LAPORAN PENELITIAN RADIKALISME KELOMPOK-KELOMPOK KEAGAMAAN DALAM KONSTELASI KEBANGSAAN (Studi Kasus Jamaah Salafy Ittiba’us Sunah Klaten)

Oleh :

Joko Tri Haryanto NIP. 197506152006041001

KEMENTERIAN AGAMA RI BALAI LITBANG AGAMA SEMARANG

TAHUN 2016

i

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN -- 1 1.1. Latar Belakang -- 1 1.2. Rumusan Permasalahan -- 2 1.3. Tujuan dan Manfaat -- 2 1.4. Kerangka Teoretik -- 2 1.5. Metode Penelitian -- 6 1.6. Sistematika Penulisan Laporan -- 7

BAB II KONTEKS SOSIAL KEAGAMAAN DI LINGKUNGAN ITTIBAUS SUNNAH KLATEN -- 9 2.1. Sosial Keagamaan Masyarakat Klaten -- 9 2.2. Konteks Sosial Keagamaan di Lingkung Ittibaus Sunnah Klaten -- 10

BAB III JAMAAH SALAFY ITTIBA’US SUNNAH DI KLATEN -- 12 3.1. Mengenal Jamaah Salafy Ittiba’us Sunnah di Klaten -- 12 3.2. Mengenal Ajaran Salafy Ittibaus Sunnah -- 17

BAB IV RELASI SOSIAL SALAFY ITTIBA’US SUNNAH DI KLATEN - 23 4.1. Perpecahan dalam Tubuh Salafy -- 23 4.2. Jejaring Sosial kelompok Salafy Ittibaus Sunnah -- 30 4.3. Relasi Sosial dan Pandangan terhadap Organisasi Keagamaan -- 35 4.4. Relasi dengan Pemerintah dan Persoalan Kebangsaan -- 38

BAB V PENUTUP -- 42 5.1. Simpulan -- 42 5.2. Rekomendasi -- 44

ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Demokrasi bagi bangsa laksana pisau bermata ganda. Di satu sisi ia memberi kebebasan dan kemerdekaan terhadap warga negara dalam mengungkapkan ekspresi hak dan kepentingannya. Di sisi lain, kebebasan dan kemedekaan tersebut dipergunakan dalam bentuk negatif, yakni perilaku radikalisme, termasuk di dalamnya pandangan dan sikap memicu kekerasan kelompok lainnya di masyarakat, maupun pandangan dan sikap yang bermuatan perlawanan terhadap negara. Kebebasan berorganisasi berkelindan dengan kebebasan berkeyakinan dan beragama memberi peluang terhadap kelompok-kelompok keagamaan yang memiliki kecenderungan radikal dapat berlindung di bawah payung konsitusi. Mereka tetap dapat beraktivitas bahkan di ruang-ruang publik membangun ideologi radikalisme bahkan sikap permusuhan dengan sistem negara yang berlaku secara terang-terangan. Sementara negara tidak berdaya mencegah paham radikalisme tersebut tersemai. Kelompok-kelompok keagamaan, khususnya dalam agama Islam di Indonesia cukup banyak dan menimbulkan polarisasi sosial di masyarakat akibat perbedaan- perbedaan pandangan dan sikap keberagamaannya. Perkembangan kelompok-kelompok keagamaan yang baru dengan mengusung paham keagamaan yang relatif baru bermunculan setelah pergantian rezim orde baru ke era reformasi. Kelompok-kelompok tersebut di antaranya telah mulai ada pada masa orde baru tetapi angin segar refomasi mendorong pertumbuhan yang subur kelompok-kelompok keagamaan tersebut. Kelompok-kelompok ini dengan cepat berkembang dan menguat, seiring pula dengan jejaring internasional yang mendukung gerakan keagamaan ini di Indonesia. Salah satu kelompok keagamaan yang berjejaring dengan kelompok sejenis di luar negara ini adalah jamaah salafy. Kelompok salafy ini telah berkembang hampir di seluruh

iii

wilayah Indonesia dengan mengusung paham keagamaan/keislaman yang bercorak revivalis dan mengacu pada paham keagamaan yang ada di Timur Tengah, yakni Arab Saudi dan Yaman. Sementara itu, beberapa kelompok keagamaan yang berorientasi ke Timur Tengah memiliki kecenderungan bercorak radikal. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan kajian terhadap kelompok salafy ini kaitannya dengan radikalisme dan konstelasi kebangsaan. Ittiba’us Sunnah yang berada di Kabupaten Klaten termasuk salah satu kelompok salafy. Jamaah Salafy Ittiba’us Sunnah ini hadir pasca peristwa gempa tahun 2006 lalu di Klaten yang dalam sejarahnya merupakan wilayah “merah” di mana pada masa revolusi banyak wilayah menjadi basis bagi kelompok komunis dan . Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap gejala radikalisme dari gerakan Salafy Ittiba’us Sunnah dan pandangan jamaah salafi ittibaus sunnah tersebut dalam konstelasi kebangsaan.

1.2. Rumusan Permasalahan 1. Bagaimana identitas kelompok Salafy di Ittibaus Sunnah Klaten Jawa Tengah? 2. Bagaimana relasi sosial salafy Ittibaus Sunnah dengan kelompok lain ? 3. Bagaimana pandangan Salafy Ittibaus Sunnah terhadap pemerintah dan persoalan kebangsaan?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui identitas kelompok Salafy di Ittibaus Sunnah Klaten, relasi kelompok ini dengan kelompok keagamaan lainnya, dam pandangannya terhadap pemerintah dan persoalan kebangsaan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bagi pemerintah terutama Kementerian Agama terkait dengan pembinaan kelompok-kelompok keagamaan, upaya deradikalisasi pemikiran dan perilaku keagamaan, dan membangun partisipasi kelompok-kelompok keagamaan dalam kehidupan sosial politik berdasarkan nilai-nilai kebangsaan.

1.4. Kerangka Teoretik Gerakan sosial (social movement) dipahami sebagai gerakan sekelompok masyarakat untuk menolak atau menerima nilai yang baru yang dilakukan secara

iv

terorganisir. Menurut Situmorang (2007: 4), gerakan sosial (social movement) adalah sebuah upaya sadar, kolektif, dan terorganisasi untuk mendorong atau menolak perubahan dalam tatanan sosial (social order). Penjelasan ini mengindikasikan bahwa kriteria utama dari gerakan sosial adalah gerakan yang bertujuan untuk mendorong terjadinya perubahan fundamental dalam masyarakat. Antony Gidens (dalam Situmorang, 2007: 4) melihat bahwa gerakan sosial merupakan gerakan untuk mencapai suatu kepentingan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga–lembaga yang mapan. Pada dasarnya gerakan keagamaan merupakan gerakan sosial yang berbasis pada agama tertentu (faith based social movement). Sebagai bagian dari gerakan sosial, gerakan keagamaan dapat dianalisis menggunakan teori gerakan sosial pada umumnya. Dengan menggunakan teori gerakan sosial, gerakan keagamaan dianggap sebagai fakta sosial (social fact), bukan kumpulan doktrin keagamaan saja, yang dilihat sebagai gerakan pemikiran an-sich dengan penekankan pada persoalan pemikiran teologis atau pemikiran religio-politik pendirinnya, profil kelembagaannya, dan paling jauh berkaitan dengan doktrin gerakannya saja. Lebih dari itu, gerakan sosial keagamaan harus dilihat sebagai gerakan yang dinamis, yang responsif terhadap tantangan di luar dirinya, yang membangun jejaring dan melakukan perubahan sosial. Beberapa teori sosial yang dapat digunakan untuk membaca gerakan sosial keagamaan antara lain: (1) teori Political Opportunity Structural (POS); (2) teori Resource Mobilisation Theory (RMT); (3) dan teori Framming. (Situmorang, 2007: 4). Dalam teori Political Opportunity Structural (POS), gerakan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam struktur politik yang dilihat sebagai kesempatan. Teori POS selalu berhubungan dengan sumber daya yang bersifat eksternal. Sumber daya ini dipergunakan oleh pelaku perubahan melalui terbukanya akses politik dan jejaring kepada kelembagaan politik dan perpecahan di tubuh elit politik untuk melakukan perubahan (Tarrow, 1998: 20). Artinya, teori POS ini digunakan untuk melacak sejarah kemunculan, perkembangan, dan kondisi kekinian gerakan Salafy di Klaten.

v

Adapun perkembangan, bentuk jejaring, dan gerakan Salafy di Klaten ini digunakan teori Resource Mobilisation Theory (RMT) untuk menjelaskannya. Gerakan sosial keagamaan dilihat sebagai manifestasi rasional dan terorganisasi dari tindakan kolektif. Artinya, gerakan sosial keagamaan akan bisa berkembang apabila mampu mengoptimalkan berbagai sumberdaya yang dimilikinya, seperti sumberdaya material, legitimasi, identitas, dan institusional (Tarrow, 1998: 15; Sigh, 2001: 102; Situmorang (2007). Adapun pola komunikasi salafy dapat dilihat melalui gerakan sosial keagamaan lainnya dan masyarakat dengan menggunakan teori framing. Proses framing adalah upaya strategis secara sadar oleh kelompok tertentu untuk membentuk pemahaman bersama (common term) tentang dunia dan diri mereka sendiri, yang mengabsahkan dan mendorong terjadinya aksi kolektif. Maka, framing terkait dengan tujuan perebutan makna di masyarakat. Dalam teori framing ini diharapkan orang mampu memformulasikan sekumpulan konsep untuk berfikir dengan menyediakan skema intepretasi terhadap masalah dan mencari solusinya. Untuk mencapai sasaran tersebut, aktor gerakan, dalam hal ini ISIS, membutuhkan alat dalam menjalankan framing, yaitu media, baik media cetak, elektronik, maupun ruang publik lainnya yang bisa menjadikan orang terlibat dalam gerakan tersebut (Pierre, 2000: 170). Adapun radikalisme sering diasosiasikannya dengan tindak kekerasan, bahkan terorisme. Hal ini memang tak lepas dari meningkatnya aksi kekerasan dan terorisme yang dilakukan atas nama agama atau keleompok agama tertentu. Namun secara konseptual, menurut Taher (dalam Azca, 2013: 24), radikalisme tidak identik dengan terorisme maupun kekerasan. Terminus “radikal” yang membentuk istilah “radikalisme” berasal dari bahasa Latin, radix yang berarti “akar”. Dengan demikian, “berpikir secara radikal” sama artinya dengan berpikir hingga ke akar-akarnya, hal tersebutlah yang kemudian besar kemungkinan bakal menimbulkan sikap-sikap anti kemapanan. Radikalisme merupakan sebuah konsep yang bersifat kontekstual dan posisional, dalam hal ini kehadirannya merupakan antitesis dari ortodoks atau arus utama (mainstream), baik bersifat sosial, sekuler, saintifik, maupun keagamaan. Radikalisme lebih

vi

memuat posisi dan ideologi yang mempersoalkan atau menggugat sesuatu (atau segala sesuatu) yang dianggap mapan, diterima, atau menjadi pandangan umum. Radikalisme bisa dipahami pula sebagai gejala sosial dan politik yang lahir dalam kondisi dislokasi atau krisis yang bersifat permanen dalam masyarakat, karenanya harus dilihat sebagai fenomena politis-kolektif bukan sebagai fenonema psikologis-individual belaka. Oleh karena itu, menurut Sugiono dkk. (dalam Azca, 2013: 25), radikalisme pada gilirannya bisa mewujud ke dalam dua varian atau trajektori yakni: radikalisme demokratis-inklusif dan radikalisme intoleran-ekslusif. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan penggunaan jenis penalaran dalam menata ko-eksistensi mereka dalam kehidupan kolektif; radikalisme demokratisinklusif menggunakan logic of inclusion, sedang radikalisme intoleranekslufif menggunakan logic of exclusion. Radikalisme demokratis-inklusif menggunakan logika inklusi dan partisipatoris melalui aksi kolektif untuk membuat perubahan atau bernegosiasi secara politik dengan kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat dan negara. Sementara radikalisme intoleran-ekslusif menggunakan logika penarikan diri dari ko- eksistensi pada saat menghadapi dislokasi atau krisis. Pada radikal intoleran-ekslusif sering termanifestasi dalam bentuk sikap-sikap intoleran yang dapat berupa kekerasan. UNESCO (1994: 17) menekankan bahwa pengertian intoleransi tidak hanya semata- mata “hasil” tapi juga sebuah gejala-gejala yang bisa dideteksi dalam bentuk tindakan tertentu. Intoleransi dinilai sesuatu yang membawa pada potensi lahirnya penyakit sosial yang mengancam kehidupan (a life-threatening social illness) bernama kekerasan. Bentuk- bentuknya sebagai berikut:

