Suhu Teater Indonesia

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Suhu Teater Indonesia Suhu Teater Indonesia Terlahir dengan nama Liem Tjoan Hok, di Pandeglang, Jawa Barat, 22 September 1937, Teguh Karya yang oleh rekan terdekatnya akrab dipanggil Om Steve, adalah sutradara film pelanggan piala citra. Dia layak disebut suhu teater Indonesia yang banyak melahirkan sineas-sineas terkemuka. Bagi para seniman ia dianggap sebagai bapak, guru, sekaligus teman. Beberapa aktor-aktris film Indonesia yang layak disebut sebagai bentukan Teguh, sebab mereka menjadi berjaya dan populer setelah membintangi film-film Teguh Karya, antara lain Slamet Rahardjo Djarot, Nano Riantiarno, Christine Hakim, Franky Rorimpandey, Alex Komang, Dewi Yul, Rae Sahetapi, Rina Hasyim, Tuti Indra Malaon (Alm), George Kamarullah, Henky Solaiman, Benny Benhardi, Ninik L. Karim, dan Ayu Azhari. Setali tiga uang, Teguh pun seakan menjadi abadi sebagai sutradara terbaik spesialis peraih Piala Citra, untuk setiap karya-karya film terbarunya. Dan bersamaan itu, film yang disutradarainya, sering pula terpilih menjadi film terbaik yang dianugerahi Piala Citra. Sejumlah judul film karya Teguh yang berhasil mengangkat nama sutradara dan pemain bintangnya, diantaranya, Wajah Seorang Laki-Laki (1971), Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari (1975), Perkawinan Semusim (1977), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1979), Di Balik Kelambu (1982), Secangkir Kopi Pahit (1983), Doea Tanda Mata (1984), Ibunda (1986), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1986). Film pertama karya Teguh di tahun 1968 adalah film untuk anak-anak. Film serius konsumsi dewasa untuk pertama kali dihasilkannya pada tahun 1971, dan langsung menyabet beberapa penghargaan untuk kategori akting maupun penyutradaraan terbaik. Karir dalam dunia film dirintisnya saat melakukan tugas praktik penulisan skenario film-film semi dokumenter, pada Perusahaan Film Negara (kini PPFN). Saat itu, mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 1968-1972 ini antara lain berkesempatan bekerja pada sutradara D. Djajakusuma, Nya Abbas Acup, Misbach Yusa Biran, Wim Umboh, dan Asrul Sani, baik itu sebagai penata artistik, pemain, atau asisten sutradara. Ketika film layar lebar bermedium pita seluloid meredup sementara waktu di awal tahun 1990-an, untuk digantikan layar kaca yang marak muncul dengan kehadiran stasiun teve baru, Teguh pun sempat mengubah medium seninya. Ia berkesempatan menghasilkan karya film sinema elektronik (sinetron) untuk televisi, seperti Pulang (1987), Arak-Arakan (1992), dan Pakaian dan Kepalsuan (1994). Ia pertama-tama melakoni seni sebagai pemain drama, antara tahun 1957 hingga 1961. Teguh, yang waktu itu masih menggunakan nama lahir Steve Liem Tjoan Hok, sudah sering tampil di panggung dalam pementasan-pementasan yang diadakan oleh ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia). Lalu, secara akademis Teguh Karya menyelesaikan pendidikan seni di berbagai perguruan tinggi. Seperti, di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) Yogyakarta (tahun 1954-1955), Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI, 1957-1961), kemudian ke luar negeri East West Center Honolulu, Hawai (1962-1963) untuk belajar akting atau art directing. Kemampuan akademis itu kemudian dipadukan dengan pergaulannya yang intens dengan beberapa tokoh teater dan sutradara film legendarias, seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma yang banyak mempengaruhi proses berkeseniannya. Teguh turut aktif membidani kelahiran Badan Pembina Teater Nasional Indonesia, di tahun 1962. Sejak tahun 1968, ia mendirikan Teater Populer, yang hingga akhir hayat adalah kebanggaan sekaligus ‘kenderaan’ seni yang tetap difungsikan. Ia mendirikan sanggar seninya di Jalan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat yang juga rumah kediamannya. Rumah ini disulap menjadi sanggar kreatif para seniman terkemuka