Jurnal Bawaslu ISSN 2443-2539 Herdiansah, A.G. Vol.3 No. 2 2017, Hal. 169-183

POLITISASI IDENTITAS DALAM KOMPETISI PEMILU DI PASCA 2014

Ari Ganjar Herdiansah Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Padjadjaran, Sumedang, Indonesia, ari. [email protected]

ABSTRACT

Identity has always been a political commodity driven by politicians in the electoral competition in Indonesia. This paper analyzes how the politicization of identity strengthens after the 2014 election and explains its potentials for political instability and national integration. The data used in this study gathered from the literature review and news analysis of identity and election, especially in the post-2014. This paper reveals that the weak party institutionalization encourages politicians to collaborate with civil society actors to reproduce identity issues for the sake of elections winning. The personalization of the party by its leader connected to a network of identity mass bases run the politicization in a natural setting. The further development of the politicization of the identity has the potential to divert substantial political issues such as government programs and public interests. In the economic field, political upheaval that involving the masses would weaken the confidence of investors and business actors in propelling the economic wheels. Also, political discord based on identity could damage social capital and decrease people’s ability to produce its best endeavor.

Keywords Election, identity politics, political party, national stability

Politik Identitas 169

02 JURNAL BAWASLU.indd 169 12/6/17 3:47 PM ABSTRAK

Identitas senantiasa menjadi komoditas politik yang digulirkan oleh para politikus dalam pertarungan pemilu di Indonesia. Tulisan ini menganalisis bagaimana politisasi identitas menguat pasca pemilu 2014 dan menjelaskan potensi-potensinya terhadap instabilitas politik dan integrasi bangsa. Data-data yang digunakan berasal dari kajian pustaka dan analisis berita-berita terkait dengan pemilu dan identitas, terutama pasca 2014. Tulisan ini mengungkapkan bahwa lemahnya institusionalisasi partai mendorong para politisi berkolaborasi dengan aktor-aktor civil society untuk mereproduksi isu-isu identitas demi kepentingan pemilu. Personalisasi partai oleh figur pemimpinnya yang terhubung dengan jejaring basis massa berdasarkan identitas menjadikan politisasi identitas seolah-olah berjalan alamiah. Perkembangan politisasi identitas lebih lanjut berpotensi mengalihkan persoalan politik substansial seperti program pemerintah dan kepentingan publik. Di bidang ekonomi, kegaduhan politik yang melibatkan massa akan melemahkan kepercayaan investor dan pelaku usaha dalam menggerakkan roda perekonomian. Selain itu, pertentangan politik berdasarkan identitas dapat merusak modal sosial dan menurunkan kapasitas masyarakat dalam menghasilkan pencapaian terbaiknya.

Kata Kunci Pemilu, Politik identitas, Partai Politik, Stabilitas nasional

1. Pendahuluan kepentingannya. Akan tetapi, politisasi Politik pemilu pasca 2014 ditandai identitas juga berpeluang melemahkan dengan menguatnya politisasi identitas. nilai-nilai demokrasi itu sendiri apabila Isu-isu yang berkaitan dengan etnik, menjurus pada perpecahan yang agama, atau ideologi tertentu digunakan menyebabkan terjadinya instabilitas oleh sebagian elite politisi untuk politik. membangun citra negatif lawan-lawan Politisasi (politicization) merupakan politiknya (Mietzner, 2014). Maraknya proses akuisisi kapital politik oleh suatu diskursus yang mengaitkan isu agama kelompok, institusi, atau kegiatan yang dan politik pemilu pasca Pilpres 2014 diarahkan untuk mencapai kepentingan serta gelombang unjuk rasa yang dalam mencapai atau mempertahankan menyertai Pemilihan Gubernur kekuasaan (Adediji 2016: 115). Sementara 2017 merupakan indikasi menguatnya yang dimaksud identitas sesuai dengan politisasi identitas menuju pemilu 2019 pengertian yang berlaku dalam ilmu (Herdiansah, Junaidi, & Ismiati, 2017). politik dan sosiologi, yakni kategori sosial Demokrasi memang memberikan ruang di mana orang-orang yang ditempatkan bagi setiap kelompok identitas untuk pada suatu kategori diasumsikan memiliki turut berpartisipasi dan mencapai ‘identitas’ yang sama. Identitas kemudian

170 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 170 12/6/17 3:47 PM digunakan untuk mencapai kepentingan diperlukan untuk mencapai kepentingan- tertentu dari kelompok yang bersangkutan kepentingan publik yang adil (Bozeman, (Burke 2003: 1). Politisasi identitas 2007: 109). Lebih lanjut, politisasi identitas dalam artikel ini diartikan sebagai upaya yang melibatkan gerakan-gerakan massa untuk menggunakan, mengeksploitasi, akan mengganggu roda perekonomian. atau memanipulasi identitas apakah itu Kondisi sosial politik yang tidak stabil berbasis agama, etnik, atau penganut akan mengikis kepercayaan investor ideologi tertentu untuk menimbulkan dan menyulitkan pelaku usaha dalam opini atau stigma dari masyarakat dengan menjalankan bisnisnya. Pertentangan tujuan kepentingan politik. politik berdasarkan identitas pun Artikel ini berupaya menjelaskan dapat merusak modal sosial, sehingga mengapa politisasi identitas dalam pemilu menurunkan kapasitas masyarakat dalam menguat pasca 2014 dan bagaimana menghasilkan pencapaian-pencapaian potensi-potensinya terhadap instabilitas terbaiknya. politik dan integrasi bangsa. Studi ini berasumsi bahwa politisasi identitas 2. Metode Penelitian tidak terlepas dari masih lemahnya Dengan menganalisis proses-proses institusionalisasi partai politik di Indonesia politisasi identitas dalam pemilu yang (Ufen, 2008), sehingga mendorong para dimediasi oleh para aktor politik dan politisi berkolaborasi dengan aktor-aktor masyarakat sipil, pendekatan yang civil society untuk mereproduksi isu-isu digunakan dalam artikel ini adalah identitas demi kepentingan pemilu. Salah metode kualitatif. Studi literatur satu faktor lemahnya institusionalisasi digunakan terutama untuk menelusuri partai politik, yakni personalisasi partai perkembangan politisasi identitas dalam politik oleh figur pemimpinnya yang politik pemilu dengan penekanan pasca terhubung dengan jejaring basis massa 2014. Pengamatan terhadap berita- yang tidak jarang merepresentasikan berita yang berkaitan dengan isu-isu identitas tertentu (Buehler, 2009: 55). Hal identitas dalam pemilu pasca 2014 tersebut menjadikan politisasi identitas dilakukan untuk menggali indikasi- semakin terfasilitasi dalam berbagai ajang indikasi berlakunya politisasi identitas. pemilu. Dalam upaya memberikan gambaran Perkembangan politisasi identitas mengenai akibat-akibat yang dapat dalam pemilu di Indonesia patut muncul dari politisasi identitas dalam dicermati, karena praktik tersebut pemilu di Indonesia, studi ini merujuk berpotensi mengarah pada dampak yang pada literatur-literatur politik identitas berlawanan dengan tujuan demokrasi itu yang kemudian dijadikan perspektif untuk sendiri. Perjuangan solidaritas kelompok memahami gejala-gejala serupa. di sisi lain juga mengandung upaya mempromosikan ketidaksetaraan hak 3. Perspektif Teori sipil dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi (Tornquist, 2009: 7). Padahal, Politik identitas merupakan sikap dalam kehidupan yang demokratis, politik yang fokus pada sub kelompok dan partisipasi dari seluruh institusi sosial merujuk pada aktivisme atau pencarian

Politik Identitas 171

02 JURNAL BAWASLU.indd 171 12/6/17 3:47 PM status yang dilandaskan pada kategori atas ekspresi spontan. Para politisi saat ras, gender, etnisitas, orientasi budaya, ini memanipulasi politik identitas demi dan identifikasi politik lainnya. Isunya kepentingannya, misalnya kandidat harus pada orientasi politik kelompok sub- merepresentasikan sub-sub kelompok nasional melihat perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat (Wiarda, 2014). yang ada dalam masyarakat. Di luar itu, Elite politik memainkan peran penting politik identitas juga dapat mengacu pada dalam menentukan tujuan dan taktik. identitas kebangsaan atau identitas diri Klaim-klaim identitas seringkali dibentuk (self-identity) yang melintasi batas-batas dan disalaharahkan oleh dinamika intra etnik atau nasionalisme, misalnya isu dan inter kelompok. Pada tingkat intra wanita dan imigran (Wiarda, 2014). kelompok, elite dapat membingkai tradisi- Politik identitas adalah ciri yang tradisi kelompok untuk memelihara tidak dapat dihindari dari demokrasi kekuasaan dan otoritasnya menghadapi liberal, sebab sistem politik itulah yang potensi pertentangan baik dari dalam memberikan ruang bagi tumbuhnya upaya- maupun luar kelompok. Elite-elite upaya kelompok dalam mengartikulasikan minoritas seringkali mereproduksi kepentingan dan tujuannya. Namun perasaan diskriminasi sebagai alasan identitas dalam demokrasi memuat perjuangan (Eisenberg and Kymlicka masalah lain, karena identitas kelompok 2011: 3). lebih bersifat memberi batasan ketimbang Elite politik sering bertindak seperti membebaskan individu (Gutmann, 2003: entrepreneur melakukan strategi- 1). Selain itu, dalam demokrasi deliberatif strategi yang oportunistik tentang yang mengutamakan dialog, klaim politik bagaimana memobilisasi identitas identitas tidak selalu mendukung nilai- untuk meningkatkan status baik dalam nilai kebebasan dan keadilan, tetapi masyarakat yang lebih luas maupun juga klaim yang dapat mengancam atau dalam kelompoknya. Politisasi identitas merusak nilai-nilai tersebut (Eisenberg tidak hanya berwujud sebagai ekspresi and Kymlicka 2011: 2). perasaan atau pandangan kelompok Permasalahan lainnya dari tentang pengalaman tertentu misalnya perjuangan politik identitas ialah siapa diskriminasi, tetapi juga sebagai kendaraan yang memberikan hak kepada kelompok instrumental dan oportunistik bagi elite yang mengatasnamakan identitas, yang orientasi kepentingan pribadi misalnya agama atau etnis? Sementara (Weinstock, 2006). etnis dan agama adalah konsep yang Ketika politik identitas dimanipulasi dibangun secara sosial. Artinya, konsepsi oleh kepentingan elite politik, maka dan batasan identitas dapat ditafsirkan terdapat beberapa risiko yang dapat secara beragam, sehingga menimbulkan mengancam kehidupan demokrasi. ambiguitas terkait kepentingan dan Terlebih lagi, dalam keadaan heterogenitas tujuan siapakah yang diemban dalam etnik yang seringkali menjadi hambatan perjuangan politik identitas? (Ingram bagi konsolidasi demokrasi (Birnir, 2007: 2004: 55). 61). Pertama, politik identitas membentuk Karena itu, gerakan perjuangan hierarki dalam kelompok-kelompok identitas saat ini sangat jarang terwujud minoritas. Ketika tuntutan-tuntutan

172 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 172 12/6/17 3:47 PM dari kelompok politik identitas dipenuhi politik cenderung mudah menggunakan para elitenya semakin berani untuk isu-isu yang dapat memobilisasi massa meningkatkan tekanan terhadap para secara efektif. Selain itu, penggunaan anggota kelompoknya dalam membela isu-isu identitas juga menggambarkan nilai-nilai tradisional di ruang publik. ketidakmampuan partai-partai politik Sebaliknya, ketika tuntutan kelompok untuk menunjukkan kinerja secara politik identitas tidak dipenuhi mereka substantif, sehingga pertanyaan lebih dapat memicu “cultural defensiveness” diarahkan pada isu-isu non substansial yang juga memperkuat elite-elite Isu-isu substansial lebih dipahami oleh konservatif yang mendorong para anggota masyarakat dibandingkan dengan isu-isu kelompok untuk menaati tanda-tanda kebijakan. identitas secara ketat demi melindungi kelompok dari tekanan atau ancaman 4. Hasil dan Pembahasan pihak luar (Weinstock, 2006). 4.1 Institusionalisasi Politik dan Politisasi Kedua, risiko gerakan politik Identitas di Indonesia identitas dikooptasi oleh negara. Politik Perubahan politik pasca Suharto identitas menjadi obat darurat untuk ditandai dengan pembangunan institusi- menyelesaikan masalah sosial yang institusi demokrasi, di mana dalam hal kritis, termasuk rasisme, kemiskinan, dan ini partai politik yang tumbuh subur perampasan (dispossession). Dampaknya, berkompetisi pada pemilu yang adil dan kelompok akan menonjolkan sisi terbuka untuk meraih kekuasaan. Namun, primordialisme dan aspek sakral secara demokrasi prosedural saja tidak cukup berlebihan, dan meningkatkan stereotipe untuk memperbaiki kualitas kehidupan pada kelompok-kelompok lawannya. politik, tetapi juga diperlukan partai politik Para pejabat pemerintah cenderung yang terlembagakan dengan baik, sehingga dipengaruhi pandangan-pandangan memiliki kapasitas untuk menghubungkan stereotipe dalam memutuskan kebijakan pemilih dengan pemilu. Institusionalisasi atau perkara. Ketiga, itu, komunitas merupakan proses di mana organisasi demokratis akan dilemahkan karena atau praktik-praktik berpolitik menjadi orang-orang mengacu pada basis-basis stabil dan dipatuhi secara luas. Para aktor yang membedakan mereka daripada membangun harapan-harapan, orientasi, menyatukan mereka. Modal sosial yang dan perilaku berdasarkan premis dasar berbasis pada saling percaya sulit dicapai bahwa organisasi akan mampu mengatasi akibat fragmentasi etnik dan keagamaan. masalah atau mencapai tujuan di masa Keempat, identitas adalah pokok yang depan (Mainwaring & Scully, 1995: 3). sulit untuk didialogkan secara rasional Nampaknya, institusionalisasi partai serta non-negotiable, sehingga berpotensi politik masih menjadi persoalan. Partai- menciptakan deadlock dan konflik terbuka partai mengandalkan figur atau tokoh- (Weinstock, 2006). tokoh yang memiliki akses terhadap Alcoff and Mohanty (2006: 2) simpul-simpul basis massa dalam menunjukkan bahwa pertarungan politik rangka memperoleh asupan suara yang yang memanipulasi dengan isu-isu maksimal. Simpul-simpul itu biasanya identitas akan menyebabkan elite-elite dibangun berdasarkan klan dan hubungan

Politik Identitas 173

02 JURNAL BAWASLU.indd 173 12/6/17 3:47 PM patronase elite lokal, sehingga pada (Singh, 2003). Sementara Partai gilirannya kemudian institusionalisasi yang juga merepresentasikan partai partai tersebut tetap lemah dan tidak nasionalis sekuler tetapi diwarnai dengan banyak membantu proses demokratisasi gaya aristokrasi Jawa. Namun, pada politik (Buehler & Tan, 2007: 65). 1990an kader-kader pemimpin partai Buehler (2013: 79) mengatakan ini juga diisi oleh tokoh-tokoh organisasi bahwa lemahnya institusionalisasi partai, sipil Islam, seperti HMI, sehingga terlebih lagi di tingkat daerah, mendorong dipandang cenderung bersahabat dengan para politisi lokal bersandar pada broker- kepentingan dan aspirasi umat Islam broker suara demi meraih kemenangan (Baswedan, 2004). pemilu. Akibatnya, partai politik menjadi Ketika aliran yang juga terpersonalisasikan pada figur lokal. menggambarkan identitas politik Dinamisasi tersebut meningkatkan mempengaruhi spektrum partai, Liddle pertukaran di elite politik pusat, dan Mujani justru menyatakan bahwa elite politik lokal, dan elite-elite simpul identifikasi partai berbasis latar belakang massa lokal. Sebagian elite simpul sosiologis tidak lagi berlaku pada lokal tersebut mengandalkan kelompok pemilu pemilu 1999 dan 2004. Perilaku berbasis keagamaan yang juga seringkali memilih lebih ditentukan oleh figur bersifat radikal. Lebih lanjut Buehler juga pemimpin, sehingga konsep aliran pada menekankan pembuatan kebijakan yang spektrum partai tidak berkorelasi dengan terkait dengan gerakan sosial di daerah keterpilihan partai. Dari keseluruhan tidak bertalian dengan partai politik dan responden dalam surveinya itu, sekitar opini publik, tetapi kelompok-kelompok 88 persen yang memilih Megawati informal yang tidak terorganisir yang akhirnya memilih PDIP, 89 persen yang beroperasi di luar politik institusional. memilih Habibie memilih Partai Golkar, Dalam konteks pemilu di Indonesia, 95 persen yang memilih Abdurrahman lemahnya insitusionalisasi partai Wahid memilih PKB, dan 75 persen yang berkelindan dengan penggunaan identitas memilih Amien Rais ternyata memilih atau aliran sebagai komoditas politik. PAN. Pola yang sama terdapat pada hasil Berdasarkan konsepsi Geertz (1976), survey pemilu 2004, di mana Yudhoyono sederhananya aliran dibagi dalam tiga, mendapatkan dukungan dari 82 persen yaitu santri yang preferensi politiknya pemilih Partai Golkar, 78 persen pemilih condong pada partai Islam, abangan yang PPP, dan bahkan 29 persen pemilih PDIP. preferensi pilihannya pada partai sekuler Intinya, dalam konteks pemilu faktor kiri, dan priayi yang identik dengan identifikasi terhadap figur pemimpin aristokrat Jawa. Semenjak pemilu 1999, atau elite telah mendominasi pengaruh partai-partai politik dapat dipetakan pemilih ketimbang politik aliran (Permata dalam spektrum ideologi nasionalis & Kailani, 2010). sekuler hingga Islam konservatif. PDIP Namun, King (2003) menunjukkan yang didirikan oleh Megawati dikenal pendapat yang berbeda. Berdasarkan dalam kategori sekuler kiri, karena secara kajian perbandingan hasil pemilu 1955 sejarah mereka adalah gabungan partai- dengan 1999, King menemukan pola yang partai nasionalis, sosialis-kiri, dan Kristen serupa di mana para pemilih terkumpul

174 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 174 12/6/17 3:47 PM pada partai-partai dengan basis identitas dalam proses meraup suara. Masih dalam sosial keagamaan. Meskipun dua pemilu konteks Pilpres 2004, misalnya, Megawati tersebut berjarak lebih dari empat berusaha memperoleh sokongan dari dekade, preferensi pemilih partai Islam kalangan Islam tradisionalis dengan (PKB, PAN, dan PPP) pada 1999 ternyata menggaet Hasyim Muzadi sebagai sama dengan pemilih partai Islam di kandidat wakil presiden. Tetapi, dukungan pemilu 1955 (Masyumi, Partai NU, PSII). NU terpecah setelah Abdurrahman Di sisi lain, para pemilih sekular yang Wahid menyiratkan dukungannya memilih PNI dan PKI pada pemilu 1955 terhadap Yudhoyono (Mietzner, 2009). memiliki kemiripan dengan pemilih Partai Kemenangan Yudhoyono-Kalla tidak lepas Golkar dan PDIP pada pemilu 1999. dari keberhasilannya dalam menyatukan Hal tersebut bermakna identitas yang basis dukungan Muslim tradisionalis, direpresentasikan melalui konsep aliran yakni dari kalangan NU, dan Muslim masih berlaku dalam pemilu, tetapi modernis, yang direpresentasikan oleh kemudian dipengaruhi atau dimediasi oleh PAN dan PKS. faktor kolaborasi figur ketika konteksnya Pada Pilpres 2009, persona figur adalah pemilihan presiden. semakin mendominasi preferensi pemilih. Dalam peristiwa pemilihan presiden, Proyeksi identitas berdasarkan aliran partai-partai yang berkoalisi tidak terlalu tidak begitu kentara pada figur kandidat. mempertimbangkan batasan ideologi. Pada pasangan Yudhoyono-Budiono, Akan tetapi, unsur representasi identitas misalnya, kedua sosok tersebut tidak pemilih pada masing-masing calon menandakan secara jelas mewakili kandidat cukup mudah diidentifikasi. golongan mana, terutama Budiono yang Pada putaran pertama pemilihan presiden berasal dari kalangan teknokrat. Dua 2004, terdapat lima pasang calon yaitu pasangan lainnya, Megawati-Prabowo pertama, Wiranto-Solahudin Wahid yang dan Jusuf Kalla-Wiranto, juga tidak diusung Partai Golkar, merepresentasikan begitu merepresentasikan identitas yang unsur militer dan Islam/NU. Kedua, spesifik, kecuali Megawati yang lekat Megawati-Hasyim Muzadi yang diusung dengan golongan sekularis kiri. Akan PDIP merepresentasikan nasionalis tetapi, pengelompokan partai pendukung sekuler dan Islam/NU. Ketiga, kandidat sedikit banyak menggambarkan pasangan Amin Rais-Siswono yang preferensi pilihan. Terutamanya pada diusung PAN merepresentasikan Islam/ pasangan Yudhoyono-Budiono yang Muhammadiyah dan sekuler kiri. didukung oleh Partai Demokrat, PKS, PKB, Keempat, Yudhoyono-Jusuf Kalla yang PKNU, PPP dan PBB, di mana partai-partai diusung koalisi Partai Demokrat, PBB berbasis Islam hadir di sana. dan PKPI merepresentasikan militer Faktor utama kemenangan dan nasionalis Islam. Kelima, pasangan Yudhoyono-Budiono adalah elektabilitas Hamzah Haz-Agung Gumelar yang diusung Yudhoyono yang kokoh di berbagai PPP merepresentasikan Islam/NU dan polling (Firmanzah, 2011). Di saat yang militer. bersamaan, suara partai-partai Islam Upaya-upaya meraih dukungan basis dalam pemilu legislatif 2009 justru massa berdasarkan identitas berlangsung mengalami penurunan yaitu menjadi

Politik Identitas 175

02 JURNAL BAWASLU.indd 175 12/6/17 3:47 PM 29 persen dari 37 persen di pemilu non-pemerintah selama 10 tahun dan sebelumnya. Menurut Aspinall (2010), cenderung bersikap sebagai partai oposisi kemunduran elektoral partai-partai Islam memberikan dampak sulitnya jalinan dalam pemilu 2009 menandakan lunturnya konsolidasi basis massa Islam dengan politik aliran. Menguatnya peran media basis massa nasionalis sekuler dan massa dan model-model kampanye yang turut mendorong tanda-tanda politisasi modern dan kreatif melemahkan perilaku identitas menjelang pemilu 2014. pemilih berdasarkan identitas kolektif. Partai-partai dengan citra identitas 4.2 Politisasi Identitas pasca Pemilu kolektif yang kuat, seperti PDIP dan 2014 PKB, mengalami penurunan suara yang Fenomena terjadinya politisasi drastis. Indikasi lain melemahnya politik Identitas berbasis agama dan etnik aliran adalah berhasilnya partai-partai semakin menguat menjelang dan pasca yang menggunakan pesona personal yang pemilu 2014. Kubu-kubu pendukung kuat, seperti Partai Demokrat dan Partai calon presiden pada masa itu saling Gerindra. Periode 2009 menunjukkan membentuk poros untuk melawan satu kebangkitan pola pemilih individual yang sama lain melalui identitas yang melekat merujuk pada karakter kandidat. pada karakter personal kandidat yang Meskipun konsepsi aliran tidak lagi kemudian diteruskan pada komponen- sesuai untuk menjelaskan konfigurasi komponen pendukungnya. Polarisasi Pilpres 2009, politisasi identitas poros kandidat, antara Prabowo dan sebenarnya masih digunakan oleh para Jokowi terlihat menyiratkan kalangan yang kandidat Pilpres 2009. Seperti yang dapat dikategorikan berdasarkan identitas tercermin sikap bersahabat Yudhoyono agama. Partai-partai berbasis Islam terhadap partai-partai Islam dan ormas- banyak yang mendukung pendukung ormas Islam menunjukkan bahwa Prabowo-Hatta, seperti PKS, PAN, dan representasi identitas masih dianggap PPP (kubu Djan Faridz). Sementara sebagai variabel penting dalam menjaga partai berbasis Islam pendukung Jokowi- keseimbangan dukungan politik terhadap Jusuf Kalla hanya PKB dan PPP (kubu pemerintah. Meskipun partai-partai Romahurmuzy). Partai pengusung utama saat ini telah terdorong pada skema Jokow-Jusuf Kalla, yakni PDIP yang tindakan pragmatis, tetapi pada saat merepresentasikan nasionalis sekuler- yang bersamaan mereka pun tidak kiri memberikan warna tersendiri atas terlepas dari pemanfaatan isu-isu dan kontestasi pemilu dengan nuansa aliran identitas agama untuk menarik simpati (Herdiansah, Putri, Ashari, & Maduratmi, pemilih. Partai-partai Islam akan terus 2017). berupaya untuk menyimbolkan diri, Nuansa identitas-aliran, Islam walau tidak membatasi diri, sebagai berhadapan dengan nasionalis sekuler, representasi kalangan santri dan orientasi memenuhi diskursus rivalitas politik kebijakan yang pro terhadap syariat terutama di media sosial. Sepanjang atau pro mendudukkan Islam dalam kampanye Pilpres 2014, berbagai politik (Pepinsky, Liddle, & Mujani, kampanye hitam yang memojokkan 2012). Bertahannya PDIP sebagai partai lawan politik seringkali menyinggung

176 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 176 12/6/17 3:47 PM karakteristik agama dan etnik kandidat. di Kepulauan Seribu pada September Misalnya, tuduhan bahwa Jokowi adalah 2016. Setelah potongan video pidato seorang yang lahir dari simpatisan PKI tersebut tersebar luas di media sosial, dan keturunan yang anti-islam. berbagai kelompok Islam melakukan Sementara Prabowo diidentikkan dengan aksi unjuk rasa baik di Jakarta maupun sosok militer diktator dan didukung oleh di daerah-daerah. Aksi yang diikuti oleh kelompok Islam radikal serta intoleran. ratusan ribu hingga jutaan peserta itu Setelah Pilpres 2014 usai dan dinamai sebagai Aksi Bela Islam yang dimenangkan oleh Jokowi-Jusuf Kalla, dilakukan tiga kali, yaitu pada 17 Oktober sentimen berbasis agama dan etnik 2016, 4 November 2016, dan 2 Desember kepada Jokowi terus bergulir. Presiden 2016. Mereka menuntut pemerintah (caretaker) PKS pada waktu itu, Anis supaya proses hukum terhadap Ahok atas Matta, bahkan menggambarkan tuduhan penistaan agama ditegakkan. suasana politik pasca 2014 sebagai Mereka antara lain Front Pembela Islam era pertarungan ideologi konservatif (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Hizbut melawan liberalisme (.com, 21 Tahrir Indonesia (HTI), Gerakan Nasional September 2014). Konsolidasi politik Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang tersendat di awal pemerintahan (PNPF-MUI), dan puluhan organisasi Islam turut mendorong instabilitas politik, di lainnya (Herdiansah, Junaidi, et al., 2017). mana kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Gelombang unjuk rasa yang terjadi kekuatan oposisi untuk terus menyerang terus menerus tidak hanya ditujukan kelemahan pemerintah. Isu-isu yang kepada Ahok, tetapi juga Jokowi karena bersinggungan dengan keagamaan dianggap sebagai pendukung utama dengan cepat mendapatkan reaksi yang Ahok. Seiring dengan tekanan besar menganggap pemerintah seolah-olah dari berbagai daerah, elektabilitas tidak simpati terhadap umat Islam. Ahok terus menyusut (Detik.com, 2016, Seperti ketika Menteri Dalam Negeri, 1 Desember 2016). Pada akhirnya, Tjahjo Kumolo, mengusulkan untuk pemilihan gubernur dimenangkan oleh menghapus kolom agama. Tindakan pasangan Anies-Sandi dengan yang tersebut kemudian mendapatkan reaksi didukung oleh Partai Gerindra dan PKS dari kelompok-kelompok keagamaan. NU jumlah suara 57,96 persen (Merdeka. dan Muhammadiyah keberatan dengan com, 5 Mei 2017). Kedua partai tersebut penghapusan kolom agama karena selama itu konsisten berseberangan dikhawatirkan kebebasan menjadi liar dengan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. (Republika.co.id, 12 Juni 2014). Selain karena faktor limpahan pendukung Politisasi identitas dalam pemilu Agus-Silvy dan sifat tenang pada diri mendapatkan momentum pada Pemilihan Anies-Sandi, kemenangan Anies-Sandi Gubernur DKI Jakarta 2017. Pertarungan pada Pilgub DKI 2017 juga tidak terlepas memperebutkan kursi DKI 1 kemudian dari sikap sebagian besar pemilih yang dipenuhi oleh sentimen agama semenjak mementingkan agama dan didukung oleh , atau Ahok, kekuatan kelompok-kelompok Islam (BBC. dituduh melakukan penistaan terhadap com, 27 April 2017). Islam ketika melakukan pidato kedinasan

Politik Identitas 177

02 JURNAL BAWASLU.indd 177 12/6/17 3:47 PM Namun demikian, perlu digarisbawahi pasca pemilihan gubernur DKI Jakarta bahwa kemenangan Anies-Sandi 2017. Kemenangan Anis-Sandi seolah-olah bukan semata-mata karena politisasi membuktikan bahwa politisasi identitas identitas. Peristiwa perseteruan Ahok kembali dapat dijadikan kekuatan elektoral dan pendukungnya dengan kelompok- yang efektif untuk melawan kekuatan kelompok Islam, sehingga berujung di politik yang dominan. Pola tersebut peradilan atas kasus penistaan agama berpotensi untuk digunakan pada Pilkada merupakan faktor pemantik politisasi serentak 2018, terutama di daerah-daerah identitas pada Pilgub Jakarta. Artinya, berpenduduk banyak seperti di Jawa Barat, politisasi identitas tidak berdiri sendiri Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sebab, melainkan saling terkait dengan peristiwa kemenangan di daerah-daerah tersebut dan faktor lainnya, seperti adanya dianggap dapat membuka peluang yang perasaan tidak nyaman dari sebagian lebih lebar bagi kemenangan pemilu masyarakat dan marjinalitas kelompok legislatif dan Pilpres 2019. tertentu. Pada gilirannya, kondisi itulah Mobilisasi kekuatan oposisi yang dapat dimanfaatkan oleh elite- dapat berjalan dengan massif apabila elite politik untuk menggunakan isu-isu mendapatkan dukungan luas dari identitas dalam rangka memaksimalkan masyarakat. Salah satu kunci dukungan perolehan suara. itu adalah apabila pihak oposisi mampu Keberhasilan kekuatan kelompok- menjadi kekuatan yang menampung kelompok Islam pada Pilgub Jakarta atau merepresentasikan keluhan yang 2017 membentuk suatu pola yang dapat dirasakan secara luas oleh masyarakat. direplikasi pada ajang pemilu selanjutnya, Karena itu, isu-isu yang sensitif, termasuk yakni Pilkada serentak 2018 dan Pilpres isu-isu identitas etnik dan keagamaan, 2019. Tetapi tentu saja politisasi identitas dapat dijadikan sebagai modal bagi tidak serta merta dapat diterapkan. kekuatan oposisi untuk meraih simpati Apabila pihak petahana dapat menjaga dari masyarakat. Pada berbagai isu-isu identitas supaya tidak sampai kesempatan, politisasi identitas dalam terangkat di masyarakat, pihak oposisi pemilu termanifestasi pada upaya-upaya nampaknya akan mengalami kesulitan mobilisasi massa untuk menunjukkan menggunakan isu-isu tersebut. Sebab, kekuatan jumlah (the power of numbers) mobilisasi massa yang jumlahnya besar kepada penguasa. Namun, mobilisasi dapat terwujud apabila terdapat pemicu massa yang berlangsung terus-menerus yang disadari bersama dan menyentuh tentu akan mengganggu stabilitas politik. aspek yang paling esensial dari kehidupan Konsentrasi massa di ruang-ruang publik masyarakat. akan memicu gerakan-gerakan tandingan, sehingga friksi dan konflik sosial tidak 4.3 Dampak Politisasi Identitas terhadap terhindarkan lagi. Stabilitas Politik dan Integrasi Mobilisasi massa yang berlangsung Bangsa secara massif juga dapat menurunkan Seperti yang telah diuraikan pada tingkat kepercayaan investor untuk bagian sebelumnya, politisasi identitas menanamkan modalnya di Indonesia. sepertinya telah menemukan momentum Kekacauan politik sama artinya dengan

178 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 178 12/6/17 3:47 PM ketidakpastian bagi para pelaku usaha aksi-aksi kolektif juga merupakan jalan dan tentu dapat mengakibatkan kerugian yang sah bagi kelompok-kelompok yang baik materi maupun materiil. Ketika tersisih dari aspek sosial ekonomi dan pemerintah membutuhkan investasi politik untuk meraih kepentingannya, dari sektor swasta untuk menggulirkan ketika saluran-saluran institusional kurang program pembangunan, terutama tersedia untuk mereka. Karena itu, infrastruktur, maka kekacauan akibat Schlesinger (1998) menyarankan supaya aksi-aksi massa akan menambah kesulitan kelompok-kelompok yang marjinal harus pemerintah dalam mencapai program- diintegrasikan pada kelompok mainstream program yang justru semestinya segera daripada terus merayakan perbedaan. dimanfaatkan oleh masyarakat. Senada dengan itu, Huntington (1993) Karena upayanya yang bekerja di dalam Clash of Civilization melihat ranah kesadaran dan emosi masyarakat, bahwa perbedaan yang didominasi politik politisasi identitas berpotensi mengganggu identitas yang sempit akan menghilangkan modal sosial dan lebih luas lagi dapat makna nasionalisme. Karena itu, solusi mengancam integrasi bangsa. Politik yang bisa ditempuh yaitu menekankan identitas pada dasarnya bersifat self- kembali identitas (re-identity) nilai-nilai interest, atau mengutamakan pencapaian kebangsaan. kepentingan kelompoknya. Politisasi identitas berseberangan dengan semangat 5. Simpulan kesatuan karena terlalu menekankan Menguatnya politisasi identitas keragaman. Penekanan politisasi dalam pemilu di Indonesia pasca 2014 solidaritas kelompok yang spesifik dan tidak terlepas dari pola penggunaan identitas akan merusak kesatuan sosial identitas oleh partai maupun elite politik, memperparah pembelahan politik dalam menggalang dukungan sosial yang pada akhirnya justru suara di era sebelumnya. Lemahnya mengurangi peluang untuk mencapai institusionalisasi partai turut mendorong tujuan kelompok tersebut, tetapi hanya partai-partai dan para elite politikus diarahkan untuk meraih tujuan segelintir berkolaborasi dengan elite-elite di ranah elite (Schlesinger, 1998). Kolaborasi civil society yang memiliki simpul-simpul partai politik dengan kelompok-kelompok suara. Cara tersebut dipandang lebih militan dalam upaya memobilisasi suara efektif menggalang dukungan suara, justru akan semakin memperparah ketimbang harus melakukan sosialisasi keadaan. Kelompok-kelompok tersebut politik secara intensif yang belum tentu cenderung menonjolkan perbedaan dapat dipahami oleh sebagian besar dan menyediakan pedoman perilaku masyarakat. Menguatnya figur nasional dan serta berupaya memonopoli kebenaran dominannya preferensi yang dimediasi oleh dan kepatuhan total pada konformitas media massa pada Pilpres 2009 ternyata kelompoknya (Vertigans, 2008: 52). tidak menghapus pola politisasi identitas. Namun, politik identitas bukan Simpul-simpul partai yang berbasis pada berarti tindakan yang selalu dianggap identitas (Islam) sebagai pendukung utama negatif atau berseberangan dengan kandidat presiden mengambil bentuk lain demokrasi. Politisasi identitas berupa dari politisasi identitas.

Politik Identitas 179

02 JURNAL BAWASLU.indd 179 12/6/17 3:47 PM Secara politik dan sosial, politisasi pemenuhan kesejahteraan dan menekan identitas dapat mengganggu stabilitas angka pengangguran. Persinggungan nasional. Namun, menguatnya politisasi mereka dengan broker-broker politik identitas merupakan dampak dari kondisi menjadi hubungan timbal balik yang sosial ekonomi masyarakat di Indonesia sama-sama menguntungkan. Karena itu, yang memang tarafnya masih rendah. penguatan civil society yang independen Suburnya organisasi-organisasi massa dan otonom serta menghindari perayaan yang seringkali membawa perjuangan perbedaan juga harus dibarengi dengan identitas menandakan bahwa pemerintah usaha-usaha untuk memperkecil kurang begitu berhasil dalam menyediakan kesenjangan sosial di masyarakat.

180 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 180 12/6/17 3:47 PM DAFTAR PUSTAKA

Adediji, A. (2016). The Politicization of Ethnicity as Source of Conflict: The Nigerian Situation. Berlin: Springer VS. Alcoff, L. M., & Mohanty, S. P. (2006). Reconsidering Identity Politics: An Introduction. In L. M. Alcoff, M. Hames-Garcia, S. P. Mohanty, & P. M. L. Moya (Eds.), Identity Politics Reconsidered. New York: Palgrave Macmillan. Aspinall, E. (2010). INDONESIA IN 2009: Democratic Triumphs and Trials. Southeast Asian Affairs, 103–125. Baswedan, A. R. (2004). Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory. Asian Survey, 44(5), 669–690. BBC.com. (2017, April 20). Ketika Anies-Sandi menang dengan kekuatan Islamis - BBC Indonesia. BBC.com. Retrieved from http://www.bbc.com/indonesia/ indonesia-39644574 Birnir, J. K. (2007). Ethnicity and Electoral Politics. Cambridge: Cambridge University Press. Bozeman, B. (2007). Public Values and Public Interest: Counterbalancing Economic Individualism. Washington: George Washington University Press. Buehler, M. (2009). Islam and democracy in Indonesia. Insight Turkey, 11(4), 51. Buehler, M. (2013). Subnational Islamization through Secular Parties: Comparing “Shari’a” Politics in Two Indonesian Provinces. Comparative Politics, 46(1), 63–82. Buehler, M., & Tan, P. (2007). Party-candidate relationships in Indonesian local politics: A case study of the 2005 regional elections in Gowa, South Province. Indonesia, 84(84), 41–69. https://doi.org/10.2307/40376429 Burke, P. J. (2003). Introduction. In P. J. Burke, T. Owens, R. T. Serpe, & P. A. Thoits (Eds.), Advances in Identity Theory and Research. New York: Plenum Publishers. Detik.com. (2016, December 2). Elektabilitas Ahok-Djarot Turun Tajam, ke Mana Suara Partai Pendukung? Detik.com. Retrieved from https://news.detik.com/ berita/d-3360147/elektabilitas-ahok-djarot-turun-tajam-ke-mana-suara-partai- pendukung Eisenberg, A., & Kymlicka, W. (2011). Bringing Institutions Back In: How Public Institutions Assess Identity. In A. Eisenberg & W. Kymlicka (Eds.), Identity Politics in the Public Realm: Bringing Institutions Back. In Vancouver: UBC Press. Firmanzah. (2011). Mengelola Partai politik: Komunikasi dan Posisioning Ideologi di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Geertz, C. (1976). The Religion of . Chicago: University of Chicago Press. Gutmann, A. (2003). Identity in Democracy. Oxfordshire: Princeton University Press. Herdiansah, A. G., Junaidi, & Ismiati, H. (2017). Pembelahan Ideologi,Kontestasi Pemilu, dan Ancaman Keamanan Nasional: Spektrum Politik Indonesia Pasca 2014? Jurnal Wacana Politik, 2(1).

Politik Identitas 181

02 JURNAL BAWASLU.indd 181 12/6/17 3:47 PM Herdiansah, A. G., Putri, D. A., Ashari, L., & Maduratmi, R. (2017). The Islam Defence Action : A Challenge of Islamic Movement to Democratic Transition inthe Post 2014 Indonesia. Jurnal Wacana, 20(2), 57–67. Huntington, S. P. (1993). The Clash of Civilizations? Foreign Affairs, 72(3), 22. https:// doi.org/10.2307/20045621 Ingram, D. (2004). Rights, Democracy, and Fulfillment in the Era of Identity Politics: Principle Compromises in a Compromised World. Marryland: Rowman and Littlefield Publishers, Inc. King, D. Y. (2003). Half-hearted Reform : Electoral Institutions and the Struggle for Democracy in Indonesia. Development. Portsmouth: Greenwood Publishing Group. Kompas.com. (2014, September 21). Anis Matta Anggap Koalisi Merah Putih Konservatif dan Koalisi Jokowi-JK Liberal - Kompas.com. Kompas.com. Retrieved from http://nasional.kompas.com/read/2014/09/21/11095221/Anis.Matta.Anggap. Koalisi.Merah.Putih.Konservatif.dan.Koalisi.Jokowi-JK.Liberal. Mainwaring, S., & Scully, T. (1995). Building Democratic Institutions: Party System in Latin America. California: Standford University Press. Merdeka.com. (2017, May 5). Sah! KPU DKI tetapkan Anies-Sandi menang Pilgub DKI 2017 | merdeka.com. Merdeka.com. Retrieved from https://www.merdeka. com/politik/sah-kpu-dki-tetapkan-anies-sandi-menang-pilgub-dki-2017.html Mietzner, M. (2009). Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation. Institute of Southeast Asian Studies. Mietzner, M. (2014). Indonesia’s 2014 Elections: How Jokowi Won and Democracy Survived. Journal of Democracy, 25(4), 111–125. Pepinsky, T. B., Liddle, R. W., & Mujani, S. (2012). Testing Islam’s Political Advantage:evidence from Indonesia. American Journal of Political Science, 56(3), 584–600. https://doi.org/10.1111/j.1540-5907.2011 Permata, A.-N., & Kailani, N. (2010). Islam and the 2009 Indonesian elections, political and cultural issues: the case of the (PKS). (R. Madinier, Ed.). Bangkok: IRASEC. Republika.co.id. (2014, June 23). Muhammadiyah-NU Tolak Hapus Kolom Agama | Republika Online. Republika.co.id. Retrieved from http://www.republika.co.id/ berita/koran/news-update/14/06/23/n7lzeb18-muhammadiyahnu-tolak-hapus- kolom-agama Schlesinger, A. M. (1998). The Disuniting of America: Reflections on a Multicultural Society (Revised Edition). New York: W. W. Norton & Company. Singh, B. (2003). The 2004 presidential elections in Indonesia: much ado about nothing? Contemporary Southeast Asia, 25(3), 431–448. Tornquist, O. (2009). Introduction: The Problem is Representation. In O. Tornquist, N. Webster, & K. Stokke (Eds.), Rethinking Popular Representation - Google Books. New York: Palgrave Macmillan.

182 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 182 12/6/17 3:47 PM Ufen, A. (2008). Political party and party system institutionalization in Southeast Asia : lessons for democratic consolidation in Indonesia, the Philippines and Thailand. The Pasific Review, 21(3), 327–350. https://doi.org/10.1080/09512740802134174 Vertigans, S. (2008). Militant Islam: A Sociology of Charcetristics, Causes and Consequences. United Kingdom: Taylor & Francis. Weinstock, D. M. (2006). The Real World of (Global) Democracy. Journal of Social Philosophy, 37(1), 6–20. Wiarda, H. J. (2014). Political Culture, Political Science, and Identity Politics: An Uneasy Alliance. Ashgate.

Politik Identitas 183

02 JURNAL BAWASLU.indd 183 12/6/17 3:47 PM 184 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 184 12/6/17 3:47 PM Jurnal Bawaslu ISSN 2443-2539 Sweinstani, M.K.D & Hasanah, RU. Vol.3 No. 2 2017, Hal. 185-198

INTEGRASI NASIONAL DAN EKSLUSIONARIS IDENTITAS DALAM PILKADA 2017: STUDI KASUS PILKADA UTARA, DKI JAKARTA, DAN BARAT

Mouliza K.D Sweinstani Bawaslu RI, Jakarta, Indonesia, [email protected]

Rury Uswatun Hasanah Bawaslu RI, Jakarta, Indonesia, [email protected]

ABSTRACT

Primordialism that is understood as something inherent in each individual, often misunderstood and used for the political interests of some groups. Utilization of primodialism can be seen through the implementation of elections, including elections in 2017 in , , and DKI Jakarta which became the locus of this study. By using explanatory qualitative method, this study aims to explain how the pattern of identity utilization in the three areas. In addition, the author tries to identify what kind of utilization patterns are used in each region which willthen be linked to national integration. To understand the case of identity utilization, the author uses the concept of national integration submitted by Weiner.

Keywords Identity, Local Executive Election, National Integration, SARA, Primordialism

ABSTRAK

Primordialisme yang dipahami sebagai sesuatu yang melekat dalam diri setiap individu, kerapkali disalah persepsikan dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik sejumlah kelompok. Pemanfaatan primodialisme tersebut dapat dilihat melalui penyelenggaraan

Politik Identitas 185

02 JURNAL BAWASLU.indd 185 12/6/17 3:47 PM Pilkada, termasuk Pilkada tahun 2017 di Kalimantan Barat, Maluku Utara, dan DKI Jakarta yang menjadi lokus penelitian ini. Dengan menggunakan metode kualitatif yang bersifat eksplanatory, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pola pemanfaatan identitas di tiga daerah tersebut. Di samping itu, penulis mencoba untuk mengidentifikasi pola pemanfaatan yang seperti apa yang digunakan pada masing-masing daerah yang kemudian akan dikaitkan dengan integrasi nasional. Untuk memahami kasus pemanfaatan identitas, penulis menggunakan konsep integrasi nasional yang disampaikan oleh Weiner.

