AGAMA DAN KEPEMIMPINAN POLITIK Analisis terhadap Dukungan Partai Keadilan Sejahtera atas Kandidat Non-Muslim pada Pilkada 2018

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

oleh: Ginanjar Pangestu Aji 11161120000067

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 1442 H/2020 M

AGAMA DAN KEPEMIMPINAN POLITIK Analisis terhadap Dukungan Partai Keadilan Sejahtera atas Kandidat Non- Muslim pada Pilkada Papua 2018

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

oleh: Ginanjar Pangestu Aji NIM: 11161120000067

Dosen Pembimbing,

Khoirun Nisa, MA.Pol

NIP: 19850311 201801 2 001

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2020 M

i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul: AGAMA DAN KEPEMIMPINAN POLITIK Analisis terhadap Dukungan Partai Keadilan Sejahtera atas Kandidat Non- Muslim pada Pilkada Papua 2018

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan

memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Desember 2020

Ginanjar Pangestu Aji

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa: Nama : Ginanjar Pangestu Aji NIM : 11161120000067 Program Studi : Ilmu Politik Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul: AGAMA DAN KEPEMIMPINAN POLITIK Analisis terhadap Dukungan Partai Keadilan Sejahtera atas Kandidat Non- Muslim pada Pilkada Papua 2018 dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta, Desember 2020

Mengetahui, Menyetujui, Ketua Program Studi Pembimbing,

Dr. Iding Rosyidin, M. Si Khoirun Nisa, MA.Pol NIP. 19701013 200501 1 003 NIP. 19850311 201801 2 001

iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI

SKRIPSI

AGAMA DAN KEPEMIMPINAN POLITIK Analisis terhadap Dukungan Partai Keadilan Sejahtera atas Kandidat Non- Muslim pada Pilkada Papua 2018

Oleh Ginanjar Pangestu Aji 11161120000067

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 Januari 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.

Ketua, Sekretaris,

Dr. Iding Rosyidin, M.Si Suryani, M.Si NIP. 19701013 200501 1 003 NIP. 19770424 200710 2 003

Penguji I, Penguji II,

Dr. Nawiruddin, M.Ag Dr. Sirojuddin Aly, M.A NIP. 19720105 2001121 1 003 NIP. 19540605 2001121 1 001

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada 20 Januari 2021

Ketua Program Studi

Dr. Iding Rosyidin, M. Si NIP. 19701013 200501 1 003

iv

ABSTRAKSI

Skripsi ini membahas tentang dukungan PKS sebagai partai dengan asas Islam terhadap kandidat non-muslim pada Pilkada Papua 2018. Penelitian ini ingin memahami lebih dalam terkait dengan pandangan Partai Keadilan Sejahtera terhadap pemimpin politik dan mendeskripsikan alasan PKS sebagai partai Islam dalam mendukung kandidat pemimpin non-muslim di Papua. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus pencalonan pasangan non-muslim oleh PKS di Pilkada Papua tahun 2018. Data primer dalam penelitian ini adalah melalui wawancara. Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah penelitian akademik seperti skripsi, jurnal, buku serta sumber dari media massa elektronik. Kerangka teori yang digunakan yakni teori partai politik, rekrutmen politik serta kepemimpinan politik dalam sudut pandang demokrasi dan ulama-ulama Islam. PKS sebagai representasi partai Islam memiliki beberapa pandangan terhadap kepemimpinan politik, yakni pemimpin sebagai khadimul ummah, adil dan tidak diskriminatif. Dalam mencalonkan pemimpin politik di Papua, PKS tidak mensyaratkan agama Islam sebagai kriteria pemimpin politik. PKS melakukan rekrutmen terbuka bagi individu yang ingin menjadi kader, maupun individu yang ingin dicalonkan pada Pilkada Papua 2018. Jenjang perkaderan di kawasan Papua tidak bersifat mutlak seperti di daerah lain. Adapun faktor-faktor dukungan PKS terhadap non-muslim di Papua adalah agama Islam tidak menjadi syarat bagi calon pemimpin yang diusung PKS, PKS realistis terhadap demografi masyarakat di Provinsi Papua, PKS tidak memiliki kader potensial untuk dicalonkan pada Pilkada Papua 2018, popularitas dan elektabilitas Lukas-Klemen yang mewakili representasi pegunungan dan pesisir laut dan Lukas dan Klemen tidak diskriminatif terhadap umat Islam yang menjadi minoritas di Papua.

Kata Kunci: PKS, Kepemimpinan Politik, Rekrutmen Politik, Papua

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis masih diberikan waktu dan kesehatan untuk dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tak lupa

Shalawat serta salam penulis curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah mengajarkan dan membimbing umat-umatnya untuk menjadi pribadi yang lebih baik kini hingga nanti.

Dengan mengucapkan Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, skripsi dengan judul

AGAMA DAN KEPEMIMPINAN POLITIK Analisis terhadap Dukungan Partai

Keadilan Sejahtera atas Kandidat Non-Muslim pada Pilkada Papua 2018, telah mampu diselesaikan oleh penulis. Skripsi ini disusun dalam rangka tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik,

Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang dialami selama penulisan skripsi ini, penulis tidak lupa untuk menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu baik dalam hal teknis maupun substansi sehingga penulisan ini dapat terselesaikan dengan baik, kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf dan jajarannya. 2. Prof. Ali Munhanif, M.A, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik yang juga Dosen Pembimbing Akademik penulis yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis pada judul penelitian sebelumnya, beserta jajaran staf FISIP UIN.

vi

3. Dr. Iding Rosyidin, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik beserta Suryani, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing dan memberikan pengetahuan kepada penulis selama ini. 4. Khoirun Nisa, M.A.Pol selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk bimbingan, masukan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini. Semoga senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dari Allah SWT. 5. Dr. Nawiruddin M.Ag dan Dr. Sirojuddin Aly M.A selaku penguji I dan penguji II yang telah meluangkan waktu untuk menguji dan melakukan koreksi terhadap penulisan ini. Semoga senantiasa diberikan keberkahan oleh Allah SWT. 6. Seluruh dosen pengajar Program Studi Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis. Semoga Allah SWT memberikan berkah yang setimpal terhadap ilmu-ilmu yang sudah diberikan. 7. Kepada orang tua R. Rudito dan Ruthy Supriyatin yang telah memberikan doa, bimbingan dan dukungan baik moril dan materil kepada penulis serta adik-adik Aulia Rahma dan Seto Abdul. 8. Arfian serta Wajdi Rahman M.Si selaku Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKS dan Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah Timur DPP PKS yang telah membantu penulis dalam melengkapi data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penulisan ini. 9. Maulidia Bibi yang telah memberikan inspirasi terhadap tema penulisan ini. Teman-teman Ilmu Politik B 2016 yang telah mewarnai perjalanan hidup penulis, khususnya membantu penulisan skripsi ini, Dito, Rexsy, Damar, Nursapitri, dll. Semoga semua sukses dan menjadi individu yang lebih baik lagi kedepannya. 10. Keluarga besar KKN 107 MARS yang telah memberikan kesempatan penulis untuk memimpin di mereka, Trisan, Dhiya, Nadia, Aziza, Restu, Agus dan 12 orang lainnya. Terimakasih untuk semua pengalaman

vii

dan pelajarannya selama satu bulan di Desa Rancalabuh, Kabupaten Tangerang. 11. Teman-teman sejak SMA, Fakkih, Fauzi, Fahim, Imam, Mery yang telah memberikan support dan dukungan selama penulisan ini. 12. Teman-teman HMI Ilmu Politik 2016 dan GMNI Tangsel yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman lebih kepada penulis. 13. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-satu, terima kasih atas semua bantuan dan dukungan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga Allah SWT dapat membalas kebaikan mereka. Tanpa dukungan mereka, sulit rasanya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Akhir kata, Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan termasuk dunia akademis dan masyarakat pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Desember 2020

Ginanjar Pangestu Aji

viii

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... ix DAFTAR SINGKATAN ...... xi BAB I ...... 1 PENDAHULUAN ...... 1 A. Pernyataan Masalah ...... 1 B. Pertanyaan Penelitian ...... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 8 D. Tinjauan Pustaka...... 9 E. Metode Penelitian ...... 12 1. Pendekatan Penelitian...... 12 2. Teknik Pengumpulan Data ...... 13 3. Teknik Analisis Data ...... 13 F. Sistematika Penulisan ...... 14 BAB II ...... 15 KERANGKA TEORETIS ...... 15 A. Partai Politik ...... 15 B. Partai Islam di Indonesia ...... 21 C. Rekrutmen Politik ...... 26 D. Kepemimpinan Politik dalam Perspektif Demokrasi dan Islam ...... 29 1. Kepemimpinan Politik dalam Perspektif Demokrasi ...... 29 2. Kepemimpinan Politik dalam Perspektif Islam ...... 32 3. Kepemimpinan Politik Non-Muslim dalam Pandangan Ulama ...... 37 BAB III ...... 45 GAMBARAN UMUM PKS DAN PILKADA PAPUA ...... 45 A. Profil Partai Keadilan Sosial ...... 45 1. Visi dan Misi Partai Keadilan Sejahtera ...... 48

ix

B. Prinsip Dasar Perjuangan PKS ...... 48 C. PKS dan Rekrutmen Kandidat Kepala Daerah...... 49 D. Pemilihan Kepala Daerah di Papua ...... 52 1. Biografi Kandidat Non-Muslim yang Didukung oleh PKS...... 58 BAB IV ...... 61 DUKUNGAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA TERHADAP KANDIDAT NON-MUSLIM PADA PILKADA PAPUA 2018 ...... 61 A. Kepemimpinan Politik dalam Pandangan PKS ...... 61 B. Rekrutmen Politik PKS di Papua...... 73 C. Faktor-Faktor PKS Mendukung Kandidat Non-Muslim dalam Pilkada di Papua 80 1. Agama Islam Tidak Menjadi Syarat bagi Calon Pemimpin yang Diusung PKS ...... 80 2. PKS Realistis terhadap Demografi Masyarakat di Provinsi Papua..... 81 3. PKS Tidak Memiliki Kader Potensial untuk Dicalonkan pada Pilkada Papua 2018 ...... 84 4. Popularitas dan Elektabilitas Lukas-Klemen yang Mewakili Representasi Pegunungan dan Pesisir Laut ...... 85 5. Lukas dan Klemen Tidak Diskriminatif terhadap Umat Islam yang Menjadi Minoritas Di Papua ...... 87 BAB V ...... 90 PENUTUP ...... 90 A. Kesimpulan...... 90 B. Saran ...... 93 1. Saran Praktis ...... 93 2. Saran Akademis ...... 93 DAFTAR PUSTAKA ...... 95

x

DAFTAR SINGKATAN

AD ART : Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga

DDII : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia

DKI Jakarta : Daerah Khusus Ibukota Jakarta

DPC : Dewan Pengurus Cabang

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPRP : Dewan Perwakilan Rakyat Papua

DPRa : Dewan Pengurus Ranting

DPT : Daftar Pemilih Tetap

DPW : Dewan Pengurus Wilayah

FSLDK : Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus

Golkar : Golongan Karya

KAMMI : Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

LDK : Lembaga Dakwah Kampus

LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

LMD : Latihan Mujahid Dakwah

LSI : Lembaga Survei Indonesia

Masyumi : Majelis Syuro Muslimin Indonesia

MK : Mahkamah Konstitusi

MPP : Majelis Pertimbangan Pusat

MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

xi

MTQ : Musabaqah Tilawatil Quran

NU : Nahdlatul Ulama

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia

PAN : Partai Amanat Nasional

PBB : Partai Bulan Bintang

PDIP : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

PDP : Partai Demokrasi Pembaruan

PDS : Partai Damai Sejahtera

Pemilu : Pemilihan Umum

Pesparawi : Pesta Paduan Suara Gerejawi

Pilkada : Pemilihan Kepala Daerah

PIS : Partai Indonesia Sejahtera

PK : Partai Keadilan

PKB : Partai Kebangkitan Bangsa

PKDI : Partai Kasih Demokrasi Indonesia

PKI : Partai Komunis Indonesia

PKNU : Partai Kebangkitan Nasional Ulama

PKPI : Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

PKS : Partai Keadilan Sejahtera

PMB : Partai Matahari Bangsa

PNI : Partai Nasional Indonesia

PNS : Pegawai Negeri Sipil

PPD : Partai Persatuan Daerah

xii

PPDI : Partai Penegak Demokrasi Indonesia

PPI : Partai Pemuda Indonesia

PPP : Partai Persatuan Pembangunan

PPRN : Partai Peduli Rakyat Nasional

PRN : Partai Rakyat Nasional

RUU : Rancangan Undang-Undang

SAW : Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

SBY :

SMA : Sekolah Menengah Atas

UU : Undang-Undang

UKM : Unit Kegiatan Mahasiswa

xiii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Indonesia menganut sistem demokrasi sejak pertama kali merdeka pada tahun 1945. Secara eksplisit, keinginan untuk menganut aliran demokrasi tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.1 Perjalanan demokrasi Indonesia pun terbilang panjang mengingat Indonesia telah beberapa kali menganut sistem pemerintahan yang berbeda-beda.

Perjalanan Demokrasi di Indonesia dari merdeka hingga kini terbagi menjadi empat, yakni demokrasi parlementer (1945-1959), demokrasi terpimpin

(1959-1965), demokrasi pancasila (1965-1998), hingga demokrasi masa reformasi

(1998-sekarang). 2 Dalam setiap masa pemerintahan baik Ir. Soekarno hingga reformasi, tata cara dan prosedur Pemilu Presiden dan anggota legislatif serta prosedur pemilihan kepala daerah berbeda dari orde lama hingga masa reformasi.

Pada masa orde lama atau pemerintahan Ir. Soekarno, pemilihan umum hanya dilakukan dalam rangka memilih anggota DPR dan anggota konstituante yang dilaksanakan pertama kali pada tahun 1955.3 Pada masa orde baru, pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif. Sementara posisi Presiden hanya dapat diangkat dan diberhentikan oleh MPR yang merupakan gabungan dari DPR dan utusan daerah serta utusan golongan. Akan tetapi, pemilu pada masa orde lama

1 Ni’matul Huda dan Imam Nasef, “Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi”, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 15. 2 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008) h. 127. 3 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, h. 127

1

hanya memperkuat legitimasi Soeharto sebagai Presiden melalui partai 4 yang selalu memenangkan Pemilu pada masa pemerintahannya. Selanjutnya pada masa reformasi, pemilihan umum pertama terjadi pada tahun 1999 dengan tujuan memilih anggota legislatif. Pemilihan presiden secara langsung dan berkala setiap

5 tahun dilaksanakan pada tahun 2004 hingga kini.

Sementara dalam rangka memilih pemimpin daerah, pada umumnya pemerintahan orde baru dan orde lama sama-sama menggunakan metode pemilihan yang dipilih langsung oleh Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Dalam hal ini, seleksi dan rekomendasi terhadap kepala daerah dilakukan oleh DPRD tingkat daerah yang bersangkutan.5 Pemilihan kepala daerah dengan prosedur langsung mulai dilaksanakan tahun 2005 yang mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004.

Peraturan pemilihan kepala daerah terus mengalami perubahan baik dalam hal prosedural hingga pada taraf persyaratan seorang calon untuk maju menjadi pemimpin daerah. Terakhir, UU No. 10 Tahun 2016 menjadi landasan konstitusional dalam menyelenggarakan pemilihan tingkat daerah. Undang-

Undang tersebut mengandung beberapa ketentuan, yakni seperti persyaratan bagi calon yang mencalonkan, persyaratan bagi penyelenggara pemilu, hingga persyaratan bagi calon kepala daerah untuk maju melalui jalur independen.

Untuk maju sebagai pemimpin daerah sebagai calon independen, persyaratannya cukup menyulitkan bagi calon. Persyaratan tersebut adalah para calon harus mengantongi minimal 10% dari jumlah DPT yang tercatat bagi daerah

4 Haniah Hanafie dan Suryani, “Politik Indonesia”, (Jakarta: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) h. 84. 5 Aziz Setyagama, “Pembaruan Politik Hukum Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Indonesia”, (Surabaya: Jakad Media Publishing, 2017), h. 93-106.

2

yang memiliki DPT paling banyak 2.000.000 pemilih.6 Sehingga banyak pihak- pihak yang merasa bahwa ketentuan tersebut menyulitkan bagi seorang calon yang ingin maju menjadi kepala daerah.7Maka dari itu, partai politik menjadi pilihan

“lebih mudah” dibandingkan jalur independen dalam rangka mencalonkan diri menjadi pemimpin daerah.

Secara umum, kepemimpinan politik berkaitan dengan jabatan tertinggi yang diemban seseorang dalam struktur politik baik suprastruktur seperti Presiden pada tingkat tertinggi, gubernur hingga walikota maupun dalam infrastruktur politik atau organisasi kepartaian seperti Presiden partai. Dalam hal ini, kepala daerah adalah pemimpin politik di tingkat daerah, baik kota maupun provinsi.

Keterlibatan partai politik untuk menjadi salah satu jalur dalam pencalonan dan pengusungan kepala daerah tertentu tentunya juga menjadi fungsi partai politik, yakni rekrutmen. Rekrutmen politik untuk menyeleksi calon-calon potensial dan memiliki kompetensi menjadi pemimpin politik di daerah menjadi peran yang krusial bagi partai politik. Dalam praktiknya, partai biasanya mengadakan beberapa sesi dalam menyeleksi pemimpin politik. Dari hasil seleksi tersebut kemudian muncul nama-nama yang akan dicalonkan dengan surat keputusan terhadap pencalonan yang biasanya disahkan langsung oleh pengurus pusat dari partai politik.

Performa partai politik di era reformasi khususnya pada kontestasi pemilihan umum, partai dengan corak Islam cenderung menjadi salah satu fokus

6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. 7 “Syarat Kepala Daerah Maju Independen Digugat ke MK” tersedia di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190829110307-12-425655/syarat-kepala- daerah-maju-independen-digugat-ke-mk diakses pada 13 Oktober 2020.

3

perhatian dari peneliti sosial. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Anies

Baswedan yang dikutip dalam buku Dilema PKS karya Burhanuddin Muhtadi.

Hasil dari penelitian adalah yakni suara elektoral yang cenderung naik yang diraih oleh PKS dalam pemilu 2004, berasal dari partai Islam lainnya yakni PAN dan PPP.8 Artinya, partai Islam mengalami stagnansi perolehan suara, dengan peningkatan suara PKS pada pemilu 2004 berasal dari suara partai Islam lainnya. Selain itu, Penelitian LSI juga menunjukkan bahwa kenaikan suara PKS pada pemilu 2004 bukan dikarenakan partai tersebut memiliki asas Islam, akan tetapi mayoritas pemilih lebih tertarik kepada kesamaan platform dan program partai.9

Berkaitan dengan identitas keislaman partai, hasil penelitian LSI pada tahun

2008 juga menemukan fakta bahwa partai PKS adalah partai yang paling Islamis.10

Akan tetapi, para pemilih muslim cenderung memilih partai tidak berdasarkan identitas keislaman sebuah partai.11 Dalam beberapa penyelenggaraan pemilu pun performa partai Islam cenderung fluktuatif dalam setiap penyelenggaraan pemilu dari 2004 sampai 2019.12 Dengan fakta yang telah dikemukakan, maka menjadi menarik untuk melihat kebijakan yang dilakukan partai Islam di tingkat daerah di tengah performa elektoral yang cenderung tidak naik secara signifikan.

8 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), h. 205. 9 Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia” (Jurnal Penelitian Politik, Volume 1, Nomor 1, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2004) h. 44. 10 “Kekuatan Elektoral Partai-Partai Islam Menjelang Pemilu 2009” berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2008. 11 “Kekuatan Elektoral Partai-Partai Islam Menjelang Pemilu 2009” berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2008. 12 “Hasil penghitungan suara sah partai politik peserta pemilu legislatif tahun 2004 sampai 2019”, tersedia di https://www.bps.go.id/statictable/2009/03/04/1573/hasil-penghitungan-suara- sah-partai-politik-peserta-pemilu-legislatif-tahun-2004-2019.html, diakses pada 2 Mei 2020.

4

Dalam memandang sebuah kepemimpinan politik di tingkat daerah, penulis sedikit terilhami dengan hiruk pikuk perpolitikan pada Pilkada tahun 2017. Ketika itu, yang mencalonkan diri dalam Pilkada DKI Jakarta dicap oleh sebagian masyarakat dengan sebutan kafir, sehingga narasi muslim tidak boleh memilih pemimpin bukan muslim menyeruak.13 Narasi-narasi tersebut terus dibangun hingga jalannya pemilihan kepala daerah. Dengan narasi tersebut, sikap toleransi terhadap sesama masyarakat seakan ada dalam titik nadir ketika peristiwa seorang warga DKI Jakarta yang tidak mendapat bantuan dari masyarakat sekitar saat ia meninggal. Belakangan diketahui sikap dari tetangga yang enggan membantu adalah karena salah seorang warga tersebut diketahui memilih Basuki dalam Pilkada 2017 yang dinarasikan sebagai calon pemimpin non-muslim.14

Sementara itu di daerah Indonesia Timur tepatnya Provinsi Papua, Pilkada dilaksanakan pada tahun 2018. Pilkada tersebut diikuti dua pasang calon. Salah satu calon adalah dan dicalonkan oleh gabungan dari 10 partai yakni PKS, Demokrat, Golkar, Hanura, Nasdem, PKB, PKPI, PAN, PBB dan

PPP.15 Lukas Klemen adalah penganut agama Kristen Protestan16, akan tetapi ia dicalonkan oleh setidaknya 5 partai yang memiliki identitas keislaman yakni PKS,

PBB, PKB, PPP dan PAN.

13 Siswanto dan Dwi Bowo Raharjo, “Kata Kafir Muncul Saat Persiapan Ahok ke 2017 Begini Reaksi PKS” tersedia di https://www.suara.com/news/2016/08/11/174857/kata-kafir- muncul-saat-persiapan-ahok-ke-2017-begini-reaksi-pks?page=all diakses pada 13 Oktober 2020. 14 Muslim AR, "Jenazah Nenek Hindun Ditelantarkan Warga Setelah Pilih Ahok" tersedia di https://m.liputan6.com/news/read/2882270/jenazah-nenek-hindun-ditelantarkan-warga-setelah- pilih-ahok diakses pada 13 Oktober 2020. 15 Humas PKS Papua, “PKS Bersama 9 Parpol Deklarasikan Lukas Enembe sebagai Cagub Papua”, tersedia di https://pks.id/content/pks-bersama-9-parpol-deklarasikan-lukas- enembe-sebagai-cagub-papua diakses pada 30 Juli 2020. 16 “Profil Gubernur Papua”, tersedia di https://www.papua.go.id/view-detail-page- 292/profil-gubernur-papua.html, diakses pada 13 Oktober 2020.

5

Sebagai salah satu partai berasaskan Islam, keberadaan PKS tentunya tidak bisa dipisahkan dari sejarah mereka sebagai gerakan dakwah yang mendapat represi dari pemerintahan orde baru. Selain itu, berdasarkan pengalaman langsung penulis terhadap kehidupan pribadi salah satu kerabat penulis, perkaderan dan kegiatan keislaman yang berlangsung secara rutin seperti salah satunya liqo membuat loyalitas kader PKS terhadap partainya semakin besar. Salah satu kegiatan yang diikuti oleh kerabat penulis sebagai kader PKS adalah kegiatan demonstrasi pra

Pilkada DKI 2017 yakni demo dengan narasi aksi bela Islam.17 Pada pelaksanaan

Pilkada DKI 2017 sendiri, PKS mendukung pasangan Anies Baswedan dan

Sandiaga Uno yang melawan pasangan yang sebelumnya dinarasikan sebagai pemimpin kafir yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot S. Hidayat.