di Tanah Air. Melalui Teater Populer, Teguh yang masih menggunakan nama Steve Liem, berkesempatan membentuk dan melahirkan banyak aktor serta aktris kenamaan. Dari Teater Populer, banyak sineas baru mengikuti jejak Teguh untuk serius menapaki karir di industri perfilman. Tak heran jika Teguh dijuluki pula sebagai ‘Suhu Teater Indonesia’. Di antara pementasan Teater Populer yang mendapat sambutan meriah, adalah Jayaprana, Pernikahan Darah (1971), Inspektur Jenderal, Kopral Woyzeck (1973), dan Perempuan Pilihan Dewa (1974). Banyak kritikus seni menilai, beberapa lakon panggung yang disutradarai Teguh Karya berhasil mencapai puncak eksplorasi. Walau lahir dengan nama Liem Tjoan Hok, Teguh lebih merasa sebagai orang Banten. Ia memiliki seorang nenek kelahiran Bekasi, namanya Saodah, serta seorang sahabat Mang Dulapa, sais delman yang rutin membawa Teguh pulang pergi ketika masih duduk di bangku SD Pandeglang. Memasuki bangku SMP, Teguh pindah ke Jakarta, menumpang di rumah Engku Dek pamannya. Anak pertama dari lima bersaudara pedagang kelontong ini kemudian mewarisi kegemaran membaca dari sang paman. Teguh boleh mendapat nilai jelek untuk aljabar dan ilmu ukur, namun untuk pelajaran sejarah, menggambar, dan bahasa ia selalu unggul. Sepulang dari studi art directing di Hawai, Teguh bekerja sebagai manajer panggung di Hotel Indonesia. Karena itu, Teater Populer yang Teguh lahirkan tahun 1968 dimaksudkan pula untuk mengisi acara-acara di Hotel Indonesia. Jadilah teater pengusung aliran realisme ini, awalnya lebih dikenal sebagai Teater Populer Hotel Indonesia. Pemain pendukungnya sebagian besar adalah mahasiswa ATNI serta para penggiat teater independen. Identitas kelahiran Teater Popuper, salah satunya, bersemangat menggali sisi keaktoran (kesenimanan) seseorang, untuk kemudian diekspresikan sebagai medium perwujudan sebuah pencapaian artistik tertentu. Teater Populer terlihat sangat ‘akademis’ mengungkapkan gagasan-gagasan teatrikal di atas panggung. Suguhan yang formal-akademis itu untuk mengejawantahkan teori-teori realisme, yang pembawaannya dimulai oleh Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma saat mendirikan ATNI pada tahun 1950-an. Realisme itulah yang berhasil diserap Teguh saat kuliah di ATNI tahun 1957-1961. Tentang pilihan hidupnya untuk tak menikah, Anggota Dewan Film Nasional (DFN) penerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1969), ini menyebutkan, karena di dalam dirinya ada ‘kamar- kamar’ untuk kreativitas, sahabat, negeri, dan kamar untuk lain-lain. Bicara soal perkawinan, kata Teguh, urutan kamarnya belum tentu sama untuk setiap orang. Ia mengaku sewaktu di SMA pernah beberapa kali pacaran, tetapi sang pacar selalu saja tidak tahan karena acapkali ditinggal menghadiri ceramah dan berbagai kegiatan kesenian lainnya. Teguh Karya, yang sepanjang hayat memilih hidup melajang, menghembuskan nafas terakhir kali di RSAL Mintohardjo, Jakarta Pusat, pada 11 Desember 2001 di usia 64 tahun, setelah terserang stroke menyerang otak bagian memori sejak tahun 1998. Walau hari-hari akhir dihabiskan di atas kursi roda, sesungguhnya stroke tak membuat badannya lumpuh total melainkan otak bagian memorilah yang tak lagi mampu bekerja maksimal, seperti merespon pembicaraan. Teguh adalah pria yang selalu berpenampilan sederhana, sangat dicintai dan disayangi oleh teman-teman seprofesi, maupun para seniman lain. Bagi para seniman ia dianggap sebagai bapak, guru, sekaligus teman. Sebelum meninggal dunia, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, beserta istri Ny. Sinta Nuriyah, berkesempatan mengunjungi Teguh Karya, di rumah kediamannya, Kebon Kacang, Tanah Abang. Gus Dur yang pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sesuai janji datang mengunjungi sohib yang sudah lama direncanakan itu. Keduanya berbincang-bincang selama satu jam, bernostalgia. ►e-ti/ht Sumber : http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/t/teguh-karya/index.shtml .
