencerapannya secara langsung.

Sungguh pun demikian, saya tidak bermaksud mengatakan antara penonton aktual dengan, sebut saja „penonton imajiner‟- berada dalam posisi yang sama sekali bertentangan, pun tidak pula akan selalu bersesuaian.

„Penonton imajiner‟ ini berkenaan dengan bagaimana sebuah film

30 Saya diingatkan tentang perlunya pemilahan penonton ini lewat tulisan Saputro. Meski, kategori yang dipakainya sama sekali berbeda. Ia membedakan antara penonton aktual dengan “penonton” (dengan tanda petik) yakni penonton sebagaimana dibayangkan atau diimajinasikan oleh pembuat film, lembaga sensor, media massa, dll. (Sumber: Saputro, Kurniawan Adi. 2005. “Melihat ingatan buatan: Menonton penonton film Indonesia 1900 – 1964”. dalam Penghibur(an): Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia. Ed. Budi Susanto. Penerbit Kanisius: Yogyakarta, hal: 174) 31 McGowan & Kunkle mengistilahkan “internal spectator”. (Sumber: McGowan, Todd & Sheila Kunkle. Eds. 2004. Lacan and Contemporary Film. Other Press: New York, hal: xix – xxiii) 32 Kritik terhadap Mulvey diantaranya dapat dilihat di: Chaudhuri, Shohini. 2006. Feminist Film Theorists: Laura Mulvey, Kaja Silverman, Teresa de Lauretis, Barbara Creed. Routledge: London and New York, hal: 39 – 43; dan McGowan & Kunkle. Ibid., hal: xix

11 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menghadirkan dirinya, bagaimana ia menstrukturkan penonton untuk melihat dari posisi tertentu. Namun, apakah penonton di luar akan selalu mengambil posisi ini, itu lain soal.

Berikut adalah gambaran penikmatan Quickie Express dari sudut pandang penonton aktual. Saya menemukan catatan seorang blogger33 mempersaksikan para penonton perempuan menjerit-jerit histeris saat menyaksikan Quickie Express. Tidak jauh berbeda dengan pengalaman saya sendiri. Saya dalam posisi sebagai perempuan, berulang kali harus melengos menonton laki-laki beraksi dengan gerakan yang demikian provokatif. Gigolo- gigolo Quickie Express, saya perlakukan setara dengan obyek-obyek sadis dan mengerikan yang membuat saya harus memalingkan muka. Perkara mengapa saya sampai mengalihkan pandangan, atau refusal to look34 kalau kata Linda Williams- tentunya tidak terlepas dari pembahasaan kamera dalam mengeksplorasi tubuh laki-laki. Kamera membingkai, mengarahkan dan menuntun gerak pandang saya terhadap obyek-obyek tertentu pada tubuh laki-laki yang kemudian saya nilai (tidak) pantas dilihat dekat-dekat.

Namun, patut dipertimbangkan pula, kasus penolakan memandang ini bukan khas perempuan (meski dalam penelitian ini saya hanya akan memakai perbedaan seks/gender/orientasi seks sebagai acuan). Terlepas dari kategori itu, saya menemui kesaksian yang menyebut adanya penonton yang keluar bioskop sebelum film tuntas. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, entah itu dalam relasinya sebagai orang tua dan anak atau juga pasangan muda-mudi. Penonton yang bertahan dan tertawa, atau sederhanakan saja yang pro-Quickie Express, beranggapan bahwa mereka yang kabur itu

33 Sumber: http://leoganda.wordpress.com/, diakses tanggal 22 Maret 2011 34 Persisnya, Williams mengkaji tentang ke(tidak)hadiran pandangan perempuan dalam film-film horor. Kalaupun perempuan memandang, maka pandangan itu berakibat pada keselamatan dirinya sendiri. Penikmatan voyeuristik perempuan seringkali terganggu karena ia tidak dapat menjaga jarak dengan obyek yang dilihatnya. (Sumber: Williams, Linda. 1992. “When the woman looks” dalam Film Theory and Criticism. Eds. Gerald Mast, Marshall Cohen & Leo Braudy. Oxford University Press: New York and Oxford, hal: 561)

12 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

terlewat naif. Sementara, penonton yang keluar, atau kontra-Quickie Express

– merasa lawakan Quickie Express terlalu ofensif.35 Nah, dalam hal ini, tentu masalah nilai (etika, moral, atau bahkan agama) yang lebih berperan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah tubuh laki-laki ditampilkan dalam teks visual film

komedi dewasa Quickie Express?

2. Bagaimanakah teks visual film komedi dewasa Quickie Express

memposisikan „penonton‟ dalam melihat tubuh laki-laki?

C. Tujuan Penelitian

1. Memetakan kode-kode yang dipakai kamera dalam menampilkan

tubuh laki-laki dalam teks visual film komedi dewasa Quickie

Express;

2. Mengidentifikasi struktur pandangan yang dibentuk melalui teks

visual film komedi dewasa Quickie Express.

D. Manfaat Penelitian

Ketika hendak mengkaji gender dalam film/sinema, perhatian acap kali tertuju pada persoalan perempuan.36 Obyektivikasi, komodifikasi, atau subordinasi seakan menjadi „nama umum‟ buat melabeli perempuan di ranah ini. Alih-alih menggugat mengapa laki-laki ditampilkan demikian „heroik‟ sebagai pencari nafkah sementara perempuan hanya „mainan‟ di dapur-

35 Diantaranya dapat dicek di situs-situs: http://www.titiw.com/category/entertainment/movie/ (diakses tanggal 22 Maret 2011); http://leoganda.wordpress.com/ (diakses tanggal 22 Maret 2011); http://ple- q.com/myblog/quickie-express-ngakak-abis.html (diakses tanggal 12 April 2011); http://mistervandysays.wordpress.com/2007/11/26/review-quickie-express/ (diakses tanggal 28 Maret 2011); http://www.exodiac.com/001676/QUICKIE-EXPRESS.htm (diakses tanggal 10 Desember 2010); http://mumualoha.blogspot.com (diakses tanggal 25 Maret 2010); http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/12/03 (diakses tanggal 26 Juli 2011). 36 Clark, Marshall. 2008. “Indonesian cinema: exploring cultures of masculinity, censorship, and violence” dalam Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics. Ed. Ariel Heryanto. Routledge: London and New York, hal: 37

13 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

sumur-kasur, saya cenderung mempertanyakan mengapa keduanya disandingkan dan diperbandingkan seakan-akan berada dalam sebuah arena pacuan? Kasarnya, persoalan mana yang depan dan belakang bisa berubah seketika seseorang membalikkan badan.

Oleh karena itu, penelitian ini melepaskan diri dari soal emansipasi.

Tidak menuntut, sebut saja – „representasi yang positif‟ bagi laki-laki dan perempuan di dalam sinema. Mungkin ini terdengar naif. Namun, bagi saya, kategori positif dan negatif itu sangat cair sifatnya. Bukannya nilai selalu berubah-ubah, sama seperti halnya air yang berganti wujud mengikuti wadahnya? Hal lain, jujur saja, kategori itu membingungkan saya. Apakah dengan mereka-reka bagaimana supaya laki-laki tampil lebih seksi di depan kamera dapat dianggap sebagai suatu hal yang positif?

Sederhananya, karena penelitian ini fokus membahas laki-laki, sekurang-kurangnya dapat memperpanjang deretan kajian laki-laki (berikut gender) barang satu kolom. Selebihnya, apa yang menjadi semangat utama dalam penelitian ini, menyorot problematika dalam menampilkan laki-laki dalam sinema. Penekanannya bukan pada apakah laki-laki diobyektivikasi atau tidak, namun lebih pada bagaimana proses obyektivikasi atau deobyektivikasi itu terjadi. Kalau hal ini ditelusuri lebih lanjut, dapat pula dilihat bagaimana Quickie Express ikut menyumbang pada pembentukan wacana maskulinitas di Indonesia.

Di samping itu, yang tak kalah penting, penelitian ini saya tujukan untuk memperkaya kajian sinema Indonesia. Ini saya anggap mendesak sebab tak satu dua keluhan tentang minimnya literatur dunia perfilman

Indonesia37. Oleh karenanya, ketimbang berkeluh-kesah soal mutu film

37 Lihat: Aartsen, Josscy. Op.cit., hal: 5; Saputro, Kurniawan Adi. Op.cit., hal: 149; dan Hanan, David. “Moments of renewal – Alternative ways of viewing Indonesian cinema” (Sumber: www.upena.uitm.edu.my/publications/j02/j02_v2_2008/5.pdf, diakses tanggal 11 Juli 2011)

14 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Indonesia yang payah, saya rasa ini saatnya menemukan dan mengabarkan bahwa masih banyak hal-hal berharga yang bisa digali dari sana.

E. Tinjauan Pustaka

Sebagai film yang mengusung tema sedikit „nakal‟, Quickie Express tentu menarik diteliti. Lagipula, ia cukup populer. Quickie Express menempati peringkat 4 sebagai film terlaris tahun 2007.38 Saya memang menemukan beberapa penelitian yang mengkaji film ini. Namun, sejauh yang dapat ditelusuri, fokus utamanya dihadapkan pada representasi gigolo yang ditampilkan Quickie Express dengan pisau bedah semiotika Barthes. Selain itu, ada pula yang hendak melihat muatan pesan kekerasan, seks, dan mistis dalam Quickie Express dengan berbekalkan metode analisis isi kuantitatif.

Marphin mengkaji representasi gigolo dalam film Quickie Express dengan menggunakan analisis denotasi dan konotasi Barthes. Ada beberapa aspek yang menjadi perhatiannya, diantaranya pekerjaan dan profesionalisme gigolo, kemerdekaan dalam memilih klien, gigolo sebagai pekerjaan yang marginal, hingga gigolo yang insyaf. Dalam analisanya, Marphin berkesimpulan pekerja seks laki-laki ini meskipun ditampilkan sebagai

„obyek‟, namun ia memiliki kebebasan untuk memilih konsumen yang diinginkannya. Sementara itu, dia juga mengangkat sisi profesionalitas gigolo yang kemudian membedakannya dari pekerja seks wanita maupun waria. 39

Jika Marphin fokus pada masalah kegigoloan, penelitian saya justru lebih berat pada masalah laki-lakinya: berkutat pada pertanyaan bagaimana

38 Sumber: http://filmindonesia.or.id, 3 Mei 2011 39 Marphin, G.F.S. 2010. “Studi semiotik representasi gigolo dalam Quickie Express”. Skripsi pada Universitas Airlangga, . (Sumber: http://alumni.unair.ac.id/detail.php?id=27301 &faktas=Ilmu%20Sosial%20Ilmu%20Politik, diakses pada tanggal 16 Agustus 2013). Selain skripsi Marphin, saya juga menemukan skripsi lain atas nama Winnie Pratiwi yang juga mengkaji representasi gigolo dalam film Quickie Express dari Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang. (Pratiwi, Winnie. 2008. “Representasi kehidupan gigolo dalam film Indonesia”, http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/290/jiptummpp-gdl-s1-2008-winnieprat-14499-PENDAHUL-N.pdf, diakses tanggal 16 Agustus 2013)

15 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

laki-laki ditampilkan dan dinikmati secara visual. Menjadi gigolo, dalam hemat saya, hanyalah strategi yang dipakai agar aspek erotik laki-laki dapat diakses dengan „relatif lebih aman‟. Meski, tetap saja, erotisasi tersebut akan menemui beberapa ganjalan. Misal, dengan mengedepankan lawakan yang membuat tarian striptease seolah-olah pertunjukan topeng monyet!

Selanjutnya, saya menemukan penelitian Juarsa yang mengkaji analisis isi pesan dalam film Quickie Express serta 4 film lain yang termasuk jajaran terlaris di tahun 2007. Film-film tersebut antara lain: Get Married,

Terowongan Casablanca, Jadi 2, dan Film Horor. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa 40% dari film-film tersebut memuat pesan kekerasan, 36% mistik, dan 24% seks. Kesimpulannya jelas, film laris tahun 2007 didominasi oleh adegan kekerasan dan mistik ketimbang pornografis.40

Data Juarsa tersebut berguna untuk memperoleh gambaran umum tentang konten film yang banyak ditonton tahun 2007. Sayangnya, tidak ada petunjuk bagaimana masing-masing film menampilkan kekerasan secara berbeda. Apakah kekerasan dilakukan sebagai cara membela diri, untuk bertingkah sebagai jagoan, atau karena tak mampu mengendalikan emosi?

Adapun rancangan penelitian saya juga fokus pada teks (konten) film. Dalam artian ini, saya dan Juarsa sejalan dalam hal tidak menyoal resepsi atau pun produksi. Bedanya, kalaupun saya menyinggung tentang kekerasan itu dalam kaitannya dengan taktik film untuk mengekspos tubuh laki-laki lebih banyak.

Berbicara lebih lanjut tentang laki-laki dalam film Indonesia, adalah

Marshall Clark diantara segelintir peneliti yang menunjukkan minatnya. Clark mengkritik, diantaranya dialamatkan kepada Karl Heider dan Khrisna Sen - perihal analisis gender dalam sinema Indonesia yang melulu menitikberatkan

40 Juarsa, Hendra. 2008. “Pesan kekerasan, seks, dan mistik dalam film Indonesia terlaris tahun 2007.” Skripsi pada Universitas Kristen Petra, Surabaya (Sumber: repository.petra.ac.id/1565/ , tanggal 16 Agustus 2013)

16 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pada perempuan.41 Paramaditha, yang menulis di lain tempat, juga mempersoalkan hal yang sama. Telaah mengenai perempuan seakan-akan menjadi satu-satunya kajian yang berarti di dalam studi gender.42 Clark lanjut membandingkan: “Despite the boom in international men’s studies over the last 15 years or so, scholarship in Indonesian gender studies has been much slower than in other countries to incorporate the study of men and masculinity”.43 Satu alasan mengapa soal maskulinitas ini jarang diangkat karena sudah dianggap sebagai „norma‟, memang sudah begitu adanya.

Identitas laki-laki hadir sebagai yang tetap dan tak bermasalah.44

Clark banyak merujuk pada Tom Boellstorff yang mendapati berkembangnya semacam „political homophobia’ pasca Reformasi 1998. Salah satunya mewujud melalui serangkaian tindakan pengacauan dan kekerasan terhadap kegiatan-kegiatan bertemakan homoseksual. Homoseksual dianggap membahayakan tidak hanya bagi maskulinitas yang normatif, namun juga bagi negara secara keseluruhan.45 Berkaca pada hal tersebut, Clark memprediksi bahwa unsur kekerasan akan mendominasi pembentukan maskulinitas baru di Indonesia dewasa ini. Setidaknya gejala ini terbaca jelas dari dua film yang dikajinya: Sembilan Naga (Rudi Soedjarwo, 2006) dan

Mengejar Matahari (Rudi Soedjarwo, 2004).46

Baik film Sembilan Naga maupun Mengejar Matahari berpusat pada lingkungan pergaulan laki-laki. Bila Mengejar Matahari mengambil periode di masa remaja, 9 Naga berkisar tentang problematika pria ketika dewasa. Apa yang diperhatikan, sekaligus dikhawatirkan Clark bahwa kedua film ini terlalu mengedepankan unsur kekerasan. Bahkan, sampai pada tindakan kriminal.

41 Clark, Marshall. Op.cit., hal: 37 42 Paramaditha, Intan. 2008. Perspektif gender dalam kajian film. Jurnal Perempuan. No. 61, hal: 52 43 Clark, Marshall. Op.cit., hal: 37 44 Neale, Steve. Op.cit., hal: 9 45 Boellstorff, Tom. 2004. The emergence of political homophobia in Indonesia: Masculinity and National Belonging. Journal Ethnos Vol. 69: 4, hal: 480 46 Clark, Marshall. Op.cit, hal: 45

17 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Keduanya mengindikasikan maskulinitas yang hadir dan didefinisikan melalui keberingasan dan keserampangan. Laki-laki yang mudah kalap yang tak memperhitungkan konsekuensi perbuatannya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.47

Kajian Clark jelas menunjukkan bagaimana maskulinitas mengalami pergeseran seiring dengan perubahan dalam konteks sosial dan politik. Akan tetapi, seperti yang dikritik Paramaditha, terlalu berfokus di konteks, Clark jadi abai terhadap teks. Padahal, teks tak kalah penting. Teks memungkinkan munculnya hal-hal kecil yang sering dianggap remeh-temeh.48 Misal, bagaimana tepatnya kamera membingkai kekerasan yang dilakukan sang tokoh? Siapakah yang diposisikan sebagai superior dan inferior? Atau, sifatnya hanya deskriptif dalam artian tanpa bermaksud menghakimi atau memihak siapapun?

Walau bagaimanapun, analisis Clark penting untuk mengembangkan penelitian ini. Pertama, tentu untuk mengetahui konteks bagaimana persisnya pembentukan maskulinitas di Indonesia dewasa ini berikut faktor-faktor apa yang mempengaruhinya. Kedua, maskulinitas seperti yang digambarkan Clark mengafirmasi asumsi Neale tentang penggambaran seksualitas laki-laki di dalam film. Bahwa seksualitas laki-laki dimungkinkan diekspos melalui adegan kekerasan dan kebrutalan. Meski sayang, tak ada petunjuk terperinci bagaimana persisnya hal ini berlangsung di dalam dua film yang dianalisis

Clark.

Adapun untuk kajian yang mendedah teks film secara teliti, yang dalam tingkatan tertentu bersesuaian dengan penelitian ini, adalah analisis

Paramaditha terhadap film Pasir Berbisik (Nan T. Achnas, 2001). Mengambil fokus pada tokoh perempuan, Paramaditha tak hendak memperlihatkan

47 Selain dua film tersebut, film lain yang bertema sama yakni: Kuldesak, Tato, dan Gerbang 13. (Sumber: Ibid., hal: 48 – 49) 48 Paramaditha, Intan. Op.cit., hal: 54 - 55

18 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

perempuan-perempuan yang melayani selera pandangan lelaki. Tapi, dengan argumentatif, ia berhasil memperlihatkan bagaimana tokoh perempuan dalam

Pasir Berbisik berusaha menentang tatapan itu dan mengklaim kepemilikan atas tubuhnya.49

Hal lain yang berbeda dari Pasir Berbisik, voyeurisme di dalam film ini tidak didefinisikan dengan kecabulan, melainkan keingintahuan. Daya

(diperankan Dian Sastro) adalah seorang anak yang selalu penasaran terhadap apa-apa yang dilakukan ibunya, Berlian (diperankan Christine

Hakim). Daya, yang diposisikan sejajar dengan penonton, pun mengintipi ibunya lewat lubang kunci. Akan tetapi, alih-alih mendapat kesenangan dari pekerjaan mengintip ini, Daya malah selalu terjebak, menjadi tersangka.

Sebab, ibu yang diintipnya tidak tak bergeming. Sebaliknya, ia serba-tahu, serba-kuasa. Ibunya selalu menyadari dirinya sedang diintipi, dan dengan sekali pandang mampu menangkap basah Daya, sekaligus penonton.50

Kemahakuasaan Berlian tak berhenti sampai di sini. Ia pula yang selalu merenggut kenikmatan pandang laki-laki. Daya, anak gadisnya yang cantik jelita, kadangkala terjebak dalam struktur pandangan laki-laki yang menafsuinya. Utamanya, ketika ia sedang menari. Berlian selalu awas akan hal ini. Daya dipanggilnya. Ketika Daya tak lagi menari, ketika itu pula pengeksploitasian terhadap tubuhnya terhenti. Di lain kesempatan, terhadap laki-laki yang melirik nakal pada Daya, oleh Berlian tak dibiarkan lama-lama.

Jalan yang ditempuhnya kali ini adalah dengan memecahkan piring, dan dengan demikian kenikmatan laki-laki terhadap tubuh anaknya pun terpelanting.51

49 Paramaditha, Intan. 2007. “Pasir Berbisik dan estetika-perempuan baru dalam sinema Indonesia” dalam Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia. Ed. Lisabona Rahman. Yayasan Kalam: Jakarta 50 Ibid., hal: 105 51 Ibid., hal: 109; 113;

19 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Paramaditha lanjut menganalisis, Pasir Berbisik menepikan struktur pandang maskulin untuk memberikan ruang pada perempuan mengartikulasikan dirinya. Lewat tokoh ibu dalam film tersebut, tampak usaha perempuan menolak yang simbolik. Bahasa dipandang sebagai ancaman terhadap keagenan perempuan. Bahasa hanya akan mendefinisikan perempuan dari perspektif yang dominan maskulin.52 Pasir Berbisik, bagi

Paramaditha mampu “merunyamkan teori Mulvey serta konteks patriarkal di

Indonesia”53. Oleh karenanya, ia menggolongkan film ini sebagai film feminis.

Dengan merujuk Paramaditha, posisi perempuan dalam sinema dapat dibilang mengalami „kemajuan‟. Jika dahulu (baca: Orde Baru) perempuan selalu ditempatkan sebagai yang ditonton, perempuan masa kini (baca: pasca-Reformasi) mulai bisa menonton. Dengan kata lain, sudah ada film-film seperti Pasir Berbisik yang memfasilitasi tatapan perempuan (female gaze).

Bahkan, Paramaditha juga sempat menyebut, meski selintas – sudah ada pula yang mewakili tatapan queer, yaitu dalam film Berbagi Suami (Nia

Dinata, 2006).54

Akan tetapi, jika hendak dicermati benar masih tersisa satu persoalan dari kehadiran tatapan perempuan ini. Paramaditha, seperti halnya Williams, menunjukkan tatapan perempuan yang bertujuan untuk memuaskan keingintahuan, menandakan “investigating gaze”55 alih-alih “erotic gaze”.

Tatapan itu pun harus terinterupsi, dalam Pasir Berbisik oleh tokoh ibu yang serba-tahu, dan dalam Williams oleh sosok monster yang mengerikan.

Apakah perempuan tidak memiliki hasrat seksual? Atau, pertanyaan yang lebih tepat: mengapa bila perempuan menatap tidak dengan maksud yang

52 Ibid., hal: 99; 114; 118 53 Ibid., hal: 99; 102 54 Ibid., hal: 124 55 Williams, Linda. Op.cit., hal: 563

20 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

erotis? Apakah perempuan dianggap pasif secara seksual hingga mengelak menatap dalam kerangka ini?

Quickie Express, sebagai film gigolo sejatinya menyimpan potensi untuk menghadirkan tatapan perempuan yang erotis dan cabul. Sebab, dengan tema ini eksploitasi seksualitas dan tubuh laki-laki sangat mungkin terjadi. Namun, perhatian saya tidak terpusat pada hadir atau tidaknya tatapan perempuan semata. Saya mulai menelusuri dari „representasi‟ tubuh laki-laki. Tepatnya berkenaan dengan bagaimana erotisasi atau malah non- erotisasi terhadap tubuh laki-laki berlangsung. Kerja selanjutnya, menguak struktur tatapan sehingga teranglah dengan siapa teks film itu hendak berkawan. Apakah teks film mengalamati penontonnya sebagai perempuan, laki-laki, atau bisa jadi queer?

F. Kerangka Penelitian

Penelitian ini berpijak pada asumsi-asumsi Steve Neale dalam esainya berjudul “Masculinity as Spectacle”. Tulisan Neale ini dapat dikatakan terusan dari esai Laura Mulvey yang cukup berpengaruh: “Visual Pleasure and

Narrative Cinema”. Bahwa Mulvey mengandaikan penonton sebagai laki-laki,

Neale pun turut mengamininya. Bedanya, jika Mulvey berfokus pada penggambaran perempuan, Neale berpusat pada laki-lakinya. Persisnya,

Mulvey menelisiki bagaimana perempuan dihadirkan sebagai tontonan, sementara Neale menelaah bagaimana laki-laki acap kali gagal untuk dipertontonkan.

Terang, Neale tidak dalam posisi mendebat Mulvey. Justru, ia meminjam asumsi-asumsi Mulvey untuk diterapkan dalam melihat posisi laki- laki di dalam film. Laki-laki bisa saja dipasang serupa manekin di toko-toko.

Akan tetapi, menurut Neale, tidak dalam bingkai erotik serupa perempuan.

Erotisasi terhadap tubuh laki-laki jarang terjadi. Malah, sedapat mungkin

21 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

disamarkan atau dihindarkan. Sebab, rata-rata film menujukan teksnya untuk dinikmati laki-laki (yang heteroseksual tentu), maka pengeksposan terhadap tubuh laki-laki berpotensi menimbulkan kesan homoerotis.56

Neale lanjut membaca bagaimana persisnya tubuh laki-laki disurukkan atau dipertontonkan dengan memperhatikan proses identifikasi, voyeurisme, dan fetishisme.

Proses identifikasi ibaratnya orang berkaca: orang melihat dirinya melalui bayangan yang hadir di depannya. Di dalam sinema, kaca digantikan dengan layar; dan bayangan (dalam hal ini ego ideal) mewujud dalam bentuk karakter atau tokoh yang bermain di dalamnya. Meski penonton dapat melakukan identifikasi dari berbagai posisi, namun Neale melihat kecenderungan film mengerucutkan identifikasi penonton, utamanya dengan tokoh laki-laki.57

Tokoh laki-laki, dengan siapa penonton mengejawantahkan dirinya, pada umumnya digambarkan sebagai manusia super. Kurang lebih, ya seperti

Gatotkaca yang berotot kawat dan bertulang besi. Identifikasi dengan tokoh serupa Gatotkaca ini tidak hanya membuat penonton melihat dari kacamata sang jagoan, namun juga merasa menjadi Gatotkaca itu sendiri.

Membayangkan dirinya gagah, perkasa, serta sakti mandraguna.

Namun, di balik tampilan yang serba megah dari Gatotkaca-Gatotkaca panggung tersebut, penikmatan terhadap tubuh mereka serba terbatas.

Tubuh-tubuh yang kekar berisi itu dipertontonkan sekadar untuk menandakan superioritas, menekankan kejantanan. Misal, penonton menyaksikan kebagusan badan mereka melalui duel dan perkelahian yang sengit. Jarang sekali mereka ditempatkan dalam bingkai yang erotis. Bahkan tidak dalam adegan percintaan. Posisi tubuh mereka membelakangi kamera. Mata

56 Neale, Steve. Op.cit., hal: 19 57 Ibid., hal: 11

22 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mereka, menyatu dengan mata kamera dan penonton, tertuju bulat-bulat pada pasangan wanita.

Berlanjut pada dimensi kenikmatan memandang: voyeurisme dan fetishisme. Keduanya dapat dikontraskan satu sama lain, meski dalam praktek antara voyeurisme dan fetishisme bisa jadi saling bertindihan. Jika voyeurisme menekankan pada keberjarakan antara penonton dengan tontonan; fetishisme berusaha memampatkan jarak itu hingga ke titik nol.

Jika penikmatan voyeurisme terletak pada narasi, penikmatan fetishisme terjadi justru ketika narasi berhenti. Voyeurisme memuaskan penonton, misal dengan menghukum, entah itu penjahat atau wanita- di akhir cerita.

Fetishisme menyenangkan penonton, umpama dengan teknik zoom dan close up yang silih berganti ditujukan pada seonggok tubuh (wanita).

Di dalam menampilkan laki-laki, baik dimensi voyeurisme maupun fetishisme bekerjasama untuk mengalihkan pandangan dari sisi erotisnya.

Neale mencontohkan pada seri film Western dari Leone. Film ini menyuguhkan tubuh laki-laki, akan tetapi tubuh tersebut telah terlucuti dari konotasi seksualnya. Pandangan penonton pada tubuh tersebut juga tidak terjadi secara langsung, melainkan dimediasi oleh karakter lain di dalam film.

Tambah pula, pandangan dari karakter itu pun bukan dalam arti seksual, melainkan menyiratkan ketakutan atau kebencian.58

Apa yang perlu dipertimbangkan, kajian Neale lebih fokus pada film- film laga. Merupakan film aksi ketimbang film seksi. Neale tidak menampik sisi erotis laki-laki dapat juga dieksplorasi. Misal, seperti tampak dari karakter

Rock Hudson dalam film garapan Sirk. Atau, John Travolta ketika ia bermain dalam Saturday Night Fever. Hanya, dalam mempertontonkan laki-laki di ranah ini, laki-laki „diperempuankan‟ terlebih dahulu. Feminisasi terhadap laki-

58 Ibid., hal: 18

23 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

laki ini biasa ditemui dalam film-film bergenre drama musikal di mana laki- laki tak segan-segan meliuk-liukkan tubuhnya.59

Quickie Express jelas bukan film laga atau drama musikal. Film ini menempatkan dirinya di jalur komedi. Khususnya, komedi untuk dewasa.

Tokoh laki-laki yang diangkatnya hanya lelaki biasa. Yang luar biasa barangkali pekerjaannya: pekerja seks alias gigolo. Sebagai gigolo, aspek seksual laki-laki tentu lebih ditonjolkan. Akan tetapi, tidak langsung dapat dikatakan bahwa film ini ditujukan untuk kenikmatan mata perempuan.

Sebab, berkaca dari kajian Neale, menampilkan laki-laki sebagai obyek voyeur atau fetish tidaklah segampang membalik posisi kamera. Aspek narasi dan pandangan dari karakter lain sedikit banyaknya berpengaruh juga.

Ringkasnya, dalam penelitian ini asumsi-asumsi Neale dipakai untuk memperlihatkan di titik mana laki-laki ditampilkan (atau gagal ditampilkan) sebagai wisata erotis bagi yang memandangnya.

G. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan perspektif psikoanalisis sebagaimana dirintis Laura Mulvey, dan lalu dilanjutkan Steve Neal. Meski psikoanalisis ala

Mulvey ini sering dikritik sebagai “psikoanalisis-psikoanalisis-an”, karena salah mengenali tatapan (gaze) Lacan sebagai aktif,60 bukan berarti argumen- argumen Mulvey sama sekali keliru. Mulvey mungkin Lacanian sesat, tapi tidak sepenuhnya menyesatkan.

Sama seperti yang digagas oleh para “genuine Lacanian”, apa yang dibaca Mulvey juga bersumber dari teks. Atau, bahasa visual dalam konteks ini. Ia mendedah teks untuk mereka di mana teks memposisikan penontonnya. Penonton ini bukanlah dalam artian aktual, sebut saja penonton

59 Ibid. 60 McGowan, Todd. 2007. The Real Gaze: Film Theory After Lacan. State University of New York Press: New York, hal: 8

24 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

imajiner yang kehadirannya dibentuk oleh teks itu sendiri. Mulvey tidak persis menteoretisasi pengalaman orang-orang yang menonton, namun bagaimana teks mengalamati penonton. Dalam konsep para Lacanian ortodoks, secara eksplisit mereka menyebut dengan “internal spectator”.61

1. Sumber Data

Sebagai sumber data primer yang digunakan yakni teks film Quickie

Express dalam format DVD yang berdurasi seluruhnya 117 menit. Sebagai sumber data sekunder diambilkan dari buku, jurnal, hasil penelitian, ataupun artikel dan ulasan (cetak dan virtual) yang menyangkut film dan film komedi di Indonesia, serta masalah maskulinitas dan representasi laki-laki di film.

2. Teknik Pengolahan Data

Penelitian dengan pisau bedah psikoanalisis cenderung longgar dalam hal kerangka kerja. Psikoanalisis tidak menyediakan tahapan analisis yang sistematis seperti yang dipunyai semiotika Barthes atau analisis wacana

Fairclough, misal. Cara kerjanya cukup dengan mencomot barang satu atau dua konsep, untuk lalu diterapkan dalam menginterpretasi gambar.

Interpretasi terhadap suatu gambar sangat mungkin berbeda, tergantung konsep yang digunakan.62

Adapun penelitian ini mengaplikasikan tiga konsep, yakni: voyeurisme, fetishisme dan identifikasi. Voyeurisme lagaknya orang mengintip yang memperoleh kesenangan dari obyek, sementara dirinya tersembunyi. Film membahasakan ini dengan cara: (1) menjaga jarak antara tokoh laki-laki dan perempuan dalam film; dan (2) menjaga jarak antara tokoh perempuan dengan penonton. Beda lagi dengan fetishisme, jarak pada dimensi

61 McGowan & Kunkle. Op.cit., hal: xix – xxiii 62 Rose, Gillian. 2002. Visual Methodologies: An Introduction to the Interpretation of Visual Materials. Sage Publications: London, Thousand Oaks & New Delhi, hal: 101

25 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

voyeurisme ditebas hingga penonton dapat berhadapan langsung dengan obyek. Hal ini dibaca melalui: (1) bingkai kamera; (2) pencahayaan; dan (3) gerakan kamera. Selanjutnya, identifikasi. Identifikasi menentukan keberpihakan penonton yang diketahui lewat: (1) posisi kamera; (2) sudut pandang kamera.63

Gambar 1.1. Bingkai kamera64

Bingkai kamera menentukan obyek mana yang disertakan dan mana yang disingkirkan. Dimensi fetishisme muncul, misal, dengan membingkai lekat-lekat wajah atau bagian tubuh tertentu dari pemain. Secara umum, bingkai kamera dapat dibedakan atas: (1) extreme long shot (XLS) atau establishing shot yakni pengambilan obyek dari jarak jauh hingga sukar dikenali wajah pemainnya; (2) long shot, obyek masih terlihat jauh, tetapi sudah jelas orangnya. Sebagai variasinya yakni deep-focus shot di mana dalam 1 frame terdapat beberapa obyek dengan jarak CU, MS, dan LS; (3) medium long shot (MLS), menampilkan orang dari lutut hingga kepala; (4) medium shot (MS), orang ditampilkan dari pinggang ke atas; (5) medium close up (MCU), jika pengambilan dimulai dari dada ke atas; (6) close up

63 Ibid., hal: 110; 112; 114 64 Chandler, Daniel: “The ‘grammar’ of television and film” (Sumber: http://www.aber.ac.uk/media/, diakses tanggal 19 Oktober 2011

26 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(CU), kamera hanya mengambil muka pemain; (7) big close up (BCU), jika yang diambil dari dahi ke dagu saja; (8) extreme close up, kamera fokus pada satu bagian, misal hidung atau telinga saja.65

Berikut, pencahayaan. Cahaya yang terang atau terlalu kurang akan mempengaruhi suasana. Dalam film komedi, untuk menerbitkan suasana riang, kerap digunakan high-key lighting. Baik obyek maupun latar jelas terlihat. Tidak terdapat kontras yang tajam antara bagian yang terang dengan yang gelap. Sebaliknya, dalam film horor dan misteri, antara bagian terang dan gelap terlihat kontras. Teknik ini dinamakan low-key lighting. Ini digunakan untuk memunculkan kesan jahat, seram, dan menakutkan.66

Gambar 1.2. Sudut pengambilan kamera67

Sama halnya dengan bingkai dan pencahayaan, gerakan kamera memberi petunjuk bagaimana fetishisme berlangsung. Kamera dapat berotasi pada sumbu vertikal (panning) atau horizontal (tilting). Dalam hal ini, kamera tidak berpindah. Kamera dapat bergerak lebih bebas (travelling) dengan

65 Giannetti, Louis. 2001. Understanding Movies. 9th Edition. Prentice Hall: New Jersey, hal: 11 – 13; Villarejo, Amy. 2007. Film Studies: The Basics Film Studies. Routledge: Oxon, hal: 38; dan Chandler, Daniel: “The ‘grammar’ of television and film” (Sumber: http://www.aber.ac.uk/media/, diakses tanggal 19 Oktober 2011) 66 Villarejo, Amy. Ibid., hal: 33 67 Chandler, Daniel: “The ‘grammar’ of television and film” (Sumber: http://www.aber.ac.uk/media/, diakses tanggal 19 Oktober 2011

27 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

bantuan alat, seperti: gerobak (dollying), truk (trucking), atau derek

(craning). Gerakan kamera dalam hal ini bisa berlangsung secara vertikal, horizontal, diagonal, atau bahkan sirkular.68

Ditinjau dari sudut pengambilan gambar, ada beberapa teknik yang biasa diterapkan. Kamera dapat mengambil tepat di atas kepala obyek (bird’s eye view) atau justru di bawah kakinya (worm’s eye). Bila obyek diambil lebih tinggi dari kepala disebut high angle, dan bila lebih rendah dari kepala diistilahkan low angle. Kedua teknik ini bisa menimbulkan kesan superordinat atau subordinat pada obyek. Pengambilan obyek dengan kamera setentang mata yang dipandang sebagai sudut netral, dinamakan eye level. Selain itu, kamera dapat pula mengesankan obyek yang sempoyongan melalui sudut yang dinamakan oblique angle, atau cranted framing.69

H. SKEMA PENULISAN

Secara garis besar, penulisan penelitian ini dibagi dalam 5 bab sebagaimana diurutkan sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisikan informasi awal penelitian meliputi latar belakang

ketertarikan peneliti terhadap film Quickie Express, bagian apa yang

hendak dipermasalahkan, bagaimana penelitian ini dapat bermanfaat,

serta perangkat metodologis apa yang hendak digunakan untuk

menjawab permasalahan penelitian.

Bab II : Menyoal Film Komedi Indonesia

Bab ini dibagi atas 4 bagian. Sebagai pembuka, diuraikan sekilas

tentang film komedi Indonesia awal. Bagian kedua beranjak pada era

68 Ibid., hal: 40 – 41 69 Ibid., dan Giannetti, Louis. Op.cit., hal: 13 – 17

28 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Reformasi berikut tahun 2007 di mana Quickie Express muncul dan

menambahkan label „dewasa‟ pada film komedi di Indonesia. Bab ini

ditutup dengan mengulik sedikit dapur Quickie Express.

Bab III : Potret Laki-Laki dalam Film Quickie Express

Bab ini merupakan paparan data visual tentang bagaimana laki-laki

ditampilkan dalam Quickie Express. Pendedahan teks dilakukan dengan

memperhitungkan unsur-unsur sinematik semisal sudut pengambilan

gambar, jarak kamera, dan unsur audio yang terdengar.

Bab IV : Memandang Laki-Laki dalam Film Quickie Express

Menyambung paparan dari bab sebelumnya, dalam bab ini dianalisa

bagaimana laki-laki dipandang atau disurukkan dalam film komedi

dewasa Quickie Express. Di dalamnya ditelaah faktor-faktor apa yang

membuat laki-laki (baik secara sinematik maupun narasi) gagal atau

berhasil dipertontonkan.

Bab V : Penutup

Sebagai penghujung dari tulisan digunakan untuk memuat kesimpulan

yang diperoleh melalui pembacaan film Quickie Express berikut saran

yang bisa dipertimbangkan bagi penelitian mendatang.

29 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB II

MENYOAL FILM KOMEDI INDONESIA

Setidaknya tercatat sekitar 479 film komedi1 yang pernah diproduksi di

Indonesia. Meskipun semuanya dapat dikarungkan dalam label komedi, namun berlain-lain gaya dan tampilannya. Film komedi sepintas keliatan remeh-temeh, sekadar bermain-main. Namun sepanjang sejarahnya dalam rangka membuat orang tertawa-tawa itu, banyak pula yang menimbulkan persoalan sungguh serius. Ambil sebagai contoh film Tamu Agung (1955) garapan Usmar Ismail yang „memberatkan‟ karena menampilkan karikatural

Presiden Soekarno. Atau, kasus yang lebih baru Menculik Miyabi (Findo

Purwono H.W., 2010) yang menimbulkan kontroversi bahkan sebelum film bersangkutan resmi beredar.

Sebelum berpanjang-panjang mengurai perihal film komedi Indonesia, di bagian pembuka diberi penjelasan apa benar yang dimaksud dengan film komedi. Apa sebuah film dapat disebut komedi sejauh ia mampu membuat penonton terbahak-bahak? Apakah yang hendak dituju oleh film komedi?

Lalu, apa pula ragam dan jenisnya? Bahasan-bahasan standar macam ini perlu juga untuk memudahkan dalam memposisikan Quickie Express sebagai salah satu film komedi, yang diperbandingkan pula dengan ragam film komedi yang lain yang pernah ada.

Usai membahas ini, kemudian secara lebih terperinci akan dirunut kembali berbagai ragam film komedi yang telah menyemarakkan layar perak

1 Angka ini tidaklah pasti, ada kemungkinan jumlahnya lebih banyak. Estimasi ini didapat sepihak, berdasarkan penelusuran di situs http://filmindonesia.or.id, tanggal 26 Juli 2011. Situs ini mencatat Indonesia Malaise (1931) sebagai film komedi tertua. Sementara sumber lain, diantaranya Suwardi, mencatat film Karnadi Anemer Bangkong (1930) sebagai film komedi pertama buatan dalam negeri. (Sumber: Suwardi, Harun. 2006. Kritik Sosial dalam Film Komedi: Studi Khusus Tujuh Film Nya Abbas Akup. FFTV-IKJ Press: Jakarta, hal: 79)

30 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Indonesia dalam urutan kronologis mulai dasawarsa 1930-an hingga 2000-an.

Tidak menelisik satu per satu memang. Ada beberapa film yang akan disebut sepintas lalu, sementara yang lainnya dibahas agak panjang.

Pertimbangannya tidak melulu karena ia laris dan populer, namun bahwa film tersebut kerap dipakai sebagai „penanda‟ zaman.

Selanjutnya, bahasan melebar dan berhenti di masa kini (dasawarsa

2000-an) ketika industri perfilman Indonesia kembali menemukan momennya. Untuk itu, saya mengambil titik berangkat dari Reformasi. Tidak dengan asumsi bahwa Reformasi telah ikut memperbaharui dunia perfilman.

Hanya saja sesudah Soeharto lengser, banyak sudah pergeseran di industri film. Salah satunya, sensor. Lalu, ada pula pergantian UU perfilman. Selain itu, kalau dilihat dari genre-nya tahun 2007 industri film dihentakkan lewat kemunculan film-film komedi yang semakin tak kenal malu. Quickie Express dapat disebut sebagai pemulanya. Lebih banyak soal film ini ikut dibahas di bagian penghabisan.

A. Film Komedi: Film untuk Ha-Ha-Hi-Hi?

Tadinya, saya naif mengira film komedi hanyalah sebatas film konyol yang ditujukan untuk memancing gelak tawa. Namun, ternyata tidak sesederhana itu. Suwardi mengajukan definisi film komedi sebagai “film cerita yang bersifat lucu dan gembira, meskipun kelucuan itu terkadang bermuatan kritik dan sindiran”.2 Lanjut Suwardi, “[...] dengan film komedi yang baik, penonton bisa lebih menghayati kehidupan”3, atau dengan kata lain

“memberikan perenungan dalam benak penonton”4. Ringkasnya, dilihat dari sudut pandang ini, komedi dipandang sebagai alat untuk menyampaikan

2 Suwardi, Harun. 2006. Kritik Sosial dalam Film Komedi: Studi Khusus Tujuh Film Nya Abbas Akup. FFTV-IKJ Press: Jakarta, hal: 29 3 Ibid. 4 Ibid., hal: 14

31 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

gagasan, bukan semata-mata tujuan. Dengan demikian, tak heran apabila dalam film komedi dapat ditemukan beragam bentuk satir atau pun kritik sosial. Meskipun, tentunya tak dapat pula digeneralisir bahwa seluruh film komedi dapat ditafsirkan demikian.

Film komedi ada beragam macamnya. Suwardi merangkumkan hingga

17 banyaknya, yakni: (1) komedi slapstik; (2) komedi tim; (3) komedi terang; (4) komedi hitam; (5) komedi pahit; (6) komedi sosial; (7) komedi individual; (8) komedi romantik; (9) komedi kelompok; (10) komedi satire;

(11) komedi gila; (12) komedi situasi; (13) komedi aksi; (14) komedi musikal; (15) komedi horor; (16) komedi fantastik; dan penghabisan (17) komedi futuristik.5

Komedi slapstik dianggap sebagai komedi tertua. Arwah Setiawan menganggap jenis ini sebagai “pariah-nya seni pertunjukan komedi atau humor”6. Charlie Chaplin merupakan salah seorang penganjurnya. Bentuknya dilukiskan Arwah Setiawan sebagai: “humor rusak-rusakan, saling lempar kertas tisyu, pukul-pukulan kepala, hancur-hancuran rumah atau barang atau kendaraan, jungkir balik, kejar-kejaran dan berbagai ulah fisik badutan.”7

Tayangan televisi Opera van Java bisa dianggap sebagai salah satu acara komedi yang mengandalkan betul lelucon macam ini.

Sesuai dengan namanya, komedi tim dimainkan oleh sekelompok orang (lebih dari satu). Jenis komedi ini umumnya mengandalkan percakapan lisan. Komedian yang termasuk dalam golongan ini yakni Abbot dan Costello,

Bob Hope dan Bing Crosby, dan sebagainya. Komedi ini berbeda dari komedi kelompok, meski dari segi istilah tipis bedanya. Komedi kelompok tak dinilai dari jumlah pemain, melainkan dari lingkungan cerita yang diangkat berkisar

5 Ibid., hal: 62 6 Ibid., hal: 63 7 Ibid.

32 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pada sebuah kelompok masyarakat.8 Misal lingkungan setempat kerja, atau komplek perumahan seperti serial televisi Suami-Suami Takut Isteri.

Komedi terang dan komedi hitam didudukkan Suwardi sebagai kontras; yang saling berlawanan. Komedi terang menghadirkan tokoh yang periang dan menyenangkan. Sementara itu, dalam komedi hitam banyak dijumpai kengerian, misal dengan menampilkan pembunuhan atau perperangan. Ada kalanya komedi ini disebut komedi getir karena menampilkan kisah tragis tokoh utamanya. Leila S. Chudori menjelaskan:

“komedi ini menggali sisi gelap manusia dan mengeksploitasinya sebagai objek tawa”.9 Yang agak mirip dari komedi getir ini yakni komedi pahit (bitter comedy). Komedi ini menyimpan kegetiran meski tidak sedalam komedi hitam. Kelucuan hadir karena menertawakan “ketidakberdayaan dan ketertindasan seseorang atau suatu kelompok masyarakat”.10

Komedi sosial pada umumnya berpusat pada sebuah keluarga. Tak jarang, jenis ini kadang dilabeli dengan komedi keluarga. Sosok yang dihadirkan cenderung berkarakter baik. Apabila ada krisis yang muncul, selalu memperoleh penyelesaian yang baik di akhir. Agak berbeda dengan komedi individual yang menekankan pada internal (diri pribadi). Biasanya tokoh yang memerankannya digambarkan bersifat kanak-kanak (meski dilihat dari umur sudah tak pantas lagi sikapnya itu).11

Berikut, komedi romantis mengedepankan hubungan percintaan dan dilematikanya. Komedi satir menggunakan lelucon untuk mengungkapkan sindiran. Yang mirip dengan ini yakni komedi parodi. Hanya saja dalam parodi ada aspek tiruan yang nyata terlihat (parodi dari yang merujuk pada yang asli). Komedi gila, sesuai namanya, membuat banyolan semaunya,

8 Ibid., hal: 63; 66 9 Ibid., hal: 64 10 Ibid. 11 Ibid., hal: 64 – 65

33 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

gagasannya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Dua jenis berikutnya: komedi situasi dan komedi aksi terhitung populer. Film-film kungfu Jackie

Chan merupakan contoh yang bagus dari sebuah film komedi aksi.12

Lantas, dalam jenis apakah Quickie Express dapat dikelompokkan?

Sejatinya, ragam komedi yang dihadirkan dalam film ini tak satu jenisnya.

Ada saat saya menyaksikan banyolan fisik berikut adegan gasak-gasakan alat kelamin. Namun, di saat lain, ada pedihnya juga. Makanya, tidak heran apabila dari beberapa situs yang saya kunjungi film ini dinyatakan sebagai dark comedy. Dalam resensi tertulis: “Quickie Express adalah sebuah film dark comedy yang penuh sindiran, bagaikan menggigit sepotong pizza yang terlihat lezat, tetapi ternyata alot bagaikan ban karet.”13 Apabila dipakai pengertian “dark comedy” sebagai komedi yang mengekplorasi kengerian setara pembunuhan untuk sumber tawa, tentu terkesan berlebihan. Meski dari pengertian yang dirangkumkan Suwardi di atas terlihat tipis bedanya antara komedi hitam, komedi getir, dan komedi pahit.

Bagaimanapun, benang merah yang dapat ditarik bahwa Quickie

Express menampilkan komedi dengan beragam cita rasa. Ada manis dan ada pula pahitnya. Orang bisa tertawa-tawa sekaligus miris di saat yang bersamaan ketika melihat Jojo sebagai wakil kaum tak berpunya diperlakukan semena-mena di tempat kerja. Berbagai macam ketidakberuntungan menimpanya. Memang benar, kesialan itu datang dari hasil perbuatannya sendiri. Meski itu tak dilakukannya dengan sengaja. Misalkan ketika ia salah mengukir tato pelanggannya karena keasyikan menonton film gadis-gadis berpakaian renang. Atau, saat ia dengan tanpa disadari menumpahkan seluruh cairan pengepel. Lantai pun menjadi sangat licin dan membuat tergelincir seluruh pengunjung toko. Demikian, satu per satu kemalangan

12 Ibid., hal: 65 – 67 13 Sumber: http://www.blitzmegaplex.com, 7 Juli 2011; http://www.21cineplex.com, 7 Juli 2011; http://www.okemovie.com; 3 April 2011

34 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menyertai perjalanan hidupnya, meski di akhir penonton dapat melihatnya tersenyum sumringah.

B. Meneroka Film Komedi Indonesia Terdahulu

Berbicara tentang film komedi Indonesia awal, jalannya tidak terlalu mulus. Film-film dari ragam komedi yang ditampilkan menimbulkan kontroversi entah itu pada penikmat atau pada badan sensor. Tahun 1930 yang disebut Suwardi sebagai awal kemunculan film komedi hadir lewat

Karnadi Anemer Bangkong yang disutradarai G. Krugers. Ceritanya bersumber dari sebuah novel Sunda karangan Yohana.14 Berdasarkan ingatan Joshua

Wong diceritakan film ini membuat marah orang „Indonesia‟ karena ditampilkannya pribumi yang memakan kodok.15 “Film ini konyol, memalukan dan merupakan penghinaan terhadap pribumi Sunda”.16

Film berikutnya, Lari ka Arab (Wong Bersaudara, 1930) mendapati masalah yang lain. Kota Mekah yang tercantum di judul awal film ini dianggap bermasalah oleh Film Commissie. Mekah merupakan kota suci umat Islam karenanya tidak boleh dipermainkan. Alhasil, judul film ini pun digantilah. Film ini mengungkapkan keprihatinan di masa depresi ekonomi dunia yang berimbas hingga Hindia Belanda. Tokoh utamanya diceritakan selalu dalam kondisi serba salah menghadapi situasi perekonomian yang morat-marit. Lalu, terbitlah pemikiran untuk lari ke Mekah saja. Di sana ia akan sibuk beribadah sehingga mampu menyingkirkan pikiran soal masalah ekonomi yang pelik ini.

Ada kesan menyindir memang. Sindiran bisa jadi dialamatkan pada pemerintah, atau justru pada institusi agama yang dengan dalih ibadah

14 Ibid., hal: 11 15 Kristanto, JB. 1995. Katalog Film Indonesia 1926 – 1995. Grafiasri Mukti: Jakarta, hal: 2 16 Suwardi, Hasan. Op.cit., hal: 79

35 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menjadi pembenaran untuk berhenti berusaha.17 Namun sepertinya masih terlalu dini untuk mendaulat film ini sebagai awal mula kritik sosial masuk dalam ragam film komedi.

Setahun berikutnya, film Sinjo “Tjo” Main di Film (“Tjo Speelt voor de

Film) yang dibintangi M.H. Schilling dipasarkan. Film berdurasi pendek ini merupakan film pembuka untuk Indonesia Malaise (Wong Bersaudara, 1931).

Berdasarkan keterangan Biran film ini tak mampu menolong pemasaran

Indonesia Malaise. Malahan dilaporkan penonton Belanda merasa tersinggung dengan aksi konyol M.H. Schilling.18 Masih berdasarkan ingatan Wong, orang

Belanda “merasa dipermalukan dengan tingkah M.H. Schilling yang melawak konyol-konyolan dengan bahasa Belanda pasaran”.19

Memasuki dekade 1940-an, dinyatakan Suwardi sebagai “masa paceklik film komedi”.20 Kalaupun ada yang dapat dikategorikan jenaka

(dengan sedikit memaksa), Biran menyebutkan film Pah Wongso Tersangka

(1941). Film ini kemungkinan merupakan kelanjutan film Pah Wongso

Pendekar Budiman (1940) yang di dalam pamfletnya memproklamirkan diri sebagai “roman detektif pertama dalam film Indonesia.”21

Apabila ditilik hitungan statistik, produksi film awal 40-an sebenarnya mengalami lonjakan tajam. Terhitung dari tahun 1926 (awal mula produksi film di Indonesia) hingga tahun 1939 rata-rata hanya sekitar 3 film per tahun.

Memasuki tahun 1940 tercatat ada 14 judul film. Tahun berikutnya malah meningkat melebihi 2 kali lipat: 30 judul.22 Begitu memasuki masa pendudukan Jepang (1943 – 1949), tidak ditemui adanya film komedi.23

17 Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900 – 1950: Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu: Jakarta, hal: 114 – 115 18 Ibid., hal: 138 19 Ibid. 20 Suwardi, Hasan. Op.cit., hal: 82 21 Biran, Misbach Yusa. Op.cit., hal: 246 22 Data didapat dari tabel produksi film tahun 1926 - 1950. (Sumber: Ibid., hal: 379 – 384) 23 Suwardi, Hasan. Op.cit., hal: 11

36 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Gara-garanya orang Jepang menganggap tertawa berarti kurang menghargai/menghormati orang.24

Saya tak terlalu sepakat dengan argumen Suwardi soal selera humor orang Jepang itu. Sepinya film komedi karena di masa itu film lebih dikerahkan untuk propaganda militer. Maka, film yang bermunculan berkisar tentang kebesaran dan kehebatan Nippon.25 Bahkan, Badan propaganda

Jepang, Sindenbu, memiliki organisasi khusus untuk menangani soal film, yakni Jawa Eiga Kösha.26 Jepang lalu dianggap „berjasa‟ karena memperkenalkan dimensi lain dari guna film kepada para sineas Indonesia.27

Ragam film propaganda yang hadir di masa itu misalnya: Berdjoang (Rd.

Ariffien, 1943) dan Keseberang (Rd. Ariffien, 1944).

Adapun film komedi kemudian hadir kembali lewat Perfini28. Film-film tersebut antara lain: Krisis (Usmar Ismail, 1953), Heboh (Nya Abbas Akup,

1954), Tamu Agung (Usmar Ismail, 1955), Tiga Dara (Usmar Ismail, 1956), dan Djendral Kantjil (Nya Abbas Akup, 1958). Satu film lainnya merupakan produksi Geliga Film yakni Pilihlah Aku (Nawi Ismail, 1956). Krisis merupakan film yang terhitung laris29. Begitu pula dengan Heboh yang menjadi film

24 Ibid., hal: 83 25 Biran, Misbach Yusa. Op.cit., hal: 336; Jauhari, Haris. 1995. Ed. Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, hal: 45; dan Sen, Krishna. 1994. Indonesian Cinema: Framing the New Order. Zed Books Ltd.: London and New Jersey, hal: 17 26 Biran, Misbach Yusa. Ibid., hal: 319; dan Jauhari, Haris. Ibid., hal: 36 27 Usmar Ismail memberikan kesaksian: “datangnya para instruktur Jepang ke Indonesia telah menyadarkan pengertian fungsi film.” (Sumber: Biran, Misbach Yusa. Ibid., hal: 348) Sen juga sepakat soal hal ini. Meskipun Sen meyakini usaha untuk membuat film sebagai propaganda sudah dirintis oleh Algemeen Nederlandsch – Indisch Film (ANIF) lewat film Tanah Sebrang (1936). (Sumber: Sen, Krishna. Op.cit., hal 16 – 17) 28 Perfini (Perusahaan Film Nasional) umum dianggap sebagai perusahaan film nasional pertama. Sedangkan Sen melaporkan bahwa 2 tahun sebelum Perfini lahir, di Yogyakarta telah berdiri Hiburan Stichting Mataram yang diketuai Hinatusu Heitaro (kemudian berganti nama menjadi Dr. Huyung). (Sumber: Sen, Krishna. Ibid., hal 20) Sementara itu, Said tidak menyebut Stichting Hiburan Mataram sebagai sebuah perusahaan film. Ia menerangkannya sebagai “arena tempat belajar tapi sekaligus berpraktek seniman-seniman muda.” Perusahaan film yang didirikan oleh Dr. Huyung yakni Kino Drama Atelier pada tahun 1950 di Jakarta. (Sumber: Said, Salim. 1982. Profil Dunia Film Indonesia: Grafiti Pers: Jakarta, hal: 39). Dilihat dari katalog film yang disusun Kristanto 3 dari 4 film Dr. Huyung diproduksi atas nama Kino Drama Atelier. (Sumber: Kristanto, J.B. Op.cit., hal: 13; 17; dan 19) 29 Krisis merupakan film terlaris pertama semenjak kemerdekaan Indonesia, dan menjadi film terlaris kedua semenjak produksi film di Indonesia bermula. Peringkat pertama masih diduduki oleh (Albert Balink, 1937). (Sumber: Suwardi, Hasan. Op.cit., hal: 95)

37 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

perdana Nya Abbas Akup sebagai sutradara. Nasib yang berbeda dialami

Tamu Agung yang sempat terkendala sensor dan tidak laku di pasaran.30

Berbicara sedikit soal Tamu Agung, menurut Sen film ini merupakan satir politik yang diantaranya menyindir sikap politisi yang kerap mengumbar janji. Dan, malangnya tidak sedikit yang mempercayai (untuk kemudian tertipu) olehnya. Tamu Agung merupakan adaptasi naskah drama Inspektur

Jendral-nya Nikolai Gogol.31 Kisahnya mengenai kunjungan „tamu penting‟ ke

Desa Sukaslamet. Pak Midi yang diutus sebagai penjemput, malah membawa pulang tukang obat. Pasalnya, ia dijanjikan obat yang dibelinya akan berkhasiat begitu ia kembali ke kampung halaman. Penduduk desa yang terkesima dengan penampilan dan kelihaian bicara tukang obat itu lantas mengagung-agungkannya sebagai „tamu penting‟ yang direncanakan tiba.32

Apabila diamat-amati, „wajar‟ adanya apabila film ini bermasalah di badan sensor. Namun, masalanya ternyata bukan pada sindiran politis yang cukup menohok disampaikan. Sumber keberatan lebih pada penampilan tukang obat (baca: tukang tipu) yang menyerupai presiden berkuasa di masa itu: Bung Karno. Pakaiannya begitu necis dan rapi di mana ia berjas dan berdasi. Di kepalanya bertengger peci. Sementara tangannya membawa-bawa tongkat komando. Tak ayal lagi, film ini urung diedarkan. Soeryosoemanto, yang dikenal cukup dekat dengan Soekarno, pun berinisiatif membawa film itu ke istana. Taunya, Soekarno malah tertawa menyaksikannya. Ia tak tersinggung dengan karikatural dirinya pada karakter si tukang obat.

