STUDI DESKRIPTIF PEMBUATAN, TEKNIK PERMAINAN, DAN FUNGSI ALAT MUSIK SAPE’ DALAM KEBUDAYAAN SUKU DAYAK KAYAAN, DI DESA ARANG LIMBUNG KECAMATAN SUNGAI RAYA, KABUPATEN KUBU RAYA, PROVINSI KALIMANTAN BARAT

SKRIPSI SARJANA

DISUSUN

O

L

E

H

NAMA : YOLANDA R. NATASYA NIM : 130707057

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI

2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

LEMBAR PENGESAHAN

STUDI DESKRIPTIF PEMBUATAN, TEKNIK PERMAINAN, DAN FUNGSI ALAT MUSIK SAPE’ DALAM KEBUDAYAAN SUKU DAYAK KAYAAN, DI DESA ARANG LIMBUNG KECAMATAN SUNGAI RAYA, KABUPATEN KUBU RAYA, PROVINSI KALIMANTAN BARAT

SKRIPSI

Dikerjakan Oleh

Nama : YOLANDA R. NATASYA N I M : 130707057

Disetujui oleh Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Drs. Perikuten Tarigan, M.A. NIP: 196512211991031001 NIP: 195804021987031003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYAPROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DISETUJUI OLEH:

Program Studi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara MEDAN

Program Studi Etnomusikologi Ketua,

Arifni Netrirosa, SST., M.A. NIP: 196502191994032002

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PENGESAHAN

Diterima Oleh:

Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni (S.Sn) dalam bidang Etnomologi di Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Hari :

Tanggal :

Fakultas Ilmu Budaya USU

Dekan,

Dr. Budi Agustono, M.S. NIP. 196008051987031001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu

PerguruanTinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2020

YOLANDA R. NATASYA NIM: 130707057

i UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Studi Deskriptif Pembuatan, Teknik Permainan, dan Fungsi Alat Musik Sape’dalam Kebudayaan Suku Dayak Kayaan, di Desa Arang Limbung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan teori Stuktural – Fungsional dari Shusumu untuk mendeskripsikan pembuatan dan teknik Sape’ dalam masyarakat Dayak Kayaan di daerah penelitian. Metode yang digunakan adalah kualitatif yang bersifat deskriptif. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa; (1) teknik pembuatan terdiri dari pembuatan kayu, pengeringan kayu, pembentukan badan, penghalusan badan, pembentukan lubang resonansi, pengukiran motif, pengecatan badan, pemasangan kepala, pemasangan fret, pemasangan senar. (2) Teknik Permainan terdiri dari: Pelarasan senar untuk menghasilkan tangga nada, penempatan fret, teknik penjarian (idat), ngueh (petikan), pengolahan dan gaya lagu. (3) Fungsi musik Sape’ dalam masyarakat adalah: sebagai ungkapan emosional, hiburan, komunikasi, perkembangan, dan kesinambungan kebudayaan.

Kata Kunci : Sape’, Deskriptif, Pembuatan, Permainan, Fungsi.

ii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MOTTO

“Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan

selama kita mengikuti setiap prosesnya”

iii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang selalu melimpahkan rahmat karunia dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi yang berjudul “Studi Deskriptif Pembuatan,

Teknik Permainan dan Fungsi Alat Musik Sape’ Dalam Kebudayaan Suku Dayak

Kayaan, di Desa Arang Limbung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu

Raya, Provinsi Kalimantan Barat”. Skripsi ini untuk memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi guna menyelesaikan studi S-1 Etnomusikologi Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara.

Rasa hormat, terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU

Medan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran di

Dekanat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

3. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Arifni Netrirosa, SST.,

M.A., sebagai Ketua Program Studi Etnomusikologi. Penulis mengucapkan

terima kasih kepada staff pengajar Program Studi Etnomusikologi USU yang

telah banyak memberikan pemikiran dan wawasan baru kepada penulis selama

mengikuti perkuliahan.

iv UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4. Ibu Dra.Heristina Dewi, M.Pd., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

5. Terima kasih kepada Dosen Pembimbing I saya Bapak Drs. Muhammad

Takari, M.Hum., Ph.D. yang selalu sabar dan memacu penulis agar tekun

dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk nasehat-nasehat, ilmu

serta pengalaman serta yang telah bapak berikan selama saya berkuliah.

Kiranya Tuhan selalu membalaskan semua kebaikan yang bapak berikan.

Kepada Bapak Drs. Perikuten Tarigan, M. Si. Sebagai Dosen Pembimbing II

saya yang telah membimbing dan memberikan masukan kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk perhatian, ilmu dan semua

kebaikan yang bapak berikan. Kiranya Tuhan membalas semua kebaikan

bapak.

6. Kepada seluruh dosen di Etnomusikologi, Bapak Prof. Mauly Purba, M.A.,

Ph.D, Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Bapak Drs. Kumalo Tarigan,

M.A., Bapak Drs. Fadlin, M.A., Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si., Bapak Drs.

Dermawan Purba, M.Si, Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, terima kasih

yang sebesar-besarnya saya ucapkan karena telah belajar dari orang-orang

hebat seperti bapak-ibu sekalian. Biarlah kiranya ilmu yang penulis dapatkan

dari bapak-ibu sekalian bisa saya aplikasikan dalam kehidupan dan maupun

pendidikan selanjutnya, Biarlah Tuhan membalaskan semua jasa-jasa bapak-

ibu sekalian.

v UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

7. Penulis mengucapkan terima kasih buat Ibu Wawak yang sudah sangat baik

sama penulis, yang sudah banyak membantu masalah mata perkuliahan yang

selama ini tertinggal.

8. Penulis ingin mempersembahkan skripsi ini mengucapkan terima kasih kepada

Mommy Drs. A.R.Siahaan dan Papi Dr. H.J.Pandiangan, penulis terima kasih

buat saudara-saudara dan seluruh keluarga besar penulis yang selalu

mendo’akan dan memberikan dukungan yang tiada henti dengan penuh

kesabaran dan kasih sayang kepada penulis untuk selalu gigih dalam

menyelesaikan skripsi ini.

9. Para narasumber terutama Om Christian Mara, Bang Feri Sape’, Bang David

Fernandes Swery serta saudara-saudara di rumah Om Christian Mara, yang

sudah membantu memberikan semua informasi yang dibutuhkan dalam

penelitian ini.

10. Inang Uda Sannur Sinaga S.Sn, M.Sn., yang selalu support Tasya, sudah

seperti Mami Sendiri untuk segala motivasi, bantuan, dorongan, serta doa

yang diberikan sehingga penulis bisa menyelesaikan perkuliahan ini.

11. Penulis mengucapkan Terima Kasih kepada Tulang Drs. Poltak Johansen

Siahaan, M.Si., yang selalu membagikan waktu untuk penelitian tasya di

lokasi. Terima Kasih buat sahabat kecil saya Paganda Erick Christianto

Siahaan yang selalu menemani Tasya selama penelitian, membawa jalan-jalan

di Pontianak, Kalimantan Barat.

12. Semua Sahabat Florys, seperti saudara saya yang selalu mendoakan saya, dan

menunggu saya dalam menyelesaikan tugas akhir ini, maaf sudah bertahun-

vi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

tahun sudah menjauh jarak dari kalian berlima. Bukan saya untuk menjauh

dari kalian berlima, saya malu dan minder lihat kalian berlima sudah pada

kerja semua, karena kalian semua sudah pada sarjana semua. Saya berjuang

mau seperti kalian berlima, biar bisa sarjana dan dapat kerjaan yang bagus

seperti kalian berlima. Saya akan berjanji saya akan kembali dan berkumpul

kembali sama kalian berlima.

13. Penulis berterima kasih buat sobatku Dharmawanto yang selalu mengingati

dan selalu semangati dalam masa perkuliahaan maupun masa-masa lagi

terburuknya, yang selalu ada dan bersama-sama.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Medan, 28 Januari 2020 Penulis

YOLANDA R. NATASYA 130707057

vii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK KATA PENGANTAR ...... iv DAFTAR ISI ...... viii DAFTAR GAMBAR ...... x DAFTAR TABEL...... xii

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1.1. Latar Belakang Masalah ...... 1 1.2. Pokok Permasalahan ...... 6 1.3. Tujuan dan Manfaat ...... 7 1.3.1. Tujuan ...... 7 1.3.2. Manfaat ...... 7 1.4. Konsep dan Teori ...... 8 1.4.1. Konsep ...... 8 1.4.2. Teori ...... 9 1.5. Metode Penelitian...... 12 1.5.1. Studi Kepustakaan ...... 13 1.5.2. Kerja Lapangan ...... 13 1.5.3. Wawancara ...... 14 1.5.4. Kerja Laboratorium ...... 15 1.6. Lokasi Penelitian ...... 15

BAB II ETNOGRAFI UMUM LOKASI PENELITIAN ...... 16 2.1. Suku Dayak Kayaan Mendalam dan Tinjauan Historisnya .. 16 2.2. Sistem Kemasyarakatan ...... 17 2.3. Letak Geografis Provinsi Kalimantan Barat ...... 18 2.4. Bahasa ...... 22 2.5. Agama ...... 22 2.6. Kesenian dan Kerajinan Tangan ...... 24

BABIII DESKRIPSI SAPE’ DALAM BUDAYA ORANG DAYAK KAYAAN DAN TEKNIK PEMBUATAN ...... 31 3.1. Asal-usul Sape’ ...... 31 3.1.1. Cerita Mitos Kemunculan Sape’ ...... 32 3.2. Organologi Sape’ ...... 33 3.2.1. Bahan Pembuatan Alat Musik Sape’ ...... 34 3.2.2. Pembahasan Penelitian ...... 35 3.2.2.1. Proses Pembuatan Alat Musik Sape’ ...... 41

viii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB IV TEKNIK PERMAINAN SAPE’ ...... 49 4.1. Pemasangan Senar ...... 49 4.2. Pelarasan Pada Sebuah Sape’ ...... 50 4.2.1. Sistem Pelarasan untuk Sape’ Bertali Empat ...... 51 4.2.2. Penempatan Fret Pada Sebuah Sape’ ...... 52 4.3. Teknik Penjarian ...... 53 4.4. Teknik Petikan (Ngueh) ...... 54 4.4. Teknik Pengolahan Lagu ...... 55 4.6. Struktur Lagu ...... 56 4.6.1. Bentuk Lagu Sape’ ...... 56 4.6.1.1. Motif ...... 56 4.6.1.2. Frase ...... 57 4.6.1.3. Melodi ...... 58

BAB V PENGGUNAAN DAN FUNGSI SAPE’ ...... 60 5.1. Penggunaan Sape’ ...... 60 5.2. Fungsi Musik Sape’...... 63 5.2.1. Fungsi Ungkapan Emosional ...... 64 5.2.2. Fungsi Hiburan ...... 64 5.2.3. Fungsi Komunikasi ...... 65 5.2.4. Fungsi Perlambangan ...... 66 5.2.5. Fungsi Kesinambungan Kebudayaan ...... 67

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ...... 68 6.1. Kesimpulan ...... 68 6.2. Saran ...... 68

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN DAFTAR LAMPIRAN

ix UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Alat Musik Sape’ 4 Senar Suku Dayak Kayaan ...... 33

Gambar 2. Sinso/Gergaji ...... 36

Gambar 3. Kapak ...... 36

Gambar 4. Ketam ...... 37

Gambar 5. Pahat ...... 37

Gambar 6. Palu ...... 38

Gambar 7. Meteran ...... 38

Gambar 8. Bor Listrik ...... 39

Gambar 9. Gergaji ...... 39

Gambar 10. Mesin Amplas ...... 40

Gambar 11. Pahat Ukir ...... 40

Gambar 12. Pisau Raut ...... 41

Gambar 13. Proses Pembuatan Alat Musik Sape’...... 41

Gambar 14. Pembentukan Kayu ...... 42

Gambar 15. Pengeringan Kayu ...... 43

Gambar 16. Pembentukan Badan Sape’ ...... 44

Gambar 17. Penghalusan Badan Sape’ ...... 45

Gambar 18. Pembentukan Lubang Resonansi ...... 45

Gambar 19. Pengukiran Motif ...... 46

Gambar 20. Pengecatan Badan Sape’ ...... 47

Gambar 21. Pemasangan Peralatan Sape’ ...... 47

Gambar 22. Pemasangan Senar Sape’ ...... 48

x UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 23. Pemasangan Fret Nada ...... 48

Gambar 24. Penalaan dan Penempatan Fret Pada Sape’ ...... 50

Gambar 25. Sape’ yang Dimainkan Secara Berduet ...... 51

Gambar 26. Sistem Pelarasan untuk Sape’ Bertali Empat ...... 52

Gambar 27. Teknik Penjarian ...... 54

Gambar 28. Motif Lagu Dengan Judul Leleng Pada Permainan Alat Musik Sape’ ...... 57

Gambar 29. Contoh Frase Pada Permainan Alat Musik Sape’ ...... 57

Gambar 30. Contoh Lagu Datung Juli Pada Permainan Alat Musik Sape’ ...... 59

xi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Suku-suku Yang Ada Di Provinsi Kalimantan Barat ...... 18

Tabel 2. Agama Yang Dianut Di Provinsi Kalimantan Barat ...... 23

Tabel 3. Sape’ Yang Ditala Dalam Skel F ...... 53

xii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kubu Raya adalah salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi

Kalimantan Barat, berbatasan dengan Kabupaten Mempawah, Kota Pontianak dan

Kabupaten Landak di sebelah utara. Di sebelah Timur berbatasan dengan

Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Ketapang. Di sebelah Barat berbatasan dengan Selat Karimata (Laut Natuna).