Recommended publications
  • East-West Film Journal, Volume 5, No. 1
    EAST-WEST FILM JOURNAL VOLUME 5 . NUMBER 1 SPECIAL ISSUE ON MELODRAMA AND CINEMA Editor's Note I Melodrama/Subjectivity/Ideology: The Relevance of Western Melodrama Theories to Recent Chinese Cinema 6 E. ANN KAPLAN Melodrama, Postmodernism, and the Japanese Cinema MITSUHIRO YOSHIMOTO Negotiating the Transition to Capitalism: The Case of Andaz 56 PAUL WILLEMEN The Politics of Melodrama in Indonesian Cinema KRISHNA SEN Melodrama as It (Dis)appears in Australian Film SUSAN DERMODY Filming "New Seoul": Melodramatic Constructions of the Subject in Spinning Wheel and First Son 107 ROB WILSON Psyches, Ideologies, and Melodrama: The United States and Japan 118 MAUREEN TURIM JANUARY 1991 The East-West Center is a public, nonprofit educational institution with an international board of governors. Some 2,000 research fellows, grad­ uate students, and professionals in business and government each year work with the Center's international staff in cooperative study, training, and research. They examine major issues related to population, resources and development, the environment, culture, and communication in Asia, the Pacific, and the United States. The Center was established in 1960 by the United States Congress, which provides principal funding. Support also comes from more than twenty Asian and Pacific governments, as well as private agencies and corporations. Editor's Note UNTIL very recent times, the term melodrama was used pejoratively to typify inferior works of art that subscribed to an aesthetic of hyperbole and that were given to sensationalism and the crude manipulation of the audiences' emotions. However, during the last fifteen years or so, there has been a distinct rehabilitation of the term consequent upon a retheoriz­ ing of such questions as the nature of representation in cinema, the role of ideology, and female subjectivity in films.
    [Show full text]
  • Thesis Introduction
    View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by espace@Curtin School of Media, Culture and Creative Arts Faculty of Humanities The Representation of Children in Garin Nugroho’s Films I Gusti Agung Ketut Satrya Wibawa This thesis is presented for the Degree of Master of Creative Arts of Curtin University of Technology November 2008 1 Abstract The image of the child has always been used for ideological purposes in national cinemas around the world. For instance, in Iranian cinema representations of children are often utilized to minimise the political risk involved in making radical statements, while in Brazilian and Italian cinemas children‟s portrayal has disputed the idealized concept of childhood‟s innocence. In Indonesian cinema, internationally acclaimed director Garin Nugroho is the only filmmaker who has presented children as the main focus of narratives that are oppositional to mainstream and state-sponsored ideologies. Yet, even though his films have been critically identified as key, breakthrough works in Indonesian cinema, no research so far has specifically focused on the representation of children in his films. Consequently, because Garin Nugroho has consistently placed child characters in central roles in his films, the discussion in this thesis focuses on the ideological and discursive implications of his cinematic depiction of children. With the central question regarding the construction of children‟s identities in Garin‟s films, the thesis analyzes in detail four of these films, dedicating an entire chapter to each one of them, and with the last one being specifically addressed in cinematic essay form.
