LAPORAN PENELITIAN RADIKALISME KELOMPOK-KELOMPOK KEAGAMAAN DALAM KONSTELASI KEBANGSAAN (Studi Kasus Jamaah Salafy Ittiba’us Sunah Klaten) Oleh : Joko Tri Haryanto NIP. 197506152006041001 KEMENTERIAN AGAMA RI BALAI LITBANG AGAMA SEMARANG TAHUN 2016 i DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN -- 1 1.1. Latar Belakang -- 1 1.2. Rumusan Permasalahan -- 2 1.3. Tujuan dan Manfaat -- 2 1.4. Kerangka Teoretik -- 2 1.5. Metode Penelitian -- 6 1.6. Sistematika Penulisan Laporan -- 7 BAB II KONTEKS SOSIAL KEAGAMAAN DI LINGKUNGAN ITTIBAUS SUNNAH KLATEN -- 9 2.1. Sosial Keagamaan Masyarakat Klaten -- 9 2.2. Konteks Sosial Keagamaan di Lingkung Ittibaus Sunnah Klaten -- 10 BAB III JAMAAH SALAFY ITTIBA’US SUNNAH DI KLATEN -- 12 3.1. Mengenal Jamaah Salafy Ittiba’us Sunnah di Klaten -- 12 3.2. Mengenal Ajaran Salafy Ittibaus Sunnah -- 17 BAB IV RELASI SOSIAL SALAFY ITTIBA’US SUNNAH DI KLATEN - 23 4.1. Perpecahan dalam Tubuh Salafy -- 23 4.2. Jejaring Sosial kelompok Salafy Ittibaus Sunnah -- 30 4.3. Relasi Sosial dan Pandangan terhadap Organisasi Keagamaan -- 35 4.4. Relasi dengan Pemerintah dan Persoalan Kebangsaan -- 38 BAB V PENUTUP -- 42 5.1. Simpulan -- 42 5.2. Rekomendasi -- 44 ii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demokrasi bagi bangsa Indonesia laksana pisau bermata ganda. Di satu sisi ia memberi kebebasan dan kemerdekaan terhadap warga negara dalam mengungkapkan ekspresi hak dan kepentingannya. Di sisi lain, kebebasan dan kemedekaan tersebut dipergunakan dalam bentuk negatif, yakni perilaku radikalisme, termasuk di dalamnya pandangan dan sikap memicu kekerasan kelompok lainnya di masyarakat, maupun pandangan dan sikap yang bermuatan perlawanan terhadap negara. Kebebasan berorganisasi berkelindan dengan kebebasan berkeyakinan dan beragama memberi peluang terhadap kelompok-kelompok keagamaan yang memiliki kecenderungan radikal dapat berlindung di bawah payung konsitusi. Mereka tetap dapat beraktivitas bahkan di ruang-ruang publik membangun ideologi radikalisme bahkan sikap permusuhan dengan sistem negara yang berlaku secara terang-terangan. Sementara negara tidak berdaya mencegah paham radikalisme tersebut tersemai. Kelompok-kelompok keagamaan, khususnya dalam agama Islam di Indonesia cukup banyak dan menimbulkan polarisasi sosial di masyarakat akibat perbedaan- perbedaan pandangan dan sikap keberagamaannya. Perkembangan kelompok-kelompok keagamaan yang baru dengan mengusung paham keagamaan yang relatif baru bermunculan setelah pergantian rezim orde baru ke era reformasi. Kelompok-kelompok tersebut di antaranya telah mulai ada pada masa orde baru tetapi angin segar refomasi mendorong pertumbuhan yang subur kelompok-kelompok keagamaan tersebut. Kelompok-kelompok ini dengan cepat berkembang dan menguat, seiring pula dengan jejaring internasional yang mendukung gerakan keagamaan ini di Indonesia. Salah satu kelompok keagamaan yang berjejaring dengan kelompok sejenis di luar negara ini adalah jamaah salafy. Kelompok salafy ini telah berkembang hampir di seluruh iii wilayah Indonesia dengan mengusung paham keagamaan/keislaman yang bercorak revivalis dan mengacu pada paham keagamaan yang ada di Timur Tengah, yakni Arab Saudi dan Yaman. Sementara itu, beberapa kelompok keagamaan yang berorientasi ke Timur Tengah memiliki kecenderungan bercorak radikal. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan kajian terhadap kelompok salafy ini kaitannya dengan radikalisme dan konstelasi kebangsaan. Ittiba’us Sunnah yang berada di Kabupaten Klaten termasuk salah satu kelompok salafy. Jamaah Salafy Ittiba’us Sunnah ini hadir pasca peristwa gempa tahun 2006 lalu di Klaten yang dalam sejarahnya merupakan wilayah “merah” di mana pada masa revolusi banyak wilayah menjadi basis bagi kelompok komunis dan abangan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap gejala radikalisme dari gerakan Salafy Ittiba’us Sunnah dan pandangan jamaah salafi ittibaus sunnah tersebut dalam konstelasi kebangsaan. 1.2. Rumusan Permasalahan 1. Bagaimana identitas kelompok Salafy di Ittibaus Sunnah Klaten Jawa Tengah? 2. Bagaimana relasi sosial salafy Ittibaus Sunnah dengan kelompok lain ? 3. Bagaimana pandangan Salafy Ittibaus Sunnah terhadap pemerintah dan persoalan kebangsaan? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui identitas kelompok Salafy di Ittibaus Sunnah Klaten, relasi kelompok ini dengan kelompok keagamaan lainnya, dam pandangannya terhadap pemerintah dan persoalan kebangsaan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bagi pemerintah terutama Kementerian Agama terkait dengan pembinaan kelompok-kelompok keagamaan, upaya deradikalisasi pemikiran dan perilaku keagamaan, dan membangun partisipasi kelompok-kelompok keagamaan dalam kehidupan sosial politik berdasarkan nilai-nilai kebangsaan. 