Demikianlah, film Tamu Agung kemudian dapat diedarkan secara luas ke masyarakat.33

30 Ibid., hal: 11; 97 31 Sen, Krishna. Op.cit., hal: 40 32 Kristanto, J.B. Op.cit., hal: 45 33 Suwardi, Hasan. Op.cit., hal: 96 – 97

38 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Menginjak dasawarsa 1960-an terdapat 194 judul film yang diproduksi.

Dari ratusan film tersebut, hanya 9 judul film komedi. Angka ini turun dibanding dasawarsa 1950-an yang menghasilkan 354 judul film, 15 judul diantaranya dari genre komedi. Beberapa film yang dihasilkan sepanjang dekade 1960-an antara lain: Berabe (Nawi Ismail, 1960), Mak Tjomblang (D.

Djajakusuma, 1960), Amor dan Humor (Usmar Ismail, 1961), Bing Slamet

Merantau (Ridwan Nasution, 1962), Juda Saba Desa (Lilik Sudjio, 1967), dan

Matt Dower (Nya Abbas Akup, 1969). Akan halnya Tamu Agung, Mak

Tjomblang juga adaptasi dari karya Nikolai Gogol. Bedanya, film yang terakhir ini laris manis di pasaran.34

Rentang antara 1962 – 1965 disebut Jauhari sebagai “hari paling riuh”35 dalam dunia film Indonesia.36 Diantaranya dengan didirikannya

PAPFIAS (Panitia Aksi Pengganyangan Film-film Imperialis Amerika Serikat) 9

Mei 1964. PAPFIAS dinyatakan hadir sebagai ekspresi ketidakpuasan PKI terhadap masuknya pengaruh budaya barat, terutama Amerika, ke Indonesia.

Imbasnya muncul pengganyangan bukan hanya terhadap produk luar namun juga terhadap produk seni hiburan yang dianggap berbau asing. Produksi film nasional tercatat mengalami penurunan. Tahun 1961 sempat lahir 33 judul, mulai tahun 1962 hingga 1965 hanya tercatat belasan buah setiap tahun.

Kelesuan ini bertahan hingga akhir dekade 60-an.

Dekade berikut, industri film kembali bergairah. Tercatat 600-an judul film diproduksi. Untuk film komedi sendiri ada sekitar 100 judul. Dengan demikian, beralasan apabila Suwardi menyebut era 1970-an sebagai era-nya film komedi Indonesia.3738 Kelompok-kelompok lawak pun kebanjiran order.

34 Ibid., hal: 11 – 12; 85; 95; 97 35 Jauhari, Haris. Op.cit., hal: 66 – 68 36 Hanan dalam tulisannya “Moments of renewal - Alternative ways of viewing Indonesian Cinema” juga menyebut periode pertengahan tahun 60-an juga sebagai masa krisis dalam perfilman nasional. (Sumber: www.upena.uitm.edu.my/publications/j02/j02_v2_2008/5.pdf, 11 Juli 2011) 37 Suwardi, Hasan. Op.cit., hal: 100

39 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Beberapa kelompok lawak yang terkenal masa itu antara lain: Kwartet Jaya

(Bing Slamet, Ateng, Iskak, dan Eddy Sud), Surya Group (Jalal, Heri, Koko,

Sunaryo, Kardjo AC-DC, dan Suprapto), Bagio Cs (S. Bagio, Darto Helm,

Diran, dan Sol Soleh), Duo Benyamin S. dan Ida Royani, serta kelompok panggung Srimulat (Paimo, Sobur, Asmuni, Tikno, dll).39 Nama-nama pelawak yang dipakai di film, ada kalanya dijadikan satu dengan judul. Strategi ini bisa jadi dimaksudkan untuk mempermudah pemasaran. Dari katalog yang disusun Kristanto tercatat 23 judul dengan nama pelawak di dalamnya.

Nama-nama yang kerap dipakai yakni Benyamin S., Ateng, dan Bing

Slamet.40

Di sepanjang tahun 1970-an ini, Nya Abbas Akup mencapai puncak produktivitasnya dengan menyutradarai 11 film komedi. Beberapa diantaranya yang terkenal yakni: Bing Slamet Koboi Cengeng (1973), Drakula

Mantu (1974), serta Inem Pelayan Seksi (1976) yang dibuatkan 2 sekuelnya di tahun 1977. Sementara itu Sjuman Djaya menggarap 3 film komedi: Si

Doel Anak Betawi (1973), Pinangan (1976) dan Si Doel Anak Modern (1976).

Film komedi karya keduanya disebut-sebut sarat akan kritik sosial. Meskipun

Nya Abbas Akup lebih konsisten menghasilkan film komedi ketimbang Sjuman

Djaya. Nyatalah, dari 27 judul film yang digarap Nya Abbas Akup, 23 judul merupakan film komedi.41

Di samping film komedi „berkualitas‟ yang disajikan Nya Abbas dan

Sjuman Djaya, Said menyesalkan banyaknya film komedi Indonesia yang

38 Selain itu, era 70-an juga ditandai dengan dimulainya produksi film kategori dewasa. Sebagai pionirnya yakni film Bernafas dalam Lumpur (Turino Djunaidy, 1970). Disebut Kristanto film ini juga menyertakan dialog kasar misalnya dengan mengatai “sundel”. (Sumber: Kristanto, J.B. Op.cit., hal: 79) Pada periode ini berlaku apa yang disebut Biran sebagai “jimat kalimusodo”. Gunting sensor dilonggarkan sehingga adegan seks dan kekejaman benar-benar lolos dari sensor. (Sumber: Biran, Misbach Yusa. “Film Indonesia memerlukan kaum terpelajar.” Prisma No. 4 tahun 1990, hal: 43) 39 Kelompok-kelompok pelawak tersebut dalam Badil & Indro dimasukkan dalam angkatan lama atau pelawak tradisional. (Sumber: Badil, Rudy & Indro Warkop. Eds. 2010. Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta, hal: 244) 40 Kristanto, J.B. Op.cit., hal: 78 – 205 41 Suwardi, Hasan. Op.cit., hal: 16; 87 – 88

40 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

lawakannya mandul. Contoh, dengan menjadikan pemain bertubuh tambun atau malah pendek sebagai sumber tawa. Bahkan ada pula yang mengeksplorasi kentut dan air seni seperti yang ditampilkan dalam film Paul

Sontoloyo (J. Cabin Joe, 1974). Kris Biantoro yang memerankan Paul menceritakan dalam film tersebut ia harus melakukan adegan buang air kecil sebanyak 2 kali. Adegan mengencingi Ratmi Bomber, seorang pemain bertubuh subur, kemudian dibatalkan karena protes dari Kris.42

Tahun 1980-an ditandai dengan munculnya Warkop Prambors

(kemudian berganti nama menjadi Warkop DKI). Dapat dibilang era ini adalah era-nya Warkop.43 Tercatat dari 6044 judul film komedi yang dihasilkan, 22 judul diantaranya film Warkop. Film-film mereka laku keras di pasaran.

Menurut Perfini, untuk di Jakarta film komedi terlaris didominasi film-film

Warkop.45 Diantaranya Pintar-Pintar Bodoh (Arizal, 1980) dinobatkan sebagai film terlaris dan mendapat Piala Antemas pada Festival Film Indonesia tahun

1982. Begitu pula dengan Maju Kena Mundur Kena (Arizal, 1983) yang menyabet penghargaan yang sama di tahun 1984. Di tahun 1986, piala ini diberikan kepada film Kejarlah Daku Kau Kutangkap (Chaerul Umam, 1985) yang dibintangi oleh Lydia Kandou.46

Memasuki periode berikutnya, 1990-an, Suwardi mencatat adanya regenerasi dalam film komedi. Chaerul Umam masih bertahan sebagai sutradara. Sementara Nya Abbas Akup muncul dengan film terakhirnya

Boneka dari Indiana (1990). Film-film Warkop masih merajai di awal 90-an.

42 Said, Salim. Op.cit., hal: 233; 238 43 Kemunculan Warkop disusul Bagito, oleh Arswendo Atmowiloto, menandai munculnya kelompok lawak “generasi cakep”. Cakep di sini dalam artian mereka sangat memperhatikan penampilan, misal dengan menggunakan pakaian resmi semacam jas. (Sumber: Badil & Indro. Op.cit., hal: 247) 44 Suwardi memberikan data yang berbeda mengenai jumlah film komedi ini. Entah karena kesalahan ketik atau karena ia menggunakan sumber yang berbeda. Pada halaman 100, disebutkan: “*...+ tahun 1980-an, ada 651 judul film cerita yang diproduksi, 64 judul diantaranya merupakan film komedi.” Sedangkan di halaman 88 ia menulis: “Sepanjang 1980-an, dari 718 judul film Indonesia yang diproduksi, 60 judul terhitung sebagai film komedi.” (Sumber: Suwardi, Hasan. Op.cit., hal: 100; 88) 45 Ibid., hal: 100 46 Ibid., hal: 88 – 90

41 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Lupa Aturan Main (Tjut Djalil, 1990) menjadi film terlaris pertama di

Jakarta.47

Di samping itu muncul pula nama baru yang dapat diperhitungkan sebagai sutradara komedi. Ucik Supra lewat filmnya Rebo & Robby (1990) diunggulkan sebagai sutradara terbaik dalam FFI 1991. Film lainnya, Badut-

Badut Kota (1993) banyak pula menuai pujian.48 Hanya sayang, sutradara yang disebut-sebut sebagai penerusnya Nya Abbas ini kurang begitu produktif lantaran ia hadir di tengah-tengah keterpurukan dunia perfilman tanah air.49

Kalau dirujuk data Sinematek pada dasawarsa 1990-an terdapat 341 judul film, 43 film diantaranya dari ranah komedi.50 Kalau dihitung persentase-nya kecil sekali, kurang dari 13%. Krisis ekonomi dan kisruh politik yang mewarnai masa-masa itu rupanya berpengaruh terhadap industri film tanah air. Kecenderungannya, seperti yang diamati Imanjaya51, yakni membikin film panas yang ber-budget rendah, namun untung melimpah.52

Sebagai gambaran untuk tahun 1994 saja, Alex Leo Zulkarnaen ketika menjabat Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film mencatat terdapat 80% film yang menyajikan seks dan kekerasan sebagai menu utama. Mau tidak mau, harus diakui bahwa film-film panas inilah yang menyelamatkan industri film tanah air di masa itu. Bagaimana tidak, film-film macam ini sanggup meraih jumlah penonton 4 kali lipat dibanding film biasa.53

47 Ibid., hal: 91 48 Kristanto, J.B. Op.cit., hal: 400 49 Anggoro, Donny: “10 film terbaik Nya’ Abbas Akup” tertanggal 31 Oktober 2011 (Sumber: http://old.rumahfilm.org/artikel/artikel_10nyakabbasakup_files/, 16 November 2011) 50 Suwardi, Hasan. Op.cit., hal: 103 51 Imanjaya, Ekky: “Idealism versus commercialism in Indonesia cinema: A neverending battle”. (Sumber: http://new.rumahfilm.org/artikel-feature/idealism-versus-commercialism-in-indonesian-cinema-a- neverending-battle1/, 9 Juli 2011) 52 Meski, tidak semua film jenis tersebut dibanjiri penonton. Jumlah penonton secara keseluruhan malah turun. Mengutip Tempo (25 Juni 1994) jumlah penonton tahun 1993 yakni 4.400.315 sementara pada paruh pertama tahun 1994 jumlah penonton baru berkisar di angka 1.850.952. (Sumber: Sofyan, Yulizar S. & D. Soehendra. Dilema film nasional. Basis. September 1994. Vol. XLIII No. 9, hal: 335) 53 Lesmana, Tjipta. 1995. Pornografi dalam Media Massa. Puspa Swara: Jakarta, hal: 2

42 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

1. Film-Film Komedi Nya Abbas Akup

Kepentingan saya membahas film-film Nya Abbas Akup bukan karena menimbang „kebesaran‟ orangnya. Said menyebutnya “tukang ejek nomor wahid”54. Sementara itu, Lubish menggelarinya “Bapak Film Komedi

Indonesia”. 55 Pada FFI tahun 1991, ia diberi penghargaan sebagai sutradara yang konsisten membuat film komedi.56

Meskipun demikian, bukan pencapaiannyalah yang hendak saya gembar-gemborkan. Apa yang menjadi perhatian saya yakni bagaimana film komedi yang dipuja sebagai komedi yang tak sekadar untuk ber-ha-ha-hi-hi.

Nya Abbas Akup disebut-sebut berhasil „memperalat‟ komedi untuk menyuarakan kritik-kritik sosial. Dengan demikian, ditinjau dari perspektif ini film komedi tak selalu menjadikan ketawa-ketiwi sebagai tujuan. Kadang ia hanyalah jalan untuk menyampaikan sesuatu yang lain. Meskipun tak dapat pula dipastikan apakah penonton melihat benar hasil kerjanya sebagai kritik atau hanya sekadar hiburan. Mengingat, film-film Nya Abbas juga sukses secara komersial.

Pertanyaannya kemudian, kritik sosial macam apakah yang dibangun

Nya Abbas Akup melalui komedinya? Said berulang-ulang menegaskan bahwa film-film Nya Abbas Akup berbeda karena ia mengangkat kisah-kisah yang

„nyata‟ adanya. Katakanlah kisah-kisah yang dikerjakannya begitu

„membumi‟. Ia tidak mengarang cerita yang sepenuhnya fiktif. Tokoh- tokohnya dengan gampang dapat ditemui entah itu di jalanan, gedongan, atau bahkan kantoran. Tiga Buronan (1957) mengisahkan tentang sekawanan bandit. Lalu, Inem Pelayan Seksi (1976) menokohkan seorang „babu‟. Boneka dari Indiana (1990) menceritakan kehidupan keluarga pengusaha. Bing

54 Said, Salim. 1991. Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, hal: 221 55 Lubish, Ismail Fahmi dalam tulisannya tertanggal 5 Februari 2011 (Sumber: http://indonesiancinematheque.blogspot.com, diakses tanggal 11 Juli 2011) 56 Kristanto, J.B. Op.cit., hal: 363

43 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Slamet Koboi Cengeng (1974) meski koboi-nya produk „impor‟ namun kelakuan dan kegemarannya terasa begitu „Indonesia‟.57

Lebih lanjut Said mengamati Nya Abbas Akup dalam film-filmnya seakan-akan „menelanjangi‟ kepalsuan yang lazim dilakukan orang-orang.

Meskipun demikian, ia tetap menempatkan orang yang diejeknya sebagai

„manusia‟. Manusia yang sedapatnya bisa berbuat „salah‟. Namun, bukan berarti Nya Abbas adalah seorang penganjur moralitas normatif. Poinnya bahwa dia menggambarkan orang tidak secara kontras hitam dan putih.

Orang-orang itu berada di wilayah abu-abu. Sebetapapun „kriminalnya‟, ia tetap tak meninggalkan sisi-sisi kemanusiaannya.58

Tokoh „manusia biasa‟ ini salah satunya digambarkan dalam film Tiga

Buronan (1957)59. Film ini disebut Said “film komedi terbaik yang pernah dibuat dinegeri kita”.60 Film ini mengisahkan tiga jagoan yang sering membuat onar di sebuah desa. Bandit tersebut diketuai Mat Codet (Bing

Slamet). Ia digambarkan sebagai sosok yang galak dan garang. Namun, tidak berarti ia tidak bisa jatuh cinta. Dia jatuh hati pada anak salah seorang korbannya. Di akhir cerita, Mat Codet menyerahkan diri pada polisi.

“Ternyata, ia cuma manusia biasa yang takut mati.”61

Apabila Tiga Buronan dipuji Said segi kualitas dan keutuhan ceritanya, jika berbicara tentang kelarisan, maka Bing Slamet Koboi Cengeng (1974) adalah jawaranya. Berdasarkan data Perfin, film ini menduduki peringkat teratas film terlaris di tahun 1974. Selain itu juga menempati urutan ke-12 sebagai film yang paling banyak ditonton dalam kurun waktu 21 tahun (1973

57 Said, Salim. 1991. Op.cit., hal: 221 – 222 58 Ibid, hal: 221 59 Film ini adalah salah satu fim Nya Abbas yang bermasalah dengan badan sensor. Alasan yang diberikan waktu itu bahwa Tiga Buronan dapat menstimulir kejahatan di pedesaan. Soemardjono dalam sidang pleno BSF memberikan pembelaan dengan menyatakan bahwa masyarakat Indonesia tidak sedemikian bodohnya sehingga akan menelan mentah-mentah film komedi macam ini. Film ini pun lantas dapat diedarkan, dan tak ada laporan ‘kerusuhan’ yang timbul akibat terinspirasi film ini. (Kristanto, J.B. Op.cit.) 60 Said, Salim. 1991. Op.cit., hal: 227 61 Ibid., hal: 221

44 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

– 1994).62 Said menilai Bing Slamet Koboi Cengeng menampakkan nuansa humor yang berbeda ketimbang Tiga Buronan (1957) atau Matt Dower

(1969). Nya Abbas dianggapnya bermain di „wilayah yang aman‟. “Film ini, meskipun ada juga menyentil dosa di masyarakat (uang suap, amplop), pamrih „pendidikannya‟ tidak menonjol, selain propaganda buat ha, ha, ha.”63

Analisis berbeda diberikan Suwardi yang masih menemui muatan kritik sosial yang sarat dalam film tersebut. Sindiran yang muncul dari film ini diantaranya mempersoalkan uang semir dan perkara nyawa yang dihargai murah.64

Film lain yang juga beroleh sukses komersial luar biasa yakni Inem

Pelayan Seksi (1976).65 Menampilkan Doris Callebaute sebagai bintang utama, film ini disambung-sambung ceritanya hingga 3 sekuel. Masing- masing Inem Pelayan Seksi II (1977) dan Inem Pelayan Seksi III (1977).

Selain itu, serial televisinya juga diproduksi di tahun 1998. Dua puluh tahun setelah masa edarnya, film ini masih menyisakan „kharisma‟. Fenomenal adalah kata yang cukup mewakili untuk film Nya Abbas yang satu ini.

Lelucon tentang jongos atau babu memang sudah bukan barang baru dijadikan bahan melucu. Dewan Film Nasional mencatat bahwa kacung merupakan ciri khas pementasan tonil Melayu yang populer tahun 1920-an hingga 1930-an. Tokoh ini dihadirkan khusus untuk menimbulkan gelak tawa, khususnya ketika situasi sedang serius-seriusnya.66 Adapun lelucon jenis ini masih dipakai dan mendominasi film komedi tahun 50-an.67 Sungguhpun demikian, lawakan Nya Abbas jauh berbeda dari sekadar lelucon babu. Ia

62 Data ini khusus untuk penonton di wilayah Jakarta saja. Bing Slamet Koboi Cengeng membukukan 530.013 penonton, selisih 169.269 dari film Pengkhianatan G-30-S PKI (Arifien C. Noer, 1982) yang berada di urutan teratas. (Sumber: http://filmindonesia.or.id, 18 November 2011). 63 Said, Salim. 1991. Op.cit., hal: 224 64 Suwardi, Harun. Op.cit., hal: 136 65 Film ini merupakan film terlaris I di Jakarta tahun 1977. Selain itu juga menyabet Piala Antemas pada Festival Film Indonesia tahun 1978 (Sumber: Kristanto, J.B. Op.cit., hal: 144) 66 Suwardi, Harun. Op.cit., hal: 42 67 Said, Salim. 1991. Op.cit., hal: 233

45 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menggunakan si babu ini untuk mengkritik perilaku tuannya. Inilah yang menjadi tema sentral dalam film Inem Pelayan Seksi.

Gambar 2.1. Gambar sampul VCD Inem Pelayan Seksi68

Meskipun kritik dan sindiran tajam menjadi perhatian utama dalam film-film Nya Abbas Akup, agaknya bukan perkara ini lah yang membuatnya begitu disukai penonton. Nya Abbas pandai menyelipkan anasir lain yang sanggup meraih perhatian orang banyak. Unsur tersebut yakninya seks dan erotisme. Soemardjono yang menjadi editor film Tikungan Maut (Nya Abbas

Akup, 1966) menyebutkan ia diminta Nya Abbas melambatkan (slow motion) adegan wanita yang sedang membuka pakaiannya. “Adegan serupa ini memang hobinya,” terang Soemardjono.69

Parade perempuan cantik dan menggairahkan diperhatikan Said merupakan salah satu ciri khas film-film komedi Nya Abbas.70 Marselli

Sumarno berargumen bahwa hal ini memang disengaja untuk menyeimbangi

„humor kelas tinggi‟ yang ditampilkannya.71 Pola ini tidak ditemui dalam film komedi besutan Usmar Ismail. Namun, akan tampak secara menyolok

68 Sumber: http://id.wikipedia.org/, 18 November 2011 69 Sumber: http://indonesiancinematheque.blogspot.com, 11 Juli 2011) 70 Said, Salim. 1991. Op.cit., hal: 222 71 Marselli Sumarno menyebut film-film Nya Abbas Akup sebagai film komedi dengan “humor yang tinggi”, yaitu jenis humor yang mendasarkan pada kritik sosial. (Sumber: http://indonesiancinematheque.blogspot.com, 11 Juli 2011)

46 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

diantaranya dalam film-film komedi Warkop tahun 80 hingga 90-an (bahkan dapat dijumpai dalam film-film komedi dasawarsa 2000-an).

2. Film-Film Komedi Warkop

Berbicara tentang film komedi Indonesia terdahulu, tidaklah lengkap tanpa menyertakan film-film Warkop. Warkop (baik itu selagi berada di bawah naungan Prambors maupun ketika sudah „dipadatkan‟ menjadi Warkop DKI) dapat disebut legenda dalam dunia komedi Indonesia. Semasa aktifnya di dunia layar lebar, tercatat ada 34 film yang dibintangi. Dimulai dari tahun

1979 lewat film Mana Tahaaan... hingga yang penghabisan Pencet Sana

Pencet Sini tahun 1994. Film-film tersebut laku keras. Warkop diantaranya pernah menerima Moedjimun Award dari Gabungan Pengusaha Bioskop seluruh Indonesia sebagai film terlaris selama 5 tahun (1987 – 1992).72

Ditinjau dari kelarisan, film-film Warkop memang dapat dikata sukses besar (bahkan BESAR dalam huruf kapital). Dari 34 film yang mereka mainkan, 29 judul diantaranya tercatat dalam jajaran film yang paling banyak ditonton sepanjang tahun 1973 hingga 1994. Bahkan Maju Kena Mundur Kena

(Arizal, 1983) menempati urutan ke-2 dengan perolehan 658,896 untuk wilayah Jakarta saja. (Bandingkan dengan film Nya Abbas Bing Slamet Koboi

Cengeng yang hanya sanggup berada di urutan ke-12).73 Sungguhpun demikian, ada satu persoalan yang kerap mengundang polemik dalam film- film Warkop: perkara mutu.

Berbicara soal mutu sebenarnya dilematis juga. Apabila mutu merujuk pada adanya pengakuan dari „institusi tertentu‟ terhadap film yang bersangkutan, maka CHIPS (Cara Hebat Ikut Penanggulangan Masalah Sosial)

(Iksan Lahardi, 1982) sepertinya menjadi satu-satunya film Warkop yang bisa

72 Badil & Indro. Op.cit., hal: 124; 174 73 Berdasar kepada data PERFIN (Sumber: http://filmindonesia.or.id, 18 November 2011)

47 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dikategorikan „bermutu‟. Film ini dihargai sebagai film komedi terbaik oleh

Persatuan Wartawan Indonesia Jaya tahun 1983.74 Suwardi yang ikut merekam keberhasilan film Warkop ini berkomentar: “Sekecil apapun hadiahnya, hal tersebut membuktikan bahwa film bersangkutan tak terhitung sebagai film yang terlampau jelek” (penekanan dari penulis).75

Apabila kategori baik kemudian menjadi legitimasi festival film semacam FFI, maka satu-satunya piala yang mampu diraih film-film Warkop yakni Piala Antemas. Namun, piala ini tak berbicara soal kualitas, melainkan komersialitas. Piala sukses komersial ini memang ditujukan kepada film terlaris. Namun, semenjak 1984 diberlakukan peraturan, film yang mendapat

Piala Antemas haruslah yang memperoleh nominasi pula di FFI. Semenjak itu, film Warkop tak pernah memperoleh Piala Antemas. Padahal di tahun 1987,

1991, dan 1992 film Warkop tampil di urutan terdepan film terlaris Indonesia.

“Dalam sepanjang festival film, film-film Warkop nyaris senantiasa „dijauhi‟ dewan juri dari kemungkinan masuk unggulan”.76

Apabila melongok ke belakang, ihwal kemunculan Warkop berasal dari acara Obrolan Malem Jumatan, sebuah dagelan politik a la kampus yang diperdengarkan di Radio Prambors. Meski bergaya ngocol dan sering ngeres, namun mereka acap kali melontarkan sindiran bernada politis terhadap pemerintah. Maklum, 4 anggotanya saat itu berstatus mahasiswa (lagi aktivis) yang lagi kritis-kritisnya. Kecuali Indro, selebihnya menempuh pendidikan di Universitas Indonesia. Tak heran apabila kelompok ini kadang dikenal sebagai „pelawak intelek‟.77

74 Kristanto, J.B. Op.cit., hal: 239 75 Suwardi, Harun. Op.cit., hal: 101 76 Ibid., hal: 107 77 Sebagaimana disebut oleh Arwah Setiawan yang kala itu menjabat sebagai Ketua Lembaga Humor Indonesia dalam buku buku J.B. Kristanto: Nonton Film Nonton Indonesia disarikan oleh Ismail Fahmi Lubish. (Sumber: http://indonesiancinematheque.blogspot.com, 11 Juli 2011)

48 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Ketika merambah layar lebar, Warkop mau tak mau harus berkompromi dengan kemauan produser, yang berarti mempertimbangkan pula segi komersialitasnya. Kadar omongan politik dalam film pun tak terlalu terasa. Arwah Setiawan misalnya berpendapat bahwa Warkop di dalam film tidak terlalu kelihatan intelek.78 Lawakan fisik79, lagu-lagu parodi, dan gadis- gadis cantik seakan-akan menjadi ciri khas dalam film-film mereka. Garin

Nugroho bahkan iseng mencatat jumlah lawakan fisik yang muncul dalam film

Warkop Bisa Naik Bisa Turun. Hasilnya, terdapat 4 adegan tokoh kena siram,

13 kali kena tinju, 3 kali alat kelaminnya digasak, dan 8 kali terjatuh.80

Kasino menuturkan bahwa Warkop sebenarnya ingin juga memberikan sentuhan yang berbeda. Misalnya dengan meminta Chaerul Umam, Ami

Prijono, atau Ali Shahab menjadi sutradara. Namun, sayangnya percobaan ini tidak terlalu berhasil. Sehingga kemudian produser lebih senang memakai

Arizal81 dan Tjut Djalil yang sanggup menarik lebih banyak perhatian penonton. Demikianlah film Warkop kembali pada pola sebelumnya. Jadilah gadis-gadis dalam balutan busana renang di tepi pantai kembali mewarnai sebagian besar film Warkop.82 Film Warkop pertama yang menampilkan adegan pantai itu yakni Pintar Pintar Bodoh (Arizal, 1980).83

78 Ibid. 79 Ada gejala jenis lawakan fisik (slapstick) dikategorikan sebagai ‘selera rendah’. Trio Bajaj menolak mengelompokkan lawakan Warkop termasuk jenis ini. Melky Bajaj berkata: “Lawakan Warkop adalah lawakan-lawakan intelek. Lelucon-leluconnya berkarakter dan tidak pernah mengata-ngatai orang. Di film memang mereka terlihat slapstick, tetapi sebenarnya lawakan-lawakan mereka tidak pernah slapstick.” (Sumber: Badil & Indro. Op.cit., hal: 251 – 252) Menarik juga bahwa Nya Abbas yang didudukkan sebagai sutradara ‘film komedi bermutu’ pun mengelak filmnya sebagai komedi slapstick. Ia mendeskripsikan sebagai campuran antara farce, pure comedy, black comedy, dan sweet comedy. (Sumber: http://indonesiancinematheque.blogspot.com, 11 Juli 2011) 80 Badil & Indro. Ibid., hal: 113 – 114 81 Soal sutradara ini, Kristanto cenderung memiliki pendapat yang berlainan. Menurutnya, apabila ditinjau dari keutuhan cerita, Arizal lebih mending ketimbang sutradara lain yang menangani Warkop. Sementara film yang disutradarai Ali Shahab Manusia 6.000.000 Dolar dinilainya sebagai film Warkop terjelek. “Ali Shahab mencoba memancing tawa lewat cerita ala spionase film seri televisi, Six Million Dollar Man, tapi pengadeganan yang bertele-tele menyebabkan film ini gagal,” terangnya. (Sumber: http://indonesiancinematheque.blogspot.com, 11 Juli 2011) 82 Badil & Indro. Op.cit., hal: 125 83 Ibid., hal: 132

49 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Jika James Bond punya koleksi Bond‟s girl, Warkop juga punya

Warkop‟s girl (Eddy Suhardi menggelari mereka „Warkop‟s angel‟). Selaku ratu dari gadis-gadis Warkop pantas disematkan kepada Eva Arnaz. Ia lah yang paling sering tampil dalam film-film Warkop. Total 9 film. Peringkat kedua dan ketiga yakni: Sally Marcelina (5 film) dan Lydia Kandou (4 film).

Lainnya yang ikut dalam 3 film: Chintami Atmanegara, Lia Waroka, Ira

Wibowo, Nia Zulkarnaen, Nurul Arifin, Kiki Fatmala, dan Gitty Strinita.84

Gambar 2.2. Gambar poster dan sampul VCD film Warkop: Sudah Pasti Tahan (Arizal, 1991), Bisa Naik Bisa Turun (Arizal, 1991), dan Depan Bisa Belakang Bisa (Tjut Djalil, 1987)

Menarik apabila memperhatikan pemeran wanita pendukung tersebut, beberapa diantaranya sering juga muncul dalam deretan „film panas‟

Indonesia. Sebut saja Eva Arnaz, Sally Marcelina, dan Kiki Fatmala. Bahkan

Ayu Azhari dan Inneke Koesherawati pun sempat turut, meski cuma bermain dalam 1 film saja.

84 Ibid., hal: 175 – 177

50 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Meskipun tidak ada keterangan yang menegaskan mengapa artis-artis panas tersebut sering dipakai dalam film Warkop, namun sekiranya dapat dimaklumi mengingat umbar-umbaran fisik acap kali jadi tontonan yang mengasyikkan. Film Warkop selain identik dengan kegiatan renang di pantai, juga dikenali dari pakaian-pakaian mini yang dikenakan gadis-gadisnya.

Setidaknya, ini dapat dihitung sebagai daya tarik tersendiri dari film Warkop.

Eva Arnaz bahkan sering digoda teman-temannya: “Alaa, mereka tuh datang

[ke bioskop] gara-gara pengen ngeliat kamu Va”. Sementara itu Nurul Arifin, sebagai mantan gadis Warkop, bertutur: “[...] kehadiran saya di film kelompok ini memang seperti kosmetik.” 85

Indro mengakui, dengan banyaknya gadis-gadis seksi ini Warkop banyak disorot. “Tetapi sebenarnya, kalau kita lihat-lihat lagi, hampir jarang kita lihat ada film komedi tanpa kehadiran sosok perempuan,” ujarnya.86

Barangkali ini terdengar seperti pembenaran saja. Namun kalau dibandingkan, film-film komedi garapan Nya Abbas Akup juga menerapkan

„prinsip‟ ini. Bahkan hingga tahun-tahun terakhir ini, pola yang sama masih dengan gampang ditemui dalam film-film komedi Indonesia terkini.

Lanjut, sepanjang malang melintang di dunia perfilman Indonesia berbagai peran sudah dijabani oleh trio Warkop. Meskipun apabila kalau dilihat dari data yang disodorkan Badil & Indro ketiganya lebih banyak ditampilkan tanpa pekerjaan yang jelas. Paling mereka bermain sebagai mahasiswa (yang mana memang lekat dan dekat dengan image mereka sebagai pelawak intelek kampus). Selain itu, peran sebagai detektif atau penjaga keamanan juga pernah mereka cicipi dalam 4 film. Yang menarik, tentu saja dalam film Bisa Naik Bisa Turun (Arizal, 1991) di mana ketiganya

85 Ibid., hal: 178 86 Ibid., hal: 125

51 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

berperan sebagai karyawati (meski pura-pura). Mereka bertransformasi menjadi perempuan supaya bisa memperoleh pekerjaan.87

Laki-laki berperan sebagai „perempuan‟, atau yang kebanci-bancian memang sudah tidak asing dalam layar perak Indonesia. Benyamin S. pun pernah berperan sebagai „perempuan jadi-jadian‟ dalam Betty Bencong Slebor

(Benyamin S., 1978). Kasusnya pun mirip-mirip dengan trio Warkop dalam

Bisa Naik Bisa Turun. Benyamin memutuskan untuk menyamar sebagai Betty untuk memudahkannya mencari pekerjaan. Digunakannya tokoh banci dalam film komedi sepengamatan Sen pada umumnya digunakan untuk menimbulkan suasana lucu (sebagaimana peran yang dimainkan tokoh jongos dalam film komedi 50-an).88 Dan, dalam kerangka ini pulalah tampaknya

Warkop bermain-main dengan pernak-pernik „keperempuanan‟.

C. Reformasi dan Kemunculan Film Komedi Dewasa Indonesia

Saya tidak akan menyibukkan diri dengan memperdebatkan apakah benar Reformasi membawa perubahan berarti terhadap dunia perfilman

Indonesia. Tidak pula mengasumsikan bahwa Reformasi telah berjasa dalam mentransformasi wajah perfilman Indonesia. Reformasi jelasnya dipakai untuk penanda jaman, namun bukan untuk menandakan permulaan. Idiom- idiom dalam film lama misalnya masih dapat ditemui di film-film sekarang.

Meskipun ada pula beberapa yang dinilai menghadirkan „kebaruan‟ oleh beberapa pengamat.

Bagaimanakah tren sinema Indonesia pasca-Reformasi? Hanan diantaranya melaporkan 6 tren yang muncul dalam dunia film Indonesia pasca Reformasi, yakni:

87 Ibid., hal: 173 88 Sen, Krishna. Op.cit., hal: 138

52 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

1. Munculnya film yang mengkaji persoalan politik semisal peristiwa G30S

yang diangkat dalam Puisi Tak Terkuburkan (, 2000);

2. Munculnya isu-isu gender dan perempuan seperti yang tampak dalam

karya-karya : Arisan (2003) dan Berbagi Suami (2006);

3. Diangkatnya kisah tentang etnis Cina Indonesia yang diawali lewat film

Ca Bau Kan (Nia Dinata, 2002);

4. Adanya minat untuk memunculkan film populer progresif dengan

memanfaatkan genre film pop seperti film remaja dan film musikal.

Semangat macam ini tampak dalam hasil karya dan Riri

Riza;

5. Mulai diperhitungkannya hasil karya sineas film-film pendek yang

berbasis di kampus dan kine-klub; dan terakhir,

6. Mulai menggeliatnya film-film dokumenter seperti yang dirintis Aryo

Danusiri yang giat mendokumentasikan peristiwa-peristiwa yang

terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua.89

Adapun perkembangan dalam dunia film sebagaimana yang dicermati

Hanan, tidak berarti bahwa film-film tersebut termasuk kategori populer.

Semisal film-film politik hanya segelintir yang muncul. Hanan hanya melihat bahwa film-film macam itu „baru‟ muncul setelah Orde Baru berakhir.

Meskipun ya, persoalan „baru‟ ini masih sangat mungkin diperdebatkan.

Agaknya „baru‟ di sini cukup diartikan sebagai tema-tema yang sebelumnya dilarang tampil semasa Orde Baru. Contohnya persoalan pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Indonesia semasa DOM di NAD yang muncul dalam film Aryo Danusiri The Village Goat Takes the Beating (1999).

89 Hanan, David: “Moments of renewal - Alternative ways of viewing Indonesian Cinema”. (Sumber: www.upena.uitm.edu.my/publications/j02/j02_v2_2008/5.pdf, 11 Juli 2011)

53 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pada masa pemerintahan Orde Baru, seperti diamati Aartsen, kebebasan berekspresi para sineas Indonesia sungguh terbatas. Beberapa tema tidak diperbolehkan tampil. Diantara tema-tema tersebut yakni yang menyinggung pandangan politik dan hal-hal menyangkut SARA. Selain itu, seks dan kekerasan dipandang tabu. Begitu memasuki Reformasi, kode etik perfilman dihapuskan. Tema-tema yang tadinya „terlarang‟ menjadi sangat mungkin dibahas. Oleh karenanya, muncullah film-film yang membicarakan tentang korupsi, politik, obat-obatan terlarang, dan seks. 90

Meskipun demikian, sungguh gegabah apabila menyatakan bahwa semangat Reformasi telah melandasi pembikinan film-film yang mengangkat tema-tema tersebut. Apalagi kalau sudah berbicara tentang seks.

Sebagaimana yang disinggung sebelumnya, film-film yang mengandalkan seks dan erotika sudah menampakkan eksistensinya semenjak tahun 70-an.

Tahun 90-an bahkan produksi film-film panas tersebut mencapai puncaknya.

Benar, bahwa peraturan untuk membatasi peredaran materi-materi cabul itu sudah acap kali dicanangkan. Namun, soal pengimplementasiannya adalah hal yang jauh berbeda.

Beberapa akademisi (seperti Joan Sharpe dan Katinka van Heeren), sebagaimana disinggung Imanjaya, menyebut film-film Indonesia memasuki pembabakan baru yang mereka sebut dengan „new Indonesian cinema‟.

Namun, pertanyaan Imanjaya berikut patut dipertimbangkan pula: “Was the so-called “New Indonesian Cinema” born as a response to the Reform

Movement?”. Ia kemudian menyarankan untuk diadakannya penelitian

90 Aartsen, Josscy. 2011. “Film world Indonesia: The rise after the fall.” Thesis di Universitas Utrecht, hal: 14 – 16 (Sumber: igitur-archive.library.uu.nl, 14 Juli 2011)

54 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tersendiri untuk mengetahui keterkaitan antara gerakan Reformasi dengan tren sinema Indonesia dewasa ini. 91

Pertanyaan lain yang bisa diajukan adalah mengapa retorika

„kebebasan berekspresi‟ itu tak memunculkan dominasi film-film dengan tema-tema „subversif‟92? Untuk memberikan gambaran film macam apa yang dapat dikategorikan „subversif‟ itu marilah melihat pada contoh yang disebut

Aartsen. Film-film tersebut yakni Matt Dower (Nya Abbas Akup, 1969) dan

Langitku Rumahku (, 1989). Keduanya „bermasalah‟ lantaran nuansa politis dan sosial yang sangat kental.93 Bahkan kasus yang menimpa

Langitku Rumahku berujung hingga pengadilan.94

Merujuk pada film-film dasawarsa terakhir ini, sedikit sekali yang mau merepotkan diri dengan hal-hal politis macam itu. Sudah disinggung sebelumnya bahwa Hanan mengamati sedikit sekali film Indonesia terkini yang berbicara tentang politik. Hal ini pula lah yang menjadi perhatian

Imanjaya yang membandingkan film-film yang dihasilkan generasi muda seperti Mira Lesmana, , Nan Achnas, dll. dengan film-film besutan

Garin Nugroho:

“Although the Reform has opened many opportunities to make films in accordance with their idealism, only few political films were produced. While Garin Nugroho often makes clear political and cultural statements in his films, this younger generation mostly shows the opposite indication. There are no films made by this generation with political or critical thought against government‟s policy or as statements concerning important events or notorious phenomena such as corruption, traffic jam, rising fuel prices, or natural disasters, to name a few.” 95

91 Imanjaya, Ekky: “Idealism versus commercialism in Indonesian cinema: A neverending battle”. (Sumber: http://new.rumahfilm.org/artikel-feature/idealism-versus-commercialism-in-indonesian-cinema-a- neverending-battle1/, 9 Juli 2011) 92 Subversif diartikan sederhana sebagai kritik terhadap ‘penguasa’. Perlu ditegaskan pula bahwa apa yang digolongkan subversif dalam tiap-tiap pemerintahan berbeda-beda. Bisa juga film yang tadinya dianggap ‘tidak berbahaya’ di masa yang lain menjadi sebaliknya. Misal, film garapan hasil sutradara kiri baru mendapat konotasi subversif setelah adanya peristiwa Gestapu. 93 Aartsen, Josscy. Op.cit., hal: 15 94 Kristanto, J.B., Op.cit., hal: 347 95 Imanjaya, Ekky: “Idealism versus commercialism in Indonesian cinema: A neverending battle”. (Sumber: http://new.rumahfilm.org/artikel-feature/idealism-versus-commercialism-in-indonesian-cinema-a- neverending-battle1/, 9 Juli 2011)

55 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Lebih lanjut, Imanjaya berargumen kurangnya film-film politis ini diantaranya disebabkan oleh perhitungan ekonomis. Film-film politis tidak disukai oleh penonton dan karenanya pembuat film tidak mau mengambil resiko film mereka tidak laku di pasaran. Sementara mereka mencari makan melalui film itu lah.96

Sementara itu Said melihat persoalan ini lebih dari sekadar pertimbangan komersialitas. Ia beranggapan bahwa barangkali saja situasi politik di masa sekarang tidak dirasa penting dan mendesak untuk dirumuskan dalam bentuk film. Belum lagi para pembuat film memiliki pendanaan yang terbatas.97 Kalau dulu di tahun 1971, seperti kata Jauhari melalui SK Menteri Penerangan No. 40/1971 produser dipinjami bantuan dari pemerintah. Sementara sekarang, produser harus pintar-pintar mencari dana untuk membikin film.98 (Di sini argumen Imanjaya di atas memperoleh pembenarannya.)

Di samping itu, Said juga menyebut jarang ditemui tradisi untuk memprotes melalui medium seni dan sastra. Meskipun ia juga tak memungkiri bahwa usaha ini sudah dirintis oleh Sutan Takdir Alisyahbana, begitu pula

Lekra. Namun, keduanya dinilai Said tidak berhasil.99 Said di tempat lain menjelaskan bahwa dari 158 judul film yang diproduksi dari tahun 1957 hingga pecahnya Gestapu bulan September 1965, 28 judul diantaranya digarap oleh sutradara golongan kiri. Namun, dari film-film yang dibuat oleh sutradara tersebut, “sulit ditemukan film yang betul-betul bernapaskan semangat kekirian”.100101

96 Ibid. 97 Ibid. 98 Jauhari, Haris. Op.cit., hal: 111 – 113 99 Imanjaya, Ekky: “Idealism versus commercialism in Indonesian cinema: A neverending battle”. (Sumber: http://new.rumahfilm.org/artikel-feature/idealism-versus-commercialism-in-indonesian-cinema-a- neverending-battle1/, 9 Juli 2011) 100 Said, Salim. 1982. Op.cit., hal: 73 101 Kurang terasanya unsur kiri dalam film-film garapan sutradara yang bernaung di bawah Lekra juga dilontarkan Biran: “Film-film yang dibikin oleh kalangan Lekra pada masa itu juga ada yang bagus, tapi tidak

56 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

1. ‘Reformasi’ dalam Sensor Film Indonesia

Berbicara soal sensor terhadap film-film Indonesia, acap kali kejadian sebuah film dilarang beredar bukan karena konten atau gagasannya, namun lebih karena siapa yang membuat atau yang terlibat di dalamnya.

Kebanyakan juga bernuansa politis. Misal kejadian setelah Gestapu di mana

„sutradara-sutradara kiri‟ dipenjarakan dan hasil karya mereka diberangus dengan alasan mempropagandakan paham komunisme.102 Padahal, sebagaimana didedah Sen, tidak pernah jelas apa benar ideologi komunis yang menjadi pesan film-film tersebut.103

Film Usmar Ismail Anak Perawan di Sarang Penyamun (1962) tercatat dua kali ketiban „sial‟. Sen menuturkan bahwa film ini diprotes oleh „golongan kiri‟ karena digarap berdasarkan karangan S.T. Alisjahbana yang kala itu dicap sebagai “musuh revolusi”.104 Sebagaimana diterangkan Ismail filmnya ini tidak dapat beredar. Bahkan tidak pula setelah Gestapu usai.

Penyebabnya, sederhana. Bambang Hermanto yang diketahui memihak

Lekra/PKI terlibat pula dalam pembuatan film ini. Sebagaimana disinggung sebelumnya, sehabis Gestapu orang-orang yang dianggap terlibat dicekal

(bahasa halusnya, dinonaktifkan).105

Film Yang Muda Yang Bercinta (Sjuman Djaya, 1978) lain lagi ceritanya. Diceritakan Arief, film ini sudah lulus sensor pada 15 April 1978.

Sebulan setelahnya, tiba-tiba film yang bersangkutan dilarang beredar di wilayah hukum Kodam Jaya. Penyebabnya diutarakan lantaran mengandung

ada bau-bau komunisnya sama sekali. [...] rupanya komunisme belum menjadi filsafat dalam kesenian mereka.” (Sumber: Biran, Misbach Yusa. 1990. Op.cit., hal: 43) 102 Sen, Krishna & David T. Hill. 2007. Media, Culture, and Politics in Indonesia. Equinox Publishing: Jakarta & Kuala Lumpur, hal: 137 103 Sen mengutip Foulcher, “[...] Lekra never developed radical aesthetic criteria distinct from the ‘buorgeouis nationalist traditions’ which were shared by the national intelligentsia as a whole, including the left.” Kerja beberapa sutradara Lekra sebenarnya ada berbeda, namun tidak ada kesepakatan mengenai isi dan bentuk. Ditambahkannya juga kerja sutradara kiri tersebut tak terlalu dikontrol oleh partai. (Sumber: Sen, Krishna. Op.cit., hal: 36 – 37; 43) 104 Sen, Krishna. Op.cit., hal: 41 105 Ismail, Usmar. 1983. Usmar Ismail Mengupas Film. Penerbit Sinar Harapan: Jakarta, hal: 96

57 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

“unsur propaganda, agitasi dan menghasut masyarakat”. Pangkal balanya agaknya karena Rendra yang menjadi pemeran utama ditangkap di awal Mei saat ia sedang membacakan puisi-puisinya.106

Adapun kasus-kasus di atas berlangsung semasa Soekarno dan

Soeharto berkuasa. Ketika Reformasi bergulir, tercecah harapan sensor film- film di Indonesia akan mengalami pembaharuan pula. Sementara dari segi kebebasan berekspresi media sudah mulai tampak.107 Namun, Undang-

Undang No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman bukan berarti tak berlaku lagi.

Lembaga Sensor Film (LSF) juga masih menjalankan fungsinya dalam sensor- menyensor film. Hanya saja, sebagaimana diherankan Clark, kerja LSF tak jelas lagi batasannya. Misal, Tiga Hari Untuk Selamanya (Riri Riza, 2007) beberapa adegannya dipotong. Sementara Arisan! (Nia Dinata, 2003) malah berhasil mempertontonkan adegan ciuman antara pasangan homoseks, benar-benar „lolos‟ sensor. “Why have these scenes been left uncut by the censor?” tanya Clark.108109

Aartsen secara khusus menyorot persoalan dihapusnya kode etik semasa Reformasi.110 Dengan merujuk pada Katinka van Heeren ia menjelaskan kode etik sebagai: “[...] a strict set of rules that had to be

106 Arief, M. Sarief: “Refleksi film Indonesia: Membangun profesionalitas lewat sensor” (Sumber: http://indonesiancinematheque.blogspot.com, 11 Juli 2011) 107 Clark, Marshall. 2008. “Indonesian cinema: exploring cultures of masculinity, censorship, and violence” dalam Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics. Ed. Ariel Heryanto. Routledge: London and New York, hal: 42 108 Ibid., hal: 44 109 Sebelum Arisan!, film Kuldesak (Mira Lesmana, dkk., 1998) telah menampilkan adegan ciuman pasangan sejenis (homoseksual). Kala itu, sutradara dihadapkan pada dua pilihan: adegan dipotong atau film sama sekali tidak dapat beredar. Kesudahannya dapat ditebak, adegan ciuman itu dihilangkan. (Kadir, Hatib Abdul. 2007. Tangan Kuasa dalam Kelamin: Telaah Homoseks, Pekerja Seks, dan Seks Bebas di Indonesia. Insist Press: Yogyakarta, hal: 130 – 131) 110 Selain Aartsen, tidak diketemukan sumber lain yang menyatakan kode etik ini dihapuskan semasa Reformasi. Keterangan ini masih bisa dipertanyakan mengingat Badan Sensor Film (BSF) yang memberlakukan kode etik tersebut sudah digantikan Lembaga Sensor Film (LSF) tahun 1994 (4 tahun sebelum Reformasi). LSF bekerja berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, PP Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata PM.31/UM.001/MKP/05 tentang Tata Kerja Lembaga Sensor dan Tata Laksana Penyensoran, dan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.46/OT.001/MKP/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Lembaga Sensor Film. (Sumber: http://www.lsf.go.id, 20 November 2011)

58 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

followed [...] Not folowing the code could result in censorship or even prevent a film to be released.” Film berdasarkan pada kode etik ini juga diharuskan mengikuti alur tertentu yang meyakinkan bahwa bagaimanapun jalan ceritanya, akhirnya haruslah selalu positif.111 Contoh dari Sen, bila sebuah film menceritakan kisah penculikan, maka di akhir anak yang diculik itu haruslah kembali dengan selamat.112

Setidaknya ada 2 macam kode etik yang pernah diberlakukan: kode etik Badan Sensor Film (BSF) yang terbit tahun 1980 dan Kode Etik Produksi

Film Indonesia tahun 1981. Keduanya tidaklah jauh berbeda mengingat kode etik yang terakhir ini, sebagaimana dikatakan Sen, disusun berpedoman kepada kode etik BSF.113

Kode Etik Produksi Film Indonesia diinisiasi dari Majelis Musyawarah

Perfilman Indonesia yang diselenggarakan akhir tahun 1980. Pertemuan ini dihadiri „orang-orang film‟ yang tergabung dalam Persatuan Perusahaan Film

Indonesia (PPFI), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) dan Kesatuan

Karyawan Film dan Televisi (KFT). Dalam pertemuan tersebut mengemukalah keprihatinan tentang banyaknya unsur seks dalam film-film Indonesia. Untuk itu diusulkan insan film harus memiliki kode etik.114

Menyusul, tahun 1981 diadakan Seminar Kode Etik Produksi Film

Indonesia di Jakarta. Dalam seminar inilah diputuskan Kode Etik Produksi Film

Indonesia. Sensor yang tadinya ditetapkan oleh BSF, diadaptasi menjadi sensor diri bagi setiap pekerja film. Katakanlah sebagai bentuk „tanggung jawab moral‟ terhadap film yang hendak mereka bikin. Melalui kode etik, film

111 Aartsen, Josscy. Op.cit., hal: 15 112 Sen, Krishna. Op.cit., hal: 70 113 Ibid., hal: 69 114 Hendra: “Kebijakan yang berubah-ubah” (Sumber: http://lsf.go.id/index.php?option=com, diposting kembali oleh situs http://perfilman.pnri.go.id/, 23 November 2011)

59 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

sudah disensor dan disaring oleh si pembuat, sehingga ia tak perlu lagi berhadapan dengan sensor-sensor serupa di BSF.115

Meskipun demikian, tak dapat digampangkan bahwa setiap film akan mengikuti benar panduan yang dicanangkan baik oleh BSF maupun kumpulan pekerja film itu sendiri. Apalagi kode etik tak bersifat mengikat dan memaksa akan halnya Undang-Undang.

Menimbang posisi kode etik tersebut, jikalau kode etik bubar selepas

Reformasi tak akan membawa perubahan signifikan terhadap jalannya dunia perfilman di tanah air. Yang banyak bermasalah justru UU dan peraturan- peraturan yang sifatnya lebih mengikat dan cenderung memaksa. Pelaku yang dianggap menyalahi UU dapat dijerat hukuman baik itu pidana maupun perdata, hal mana tidak dapat dilakukan oleh „sekadar‟ kode etik.

Demikianlah desakan untuk mereformasi UU Perfilman datang dari para sineas muda (diantaranya yang tergabung dalam Masyarakat Film

Indonesia/MFI). Mereka meminta DPRI RI mencabut UU Perfilman No 8 Tahun

1992 dan menggantinya dengan UU baru yang „mendukung kemajuan‟. Selain itu, mereka juga menuntut Lembaga Sensor Film diganti menjadi Lembaga

Klasifikasi Film. Lembaga ini kemudian hanya akan bertugas mengklasifikasi film berdasarkan usia penonton. Namun tidak berwenang untuk memotong atau menghilangkan adegan tertentu di dalam film.116

Nia Dinata yang dalam Quickie Express bertindak selaku produser, juga ikut tergabung dalam gerakan Masyarakat Film Indonesia tersebut.117

Dalam keterangan terpisah ia mengungkapkan kekesalan karena tak satu pun

115 Ibid. 116 Sumber: http://lsf.go.id/film.php?module=peraturan, 23 November 2011 117 Selain Nia Dinata, beberapa kru film Quickie Express lain juga terlibat dalam gerakan tersebut. Meraka itu yakni: Dimas Djayadiningrat (sutradara), (penulis naskah), Tino Saroengallo (pemeran Mudakir), Lukman Sardi (pemeran Piktor), dan (pemeran tante). (Sumber: http://masyarakatfilmindonesia.wordpress.com/about/, 4 September 2013)

60 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

film yang dibuatnya lolos sepenuhnya dari badan sensor.118 Ia berpandangan bahwa tindak penyensoran terhadap film sudah “kuno” dan “ketinggalan jaman”. Oleh karena itu, ia menuntut sistem yang lebih demokratis dalam menilai film.119 Demokratis yang dimaksud di sini, agaknya, agar badan sensor tidak lagi dapat memotong adegan dengan semena-mena.

UU Perfilman kemudian memang berganti. Pada tanggal 8 Oktober tahun 2009, disahkan UU No 33 tentang Perfilman. UU terbaru ini bukannya memberikan lebih banyak kebebasan bagi para sineas untuk berkarya, melainkan malah hendak mendudukkan diri sebagai „yang berkuasa‟ sekali lagi. Aartsen menyebut “[...] the state wants to gain more control and to make sure, that there are not any ideas that might interfere with the policies, morality, and ideals as envisioned by government.”120 Sebagai bentuk campur tangan pemerintah itu dapat ditengok dalam pasal 17121 di mana disebutkan bahwa pembuat film diharuskan memberitahu terlebih dahulu kepada menteri.

