Ideologi Film Garin Nugroho

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Ideologi Film Garin Nugroho Ideologi Film Garin Nugroho Ahmad Toni Prodi S3 Pascasarjana Fikom Universitas Padjajaran Jalan Raya Bandung-Sumedang KM 21 Jatinangor 45363 Fikom Universitas Budi Luhur Jalan Raya Ciledug Petukangan Utara Kebayoran Lama Jakarta Selatan 12260 ABSTRACT This study is based on qualitative research with critical discourse analysis approach. The study presents the text of the fi lm as micro level of semiotic analysis. The purpose of the study is to uncover the ideology of Garin Nugroho fi lms which apply high aesthetic and anthropology construction of an exotic Indonesian culture. The result shows that the ideology resistance manifested in the fi lm of “Daun di Atas Bantal” is the philosophy reconstruction of art democratization as the power to sup- press the regime of Suharto and the new order. “Opera jawa” fi lm is the reconstruction of gender philosophy and Java femininity as well as the philosophy of the nature cosmology in the perspective of moderate Hindu Islam in presenting the greediness of human in the system of the nature ecology. The fi lm of ‘Mata tertutup’ is the philosophy reconstruction of moderate Islam to counter the power of radicalism and terrorism as the concept developed and related to the tenacity of nationalism system of the young generation in Indonesia. “Soegija” fi lm is the reconstruction of Christology philosophy and the values of minority leadership in the nationhood and statehood. The fi lm of “Tjokroaminoto Guru Bangsa” is the reconstruction of Islam philosophy to view the humanism values in the estab- lishment of the foundation of the nation as a moderate view. Keywords: fi l m ideology, Garin Nugroho, Indonesian-ism PENDAHULUAN ini dikarenakan politik Amerika Serikat yang berbalik arah mendukung pemerin- Industri fi lm Indonesia dalam sejarah- tahan Soekarno sebagai presiden Republik nya dijadikan sebagai jalan masuk ideolo- Indonesia. Peta politik dunia pun berimbas gi Amerika Serikat, di mana pengelolaan kepada eksistensi perfi lman Indonesia dan dasarnya dilakukan atas dasar kepentingan tentunya makna sejarah perfi lman Indone- kekuatan dan kepentingan politik Amerika sia yang dimulai pada tahun 1951-1952, di Serikat sebagai kubu perang dingin, tujuan- mana momentum ini juga ditandai dengan nya ialah penguasaan dan eksploitasi sum- lahirnya Perusahaan Film Nasional Indone- ber daya bangsa Indonesia, di mana Indo- sia (Perfi ni) dan Perseroan Artis Indonesia nesia mengalami transisi kekuasaan dari (Persari) pada tahun 1950. bangsa Belanda dan pemerintahaan Soe- Pada periode ini kemudian dikenal karno, kondisi pertumbuhan ekonomi yang adanya istilah perfi lman nasional yang baik menjadi momentum sejarah perfi lm- digagas dan dibentuk oleh seniman dan an Indonesia yang berangkat pada tahun budayawan Lesbumi sehingga menghasil- 1950-an. Kondisi ini pula yang membuat kan fi lm-fi lm yang berorientasi pada nilai hubungan antara Amerika Serikat dan Be- nasionalisme, tentunya situasi ini menjadi landa pada kondisi yang kurang baik. Hal kemenangan kepentingan Amerika Serikat 11 - Pantun Vol. 2 No. 1 Juni 2017 - dalam menguasai industri fi lm Indonesia na mitos merupakan semacam wicara yang melalui distribusi fi lm-fi lm import. Pada dipilih oleh sejarah, mitos tidak mungkin tahun 1951 produksi fi lm mencapai 40 berkembang dari ‘hakikat’ pelbagai hal” judul. Film-fi lm penting periode ini antara (2007:296-297). Sementara Danesi (2010: lain: The Long March karya Umar Ismail, 57) menyatakan bahwa “kata mitos ber- Lewat Djam Malam karya Umar Ismail, dan asal dari kata Yunani mythos yang artinya Turang karya Bachtiar Siagian, sementara ‘kata-kata’, ‘wicara’, ‘kisah para dewa’. Hal produser Tionghoa seperti Tan dan