1.4. Kerangka Teoretik Gerakan sosial (social movement) dipahami sebagai gerakan sekelompok masyarakat untuk menolak atau menerima nilai yang baru yang dilakukan secara iv terorganisir. Menurut Situmorang (2007: 4), gerakan sosial (social movement) adalah sebuah upaya sadar, kolektif, dan terorganisasi untuk mendorong atau menolak perubahan dalam tatanan sosial (social order). Penjelasan ini mengindikasikan bahwa kriteria utama dari gerakan sosial adalah gerakan yang bertujuan untuk mendorong terjadinya perubahan fundamental dalam masyarakat. Antony Gidens (dalam Situmorang, 2007: 4) melihat bahwa gerakan sosial merupakan gerakan untuk mencapai suatu kepentingan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga–lembaga yang mapan. Pada dasarnya gerakan keagamaan merupakan gerakan sosial yang berbasis pada agama tertentu (faith based social movement). Sebagai bagian dari gerakan sosial, gerakan keagamaan dapat dianalisis menggunakan teori gerakan sosial pada umumnya. Dengan menggunakan teori gerakan sosial, gerakan keagamaan dianggap sebagai fakta sosial (social fact), bukan kumpulan doktrin keagamaan saja, yang dilihat sebagai gerakan pemikiran an-sich dengan penekankan pada persoalan pemikiran teologis atau pemikiran religio-politik pendirinnya, profil kelembagaannya, dan paling jauh berkaitan dengan doktrin gerakannya saja. Lebih dari itu, gerakan sosial keagamaan harus dilihat sebagai gerakan yang dinamis, yang responsif terhadap tantangan di luar dirinya, yang membangun jejaring dan melakukan perubahan sosial. Beberapa teori sosial yang dapat digunakan untuk membaca gerakan sosial keagamaan antara lain: (1) teori Political Opportunity Structural (POS); (2) teori Resource Mobilisation Theory (RMT); (3) dan teori Framming. (Situmorang, 2007: 4). Dalam teori Political Opportunity Structural (POS), gerakan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam struktur politik yang dilihat sebagai kesempatan. Teori POS selalu berhubungan dengan sumber daya yang bersifat eksternal. Sumber daya ini dipergunakan oleh pelaku perubahan melalui terbukanya akses politik dan jejaring kepada kelembagaan politik dan perpecahan di tubuh elit politik untuk melakukan perubahan (Tarrow, 1998: 20). Artinya, teori POS ini digunakan untuk melacak sejarah kemunculan, perkembangan, dan kondisi kekinian gerakan Salafy di Klaten. v Adapun perkembangan, bentuk jejaring, dan gerakan Salafy di Klaten ini digunakan teori Resource Mobilisation Theory (RMT) untuk menjelaskannya. Gerakan sosial keagamaan dilihat sebagai manifestasi rasional dan terorganisasi dari tindakan kolektif. Artinya, gerakan sosial keagamaan akan bisa berkembang apabila mampu mengoptimalkan berbagai sumberdaya yang dimilikinya, seperti sumberdaya material, legitimasi, identitas, dan institusional (Tarrow, 1998: 15; Sigh, 2001: 102; Situmorang (2007). Adapun pola komunikasi salafy dapat dilihat melalui gerakan sosial keagamaan lainnya dan masyarakat dengan menggunakan teori framing. Proses framing adalah upaya strategis secara sadar oleh kelompok tertentu untuk membentuk pemahaman bersama (common term) tentang dunia dan diri mereka sendiri, yang mengabsahkan dan mendorong terjadinya aksi kolektif. Maka, framing terkait dengan tujuan perebutan makna di masyarakat. Dalam teori framing ini diharapkan orang mampu memformulasikan sekumpulan konsep untuk berfikir dengan menyediakan skema intepretasi terhadap masalah dan mencari solusinya. Untuk mencapai sasaran tersebut, aktor gerakan, dalam hal ini ISIS, membutuhkan alat dalam menjalankan framing, yaitu media, baik media cetak, elektronik, maupun ruang publik lainnya yang bisa menjadikan orang terlibat dalam gerakan tersebut (Pierre, 2000: 170). Adapun radikalisme sering diasosiasikannya dengan tindak kekerasan, bahkan terorisme. Hal ini memang tak lepas dari meningkatnya aksi kekerasan dan terorisme yang dilakukan atas nama agama atau keleompok agama tertentu. Namun secara konseptual, menurut Taher (dalam Azca, 2013: 24), radikalisme tidak identik dengan terorisme maupun kekerasan. Terminus “radikal” yang membentuk istilah “radikalisme” berasal dari bahasa Latin, radix yang berarti “akar”. Dengan demikian, “berpikir secara radikal” sama artinya dengan berpikir hingga ke akar-akarnya, hal tersebutlah yang kemudian besar kemungkinan bakal menimbulkan sikap-sikap anti kemapanan. Radikalisme merupakan sebuah konsep yang bersifat kontekstual dan posisional, dalam hal ini kehadirannya merupakan antitesis dari ortodoks atau arus utama (mainstream), baik bersifat sosial, sekuler, saintifik, maupun keagamaan. Radikalisme lebih vi memuat posisi dan ideologi yang mempersoalkan atau menggugat sesuatu (atau segala sesuatu) yang dianggap mapan, diterima, atau menjadi pandangan umum. Radikalisme bisa dipahami pula sebagai gejala sosial dan politik yang lahir dalam kondisi
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages49 Page
-
File Size-