Kata Kunci Identitas, Integrasi Nasional, SARA, Promordialisme, Pilkada Serentak

1. Pendahuluan nasional sebagai negara baru. Berbagai Pemilihan kepala daerah (Pilkada) negara-negara tersebut antara lain terdiri secara langsung menjadi saluran bagi atas negara di kawasan Asia dan Afrika, masyarakat untuk memilih pemimpin seperti Indonesia, Malaya, Burma, , sesuai pilihannya. Di samping itu, pilkada Lebanon, Maroko, dan Nigeria. Negara- secara langsung mampu memberikan negara tersebut menghadapi kebingungan ruang terhadap masyarakat untuk aktif dalam membentuk sistem politik dan berpartisipasi dalam politik. Hal ini pemerintahan setelah merdeka. Mereka berarti Pilkada dapat menjadi salah mengalami pencarian identitas negara satu cara untuk penguatan demokrasi dan benturan nilai antara nilai lokal dalam di tingkat lokal. Namun, penguatan masyarakat dan nilai yang dibawa oleh demokrasi tersebut terganjal oleh isu-isu penjajah mereka. primordialisme yang digulirkan pada saat Proses pencarian identitas nasional penyelenggaraan pilkada. Primordialisme terus berlangsung sekalipun negara- yang dimaksud adalah suatu hal yang negara tersebut telah merdeka beberapa melekat sejak lahir pada setiap individu. tahun. Selama proses pencarian identitas Geertz mengklasifikasikan primordialisme tersebut terjadi benturan dan gesekan menjadi enam jenis, yaitu ikatan darah, nilai dari setiap golongan yang disebut ras, bahasa, daerah, agama, dan adat sebagai sentimen primordial. Untuk kasus (Geertz, 1965). di Indonesia, sentimen primordial dapat Isu-isu primordial yang berkembang ditemukan pada masa Demokrasi Liberal. pada era saat ini berbeda dengan konteks Pada masa tersebut dapat disaksikan pada saat Indonesia baru merdeka. terjadi pergantian kabinet secara berkali- Ketika Indonesia merdeka, suasana kali akibat sentimen primordial demi dunia internasional yang tengah diwarnai kepentingan politik setiap golongan. dengan negara-negara baru merdeka Meminjam pandangan Herbert Feith sehingga isu primordial yang ada pada perbedaan kepentingan politik dan saat itu sebagai bentuk pencarian identitas kelompok tersebut terjadi sebagai akibat

186 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 186 12/6/17 3:47 PM penyebaran kekuasaan baik dalam serta bukan pilihan yang dibuat oleh birokrasi pemerintahan maupun partai- individu tersebut, menjadi sesuatu partai (Feith, 1973). pembeda dengan pihak lain yang Sementara, pada saat ini, kerapkali dibenturkan. Seharusnya isu isu primordial dimanfaatkan untuk primordial tidak perlu untuk kembali kepentingan politik salah satunya dipermasalahkan karena identitas dalam penyelenggaraan pilkada. Dalam nasional bangsa Indonesia (nation-state konteks pilkada di Indonesia, isu-isu identity) telah terbentuk. Argumen primordialisme masih ditemukan di tersebut berangkat dari penjelasan James sejumlah daerah, misalnya di Maluku Kellas menyatakan bahwa pembentukan Utara, DKI Jakarta, dan Kalimantan negara-bangsa tidaklah berdasarkan Barat. Pada penyelenggaraan pilkada kepada etnisitas semata. Perbedaan serentak 2017 di Maluku Utara, isu- etnisitas, budaya, dan identitas tidak isu primordialisme yang dimanfaatkan perlu dipermasalahkan ketika suatu bakhkan cenderung mengarah pada negara telah mempunyai nasionalisme hal-hal destruktif adalah isu-isu yang resmi. Ia mendefinisikan nasionalisme berkaitan dengan perbedaan suku. resmi sebagai nasionalisme yang tidak Selama proses kampanye dalam pilkada berdasarkan kepada etnisitas, identitas tersebut berhembus persoalan tentang bangsa, dan budaya sehingga semua tidak diperkenankannya untuk memilih orang dapat menjadi warga negara secara pasangan calon yang berasal dari luar sah dan legal tanpa mempertimbangkan setiap kabupaten/kota bahkan Provinsi hal-hal tersebut (Kellas, 1998). Namun, Maluku Utara. Materi kampanye yang pada praktik di Indonesia isu primordial digencarkan pada saat pilkada serentak dijadikan alat kepentingan politik yang 2017 adalah penekanan untuk memilih apabila terjadi pembiaran terhadap putera daerah. Berbeda dengan di salah persepsi terhadap primordialisme Maluku Utara, di DKI Jakarta isu agama tersebut, dapat memunculkan potensi adalah isu yang dimanfaatkan dalam terganggunya integrasi nasional. Berbagai penyelenggaraan Pilkada DKI 2017 Pada bentuk ancaman yang berpotensi saat itu, terdapat isu tentang himbauan menggangu integrasi diantaranya adalah tidak memilih pasangan calon yang konflik kekerasan dan penyebaran berbeda agama dengan pemilih. Berbagai kebencian. Persoalan sejenis ini tidak isu primordial tersebut diangkat menjadi dapat diabaikan dan dibutuhkan materi kampanye dengan tujuan untuk manajemen atas keberagaman yang ada memenangkan pasangan calon yang di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan didukung dan menjatuhkan lawannya. suatu strategi penanganan terhadap Konsekuensi dari berbagai dampak maraknya penyebaran isu primordial negatif pemanfaatan identitas dalam yang berpotensi mengancam integrasi penyelenggaraan Pilkada tersebut adalah nasional. terbangunnya salah persepsi mengenai Berbagai studi mengenai politik primordialisme yang seharusnya dipahami identitas telah banyak dituliskan oleh sebagai suatu hal yang melekat pada sejumlah akademisi. Melalui tulisan diri setiap orang dan suatu pemberian, yang berjudul Politik Identitas Etnis di

Politik Identitas 187

02 JURNAL BAWASLU.indd 187 12/6/17 3:47 PM Kalimantan Barat, Tanasaldy menjelaskan suku, dan lainnya memicu konflik bahwa konflik etnis di Kalimantan Barat tersendiri, termasuk kekerasan. Berbeda berkembang di masa akhir pemerintahan dengan studi sebelumnya, penelitian Orde Baru. Konflik tersebut muncul ini menekankan kepada bagaimana berkaitan dengan perpolitikan dimana keterkaitan primordialisme dengan etnis Dayak berusaha mendapatkan integrasi nasional. Selain itu, penulis perwakilan di bidang eksekutif dan akan memulai analisis ini dengan legislatif setelah sekian lama etnis tersebut mengidentifikasi bagaimana pola unsur mengalami marjinalisasi (Tanasaldy, 2014). pembentukan identitas yang terjadi Perebutan posisi strategis menjadi pemicu pada Pilkada tahun 2017. Selanjutnya, konflik yang berujung kepada kekerasan penulis akan mulai mengidentifikasi antara etnis Melayu dan Dayak. Studi lain keterkaitan ekslusionarisme1 identitas yang juga mengangkat politik identitas pada Pilkada 2017 dengan integrasi adalah disertasi Buchari yang berjudul nasional. Terakhir, strategi menghadapi Politik Identitas Etnis Dayak Pada Pilkada isu primordialisme menjadi tawaran Gubernur Kalimantan Barat Tahun 2007. penulis untuk menangani permasalahan Melalui tulisannya, Buchari menjelaskan yang berkaitan dengan identitas. bahwa marjinalisasi dan diskriminasi etnis Dayak di Kalimantan Barat telah 2. Metode Penelitian menyebabkan ikatan emosional etnis Metode penelitian yang penulis Dayak semakin erat dan kuat, sehingga gunakan dalam tulisan ini adalah memunculkan politik identitas etnis metode kualitatif dengan jenis penelitian Dayak dan membuat lebih mudah eksplanatori. Penelitian eksplanatori dikonsolidasikan untuk memilih tokoh dari adalah penelitian yang tidak saja enis Dayak sebagai Gubernur (Buchari). memberikan gambaran penelitian Selain itu, keterbukaan akses dan namun juga mencari penyebab dan kesempatan pada era Reformasi menjadi titik balik etnis Dayak untuk terlibat dalam kontestasi di Pilkada. Selanjutnya, Salim melalui tulisannya dengan judul Politik 1 Craigh menjelaskan bahwa kemungkinan Identitas di Maluku Utara mengemukakan negatif dari politik identitas adalah bahwa politik identitas menguatkan posisi eksklusionarisme yang ditandai dengan elit dan penguasa lokal di Maluku Utara. adanya pemahaman bahwa identitas sebagai suatu yang bersifat esensialis. Di samping itu, isu primordial diangkat Pandangan tersebut berasal dari Isin dalam konteks perebutan kekuasaan dan Wood yang membedakan identitas politik di Maluku Utara. menjadi dua kelompok. Pertama, Studi-studi sebelumnya telah kelompok essensialist yang melilhat mengutarakan bahwa di berbagai daerah identitas sebagai manifestasi dari perbedaan yang sangat jelas atau dalam di Indonesia masih kental dengan isu istilah Young merupakan kondisi objektif primordial. Selain itu, isu primordial dari individu, seperti ras, gender, kelas, menjadi permainan politik dalam etnisitas, dan orientasi seksual. Kedua, rangka mendapatkan posisi strategis kelompok konstuktif yang memandan di pemerintahan. Persaingan etnis, identitas sebagai suatu hal yang tidak tetap dan dapat berubah. (Suseno, 2010)

188 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 188 12/6/17 3:47 PM alasan atas suatu fenomena. Penelitian akan menjelaskan bagaimana pola ini berangkat dari suatu teori atau unsur pembentuk identitas yang fenomena yang telah diketahui dan dimanfaatkan dalam Pilkada Langsung telah tersedia penjabarannya. Untuk itu, 2017 di beberapa daerah di Indonesia. dengan melakukan penelitian ini biasanya Penulis juga akan menjelaskan bagaimana seorang peneliti akan menguji teori atau konsepsi identitas yang dimaknai pada prinsip yang telah ada tersebut lalu ia pemanfaatan identitas dalam Pilkada dapat menjabarkan, mengembangkan, tersebut serta bagaimana dampaknya atau justeru menentang penjelasan teori pada konstruksi identias yang dibangun. yang telah ada sebelumnya. Dengan kata Menurut Iris Young (1990), kelompok lain, penelitian jenis ini ujuan utamanya sosial di dalam masyakat tidak hanya adalah menjelaskan alasan terjadinya diikat oleh atribut-atribut yang bersifat suatu peristiwa dan untuk membentuk, ekternal yang melekat pada diri mereka memperdalam, mengembangkan, atau namun juga diikat oleh apa yang disebut menguji teori (Neuman, 2013). dengan a sense of identity. Sekalipun Berkaitan dengan riset ini, penulis seseorang tidak memiliki ciri-ciri kondisi akan menjelaskan bagaimana pola objektif (warna kulit, jenis kelamin, pemanfaatan identitas pada masing- umur, ras, etnis, kelas, wilayah, dan masing daerah. Setelah memberikan sebagainaya) yang sama dengan sebagian penjelasan mengidentifikasi pola besar orang dalam kelompok tersebut, yang mana yang digunakan pada dengan adanya rasa kesamaan identitas, masing-masing daerah, penulis akan dia tetap dapat diakui dan mengakui mengaitkannya dengan integrasi dirinya sebagai bagian dari identitas nasional. Di sini penulis akan lihat kelompok itu. Rasa kesamaan identitas bagaimanakah konsep integrase nasional tersebut dapat tumbuh dalam diri yang dikemukakan oleh Wainer dapat individu maupun kelompok dikarenakan dijelaskan dengan kasus pemanfaatan terdapat keterkaitan latar belakang identitas pada penyelenggaraan Pilkada historis dan kultural di antara keduanya 2017. Keseluruhan data yang akan sehingga hal tersebut mampu mengikat penulis gunakan dapat riset ini adalah individu melampaui hal-hal atributif yang jenis data primer yang diperoleh melalui menajadi ciri dari identitas. Oleh karena FGD terhadap pengawas pemilu di itu, identitas (baik kelompok maupun masing-masing daerah objek studi dan individu) di sini diartikan sebagai bentuk- data sekunder yang berasal dari laporan bentuk khas narasi-narasi budaya yang Bawaslu, Koran, Jurnal, dan sebagainya. menciptakan adanya persamaan dan perbedaan di antara diri kita dengan orang 3. Perspektif Teori lain yang dengan stabil menafsirkan posisi Teori pertama yang akan penulis sosial mereka (Davis, 2000). Sementara gunakan dalam tulisan ini adalah Teori politik identitas dengan demikian berarti Politik Identias yang dikemukakan oleh pemanfaatan identitas individu maupun Iris Young, Nira Yuval Davis, Isin dan kelompok untuk kepentingan-kepentingan Wood, dan Craigh. Dengan menggunakan politik tertentu. pisau analisis politik identitas, penulis

Politik Identitas 189

02 JURNAL BAWASLU.indd 189 12/6/17 3:47 PM Berkaitan dengan konsep-konsep kemungkinan negatif dari politik identitas. identitas, Isin dan Wood membedakan Apabila identifikasi identitas selalu konsep identias menjadi dua kelompok dimaknai sebagai esensialisme, maka utama. Pertama kelompok essentialist, konstruksi sosial yang demikian dapat yang melihat identitas sebagai manifestasi menjadi ekslusionarisme yang merupakan dari perbedaan yang sangat jelas atau akibat dari konstruksi identitas kelompok dalam istilah Young disebut sebagai yang sangat dramatis. kondisi objektif seseorang yang berkaitan Selanjutnya berkaitan dnegan dengan gender, ras, kelas, etnisitas, atau primordiamisme, menurut Geertz pola- orientasi sosial. Kedua, kelompok yang pola berbeda terkait sentimen primordial mengembangkan pandangan konstruktif terdiri dari lima pola. Pertama, satu yang tidak melihat identitas sebagai kelompok dominan dan berjumlah sesuatu yang tetap dan tidak berubah (Isin sedikit, seperti Siprus dengan Yunani & Wood, 1999). Pandangan kedua tentang dan Turki. Kedua, satu kelompok sentral identitas ini lebih mengedepankan pada berdasarkan kedaerahan, seperti Jawa pemahaman bahwa upaya pembentukan lawan kelompok luar Jawa. Ketiga, identitas seseorang akan selalu bersifat dua kelompok yang hampir seimbang adaptif terhadap perkembangan zaman. kedudukannya, seperti kelompok Melayu Identitas tidak bersifat tetap dan tidak dan Cina di Malaya. Keempat, pola pernah stabil melainkan identitas gradasi berupa kelompok besar, kelompok dapat berubah sewaktu-waktu bahkan medium, dan kelompok kecil dalam suatu adakala identitas yang pada suatu saat negara, seperti di Filipina dan Nigeria. dimaknai sebagai pembeda dirinya Kelima, terjadi fragmentasi etnis yang dengan kelompok lain, di lain kesempatan menyebabkan terbentuknya berbagai identitas tersebut dapat menjadi hal kelompok kecil, seperti di kebanyakan yang menandakan persamaan dirinya negara Afrika. negara dan cerminan dengan kelompok lain. Paham kedua negara demokrasi. tentang identitas ini memercayai bahwa Pentingnya mengelolaan isu identitas selalu bersifat relasional, tidak primordialisme di negara-negara plural pernah selesai, dan sedang dalam proses sesungguhnya tidak lain ditujukan untuk pembentukan. tercapainya integrasi nasional. Myron Isin dan Wood menjelaskan bahwa Weiner dalam Flinkle mengetengahkan konsepsi identitas yang non-esensial di sebuah kualifikasi sifat yang selajutnya atas berpotensi untuk membuka celah digunakan ketika membicarakan salah guna memahami lebih baik mengapa satu bentuk dari masalah integrasi. kelompok mempunyai perasaan yang Ia mengetengahkan beberapa bentuk sangat kuat akan identitas mereka dan integrasi yaitu, pertama, Integrasi mengapa mereka menggunakan identias Nasional. Istilah integrasi ini berkaitan mereka dalam perjuangan mendapatkan dengan pluralitas di dalam suatu nation- pengakuan. Calhoun Craigh dalam state yang sebetulnya bangunan nation- bukunya Social Theory and the Politics state ini terdiri dari berbagai macam of Identity yang dikutip oleh Isin dan bangsa yang memiliki budaya, bahasa, Wood menyatakkan bahwa terdapat nilai, dan sistem politiknya masing-

190 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 190 12/6/17 3:47 PM masing. Keragaman di dalam nation- individu tersebut menjadi faktor yang state ini sesungguhnya dicirikan dengan penting dalam mendukung pembangunan dengan tingginya loyalitas budaya yang suatu bangsa (Weiner, 1971). dijunjung tinggi oleh masing-masing budaya yang mana pada masa sebelum 4. Hasil dan Pembahasan menjadi nation-state, loyalitas ini 4.1 Isu-Isu Eksklusionaris Identitas di terbelenggu oleh kekuatan kolonial untuk Beberapa Daerah Dalam Pilkada kepentingan kolonial. Oleh karena itu, 2017 Weiner mengemukakan setidaknya ada Berdasarkan pada pengamatan dua strategi yang dapat dilakukan untuk penulis atas pemanfaatan identitas membangun integrasi nasional di tengah yang terjadi pada penyelenggaraan tingginya loyalitas budaya, (1) melakukan Pilkada tahun 2017 di ketiga daerah eliminasi atas ciri-ciri budaya khas yang penulis jadikan objek studi dalam masyarakat minoritas menjadi budaya riset ini, maka hampir sebagian besar nasional, biasaya mengintegrasikannya identitas dimaknai sebagai konsep menjadi udaya yang dominan. Cara esensialis yang menilai bahwa identitas ini sering disebut dengan kebijakan yang melekat pada dirinya adalah asimilasi, atau (2) membangun loyalitas identitas yang menjadi pembeda dirinya nasional tanpa perlu melakukan eliminasi dengan orang lain. Pemaknaan identitas terhadap budaya subordinate, atau yang yang demikian praktis hanya dimaknai lebih dikenal dengan kebijakan unity in secara sempit karena pemaknaan ini diversity. tidak membuka ruang bagi munculnya Bentuk kedua adalah Integrasi penafsiran identitas sebagai suatu hal Teritorial. Intergrasi ini berkaitan dengan yang bersifat adaptif dan sebagai alat terdapatnya satu kewenangan sentral pemersatu. Oleh karena itu, pemaknaan yang dapat mengakomodasi seluruh identias pada penyelenggaraan Pilkada kepentingan kelompok dalam satu tahun 2017 di tiga daerah ini cenderung territorial tersebut. Ketiga, Integrasi mengarah pada apa yang disebut dengan Nilai yang dalam pengertian sederhana ekslusionaris yang memberikan dampak diartikan sebagai terdapatnya prosedur negative terhadap pemanfaatan identitas yang mudah diterima untuk melakukan dalam konteks kepolitikan. Beberapa resolusi konflik. Keempat, Integrasi Elit pemanfaatan negative identitas pada dan Masa. Integrasi ini berhubungan Pilkada tersebut penulis uraian sebagai dengan bagaimana menyatukan elit dan berikut: masa yang mana diketahui bahwa elit dan masa memiliki tujuan dan nilai yang • Maluku Utara berbeda. Kelima, Perilaku Integratif yang Isu politik identitas masih menjadi berkaitan dengan kapasitas dan kesiapan salah satu isu yang kerapkali muncul individu untuk bekerja bersama dengan dalam penyelenggaraan Pilkada. Salah orang lain dalam sebuah organisasi yang satu persoalan yang muncul sebagai memiliki tujuan tertentu untuk sebuah implikasi dari menguatnya isu etnisitas pencapaian dalam sebuah masyarakat adalah sentimen primordial (Salim, 2015). modern. Perilaku integrated yang dimiliki Dalam konteks Pilkada tahun 2017 di

Politik Identitas 191

02 JURNAL BAWASLU.indd 191 12/6/17 3:47 PM Maluku Utara, isu primordial yang paling menjadi alat propaganda elit untuk kencang dihembuskan adalah untuk mengumpulkan dukungan massa dalam memilih putera daerah. Sejumlah materi rangka memenangkan pasangan calon kampanye cukup sering mengutarakan yang diusung dan menjatuhkan lawan himbauan dan ajakan untuk tidak memilih politik, terutama yang bukan putera pasangan calon yang bukan berasal baik daerah. dari Kabupaten/Kota maupun Provinsi • DKI Jakarta Maluku Utara. Himbauan dan ajakan Isu primordialisme yang terjadi tersebut bahkan disertai dengan iming- pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta iming berupa pemberian uang untuk Tahun 2017, dapat dikatakan menjadi isu tidak memilih pasangan calon yang bukan pemanfaatan idenitias yang paling massif kepala daerah. Harga yang ditawarkan jika dibandingkan dengan daerah-daerah per kepala keluarga berkisar mulai lain. Masalah yang diangkat pada Pilgub dari Rp100.000,00 sampai dengan Rp DKI 2017 tersebut adalah isu etnis dan 3.000.000,00 (Anonymous, 2017). Hal isu agama. Seperti yang telah penulis ini menunjukkan bahwa betapa kuat jelaskan sebelumnya, terdapat isu di isu primordial untuk menjegal lawan tengah masyarakat untuk tidak memilih yang bukan berasal dari suku yang salah satu pasangan calon dikarenakan ada di Maluku Utara. Dalam menjaga perbedaan agama kandidat dengan trah kesukuan, tidak jarang dalam mayoritas agama yang dianut masyarakat. penyelenggaraan Pilkada di Maluku Jika dilihat pada asal mula bergulirnya Utara para peserta yang mencalonkan isu ini, maka isu ini dilatar belakangi diri berasal dari keluarga petahana atau oleh pernyataan Calon Gubernur DKI mempunyai kekerabatan dengan kepala Petahana yang berkaitan dengan agama daerah lain di Provinsi Maluku Utara. dan kepercayaan masyarakat muslim. Ditinjau dari perspektif sejarah Dengan alasan membela agamanya, isu Maluku Utara, pertarungan identitas yang timbul di tengah masyarakat justru etnis selalu mewarnai momentum membesar dan melebar hingga munculah politik di Maluku Utara. Sejak masa himbauan-himbauan untuk tidak memilih empat Kesultanan Islam berdiri sebagai candidat non-muslim. Isu ini bahkan pusat pemerintahan negara dan bangsa, melebar hingga isu etniisitas, yaitu antara memberikan gambaran bahwa politik Tionghoa dan non-Tionghoa di Indonesia. identitas etnis berjalan beriringan (Salim, Apa yang terjadi di DKI Jakarta, terutama 2015). Dalam pembentukan sistem berkaitan dengan isu-isu Tionghoa seolah pemerintahan tidak dapat terlepas mengingatkan kita kembali pada berbagai dari basis tradisi atau adat hingga saat kebijakan yang mengopresi etnis ini di ini. Dengan begitu, bukan suatu hal bidang politik dan hanya mengunggulkan yang baru ketika isu primordial hadir mereka dibidang bisnis seperti pada masa dalam dinamika politik lokal di Maluku Hindia Belanda dan Indonesia merdeka Utara. Setiap elit politik akan terus di bawah kepemimpinan Soeharto. berusaha mengangkat isu identitas etnis Politik identitas yang dikonsepsikan oleh dalam perhelatan pemilihan kepada pemerintah Orde Baru telah berhasil daerah di Maluku Utara. Isu tersebut membentuk wacana khusus terhadap

192 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 192 12/6/17 3:47 PM etnis tionghoa sesuai dengan kebutuhan keseluruhan telah terbelah menjadi penguasa. Hampir senada dengan apa pribumi-nonpribumi, Islam-NonIslam, dan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Pancasilais-Agamis. Hindia Belanda melalui kebijakan devide • Kalimantan Barat et impera, pemerintah Orde Baru Politik lokal di Kalimantan Barat telah menempatkan orang tionghoa tidak dapat dipisahkan dengan urusan sebagai liyan2 dalam bangun mosaik persaingan antar etnik. Seperti diketahui keindonesiaan. Pemerintah Orde Baru dua etnik besar yang mendominasi wilayah menempatkan masyarakat keturunan Kalimantan Barat adalah etnik Melayu tionghoa dalam sektor bisnis dan dan etnik Dayak. Berdasarkan konstruksi berhasil membentuk wacana khusus sejarah yang terbentuk di Kalimantan tentang etnis tionghoa sesuai dengan Barat, etnik Dayak telah mengalami kebutuhan penguasa. Penempatan peran marjinalisasi yang cukup lama. Misalkan masyarakat etnis tionghoa dalam bidang pada masa Orde Baru, pemerintahan ekonomi dan bisnis ini, mengakibatkan Soeharto tidak pernah menginginkan munculnya asumsi dalam masyarakat terbentuknya kepemimpinan lokal yang yang menyatakan bahwa masyarakat kuat, termasuk di Kalimantan Barat keturunan tionghoa adalah makhluk karena hal tersebut dapat mengancam ekonomi dengan kehidupan sosialnya kepemimpinan pusat dan memicu yang sangat eksklusif (Meij, 2009). kemunculan separatisme (Tanasaldy, Dampak dari masifnya penolakan 2014). Dengan begitu, pemimpin lokal di terhadap pencalonan kandidat non- Kalimantan Barat berasal atau didatangkan muslim dan Tionghoa ini sangat besar bagi dari pusat. Memasuki era Reformasi bangsa ini. Bangsa Indonesia yang telah yang ditandai dengan demokratisasi dan mencapai kesepakatan negara bangsa desentralisasi, kesempatan pemimpin yang berdasarkan Pancasila, seolah lokal yang memang berasal dari kembali terbelah oleh isu Nasionalis Kalimantan Barat untuk memimpin Religius-Nasionalis Sekuler seperti menjadi terbuka. Namun, keterbukaan pada masa di mana Indonesia masih tersebut memperkuat persaingan antar mencari dasar negara Indonesia merdeka. kedua etnik besar tersebut. Dalam rangka Dampak lebih jauh dari kasus ini adalah untuk mendapatkan posisi strategis baik seolah masyarakat Indonesia secara di eksekutif maupun legislatif, sejumlah kaum elit memainkan isu politik sektarian yang menuntut penempatan etnik Dayak dalam posisi strategis tersebut. 2 Istilah liyan adalah pembakuan dari kata dalam bahasa Inggris “the other”. Liyan Keadaan persaingan kedua etnik menjadi dalam teori pasca kolonial merupakan lebih terbuka ketika pemilihan kepala istilah yang sangat penting dalam daerah secara langsung (Kristianus, melakukan definisi terhadap identitas 2011). Persaingan kedua masih dapat subjek. Liyan mengacu pada subjek dirasakan dalam Pilkada tahun 2017. kolonial yang posisinya diletakkan sebagai manusia marjinal dalam dskursus Materi kampanye yang bermuatan SARA imperial. (Aschcroft, Griffiths, & Tiffin, kerapkali muncul untuk menjatuhkan 1999) pihak lawan. Temuan tersebut dapat

Politik Identitas 193

02 JURNAL BAWASLU.indd 193 12/6/17 3:47 PM dilihat dalam Pilkada di Kabupaten Kubu Kalimantan Barat, persaingan yang terjadi Raya dan Kabupaten Sanggau. selalu antara etnis Dayak dan Melayu. Hal Berdasarkan pada ketiga uraian ini disebabkan oleh marjinalisasi etnis pemanfaatan identitas di atas, dapat Dayak dan dominasi etnis Melayu dalam diketahui bahwa unsur pembentuk berbagai jabatan di Kalimantan Barat. identitas (yang dimanfaatkan) dalam Berbeda dengan kedua daerah penyelenggaraan Pilkada di ketiga daerah tersebut, dalam pilkada DKI Jakarta 2017, tersebut pada tahun 2017 lebih merujuk isu primordialisme menyentuh ranah suku pada unsur objektif manusia. Pada Kasus dan agama. Maluku Utara identitas yang digunakan Dengan demikian, isu di Jakarta menjadi sebagai alat melawan lawan politik lebih kompleks dibandingkan kedua daerah lebih didasarkan pada kesamaan suku. tersebut dalam urusan penyelenggaraan Sementara itu di Kalimantan Barat lebih Pilkada 2017. Pada kasus Pilkada DKI pada unsur etnisitas. Sedangkan di DKI Jakarta, terdapat integrasi nilai yang Jakarta identitas masa yang menolak terbentuk dalam kalangan Islam yang kandidat non-muslim lebih ditentukan disalahpersepsikan untuk memaksakan oleh idenitas keagamaan dan identitas kepentingan kelompoknya dalam etnis. Dengan adanya unsur pembentuk penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta identitas yang demikian, maka wajar 2017. Padahal pemahaman integrasi jika pemanfaatan identitas cenderung nilai yang ditekankan oleh Weiner adalah mengarah pada dampak negative karena penyatuan nilai-nilai dalam masyarakat identitas objektif tersebut hanya dimaknai untuk melakukan resolusi konflik, bukan secara sempit yang menjadikan seseorang seperti yang terjadi di Jakarta yang justru hanya akan mengelompokkan diri dengan memperbesar konflik. mereka yang memiliki kesamaan unsur Persoalan yang terdapat di ketiga objektif tersebut. daerah tersebut dapat dikatakan belum mencapai tahapan integrasi 4.2 Identitas dan Integrasi Nasional yang disampaikan Weiner. Berangkat Mengacu kepada kasus di Maluku dari persoalan masing-masing daerah Utara, DKI Jakarta, dan Kalimantan Barat menunjukkan bahwa Indonesia baru terdapat pola pemanfaatan identitas yang menerapkan integrasi nasional dan berbeda. Dalam konteks Maluku Utara integrasi teritorial. Sementara, tahapan dan Kalimantan Barat, isu primordialisme integrasi nilai, integrasi elit dan diangkat berhubungan dengan etnisitas massa, dan perilaku integratif masih yang berangkat dari sebuah konstruksi belum dicapai oleh negara ini. Hal sejarah kedua daerah tersebut. Pada ini dapat dirasakan melalui sejumlah kasus Maluku Utara, sistem pemerintahan elit yang masih suka memainkan isu tidak dapat dilepaskan dari basis tradisi primordialisme untuk kepentingan sehingga pemimpin yang diharapkan dalam pilkada. Begitupula, kelompok- berasal dari suku-suku di daerah tersebut. kelompok tertentu yang memanfaatkan Dengan begitu, persaingan yang terjadi nilai yang mereka yakini bukan untuk dalam pilkada selalu berkaitan dengan isu membentuk integrasi nilai, melainkan putera daerah. Sementara, pada kasus di untuk memaksakan tujuannya. Dengan

194 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 194 12/6/17 3:47 PM begitu, semakin sulit menuju perilaku Indonesia sebagai negara yang plural integratif yang menekankan kepada juga dihadapi dengan isu primordial yang kesediaan dan kesadaran masyarakat dapat dilihat melalui Pilkada tahun 2017 untuk bekerja sama dalam mewujudkan seperti pembahasan sebelumnya. Isu- tujuan berbangsa dan bernegara. isu primordial tersebut memungkinkan Untuk kasus tiga daerah tersebut terjadinya gangguan terhadap integrasi bukan hanya belum memenuhi tahapan nasional apabila tidak ditangani segera. integrasi Weiner, melainkan juga masih Berdasarkan pandangan Wriggins, ia terjebak dalam pemaknaan identitas menawarkan lima cara untuk menjaga secara sempit. Dalam konsep Isin dan integrasi nasional. Pertama, membentuk Wood pemaknaan sempit tersebut musuh bersama yang berarti membuka dikenal sebagai pemahaman esensialis kesadaran masyarakat bahwa negaranya yang memandang identitas sebagai mempunyai ancaman dari luar. Dengan perbedaan yang sangat jelas. Dengan kesadaran tersebut mampu membentuk kata lain, pemahaman identitas sebatas rasa kebersamaan dan persatuan dalam kondisi objektif seseorang yang dalam masyarakat untuk berjuang dan berkaitan dengan gender, ras, kelas, membela negara dari ancaman musuh etnisitas, atau orientasi sosial. Pembiaran tersebut. Keberadaan musuh bersama terhadap pemahaman seperti itu akan tersebut dianggap mampu mengaburkan memberi ruang terhadap tumbuhnya perbedaan yang ada sehingga masyarakat ekslusionarisme. tidak merasa dari golongan yang berbeda, tetapi merasa sebagai bagian dari negara. 4.3 Strategi Menghadapi Ancaman Kedua, gaya politis yang dimiliki para Integrasi Nasional pemimpin menjadi cara yang menentukan Integrasi mungkin menunjuk dalam menjaga integrasi nasional. Menurut kepada pada proses penyatuan berbagai Wriggins, gaya politis tersebut dapat kelompok budaya dan sosial ke dalam menjaga atau menghancurkan integrasi satu kesatuan wilayah, dan pada suatu nasional. Integrasi nasional dapat terjaga pembentukan identitas nasional (Weiner, ketika pemimpin mampu memperlihatkan 1977). Istilah integrasi nasional kerapkali perhatian dan rasa hormat pada semua dibahasakan di negara-negara yang suku bangsa dan golongan yang berbeda- majemuk dan plural karena keberagaman beda di negaranya (Wriggins, 1977). yang ada menjadi tantangan tersendiri Ketiga, penguatan lembaga politis dan bagi negara-negara tersebut. Pluralisme administraif, berupa birokrasi dan tentara. selalu dijadikan persoalan ketika identitas Kekuasaan birokratis harus mampu yang melekat pada setiap individu menanggapi berbagai perbedaan dengan dijadikan pembeda yang jelas antara baik dan responsif. Misalkan, lembaga pihak yang satu dengan pihak yang lain. birokrasi memberi kesempatan kerja Padahal perlu disadari keberagaman yang merata ke seluruh daerah dalam adalah suatu hal wajar dan tidak dapat suatu negara. Sementara, peran tentara dihilangkan di negara-negara yang sebagai alat nasionalisasi dan menjaga multikultur. keutuhan suatu negara. Di samping itu, lembaga-lembaga lain yang berperan

Politik Identitas 195

02 JURNAL BAWASLU.indd 195 12/6/17 3:47 PM dalam menjaga integrasi nasional adalah bersama. Ia juga menjelaskan bahwa badan legislatif dan partai politik. Partai kemampuan pemimpin dalam mengontrol politik dapat berfungsi sebagai lembaga wilayahnya menjadi cara untuk menjaga yang memperkecil konflik antar komunal, integrasi nasional. Sebagai contoh, suku, dan lainnya. Partai politik juga pemimpin pusat mampu mengontrol berperan dalam mengkompromikan semua pemimpin daerah. Demikian pula, berbagai perbedaan, tuntutan-tuntan pemimpin daerah mampu mengawal yang berbenturan, dan menghadapi dan membimbing pemimpin yang lebih konflik dengan bijaksana. Sementara rendah atau yang ada di bawahnya. badan legistlatif menjadi lembaga yang Selanjutnya, strategi yang tidak kalah menampung aspirasi berbagai kelompok penting untuk dijalankan adalah konsensus dan memperkuat kaum minoritas untuk dan konsolidasi antar kepentingan. Kedua mau bersatu dengan kaum mayoritas. hal ini dianggap sebagai jalan tengah Dengan demikian, konflik yang timbul atau cara memediasi berbagai perbedaan akibat isu primordial dapat diatasi. dalam masyarakat yang menyulut konflik. Keempat, penguatan pemahaman Terakhir, langkah yang menjadi solusi tentang ideologi negara merupakan salah dari permasalahan keberagaman, yaitu satu cara mempertahankan integrasi tingkah laku integratif. Dengan kata lain, nasional. Pemerintah harus mampu kesediaan setiap individu untuk bekerja membuat masyarakat meresapi dan sama dengan terorganisir demi mencapai memahami nilai-nilai yang terkandung tujuan bersama. Selain itu, kesediaan dalam ideologi negara. Ideologi harus setiap individu untuk berperilaku dengan dipahami sebagai serangkaian ide tentang cara yang bisa membantu pencapaian tujuan-tujuan masyarakat dalam berbangsa tujuan-tujuan bersama tersebut (Weiner, dan bernegara dan petunjuk bagaimana 1977). cara mencapai tujuan-tujuan tersebut Merujuk kepada Geertz, memperkuat (Wriggins, 1977). Kelima, membuka supremasi hukum merupakan strategi kesempatan dan pertumbuhan ekonomi untuk mempertahankan integrasi nasional. yang luas. Menurut Wriggins, kemacetan Dengan adanya hukum, upaya kelompok- ekonomi akan mempertajan perselisihan kelompok tertentu untuk memainkan isu dan persaingan dalam masyarakat. primordial menjadi terhalangi. Mereka Sebaliknya, kesempatan dan pertumbuhan akan berpikir ulang untuk menciptakan ekonomi dirasa mampu memasukkan konflik yang mengatasnamakan setiap orang dalam kesatuan bangsa. perbedaan identitas karena sewaktu- Weiner juga menawarkan suatu cara waktu mereka akan terkena hukuman. Ia untuk menghadapi keberagaman dan juga berbicara tentang perlunya negara sentimen primordial. Ia menyarankan memperkuat supremasi politik. Hal ini tentang penanaman kesetiaan nasional berarti pemerintah dapat menggunakan dalam masyarakat. Dalam artian setiap kekuatan dan kekuasaannya dalam individu menyadari bahwa di balik menangani persoalan yang ditimbulkan perbedaan yang mereka miliki, ada suatu atas perbedaan suku, agama,ras, dan penyatu, yaitu negara yang harus dijaga lainnya. Tidak kalah penting, Geertz keutuhannya dan merupakan milik menekankan bahwa sentimen primordial

196 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 196 12/6/17 3:47 PM akan selalu ada dalam negara yang plural. 5. Simpulan Dalam rangka menghadapi sentimen Primordialisme merupakan primordial tersebut, langkah yang harus sebuah keniscayaan yang akan selalu diambil adalah mengelola pluralisme ada di sebuah negara yang plural. tersebut melalui rasa kebersamaan atas nama negara. Ia juga menamakan rasa Isu-isu primordialisme tidak dapat kebersamaan tersebut sebagai kesadaran dihilangkan di negara-negara tersebut. atas perbedaan dan keberagaman (Geertz, Namun, primordialisme dapat dikelola 1965). Rasa kebersamaan dan persatuan dengan menekankan kepada aspek tersebut dianggap mampu menjadi kebersamaan. Adapun, strategi lain fondasi dalam menjaga stabilitas negara. yang paling penting dalam menangkal Bahkan rasa kebersamaan merupakan isu-isu primordial adalah penerapan cerminan negara demokrasi. supremasi hukum. Pada kasus DKI Tidak jauh berbeda dengan Geertz, Jakarta, penerapan supremasi hukum Rauf berpendapat bahwa konflik sebagai berhasil mengatasi konflik yang suatu hal yang wajar dan tidak perlu berkaitan dengan etnisitas dan agama. dihilangkan, termasuk konflik etnis, agama, dan lainnya. Dalam negara Strategi yang juga dapat demokrasi, konflik harus dikelola sehingga digunakan untuk menangani isu rakyat dapat hidup secara damai dan primordialisme, yaitu alkulturasi. Hal penuh toleransi. Penanganan konflik ini berarti terdapat upaya konsolidasi yang dianjurkan dalam negara demokrasi terhadap benturan dan gesekan berupa cara persuasif (Rauf, 2000). yang berhubungan dengan etnisitas. Cara persuasif yang dimaksud adalah Implementasi dari alkulturasi dapat penyelesaian konflik secara damai dan dilihat dalam konteks Kalimantan pendekatan secara personifikasi terhadap Barat. pihak-pihak yang berkonflik. Dengan demikian, langkah yang diambil dalam menangani persoalan primordialisme tidak menyulut persoalan baru.

Politik Identitas 197

02 JURNAL BAWASLU.indd 197 12/6/17 3:47 PM DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. (2017, Oktober 29). (R. U. Hasanah, Interviewer) Aschroft, Bill. Gareth Griffith, dan Helen Tiffin. (1995). The Post-colonial Studies Reader. Routledge Buchari, S. A. (n.d.). Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Retrieved November 5, 2017, from Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran: http://library.fisip.unpad.ac.id/ index.php?p=show_detail&id=31 Davis, N. Y. (2000). Gender and Nation, serial Politics and Culture. London: Sage Publication. Feith, H. (1973). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press. Geertz, C. (1965). The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States. In C. Geertz, Old Societies and New States (pp. 105-157). New York: The Free Press. Isin, E. E., & Wood, P. K. (1999). Citizenship and Identity. London: Sage Publication. Kellas, J. G. (1998). The Politics of Nationalism and Ethnicity . Houndmills: Macmillan Press. Kristianus. (2011). Nasionalisme Etnik di Kalimantan Barat. Masyarakat Indonesia, XXXVII(2), 147-176. Meij, L. S. (2009). Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa. Sebuah Kajian Pascakolonial. Jakarta: Yayasan Obor. Neuman, L. (2013). Social Research Methods 7th Edition. Boston, USA: Allyn&Bacon. Rauf, M. (2000). Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Salim, K. (2015). Politik Identitas di Maluku Utara. Jurnal Politik, 11(2), 1667-1678. Suseno, N. (2010). Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu-isu Kontemporer. Depok: Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Tanasaldy, T. (2014). Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat. In H. S. Nordholt, G. v. Klinken, & I. K. Hoogenboom, Politik Lokal di Indonesia (pp. 461-490). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta. Weiner, M. (1971). Political Integration and Political Development. In J. Finkle, & R. Gable, Political Development and Social Change. New York: John Wiley&Son, Inc. Weiner, M. (1977). Integrasi Politik dan Pembangunan Politik. In Y. Muhaimin, & C. MacAndrews, Masalah-masalah Pembangunan Politik (pp. 40-49). : Press. Wriggins, H. (1977). Integrasi Bangsa. In Y. Muhaimin, & C. MacAndrews, Masalah- masalah Pembangunan Politik (pp. 50-60). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Young, I. M. (1990). Justice and the Politics of Difference. Pricetown: Pricetown University Press.

198 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 198 12/6/17 3:47 PM Jurnal Bawaslu ISSN 2443-2539 Djuyandi, Y&Azmi, M.F. Vol.3 No. 2 2017, Hal. 199-211

FUNDAMENTALISME ISLAM DALAM PILKADA DKI JAKARTA TAHUN 2017

Yusa Djuyandi Departemen Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Indonesia, [email protected]

Mohammad Fazrulzaman Azmi Mahasiswa Program Pascasarjana, Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Indonesia, [email protected]

ABSTRAK

Pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 politik identitas muncul dalam berbagai macam isu, dan salah satu isu yang begitu kuat adalah soal fundamentalisme Islam. Adanya pernyataan kontroversial dari petahana, Basuki Tjahaja Purnama, terkait Surat Al- Maidah ayat 51 menjadi pemicu atas membesarnya gerakan fundamentalisme Islam, sebab sebelumnya gerakan ini kurang mendapat respon dari masyarakat. Atas dasar persoalan tersebut maka penelitian ini mengangkat isu politik identitas yang terkait dengan fundamentalisme Islam dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana data primer bersumber dari hasil observasi peneliti dan data sekunder berasal dari buku, jurnal, dan pemberitaan media massa. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kaum fundamentalisme Islam di Indonesia mencoba untuk mengusung konsepsi ke-Islaman bukan hanya sekedar menjadi aliran dan ritual keagamaan melainkan juga aliran politik, hal ini tampak dari adanya gerakan, tindakan dan aksi yang mereka lakukan ketika Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Meskipun gerakan yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis mendapatkan momentum yang tepat untuk meningkatkan atensi masyarakat melalui kesalahan sikap yang dilakukan oleh petahana, namun konsistensi gerakan mereka

Politik Identitas 199

02 JURNAL BAWASLU.indd 199 12/6/17 3:47 PM dalam membangun kesadaran terhadap identitas keagamaan yang kemudian pada akhirnya mampu memunculkan adanya garis pembeda’ atau politik perbedaan antara calon gubernur yang beragama Islam dan non-Islam.

Kata Kunci: Pilkada, DKI Jakarta, Fundamentalisme, Islam, Gerakan.

ABSTRACT

In the 2017 regional election of DKI Jakarta, political identity emerged in a variety of issues, and one of the strong issues is Islamic fundamentalism. The existence of a controversial statement from incumbent, Basuki Tjahaja Purnama, related Surat Surah Al-Maidah verse 51 which became the trigger for the growing Islamic fundamentalism movement, because previously this movement received less response from the community. On the basis of this issue, this research raises the issue of political identity associated with Islamic fundamentalism in the local elections of DKI Jakarta in 2017. This research uses qualitative method, where the primary data comes from the observation of the researcher and the secondary data comes from books, journals, and news coverage in mass media. Based on the research results can be seen that the Islamic fundamentalism in Indonesia tries to carry the concept of Islamization is not just a flow and religious ritual but also the flow of politics, it can be seen from the movement and action they did in the local elections of DKI Jakarta 2017. Although the movement by fundamentalists gained the right momentum to increase the attention of the people through the misconduct of the petahana, the consistency of their movement in building religious religious awareness was finally able to create a distinctive line or political distinction, between candidate governor Muslims and non-Muslims.

Keywords: Local Election, DKI Jakarta, Fundamentalism, Islam, Movement

1. Pendahuluan Sehingga, manusia modern menyangka Kebangkitan agama menjadi bahwa kecukupan materi dapat memenuhi fenomena yang menarik dikarenakan kebahagiaan manusia, dalam konteks terjadi ketika umumnya orang-orang politik, siapa pun pemimpinnya tidak berpikir bahwa kekuatan rasional yang menjadi persoalan signifikan, asalkan berdasarkan sains dan teknologi telah kinerjanya dapat memenuhi kepuasan berhasil menepikan misteri spiritual publik. Namun dalam situasi tersebut dari kerangka berpikir manusia modern. muncul gerakan-gerakan fundamentalis

200 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 200 12/6/17 3:47 PM agama yang terus memperjuangkan apa Ahok yang terdaftar sebagai kandidat yang menjadi keyakinannya (Jamhari & atau kontestan dalam Pilkada DKI Jakarta Jahroni, 2004: 11). Fenomena tersebut tahun 2017 menuai pelbagai kecaman merupakan suatu kebangkitan (revival), dari kelompok-kelompok Agama, hingga namun sebagian lainnya berpendapat berujung pada proses hukum yang bahwa hal ini merupakan suatu penemuan merugikannya sebagai kandidat saat kembali (rediscovery) (Wuthnow, 1987). itu. Begitu masifnya pemberitaan Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 media massa, kemudian gencarnya diikuti oleh tiga pasang kandidat yang propaganda-propaganda mengenai kasus berkontestasi memperebutkan kursi ‘penistaan agama’ menjadi semacam Gubernur dan Wakil Gubernur di Ibu Kota ‘snow ball’ yang terus membesar dan Negara Republik Indonesia. Terpilihnya berujung pada kekalahan pasangan sebagai Presiden RI dalam nomor urut dua, yakni Basuki-Djarot. Pilpres 2014 menyebabkan adanya Kontruksi wacana tersebut tidak terlepas peralihan kursi kepemimpinan Gubernur dari peran gerakan-gerakan kelompok DKI Jakarta pada wakilnya, yakni Basuki fundamentalisme agama (Islam) yang T. Purnama. Pergantian kepemimpinan berkepentingan untuk mencegah Basuki tersebut diikuti oleh terpilihnya Djarot menduduki kursi Gubernur DKI Jakarta S. Hidayat sebagai Wakil Gubernur masa bhakti 2017-2022. menggantikan Basuk T. Purnama. Ahok- Indonesia memiliki penduduk yang Djarot yang merupakan Gubernur-Wakil mayoritas warga negaranya beragama Gubernur kembali mengajukan diri Islam, tentu konteks ke-Islaman akan sebagai kontestan dalam Pilkada DKI sangat berpengaruh terhadap laju atau Jakarta tahun 2017. perolehan suara dari proses Pemilu Naiknya, Basuki yang sering disapa yang berlangsung. Isu agama yang ‘ahok’ menjadi Gubernur menggantikan begitu kuat pada Pilkada DKI Jakarta Jokowi menuai berbagai respon dari tahun 2017 menjadi sebuah wujud dari pelbagai kalangan, khususnya kaum politik identitas berupa fundamentalisme fundamentalis Islam. Namun, hal itu tidak Islam yang menekankan pada keutuhan menimbulkan pengaruh yang signifikan pemaknaan terhadap kasus penistaan terhadap pemerintahan Ahok saat itu, agama dan sikap politik dari ummat melainkan perlahan wacana kontra- Islam, khususnya yang ada di wilayah rezim semakin memudar, seperti halnya DKI Jakarta. Bangkitnya semangat aksi pengangkatan Gubernur tandingan politik berdasarkan religiusitas dapat yang dilakukan oleh Front Pembela disebabkan sebagai suatu bentuk dari Islam (FPI) yang tidak memiliki dampak dedikasi pemeluk agama terhadap ajaran yang signifikan terhadap konstelasi agamanya. politik DKI Jakarta saat itu. Hingga Fenomena kebangkitan agama pada puncaknya, saat begitu masifnya tersebut merupakan penguatan pemberitaan mengenai komentar Ahok paham keagamaan yang berkarakter terkait Surat Al-Maidah Ayat 51, respon fundamentalis (Jamhari & Jahroni, dari pelbagai gerakan ke-Islaman semakin 2004: 12). Gellner (dalam Arifin, 2005) masif adanya. berpendapat bahwa gagasan dasar

Politik Identitas 201

02 JURNAL BAWASLU.indd 201 12/6/17 3:47 PM fundamentalis adalah suatu agama 3. Perkspektif Teori tertentu yang dipegang kokoh dalam 3.1 Politik Identitas bentuk literal (harfiah) dan bulat, tanpa Identitas menurut Jeffrey Week kompromi, pelunakan, reinterpretasi (dalam Widayanti, 2009) berkaitan dan tanpa pengurangan. Fundamentalis dengan kepemilikan atau keanggotaan tidak hanya sebatas pada agama, individu dalam kelompok (belonging) tetapi juga pada politik, sosial budaya. berdasarkan persamaan dengan sejumlah Karena baginya fundamentalis adalah orang dan apa yang membedakan suatu pandangan yang di tegakkan atas seseorang dengan yang lain. Sehingga keyakinan baik bersifat agama, politik, terdapat dua kategori di dalamnya, maupun budaya yang dianut pendiri yakni identitas sosial mengenai kelas, dan ajaran-ajarannya ditanamkan dan ras, etnis, gender, dan seksualitas. Hal senantiasa menjadi rujukan. ini menentukan posisi subjek di dalam Berdasarkan pada latar belakang relasi atau interaksi sosialnya. Kemudian, tersebut maka kemudian dirumusan identitas politik mengenai nasionalitas pertanyaan penelitian sebagai berikut: dan kewarganegaraan (citizenship). Hal Bagaimana fundamentalisme Islam dalam ini menentukan posisi subjek di dalam Pilkada DKI Jakarta 2017? suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of bellonging) dan 2. Metode Penelitian sekaligus menandai posisi subjek yang Penelitian ini menggunakan metode lain di dalam suatu pembedaan (sense kualitatif. Data primer yang diperoleh of otherness) (Setyaningrum, 2005: 19). peneliti berasal dari hasil observasi Kemudian, Identitas politik (political atas aksi-aksi protes yang terjadi identity) merupakan konstruksi yang menjelang Pilkada DKI Jakarta tahun menentukan posisi kepentingan subjek 2017. Aksi itu ditujukan sebagai bentuk di dalam ikatan suatu komunitas politik. protes kepada Basuki Tjahaja Purnama, Sedangkan, politik identitas (political kandidat Gubernur DKI Jakarta yang juga of identity) mengacu pada mekanisme merupakan petahana, karena dianggap politik pengorganisasian identitas (baik menistakan agama Islam. identitas politik maupun identitas Data penelitian ini juga didukung dari sosial) sebagai sumber dan sarana sumber-sumber sekunder seperti buku, politik. Oleh karena itu, politik identitas jurnal, dan pemberitaan media massa sebagai gerakan politik yang fokus yang relevan dengan kajian penelitian. perhatinnya adalah perbedaan sebagai Data-data yang diperoleh kemudian suatu kategori politik yang utama. diverifikasi dan dianalisis dengan metode Morowitz (1998), mendefinisikan politik analisis deskriptif. Verifikasi data identitas memberikan garis yang tegas dilakukan melalui teknik triangulasi, yaitu untuk menentukan siapa yang akan membandingkan data-data yang diperoleh disertakan dan siapa yang akan ditolak. sehingga sampai pada keyakinan bahwa Karena garis-garis penentuan tersebut data yang diperoleh adalah valid. tampak tidak dapat dirubah, maka status sebagai anggota bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen.