Wong ini bisa didefi nisikan sebagai narasi yang memproduksi fi lm murah, Topeng Besi. Poli- di dalamnya karakter-karakter para dewa, tik luar negeri bangsa Indonesia mengalami makhluk mistis, dengan plot (alur cerita) pergeseran dengan ditandainya krisis eko- asal-usul segala sesuatu atau tentang peris- nomi pemerintahan Soekarno, hal ini terjadi tiwa metafi sis yang berlangsung di dalam dikarenakan proses nasionalisasi sejumlah kehidupan manusia, dan se ing-nya adalah perusahaan penting yang tidak didukung penggabungan dunia metafi sis dengan du- oleh tenaga ahli lokal yang mengakibat- nia nyata”. kan pemberontakan muncul di berbagai Dalam mitos, kita kembali menemukan wilayah dan perseteruan elit politik multi- pola tiga-dimesi yaitu; penanda, petanda partai dan kondisi ekonomi pemerintahan dan tanda. Tetapi mitos adalah suatu sistem setelah pengambil-alihan Papua. “Politik yang janggal, karena ia dibentuk dari ran- luar negeri Soekarno mampu menggerak- tai semiologis yang telah eksis sebelumnya; kan negara-negara Asia Afrika untuk bersa- mitos merupakan sistem semiologis tatan- tu dan tidak masuk ke dalam Blok Amerika an-kedua (second-order semiological system). Serikat (Barat) ataupun Uni Soviet (Timur). Apa yang merupakan tanda yaitu totalitas Pada akhirnya Soekarno mampu mengini- asosiatif antara konsep dan citra dalam siasi lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA) sistem penanda. di Bandung, dengan lahirnya pula Festival Film Asia Afrika (FFAA). Rumusan Masalah Skema Pertandaan Roland Barthes dalam penelitian ini ialah: Bagaimanakah Penanda (i) Petanda (i) dengan perkembangan sutradara Indone- Bahasa Petanda (ii) sia saat ini, tentunya secara ideologi? Pene- Tanda (i)/ Penanda (ii) Mitos litian ini mengungkap tentang paham ide- Tanda (ii)/ Konotatif ologi Garin Nugroho yang menjembatani sutradara konvensional dan digital dalam (Sumber: Roland Barthes, 2007:300) perfi lman Indonesia. Roland Barthes (Sobur, 2003:68) mem- Teori dan Konsep buat sebuah model sistematis dalam meng- Semiotika Roland Barthes analisis makna dari tanda-tanda. Fokus Secara etimologi mitos adalah “sebu- Barthes lebih tertuju kepada gagasan ten- ah tipe pembicaraan atau wicara ‘a type of tang signifi kasi dua tahap (two order of sig- speech’ (Barthes, 2007:295)’. Selanjutnya nifi cation) seperti dapat dilihat pada Skema Barthes menyatakan bahwa “mitos adalah Denotatif dan Konotatif. suatu sistem komunikasi (suatu pesan), mi- Signifi kasi tahap pertama merupakan tos merupakan mode pertandaan (a mode of hubungan antara signifi er (penanda) dan signifi cation), suatu bentuk (a form). Mitologi signifi ed (petanda) di dalam sebuah tanda dapat memiliki suatu fondasi historis, kare- terhadap kualitas eksternal. Barthes me- 12 - Toni: Ideologi Film Garin Nugroho - Skema Denotatif dan Konotatif 2. Lapisan simbolis, yang meliputi simbol- is refresensial (acuan), simbolis diegetis Conotation (pandangan tentang benda), simbolis Signifi er eisensteini-an (suatu analisis kritis ten- Denotation Signifi ed tang pealihan dan pergantian), simbolis historis. Myth Pertandaan yang samar-samar dan ti- dak utuh sebagai makna yang eksistensi Reality Sign Culture dari adegan yang ditampilkan (digambar- kan). Makna ketiga ini merangsang baca- First Oder Second Order tafsir yang bersifat interogatif (penandaan), penuntutan atas penserapan ‘puitis’. Mak- (Sumber: Alex Sobur, 2003:68) na ini adalah bentuk signifi kansi yang be- rada pada wilayah penanda. nyebutnya dengan denotasi, yaitu makna yang nyata dari tanda. Konotasi adalah Ideologi dan Media istilah yang dipergunakan Barthes untuk Frans Magnis Suseno menyatakan menunjukkan signifi kasi tahap kedua. Hal pendapatnya tentang ideologi “Persoalan ini menggambarkan interaksi yang terjadi ideologi merupakan pusat kajian ilmu