LEVEL BENTUK INTOLERAN KETERANGAN Halus 1. Bahasa (language) Bahasa ekslusif, merendahkan, dan fitnah yang mengurangi, merendahkan, dan mendehumanisasi kelompok-kelompok budaya, ras, nasional, atau seks. 2. Stereotip Penggambaran seluruh anggota atau kelompok yang (stereotyping) digolongkan dengan penyematan serupa-biasanya negatif. 3. Mengolok-olok Panggilan perhatian terhadap tindakan, atribusi, dan (teasing) karakateristik manusia tertentu yang cenderung mengejek atau menghina. 4. Buruk sangka Penilaian berdasarkan generalisasi negatif dan stereotip (prejudice) ketimbang berdasarkan fakta aktual dari kasus atau tindakan

vii

spesifik oleh individu atau kelompok. Kasar 5. Pengambinghitaman menyalahkan peristiwa-peristiwa traumatis atau masalah (scapegoating) sosial pada kelompok tertentu. 6. Diskriminasi Pengecualian dari penikmatan atas manfaat atau (discrimination) aktivitasaktivits sosial, utamanya didasarkan lantaran buruk sangka. 7. Pengabaian Berperilaku seolah-olah yang lain tidak hadir atau tidak ada. Penolakan untuk berbicara atau mengakui yang lain, atau budaya mereka (termasuk ethnocide). 8. Pelecehan perilaku yang disengaja untuk mengintimidasi dan (harassment) merendahkan orang lain, sering dimaksudkan sebagai sarana memaksa mereka keluar dari organisasi, komunitas atau kelompok tertentu. 9. Gertakan (bullying) Penggunaan superioritas kapasitas fisik atau angka yang lebih besar untuk mempermalukan orang lain atau menghalangi mereka dari properti atau status. Ekstrim 10. Pengusiran pengusiran secara resmi atau dengan paksa, mengusir atau (expulsion) menolak hak masuk atau kehadiran di sebuah tempat, kelompok sosial, profesi atau tempat kegiatan kelompok tertentu terjadi, termasuk di mana kelangsungan hidup mereka tergantung seperti tempat kerja, tempat tinggal, dan lain-lain. 11. Pengecualian menyangkal kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan (exclusion) mendasar dan atau berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat seperti dalam kegiatan komunal tertentu 12. Segregasi pemisahan paksa orang dari ras, agama atau jenis kelamin (segregation) yang berbeda biasanya untuk merugikan satu kelompok tertentu (termasuk apartheid) 13. Penindasan pencegahan kuat dari penikmatan HAM. (repression) 14. Penumpasan keterpencilan, kekerasan fisik, penghapusan dari daerah (destruction) mata pencaharian, bersenjata penyerangan dan pembunuhan (termasuk genosida)

1.5. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni fenomenologi untuk mengungkapkan eksistensi jamaah salafy Ittibaus sunnah di Klaten. Jamaah salafy ini di Klaten berpusat di salafy yang bernama ittibaus sunnah yang bertempat di Dukuh Karang Wuni Desa Tanjungan Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Pengumpulan data dilakukan pada akhir pebruari hingga pertengahan Maret 2016, dengan

viii

tehnik observasi, wawancara, dan telaah pustaka. Data-data tersebut selanjutnya dianalisis secara deskriptif dengan pendekatan teori gerakan sosial.

1.6. Sistematika Penulisan Laporan Penulisan laporan hasil penelitian ini disusun dalam bentuk bab-bab pembahasan untuk memudahkan memahami alur pikir temuan dan pembahasan penelitian ini. Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan laporan. Bab kedua mendeskripsikan konteks sosial keagamaan masyarakat di wilayah Kabupaten Klaten sebagai lokus penelitian ini, baik konteks sosial masyarakat di Klaten secara umum, maupun sosial keagamaan di Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten yang merupakan lokasi pesantren Ittibaus Sunnah yang menjadi subyek penelitian ini. Konteks ini penting untuk ditampilkan karena perkembangan gerakan salafy yang berpusat di Pesantren Ittibaus Sunnah mencakup aktivitas kelompok salafy di beberapa lokasi di wilayah Klaten. Demikian pula peluang politik yang memungkinkan pergerakan dan perkembangan salafy khususnya Ittibaus Sunnah dapat eksis di Klaten tidak lepas pula dari situasi masyarakat di sekitar pesantren tersebut. Bab ketiga mendeskripsikan secara khusus kelompok salafy yang berpusat di Pesantren Ittibaus Sunnah di Desa Tanjungan Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten. Pada bab ini dideskripsikan tentang pesantren Itibaus Sunnah dan ajaran-ajaran salafy yang dianut oleg kelompok salafy ini. Bab keempat menguraikan hubungan sosial antara kelompok Salafy Ittibaus Sunnah ini dengan berbagai kelompok keagamaan lainnya dan pemerintah. Pada bab ini diawali dengan pembahasan munculnya perpecahan di tubuh salafy yang menyebabkan munculnya berbagai varian salafy di masyarakat. Kemudian diuraikan pula jejaring sosial dari kelompok salafy Ittibaus Sunnah dalam lingkup gerakan salafy di Indonesia. Berikutnya dideskripsikan pandangan-pandangan kelompok salafy Ittibaus Sunnah ini terhadap

ix

kelompok-kelompok keagamaan lainnya di luar salafy, dan kemudian hubungannya dengan pemerintah dan persalan kebangsaan. Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari temuan-temuan penelitian ini. Selain itu, bab penutup ini juga mencantumkan rekomendasi kepada pihak- pihak berkepentingan, terutama pemerintah dalam kaitannya dengan keberadaan kelompok salafy dalam konstelasi kehidupan berbangsa dan bernegara.

x

BAB II KONTEKS SOSIAL KEAGAMAAN DI LINGKUNGAN ITTIBAUS SUNNAH KLATEN

2.1. Sosial Keagamaan Masyarakat Klaten Kabupaten Klaten tidak bisa dipisahkan keberadaannya dengan wilayah Solo. Kota Surakarta atau Solo dan daerah penyangganya tersebut sering disebut ”SUBOSUKOWONOSRATEN”, artinya, Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten (Joebagio, 2010: 164). Adapun Solo Raya merujuk pada wilayah eks-Karesidenan Surakarta yang meliputi Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Boyolali. Konteks sosial keagamaan di kabupaten Klaten dengan demikian cukup terpengaruhi oleh kondisi keberagamaan di Solo. Terlebih dengan pergerakan sosial politik di Solo yang telah berjalan sejak jaman kerajaan Mataram. Pada saat sekarang ini, beberapa kelompok keagamaan, terutama Islam, memiliki hubungan gerakan dengan kelompok-kelompok Islam di Surakarta. Bahkan kemunculan kelompok-kelompok tersebut di Kabupaten Klaten adalah kepanjangan dari kelompok- kelompok di Solo, maupun didirikan oleh tokoh-tokoh pergerakan dari Solo. Misalnya Front Umat Islam (FUI) Klaten pimpinan H. Basuno, pada awalnya dijuga digerakkan oleh Forum Komunikasi Pengurus Masjid (FKPM) dari Solo pimpinan Kalono. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Klaten juga merupakan jaringan MMI yang awalnya dipimpin oleh Abu Bakar Baasyir dari Solo. Hubungan tersebut dipahami oleh karena Solo lebih awal bertumbuh gerakan- gerakan keagamaan, termasuk pesantren-pesantren. Solo menjadi pusat dari Subosukowonosraten sekaligus sumber penyebaran pengajaran keagamaan. Keberagamaan yang moderat dominan dipengaruhi ormas dan NU, tetapi ada pula kelompok-kelompok keagamaan yang cenderung radikal seperti MMI kabupaten Klaten

xi

yang bergabung dengan Barisan Muda Klaten (BMK), yang pada awal Pebruari 2016 lalu bentrok dengan warga akibat melakukan sweeping minuman keras. Ada pula kelompok keagamaan yang cenderung eksklusif, yakni dengan membedakan penampilan dan membatasi pergaulan dengan kelompok keagamaan Islam lainnya, seperti kelompok salafy yang ada di Klaten. Organisasi keagamaan dalam lingkup gerakan Islam di kabupaten Klaten antara lain Salafy, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Syi’ah, Jama’ah Tabligh (JT), Ikhwanul Muslimin (IM) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) (informasi dari Kemenag Kabupaten Klaten). Masyarakat Klaten yang secara umum berjumlah 1.154.040 jiwa terdiri dari berbagai pemeluk agama, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Komposisi jumlah umat Islam 1.073.271 (93%), Katholik 37.769 (3,27%), Kristen Protestan 34.942 (3,03%), Hindu 7.136 (0,6%), dan Budha 922 (0,08%) (BPS Kabupaten Klaten, 2015). Keberadaan umat beragama tersebut juga diiringi perkembangan rumah ibadah masing- masing agama di wlayah kabupaten Klaten. Umat Islam di Klaten memiliki Masjid berjumlah 2.613 (53,53%), 1.995 (40,87%), Gereja katholik/Kapel 104 (2,13%), Gereja Kristen 117 (2,40%), Pura dan Vihara 52 (1,07%) (Data Kemenag Kabupaten Klaten). Hal tersebut menunjukkan bahwa kabupaten Klaten termasuk wilayah yang plural dalam hal agama.

2.2. Konteks Sosial Keagamaan di Lingkung Ittibaus Sunnah Klaten Kelompok Salafy Ittibaus Sunnah sebagai gerakan keagamaan melingkupi wilayah Kabupaten Klaten dan terkait dengan kelompok salafy lainnya di berbagai wilayah di Indonesia. Namun dalam hal aktivitas dan kegiatan kelompok salafy, Pesantren Ittibaus Sunnah adalah pusat dari pergerakan kelompok salafy di Kabupaten Klaten. Pesantren ini terletak di di Dukuh Karang Wuni Desa Tanjungan Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten. Posisi tetapnya dari pesantren Ittibaus Sunnah ini berada di pinggiran Desa Tanjungan, sehingga pesanren ini memiliki lingkungan tidak saja desa Tanjungan tetapi juga Desa Birit yang berbatasan di sebelas utara, dan Desa Pasung yang berbatasan di sebelah timur.

xii

Penduduk di Kecamatan Wedi berjumlah 55.904 jiwa terdiri dari 27.038 laki-laki dan 28.866 perempuan. Komposisi penduduk kecamatan Wedi berdasarkan agama adalah umat Islam 44.499 jiwa (79%) , Kristen 1.680 jiwa (3%), Katolik 1.427 jiwa (2,6%), dan Hindu 799 jiwa (1,4%). Adapun umat Buda tidak terdapat di kecamatan Wedi ini (BPS Kabupaten Klaten, 2013). Di lingkungan pesanren Ittibaus Sunnah, banyak masyarakat yang beragama Hindu ataupun yang masih memegang ajaran kejawen. Desa Pasung misalnya, terdapat 583 jiwa pemeluk yang agama Hindu, dan bahkan memiliki pura untuk peribadatan umat Hindu. Pesantren Ittibaus Sunnah tumbuh dan berkembang dalam konteks masyarakat yang demikian tersebut, ternata tidak mendapatkan persoalan dari lingkungan, sebagaimana diakui oleh para pengasuh pesantren Ittibaus Sunnah. Hal ini bisa terjadi karena dukungan lingkungan, terutama aparat desa (lurah) yang memandang keberadaan pesantren akan dapat meningkatkan keberagamaan umat Islam, yang di wilayah tersebut lebih banyak didominasi oleh Hindu dan Kejawen. Kedua hal itu dianggap menjadikan keberagamaan umat Islam di wilayah itu bercorak abangan, sehingga dengan hadirnya pesantren Itibaus Sunnah akan dapat meluruskan kembali pemahaman umat Islam di lingkungan tersebut.

xiii

BAB III JAMAAH SALAFY ITTIBA’US SUNNAH DI KLATEN

3.1. Mengenal Jamaah Salafy Ittiba’us Sunnah di Klaten Jamaah Salafy terutama jamaah Salafy yang bergabung dan berjejaring dengan pesantren Ittibaus Sunnah di Kabupaten Klaten tidak lepas dari perkembangan Salafy di wilayah lain di sekitar Klaten seperti Solo, Sukoharjo, Yogyakarta, dan bahkan di wilayah lainnya seperti Jember, dan Magelang. Hal ini terlihat dari tokoh-tokoh ustadz yang aktif dalam kegiatan jamaah salafy di Klaten merupakan alumni dari pesantren salafy di wilayah- wilayah tersebut. Jejaring ini tetap bertahan sampai saat ini, kecuali apabila ada tokoh atau pesantren yang dipandang telah keluar dari manhaj salafy menurut kelompok ini. Jamaah Salafy di Klaten berpusat pada Pesantren Ittibaus Sunnah yang terletak di Dukuh Karang Wuni Desa Tanjungan Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten. Pesantren ini dirintis oleh Ustadz Ganang Widagdo atau Abu Fikri mulai tahun 2007 pasca peristiwa gempa yang melanda Klaten tahun 2006. Ustadz Ganang alumni UNS yang kemudian tertarik untuk mempelajari agama melalui jamaah Salafy di wilayah Solo. Saat itu, ia telah ikut dalam jamaah Salafy di Pesantren ibnu Taimiyah Sukoharjo. Dari pesantren ini Ustadz Ganang menjalin hubungan tokoh-tokoh salafy lainnya, salah satunya Ustadz Abu Hafsh Marwan, pengasuh pesantren Ittiba’us Sunnah Weru Sukoharjo. Ustadz Marwan ini alumni Ma’had Ihyaus Sunnah Degolan Yogyakarta yang kemudian melanjutkan ke Ma’had Daarul Dammaj di Yaman. Bertepatan pasca gempa 2006, Ustadz Abu Hamzah Abdurrahman, salah seorang ustadz salafy pulang ke rumahnya di Klaten. Ustadz Abdurrahman ini alumni Ma’had As- Salafy Jember dan Ma’had Ibnul Qoyyim Balikpapan. Kedatangan Ustadz Abdurrahman ini dimanfaatkan untuk mendukung penguatan salafy di Klaten. Akhirnya Ustadz ganang menyiapkan rumahnya untuk persiapan perintisan pesantren. Pada bulan Agustus 2007, pesantren Ittibaus Sunnah di Klaten resmi didirikan dengan pendiri Ustadz Marwan dan