Penduduk di Kabupaten Kubu Raya terdiri dari tiga kelompok masyarakat

(juga suku) besar sesuai urutan jumlah penduduknya yaitu, Dayak, Melayu, dan

Tionghoa. Selain ketiga kelompok masyarakat di atas terdapat beberapa suku pendatang seperti, Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Ambon, , dan

Bugis.

Suku Dayak terbagi menjadi beberapa subsuku yang tersebar di seluruh pulau Kalimantan. Mallinckroot (1928: 14-49) mengatakan:

Suku Dayak terbagi menjadi enam subsuku besar yang disebut Stammenras, yaitu (1) Kenyah, Kayaan, Bahau;(2) Danum; (3) Iban; (Murut);(5) Klemantan; dan (6) Punan. Terdapat beberapa sub suku Dayak yang ada di Kabupaten Kapuas Hulu, diantaranya adalah suku Iban, Taman, Kantuk, Punan dan Kayaan.

Dayak Kayaan merupakan salah satu subsuku Dayak yang mendiami daerah Sungai Raya di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Masyarakat

Dayak kayaan memiliki alat musik tradisional yang diturunkan secara turun- temurun oleh leluhurnya, salah satunya adalah alat musik Sape’.

1 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Terdapat dua macam jenis Sape’ yang dikenal suku Dayak Kayaan di

Kabupaten Kubu Raya yaitu, Sape’Kayaan dan Sape’Kenyah. Sape’ Kayaan adalah penyebutan nama alat musik Dayak Kayaan, sedangkan Sape’ Kenyah adalah nama untuk alat musik Dayak Kenyah. Secara umum tidak ada perbedaan antara kedua jenis alat musik tersebut karena suku Dayak Kayaan dan Kenyah masih dalam rumpun yang sama.

Alat musik Sape’ merupakan alat musik petik dimana proses pembuatannya sesuai dengan tradisi dan kebudayaan yang memiliki nilai-nilai artistik maupun cultural. Alat musik Sape’ dapat dilihat dari bentuk Sape’ yang menyerupai perahu serta diukir dengan motif khas dari Suku Dayak. Menurut

Gorlinski (1989: 77) Sape’ itu dijabarkannya sebagai erikut.:

Sape’ merupakan alat musik yang mempunyai leher pendek panjangnya sekitar 1,2 sampai 1,4 meter, dan lebarnya antara 27 sampai 220 cm dan tebalnya berkisar antara 9 sampai 17 cm. Bagian belakang dilubangi dan terbuka.

Alat musik Sape’merupakan alat musik pendukung dari ritual dan upacara- upacara adat Suku Dayak seperti pengobatan, persembahan, hiburan, dan sebagai musik pengiring berbagai macam tarian. Pada dasarnya alat musik Sape tidak pernah digunakan untuk mengiringi nyanyian vocal, Sape’ selalu dimainkan secara instrumental tunggal (solo instrument) atau ansambel lebih dari dua instrumen (Ensiklopedi Nasional , 1990: 377).

Teknik permainan alat musik Sape’juga memiliki keunikan tersendiri, mulai dari posisi badan memainkan Sape’, dan teknik yang dipakai untuk memproduksi nada pada permainan Sape’.

2 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Memainkan Sape’ bagi orang Dayak Kayaan adalah mengolah rasa. Orang

Dayak Kayaan khususnya memiliki rasa bermusik yang kuat di dalam hati mereka, khususnya (bermain alat) musik Sape’. Dalam memainkan Sape’ dapat dikatakan tidak ada acuan khusus untuk ukuran tinggi rendah nada pada penalaan

Sape’, menala atau menentukan nada Sape’disesuaikan dengan rasa atau selera si pemain Sape’ itu sendiri. Jadi dapat dikatakan antara Sape’ Bang Feri dengan

Sape’ om Christian Mara penalaan tinggi rendah nadanya akan berbeda. Penalaan

Sape’ baru akan sama atau disamakan ketika Sape’ akan dimainkan secara bersamaan sebagai perangkat ansambel Sape’ yang terdiri dari dua sampai tiga

Sape’.

Pada permainan instrumen permainan musik sape’, terdapat juga teknik penjarian yang tidak lazim ditemukan pada teknik penjarian dalam permainan alat musik petik lainnya. Teknik penjarian yang sering digunakan dalam permainan

Sape’ dinamakan idat (dalam permainan Sape’ merupakan teknik variasi penjarian). Teknik idat dalam permainan Sape’ dapat menghasilkan warna suara yang berbeda dalam melodi lagu yang dimainkan. Semakin bagus teknik penjarian seseorang dalam memainkan Sape’ maka semakin indah suara yang dihasilkan dari lagu yang dimainkan.

Hal yang unik lainnya dari instrumen musik Sape’ pada masyarakat Suku

Dayak Kayaan terdapat pada teknik petikan atau teknik menyembunyikan instrumen Sape’. Pada permainan instrumen musik Sape’terdapat teknik petikan yang berbeda dengan teknik petikan pada gitar. Yaitu, apabila pada gitar yang

3 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dipetik semua senar dengan hitungan ketuk irama yang pasti seperti 4/4 atau 3/4, berbeda halnya dengan teknik petikan pada musik Sape’.

Pada permainan instrumen musik Sape’, tangan kanan yang digunakan untuk memetik senar Sape’ bergerak turun naik seperti memberi tempo atau ketukan pada lagu yang dimainkan dan yang berperan sebagai melodi pokok dalam petikan musik Sape’ adalah senar nomor satu, baik untuk sape’ dua dawai maupun Sape’ empat dawai. Satu atau tiga senar yang lain hanya berfungsi sebagai drone dan dibunyikan pada saat tertentu. Selain tangan kanan yang aktif bergerak pada saat memainkan atau memetik senar Sape’, dalam memainkan melodi lagu Sape’ jari-jari tangan kiri (jari telunjuk, jari tengah dan jari manis) juga aktif bergerak dan berpindah dari ga’n satu ke ga’n selanjutnya selama lagu dimainkan. Ketiga jari tersebut berfungsi menekan atau setengah menekan

(menyentuh) dawai Sape’ pada saat memainkan melodi dalam lagu Sape’.

Musik merupakan bentuk karya seni yang bermakna sebagai perwujudan budayanya. Oleh karena itu, tidak semua orang bisa memainkan musik Sape’. Di masyarakat Suku Dayak Kayaan, instrumen musik sape’ tidak hanya dimaknai sebagai sebuah instrumen musik pengiring sebuah tarian atau hanya dimainkan untuk sebuah pertunjukan musik. Bagi orang Kayaan, Sape’ merupakan salah satu benda dengan nilai seni tinggi. Oleh karena itu, dalam memainkan musik Sape’ dibutuhkan kecakapan dan keterampilan khusus, pemahaman akan struktur dari instrumen Sape’ itu sendiri serta pengolahan lagu dalam memainkan Sape’. Proses pembelajarannya ini memakan waktu yang lama. Dengan demikian, diduga

4 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

konsep-konsep tradisi lokal masyarakat Suku Dayak Kayaan dalam proses pembelajaran Sape’ sangat mempengaruhi metode pembelajaran yang digunakan.

Alat musik Sape’yang dimiliki oleh Suku Dayak Kayaan terdiri atas dua jenis, yaitu: Sape’ berbadan lebar dan Sape’ berbadan kecil. Alat musik Sape’ini dimainkan dalam berbagai kegiatan atau upacara adat suku Dayak Kayaan, seperti:

1. Dayung, mengobati orang sakit, khususnya untuk orang yang memiliki Abuh

(makhluk gaib).

2. Iringan tari waktu Ngayau, yang diiringi musik Daak Karaang Kayo.

3. Hiburan pada saat Daangai, Gawai dan acara perkawinan.

4. Untuk upacara persembahan, yang menggunakan musik Daak Sakivak Ujung

Bakung.

5. Untuk iringan Talima (syair-syair kuno).

Margaret J. Kartomi dan Jose Maceda mengungkapkan dalam beberapa bukunya tentang musik di Asia Tenggara (2008: 56), banyak alat musik yang menyerupai Sape’. Di Kamboja disebut dengan Chap-Pey, di Filipina daerah

Mindano disebut dengan Kudyapi, di Burma daerah Mon disebut dengan Mi- gyaun, di Thailand disebut Chakay. Di Indonesia juga banyak alat musik yang menyerupai Sape’. Orang Bugis menyebutnya Kacaping, di Sunda disebut

Kacapi, orang Jawa menyebutnya dengan , Suku Alas di Aceh menyebutnya dengan Faganing, Batak Toba menyebutnya dengan Hasapi, dan masih banyak daerah yang memilikinya, namun tentu agak berbeda dengan alat musik Sape’.

Sebenarnya sejak abad kedelapan pada masa Kerajaan Sailendra, alat ini sudah

5 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ada. Buktinya pada relief Candi Borobudur terpahat alat musik mirip dengan

Sape’ (Karl Edmund Prier, Sejarah Musik Jilid I, 2008: 56). Anehnya, di Jawa alat ini tidak ditemukan selain berbentuk Siter yang bentuknya jauh berbeda dengan Sape’.

Berdasarkan pengamatan ini, maka penulis merasa tertarik dengan teknik pembuatan maupun teknik permainan alat musik Sape’, perkembangan alat musik

Sape’ dan perannya dalam upacara masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Oleh karena itu penulis memilih judul, “Studi Deskriptif Pembuatan, Teknik

Permainan, dan Fungsi Alat Musik Sape’ Dalam Kebudayaan Suku Dayak

Kayaan, di Desa Arang Limbung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten

Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat.”

1.2 Pokok Permasalahan

Dari uraian yang terdapat pada latar belakang masalah, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana teknik pembuatan alat musik Sape’ di dalam kebudayaan Suku

Dayak Kayaan, di Desa Arang Limbung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten

Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat?

2. Bagaimana teknik permainan alat musik Sape’ di dalam kebudayaan Suku

Dayak Kayaan, di Desa Arang Limbung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten

Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat?

6 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3. Bagaimana penggunaan dan fungsi Sape’ di dalam kebudayaan Suku Dayak

Kayaan, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi

Kalimantan Barat?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Pada umumnya sebuah kegiatan penelitian berorientasi kepada tujuan tertentu. Dengan demikian maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan proses pembuatan alat musik Sape’ Suku Dayak Kayaan,

Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat.

2. Mendeskripsikan permainan alat musik Sape’ Suku Dayak Kayaan,

Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat.

3. Untuk menganalisis dan mengetahui fungsi dari Sape’ dalam upacara pada

masyarakat Kalimantan Barat.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Setelah penelitian ini dirampungkan, diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:

1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menunjukkan dan memperkenalkan salah

satu instrumen musik petik yang dimiliki oleh masyarakat Suku Dayak

Kayaan, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi

Kalimantan Barat.

7 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis serta pembaca akan salah satu

kekayaan budaya musikal bangsa, khususnya musik Sape’ dalam Suku Dayak

Kayaan, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi

Kalimantan Barat.

3. Menjadi salah satu sumber atau bahan studi untuk pengembangan ilmu musik

dalam disiplin ilmu Etnomusikologi.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep adalah pengertian, merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.

Seperti yang dikemukakan R. Merton dalam dikutip dikutip Koentjaraningrat

(1976: 21) menyebutkan konsep adalah definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel mana kita ingin menentukan adanya hubungan empiris.

Lebih lanjut, sesuai dengan judul permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini mendeskripsikan tentang teknik pembuatan, permainan dan fungsi

Sape’ maka akan menjelaskan pengertian deskripsi itu sendiri.

Menurut S. Wojo Wasito (1980:41) menyebutkan deskripsi berarti uraian.

W.J.S. Poerwadarminta (1976:162) menuliskan deskripsi berarti menggambarkan apa adanya. Echols dan Shadily (1984: 176) kata deskripsi (description) berarti gambaran, uraian, lukisan. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa deskripsi adalah penguraian atau gambaran kembali situasi atau kejadian yang sudah terjadi

8 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

baik dalam tulisan maupun kata-kata yang terdapat dalam studi obyek ilmiah sehingga pembaca dapat memahami.

Selanjutnya kata organologi adalah ilmu yang mempelajari tentang organ tubuh (bagian-bagian) dari alat musik, baik itu teknik pembuatan, fungsi atau penggunaannya dalam sosial culture dalam hal ini masyarakat Dayak Kayaan-

Desa Arang Limbung, Kecamatan Sui Raya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi

Kalimantan Barat.

1.4.2. Teori

Teori merupakan serangkaian bagian variabel, definisi, yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. Sebagai pendukung dalam penyelesaian tulisan ini, penulis menggunakan beberapa teori yang mempunyai hubungan dengan kebudayaan, khususnya kebudayaan musikal. Teori yang dimaksud di sini adalah pendapat yang dikemukakan akan sesuatu keterangan mengenai peristiwa atau kejadian tertentu (Poerwadarminta, 1992: 1054).

Menurut Carol R. Ember (1987: 32), suatu kebudayaan tidaklah pernah bersifat statis, melainkan selalu berubah. Walaupun pada kenyataannya perubahan itu bukan atas gangguan yang datangnya dari luar, suatu kebudayaan pasti akan mengalami perubahan. Hal ini berhubungan dengan waktu, bergantinya generasi serta perubahan dan kemajuan tingkat pengetahuan masyarakat.

9 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Suatu musik, khususnya musik tradisional adalah memakai sistem tradisi lisan. Demikian halnya alat musik petik Sape’ Dayak Kayaan Mendalam Kapuas

Hulu dalam sistem belajar mengajar adalah memakai sistem tradisi lisan (sistem yang tidak dibentuk dari dokumen tertulis). Nettl (1973: 3) mengatakan dalam bukunya yang berjudul Folk and Traditional Music of the Western Continent, bahwa membicarakan suatu kebudayaan merupakan suatu tradisi lisan artinya musiknya, seperti halnya cerita rakyat, perumpamaan, metode dalam pemahatan dan termasuk folklore diwariskan dengan cara lisan dari mulut ke mulut.