so- ketika tanda bertemu dengan perasaan sial, ideologi dimaksudkan sebagai kese- atau emosi reader serta nilai-nilai sosialnya. luruhan sistem berpikir, kelompok sosial Konotasi mempunyai makna yang subjek- atau individu” (Kristeva, 2015:2). Artinya, tif atau intersubjektif. Denotasi adalah apa ideologi dapat dipahami sebagai suatu yang digambarkan tanda terhadap sebuah sistem tentang penjelasan akan eksistensi objek, sedangkan konotasi adalah bagaima- suatu kelompok sosial, dan atau individu, na menggambarkannya. Pada signifi kasi di mana sejarahnya memproyeksikan ke tahap kedua yang berhubungan dengan isi, masa depan tentang adanya rasionalisasi tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos akan hubungan kekuasaan antar kelompok adalah bagaimana kebudayaan menjelas- atau kelas-kelas sosial di dalamnya. Ideolo- kan atau memahami beberapa aspek ten- gi yang dianut atau diyakini pada akhirnya tang realitas atau gejala alam. Kita melihat akan menentukan bagaimana cara ber- keseluruhan tanda dalam sistem denotasi pikir, cara memandang sebuah persoalan, berfungsi menjadi penanda pada sistem ko- cara mensikapi persoalan. Ideologi dalam notasi atau sistem mitos (Berger, 2000:15). defi nisi umum dipahami sebagai sistem Pertandaan dan pemaknaan dalam fi lm nilai, ide dan moralitas yang mendasari atau sinematografi dalam konteks semio- kesadaran dan perjuangan kelompok atau tik sebagaimana dinyatakan oleh Barthes individu tertentu. Lebih jauh lagi Burton (2010: 41-43). Dalam scene (fragmen/adeg- (2007:72) menyatakan “Istilah ideologi an) cerita fi lm terdapat tiga lapisan makna, mendeskripsikan suatu perangkat koheren antara lain: ide dan nilai yang mengungkapkan pan- 1. Lapisan informasional, yakni segala dangan tentang dunia sosial, ekonomi, dan sesuatu yang bisa diserap dari latar politik, yang mempertanyakan bagaimana (se ing), kostum, tata letak, karakter, keadaan dunia sekarang dan bagaimana kontak atau relasi yang terjadi antar dunia itu seharusnya. Istilah ini juga mere- pelaku (tokoh). Hal ini sebagai semio- presentasikan ide tentang hubungan keku- tika tingkat pertama. 13 - Pantun Vol. 2 No. 1 Juni 2017 - asaan dalam
Recommended publications
  • Hubert Bals Fund
    HUBERT BALS FUND COMPLETE RESULTS 1988-2016 • Script and Project Development support SELECTION 2016 • Post-production support Almost in Love Brzezicki, Leonardo (Argentina) • The Bridge Lotfy, Hala (Egypt) • Death Will Come and Will Have Your Eyes Torres Leiva, José Luis (Chile) • A Land Imagined Yeo Siew Hua (Singapore)• The Load Glavonic, Ognjen (Serbia) • Men in the Sun Fleifel, Mahdi (Greece) • Narges Rasoulof, Mohammad (Iran) • Octopus Skin Barragán, Ana Cristina (Ecuador) • The Orphanage Sadat, Shahrbanoo (Afghanistan) • The Reports on Sarah and Saleem Alayan, Muayad (Palestine) • Trenque Lauquen Citarella, Laura (Argentina) • White Widow Hermanus, Oliver (South Africa) • The Load, Glavonic, Ognjen (Serbia) During the NATO bombing of Serbia in 1999, Vlada is driving a freezer truck across the country. He does not want to know what the load is, but his cargo slowly becomes his burden. • Script and Project Development support SELECTION 2015 • Post-production support Alba Barragan, Ana Cristina (Ecuador) 2016 • Antigone González-Rubio, Pedro (Mexico) • Arnold Is a Model Student Prapapan, Sorayos (Thailand) • Barzagh Ismailova, Saodat (Uzbekistan) • Beauty and the Dogs Ben Hania, Kaouther (Tunisia) • Brief Story from the Green Planet Loza, Santiago (Argentina) • Burning Birds Pushpakumara, Sanjeewa (Sri Lanka) 2016 • Era o Hotel Cambridge Caffé, Eliane (Brazil) 2016 • The Fever Da-Rin, Maya (Brazil) • La flor Llinás, Mariano (Argentina) 2016 • Hedi Ben Attia, Mohamed (Tunisia) 2016 • Kékszakállú Solnicki, Gastón (Argentina) 2016 • Killing
    [Show full text]