Peristiwa tersebut merupakan satu dari sekian kegiatan yang sangat mencerminkan pergerakan PKS terhadap isu keislaman sehingga membuat penulis menganggap

PKS adalah sebuah partai dengan asas Islam yang bisa menciptakan loyalitas terhadap kader dengan salah satunya melalui kegiatan-kegiatan yang memiliki narasi keislaman.

Akan tetapi pada Pilkada yang dilaksanakan di Papua pada tahun 2018, PKS sebagai salah satu partai yang menjadi kontestan justru mengusung pasangan yang memiliki latar belakang keagamaan non-Islam yakni Lukas Enembe dan Klemen

Tinal. Memang secara konstitusional melalui UU Pilkada tidak mengatur agama tertentu bagi seorang pasangan calon, namun PKS sebagai partai dengan citra

17 “PKS Serukan Masyarakat Ikut Aksi 212”, tersedia di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161130134337-32-176305/pks-serukan-masyarakat- ikut-aksi-212 diakses pada 12 Oktober 2020.

6

keislaman yang begitu kental menghadirkan beberapa pertanyaan bagi penulis tentang bagaimana sebenarnya PKS memandang sebuah kepemimpinan politik dan apakah agama Islam berpengaruh atau juga menjadi syarat terhadap pencalonan kepala daerah yang dilakukan oleh PKS.

Dengan melihat apa yang terjadi pada Pilkada DKI 2017, paradigma terhadap kepemimpinan berbasiskan keagamaan seseorang menjadi menarik untuk diteliti lebih dalam. Tidak jarang pula ditemukan beragam pertanyaan dan pendapat di masyarakat beragama Islam terkait dengan boleh atau tidaknya sebuah kepemimpinan dijabat oleh individu yang secara keagamaan berbeda dengan mereka. Terlebih, adanya fakta bahwa PKS sebagai partai asas Islam mengusung pasangan yang beragama non-Islam membuat pandangan terhadap kepemimpinan politik non-muslim semakin menimbulkan pertanyaan.

Selain itu, pergerakan PKS sebagai partai dengan asas Islam di wilayah yang memiliki demografi minoritas Islam18 juga menjadi bahasan yang menarik bagi peneliti. Hal ini dikarenakan PKS dalam menjalankan kegiatan perkaderan seperti liqo19 sudah dipastikan menggunakan metode dan materi-materi keislaman di dalamnya. Dengan fakta bahwa Papua memiliki masyarakat dengan demografi masyarakat yang mayoritasnya non-Islam, bagaimana PKS melakukan rekrutmen politik di wilayah tersebut?

Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, maka penulis beranggapan bahwa pandangan PKS mengenai kepemimpinan politik menarik untuk dibahas karena

18 Data Umat Berdasar Jumlah Pemeluk Agama Menurut Agama” tersedia di https://data.kemenag.go.id/agamadashboard/statistik/umat diakses pada 13 Oktober 2020. 19 M Imdadun Rahmat, “Ideologi Politik PKS Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen”, (: LKIS, 2008) h. 242.

7

melihat fakta bahwa PKS mencalonkan kandidat non-muslim dalam Pilkada Papua

2018 yang membuat timbul beberapa pertanyaan seperti yang telah disebutkan.

Penelitian ini akan mendeskripsikan lebih dalam mengenai kepemimpinan politik serta pandangan PKS sebagai partai Islam terhadap kepemimpinan non-muslim sesuai dengan fakta bahwa PKS mengusung pasangan beragama non-Islam.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis merumuskan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana PKS memaknai sebuah kepemimpinan politik?

2. Bagaimana rekrutmen politik yang dilakukan PKS di Papua?

3. Faktor apa saja yang memengaruhi PKS dalam mendukung pasangan calon

non-muslim pada Pilkada Papua tahun 2018?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian adalah:

1. Untuk memahami pandangan Partai Keadilan Sejahtera mengenai

kepemimpinan dalam politik.

2. Untuk menggambarkan bagaimana rekrutmen politik yang dilakukan PKS

di Papua.

3. Untuk mendeskripsikan alasan Partai Keadilan Sejahtera sebagai

representasi partai berasaskan Islam dalam mengusung pasangan non-

muslim.

8

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:

1. Untuk menambah pengetahuan tentang partai politik berasaskan Islam dan

kepemimpinan politik non-Islam.

2. Untuk menambah pengalaman serta potensi penulis dalam menulis karya

ilmiah terutama berkaitan dengan tugas akademik sebagai syarat dalam

memperoleh gelar sarjana Strata (S1) Ilmu Politik, FISIP Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang digunakan oleh penulis memiliki dua sumber yakni

Skripsi dan jurnal. Tinjauan pustaka bertujuan untuk mengetahui rujukan yang digunakan yang berkaitan dengan konsep dan masalah yang ingin dikemukakan serta apa yang menjadi perbedaan dari apa yang kita teliti dengan penelitian terdahulu.

Referensi pertama yang digunakan adalah skripsi dengan penulis

Mochamad Rois berjudul "Presiden Non-Muslim di Indonesia dalam Pandangan

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera".20 Skripsi tersebut membahas perbandingan pandangan kedua partai tersebut terhadap presiden non-muslim dengan menggunakan perspektif presiden dalam konteks negara, sedangkan penelitian ini melihat pandangan PKS mengenai kepemimpinan politik dengan studi kasus dukungan PKS terhadap non-muslim di Pilkada Papua.

20 Mochamad Rois, "Presiden Non-Muslim di Indonesia dalam Pandangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera" (Skripsi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jurusan Hukum, Fakultas Hukum, 2016).

9

Referensi kedua yang digunakan adalah skripsi “Idealisme dan

Pragmatisme Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Implementasi Rekrutmen terhadap

Calon Kepala Daerah Kabupaten Pesawaran Tahun 2015” yang ditulis oleh

Supratmono. 21 Skripsi tersebut membahas tentang pengusungan PKS terhadap salah satu calon kepala daerah yang hanya mengutamakan kemenangan, serta kaderisasi yang dianggap belum maksimal di Kabupaten Pesawaran sehingga PKS tidak dapat mencalonkan kepala daerah dari internal kader. Perbedaan dengan penelitian ini adalah aspek agama dan kepemimpinan politik menjadi fokus penelitian, dengan rekrutmen dan kaderisasi PKS di wilayah minoritas muslim khususnya Provinsi Papua.

Referensi ketiga adalah jurnal Hasse J dengan judul “Respons Publik Muda

Islam tentang Kepemimpinan Non-Muslim di Indonesia.” 22 Jurnal tersebut mengemukakan bahwa ada daerah-daerah lain dengan latar belakang keagamaan pemimpin yang berbeda dengan demografi mayoritas agama yang dianut oleh masyarakat. Daerah tersebut di antaranya adalah Barat dengan demografi mayoritas beragama Islam yang dipimpin oleh gubernur non-muslim serta Bupati Kepulauan Sula yang beragama non-Islam di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang beragama Islam. Selain itu, jurnal ini pun mengungkap fakta bahwasanya PKS ikut mengusung Bupati Kabupaten Kepulauan Sula yang beragama non-Islam di tengah wilayah dengan mayoritas masyarakat beragama

21 Supratmono, “Idealisme dan Pragmatisme Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Implementasi Rekrutmen terhadap Calon Kepala Daerah Kabupaten Pesawaran Tahun 2015” (Skripsi Institut Agama Islam Negeri Raden Intan , Jurusan Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin, 2017) 22 Hasse J, “Respons Publik Muda Islam tentang Kepemimpinan Non-Muslim di Indonesia”, (Jurnal Al-Ulum Volume 18, Nomor 1, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2018).

10

Islam pada Pilkada Tahun 2015. Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian ini ingin menjabarkan lebih jauh alasan serta faktor-faktor PKS mengusung pasangan non-muslim di Papua, sedangkan penelitian tersebut hanya menjelaskan secara singkat tentang adanya fakta bahwa beberapa daerah dipimpin oleh pemimpin yang berbeda latar belakang keagamaan dengan mayoritas masyarakatnya, termasuk salah satunya dukungan PKS di Kepulauan Sula.

Referensi Keempat adalah artikel penelitian ilmiah Universitas Padjajaran dengan penulis Yusa Djuyandi dan Fifi Lutfiah Sodikin yang berjudul “Proses

Kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera dalam Mempertahankan Eksistensi Partai

Politik Menjelang Pemilu Tahun 2014.”23 Artikel ini mengemukakan bahwa proses kaderisasi formal dan informal khas PKS di wilayah DPD PKS Kota Bandung melahirkan kader-kader yang berkontribusi terhadap eksistensi partai politik yang dibuktikan dengan jumlah anggota dan simpatisan yang terus bertambah sehingga berdampak pada performa partai dalam pemilu yang perlahan meningkat dari waktu ke waktu. Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian ini ingin menjabarkan lebih jauh bagaimana strategi kaderisasi dan perjenjangan khas PKS sebagai partai asas Islam di wilayah yang mayoritasnya beragama non-Islam yakni Papua, sedangkan penelitian tersebut mengambil studi kasus di wilayah DPD PKS Kota

Bandung.

Referensi kelima adalah jurnal berjudul “Rekrutmen Bakal Calon Walikota dan Wakil Walikota Koalisi Partai Demokrat, Gerindra, dan PKS pada Pilkada

23 Yusa Djuyandi dan Fifi Lutfiah Sodikin, “Proses Kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera dalam Mempertahankan Eksistensi Partai Politik Menjelang Pemilu Tahun 2014”, (Artikel Penelitian Universitas Padjajaran Bandung, 2019)

11

Kota Pekanbaru Tahun 2017” yang ditulis oleh Chanie Prasantya.24 Jurnal tersebut mengemukakan bahwa dalam rangka Pilkada Kota Pekanbaru Tahun 2017, rekrutmen politik yang dilakukan oleh PKS berlangsung secara tertutup dengan menyeleksi anggota dan kader yang dianggap layak untuk maju menjadi calon usungan PKS. Pemilihan internal dalam rangka memilih calon-calon dinamakan

PUI (Pemilihan Umum Internal) di mana pemilihan ini berlangsung di dalam internal PKS dengan membentuk tim pemenangan pemilu internal partai yang pada akhirnya disepakati oleh DPP Partai Keadilan Sejahtera. Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian ini membahas secara khusus kebijakan Partai

Keadilan Sejahtera dalam Pilkada Papua 2018 baik dalam hal rekrutmen politik maupun juga faktor-faktor dukungannya, sedangkan penelitian tersebut membandingkan strategi tiga partai yakni PKS, Partai Demokrat dan Gerindra dalam menghadapi Pilkada Pekanbaru Tahun 2017.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian kualitatif menjadi pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini. Penelitian kualitatif digunakan untuk mengetahui makna suatu kejadian atau peristiwa dengan berinteraksi dengan individu-individu yang terlibat dalam suatu fenomena atau peristiwa.25

24 Chanie Prasantya, “Rekrutmen Bakal Calon Walikota dan Wakil Walikota Koalisi Partai Demokrat, Gerindra, dan PKS pada Pilkada Kota Pekanbaru Tahun 2017”, (Jurnal JOM FISIP, Volume 4 Nomor 2, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas , 2017) 25 A. Muri Yusuf, “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan”, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 328.

12

2. Teknik Pengumpulan Data

I. Data Primer

Penelitian ini menjadikan wawancara sebagai data primer. Subjek

wawancara dalam penelitian ini adalah kader inti Partai Keadilan Sosial

yakni Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah Indonesia Timur DPP Partai

Keadilan Sejahtera, M. Wajdi Rahman. Narasumber wawancara tersebut

mengetahui secara langsung pencalonan Lukas-Klemen oleh PKS karena

narasumber terkait dengan pengambilan keputusan melalui diskusi yang

melibatkan DPP yang diwakili Bidang Wilayah Dakwah Indonesia Timur

serta DPW PKS Papua. Selain itu, penulis juga mengutip wawancara

pernyataan Surahman Hidayat sebagai Ketua Dewan Syariah DPP PKS

pada penelitian terdahulu dan Sohibul Iman sebagai Presiden PKS di media

elektronik. Penelitian ini memiliki kekurangan dalam hal jumlah

narasumber.

II. Data Sekunder

Penelitian akademik seperti skripsi, jurnal, buku serta sumber dari

media massa elektronik.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif analisis berdasarkan fakta kemudian dianalisis dengan temuan atau fakta lainnya yang diperoleh melalui data lainnya sehingga penulis dapat mengambil kesimpulan berdasarkan keseluruhan data yang didapat.

13

Penulis menggunakan deskriptif analisis dengan memaparkan beberapa teori-teori yang menjadi rujukan yakni partai politik, rekrutmen politik serta kepemimpinan politik.

F. Sistematika Penulisan

Dalam menyusun penelitian, peneliti menggunakan pedoman penyusunan skripsi tahun 2017 yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Penelitian mengandung lima bab, sistematika penulisan penelitian adalah sebagai berikut:

BAB I. Bab ini berisikan latar belakang dan pernyataan masalah, pertanyaan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II. Bab ini menjabarkan teori dan konsep yang berkaitan dengan pengusungan Partai Keadilan Sejahtera terhadap calon pemimpin non-muslim pada

Pilkada Papua tahun 2018 sebagai studi kasus yang akan dianalisis.

BAB III. Bab ini menjabarkan profil dari Partai Keadilan Sejahtera, Pilkada

Papua serta profil dari calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua yang diusung oleh PKS.

BAB IV. Bab ini berisi pembahasan penelitian yakni tentang pemimpin politik menurut PKS, rekrutmen politik PKS di Papua serta faktor-faktor dukungan

PKS pada Pilkada Papua 2018.

BAB V. Bab ini memaparkan kesimpulan penelitian serta saran berdasarkan fakta yang penulis temukan pada saat penelitian.

14

BAB II

KERANGKA TEORETIS

A. Partai Politik

Partai politik adalah salah satu pilar demokrasi modern yang ada dalam sebuah sistem kenegaraan. Pada dasarnya istilah partai politik muncul pada abad ke-19. Akan tetapi, fenomena yang mirip dengan kemunculan partai politik sebenarnya sudah ada sejak zaman polis dan abad pertengahan yang dicirikan dengan perwakilan yang berusaha untuk menjadi penguasa dan memiliki pengaruh.26

Secara etimologis, partai berasal dari kata “partire” yang bila diartikan berarti membagi. 27 Arti “membagi” tersebut berkembang menjadi “turut mengambil bagian”, yang ditujukan pada kegiatan yang dilakukan masyarakat di sebuah negara. Sedangkan politik dalam kehidupan bernegara berkaitan dengan masalah kemasyarakatan seperti kekuasaan, kebijakan, pengambilan keputusan dan lain-lain. 28 Sehingga partai politik didefinisikan sebagai suatu kelompok yang berasal dari anggota masyarakat yang terorganisir yang memiliki orientasi, nilai- nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik secara konstitusional.29 UU No. 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 2

Tahun 2008 tentang partai politik mendefinisikan partai politik sebagai berikut:

“Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita dan untuk memperjuangkan dan membela kepentingan

26 Efriza dan Yoyoh Rohaniah, “Pengantar Ilmu Politik Kajian Mendasar Ilmu Politik” (Malang: Intrans Publishing, 2015) h. 349. 27 Damsar, “Pengantar Sosiologi Politik” (Jakarta: Prenadamedia, 2010) h. 245 28 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008) h. 398 29 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404.

15

politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”30

Selain itu, menurut Giovanni Sartori yang dikutip dalam buku Dasar-Dasar

Ilmu Politik, partai politik adalah “Suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum itu, maka partai politik mampu menempatkan calon-calon pilihannya untuk menduduki jabatan publik.”31

Dalam perkembangannya, pandangan terhadap partai politik terbagi dua, ada yang memandang negatif seperti partai cenderung tidak membagikan kekuasaan dan kebijakannya secara merata. Ada pula yang memandang peran partai dalam sebuah negara sangat krusial dikarenakan partai merupakan pilar dari demokrasi modern. Dalam Pengantar Ilmu Politik Kajian Mendasar Ilmu Politik karya Efriza dan Yoyoh Rohaniah, Robert Michels dan Schattscheider mengemukakan tentang partai politik dengan dua pandangan berbeda. Jika Robert

Michels memandang bahwa partai politik selalu melahirkan dominasi yang sifatnya oligarkis, maka Schattscheider sebaliknya, ia memandang bahwa partai politik adalah pembentuk dan sebagai landasan demokrasi yang perlu diperkuat derajat kelembagaannya baik sebagai koalisi maupun oposisi, karena partai politik sebagai penghubung antara pemerintahan negara serta warga negara.32

Secara historis, ada tiga teori yang mendasari lahirnya partai politik dalam perkembangan politik negara-negara di dunia. Teori pertama adalah teori kelembagaan. Teori ini menghubungkan antara kelahiran parlemen dan awal

30 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 31 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404. 32 Efriza dan Yoyoh Rohaniah, “Pengantar Ilmu Politik Kajian Mendasar Ilmu Politik” (Malang: Intrans Publishing, 2015) h. 352-353.

16

munculnya partai politik. Teori kedua yakni situasi historik. Teori ini menganggap partai politik sebagai jawaban atas krisis yang ada dalam perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Teori ketiga adalah teori pembangunan. Teori ini memberi kaitan antara modernisasi sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap awal kemunculan partai politik.33

Terkait dengan sejarah peradaban politik Islam, pada periode pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW tahun 632 M juga muncul adanya kelompok- kelompok politik Islam yang mencoba masuk pada persaingan politik untuk memperebutkan kekuasaan sepeninggal Nabi SAW. Kelompok tersebut adalah kelompok Anshor dan kelompok Muhajirin yang terdiri dari orang-orang Quraisy.34

Kelompok Anshor menganggap bahwa kekuasaan bukan hanya milik orang-orang

Muhajirin (Quraisy) tetapi juga kelompok mereka. Sedangkan orang-orang

Muhajirin menegaskan bahwa kepemimpinan adalah milik mereka sedangkan kelompok Anshor hanya berhak ada dalam posisi kementerian. Adanya perbedaan pandangan tersebut mengakibatkan kondisi di beberapa wilayah yang mengalami krisis dan mengakibatkan kestabilan politik di Madinah yang terguncang.35 Kedua kelompok Islam tersebut juga bisa menjadi gambaran terkait dengan awal kemunculan kelompok politik yang ada pada sejarah peradaban Islam. Kelompok politik tersebut juga bisa disebut dengan partai politik karena memperebutkan

33 Ramlan Surbakti, “Memahami Ilmu Politik”, (Jakarta: CV Prima Grafika, 2013) h. 144. 34 Sirojuddin Aly, “Pemikiran Politik Islam Klasik: Sejarah, Praktik dan Gagasan”, (Jakarta: Madzhab Ciputat Jakarta, 2017) h. 88 35 Sirojuddin Aly, “Pemikiran Politik Islam Klasik: Sejarah, Praktik dan Gagasan”, h. 89- 90

17

kekuasaan, masalah hak waris pimpinan dan pembagian kekuasaan 36 meskipun kemunculan partai politik modern baru terjadi pada abad ke-19.

Pada abad ke-18, kegiatan politik seperti pembuatan kebijakan, pembagian kekuasaan, serta kepentingan umum terpusat pada kelompok-kelompok yang ada pada parlemen. Sehingga, dengan keadaan yang bersifat elitis dan aristokratis, kegiatan politik di kawasan Eropa pada saat itu dianggap hanya mementingkan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan para raja.37 Hingga pada abad ke-

19, seiring dengan perluasan hak-hak politik yang ada dalam masyarakat, kelompok parlemen sadar bahwa mereka perlu untuk memperoleh dukungan yang lebih dari berbagai komponen masyarakat, hingga akhirnya lahirlah partai politik. 38 Akhir abad 19 pun ditandai dengan kemunculan partai buruh dan partai sosialis di Jerman dan Austria.39

Kemunculan partai politik di Indonesia ditandai dengan lahirnya berbagai macam organisasi di zaman kolonial Belanda yang dilandasi kesadaran nasional akan situasi perpolitikan Indonesia.40 Ketika itu, beragam organisasi politik lahir disertai dengan perbedaan dalam hal asas pergerakan yang dianut. Seperti misalnya yang memiliki pergerakan asas dan tujuan keagamaan yakni organisasi Sarekat

Islam dan partai Katolik. Semua keragaman asas yang dianut pada awal kelahiran organisasi politik di Indonesia tercermin sampai saat ini dengan sistem partai politik yang multi partai.

36 Sirojuddin Aly, “Pemikiran Politik Islam Klasik: Sejarah, Praktik dan Gagasan”, h. 88 37 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008) h. 398. 38 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 398. 39 Susi Fitria Dewi, “Sosiologi Politik”, (Yogyakarta: GRE Publishing, 2017) h. 108. 40 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008) h. 423.

18

Terkait dengan periode awal lahirnya partai politik di Indonesia, maka kelahirannya berkaitan dengan munculnya kesadaran nasional akan kebutuhan untuk bangkit dari kolonialisme dan meraih kemerdekaan. Kelahiran berbagai macam organisasi pada masa pra kemerdekaan seperti Sarekat Islam, Partai

Katolik, Muhammadiyah, Budi Utomo, PNI dan PKI menjadi bukti perlawanan dari masyarakat pada masa pra kemerdekaan untuk menciptakan persatuan nasional dalam menghadapi penjajahan Belanda.41 Sehingga histori kelahiran partai politik di Indonesia sejalan dengan teori situasi historik, di mana partai dan organisasi politik yang lahir menjadi jawaban untuk melakukan perubahan sosial dan politik yang menyeluruh dengan menciptakan persatuan nasional.

Penggolongan partai politik yang terbagi menjadi beberapa tipe berdasarkan pada sistem serta dasar gerakan yang dikutip dalam buku Damsar, di antaranya yakni:42

a. Berdasarkan jumlah partai politik; Partai tunggal, dwi-partai dan multi-

partai. Partai tunggal biasanya ada di sebuah negara dengan

pemerintahan yang sosialis atau komunis seperti Vietnam dan .

Dwi-partai hanya ada dua partai yang mendominasi dari partai-partai

lain yang ada, contohnya Partai Demokrat dan Partai Republik di

Amerika Serikat. Sedangkan multi-partai dipengaruhi oleh

keanekaragaman budaya politik di masyarakat, contohnya di Indonesia

dengan jumlah partai lebih dari 20 partai.

41 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008) h. 424. 42 Damsar, “Pengantar Sosiologi Politik”, (Jakarta: Prenadamedia, 2010) h. 257-264.

19

b. Berdasarkan dukungan massa; partai integratif dan partai kompetitif.

Partai integratif mengutamakan integrasi secara nasional sehingga

menggunakan pendekatan yang represif, langsung dan otoriter demi

mencapai integrasi nasional yang bersifat eksklusif. Sedangkan partai

kompetitif dibangun secara komprehensif dengan mengutamakan

kepentingan anggota, pendukung dan simpatisan untuk menyelesaikan

permasalahan di masyarakat. c. Berdasarkan basis perolehan suara; partai massa dan partai kader. Partai

massa memiliki kemampuan untuk memobilisasi massa dengan

berusaha untuk memfasilitasi semua lapisan masyarakat. Sedangkan

partai kader mengutamakan kualitas kader dengan melakukan

penjaringan yang ketat terhadap calon kader agar nantinya dapat

dicalonkan menjadi pemimpin baik di daerah maupun negara. d. Berdasarkan primordialisme; partai kelas sosial, partai agama dan partai

etnisitas. Partai kelas sosial adalah partai yang dibentuk atas kesamaan

dalam kelas sosial dalam masyarakat yakni kelas pekerja dan kelas

aristokrat. Partai agama dibentuk atas dasar kesamaan agama tertentu

yang anggotanya berasal dari agama yang sama. Dan partai etnisitas,

dibentuk atas dasar etnisitas yang sama seperti suku, budaya maupun

daerah tertentu. e. Berdasarkan rujukan agama; partai agama, partai sekuler dan partai

netral. Partai agama dibentuk atas rujukan agama yang ada pada

masyarakat dan biasanya lebih keras dalam memperjuangkan UU

20

keagamaan demi kepentingan agama mereka. Partai sekuler adalah

partai yang tidak boleh menunjukkan identitas keagamaan di ruang

publik dan parlemen serta memisahkan antara agama dan negara.