202 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 202 12/6/17 3:47 PM Sehingga dapat kita maknai bahwa politik semua agama, seperti fundamentalisme identitas merupakan ‘politik berbedaan’. Islam, Yahudi, Hindu, dan Budhisme. Ubed Abdillah (2002) menjelaskan Fundamentalisme juga dapat muncul bahwa terdapat tiga pola perkembangan dalam bentuk apapun dan dimanapun gerakan politik identitas, yakni pola ketika orang-orang melihat adanya pramodern, menggambarkan perpecahan kebutuhan untuk melawan budaya objektif yaitu ketika terdapat perpecahan sekuler (godless), bahkan ketika mereka fundamental karena terdapat gerakan harus menyimpang dari tradisi ortodoks sosial yang menyeluruh. Hal ini disebabkan mereka untuk melakukan perlawanan mobilisasi secara ideologis atas aspirasi (Ratnasari, 2010). dari pemimpin yang umumnya bertujuan Pada dasarnya, gerakan fundamentalis untuk merampas kekuasaan. Kemudian, tidak muncul begitu saja sebagai respons pola modern, hal ini menggunakan spontan terhadap datangnya modernisasi pendekatan kondisional yaitu ketika yang dianggap sudah keluar terlalu jauh. keterpecahan membutuhkan sumber- Kaum religius berusaha mereformasi sumber untuk dimobilisasi. Terdapat tradisi mereka dan memadukannya keseimbangan dalam pola aksi jenis dengan budaya modern, seperti yang ini, sehingga terdapat partisipasi yang dilakukan pembaharu Muslim. Ketika seimbang baik itu dari atas maupun cara-cara moderat dianggap tidak dari bawah. Model ini lebih bertujuan membantu, beberapa orang menggunakan pada pembagian kekuasaan. Selain itu, metode yang lebih ekstrem, dan saat terdapat pola postmodern yang memiliki itulah gerakan fundamentalis lahir. pola gerakan dari dinamikanya sendiri, William Montgomery Watt (dalam sehingga protes muncul dari berbagai Arifin, 2005) mendefinisikan bahwa macam kesempatan individual, dengan kelompok fundamentalis Islam adalah demikian tidak terdapat perpecahan yang kelompok Muslim yang sepenuhnya dominan. Pola aksi model ini biasanya menerima pandangan dunia tradisional muncul karena kesadaran diri yang serta berkehendak mempertahankannya bertujuan untuk otonomi. secara utuh tanpa adanya suatu arus modernisasi di dalamnya. 3.2 Fundamentalisme Islam di Indonesia Seiring dengan itu, Martin E. Istilah fundamentalisme muncul Marty dan R. Scott Appleby (dalam dari luar tradisi sejarah Islam, dan pada Arifin, 2005) berpendapat istilah mulanya merupakan gerakan keagamaan fundamentalisme cukup tepat untuk kaum Protestan di Amerika Serikat menjelaskan fenomena tertentu dari pada tahun 1920-an. Namun terlepas gerakan keagamaan yang terjadi pada dari latar belakang tersebut, istilah semua agama, termasuk Islam. Meskipun fundamentalisme sering digunakan untuk istilah fundamentalisme pada mulanya menunjuk fenomena keagamaan yang digunakan untuk menjelaskan satu memiliki kemiripan dengan karakter gerakan Protestan di Amerika, namun dasar fundamentalisme protestan. Pada ada ciri-ciri tertentu dari gerakan itu yang dasarnya fenomena pemikiran, gerakan, dapat ditemukan pada gerakan-gerakan dan kelompok fundamentalisme terjadi di dalam agama-agama lain diseluruh dunia.

Politik Identitas 203

02 JURNAL BAWASLU.indd 203 12/6/17 3:47 PM Marty dan Appleby (dalam Arifin, 2005) Islam di Pakistan. Dengan menggunakan menyebutkan bahwa fundamentalisme prespektif bahwa fundamentalisme dan merupakan respons terhadap modernitas. modernism bukan sekedar sebagai aliran Fundamentalisme Islam di Indonesia keagamaan namun juga sebagai aliran dapat dibedakan menjadi dua, yakni politik (Mahendra, 1999). tradisional dan modern. Fundamentalisme Berikut terdapat beberapa contoh tradisional diwakili oleh kelompok yang gerakan fundamentalisme agama di menekankan pendekatan literal dan Indonesia: skriptural terhadap sumber Islam, seperti • Hizbut Tahrir, gerakan ini Persatuan Islam (Persis), dan dalam merupakan organisasi atau gerakan konteks mutakhir Majelis Ulama Indonesia yang mendasarkan dirinya pada (MUI) melalui fatwa-fatwanya. Sementara pemikiran-pemikiran Islam, dimana itu, fundamentalisme modern atau neo- aktivitas mereka yakni mengemban fundamentalisme dalam politik diwakili Islam sebagai sarana mengubah misalnya oleh partai politik Islam seperti realitas masyarakat yang “rusak” Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai kemudian mentransformasikannya Bulan Bintang (PBB), dan partai-partai menjadi masyarakat yang Islami, Islam lain yang bercita-cita mendirikan dalam hal lain hizbut tahrir juga “negara Islam” dengan dasar syariah dan selalu memperhatikan hukum Shara’ ideologi Islam (Mahendra, 1999). sebagai cara mereka menyelesaikan Mereka yang memperjuangkan Piagam urusan dengan masyarakat. Jakarta sebagai dasar negara termasuk HT dapat diikategorikan sebagai dalam kelompok fundamentalisme atau kelompok fundamentalisme. neo-fundamentalisme. Mereka tidak Sejak awal berdirinya hinggapada mempersoalkan watak negara-bangsa perkembangannya saat ini khittah dengan demokrasi sekularnya. Namun, gerakan HT adalah politik. Bagi hizbut secara substansial sesungguhnya terdapat tahrir, politik merupakan instrumen paradoks antara penerimaan mereka yang sangat penting dalam mengentas terhadap sistem politik sekular dengan persoalan keterpurukan ummat Islam perjuangan mereka menerapkan syariat dan membawanya kembali seperti Islam. Jadi, ditemukan adanya sikap pada masa kejayaannya. Politik kompromistis atau bahkan pragmatis di yang dikehendakinya adalah suatu kalangan kelompok fundamentalis Islam sistem yang memiliki landasan kuat ini, tidak lagi taktik politik. Munculnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Salah beberapa gerakan fundamentalisme satu aktivitas atau juga komitmen dapat dilihat dari penelitian Yusril yang menonjol Hizbut tahrir dalam Ihza Mahendra yang bertitik tolak bidang politik yakni Hizbut Tahrir pada perspektif sosiologis mengenai ini menentang kekufuran, keyakinan fundamentalisme. Dalam penelitian yang ‘keliru’ dengan menjelaskannya tersebut digambarkan mengenai akan kekeliruannya kepada ummat institusi politik yang menjadi pengaruh dan kerusakannya serta menjelaskan fundamentalisme dan modernism yaitu hukum Islam dalam masalah tersebut. Masyumi di Indonesia dan Jama’ati (Faidah, 2008: 3-4)

204 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 204 12/6/17 3:47 PM • Front Pembela Islam atau yang ketua umum FPI. Sebagai doktrin disingkat FPI merupakan organisasi kepada pengikut gerakan FPI bahwa sosial keagamaan di Indonesia. pemimpin mereka adalah para Aktivitas yang dilakukan FPI yakni haba’ib dan ulama yang merupakan melakukan penertiban terhadap cerminan orang-orang suci yang kegiatan-kegiatan yang dianggap mendapat legitimasi agama. maksiat atau kegiatan yang (Syaefudin, 2014: 260-262) bertentangan dengan Syari’at Agama • Laskar Jihad, dibentuk tanggal 30 Islam yang sering berujung pada Januari 2000 tidak lama setelah Kekerasan. Latar belakang sosial runtuhnya Orde Baru sebagai - Politik berdirinya Front Pembela tanggapan atas kekerasan agama Islam yakni adanya penderitaan yang antara kaum Muslimin dan Nasrani di panjang yang di alami ummat Islam Maluku. Laskar ini merupakan sayap di Indonesia sebagai akibat adanya paramiliter dari Forum Komunikasi pelanggaran HAM yang di lakukan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (FKAWJ) oleh pihak penguasa, Kegagalan yang didirikan dua tahun sebelumnya. aparat negara untuk menegakan FKAWJ secara formal didirikan oleh hukum dan menjamin ketertiban pembentuk Laskar Jihad, yakni masyarakat, Adanya kewajiban Ja’far Umar Thalib, ketika dia dan bagi setiap Muslim untuk menjaga para pengikutnya mengadakan dan mempertahankan harkat dan tabligh akbar di Solo, Jawa Tengah, martabat Islam, Adanya kewajiban 14 Februari 1998. Laskar Jihad bagi setiap Muslim untuk dapat sebagai sayap para militer FKAWJ, menegakkan Amar Makruf Nahi mencerminkan struktur formal Munkar. militer Indonesia terdiri dari brigade, Tujuan berdirinya FPI yakni batalion, kompi, peleton dan regu, untuk membantu pemerintah dan bahkan memiliki badan intelejen dalam menumpas problem sosial sendiri. Ditunjuk sebagai panglima kemasyarakatan, seperti prostitusi, Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib perjudian, serta transaksi miras didukung oleh sebagian komandan dan narkoba. Untuk merealisasikan lapangan, termasuk Ali Fauzi dan tujuannya, Juga dalam Abu Bakar Wahid al-Banjari (Hasan, memaksimalkan kerja organisasi, 2005). FPI membentuk 2 struktur organisasi Adapun keberadaan Laskar yakni, Jamaah FPI melaksanakan Jihad adalah sebuah reaksi atas apa kegiatan sosial keagamaan, yang mereka persepsikan sebagai seperti pengajian, bakti sosial dan kezaliman atas kaum Muslimin di pendidikan. Sedangkan, laskar FPI Maluku. Dalam hal ini, menurut melakukan Pressure atau tekanan Noorhadi, pada dasarnya Laskar fisik untuk penyerbuan tempat Jihad percaya akan adanya konspirasi hiburan, sweeping, dan demonstrasi. tingkat dunia yang dipimpin oleh Laskar ini lebih menyerupai militer Amerika Serikat, yang bermaksud atau milisi di bawah komando sang merendahkan Islam dan kaum

Politik Identitas 205

02 JURNAL BAWASLU.indd 205 12/6/17 3:47 PM Muslimin. Mereka meyakini bahwa oleh BTP, dan mewujudkan Gubernur atau kaum Muslimin adalah korban pemimpin daerah yang beragama Islam yang terang benderang dari di Ibu Kota Negara Republik Indonesia. konspirasi global tersebut. Pada Agama merupakan suatu identitas, tanggal 12 Oktober 2002, Laskar yang lazimnya akan senantiasa melekat Jihad dibubarkan berdasarkan pada disetiap individu, khususnya di Indonesia, sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh mengingat bahwa setiap warga negara Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, salah berkewajiban untuk melaksanakan seorang tokoh salafi terkemuka Pancasila, terutama sila pertama, yakni dari Yaman yang menjadi panutan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, aktivis salafi di Indonesia. Alasan kesadaran terhadap identitas keagamaan pembubaran dalam fatwa tersebut tersebut cenderung fluktuatif atau dinamis, karena gerakan ini telah menyimpang seiring dengan tingkat pemahaman dari tujuan semula untuk berjihad tentang keagamaan dari seseorang dan membela kaum Muslimin di Maluku. konsistensi dalam melaksanakan aturan Selain itu, Ja’far Umar Thalib juga agama tersebut. Pada prinsipnya, agama menambahkan bahwa situasi menjadi pandangan mendasar atau di Maluku telah pulih sehingga pedoman bagi manusia dalam menjalani Laskar Jihad tidak lagi diperlukan kesehariannya, terlebih bagi ummat Islam terlibat dalam penanganan konflik yang memiliki petunjuk atau tata cara (Sholehuddin, 2013). beragama yang begitu komprehensif. Akan tetapi, sejatinya setiap agama 4. Hasil dan Pembahasan memiliki pedoman masing-masing, Politik identitas merupakan yang dituliskan dalam suatu ‘kitab suci’, suatu mekanisme pengelolaan atau seperti halnya bagi ummat Islam adalah pengorganisasian identitas politik atau Al-Qur’an, kemudian Al-Kitab (Injil) bagi identitas sosial sebagai sumber atau ummat Kristen, dan lain sebagainya. modal politik, sehingga identitas tersebut Kemudian, apakah kesadaran dapat membantu yang berkepentingan terhadap identitas keagamaan tersebut dalam mencapai tujuannya. Seiring dapat menjadi kesadaran atau identitas dengan pendapat Morowitz (1998) yang politik, yang digunakan sebagai dasar menjelaskan bahwa politik identitas atau perspektif utama dalam menyeleksi memberikan garis yang tegas untuk kandidat atau pemimpin yang akan kita menentukan siapa yang akan disertakan pilih? Bagi peneliti, hal tersebut sangat dan siapa yang akan ditolak. Sehingga, memungkinkan terjadi, terlebih apabila dalam konteks ini terdapat penekanan dalam suatu agama tersebut terdapat antara kelompok yang diakui dan ayat atau aturan yang berkaitan dengan kelompok yang tidak diakui. Penekanan sikap politik penganut agama tersebut terhadap perbedaan tersebut, menjadi dalam memilih pemimpin atau dalam strategi tersendiri bagi kelompok- menggunakan hak politiknya. Selain itu, kelompok fundamentalis Islam dalam kesadaran identitas keagamaan tersebut mencapai tujuannya untuk memproses dapat menjadi identitas politik, bila kasus ‘penistaan agama’ yang dilakukan terdapat persinggungan antara aspek

206 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 206 12/6/17 3:47 PM keagamaan dan aspek politik atau 2017-2022. Hal-hal yang dilakukan oleh kekuasaan, sehingga kedua instrumen kelompok fundamentalis tersebut tiada tersebut saling mempengaruhi, dan lain berasaskan pada garis pembeda, mewujudkan sikap politik seseorang yakni perbedaan agama yang dianut oleh dalam merespon suatu fenomena politik. BTP dan mayoritas warga DKI Jakarta yang Identitas politik merupakan konstruksi beragama Islam. pada subjek, sehingga menentukan Berdasarkan ‘garis pembeda’ posisi kepentingannya dalam suatu ikatan tersebut, serta kasus penistaan agama komunitas politik. Dengan demikian, yang dilakukan oleh BTP, memunculkan subjek memiliki suatu rasa kepemilikan pelbagai gerakan yang membangkitkan terhadap suatu identitas, sehingga hal fundamentalisme Islam sebagai kekuatan tersebut menandai posisi subjek dan politik yang sulit dibendung oleh kelompok yang lainnya dalam suatu pembedaan. manapun. Melihat dinamika tersebut Maka dari itu, akan menjadi semakin jelas tidak hanya menarik perhatian warga DKI titik perbedaan tersebut apabila terdapat Jakarta semata, melainkan seluruh ummat garis penegas yang membedakaan antara Muslim di Indonesia, bahkan menuai satu identitas dan identitas lainnya. berbagai kecaman dari ummat Muslim Terlebih apabila garis penegas dari di dunia. Masifnya pemberitaan terkait perbedaan tersebut dimunculkan melalui dengan kasus penistaan agama yang konflik yang berpotensi menimbulkan awalnya disebabkan oleh komentar BTP ‘political effect’ yang lebih besar terhadap soal Surat Al-Maidah Ayat 51, memberikan dinamika politik di suatu daerah. kesadaran bagi ummat Muslim, khususnya Menjelang Pilkada DKI Jakarta tahun mengenai implementasi dari Surat Al- 2017, muncul pemberitaan yang begitu Maidah Ayat 51. Beragamnya tingkat masif, terkait dengan dugaan penistaan pemahaman seorang Muslim mengenai agama yang dilakukan oleh Basuki ayat tersebut, atau bahkan sebelumnya Tjahaja Purnama (BTP) di Kepulauan banyak yang tidak mengetahui substansi Seribu saat kunjungan kerja. Setelah dari ayat tersebut, kemudian telah diproses, kasus tersebut menyebabkan memberikan input soal penistaan agama BTP harus mendekam dalam tahanan yang dilakukan oleh BTP. Melalui pelbagai selama dua tahun. Fenomena tersebut propaganda, baik dalam dunia ‘real’ atau menuai pelbagai dinamika, terlebih virtual, Ummat Islam diberikan stimulan sangat mempengaruhi prediksi dari untuk menelaah ayat tersebut dan kontestasi politik Pilkada DKI Jakarta meyakini secara mendalam (fundamental) tahun 2017. Hal-hal yang dilakukan terhadap subtansinya. Sehingga dengan BTP tersebut telah menuai kecaman demikian, semakin menarik partisipasi dari pelbagai kelompok, terlebih bagi ummat Islam dalam menyikapi Pilkada kelompok-kelompok fundamentalis Islam, DKI Jakarta berdasarkan substansi dari terutama FPI, HTI, dan lain sebagainya. ayat tersebut. Disisi lain, kelompok tersebut memang Berdasarkan fenomena di atas, Politik menunjukan sikap kontra terhadap identitas dapat dimaknai sebagai gerakan kepemimpinan BTP dan menginginkan politik yang terfokus pada perbedaan pergantian kepemimpinan di periode sebagai hal utama. Sehingga terdapat

Politik Identitas 207

02 JURNAL BAWASLU.indd 207 12/6/17 3:47 PM ketegasan dalam menentukan siapa yang Mereka dianggap sebagai kelompok disertakan dan siapa yang akan ditolak. pembangkang, banyak melakukan tindak Hal itu dikarenakan garis pembatas yang kekerasan seperti melakukan teror, menentukan dan memiliki ketentuan intimidasi, bahkan pembunuhan dalam yang tidak dapat dirubah. Maka dari itu, mencapai tujuannya. status anggota dan bukan anggota akan Terlepas dari segala kontroversi, tampak dan bersifat permanen. Dengan fundamentalisme Islam pada Pilkada demikian, umumnya politik identitas DKI Jakarta tahun 2017, fenomena ini dimaknai sebagai politik perbedaan. telah menimbulkan gerakan-gerakan Berdasarkan pada fenomena yang masif dengan jumlah massa yang ‘luar menimpa BTP pada Pilkada DKI Jakarta biasa’, terlebih pada aksi ‘bela Islam’ tahun 2017, dapat dianalisis bahwa tanggal 2 Desember 2016 (aksi 212), kelompok-kelompok fundamentalis yang melibatkan begitu banyak massa agama berhasil meningkatkan kesadaran ummat Islam hingga dapat memenuhi identitas keagamaan ummat Islam, area monumen nasional dan sekitarnya. dan memberikan pemahaman yang Terdapat pelbagai respon dari peristiwa fundamental mengenai substansi tersebut, baik itu yang pro maupun dari Surat Al-Maidah Ayat 51. Hal ini kontra, termasuk respon dari aparat berimplikasi pada munculnya identitas kepolisian yang menduga bawah ada politik ummat Islam yang menghayati tujuan makar dari pihak-pihak yang subtansi ayat tersebut, kemudian memanfaatkan aksi tersebut. mewujudkan sikap politiknya untuk Tidak dipungkiri bahwa di balik setiap tidak memilih BTP dalam ajang kontestasi aksi massa selalu ada potensi politik Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok- Istilah fundamentalis muncul di kelompok politik yang berkepentingan, lingkungan agama Nasrani khususnya di tujuannya tentu untuk untuk mendapat Amerika Serikat, merujuk pada bentuk- keuntungan politik mejelang Pilkada, bentuk konservatif protestanisme. dan hal ini juga terjadi dalam Pilkada Gerakan ini pada umumnya mengarah DKI Jakarta 2017. Isu-isu agama yang pada anti kaum modernis dengan muncul memang memberikan stigma interpretasi yang terbatas terhadap adanya politisasi agama, namun hal itu kitab Injil dan sangat menekankan etika juga sebenarnya lahir karena adanya tradisional Kristen (Denny, 1987: 117). momentum yang memunculkan aksi Fundamentalisme merupakan sebuah tersebut, yaitu adanya blunder politik aliran atau paham yang berpegang teguh yang dilakukan oleh petahana (Basuki pada dasar-dasar agama secara ketat Tjahaja Purnama) dengan mengomentari melalui penafsiran terhadap kitab suci soal dari Surat Al-Maidah Ayat 51. secara rigid dan literalis (Azra, 1993). Bagi peneliti, fenomena aksi oleh Akan tetapi, istilah ini seakan menjadi kelompok Islam jelas dapat dianalisa stigma negatif bagi kelompok-kelompok dari unsur politis, karena bersinggungan Islam konservatif dan sering diposisikan dengan kekuasaan. Namun mengenai dan disifati dengan hal-hal yang identik grand design utama yang memprakarsai dengan pejoratif (bersifat merendahkan). penyelenggaraan gerakan-gerakan bela

208 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 208 12/6/17 3:47 PM Islam tersebut dibutuhkan penelitian melainkan kembali membangkitkan lebih mendalam. Akan tetapi, penulis wacana fundamental, salah satu beranggapan bahwa fenomena tersebut diantaranya adalah aspek keagamaan. merupakan suatu bentuk dari bangkitnya Agama dapat menjadi sarana politik fundamentalisme Islam, atau kesadaran identitas dalam mewujudkan suatu warga negara, khususnya yang beragama kepentingan politik, sehingga penulis Islam, terhadap aturan keagamaan yang berpendapat bahwa agama dan politik harus mereka taati. Sehingga misi politik tidak dapat dipisahkan, terlebih apabila dari gerakan-gerakan fundamentalis Islam terdapat kelompok-kelompok atau tokoh- yang mewacanakan pemimpin harus tokoh fundamentalis yang memiliki dari Islam di wilayah mayoritas Muslim pengaruh besar terhadap dinamika politik dapat diterima oleh khalayak ummat dalam suatu wilayah tertentu. Islam. Dengan demikian, memunculkan Indonesia sebagai negara Pancasila, gerakan-gerakan signifikan yang dapat hendaknya dapat menyikapi dengan ‘arif’ meruntuhkan rezim BTP saat itu. fenomena politik identitas berdasarkan Bangkitnya kesadaran identitas keagamaan. Hal ini bertujuan untuk ke-Islaman sebagai suatu identitas memperkuat persatuan bangsa, yaitu politik menjadi wacana yang sukar bangsa Indonesia. Pemerintah hendaknya dijelaskan secara nalar, terlebih hal menekankan warga negara untuk kembali tersebut merupakan aspek spiritual yang pada kesepakatan umum terhadap dasar bersifat bhatiniyyah (terdapat dalam negara (Pancasila) dan Undang-Undang hati atu berkaitan dengan aspek batin 1945 yang disahkan pada tanggal 18 seseorang) dapat dirasakan langsung Agustus 1945, yang secara jelas memuat oleh setiap pemeluk agama terhadap poin penting terkait dengan persatuan keyakinannya masing-masing. Oleh bangsa. Sehingga ego atau politik identitas karena itu, fenomena fundamentalisme kedaerahan atau keagamaan yang terlalu ini disertai dengan gerakan-gerakan yang tinggi hendaknya diminimalisir untuk di luar nalar, seperti halnya gerakan kepentingan nasional, demi terciptanya jalan dari Ciamis menuju Jakarta untuk integrasi nasional dan kondusifitas mengikuti aksi 212, yang dipandang pemerintahan. sebagai langkah jihad. Fenomena yang diangkat dalam Para pemimpin atau politisi seringkali penelitian ini lebih condong pada konteks menggunakan politik identitas sebagai bangkitnya fundamentalisme Islam. Ubed retorika politik, dengan sebutan ‘putra Abdillah (2002) menjelaskan bahwa daerah’ yang memiliki kesempatan terdapat pola dalam gerakan politik lebih dalam memperoleh kekuasaan identitas, yakni ketika terdapat perpecahan dibandingkan dengan ‘pendatang’. fundamental karena gerakan sosial yang Sehingga politik identitas dijadikan menyeluruh sehingga memunculkan sebagai alat politik dalam menggalang adanya mobilisasi secara ideologis atas simpati publik dan memenuhi kepentingan aspirasi yang ada untuk menumbangkan ekonomi dan politiknya. Namun, wacana kekuasaan. Namun dalam konteks hari ini politik identitas tidak hanya ini, penulis mengapresiasi kesadaran berhenti pada aspek ‘kedaerahan’, demokrasi dari ummat Islam, khususnya

Politik Identitas 209

02 JURNAL BAWASLU.indd 209 12/6/17 3:47 PM yang berstatus sebagai warga DKI Jakarta. sekuler (godless), bahkan ketika mereka Perbedaan pandangan yang fundamental, harus menyimpang dari tradisi ortodoks serta adanya politik identitas dalam ajang untuk melakukan perlawanan. Kaum kontestasi Pilgub DKI, tidak menyebabkan fundamentalisme di Indonesia mencoba konflik yang berimplikasi pada kekerasan untuk mengusung konsepsi ke-Islaman atau konflik fisik. dalam setiap tindakan dan aksinya. Selain itu, penulis beranggapan Dengan demikian, fundamentalisme bahwa apabila fundamentalisme bukan sekedar sebagai aliran keagamaan dengan menggunakan keagamaan ingin namun juga sebagai aliran politik. dijalankan secara konsisten maka hal Pada konteks ini, fundamentalisme hadir itu tidak boleh berhenti pada konteks sebagai wacana politik identitas yang perebutan kekuasaan semata atau ajang menghasilkan dukungan serta partisipasi kontestasi Pilkada. Fundamentalisme yang luar biasa dari berbagai elemen berdasarkan kesadaran agama tersebut ummat Islam, bahkan di luar daerah DKI juga seharusnya dapat membangun Jakarta. Gerakan-gerakan fundamental kesadaran ummat Islam untuk turut menghasilkan pemahaman terhadap serta mengawal pemerintahan agar tidak identitas keagamaan yang berimplikasi menyimpang, turut serta mewujudkan pada munculnya sikap politik warga konsolidasi politik, demi kehidupan Muslim DKI, berdasarkan pemahaman masyarakat yang maju, damai, adil substantif dari fenomena penistaan dan sejahtera. Sehingga setiap ummat agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja beragama dapat menjalankan kegiatannya Purnama di kepulauan seribu. Oleh karena dengan baik, satu sama lainnya saling itu garis pembeda atau politik perbedaan menghargai perbedaan dalam tatanan antara non Muslim dan Muslim yang kehidupan yang demokratis. layak dipilih sebagai Gubernur menjadi pengaruh penting bagi mereka yang 5. Simpulan menghayati secara fundamental substansi Fundamentalisme dapat muncul dari Surat Al-Maidah Ayat 51. dalam bentuk apapun dan dimanapun ketika orang-orang melihat adanya kebutuhan untuk melawan budaya

210 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 210 12/6/17 3:47 PM DAFTAR PUSTAKA

Abdilah, U.(2002). Politik Identitas Etnis. Magelang: IndonesiaTera. Arifin, S. (2005). Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis. Malang: UMM Press. Azra, Azyumardi. (1993). “Fenomena Fundamentalisme dalam Islam” dalam Ulumul Qur’an No. 3 Vol. IV. Chandakirana, K. (1989). “Geertz dan Masalah Kesukuan”. Jakarta. Prisma No. 2/1989. Denny, Frederick, M. (1987). Islam and The Muslim Community. New York: Herper & Row Faidah, M. (2008). Konstruksi Ideologis Gerakan Islam Hizbut Tahrir. E-journal Unesa. Hasan, N. (2005). Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post New Order Indonesia. New York: Cornell Southeast Asia Program. Jamhari, & Jahroni, J. (2004). Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mahendra, Y. I. (1999). Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’ati Islam Pakistan. Jakarta: Paramadina. Morowitz, D.L. (1998). “Demokrasi Pada Masyarakat Majemuk’”. Dalam Larry Diamond dan Mars F Plattner. Nasionalisme, Konflik Etnik dan Demokrasi. Bandung: ITB Pres. Ratnasari, Dwi. (2010). Fundamentalisme Islam. Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Vol 4. No 1. Hal 40-57. Sholehuddin, M. (2013). Ideologi Religio-Politik gerakan Salafi Laskar Jihad Indonesia. Jurnal Politik , Vol 03 Nomor 01. Syaefudin, M. (2014). Reinterpretasi Gerakan Dakwah Front Pembela Islam (FPI). Jurnal Ilmu Dakwah, Volume 3, Nomor 2 . Wuthnow, R. (1987). Meaning adn Moral Order. California: The University of California Press.

Politik Identitas 211

02 JURNAL BAWASLU.indd 211 12/6/17 3:47 PM 212 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 212 12/6/17 3:47 PM Jurnal Bawaslu ISSN 2443-2539 Apriani, K.D&Irhamna. Vol.3 No. 2 2017, Hal. 213-226

POTENSI POLITISASI ISU-ISU IDENTITAS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT 2018

Kadek Dwita Apriani Universitas Indonesia, Depok, Indonesia, [email protected]

Irhamna Universitas Indonesia, Depok, Indonesia, [email protected]

ABSTRACT

Identity becomes vulnerable when it comes to politicization. Identity has been politicized in many electoral momentums, specifically in highly diverse region. West Kalimantan is suited those characters. There are three major ethnic groups, Melayu, Dayak, and Tionghoa whose have lived side by side in harmony. Yet, people are being forewarned; concerns related to politicization of identity in 2018 West Kalimantan Local Election has been raised. Using quantitative method through surveys to 1000 respondents which proportionally spread across all districts in West Kalimantan, conducted in July- August 2017. This study suggests that the politicization of identity might potentially be used in 2018 West Kalimantan Local Election.

Keywords Identity, politicization, West Kalimantan, Local Election

Politik Identitas 213

02 JURNAL BAWASLU.indd 213 12/6/17 3:47 PM ABSTRAK

Identitas menjadi unsur yang rentan dipolitisasi dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Politisasi isu-isu identitas dalam sebuah momentum elektoral umumnya muncul di wilayah dengan tingkat heterogenitas tinggi.Kalimantan Barat adalah salah satu dari wilayah dengan karakter tersebut. Di provinsi ini terdapat tiga etnis besar yang hidup berdampingan, yakni Melayu, Dayak, dan Tionghoa. Kekhawatiran mengenai politisasi isu-isu identitas di Kalbar dikemukakan banyak pihak menjelang pemilukada 2018. Dengan menggunakan metode kuantitatif melalui survei terhadap 1000 responden yang tersebar secara proporsional di seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Barat pada bulan Juli-Agustus 2017, penelitian ini menemukan bahwa potensi politisasi isu-isu identitas cukup besar dalam proses Pilkada Kalbar 2018.

Kata kunci Identitas, politisasi, Pilkada, Kalimantan Barat

1. Pendahuluan Dayak, dan Tionghoa. Dalam komposisi Dinamika politik lokal di Kalimantan etnis di Kalbar, Melayu tetap mayoritas, Barat pascareformasi menunjukkan isu jumlah etnis ini mencapai 43% dari total identitas dan etnis yang cukup mencolok. populasi (Badan Pusat Statistik, 2010). Dayak dan Melayu menjadi dua suku yang Sementara itu, etnis Dayak menempati paling besar dalam perebutan kekuasaan, urutan kedua dengan jumlah 26% dari dan kepentingan politik(Tanasaldy, 2007). total populasi Kalimantan Barat. Pada Kondisi ini kemudian didukung oleh urutan ketiga secara jumlah ada etnis penyelenggaraan otonomi daerah yang Tionghoa yang mencapai 8% dari total kemudian memberikan dampak signifikan populasi, jumlah yang sama dengan etnis dalam dinamika politik lokal, dalam proses Jawa (Badan Pusat Statistik, 2010). rekrutmen calon kepala daerah misalnya Beberapa kelompok etnik memiliki terdapat kecenderungan pemilihan wilayah (teritori) tersendiri, misalnya berdasarkan identitas, dalam bentuk Kabupaten Sambas menjadi teritori asal-usul daerah, etnis, dan agama. dari Melayu Sambas, dan Kabupaten Menguatnya penggunaan politik identitas Mempawah menjadi teritori dari Melayu etnis dan agama dalam pemilihan kepala Mempawah. Untuk etnis Dayak, Kabupaten daerah di Kalimantan Barat telah menjadi Bengkayang menjadi teritori dari Dayak fenomena umum(Jumadi & Yaakop, Bekati, Kabupaten Landak menjadi 2013). teritori dari Dayak Kanayatan, Sekadau Secara demografis, persebaran suku untuk Dayak Mualang, dan Melawi untuk bangsa di Kalimantan Barat dapat dibagi Dayak Keninjal (Kristianus, 2011). Etnis dalam tiga kelompok utama: Melayu, Tionghoa menguasai teritori yang penting di sekitar kawasan perkotaan dan pusat

214 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 214 12/6/17 3:47 PM perdagangan seperti di Kota Pontianak, satu yang indikasinya adalah munculnya dan Kota Singkawang. kegaduhan dalam Aksi Bela Ulama 205 Pada Pilkada 2012 yang lalu, terdapat (20 Mei 2017). Aksi 205 mengambil waktu empat pasangan calon gubernur dan yang bersamaan dengan pelaksanaan wakil gubernur: (1) Drs. Cornelis, M.H Festival Gawai Dayak 2017. Festival dan Drs. Christiandy Sanjaya, S.E., M.M tersebut merupakan agenda kebudayaan yang diusung oleh Partai Demokrasi tahunan Provinsi Kalimantan Barat. Indonesia-Perjuangan, Partai Demokrat, Festival ini pada intinya adalah upacara Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai menyambut panen padi, yang sudah Sejahtera, dan PIB; (2) H. Armyn Ali berlangsung selama 32 tahun, dan Anyang dan Ir. H. Fathan A. Rasyid, berpusat di kawasan Rumah Adat Radakng. M.Ag yang diusung oleh Partai Persatuan Sementara itu, Aksi 205 merupakan Pembangunan, Partai Hanura, dan Partai kegiatan penyampaian pendapat yang Bulan Bintang; (3) H. Morkes Effendi, berpusat di Masjid Raya Mujahidin, S.Pd., M.H., dan Ir. H. Burhanuddin A. Pontianak. Kegiatan ini memiliki agenda Rasyid yang diusung oleh Partai Golkar, untuk mendesak aparat untuk segera Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan memproses dugaan pelanggaran yang Sejahtera, Partai Bintang Reformasi, dan dilakukan oleh Gubernur Cornelis PKNU; dan (4) Drs. H. Abang Tambul dalam pidatonya (Baiduri, 2017). Dalam Husin dan Pdt. Barnabas Simin, M.Pd.K, sebuah pidato di Kabupaten Landak, yang diusung oleh Partai Gerindra dan Gubernur Cornelis diduga menyampaikan gabungan 18 partai politik (Handoko, pidato yang bernada provokatif dengan 2012). Pilkada Kalimantan Barat 2012 mengajak warga untuk menolak dimenangkan oleh pasangan Cornelis- kehadiran Imam Besar Front Pembela Christandy Sanjaya dengan perolehan Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab, dan suara mencapai 52,1%, yang berturut- Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama turut diikuti oleh Morkes Effendi- Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnaen jika Burhanuddin Rasyid (25,2%), Armyn datang ke Kalimantan Barat. Sebagian Ali-Fathan Rasyid (15,4%), dan Tambul kalangan menganggap bahwa pidato ini Husin-Barnabas Simin (7,3%). berpotensi memecah belah persatuan Gubernur terpilih Cornelis merupakan dan kehormatan antar etnis dan agama putra daerah yang bersuku Dayak dan di Kalimantan Barat (Eddy, 2017). Wakil Gubernur terpilih, Chistiandy Pilkada Kalimantan 2018 tidak lagi Sanjaya berasal dari etnis Tionghoa. bisa diikuti oleh gubernur petahana, Komposisi ini menjadi kekuatan tersendiri Cornelis, karena sudah melewati dua kali bagi pasangan calon untuk dapat masa jabatan. Meskipun demikian, kursi memenangkan Pemilihan Kepala Daerah gubernur Kalimantan Barat berpotensi Kalimantan Barat periode 2013-2018, kembali diperebutkan oleh dua etnis karena berhasil mengalahkan kelompok terbesar, Melayu dan Dayak. Terdapat Melayu. dua bakal calon gubernur yang cukup Setelah sempat reda, isu politik kuat untuk bertarung dalam Pilgub Kalbar identitas dan pemilihan kepala daerah 2018 menurut hasil survei beberapa kembali menggeliat di Kalbar. Salah lembaga survei yang menyelenggarakan

Politik Identitas 215

02 JURNAL BAWASLU.indd 215 12/6/17 3:47 PM surveinya di Kalbar sejak awal tahun kuesioner. Jumlah responden dalam 2017. Dua bakal calon tersebut adalah: penelitian ini sebanyak 1.000 orang Karolin Margaret Natassa, dan . sehingga tingkat kepercayaan dalam riset Karolin merupakan anak dari Gubernur ini adalah 95% dengan Margin of Error Cornelis dan saat ini menjabat sebagai (MoE) 3% (de Vaus, 2006). Pengambilan Bupati Kabupaten Landak dengan latar sampel pada survei ini dilakukan dengan belakang etnis Dayak dan beragama multistage random sampling, dengan Katolik.Di sisi lain ada nama Sutarmidji, memperhatikan proporsi penduduk di 14 Walikota Pontianak, yang berlatar kabupaten/kota yang ada di Kalimantan belakang Melayu-Muslim. Barat. Di masing-masing kabupaten Dengan sejarah konflik dan peta politik diambil beberapa desa/kelurahan secara seperti yang digambarkan di atas, muncul acak sesuai proporsi penduduk di seluruh kekhawatiran banyak pihak akan potensi kabupaten/kota yang ada di Kalimantan politisasi isu-isu identitas di Kalimantan Barat. Di masing-masing desa diambil Barat menjelang pemilukada 2018 5 RT/kampung dengan acak sederhana. mendatang. Hal tersebut membutuhkan Kemudian di masing-masing RT/kampung kajian pendahuluan yang baik sehingga diambil 2 KK dengan acak sederhana, lalu seluruh pemangku kepentingan dapat di tiap KK diambil 1 responden dengan mengantisipasi potensi tersebut. sistem Kish Grid. Proporsi gender dalam Dari uraian diatas penelitian ini penelitian ini juga dijaga agar 50:50 akan menjawab pertanyaan: bagaimana dengan mekanisme nomor kuesioner potensi pemanfaatan isu politik identitas ganjil untuk laki-laki dan genap untuk menjelang Pemilukada Kalimantan Barat responden perempuan. Tahapan-tahapan 2018?. Penelitian ini bertujuan untuk dalam Multistage Random Samplingyang melakukan pemetaan terhadap potensi dilakukan terhadap populasi penduduk konflik politik, dan mengantisipasi di masing-masing provinsi digambarkan terjadinya konflik politik. Penelitian ini dalam skema di bawah ini. juga akan memberikan pembuktian ilmiah atas kekhawatiran berbagai pihak terhadap potensi politisiasi isu identitas dalam Pemilukada Kalimantan Barat 2018.

2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif berjenis deskriptif karena tujuan penelitian ini adalah untuk memberi gambaran tentang persepsi masyarakat Gambar 1. Metode Pengambilan Kalimantan Barat mengenai isu-isu politik Sampel Sumber: Diolah oleh Penulis. identitas menjelang pemilukada 2018, bukan mencari hubungan sebab akibat Responden dalam penelitian ini antar variabel. Pengumpulan data utama diwawancarai dengan tatap muka (face to dilakukan dengan wawancara terstruktur face). Pengambilan data dilakukan pada terhadap responden dengan menggunakan bulan Juli tahun 2017.