  • Film Sebagai Gejala Komunikasi Massa
    BUKU AJAR FILM SEBAGAI GEJALA KOMUNIKASI MASSA Dr REDI PANUJU, M.Si PRAKATA Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat Rahmat dan Hidayahnya akhirnya Buku Ajar ini dapat diterbitkan secara nasional oleh penerbit ber-ISBN. Bermula dari hibah penelitian yang peneliti terima dari Kementerian Ristekdikti melalui format Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi (PDUPT) tahun 2018-2019 dengan judul PERJALANAN SINEMA INDONESIA, dihasilkan banyak data yang menunjukkan bahwa film bukan hanya sebagai karya seni yang keberadaannya sebagai tontonan dan hiburan, namun ternyata film sarat dengan gejala persoalan persoalan struktural. Dalam film, selain aspek sinematografi yang bersifat teknis, yang amat menarik adalah dari aspek pesan yang disampaikan. Film adalah gejala komunikasi massa. Posisinya sebagai media komunikasi massa yang memiliki tujuan penting, yakni menyampaikan sesuatu. Itulah yang disebut pesan (message). Pesan disampaikan melalui rangkaian scine yang membentuk cerita (story), bisa juga melalui dialog dialog antar tokoh dalam film, latar belakang dari cerita (setting) dan bahkan melalui karakter tokoh tokoh yang ada. Melalui pesan itulah penonton mendapat pesan tentang segala sesuatu. Menurut beberapa teori komunikasi massa, justru pada tataran pesan itu efek terhadap penonton bekerja. Karena itu, dalam sejarah sinema Indonesia sering Negara masuk (mengatur) sampai ke pesan film. Misalnya, pada periode Penjajahan Jepang, film dipakai sebagai alat propaganda. Pada masa itu, film dibuat dengan tujuan untuk mempengaruhi penduduk Indonesia mendukung imperialisme Nipon dengan semboyan Persaudaraan Asia. Demikian juga pada masa pasca Proklamasi yang dikenal sebagai sebagai masa Orde Lama (1945-1966), regim Orde Baru menganggap bahwa revolusi Indonesia tidak pernah selesai, karena itu semua hal termasuk kesenian harus diposisikan sebagai alat revolusi.
    [Show full text]
  • LOVE of RELIGION, LOVE of NATION: Catholic Mission and the Idea of Indonesian Nationalism
    View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by Repository Universitas Sanata Dharma Laksana / Love of Religion, Love of Nation 91 LOVE OF RELIGION, LOVE OF NATION: Catholic Mission and the Idea of Indonesian Nationalism Albertus Bagus Laksana Sanata Dharma University Yogyakarta, Indonesia [email protected] Abstract The relationship between nationalism and religion is very complicated. In the context of colonialism, Christianity has surely been perceived as a foreign religion that poses a menace to native nationalism. This essay presents a different picture, taking the case of colonial Java (the Netherlands East Indies) to illustrate the complex historical relationship between Catholicism and Indonesian nationalism. Perhaps it is rather ironic that it was chiefly through their connection with the Dutch Church and their mission enterprise that the Javanese Catholic intelligentsia were made deeply aware of their own dignity as a particular people and the limitations of European colonialism. In this case, Catholic Christianity as a world religion with supranational connection and identity has been able to help the birth of an intense nationalism that was prevented from being too narrow, chauvinistic, or simply “racialist,” precisely because it is connected with its larger ecumenism or network. More specifically, this ecumenism is also founded on the idea of “catholicity,” that is, universalism, that lies at the heart of Catholic Christianity. In the post-colonial Indonesia, however, this Catholic view needs to be translated into common platforms with the views and concerns of Indonesian Muslims, who face the same new challenges as they play their role in the formation of an authentic Indonesian nationalism.