Sedangkan partai netral adalah partai tidak selalu memperjuangkan

agama dalam UU, tergantung pada posisi masyarakat terhadap

hubungan agama dan negara.

Undang-Undang Republik Indonesia sebenarnya tidak menjelaskan secara langsung tipe-tipe partai politik yang ada di Indonesia. Akan tetapi, pasal 2 ayat 4

UU Nomor 2 Tahun 2011 menyebutkan bahwa anggaran dasar anggaran rumah tangga partai politik harus memuat di dalamnya yakni asas dan ciri, visi dan misi, tujuan dan fungsi partai politik.43 Sehingga, dalam meneliti terkait dengan tipe apa yang digunakan oleh partai di Indonesia, kita dapat mengetahuinya melalui ciri serta asas yang dikemukakan sebuah partai di dalam anggaran dasar anggaran rumah tangga partai tersebut.

B. Partai Islam di Indonesia

Kemunculan partai Islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan kondisi sosio-kultural dari masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Perkembangan Islam dalam politik Indonesia sebenarnya sudah ada sejak akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14.44 Pada masa itu, Islam terlibat dalam dialog-dialog yang berdasarkan pada realitas sosio-kultural dan politik pada tingkat lokal hingga nasional. Akan tetapi diskursus tentang Islam dan politik di Indonesia ketika itu

43 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. 44 Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara Transformasi Gagasan Islam dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2009) h. 22.

21

belum cukup memadai. Sehingga, diskursus hubungan politik dan Islam baru dimulai ketika zaman pra-kemerdekaan hingga masa reformasi saat ini.

Pada masa pra-kemerdekaan, Islam menjadi salah satu instrumen yang menyatukan persatuan nasional kala itu dengan lahirnya organisasi Sarekat Islam yang selanjutnya berkembang menjadi Sarekat Dagang Islam untuk menentang kolonialisme Belanda. Ketika itu, Islam menjadi sarana untuk membangun persatuan nasional serta menjadi pembeda antara masyarakat Indonesia dengan elite

Belanda. Organisasi Sarekat Islam pun seketika menjadi besar karena kemampuan mereka untuk menghimpun berbagai kalangan di perkotaan maupun pedesaan meskipun pada akhirnya mengalami perpecahan karena tidak sanggup mengatasi perbedaan yang ada.45

Pada masa pasca-revolusi, kemunculan partai politik yang berbasiskan agama Islam mulai terlihat. Ketika itu, pemerintahan Indonesia mengeluarkan maklumat Wakil Presiden Nomor X mengenai pembentukan partai politik pada tahun 1945.46 Masyumi sebagai partai politik Islam pun berhasil menjadi pelopor bagi wakil dari gabungan kelompok politik Islam seperti Muhammadiyah dan NU.

Pada perkembangannya, kecenderungan dari partai politik Islam salah satunya

Masyumi adalah bagaimana gagasan Islam diterapkan sebagai ideologi negara.

Perdebatan dari gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara mencapai puncaknya ketika pemimpin Masyumi dijebloskan ke dalam penjara karena dianggap menjadi oposisi pemerintahan Soekarno. Pada akhirnya Masyumi dibubarkan karena

45 Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara Transformasi Gagasan Islam dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, h. 76. 46 Haniah Hanafie dan Suryani, “Politik Indonesia”, (Jakarta: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) h. 21.

22

dianggap terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada tahun

1960.47

Selanjutnya masa orde baru, secara umum hubungan antara Islam dan negara mengalami pasang surut. Hubungan antara Islam dan negara menurut Abdul

Azis Thaba dalam Hanafie dan Suryani terbagi menjadi tiga, yakni hubungan antagonistik, hubungan yang resiprokal kritis, serta hubungan akomodatif. 48

Sedangkan ketika berbicara kelangsungan partai Islam pada masa pemilu, jumlah suara yang diperoleh tidak signifikan dibandingkan dengan partai Golkar yang mendominasi, akan tetapi beberapa kali partai Islam menunjukkan perannya seperti mengubah Rancangan Undang-undang yang dianggap merugikan umat Islam seperti RUU sistem pendidikan Indonesia pada masa orde baru.49

Berlanjut pada masa awal reformasi, partai Islam baru mulai bermunculan.

Pemilu yang dilakukan tahun 1999 memunculkan setidaknya ada 20 partai politik

Islam yang menjadi kontestan Pemilu. 50 Lahirnya partai Islam baru dianggap sebagai momentum akan munculnya politik aliran, di mana politik aliran pada masa orde baru tidak dianggap keberadaannya bahkan cenderung dihilangkan. Hal ini dikarenakan orde baru menerapkan politik dealiranisasi dengan menerapkan kebijakan Pancasila sebagai asas tunggal.51

47 Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara Transformasi Gagasan Islam dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2009) h. 129-130. 48 Haniah Hanafie dan Suryani, “Politik Indonesia”, (Jakarta: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) h. 88. 49 Haniah Hanafie dan Suryani, “Politik Indonesia”, h. 98. 50 Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara Transformasi Gagasan Islam dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2009) h. 428. 51 Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia” (Jurnal Penelitian Politik, Volume 1, Nomor 1, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2004), h. 39.

23

Partai Islam pada awalnya dianggap akan meraih banyak suara karena sejalan dengan demografi masyarakat Indonesia, akan tetapi pada tahun 1999 partai-partai Islam hanya meraih 37,5% suara. PAN dan PKB ketika itu tidak ingin diidentifikasikan sebagai partai Islam, sehingga bila dikurangi dengan perolehan

PAN dan PKB, maka partai Islam hanya memperoleh 17,8% suara, berbanding terbalik dengan partai non-Islam yang memperoleh suara mayoritas sebanyak

62,5%.52

Pada masa reformasi mulai dari pemilu 2004 hingga pemilu 2019, perolehan suara partai Islam cenderung relatif naik dan turun. Pada Pemilu 2004, setidaknya hanya 5 partai Islam yang berhasil lolos verifikasi dari KPU. Jumlah partai Islam yang hanya 5 partai yakni PKS, PBB, PPP, PPNU dan PBR.53 PKB dan PAN tidak digolongkan sebagai partai Islam, melainkan sebagai partai dengan basis massa kelompok Islam. Jumlah tersebut berbanding terbalik dengan pemilu 1999 di mana ketika itu jumlahnya mencapai 20 partai termasuk PKB dan PAN.

Perolehan kelima partai Islam tersebut pun bisa dikatakan tidak memuaskan, di mana hanya perolehan suara PKS yang naik bahkan cenderung signifikan dibandingkan pemilu 1999 dengan jumlah suara 7,34%. 54 Pada penelitian LSI yang dikutip dari Jurnal Penelitian Politik LIPI berdasarkan hasil survei pasca pemilu 2004, bahwa meningkatnya pemilih yang memilih PKS adalah bukan karena partai tersebut berbasiskan agama Islam (18%). Akan tetapi, lebih

52 Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara Transformasi Gagasan Islam dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, h. 428. 53 Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia”, h. 42. 54 Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia”, h. 43.

24

karena pemilih merasa memiliki kecocokan program yang diusung serta platform dengan jumlah 53% memilih PKS berdasarkan alasan tersebut.55

Selanjutnya pada pemilu 2009, perolehan suara partai Islam lagi-lagi mengalami penurunan bahkan cukup signifikan dibandingkan sebelumnya. PPP,

PBB, PPNU, bahkan partai yang diketahui memiliki massa kelompok Islam seperti

PKB dan PAN juga mengalami penurunan jumlah suara signifikan. Kenyataan ini berbanding terbalik dengan PKS yang justru mengalami kenaikan suara meskipun jumlahnya tidak signifikan yakni menjadi 7,88% suara.56

Pada pemilu 2014, jumlah partai Islam terus menurun dibandingkan pemilu yang berlangsung sebelumnya. Tercatat hanya 5 partai termasuk PKB dan PAN yang dapat digolongkan sebagai partai Islam dan partai dengan massa Islam yang mengikuti pemilu 2014. Hasil yang diperoleh partai Islam pun relatif, ada yang perolehan suaranya naik ada pula yang turun. PKS yang perolehan suaranya terus meningkat dari pemilu sebelumnya, tercatat pada pemilu 2014 mengalami penurunan suara menjadi sebanyak 6,77. Hanya PAN dan PKB yang mengalami kenaikan jumlah suara pada pemilu 2014.57

Pemilu 2019 tidak memunculkan partai Islam baru pada pelaksanaannya.

Partai Islam yang berkontestasi masih sama seperti pemilu sebelumnya, dengan perolehan suara yang cenderung berbeda tiap partai dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Partai PKS dan PKB menjadi partai Islam dengan perolehan suara

55 Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia”, h. 44. 56 Haniah Hanafie dan Suryani, “Politik Indonesia”, (Jakarta: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) h. 165. 57 “Hasil penghitungan suara sah partai politik peserta pemilu legislatif tahun 2004 sampai 2019”, tersedia di https://www.bps.go.id/statictable/2009/03/04/1573/hasil-penghitungan-suara- sah-partai-politik-peserta-pemilu-legislatif-tahun-2004-2019.html, diakses pada 2 Mei 2020.

25

yang naik, berbanding terbalik dengan PAN, PPP dan PBB yang cenderung turun dibandingkan pemilu 2014.58

Tren partai Islam dari waktu ke waktu mengalami penurunan dalam hal kontestasi pada pemilihan umum. Dari jumlahnya yang mencapai puluhan, dan saat ini hanya 5 partai Islam yang mengikuti pemilu terakhir pada tahun 2019. Tren perolehan suara partai politik berasaskan Islam maupun juga yang berbasis suara kelompok Islam pun cenderung fluktuatif pada tiap penyelenggaraan pemilu dari waktu ke waktu. Ada partai Islam yang jumlah perolehan suaranya turun, ada pula yang naik meskipun jumlahnya masih kalah dengan perolehan partai yang tidak berbasiskan keagamaan.

C. Rekrutmen Politik

Rekrutmen politik diatur dalam pasal 29 UU No. 2 Tahun 2011. Ayat (1) pasal 29 UU No. 11 Tahun 2011 menyebutkan bahwa partai politik melakukan rekrutmen politik kepada warga negara untuk menjadi anggota partai politik, bakal calon anggota DPR dan DPRD, bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta bakal calon Presiden dan Wakil Presiden.59

Rekrutmen politik dalam rangka mencari individu terbaik dari kader maupun anggota partai itu sendiri adalah salah satu fungsi partai politik. Dalam hal ini, rekrutmen politik menjadi penting bagi partai politik karena berkaitan erat dengan bagaimana kepemimpinan dapat diseleksi dengan harapan pemimpin yang berasal dari kaderisasi yang dilakukan partai politik dapat memimpin dengan visi

58 “Hasil penghitungan suara sah partai politik peserta pemilu legislatif tahun 2004 sampai 2019”, tersedia di https://www.bps.go.id/statictable/2009/03/04/1573/hasil-penghitungan-suara- sah-partai-politik-peserta-pemilu-legislatif-tahun-2004-2019.html, diakses pada 2 Mei 2020. 59 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.

26

anti-korupsi, berintegritas dan dapat dipercaya. 60 Partai politik menggunakan rekrutmen politik sebagai sarana seleksi kepemimpinan, baik dalam internal partai maupun kebutuhan eksternal, misalnya saja kepala daerah ataupun kepala negara.

Setiap partai membutuhkan kader-kader dengan kapabilitas, kompetensi dan kecakapan yang baik. Dalam hal internal, partai memiliki kepentingan karena juga harus berkembang menjadi partai yang lebih baik. Oleh karena itu, dibutuhkan kader terbaik untuk menjadikan partai lebih baik secara organisasi. Sementara untuk kebutuhan eksternal, partai membutuhkan kader terbaik untuk menjadi pemimpin baik dalam skala kecil seperti walikota, bupati, gubernur ataupun skala besar seperti Presiden.61

Menurut Ramlan Surbakti, rekrutmen politik adalah “Seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya”62. Pola-pola dalam menjalankan fungsi rekrutmen dalam sebuah partai memiliki perbedaan satu sama lain. Sistem rekrutmen politik menurut Miftah Thoha yang dikutip dalam buku Potret Rekruitment Politik di

Indonesia terdiri dari tiga sistem. 63 Pertama, sistem patronik. Sistem patronik menggunakan strategi kedekatan perkawanan, yakni seseorang yang direkrut baik dalam politik maupun birokrasi memiliki kedekatan baik kerabat keluarga maupun pertemanan. Sistem ini biasanya didasarkan atas pemahaman ideologi dan aliran

60 Syamsuddin Haris, dkk, “Panduan Rekrutmen dan Kaderisasi Partai Politik Ideal di Indonesia”, (Jakarta: KPK dan LIPI, 2016), h. 3. 61 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008) h. 408. 62 Ramlan Surbakti, “Memahami Ilmu Politik”, (Jakarta: CV Prima Grafika, 2013) h. 150. 63 Catur Wibowo BS, “Potret Rekruitment Politik di Indonesia”, (Jakarta: Indocamp, 2018) h. 38

27

politik yang sama. Kedua, sistem merit yang mendasarkan pada kecakapan seseorang pada jabatan tertentu sehingga dalam pelaksanaannya rekrutmen dapat bersifat objektif. Sifat objektif tersebut didapat dari penilaian terhadap ijazah pendidikan. Ketiga, sistem karir. Sistem karir biasanya digunakan dalam dunia kerja maupun politik yang berdasarkan pengalaman karir yang dimiliki oleh individu.

Selain itu, mekanisme rekrutmen politik menurut Rush dan Althoff dalam buku Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, merujuk pada dua pendekatan yakni rekrutmen terbuka dan rekrutmen tertutup.64 Mekanisme rekrutmen terbuka mengacu pada seleksi yang dilakukan dengan ujian-ujian terbuka. Rekrutmen ini dianggap sebagai cara yang kompetitif karena nantinya partai dapat memilah siapa yang benar-benar siap untuk direkrut. Sementara itu, mekanisme rekrutmen tertutup mengacu pada sistem administratif yang sifatnya patronase. Sistem patronase bisa diartikan sebagai seleksi yang berdasarkan pada hubungan kedekatan, sehingga rekrutmen tertutup tersebut bisa menjadi sarana elit untuk memperbaharui legitimasinya dan bersifat tidak kompetitif.

Salah satu fenomena negara-negara yang masih mengalami demokratisasi dalam sistem politik adalah sifat non-ideologi dan non-program dalam rekrutmen kandidat pada pemilihan umum. 65 Sifat non-ideologi dan non-program ini dilakukan oleh partai yang bertujuan hanya untuk menang dengan memanfaatkan jaringan politik yang dimiliki. Sehingga dalam pemilihan umum, memanfaatkan

64 Afan Gaffar, “Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h.155-156. 65 Syamsuddin Haris, dkk, “Panduan Rekrutmen dan Kaderisasi Partai Politik Ideal di Indonesia”, (Jakarta: KPK dan LIPI, 2016), h. 34.

28

jaringan politik tanpa memerdulikan program dan ideologi menjadi strategi partai politik untuk menang di pemilihan umum.

Sebagaimana termaktub dalam UU No. 10 Tahun 2016, syarat pencalonan pasangan kandidat oleh partai diatur dalam pasal 40 ayat (1). Pasal 40 ayat (1) mengatur bahwa untuk mengusung pasangan calon, partai politik harus memperoleh paling sedikit 20% jumlah kursi DPRD atau 25% akumulasi perolehan suara sah pemilu DPRD di daerah.

D. Kepemimpinan Politik dalam Perspektif Demokrasi dan Islam

1. Kepemimpinan Politik dalam Perspektif Demokrasi

Demokrasi di berbagai negara di dunia berkembang dengan sistem yang berbeda-beda, namun semuanya bermuara pada istilah atau asal kata goverment by the people yang bisa diartikan pemerintahan dengan kuasa dari rakyat.66 Menurut

Robert A. Dahl, dalam tataran proses dan praktik demokrasi salah satu kriteria untuk proses demokrasi adalah persamaan suara.67 Persamaan suara tersebut dapat diartikan bahwa satu suara oleh satu orang bernilai sama dalam sebuah proses politik, tidak bergantung pada identitas tertentu yang dapat mengubah nilai tetap.

Begitu pula dalam tataran kontestasi politik, setiap orang memiliki hak untuk menjadi pemimpin politik tanpa terkecuali.

Masa reformasi yang diterapkan hingga kini membuat lahirnya partai politik baru semakin masif dengan latar belakang dan asas perjuangan yang berbeda-beda.

Lahirnya partai politik baru juga menjadi angin segar bagi kehidupan demokrasi

66 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008) h. 105. 67 Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001) h. 52.

29

ketika mereka menerapkan fungsi rekrutmen politik dalam rangka menjaring orang- orang yang memiliki kapabilitas dalam memimpin.

Rekrutmen dalam tubuh partai politik memiliki tujuan salah satunya adalah menghasilkan pemimpin politik. Kepemimpinan politik dalam sebuah partai politik dapat bersifat internal seperti pemimpin atau ketua dalam struktur organisasi kepartaian atau organisasi massa, dan kepemimpinan politik dalam partai politik yang bersifat eksternal seperti bupati, walikota, gubernur maupun Presiden dan

Wakil Presiden.

Kepemimpinan diartikan sebagai sebuah kemampuan dari seorang individu untuk menggunakan sumber pengaruh secara efektif. Artinya, pemimpin dapat memanfaatkan hubungan dengan figur yang memiliki pengaruh dan juga yang lainnya yang dapat dipengaruhi. 68 Bila kekuasaan diartikan sebagai pihak yang memiliki bermacam jenis sumber pengaruh, kepemimpinan lebih menekankan pada sifatnya yang bisa memengaruhi orang atau pengikutnya. Selain itu dalam hal meraih suatu tujuan, pemimpin berusaha memadukan antara kepentingan dia dan kepentingan pengikutnya.

Secara umum, ada tiga perspektif dalam memahami sebuah kepemimpinan.

Pertama, kepemimpinan dalam perilaku. Kedua, kepemimpinan sebagai kapabilitas individu. Ketiga, kepemimpinan dalam nilai-nilai politik. 69 Sebagai term yang menyangkut pada perilaku, term pemimpin berkaitan dengan kemampuan untuk memengaruhi orang lain untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Sebagai

68 Ramlan Surbakti, “Memahami Ilmu Politik”, (Jakarta: CV Prima Grafika, 2013) h. 171. 69 M. Alfan Alfian, “Menjadi Pemimpin Politik”, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h 191.

30

kualitas personal, kepemimpinan berkaitan dengan kharisma. Jika berkaitan dengan politik, kepemimpinan adalah kemampuan untuk menggerakkan orang lain dengan otoritas moral atau pandangan ideologis.

Term politik dalam kepemimpinan politik merujuk pada suatu kepemimpinan yang ada dan berlangsung dalam suprastruktur politik dan juga infrastruktur politik.70 Sehingga, pemimpin politik erat kaitannya dengan jabatan tertinggi bagi seorang individu yang ada dalam sistem politik di sebuah negara, seperti Presiden, gubernur, walikota, ketua partai politik, ketua organisasi masyarakat dan lain-lain.

Pemimpin politik memiliki pengaruh dalam proses politik di sebuah negara. 71 Proses politik yang dimaksud bisa terjadi saat pemilihan umum, keputusan politik yang berkaitan dengan kebijakan publik maupun jalannya roda organisasi partai di sebuah negara. Saat berlangsungnya pemilihan umum, seorang pemimpin yang cakap dapat memengaruhi warga masyarakat untuk memilihnya saat masa kampanye, karena mereka memiliki kemampuan menggerakkan orang lain berdasarkan pandangan ideologis tertentu. Selain itu, dalam proses politik seperti pembuatan kebijakan, untuk dapat diterima dan diikuti dengan baik oleh masyarakatnya, maka pemimpin politik harus memiliki kemampuan untuk memengaruhi, wibawa yang baik serta komunikasi yang dapat dimengerti berbagai kalangan masyarakat.

70 Ramlan Surbakti, “Memahami Ilmu Politik”, h. 171. 71 Ramlan Surbakti, “Memahami Ilmu Politik”, h. 172.

31

Persyaratan untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin daerah diatur dalam

UU No. 10 Tahun 2016. Ada beberapa persyaratan untuk menjadi calon pemimpin daerah baik tingkat gubernur maupun walikota, di antaranya: bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa; berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat; setia kepada UUD 1945, Pancasila dan NKRI; mampu secara jasmani dan rohani, bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil kesehatan menyeluruh.72 Salah satu persyaratan dalam UU tersebut mengandung syarat bahwa calon pemimpin daerah diharuskan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa. Sehingga diartikan bahwa agama menjadi salah satu persyaratan bagi individu yang ingin menjadi seorang kepala daerah. Akan tetapi, Undang-Undang tidak membatasi agama apa saja yang dianut oleh pasangan calon, termasuk agama

Islam. Sehingga, dalam hal ini Undang-Undang memberi kebebasan bagi partai untuk menentukan pasangan calon tanpa menjadikan salah satu agama sebagai persyaratan.

2. Kepemimpinan Politik dalam Perspektif Islam

Istilah kepemimpinan dalam Islam menjadi bahasan yang menarik di

Indonesia karena sifatnya yang inklusif dan menjadi pusat perhatian khususnya pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Kala itu, isu tentang kepemimpinan Islam menyeruak kala kontestasi Pilkada yang diikuti oleh 3 pasang calon. Kemenangan diraih salah satu calon yang beragama Islam pada Pilkada DKI Jakarta 2017

72 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

32

dianggap sebagai kemenangan yang diwarnai dengan mobilisasi umat Islam untuk menandingi pasangan calon lawan yang beragama non-Islam.73

Kepemimpinan dalam Islam memiliki dua istilah yang berbeda, yakni khalifah dan imamah. Keduanya merujuk kepada kepemimpinan tertinggi baik sifatnya kenegaraan ataupun daulah, dan juga kepemimpinan umat. Namun, istilah imamah biasanya digunakan oleh kalangan Syiah, sedangkan khalifah digunakan oleh golongan beraliran Sunni. 74 Menurut Ensiklopedi Al-Qur’an, kata khalf berarti suksesi, generasi penerus, pengganti, wakil ataupun penguasa disebutkan di dalam Al-Qur’an sebanyak 22 kali. 75 Banyaknya penyebutan istilah khalifah di membuat penafsiran terhadapnya menjadi beragam.

Kalangan Syiah mengenal sebutan pemimpin dengan sebutan imamah. imamah berkaitan bagaimana seseorang individu yang menjadi pemimpin bisa menggerakkan perubahan masyarakat, sehingga masyarakat yang sebelumnya “apa adanya” menuju “apa yang seharusnya” melebihi kepentingan pribadinya. 76

Pemerintahan yang dikelola dan dijalankan oleh imamah atau pemimpin pada akhirnya bertujuan untuk pendidikan, penyempurnaan masyarakat serta pengabdian kepada tempat di mana individu berasal. Terlepas dari perbedaan di atas, konsep khalifah dan imamah pada dasarnya adalah konsep yang sama-sama mendefinisikan

73 Rangga Kusumo dan Hurriyah, “Populisme Islam di Indonesia: Studi Kasus Aksi Bela Islam oleh GNPF-MUI Tahun 2016-2017”, (Jurnal Politik Universitas Indonesia, Vol. 4, No. 1, Agustus 2018). 74 Muhammad Iqbal, “Fiqh Siyasah”, (Jakarta: Kencana, 2016), 149. 75 M. Dawam Raharjo, “Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci”, (Jakarta: Paramadina, 1996), 357. 76 Ali Syari’ati, “Ummah dan Imamah”, (Jakarta: YAPI, 1990), h. 73.