Nyanyian dipelajari dengan cara mendengarkan, pembuatan instrumen alat musik seta pemainnya mempelajari dengan cara memperhatikan dan mempraktekkan.

Dalam kaitan ini juga tidak kalah pentingnya ialah teknik memainkan, konstruksinya, dekorasi (yang dibedakan dengan konstruksi), dan berbagai pendekatan tentang aspek sosial budaya.

Menurut Susumu Khasima (1978: 74) bahwa ada dua cara yang dapat dilakukan dalam membahas instrumen musikal yaitu secara struktural dan fungsional. Studi dengan pendekatan struktural berkaitan dengan aspek-aspek fisik dari instrumen musikal, yaitu mengamati, mengukur dan merekam (mencatat dan menggambar) bentuk instrument, ukuran konstruksi dan bahan yang dipakai untuk membuat instrumen tersebut. Sedangkan pendekatan secara fungsional ialah hal-hal yang berhubungan dengan fungsi instrumen, metode atau teknik melaras instrumen, penggunaaan bunyi yang diproduksi (dalam komposisi musik), kekuatan suara (loudness) nada serta kualitas suara.

10 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Berkenaan dengan penggunaan dari fungsi Sape’ dalam kebudayaan masyarakat Dayak Kayaan Mendalam Kapuas Hulu penulis akan melihatnya berdasarkan teori yang ditawarkan oleh Alan P. Merriam (1964: 223-226) dalam bukunya The Anthropology of Music sebagai berikut: penggunaan (uses) dan fungsi (function) merupakan salah satu masalah yang terpenting didalam

Etnomusikologi. Karena didalam mempelajari perilaku manusia kita bukan hanya mencari fakta-fakta deskripsi mengenai musik tetapi lebih penting adalah makna dari musik itu. Penggunaan musik meliputi pemakaian musik dalam konteksnya atau bagaimana musik itu digunakan. Fungsi musik berkaitan dengan tujuan pemakaian musik tersebut. Sehingga dengan demikian secara umum terdapat 10

(sepuluh) fungsi musik, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi penghayatan estetik, (3) fungsi hiburan pada berbagai tingkat masyarakat,

(4)fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi rekasi jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat.

Namun demikian harus disadari bahwa pada suatu kebudayaan musikal tidaklah selalu ke sepuluh fungsi tersebut ditemukan. Khusus dalam kaitannya dengan Sape’ Dayak Kayaan Kubu Raya, penulis hanya menemukan lima dari sepuluh fungsi tersebut, yaitu: fungsi pengungkapan emosional, fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi perlambangan dan fungsi kesinambungan kebudayaan.

11 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Demikianlah sebagian teori-teori yang akan penulis gunakan dalam membahas instrumen musik petik Sape’ ini, di samping teori-teori lainnya yang berkaitan langsung dengan obyek yang diteliti.

1.5. Metode Penelitian

Pada dasarnya data-data yang diperoleh dalam membicarakan Sape’ Suku

Dayak Kayaan Mendalam Kapuas Hulu ini diperoleh dari dua sumber sebagaimana lazimnya penelitian Etnomusikologi, yaitu data-data yang diperoleh dari lapangan dan data-data yang diperoleh dari studi kepustakaan.

Khusus dalam melakukan penelitian lapangan, penulis memakai metode penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif. Dalam metode penelitian ini, Meriam

(1964: 37) mengatakan bahwa Etnomusikologi adalah merupakan disiplin lapangan dan laboratorium, yakni data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti dari orang-orang yang dia pelajari dilapangan akan dicoba untuk dianalisis di laboratorium. Hasil dari metode inilah yang diolah menjadi suatu akhir.

Pihak lain, Curt Sachs mengatakan bahwa riset Etnomusikologi dibagi dalam dua pekerjaan, yaitu pekerjaan lapangan (field work) dan pekerjaan di meja tulis (desk work). Pekerjaan di lapangan adalah mengumpulkan data-data melalui rekaman atau mencatat pengalaman dari kehidupan musik dalam suatu kebudayaan manusia. Sedangkan pekerjaan di meja tulis adalah meliputi transkripsi obyek yang diteliti (Net11, 1964: 62).

Adapun tahapan kerja yang penulis lakukan dalam pengumpulan dan analisis data tentang Sape’ Kubu Raya Kalimantan Barat sebagai berikut:

12 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.5.1. Studi Kepustakaan

Studi ini dilakukan untuk mendapatkan dasar-dasar teori serta menelaah bahan-bahan dan keterangan yang berhubungan dengan musik. Bahan-bahan tersebut diperoleh dari buku-buku teoritis, artikel, maupun catatan-catatan lainnya yang relevan dengan tujuan penelitian ini.

Penting studi kepustakaan dilakukan adalah sebagai pedoman untuk menuntun penulis dalam mengumpulkan data-data maupun dalam melakukan pembahasan mengenai obyek yang akan diteliti.

1.5.2. Kerja Lapangan

Kerja lapangan ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat dalam menyelesaikan obyek penelitian ini. Dalam hal ini penulis menggunakan teknik observasi atau pengamatan dimana observasi adalah satu teknik pengumpulan data secara sistematis yang dilakukan secara sengaja. Sesuai dengan pendapat di atas maka penelitian yang dilakukan di lapangan adalah dengan cara pengamatan yang terlibat langsung agar penulis dapat mengamati serta memahami obyek yang sedang diteliti. Di samping itu pengamatan ini bertujuan untuk menciptakan komunikasi serta interaksi yang baik antara penulis sendiri dengan obyek yang diteliti yaitu deskripsi teknik pembuatan, permainan dan fungsi alat musik Sape’, sehingga data yang dibutuhkan dapat diperoleh secara lebih akurat.

13 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.5.3. Wawancara

Wawancara adalah percakapan antara dua orang atau lebih dan berlangsung antara narasumber dan pewawancara. Tujuan dari wawancara adalah untuk mendapatkan informasi dimana pewawancara melontarkan pertanyaan- pertanyaan untuk dijawab oleh orang yang diwawancarai. Wawancara merupakan bagian yang sangat penting dalam pengambilan data dimana dalam pengambilan data tersebut haruslah memerlukan kejelian dan teknik-teknik tertentu.

Koentjaraningrat (1986:136) membagi wawancara kedalam dua golongan besar yaitu wawancara berencana dan wawancara tak berencana, menyangkut beberapa definisi mengenai wawancara diatas maka penulis dalam hal penggalian atau pengambilan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. Penulis menggunakan teknik wawancara berencana yang dibagi lagi ke dalam sub wawancara terfokus dan wawancara sambil lalu. Mengacu pada bagian wawancara yang dikemukakan Koentjaraningrat (1985:139), yaitu: (focused interview) yaitu wawancara yang tidak mempunyai struktur tertentu namun tetap terpusat pada pokok permasalahan tertentu, wawancara bebas (free interview) yaitu wawancara yang tidak terfokus kepada suatu permasalahan saja, melainkan selalu berpindah-pindah dari satu pokok ke pokok yang lain sebagai data-data yang terkumpul umumnya bersifat beraneka ragam, wawancara sambil lalu

(casual interview) tanpa menyeleksi orangnya terlebih dahulu.

Maka dalam hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan diajukan sesuai dengan keadaan di lapangan, pertanyaan yang diajukan tidak berdasarkan urutan yang telah ditentukan pada daftar pertanyaan,

14 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

tetapi dapat berkembang sesuai dengan pembicaraan, walaupun demikian pertanyaan tersebut selalu terpusat pada pokok permasalahan dan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Dalam wawancara yang dilakukan, penulis memakai/ menggunakan media rekam, dan kamera sebagai alat untuk pengambilan dan penyimpanan data yang diperlukan dariinforman yang penulis wawancarai.

1.5.4. Kerja Laboratorium

Semua data yang telah diperoleh pada saat pengambilan data di lapangan dicatat, kemudian diolah dan dianalisis dengan teliti. Hasil olahan dan analisis data tersebut kemudian akan dijadikan dalam bentuk karya tulisan, dan selanjutnya hasil-hasil dari pengolahan dan analisis data tersebut baik berupa data tulisan, gambar maupun suara disusun secara sistematis atau teratur, sehingga hasilnya dapat dilihat dalam suatu bentuk laporan karya ilmiah atau skripsi.

1.6. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian penulis adalah di Desa Arang Limbung,

Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat.

Desa ini merupakan desa yang dihuni dan menjadi bagian dari wilayah adat suku

Dayan Kayaan, dan aktif mempraktikkan seni musik tradisionalnya, termasuk alat musik Sape’.

15 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB II

ETNOGRAFI UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Suku Dayak Kayaan Mendalam dan Tinjauan Historisnya

Suku Dayak Kayaan adalah Suku Dayak dari rumpun Kayaan atau disebut juga sebagai orang Ulu yang berasal dari Serawat. Di Kalimantan Utara Suku

Kayaan pertama-tama menetap di daerah Apau Kayaan di daerah aliran Sungai

Kayaan. Akibat sering terjadinya perang antar suku dan untuk mencari daerah atau lahan yang lebih subur serta daerah asal Apau Kayaan yang sangat tertinggal dan terisolir, maka mayoritas Suku Kayaan meninggalkan Apau Kayaan yang telah mereka tempati selama lebih kurang 300 tahun (Beris, 1965: 152), dan sekarang hanya tinggal satu desa yang dinamakan Desa Data Dian.

Kemudian bermigrasi menuju daerah-daerah yang lebih maju untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan lebih berkembang. Daerah-daerah yang mereka tuju adalah Desa Tanjung Nanga, Desa Langap dan Desa Seturan.

Ketiga desa ini terdapat dalam satu daerah Kabupaten Malinau kemudian di daerah aliran Sungai Mahakam Hulu yang merupakan sub suku Dayak Kayaan yakni Kayaan Bahau, kemudian di aliran Sungai Wahau atau daerah Suku Wehea di Kabupaten Kutai Timur terutama di Desa Miau Baru, Kong Beng, Kutai Timur sejak tahun 1969. Pada zaman Kerajaan Kutai Martadipura (Kutai Mulawarman) diperkirakan Suku Kayaan belum memasuki Kalimantan Timur. Suku Kayaan ini kemungkinan termasuk salah satu suku yang belakangan memasuki Pulau

Kalimantan dari Pulau Formosa (Taiwan) akan tetapi menurut cerita yang sudah

16 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

turun temurun di dalam budaya Suku Dayak Kayaan itu sendiri, bahwa Suku

Dayak Kayaan merupakan suku asli Kalimantan dan bukan berasal dari luar

Kalimantan yang juga merupakan salah satu Suku Dayak tertua.

Suku Dayak Kayaan juga terdapat di Sungai Mendalam, Kalimantan Barat.

Pada tahun 1863 di daerah Kalimantan Barat terdapat Suku Iban yang berimigrasi ke daerah hulu Sungai Saribas dan Sungai Rejang, yang kemudian menyerang

Suku Dayak Kayaan pada daerah hulu-hulu sungai. Kemudian terus menerus maju ke daerah utara dan ke daerah timur. Peperangan maupun serangan-serangan mengakibatkan suku-suku yang lain terusir dari lahannya.

Menurut data terdahulu bahwa Suku Dayak Kayaan merupakan 1,4% dari penduduk Kutai Barat sebelum pemekaran Mahakam Ulu. Kemudian pada saat ini

Suku Dayak Kayaan telah tesebar ke daerah Kalimantan Utara, Kalimantan

Timur, Kalimantan Barat, Sabah maupun Sarawak (Michaela 1996).

2.2 Sistem Kemasyarakatan

Berdasarkan sensus tahun 2010, etnis paling dominan di Kalimantan

Barat, yaitu Dayak (49,91%), kemudian ada Suku Melayu (16,50%). Etnis Dayak merupakan etnis di daerah pedalaman, sedangkan Etnis Melayu mayoritas di kawasan pesisir. Etnis terbesar ketiga yaitu etnis Jawa (8,66%) yang memiliki basis pemukiman di daerah transmigrasi. Di urutan keempat yaitu masyarakat

Tionghoa (8,17%) yang banyak terdapat di perkotaan seperti Singkawang dan

Pontianak. Berikutnya di urutan kelima yaitu Etnis Madura yang memiliki basis pemukiman di Pontianak dan Kubu Raya.

17 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Etnis terbesar keenam hingga sepuluh yaitu Bugis (3,13%), Sunda

(1,13%), Batak (0,60%), Daya (0,52%) dan Banjar (0,33%) dan suku-suku lainnya

(1,33%).

Tabel 1. Suku-suku Yang Ada di Provinsi Kalimantan Barat

No Suku Bangsa Jumlah Konsentrasi

1 Dayak 2.194.009 49,91%

2 Melayu 814.550 16,50%

3 Jawa 427.333 8,66%

4 Tionghoa 356.451 8,17%

5 Madura 274.669 6,27%

6 Bugis 137.282 3,13%

7 Sunda 49.530 1,13%

8 Batak 26.486 0,60%

9 Daya 22.690 0,52%

10 Banjar 14.430 0,33%

11 Suku-suku lainnya 58.306 1,33%

Total 4.385.356 100,00%

2.3 Letak Geografis Provinsi Kalimantan Barat

Kalimantan Barat (disingkat Kalbar) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan dengan ibu kota Provinsi Kota Pontianak. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah 146.807 km2 (7,53% luas Indonesia).

18 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua, Kalimantan Timur dan

Kalimantan Tengah.

Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daaerah yang dapat dijuluki provinsi “Seribu Sungai”. Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang di antaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan.