    [Show full text]
  • The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema
    The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema Ekky Imanjaya Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy University of East Anglia School of Art, Media and American Studies December 2016 © This copy of the thesis has been supplied on condition that anyone who consults it is understood to recognise that its copyright rests with the author and that use of any information derived there from must be in accordance with current UK Copyright Law. In addition, any quotation or extract must include full attribution. 1 Abstract Classic Indonesian exploitation films (originally produced, distributed, and exhibited in the New Order’s Indonesia from 1979 to 1995) are commonly negligible in both national and transnational cinema contexts, in the discourses of film criticism, journalism, and studies. Nonetheless, in the 2000s, there has been a global interest in re-circulating and consuming this kind of films. The films are internationally considered as “cult movies” and celebrated by global fans. This thesis will focus on the cultural traffic of the films, from late 1970s to early 2010s, from Indonesia to other countries. By analyzing the global flows of the films I will argue that despite the marginal status of the films, classic Indonesian exploitation films become the center of a taste battle among a variety of interest groups and agencies. The process will include challenging the official history of Indonesian cinema by investigating the framework of cultural traffic as well as politics of taste, and highlighting the significance of exploitation and B-films, paving the way into some findings that recommend accommodating the movies in serious discourses on cinema, nationally and globally.
    [Show full text]
  • Ideologi Film Garin Nugroho
    Ideologi Film Garin Nugroho Ahmad Toni Prodi S3 Pascasarjana Fikom Universitas Padjajaran Jalan Raya Bandung-Sumedang KM 21 Jatinangor 45363 Fikom Universitas Budi Luhur Jalan Raya Ciledug Petukangan Utara Kebayoran Lama Jakarta Selatan 12260 ABSTRACT This study is based on qualitative research with critical discourse analysis approach. The study presents the text of the fi lm as micro level of semiotic analysis. The purpose of the study is to uncover the ideology of Garin Nugroho fi lms which apply high aesthetic and anthropology construction of an exotic Indonesian culture. The result shows that the ideology resistance manifested in the fi lm of “Daun di Atas Bantal” is the philosophy reconstruction of art democratization as the power to sup- press the regime of Suharto and the new order. “Opera jawa” fi lm is the reconstruction of gender philosophy and Java femininity as well as the philosophy of the nature cosmology in the perspective of moderate Hindu Islam in presenting the greediness of human in the system of the nature ecology. The fi lm of ‘Mata tertutup’ is the philosophy reconstruction of moderate Islam to counter the power of radicalism and terrorism as the concept developed and related to the tenacity of nationalism system of the young generation in Indonesia. “Soegija” fi lm is the reconstruction of Christology philosophy and the values of minority leadership in the nationhood and statehood. The fi lm of “Tjokroaminoto Guru Bangsa” is the reconstruction of Islam philosophy to view the humanism values in the estab- lishment of the foundation of the nation as a moderate view.
    [Show full text]
  • Journal Template
    GSJ: Volume 7, Issue 10, October 2019 ISSN 2320-9186 1240 GSJ: Volume 7, Issue 10, October 2019, Online: ISSN 2320-9186 www.globalscientificjournal.com THE COMPARISON OF INDIGENOUS AND NON-INDIGENOUS MSMES TOWARD MARKETING STRATEGY (CASE OF SMES SOUVENIRS FOR MINANG AUTHENTIC FOOD IN PADANG CITY) Albert Agiza Agustian S.E M.M1, Retno Melani Putri S.E M.M2, Dr. Yulia Hendri Yeni S.E M.T Ak3 1) Student of Andalas University, Faculty of Economi, Padang Indonesia 2) Student of Andalas University, Faculty of Economi, Padang Indonesia 3) Lecturer of Andalas University, Faculty of Economi, Padang Indonesia Email : [email protected] KeyWords : Indigenous, Marketing, Marketing Strategy, MSMEs, Positioning, Segmentation, Targeting ABSTRACT Many MSMEs souvenirs of West Sumatra specialty food that have sprung up in West Sumatra make not all businesses run well because of business competition, where there are differences between MSMEs both in terms of quality and quantity. MSMEs food souvenirs in West Sumatra, especially in the city of Padang are usually dominated by non-native people who are non-native people of Padang who have long lived in the city of Padang. Therefore in this study, we want to find out how marketing is compared to native and non-native MSMEs in the city of Padang. Are there differences in activities and marketing strategies in native and non-indigenous MSMEs. In collecting data the method used by interviewing informants directly. The type of interview used in this study is a semi-structured interview which means the researcher already has a guideline regarding what information will be collected.