33

kepemimpinan, pemimpin ataupun Imam di kalangan masyarakat yang beragama

Islam.

Terkait dengan karakter kepemimpinan, Nabi SAW bersabda bahwa Allah sangat menyukai pemimpin dengan kelembutannya serta tidak menyukai kepemimpinan yang diktator.77 Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang penuh dengan kelembutan, sangat menghargai kesetaraan umat, menyukai perdamaian, menjunjung tinggi toleransi, penyayang dan sabar dalam menghadapi tantangan tercermin salah satunya ketika ia membentuk piagam Madinah pada 622 Masehi.

Piagam Madinah adalah sebuah perjanjian yang hingga saat ini dianggap sebagai penerjemahan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, keadaban, persaudaraan dan perdamaian dari Al-Qur’an.78

Sikap Nabi SAW dalam membangun masyarakat Madinah dan membentuk piagam Madinah adalah sikap yang mengedepankan toleransi dan kesetaraan umat mengingat ketika itu Madinah diisi oleh masyarakat yang memiliki latar belakang majemuk baik dalam hal keagamaan di mana di antaranya terdapat kaum Yahudi dan Islam maupun juga dalam hal kebudayaan. Nabi Muhammad SAW dengan kebijaksanaan dan kelembutannya dalam berdakwah serta memimpin telah mendapat kepercayaan dari masyarakat Madinah yang membuatnya berhasil menyatukan kemajemukan tersebut menjadi Kota Madinah yang damai dan menjunjung tinggi toleransi serta kesetaraan antar umat.

77 Zuhairi Misrawi, “Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW”, (Jakarta: , 2018) h. 244. 78 Zuhairi Misrawi, “Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW”, (Jakarta: Kompas, 2018) h. 245.

34

Islam memiliki kriteria mengenai kepemimpinan yang beberapa kali disebutkan dalam Al-Qur’an. Merujuk pada Yusuf Al-Qardhawy Al-Asyi dalam

Kepemimpinan Islam: Kebijakan-kebijakan Politik Rasulullah sebagai Kepala

Negara dan Kepala Pemerintahan, kepemimpinan dalam Islam setidaknya harus memenuhi beberapa kriteria di antaranya:79

a. Beragama Islam

Wacana diharuskannya seorang pemimpin beragama Islam oleh

beberapa ulama adalah berdasarkan penafsiran mereka terhadap QS. Ali-

Imran ayat 28. Beberapa ulama yang mewajibkan seorang pemimpin

beragama Islam merujuk pada ayat tersebut adalah Sayyid Qutb, Al-

Shabuni, Yusuf Musa, Ibnu Hazm. Akan tetapi pada perkembangannya ada

pula beberapa ulama yang tidak sepakat ataupun tidak secara langsung

menyebutkan bahwa agama Islam menjadi salah satu syarat kepemimpinan

dalam sebuah struktur masyarakat. Al-Mawardi, Imam Al-Ghazali, serta

Ibnu Taimiyah adalah beberapa ulama yang tidak secara langsung

mensyaratkan seorang pemimpin harus beragama Islam.

b. Adil

Adil sebagai seorang pemimpin merujuk pada QS. An-Nisa ayat 58

yang mengandung perintah bagi manusia untuk berlaku adil kepada orang

lain. Adil dianggap sangat vital bagi ulama Islam sebagai salah satu kriteria

pemimpin dalam Islam. Imam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Abu Ja’al Hanbali

79 Yusuf Al-Qardhawy Al-Asyi, ”Kepemimpinan Islam: Kebijakan-kebijakan Politik Rasulullah sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan”, (Banda : Yayasan PeNA, 2016), h. 54.

35

dan bahkan Imam Al-Mawardi memasukkan adil sebagai syarat utama

seorang pemimpin dalam Islam.80 Adil sebagai seorang pemimpin terdiri

dari beberapa aspek-aspek penting dalam kehidupan, akan tetapi secara

eksplisit pengertian adil adalah perilaku yang menjauhi segala dosa besar,

tidak melakukan dosa kecil dan memutuskan sebuah kebijakan ataupun

hukuman dengan timbangan yang setara.

c. Baligh (Dewasa)

Dalam Al-Qur’an sebenarnya disebutkan secara implisit batasan

umur seseorang untuk menjadi pemimpin, yakni terdapat pada QS. Al-

Ahqaf ayat 15. Menurut Ibnu Abbas dan Wahab bin Munabbih, usia 40

tahun adalah usia yang secara mental dan intelektual cukup untuk berpikir,

di mana mereka juga merujuk pada QS. Al-Fathir ayat 37. Selain itu, para

Nabi termasuk Nabi Muhammad SAW, kecuali Nabi Isa a.s dan Nabi

Yahya, diutus menjadi Nabi oleh Allah SWT pada usia 40 tahun. 81 Hal

tersebut menjadikan usia 40 tahun sebagai usia yang dianggap matang

merujuk pada pendapat Ibnu Abbas dkk.

d. Tidak Memiliki Ambisi untuk Menjadi Pemimpin

Dalam hal ini, yang dimaksud berambisi untuk menjadi pemimpin

adalah seseorang yang meminta dan menawarkan dirinya untuk menjadi

pemimpin. Dengan adanya permintaan untuk menjadi pemimpin tanpa

80 Yusuf Al-Qardhawy Al-Asyi, ”Kepemimpinan Islam: Kebijakan-kebijakan Politik Rasulullah sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan”, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2016), h. 57-58. 81 Yusuf Al-Qardhawy Al-Asyi, ”Kepemimpinan Islam: Kebijakan-kebijakan Politik Rasulullah sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan”, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2016), h. 65-66.

36

sadar bahwa dirinya belum memiliki kemampuan untuk memimpin,

dikhawatirkan nantinya tanggung jawab yang diemban tidak berjalan

semestinya dan sesuai apa yang diinginkan masyarakat.

Selain itu, beberapa ulama Islam juga berpendapat demikian. Ibnu

Taimiyah berpandangan bahwa orang-orang yang meminta jabatan seketika

gugur haknya untuk dipilih. Sedangkan Al-Maududi berpendapat bahwa

orang yang sangat berambisi untuk menjadi pemimpin haram hukumnya

untuk dipilih.82

e. Berakhlakul Karimah

Pemimpin yang berakhlakul karimah menjadi niscaya bagi

rakyatnya karena rakyat merupakan cerminan dari pemimpinnya. Hal ini

diibaratkan seperti orang tua yang ingin memiliki anak yang memiliki

akhlak baik, maka orang tua tersebut harus pula memberi contoh kepada

anaknya perilaku yang sesuai dengan akhlakul karimah. Nabi SAW menjadi

contoh seseorang yang memiliki akhlakul karimah, ia adalah seorang

pemimpin yang memiliki sifat sangat terpuji yakni lemah lembut,

penyayang dan sabar dalam menghadapi rintangan.

3. Kepemimpinan Politik Non-Muslim dalam Pandangan Ulama

Diskursus tentang kepemimpinan Islam dalam sebuah negara tidak lepas dari pandangan tokoh-tokoh Islam yang meniscayakan adanya hubungan antara agama dan penyelenggaraan pemerintahan negara. Namun dalam

82 Yusuf Al-Qardhawy Al-Asyi, ”Kepemimpinan Islam: Kebijakan-kebijakan Politik Rasulullah sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan”, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2016), h. 70.

37

perkembangannya, pandangan akan dilarang dan diperbolehkannya pemimpin non- muslim memiliki perbedaan di antara ulama-ulama.

1.1 Ulama yang Menolak Kepemimpinan Non-Muslim

Al-Shabuni adalah salah satu pemikir Islam yang menolak adanya pemimpin yang berlatar belakang non-muslim. Merujuk pada QS. Ali-Imran ayat

28, ia berpendapat bahwa orang-orang kafir termasuk sebagai musuh dari umat

Islam, sehingga Allah melarang hamba-Nya menjalin hubungan yang akrab. 83

Keimanan dan kekafiran adalah dua hal yang kontradiktif satu sama lain, sehingga tidak dimungkinkan di satu sisi mencintai Allah namun di sisi lain menjadikan kafir sebagai pemimpin. Akan tetapi, ketika umat Islam dalam keadaan darurat yakni ketika takut terhadap kejahatan mereka, maka memilih non-muslim sebagai pemimpin diperbolehkan. Hanya saja, semua dilakukan hanya untuk formalitas lahiriah. Artinya, di dalam hati harus tetap tersimpan kebencian terhadap mereka.84

Sayyid Qutb juga salah satu ulama yang menolak keras kepemimpinan non- muslim. Dalam penafsirannya terhadap surat at-Taubah ayat 29, ia mengemukakan bahwa non-muslim memiliki sifat dasar memusuhi Islam, sehingga umat Islam diperintahkan untuk memerangi kaum ahli kitab.85 QS.al-Maidah ayat 51 sampai

53 sampai juga menjadi rujukan Sayyid Qutb dalam melihat bagaimana hukum dan hubungan terkait dengan kepemimpinan atau wali dengan latar belakang Nasrani dan Yahudi. QS.al-Maidah ayat 51 sampai 53 dalam pandangannya menafsirkan

83 Mujar Ibnu Syarif, “Presiden Non Muslim di Negara Muslim”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 101. 84 Mujar Ibnu Syarif, “Presiden Non Muslim di Negara Muslim”, h. 102. 85 Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid V”, (Depok: Gema Insani Press, 2000), h. 328-331.

38

adanya larangan menjadikan Nasrani dan Yahudi sebagai wali dengan walayah sebagai unsur kata yang bermakna saling memberikan kesetiaan.86

Selanjutnya dalam QS.al-Maidah ayat 54 sampai 56, ketika umat muslim memberikan kepercayaan kepada mereka untuk menjadi wali, maka seketika mereka dianggap telah keluar dari Islam dan telah menyimpang dari ketentuan

Allah, karena ia menganggap bahwa hal ketika seorang muslim memberikan loyalitas kepada Ahli Kitab atau kelompok Yahudi dan Nasrani, maka orang tersebut telah membangkang terhadap loyalitas kepada Allah, Rasul dan segala yang diharamkan-Nya.87

Dari pandangan kedua ulama, bahwa pada dasarnya mereka menolak untuk menjadikan non-muslim sebagai pemimpin karena menggangap non-muslim sebagai musuh umat Islam. Bukan hanya memimpin dalam kaitannya dengan kenegaraan dan pemerintahan saja, tetapi membuat perjanjian, bersahabat atau bahkan bekerja sama dianggap sama saja melanggar ketentuan dalam Al-Qur’an, karena non-muslim diibaratkan sebagai musuh agama serta musuh umat Islam.

2.1 Ulama yang Menerima Kepemimpinan Non-Muslim

Muhammad Abduh, Asghar Ali Engineer dan Muhammad Quraish Shihab adalah beberapa ulama kontemporer yang meyakini adanya penerimaan terhadap kepemimpinan non-muslim. Secara umum mereka menyatakan bahwa surat dan ayat-ayat yang dijadikan rujukan oleh kelompok ulama yang menolak

86 Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid III”, (Depok: Gema Insani Press, 2000), h. 249-250. 87 Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid III”, h. 248- 250.

39

kepemimpinan non-muslim harus dijelaskan melalui pengaruh sebab dan akibat dari diturunkannya ayat tersebut.

Muhammad Abduh berpandangan ayat-ayat yang melarang non-muslim menjadi pemimpin terjadi sesaat sebelum peristiwa pembebasan kota Mekah, di mana situasi ketika itu kaum musyrik yang membenci dan memusuhi umat

Muslim. 88 Ia mendasarkan pada QS.Al-Mumtahanah ayat 7-9 yang ditafsirkan olehnya sebagai pengecualian ayat-ayat yang menolak pemimpin non-muslim.

Baginya, larangan terhadap pemimpin non-muslim berlaku apabila kelompok non- muslim tersebut memusuhi dan memberi perlakuan sewenang-wenang serta menyakiti kaum muslim baik dengan lisan dan fisiknya.89

Hal ini diperkuat dengan pendapat dari Asghar Ali Engineer. Ia berpendapat bahwa agama tidak bisa dijadikan parameter dalam memilih kepala negara atau pemerintahan, akan tetapi kompetensi dan mampu menegakkan keadilan serta menentang kezaliman harus menjadi parameter dari pemimpin itu sendiri. Engineer mengutip pendapat Abdurrahman Kawaqibi, bahwa Nabi merasa bangga karena ia lahir pada masa raja non-muslim yang adil yakni Nushirwan.90 Sehingga pemimpin non-muslim yang memiliki sikap adil dan cakap lebih disukai ketimbang pemimpin muslim yang tiran.

Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya tafsir al-Misbah juga menjelaskan makna dari QS. ali-Imran, QS. al-Mumtahanah dan QS. al-Maidah di

88 Mujar Ibnu Syarif, “Presiden Non Muslim di Negara Muslim”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 162. 89 Mujar Ibnu Syarif, “Presiden Non Muslim di Negara Muslim”, h. 159-160. 90 Mujar Ibnu Syarif, “Presiden Non Muslim di Negara Muslim”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 156.

40

mana surat tersebut juga dijadikan referensi bagi ulama-ulama sebelumnya dalam menafsirkan kepemimpinan non-muslim. Dalam penafsirannya terhadap QS. al-

Maidah ayat 51 dan 52, Quraish Shihab memandang bahwa kata auliya’ tidak mutlak berarti pemimpin-pemimpin. Kata auliya’ memiliki makna jamak baru seperti pelindung, pendukung, yang mencintai, lebih utama, pembela yang diambil dari kata wauw, lam, ya’.91

Selain itu, dalam menyikapi terhadap larangan untuk memilih pemimpin non-muslim, Quraish Shihab berpaku pada QS. al-Mumtahanah ayat 9 dan QS. al-

Maidah ayat 51 yang dimaknai sebagai ayat-ayat yang menolak menjadikan non- muslim sebagai auliya’. 92 Akan tetapi, mengutip pendapat Muhammad Sayyid

Thantawi, ada tiga klasifikasi terhadap kelompok non-muslim. Pertama, kelompok non-muslim yang kegiatannya tidak mengancam umat muslim, berkeadilan terhadap kaum muslim sehingga keadaan yang ada antara dua kelompok tersebut adalah damai. Kedua, kelompok yang nyata-nyata memerangi kaum muslim, sehingga tidak diperkenankan untuk menjalin hubungan dan mendekati mereka.

Ketiga, kelompok yang tidak secara langsung memusuhi umat Islam namun mereka juga terbukti tidak bersimpati terhadap musuh-musuh Islam, atau mendukung musuh-musuh mereka.93

Ketika makna auliya tersebut dimaknai sebagai pemimpin politik pun,

Quraish Shihab tidak secara umum menyamakan antara non-muslim satu dengan lainnya. Larangan adanya pengangkatan pemimpin non-muslim hanya ketika non-

91 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 3 Cet. 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 150- 151. 92 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 3 Cet. 5, h. 152. 93 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 3 Cet. 5, h. 153-154.

41

muslim tersebut memenuhi syarat yakni secara terbuka memusuhi Islam, dan juga berlaku bagi orang Islam yang perilaku sehari-harinya merugikan kepentingan umat

Islam seperti pada sebab-sebab atau asbabun nuzul diturunkannya QS. al-

Mumtahanah ayat 1.94

Sampai saat ini pun kajian mengenai kepemimpinan non-muslim masih menjadi kontroversi. Menurut Mujar Ibnu Syarif ada beberapa faktor yang memengaruhi, antara lain:95

a) Dalam Al-Qur’an, adanya posisi ganda dalam artian beberapa ayat

menyebutkan larangan pemimpin non-muslim dan ada pula ayat-ayat yang

bernada memperbolehkannya.

b) Adanya perbedaan dalam memandang fungsi seorang kepala negara.

Pandangan pertama beranggapan bahwa kepala negara adalah pengganti

urusan kenabian. Pandangan lainnya beranggapan bahwa kepala negara

bukan pengganti kenabian sehingga mereka tidak mensyaratkan agama

Islam sebagai syarat pemimpin.

c) Adanya persepsi yang berbeda dalam memandang dasar negara.

Pandangan pertama beranggapan bahwa negara yang didirikan oleh umat

Islam harus dipimpin oleh muslim yang percaya ideologi Islam. Sementara

pandangan kedua beranggapan bahwa negara yang tidak didirikan oleh

orang Islam sehingga diperbolehkan pemimpin non-muslim.

94 Munawir, “Kepemimpinan Non Muslim dalam Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab”, (Jurnal Maghza Vol. 2 No. 2, IAIN Purwokerto, 2017), h. 113-114. 95 Mujar Ibnu Syarif, “Presiden Non Muslim di Negara Muslim”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 77-79.

42

d) Perbedaan pandangan peran manusia di bumi sebagai khalifah.

Kelompok pertama beranggapan bahwa hak menjadi seorang pemimpin

hanya dimiliki eksklusif oleh umat Islam karena perannya sebagai khalifah

di bumi. Sementara kelompok lainnya beranggapan bahwa selama individu

tersebut memiliki kapabilitas sebagai seorang pemimpin terlepas bahwa

mereka adalah seorang non-muslim maka mereka berhak untuk menjadi

pemimpin.

e) Adanya perbedaan pandangan bahwa kedudukan non-muslim tidak

setara dengan kaum muslim. Golongan pertama berpendapat bahwa non-

muslim tidak berhak menjadi pemimpin karena tidak setara dengan umat

Islam. Sedangkan golongan lainnya menganggap non-muslim berhak serta

mendapat jaminan untuk menjadi pemimpin dalam komunitas Islam.

Seperti yang telah dikemukakan bahwasanya diskursus mengenai kepemimpinan non-muslim di antara para ulama memunculkan pandangan yang cenderung tidak sama. Ada yang tidak memperbolehkan seorang pemimpin beragama bukan Islam, ada pula yang memperbolehkan seorang pemimpin beragama selain Islam. Dari pandangan ulama yang menolak adanya kepemimpinan yang beragama non-Islam salah satunya Sayyid Qutbh, ia menganggap bahwa non-muslim sampai kapanpun adalah musuh umat Islam, sehingga umat Islam tidak dianjurkan untuk memilih pemimpin yang pada dasarnya adalah musuh mereka.96 Muhammad Quraish Shihab tidak secara tegas menolak

96 Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid V” (Depok: Gema Insani Press, 2000), h. 328-331.

43

kepemimpinan non-muslim, akan tetapi hal tersebut dilarang ketika telah memenuhi syarat bahwa non-muslim tersebut memusuhi kaum atau umat Islam dengan terang-terangan.97

97 Munawir, “Kepemimpinan Non Muslim dalam Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab”, (Jurnal Maghza Vol. 2 No. 2, IAIN Purwokerto, 2017), h. 113-114.

44

BAB III

GAMBARAN UMUM PKS DAN PILKADA PAPUA

A. Profil Partai Keadilan Sosial

Tidak salah menyebutkan bahwa PKS memiliki sejarah panjang dalam perpolitikan di Indonesia. Tidak hanya sebagai partai politik, namun juga embrio dari partai yang disebut lahir dari masjid ini bisa dikatakan sudah ada sejak era

Presiden Soeharto masih menjabat. Gerakan dan pola pemikiran islamis yang muncul akhir tahun 1970-an di Indonesia banyak mengambil inspirasi dari Timur

Tengah, dengan pengaruh yang besar dari gerakan Ikhwanul Muslimin dan revolusi yang terjadi di Iran, salah satunya kemudian yang melahirkan PK atau PKS.

Secara umum, kemunculan PKS dapat dibagi dalam tiga tahap, pertama gerakan dakwah yang ada di kampus-kampus, kedua pelembagaan gerakan mahasiswa di kampus, lalu ketiga bagaimana gerakan yang berawal dari masjid kampus tersebut berubah menjadi partai politik.98

Keberadaan partai Masyumi yang dilarang para era Presiden Soekarno dan juga Presiden Soeharto membuat para tokoh dan elite nya mendirikan Dewan

Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada medio tahun 1967. DDII sebagai sebuah organisasi pada awal pendiriannya hanya berfokus pada usaha-usaha dakwah

Islamiyah, hal ini dikarenakan ketika itu sedang gencar arus kegiatan misionaris

Kristen. DDII membawa paradigma “Islam politik” di mana kalangan tokoh dan

98 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), h.10.

45

elite DDII berpandangan bahwa Islam bukan hanya sebagai agama dalam kaitan hirarki teologis, akan tetapi berkaitan juga dengan ideologi politik.99

Presiden Soeharto yang menerapkan asas tunggal dan represif dalam pemerintahannya tidak meniscayakan adanya aliran “Islam politik” dalam tatanan kenegaraannya, sehingga membuat DDII memilih jalur dakwah yang lebih cair dan aman dari kontrol negara dengan menjalankan dakwah di universitas-universitas sekuler seperti Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, dan kampus lain di

Padang dan Makassar.100 Meluasnya dakwah DDII dengan paham “Islam politik” membuat lembaga yang berafiliasi dengan DDII yakni Lembaga Mujahid Dakwah

(LMD) lahir.

Dalam perkembangannya, LMD yang didirikan oleh Imaduddin

Abdulrahim yang juga berafiliasi dengan DDII mengalami pertumbuhan signifikan.

Hal ini dikarenakan banyak mahasiswa ikut serta dalam pembelajaran keagamaan, meningkatnya perilaku dalam menjalankan nilai-nilai agama secara simbolik seperti penggunaan pakaian islami serta semakin ramainya masjid yang digunakan untuk berdakwah.101

Dengan anggota yang semakin banyak ditambah kebijakan rezim Soeharto di era 1980-an yang menerapkan kebijakan melarang aktivitas politik di kampus, maka LMD bertransformasi menjadi Unit Kegiatan Kampus yang bernama

Lembaga Dakwah Kampus (LDK). LDK menjadi salah satu wadah dalam strategi berdakwah yang jitu dalam menarik perhatian dan jejaring komunitas di berbagai

99 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", h. 33. 100 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", h. 34. 101 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", h. 39.

46

universitas karena sifatnya sebagai organisasi intra kampus sehingga didukung secara finansial dari kampus itu sendiri. Dengan semakin besarnya jejaring dakwah kampus di seluruh Indonesia melalui wadah LDK, maka selanjutnya didirikanlah

Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus atau FSLDK untuk menjadi wadah

LDK di seluruh Indonesia.102

FSLDK sebagai wadah LDK di seluruh Indonesia menjadikan komunitas tersebut bersifat homogen dan memiliki cara pandang yang berbeda-beda, yang membuat pada akhirnya LDK memiliki faksi dalam tubuhnya sendiri. Faksi yang ada dalam tubuh LDK di antaranya seperti faksi Hizbut Tahrir, faksi Ikhwan yang terinspirasi Ikhwanul Muslimin, dan juga kelompok yang menamakan dirinya

Jamaah Tarbiyah.103

Selanjutnya, beberapa aktivis LDK mengumumkan pembentukan Kesatuan

Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di forum rapat tahunan FSLDK.

KAMMI dalam perjalanannya aktif menyuarakan persoalan-persoalan yang tengah terjadi di masyarakat luas, salah satunya agenda reformasi. Jatuhnya pemerintahan

Soeharto membuat para aktor KAMMI mengusulkan untuk mengubah haluan dari gerakan dakwah menjadi partai politik. Pada akhirnya, berdasarkan survei internal

KAMMI yang menyetujui didirikannya partai, maka selanjutnya lahirlah Partai

Keadilan (PK) yang ditandai dengan keikutsertaan mereka pada pemilu 1999.104

102 Tersedia di www.fsldk.id/about/, diakses pada 23 Juni 2020. 103 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", h. 42. 104 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", h. 44-45.