Kalimantan Barat berbatasan darat dengan negara bagian Sarawak,

Malaysia. Walaupun sebagian kecil wilayah Kalimantan Barat merupakan perairan laut, akan tetapi Kalimantan Barat memiliki puluhan pulau besar dan kecil (sebagian tidak berpenghuni) yang tersebar sepanjang Selat Karimata dan

Laut Natuna yang berbatasan dengan wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Jumlah penduduk di Provinsi Kalimantan Barat menurut sensus tahun 2016 berjumlah

365.256 jiwa (1,85% penduduk Indonesia).

Bakulapura atau Tanjungpura merupakan taklukan Kerajaan Singasari.

Wilayah kekuasaan Tanjungpura membentang dari Tanjung Dato sampai Tanjung

Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah negara kerajaan induk:

Borneo (Brunei), Sukadana (Tanjungpura) dan Banjarmasin (Bumi Kencana).

Tanjung Dato adalah perbatasan wilayah Mandala (Brunei) dan wilayah

Mandala Sukadana (Tanjungpura), sedangkan Tanjung Sambar batas wilayah

Mandala Sukadana/Tanjungpura dengan Wilayah Mandala Banjarmasin (Daerah

Kotawaringin). Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan

19 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Banjarmasin, sedangkan Sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.

Perbatasan di pedalaman, perhuluan daerah aliran Sungai Pinoh (Lawai) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin).

Daerah-daerah di Kalbar yang terkenal pada zaman dahulu di antaranya

Tanjungpura dan Batang Lawai. Loue (Lawai) oleh Tome Pires digambarkan daerah yang banyak intan, jarak dari Tanjungpure empat hari pelayaran.

Tanjungpura maupun Lawai masing-masing dipimpin seorang Patee (Patih).

Patih-patih ini tunduk kepada Patee Unus, penguasa Demak. Kesultanan Demak juga telah berjasa membantu Raja Banjar Pengeran Samudera berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung penguasa Kerajaan Negara Daha terakhir untuk memperebutkan hegemoni atas wilayah Kalimantan Selatan.

Menurut Hikayat , Brunei dan Singapura wilayah yang tidak bisa dikuasai oleh kerajaan Hindu sampai kesultanan Islam di Kalimantan Barat adalah kebanyakan dari Kalimantan Barat seperti Negeri Sambas dan sekitarnya, dan menurut Negara Brunei Darussalam Hikayat Banjar adalah palsu dan bukan dibuat dari Kesultanan Banjar sendiri melainkan dari tangan-tangan yang ingin merusak nama Kalimantan Barat dan disebarluaskan ke seluruh Indonesia sampai saat iini, karena menurut penelitian para ahli psikilog di dunia Negeri Sambas tidak pernah kalah dan takluk dengan negara manapun.

Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan keputusan

Gubernur Jenderal yang dimuat dalam STB 1938 No. 352, antara lain mengatur dan menetapkan bahwa ibu kota wilayah administratif Gouvernement Borneo berkedudukan di Banjarmasin dibagi atas 2 Residentir, salah satu di antaranya

20 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

adalah Residentie Westerafdeeling Van Borneo dengan ibu kota Pontianak yang dipimpin oleh seorang Residen.

Pada tanggal 1 Januari 1957 Kalimantan Barat resmi menjadi provinsi yang berdiri sendiri di Pulau Kalimantan, berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956 tanggal 7 Desember 1956. Undang-undang tersebut juga menjadi dasar pembentukan dua provinsi lainnya di pulau terbesar di Nusantara itu. Kedua provinsi itu adalah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Hutan di Kalimantan Barat tinggallah bersisa 8,2 juta hektar, dan sebagaimana dilansir oleh WALHI Provinsi Kalbar mengalami deforestasi sebesar

124.956 hektar atau hampir 2 kali luas Jakarta pada periode 2015-2016. Ia terdiri atas 124.657 hektar hutan premier dan sekunder, serta hutan tanaman 299 hektar.

Laju deforestasi hutan di sini 42.000 hektar pertahun. Angka ini termasuk yang tertinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya akibat alih fungsi lahan untuk investasi.

Kalimantan Barat baru memiliki hutan adat yang baru disahkan oleh pemerintah Presiden Joko Widodo pada 20 Agustus 2018 menyerahkan surat keputusan pengesahan atas hutan adat Desa Tae, Kecamatan Balai, Kabupaten

Sangpau seluas 2.189 hektar, hutan adat Tembawang Tampun Juah di Dusun

Segumon, Desa Lubuk Sabuk, Kecamatan Sekayan, masih dari Sanggau, seluas

651 hektar, dan 100 hektar hutan adat Pikul di Desa Sahan, Seluas, di Kabupaten

Bengkayang.

21 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.4 Bahasa

Bahasa yang dipakai secara umum oleh masyarakat Kalimantan Barat adalah Bahasa Indonesia, kemudian di samping Bahasa Indonesia mereka mempunyai bahasa penghubung yaitu Bahasa Melayu Pontianak, Bahasa Melayu

Sambas dan Bahasa Melayu Senganan. Hal ini dapat dilihat menurut wilayah penyebarannya. Kemudian terdapat juga beragam jenis Bahasa Dayak. Menurut beberapa hasil penelitian terdapat 188 dialek yang dipergunakan oleh Suku Dayak dan Bahasa Tionghoa seperti Tiochiu dan Khek/Hakka. Dialek bahasa Suku

Dayak ini sangat banyak kemiripannya dengan Bahasa Melayu. Perbedaan dialek tersebut kebanyakan berbeda di ujung kata. Bahasa Melayu yang dipakai masyarakat Kalimantan Barat terdiri atas beberapa jenis, yaitu Bahasa Melayu

Pontianak dan Bahasa Melayu Sambas. Logat Bahasa Melayu Pontianak memiliki kesamaan dengan Bahasa Melayu Sarawak.

2.5 Agama

Mayoritas masyarakat Kalimantan Barat menganut Agama Islam

(55,68%). Wilayah-wilayah masyarakat muslim di Kalimantan Barat yaitu daerah pesisir yang mayoritas didiami Suku Melayu seperti Kabupaten Sambas,

Mempewah, Ketapang, Kayong Utara, Kulbu Raya Kapuas Hulu dan Kota

Pontianak. Di Kabupaten Melawi dan Kota Singkawang sekitar 49% penduduknya beragama Islam. Agama Islam juga dianut Suku Jawa, Madura dan

Bugis yang berada di Kalimantan Barat.

22 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Di daerah pedalaman yang didiami Suku Dayak mayoritas penduduknya beragama Kristen (Katolik/Protestan) seperti di Kabupaten Bengkayang, Landak,

Sanggau dan Sekadau. Orang Tionghoa di Kalimantan Barat kebanyakan menganut agama Buddha dan Kristen (Katolik/Protestan). Di wilayah yang banyak terdapat Etnis Tionghoa seperti Kota Singkawan dan Pontianak juga terdapat penganut Buddha dalam jumlah cukup besar.

Agama yang dipeluk masyarakat Kalimantan Barat, yaitu:

Tabel 2. Agama Yang Dianut Di Provinsi Kalimantan Barat No Agama Jumlah Konsentrasi Keterangan

1 Islam 2.987.695 55,68% Dipeluk oleh Suku Melayu,

Jawa, Madura, Bugis,

Sunda, Banjar,

Minangkabau, sebagian

Batak serta sebagian kecil

Suku Dayak dan Tionghoa

2 Katolis 1.260.476 22,50% Dipeluk oleh Suku Dayak,

Tionghoa, NTT, Suku

Batak dan sebagian kecil

Suku Jawa

3 Kristen Protestan 730.921 13,62% Dipeluk oleh Suku Dayak,

Tionghoa, NTT, Suku

Batak serta sebagian suku

Jawa

23 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4 Buddha 361.298 6,73% Dipeluk oleh keturunan

Tionghoa

5 Konghucu 13.733 0,26% Dipeluk oleh keturunan

Tionghoa

6 Hindu 11.136 0,21% Dipeluk oleh orang Bali

Sumber: Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat

2.6. Kesenian dan Kerajinan Tangan

Alat musik tradisional:

1. /Agukng, Kollatung (Uut Danum) merupakan alat musik pukul yang

terbuat dari kuningan, merupakan alat musik yang multifungsi baik sebagai

mas kawin, sebagai dudukan simbol semangat dalam pernikahan, maupun

sebagai bahan pembayaran dalam hukum adat.

2. Gambus, alat musik petik khas Suku Melayu yang mendapat pengaruh dari

Arab.

3. Tawaq (sejenis ) merupakan alat musik untuk mengiringi tarian

tradisional masyarakat Dayak secara umum. Bahasa Dayak Uut Danum

menyebutnya Kotavak.

4. Hadirah, alat musik khas Suku Melayu yang berbentuk seperti gendang tapi

memiliki gerincing-gerincing di sekelilingnya.

5. Sapek merupakan alat musik petik tradisional dari Kapuas Hulu di kalangan

masyarakat Dayak Kayaan Mendalam Kabupaten Kapuas Hulu. Pada

24 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

masyarakat Uut Danum menyebutnya Konyahpik (bentuknya) agak berbeda

sedikit dengan Sape’.

6. Balikan/Kurating merupakan alat musik petik sejenis Sape’, berasal dari

Kapuas Hulu pada masyarakat Dayak Ibanik, Dayak Banik.

7. Kangkuang merupakan alat musik pukul yang terbuat dari kayu dan berukir,

terdapat pada masyarakat Dayak Banuaka Kapuas Hulu.

8. Keledik/Kedire merupakan alat musik terbuat dari labu dan bilah bambu

dimainkan dengan cara ditiup dan dihisap, terdapat di daerah Kapuas Hulu.

Pada Suku Dayak Uut Danum disebut Korondek.

9. Entebong merupakan alat musik pukul sejenis gendang yang banyak terdapat

di kelompok Dayak Mualang di daerah Sekadau.

10. , yaitu alat musik gesek, terdapat pada suku Melayu penggunaannya

mirip biola.

11. Kohotong, yaitu alat musik tiup, terbuat dari dahan semacam pelepah tanaman

liar di hutan seperti pohon enau.

12. Sollokanong (beberapa Suku Dayak lainnya menyebutnya Klenang) terbuat

dari kuningan, bentuknya lebih kecil dari gong, penggunaannya harus satu set.

13. Terah Umat (pada Dayak Uut Danum) merupakan alat musik ketuk seperti

pada Jawa. Alat ini terbuat dari besi (umat) maka disebut Terah

Umat.

Senjata tradisional, antara lain dapat diuraikan sebagai berikut.

1. (Ahpang sebutan Uut Danum) adalah sejenis pedang yang memiliki

keunikan tersendiri, dengan ukuran dan kekhasannya. Pada Suku Dayak Uut

25 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Danum hulunya terbuat dari tanduk rusa yang diukir, sementara besi bahan

Ahpang (Mandau) terbuat dari besi yang ditambang sendiri dan terdiri dari dua

jenis, yaitu Bahtuk Nyan yang terkenal keras dan tajam sehinga lalat hinggap

pun bisa putus tetapi mudah patah dan Umat Molihke yang terkenal lentur dan

tidak berkarat.

2. Tumbak.

3. Keris Melayu.

4. (Sohpot: Uut Danum).

5. Senapang Lantak (senjata tradisional).

6. Isou Bacou atau yang kedua sisinya tajam (Uut Danum).

7. Lunjuk atau sejenis tumbak untuk berburu (Uut Danum).

8. Mandau (sejenis pedang namun berukir pada besi dan gagang, bilah besi

berbentuk cembung sebelah).

9. Nyabor (sejenis Mandau namun melentik ke atas bilah besinya memiliki

ketajaman yang sama.

Beberapa sastra lisan yang ada di daerah ini antara lain:

1. Bekana merupakan cerita orang tua masa lalu yang menceritakan dunia

khayangan atau Orang Menua Pangau (dewa-dewi) dalam mitologi Dayak

Ibanik, Iban, Mualang, Kantuk, Desa dan lain-lain.

2. Bejandeh merupakan sejenis bekana tetapi obyek ceritanya beda.

3. Nyangahatn yaitu doa tua pada masyarakat Dayak Kanayatn.

4. Pantu Jepin yaitu syair-syair atau gurindam yang dilantunkan pada acara adat

Suku Melayu.

26 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pada Suku Dayak Uut Danum, sastra lisannya terdiri dari Kollimoi (zaman ketiga), Parung, Kandan dan Kendau. Pada zaman tertua atau pertama adalah kejadian alam semesta dan umat manusia. Pada sastra lisan zaman kedua ini adalah tentang kehidupan manusia Uut Danum di langit. Pada zaman ketiga adalah cerita kepahlawanan dan pengayauan Suku Dayak Uut Danum ketika sudah berada di bumi, misalnya bagaimana mereka mengayau sepanjang Sungai

Kapuas sampai penduduknya tidak tersisa sehingga dinamakan Kopuas Buhang

(Kapuas yang kosong atau penghuninya habis) lalu mereka mencari sasaran ke bagian lain Pulau Kalimantan yaitu ke arah Kalimantan Tengah dan Timur dan membawa nama-nama daerah di Kalimantan Barat, sehingga itulah mengapa di

Kalimantan Tengah juga ada sungai bernama Sungai Kapuas dan Sungai Melawi.