216 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 216 12/6/17 3:47 PM 3. Perspektif Teori 2008). Hal itu berarti karakteristik sosial Dalam mengkaji potensi pemanfaatan menentukan kecenderungan politik isu-isu identitas dalam momentum seseorang. Pengelompokan sosial yang elektoral seperti pemilukada, teori yang dimaksud disini adalah usia, gender, akan digunakan adalah teori perilaku agama, etnis, pekerjaan, kelas sosial memilih (voting behavior) khususnya ekonomi, kedaerahan, latar belakang pendekatan sosiologis karena pendekatan keluarga, kegiatan-kegiatan dalam ini menekankan bagaimana peran kelompok-kelompok formal dan informal kelompok sosial dalam pertimbangan yang diikuti. Kelompok-kelompok sosial pemilih saat menentukan pilihan ini dipandang berpengaruh besar dalam politiknya. keputusan memilih karena kelompok- Sebelum membahas mengenai kelompok tersebut berperan dalam perilaku memilih, terlebih dahulu harus pembentukan sikap, persepsi dan dipahami mengenai voting itu sendiri. orientasi seseorang. Kegiatan voting pada dasarnya tidak Pendekatan sosiologis dalam perilaku jauh berbeda dengan kegiatan memilih memilihmenyebutkanbahwa faktor yang biasa kita lakukan dalam kehidupan yang paling mempengaruhi pilihan sehari-hari, seperti misalnya memilih masyarakat adalah karakteristik dan barang (Evans, 2004). Ada satu hal yang pengelompokan sosial. Dieter Roth harus dicatat dari pilihan tersebut, Ia tidak menyebutkan bahwa perilaku pemilih hanya berimbas pada individu, melainkan seseorang berkenaan dengan kelompok memiliki efek kolektif. Inilah yang menjadi sosial dari mana individu itu berasal pembeda dasar antara votingdan choice. (Roth, 2008).Hal itu berarti karakteristik Jika kita memilih barang di pasar untuk sosialmenentukan kecenderungan kita beli dan bawa pulang, lalu kita politik seseorang. Pengelompokan sosial gunakan untuk memenuhi kebutuhan, yang dimaksud disini adalah usia, jenis maka efeknya akan kita nikmati sendiri. kelamin, agama, pekerjaan, kelas sosial Hal yang demikian tidak terjadi dalam ekonomi, kedaerahan, latar belakang voting.Di dalam teori perilaku memilih keluarga, kegiatan-kegiatan dalam terdapat tiga pendekatan utama yaitu kelompok-kelompok formal dan informal. pendekatan sosiologis atau sosial Kelompok-kelompok sosial ini dipandang struktural; pendekatan psikologis dan berpengaruh besar dalam keputusan pendekatan pilihan rasional. Dalam studi memilih karenakelompok-kelompok ini, pendekatan yang digunakan hanya tersebut berperan dalam pembentukan satu pendekatan yangkni pendekatan sikap, persepsi dan orientasi seseorang. sosiologis. Penelitian tentang perilaku memilih Pendekatan sosiologis dalam perilaku di negara yang mengalami transisi memilihmenyebutkan bahwa faktor yang dilakukan di Philipina oleh Steven Rood, paling mempengaruhi pilihan masyarakat dan di salah satu negara di kawasan dalam pemilu adalah karakteristik dan Afrika, Malawi. Dari hasil penelitian pengelompokan sosial. Perilaku memilih yang berbeda tersebut dapat ditarik satu seseorang berkenaan dengan kelompok kesimpulan yang memiliki kemiripan. sosial darimana individu itu berasal(Roth, Perilaku memilih di negara yang sedang

Politik Identitas 217

02 JURNAL BAWASLU.indd 217 12/6/17 3:47 PM mengalami transisi tidak dipengaruhi seperti etnis dalam mempengaruhi secara signifikan oleh isu kebijakan pilihan politik rakyat juga dikemukakan dan orientasi partai, melainkan lebih oleh Benny Subianto yang meneliti Pilkada banyak dipengaruhi oleh faktor isu yang di enam kabupaten di Kalimantan Barat. berhubungan dengan kandidat dan juga Faktor ini berpengaruh karena loyalitas ikatan-ikatan seperti etnis, daerah asal masyarakat terhadap etnisnya masih dan hubungan klientelistik dalam struktur tinggi, dan mereka memandang bahwa sosial masyarakatnya (Rood, 1991). etnis yang sama berarti memiliki nilai Dalam pemilihan kandidat perorangan budaya yang sama, karenanya perilaku di Philipina, seperti pemilihan presiden, sosial politik dipandang sebagai cermin faktor yang paling kuat mempengaruhi identitas (Sulistiyanto & Erb, 2009). pilihan politik warganya adalah faktor Faktor sosiologis atau kelompok kandidat. Faktor lain yang harus sosial dan pengaruhnya terhadap perilaku dilihat adalah etnis dari kandidat yang memilih masyarakat Indonesia diteliti bersangkutan dan struktur patron klien oleh Saiful Mujani dan kawan-kawan yang masih kental dalam masyarakatnya. dengan menganalisis data empiris yang Masyarakat lebih suka memilih kandidat dihasilkan melalui survei nasional pada yang berasal dari etnis yang sama dengan tahun 2004 dan 2009. Temuan Mujani mereka dan dapat berkomunikasi dengan memperlihatkan bahwa variabel sosiologis bahasa etnis yang bersangkutan(Rood, yang berpengaruh secara signifikan pada 1991). Sedangkan di Malawi ditemukan pilihan politik masyarakat Indonesia fakta bahwa masyarakat menentukan dalam Pemilu dan Pilpres tahun 2004 dan pilihan politiknya berdasarkan faktor 2009 ada tiga, yaitu agama, kedaerahan, etnis dan daerah asal mereka karena dan tingkat pendidikan (Mujani, Liddle, & masyarakat mengidentifikasi diri mereka Ambardi, 2011). sesuai dengan kekuatan politik masa lalu yang mereka hadirkan kembali dalam • Konsep Identitas perebutan kekuasaan melalui pemilu Identitas dapat ditafsirkan sebagai (Rood, 1991). sebuah perasaan keindividualan Penelitian mengenai perilaku secara sosial yang berbentuk narasi memilih di Indonesia yang pernah atau persepsi tentang diri kita sebagai dilakukan Afan Gaffar, menekankan individu atau bagian dari kolektivitas. pentingnya karakteristik sosial, khususnya Dalam konsep yang dikemukakan oleh orientasi sosio-religius dalam melihat Yuval-Davis (Soeseno, 2011), individu perilaku pemilih di Pulau Jawa (Gaffar, merupakan subyek yang bersifat pasif 1992). Penelitian lainnya mengenai dalam proses pembentukan identitas. perilaku memilih di Indonesia dilakukan Sebaliknya, Epstein menganggap bahwa dengan melihat pemilu 1999. Hasilnya individu adalah subyek yang aktif dalam menyebutkan bahwa ikatan sosial pembentukan identitas, individu terlibat terutama faktor etnis penting untuk aktif dan melakukan inkorporasi dengan diperhatikan saat kita ingin mengamati pihak-pihak lain sehingga membentuk perilaku memilih masyarakat Indonesia identitas masing-masing. (King, 2003). Pentingnya ikatan sosial

218 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 218 12/6/17 3:47 PM Globalisasi yang terjadi juga memiliki atas pengaruh dari stigma-stigma dari pengaruh terhadap pembentukan pihak yang melakukan dominasi yang identitas seseorang atau kelompok. kemudian membangun pertahanan Bagaimana kemudian dengan dunia dan perlawanan. 1) Resistence identity yang terkesan tidak memiliki batas kemudian mengarahkan ke pembentukan membentuk identitas-identitas baru komunitas yang kuat dan menjadi bagi individu. Mereka tidak lagi memiliki dominan dalam institusi masyarakat identitas sebagai bagian dari sebuah sehingga bertransformasi ke dalam bentuk komunitas atau kelompok tertentu, tetapi legitimizing identity. 2) Legitimizing mereka juga memperkenalkan diri mereka identity diperkenalkan oleh institusi sebagai warga dunia (global citizenship). yang dominan dari masyarakat untuk Munculnya organisasi internasional atau memperluas dan merasionalisasikan perusahaan multinasional menjadi faktor dominasi aktor-aktor sosial, bentuk pendorong kearah terbentuknya identitas identitas ini dapat sejalan dengan teori- tunggal sebagai warga dunia, mereka teori mengenai nasionalisme, secara kemudian tidak sungkan lagi untuk singkat legitimizing identity lekat dengan mengatakan bahwa dia adalah warga otoritas dan dominasi. 3) Project Identity dunia, bukan warga negara dimana dia merupakan pembentukan identitas ketika berasal. aktor-aktor membangun sebuah identitas Identitas merupakan sumber baru yang mendefisikan ulang posisi pemaknaan bagi aktor itu sendiri dan mereka dalam masyarakat, berasal dari oleh mereka sendiri, yang dikonstruksikan suatu bentuk pertahanan atau perlawanan melalui proses individuasi. Meskipun juga yang biasanya mengkonstruksi kelompok identitas dapat pula berasal dari institusi identitas dan kemudian menjadi dominan yang dominan, yang mana mereka dalam masyarakat (Castells, 2004). menjadi sebuah identitas hanya ketika dan Lijphart (1984) mengemukakan jika aktor-aktor sosial menginternalisasi istilah consociational democracy untuk mereka, dan mengkosntruksikan menggambarkan kondisi demokrasi pemaknaan seperti nilai dan norma yang diformulasikan untuk mengatasi melalui proses internalisasi ini. Identitas masyarakat yang majemuk (pluralisme merupakan sumber pemaknaan yang budaya). Model ini juga dikenal dimiliki oleh individu ataupun entitas dengan istilah consensus democracy yang sifatnya lebih kuat dibandingkan (Kellas, 1998). Dalam bentuk idealnya, peran atau role karena proses dari self- consociational democracy memiliki construction dan individuation yang beberapa pelembagaan institusi yang terkandung didalamnya. penting: koalisi besar, sistem pemilu Manuel Castells (2004) dalam bukunya proporsional, hak veto yang bersifat The Power of Identity,menjelaskan bahwa timbal-balik (mutual), dan otonomi bagi identitas dapat dibagi menjadi tiga: setiap segmen. Koalisi besar (grand resistance identity, legitimizing identity, coalition) adalah bentuk akomodasi projector identity. Resistance identity untuk elit, mereka diberikan kesempatan dihasilkan oleh aktor-aktor yang berada untuk menjadi perwakilan dari segmen- dalam posisi dan kondisi yang lemah segmen yang ada untuk kemudian duduk

Politik Identitas 219

02 JURNAL BAWASLU.indd 219 12/6/17 3:47 PM bersama merumuskan masalah. Bentuk dalam pluralisme budaya yang dibahas kedua, yaitu sistem perwakilan yang secara amat baik oleh Jamie S. Davidson proporsional, dapat menjadi jawaban dan David Henley (2007) dalam buku dari kelompok non-elit untuk bisa mereka The Revival of Tradition in memberikan kontribusi mereka. Menurut Indonesian Politics: The Development penulis, hak veto dan otonomi menjadi of Adat from Colonialism to Indigenism. win-win solution bagi setiap segmen Buku tersebut menjelaskan kebangkitan atau kelompok dalam upaya menjamin kembali masyarakat adat nusantara dan kepentingan mereka dapat diakomdasi keinginan mereka untuk dapat dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan. secara aktif dalam proses pengambilan Masalah dalam consociationalism kebijakan. Kejatuhan rezim sentralistik biasanya ada karena dorongan dari Orde Baru, dan pemberlakukan praktik internal dan eksternal, dimana terdapat desentralisasi melalui otonomi daerah elit yang merasa tidak diakomodasi. menjadi ruang yang dimafaatkan dengan Faktor kepemimpinan memainkan peran sangat baik oleh kelompok adat untuk kunci disini. mengembalikan klaim atas hak-hak Horowitz dalam bukunya Ethnic mereka yang selama rezim Orde Baru Groups in Conflict (Kellas, 1998) dirampas. Manifestasi dari gerakan adat menjelaskan bahwa dalam mencari ini salah satu bentuk nyatanya adalah sistem politik yang dapat meredam konflik berkembangnya wacara ‘putra daerah’ etnis, Horowitz menemukan kegagalan yang harus menjadi pemimpin pada dari consociationalism dalam bentuk daerah-daerah otonomi (Davidson & asumsi a priori tentang pembahsan secara Henley, 2007) konstitusional terhadap konflik etnis. Dia kemudian menawarkan ‘lima mekanisme 4. Hasil dan Pembahasan dalam meredam konflik’, yaitu; pertama, Sampel yang diambil adalam melakukan pemisahan kekuasaan antara penelitian ini dapat dikatakan pemerintah pusat dan pemerintah representatif. Hal ini terlihat dalam daerah; kedua, memberikan perhatian sebaran demografi responden dari hasil yang lebih terhdap konflik intraetnis survei yang dilakukan. Perimbangan dibandingkan konflik internetnis; ketiga, gender laki -laki berbanding perempuan membentuk kebijakan yang memberikan tetap terjaga 50:50. Sebaran usia insentif terhdap kerjasama interetnis; responden memperlihatkan bahwa keempat, membentuk kebijakan yang pemilih terbanyak berada pada rentang lebih mengutamakan pembentukan koalisi usia 36-45 tahun (25,2%), diikuti oleh berdasarkan pengaruh, dibandingkan penduduk berusia 26-35 tahun (24,9%). dengan etnisitas; kelima, menurunkan Secara lebih detail dapat dilihat dalam disparitas antar kelompok sehingga rasa grafik dibawah ini: ketidakpuasan dapat menurun. Dalam konteks Indonesia, terdapat salah satu bentuk politik akomodatif

220 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 220 12/6/17 3:47 PM Grafik 1. Sebaran Usia Responden Berikutnya, hasil survei ini menemukan bebera fakta menarik tentang pemilih di Kalbar dan potensi isu-isu identitas menjelang momentum pemilukada 2018 yang dipotret melalui beberapa temuan angka untuk indikator berikut: • Sebanyak 10% responden tidak Sumber: Diolah oleh Penulis. nyaman bertetangga dengan keluarga yang berbeda agama dengan mereka; Untuk komposisi agama dan suku • Kurang dari 50% (49,1%) bangsa responden dalam penelitian ini masyarakat yang mengaku tidak dapat dilihat dalam grafik dibawah ini: mempermasalahkan latar belakang dan identitas keagamaan dari calon Grafik 2. Sebaran Responden kepala daerah dan calon wakil kepala Berdasarkan Agama daerah; • Lebih dari 25% responden menyatakan secara eksplisit bahwa merekalebih menginginkan Gubernur Kalimantan Barat adalah seorang Muslim, dan Wakil Gubernur Non- Muslim. Sebaliknya, ada 10,8% responden menginginkan Gubernur Kalimantan Barat Non-Muslim, dan Sumber: Diolah oleh Penulis Wakil Gubernur Kalimantan Barat adalah Muslim. Hal ini berarti bahwa Grafik 3. Sebaran Responden preferensi pilihan politik warga Kalbar Berdasarkan Suku salah satunya masih bergantung pada faktor identitas agama kandidat; • Hanya 49,3% responden yang menyatakan tidak mempermaslahkan latar belakang dan identitas kesukuan dari pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Sebanyak 20,6% responden menginginkan agar Gubernur dijabat oleh suku Sumber: Diolah oleh Penulis. MelayuSebanyak 10,7% responden menginginkan agar Gubernur dijabat Data demografis di atas telah oleh suku Dayak. Kecenderungan memperlihatkan keberagaman masyarakat tentang latar belakang identitas Kalbar yang terepresentasi dalam kesukuan terlihat mirip dengan latar responden penelitian ini. belakang agama kandidat di mata pemilih Kalbar.

Politik Identitas 221

02 JURNAL BAWASLU.indd 221 12/6/17 3:47 PM Beberapa temuan di atas merupakan pemilukada 2018 tersebut sangat indikator yang dapat digunakan dalam berimbang. Selisih antar keduanya hanya melihat bagaimana masyarakat melihat 0,3% dalam margin of error 3%, namun identitas sebagai sesuatu yang harus tetap ada pemilih sebanyak 25% yang terepresentasi dalam politik elektoral. belum menentukan pilihannya. Hal ini Hingga penelitian ini dilaksanakan, wajar karena pengambilan data lapangan memang belum terdapat pasangan pada penelitian ini sebelum ada calon calon yang secara resmi mendapatkan yang definitif. rekomendasi dari partai politik, namun Berikutnya dilakukan tabulasi silang dalam survei yang dilakukan terdapat antara variabel kandidat pilihan dengan simulasi dua nama yang diduga merupakan agama pemilih; kandidat pilihan dengan kandidat terkuat dan memiliki peluang suku pemilih; dan kandidat pilihan paling besar memperoleh rekomendasi dengan kabupaten/kota tempat tinggal dari beberapa parpol, yakni Karolin pemilih. Hasil tabulasi silang tersebut Margaret Natassa dan Sutarmidji. Dua dapat dilihat dalam tabel 1, tabel 2, dan nama ini mewakili dua kelompok etnis tabel 3 berikut ini. besar, Dayak, dan Melayu, seperti yang telah dijelaskan di bagian terdahulu. Tabel 1. Tabulasi Silang Latar belakang etnis dan agama kedua Variabel Agama kandidat dalam simulasi elektabilitas ini dapat digunakan dalam melihat preferensi pemilih berdasarkan suku dan agama pemilih dengan menggunakan teknik tabulasi silang. Survei ini menemukan angka elektabilitas simulasi dua nama calon gubernur Kalbar pada bulan Juli 2017 seperti terlihat dalam grafik dibawah ini. Sumber: Diolah oleh Penulis. Grafik 4. Simulasi Elektabilitas Dua Nama Dalam Tabel 1 terlihat bahwa responden yang beragama Islam memiliki kecenderungan memilih Sutarmidji (55,1%) yang berlatar belakang muslim, sementara itu mayoritas responden yang beragama Kristen dan Katolik (70,6% dan 80,3%) memilih Karolin yang berlatar belakang non-muslim. Data pada Sumber: Diolah oleh Penulis. tabel 1 ini menjelaskan bahwa pemilih masih menjadikan kesamaan agama Grafik di atas menunjukkan bahwa sebagai salah satu pertimbangan dalam perolehan suara kedua tokoh yang menentukan pilihan politiknya dalam digadang-gadang akan maju dalam momentum elektoral, meski dalam

222 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 222 12/6/17 3:47 PM data yang disajikan sebelumnya dalam etnis terbesar ketiga, Tionghoa hampir bentuk frekuensi, jumlah mereka yang separuhnya belum menentukan pilihan menginginkan pemimpin dengan agama mereka. tertentu kurang dari 40%, namun data Dalam tabulasi silang selanjutnya tabulasi silang di atas memperlihatkan terlihat sentimen asal wilayah yang juga kecenderungan yang lebih jelas. cukup kuat dam dapat dilihat sebagai Tabulasi silang berikutnya yang salah satu identitas yang mungkin tergambar dalam tabel 2 di bawah ini dimanfaatkan menjelang pemilukada adalah tabulasi silang antara variabel suku Kalbar mendatang. dan preferensi pilihan bakal calon kepala daerah simulasi 2 nama. Tabel 3. Tabulasi Silang Variabel Daerah Asal Tabel 2. Tabulasi Silang Variabel Suku

Sumber: Diolah oleh Penulis

Data yang tersaji dalam tabel 2 memperlihatkan kecenderungan yang Sumber: Diolah oleh Penulis hampir sama dengan Tabel 1, yaitu preferensi pemilih dalam menentukan Dalam Tabel 3 terlihat bahwa pemlih kandidat pilihannya masih dipengaruhi masih mempertimbangkan daerah asal oleh kesamaan latar belakang identitas sebagai dasar menentukan pilihan politik etnis/suku antara kandidat dan diri dalam pemilukada. Data menunjukkan, pemilih. Sebanyak 79,2% responden yang sebanyak 76,9% responden di Kota bersuku Dayak akan memilih Karolin yang Pontianak akan memilih Sutarmidji, juga merupakan orang Dayak sebagai walikota pontianak saat ini sebagai gubernur Kalbar mendatang. Sementara Gubernur, dan 90% responden di itu, sebanyak 54,6% orang Melayu akan Kabupaten Landak akan memilih Karolin memilih Sutarmidji yang notabena yang merupakan bupati Landak saat dianggap merepresentasikan kelompok ini. Daerah atau teritori yang menjadi etnis ini. Suku Jawa yang memiliki wilayah pengaruh suku Dayak seperti: identifikasi agama yang sama dengan Bengkayang, Kapuas Hulu, Melawi, suku Melayu (sama-sama Islam) juga Sekadau dan Sanggau juga menunjukkan cenderung memilih Sutarmidji. Sementara kecenderungan untuk memilih Karolin. itu, data juga memperlihatkan bahwa Sementara itu, pada daerah yang menjadi

Politik Identitas 223

02 JURNAL BAWASLU.indd 223 12/6/17 3:47 PM wilayah pengaruh suku Melayu seperti positif pada pelestarian dan keberlanjutan Sambas, dan Kubu Raya menunjukkan dari identitas tersebut, tetapi jika melewati kecenderungan untuk memilih Sutarmidji. titik keseimbangannya, identitas akan Data pada tabel 3 ini memberi penguatan membuka ruang konflik antaridentitas. pada data pada tabel 1 dan 2 di atas. Momentum PIlkada 2018 memiliki Berbagai temuan data di atas potensi pergeseran titik keseimbangan memperlihatkan bahwa teori perilaku dalam konsep identitas. Hal ini dibuktikan memilih pendekatan sosiologis yang melalui data yang berhasil dihimpun, menyebutkan faktor paling berpengaruh bahwa lebih dari separuh (50,9%) dalam pilihan masyarakat dalam pemilu menjadikan asal daerah, agama, dan adalah karakteristik dan pengelompokan suku sebagai bahan pertimbangan dalam sosial, dapat terlihat di Kalimantan Barat. memilih calon kepala daerah. Kondisi ini Pengelompokan sosial yang penting sedikit berbeda sejak otonomi daerah diperhatikan menjelang pemilukada dimulai. Perbedaan yang paling prinsip Kalbar 2018 adalah suku/etnis, agama, adalah sentimen kedaerahan dan identitas dan asal wilayah. yang dibawa menjadi semakin lokal. Jika Pertarungan identitas yang menjadi dulu pada masa awal otonomi daerah pengamatan adalah Melayu-Muslim tuntutannya adalah kepala daerah yang dengan Dayak-Kristen/Katolik yang merupakan orang asli daerah tersebut, kemudian berpotensi untuk dipolitisasi maka sekarang konteksnya menjadi lebih menjelang pemilihan kepala daerah. sempit, yaitu mereka yang berasal dari Sentimen kesukuan yang bercampur kabupaten/kota yang sama. Penguatan dengan sentimen keagamaan menjadi identitas kelokalan ini yang kemudian hal yang perlu diwaspadai oleh Badan perlu untuk diperhatikan secara seksama. Pengawas Pemilu. Politisasi isu identitas Ketakutan akan tercerabutnya identitas dapat merugikan pasangan calon yang karena peleburan batas-batas melalui menjadi korban dari framing lawan globalisasi menjadi kurang relevan ketika politiknya. berhadapan dengan kebangkitan kembali Mengacu kepada konsep identitas sentimen identitas yang lebih lokal. yang dijelaskan pada awal tulisan ini, Penjelasan Lijphart (1984) tentang bahwa sentimen kedaerahan (orang asli consociational democracy menjadi daerah) masih menjadi fenomena umum relevan untuk mengakomodasi perbedaan di Kalimantan Barat. Asal daerah masih dalam pluralisme budaya yang ada di menjadi preferensi dalam memilih kepala Kalimantan Barat. Heterogenitas yang daerah. Kecenderungan warga di masing- tinggi, serta pluralisme budaya yang telah masing kabupaten asal untuk memilih terjalin sejak lama perlu untuk terus bakal calon gubernur yang berasal dari dibina. Persaingan yang terjadi antara daerah yang sama masih sangat tinggi. tiga kelompok etnis terbesar ini perlu Tingginya kecenderungan menggunakan dicarikan solusi yang terbaik, dimana isu-isu identitas mengindikasikan bahwa kepentingan dari seluruh pihak dapat ikatan dan kolektivitas dari masing-masing terakomodasi dengan baik. kelompok masih kuat. Dalam satu sisi, Pilihan kebijakan dalam meredam menguatnya identitas dapat berdampak terjadinya konflik interetnis di Kalimantan

224 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 224 12/6/17 3:47 PM Barat dapat mengacu kepada dua dari 5. Simpulan lima aspek yang dijelaskan oleh Horowitz Secara umum, temuan dari (dalam Kellas, 1998) yaitu: penelitian ini menunjukkan adanya • Memberikan insentif atas kerjasama potensi penggunaan isu identitas dalam interetnis. Kondisi ini akan pelaksanaan Pilkada Kalimantan Barat mendorong terbentuknya kerjasama 2018. Masyarakat Kalimantan Barat masih interetnis sehingga mereka lebih tergolong sebagai pemilih tradisional yg mengutamakan tujuan bersama mengedepankan faktor sosiologis. Ikatan daripada kepentingan golongan. kedaerahan, agama, dan suku masih • Menurunkan disparitas interetnis. menjadi pertimbangan utama lebih dari Kesetaraan akses dan distribusi separuh masyarakat Kalimantan Barat sumber daya yang merata menjadi dalam menentukan pilihan politiknya. kunci penting dalam menjaga Politik identitas dalam beberapa hubungan interetnis agar tidak waktu terakhir menjadi perhatian serius terjadi saling cemburu yang dapat berbagai kalangan. Penguatan identitas berujung kepada konflik. lokal menjadi pisau bermata dua yang Lebih lanjut, jika mengacu kepada harus dikelola dengan baik. Kewaspadaan Castells (2004) maka identitas yang memang perlu ditingkatkan menjelang sekarang yang dimiliki perlu dibentuk tahun politik datang, tetapi tidak berarti sebuah project identity, tentang harus terkungkung dalam paranoia dan pembentukan identitas baru yang segala bentuk ketakutan yang tidak akomodatif. Tantangannya adalah beralasan. Masih terdapat variabel lain membentuk identitas Kalimantan yang belum dijelaskan dalam penelitian Barat, bukan memperkuat identitas yang singkat ini, dan secara resmi belum kelokalan, Dayak, Melayu, atau Tionghoa ada pasangan calon yang mendaftar dan Jawa. Tetapi, bagaimana dengan sebagai bakal calon gubernur dan wakil ragam identitas yang dimiliki tersebut gubernur. Seperti yang dijelaskan pada masyarakat Kalimantan Barat memiliki bagian awal, temuan dari penelitian kebanggaan atas identitas baru mereka ini setidaknhya mampu memberikan yang lebih akomodatif, tanpa mengurangi peringatan dini dan pemetaan potensi kadar kebanggaan mereka atas identitas konflik politik yang mungkin akan terjadi. asal. Kalimantan Barat dapat menjadi Bawaslu sebagai lembaga yang laboratorium mini dalam melihat eksistensi bertanggung jawab atas pengawasan kebhinekaan, hidup berdampingan dalam pemilu perlu untuk merumuskan persiapan damai dan harmoni meski memilki banyak yang matang dalam menghadapi potensi perbedaan. penggunaan politisasi isu identitas dalam Pilkada Kalimantan Barat 2018.

Politik Identitas 225

02 JURNAL BAWASLU.indd 225 12/6/17 3:47 PM DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2010). Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Baiduri, N. I. (2017, Mei 20). Aksi Bela Ulama 205 Kisruh, Pontianak Berstatus Siaga. Diakses pada Oktober 24, 2017, dari Tempo.Co: https://nasional.tempo.co/ read/877179/aksi-bela-ulama-205-kisruh-pontianak-berstatus-siaga Castells, M. (2004). The Power of Identity, The Information Age: Economy, Society, and Culture Volume II. Cambridge: Blackwell . Davidson, J. S., & Henley, D. (2007). The Revival of Tradition in Indonesian Politics: The Development of Adat from Colonialism to Indigenism. New York: Routledge. de Vaus, D. (2006). Research Design in Social Research. London: SAGE Publication. Eddy, G. (2017, Mei 21). Kapolda Janji Proses Hukum Bernada Provokasi Gubernur Kalbar. Diakses dari Seputar Indonesia: https://daerah.sindonews.com/ read/1206904/174/kapolda-janji-proses-hukum-pidato-bernada-provokasi- gubernur-kalbar-1495358386 Evans, J. A. (2004). Voting and Voters: An Introduction. London: SAGE Publications. Gaffar, A. (1992). Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party-System. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Handoko, A. (2012, Agustus 5). Cornelis-Christandy Dapat Nomor Urut Satu. Diakses pada Oktober 29, 2017, dari Kompas.com: http://regional.kompas.com/ read/2012/08/06/15485347/Cornelis-Christiandy.Dapat.Nomor.Urut.1 Jumadi, & Yaakop, M. (2013). Keterwakilan Etnis dalam Kepemimpinan Politik Pasca Orde Baru. Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Vol. 2 (No.11), 81-90. Kellas, J. G. (1998). The Politics of Nationalism and Ethinicity. London: Macmillan Press. King, D. Y. (2003). Half-Hearted Reform: Electoral Institution and Struggle for Democracy in Indonesia. Westport: Preager Publisher. Kristianus. (2011). Nasionalisme Etnik di Kalimantan Barat. Masyarakat Indonesia, Vol.XXXVII (No.2), 147-175. Mujani, S., Liddle, R., & Ambardi, K. (2011). Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Mizan. Rood, S. (1991). Perspective on the Electorals Behaviour of Baguio City (Philliphines): Voters in Transititon Era. Journal of South East Asian Studies, Vol.22 (No.1), 86-87. Roth, D. (2008). Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori, Instrumen, dan Metode. Jakarta: Friedrich-Naumann Stiftung. Soeseno, N. (2011). Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu-Isu Kontemporer. Depok: Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia. Sulistiyanto, P., & Erb, M. (2009). Deepening Democracy in Indonesia: Direct Election for Local Leaders. Singapore: ISEAS. Tanasaldy, T. (2007). Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat. In H. S. Nordholt, & G. van Klinken, Politik Lokal di Indonesia (pp. 461-490). Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV-Jakarta.

226 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 226 12/6/17 3:47 PM Jurnal Bawaslu ISSN 2443-2539 Saepudin&Firmansyah, J. Vol.3 No. 2 2017, Hal. 227-239

JAWARA DAN PEMILU: PERAN JAWARA SEBAGAI IDENTITAS POLITIK DI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Saepudin Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, Indonesia, saepudin. [email protected]

Joni Firmansyah Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, Indonesia, [email protected]

ABSTRACT

This study aims to find out how the identity of jawara in Banten society so thatit has influence in local politics. The influence jawara is increasing in social, economic, and political fields during the reform era that open community participation. This research methodology used qualitative method with descriptive-analysis approach. The findings and conclusions are jawara become identity that have influence because have magical power and experience social mobility so that dominating of economy and also influence politics to defend their interest. Their abilities are also supported by the patron-client relationship between the jawara and some jawaras have been institutionalized and rooted from the center to the regions. While jawara relationship with the ruler is more driven by the relationship of mutualism symbiosis because jawara needs the support of power to maintain their interests. While the ruler need their support to be re-elected in the local elections. Jawara can be a supporter and vote getter because it has a mass base. So the jawara can be decisive in Banten because of their network spread in political parties, legislative and executive institutions.

Keywords Local Election, Election, Jawara’s Role, Power

Politik Identitas 227

02 JURNAL BAWASLU.indd 227 12/6/17 3:47 PM ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana identitas jawara dalam masyarakat Banten sehingga mempunyai pengaruh dalam politik lokal. Pengaruh jawara semakin terasa dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik ketika era reformasi yang membuka partisipasi masyarakat. Metodologi penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analisis. Temuan dan kesimpulannya adalah jawara menjadi identitas yang mempunyai pengaruh karena mempunyai kekuatan magis dan mengalami mobilitas sosial sehingga menguasai bidang ekonomi dan turut juga mempengaruhi politik untuk memepertahankan kepentingan mereka. Kemampuan mereka juga ditunjang oleh hubungan patron-klien diantara jawara dan beberapa jawara terlembagakan menjadi organisasi dan mengakar dari pusat sampai daerah. Sedangkan hubungan jawara dengan penguasa lebih didorong oleh hubungan simbiosis mutualisme karena jawara membutuhkan dukungan kekuasaan untuk memepertahankan kepentingan mereka. Sedangkan penguasa membutuhkan dukungan mereka untuk terpilih kembali dalam pilkada. Jawara bisa menjadi supporter dan vote getter karena mempunyai basis massa. Kemudian jawara bisa menjadi penentu kebijakan di Banten karena jaringan mereka yang menyebar di partai politik, lembaga legislatif maupun eksekutif.

Kata Kunci Pilkada, Pemilu, Peran Jawara, Kekuasaan

1. Pendahuluan serasi antara pusat dan daerah serta Dengan jatuhnya rezim Suharto yang antar daerah dalam rangka menjaga berkuasa selama 32 tahun memberikan keutuhan Negara Kesatuan Republik dampak kepada perubahan sistem Indonesia (NKRI); ketiga, mengembangkan dan tatanan politik Indonesia. Era kehidupan demokrasi, keadilan dan reformasi sebagai hasil dari perubahan itu pemerataan (Leo Agustino, 2009: 26). diharapkan membawa Indonesia kepada Kemudian demokratisasi di Indonesia pemerintahan yang lebih adil, demokratis, ditandai dengan dilakukannya pemilihan dan sejahtera. Perubahan kekuasaan umum secara langsung yang bebas, jujur, juga mempengaruhi hubungan struktur dan adil sebagai bentuk perwujudan hak- kekuasaan pusat dengan daerah yaitu hak asasi. dengan diberlakukannya otonomi daerah. Dengan adanya pemilihan kepala Ide dasar dari otonomi daerah adalah; daerah (Pilkada) secara langsung pertama, meningkatkan pelayanan dan sehingga mengubah pola pemilihan kesejahteraan masyarakat yang semakin yang sebelumnya dilakukan oleh elit baik; kedua, memelihara hubungan yang dengan perwakilannya di DPRD (elite vote) ke model pemilhan yang dipilih

228 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 228 12/6/17 3:47 PM langsung oleh masyarakat (popular dalam politik lokal baik formal maupun vote). Ada beberapa kelebihan pilkada informal. Pada awalnya jawara dan langsung diantaranya political equality, kyai adalah satu entitas yang tidak bisa local accountability, dan local response dipisahkan, namun dengan dinamika dan yang diharapkan munculnya partisipasi situasi yang berubah khususnya ketika Orde masyarakat dan adanya peningkatan Baru, dimana kyai semakin termajinalkan efisiensi pemerintahan lokal (Amirudin dalam politik dan perannya bergeser dan A. Zaini Bisri, 2006). Namun, dengan kepada peran informal, sedangkan peran adanya desentralisasi berupa otonomi formal dalam pemerintahan banyak daerah yang diharapkan kekuasaan bisa didominasi oleh kalangan jawara disitribusikan secara adil dan merata tidak Pada pemilihan kepada daerah setelah berkorelasi positif dengan penguatan reformasi baik yang masih dilakukan demokrasi. Hal ini ditandai dengan oleh DPRD maupun pemilihan secara lahirnya kekuatan orang kuat lokal di langsung, jawara selalu terlibat dalam berbagai negara berkembang dan di dinamika memperebutkan pengaruh dan Indonesia. kekuasaan. Pada pemilihan Gubernur Di Banten dengan tumbangnya rezim dan Wakil Gubernur Banten tahun Orde Baru, justru semakin menguatkan 2001 yang dimenangkan oleh pasangan peran jawara dalam bidang sosial, Djoko-Atut memperlihatkan pengaruh politik dan ekonomi. Dominasi itu dapat jawara dalam memenangkan pasangan dimengerti karena ketika Suharto berkuasa tersebut. Ketika pemilihan kepala derah jawara (selain kyai) adalah salah satu dilakukan secara langsung, ternyata peran kekuatan lokal yang dikooptasi pemerintah jawara tidak hanya berpengaruh untuk untuk mempertahankan kekuasaannya. salah satu kandidat saja, tetapi mereka Peran jawara sebagai identitas kekuatan memepunyai pengaruh terhadap semua politik lokal sudah dimulai semenjak kandidat sebagai salah satu faktor untuk zaman kolonialisme, dimana jawara mendulang suara. Dukungan jawara selalu terlibat dalam pemberontakan- selalu diberikan kepada setiap pasangan pemberontakan menentang Belanda. kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Sekarang di era reformasi jawara banyak baik dalam pilkada tahun 2006, 2011, menguasai sumber ekonomi dan politik dan 2017. Hal ini memperlihatkan karena banyak terlibat dalam Kamar kalau jawara sebagai identitas lokal Dagang Indonesia (KADIN), Lembaga Banten yang mempunyai pengaruh untuk Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), dan mempengaruhi preferensi masyarkaat Gabungan Pengusaha Nasional Seluruh dalam menentukan sikapnya dalam politik Indonesia (GAPENSI). Sedangkan dalam terutama pilkada. perpolitikkan lokal, mereka mendominasi Berdasarkan pemaparan di atas, dan menempatkan orang-orangnya di jawara merupakan salah satu subkultur pemerintahan baik di lembaga legislatif sosial di Banten yang selalu terlibat maupun eksekutif. dalam politik lokal dan mempengaruhi Banten sebenarnya daerah yang perubahan sosial masyarakat khususnya didominasi oleh dua subkultur yaitu kyai dalam kontestasi pemenangan kepala dan jawara yang mempunyai pengaruh daerah. Oleh karena itu penelitian ini

Politik Identitas 229

02 JURNAL BAWASLU.indd 229 12/6/17 3:47 PM akan mengkaji dan menjawab bagaimana simbol sebagai bentuk kontrol sosial keterlibatan jawara sebagai kekuatan atas masyarakat. “Orang kuat lokal” politik dalam pemilu kepada daerah beroperasi di negara pascakolonial Banten? dari benua Asia dan Afrika yang masih lemah melakukan kontrol sosial atas 2. Metode Penelitian masyarakatnya terutama di tingkat Jenis penelitian yang penulis gunakan lokal. Kontrol sosial terutama dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian untuk mengatur relasi sosial di dalam kualitatif dengan pendekatan deskriptif- masyarakat, melakukan penetrasi di analitis. Menurut Lawrence Neuman, dalam masyarakat, mengambil sumber pendekatan kualitatif bertujuan untuk daya yang ada di dalam masyarakat dan mendapatkan gambaran yang jelas menggunakan sumber daya yang ada mengenai pertanyaan penelitian yang di dalam masyarakat (Joel S. Migdal, telah dirumuskan sebelumnya dengan 1988: 3-41). metode induktif. Namun tidak menutup Dalam sebuah arena politik lokal, kemungkinan untuk menggunakan data- “orang kuat lokal” bersama birokrat di data kuantitatif yang terkait dengan tingkat lokal yang menjalankan kebijakan subjek ataupun masalah penelitian, untuk pemerintah dan politisi lokal yang terdiri memperkuat data-data yang terkumpul dari partai politik dan pemimpin formal selama penelitian (Lawrence Neuman, di tingkat lokal, membentuk segitiga 2000: 88-91). akomodasi yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Mereka membangun apa yang disebut Joel Migdal sebagai 3. Perspektif Teori jejaring pertukaran sosial ekonomi dan 3.1 Local Strongman politik. “Orang kuat lokal” melakukan Joel Migdal memberikan definisi tawar menawar dengan birokrat dan mengenai “orang kuat lokal” sebagai politisi yang menghasilkan kompromi atau pemimpin nonformal negara seperti tuan kompetisi. “Orang kuat lokal” menawarkan tanah, tengkulak, pengusaha, kepala stabilitas lokal yang ditukar dengan suku, panglima perang, bos, petani kaya, jaminan tidak mengganggu kekuasaan pemimpin klan, za’im, effendi, agha, mereka yang telah berlangsung. Bahkan cacique dan kulaks, yang membangun mereka menawar untuk dapat terlibat organisasi sosialnya yang berbentuk langsung memengaruhi keputusan jejaring dalam rangka menjalankan penting mengenai alokasi sumber daya kontrol sosial atas masyarakat untuk dan aplikasi aturan-aturan kebijakan menguasai keseluruhan populasi yang negara dengan cara menempatkan mendiami wilayah tertentu. Para anggota keluarga mereka pada sejumlah “orang kuat lokal” melakukan berbagai jabatan penting demi menjamin alokasi kegiatan seperti pemberian kredit, sumber daya berjalan sesuai dengan pemberian akses rakyat kepada tanah, aturan mereka sendiri (Joel S. Migdal, perlindungan keamanan, pemerasan 1988: 238-258). dan tindakan lainnya. Mereka juga menerapkan hadiah, hukuman dan

230 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 230 12/6/17 3:47 PM 3.2 Teori Patron-Klien dan mempunya beberapa klien sendiri James C. Scott, memberikan definisi (Maswadi Rauf, 2001: 99). Maswadi patron-klien sebagai hubungan timbal Rauf berpendapat bahwa seorang balik di antara dua peran yang dapat patron dalam kelompok patron-klien diartikan sebagai sebuah kasus khusus karena kepemilikan sumber-sumber yang melibatkan kekawanan secara luas kebutuhan hidup. Faktor penting yang dimana individu yang satu memiliki menyebabkan seseorang menjadi patron status sosial ekonomi yang lebih tinggi dalam kelompok patron-klien adalah (patron) yang menggunakan pengaruh ketergantungan para klien secara materil dan sumber-sumber yang dimilikinya kepada patron. Sebagai akibatnya adalah untuk memberikan perlindungan atau bahwa ketergantungan itu menyebabkan keuntungan-keuntungan kepada individu para klien menggantungkan sumber- yang lain yang memiliki status yang lebih sumber penghasilannya kepada patron. rendah (klien), dimana klien mempunyai Para klien dan keluarganya memperoleh kewajiban membalas dengan memberikan pekerjaan dan penghasilan dari resources dukungan dan bantuan secara umum, yang diberikan oleh patron (Maswadi termasuk pelayanan-pelayanan pribadi Rauf, 2001: 102). kepada patron (James C. Scott : 92). Hubungan pertukaran antara patron 4. Hasil dan Pembahasan dan klien adalah hubungan yang tidak 4.1 Identifikasi Jawara Sebagai Kekuatan seimbang yang mencerminkan perbedaan Politik Lokal Banten status. Hubungan tersebut yang kemudian Istilah jawara sendiri dalam sejarahnya menimbulkan perasaan hutang budi klien mempunyai berbagai macam versi karena kepada patron dan kemudian membalas tidak adanya bukti sejarah yang mencatat jasa patron. Selain itu hubungannya bisa secara terperinci tentang jawara. Hal ini bersifat personal yang konsekuensinya disebabkan jawara sendiri lahir dari rakyat menciptakan loyalitas, kepercayaan, dan biasa, bukan dari golongan atas seperti kasih sayang dalam hubungan diantara sultan, raja, kaum bangsawan, maupuan mereka. pemimpin lainnya yang sering dicatat Bentuk hubungan patron-klien bisa dalam sejarah. Sejarah jawara menurut berbentuk bola gugus (patron-client para peneliti, umumnya bisa ditelusuri cluster) dan pola piramida (patron- dengan pemberontakan-pemberontakan client pyramid). Pola gugus adalah yang dilakukan masyarakat Banten bentuk hubungan seorang patron dengan terhadap kolonialisme Belanda sebagai beberapa klien, sedang pola piramida bentuk protes terhadap penjajahan yang adalah gabungan dari beberapa gugus menimbulkan penderitaan rakyat. patron-klien yang dipimpin seorang Menurut Sartono Kartodirdjo, patron sebagai patron tertinggi. Dalam golongan jawara pada umumnya adalah patron-klien piramida, seorang klien dari orang-orang yang tidak mempunyai patron tertinggi adalah juga seorang pekerjaan tetap dan sering melakukan patron dari beberapa orang klien. Dengan tindakan kriminal (Sartono Kartodirdjo, demikian ada beberapa patron kecil 2015: 56). Sementara menurut Michael yang menjadi klien patron tertinggi C. Williams, istilah jawara sendiri merujuk

Politik Identitas 231

02 JURNAL BAWASLU.indd 231 12/6/17 3:47 PM kepada seseorang yang tidak hanya siap menunjang keunggulan tersebut mereka menentang hukum-hukum dan segala membutuhkan magi walaupun dalam macam aturan-aturan legal yang ada, bentuk yang paling mudah, seperti jimat, namun juga melawan siapapun demi rajah dan sebagainya yang diperoleh meraih tujuan mereka. Golongan ini dominan dari kiai. Walaupun pada zaman terdapat di pedesaan Banten yang sarat sekarang, jawara dalam arti fisik dengan akan intrik dan sampai sekarang masih ciri-ciri tersebut sudah tidak ada, yang berkembang (Michael C. Williams, 2003: ada hanya dalam arti simbolik dengan 54). Jawara adalah istilah di Banten untuk kecenderungan menetukan beberapa ciri- orang-orang yang memiliki kepandaian ciri saja, yaitu mengandalkan keberanian bermain silat dan memiliki keterampilan- dan kekuatan fisik, agresif, terbuka (blak- keterampilan tertentu. Berbeda dengan blakan) dan sompral (Tihami, 1992: 13). perampok dan pencuri, mereka adalah Sumber kekuasaan jawara secara figur yang mampu menjaga keselamatan tradisional bisa dibedakan dengan sumber dan keamanan desa, sehingga masyarakat kekuasaan jawara ketika mengalami menghormati keberadaan mereka. Pada mobilitas sosial dimulai ketika Orde umumnya jawara sangat patuh kepada Baru yang mempunyai kepentingan ulama karena semangat dalam jiwa mempertahankan kekuasaanya dengan mereka diperoleh dari ulama. Tetapi ada dukungan jawara. Kekuasaan jawara sebagian yang berperilaku negatif, namun secara tradisional karena mereka biasanya itu bisa diatasi oleh rekan-rekan mempunyai magi yang dapat dipercaya mereka sendiri. mempunyai dan memberikan keuntungan Pemaknaan yang cenderung positif dalam kehidupan sehari-hari. Sumber terhadap jawara disampaikan oleh kekusaan jawara yang berkaitan dengan Tihami, dimana jawara menjadi bagian magi tidak bisa dilepaskan dari kyai yang dari orang-orang yang pernah dididik di menurunkan ilmunya kepada santi dan pesantren. Jawara sesunguhnya murid jawara, walaupun secara proporsi ada kiai yang mendalami ilmu-ilmu agama perbedaan ilmu yang diturunkan kepada di pesantren. Selain itu, mereka juga santri dan jawara. mendalami ilmu-ilmu kanuragan dari kiai Jawara menjadi local strongman yang pada akhirnya menjadi orientasi karena kemampuan mereka untuk pilihan yang dikembangkan. Namun citra memanimpulasi kekautan magis yang jawara di zaman sekarang cenderung kemudian mengalami mobilitas sosial negatif, dimana sebagian jawara lebih dalam bidang sumber daya ekonomi. suka identifikasi diri mereka dengan Dengan penguasaan sumber daya sebutan pendekar. ekonomi tersebut membuat mereka Pada zaman sekarang eksistensi jawara mempunyai pengaruh dalam politik lokal masih diakui di Banten, walaupun Banten sebagai identitas yang akan diikuti sudah disebutkan sebelumnya jawara oleh masyarakat. cenderung berkonotasi negatif. Jawara Menurut Mohammad Hudaeri, peran- adalah seseorang atau kelompok peran sosial jawara adalah sebagai berikut masyarakat di Banten yang mempunyai (Mohammad Hudaeri, 2002) : keunggulan secara fisik, dan untuk

232 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 232 12/6/17 3:47 PM • Jaro para jawara adalah brajamusti Jaro atau biasa disebut dengan (kemampuan untuk melakukan kepala desa yang memimpin sebuah pukulan dahsyat), ziyad (mengendali kelurahan. Pada zaman kesultanan sesuatu dari jauh), jimat atau rajah jaro diangkat oleh sultan dengan untuk mencari kewibawaan, kekayaan tugas utamanya adalah mengurus atau dicintai seseorang, putter kepentingan kesultanan, seperti gilling (untuk memutar kembali atau memungut upeti dan mengerahkan menemukan kembali orang yang tenaga kerja untuk kerja bakti. Dalam hilang atau kabur), elmu (untuk menjalankan pekerjaan sehari- menaklukan binatang yang berbisa hari, jaro dibantu oleh pejabat atau berbahaya) dan sebagainya. lainnya seperti carik (sekretaris • Pemain Debus jaro), jagakersa (bagian keamanan), Peran jawara yang masih dekat pancalang (pengatur surat), amil dengan kesaktian adalah permainan (pemungut zakat dan pajak), merbot debus. Permainan debus ini banyak atau modin (pengurus masalah dilakukan oleh para jawara, yang keagamaan dan masjid). dianggap sudah memiliki kesaktian • Guru Silat yang cukup. Jadi tidak semua jawara Pada masa pra-Islam telah dikenal dapat melakukan permainan debus, istilah perguron atau padepokan karena bagi yang tidak mampu di daerah sekitar Gunung Karang, justru akan mendatangkan bencana Pandeglang. Dalam masyarakat atau kecelakaan. Di Banten ada Banten dikenal berbagai macam beberapa macam debus, yakni perguron atau organisasi bela diri, debus al-madad, surosowan dan seperti Terumbu, Bandrong, Paku langitan. Dinamakan debus al-madad Banten, Jalak Rawi, Cimande, Si Pecut (artinya meminta bantuan dan dan sebagainya. Setiap peguron pertolongan) karena para pemainnya mempunyai karakteristik dalam jurus setiap kali melakukan aksinya selalu dan sejarah kelahirannya. mengucapkan kata-kata al-madad, • Guru Ilmu Batin (Magis) yang seolah menggambarkan Untuk menjadi seorang jawara yang bahwa tindakan ini didasarkan atas terkenal harus ditunjang dengan pertolongan dari Allah SWT. Debus kemampuan bela diri yang baik serta al-madad merupakan debus yang memiliki ilmu batin atau magis, yakni paling berat karena untuk melakukan kemampuan untuk memanipulasi permainan ini khalifahnya (pemimpin kekuatan supranatural dan untuk grup) harus melakukan amalan yang memenuhi kebutuhan praktisnya, sangat panjang dan berat. Amalan- seperti kebal dari berbagai senjata amalan khalifah debus ini diambil tajam, tahan api, juru ramal, pengusir dari terekat Rifa’iyah atau Qodariyah. jin dan setan, pengendali roh dan • Khodim Kyai pengobatan, seperti patah tulang J awara yang sebenarnya adalah dan tukang pijit. Bentuk-bentuk khodim kiai. Peran sebagai khodim elmu yang sering dipergunakan kiai maksudnya berperan sesuai

Politik Identitas 233

02 JURNAL BAWASLU.indd 233 12/6/17 3:47 PM yang diajarkan kiai, yakni membela seperti organsisasi Tjimande Tari Kolot kebenaran, berpihak kepada Kebon Djeruk Hilir (TTKKDH), Terumbu, masyarakat yang lemah, beperilaku Bandrong, Haji Salim, Ulim Makao, dan santun dan tidak sombong dan masih banyak lagi organisasi jawara di sejumlah aturan normatif lainnya. Banten (Facal, 2016). Terdapat organisasi Peran-peran yang ideal itu semakin jawara yang melakukan kegiatannya kurang dilakukan oleh para jawara dengan menguasai berbagai tempat di tengah kepungan kehidupan yang untuk memberikan keamanan di wilayah materialistik. tersebut. Bahkan dari mereka menjadi jasa keamanan di sebuah acara atau Jika Joel Migdal memberikan definisi peristiwa tertentu. mengenai orang kuat lokal sebagai Di dalam politik jawara bersama pemimpin non formal yang membangun birokrat lokal melakukan simbiosis organisasi sosialnya yang berbentuk mutualisme karena adanya kepentingan jejaring dalam rangka menjalankan bersama yang saling menguntungkan satu konrtol sosial atas masyarakat untuk sama lain. Birokrat lokal membutuhkan menguasai kesuluruhan populasi yang jawara untuk mempertahankan mendiami wilayah tersebut. Maka, di kekuasaan dan memberikan dukungan Banten sendiri jawara bisa disebut sebagai kepadanya terutama pada saat pemilihan orang kuat lokal karena pengaruh mereka kepala daerah. Sedangkan jawara dapat melakukan kontrol sosial di dalam membutuhkan birokrat lokal untuk masyarakat selain melakukan kontrol mempertahankan sumber ekonomi politik karena berhasil menempatkan mereka dan menawarkan stabilitas sosial orang-orangnya baik di dalam lembaga dan memberikan keamanan kepada legislatif maupun eksekutif dan menguasai penguasa. Proses pertukaran tersebut apa berbagai sumber ekonomi lainnya. Tetapi yang disebut Joel Migdal sebagai jejaring orang kuat lokal di Banten bukan sama pertukaran sosial ekonomi dan politik. sebagai pemimpin non formal tetapi jawara sendiri setelah masa reformasi 4.2 Eksistensi Jawara dalam Pemilihan justru menyebar ke berbagai partai politik Umum Kepala Daerah sehingga menempatkan orang-orangnya untuk menduduki jabatan tertentu. Sedangkan peran jawara pada Pada awalnya, jawara sendiri lebih masa reformasi bisa dilihat pada saat banyak menempati sebagai pemipnin Pilkada Banten tahun 2001 yang masih informal, namun keadaan itu berubah dipilih oleh DPRD. Dalam pemilihan karena jawara mengalami mobilitas sosial ini jawara mempunyai pengaruh untuk terutama ketika Orde Baru dan dikooptasi memenagkan kandidat yang mereka pemerintah untuk mempertahankan usung. Dalam pilkada tersebut terdapat kekuasaannya dan banyak dari jawara anak jawara terkenal yang akan maju menempati posisi pemimpin formal menjadi Wakil Gubernur Banten yaitu dalam pemerintahan. . Sebelumnya Ratu Banyak dari jawara membentuk Atut Chosiyah lebih banyak menjalankan sebuah organisasi yang mempunyai bisnis perusahaan orang tuanya yaitu struktur dari pusat sampai daerah PT. Sinar Ciomas Group. Menurut Boyke