Pemerintah dalam materi sosialisasi berargumen bahwa terbitnya UU ini justru lebih memihak kebebasan berekspresi. Di dalamnya disebutkan bahwa “Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dibuat dengan mengusung nafas dan tuntutan gerakan reformasi di dalamnya.” Pasal 17 yang dinilai Aartsen „bermasalah‟ karena mengharuskan pembuat film

118 Nia Dinata dalam wawancara dengan Laura Coppens dalam Michalik, Yvonne & Laura Coppens (Ed.) 2011. Asian Hot Shots: Sinema Indonesia. Penerbit Bentang: Yogyakarta, hal: 111 119 Ibid., hal: 113 – 114 120 Aartsen, Josscy. Op.cit., hal: 19 121 Dari salinan UU No 33 tentang Perfilman yang saya dapat dari situs www.budpar.go.id dan http://lsf.go.id perihal keharusan untuk memberitahukan materi film sebelum proses produksi ini diatur dalam pasal 17, bukan 18. Aartsen (2011: 52) menyandarkan data tentang UU ini dari artikel berita di situs http://www.thejakartaglobe.com. Dilihat dari salinannya yang dicantumkan Aartsen dalam lampiran, diketemukan ada beberapa aspek yang berbeda selain sekadar kekeliruan dalam penyebutan pasal. Kekeliruan yang cukup vital itu misalnya, pasal 53 (yang ditulis pasal 52 dalam salinan UU) disebutkan: “Stipulates that the government, without the necessity of consulting the Indonesian Film Body, may compile, endorse and coordinate the implementation of policies and strategies intended for the development of the national film industry.” Padahal di UU tertulis: “Pemerintah bertugas menyusun, menetapkan, dan mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan rencana induk perfilman nasional dengan memperhatikan masukan dari badan perfilman Indonesia.” (Penekanan dari penulis)

61 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mendaftarkan judul, isi dan rencana pembuatan film, disebut-sebut bertujuan untuk mencegah duplikasi dan plagiarisme dalam dunia film. Selain itu, dalam pasal 60 disebutkan bahwa sensor mengedepankan „dialog‟ dengan pembuat film. Dialog di sini maksudnya LSF akan mengembalikan film kepada pemiliknya agar dapat diperbaiki sesuai standar LSF. Dengan demikian, pemotongan dapat diperhalus sesuai dengan estetika yang diinginkan oleh pembuat film. 122

Selain itu, yang dianggap sebagai kelebihan UU No 33 ini bahwa diakuinya komunitas film non komersial (seperti kineklub) serta penjaminan terhadap hak-haknya. Mengenai pembiayaan, juga terdapat komitmen pemerintah untuk ikut membantu. Diantaranya, dalam pasal 51 berbunyi

“Pemerintah berkewajiban untuk memberikan bantuan pembiayaan apresiasi film dan pengarsipan film”. Di samping itu, penghargaan juga diberikan kepada film-film yang berprestasi.123

Meskipun demikian, tentu saja saya tak menyarankan untuk memandang UU No 33 ini dalam kerangka yang begitu positif. Tidak pula menyarankan untuk bersikap antipati terhadapnya. Yang perlu diwaspadai bahwa ketika sudah diatur dan disebutkan dalam UU tidak hanya perkara hak yang dilindungi, tapi disertai pula seperangkat kewajiban dan peraturan yang harus ditaati. Setiap bentuk kontrol dan pengawasan memiliki kencederungan untuk membatasi ruang gerak „subyek-subyek‟ yang dicantumkan di dalamnya. Belum lagi, apabila memperhatikan sanksi yang diterapkan UU terbaru ini mencantumkan sanksi administratif bahkan hingga sampai tahap pencabutan izin/pembubaran.124

122 Sumber: www.sinematekindonesia.com, 23 November 2011 123 Ibid. 124 UU No 20 tahun 1992 tidak mengatur soal sanksi administratif. Adapun pembahasan soal sanksi dan pidana tidak dibicarakan dalam sosialisasi materi UU No 33 tahun 2009 (Sumber: Ibid.)

62 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Selanjutnya, protes terhadap pemberlakuan UU No 33 tahun 2009 tentang Perfilman ini banyak menekankan pada persoalan sensor.

Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa insan perfilman menuntut penghapusan sensor untuk digantikan dengan pengklasifikasian film berdasar golongan umur. Sementara UU No 33 tahun 2009 khususnya Bab VI terlihat masih berusaha untuk memberlakukan „perbaikan-perbaikan‟ terhadap konten/materi film.

Menanggapi pemberlakuan Undang-Undang ini, Slamet Rahardjo, sutradara senior berpendapat bahwa sensor seharusnya tidak diberlakukan lagi dalam perfilman Indonesia. “Kalau kita sudah memiliki sebuah keinginan untuk mencerdaskan bangsa, maka tidak boleh ada yang ditutup-tutupi,” ujarnya.125 Demikian pula Yayasan 28 yang intens mengkaji UU No 33 tersebut melalui Direktur Eksekutif-nya Christiana Chelsia Chan menyebutkan bahwa sensor ini cenderung membatasi kebebasan berekspresi. Christiana malah menganjurkan bahwa kontrol terhadap film seyogyanya berasal dari komunitas film itu sendiri dalam bentuk kode etik.126

Apabila mengamati situasi dalam dunia perfilman Indonesia pada dasawarsa terakhir ini, saya tak yakin penghilangan sensor akan membuat insan perfilman bebas merdeka dalam berkarya. Sebagaimana yang diperhatikan Clark perfilman Indonesia mendapat ancaman „baru‟ yang justru berasal dari luar pemerintah.127 Ia berargumen bahwa „Islamisasi‟ hadir sebagai “[...] „new‟ kind of censorship in the post-Suharto era”.128 Perseteruan dengan „ormas-ormas Islam tertentu‟ ini juga bisa berimbas pada aspek finansial. “[...] no film studio will want to see their latest cinematic investment

125 “Undang-Undang Perfilman yang Baru Dikritik” terbit tanggal 26 Januari 2010 (Sumber: www.hukumonline.com, 27 November 2011) 126 Ibid. 127 Clark, Marshall. Op.cit., hal: 44 128 Ibid., hal: 39

63 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

fail to return to a sizeable profit, due to poor ticket sales associated with negative publicity and court cases,” tambah Clark.129

Sepanjang tahun 2000-an tercatat beberapa film tersandung masalah dengan „ormas-ormas Islam‟ ini. Sebut salah satunya, Front Pembela Islam

(FPI) yang aktif mengamati dan „mengkritisi‟ film-film Indonesia kontemporer.

Habieb Rizieq selaku ketua FPI menjelaskan posisi FPI sebagai:

"[...] semacam Pressure Group di Indonesia, untuk mendorong berbagai unsur pengelola negara agar berperan aktif dalam memperbaiki dan mencegah kerusakan moral dan akidah umat Islam, serta berinisiatif membangun suatu tatanan sosial, politik & hukum yang sejalan dengan nilai-nilai syariat Islam."130

FPI diketahui memprotes sejumlah film, semisal Hantu Tanah Kusir

(Findo Purwono H.W.131, 2011), Rintihan Kuntilanak Perawan (Yoyok

Dumprink, 2010), Hantu Puncak Datang Bulan (Steady Rimba132, 2010) hingga ? (, 2011). Film Hantu Tanah Kusir dan Rintihan

Kuntilanak Perawan diprotes FPI karena menampilkan bintang porno impor yakni Miyabi dan Tera Patrick. Wakil Ketua DPD FPI DKI Jakarta Habib Fahri

Djamalullail dalam orasinya: "Kita mempermasalahkan kedatangan Miyabi, menolak! Bagaimana pun dia adalah ikon masa lalunya. Urusan tobat atau nggak tobat itu masalah yang lain".133

Kasus yang berbeda menimpa film ? besutan Hanung. Film ini diprotes bukan karena materi pornografisnya sebagaimana dialami 3 film lainnya. Film

? dinilai FPI sebagai “[...] film sesat dan menyesatkan yang HARAM ditonton umat Islam karena berisi ajaran LIBERAL yang telah difatwakan sesat oleh

129 Ibid, hal: 44 130 Sumber: http://fpi.or.id/index.php?p=tentangfpi&mid=1, 18 November 2011 131 Findo H.W. dulunya juga menyutradarai Buruan Cium Gue di tahun 2004. Meski sudah lulus sensor, film ini dikritik oleh Majelis Ulama Indonesia berikut dai kondang Indonesia di masa itu, Aa Gym. Aa Gym bahkan memplesetkan judul film ini menjadi Buruan Zinahi Gue. (“Buruan Cium Gue dan soal moral” dalam http://islamlib.com/id/artikel/buruan-cium-gue-dan-soal-moral, 27 November 2011) 132 Steady Rimba merupakan aktor tahun 80-an yang mulai memproduseri film khusus esek-esek semenjak tahun 1992. (Sumber: http://indonesiancinematheque.blogspot.com, 11 Juli 2011) 133 “Massa FPI demo di kantor Maxima Pictures kecam rencana kedatangan Miyabi” (Sumber: http://fpi.or.id, 18 November 2011)

64 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

MUI.” (Penggunaan huruf kapital sesuai aslinya) Dalam pernyataan sikapnya,

FPI tak lupa mencap Republika sebagai “pengkhianat” karena telah mensponsori film ?.134

Selain „mengurusi‟ benar soal film Indonesia, FPI di tahun kemarin juga melibatkan diri dalam aksi penentangan terhadap penyelenggaraan Q!

Film Festival 2010 di Jakarta. Q! Film Festival ini menurut rencana akan dihelat dari 24 September – 3 Oktober 2010. Festival ini akan menampilkan

150 film dari 120 negara yang khusus mengangkat isu-isu soal hak kaum homoseksualitas dan mereka yang terinfeksi HIV/AIDS.135 Memasuki hari ke-

4, dipicu oleh protes FPI, pihak penyelenggara kemudian membatalkan pemutaran film di sejumlah lokasi.136

FPI dalam surat terbuka, menuntut diberhentikannya Q! Film Festival dengan memberikan tenggang waktu 1 × 24 jam. Alasan FPI melarang penyelenggaraan festival ini diantaranya karena berpotensi mengkampanyekan dan mempromosikan apa yang disebut sebagai

“perzinahan” dan “perilaku seks menyimpang”. Lebih lanjut, FPI beranggapan bahwa nilai-nilai ini tidak sesuai dengan Pancasila terutama sila “Ketuhanan

Yang Maha Esa”, UUD 1945, maupun norma agama. Kegiatan ini, sambung

FPI bertujuan untuk “menghancurkan generasi muda Indonesia, khususnya generasi muda Islam agar menerima kehidupan seks bebas, perzinahan, homoseksualitas dan lesbianisme.”137

Sedikit menyinggung tentang homoseksualitas di Indonesia pasca

Reformasi, Boellstorff menyebutkan tentang munculnya „political homophobia‟

134 “Sikap FPI terhadap film “?” karya Hanung Bramantyo” (Sumber: Ibid.) 135 “Agar obyektif, FPI diminta nonton Film Gay-Lesbi dulu” (Sumber: http://m.kompas.com/news/read/2010/09/29/12255489/Agar.Obyektif.FPI.Diminta, 27 November 2011) 136 “Penyelenggaran Q Film Festival urungkan pemutaran film” (Sumber: http://m.kompas.com/news/read/2010/09/28/18170660/penyelenggara.q.film.festival.urungkan.pemutara n.film, 27 November 2011) 137 “Surat ultimatum terbuka mengenai kampanye Festival Film Gay dan Lesbi” (Sumber: http://fpi.or.id, 18 November 2011)

65 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

yang salah satunya mewujud lewat aksi penentangan bahkan perusakan terhadap acara/kegiatan yang mengusung tema homoseksual. Boellstorff mencontohkan lewat aksi protes Gerakan Pemuda Ka‟bah dalam pertemuan sekitar 350 gay dan waria yang berlangsung di Kaliurang 11 November 2000.

Tak cukup berteriak-teriak, aksi ini juga berlangsung brutal sehingga mengakibatkan beberapa peserta terluka.138

Padahal pertemuan serupa sudah berlangsung semenjak awal 1990-an di berbagai tempat di Indonesia tanpa adanya keributan. Meskipun demikian, tidak adanya gejolak yang terjadi dalam pertemuan-pertemuan gay dan waria sebelumnya, tak membuktikan bahwa Indonesia bersikap toleran terhadap kasus homoseksualitas. Memang, di berbagai tempat di Indonesia dapat ditemui beberapa praktek homoseksualitas dan transgender (misal: tradisi warok reog di Ponorogo dan bissu di Sulawesi Selatan). Praktek-praktek homoseksual tradisional ini disebut Boellstorff acap kali menjadi pembenaran kaum gay di Indonesia. Namun, masih menurut Boellstorff, hanya sebagian kecil kaum gay yang paham soal tradisi ini. Malah, mereka mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari masyarakat „modern‟.139

Adanya konstruksi „modern‟ ini lah yang saya kira menimbulkan resistensi. „Modern‟ dalam konteks Indonesia ditelusuri dari tahun 1920-an dapat berarti „barat‟ yang senantiasa didudukkan membawa „pengaruh buruk‟ dan berpotensi merusak „kebudayaan Indonesia‟. Sebagai contoh, marilah kembali pada kasus penentangan festival film gay oleh FPI. Sebagai catatan kepada berbagai lembaga asing yang bertindak sebagai penyelenggara Q!

Film Festival, FPI berkomentar:

“Khusus kepada lembaga asing seperti Goethe Institute, Erasmus Huis, Centre Culturel Francais dan Japan Fondation, kami ingatkan kepada saudara untuk jangan

138 Boellstorff, Tom. 2004b. The emergence of political homophobia in Indonesia: Masculinity and national belonging. J. Ethnos Vol. 69: 4, hal: 465 – 466 139 Ibid., hal: 470

66 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menyalahgunakan keramahan bangsa Indonesia untuk mendukung kegiatan-kegiatan sesat dan menyesatkan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 maupun norma agama dan nilai-nilai ketimuran Bangsa Indonesia.”140 (Penekanan sesuai teks aslinya)

Dari teks tersebut jelas FPI berkeyakinan bahwa apa yang dibawa oleh

„lembaga-lembaga asing‟ itu tidak bersesuaian dengan apa yang dipercayai

FPI sebagai „nilai-nilai ketimuran‟. Saya tak ingin mempermasalahkan konstruksi ketimuran yang dipakai FPI atau bagaimana „Islam‟ dipakai sebagai bagian dari „budaya timur‟ itu sendiri. Namun, yang menarik untuk dipertanyakan, mengapa film-film Indonesia yang menampilkan kasus homoseksualitas dapat melenggang elok di bioskop-bioskop tanah air?

Bahkan Arisan! dan Quickie Express sanggup meraup penonton dalam jumlah banyak tanpa adanya „konflik‟ yang berarti dari mereka-mereka yang memposisikan diri sebagai „pemerang kebathilan‟ ini.

2. Kilas Balik Film Indonesia Sesudah Reformasi

Clark menulis “[...] several years before Suharto‟s resignation,

Indonesian cinema had virtually died, with barely a handful of films emerging between 1993 and 1998.” Kemunculan Kuldesak (Riri Reza, Nan Achnas, Rizal

Mantovani, dan Mira Lesmana, 1999) dianggap sebagai pemicu bagi tumbuh dan kembangnya industri film tanah air.141 Tak heran apabila Kurniasari kemudian menganggap dasawarsa 2000-an sebagai masa terang setelah gelap yang melanda dunia perfilman pada periode 10 tahun ke belakang.142

Apabila hendak berbicara dari hitungan statistik, awal periode 2000 produksi film di Indonesia masih relatif sepi, bahkan hampir mati. Di tahun

140 “Surat ultimatum terbuka mengenai kampanye Festival Film Gay dan Lesbi” (Sumber: http://fpi.or.id, 18 November 2011) 141 Clark, Marshall. Op.cit., hal: 43 142 Kurniasari, Triwik: “Cinema comes out of dark ages” tanggal 27 Desember 2009 (Sumber: http://www.thejakartapost.com, d 26 Juli 2011)

67 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

2001 misalnya hanya tercatat sekitar 3 atau 4 judul film saja. Secara perlahan namun meyakinkan, industri film merangkak naik semenjak tahun

2002 hingga di tahun 2007 mencapai angka 50-an judul. Begitu tahun 2008 hingga 2011, produksi film mentok di angka 80-an judul per tahun. Lumayan lah. Apabila ditotal untuk dasawarsa 2000-an saja terkumpul 449 judul film.

Setidaknya ada peningkatan apabila dibandingkan dengan dekade 90-an yang merekam 341 judul film.143 Sungguhpun demikian, perdebatan film nasional sepertinya tak beranjak juga dari persoalan kualitas.

Tabel 2.1. Data produksi film di Indonesia sesudah Reformasi144

JUMLAH PRODUKSI FILM NO. TAHUN Depbudpar Film Indonesia 1. 1998 11 4 2. 1999 10 4 3. 2000 6 11 4. 2001 4 3 5. 2002 9 14 6. 2003 13 15 7. 2004 21 33 8. 2005 33 25 9. 2006 33 36 10. 2007 53 52 11. 2008 75 89 TOTAL 268 286

Lantas, apa sajakah kejadian-kejadian menarik dalam sinema

Indonesia pada masing-masing tahun tersebut? Di tahun 2000, Yan Widjaya menyebut film Petualangan Sherina (sutradara: Riri Riza) bagaikan “a breath of fresh air wafting through the stale Indonesian movie world”. Film drama

143 Total film dari tahun 2008 – 2011 secara berurutan adalah sbb: 2008 (89 judul), 2009 (84 judul), 2010 (87 judul) dan 2011 (sementara ini masih 82 judul). Sumber: http://filmindonesia.or.id, 20 November 2011 144 Data dihimpun dari 2 sumber yang berbeda. Kolom ke-3 berasal dari Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jaringan, Depbudpar tahun 2009 (dengan catatan, data tahun 2008 hanya dihitung hingga bulan November.) Data yang dipaparkan dalam kolom ke-4 berasal dari pencarian melalui situs www.filmindonesia.or.id, 20 November 2011). Perbedaan diantara keduanya dimungkinkan karena berbeda dalam memasukkan keterangan tahun (apakah dihitung dari waktu produksi atau masa edar). Hasil akhir bisa dibilang tak berbeda jauh mengingat sebelumnya ada selisih bulan dalam pencatatan produksi film tahun 2008.

68 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

musikal yang dibintangi penyanyi cilik Sherina Munaf ini diproduksi dengan biaya mencapai 2 miliar rupiah. Berbekal strategi pemasaran yang rapi, tak heran apabila film ini berhasil menarik 1,4 juta penonton. Angka yang fantastis untuk sekelas film drama musikal.145

Tahun berikut, giliran film horor menancapkan kukunya. Film

Jelangkung yang disutradarai Rizal Mantovani dan Jose Poernomo disebut- sebut ditonton sekitar 1,5 juta orang. Berbeda dari film horor terdahulu, film ini mengandalkan unsur visual ketimbang naratif. Setting pun tak melulu harus di tempat-tempat angker (seperti kuburan atau di pohon-pohon besar) melainkan sudah „hijrah‟ ke daerah perkotaan.146

Tahun 2002, film drama remaja mulai mengepakkan sayap melalui

Ada Apa Dengan Cinta garapan . Film ini bahkan mampu menjual hingga 2,6 juta tiket bioskop (2 kali lipat dari yang dihasilkan

Petulangan Sherina atau pun Jelangkung). Film ini mengibarkan nama

Nicholas Saputra dan Dian Sastro sebagai idola baru remaja.147

Setahun kemudian, sukses Ada Apa Dengan Cinta diteruskan film Eiffel

I‟m in Love (sutradara: Nasry Cheppy). Nia Dinata yang telah hadir dari tahun lalu lewat Ca Bau Kan, di tahun ini kembali muncul lewat Arisan!. Bila Ca Bau

Kan dianggap sebagai pionir untuk kategori film berlatarbelakang etnis Cina

Indonesia, maka Arisan! dikenang karena menampilkan pasangan homoseksual. Nia Dinata, bersama dengan sutradara muda lain semisal Mira

Lesmana, Riri Riza, dan Hanung Bramantyo disebut Yan Widjaya memiliki peran penting dalam mengembalikan kejayaan film-film lokal Indonesia.148

145 Kurniasari, Triwik: “Cinema comes out of dark ages” tanggal 27 Desember 2009 (Sumber: http://www.thejakartapost.com, 26 Juli 2011) 146 Edna C. Pattisina sebagaimana dikutip Hikmat Darmawan dalam tulisan “Mengapa film horor 1” (Sumber: http://new.rumahfilm.org/artikel-feature/mengapa-film-horor-1/, 18 November 2011) 147 Kurniasari, Triwik: “Cinema comes out of dark ages” tanggal 27 Desember 2009 (Sumber: http://www.thejakartapost.com, 26 Juli 2011) 148 Ibid.

69 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Memasuki tahun 2004, Festival Film Indonesia kembali diselenggarakan setelah sempat vakum semenjak 1993. Anugrah film terbaik diberikan kepada Arisan!. Sementara itu, kategori sutradara terbaik dimenangkan Roedi Soedjarwo melalui Ada Apa Dengan Cinta. Peristiwa lain yang „menarik‟ di tahun ini yakni kemunculan film Buruan Cium Gue (Findo

H.W., 2004) yang dibarengi sejumlah protes dari berbagai elemen masyarakat. Film ini lantas ditarik dari peredaran. Namun, masih di tahun yang sama, yang sama kembali beredar dengan judul yang sudah „dipermak‟:

Satu Kecupan.149

Tahun 2005, ditandai dengan kemunculan film-film yang diadaptasi dari chicklit yang sedang naik daun di kalangan remaja. Selain itu juga ada kecenderungan untuk membuat versi novel dari film. Beberapa judul film diantaranya: Brownies (sutradara: Hanung Bramantyo), Me vs High Heels

(sutradara: Pingkan Utari), Cinta Silver (sutradara: Lance), dan Dealova

(sutradara: Dian Sasmita).150

Tahun berikut, penyelenggaraan FFI 2006 memicu kisruh. Film

(sutradara: Nayato Fio Nuala) berhasil membawa pulang 4 Piala Citra. Salah satu diantaranya sebagai film terbaik. Sementara, beberapa sineas beranggapan film ini merupakan „jiplakan‟ dari film luar, mulai dari jalan cerita hingga musik latar. Di lain pihak, dewan juri pun tak menyediakan jawaban yang memuaskan atas keterpilihan film ini.151 Kemelut ini mencapai puncaknya pada Januari 2007 di mana sekitar 30 orang sineas muda tanah air

149 Aartsen, Josscy. 2011. “Film world Indonesia: The rise after the fall”. Thesis di Universitas Utrecht. (Sumber: igitur-archive.library.uu.nl, 14 Juli 2011) 150 Kurniasari, Triwik: “Cinema comes out of dark ages” tanggal 27 Desember 2009 (Sumber: http://www.thejakartapost.com, 26 Juli 2011) 151 Sasono, Eric: “Krisis perfilman Indonesia” (Sumber: http://perfilman.pnri.go.id/kliping_artikel.php?a=reset, 18 November 2011

70 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mengembalikan Piala Citra yang mereka dapat sedari tahun 2004. Riri Riza,

Nia Dinata, Mira Lesmana, dan Hanung Bramantyo termasuk diantaranya.152

Tahun 2007, film horor tampil mendominasi. Dari catatan Aartsen jumlahnya mencapai 24 judul. Sementara film drama hanya sekitar 11 judul, dan komedi 5 judul.153 Untuk membendung teror horor inilah, Quickie Express hadir. Film ini menandai dimulainya era film komedi dewasa di Indonesia.154

Sepeninggal tahun 2007, genre film yang hadir tampak lebih merata.

Aartsen mencatat 38 film drama, 22 film horor, dan 29 film komedi.155

Sementara itu, dua film Laskar Pelangi (sutradara: Riri Riza) dan Ayat-Ayat

Cinta (sutradara: Hanung Bramantyo) berhasil memecahkan rekor box-office.

Masing-masing meraup penonton sejumlah 4.606.785 dan 3.581.947. Dengan asumsi 1 orang penonton membayar Rp. 13.000 maka pendapatan kotor kedua film ini masing-masing sekitar 59 dan 46 miliar rupiah.156

Begitu masuk tahun 2009, film religi kembali meraup sukses. Ketika

Cinta Bertasbih (sutradara: Chaerul Umam) dan sekuelnya, Ketika Cinta

Bertasbih 2 (sutradara: Chaerul Umam) masing-masing mengumpulkan

3.100.906 dan 2.003.121 penonton. Kristanto mencatat, di tahun ini diproduksi 27 film drama, 25 film horor, dan 26 komedi.157 Dapat dibilang angkanya merata untuk masing-masing genre.

Tahun 2010, lanjut Kristanto, sebaran film cerita untuk jenis drama, komedi, maupun horor tipis bedanya. Terhitung ada 19 film drama, 15 film horor, dan 15 film komedi. Namun, masalah baru muncul. Perolehan jumlah penonton menurun tajam. Tidak ada film yang mampu menyaingi rekor

152 Imanjaya, Ekky: “Idealism versus commercialism in Indonesian cinema: A neverending battle” (Sumber: http://new.rumahfilm.org/artikel-feature/idealism-versus-commercialism-in-indonesian-cinema-a- neverending-battle1/, 9 Juli 2011) 153 Aartsen, Josscy. Op.cit., hal: 29 154 Kurniasari, Triwik: “Cinema comes out of dark ages” tanggal 27 Desember 2009 (Sumber: http://www.thejakartapost.com, 26 Juli 2011) 155 Aartsen, Josscy., Op.cit. 156 Sumber: http://filmindonesia.or.id, 18 November 2011 157 Kristanto, J.B.: “Maka lengkaplah penderitaan itu” (Sumber: http://filmindonesia.or.id, 18 November 2011)

71 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Laskar Pelangi tahun 2008. Sang Pencerah (sutradara: Hanung Bramantyo) yang berada di urutan teratas hanya mampu menembus angka 1 jutaan.

Selebihnya, tak ada yang bahkan mendekati angka itu. Dalam Mihrab Cinta

(sutradara: Habiburrahman El Shirazy) yang berada di posisi ke-2 hanya ditonton 623.105 orang.158 (Bandingkan dengan statistik tahun 2009 di mana terdapat 6 judul film yang penontonnya di atas 1 juta).159

Memasuki tahun 2011, film Indonesia masih krisis penonton. Surat

Kecil Untuk Tuhan (sutradara: Harris Nizam) yang berada di peringkat teratas hanya sanggup mengumpulkan 748.842 penonton. Disusul Arwah Goyang

Karawang (sutradara: Helfi Kardit) dengan perolehan 727.540 penonton.160

Bagaimana hendak menjelaskan fenomena ini? Kristanto mengembalikan persoalan ini pada kualitas dan kreatifitas yang disebutnya “tumpul”.

Kebanyakan film Indonesia dewasa ini “mengeksploitasi seks secara serampangan”, tandasnya.161 Imbasnya, semua film yang „bermutu‟ malah ikut terbawa-bawa.162 Adapun perkara mutu ini sejatinya sudah menjadi wacana yang bolak-balik dipersoalkan dalam dunia perfilman Indonesia.

3. Komedi Kemaluan dalam Layar Lebar Tanah Air

Kalau dilihat dari jenis film yang mendominasi tahun-tahun terakhir ini menurut Aartsen tak beranjak dari cinta-cintaan, hantu-hantuan, dan komedi dewasa. Film drama yang mendominasi berupa drama remaja, drama sosial

(menyangkut masalah-masalah semacam ketergantungan pada obat-obatan dan kekerasan), serta film religi. Sementara, untuk film horor disebut Katinka

158 Ibid. 159 Sumber: http://filmindonesia.or.id, 13 Maret 2012 160 Ibid. 161 Kristanto, J.B.: “Maka lengkaplah penderitaan itu” (Sumber: http://filmindonesia.or.id, 18 November 2011) 162 Kristanto menyebut 3 film bermutu tahun 2010: Alangkah Lucunya (Negeri Ini), Tanah Air Beta, dan Minggu Pagi di Victoria Park. Sedangkan, untuk film yang mengeksploitasi seks secara serampangan antara lain: The Sexy City, Mas Suka Masukin Aja, Anda Puas Saya Loyo, Akibat Pergaulan Bebas, Kain Kafan Perawan, dan Hantu Jamu Gendong. Perhatikan 4 film yang disebut adalah film komedi dewasa. (Sumber: Ibid.)

72 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

van Heeren telah memasuki „era baru‟. Salah satu bentuk „kebaruan‟ ini diterjemahkan dengan menghilangnya peran kyai untuk memecahkan permasalahan dunia hantu.163

Berbicara lebih lanjut tentang komedi kemaluan, benar-benar berkibar di tahun-tahun terakhir. Merujuk pada data yang disajikan Aartsen, terbaca bahwa semenjak 2003 hingga 2007 film komedi yang muncul tak lebih dari 5 judul per tahun. Lonjakan drastis terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Pada

2008, jumlah film komedi tercatat 29 judul, dan tahun setelahnya terjadi peningkatan meski itu hanya 1 judul.164 Ada apa gerangan? Salah satu pemicu, saya duga, ada sangkutannya dengan kesuksesan Quickie Express tahun 2007. Mengulang-ngulang formula dari film yang laku tampaknya sudah menjadi „tabiat‟ dalam bisnis film tanah air.

Lewat kemunculan Quickie Express165 (Dimas Djayadiningrat, 2007), film komedi Indonesia mulai beranjak dari „sekadar‟ film komedi ke film komedi dewasa.166 Aartsen menyejajarkan film komedi jenis ini dengan

American Pie (Paul Weitz, 1999) meski tak sampai menayangkan adegan buka-bukaan secara total.167 Apapun itu, Quickie Express sudah terlanjur dinobatkan, salah satunya oleh Yan Wijaya, sebagai pioneer komedi dewasa

Indonesia.168 Walaupun sebelum Quickie Express, sudah muncul dua film komedi kategori dewasa. Kedua film itu adalah: Mengejar Mas-Mas (Rudi

163 Aartsen, Josscy. Op.cit., hal: 28 164 Ibid., hal: 29 165 Label komedi dewasa film Quickie Express dicantumkan secara eksplisit dalam materi promo dan gambar bioskop. (Sumber: “Dimas Djayaningrat kembali ke film lewat Quickie Express”: www.antaranews.com, 22 Maret 2011). Begitupun dalam katalog film di situs http://filmindonesia.or.id (diakses tanggal 3 Mei 2011), Quickie Express disebut sebagai “film komedi (seks) dewasa”. 166 Film-film yang diklasifikasikan film komedi dewasa antara lain: Kawin Kontrak (Ody C. Harahap, 2008), Mas Suka Masukin Aja (Rully Manna, 2008), XL: Extra Large (Monty Tiwa, 2008), Pijat Atas Tekan Bawah (K.K. Dheeraj, 2009), dll. Peredaran film komedi dewasa bermunculan setelah 2007. Film-film komedi terdahulu seperti film pamungkas Warkop DKI Pencet Sana Pencet Sini (Arizal, 1994), Si Manis Jembatan Ancol (Atok Suharto, 1994) dan Montir-Montir Cantik (B.Z. Kadaryono, 1984) hanya diberi label film komedi. (Sumber: http://filmindonesia.or.id, 3 Mei 2011) 167 Aartsen, Josscy. Op.cit., hal: 34 168 Darmawan, Hikmat: “Quickie Express: Mengkhianati WARKOP” (Sumber: http://new.rumahfilm.org/resensi/layar-lebar/quickie-express-mengkhianati-"warkop"/, 25 Maret 2011).

73 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Soedjarwo, 2007) yang beredar tanggal 24 Mei dan Maaf Saya Menghamili

Isteri Anda (Monty Tiwa169, 2007) yang rilis sebulan setelahnya.170

Terbit pertanyaan, sebenarnya hal apa yang bisa disebut „lebih dewasa‟ dalam film-film komedi Indonesia terkini? Bagaimanakah kedewasaan ini diterjemahkan? Dilihat dari kadar „buka-bukaan‟ baik paha maupun dada film-film era 70 hingga 90-an tak kalah mencengangkan.

Darmawan membandingkan Quickie Express (Dimas Djayadiningrat,

2007) dengan Permainan Cinta (Willy Wilianto, 1983) dan Montir-Montir

Cantik (B.Z. Kadaryono, 1984) yang bisa dibilang sebagai komedi seks (dalam artian menjadikan seks sebagai subyek). “Bedanya, komedi seks kita zaman dulu malu-malu, Quickie Express lebih serba tahu dan jelas tak malu-malu.

[...] Yang dikomedikan oleh Quickie Express bukan hanya perilaku seks, tapi juga preferensi seks,” tandasnya. 171

Persis, seks yang „malu-malu‟ ini dapat pula dijumpai dalam Badut-

Badut Kota (Ucik Supra, 1993). Memang, film ini bukan „film komedi dewasa‟, dalam artian serupa Quickie Express. Namun, setidaknya ia ada membahasakan perkara seks (bahkan dalam artian hubungan seksual).

Terlebih, film ini dalam keterangan lulus sensor juga diperuntukkan untuk kalangan dewasa. Simak percakapan pagi-pagi antara tokoh Deddy (Dede

Yusuf) dengan Pak Chairul (Sofyan Sarna) berikut:

Pak Chairul : “Tiap hari keramas ya, Bung?” Deddy : “Yah, begitu lah Pak. Biar seger, Pak.” Pak Chairul : “Nasib Bung. Saya tidak bisa cuci rambut di rumah.”

169 Setelah menyutradarai Maaf Saya Menghamili Isteri Anda, di tahun berikut Monty Tiwa menggarap film komedi dewasa lain berjudul XL: Extra Large. Film ini disebut Aartsen (2011: 34 – 35) sebagai salah satu film komedi dewasa pertama di Indonesia. Bila Maaf Saya Menghamili Isteri Anda tak masuk 10 besar film yang paling banyak ditonton, maka XL: Extra Large berada di urutan ke-4. Prestasi yang sama ditorehkan oleh Quickie Express di tahun 2007. (Sumber: http://filmindonesia.or.id, 9 Juli 2011). 170 Quickie Express dirilis tanggal 22 November 2007. Dibandingkan Mengejar Mas Mas dan Maaf Saya Menghamili Isteri Anda, Quickie Express lebih banyak ditonton. Film ini menempati urutan ke-4 dari deretan film terlaris tahun 2007. (Sumber: http://filmindonesia.or.id, 3 Mei 2011). 171 Darmawan, Hikmat: “Quickie Express: Mengkhianati WARKOP” (Sumber: http://new.rumahfilm.org/resensi/layar-lebar/quickie-express-mengkhianati-"warkop"/, 25 Maret 2011)

74 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Deddy : “Pompanya macet, Pak?” Pak Chairul : “Pompa sih ngocor terus Bung Deddy. Tapi tampungannya ga ada. [...]” : “[...]ajarin saya gimana caranya bisa cuci rambut di rumah” Deddy : “Loh, memangnya selama ini Pak Chairul cuci rambut di mana?” Pak Chairul : “Ya kalau bisa curi kesempatan sih di luar. Buat saya kan susah didapat. Nasib...” Deddy : “Tapi Pak Chairul habis cuci rambut?” Pak Chairul : “Cuci dengan tangan, Bung. He...he...Nasib...nasib...”

Tentunya kedua tokoh tersebut tidak sedang berbicara tentang keramas atau cuci rambut dalam artian sebenarnya. Namun, kata ini dipilih untuk membincangkan kehidupan seksual dalam rumah tangga masing- masing. Dengan demikian, apa yang disebut Darmawan sebagai “seks malu- malu” bukan berarti ia berhenti dibicarakan. Hanya saja, ia kerap muncul dalam bentuk kiasan dan analogi. Lalu, apa bedanya dengan film komedi dewasa kemudian?

Untuk itu, mari beralih pada film Quickie Express. Berikut adalah percakapan Jojo (Tora Sudiro) dan Marley (Aming Sugandhi) yang menceritakan pengalaman pertama mereka bertugas sebagai gigolo:

Marley : “Gila, Jo. Keren habis Jo. Gue ngerasa kayak laki-laki dewasa banget, mat. Oow..... Ah, romantis abis.” Jojo : “Gimana?” Marley : “Gitu lah mat. Wine. Dinner. Sex mood. A....gue bilang sih ini bukan seks. Tapi making love. Everything‟s gonna be alright, mat. Lu gimana?” Jojo : “Ya gitu, gue sama. Gue juga dapetnya cantik. Trus gue dapetnya terpelajar, seksi. Trus ya, bukan nge- seks. Kayak kata lo, tapi making looove.”

Perhatikan bagaimana keduanya dapat dengan lancar bertutur tentang hubungan intim yang baru saja mereka jalani. Tidak ada kata „kiasan‟ yang digunakan untuk mengimplikasikan hubungan seksual tersebut. Seks diucapkan begitu saja dengan vokalnya. Meski, tak bisa pula dikatakan seks sudah dianggap sebagai obrolan yang sama sekali biasa, sama seperti ketika berbicara tentang kesukaan atau pekerjaan misalnya. Perbincangan soal seks

75 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

masih menyisakan „ketertutupan‟. Misalnya diwakilkan dengan kata „gitu‟ atau

„macam-macam‟. Istilah yang lebih abstrak sebenarnya apabila dibandingkan dengan „keramas‟ yang masih dapat dipahami keterkaitannya dengan aktivitas seksual yang dimaksud.

Lalu, kecenderungan lain yakni menggunakan padanan kata dalam bahasa asing (Inggris) semisal making love, biasa disingkat ml- ketimbang padanan katanya dalam bahasa Indonesia. (Walau kosakata bercinta atau bersenggama masih ditemukan juga.) Tentu dibutuhkan penjelasan lebih dari sekadar berargumen bahwa masyarakat kita suka berlagak British. Kosakata ini, ml, sudah menjadi „kode umum‟ yang lazim dipakai di majalah-majalah gaya hidup, ambil saja U Magazine sebagai contohnya. Barangkali, ada kesan lebih sopan, biar tak terlalu blak-blakan. Tapi, asumsi ini lemah juga. Mei

2008, beredar sebuah film dengan judul ML: Mau Lagi garapan Thomas

Nawilis. Meski sudah disediakan kepanjangan dari ML sebagai Mau Lagi dan bukan make love, tapi tetap menuai protes. Film ini ditarik untuk kemudian dirilis ulang Oktober tahun yang sama dengan judul yang sama sekali berbeda: Cintaku Selamanya.172

Berikut, apa yang dapat dikatakan sebagai „ciri khas‟ film komedi seks yakni kecenderungan dalam menampilkan lelucon-lelucon „kasar‟ (baca:

„kurang ajar‟). Khusus Quickie Express, bahkan ikut memperdengarkan kata- kata makian. Ini lah yang mungkin menjadikannya begitu „khas dewasa‟.

Ambil sebagai contoh dalam Quickie Express yang menampilkan adegan di mana kemaluan Marley digigit ikan piranha. Ketika suster menanyakan kondisi Marley, kedua koleganya, Jojo dan Piktor memang tak langsung menunjuk pada alat vitalnya tersebut. Piktor dengan gaya bicaranya yang melabrak habis huruf p menjadi f menjawab: “Fangkal faha naikan dikit.”

172 Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-c016-08-724079/cintaku-selamanya, 28 Juli 2011

76 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Suster yang mendengar itu pun memeriksa dan berkata (nyaris berteriak):

“Bah, makin kecil saja penis kau!”

„Lelucon cabul‟ macam ini tentunya tak dapat diterima semua kalangan. Meski film ini diperuntukkan untuk dewasa, tak semua orang dewasa dapat menikmatinya. Begitu kentalnya gurauan macam ini membuat

Quickie Express di satu sisi dihujat dan di sisi lain dirayakan sebagai bagian dari „era keterbukaan‟ (tepatnya, „buka-bukaan‟). Lagi-lagi didapati perbedaan

Quickie Express dengan film-film komedi pendahulunya. Jika seks dan erotisme yang terdapat dalam film-film Warkop dianggap sebagai bagian dari

„humor rendah‟ atau selera kalangan bawah, tidak demikian dengan Quickie

Express. Quickie Express didudukkan sebagai „humornya orang kota‟.

Untuk memperjelas, saya mencuplikkan sedikit tulisan Basral. Ia membandingkan antara Quickie Express dengan novel-novel Motinggo

Boesye. Keduanya disejajarkan dengan alasan sama-sama menampilkan parade „tante girang‟. Pendapatnya: “[...] berbeda dengan Busye yang berupaya menampilkan potret sosial dalam persoalan seksualitas, Dimas memilih pendekatan komedi yang luar biasa konyol, sehingga pada banyak bagian terlihat vulgar dan sekaligus pandir.” 173

Pengamatan Basral lagi, ketika ia menyaksikan Quickie Express di layar bioskop tidak semua penonton ikut tergelak. Ada yang cuma menggaruk-garuk kepala. Apanya yang lucu dari boneka seks yang dipetantang-petenteng ke sana ke mari? Akan tetapi, bagi penonton “yang terbiasa melihat seks sebagai aktivitas mekanik” Quickie Express merupakan tontonan yang menghibur. Diceritakan Basral: “Ledakan tawa penonton

173 Basral, Akmal Nasery: Komedi kemaluan tanpa malu (Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com, 26 Juli 2011)

77 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

terdengar dari adegan ke adegan, bagai cermin yang memantulkan wajah terbaru generasi perkotaan.” 174 [penekanan dari penulis]

Lalu, beralih pada beberapa beberapa blog yang kebetulan meresensi

Quickie Express. Tak soal apakah mereka berkenan atau tidak, film ini tetap didudukkan sebagai bagian dari diskursus „humor perkotaan‟. Isu lain yang tak kalah menarik yakni mencuatnya persoalan moralitas, atau non-moralitas.

Bagi yang menyenangi film ini menyertakan pesan-pesan „non-moralistik‟ semisal: “jangan sok alim”175 atau “manusia-manusia picik dilarang nonton”.176 Quickie Express dirayakan oleh mereka yang menamai diri sebagai orang-orang „liberal‟ dan tidak „munafik‟.177

Sementara, blogger lain yang keberatan dengan lelucon dalam Quickie

Express, dengan sukarela menempatkan diri sebagai golongan „konservatif‟ yang akan lebih suka menikmati „humor ndeso‟ ketimbang „humor kota‟ serupa Quickie Express. Ia dengan jeli menyorot bagaimana humor yang sama yang dikemas secara berbeda akan dipandang berlainan pula. “[...] adegan orang kejedot di satu film atau di panggung Srimulat bisa dianggap slapstik tolol tapi di film lain atau di Extravaganza dianggap lucu,” semprotnya.178

Lanjut, persoalan mengenai moralitas memang acap kali mengemuka dari bahasan soal film komedi dewasa. Soal ini juga mendapat perhatian dalam tinjauan Darmawan, seorang kritikus film, terhadap dua film komedi dewasa terkini: Quickie Express yang muncul di tahun 2007 dan Kawin

174 Ibid. 175 Blogger bernama Ple-Q menyarankan: “Tonton aja dengan hati senang dan ringan, nggak usah sok alim deh.” Mengomentari tulisan tersebut, ada yang memberi kesaksian: “Pas kapan gitu.. nonton Quickie untuk yang kedua kalinya.. kebetulan sebelahku ada sepasang manusia berlainan jenis.. kalo ada adegan yg agak ‘nyerempet’, mesti langsung komen “Astaghfirullah”.. tak berapa lama mereka langsung ngloyor keluar.. “ (Sumber: http://ple-q.com/myblog/quickie-express-ngakak-abis.html, 28 Maret 2011) 176 Mistervandy menulis: “Film ini sangat vulgar untuk ukuran film Indonesia. So, anak-anak dan manusia- manusia picik dilarang nonton!” (Sumber: http://mistervandysays.wordpress.com, 28 Maret 2011). 177 Mistervandy, juga menulis: “jokes-jokes yang nakal bisa membuat meringis orang-orang yang memegang ketat norma-norma, namun membuat mereka yang liberal terbahak-bahak.” (Sumber: Ibid.) 178 Mumu: Tonjolan besar di balik celana Tora Sudiro (Sumber: http://mumualoha.blogspot.com, 25 Maret 2010)

78 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kontrak yang beredar setahun setelahnya. Bedanya, Darmawan tidak melibatkan diri dalam perdebatan apakai ia termasuk kelompok yang bermoral atau tidak. Soal moral yang dipersoalkannya ditelisiki di dalam konten film. Bukan, soal mental penontonnya.

Kawin Kontrak (Ody C. Harahap, 2008) dikritik habis-habisan oleh

Darmawan. Menurutnya, film ini merupakan “film amoral”. Ia melihat film ini menawarkan sebuah kekosongan moral. Apa yang dilakukan film ini tak lebih dari “sebuah pendangkalan”. Sumber keberatan Darmawan bahwa film ini terlihat menggampangkan persoalan mengenai kawin kontrak. Tak ada aspek sosial yang diperbincangkan. Kawin kontrak dihadirkan sebagai solusi untuk menyalurkan hasrat seksual dengan „cara aman‟. Kemudian, lembaga pernikahan pun direduksi menjadi sekadar lembaga persenggamaan.179

Sementara itu, Quickie Express (Dimas Djayadiningrat, 2007) dinilai

Darmawan memiliki kecenderungan untuk bersikap “antiwacana dan antisosial”. Ini lah yang menjadi „moral‟ dalam film ini. Quickie Express disebut hendak “menggambarkan individu yang ingin mencari tempat yang tepat, bukan dalam dan untuk masyarakat, tapi untuk mendapat kesenangan dan kenyamanan hidup pribadi,” tambahnya.180

Persis, kesenangan (terutama yang badaniah), agaknya dapat menjadi kata kunci dalam membicarakan film komedi dewasa Indonesia. Entah bermoral atau tidak, itu dapat dikesampingkan. Jika diperhatikan sepintas lalu topik-topik yang dihadirkan dalam film-film komedi dewasa tersebut diantaranya berkisar pada keinginan anak muda (khususnya laki-laki) untuk memulai petualangan seksual. Seks dalam artian yang direduksi menjadi sekadar berhubungan badan. Misal tampak dalam film Cintaku Selamanya

179 Darmawan, Hikmat: “Kawin Kontrak: Komedi Amoral” (Sumber: http://new.rumahfilm.org/resensi/layar- lebar/kawin-kontrak-komedi-amoral/, 9 Juli 2011) 180 Darmawan, Hikmat: “Quickie Express: Mengkhianati WARKOP” (Sumber: http://new.rumahfilm.org/resensi/layar-lebar/quickie-express-mengkhianati-"warkop"/, 25 Maret 2011)

79 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(Thomas Nawilis, 2008), Kawin Kontrak dan sekuelnya Kawin Kontrak Lagi

(Ody C. Harahap, 2008), Mupeng (Awi Suryadi, 2008) serta XL: Extra Large

(Monty Tiwa, 2008).181

Gambar 2.3. Poster film-film komedi dewasa Indonesia: Quickie Express (Dimas Djayadiningrat, 2007), Namaku Dick (Teddy Soeriaatmadja, 2008), XXL: Double Extra Large (Ivander Tedjasukmana, 2009), dan Susah Jaga Keperawanan di Jakarta atau Urbany Sexy (Joko Nugroho, 2010)182

Oleh karenanya, tak mengherankan pula apabila mitos-mitos seputar organ seksual menjadi barang wajib diikutsertakan. Sebut saja film-film seperti XL: Extra Large (Monty Tiwa, 2008) berikut lanjutannya XXL: Double

Extra Large (Ivander Tedjasukmana, 2009), Namaku Dick (Teddy

Soeriaatmadja, 2008), Mas Suka Masukin Aja (Rully Manna, 2008) yang khusus mengangkat persoalan organ vital laki-laki (baca: penis). Kecuali

Namaku Dick, 3 film lainnya membahas perkara ukuran. Jika dalam XL: Extra

Large dan XXL: Double Extra Large ada tokoh Mak Siat yang ahli memperbesar ukuran, beda halnya dengan Mas Suka Masukin Aja yang menghadirkan tokoh Mak Irit, ahli dalam memperbesar atau mengecilkan

„sesuatu‟.183

Hal lain yang menarik, rata-rata film komedi dewasa ini mengambil setting di Jakarta. Anda Puas Saya Loyo (K.K. Dheeraj, 2008) dan Susah Jaga

181 Sumber: http://filmindonesia.or.id, 28 Juli 2011 182 Ibid. 183 Sumber: http://filmindonesia.or.id, 26 Juli 2011)

80 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Keperawanan di Jakarta (Joko Nugroho, 2010) adalah diantaranya. Khusus untuk Susah Jaga Keperawanan di Jakarta mengisahkan tentang tiga gadis kampung yang hijrah ke Jakarta dan terjun dalam bisnis pelacuran. Bila tokoh laki-laki dalam Kawin Kontrak (Ody C. Harahap) sudah „gatal‟ melepas keperjakaan mereka, berbanding terbalik dengan film satu ini. Gadis-gadis ini dikisahkan berjuang keras mempertahankan keperawanan mereka, dengan berbagai cara.184

D. Melirik Produksi Quickie Express

Ketika berbicara tentang Quickie Express, maka itu menyangkut pula rumah produksinya, yakni Kalyana Shira Films (KSF). Nia Dinata mendirikan perusahaan film independen ini semenjak tahun 2000 silam. Pengelolanya saat ini masih dipegang Nia Dinata berdua dengan suaminya, Constantin

Papadimitriou. Berlokasi di Jakarta, KSF tak hanya memproduksi film layar lebar namun juga menghasilkan beberapa acara TV, iklan komersial, serta iklan layanan masyarakat. Diantaranya yakni iklan dagang Pertamina dan PSA

Royco.185

Adapun kemunculan KSF di panggung layar lebar Indonesia dimulai tahun 2002 lewat film berjudul Ca-Bau-Kan disutradarai Nia Dinata. Film yang diadaptasi dari novel karya ini mengangkat kisah tentang Tan

Peng Liang (Ferry Salim), seorang Cina Semarang yang ikut berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.186 Hanan menyebutkan film ini sebagai pelopor untuk film-film bertemakan etnis Tionghoa di Indonesia.

184 Ibid. 185 Sumber: http://www.kalyanashira.com/id/about-us, 20 Juni 2011 186 Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-c008-01-595893/ca-bau-kan, 26 Juli 2011

81 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Tema ini digolongkan dalam gerakan estetik baru yang muncul di Indonesia setelah terjadinya Reformasi 1998. 187

Tahun 2003, KSF kembali memproduksi dua film:

(sutradara: Sekar Ayu Asmara) dan Arisan! (sutradara: Nia Dinata).

Sebenarnya Arisan! berkisah seputar dinamika kehidupan masyarakat urban

Jakarta. Namun, yang menjadi khas dari Arisan! yakni ditampilkannya pasangan homoseksual. Film ini pun diikutsertakan dalam berbagai festival film gay dan lesbian seperti Turin Gay and Lesbian Film Festival dan Inside

Out Toronto Gay and Lesbian Film Festival.188 Selain terbilang sukses dari aspek komersial, Arisan! juga mendapat beberapa penghargaan di Asia,

Eropa, maupun Kanada.189 Meskipun sebenarnya tokoh gay sudah pernah muncul dalam film-film Indonesia sebelumnya190, The Jakarta Post melaporkan media internasional mengklaim film ini sebagai film Indonesia pertama yang mengangkat tema pasangan sejenis.191

KSF meluncurkan film berikutnya setelah 2 tahun berselang. Berbeda dari film-film sebelumnya yang tergolong drama, film ini bergaya komedi.

Film dibintangi dan bintang sabun Lux, Mariana

Renata. Skenario dan penyutradaraan dipercayakan kepada Joko Anwar.

Tahun 2006, film Berbagi Suami (sutradara: Nia Dinata) yang mengangkat tema poligami pun diedarkan. Kesuksesannya menyaingi Arisan! dengan total 17 penghargaan.192 Selanjutnya KSF terlibat dalam pembuatan

Long Road to Heaven (Philip Mitchel, 2006) yang mengambil latar belakang

187 Hanan, David: “Moments of renewal - Alternative ways of viewing Indonesian Cinema” (Sumber: www.upena.uitm.edu.my/publications/j02/j02_v2_2008/5.pdf, 11 Juli 2011) 188 Sumber: http://www.kalyanashira.com/en/2003/arisan, 6 Agustus 2011 189 Film Arisan! mendapatkan total 16 penghargaan dalan dan luar negeri. (Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-a006-03-581649/arisan, 3 Mei 201) 190 Film lain yang juga mengangkat tokoh gay adalah Istana Kecantikan (Wahyu Sihombing, 1988). Kadir menyebut film ini sebagai “film homoseksual pertama”. (Sumber: Kadir, Hatib Abdul. Op.cit., hal: 130) Film ini mengisahkan Nico (Mathias Muchus), seorang homoseks yang didesak kawin oleh orang tuanya. Akhirnya, ia terpaksa juga menikah meski sama sekali tak meniduri isterinya itu. Malah, ia berpacaran dengan seorang pegawai salon bernama Toni. (Sumber: Kristanto, J.B. Op.cit., hal: 329) 191 “Nia Dinata: Embracing Freedom of Expression” dalam The Jakarta Post, 28 April 2011 192 Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-b012-06-351423/berbagi-suami, 3 Mei 2011

82 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tragedi Bom tahun 2002. Tahun 2007, KSF memproduksi Perempuan

Punya Cerita (sutradara: Upi Avianto, Nia Dinata, Fatimah Rony dan Lasja F.

Susatyo) dan Quickie Express (sutradara: Dimas Djayadiningrat). Lalu, di tahun 2010 muncul Madame X (sutradara: Lucky Kuswandi).

Dari sederetan film-film yang diproduksi oleh KSF nampak kecenderungan untuk selalu mengangkat isu-isu gender. Namun, yang menjadi perhatian tidak hanya soal perempuan. Beberapa filmnya juga membahas perihal homoseksualitas dengan menampilkan pasangan homo seperti yang terdapat dalam Arisan! dan Quickie Express. Begitu juga dengan tokoh waria yang berseliweran dalam film Quickie Express maupun Madame

X. Film Madame X malah lebih „canggih‟ lagi dengan menokohkan penata rambut kemayu yang diperankan Aming sebagai „pahlawan pembela kaum marjinal‟. Tokoh ini bersiteru dengan Kanjeng Badai, seorang tokoh politik yang disebut-sebut militan dan homofobia.193

1. Mereka yang Di Balik Layar

Quickie Express setidaknya ditukangi oleh 3 orang sineas berikut: Nia

Dinata yang berlaku sebagai produser, Joko Anwar sebagai penulis skenario, dan Dimas Djayadiningrat sebagai sutradara. Ketiganya dapat dikelompokkan dalam „generasi muda‟ bersama dengan sineas lain semisal Riri Riza dan Nan

Achnas. Atau, barangkali bisa juga kita sebut „angkatan 70‟ karena ketiganya lahir di periode tersebut.

Nia Dinata selain dikenal sebagai produser ia juga menyutradarai beberapa film. Latar belakang pendidikannya jurusan komunikasi dengan konsentrasi komunikasi massa di Elizabeth Town College, Pennsylvania. Selain itu ia juga sempat kuliah di New York University khusus mempelajari film.194

193 Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-m007-10-520696/madame-x, 3 Mei 2011 194 Sumber: http://muslimvoicesfestival.org, 26 Juli 2011

83 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Di tahun 2000, sebagaimana yang sempat disinggung Nia Dinata mendirikan perusahaan film independen dengan nama Kalyana Shira Film.

Produksi film cerita pertamanya yakni Ca Bau Kan di tahun 2002. Berturut- turut kemudian ia menyutradarai dan memproduseri film-film diantaranya

Working Girls (2011), Madame X (2010), Berbagi Suami (2006), Janji Joni

(2005), Ajang Ajeng (2004), Arisan! (2003), Biola Tak Berdawai (2003).195

Tercatat 11 penghargaan yang telah diperolehnya. Melalui film Ca Bau Kan ia didapuk sebagai best promising new director di ajang Asia Pasific Film Festival tahun 2002. Film Arisan! mengantarkannya sebagai sutradara terbaik di MTV

Indonesian Movie Award. Dalam Festival Film Bandung ia juga menang dalam kategori sutradara terpuji. Ia kembali memperoleh penghargaan serupa di tahun 2006 untuk film Berbagi Suami.196

Sebagaimana yang dicermati oleh Hanan, Nia Dinata merupakan salah seorang film-maker yang punya perhatian terhadap isu-isu gender.197 Boleh disebutkan diantaranya Arisan!, lalu Berbagi Suami198, Perempuan Punya

Cerita, Quickie Express, dan Madame X. Yang diperhatikan di situ bukan hanya persoalan „klasik‟ perempuan, namun sudah merambah ke permasalahan homoseksualitas dan transgender seperti yang diangkatnya di

Madame X.