    [Show full text]
  • Pesan Dakwah Dalam Film November 1828 (Analisis Nilai-Nilai Jihad Dan Kepemimpinan Dalam Film November 1828)
    PESAN DAKWAH DALAM FILM NOVEMBER 1828 (ANALISIS NILAI-NILAI JIHAD DAN KEPEMIMPINAN DALAM FILM NOVEMBER 1828) SKRIPSI untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) AHMAD SYUKRON 1101145 FAKULTAS DA'WAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2008 NOTA PEMBIMBING Lamp : 5 (eksemplar) Hal : Persetujuan Naskah Usulan Skripsi Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Da’wah IAIN Walisongo Semarang Assalamualaikum Wr. Wb. Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana mestinya, maka kami menyatakan bahwa skripsi saudara : Nama : Ahmad Syukron NIM : 1101145 Jurusan : DA’WAH /KPI Judul Skripsi : PESAN DAKWAH DALAM FILM NOVEMBER 1828 (ANALISIS NILAI-NILAI JIHAD DAN KEPEMIMPINAN DALAM FILM NOVEMBER 1828) Dengan ini telah saya setujui dan mohon agar segera diujikan. Demikian atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Semarang, Juni 2008 Pembimbing, Bidang Substansi Materi Bidang Metodologi & Tatatulis Drs. H. M. Nafis, MA Dra. Siti. Sholihati, MA NIP. 150 232 928 NIP. 150 247 011 ii SKRIPSI PESAN DAKWAH DALAM FILM NOVEMBER 1828 (ANALISIS NILAI-NILAI JIHAD DAN KEPEMIMPINAN DALAM FILM NOVEMBER 1828) Disusun oleh AHMAD SYUKRON 1101145 telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal: 9 Juli 2008 dan dinyatakan telah lulus memenuhi sarat Susunan Dewan Penguji Ketua Dewan Penguji/ Dekan/Pembantu Dekan, Anggota Penguji, Drs. Ali Murtadho M.Pd Drs. H. Moh. Zuhri, M.Si NIP. 150 274 618 NIP. 150 089 424 Sekretaris Dewan Penguji/ Pembimbing, Dra. Siti. Sholihati, MA. Drs. Fachrurrozi, M.Ag. NIP. 150 247 011 NIP. 150 267 750 iii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga pendidikan lainnya.
    [Show full text]
  • 34 4. ANALISIS DATA 4.1. Gambaran Umum Film Cek Toko Sebelah
    4. ANALISIS DATA 4.1. Gambaran Umum Film Cek Toko Sebelah Gambar 4.1 Poster Film “Cek Toko Sebelah” (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Cek_Toko_Sebelah) Film drama komedia “Cek Toko Sebelah” diproduksi oleh Starvision Plus yang dirilis pada 28 Desember 2016 dan berdurasi 98 menit. Film ini ditulis oleh Ernest Prakasa dan Jenny Jusuf dengan pengembangan cerita dari Meira Anastasia. Selain menjadi penulis naskah, Ernest juga menjadi sutradara dan berperan sebagai tokoh utama. Film “Cek Toko Sebelah” banyak diserbu penonton. Sampai dengan hari ke-21 penayangannya, film garapan Ernest Prakasa tersebut sudah menggaet sebanyak 2.101.170 penonton (Cumicumi.com, 2017). “Cek Toko Sebelah” berada di peringkat empat dan lima film terlaris dengan penjualan di atas dua juta tiket (Qubicle.id, 2017). Meski debut Ernest Prakasa sebagai sutradara masih terbilang baru, melalui film keduanya “Cek Toko Sebelah” telah mampu memborong 6 penghargaan di ajang Indonesian Box Office Movie Awards 2017. 