xiv

Ustadz Abdurrahman. Kegiatan pembelajaran dan taklim kemudian diserahkan kepada ustadz abdurahman sebagai mundzir pesantren. Sedangkan ustadz marwan sebagai pembina dan lebih berkonsentrasi di Ittibaus sunnah sukoharjo. Guna memperlancar pengembangan pesantren Ittibaus sunnah klaten ini, ustadz ganang membeli tanah kosong di dekat rumahnya 700 m2 yang kemudian diwakafkan untuk pesantren. Saat sekarang ini telah berdiri bangunan dua lantai untuk kegiatan belajar dan asrama berukuran luas 11X14 M2, dan bangunan-bangunan lainnya berupa gudang, rumah ustadz, dan kamar mandi santri. Pesantren Ittibaus sunnah ini didaftarkan ke Kementian Agama pada tahun 2009 dan mendapatkan SK Rekomendasi Depag No.KD.11.10/3/PP.007/422/2009 tertanggal 25 Maret 2009. Pesantren ini juga telah mendapatan pula nomor sertifikasi pemetaan pondok pesantren nasional oleh Kementerian Agama dengan nomor pemetaan 512331003015. Pesantren Ittibaus Sunnah ini walaupun menggunakan sistem pendidikan pesantren, tetapi kegiatan belajar mengajar dikombinasikan dengan sistem formal, yakni adanya jenjang pendidikan. Jenjang pendidikan dan mata pelajaran, serta buku-buku pegangan untuk pembelajarannya mengacu kepada sistem pembelajaran pesantren As-salafy Jember Jawa Timur asuhan Ustadz Lukman Baabduh. Hal ini karena kebanyakan ustadz yang mengabajr di Ittiaus Sunnah merupakan alumni pesantren as-salafy jember tersebut. Selain itu, sistem pendidikan as-salafy jember dipandang paling efektif bagi pembelajaran santri. Pesantren Ittibaus Sunnah memiliki program pembelajaran berupa tiga jenjang pendidikan. Jenjang paling awal adalah madrasah tarbiyatul Aulaad Lil Shighor (MTA/LS) untuk anak-anak usia 4-6 tahun. Jenjang MTA/LS ini baru dibuka tahun 2010 lalu. Jenjang ini terdiri atas dua tingkat yaitu kelas A dan kelas B. Selanjutnya anak-anak yang telah menyelesaikan pelajaran di MTA/LS ini akan masuk ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Madrasah Tahfiidzul Quran wa tarbiyatul Aulaad Awaliyah lil Baniin (MTP/LB) untuk anak-anak usia 6 tahun ke atas. Program ini telah dibuka sejak berdirinya pesantren ittibaus sunnah di tahun 2007. Jenjang MTP/LB ini terdiri atas enam tingkat kelas yang ditempuh selama 6 tahun. Jenjang berikutnya adalah jenjang Madrasah Tahfidzul Quran tingkat

xv

mutawashit yang terdiri atas empat jenjang yang ditempuh selama 4 tahun. Jenjang Mutawashit ini baru dibuka satu tahun ini, sehingga hanya baru ada satu kelas saja. Adapun jenjang yang lebih tinggi belum tersedia, sehingga alumninya akan diarahkan untuk mengikuti pendidikan di pesantren salafy yang memiliki jenjang tersebut, seperti di pesantren As-Salafy jember atau di pesantren Al-Atsariyah Temanggung pimpinan ustadz Qomar Su’aidi, atau di pesanren lainnya yang masih sealiran dengan pesantren Ittibaus Sunnah ini. Pesantren Ittibaus sunnah merencanakan pengembangan pesantrennya ke depan akan membuka madrasah tingkat ulya, program I’dad Lughowy (persiapan bahasa), program Tarbiyatul Bu’at (pendidikan da’i), dan program Tarbiyatun Nisaa’ (pendidikan khusus wanita). Waktu pembelajaran untuk Santri pada jenjang MTA/LS mulai pukul 07.00 - 17.00 WIB. Oleh karena itu, Ittibaus Sunnah menetrapkan persyaratan untuk jenjang ini waktu tempuh dari rumah sampi pesantren kurang lebih satu jam perjalanan sehingga menjamin santri tidak terlambat dan mengganggu proses pembelajaran. Adapun pada jenjang di atasnya, yaitu MTP/LB dan Mutawashit semua santri harus menginap di pondok, sehingga pembelajaran menjadi efektif karena pendampingan dan pengawasan para ustadz lebih intensif. Hal ini juga untuk menjaga santri-santri dari pengaruh di luar tujuan pendidikan seperti televisi dan bergaul dengan anak lain di luar pesantren yang dikhawatirkan akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan santri. Ittibaus Sunnah tetap menekankan pentingnya tanggungjawab orang tua dalam pendidikan anak. Untuk itu, sejak pertama dibuka pesantren ini juga menerapkan pendampingan orang tua yakni setiap hari 2 orang wali santri ikut mondok setiap malam untuk mendampingi santri. Namun sekarang ini karena sedang ada pekerjaan membangun rumah untuk ustadz baru, maka pendampingan orangtua dialihkan siang hari sebanyak 4 walisantri untuk membantu di pekerjaan tersebut. Pembelajaran yang ditekankan adalah tahfidzul quran, yaitu kemampuan hafalan dan kemutqinannya (kemantapan dan kekuatan hafalan) al-quran dan al-hadits. Penilaian dilakukan dengan metode sorogan atau setoran setiap selesai menambah hafalan dan

xvi

dilakukan ujian atau tes secara berkala. Adapun pendidikan diniyah dan umum mengacu pada materi pebelajaran atau kurikulum yang dibakukan dari pesantren As-Salafy Jember dengan menekankan pada kemampuan pemahaman dan penerapan sehari-hari. Materi diniyah dan umum tersebut antara lain: aqidah, fikih, siroh, adab dan akhlaq, bahasa arab, tajwid, bahasa indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam (IPA), ilmu pengetahuan sosial (IPS), pelajaran dan praktek teknologi informatika dan komputer (TIK), dan materi penunjang lainnya. Materi-materi tersebut secara berkala dilakukan ujian secara lesan dan tertulis. Keorganisasian pesantren Ittibaus Sunnah bersifat longgar walaupun secara formal ditunjuk ustadz-ustadz tertentu untuk melaksanakan tugas-tugas secara khusus. Namun demikian, ada dua orang yang memiliki status paling menentukan dalam kelembagaan Ittibaus Sunnah, yaitu Ustadz Ganang dan Ustadz Abdurrahman. Ustad Ganang berperan sebagai pelaksana operasional pesantren, sementara Ustadz Abdurrahman selaku mundzir pesantren berperan sebagai otoritas yang menentukan arah tujuan dan pengambil keputusan segala hal terkait pesantren dan kegiatannya. Secara khusus, beberapa tugas di pesantren dibagi di antara para ustadz yang ada, misalnya ustadz Abu Yusuf mendapat tugas untuk menyelaraskan kurikulum dan penjadwalan ujian santri, dan penyusunan kalender akademik oleh ustadz Abdul Qadir. Adapun Ustadz yang bertugas untuk mengawasi atau wali kelas dari masing-masing jenjang atau kelas sebagai berikut: Jenjang Kelas Nama Ustadz Wali Jumlah santri MTA/LS Ustadz Abdullah 7 MTP kelas 1 ustadz Abu Rifki 12 MTP kelas 2 ustadz Yusuf 11 MTP kelas 3 ustadz Rozi 17 MTP kelas 4 ustadz abdul qadir 9 MTP kelas 5 ustadz Abdul Mubarok 6 MTP kelas 6 ustadz Abdurahman 10 Mutawashit ustadz Habib 7

xvii

Para ustadz ini melakukan pertemuan rutin untuk membicarakan perkembangan pesantren Ittibaus Sunnah. Pertemuan tersebut dilakukan secara rutin dua mingguan atau kondisional sesuai kebutuhan dalam forum musyawarah mudarits. Pesantren Ittibaus Sunnah juga mengangkat ustadz dari pesantren lain yang dipandang lebih senior sebagai penasehat pondok, yaitu ustadz Marwan dari Weru Sukoharjo dan ustadz Ihsan dari Mutihan. Ustadz Marwan termasuk pendiri pesantren Ittibaus sunnah, sedangkan ustadz Ihsan adalah tokoh Salafy senior yang seangkatan dengan Ustadz Jakfar Umar Thalib yang terkenal dengan laskar jihadnya pada saat peristiwa konflik Ambon tahun 2001-2002. Ustadz Ihsan setelah kepulangan dari belajar di Yaman tahun 2008 mendirikan pesantren Ibadurrahman di Mutihan kecamatan Gantiwarno Klaten. Pesantren Ittibaus Sunnah di lingkungan jamaah salafy Klaten berperan sebagai pusat. Walaupun ada pesantren Ibadurrahman asuhan ustadz Ihsan di Mutihan Gantiwarno, tetapi dengan sumber daya ustadz yang lebih banyak, dan sistem pembelajaran yang lebih tertata dibandingkan Ibadurrahman, posisi Ittibaus Sunnah lebih berperan penting. Pesantren Ittibaus Sunnah menyelenggarakan kajian-kajian di beberapa lokasi di Klaten untuk mendesiminasikan dan mengajarkan ajaran-ajaran salafy ke jamaah dan masyarakat umum, seperti di musala al-Fatah desa Karanganom kecamatan Karanganom Klaten, dan di masjid Kejaksaan Negeri Kabupaten Klaten. Pesantren Ittibaus Sunnah juga melaksanakan program dauroh atau pengkajian ilmiah salafy yang mendatangkan pembicara ustadz salafy yang terkemuka dari pesantren salafy di luar Klaten dan melibatkan seluruh salafy di Klaten dan sekitarnya. Tahun 2016 ini daurah yang dilaksanakan oleh Ittibaus Sunnah dilaksanakan tanggal 28 februari 2016 di Masjid Fail Khoir Kecamatan Rejoso Klaten dengan mendatangkan Ustadz Afifuddin pengasuh pesantren salafy al-bayyinah Gresik. Kegiatan dauroh semacam ini diprogramkan 3 sampai 4 kali dalam satu tahun.

xviii

3.2. Mengenal Ajaran Salafy Ittibaus Sunnah Istilah salafi berasal dari bahasa Arab “salaf”, yang berarti terdahulu atau klasik. Dari kata salaf ini menjadi salafy yang merupakan penisbatan terhadap orang-orang salaf, yakni orang-orang yang mempraktekkan Islam sebagaimana dianjurkan oleh nabi Muhamad SAW dan para sahabat-Nya. Kelompok salafy ini dianggap sebagai orang-orang yang telah mempraktekkan dan memahami Islam secara benar, karena mereka hidup sezaman dengan nabi. Karena itu, manakala terjadi penyimpangan ataupun ada persoalan maka mereka selalu mendapat petunjuk atau teguran dari nabi. Dalam perkembangannya, apa yang dimaksudkan dengan salaf atau salafus saleh ini tidak hanya terjadi pada para sahabat, melainkan terjadi pula pada para tabi’in, yakni mereka yang mengikuti jejak para sahabat atau bisa disebut generasi sesudah sahabat. Bahkan lebih jauh lagi para penganut ajaran salaf ini memasukan tabi’it tabi’in sebagai salaf, yakni generasi sesudah tabi’in.(Turmudzi. 2005. 155) Tiga generasi ini, selain disebut salaf disebut juga sebagai ahlus sunah wal jamaah, yakni mereka yang berpegang kepada sunah nabi. Istilah ini sebenarnya sudah diperkenalkan oleh Nabi SAW dalam hadisnya yang menyatakan bahwa akan terjadi perpecahan umat Islam sebanyak 73 golongan, semuanya celaka kecuali satu, yakni golongan ahlus sunah wal jamaah. Menurut Abdullah (2007. 106), ahlus sunah wal jamaah adalah orang-orang yang mengikuti aqidah Islam yang benar, komitmen dengan manhaj nabi SAW, bersama para sahabat-Nya, Tabi’in, dan para ulama Mujtahidin generasi berikutnya yang mengikuti mereka dengan baik dan sejalan dengan al Qur’an dan Sunah Rasul serta ijma’ para ulama. Mereka adalah tiga generasi terbaik yang dipuji oleh Allah sebagai generasi percontohaan dan umat teladan. Mereka ini seringkali disebut sebagai salafus shalih, yang bermakna para pendahulu. Selain itu, mereka seringkali digolongkan sebagai firqatun najiyah (orang-orang yang selamat), thaifah al manshurah (orang-orang yang selalu ditolong), ahlul hadits, dan ahlul atsar. Dengan kata lain, mereka mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia, karena mereka adalah