234 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 234 12/6/17 3:47 PM Pribadi pengajar Universitas Tirtayasa DPRD. Sebagai bentuk konkret dukungan (Untirta), “Golkar mendukung Atut tidak tokoh jawara terhadap pasangan yang terlepas dari peran besar ayahnya, Tokoh didukunggnya, ia duduk di tepat duduk Jawara. Ia adalah tokoh yang dianggap undangan VIP. Selain itu dukungan memiliki banyak jasa terhadap Golkar” jawara tidak terlepas dari motivasi untuk (Lili Romli, 2007: 143). Hal ini dapat menguasai sumber daya ekonomi (Lili dimengerti karena tokoh jawara tersebut Romli, 2007: 151-153). menjadi pendukung Orde Baru dan Kemudian dalam pilkada Gubernur ikut mengamankan kebijakan-kebijakan dan Wakil Gubernur Banten 2006 pemerintah ketika itu. yang secara langsung dilakukan oleh Dukungan jawara terhadap Ratu masyarakat, jawara ikut terlibat kembali Atut Chosiyah bisa terlihat dari adanya dalam dukung-mendukung pasangan dukungan organisasi Persatuan Pendekar gubernur dan wakil gubernur. Dalam Persilatan dan Seni Budaya Banten pilkada tersebut terdapat empat pasang Indonesia (PPPSBBI) yang disampaikan calon yang ditetapkan KPUD yaitu Tb. pada tanggal 18 September 2001. Tryana Sjam’un-Benyamin Davnie, Ratu PPPSBBI sendiri diketuai oleh tokoh Atut Chosiyah-HM. Masduki, Irsyad jawara yang tidak lain orang tua Ratu Djuweli-Mas Achmad Daniri, dan terakhir Atut Chosiyah. Dukungan PPPSBBI berupa Zulkiflimansyah-Marissa Haque. Setiap adanya surat yang ditunjukan langsung pasangan kandidat didukung oleh jawara, kepada Panitia Pemilihan Gubernur dan baik dari jawara yang memang telah Wakil Gubernur Banten. Adanya surat terorganisir dalam sebuah organisasi tersebut mengindikasikan beberapa hal atau jawara yang memang mempunyai diantaranya. Pertama, surat dukungan kemampuan personal untuk diikuti. Tabel tersebut secara eksplisit telah memberikan di bawah ini memperlihatkan dukungan sinyal tentang keberpihakan jawara jawara kepada setiap pasangan calon terhadap calon wakil Gubernur Ratu Atut Gubernur dan Wakil Gubernur dalam Chosiyah, dan siapapun calon gubernur Pilkada Banten 2006. yang akan berpasangan dengan yang asangan Tryana Sjam’un-Benjamin bersangkutan. Kedua, surat dukungan Davnie didukung diantarnya oleh jawara tersebut juga merefleksikan salah satu TTKKDH yang merupakan salah satu bentuk awal dari keterlibatan para jawara organisasi jawara yang mempunyai dalam proses pemilihan Gubernur dan jaringan luas di Banten dan mengakar. Wakil Gubernur (Lili Romli, 2007: 151). Secara jawara perorangan didukung oleh Keterlibatan jawara dalam pilkada Buya Karis, Apih Juli yang sebelumnya Banten 2001 terlihat dengan keterlibatan anggota dari Relawan Banten Bersatu dalam bentuk mobilisasi massa. Para (RBB), H. Suraka sebagai jawara yang jawara juga melakukan intimidasi atas banyak malang melintang di Jakarta. calon dan para pendukung pasangan Pasangan Ratu Atut Chosiyah juga didukung calon Gubernur-Wakil Gubernur tertentu. oleh TTKKDH terutama para dedengkot Selanjutnya dalam bentuk pengamanan (pini sepuh). Selain itu pasangan ini dalam pemilihan dengan mengerahkan didukung oleh PPPSBBI yang merupakan massanya untuk mengamankan gedung organisasi pendekar pimpinan Tokoh

Politik Identitas 235

02 JURNAL BAWASLU.indd 235 12/6/17 3:47 PM Jawara. Pasangan Zulkiflimansyah-Marissa mendeklarasikan diri untuk mendukung Haque dan Irsyad Juseli-A Daniri tidak baik itu pasangan -Andika begitu banyak didukung jawara seperti Hazrumy maupun pasangan - pasangan yang lain. Diantara pasangan Embay Mulya Syarief. yang mendukung Zulkiflimansyah-Marisa Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Haque adalah Sudirman, selain itu para Jawara merupakan suatu entitas politik jawara yang berafiliasi kepada PDIP juga yang banyak mempengaruhi peta mendukung kampanye Marissa (Lili Romli, perpolitikan di Banten. Keterlibatan 2007: 179-188). kelompok ini di dalam politik, banyak Dalam Pilkada Banten 2017, terdapat terlihat dari eksistensi mereka pada dua kandidat yang bertarung yaitu pemilihan umum di mana peran mereka pasangan Wahidin Halim-Andika Hazrumy cukup dominan. Pada Pemilukada Banten dan pasangan Rano Karno-Embay Mulya tahun 2017, peran Jawara sebagai suatu Syarief. Wahidin Halim adalah mantan kekuatan politik tidak bisa diabaikan. Wali Kota dua periode yang Beberapa organisasi Jawara ikut terlibat dinilai berhasil memajukan Kota Tangerang yang terbagi ke dalam beberapa kubu oleh masyarakat. Indikasi ini bisa dilihat peserta pemilukada. Keikutsertaan dari kemenagannya yang telak di Kota Jawara di dalam pemilukada tersebut Tangerang ketika kontestasi Pilkada dapat dianalisis ke dalam beberapa hal. Banten 2017. Sedangkan Rano Karno Pertama, adanya simbiosis mutualisme merupakan petahana yang menggantikan antara Jawara dan kandidat politik pada Ratu Atut Chosiyah karena tersandung suatu pemilu. Simbiosis yang saling kasus hukum. menguntungkan ini merupakan bentuk Hal yang menarik dari pertarungan konsensus dari perspektif patron-klien Pilkada Banten 2017 adalah unsur jawara di antara mereka. Biasanya patron- dalam penetapan calon Wakil Gubernur klien ditandai oleh adanya pihak yang Banten. Andika Hazrumy adalah anak lebih berkuasa (patron), terhadap pihak dari Ratu Atut Chosiyah dan anak dari yang membutuhkan sehinga muncul Alm. Chasan Sochib yang merupakan hutang budi bagi pihak lainnya (klien). jawara yang disegani di Banten. Walaupun Tetapi, di dalam melihat peran Jawara Chasan Sochib sudah meninggal, tetapi ini, posisi antara Jawara dan kandidat Andika Hazrumy bisa memanfaatkan politik sama rata atau seimbang. jejaring yang sudah dibentuk sejak awal Tidak ada pihak-pihak yang superior keluarganya berkiprah di dunia politik atau mendominasi, melainkan saling yang memanfaatkan organisasi jawara. membutuhkan satu dengan yang lainnya. (Witantra & Nesia). Sedangkan Embay Jawara membutuhkan ranah eksistensi, Mulya Syarief yang lebih dikenal dengan baik dalam bentuk status sosial maupun jawara putih. (Mahyadi, 2016). Selaint itu kebutuhan ekonomi, sementara kandidat terdapat organisasi jawara di Banten yang membutuhkan dukungan elit lokal sebagai selalu terlibat dalam Pilkada Banten untuk penguat modal politik dan vote getter di ikut andil dalam memenangkan salah satu dalam pemilu. calon. Di Pilkada Banten 2017, organisasi Kedua, kehadiran Jawara ini dapat Jawara TTKKDH adalah organisasi yang ikut dilihat sebagai suatu peran politik yang

236 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 236 12/6/17 3:47 PM berfungsi sebagai supporter dan vote Baru, di era reformasi mereka hadir getter di dalam pemilu. Mereka memiliki secara equal atau sama rata. Sehingga basis massa, memiliki simpatisan serta kehadiran mereka pada agenda-agenda kultur politik yang telah terbina dengan politik menjadi jauh lebih berpengaruh cukup lama sehingga terlibat di dalam dibandingkan pada era Orde Baru. pemilu merupakan tradisi politik bagi Meluasnya peran dan eksistensi mereka. Melalui kehadiran mereka Jawara di dalam pemilu inilah yang yang banyak di ruang publik, Jawara membentuk identitas politik bagi dapat dimanfaatkan sebagai penyampai kalangan tersebut. Mereka memiliki pesan politik untuk mempengaruhi kesempatan dan kekuatan untuk preferensi politik publik. Hal ini pernah mengintervensi, mempengaruhi hingga terlihat dari peran Jawara di era Orde mengambilalih pemerintahan melalui Baru dimana Jawara bersama dengan dinasti-dinasti politik yang mengakar. Kyai hadir sebagai mesin politik untuk Melalui agenda politik dan pemerintahan memperkuat dukungan publik kepada ini, Jawara memiliki kesempatan untuk Golkar sebagai partai pemerintah. merambah pengaruhnya pada bidang Hasilnya cukup signifkan, yaitu sepanjang lainnya, yaitu pada bidang usaha atau pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu bisnis dan bidang-bidang yang dinilai menjadi pemenang pemilu di Banten (Lili menguntungkan. Legitimasi inilah yang Romli: 197) kerap menjadi pertimbangan mendasar Ketiga, Jawara hadir sebagai kekuatan bagi Jawara untuk terjun ke dalam ranah politik lokal yang menjadi salah satu politik. Karena apabila mereka mampu penentu arah kebijakan di Banten. Hal memenangkan kandidat yang mereka ini dapat ditelusuri dari pergantian rezim usung, maka akses dan jaringan akan yang terjadi di Indonesia. Jika sebelumnya mudah untuk mereka peroleh. Jawara terkooptasi ke dalam satu partai Sejalan dengan fenomena politik binaan pemerintah, yaitu Golkar, eksistensi Jawara di dalam setiap pasca Orde Baru runtuh, eksistensi pemilu yang terselenggara di Banten, Jawara terpecah ke dalam beberapa muncul perubahan peran yang terjadi partai bentukan di era reformasi. Oleh sebagaimana landasan teori patron-klien sebab itu, Jawara tidak lagi menjadi yang telah dijelaskan sebelumnya. Peran satu indentitas tunggal, melainkan Jawara yang semula menjadi klien bagi menyebar ke dalam beberapa organisasi penguasa Orde Baru, berubah menjadi massa dan partai politik yang berfungsi hubungan timbal balik yang setara di sebagai kelompok penekan (pressure antara keduanya, yaitu antara Jawara group) dan kelompok kepentingan dan kandidat politik atau pemegang (interest group). Kehadiran mereka pada kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa ruang publik yang baru, memberikan sistem demokrasi tidak menghapus oligarki kesempatan bagi mereka untuk hadir Jawara, melainkan memberikannya jalan dan berperan langsung di dalam setiap untuk menyesuaikan diri terhadap sistem perumusan kebijakan. Terjadi perubahan demokrasi yang berlaku. peran Jawara yang sebelumnya bersifat James C. Scott menjelaskan patron- klientalisme terhadap hegemoni Orde klien sebagai hubungan timbal balik di

Politik Identitas 237

02 JURNAL BAWASLU.indd 237 12/6/17 3:47 PM antara dua peran yang dapat diartikan Jawara dalam organisasi PPPSBBI. Selain sebagai sebuah kasus khusus yang PPPSBBI terdapat organisasi jawara lain melibatkan kekawanan secara luas dimana yang mempunyai struktur dan mengakar individu memiliki status ekonomi yang di masyarakat Banten. Oleh karena itu lebih tinggi (patron) untuk mempengaruhi jawara menjadi orang kuat lokal karena status yang lebih rendah (klien) dan klien mempunyai ilmu magis dan kemampuan mempunyai kewajiban untuk membalas dalam sumber daya ekonomi yang jasa kepada patron. Jawara Banten merambah ke dominasi politik. hubungan patron-klien yang terjadi Hubungan jawara dengan jawara pada memang ada yang berdasarkan materi, dasarnya dibangun dengan hubungan namun jika ditelusuri hubungan tersbut patron-klien karena ada ketergantungan tidak selamanya berdasarkan materi. ekonomi. Namun, hubungan tersebut Sebagai contoh di TTKKDH terdapat tidak selamanya dipengaruhi oleh istilah yang disebut dengan pertalekan materi, karena ada faktor tradisional atau sumpah setia, dimana anggota harus yang turut mempengaruhi hubungan taat dan patuh kepada ketua. Di dalam antar jawara. Sedangkan hubungan sebuah organisasi jawara hubungan jawara dengan penguasa lebih didorong parton-klien berbentuk pola piramida oleh simbiosis mutualisme diantara (patron-client pyramid) karena pemimpin mereka, dimana penguasa membutuhkan mempunyai pengaruh yang harus diikuti dukungan jawara untuk mendapatkan dan oleh setiap anggota. Namun pola ini mempertahankan kekuasaan sedangkan menjadi simbiosis mutualisme ketika jawara sendiri membutuhkan penguasa berinteraksi dengan penguasa lokal di untuk mempertahankan sumber-sumber Banten. ekonomi mereka. Untuk itu dalam setiap pilkada, identitas jawara akan selalu 5. Simpulan dijadikan rebutan oleh setiap kandidat Jawara sebagai identitas politik di pasangan untuk menarik dukungan dari Banten mempunyai pengaruh dalam masyarakat karena jawara mempunyai mempengaruhi preferensi masyarkat pengaruh untuk menentukan pilihan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah masyarakat Banten. di Banten. Identitas mereka sebagai orang Di dalam setiap kontestasi pemilihan kuat lokal karena mereka mempunyai kepala daerah ada beberapa hal yang bisa kelebihan dibandingkan masyarakat pada dianalisis dari jawara. Pertama, adanya umumnya. Kelebihan jawara pada mulanya simbiosis mutualisme antara jawara dan berupa manipulasi kekuatan magis, dan penguasa lokal. Kedua, sebagai supporter mengalami mobilitas sosial pada masa dan vote getter dalam pilkada karena Orde Baru dengan dikuasainya sumber- memiliki basis massa. Ketiga, jawara sumber ekonomi dan politik oleh mereka. bisa menetukan arah kebijakan di Banten Kekuatan jawara yang pada mulanya karena jaringan mereka menyebar ke terpecah belah, kemudian disatukan partai politik, legislatif maupun eksekutif. dalam satu kekuatan terutama oleh Tokoh

238 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 238 12/6/17 3:47 PM DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo (2011). Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Amirudin dan A. Zaini Bisri (2006). Pilkada Langsung Problem dan Prospek Sketsa Singkat Perjalanan Pilkada 2005, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hudaeri, Mohammad. (2002). Tasbih dan Golok: Studi Tentang Kedudukan, Peran dan Jaringan Kyai dan Jawara di Banten, Serang: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Kartodirdjo, Sartono. (1984). Pemberontakan Petani Banten 1838, Jakarta: Pustaka Jaya. Migdal, Joel S. (1988). Strong Societies and Weak States : State-Society Relations and State Capabilities in the Third World, Princeton: Princeton University Press Neuman, Lawrence (2000). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach, Boston: Boston Allyn and Bacon Rauf, Maswadi. (2001). Konsensus dan Konflik Politik, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas, Romli. L. (2007). Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006) (Disertasi), Depok, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Tihami. (1992). Kyai dan Jawara di Banten: Studi Tentang Agama, Magi dan Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan Serang Banten (Tesis), Depok, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. William, Michael C. (2003). Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, Yogyakarta: Syarikat

Politik Identitas 239

02 JURNAL BAWASLU.indd 239 12/6/17 3:47 PM 240 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 240 12/6/17 3:47 PM Jurnal Bawaslu ISSN 2443-2539 Anugrah, I.P. Vol.3 No. 2 2017, Hal. 241-252

ISU IDENTITAS AGAMA DAN PERILAKU MEMILIH WARGA: PELAKSANAAN PILKADA DKI JAKARTA PUTARAN I TAHUN 2017 DI RUMAH SUSUN TANAH ABANG

Insan Praditya Anugrah Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta Pusat, Indonesia, [email protected]

ABSTRACT

This paper examines of how religious issues In Jakarta Governor Election influence the voting behavior of people in Rumah Susun Tanah Abang. This paper using theory of politics of identity by Eisenberg and Will Kymlicka. In their perspectives politics of identity divided into two category, normative view of politics of identity and empirical view of politics of identity. The empirical view is the suitable one, that see the politization of collective identity by elites such as religion identity. Besides the theory of identity this paper also using theory of lifetime socialization prosscess by Almond dan Powell. This paper also relate the Political Socialization with voting behavior approaches. In this theory, there are three approach that explain that determine voting behaviour 1) Sociological approach, stated that social class,religion, subculture and ethnicity are the factors that determine voting behaviour 2) Psychological approach that focus on party oorientation and candidate orientation issue that determine voting behaviour and 3) Rational choice focus on cost and benefit consideration of what voterg get if they chose a candidate. According to those concepts, this paper will analyze of how votng behaviour works in Rumah Susun Tanah Abang

Keywords Pilkada, Election, Voting Behaviour, Political Socialization

Politik Identitas 241

02 JURNAL BAWASLU.indd 241 12/6/17 3:47 PM ABSTRAK

Tulisan ini membahas mengenai bagaimana isu agama di Pilkada DKI Jakarta memiliki pengaruh terhadap perilaku memilih warga Rumah Susun Tanah Abang. Makalah ini memakai teori politik identitas yang dikemukakan oleh Eisenberg dan Kymlicka. Dalam pemaparan mereka, politik identitas terbagi dua yakni politik identitas normatif dan politik identitas empirik. Adapun yang akan dipakai untuk membaca fenomena ini adalah politik identitas empirik, yang melihat bahwa didalam proses politik dan sosial, yang terjadi adalah politisasi identitas kolektif tertentu, dalam hal ini agama oleh para elit-elit politik. Selain perspektif identitas, tulisan ini juga menggunakan konsep sosialisasi politik sebagai proes sepanjang hayat yang diutarakan oleh Almond dan Powell. Sosialisasi politik ini terkait dengan konsep teori perilaku pemilih (voting behavior). Dalam teori ini, terdapat tiga pendekatan yang dapat menerangkan mengenai perilaku pemilih diantaranya adalah 1) Pendekatan Sosiologis, yang menyatakan bahwa kelas sosial, agama, subkultur dan asal etnik merupakan hal yang menentukan perilaku memilih 2) Pendekatan Psikologis fokus kepada identifikasi partai, orientasi dan isu orientasi kandidat dan 3) Pendekatan Rasional fokus kepada pertimbangan biaya dan keuntungan apa yang pemilih dapatkan apabila memilih salah satu kandidat. Berdasarkan konsep-konsep tersebut, penulis akan menganalisis bagaimana perilaku memilih warga masyarakat di Rumah Susun Tanah Abang.

Kata Kunci Pilkada, Pemilu, Perilaku Memilih, Sosialisasi Politik

1. Pendahuluan Wakil Presiden secara langsung oleh Pasca tumbangnya rejim Orde Baru rakyat. Pemilihan umum Presiden oleh mahasiswa dan aktivis pada 1998, dilakukan dua putaran yakni pada tanggal Indonesia memasuki era demokratisasi. 5 Juli 2004 untuk putaran pertama Pemilihan umum merupakan salah dan tanggal 20 September 2004 untuk , satu hal yang terpenting dalam putaran kedua pelaksanaan demokrasi. Pada tahun Selain Pemilu (Pemilihan Umum), 1999 dilaksanakan pemilu yang diikuti terdapat pula Pemilihan kepala daerah oleh banyak partai politik, namun masih (Pilkada), yang penyelenggaraannya secara belum memilih kepala Negara. Pemilihan langsung digelar di Indonesia pertama kali umum secara langsung dan demokratis pada bulan Juni tahun 2005. Dalam setiap baru dilangsungkan pada tahun 2004. pelaksanaan pemilihan kepala daerah, Tahun 2004 menjadi bersejarah karena dari tahap awal hingga akhir, mulai saat untuk pertamakalinya pemilihan umum pasangan kandidat melakukan deklarasi, melibatkan seluruh takyat Indonesia pendaftaran, pemeriksaan kesehatan, dalam bentuk pemilihan Presiden dan penetapan calon, pengumuman harta

242 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 242 12/6/17 3:47 PM kekayaan, pengambilan nomor urut, politik. Masalah penistaan agama dan kampanye, pemaparan visi-misi, debat menjadi sebuah bola salju yang semakin kandidat, minggu tenang hingga hari besar dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang pencoblosan selalu saja ada dinamika selama ini menjadi lawan politik, seperti yang berkembang, seperti masalah daftar Front Pembela Islam (FPI). FPI bahkan pemilih tetap,kampanye negative hingga kemudian menjadi motor utama gerakan- kampanye hitam terkait isu suku, ras dan geraan aksi bela Islam, mulai dari aksi 4 politisasi agama. November 2016, gerakan 2 Desember Menjelang Pilkada DKI 2017, politik 2016 dan sebagainya. identitas menjadi salah satu instrument elit untuk memenangi kontestasi pilkada 2. Permasalahan (Hakim, 2017). Di Pilkada DKI ini tersebar Di Jakarta Pusat, daerah Tanah seruan di masyarakat muslim untuk tidak Abang merupakan salah satu wilayah memilih pemimpin non-muslim, dengan dengan basis Islam terkuat di Jakarta, merujuk kepada Al-Quran Surat Al-Maidah sebagaimana diketahui bahwa Front ayat 51 yang berisi hal tersebut. Bagi para Pembela Islam (FPI) yang merupakan pesaing politiknya, tentunya ini merupakan Ormas yang paling mengecam pernyataan kampanye hitam yang ditujukan untuk Basuki Tjahaja Purnama bermarkas di menghancurkan elektabilitas Basuki Peramburan, Tanah Abang. Tjahaja purnama yang sulit ditandingi. Untuk itu penting untuk mengamati Sayangnya, hal ini ditanggapi oleh cagub proses pemilihan umum di salah satu nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama daerah di Tanah Abang, diantaranya dengan pernyataan yang kontra-produktif adalah Rumah Susun Tanah Abang memberikan pidato di kepulauan seribu. terkait bagaimana sosialisasi politik Dalam kesempatan tersebut Basuki masyarakat yang ditentukan oleh kondisi melakukan kunjungan kerja di Pulau sosial keagamaan merespon isu politik Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 identitas terkait agama di Pilkada DKI September 2016 datang untuk meninjau Jakarta 2017 ini. program pemberdayaan budi daya kerapu. Seiring dengan permasalahan isu Menurutnya, program itu akan tetap penistaan agama tersebut, menarik untuk dilanjutkan meski dia nanti tak terpilih lagi mengetahui perilaku memilih masyarakat menjadi gubernur di pilgub Februari 2017, di salah satu pemukiman di Tanah Abang, sehingga warga tidak harus memilihnya dalam hal ini penulis memutuskan untuk hanya semata-mata hanya ingin program meneliti Rumah Susun Tanah Abang. itu terus dilanjutkan, namun disela-sela Adapun alasan pemilihan lokasi Rumah pidato Basuki menyinggung surat Al- Susun Tanah Abang adalah karena warga Maidah 51 yang menurutnya dipakai Rumah Susun Tanah Abang berasal dari sebagai alat politik. segala lapisan etnis di Indonesia dan Pernyataan ini membuat kegaduhan di berpendidikan hingga Perguruan Tinggi, masyarakat, yang terjadi justru isu agama namun disisi lain mereka berada di justru semakin besar dan berkembang lingkungan dimana para tokoh masyarakat menjadi dugaan penistaan agama yang lokal Tanah Abang beridentitas Betawi- malah merugikan posisi Basuki secara Islam masih memiliki pengaruh yang kuat.

Politik Identitas 243

02 JURNAL BAWASLU.indd 243 12/6/17 3:47 PM Salah satu tokoh masyarakat di Tanah identitas, kita dapat melihatnya dari Abang adalah Abraham Lunggana yang dua sudut pandang yakni pendekatan merupakan pejabat DPRD yang memiliki normatif dan sudut pandang empirik visi yang berseberangan dengan Gubernur (Eisenberg & Kymlicka,2011). Politik Basuki Tjahaja Purnama. Adapun fokus identitas berdasarkan sudut pandang permasalahan pada penelitian ini adalah normatif adalah sebuah pandangan bagaimana perilaku memilih masyarakat yang berusaha menjelaskan bagaimana di Rumah Susun Tanah Abang di Pilkada tuntutan atas pengakuan dan penerimaan DKI Jakarta 2017 seiring dengan isu identitas berhubungan dengan prinsip- penistaan agama tersebut. prinsip seperti keadilan, kebebasan, hak asasi manusia dan kewarganegaraan yang 3. Metode Penelitian demokratis. Adapun pengertian di atas Metode penelitian yang dipakai seringkali disebut sebagai etika tuntutan dalam tulisan ini adalah metode identitas. penelitian kualitatif. Dalam penelitian Pengertian kedua adalah pengertian kualitatif ini, penulis mengumpulkan data politik identitas dari sudut pandang dengan cara turun lapangan langsung empirik, yang melihat bahwa didalam serta membaca literature teoritis proses politik dan sosial, yang terjadi dari berbagai buku maupun jurnal. adalah politisasi atas kelompok-kelompok Penulis melakukan wawancara dengan identitas. Pendekatan ini melihat beberapa warga maupun pengurus bagaimana elit melakukan mobilisasi RT/RW di Rumah Susun Tanah Abang dari gerakan politik berbasis identitas. terkait. Untuk memvalidasi data, Pendekatan ini melihat bagaimana penulis melakukan verifikasi dengan mobilisasi elit akan menentukan tujuan membandingkan masing-masing sumber dan taktik dari masyarakat di akar baik dari literature buku,jurnal,media rumput untuk menuntut hak-hak mereka online maupun sumber wawancara,serta terkait identitas yang dianggap belum hasil observasi lapangan langsung untuk terpenuhi(Eisenberg & Kymlicka,2011). membandingkan apakah informasi Dalam tulisan ini, yang akan dijelaskan yang didapat sesuai maupun saling adalah politik identitas, dari pendekatan mendukung satu dengan lainnya. Apabila empirk dalam melihat politik dientitas terdapat ketidaksesuaian maupun indikasi dalam Pilkada DKI Jakarta. Dalam subjektifitas yang terlalu besar dalam melihat isu identitas dari pengertian informasi tersebut, maka informasi politik identitas secara empirik ini, dalam tersebut tidak dimasukan kedalam pulgub DKI Jakarta 2017 yakni identitas tulisan ini. agama Islam. Identitas agama Islam disini dimanfaatkan oleh elit politik untuk merugikan calon Gubernur tertentu 4. Perspektif Teori dikarenakan terdapat tafsir surat Al- Dalam menjelaskan masalah ini, Maidah ayat 51 untuk tidak memilih akan digunakan teori mengenai politik pemimpin yang bukan muslim. Selain itu, identitas dan teori mengenai perilaku reaksi gubernur Basuki yang ditanggapi memilih. Terkait pengertian politik negative oleh sebagian public sebagai

244 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 244 12/6/17 3:47 PM penistaan terhadap agama Islam semakin Kecenderungan pada budaya politik menguatkan kuatnya politik identitas kontemporer pada saat ini adalah yang membawa keuntungan kepada para sekuler dan menganut modernisme, elit pengusung calon Gubernur yang manusia percaya dapat mengendalikan beragama Islam. alam (tidak lagi memandang segala Ubed Abdilah (2012) menyatakan fenomena merupakan kehendak tuhan). bahwa para sarjana sejak era Yunani Kecenderungan berikutnya adalah sepakat bahwa karakteristik agama postmodernisme, dimana masyarakat memiliki ciri khas dipandang sebagai hal yang telah lahir di era mapan cenderung sesuatu yang tanpa cacat, dipelihara dan tidak lagi memikirkan bagaimana dilindungi karena terkait erat dengan cara mencapai dan mempertahankan hubungan manusia dengan sang pencipta. kemakmuran, mereka lebih peduli dengan Karena ciri yang melekat tersebut lah isu-isu seperti pluralisme, persamaan kemudian politik identitas yakni sentiment hak, anti (dampak negatif globalisasi), permusuhan antar pemeluk agama tidak kebebasan berekspresi, dll. terhindarkan, karena masing-masing Demokratisasi juga menjadi merasa agama mereka paling benar kecenderungan arah budaya politik dan dipercaya berasal dari tuhan yang dewasa ini, masyarakat semakin kritis dan menciptakan manusia dan kehidupan ini. mempertanyakan legitimasi Negara serta Menurut Almond dan Powell(1996) kepercayaan mereka kepada pemerintah. mendefinisikan sosialisasi politik sebagai Dalam demokrasi pula, masyarakat proses dimana induvidu memperoleh semakin memperhatikan hal-hal seperti kepercayaan, nilai-nilai dan sikap-sikap prinsip menentukan nasib sendiri serta terkait sistem politik tertentu. Sosialisasi menginginkan kebebasan lebih di akses politik sendiri diperoleh baik secara internet, berbicara dan akses terhadap langsung maupun tidak langsung dan berbagai media. Pada intinya, budaya prosesnya berlangsung sepanjang hayat. politik dan sosialisasi ini adalah fenomena Hal-hal yang mempengaruhi sosialisasi ini yang dinamis, terus berubah sejalan tentunya yang dialami sepanjang hidup dengan perkembangan zaman. seperti masa kecil, pernikahan, kematian, Sosialisasi politik ini kemudian terkait mengurus anak, era krisis dan pekerjaan. dengan perilaku memilih masyarakat, teori Penyatuan dan perpecahan juga terjadi perilaku pemilih (voting behavior). Dalam karena pengaruh sosialisasi tadi. teori ini, terdapat tiga pendekatan yang Kelompok-kelompok sosial yang dapat menerangkan mengenai perilaku memiliki sumber berita sendiri, serta pemilih diantaranya adalah 1) Pendekatan budaya politik sendiri yang berbeda Sosiologis, yang menyatakan bahwa kelas dengan masyarakat secara umum. sosial, agama, subkultur dan asal etnik Adapun agen-agen sosialisasi ini seperti merupakan hal yang menentukan perilaku keluarga, sekolah, lembaga keagamaan, memilih 2) Pendekatan Psikologis fokus teman-teman dekat, kelas sosial dan kepada identifikasi partai, orientasi dan gender, media, kelompok kepentingan, isu orientasi kandidat dan 3) Pendekatan partai politik serta persentuhan langsung Rasional fokus kepada pertimbangan dengan struktur pemerintahan. biaya dan keuntungan apa yang pemilih

Politik Identitas 245

02 JURNAL BAWASLU.indd 245 12/6/17 3:47 PM dapatkan apabila memilih salah satu kandidat (Attunes,2010) . Analisis dari pendekatan sosiologis mengaitkan perilaku memilih dengan struktur dan pengelompokan sosial- masyarakatnya baik secara formal maupun informal. Hal ini berarti analisis didasarkan pada lingkungan sekitar masyarakat seperti kelas sosial, afiliasi Gambar 1. Perolehan Suara Pilkada keagamaan, keluarga,profesi kelompok DKI Jakarta Putaran 1 Kecamatan etnik dan subkultur politik tertentu dimana Tanah Abang masyarakat tersebut menjadi bagian Sumber: KPU RI, 2017 didalamya. Didalam pengelompokan sosial baik informal maupun formal inilah Rumah Susun Tanah Abang masyarakat mendapatkan informasi- merupakan bagian dari kelurahan Kebon informasi dan preferensi politik untuk Kacang, di kecamatan Tanah Abang. menentukan pilihanya. Di kelurahan Kebon Kacang tersebut, hasil Pilkada Putaran 1 menunjukkan 5. Hasil Pemantauan Teknis kemenangan pasangan Anies-Sandi Pilkada DKI Jakarta 2017 Putaran I dengan 44,1% atau sebesar 5.910 suara, di Kecamatan Tanah Abang dimenangkan disusul pasangan Basuki-Djarot dengan oleh pasangan Annies Baswedan-Sandiaga 35,7% atau sebesar 4.788 suara dan Uno, dengan 46,84% yakni sebesar 40.394 pasangan Agus-Silvy dengan perolehan sara disusul pasangan Basuki-Djarot 20,2% atau sebesar 2.714 suara. Hasil sebesar 33,68% atau sebesar 29.046 kelurahan Kebon Kacang tersebut suara dan Agus-Silvy sebesar 19,48% atau diperoleh dari 28 jumlah TPS yang ada sebesar 16.797 suara. didalamnnya. Dari 28 TPS yang ada di kelurahan Kebon kacang, 4 diantaranya merupakan TPS yang berada di Rumah Susun Tanah Abang, yakni TPS 25,26 27 dan 28. Dengan masing-masing warga Blok A Rumah Susun Tanah Abang memilih di TPS 25 dan 26 sedangkan warga Blok B Rumah Susun Tanah Abang menyalurkan hak pilih di TPS 27 dan 28. Karena dalam situs Komisi Pemilihan Umum, publikasi suara hanya sampai pada tingkat kelurahan Kebon kacang, maka penulis melakukan pengolahan perolehan suara para calon khusus Rumah Susun Tanah Abang pada Pilkada DKI Jakarta putaran I.

246 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 246 12/6/17 3:47 PM Jalannya pemilihan sendiri berlangsung Meskipun begitu, Hal ini mengisyaratkan dengan aman dan relatif terkendali. Proses jumlah silent voters yang signigikan di setiap TPS dikawal dari awal hingga memilih pasangan nomor urut dua namun akhir oleh seorang dari TNI dan seorang tidak ingin mengutarakannya secara dari POLRI. Masing-masing petugas TNI terang-terangan. dan POLRI terlihat turut mencatat hasil pemungutan suara final yang tertera pada formulir C1 di masing-masaing TPS. Pada setiap TPS, terdapat tiga orang saksi dari masing-masing pasangan calon yang berada didalam, juga terdapat beberapa orang berpakaian preman yang berada di sekitar TPS dan menanyakan asal-usul orang-orang yang berdiri untuk menonton diluar TPS. Dalam satu lokasi TPS terdapat pula seorang tenaga survey lepas dari Gambar 2. Hasil Pengolahan Data Lembaga Survei Indonesia, yang diketahui Perolehan Suara Pilkada DKI Jakarta masih merupakan mahasiswa aktif salah Putaran 1 Rumah Susun Tanah Abang satu perguruan tinggi Negeri di Jakarta. Sumber: Diolah Dari KPU RI, 2017 Terdapat pula tiga orang berbaju kotak- kotak berdiri diluar TPS, yang diketahui Dapat dilihat dari gambar diatas sebagai simpatisan pasangan calon nomor bahwa khusus perolehan keseluruhan urut 2, yakni pasangan Basuki-Djarot. suara di Rumah Susun Tanah Abang, Dalam penelitian lapangan ini, penulis Basuki Tjahaja Purnama- Djarot Syaiful menemukan bahwa di TPS 25 petugas TPS Hidayat menang dengan perolehan suara yang bertugas menerima pemilih diketahui 715, disusul -Sandiaga bernama Syahril sempat membisikkan Uno dengan 705 suara, peringkat ketiga kepada beberapa pemilih muslim untuk adalah pasangan Agus Yudhoyono dan memusatkan suara di pasangan tertentu, Sylviana Murni dengan 164 suara. hal ini kemungkinan untuk menghindari kemenangan pasangan calon nomor urut 2 Basuki-Djarot. Sebagaimana diketahui dari wawancara peneliti dengan beberapa tokoh masyarakat di rumah susun Tanah Abang. Pada proses pemungutan suara, terlihat bahwa masa di sekitar TPS mayoritas mendukung pasangan nomor urut 3, bahkan sempat ketika nomor 3 disebut sempat ada yang mengucapkan Gambar 3. Anggota Polri dan Anggota takbir, di sisi lain pasangan calon nomor TNI Mengkonfirmasi Perolehan Suara urut 2 tampak tidak diharapkan menang. Kepada Ketua TPS

Politik Identitas 247

02 JURNAL BAWASLU.indd 247 12/6/17 3:47 PM Hasil ini menarik karena dari empat perguruan tinggi Negeri di Jakarta. TPS yang ada tersebut, Basuki Tjahaja Terdapat pula 3 orang berbaju kotak-kotak Purnama kalah tipis di tiga TPS yakni berdiri diluar TPS, yang diketahui sebagai TPS 25, TPS 27 dan TPS 28. Di TPS 25 simpatisan pasangan calon nomor urut 2 pasangan Anies baswedan- Basuki-Djarot. dengan 201 suara, disusul pasangan Salah satu petugas KPPS yang bertugas Basuki Tjahaja Purnama- Djarot Syaiful menerima pemilih sempat membisikkan Hidayat memperoleh suara 184 serta kepada beberapa pemilih muslim untuk pasangan Agus Yudhoyono dan Sylviana memusatkan suara di pasangan tertentu, Murni dengan 49 suara. Di TPS 27 hal ini kemungkinan untuk menghindari pasangan Anies baswedan-Sandiaga Uno kemenangan pasangan calon nomor urut menang tipis dengan 172 suara, Basuki 2 Basuki-Djarot terpilih. Tjahaja Purnama- Djarot Syaiful Hidayat memperoleh suara 168, serta pasangan 6. Isu Identitas Agama Di Rumah Susun Agus Yudhoyono dan Sylviana Murni Tanah Abang dengan 45 suara. Pada proses pemungutan suara, Di TPS 28 pasangan Anies baswedan- begitu terasa atmosfer bahwa mayoritas Sandiaga Uno menang tipis dengan masyarakat mendukung pasangan 161 suara, Basuki Tjahaja Purnama- nomor urut 3, calon nomor urut 3 Djarot Syaiful Hidayat memperoleh suara dianggap sebagai representasi muslim 159, serta pasangan Agus Yudhoyono dibandingkan calon nomor urut 1, dan Sylviana Murni dengan 25 suara sedangkan calon nomor urut 2 dianggap Meskipun begitu, di TPS 26 Basuki sebagai representasi pemimpin non- memperoleh kemenangan dengan jarak muslim yang harus dihindari. Hampir yang relatif besar dibandingkan suara setiap kali suara untuk kandidat nomor terbanyak berikutnya, yakni pasangan 3 disebut sempat ada yang mengucapkan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful takbir, di sisi lain pasangan calon nomor Hidayat mendapatkan 204 suara, disusul urut 2 tampak tidak diharapkan menang.. pasangan Anies baswedan-Sandiaga Uno Meskipun begitu, jumlah perolehan dengan 171 suara serta pasangan Agus suara di Rumah Susun Tamah Abang Yudhoyono dan Sylviana Murni dengan dimana pasangan nomor urut dua 46 suara. justru menang mengisyaratkan terdapat Di TPS 26 inilah Basuki-Djarot unggul banyak jumlah silent voters yang memilih hingga 33 suara dibandingkan pasangan pasangan nomor urut 2 namun tidak ingin Anies-Sandi, sedangkan kekalahan Basuki mengutarakannya secara terang-terangan, pada tiga TPS lainnya dari pasangan karena wacana mayoritas yang ada di Anies-Sandi hanya 23 suara, dan Basuki lingkungan sekitar bersifat negatif. Selain pun menang 10 suara atas pesaing karena dengung tafsir perintah surat terdekatnya Anies-Sandi di Rumah Susun Al-Maidah ayat 51 yang mengharuskan Tanah Abang. Terdapat pula seorang seluruh muslim memilih pemimpin tenaga survey lepas dari Lembaga muslim. Sentimen negatif terhadap calon Survei Indonesia, yang diketahui masih nomor urut 2 pun ditambah dengan merupakan mahasiswa aktif salah satu

248 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 248 12/6/17 3:47 PM reaksinya di Kepulauan Seribu yang dinilai diterima dan melekat dengan kalangan menistakan agama Islam. “pribumi”. Hal ini berbeda dengan agama Hasil ini mendorong peneliti untuk Kristen yang diidentifikasikan sebagai melakukan wawancara dengan beberapa agama penjajah. Dalam hal ini, semakin warga Rumah Susun Tanah Abang terkait mudah politik identitas “non-pribumi” orientasi memilih mereka. Hasilnya, dan “non-muslim” melekat dalam citra wawancara dengan para tokoh masyarakat Gubernur Pertahana, Basuki Tjahaja dan ketua RW didapatkan informasi bahwa Purnama. kebanyakan warga Rumah Susun Tanah Dari hasil wawancara penulis Abang didalam forum-forum keagamaan menemukan bahwa, kalangan warga di masjid maupun musyawarah warga masyarakat yang sudah pensiun telah sepakat menyatakan untuk tidak mendapatkan sosialisasi politiknya dari mendukung pasangan calon nomor urut institusi keagamaan yaitu masjid setempat 2 karena menurut mereka seruan di serta memiliki waktu lebih banyak surat Al-Maidah sudah jelas secara literal untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan RT menjelaskan bahwa kaum muslim tidak maupun RW maupun pengajian di masjid boleh memilih pemimpin dari kalangan setempat. non-muslim. Oleh karena itu mereka yang Menarik ketika penulis menemukan mendapatkan sosialisasi politik dari terdapat narasumber yang berargumen dalam lingkungan Rumah Susun dan bahwa hingga etnisitas Tionghoa juga masjid setempat inilah yang bersepakat menjadi pertimbangan untuk tidak untuk tidak memilih pemimpin muslim, memilih pasangan Calon nomor urut 2. selain karena perintah kitab suci hal ini Menurutnya selain Islam pemimpin juga juga disebabkan oleh rasa kekecewaan seharusnya merupakan orang “pribumi”, kolektif terhadap pernyataan Gubernur dan bahaya memberikan kekuasaan Basuki di Kepulauan Seribu. Hal ini senada kepada etnis Tionghoa karena dicurigai dengan ungkapan peneliti LIPI Sri Yanuarti memiliki keterkaitan dengan Negara RRC bahwa terjadi penggiringan opini yang yang komunis untuk menguasai Indonesia massive di rumah ibadah (Masjid) terkait secara perlahan. politik identitas untuk tidak memilih calon Terdapat pula ungkapan warga yang Gubernur tertentu (Hakim, 2017) menyebutkan bahwa kebangkitan orang Sementara itu warga masyarakat yang Tionghoa di Indonesia sama saja dengan masih produktif,aktif bekerja di ibukota kebangkitan kembali Partai Komunis baik di swasta maupun pemerintahan, Indonesia (PKI) yang dinyatakan terlarang sering bersentuhan dengan birokrasi pada masa Orde Baru. Tampak bahwa pemerintahan mendapatkan sosialisasi isu identitas dalam perilaku memilih di politik dari lingkungan kerja maupun Pilkada DKI ini tidak berhenti pada isu lingkungan lain diluar Rumah Susun. agama saja tetapi juga banyak hal lain. Masyarakat yang masih produktif ini Temuan ini seperti halnya penjelasan memiliki perilaku memilih dengan Ubed Abdilah (2012) yang menyatakan pertimbangan yang cenderung rasional bahwa agama Islam di Negara-negara yakni apakah calon gubernur kemudahan yang sebelumnya terjajah lebih mudah akses birokrasi dan perbaikan infrastruktur

Politik Identitas 249

02 JURNAL BAWASLU.indd 249 12/6/17 3:47 PM atau tidak, karena selama ini hal tersebut Sebagai salah satu pemukiman yang terkait erat dengan kelancaran pekerjaan ada di wilayah basis Islam Tanah Abang. mereka. Identitas agama terbukti merupakan hal Sementara itu,warga masyarakat yang begitu sensitif dan menjadi alat usia relatif muda namun tidak bagi elit untuk memperoleh keuntungan produktif bekerja cenderung memiliki politik melalui penyebaran isu-isu terkait perilaku memilih yang sama yakni politik identitas. Hasilnya isu agama mempertimbangkan masalah agama memang memiliki pengaruh besar, karena meskipun mengakui kinerja pertahana tercipta sentiment di masyarakat untuk yang baik. Rasa ketersinggungan terhadap tidak memilih pasangan nomor urut dua ucapan pasangan calon nomor urut 2 dengan pertimbangan non-muslim. terhadap surat Al-Maidah di kepulauan Selain pertimbangan non-muslim, seribu juga menjadi pertimbangan dalam unsur etnisitas Tionghoa sebagai etnis menentukan pilihan. “non-pribumi” juga dikaitkan dan menjadi Generasi yang relatif muda, isu yang campurkan dalam kampanye memiliki pekerjaan (profesi) tanpa politik identitas untuk tidak memilih disadari cenderung menganut nilai-nilai pasangan nomor urut dua. Dapat dilihat postmodernisme yang kritis terhadap pula bahwa identitas agama Islam informasi yang provokatif, mengedepankan meskipun bukan agama asli Indonesia pluralisme dan kebebasan berekspresi namun memiliki kedekatan emosional bagi siapa saja tanpa memandang dengan identitas “pribumi”, sedangkan etnis. Sosialisasi ini yang didapatkan di agama lain (Kristen) justru cenderung lingkungan pekerjaan karena mereka tidak diasosiasikan dengan “pribumi”. bergaul dan berkoordinasi dengan banyak Sosialisasi politik masyarakat Rumah orang dari berbagai kalangan, agama Susun Tanah Abang terbukti dipengaruhi maupun etnisitas. oleh sikap lingkungan sekitar yang lebih besar yakni Tanah Abang, sehingga 7. Simpulan para pengurus RT/RW serta watrga Reformasi telah membuka gerbang yang aktif di lingkungan Rumah Susun bagi Indonesia untuk berdemokrasi, memiliki pandangan politik yang sama pemilihan kepala daerah dilangsungkan yang dibentuk di masjid dan forum- sebagai wujud dari komitmen forum bersama warga, mereka dengan pemerintahan dewasa ini untuk jelas memilih pemimpin yang muslim memeratakan demokrasi ke seluruh dibandingkan pemimpin yang non-muslim pelosok tanah air mulai dari pemilihan terutama sejak kasus di Kepulauan seribu walikota hingga Presiden pun dilaksanakan yang dinilai sebagai tindakan penistaan langsung. Isu agama pada Pilkada DKI agama dari Gubernur Basuki. Jakarta menjadi satu-satunya isu yang Meskipun begitu kemenangan dapat dimainkan lawan politik dan Basuki Tjahaja Purnama di pemukiman hal ini terbukti membuat Gubernur ini ditengah wacana kolektif menolak Basuki terpancing untuk mengeluarkan pemimpin non muslim, yang bahkan pernyataan-pernyataan yang kontra begitu terlihat di hari pencoblosan produktif dan mergugikan dirinya sendiri. mengindikasikan terdapat banyak silent

250 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 250 12/6/17 3:47 PM voters dar mereka yang tidak ikut didalam berlebihan kepada etnis Tionghoa, pembentukan wacana di forum-forum bahkan ada yang mengaitkannya dengan warga serta tidak hanya mendapatkan kebangkitan PKI. sosialisasi politik dari dalam Rumah Sementara itu mereka yang produktif Susun Tanah Abang tetapi juga lingkungan dan mendapatkan sosialisasi politik dari tempat kerja dan lingkungan lainnya luar lingkup pemukiman akan mengetahui karena usia mereka yang masih produktif. fakta—fakta lapangan mengenai kinerja Mereka yang ikut dalam forum-forum dan perkembangan kerja Gubernur, warga dan pembentukan perilaku memilih sehingga pertimbangan agama sebagai di Masjid cenderung akan mengedepankan faktor sosiologis untuk memilih orientasi muslim sebagai pemimpin, seorang pemimpin dikesampingkan dan bahkan beberapa mengaitkan dengan pertimbangan rasional mengenai apa sentiment etnis, seperti bahayanya yang didapat penduduk DKI dengan apabila memberikan kekuasaan eksekutif kinerja Gubernur menjadi lebih penting.