    [Show full text]
  • East-West Film Journal, Volume 5, No. 1
    EAST-WEST FILM JOURNAL VOLUME 5 . NUMBER 1 SPECIAL ISSUE ON MELODRAMA AND CINEMA Editor's Note I Melodrama/Subjectivity/Ideology: The Relevance of Western Melodrama Theories to Recent Chinese Cinema 6 E. ANN KAPLAN Melodrama, Postmodernism, and the Japanese Cinema MITSUHIRO YOSHIMOTO Negotiating the Transition to Capitalism: The Case of Andaz 56 PAUL WILLEMEN The Politics of Melodrama in Indonesian Cinema KRISHNA SEN Melodrama as It (Dis)appears in Australian Film SUSAN DERMODY Filming "New Seoul": Melodramatic Constructions of the Subject in Spinning Wheel and First Son 107 ROB WILSON Psyches, Ideologies, and Melodrama: The United States and Japan 118 MAUREEN TURIM JANUARY 1991 The East-West Center is a public, nonprofit educational institution with an international board of governors. Some 2,000 research fellows, grad­ uate students, and professionals in business and government each year work with the Center's international staff in cooperative study, training, and research. They examine major issues related to population, resources and development, the environment, culture, and communication in Asia, the Pacific, and the United States. The Center was established in 1960 by the United States Congress, which provides principal funding. Support also comes from more than twenty Asian and Pacific governments, as well as private agencies and corporations. Editor's Note UNTIL very recent times, the term melodrama was used pejoratively to typify inferior works of art that subscribed to an aesthetic of hyperbole and that were given to sensationalism and the crude manipulation of the audiences' emotions. However, during the last fifteen years or so, there has been a distinct rehabilitation of the term consequent upon a retheoriz­ ing of such questions as the nature of representation in cinema, the role of ideology, and female subjectivity in films.
    [Show full text]
  • Guru Bangsa Tjokroaminoto”
    ANALISIS SEMIOTIK NILAI-NILAI NASIONALISME DALAM FILM “GURU BANGSA TJOKROAMINOTO” Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh : Egy Giana Setyaningsih NIM : 1111051000141 JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 29 Juli 2016 EGY GIANA SETYANINGSIH ii ABSTRAK Egy Giana Setyaningsih 1111051000141 Analisis Semiotik Nilai-Nilai NasionAalisme Dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” adalah salah satu film tokoh pahlawan nasional yang jejaknya hampir hilang di mata anak-anak bangsa. Ia adalah salah seorang tokoh pencetus generasi muda bangsa berbakat, dan juga berperan penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia seperti Soekarno, Semaoen, Kartosoewiryo dan Musso. Berbagai konflik yang muncul dari film
    [Show full text]
  • ( STUDI ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE) Oleh
    REPRESENTASI POLIGAMI DALAM FILM ATHIRAH ( STUDI ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE) Oleh: Erik Pandapotan Simanullang [email protected] Pembimbing: Chelsy Yesicha, S.Sos, M.I.Kom Jurusan Ilmu Komunikasi – Manajemen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Riau, Pekanbaru Kampus Bina Widya Jl. HR. Subrantas Km. 12, 5 Simpang Baru Pekanbaru Telp/Fax. 0761-63277 Abstract Athirah movie is a film that lifts the reality of polygamous life, polygamy is an issue that is still a debate in the community. This is quite interesting because polygamy is still something that causes pros and cons in Indonesian society. Different from previous polygamy- themed films, this film is a true story of a wife's struggle as well as the mother of Vice President Indonesia, Jusuf Kalla. In theory, many women have expressed disagreement on polygamous marriages, but in practice women are always in a cornered position, have no choice and are difficult to bid or even have no ability to reject men's desire for polygamy. Starting from this, some Indonesian filmmakers view the interesting polygamy phenomenon to be lifted into a film masterpiece. This study aims to determine the impact of polygamy for wives and children represented in Athirah films viewed from the level of reality, level of representation and ideology level. This study used qualitative methods analyzed by semiotic analysis of John Fiske. Subjects and objects in this study is the observation of the audio and visual display in the scenes of the film Athirah with data collection techniques used are observation, documentation, and literature study. The results of this study show there is a polygamy representation in the Athirah film.