Terlebih, sejak tahun 2010, Nia Dinata mendirikan yayasan khusus untuk menampung isu-isu sosial macam ini. Dengan sumber dana berasal dari

Ford Foundation, Yayasan Kalyana Shira Foundation terus memproduksi film- film bermutu. Tahun 2010 lalu hasil kerjasama ini mewujud dalam sebuah

195 Sumber: http://www.kapanlagi.com, 26 Juli 2011 196 Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/name/award/nmp4b9bce436b276/nia-dinata, 26 Juli 2011 197 Hanan, David: “Moments of renewal - Alternative ways of viewing Indonesian Cinema” (Sumber: www.upena.uitm.edu.my/publications/j02/j02_v2_2008/5.pdf, 11 Juli 2011 198 Berbagi Suami dipuji Paramaditha sebagai film “perempuan”. Film ini dianggap mengedepankan tatapan queer ketimbang yang maskulin seperti thesis Mulvey. Sayangnya, tak ada keterangan lebih lanjut apa benar yang dimaksud Paramaditha dengan tatapan queer dalam film yang bersangkutan. (Sumber: Paramaditha, Intan. 2007. “Pasir Berbisik dan estetika-perempuan baru dalam sinema Indonesia” dalam Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia. Ed. Lisabona Rahman. Yayasan Kalam: Jakarta, hal: 124)

84 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

film tetang wanita dan otonomi tubuhnya, Pertaruhan. Pertengahan tahun ini, kembali Nia Dinata meluncurkan film Working Girls, berupa antologi dari tiga dokumenter bertemakan perempuan pencari nafkah.199

Beralih pada Joko Anwar yang mengambil bagian sebagai penulis skenario. Joko Anwar sebelum terjun ke produksi film, dikenal sebagai kritikus film. Keterlibatan Joko dalam produksi film dimulai tahun 2003 dengan menulis skenario sekaligus menyutradarai film Joni Be Brave.200 Dalam satu kesempatan, ia mewawancarai Nia Dinata. Nia Dinata mengajaknya ikut dalam pembuatan film Arisan! sebagai penulis skenario. Film ini sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya dapat dikata sukses besar.201 Setidaknya ia disenangi penonton, dan mendapat pujian pula dari para kritikus.

Adapun film-film lain yang juga ditangani Joko Anwar antara lain: Janji

Joni (2005), Kala (2007), Jakarta Undercover (2007), Quickie Express (2007),

Fiksi (2008), dan Pintu Terlarang (2009). Melalui sederetan film tersebut Joko

Anwar mereguk sejumlah prestasi membanggakan. Ia sempat masuk nominasi Best Emerging Director di New York Asian American International

Film Festival tahun 2005. Film-film tersebut juga masuk ajang festival film internasional. Misalnya, Kala yang berhasil membawa pulang Jury Prize di

New York Asian Film Festival. Lalu Pintu Terlarang yang meraih penghargaan tertinggi sebagai film terbaik di ajang Puchon International Fantastic Festival

2009.202

Dalam sebuah wawancara, Joko Anwar bertutur, baginya film haruslah menginspirasi penonton. Setidaknya, ada satu atau dua hal yang dapat dibawa penonton sebagai oleh-oleh pulang. Ketika ditanyai pesan apa yang hendak disampaikannya dalam Pintu Terlarang, ia mengelak menjawab.

199 Sumber: http://selebriti.kapanlagi.com/indonesia/n/nia_dinata/, 26 Juli 2011 200 “Joko Anwar: Saya tak ingin membodohi masyarakat” tanggal 16 Januari 2009 (Sumber: http://www.tempointeraktif.com, 26 Juli 2011) 201 Sumber: http://www.kapanlagi.com, 26 Juli 2011 202 Sumber: http://www.kapanlagi.com, 26 Juli 2011

85 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Baginya perkara pesan diserahkan kepada penontonnnya. Ia tidak ingin mendikte pola pikir penontonnya. “Saya tidak ingin membatasi atau mengkerangkai pikiran penonton. Biarkan penonton mengelaborasi apa yang mereka lihat. Biarkan penonton melakukan penjelajahan sendiri,” ujarnya.

Demikianlah, baginya kualitas film terletak pada bagaimana ia mampu mengajak penonton lebih dari sekadar berkhayal. Penonton harus diajak mikir. Itu lah yang menjadi gagasannya.203

Terakhir, Dimas Djayadiningrat yang dipercaya menjadi sutradara dalam Quickie Express. Cerita film ini disebut-sebut berasal dari gagasan

Dimas. Selain dikenal sebagai sineas, Dimas juga tenar sebagai musisi dan sutradara video klip. Film horor yang disutradarainya Tusuk Jelangkung terhitung sukses di pasaran. Setelahnya ia menyutradarai beberapa film lain seperti Bangsal 13, 30 Hari Mencari Cinta, Catatan Akhir Sekolah, dan Cinta

Silver.204

2. Para ‘Banci Tampil’ Itu

Quickie Express sebagaimana sempat saya singgung di Bab I sangat mungkin menjadi sebuah film yang super lucu. Dua bintang utamanya kala itu sedang ngetop-ngetopnya lewat serial komedi televisi Extravaganza. Mereka adalah Tora Sudiro dan Aming. Tora Sudiro selain tenar sebagai aktor layar lebar, juga dikenal sebagai komedian. Film layar lebar pertamanya yakni

Tragedi arahan Rudi Soedjarwo. Namun baru ketika membintangi film Arisan! namanya mulai dikenal luas. Melalui film ini pula ia memperoleh Piala Citra sebagai aktor Pemeran Utama terbaik di ajang Festival Film Indonesia tahun

203 “Joko Anwar: Saya tak ingin membodohi masyarakat” tanggal 16 Januari 2009 (Sumber: http://www.tempointeraktif.com, 26 Juli 2011) 204 Sumber: http://www.kapanlagi.com, 26 Juli 2011

86 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

2004. Selanjutnya, tahun 2005 dan 2006 berturut-turut ia keluar sebagai aktor terfavorit dan memenangi piala Panasonic Award.205

Beberapa film yang juga dibintangi Tora kemudian antara lain: Dunia

D, Janji Joni (Joko Anwar, 2005), Banyu Biru (Teddy Soeriaatmadja, 2005),

Ekspedisi Madewa (Franklin Darmadi, 2006), Quickie Express (Dimas

Djayadiningrat, 2007), D'bijis (Rako Prijanto, 2007), Naga Bonar (Jadi) 2

(, 2007), Otomatis Romantis (Guntur Soeharjanto, 2008),

Namaku Dick (Teddy Soeriaatmadja, 2008), Tri Mas Getir (Rako Prijanto,

2008), Cinlok (Guntur Soeharjanto, 2008), Wakil Rakyat (Monty Tiwa, 2009),

Benci Disko (Rako Prijanto, 2009), Krazy Crazy Krezy (Rako Prijanto, 2009) dan Preman In Love (Rako Prijanto, 2009). Kalau diperhatikan dari sekian banyak film yang dibintanginya itu, kebanyakan bernuansa komedi.206

Berikutnya, Aming Sugandhi (berperan sebagai Marley). Aming dalam

Extravaganza terkenal sering memerankan karakter perempuan. Film layar lebar yang dibintanginya antara lain: Janji Joni (Joko Anwar, 2005), Get

Married II (Hanung Bramantyo & Iqbal Rais, 2007), Quickie Express (Dimas

Djayadiningrat, 2007), Doa Yang Mengancam (Hanung Bramantyo, 2008) dan

Gara-Gara Bola (Agasyah Karim & Khalid Kashogi, 2008). Film Aming yang lebih baru, Madame X (Lucky Kuswandi, 2010), kembali menempatkan Aming sebagai banci. Adam, karakter yang dimainkannya adalah seorang penata rambut kemayu sekaligus superhero yang menjadi penyelamat dari amukan

Kanjeng Badai yang terkenal dengan politik homofobianya.207

Apabila Tora maupun Aming dekat dengan karakter kocak, lain halnya dengan Lukman Sardi (berperan sebagai Piktor). Ia sanggup memerankan beragam peran dan karakter. The Jakarta Post menyebutnya aktor dengan

205 Ibid. 206 Ibid. 207 Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-m007-10-520696/madame-x, 26 Juli 2011

87 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

banyak muka.208 Putra Idris Sardi kelahiran 14 Juli 1971 ini sudah bermain film semenjak kanak. Tercatat ada 7 film yang dibintanginya kala itu. Namun, dunia ini ditinggalkannya begitu saja untuk fokus pada pendidikannya.209

Baru pada tahun 2005 ia kembali terjun ke dunia akting lewat film garapan Miles Production, Gie (Riri Riza, 2004). Hanya dalam kurun waktu 5 tahun kemudian, ia sudah bermain dalam 18 film. Dia memerankan apa saja.

Mulai dari sopir bajaj dalam Naga Bonar Jadi 2 (Deddy Mizwar, 2007), gigolo dalam Quickie Express (Dimas Djayadiningrat, 2007), agen kawin kontrak dalam Kawin Kontrak (Ody C. Harahap, 2008), preman dalam 9 Naga (Rudi

Soedjarwo, 2006), seorang suami yang mempoligami isterinya dalam Berbagi

Suami (Nia Dinata, 2006), dan di lain waktu memerankan K.H. Ahmad Dahlan dalam film Hanung Bramantyo, Sang Pencerah (2009). Beberapa penghargaan yang diterimanya dalam bidang akting antara lain: Best Actor di ajang Bali International Film Festival 2006 dan Pemeran Pembantu Pria

Terbaik pada ajang Indonesian Movie Awards tahun 2009.210

Tio Pakusadewo (berperan sebagai Mateo) dapat dibilang aktor kawakan. Pria kelahiran 2 September 1963 ini pernah bermain dalam film

Catatan Si Boy II (Nasri Cheppy, 1988), Adikku Kekasihku (,

1989) dan Boleh-Boleh Aja (Hadi Poernomo, 1990). Meskipun demikian, adalah film garapan Garin Nugroho tahun 1990, Cinta Dalam Sepotong Roti yang melejitkan namanya. Dalam film berikutnya, Lagu Untuk Seruni (Labbes

Widar, 1991), ia dinobatkan sebagai aktor terbaik dalam Festival Film

Indonesia. Berhubung kondisi perfilman nasional yang sedang terpuruk, ia pun menghilang. Bibir Mer (Arifin C. Noer, 1992) merupakan film terakhir yang dibintanginya di periode ini.

208 “Lukman Sardi: Actors with many faces” dalam The Jakarta Post tanggal 8 Agustus 2008 (Sumber: http://www.thejakartapost.com, 26 Juli 2011 209 Sumber: http://www.kapanlagi.com, 26 Juli 2011 210 Ibid.

88 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Ia kembali terjun ke dunia akting 12 tahun kemudian lewat film Virgin

(Hanny R Saputra, 2004). Setelah itu, berturut-turut ia membintangi film-film sbb: Berbagi Suami (Nia Dinata, 2006), Legenda Sundel Bolong (Hanung

Bramantyo, 2007), Lantai 13 (Helfy CH Kardit, 2007), Quickie Express (Dimas

Djayadiningrat, 2007), Susahnya Jadi Perawan (2008), Oh Baby (Cassandra

Massardi, 2008), Lastri (, 2008), Pintu Terlarang (Joko Anwar,

2009), Jagad X Code (Herwin Novianto, 2009), (Aria Kusumadewa,

2009), Alangkah Lucunya (Negeri Ini) (Deddy Mizar, 2010) dan yang terbaru

Tebus (Muhammad Yusuf, 2011). Kembalinya Tio kali ini membuatnya kebanjiran penghargaan. Tahun 2006 ia didapuk sebagai Most Favorite

Supportive Actor dalam MTV Indonesia Movie Awards lewat film Berbagi

Suami. Sementara itu di ajang Indonesia Movie Award 2008, ia dinobatkan sebagai Pemeran Pembantu Pria Terbaik lewat film komedi Quickie Express.

Lewat Identitas, ia berhasil meraih predikat Pemain Utama Pria Terbaik dalam

Festival Film Indonesia 2009.211

Aktor yang lebih senior daripada Tio, yakni Rudy Wowor (berperan sebagai Jan Pieter). Pria kelahiran Amsterdam, 3 Februari 1949 ini sudah bermain film sejak era 70-an. Soal peran, ia lekat dengan karakter-karakter antagonis. Film-filmnya yang terkenal antara lain: Impian Perawan (Wahab

Abdi, 1976), Aladin (Sisworo Gautama, 1980), Tjoet Nja' Dhien (Eros Djarot,

1986) dan Soerabaija '45 (, 1990). Melalui film Tjoet Nja' Dhien kepiawaiannya di bidang akting diakui dengan dinominasikannya sebagai

Aktor Pendukung Terbaik dalam Festival Film Indonesia 1988. Selain jago di akting, ia juga terkenal sebagai penari, koreografer dan instruktur tari. Ia ditunjuk sebagai juri tetap dalam acara reality show Celebrity Dance yang disiarkan di ANTV.212

211 Ibid. 212 Ibid.

89 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Apabila mengamati sederetan pemain yang ambil bagian dalam

Quickie Express, komposisinya dapat dibilang cukup unik. Darmawan menilainya dari susunan trio gigolo yang diperankan Tora Sudiro, Aming

Sugandhi, dan Lukman Sardi. Sementara Tora dan Aming dapat dikelompokkan dalam jenis personality actor (aktor yang tak bisa berperan selain sebagai dirinya sendiri) malah disatukan dengan aktor watak macam

Lukman Sardi. Bila memang pure untuk konyol-konyolan, “Kenapa tak sekalian memasang Indra Birawa saja dalam trio Quickie Express ini?” tanya

Darmawan.213

Adapun aktor watak lain yang dipakai Quickie Express yakni Tio

Pakusadewo dan Rudy Wowor. Kedua aktor „gaek‟ ini sudah tak diragukan lagi kemampuan aktingnya. Khusus untuk Tio, Darmawan214 berulang-ulang kali menyebutkan Tio sebagai “salah satu aktor terbaik”. Tio juga dinilai sukses memerankan Mateo, bagaimana seorang begundal dapat mengalami yang namanya cemburu dan patah hati. Rudy pun berhasil berperan sebagai mafia yang awalnya garang menjadi „tak berdaya‟ di hadapan kekasihnya. Yang menariknya lagi, Rudy yang dikenal dengan peran antagonisnya dalam

Quickie Express menampilkan ekspresi yang jauh dari bengis dan kejam.

E. Tinjauan

Sudah berpanjang-panjang saya menulis, dimulai dari uraian mendasar tentang pengertian film komedi beserta ragam dan jenisnya.

Berdasarkan kategori yang telah ada itu, Quickie Express dapat dimasukkan dalam bentuk komedi pahit dengan bubuhan slapstik di sana sini. Lalu, penjelasan diteruskan dengan merunut kembali film-film komedi yang diperkirakan bermula dari Karnadi Anemer Bangkong (G. Krugers, 1930)

213 Ibid. 214 Ibid.

90 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

hingga dasawarsa 2000, tentulah ada beberapa perubahan. Meskipun tak dapat pula dimaknai sebagai sebuah „kemajuan‟. Era-era sebelum 50-an, yang disebut Biran sebagai „masa percobaan‟,215 film komedi juga masih mencari „bentuk‟. Baru setelah sukses Krisis (Usmar Ismail, 1953) film komedi mulai berjaya. Puncaknya terjadi di era 70 – 80-an. Pada dekade tersebut,

Nya Abbas Akup yang kerap didaulat sebagai bapak film komedi Indonesia menghasilkan karya-karyanya. Salah satu yang terkenal yaitu Inem Pelayan

Seksi tahun 1976. Di samping itu, grup-grup lawak juga bermunculan, mulai dari Kwartet Jaya hingga Warkop DKI yang melegenda di periode 80-90-an.

Meski sama-sama masuk dalam kategori film komedi, film-film komedi

Nya Abbas Akup dan yang diperankan oleh Warkop DKI dimaknai secara berbeda. Film-film Nya Abbas Akup, walau kerap mengeksploitasi keseksian tubuh pemain wanitanya, dianggap sebagai komedi yang berbobot karena kritik sosial yang diusungnya. Sementara, film-film Warkop DKI yang lekat dengan tampilan perempuan-perempuan berbikini, malah dicap sebagai film komedi rendahan. Maka, walau sukses dari segi komersial, film-film Warkop malah jeblok dari segi penghargaan.

Seiring situasi politik dan ekonomi yang tidak stabil, memasuki paruh

90-an, film komedi menciut untuk kemudian bergairah kembali di penghujung dasawarsa 2000. Di masa ini pulalah, film komedi tampil dengan kemasan

„lebih dewasa‟. Tradisi komedi kemaluan ini tepatnya diawali dari tahun 2007 salah satunya lewat Quickie Express, dan diteruskan oleh film-film sejenis seperti XL: Extra Large (Monty Tiwa, 2008), Kawin Kontrak (Ody C. Harahap,

2008), Mas Suka Masukin Aja (Rully Manna, 2008) serta yang lebih baru

Susah Jaga Keperawanan di Jakarta/Urbany Sexy (Joko Nugroho, 2010). Film- film tersebut tak hanya sekadar mengangkat hal-hal intim semisal seks dan organ vital, namun juga mengemasnya dengan berbagai ragam olok-olok

215 Biran, Misbach Yusa. 2009. Op.cit.

91 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

yang bisa jadi stereotipikal, konyol, dan memalukan. Walaupun humor-humor semacam itu sudah didapati di era-nya Warkop DKI, namun kemasannya sudah tidak lagi dianggap „kampungan‟, malah disebutnya „humor kota‟.

Untuk selanjutnya, saya menyarankan pembedaan terhadap film

Quickie Express. Tidak karena ia diproduksi Kalyana Shira Films yang dikenal konsisten menghasilkan film-film berkualitas sekaligus komersil. Tidak pula karena menimbang aktor pendukungnya yang terkenal piawai dalam mengolah peran. Namun, pertimbangannya bahwa Quickie Express menandai pembabakan baru dalam film-film komedi Indonesia, yang lebih dewasa, berani, dan seksi. Dan, yang lebih utama, Quickie Express tampak berusaha mengeksplorasi seksualitas laki-laki yang langka didapati dalam film-film komedi terdahulu. Tidak dalam Inem Pelayan Seksi, tidak pula film-film

Warkop DKI. Bagaimana persisnya laki-laki digambarkan dalam film ini saya elaborasi lebih rinci di bab-bab berikutnya.

92 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB III

POTRET LAKI-LAKI DALAM FILM QUICKIE EXPRESS

Pada bab II saya sudah memaparkan kilas balik dunia perfilman

Indonesia, dengan kekhususan pada film komedi. Dari situ, ditemukan beragam resep yang biasa dipakai dalam meracik film komedi. Entah itu dengan memasukkan karakter jongos alias babu yang nge-tren di era 50-an; menonjolkan keunikan fisik pemain macam Ateng dan Ratmi Bomber di film- film 70-an; atau malah mencampur dengan hal-hal yang membuat mual, semisal kentut dan air kencing.

Akan tetapi, sekadar menyajikan obyek-obyek lucu saja belum cukup.

Ramuan utama yang membuat film komedi enak ditonton justru terletak pada muatan sensualnya. Dalam hal ini, merujuk pada keseksian pemeran perempuan. Ibarat cabe rawit, meski porsinya sedikit, efeknya menyesakkan.

Sebagai contoh, pada periode 1970-an, yakni penampilan Doris Calleboute dalam Inem Pelayan Seksi (Nya Abbas Akup, 1976). Begitu juga Eva Arnaz dalam film-film Warkop yang ngetop tahun 1980-an hingga awal 1990-an.

Lalu, pada dasawarsa 2000-an, pemain perempuan yang beken diantaranya

Andi Soraya dalam Anda Puas Saya Loyo (KK Dheeraj, 2008) serta Dewi

Perssik dalam Kutunggu Jandamu (Findo Purwono HW, 2008).

Jika kehadiran perempuan seksi sudah kelewat umum, bagaimana dengan laki-laki? Apakah aktor laki-laki yang bermain di film komedi tak ada yang seksi? Atau, apabila kata seksi sulit untuk dirumuskan, sederhanakan saja pertanyaan itu menjadi: bagaimanakah film komedi mengeksplorasi tubuh laki-laki?

Kalau diamati benar-benar, laki-laki bukannya tak pernah melakoni adegan buka-bukaan. Laki-laki bertelanjang dada, atau memakai kolor

93 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

agaknya bukan hal yang aneh dalam film nasional, apalagi komedi. Lagi-lagi merujuk pada film-film Warkop, Dono, Kasino, dan Indro kadang tampil tidak berbaju. Bahkan, Dono terlihat bugil dalam salah satu adegan Atas Boleh

Bawah Boleh (Tjut Djalil, 1986). Namun, bugilnya Dono berbeda dengan bugilnya Eva Arnaz, misal. Kontras yang jelas bahwa kebugilan Dono hanya menjadikannya sebagai obyek tertawaan, dan bukan obyek seksual.

Adapun lelaki telanjang atau separuh telanjang dalam porsi lebih besar dijumpai dalam film komedi Quickie Express (Dimas Djayadiningrat, 2007).

Dalam salah satu adegan ranjang, bagian bokong Jojo (Tora Sudiro) terekspos jelas. Begitu pula dengan wilayah selangkangannya, beberapa kali tertangkap kamera. Dibanding dengan pemeran wanitanya, pemeran laki-laki

Quickie Express lebih sering tampil vulgar. Dunia gigolo yang menjadi latar film ini memungkinkan seksualitas laki-laki muncul agak banyak.

Lebih lanjut tentang bagaimana persisnya Quickie Express memajang tubuh laki-laki dijabarkan secara lebih terperinci dalam bab ini. Ini baru berupa paparan data audio dan visual yang dirunut dengan memperhitungkan susunan bahasa sinematik, mulai dari pembingkaian kamera, sudut pengambilan gambar dan pergerakan kamera.

Untuk mempermudah, pembahasan dikelompokkan dalam empat bagian. Fokus utamanya terletak pada bagaimana tubuh laki-laki disorot oleh kamera. Cara kerjanya yakni mendedah elemen visual dalam menampilkan laki-laki pekerja, calon pekerja seks, dan pekerja seks (profesional).

Pembagian ini seturut dengan jalan cerita Quickie Express. Laki-laki pekerja merujuk pada masa-masa ketika Jojo bekerja serabutan dari petugas kebersihan sampai penambal ban. Laki-laki sebagai calon pekerja seks merujuk pada masa-masa di mana Jojo menjalani pelatihan menjadi gigolo.

Laki-laki pekerja seks merujuk pada masa-masa ketika Jojo sudah mulai

94 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

bertugas sebagai gigolo. Adapun komparasi yang lebih jelas dari ketiganya dieksplorasi di bagian penghabisan.

A. Laki-Laki Pekerja: Miskin dan Lusuh

Darmawan menilai pengkhianatan terbesar Quickie Express pada

Warkop terletak pada porsi Jojo yang terlalu dominan. Dua orang temannya,

Marley dan Piktor, hanya kebagian tempat di tengah-tengah cerita.1 Saya sendiri tidak mempersoalkan Quickie Express yang terlalu Jojo-sentris. Saya bermaksud mengatakan, dengan porsi Jojo yang demikian besar, implikasinya, dalam menganalisis juga akan lebih berat pada karakter Jojo.

Karakter lain, baik itu Marley, Piktor, Mudakir, Jan Pieter, dan Mateo tetap dibicarakan, namun posisinya hanya sebagai sempalan.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Jojo menekuni beragam pekerjaan sebelum terjun dalam bisnis gigolo. Pekerjaan pertama, petugas kebersihan. Adegan dibuka dengan close-up shot seorang bapak sedang memberikan instruksi. Meski ia menggunakan ragam bahasa formal, namun tak menutupi dialek daerahnya (Madura). Dengan bingkai yang begitu dekat, ketegasan ekspresi bapak itu terekam jelas. Matanya setengah membelalak.

Kamera berpindah memperlihatkan seorang pemuda. Jojo. Namun, saat itu ia belum diberi nama. Ia hanya hadir sebagai “sampeyan”, sebagaimana si bapak mengalamatinya. Jojo ditampilkan juga dalam bingkai close-up. Namun, itu tidak untuk mempertegas ekspresi, melainkan pada hilangnya ekspresi. Matanya menunduk, bibirnya terkatup.

Begitu bingkai melebar, hingga sebatas pinggang (MS), setting ruangan itu menjadi lebih terang. Sebagai latar tempat Jojo berdiri, tampak deretan jeriken tertonggok di atas rak yang menempel ke dinding.

1 Darmawan, Hikmat: “Quickie Express: mengkhianati WARKOP”. http://new.rumahfilm.org/resensi/layar- lebar/quickie-express-mengkhianati-"warkop"/, diakses tanggal 25 Maret 2011

95 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sementara, tangkai sapu dan alat pengepel tampak menghiasi berbagai sudut.

Kalau dilihat dari posisi dan sudut pengambilan kamera, tidak ada perlakuan istimewa baik itu untuk Jojo dan si bapak. Keduanya direkam dari posisi yang boleh dibilang netral, setentang mata. Hal yang membedakan keduanya yakni bahasa tubuh. Si bapak lebih leluasa bergerak: sekali waktu ia berkacak pinggang. Di lain waktu, ia mengacungkan telunjuk. Selagi berbicara pun, ia dengan sangat ringan berpindah tempat. Mau itu bergerak mendekat, atau menjauhi Jojo.

Akan halnya Jojo, bahasa tubuhnya serba terbatas. Jika si bapak berkacak pinggang, Jojo menyusun tangannya rapi ke depan. Jojo lebih banyak diam, bahkan hingga anggota badannya tak bergeming. Meski di sana tidak terdapat pagar dalam artian fisik, namun ruang gerak Jojo itu seakan- akan tersekat. Ia berdiri, tanpa sekalipun berpindah posisi. Ia tak ubahnya seperti patung, beku.

Kalau ditinjau fisik, Jojo sebenarnya jauh lebih unggul. Posturnya tinggi besar. Namun toh yang berbicara kali ini bukan ukuran badan.

Melainkan, pakaian yang menutupi tubuh itu. Pakaian, dalam hal ini, berkaitan dengan posisi: menentukan siapa yang menugasi dan siapa yang ditugasi. Si bapak mengenakan kemeja lengan pendek dilengkapi dasi yang menjulur di dada. Sementara, Jojo mengenakan terusan yang setali antara atasan dan bawahan. Pakaian yang akan mengingatkan pada pakaian pekerja konstruksi atau juga petugas pemadam kebakaran.

Singkat kata, mata boleh melihat pakaian ini sebagai berbeda baik dari corak maupun kelengkapannya. Namun, pikiran membacanya sebagai sebuah hierarki. Seperti halnya militer, seragam menjadi penentu siapa berada di bawah penugasan siapa. Tentu, yang tampak mencolok yakni kehadiran dasi.

Dasi di sini berfungsi laiknya lambang bintang pada baju seorang perwira.

96 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Ya, kehadiran dasi dapat dibilang mempertebal jarak antara Jojo dan atasannya.

Akan tetapi, berbicara soal jarak tidak dalam artian material saja sebenarnya. Sekalipun dasi di atas dihilangkan, tak serta merta posisi Jojo sejajar dengan atasannya. Begitupun, ketika jarak dalam artian personal space dipersingkat, tak langsung menimbulkan kedekatan. Misal, ketika si bapak mendekati Jojo, bahkan pada jarak mendekati nol, tidak ada keintiman yang tercipta. Malah, dibacanya sebagai bentuk tekanan, tindakan agresif.

Terlebih karena editing film ini tidak pernah membiarkan pandangan mata keduanya bertemu. Yang satu menghujam ke tanah, yang lainnya menghunus ke depan.

Dilihat dari komposisi itu, Jojo terlihat seakan-akan kucing yang dibawakan lidi. Takut-takut. Akan tetapi, keliru jika mengira Jojo tak punya nyali. Ia tak pasrah walau ia berdiam diri. Di saat mukanya yang memelas itu terpampang besar-besar di layar, narasi offscreen muncul sebagai pembela.

Katanya: “Hari pertama pekerjaan pertama gue. Seperti semua orang gue tahu harus mulai dari bawah.” Jelas, dengan suara itu ia membuktikan: ia tidak bisu. Walau suara itu tak diperdengarkan kepada si bapak, namun sampai jelas ke telinga penonton. Maka, jika biasanya film memungkinkan penonton mengintip kehidupan pribadi karakternya, film ini bertindak lebih jauh dengan menyingkapkan suara hati dan pikiran karakternya.

Pada shot berikut, si bapak berbalik arah, pergi. Jojo mengiringi lewat tatapannya. Kemudian, dengan perlahan kamera mendekat: dari bingkai MS hingga MCU. Sementara Jojo memasang headset di kepala, terdengar narasi:

“Kalau lu punya musik, lu ga bakal ngerasa kayak orang kalah”. Jojo pun menyetel musik dan menggoyang-goyangkan kepala. Bingkai layar kembali melebar (MS) begitu Jojo beraksi bak seorang gitaris kesiangan. Jojo yang

97 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tadi terlihat layu, berubah menjadi segar bugar. Begitu berenergi. Apalagi, musik pengiring yang terdengar di latar pun tak kurang bersemangatnya.

Masih dalam alunan musik yang sama, adegan berpindah memperlihatkan Jojo yang sedang mengepel lantai. Gambar pertama yang ditampilkan yakni pengepel lantai (CU). Lalu, kamera bergerak diagonal ke samping kanan atas mengikuti Jojo yang sedang bergerak mundur. Begitu

Jojo sampai pada pinggir kanan layar, kamera berhenti, menampakkan Jojo dalam bingkai CU. Sementara di kiri bawah layar, tertera tulisan berwarna putih berukuran besar: Tora Sudiro. Jojo, si empunya nama, berhenti sejenak. Menoleh ke samping kanannya, pada kerumunan yang memadati pintu supermarket. Lalu, bergeser, meninggalkan layar, untuk memberi porsi yang lebih banyak pada latar.

Gambar 3.1. Jojo mengepel lantai toserba

Berikut, kamera menampilkan establishing shot supermarket. Semua gambar dibuat sama-sama fokus. Hingga kehadiran Jojo di situ tak lebih penting ketimbang barang-barang yang berjejalan di sana. Di bagian paling depan, terpisah dari rak yang berada di bagian belakang, terlihat barang- barang bertumpukan di lantai. Di puncaknya dipancangkan sebuah label bertuliskan: “Sale 70%”. Tulisan tersebut terlihat mencolok sebab ukurannya yang besar dan warna merahnya kontras dengan warna-warna lain di

98 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

supermarket itu. Tulisan ini diposisikan menghadap seluruhnya ke layar, ke arah „penonton‟. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tulisan itu memang ditujukan agar dapat dibaca oleh „penonton‟.

Setelah di-shoot dari XLS, lalu Jojo di-shoot sendirian dari jarak yang lebih dekat. Adegan ini mirip dengan adegan sebelumnya. Kamera bergerak diagonal dari kiri bawah ke kanan atas. Akan tetapi, kali ini sembari berputar, mengitari Jojo. Hingga kamera mendapati Jojo dari sisi belakang (punggung).

Dengan posisi tersebut, Jojo sejajar dengan posisi „penonton‟. Pandangan

Jojo, begitupun pandangan „penonton‟ dibiarkan menyapu seluruh ruangan dengan bebas. Memang, obyek-obyek tertentu masih terlihat mencolok.

Namun, ini bukan efek dari bahasa kamera, melainkan dipengaruhi oleh ukuran, warna, dan jarak obyek ke kamera.

Shoot berikut, Jojo berdiri tegak diambil dari sisi kiri. Ia dibingkai dari jarak CU. Ia melihat ke depan, ke arah lantai yang tadi dipelnya, lanjut tersenyum. Sementara latar yang tadinya diburamkan, dengan teknik racking focus, kembali terang. Di depan pintu terlihat kerumunan, salah seorang di antara mereka menoleh ke jam di tangan dan menunjukkan jarinya ke atas.

Kamera pun merangkak, berhenti tepat di sebuah jam dinding yang menunjukkan pukul 09:45. Kamera kembali ke arah pintu, memperlihatkan tulisan: “Open 10.00 – 22.00” dan sticker “sale” yang berlatar merah. Bila tulisan “open” dihadapkan pada kerumunan (membelakang „penonton‟), tulisan “sale” malah dihadapkan ke arah „penonton‟. Cara penempatan ini sama dengan label diskon 70% pada adegan terdahulu.

Berikut diperlihatkan jemari Jojo sedang memutar kunci. Begitu kunci terbuka, kamera memanjati tubuhnya dari arah belakang. Sementara, tangannya terentang lebar, daun pintu pun membuka dengan perlahan.

Begitu pintu itu terkuak, pengunjung yang berdesakan di depan, buru-buru masuk ke dalam. Diantaranya ada yang mencubit-cubit pipi Jojo dengan

99 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

gemas. Kejadian ini dapat dilihat dengan jelas sebab bingkai kamera yang tidak terlalu lebar, pas sedada Jojo. Tapi, untuk soal ekspresi tidak terlalu terang sebab posisi badan Jojo yang menyimpang dari kamera.

Gambar 3.2. Jojo dicubit oleh salah seorang pengunjung toserba

Bila pengunjung itu berlarian ke dalam, Jojo memilih memarkir dirinya di luar. Ia duduk sembari merokok di depan pintu. Kemudian, kamera berpindah ke dalam, menambatkan perhatian pada sebuah tanda: “awas lantai licin”. Dari arah depan, beberapa orang pengunjung terjatuh, ujung kaki mereka jatuh persis di depan tanda itu. Lalu, kamera dengan sigap bergerak horizontal, memperlihatkan korban-korban yang terus bergelimpangan.

Sementara itu, Jojo masih menikmati rokok di luar. Ia tak tahu menahu akan apa yang terjadi di dalam. Posisi duduknya membelakangi pintu. Adalah sebuah sanggul yang menjadi penyampai kabar. Sanggul itu menggelinding dari dalam, dan jatuh tepat di kaki Jojo. Jojo memungutnya, sejenak memperhatikan, dan memfungsikannya sebagai asbak! Di latar, terdengar suaranya berkata: “Orang kalah adalah orang yang berhenti untuk berusaha. Gue bukan.” Usai ini, layar dialihkan dengan efek circles, menandai akhir bagi pekerjaan pertama Jojo dan mengantarkan pada pekerjaan selanjutnya: pengukir tato.

100 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Gambar yang kemudian muncul yakni close-up shot selembar kertas dengan tulisan: “pemerkosa mayat”. Bentuk tulisan yang meruncing di pinggir akan mengingatkan pada kastil-kastil kuno, taring drakula, atau besi-besi runcing. Ditambah, garis hitamnya yang tebal dan tegas ikut menambah nuansa kegelapan.

Tidak lama, kamera merubah tempat. Di layar, Jojo terlihat sedang duduk di kursi, sementara seorang lain, pria berambut gondrong, berdiri merapat. Teknik 2 shots ini, apabila menggunakan tubuh pria berambut gondrong sebagai perbandingan, dapat dibilang memakai bingkai MS. Dalam bingkai itu pula suasana ruangan yang dominan hitam terlihat. Nuansa gelap hadir tidak hanya melalui temaram cahaya, namun juga lewat pakaian semua orang yang terlihat berada di tempat itu. Tak terkecuali Jojo.

Pakaian Jojo terdiri dari headband merah dan kaus oblong berwarna gelap yang dilapis rompi hitam mengkilat. Sementara, di tangannya melingkar wristband dengan warna senada. Kostum ini tak jauh berbeda dengan pria gondrong itu tadi. Rompi yang dikenakannya mirip dengan yang dipunya Jojo.

Hanya, ia tak mengenakan dalaman. Badannya yang kekar berotot terekspos dengan jelas. Ia pun mengenakan wristband, hanya beda di motif dan ukuran.

Pakaian ini, berbeda dengan pekerjaan Jojo di tempat sebelumnya, tak memberi petunjuk tentang hierarki. Tak melambangkan jabatan tertentu.

Jikalau Jojo bertukar pakaian dengan kliennya, tak akan membawa perubahan berarti terhadap posisi keduanya. Pakaian di sini berfungsi untuk mempertegas identitas. Sebut saja, identitas kelompok/komunitas tato. Akan tetapi, memudarnya struktur hierarki ini tak membuat Jojo mendapat perlakuan lebih baik. Dalam pekerjaan ini, Jojo masih saja menerima hardik dan maki. Akan tetapi, ia masih (harus) berdiam diri. Dan kali ini, tanpa pembelaan apapun melalui narasi offscreen.

101 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Lebih jelasnya, mari kembali pada shot sebelumnya, yakni ketika Jojo dan pria berambut gondrong di-shoot berdua. Ditinjau dari posisi, sudah timpang sebenarnya. Jojo duduk, sementara pria gondrong itu berdiri. Jarak keduanya rapat, tapi tak membuat hubungan itu terasa dekat. Sama halnya dengan kejadian Jojo dengan atasannya di toserba. Kedekatan jarak antara kedua orang ini menandakan agresivitas alih-alih keintiman.

Lanjut, adegan kali ini berganti. Pria gondrong itu tiduran dengan bagian punggung terbuka. Jojo duduk di samping kirinya. Sementara, di depan mereka terdapat kotak televisi. Di layar televisi, terlihat tubuh wanita dalam MS. Wanita itu hendak keluar dari kolam renang. Posisi kamera yang berada di atas mata, membuat bagian payudaranya terekspos jelas. Selama ini, baik Jojo dan pria gondrong itu diburamkan hingga perhatian terpusat seluruhnya pada tayangan yang disajikan di dalam televisi itu. Perlu dicatat bahwa cara kamera membingkai tubuh wanita dalam adegan ini belum pernah diterapkan dalam membingkai tubuh Jojo dalam adegan-adegan terdahulu.

Begitu si wanita keluar dari kolam renang, si pria gondrong menoleh ke arah Jojo. Seiring itu, kamera merubah letaknya. Ganti memperlihatkan

Jojo dan si pria gondrong. Pria itu membentak: “Heh...! Mulai ga lu. Kalau ga, gue pakaiin bikini lu. Ngepet lu.” Seperti biasa, Jojo diam dikerasi demikian.

Suara offscreen yang menemaninya ketika menjadi petugas kebersihan, tidak muncul sama sekali. Yang terdengar kali ini hanyalah tawa kecil wanita. Suara ini masih diperdengarkan ketika kamera berpindah ke meja di samping kiri

Jojo. Tangan Jojo meraih kertas dari situ, dan mulai mengukirkannya di badan si pria gondrong.

Sejurus kemudian, pekerjaan itu selesai. Si pria gondrong mengecek hasil kerja Jojo. Ia mengarahkan punggungnya ke kaca, ke arah penonton.

Dalam ukuran close-up, tampak sebuah tato hitam bertuliskan: “buah dada mama”. Hasil yang berbeda sama sekali dengan pesanan.

102 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kegeraman si pria gondrong tak diperlihatkan lewat ekspresi muka atau keras tingginya suara. Namun, akibat dari kemarahannya itu nyata.

Kamera pindah ke luar, memperlihatkan sebuah kaca jendela bertuliskan keterangan “tattoo”. Dalam waktu kurang dari sedetik, kaca itu hancur berantakan, menyusul sesosok tubuh melayang dari dalam. Kamera mengikuti tempat jatuhnya tubuh itu, dan dalam ukuran MS, terlihatlah Jojo dalam balutan bikini coklat berumbai, meringis kesakitan. Selanjutnya, layar diam. Freeze. Lalu, wipe.

Dalam balutan bikini berwarna coklat tua itu, untuk pertama kalinya bagian dada dan perut Jojo terekspos. Bagian tubuh yang terpapar ini sama persis dengan perempuan berbikini pada adegan sebelumnya. Bedanya, tubuh

Jojo tidak dikondisikan untuk dipelototi akan halnya tubuh si perempuan. Ini terbaca dari bingkai dan teknik kamera yang digunakan. Misalnya terlihat dalam adegan perempuan berbikini, walau sama-sama menyertakan wilayah dada hingga pinggang, namun bingkai yang digunakan lebih ketat.

Gambar 3.3. Perbandingan gambar adegan bikini Jojo dan seorang perempuan

Berikut, di layar diperlihatkan close-up dari uang kertas pecahan 1000 yang sedang tergenggam di tangan. Sejenak, fokus kamera dipergantikan dengan bekas nasi bungkus yang tergeletak di kiri layar. Ketika kamera mendaki ke atas, dan mendapati wajah Jojo dalam bingkai MCU, terdengar ia

103 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

berkata: “7750 perak. Umur 27 tahun. Tinggi 175. Berat 67 kg. Bakar kalori dari pagi. Kenapa ya?”

Lanjut, ukuran layar melebar, hingga LS. Dari sini, jelas kemuraman tempat yang dihuni Jojo itu. Ruangan itu begitu redup. Satu-satunya penerangan berasal dari lampu meja yang tak seberapa benderang. Dari pencahayaan yang temaram masih tertangkap beberapa barang tergeletak.

Ada furnitur di bagian kiri dan kanan. Tepat di tengahnya, terhampar sebuah kasur kapuk tanpa dipan, tanpa seprai. Beberapa potong pakaian bertebaran sekenanya. Jojo duduk di lantai, sendirian, memegangi perut.

Gambar 3.4. Jojo meraba bagian genitalnya

Ia melanjutkan curahan hatinya melalui narasi offscreen: “Kenapa hidup harus selalu disangkut-sangkutin sama angka. Kenapa gue ga bisa masuk ke mall dan beli apa aja yang gue pengen dengan tampang gue.

Percaya atau ga, musik bahkan bisa menghilangkan rasa lapar.” Menutupi refleksinya, ia mencium walkman miliknya. Dan bangkit. Sementara itu, kamera tetap. Hingga yang terekam sekarang tidak lagi bagian kepala, melainkan wilayah selangkangan. Kamera tetap di posisi ini bahkan ketika

Jojo menggaruk kelaminnya. Selepas ini, baru kamera merangkak ke atas dengan pelan.

104 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pada adegan tersebut, terlihat sebuah kontradiksi yang menarik. Pada ranah visual „penonton‟ disuguhkan sebuah potret muram dari kehidupan

Jojo. Sebuah kemiskinan yang dibahasakan lewat minimnya perabotan yang digunakan, ketidakteraturan penyusunannya, maupun pencahayaan yang suram. Namun, di ranah tekstual (skrip) kemiskinan didefinisikan dengan cara yang berbeda. Bahwa kemiskinan tidak selalu berarti keadaan yang serba kurang, entah itu kurang makan atau juga kurang uang. Namun, dan ini yang paling sentral, bisa berarti tuntutan akan sesuatu yang lain. Dalam tataran konseptual dapat dibahasakan dengan dorongan/hasrat untuk memiliki. Dan, lebih tepatnya, untuk kasus ini yakni libido untuk mengkonsumsi (to consume more). Kata kunci untuk hal ini yakni lewat penggunaan kata “mall” dalam refleksi Jojo di atas.

Adegan berikut, Jojo nangkring di jendela kamarnya. Ia melihat ke luar. Malam telah memekatkan hari. Namun, jauh di sana, setentang dengan arah pandangannya, terdapat lampu neon yang benderang. Di beberapa tempat lain, lampu berwarna hijau berkedip. Jojo memperhatikan itu semua.

Musik mengalun lembut, di dalam liriknya terdengar: “bermimpi....”.

Lalu, layar berganti, menjejerkan bangunan-bangunan seperti: Tugu

Monas, Tugu Selamat Datang, dan gedung-gedung pencakar langit. Jakarta.

Tepat di sebuah bangunan tua, kamera surut ke bawah secara perlahan, mendapati sedan klasik berwarna oranye tua sedang berjalan dalam ukuran

LS. Ketika kamera berpindah ke arah yang berlawanan, terlihat seorang lelaki di belakang kemudi. Pria itu Mudakir. Rambutnya dicat pirang. Kumis dan cambang tipis membingkai mulut dan dagunya dengan sempurna. Ia mengenakan kacamata gelap. Meski bola matanya tidak terlihat, namun, dari gelagatnya terbaca ia sedang mencari sesuatu. Benar saja, begitu ia keluar mobil, dan kamera menyorotnya dari jarak MCU, di layar muncul tulisan berwarna putih besar-besar: “Pemburu”.

105 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Gambar 3.5. Mudakir dan calon mangsanya

„Buruannya‟ baru nampak kemudian. Kamera menempatkan Mudakir dan pria muda itu di dalam satu bingkai dengan posisi saling berhadap- hadapan. Namun, bagian kepala Mudakir sengaja diburamkan untuk lebih memfokuskan perhatian kepada si pemuda. Pemuda itu tampak mengenakan kemeja hitam plus celemek, sedang melayani pelanggan. Wajahnya ditampilkan dalam ukuran MCU. Ketika giliran Mudakir yang disorot dalam

MCU, terdengar ia berkomentar: “Ih imut banget.” Namun, saat si pemuda membalikkan muka, terlihat tompel besar nongkrong di pipinya. Seketika,

Mudakir mengelak, dan beranjak pergi.

Pada shoot berikut, tampak seorang pemuda lain. Ia menyandarkan tubuhnya di sebuah kios majalah. Pakaiannya terdiri dari kaus berkerah berwarna krem dan celana panjang berwarna coklat. Ia sedang asyik membaca majalah yang terentang di tangannya. Dari arah belakang, terlihat

Mudakir sedang berjalan. Begitu sampai di dekat si pemuda itu, ia berhenti dan mulai mengamati. Tiba-tiba, dari arah belakang, muncul seorang pria lain. ia menghampiri pemuda itu. Mereka saling bertukar ciuman. Melihat itu,

Mudakir ngacir. Selama adegan ini, ukuran layar tetap di MLS.

Di dalam narasi film tidak dieksplisitkan apa benar kerja sebagai pemburu tersebut. Apabila kata pemburu dilemparkan pada khalayak ramai, orang seperti Mudakir agaknya tidak masuk dalam bayangan. Pemburu secara umum dikenali, misal dengan senapan di pundak atau anjing peliharaan yang

106 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menyalak mendahului jalannya. Sebagai pemburu, Mudakir kelewat rapi, bersih, dan satu lagi: melambai.

Namun, Mudakir punya satu karakteristik pemburu yang tak dapat diganggu-gugat, yakni agresif (aktif). Matanya adalah mata seorang pengintai yang selalu awas dan waspada. Pandangan Mudakir yang bagaikan seorang detektif ini diturutkan oleh kamera. Hingga mata kamera menjadi perpanjangan mata Mudakir. Kamera menangkap obyek buruan Mudakir dalam bingkai-bingkai yang ketat. Wilayah latar pun sengaja diburamkan untuk mengisolasi si buruan ke dalam struktur pandangan. Dibandingkan dengan adegan-adegan sebelumnya, baru kali ini „penonton‟ diajak mematut- matut tubuh laki-laki dengan cara demikian.

Selanjutnya, cerita kembali berpusat pada Jojo. Gambar yang lebih dulu tampak adalah sebuah ban dalam yang ditambal dengan motif bunga.

Gambar ini diambil dari atas dan dalam ukuran CU. Lalu, kamera berpindah ke samping kiri. Mendaki tubuh Jojo dari kaki hingga kepala. Ia berjongkok sambil mengamati hasil kerjaannya. “Cakep nih,” celetuknya. Lalu, ukuran layar membesar, hingga LS. Mengekspos suasana tempat tambal ban itu dengan lebih jelas. Tempat itu berada di pinggir jalan raya, memakan sebagian besar trotoar. Bangunan itu sungguh sederhana, tanpa dinding, tanpa sekat. Hanya lembaran seng menjadi tempat bernaung.

Dari arah kiri, masuk seorang laki-laki. Ia mengenakan kemeja merah dan celana tiga perempat. Ia duduk di dekat Jojo. “Apa-apaan ni? Lu banci?

Bentuknya mesti kayak gini?,” semprotnya. Kedua tangannya mengembang, kakinya pun mengangkang. Ketika ini, kamera sudah berpindah tempat, menyorot si bos, demikian Jojo memangggilnya- dari samping kanan. Jojo yang duduk merapatkan kaki, memberi alasan: “Ini bukannya banci bos. Ini namanya generasi bunga. Flower generation.”

107 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Diberi penjelasan demikian, si bos bukannya melunak, malah makin mengeras. Intonasi suaranya meninggi. Ia pun berdiri, diikuti oleh kamera.

Hingga sekarang layar mendapatinya dari pinggang ke atas. Satu tangannya yang memegang kertas yang digulung, diacung-acungkan. Matanya melotot.

Kemeja lengan pendek yang tidak dikancingkan itu seakan-akan berubah menjadi jubah kebesaran. Dan, tulang-tulangnya yang menjendul berubah menjadi tiang-tiang yang siap menerjang. Jojo, yang masih saja mencangkung di bawah, terlihat menjadi lebih kecil, tak berarti.

Lagi, ketika ini, tak terdengar pembelaan dari Jojo seperti saat ia bekerja di toserba. Suara hatinya senyap. Karena mungkin ia tidak lagi membutuhkan itu. Ia sudah mampu bersuara. Bahkan, yang lebih ekstrim lagi, balik memaki. Umpatan “madi kipe” yang keluar dari mulut si bos, dibalasnya dengan lebih kejam: “madi rodok”.2 Walau, ketika si bos menanya betul maksud dari pernyataannya itu, Jojo meralat dengan mengucap: “Ga bos. Nyari rokok.”

Gambar 3.6. Ekspos wilayah perut dan selangkangan Jojo

Persis setelah itu, bingkai layar melebar hingga LS. Sebuah sedan klasik berwarna oranye tua masuk dari arah kanan. Jojo datang, dan menghampiri. Kamera mendekati, dan menyorot dari samping kiri. Terlihat

Mudakir di balik kemudi. Jojo, yang dalam keadaan berdiri, hanya terlihat

2 Keduanya sama-sama bermakna kurang ajar, hanya “madi rodok” lebih kasar ketimbang “madi kipe”. (Sumber: Sumber: http://misa88.multiply.com, diakses tanggal: 12 Februari 2013)

108 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

bagian perut dan pangkal paha. Tak sekali ini wilayah itu disorot kamera.

Dalam adegan berikut, Mudakir menyodorkan lembaran uang 100 ribu kepada

Jojo. Jojo yang curiga, pada awalnya enggan menerima. Mudakir memaksa, dan berinisiatif memasukkan sendiri ke kantong celana Jojo. Kamera, lagi- lagi, merapat dan membingkainya dalam CU. Kali ini, posisi kamera ada di depan, tidak dari samping seperti sebelumnya.

Ekspos wilayah perut dan selangkangan ini terlihat lebih nyata dibanding adegan terdahulu (lihat gambar 3.4). Terutama karena pencahayaan yang lebih benderang. Selain itu jalur pandangan terhadap wilayah selangkangan Jojo juga jadi lebih bebas, tidak terhalangi seperti sebelumnya. Hal lain yang menarik kalau melihat rangkaian tanda yang hadir secara serempak di sana. Di sisi kiri layar terlihat tonjolan (yang diasumsikan sebagai kemaluan Jojo) dan di seberangnya terlihat tangan Mudakir menyelipkan uang kertas ratusan ribu. Jika biasanya penari perempuan diselipi uang ke dalam kutang, Jojo disorongkan uang ke dalam kantong.

(Barangkali ini adalah saweran versi Quickie Express.) Kalau hendak diterjemahkan lebih lanjut, gambar ini secara eksplisit memperlihatkan sebuah transaksi dagang dengan penis Jojo sebagai komoditasnya.

Selanjutnya, Mudakir membujuk Jojo untuk bekerja padanya. Ketika ini, jarak antara keduanya merapat. Namun, bukan dalam artian agresivitas atau ancaman seperti yang sudah-sudah. Mudakir malah berbicara dengan intonasi yang pelan, tapi penuh rayu. Jojo tentu saja bimbang. Kebimbangan ini bahkan diperjelas secara visual melalui penggunaan teknik racking focus.

Ketika Jojo menoleh ke belakang, ke arah si bos yang sedang duduk, fokus dipindahkan ke si bos. Ketika Jojo meluruskan pandangan, fokus kembali diarahkan pada Jojo. Si bos tidak terlihat lagi. Terutama karena ia duduk di tempat yang gelap.

109 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Adapun keraguan Jojo diperlihatkan kembali ketika Jojo dan Mudakir sampai di Restoran Quickie Express. Jojo ditempatkan di sisi kiri layar, sementara Mudakir berada di sisi kanan. Sisi kiri ini, paralel dengan tempat tambal ban yang barusan ditinggalkannya. Meski, tempat itu tak berbekas lagi di pandangan (offscreen space). Sementara di sisi kanan, Mudakir sejajar dengan bangunan Quickie Express. Tempat yang dijanjikan Mudakir akan merubah nasib Jojo.

Saat Jojo terpikir hendak kembali ke tempat tambal ban, ia melihat ke sisi kirinya. Mudakir dengan cepat menyergap: “Fintu restoran itu adalah jalan keluar ente dari kesusahan. Tapi semuanya terserah ente. Ente bisa aja balik ke tempat tambal ban itu, dan berdoa tiap hari ente bisa dapat recehan.

Makan tuh kerincingan.” Kamera ketika ini berada di depan Mudakir. Di latar tampak jelas pintu sebuah bangunan.

Pintu yang dimaksud terbuat dari kayu. Materialnya yang padat tidak memungkinkan orang melihat aktivitas orang di dalam. Memang, di bagian atas terdapat dua pasang kaca bulat. Namun, kaca itu pun terlihat gelap.

Dengan struktur bangunan seperti itu, sebagai restoran, Quickie Express terkesan tertutup. Bandingkan dengan restoran-restoran siap saji yang rata- rata hanya disekat dengan kaca tembus pandang, macam etalase toko.

Ketertutupan itu semakin nyata setelah memperhatikan daun pintu yang menjadi jalan keluar masuk di restoran itu selalu terkatup. Hanya tulisan

“open” di bagian kiri pintu yang menjadi penanda untuk akses keluar masuk.

Begitu Jojo masuk, kamera sudah menunggu di dalam. Lalu, mengikuti

Jojo yang berjalan perlahan. Sembari Jojo mengedarkan pandangan, kamera pun memutar, memperlihatkan pengunjung yang sedang duduk, bercengkrama sambil menikmati hidangan. Sebanyak itu orang yang hadir, keseluruhannya perempuan, dan umumnya datang berkelompok. Saat Jojo mendekat, mereka menunjuk-nunjuk dan saling berbisik. Dua orang di antara

110 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mereka bahkan mencoba menggapai badan Jojo. Posisi Jojo membelakangi kamera, berlawanan dengan para perempuan itu. Adegan ini dibingkai dalam ukuran LS.

Gambar 3.7. Jojo memasuki Restoran Quickie Express

Adegan ini bisa dikomparasikan dengan adegan di toserba saat Jojo bekerja sebagai petugas kebersihan. Persisnya ketika Jojo dikerumuni oleh pengunjung toserba, untuk lalu ditowel oleh salah seorang di antaranya.

Setelah dicolek, Jojo langsung ditinggal begitu saja. Beda kasusnya dengan adegan di Quickie Express ini. Bila di toserba Jojo kalah „menggiurkan‟ ketimbang barang-barang diskonan, di restoran ini Jojo adalah idola.

Pengunjung restoran tersebut setia mengikuti Jojo, meski itu hanya lewat sudut matanya. Singkat cerita, begitu menjejakkan kaki di Quickie Express,

Jojo menjelma menjadi sosok laki-laki yang berbeda: ia diinginkan!

Kemudian, Jojo diajak Mudakir masuk lebih dalam ke bangunan itu.

Selama ini kamera membahasakan dengan shoot-shoot panjang dan bingkai yang melebar (LS). Baik obyek dan latar sama-sama ditampilkan fokus.

Berbeda dengan ruangan pertama yang dimasuki Jojo tadi, di sini sepi sama sekali. Tidak ada orang. Yang ada hanyalah lorong-lorong panjang dengan pencahayaan yang remang-remang. Mudakir menjelaskan tempat itu: “Dulu di sini adalah pangkalan militer Jepang. Setelah Jepang pergi, tanah ini jatuh ke tangan abah ana. Tapi baru 10 tahun lalu ana tahu bahwa di bawahnya

111 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ada bunker besar yang dulu dibikin buat tempat orang-orang Jepang sembunyi kalau terjadi perang. Akhirnya ana jadikan tempat pelatihan.” Dan tempat pelatihan itu adalah Quickie Express.

B. Laki-Laki Calon Pekerja Seks: Seksi dan Saru

Di layar tampak sebuah lift terbuka. Terlihat Jojo dan Mudakir ada di dalamnya. Mudakir keluar lebih dulu, lanjut berkata: “Selamat datang di

Quickie Express Training Center”. Kamera menyorotnya dari jarak CU dengan latar yang diburamkan (shallow focus). Begitu tangannya menyibak, memberi aba-aba bagi Jojo untuk masuk, ukuran kamera kembali melebar hingga LS.