6 penghargaan tersebut adalah Pemeran Pendukung Wanita Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, Poster Terbaik, Pendatang Baru Terbaik, Skenario Terbaik, Film Box Office Terbaik (Tribunstyle.com, 2017). 34 Universitas Kristen Petra Gambar 4.2 Pemain Film “Cek Toko Sebelah” (Sumber: http://solo.tribunnews.com/2016/12/31/pemain-film-komedi-cek-toko- sebelah-targetkan-25-juta-penonton) Beberapa tokoh yang terlibat dalam pembuatan film ini adalah Ernest Prakasa (penulis dan sutradara), Chand Parwez Servia dan Fiaz Servia (produser), Andhika Triyadi (penata musik), Dicky R. Maland (penata gambar) dan lain-lain. Selain itu, ada beberapa pemain yang diceritakan di dalam film ini, seperti Ernest Prakasa (Erwin), Dion Wiyoko (Yohan), Chew Kinwah (Koh Afuk), Adinia Wirasti (Ayu), Gisella Anastasia (Natalie); dan ada beberapa tokoh tambahan lainnya seperti Asri welas (ibu sonya) menjadi atasan Erwin, Dodit Mulyanto (Kuncoro) sebagai pegawai Koh Afuk, Kaesang Pangarep (Tukang Taksi) dan lain-lain.
    [Show full text]
  • Bab Ii Deskripsi Komunitas Rumah Kartini Dan Sinopsis Film Kartini
    BAB II DESKRIPSI KOMUNITAS RUMAH KARTINI DAN SINOPSIS FILM KARTINI A. Komunitas Rumah Kartini 1. Latar Belakang dan Sejarah Rumah Kartini adalah komunitas yang didirikan sejak 21 April 2008, Rumah Kartini didirikan dari latar belakang pendidikan yang mempunyai pemikiran dan semangat untuk ikut berkonstribusi mengumpulkan, mempelajari data-data sejarah yang berhubungan dengan seni, budaya dan pusaka juga berkeseniaan. Melalui pendekatan yang dikemas dalam kegiatan yang unik inilah, Rumah Kartini bisa diterima diberbagai kalangan, khususnya anak muda dan masyarakat umum. Banyak sekali cerita dan pengalaman Rumah Kartini dalam melakukan kegiatan, mulai dari riset, mengumpulkan data data sejarah kartini dan Japara lebih luasnya juga mengemas seni dan budaya secara konseptual. Selain itu Komunitas Rumah Kartini mempunyai sosial yang mempelajari dan mengumpulkan data-data sejarah Jepara untuk edukasi semua masyarakat. Selain pengarsiapan data sejarah Jepara, komunitas Rumah Kartini pun berkaya untuk Jepara. Dimana saat beberapa kawan– kawan mengobrol tentang hiruk pikuk kesenian dan sosial di Jepara. 33 Sampai saat ini Rumah kartini sudah mengumpulkan ± 300 arsip, asli maupun salinan digital (resolusi tinggi) dan karya reproduksi yang berhubungan dengan Kartini dan Japara. Data-data ini kami dapatkan dari hasil proses riset Rumah Kartini, hibah dari lembaga peneliti Belanda, dari keluarga besar Kartini dan dan masyarakat. Komunitas Rumah Kartini terbentuk di mulai dengan kegiatan mural yang mengenalkan tokoh Pahlawan wanita Jepara yaitu Raden Ajeng Kartini dan kritikan tentang tidak adanya Musium ukir di Jepara (yang konon terkenal dengan ukiranya) kegiatan–kegiatan Rumah Kartini pun berjalan seperti seminar sosial pameran sejarah dan lain sebagainya. Rumah Kartini mengawali mengkumpulkan data tentang R.A Kartin, salah satu pahlawan nasional Indonesia yang saat itu masyarakat Jepara sangat minim mengetahui tentang sejarah Kartini.