xix

orang-orang yang paling faham agama dan paling baik amalannya (As-Sewed, 2006). Kata salafi sendiri awalnya muncul dalam pergerakan dan pemikiran di dunia Islam pada abad ke 19. Beberapa orang pemikir Islam di Kawasan Timur Tengah yang dikenal sebagai para pembaharu dan modernis seperti Jamaluddin al- Afghani (1838-1898), Muhammad Abduh (1849-1905) dan Muhammad Rashid Ridha (1865-935). Gerakan pemikiran pembaharuan kaum modenis ini menyerukan untuk melakukan sintesis pemikiran Islam dengan pemikiran modern, yaitu pemikiran rasional, melalui ijtihad (penalaran independen dalam agama). Hal inilah, menurut pemikir pembaharuan Islam tersebut, yang diperlukan oleh umat Islam untuk meraih kembali kejayaan yang pernah dialami (Wahib. Tt). Gerakan dakwah Salafi yang ada sekarang ini berbeda dengan pengertian salafi kaum modernis tersebut. Gerakan salafi yang dikenal sekarang ini adalah pemaknaan dan perwujudan kembali dari gerakan Wahhabiyyah. Tidak seperti Afghani dan Abduh yang menekankan pentingnya berfikir kreatif melalui ijtihad, gerakan salafi kontemporer ini menolak ijtihad karena terlalu banyak menggunakan akal dalam beragama dan meninggalkan makna literal nash. Selain itu, doktrin faham ini juga mengaggap segala praktek yang menyimpang dari agama sebagai bid’ah (praktek baru yang tidak ada dasarnya) dan tidak ada penyimpangan apapun yang dapat dibenarkan. Dalam masalah teologis, siapapun yang mengamalkan hukum selain hukum Allah adalah kafir. Gerakan ini juga menentang keras segala bentuk taklid (mengikuti secara membabi buta terhadap pemikiran orang lain (ulama) dalam mengamalkan agama). Umat Islam cukup berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai sumber utama hukum dan teologi Islam. Gerakan ini banyak meminjam faham Islam puritan radikal yang dilahirkan oleh tokoh-tokoh yang diposisikan sebagai rujukan gerakan Wahhabiyyah seperti Taqyuddin Ibnu Taimiyyah, Muhmmad ibnu Qayyim al-Jawziyyah (1292-1350) dan Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri.(Wahib. Tt) Gerakan salafi dewasa ini banyak merujuk kepada fatwa-fatwa ulama-ulama dalam garis faham Wahhabiyah kontemporer seperti Abdul Aziz bin Baz (w. 1999) dari Arab saudi, Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1999) dan Rabi’

xx

bin Hadi dari Yaman. Para tokoh ini adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk memberikan fatwa dan melalui tokoh-tokoh inilah doktrin salafi kontemporari dirujukkan kepada ajaran yang diserukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (Noorhaidi, 2005). Adapun prinsip-prinsip dakwah salafi sebagaimana yang dikemukakan oleh Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaiman (2005), sebagai berikut : 1. Salafi memurnikan tauhid (keesaan Allah), baik dalam masalah peribadatan / penyembahan, permohonan, permintaan bantuan, permohonan perlindungan, dan dalam memutuskan sesuatu sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah dalam al Qur’an. 2. Salafi secara aktif mendakwahkan untuk meninggalkan syirik yang saat ini tengah menlanda di seluuruh negeri umat Islam. 3. Salafi adalah penganut setia ajaran Nabi SAW dan sahabat-sahabat-nya, serta setelahnya sahabat. 4. Salafi tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali jika melakukan salah satu pembatal keislaman. 5. Salafi wajib mentaati pemerintah kaum muslimin yang adil ataupun yang jahat, selama tidak memerintahkan kemaksiatan. 6. Tidak boleh memberontak kepada pemerintah kaum muslimin walaupun dia seorang yang jahat. 7. Salafi wajib menjaga hati dan lesan dari membenci, mencela, atau melecehkan para sahabat Rasulullah.

Grakan salafy ini terkenal dalam tiga sikap pokok yakni menyangkut hubungan dengan kekuasaan atau pemerintah, sikap terhadap praktek-praktek keagamaan yang dipandang telah keluar dari jalan sunnah Nabi, dan tanggapan terhadap kelompok keagamaan di luar kelompoknya. Pandangan salafy terhadap penguasa adalah harus menunjukkan ketaatan terhadap pemerintah yang sah. Sebagaimana pandangan yang umum diyakini Ahl al-Sunnah yaitu ketidakbolehan khuruj atau melakukan gerakan separatisme

xxi

dalam sebuah pemerintahan Islam yang sah. Sebagai konsekuensi dari prinsip ini, maka muncul kesan bahwa kaum Salafi cenderung ”enggan‘ melontarkan kritik terhadap pemerintah. Meskipun sesungguhnya manhaj al-Salaf sendiri memberikan peluang untuk itu meskipun dibatasi secara —empat mata“ dengan sang penguasa. Namun setiap muslim hendaknya taati kepada penguasa tersebut dalam kondisi apapun. Ahlussunnah tidak mensyaratkan bahwa seorang imam atau penguasa harus maksum (terjaga dari dosa), bahkan penguasa yang fasik dan dzalim pun apabila telah sah menjadi penguasa harus ditaati sebagaimana dalam hadits ‘Adi ibn Hatim yang diriwayatkan Ibn Abi ‘Asyim dalam kitab Assunnah, beliau berkata, kami bertanya, “Ya Rasulullah, kami tidak menanyakan kepadamu tentang taat seseorang yang bertaqwa, namun taat kepada orang yang telah berbuat demikian dan demikian (mereka menyebutkan keburukan), maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Bertaqwalah kepada Allah, dengar dan taatilah!’”(Al-Hajiry, 2006). Oleh karena ketaatan kepada penguasa yang sah menjadi kewajiban dari kaum muslimin menurut faham Ahlussunnah, maka bai’at dan ketaatan kepada kelompok atau seseorang menjadi terlarang. Sebagaimana kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam, berkeinginan mendirikan negara Islam di Indonesia, melakukan gerakan bawah tanah dan berbaiat dengan pemimpin mereka, maka itu termasuk pengkhianatan kepada penguasa. Kelompok-kelompok semacam itu dipandang sudah keluar dari manhaj salafus shaleh. Baiat hanya berhak diberikan kepada seorang imam (khalifah) kaum muslimin. Demikian pula dalam hal pengambilan keputusan terkait dengan masalah umum yang menjadi kewenangan penguasa tidak boleh diambil oleh masyarakat atau kelompok- kelompok. Salah satunya adalah perintah jihad. Jihad dalam pengertian nahi munkar apalagi jihad perang (qital) adalah kewenangan penguasa. Tanpa ijin dan perintah dari penguasa maka tidak boleh masyarakat mengambil nisiatif berperang. Kelompok yang berani melawan pemerintah akan dianggap telah sesat. Praktek keagamaan yang menyimpang dari sunnah nabi atau bid’ah adalah hal yang terlarang karenanya harus dilakukan pembersihan bid’ah dari kehidupan kaum muslimin

xxii

atau Hajr Mubtadi‘ (Pengisoliran terhadap pelaku bid‘ah). Sebagai sebuah gerakan purifikasi Islam, isu bid‘ah tentu menjadi hal yang mendapatkan perhatian gerakan ini secara khusus. Upaya-upaya yang mereka kerahkan salah satunya terpusat pada usaha keras untuk mengkritisi dan membersihkan ragam bid‘ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam. Adapun sikap terhadap kelompok lainnya, bagi Salafy ittibaus sunnah ini adalah mengambil jarak. Kelompok-kelompok di luar mereka dianggap melakukan bid’ah, khawarij atau ikhwani, dan sesat. Kelompok salafy ini sedapat mungkin menghindari hubungan dengan kelompok lainnya, bahkan terhadap kelompok sesama salafy tetapi bila berlainan pandangan dalam suatu hal tertentu sudah bersikap memtuskan hubungan. Hal ini terlihat dari salah satu prinsip yang mereka sebut al-wala’ wa al-bara’. Sikap terhadap gerakan Islam yang lain, di mana pandangan pendukung gerakan Salafi di Indonesia terhadap berbagai gerakan lain yang ada sepenuhnya merupakan imbas aksiomatis dari penerapan prinsip hajr al-mubtadi‘. Walaupun salafi ini gampang memandang kelompok lain sesat, tetapi mereka sangat berhati-hati dan tidak mudah mengkafirkan. Bahkan bagi salafy ini, kelompok yang gampang mengkafirkan orang lain atau berpaham takfiri termasuk golongan yang sesat. Dalam pandangan salafi, tindakan takfir ini memiliki konsekuensi yang sangat berat. Oleh karena itu salafi menahan diri dari tindakan takfir. Mereka berkeyakinan bahwa tidak ada seorang pun yang diperkenankan untuk mengkafirkan siapa saja dari kaum muslimin kecuali dengan hal-hal yang dapat mengkafirkannya seperti melakukan syirik akbar atau mengingkari salah satu dari rukun iman. Pelaku kemaksiatan naik besar ataupun kecil tidak menjadikannya keluar dari Islam. Namun dengan prinsip Wala’ wal bara’, mereka menolak dan melawan dengan ilmu terhadap kemungkaran dan bid’ah yang dilakukan oleh kelompok lain tersebut. Dalam pandangan Salafi, perilaku bid’ah tidak menjadikan seseorang menjadi kafir, tetapi menjadikan seseorang tersebut tidak layak lagi disebut sebagai Ahlus Sunnah. Oleh karena itu yang menjadi kriteria adalah prinsip-prinsip yang dipegangi oleh kelompok tersebut,

xxiii

bukan orang-perorangnya. Sikap menyimpang dari ketentuan Sunnah tersebut selama tidak merupakan penyimpangan dalam hal akidah dan tauhid maka tidak termasuk kekafiran yang mengluarkan pelakunya dari Islam. Berbeda dengan sikap murtad yang memang terang-terangan keluar dari agama Islam pindah ke agama yang lain.

xxiv

BAB IV RELASI SOSIAL SALAFY ITTIBA’US SUNNAH DI KLATEN

4.1. Perpecahan dalam Tubuh Salafy Bagaimana cara sunnah sebagai prinsip dalam beragama dipegangi, dipahami, dan diamalkan ternyata di kalangan salafy sendiri juga timbul pertentangan. Pertentangan cara pandang dan pengamalan dari sunnah tersebut menjadikan bibit perpecahan yang rentan muncul di kalangan mereka. Utamanya berkaitan dengan prinsip al-wala wa al-bara, di mana kelompok yang dipandang telah salah atau menyimpang dari sunnah, menurut pandangan kelompok lain, maka tidak lagi layak untuk dijadikan teman dan dikeluarkan dari golongan mereka. Walaupun banyak hal dalam sisi ajaran dan praktek kelompok- kelompok salafy ini memiliki sama, tetapi ada sedikit hal yang dianggap melanggar prinsip sunnah (ushul sunnah) maka dianggap sudah keluar dari garis salafy. Perjalanan salafy di indonesia tidak luput pula dari perpecahan tersebut, walaupun sesungguhnya akar pemikiran dan gerakan Salafi sama-sama dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ”Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Pada awal abad ke-19 inilah gerakan Salafiyah pertama di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah satu tokoh utamanya adalah . Gerakan ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832.(Ikhsan. 2006) Disamping itu, ide pembaruan ini secara relatif juga kemudian memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan Islam modern yang lahir kemudian, seperti Muhammadiyah,PERSIS, dan Al-Irsyad. —Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah“ serta pemberantasan takhayul, bid‘ah dan khurafat kemudian menjadi semacam isu mendasar yang diusung oleh gerakan- gerakan ini. Meskipun satu hal yang patut dicatat bahwa nampaknya gerakan-gerakan ini tidak sepenuhnya mengambil apalagi menjalankan ide-ide yang dibawa oleh gerakan purifikasi Muhammad ibn ”Abd al-Wahhab. Apalagi dengan munculnya ide pembaruan lain

xxv

yang datang belakangan, seperti ide liberalisasi Islam yang nyaris dapat dikatakan telah menempati posisinya di setiap gerakan tersebut. Pada tahun 80-an, -seiring dengan maraknya gerakan kembali kepada Islam di berbagai kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafiyah modern di Indonesia.(Ikhsan. 2006) Tahap permulaan munculnya kelompok dakwah salafi di Indonesia setidaknya dapat dilacak mulai pertengahan periode 1980-an. Saat itu, di kampus perguruan tinggi umum tengah marak kegiatan-kegiatan usrah pengajian mahasiswa seperti Riyadus Shalihin (RS), dan Ikhwanul Muslimin. Gerakan Usrah ini merupakan fenomena gerakan Islam masa Orde Baru, yang ditandai dengan kebangkitan kehidupan keberagamaan di lingkungan kampus non-agama pada paruh kedua dasawarsa 1980-an. Kemunculan Usrah ini juga diakibatkan karena praktek-praktek dan suasana politik Orde Baru yang represif menjalar di kampus dengan diberlakukannya kebijakan normalisasi kegiatan kampus (NKK), sehingga mahasiswa mencari alternatif gerakan di luar politik (Hamid. 1995. 117, 120). Pada akhirnya mulai bermunculan orang-orang yang kebiasaan pengikut Salafi dalam berpakaian yang berbeda dari kebanyakan umat Islam di negeri ini dengan mengenakan pakaian fesen Arab, berbaju gamis atau jubah (jalabiyyah), sorban (‘imamah) sebagai tutup kepala, model celana panjang sampai atas mata kaki (isbal), dan memelihara janggut panjang (lihyah). Untuk kaum perempuan, mereka menggunakan jilbab panjang dan cadar (niqab) untuk menutupi kepala dan muka di tempat umum. Mereka sangat taat mengenakan fesen ini terutama jika muncul di ruang publik. Mereka hidup dengan cara eksklusif, tampak berbeda dari masyarakat umum, selain dalam soal pakaian juga dalam tutur kata dan tingkah laku. Dalam kehidupan sosial, orang-orang tersebut membuat kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat, dan cenderung memisahkan diri dari masyarakat umum.(Lihat Yunanto. 2003; Noorhaidi, 2005) Pada awal rintisan Dakwah Salafi, yaitu ketika Rezim Orde Baru tengah tegar berkuasa, mereka hidup bergerombol dalam komunitas kecil yang eksklusif. Dakwah mereka berlangsung dalam lingkungan terbatas, terkesan diam-diam dan dengan cara yang