Di foreground berjalan dua orang laki-laki. Boneka perempuan seukuran orang dewasa, terjepit di tangan salah seorang diantaranya. Boneka itu menghadap ke penonton.

Jojo berjalan sendirian. Ia disorot dari arah depan. Begitu ia masuk lebih dalam, semakin ramailah laki-laki muda yang berjalan hilir mudik.

Mereka memakai seragam model jumpsuit sepaha. Di satu titik, Jojo berhenti.

Kamera meninggalkannya, dan lanjut mengeksplorasi. Waktu kamera berbalik, menempatkan Jojo di sisi kiri layar, Jojo menoleh ke arah belakang.

Ke sebuah papan nama bertuliskan Quickie Express. Jojo membalikkan muka dan bertanya: “Tempat apaan sih ini?”

Nah, ketika ini, Quickie Express mulai memperkenalkan medan pemaknaan yang baru. Jika dikaitkan dengan soal penamaan, Quickie Express bermain-main dengan dua arti. Sebagai restoran, Quickie Express dapat mengidentikkan diri sebagai restoran cepat saji (quick, instant) dengan sistem pengantaran kilat ke alamat (express). Berikutnya, bila dimasukkan dalam konteks penjual jasa gigolo, maka nama Quickie Express menjadi bermakna seksual (quickie sex).

112 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Perbedaan makna itu lebih lanjut diaplikasikan dalam struktur ruangan. Dinding-dinding Quickie Express difungsikan lebih dari sekadar pembatas. Bangunan Quickie Express bisa dibagi dengan kasar dalam dua kategori: wilayah permukaan (restoran) dan wilayah dalam/bawah (tempat pelatihan gigolo). Bila di restoran pengunjung ditawarkan mencicipi pizza, di tempat pelatihan pengunjung bisa mencecap si penjual pizzanya.

Kedua ruangan tersebut dibedakan diantaranya melalui penataan ruangan dan pencahayaan. Di restoran, tidak ditemui adanya penyekatan.

Ruangan dibuat lepas begitu saja. Dari segi pencahayaan dibikin terang.

Hingga antara pengunjung satu dengan pengunjung lain dimungkinkan untuk saling berinteraksi. Sebaliknya, di tempat pelatihan Quickie Express dijumpai banyak sekat-sekat. Antara ruangan satu dan ruangan lain terpisah dengan sempurna. Untuk pencahayaan dibuat lebih redup. Penanda-penanda yang bersifat seksual yang tidak diketemukan di restoran, seperti boneka seks seukuran perempuan dewasa- hadir secara mencolok di tempat ini.

Dalam keterangan pers dalam situs Kalyana Shira, disebutkan bisnis gigolo ini sengaja disembunyikan di bawah tanah untuk “menghindari serangan protes dari kelompok religius Jakarta”.3 Ini pula yang kemudian diulang-ulang ditulis dalam berbagai ulasan mengenai Quickie Express.4

Anehnya, di dalam narasi maupun visualisasi, “kelompok religius” ini sama sekali tak dimunculkan.

Memang kalau didudukkan pada konteks pembuatan film ini, tahun

2000-an, atau diperlebar menjadi pasca-Reformasi, aksi-aksi penyerangan dengan mengatasnamakan agama kerap terjadi. Sasarannya beragam, mulai dari media massa (contoh kasus: Playboy), film (contoh kasus, Rintihan

3 “Quickie Express film komedi dewasa yang menyegarkan akhirnya hadir bagi penonton dewasa” (Sumber: http://kalyanashira.com/news/40-news/61-quickie-express-film-komedi-dewasa-yang-menyegarkan- akhirnya-hadir-bagi-penonton-dewasa", diakses tanggal: 6 Februari 2011) 4 Misalnya seperti terdapat dalam situs http://17tahun.us/cerita-dewasa/resensi-film-quickie-express-kisah- sang-gigolo/, diakses 22 Maret 2011 dan http://perfilman.pnri.go.id/filmografi.php, 28 November 2008

113 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kuntilanak Perawan) atau bahkan kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh/untuk kaum LGBT (misal: Q! Film Festival). Pelakunya? Untuk menyebut salah satu: Front Pembela Islam (FPI). Ya, „Islam‟ telah menjelma menjadi semacam sensor tidak hanya bagi dunia perfilman, namun juga aspek sosial lainnya. Ini dengan catatan, sasaran serangan ini selalu diarahkan ke dimensi publik, jarang personal.

Bila tekanan dari apa yang disebut sebagai “kelompok religius Jakarta” tidak diketemukan secara nyata, hal yang jelas terlihat itu yakni usaha pengeksklusian hal-hal yang berbau seksual dari wilayah publik. Dengan shoot-shoot yang panjang, lorong-lorong menuju tempat pelatihan itu menjadi semakin dalam, semakin jauh dari „permukaan‟. Jarak yang terpencil ini dikuatkan pula melalui cerita Mudakir bahwa tempat itu dulu berfungsi sebagai bungker alias lubang perlindungan. Penempatan bisnis seks di tempat yang begitu tersuruk ini menandai dipinggirkannya seks dari permukaan.

Seks dilokalisasi sebatas dinding bilik atau kamar.

Kembali ke teks Quickie Express. Dengan teknik zoom in, kamera memperlihatkan pintu sebuah ruangan bertuliskan: “Pink Room”. Di bawah tulisan itu, dibubuhi keterangan: “Un authorized personnel prohibited to enter”. Keterangan ini menegaskan pengeksklusian yang dimaksud di atas.

Selanjutnya disambung dengan shoot muka Jojo dalam bingkai BCU. Matanya membelalak, dan berkata setengah berteriak: “Gigolo?” Setelah itu, ukuran layar meluas, hingga MLS. Di layar tersaji sebuah ruangan yang terang benderang dengan dinding yang dicat merah jambu. Jojo dan Mudakir berdua saja di ruangan itu.

Perdebatan antara Jojo dan Mudakir berlangsung sengit. Selama ini, kamera menampilkan keduanya dalam bingkai CU. Baik Jojo dan Mudakir sama-sama berjawab kata. Tak ada yang lebih diam ketimbang yang lain.

Keduanya sama-sama bersuara. Begitupun, Jojo mampu bergerak dengan

114 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

bebas, sekadar mondar-mandir di ruangan atau juga menggunakan bahasa tangan. Hal yang langka ditemukan dalam 2S antara Jojo dengan atasan- atasannya terdahulu. Ditambah, baru kali ini lah Jojo dialamati sesuai dengan namanya. Yang sudah-sudah, Jojo dipanggil dengan kata ganti entah itu

“sampeyan” atau juga “lu”.

Untuk meyakinkan Jojo, Mudakir menyarankan Jojo mengikuti tes yang disebut: “bimbingan karir interaktif”. Tes ini berupa kuis dilengkapi sejumlah pertanyaan dan beberapa pilihan jawaban. Meski pertanyaan tertulis di layar, ada pula suara narator. Suara seorang perempuan dengan aksen

Inggris yang dibuat-buat. Ekspresi si narator semakin heboh ketika menanggapi jawaban Jojo atas pertanyaan seputar seks. Contoh komentarnya: “good...” dan “oh yeah!”. Cara komentar ini dilafalkan, berikut intonasinya akan mengingatkan pada komentar-komentar di film biru. Di penghujung tes, diberitahukan bahwa pekerjaan yang paling cocok untuk dilakoni Jojo yaitu: gigolo.

Sebelum mulai berpraktek sebagai gigolo, Jojo terlebih dahulu dilatih menjadi apa yang disebut Mudakir sebagai “mesin seks tahan banting”. Di pusat kebugaran, Jojo dipertemukan dengan dua orang rekan senasib sepenanggungan: Piktor dan Marley. (Perhatikan bahwa kedua tokoh gigolo ini memakai nama impor.) Marley yang sedang bergelantungan, disorot dari samping. Kamera membingkainya dari jarak LS. Sesaat, gambar ini dibekukan. Begitu tulisan “Marley” muncul di bagian kiri layar, terdengar suara Jojo memberi keterangan: “Marley. Percaya bahwa Bob adalah seorang napi dan rasta artinya puji Tuhan.”

Kamera lalu beralih pada Piktor. Ia sedang tiduran dengan kepala tertumpu pada lengan. Ia dibingkai dalam ukuran MLS. Posisi kamera ada di depannya. Gambar ini lagi dibekukan. Tulisan “Piktor” muncul di kiri layar.

Terdengar Jojo menerangkan: “Piktor. Paling cerdas dalam urusan seks.

115 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sarjana komunikasi. Cita-citanya sih jadi penyiar tapi selalu gagal gara-gara 1 kesalahan kecil”. Kelemahan itu, yakni tidak bisa melafal huruf p. “Kalau itu kan buat besarin faha. Kalau ini, fantat?,” tanya Piktor sembari memukul bagian bokong. Penokohan Piktor sebagai yang paling jago urusan seks ini agaknya sejalan pula dengan namanya. Sebutan Piktor dikenal sebagai singkatan dari Pikiran Kotor.

Gambar 3.8. Rekan baru Jojo: Marley dan Piktor

Dilihat dari perawakan keduanya, sangat berbeda satu sama lain.

Marley paling ceking, tinggi sedikit dari Piktor. Kulitnya lebih gelap ketimbang

2 rekannya. Rambutnya panjang dan gimbal serta sering ditutup kupluk.

Piktor, kulitnya terang. Rambut pendek bergelombang. Kumis tipis melengkung di atas bibir. Badannya sedang: tak sekurus Marley dan tak sesubur Jojo. Akan halnya Jojo, Piktor pun menghiasi tubuhnya dengan beberapa tato. Kedua rekan Jojo ini, dalam keterangan Mudakir diperlukan untuk memenuhi “selera tante-tante yang rada aneh”. Dalam artian ini, Piktor dan Marley didudukkan sebagai „pengecualian‟ dari gigolo-gigolo kebanyakan.

Jika Marley dan Piktor adalah „pengecualian‟, Jojo dianggap sebagai

„norma‟, sosok laki-laki yang ideal. Tentu bila membayangkan Jojo sebagai sosok Tora Sudiro di luar layar (offscreen), penokohan ini tidak akan dianggap aneh. Akan tetapi, bila memperhatikan tampilan dan dandanan Tora di film ini, kategori ideal itu menjadi asing dibandingkan tokoh karakter utama di

116 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

film-film lain. Jojo digambarkan berambut gondrong, berponi, kumisan, dan bertubuh gempal. Ini sebabnya mengapa Lee menilai Quickie Express menghadirkan “weird and unorthodox concepts of beauty”.5

Lanjut, apa saja keahlian yang diajarkan pada calon gigolo tersebut?

Setidaknya terdapat empat ruangan yang difungsikan dalam rangka membentuk Jojo, Piktor dan Marley sebagai pemuas hasrat wanita. Pertama, body language room. Di dalamnya mereka diajari tarian tiang; layaknya striptease yang menjadikan tonggak sebagai pusat atraksi. Lalu, sex education room di mana ketiganya belajar mengenal titik G-Spot pada wanita.

Berikut, vocal training room. Tidak khusus untuk olah vokal tentu saja.

Melainkan bagaimana teknik merayu yang jitu. Terakhir, table manner room.

Tak persis berkaitan dengan bagaimana memperlancar permainan di tempat tidur, namun ditujukan sebagai bekal bagi para gigolo untuk membawakan diri di kalangan jet set.

Soal tarian erotis, perlu dikupas lebih lanjut. Saya menahan-nahan diri untuk tidak menyebutkan betapa terganggunya saya menyaksikan adegan ini.

Ingin mengelak-ngelakkan pandangan agar tidak melihat mereka bertiga berjumpalitan dengan pakaian yang sebegitu minim. Namun, persoalan ketidaknyamanan ini saya kesampingkan untuk kemudian fokus menggambarkan bagaimana kamera menyorot laki-laki ketika mereka bergoyang seksi.

Sebenarnya, ada beberapa adegan pelatihan tari. Adegan itu disusun dengan diselang-selingi dengan adegan lain, atau montage. Namun, pada saat ini kerangka waktu bukannya diam, melainkan ikut berjalan.

Menandakan latihan yang terus berulang, bukannya latihan yang satu kali jadi.

5 Lee, Maggie: “Quickie Express” (Sumber: http://blog.jokoanwar.com/?p=238, diakses 7 Juli 2011)

117 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Latihan pertama. Dalam jarak LS, trainer terlihat sedang memperagakan tarian. Ia ditempatkan persis di tengah layar, dibingkai elok oleh tubuh Jojo dan Marley yang membelakangi kamera. Hentakan musik seirama dengan gerakannya. Kadang, ia memagut tiang sembari menggoyang otot panggul, maju dan mundur. Di lain waktu, tiang itu dilepas sambil tetap menggerakkan panggul. Selagi ia masih menari, kamera mengarah pada tiga sekawan: Jojo, Piktor, dan Marley. Dalam bingkai MS, ketiganya terkesan bengong campur ngeri.

Gambar 3.9. Latihan tari tiang

Ganti, sekarang giliran tiga sekawan itu yang menari. Layar kembali pada ukuran LS. Tapi, jauh berbeda dari yang diperagakan trainer, tarian mereka tidak beraturan. Gerakan mereka sama sekali tidak kompak. Walau, musik yang mengalun di latar masih tetap sama. Si trainer berdiri di belakang. Ia memegang raket nyamuk. Sesekali ia melayangkan raket itu ke pantat ketiganya, jika gerakan mereka kacau.

Latihan berikut berlainan dari yang pertama. Musik lantar digantikan hitungan. Trainer kembali maju duluan, memberi contoh. Ia di-shoot dalam bingkai MS. Gerakan kali ini lebih sederhana. Kedua tangan direntangkan sambil bergerak lincah ke kiri dan kanan. Lalu, kamera ganti menyorot Jojo,

Piktor, dan Marley dalam jarak LS. Ekspresinya tidak berbeda jauh ketimbang yang tadi. Akan tetapi, Jojo tak lagi bergidik. Ia merentangkan satu tangan,

118 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

persis mendarat di depan muka Marley. Marley yang terhalang pandangannya, mencoba mengintip dengan menggeserkan kepala. Tapi gagal, sebab kepalanya kembali disorongkan Piktor.

Gambar 3.10. Jojo, Piktor, dan Marley berlatih tari

Selanjutnya, pelatihan tari ini disusun berselang-seling dengan adegan lain. Itu pun, tak selalu dimulai dengan trainer memberi contoh, dan diikuti

Jojo, Piktor, dan Marley. Adegan itu terpotong-potong. Misal, dalam satu kesempatan, trainer memperagakan gerakan olah pernapasan. Ia dibingkai dengan MS. Tangannya bergerak maju mundur, disesuaikan dengan ritme keluar masuk udara di sistem pernapasan. Suara mendesis terdengar keluar dari mulutnya. Setelah disisipi adegan di ruangan table manner, baru latihan ini dilanjutkan. Tapi, bukan untuk mengikuti gerakan barusan.

Kamera berada pada jarak LS. Posisi trainer ada di depan. Di belakangnya, berdiri Jojo, Piktor, dan Marley. Dalam gerakan ini, tangan dibuka lebar-lebar. Pun, kaki dikangkangkan. Kamera datang mendekat, namun tetap pada bingkai LS. Begitu berada di tengah, kamera bergerak ke kanan, dan cut. Di layar muncul gambar lain lagi: sebuah pintu dengan tulisan

“table manner room”.

Selanjutnya, diperlihatkan aktivitas di ruangan table manner room. Itu pun tak langsung dituntaskan. Adegan tari yang lain juga disisipkan diantaranya. Masih dalam bingkai LS, seperti sebelumnya, trainer mengambil

119 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

posisi di depan. Ketiga anak didiknya ada di belakang. Kali ini, gerakan dibantu oleh sebuah kursi. Satu kaki bertumpu pada kursi tersebut, sementara kaki yang lain menginjak lantai. Bagian pinggul digoyang- goyangkan dengan cepat dan teratur. Maju – mundur, maju – mundur, begitu seterusnya.

Gambar 3.11. Jojo, Piktor, dan Marley mencontoh gerakan trainer

Lalu, latihan dengan tiang yang ditampakkan di awal latihan, kembali ditayangkan. Masih dalam komposisi dan bingkai yang sama, trainer di tengah layar diapit Jojo dan Marley yang berdiri di pinggir. Gerakan yang ditunjukkan sama persis dengan yang sebelumnya. Kemudian, gambar diganti dengan gerakan olah pernapasan, yang juga sudah pernah ditampilkan.

Selepas ini, kembali ke ruangan table manner, untuk meloncat lagi ke adegan tarian berikut.

Dalam jarak CU, terlihat tiga tangan memegang tiang. Lalu, layar melebar hingga LS. Kelihatan Jojo, Piktor, dan Marley bersiap-siap di belakang tiang. Trainer, seperti biasa, juga siap siaga di belakang. Kali ini, gerakan mereka bergerak berbarengan. Lebih kompak dari yang sudah- sudah. Ketika mereka berpindah ke depan tiang, tubuh bagian belakang digesekkan-gesekkan pada tiang itu. Kamera bergerak mendekat dengan pelan, hingga jarak MLS.

120 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Lalu, layar ganti memperlihatkan latihan yang lain lagi. Trainer ada di depan, persis di tengah. Ia diapit oleh Jojo dan Marley. Kedua tangannya dikembangkempiskan dengan teratur. Dengan perlahan kamera menjauh.

Memasukkan Piktor yang tadi tak tampak di layar. Kamera baru berhenti ketika mencapai jarak LS.

Setelah dijeda dengan pelatihan di pusat kebugaran, pelatihan tadi dilanjutkan. Gerakan yang ditampilkan sudah berbeda. Fokusnya ada pada area panggul dan pantat. Posisi trainer masih di depan, dan Jojo, Piktor,

Marley di belakang. Ketiganya terlihat berusaha mencontek betul gerakan trainer. Selama ini, kamera sempat bergeser. Memperluas ukuran layar dari

MS hingga LS.

Pelatihan selesai. Di sebuah ruangan, dalam bingkai LS, Jojo, Piktor, dan Marley berjalan mendekati kamera. Ketiganya tidak lagi bercelana super pendek dan kaus oblong. Melainkan, sebuah jumpsuit ketat berwarna oranye tua yang panjangnya hanya sebatas paha. Begitu mereka sampai pada jarak

MS, mereka berbalik. Di punggung kostum mereka tertulis: “Order your own pizza boy!”. Trainer, yang tegak di belakang, memperhatikan dan mengacungkan jempol.

Diperhatikan secara keseluruhan, satu hal yang mencolok dari periode ini yakni soal pakaian Jojo yang bertambah minim. Terutamanya ketika Jojo dan kedua rekannya: Piktor dan Marley ikut pelatihan gigolo di Quickie

Express. Celana pendek ketat sepaha dipadupadankan dengan baju tanpa lengan yang sepas badan. Alhasil, bentuk badan ketiga lelaki itu pun terekspos dengan jelas. Sementara itu, tonjolan di celana Jojo yang tadi sempat dipersoalkan, menjadi lebih kentara. Namun, tidak pernah dihadirkan dalam bingkai CU serupa di awal. Ekspos tubuh mereka tambah menjadi berkat gerakan-gerakan provokatif yang mereka peragakan saat latihan tari.

Alhasil, nuansa sensual dan erotis menjadi berlimpah. Walau, yang jadi

121 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

catatan juga, karena ini film komedi, erotisme yang dipertontonkan dicampur dengan nuansa yang komikal dan lucu.

C. Laki-Laki Pekerja Seks: Kaya dan Berkuasa

Di layar, dalam ukuran CU, terpampang tulisan: “Display Room”.

Seperti ruangan lain di Quickie Express, ada keterangan lain di bawahnya:

“Un authorized personnel prohibited to enter”. Lalu, masuk ke gambar berikut. Sebuah ruangan gelap dibingkai dalam ukuran MS. Sebuah tirai yang terbentang persis di depan ruangan itu, membuka dengan perlahan.

Menyingkapkan ruangan lain di seberang yang terang-benderang. Dari arah kiri, masuk secara berurutan: Jojo, Marley, dan Piktor. Ketiganya memakai kostum jumpsuit yang tadi ketika mereka dilantik. Tepat di belakang mereka, terdapat garis-garis dalam ukuran centimeter.

Kamera ganti berpindah ke ruangan di mana Jojo, Marley dan Piktor berada. Kamera ada di belakang, menyorot refleksi ketiganya (MLS) yang terpantul di kaca depan. Kaca yang sama yang memisahkan ruangan itu dengan ruangan gelap yang tampak di awal. Kontras, ketika kamera berpindah ke depan, ke ruangan gelap, kaca itu tak memantulkan refleksi orang-orang yang duduk di sana. Penonton di Quickie Express itu diposisikan laiknya penonton di teater.

Di layar kini tampak Jojo, Marley, dan Piktor (MS). Kali ini mereka disorot dari depan. Ketiganya sedang berbincang tentang „tante-tante‟ yang akan memakai jasa mereka. Di tengah percakapan, terdengar suara Mudakir memerintah: “Aaaaah, coba buka seragam ente semua.” Kamera kemudian pindah ke ruangan sebelah. Dari jauh tampak ketiganya mengambil ancang- ancang hendak membuka ritsleting. Kamera masuk kembali, namun gambar yang diambil hanyalah bagian kaki (CU). Baju yang mereka kenakan sudah dipelorotkan sepenuhnya.

122 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dengan dada yang sepenuhnya telanjang, ketiganya dibingkai dalam

MS. Tubuh mereka jelas terpapar dalam jarak ini. Sementara itu, perbincangan mereka teruskan. Kali ini seputar “rudal dan torpedo”, istilah

Piktor. „Benda‟ yang sama sekali luput dari layar. Jojo disebut-sebut memiliki ukuran paling besar. Sepanjang „pemeriksaan‟ itu ia sumringah. Senyumnya melebar. Dadanya pun membusung. Beda dengan Marley. „Punyanya‟ dinilai paling kecil. Alhasil, ia jadi bahan ejekan dan olokan kedua rekannya.

Mukanya jelas kecut.

Gambar 3.12. Jojo, Piktor, dan Marley dipajang pada calon tante

Klien pertama. Ketika ini editing film dibuat berselang-seling. Antara

Jojo, Marley dan Piktor yang menemui klien masing-masing. Gambar itu dipotong-potong secara paralel. Penyuntingan model ini membuat ketiganya tetap terhubung, meski berada di lokasi yang berbeda. Nasib, benang merah ini lah yang menyatukan ketiganya.

Di layar tampak Jojo, dalam posisi membelakangi kamera, memegang secarik kertas bertuliskan “Quickie Express”. Searah pandangnya, terdapat sebuah restoran yang dibingkai dalam ukuran LS. Jojo berjalan menuju restoran tersebut. Kamera memperhatikan dari jauh. Sesampainya di sebuah meja, ia bertanya: “Quickie Express?”. Kali ini, kamera bergerak pelan menyorot lawan bicara Jojo mulai dari ujung kaki hingga kepala (CU). Begitu kamera sampai di atas, sembari tersenyum ia berkata: “Yes.” Kamera

123 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

berbalik pada Jojo, menampilkannya dalam ukuran MCU. Ketika ia hendak duduk, kamera mengikuti dan tetap mempertahankan fokus di wajahnya.

Jojo lanjut berbincang dengan orang yang dipanggilnya “tante” itu.

Baik Jojo dan si tante dibingkai dalam ukuran MCU dengan latar yang diburamkan (shallow focus). Selama percakapan, Jojo memakai Bahasa

Indonesia campur Inggris, yang dibalas si tante dengan Bahasa Inggris seluruhnya. Dari segi pelafalan (pronounciation), si tante jauh lebih bagus ketimbang Jojo. Mirip penutur asli. Patut dicatat bahwa dialog dalam Bahasa

Inggris ini belum dipakai dalam adegan-adegan sebelumnya. Lebih lanjut, penggunaan bahasa di sini dapat dibilang menandakan kelas. Kelas bawah diidentikkan sebagai pengguna bahasa lokal, dan kelas menengah ke atas sebagai pengguna bahasa asing.

Berikut, adegan berpindah ke sebuah ruang tamu (LS). Sofa berukuran besar ditata dengan rapi mengelilingi sebuah meja persegi. Di latar, terdengar suara seseorang: “Spada. Fermisi”. Dari arah pintu, muncul si empunya suara. Piktor. Begitu masuk, ia menggesek-gesekkan sepatu ke karpet. Ia berujar: “Karfet Fersia. Isteri fejabat nih.” Jika klien Jojo di atas meneguhkan kelasnya melalui pilihan bahasa, klien Piktor melalui jenis karpet yang dipilihnya.

Untuk beberapa saat, Piktor lalu lalang di ruangan itu, dengan kamera yang tetap diam di tempatnya. Piktor mulai kebingungan, menoleh kanan-kiri mencari si empunya rumah. Saat ini, kamera menyorot dari jarak CU. Tiba- tiba, dari arah belakang yang masih diburamkan, terdengar bunyi pintu terbuka. Sesosok perempuan hadir dalam bentuk siluet. Piktor membalikkan badan. Kamera bergerak mendekat (zoom in) memperlihatkan Piktor yang terkesima. Mulutnya menganga, sembari berkomentar: “O...mantaf.”

Kamera dengan cepat berpindah mengikuti arah tatapan Piktor. Di pintu, berdiri tegak seorang perempuan berpakaian suster. Rambutnya

124 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

panjang bergelombang. Di mulutnya mengembang seulas senyum. Kamera berada di jarak MS. Perempuan itu berjalan mendekat dengan pelan, sama pelannya dengan musik yang mengalun lembut di belakang. Ia berhenti begitu ada di jarak CU. Lalu, adegan diganti.

Gambar 3.13. Klien pertama Jojo, Piktor dan Marley

Di sebuah kamar dengan cahaya yang temaram, di-shoot dari jarak

LS. Marley berdiri tegak, menghadap pada seorang perempuan. Perempuan itu berbaring di kasur, membelakangi kamera. Seperti halnya Jojo, Marley membuka perjumpaan itu dengan bertanya: “Quickie Express?”. Kamera tetap berada dalam posisi ini sampai si perempuan memerintahkan Marley memakai baju seragam sekolahan. Kamera lanjut berpindah dari Marley

(MCU) ke sebuah baju yang tersandar di kursi.

Marley bertanya, setengah tidak percaya. Perempuan itu tidak segera menjawab. Sementara kamera merayapi badannya, dimulai dari kaki hingga berhenti tepat di kepala. Ketika ini waktu seakan merangkak pelan. Dalam bingkai MCU, ia menjawab: “Iya, baju itu, sayang”. Kamera kembali ke

Marley, masih dalam MCU. Ia tertawa. “Kerjakan. Tak setrap nanti,” tukas si perempuan. Di layar sekarang ganti muka si perempuan dalam ukuran MCU.

Pindah ke Jojo. Jojo yang sedang duduk membolak-balik menu, didatangi oleh pelayan. Pelayan itu menanya-nanyai Jojo seputar hubungannya dengan si tante. Jojo terlihat acuh, dan tak banyak berkomentar. Ketika moncong si pelayan mendekat, hendak bercerita lebih

125 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

banyak, Jojo langsung memotong. Ia melarikan diri ke kamar mandi. Selama dialog berlangsung kamera tetap diam, bertahan pada jarak CU. Bingkai melebar hingga MS tepat ketika Jojo memilih untuk kabur.

Di sebuah kamar yang luas dan megah, dibingkai dalam MLS, suster dan Piktor masuk. Begitu sampai di depan tempat tidur, si suster berhenti.

Piktor mengedarkan pandangan, mengamati ruangan. Lalu, ia tegak berhadap-hadapan dengan suster, mulai melancarkan rayuan. Ketika ini, kamera merapat hingga CU. Jarak antara keduanya pun semakin menipis.

Piktor memegang bahu suster, menatap matanya, lanjut menggoda. Saat ini, layar melebar sampai MLS. Tangan Piktor ditepis. Layar kembali ke ukuran

CU. Suster menoleh ke kiri layar, memanggil seseorang lain yang disebutnya nyonya. Dengan memanggil nyonya, si suster sekaligus menginformasikan bahwa statusnya di rumah itu hanya „bawahan‟. Kamera yang tadi ada di belakang Piktor, pindah menyorot dirinya.

Suster bergeser ke samping kanan. Meninggalkan Piktor sendirian di layar. Dengan perlahan kamera mendekat (zoom in). Menempatkan muka

Piktor dalam CU. Dari arah kiri, setentang dengan arah pandang suster tadi, muncul seorang perempuan. Ia dibingkai dalam CU. Rambutnya awut-awutan.

Gigi atasnya ompong. Riasan mukanya tebal. Setibanya di muka Piktor, ia menjilat bibir. Sembari matanya merem-melek. Dari bibirnya yang bergincu tebal, terdengar desahan: “Aaaaah...”.

Cerita kembali ke Marley. Kamera memanjat tubuh Marley dari pinggang hingga kepala. Ia sudah mengenakan baju seragam yang tadi disediakan. Kamera berpindah ke si tante (MCU). Ia memberi tugas baru lagi: membaca buku. Buku itu terletak di bawah kakinya. Seiring dengan arah telunjuknya, kamera bergerak ke bawah, turun melewati badannya. Ia menyepakkan sebuah buku. Marley pun menurut. Dalam bingkai MCU, ia mulai membaca. Buku itu terkembang di tangannya. Terdapat tulisan di

126 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

sampul: “6 Langkah Belajar Membaca”. Matanya bergantian memandang buku dan memandang ke depan, ke tempat si tante berada.

Dalam ukuran MCU, ekspresi si tante tampak semakin heboh. Ia bahkan sampai mengurai rambutnya yang tadi diikat. Kacamatanya juga dilepas. Editing dengan bergantian memperlihatkan ekspresi Marley yang heran campur takjub, dan ekspresi si tante yang semakin memanas.

Sepanjang ini, layar tetap berada di bingkai MCU.

Adegan berpindah pada Piktor. Kamera ada di atas dalam jarak MLS.

Si tante membungkuk, satu tangannya memegangi kaki Piktor. Piktor disorot dari kaki hingga sebatas leher. Kamera bergerak mengikuti tangan si tante yang mendaki tubuh Piktor yang setengah telanjang. Begitu ia sampai di atas, kamera berpindah posisi. Menyorot Piktor dari arah depan. Ekspresi mukanya terlihat takut. Ekspresi ini semakin jelas berkat zoom in.

Gambar 3.14. Kencan pertama Piktor

Ukuran layar kembali ke MLS. Piktor berkeliling ruangan mematikan lampu dan menutup gorden. Sementara si tante duduk di tempat tidur, bersiap. Desahannya masih terdengar. Ketika lampu sudah sepenuhnya mati, meninggalkan kegelapan yang pekat di layar, desahan itu menjadi semakin nyaring.

Layar bergeser, dalam ukuran CU ditampilkan gambar wajah laki-laki menghadap ke kanan, dengan tulisan “Gents” tepat di bawahnya. Masih

127 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dalam CU, terlihat tangan di bawah kran yang sedang mengalir. Lalu, layar melebar hingga ukuran MS. Si empunya tangan, Jojo, sedang mencuci muka.

Tiba-tiba dari arah kirinya, terdengar orang buang angin. Jojo melirik ke sumber suara, diikuti oleh gerakan kamera ke samping kiri. Bunyi itu semakin heboh. Kamera mendekati Jojo sampai jarak MCU, memperlihatkan muka Jojo yang mengernyit. Kini, ia menutup hidung.

Gambar 3.15. Kencan pertama Marley

Kembali ke Marley. Dalam bingkai MS, Marley disorot dari belakang. Si tante, yang berada di depan, meminta Marley membuka celana. Marley menurut. Kamera sekarang pindah posisi. Menyorot Marley dari kepala hingga pinggang. Namun, bagian pinggang itu tertutup sempurna oleh kepala si tante. Kamera kembali ke posisi semula. Bagian bokong Marley tampak separuhnya. Si tante, yang kini sudah memasang kaca mata berkata mengolok: “Kecil sekali”. Kamera berbalik pada Marley. Mukanya mememarah, marah. Serta merta ia melepas baju, dan „menerkam‟ si tante.

Jika Piktor dan Marley sudah sampai ke acara kencan, lain dengan

Jojo. Ia masih di toilet, menutup hidung. Kamera turun perlahan, di bawah sebuah tisu menggelinding. Jojo memungut tisu tersebut, dan berencana memasukkannya lewat bawah pintu. Kamera bergerak ke bawah, terlihat sepasang kaki, mengangkang dengan sepatu wanita. Di atasnya tertonggok celana dalam putih bermerek Hings. Celana dalam laki-laki! Di luar, Jojo

128 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

meringis. Menyadari bahwa sepatu itu adalah sepatu yang sama dengan yang dipakai si tante. Jojo kembali ke mejanya, lalu angkat kaki.

Gambar 3.16. Kencan pertama Jojo

Kini, di layar yang terlihat hanya pepohonan. Kamera tilt down, berhenti di jalan raya. Dari arah belakang, tiga skuter jalan beriringan. Narasi

Jojo kembali terdengar. “Rentetan tugas sudah di depan kami. Kami sudah menjadi laki-laki yang yang kuat, lebih tangguh, dan lebih menggairahkan.

Kami adalah arjuna-arjuna modern, seksi, tak terhentikan.” Sesudah itu, dihadirkan potongan-potongan gambar. Kalender yang berganti dengan cepat. Jojo yang diikat di ranjang sementara dilecuti oleh seorang wanita.

Pintu-pintu yang membuka disambut para gigolo muda yang menyapa dengan ceria. Lanjut diperlihatkan para tuan rumah yang mengundang para gigolo muda itu. Serpihan-serpihan gambar ini singkat-singkat, dan berlangsung cepat. Waktu berminggu-minggu dipadatkan dalam sepersekian detik.

Meski hadir cuma dalam bentuk kilasan, ada satu adegan yang menarik dipreteli lebih lanjut. Adegan itu yakni ketika Jojo diikat di tempat tidur. Matanya ditutup. Dadanya telanjang. Persis di depannya, duduk tegak seorang perempuan. Ia berkacak pinggang. Tangan satunya memegang tongkat. Tongkat itu dilecutkan berkali-kali pada Jojo. Ukuran layar yang semula MS, menciut menjadi MCU ketika beralih pada sosok si perempuan. Ia

129 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

berteriak: “Panggil aku manja.” Jojo yang dalam posisi tak berdaya hanya sanggup merengek: “Ampun tante. Ampun tante.”

Gambar 3.17. Jojo dilecut di tempat tidur

Memasuki menit-menit selanjutnya, boleh dibilang adalah masa-masa kejayaan Jojo, Piktor, dan Marley sebagai gigolo. Terutamanya dari faktor finansial. Sesuai dengan apa yang diakui Jojo: “Sekarang kita bertiga ga perlu lagi mikir duit. Om Mudakir bener, ini adalah pekerjaan terhebat yang bisa gue dapetin”. Untuk menggambarkan materi mereka yang berlimpah, tidak ditunjukkan dengan aktivitas menghitung uang, atau memperlihatkan besaran nominal mereka di tabungan. Melainkan, lewat praktik konsumsi.

Berhubung Jojo, Piktor, dan Marley sudah menjelma menjadi OKB alias

Orang Kaya Baru, gaya hidup mereka pun di-upgrade. Misal, dengan nongkrong di kafe yang diklasifikasikan sebagai tempat berkumpulnya “kasta eksekutif muda”; pindah ke rumah dengan fasilitas kolam renang pribadi; mengendarai skuter berkeliling-keliling kota; menghabiskan 4 juta rupiah untuk sekadar membeli ikan lohan; memborong pakaian di pusat perbelanjaan, atau dengan memuseumkan pemutar musik konvensional dengan perangkat digital.

Kejayaan Jojo semakin berkibar ketika ada seorang wanita cantik, Lila, mendampingi. Berbeda dari pertemuan Jojo dengan Tante Mona yang

130 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

terjadwal, Jojo bersua dengan Lila tidak sengaja. Ceritanya, Jojo dan rekan- rekan berkelahi dengan teman-teman Lila. Lila terkena pukulan nyasar dan pingsan. Jojo membawa Lila pulang, merawat lukanya. Ketika Jojo mengusap kening Lila yang lebam, keduanya disatukan dalam bingkai 2S yang ketat

(MCU). Namun, kesan intim belum terasa. Yang lebih mengemuka itu kelucuan. Saat Lila tertidur, Jojo mendekatkan wajahnya. Jika dalam film drama, momen ini akan berakhir dengan sebuah ciuman. Dalam film ini, Jojo malah mengatupkan bibir Lila yang terbuka. Namun, yang menjadi perhatian, dalam percakapan dengan Lila, untuk pertama kalinya Jojo menggunakan kata ganti “aku”, bukan “gue” seperti biasanya.

Pertemuan selanjutnya berlangsung di klinik. Romantisme antara keduanya mulai dibangun. Terutamanya pada momen ketika mereka berpisah. Jojo dan Lila berjalan berlawanan arah. Dalam MS, Lila tersenyum.

Jojo, yang ada di belakang Lila, ditampilkan tidak fokus. Ia berhenti sejenak, menoleh ke arah Lila. Lila balas menoleh. Tapi ketika itu Jojo sudah membalikkan badan. Sampai akhirnya Jojo berhenti dan berbalik arah mengejar Lila. Akan tetapi, Lila menghilang di tikungan. Jojo kembali, melangkah ke luar. Sementara, di ujung tikungan, Lila muncul. Menjemput

Jojo yang telah menghilang di pintu. Sepanjang adegan kucing-kucingan ini, musik lembut mengalun, dan baru berhenti setelah Lila tak terlihat lagi di layar.

Sementara itu, karir Jojo, Piktor, dan Marley semakin menanjak.

Hingga Om Mudakir memutuskan mereka dapat memasuki tahapan lebih lanjut: “level advance” diistilahkan. Mereka pun dipersiapkan kembali. Mulai dari pakaian hingga perawatan muka. Seragam jumpsuit mereka tanggalkan, berganti dengan pakaian tailor made. Ini ditekankan dalam rangkaian CU.

Dalam narasi offscreen terdengar Mudakir menerangkan: “Mulai sekarang,

131 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ente bakal melayani isteri pejabat, pengusaha besar, dan kaum sosialite.

Sekarang ente bukan cuma gigolo tapi kapal keruk fulus.”

Gambar 3.18. Gigolo level advance

Digantikannya seragam model jumpsuit dengan pakaian-pakaian tailor made, menandakan lebih dari sekadar perubahan status Jojo dan kawan- kawan. Yang terpenting yakni efeknya pada tingkat keterpandangan tubuh mereka. Dalam seragam jumpsuit yang sempit dan ketat tersebut, tubuh ketiganya jelas tercetak. Sedangkan dengan pakaian tailor made tersebut, bentuk tubuh mereka tertutupi sepenuhnya. Yang ditonjolkan sudah bukan lagi kebagusan kulit dan otot si pemakai, namun material pakaian (sepatu kulit dan jaket kulit).

Hari pertama naik tingkat. Jojo datang menaiki eskalator. Kamera sudah menantinya di ujung dengan bingkai yang lebar (LS). Musik rock & roll menghentak di latar. Di liriknya terdengar: “Akulah mesin cinta.” Begitu Jojo menginjakkan kaki di lantai, posisi kamera yang tadi ada di atas kepala Jojo, pindah ke kaki. Menyorot Jojo dari sudut low level. Berjas dan berpantalon ria, Jojo melangkah gontai masuk ke sebuah lorong. Dalam MLS, terlihat orang-orang saling bertegur sapa. Pengunjung laki-laki memakai jas dan dasi, dan kalau wanita memakai gaun. Dengan pakaian yang dikenakannya itu,

Jojo terlihat menyatu dengan lingkungan tempatnya berada.

Seperti halnya Jojo, kamera ikut masuk lebih dalam menelusuri lorong itu. Hingga kemudian Jojo sampai pada sebuah ruangan. Kamera tinggal di

132 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

belakang, sementara Jojo masih berjalan. Di sekeliling tampak orang-orang berkumpul. Begitu tiba di satu titik, Jojo berhenti. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kamera tidak mengikuti arah pandang Jojo.

Melainkan bergerak memutar dengan Jojo sebagai pusat. Kemudian, kamera menjauh. Memperlihatkan kerumunan dalam bingkai LS.

Layar sekarang mengecil hingga CU. Musik yang tadi berisik, berhenti.

Digantikan dengan SFX bunyi korek api gas. Sebatang rokok terapit di antara jemari dengan kuku yang lentik. Terdengar Jojo menyapa: “Tante Mona”.

Tante Mona terasa begitu spesial tidak hanya karena ia klien „advance‟ pertama Jojo, tapi juga karena ia satu-satunya klien yang diketahui nama jelasnya. Klien yang lain hanya dipanggil dengan sebutan generik: “tante”.

Kencan Jojo dengan Tante Mona jauh berbeda dari yang sudah-sudah.

Pertemuan di kasino, berlanjut di apartemen. Tidak langsung ke kasur, tapi diawali dengan acara minum sampanye sambil mengobrol. Waktu menjadi sangat lamban. Sama lambannya dengan dentingan piano yang mengalun pelan di latar, atau juga gerakan kamera yang begitu perlahan. Pencahayaan yang redup dan warna-warna yang lembut yang mendominasi ruangan tersebut, tambah menguatkan kesan tenang itu.

Gambar 3.19. Kencan Jojo dengan Tante Mona

Dalam bingkai LS, terlihat Jojo duduk di sofa. Kakinya mengangkang, kedua tangannya terbuka lebar. Tante Mona datang mendekat. Bingkai

133 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kamera diperketat menjadi CU ketika Jojo memperhatikan Tante Mona lekat- lekat. Akan tetapi, kamera tak membiarkan Tante Mona menjadi fokus, ia berada di pinggir layar dan diburamkan. Ketika Tante Mona balas merayu

Jojo, dan mulai menggerayangi tubuhnya, Jojo berada di pinggir layar, namun tetap dalam keadaan fokus.

Seusai acara minum bersama, Jojo bermain piano. Kamera yang tadinya menyorot jari-jari Jojo yang menari di atas tuts, lalu bergeser ke atas dengan perlahan. Membingkai Jojo dengan Tante Mona. Tante Mona mengelilingi Jojo sambil mengelus-elus badannya. Kamera ikut berpindah mengiringi. Dengan perlahan Tante Mona merunduk. Kamera tak ikut bergeser. Meninggalkan Jojo sendirian di layar dalam ukuran MCU.

Selang beberapa lama terdengar bunyi ritsleting dibuka. Jojo yang tadinya melihat ke bawah, kini menengadahkan muka. Mulutnya membulat.

Matanya memejam. Kamera difokuskan pada dirinya seorang (shallow focus).

Ekspresi ini bertahan beberapa saat. Sampai akhirnya Tante Mona berdiri, dan

Jojo memepetkan Tante Mona ke pinggiran piano. Kali ini, suara desahan keluar dari mulut Tante Mona. Ketika dua insan itu asyik bergumul, kamera surut dengan perlahan hingga tertumbuk pada sebuah jam meja. Jarum jam itu bergerak dipercepat, memutar waktu sampai ke penghujung kencan.

Di layar, Jojo dan Tante Mona sedang berbaring dalam ukuran MLS.

Tubuh mereka ditutupi selimut tebal berwarna merah hati. Tante Mona memainkan jemarinya di atas dada Jojo yang telanjang. Ia mencoba menahan

Jojo lebih lama. Tapi, percuma. Jojo tetap bangkit dari tempat tidur. Di pinggiran dipan, Jojo duduk. Kamera menyorot punggungnya dalam MCU.

Saat ia berdiri, kamera tetap pada tempatnya. Hingga bagian bokong sempat terekspos di layar. Ini tidak berlangsung lama. Kamera pindah ke atas, merekam Jojo hingga setentang pinggang (MS) sampai ia selesai berpakaian.

134 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Seusai kencan dengan Tante Mona, Jojo jalan dengan Lila. Keduanya menyambangi klub malam bernama Whisky Agogo. Di sini, kamera banyak bermain di LS. Oleh karenanya, kerumunan dan suasana ramai dapat terekam dengan jelas. Di tempat ini, Jojo bertarung di lantai dansa dengan mantan kekasih Lila, Teddy. Keduanya menari di panggung mini yang letaknya lebih tinggi ketimbang lantai. Sementara, para penonton bersorak-sorak di bawah, melingkar mengerumuni panggung.

Disorot dalam LS, Jojo dan Teddy bersiap di atas panggung. Sebelum pertandingan dimulai, host memperkenalkan keduanya sebagai “si macho” dan “si ganteng”. Begitu musik menghentak diperdengarkan, Teddy mulai beraksi. Kamera mendekat, tapi masih tetap di jarak LS. Gerakan yang diperagakan Teddy begitu cepat dan energik. Dalam satu kesempatan, kamera berpindah menampilkan CU kakinya yang bergerak lincah. Kemudian lanjut bergeser ke atas, dan berhenti di jarak MS. Lanjut, giliran Jojo. Kamera mulai menyorot dari kaki. Beda dengan kaki Teddy, kaki Jojo begitu lamban.

Gerakannya kaku dan terbatas. Selanjutnya, ia lebih banyak ditampilkan dalam LS dan MS.

Gambar 3.20. Jojo versus Teddy di lantai dansa

Dari dua kencan Jojo dengan Tante Mona dan Lila yang disebut barusan, terlihat jauh berbeda. Perbedaan ini menjadi lebih kentara ketika editing menyelang-nyelingkan keduanya. Kencan Jojo dan Lila dilakukan di

135 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tempat-tempat umum, seperti pinggiran jalan raya, restoran, klub malam.

Selalu ada orang-orang lain di sekitar mereka berada. Meski, keberadaan orang-orang tersebut banyak yang diburamkan untuk menjaga fokus tetap pada dua insan ini. Itu dengan catatan, Jojo banyak menyuruk-nyurukkan muka supaya tidak dikenali dengan mantan-mantan kliennya dulu.

Kencan dengan Tante Mona berlangsung di tempat-tempat pribadi, umumnya di apartemen. Tidak ada orang lain di sekitar mereka. Mereka terlindung dari pandangan orang lain. Bahkan, ketika Jojo dan Tante Mona pergi berlayar, di sekeliling mereka hanya laut lepas. Tidak ada kapal lain yang terlihat meski pada jarak XLS. Kontak fisik di antara mereka berlangsung intens. Hal yang sama sekali tidak ditemukan pada kencan Jojo dengan Lila.

Kedigdayaan Jojo tidak berlangsung lama. Pada seperempat bagian terakhir, film ini mulai berubah nuansanya. Musik yang dipakai di latar sudah tak lagi ceria. Malah, lebih mirip dengan film-film thriller ketimbang komedi.

Begitupun kamera memperlakukan Jojo dengan gaya yang berbeda. Yang kontras adalah, jika sebelumnya Jojo sempat di-shoot dari bawah (low level hingga worm‟s eye view) maka di bagian penghabisan ini ia disorot dari ketinggian ekstrim (bird‟s eye view).

Situasi mencekam itu muncul setelah hadirnya karakter baru: Jan

Pieter Gunarto. Sosok laki-laki kurus ceking berwajah runcing dan berambut panjang. Ia selalu berpakaian rapi, berkemeja dan berpantalon. Profesinya, dalam bahasa Piktor, “fengusaha kelas kakaf sekaligus raja freman tingkat atas”. Kemunculannya pertama kali melalui berita televisi yang ditonton Piktor dan Marley. Didalamnya diberitakan ia tersangkut kasus kriminal, yaitu pembunuhan.

Pertemuan Jojo dengan Jan Pieter berlangsung di rumahnya. Jojo datang berkunjung karena diundang makan malam oleh anaknya, Lila, yang

136 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tak lain adalah kekasih Jojo. Tokoh Jan Pieter sebagai ketua gembong mafia agaknya lebih mengemuka ketimbang perannya sebagai pengusaha. Ini ditekankan melalui gaya bertuturnya yang menakutkan. Kesan seram ini tidak hanya dimunculkan lewat gertakan atau gaya bicara. Tapi juga dari apa yang dibicarakannya. Misal, Jan Pieter menyarankan anaknya untuk memukul teman sekelasnya dengan batu. Di samping itu, yang tak kalah penting, dilihat dari efek yang ditimbulkannya pada orang lain. Sepanjang acara makan malam itu dapat dilihat ekspresi muka Jojo yang ketakutan. Sorot kamera ketika ini tidak hanya difokuskan pada muka, tapi juga pada bahasa tubuh. Contoh, kamera memperlihatkan CU tangan Jojo yang gemetar ketika

Jan Pieter bicara.

Nyatanya, Jojo tak hanya harus berhadapan dengan Jan Pieter.

Masalah yang tak kalah berat yakni berhadapan dengan ibunya Lila, Tante

Mona. Ya, orang yang selama ini dikenal Jojo sebagai pelanggan tetapnya.

Dalam acara makan malam keluarga itu, Jojo masih menyapa dengan sebutan

Tante. Tapi, ini dalam artian yang berbeda dari biasa. Tante dalam posisinya sebagai ibu dari Lila. Meski, Tante Mona tak dapat memposisikan diri sebagai

Tante seperti Jojo memanggilnya. Tante Mona menyeret Jojo ke kamar mandi, dan memaksa Jojo untuk berhubungan badan. Jojo menolak.

Dalam perjalanan pulang, di jalan raya, Jojo menangis sambil berteriak. Tapi, musik yang mengiring di belakang bukannya sendu, malah menegangkan. Musik ini dipakai lagi ketika Jojo dibuntuti selepas bertemu

Tante Mona. Musik ini pulalah yang mengantarkan Jojo hingga ke rumah, dan berbaring di ranjangnya. Perlahan kamera bergerak horizontal hingga pinggang. Setelah itu, layar menghitam. Digantikan dengan CU wastafel. Jojo mencuci tangan dan muka. Musik berhenti, digantikan SFX air yang mengalir di pipa. Kamera pindah ke belakang Jojo, dan zoom in dengan perlahan. Jojo menoleh. Lalu, terdengar suara jendela yang digoyang-goyangkan angin.

137 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Jojo celingukan, sembari berjalan ke sumber suara. Ruangan di sekitar itu gelap. Gambar Jojo diambil dari belakang. Lalu, kamera memperlihatkan pintu yang terbuka digeser angin. Jojo menggaruk kepala dan menutup pintu itu. Kamera ketika ini ada di jarak LS. Tiba-tiba dari arah belakang, ada celetukan: “Heh?” Jojo kaget. Kamera mendekat (zoom in) dari MCU ke CU.

Di depan Jojo, duduk Jan Pieter sambil melinting-linting rokok.

Musik ketika ini sudah tidak mengalun lagi. Namun, nuansa ketakutan itu masih membekas. Kamera memotret ini dengan cara menyudutkan Jojo di pinggir kanan layar. Ia duduk dengan muka tertekuk sepenuhnya. Lain halnya dengan Jan Pieter yang terlihat dominan di sisi kiri layar.

Sedari awal, adegan ini telah membangun atmosfer ketegangan melalui penggunaan musik dan pembingkaian kamera. Ditambah pula dengan ekspresi dan mimik wajah kedua aktor yang cukup meyakinkan: Jan Pieter sebagai agresor dan Jojo sebagai yang diagresi. Namun kemudian, ketegangan ini dihancurkan. Ketika Jan Pieter memerintahkan Jojo untuk melihat padanya, tidak ada kekerasan yang terjadi. Malah, Jan Pieter merengkuh Jojo dan menciuminya bertubi-tubi. Kamera yang tadi ada di jarak

MCU merenggang hingga LS. Lalu, mendekat kembali di jarak MCU. Di saat itu, Jan Pieter berkata: “Saya kangen sama Bram.” Kamera saat ini membingkai Jojo dan Jan Pieter dalam proporsi yang sebanding. Kepala Jojo masuk sepenuhnya di layar.

Gambar 3.21. Jojo dan Jan Pieter

138 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Lanjut, kamera menampakkan gambar matahari terbenam. Jojo hadir sendirian dalam bentuk siluet. Ia terpekur, lanjut menengadah. Kamera membingkai mukanya dalam CU. Bersesuaian dengan letak kepalanya, tertonggok matahari yang perlahan tenggelam. Kalau dicocokkan dengan jalan cerita, matahari ini dapat dibaca sebagai metafor. Karir Jojo yang tadi bersinar, kini memasuki masa suram.

Setting selanjutnya berpindah ke klinik tempat Lila bekerja. Jojo menggiring Lila masuk ke ruangan. Pintu mereka tutup. Kamera tertinggal di luar. Namun, lewat kaca pintu yang transparan, terlihat keduanya mengobrol serius. Walau, apa yang dibicarakan sama sekali tidak terdengar. Suara mereka digantikan dengan alunan musik yang sendu.

Kamera dari bingkai MS perlahan mendekat hingga MCU. Ini semakin memperjelas perubahan air muka Lila. Dari yang mendengarkan penuh perhatian, lantas berubah mendung. Lila berlari ke luar. Jojo menyusul hingga di depan pintu. Pelan, ia berkata: “Tapi aku sayang kamu, La.” Meski perkataan ini cukup keras terdengar di telinga penonton, tapi tidak di telinga

Lila. Ia sudah pergi meninggalkan Jojo.

Gambar 3.22. Jan Pieter dan Mateo

Perpisahan Jojo dan Lila adalah pembuka bagi perpisahan-perpisahan berikutnya. Satu-persatu karakter dalam film ini terberai dari ikatannya masing-masing. Jan Pieter tak terkecuali. Di pinggiran tol, Jan Pieter dan

139 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Mateo terlibat cekcok. Dari percakapan keduanya terungkap bahwa Mateo yang tadi diperkenalkan sebagai ajudan Jan Pieter, ternyata merangkap sebagai pacar gelapnya. Jan Pieter di sini berubah menjadi sosok yang sama sekali berbeda. Ia tidak lagi agresif, takluk sepenuhnya di bawah gertakan

Mateo.

Keintiman di antara Jan Pieter dan Mateo dibangun melalui kontak fisik diantara keduanya. Akan tetapi, kontak fisik di sini tidak selalu menandakan kedekatan. Di saat lain, malah berarti ancaman. Seperti ketika Mateo mencengkeramkan tangannya ke leher Jan Pieter. Akhir adegan, Mateo pergi.

Jan Pieter ditinggal sendiri di pinggir jalan. Dalam ukuran XLS, di layar Jan

Pieter terlihat sebagai tonggak. Kecil dan tak berarti.

Mateo tahunya menemui Jojo. Ia cemburu buta sebab Jan Pieter menaruh hati pada Jojo. Mateo pun bersiteru dengan Jojo. Dimulai dari acara kejar-kejaran di markas Quickie Express berlanjut hingga ke jalan, dan berakhir dengan panjat-panjatan bianglala. Dari jarak XLS, tampak Jojo menggantung di bianglala. Jan Pieter mencengkeram lehernya. Posisi Jojo yang tertekan ini semakin jelas ketika kamera ganti posisi dengan menyorot

Jojo tepat di atas kepala (bird‟s eye view).

Bagaimanapun, Quickie Express adalah film komedi. Jojo tak dibiarkan mati di akhir cerita. Benar, Mateo pada kesudahannya meregang nyawa.

Namun, jalan matinya tak seheroik di film laga. Mateo terpeleset dari bianglala sebab Marley tak sengaja memencet tombol on yang menyebabkan bianglala itu berputar. Maka, Mateo pun tergeletak di tanah. Kamera yang berada di atas (bird‟s eye view) meninggi dengan perlahan (zoom out).

Tema perpisahan tak lantas berhenti begitu Mateo rubuh. Selanjutnya, karakter lain satu-persatu disorot. Selama ini, tak terdengar ada dialog. Audio mengandalkan alunan musik yang sedih dan menyayat. Secara bergantian ditampilkan: Mudakir berjalan di basecamp Quickie Express yang sudah

140 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

hancur berantakan; Tante Mona menangis sendirian sambil berlayar mengarungi lautan; Jan Pieter berjalan kaki menyusur jalan; sementara Lila menangis sesenggukan di klinik tempatnya bekerja.

Menariknya, masing karakter yang kini terasing itu, diposisikan sedemikian rupa sehingga jalan yang mereka tempuh tak akan bersinggungan satu sama lain. Tante Mona dibingkai dengan menghadap ke kiri layar. Walau, ketika perahunya di-shoot dari jarak XLS, mengarah ke kanan. Suaminya, Jan

Pieter, berjalan menuju ke depan. Menelusuri jejak Mateo yang tadi meninggalkannya. Lalu, Lila disorot dari kiri bawah. Posisinya beradu punggung dengan Jojo yang disorot dari kanan. Masing-masing gambar ini disusun dengan teknik dissolve di mana gambar yang satu akan membayang begitu gambar berikutnya masuk.