    [Show full text]
  • Gelar a Tribute to Teguh Karya Slamet Rahardjo Dan Christine Hakim Kamis, 15 September 2005 Teater Populer Bakal Menggelar a Tr
    Gelar A Tribute to Teguh Karya Slamet Rahardjo dan Christine Hakim Kamis, 15 September 2005 Teater Populer bakal menggelar A Tribute to Teguh Karya yang rencananya akan digelar di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Rabu (28/9) mendatang. Sejumlah penyanyi dan musisi akan terlibat dalam kegiatan tersebut. Misalnya, Idris Sardi dan Erros Djarot (komposer musik), Addie MS (konduktor), serta sejumlah penyanyi yang akan diiringi oleh Twilite Orchestra. Dalam konser ini akan ditampilkan original soundtrack film-film karya Teguh Karya seperti film Pacar Ketinggalan Kereta, November 28, Badai Pasti Berlalu, Ibunda, Wajah Seorang Lelaki dan lain-lain. Selain didukung oleh musisi kawakan, acara ini juga akan diramaikan oleh para penyanyi senior seperti Anna Mathovani yang pernah mengisi vokalnya di soundtrack film Cinta Pertama, Berlian Hutahuruk (Badai Pasti Berlalu), Aning Katamsi, Harvey Malaihollo, Ruth Sahanaya, Rafika Duri, Marini, Christopher Abimanyu, Fryda Luciana, serta para aktor kawakan lainnya yang pernah membintangi film-film karya Teguh Karya seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim, Roy Marten, Leny Marlina, Alex Komang, Jenny Rahman, Niniek L Karim, N. iantiarno, dan Rima Melati. Slamet Rahardjo yang menjadi salah satu penggagas acara ini mengatakan bahwa acara ini bukanlah upaya untuk mengkultuskan seorang Teguh Karya. Tetapi, dalam kegairahan perfilman saat ini perlu diberikan sebuah keteladanan yang bisa dipetik dari sosok Teguh Karya. "Kegiatan ini juga didasari oleh pengertian bahwa film bukan hanya sekedar akting saja, melainkan di dalamnya ada juga unsur musik yang mempengaruhi sebuah karya film," ujar Slamet Rahardjo di sanggar Teater Populer, Jalan Kebon Pala, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Slamet mengatakan, A Tribute to Teguh Karya adalah salah satu wasiat yang diamanahkan kepada dirinya setahun sebelum Teguh Karya meninggal pada 11 Desember 2001 lewat ungkapan Teguh yang berbunyi "kreativitas tidak boleh mati".
    [Show full text]
  • BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian Di Sumatera Barat Didominasi Oleh Pertanian Dan Perindustrian Rakyat Y
    BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian di Sumatera Barat didominasi oleh pertanian dan perindustrian rakyat yang kecil-kecil.1 Daerah yang dilalui garis khatulistiwa ini mempunyai sumberdaya alam dari berbagai macam sektor diantaranya perkebunan, pertambangan, perikanan, pertanian dan pariwisata. Bidang pertanian merupakan suatu potensi yang hasilnya dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku utama bagi bidang industri, atau seringkali disebut juga dengan istilah agroindusrti yaitu industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian.2 Pertanian yang kuat akan mendukung terciptanya industri dengan baik. Sektor pertanian berperan sebagai penyedian bahan pangan. Pertanian yang baik akan menghasilkan pangan dan bahan mentah yang cukup bagi pemenuhan proses industrialisasi. Salah satu contoh produk pertanian yang berguna sebagai bahan baku untuk kegiatan industri adalah ubi kayu. Ubi kayu dapat digunakan untuk memproduksi berbagai macam olahan makanan, salah satunya adalah kerupuk sanjai. Salah satu daerah sentra produksi ubi kayu di Sumatera Barat adalah Kabupaten Agam. Pada tahun 2007 produksi ubi kayu di Kabupaten Agam menduduki peringkat keempat setelah Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten 1Abrar Yusra, “Azwar Anas Teladan dari Ranah Minang”, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2001, hal. 221 2 Soekartawi, Pengantar Agroindustri, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 10 1 Tanah Datar dan Kabupaten Dharmasraya.3 Walaupun Agam bukan sentra produksi ubi kayu yang utama di Sumatera Barat, tapi daerah ini terkenal sebagai daerah pengolah ubi kayu terbesar di Sumatera Barat yang dikenal dengan industri kerupuk sanjai. Salah satu sentra ubi kayu di Kabupaten Agam adalah Kecamatan Tilatang Kamang dengan sentra produksinya terutama di Nagari Gadut yang pada tahun 2007 produksinya mencapai 1.262 ton.