Tahtum ini jika dilantunkan sesuai aslinya bisa mencapai belasan malam untuk satu episode, sementara Tahtum ini terdiri dari ratusan episode. Parung adalah sastra lisan sewaktu ada pesta adat atau perkawinan. Kandan adalah bahasa bersastra paling tinggi di kalangan kelompok Suku Uut Danum (Dohoi, Soravai,

Pangin, Siang, Murung dan lain-lain) yang biasa digunakan untuk menceritakan

Kolimoi, Parung, Mohpash dan lain-lain. Orang yang mempelajari Bahasa

Kandan ini harus membayar kepada gurunya. Sekarang bahasa ini sudah hampir punah dan hanya dikuasai oleh orang-orang tua. Sementara Kendau adalah bahasa sastra untuk mengolok-olok atau bergurau.

Berbagai kerajinan tangan dapat diperoleh dari daerah ini, misalnya:

1. Tikar lampit, di Pontianak dan daerah Bengkayang, Sintang, Kapuas Hulu,

Ketapang.

27 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2. Bidai (bahasa Iban) atau bide (bahasa Kanayatn Group) tersebar hampir di

sebagian Suku Dayak baik di Indonesia maupun di Serawak. Bidai merupakan

tikar tradisional Dayak, terdapat di Bengkayang, Sekadau, Kapuas Hulu,

Serawak (pada komunitas Dayak Iban).

3. Ukir-ukiran, perisai, Mandau dan lain-lain terdapat di Pontianak dan Kapuas

Hulu.

4. Kacang uwoi (tikar rotan bermotif) khas Suku Dayak Uut Danum.

5. Takui Darok (caping lebar bermotif) khas Suku Dayak Uut Danum.

Kue-kue tradisional banyak dijumpai di tempat ini, misalnya:

1. Lemang, terbuat dari pulut dimasukkan ke dalam bambu, merupakan makanan

tradisional masyarakat masa lampau yang kini masih dilestarikan.

2. Lemper, terbuat dari pulut yang diisi daging/kacang terdapat di daerah Purun

merupakan makanan tradisional.

3. Lepat, terbuat dari tepung yang di dalamnya dimasukkan pisang.

4. Jimut, kue tradisional pada masyarakat Dayak Mualang daerah Belitang

Kabupaten Sekadau yang terbuat dari tepung yang dibentuk bulatan sebesar

bola pimpong.

5. Lulun, sejenis lepat yang isinya gula merah, terdapat di daerah Belitang

Kabupaten Sekadau.

6. Lempok, dodol yang dibuat dari durian.

7. Tumpi, terdapat pada masyarakat Dayak Kahayatn, yang terbuat dari bahan

tepung.

28 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

8. Tehpung, kue tradisional pada Dayak Uut Danum, terbuat dari beras pulut

yang ditumbuk halus dan digoreng. Kue ini biasanya dibuat pada acara adat,

bentuknya ada yang seperti perahu, gong dan lain-lain.

9. Kue lapis berbagai macam serta kue keranjang dari Tionghoa.

Kuliner yang bisa kita dapatkan dari daerah ini adalah:

1. Masakan Asam Pedas di daerah Pontianak.

2. Masakan Bubur pedas di daerah Sambas.

3. Kerupuk Basah, merupakan makanan khas Kapuas Hulu.

4. Ale-ale, merupakan makanan khas Ketapang.

5. Pansoh, yaitu masakan daging di dalam bambu pada masyarakat Dayak.

6. Mie Tiaw/Kwetiau, merupakan masakan khas Tionghoa Pontianak yang

terdapat di Kota Pontianak.

7. Nasi Ayam dan Mie pangsit, merupakan masakan khas penduduk Tionghoa

Singkawang dan sekitarnya.

8. Sungkul, merupakan masakan khas Melayu Kabupaten Sanggau.

9. Lek Tau Suen, makanan Tionghoa khas Pontianak.

Kain tenun tradisional terdapat di beberapa daerah, misalnya:

1. Tenun daerah Songket Sambas, kain tenun tersebut biasa disebut kain longgi

emas, disebut demikian karena pada satu bahan yang dipergunakan adalah

benang emas yang berwarna kuning emas. Kain tenun ini telah ada sejak

Kesultanan Serawak pada tahun 1675 yang memerintah Kesultanan Sambas

selama 10 tahun.

29 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2. Tenun Belitang daerah Kumpang Ilong Kabupaten Sekadau (Dayak

Mualang/Ibank).

3. Tenun Ensaid Panjang Kabupaten Sintang (Dayak Desa/Ibank).

4. Tenun Kapuas Huku (Iban dan Kantuk/Kelompok Ibank).

5. Sulam Kalengkang khas Suku Melayu Kabupaten Sanggau.

Anyaman Manik kelompok Dayak Banuaka Group: Anyam baju adat

Dayak Taman, tamambaloh, periung, (baju Manik dan baju Burik).

Kerajinan anyaman rotan atau bambu, misalnya bakul, keranjang, tudung saji, dan sebagainya tersebar di Pontianak, Landak, Sanggau, Sekadau, Sintang,

Kapuas Hulu.

30 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB III

DESKRIPSI SAPE’ DALAM BUDAYA ORANG DAYAK KAYAAN DAN TEKNIK PEMBUATAN

3.1 Asal-Usul Sape’

Menurut Malinowski mitos merupakan pernyataan atau suatu kebenaran yang lebih tinggi dan lebih penting tentang realitas asli yang masih dimengerti sebagai pola dan fondasi dari kehidupan primitif (Malinowski, 1967: 305). Hal ini membedakan pengertian mitos dari legenda dan dongeng menurut Malinowski.

Mitos berasal dari bahasa Yunani yaitu muthos, yang secara harfiah berarti cerita ataupun sesuatu hal yang diceritakan oleh seseorang, yang dalam pengertian lebih luas lagi bisa berarti sebuah pernyataan, sebuah cerita, ataupun boleh juga sebagai alur suatu drama. Kata mythology dalam bahasa Inggris mempunyai pengertian sebagai studi atas mitos ataupun isi mitos, maupun bagian tertentu dari isi mitos (Dhavamony, 1995: 147).

Mitos merupakan sebuah cerita dengan berbagai konteks yang berbeda- beda. Definisi mitos sangat beragam sesuai dengan konteks yang akan dibicarakan. Peursen mengatakan mitos merupakan sebuah cerita yang memberikan pedoman maupun arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu dapat diceritakan atau dituturkan, tetapi dapat juga diungkapkan melalui tari- tarian ataupun pertunjukan dan pementasan. Inti dari cerita tersebut adalah berupa lambang-lambang yang menggambarkan berbagai pengalaman manusia purba, lambang-lambang kebaikan dan kejahatan, hidup dan kematian, dosa dan penyucian, perkawinan dan kesuburan, firdaus dan akhirat. (Peursen, 1983: 37).

31 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.1.1 Cerita Mitos Kemunculan Sape’

Menurut cerita mitos kemunculan alat musik sape’ adalah pada suatu hari sekelompok pemuda mengarungi sungai menggunakan perahu. Sungai mengalir dengan deras dan dasar sungai yang tidak rata dan bergelombang menyebabkan para pemuda tidak sanggup mengendalikan perahu dan pada akhirnya mereka terdampar di sebuah pulau kecil di tengah sungai.

Beberapa di antara mereka akhirnya hanyut dan tewas. Satu orang pemuda masih dalam keadaan selamat. Pemuda tersebut mencoba bertahan di pulau kecil tersebut dan senantiasa mengharapkan pertolongan. Akibat lapar, mengantuk dan hawa dingin yang menyerang, kesadaran si pemuda pun mulai menurun.

Kemudian pada saat itu terdengarlah sayup-sayup suara alat musik petik yang sangat membuatnya tenang.

Suara itu semakin lama semakin jelas kedengaran dan semakin lama sumber suara itu semakin jelas. Si pemuda menduga bahwa suara itu datang dari dasar sungai. Akhirnya setelah pemuda itu selamat dan pulang kembali ke rumah, dia mencoba membuat alat musik tersebut dengan berdasarkan bunyi yang didengarnya di sungai tersebut. Si pemuda tersebut percaya bahwa bunyi tersebut adalah ilham dari nenek moyang. Kemudian si pemuda tersebut menamakan alat musik tersebut dengan Sape’.

Menurut si pemuda sape’ adalah suara dari surga, yaitu suara dari alam lain dan merupakan warisan dari leluhur mereka, makanya bunyinya membuat hati tenang (Siprianus Gun-ung, tahun 1950-an). Beliau merupakan salah satu

32 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pemuka adat Dayak Kayaan dan pemain Sape’ dari Desa Arang Limbung,

Kecamatan Sui Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

3.2 Organologi Sape’

Organologi adalah ilmu yang mempelajari tentang suatu benda atau secara spesifik, baik itu dilihat dari segi bentuk, ukuran, bahan-bahan dan produksi nada dari sebuah instrumen. Dalam penelitian ini penulis akan membahas mengenai organologi instrumen Sape’ yang sesuai dengan hasil pengamatan langsung pada saat peneliti mengadakan penelitian. Sape’ yang diteliti adalah Sape’ yang memiliki 4 (empat) senar.

Alat musik (instrumen) Sape’ 4 senar tergolong dalam klasifikasi alat musik kordofon yaitu instrumen yang sumber bunyi berasal dari dawai atau senar.

Sape’ ini digolongkan kedalam instrumen yang terbuat dari kayu (mu).

Masyarakat suku Dayak Kayaan Mendalam mempunyai Sape’ empat (4 senar), seperti gambar di bawah ini.

Gambar 1. Alat Musik Sape’ 4 Senar Suku Dayak Kayaan (Sumber: Surya Siregar)

33 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.2.1 Bahan Pembuatan Alat Musik Sape’

Bahan yang digunakan untuk bahan dasar pembuatan Sape’ adalah kayu.

Jenis kayu yang dipergunakan adalah jenis kayu arau, kayu data dan kayu kitanq.

Ketiga jenis kayu ini mempunyai karakter dan ciri khas yang berbeda-beda. Arau adalah jenis kayu yang keras (semacam jati), sedangkan kitanq dan data adalah jenis kayu yang agak lembut (sejenis kayu meranti). Hal ini menghasilkan karakter atau ciri khas suara yang berbeda-beda tergantung dari bahan kayu yang dipergunakan dalam pembuatan Sape’.

Menurut informasi dari pembuat dan pemain Sape’ ini bahwa suara atau bunyi yang dihasilkan dari bahan kayu data dan kitanq lebih nyaring dari bahan kayu arau. Sedangkan untuk bahan apang dari Sape’ tersebut terbuat dari kayu ulin. Kemudian ting atau dawai/senar yang dipergunakan adalah kawat kecil yang dibentangkan dan ditambatkan pada apang Sape’. Jumlah senar yang dipergunakan pada Sape’ adalah empat senar atau senar/dawai. Bahan dasar yang dipergunakan sebagai senar pada Sape’ terbuat dari bahan kawat besi. Dan sebelum dipasang pada Sape’, kawat tersebut dipanaskan terlebih dahulu supaya lebih lembut.

Kemudian pada badan Sape’ ditempel Fret yang terbuat dari rotan atau bambu yang diraut kecil dengan panjang kurang lebih 1,5 cm (satu setengah centimeter) dengan tebal kurang lebih 1-2 mm (satu sampai dua millimeter). Fret ini hanya semacam Fret pada gitar, tetapi pada badan Sape’, Fret ini hanya dipasang pada senar nomor 1 (satu) (bawah). Alat atau bahan yang dipergunakan untuk menempelkan atau meletakkan Fret pada badan Sape’ dinamakan halah

34 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

hurap (lem tradisional dari sarang hurap yaitu sejenis lebah berukuran kecil). Fret juga berfungsi untuk membentuk tangga nada pada Sape’. Kemudian jumlah fret pada Sape’ terdiri dari sepuluh sampai empat belas fret. Susunan fret dalam teknik permainan Sape’ juga sekaligus menentukan mana lagu yang akan dimainkan.

Yang menempel di badan Sape’ selain fret adalah paku payung kecil yang terdapat pada senar nomor dua dari bawah dan senar nomor empat yaitu senar yang paling atas. Fungsi paku payung kecil tersebut adalah untuk menekan senar

Sape’ hingga bersentuhan langsung dengan badan Sape’.

Kemudian pas di sebelah paku payung kecil tadi dipasang fret. fret tersebut berfungsi untuk menaikkan dan menurunkan tegangan atau tegangan senar pada Sape’. Artinya dengan menggeser fret ke atas akan menghasilkan nada/bunyi yang rendah, dan apabila digeser ke bawah akan menghasilkan nada/bunyi yang tinggi.

3.2.2 Pembahasan Penelitian

Dalam proses pembuatan alat musik Sape’ yang sangat diperlukan adalah peralatan. Berikut adalah alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan alat musik Sape’. a. Sinso/Gergaji

Sinso adalah mesin pemotong dan pembelah kayu yang dipergunakan dalam

pembuatan dan pembentukan balok sebagai bahan dasar dari alat musik Sape’.

35 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 2. Sinso/Gergaji (Dokumentasi Penulis) b. Kapak

Kapak merupakan alat pemotong kayu dalam proses pembuatan alat musik

Sape’. Kapak dipergunakan untuk membentuk bodi Sape’ yang sudah dibuat

gambarnya sesuai alat musik Sape’. Kapak berfungsi membuang bagian-

bagian pinggir dari balok sebagai bahan pembuatan instrumen Sape’ hingga

balok tersebut berbentuk alat musik Sape’.

Gambar 3. Kapak (Dokumentasi Penulis)

36 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

c. Ketam

Ketam adalah mesin penghalus permukaan badan alat musik Sape’.

Dipergunakan untuk menghaluskan dan meratakan seluruh permukaan badan

alat musik Sape’ supaya halus dan tidak berserat kayu lagi dan secara

keseluruhan permukaan Sape’ jadi rata dan halus.