Gambar 3.23. Perpisahan

Sungguh pun demikian, film ini tidak berakhir dengan kesedihan.

Benar, Jojo kehilangan pekerjaan dan pujaan hatinya. Namun, itu bukan akhir dari segalanya. Di pasar malam, tempat tadi Mateo terbunuh Jojo, Piktor dan

Marley ditampilkan secara bergantian dalam MCU. Ketiganya saling melirik.

Sementara dalam narasi offscreen, Jojo memaparkan rencana hidupnya:

“Sekarang gue harus mengambil jalan hidup yang bener. Jalan hidup yang punya martabat yang bisa gue banggain dan berguna buat masyarakat. Hidup hanya sekali. Apalagi yang bisa gue banggain kecuali kehormatan sebagai manusia. Sebagai laki-laki.”

141 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sampai sini, Quickie Express tak akan ubahnya seperti film-film

Indonesia kebanyakan yang menyudahi ceritanya dengan himbauan moral.

Maka, tiga kata berikut meluluhlantakkan kebenaran yang tadi disusun berpanjang-panjang. Ketika pandangannya sudah menetap ke depan, Jojo tiba-tiba menggeleng. Terdengar suaranya berucap: “Ah, tailah.” Adapun bentuk dari kemasabodohan Jojo terhadap cita-cita hidup orang kebanyakan tersebut, dilakukannya dengan banting setir menjadi pemburu. Ya, the-next-

Mudakir. Tepat di sinilah film ini berakhir.

Gambar 3.24. Jojo sebagai pemburu

D. Tinjauan

Secara garis besar apa yang saya urai di Bab III ini bermaksud menggambarkan bagaimana tubuh laki-laki ditampilkan dalam film komedi

Quickie Express. Penekanannya terletak pada pertanyaan bagaimana, dan bukan pada apa-nya yang terlihat di layar. Maka, kerja utamanya yakni mengidentifikasi bagaimana kamera memperlakukan tubuh laki-laki dengan mempertimbangkan jarak kamera ke obyek, ukuran bingkai, dan sudut pengambilan gambar.

Saya akui, tak semua adegan dibahas terperinci. Ada yang ditekankan agak banyak, ada pula yang disebut sepintas lalu. Satu kelemahan yang dengan segera dapat ditemui dalam pembahasan ini bahwa saya tidak tegas

142 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dari awal dengan hanya memilih beberapa adegan untuk langsung dipreteli lebih lanjut. Sebab yang utama, saya ingin tetap mempertahankan narasi yang disusun film ini. Ini penting karena voyeurisme, pokok bahasan yang akan diolah lebih dalam di Bab IV, mengandalkan betul narasi ini untuk dapat beroperasi.

Maka, dengan berpatok pada alur cerita Quickie Express, film ini saya bagi dalam tiga babak. Pembabakan itu yakni: (1) laki-laki sebagai pekerja;

(2) laki-laki sebagai calon pekerja seks; dan terakhir (3) laki-laki sebagai pekerja seks (profesional). Meski proporsi untuk masing-masing bagian itu tidak sama, namun saya berusaha untuk menyorot di mana letak beda dan uniknya. Perlu saya beritahukan pula bahwa pembabakan ini fokus pada satu karakter: Jojo. Sebab, di dalam film ini Jojo berperan sebagai tokoh utama.

Bagian pertama, yakni ketika Jojo masih bekerja serabutan mulai dari petugas kebersihan, pengukir tato, sampai tukang tambal ban pinggir jalan.

Ketika ini, sudut pandang kamera boleh dibilang netral. Dalam artian, tidak ada dipergunakan sudut pengambilan gambar yang ekstrem semisal high angle atau juga low angle. Posisi tinggi-rendah, atas-bawah, atau aktif-pasif ditekankan melalui CU ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan posisi badan. Misal, untuk memberi kesan superior pada si bos di tempat tambal ban, si bos disuruh berdiri, sementara Jojo jongkok.

Di masa-masa ini, tubuh Jojo mulai diekplorasi. Wilayah selangkangan pertama kali ditampakkan ketika Jojo di kontrakan. Lalu, secara mencolok hadir dalam CU saat Jojo bertemu Mudakir di tempat tambal ban. Bagian dada diekspos ketika Jojo dengan hanya dibalut bikini, dilempar dari warung tato.

Begitupun kondisinya dengan pelanggan tato Jojo yang hanya mengenakan rompi tanpa dalaman. Kamera dalam menampilkan ini cenderung diam, tanpa ada pergerakan horizontal maupun vertikal seperti merekam selangkangan.

143 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Adapun kadar ketelanjangan ini menjadi lebih besar porsinya begitu

Jojo dan dua rekan (Piktor dan Marley) dilatih menjadi gigolo. Terutamanya ketika latihan menari. Belum lagi pakaian yang mereka kenakan begitu mini.

Di momen ini pula kita melihat tubuh ketiga calon gigolo itu meliuk bak cacing kepanasan. Kamera pada umumnya tetap bertahan di jarak LS. Momen CU dan MCU dihadirkan untuk menyorot bagian muka. Wilayah genital yang tadi sempat ditonjol-tonjolkan, sudah tidak mendapat perhatian kamera. Meski, secara visual, tonjolan itu masih saja „mengganggu‟.

Sebelum benar-benar terjun dalam bisnis gigolo, Jojo dan rekan-rekan sekali lagi dipertontonkan. Kali ini, posisinya tak ubahnya seperti manekin di ruangan kaca. Tubuh bugilnya ditempatkan dalam ruangan yang terang, sementara para penonton duduk tenang-tenang di ruangan yang suram.

Kamera ketika ini masih bermain di MS hingga LS. Untuk jarak CU, kamera mempertontonkan kaki persis ketika pakaian mereka ditanggalkan seluruhnya.

Masa-masa menjadi gigolo kebugilan Jojo dan rekan-rekan semakin menggila. Jika sebelumnya kamera hanya sampai pada sebatas pinggang, di masa ini wilayah jelajah kamera sudah mulai turun ke bawah. Tapi, itu dengan catatan, sudut pengambilan selalu dari belakang. Untuk soal pakaian pun cukup menggoda. Mereka mengenakan seragam jumpsuit ketat sepaha berwarna oranye menyala.

Selanjutnya, untuk soal pakaian ini menjadi lebih tertutup begitu Jojo dan kawan-kawan memasuki level advance. Pakaian jumpsuit a la penjaja pizza disulap menjadi jas dan pantalon. CU yang tadi tidak berasak dari muka dan kaki, mulai merambah wilayah dada. Khususnya untuk menampilkan detail baju tailor made yang dikenakan Jojo.

Untuk masalah sudut kamera, mulai digunakan sudut-sudut ekstrem.

Musalnya, sudut ekstrem dari bawah (low angle) yang diterapkan ketika

144 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menyambut Jojo datang menemui klien eksklusif pertamanya. Begitupun saat

Jojo berlayar dengan kapal pribadi berdua Tante Mona. Sedangkan untuk sudut ekstrem dari ketinggian (high angle dan bird eye view) diaplikasikan dalam mengambil gambar Jojo berkejar-kejaran dengan Mateo di bianglala.

Dari keterangan yang dihimpun dalam bab III ini, dapat dikatakan secara visual tubuh laki-laki diperlihatkan terang-terang di muka penonton.

Entah itu dengan pemakaian busana yang minim maupun gerakan-gerakan yang provokatif. Kamera membahasakan ini lebih banyak dengan bingkai- bingkai LS dan dalam beberapa adegan ditambah gerakan vertikal atau horizontal. Tapi, masih ada beberapa pertanyaan mengganjal. Seberapa jauh tubuh laki-laki itu dapat dikonsumsi? Lalu, dari sudut pandang siapa penonton dapat menikmatinya? Dua pertanyaan ini lah yang dipersoalkan pada bab selanjutnya.

145 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB IV

MEMANDANG LAKI-LAKI DALAM FILM QUICKIE EXPRESS

Berbalik ke Bab I, di situ ditetapkan bahwa yang menjadi pokok persoalan dalam penelitian ini yakni bagaimana tubuh laki-laki dipajang atau disurukkan melalui bahasa kamera. Untuk kasus Quickie Express, bagaimana persisnya tubuh laki-laki itu dieksplorasi – dengan menimbang pada bingkai dan sudut kamera, sudah dibahas di Bab III.

Secara ringkas dapat dikatakan tubuh Jojo, karakter utama dalam

Quickie Express, semakin terekspos begitu ia masuk dalam bisnis gigolo.

Wilayah yang ditonjolkan itu yakni dada, selangkangan, dan bokong. Pakaian super minim dan ketat yang dikenakannya semakin memperjelas hal itu. Akan tetapi, ketika ia naik tingkat menjadi gigolo eksklusif, pakaian yang dipakainya menjadi lebih tertutup. Dan, yang terasa ajaib, tonjolan di wilayah genital menghilang memasuki bagian akhir film.

Ya, kalau dipatok dari segi pakaian, sangatlah mungkin bagi penonton untuk memandang tubuh laki-laki dalam Quickie Express. Memandang yang baru pada sebatas melihat. Namun, film bukanlah gambar diam. Maka, patut diperhitungkan bagaimana kamera memposisikan tubuh laki-laki tersebut.

Meski menghadirkan laki-laki bertelanjang bulat, tapi kalau disorotnya dari

XLS dan tampak belakang, apanya yang bisa dilihat? Singkat kata, di dalam film, untuk menjadikan sesuatu sebagai obyek tontonan tidak hanya dilakukan dengan menyediakan panggung dan kostum, tapi yang terpenting, dari sudut dan arah mana ia diteropong.

Demikianlah, jika Bab III fokus pada paparan data visual Quickie

Express yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan bagaimana laki-laki itu tampil lengkap dengan teknik dan pembahasaan kamera; maka dalam bab ini

146 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

data itu diolah lagi untuk mencari tahu bagaimana laki-laki yang tampil itu dapat dipandang. Penonton, yang di bab lalu saya istilahkan penonton imajiner, diasumsikan sudah hadir di sini. Dengan kata lain, bab ini menelisiki sejauh mana bahasa kamera dalam Quickie Express membolehkan penonton untuk memandang tubuh laki-laki. Dengan demikian perkara memandang sudah bukan lagi sekadar melihat atau menatap, namun yang disertai dengan kesenangan (scopophilia). Tipe pandangan yang sarat konotasi seksual, erotis, dan cabul.

Untuk menelusuri seberapa jauh erotisasi terhadap tubuh laki-laki dalam Quickie Express berlangsung, mengikuti kajian Mulvey dan Neale – maka dipakai konsep voyeurisme, fetishisme, dan identifikasi.

Sedikit mengulang apa yang sudah diterangkan di Bab I, voyeurisme yakni kesenangan dari mengintip orang lain. Untuk meyakinkan bahwa si pengintip berada di jarak yang aman (supaya tidak ketahuan) maka jarak menjadi aspek yang penting. Dalam analisis ini, yang menjadi perhatian yakni bagaimana cara Quickie Express menjaga jarak antara tokoh protagonis (Jojo) dengan baik karakter laki-laki maupun karakter perempuan di dalam film, berikut dengan penonton. Beda dengan voyeurisme, fetishisme berusaha mendekatkan penonton dengan obyek yang ditonton, misal lewat penggunaan bingkai CU dan gerakan kamera (zoom in). Selanjutnya, untuk proses identifikasi, masih mengandalkan retorika kamera. Yang menjadi perhatian yakni dari sudut dan arah mana kamera menyorot karakter. Ini lanjut menentukan dengan karakter mana penonton mengidentifikasikan dirinya.

Lebih lanjut, bagaimana voyeurisme, fetishisme dan identifikasi ini berperan dalam mengerotisasi tubuh laki-laki ditelaah di dalam sub-bab berikut. Pembagian bab masih mengacu pada Bab III, yang terdiri dari: (1) laki-laki pekerja; (2) laki-laki calon pekerja seks; dan (3) laki-laki pekerja seks (ulung). Bedanya, konsentrasi terhadap narasi secara keseluruhan sudah

147 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dipecah menjadi per adegan. Memang, porsi yang lebih besar diberikan pada adegan-adegan tertentu di dalam film yang dianggap dapat menggambarkan dengan tepat bagaimana erotisasi tubuh laki-laki dalam Quickie Express terjadi. Atau justru sebaliknya, adegan itu malah menunjukkan tubuh laki-laki yang gagal menjadi wisata berahi penontonnya. Seperti bab-bab sebelumnya, uraian ini dirangkumkan kembali di bagian penutup.

A. Laki-Laki Pekerja: Seksualitas yang Absen

Menari menjadi salah satu momen di mana tubuh laki-laki dapat dieksplorasi (dan dierotisasi) dalam kadar berlebih. Neale sempat menyinggung tentang kemungkinan ini. Namun, yang menjadi catatan, pengkonsumsian itu terjadi setelah tubuh laki-laki diperempuankan terlebih dahulu.1 Kajian berbeda yang dilakukan Studlar dan Cohan, dalam tingkatan tertentu, mendukung asumsi tersebut.2 Penari laki-laki sering diolok-olok sebagai banci. Akan tetapi, tidak berarti mereka kehilangan seluruh kualitas maskulinnya. Bagi Studlar kehadiran penari laki-laki tersebut meredefinisikan maskulinitas ideal. Sebab, mereka mencampurkan antara otot yang besar dan kekar dengan „kegemulaian‟ tubuh.3

Quickie Express memang bukan film musikal seperti yang disorot

Cohan. Tidak pula secara spesifik menampilkan laki-laki sebagai penari seperti kajian Studlar. Namun, dalam film ini dapat dijumpai beberapa adegan yang memperlihatkan karakter laki-lakinya menari. Bahkan, Jojo, si tokoh utama dalam Quickie Express, sudah menari semenjak film baru dimulai, yakni bersamaan dengan munculnya opening title.

1 Neale, Steve. 1993. “Masculinity as spectacle” dalam Screening the Male: Exploring Masculinities in Hollywood Cinema. Eds. Steven Cohan & Ina Rae Hark. Routledge: London and New York, hal: 18 2 Studlar Gaylyn. “Valentino, ‘optic intoxication,’ and dance madness” dan Cohan, Steven. “Feminizing the song-and-dance man” dalam ibid., hal: 23 – 69 3 Studlar, Gaylyn. dalam ibid., hal: 34

148 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pada Bab III sudah dikupaskan komponen sinematik dalam adegan

Jojo mengepel sembari menari di tempat kerjanya. Di bagian pembuka, kamera merangkak di tubuh Jojo dengan arah diagonal mulai dari ujung kaki hingga ke kepala. Saat ini sebenarnya „penonton‟ beroleh kesempatan untuk meneliti tubuh Jojo dengan seksama. Tapi, peluang ini terbuang begitu saja.

Ya, pakaian Jojo yang longgar dan tertutup menyelimuti tubuhnya dengan rapat. Di samping itu, gerakan kamera juga kelewat cepat, kurang dari 7 detik. Tambah, bagian latar dan obyek yang sama-sama fokus membuat perhatian terbagi, alih-alih terpusat pada obyek (tubuh Jojo).

Gambar 4.1. Gerakan diagonal kamera menyorot Jojo menari

Menariknya, deep focus yang tadi digunakan beralih menjadi shallow focus ketika kamera sampai ke kepala. Di bagian belakang yang buram tampak segerombolan orang. Mereka semua ada di jarak XLS, sementara Jojo dibingkai sebatas dada (MCU). Orang-orang yang berjejer di belakang itu dapat dikatakan „penonton di dalam layar‟. Benar, dengan jarak XLS tidak mungkin untuk melihat arah pandang kerumunan tersebut. Namun, pandangan itu tersampaikan lewat cara lain. Suara ketukan di pintu yang terdengar di latar dan penempatan kerumunan yang sejajar dengan Jojo menjadi kode bahwa mereka semua sedang memandang ke arah Jojo.

Kerumunan ini dapat dianggap sebagai tiruan dari penonton. Sebuah prototipe, katakanlah. Pemberian efek buram pada kerumunan ini menguatkan kesan masif dan anonim. Ini lah yang membuatnya semakin

149 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menyerupai penonton. Lalu, pintu kaca yang menghalangi kerumunan itu dapat dianggap sebagai ganti dari layar. Yakni, layar yang memisahkan dengan tegas antara wilayah penonton dengan yang ditonton.

Dalam hal ini, posisi Jojo sebenarnya terjepit. Antara kerumunan orang di depan pintu yang menghadap pada dirinya dengan gerombolan orang- orang „di luar sana‟ yang ikut menonton. Tubuh Jojo dipersaksikan dari dua penjuru. Akan tetapi, Jojo mampu meloloskan diri dari perangkap ini. Posisi badannya yang menyamping dan semakin ke pinggir menjadikan Jojo lebih sebagai bingkai ketimbang tontonan. Oleh karenanya, pandangan „penonton dari luar‟ langsung tertumbuk pada „penonton di dalam‟.

Gambar 4.2. Jojo mengembalikan pandangan „penonton‟

Apalagi, kemudian Jojo menoleh. Fokus dengan cepat berpindah pada kerumunan. Gambar yang tadi samar, berubah menjadi terang. Momen ketika

Jojo menoleh ini merupakan komando bagi „penonton di luar‟ untuk mengobyekkan „penonton yang di dalam‟. Pintu kaca yang tadi diposisikan sebagai layar, berubah kedudukan layaknya etalase toko.

Jelas, pada saat ini kontrol pandangan ada pada Jojo. Jojo berperan sebagai bearer of the look,4 istilah pinjaman dari Mulvey- yang menuntun pandangan „penonton di luar‟ untuk menonton dari kacamatanya. Kalau lah dipakaikan analogi dalam film, Jojo kasarnya laksana „kamera berjalan‟ yang

4 Mulvey, Laura. 1992. “Visual pleasure and narrative cinema” dalam Film Theory and Criticism: Introductory Readings. 4th Edition. Eds. Gerald Mast, Marshall Cohen & Leo Braudy. Oxford University Press: Oxford, hal: 750 – 753

150 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tak hanya menjadi perpanjangan mata bagi penonton, tapi juga mengerucutkan pandangan penonton sesuai bingkai yang dipakainya. Dan akan halnya kamera, segala yang masuk dalam lensanya bisa berubah menjadi obyek. Namun, tentu tidak untuk dapat dipakai untuk mengobyekkan dirinya. Oleh karena itu, untuk sementara dapat diasumsikan, Jojo memegang kendali terhadap tubuhnya.

Walaupun demikian, terlalu dini untuk melihat Jojo sebagai penguasa pandangan (seperti halnya tokoh Berlian dalam Pasir Berbisik)5. Perbedaan yang utama, Berlian mampu mengembalikan pandangan „penonton‟ baik itu yang „di dalam layar‟ maupun „luar layar‟. Memang dalam adegan Pasir

Berbisik, „penonton di dalam‟ (diwakili oleh Daya, anak Berlian) dan „penonton di luar‟ diposisikan sebaris. Maka, dalam sekali tatap, Berlian mampu menelanjangi keduanya. Berbeda dengan kasus di atas. Posisi kedua

„penonton‟ itu saling bertolak belakang.

Gambar 4.3. Menjelang opening title film Inem Pelayan Seksi

Selanjutnya, mari membandingkan adegan Quickie Express di atas dengan adegan pembuka dalam film Inem Pelayan Seksi (Nya Abbas Akup,

1976). Kalau ditilik, Inem dan Jojo punya beberapa kesamaan. Diperhatikan dari segi penokohan, posisi Inem dan Jojo serupa. Mereka berdua merupakan pusat cerita, tokoh utama istilahnya. Belum lagi keduanya berasal dari kelas

5 Paramaditha, Intan. 2007. “Pasir Berbisik dan estetika-perempuan baru dalam sinema Indonesia” dalam Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia. Ed. Lisabona Rahman. Yayasan Kalam: Jakarta

151 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pekerja, kelas bawah katakanlah. Yang satu babu rumah tangga, yang lain tukang sapu toserba. Sementara itu, dari segi tema, menuntut kedua tokoh ini untuk tampil „lebih terbuka‟. Yang satu mengisahkan seorang pembantu yang (bukan) kebetulan seksi, dan yang lain menceritakan seorang pemuda yang terjun dalam jasa pelayanan seks.

Akan tetapi, cara tubuh Inem ditampilkan dengan Jojo sangat mencolok bedanya. Lebih jelasnya, mari mempreteli gambar yang ditampilkan sebelum opening title dimunculkan. Pada adegan awal ini, tubuh Inem sudah disorot secara gamblang. Pengeksposan tubuh ini dibantu oleh posisi badan, berikut pakaian yang dikenakan. Inem diperlihatkan hanya memakai penutup dada dan kain sepaha. Sementara, kamera pun ikut memprovokasi. Kamera mengelilingi tubuhnya, untuk lalu berhenti di jarak MCU. Dengan kata lain, gerakan kamera cenderung merapat.

Jadi, bila Quickie Express memunculkan kesan pertama Jojo yang jauh dari citra seksi, tidak demikian halnya dengan Inem. Keseksian Inem sudah mencuat sedari awal film diputar. Bila pakaian yang melekat di tubuh Jojo berfungsi untuk membalut dengan rapat, pakaian Inem yang ala kadarnya itu ditujukan untuk mengekspos tubuhnya lebih banyak. Jika kamera berusaha menggeser tubuh Jojo ke samping layar, tubuh Inem justru sebaliknya. Oleh kamera, tubuh itu justru diketengahkan.

Sehabis dikesampingkan, dalam adegan berikutnya tubuh Jojo malah

„diciutkan‟ hingga setara dengan barang-barang dagangan. Setelah kejadian

Jojo membalikkan arah pandangan ke „penonton‟, kamera ganti menyorot

Jojo dari jarak XLS. Dari jarak itu, Jojo tampak mungil. Bahkan, porsi tubuhnya bisa disamakan dengan poster merah bertuliskan “sale 70%” yang bertebaran di berbagai sudut toserba.

Bingkai XLS tetap bertahan meski gerakan Jojo, yang apabila diletakkan dalam konteks yang berbeda- bisa jadi sangat sensual. Jojo

152 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menaruh tangkai pengepel di antara kedua kaki, dan mengarahkannya dengan gerakan maju-mundur ke selangkangan. Akan tetapi, gerakan tersebut gagal dimaknai dalam kerangka erotis. Sebab itu tadi, bingkai kamera yang kelewat berjarak.

Gambar 4.4. Bingkai XLS saat Jojo menari

Apa yang tampak di mata kemudian bukan lagi Jojo yang sedang beratraksi. Namun, tubuh Jojo sebagai bagian dari sebuah ruangan spasial

(toserba). Ringkasnya, yang menonjol di penglihatan bukan lah gerakan Jojo, melainkan situasi/tempat di mana ia bekerja. Dan, satu lagi yang makin

„menetralkan‟ keadaan, tidak adanya pasang mata lain yang membantu mengerotisasi tubuh Jojo yang sedang bergoyang itu. Jojo dibiarkan berkelana sendirian, tanpa ada seorang pun yang mengacuhkan kehadirannya.

Memang, dengan setting tempat dan aktivitas yang dilakoni Jojo saat itu, bisa dimaklumi bila tubuh Jojo tak tampil seksi. Akan tetapi, ini bukan soal yang primer. Lagi-lagi, kunci utamanya sebenarnya terletak pada kamera. Kembali dibandingkan dengan Inem. Dalam cuplikan adegan berikut, dengan sangat jelas dapat dilihat bahwa setting tempat (mau itu di pusat perbelanjaan, kamar mandi, atau di got sekalipun) bukan tak mungkin untuk mengeksplorasi seksualitas. Pintar-pintar kamera untuk menyiasatinya.

Perhatikan bagaimana seringnya teknik zoom in yang berulang-ulang dipergunakan ketika menyorot Inem, si tokoh babu, saat melakukan

153 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pekerjaan-pekerjaan domestik. Entah itu mengepel, mencuci, atau menyetrika. Seperti Jojo, Inem pada awalnya juga dibingkai dari jarak XLS.

Bedanya, apabila Jojo ditinggalkan berlapang-lapang di ruangan toserba yang besar itu, Inem justru sebaliknya. Ruang geraknya semakin lama semakin diperketat, sehingga seksualitasnya kian mencuat.

Gambar 4.5. Inem si babu seksi

Lalu, bentuk keengganan kamera dalam merekam tubuh Jojo terbaca juga dalam shot berikutnya. Seperti di awal, kamera memanjat secara diagonal dimulai dari kiri bawah hingga kanan atas. Dengan teknik ini sebenarnya tubuh Jojo terpapar dengan sempurna. Namun, bila sebelumnya tubuh Jojo „diamankan‟ dengan ditaruh di pinggir, kali ini kamera berkeliling hingga berhenti di sisi punggung. Dengan posisi membelakang itu lah, sekali lagi, tubuh Jojo terselamatkan. Ditambah, kehadiran opening title dengan ukuran font yang besar membuat konsentrasi „penonton‟ kian terpecah.

Setelahnya, kamera bergerak menjauh. Gerakan ini sekaligus melepaskan pandangan „penonton‟ dari tubuh Jojo. Posisi Jojo tersempil di bagian kiri bawah layar. Tulisan berisikan daftar susunan pemain terlihat mendominasi penglihatan. Sesudah tulisan itu lenyap, dengan segera perhatian direbut oleh poster berwarna merah mencolok bertuliskan “sale

70%”.

Bisa dibilang, gerakan kamera itu tadi menentukan mana yang hendak diketengahkan (menjadi obyek) dan mana yang dipinggirkan. Di sini,

154 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

seksualitas Jojo nyaris terhapuskan. Meski Jojo membaur dengan benda- benda yang dipajang di toserba, namun tubuhnya didefinisikan secara berbeda. Tubuhnya tampak di layar, tapi tidak ditawarkan kepada khalayak.

Tubuhnya baru sebatas tampil, tapi tidak „ditampilkan‟. Demikian pula pandangan „penonton‟ masih terbatas pada sekadar melihat, belum sampai pada yang menghasrati. Sebaliknya, pajangan-pajangan yang berderet di toserba, yang diwakilkan dengan poster “sale 70%” itu tadi malah didudukkan sebagai obyek hasrat. Poster-poster yang eye-catching itu dianggap jauh lebih seksi dan menggiurkan ketimbang tubuh Jojo.

Gambar 4.6. Jojo yang menari diambil dari arah belakang

Figur kunci dalam pembentukan poster “sale 70%” sebagai obyek hasrat itu adalah pandangan kerumunan yang tadi sempat disinggung di awal.

Benar, di awal terkesan mereka melihat ke arah Jojo, bahkan dari jarak yang cukup jauh untuk dapat menjadikan Jojo sebagai obyek voyeur mereka. Akan tetapi, seperti yang digariskan di dalam narasi, tahunya Jojo sekadar dilihat, tapi tidak diinginkan. Sementara, bagi kerumunan itu, Jojo hanyalah perantara untuk sampai pada obyek hasrat mereka yang sesungguhnya: label-label diskon yang ditata mencolok di dalam toserba.

Ini terdeteksi mulai dari saat Jojo menoleh ke arah kerumunan.

Gambar yang tadi diburamkan, berubah menjadi terang. Benar, dari jarak

XLS sosok mereka sulit dikenali. Namun, lagi-lagi, poster “sale 70%” berwarna merah menyala dan berukuran jumbo yang ditempel di samping

155 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kaca, memberi makna atas kehadiran mereka. Terlebih, tulisan ini dipasang menghadap ke depan (ke layar). Dengan demikian, alih-alih ditujukan untuk dibaca kerumunan, tulisan ini sejatinya diperuntukkan untuk „penonton di luar‟.

Saat kamera mengambil gambar kerumunan itu dari jarak yang lebih dekat (MS), wajah mereka tampak jelas satu persatu. Di baris terdepan, didominasi kaum ibu-ibu. Sementara, kaum bapak-bapak berdiri tenang- tenang di paling belakang. Mereka tenggelam di antara para ibu-ibu yang heboh dan agresif. Di pintu kaca, setentang kepala, terpasang stiker merah panjang yang bertuliskan: “Sale”. Tulisan ini, sama dengan tulisan sebelumnya, pun dihadapkan ke layar, dan bukan pada kerumunan.

Gambar 4.7. Antara Jojo, kerumunan, dan barang obralan

Dengan demikian jelaslah, penempatan poster dan stiker “sale” di depan pintu kaca merupakan strategi untuk membingkai kehadiran dan pandangan dari kerumunan tersebut. Sekaligus untuk menegaskan bahwa meski arah mata mereka tertuju kepada Jojo, namun hasrat mereka terpaku pada hal lain. Dalam konteks ini, arah pandangan tidak sejalan dengan obyek hasrat. Ini berbeda dari mode memandang a la voyeur yang melihat kepada obyek sekaligus menghasratinya. Pandangan di sini bersifat tidak langsung, di mana proses penikmatan terhadap obyek diperantarai oleh kehadiran yang lain.

156 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Soal jarak, di sini tidak dianggap penting. Alih-alih dipertahankan, jarak itu malah berusaha ditebas. Adalah Jojo yang kemudian berinisiatif membuka pintu kaca, dan menyediakan akses bagi kerumunan itu untuk masuk ke dalam. Selepas Jojo menguakkan pintu, kerumunan itu langsung menyerbu. Jojo posisinya berdempet-dempetan dengan kerumunan itu.

Namun, (tubuh) Jojo sekali lagi, diacuhkan. Seseorang di antara mereka, menyempatkan diri mencubiti pipi Jojo. Momen ini hanya berlangsung sebentar. Sesudah itu, ia langsung berbaur dengan yang lain.

Ya, dengan dibukanya pintu kaca tersebut, terbuka pula jalan untuk memuaskan hasrat. Akan tetapi, ini bukannya tanpa risiko. Ada „harga‟ yang harus dibayar untuk itu. Ketika kerumunan itu masuk ke dalam toserba, terdengar suara sorak-sorai kegembiraan dari mulut mereka. Namun, suara keriangan itu berganti dengan jeritan. Perlahan kamera menyisir ruangan toserba itu dengan lensanya, satu-persatu kerumunan yang tadi memburu masuk, kini jatuh bergelimpangan.

Bisa dikatakan, mereka beroleh celaka karena memandang. Nasib kerumunan ini serupa laron-laron yang tertarik cahaya lampu, tapi justru masuk perangkap karena terbang terlalu dekat. Akan tetapi, kasus ini perlu dibedakan dari perempuan-perempuan yang dihukum karena ulah tatapan mereka, seperti dalam kajian Williams.6 Sebab, dalam kasus Williams, perempuan yang sudah celaka, juga diposisikan bersalah. Perempuan dianggap lancang dalam memandang. Sementara, dalam kasus kerumunan itu, benar mereka terjerembab. Akan tetapi, dalam hal ini, Jojo atau obyek tatapan lah yang menjadi terhukum.

6 Williams mengkaji tatapan perempuan di dalam film horor. Karakter perempuan yang bermain di film yang dikajinya memiliki pandangan yang aktif. Namun, karena pandangan itu pula, ia membangunkan monster, yang lanjut menerkam dirinya. Pandangan perempuan ini kemudian dianggap telah menginstrusi wilayah pribadi monster. Singkat kata, diasumsikan perempuan bersalah (dan beroleh celaka) karena memandang. (Sumber: Williams, Linda. 1992. “When the woman looks” dalam Film Theory and Criticism. Eds. Gerald Mast, Marshall Cohen & Leo Braudy. Oxford University Press: New York and Oxford, hal: 565)

157 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Memang, dalam film komedi, kesialan dalam menatap tidak secara spesifik mendefinisikan tatapan perempuan. Laki-laki juga sering diganjar

„hukuman‟ karena kelewat asyik jelalatan. Kenikmatan laki-laki dalam memandang acap kali diinterupsi. Film Warkop DKI, khususnya dalam judul

Maju Kena, Mundur Kena (Arizal, 1983), mengilustrasikan hal ini. Dono,

Kasino, dan Indro yang mengendarai sepeda, jatuh bangun dua kali karena terlalu fokus memperhatikan perempuan yang lalu lalang. Untuk kali ketiga berpas-pas-an dengan wanita, Kasino memerintahkan teman-temannya membuang muka. Hasilnya, mereka tetap celaka. Mereka menabrak kerbau yang sedang berteduh di bawah pohon.

Kalau disejajarkan, ketiga pandangan itu, baik kerumunan dalam

Quickie Express, perempuan dalam film horor, dan laki-laki dalam film

Warkop DKI, sama-sama aktif. Mereka diposisikan sebagai yang memandang.

Katakanlah, sebagai subyek. Akan tetapi, pandangan ketiganya disusun dengan logika yang berbeda. Yang paling apes itu pandangan perempuan dalam film horor. Sudah diterjang oleh monster, dipersalahkan pula.

Peribahasanya, sudah jatuh, malah tertimpa tangga. Beda dengan pandangan kerumunan dan laki-laki yang meski diganjar kecelakaan, namun dapat menyalahkan pihak lain atas kemalangan itu. Kiasannya, buruk muka, cermin dibelah.

Akan tetapi, walau bagaimanapun, ketiga pandangan itu tidak dapat diasumsikan niscaya berlaku pada setiap film dan pada setiap kesempatan.

Meski, kalau lah ditimbang-timbang, agaknya perbandingan antara perempuan memandang dengan dipandang itu jomplang adanya. Sehingga, saking seringnya perempuan ditempatkan sebagai obyek, seolah-olah mereka terlahir untuk itu. Misal, seperti yang terdapat dalam adegan di film Warkop

DKI di atas. Sebanyak itu obyek yang terdapat di jalanan, namun mata Dono,

Kasino, maupun Indro tak dapat tidak, selalu saja tertambat pada tubuh

158 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

perempuan. Seakan-akan jalanan berubah menjadi catwalk ketika perempuan berjalan.

Perempuan sebagai obyek pandangan ini terbaca jelas dalam salah satu adegan Quickie Express. Lebih daripada itu, kehadiran perempuan di sini difungsikan sebagai pengalih perhatian dari tubuh laki-laki yang telanjang.

Dalam adegan tersebut Jojo sudah beralih pekerjaan menjadi pengukir tato.

Jojo melayani seorang klien bertubuh tinggi besar. Otot yang kekar dan dada yang bidang terang terlihat. Posturnya itu sama persis seperti pria-pria yang dipasang di majalah komunitas gay, Jaka.7 Bedanya, apabila laki-laki di majalah gay itu dipajang dengan pose yang sempurna, klien Jojo itu justru sebaliknya. Tubuhnya memang kelihatan, namun tidak dikenali sebagai obyek hasrat. Seksualitasnya nyaris absen.

Memang, kalau memperhatikan komposisi adegan-adegan berikut, pandangan „penonton‟ akan tertumpu sepenuhnya pada tubuh si perempuan.

Sementara, Jojo dan si klien dapat duduk tenang-tenang menikmati tubuh perempuan yang sama, tanpa perlu khawatir terusik. Sebab, semua pandangan sudah diarahkan pada obyek yang mereka lihat. Mereka mengkamuflase kehadiran mereka dengan jalan menambahkan kontras.

Prinsipnya sama dengan anjuran, untuk „menyembunyikan diri‟ di tengah- tengah pesta, duduklah bersama orang yang berpakaian heboh dan bersuara paling nyaring.

Bagaimanakah seksualitas klien Jojo itu dapat tersamarkan? Pertama, kalau diamati dari posisi badan. Laki-laki tersebut berdiri menyamping dengan punggung agak ditekuk. Dalam posisi ini, wilayah dada terlindungi dengan baik. Memang, kemudian ia berdiri tegak menghadap ke layar sehingga

7 Dalam Boellstroff, Tom. “Zines and zones of desire: Mass-mediated love, national romance, and sexual citizenship in gay Indonesia”. The Journal of Asian Studies Vol. 63: 2, May 2004, hal: 380

159 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

wilayah dada terpapar. Akan tetapi, sorotan terhadap tubuh laki-laki itu hanya sebentar. Cocoknya disebut lirikan, ketimbang tatapan.

Begitu dada laki-laki itu terlihat, segera gambar di layar diganti.

Kamera memutuskan untuk tidak mengeksplorasi tubuhnya dengan lebih teliti. Nah, gambar si pengganti ditempatkan dengan posisi tubuh sedikit menyamping ke kiri, paralel dengan tubuh laki-laki barusan. Bagian „sekwilda‟ yang tadi baru sekadar tampak, kali ini malah ditonjolkan. Namun anatomi tubuhnya sudah jauh berbeda. Sebab, yang dipertontonkan ini adalah tubuh wanita.

Gambar 4.8. Antara klien Jojo dan gadis berpakaian renang

Berikutnya, giliran kamera yang berbicara. Perhatikan komposisi sinematografi yang dipakai. Di sini, Jojo dan kliennya diposisikan sebagai penonton. Bahkan dalam artian harafiah. Posisi mereka membelakang ke layar. Sementara, kamera ada di jarak CU. Punggung si klien yang telanjang mengintip di sudut kanan. Sedangkan Jojo, ujung kepalanya menyembul sedikit di pojok kiri layar. Adapun gambar keduanya diburamkan.

Persis di depan mereka, ditaruh sebuah televisi yang sedang menayangkan gadis-gadis berbusana renang. Kamera televisi itu juga menggunakan bingkai CU. Akan tetapi, bingkai ini tidak mengarah pada wajah seperti pada Jojo dan si klien. Lensa lebih ditujukan untuk merekam area seputaran dada. Kondisi gambar sepenuhnya fokus.

160 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Ketika ini „penonton‟ menonton orang yang sedang menonton pula.

Sebut saja, tontonan ganda. Akan tetapi, posisi kedua „obyek‟ ini jauh berbeda. Walau klien Jojo bertelanjang dada seluruhnya, sementara tubuh perempuan di televisi masih beralas kain, namun yang jadi obyek perhatian justru yang terakhir. Memang, Jojo dan si klien hanya diselipkan di layar, namun mereka tidak terpinggirkan. Mereka mendominasi bukan dalam artian fisik, akan tetapi diwakilkan oleh tubuh perempuan yang mereka saksikan.

Tubuh yang sudah diolah sedemikian rupa untuk menjadi tontonan yang nikmat bagi mereka. Dengan kata lain, tubuh perempuan di sini berfungsi sebagai penanda hasrat Jojo dan si klien. Jadi, walau perempuan menempati proporsi yang lebih luas di layar, namun mereka bisa dikatakan absen sebagai pribadi.

Dalam konteks tersebut, adegan ini dapat dibayangkan sebagai rekonstruksi dari male gaze. Adegan ini memperlihatkan bagaimana tubuh perempuan dierotisasi untuk dikonsumsi penonton. Dari jarak CU yang rapat, tubuh perempuan yang mulus bak porselen itu berubah menjadi obyek fetish yang melenakan. Jojo dan si klien ditempatkan sebagai Jaka Tarub versi modern yang sedang mengintip bidadari-bidadari surga mandi-mandi sambil bercengkerama.

Selain penggunaan CU, cara lain yang dipergunakan kamera untuk menjelajahi tubuh wanita yakni lewat sudut pengambilan yang „tepat‟. Untuk ini, kamera tak perlu bergerak, cukup diam di tempat, menunggu si obyek masuk dalam perangkap lensa yang sudah disiapkan. Teknik ini dipergunakan dalam menyorot gadis berikutnya. Kamera tidak diletakkan paralel dengan mata, melainkan ditaruh di sudut yang tinggi (high level). Layaknya lelaki yang mendongakkan kepala untuk melihat belahan dada wanita.

Kembali pada film Inem Pelayan Seksi, bahasa kamera semacam itu kerap diterapkan. Misalnya, dalam adegan ketika Inem mengepel lantai.

161 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kamera digantung di ketinggian, sementara si Inem duduk bersimpuh di bawah sambil membungkuk-bungkukkan badan. Kesempatan untuk menikmati wilayah dadanya menjadi kian terbuka didukung oleh pakaian

Inem yang terkuak di bagian tersebut. Di sinilah jelas terlihat bagaimana kerjasama antara bahasa kamera, gerak tubuh, dan pakaian untuk mengerotisasikan tubuh seseorang (dalam hal ini, perempuan). Nah, dalam menampilkan tubuh laki-laki, khususnya klien Jojo yang dibahas barusan, ketiga elemen ini malah tidak sinkron.

Gambar 4.9. Gadis berpakaian renang

Ketidaksinkronan itu jelas terbaca. Di layar, terlihat lelaki tak berbaju.

Jelas, badannya jauh lebih „polos‟ ketimbang Inem yang dibahas sebelumnya.

Akan tetapi, ketelanjangan ini tidak ditekankan. Malah, kamera menyembunyikannya dengan cara diburamkan. Belum lagi posisi si laki-laki ini menghadap ke belakang, sehingga yang tampak hanyalah bagian punggung. Memang, laki-laki ini digambarkan sedang menonton televisi. Tapi toh, kamera bisa saja menyorot adegan ini dari samping, misal. Tentu, bila diambil dengan cara ini apa yang ditonton menjadi kurang penting ketimbang peristiwa menonton itu sendiri.

Dengan posisi kamera ada di belakang si laki-laki, posisinya menjadi paralel dengan „penonton‟. Ini akan memudahkan „penonton‟ mengidentifikasikan diri dengannya, ketimbang mempelototi ketelanjangannya. Pandangan „penonton‟ dan pandangan laki-laki bersatu

162 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

untuk sama-sama menyaksikan tayangan yang diputar di depan, yakni perempuan berbikini. Mungkin ini yang dimaksud Mulvey dengan proses maskulinisasi, di mana „penonton‟ diarahkan untuk menikmati tayangan perempuan berpakaian mini, sesuai dengan apa yang digandrungi oleh karakter laki-laki di film.

Ya, ditinjau dari sisi itu, adegan tersebut merefleksikan konsep male gaze Mulvey dengan jelas. Akan tetapi, ada hal lain yang patut dipertimbangkan. Yakni kenyataan bahwa karakter laki-laki (Jojo dan si klien) diposisikan sebagai penonton, bahkan dalam artian literal. Akan halnya

„penonton‟, ruang gerak keduanya pun terbatas. Maka keduanya tidak punya kontrol terhadap tubuh si perempuan. Hasrat voyeuristik mereka dalam menikmati tubuh si perempuan tak dapat ditandaskan. Kotak televisi di sana berfungsi sebagai etalase sekaligus terali. Di satu sisi, televisi itu memajangkan tubuh perempuan, namun di sisi lain, menjaganya supaya tidak sampai dikuasai sepenuhnya oleh laki-laki yang memandangnya.

Hal lain yang jadi catatan, karena Jojo dan Marley tidak berhadapan langsung dengan obyek, maka kalau diakumulasikan, jarak antara „penonton‟ dengan obyek menjadi dua kali lipat. Dengan jarak yang bertambah, fetishisme berkurang karena terjadi reduksi pada ukuran layar. Jika di televisi perempuan dibingkai dalam CU, nah ketika difilmkan ukuran ini menciut hingga skala MS.

Berikut, kalau diturut dari segi narasi, walau karakter utama (Jojo) dalam film ini „dihadiahi‟ pemandangan menarik hati, namun kesenangannya itu harus disunat dengan kehadiran laki-laki lain. Yaitu, kliennya sendiri.

Selagi asyik-asyik menyaksikan perempuan berbikini, kamera berpindah menyorot Jojo dan si klien. Perpindahan sudut pandang ini diikuti oleh pemfokusan kamera. Baik obyek maupun latar berada dalam keadaan fokus.

163 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Si klien yang sedang telungkup, menoleh ke arah Jojo. Terdengar ia membentak: “Heh, mulai ga lu? Kalau ga, gue pakain bikini lu. Ngepet lu!”

Dengan peralihan fokus kamera, pengkonsumsian terhadap tubuh wanita terhenti sejenak. Berikut bentakan dari si klien merupakan bentuk interupsi yang paling nyata terhadap alur pandangan Jojo. Hingga mau tak mau, Jojo berhenti memandang dan beralih pada tubuh lelaki telanjang yang terbentang di hadapannya. Akan tetapi, walau secara visual perhatian Jojo sudah berpindah, namun pandangan itu tak benar-benar terbelokkan. Sebab, di offscreen terdengar suara perempuan tertawa-tawa kecil. Ini lah yang membuat perempuan itu „hadir‟ meski tidak lagi kasat mata. Ringkasnya, perempuan tetap menjadi obyek seksual meski tubuhnya sudah didepak ke luar layar.

Maka, sekali lagi, tubuh laki-laki (si klien) terselamatkan. Meski Jojo berada sangat dekat dari tubuh si klien, dan bahkan mempunyai akses untuk menggerayanginya, namun „penonton‟ tidak akan sampai memikirkan kemungkinan-kemungkinan „nyeleneh‟ macam itu. Tubuh si klien terbebas sama sekali dari konotasi seksual. Tubuhnya diperlakukan sama seperti

„kelinci percobaan‟ di laboratorium atau pun pasien di rumah sakit: tubuh dengan seksualitas yang absen (desexualized).

Selanjutnya, peran si klien di sini harus dibedakan dari Jojo. Memang, tadinya kedua karakter ini diposisikan sama-sama sebagai penonton. Atau lebih tepatnya, „kepala rombongan‟, sebab mereka duduk di jajaran paling depan. Sementara „penonton‟ mengikut di deretan belakang. Walaupun demikian, posisi kedua orang ini sesungguhnya tidak sejajar. Kelihatannya si klien lebih berkuasa. Ini ditunjukkan lewat fisik yang lebih kekar dan intonasi suara yang lebih tinggi. Di satu sisi, bentakan si klien merupakan salah satu strategi untuk mengganggu aktivitas voyeuristik Jojo, serta „penonton‟.

Namun, di sisi lain, ini juga berfungsi sebagai „klaim kepemilikan‟ atas tubuh

164 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

perempuan yang dipajang di depan. Bahwa hanya dia yang punya hak untuk menikmati tubuh perempuan tersebut, secara visual tentu.

Kasus penginterupsian terhadap aktivitas memandang juga dilakoni oleh karakter Berlian dalam Pasir Berbisik. Dalam salah satu adegan, ia menghentikan laju pandangan laki-laki terhadap anaknya yang sedang menari. Di sinilah terlihat sisi protektif Berlian, seorang ibu yang menolak hukum simbolik yang mendefinisikan anaknya secara seksual.8 Di samping itu, ini mengindikasikan bahwa tubuh si anak bukanlah dipunyainya sendiri, melainkan „dikuasai‟ oleh si ibu. Si ibu menjadi penentu kapan dan bagaimana tubuh anaknya dapat dipajan.

Bedanya dari kasus si klien di atas, ia mengusik kenikmatan voyeuristik Jojo untuk dapat menikmati tubuh perempuan itu sendirian.

Dengan demikian, pandangan laki-laki hanya sekadar dibatasi, tidak sampai tercerabut habis. Sedangkan, dalam kasus Berlian, ia menyetop sama sekali bentuk pengeksposan terhadap tubuh anaknya. Voyeurisme pun dihentikan.

Di sini, Berlian tampil sebagai: “penyunat kenikmatan voyeuristik laki-laki”.9

Meski Quickie Express lanjut membiarkan voyeurisme berlangsung, namun dengan ini menunjukkan dimensi yang berbeda dari pandangan.

Walau pandangan laki-laki dapat dibilang „universal‟, dalam artian setiap laki- laki dikonstruksikan untuk selalu memandang- namun ditekankan pula bahwa tidak semua laki-laki memiliki akses untuk memenuhi selera memandangnya itu. Keterbatasan akses terhadap pandangan, dan obyek hasrat inilah yang salah satunya mendefinisikan Jojo sebagai kelas pekerja, kelas bawah, dan miskin. Boleh dibilang, gambaran ini lah yang kuat mewarnai momen-momen sebelum Jojo terjun dalam bisnis gigolo.

8 Paramaditha, Intan. 2007. “Pasir Berbisik dan estetika-perempuan baru dalam sinema Indonesia” dalam Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia. Ed. Lisabona Rahman. Yayasan Kalam: Jakarta, hal: 119 9 Ibid., hal: 112

165 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Berikutnya, tak cukup dengan hanya mengusik kegiatan voyeuristik

Jojo, si klien juga menghukum Jojo di akhir adegan. Karena kelewat asyik memandang perempuan berbikini, Jojo jadi lupa diri. Ia gagal mengontrol pandangan dan nafsu berahi. Hingga si klien memberi Jojo pelajaran dengan mendorongnya ke luar jendela. Di layar, tak tampak bagaimana si klien itu bertindak. Yang diperlihatkan hanya akibat perbuatannya saja: Jojo terbaring di lantai, berbikini coklat, dan meringis.

Adegan Jojo dilempar itu menandai pengeksposan tubuh Jojo (bagian dada) untuk pertama kalinya. Jojo diperlihatkan memakai bikini dengan bagian payudara yang menyembul. Kalau dibandingkan dengan tayangan perempuan yang tadi disaksikannya, pakaian ia dan perempuan-perempuan itu tidak ada beda. (Lebih jelasnya lihat gambar 3.3 di halaman 104.) Proporsi tubuh yang dipajankan pada khalayak pun sama. Akan tetapi, apa yang membuat keduanya begitu berlain, yaitu soal konotasi apa yang muncul.

Tubuh Jojo tidak dipasang untuk membangkitkan birahi mereka yang melihat.

Retorika kamera ketika menyorot tubuh si perempuan dan tubuh Jojo jauh berbeda. Kamera cenderung mengarahkan „penonton‟ untuk menikmati tubuh perempuan dengan menekankan pada organ-organ tertentu pada tubuhnya.

Sedangkan, dalam membingkai Jojo, kamera tidak berusaha untuk melokalisasi pandangan „penonton‟, misal untuk mengamati bagian payudaranya saja. Tambah, pandangan itu dibiarkan menyebar antara Jojo dengan latar yang sama-sama fokus. Di samping itu, tubuh Jojo yang kini berbikini berjumbai dan payudara sempalan yang dipakainya pun sukses merombak kesan maskulin Jojo seluruhnya.

Lebih lanjut soal feminisasi tubuh laki-laki di dalam film, Neale sempat berkomentar meski selintas. Baginya, proses feminisasi ini menunjukkan bahwa hanya tubuh perempuan lah yang pantas dijadikan tontonan. Bahwa hanya perempuan yang layak dipasang sebagai obyek pandangan secara

166 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

terang-terangan.10 Dengan kata lain, erotisasi tubuh laki-laki hanya dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi, alias implisit.

Asumsi Neale tersebut ada dalam konteks laki-laki yang menari, dari genre film drama musikal. Agaknya, masih bisa dipakai dalam film komedi dewasa seperti Quickie Express. Walau masih tersisa satu hal yang mengganjal. Memang, tubuh Jojo ditampilkan telanjang, dan dalam kedok

„perempuan‟. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian, meski sudah

„diperempuankan‟, toh Jojo tetap tak sesensual perempuan-perempuan berbikini di televisi. Alih-alih menjadi obyek seksual yang menggiurkan, Jojo malah dihadirkan sebagai obyek tertawaan. Mengapa?

Pengemasan Jojo sebagai obyek candaan ketimbang obyek seksual itu diperjelas secara visual. Sementara badannya ditelanjangi di depan kamera, di wajahnya ia meringis. Sebuah ringisan yang lebih dekat pada rengekan ketimbang kemarahan. Di sinilah letak konyolnya. Seperti yang dikatakan

Kurniawan, konstruksi laki-laki yang dominan menuntut laki-laki untuk tidak menangis.11 Bila Jojo yang dipakaikan bikini itu terlihat marah, giginya bergemeletuk, dan tangannya mengepal, pemaknaan yang timbul bisa jadi sangat berbeda. Sebab, marah, lalu agresivitas sering didefinisikan sebagai bentuk kelaki-lakian.12

Selanjutnya, setelah dihadirkan dalam pakaian banci, Quickie Express menyediakan satu adegan di mana tubuh Jojo dieksplorasi dengan lebih rinci.

Ketika ini, maskulinitas Jojo tidak disamarkan dengan memakai pakaian perempuan seperti adegan di atas. Yang terjadi justru sebaliknya,

„kejantanan‟ Jojo sengaja ditonjolkan. Di awal, kamera diam. Teknik yang dipergunakan persis sama ketika menyorot perempuan berbikini di gambar

10 Neale, Steve. 1993. “Masculinity as spectacle” dalam Screening the Male: Exploring Masculinities in Hollywood Cinema. Eds. Steven Cohan & Ina Rae Hark. Routledge: London and New York, hal: 18 11 Kurniawan, Aditya Putra. <::9. “Dinamika maskulinitas laki-laki”. Jurnal Perempuan No. 64, hal: 38 12 Ibid.

167 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

4.9 halaman 162, di mana kamera menunggu obyek yang bergerak. Saat kamera menangkap gambar selangkangan, Jojo menggaruk alat vitalnya.

Baru kemudian kamera bergerak pelan dengan arah vertikal ke atas, sampai tepat di bagian kepala.

Gambar 4.10. Jojo di kontrakan

Memang, kamera tak persis membingkai bagian kelamin saja. Namun, di saat Jojo menggaruk genitalnya, ketika itu pula fokus „penonton‟ tertumbuk pada bagian itu. Dengan cara ini, kelamin Jojo menjadi obyek pandangan. Akan tetapi, di balik ketertampakan itu, ada beberapa faktor yang justru mencegah seksualitas Jojo tampil seluruhnya. Benar, ketika tangan

Jojo meraba kelamin, perhatian penonton pun terpaku. Namun, posisi tangan itu sekaligus melindungi bagian genital. Dengan kata lain, „pandangan penonton‟ pun terhalangi.

Di samping itu, cahaya ruangan yang redup, membuat tubuh Jojo terlihat samar. Apalagi ketika sampai di bagian selangkangan, sebagian besar terlihat gelap. Sudah kabur di visual, di audio pun tak banyak menolong. Di latar mengalun musik lembut. Tapi, jangan bayangkan sebuah musik romantis dengan vokal serak-serak basah seperti yang biasa dimainkan untuk mengiringi tarian striptease. Di lirik terdengar satu penggalan kata:

“bermimpi”. Apabila dicocokkan dengan tema adegan ini, yang lebih mengemuka yakni kepapaan Jojo. Singkat kata, adegan ini menghadirkan

Jojo sebagai lelaki pemimpi, ketimbang laki-laki seksi.

168 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Adapun „keseksian‟ Jojo baru dikenali setelah munculnya satu karakter baru, yakni Mudakir. Kalau melirik pada kumis tipis yang membingkai mulutnya, jelas Mudakir terlihat jantan dan gagah. Namun, ketika sudah menurun ke bagian bawah, terkuaklah sisi femininnya. Mudakir gandrung memakai baju-baju „perempuan‟. Dikatakan „perempuan‟ karena melihat pada corak dan motifnya yang sangat variatif. Sementara, pakaian „laki-laki‟ seperti yang ditunjukkan dalam film ini cenderung monoton, dan monokrom.

Karakter Mateo misal, ia mengenakan setelan hitam di bawah, hitam pula di bawah. Hal lain, begitu Mudakir berbicara, suaranya gemulai. Karakteristik ini yang membuat ia terlihat sebagai pria yang „melambai‟.

Tapi justru lewat mata Mudakirlah, laki-laki dapat dipandangi dengan leluasa. Ingat bagaimana awal ia muncul. Dari atas mobil sedan klasiknya,

Mudakir yang berada di balik kemudi melongokkan kepala. Dengan cekatan, editing berganti antara Mudakir dengan suasana di luar jendela, memperjelas kontras antara Mudakir yang melihat dengan obyek penglihatannya.

Pandangan „penonton‟ mengikuti pandangan Mudakir, pandangan yang aktif mencari (investigative looking).

Di awal, yang terlihat hanya sekumpulan orang, tanpa ada obyek yang spesifik. Kamera lebih banyak bermain di shoot-shoot panjang. Lalu, Mudakir memutuskan untuk turun dari mobil. Sejenak kamera menelisiki tubuh

Mudakir dari kaki ke kepala. Ketika bingkai diberhentikan sesaat (freeze), membingkai Mudakir dalam keadaan MCU, muncul satu tulisan besar-besar: pemburu. Pemburu di sini maknanya lebih dari sekadar profesi (identitas).

Apabila dikaitkan dengan aktivitas pandangan- pemburu merupakan subyek yang memiliki pandangan aktif. Ringkasnya, sebagai subyek yang melihat, ketimbang yang dilihat.

Nah, sebagai obyek buruan ditempatkan lah laki-laki (pemuda).

Buruan pertama adalah pelayan di restoran. Pemuda ini dibingkai dalam

169 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

keadaan fokus sepenuhnya, sementara bagian latar buram. Dengan demikian si buruan, meski berada di tengah kerumunan orang banyak- masuk dalam perangkap pandangan Mudakir, begitupun „penonton‟. Ketika kamera berganti menyorot Mudakir, dari mulutnya terdengar komentar: “Idih...cakep banget.”