47

1. Visi dan Misi Partai Keadilan Sejahtera

Visi dan Misi PKS tercantum di dalam falsafah dasar perjuangan serta platform pembangunan. Visi tersebut terbagi dalam beberapa unsur yakni masyarakat madani, sejahtera, bermartabat dan adil. 105 Masyarakat madani dideskripsikan sebagai masyarakat modern yang berlandaskan pada iman serta memiliki pemikiran terbuka. Sejahtera didefinisikan sebagai keadaan kehidupan manusia yang terpenuhi dengan baik secara jasmani dan rohani. Bermartabat adalah keinginan agar posisi Indonesia yang sejajar dengan negara lainnya. Sedangkan adil

Adil didefinisikan sebagai keadaan kehidupan bermasyarakat yang proporsional dan seimbang.

Misi PK Sejahtera terdiri dari tiga komponen, yakni soal reformasi dalam hal unsur-unsur pemerintahan, meningkatkan perekonomian secara umum dan sistem pendidikan yang membuka kesempatan seluruh anak bangsa untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya.106

B. Prinsip Dasar Perjuangan PKS

Di dalam falsafah dasar perjuangan tersebut, setidaknya ada 3 poin penting yang menjadi arah pergerakan partai, di antaranya:107

1. PKS memandang bahwa aktivitas politik sebagai sebuah ibadah yang

dilaksanakan dengan akhlak terpuji semata hanya karena mengharap

105 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, “Memperjuangkan Masyarakat Madani Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera”, (2008), h. 1-2. 106 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, “Memperjuangkan Masyarakat Madani Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera”, (2008), h. 2-4. 107 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, “Memperjuangkan Masyarakat Madani Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera”, (2008), h. 32-33.

48

ridha Allah SWT. Karena itu, PKS sebagai entitas politik menggunakan

jalan moralitas Islam dan aqidah Islam dalam mencapai tujuan.

2. Sebagai partai yang mendasarkan aktivitas politik kepada aqidah dan

moralitas Islam, PKS menganggap bahwa politik bukan hanya alat

untuk kekuasaan duniawi, akan tetapi juga alat untuk meningkatkan

spiritualitas Islam sehingga partai menanamkan sikap rela berkorban

dengan militansi terhadap partai.

3. PKS mengakui adanya latar belakang kekayaan bangsa Indonesia mulai

dari kebudayaan, alam, maupun sisi geografis serta demografisnya.

Sehingga dengan nilai yang dimiliki bangsa Indonesia, PKS berusaha

mewujudkan cita-cita partai untuk mewujudkan masyarakat yang

religius serta memiliki kompetensi yang lebih baik.

C. PKS dan Rekrutmen Kandidat Kepala Daerah

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, PKS adalah partai yang sangat erat kaitannya dengan kegiatan dakwah yang mulanya dilakukan di kampus-kampus.

Oleh karena itu, dalam melakukan rekrutmen politik pun PKS sangat mengusung semangat dakwah keislaman dengan menerapkan nilai-nilai yang diusung oleh

Ikhwanul Muslimin dan Hasan al-Banna yakni “ahlusunnah wal jamaah” dan

“salafush shalih” yang memiliki konsep “Islam kaffah” yang berarti Islam yang lurus dan menyeluruh.108 Walaupun di dalam AD ART partai tidak mencantumkan secara jelas bahwa diharuskannya agama Islam sebagai syarat keyakinan dalam

108 M Imdadun Rahmat, “Ideologi Politik PKS Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen”, (Yogyakarta: LKIS, 2008) h. 242.

49

keanggotaan PKS, akan tetapi rekrutmen yang dilaksanakan kental dengan pengajaran tentang agama Islam.

Dalam menjalankan rekrutmen perkaderan, PKS menerapkan dua strategi rekrutmen berbeda. Strategi pertama adalah merekrut orang-orang yang memiliki kedekatan baik itu dari kalangan keluarga, tetangga, teman kerja, ataupun orang- orang yang sebelumnya telah dikenal. Dalam artian, partai memanfaatkan relasi sosial yang telah dimiliki, untuk selanjutnya diperkuat dengan kegiatan terorganisir demi memperkuat kepercayaan, komitmen dan loyalitas. Kegiatan yang terorganisir tersebut antara lain usrah, halaqah atau liqo, rekreasi, seminar dan lain-lain.109

Dalam kaitannya menjaring kader-kader yang potensial untuk diletakkan pada berbagai tingkat organisasi dari mulai DPC (Dewan Pimpinan Cabang) hingga paling tinggi yakni MPP (Majelis Pertimbangan Pusat), diperlukan beberapa tahap penjaringan.

Sebelum menjadi kader, para calon kader pun diwajibkan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, serta bersedia mengikuti liqo sebagai salah satu metode dakwah partai. Liqo juga memiliki dua kategori. Pertama, liqo yang diikuti oleh kader pemula dan dibina oleh murabbi. Kedua, liqo khusus yang diikuti oleh kader dewasa dengan pembinaan dari naqib. Proses kaderisasi yang dijalankan

PKS memiliki beberapa jenjang yang diharapkan dapat menjaring kader yang benar-benar potensial bagi kelangsungan hidup partai serta memiliki komitmen dan loyalitas yang tinggi.110

109 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), h. 144. 110 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", h. 147.

50

Strategi rekrutmen kedua dengan memanfaatkan struktur dan organisasi formal yang berafiliasi dengan PKS, dan bekerjasama dengan institusi keagamaan maupun pendidikan. Sebagai contoh, adanya kader PKS yang menduduki jabatan kementerian pada era Presiden SBY diakui oleh tokoh senior PKS

Zulkieflymansyah sebagai sarana yang signifikan dalam memperluas jejaring partai sampai ke pedesaan.111 Strategi inilah yang menjadi salah satu tujuan politik untuk memperbanyak dukungan dari berbagai macam latar belakang masyarakat. Berbeda dengan kader aktif, rekrutmen anggota maupun simpatisan tidak diwajibkan untuk melakukan baiat dengan membaca syahadat dan kewajiban mengikuti liqo. Dengan ini, keanggotaan lebih bersifat umum dan terbuka dari golongan agama manapun.112

Dalam hal pencalonan kepala daerah, partai melakukan seleksi yang diawali dengan membuka pendaftaran dalam rentang waktu tertentu. Di tingkat kota, calon mendaftarkan diri melalui perwakilan partai yang ada di kota (Dewan Pimpinan

Daerah). Selanjutnya salah satu bakal calon yang disetujui untuk menjadi calon dari

PKS akan mendapat rekomendasi dari DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) serta DPP

(Dewan Pimpinan Pusat) untuk mendapatkan surat rekomendasi yang menjadikannya pasangan calon resmi yang diusung oleh partai.113

Pada Pilkada Papua 2018, Lukas Enembe mendaftarkan diri melalui sekretariat PKS yang berada di .114 Selanjutnya, DPP PKS yang bertempat

111 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", h. 145. 112 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", h. 147. 113 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15. 114 Evarukdjiati, “Lukas Enembe mendaftar di PKS dan Golkar untuk maju pilgub Papua”, tersedia di https://papua.antaranews.com/berita/461268/lukas-enembe-mendaftar-di-pks-dan- golkar-untuk-maju-pilgub-papua, diakses pada 26 Juli 2020.

51

di Jakarta melalui Presiden PKS Sohibul Iman secara resmi mengeluarkan surat rekomendasi terhadap dicalonkannya Lukas Enembe dan Klemen Tinal sebagai calon yang diusung oleh PKS pada Pilkada Papua 2018.115

D. Pemilihan Kepala Daerah di Papua

Berdasarkan UU otonomi khusus, Papua merupakan satu dari sekian wilayah di Indonesia yang memiliki otonomi khusus dengan wilayah lainnya adalah yakni DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan statusnya yang memiliki otonomi khusus, maka daerah-daerah tersebut memiliki aturan tersendiri dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah yang berbeda dengan provinsi lainnya.116

UU otonomi khusus Papua diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001.

Sebagai wilayah yang memiliki otonomi khusus, Papua juga memiliki kriteria- kriteria khusus baik dalam hal pemerintahan daerah, persyaratan pemimpin daerah sampai dengan Pilkada.

Dalam hal pemerintahan daerah, pasal 5 mengatur bahwa dalam ranah eksekutif, pemerintahan daerah dipimpin oleh seorang gubernur dan wakil gubernur. Ranah legislatif di Provinsi Papua bernama Dewan Perwakilan Rakyat

Papua. Sedangkan yang menjadi perbedaan dengan daerah lain adalah adanya

Majelis Rakyat Papua yang menjadi representasi masyarakat Papua dengan

115 “Presiden PKS Kepemimpinan Lukas Enembe sudah teruji”, tersedia di https://www.papuatoday.com/2017/11/02/presiden-pks-kepemimpinan-lukas-enembe-sudah- teruji/, diakses pada 26 Juli 2020. 116 Dian Triyuli Handoko, “UU Pilkada Tak Berlaku di Empat Daerah Ini”, tersedia di https://nasional.tempo.co/read/609937/uu-pilkada-tak-berlaku-di-empat-daerah-ini/full&view=ok diakses pada 6 Juli 2020.

52

wewenang tertentu seperti memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga asli

Papua.117

Dalam hal kriteria pemimpin daerah Provinsi Papua, ada kriteria-kriteria khusus yang juga membedakan antara Papua dengan wilayah lainnya. Kriteria tersebut terdapat pada pasal 12, di mana yang menjadi gubernur dan wakil gubernur diharuskan berasal dari Papua (poin a), berpendidikan minimal sarjana (poin c), dan setia kepada NKRI serta mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua (poin f).118 Selain itu, UU otsus Papua juga mengatur bahwa DPRP berhak untuk memilih, mengusulkan dan memberhentikan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua kepada

Presiden RI. 119 Sedangkan Majelis Rakyat Papua memiliki wewenang untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon Gubernur dan Wakil

Gubernur.120 Undang-Undang otonomi khusus Papua mengalami perubahan pada tahun 2008 yang diatur pada UU Nomor 35 Tahun 2008.121 Dengan dikeluarkannya

UU Nomor 35 Tahun 2008, maka wilayah Irian Barat yang pada UU sebelumnya masih menjadi bagian dari Provinsi Papua, memekarkan wilayahnya menjadi provinsi baru yakni Provinsi Papua Barat. Selain itu, ketentuan wewenang DPRP yang berhak untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, dihapus. Sehingga,

Pilkada pasca ditetapkannya UU tersebut berjalan secara langsung dengan MRP yang memiliki wewenang untuk merekomendasikan bakal calon.

117 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. 118 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. 119 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. 120 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. 121 “Mendagri Beri 2 Opsi untuk Pilkada Papua”, tersedia di https://www.merdeka.com/politik/mendagri-beri-2-opsi-untuk-pilkada-papua.html diakses pada 29 Juli 2020.

53

Pada era pasca reformasi tepatnya tahun 2000, gubernur terpilih Papua adalah Jaap Solossa yang berasal dari partai Golkar. Pemilihan gubernur kala itu adalah berdasarkan kesepakatan dari parlemen Papua di mana Jaap Solossa merupakan kandidat terpilih dari legislator yang menjadi perwakilan daerah pemilihan yang ada di Papua.122 Pemilihan umum selanjutnya dijadwalkan digelar pada tahun 2005. Akan tetapi, dikarenakan kondisi perpolitikan Papua yang cenderung tidak stabil karena diwarnai konflik dan juga peralihan pemerintahan dari Presiden Megawati Soekarno Putri menjadi Susilo Bambang Yudhoyono membuat Pilkada Papua yang sebelumnya dijadwalkan pada tahun 2005, baru terlaksana setahun setelahnya yakni tahun 2006. Masa jabatan gubernur yang seharusnya sudah berakhir pun terpaksa diperpanjang dengan Jaap Solossa masih menjabat sebagai gubernur walaupun masa jabatannya sudah berakhir.123

Pada Pilkada Provinsi Papua tahun 2006, terdapat 5 pasang calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, yakni:124

1. dan Alex Hesegem yang diusung oleh Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan.

2. Lukas Enembe dan H. Arobi Ahmad Aituarauw yang diusung oleh Partai

Damai Sejahtera dan Partai Keadilan Sejahtera.

3. John Ibo dan O Askalis Kossy yang diusung oleh Partai Golkar.

4. Constant Karma dan Donatus Motte yang diusung oleh partai-partai kecil.

122 Marcus Mietzner, “Local elections and autonomy in Papua and Aceh: Mitigating or Fueling Secessionism?”, (Southeast Asia Program Publications at Cornell University, 2007), h. 5. 123 Marcus Mietzner, “Local elections and autonomy in Papua and Aceh: Mitigating or Fueling Secessionism?”, h. 6. 124 Marcus Mietzner, “Local elections and autonomy in Papua and Aceh: Mitigating or Fueling Secessionism?“h. 13.

54

5. Dirk Henk Wabiser dan Simon Petrus Inaury yang diusung oleh PD.

Dari kelima pasangan yang berkontestasi pada Pilkada Provinsi Papua 2006 tersebut, pasangan Barnabas Suebu dan Alex Hesegem yang diusung oleh PDIP berhasil memenangkan mayoritas suara masyarakat Papua dengan perolehan

31,5%. Sedangkan pasangan yang diusung oleh PKS yakni Lukas Enembe dan H.

Arobi Ahmad Aituarauw meraih posisi kedua dengan perolehan suara 29,6%.125

Pilkada Papua selanjutnya mengalami kemunduran dari jadwal semula hingga kurang lebih 2 tahun dikarenakan kondisi stabilitas politik Papua yang tidak stabil, konflik berkelanjutan yang kerap kali menimbulkan korban jiwa, serta peraturan tentang penggunaan noken yang masih menuai perdebatan sehingga

Pilkada baru terlaksana pada tahun 2013.126 Pilkada Papua tahun 2013 juga berbeda dengan Pilkada sebelumnya dikarenakan UU otonomi khusus mengalami perubahan sehingga DPRP tidak memiliki kewenangan untuk memilih.

Pada Pilkada Papua tahun 2013 ada 6 pasang calon yang ikut serta, yakni:127

1. Noakh Nawipa Ed. D dan Johanis Wob yang mencalonkan diri melalui

jalur independen.

2. Manase Robert Kambu dan Blasius Pakage yang didukung oleh partai

Gerindra, PAN, PPI, PIS, PPDI, PPP PKDI, PRN, PDP, PPD, PMB dan

Gerindra.

125 Marcus Mietzner, “Local elections and autonomy in Papua and Aceh: Mitigating or Fueling Secessionism?”, h. 13. 126 Nelwan Ronsumbre, “Sistem Noken Papua: Manifestasi Demokrasi Berbasis Kearifan Lokal”, (Jurnal Sosial Politik Universitas Padjajaran, Vol. 5, No. 2, 2019) h. 261. 127 Asian Network For Free and Fair Elections, “Papua Gubernatorial Elections 2013 Elections Study Mission Report, (Bangkok: ANFREL foundations), h. 7-10.

55

3. Lukas Enembe dan Klemen Tinal yang diusung oleh Partai Demokrat,

PKS, PPRN, PKDI dan PKB.

4. Wenda Iod Welington dan Weynand Belthazar Watory yang

mencalonkan diri melalui jalur independen.

5. Alex Hasegem dan Marthen Kayoi yang diusung oleh Partai

Kedaulatan, Partai Republikan, Partai Pelopor dan partai lokal Papua

lainnya.

6. Habel Melkias Suawe dan Yop Kogoya Dip yang diusung oleh Golkar,

PDS, PKNU, PKB dan PBB.

Hasil rekapitulasi pemilu yang disahkan oleh KPU dimenangkan oleh pasangan Lukas Enembe dan Klemen Tinal dengan memperoleh 52% suara, sementara posisi kedua dan ketiga ditempati oleh Melkias Suawe dan Yop Kogoya dengan 18% suara dan juga MR Kambu dan Blasius A Pakage dengan 13% suara.128

Hasil rekapitulasi suara yang memenangkan Lukas-Klemen sempat digugat ke

Mahkamah Konstitusi, akan tetapi MK menolak gugatan tersebut sehingga

Gubernur dan Wakil Gubernur Papua periode tahun 2013-2018 dijabat oleh Lukas-

Klemen.

Sementara pada Pilkada Provinsi Papua tahun 2018, ada dua pasang calon yang mengikuti kontestasi Pilkada tersebut yakni pasangan dan Habel Melkias Suwae melawan petahana Lukas Enembe dan Klemen Tinal.

Pasangan Lukas Enembe dan Klemen Tinal didukung oleh PKS, PKPI, Demokrat,

128 Asian Network For Free and Fair Elections, “Papua Gubernatorial Elections 2013 Elections Study Mission Report, (Bangkok: ANFREL foundations), h. 18.

56

Golkar, PAN, PPP, PBB, PKPI, Nasdem, Hanura dan PKB.129 Sedangkan John

Wempi Wetipo dan Habel Melkias Suwae didukung oleh Partai PDIP dan

Gerindra.130

Hasil rekapitulasi Pilkada Papua tahun 2018 memenangkan pasangan Lukas

Enembe dan Klemen Tinal dengan perolehan 67,54% suara berbanding 32,45% suara yang diperoleh oleh John Wempi Wetipo dan Habel Melkias Suwae. 131

Meskipun hasil dari pemilihan gubernur menuai sengketa karena dianggap terdapat kecurangan dalam sistem noken yang dijalankan, Mahkamah Konstitusi menolak sengketa tersebut sehingga Lukas Enembe dan Klemen Tinal tetap memenangkan

Pilkada Papua 2018 sesuai dengan hasil rekapitulasi yang disahkan oleh KPU.

Dalam beberapa penyelenggaraan Pilkada Provinsi Papua, tiga kali pelaksanaan pasca reformasi yang dilaksanakan secara langsung. Dari tiga kali pelaksanaan pemilu yakni pada tahun 2006, 2013 dan 2018 tersebut, diketahui bahwa PKS konsisten mencalonkan Lukas Enembe sebagai calon Gubernur

Provinsi Papua. Sedangkan untuk calon wakil gubernur yang ikut diusung oleh

PKS, Klemen Tinal juga konsisten mendapat dukungan pada Pilkada Papua tahun

2013 dan tahun 2018.

129 Humas PKS Papua “PKS Bersama 9 Parpol Deklarasikan Lukas Enembe sebagai Cagub Papua”, tersedia di https://pks.id/content/pks-bersama-9-parpol-deklarasikan-lukas- enembe-sebagai-cagub-papua diakses pada 30 Juli 2020. 130 “Fakta Seputar Pilkada Papua”, tersedia di https://nasional.kompas.com/read/2018/01/12/09000871/fakta-seputar-pilkada-papua?page=all diakses pada 1 Agustus 2020. 131 “Lukas Enembe Klemen Tinal Menang Pilgub Papua 2018” ,https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180711071737-32-313153/lukas-enembe-klemen- tinal-menang-pilgub-papua-2018 diakses pada 1 Agustus 2020.

57

1. Biografi Kandidat Non-Muslim yang Didukung oleh PKS

1.1 Lukas Enembe

Lukas Enembe lahir di Mamit, Tolikara, Provinsi Papua pada tanggal 27

Juli 1967. Ia merupakan putra asli Papua beragama Kristen Katolik yang sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar Mamit dan selanjutnya melanjutkan pendidikan menengah di Jayapura hingga SMA. Selanjutnya pada saat beranjak dewasa, ia mengenyam bangku perkuliahan di jurusan SISIP Universitas Sam

Ratulangi hingga tahun 1995. Karir di organisasi perkuliahannya pun terbilang cukup aktif dan mencapai puncaknya ketika ia menjadi ketua mahasiswa

Jayawijaya di Utara pada tahun 1989-1992.132

Karirnya dimulai dengan menjadi PNS di kantor sospol Merauke pada tahun

1998-2001. Pada medio tahun tersebut, ia juga sempat mengenyam pendidikan di

The Christian Leadership and Second Linguistic Cornerstone College di Australia dan lulus tahun 2001. Karier politiknya dimulai dengan menjadi Wakil Bupati

Kabupaten Puncak Jaya periode tahun 2001-2005 dan selanjutnya menjadi ketua dewan pembina DPW Papua Partai Damai Sejahtera tahun 2003-2006. Pada Pilkada

Papua tahun 2006 ia mencalonkan diri menjadi calon Gubernur Papua berpasangan dengan H. Arobi Ahmad Aituarauw akan tetapi gagal, sehingga ia melanjutkan jabatannya menjadi Wakil Bupati Kabupaten Puncak Jaya. Pada tahun 2006 ia berpindah partai menuju Partai Demokrat dan menduduki jabatan ketua Dewan

132 “Profil Gubernur Papua”, tersedia di https://www.papua.go.id/view-detail-page- 292/profil-gubernur-papua.html, diakses pada 1 Agustus 2020.

58

Pengurus Daerah Partai Demokrat Provinsi Papua periode 2006-2011 dan berlanjut hingga 2011-2016.

Selanjutnya pada tahun 2007, ia terpilih menjadi Bupati Kabupaten Puncak

Jaya periode tahun 2007-2012. Karier politiknya terus menanjak hingga ia pun menjadi Gubernur Provinsi Papua tahun 2013-2018 dan menjadi calon gubernur petahana pada Pilkada Papua tahun 2018.133 Lukas juga menjadi calon gubernur yang diusung oleh PKS 3 periode pemilihan Gubernur Papua berturut-turut dari mulai tahun 2005 hingga Pilkada tahun 2018.

2.1 Klemen Tinal

Klemen Tinal lahir di Beoga, Kabupaten Puncak, Provinsi Papua pada tanggal 23 Agustus 1970. Sama seperti Lukas Enembe, Klemen merupakan putra asli Papua beragama Kristen Katolik. Ia mengenyam pendidikan sekolah dasar di

Tembagapura Jayawijaya hingga tingkat menengah pertama dan selanjutnya melanjutkan pendidikan SMA di Bandung, Jawa Barat dan lulus pada tahun 1988.

Selanjutnya ia mengenyam bangku perkuliahan di Universitas Surapati di Jakarta dengan jurusan ekonomi dan lulus pada tahun 2003. Selanjutnya Klemen melanjutkan pendidikan strata dua di Universitas Cendrawasih Papua jurusan manajemen hingga lulus dan mendapat gelar magister pada tahun 2006.134

Karirnya dimulai dari jabatan supervisi administratif pada tahun 1993 hingga 2002 di Freeport Indonesia. Pada kurun waktu tersebut, ia juga sempat menjadi pimpinan salah satu organisasi massa yakni Pemuda Pancasila Provinsi

133 “Profil Gubernur Papua”, tersedia di https://www.papua.go.id/view-detail-page- 292/profil-gubernur-papua.html, diakses pada 1 Agustus 2020. 134 “Profil Wakil Gubernur Papua”, tersedia di https://www.papua.go.id/view-detail-page- 293/profil-wakil-gubernur-papua.html, diakses pada 1 Agustus 2020.

59

Papua dengan jabatan sebagai ketua pada periode 1997-2001. Karier politiknya dimulai dengan menjadi Bupati Kabupaten Mimika periode tahun 2002-2007 dan menjadi ketua DPD partai Golkar Kabupaten Mimika periode tahun 2003-2006.

Karier politik Klemen di kepartaian yakni ketua DPD Partai Golkar Kabupaten

Mimika berlanjut hingga tahun 2013 dan mencapai puncaknya ketika ia menjadi ketua DPW partai Golkar dari tahun 2015 dan berlanjut hingga tahun 2025.135

Pada tahun 2008, ia kembali terpilih menjadi Bupati Kabupaten Mimika hingga tahun 2013. Selanjutnya pada tahun 2013, ia terpilih menjadi Wakil

Gubernur Papua dan pada Pilkada Papua tahun 2018 ia menjadi wakil gubernur petahana dengan tetap berpasangan dengan Lukas Enembe sebagai Gubernur

Papua.

135 “Profil Wakil Gubernur Papua”, tersedia di https://www.papua.go.id/view-detail-page- 293/profil-wakil-gubernur-papua.html, diakses pada 1 Agustus 2020.