    [Show full text]
  • Thesis Introduction
    View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by espace@Curtin School of Media, Culture and Creative Arts Faculty of Humanities The Representation of Children in Garin Nugroho’s Films I Gusti Agung Ketut Satrya Wibawa This thesis is presented for the Degree of Master of Creative Arts of Curtin University of Technology November 2008 1 Abstract The image of the child has always been used for ideological purposes in national cinemas around the world. For instance, in Iranian cinema representations of children are often utilized to minimise the political risk involved in making radical statements, while in Brazilian and Italian cinemas children‟s portrayal has disputed the idealized concept of childhood‟s innocence. In Indonesian cinema, internationally acclaimed director Garin Nugroho is the only filmmaker who has presented children as the main focus of narratives that are oppositional to mainstream and state-sponsored ideologies. Yet, even though his films have been critically identified as key, breakthrough works in Indonesian cinema, no research so far has specifically focused on the representation of children in his films. Consequently, because Garin Nugroho has consistently placed child characters in central roles in his films, the discussion in this thesis focuses on the ideological and discursive implications of his cinematic depiction of children. With the central question regarding the construction of children‟s identities in Garin‟s films, the thesis analyzes in detail four of these films, dedicating an entire chapter to each one of them, and with the last one being specifically addressed in cinematic essay form.
    [Show full text]
  • The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema
    The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema Ekky Imanjaya Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy University of East Anglia School of Art, Media and American Studies December 2016 © This copy of the thesis has been supplied on condition that anyone who consults it is understood to recognise that its copyright rests with the author and that use of any information derived there from must be in accordance with current UK Copyright Law. In addition, any quotation or extract must include full attribution. 1 Abstract Classic Indonesian exploitation films (originally produced, distributed, and exhibited in the New Order’s Indonesia from 1979 to 1995) are commonly negligible in both national and transnational cinema contexts, in the discourses of film criticism, journalism, and studies. Nonetheless, in the 2000s, there has been a global interest in re-circulating and consuming this kind of films. The films are internationally considered as “cult movies” and celebrated by global fans. This thesis will focus on the cultural traffic of the films, from late 1970s to early 2010s, from Indonesia to other countries. By analyzing the global flows of the films I will argue that despite the marginal status of the films, classic Indonesian exploitation films become the center of a taste battle among a variety of interest groups and agencies. The process will include challenging the official history of Indonesian cinema by investigating the framework of cultural traffic as well as politics of taste, and highlighting the significance of exploitation and B-films, paving the way into some findings that recommend accommodating the movies in serious discourses on cinema, nationally and globally.
    [Show full text]
  • Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak 93
    TITRE ORIGINAL : Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak ORIGINAL TITLE: Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak 93 MIN/ Indonésie – France – Malaisie – Thailande / 2017/ FICTION/ COULEUR/ Indonésien, dialecte de Sumba/ DCP/ 24 FPS/ 2.39:1/ 5.1 93 MIN/ Indonesia – France – Malaysia – Thailand / 2017/ FICTION/ COLOR/ Indonesian, dialect from Sumba/ DCP/ 24 FPS/ 2.39:1/ 5.1 Attachées de presse /Press releases Vanessa Jerrom- 06 14 83 88 82 Claire Vorger- 06 20 10 40 56 [email protected] Synopsis Au cœur des collines reculées d’une île indonésienne, Marlina, une jeune veuve, vit seule. Un jour, surgit un gang venu pour l’attaquer, la violer et la dépouiller de son bétail. Pour se défendre, elle tue plusieurs de ces hommes, dont leur chef. Décidée à obtenir justice, elle s’engage dans un voyage vers sa propre émancipation. Mais le chemin est long, surtout quand un fantôme sans tête vous poursuit. In the deserted hills of an Indonesian island, Marlina, a young widow, is attacked and robbed for her cattle. To defend herself, she kills several men of the gang. Seeking justice, she goes on a journey for empowerment and redemption. But the road is long especially when the ghost of her headless victim begins to haunt her. www.asian-shadows.com | [email protected] 3 Sales & Festivals moi : je ne lui ai pas demandé de jouer le texte, mais juste de me montrer à quel point elle voulait le rôle. Pour le rôle de Markus, j’ai travaillé avec le comédien Egi Fedly sur mon premier film, et il était une évidence depuis le début.
    [Show full text]
  • Bahasa Indonesia • Kelas XII SM A/M A/SMK/M AK
    EDISI REVISI 2018 Bahasa Indonesia Buku ini dipersiapkan untuk mendukung kebijakan Kurikulum 2013 yang tidak sekadar secara AK konstitusional mempertahankan bahasa Indonesia dalam daftar mata pelajaran di sekolah. M Bahasa Namun, kurikulum terbaru ini mempertegaskan pentingnya keberadaan bahasa Indonesia sebagai penghela dan pembawa ilmu pengetahuan. Berdasarkan Kurikulum 2013, buku siswa A/SMK/ kelas XII ini memuat enam pelajaran yang berisi materi pembelajaran teks cerita sejarah, berita, M iklan, opini/editorial, cerita ksi, dan teks dalam genre makro. Pada awal setiap pelajaran, siswa A/ M Indonesia diajak untuk membangun konteks sesuai dengan tema pelajaran. Setiap tema dibahas lebih lanjut dalam tiga kegiatan, yakni (1) pemodelan teks, (2) kerja bersama membangun teks, dan (3) kerja mandiri membangun teks. Kegiatan pembelajaran teks itu masing-masing dikembangkan dalam bentuk tugas-tugas yang beragam untuk menciptakan kegemaran belajar. Untuk itu, Kelas XII S pelaksanaan pembelajaran dirancang dalam bentuk kegiatan proyek yang mencakupi penyusu- • nan proposal kegiatan, jadwal pelaksanaan, dan pelaporan (lisan dan/atau tulis). Melalui buku ini, diharapkan siswa mampu dan berpengalaman memproduksi serta menggunakan teks sesuai ndonesia dengan tujuan dan fungsi sosialnya. Dalam pembelajaran bahasa yang berbasis teks, bahasa I Indonesia diajarkan bukan sekadar sebagai pengetahuan bahasa, melainkan sebagai teks yang mengemban fungsi untuk menjadi sumber aktualisasi diri dan mengembangkan budaya akademik. Bahasa ZONA 1 ZONA 2 ZONA 3 ZONA 4 ZONA 5 HET Rp15.800 Rp16.500 Rp17,200 Rp18.500 Rp23,700 SMA/MA/ SMK/MAK ISBN: KELAS 978-602-427-098-8 (jilid lengkap) 978-602-427-101-5 (jilid 3) XII Hak Cipta © 2018 pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dilindungi Undang-Undang Disklaimer: Buku ini merupakan buku siswa yang dipersiapkan Pemerintah dalam rangka implementasi Kurikulum 2013.
    [Show full text]
  • Bambang AK Prosiding ISBN 978
    PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN FOLKLOR DAN KEARIFAN LOKAL@2015 Diterbitkan bersama oleh Jurusan Sastra Indonesia-Fakultas Sastra Universitas Jember Dengan Penerbit Buku Pustaka Radja, Desember 2015 Jl. Tales II No. 1 Surabaya Telp. (Lini Penerbitan CV. Salsabila ANGGOTA IKAPI NO. Editor: Agustina Dewi S., S.S., M.Hum. Layout dan Design Sampul: Salsabila Creative Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Seminar Nasional Folklor dan Kearifan Lokal PROSIDING SEMINAR NASIONAL FOLKLOR DAN KEARIFAN LOKAL Seminar Nasional Folklor dan Kearifan Lokal DAFTAR ISI 1. FOLKLOR INDONESIA: DUA MANFAAT YANG TERABAIKAN - Ayu Sutarto-1 2. REKONSTRUKSI/ DEKOSNTRUKSI KEARIFAN LOKAL DALAM BEBERAPA NOVEL INDONESIA - Pujiharto-9 3. RITUAL DAN SENI TRADISI USING, MEMBACA IDENTITAS SUARA-SUARA LOKAL - Novi Anoegrajekti-17 4. RAGAM BAHASA FOLKLOR NUSANTARA SEBAGAI WADAH KEARIFAN MASYARAKAT - Tri Mastoyo Jati Kesuma-37 5. SEBLANG, MANTRA DAN RITUAL DALAM KONTEKS STRUKTUR SOSIAL - Heru S.P. Saputra dan Edy Hariyadi-46 6. HATI SINDEN, DARI REKONSTRUKSI KE REFLEKSI: APRESIASI DENGAN KAJIAN HERMENEUTIK - Sri Mariati-76 7. BAHASA REGISTER DOA DALAM RITUS KARO DAN KASADA (COLLECTIVE MIND MASYARAKAT TENGGER JAWA TIMUR) - Sri Ningsih-90 8. CERITA DARI KARANGSOGA: GENETIKA, IDEOLOGI, DAN LIMINALITAS - Teguh Supriyanto dan Esti Sudi Utami-107 9. REPRESENTASI TOKOH DRAMA MANGIR KARYA PRAMUDYA ANANTA TOER - Titik Maslikatin-121 Seminar Nasional Folklor dan Kearifan Lokal 10. KEKERASAN DAN PENDERITAAN DALAM NOVEL PEREMPUAN DI TITIK NOL KARYA NAWAL EL SAADAWI DALAM PERSPEKTIF HUMANIORA - Sunarti Mustamar-134 11. LINGUISTIK LINTAS SUKU BANGSA - Sudartomo Macaryus-148 12. TOKOH KRESNA DALAM WIRACARITA MAHABHARATA SEBAGAI TOKOH IDENTIFIKASI ETIK MORAL - Asri Sundari-163 13. KONSEPSI (COLLECTIVE MIND) WONG JAWA YANG TERCERMIN DALAM PITUDUH JAWA - Sri Ningsih dan Ali Badrudin-201 14.
    [Show full text]
  • Transformasi Perjuangan Perempuan Dalam Ekranisasi Novel Athirah Karya Alberthiene Endah Ke Film Athirah Karya Riri Riza: Kajian Ekranisasi
    TRANSFORMASI PERJUANGAN PEREMPUAN DALAM EKRANISASI NOVEL ATHIRAH KARYA ALBERTHIENE ENDAH KE FILM ATHIRAH KARYA RIRI RIZA: KAJIAN EKRANISASI SKRIPSI Untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia oleh Etik Tarina 2111414021 JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2019 iii iv MOTO DAN PERSEMBAHAN Allah tidak akan memberikan keindahan yang sempurna tanpa didahului perjalanan terjal (Athirah) Persembahan: Skripsi ini saya persembahkan untuk: 1. Keluarga tercinta (Bapak, Mama, Arifin) 2. Almamater saya, Universitas Negeri Semarang v SARI Tarina, Etik. 2019. “Transformasi Perjuangan Perempuan dalam Ekranisasi Novel Athirah Karya Alberthiene Endah ke Film Athirah Karya Riri Riza: Kajian Ekranisasi”. Skripsi. Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: Suseno, S.Pd., M.A. Kata Kunci: perjuangan perempuan, ekranisasi, feminis, novel, film Dalam perkembangan kesenian juga sangat lumrah satu jenis kesenian mengambil kesenian lain sebagai sumbernya atau dikenal dengan istilah transformasi. Pada proses transformasi, media yang digunakan berbeda, sehingga akan menimbulkan perubahan. Pengubahan dari novel ke film atau bias disebut ekanisasi diharapkan mampu memberikan kesan dan pesan yang positif kepada penikmatnya. Fenomena ekranisasi tentu tidak lepas dari keterkenalan awal suatu karya. novel yang sukses tidak jarang menjadi pijakan awal bagi lahirnya film yang sukses juga. Hal itu sering menjadi acuan lahirnya kesuksesan baru suatu bentuk pengalihan,
    [Show full text]