Tapi, sejurus kemudian, si pemuda membalikkan muka. Seketika, penilaian

Mudakir berubah 180 derajat. Tompel yang tumbuh di pipi pelayan itu adalah cacat yang meruntuhkan kegantengan si pemuda. Dari sini, jenis pandang

Mudakir mengalami redefinisi, dari yang tadinya bersifat investigatif, menjadi evaluatif.

Cara pandang evaluatif ini juga dipakai Mudakir ketika memandang buruan berikutnya. Lokasi sudah berpindah ke loper koran. Bingkai yang dipergunakan saat ini lebih lebar, hingga selutut (MLS). Kamera juga tidak se- otoritatif sebelumnya. Latar dibiarkan tetap fokus selama adegan berlangsung. Agar si pemuda tidak tenggelam dalam layar yang demikian lebar, maka ia ditempatkan di tengah-tengah layar. Akan halnya si pelayan restoran, pemuda ini juga gagal memenuhi kriteria Mudakir. Begitu pria ini bersirobok dengan temannya, yang juga pria, ketahuan lah „sifat aslinya‟. Pria ini jauh lebih „melambai‟ ketimbang Mudakir.

Ketika Mudakir memalingkan muka, ini disertai tumbangnya kesenangan memandang „penonton‟. Fetishisme, seperti yang dibilang

Mulvey, menuntut sebuah produk terlihat sempurna hingga menutupi cela yang dipunya.13 Dua adegan di atas malah menunjukkan hal yang sebaliknya.

Bukannya disembunyikan, cacat itu malah dibukakan. Laki-laki yang dipajankan di hadapan „penonton‟ bukannya „produk siap pakai‟ yang sudah melalui quality control. Laki-laki dipertontonkan untuk diuji fisik maupun kualitas kejantanannya. Adegan tersebut merefleksikan dengan jelas apa

13 Mulvey, Laura. Op.cit., hal: 753

170 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

yang ditulis Neale: “Where women are investigated, men are tested“.14

Perbandingan kasarnya, bila tubuh perempuan dipertontonkan seperti di kelas seni, maka tubuh laki-laki dibedah seperti di kelas anatomi.

Lanjut, jika pelayan restoran dan pemuda di loper koran gagal memenuhi selera pandang Mudakir, tidak demikian halnya dengan Jojo. Bila di akhir adegan kedua pemuda tersebut ketahuan kurangnya, Jojo justru sebaliknya. Semakin lama dipandang, makin terkuak „keindahannya‟.

Memang, tak ada dialog yang secara eksplisit menyatakan hal ini. Namun, secara visual „kelebihan‟ Jojo ini jelas ditonjolkan.

Caranya yakni, pertama, lewat bingkai CU yang rapat hingga perhatian terlokalisasi pada daerah selangkangan. Selanjutnya, dengan menggunakan bahasa tubuh. Pada adegan terdahulu, perhatian „penonton‟ diarahkan pada selangkangan Jojo setelah Jojo menggaruknya. Nah, dalam adegan ini,

Mudakir lah yang lebih berperan. Mudakir layaknya melakukan adegan sawer.

Bedanya, bila saweran pada penari perempuan menyasar daerah dada, kali ini tertuju pada daerah genital. Sementara menyelipkan uang kertas ratusan ribu di saku celana Jojo, tangan Mudakir iseng menjawir kelaminnya. „Sayangnya‟, tontonan ini usai sampai di sini. Begitu Jojo terperanjat, gambar segera diganti.

Dengan tampilan kelamin yang menjendul15 dan pencahayaan yang terang, bila dibandingkan dengan ekspos selangkangan Jojo pada adegan sebelumnya, adegan ini terkesan lebih „berani‟. Walau, tak bisa langsung disimpulkan bahwa tubuh Jojo telah terobyekkan sepenuhnya. Sebab, baru saja sensualitas itu dibangun, gambar malah langsung diganti. Ibaratnya

14 Neale, Steve. Op.cit., hal: 19 15 Ada kemungkinan, alat kelamin Jojo sengaja ‘ditambal’ untuk kepentingan film. Dari berbagai macam komentar dan ulasan tentang Quickie Express yang beredar di internet, tak satu atau dua yang mempersoalkan hal ini. Satu ulasan yang khusus memberi perhatian pada besarnya ‘tonjolan’ tersebut yakni: “Tonjolan besar di balik celana Tora Sudiro” (Sumber: http://mumualoha.blogspot.com, diakses tanggal 25 Maret 2010)

171 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

bunga yang baru bertunas, sudah dipetik. Jadi, hasilnya tak didapat. Karena memang sebagaimana sudah ditegaskan, pandangan Mudakir lebih bersifat evaluatif ketimbang erotis.

Lanjut, jenis pandangan itulah yang membedakan Mudakir dengan karakter banci dalam film-film komedi Indonesia umumnya. Memang, dari satu sisi, Mudakir mengikut pada stereotip waria yang matanya selalu

„nyalang‟ bila bertemu lelaki. Namun, di sisi lain, kode sinematik dan narasi

Quickie Express membawa Mudakir ke level yang lain.

Lebih konkretnya, mari bandingkan dengan film Love is Brondong

(Chiska Doppert, 2012). Dalam adegan pembuka, dari jarak LS, seorang pria berlari mendekat ke arah kamera. Ia mengenakan pakaian olahraga ketat warna merah jambu campur biru muda. Dari arah yang berlawanan, masuk seorang waria, memakai pakaian yang persis sama. Setelah berpas-pasan, mereka berhenti berbarengan. Dari jarak MCU, diperlihatkan ekspresi keduanya: yang seorang kecut, yang lain malah senang.

Waria itu membalikkan badan, lanjut merayu. Sementara yang dirayu bukannya gembira, malah bertingkah masam. Selagi waria itu menggoda, kamera asyik juga menjelajah tubuhnya. Sementara tubuh si pria, meski hadir dalam pembicaraan, namun tersembunyi secara visual. Dalam dialog, terdengar waria tersebut berkomentar, “Badannya oke, onderdilnya juga oke”. Namun, tubuh dan onderdil yang oke ini absen dalam pandangan.

Benar, kamera menampilkan point of view shot yang menempatkan

„penonton‟ di sudut pandang si waria. Akan tetapi, posisi badan si pria yang membelakang ke si waria, dan „penonton‟- menolak kemungkinan obyektivikasi terhadap tubuhnya.

172 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Memang, seperti yang dikritik oleh Sen, kehadiran banci atau pun waria di dalam film Indonesia kebanyakan itu hanya untuk olok-olok.16 Untuk menjadi badut, katakanlah. Akan tetapi, justru lewat mata waria ini pula

„penonton‟ dapat menikmati tubuh laki-laki dalam kerangka yang erotis dan cabul. Walau penikmatan di sini tidak langsung serupa laki-laki memandang perempuan. Sebab, dalam menikmati tubuh perempuan, tubuh itu dipasang terang-terang di layar. Sedangkan, tubuh laki-laki dinikmati sebatas ucapan, tapi tidak visual.

Gambar 4.11. Waria dalam film Love is Brondong

Hal yang berbeda dialami oleh si waria. Tubuhnya tidak dieksaminasi di dalam dialog, namun malah ditampilkan secara gamblang di gambar. Di sini lah letak paradoksnya. Sementara si waria „mengobyektivikasi‟ tubuh laki-laki dengan pandangannya, tubuhnya sendiri malah diobyektivikasi dari luar.

Pengerotisasian tubuh laki-laki yang dilakukannya tersamarkan dengan pembadutan yang dilakukan kamera atas tubuhnya sendiri.

Persis di sinilah letak beda Quickie Express. Ke-waria-an Mudakir memang ditekankan melalui bahasa tubuh dan pakaian yang dikenakan.

(Dengan catatan, pakaian ini pun tak mengikut pada gambaran waria kebanyakan yang identik dengan rok mini dan dada silikon yang

16 Sen, Krishna. 1994. Indonesian Cinema: Framing the New Order. Zed Books Ltd.: London and New Jersey, hal: 137

173 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menggelembung.17) Selain tampilan yang nyeleneh itu, Mudakir tidak ada beda. Dalam artian, kamera memperlakukan tubuhnya seakan-akan berhadapan dengan „makhluk normal‟ saja. Ekpos terhadap tubuh Mudakir berlangsung singkat-singkat, hingga tidak ada kesempatan untuk mengekspos kemelambaiannya. Tidak pula kamera menghakimi lewat gerakan tilting, seperti yang ditemui dalam adegan Love is Brondong.

Terlebih, kehadiran Mudakir di layar tidak ditandai dengan kernyit di dahi atau mencong di bibir seperti yang dialami oleh waria di atas. Kehadiran

Mudakir dimaknai secara wajar. Begitu ia masuk, jelas terlihat kontras antara penampilannya dengan karakter-karakter lain yang berseliweran di layar.

Namun, tidak ada perlakuan istimewa terhadap tubuh itu. Tubuhnya tidak menjadi pusat perhatian. Padahal biasanya, kehadiran waria selalu disertai dengan ger-geran. Kalau jalan berubah menjadi catwalk ketika ditapaki perempuan, maka oleh waria, jalanan itu disulap menjadi pentas dagelan.

Hingga derajat tertentu, Mudakir berhasil mengobyektivikasi Jojo tanpa harus ikut mengorbankan tubuhnya. Ini kalau merujuk pada adegan

„saweran‟ yang tadi disinggung. Walau terbatas, tubuh laki-laki sudah mulai divisualkan, tak sekadar verbal seperti dalam Love is Brondong. Kendati, pengobyektivikasian ini kekurangan unsur erotisnya. Sebagaimana sudah ditegaskan di awal, Mudakir memandang Jojo lebih dalam kerangka evaluatif.

Hasrat seksual Mudakir tidak ditampilkan seeksplisit waria dalam Love is

Brondong. Orientasi seksnya tidak ditampakkan secara jelas. Mudakir hanyalah „pemburu‟, tapi bukan „pemangsa‟. Mudakir diposisikan sebagai pihak yang memandang, namun kesenangan dari memandang itu ditujukan pada pihak lain, dalam kasus ini yakni tante-tante girang.

17 Habibullah dalam Kortschack, dikutip lagi dalam Coppens, Laura. <:;;. “Hasrat dan berahi: Queer dalam perfilman Indonesia” dalam buku Asian Hot Shots: Sinema Indonesia. Eds. Yvonne Michalik & Laura Coppens. Penerbit Bentang: Yogyakarta, hal: 365

174 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Ya, dalam adegan tersebut tante-tante girang ini belum dimunculkan secara fisik. Namun, hasrat mereka sudah diperkenalkan melalui buruan- buruan Mudakir. Adapun tante-tante girang ini baru dipasang di muka layar ketika Jojo mengikut Mudakir ke Restoran Quickie Express (lihat gambar 3.7 halaman 111). Begitu Jojo menginjakkan kaki di restoran, ia disambut oleh belasan pasang mata yang tertuju pada dirinya. Gerakan horizontal kamera menyapu keseluruhan ruangan sekalian menampakkan pengunjung yang mangkal di sana.

Kalau boleh mengilas kembali narasi dan visualisasi tubuh Jojo sebelum ia bertemu Mudakir, dan lanjut mendatangi Restoran Quickie

Express, tubuh Jojo nyaris absen dari pandangan. Ambil contoh dalam adegan ketika ia mengepel lantai di toserba. Dalam jarak LS, tubuhnya bebas mondar-mandir tanpa ada seorang pun yang mengacuhkan. Sesekalinya ia dilirik, itu pun hanya sebagai perantara. Orang-orang yang melihat itu tak persis menginginkan dirinya. Sementara, dalam adegan di restoran, masih dalam bingkai LS, untuk pertama kali tubuh Jojo menjadi pusat perhatian. Ia dilihat sekaligus dihasrati, dan kali ini dalam kerangka yang sepenuhnya seksual.

Namun, adegan ini tak lepas dari kontradiksi. Walaupun keberadaan tante-tante girang membantu mengerotisasi tubuh Jojo, menjadikan Jojo sebagai obyek hasrat seksual mereka, namun di saat yang bersamaan, mereka juga diobyekkan oleh kamera. Kejadiannya mirip dengan retorika kamera ketika berhadapan dengan karakter waria dalam film Love is

Brondong. Sorot kamera sepenuhnya dihadapkan pada tante-tante girang ini.

Sementara tubuh Jojo membelakang kamera, sekaligus membelakangi

„penonton‟. Ringkasnya, keseksian Jojo hanya dapat dinikmati dari cara wanita paruh baya itu memandang tubuhnya, bukan yang langsung serupa

Jojo menikmati tubuh wanita berbikini dalam adegan terdahulu.

175 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

B. Laki-Laki Calon Pekerja Seks: Laki-Laki Sebagai Obyek Seks?

Sebagaimana yang tampak dari deskripsi visual dalam Bab III, masa- masa peralihan Jojo dari pekerja serabutan menjadi pekerja seks merupakan masa-masa yang paling sensual. Ini kalau ditinjau dari tingginya kadar buka- bukaan ketika periode ini berlangsung. Ekspos terhadap tubuh Jojo tidak hanya sebatas wilayah dada, atau selangkangan. Tapi sudah merambah ke bagian paha. Tentu, ekspos ini tak selalu sejalan dengan obyektivikasi.

Sebagaimana ditegaskan sedari awal, narasi dan visualisasi haruslah klop kalau lah hendak menghadirkan sesuatu sebagai obyek tontonan.

Kembali, di masa ini diperlihatkan laki-laki menari. Namun, konteksnya sudah jauh berbeda dari yang pertama. Jika dulu Jojo menari untuk meriang- riangkan hati, tanpa mensyaratkan keberadaan penonton, kali ini ia menari khusus untuk dipertontonkan kepada orang lain. Kalau lah ditinjau semata- mata dari narasi, ini lah saatnya tubuh Jojo dipajankan kepada „penonton‟.

Tentu, logika narasi ini tak langsung diturut mentah-mentah. Aspek visualnya juga harus dipertimbangkan, khususnya yang berkaitan dengan retorika kamera.

Sebelumnya mari mengingsut-ingsut dari mise-en-scene terlebih dahulu. Pertama, setting lokasi. Tempat latihan tari ini diberi judul “body language room”. Kerahasiaan merupakan tema utama yang membingkai ruangan ini maupun ruangan lain yang ada di Quickie Express. Ini ditandakan dengan keterangan yang ditulis di depan pintu masuk, berbunyi: “un authorized personel prohibited to enter”. Kalau lah diperhitungkan juga posisi gedung Quickie Express yang disebut-sebut berada di bawah tanah, maka derajat kerahasiaan ruangan ini menjadi sangat tinggi. Dengan lokasi yang begitu tereksklusi, artinya posisi „penonton‟ sudah tidak dapat lagi disamakan dengan pengintip kamar mandi, namun sudah masuk ke level pengintai kawakan.

176 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Berikutnya, lanjut ke masalah kostum. Di satu sisi, pakaian dapat digunakan untuk menutupi tubuh. Di sisi lain, pakaian juga dapat mengekspos keseksian tubuh. Dan, dalam hal ini lah pakaian dapat merekayasa tubuh sebagai obyek fetish bagi penontonnya. Selagi menjalani latihan tari, Jojo dan kedua rekannya mengenakan pakaian yang sangat mini. Pakaian itu terdiri dari kaus tanpa lengan plus celana pendek sepaha sebagai bawahan. Khusus

Jojo, celana pendek itu agaknya kesempitan. Sebab, sesak sekali kelihatannya. Mana „tonjolan‟ yang tadi sempat dipersoalkan, masih nangkring di balik celananya.

Dengan aurat yang terekspos di sana-sini, Jojo dan rekan berpeluang menjadi obyek fetish yang menggairahkan. Belum lagi kalau memperhatikan gerakan yang mereka peragakan, begitu provokatif. Misal, ketika mereka mulai menggoyangkan daerah panggul dengan gerakan ritmis maju-mundur.

Ini bisa saja diasosiasikan dengan gerakan ketika lelaki melakukan penetrasi dalam hubungan seksual. Namun, terlepas dari itu, kecabulan itu sudah mencuat. Begitu panggul itu dimajukan, dengan sendirinya alat genital mereka pun tersodorkan pada „khalayak‟.

Di samping soal gerakan itu, posisi tubuh Jojo dan rekan dipasang menghadap ke arah „penonton‟. Dengan posisi ini, memungkinkan „penonton‟ untuk berhadap-hadapan langsung dengan ketiga calon gigolo muda ini.

Dengan sendirinya, jalan untuk fetishisme pun terkuak lebar. Ini berbeda dari adegan sebelumnya di mana pandangan „penonton‟ pada tubuh Jojo selalu dimediasi, entah itu melalui mata Mudakir maupun melalui mata tante-tante girang di restoran. Belum lagi, posisi tubuh Jojo kadang menyamping atau menghadap ke belakang seperti halnya dalam adegan Jojo masuk Restoran

Quickie Express.

Namun, agaknya jalur fetishisme ini masih terkendala oleh beberapa faktor: salah satunya itu soal keelokan barang yang ditampilkan. Kalau lah

177 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

diibaratkan dengan barang dagangan, Jojo dan rekan-rekan bukanlah barang dengan kualitas nomor satu. Mereka adalah barang hasil reject. Marley dan

Piktor dicampakkan melalui narasi di awal kemunculan mereka. Keduanya diperkenalkan sebagai calon gigolo yang dipakai untuk “memenuhi selera tante-tante yang rada aneh”. Sementara Jojo, sebagaimana sudah diceritakan, ia adalah pekerja serabutan yang tertolak dari tiga jenis pekerjaan berbeda.

Bila lanjut dinilai dari fisik, sulit membayangkan salah satu dari ketiganya akan masuk dalam kategori pria yang gambarnya dipajang di sampul Majalah Men‟s Health. Marley, terlalu kurus. Kontras sekali dengan

Jojo yang berbadan bongsor. Yang terbilang „proporsional‟ itu hanyalah Piktor.

Namun, tingginya yang pas-pas-an dibanding Jojo dan Marley menjauhkannya dari kriteria lelaki „ideal‟ seperti yang dikonstruksi media. Mungkin, atas dasar ini pula Lee menuliskan Quickie Express sebagai film yang mengusung “weird and unorthodox concepts of beauty”.18

Memang, bila dipatut dari segi fisik dan penampilan secara keseluruhan, baik itu Jojo, Marley dan Piktor terasing dari tampilan tokoh laki- laki „kebanyakan‟. Ini bukan merujuk pada tampilan aktor secara personal, melainkan lebih pada tampilan karakter yang dimainkan. Jojo, Piktor dan

Marley tidak di-setting sebagai tipe pria yang digilai wanita macam Rangga

(Nicholas Saputra) dalam Ada Apa dengan Cinta (Rudy Soedjarwo, 2002) atau

Fahri (Fedi Nuril) dalam Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008). Kalau lah dicarikan padanannya dalam film Hollywood, mereka lebih mirip Deuce

Bigalow (Rob Schneider) dalam Deuce Bigalow: Male Gigolo (Mike Mitchell,

1999) ketimbang Julian Kay (Richard Gere) dalam American Gigolo (Paul

Schrader, 1980).

18 Lee, Maggie: “Quickie Express” (Sumber: http://blog.jokoanwar.com/?p=238, diakses 7 Juli 2011)

178 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Karena Quickie Express berada di jalur komedi, dapat dimengerti jika karakter laki-laki yang bermain di dalamnya pun ditampilkan secara komikal.

Namun, terlepas dari soal genre, kelucuan pemain di sini bisa berfungsi ganda. Pertama, tentu untuk mendorong syaraf tawa penonton. Dengan kata lain, humor yang ditujukan untuk humor itu sendiri. Kedua, ini yang paling penting, humor bisa melunakkan unsur seks yang digarap sebagai tema.

Dengan kekocakan itu Quickie Express terhindar dari kesan homoseksual yang mungkin timbul dari menampilkan laki-laki yang menggelinjang dengan cabul. Tentu, ini tidak berarti unsur erotis akan hilang sama sekali.

Selain dengan mengedepankan unsur lawak, agaknya kamera sudah bekerja dengan baik dalam menyamarkan unsur seks yang muncul. Untuk itu, mari kembali ke adegan menari erotis tadi. Sepanjang adegan, dominan dipergunakan bingkai-bingkai LS. Terkesan kamera enggan mendekati tubuh laki-laki yang bergoyang itu. Selain itu, gerakan kamera pun memberi impresi yang sama. Di awal, kamera yang berada di sisi kiri layar, datang dengan perlahan. Gerakan jenis ini sebenarnya dapat mem-fetish-kan obyek karena jarak yang merapat. Namun, tiba-tiba kamera berhenti, hingga bingkai tetap bertahan di ukuran LS. Sesudahnya, kamera malah bergerak menjauh.

Artinya, peluang fetish yang tadi sudah terbuka, dengan serta merta tercampak.

Gambar 4.12. Kamera bergerak menjauhi pria yang sedang menari

179 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Terang, retorika kamera demikian menunjukkan posisi menonton yang maskulin. Kamera memperlakukan laki-laki bukan sebagai obyek seksual yang pantas untuk dieksplorasi. Atau, bila bukan soal kepantasan, dugaan lainnya, kamera emoh menempel karena tubuh laki-laki dianggap tidak semenarik tubuh perempuan. Dan, jika bersandar pada asumsi Neale, bahwa

„penonton‟ dialamati sebagai yang berjenis kelamin laki-laki

(heteroseksual)19- maka memajang tubuh laki-laki dalam keadaan seronok begitu hanya akan membuat „penonton‟ keki. Gila aja, mosok jeruk mau makan jeruk?

Jika ditelisik lebih teliti dengan memperhatikan posisi orang per orang, ada kecenderungan kamera secara spesifik bergerak menjauhi Jojo.

Khususnya seperti yang ditunjukkan adegan di atas. Jojo, Marley, dan Piktor berdiri sejajar di belakang trainer. Ketika kamera mengambil gambar dari arah kiri, Jojo dipencilkan di kanan layar. Nah, saat kamera bergeser ke sisi kanan, jarak Jojo ke layar tidak bertambah dekat. Sebab, di saat yang bersamaan, kamera juga bergerak mundur.

Bila Jojo tampaknya membuat kamera alergi, tidak demikian halnya dengan si pelatih tari. Karena ia berdiri paling depan, tubuhnya pun lebih jelas dibingkai kamera. Apalagi, ia sering diposisikan di tengah-tengah layar. Ini menjadikannya sebagai obyek perhatian. Memang, sebagai instruktur, lumrah jika ia lah yang dipasang paling depan. Namun, terlepas dari soal teknis ini, posisi masing-masing karakter akan berpengaruh pada keterpandangan tubuh mereka. Sementara si instruktur dapat dibayangkan sebagai „hidangan utama‟ untuk memuaskan pandangan „penonton‟, maka ketiga laki-laki itu hanya lah cemilan yang meski dimakan tapi tak mengenyangkan. Tubuh mereka disisihkan sebagai „background‟, demikian pula dengan seksualitas mereka.

19 Neale, Steve. Op.cit., hal: 19

180 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Jika diperhatikan dari segi mise-en-scene, diantara ketiga calon gigolo itu, Jojo ditampilkan lebih mencolok. Ya, dengan ukuran badan yang jumbo, sulit untuk tidak memperhatikan kehadirannya. Walau, kadar keterpajanan tubuhnya bila dibandingkan dengan si pelatih tari, jauh berbeda.

Pengobyekkan tubuh si pelatih berlangsung secara gamblang dan terang- terangan. Sedangkan tubuh Jojo diekspos secara halus, sembunyi-bunyi.

Ibaratnya, tubuh Jojo itu seperti durian yang harus dikupas dulu sebelum dapat disantap. Beda dengan si pelatih yang tubuhnya sudah langsung dikupaskan ke hadapan „penonton‟.

Gambar 4.13. Antara instruktur tari, Jojo, dan boneka wanita

Nah, bertindak selaku „kulit‟ untuk membungkus tubuh Jojo itu tak lain adalah si pelatih itu sendiri. Coba perhatikan ketiga adegan tari dalam gambar

4.12 di atas. Tubuh Jojo tak pernah ditempatkan di tengah layar, melainkan selalu di pinggir. Tubuhnya selalu ditaruh di baris kedua, dengan si pelatih di baris pertama. Meski kamera berpindah posisi ke kanan, dan menempatkan tubuh si pelatih dan Jojo dalam satu garis diagonal, namun tubuh Jojo masih terpencil. Ini disebabkan jarak antara dirinya dengan kamera lebih jauh ketimbang si pelatih.

Selagi ada usaha yang nyata dari kamera untuk menghilang-hilangkan tubuh Jojo dari pandangan, tapi di sisi lain, ada juga usaha untuk membuat tubuhnya tetap terdeteksi. Misal, dalam gambar dua. Tubuh Jojo memang dipepetkan ke pinggir, hingga satu bagian lengan dan pahanya termakan.

181 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Akan tetapi, dengan pakaian oranye norak begitu, Jojo tampil lebih ngejreng.

Dibanding pelatih yang memakai singlet putih ditumpuk jumpsuit kuning pucat, derajat ketertampakan Jojo lebih tinggi.

Dari adegan menari yang dibahas tersebut, dapat ditarik satu asumsi bahwa kamera cenderung „malu-malu kucing‟ ketika harus menampilkan tubuh Jojo. Di satu sisi, ia harus tetap kelihatan. Namun, di sisi lain, tetap dijaga agar pengeksposan tubuhnya tidak terlalu frontal. Salah satu jalannya ya dengan membungkus tubuh Jojo dengan tubuh si pelatih.

Cara lain, yaitu dengan tetap mempertahankan hasrat kelaki-lakian penonton. Ini secara konstan dilakukan dengan menempatkan boneka perempuan ukuran dewasa persis di layar. Benar, si boneka perempuan ini berada di urutan paling belakang. Namun kalau diperhatikan lagi, ia kerap diposisikan dalam garis diagonal yang sama dengan Jojo dan si pelatih. Tentu, tidak dengan maksud menyedot perhatian „penonton‟ seluruhnya. Sebab, ia cuma menyelip di pinggir layar. Namun yang jelas, kehadiran boneka itu akan menjaga hasrat „penonton‟ tertuju pada „obyek seksual yang seharusnya‟.

Lanjut, penempatan boneka yang berdampingan dengan Jojo memberi kontras antara bagaimana tubuh laki-laki dan perempuan dipajankan. Tubuh perempuan dapat disetarakan dengan boneka yang cenderung diam dan pasif. Namun, itu tak menghalangi seksualitas perempuan untuk tampil.

Sedangkan tubuh laki-laki, diwakili oleh Jojo, lebih agresif dan aktif. Kalau dari segi seksualitas bukannya nihil, tapi disamar-samarkan.

Seperti yang sempat disinggung di bagian terdahulu, salah satu alternatif untuk dapat mengeksplorasi tubuh laki-laki secara langsung dan terang-terangan yakni dengan menambahkan sisi feminin sekaligus merepresi sisi maskulinnya. Ini terlihat jelas dari adegan latihan menari ini. Karakter si pelatih yang diletakkan di barisan terdepan secara fisik bisa disebut laki,

182 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

namun dari segi pembawaan, ia gemulai. Dengan kata lain, ia termasuk dalam golongan apa yang biasa disebut sebagai wanita-pria, alias waria.

Dalam satu hal, mungkin ini dapat dibaca sebagai salah satu bentuk subversi. Sebab, laki-laki (Jojo, Piktor, dan Marley) diajari menjadi laki justru oleh seseorang yang kurang menampakkan unsur „laki‟. Namun, dalam hal lain, ini malah dapat menyelamatkan kelaki-lakian itu sendiri. Karena, toh tubuh yang dipajankan habis-habisan di layar itu bukanlah „laki-laki‟. Hingga

„penonton‟ tak merasa ditelanjangi melihat adegan ini. „Penonton‟ batal mengidentifikasi dirinya dengan si pelatih, karena tubuh „laki-laki sebenarnya‟ sudah diamankan di barisan kedua. Barisan di mana Jojo, Piktor, dan Marley berada.

Namun, perlu ditambahkan pula, bahwa „laki-laki‟ yang sudah mengambil bentuk sebagai banci ini, seksualitasnya tak dapat disamakan dengan tubuh perempuan. Bila posisi si pelatih diganti dengan perempuan, suasana erotis yang akan didapat. Sementara, si pelatih, meski mimik muka dan gayanya sudah sangat serius, tapi yang menonton gagal melihatnya sebagai obyek seksual. Ia diperlakukan layaknya „alien‟, jika bukan obyek tertawaan. Dengan demikian, meski lewat karakter banci ekpos terhadap tubuh „laki-laki‟ dapat terjadi secara blak-blakan, namun tubuh itu telah kehilangan unsur seksualnya.

Persoalannya tidak hanya terletak pada apakah tubuh banci tersebut menjanjikan untuk dijadikan obyek fetish. Dengan kata lain, fisik bukan yang utama. Mau banci itu diperankan oleh Dono atau Nicholas Saputra, tubuh yang satu tidak akan tampil lebih erotis kalau dari segi mise-en-scene dan sinematografi tidak mendukung. Ambil saja film Mama Minta Pulsa (Nuri

Dahlia, 2012) sebagai contoh. Gary Iskak yang melekat dengan citra maskulin di off screen, memerankan peran bencong bernama Danang. Kalau dibanding dengan otot pria dalam iklan L-Men, otot Gary tidak kalah besar. Namun,

183 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

perbedaan yang jelas, ketika Gary berjalan sebagai Danang, alih-alih dilirik wanita, ia malah dijadikan bahan guyonan.

Memang, dalam Quickie Express tidak ditemukan olok-olokan verbal tentang kebancian si pelatih. Tapi, itu tidak berarti tubuhnya akan tampil lebih sensual. Bila pengerotisasian tubuh wanita diperantarai oleh pandangan karakter di dalam layar, pada tubuh si banci yang terjadi justru sebaliknya.

Pandangan karakter lain terhadap tubuhnya ditandai dengan rasa geli, takut, dan barangkali juga, jijik.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar 3.9 halaman 118. Dalam gambar tersebut nyata terlihat bagaimana pengkonsumsian terhadap tubuh si pelatih berlangsung. Pada awalnya, diperlihatkan si pelatih dalam bingkai LS sedang berjoget ria. Posisinya tepat di tengah layar, hingga perhatian

„penonton‟ akan terarah pada tubuhnya. Meski ia mengadap ke depan, namun tak sekalipun matanya menatap langsung ke kamera. Artinya, ia diposisikan tidak sadar akan keberadaan kamera. Dengan demikian, „penonton‟ diberi ruang kenyamanan untuk dapat menikmati tubuhnya diam-diam.

Pandangan „penonton‟ di sini disatukan dengan pandangan Jojo dan

Marley yang berdiri membelakang kamera. Badan keduanya membingkai dengan tepat tubuh si pelatih. Bila si pelatih terekam dari kepala sampai kaki,

Jojo dan Marley hanya terlihat separuh badan. Tapi, proporsi tubuh keduanya jauh lebih besar ketimbang si pelatih. Kemudian kamera berbalik arah, mengalihkan fokus pada Jojo, Piktor, dan Marley. Terlihat ekspresi bingung ketiganya, antara ngeri campur geli.

Adapun pandangan ketiga lelaki itu mendefinisikan pandangan

„penonton‟ terhadap tubuh si pelatih. Meski tampil dengan gaya super cabul, namun si pelatih tidak dipandang sebagai „obyek seksual yang mungkin‟.

Kalaupun ada kenikmatan yang dihadirkan di sini, itu bukanlah kenikmatan serupa memandang pada tubuh perempuan. Yang terjadi justru kebalikan.

184 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Katakanlah kenikmatan dari melihat sesuatu yang „menjijikkan‟, a disgusting pleasure.

Kalau dibandingkan dengan adegan ketika Jojo dan klien di galeri tato menonton perempuan berbikini, nyata benar bedanya. Satu-satunya kesamaan, obyek ditampilkan dengan POV shot, di mana obyek dilihat oleh

„penonton di luar‟ dari posisi „penonton di dalam‟. Jika dalam adegan perempuan berbikini „penonton di dalam‟ diburamkan, tidak demikian dengan adegan pelatih menari. Pemburaman itu membuat perhatian terpusat pada tubuh si perempuan. Sementara, fokus pada tubuh pelatih terbagi dengan tubuh dua orang penontonnya. Kalau ditimbang dari proporsi badan mereka yang lebih besar, tentu kehadiran penonton ini lebih bersifat mengganggu.

Hal lain, cara penikmatan terhadap kedua tubuh itu berbeda. Kontras itu terlihat ketika kamera beralih dan memperlihatkan wajah si penonton. Jika dalam kasus perempuan berbikini, Jojo dan si klien terlihat antusias, maka dalam kasus si pelatih, Jojo dan kawan-kawan terkesan alergi.

Akan tetapi, ini tak dapat disederhanakan sebagai perwujudan dari sikap heteroseksis Jojo dan kawan-kawan. Memang, dengan mengkomparasikan kedua adegan tersebut seolah-olah menguatkan anggapan bahwa hanya tubuh perempuan yang layak dipajang di depan layar.

Masalahnya barangkali tidak semata-mata karena tubuh yang bergoyang di depan itu adalah tubuh banci. Ketika Jojo dan calon gigolo lain melihat si pelatih menari, mereka tidak hanya melihat kebancian si pelatih. Namun, sekaligus memproyeksikan tubuh mereka ada di posisi pelatih tersebut.

Sebab, begitu si pelatih selesai memberi contoh, giliran mereka untuk memperagakan yang sama. Mereka seperti dihadapkan pada kaca yang merefleksikan kembali bayangan mereka. Ini lah yang menimbulkan reaksi takut dan geli serupa yang terbayang di muka ketiganya.

185 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Lanjut, beralih ke gambar 3.10 halaman 119. Ketika itu tubuh pelatih sudah tidak lagi dikonsumsi melalui sudut pandang Jojo dan kawan-kawan.

Tubuhnya hadir sendirian di layar dalam bingkai MS. Lalu, kamera berbalik menempatkan Jojo, Piktor, dan Marley di layar. Struktur yang dihadirkan mirip dengan POV shot dalam gambar 3.9. Tubuh pelatih disisakan di daerah foreground dengan proporsi yang lebih besar ketimbang tiga lelaki yang berdiri di depan. Namun, tubuh itu tidak menyediakan cara pandang tertentu bagi „penonton‟. Ia masih berada dalam posisi obyek. Bedanya, pandangan terhadap tubuhnya sudah tidak lagi langsung serupa pertama. Pandangan itu sudah diperantarai oleh pandangan Jojo dan rekan.

Nah, saat ini pula, hadir dimensi pandangan yang berbeda ketimbang sebelumnya. Walau tidak berarti kegelian dan ketakutan itu lenyap sama sekali. Yang menarik, Jojo merentangkan tangan ke depan muka Marley, menghalanginya dari aktivitas melihat. Marley mencoba berkilah dengan menggeser muka, tapi dengan sigap tangan Piktor menyorongkan posisi mukanya, kembali ke posisi semula. Ringkasnya, adegan ini dengan jelas menunjukkan kasus penolakan memandang dari karakter laki-laki.

Williams dalam paragraf pembuka tulisannya sempat menyinggung soal kasus penolakan memandang (refusal to look) ini. Tapi, itu dalam konteks penonton perempuan. Perempuan sering melengah-lengahkan pandangan mereka ketika menonton. Khususnya ketika disuguhkan tontonan yang memperlihatkan ketidakberdayaan perempuan, seperti adegan diperkosa, dibunuh, dll.20

Nah, hal yang sebaliknya terjadi dalam film Quickie Express. Kasus penolakan memandang nyatanya tidak menjadi „privilese‟ perempuan semata.

Laki-laki pun dikondisikan untuk mengalihkan pandangan. Namun, tentu

20 Williams, Linda. 1992. “When the woman looks” dalam Film Theory and Criticism. Eds. Gerald Mast, Marshall Cohen & Leo Braudy. Oxford University Press: New York and Oxford, hal: 561

186 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

bukan adegan pembunuhan yang membuat mereka enggan. Melainkan ketika tubuh mereka dipajankan di depan layar. Seakan-akan, dengan diobyekkan sebegitu rupa, membuat kelaki-lakian mereka terperkosa. Atau, bahasa lainnya, mereka mengalami kastrasi begitu tubuh mereka dierotisasikan.

Maka, bisa dimengerti bila posisi pelatih tari ini diperankan oleh banci. Selain dapat mereduksi kesan homoseksual, juga sebagai simbol dari tubuh „laki- laki‟ yang „terperempuankan‟ begitu diobyektivikasi.

C. Laki-Laki Pekerja Seks: Si Pemburu Narsis

Bila dalam dua bahasan sebelumnya lebih banyak berkutat dengan tatapan laki-laki terhadap tubuh perempuan dan dirinya, maka dalam uraian berikut tatapan perempuan sudah diperhitungkan. Tatapan perempuan di sini diartikan sederhana, yakni sebagai tatapan karakter perempuan yang bermain dalam film Quickie Express terhadap tubuh laki-laki. Momen-momen ini dapat dijumpai dalam beberapa adegan. Bahkan, dari awal mereka dilantik menjadi gigolo-gigolo muda.

Gambar 4.14. Memajankan tubuh laki-laki pada khalayak wanita

Seperti yang terlihat dalam gambar 4.14, antara penonton dengan yang ditonton terpisah dengan sempurna. Selain disekat, dari segi pengaturan cahaya dibuat kontras antara ruangan satu dengan ruangan lain. Para gigolo muda itu ditaruh di ruangan kaca yang terang, sedangkan penonton duduk bergelap-gelapan. Persis seperti menonton di bioskop saja. Posisi penonton ini

187 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

paralel dengan „penonton‟. Bahkan, dapat dibilang, penonton ini merupakan pengejawantahan dari „penonton‟.

Dengan lampu yang dipadamkan itu, posisi penonton bisa dikatakan aman. Dalam artian, mereka bebas melakukan aktivitas memandang tanpa khawatir akan terpergok. Pun, kamera tak sekalipun menyorot mereka secara frontal. Mereka ditampilkan tak lebih dari sekadar bayangan hitam, gelap.

Ketika kamera berpindah haluan, mencoba menyorot penonton ini dari sisi

Jojo, Piktor, dan Marley, yang terlihat malah refleksi ketiga lelaki itu di kaca.

Tegasnya, tubuh penonton, atau tante-tante seperti yang dibilang Jojo, cuma hadir di narasi, tapi tidak di visual.

Berbanding terbalik dengan penempatan penonton, Jojo, Piktor, dan

Marley malah diekspos habis-habisan. Tubuh mereka ditelanjangi oleh penonton di layar (baca: para tante girang) plus „penonton‟. Ini dapat dilihat dari pengaturan cahaya. Dengan cahaya yang benderang di ruangan itu, mengeksklusi ruangan lain dari penglihatan sekaligus memusatkan pandangan pada tubuh ketiga lelaki yang berada di dalam.

Sementara itu, dipantau dari sisi kamera, terlihat kecenderungan untuk semakin merapat ke obyek, ke arah gigolo yang dipajang itu.

Perubahan jarak ini tampak di gambar 4.13. Di awal, kamera mulai menyorot dari jarak LS. Lanjut, mendekat hingga MLS. Tapi, kemudian tertahan di jarak

MS. Kalau menimbang dari segi fetish, bingkai MS masih terlalu luas untuk dapat menelisiki tubuh gigolo-gigolo tersebut. Apalagi, bingkai ini sempat melebar lagi. Persis ketika di audio terdengar perintah Mudakir agar Jojo,

Piktor dan Marley membuka pakaian mereka.

Perlakuan kamera terhadap tubuh ketiga gigolo tersebut kontras dengan apa yang dialami Inem dalam gambar 4.5. Kamera tak segan-segan merapat hingga keseksian tubuh Inem terumbar sepenuhnya. Sementara, tubuh Jojo, Piktor, dan Marley malah dijauhi kamera begitu ada kesempatan

188 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

untuk mengekspos tubuh mereka dengan lebih rinci. Sempat kamera membingkai dari jarak CU. Tapi, yang disorot itu adalah bagian kaki.

Dari cara pembingkaian kamera, bisa dibilang Jojo, Piktor, dan Marley adalah obyek fetish yang gagal. Agaknya, kalau ditimbang dari aspek voyeurisme pun demikian. Benar dengan jarak yang tetap terjaga dari awal hingga akhir adegan memungkinkan keberlangsungan aktivitas voyeurisme.

Ditambah, pengkondisian penonton yang berada di ruangan gelap membuat mereka terlindung dari pandangan. Namun, satu hal yang mengganjal, baik

Jojo, Piktor dan Marley sepenuhnya sadar bahwa mereka sedang mempertontonkan tubuh mereka. Meski mereka tidak memandang tepat ke kamera, tapi arah pandangan mereka masih dalam garis yang sama. Ini sama sekali berbeda dengan Inem dalam gambar 4.5, atau juga perempuan berbikini di gambar 4.9- mereka selalu melihat ke arah yang berbeda dari arah kamera memandang mereka. Pandangan itu tak pernah bertemu.

Lantas, apa pengaruhnya kesadaran ini pada cara pengkonsumsian tubuh Jojo, Piktor, dan Marley? Tak pelak lagi, ini akan mengganggu aktivitas voyeurisme „penonton‟. Apakah masih bisa dinamai mengintip bila yang diintipi secara sadar membiarkan tubuh mereka diintip? Ketiga lelaki itu membuka pakaian dengan sukarela, bukannya yang dilucuti paksa seperti dalam adegan pemerkosaan. Itu pun dengan maksud untuk diperlihatkan kepada penonton, bukannya tersambil seperti dalam adegan perempuan berganti pakaian.

Aspek lain yang menarik, saat pakaian Jojo, Piktor dan Marley selesai dilorotkan, di tataran visual terlihat dada mereka yang telanjang. Meski bingkai MS yang dipergunakan cukup lebar, namun masih kurang luas untuk dapat menyertakan bagian selangkangan. Anehnya, di tataran audio, ketiganya malah bercakap tentang „barang‟ yang dieksklusi dari pandangan

189 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

itu. Walau di onscreen yang diperlihatkan adalah daerah atas pusar, namun yang menjadi topik pembicaraan yakni area di bawah pusar.

Bisa jadi, pandangan ketiga lelaki itu mewakili pandangan penonton terhadap tubuh mereka. Namun, alih-alih tererotisasikan, pandangan itu malah cenderung judgmental. Ini mengingatkan pada adegan disaat Mudakir mencari para buruan. Para buruan Mudakir dibingkai kamera bukan untuk dinikmati keelokannya, melainkan untuk dinilai bagus dan jeleknya. Untuk konteks adegan ini juga demikian. Pemajangan Jojo, Piktor dan Marley tidak dimaksudkan untuk memfasilitasi kesenangan pandangan. Tubuh itu diumbar untuk diukur dan dibandingkan: tinggi – pendek, gemuk – kurus, besar – kecil.

Akan halnya evaluasi, tentu ada yang keluar sebagai pemenang. Dan, ada pula yang menempati urutan paling buncit. Kalau dilihat ukuran, Jojo paling juara. Ia lebih menjulang dibanding kedua rekannya. Badannya subur berisi. Begitupun untuk urusan kelamin, punyanya paling besar. Yang kasihan itu Marley. Sudahlah paling kerempeng, ukuran kelaminnya juga mini. Ini lah yang kemudian menjadi bahan olok-olok kedua rekannya. Jika Jojo dapat membusungkan dada karena bangga, maka Marley memasam-masamkan muka karena malu.

Hingga sini, terlihat kontradiksi yang menarik. Di satu sisi, terlihat usaha untuk mengobyektivikasi tubuh Jojo, Piktor dan Marley. Tubuh mereka dipajang layaknya manekin-manekin di etalase toko. Pandangan wanita, yang diwakilkan dengan pandangan tante-tante girang di barisan penonton, seakan-akan difasilitasi. Namun, begitu tubuh mereka tampil polos, pandangan ini malah diblokade. Kamera dengan teliti menutupi daerah kelamin mereka, dengan demikian mengelakkan pandangan „penonton‟ terhadapnya. Walau alat kelamin dihadirkan dalam bentuk olok-olok, namun itu tidak untuk menyambung erotisasi yang tadi sempat dibangun.

190 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pasalnya, fungsi olok-olok di sini bukan sebagai bentuk penikmatan terhadap tubuh laki-laki. Benar, dengan membawakan topik yang cabul tidak dapat dinafikan unsur seksualitas yang terkandung di dalamnya. Namun, erotisasi itu tidak ditujukan pada tubuh ketiganya. Sebab, identifikasi

„penonton‟ sudah bergeser, dari tante-tante girang di ruangan gelap pada karakter Jojo. Melalui pengidentifikasikan pada Jojo yang mempunyai penis paling besar, „penonton‟ merasa menjadi „lebih laki-laki‟. Dan dengan perasaan superior ini pula, „penonton‟ ikut menertawakan Marley.

Di saat „penonton‟ menjadi bagian dari pengolok-olokan terhadap

Marley, ini bukanlah ancaman pada laki-laki secara keseluruhan. Ini hanya untuk menguatkan asumsi bahwa “to be a man is to have a big penis” 21. Bila jenis kelamin ditentukan berdasar apakah seseorang memiliki penis atau bukan, maka kelaki-lakian didefinisikan melalui seberapa besar penis yang dimiliki. Pengejekan terhadap Marley terjadi karena ia dianggap gagal menjadi laki-laki. Tapi, kegagalan Marley tidak mengundang simpati. Karena ia sedari awal sudah didudukkan sebagai „aneh‟. Memang, lelaki „aneh‟ macam Marley,

Lehman mendeskripsikan sebagai “unattractive” dan “undesireable”- sering dijadikan obyek dalam lelucon macam ini.22

Jadi, untuk merangkumkan kembali, pengobyekkan terhadap tubuh

Jojo, Piktor, dan Marley tidak sungguh-sungguh hendak menghadirkan pandangan perempuan. Pandangan „penonton‟ dilaki-lakikan dari cara masing-masing karakter itu memandang dan memaknai tubuh mereka sendiri. Seperti yang sudah ditegaskan sebelumnya, pandangan itu tidak dalam bingkai yang erotis. Tapi, lebih pada kekaguman. Perhatikan saja cara

Piktor dan Marley melihat kemaluan Jojo yang dikata berukuran jumbo.

Lanjut, berkaca pada senyum kemenangan yang terlukis pada wajah Jojo. Ini

21 Lehman, Peter. 1991. “Penis-size jokes and their relation to Hollywood’s unconscious” dalam Comedy/Cinema/Theory. Ed. Andrew Horton. University of California Press, Ltd.: Oxford, hal:55 22 Ibid., hal: 54

191 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mengisyaratkan bahwa penis merupakan bentuk kebanggaan yang memang ditujukan untuk dipamerkan. Maka, alih-alih melihat obyek yang diperalat untuk kesenangan orang lain (seperti dalam voyeurisme atau scopophilia aktif), yang tampak justru obyek yang menikmati ketertampilannya. Dengan kata lain, pandangan di sini dapat dikategorikan sebagai bentuk eksibisionisme, kenikmatan memandang (scopophilia) yang sifatnya pasif.

Jika pengobyekkan terhadap tubuh laki-laki dibarengi oleh ciri eksibisionistik, tidak demikian halnya dengan tubuh wanita. Ini jelas terlihat dari dua contoh yang disebut-sebut sebelumnya: yakni dalam adegan Inem

Pelayan Seksi di gambar 4.5 halaman 154 dan gadis berbikini di gambar 4.9 halaman 162. Kedua perempuan itu diposisikan tidak sadar akan keberadaan kamera, dan tidak punya ide bahwa tubuhnya telah dan sedang dipamerkan.

Pandangan mereka selalu berbeda jalur dari sorotan kamera. Pola ini diketemukan pula dari cara kamera membingkai tiga „tante girang‟ yang menjadi klien pertama Jojo, Piktor, dan Marley.

Telah disebut di Bab III, adegan ketika para gigolo muda ini bertemu dengan klien pertama mereka disunting dengan cara paralel. Dengan cara ini, ketiga lelaki itu tetap terhubung meski berada di lokasi yang berbeda.

Begitupun dengan klien-klien mereka. Walau ketiga klien itu tidak saling kenal, tapi melalui editing mereka terangkai dalam satu tema: sebagai wanita penyuka „daun muda‟.

Klien pertama Jojo. Di awal, kamera tidak secara tegas menyorot perempuan berambut panjang ini. Memang, meja yang dipesannya sudah ditempatkan di tengah-tengah layar. Akan tetapi, karena cahaya yang temaram dan jarak yang jauh (LS) keberadaannya nyaris tak terbedakan dari pengunjung lain. Lalu, Jojo datang dan bertanya: “Quickie Express?”. Saat ini, posisi si perempuan masih membelakang kamera. Tapi kemudian, kamera berpindah, dan searah dengan pandangan Jojo, menyoroti perempuan

192 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tersebut dari ujung kaki hingga kepala. Ketika kamera sampai di bagian muka, terdengar ia menjawab: “Yes”. Sementara itu, ia memain-mainkan ujung rambut dengan tangan. Suaranya dalam dan lembut. Kamera memposisikan mukanya menghadap ke arah Jojo yang barusan bertanya.

Gambar 4.15. Gerak vertikal kamera menyorot klien pertama Jojo

Jika adegan itu ditonton dengan mata terpicing, akan terasa jeda yang cukup panjang antara pertanyaan dengan jawaban si perempuan. Kalau dihitung nominal, sekitar 5 detik. Dengan tertundanya narasi ini, kesempatan untuk fetishisme m bengambil alih. Kamera jadi mempunyai waktu cukup untuk meneliti tubuh si perempuan. Dengan mengidentifikasi diri pada karakter Jojo, „penonton‟ pun dapat berwisata mata menikmati apa yang juga dinikmati Jojo. Dan, itu dapat dilakukan secara „diam-diam‟. Karena, tidak seperti pemajangan Jojo, Piktor, dan Marley di display room, si perempuan ini tidak menyadari bahwa tubuhnya sedang dijelajahi kamera.

Selanjutnya, si perempuan dan Jojo bercakap-cakap. Selama ini kamera bertahan dalam jarak CU. Kedua insan ini ditampilkan sepenuhnya fokus, sedangkan bagian latar disamarkan. Meski pembingkaian keduanya tidak jauh beda, namun air muka yang ditampilkan berlainan. Di pihak Jojo, yang terbaca itu adalah keluguan. Matanya lebih banyak menunduk ketimbang menatap. Posisinya pun hanya sebagai penanggap. Dalam hal ini, ia terlihat pasif. Berbanding terbalik dengan si perempuan. Ia ditampilkan

193 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

sebagai yang aktif. Ia dominan dalam percakapan itu. Secara verbal, ia mengungkapkan hasratnya pada Jojo. Di tataran gesture, ia agresif.

Apa yang timpang dari adegan ini yakni, walau hasrat si perempuan terhadap Jojo nyata terlihat, namun tidak pernah ditunjukkan apa persisnya yang menjadi obyek hasrat si perempuan tersebut. Di dialog, terdengar si perempuan menilai Jojo sebagai laki-laki dengan “pretty face” lagi “smart”.

Kualitas pertama, “pretty”, terdengar feminin ketimbang maskulin.

Sementara, kualitas berikutnya, “smart”, tak mengarah pada hal yang sifatnya fisik. Maka, ketika kamera mengikuti arah pandang si perempuan, dan ganti menampilkan sosok Jojo, erotisasi itu bagai panggang jauh dari api.

Singkat cerita, kamera tidak mengerotisasi tubuh Jojo sebagaimana memperlakukan tubuh si perempuan. „Pengobyekkan‟ Jojo hanya terjadi dari segi naratif. Sedangkan, dari segi visual, tubuhnya tersembunyi. Sebaliknya, tubuh si perempuan tampil menonjol. Walau ia dikisahkan sebagai subyek yang menghasrati, namun tubuhnya malah menjadi obyek dari pandangan.

Dan pandangan itu sarat akan unsur erotis. Dalam hal ini, asumsi Lehman berikut bisa diturut: “In place of the logical objectification of the male body, we have the fetishistic objectification of the woman who looks. Her very desire or contempt for what we never see becomes fetishized.”23

Adapun prinsip tersebut juga dipakai ketika kamera membingkai klien

Marley. Seperti klien Jojo, tubuh perempuan ini tak langsung difetishkan sedari awal. Mulanya ia hanya tampak belakang, itupun dalam rentang LS.

Saat ini yang menjadi fokus penglihatan yaitu Marley. Ia berada di tengah- tengah layar, dengan posisi menghadap ke depan. Ketika si perempuan memerintahkan Marley agar berganti pakaian, kamera bergerak diagonal menghubungkan antara baju yang teronggok di kursi dengan tubuh Marley.

23 Ibid., hal: 56

194 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Gambar 4.16. Gerak diagonal kamera menyorot klien pertama Marley

Selanjutnya, ganti kamera berbalik dan menyorot si perempuan dengan gerakan diagonal yang sama. Jawaban atas pertanyaan Marley tertunda sekira 6 detik. Sebab, jeda itu dipakai kamera untuk memanjati tubuh si perempuan sebatang badan. Saat ini lah fetishisme terhadap tubuh perempuan ini dimulai. Benar, Marley sebelumnya juga disorot dengan teknik yang sama. Namun, waktu 6 detik yang dipakai untuk menyorot si perempuan dua kali lipat lebih lama dari waktu yang dipakai untuk menyorot

Marley. Dengan kata lain, jika tubuh si perempuan diperhatikan lamat-lamat, tubuh Marley dilirik hanya sekilas. Tambahan pula, ketika kamera menghadap ke Marley, percakapan tetap berjalan. Di latar, masih terdengar suara Marley tertawa, menyambung omongan. Sebaliknya, ketika berbalik ke arah si perempuan, narasi tertunda. Narasi baru dimulai kembali ketika kamera sudah sampai ke bagian muka si perempuan.

Bila kedua adegan di atas menunjukkan bagaimana perempuan yang tampil sebagai subyek yang memandang, malah diobyektivikasi tubuhnya oleh kamera, maka perempuan berikut cenderung pasif dalam menatap.

Hasratnya pada Piktor tidak dibunyikan. Tapi, karena kemunculannya disetalikan dengan dua perempuan di belakang, diasumsikan ia masuk dalam kelompok yang sama: kelompok tante-tante girang. Selebihnya, pemajangan tubuh perempuan ini tidak sama dengan eksibisionisme yang ditemui dalam mempertontonkan tubuh gigolo di adegan terdahulu. Pandangan yang

195 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dihadirkan di sini murni pandangan laki-laki, serupa dengan yang ditemui dalam adegan perempuan berbikini yang acap kali disinggung sedari tadi.

Mulanya, bayangan perempuan ini terlihat sekilas dari arah belakang

Piktor. Ketika itu, fungsinya baru sekadar latar. Kemudian Piktor berbalik, dan melihat ke arah si perempuan dengan mata tak berkedip. Momen ini menandai dimulainya obyektivikasi terhadap tubuh si perempuan. Layar yang tadi didominasi Piktor, diambil alih oleh perempuan tersebut. Sekarang, Piktor berperan sebagai bearer of the look. Cara pandang Piktor terhadap tubuh perempuan itu, juga mendefinisikan cara pandang „penonton‟.

Selanjutnya, tubuh perempuan ini di-fetish-kan. Salah satu petunjuk atas hal itu yakni bingkai kamera yang menyempit perlahan dari MS hingga

CU. Sebenarnya, kamera tetap diam, tapi si perempuan berjalan mendekat.

Kelambanan yang diperagakan ketika ia berjalan mengingatkan pada kelambanan kamera menyorot tubuh dua perempuan sebelumnya. Efek yang ditimbulkan kurang lebih sama: yakni memberi lebih banyak waktu bagi

„penonton‟ untuk mengamati tubuh si perempuan tersebut.

Gambar 4.17. Perempuan yang disangka klien Piktor

Tentu, tak langsung dapat disamaratakan antara tubuh perempuan yang terekpos akibat „ulahnya‟ (seperti dalam kasus klien Piktor) dengan tubuh perempuan yang diekpos oleh kamera (seperti dalam kasus klien Jojo dan Marley). Akan tetapi, perbedaan itu dapat dikesampingkan bila menimbang kenyataan bahwa ketiga perempuan tersebut sama-sama tidak

196 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

sadar akan keberadaan pasang mata lain yang sedang menonton. Meski tubuh mereka dipasang jelas di depan kamera, namun mata mereka selalu mengarah ke arah yang berlainan dengan mata kamera. Ini pula yang menjaga keberlangsungan voyeurisme dalam tiga adegan di atas.

Namun, apa yang menarik dari Quickie Express, hasrat voyeuristik

„penonton‟ diluluhlantakkan di akhir adegan. Seusai kamera dengan teliti membangun erotisasi terhadap tubuh tiga perempuan tersebut, dengan jeli pula kamera mengusiknya. Tapi, kadar gangguan terhadap jalur kenikmatan memandang „penonton‟ ini tidak sama di masing-masing adegan.

Mari kembali ke adegan pertemuan Jojo dengan klien pertamanya.