xxvi

hampir boleh disebut tertutup. Sebagian kecil Dakwah Salafi berhasil mendirikan pondok pesantren, tempat mereka mengajarkan dan menyebarkan faham keagamaannya (Hisyam. 2010). Salah seorang yang mula-mula menyebarkan dakwah salafi di Indonesia adalah Abu Nida, salah seorang alumnus al-Jami’ah Muhammad ibn Sa’ud (Universitas Muhammad ibnu Saud), Riyadh, dan sempat pergi ke Afganistan bergabung dengan Jama’at al-Da’wah ila al-Qur’an wa al-Hadith (Perkumpulan Dakwah kepada al-Qur’an dan Hadith) pimpinan Jamilur Rahman. Pada tahun 1986, Abu Nida memutuskan untuk menetap di Yogyakarta dan memulai berdakwah salafi dengan sasaran utama para mahasiswa. Awal tahun 1990, gerakan dakwah salafi semakin kuat dengan datangnya beberapa alumni LIPIA keturunan Arab yang baru menyelesaikan studi di beberapa universitas di Timur Tengah. Di antaranya adalah Ja’far Umar Thalib dari Maududi Islamic Institute di Lahore Pakistan, Yazid Abdul Qadir Jawwaz dan Yusuf Usman Baisa dari Universitas Muhammad Ibn Saud dan pusat kajian Islam yang dipimpin oleh Muhammad bin Salih al-Utsaymin di Najran (Noorhaidi, 2005: 46). Banyaknya kelompok-kelompok Usroh yang berbasis di kampus-kampus menjadi media desiminasi paham Islam Wahabi dari wilayah Timur Tengah, baik dari Arab maupun Mesir. Mereka disatukan oleh teologi Wahabi puritan. Namun tahun 1990-an mulai muncul perpecahan, karena perbedaan terhadap cara perjuangan atau manhaj mereka, walaupun secara teologi mereka masih pada akar yang sama yaitu Wahabisme. Hal ini terjadi karena pengaruh geo-politik Timur Tengah, yakni pertentangan antara ulama-ulama yang menjadi rujukan mereka, terutama dari Mesir dan Arab kaitannya dengan ketaatan pada penguasa. Di satu sisi ada kelompok yang berkiblat pada ulama-ulama Arab yang cenderung moderat bahkan menunjukkan kepatuhan yang tinggi terhadap penguasa dari keluarga Saud. Di sisi lain, ada kelompok yang berkiblat pada ulama-ulama Mesir yang bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin yang selama ini bersikap keras terhadap pemerintahnya, terutama dengan ideologi yang dibangun oleh Sayyid Qutb. Perpecahan itu berpengaruh pada gerakan usroh-usroh di Indonesia, di mana kelompok yang berorientasi

xxvii

ke ulama Arab tidak lagi menganggap kelompok yang berorientasi ke Mesir sebagai kawan seperjuangan mereka, bahkan telah menyimpang dan dijuluki sebagai kelompok ikhwani. Di tubuh Ikhwanul Muslimin di Mesir sendiri juga terpecah, antara ikhwanul muslimin dengan Hizbut Tahrir. Kelompok ikhwani atau ikhwanul muslimin di Indonesia ini pada akhirnya di era reformasi bermetamorfosis dalam Partai Keadilan (sekarang Partai keadilan Sejahtera/PKS). Sementara itu Hizbut Tahrir yang sejak awal mengusung ide Khilafah dan bersikap non-parlementaria membentuk kelompok Hizbut tahrir Indonesia (HTI). Pada tahun 1990-an tersebut, kelompok-kelompok yang mengusung paham Wahabi ini terpecah antara salafi dan ikhwani. Walaupun demikian, kelompok-kelompok yang mengusung paham Wahabi sama-sama merasa lebih nyaman disebut salafy daripada wahabi yang cenderung pejoratif. Guna kemudahan penyebutan maka didua kelompok ini dapat disebut di sini adalah salafy puritan dan salafy ikhwani. Salafy puritan ini kemudian menguat dengan berbasis pada jejaring tokoh-tokoh mereka yang pada awalnya adalah lulusan LIPIA, seperti Jakfar Umar Thalib, Ustman Baisa, dan Jawwas. Tokoh-tokoh ini kemudian juga melanjutkan pembelajaran di Arab Saudi maupun Yaman. Penyebaran paham salafy ini semakin intensif setelah di tahun 1994 berdiri Pesantren Ihya as-Sunnah Degolan oleh Ja’far Umar Thalib dan menjadi pelopor bagi pesantren- pesantren salafi yang lain. Pesantren ini giat mengirimkan para santri dan alumninya berdakwah di daerah-daerah. Dari kegiatan dakwah ini, lahirlah pusat-pusat gerakan dakwah salafi di berbagai daerah di Indonesia. Tahun 2000 telah berdiri puluhan pesantren yang berada di dalam jaringan Ihya as-Sunnah seperti Pesantren al-Madinah Solo, Minhaj as-Sunnah Magelang, Lu’lu wal Marjan Semarang, Diyaus Sunnah Cirebon, Ihyaus Sunnah Bandung, As-Sunnah Makasar, al-Atsariyah Temanggung, Ittibaussunnah Sukoharjo dan Magetan, Al-Salafi Jember, Ta’zimus Sunnah Ngawi, al-Bayyinah Gresik, al-Furqan Cilacap dan Pakanbaru,dan Ibnu Qayyim di Balikpapan. Selain itu, beberapa pesantren juga muncul belakangan seperti Difa’u ‘anis Sunnah Yogyakarta dan Ibnu Taimiyyah Solo. Pesantren-pesantren tersebut pada umumnya dipimpin oleh para alumni Pesantren Ihyaus Sunnah Degolan yang dikirim oleh Ja’far Umar Thalib belajar di Yaman bersama Muqbil

xxviii

bin Hadi al-Wadhi’i ( Noorhaidi, 2005). Tahun 1995 di tubuh salafy puritan ini kemudian muncul perpecahan lagi yang oleh kalangan ini disebut sebagai fitnah sururiyah. Mulai ketika itulah dakwah salafi pecah menjadi dua. Kelompok Ja’far terkenal dengan kelompok salafi Yamani dan Kelompok Abu Nida dan Ahmas Faiz dikenal dengan kelompok salafi haraki. Perpecahan antara dua kubu tersebut semakin memanas ketika Ja’far Umar Thalib menuduh Abu Nida sebagai seorang sururi, yaitu pengikut Muhammad bin Surur al-Nayef Zainal Abidin, salah seorang mantan anggota Ikhwan yang kemudian aktif dalam gerakan salafi. Ibnu Surur berusaha untuk menggabungkan dan mensintesakan gerakan dakwah salafi dengan Ikhwanul Muslimin.(Wahib. Tt) Konflik antara keduanya ini mencapai puncak dengan Abu Nida menarik diri dari semua kegiatan yang berhubungan dengan kelompok Degolan dan mendirikan yayasan Majlis at-Turats al-Islami di Piyungan, Bantul. Tindakan ini diikuti oleh Ahmas Faiz dengan mendirikan pesantren al-Imam al-Bukhari di Selokaton, Surakarta. Kalangan salafi menganggapnya sebagai sebuah kesalahan serius karena mencampuradukkan yang benar dengan Faham Hizbiyyah yang tidak ada dasarnya dalam agama. Ikhwanul Muslimin menurut para aktivis salafi adalah sebuah gerakan hizbiyyah, sebuah gerakan dengan semangat kelompok dan berjuang untuk kepentingan golongan saja. Ini menyalahi prinsip dakwah salafi yang berdakwah untuk tegaknya tauhid. Dari sinilah muncul istilah fitnah sururiyyah dalam gerakan salafi (Noorhaidi, 2005: 77-81). Tahun 1995-an tersebut menandai perpecahan antara kelompok salafy puritan dengan munculnya kelompok salafy salafy yang ditahdzir olehnya yang secara pejoratif disebut sebagai salafy sururiyah. Walaupun terjadi perpecahan, gerakan dakwah salafi telah tumbuh menjadi sebuah gerakan sosial yang penting dalam perkembangan gerakan Islam Indonesia. Kelompok ini sempat menarik publik tidak lama setelah Orde Baru runtuh. Selama lebih kurang dua tahun (2000-2002) gerakan dakwah salafi ini melakukan mobilisasi massa dengan mendirikan sebuah organisasi gerakan Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jama’ah (FKAWJ). Forum ini melakukan mobilisasi massa melalui . Laskar Jihad ini mempunyai peranan

xxix

penting bagi perkembangan gerakan salafi di Indonesia. Selama lebih kurang dua tahun tersebut, Laskar Jihad telah mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat muslim Indonesia. Gerakan ini telah berhasil menggalang massa tidak kurang dari 7000 relawan dari berbagai daerah di Indonesia untuk berjihad ke Ambon.[Noorhaidi, 2005.] Tetapi Laskar Jihad ini hanya bertahan sekitar dua tahun, setelah Laskar Jihad dibubarkan, para relawan veteran jihad ini kembali ke tempat asal mereka masingmasing dan meneruskan dakwah di daerah asal.(Wahib. Tt) Tanda-tanda perpecahan Laskar Jihad telah muncul ketika beberapa tokoh FKAWJ mulai merasakan langkah Ja’far Umar Thalib telah menyimpang dari tujuan Laskar Jihad. Terlebih ketika Ja’far Umar Thalib muncul di televisi bersama sejumlah politisi dan sejumlah pemimpin organisasi Islam yang sebelumnya oleh Ja’far Umar Thalib sendiri dituduh para penyebar dakwah hizbiyyah. Orang-orang yang kecewa dengan langkah Ja’far Umar Thalib mencari dukungan dari kalangan para ustadz agar Laskar Jihad dibubarkan, termasuk mengirim surat kepada Rabi’ bin Hadi al-Madkhali melaporkan langkah Ja’far Umar Thalib dan meminta fatwa mengenai pembubaran Laskar Jihad. Rabi’ bin Hadi merekomendasikan untuk membubarkan Laskar Jihad. Buntut pembubaran Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib ditinggalkan oleh para pengikutnya. Para santri yang belajar di Pesantren Ihya as-Sunnah Degolan telah pergi untuk belajar di pesantren-pesantren salafi lainnya. (Wahib. Tt) Dengan demikian, Jakfar Umar Thalib tidak lagi dipandang berada di jalan salafy yang puritan. Oleh karena dahulunya Jakfar yang keras mentahdzir kelompok salafy sururiyah, maka posisi Jakfar kemudian menjadi kelompok yang berdiri berseberangan dengan dua salafy yang telah ada, yaitu salafy puritan dan salafy surury, dan menjadi faksi salafy sendiri salafy laskar jihad. Peristiwa konflik Ambon tersebut tidak saja melibatkan kelompok salafy dengan lasykar jihadnya, tetapi kelompok-kelompok lain yang disatukan dengan isu solidaritas muslim. Persentuhan dengan kelompok-kelompok yang memiliki kecenderungan radikal dalam peristiwa konflik ambon tersebut juga memunculkan kelompok salafy jenis lain. Kelompok yang berakidah dengan teologi wahabi tetapi bersikap keras bahkan

xxx

mengkafirkan kelompok muslim lainnya yang tidak sepaham. Kelompok tersebut diantaranya adalah kelompok-kelompok yang berkaitan dengan jaringan jamaah islamiyah (JI) yang berpusat pada ketokohan Abu Bakar Baasyir, salah satu tokoh JI yang kemudian di Indonesia mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). MMI di kemudian hari pecah, Abu Bakar Baasyir keluar dan mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Kelonpok-kelompok garis keras ini juga menyatakan dirinya sebagai salafy, seperti yang diakui oleh Imam Samudra pelaku bom terorisme di Bali. Namun pengakuan itu ditanggapi dan dibantah oleh Ustadz Lukman Baabduh, tokoh Salafy dari Jember, dan apa yang dilakukan oleh Imam Samudra bukan termasuk jihad bahkan menyimpang dari jalan Islam. Kelompok salafy yang menyetujui tindakan kekerasan sebagai jalan perjuangan, bahkan melakukan tindakan-tindakan terorisme ini disebut sebagai salafy jihadi. Oleh kelompok salafy yang puritan, kelompok ini sudah dikategorikan khawarij, merujuk pada kelompok politik di awal Islam yang melakukan tindakan kekerasan dan mengkafirkan sesama muslim. Perpecahan di gerakan salafy tidak berhenti sampai peristiwa lasykar jihad itu saja. Perkembangan pesantren-pesantren salafy dan tokoh-tokohnya dalam dinamika interaksi antar gerakan Islam, melahirkan kolaborasi-kolaborasi sekaligus menyebabkan perpecahan kembali. Beberapa kelompok yang awalnya berada di barisan salafy puritan, ditahdzir karena dianggap bersekutu dengan kelompok-kelompok ikhwani. Tahun 2009-2010, salafy di Semarang berkonsentrasi di Pesantren Al-I’Thisom yang sebelumnya bernama Lu’lu’ Wal Marjan di daerah Semarang bagian utara dengan ustadz Khairul, dan di Semarang bagian atas atau Tembalang ada pesantren Abu Bakar As-Shidiq dengan Ustadz Nurwahid, di mana Kedua salafy ini berada satu barisan salafy. Namun informasi terbaru (2016) ini Ustadz Nurwahid dan pesantren Abu Bakar As-Shidiq telah ditahdzir dan dikeluarkan dari barisan salafy puritan karena dianggap bersekutu dengan kelompok hizbiyah.

xxxi

4.2. Jejaring Sosial kelompok Salafy Ittibaus Sunnah Informasi Utadz Ihsan, pengasuh Pesantren Ibadurrahman Mutihan Klaten,tokh salafy yang keangkatan dengan Jakfar Umar Thalib, menguraikan mana kelompok ustadz yang sudah keluar dari barisan salafy yang dikenalnya.