Politik Identitas 251

02 JURNAL BAWASLU.indd 251 12/6/17 3:47 PM DAFTAR PUSTAKA

Abdilah S, U, (2012). Politik Identitas Etnis : Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Almon,G,A. & Powell, G, B. (1996). Comparative Politics Today : A World View. Harper Collins College Publisher. Anonim .(2017,Maret 17)Politisasi Agama Menodai Demokrasi. Beritasatu.com/ Diakses dari Attunes, R, (2010). Theoretocal Models of Voting Behavior. Jurnal Exedra No.4, Data Komisi Pemilihan Umum, (2017) Diakses Dari http://nasional.kompas.com/read/2017/05/03/15201311/peneliti.lipi.dampak. politik.identitas.pilkada.dki.jadi.persoalan.besar Eisenberg ,A. & Kymlicka, W. (2011). Identity Politics In The Public Realm : Bringing Institutions Back In. Toronto : UBC Press. Faqih, F,. (2017, Maret 24). Reaksi Ahok dapat dukungan di wilayah Markas FPI. Diakses Dari https://www.merdeka.com/jakarta/reaksi-ahok-dapat-dukungan-di- wilayah-markas-fpi.html Hakim,R,N,. (2017, Mei 3) Peneliti LIPI: Dampak Politik Identitas Pilkada DKI Jadi Persoalan Besar. hlm. 146-156 http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/5235-politisasi-agama-menodai-demokrasi.html https:// pilkada2017.kpu.go.id/hasil/image/c1/25823/25879/28 May 20, hlm. 1 Penulis KPU. Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Diakses dari http://www.kpu-tangerangkota.go.id/p/pemilihan-umum-kepala-daerah-dan-wakil.html Tim Penulis BBC. (2016, November 2016). Pidato di Kepulauan Seribu dan hari-hari hingga Ahok menjadi tersangka. Diakses Dari http://www.bbc.com/indonesia/ indonesia-37996601 Vaughn, B,.(2005). Indonesian Election. Congress Research Service-The Library of Congress Wawancara pada 15 Februari 2015 dengan Andi Awaluddin (51 Tahun), Tokoh Masyarakatdan Ketua Rukun Warga RW 010 Rumah Susun Tanah Abang Wawancara pada 15 Februari 2015 dengan Anonim (26 Tahun), Warga Rumah Susun Tanah Abang, berprofesi sebagai pengusaha bidang jasa. Wawancara pada 15 Februari 2015 dengan Endang Ruchimat (67 Tahun), Tokoh Masyarakat dan Mantan Sekretaris RW 010 Rumah Susun Tanah Abang. Wawancara pada 15 Februari 2015 dengan Sayadi Aru Lio (31 Tahun), Warga Rumah Susun Tanah Abang, berprofesi Karyawan Swasta. Wawancara pada 15 Februari 2015 dengan Thamrin Datuk Tumanggung (72 Tahun), Tokoh Masyarakat dan Pembina Perhumpunan Penghuni Rumah Susun Tanah Abang

252 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 252 12/6/17 3:47 PM Jurnal Bawaslu ISSN 2443-2539 Widodo, I. Vol.3 No. 2 2017, Hal. 253-267

ANALISIS KELEMBAGAAN BARU PENANGANAN MUATAN KEBENCIAN BERBASIS POLITIK IDENTITAS DI INTERNET DI INDONESIA: SEBUAH KAJIAN AWAL

Isto Widodo Voxpol Research and Consulting, Jakarta

ABSTRACT

This paper objective is to explores how Indonesia handle hate speech based on identity politics. I use Theory of New Institutionalism in Economic Sociology (NIES) by Victor Nee and operate it in qualitative method by document studies. There are three main findings: (1) inclusivity of online communication is not always results positive condition for national development and democracy in Indonesia; (2) Indonesia is on the right track to overcome negative impacts of the online communication inclusivity on political identity based hate speech. Indonesia attempt effort to make single identity for netizen based on real identity; (3) Indonesia has not gain optimal conditionin such effort for it is need adequate time to be institutionalized. As this paper is based on institutionalism, it doesn’t reach structural aspect of the problems. Again, as it is just preliminary studies, further studies is needed.

Keyword: Political Identitiy, Hate Speech, New Institutionalism In Economic Sociology

ABSTRAK

Makalah ini bertujuan untuk mengeskplorasi penanganan muatan kebencian berbasis politik identitas di internet oleh otoritas pemerintah Indonesia. Kerangka teori yang digunakan adalah Teori Kelembagaan Baru dalam Sosiologi Ekonomi (New Institutionalism in Economic Sociology/NIES) menurut Victor Nee. Metode yang

Politik Identitas 253

02 JURNAL BAWASLU.indd 253 12/6/17 3:47 PM digunakan adalah metode studi kepustakaan. Penelitian ini menemukan beberapa hal sebagai berikut: (1) Inklusifitas komunikasi di internet tidak selalu berdampak baik bagi demokrasi dan pembangunan nasional Indonesia (2) upaya pemerintah sudah berada dalam jalur yang tepat dilihat dari perspketif kelembagaan baru. Upaya untuk menyelaraskan identitas maya dan identitas riil serta upaya mengembalikan kendali institusi atas aktor adalah langkah yang memang dibutuhkan; (3) Belum optimalnya langkah tersebut disebabkan belum tercapainya internalisasi dan institusionalisasi yang dibutuhkan. Penelitian ini memakai kerangka institusionalisme sehingga tidak menjangkau aspek-aspek structural dan relasi kekuasaan diantara para aktor. Penelitian ini juga hanya merupakan penelitian awal dan terbatas pada data-data awal yang sifatnya sekunder. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memperdalam kajian mengenai topik ini.

Kata Kunci: muatan kebencian, politik identitas, Kelembagaan Baru dalam Sosiologi Ekonomi

1. Pendahuluan (Font-12, Bold) Tabel 1. Secara historis, ada beberapa fase revolusi media komunikasi dimana penemuan internet adalah fase paling mutakhir dari revolusi media komunikasi ini. Saat ini, internet telah menjadi media komunikasi yang makin umum digunakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Inovasi dalam hal piranti keras (hardware) dan piranti lunak (software) memperluas akses penggunaan internet dengan harga yang makin terjangkau. Terjadi lonjakan akses internet selama dua dekade ini di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Sumber: https://lokadata.beritagar.id/topik/ teknologi?page=11

Dari tabel terlihat bahwa terjadi lonjakan akses internet di Indonesia. Pada tahun 2005 akses internet baru dinikmati oleh sekitar 16 juta pengguna.

254 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 254 12/6/17 3:47 PM Pada tahun 2016 jumlahnya menjadi 132 perilaku komunikasi di internet yang juta pengguna internet di Indonesia. dihadapi masyarakat dan otoritas Akses terbanyak dilakukan dengan piranti kebijakan di Indonesia adalah maraknya telepon genggam. muatan kebencian berbasis politik Perubahan penggunaan media identitas. Ada beberapa konteks yang komunikasi ini berimbas secara luas turut mempengaruhi kemunculan dan terhadap pola dan perilaku komunikasi berkembangnya ujaran kebencian secara keseluruhan. Demikian pula dengan tersebut, yaitu: pertama, konteks sosial penggunaan media komunikasi berbasis masyarakat Indonesia sendiri yang internet. Penelitian yang dilakukan oleh sangat plural. Kedua, konteks demokrasi, Mc.Grath misalnya menunjukkan bahwa otonomi daerah dan pemilihan umum komunikasi di media sosial berpengaruh eksekutif secara langsung. Alih-alih pada interaksi antar individu di rumah membuka deliberasi seluas-luasnya, tangga. Sementara itu, Mathias Kamp kontestasi elektoral ini justru kemudian et al dalam Assessing The Impact Of sering membawa pada segregasi sosial Social Media on Political Communication yang cukup tajam. and Civic Engagement in Uganda Dalam kerangka itu, produksi dan menunjukkan bahwa penggunaan internet distribusi ujaran kebencian berbasis juga mengubah pola komunikasi politik di politik identitas menjadi fenomena Uganda. Secara keseluruhan memang masif di internet. Pemerintah Indonesia terdapat indikasi bahwa perubahan media telah melakukan berbagai cara untuk komunikasi berdampak pula pada relasi meminimalisasi hal ini dengan berbagai sosial baik dalam tataran mikro, meso instrument institusional. Hasilnya maupun makro. menurut klaim Kepolisian Negara Republik Dari berbagai penelitian, didapatkan Indonesia (Polri), jumlah ujaran kebencian data bahwa ada empat karakter khas telah menurun menjadi sekitar 30% dari komunikasi di internet: pertama, di pertengahan akhir 2017. Namun inklusifitas dimana semua orang bisa pada tahun 2018 dan 2019 perilaku menjadi produsen dan distributor sekaligus produksi dan distribusi ujaran kebencian, konsumen dari berita, wacana, opini fitnah dan hoax diperkirakan akan bahkan propaganda; Kedua, karakter meningkat kembali berkaitan dengan lintas batas atau bahkan sering disebut akan diadakannya Pemilu 2019. tak berbatas (borderless); Ketiga karakter Dengan uraian masalah seperti itu, cepat dan bahkan saat itu juga (real time); penelitian ini mengajukan pertanyaan: Keempat, terdiskursusnya otoritas dan (1) dalam perspektif kelembagaan baru, nilai tradisional dalam berkomunikasi. bagaimana penanganan yang dilakukan Bagi otoritas politik dan pembuat oleh pemerintah Indonesia terhadap kebijakan, atau bahkan institusi sosial, muatan kebencian berbasis politik karakter-karakter tersebut menimbulkan identitas ini? (2) Apa kelemahan dari konsekuensi-konsekuensi yang belum penanganan terhadap ujaran kebencian pernah dihadapi sebelumnya dalam berbasis politik Identitas yang sudah komunikasi dengan media konvensional. dilakukan oleh pemerintah Indonesia? Salah satu konsekuensi dari pola dan

Politik Identitas 255

02 JURNAL BAWASLU.indd 255 12/6/17 3:47 PM 2. Metode Penelitian lain-lain. Dari data-data itu diharapkan Penelitian ini menggunakan metode dapat diketahui bagaimana institusi kualitatif dengan teknik pengambilan menetapkan kerangka komunikasi dan data kajian dokumen. Penelitian kualitatif sejauhmana aktor lain mendukung adalah metode yang bertujuan untuk dan mengikuti kerangka yang sudah mengkonstruksi realitas dan memahami ditetapkan. maknanya (Somantri R. G., 2005). Metode ini dilandasi oleh pradigma 3. Teori New Institutionalism in interpretatif-naturalistik. Menurut Economic Sociology (NIES) Somantri, berbeda dengan penelitian NIES menurut Victor Nee adalah kuantitatif yang berusaha mencari pola Teori yang melihat bahwa institusi dan generalisasi, penelitian ini bertujuan berperan dalam menentukan batasan untuk mengungkapkan secara mendalam pilihan-pilihan tindakan individu untuk mengenai sebuah fenomena (ibid.,59). mengejar kepentingannya. (Nee, 2005). Penelitian dokumen adalah salah Institusi merupakan struktur sosial yang satu terapan teknik pengambilan data menyediakan pedoman tindakan bersama dalam metode ualitatif. Jenis data yang dengan cara mengatur kepentingan didapat dari penelitian dokumen untuk masing-masing orang dan bagaimana konteks terbaru bisa berjenis data primer mencapainya serta menjadi landasan maupun sekunder. Contoh data primer hubungan antar mereka (ibid, 2005: dalam teknik studi dokumen adalah 40). Institusi dengan demikian juga dari rekaman suara, rekaman video dan menyediakan struktur insentif bagi para risalah atau notulensi. Sedangkan jenis aktor untuk bertindak. data sekunder dari studi dokumen bisa Dalam Pendekatan Kelembagaan, berupa laporan, berita, analisis maupun individu sebagai aktor ekonomi bukanlah komentar dari fenomena atau pernyataan entitas atomic yang terlepas dari struktur sumber primer. Penelitian ini memakai sosialnya, namun pada saat yang sama perspektif institusionalis dan bersifat ia juga punya otonomi relatif terhadap sebagai studi awal (preliminary studies) institusi sehingga tidak selalu patuh sehingga data dari dokumen cukup untuk sepenuhnya pada institusi itu. Tingkah memberikan data-data yang diperlukan. laku individu atau aktor selalu melekat Dokumen yang dikaji berupa pada fakta relasi sosial. Dalam tulisannya dokumen tercetak maupun dokumen Paul Ingram dan Karen Clay meringkas digital berupa berita, paparan, makalah, Teori Kelembagaan baru ini dengan satu video dan infografis. Sebagaimana tujuan kalimat ringkas yaitu, “choice within dan pertanyaan penelitian, dokumen constraint” (pilihan dalam batasan) yang akan dikaji adalah tentang: kerangka (Clay, 2000. 26). Sedangkan Nee berkata, institusional tentang larangan ujaran “actors are motivated by interest and kebencian dan politik identitas, pola preferences, often formed and sustained kerja produsen dan distributor ujaran within such groups (aktor dimotivasi kebencian serta data tentang penegakan oleh kepentingan dan preferensi yang etika, norma dan nilai-nilai komunikasi sering dibentuk dan dijaga dalam sebuah oleh institusi sosial, asosiasi profesi dan kelompok) (Nee, The New Institutionalism

256 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 256 12/6/17 3:47 PM in Economics and Sociology. Forthcoming: Sedangkan pengaturan institusional adalah Handbook for Economic Sociology, eds, kesepakatan unit ekonomi untuk mengelola 2003).” dan mencari jalan agar hubungan antar Institusi terdiri dari elemen formal unit tersebut dalam sebuah kesepakatan. dan informal. Elemen formal seperti Dalam pengaturan institusional ada alokasi norma, aturan dan konvensi. Sedangkan hak-hak kepemilikan kepada kelompok, elemen informal adalah kepercayaan, individu maupun pemerintah. Alokasi nilai dan kebiasaan. Baik elemen ini diatur melalui kesepakatan lembaga formal maupun elemen informal ini apakah akan dilakukan melalui pasar, saling terhubung. Keduanya, menjadi pengaturan publik atau model kontrak dasar tindakan individu-individu dalam dengan hirarki. melakukan tindakan untuk mencapai Dalam kaitannya dengan pilihan kepentingan mereka. Sebagai landasan tindakan yang dilakukan oleh individu, tindakan yang bukan saja meliputi aspek NIES berangkat dari konsep kemelekatan kognitif-teknis-mekanis tetapi juga aspek (embeddedness). Yang dimaksud dengan filosofis-ideologis maupun aspek afektif, kemelekatan adalah bagaimana individu institusi menjadi entitas yang dominan. melekat kepada struktur dan relasi Perubahan terhadap institusi akan berarti sosial yang berlangsung dalam jaringan juga perubahan terhadap relasi antar individu dari para aktor. Williamson aktor dan pilihan tindakan yang rasional dalam hal ini melihat keterlekatan itu bagi para aktor. dalam perspektif yang lebih formal Menurut Ingram dan Clay, Teori dan administratif. Ia melihat bahwa Kelembagaan baru ini berakar dari hubungan sosial dalam relasi hierarkis asumsi pendekatan perilaku (behavioral memunculkan perkembangan ekonomi. assumptions). Sejalan dengan itu Anil Menurut Granovetter, relasi tidak hanya Hira and Ron Hira melihat bahwa bisa dilihat dalam tataran legal yang Kelembagaan Baru ini adalah format berkaitan dengan otoritas tersebut. ia teori yang berusaha mempertahankan berpendapat bahwa faktor kepercayaan pendekatan Pilihan Rasional (Anil Hira and (trust) dan solidaritas berperan penting Ron Hira, Apr., 2000). Sedangkan Victor dalam ketermelekatan individu pada Nee menilai teori ini menlandaskan diri lingkungan sosial serta relasi dengan pada metode sosiologi yang dirumuskan individu yang lain. Dengan demikian, oleh Emile Durkheim. berbeda dengan Williamson, Granovetter Dengan melihat asumsi NIES di atas, membagi dua kelekatan yaitu kelekatan NIES beroperasi pada dua dimensi yaitu relasional dan kelekatan struktural. lingkungan kelembagaan (institutional Kelekatan relasional meliputi bidang environment) dan pengaturan kelembagaan yang luas dan dibentuk oleh relasi lintas (institutional arrangement). Williamson struktur. Sedangkan kelekatan structural dalam Yustika mendefinisikan lingkungan dibentuk oleh struktur yang lebih hirarkis institusional sebagai seperangkat struktur dan berkaitan dengan lingkup otoritas. aturan politik, sosial dan hukum yang Selanjutnya, Nee membuat model memapankan kegiatan produksi, pertukaran NIES sebagai berikut: (transaksi) dan distribusi (Yustika, 2013).

Politik Identitas 257

02 JURNAL BAWASLU.indd 257 12/6/17 3:47 PM 4. Pembahasan 4.1. Faktor Lingkungan: Isu SARA di Indonesia Pasca Orde Baru Masalah suku, agama, ras dan antar golongan (disingkat SARA) adalah masalah krusial dalam pembangunan nasional (national building) di Indonesia disebabkan oleh pluralitas masyarakat Indonesia sendiri. Menurut data kementerian dalam negeri terdapat 1340 suku bangsa yang tergabung dalam 300 kelompok etnik, 6 agama besar dan ratusan kepercayaan (agama) lokal dan lebih dari 700 bahasa (BPS, 2015). Sangat Gambar 1. Model New Institutionalism beragamnya komposisi masyarakat itu in Economic Sociology dengan sendirinya akan menjadi potensi Sumber: Victor Nee, The New Institutionalism in Economics and Sociology, pengelompokan pada momen-momen hal 36. tertentu seperti dalam pemilukada langsung maupun pemilu nasional. Model tersebut mengilustrasikan Terdapat fenomena unik dalam hal bagaimana institusi memberikan kerangka politik identitas sejak era Reformasi bagi tindakan aktor untuk menghasilkan hingga saat ini. Dalam hal kedua kesatuan keluaran bersama. Institusi memberikan identitas tersebut terdapat pasang surut. insentif dan membentuk preferensi. Pada awal Reformasi pengelompokan Kepada institusi level meso, institusi berdasarkan suku dan agama tidak terlalu makro memberikan aturan dan pada menimbulkan friksi antar kelompok. Hal saat yang sama ada mekanisme pasar ini dapat diduga terjadi karena dua hal: yang berpengaruh. Kepada aktor di pertama, karena terdapat fragmentasi tingkat mikro, institusi meso melakukan yang memecah pengelompokan identitas pengawasan dan penegakan aturan tersebut dalam berbagai partai politik. (enforcement). Aktor mikor akan Anies Baswedan mencatat bahwa memenuhi hal itu. terdapat euforia Islamisme setelah Orde Jika terjadi ketidakpuasan oleh aktor Baru tumbang (Baswedan, 2004). Namun mikro, menurut model itu, aktor akan fragmentasi partai memecah konsentrasi menyalurkan ketidakpuasan itu melalui euforia islamisme itu. Pemilu 1999 diikuti institusi meso. Institusi meso inilah yang oleh 48 partai politik. Dari jumlah itu akan menjadi sarana tindakan bersama terdapat 15 partai politik yang memakai (collectif action) untuk mengubah nama dan basis organisasi Islam, 2 partai kerangka institusi yang telah ditetapkan Katolik dan 1 partai berbasis organisasi institusi makro. serta pemilih Kristen. Identitas Islam dan Muslim dalam 15 partai itupun terbagi dalam berbagai sub identitas, utamanya adalah partai Islam berbasis

258 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 258 12/6/17 3:47 PM pembaharuan dan revivalisme Islam serta Kedua, kebangkitan politik identitas partai Islam yang nasionalis. berbasis agama pada awal Reformasi Penggunaan identitas agama muncul mungkin juga disebabkan oleh belum cukup kentara pada saat pemilihan terlalu kuatnya proses santrinisasi di presiden di MPR. Isu yang dimainkan Indonesia pasca Orde Baru. Santrinisasi waktu itu adalah isu soal boleh tidaknya sendiri sebenarnya terminologi yang kepala negara perempuan. Akibat dari problematik. Ia berasal dari konsep mengemukanya isu ini Abdurrahman kategorisasi masyarakat Jawa seperti Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi presiden yang disebutkan oleh Clifford Geertz yang mengalahkan Megawati Soekarnoputri. menunjukkan kategori Santri, Abangan Setelah itu, politik identitas agama dan priyayi dalam struktur masyarakat terutama yang berkaitan dengan isu Jawa (Geertz, 1976). Santrinisasi berarti revivalisme nilai Islam kurang menonjol. meningkatnya kesadaran dan bangkitnya Hal ini ditandai dengan menurunnya revivalisme nilai Islam dari semula perolehan partai berbasis identitas ini masyarakat yang lebih ‘abangan’ atau yaitu Partai Bulan Bintang dan Partai nasionalis. Selain istilah santrinisasi istilah Keadilan Sejahtera. Bahkan meskipun lain yang bisa digunakan barangkali PKS meningkat perolehan suaranya pada adalah meluasnya pengaruh muslim Pemilu 2009 isu identitas berbasis agama urban modernis maupun revivalis. Pada kurang mengemuka. intinya keduanya merujuk pada deskripsi Sedangkan dalam hal politik perubahan sosial politik yang sama yaitu identitas berdasarkan identitas etnik meningkatnya jumlah dan kesadaran dan kesukuan, friksi dan konflik banyak kelompok Islam di Indonesia. terjadi sejak diberlakukannya pemilukada Ketiga, belum masifnya politik secara langsung. Namun dalam identitas berbasis identitas agama dapat perkembangannya terdapat pergeseran diduga karena tiadanya momentum isu. Semula isunya berkaitan dengan putra yang berkelanjutan cukup kuat untuk daerah; artinya, mereka yang berhak membingkai kemunculannya. Isu presiden menjadi kepala daerah adalah orang perempuan mungkin adalah isu yang yang punya etnisitas atau berasal dari sempat muncul, namun kemudian tidak suku yang terdapat di daerah tersebut. mempunyai efek keberlanjutan. Ini Pada perkembangan selanjutnya, isunya berbeda dengan politik identitas yang bergeser menjadi friksi internal antar terjadi mulai tahun 2010 hingga saat ini. suku-suku di daerah tersebut. hal ini Pada periode waktu ini kemunculan Joko misalnya terdapat di Nusa Tenggara Barat Widodo yang diframing oleh kelompok dimana suku Sumba dan Bojo bersaing tertentu sebagai ‘musuh Islam’, ‘PKI’, dengan suku-suku di Pulau Lombok. Selain “liberal’ dan berbagai stigma lainnya itu terdapat juga fenomena akomodasi yang diidentikkan dengan sebagai ‘lawan terhadap suku-suku pendatang. Hal Islam dan muslim’ menjaga isu identitas ini misalnya terjadi di Sumatera Utara berbasis agama terus-menerus terjadi dan dimana suku Jawa yang hingga saat ini. sebenarnya pendatang justru mayoritas. Selain faktor kemunculan Jokowi Sampai saat ini politik identitas berbasis sebagai penanda masifnya penggunaan suku dan etnis masih terjadi.

Politik Identitas 259

02 JURNAL BAWASLU.indd 259 12/6/17 3:47 PM ujaran kebencian dan politik identitas politik. Stigmatisasi ini, dalam perspektif di Indonesia, terjaganya isu ini juga sosiologis, berguna untuk memberikan disebabkan oleh kemajuan teknologi petunjuk bagi para pengikut mengenai informasi. Kemajuan teknologi informasi siapa yang masuk dalam kelompok memungkinkan persebaran berita dan “kita” dan “mereka”. Semakin intens opini secara masif dalam waktu yang sebuah stigmatisasi maka akan semakin singkat. Ini adalah alat yang sangat intens juga pembelahan masyarakat. efektif untuk melakukan propaganda dan Dalam sudut pandang seperti itu ujaran mobilisasi. kebencian sangat berbahaya bagi proses Kemajuan teknologi informasi juga demokrasi maupun dalam pembangunan disebut telah menimbulkan culture shock nasional, terutama untuk konteks dan perubahan pola relasi sosial dimana Indonesia. Dalam upaya konsolidasi hirarki dan otoritas sosial tradisional demokrasi, ujaran kebencian akan didekonstruksi. Untuk kasus Indonesia, menjadi cara seleksi yang tidak sehat dengan literasi yang rendah, proses bagi proses elektoral maupun dalam seleksi terhadap informasi dan opini kebijakan publik. ujaran kebencian akan yang beredar seringkali tidak berjalan menyingkirkan kemungkinan munculnya dengan semestinya. Pendapat para ahli pilihan terbaik dalam proses demokrasi agama, misalnya, sering dikalahkan oleh dan pemerintahan. Sedangkan dalam opini awam. Berita di media mainstream perpsektif pembangunan bangsa, ujaran sering kalah dari berita dengan standar kebencian berbasis politik identitas akan jurnalisme yang tidak jelas.Hal serupa menimbulkan pembelahan-pembelahan berlaku untuk topik-topik dan bidang lain. dan merusak integrasi bangsa. Kemajuan teknologi informasi meskipun memungkinkan hubungan 4.2. Insentif dan Disinsentif real time antara pihak-pihak yang Menurut Teori NIES, aktor-aktor berkomunikasi ternyata juga rentan berperilaku berdasarkan motivasi, terhadap distorsi komunikasi. Bahasa- preferensi dan batasan yang diberikan bahasa tulisan misalnya sering menjadi oleh insitusi. Institusi membentuk pasar sarana untuk melakukan distorsi ini. dan memberikan kerangka berupa elemen Bukan hanya dilakukan oleh orang awam, formal dan elemen non formal. Dengan distorsi ini juga sering ditemui pada mengemukakan terlebih dahulu kerangka tulisan-tulisan di media arus utama. institusi ini, dapat dianalisis apakah pola Kesemua faktor itu menjadi masalah penanganan dampaknya sudah berada serius dalam menata komunikasi di pada jalur yang tepat atau belum. dunia maya. Salah satu modus yang Kerangka institusi pertama dalam dipakai untuk menjaga politik identitas kasus ini adalah demokrasi Indonesia. ini adalah dengan kampanye hitam Demokrasi menjadi arena baru bagi dimana ujaran kebencian menjadi bagian perebutan pengaruh dan tarik ulur di dalamnya. Ujaran kebencian, yang politik dengan memanfaatkan opini dapat dimasukkan dalam kategorisasi rakyat. Setiap politikus dan partai politik framing negatif memang penting untuk berusaha mendapatkan legitimasi publik melakukan stigmatisasi terhadap lawan dengan melakukan dua hal: (1) pencitraan

260 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 260 12/6/17 3:47 PM (political imaging); (2) propaganda mendistribusikan gagasan, opini dan negatif. Pencitraan politik dilakukan propaganda. untuk memberikan kesan positif bagi Insentif selanjutnya yang diberikan publik dengan imbal balik popularitas oleh institusi adalah sistem ekonomi dan elektabilitas. Sedangkan propaganda yang cenderung bebas. Sistem negatif dilakukan untuk melakukan hal ekonomi pasar bebas memberikan yang sebaliknya pada competitor atau dampak positif bagi makin mudahnya lawan politik. Imbal balik dari propaganda kepemilikan dan akses komunikasi bagi negatif ini adalah stigma negatif dan masyarakat. Dengan kepemilikan dan delegitimasi citra dan kebijakan yang kases terhadap piranti lunak maupun dibuat oleh lawan politik. keras komunikasi ini, publik sendiri bisa Demokrasi juga berarti kebebasan memproduksi dan mendistribusikan berpendapat. Indonesia pasca Orde Baru gagasan, opini dan wacana. Namun mengadopsi kebebasan berpendapat pada saat yang sama, kebebasan ini juga ini. Menurut Freedom House, dalam menghasilkan tantangan bagi negara hal kebebasan sipil dan hak politik untuk mengantisipasi dampak negatifnya. Indonesia termasuk dalam kategori Dampak negatif yang kemudian timbul negara yang bebas (Freedom in The salah satunya di lingkup media dimana World: Indonesia, 2017)). Publik Indonesia muncul sangat banyak media baru dengan punya kebebasan untuk berkomentar, pengawasan yang tidak memadai. mengevaluasi dan menilai politikus, Dalam berbagai insentif itu aktor- pemerintah maupun kebijakannya. Dalam aktor mengejar kepentingan mereka konteks penggunaan media online, publik masing-masing. Pada tingkat mikro, Indonesia juga dikenal sangat cerewet setidaknya ada enam jenis aktor yang (Minat Baca Rendah, Tapi Cerewet terlibat, antara lain: politikus, partai Banget! Itulah Netizen Indonesia?, 2017). politik, individu anggota masyarakat, Hal tersebut mengindikasikan bahwa organisasi massa (ormas) media dan publik Indonesia memang relatif sangat buzzer. Menurut Teori NIES, setiap aktor bebas mengeluarkan pendapat. mengejar kepentingan masing-masing Insentif yang berkaitan dengan berdasarkan struktur insentif yang demokrasi adalah kompetisi yang bebas. diberikan oleh institusi. Dalam hal ini Meskipun kebebasan ini diragukan dapat dijelaskan kepentingan aktor-aktor berkaitan dengan politicking yang yang terlibat dalam upaya pembentukan dilakukan baik oleh aktor individu, komunikasi politik yang bebas dari ucapan lembaga politik maupun lembaga negara kebencian berbasis isu SARA sebagai itu sendiri, namun kompetisi wacana di berikut: Indonesia relatif sangat bebas. Kekuatan- Aktor pertama yaitu politikus kekuatan politik di Indonesia tidak mempunyai tujuan utama dari politikus hanya mengandalkan media arus utama. secara umum adalah memperoleh Kemajuan teknologi memungkinkan modal sosial, modal politik dan modal media-media alternatif termasuk ekonomi untuk kemudian dimanfaatkan media sosial untuk memproduksi dan dalam kontestasi politik demi meraih jabatan publik, previlege maupun konsesi

Politik Identitas 261

02 JURNAL BAWASLU.indd 261 12/6/17 3:47 PM sumberdaya lainnya. Jadi, modal sosial, kandidat yang kalah bisa ditransaksikan modal politik dan modal ekonomi dengan calon pemenang. Perolehan adalah tujuan antara; sedangkan tujuan seperti ini bisa dimungkinkan dalam utamanya adalah jabatan publik, privilege sistem pemilihan umum proporsional dan konsesi sumberdaya. Dalam konteks dan kurangnya kerangka institusi untuk Indonesia, tujuan ini disediakan oleh menjangkau pelanggaran ini. institusi. Secara normatif, semua politikus Aktor kedua, partai politik mempunyai yang berhasil memenangkan kandidasi tujuan yang hampir serupa dengan akan memperoleh jabatan-jabatan politikus. Mereka mengejar tujuan politik yang diperebutkan; misalnya yang insentifnya dibentuk oleh institusi. menjadi seorang bupati, gubernur atau Partai politik yang berhasil mengirim anggota legislatif. Pada jabatan publik wakilnya menjadi anggota legislatif tersebut melekat hak-hak otoritatif dan atau menduduki jabatan eksekutif konsesi untuk mengelola sumberdaya- akan memperoleh sejumlah konsesi, sumberdaya publik. Selanjutnya, untuk akses terhadap pengaturan alokasi dan konteks Indonesia, para pejabat publik distribusi sumberdaya serta sejumlah biasanya juga punya semacam privilege privilege. dan prominence. Privilege berupa akses- Aktor keempat yaitu Individu anggota akses kepada saluran dan sumberdaya masyarakat. Afiliasi individu terhadap yang tidak dimiliki oleh selain pejabat ideologi maupun kelompok yang dianggap publik. sedangkan prominence biasanya punya satu nilai dan kepercayaan adalah berkaitan dengan status sosial. Seorang sebuah kewajaran dalam perspektif pejabat biasanya dianggap punya sosiologi. Dalam analisis kebijakan publik status sosial yang tinggi dan mendapat yang dipengaruhi oleh perpesktif sosiologi, penghormatan dari masyarakat. Secara individu-individu yang punya kesamaan umum, masyarakat Indonesia sangat kepercayaan dan nilai bersama akan menghormati pejabat publik berkaitan membentuk jaring-jaring kebijakan. dengan budaya yang masih sangat Begitu pula dalam Teori Perilaku Pemilih terpengaruh budaya feodalistik. Bagi para perspektif Sosiologi menyatakan bahwa politikus, ini adalah insentif. Struktur pilihan seseorang ditentukan oleh insentif ini untuk konteks Indonesia juga kelompok sosial dimana individu tersebut tidak hanya disediakan secara formal. berasal. Individu yang bersangkutan akan Prominence seperti disebutkan di atas memilih kandidat atau berperilaku sesuai termasuk insentif yang diberikan secara dengan nilai dan keyakinan yang ia miliki. informal. Selain itu, insentif ekonomi Dalam konteks ini, komunikasi politik yang juga bisa didapatkan melalui insentif dilakukan individu anggota masyarakat nonformal. Misalnya, meskipun sang baik berupa sosialisasi, kampanye maupun kandidat tidak memenangkan kandidasi, propaganda didasari oleh kepentingannya namun suara yang ia dapat bisa dikonversi agar ideologi, nilai dan kepercayaan menjadi keuntungan ekonomi. Hal ini yang ia miliki dikenali, diterima, diadopsi umum terjadi di pemilihan anggota atau bahkan jika mungkin mendominasi legislatif dimana untuk kepentingan aktor dalam pemilihan kandidat pejabat publik tertentu, jumlah suara yang didapat oleh maupun dalam kebijakan publik.

262 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 262 12/6/17 3:47 PM Aktor keempat yaitu ormas atau Kerangka institusi baik elemen civil society dalam arti yang lebih formal maupun elemen non formal selain luas merupakan kumpulan individu- berperan membentuk struktur insentif individu yang bersifat pastisipatoris dan juga menjadi batasan atau menjadi mempunyai kemandirian baik terhadap disinsentif bagi perilaku aktor. Dalam masyarakat politik maupun terhadap perspektif pilihan rasional, tindakan aktor masyarakat ekonomi. Ada dua jenis CSO, akan ditujukan semaksimal mungkin bagi yaitu CSO yang berbasis pada ideologi kepentingan dirinya. Kerangka institusi dan CSO yang bergerak berdasarkan isu membatasi itu sehingga pilihan-pilihan tertentu. CSO yang bergerak berbasis yang tersedia tergantung dari bagaimana ideologi berkepentingan agar ideologi insentif/disinsentif yang disediakan oleh yang dianut bisa diterima, diakomodasi institusi. atau bahkan bisa mendominasi kebijakan Ada beberapa kerangka disinsentif publik. Sedangkan CSO yang berlandaskan bagi tindakan aktor yang sebebas- pada isu tertentu akan berjuang agar isu bebasnya dalam hal komunikasi yang dimaksud bisa menjadi kebijakan. politik yang berkaitan dengan SARA di Misalnya, isu ekologi dalam proyek Indonesia. Kerangka pertama berupa reklamasi Teluk Jakarta. elemen non formal yaitu kebiasaan, Aktor kelima adalah media massa nilai dan konvensi antara lain berupa sering dibicarakan berkaitan dengan penghormatan terhadap otoritas hubungannya dengan demokrasi dan keilmuan, nilai kejujuran, penghormatan dengan kepemilikan modal. Di satu terhadap persatuan dan keberagaman, sisi, media dianggap menjadi sarana penghormatan terhadap pendapat komunikasi politik yang dituntut netral. orang lain, consensus kebangsaan dan Namun di sisi lain, media sebagai sebuah sebagainya. perusahaan juga dihadapkan pada Secara partikuler, masing- tuntutan untuk mencari keuntungan masing kelompok sosial dan profesi sebanyak-banyaknya. Dalam hal ini sebenarnya punya nilai-nilai sendiri. terdapat tarik ulur yang intens antara Nilai-nilai itu terlembaga dalam masing- aspek etik dengan aspek pragmatis. masing kelompok. Pada kelompok Aktor terakhir adalah buzzer yang sosial yang memakai landasan atau berbeda dengan media. Buzzer pada mengatasnamakan agama misalnya ada dasarnya memang sebuah perusahaan/ banyak nilai-nilai baik yang seharusnya lembaga/kelompok individu yang membatasi tindakan sekehendak hati, mencari keuntungan sepenuhnya dengan termasuk dalam berkomunikasi. Demikian memanfaatkan kompetisi dan kontestasi. pula dengan nilai-nilai adat, budaya dan Mereka bekerja berdasarkan pesanan lain-lain. Asosiasi profesi yang berkaitan untuk melakukan sorotan besar-besaran dengan media bahkan telah memiliki (blow up) terhadap sebuah isu atau tokoh nilai-nilai yang sudah terkodifikasi, tertentu. Selama ini tidak ada batasan etik misalnya kode etik jurnalistik. terhadap buzzer dan karenanya, Buzzer Sedangkan disinsentif yang berupa paling berpeluang untuk melakukan elemen formal terdiri dari aturan-aturan pelanggaran komunikasi politik. hukum (state regulation) terdiri dari

Politik Identitas 263

02 JURNAL BAWASLU.indd 263 12/6/17 3:47 PM perundang-undangan dalam hukum Data menunjukkan bahwa sampai saat pidana (Kitab Undang-Undang Hukum ini perilaku komunikasi dengan muatan Pidana/KUHP), Undang-Undang Informasi kebencian berbasis politik identitas masih dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan sering dilakukan. Meskipun demikian, Surat Edaran Kapolri. diklaim oleh Polri jumlahnya telah menurun hingga 30% pada awal tahun 4.3 Perilaku Aktor 2017. Dengan memakai bagan di atas Hubungan antara perilaku aktor dapat dilihat bahwa hal itu merupakan dengan insentif maupun disinsentif itu hasil dari menguatnya disinsentif yang dapat diilustrasikan dengan bagan sebagai diberlakukan oleh negara dengan aparat- berikut: aparatnya. Berikut adalah tabel yang menunjukkan perubahan kerangka institusi penanganan muatan kebencian berbasis politik identitas di internet: a. sebelum tahun 2016

Penegakan Bagan tersebut menunjukkan bahwa Disinsentif Ada/belum (enforcement) perilaku aktor sangat ditentukan oleh Pasal 335 ayat bagaimana kondisi insentif dan disinsentif Sudah Belum masif (1) UU KUHP itu. Komunikasi yang baik-dalam hal UU No. 40 ini tanpa muatan kebencian berbasis Sudah ada Belum massif Tahun 2008 politik identitas-sangat ditentukan dari perpaduan insentif dan disinsentif UU ITE Sudah ada Belum masif tersebut. Dalam kasus ini, insentif Surat Edaran lebih cenderung mengarahkan pada (SE) No. 6/X/2015 Baru ada Tahap komunikasi yang bebas tanpa batasan Tentang tahun 2015 sosialisasi elemen formal dan elemen non formal. Penanganan Ujaran Dengan insentif tersebut, aktor cenderung Kebencian mengejar kepentingannya sendiri atas Identitas Belum ada - nama kebebasan dan kompetisi yang tunggal bebas. Selain itu, insentif yang berupa Fatwa MUI Belum kemajuan teknologi mengarahkan pada tentang ada (baru kreasi dan distribusi wacana, opini, berita larangan hoax, ada pada - fitnah dan pertengahan dan gagasan yang bebas sesuai keinginan kebencian 2016) individu tanpa batasan tradisional yang Nilai-nilai ketat. Sebaliknya, diinsentif cenderung social dan Sudah ada Melemah mengarahkan pola komunikasi yang kebangsaan memperhatikan batasan-batasan tradisional yang lebih sesuai untuk pengaturan komunikasi tanpa muatan kebencian berbasis politik identitas.

264 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 264 12/6/17 3:47 PM b. tahun 2016 dan 2017 kepada situs/web, akun maupun pada penyedia platform komunikasi seperti Penegakan Disinsentif Ada/belum (enforcement) aplikasi Telegram. Dalam melaksanakan Pasal 335 fungsi ini partisipasi masyarakat dibuka, ayat (1) UU Sudah Massif khususnya dalam hal pengaduan konten. KUHP Untuk muatan SARA sendiri, pada Bulan UU No. 40 Sosialisasi Sudah ada Tahun 2008 gencar Januari 2017 saja jumlah aduan mencapai 5.142 (Islami, 2017) UU ITE Sudah ada Massif Untuk mencapai maksud Identitas Baru dimulai - tunggal pembentukan kerangka kelembagaan dalam penanganan muatan kebencian Fatwa MUI tentang Kurang itu pemerintah bukan hanya melibatkan larangan sosialisasi, Ada institusi meso dari internal lembaga hoax, cenderung fitnah dan diabaikan negara/pemerintah saja, tetapi juga civil kebencian society. Pemerintah misalnya mengajak Nilai-nilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai social dan Sudah ada Melemah kebangsaan mitra. MUI kemudian mengeluarkan fatwa (himbauan) haram untuk perilaku Dilihat dari dua tabel di atas, maka pembuatan dan penyebaran (Waluyo, dapat dilihat bahwa masalahnya ada 2017). Selain MUI lembaga agama yang pada penegakan (enforcement). Secara juga didorong perannya adalah Nahdlatul teknis, enforcement elemen formal itu Ulama, GP Ansor dan juga dari kalangan dijalankan melalui beberapa tahapan, agama selain Islam. yaitu sosialisasi, dan penegakan hukum Namun penegakan elemen formal (enforcement). Sosialisasi dilakukan baik dan non formal itu belum dilakukan dalam aspek formal maupun informal. secara massif dan integrative sebelum Aspek formal dilakukan untuk mendorong tahun 2016. Enforcement masih berjalan literasi dan kepatuhan hukum dalam secara reaktif dan kerangka yang mapan berkomunikasi di internet. Sedangkan belum diadopsi.Hal ini menyebabkan sosialisasi elemen informal dilakukan aktor merasa tidak punya kewajiban untuk untuk membentuk nilai khususnya memenuhi tuntutan tersebut. Akhirnya, dalam berkomunikasi dan umumnya sebagaimana dikatakan oleh NIES, aktor dalam kehidupan bernegara. Sosialisasi cenderung untuk mengambil tindakan dari dalam hal ini adalah sosialisasi nilai- yang ditetapkan institusi (decoupling). nilai keberagaman yang dilakukan baik Dari berbagai penelitian yang dengan cara langsung (offline) maupun kemudian dilihat dalam kasus Indonesia, di dunia maya (online). Sosialisasi berupa nampaknya karakter inklusifitas kampanye keberagaman sangat massif komunikasi di dunia internet bisa setelah terjadi berbagai demo terhadap berdampak ganda bagi masyarakat. Ahok pada tahun 2016. Untuk konteks kasus ini, sifat inklusifitas Fungsi enforcement dilakukan baik pembuatan berita dan opini di internet melalui teguran, pemblokiran hingga mengakibatkan kurangnya kontrol pemidanaan. Hal ini diterapkan baik institusi-institusi formal maupun non

Politik Identitas 265

02 JURNAL BAWASLU.indd 265 12/6/17 3:47 PM formal serta makro maupun meso pelanggaran hukum dan norma sosial. terhadap individu. Sebagaimana pada inklusifitas mengakibatkan melunturnya kasus media dan profesi jurnalisme, kendali institusi makro, meso maupun terdapat petunjuk bahwa institusi resmi mikro atas aktor. Hal ini membuat aktor kehilangan sebagian otoritas untuk tidak lagi bisa selalu diharapkan untuk mengendalikan aktor di tingkat mikro. menghasilkan pola komunikasi yang Pola ini mengikuti argumen Kenichi sehat, khususnya komunikasi yang tidak Ohmae tentang globalisasi dimana bermuatan kebencian berbasis politik batasan-batasan tradisional menjadi identitas. makin kurang berarti (Ohmae, 1995). Secara umum pemerintah Indonesia Pada tahun 2016 penegakan mulai dalam perspektif kelembagaan baru sudah massif digencarkan. Hal ini terus berlanjut melakukan langkah yang tepat. Pemerintah pada tahun 2017. Maka, tidak heran Indonesia berusaha memperkuat kendali jika terjadi penurunan jumlah muatan institusi atas perilaku aktor baik dengan kebencian berbasis politik identitas pada membangkitkan kembali (reinforce) elemen 2017. Namun, sifatnya yang masih baru, formal maupun informal. Upaya pemerintah belum konsisten dan masih mencoba untuk menyelaraskan identitas dunia maya mencari bentuk yang mapan diperkirakan dengan identitas riil dunia nyata juga akan memungkinkan titik balik pada merupakan langkah yang tepat. tahun 2018 dan 2019. Selain itu, elemen Bahwa langkah-langkah itu non formal baik nilai sosial maupun belum menghasilkan keluaran yang kebangsaan nampak belum menunjukkan optimal dalam mengeliminasi muatan penguatan yang signifikan. kebencian berdasar politik identitas Langkah pemerintah untuk dapat diduga merupakan hasil dari memberlakukan identitas tunggal patut dua hal: pertama, langkah-langkah diapresiasi karena akan menyelaraskan pemerintah itu belum efektif karena identitas dunia maya dan identitas riil. sinergi antar internal pemerintah maupun Usaha-usaha lain yang harus diperkuat dengan institusi meso di luar pemerintah adalah sosialisasi nilai-nilai sosial dan belum sepenuhnya terbangun; kedua, kebangsaan. Perhatian khusus patut diperlukan lebih banyak waktu lagi diperhatikan pada penguatan sosialisasi untuk menginternalisasi nilai dan norma berbasis nilai agama. Hal ini didasarkan menjadi kebiasaan dan budaya; Ketiga, pada survey Gallup yang menyatakan terdapat faktor oposan dari upaya-upaya bahwa Indonesia ada di antara 8 negara yang dilakukan pemerintah. Faktor oposan yang warganya mendukung superioritas yang dimaksud adalah kemajuan teknologi agama (Wadrianto, 2017). informasi itu sendiri yang mengakibatkan berbagai inovasi yang memungkinkan 5. Kesimpulan kembali tidak efektifnya kerangka institusi Ditemukan paradox dalam penelitian yang dibangun. Tingkat inovasi berbasis ini. Inklusifitas di dunia maya berdampak teknologi inovasi berkembang cepat negatif dalam mewujudkan demokratisasi sedangkan adaptasi sistem dan birokrasi dan komunikasi yang interaktif namun pemerintahan dalam menangani hal itu juga berpotensi untuk menjadi sarana lebih terbatas geraknya.

266 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 266 12/6/17 3:47 PM DAFTAR PUSTAKA

Anil Hira and Ron Hira. (Apr., 2000). The New Institutionalism: Contradictory Notions of Change . The American Journal of Economics and Sociology, Vol. 59, No. 2 , pp.267-282. Baswedan, A. R. ( 2004, September/October). Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory. Asian Survey Vol. 44 No. 5 , pp. 669-690. BPS. (2015, April 11). Retrieved November 6, 2017, from https://www.bps.go.id/ KegiatanLain/view/id/127 Clay, P. I. ( 2000. 26). The Choice Within Constraints: New Institutionalism and Its Impact for Sociology. Annu. Rev. Sociol. , 525–46. Geertz, C. (1976). Religions of Java. Chicago: Chicago Unifrsity Press. Islami, N. (2017). https://kominfo.go.id. Retrieved November 6, 2017, from Kemkominfo Rilis Aduan Konten untuk Tampung Laporan Masyarakat Terkait Hoaks: https:// kominfo.go.id/content/detail/10335/kemkominfo-rilis-aduan-konten-untuk- tampung-laporan-masyarakat-terkait-hoaks/0/sorotan_media JP, R. P. (2017, August 28). https://www.cnnindonesia.com/ nasional/20170826121903-20-237431/paslon-penyebar-kebencian-di-pemilu- bisa-didiskualifikasi/. Retrieved November 6, 2017, from https://www. cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com Nee, V. (2005). The New Institutionalism in Economics and Sociology. CSES Working Paper Series , 1-72. Nee, V. (2003). The New Institutionalism in Economics and Sociology. Forthcoming: Handbook for Economic Sociology, eds. Princeton: Princeton Unifrsity Press. Somantri, G. R. (Desember 2005). MEMAHAMI METODE KUALITATIF. Jurnal Makara , 57-65. Somantri, R. G. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Jurnal Makara , 57-65. Wadrianto, G. K. (2017, April 2016). Retrieved November 6, 2017, from http:// internasional.kompas.com/read/2017/06/02/20485791/survei.dunia.soal. superioritas.agama.ada.di.mana.indonesia. Waluyo, A. (2017, June 6). https://www.voaindonesia.com/a/mui-terbitkan-fatwa- penggunaan-medsos-untuk-cegah-penyebaran-ujaran-kebencian/3888880. html. Retrieved November 6, 2017, from https://www.voaindonesia.com: https://www.voaindonesia.com/a/mui-terbitkan-fatwa-penggunaan-medsos- untuk-cegah-penyebaran-ujaran-kebencian/3888880.html

Politik Identitas 267

02 JURNAL BAWASLU.indd 267 12/6/17 3:47 PM 268 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 268 12/6/17 3:47 PM Jurnal Bawaslu ISSN 2443-2539 Adiwilaga, R., Ridha., Mustofa, M.U. Vol.3 No. 2 2017, Hal. 269-284

PEMILU DAN KENISCAYAAN POLITIK IDENTITAS ETNIS DI INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN TEORITIS

Rendy Adiwilaga Program Studi Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Bale Bandung, Indonesia, [email protected]

M. Ridha TR Peneliti Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Indonesia, [email protected]

Mustabsyirotul Ummah Mustofa Program Studi Ilmu Politik, FISIP Universitas Padjadjaran, Indonesia, [email protected]

ABSTRACT

The emergence of Political identity in a State is one of the logical consequences of the application of democratic understanding. This identity politics, formed asa manifestation of the interaction that occurs between the values ​​of democracy that become mainstream with local values ​​or other values ​​that have been formed as a social structure in society. In Indonesia itself, the issues of identity politics have sprung up. Ethnicity is a base that often underlies the emergence of identity politics in Indonesia. This is certainly not surprising because Indonesia is a country that has ethnic and cultural diversity that has value, views, identification, and wisdom respectively. Ethnicity-based identity politics becomes very important, to avoid excessive expression of political identity that can threaten the integrity of the Indonesian nation. In this paper, we will discuss how to look at identity politics in political contexts through democratic electoral mechanisms that are not based on the oppression

Politik Identitas 269

02 JURNAL BAWASLU.indd 269 12/6/17 3:47 PM or marginalization of ethnic society so as to compete for power through electoral mechanism, but rather to consciousness to contribute ideas and ideas for the nation based on local values ​​to be an answer and solution to the nation’s problems.