60

BAB IV

DUKUNGAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA TERHADAP

KANDIDAT NON-MUSLIM PADA PILKADA PAPUA 2018

A. Kepemimpinan Politik dalam Pandangan PKS

Partai politik dan kepemimpinan politik tidak bisa dipisahkan dalam sistem politik di Indonesia. Partai politik menjadi sarana bagi calon pemimpin politik untuk meraih kedudukan dan jabatan terutama dalam suprastruktur politik.

Meminjam definisi Giovanni Sartori yang dikutip dari buku Dasar-Dasar Ilmu

Politik 136 , partai politik sebagai salah satu kelompok politik nantinya akan menempatkan calon-calon untuk diikutsertakan di pemilihan umum dalam rangka memperebutkan jabatan publik. Maka dari itu, untuk memberikan pendidikan politik dan rekrutmen politik, maka peran partai politik sangat penting dalam menyeleksi individu yang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin politik.

Sejarah perpolitikan Indonesia menempatkan seorang pemimpin politik dalam posisi yang memiliki hubungan atau kaitan erat sebagai pendiri partai politik maupun hasil kaderisasi partai politik. Pasca reformasi, dari 5 Presiden yang pernah memimpin Republik Indonesia, 4 di antaranya merupakan pendiri, pemimpin dan kader partai politik. Keempat orang tersebut di antaranya Presiden keempat K.H

Abdurrahman Wahid yang menjadi salah satu pendiri Partai Kebangkitan Bangsa,

Presiden kelima yang juga ketua umum PDIP Megawati Soekarno Putri, Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan salah satu pendiri Partai

Demokrat serta Presiden ketujuh yakni yang merupakan kader Partai

136 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008) h. 404.

61

Demokrasi Indonesia Perjuangan. Meskipun tidak semua pemilihan Presiden dilakukan secara langsung dengan melalui suara rakyat, akan tetapi hal ini menjadi bukti bahwa peran partai politik sebagai sarana pendidikan dan jalan secara konstitusional untuk meraih kepemimpinan politik dalam lingkup nasional menjadi sangat krusial

Pada pembahasan tipologi partai politik, partai politik agama adalah salah satu tipe partai politik di mana agama menjadi rujukan dalam pergerakan politiknya.137 Dalam hal ini, Partai Keadilan Sejahtera memiliki AD ART sebagai pedoman dan menyebutkan di dalam AD ART tersebut bahwasanya partai memiliki asas Islam. Ini berarti bahwa Partai Keadilan Sejahtera menjadikan agama Islam sebagai rujukan dasar perjuangan. Selain itu, dalam UU No. 2 Tahun 2011 pasal 2 ayat 4 menyebutkan bahwa anggaran dasar anggaran rumah tangga partai politik harus memuat di dalamnya yakni asas dan ciri, visi dan misi, tujuan dan fungsi partai politik.138 Ini berarti bahwa Partai Keadilan Sejahtera dengan asas Islamnya termasuk sebagai kategori sebagai partai Islam.

Partai Keadilan Sejahtera dalam beberapa kesempatan pemilihan umum

Republik Indonesia belum pernah mencalonkan kader terbaiknya untuk menduduki jabatan Presiden. Selama ini PKS selalu dalam posisi berkoalisi dengan partai lain untuk mengusung seorang calon sekalipun dalam beberapa kesempatan koalisi tersebut mengalami kekalahan yang membuat posisi PKS hanya menjadi oposisi pemerintah. Tetapi bukan berarti PKS tidak memiliki mimpi untuk menguasai

137 Damsar, “Pengantar Sosiologi Politik”, (Jakarta: Prenadamedia, 2010) h. 257-264. 138 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.

62

lembaga eksekutif dengan menempatkan kader-kadernya menjadi seorang yang potensial untuk menjadi Presiden.

Sebagai partai yang memiliki histori sebagai gerakan dakwah, PKS menjalankan roda organisasi sekaligus mewujudkan cita-cita partai melalui beberapa orbit dakwah. Dalam hal ini PKS memiliki empat orbit dakwah di mana pada orbit pertama strategi dakwah mereka dinamakan dengan mihwar tanzhimi.

Orbit dakwah pertama fokus pada pembangunan kekuatan internal partai melalui proses kaderisasi yang berjenjang dan sel-sel mentoring hingga ke akar, sehingga nantinya tercipta kader-kader yang mumpuni dalam melakukan dakwah demi terbentuknya kepribadian yang islami.139

Selanjutnya, akhir dari strategi dakwah mereka adalah untuk meraih kekuasaan di tingkat pusat. Orbit dakwah dengan tujuan meraih kekuasaan tingkat pusat tersebut dinamakan dengan mihwar daulah. Dalam hal ini, mihwar daulah menempatkan PKS secara langsung mengelola institusi-institusi negara dengan tujuan untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah.140 Strategi dakwah tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan politik pada puncaknya suprastruktur yakni

Presiden dan Wakil Presiden erat kaitannya dengan bagaimana kepentingan partai bisa dibawa ke ranah yang lebih strategis demi mewujudkan cita-cita partai, sehingga nantinya partai akan terus berusaha untuk meraih posisi jabatan tertinggi dalam suprastruktur politik. Keempat orbit dakwah tersebut berjalan secara kontinyu dan mencerminkan eksistensi dari kaderisasi khas PKS yang berjenjang

139 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), h. 173 140 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), h. 176.

63

dan memiliki proses di dalam struktural partai hingga ke pusat kekuasaan internal partai.

Kepemimpinan politik dalam skala nasional juga menjadi salah satu perhatian partai yang disusun dalam falsafah perjuangan PKS. Dalam hal ini, PKS menempatkan kepemimpinan nasional sebagai salah satu isu strategis yang perlu untuk dicarikan jalan keluar selain daripada isu-isu lainnya seperti reformasi birokrasi, pertahanan, keamanan dan isu korupsi. PKS memandang bahwa pemimpin Indonesia terdahulu selalu memiliki kekurangan yang harus diperbaiki dalam rangka mencari pemimpin politik yang lebih baik.

Pada masa orde lama, PKS memandang bahwa kepemimpinan dijalankan secara otoriter sebagai akibat dari perlawanan pada masa penjajah, akan tetapi nilai- nilai keindonesiaan masih belum mengejawantah dengan baik. Pada masa orde baru, PKS menganggap bahwa kepemimpinan saat itu menghilangkan semangat revolusioner dan kreatif.141

Pada masa pemerintahan B.J Habibie sebagai masa transformasi dari pemerintahan orde baru, PKS menganggap bahwa figur Habibie tidak tegas dalam mengemukakan penyimpangan yang dilakukan pemerintahan sebelumnya.

Sedangkan K.H Abdurrahman Wahid dianggap PKS sebagai figur yang kontroversial yang sering tampil sebagai trouble maker ketimbang problem solver.142

141 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, “Memperjuangkan Masyarakat Madani Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera”, (2008), h. 236. 142 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, “Memperjuangkan Masyarakat Madani Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera”, (2008), h. 237.

64

Terkait dengan kebijakan partai dalam menentukan pemimpin politik, PKS mengemukakan bahwa mereka memiliki tiga rujukan sebelum memutuskan dan mengeluarkan kebijakan. Surahman Hidayat sebagai Ketua Dewan Syariah menyatakan:143

Sebagai partai dakwah, rujukan pertama tentu kaidah dan prinsip-prinsip Islam, sebagai partai nasional dan nasionalis tentu saja rujukannya adalah konstitusi dan regulasi yang ada. Selanjutnya kajian sosiologis, kita mendengar dan mendatangi tokoh-tokoh masyarakat dan ulama, apa yang mereka pandang baik dan maslahat untuk masyarakat itu. Nah, tiga sumber itu yang kita bahas dalam mekanisme syuro, untuk menghasilkan suatu keputusan politik mengenai memilih siapa atau mendukung siapa. Nah dari ketiga sumber itu pertama sumber syariat, kedua dari sumber konstitusi dan regulasi, ketiga dari sumber sosiologis.

Sehingga, dalam memilih siapa pemimpin politik yang akan diusung maka

PKS memiliki rujukan-rujukan yang didiskusikan dalam majelis partai. Rujukan pertama adalah syariat Islam. Ini bisa diartikan bahwa PKS sebagai partai agama

Islam mengutamakan bahwa seorang calon harus sesuai dengan apa yang menjadi ketentuan di dalam hukum-hukum Islam.

Dalam melihat karakter seorang pemimpin, PKS memiliki tiga karakter yang harus dimiliki oleh pemimpin di antaranya:144

1. Perencana, sosok yang memiliki kapasitas intelektual memadai dan

menguasai kondisi makro nasional dari berbagai aspeknya, sehingga

dapat menjaga visi perubahan yang dicitakan bersama.

2. Pelayan, figur pekerja yang tekun dan taat pada proses perencanaan

yang sudah disepakati sebagai konsensus nasional, menguasai detil

143 Mochamad Rois, "Presiden Non-Muslim di Indonesia dalam Pandangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera" (Skripsi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jurusan Hukum, Fakultas Hukum, 2016). 144 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, “Memperjuangkan Masyarakat Madani”, (2008), h. 237.

65

masalah kunci kebangsaan dan mampu melibatkan semua elemen yang

kompeten dalam tim kerja yang solid.

3. Pembina, tonggak pemikiran yang kokoh dan menjadi rujukan semua

pihak dalam pemecahan masalah bangsa, yang setia dengan nilai-nilai

dasar bangsa dan menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat secara

komprehensif.

Pemimpin sebagai seorang pelayan rakyat sejalan dengan pandangan bidang dakwah wilayah Indonesia Timur. Dalam hal ini, Wakil Ketua Bidang Wilayah

Dakwah Indonesia Timur Wajdi Rahman menyatakan:

“Ketika kita bicara tentang kepemimpinan itu, pemimpin itu kan khodimul ummah, dia kan pelayan umat, kita bicara pemimpin itu tidak sekadar bicara bahwa mereka akan mensejahterakan, tapi bagaimana ia bisa menjadi pelayan bagi kita”145

Pada kawasan yang demografi masyarakatnya mayoritas beragama non- muslim, PKS memandang bahwa seorang pemimpin tidak boleh diskriminatif terhadap kepentingan-kepentingan minoritas di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan kepemimpinan Nabi SAW pada periode piagam Madinah, di mana Nabi SAW sangat mengedepankan toleransi dan kesetaraan umat dikarenakan kondisi masyarakat Madinah yang majemuk.

Selain itu, kriteria pemimpin dalam Islam yang adil juga menjadi pertimbangan PKS dalam menentukan karakter dari pemimpin politik. Dalam hal ini, Wajdi Rahman menyatakan:

“Salah satu persyaratan yang kita tekankan kepada mereka bahwa mereka tidak boleh diskriminatif terhadap minoritas di wilayahnya, bahkan kita minta supaya memfasilitasi, bahwa muslim yang minoritas itu punya kesempatan untuk beribadah dengan baik. Misalnya kalau mereka belum punya masjid di tempat itu

145 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15.

66

padahal jumlah muslimnya banyak maka kita minta dibangunkan tempat ibadah untuk mereka.”146

Sesuai dengan apa yang disebutkan pada platform partai dan falsafah perjuangan, dalam tataran kedaerahan PKS mengakui bahwa Indonesia memiliki kekayaan kebudayaan, alam, maupun sisi geografis serta demografis. 147 Hal tersebut pun berpengaruh terhadap bagaimana partai melihat agama seorang calon pemimpin bagi suatu daerah. Sebagai partai dengan asas Islam, beragama Islam tidak menjadi salah satu syarat mutlak bagi PKS dalam mencalonkan seorang pemimpin politik. PKS melihat kekayaan demografis Indonesia yang disebutkan dalam platform kebijakan partai sebagai salah satu pertimbangan.

Bila memang masyarakat menghendaki adanya pemimpin non-muslim, maka PKS cenderung realistis melihat hal tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh

Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah Indonesia Timur:

“Pemimpin dengan arah orientasi untuk membangun kesejahteraan masyarakat, dan seterusnya pasti kita dukung siapapun dia pasti kita dukung. Kami tidak membedakan antara muslim dan non-muslim dalam persoalan itu. Syarat harus beragama Islam bagi pemimpin atau calon kepala daerah itu tidak termasuk, karena kita realistis terhadap situasi demokratis di suatu daerah. Kalau misalnya di daerah itu secara demokratis memang masyarakatnya menghendaki pemimpin tertentu yang beragama non-muslim, ya PKS realistis melihat situasi itu. Makanya di daerah-daerah minoritas seperti Papua gitu, PKS ini banyak mendukung, banyak daerah-daerah di mana PKS mendukung kepala daerah dari non-muslim”148

Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Presiden PKS, M. Sohibul Iman dalam rangka menghadapi Pilkada 2020. Sohibul Iman mengatakan bahwa agama

146 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15. 147 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, “Memperjuangkan Masyarakat Madani Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera”, (2008), h. 32-33. 148 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15.

67

Islam tidak menjadi syarat dukungan bagi PKS kepada calon pemimpin-pemimpin daerah.

“Sangat mungkin (calon beragama non-muslim). Kan PKS dari sejak awal, lihat di Papua contoh yang paling nyata. Pak Lukas Enembe adalah bupati dan gubernur, sejak dua periode diusung PKS, di gubernur dua periode diusung PKS. Kan tidak ada masalah, sesuai dengan kondisi kebatinan di daerah itu.”149

Selain itu, Surahman Hidayat menyatakan bahwa berdasarkan UU tidak ada pembatasan dalam hal persyaratan agama Islam menjadi syarat untuk mencalonkan menjadi Gubernur dan Walikota. Akan tetapi, prioritas partai dalam menentukan gubernur atau bupati adalah calon-calon yang beragama Islam. Surahman Hidayat menyatakan:150

“Kalau dilihat dari peluang Undang-Undang secara moralitas baik, setia kepada Pancasila, tidak sebagai penjahat, pemabok, pelacur, atau tidak dalam hukuman. Terkait agama itu tidak pembatasan di UU berarti itu kan terbuka, nah, itu kembali lagi kepada pemilih, para pemilih soal wawasan dan kesadaran pemilih, dan menjadi prioritas kami dalam mengupayakan jabatan gubernur atau bupati harus Islam.”

Sehingga dalam melihat agama Islam sebagai salah satu persyaratan calon pemimpin, PKS tidak menjadikan hal tersebut sebagai syarat mutlak dukungan mereka terhadap salah satu calon pemimpin politik. Sesuai dengan fakta demografis

Indonesia, PKS lebih pada posisi realistis dengan kehendak dan suasana kebatinan masyarakat di wilayah tersebut.

Dalam perspektif Indonesia, PKS memiliki beberapa acuan dalam hal melihat kualitas dan kapabilitas seorang calon pemimpin politik. Sehingga dalam

149 “PKS Buka Peluang Usung Calon Non-muslim di Pilkada 2020” tersedia di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191205135638-32-454425/pks-buka-peluang-usung- calon-non-muslim-di-pilkada-2020 diakses pada 4 oktober 2020. 150 Mochamad Rois, "Presiden Non-Muslim di Indonesia dalam Pandangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera" (Skripsi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jurusan Hukum, Fakultas Hukum, 2016).

68

hal ini, PKS menggunakan ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Seperti pernyataan dari Wajdi Rahman berikut:

“Jadi prinsip kita dalam konteks membangun kehidupan kebangsaan itu ya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dia berpedoman kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI. Jadi ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh UU, itu harus terpenuhi.”151

Persyaratan terkait dengan Pilkada diatur UU Nomor 10 Tahun 2016.

Beberapa aturan mengenai persyaratan calon kepala daerah memiliki 21 persyaratan yang diantaranya mengatur tentang usia yakni paling rendah 30 tahun bagi calon gubernur serta syarat bahwa calon tidak berbuat tercela dengan bukti catatan kepolisian.152 Dalam ketentuan usia, nampaknya PKS tidak secara langsung mensyaratkan minimal usia dari pasangan calon, PKS hanya merujuk pada ketentuan Undang-Undang yang berlaku yakni minimal 30 tahun. Islam sebenarnya tidak secara langsung menyebutkan minimal umur bagi seorang calon pemimpin.153

Sehingga yang terpenting adalah bagaimana pemimpin tersebut sudah memasuki usia dewasa sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

Masih dalam perspektif demokrasi dengan prosedur langsung, PKS mengakui bahwa dalam memilih seorang calon pemimpin, faktor kepopuleran dan elektabilitas sangat berpengaruh terhadap dukungan partai bagi seorang calon pemimpin. Bahkan PKS mengakui kader-kader mereka banyak yang gagal untuk dicalonkan menjadi pemimpin suatu daerah dikarenakan kurang populer di tengah masyarakat. Dalam hal ini, Wajdi Rahman menyatakan:

151 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15. 152 Undang-Undang No 10 Tahun 2016. 153 Yusuf Al-Qardhawy Al-Asyi, ”Kepemimpinan Islam: Kebijakan-kebijakan Politik Rasulullah sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan”, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2016), h. 65-66.

69

“Terkait dengan bahwa orang itu harus populer, ini adalah syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang calon kepala daerah. Jadi, bagaimana popularitasnya, lalu kemudian bagaimana kapabilitasnya, lalu kemudian kemampuan-kemampuan yang lain yang harus bisa dia penuhi. Misalnya, seorang kader dia ingin mencalonkan tapi sebenarnya popularitasnya rendah di masyarakat, itu tidak akan dipilih oleh masyarakat karena popularitasnya rendah, elektabilitasnya rendah.”154

Selain dari faktor popularitas, PKS juga memandang bahwa kesiapan modal dan kemampuan finansial menjadi salah satu pertimbangan bagaimana partai memilih untuk mencalonkan salah satu pasangan calon pemimpin daerah.

Kemampuan finansial yang dimaksud adalah bagaimana nantinya pasangan calon mengatur sedemikian rupa agar kemudian calon tersebut tidak dalam posisi kesulitan dalam biaya pemenangannya sendiri. Wajdi Rahman menambahkan:

“Terutama juga soal persiapan modal, karena banyak hal yang harus dibiayai oleh seorang calon kepala daerah. Jangan sampai tidak punya kemampuan dalam hal biaya pemenangannya sendiri. Selama ini untuk Papua kita sangat selektif untuk melihat dan memilih kader yang mau maju itu dia punya kemampuan modal atau tidak.”155

Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka dalam memandang sebuah kepemimpinan politik, PKS sebagai partai Islam lebih condong menggunakan perspektif Indonesia sebagai negara demokrasi ketimbang unsur-unsur kepemimpinan politik dalam pandangan ulama Islam. Sebelumnya, pemimpin politik adalah sebuah term yang merujuk pada kepemimpinan dalam suprastruktur politik, dalam hal ini walikota, gubernur maupun Presiden adalah pemimpin politik.156 Pemilihan umum untuk memilih pemimpin politik yang menggunakan prosedur langsung dijadikan pertimbangan bagi PKS dalam mengusung pencalonan

154 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, wakil ketua bidang wilayah dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15. 155 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15. 156 Ramlan Surbakti, “Memahami Ilmu Politik”, (Jakarta: CV Prima Grafika, 2013) h. 171.

70

pemimpin politik, dengan mempertimbangkan juga besarnya peluang bagi partai untuk menang pada penyelenggaraan pemilu. Hal tersebut tercermin dari pentingnya elektabilitas, popularitas serta modal keuangan dari calon yang ingin diusung oleh PKS157, sehingga peluang terpilihnya calon pemimpin politik tersebut pun semakin besar.

Lebih dari itu, berdasarkan hasil wawancara bahwasanya dalam memandang kepemimpinan politik non-muslim, Partai Keadilan Sejahtera tidak merujuk kepada pandangan salah satu ulama Islam tertentu seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya.158 Akan tetapi, tidak serta merta PKS mendukung non- muslim untuk menjadi pemimpin politik. Salah satu syarat adalah bahwa pemimpin tersebut tidak boleh diskriminatif terhadap umat muslim yang menjadi minoritas dan memiliki kapabilitas untuk memimpin.159 Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa ulama Islam yakni Muhammad Abduh160 dan M Quraish Shihab161 yang memperbolehkan memilih pemimpin non-muslim dengan syarat non-muslim tersebut tidak memusuhi Islam, serta Asghar Ali Engineer yang berpendapat bahwa parameter kecakapan dan keadilan lebih penting daripada parameter keagamaan dalam memilih pemimpin. 162 Selain itu, kepemimpinan Nabi SAW terhadap

157 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15. 158 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15. 159 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15. 160 Mujar Ibnu Syarif, “Presiden Non Muslim di Negara Muslim”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 162. 161 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 3 Cet. 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 150-151. 162 Mujar Ibnu Syarif, “Presiden Non Muslim di Negara Muslim”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 156.

71

minoritas pada piagam Madinah juga sejalan dengan kebijakan PKS dalam mengusung seorang calon. Dalam hal ini, seorang calon diharuskan untuk tetap memfasilitasi minoritas di wilayahnya untuk mendapatkan dukungan pencalonan dari PKS. Seperti apa yang terjadi di Papua di mana salah satu persyaratan dukungan terhadap salah satu pasangan calon adalah bahwa calon tersebut akan terus memfasilitasi muslim yang menjadi minoritas dengan membangun rumah ibadah jika jumlah rumah ibadah belum memadai.163

Potret kedekatan Lukas Enembe dengan beberapa kader PKS yang juga sebagai umat Islam minoritas di Papua tercermin dalam kehadiran Lukas saat perayaan hari ulang tahun PKS ke-20 yang diselenggarakan di DPD PKS Kota

Jayapura. Dalam foto berikut, tergambar bagaimana hubungan baik antara Lukas dengan kader-kader PKS Papua.

Gambar IV.I. Potret Keakraban Lukas Enembe dan Kader PKS Papua

Sumber: DPW PKS PAPUA, 2017

163 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15.

72

B. Rekrutmen Politik PKS di Papua

Rekrutmen politik berfungsi untuk menyeleksi sebuah kepemimpinan dan memperluas jaringan keanggotaan.164 Dalam hal ini, rekrutmen politik sebagai sebuah cara partai politik dalam mencari individu yang memiliki kompetensi sebagai pemimpin baik dalam internal partai sebagai organisasi maupun jabatan publik. Selain itu, rekrutmen politik juga sebagai cara partai politik untuk memperluas jaringan dalam rangka mencari dukungan suara pada saat kontestasi pemilihan umum.

PKS dengan sejarah yang panjang sehingga disebut partai dakwah, memiliki ciri-ciri sebagai sebuah partai kader dalam rekrutmen politiknya. Sistem kaderisasi dan rekrutmen politik yang dianut oleh PKS menurut tokoh PKS Zulkifliemansyah yang dikutip dalam buku Dilema PKS bahkan disebut memiliki ciri kemiripan dengan partai komunis karena sifat organisasinya yang aktif, hierarkis serta loyal dan komitmen terhadap segala keputusan atau garis kebijakan partai.165

Sistem kaderisasi dan rekrutmen politik PKS setidaknya mengerucut pada tiga jenis pengkaderan, yakni tarbiyah, pengkaderan organisasi sayap partai, serta pengkaderan formal partai.166 Sebenarnya tidak ada perbedaan yang berarti dari tiga jenis pengkaderan tersebut, bahkan pada dasarnya tarbiyah menjadi teknik yang ada dalam tiga jenis perkaderan tersebut. Akan tetapi, perkaderan formal partai yang dilakukan dari mulai jenjang Dewan Pengurus Ranting hingga Dewan Pengurus

164 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008) h. 408. 165 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), h. 148. 166 M Imdadun Rahmat, “Ideologi Politik PKS Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen”, (Yogyakarta: LKIS, 2008) h. 239.