Jakfar Umar Thalib Ihyaussunnah Degolan 2002 Lasykar jihad Faqih Edi Susilo Nurussunnah Semarang 1993 Ikhwany, sururiyah Abu Nida At-turots al-islamy/Bin Baz 1995 Isu sururiyah, dana at- Piyungan Jogja turots Aunnur Rifiq Al-Furqon Gresik 1995 Isu sururiyah, dana at- turots Yazid Abdul Qodir Al-Shofwa 1995 DDII, sururiyah Jawwas Ahmad Faiz Imam Bukhori Karanganyar 1995 Sururiyah, dana at-turots

xxxii

Jauhari Al-Madinah Solo 1995 sururiyah Abu Mus’ab Sawangan 1995 Abdul Manaf Darus Sa’adah 1993 Ikhwani, Khawarij, murid Abu Bakar Baasyir Yusuf Usman Baisa Al-Irsyad Tengaran 1995 Ikhwani, sururiyah Abu Abdil Muhsin Kelompok Rodja 1995 Isu sururiyah, dana at- Firanda turots Nurwahid Abu Bakar Assidiq Semarang 2010 Hizbiyah

Adapun pesantren atau ma’had yang menurut Utsadz Ihsan masih di jalur salafy antara lain: Minhajussunah Magelang; Ittinaus Sunnah Klaten dan Sukoharjo; Ibadurrahman Mutihan Klaten; Ustadz Syamsul Bahri dari Batu Malang, Ustadz Syafii, Ustadz Huda dan Ustadz Rifai dari Ngawi, Ustadz Usman, Ustadz Fauzan, dan Ustadz Faruq dari Madiun; Ustadz Saiful bahri dari Cilacap; Ustadz Afifudin dari al-Bayyinah Gresik; Ustadz Lukman Baabduh dari Assalafy Jember;Ustad Abdurrahman dari Lombok; Muhammad As Sewed Cirebon, dan sebagainya. Kelompok-kelompok yang oleh jaringan Ittibaus Sunnah ini dianggap sebagai telah keluar dari salafy dan bukan termasuk salafy, tetap saja mereka mengakui dirinya sebagai salafy. Ustadz Fais misalnya, pengasuh pesantren Imam Bukhori Karanganyar yang telah “divonis” keluar dari salafy oleh kelompok Jakfar Umar Thalib tahun 1995, tetap mengaku gerakan dakwahnya adalah salafy. Bahkan Ustadz Faiz mengaku dirinya sudah menarik diri dari pergaulan dengan Jakfar Umar Thalib dan kelompoknya di al-Irsyad Tengaran tahun 1993-an karena ia melihat adanya pengaruh ikhwani yang kuat di kelompok itu. Pengakuan sebagai salafy ternyata juga dilakukan oleh tokoh terpidana mati terorisme Imam Samudra, dalam bukunya Aku Melawan Terorisme. Walaupun hal itu kemudian dibantah oleh Lukman Baabduh dalam bukunya Mereka Memang Teroris, untuk menekankan bahwa apa yang dilakukan oleh Imam Samudra dan kelompok teroris lainnya adalah gerakan yang tidak sesuai dengan salafy bahkan ajaran Islam secara umum. Pengakuan sebagai salafy secara umum juga dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memiliki kecenderungan mendukung tindak kekerasan seperti JAT, MMI, FPI, dan barisan kelompok yang berjejaring dengan Abu Bakar Baasyir. Demikian pula pengakuan yang sama dilakukan melalui propaganda kelompok-kelompok HTI dan group “PKS” melalui

xxxiii

berbagai media sosial. Namun dapat diduga, kesamaan kelompok-kelompok yang mengaku sebagai salafy adalah kelompok-kelompok yang menggunakan “mahzab” Wahabisme sebagai landasan ideologisnya. Berangkat dari perkembangan gerakan-gerakan tersebut, maka polarisasi gerakan salafy sejak tahun 1980-an yang muncul sebagai fenomena gerakan Ursoh hingga sekarang ini dapat dipetakan sebagai berikut:

Salafy “murni” atau puritan ini terhadap salafy “lainnya” dengan sengaja melakukan pemutusan hubungan. Mereka tidak bersedia bergaul dengan kelompok-kelompok di luar barisan salafy mereka sendiri. Demikian juga dengan jamaah salafy Ittibaus Sunnah yang memutuskan hubungan muamalat dengan kelompok-kelompok salafy di luar mainstream mereka, seperti ustadz Jakfar Umar Thalib dan pesantren Ihyaussunah degolan Yogyakarta; Al-Madinah Solo; Ahmad Faiz Karanganyar, dan sebagainya. Bagi pengasuh Ittibaus sunnah berkawan dengan kelompok-kelompok itu selain tidak ada manfaatnya juga

xxxiv

berbahaya karena mereka dapat mempengaruhi. Sikap Ittibaus Sunnah terhadap pimpinan atau tokoh salafy yang berseberangan pandangan tersebut berbeda dengan sikap Ittibaus Sunnah terhadap jamaah biasa. Hal ini karena tokoh-tokoh tersebut tentu sudah memiliki pendirian yang kuat sehingga tidak akan bersedia untuk mengakui kesalahan mereka tetapi malah sebaliknya akan memiliki pendapat sendiri. Berbeda dengan kelompok jamaah atau awam yang kemungkinan hanya ikut-ikutan saja sehinga boleh didekati untuk disadarkan kembali. Pesantren Ittibaus Sunnah di Klaten ini terhadap kelompok salafy yang sealiran mereka akan berjejaring, melakukan kegiatan bersama, dan bahkan saling berbagi pengetahuan dengan mengirimkan atau mengundang kelompok sesama salafy puritan di daerah-daerah lainnya. Beberapa pesantren salafy yang berhubungan baik Ittibaus Sunnah di antaranya pesantren Ibadurrahman asuhan ustadz Ihsan. Pesantren ini berada di kecamatan Gantiwarno Klaten berjarak sekitar 5 km dari pesantren Ittibaus Sunnah. Ustadz Ihsan oleh pengasuh Ittibaus Sunnah dilibatkan sebagai penasehat pondok. Ustadz Ihsan ini dianggap sebagai salah satu senior Salafy karena ia lebih awal menikuti gerakan Salafy, yakni selevel dengan Jakfar Umat Thalib yang mendirikan Ihyaussunnah Degolan dan pernah ikut membantu mengajar pesantren salafy di masa-masa awal tersebut. Selain itu ia juga pernah belajar di Yaman dari tahun 2004-2008, setelah peristiwa lasykar jihad dan ia termasuk di barisan salafy yang menolak Jakfar Umar Thalib. Keberadaan Itibaus Sunnah Klaten tidak bisa dilepaskan dari peran Ustadz Marwan dan pesantren Ittibaus Sunnah Sukoharjo. Nama pesantren tersebut sama karena diinisiasi oleh Ustadz Marwan selaku pengasuh pesantren Ittibaus Sunah Sukoharjo tahun 2007. Peran Ustadz Marwan selain sebagai pendiri Ittibaus Sunnah Klaten, beliau juga tetap dilibatkan sebagai penasehat pondok bersama Ustadz Ihsan. Jaringan lainnya adalah dengan Pesantren Minhajus Sunnah Magelang dulu pimpinannya Ustadz Muhammad Abdillah Sarbini, dan sekarang pengasuhnya adalah Ustaz Hamzah Kaswah karena Ustadz Sarbini pulang ke kampung halaman di Soppeng Makassar. Ada santri Ustadz Sarbini yang berasal dari Klaten sekarang ini menjadi ustadz pengasuh di Ittibaus Sunnah, yakni Ustadz Habib.

xxxv

Sementara Ustadz Abdurrahman yang menjadi mundir pengasuh pesantren Ittibaus Sunnah sendiri adalah murid dari Ustadz Abu Karimah Asykari di pesantren Ibnul Qayyim Balikpapan, Kalimantan Timur. Pesantren salafy yang berjejaring secara langsung tentu saja adalah pesantren atau Ma’had As Salafy Jember asuhan Ustadz Lukman Baabduh. Beberapa ustadz Ittibaus Sunnah adalah alumni dari Assalafy jember, seperti Ustadz Abdullah, Ustad Abu Rifki, dan Ustadz Yusuf. Tidak hanya itu, sistem pendidikan Ittibaus Sunnah juga mengadopsi sistem pendidikan As Salafy Jember. Sistem pendidikan yang disusun dengan sistem klasikal berjenjang mulai dari tingkat MTA/LS, MTP, hingga Mutawashit; dengan materi pembelajaran menggunakan buku-buku paket yang disusun oleh Ma’had As Salafy Jember. Untuk itu, Ittibaus Sunnah membeli buku-buku cetak dari As Salafy Jember sebagai buku pegangan belajar santrinya, untuk semua jenjang pendidikan tersebut. Lulusan Ittibaus Sunnah juga diarahkan untuk melanjutkan pendidikan ke Assalafy Jember yang telah memiliki jenjang pendidikan di atas Mutawasith. Ada dua orang anak putra Ustadz Ganang yang dikirimkan untuk belajar di As Salafy Jember di tingkat Mutawasith karena di Ittibaus Sunnah saat itu belum ada di tahun 2015 kemarin. Alumni jenjang MTP dari Ittibaus Sunnah juga ada yang melanjutkan pendidikan di Pesantren Al Atsariyah Temanggung yang diasuh oleh Ustadz Qomar Su’aidi yang juga memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ittibaus Sunnah selain dengan pesanten-pesantren Salafy yang berhubungan secara langsung, juga menjalin hubungan dengan pesantren salafy lainnya dalam rangka kegiatan bersama, seperti kegiatan Dauroh atau kajian ilmiyah. Di antara tokoh yang diundang untuk Dauroh di Klaten adalah Ustadz Muhammad As Sewed pengasuh PP Dhiya'us Sunnah, Cirebon dan Ustadz Afifuddin pengasuh pesantren Al-Bayyinah Gresik. Pada Daurah di Klaten yang diselenggarakan oleh Ittibaus Sunnah, Ustadz Afifuddin sebelumnya mengisi kajian di pesantren Al-Anshar Yogyakarta, dan setelah dari Klaten mengisi kajian di Pesantren Al-Ausath Jaten Karanganyar.

xxxvi

4.3. Relasi Sosial dan Pandangan terhadap Organisasi Keagamaan Ittibaus Sunnah termasuk lembaga yang cenderung tertutup untuk melakukan hubungan dengan kelompok di luar jaringan salafynya. Hal ini disebabkan karena doktrin wala wal bara (bersekutu/menyukai dan menentang/membenci) yang dipahami jamaah salafy ini memberi sekat yang jelas antara kelompok mereka dengan kelompok lain. Hubungan sosial atau muamalat secara umum diperbolehkan dalam jamaah ini dengan siapa saja, tetapi hubungan itu harus mampu menjaga keselamatan “akidah” dan tidak menimbulkan bahaya terhadap pemahaman salafy yang mereka anut. Oleh karena itu, untuk menjaga hal-hal tersebut, maka jamaah ini cenderung tidak melakukan hubungan kerjasama dengan kelompok lain, terutama yang berkaitan dengan keagamaan. Pada bidang ekonomi yang diperbolehkan saja tetap harus mewaspadai ancaman dalam pemahaman keagamaan tersebut, karena tidak menutup kemungkinan muncul obrolan tentang keagamaan yang akhirnya menyinggung pemahaman salafy. Selain doktrin wala wal bara, juga doktrin Hajr Mubtadi‘ (Pengisoliran terhadap pelaku bid‘ah) membatasi mereka untuk berhubungan dengan kelompok lain yang dalam pandangan mereka adalah kelompok yang melakukan kebid’ahan. Pelanggaran terhadap manhaj salafy yang mereka anut juga dianggap sebagai suatu kebid’ahan. Dengan demikian makna bid’ah ini menjadi lebih luas dan akibatnya mudah sekali kelompok salafy ini memutus hubungan dengan sesama kelompok salafy lainnya. Bersekutu, berkawan, dan “bermesra-mesra” dengan kelompok-kelompok tersebut akan dianggap melanggar dokrin wala wal bara. Kalau ada tokoh salafy yang “bermesra-mesraan” dengan kelompok lain, maka menjadi patut dipertanyakan apakah ia masih berjalan di jalan salafy. Jamaah salafy Ittibaus Sunnah tidak menganggap kelompok lain yang memiliki perbedaan bahkan pertentangan paham dengan paham salafy mereka sebagai kelompok yang kafir atau keluar dari Islam. Salafy Ittibaus Sunnah tidak memiliki paham takfiri atau paham yang gampang mengkafirkan kelompok lain. Paham takfiri dalam pandangan Salafy Ittibaus Sunnah ini bahkan tergolong bentuk penyimpangan dari syariat. Seseorang atau kelompok dipandang telah keluar dari Islam atau kafir jika nyata-nyata telah menyatakan

xxxvii

diri keluar dari Islam, atau keluar dari akidah Islam yang ditentukan oleh syariat. Hal ini dicontohkan adalah kelompok Gafatar yang telah difatwakan sebagai bukan termasuk golongan Islam oleh MUI. Otoritas keulamaan inilah yang memungkinkan munculnya keputusan seseorang atau kelompok telah kafir atau tidak, bukan berdasarkan pandangan atau tuduhan orang perorang. Paham Takfiri ini dalam pandangan Ittibaus Sunnah dapat merusak sosial, karena akan memunculkan pertentangan yang tajam di masyarakat. Lebih dari itu, ujung dari paham takfiri biasanya akan mengarah pada pengkafiran pada penguasa. Hal itu akan bertentangan dengan prinsip salafy terkait kepatuhan pada penguasa yang sah. Pengkafiran terhadap pemerintah akan mendorong ketidaktaatan, bahkan pemberontakan kepada penguasa, yang mana hal itu sangat terlarang dalam paham salafy. Pandangan Ittibaus Sunnah terhadap beberapa kelompok keagamaan lainnya pada umumnya bersifat negatif sebagai penyimpangan. Penyimpangan kelompok-kelompok di luar kelompok salafy dibedakan kadarnya atau gradasinya berdasarkan aspek penyimpangannya. NU dan Muhammadiyah dipandang tidak termasuk dalam hadits tentang perpecahan umat Islam dalam 73 golongan. Jadi menurut jamaah salafi ini NU dan Muhammadiyah masih masuk kategori jamaah Islam yang masuk surga. Namun demikian, mereka menganggap NU dan Muhammadiyah masih menyimpang karena mempraktekkan bid’ah-bid’ah dalam beragama. Jamaah Tabligh menurut kelompok salafy ini penyimpangannya ada pada akidah yang menyimpang, walaupun tidak sampai keluar dari Islam. Jamaah Tabligh dipandang menyimpang karena menganggap haji ke makam tokohnya di Pakistan atau India lebih utama daripada haji ke Makkah. Pandangan Salafy Ittibaus Sunnah terhadap kelompok seperti Hizbut Tahrir (HTI) dan kelompok-kelompok lainnya yang melakukan penentangan terhadap pemerintah, oleh mereka dipandang sebagai kelompok ikhwani, karena membenarkan tindakan-tindakan melawan pemerintah yang sah baik dengan kekerasan maupun dengan lisannya atau pernyataan-pernyataan di tempat umum. Bahkan, kelompok yang melakukan kekerasan yang ditujukan kepada pemerintah maupun masyarakat secara

xxxviii

umum digolongkan sebagai kelompok khawarij. Beberapa dari kelompok ini memiliki kecenderungan berpaham takfiri. Pandangan negatif terhadap kelompok ikhwani atau khawarij ini bahkan cenderung lebih kuat dibandingkan kepada kelompok keagamaan lainnya. Terlebih kelompok- kelompok tersebut juga mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok salafy. Hal ini nampaknya bagian dari upaya kelompok salafy Itibaus Sunnah untuk membedakan diri dengan “salafy” lainnya yang diangap sebenarnya bukan salafy karena telah melanggar ketentuan sunah sebagaimana yang seharusnya dipegang teguh oleh pengikut salafy. Hal ini terlihat dari beberapa materi dauroh yang diselenggarakan oleh Ittibaus Sunnah dan pesantren salafy sealiran lainnya, seperti daurah pengajian akbar yang diselenggarakan Ittibaus Sunnah tanggal 28 Februari 2016 dengan mendatangkan pembicara Ustadz Afifuddin dari Al-Bayyinah Gresik untuk berbicara tentang Ada apa dengan Salafy: Salafy Akar Radikalisme, Salafy Suka Mengkafirkan? Pada kesempatan itu, salafy mengidentifikasikan diri sebagai kelompok yang anti radikalisme dan anti paham takfiri. Pada kesempatan yang sama, muncul kritikan terhadap kelompok-kelompok lain yang menganut paham dan bertindak radikalisme termasuk terorisme dan bentuk-bentuk ketidaktaatan pada pemerintah. Informasi dari Kasi Pontren Kemenag Klaten, Bakri, pada tahun lalu sempat terjadi ketegangan antara jamaah Salafy ini dengan kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang disebabkan karena pesan singkat di HP (SMS) di antara jamaah salafy bocor dan dibaca oleh anggota MMI. Pada SMS itu berisi pernyataan kalau MMI termasuk kelompok teroris yang menyebabkan kemarahan kelompok MMI, dan hampir terjadi konflik fisik, tetapi akhirnya bisa difasilitasi oleh Polres dan kemenag untuk berdamai. Ustadz Ganang juga menceritakan peristiwa pengajian Salafy sewaktu di Solo dikepung oleh JAT dan MMI yang tidak suka dengan materi mereka yang memandang kelompok-kelompok yang melakukan aksi kekerasan dan menunjukkan kebencian pada pemerintah termasuk menyimpang dari ajaran Islam. Ittibaus Sunnah Klaten kurang sosialisasi kepada kelompok-kelompok keagamaan

xxxix

lainnya di lingkup kecamatan Wedi. Masyarakat secara terbatas mengetahui ada pesantren salafy atau pesantren yang jamaahnya mengenakan pakaian “a la Arab” tapi tidak mengetahui persisnya. Pengurus Muhammadiyah Kecamatan Wedi mengaku tidak mengetahui ada pesantren salafy di daerahnya, walaupun ia tahu ada jamaah salafy dilihat dari penampilan mereka. Pesantren Ittibaus Sunnah membatasi hubungannya dengan hanya pada aparatur pemerintah saja sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.

4.4. Relasi dengan Pemerintah dan Persoalan Kebangsaan Jamaah Ittibaus Sunnah memiliki pandangan bahwa umat Islam wajib untuk taat kepada pemerintah yang sah, yang merupakan pemimpin muslim. Suatu keharusan untuk mendengar dan taat kepada penguasa tersebut walaupun penguasa tersebut dzalim. Sikap terhadap penguasa yang dzalim tersebut umat Islam harus tetap taat dan bersabar, bahkan seandainya penguasa itu mencambuki punggungmu dan merampas harta milikmu, engkau harus tetap sabar. Seiring dengan ketaatan tersebut, umat islam juga terlarang untuk mencela pemimpinnya atau penguasanya di depan umum. Pandangan terkait penguasa yang semacam itulah yang diantara penyebab ketidakcocokan salafy Ittibaus sunnah ini dengan salafy lainnya, atau yang mereka sebut salafy ikhwani atau khawarij, yang melakukan aksi- aksi demonstrasi, maupun mencela pemerintah baik di forum demontrasi tersebut maupun di forum-forum terbuka lainnya, dan juga di media publik lainnya seperti di media sosial. Ketaatan kepada pemerintah ini wajib bagi umat Islam baik masalah yang disenangi maupun yang dibenci, kecuali dalam hal kemungkaran. Bahkan apabila penguasa itu memerintahkan suatu perintah yang hukumnya sunnah bahkan mubah, maka perintah itu menjadi wajib karena kewajiban untuk menaati penguasa. Tidak mudah untuk menvonis penguasa sebagai toghut, sebagai kafir, atau sejenisnya terhadap penyimpangan atau kekurangan mereka dalam kebijakan yang tidak menyenangkan rakyatnya, kecuali apabila nyata-nyata penguasa itu terbukti dengan nyata melakukan tindakan yang sangat kufur atau nyata-nyata keluar dari Islam. Atas pandangan-pandangan semacam ini, walaupun hubungan kelompok ini dengan

xl

kelompok lainnya kurang baik, tetapi terhadap aparatur pemerintah mereka hormat. Pesantren Ittibaus Sunnah sejak awal pendirian di tahun 2007 telah berkoordinasi dengan pihak Desa Tanjungan, Polsek Wedi, dan Kesbangpol Kabupaten Klaten. Pesantren Ittibaus Sunnah ini juga telah didaftarkan ke Kementerian Agama hingga mendapatkan SK Rekomendasi dari Kementerian Agama No.KD.11.10/3/PP.007/422/2009 tertanggal 25 Maret 2009. Pesantren ini juga telah mendapatan pula nomor sertifikasi pemetaan pondok pesantren nasional oleh Kementerian Agama dengan nomor pemetaan 512331003015. Ittibaus Sunnah juga melaporkan perkembangan pesantrennya ke Kementerian Agama dan KUA kecamatan Wedi hingga tahun 2012. Namun setelah tahun itu, Ittibaus Sunnah tidak memberikan laporan dan tidak pula mengurus perpanjangan ijin operasional pesantren. Padahal sejak tahun 2014 semua pesantren diharuskan memperbaharui ijin operasionalnya. Salah satu syarat yang diminta oleh Kementerian Agama adalah surat pernyataan di atas materi pernyataan kesetiaan terhadap Negara Indonesia sebagai bagian kelengkapan berkas permohonan ijin operasional pondok pesantren. Adapun salah satu bunyi pernyataan tesebut redaksinya sebagai berikut: “Pondok pesantren yang kami kelola benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai ke- Indonesia-an, kebangsaan, kenegaraan, dan persatuan yang didasarkan atas Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.” Pihak Kementerian Agama Kabupaten Klaten telah menyampaikan pemberitahuan tentang pengurusan ijin operasional tersebut kepada seluruh pesantren di kabupaten Klaten, termasuk pesantren Ittibaus Sunnah. Pesantren Ittibaus Sunnah hingga penelitian ini dilaksanakan tetap tidak melakukan pengurusan ijin operasional tersebut. Menurut Kasi Pontren Kemenag Kabupaten Klaten, pesantren Ittibaus Sunnah sudah ditanyakan kesediaannya secara langsung terkait surat pernyataan kesetiaan NKRI dan memang tidak bersedia membuat surat pernyataan tersebut. Pengasuh Ittibaus Sunnah berkilah bahwa kesetiaan dan kepatuhan pada pemerintah tidak mesti ditunjukkan dengan selembar surat pernyataan. Mereka menjamin akan tetap taat dan menghormati pemerintah, sehingga kalau mereka diperintahkan untuk berperang, atau fasilitas pesantren itu diminta pemerintah pasti

xli

mereka akan taat. Hal ini nampaknya karena bagi Ittibaus Sunnah ketaatan yang diperintahkan adalah ketaatan pada pemerintah sebagai personal/institusional, bukan ketaatan pada nilai-nilai dalam konteks kenegaraan/kebangsaan. Oleh karena itu, ijin operasional dianggap tidak penting bagi Ittibaus Sunnah karena pesantren ini juga tidak menggantungkan kebutuhannya dari bantuan pemerintah. Pesantren Ittibaus Sunnah ini sudah beberapa kali ditawari Pontren Kementerian Agama Klaten untuk mendapatkan bantuan dana BOS mapun bantuan untuk santri, tetapi tawaran itu tidak ditanggapi. Ketaatan pada pemerintah yang sah dibatasi dengan standar syariah, apakah perintah tersebut melanggar syariat atau tidak. Misalnya pemilihan umum, dalam pandangan salafi ittibaus sunnah pemilu bukanlah sistem yang baik. Sistem pemilu tidak sesuai dengan ajaran Islam, karena banyak kemudharatan dari sistem pemilu. Pada sistem pemilu, setiap orang memiliki kedudukan yang sama, suara seorang yang alim dianggap sama dengan suara seorang pelacur atau penjahat lainnya, ini dipandang bukan suatu keadilan. Menurut mereka seharusnya urusan pemerintahan diserahkan pada para alim, ulama, dan cendikia bukan sembarang orang, maka konsep ahlul halli wal aqdi itu lebih sesuai. Oleh karena itu, walaupun jemaah salafy ini tidak mengeluarkan pelarangan pada jamaah nya untuk mengikuti pemuli, tetapi wacana ini menahan mereka untuk mendatangi tempat pemilu. Selain itu, mereka juga berkilah memilih dalam pemilu adalah hak sehingga tidak diambil juga tidak masalah. Mereka juga tidak ingin kesalahan memilih dalam pemilu menjadi beban bagi agama mereka. Terkait dengan hukum yang berlaku di di Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila, dan bukannya berhukum dengan hukum Allah, dalam pandangan Ittibaus Sunnah tidak lantas membuat rnaung dibawahnya juga pemerintah dan masyarakatnya menjadi kafir. Pandangan yang menganggap pemerintah Indonesia Toghut atau kafir, termasuk masyarakat yang menjadi kafir adalah paham takfiri yang dianut oleh kelompok khawarij yang sesat. Dalam pandangan salafy, tujuan Islam dan dakwah Islam tidak ditujukan untuk kepentingan politik seperti mendirikan negara islam atau khilafah