Keywords political identity, election, democracy

ABSTRAK

Kemunculan Politik identitas dalam sebuah Negara merupakan salah satu konsekuensi logis dari diterapkannya paham demokrasi di Negara tersebut. Politik identitas ini, terbentuk sebagai wujud dari interaksi yang terjadi antara nilai-nilai demokrasi yang menjadi mainstream dengan nilai-nilai lokal atau nilai-nilai lain yang sudah terbentuk sebagai sebuah struktur sosial di masyarakat. Di Indonesia sendiri, isu-isu mengenai politik identitas sudah banyak bermunculan. Etnisitas merupakan basis yang sering mendasari munculnya politik identitas di Indonesia. Hal ini tentunya bukan merupakan sesuatu yang mengejutkan karena Indonesia merupakan Negara yang memiliki keragaman etnis dan budaya yang memiliki nilai, pandangan, identifikasi, dan kearifannya masing-masing. politik identitas berbasis etnisitas menjadi sangat penting, untuk menghindari ekspresi politik identitas yang berlebihan yang dapat mengancam integritas bangsa Indonesia. Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai bagaimana memandang politik identitas dalam kontestasi politik melalui mekanisme pemilu yang demokratis yang bukan didasari pada ketertindasan atau marjinalisasi masyarakat etnis sehingga berlomba-lomba memperoleh kekuasaan melalui mekanisme pemilu, tetapi lebih kepada kesadaran untuk menyumbang ide dan pemikiran untuk bangsa, yang didasarkan pada nilai-nilai lokal untuk menjadi sebuah jawaban dan solusi atas permasalahan bangsa.

Kata Kunci Politik Identitas, pemilu, demokrasi

270 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 270 12/6/17 3:47 PM 1. Pendahuluan masyarakat menjadi terpecah belah dan Runtuhnya rezim otoriter orde mengarahkan Negara pada keadaan baru untuk kemudian digantikan failed state yang tentunya sangat tidak oleh munculnya gerakan reformasi diharapkan. yang menjunjung tinggi demokrasi, Salah satu tulisan yang mengkaji menimbulkan banyak ekses dalam mengenai politik identitas etnis tersebut segala aspek kehidupan masyarakat di adalah tulisan Donald L. Horowitz (1993) Indonesia, baik itu aspek sosial, budaya, yang berjudul Democracy in Divided ekonomi, hingga tentunya politik. Salah Societies. Dalam tulisannya ini Horowitz satu ekses dari sistem demokrasi yang melihat perkembangan di beberapa diterapkan di Indonesia adalah munculnya Negara di Asia, Afrika, Eropa Timur, fenomena politik identitas. Semua entitas dan Negara-negara pecahan Uni Soviet yang ada di Indonesia berusaha untuk dimana kegagalan demokrasi di Negara- mengekspresikan preferensi politik, yang negara tersebut lebih banyak disebabkan didasarkan pada identitas yang melekat oleh adanya konflik etnis. Demokrasi pada dirinya, baik itu identitas agama, menurut Horowitz, akan selalu berbicara identitas etnis, dan sebagainya. mengenai inklusi dan eksklusi, mengenai Namun dewasa ini, ada satu isu yang akses pada kekuasaan, serta mengenai menjadi perhatian dan permasalahan keistimewaan yang datang bersama bersama yakni, isu kepemimpinan inklusi, dan konsekuensi hukuman yang sebagai ekses dari pemilihan umum datang bersama eksklusi. Dalam Negara- yang dilaksanakan secara langsung. negara yang didalamnya terdapat konflik Kepemimpinan dianggap menjadi akar berbasis etnis, identitas etnis menjadi permasalahan yang menyebabkan sebuah garis pembatas yang jelas untuk terjadinya berbagai masalah di negeri ini. menentukan who will be included and Meledaknya fenomena Jokowi, meskipun who will be excluded (Horowitz, 1993). dengan berbagai kontroversi pro dan Pemaknaaan inklusi dan ekslusi kontranya, cukup untuk membuktikan ini dipengaruhi dan didasarkan benar- bahwa isu kepemimpinan nasional sudah benar kepada identitas etnis. Pemerintah menjadi salah satu isu bersama yang yang berkuasa akan menyingkirkan sangat menarik perhatian masyarakat. kelompok-kelompok lain yang berbeda Pada akhirnya, untuk menjawab secara etnis dengan dirinya, dan etnis permasalahan isu kepemimpinan ini, yang berbeda dari pemerintah yang setiap identitas politik berusaha untuk berkuasa itu akan selalu menjadi oposisi, memunculkan konsep kepemimpinan bukan didasarkan pada perbedaan berdasarkan pada identitasnya tersebut. ideologi, pemikiran, atau konsep tentang Kajian-kajian yang berfokus kepada politik bagaimana mencapai sebuah tatanan identitas yang berbasis etnis ini sudah yang dapat mengakomodasi kepentingan cukup banyak. Namun, kajian-kajian masyarakat agar masyarakat dapat sebelumnya lebih banyak melihat dari sejahtera. Kesimpulan dari tulisan sisi ancaman politik identitas etnis ini Horowitz ini adalah bahwa ekspresi terhadap keberlangsungan demokrasi. politik identitas etnis yang terlalu Politik identitas etnis dapat menyebabkan ekstrim dan tanpa memandang nilai-nilai

Politik Identitas 271

02 JURNAL BAWASLU.indd 271 12/6/17 3:47 PM penting multikulturalisme akan membuat dominasi yang dilakukan oleh satu etnis demokrasi tidak berjalan. Politik identitas terhadap etnis lain yang menyebabkan ini pada akhirnya akan menciptakan perlawanan dan resistensi dari etnis yang konflik antar etnis yang menyebabkan merasa ditindas. Kemunculannya, pada masyarakat menjadi terpecah belah dan akhirnya dapat menjadi hambatan bagi membawa negara pada kondisi failed demokrasi yang bercita-cita mengenai state yang disebabkan oleh etnis yang adanya heterogenitas dan kemajemukan berkuasa akan selalu berusaha agar masyarakat yang dapat mengartikulasikan kekuasaan dan sumber daya yang ada, kepentingannya melalui ekspresi yang mengalir untuk kelompok etnisnya, bukan demokratis. berusaha untuk mewujudkan yang terbaik Namun kedua tulisan tersebut, tidak bagi masyarakatnya. menyinggung bagaimana politik identitas Selain tulisan Horowitz, tulisan etnis yang muncul bukan karena adanya lain yang mengkaji politik identitas konflik etnis yang mendasarinya. Maka dari etnis adalah buku yang berjudul itu, berbeda dengan kajian-kajian diatas, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik dalam kajian ini penulis melihat politik Kebudayaan yang ditulis oleh Yekti identitas dapat muncul dari kesadaran Maunati. Dalam tulisannya, Maunati bahwa ada permasalahan bangsa yang melihat politik identitas masyarakat Dayak dianggap dapat diselesaikan dengan yang mulai muncul sejak runtuhnya orde menerapkan nilai-nilai yang berasal dari baru dan meletusnya konflik etnis yang kearifan lokal budaya, dimana nilai-nilai terjadi di Kalimantan. Menurut Maunati, tersebut bersifat universal dan dapat konflik tersebut merupakan ekses dari diterapkan tanpa mengakibatkan konflik adanya marginalisasi secara ekonomi etnis yang berujung pada terjerumusnya dan politik terhadap etnis Dayak yang Indonesia kedalam kondisi-kondisi yang telah lama dilakukan oleh pemerintahan menjadi ciri dari failed state. orde baru. Disisi lain, ekspansi etnis Madura sebagai pendatang dirasakan 2. Metode Penelitian mengganggu kehormatan etnis Dayak Kajian ini menggunakan studi literatur sebagai masyarakat asli Kalimantan. sebagai metode dengan pendekatan Kemudian dengan mengutip pernyataan kualitatif, dengan mengumpulkan Eriksen (1993), Maunati berargumentasi berbagai sumber bacaan mengenai politik bahwa politik identitas etnis akan bangkit identitas baik yang merupakan sumber ketika kelompok atau etnis itu terancam. primer maupun sumber sekunder sebagai Kedua tulisan diatas meskipun pendukung sumber utama. memiliki lokus dan fokus yang berbeda, Dalam kajian ini penulis menelaah namun memiliki kesamaan perspektif konsep-konsep politik identitas yang dalam melihat politik identitas etnis di kemudian dielaborasikan dengan sebuah negara. Keduanya melihat bahwa fakta-fakta kontemporer, yang pada kemunculan politik identitas berawal dari akhirnya menghantarkan penulis kepada konflik etnis yang dapat menyebabkan suatu pemikiran yang argumentatif masyarakat yang terpecah belah. Politik dalam memilah fakta dan konsep yang identitas muncul akibat adanya sebuah menampakkan dirinya yang berkaitan

272 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 272 12/6/17 3:47 PM dengan politik identitas sebagai sebuah objek yang dapat mengkategorikan, keniscayaan yang tidak bisa dinafikan mengklasifikasikan, atau menamai dirinya melekat dalam demokrasi dan hadir dalam cara-cara tertentu dalam kaitannya dalam pemilu di Indonesia. dengan kategori atau klasifikasi sosial lainnya (Stets and Burke, 2000). Stets 3. Perspektif Teori dan Burke kemudian menambahkan Menurut Anthony Giddens, bahwa konsekuensi dari kategorisasi identitas diri dipahami dengan keahlian diri ini adalah adanya penekanan dari menarasikan tentang diri, dengan kesamaan persepsi antara diri dan demikian menceritakan perasaan yang anggota lain di dalam kelompok, dan konsisten tentang kontinyuitas biografi. adanya penekanan terhadap perbedaan Cerita identitas berupaya menjawab persepsi antara diri dan orang lain diluar pertanyaan-pertanyaan kritis: Apa yang kelompok. Penekanan atas kesamaan dikerjakan? Bagaimana melakukannya? dan perbedaan ini dilakukan berdasarkan Siapa yang menjadi? Seseorang berusaha pada semua sikap, keyakinan dan nilai- mengkonstruksi cerita identitas yang nilai, reaksi afektif, norma perilaku, gaya saling bertalian di mana diri membentuk berbicara, dan properti lainnya yang lintasan perkembangan dari pengalaman diyakini berkorelasi dengan kategorisasi masa lalu menuju masa depan (Giddens, kelompok yang relevan. 1991). Identitas maupun etnisitas Seperti yang dikatakan lebih diciptakan oleh proses sejarah yang lanjut oleh Sets dan Burke, bahwa menggabungkan kelompok-kelompok sebuah identitas sosial yang menonjol sosial yang berbeda ke dalam suatu adalah identitas yang berfungsi secara struktur politik yang tunggal di bawah psikologis untuk meningkatkan pengaruh kondisi-kondisi sosial tertentu (Schultz, keanggotaan seseorang dalam kelompok Emily and Lavenda, 2001). Giddens itu pada persepsi dan perilaku. Untuk menegaskan bahwa etnisitas itu selalu membuat identitas itu menonjol, berpusat pada identitas individu dan diperlukan adanya komitmen dari para kelompok. Pentingnya identitas ini anggota kelompok tersebut. Komitmen bagi sebuah kelompok etnik, menurut ini memiliki dua aspek, yakni, pertama Giddens lagi, dikarenakan “It can provide adalah kuantitatif-jumlah orang kepada an important thread of continuity with siapa yang diikat melalui identitas. past and is often kept alive through the Semakin banyak orang yang terikat practice of cultural traditions” (Giddens, dengan memegang identitas (yaitu, 1991). semakin besar melekatnya identitas Sebuah identitas tentunya tidak dalam struktur sosial), semakin besar terbentuk begitu saja tanpa melewati kemungkinan adalah bahwa identitas akan berbagai proses. Menurut Jan E. Stets diaktifkan dalam suatu situasi. Singkatnya, and Peter J. Burke mengemukakan semakin kuat komitmen, semakin besar bahwa Identitas dapat terbentuk melalui ciri khas tersebut; Kedua dari komitmen proses kategorisasi dan identifikasi diri, adalah kualitatif, yakni kekuatan relatif dimana proses tersebut adalah proses atau kedalaman hubungan dengan orang merefleksikan diri menjadi sebuah lain. Hubungan yang lebih kuat kepada

Politik Identitas 273

02 JURNAL BAWASLU.indd 273 12/6/17 3:47 PM orang lain melalui memimpin identitas tumbuh subur dan berkembang secara ke identitas lebih menonjol (Stets and pesat dan menjadi bagian dari proses Burke, 2000). perkembangan demokrasi itu sendiri. Namun, kemunculan politik identitas 4. Hasil dan Pembahasan ini banyak mendapat sorotan dan 4.1. Politik Identitas dalam Negara pandangan dari banyak ilmuwan sosial. Hal Demokrasi ini dikarenakan, munculnya kekhawatiran Politik identitas dalam sebuah dari para ilmuwan sosial bahwa politik Negara demokrasi merupakan sebuah identitas akan menjadi sebuah tantangan keniscayaan. Kemunculannya merupakan dan hambatan bagi demokrasi karena salah satu konsekuensi logis dari dianggap dapat membuat masyarakat diterapkannya paham demokrasi dalam menjadi terpecah belah dan terpolarisasi sebuah Negara, dimana salah satu asas berdasarkan identifikasi identitasnya demokrasi yang paling penting adalah masing-masing, sehingga dapat secara pemenuhan hak-hak dasar masyarakat langsung mengancam nasionalisme yang dijunjung tinggi oleh Negara. Hak- dan pluralisme sebuah Negara. Namun hak dasar tersebut diantaranya adalah demikian, tidak sedikit pula yang freedom of expression yang menjamin berpendapat bahwa politik identitas ini setiap individu untuk menentukan tidak akan mengancam nasionalisme preferensi politiknya, tentang suatu dan pluralisme sebuah negara, jika para masalah, terutama yang menyangkut ilmuwan politik mencarikannya sebuah dirinya dan masyarakat di sekitarnya. konsep agar menjadi cara sehingga politik Freedom of expression ini yang menjadi identitas tidak menjadi sandungan bagi dasar bagi beberapa individu yang merasa demokrasi itu sendiri. memiliki kesamaan baik secara pemikiran, Kajian mengenai politik identitas ideologi, dan identifikasi tertentu untuk ini mulai menarik perhatian para sepakat membentuk sebuah identitas ilmuwan sosial pada 1970-an, bermula dengan tujuan mengartikulasikan di Amerika Serikat. Ketika itu pemerintah kepentingan yang didasarkan pada AS menghadapi masalah minoritas, identitas tersebut. jender, feminisme, ras, etnisitas, dan Politik identitas ini, terbentuk kelompok-kelompok sosial lainnya sebagai wujud dari interaksi yang yang merasa terpinggirkan, merasa terjadi antara nilai-nilai demokrasi yang teraniaya. Kemudian, didasarkan pada menjadi mainstream dengan nilai-nilai kesamaan-kesamaan tersebut, mereka lokal atau nilai-nilai lain yang sudah mencoba untuk menuntut hak-haknya terbentuk sebagai sebuah struktur sosial agar dipenuhi oleh negara. Dalam di masyarakat. Persinggungan diantara perkembangan selanjutnya cakupan nilai-nilai demokrasi dengan nilai-nilai politik identitas ini meluas kepada lokal yang sudah ada di masyarakat, masalah agama, kepercayaan, dan serta ditambah kesadaran masyarakat ikatan-ikatan kultural yang beragam, sebagai sebuah entitas dalam demokrasi hingga kepentingan-kepentingan lain yang perlu dijunjung tinggi hak-hak yang diartikulasikan sebagai identitas dasarnya, membuat politik identitas diri dan kelompoknya. Kemunculan

274 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 274 12/6/17 3:47 PM politik identitas ini disebabkan oleh Negara yang memiliki keragaman beberapa hal, diantaranya adalah adanya etnis dan budaya yang memiliki nilai, perlakuan yang tidak adil terhadap kaum pandangan, identifikasi, dan kearifannya minoritas dan ingin diberlakukannya masing-masing. Setiap etnis ini tentunya prinsip persamaan (equality) dalam juga memiliki cara yang berbeda dalam masyarakat luas. Kemudian, selain itu, beradaptasi dan berinteraksi dengan politik identitas ini muncul karena adanya sistem demokrasi yang diterapkan di kepentingan anggota-anggota sebuah Indonesia untuk tetap menjaga eksistensi kelompok sosial yang merasa diperas etnis dan kebudayaannya. Ada yang dan tersingkir oleh dominasi arus besar mengekspresikan identitas etnisnya dalam sebuah bangsa atau negara. namun tetap berusaha untuk berada Di Indonesia sendiri, isu-isu dalam jalur nasionalisme ke-Indonesia-an, mengenai politik identitas sudah banyak ada pula yang dengan ekstrim berekspresi bermunculan. Disini politik identitas lebih untuk menunjukkan perbedaannya dan terkait dengan masalah etnisitas, agama, ingin melepaskan diri dari kesatuan dan ideologi, dan kepentingan-kepentingan integrasi bangsa Indonesia. Ungkapan- lokal yang diwakili pada umumnya oleh ungkapan seperti “Presiden Indonesia para elit dengan artikulasinya masing- haruslah orang jawa”, “sudah saatnya masing. Bahkan politik identitas banyak kepemimpinan sunda muncul menjadi menjadi hal yang mendasari sebuah presiden” menjadi contoh ekspresi politik gerakan untuk menekan pemerintah agar identitas berbasis etnis namun masih dapat memenuhi tuntutan-tuntutan yang dalam kapasitas etnisnya sebagai bagian menjadi kepentingan identitasnya. Kita bisa dari integritas bangsa. Berbeda halnya melihat bagaimana kelompok-kelompok dengan gerakan separatis seperti OPM yang merupakan wujud politik identitas (Organisasi Merdeka) di Papua berbasis agama seperti Hizbuttahrir atau GAM (Gerakan Merdeka) di Indonesia, yang dengan konsep Daulah Aceh yang menyatakan bahwa mereka Khilafiah-nya mencoba untuk mengubah bukanlah bagian dari Indonesia maka dari Indonesia menjadi Negara dengan sistem itu harus memisahkan diri dari Indonesia khilafah. Atau Front Pembela Islam yang dan mendirikan Negara sendiri. teridentifikasi sebagai bentuk radikalisme Hal ini tentunya membuat kajian islam, melakukan segala cara bahkan mengenai politik identitas berbasis hingga melakukan kekerasan untuk etnisitas menjadi sangat penting, untuk menegakkan syariat islam. Politik identitas menghindari ekspresi politik identitas berbasis agama ini yang banyak dipandang yang berlebihan yang dapat mengancam sebagai ancaman bagi pluralitas dan integritas bangsa Indonesia, tetapi lebih integrasi bangsa Indonesia. lanjut mengarahkan politik identitas ini Selain politik identitas yang berbasis sebagai ekspresi yang dapat membantu agama, etnisitas juga merupakan basis Indonesia dalam perjalanannya menuju yang sering mendasari munculnya demokrasi yang dapat mengadaptasi politik identitas di Indonesia. Hal ini kearifan-kearifan lokal yang ada di tentunya bukan merupakan sesuatu yang Indonesia dan mengakomodasi semua mengejutkan karena Indonesia merupakan kepentingannya.

Politik Identitas 275

02 JURNAL BAWASLU.indd 275 12/6/17 3:47 PM 4.2 Etnis Sebagai Basis Politik Identitas identitas dapat memunculkan toleransi Politik identitas pada hakikatnya dan kebebasan, namun di lain pihak, merupakan sebuah fenomena menarik politik identitas juga akan memunculkan pasca usainya perang dunia II, yang juga pola-pola intoleransi, kekerasan, dan mengawali kebangkitan perang dingin pertentangan etnis. hingga usainya pada akhir dekade 90-an. Melengkapi perspektif sebelumnya, Hal ini menarik mengingat politik identitas Kemala Chandrakirana (1989) dalam menjadi “senjata” tersendiri bagi kaum artikelnya “Geertz dan Masalah minoritas dalam memperjuangkan hak- Kesukuan” menuturkan bahwa politik hak dasarnya. Hal ini senada dengan apa identitas biasanya digunakan oleh yang diutarakan oleh Kauffman, Menurut para pemimpin sebagai retorika politik Kauffman (dalam Maarif, 2012) politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” identitas diawali dari adanya kepentingan yang menghendaki kekuasaan dan anggota-anggota sebuah kelompok sosial mereka bagi “orang pendatang” yang yang merasa tersingkir oleh dominasi harus melepaskan kekuasaan. Jadi, kelompok lainnya di dalam sebuah singkatnya politik identitas sekedar bangsa atau negara. Politik identitas, yang untuk dijadikan alat untuk menggalang muncul pada 1970-an di Amerika Serikat, politik guna rnemenuhi kepentingan banyak berbicara mengenai isu gender, ekonomi dan politiknya. Pendapat feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok tersebut juga sekaligus mengelaborasi sosial lainnya yang merasa terpinggirkan kemungkinan kedua yang dikemukakan dan teraniaya. oleh Heller perihal pola intoleransi Jauh sebelum fenomena perang maupun pertentangan etnis. dingin dan kebangkitan budaya pop, Praktik-praktik perebutan kekuasaan praktek politik identitas sejatinya oleh kaum minoritas yang terlembagakan telah berlangsung dari masa ke masa. dapat dilihat dari bagaimana Louis Perlawanan terhadap kolonialisme Farrakhan dengan The Nation of Islam- di berbagai negara Asia juga diawali nya di Amerika Serikat, Martin Luther melalui semangat etnisitas dan kelompok King dan Malcolm X dengan gerakan kulit minoritas. Hanya memang politik hitam nya yang juga berbasis di Amerika identitas tersebut baru terkonsepsi secara Serikat, serta bagaimana negara-negara terminologis pasca lahirnya pemikir- pecahan Uni Soviet dengan identitas nya pemikir ulung seperti halnya Antonio masing-masing berhasil memerdekakan Gramsci, Gayatri C. Spivak, dan sarjana diri. Bentuk paling ekstrim dari politik lainnya yang memodifikasi politik identitas identitas, yakni separatisme, juga dapat dengan mengikuti perkembangan zaman. dilihat dari bagaimana wilayah Quebec Agnes Heller (Ubed Abdillah, 2002: (berbahasa dan berbudaya Prancis) yang 22) memiliki pandangan yang lebih ingin merdeka dari Kanada (berbahasa spesifik mengenai politik identitas itu Inggris), serta dewasa ini wilayah sendiri. Heller menilai bahwa politik Catalunya yang ingin memisahkan diri identitas adalah strategi politik yang dari Kerajaan Spanyol. memfokuskan pada pembedaan sebagai “Medan perang” yang legal bagi kategori utamanya. Menurutnya politik para pelaku politik identitas sendiri

276 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 276 12/6/17 3:47 PM merujuk pada representasi demokrasi Kekuatan ideologi politik pun tak yakni pemilihan umum maupun jajak kalah sengit. Dalam percaturan politik pendapat. Catalunya sendiri telah berhasil Indonesia, beberapa ideologi mulai mendorong ke arah tersebut walaupun dari yang diimpor langsung dari luar hambatan teknis dan besar masih seperti sosialisme, komunisme, dan melanda, khususnya dari kerajaan Spanyol nasionalisme, hingga ideologi lama seperti dan Negara-negara Uni Eropa. Dalam tradisionalisme jawa, cukup memberikan skup yang lebih kecil, fenomena politik situasi dinamis dalam sejarah perpolitikan identitas di Indonesia juga pernah Indonesia. Komunisme, yang notabennya mengemuka baik masa pra kemerdekaan merupakan ideologi terlarang dewasa ini, maupun pasca kemerdekaan. Kebanyakan bahkan sempat menjadi panglima pada dari aktor tersebut berasal dari identitas periode 1959-1965 (Mortimer, 2006: 1) kekuatan agama, kekuatan ideologi dimana kader-kadernya berhasil mengisi politik, dan kekuatan etnis. pos strategis di pemerintahan pusat Kekuatan agama sebagai wujud bahkan pemerintahan desa. Dinamika politik identitas di Indonesia diwarnai oleh tersebut, lagi-lagi mengendur dibawah corak-corak menarik yang diberikan oleh kepemimpinan Soeharto karena adanya Sarikat Islam pada masa prakemerdekaan. upaya generalisasi ideologi yang mengacu Transformasi kekuatan kelompok Islam pada Pancasila versi pemerintah. kemudian dilanjut oleh dua kutub Terakhir ialah kekuatan etnis. Kekuatan kekuatan. Yang pertama ialah kekuatan etnis sendiri bukan lah barang aneh jika moderat yang diprakarsai pimpinan kita menilik pada keragaman budaya Masyumi dalam Majelis Konstituante dan suku yang terdapat di Indonesia. (1956-1959) dan kekuatan radikal yang Beberapa perang kemerdekaan, seperti diwakili oleh Darul Islam pimpinan S.M halnya perang Aceh dan Pemberontakan Kartosoewirjo yang kemudian berhasil Nuku menggambarkan bahwa identitas ditumpas oleh pemerintahan Soekarno. etnis pernah menjadi kekuatan positif Estafet kekuatan Islam dalam kontestasi yang mampu memberikan perlawanan politik kemudian mengendur dibawah besar terhadap kolonialisme. Pasca kepemimpinan rezim Soeharto, hingga kemerdekaan, praktik-praktik politik kemudian babak baru kekuatan Islam identitas dalam bentuk ekstrim politik sebagai syariat negara mengemuka (separatisme) lahir akibat ketidakpuasan kembali pasca masuknya Hizbut Tahrir daerah terhadap pemerintahan muda Indonesia (HTI) dan berdirinya Front Soekarno. Sebut saja Republik Maluku Pembela Islam (FPI) serta Majelis Selatan (RMS), dan periode selanjutnya Mujahidin Indonesia (MMI). Di sisi dilanjut oleh lahirnya Gerakan Aceh lain, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Merdeka (GAM), serta Gerakan Papua sebagai wujud baru gerakan tarbiyah Merdeka (GPM). Rekonsiliasi di wilayah yang mendamba lahirnya negara syariah Aceh bahkan melahirkan wajah menarik juga muncul sebagai poros kekuatan dalam kontestasi politik dimana pada baru Islam yang moderat dan bersedia prosesnya kemudian, banyak partai-partai mengikuti mekanisme demokrasi. lokal Aceh yang mengikuti Pemilihan Umum.

Politik Identitas 277

02 JURNAL BAWASLU.indd 277 12/6/17 3:47 PM Kemudian dalam skup yang lebih yang berhasil menancapkan kukunya lebih mikro, politik identitas di Indonesia juga dalam lagi pada era reformasi adalah tidak bisa dipisahkan dari fenomena ‘broker lama’ yang pada masa sebelumnya local strongmen khususnya di daerah- telah menjadi klien penguasa orde baru. daerah. Penulis tidak menarik jauh pada Tetapi karena kemampuannya untuk masa feodalisme karena pada masa ini, melakukan reorganisasi kekuatan –selama kekuasaan di daerah dikuasai oleh hukum masa transisi menuju demokrasi- mereka adat tradisional yang bersifat totaliter berhasil memanipulasi state of minds dengan mencitrakan masyarakat sebagai publik sehingga menempatkan orang “hamba” (Agustino, 2014), namun penulis kuat lokal menjadi semakin berkuasa mencoba merujuk pada periodisasi dan berpengaruh di banding masa kedatangan kolonial, dimana pada masa- sebelumnya” masa tersebut, local strongmen memiliki Perpaduan local strongmen dengan citra positif akibat adanya pembelaan kebangkitan politik identitas di daerah, terhadap kepentingan rakyat yang sejatinya dapat memicu fenomena- tertindas. Sayangnya, pasca kemerdekaan, fenomena yang cukup menarik, entah terlebih pada masa kepemimpinan bermuara ke hasil positif maupun negatif. Soeharto, local strongmen dibentuk Beberapa kasus di Indonesia di antaranya sebagai kepanjangan tangan pusat, dan ialah perseteruan Kristen dan Muslim bahkan cenderung menjadi kekuatan di Ambon serta tempat-tempat lain di baru daerah yang sejatinya menjadi Maluku, kemudian kompetisi kekuasaan pengejawantahan pusat. di kesultanan Ternate dan Tidore yang Agustino kemudian memaparkan melahirkan friksi politik yang tajam di aras bahwa local strongmen mengalami lokal di Maluku Utara (Van Klinken, 2007), pergeseran peran pasca reformasi. persaingan etnik di Kalimantan Tengah Perbedaan haluan dari ‘politik lama’ yang perlahan berkembang menjadi yang tersentralisasi dan terkontrol kepada pertentangan dalam pemilihan umum ‘politik baru’ yang lebih terdesentralisasi dan Pilkada (Tansaldy, 2007), hingga dan egaliter. Menurutnya: perseteruan antar elit dalam rangka “setelah melewati bulan madu pembentukan daerah otonomi baru. reformasi yang sebentar, para broker politik dan local strongmen di level 4.3 Politik Etnis dan Upaya Mengelola lokal mulai mengambil alih kekosongan Pemilu yang Demokratis maupun memperkuat akses kontrolnya Dalam perkembangnya, demokrasi terhadap politik lokal. Para broker dan saat ini memasuki tahap representasi local strongmen yang mengambil alih politik yang tinggi. Pemilihan umum kekosongan pemain dalam arena politik dianggap sebagai sarana partisipasi lokal orde reformasi biasanya adalah politik. Pemilihan umum atau demokrasi ‘broker lama’ yang pada masa sebelumnya prosedural ini adalah pengejawantahan tidak mampu atau tidak mendapatkan dari pengertian pemerintahan yang kesempatan untuk bersaing dengan local diselenggaralan dari rakyat, oleh rakyat strongmen sokongan rezim orde baru. dan untuk rakyat. Pemilu adalah lembaga Sedangkan broker dan local strongmen sekaligus prosedur praktik politik untuk

278 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 278 12/6/17 3:47 PM mewujudkan kedaulatan rakyat yang kompeten dalam perjuangan kompetitif memungkinkan terbentuknya sebuah untuk suara dan kekuasaan (Held, 2007). pemerintahan perwakilan (representative Seperti lazimnya kontes atau government) yang menurut Robert Dahl kompetisi lain, dalam proses demokrasi merupakan gambaran ideal dan maksimal peserta-peserta juga harus menyiapkan bagi suatu pemerintahan demokrasi di diri menjadi yang paling layak untuk zaman modern. Lev mendeskripsikan menang. Dalam hal pemilihan umum ini, demokrasi sebagai ‘virtous conceit’ yang peserta pemilihan umum dituntut untuk berarti bahwa demokrasi adalah sistem menggunakan berbagai cara agar menjadi pemilihan representatif dengan aktualisasi layak dipilih oleh masyarakat, atau paling dan potensi partisipasi yang derajatnya tidak terlihat layak dipilih. Pada akhirnya cukup tinggi (Kingsbury, 2007). Demokrasi pemilihan umum dimaknai sebagai proses kini tidak dapat secara harfiah hadir demokrasi untuk menentukan aktor-aktor sebagai pemerintahan oleh rakyat, rakyat yang menduduki jabatan pemerintah harus menunjuk wakil-wakilnya untuk yang nantinya berperan besar dalam mengelola negara. Nilai-nilai demokrasi penentuan arah pemerintahan. yang mementingkan kepentingan rakyat Pemilu sebagai salah satu mekanisme tentu tidak dapat begitu saja dihilangkan demokrasi menjadi elemen kunci dalam demokrasi kekinian. Pihak yang dalam demokrasi itu sendiri. Tanpa dipilih oleh masyarakat sebagai wakilnya kompetisi pemilu bebas, adil dan teratur, harus benar-benar mampu menjadi wakil pemerintah tidak dapat diadakan benar- dan mendapat legitimasi dari masyarakat. benar bertanggung jawab terhadap Schumpeter mendefinisikan rakyat. Pemilu adalah sebuah mekanisme demokrasi sebagai kompetisi terbuka politik untuk mengartikulasikan aspirasi diantara seluruh pemimpin politik dan kepentingan warga Negara. dimana peran masyarakat adalah Setidaknya ada empat fungsi pemilu yang mengalokasikan legitimasi kepada terpenting: legitimasi politik, terciptanya seseorang atau sekelompok orang yang perwakilan politik, sirkulasi elite politik, akan menjadi penguasa (Kingsbury, dan pendidikan politik (Hikam, 1999). 2007). Demokrasi sebagai sebuah model Karenanya, pemilihan umum hingga saat politik, sebuah mekanisme untuk memilih ini adalah salah satu sistem yang paling pemimpin politik dan kemampuan representatif atas berjalannya proses dalam memilih para pemimpin politik demokrasi, hingga ada sebuah adagium pada saat pemilihan. Menurutnya, bahwa “tidak pernah ada demokrasi metode demokratis adalah penataan tanpa pemilihan umum”. kelembagaan untuk sampai kepada Dalam sudut pandang representasi, keputusan politik di mana individu meraih teori identitas sosial bisa digunakan kekuasaan untuk mengambil keputusan untuk menjelaskan berhubungan antar melalui perjuangan kompetitif untuk kelompok-yaitu, bagaimana orang datang meraih suara. Demokrasi itu seperti untuk melihat diri mereka sebagai ‘pasar’, satu mekanisme institusional anggota dari satu kelompok / kategori untuk menyisihkan yang terlemah (in-group) dibandingkan dengan yang dan mendukung mereka yang paling lain (out-group), dan konsekuensi dari

Politik Identitas 279

02 JURNAL BAWASLU.indd 279 12/6/17 3:47 PM kategorisasi ini, seperti etnosentrisme terlibat dalam pemilu dapat memanipulasi (Turner et al. 1987). Identitas kultural identitas etnis sebagai alat memperoleh – apakah ia dipahami dalam kaitan kekuasaan dan meributkan hasil pemilu. dengan identitas ikatan persaudaran, ras, Beberapa konflik pemilu daerah yang ataupun etnik – dibangun dalam konteks terjadi akibat mobilisasi dukungan politik yang berhadap-hadapan dengan yang identitas untuk kepentingan elit jangka lain. Oleh karenanya, batas-batas yang pendek. Simbolisasi ini dengan mudah akhirnya menjadi diakui antar kelompok kita temukan dalam slogan “putra etnik adalah produk dari definisi diri daerah”, seperti yang terjadi dalam secara internal dan definisi eksternal oleh pilkada DKI Jakarta tahun 2012 dengan yang lain. Tentunya, rasa kepemilikan identitas betawi dan bukan betawi, kelompok dan kemampuan membedakan pilgub Maluku Utara antara kelompok kelompoknya sendiri dengan kelompok Tidore dan Ternate yang sampai masuk yang lain, merentang jauh ke belakang ke ranah sengketa pemilu di Mahkamah dalam sejarah masa lalu (Schultz, Emily Konstitusi (Salim, 2015). Yang menarik and Lavenda, 2001). Memiliki identitas bahwa kebangkitan symbol “putra sosial tertentu berarti menjadi satu daerah” sejalan dengan kebangkitan dengan kelompok tertentu, menjadi local strongmen yang juga terlibat dalam seperti orang lain dalam kelompok, kontestasi pemilu. Terutama setelah dan melihat sesuatu dari perspektif kebijakan pemilu kepala daerah langsung. kelompok. Hal mengenai pembentukan Masyarakat dengan mudah digiring kepada identitas politik ini yang kemudian isu-isu primordial atas nama kedaerahan serupa dengan pelekatan identitas dan putra daerah yang semu. Bukan pemimpin populis yang selalu mengacu kepada gagasan membangun daerah ‘atas nama rakyat’ yang membedakan dengan kekhasan nilai-nilai lokal namun kedudukan antara ‘Kita Vs Mereka’, semata memperoleh kekuasaan elit local dimana ‘kita’ adalah lowest sector strongmen/putra daerah tersebut dengan society yang diperjuangkan dan ‘mereka’ modal politik identitas. adalah para elit politik yang dianggap Identitas yang bersifat primordial tidak peduli dan bertanggungjawab semacam ini lah yang memang perlu terhadap masalah publik terutama diluruskan dan diwaspadi sebagai masyarakat yang tereksklusi. Identitas bibit konflik yang mengancam proses ini menjadi instrumen demokrasi yang demokratisasi pemilu. Tidak hanya membuat para aktor politik identitas mengancam konflik komunal, tetapi juga berjuang untuk meraih kesetaraan politik melanggar substansi representatif pemilu dengan memasuki ranah politik, dimana karena politik identitas dimaknai hanya demokrasi sejatinya juga memberi sebatas kendaraan politik para “elit lokal” mereka kesempatan untuk tidak lagi untuk masuk ke dalam pusaran sirkulasi tereksklusikan dari politik. elit yang diproseskan lewat pemilu dengan Politik identitas yang bersifat memanipulasi dukungan kelompok etnis. material dan hanya digunakan untuk Hal ini memunculkan tantangan bagi memperebutkan kekuasaanlah yang masyarakat etnis dalam mewujudkan nilai- mengancam kohesi sosial. Elit politik yang nilai kepemimpinan berdasarkan kearifan

280 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 280 12/6/17 3:47 PM lokal etnisitas agar dapat diartikulasikan penuh dalam berbagai bidang kegiatan dalam sebuah kepemimpinan daerah masyarakat terutama dalam pemilihan maupun nasional, yang berarti masyarakat umum. etnis harus membuat nilai-nilainya Dengan kebangkitan politik identitas dapat pula diterima oleh identitas etnis etnis, Indonesia tidak kembali mundur lain yang ada di Indonesia. Tentunya ke era pemilih kultural namun, basis untuk menghindari etnosentrisme yang etnis ini dapat dipahami secara rasional justru, dengan kondisi sosial masyarakat tidak hanya sebatas kesamaan etnis atau Indonesia yang beragam dan majemuk, sebatas figure aktor politik yang mewakili akan memicu potensi konflik. Padahal etnis tertentu, tapi melihat nilai politik dengan memberi ruang kepada politik identitas yang dibawa oleh figur calon identitas, kemungkinan memperbesar sesuai dengan kearifan lokal identitas potensi partisipasi politik masyarakat tersebut atau tidak. Sehingga tuduhan- daerah bisa lebih tinggi. Demokratisasi tuduhan pemilih kultural, pemilih irasional dan desentraslisasi harus menjadi alasan tidak lagi tersemat dan terstereotipkan utama meningkatnya partisipasi politik kepada masyarakat Indonesia yang masyarakat melalui politik identitas. memang memilih berdasarkan preferensi Tidak lagi ada ekslusi, inferioritas dan politik identitas etnis. keterkungkungan menentukan nasib Politik identitas etnis harus digiring daerah, karena melalui pemilu langsung sebagai kesadaran bersama memperkaya daerah, masyarakat menentukan kearifan lokal dalam mengisi konsep- representasinya untuk mengubah nasib konsep kepemimpinan dan pembangunan dan wajah daerahnya secara sadar dan di Indonesia, bukan semata menjadi bertanggung jawab bersama. kendaraan politik para elit dengan Untuk itu, masyarakat etnis harus mengatasnamakan etinisitas untuk terlibat kembali menonjolkan bahwa nilai-nilai dalam sirkulasi elit lewat mekanisme kepemimpinan berdasarkan keraifan pemilu. Hal ini yang sebenarnya perlu lokal etnisitas yang harus dijunjung tinggi dihindari. Oleh sebab itu, diperlukan menjadi sebuah nilai yang universal bukan penguatan institusi politik untuk mengedepankan “keakuan” identitas memberikan sosialisasi dan pendidikan etnis semata. Masyarakat etnis harus politik mengenai politik identitas yang memiliki paham multikulturalisme, esensial mengenai perjuangan hak dimana multikulturalisme mengakui dan gagasan politik. Partai politik juga berbagai potensi dan legitimasi keragaman tidak boleh menutup mata dan hanya dan perbedaan sosio-kultural tiap-tiap menggunakan politik identitas sebagai kelompok etnis, ras, agama, dan entitas bahan marketing saja. Tentu saja ini kebudayaan. Dalam pandangan ini baik menjadi tugas bersama, baik dari lembaga sebagai individu maupun kelompok dari penyelenggara pemilu, partai politik, berbagai kesatuan sosial bisa bergabung hingga budayawan dan tokoh masyarakat dalam masyarakat, terlibat dalam societal di daerah. cohesion tanpa harus kehilangan identitas Membumikan nilai-nilai kearifan lokal kulturalnya, sekaligus tetap memperoleh sebagai dasar pijakan berpolitik dengan hak-hak mereka untuk berpartisipasi identitas etnis adalah sebuah hak asasi

Politik Identitas 281

02 JURNAL BAWASLU.indd 281 12/6/17 3:47 PM yang melekat pada manusia. Sebuah politik identitas yang berbasis etnis, keniscayaan demokrasi yang dilindungi dan bukan berarti kita kembali kepada wajib dijaga demi tercapainya kehidupan sebuah bentuk primordialisme, tetapi demokrasi yang lebih baik. Sehingga bagaimana menciptakan sebuah nilai Indonesia bisa lebih kaya memproduksi multikulturalisme yang bisa diartikulasikan pengetahuan melalui konsep-konsep dan secara universal. Multikulturalisme gagasan lokal tentang kehidupan politik, lebih sekadar dari pengakuan terhadap sosial, ekonomi, pembangunan dan perbedaan, tetapi membuka ruang sebagainya yang memang lebih cocok untuk akses dan berekspresi bagi semua karena hasil ekstraksi dari kebudayaan elemen keanekaragaman tersebut dengan luhur bangsanya sendiri seperti halnya bersandar pada jati diri masing-masing, pancasila. Apabila demokrasi Indonesia dan kemudian saling berkomunikasi tanpa yang saat ini diakui adalah demokrasi harus saling mematikan satu sama lain. pancasila, maka menjadi kewajiban Pun demikian dengan kepemimpinaan Negara, setiap etnis dan setiap suku etnis, jika ingin diekspresikan sebagai di Indonesia dikembangbiakan bibit sebuah bentuk identitas politik dan dapat demokrasi yang terus menghidupkan diwujudkan secara nyata, adalah dengan pancasila sebagai landasan politik mencirikan dirinya sebagai paham, jalan keberagaman. kehidupan yang universal, didasarkan bukan karena balas dendam masa lalu 5. Simpulan yang merasa tereksklusi politik nasional, Kajian budaya politik yang tetapi sebagai wujud sumbangsih bagi kebanyakan menyoroti perilaku politik demokratisasi di Indonesia agar berjalan ke yang didasarkan pada etnisitas tertentu arah yang sesuai dengan harapan, dengan dan menganggapnya sebagai bagian cara berusaha mengartikulasikan nilai- dari hambatan demokratisasi, haruslah nilai kearifan lokal yang diejawantahkan dirubah. Kita harus memandang politik dalam kepemimpinan etnis baik daerah identitas etnis dari sudut pandang maupun nasional. nilai-nilai etnis yang ada di Indonesia Pemilu dengan politik identitas sebagai suatu nilai yang universal dan jangan lagi dipandang menjadi momok dapat diterima dan diaplikasikan dalam de-demokratisasi Indonesia melainkan pemikiran dan perilaku masyarakat menjadi ciri khas demokrasi Indonesia Indonesia secara keseluruhan, dengan yang mengakui ragam identitas dan harapan dapat membawa arah merestuinya untuk berkontestasi secara demokratisasi ke arah yang lebih baik. sehat melalui mekanisme pemilu yang Merenungkan kearifan lokal bukan demokratis. Tidak hanya aktor politik berarti kembali ke masa lalu atau identitasnya saja sebagai subjek pemilu, menjadi masyarakat tradisional lagi, tetapi juga mempromosikan nilai-nilai namun mencari mutiara-mutiara para identitas dalam bingkai kearifan lokal yang leluhur dan menjadikannya sebagai disebarluaskan untuk secara konstruktif pegangan setiap langkah ke depan. membangun Indonesia menjadi lebih Begitu pun ketika memandang sebuah baik. Sehingga dalam hal ini politik identitas etnis bukanlah sesuatu yang

282 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 282 12/6/17 3:47 PM dapat mengancam integrasi dan kesatuan, akan mengantarkan kita untuk dapat namun sebuah kearifan lokal yang memprediksi apa yang terjadi di masa universal, nilai-nilai budaya etnis yang mendatang, tentunya untuk tujuan multikultural, yang dapat menjaga masyarakat yang lebih baik mencapai harmonisasi dalam kemajemukan dan negara demokrasi yang sejahtera, seperti pluralitas budaya di Indonesia, juga diungkap oleh John Naisbitt, “the most sebagai jawaban atas krisis kepemimpinan reliable way to forecast the future is to try saat ini. Fenomena ini penting untuk understand the present” (Alfian, 2009). dikaji karena mempelajari kondisi kekinian

Politik Identitas 283

02 JURNAL BAWASLU.indd 283 12/6/17 3:47 PM DAFTAR PUSTAKA

Abdillah. U. (2002). Politik Identitas Etnis. Magelang: Indonesia Tera. Agustino, L. (2014). Politik Lokal dan Otonomi Daerah. Bandung: Alfabeta. Alfian, M. A. (2009). Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Chandakirana, K. (1989). Geertz dan Masalah Kesukuan. Jakarta. Prisma No. 2/1969 Gaffar, A. (2006). Politik Indonesia, Sebuah Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Held, David. (2007). Models of Democracy. Jakarta : Akbar Tandjung Institute. Hikam, Muhammad AS. 1999. Politik Kewarganegaraan : Landasan Redemokrasi di Indonesia. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama. Horowitz, D. L. (1993). The Challenge of Ethnic Conflict: Democray in Divided Societies. Journal of Democracy vol. 4, no. 4. Gandhi, L. (2006). Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta:Qalam Giddens, A. (1991). Modernity and Self-Identity. California: Stanford University Press. Kingsbury, D. (2007). Political Development. New York : Routledge. Maarif, A. Syafii. (2012). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme. Kita Jakarta: Democracy Project. Maunati, Y. (2004). Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS Mortimer, R. (2006). Indonesian Communism Under Soekarno: Ideology and Politics, 1959-1965. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Salim, K. (2015). Politik Identitas di Maluku Utara. Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan Vol 11 No. 02. 2015. Schultz., et.al (2001). Anthropology: A Perspective on the Human Condition, Third Edition. USA: St. Cloud State University Stets & Burke. (2000). Identity Theory and Social Identity Theory. Social Psychology Quarterly, Vol. 63, No. 3. American Sociological Association. Van Klinken, G. (2007). Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small Town Wars. London: Routledge.