Gambar 4. Ketam (Dokumentasi Penulis) d. Pahat

Pahat dipergunakan sebagai alat untuk membuat lubang resonansi dengan cara

menggali permukaan kayu yang telah digambar terdahulu sesuai ukuran

lubang resonansinya. Pahat ini juga digunakan untuk merapikan bagian-bagian

dari permukaan badan Sape’ yang tidak dapat dijangkau mesin ketam.

Gambar 5. Pahat (Dokumentasi Penulis)

37 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

e. Palu

Palu adalah alat pertukangan yang dipergunakan untuk proses setiap tahap

pemahatan.

Gambar 6. Palu (Dokumentasi Penulis) f. Meteran

Meteran adalah alat pengukur yang dipergunakan dalam mengukur dan

memastikan ukuran sesuai ketentuan ukuran yang akan dibuat.

Gambar 7. Meteran (Dokumentasi Penulis)

g. Bor Listrik

Bor listrik merupakan mesin untuk melubangi kayu. Dalam proses pembuatan

alat musik Sape’, bor listrik berfungsi dan bermanfaat membuat lubang

sebagai alat pemutar senar dan lubang untuk pengeras suara (spul).

38 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 8. Bor Listrik (Dokumentasi Penulis) h. Gergaji

Gergaji merupakan alat pemotong kayu. Pada proses pembuatan alat musik

Sape’, gergaji dipergunakan untuk memotong dari bagian pangkal dan ujung

balok sebagai bahan dasar Sape’.

Gambar 9. Gergaji (Dokumentasi Penulis) i. Mesin Amplas

Mesin amplas adalah mesin untuk menghasilkan secara keseluruhan

permukaan kayu dari alat musik Sape’ agar badan Sape’ terlihat halus dan

mulus.

39 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 10. Mesin Amplas (Dokumentasi Penulis) j. Pahat Ukir

Pahat ukir merupakan pahat yang khusus mengukir setiap motif. Pahat ukir

berbeda dari pahat biasa, disesuaikan kebutuhan pembuat instrumen Sape’.

Gambar 11. Pahat Ukir (Dokumentasi Penulis) k. Pisau Raut

Pisau raut adalah pisau yang dipergunakan untuk meraut rotan yang akan

dipergunakan untuk menentukan pembuatan tangga nada alat musik Sape’.

40 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 12. Pisau Raut (Dokumentasi Penulis)

3.2.2.1 Proses pembuatan alat musik Sape

Proses pembuatan adalah tahapan-tahapan membentuk bahan mentah kayu menjadi alat musik sape seperti gambar berikut ini.

Gambar 13. Proses Pembuatan Alat Musik Sape’ (Sumber: Surya Siregar)

Berikut adalah tahapan-tahapan dalam membuat alat musik Sape’ menurut

Bapak Christian Mara yang merupakan pembuat alat musik Sape’ di Desa Arang

Limbung dan sekaligus merupakan narasumber bagi peneliti.

41 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

a. Proses Pembentukan Kayu

Pembentukan kayu adalah tahap pertama yang dilakukan Bapak

Oktavianus Harry dalam proses pembuatan alat musik Sape’. Bahan atau kayu mentah yang belum di olah dalam proses ini dibentuk balok yang ukurannya disesuaikan dengan alat musik Sape’ yang akan dibuat yaitu panjang 130 cm, lebar 25 cm, tebal 11 cm. Ukuran balok ini sudah diperhitungkan sebelum dibentuk alat musik Sape’. Dalam tahap pembentukan balok narasumber menggunakan alat pemotong yaitu sinso, alat ini sangat memudahkan bapak dalam tahap pembentukan kayu.

Gambar 14. Pembentukan Kayu (Dokumentasi Penulis)

b. Proses Pengeringan Balok Atau Kayu

Tahap pengeringan balok atau kayu adalah tahap dimana setelah selesai tahap pembentukan balok selesai. Tahap ini dilakukan agar kayu yang akan digunakan untuk alat musik Sape’ benar-benar kering, tahap ini juga dilakukan agar alat musik Sape’ yang dibuat dapat menghasilkan suara yang nyaring dan sesuai karakter alat musik Sape’.

42 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 15. Pengeringan Kayu (Dokumentasi Penulis)

c. Proses Pembentukkan Badan Sape’

Setelah selesai tahap pengeringan bahan kayu yang akan digunakan untuk alat musik Sape’ adalah tahap pembentukan badan Sape’. Pembentukan badan

Sape’ menggunakan papan mal yang sudah dibuat terlebih dahulu oleh pembuat alat musik Sape’. Papan mal badan Sape’ berfungsi sebagai alat untuk menggaris setiap bagian tepi alat musik Sape’ dan garis tersebut adalah sebagai patokan pembuat alat musik Sape’ untuk membentuknya hingga berbentuk Sape’. Papan mal juga berfungsi agar alat musik Sape’ yang dibuat ukurannya sama rata, dan papan mal ini tentunya sudah disesuaikan dengan ukuran Sape’. Jika sedah melakukan penggarisan mal maka pembuat alat musik Sape’ membentuk alat musik Sape’ mengikuti setiap garis yang sudah ada dengan menggunakan kapak, pahat dan gergaji.

43 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 16. Pembentukan Badan Sape’ (Dokumentasi Penulis)

d. Proses Penghalusan Badan Sape’

Penghalusan badan Sape’ adalah tahapan yang paling menentukan ukuran

Sape’ yang akan dibuat. Dalam tahap penghalusan badan Sape’ pembuat alat musik Sape’ biasa menggunakan mesin ketam, ketam dayung, bor, pahat dan mesin amplas. Dalam tahap ini pembuat alat musik Sape’ harus berpatokan dengan ukuran Sape’ yang akan dibuat.

44 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 17. Penghalusan Badan Sape’ (Dokumentasi Penulis)

e. Pembentukan Lubang Resonansi

Tahap membuat lubang resonansi merupakan tahap yang paling sulit dan memakan waktu cukup lama dari beberapa tahap yang lain, dimana pembuat alat musik Sape’ harus jeli menentukan ukuran tiap sisi lubang resonansi. Tiap sisi yang dibuat harus berdiameter sama rata, ketebalan permukaan, sisi kiri dan sisi kanan nya tidak boleh berbeda. Ketebalan tiap sisi yaitu berukuran 11 mm, hal ini dilakukan agar alat musik Sape’ yang dibuat menghasilkan suara yang stabil.

Kedalaman lubang resonansi yang di buat yaitu berdiameter 8 cm dari permukaan

Sape’ sampai bagian belakang Sape’.

45 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 18. Pembentukan Lubang Resonansi (Dokumentasi Penulis) f. Pengukiran Motif

Pegukiran motif adalah tahap memberi ornamen motif Dayak pada Sape’ agar Sape’ yang dibuat mempunyai ciri khas suku Dayak yang kental. Tahap ini boleh dikatakan tahap menghias atau 8 mempercantik alat musik Sape’ agar lebih menarik dan mempunyai nilai seni yang tinggi. Dalam tahap pengukiran motif pembuat alat musik Sape’ biasanya terlebih dahulu membuat pola motif yang akan di ukir dengan menggunakan pensil dan mal motif. Mal motif biasanya digunakan untuk motif Sape’ yang berpola simetris, biasanya juga tidak perlu menggunakan mal motif untuk motif yang berpola bebas. Pengukiran motif pembuat alat musik

Sape’ menggunakan pahat ukir khusus dan palu kayu khusus yang sudah dibuat untuk keperluan pengukiran saja.

Gambar 19. Pengukiran Motif (Dokumentasi Penulis)

g. Proses Pengecatan Badan Sape

Pengecatan badan adalah tahap pewarnaan pada alat musik Sape’ dari warna badan Sape’ yang sebelumnya alami warna kayu menjadi berwarna.

46 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pengecatan badan Sape’ juga berfungsi agar alat musik Sape’ lebih tahan lama dan tidak termakan rayap.

Gambar 20. Pengecatan Badan Sape’ (Dokumentasi Penulis)

h. Proses Pemasangan Peralatan Sape’

Pemasangan peralatan Sape’ adalah proses melengkapi alat musik Sape’ dengan alat-alat yang berfungsi sebagai penyempurna. Alat-alat yang dipasang yaitu dryer (putaran senar), spul (pengeras suara), gading senar, dan senar.

Gambar 21. Pemasangan Peralatan Sape’ (Dokumentasi Penulis)

47 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

i. Pemasangan Fret

Sebelum fret nada dipasang, tali Sape’ hendaklah dipasang terlebih dahulu.

Pemasangan tali perlu dibuat dengan cermat untuk memudahkan proses penalaan.

Fret nada kemudian akan dilekatkan di atas badan Sape’ mengikut skel yang telah ditetapkan.

Gambar 22. Pemasangan Senar Sape’ (Dokumentasi Penulis)

Gambar 23. Pemasangan Fret Nada (Dokumentasi Penulis)

48 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB IV

TEKNIK PERMAINAN DAN FUNGSI SAPE’

4.1 Pemasangan Senar

Pemasangan senar (ting) pada alat musik Sape’ adalah hal yang utama dan pertama sekali sebelum adanya pemasangan fret (yang disebut dengan pelarasan

Sape’). Pemasangan pada bagian senar atau sistem tuning pada Sape’ dipasang empat senar yang ditambatkan pada apang Sape’ yaitu sebuah kayu pasak yang berfungsi mengatur keregangan senar. Setelah itu dilakukanlah penyeteman pada dua buah senar yang paling bawah (yaitu senar satu dan senar dua dari bawah).

Kedua senar tadi disamakan suaranya terlebih dahulu yang disesuaikan dengan rasa musikal si pemain alat musik Sape’. Tahap selanjutnya adalah pemasangan fret dari Sape’.

Rasa musikal yang dimiliki pemain musik Sape’ serta daya ingat dan hafalan yang kuat merupakan unsur yang sangat penting dalam proses pemasangan senar pada alat musik Sape’. Pola susunan fret juga ditentukan oleh rasa musikal yang kuat oleh si pemain musik Sape’, begitu juga dengan pemasangan ting atau senar Sape’ pada masyarakat Dayak Kayaan Mendalam.

Berdasarkan rasa musikal yang tinggi dan hafalan yang sudah melakat di hati para pemain musik Sape’. Pemasangan fret sama dengan sistem pemasangan senar (ting). Rasa musikal secara personal adalah faktor utama yang mempengaruhi pemasangan fret. Susunan fret pada instrumen Sape’ dapat dibentuk beberapa pola yang lain dengan menggeser-geser atau memindah-

49 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

mindahkan fret tersebut dari posisi sebelumnya ke bentuk pola yang lain.

Perubahan susunan fret dalam memainkan alat musik Sape’ juga merupakan salah satu pembentukan lagu-lagu Sape’. Apabila susunan fret berubah maka lagu yang dibawakan berubah juga. Hal ini tetap dilakukan berdasarkan rasa musikal yang melekat di hati dan jiwa pemain musik Sape’.

4.2 Pelarasan Pada Sebuah Sape’

Umumnya, sape yang digunakan ialah Sape’ bertali empat. Tali pertama dan kedua yaitu disebut dahang weh dau tuyau ditala kepada nada yang sama

(unison) pada nada “Do” (tonik), manakala tali ketiga, yaitu disebut tu bi’ ditala kepada darjah kelima tangga nada “SOL” (dominan). Tali keempat, yaitu disebut tu satung atau i’ot ditala kepada satu oktaf yang lebih tinggi daripada tali ketiga

“SOL”. Gambar 24 menunjukkan penalaan Sape’ dan penempatan fret pada

Sape’.

Gambar 24. Penalaan dan Penempatan Fret Pada Sape’

50 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1) Tali pertama ialah tali melodi yang hanya dimainkan pada alat musik Sape’.

2) Tali 2,3,4, yaitu tali kod drod yang hanya berfungsi untuk menghasilkan nada

dron atau harmoni.

Peredaran zaman yang berlaku menyaksikan Sape’ kontemporari yang dihasilkan di kawasan Bandar. Sape ini memiliki saiz yang lebih kurang sama dan mempunyai penalaan yang sama. Keadaan ini membolehkan Sape’ berkenaan dimainkan secara duet, berkumpulan atau bersama-sama kugiran. Kebanyakan sape kontemporari dipasang tali mengikut ikon pemain Sape’ kontemporari, yaitu

Encik Jerry Kamit. Pemain Sape’ kini telah terpengaruh dan mengikuti jejak langkah bermain repertoir lagu Sape’ yang telah dipopularkan oleh beliau.

Gambar 25. Sape’ yang Dimainkan Secara Berduet

4.2.1 Sistem Pelarasan untuk Sape’ Bertali Empat

Sistem pelarasan Sape’ bertali empat menunjukkan bahwa tali empat, yaitu tali yang paling bawah adalah untuk melodi, manakala tali kedua, ketiga dan keempat berperanan sebagai dron yang memainkan ostinato. Biasanya, tali

51 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pertama dan kedua adalah ditala dalam unison, yaitu dalam pic yang sama.

Sementara itu, tali ketiga akan ditala lima not ke atas, yaitu not C Perfect Fifth

Interval dari not F pada tali kedua. Biasanya, tali keempat akan ditala kepada satu oktaf ke atas pada not yang sama, yaitu not C. Kesimpulannya, key center Sape’ ini adalah dalam key F, yaitu Tonik, dan C ialah dominan.

Gambar 26. Sistem Pelarasan untuk Sape’ Bertali Empat

4.2.2. Penempatan Fret Pada Sebuah Sape’

Tidak seperti gitar, melodi hanya dimainkan pada tali pertama Sape’. Kadang- kadang, tali pertama dan tali kedua akan dipetik bersama untuk menghasilkan harmoni. Hal ini bermakna bahwa penempatan fret hanya akan dilakukan pada tali pertama dan tali kedua. Untuk reportoir lagu Sape’ tradisional, penempatan fret akan diletakkan berdasarkan skala major pentatonik. Sebagai contoh, Sape’ yang ditala dalam skel F.