Setting lokasi pindah ke kamar mandi. Sebelum Jojo masuk, kamera menyorot gambar laki-laki plus tulisan “gents” yang berada persis di bawahnya. Ini bukannya tanpa maksud. Dengan cara ini, baik ruangan kamar mandi itu maupun mereka yang masuk ke dalamnya „dilaki-lakikan‟.

Seusai membasuh tangan, dari arah pintu yang terkatup, Jojo mendengar suara orang buang gas. Makin lama, bunyi itu makin nyaring.

Seiring itu pula, muka Jojo kian mengkerut. Tidak cukup dengan efek suara, efek bau pun diciptakan. Itu disampaikan lewat gerakan tangan Jojo menjepit hidung. Jika dalam adegan perempuan berbikini Jojo berperan sebagai agent of the look yang membantu proses erotisasi terhadap tubuh si perempuan, kali ini ia menuntun pandangan „penonton‟ untuk me-non-erotisasi-kan obyek yang ada di balik pintu kamar mandi tersebut.

Lalu, persis dari arah pintu itu, sebuah gulungan tisu menggelinding.

Jojo berusaha mengembalikannya lewat lubang yang menganga di bawah pintu. Secara perlahan, kamera turun mengikuti arah pandangan Jojo.

Dengan cara ini, obyek yang tadi baru dikenali lewat suara dan bau, masuk dalam dimensi pandangan Jojo dan „penonton‟. Apa yang terlihat kemudian cukup mengejutkan. Jojo mendapati sepasang kaki, posisi mengangkang,

197 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dengan celana dalam putih bermerek Hings menggantung. Ketika kamera sudah sampai ke ujung, terlihat sepasang sepatu hak tinggi. Sepatu yang sama dengan yang dikenakan perempuan yang ditemui tadi!

Gambar 4.18. Proses de-erotisasi terhadap klien Jojo

Dua penanda yang signifikan dari gambar di atas yakni stiletto yang ditumpuk dengan celana dalam merek Hings. Stiletto yang terpasang elok di kaki itu masih stiletto yang sama dengan yang tadi ditempatkan sebagai obyek fetish. Maksudnya, fetish dalam artian konseptual, yaitu sebagai obyek yang difungsikan untuk menyedot perhatian „penonton‟ seluruhnya sehingga jadi abai pada „kekurangan‟ yang dimiliki si wanita.24 Kalau dalam bahasa tukang rias, stiletto ini gunanya sama dengan concealer yang menutupi noda di wajah, sekaligus membuatnya terlihat lebih mulus.

Adapun „noda‟ atau „kekurangan‟ yang dicoba ditutupi dengan kehadiran stiletto tersebut yakni soal absennya penis. Dengan kata lain, dapat dikatakan stiletto ini merupakan subtitusi dari penis wanita yang terkastrasi.25

Namun, ketika sehelai celana dalam Hings tergantung tepat di atasnya, pemaknaan terhadap stiletto ini sama sekali berubah. Kehadirannya menjadi keliru, sesuatu yang berada tidak pada tempatnya. Stiletto sudah tidak lagi berfungsi sebagai obyek fetish seperti semula, akan tetapi object of disgust

(lihat gambar 3.19).

24 Chaudhuri, Shohini. 2006. Feminist Film Theorists: Laura Mulvey, Kaja Silverman, Teresa de Lauretis, Barbara Creed. Routledge: London and New York, hal: 38 25 Ibid.

198 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Hadirnya celana dalam merek Hings itu menjadi sangat penting karena ia tidak hanya memutarbalik pemaknaan terhadap stiletto, tapi juga meredefinisi jalur pandangan terhadap tubuh si perempuan. Tentu, ini bukan merupakan efek dari bentuk fisik celana dalam dimaksud, tapi lebih pada pengetahuan terhadap „benda‟ apa yang disembunyikan di baliknya.

Ringkasnya, celana dalam mewakili visibilitas penis si perempuan. Jelas saja ini mengganggu jalannya fetishisme, sebab, „perempuan‟ itu bukannya sedang mengelabui mata dengan „penis jadi-jadian‟ (stiletto), tapi, ia memiliki penis betulan!

Dengan sendirinya, proses erotisasi terhadap tubuh si perempuan yang dibangun di awal, jadi berubah haluan. Secara simbolis, kamera membahasakan ini dengan terang. Bila dalam proses erotisasi kamera bergerak vertikal dari bawah ke atas, sekarang ganti kamera menyorot dari atas ke bawah. „Penonton‟ dipaksa untuk memuntahkan apa yang tadi terlanjur ditelannya. Hasrat dan kesenangan pandangan „penonton‟ terhadap tubuh si perempuan diputarbalikkan. Momen ini lah yang menandai proses de-erotisasi terhadap tubuh perempuan tersebut.

Untuk selanjutnya, tema de-erotisasi yang serupa ini tidak muncul dalam pembingkaian tubuh dua perempuan lain. Namun, pada masing-masing adegan diketemukan adanya usaha untuk mengusik kenikmatan voyeuristik

„penonton‟. Ini sangat erat kaitannya dengan struktur narasi yang disajikan.

Untuk itu, mari kembali pada acara kencan pertama Piktor. Setting lokasi dipindah dari ruang tamu ke kamar tidur. Dari sini, suasana intim mulai terbentuk. Jarak antara Piktor dan tubuh si perempuan semakin merapat.

Keduanya diposisikan di tengah-tengah layar. Namun jika si perempuan menghadap ke layar, Piktor membelakanginya. Dilihat dari sudut pandang ini, dengan mengidentifikasikan diri dengan Piktor, „penonton‟ dapat bersama- sama mengkonsumsi tubuh si perempuan.

199 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Maka, ketika perempuan itu berjalan ke arah Piktor, sama artinya dengan mendekati „penonton‟. Sebab, Piktor dapat diibaratkan sebagai ekstensi dari tubuh „penonton‟. Akan tetapi, bila Piktor masuk dalam wawasan visual si perempuan, tidak demikian halnya dengan „penonton‟. Perempuan selalu memandang ke arah yang „salah‟, sementara pandangan „penonton‟ selalu terarah. Dengan kata lain, „penonton‟ memandang si perempuan dari arah yang berbeda dengan pandangan si perempuan. Pandangan keduanya tidak pernah bertubrukan. Ini lah yang menjaga hasrat voyeuristik, di mana

„penonton‟ dapat memuaskan kesenangan pandangan tanpa berisiko kedapatan.

Berikut, proses voyeurisme selalu mengandalkan rasa ingin tahu

„penonton‟, rasa penasaran atas apa yang akan terjadi selanjutnya. Makanya, aktivitas ini sangat tergantung pada narasi.26 Nah, dilihat dari narasi, sudah jelas, dari awal, „penonton‟ digiring untuk berasumsi bahwa si perempuan yang ditemui Piktor adalah orang yang akan dikencaninya. Editing dengan sengaja mendempetkan kehadirannya dengan kedua perempuan lain yang menjadi klien Jojo dan Marley.

Sementara, Piktor pun sudah langsung mengenali perempuan itu sebagai kliennya. Meski si perempuan berpakaian perawat, pakaian itu tidak dianggapnya merujuk pada profesi. Karena, apa yang lebih dilihatnya yakni seorang perempuan seksi. Tambahan pula, pakaian itu mengekspos dengan baik kemolekan tubuh si perempuan. Maka pakaian itu kemudian diterjemahkan sebagai bagian dari role play dalam aktivitas seksual. Jika, tokoh suster diganti dengan seorang perempuan setengah baya, dengan tampilan seperti yang biasa ditemui di rumah sakit, jalan ceritanya bisa jadi akan berbeda.

26 Neale, Steve. 1993. “Masculinity as spectacle” dalam Screening the Male: Exploring Masculinities in Hollywood Cinema. Eds. Steven Cohan & Ina Rae Hark. Routledge: London and New York, hal: 16 – 17

200 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kemudian, seiring bergulirnya cerita, si perempuan semakin merapatkan badan ke arah Piktor. Dengan tetap mengidentifikasikan diri dengan Piktor, „penonton‟ berkesempatan untuk mengandaskan hasrat visualnya, yaitu dengan menaklukkan si perempuan di akhir cerita. Ini menjadi mungkin bila diwakilkan lewat pandangan dan sentuhan tangan

Piktor.

Namun, tiba-tiba arah cerita dibelokkan. Hasrat Piktor dan hasrat

„penonton‟ dikecewakan karena perempuan yang mereka sangka klien hanyalah seorang perawat. Piktor terjebak, begitupun „penonton‟, pada ilusi visual yang dijanjikan si perempuan lewat pakaian dan juga keindahan tubuhnya. Selain menyunat kenikmatan pandangan Piktor, si perawat ini juga mengambil alih kontrol terhadap kamera dan narasi. Kamera memihak si perawat dengan mempermalukan Piktor di tengah-tengah layar. Ia sekarang ganti diobyekkan.

„Horor‟ itu tidak berhenti sampai di sini. Si suster yang berhasil lolos dari perangkap hasrat Piktor dan „penonton‟, tiba-tiba memperkenalkan sosok perempuan lain. Keberadaan perempuan ini lah yang tidak diantisipasi oleh

Piktor serta „penonton‟. Posisinya terlindungi dengan baik di belakang tubuh si suster. Dengan demikian, pandangannya pun tidak terdeteksi. Maka ketika si suster itu bergeser, perempuan itu jelas terlihat di onscreen.

Walau si suster dan si perempuan ini diposisikan segaris, namun keduanya ibarat bumi dan langit, saling bertolak belakang. Jika ditimbang usia, si suster terlihat muda, sedangkan si perempuan ini sudah berumur.

Rambut si suster yang panjang bergelombang tertata apik, sedangkan rambut si perempuan meski pendek tapi semrawut. Saat si suster tersenyum, terlihat deretan giginya berbaris rapi. Giliran si perempuan, yang tampak itu gigi yang ompong. Singkat kata, jika tampilan si suster dipernis supaya terlihat cemerlang, si perempuan ini dikemas dengan semberono. Dengan bahasa

201 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

lain, kehadiran si suster ditujukan untuk membangkitkan kesenangan dalam memandang, sementera si perempuan dimaksudkan untuk mendatangkan ketakutan dalam memandang.

Meski si suster dan si perempuan ini hadir sebagai kontradiksi, namun keduanya bekerjasama dalam mencelakai hasrat voyeuristik Piktor serta

„penonton‟. Si suster sengaja dipasang di depan sebagai umpan. Begitu

Piktor mendekat, si perempuan datang menangkap. Piktor yang tadi sedang bersiap untuk menaklukkan, malah balik ditaklukkan.

Gambar 4.19. Keengganan kamera mengobyektivikasi tubuh Piktor

Jika narasi sudah disusun sedemikian rupa agar obyektivikasi berpindah ke tubuh Piktor, namun kamera malah melakukan hal yang sebaliknya. Tubuh Piktor masih belum dapat dinikmati secara langsung, sebagaimana „penonton‟ tadi menikmati tubuh si suster. Meski Piktor menjadi obyek pandangan si perempuan, namun „penonton‟ tidak digiring untuk melihat Piktor dari kacamata si perempuan. Di layar terlihat bagaimana si perempuan itu meneliti tubuh Piktor sebatang badan. Namun, kamera hanya melihat dari kejauhan, memberi kesan yang berjarak. Kamera membingkai

Piktor dari LS, itu pun dengan posisi menyamping. Dengan komposisi ini, hasrat si perempuan dipandang tidak penting. Yang menjadi pusat perhatian justru si perempuan yang menghasrati itu. Sama kejadiannya dengan klien

Marley, perempuan ini menjadi obyek kamera begitu ia mencoba tampil sebagai subyek yang menghasrati.

202 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Adegan ini menunjukkan kecenderungan yang sama dengan adegan yang sudah-sudah, bahwa pengerotisasian tubuh laki-laki masih ditampilkan setengah-setengah. Ini tidak berarti obyektivikasi terhadap tubuh laki-laki tidak mungkin terjadi. Lebih tepatnya, selalu ada ganjalan dalam menampilkan dan mengeksplorasi tubuh laki-laki di depan layar.

Contoh lainnya, mari menyilau adegan yang ditunjuk dalam gambar

3.17 halaman 130. Di situ terlihat Jojo dibebatkan ke tempat tidur sementara dilecut oleh seorang wanita. Mengandalkan penilaian dari posisi ini saja, dengan segera dapat diambil simpulan bahwa adegan ini memperlihatkan pembalikan relasi laki-laki dan perempuan. Jika biasanya laki-laki diposisikan aktif, kali ini malah pasif. Begitupun, perempuan yang cenderung submisif, di sini ditampilkan agresif.

Selain itu, juga terlihat adanya usaha untuk mengekspos tubuh laki- laki. Dengan sudut pengambilan kamera di atas mata, membuat akses terhadap tubuh Jojo menjadi lebih terbuka. Sementara itu, kondisi tangan

Jojo yang terikat, dan matanya yang dibalut, memungkinkan berlangsungnya penikmatan voyeuristik terhadap tubuhnya. Dalam artian, tubuh Jojo dapat dipandangi dengan bebas dari jarak yang relatif aman. Ini meminimalisir resiko kedapatan atau pandangan itu akan dibalikkan.

Akan tetapi, penghalang justru datang dari tubuh si wanita. Kakinya menyilang persis di depan kamera. Kaki itu lebih lanjut „menyensor‟ bagian dada dan selangkangan Jojo dari pandangan „penonton‟. Apalagi melihat proporsinya di layar cukup luas, obyek pandangan pun tergantikan pada tubuh (paha) si wanita. Maka, penempatan paha wanita tersebut memiliki dua fungsi: melindungi tubuh laki-laki dari pengobyekkan lebih lanjut, dan menyediakan diri sebagai ganti.

Berikut, seperti adegan sudah-sudah, bersamaan dengan pengeksposan tubuh Jojo, nuansa komikal yang menggelikan pun ikut

203 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dibangun. Tekniknya serupa dengan adegan Jojo berbikini, yakni dengan mem-perempuan-kan laki-laki lewat rengekan. Maka, unsur humor ini akan menekan tingkat sensualitas yang mungkin muncul. Bisa jadi, kemungkinan lain, unsur humor ini balik menjadi bumerang untuk menertawakan ide tentang eksploitasi terhadap tubuh si laki-laki, dan bukan mempromosikannya.

Bagi Neale, alasan utama tersendatnya pengeksposan tubuh laki-laki karena kebanyakan film dibuat dari sudut pandang laki-laki. Maka, eksplorasi terhadap tubuh laki-laki sebisa mungkin ditekan, kalau tidak dapat menimbulkan kesan homoseksual.27 Dengan memakai asumsi ini, penonton dibayangkan sudah hadir sebelum teks film dibuat. Pertanyaannya lalu, bagaimana dengan „penonton‟ yang dibentuk oleh teks film?

Jika masalahnya sekadar untuk menghindari kesan homoseksual, dengan menghadirkan karakter perempuan, seperti dalam adegan kencan di atas, hal tersebut bisa diatasi. Tentu, di saat ini „penonton‟ sudah tidak dialamati sebagai laki-laki. „Penonton‟ berada di posisi feminin (posisi klien) untuk dapat bersama-sama menikmati tontonan. Dengan kata lain, pandangan yang dihadirkan di sini yakni pandangan perempuan. Namun, skenario ini hanya berlaku jika „penonton‟ dianggap heteroseksual dan selalu memiliki hasrat seksual aktif. Dengan kata lain, „penonton-penonton‟ sadis yang menempatkan kesenangan dari mengontrol atau mengobyektivikasi pihak lain.

Selain itu, sebenarnya masih ada kemungkinan lain. „Penonton‟ dapat melanjutkan identifikasi pada tokoh laki-laki (Jojo dan Piktor) dengan kenikmatan memandang yang sudah beralih dari sifat sadistik menjadi masokistik. Alias, kesenangan yang diperoleh dari dikontrol atau dikendalikan

27 Neale, Steve. 1993. “Masculinity as spectacle” dalam Screening the Male: Exploring Masculinities in Hollywood Cinema. Eds. Steven Cohan & Ina Rae Hark. Routledge: London and New York, hal: 19

204 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

orang lain. Bila ini yang terjadi, kita kembali mengikut asumsi Neale bahwa

„penonton‟ sudah dan selalu berada di posisi laki-laki.

Untuk sampai pada „penonton‟, dalam artian penonton sebagaimana dihadirkan oleh kamera, bisa dimulai dari memperhatikan pandangan karakter yang bermain di dalam layar. Bila pandangan karakter dituruti oleh kamera, seperti dalam adegan Jojo menonton perempuan berbikini, maka kamera memposisikan „penonton‟ di posisi Jojo. Dengan kata lain, kamera menyatukan pandangan karakter dengan pandangan „penonton‟. Akibatnya,

„penonton‟ pun memandang perempuan berbikini dari cara Jojo menontonnya.

Nah, apa yang hilang dari adegan kencan Jojo dan Piktor yang diurai di atas yakni, pandangan klien mereka. Benar, perempuan-perempuan itu jelas sekali dalam posisi memandang. Namun, pandangan tersebut dibiarkan lepas oleh kamera. Dengan absennya pandangan perempuan tersebut, subyektivitas perempuan jadi terpinggirkan. Seperti kata Lehman “something even more extreme than denying female subjectivity is happening with the missing POV shot”.28 Alih-alih mengikuti pandangan perempuan-perempuan tersebut, kamera malah menempel erat pada tubuh mereka. Dengan demikian, mereka tetap menjadi obyek tontonan, sedangkan tubuh laki-laki terlindung dari pandangan.

Hal yang kurang lebih sama juga ditunjukkan dari adegan kencan

Marley. Awalnya, si perempuan terlihat memegang kontrol narasi, begitupun terhadap tubuh Marley. Kalimat yang keluar dari mulutnya itu adalah kalimat perintah. Sementara Marley terlihat tak memiliki daya tawar terhadap suruhan si perempuan. Mulanya, ia memerintahkan Marley berganti pakaian, lanjut membacakan teks sebuah buku dengan lantang. Ini semua dikerjakan

Marley dengan patuh. Dilihat dari aspek ini saja, bolehlah subyektivitas

28 Lehman, Peter. Op.cit., hal: 56

205 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

perempuan seakan-akan dimunculkan. Tapi, bagaimana dengan bahasa kamera?

Seperti yang sudah-sudah, kamera lebih asyik bercokol di tubuh si perempuan ketimbang Marley. Seusai Marley berganti pakaian, kamera sempat membingkai tubuhnya dari sudut pandang si perempuan. Akan tetapi, berbeda dengan cara perempuan itu dipandang, pandangan terhadap tubuh

Marley berlangsung ringkas. Terlalu ringkas untuk bisa memaknai tubuh itu di jalur erotisme. Lagipula, tubuh itu memang tidak dimaksudkan untuk menampilkan kesempurnaan estetis, seperti yang disyaratkan dalam fetishisme. Tubuh itu, seperti yang ditulis Lee, menunjukkan “weird and unorthodox concepts of beauty”.29

Memang, kemudian adegan ini menampilkan shot/reverse shot yang berganti-ganti antara Marley dan si perempuan. Namun, bila Marley mengajak

„penonton‟ untuk melihat pada si perempuan, tidak demikian halnya dengan si perempuan. Ia asyik tenggelam dalam birahinya. Dan, erotismenya ini lah yang lebih menonjol ketika lensa kamera menghadap ke perempuan tersebut.

Ceritanya tidak berbeda jauh dari kasus terdahulu, di mana perempuan yang secara aktif menghasrati laki-laki, tubuhnya malah difetishkan oleh kamera.

Bahkan, ketika narasi sampai pada titik ekstrim, di mana si perempuan menyuruh Marley membuka celana, kamera tetap tidak tergerak untuk mengalihkan pandangan. Malah, kamera berusaha menutup-nutupi apa yang menjadi obyek pandangan si perempuan. Ketika kamera mengambil dari posisi si perempuan dan menyorot ke arah Marley, posisi kepala si perempuan menutupi daerah selangkangan Marley.

Lalu, kamera kebanyakan bercokol dari arah belakang Marley. Dengan demikian, pandangan perempuan yang tertuju pada daerah genital Marley, dilawan oleh kamera. Walau bagian bokong Marley terekspos setengahnya,

29 Lee, Maggie: “Quickie Express” (Sumber: http://blog.jokoanwar.com/?p=238, diakses 7 Juli 2011)

206 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

namun bokong itu hanya berperan sebagai bingkai. Yang menjadi pusat perhatian justru si perempuan yang sedang memandang. Maka, sekali lagi,

Marley diselamatkan dari proses erotisasi terhadap tubuhnya.

Ya, kemudian terdengar si perempuan mengejek kemaluan Marley yang super mini. Seperti dalam adegan pemajangan tubuh gigolo di display room, lelucon tentang ukuran penis dilontarkan lagi. Kali ini, tidak datang dari sesama laki-laki, melainkan perempuan. Akan tetapi, asumsi yang mendasarinya tidak jauh beda. Perempuan dihadirkan bukan untuk menyangkal superioritas laki-laki, atau mengobyekkan laki-laki, melainkan untuk menegaskan asumsi bahwa menjadi laki-laki berarti memiliki ukuran penis yang besar.30

Toh, di akhir, narasi juga balik menjatuhkan si perempuan. Sementara ia mengolok-olok Marley, ia balik dipermalukan oleh narasi. Di akhir adegan,

Marley yang marah lantas membuka baju dan menerjang si perempuan

(gambar 3.15 halaman 128). Dengan demikian, jalur hasrat yang tadi dibangun untuk mengobyektivikasi Marley, malah menjadi bumerang bagi si perempuan. Ia ganti menjadi obyek voyeur yang nikmat bagi „penonton‟.

Sebab yang utama, karena ia tidak berhasil menjaga jarak dengan obyek yang ditontonnya. Padahal, jarak adalah syarat mutlak agar voyeurisme dapat bekerja. Ini sesuai dengan hasil kajian Williams, di mana pandangan perempuan selalu mengantarkannya pada kesialan. Atau, dalam bahasa

Doane yang dikutip Williams: the woman‟s exercise of an active investigating gaze can only be simultaneous with her own victimization”.31

Lantas, bagaimana kasusnya dengan perempuan yang tidak memandang? Misal, karakter Lila yang dalam film ini berperan sebagai kekasih Jojo. Boleh dibilang, ia nyaris tidak memiliki pandangan. Dalam

30 Lehman, Peter. Op.cit., hal: 55 31 Williams, Linda. 1992. “When the woman looks” dalam Film Theory and Criticism. Eds. Gerald Mast, Marshall Cohen & Leo Braudy. Oxford University Press: New York and Oxford, hal: 561

207 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

artian, pandangan yang aktif serupa dengan tiga perempuan pada adegan belakang, atau juga pandangan Tante Mona yang tak lain adalah ibunya.

Tengok bagaimana kencan Jojo bersama Lila, lalu bandingkan dengan kencan Jojo bersama Tante Mona. Bila kencan dengan Lila selalu di ruang publik, dengan pencahayaan yang terang, kencan dengan Tante Mona berlangsung di ruang privat dengan pencahayaan yang temaram. Diceritakan,

Lila adalah sosok perempuan yang menolak berhubungan seksual dengan kekasihnya. Sebaliknya, Tante Mona, adalah seorang ibu yang mencari lelaki untuk pelampiasan hasrat seksualnya.

Gambar 4.20. Kencan Jojo dengan Lila dan Tante Mona

Bila dari segi narasi, seksualitas Lila nyaris absen (atau diabsenkan), begitupun kalau dilihat dari retorika kamera. Ia tidak pernah dipandang dalam kerangka erotis. Kamera tak terlihat berusaha mengobyektivikasi tubuhnya.

Sekali, Lila tertidur di kursi. Saking lelapnya, ia sampai mendengkur. Jojo perlahan mendekat. Kamera dengan setia mengikuti. Terlihat bibir Lila sedikit membuka. Lalu, kamera ganti menyorot wajah Jojo yang disorongkan ke arah

Lila. Adegan serupa, kalau dalam film drama, akan berakhir dengan sebuah ciuman. Namun, dengkuran Lila yang cukup keras membuat Jojo memilih untuk mengatupkan bibirnya. Maka, dengkuran ini tidak hanya merubah suasana menjadi lucu, tapi sekaligus mengibaskan kesan erotis yang mungkin muncul. Singkatnya, obyektivikasi terhadap tubuh Lila gagal dilakukan.

208 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Selain tidak dierotisasikan kamera, Lila pun tak pernah memandang dalam kerangka ini. Jenis pandangannya lain, berbeda dari cara perempuan- perempuan dalam adegan-adegan kencan Jojo memandang. Untuk itu mari melongok pada adegan perjumpaan Jojo dan Lila di rumah sakit. Dalam adegan kucing-kucingan itu, baik Jojo maupun Lila saling memandang.

Namun, pandangan keduanya tak pernah saling bertemu. Jojo memandang ketika Lila menoleh, begitupun Lila memandang tepat ketika Jojo melengah.

Nah, „penonton‟ dihadirkan oleh kamera sebagai saksi dari usaha keduanya untuk saling memandang itu.

Ketidaktepatan dalam memandang ini lah yang menandai gaya pandangan Lila. Pandangan Lila tidak mensyaratkan terlihatnya obyek. Malah, kesenangan itu terletak pada ketakterlihatan obyek. Maka soal jarak yang dianggap krusial dalam penikmatan voyeur, tidak menjadi soal di sini. Dalam bahasa yang sedikit puitis, kehadiran obyek tidak diperlukan karena bayangan si obyek lah yang menguasai pandangan.

Tatapan Lila ternyata bukan „sifat yang menurun‟ dari ibunya, Tante

Mona. Kontras dengan Lila, tatapan Tante Mona berkonotasi seksual, yakni model tatapan yang menelanjangi obyek sekaligus berkeinginan untuk menguasainya. Walaupun, sama halnya dengan perempuan-perempuan lain yang menjadi klien Jojo, tatapan ini tak banyak difasilitasi. Tubuh Jojo bisa jadi diimplisitkan telanjang, namun kamera menjelma menjadi pakaian yang menutupi tubuhnya. Maka, pengeksposan tubuh Jojo berjalan ala kadarnya.

Barangkali, satu-satunya kesamaan Lila dengan Tante Mona yakni keduanya sama-sama berpisah dari Jojo. Jojo sebagai obyek dari cinta romantis maupun cinta seksual terlalu licin untuk ditangkap. Bedanya, jika

Tante Mona ditinggalkan Jojo, dalam kasus Lila, ia lah yang berlari dari Jojo.

Apa yang terjadi pada Tante Mona dapat dianggap sebagai bentuk „hukuman‟ karena kelancangannya memandang. Sementara bagi Lila, ia berlari sebagai

209 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

bentuk frustasi dari ketidakmampuannya dalam memandang. Ia sama sekali buta. Ia gagal dalam mengenali kekasih dan ibunya.

Selepas mengulik tatapan (karakter) perempuan, satu tatapan lagi yang menarik dibahas yakni tatapan karakter laki-laki. Pertanyaan utamanya yakni, bagaimana karakter laki-laki memandang tubuh laki-laki? Untuk lebih jelasnya, diambilkan dari adegan perbincangan Jojo dengan Jan Pieter, bapak

Lila. Suasana teror sudah dimunculkan bahkan sebelum Jan Pieter menampakkan sosoknya. Maka, ketika Jan Pieter memandang ke arah Jojo,

Jojo dan „penonton‟ membacanya sebagai bentuk agresivitas. Belum lagi porsi kamera untuk Jan Pieter dibanding Jojo lebih besar. Ini membantunya terlihat lebih dominan dan berkuasa.

Namun, sebagaimana yang digariskan oleh jalan cerita, nuansa agresif itu ternyata hanyalah sebuah pengalihan. Karena, kehadiran Jan Pieter di rumah Jojo bukan untuk membunuh atau mengasarinya. Motifnya lebih pada romantisme dan cinta seksual. Ia menginginkan Jojo sebagaimana isterinya,

Tante Mona, menginginkan Jojo. Jika kajian Neale menunjukkan bagaimana agresivitas digunakan untuk menutupi erotisasi terhadap tubuh laki-laki,32 maka adegan ini memperlihatkan agresivitas untuk mengaburkan pandangan erotis dari tokoh laki-laki. Atau, dalam konteks ini, mengaburkan ke-homo-an

Jan Pieter.

Selanjutnya, film ini berpotensi menghadirkan tatapan laki-laki yang lebih teliti terhadap tubuh laki-laki. Karena kemudian Jojo memutuskan pensiun dari gigolo menjadi mucikari, menggantikan Mudakir. Sebagaimana sudah dikupas di bagian terdahulu, pandangan Mudakir, yang di dalam film ini berperan sebagai banci, cenderung aktif dalam menelanjangi tubuh laki-laki.

Nah, ketika peran Mudakir itu digantikan oleh Jojo yang straight, bagaimanakah pandangan yang akan timbul? Apakah itu serupa dengan

32 Neale, Steve. Op.cit., hal: 18

210 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Mudakir, yang artinya bisa jadi menimbulkan konotasi banci atau homo pada pandangan Jojo? Lalu, yang tak kalah penting, bagaimanakah tubuh laki-laki itu dipandangi?

Sayangnya, bagian ini justru menjadi akhir dari cerita Quickie Express.

Karena apa yang dituju oleh film ini bukanlah bagaimana mengkonsumsi tubuh laki-laki dalam bingkai yang seerotis mungkin. Walau, kalau menimbang tema tampak ada usaha untuk itu. Film ini juga tidak sepenuhnya menggambarkan lelaki yang kehilangan ego atau harga diri, seperti yang disebut pembikinnya.33 Lebih tepatnya, mengisahkan lelaki yang berani mempertaruhkan harga diri itu, untuk merebutnya kembali. Momen berhentinya Jojo menjadi gigolo, dan pindah profesi jadi mucikari, menandai perebutan ini. Keputusan ini tidak hanya mendudukkan Jojo sebagai bos bagi anak didiknya, tapi yang terpenting, Jojo menjadi bos bagi tubuhnya sendiri.

Dengan berhenti sebagai gigolo, ia menutup peluang tubuhnya untuk diobyekkan, dan malah ganti mengobyekkan orang lain.

Akhir cerita memang bukan segalanya. Tapi, ini menjadi penentu bagi kenikmatan voyeuristik „penonton‟. Bila dalam proses voyeurisme yang mengobyekkan perempuan, di akhir cerita perempuan itu tertundukkan atau memperoleh hukuman. Balik pada cerita Inem Pelayan Seksi, tokoh utama perempuan di situ tertundukkan lewat . Nah, dalam cerita Jojo, ia malah menjadi „laki-laki bebas‟. Ia tidak dikuasai atau diberi sanksi. Benar,

Jojo ditinggalkan oleh kekasihnya. Tapi ini justru menandai kebangkitannya.

Lebih lanjut, dalam hubungannya dengan pembentukan maskulinitas di

Indonesia, Jojo muncul sebagai sosok „laki-laki‟ alternatif. Jojo berbeda dari tokoh laki-laki heteroseksual yang di akhir cerita selalu mendapat apa yang ia inginkan: baik itu harta, kekuasaan maupun wanita. Bahkan, dalam beberapa

33 “Quickie Express film komedi dewasa yang menyegarkan akhirnya hadir bagi penonton dewasa” (Sumber: http://kalyanashira.com/news/40-news/61-quickie-express-film-komedi-dewasa-yang-menyegarkan- akhirnya-hadir-bagi-penonton-dewasa, 6 Februari 2011)

211 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kasus, kehadiran wanita seakan-akan sudah niscaya untuk melambangkan kejayaan laki-laki. Menjadi laki-laki (dewasa) itu sudah selalu berarti: mapan, menikah, dan melanjutkan keturunan.34

Walaupun tanpa wanita, Jojo tidak dihadirkan sebagai laki-laki yang tidak lengkap. Maskulinitas tidak lagi didefinisikan dalam hubungannya dengan perempuan. Malah, ini makin menguatkan posisi Jojo sebagai pembangkang terhadap nilai-nilai sosial yang dominan. Sudahlah bekerja sebagai mucikari yang banyak bergerak di bawah tanah, ia pun tidak berpendamping, seperti yang „biasa laki-laki lakukan‟.

Kalau dalam kategori Mulvey, Jojo bukan lah tipe pahlawan dalam

Proppian tale yang meleburkan dirinya dalam masyarakat, berikut mengamini norma-norma yang berlaku dalam masyarakat itu. Jojo menggambarkan dengan pas sosok pahlawan Western yang menolak berintegrasi dengan masyarakat dan menampik untuk didefinisikan berdasarkan ukuran nilai yang dominan.35 Singkat cerita, Jojo adalah tipe laki-laki narsistik yang merayakan pembangkangannya pada institusi atau pun rekayasa sosial entah itu dengan mengatasnamakan perkawinan, atau pun cinta.

D. Tinjauan

Sulit untuk menentukan apabila persoalan apakah laki-laki „benar- benar‟ ditampilkan dalam film ini, dijawab dengan sekadar “ya” atau “tidak”.

Sebab, seperti yang telah diurai dalam bab ini, dalam masing-masing adegan ditemukan adanya kontradiksi-kontradiksi. Di satu sisi, terlihat ada usaha untuk memajankan tubuh laki-laki. Namun, di sisi lain, ada pula usaha untuk

34 Kurniawan, Aditya Putra. Op.cit., hal: 40 35 Neale, Steve. Op.cit., hal: 14 – 15

212 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menutupinya. Mengikuti simpulan Neale, terlihat bahwa laki-laki dapat tampil, tapi tampilan itu dijaga supaya tidak terlalu blak-blak-an dan frontal.36

Secara umum dapat dikatakan, derajat pengeksposan tubuh laki-laki dengan mengikut pada alur cerita Quickie Express, mulai dibangun selepas sepertiga bagian film, dan semakin berkurang mendekati bagian penghujung.

Secara lebih spesifik, dapat diurai sebagai berikut. Sebelum terjun dalam bisnis gigolo, Jojo yang berprofesi sebagai pekerja serabutan (tukang bersih- bersih, tukang ukir tato, dan tukang tambal ban) cenderung dikesampingkan dari „pandangan‟. Tubuh Jojo terlihat secara visual, dan bahkan mendominasi sebagian besar waktu tayang, akan tetapi tubuh itu boleh dibilang absen secara seksual. Tubuh itu tampil, tapi tidak „ditampilkan‟.

Strategi peminggiran terhadap tubuh Jojo ini diperlihatkan melalui gerakan kamera, yang dalam beberapa adegan- diakhiri dengan memencilkan

Jojo di sudut layar. Sementara, dalam adegan lain, gerakan kamera berlangsung sedemikian cepat hingga bagian tubuh Jojo yang disorot tak sampai ditelisiki. Di lain tempat, bingkai yang dipakai terlalu lebar. Seperti dalam adegan di toserba, proporsi tubuh Jojo kalah saing dari poster diskon yang dipasang. Sempat diperlihatkan wilayah selangkangan Jojo dilokalisasi dalam frame yang lebih sempit. Tapi, adegan ini gagal menjadi wisata erotis

„penonton‟ utamanya karena pencahayaan yang kurang.

Kontras dengan cara tubuh Jojo diperlihatkan, tubuh-tubuh perempuan dalam adegan di kolam renang disorot dengan bahasa yang lebih gamblang.

Baik itu dari segi penempatan kamera, bingkai, pengaturan cahaya, dan perangkat sinematik lainnya semua mendukung pengeksploitasian tubuh perempuan-perempuan tersebut. Apalagi, yang tak kalah penting, dihadirkan pula dua pasang mata laki-laki dalam posisi „penonton‟ yang membantu menjuruskan pandangan „penonton‟ dalam bingkai yang seksual dan erotis.

36 Ibid., hal: 18

213 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Peranan laki-laki di sini yakni sebagai agent of the look yang mengkomandoi

„penonton‟ untuk melihat tayangan si perempuan dari perspektif mereka.

Untuk selanjutnya, khusus Jojo, pandangannya yang cabul itu diputuskan begitu saja. Hasrat voyeuristik yang dibangun sedari awal, dipotong di tengah. Dengan cara ini Quickie Express memperlihatkan bahwa pandangan laki-laki tidak selalu berujung dengan penaklukan. Dalam kasus

Jojo, ia malah ditaklukkan, bukan oleh si perempuan, tapi oleh sesama laki- laki. Maka pandangan laki-laki pun ternyata terbatas, tak selalu dapat dinikmati secara bebas oleh lelaki mana pun.

Ditumbangkannya pandangan Jojo lebih jauh dapat dipandang sebagai salah satu cara untuk mendefinisikan kemiskinan Jojo. Maka, kemiskinan Jojo tidak hanya ditampilkan melalui pencahayaan yang muram dan warna-warna suram, seperti dijumpai dalam adegan di kamar kontrakan, tapi juga melalui terbatasnya akses yang dimilikinya terhadap obyek hasrat (perempuan dan barang-barang).

Jika semasa menjadi pekerja serabutan tubuh Jojo tak dapat dipandang dengan leluasa, ketika direkrut menjadi gigolo tubuh itu menjadi lebih sering terpapar kamera. Erotisasi terhadap tubuh Jojo ini dibangun persisnya semenjak berkenalan dengan karakter Mudakir, seorang waria.

Dalam kacamata Mudakir, selangkangan Jojo masuk dalam perangkap kamera. Bingkai CU yang digunakan membuat bagian tersebut nyata terlihat.

Walau durasinya baru berupa kilasan-kilasan saja.

Selanjutnya, begitu menjejakkan kaki di tempat pelatihan Quickie

Express, keseksian tubuh Jojo dan dua orang rekan yang baru dikenalnya:

Piktor dan Marley- semakin diumbar. Khususnya dalam adegan latihan tari.

„Penonton‟ pun disuguhkan tayangan laki-laki berjumpalitan dalam pakaian- pakaian yang mini. Sungguh pun dari visual sudah terlihat cabul, namun pandangan „penonton‟ masih ditahan-tahan. Misal, melalui gerakan kamera

214 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

yang selalu berusaha menjauh, alih-alih mendekat. Lalu, lewat ekspresi kocak yang diperagakan, hingga membuat tari sedemikian erotis seakan-akan pentas dagelan.

Usaha untuk mengerotisasikan tubuh laki-laki berlanjut ketika karakter perempuan (tante-tante girang) diperkenalkan. Dalam salah satu adegan, tubuh Jojo dan dua calon gigolo lain, dipajang dalam ruangan kaca yang tembus pandang. Sementara para tante girang tersebut tersembunyi dengan baik di ruangan yang gelap, para calon gigolo ini disorot dengan lampu yang terang. Dilihat dari komposisi ini, ini lah saatnya tubuh laki-laki dipajang sementara tubuh perempuan disimpan (dan lebih hebatnya, perempuan berpeluang mengobyektivikasi tubuh laki-laki dengan pandangannya).

Akan tetapi, satu catatan penting yang bisa meruntuhkan kenikmatan pandangan perempuan ini yakni kenyataan bahwa laki-laki yang diperagakan di balik kaca tersebut adalah laki-laki yang sadar dengan usaha pengobyekkan tubuhnya. Jojo, Piktor, dan Marley diposisikan tahu dan setuju tubuh mereka dipertontonkan. Oleh karena itu, tante-tante girang tersebut tak dapat menikmati tubuh mereka secara diam-diam. Alih-alih menjanjikan kesenangan voyeuristik, adegan ini malah menimbulkan kesan eksibisionistik.

Dengan demikian, di saat tubuh itu dipertontonkan, laki-laki tetap menjadi

„subyek‟ dari kenikmatan.

Memasuki pembabakan selanjutnya, di saat Jojo dan rekan-rekan resmi dilantik sebagai gigolo muda, tubuh mereka makin sering dijadikan obyek pandangan tante-tante girang. Namun, pengobyekkan diri mereka oleh para tante ini, malah berimbas pada tante-tante itu sendiri. Usaha para tante untuk memandang tubuh para gigolo tersebut diikuti dengan usaha kamera untuk membalikkan pandangan „penonton‟ pada tubuh para tante.

Singkatnya, perempuan yang tampil sebagai subyek yang memandang, malah diobyektivikasi balik oleh kamera. Dilihat dari perspektif ini maka keberadaan

215 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

perempuan (tante-tante girang) bukannya untuk menghadirkan dimensi lain dari perempuan yang aktif dan agresif secara seksual, tapi lebih tepatnya untuk menandakan kejantanan laki-laki.

Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, agaknya usaha perempuan untuk memandang tubuh laki-laki lebih sering ditahan ketimbang dilepaskan. Bila laki-laki dikonstruksi untuk selalu memandang (aktif), perempuan tidak demikian. Dalam Quickie Express, pandangan perempuan

(kebanyakan) diwakilkan melalui tokoh Lila. Pandangan Lila ini nyaris tak dapat dikenali, bahkan sampai pada titik di mana Lila terlihat seolah-olah buta sama sekali. Ketika kamera menampilkan POV shot dari sudut pandang Lila, yang nampak itu selalu sudut pandang yang „netral‟, non-seksual. Sebaliknya, tubuh Lila pun tak sekalipun dibingkai dalam suasana dan keadaan yang erotis, berbeda dengan karakter lain yang sudah-sudah.

Oleh karena itu, pandangan perempuan sangat terbatas. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, satu-satunya pandangan perempuan aktif di dalam film Quickie Express hanya hadir melalui tokoh tante girang. Dalam arti, perempuan yang seksualitasnya aktif. Sedangkan, Lila yang secara seksual pasif, pandangannya pun hambar. Dari sini tergambar jelas perbedaannya dengan pandangan laki-laki. Laki-laki mana saja, mau sudah menikah atau belum- dikonstruksi untuk selalu memandang perempuan. Laki- laki menjadi „laki-laki‟ dari memandangi perempuan. Sedangkan perempuan cenderung diposisikan untuk selalu mengelak-elakkan pandangan, baik itu ketika berhadapan dengan tubuh laki-laki, atau bahkan ketika tubuhnya sendiri sedang dipelototi.

216 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tahun 2007, Quickie Express hadir dengan mengusung tema gigolo di ibukota. Dengan tema tersebut, film ini tampak berusaha mengeksplorasi apa yang langka ditampilkan dalam film komedi Indonesia sebelumya, yakni sisi erotis tubuh laki-laki. Maka, film ini berpotensi memberikan wacana tandingan di tengah lensa dominan-maskulin yang melulu memajankan tubuh pemain wanita.

Memang, dengan mengandalkan sisi naratifnya saja, dengan cepat dapat disimpulkan bahwa film ini menyuguhkan cara pandang alternatif terhadap tubuh laki-laki. Akan tetapi, persoalannya tidak sesederhana itu.

Setelah mendedah teks visual Quickie Express, ditemukan ada beberapa ganjalan dalam mengerotisasikan tubuh laki-laki. Bahwa tubuh laki-laki tidak ditampilkan senyata tubuh wanita, sehingga cara pengkonsumsiannya pun jauh berbeda. Ini secara jelas tampak ketika lebih jauh dibaca dengan menimbang aspek fetishisme, voyeurisme dan identifikasi.

Ditinjau dari dimensi fetishisme, atau derajat ketertampakan di depan kamera, terbaca ambivalensi kamera: di satu sisi meyakinkan ‘penonton’ bahwa tubuh laki-laki sedang dipajang, namun di sisi lain menutupi agar keterpajanan itu tidak terlalu frontal. Secara naratif sudah didorong agar tubuh laki-laki itu untuk tampil sepenuhnya, tapi secara visual eksplorasi itu masih setengah-setengah. Kurangnya kerjasama dari kedua unsur tersebut membuat tubuh laki-laki terhindarkan dari proses fetishisme yang mungkin.

Selanjutnya, bila ditimbang dari unsur-unsur pembentuk voyeurisme, laki-laki tidak serupa perempuan yang bisa dengan leluasa diintipi oleh

217 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

‘penonton’ tanpa disadari oleh si laki-laki. Laki-laki tidak menyediakan jarak yang aman bagi ‘penonton’ untuk bebas menjelajahi tubuh mereka. Tak jarang ia mempertontonkan tubuhnya dengan penuh kesadaran. Dalam artian, pandangan mereka dibuat segaris dengan pandangan ‘penonton’

(direct looking). Bahkan, sampai pada titik di mana terlihat mereka pun menikmati pengobyekkan terhadap tubuh mereka itu. Maka, kenikmatan voyeuristik tergantikan sepenuhnya oleh kenikmatan eksibisionistik si laki- laki.

Sementara dari segi identifikasi, ‘penonton’ lebih sering diarahkan untuk menonton dari sudut pandang tokoh laki-laki. Bisa dibilang, ini merupakan proyek ‘maskulinisasi’ terhadap penonton. Dengan kaca mata laki- laki untuk membingkai tubuh laki-laki, maka tidak heran apabila seksualitas tubuh laki-laki itu harus disamarkan. Ini dikarenakan konstruksi laki-laki ideal sejalan dengan orientasi seks yang heteroseksual.

Sebenarnya, apabila kamera menuntun identifikasi ‘penonton’ pada karakter waria, tante-tante girang, dan laki-laki homoseks erotisasi terhadap tubuh laki-laki itu akan tampak lebih konkret. Sayangnya, pandangan mereka jarang difasilitasi, contoh nyata yakni dengan kealpaan POV shot yang menuruti obyek yang mereka lihat. Sering, usaha mereka memandang tubuh laki-laki berimbas pada pengobyekkan terhadap tubuh mereka sendiri. Atau, malah, mereka menjadi terhukum karena tidak mampu menjaga jarak aman antara diri mereka dengan obyek. Ini terjadi karena mereka tak punya ‘kuasa’ terhadap jalannya cerita, dan juga kamera.

Apabila perkara ‘menghadirkan’ laki-laki ke tengah layar saja sudah tidak mudah, maka soal pandangan perempuan (female gaze) sudah pasti bermasalah. Satu pertanyaan yang penting, mengapakah pandangan perempuan ini sering absen (atau diabsenkan)? Satu alasan, perempuan tak punya ‘kuasa’ terhadap narasi film yang mengakibatkan usaha perempuan

218 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

untuk memandang itu selalu menemui kegagalan. Ketika perempuan memandang malah ditubrukkan dengan kaca yang akan memantulkan refleksi diri mereka sendiri. Kurangnya kontrol perempuan terhadap narasi juga mengakibatkan perempuan tidak dapat menjaga jarak aman antara dirinya dengan obyek yang ditontonnya. Setidaknya hal ini yang terjadi dalam kasus tante-tante girang dalam film Quickie Express. Pandangan mereka yang aktif tidak lagi menandai hasrat seksual mereka secara pribadi, melainkan untuk menegaskan kejantanan para gigolo dalam cerita.

Gagalnya pandangan perempuan di dalam cerita Quickie Express, saya kira tidak semata-mata terletak pada kinerja kamera sutradara. Termasuk pula di dalamnya, kerja lembaga sensor yang memotong 2 meter pita film ini sebelum ditampilkan ke publik. Faktor eksternal berupa tekanan entah itu dari badan sensor resmi, atau mereka yang menamai dirinya ‘pejuang moral’, secara tidak langsung berpengaruh besar pada seberapa banyak tubuh laki- laki bisa ditampilkan di dalam film-film Indonesia.

B. Saran

Kekurangan dari pendekatan psikoanalisis yang dipakai dalam penelitian ini yakni terlalu berfokus pada visual sehingga mengenyampingkan unsur audio. Walau film sudah dilengkapi dengan teknologi suara, namun masih diperlakukan sama halnya dengan film bisu. Inilah yang saya kira menjadi kelemahan mendasarnya. Tentu, yang dimaksud dengan audio di sini bukan sekadar mencantumkan dialog (percakapan) dan musik latar. Lebih tepatnya, yakni soal analisis audionya. Misal, gambaran kasarnya, bagaimana audio tertentu (meliputi tempo, tinggi rendah nada, interval, dan unsur-unsur auditif lainnya) mempengaruhi cara penikmatan terhadap suatu film. Lalu bagaimana pula kerjasama antara unsur audio itu dengan yang visual?

219 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dalam sekali klik, akan ditemukan banyak sekali kajian film yang memakai konsep scopophilia (kenikmatan memandang). Lalu, bagaimana dengan, sebut saja istilahnya, kenikmatan mendengar? Ini yang masih menjadi tanda tanya, setidaknya bagi saya pribadi. Oleh karena itu, akan sangat menyenangkan jika ada yang berminat memperhitungkan betul unsur audio ini di penelitian-penelitian selanjutnya.

Kelemahan lain dari penelitian ini yakni terlalu menitikberatkan pada unsur seksualitas hingga cenderung kurang peduli pada hal-hal lain , semisal kelas, ras, dll. Mungkin, ada baiknya bila pendekatan psikoanalisis seperti yang dipakai dalam penelitian ini digabung dengan pendekatan lain untuk melihat, misalnya bagaimana faktor ekonomi mempengaruhi cara tubuh laki- laki dipandang. Sebenarnya, dalam penelitian ini sudah mengarah ke arah sana, namun tidak terlalu mendalam.

Masih tentang teori, sepertinya kategori ‘pandangan laki-laki’ yang diterapkan dalam penelitian ini perlu diperlebar pendefinisiannya. Dengan meletakkan laki-laki sebagai penikmat dari tubuh perempuan, dan perempuan sebagai penikmat tubuh laki-laki, ini menyiratkan hubungan yang niscaya heteroseksual. Seperti yang terlihat dalam penelitian ini, tubuh laki-laki tidak selalu dinikmati melalui kacamata perempuan (dalam artian biologis). Namun juga, melalui kacamata waria dan laki-laki homoseksual.

Berikut, kehadiran film-film dengan format tiga dimensi atau Blu-Ray disc tentu menyuguhkan dimensi pandangan yang sama sekali berbeda dari format biasa yang menghadirkan tontonan yang statis. Dengan format yang baru tersebut tersedia beberapa alternatif posisi menonton dan cara untuk memandang. Dengan kata lain, jenis pandangan yang difasilitasi bisa lebih beragam. Maka, ‘penonton’ bisa menempati posisi maskulin, feminin, atau justru waria. Alih-alih menyebut ‘penonton’ mungkin lebih tepatnya, disebut

220 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

‘para penonton’. Meski pilihan yang tersedia bagi ‘penonton’ untuk menyaksikan tayangan bukannya tak terbatas.

Jika Mulvey menyarankan sebuah deconstruction of pleasure sebagai strategi untuk menolak pengobyektivikasian terhadap tubuh wanita, dengan bantuan teknologi serupa yang disebut di atas, pengobyektivikasian itu menjadi sebuah pilihan ketimbang keniscayaan. Bagaimana fetishisme dapat berlangsung itu tergantung pada penonton aktual, bukan pada lensa kamera.

Di samping menyediakan posisi alternatif dalam menonton, beberapa film juga ada yang menyertakan pilihan akhir cerita (alternate ending).

Dengan cara ini, hasrat voyeuristik penonton tidak dijerumuskan pada satu arah penyelesaian saja. Dengan berkurangnya otoritas teks film dalam mengarahkan penonton ini, kajian teks film mungkin akan menjadi lebih rumit dan kompleks. Atau, malah berubah arah untuk kembali lagi meneliti penonton dalam artian aktual-fisikal? Entah, saya tidak tahu pasti. Yang jelas, saya berharap pertimbangan-pertimbangan ini akan memunculkan kajian- kajian film yang lebih beragam di masa mendatang.

221 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Badil, Rudy & Indro Warkop. Eds. 2010. Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta

Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900 – 1950: Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu: Jakarta

______. Film Indonesia memerlukan kaum terpelajar. Prisma No. 4 tahun 1990 (hal: 40 – 44)

Boellstorff, Tom. The emergence of political homophobia in Indonesia: Masculinity and National Belonging. J. Ethnos Vol. 69: 4, December 2004 (hal: 465 – 468)

______. Zines and zones of desire: Mass-mediated love, national romance, and sexual citizenship in gay Indonesia. The Journal of Asian Studies Vol. 63: 2, May 2004 (hal: 367 – 402)

Clark, Marshall. 2008. “Indonesian cinema: exploring cultures of masculinity, censorship, and violence” dalam Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics. Ed. Ariel Heryanto. Routledge: London and New York (hal: 37 – 53)

Chaudhuri, Shohini. 2006. Feminist Film Theorists: Laura Mulvey, Kaja Silverman, Teresa de Lauretis, Barbara Creed. Routledge: London and New York

Cohan, Steven & Ina Rae Hark. Eds. [1993] 2002. Screening the Male: Exploring Masculinities in Hollywood Cinema. Routledge: London & New York

Giannetti, Louis. 2001. Understanding Movies. 9th Edition. Prentice Hall: New Jersey

Glover, David & Cora Kaplan. 2000. Genders. Routledge: London and New York

Ismail, Usmar. 1983. Usmar Ismail Mengupas Film. Penerbit Sinar Harapan: Jakarta

Jauhari, Haris. 1995. Ed. Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta

Kadir, Hatib Abdul. 2007. Tangan Kuasa dalam Kelamin: Telaah Homoseks, Pekerja Seks, dan Seks Bebas di Indonesia. Insist Press: Yogyakarta

Kristanto, JB. 1995. Katalog Film Indonesia 1926 – 1995. Grafiasri Mukti: Jakarta

Kurniawan, Aditya Putra. 2009. “Dinamika maskulinitas laki-laki”. Jurnal Perempuan No. 64

222 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Lehman, Peter. 1991. “Penis-size jokes and their relation to Hollywood’s unconscious” dalam Comedy/Cinema/Theory. Ed. Andrew Horton. University of California Press, Ltd.: Oxford (hal: 44 – 58)

Lesmana, Tjipta. 1995. Pornografi dalam Media Massa. Puspa Swara: Jakarta

McGowan, Todd. 2007. The Real Gaze: Film Theory After Lacan. State University of New York Press: New York

McGowan, Todd & Sheila Kunkle. Eds. 2004. Lacan and Contemporary Film. Other Press: New York

Michalik, Yvonne & Laura Coppens. Eds. 2011. Asian Hot Shots: Sinema Indonesia. Penerbit Bentang: Yogyakarta

Mulvey, Laura. [1975] 1992. “Visual pleasure and narrative cinema” dalam Film Theory and Criticism. Eds. Gerald Mast, Marshall Cohen & Leo Braudy. Oxford University Press: New York and Oxford (hal: 746 – 757)

Neale, Steve. [1983] 1993. “Masculinity as spectacle” dalam Screening the Male: Exploring Masculinities in Hollywood Cinema. Eds. Steven Cohan & Ina Rae Hark. Routledge: London and New York (hal: 9 – 20)

Paramaditha, Intan. 2007. “Pasir Berbisik dan estetika-perempuan baru dalam sinema Indonesia” dalam Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia. Ed. Lisabona Rahman. Yayasan Kalam: Jakarta (hal: 95 – 126)

______. Perspektif gender dalam kajian film. Jurnal Perempuan. No. 61. Desember 2008 (hal: 47 – 57)

Rose, Gillian. 2002. Visual Methodologies: An Introduction to the Interpretation of Visual Materials. Sage Publications: London, Thousand Oaks & New Delhi

Said, Salim. 1991. Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta

______. 1982. Profil Dunia Film Indonesia: Grafiti Pers: Jakarta

Schmidt, Leonie. 2012. Post-Suharto screens: Gender, politics, Islam and discourses of modernity. Amsterdam Social Science Vol. 4: 1 (hal: 29 – 48)

Sen, Krishna. 1994. Indonesian Cinema: Framing the New Order. Zed Books Ltd.: London and New Jersey

Sen, Krishna & David T. Hill. 2007. Media, Culture, and Politics in Indonesia. Equinox Publishing: Jakarta & Kuala Lumpur

Saputro, Kurniawan Adi. 2005. “Melihat ingatan buatan: Menonton penonton film Indonesia 1900 – 1964” dalam Penghibur(an): Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia. Ed. Budi Susanto. Penerbit Kanisius: Yogyakarta (hal: 149 – 184)

223 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sofyan, Yulizar S. & D. Soehendra. Dilema film nasional. Basis. September 1994. Vol. XLIII No. 9 (hal: 333 – 339)

Suwardi, Harun. 2006. Kritik Sosial dalam Film Komedi: Studi Khusus Tujuh Film Nya Abbas Akup. FFTV-IKJ Press: Jakarta

Villarejo, Amy. 2007. Film Studies: The Basics Film Studies. Routledge: Oxon

Williams, Linda. [1984] 1992. “When woman looks” dalam Film Theory and Criticism. Eds. Gerald Mast, Marshall Cohen & Leo Braudy. Oxford University Press: New York and Oxford (hal: 561 – 577)

Filmografi

Inem Pelayan Seksi (Nya Abbas Akup, 1976) Love is Brondong (Chiska Doppert, 2012) Maju Kena, Mundur Kena (Arizal, 1983) Mama Minta Pulsa (Nuri Dahlia, 2012) Quickie Express (Dimas Djayadiningrat, 2007)

224