284 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 284 12/6/17 3:47 PM Jurnal Bawaslu ISSN 2443-2539 Paskarina, C. Vol.3 No. 2 2017, Hal. 285-297

NARASI IDENTITAS POPULIS DALAM DEMOKRASI ELEKTORAL

Caroline Paskarina Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Padjadjaran/Jatinangor, Indonesia, [email protected]

ABSTRACT

This article discusses how identity is narrated in the arena of power struggles in the context of electoral democracy. Narration of identity tends to be strenghten in various political events, including elections of regional heads. To uncover the narrative, this article uses populism as a conceptual framework. By conducting a critical literature review of the conceptualization of populism as identity politics, this article finds that identity is transformed into a form of nativism that is an expression of amajority group who feels marginalized. Politicization of identity through this populist narrative eventually tends to racist practices, and in the end would undermine the democratic order itself. The strengthening of populism which is signed by politicization of identity is a warning that needs to be responded by the change of political domination of the elite, who structurally taking advantage from the formal arrangement of liberal democracy. The electoral process needs to be balanced with the substantive change of power relation.

Keywords Identity, Populism, Electoral Democracy

Politik Identitas 285

02 JURNAL BAWASLU.indd 285 12/6/17 3:47 PM ABSTRAK

Tulisan ini membahas bagaimana identitas dinarasikan dalam arena pertarungan kuasa yang berlangsung dalam konteks demokrasi elektoral. Narasi tentang identitas cenderung menguat dalam berbagai event politik, termasuk pemilihan kepala daerah. Untuk mengungkap narasi tersebut, tulisan ini menggunakan populisme sebagai kerangka konseptual. Dengan melakukan kajian literatur terhadap konseptualisasi populisme sebagai politik identitas, tulisan ini menemukan bahwa telah terjadi pergeseran politik identitas dalam konteks populisme. Identitas dinarasikan sebagai bentuk nativisme yang merupakan ekspresi dari kelompok yang secara demografis mayoritas tapi merasa termarjinalkan. Politisasi identitas melalui narasi populis ini dalam jangka panjang beresiko mengarahkan demokrasi populer ke dalam praktik- praktik yang cenderung rasis, yang pada gilirannya melemahkan tatanan demokrasi itu sendiri. Menguatnya populisme yang ditandai dengan politisasi identitas merupakan peringatan yang perlu direspon dengan mengubah dominasi politik elit yang secara struktural diuntungkan oleh pola pengaturan formal demokrasi liberal, sehingga proses elektoral perlu diimbangi dengan perubahan relasi kekuasaan secara substantif.

Kata Kunci Identitas, Populisme, Demokrasi Elektoral

1. Pendahuluan penanganan masalah-masalah sosial Pemilihan Gubernur DKI Jakarta lainnya di Jakarta. tahun 2017 menjadi event politik Menguatnya politik identitas berbasis yang paling menarik perhatian publik, agama dalam pemilihan Gubernur DKI terutama karena isu SARA yang demikian Jakarta menjadi fenomena menarik pekat mewarnai pertarungan antardua karena muncul dalam bayang-bayang pasang kandidat yang masuk ke putaran kebangkitan populisme. Dalam konteks kedua. Bermula dari kasus penistaan global, kebangkitan populisme juga agama yang dituduhkan kepada Basuki terjadi di berbagai belahan dunia. Tjahaya Purnama (atau populer dengan Karakter pemerintahan Trump di Amerika sebutan Ahok), petahana Gubernur Serikat yang ingin membangkitkan DKI Jakarta, yang kemudian diikuti kembali supremasi Amerika Serikat, dan dengan rangkaian demonstrasi yang kelanjutan dari sentimen politik Brexit mengatasnamakan aksi pembelaan akan menyuburkan tumbuhnya kembali terhadap agama tertentu. Isu penistaan sentimen identitas. Kecenderungan agama bahkan melampaui isu-isu lain serupa juga menguat di Asia, seiring yang sebenarnya lebih banyak berkaitan dengan kemenangan figur politisi populis dengan pengelolaan urusan publik, dalam pemilu di India dan Filipina. Di seperti isu reklamasi, tata kota, dan Indonesia, menguatnya dukungan pada

286 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 286 12/6/17 3:47 PM kelompok Islam konservatif, seperti mendorong agenda kapitalisme modern tampak dalam Pilkada DKI Jakarta, yang berimplikasi pada peminggiran elit- menjadi indikasi menguatnya populisme. elit lama yang selama ini diuntungkan Berbagai kecenderungan tersebut dengan modus akumulasi rente. Sementara menunjukkan bahwa kebangkitan pertentangan nilai-nilai budaya menjadi populisme, tidak dapat dilepaskan dari pemicu populisme ketika masuknya politisasi identitas. Politik identitas identitas dan kebudayaan baru menyerang pada awal perkembangannya dikaji keberadaan nilai-nilai lama yang dianut sebagai suatu bentuk ekspresi perjuangan oleh mayoritas warga, yang kemudian dari kelompok-kelompok minoritas memicu respon balik yang reaksioner. untuk memperoleh pengakuan akan Warga mayoritas ini merasa bahwa mereka eksistensinya. Hal ini tergambar dari harus mengklaim ulang kepemilikan banyaknya gerakan politik identitas yang nilai-nilai masyarakat yang ada melalui muncul sebagai bentuk perjuangan dari penolakan terhadap identitas baru. kelompok-kelompok etnis, agama, gender Dalam konteks politik populis ini, atau kelompok-kelompok kepentingan narasi tentang identitas mengalami lain yang selama ini termarginalkan pergeseran. Politik identitas tidak lagi oleh kebijakan-kebijakan mayoritas atau menjadi strategi dari kelompok minoritas kebijakan-kebijakan lain dari kelompok untuk memperjuangkan eksistensinya, yang dominan. Politik identitas yang tetapi justru yang muncul adalah muncul sebagai perwujudan populisme, perjuangan kelompok-kelompok mayoritas sebaliknya, justru menjadi strategi berhadapan dengan kepentingan politik dari kelompok mayoritas untuk global yang terus mendesak mereka di mempertahankan eksistensi dirinya. dalam negeri. Populisme menyuarakan Konteks kapitalisme global telah keterpinggiran kelompok mayoritas di memunculkan bentuk-bentuk persaingan tengah persaingan ekonomi dan budaya di mana kelompok mayoritas justru global. menjadi kelompok yang termarginalkan, Kemunculan populisme juga memicu sehingga berkembanglah populisme atau perdebatan akademik, menyangkut praktik politik populis yang muncul untuk dampak positif atau negatif yang memperjuangkan kelompok-kelompok dibawanya terhadap demokrasi. mayoritas ketika berhadapan dengan Kelompok yang kontra memandang tekanan-tekanan global (Inglehart dan populisme sebagai kondisi patologis dari Norris, 2016; Hadiz, 2016). perkembangan demokrasi liberal. Hal ini Seperti dikatakan Inglehart dan disebabkan oleh ketidaksiapan sistem Norris (2016), populisme muncul demokrasi terhadap perubahan relasi karena 2 kondisi, yakni pertama, karena budaya karena globalisasi, sementara kesenjangan ekonomi dan yang kedua, relasi kekuasaan masih didominasi oleh karena pertentangan nilai-nilai budaya kekuatan lama yang masih berada dalam (kultural). Dalam konteks politik ekonomi, lingkar kekuasaan. kalangan populis dianggap sebagai bagian Peminggiran akibat kombinasi dari kekuatan lama yang hendak melawan antara dominasi pengelolaan ekonomi dominasi elit baru. Elit baru hendak (kapitalisme) neoliberal yang disertai

Politik Identitas 287

02 JURNAL BAWASLU.indd 287 12/6/17 3:47 PM dengan depolitisasi demokrasi liberal Narasi identitas dalam analisis tulisan melalui pengerdilan ruang politik sebatas ini menjadi bahan untuk menganalisis politik formal (pemilu dll), kemudian bagaimana kecenderungan menguatnya dimanfaatkan oleh elit-elit politik yang populisme sebagai politik identitas perlu sedang bertarung dengan menggunakan direspon untuk mengantisipasi meluasnya retorika populis untuk mendapatkan kerentanan sosial, khususnya dalam dukungan dalam ruang demokrasi yang menghadapi event pemilihan umum ada. Oleh karenanya, tidak ada yang berikutnya. alamiah dari identitas atau kebudayaan suatu masyarakat. Identitas menjadi 2. Metode Penelitian konstruksi kekuasaan yang diciptakan Tulisan ini ingin memetakan untuk memperjuangkan eksistensi suatu konseptualisasi populisme sebagai politik entitas dalam ruang politik. identitas melalui metode tinjauan literatur Fokus dari tulisan ini adalah kritis. Metode ini dilakukan dengan mengungkapkan bagaimana identitas menggunakan teknik pemetaan diskursus, dinarasikan dalam konteks politik populis yang dikembangkan oleh Sujatha Sosale yang muncul dalam praktik demokrasi (2007), khususnya untuk menyediakan elektoral. Alih-alih dilihat sebagai kerangka kerja, metode, dan model patologi, populisme perlu ditempatkan analisis. Menurutnya, sumber-sumber sebagai gejala dari problem internal untuk memetakan diskursus bisa berasal ekonomi-politik demokrasi yang berlaku dari serangkaian teks, berupa arsip-arsip sekarang. Karena kepentingan untuk kebijakan, penerbitan-penerbitan ilmiah, menciptakan masyarakat pasar yang laporan-laporan, dan dokumen-dokumen kompetitif, neoliberalisme menciptakan resmi. Kajian atas teks itu bisa memberi masyarakat yang sangat rentan karena petunjuk untuk melihat upaya berbagai minimalnya perlindungan negara. Kondisi kelompok dalam periode sejarah tertentu kerentanan ini semakin parah ketika dalam membangun apa yang disebut masyarakat tidak memiliki akses ke sebagai selected meaning, sekaligus untuk saluran-saluran politik formal. Struktur memeriksa gagasan-gagasan apa yang negara yang ada sudah semakin kebal bekerja di belakangnya, juga preferensi- dari kepentingan masyarakat yang preferensi teoretis yang dipakainya. terkena dampak kerentanan itu sendiri. Metode ini secara implisit akan Oleh karenanya, politik serta capaian dipakai sebagai panduan umum untuk negara yang ada menjadi sekadar sarana memetakan diskursus populisme. Tentu penguasaan segelintir kelompok elit. Hal saja ini adalah upaya awal untuk kajian- inilah yang kemudian menciptakan kondisi kajian serupa yang lebih serius di masa material bagi tumbuhnya perasaan depan. Tulisan ini hanya akan memberikan marah dari mereka yang terpinggirkan. pengantar umum khususnya untuk Kekecewaan dan kemarahan tersebut mendeteksi wacana-wacana besar yang memicu munculnya gerakan-gerakan sedang berkembang, dan bagaimana protes bahkan perlawanan terhadap posisi teoretis masing-masing. sistem politik yang elitis.

288 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 288 12/6/17 3:47 PM 3. Perspektif Teori struktural dalam melawan struktur atau Populisme memiliki makna yang luas, rezim yang hegemonik. setidaknya terdapat 4 (empat) perspektif Perspektif ketiga, populisme sebagai dalam menjelaskan populisme. Pertama, gaya komunikasi politik. Perspektif ini populisme sebagai ideologi. de Raadt, berangkat dari asumsi bahwa satu- et.al. (2004) memahami populisme satunya penciri yang sama dari berbagai sebagai ideologi yang dianut partai politik gerakan populis adalah keterkaitannya untuk mendefinisikan siapa ‘rakyat’ itu dengan ‘rakyat’, sehingga populisme dan bagaimana ‘rakyat’ direpresentasikan kemudian dipahami sebagai gaya politik dalam program-program partai politik. yang dipakai untuk menjangkau berbagai Dalam konteks ini, populisme lebih kelompok sosial dan politik (Taguieff, 1995; dari sekedar strategi politik ataupun Moffitt and Tormey, 2014; Grbeša and gaya komunikasi politik. Sebagai Šalaj, 2016). Populisme bukanlah sebuah ideologi, populisme diterjemahkan ke ideologi, melainkan sekedar bahasa dan dalam 3 (tiga) dimensi utama, yakni: retorika politik yang intinya menghendaki populisme memadukan kehendak untuk kesederhanaan dan hubungan yang memperjuangkan aspirasi ‘rakyat’ dengan bersifat langsung antara pemimpin dan kritik terhadap kemapanan sistem. warga negara. Dalam perspektif ini, Hal ini dilakukan dengan menuntut populisme tidak dapat dipandang sebagai hubungan langsung antara para pemimpin ideologi karena gerakan-gerakan populis politik dengan wargan negara (de Raadt, tidak memiliki pernyataan sikap yang Hollanders, and Krouwel, 2004). jelas dan koheren terhadap sebagian Dalam perspektif kedua, populisme besar isu-isu politik kontemporer dan di dimaknai sebagai tantangan terhadap atas segalanya, gerakan-gerakan populis struktur yang mapan. Canovan (1999) ini tidak memiliki nilai-nilai esensial, mendefinisikan populisme sebagai seperti kebebasan, kesetaraan, atau keberpihakan pada ‘rakyat’ dalam keadilan sosial. berhadapan dengan struktur kekuasaan Seiring dengan menurunnya peran yang mapan serta ide-ide dan nilai-nilai partai politik dan perubahan di tataran yang dominan dalam masyarakat. Dimensi global yang menciptakan ketidakpastian struktural dalam relasi kekuasaan ini sosio-ekonomi dan berdampak pada pada gilirannya membentuk karakteristik keresahan sosial, muncul varian baru populisme dalam menentukan kerangka dari populisme. Perspektif keempat kerja yang legitimate, gaya politik, memahami populisme sebagai figur bahkan semangat perjuangan populisme. aktor atau gerakan yang mengusung isu Populisme tidak hanya menantang para antikemapanan dan berhasil memperoleh pemegang kekuasaan yang telah mapan, dukungan publik untuk membentuk tetapi juga nilai-nilai yang dianut dan pemerintahan baru. Kaum populis diterapkan oleh kalangan elit politik berhasil memobilisasi dukungan publik (Taggart, 1996 dalam Meny and Surel, dengan ‘menyerang’ kelompok lain yang 2002). Perspektif ini, pada dasarnya, diposisikan sebagai musuh bersama, memaknai populisme dalam konteks misalnya kelompok-kelompok domestik atau asing yang dituduh melakukan

Politik Identitas 289

02 JURNAL BAWASLU.indd 289 12/6/17 3:47 PM eksploitasi atas sumber-sumber daya Keempat perspektif di atas ekonomi. Di sisi lain, kelompok populis menunjukkan keluasan lingkup juga mendekati kaum miskin sebagai populisme secara konseptual, sekaligus bentuk keberpihakan (Mietzner, 2015). kecenderungan kekinian yang berkembang Dalam sejumlah kasus, para dalam praktik-praktik bernuansa populis. pendukung populisme telah berhasil Populisme yang bernuansa pragmatis meraih kemenangan dalam pemilihan seperti dikemukakan Mietzner (2015) umum dan mengisi posisi pemerintahan. memunculkan kembali perdebatan tentang Keberhasilan mereka untuk masuk kaitan populisme dan demokrasi. Panizza ke dalam sistem pemerintahan, (2017) mempertanyakan apakah populisme menghadirkan praktik populisme baru, menjadi masalah bagi demokrasi ataukah bukan sebagai ideologi yang melawan sesungguhnya populisme itu sendiri yang kemapanan struktur kekuasaan, tetapi problematik karena perwujudannya yang sebagai figur politisi dengan dukungan semakin pragmatis dalam merespon popular. Mietzner (2015) menjelaskan perubahan global dan praktik demokrasi lebih lanjut bahwa populisme baru liberal yang cenderung meminggirkan ini lebih bersifat pragmatik ketimbang kelompok-kelompok yang tidak memiliki ideologi. Karenanya, populisme pragmatik posisi tawar cukup untuk berkompetisi. ini cenderung menampakan diri sebagai Fenomena populisme kontemporer, sosok yang inklusif, nonkonfrontatif, dan seperti yang berkembang di Eropa dan mendukung praktik-praktik demokratis. Asia saat ini, menunjukkan kecenderungan Ketiadaan kritik ideologis terhadap struktur pragmatis ketimbang ideologis. Canovan kekuasaan yang mapan menjadikan (2004) menyebutnya dengan istilah populisme baru ini tampak lebih moderat New Populism, yakni gerakan politik ketimbang populisme yang dipahami ‘kanan’ yang terutama mengkritisi praktik- dalam perspektif ideologis dan struktural. praktik demokrasi liberal yang dilakukan Keberpihakan kepada ‘rakyat’ yang partai politik dan kebijakan-kebijakan digaungkan oleh pengusung populisme mainstream. Gerakan New Populism sesungguhnya lebih merupakan bagian mengklaim dirinya sebagai representasi dari konstruksi citranya agar tampak dari ‘rakyat’ sebagai pemegang kekuasaan seolah-olah menjadi pendukung yang legitimate, tetapi kepentingan praktik demokrasi karena berpihak kepentingan dan aspirasinya justru pada masyarakat umum. Selain itu, diabaikan oleh para politisi yang berkuasa. kelompok populis juga memanfaatkan Klaim ini yang mendasari gerakan New gejala ketidakpercayaan publik kepada Populism untuk bersikap pragmatis politisi dan birokratisasi pelayanan publik dengan menyesuaikan diri dengan sebagai klaim pembenaran atas tawaran aspirasi yang berkembang di sekitarnya. perubahan yang berorientasi pada Posisi yang dipilih dan nilai-nilai yang penyederhanaan dan kelangsungan dalam diperjuangkannya bergantung pada pola relasi kekuasaan. Isu-isu ini diangkat kemapanan yang dilawannya. sebagai dasar untuk meraih dukungan Keempat perspektif teoretik tentang publik melawan otoritas yang berkuasa. populisme juga menegaskan esensi gagasan populisme adalah keberpihakan

290 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 290 12/6/17 3:47 PM kepada ‘rakyat’. Dalam konteks ini, berbeda sebagai musuh dari ‘rakyat’, identitas menjadi faktor penting dalam sehingga mengarah pada polarisasi bahkan membangun posisi populisme karena konflik sosial. populisme selalu memperhadapkan sosok Demokrasi elektoral menjadi lahan diri (‘rakyat’) dengan sosok liyan (the yang subur bagi tumbuhnya para politisi other), antara sosok yang berkuasa dan yang menggunakan populisme sebagai yang tuna kuasa, bahkan antara rezim politik identitas. Isu keberpihakan pada yang mapan dan yang terpinggirkan. ‘rakyat’, bahkan pendefinisian ulang siapa Sebagai politik identitas, populisme itu ‘rakyat’ memperoleh momentum dalam beroperasi pada tataran diskursus untuk kompetisi elektoral yang berlangsung di membentuk praktik-praktik simbolis tengah kondisi ketidakpercayaan publik yang mempertahankan klaim-klaim yang makin meningkat terhadap institusi identitas yang saling bertentangan dan politik formal. Populisme dalam kompetisi terdislokasi (Panizza, 2017). Identitas elektoral tidak hanya mengusung isu-isu menentukan siapa jatidiri kita, apa antikemapanan, tetapi juga memelihara yang kita inginkan, bagaimana cara kita sentimen perlawanan terhadap identitas memandang diri sendiri, dan bagaimana yang dianggap mengancam bagi posisi kita dalam relasi dengan orang keberadaan kelompoknya. Situasi inilah lain. Karena itu, identitas menjadi hal yang menyebabkan kerentanan sosial yang kompleks, relasional, sekaligus tidak semakin kuat. utuh karena sesungguhnya identitas hanyalah sebutan yang diberikan atas 4. Hasil dan Pembahasan apa yang dikehendaki tetapi tidak Studi tentang populisme kontemporer sepenuhnya dapat dicapai (Panizza, menunjukkan bahwa populisme pada 2017). Pembentukan identitas mencakup dasarnya merupakan praktik politik proses konstruksi pembedaan-pembedaan identitas, dalam pengertian sebagai dan pertentangan-pertentangan untuk proses pembentukan identitas ‘rakyat’ insiders menentukan batasan antara ‘ ’ dan berhadapan dengan kelompok lain yang ‘outsiders ’, antara diri dan yang liyan. dianggap memarginalkan kepentingan Müller (2016) menegaskan bahwa ‘rakyat’. Populisme dalam konsepsi populisme adalah selalu merupakan politik tersebut menunjukkan wajah perlawanan identitas, tapi sebaliknya, tidak semua yang tidak saja antikemapanan, sekaligus politik identitas dapat dikategorikan sebagai juga antipluralisme. Hal inilah yang populisme. Identitas yang dipakai dalam membuat populisme menjadi “pisau konteks populisme adalah identitas yang bermata dua” bagi pertumbuhan eksklusif, yang secara tegas memisahkan demokrasi. antara diri dan kelompok yang lain, Pada bagian pembahasan ini, akan yang kemudian menyebabkan populisme diuraikan bagaimana identitas dinarasikan menjadi ancaman bagi demokrasi. dalam konteks populisme di Indonesia. Keyakinan yang dianut populisme bahwa Untuk memahami narasi tersebut, true identitas dan kelompoknya adalah terlebih dahulu diuraikan konteks yang citizen atau ‘rakyat’ itu sendiri menjadikan melatarbelakangi menguatnya populisme identitas dan kelompok-kelompok yang di Indonesia.

Politik Identitas 291

02 JURNAL BAWASLU.indd 291 12/6/17 3:47 PM Inglehart dan Norris (2016) keberpihakan kepada kaum miskin dan mengasumsikan menguatnya populisme masyarakat perdesaan. Kepemimpinan disebabkan oleh dua hal, yakni yang kuat menjadi faktor penentu untuk kesenjangan ekonomi dan pertentangan melakukan perubahan. Prabowo menjadi kultural. Menariknya, Inglehart dan figur yang merepresentasikan gagasan Norris (2016) berargumen bahwa populisme klasik yang sepenuhnya kesenjangan ekonomi bukanlah faktor menentang kemapanan sistem yang utama. Dukungan terhadap politisi populis berkuasa (Mietzner, 2015). ternyata tidak menunjukkan korelasi Joko Widodo, sebaliknya, mengusung kuat dengan tingkat pengangguran, gagasan populisme yang berbeda. tingkat pendapatan rumah tangga Mietzner (2015) mendeskripsikan gagasan atau status pekerjaan (terdidik/tidak populisme versi Joko Widodo sebagai terdidik). Dukungan terhadap populisme populisme teknokratis, di mana: (1) tidak juga tidak berkorelasi kuat dengan ada tawaran untuk melakukan perubahan perasaan subjektif tentang kerentanan secara masif dan terstruktur terhadap ekonomi (economic insecurity). Di sinilah sistem yang sudah ada, tetapi melakukan mengapa pertentangan kultural (cultural perubahan secara gradual dalam bingkai backlash) lebih menjelaskan fenomena sistem demokrasi yang berlaku; (2) tidak dukungan atas populisme. ada kelompok tertentu yang dianggap Kemunculan populisme di Indonesia sebagai lawan, bahkan yang dimunculkan memiliki keunikan dibandingkan di adalah inklusivitas yang merangkul semua negara-negara lain. Kendati juga dipicu kelompok dan golongan; selain itu, (3) oleh menurunnya kepercayaan kepada Jokowi cenderung tidak mengeksploitasi institusi formal dan globalisasi yang retorika antiasing, sebaliknya, ia memilih membawa serta nilai-nilai baru dalam meningkatkan pelayanan publik untuk relasi sosial, budaya, dan ekonomi, tetapi menjamin distribusi sumber daya yang mayoritas kandidat yang bertarung dalam lebih merata; dan (4) membina kedekatan proses elektoral di Indonesia membawa hubungan personal dengan rakyat. isu antikemapanan dan perubahan. Hal Di antara kedua varian populisme ini menarik karena membuat pemilahan tersebut, populisme teknokratis yang lebih antara kelompok ‘rakyat’ dan ‘elit’ moderat tampaknya lebih mudah diterima menjadi samar. oleh sebagian besar pemilih, sehingga Dalam pemilihan presiden 2014, Jokowi dapat meraih kemenangan ada dua kandidat yang sama-sama dalam Pemilihan Presiden 2014. Hal ini mencitrakan diri sebagai politisi populis, menunjukkan bahwa kendati banyak kendati mengusung isu yang berbeda. kritik dan ketidakpuasan diarahkan dengan tegas terhadap praktik demokrasi popular menyatakan bahwa sistem politik yang pascareformasi, tetapi tidak sampai ada sekarang telah rusak, perekonomian mengarah pada keinginan publik untuk dikuasai oleh asing, rakyat termarginalkan mengubah rezim demokrasi secara total. oleh kebijakan-kebijakan yang hanya Publik cenderung menghendaki perbaikan menguntungkan elit dan kroninya. dalam pelayanan publik, sehingga tawaran Kampanyenya banyak menyerukan populisme teknokratis yang berfokus pada

292 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 292 12/6/17 3:47 PM perbaikan tata kelola pemerintahan dalam konfigurasi dan pola relasi kekuasaan penyediaan kebutuhan publik sehari-hari untuk mengakses dan mendistribusikan menjadi lebih mudah diterima publik sumber-sumber daya. Konteks politik ketimbang tawaran populisme klasik untuk tersebut akan terus membatasi mengembalikan kejayaan bangsa dan kemungkinan bagi populisme Indonesia negara di bawah kepemimpinan yang kuat. untuk menghasilkan terobosan politik Di sisi lain, sifat inklusif dari populisme yang secara fundamental memperbaiki teknokratis justru memunculkan dilema kesenjangan ekonomi, kekuasaan, baru dalam relasi kekuasaan. Tanpa maupun membangun kembali institusi perubahan radikal dalam sistem politik yang mengalami pelemahan kekuasaan, kepentingan-kepentingan dari pascapemerintahan otoritarian. elit lama masih tetap ada, bahkan dapat Keterbatasan kapasitas populisme mempengaruhi pengambilan keputusan teknokratis di dalam mengubah relasi dari pemerintahan yang sekarang kekuasaan menyebabkan isu kesenjangan berlangsung. Kendati gagasan populisme ekonomi dan pertentangan budaya teknokratis berhasil menempatkan Jokowi (Inglehart & Norris, 2016) menjadi lahan sebagai presiden terpilih, tetapi gagasan yang potensial untuk menyuburkan yang sama ternyata belum optimal untuk politisasi identitas. Politik identitas mewujudkan pemerintahan yang efektif. menjadi ekspresi politik lintas kelas, Bangkitnya populisme tidak berarti di mana kepentingan tertentu dapat berakhirnya dominasi oligarkhi atas mendominasi sambil tetap mengklaim politik seperti yang diidentifikasi oleh bahwa dirinya mengartikulasikan kehendak Robison dan Hadiz (2004) dan Winters kolektif. Dengan demikian, berbagai jenis (2013). Sebaliknya, retorika populis populisme dapat muncul, misalnya, telah menjadi bagian dari pertarungan dari pertemuan antara kepentingan kekuasaan di dalam oligarki itu sendiri elit perdesaan dan kapitalisme pasar dan menjadi kendaraan untuk masuknya modern atau yang melibatkan komunitas aktor-aktor politik baru ke dalam arena perkotaan yang termarginalkan (Hadiz & kekuasaan. Argumen ini memiliki implikasi Robison, 2012). penting bagi Indonesia karena kendati Pertemuan berbagai kepentingan tuntutan populis dapat mempengaruhi lintas kelas ini dapat menjadi legitimasi bekerjanya politik oligarki, tetapi tidak atas klaim mewakili kepentingan ‘rakyat’ terjadi pemilahan yang signifikan antara secara umum, padahal di dalam diri populisme dan oligarki. Populisme semata identitas tersebut sesungguhnya ada menjadi strategi untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan kelas yang saling kekuasaan oligarkis melalui kompetisi bertentangan. Strategi ini menunjukkan demokratis (Hadiz & Robison, 2017). bahwa populisme sebagai politik Hal itu terutama terjadi karena identitas dapat mengabaikan perbedaan- partai politik dan koalisi temporer -- yang perbedaan yang ada antarkelompok, di dibentuk untuk kepentingan elektoral – mana identitas homogen dari ‘rakyat’ sejak semula masih merupakan warisan diperhadapkan dengan ‘elit’ atau dari kekuatan pasca-otoriter, sehingga bahkan dengan ‘asing’ sebagai musuh. tidak mengubah secara signifikan Dengan demikian, identitas menjadi hal

Politik Identitas 293

02 JURNAL BAWASLU.indd 293 12/6/17 3:47 PM yang konstruktif dan dinamis karena dengan political correctness. Fareed dapat dibentuk, bukan hanya secara Zakaria mengutip Inglehart dan Norris ideologis maupun diskursif, tetapi juga (2016), menambahkan bahwa nilai-nilai di dengan menempatkannya dalam arena atas diterima oleh generasi lebih muda, pertarungan kekuasaan dan sumber tetapi membuat generasi yang lebih daya dalam kehidupan sehari-hari. tua merasa tidak aman. Generasi yang Dengan demikian, kepentingan yang lebih tua melihatnya sebagai serangan mendasari konstruksi identitas tersebut atas peradaban dan nilai-nilai yang yang pada akhirnya menentukan siapa mereka anut selama beberapa dekade. yang ‘termasuk’ dan ‘dikecualikan’ dari Keterbukaan global sekarang menciptakan definisi ‘rakyat’. ketidakamanan nilai-nilai lama. Hal ini Pertarungan gagasan populisme kemudian menciptakan respon yang sejak masa pemilihan presiden 2014 reaksioner, di mana warga mayoritas ini mengindikasikan 2 (dua) jalur yang merasa bahwa mereka harus mengklaim berbeda bagi masa depan Indonesia. ulang kepemilikan nilai-nilai masyarakat Gagasan populisme klasik melihat yang ada melalui penolakan terhadap kembali pentingnya institusi pengelolaan identitas baru yang dianggap liyan oleh sumber daya yang didominasi oleh mayoritas tersebut (Perdana, 2017). negara atas dasar cita-cita nasionalisme, Akibatnya, mereka memberikan dukungan sementara gagasan populisme teknokratis pada partai atau politisi yang mereka lebih berakar pada gagasan pasar dan anggap bisa menjaga atau nilai-nilai yang kepentingan kelas menengah. Selain mereka anggap lebih cocok. kedua gagasan tersebut, kebangkitan Dengan demikian, narasi identitas populisme di Indonesia juga ditandai oleh dalam populisme Indonesia muncul menguatnya 2 (dua) bentuk populisme sebagai ekspresi dari kelompok mayoritas berbasis Islam, yakni yang berupaya tapi merasa termarjinalkan. Keterpinggiran menumbuhkan kembali praktik-praktik tersebut disebabkan oleh pengelolaan keagamaan secara konservatif dan yang sumber daya yang elitis dan terbatasnya berorientasi ke masa depan di mana ruang publik untuk melakukan kontrol masyarakat dan praktik-praktik politik atas penyelenggaraan kekuasaan oleh menyatu dengan identitas dan institusi lembaga-lembaga formal. Kesenjangan keagamaan (Hadiz & Robison, 2017). ekonomi menjadi isu yang muncul sebagai Menguatnya populisme berbasis penciri dari narasi identitas kelompok- agama ini merupakan respon terhadap kelompok yang termarginalkan ini, praktik politik sekuler yang dianggap seperti yang tampak dalam politik populis mendominasi penyelenggaraan negara yang disuarakan oleh kelompok miskin (Hadiz & Robison, 2017). Di sisi perkotaan dan kelompok buruh. lain, populisme berbasis agama juga Narasi identitas dalam populisme menunjukkan pertentangan nilai, sebagai Indonesia juga sarat dengan penggunaan konsekuensi dari masuknya nilai-nilai baru narasi nativisme untuk memperkuat yang dibawa globalisasi, seperti feminisme, identitas gerakan. Identitas nativisme ini multikulturalisme, internasionalisme, muncul sebagai pembeda dengan sosok dan nilai-nilai lain yang identik liyan, yang tidak hanya berbeda secara

294 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 294 12/6/17 3:47 PM kultural tetapi juga dianggap sebagai tidak terjadi perubahan fundamental kelompok yang menguasai sumber- dalam relasi kekuasaan yang oligarkhis. sumber daya ekonomi. Karena itu, Dalam konteks politik tersebut, populisme nativitas yang muncul dalam populisme sebagai politik identitas tampil dengan tidak selalu identik dengan keaslian menarasikan identitas sebagai simbol secara genealogis, tetapi lebih menunjuk perlawanan dari kelompok mayoritas pada kemurnian nilai yang diperjuangkan yang merasa termarginalkan akibat berhadapan dengan nilai-nilai baru, pengelolaan kekuasaan yang oligarkhis. termasuk terhadap hibriditas nilai Nativisme juga muncul dalam narasi yang juga dipandang sebagai ancaman identitas populis untuk menegaskan terhadap nilai-nilai lama. pemilahan posisi berhadapan dengan Kecenderungan populisme untuk kelompok lawan. menarasikan identitas sebagai kontekstual, Populisme mengusung gagasan termasuk dalam mengkonstruksi identitas keberpihakan pada ‘rakyat’, yang lintas kelas membuka ruang baru bagi merupakan esensi dari demokrasi. Tetapi, pembelajaran berdemokrasi, terutama keberpihakan ini tidak cukup karena untuk mengkritisi politik populis dalam narasi identitas dalam populisme juga arena kompetisi elektoral yang ternyata dapat dikonstruksi untuk kepentingan tidak membawa perubahan fundamental legitimasi kekuasaan oligarkhis. Populisme pada pola relasi kekuasaan yang masih yang muncul sekarang adalah buah dari berwatak oligarkhis. politisasi faksi elit tertentu yang telah terpinggirkan dalam pertarungan politik 5. Simpulan formal. Menguatnya politik populis Ada beragam praktik populisme membuka kemungkinan untuk melawan yang muncul sebagai respon terhadap dominasi politik elit yang secara struktural globalisasi dan praktik demokrasi liberal. diuntungkan oleh pola pengaturan formal Populisme di Indonesia mengalami demokrasi liberal. Karena itu, yang kecenderungan menguat sejak pemilihan diperlukan adalah menyasar ketimpangan presiden 2014 seiring dengan kehadiran struktural yang dikritik dalam populisme figur kandidat yang mengusung dua mengenai sistem demokrasi. Kerentanan gagasan populisme yang berbeda, yang dihadapi oleh kelompok mayoritas yakni populisme klasik dan populisme harus diatasi dengan menciptakan agenda teknokratis. kesejahteraan sosial yang bersifat lintas Populisme teknokratis yang lebih kelas. Di sini, inklusivitas diterjemahkan moderat dan inklusif lebih dapat diterima bukan sebagai kompromi dengan para oleh mayoritas pemilih di Indonesia, elit politik, tetapi sebagai perluasan tetapi di sisi lain, karakter inklusifnya keberpihakan kepada kelompok-kelompok menjebak gagasan populisme ini ke dalam yang menerima manfaat dari pengelolaan praktik politik kompromistis, sehingga urusan publik.

Politik Identitas 295

02 JURNAL BAWASLU.indd 295 12/6/17 3:47 PM DAFTAR PUSTAKA

Canovan, M. (1999). Trust the people! Populism and the two faces of democracy”. Political Studies, 41(1), hlm. 2-16. Canovan, M. (2004). Populism for political theorists? Journal of Political Ideologies, 9(3), hlm. 241–252. https://doi.org/10.1080/1356931042000263500 de Raadt, J. Hollanders, D. & Krouwel, A. (2004, Agustus). Varieties of populism: An analysis of the programmatic character of six European parties”. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/238086872_Varieties_of_Populism_ An_Analysis_of_the_Programmatic_Character_of_Six_European_Parties Grbeša, M., & Šalaj, B. (2016). Textual analysis of populist discourse in 2014/2015 presidential election in Croatia”. Contemporary Southeastern Europe, 3(1), hlm. 106-127. Hadiz, V. R. & Robison, R. (2012). Political economy and Islamic politics: Insights from the Indonesian case. New Political Economym 17(2), hlm. 137–155. Hadiz, V. R. (2016). Islamic Populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Hadiz, V. R., & Robison, R. (2017). Competing populisms in post-authoritarian Indonesia. International Political Science Review, 38(4), hlm. 488–502. https:// doi.org/10.1177/0192512117697475 Inglehart, R. & Norris, P. (2016, Agustus 6). Trump, Brexit, and the Rise of Populism: Economic Have-Nots and Cultural Backlash”. Diakses dari https://papers.ssrn. com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2818659 Meny, Y., & Surel, Y. (Eds.). (2002). Democracies and populist challenge. New York: Palgrave Macmillan. Mietzner, M. (2015). Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia. Policy Studies (15471349). Diakses dari http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=a9h&AN=10218152 1&site=ehost-live&scope=site Moffitt, B., & Tormey, S. (2014). Rethinking populism: Mediatisation and political style”. Political Studies 62(2), hlm. 381-97 Müller, J-W. (2016). What is populism? Philadelphia, Pennsylvania, USA: University of Pennsylvania Press. Panizza, F. (2017, April 27). Is populism a problem for democracy?. Diakses dari http://www.fesprag.cz/fileadmin/public/pdf-events/2017_27-2804_Panizza.pdf Perdana, A. A. (2017, Januari 23). Menguatnya populisme: Trump, Brexit hingga FPI. Diakses dari https://indoprogress.com/2017/01/menguatnya-populisme-trump- brexit-hingga-fpi/ Robison, R. & Hadiz, V.R. (2004). Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. London: Routledge.

296 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 296 12/6/17 3:47 PM Sosale, S. (2007), Communication, Development and Democracy: Mapping a Discourse. New York, USA: Hampton Press. Taguieff, P. (1995). Political science confronts populism: from a conceptual mirage to a real problem”. Telos 103, hlm. 9-44. Winters, J. A. (2013). Oligarchy and democracy in Indonesia. Indonesia, 96(October), hlm. 11–33.

Politik Identitas 297

02 JURNAL BAWASLU.indd 297 12/6/17 3:47 PM 298 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 298 12/6/17 3:47 PM TEMPLATE JURNAL BAWASLU

Jurnal Bawaslu ISSN Author Name et al. Vol. 1, No.2, pp. a-b, 14 November 2015 (to be filled by editorial desk)

JUDUL (Font-14, Bold)

Nama Tanpa Gelar 1 (Font-12, Bold) Institusi, Kota/Kabupaten, Negara, Email (Font-11, Italic)

Nama Tanpa Gelar 2 (Font-12, Bold) Institusi, Kota/Kabupaten, Negara, Email (Font-11, Italic)

ABSTRACT (Font-12, Bold)

Abstrak harus dalam 100 sampai 300 kata. Font-11, Calibri, Italic, dalam bentuk satu paragraf, berfokus pada tujuan penelitian, metodologi yang diadopsi, temuan dan kesimpulan. Gunakan 1.0 baris spasi untuk semua bagian dalam manuskrip. Semua tulisan harus ditulis dalam gaya Calibri & gunakan margin Layout Halaman Normal. Di mohon untuk TIDAK mengubah tata letak, spasi, dan huruf dalam template ini.

Keywords (Font-11 Bold) Pilkada, Pemilu, Bawaslu, Perilaku Pemilih, Keterwakilan (Font-11)

ABSTRAK (Font-12, Bold)

Abstrak harus dalam 100 sampai 300 kata. Font-11, Calibri, Italic, dalam bentuk satu paragraf, berfokus pada tujuan penelitian, metodologi yang diadopsi, temuan dan kesimpulan. Gunakan 1.0 baris spasi untuk semua bagian dalam manuskrip. Semua tulisan harus ditulis dalam gaya Calibri & gunakan margin Layout Halaman Normal. Di mohon untuk TIDAK mengubah tata letak, spasi, dan huruf dalam template ini.

Keywords (Font-11 Bold) Pilkada, Pemilu, Bawaslu, Perilaku Pemilih, Keterwakilan (Font-11)

Politik Identitas 299

02 JURNAL BAWASLU.indd 299 12/6/17 3:47 PM 1. Pendahuluan (Font-12, Bold) Di mohon untuk TIDAK mengubah tata letak, spasi, dan huruf dalam template ini. Tulisan harus ditulis dalam Gambar 1. Logo Bawaslu pilihan gaya font Calibri-11 spasi baris 1.0. Sumber: Bawaslu RI, 2017 Panjang tulisan 3000-5000 kata. Bagian ini berisi latar belakang permasalahan, 4. Hasil dan Pembahasan (Font-12, uraian permasalahan dan pertanyaan Bold) penelitian/hipotesis (bila ada). Tidak Persoalan yang dianalisis dalam menggunakan catatan kaki. bagian ini harus dituliskan secara jelas, mendalam dan tajam. Dalam menganalisis 1.1 Subbab (Font-11, Bold) penulis tidak menggunakan terlalu Tidak Penulisan poin-poin uraian banyak kutipan konsep dan teori. menggunakan catatan kaki. menggunakan bullets, misalnya: • Perumusan Misi yang diusung 5. Simpulan (Font-12, Bold) berdasarkan penilaian situasi, Simpulan utama dari penelitian ini • Penentuan kelompok target disajikan dalam bentuk yang singkat. • Cara menyampaikan pesan pada Bagian simpulan harus dapat mengarahkan kelompok target, dan pembaca pada hal yang penting dari • Pemanfaatan Modal Caleg bagian penelitian. Hal ini juga dapat diikuti oleh saran atau rekomendasi yang Tabel 1. Tren Perubahan Kebijakan xx berkaitan dengan penelitian lebih lanjut. Tahun UU Kebijakan 2000 Xx Xx Catatan: 2004 xx xx Kutipan tidak menggunakan Catatan Sumber : Bawaslu RI, 2017 Kaki. Catatan kaki hanya digunakan untuk memberikan keterangan lanjutan 2. Metode Penelitian (Font-12, (jika diperlukan. Penulisan Kutipan Bold) menggunakan running notes Bagian ini berisi tentang metode yang akan digunakan dalam penulisan artikel Tata Cara Penulisan kutipan (Menggunakan ini. Metode peneliain meliputi, jenis format APA) : metode, data apa saja yang digunakan, Struktur Kutipan : (Nama Belakang bagaimana cara mengumpulkan data Penulis, Tahun, hlm.1234) serta bagaimana data divalidasi. Tidak menggunakan catatan kaki. **Nomor halaman dan paragraf hanya digunakan untuk pengutipan langsung, 3. Perspektif Teori (Font-12, Bold) contoh: Bagian ini berisi tentang perspektif “Well, you’re about to enter the teori yang akan digunakan. Uraikan teori land of the free and the brave. secara jelas dan tepat pada sasaran. And I don’t know how you got Tidak menggunakan catatan kaki.

300 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 300 12/6/17 3:47 PM that stamp on your passport. **Jika nama penulis telah disertakan The priest must know someone” dalam paragraf, maka hanya menulis (Tóibín, 2009, hlm. 52). tahun terbitan, contoh: **Jika hanya merujuk pada sumber (tanpa According to a study done by Kent and melakukan pengutipan langsung dan Giles (2017), student teachers who parafrasa), maka format nomor halaman use technology in their lessons tend atau paragraph tidak perlu digunakan, to continue using technology tools contoh: throughout their teaching careers. Student teachers who use technology in their lessons tend to continue using technology tools throughout their teaching careers (Kent & Giles, 2017).

Politik Identitas 301

02 JURNAL BAWASLU.indd 301 12/6/17 3:47 PM DAFTAR PUSTAKA (FONT-12 BOLD, APA Format)**

**Daftar Pustaka Ditulis Berdasarkan Urutan Abjad Dari Nama Belakang

Contoh penulisan: 1. Buku dengan satu penulis Dickens, C. (1942). Great expectations. New York, NY: Dodd, Mead.

2. Buku dengan dua atau lebih penulis Goldin, C. D., & Katz, L. F. (2008). The race between education and technology. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press. Matthews, G., Smith, Y., & Knowles, G. (2009). Disaster management in archives, libraries and museums. Farnham, England: Ashgate.

3. Bab dalam buku dengan editorial Struktur: Nama belakang penulis bab, inisial nama depan. (Tahun terbit). Judul Bab. Dalam inisial nama depan editor. Inisial nama belakang editor (Ed). Judul Buku (hlm.00). Kota penerbit, Negara: Penerbit. Contoh: De Abreu, B.S. (2001). The role of media literacy education within social networking and the library. In D.E. Agosto & J. Abbas (Eds.), Teens, libraries, and social networking (hlm. 39-48). Santa Barbara, CA: ABC-CLIO.

4. Jurnal Cetak Struktur: Nama Belakang Penulis, Inisial Nama depan. (Tahun Terbit). Judul Artikel. Judul Jurnal, Volume (Seri), rentang halaman artikel. Contoh: Gleditsch, N. P., Pinker, S., Thayer, B. A., Levy, J. S., & Thompson, W. R. (2013). The forum: The decline of war. International Studies Review, 15(3), hlm. 396-419.

5. Jurnal Online dengan DOI Stuktur: Nama Belakang Penulis, Inisial Nama depan. (Tahun Terbit). Judul Artikel. Judul Jurnal, Volume (edisi), rentang halaman artikel. http://dx.doi.org/xxxxx Contoh: Sahin, N. T., Pinker, S., Cash, S. S., Schomer, D., & Halgren, E. (2009). Sequential processing of lexical, grammatical, and phonological information within Broca’s area. Science, 326(5951), hlm. 445-449. http://dx.doi.org/xxxxx

302 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 302 12/6/17 3:47 PM 6. Media Cetak Stuktur: Nama belakang, Inisial Nama Depan. (Tahun, Bulan Tanggal). Judul Artikel. Judul Koran, Rentang halaman. Contoh : Alair, C.H. (2017, September 14). Demokrasi Indonesia. Kompas, hlm. 3-4.

7. Media Online Struktur: Nama belakang, Inisial Nama Depan. (Tahun, Bulan Tanggal). Judul Artikel. Judul Koran. Diakses dari http.//xxxxxxxxxxxx Contoh: Whiteside, K. (2004, August 31). College athletes want cut of action. USA Today. Diakses dari http://www.usatoday.com

8. Majalah Cetak Struktur: Nama Belakang, Insial Nama Depan. (Tahun, Bulan). Judul Artikel. Judul Majalah, Volume(edisi), rentang halaman. Contoh: Hasanah, R.U. (2016, Mei). Progres Pembangunan Indonesia. Tempo, 4-10 Mei 2016. hlm. 23-25.

9. Websites Struktur: Nama Belakang, Inisial Nama Depan. (Tahun, Bulan tanggal). Judul Artikel. Diakses dari http.//xxx Contoh: Austerlitz, S. (2015, March 3). How long can a spinoff like ‘Better Call Saul’ last? Diakses dari http://fivethirtyeight.com/features/how-long-can-a-spinoff-like- better-call-saul-last/

10. Blogs Struktur: Nama Belakang, Inisial Nama Depan. (Tahun, Bulan tanggal). Judul Artikel dalam blog [Blog post]. Diakses dari http.//xxx Contoh: McClintock Miller, S. (2014, January 28). Easy Bib joins the Rainbow Loom project as we dive into research with the third graders [Blog post]. Diakses dari http:// vanmeterlibraryvoice.blogspot.com

Politik Identitas 303

02 JURNAL BAWASLU.indd 303 12/6/17 3:47 PM 11. Skripsi, Tesis, dan Disertasi Struktur: Nama Belakang, Inisial Nama Depan. (Tahun). Judul Skripsi/Tesis/Disertasi (Skripsi/ Tesis/Disertasi). Kota, Fakultas, Universitas. Contoh: Idris, K. (2013). Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Orde Baru (Disertasi). Depok, FISIP, Universitas Indonesia.

12. YouTube Struktur: Nama Belakang penulis, Inisial Nama depan. [YouTube Username]. (Tahun, Bulan, Tanggal Unggah). Judul Video [Video file]. Diakses dari https://youtu.be/ xxxxxxxx Contoh: Damien, M. [Marcelo Damien]. (2014, April 10). Tiesto @Ultra Buenos Aires 2014 (full set) [Video file]. Retrieved from https://youtu.be/mr4TDnR0ScM

304 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 304 12/6/17 3:47 PM