xlii

melainkan untuk membangun masyarakat yang taat kepada aturan Allah dan Sunnah Rasul. Khilafah atau negara islam tidak ada gunanya kalau masyarakatnya tidak dibina agar memegang teguh ajaran Islam. Negara Islam atau khilafah itu akan dengan sendiri terbentuk kalau masyarakatnya sudah sadar semua, sudah terbimbing, dan taat dengan ajaran Islam. Demikian juga dengan undang-undang syariah atau perda syariah juga bukan hal mutlak diperjuangkan, karena tidak ada gunanya hukum syariah kalau pelaku dan masyarakatnya tidak mengamalkan ajaran Islam. Pandangan tentang jihad dalam pengertian perang, menurut Salafy Ittibaus Sunnah adalah perkara yang menjadi otoritas penguasa atau pemerintah. Ustadz Afifudin menjelaskan prinsip-prinsip dalam jihad antara lain: Jihad itu tugas pemerintah karenanya harus ada komando dari pemerintah atau penguasa yang syah. Di negara ini sudah ada TNI dan Polri sebagai pembantu pemerintah, karena al imamu junnatun musuh diperangi dibalik periasai jihad dibalik pemerintah. Prinsip berikutnya, musuh yang diperangi adalah orang kafir, tidak boleh menyerang muslim. Namun demikian tidak pula sembarang orang kafir boleh diperangi. Ada kelompok kafir yang malah harus dilindungi, yaitu pertama kafir dzimmi, non muslim itu tidak boleh diperangi; kedua kafir musta’mal mereka yang datang dengan visa resmi untuk urusan ekonomi, dubes, turis ini tidak boleh diperangi, ketiga kafir muakhad, yang punya hubungan yang sepakat tidak ada perang. Hal itulah yang menjadi salah satu sebab permusuhan kelompok salafy Ittibaus Sunnah ini dengan orang-orang yang menganggap diri sebagai salafy tetapi terlibat terorisme, seperti Imam Samudra terpidana mati teror bom Bali. Bagi kelompok Salafy Ittibaus Sunnah, orag-orang semacam inilah yang menyebabkan nama salafy menjadi buruk di mata masyarakat. Padahal Salafy yang sesungguhnya memegang teguh prinsip atau ushul sunnah yang diantaranya adalah tidak melakukan kekerasan terhadap pemerintah, kaum muslimin, dan kaum kafir yang berada dalam perlindungan negara.

xliii

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan Pesantren Ittibaus Sunnah merupakan pusat gerakan Salafy di Kabupaten Klaten. Gerakan keagamaan Ittibaus Sunnah berdiri tahun 2006 seiring dengan perkembangan gerakan transnasional salafy, yang embrionya tumbuh sejak tahun 1980-an. Era reformasi menjadi momentum yang membuka peluang politik bagi perkembangan kelompok- kelompok keagamaan, termasuk gerakan Salafy. Perkembangan gerakan salafy Ittibaus Sunnah di Klaten juga medapatkan peluang dari perkembangan gerakan-gerakan keagamaan di wilayah Surakarta yang telah lebih awal bergeliat. Pesantren Ittibaus Sunnah bahkan muncul dari geliat semangat keberagamaan masyarakat, atau setidaknya tokoh di desa Tanjungan yang menginginkan peningkatan kualitas keberagamaan di lingkungan tersebut banyak pendukuang kaum abangan. Hal tersebut menjadi peluang politik keberadaan pesantren Ittibaus Sunnah. Gerakan Salafy membawa faham salafy, pemahaman keagamaan yang secara tekstualis dilandaskan pada ajaran tokoh-tokoh awal, dan tokoh-tokoh kontenporer Arab saat ini yang dianggap paling sesuai dengan pandangan mereka. Corak keberagamaannya adalah puritan fundamentalis, yakni membawa upaya pemahaman keberagamaan yang dianggap murni dan bebas dari apa yang mereka pandang sebagai unsur-unsur bukan Islam seperti tradisi dan budaya lokal. Oleh karena itu, merekapun menampilkan ciri fisik yang mencolok dengan model pakaian ala Timur Tengah, bergamis panjang, celana jauh di atas mata kaki, dan memelihara jenggot. Pelaksanaan ibaah-ibadah dilakukan secara rigid, dan sesuai dengan teks-teks keagamaan yang diakui oleh mereka. Pemahaman keagamaan yang cenderung kaku, ini mengakibatkan kelompok ini tampil dan hubungan dengan kelompok-kelompok umat Islam lainnya bersifat eksklusif. Oleh karena itu, relasi sosial kelompok Ittibaus Sunnah ini dengan kelompok-kelompok

xliv

lainnya tidak berjalan dengan aktif. Kelompok ini cenderung menganggap pandangan dan aktivitas kelompok lainnya yang berbeda dengan pandangan keagamaannya sebagai sesuatu yang salah, sesat, atau bida’ah. Namun kelompok ini menjaga diri dan menahan diri untuk tidak melabeli kafir dan mencap kafir pada kelompok Islam lainnya, kecuali kelompok yang sudah nyata-nyata oleh otoritas ulama, seperti MIUI, difatwa sesat seperti Ahmadiyah dan gafatar. Namun terhadap kelompok Syiah, salafy Ittibaus Sunnah ini telah menganggapnya sebagai Kafir walaupun ulama Arab maupun MUI Pusat tidak mengeluarkan fatwa kesesatan Syiah. Relasi negatif lebih nyata terhadap kelompok-kelompok yang dilabeli Ikhwani dan sururiyah oleh kelompok Ittibaus Sunnah ini. Kelompok yang dilebeli ikhwani adalah kelompok yang berorientasi atau berafiliasi dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, baik yang radikal maupun yang tidak radikal, terlebih yang menunjukkan sikap melawan pemerintahan yang sah. Adapun sururiyah adalah kelompok salafy yang tidak secara langsung berafiliasi dengan gerakan ikhwanul muslimin tetapi mendukung dan tidak menolak pertemanan dengan kelompok ikhwani. Kelompok suririyah ini terutama adalah kelompok yang mendapatkan pendanaan dari lembaga donor al-Thurots dari Timur Tengah. Perpecahan di tubuh Salafy juga mendorong salafy Ittibaus Sunnah mempertegas posisi ke-salafi-annya dengan mengikuti trend kelompok salafy yang menganggap dirinya puritan, yaitu menta’dzir atau mengeluarkan kelompok salafy yang dianggap bertentangan dengan drinya sebagai kelompok yang sudah tidak lagi termasuk salafy. Perbedaan pandangan dengan kelompok salafy “puritan” ini sudah dianggap sebuah kesesatan yang berakhir dengan penta’dziran. Perilaku ini menunjukkan bahwa salafy ittibaus sunnah tidak saja bersikap ekslusif tetapi juga aktif mengekslusi kelompok atau tokoh yang dipandang berbeda atau bertentangan dengan kelompoknya. Relasi antara Ittibaus Sunnah dengan pemerintah cenderung negatif, hal ini ditunjukkan dengan tidak kooperatifnya pesantren Itibaus Sunnah untuk mengikuti aturan pendirian pesantren dari pemerintah atau Kemenag, yaitu melengkapi persyaratan ijin operasional. Pesantren salafy ini tidak berorientasi pada standar kelulusan formal untuk

xlv

melanjutkan ke pendidikan formal lainnya. Demikian juga, pesanren ini membangun kemandirian dalam pengelolaan dan pendanaan, sehingga ketergantungan terhadap pihak lain termasuk pemerintah sangat kecil, bahkan tidak ada. Itu sebabnya, pesantren ini tidak menganggap penting mengurus ijin operasional, terutama persyaratan untuk membuat pernyataan kesetiaan terhadap NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Namun di sisi lain, peraturan yang terkait langsung dengan kepentingan mereka, termasuk individual jamaah salafy seperti dokumen kependudukan (KTP, KK), mereka mematuhinya karena dokumen itu berkaitan langsung dengan kepentingan mereka. Walaupun demikian, pandangan salafy Ittibaus Sunnah terhadap pemerintah cenderung positif. Pada pandangan salafy, ketaatan pada pemerintahan yang sah merupakan salah satu rukun sunnah yang wajib bagi umat Islam. Itu sebabnya, mereka tidak melakukan tindakan melawan pemerintah, dan bahkan mengecam kelompok-kelompok yang berani melawan pemerintah, baik melawan melalui tindakan radikalisme dan terorisme maupun melalui pernyataan-pernyataan di ruang umum.

5.2. Rekomendasi a. Pengembangan wacana keberagamaan yang moderat dan toleran yang sesuai dengan nilai-nilai umum bangsa Indonesia b. Disengagement (mengubah kecenderungan radikal ke non-violence) melalui desiminasi dari lingkungan mereka sendiri terkait wawasan kebangsaan, pandangan keagamaan toleran. c. Pandangan kelompok salafy yang positif terhadap pemerintah dapat dikembangkan untuk membangun kepercayaan, ketaatan, dan kepatuhan masyarakat terhadap pemerintah yang sah. d. Pengawasan dan pencegahan infiltrasi ideologi yang bertentangan dengan ideologi negara e. Pengawasan terhadap dana asing: sumber, tujuan, dan penggunaannya

xlvi

f. Keterbukaan struktur sosial dengan mendorong partisipasi dan kerjasama sosial dan politik di lingkup lokal semua elemen masyarakat, termasuk kelompok-kelompok keagamaan g. Pengembangan dan desiminasi materi pembelajaran wawasan kebangsaan secara massif melalui lembaga-lembaga pendidikan formal maupun in/non-formal di masyarakat h. Ketegasan pemerintah terhadap gerakan-gerakan yang menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan ideologi negara

xlvii

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Sufyan Raji. 2007. Mengenal Aliran-aliran Dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta : Penerbit Pustaka Al Riyadi Al-Hajiry, Syaikh Muhammad bin Ramzan. 2006. “Sikap Ahlu Sunnah wal Jamaah tentang Bai’at dan Imamah”, dalam majalah An-Nashihah vo.11 Th.1/1427H/2006M Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Mengenal Kaidah Da’wah Salah, dalam Majalah As- Syari’ah, No 19/11/1426 H/2005 As- Sewed, Muhamad Umar. 2006. Kumpulan Riisalah Ilmiyah Da’wah Salafiyah. Jakarta : Media Ahlus Sunah Azca, Muhammad Najib. 2013. “Yang Muda, Yang Radikal: Refleksi Sosiologis Terhadap Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim di Indonesia Pasca Orde Baru”. Jurnal Maarif Vol. 8, No. 1 — Juli 2013, hlm. 14-44 BPS Kabupaten Klaten. 2013. Kabupaten Klaten dalam Angka Tahun 2013. Klaten: BPS Kabupaten Klaten BPS Kabupaten Klaten. 2015. Kabupaten Klaten dalam Angka Tahun 2013. Klaten: BPS Kabupaten Klaten Hamid, Abu. Dkk. 1995. Serial Al-islam dan Kemuhammadiyahan: Mengenal Ajaran Beberapa Aliran Islam di Indonesia. Surakarta: Pusat Studi Islam dan Kemuhammadiyahan UMS. Hisyam, Muhammad. 2010. Anatomi Konflik Dakwah Salafi di Indonesia. Jurnal HARMONI. Edisi Januari - Maret 2010. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Ikhsan, Muhammad. 2006. “Gerakan Salafi Modern di Indonesia, sebuah upaya membedah Akar pertumbuhan dan Ide-ide Substansialnya”, Makalah Matakualiah gerakan Islam Modern. Jakarta: Pascasarjana UI Joebagio, Hermanu. 2010. “Biografi Politik Pakubuwono X. Studi Gerakan Islam dan Kebangsaan di Keraton Surakarta”. Desertasi Program Pasca sarjana UIN Yogyakarta 2010, tidak diterbitkan. Norhaidi. 2005. Laskar Jihad, Islam, Militansi dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca Orde Baru . Jakarta: LP3ES. Pirre, Andrew J., 2000. Alternative Dispute Resolution; Skill, Science And Law. Canadian- Toronto, Oantario. Sigh, Rajendra. 2001. Social Movement, Old And News; A Post Modernis Critique. London EC2A 4PU, Sage Publication Ltd 6 Bonhill Street.

xlviii

Situmorang, Abdul Wahib. 2007. Gerakan Sosial. Studi Kasus Beberapa Perlawanan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Tarrow, Sydney. 1998. Power In Movement Social Movement And Contentious Politics. Cambridge: Cambridge University Press. Turmudzi, Endang dan Riza Sihbudi (Ed.), 2005, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta : LIPI Press Unesco. 1994. Tolerance: the threshold of peace A teaching / learning guide for education for peace, human rights and democracy (Preliminary version). France: Unesco. Dalam http://unesdoc.unesco.org/images/0009/000981/098178e.pdf diunduh 10 Maret 2016. Wahib, Ahmad Bunyan. tt. Gerakan Dakwah Salafi Pasca Laskar Jihad. Universitas Islam Negeri Yogyakarta Yunanto S. dkk. 2003. Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, Jakarta: The Ridep Insitute

xlix