52 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tabel 3. Sape’ Yang Ditala Dalam Skel F

F G A C D F

(Do) (Re) (Mi) (SO) (La) (Ti)

4.3 Teknik Penjarian

Teknik penjarian atau disebut juga dengan Idat adalah teknik dalam permainan musik Sape’. Teknik Idat dilakukan dengan menekan dan melepas dawai atau senar. Dalam melakukan teknik Idat ini (menekan dan melepas senar) dilakukan dengan menggunakan jari-jari tangan kiri. Jari yang dipergunakan adalah jari kaki telunjuk, jari tengah dan jari manis untuk menekan maupun melepas senar. Kemudian seperti memainkan gitar, jari-jari tangan kiri berpindah- pindah posisi seperti lagu yang dimainkan.

Jari tangan kiri yang paling bawah dan dominan menekan senar atau dawai

Sape’ adalah jari telunjuk dan jari tengah, sedangkan jari manis berfungsi menekan atau menyentuh dawai pada bagian yang lain. Dan yang lebih dominan adalah penggunaan jari telunjuk.

53 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 27. Teknik Penjarian (Dokumentasi Penulis)

Dimainkan atau dibunyikan. Artinya berbeda pemain yang memasang senar (ting) ataupun fret berbeda pula nada bunyi yang dihasilkan sesuai dengan rasa musikal yang dimiliki pemain alat musik Sape’. Jadi tidak ada bunyi atau tonalias yang baku dalam penyeteman senar (ting) pada Sape’ Dayak Kayaan seperti pada alat musik gitar.

Rasa musikal ini secara personal dalam permainan alat musik Sape’ lebih khusus terarah kepada selera setiap pemain, dan rasa musikal ini tentu saja berbeda-beda. Dan penguatan sistem tuning dijadikan acuan bahwa seseorang itu mampu dan mahir memainkan alat musik Sape’.

4.4. Teknik Petikan (Ngueh)

Selain memainkan Sape’ dengan teknik Idat, teknik lain yaitu pic. Pic adalah bahwa dengan penggunaan ibu jari menghasilkan bunyi yang lembut, sedangkan yang menggunakan pic tadi suaranya lebih melenting. Namun yang lebih sering digunakan adalah ibu jari tangan oleh pemain Sape’.

54 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dalam memainkan alat musik Sape’ ini teknik petikan dimainkan mengalir dan terus menerus seperti sebagai pemberi tempo pada lagu-lagu yang dimainkan.

Posisi tangan pemain alat musik Sape’ pada saat memainkan petikan

Ngueh adalah menyentuh senar nomor satu (bawah) dengan menggunakan ibu jari, sedangkan jari-jari yang lain agak menekan tanpa menyentuh badan Sape’.

Ngueh yang diartikan sebagai menyentuh dimainkan pada saat musik

Sape’ dimainkan dengan menggunakan ibu jari tangan kanan dan ada juga yang menggunakan seperti pic gitar yang terbuat dari rotan berbentuk kecil yang diraut.

4.5. Teknik Pengolahan Lagu

Teknik pengolahan lagu dalam permainan instrumen musik Sape’ sangat mengandalkan ingatan, hafalan maupun rasa musikal yang sangat kuat dan melekat di jiwa si pemain. Teknik pengolahan lagu ini juga sangat berkaitan dengan cara peletakan dan penyusunan fret pada alat musik Sape’ ini. Teknik penyusunan fret akan menentukan judul dan jenis lagu yang dimainkan.

Seperti telah diutarakan di awal bahwa penentuan fett maupun lagu yang akan dimainkan tergantung rasa musik setiap pemain alat musik Sape’. Bisa saja dengan lagu yang sama dimainkan oleh pemain Sape’ bisa berbeda letak susunan fret maupun tingkatan nadanya. Si pemain bisa saja merubah letak dan susunan fret tersebut sesuai nilai rasa musikal yang dimiliki si pemain Sape’.

55 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.6 Struktur Lagu

Dasar dari pembentukan struktur lagu pada permainan alat musik Sape’ adalah susunan fret ke beberapa lagu yang dimainkan dari dimulai dan nada apa yang dimainkan. Kemudian struktur lagu dapat dilihat dari bentuk melodi yang dimainkan, arah pergerakan melodi yang dimainkan maupun jumlah pengulangan sampai lagu tersebut selesai dimainkan.

4.6.1 Bentuk Lagu Sape’

Bentuk lagu dalam permainan musik Sape’ adalah hanya berupa instrumental, tanpa adanya nyanyian atau vokal. Bentuk pola melodi Sape’ cukup sederhana dan banyak bagian-bagian yang dimainkan berulang-ulang dari satu frase ke bagian frase berikutnya kemudian kembali ke bentuk awal.

Dalam sajian permainan instrumen Sape’ tidak ada diawali musik pengantar atau intro lagu, namun lagu langsung dimainkan oleh si pemain instrumen Sape’.

Beberapa motif lagu yang dimainkan akan membentuk frase lagu yang akan menjadi karakter lagu dalam permainan alat musik Sape’. Dalam bentuk lagu

Sape’ terdapat motif frase dan melodi.

4.6.1.1 Motif

Motif adalah sepotong/sepenggal lagu atau sekelompok nada yang merupakan satu kesatuan. Dalam permainan Sape’ motif muncul sebagai aspek

56 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang terus menerus diolah maupun dikembangkan. Motif akan membentuk frase dalam lagu Sape’.

Di bawah ini adalah contoh motif lagu dengan judul Leleng.

Gambar 28. Motif Lagu Dengan Judul Leleng Pada Permainan Alat Musik Sape’

4.6.1.2 Frase

Frase masing-masing lagu dalam permainan instrumen Sape’ jumlahnya berbeda-beda. Bentuk-bentuk frase ada yang panjang, ada yang pendek dan dimainkan berulang-ulang. Melodi yang dimainkan dari frase ke frase lainnya berbeda dari satu tahap ke tahap berikutnya. Hal ini disesuaikan dengan rasa musikal pemain Sape’. Pengulangan beberapa frase tidak tentu atau tidak tetap.

Apabila permainan musik Sape’ dimainkan untuk iringan tarian maka pemain masih akan menyesuaikan ke dalam bentuk tariannya.

Gambar 29. Contoh Frase Pada Permainan Alat Musik Sape’

57 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.6.1.3 Melodi

Prinsip permainan musik Sape’ sangat berbeda dengan permainan gitar.

Melodi Sape’ dimainkan secara terus menerus mengalir sepanjang lagu tersebut dimainkan. Yang berfungsi sebagai melodi pokok pada instrumen Sape’ adalah senar satu dari bawah dan fungsi ketiga senar di atasnya (senar dua, senar tiga dan senar empat) dimainkan terus menerus atau drone. Teknik penjarian yang bagus akan membentuk alunan melodi yang bagus dan khas, meskipun pola melodi yang dimainkan hampir memiliki kesamaan dan dimainkan dengan cara diulang-ulang.

Rumitnya suatu melodi dimainkan tergantung bagaimana sistem penjarian si pemain Sape’. Kemudian perubahan susunan ga’n juga berpengaruh kepada pola melodi yang dimainkan.

58 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 30. Contoh Lagu Datung Juli Pada Permainan Alat Musik Sape’ (Sumber: Ditulis Oleh Sannur Sinaga)

59 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB V

PENGGUNAAN DAN FUNGSI SAPE’

5.1 Penggunaan Sape’

Kehidupan masyarakat Dayak memang tidak bisa terlepas dari alam. Alam memberikan inspirasi dan petunjuk dalam berbagai perkembangan kebudayaannya. Demikian juga kaitannya dengan Sape’. Dalam sejarah awal mula orang membuat Sape’ berdasarkan petunjuk alam atau kekuatan alam kepada masyarakat Dayak untuk keperluan berbagai ritual.

Kayu yang dipergunakan untuk membuat Sape’ pun awalnya tidak boleh sembarangan sesuai dengan komunikasi masyarakat Dayak dengan alam. Ukiran yang terdapat di Sape’ juga menggambarkan alam, misalnya dedaunan dan tumbuh-tumbuhan di sekitar masyarakat.

Pada mulanya Sape’ dipergunakan suku Dayak untuk mengiringi tarian pada masa kayau. Masa pada saat suku Dayak masih mencari kepala manusia.

Kepala-kepala hasil dari mengawau itu dibawa ke rumah panjang atau rumah beteng dengan tarian, diiringi petikan Sape’. Jenis nada yang dimainkan saat mengiringi tarian itu biasanya berjenis nyomangai. Jenis nada khusus untuk peperangan.

Sape’ yang dipergunakan untuk ritual lain. Dalam perjanjian antar suku- suku Dayak di Kalimantan untuk mengakhiri tradisu kayau di Tumbang Arol,

Kalimantan Tengah, tahun 1894, Sape’ juga dipergunakan untuk mengiringi

60 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

nyanyian yang bermakna mengakhiri tradisi mengayau. Perwakilan suku-suku

Dayak di Kalimantan kala itu memainkan Sape’ sebagai simbol perdamaian.

Ada juga alat musik yang bentuknya hampir sama dengan Sape’ yang disebut sudatang. Namun, alat itu hanya boleh dimainkan untuk nyanyian dalam upacara kematian. Perbedaannya di bagian ujung. Ujung sudatang berbentuk paruh burung enggang, sedangkan Sape’ biasanya berbentuk ukiran biasa.

Orang yang memainkan Sape’ pun sebetulnya tidak boleh sembarang orang. Hanya orang yang dianggap cukup umurlah yang boleh memainkan alat musik itu. Jika orang yang belum cukup umur atau tak pantas memainkan Sape’ memaksakan diri memainkannya, diyakini akan memperoleh petaka.

Sape’ terdapat di seluruh wilayah Kalimantan. Meskipun demikian, tidak semua subsuku Dayak memiliki alat musik itu. Mitologi tentang Sape’ pun di setiap daerah berbeda. Namun, intinya sama diperoleh melalui komunikasi dengan alam.

Sape’ Kenyah di Kalimantan Timur contohnya, dalam mitologi Dayak setempat, Sape’ diciptakan seseorang yang terdampar di pulau kecil di tengah sungai karena sampannya karam diterjang arus sungai deras. Sampan yang karam itu ditumpangi banyak orang.

Dari sekian banyak orang hanya satu yang hidup dan menyelamatkan diri ke sebuah daratan. Ketika tertidur dalam kondisi antara sadar dan tidak, ia mendengar suara alunan musik petik yang begitu indah dari dasar sungai.

Semakin lama dia mendengar suara tersebut, semakin dekat pula rasanya jarak sumber suara. Suara itu membuat penasaran.

61 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Suara musik itu sebagai ilham dari leluhur. Sekembali ke rumah, ia mencoba membuat alat musik itu dan memainkannya sesuai dengan lirik lagu apa yang didengarnya. Mulai saat itu Sape’ Kenyah dimainkan dan menjadi musik tradisik suku Dayak Kenyah.

Seiring perkembangan zaman, Sape’ di bawah baying-bayang kepunahan ditelah modernisasi. Maka, seniman yang terpanggil hatinya untuk mempertahankan kelestarian alat musik itu pun berupaya untuk menjaga eksistensi alat musik tersebut.

Christian mengombinasikan Sape’ dengan perangkat musik modern, misalnya dilengkapi dengan fasilitas yang bisa terhubung dengan pengeras suara, sehingga anak muda tertarik memainkannya.

Sape’ pun digunakan untuk mengiringi musik mereka dengan konsep kolaborasi. Senar tidak menggunakan akar dan rotan lagi tetapi memakai senar gitar.

Christian bahkan sudah menciptakan album musik Dayak dengan menggunakan Sape’ sebagai salah satu komponen yang digunakan dalam aransemen musik. Dalam setiap penampilannya, Sape’ tidak pernah lepas dari tangannya.

Ferdinandus Lah, seniman Sape’ lainnya di Kalimantan Barat atau yang akrab disapa Feri Sape’ menuturkan, di Kalimantan Barat Sape’ merupakan kebudayaan asli Dayak Kayaan di Kabupaten Kapuas Hulu. Di daerah itu, Sape’ untuk mengiringi tradisi Dange, yakni syukuran sehabis panen dengan tarian.

62 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Feri menuturkan, masyarakat Dayak Kayaan di Kalimantan Barat masih ada hubungan erat dengan Dayak Kenyah di Kalimantan Timur karena pernah ada mobilisasi masyarakat Dayak dari Kalimantan Timur menuju Kalimantan Barat.

Sape’ yang awalnya menjadi tradisi di Dayak Kenyah terbawa pula hingga ke

Kalimantan Barat. Hingga kini Sape’ tidak hanya dimainkan masyarakat Dayak

Kayaan, tetapi subsuku lainnya di Kalimantan Barat.

Upaya mempertahankan eksistensi warisan leluruh dilakukan dengan menjadikan Sape’ sebagai salah satu mata kuliah ke kampus, khususnya kepada anak muda dengan cara pengajaran yang menarik. Pada pengajarannya tidak murni bermain Sape’ untuk mengiringi ritual tertentu, tetapi sudah kesenian yang bersifat keras.

Feri juga bermain di Dubai, Iran dan Brunei. Agar Sape’ dikenal di luar, harus membuka diri dan bergaul dengan kebudayaan lain. Dengan bergaul orang tahu kebudayaan Dayak.

5.2 Fungsi Musik Sape’

Fungsi penyajian alat musik Sape’ dalam kehidupan masyarakat Dayak

Kayaan Mendalam adalah sebagai fungsi ungkapan emosional, fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi perlambangan dan fungsi kesinambungan sosial.