73

Pusat tidak mutlak menggunakan materi keislaman sebagai materi perkaderan khususnya di wilayah-wilayah yang memiliki demografi mayoritas masyarakatnya yang beragama non-muslim.167

Perkaderan tarbiyah menggunakan pola individual, yakni dengan strategi pendekatan orang yang sudah dikenal seperti keluarga, teman, tetangga dan sebagainya. 168 Dengan merekrut orang-orang yang sudah dikenal sebelumnya diharapkan relasi sosial yang ingin dibangun akan lebih erat dan loyal. Kegiatan yang dilakukan adalah antara lain liqo (pertemuan), rekreasi, halaqoh (kelompok studi terbatas) dan lain-lain dengan menyisipkan materi-materi keislaman secara berjenjang dan sistematis sehingga diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman dan loyalitas yang sama.169

Kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan PKS juga menjadi salah satu metode dalam perkaderan partai. Di antara kelompok atau organisasi tersebut adalah Garda Keadilan, Salimah, Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia serta institusi-institusi pendidikan yang berafiliasi secara langsung dengan partai.170 Cara perkaderan ini termasuk pada pola rekrutmen institusional, yakni rekrutmen politik termasuk pada organisasi yang memiliki afiliasi dengan PKS.171

Selain itu yang termasuk pada pola rekrutmen institusional lainnya adalah rekrutmen yang secara formal dilakukan oleh kepengurusan partai dari tingkat

167 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15. 168 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), h. 143. 169 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", h. 144. 170 M Imdadun Rahmat, “Ideologi Politik PKS Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen”, (Yogyakarta: LKIS, 2008) h. 238. 171 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), h. 144.

74

ranting hingga pusat. Dalam hal ini, perkaderan yang dilakukan secara formal oleh pengurus partai memiliki tujuh jenjang, di antaranya: TOP I (Training Orientasi

Partai Satu), TOP II (Training Orientasi Partai Dua), TD I (Training Dasar Satu),

TD II (Training Dasar Dua), TL I (Training Lanjutan Satu), TL II (Training

Lanjutan II) dan terakhir Training Manajemen dan Kepemimpinan Sosial

(TMKS).172

Dalam melakukan perkaderan dan rekrutmen politik di Papua, PKS mengakui bahwa teknik, pola-pola maupun strategi yang dilakukan mereka sama halnya dengan wilayah yang lain terutama wilayah yang secara demografi mayoritas beragama Islam. Jenis keanggotaan non-muslim pun sama, mereka tidak dianggap berbeda oleh PKS. Akan tetapi ada pengklasifikasian antara anggota dan kader. Diakui oleh Wajdi Rahman bahwa yang membedakan antara kader dan anggota adalah di dalam pembinaannya. Namun dalam hal jabatan publik, mereka sama-sama dianggap sebagai seorang kader

“Anggota-anggota dewan yang beragama non-muslim yang mencalonkan diri melalui PKS itu tetap seorang kader PKS, yang membedakannya hanya materi dalam pembinaan. Antara kader dan anggota hanya pengklasifikasian untuk nanti dalam konteks pembinaannya, tetapi pada penentuan posisi jabatan publik, seleksinya siapa yang memiliki kemampuan.173

Selain itu, perbedaan ketika merujuk pada materi-materi yang ingin disampaikan pada saat pembinaan dan saat melakukan training. Wajdi Rahman mengakui bahwa yang menjadi perbedaan rekrutmen di wilayah yang minoritas muslim dengan mayoritas muslim ada pada materi yang disampaikan, yakni tidak

172 M Imdadun Rahmat, “Ideologi Politik PKS Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen”, h. 239. 173 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15.

75

disertakannya materi keislaman. Sehingga, materi yang disampaikan pada pembinaan dan training hanya materi kebangsaan dan kepartaian. Pernyataan dari

Wajdi Rahman yakni:174

“PKS walaupun asasnya Islam, tapi keanggotaannya terbuka, siapapun yang ingin masuk ke partai ini, silahkan. Yang penting adalah mereka tahu kalau partai ini partai dengan asas Islam. Mereka menerima atau tidak, terserah mereka. Kalau mereka tidak menerima PKS, mereka bisa ke partai-partai lain. Maka PKS walaupun asas Islam tapi keanggotaannya terbuka. Jadi yang muslim kita berdakwah, membawa konstituen untuk menjadi muslim yang lebih baik. Tetapi hal tersebut tentu tidak sama dengan kader PKS yang non-muslim. Jadi, materi pembinaan di PKS itu ada 3, ada tentang kepartaian, tentang kebangsaan, dan tentu tentang keislaman. Tentu kepada yang muslim kita tidak ada masalah terkait dengan materi-materi pembinaan yang akan disampaikan sebagai sebuah partai politik. Akan tetapi kepada non-muslim, kita hanya menyampaikan materi-materi tentang kepartaian, kebangsaan dan tentu saja materi tentang keislaman tidak kita sampaikan, akan tetapi kita lebih kepada bagaimana membangun silaturahmi kemanusiaan bersama teman-teman yang non-muslim. Pada pola rekrutmennya sebenarnya sama, biasanya kita mengadakan training orientasi partai atau TOP, biasanya kita mengundang peserta dari masyarakat umum lalu kemudian di forum itulah kita menyampaikan materi yang sebelumnya saya sampaikan. Anggota- anggota dewan yang beragama non-muslim yang mencalonkan diri melalui PKS itu tetap seorang kader PKS, yang membedakannya hanya materi dalam pembinaannya.”

Terkait dengan posisi struktural di Papua, PKS mengakui bahwa beberapa pengurus partai yang ada dari ranting, cabang hingga wilayah yang ada di Provinsi

Papua beragama non-Islam. Jenjang perkaderan secara struktural dari mulai DPRa hingga DPP pun diakui sebagai hal yang tidak bersifat mutlak, sehingga banyak pengurus DPD PKS di Papua yang beragama non-Islam. Wajdi Rahman menyatakan:175

“Jadi aktualisasinya, perkaderan itu ada jenjang, di situ memang ada penjenjangan, dengan jenjang itu biasanya dalam memilih pengurus itu ada jenjangnya, misalnya untuk memilih pengurus DPD ada jenjangnya sampai kepada DPP ada jenjangnya, akan tetapi itu tidak berlaku mutlak dalam pengertian bahwa pengurus itu kalau memang tidak ada dari sisi kualitas, ya dia tidak akan jadi pengurus. Maka di

174 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15. 175 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15.

76

Papua, itu yang non-muslim itu kan mereka mengurusi DPD nya sendiri, ketua DPD itu banyak yang non-muslim seperti pada di pegunungan Papua banyak yang non-muslim. Misalnya di Lani Jaya pada periode yang lalu kader PKS di situ satu fraksi isinya 4 orang itu semuanya non-muslim, salah satunya itu menjadi ketua DPRD. Antara kader dan anggota hanya pengklasifikasian untuk nanti dalam konteks pembinaannya, tetapi pada penentuan posisi jabatan publik, di situ seleksinya siapa yang memiliki kemampuan.”

Selama diselenggarakannya pilkada di Papua termasuk Pilkada tahun 2018,

PKS mengakui bahwa mereka belum pernah mencalonkan dari kalangan internal kadernya untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur. PKS juga mengakui bahwa pada Pilkada 2018 partai mereka telah melakukan rekrutmen politik untuk menyeleksi calon-calon yang dianggap layak untuk maju sebagai gubernur dan wakil gubernur, termasuk pada kader-kader internal mereka. Calon-calon yang dijaring sebelum dilaksanakannya pemilu merupakan usulan dari cabang dalam tingkat ranting hingga akhirnya direkomendasikan pada tingkat pusat. Akan tetapi, usulan dari kalangan kader tersebut akhirnya gagal karena internal partai menganggap calon tersebut belum memenuhi kriteria yang diinginkan oleh partai seperti populer, memiliki elektabilitas tinggi dan juga sudah siap modal biaya untuk mencalonkan menjadi kepala daerah. Wajdi Rahman menyatakan:176

“Selama ini kita belum pernah mengajukan calon dari kader sendiri karena terkait dengan bahwa orang itu harus populer gitu kan, ini kan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang calon kepala daerah. Jadi bagaimana popularitasnya, lalu kemudian bagaimana kapabilitasnya, lalu kemudian ya kemampuan-kemampuan yang lain yang harus bisa dia penuhi, ya terutama juga soal modalnya itu dia siap atau tidak, karena banyak hal yang harus dibiayai oleh seorang calon kepala daerah. Nah selama ini di Papua kita PKS belum pernah. PKS itu untuk kader itu sudah ada beberapa yang diajukan tetapi itu juga harus melalui proses penjaringan karena walaupun kader kalau misalnya dia tidak memenuhi persyaratan untuk bisa memenangkan Pilkada ya tidak akan diusung karena itu artinya dia akan sangat kepayahan. Misalnya, dia kader dia mau maju tapi sebenarnya popularitasnya rendah di masyarakat, itu kan tidak akan dipilih oleh masyarakat karena popularitasnya rendah, elektabilitasnya rendah atau tidak punya kemampuan dalam

176 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15.

77

hal biaya pemenangannya sendiri. Nah selama ini untuk Papua kita sangat selektif untuk melihat dan memilih kader yang mau maju itu dia punya kemampuan atau tidak.”

Pada penyelenggaraan Pilkada 2018, Lukas Enembe mendaftar secara langsung untuk menjadi calon gubernur di DPW PKS Papua didampingi oleh beberapa kader Partai Demokrat Papua. Dalam hal ini, maka tercermin bahwa PKS

Papua menjaring secara terbuka termasuk kader dari partai lain seperti Lukas

Enembe sebagaimana diilustrasikan dalam foto di bawah ini.

Gambar IV.II. Lukas Enembe Mendaftar Pencalonan Pilkada di PKS Papua

Sumber: DPW PKS PAPUA (2017) Berdasarkan pada temuan-temuan di atas, PKS menggunakan mekanisme rekrutmen terbuka.177 Di Papua, PKS memberi kebebasan kepada masyarakat yang ingin menjadi anggota partai untuk mendaftarkan diri, baik muslim maupun non- muslim. PKS mengakui bahwa mereka terbuka terhadap berbagai latar belakang keanggotaan.178 Selain itu, sistem rekrutmen kader yang dilakukan oleh PKS di

177 Afan Gaffar, “Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h.155-156. 178 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15.

78

Papua juga sama dengan wilayah lain di Indonesia yang menggunakan sistem patronik dengan memanfaatkan kedekatan perkawanan, baik yang dilakukan di dalam institusi partai maupun organisasi-organisasi sayap PKS yang ada di Papua.

Sementara itu rekrutmen yang dilakukan PKS untuk menjaring calon gubernur dan wakil gubernur juga dengan mekanisme rekrutmen terbuka.179 Dalam hal ini, Lukas Enembe secara pribadi mendaftarkan diri melalui DPW PKS Papua dan PKS mengakui bahwa mereka menyeleksi calon-calon lain yang berasal dari kader internal partai.180

Akan tetapi, PKS mengakui bahwa mereka tidak menjalankan sistem berjenjang dan baku dalam struktur kepengurusan di Papua seperti halnya apa yang dilakukan di wilayah lain. Hal ini dikarenakan beberapa wilayah di Papua terutama wilayah pegunungan, mayoritas masyarakat beragama non-muslim sehingga berdampak kepada kepengurusan PKS di DPD di wilayah Papua yang beranggotakan individu beragama non-muslim. 181 Hal tersebut mencerminkan adanya sifat non-ideologis dan non-program182 yang ada di tataran DPD PKS di wilayah Papua, di mana partai hanya memanfaatkan jaringan politik yang dimiliki untuk memenangkan pemilu tanpa memerdulikan latar belakang agama yang dianut oleh pengurus partai. 183 Sehingga PKS yang berasaskan Islam, masih

179 Afan Gaffar, “Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h.155-156. 180 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15. 181 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15. 182 Syamsuddin Haris, dkk, “Panduan Rekrutmen dan Kaderisasi Partai Politik Ideal di Indonesia”, (Jakarta: KPK dan LIPI, 2016), h. 34. 183 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15.

79

beranggotakan individu-individu yang beragama selain Islam. Sifat yang cenderung non-program dan non-ideologis ini berlawanan dengan orbit dakwah mengingat

PKS memiliki orbit dakwah yang bermula dari pembinaan kader demi terbentuknya kepribadian islami dan pada akhirnya orbit tersebut memiliki tujuan utama untuk menguasai pusat pemerintahan Islam demi menegakkan syariat Islam yang kaffah.184

C. Faktor-Faktor PKS Mendukung Kandidat Non-Muslim dalam Pilkada di

Papua

Partai Keadilan Sejahtera adalah satu dari beberapa partai Islam yang mendukung pasangan calon Lukas Enembe dan Klemen Tinal dalam Pilkada

Provinsi Papua. Akan tetapi kiprah dan histori PKS sebagai partai berasaskan Islam menjadi lebih menarik dibahas ketika mereka justru mengusung pasangan beragama non-Islam. Berdasarkan hasil temuan, ada beberapa faktor yang menjadi alasan PKS mendukung Lukas Enembe dan Klemen Tinal dalam Pilkada Papua tahun 2018, yakni:

1. Agama Islam Tidak Menjadi Syarat bagi Calon Pemimpin yang Diusung

PKS

Partai Keadilan Sejahtera sebagai partai dengan asas Islam tidak

menjadikan agama Islam sebagai kriteria bagi calon-calon yang ingin diusung

mereka. Bagi mereka, tidak ada masalah mengenai agama masing-masing calon

asalkan mereka tidak melakukan hal yang sewenang-wenang terhadap rakyat.

184 Burhanuddin Muhtadi, "Dilema PKS Suara dan Syariah", (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), h. 172-176.

80

Selain itu, pemimpin juga tidak boleh diskriminasi terhadap umat beragama

yang secara demografi menjadi minoritas, seperti umat Islam yang ada di Papua.

Wajdi Rahman menyatakan:185

“Kami tidak membedakan antara muslim dan non-muslim dalam persoalan itu. Kalau di daerah-daerah ada PKS kemudian kepemimpinannya non-muslim kami baik-baik saja, sama dengan apa yang kami lakukan dengan pemimpin- pemimpin yang muslim. Kalau muslim pun misalnya dia melakukan kesalahan, melakukan pelanggaran atau berbuat sewenang-wenang itu pasti partai melakukan koreksi, tidak peduli dia mau muslim ataupun non-muslim, jadi tidak ada perbedaan dalam hal itu. Kami misinya adalah bagaimana membangun kehidupan bersama secara baik.”

Sebenarnya, pandangan ulama Islam terhadap pemimpin non-muslim

masih menjadi perdebatan hingga kini. Sementara itu, PKS tidak secara

langsung menjadikan salah satu ulama sebagai referensi dalam memandang

kepemimpinan politik. Akan tetapi melalui beberapa pendapat ulama yakni

Quraish Shihab, Asghar Ali Engineer serta Muhammad Abduh mereka

berpendapat bahwa selama seorang non-muslim tidak berbuat jahat atau

menjadikan umat Islam sebagai musuh, maka pemimpin non-muslim tersebut

tidak dilarang untuk menjadi seorang calon pemimpin. Sehingga, apa yang

dilakukan PKS dalam mengusung pencalonan non-muslim di Papua

diperbolehkan sesuai dengan agama Islam melalui pandangan tiga ulama Islam.

2. PKS Realistis terhadap Demografi Masyarakat di Provinsi Papua

Kontur demografi masyarakat yang ada di Provinsi Papua juga menjadi

salah satu pertimbangan PKS dalam mencalonkan Lukas-Klemen. Dalam hal

ini, Agama Kristen menjadi agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat

185 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15.

81

Papua. Berdasarkan data Kementerian Agama Republik Indonesia pada tahun

2018, jumlah penduduk Papua yang beragama Islam hanya 15% (664.575) dari

jumlah penduduk keseluruhan Provinsi Papua (4.346.593).186 Hal inilah yang

membuat PKS merasa realistis terhadap posisi tawar mereka sebagai partai

berasaskan Islam di wilayah yang mayoritas beragama non-Islam. Selain itu,

PKS menganggap bahwa posisi umat Islam sebagai minoritas di Papua

membuat mereka tahu diri untuk tidak memaksakan kehendak mencalonkan

pasangan beragama Islam, hal ini dikarenakan dalam konteks demokrasi PKS

melihat bahwa masyarakat Papua memiliki perilaku memilih sesuai dengan

kalangan atau aliran agama yang sama dengan mereka. Wajdi Rahman

mengatakan:187

“Jadi kita punya prinsip bahwa kita memilih pemimpin supaya kepentingan- kepentingan kita sebagai masyarakat yang punya banyak kepentingan bisa terakomodir dengan baik. Karena itu, karena salah satu kepentingan kita adalah menegakkan keislaman kita, artinya supaya kondusif didalam berislam dengan baik maka tentu saja wajar kalau kita cenderung, masing-masing orang muslim itu dia akan memilih yang seagama dengan dia. Kemudian dalam masyarakat yang mayoritas muslim sangat demokratis kalau mereka itu punya pikiran untuk memilih yang sesama muslim, tetapi untuk konteks minoritasnya muslim maka secara demografinya dan secara fakta politisnya muslim itu harus tau diri. Misalnya juga di negara-negara yang minoritas muslim misalnya Amerika, orang muslim akan menerapkan prinsip itu, maka tidak mungkin. Saya kira dalam skala kita di Indonesia di daerah yang minoritas muslim kita realistis untuk melihat bahwa daerah itu karena mayoritasnya non-muslim, wajar kalau masyarakat itu secara kolektif memilih pemimpinnya dari kalangan mereka, kalangan non-muslim. Lalu PKS datang, kita datang juga untuk memperbaiki kehidupan di situ, karena itu kita aspiratif terhadap masyarakat yang ada di kawasan itu. Lalu di dalam melihat demografi, PKS realistis melihat masyarakat yang ada di suatu wilayah. Dalam hal ini kalau di suatu wilayah itu memang mayoritas muslim, maka PKS akan berkolaborasi dengan semua kekuatan yang ada, tetapi dalam konteks demokrasi tentu saja PKS akan melihat bahwa muslim itu adalah yang terbanyak di daerah itu. Kemudian bagaimana di daerah minoritas seperti Papua? Prinsip itu kita

186 “Data Umat Berdasar Jumlah Pemeluk Agama Menurut Agama” tersedia di https://data.kemenag.go.id/agamadashboard/statistik/umat diakses pada 9 oktober 2020. 187 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15.

82

gunakan, kita realistis melihat masyarakat, jika mayoritasnya non-muslim maka PKS harus melihat juga peluang bahwa kepemimpinan itu harusnya diberikan kepada non-muslim.”

Selanjutnya, fakta bahwa Papua menganut UU otsus dalam peraturan perundang-undangan membuat PKS semakin sulit dalam menjaring calon pemimpin dari kalangan internal kader. Di dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua, pasal 12 poin a menyatakan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua harus berasal dari Papua.188 Artinya, yang berhak menjadi gubernur dan wakil gubernur adalah putra asli Papua.

Kenyataan tersebut bersamaan dengan fakta bahwa demografi masyarakat

Papua yang mayoritas beragama Kristen membuat posisi PKS semakin sulit dalam menentukan pemimpin dari internal partai itu sendiri

Selain itu, kursi fraksi PKS di DPR Papua juga menjadi salah satu alasan mengapa PKS realistis terhadap pencalonan kepala daerah Papua tahun 2018.

Undang-Undang Pilkada mengatur syarat pencalonan kepala daerah oleh partai berdasarkan kursi yang diperoleh di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal

40 ayat (1) mengatur bahwa partai politik dapat mengusung dan mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD ataupun 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum DPRD di daerah yang bersangkutan.189

Komposisi Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih di Provinsi Papua menempatkan 3 wakil rakyat dari fraksi PKS dari jumlah keseluruhan 55 wakil

188 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. 189 Undang-Undang No 10 Tahun 2016.

83

rakyat yang mewakili partai lainnya. 190 Bila diakumulasikan, PKS hanya

memiliki 5,4% suara di DPR Papua. Dalam hal ini, jumlah kursi minimal yang

diatur dalam UU menempatkan PKS dalam posisi tidak bisa mencalonkan

kepala daerah apabila partai tidak berkoalisi dengan partai lainnya. Sehingga

kesempatan PKS untuk mencalonkan kepala daerah dari internal kader menjadi

semakin kecil.

3. PKS Tidak Memiliki Kader Potensial untuk Dicalonkan pada Pilkada

Papua 2018

Dalam sejarah Pilkada di Papua, PKS belum pernah sekalipun

mencalonkan kepala daerah yang berasal dari kader internal partai. Wajdi

Rahman menyatakan:191

“PKS untuk kader itu sudah ada beberapa yang diajukan tetapi juga harus melalui proses penjaringan karena walaupun kader kalau misalnya dia tidak memenuhi persyaratan untuk bisa memenangkan pilkada, tidak akan diusung. Karena dia akan sangat kepayahan. Misalnya, dia kader dia mau maju tapi sebenarnya popularitasnya rendah di masyarakat, maka tidak akan dipilih oleh masyarakat kan karena popularitasnya rendah, elektabilitasnya rendah atau tidak punya kemampuan dalam hal biaya pemenangannya sendiri. Selama ini untuk Papua kita sangat selektif untuk melihat dan memilih kader yang mau maju itu dia punya kemampuan atau tidak.”

Dalam hal ini, tidak adanya kader-kader potensial yang ingin diusung

oleh PKS nampaknya berkaitan dengan perbedaan strategi rekrutmen partai di

Papua yang masih bersifat non-ideologi dan non-program dengan adanya

kepengurusan di tingkat struktural organisasi partai yang beragama non-Islam

190 “Anggota DPR Papua Periode 2014-2019 Dilantik” tersedia di https://jubi.co.id/anggota-dpr-papua-periode-2014-2019-dilantik/ diakses pada 9 Oktober 2020. 191 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15.

84

yang cenderung hanya ingin memperluas jaringan politik di Papua. 192 Sifat

perjenjangan PKS yang tidak diterapkan di Papua dan ditiadakannya materi-

materi keislaman untuk mengakomodir kader-kader yang beragama non-Islam

menjadi bukti bahwa PKS tidak menjalankan nilai-nilai partai yang selama ini

menjadi ciri khas partai. 193 Hal-hal tersebut berdampak sedemikian rupa

sehingga PKS tidak memiliki kader-kader yang potensial untuk diusung

menjadi pemimpin daerah.

Selain itu, PKS mengakui bahwa ada banyak kriteria yang mereka patok

untuk ikut berkontestasi mencalonkan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi

Papua, termasuk dengan popularitas dan elektabilitas. PKS menganggap bahwa

selama ini mereka belum memiliki kader yang memenuhi kriteria-kriteria

tersebut sehingga dalam tiga kali pemilihan gubernur Papua yakni pada tahun

2008, 2013 dan 2018, PKS selalu mencalonkan Lukas Enembe sebagai

gubernur disamping kenyataan bahwa yang bersangkutan merupakan kader dari

partai Demokrat.

4. Popularitas dan Elektabilitas Lukas-Klemen yang Mewakili Representasi

Pegunungan dan Pesisir Laut

PKS melihat bahwa ketika ingin dicalonkan menjadi Gubernur dan

Wakil Gubernur Papua, maka keduanya wajib menguasai wilayah Papua yang

secara geografis terbagi dua menjadi wilayah pesisir dan pegunungan. PKS

menganggap bahwa Lukas Enembe telah menguasai wilayah pegunungan

192 Syamsuddin Haris, dkk, “Panduan Rekrutmen dan Kaderisasi Partai Politik Ideal di Indonesia”, (Jakarta: KPK dan LIPI, 2016), h. 34. 193 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15.

85

Papua karena ia lahir di kawasan pegunungan dan pernah memiliki karier

sebagai Bupati Puncak Jaya yang notabene nya merupakan wilayah

pegunungan. Sehingga PKS tidak meragukan elektabilitas dan popularitas

Lukas Enembe di wilayah pegunungan tersebut. Sedangkan Klemen Tinal

dianggap telah menguasai wilayah pesisir dan telah populer di kalangan

masyarakat pesisir sehingga PKS melihat bahwa Klemen Tinal sudah mewakili

representasi suara dari masyarakat pesisir. Wajdi Rahman menyatakan:194

“Kita melihat bahwa Lukas sebagai tokoh selama ini layak untuk menjadi atau sebagai Gubernur di Papua. Banyak calon-calon yang lain juga, tapi selama ini memang PKS melihat bahwa dia punya kelebihan karena dia memenuhi syarat- syarat seperti, dia populer, kemudian dikenal di masyarakat terutama Lukas ini sangat dikenal di masyarakat pegunungan di Papua. Jadi di Papua itu kan ada 2 daerah, ada daerah pegunungan dan ada daerah pesisir. Lukas ini kuat di pegunungan sementara Klemen itu orang Wamena, jadi dia kuat di pesisir. Lukas itu orang gunung Paniai, sementara klemen ini Wamena pesisir. Nah di papua kalau ingin jadi gubernur harus orang pegunungan dengan orang pesisir. Begitu pertimbangannya kenapa PKS dalam tiga kali pilkada selalu memilih Lukas sebagai calon Kepala daerah di Papua.”

Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian LIPI bahwa

fenomena identitas pegunungan dan pesisir dari calon yang selama ini ada pada

Pilkada Papua sudah terjadi sejak tahun 2006 hingga Pilkada terakhir tahun

2018.195 Identitas pegunungan dan pesisir berpengaruh terhadap suara yang

digunakan untuk memenangkan pasangan calon tertentu sesuai dengan

kemampuan sumber daya dan jaringan politik yang dimiliki.

Selain itu, Presiden PKS mengakui bahwa kepemimpinan yang

ditunjukkan selama ini oleh Lukas dan Klemen sudah teruji dan berdasarkan

194 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15. 195 Cahyo Pamungkas dan Devi Triindriasari, “Pemilihan Gubernur Papua 2018: Politik Identitas, Tata Kelola Pemerintahan dan Ketahanan Orang Asli Papua”, (Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 20 No. 3, Jurnal LIPI, 2018)

86

rekam jejaknya, Lukas adalah figur yang menghargai keberagaman yang ada di

Papua. Sehingga partai tidak ragu-ragu dalam mencalonkan mereka menjadi

Gubernur dan Wakil Gubernur Papua pada Pilkada 2018.196

5. Lukas dan Klemen Tidak Diskriminatif terhadap Umat Islam yang

Menjadi Minoritas Di Papua

Islam melalui kepemimpinan Nabi SAW pada piagam Madinah

mengajarkan bahwa sebagai seorang pemimpin harus memiliki sikap yang

toleran dan menganggap setara semua orang yang dipimpin olehnya, tidak

terkecuali umat yang beragama selain daripada mereka.197 Hal ini juga menjadi

pertimbangan bagi PKS dalam memilih pemimpin di Papua. Sebagai minoritas,

PKS ingin bahwa kepentingan umat-umat Islam tetap terpenuhi dan tidak ada

perbedaan dalam hal perlakuan kepada minoritas. Bahkan ketika seorang calon

ingin menjadi pejabat publik yang dicalonkan oleh PKS baik itu anggota dewan

maupun kepala daerah di Provinsi Papua, PKS memberi syarat bahwa calon

tersebut tidak boleh diskriminatif terhadap minoritas. Wajdi Rahman

menyatakan:198

“Ada salah satu permintaan kita kepada teman-teman yang non-muslim terutama ketika akan dicalonkan menjadi pejabat publik, apakah menjadi anggota DPRD atau menjadi bupati atau wakil bupati, salah satu persyaratan yang kita tekankan kepada mereka bahwa mereka tidak boleh diskriminatif terhadap minoritas di wilayahnya, bahkan kita minta supaya memfasilitasi, bahwa muslim yang minoritas itu punya kesempatan untuk beribadah dengan baik. Misalnya kalau mereka belum punya masjid di tempat itu padahal jumlah muslimnya banyak, kita minta dibangunkan

196 “Presiden PKS Kepemimpinan Lukas Enembe sudah teruji” tersedia di https://www.papuatoday.com/2017/11/02/presiden-pks-kepemimpinan-lukas-enembe-sudah-teruji/ diakses pada 9 oktober 2020. 197 Zuhairi Misrawi, “Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW”, (Jakarta: Kompas, 2018) h. 245. 198 Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15.

87

tempat ibadah untuk mereka itu. Sama dengan pak Lukas, pak Lukas tidak diskriminasi terhadap muslim yang menjadi minoritas di Papua.”

Pada tahun 2017, Provinsi Papua mendapat penghargaan Harmoni

Award dari Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai provinsi yang

berhasil menjaga kerukunan umat beragama di tahun 2016. 199 Selain itu,

kesuksesan dari kegiatan MTQ dan Pesparawi yang secara langsung dibuka

oleh Wakil Presiden RI yang digelar secara bersamaan pada tahun 2016 di

Jayapura menjadi salah satu bukti keharmonisan umat beragama di Papua yang

terjalin dengan baik. 200 MTQ adalah kegiatan yang mewakili umat agama

Islam. Sedangkan Pesparawi adalah kegiatan paduan suara yang mewakili umat

agama Kristen. Ini membuktikan bahwa Provinsi Papua di bawah

kepemimpinan Lukas-Klemen pada periode 2013-2018 sudah berhasil menjaga

kerukunan umat beragama baik mayoritas maupun minoritas.

Presiden PKS juga mengakui bahwa Lukas Enembe merupakan figur

yang menghargai keberagaman yang ada di Papua, khususnya dalam posisi

partai PKS sebagai partai dengan asas Islam yang berada di tengah komunitas

dengan mayoritas non-Islam. 201 Oleh karena itu pada Pilkada Papua 2018,

rekomendasi terhadap pencalonan Lukas Enembe dan Klemen Tinal diserahkan

secara khusus oleh DPP PKS dengan seremoni yang diresmikan oleh Presiden

PKS.

199 ”Kemenag Beri Harmoni Award Bagi Kepala Daerah” tersedia di https://pkub.kemenag.go.id/berita/463306/kemenag-beri-harmoni-award-bagi-kepala-daerah diakses pada 10 November 2020 200 “Mei MTQ dan Pesparawi Digelar Di Jayapura” tersedia di https://jubi.co.id/mei-mtq- dan-pesparawi-digelar-di-jayapura/ diakses pada 10 November 2020 201 “Presiden PKS Kepemimpinan Lukas Enembe Sudah Teruji” tersedia di https://www.papuatoday.com/2017/11/02/presiden-pks-kepemimpinan-lukas-enembe-sudah-teruji/ diakses pada 9 oktober 2020.

88

Kehadiran Lukas Enembe dan beberapa tim kampanye dalam perayaan hari ulang tahun PKS juga menjadi potret kedekatan Lukas dengan kader PKS dan beberapa masyarakat muslim di Papua sehingga tercermin bahwa tidak adanya perbedaan dan diskriminasi dari Lukas kepada masyarakat muslim yang menjadi minoritas di Papua sebagaimana tergambar dalam foto berikut ini.

Gambar IV.III. Potret Keakraban Lukas-Klemen dan Kader PKS

Papua

Sumber: DPW PKS Papua, 2017

89

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

PKS merupakan tipologi partai agama dengan berasaskan agama Islam.

Dalam praktik politiknya, PKS mendukung pasangan calon yang beragama non- muslim pada Pilkada Papua tahun 2018. Ketika itu, PKS mengusung Lukas Enembe dan Klemen Tinal sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua periode

2018-2023 yang menganut agama Kristen Protestan.

Berdasarkan hasil penelitian, PKS memiliki beberapa rujukan sebelum mereka memilih seorang pemimpin politik. Rujukan pertama adalah syariat Islam, rujukan kedua adalah konstitusi dan regulasi, ketiga adalah aspek sosiologis.

PKS memandang pemimpin politik sebagai pelayan umat atau PKS menyebutnya sebagai khadimmul ummah. Sebagai partai politik agama yang hidup dalam negara demokrasi dengan prosedur pemilihan langsung, maka PKS melihat bahwa elektabilitas dan popularitas serta modal keuangan dari salah satu calon sangat menentukan arah dukungan PKS terhadap salah satu calon selain daripada individu tersebut memiliki kapabilitas untuk memimpin.

Selanjutnya, PKS tidak menjadikan agama Islam sebagai salah satu syarat bagi pasangan calon. Dalam hal ini, PKS menekankan bahwa mereka melihat kehendak dari masyarakat sekitar. Ketika salah satu daerah memiliki demografi masyarakat yang beragama non-Islam, maka PKS realistis terhadap kondisi tersebut dengan tetap memandang bahwa orang yang beragama non-Islam juga memiliki peluang untuk menjadi pemimpin politik. Akan tetapi tidak disyaratkannya agama

90

Islam menjadi persyaratan bagi pemimpin juga bersifat kasuistik. Artinya, tidak dicantumkannya syarat beragama Islam tergantung pada kondisi yang ada di suatu daerah seperti salah satunya Provinsi Papua di mana mayoritas penduduk Papua beragama non-Islam. Sehingga syarat tidak harus beragama Islam bersifat tidak mutlak untuk daerah-daerah lainnya terutama yang demografi masyarakatnya mayoritas Islam.

Pemimpin politik yang berasal dari latar belakang keagamaan non-Islam diharuskan untuk tidak diskriminatif terhadap umat Islam yang menjadi minoritas dan tetap memberikan fasilitas yang sama kepada mereka. Hal tersebut menjadi syarat dukungan apabila salah satu calon ingin mendapat dukungan dari PKS. PKS tidak menjadikan salah satu ulama Islam sebagai referensi terhadap bagaimana

Islam memandang kepemimpinan non-muslim. Dengan adanya persyaratan bahwa pemimpin tersebut tidak diskriminatif, dan juga memiliki kapabilitas, maka hal tersebut sudah sejalan dengan pendapat tiga ulama Islam yakni Muhammad Abduh,

Asghar Ali Engineer dan Quraish Shihab yang memandang kepemimpinan non- muslim diperbolehkan dengan catatan bahwa non-muslim tersebut tidak memusuhi umat Islam.

Terkait dengan rekrutmen kader yang dilakukan PKS di wilayah Papua,

PKS menggunakan mekanisme rekrutmen terbuka dengan memberikan kesempatan yang sama terhadap warga maupun penduduk yang ada di Papua untuk menjadi kader, dengan tidak berdasarkan pada latar belakang agama mereka. Selain itu, sistem yang digunakan oleh PKS dalam merekrut kader di wilayah Papua sama dengan wilayah lainnya yakni dengan sistem patronik dengan memanfaatkan

91

kedekatan hubungan baik lingkup pertemanan maupun kekerabatan dalam keluarga kader partai untuk merekrut kader yang baru. Pada tahapan Pilkada Papua 2018,

PKS melakukan rekrutmen terbuka terhadap individu yang ingin mencalonkan menjadi gubernur dan wakil gubernur, termasuk pada kader internal partai dan juga

Lukas-Klemen yang mendaftarkan diri melalui DPW PKS Papua.

Sifat non-ideologis dan non-program sendiri tampaknya masih ada dalam lingkup DPW PKS Papua dikarenakan di wilayah Papua sendiri masih terdapat pengurus-pengurus partai yang beragama non-Islam. Hal tersebut mencerminkan tidak bakunya sistem jenjang perkaderan yang selama ini dilakukan di wilayah lain, sehingga strategi orbit dakwah untuk membentuk kepribadian islami dan menguasai pusat pemerintahan dengan menegakkan Islam yang kaffah patut dipertanyakan mengingat hal tersebut hanya bertujuan untuk memenangkan suara dalam pemilihan umum dengan cara memperbanyak jaringan politik.

Ada beberapa faktor mengapa PKS sebagai partai Islam mendukung pasangan non-muslim di Papua. Pertama, Agama Islam tidak menjadi syarat bagi calon pemimpin yang diusung PKS. Kedua, PKS realistis terhadap demografi masyarakat di Provinsi Papua. Ketiga, PKS tidak memiliki kader potensial untuk dicalonkan pada Pilkada Papua 2018. Keempat, Popularitas dan elektabilitas Lukas-

Klemen yang mewakili representasi pegunungan dan pesisir laut. Kelima, Lukas dan Klemen tidak diskriminatif terhadap umat Islam yang menjadi minoritas di

Papua.

92

B. Saran

1. Saran Praktis

Partai Keadilan Sejahtera sebagai sebuah partai Islam hendaknya memberikan penjelasan dan edukasi kepada masyarakat di Indonesia secara umum terhadap posisi mereka dalam memandang sebuah kepemimpinan politik terutama dalam hal agama Islam menjadi salah satu syarat bagi seorang pemimpin.

Selain itu, PKS harus membuktikan sebagai sebuah partai dengan perkaderan yang tersusun secara berjenjang dan rapi dengan mencalonkan pemimpin politik yang berasal dari internal partai. Hal ini perlu dilakukan agar PKS dapat menjaga citra sebagai partai yang memiliki kader dengan loyalitas tinggi serta kualitas yang memadai untuk berkontestasi dalam politik. Dalam hal kerukunan antar umat beragama, PKS diharapkan terus menjaga loyalitas serta hubungan yang erat terutama pada wilayah dengan minoritas beragama Islam khususnya Papua.

2. Saran Akademis

Penulis memiliki harapan agar kajian akademis mengenai partai Islam dan kepemimpinan politik non-muslim semakin banyak jumlahnya. Hal ini dikarenakan pembahasan dengan tema ini masih sangat jarang ditemukan, sehingga referensi yang bisa digunakan pun terbatas terutama di dalam lingkup Fakultas Ilmu Sosial

Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sedikitnya jumlah penelitian politik yang membahas mengenai partai Islam dan kepemimpinan politik non-muslim memiliki pengaruh terhadap pencarian referensi terkait pada penelitian ini. Penelitian ini juga memiliki kekurangan yakni pembuktian di lapangan yang masih kurang memadai dikarenakan kendala jarak

93

yang sangat jauh dari tempat penulis berada. Selain itu, sulitnya mendapat narasumber dari internal partai juga menjadi kekurangan yang ada dalam penelitian ini. Sehingga penulis berharap kajian kedepannya dapat melengkapi berbagai kekurangan yang ada.

94

DAFTAR PUSTAKA

BUKU Al-Asyi, Yusuf Al-Qardhawi. Kepemimpinan Islam: Kebijakan-kebijakan Politik Rasulullah sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2016. Aly, Sirojuddin. Pemikiran Politik Islam Klasik: Sejarah, Praktik dan Gagasan”. Jakarta: Madzhab Ciputat Jakarta, 2017. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia, 2008. Dahl, Robert .A. Perihal Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001. Damsar, Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Prenadamedia, 2010. Dewi, Susi Fitria. Sosiologi Politik. Yogyakarta: GRE Publishing, 2017. Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara Transformasi Gagasan Islam dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2009. Gaffar Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Hanafie, Haniah dan Suryani. Politik Indonesia. Jakarta: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Hardani, dkk. Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2020. Haris, Syamsuddin dkk, Panduan Rekrutmen dan Kaderisasi Partai Politik Ideal di Indonesia. Jakarta: KPK dan LIPI, 2016. Huda, Ni’matul dan Imam Nasef. Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Kencana, 2017. Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah. Jakarta: Kencana, 2016. Mietzner, Marcus. Local elections and autonomy in Papua and Aceh: Mitigating or Fueling Secessionism?. Southeast Asia Program Publications at Cornell University, 2007. Misrawi, Zuhairi. Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW. Jakarta: Kompas, 2018.

95

Muhtadi, Burhanuddin. Dilema PKS Suara dan Syariah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012. Nasution, S. Metode Penelitian Naturalitik Kualitatif. Bandung: Tarsito, 2003. Qutbh, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid V. Depok: Gema Insani Press, 2000. Raharjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep- Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996. Rahmat, M Imdadun. Ideologi Politik PKS Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen. Yogyakarta: LKIS, 2008. Rohaniah, Yoyoh dan Efriza. Pengantar Ilmu Politik Kajian Mendasar Ilmu Politik. Malang: Intrans Publishing, 2015. Setyagama, Aziz. Pembaruan Politik Hukum Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Indonesia. Surabaya: Jakad Media Publishing, 2017. Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Misbah, Vol. 3 Cet. 5. Jakarta: Lentera Hati, 2012. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: CV Prima Grafika, 2013. Syari’ati, Ali. Ummah dan Imamah. Jakarta: YAPI, 1990. Syarif, Mujar Ibnu. Presiden Non Muslim di Negara Muslim. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006. Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan. Jakarta: Kencana, 2014.

SKRIPSI DAN JURNAL

Djuyandi, Yusa dan Fifi Lutfiah Sodikin. Proses Kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera dalam Mempertahankan Eksistensi Partai Politik Menjelang Pemilu Tahun 2014. Artikel Penelitian Universitas Padjadjaran Bandung, 2019. J, Hasse. Respons Publik Muda Islam tentang Kepemimpinan Non-Muslim di Indonesia. Jurnal Al-Ulum Volume 18, Nomor 1, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2018.

96

Munawir. Kepemimpinan Non Muslim dalam Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab”. Jurnal Maghza Vol. 2 No. 2, IAIN Purwokerto, 2017. Pamungkas, Cahyo dan Devi Triindriasari. Pemilihan Gubernur Papua 2018: Politik Identitas, Tata Kelola Pemerintahan dan Ketahanan Orang Asli Papua. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 20 No. 3, Jurnal LIPI, 2018. Prasantya, Chanti. Rekrutmen Bakal Calon Walikota dan Wakil Walikota Koalisi Partai Demokrat, Gerindra, dan PKS pada Pilkada Kota Pekanbaru Tahun 2017. Jurnal JOM FISIP, Volume 4 Nomor 2, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Riau, 2017. Rodin, Dede. Kepemimpinan Non-Muslim dalam Perspektif Al-Qur'an. Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis Volume 7, Nomor 1, Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, 2017. Rois, Muhammad. Presiden Non-Muslim di Indonesia dalam Pandangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera. Skripsi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jurusan Hukum, Fakultas Hukum, 2016. Romli, Lili. Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia. Jurnal Penelitian Politik, Volume 1, Nomor 1, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2004. Ronsumbre, Nelwan. Sistem Noken Papua: Manifestasi Demokrasi Berbasis Kearifan Lokal. Jurnal Sosial Politik Universitas Padjajaran, Vol. 5, No. 2, 2019. Supratmono. Idealisme dan Pragmatisme Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Implementasi Rekrutmen terhadap Calon Kepala Daerah Kabupaten Pesawaran Tahun 2015. Skripsi Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung, Jurusan Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin, 2017 Zaki, Muhammad Ali. Pemimpin Non-Muslim dalam Pandangan Nahdlatul Ulama DKI Jakarta Studi Kasus Gubernur Non-Muslim di DKI Jakarta. Skripsi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jurusan Hukum, Fakultas Hukum, 2017.

BERITA ONLINE

97

“Mendagri Beri 2 Opsi untuk Pilkada Papua”, tersedia di https://www.merdeka.com/politik/mendagri-beri-2-opsi-untuk-pilkada- papua.html diakses pada 29 Juli 2020. “PKS Serukan Masyarakat Ikut Aksi 212”, tersedia di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161130134337-32-176305/pks- serukan-masyarakat-ikut-aksi-212 diakses pada 12 Oktober 2020. “Presiden PKS Kepemimpinan Lukas Enembe sudah teruji” tersedia di https://www.papuatoday.com/2017/11/02/presiden-pks-kepemimpinan- lukas-enembe-sudah-teruji/ diakses pada 9 oktober 2020. “Presiden PKS Kepemimpinan Lukas Enembe sudah teruji”, tersedia di https://www.papuatoday.com/2017/11/02/presiden-pks-kepemimpinan- lukas-enembe-sudah-teruji/, diakses pada 26 Juli 2020. “Syarat Kepala Daerah Maju Independen Digugat ke MK” tersedia di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190829110307-12- 425655/syarat-kepala-daerah-maju-independen-digugat-ke-mk diakses pada 13 Oktober 2020. Andri Novellno, “PKS Buka Peluang Usung Calon Non-muslim di Pilkada 2020” tersedia di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191205135638-32- 454425/pks-buka-peluang-usung-calon-non-muslim-di-pilkada-2020 diakses pada 4 oktober 2020. Antara, “Lukas Enembe Klemen Tinal Menang Pilgub Papua 2018”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180711071737-32- 313153/lukas-enembe-klemen-tinal-menang-pilgub-papua-2018 diakses pada 1 Agustus 2020. Arjuna, “Anggota DPR Papua Periode 2014-2019 Dilantik” tersedia di https://jubi.co.id/anggota-dpr-papua-periode-2014-2019-dilantik/ diakses pada 9 Oktober 2020. Dian Triyuli Handoko, “UU Pilkada Tak Berlaku di Empat Daerah Ini”, tersedia di https://nasional.tempo.co/read/609937/uu-pilkada-tak-berlaku-di-empat- daerah-ini/full&view=ok diakses pada 6 Juli 2020.

98

Evarukdjiati, “Lukas Enembe mendaftar di PKS dan Golkar untuk maju pilgub Papua”, tersedia di https://papua.antaranews.com/berita/461268/lukas- enembe-mendaftar-di-pks-dan-golkar-untuk-maju-pilgub-papua, diakses pada 26 Juli 2020. Fabrian Januarius Kuwado, “Fakta Seputar Pilkada Papua”, tersedia di https://nasional.kompas.com/read/2018/01/12/09000871/fakta-seputar- pilkada-papua?page=all diakses pada 1 Agustus 2020. Muslim AR, "Jenazah Nenek Hindun Ditelantarkan Warga Setelah Pilih Ahok", tersedia di https://m.liputan6.com/news/read/2882270/jenazah-nenek- hindun-ditelantarkan-warga-setelah-pilih-ahok diakses pada 13 Oktober 2020. Siswanto dan Dwi Bowo Raharjo, “Kata Kafir Muncul Saat Persiapan Ahok ke 2017 Begini Reaksi PKS” tersedia di https://www.suara.com/news/2016/08/11/174857/kata-kafir-muncul-saat- persiapan-ahok-ke-2017-begini-reaksi-pks?page=all diakses pada 13 Oktober 2020.

DOKUMEN ONLINE “Data Umat Berdasar Jumlah Pemeluk Agama Menurut Agama” tersedia di https://data.kemenag.go.id/agamadashboard/statistik/umat diakses pada 9 oktober 2020. “Kekuatan Elektoral Partai-Partai Islam Menjelang Pemilu 2009” berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2008. “Profil Gubernur Papua”, tersedia di https://www.papua.go.id/view-detail-page- 292/profil-gubernur-papua.html, diakses pada 1 Agustus 2020. “Profil Wakil Gubernur Papua”, tersedia di https://www.papua.go.id/view-detail- page-293/profil-wakil-gubernur-papua.html, diakses pada 1 Agustus 2020. Asian Network For Free and Fair Elections, “Papua Gubernatorial Elections 2013 Elections Study Mission Report, (Bangkok: ANFREL foundations), h. 7-10. Humas PKS Papua, “PKS Bersama 9 Parpol Deklarasikan Lukas Enembe sebagai Cagub Papua”, tersedia di https://pks.id/content/pks-bersama-9-parpol-

99

deklarasikan-lukas-enembe-sebagai-cagub-papua diakses pada 30 Juli 2020. Majelis Pertimbangan Pusat PKS, “Memperjuangkan Masyarakat Madani Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera”, (2008), h. 1-2. www.fsldk.id/about/, diakses pada 23 Juni 2020.

UNDANG-UNDANG Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

WAWANCARA Wawancara dengan H.M Wajdi Rahman, Wakil Ketua Bidang Wilayah Dakwah DPP PKS melalui aplikasi ZOOM pada 22 September 2020 pukul 13.15. Wawancara pada skripsi Mochamad Rois, Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

100

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Surat permohonan wawancara. 2. Surat keterangan wawancara. 3. Platform dan falsafah dasar perjuangan Partai Keadilan Sejahtera. 4. Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Partai Keadilan Sejahtera.

101

102

103

104

105