    [Show full text]
  • Islamic Popular Culture and the New Identities of Urban Muslim
    ISLAMIC POPULAR CULTURE AND THE NEW IDENTITIES OF URBAN MUSLIM YOUNG PEOPLE IN INDONESIA: THE CASE OF ISLAMIC FILMS AND ISLAMIC SELF-HELP BOOKS HARIYADI This thesis is presented for the degree of Doctor of Philosophy at The University of Western Australia School of Social Sciences Discipline of Asian Studies 2013 ii ABSTRACT My thesis examines the emerging phenomenon of Islamic popular culture in Indonesia. Islamic popular culture has been thriving in Indonesia for more than a decade. It is a new and important aspect of the Islamic revival in this country and beyond. Popular culture has sometimes been viewed as a Western product and many people in Indonesia think that it introduces a Western lifestyle that is incompatible with Islam. Some Islamic teachings in Indonesia indeed challenge values from the West. However, my thesis shows that Islam and Western-influenced popular culture are not necessarily incompatible with each other. In this thesis, I examine Islamic films and Islamic self-help books as forms of popular culture. I also look at how Indonesian Muslim young people in urban areas interpret Islamic films and Islamic self-help books as a way of constructing their identity. I analysed some Islamic films and self-help books, as well as conducted interviews, focus group discussions and participant observation of young people who watch Islamic films or read Islamic self-help books. My informants were university students in Jakarta and Bandung, particularly students of Universitas Negeri Jakarta and Institut Teknologi Bandung respectively. Their consumption of Islamic popular culture suggests that urban young people in Indonesia are aiming to be modern and pious at the same time.
    [Show full text]
  • Facts & Figures
    As of November 2020 UNESCO AND THE REPUBLIC OF INDONESIA: KEY FACTS AND FIGURES I. COUNTRY PROFILE Political system The country is a presidential republic Chief of state: H.E. Mr Joko Widodo (since 20 October 2014); note – the president is both chief of state and head of government Minister of Foreign affairs: H.E Ms Retno Lestari Priansari Marsudi (since 2014) Statistical figures (source: UNDP Human Development Report 2018) Total population (million) 267.7 Human Development Index: 0.707/111 e rank Life expectancy at birth (years) : 71.5 Gross national income (GNI) per capita (2011 PPP$): 11,256 Internet users (% of population): 39.8 Carbon dioxide emissions per capita (tones): 1.7 Education (source: UNESCO Institute for Statistics) Expected years of schooling (years): 12.9 Compulsory education (years): 9 years (from age 7 to age 15) Net enrolment ratio in primary education (%): 93.5 Net enrolment ratio in secondary education (%) 78.7 Literacy rate among 15-24 year (%): 99.7 Government expenditure on education (% of GDP): 3.58 Government expenditure on education of total budget 20.5 II. THE REPUBLIC OF INDONESIA/UNESCO COOPERATION 1. Membership in UNESCO: since 27 May 1950 2. Membership of the Executive Board: member (term 2017-2021) 3. Membership on Intergovernmental Committees, Commissions, etc.: International Coordinating Council of the Programme on Man and the Biosphere Member (Term expires : 42nd General Conference) Intergovernmental Council of the "Management of Social Transformations" Programme Member (Term expires : 41st General Conference) Headquarters Committee Member (Term expires : 42nd General Conference) Intergovernmental Oceanographic Commission Member Intergovernmental Committee on World Heritage (WHC) Member (Term expires :44th session of the Committee 2020) 4.
    [Show full text]