63 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.2.1 Fungsi Ungkapan Emosional

Permainan alat musik Sape’ merupakan ungkapan emosional dari si pemain Sape’. Hal ini terlihat dari teknik pemain Sape’ dalam memainkan instrumen Sape’ dengan menggunakan rasa musikal, ingatan dan hafalan sedemikian rupa yang menghasilkan nilai seni yang sangat halus dan bermakna sangat tinggi bagi kehidupan masyarakat Suku Dayak Kayaan Mendalam.

Alat musik ini juga berfungsi untuk menyatakan perasaan, baik perasaan riang gembira, rasa sayang, kerinduan bahkan rasa duka nestapa.

Zaman dahulu alat musik ini dimainkan pada siang hari dengan irama yang dihasilkan yang menyatakan perasaan gembira dan suka ria, sedangkan apabila dimainkan pada malam hari biasanya akan menghasilkan irama yang bernada sendu, syahdu dan sedih.

Hingga saat ini kepercayaan akan bertuahnya alat musik Sape’ masih diyakini oleh para sesepuh Dayak, yaitu ketika Sape’ dimainkan dalam upacara adat. Pada saat bunyi petikan terdengar, seluruh orang akan terdiam, lalu terdengar sayup-sayup lantaran doa dan mantra yang dihasilkan bersama-sama.

Dalam suasana seperti itu, tidak jarang di antara mereka ada yang kerasukan roh halus atau roh leluhur.

5.2.2 Fungsi Hiburan

Di samping sebagai bagian dari budaya, instrumen Sape’ merupakan alat musik yang dapat dijadikan sebagai hiburan untuk si pemain Sape' khususnya bagi

64 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

para penonton (penikmat seni) yang menyalurkan pertunjukan permainan alat musik Sape’.

Tradisi orang Dayak yang tinggal di rumah betang membuat Sape’ menjadi sarana yang termudah untuk meramaikan suasana atau untuk menghibur ketika ada salah seorang anggota yang sedang bersedih. Di rumah betang terdapat sebuah ruangan yang besar untuk acara adat atau sebagai ruang keluarga. Di ruang besar inilah para pemuda Dayak saling unjuk kemahiran dalam memainkan Sape’ dan sering juga dimainkan sebagai wujud rasa syukur atas peristiwa atau keadaan tertentu umpamanya waktu hasil panen yang melimpah.

5.2.3 Fungsi Komunikasi

Alat musik Sape’ ini dapat dipakai untuk mengungkapkan perasaan pemain Sape’. Dengan adanya bunyi nada-nada melodi yang sangat lembut, dapat memberitahukan suasana hati si pemain alat musik Sape’ tersebut. Hal ini mengungkapkan dan berkomunikasi dari gaya dan teknik permainan alat musik

Sape’.

Terdapat ungkapan mengenai Sape’ yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam tradisi masyarakat Dayak, khususnya suku Dayak Kayaan yang berbunyi “Sape’ benutah tulaang to’awah” yang secara harfiah berarti bunyi

Sape’ mampu meremukkan tulang belulang hantu-hantu yang bergentayangan.

Dari ungkapan tersebut menggambarkan bahwa alat musik Sape’ mampu membuat orang yang mendengarnya merinding hingga menyentuh tulang maupun perasaan. Menurut para tetua adat Dayak pada zaman dahulu keyakinan akan

65 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kesakralan Sape’ betul-betul dapat dirasakan dengan suasana pedesaan dan nuansa adat pada saat itu yang masih sakral.

5.2.4 Fungsi Perlambangan

Dari berbagai ragam hias maupun motif ukiran alat musik Sape’ merupakan lambing dari unsur budaya dan adat istiadat masyarakat Suku Dayak

Kayaan Mendalam.

Setiap petikan nada Sape’ yang dimainkan membawa pada suasana alam yang rindang dan asri. Satu demi satu lagu dilantunkan melalui petikan Sape’ mulai dari jenis nada yang disebut ngonyalang, berimbai hingga nyomangai. Itu merupakan jenis nada dalam permainan alat musik Sape’. Sape’ berbentuk seperti gitar, terbuat dari pohon cempedak dan plaik, tetapi bentuknya agak lonjong.

Kehidupan masyarakat Dayak tidak terlepas dari alam. Alam memberikan inspirasi dan petunjuk dalam berbagai perkembangan kebudayaan.

Demikian juga dengan alat musik Sape’, bahwa awal mula pembuatan

Sape’ berdasarkan petunjuk alam kepada masyarakat Dayak untuk keperluan berbagai ritual. Kayu yang dipergunakan unruk membuat Sape’ harus dikomunikasikan dahulu dengan alam. Ukiran yang terdapat pada alat musik

Sape’ juga menggambarkan alam, misalnya dedaunan dan tumbuh-tumbuhan di sekitar alam.

Pada mulanya Sape’ dipergunakan suku Dayak untuk mengiringi tarian, pada masa itu suku Dayak masih mencari kepala manusia dengan berperang.

Kepala-kepala dari hasil mengayau dibawa ke rumah betang (rumah panjang)

66 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dengan tarian diiringi alat musik Sape’. Nada yang dimainkan berjenis nyomangai yaitu nada khusus untuk peperangan. Sape’ juga dipergunakan dalam ritual perjanjian antar sub-suku Dayak di Kalimantan untuk mengakhiri tradisi Kayau.

Sape’ dipergunakan untuk mengiringi nyanyian yang bermakna mengakhiri tradisi mengayau. Pada saat ini Sape’ dimainkan sebagai simbol perdamaian.

5.2.5 Fungsi Kesinambungan Sosial

Bahwa permainan alat musik Sape’ yang sudah turun temurun dan sudah menjadi warisan dari nenek moyang suku Dayak Kayaan Mendalam menandakan adanya hubungan kesinambungan sosial antar generasi pada masyarakat tersebut.

Seiring dengan perkembangan zaman, Sape’ tidak hanya berfungsi sebagai alat musik untuk menyatakan perasaan saja, namun Sape’ juga mulai sering dimainkan bersama dengan alat musik lainnya. Generasi muda Dayak senang memainkan Sape’ sambil berkumpul bersama di malam hari. Di samping itu,

Sape’ dimainkan oleh kaum lelaki Dayak untuk menarik perhatian perempuan yang sedang ditaksirnya.

67 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Sape’ merupakan salah satu instrumen musik masyarakat suku Dayak

Kayaan Mendalam. Alat musik sape’ ini adalah alat musik warisan nenek moyang masyarakat Dayak Kayaan yang sudah turun temurun hingga saat ini.

Teknik memainkan alat musik Sape’ hanya berdasarkan rasa musikal pemain Sape’ itu sendiri. Rasa musikal itu sudah melekat di hati dan jiwa si pemain alat musik Sape’ dengan cara mengingat, menghafal nada-nada yang sering dimainkan pada alat musik Sape’. Mempelajari alat musik Sape’ dipelajari dengan teknik oral tradisi yang dipelajari lewat tradisi dan kebiasaan budaya setempat. Secara teknis pemain alat musik Sape’ harus dapat memahami teknik pemasangan ting (senar), fret (menyusun pola) dan memahami bentuk melodi dari lagu-lagu yang dimainkan pada permainan alat musik Sape’. Di samping itu pemain Sape’ harus dapat mempelajari aspek moral, nilai adat, serta nilai-nilai sosial di masyarakat suku Dayak Kayaan Medalam untuk menunjang kemampuan seseorang agar dapat disebut sebagai seniman Sape’ Dayak Kayaan Mendalam.

6.2 Saran

Hasil penelitian memperlihatkan bagaimana banyaknya teknik memainkan alat musik Sape’ ini pada kehidupan masyarakat suku Dayak Kayaan Mendalam.

68 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dengan demikian diharapkan adanya pembinaan dalam upaya pelestarian instrumen Sape’ ini.

Kemudian diharapkan akan menghasilkan generasi-generasi yang mencintai budaya tradisinya khususnya dalam upaya pelestarian alat musik Sape’ ini.

Penulis mengharapkan upaya pemerintah maupun masyarakat suku Dayak

Kayaan Mendalam untuk tetap menjaga dan melestarikan keberadaan alat musik

Sape’ ini. Diharapkan juga adanya upaya pembelajaran kepada generasi-generasi muda suku Dayak Kayaan Mendalam ini.

69 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat (BPS – Statistics of Kalimantan Barat Province). 2018.

Beris, William W., 1965. Borneo Log: The Struggle for Sarawak’s Forests. University of Washington Press, hlm. 152.

Carol, E. Ember. 1987. “Teori dan Metode Antropologi Budaya”. Encyclopedia of World Culture Relation Area Files (HRAF) at Yale University and Published by G. K. Hall/Mac Millan Library.

Dew Anyeq, K & dkk. 2003. Adat Lumaq: Nafas Kehidupan Dayak Bahau.Samarinda: Perkumpulan Nurani Perempuan.

Danandjaja, J. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain- Lain.Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Phenomenology of Religion. Yogyakarta: Kanisius.

Ferdinan. 2006. “Eksistensi Irama Musik Dayak Kanayatn dalam KehidupanMasyarakat Dayak Kayanatn”. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.

Geddes, W.R. 1969. Nine Dayak Night. London, Oxford, and New York:Oxford University Press.

Gorlinski, Virginia K. 1989. “Some Insights Into The Sape Playing”. Dalam The Sarawak Museum Journal. Vol XXXIX. p. 76-105.

Hastanto, S. 2005. Musik Tradisi Nusantara: Musik-Musik yang BelumBanyak Dikenal. Jakarta: Deputi Bidang Seni dan FilmKementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Hadi Sumandiyo, Y.2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Pustaka.

Hornbostel, Eric M. Von and Curt Sach. 1961.Clasification of Musikal Instrument. Translate From Original German by Antoni Brims and Klons P. Wachsman.

Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi, Editor: Paulus Florus, Stepanus Djuweng, John Bamba, Nicc Andasputra. Jakarta: Gramedia Widiasaranaindonesia, 2004.

70 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Khasima, Susumu. 1978. Ilustrasi dan Pengukuhan Instrumen Musik. Terjemahan Rizaldi Siagian.

Mallinchrodt, J. 1928. “Ethnograficche Mede dee Lingen Over De Dajaks in de Afdeeling Koealakapoeas”. Bijdragen tot detail-land en voltenkundevan. Nederkandiesh-Indie (volgno 2). (Terjemahan Haryanto).

Margareth, J. Kartony. 1972. Musical Journey in . University of Illinois Press.

Mulyana, A.R. 2009. “Musik Sentawar”. Laporan Penelitian: DinasKebudayaan, Pemuda, dan Olah Raga Kutai Barat.

Merriam, A.P. 1964. The Anthropology of Musik. Chicago Norht: WesternUniversity Press.

Malinowsky, B. 1954. Magic, Science and Religion. New York: TheUniversity of Norht Carolina Press.

Michaela, Haug. Poverty and Decentralization in East Kalimantan, Centautus Verlag and Media K.

Moleong, Lexi. J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Maunati, Y. 2004. Identitas Dayak: komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogjakarta: LKis.

Nettle, Bruno. 1973. Folk and Traditional Music of The Western Continent. Twenty-nine Issues and Concepts. Chicago: University of Illinois Press.

Nettel, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusikology. New York: The Free Press of Glencoe.

O’Dea, Thomas F. 1995. Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal.Terjemahan: Yasogama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Poerwadarminta. 1992. Analisis Data Kualitatif (Buku Sumber Tentang Metode- metode Baru). Jakarta: UIP.

Prier, K. E. 1996. Ilmu Bentuk Musik. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.

Strauss, A. &Corbin, J. 2003 Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yoyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumardjo, J. 2000. Filsafat Seni. ITB Bandung.

71 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Connie Lim Keh Nie, Narawi Haji Rashidi, Saufi Aiman Yahya 2016. Alat Muzik Tradisional Sarawak : Sape’.

Ani Karlina 2018. Jurnal UntanPROSES PEMBUATAN ALAT MUSIK SAPE DI DESA CAPKALA KABUPATEN BENGKAYANG

Song Anyeq, Y & dkk. 2004. Adat Hawaq: Mahar Kehidupan Dayak Bahau.Samarinda: Perkumpulan Nurani Perempuan.

Van Peursen, C.A. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Wade, B.C. 2004. Thinking Musically: Experiencing Musik, ExpreeingCulture. New York: Oxford University Press.

Widjono, R. H. 1998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok. Yogyakarta: Grasindo.

72 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Ferinandus Lah

Umur : 40 Tahun

Alamat : Jl. Parit Pangeran GG. Pati 1 Blok C-5 RT/RW: 01/029

Kel/Desa: Siantan Hulu, Kecamatan: Pontianak Utara

2. Nama : Christian Mara

Umur : 54 Tahun

Alamat : JL. Jenderal Ahmad Yani Gg. Ringin Sari 1 Dalam

Blok B, RT/RW: 5/01n

Dusun: Wonodadi Desa. Arang Limbung

Kecamatan: Sungai Raya, Kabupaten: Kubu Raya

73 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3. Nama : David Fernandes Swery

Umur : 25 Tahun

Alamat : Jl. Jenderal Ahmad Yani Gg. Ringin Sari 1 Dalam Blok B

RT/RW: 5/01n Dusun: Wonodadi Desa. Arang Limbung

Kecamatan: Sungai Raya, Kabupaten: Kubu Raya.

74 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA GAMBAR DOKUMENTASI

Penulis Sedang Merekam Lagu Yang Dimainkan Pemain Sape’

75 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Informan Sedang Memainkan Lagu Datung Juli

76 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Penulis Sedang Belajar Memainkan Alat Musik Sape’

77 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Penulis Sedang Belajar Teknik Penjarian Memainkan Alat Musik Sape’

78 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA