PEMIKIRAN DAN PERAN POLITIK HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH ()

Ujian Promosi

DISERTASI

Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Pemikiran Politik

Oleh: Ahmad Khoirul Fata NIM. 31161200000066

Pembimbing: Prof. Dr. H.M. Sirajuddin Syamsuddin, MA Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah

PROGRAM DOKTOR PEMIKIRAN POLITIK ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441/2020 KATA PENGANTAR

Disertasi ini merupakan kajian bidang pemikiran politik Islam yang berusaha memahami konsep, teori, hingga paradigma Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) tentang politik dan kebangsaan . Kajian ini juga membahas tindakan politik Hamka sebagai aktor politik. Karena itu termasuk studi pemikiran politik Islam, di mana dalam hal ini pemikiran dan peran politik Hamka menjadi objek bahan yang digunakan dalam laboratorium pemikiran politik Islam. Tujuannya adalah menguji dan mengembangkan teori-teori paradigma politik Islam yang telah dikonstruk oleh tokoh pemikir muslim Indonesia. Perspektif itulah yang diharapkan dan telah diupayakan dengan maksimal oleh peneliti, meski dengan segala keterbatasan yang ada. Memang tidak ada yang sempurna tetapi bukan berarti membiarkan sifat ketelitian, ketepatan, dan ilmiah menjadi kabur. Penulis bersukur kepada Allah Swt., Penguasa alam semesta, karena hanya dengan kuasa, bantuan dan izin-Nya penulis hidup dan dapat menempuh studi ini. Penulis sangat berterima kasih kepada kedua guru dan sekaligus promotor penulis; Prof. M. , MA. Ph.D. dan Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah atas kesabarannya membimbing dan mengarahkan penulis, hingga tugas akhir akademik ini dapat diajukan dan sampai pada tahap ujian pendahuluan. Penulis juga berterima kasih kepada para dosen yang telah menguji, memberi masukan dan arahan secara kritis disertasi ini dalam proses ujian-ujian sejak seminar proposal dan WIP 1&2, serta Ujian Pendahuluan. Penelitian ini juga memiliki keterkaitan dengan proses pembelajaran di dalam kelas dan di luar kelas selama studi di SPs. Karena itu, penulis berterima kasih kepada para pimpinan, dosen, dan staf akademik selama kuliah di SPs Syarif Hidayatullah Jakarta: Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku direktur SPs saat ini, dan para direktur-direktur sebelumnya: Prof. Dr. Jamhari, MA. dan Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Didin Saefuddin, MA., Dr. Hamka Hasan, Lc.MA., Dr. Asmawi, Dr. Arif dan seluruh staf SPs yang telah dengan sepenuh hati membantu mahasiswa SPs. Semoga amal shalih mereka dicatat sebagai kebaikan oleh Allah Swt. Penulis juga berterimakasih kepada rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo Dr. H. Lahaji, beserta wakil-wakil rektor dan dekan Fakultas Ushuluddin & Dakwah Dr. Mashadi, para wakil dekan, dan Ketua Jurusan Sosiologi Agama, yang telah mengizinkan penulis untuk tugas belajar di Jakarta. Juga kepada pengelola perpustakaan riset SPs, perpustakaan pusat UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Nasional, perpustakaan DDII Kramat Raya, dan perpustakaan PP Raya. Terimakasih juga untuk keluarga penulis: kedua orang tua, istri dan anak- anak, mertua, dan saudara-saudara penulis semua. Ucapan terima kasih juga layak diberikan untuk semua teman angkatan 2016, dan teman-teman di kos Gg Buni dan Walridho, khususnya ajengan Pepen Irpan yang banyak memberi masukan- masukan dan tuanku Rifki yang telah menemani perjalanan ke Maninjau. juga teruntuk Bekti Khudhori yang membantu mencarikan referensi, mas Wijayanto, Ust. Sugeng, dan Mufkirul Iqdam yang telah membantu memperbaiki dan

ii menerjemahkan abstrak, teman-teman di SP JICT yang banyak membantu perjalanan ke Sumbar dan Sumut sembari bedah buku. Semoga kebaikan kalian semua dibalas dengan yang lebih baik oleh Allah Swt. Meski banyak pihak yang memberikan kontribusi bagi penulisan disertasi ini, namun semua hal di dalamnya tetap menjadi tanggung jawab penulis. Maka masukan dan kritik dari pembaca akan sangat membantu dalam perbaikan disertasi ini selanjutnya.

Billahi Hidayah wa tawfiq, Ciputat, Juli 2020

Penulis

iii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin digunakan dalam karya ilmiah ini merujuk pada modal berlaku pada Pedoman SPs UIN Syarif Hidayatullah. A. Konsonan q : ق Z : ز A : ا k : ك S : ش B : ب l : ل Sh : ش T : ت m : م {s : ص Th : ث n : ن {d : ض J : ج h : ه {t : ط {h : ح w : و }z : ظ Kh : خ ’ : ء ‘ : ع D : د y : ي Gh : غ Dh : ذ F : ف R : ر

B. Vokal 1. Vokal Tunggal Tanda Nama Huruf Latin

2. Vokal Rangkap Tanda Nama Gabungan Nama Huruf Fath}ah dan ya a dan i ai ى Fath}ah dan a dan w aw waw و

C. Maddah Tanda Nama Huruf Nama Latin Fath}ah dan a> a dan garis alif di atas تا Kasrah dan ya i> i dan garis di atas ي ى D}amma dan u> u dan garis waw di atas و

xi

D. Ta Marbut}ah Ta mabut}ah ditulis dengan huruf ‚h‛, baik dirangkai dengan kata sesudahnya, (مدرضة) atau madrasah (مرأة) maupun tidak, seperti mar’ah Contoh: Madi>nah al-Munawwarah المدينة المنورة

E. Shaddah Shaddah / tashdi>d dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf sama dengan huruf ber- shaddah. Contoh: Nazzala نسل

F. Kata Sandang -dilambangkan berdasarkan huruf mengikutinya, jika huruf al ‛ال‚ Kata sandang shamsiyah, maka ditulis sesuai haruf tersebut, sedangkan ‚al‛ jika diikuti huruf qamaiyah. Kemudian, ‚‛ ditulis lengkap. Contoh: al-Shams الشمص al-Qamar القمر

G. Pengecualian Penulisan transliterasi tidak digunakan pada kosa kata Arab telah menjadi baku dan masuk pada kamus bahasa Indonesia, seperti lafaz ‚Allah‛, kecuali berkaitan dengan konteks tertentu mengharuskan untuk menggunakan transliterasi pada isitilah tersebut.

xii

ABSTRACT AHMAD KHOIRUL FATA Hamka's Political Thought and Role This study examines the political side of Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), with a focus on studies of political thought, the idea of nationality and Indonesian-ness, as well as the political activities that were played during the era of parliamentary democracy, the Old Order, and the . This theme was taken bearing in mind that all this time the study of HAMKA is still around him as an or writer. While studies that place him as a thinker and political actor are still relatively rare. This is a library research with a historical approach, and uses rational choice theory and elective affinity as an analysis tool. Primary data were collected from Hamka's works that are directly related to political themes. While secondary data is obtained from various works that discussed the politics of Hamka or about Islamic politics in Indonesia. Data is collected, sorted and selected, classified based on predetermined themes, then analyzed holistically to obtain conclusions as intended by Hamka. Hamka's political thoughts and actions are built on the paradigm of "the interrelation between religion and politics and the freedom to determine the political format in accordance with the demands of the times." With this paradigm Hamka conducted an Islam-democracy synthesis through the concept of "Democracy of Taqwa"; to expressly reject the ideas of secularism and communism; and generally accepted the concepts of human rights and nationalism, albeit with various notes. Regarding nationalism, Hamka required it to be limited by human values so that the national spirit does not lead to colonialism and exploitation of other nations. In the context of Indonesianism, Hamka emphasized the importance of religion (Islam) for the building of Indonesian nationality. In the practical political practices of the parliamentary democracy era and the Old Order, Hamka's important position as a thinker and political actor was seen in his role in fighting for Islam as the basis of the state in the Constituent Assembly, as well as its opposition to Guided Democracy. As for Communism, Hamka has a greater role as a thinker and ideologist. The role as an ideologist is very evident in his work in the MASBI/ Majelis Seni Budaya Islam which encourages the HSBI/ Himpunan Seni Budaya Islam in promoting arts in accordance with Islamic values in order to stem the "red art" promoted by communists. In addition, Hamka also uses mosques and mass media as a practical non-political struggle tool. The struggle through non-political channels continued in the New Order era by using the MUI as its vehicle. It was through this forum that Hamka took the path of "politics through da'wah". Under the control of Hamka MUI became a partner as well as a pressure for the government. Hamka's struggle through MUI was intended for the purpose of making Islam an important factor for Indonesia's development.

Keywords: Hamka, Secularism, Communism, Human Rights, Taqwa Democracy, Masjumi, Constituents, , Indonesian Nationality, Da'wah Politics.

xiii

امخلإصح احيد خٌس امفذى امفكس وامدوز امصٌاسي امحاج عتد امينك كسًً أىس هللا دذَاول هرِ امدزاشح امخاٍث امصٌاسي منحاج عتد امينك كسًً أىس هللا (HAMKA) ، ىع امذسكٌز عنى دزاشاخ حىل امفكس امصٌاسي والأفكاز امىطٌَح وإٍدوٌٍصٌذها، وعينٌذه امصٌاسي فٍ عصر امدًيقساطٌح امتسمياٌٍح وامَظاو امقدًً وامَظاو امخدًد. و هرا اميىضىع ىَاشث فٍ هرِ امفذسج لأٍه ىعسوف ةامَصتح إمى أٍه ىُ عنياء و شعساء الأٍدوٌٍصٌح، و مً ً ّطنع فٍ فكسِ امصٌاسي إلإ ٍادزا . هرا امتحث ىُ امقساءج اميكذتٌح ةذقسًث شٌسده، و ٍظسًذه فٍ الؤخذٌاز امعقنٍ و أمفح اخذٌازًح منذحنٌه. امتٌاٍاخ الؤةذدائٌح دَال ىُ أعيامه امعنيٌح عُ امصٌاشح و امىطٌَح. فقد دكىٌ ىُ كذته و ىقالإده و ىحاضراده و ىَاكشاده فٍ KONSTITUANTE. و ةامذامٍ فئٌ امتٌاٍاخ امثاٍىًح دَال ىُ الأعيامٌح امعنيٌح عُ شٌاشذه, و عُ حزب Masyumi، و عُ ىخنض امعنياء الأٍدوٌٍسي (MUI) , و عُ شٌاشح الؤشلإىٌح عيىىا . دخيع امتٌاٍاخ و دصطفى و دق ّصً ةامَصتح إمى اميىضىع اميحدد، ثً دح ّنه ةطسًقح امشيىمٌح منحصىل عنى امهدف اميطنىب. الأفكاز والأفعال امصٌاشٌح Hamka ىتٍَ عنى ٍيىذج "امذساةط ةٌُ امدًُ وامصٌاشحوحسًح دحدًد امشكه امصٌاسي وفق اميطامث حقتح ". ةهرا امَيىذج كاو Hamka ةذىمٌف الؤشلإىٍ امدًيقساطٌح ىُ خلإل ىفهىو "دًيقساطٌح امذقىي". فٌسفض ةامطتع أشاس امعنياٌٍح و امشٌىعٌح، و ًىفق أشاس امحقىق الؤٍصاٌٍح و امىطٌَح ومى كاٍر ىع اميلإحظاخ. و فٍ امىطٌَح ًسي أٍها ىحدودج ةالؤٍصاٌٍح لأٌ لإ دصه إمى الؤحذلإل ةاالأوطاٌ الأخسي. و ًسي ةأهيٌح الؤشلإو متَاء شؤوٌ أٍدوٌٍصٌا. فٌسي دصىًح امدزحح فٍ أٍدوٌٍصٌا دصذأٍف ىُ دًُ الؤشلإو امري ًذتعه كثٌس ىُ ىخذيع أٍدوٌٍصٌا،و ًذىمد ىَها ح ّصٌح " حَصٌح حاوًح ". و فٍ امخاٍث الآخس دعسف" حَصٌح حاوًح" ب "أٍدوٌٍصا " إمى ًىىَا هرا. و دطتٌق امصٌاشٌح امعينٌح فٍ امدًيقساطٌح امتسمياٌٍح وامَظاو امقدًً، دظهس عينٌح Hamka فٍ ةرل حهدِ لإدخاذ الؤشلإو دشذىزا لأٍدوٌٍصٌا، و زغتذه عُ امدًيقساطٌح امسئاشٌح Demokrasi) (Terpimpin. و زغتذه عُ امشٌىعٌح ًنعث Hamka دو زا أكتس كيفكس وعقٌد. و هرا امدوز كأًدًىمىحٍ واضح منغاًح فٍ عينه فٍ ىخنض امفَىٌ مثقافح اإمصاميٌح (MASBI) امذٍ دشخع حيعٌح امفَىٌ امثقافٌح اإمصاميٌح (HSB)فٍ دسوًد امفُ اميذيٌز ةدًُ الإشلإو دفاعا عُ "امفُ الأحيس" امذٍ ز ّوحذه امشٌىعٌح. وىع ذمك Hamka ًصذخدو أًضا اميصخد و امذىاصه الإحذياعٍ مترل امخهد ملؤشلإو فٍ غٌس امصٌاشح. و حهدِ فٍ غٌس امصٌاشح ًص ّر فٍ امَظاو امحدًث ةادخاذ ىخنض امعنياء الأٍدوٌٍصٌٌُ (MUI) وشٌنح مذصٌس ىعه . فيعها ًصٌس عنى " امصٌاشح ىُ خلإل امدعىج ". و دحر زعاًذه أصتح ىخنض امعنياء الأٍدوٌٍصٌٌُ شرًكا وكىج فٍ ضغط منحكىىح. ىكافحح Hamkaىُ خلإل MUI ًهدف إمى حعه الؤشلإو كعىاىه ىهيح مذَيٌح إٍدوٌٍصٌا.

امكنياخ امسئٌصٌح: امحاج عتد امينك كسًً أىس هللا، امعنياٌٍح ، امشٌىعٌح، امحقىق الؤٍصاٌٍح، دًيقساطٌح امذقىي, Masyumi, Konstituante, خيصح أشض (Pancasila) ،وطٌَح الأٍدوٌٍصٌح، شٌاشح امدعىج

xiv

ABSTRAK AHMAD KHOIRUL FATA Pemikiran dan Peran Politik Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) Penelitian ini mengkaji sisi politik Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), dengan fokus kajian pada pemikiran politik, gagasan kebangsaan dan keindonesiaannya, serta aktivitas politik yang diperankannya selama era demokrasi parlementer, Orde Lama, dan Orde Baru. Tema ini diambil mengingat selama ini kajian tentang HAMKA masih di seputar dirinya sebagai ulama atau sastrawan. Sementara kajian yang menempatkannya sebagai pemikir dan aktor politik masih relatif langka. Penelitian ini merupakan library research dengan pendekatan historis, serta menggunakan teori pilihan rasional (rational choice theory) dan elective affinity sebagai alat analisisnya. Data primer dikumpulkan dari karya-karya Hamka yang terkait langsung dengan tema politik. Sementara data sekunder diperolah dari berbagai karya yang membahas tentang politik Hamka, Masyumi, MUI, atau tentang politik Islam secara umum. Data-data dikumpulkan, dipilah dan dipilih, diklasifikasikan berdasarkan tema-tema yang telah ditentukan, kemudian dianalisis secara holistik agar diperoleh kesimpulan sesuai dengan yang dimaksudkan Hamka. Pemikiran dan tindakan politik Hamka dibangun atas paradigma “kesalingterkaitan agama dengan politik dan keleluasaan menentukan format politik yang sesuai dengan tuntutan zaman.” Dengan paradigma inilah Hamka melakukan sistesis Islam-demokrasi melalui konsep “Demokrasi Takwa.” Paradigma ini juga menempatkan Hamka untuk secara tegas menolak ide sekularisme dan komunisme; dan secara umum menerima konsep HAM dan nasionalisme, meski dengan berbagai catatan. Terhadap nasionalisme, Hamka mengharuskannya dibatasi oleh nilai-nilai kemanusiaan agar semangat kebangsaan tidak membawa kepada penjajahan dan eksploitasi terhadap bangsa lain. Dalam konteks keindonesiaan, Hamka menekankan pentingnya agama (Islam) bagi bangunan kebangsaan Indonesia. Dalam praktik politik praktis era demokrasi parlementer dan Orde Lama, posisi penting Hamka sebagai pemikir dan aktor politik terlihat pada perannya dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara di Konstituante, serta oposisinya terhadap Demokrasi Terpimpin. Sementara terhadap Komunisme, Hamka lebih berperan sebagai pemikir dan ideolog yang tampak pada kiprahnya di Majelis Seni Budaya Islam (MASBI) dalam mempromosikan kesenian yang sesuai dengan nilai- nilai Islam demi membendung “seni merah”. Selain itu Hamka juga menggunakan masjid dan media massa sebagai alat perjuangan non-politik praktisnya. Perjuangan melalui jalur non-politik praktis terus dilakukannya di era Orde Baru dengan menjadikan MUI sebagai kendaraannya. Melalui wadah inilah Hamka menempuh jalan “berpolitik lewat dakwah”. Di bawah kendali Hamka MUI menjadi mitra sekaligus kekuatan penekan bagi pemerintah. Perjuangan Hamka melalui MUI dimaksudkan untuk tujuan menjadikan Islam sebagai faktor penting bagi pembangunan Indonesia.

Kata Kunci: Hamka, Sekularisme, Komunisme, HAM, Demokrasi Takwa, Masyumi, Konstituante, Pancasila, Kebangsaan Indonesia, Politik Dakwah

xv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... ii PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...... iv PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... v PENGESAHAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN...... vii PEDOMAN TRANSLITERASI ...... xi ABSTRAK ...... xiii DAFTAR ISI ...... xvi BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah ...... 3 C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ...... 5 D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ...... 5 E. Metode Penelitian ...... 9 F. Sistematika Pembahasan ...... 12 BAB II DISKURSUS POLITIK DALAM ISLAM ...... 13 A. Transformasi Politik Islam di Era Modern ...... 13 B. Dinamika Politik Islam di Indonesia ...... 23 C. Paradigma Politik Islam Indonesia ...... 28 BAB III RIWAYAT HIDUP HAMKA ...... 38 A. Nasab dan Keluarga Hamka ...... 38 B. Perkembangan Pribadi dan Intelektual Hamka ...... 40 C. Karya-karya Hamka ...... 47 BAB IV PEMIKIRAN POLITIK DAN KEBANGSAAN HAMKA ...... 50 A. Hubungan Agama-Negara Menurut Hamka ...... 51 B. Gagasan Hamka Tentang Kebangsaan Indonesia ...... 58 1. Kebangsaan yang Sesuai Islam Menurut Hamka ...... 58 2. Islam Sebagai Ruh Kebangsaan Indonesia ...... 68 C. Sintesis Islam-Demokrasi Menurut Hamka ...... 78 1. Manusia Sebagai Khalifah Allah di Bumi ...... 81 2. Musyawarah Sebagai Pondasi Hidup Bermasyarakat ...... 87 3. Takwa Sebagai Landasan Moral Masyarakat ...... 90 D. Respons Hamka Terhadap Konsep Politik Barat Modern...... 94 1. Respons Terhadap Sekularisme ...... 94 2. Respons Terhadap Komunisme ...... 116 3. Respons Terhadap HAM Barat ...... 126

xvi

BAB V PERAN HAMKA DI PENTAS POLITIK NASIONAL ...... 133 A. Hamka Dalam Dinamika Politik Masyumi ...... 133 B. Perjuangan Hamka Di Konstituante ...... 145 1. Perdebatan Tentang Islam dan Pancasila di Konstituante ...... 145 2. Sikap Hamka Terhadap Pancasila ...... 157 C. Peran Politik Hamka Di Era Demokrasi Terpimpin ...... 164 1. Respons Hamka Terhadap Demokrasi Terpimpin...... 164 2. Perjuangan Melalui Jalur Non-Politik ...... 176 D. Peran Politik Hamka Di Era Orde Baru ...... 198 BAB VI KESIMPULAN ...... 215 DAFTAR PUSTAKA ...... 218 GLOSARIUM ...... 235 INDEKS ...... 237 Lampiran I SK Pembimbing ...... 253 Lampiran II Ujian Proposal ...... 254 Lampiran III Ujian WIP I ...... 255 Lampiran IV Ujian Komprehensif ...... 256 Lampiran V Ujian WIP II ...... 257 Lampiran VI Ujian Pendahuluan ...... 258 Lampiran VII Daftar Hadir Konsultasi Akademik...... 259 Lampiran VIII Cek Plagiarisme ...... 260

xvii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Panggung sejarah Indonesia pra dan pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 menampilkan sejumlah tokoh dengan karakter dan peran yang berbeda-beda. Salah satu tokoh yang turut memberikan warna dalam sejarah keindonesiaan dan keislaman adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang biasa dikenal sebagai HAMKA. Dari sekian banyak tokoh yang hadir, putra Minangkabau ini memiliki sisi keunikan tersendiri atas perannya yang berbeda- beda dalam panggung sejarah Indonesia. Hamka hadir dalam sejarah Indonesia dengan beragam peran. Syafii Maarif menyebutnya sebagai pengarang, pemikir bebas, sastrawan, sejarawan publik, dan mufasir.1 James R Rush menempatkan Hamka sebagai seorang cendekiawan publik,2 sementara Taufik Abdullah melihatnya sebagai tokoh Kaum Muda generasi kedua ‚yang melakukan usaha ideologisasi Islam – bagaimanakah ajaran agama dijadikan sebagai landasan strategi perjuangan dan paradigma untuk memahami realitas?‛.3 Namun demikian, melihat Hamka bukan sebagai aktor terpenting dalam peran-peran yang dimainkannya tersebut, karena masih banyak tokoh-tokoh lain yang lebih hebat darinya. Sisi kehebatan Hamka dalam sejarah Indonesia, ujar Wahid, terletak pada ‚kemampuannya menjadikan diri berharga dan berarti bagi aneka ragam manusia... Bukan secara manipulatif, karena ia melakukannya melalui sikap yang sangat positif dan konstruktif.‛ Dalam rumusan yang lebih sederhana, Wahid menempatkan Hamka sebagai tokoh penghubung bagi semua pihak.4 Meski dikenal sebagai sosok multitalenta dengan beragam peran, namun sisi Hamka sebagai pemikir dan aktor politik kurang begitu dikenal. Masyarakat lebih mengenalnya sebagai sastrawan dan ulama. Syafii Maarif pun menyebut Hamka hanya menulis sedikit tentang politik.5 Menurut Yusril Ihza Mahendra, hal ini wajar karena memang Hamka lebih menonjolkan dirinya sebagai sastrawan dan

1 Lihat A Syafii Maarif, ‚Hamka: Pribadi Multitalenta, Minangkabau dan Indonesia,‛ Kata Pengantar untuk buku karya James R Rush, Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, penerjemah Zia Anshor (Jakarta: Gramedia, 2017), h. ix-xviii; Lihat juga Ahmad Syafii Maarif, ‚Hamka, Minangkabau, dan Indonesia,‛ dalam Afif Hamka, dkk (ed), Buya Hamka, (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h. 20-27. 2 Lihat James R Rush, Adicerita Hamka..., h. xxxvi, 3 Taufik Abdullah, ‚Buya Hamka: Aktor di Atas Pentas Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia,‛ dalam Nasir Tamara, dkk (ed), Hamka Di Mata Hati Umat, ( Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 1- 4 Lihat Abdurrahman Wahid, ‚Benarkah Buya Hamka Seorang Besar? Sebuah Pengantar,‛ dalam Afif Hamka, dkk (ed), Buya Hamka, (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h. 1-19 5 Ahmad Syafii Maarif, ‚Hamka, Pribadi Multitalenta...‛, h. xiv

1 ulama daripada sebagai politisi, sebagaimana yang pernah dinyatakannya, ‚siasat (politik) bukanlah medanku.‛ Demikian pula, tulisan-tulisan Hamka tentang politik banyak ditulis di era Revolusi Fisik, yang belum sistematis dan masih bersifat umum.6 Walaupun bukan tokoh terpenting dalam panggung politik nasional, namun bukan berarti Hamka tidak memberikan sumbangan penting bagi negara yang masih berusia muda saat itu. Hamka dikenal sebagai penulis produktif. Ide-idenya mengalir lewat tulisan-tulisannya yang tersebar ke seantero negeri dan dikonsumsi oleh masyarakat luas. Tindakan-tindakan politiknya pernah mewarnai praktik politik dan kenegaraan Indonesia. Penahanan Hamka di era Orde Lama menjadi salah bukti pengaruh tindakan politiknya. Kehebohan tentang Fatwa Natal Bersama di era Orde Baru juga bukti lain dari tindakan politiknya. Sementara di aspek pemikiran, gagasan politik Hamka yang menarik adalah upayanya mensintesiskan Islam dengan demokrasi melalui konsep ‚Demokrasi Takwa.‛ 7 Dari segi istilah saja konsep tersebut terasa unik dan berbeda dari upaya serupa yang pernah dilakukan pemikir lain semisal ‚Teistik Demokrasi‛-nya atau ‚Teo-demokrasi‛-nya Mawdudi. 8 Hamka lahir tahun 1908, dan mulai memasuki dunia pergerakan politik- keagamaan di tahun 1924 ketika dia mengikuti kegiatan (SI) dan (JIB) di . Perkembangan intelektual dan aktivitas pergerakannya semakin terasah saat dia pindah ke Medan tahun 1936, di mana dia menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masjarakat dan pimpinan Muhammadiyah di sana. Sementara aktivitas politiknya di tingkat nasional terjadi pada periode 1950-1960-an saat dia tinggal di Jakarta dengan menjadi aktivis Masyumi dan Muhammadiyah. Dengan demikian perkembangan intelektual dan aktivitas pergerakan Hamka terjadi pada periode menjelang dan di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Di periode ini Indonesia sedang mengalami gelombang perubahan besar di berbagai aspek. Di aspek sosial-keagamaan muncul gagasan dan gerakan-gerakan yang berorientasi pembaharuan. Sementara di ranah politik, ide-ide tentang kebangsaan Indonesia dan kemerdekaannya sedang mengalami proses pematangan. Kondisi itu diiringi dengan tumbuhnya banyak gerakan sosial-politik dengan ideologi yang beragam dan saling bersaing. Karena itu Taufik Abdullah menyebutnya sebagai dasawarsa ideologi.9 Dalam periode itu diskursus yang berkembang dan menjadi perhatian masyarakat adalah persoalan hubungan agama (Islam) dengan negara atau nasionalisme Indonesia (tahun 1920-1930-an), lalu berlanjut menjadi keseimbangan antara keislaman dengan keindonesiaan (dekade 1940-1950-an)

6 Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra, (Jakarta: Pro Deleader, tt.) h. 299 7 Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Jakarta: GIP, 2015), h. 31. 8 M Natsir, Capita Selecta 3, (Jakarta: PT Abadi & Panitia Peringatan Refleksi Seabad M Natsir, 2008) h. 126. 9 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 15.

2 yang menghasilkan ideologi pembaharuan, dan wacana seputar harmonisasi antara keislaman dengan keindonesiaan (dekade 1960-an) yang menghasilkan ideologi islamis (dakwah). Pergeseran wacana tersebut terjadi sebagai respons tokoh-tokoh Muslim terhadap perkembangan sosial politik Indonesia yang terjadi saat itu.10 Di ranah politik, gagasan politik Islam yang berkembang pada periode pra- kemerdekaan adalah ‚seruan ke arah kesatuan antara Islam dan negara‛. Sementara di periode pasca revolusi fisik, gagasan politik Islam yang berkembang adalah seputar ‚perjuangan demi Islam sebagai dasar ideologi negara.‛11 Wacana politik Islam yang berkembang di Indonesia pada periode tersebut sesungguhnya merefleksikan wacana yang juga terjadi dalam dunia Islam secara umum. Munawir Sjadzali mengungkapkan, perkembangan pemikiran politik Islam semenjak akhir abad ke 19 di dipengaruhi oleh tiga hal: kemunduran dan kerapuhan dunia Islam karena faktor-faktor internal; rongrongan Barat terhadap kekuasaan politik Islam melalui penjajahan; dan keunggulan Barat di bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.12 Di tengah perubahan besar dunia Islam yang juga menerpa Indonesia inilah Hamka hidup. Sebagai aktivis pergerakan dan wartawan, Hamka selalu memperhatikan perkembangan yang terjadi dan memberikan respons terhadap kondisi yang dihadapinya. Di aspek ini dia selalu berupaya mendialogkan ‚secara intens antara teks yang dihasilkannya dengan peralihan zaman dan perubahan sosial yang sedang terjadi,‛13 dan ‚juga ke cita-cita politik Indonesia merdeka,‛14 demi ‚memberikan landasan ideologis bagi kebangsaan Indonesia.‛15 Selama ini Hamka lebih dikenal sebagai seorang ulama pembaharu dan sastrawan. Padahal banyak gagasan-gagasan sosial-politik Hamka yang menarik untuk dikaji dan dikonseptualisasikan sebagai bahan kajian pemikiran politik Islam Indonesia modern. Di titik inilah letak urgensi penelitian tentang pemikiran dan tindakan politik Hamka. B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut: a. Selama ini posisi Hamka sebagai pemikir politik belum banyak diungkap, padahal selain seorang ulama dia adalah pemikir yang banyak menulis tentang kondisi sosial dan politik yang terjadi di zamannya.

10 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, (Jakarta: Democracy Project, 2012), h. 744-745 11 Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 69-105 12 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 115 13 Taufik Abdullah, ‚Buya Hamka: Aktor di Atas Pentas...,‛ h. 6 14 James R Rush, Adicerita Hamka..., h. xxxiv 15 Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra 3, (Jakarta: Pro Deleader, tt), h. 298-299

3

b. Hamka hidup di era di mana negara-bangsa yang baru tumbuh memerlukan energi untuk menentukan corak dan karakteristiknya. Sumbangan Hamka dalam memberikan warna bagi kenegaraan dan kebangsaan Indonesia menjadi permasalahan yang perlu diungkap. c. Selain itu, sisi Hamka sebagai aktor politik yang berperan aktif dalam dinamika politik kebangsaan juga belum terungkap secara lebih terang. Posisinya sebagai aktor politik hanya sayup-sayup terdengar dan sepintas lalu dibicarakan. d. Kenyataan politik praktis sering menghadirkan permasalahan tertentu yang seringkali membenturkan aktor politik pada dilema antara bersikap pragmatis dan teguh memegang nilai-nilai yang diyakininya. Pada titik ini perlu diteliti bagaimanakah Hamka menyelesaikan permasalahan tersebut. e. Lapangan politik juga dipenuhi dengan dinamika yang seringkali tidak sesuai dengan cita-cita yang diinginkan para aktornya. Bagaimana cara dan strategi Hamka menghadapi dinamika dan perubahan-perubahan yang terjadi demi meraih tujuan politiknya merupakan permasalahan yang menarik. 2. Rumusan dan Batasan Masalah Dari berbagai permasalahan yang teridentifikasi di atas, penelitian ini akan difokuskan permasalahan: ‚Bagaimana pemikiran politik dan kebangsaan Hamka, serta aktivitasnya dalam perpolitikan nasional?‛. Agar lebih sistematis dan mudah, permasalahan tersebut dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana pemikiran politik Hamka? 2. Bagaimana pandangan Hamka tentang Islam dan kebangsaan Indonesia? 3. Bagaimana peran Hamka dalam perpolitikan nasional? Pada kenyataannya tema tersebut mencakup tema yang cukup luas. Untuk itu penelitian ini perlu lebih dispesifikkan lagi dengan membatasinya pada hal-hal tertentu pada sisi politik Hamka. Terkait dengan aktivitas politik Hamka, penelitian ini lebih ditekankan pada aktivitas politik Hamka era Orde Lama, khususnya peranannya dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia dan oposisinya terhadap kekuasaan otoriter Soekarno. Di sini juga dibahas perlawanan Hamka terhadap komunisme yang memiliki posisi penting dalam sistem Demokrasi Terpimpin Soekarno. Untuk peran yang dimainkannya dalam politik dakwah di era Orde Baru, kajian ini memfokuskannya pada langkah politiknya di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sementara untuk pemikiran politiknya dibatasi pada ide-ide politiknya terkait dengan konsep-konsep politik modern seperti demokrasi, nasionalisme, Hak Asasi Manusia, Sekularisme dan Komunisme. Dalam konteks tema nasionalisme, penelitian ini juga membahas gagasan Hamka tentang kebangsaan Indonesia yang dikaitkan dengan spirit keislaman. Dengan demikian kajian ini tidak membahas gagasan-gagasan Hamka terkait dengan sejarah politik Islam di masa lampau, di era kekhalifahan Islam. Jika terdapat sedikit bahasan tentang hal ini, itu dilakukan dalam konteks pembahasan seputar tema-tema konsep politik modern di atas.

4

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Menjelaskan pemikiran politik Hamka dan responsnya terhadap ide-ide politik Barat modern; b. Menjelaskan gagasan-gagasan kebangsaan dan keindonesiaan Hamka; c. Menjelaskan peran yang dimainkan Hamka dalam perpolitikan Indonesia, khususnya di era demokrasi parlementer, Orde Lama, dan Orde Baru, dan kesesuaiannya dengan pemikiran politik yang digariskannya. 2. Signifikansi Penelitian Penelitian ini memiliki arti penting untuk: a. Memberikan konsepsi yang lebih jelas tentang pemikiran politik Islam Indonesia modern, dalam hal ini pemikiran politik Hamka; b. Memberikan gambaran yang lebih terang tentang posisi Hamka dalam dinamika politik nasional; c. Memperkaya khanazah pemikiran politik Islam modern, khususnya dalam konteks Indonesia dan Asia Tenggara. D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Sebagai pribadi yang multitalenta, dengan peran-peran berbeda yang dimainkannya di panggung sejarah, Hamka seringkali dilihat dan dikaji dalam banyak segi yang berbeda. Bukan hanya perilaku dan aksi-aksinya, kajian tentang Hamka juga menjadikan ide-ide dan gagasannya sebagai obyek penelitian. Kajian tentangnya pun telah lama dilakukan, bahkan sebelum Hamka meninggal dunia. Kajian tentang Hamka sebagai seorang sastrawan telah dilakukan oleh Junus . Dalam Hamka Sebagai Pengarang Roman yang terbit tahun 1963,16 Junus Amir Hamzah mengulas karya-karya sastra Hamka seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van Der Wick. Junus Amir Hamzah menyebut adanya pengaruh Muhammad Abduh terhadap roman-roman Hamka tersebut, juga disebut Hamka terinspirasi oleh Manfaluthi dalam hal gaya cerita yang berisi kesengsaraan manusia yang bersifat sentimentil. Faktor Manfaluthi yang mempengaruhi karya sastra Hamka dan pengaruh ajaran Abduh juga disebut oleh S.I Poeradisastra. Namun itu bukan berarti roman- roman Hamka, khususnya Tenggelamnya Kapal van Der Wick, sebagai hasil plagiasi dari karya Manfaluthi sebagaimana yang pernah dipolemikkan seniman Lekra. Poeradisastra menyebut, dalam karya sastranya Hamka selalu memasukkan

16 Peneliti belum menemukan buku ini. Pembahasan tentang karya Junus Amir Hamzah tersebut bersumber dari karya Dwi Susanto, Lekra, Lesbumi, Manifes Kebudayaan: Sejarah Sastra Indonesia Periode 1950-1965, (Yogyakarta: CAPS, 2018), h. 179-183

5 unsur dakwah dalam pesan-pesannya.17 Kajian sisi Hamka sebagai sastrawan juga banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti lain semisal Alfi Julizun Azwar.18 Sementara sisi Hamka sebagai ulama, mufasir, dan pembaharu Islam juga dikaji oleh banyak peneliti. Abd Haris mengkaji pemikiran Hamka tentang etika19, M Jamil meneliti aspek hukum dalam Tafsir Al-Azhar karya Hamka,20 Muhammad Amin juga meneliti tentang Tafsir Al-Azhar namun mengambil fokus pada kualitas asbabun nuzulnya, 21 kajian Utang Ranuwijaya berfokus pada kualitas hadis tentang hukum perkawinan di Tafsir Al-Azhar,22 dan Yunan Nasution yang meneliti aspek teologinya.23 Sedangkan kajian tentang Hamka sebagai pendakwah dilakukan oleh M Nazar.24 Kajian tentang Hamka dari aspek lainnya juga banyak dilakukan,25 sementara sisi politiknya relatif belum sebanyak bila dibanding dari segi sastra dan

17 SI Poeradisastra, ‚Dalam Karya Sastra Pun Berdakwah dan Berkhotbah,‛ dalam Nasir Tamara, dkk (ed), Hamka Di Mata Hati..., h. 121-136 18 Alfi Julizun Azwar, ‚Dimensi Tasawuf Dalam Karya Hamka: Analisis Roman ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’ dan ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk’‛, disertasi, SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. 19 Abd Haris, ‚Etika Islam: Studi Pemikiran Hamka‛, disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005. 20 M Jamil, ‚Metode Istinbat Hukum Hamka: Studi Terhadap Ayat-ayat Ahkam Tafsir al-Azhar‛, disertasi, SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008 21 Muhammad Amin, ‚Kualitas Asbab al-Nuzul Dalam Tafsir al-Azhar‛, disertasi, SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007 22 Utang Ranuwijaya, ‚Hadis-hadis Pada Kitab Tafsir al-Azhar Hamka: Analisis Sanad Pada Ayat-ayat Hukum Bidang Perkawinan,‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998 23 M Yunan Yusuf, ‚Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Tentang Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989. 24 Muhammad Nazar, ‚Intelektualitas Dakwah Prof Dr Hamka: Kajian Tentang Konsep Dan Pendekatan‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000. 25 Sebagai contoh: Muhammad Hilmi Jalil dan Fakhrul Adabi Abdul Kadir, ‚Kepentingan Kesihatan Diri Dalam Pembangunan Insan: Analisis Karya Falsafah Hamka‛, Jurnal Hadari, vol 5, no 2 2013, h. 69-84; M Roem Rowi, ‚Hamka Wuju>duhu fi> Tafsi>r al- Qur’a>n al-Kari>m bi Indu>ni>sy> fi> Kita>bihi al-Azha>r‛, Journal of Indonesian Islam, vol 03, no 2, 2009, h. 421-451; Imam Taufiq, ‚Membangun Damai Melalui Mediasi: Studi terhadap Pemikiran Hamka Dalam Tafsir al-Azhar‛, Jurnal al-Tahrir, vol 14, no 2, 2014, h. 297-320; Zul `Azmi Yaakob, ‚Falsafah Alam Dalam Konteks Falsafah Ketuhanan Menurut Hamka‛, International Journal of Islamic Thought, vol 1, June 2012, h. 74-86; Abdul Nashir, ‚Buya Hamka dan Mohammad Natsir Tentang Pendidikan Islam‛, At-Ta’dib, vol 3, no 1, Shafar 1428, h. 59-81; dan masih banyak lagi. Ada beberapa artikel untuk forum ilmiah yang membahas Hamka, contohnya: Abdul Hafiz bin Abdullah & Mohd Ya’qub Zulkifli bin Mohd Yusoff, ‚Islam dan Keadilan Sosial Menurut Pandangan Hamka Dalam Tafsir al-Azhar: Tumpuan Khusus Kepada Kepentingan Zakat‛, paper dipresentasikan di Seminar Sarantau Islam & Kesejahteraan Sejagat, Fakultas Usuluddin, Universiti Islam Sultan Sharif Ali, Brunei Darussalam, pada 24-25 Februari 2010.

6 agama. Menurut Maarif, hal itu karena memang Hamka hanya sedikit menulis tentang politik.26 Kesimpulan Maarif ini dibantah oleh Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, Hamka banyak menulis tema-tema tentang Islam dan politik, khususnya di era Revolusi Fisik. Gagasan politik Hamka itu termuat dalam beberapa buku dan artikel yang berserakan di berbagai media massa. Dalam tulisan-tulisannya itu, ungkap Mahendra, Hamka berupaya memberikan landasan ideologis bagi kebangsaan Indonesia.27 Meski demikian Mahendra juga mengakui jika tulisan- tulisan Hamka tentang politik masih belum sistematis dan bersifat umum.28 Adanya kesan tentang Hamka sebagai bukan tokoh pemikir dan aktivis politik, lanjut Mahendra, karena dalam banyak kesempatan Hamka sendiri mengaku bahwa ‚siasat (politik) bukanlah medanku.‛ Juga, di kemudian hari Hamka lebih menonjolkan sisi dirinya sebagai sastrawan dan ulama.29 Sebenarnya peran dan pemikiran politik Hamka pernah dikaji oleh beberapa peneliti. Shobahussurur telah memberikan gambaran awal pemikiran politik Hamka tentang ketidakterpisahan antara agama dengan negara.30 Kesimpulan serupa juga diperoleh Marsudi Fitro Wibowo dalam penelitiannya tentang hubungan antara agama dengan negara menurut Hamka.31 Penelitian lain dilakukan Zulkifli Mohd Yusoff dan Abdul Hafiz Abdullah tentang konsep kepemimpinan Islam dalam Tafsir al-Azhar, serta Sarah Larasati Mantovani dan M Abdul Fattah Santoso tentang partisipasi politik perempuan. Karya-karya ini hanya mengkaji satu tema tertentu tentang gagasan politik Hamka dan menempatkan Hamka sebagai ulama yang ‚sekedar‛ menulis tentang politik, bukan memposisikannya sebagai aktor politik. Namun demikian, karya-karya itu menjadi kajian pendahuluan bagi penelitian tentang pemikiran politik Hamka.32 Kajian sisi politis Hamka lainnya dilakukan Abd Khair dalam disertasinya di IAIN Syarif Hidayatullah,33 dan Nurwajah Ahmad EQ.34 Namun bahasan tentang

26 Ahmad Syafii Maarif, ‚Hamka, Pribadi Multitalenta...‛, h. xiv 27 Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra 3, (Jakarta: Pro Deleader, tt), h. 298-299 28 Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril..., h. 299 29 Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril..., h. 298 30 Shobahussurur, ‚Relasi Islam dan Kekuasaan Dalam Perspektif Hamka‛, Jurnal Asy-Syir’ah, vol 43, no 1, 2009, h. 231-245. 31 Marsudi Fitro Wibowo, ‚Relasi Agama dan Negara Perspektif Ulama Indonesia (Konstruksi Gagasan Politik Islam Hamka Pada Tahun 1928-1981)‛, disertasi, UIN Sunan Gunung Djati , 2018. 32 Lihat Zulkifli Mohd Yusoff dan Abdul Hafiz Abdullah, ‚Pemimpin Menurut Pandangan Hamka: Satu Tinjauan Dalam Tafsir Al-Azhar‛, Jurnal Al-Tamaddun, vol 8, no 1, 2013, h. 17-38; dan Sarah Larasati Mantovani dan M Abdul Fattah Santoso, ‚Pemikiran Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) Tentang Partisipasi Politik Perempuan di Tahun (1949-1963)‛, Profetika, vol 16, no 1, 2015, h. 83-92. 33 Abd Khair, ‚Pembaharuan Pemikiran Hamka Dalam Bidang Aqidah, Tasawuf dan Sosial Politik‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah, 1996.

7 gagasan politik Hamka dalam dua karya ilmiah itu masih belum mendalam. Hal ini wajar mengingat pemikiran politik Hamka tersebut hanya dijadikan sebagai sub- bagian dari penelitian mereka. Pun demikian yang dibahas masih seputar tema hubungan agama-negara. Sementara tema-tema lainnya dalam pemikiran politik dan kebangsaan Hamka relatif belum tersentuh. Penelitian tentang pemikiran politik Hamka yang terbatas pada tema tertentu juga dilakukan Achmad Suja’i yang membahas tentang pengertian konsep ‚khilafah‛ dalam Tafsir al-Azhar dengan memperbandingkannya dengan tafsir karya Sayyid Quthb. Maka pembahasan pemikiran politik Hamka dalam karya ini masih terbatas pada tema itu.35 Fokus pada tema tertentu pada pemikiran politik Hamka dalam tafsirnya juga dilakukan Ahmad Hakim dan M Thalhah,36 Sidik37 dan Akmal Rizki Gunawan.38 Kajian Hakim dan Thalhah lebih ditekankan pada etika politik menurut Hamka, dan terbatas pada karya tertentu Hamka, yaitu Tafsir al-Azhar. Sementara Karya Sidik hanya membahas pengertian negara dan konsep jihad menurut Hamka dalam tafsirnya. Demikian pula karya Gunawan yang hanya mengeksplorasi gagasan politik Hamka dalam Tafsir al-Azhar, padahal selain dalam tafsirnya, gagasan politik Hamka juga banyak tersimpan dalam karya-karya tulisnya yang lain. Sebetulnya terdapat penelitian yang secara apik mengungkap Hamka. James R Rush dalam Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern memberikan gambaran secara komprehensif tentang Hamka dan posisinya dalam sejarah Indonesia. Menurut Rush, Hamka merupakan cendekiawan Muslim publik yang secara konsisten menautkan Islam ke keresahan sosial dan perubahan zaman, serta ke cita-cita politik Indonesia merdeka. Dengan kekayaan literatur primernya, karya ini mengungkap pribadi Hamka dalam segala seginya, termasuk segi politik. Namun sebagai sebuah karya biografis yang mencoba menceritakan sosok Hamka secara utuh, karya Rush ini hanya membahas aspek-aspek tertentu

34 Nurwajah Ahmad EQ, ‚Pemahaman Hamka dan TM Hasbi Ash-Shidiqy Mengenai Ayat Yang Berkaitan dengan Politik, Ekonomi, dan Ilmu Pengetahuan‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998. 35 Achmad Suja’i, ‚Konsep Khilafah Dalam Tafsir Sayyid Quthb dan Tafsir Hamka‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000. 36 Ahmad Hakim dan M Thalhah, Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka, (Yogyakarta: UII Press, 2005). 37 Sidik, ‚Deradikalisasi Pemaknaan Negara dan Jihad Dalam Tafsir Al-Azhar‛, Jurnal Analisa, Vol 19, No 1, 2012, h. 69-82 38 Akmal Rizki Gunawan, Dimensi Politik Tafsir al-Azhar Hamka: Kajian Nilai-nilai Pancasila (Ciputat: Cinta Buku Media, 2016). Terdapat beberapa artikel ilmiah yang membahas tentang politik Hamka, di antaranya: Fokky Fuad, ‚Moral Hukum dan Nilai- nilai Kebangsaan: Sebuah Refleksi Pemikiran Buya Hamka‛, Mimbar Demokrasi, vol 16, no 1, 2016, h. 71-85; Nunu Burhanuddin, ‚Konstruksi Nasionalisme Religius: Relasi Cinta dan Harga Diri Dalam Karya Sastra Hamka‛, Episteme, vol 10, no 2, 2015, h. 353-384; Fokky Fuad, ‚Kehancuran Nilai Kemanusiaan Reaktualisasi Pemikiran Hamka Dalam Hukum‛, Lex Jurnalica, vol 13, no 1, 2016, h. 35-45; Abdul Wahid, ‚Sosial Politik Dalam Tafsir Hamka‛, Conference proceedings, Ar-Raniry International Conference on Islamic Studies (ARICIS) I, Banda , 26-27 Oktober 2016, h. 328-340.

8 pada diri sang tokoh secara ‚seperlunya.‛ Di titik ini aspek politik Hamka dibahas sesuai kebutuhannya sehingga kurang mendalam. 39 Namun demikian, karya Rush yang kaya dengan data-data sejarah Hamka yang diperoleh dari sumber-sumber primer ini menjadi salah satu sumber penting bagi penelitian ini. Dengan demikian, penelitian ini sesungguhnya mencoba memenuhi satu hal penting, yaitu: mengisi dan memperkaya kajian tentang Hamka yang telah banyak dilakukan peneliti-peneliti lain. Di aspek ini penelitian ini dimaksudkan untuk mengisi lobang yang belum sempat dikaji peneliti Hamka, yaitu aspek pemikiran dan aksi politiknya. E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) di mana data-datanya diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis, dan kualitatif karena permasalahan yang dikaji adalah seputar konsep-konsep, ide-ide, gagasan, atau pemikiran seseorang beserta aktivitas politiknya. Karena itu penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-historis untuk melihat konteks sosial dan politik saat sang aktor hidup, serta untuk melihat perubahan dan kontinuitas yang terjadi sepanjang sejarah hidup sang aktor. Sumber data penelitian ini diperoleh dari pengumpulan dokumen-dokumen tertulis dan berbagai publikasi (akademik dan populer) yang dikelompokkan atas sumber primer dan sekunder. Sumber-sumber primer adalah karya-karya tulis Hamka yang terkait dengan tema politik, di antaranya: Islam dan Demokrasi,40 Urat Tunggang Pantjasila,41 Keadilan Sosial Dalam Islam,42 Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi dan Sekularisasi,43 Dari Hati Ke Hati: Tentang Agama, Sosial, Budaya dan Politik Islam, Studi Islam,44 Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial,45 kumpulan pidato dan pernyataan Hamka di sidang Konstituante dalam buku dokumentasi Konstituanste Indonesia berjudul Risalah Perundingan46 dan Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I-III, dan tulisan Hamka yang termuat dalam buku Islam dan Pancasila: Konstituante 1957.47 Termasuk sumber primer adalah tulisan-tulisan Hamka yang tersebar dalam berbagai media massa seperti Pedoman Masjarakat, Pandji Masjarakat (Panji Masyarakat), Hikmah, Gema Islam, dan lain-lainnya. Banyak pula pemikiran politik Hamka yang termuat dalam karya-karya lainnya yang sekilas tidak terkait dengan politik, namun ternyata di dalamnya

39 Lihat James R Rush, Adicerita Hamka... 40 Hamka, Islam dan Demokrasi, (Bukittinggi & Medan: Firma Tjerdas, 1946). 41 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, (Jakarta: Pustaka Keluarga, 1952) 42 Hamka, Keadilan Sosial Dalam.... 43 Hamka, Umat Islam Menghadapi.... 44 Hamka, Studi Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983). 45 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1984). 46 Buku ini memuat dokumentasi pidato, perdebatan dan situasi dalam sidang-sidang di Konstituante sejak awal hingga dibubarkan Soekarno tahun 1959. 47 Yusran R (ed), Islam dan Pancasila... Buku ini merupakan kumpulan pidato wakil- wakil fraksi Masyumi di sidang-sidang Majelis Konstituante.

9 memuat bagian yang membahas tentang politik, seperti: Pelajaran Agama Islam,48 Renungan Tasawuf,49 Falsafah Hidup,50 Pandangan Hidup Muslim,51 Dari Lembah Cita-cita,52 Ayahku: Riwayat Hidup Dr H dan Perjuangan Kaum Agama di ,53 Lembaga Hidup,54 dan yang tidak boleh dilewatkan adalah magnum opus-nya Hamka Tafsir al-Azhar yang pasti memuat pembahasan tentang politik, mengingat di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang berkaitan dengan tema sosial politik. Apalagi tafsir tersebut ditulis saat Hamka berada dalam kurungan sebagai tahanan politik Orde Lama. Kondisi ini sedikit banyak memberikan pengaruh dalam penafsirannya. Sementara yang tergolong sumber sekunder adalah karya-karya orang lain yang terkait dengan pemikiran Hamka, khususnya di bidang politik, seperti: Hamka Di Mata Hati Umat (kumpulan tulisan);55 Politik Hamka dalam buku Bunga Rampai Dari Sejarah 3 karya Moh Roem,56 Pembaharuan Pemikiran Hamka Dalam Bidang Aqidah, Tasawuf dan Sosial Politik,57 Dimensi Politik Tafsir al- Azhar Hamka: Kajian Nilai-nilai Pancasila,58 Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka,59 atau Relasi Islam dan Kekuasaan Dalam Perspektif Hamka.60 Sumber sekunder lainnya adalah buku-buku atau artikel ilmiah yang terkait dengan pembahasan tentang Islam dan politik modern. Yang termasuk dalam kategori ini di antaranya: Islam dan Demokrasi: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993,61 Islam, Nationalism, and

48 Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1956). Buku ini membahas segala aspek ajaran Islam. Mulai dari pembahasan tentang kebutuhan kepada agama, filsafat ketuhanan, hingga rukun iman. Bagian yang secara langsung terkait dengan politik adalah sub bagian ‚Tanggungan Negara, Masyarakat dan Rumah Tangga.‛ 49 Hamka, Renungan Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002). Dalam buku ini ada dua bab yang terkait dengan politik ‚Kewajiban dan Akhlak Kaum Muslimin Dalam Bernegara,‛ dan ‚Pemimpin Agama‛. 50 Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Republika, 2015). Terdapat bagian yang terkait dengan politik, ‚Keadilan.‛ 51 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Bab yang terkait langsung dengan politik adalah ‚Cinta Tanah Air, Kemanusiaan dan Islam.‛ 52 Hamka, Dari Lembah Cita-cita, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982). Bagian yang berkaitan langsung dengan politik adalah ‚Iman dan Negara‛. 53 Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah Dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra, (Jakarta: Umminda, 1982). 54 Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Republika, 2015). Ada beberapa bab yang terkait dengan politik di buku ini: ‚Hak dan Kewajiban,‛ ‚Kewajiban Kepada Masyarakat,‛ ‚Kewajiban Bertanah Air,‛ dan ‚Islam dan Politik.‛ 55 Nasir Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Djauhari (ed), Hamka Di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983) 56 Mohamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah 3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983) 57 Abd Khair, ‚Pembaharuan Pemikiran Hamka...‛ 58 Akmal Rifki Gunawan, ‚Dimensi Politik Tafsir ...‛ 59 Ahmad Hakim dan M Thalhah, Politik Bermoral Agama... 60 Shobahussurur, ‚Relasi Islam dan ...‛ 61 Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi...

10

Democracy: a Political Biography of Mohammad Natsir,62 Modernisme dan Fundamentalisme Dalam politik Islam,63 Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral,64 Partai-partai Islam di Pentas Nasional,65 Gerakan Moderen Islam di Indonesia,66 atau Piagam Jakarta 22 Juni,67 dan masih banyak lagi sumber yang tidak bisa disebutkan di sini. Data-data yang terkumpul kemudian dipilah dan dipilih untuk menentukan kelayakannya sebagai sumber sejarah, dengan memperhatikan otentisitas (keaslian sumber) dan kredibilitas (tingkat kebenaran informasi)-nya. Setelah ditentukan kelayakannya sebagai sumber sejarah, data-data kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan metode analisis holistika. Menurut Bakker dan Zubair, analisis holistika merupakan upaya memahami secara menyeluruh isi sumber dengan melihat secara utuh ide-idenya yang bersifat filosofis, sehingga ide-ide itu dapat dipahami secara komprehensif dan lebih akurat.68 Dalam konteks penelitian ini, metode ini digunakan khususnya terkait dengan pembacaan terhadap ide-ide dan pemikiran politik dan kebangsaan Hamka. Sementara pembahasan tentang peran politik Hamka dilakukan dengan menggunakan teori pilihan rasional (rational choice theory). Teori ini mengasumsikan bahwa tindakan (politik) seseorang didasari oleh pertimbangan untung rugi dari berbagai alternatif pilihan yang tersedia. Dalam teori ini seorang aktor politik dianggap memiliki pengetahuan dan informasi yang cukup, serta prinsip hidup dan motivasi tertentu, sehingga pilihan politik yang diambilnya bukan karena faktor kebetulan atau kebiasaan, namun lebih karena pertimbangan dan pemikiran yang logis.69 Karena mengkaji pemikiran serta tindakan politik Hamka, penelitian ini juga menggunakan teori elektif afiniti untuk melihat bagaimana pandangan-pandangan dasar Hamka tentang politik memberikan dorongan kepadanya untuk memilih suatu tindakan yang dianggapnya paling sesuai dengan situasi konkret yang dihadapinya. Dalam teori ini terkandung asumsi bahwa tindakan-tindakan politik tertentu yang diambil aktor politik adalah pilihan yang mengandung makna tertentu yang secara subyektif dianggapnya sebagai tindakan yang ‚paling sesuai‛ dan ‚paling masuk akal‛ untuk dilakukan dalam situasi konkret tertentu, sejalan dengan pandangan dasar yang dianutnya.70

62 Audrey R Kahin, Islam, Nationalism and Democracy... 63 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme... 64 Remy Madinier, Partai Masjumi... 65 Deliar Noer, Partai-partai Islam di Pentas... 66 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam... 67 Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni... 68 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 46 69 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 146 70 Teori elektif afiniti dalam penelitian ini dipinjam dari teori serupa yang digunakan Mahendra untuk menganalisis tindakan politik partai Masyumi sebagai partai modernis dan Jamiat-i Islami sebagai partai fundamentalis. Meski kajian Mahendra pada kelompok politik, namun unit analisisnya adalah aktor-aktor politik di dalam partai-partai tersebut.

11

F. Sistematika Pembahasan Bab pertama penelitian ini menyajikan gambaran umum permasalahan yang hendak diteliti, alasan kenapa perlu dan layak diteliti, apa urgensinya, manfaat dan kegunaannya, di mana letak keunikan dan kebaruan tema penelitian ini, serta metode yang digunakan. Bab kedua membahas tentang diskursus politik dalam sejarah Islam. Di bagian ini akan dibahas dinamika dan transformasi wacana dan praktik politik di dunia Islam modern dan di Indonesia. Di bagian akhir bab ini akan dibahas paradigma politik Islam di Indonesia untuk melihat karakteristik dan kekhasan praktik dan pemikiran politik Islam di negeri ini. Bab ketiga membahas tentang biografi Hamka, latar belakang keluarga, variabel-variabel yang mempengaruhi perkembangan kepribadian dan intelektualnya, serta konteks sejarah penulisan karya-karyanya. Bab keempat membahas tentang pemikiran politik dan kebangsaan Hamka. Bab ini menguraikan tentang paradigma politik Hamka tentang hubungan agama dan politik. Dari pandangan dasar ini akan terlihat warna pemikiran politik Hamka yang memberikan pengaruh baginya dalam memberikan respons terhadap ide-ide politik Barat modern, termasuk upayanya dalam mensintesiskan ide-ide politik Barat seperti tentang demokrasi. Dalam bab ini juga akan dibahas ide-ide kebangsaan dan keindonesiaan Hamka. Bab kelima membahas kiprah Hamka dalam dinamika politik nasional. Fokus bahasan bab ini adalah kiprah Hamka saat aktif sebagai eksponen partai politik Masyumi, termasuk perannya dalam memperjuangkan dasar negara Islam di Konstituante, dan peran yang dimainkannya pasca pembubaran Masyumi di era Orde Lama. Juga akan dibahas peran politik dakwahnya di era Orde Baru melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bab Keenam merupakan penutup yang berisi kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini berdasarkan pada pembahasan di bab-bab sebelumnya.

Menurutnya, dalam situasi konkret yang berfikir dan bertindak dalam partai politik adalah aktor-aktor yang mengendalikan partai itu, karena bagaimana pun juga partai bersifat abstrak. Sementara Mahendra sendiri mengambilnya dari Weber tentang protestanisme yang memberikan dorongan kepada perilaku kapitalisme. Lihat Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 56

12

BAB II DISKURSUS POLITIK DALAM ISLAM

Secara doktrinal Islam memang tidak memberikan petunjuk yang detail tentang konsep dan bentuk negara/pemerintahan, namun bukan berarti Islam melalaikan urusan tersebut. Negara sebagai institusi yang mengelola kepentingan umum menjadi bidang yang tidak bisa dilepaskan oleh Islam karena banyak ajaran syariat yang tidak bisa terlaksana dengan sempurna tanpanya. Ajaran tentang jihad, zakat, hukuman bagi pelaku kriminal, dan lainnya jelas membutuhkan institusi negara. Demikian pula dalam al-Qur’an terdapat seperangkat prinsip- prinsip yang mengimplikasikan keberadaan keteraturan tatanan sosial-politik atau penggunaan otoritas terorganisir (organised authority) untuk mewujudkannya, seperti `ahd (perjanjian), ama>nah (kepercayaan), it}a>`ah (ketaatan), dan h}ukm (peradilan).71 Karena itulah, al-Qur’an memberikan beberapa kata kunci penting bagi pengelolaan politik, yaitu tauhid, syariah, `ada>lah, h}urriyyah (kebebasan), musa>wah (kesetaraan), dan shu>ra> (musyawarah, konsultasi).72 Pada bab ini akan dipaparkan diskursus tentang politik dalam Islam. Kajian ini menjadi penting untuk melihat di mana posisi politik Hamka dalam peta pemikiran politik Islam modern, khususnya dalam konteks Indonesia. Bahasan akan dimulai dari perubahan yang tengah terjadi dalam politik Islam modern, baru kemudian masuk ke bahasan tentang politik Islam di Indonesia modern. Bab ini akan diakhiri dengan sub bab yang membahas tentang paradigma politik Islam di Indonesia. Sub bab ini merupakan telaah teoritis yang memotret pola-pola penting yang khas dalam dinamika politik Islam di Indonesia modern, dan sengaja disajikan untuk melihat karakter politik Islam di Indonesia di mana menjadi bagian di dalamnya. A. Transformasi Politik Islam di Era Modern melihat era modern atau kontemporer merupakan masa terjadinya krisis terberat dalam sejarah peradaban Islam. Selain karena kondisi umat Islam yang sedang sakit, krisis tersebut juga disebabkan oleh benturan dengan negara-negara Barat yang menyebabkan dunia Islam terjatuh dalam jurang imperialisme dan kolonialisme. Dampak lanjutan dari itu adalah munculnya krisis identitas di kalangan umat Islam.73 Kondisi tersebut - ditambah dengan faktor kemajuan Barat di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan organisasi – telah melatarbelakangi pemikiran politik Islam kontemporer yang dimulai menjelang akhir abad XIX M.74

71 Abdul Rashid Moten, Political Science: an Islamic Perspective (London: MacMillan Press, 1996), h. 86 72 Moten, Political Science, h. 87-90 73 Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi, (Jakarta: Prenada & PPIM UIN Jakarta. 2016), h. 23-24 74 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press. 1993), h. 115

13

Barat menyebarkan peradaban mereka ke seluruh dunia melalui globalisasi dan kolonialisasi. Globalisasi dimaknai Ejaz Akram sebagai intensifikasi kondisi manusia agar menjadi modern. Tujuannya adalah homogenisasi tradisi dan kebudayaan yang berbeda di seluruh dunia, serta hegemoni Barat atas mereka. Globalisasi dipandang Akram telah mengakibatkan kerusakan yang sistematis pada lembaga-lembaga tradisional di negara-negara non-Eropa.75 Akram menegaskan, sejak awal mula, modernitas dengan humanisme sekularnya telah membawa ke arah terjadinya keruntuhan agama dan moralitas. 76 Proses itu terjadi melalui kolonialisasi politik dan militer, kemudian melalui ideologi dan kebudayaan. 77 Proses penjajahan dunia Islam itu sebenarnya telah terjadi sejak abad ke 16 M. Perkembangan teknologi militer negara-negara Barat yang berbasis pada revolusi industri memberikan dorongan pada proses tersebut. Barat pun mampu membalik keadaan kaum Muslim. Jika semula kaum Muslim berada di posisi yang menang, namun kini mereka berada di posisi terjajah. Proses ini, tegas Tibbi, membawa luka abadi pada umat Islam, yang di kemudian waktu diartikulasikan dalam berbagai aksi politik dan kekerasan sebagai sebentuk respon pertahanan- budaya (a defensive-cultural response).78 Tibbi menyatakan bahwa modernitas memiliki dua dimensi yang berbeda, yaitu budaya dan kelembagaan. Budaya modernitas - yang disebut juga sebagai ‘prinsip subyektivitas’- berbasis pada peristiwa-peristiwa utama dalam sejarah Eropa semisal Renaisans, Reformasi, Pencerahan, dan Revolusi Perancis. Dimensi ini terkait erat dengan pandangan dunia (worldview) yang membawa Barat ke tingkat peradaban yang lebih tinggi, yaitu pandangan dunia bahwa manusialah yang menjadi pusat, bukan Tuhan. Sementara dimensi kelembagaan terkait erat dengan kekuasaan (power). 79 Pada dimensi yang pertama itu modernisme, seperti yang dilihat Fuad S Naeem, merupakan pemberontakan terhadap agama di semua area kehidupan. Modernisme berupaya mengganti peran agama dengan humanisme, rasionalisme, dan sekularisme. Hasil dari upaya ini adalah transformasi dunia Barat

75 Ejaz Akram, ‚The Muslim World and Globalization: Modernity anda the Roots of Conflict,‛ dalam Joseph EB Lumbard, Islam, Fundamentalism, and the Betrayal of Tradition, (Indiana: World Wisdom, 2004), h. 241 76 Ejaz Akram, ‚The Muslim World and Globalization...,‛ h. 237. Akram membagi era modern terjadi dalam tiga periode. Modern periode awal terjadi pada abad ke 18 dan 19 awal. Ini periode inkubasi dan pertumbuhan modernisme Barat di mana Kristianitas telah disingkirkan dari arena publik meski moralitas Kristen masih bernyawa. Periode kedua terjadi pada akhir abad ke 19 dan 20 awal yang merepresentasikan celebration of modernity. Programnya menjadikan modernitas sebagai nasehat preskriptif bagi seluruh dunia. Periode ini juga disebut sebagai periode modern tingkat tinggi (high modern period). Periode terakhir terjadi pasca perang yang merupakan ‘kehamilan’ tanda-tanda yang nampak dari keruntuhan dunia modern. 77 Fuad S Naeem, ‚A Traditional Response to the Rise of Modernism,‛ dalam Lumbard, Islam, Fundamentalism, and... h. 80 78 Bassam Tibbi, Islam’s Predicament with Modernity: Religious Reform and Cultural Change (London & New York: Routledge, 2009), h. 35 79 Bassam Tibbi, Islam’s Predicament with Modernity, h. 36-37

14 dari peradaban yang sangat Kristen (the deeply Christian civilization) di abad pertengahan menjadi sebagian besar peradaban humanistik sekular di era modern. 80 Di bidang ilmu pengetahuan worldview ‚manusia adalah pusat‛ melahirkan tradisi saintifik yang bercorak positivistik. Sains seperti ini, menurut Hussein Heriyanto, dibentuk oleh asumsi-asumsi paradigmatik ala Cartesian-Newtonian. Beberapa asumsi itu adalah: subyektivisme-antroposentrik melalui tagline ‚cogito ergo sum‛ (aku berfikir maka aku ada); dualisme realitas; bersifat mekanistik- deterministik; reduksionisme-atomistik; instrumentalisme; dan materialisme- saintisme. Sementara di ranah politik worldview Barat itu menghasilkan gagasan dan konsep-konsep politik yang menitikberatkan pada kemampuan manusia dan kebebasan individu.81 Dalam catatan Masykuri Abdillah, di antara akibat dari perubahan politik modern adalah sekularisasi, rasionalisasi, komersialisasi, dan partisipasi rakyat dalam politik.82 Ide-ide yang mewarnai peradaban Barat modern itu dianggap asing dan tidak memiliki akar sejarah bagi umat Islam. Umat Islam, jelas Azra, sejak dulu sudah akrab dengan konsep da>r al-Isla>m dan da>r al-h}arb, namun kemudian dibingungkan dengan konsep nation state ala Barat.83 Nallino, seperti dikutip Hamid Enayat, mencatat beberapa pertentangan lainnya, yaitu: Antara nasionalisme Turki versus Pan Islamisme; Antara konsep politik Barat yang berbasis kehendak rakyat dengan gagasan negara Islam yang supra-nation berdasar ikatan keagamaan; Kontradiksi antara sifat negara Barat modern yang memposisikan sederajat semua rakyatnya dengan kewarganegaraan dalam negara Islam yang lebih mengistimewakan rakyat yang beriman daripada yang non-Muslim; atau antara syariah dengan hukum buatan manusia.84 Sebagai sesuatu yang asing konsep-konsep politik Barat itu dianggap Akram telah merusak tatanan kelembagaan politik tradisional, memecah belah kesatuan umat, menyebabkan terjadinya desakralisasi dan amoralisasi proses politik, evolusi ke negara bangsa yang mengancam keamanan dunia Islam, dan munculnya problem demokrasi di dunia Islam.85 Karena berada dalam posisi yang defensif, kekuatan politik Islam saat itu terpaksa melakukan berbagai perubahan demi menyesuaikan diri dengan perkembangan modernitas. Sejak 1730-an Turki Utsmani melakukan perubahan sistem administrasi dan militernya dengan mengadopsi sistem yang berjalan di negara-negara Eropa. Perubahan ini terus belanjut dan semakin meluas ke sistem pemerintahan daerah, perdagangan-keuangan, dan diplomasi.86 Hingga di

80 Fuad S Naeem, ‚A Traditional Response to the Rise of Modernism,‛ h. 80 81 Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 30-31; Lihat juga Ahmad Khoirul Fata dan Siti Mahmudah Noorhayati, ‚Sekularisme dan Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer,‛ Madania, vol 20, no 2, 2016, h. 216 82 Masykuri Abdillah, ‚Hubungan Agama Dan Negara Dalam Konteks Modernisasi Politik Di Era Reformasi,‛ Ahkam, vol. XIII, no. 2, Juli 2013, h. 247. 83 Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam..., h. 33 84 Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2001), h. 81-82 85 Ejaz Akram, ‚The Muslim World,‛ h. 243 86 Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam..., h. 34.

15 kemudian hari bukan hanya perubahan administrasi pemerintahan yang terjadi, namun juga sistem kekhilafahan Turki Utsmani berubah menjadi Republik Turki modern yang sekular. Perubahan ini tidak lepas dari munculnya semangat nasionalisme di tengah- tengah rakyat Utsmani yang plural, khususnya dari kalangan bangsa Turki sendiri dan bangsa Arab. Menurut George Antonius, seperti yang dikutip Watt, gerakan nasional Arab bermula dari Beirut pada tahun 1875 melalui sebuah organisasi rahasia. Namun pernyataan yang paling jelas tentang nasionalisme Arab tampak pada tulisan-tulisan Abdurrahman al-Kawakibi yang terbit di Mesir antara tahun 1898 hingga kematiannya pada 1902.87 Faktor keterpaksaan akibat kolonialisasi itu dilihat oleh Abdelillah Belkeziz sebagai salah satu sebab adanya kelemahan teoritis di kalangan pemikir politik Islam modern. Mereka tidak mengenal secara langsung pemikiran liberal Eropa dan tatanan konseptual politiknya yang sistematis. Pengenalan atas tatanan politik modern itu terjadi secara terpaksa melalui kolonialisasi dan melalui perjalanan ke negara-negara Eropa. Dalam hal ini Belkeziz melihat perjalanan singkat beberapa pemikir Muslim ke negara Eropa, seperti Rifaat Rafi al-Tahtawi, Ahmad Faris al- Shidyaq, dan al-Saffar pada pertengahan abad ke 19 sebagai momen awal pengenalan itu. Momen lainnya adalah reformasi militer dan pendidikan (pengiriman pelajar ke Eropa) di Mesir oleh Muhammad Ali. Serta program Tanzimat dalam pemerintahan Turki Utsmani.88 Dengan merujuk ke Shlomo Avineri, Abdul Aziz menyebutkan dua sumber kemunculan nasionalisme Arab, yaitu: dari kalangan intelektual Arab Kristen dan Yunani Ortodoks yang mendapat pendidikan di sekolah yang didirikan para misionaris Presbiterian dari Amerika di Beirut. Salah satu tokoh terkemuka kelompok ini adalah Butrus Bustani. Pada tahun 1845 dia mendirikan Majma’ Tahzib, sebuah lembaga kajian sastra Arab dengan seluruh anggotanya beragama Kristen. Dia juga mendirikan Madrasah Wathaniyah di tahun yang sama. Pada tahun 1866 dia menjadi perintis kampus Syrian Protestant College yang menjadi cikal bakal American University di Beirut.89 Jalur kedua berasal dari Mesir. Nasionalisme ala Mesir ini bersifat teritorial dan terpusat pada identitas ke-Mesir- an. Modernisasi Mesir oleh Muhammad Ali Pasha (1765-1848) melalui pendirian sekolah-sekolah modern seperti sekolah teknik tahun 1816, sekolah kedokteran (1827), dan sekolah pertanian (1836) memberikan peran bagi tumbuhnya semangat kebangsaan Mesir. Pengiriman pelajar-pelajar Mesir ke negara-negara Eropa juga disebut memberikan kontribusi bagi penguatan semangat itu.90

87 Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburgh: Edinburh University Press, 2003), h. 117 88 Abdelillah Belkeziz, The State in Contemporary Islamic Thought: A Historical Survey of the Major Muslim Political Thinkers of the Modern Era (London: IB Tauris & Co.Ltd, 2009), h. 9-10 89 Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Kerucut Kekuasaan Pada Zaman Awal Islam, (Tangerang Selatan: Alvabet, 2016), h. 94-95. 90 Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Kerucut..., h. 95; Montgomery Watt, Islamic Political Thought, h. 117

16

Dalam membangun nasionalismenya, bangsa Mesir merujuk pada akar-akar peradaban Mesir pra-Islam. Nasionalisme Mesir itu tumbuh semakin menguat karena momentum yang terjadi pada tahun 1915, di mana dalam negosiasi sebelum bangsa Arab terlibat dalam Perang Dunia Pertama, Syarif Makkah yang memposisikan diri sebagai juru bicara bangsa Arab menyebut laut Merah sebagai batas territorial Arab di sebelah Barat. Hal ini sama dengan menyebut Mesir bukan sebagai bangsa Arab, padahal mereka berbicara dengan Bahasa Arab dan selama beberapa waktu lamanya mengaku sebagai keturunan Arab.91 Namun tokoh Arab yang dinilai memberikan kontribusi signifikan bagi penguatan nasionalisme Arab adalah Abd al-Rahman al-Kawakibi (1848-1902). Pemikir Syria yang tinggal di Mesir ini menggugat keabsahan bangsa Turki sebagai penguasa Islam. Baginya orang Arablah yang lebih layak karena mereka mewakili kemurnian Islam.92 Al-Kawakibi mengritik pemerintahan Utsmani yang dianggapnya tiranik sehingga tidak bisa menghidupkan ajaran Islam dan justru menyebabkan umat Islam mundur. Menurutnya kebangkitan kembali umat Islam tidak akan terwujud bila Turki tidak mengembalikan kekuasaan kepada orang Arab. Al-Kawakibi memang menuduh Turki telah merampas hak kekuasaan bangsa Arab, karena sesuai doktrin Sunni salah satu syarat menjadi khalifah adalah keturunan Arab/Quraisy. Untuk itu al-Kawakibi menunjukkan sejumlah keunggulan bangsa Arab atas bangsa lainnya. Meski Azra menilai al-Kawakibi belum menyajikan definisi yang jelas tentang ‚bangsa Arab,‛ namun di kemudian hari gagasannya tentang Arabisme diperjelas oleh pemikir Arab-Kristen Negib Azoury (w.1906) dengan menyebut batas-batas Arab Empire adalah: Lembah Eufrat dan Tigris, Lautan India, Terusan Suez, dan Laut Tengah. 93 Gagasan nasionalisme Arab tidaklah tunggal. Kalangan nasionalis Arab Kristen yang didukung beberapa pemikir Arab Muslim merumuskan Arabisme sekular dengan merujukkannya ke kebesaran peradaban Arab pra-Islam. Sementara kalangan nasionalis Arab Muslim tetap mengonsepkan Islam sebagai dasar bagi ideologi nasionalismenya. Pada akhirnya gagasan Pan-Arabisme tidak terwujud karena tiap-tiap wilayah di Arab kemudian mendirikan negara berdasarkan identitas lokalnya masing-masing, dengan mayoritasnya menggunakan ideologi nasionalisme sekular. Semangat ke-Arab-an lahir sebagai respons atas semangat ke-Turki-an yang muncul saat itu. Dua tokoh pemikir nasionalisme Turki adalah Namik Kemal (w. 1888) dan Zia Gokalp (1876-1924). Pembaharuan sistem administrasi pemerintahan dan militer Turki sejak abad ke 18 ternyata berjalan menuju ke westernisasi. Program tersebut turut menumbuhkan identitas ke-Turki- an. Intensifikasi kajian dan literatur seputar peradaban Turki pra Islam dan penetapan bahasa Turki sebagai bahasa resmi pemerintahan pada 1876 membuat semangat nasionalisme Turki semakin matang.94

91 Montgomery Watt, Islamic Political Thought, h. 117 92 Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Kerucut..., h. 96 93 Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam..., h. 56-57 94 Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam..., h. 35 -38

17

Nasionalisme Turki semakin menemukan bentuk setelah kekalahan Utsmani pada Perang Dunia I. Akibatnya, sebagian wilayahnya hilang dikuasai Eropa. Hampir serupa dengan nasionalisme Arab, nasionalisme Turki juga menempuh jalan sekular sebagai pilihannya. Pembubaran pemerintahan khilafah digantikan dengan Republik Turki pada 1924 oleh Kemal Attaturk menjadi wujud nyata pilihan itu.95 Gagasan pembaharuan politik juga berjalan seiring dengan gerakan pembaharuan di bidang agama. Dalam hal ini tiga serangkai tokoh pembaharu Islam - Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rashi>d Rid}a> – memiliki peran penting bagi hal tersebut. Munawir Sjadzali menyebut ketiga tokoh tersebut sebagai penggerak salafisme baru dengan ide utama satu ikatan politik umat Islam dalam bentuk Pan-Islamisme.96 Meski ketiganya memiliki perbedaan dalam merumuskan gagasan Pan-Islamismenya, namun secara umum memiliki dua tujuan bersama: menentang pemerintahan yang despotik dan mendorong dibentuknya pemerintahan yang berdasarkan pada musyawarah seperti yang diajarkan Nabi; serta menentang kolonialisme dan dominasi Barat.97 Kondisi internal Utsmani yang semakin parah, kekalahannya dalam Perang Dunia I, dan diiringi menguatnya semangat nasionalisme di tengah-tengah warganya, membuat gagasan Pan- Islamisme tersebut sulit terwujud. Kekhilafahan Utsmani pun berakhir dengan berdirinya Republik Turki modern. Menurut Enayat proses penghapusan khilafah dilakukan melalui dua tahap. Pertama pada tahun 1922 ketika Grand National Assembly memisahkan jabatan kesultanan dengan kekhilafahan, di mana khilafah dijadikan simbol kepemimpinan spiritual seluruh umat Islam. Tahap kedua terjadi ketika Khilafah Utsmaniyah resmi dibubarkan dan diganti dengan negara republik.98 Pasca pembubaran itu sempat dilakukan beberapa kali upaya mendirikan kembali satu kekuatan politik Islam (khilafah) baru. Upaya-upaya tersebut dilakukan dalam beberapa kali Kongres Khilafat yang melibatkan perwakilan tokoh-tokoh Islam dari berbagai belahan wilayah dunia Islam. Namun sayang hal itu gagal. Impian revitalisasi negara khilafah di era modern pun tidak terwujud.99

95 Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam..., h. 61. Lihat juga Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Kerucut..., h. 95-96 96 Gagasan Pan Islamisme pertama kali disuarakan oleh Jamaluddin al-Afghani di tengah kondisi negara-negara Islam yang terjajah oleh bangsa-bangsa Barat, sementara negara-negara Islam yang masih merdeka saat itu juga dalam kondisi memprihatinkan. Menurut Shari>f al-Muja>hid, ide Pan Islamisme al-Afghani merupakan tindakan pertahanan diri yang bertujuan untuk menghentikan pasang naik infiltrasi Eropa ke negara-negara Islam. Lihat Shari>f al-Muja>hid, ‚Sayyid Jama>l al-Di>n al-Afgha>ni>: His Role in the Nineteenth Century Muslim Awakening,‛ Thesis, Mc Gill University, 1954, h.130-131 97 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara..., h. 125-126 98 Hamid Enayat, Modern Islamic Political..., h. 79-82 99 Tentang pelaksanaan kongres-kongres khilafah tersebut lihat Martin Kramer, Islam Assembled: The Advent of the Muslim Congresses, (New York: Columbia University Press, 1986). Kongres-kongres ini juga melibatkan tokoh-tokoh pergerakan Islam di Hindia Belanda. Beberapa kali utusan ormas Islam diundang mengikuti kongres khilafat di Mesir

18

Kerinduan pada sistem dan kelembagaan politik Islam lama ini terus dipelihara oleh beberapa kelompok umat Islam, sembari menolak sistem politik baru dari Barat tersebut. Salah satunya adalah Hizbut Tahrir (HT) yang tegas menolak demokrasi karena dianggap tidak sesuai dengan Islam. Poin penting ketidaksesuaian Islam dengan demokrasi terletak pada konsep kedaulatan rakyat yang menjadi inti dari demokrasi. Menurut al-Nabhani, demokrasi merupakan ideologi (al-mabda’) yang meyakini bahwa manusialah yang berhak menetapkan aturan-aturannya, karena manusia dianggap sebagai sumber kekuasaaan.100 Padahal, tegasnya, kedaulatan dalam sistem pemerintahan Islam terletak pada syariat yang dibuat langsung oleh Allah. Maka ketika seseorang menjadi pemimpin (dalam hal ini khalifah), sesungguhnya dia bukanlah pegawainya rakyat yang bertugas melaksanakan semua aspirasi mereka sebagaimana yang terdapat dalam konsep demokrasi. Bagi HT tugas pemimpin adalah menegakkan hukum syara’, karena dia dibaiat berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. 101 Abd al-Qadim Zallum menjelaskan, demokrasi merupakan sistem politik yang tidak terdapat dalam khazanah pemikiran ataupun sejarah Islam, dan sepenuhnya bersumber dari peradaban Barat. Demokrasi sengaja dibuat untuk membebaskan masyarakat Barat dari penindasan para penguasa yang despotik dengan mengatasnamakan agama. Bagi Zallum, penempatan rakyat sebagai sumber kekuasaan secara teologis bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu demokrasi termasuk sistem yang kufr sehingga umat Islam haram untuk mengambil, mengikuti, menerapkan, dan menyebarkannya. 102 HT menilai perbedaan antara sistem politik Islam dengan demokrasi terletak pada hal pokok, karena itu mereka menolak demokrasi secara totalitas. Mereka menutup peluang untuk melakukan kompromi, penggabungan, atau sintesis antara keduanya. Bentuk negara ‚Republik Islam‛ seperti di Pakistan atau Iran, dan berbagai konsep yang berupaya mesintesiskan Islam-demokrasi secara tegas ditolak oleh gerakan ini. Sebagai gantinya, mereka mengajukan konsep ‚khilafah‛ sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang dianggapnya sesuai dengan Islam.103 dan Hijaz, lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), khususnya Bagian Kedua. 100 Taqiy al-Din al-Nabhani, Nid}a>m al-Isla>m, (Ttemp: Hizbut Tahrir, 2001), h. 27. 101 Abd al-Qadim Zallum, Nid}a>m al-H}ukm fi> al-Isla>m, (Ttemp: Hizb al-Tahrir, 2002), h. 34. Buku ini merupakan sharh} dari buku karya Taqiy al-Din al-Nabhani dengan judul yang sama. 102 Lihat secara lengkap dalam buku tipis karya Abdul Qadim Zallum, Democracy is a System of Kufr: It is Forbidden to Adopt, Implement or Call for It, (Ttemp.: al-Khilafah Publication, 1995). 103 Abd al-Qadim Zallum, Nid}a>m al-H}ukm fi>..., h. 29. Menurut Azra, terminologi khila>fah berasal dari kata khali>fah yang disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah/2: 30. Ayat ini berbicara tentang penciptaan manusia sebagai wakil Allah di muka bumi dengan tugas memakmurkan bumi. Namun di era pasca Rasulullah, terminologi ini bermakna politis sebagai istilah untuk menyebut para pemimpin yang menggantikan Nabi. Biasa disebut al-Khulafa’ al-Ra>shidu>n, yaitu Abu Bakr, Umar bin Khattab, Uthman bin Affan, dan Ali bin Abi Talib. Namun dengan mengutip Ibn Khaldun, Azra menilai kekhilafahan itu telah selesai seiring dengan berakhirnya keempat pemimpin itu. Setelah keempatnya,

19

Senada dengan HT, posisi rakyat sebagai sumber kekuasaan juga menjadi sebab utama penolakan banyak kelompok Salafi terhadap demokrasi. 104 Salafi memandang pembuatan hukum merupakan otoritas Allah Swt, bukan manusia. Karena itu umat Islam wajib berhukum kepada segala yang telah ditetapkan oleh Allah melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi-Nya. 105 Ketentuan ini bersifat mutlak. Pengambilan hukum kepada selain yang telah ditetapkan Allah akan membuat mereka menjadi kafir atau musyrik karena dinilai telah mengikuti t}a>g}u>t. Abu Muhammad al-Maqdisi106 melihat kekuasaan rakyat dalam membentuk dan menentukan undang-undang dalam sistem demokrasi sebagai karakter ketidak- berimanan (unbelief), politeisme, dan kedustaan yang bertentangan dengan Islam. Kepatuhan dalam hukum merupakan salah satu bentuk peribadatan yang seharusnya hanya diberikan kepada Allah. Maqdisi memberikan tiga alasan utama

sistem politik yang berlaku di dunia Islam saat itu bukanlah khilafah lagi, namun sudah berubah menjadi kerajaan atau kesultanan dengan proses suksesi berdasarkan merit. Bahasan kritis tentang konsep ‚khilafah‛ dan kaitannya dengan negara modern secara lebih panjang lihat Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam, terutama bab 15. Bandingkan dengan catatan serupa dari beberapa penulis tentang konsep khilafah dalam buku yang dieditori oleh Komaruddin Hidayat, Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila, (Bandung: Mizan, 2014) 104 Lihat ‚Demokrasi dan Pemilu.‛ http://almanhaj.or.id/577-demokrasi-dan- pemilu.html (diakses tgl 12 Oktober 2017). Terminologi Salafi diderivasikan dari kata salaf (pendahulu), secara spesifik merujuk kepada tiga generasi awal dalam komunitas Muslim (salaf al-s}a>lih). Salafi didefinisikan sebagai mereka yang mengikuti jalan salaf al-s}a>lih. Doktrin Salafisme bisa ditarik mundur kepada Ibn Taymiyah dan Ahmad bin Hanbal. Di era kontemporer, tokoh Salafi yang terkemuka adalah `Abd al-Aziz `Abd Allah ibn Baz dan Muhammad Nasir al-Din al-Albani. Lihat Din Wahid, ‚PhD Thesis Summary: ‘Nurturing Salafi Manhaj: A Study of Salafi in Contemporary Indonesia,‛ Wacana, vol 15, no 2, 2014, h. 367-376 105 Didasarkan pada ayat: ‚Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (al-Qur`an) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (adzab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik’." (QS. al-‘An`am/6: 57) 106 Nama lengkapnya Abu Muhammad Isam bin Muhammad bin Tahir al-Burqawi al-Utaybi. Lahir di desa Burqa, Nablus, palestina tahun 1959. Pada umur 4-5 tahun dia migrasi ke Kuwait bersama orang tuanya dan menempuh pendidikan hingga tingkat menengah atas di sana. Kemudian melanjutkan studi di Universitas Mosul, Iraq. Di sini ia banyak bergaul dengan pergerakan Islam, dan setelah lulus ia belajar ke beberapa ulama seperti Bin Baz dan Uthaymin di Hijaz. Selain itu dia banyak mengkaji karya-karya Ibn Taymiyah dan muridnya Ibn al- Qayyim, serta karya-karya Muhammad bin `Abd al-Wahhab. Banyak menulis buku tentang keislaman, seperti Millat Ibrahim, The Thirty-ness Treatise in Warning from Excessiveness in Takfīr, Delighting the Sight by Lifting the Doubts the Murji’ah of the Era, The Distinct Difference Between the Excuse of Ignorance and Turning Away from the Dīn, dan Democracy: A religion!. Lihat Abu Muhammad al-Maqdisi, Democracy: A Religion!, penerjemah Abu Muhammad al-Maleki (Australia: al-Furqan Islamic Information Centre, 2012), h. 8-11

20 kenapa demokrasi bertentangan dengan Islam. Pertama, legislasi oleh rakyat bukanlah legislasinya Allah. Padahal Allah telah memerintahkan nabi-Nya untuk berhukum hanya kepada hukum yang telah diturunkan oleh-Nya. 107 Kedua, sumber hukum dalam negara demokrasi adalah konstitusi yang didasarkan pada keinginan orang banyak, bukan berdasar pada ayat-ayat Allah atau hadits. Dalam sebuah negara demokrasi tidak dimungkinkan untuk membuat sebuah perundang-undangan yang diambil dari al-Qur’an – hadis jika hal itu tidak bersesuaian dengan konstitusinya. Di titik ini al-Maqdisi melihat bahwa dalam sistem demokrasi posisi konstitusi lebih tinggi dan lebih disucikan daripada al- Qur’an dan hadis. Ketiga, demokrasi merupakan hasil dari sekularisme. Prinsip kebebasan dalam demokrasi merupakan bebas dari agama dan aturan Allah. Karena itulah ia secara tegas menyatakan bahwa demokrasi merupakan sebuah agama tersendiri yang berbeda dari agama Allah (Islam). 108 Inkompatibilitas Islam dengan demokrasi modern juga diakui oleh Fauzi M Najjar. Menurutnya, perbedaan antara keduanya terletak pada kenyataan bahwa dalam teori kenegaraan Islam tidak dibedakan antara agama dengan masyarakat di satu sisi, dan antara komunitas dengan negara di sisi yang lain. Ini tentu berbeda dengan teori demokrasi –khususnya di Amerika Serikat dan Inggris – yang membedakan secara tajam antara masyarakat sebagai percampuran asosiasi- asosiasi sukarela (a conglomeration of voluntary associations) dengan negara sebagai agen yang mendorong kerjasama dan inisiatif yang spontan di antara asosiasi-asosiasi itu. Fungsi negara dalam sistem demokrasi modern adalah untuk menjaga hak-hak individu dan mempromosikan kebebasan manusia, bukan sebagai eksponen agama atau ideologi tertentu. 109 Dalam negara demokrasi, jelas Najjar, perbedaan dan oposisi begitu dihargai dan dijaga eksistensinya. Ini berbeda dengan sistem teokrasi yang menganggap oposisi sebagai penyimpangan. Lebih jauh dinyatakan, sistem demokrasi yang memisahkan kekuasaan dalam lembaga yudikatif, eksekutif, dan legislatif (trias politika) sebagai cara untuk menghindari tirani. Sementara dalam Islam fungsi ketiga lembaga itu berada dalam satu badan/lembaga. Demokrasi modern juga dibangun di atas doktrin kesetaraan manusia dan kehormatan individu. Hak-hak dasar ini kemudian melahirkan konsekuensi hak pilih dan logika kekuasaan berdasar pada rakyat. Kekuasaan rakyat dalam demokrasi dianggap oleh Najjar sebagai sejajar dengan kekuasaan Tuhan dan Kitab Suci dalam Islam. Aspek lain

107 Abu Muhammad al-Maqdisi, Democracy: A Religion!, 27-29. Berdasarkan ayat: ‚Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.‛ (QS. al-Ma’idah/5: 49) 108 Abu Muhammad al-Maqdisi, Democracy: A Religion!, h. 29-32 109 Fauzi M Najjar, ‚Islam and Modern Democracy‛, The Review of Politics, vol 20, no 2, April 1958, h. 164-180

21 yang membedakan adalah adanya pemisahan antara negara dan agama dalam sistem demokrasi. Memperhatikan perbedaan-perbedaan itulah, Najjar kemudian menyimpulkan bahwa Islam hanya memiliki sedikit titik temu dengan demokrasi. Bahkan dia tidak yakin dunia Islam akan dapat menjadi demokratis jika tidak dilakukan perubahan-perubahan yang serius terhadap prinsip-prinsip dasarnya. 110 Bukan hanya HT, gerakan Salafi, atau Najjar, banyak pemikir Muslim yang menolak demokrasi. Abdillah memberikan beberapa contoh tokoh yang menolak demokrasi: Hafiz Salih, Adnan `Ali Rid}a> al-Nahwi, dan Hasan Turabi. 111 Meski demikian, pada momentum yang penuh ketegangan itu telah terjadi transformasi dalam pemikiran politik Islam modern, dengan mulai diperkenalkan konsep ‚negara Islam‛ sebagai alternatif bagi negara khilafah. Konsep ini, menurut Enayat, secara langsung atau tidak telah digaungkan oleh pemikir-pemikir politik Islam modern, baik dari kelompok sekular maupun pemikir Muslim seberangnya. Kombinasi dari berbagai peristiwa yang terjadi saat itu menjadikan konsep ini secara cepat masuk dalam pusat pemikiran religio-politik Islam modern. Respons kalangan tradisionalis terhadap sekularisasi di Turki, agresivitas kekuatan politik Barat, kemunduran ideologi sekuler-liberal di Turki, dan krisis Palestina menjadi faktor-faktor yang mempercepatnya. Tokoh yang dianggap sebagai teoritisi awal negara Islam di era modern adalah Rashi>d Rid}a>> (w. 1935), yang di kemudian hari gagasan-gagasan murid Muhammad Abduh itu dianut dan dikembangkan oleh kelompok-kelompok fundamentalis. Menurut Enayat, kemunculan fundamentalisme menjadikan konsep yang pada awalnya masih samar itu menjadi semakin tampak jelas. Fundamentalisme sendiri dipahaminya sebagai titik pertemuan antara puritanisme Wahabi dengan ajaran-ajaran salafiyah Muhammad Abduh. 112 Rid}a> melakukan transisi yang halus dari khilafah ke negara Islam. Dia menggunakan nomenklatur yang terasa baru dalam dunia modern dan terkesan paradoks, al-dawlah atau al- h}uku>mat al-Isla>miyyah. Pada era sebelum-sebelumnya digunakan istilah khila>fat atau ima>mat untuk menyebut negara atau pemerintahan. Kemudian dikenal terminologi ima>rat atau wila>yat. Meski demikian Rid}a> tampak ambigu, secara berulang-ulang dia menggunakan istilah al-khila>fat al-isla>miyyah atau h}uku>mat al- khila>fat. Menurut Enayat, hal itu tidak lepas dari keinginannya untuk mereorganisasi khilafah, namun di saat bersamaan dia juga menginginkan sebuah entitas baru yang secara institusi dan fungsi belum ada sebelumnya,113 atau dalam ungkapan lain, gagasan Rid}a> muncul di tengah ‚ketegangan antara tuntutan nasionalisme dan loyalitas pada khalifah di awal dekade 1920-an‛.114 Ada dua tujuan yang ingin dicapai Rid}a>: prinsip kedaulatan rakyat dan kemungkinan membuat hukum buatan manusia. Tujuan pertama bisa dilakukan

110 Fauzi M Najjar, ‚Islam and Modern...‛, h. 174-175 111 Lihat Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi..., h. 7-8 112 Hamid Enayat, Modern Islamic Political..., h. 104 113 Hamid Enayat, Modern Islamic Political..., h. 114 114 Mahmood Haddad, ‚Arab Religious Nationalism In The Colonial Era: Rereading Rashid Rida's Ideas On The Caliphate,‛ Journal of the American Oriental Society, vol. 117, no. 2, April - Juni 1997, h. 253.

22 dengan prinsip shu>ra> antara penguasa dengan rakyat, melalui aturan-aturan yang telah ditentukan oleh ahli hukum untuk menghindari ketidakadilan. Selain itu kekuasaan ulama idealnya ditempatkan sebagai representasi rakyat.115 Sementara yang kedua dilakukan melalui ijtihad. Menurut Rid}a> pembaharuan Islam bukan berarti kembali ke sumber-sumber Islam secara total, namun kembali ke elemen- elemen dari idealisme Islam awal yang tidak ternodai oleh hal-hal yang bersifat duniawi, prasangka etnik, dan sektarianisme. Urusan-urusan politik, sosial, dan ekonomi suatu negara diatur oleh konstitusi yang terinspirasi oleh prinsip-prinsip umum al-Qur’an, hadits, dan pengalaman historis empat khalifah utama. Pada aras ini Rid}a> menempatkan syariah sebagai pihak yang memiliki otoritas untuk menolak qanu>n (hukum positif). Jika terdapat pertentangan antara qanun dengan syariah, maka syariah yang dibenarkan karena qanun merupakan subordinat dari syariah. Dengan demikian hukum positif bisa diterima oleh Rid}a>, namun tetap dibatasi oleh prinsip-prinsip Islam.116 Perubahan juga terjadi dalam pemikiran politik di kalangan Syiah. Upaya menjembatani Islam dengan ide-ide politik modern memunculkan konsep wila>yat al-faqi>h yang kemudian mewujud secara historis dalam bentuk Republik Islam Iran. Secara garis besar konsep ini memiliki banyak kemiripan dengan gagasannya Rid}a> di atas, yaitu sebuah negara demokrasi modern, namun tetap menempatkan ulama dalam posisi yang otoritatif, serta menjadikan syariah sebagai standar bagi hukum positif.117 B. Dinamika Politik Islam di Indonesia Selain diwarnai dengan perjuangan melawan kekuatan asing, kemerdekaan Indonesia juga dipenuhi dengan perjuangan sesama anak bangsa dalam memberikan warna terhadap negara merdeka yang akan mereka lahirkan. Perkembangan berbagai orientasi ideologi dalam dunia pergerakan nasional sejak awal abad ke 20 semakin mengristal menjelang dan beberapa saat pasca kemerdekaan. Berbagai perdebatan tentang watak kebangsaan Indonesia merdeka mengemuka di antara tokoh-tokoh pergerakan nasional. Perdebatan antara Soekarno dengan H , A Hassan, dan Mohammad Natsir tentang pondasi kebangsaan Indonesia di beberapa media massa menjadi penanda akan hal itu.118 Perdebatan-perdebatan di media massa tersebut berlanjut dalam sidang- sidang BPUPK yang terbagi dalam dua kubu: mereka yang menginginkan negara Islam dengan tokoh-tokohnya KH Ahmad Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, KH A , Abdul Kahar Muzakkir, dan H Agus Salim. Di sisi berserangan terdapat mereka yang mendukung pemisahan agama dengan negara. Tokoh-

115 Hamid Enayat, Modern Islamic Political..., h. 115 116 Hamid Enayat, Modern Islamic Political..., h. 120-121 117 Pembahasan tentang konsep wila>yat al-faqi>h dalam Syiah modern lihat Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi: Perspektif Wilayah al-Faqih, (Jakarta: Mizan Publika, 2013). 118 Effendy, Islam dan Negara, h. 70-82. Pembahasan khusus mengenai perdebatan antara Soekarno dengan Natsir tersebut lihat Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002).

23 tokohnya seperti Radjiman, Soekarno, Muhammad Hatta, , dan Muhammad Yamin.119 Untuk menyelesaikan persoalan ini kemudian dibentuk panitia yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, Agus Salim, A Wahid Hasyim, , A Kahar Muzakkir, dan AA Maramis. Pada 22 Juni 1945 panitia kecil ini pun berhasil membuat kesepakatan bersama yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Piagam ini mengesahkan Pancasila dengan sila pertamanya yang berbunyi: ‚Ketuhanan Dengan Kewajiban Melaksanakan Syariat Islam Bagi Pemeluk- pemeluknya.‛120 Bahkan AA Maramis yang merupakan pemeluk Kristen asal dalam suatu perbincangan dengan Abikusno dan Kahar Muzakkir menyatakan 200 persen setuju ketika Kahar Muzakkir mengusulkan agar di negara baru nanti orang-orang Islam berkewajiban menjalankan syariat Islam.121 Namun usia Piagam Jakarta tidak panjang. Pagi tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimulai, Hatta mengundang beberapa anggota PPKI yang dianggap mewakili kalangan Islam (yaitu A Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo, dan ) untuk meninjau kembali rumusan Piagam Jakarta. Hal itu didasari oleh informasi yang diterima Hatta dari pejabat angkatan laut Jepang bahwa kalangan Nasrani di Timur Indonesia tidak bersedia bergabung dengan Republik Indonesia jika tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak dihapus. Melalui proses yang tidak berbelit, akhirnya poin pertama Piagam Jakarta diubah. Tujuh kata ‚Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya‛ dihapus dan berganti menjadi ‚Ketuhanan Yang Maha Esa.‛122 Bukan hanya tujuh kata yang dihapus, beberapa ketentuan lain yang masih berkaitan dengan itu pun banyak yang diubah, seperti kata ‚Allah‛ dalam pembukaan UUD 1945 diubah menjadi ‚Tuhan‛ atas usulan I Gusti Ktut Pudja,123 serta poin yang berkenaan dengan ‚keharusan beragama Islam‛ bagi presiden di dalam pasal UUD 1945 juga juga dihapus.124 Bagaimanapun juga, peristiwa ini dinilai Effendy sebagai kekalahan pertama kelompok Islam dalam perjuangan politiknya.125

119 Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993 (Jakarta: Kencana, 2015), h. 31 120 Abdillah, Islam dan Demokrasi, h. 32; Effendy, Islam dan Negara, h. 93-94; Maarif, Islam dan Politik, h. 27-28; Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 107-108. Uraian lengkap tentang Piagam Jakarta lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945:Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (Jakarta: GIP, 1997) 121 Noer, Partai Islam, h. 37 122 Noer, Partai Islam, h. 42; Maarif, Islam dan Politik, h. 28-30; Maarif, Islam dan Masalah, h. 109-110; Abdillah, Islam dan Demokrasi, h. 32 123 Noer, Partai Islam, h. 42 124 Remy Medinier, Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral, terj. Tonny Pasuhuk (Bandung: Mizan, 2013), h. 62 125 Effendy, Islam dan Negara, h. 97

24

Upaya memperjuangkan negara berdasarkan Islam kembali dilakukan kelompok-kelompok Islam dalam Majelis Konstituante. Dalam Konstituante sendiri terdapat tiga kelompok berbeda: Pendukung Pancasila, pendukung Islam sebagai dasar negara, dan pendukung negara berdasar sosio-ekonomi. Kelompok Islam diwakili Masyumi (112 kursi), (NU) (91 kursi), PSII (16 kursi), Perti (7 kursi) dan ditambah 4 gerakan daerah. Total keseluruhan 230 kursi. Sementara pendukung Pancasila memiliki total 274 kursi gabungan dari PNI, PKI, PSI, dan partai-partai Nasrani. Faksi sosial-ekonomi menjadi yang terkecil dengan hanya 10 kursi hasil dari kumpulan Partai Murba, Partai Buruh dan Acoma.126 Selama dua setengah tahun (mulai Desember 1956-Juni 1959), Konstituante berhasil menyelesaikan 90 persen tugas-tugasnya dalam menyusun konstitusi baru. Namun dalam hal dasar negara, anggota Konstituante belum menemukan titik temu. Mereka terbagi menjadi dua golongan utama: pendukung dasar negara Pancasila dan kelompok yang menghendaki Islam sebagai dasar negara. Tiga kali pemungutan suara yang dilakukan juga tidak berhasil menemukan kata putus karena masing-masing kelompok tidak mencapai dua pertiga suara. Dianggap gagal mengambil keputusan, Presiden Soekarno dengan dukungan militer dan faksi pendukung Pancasila di Konstituante akhirnya Dekrit 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan menyatakan kembali ke Pancasila dan UUD 1945.127 Ini dinilai Effendy sebagai kekalahan kedua politik Islam. 128 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi tanda bermulanya era Demokrasi Terpimpin yang sudah diimpikan Soekarno sejak 1957.129 Untuk mewujudkan mimpinya itu, Soekarno kemudian membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) pada 22 Juli 1959 dengan dirinya sendiri sebagai ketua. DPAS merupakan pengganti dari Dewan Nasional yang dibentuk Soekarno pada 11 Juli 1957 yang juga diketuai Soekarno. Dewan-dewan ini ditentang oleh sejumlah tokoh seperti Hatta, Natsir, dan Sjahrir karena tidak memiliki landasan konstitusional. Namun Soekarno yang sudah menjelma menjadi seorang otoriter tidak mempedulikan semua kritikan itu. Untuk menyempurnakan kekuasaannya yang absolut, pada Maret 1960 Soekarno membentuk Dewan Perwakilan Rakyat- Gotong Royong (DPR-GR) menggantikan DPR yang dipilih secara demokratis, disebabkan DPR menolak rancangan anggaran yang diajukan Soekarno. Anggota- anggota DPR-GR ditunjuk sendiri oleh Soekarno tanpa melalui proses Pemilu. Soekarno juga membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat-Gotong Royong (MPR-GR) yang anggota-anggotanya juga dipilihnya sendiri. MPR-GR inilah yang menunjuk Soekarno sebagai presiden seumur hidup.130

126 Medinier, Partai Masjumi, h. 311 127 Medinier, Partai Masjumi, h. 311-312; Effendy, Islam dan Negara, h. 106-110; Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 216-219 128 Effendy, Islam dan Negara, h. 118-119 129 A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 2-3 130 A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 53-54; Deliar Noer, : Hati Nurani Bangsa, (Jakarta: Kompas, 2012), h. 159

25

Terhadap Demokrasi Terpimpin, partai-partai Islam terbelah sikapnya. Partai NU, PSII, dan Perti ketika di Konstituante tegas menolak, namun setelah keluarnya Dekrit mereka berubah mendukungnya. Sementara Masyumi tetap konsisten menolak Demokrasi Terpimpin karena tidak sesuai dengan konstitusi dan bertentangan dengan prinsip demokrasi. Sikap tegas Masyumi ini berakhir dengan pembubarannya pada akhir 1960. Selain Masyumi, PSI juga mengalami nasib yang sama.131 Tokoh-tokoh yang berseberangan dengan Soekarno juga mengalami nasib yang tidak enak. Hatta dicekal bepergian ke luar negeri karena paspornya dicabut dan tidak dibolehkan mengajar di beberapa kampus, karena mengritisi Soekarno lewat tulisannya berjudul ‚Demokrasi Kita‛ di Panji Masjarakat.132 Tokoh lain seperti Natsir, Sjahrir, Roem, Mochtar Lubis, Soebandio Sastrosatomo, Anak Agung Gde Agung, Prawoto, dan Hamka dipenjara tanpa proses pengadilan. Ada pula yang harus menyingkir ke luar negeri seperti Sutan Takdir Alisjahbana. Mereka baru dibebaskan setelah kekuasaan Soekarno jatuh dan digantikan Soeharto dengan Orde Barunya133 yang secara resmi menggantikan Orde Lama pada Maret 1967 ketika Soeharto terpilih sebagai Pejabat Presiden dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Soeharto menjadi presiden sepenuhnya setahun kemudian. Sebelum itu, Soeharto berhasil mengatasi kondisi negara yang kacau akibat kudeta yang dilakukan kelompok komunis. Berbekal Surat Perintah 11 Maret 1966, Soeharto pun melarang PKI dan semua organisasi yang berafiliasi dengannya. 134 Keberadaan Orde Baru melambungkan harapan para politisi muslim untuk kembali terlibat dalam dinamika politik nasional. Namun harapan itu pudar saat penguasa Orde Baru menolak keinginan mereka untuk merehabilitasi Masyumi, dan semakin pupus ketika Orde Baru melarang tokoh-tokoh kunci Masyumi untuk menjadi pimpinan partai baru pengganti Masyumi, Parmusi (Partai Muslimin Indonesia). 135 Di kemudian hari, berbagai kebijakan Orde Baru semakin membuat posisi politik Islam semakin tertekan dengan masa depan yang kian suram. Sikap seperti itu tidak lepas dari latarbelakang para petinggi Orde Baru yang , yang didukung intelektual sekuler dan non-muslim yang khawatir dengan kekuatan politik kaum . Kebijakan Orde Baru dianggap oleh sebagian sarjana merupakan kelanjutan dari kebijakan kolonial yang membiarkan berbagai kegiatan keagamaan Islam, namun membatasi kegiatan politik Islam.136 Orde Baru menjadikan pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama pemerintahan mereka. Mereka melihat politik berbasis ideologi di masa Orde Lama menjadi sebab dari ketidakstabilan kondisi sosial-politik dan kejatuhan ekonomi

131 A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 3, 78-79 132 Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati..., h. 162. 133 Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati..., h. 162; A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 77-79. Hamka sendiri ditahan dengan tuduhan ikut terlibat dalam upaya pembunuhan Presiden Soekarno. Lihat MF Mukthi, ‚Di Balik Jerajak Besi Penguasa‛, Historia, no 21, tahun II, 2015, h. 62-64 134 Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi..., h.37-38 135 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara..., h. 111-114 136 Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi..., h. 39-40

26 nasional.137 Orde Baru melakukan modernisasi dan industrialisasi untuk pembangunan ekonomi melalui program-program yang terencana dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Sementara untuk menciptakan stabilitas politik, mereka melakukan sejumlah langkah untuk memudarkan sentimen politik aliran. Langkah deideologisasi itu dimulai dari penolakan terhadap rehabilitasi Masyumi, pencekalan terhadap mantan pemimpin Masyumi untuk menjadi pimpinan Parmusi, keterlibatan militer dalam parlemen, keikutsertaan Golongan Karya () dalam Pemilu, fusi yang dipaksakan atas partai-partai yang ada, hingga penerapan Pancasila sebagai asas tunggal bagi partai politik dan ormas.138 Kontrol ketat rezim terhadap politik Islam tidak menyurutkan langkah sejumlah politisi muslim untuk berkiprah. Mirip seperti sikap pemerintah kolonial, penguasa Orde Baru masih memberikan ruang bagi aktivitas sosial keagamaan. Tidak bisa berjuang di ranah politik kepartaian, sejumlah mantan pemimpin Masyumi mengalihkan langkah mereka ke ranah dakwah sosial keagamaan. Pada 27 Pebruari 1967, Natsir bersama koleganya, di antaranya HM Rasjidi, Moh Roem, Sjafroedin Prawiranegara, Burhanudin Harahap, Kasman Singodimedjo, Osman Raliby, Yunan Nasution, dan Datuk Palimo Mudo, mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang menandai apa yang mereka sebut sebagai ‚berpolitik melalui dakwah.‛139 Semboyan yang mereka suarakan adalah ‚Sebelumnya, kita menjalankan dakwah melalui politik; sekarang, kita mengejar politik melalui dakwah.‛140 Dalam berdakwah, DDII mencoba mengambil ruang-ruang yang belum mendapat banyak perhatian dari ormas-ormas Islam yang sudah ada. Setelah melakukan kajian, gerakan dakwah DDII diarahkan ke daerah-daerah pedalaman yang rawan kristenisasi, sekolah-sekolah dan kampus-kampus.141 Selain pengiriman dai ke daerah pedalaman, sektor dakwah di lembaga pendidikan menjadi perhatian DDII. Dalam hal ini DDII menjadi pelopor apa yang kemudian disebut sebagai dakwah kampus.142 Dengan semboyan ‚berpolitik melalui dakwah‛ itu lah membuat dakwah yang dilakukan DDII tetap menanamkan ghirah politik ke kader- kader muda Islam.143 Dakwah yang digerakkan eksponen DDII tersebut turut berperan bagi pertumbuhan generasi intelektual baru dan kelas menengah muslim di era Orde

137 M Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 19-20 138 Tentang hal ini lihat Azis Thaba, Islam dan Negara...; M Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001) 139 Tim Tempo, Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim, (Jakarta: Tempo & KPG, 2011), h. 116 140 MC Ricklefs, Mengislamkan Jawa, penerjemah FX Dono Sunardi & Satrio Wahono, (Jakarta: Serambi, 2013), h. 278 141 Tim Tempo, Natsir: Politik Santun..., h. 118; Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-tokoh..., h. 187 142 Tiar Anwar Bachtiar, Jas Mewah: Jangan..., h. 156 143 Tiar Anwar Bachtiar, Jas Mewah: Jangan..., h. 155

27

Baru. Namun oleh beberapa kalangan dakwah DDII dinilai berwarna puritan sejalan dengan latarbelakang aktivisnya. Kesimpulan ini didasarkan pada peran DDII dalam mendukung pendirian LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahun Islam dan Bahasa Arab) dan keaktifannya mengirim anak-anak muda Indonesia untuk belajar ke Arab Saudi.144 Namun tudingan seperti ini terlalu simplistik mengingat banyak pula intelektual baru yang secara ideologis dekat dengan Masyumi dan DDII namun memiliki corak pemikiran yang beragam, contoh paling jelas adalah . Langkah strategis eks pengurus Masyumi tersebut sesungguhnya mengikuti apa yang telah diambil oleh Hamka sebelumnya. Jika kolega Hamka itu baru beralih ke perjuangan dakwah setelah kegagalan upaya rehabilitasi Masyumi di awal Orde Baru, Hamka justru telah memulainya di saat kekuasaan Orde Lama di puncak otoritariannya, di awal dekade 1960-an. Selain menggelar berbagai kegiatan keislaman di masjid al-Azhar, Hamka juga mempelopori pendirian sekolah Islam di lingkungan masjid tersebut. Sekolah rintisan Hamka ini di kemudian hari menjadi pelopor bagi munculnya sekolah-sekolah kelas menengah muslim di Indonesia.145 Langkah yang diambil para eks tokoh-tokoh Masyumi itu dinilai Nurcholish Madjid sebagai perspektif baru tentang perjuangan Islam yang tidak melulu di bidang politik. Madjid juga melihat perjuangan melalui dakwah itu memiliki pengaruh jangka panjang yang lebih awet daripada perjuangan melalui politik.146 C. Paradigma Politik Islam Indonesia Konsep dan institusi politik Barat modern yang asing dan ahistoris telah membuat pergolakan yang cukup hebat di tengah-tengah umat Islam. Beragam tanggapan riuh rendah muncul di tengah kondisi sosial, politik, dan ekonomi umat yang masih tertekan. Hingga kini perbincangan tentang hal itu masih terus terjadi. Umat Islam pun tampak masih belum menemukan bentuk ideal hubungan agama dan negara modern yang bisa menjadi role model negara Islam modern. Menurut Bahtiar Effendy, problem itu disebabkan oleh karakter Islam yang ‚selalu hadir di mana-mana (omnipresence)‛ sehingga Islam diyakini senantiasa memberikan panduan moral di setiap aspek kehidupan manusia, 147 namun di saat yang sama, ujar Masykuri Abdillah, al-Qur’an tidak menyebut ataupun menjelaskan istilah dan konsep negara secara eksplisit. Al-Qur’an hanya memberikan prinsip-prinsip ideal yang harus dipraktikkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 148 Secara historis pun tidak ditemukan rujukan

144 MC Ricklefs, Mengislamkan Jawa..., h. 279, 405-407 145 Hendaru Tri Hanggoro, ‚Sekolah Islam ala Hamka‛, Historia, no 21, tahun II, 2015, h. 60-61 146 Nurcholish Madjid, ‚Natsir itu Tulus Kepada Pancasila,‛ dalam Harmonis, no 431, Maret 1993, h. 13 147 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011), h. 7 148 Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2011), h. 3-4

28 tunggal terhadap sistem pemerintahan Islam di masa lalu. Praktik politik di era Nabi Muhammad sistem pemerintahan lebih bercorak teokrasi di mana Nabi menjadi pemimpin atas nama Allah melalui wahyu yang diterimanya. Sedangkan di era al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n sistem pemerintahannya lebih bercorak republik, dan kemudian berubah menjadi monarki di zaman dinasti Bani Umayyah, Abbasiyah, Umayyah II di Andalusia, hingga ke Turki Utsmani. 149 Senada dengan itu, Azyumardi Azra juga menekankan ketiadaan model ‘negara Islam’ yang jelas dan konkret dalam sejarah Islam sebagai penyebab kebingungan umat Islam dewasa ini, sehingga sulit membangun kesepakatan tunggal tentang negara Islam. Menurutnya, faktor ketidakjelasan historis itu terletak pada: Pertama, negara Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad, yang dinilai ideal oleh umat Islam, tidak menawarkan rincian yang bisa memberikan ilham bagi penerapannya di era modern. Kedua, praktik pemerintahan di era Bani Umayyah dan Abbasiyah dinilainya hanya menyediakan kerangka sistem kelembagaan politik, pajak, dan sebagainya. Ketiga, kegagalan dalam mendirikan negara Islam membuat umat Islam mengarahkannya pada rumusan cita ideal yang terkesan utopis dan teoritis. Keempat, hubungan antara agama dan negara telah menjadi obyek perdebatan dan penafsiran selama berabad- abad. 150 Transformasi politik Islam di era modern, sebagaimana yang dipaparkan di sub bab sebelum ini, memberikan gambaran betapa beragamnya upaya umat Islam dalam menafsirkan hubungan Islam dengan politik. Pada titik tertentu permasalahan seperti ini juga melanda umat Islam di Indonesia modern. Bedanya, jika dunia Islam (khususnya Timur Tengah) di abad ke 19 dan awal abad ke 20 masih terombang-ambing di antara sistem politik Islam lama (khilafah dan monarki) dengan sistem politik modern, politik Islam di Indonesia sejak awal telah mantap menentukan sikapnya memilih sistem politik modern. Perdebatan terjadi hanya dalam hal di mana posisi agama (Islam) dalam negara Indonesia modern yang hendak dibangun itu. Secara umum pemikir politik Muslim memberikan respons yang berbeda- beda terhadap sistem dan institusi politik modern. Din Syamsuddin mengelompokkannya menjadi tiga paradigma: tradisionalisme, modernisme, dan

149 Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika..., h. 5 150 Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi, (Jakarta: Prenada & PPIM, 2016), h. 44. Tentu berlebihan jika disebutkan praktik pemerintahan di masa awal-awal Islam (zaman Nabi, sahabat, dan dua dinasti awal) tidak memberikan inspirasi bagi bagi penerapannya di era modern. Justru banyaknya kajian tentang sistem pemerintahan di zaman tersebut oleh para intelektual sampai saat ini membuktikan sisi inspiratif-nya sistem itu. Upaya-upaya yang dilakukan banyak pemikir Muslim untuk mendamaikan konsep-konsep politik modern dengan ajaran Islam juga banyak diilhami oleh praktik pemerintahan Islam di masa awal-awal, khususnya di era negara Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw dan empat khalifah sesudahnya, juga menjadi bukti lain inspirasi itu.

29 fundamentalisme.151 Tradisionalisme didefinisikan sebagai kelompok yang berkomitmen kepada syariah. Kelompok ini berparadigma bahwa syariah harus dipegang secara kuat dan totalitas karena itu merupakan hukum Ilahi, dan mereka berusaha menerapkannya ke dalam setiap aspek kehidupan sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh generasi-generasi awal Islam (salaf al-s}a>lih). 152 Syamsuddin kemudian membagi kelompok ini ke dalam dua sub bagian: idealisme tradisional dengan Rashi>d Rid}a> sebagai tokohnya dan realisme tradisional dengan tokoh Kalam Azad. 153 Berseberangan dengan itu, paradigma modernisme berupaya merevitalisasi Islam sesuai dengan dinamika modernitas. Terdapat tiga model kelompok berparadigma ini: rasionalisme Muhammad `Abduh; sekularisme dengan tokohnya Ali Abd al-Raziq; dan rekonstruksi Muhammad Iqbal. Meski mengelompokkan ketiga model itu sebagai kelompok modernis, namun Syamsuddin melihat adanya perbedaan yang khas pada pemikiran mereka. Ali Abd al-Raziq dan Muhammad Abduh umpamanya, keduanya memiliki pandangan yang berbeda tentang politik Islam. Abduh menganggap Islam hanya memberikan prinsip-prinsip berpolitik seperti kebebasan, shu>ra>, dan konstitusi tanpa mengabaikan syariah. Sedangkan Ali Abd al-Raziq cenderung untuk memisahkan agama dari politik pemerintahan. 154 Sementara fundamentalisme merupakan paradigma yang meyakini Islam sebagai agama yang menyeluruh dan mencakup segala aspek kehidupan. Titik perbedaan kelompok ini dengan dua kelompok sebelumnya terletak pada sikap mereka yang menekankan pada aspek perbedaan antara Islam dengan Barat. Paradigma ini memiliki dua arus besar yaitu: teo-demokrasi ala Abu al-‘A’la al- Mawdudi dan pandangan dunia Islam Sayyid Qutb. 155 Tentu saja kategorisasi tersebut masih bisa diperdebatkan. Dalam kasus gerakan Hizbut Tahrir (HT), kategorisasi yang dilakukan Syamsuddin masih belum bisa merangkul gerakan yang didirikan Taqy al-Din al-Nabhani ini. 156 HT

151 M Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), h. 114-163 152 M Din Syamsuddin, Islam dan Politik..., h. 117 153 M Din Syamsuddin, Islam dan Politik..., h. 118-127 154 M Din Syamsuddin, Islam dan Politik..., h. 128-140 155 M Din Syamsuddin, Islam dan Politik..., h. 151. 156 Hizbut Tahrir (HT) didirikan di Yerussalem oleh Taqiy al-Din al-Nabhani dengan tujuan untuk merestorasi dawlah al-khila>fah al-isla>>miyyah. Menurut HT sebab kemunduran dan kekalahan umat Islam atas umat yang lainnya bersembur dari ketiadaan negara khilafah. Maka untuk mengembalikan kejayaan itu, tidak ada jalan lain selain dari mengembalikan khilafah sebagai institusi politik umat Islam yang tunggal. Di Indonesia gerakan ini dikenal dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan memiliki koneksi lintas negara. Karena itu HTI dikategorikan oleh Masdar Hilmi sebagai organisasi Islam transnasional. Menurut Hilmi, suatu gerakan bisa dianggap transnasional dilihat dari tiga aspek: mobilitas demografis, jejaring antar lembaga-lembaga keagamaan di beberapa wilayah atau negara, dan perpindahan gagasan atau ide antar individu di beberapa wilayah atau negara. Hilmi menilai HTI telah memenuhi ketiga hal tersebut. HT saat ini telah tersebar di 45 negara di Eropa, kawasan Arab, Asia, dan Afrika. Semula al-Nabhani tidak bermaksud membuat HT menjadi organisasi lintas negara dan benua. Dia hanya

30 sangat menekankan perbedaan Islam dari Barat. Mereka tegas menolak demokrasi dan negara bangsa (nation state) karena dinilai tidak sesuai dengan Islam. Sebegitu kuat penekanan pada perbedaan Islam vs Barat itu, sehingga mereka pun tidak bisa menerima upaya ‚mencampurkan‛ keduanya seperti yang dilakukan al-Mawdudi dengan konsep ‚teo-demokrasi‛-nya. Mereka juga menolak terlibat dalam mekanisme politik demokratis seperti pemilihan umum. Di aspek ini HT bisa dikategorikan sebagai gerakan yang berparadigma fundamentalisme ala Syamsuddin tersebut. Di saat bersamaan, penolakan HT terhadap sistem dan institusi politik Barat itu juga diiringi dengan keinginan kembali kepada sistem politik Islam lama, Khilafah. Di aspek inilah HT bisa dimasukkan dalam kelompok yang berparadigma tradisionalisme. Dengan demikian, dalam kategorisasi yang dilakukan Syamsuddin di atas, Hizbut Tahrir menempati dua posisi: fundamentalisme sekaligus tradisionalisme. Berbeda dengan itu, Masykuri Abdillah memetakan paradigma politik Islam modern menurut orientasi keagamaannya, yaitu: fundamentalisme, modernisme, tradisionalisme, reformisme, dan neo-modernisme. 157 Modernisme didefinisikan Abdillah sebagai ‚mereka yang melakukan upaya secara sadar untuk mereformulasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam dalam istilah-istilah modern atau untuk menyatukan pemikiran dan institusi-institusi modern dengan tradisi Islam.‛ 158 Sedangkan fundamentalisme merupakan kelompok yang membela doktrin Islam dan menegaskan superioritas Tuhan. Mereka melakukan usaha-usaha untuk melaksanakan doktrin itu secara total dan menolak tatanan yang dibuat oleh manusia sebagai dasar sistem sosial Islam. 159 Kaum Tradisionalis didefinisikannya sebagai ‚mereka yang memegangi pemikiran Islam dari ulama abad pertengahan tanpa melakukan usaha-usaha untuk mengubah bentuknya secara substantif, termasuk dalam merespons masalah-masalah kemasyarakatan kontemporer.‛ Sementara kaum reformis adalah ‚mereka yang melakukan usaha-usaha reinterpretasi doktrin Islam dan menentang penyimpangan agama atau bid’ah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah. Sementara kelompok neo-modernis berkeinginan memperkuat HT di beberapa negara Arab, seperti Iraq, Suriah, Lebanon, Jordania dan Mesir. Lihat Masdar Hilmi, ‚Akar-akar Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),‛ Islamica, vol 6, no 1, 2011, h. 1-13; Mohamed Nawab Mohamed Osman, ‚The Transnational Network of Hizbut Tahrir Indonesia,‛ South East Asia Research, vol 8, no 4, Special Issue Dec 2010, h. 735-755. Namun sekarang HTI secara resmi tidak diperbolehkan di Indonesia setelah status badan hukumnya dicabut oleh Kementerian Hukum dan HAM RI melalui Surat Keputusan (SK) No AHU-30.AH.01.08 tahun 2017. Dengan SK ini maka badan hukum HTI yang sebelumnya pernah disahkan oleh Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM no AHU- 0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI resmi dicabut. Keputusan itu dikeluarkan setelah pemerintah secara resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2/2017 yang mengubah UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, atau yang lebih dikenal sebagai Perppu Ormas. 157 Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika..., h. 1-15 158 Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika..., h. 2 159 Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika..., h. 8-9

31 adalah mereka yang berupaya menemukan titik temu antara kaum modernis dan tradisionalis. 160 Sementara dalam konteks keindonesiaan, Abdillah membaginya dalam dua kelompok: tradisionalis dan modernis.161 Pembagian menjadi dua kelompok paradigmatik ini tidak berbeda dengan apa yang telah dilakukan Deliar Noer. Dikotomi modernisme dan tradisionalisme Islam di Indonesia biasanya merujuk pada kemunculan organisasi-organisasi Islam di awal abad ke-20, seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Nahdlatul Ulama (NU). Kelompok Islam modernis seringkali dikaitkan dengan organisasinya yang bervisi pembaharuan, berlatar belakang pendidikan dengan sistem modern (sekolah-sekolah Belanda), dan berbasis di perkotaan. Muhammadiyah, Persis, dan SI dianggap sebagai representasi kelompok ini. Sementara pemikir tradisionalis merupakan kelompok yang teguh memegang tradisi dan institusi keagamaan lama, berpendidikan pesantren, dan berbasis di pedesaan. Dalam hal ini NU sering disebut sebagai representasi kelompok tradisionalis Muslim di Indonesia.162 Dalam konteks keindonesiaan, pemetaan paradigma politik Islam modern menurut orientasi keagamaannya itu belum mampu memotret realitas yang sesungguhnya terjadi di Indonesia. Meski gigih memperjuangkan Indonesia berdasar Islam, namun yang menarik dari wajah politik Islam di Indonesia adalah pilihannya pada konsep dan kelembagaan politik modern yang berasal dari Barat. Pada titik ini, perjuangan negara Indonesia berdasar Islam yang dilakukan para tokoh politik Muslim saat itu tidak merujuk pada lembaga politik Islam lama semacam kekhalifahan atau kesultanan. Mereka justru lebih memilih lembaga politik modern dengan memberinya warna keislaman. Orientasi modern dengan nilai keislaman ini menjadi sesuatu yang khas terjadi pada politik Islam di Indonesia dari berbagai orientasi keagamaan, baik modernis maupun tradisionalis. Sejak awal mula, ujar Syafii Maarif, umat Islam Indonesia - baik yang modernis maupun yang tradisionalis- telah memilih sistem demokrasi, karena menganggapnya sebagai sebuah ‚mekanisme politik yang lebih baik yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita politik Islam.‛163 Sebagai misal Nahdlatul Ulama (NU), secara keagamaan organisasi ini sering dikelompokkan sebagai tradisionalis karena sikapnya yang teguh mempertahankan tradisi, namun secara politik memiliki paradigma yang berbeda. Di bidang politik-kenegaraan NU bisa menerima konsep dan institusi politik modern, seperti negara kebangsaan (nasionalisme) dan demokrasi. Mereka juga tidak merindukan kembalinya institusi politik Islam lama semacam khilafah. Kasus NU ini bisa menfalsifikasi kesimpulan ‚paradigma politik segaris lurus dengan orientasi keagamaannya‛ di atas.

160 Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika..., h. 11 161 Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika..., h. 1-15 162 Adnan, Pergulatan Politik Elit NU dan Muhammadiyah Masa Reformasi, (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2011), h. 38 163 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan Dalam Konstituante, (Bandung: Mizan, 2017), h. 171

32

Seolah menyadari hal ini, Abdillah kemudian membuat pemetaan orientasi politik Islam dalam konteks keindonesiaan. Menurutnya ada tiga model orientasi politik Islam di Indonesia, yaitu: Pertama, mereka yang menempatkan agama sebagai ideologi. Kelompok ini menghendaki agama (Islam) secara formal menjadi ideologi negara melalui formalisasi syariah ke dalam hukum positif. Kelompok idealis ini, menurut Abdillah, memiliki kecenderungan absolutis, eksklusif, dan lebih berorientasi keagamaan daripada ke kebangsaan; Kedua, kelompok yang menempatkan agama hanya sebagai sumber etika-moral (akhlak) belaka, dan menolak formalisasi syariah dalam bernegara. Ini adalah kelompok realis dengan memiliki kecenderungan orientasi kebangsaan yang lebih besar daripada keagamaannya. Meski Abdillah menilai kelompok ini bisa menghilangkan ketegangan antara kelompok agama yang berbeda, namun mereka tidak cukup akomodatif terhadap aspirasi umat Islam; Ketiga adalah mereka yang memposisikan Islam sebagai ‚sub-ideologi‛ atau ‚sumber ideologi‛ bagi Pancasila. Bagi Abdillah, orientasi ini merupakan jalan moderat di antara kedua orientasi sebelumnya. Meski tetap menginginkan pelaksanaan etika-moral, prinsip-prinsip, atau hukum agama dalam bernegara, namun kelompok ini juga tetap mengakui Pancasila sebagai ideologi negara.164 Masing-masing kategorisasi itu memiliki kelemahan, namun setidaknya upaya itu memberikan gambaran betapa keragaman orientasi politik dalam masyarakat Muslim modern, khususnya di Indonesia. Pada titik ini peneliti menilai kategorisasi yang dilakukan Munawir Sjadzali cukup sederhana namun bisa merangkul semua keragaman itu. Sjadzali mengelompokkan orientasi politik Islam modern menjadi tiga, yaitu: Pertama, kelompok tradisional yang menolak segala yang datang dari Barat dan menghendaki kepada Islam murni sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi dan salaf al-s}a>lih, khususnya di bidang politik kenegaraan. Kelompok ini meyakini bahwa Islam adalah agama yang lengkap dan melingkupi sedala aspek kehidupan, karena itu Islam telah mencukupi dalam pengaturan bidang sosial-politik sehingga tidak perlu lagi mengambil dari Barat. Kelompok kedua juga menghendaki kepada kemurnian Islam, namun mereka juga melihat perlunya dilakukan transformasi ajaran Islam ke zaman kekinian yang memiliki perbedaan dengan era salaf al-s}a>lih. Terkait dengan bidang politik kenegaraan, kelompok ini melihatnya sebagai bukan ibadah mahd}ah sehingga memungkinkan umat Islam secara selektif mengambil konsep dan kelembagaan politik dari Barat, karena bagaimanapun juga tatakelola politik pemerintahan Barat memiliki banyak kelebihan. Menurut Sjadzali, kelompok ini menyadari bahwa untuk melawan dominasi dan kolonialisasi Barat harus dilakukan dengan sikap terbuka pada ide-ide kemajuan khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbeda dengan keduanya, kelompok ketiga juga ingin kembali kepada kemurnian Islam, namun Islam yang mereka pahami adalah Islam sebagai semata- mata agama sebagaimana yang terjadi di Barat. Bagi kelompok ini Islam adalah agama yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan

164 Masykuri Abdillah, ‚Hubungan Agama Dan...,‛ h. 250-251

33 hubungan antar manusia, termasuk di bidang politik, seharusnya diatur oleh manusia sendiri. 165 Berbeda dengan kebanyakan sarjana yang telah disebutkan sebelumnya, Munawir Sjadzali tampak menghindari penggunaan istilah dan konsep-konsep Barat dalam memetakan paradigma politik Islam moderm. Penghindaraan ini bisa dipahami mengingat konsep-konsep tersebut memiliki konteks yang berbeda dengan sosio-historis umat Islam, sehingga penggunaannya untuk melabeli fenomena yang terjadi dalam konteks keislaman bisa menimbulkan bias dan kesulitan konseptual. Kesulitan seperti ini dialami oleh Yusril Ihza Mahendra ketika menggunakan konsep ‚modernisme‛ dan ‚fundamentalisme‛ untuk mengategorisasikan partai politik Islam di Indonesia (Masyumi) dan Pakistan (Jama’at-i Islami). Mahendra pun ‘terpaksa’ menggunakan istilah-istilah itu dengan berbagai catatan. 166 Pada aras tiga kategori yang dibuat Sjadzali tersebut, penelitian ini menempatkan Hamka ke dalam kelompok kedua yang menginginkan kemurnian Islam dan mentransformasikannnya ke dalam kehidupan modern. Kesimpulan ini setidaknya terlihat dari sikap Hamka yang bisa menerima konsep dan institusi politik modern dengan tetap menekankan pada peran penting Islam. Hamka bukan termasuk kelompok pertama yang menghendaki kembali kepada institusi politik lama (salaf al-s}a>lih) yang menolak sama sekali ide-ide dan institusi politik modern, namun dia juga bukan bagian dari kelompok ketiga yang menghendaki Islam hanya sebagai agama, tanpa ikut terlibat dalam urusan politik kenegaraan. Dalam posisi seperti ini, ide-ide dan perjuangan politik Hamka merupakan sebuah upaya mengisi Indonesia modern dengan nilai-nilai Islam. ‚Hamka memasang fondasi adicerita dengan menautkan Islam ke keresahan sosial dan perubahan zaman, juga ke cita-cita politik Indonesia merdeka,‛ tulis James R Rush.167 Pernyataan Rush ini menguatkan kesimpulan Deliar Noer tentang Hamka sebelumnya, bahwa Hamka ‚memandang sejarah Indonesia melalui prisma Islam, yang ajaran-ajarannya, ia yakini, telah membentuk sikap dan karakter sebagian besar rakyat Indonesia.‛ Karena itu Noer menyimpulkan bahwa, Hamka ‚menyampaikan pandangan bahwa kesatuan Indonesia dapat dibangun tanpa mengurangi dedikasi terhadap Islam‛, dan apa yang dilakukan Hamka itu merupakan kelanjutan dari gagasan dan perjuangan HOS Tjokroaminoto dan H Agus Salim. 168 Meski menggunakan kategorisasi yang dibuat oleh Sjadzali, namun pada titik tertentu kategorisasinya Abdillah tentang tiga orientasi hubungan agama- negara dalam konteks Indonesia di atas juga bisa dipakai untuk melihat praktik

165 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 115-116 166 Lihat Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), terutama Bab I 167 James R Rush, Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, penerjemah Zia Anshor, (Jakarta: Gramedia, 2017), h. xxxiv 168 Deliar Noer, ‚Yamin dan Hamka: Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia,‛ dalam Anthony Reid & David Marr (ed), Dari Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya, (Jakarta: Grafiti Press, 1983), h. 52

34 politik yang dilakukan Hamka, dengan catatan, ketiga kategori itu tidak diterapkan secara kaku. Di sini peneliti melihat aktor politik (individu atau kelompok) bisa memiliki orientasi politik berbeda sesuai dengan konteks dan dinamika politik yang berubah. Memang, di awal kemerdekaan kelompok-kelompok Islam memiliki orientasi hubungan agama-negara yang integratif-formalistik dengan menempatkan Islam secara formal sebagai ideologi Indonesia merdeka, seperti yang diperjuangan tokoh-tokoh Islam di BPUPK hingga melahirkan Piagam Jakarta. Namun kemudian mereka berubah sikap dengan mengendurkan tuntutannya ketika menghadapi situasi yang menuntut untuk itu, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta di PPKI. Pilihan ini diambil dengan pertimbangan kedaruratan dan untuk kepentingan persatuan bangsa yang baru lahir. Di kemudian hari kelompok Islam kembali ke orientasi idealnya ketika mereka melihat peluang untuk mewujudkan aspirasi menempatkan Islam sebagai dasar negara dalam Konstituante. Namun mereka akhirnya kembali bersikap realistis ketika realitas politik tidak kondusif lagi setelah Dekrit Presiden 5 Juli yang mengembalikan keberlakuan UUD 45 dan Pancasila sebagai dasar negara. Selain berorientasi pada modernisme politik, sikap idealis namun realistis itu tampaknya menjadi ciri lain yang khas politik Islam di Indonesia. Dalam ungkapan lain bisa dinyatakan bahwa politik Islam di Indonesia tidak pernah bersifat mutlak-mutlakan. Politik Islam di Indonesia tidak mengenal jalan buntu atau menempuh jalan ekstrim. Jalan tengah menjadi pilihan yang sering diambil dalam perjuangan cita-cita idealnya. Memang ada beberapa kasus yang menunjukkan ekstrimitas politik Islam di Indonesia seperti /Tentara Islam Indonesia (DI/TII), namun itu hanyalah arus pinggiran, bukan arus utama. Dengan karakter seperti ini, sesungguhnya politik Islam di Indonesia tidak pernah mengalami kekalahan sebagaimana yang disimpulkan Bahtiar Effendy. Dalam kajiannya terhadap dinamika politik Islam di Indonesia, Effendy menyimpulkan bahwa politik Islam di Indonesia mengalami beberapa kali kekalahan dalam perjuangan cita politiknya. Penghapusan kalimat ‚Ketuhanan, Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya‛ dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehari setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan diganti dengan ‚Ketuhanan Yang Maha Esa,‛ dianggap Effendy sebagai kekalahan pertama kelompok Islam.169 Sementara peristiwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945/Pancasila,170 dinilainya sebagai kekalahan kedua politik Islam Indonesia.171 Jika dicermati lebih mendalam, sebenarnya kesimpulan Effendy ini tidak sepenuhnya tepat. Perjuangan menjadikan Islam secara formal menjadi dasar bagi

169 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara..., h. 97 170 Remy Medinier, Partai Masjumi: Antara..., h. 311-312; Bahtiar Effendy, Islam dan Negara..., h. 106-110; Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 216-219 171 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara..., h. 118-119

35 negara Indonesia merdeka memang terhenti di Dekrit Presiden 5 Juli tersebut, namun isi yang terkandung dalam Dekrit 5 Juli itu sendiri sesungguhnya menunjukkan kesuksesan perjuangan politik Islam. Dalam Dekrit tersebut secara eksplisit dinyatakan bahwa Piagam Jakarta ‚menjiwai‛ UUD 1945 dan merupakan ‚rangkaian kesatuan‛ dengan konstitusi tersebut. Konsideran ini dianggap ‚mendekati hasrat kelompok islami‛ sehingga, ujar Endang Saefuddin Anshari mengutip BJ Boland, seandainya rumusan ini yang ditawarkan Presiden Soekarno ke Konstituante besar kemungkinan dapat diterima oleh kelompok Islam.172 Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu, ujar Anwar Harjono, sila ‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ dalam Pancasila memiliki makna tauhid karena terikat pada Piagam Jakarta yang menjadi ‚jiwa‛-nya.173 Maka pada batas minimal, adanya konsideran tersebut telah mengikat Pancasila pada ajaran Islam, dan mencegahnya dari tafsir yang mistis, panteis, sekularistik, bahkan anti agama. Hal ini tidak lepas dari kenyataan adanya keragaman tafsir Pancasila (khususnya sila pertama) dari para pendukung Pancasila di Konstituante. Dari sekian banyak tafsiran itu, para pendukung Pancasila dalam Konstituante memiliki pemahaman yang tidak sama terhadap Pancasila, khususnya sila pertama. Dari sekian banyak tafsiran, hanya M Hatta dan yang menyatakan sila pertama sebagai pokok dari Pancasila dan merupakan sumber moral-etik bagi sila-sila lainnya.174 Sementara yang lainnya menafsirkan Pancasila, dan khususnya sila pertama, secara panteistik seperti penafsiran atau teosofis seperti yang dinyatakan Sudjatmoko. Ada juga yang mistik, sekularistik, bahkan menafsirkannya sebagai ‚kebebasan beragama dan kebebasan untuk tidak beragama‛ atau ‚kebebasan untuk melakukan propaganda anti agama‛ sebagaimana yang diungkapkan tokoh-tokoh PKI.175 Mengunci sila ‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ pada tafsir tauhid itu menjadi keberhasilan minimal politik Islam di Indonesia. Lebih dari itu, Dekrit itu juga membuka peluang bagi pembuatan peraturan perundang-undangan yang berdasar pada ajaran Islam. Ini juga keberhasilan lain dari perjuangan politik Islam. Di sini Harjono mengutip jawaban Perdana Menteri H Djuanda atas pertanyaan anggota DPR Ahmad Sjaichu: ‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ dalam Pembukaan UUD 1945, dapat diberikan arti ‚ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam,‛ sehingga dengan dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam yang disesuaikan dengan syariat Islam.176

172 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, terutama Bagian Kedua poin 6. 173 Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan & Persatuan: Biografi Dr. Anwar Harjono, SH, (Jakarta: Media Dakwah, 1993), h. 345 174 A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 214 175 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 207-208. 176 Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan..., h. 345-346. Jawaban tertulis Perdana Menteri H Djuanda atas pertanyaan anggota DPR tersebut termuat dalam Surat No 9761/59 Tanggal 25 Maret 1959, perihal ‚Pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam

36

Dengan demikian, perjuangan politik Islam di Indonesia tidak sepenuhnya ‚gagal‛ sebagaimana yang disimpulan Effendy di atas. Pada aspek tertentu politik Islam di Indonesia justru berhasil mendapatkan sesuatu yang dekat dengan cita-cita politiknya. Jika pada kasus pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta di PPKI sikap realistik kelompok Islam berhasil mencegah disintegrasi negara yang baru lahir, maka pada kasus Konstituante, sikap idealis-realistik kelompok Islam berhasil ‚memaksa‛ Soekarno untuk mengakomodasi aspirasi politik Islam dengan membuat dekrit yang merangkul Piagam Jakarta. Pada momen ini secara minimal politik Islam telah berhasil mencegah Pancasila berwarna sekular sebagaimana yang diinginkan oleh sebagian kelompok pendukung Pancasila di Konstituante, dan lebih dari itu, juga memberi peluang bagi pembuatan perundang-undangan yang bersumber dari syariat Islam bagi umat Islam, meski secara formal Indonesia bukan negara Islam. Politik Islam memang tampak ‚gagal‛ menjadikan Indonesia secara formal menjadi negara berdasar Islam. Tetapi ini merupakan sebuah kewajaran yang terjadi pada setiap proses tawar-menawar politik. Dalam proses seperti ini tiap-tiap pihak yang terlibat harus sedia berkorban demi tercapai konsensus bersama. Mereka pun dituntut untuk mengurangi ‚harga aspirasi politik‛-nya. Ternyata, sebagaimana terlihat dari penjelasan di atas, kelompok politik Islam di Indonesia bersedia mengendurkan aspirasi politiknya tanpa mengorbankan idealitas cita politik yang diyakininya. Memperhatikan hal-hal di atas, sesungguhnya kategorisasi Abdillah tersebut masih bisa digunakan untuk memotret karakteristik politik Hamka, dan aktor politik Islam di Indonesia lainnya, namun harus tetap memperhatikan kekhasan ini: idealisme-realistik. Karakter ini juga sekaligus mengoreksi kesimpulan Abdillah tentang kelompok idealis yang dinilainya cenderung absolutis, eksklusif, dan minim orientasi kebangsaan. Di sini penelitian ini ingin menyatakan bahwa tidak semua kelompok yang memiliki orientasi politik integrasi agama-negara bersifat absolutis, eksklusif, dan lebih kuat komitmen keagamaannya daripada kebangsaannya.

rangka kembali ke Undang-undang Dasar 1945‛, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Lihat Departemen Penerangan RI, Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945, Penerbitan Chusus 48-56-58.

37

BAB III RIWAYAT HIDUP HAMKA

Manusia dan sejarah merupakan dua hal yang saling memberi pengaruh. Manusia menjadi pembentuk sejarah, namun di saat bersamaan, sejarah juga membentuk manusia. Demikian pula yang terjadi pada diri Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Sebagai ulama dan pemikir dia telah memberikan warna bagi sejarah intelektual dan pergerakan Islam di Indonesia, khususnya Indonesia abad ke 20 M. Namun keberadaan Hamka juga dibentuk oleh situasi historis yang melingkupinya. Pada bab ini akan diuraikan biografi politik Hamka, serta variabel-variabel yang memberikan sumbangsih penting bagi perkembangan pribadi dan intelektualnya sehingga dia bisa hadir sebagai salah satu pelaku penting dalam sejarah Islam di Indonesia. A. Nasab dan Keluarga Hamka Hamka lahir di kampung Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad 13 Muharram 1326 H atau 16 Februari 1908 M.177 Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Syekh Dr H Abdul Karim Amrullah (wafat tahun 1945 M) bin Syekh (Tuanku Kisai/Fakih Kisai, lahir Kamis 6 Rajab 1256 H wafat 2-3 Rabi’ al-Awwal 1325 H/1907 M) bin Tuanku Abdulla h Saleh (Tuanku Syekh Guguk Batur). Abdullah Saleh merupakan murid dan menantu dari Syekh Abdullah Arif (Tuanku Pariaman). Saleh menikah dengan Siti Saerah, putri Tuanku Pariaman. Tuanku Pariaman sendiri merupakan tokoh perjuangan Paderi yang memimpin perlawanan di daerah Lawang dan Andalas.178 Jalur nasab ini menunjukkan keluarga Hamka secara turun temurun merupakan tokoh dan pejuang agama. Kakek Hamka (Tuanku Kisai) belajar agama pertama kali pada ayahnya (Abdullah Saleh). Pada umur 14 tahun Tuanku Kisai melanjutkan belajar kepada kakeknya (Tuanku Pariaman) hingga umur 26 tahun. Dari kakeknya itu Tuanku Kisai mendapatkan ijazah untuk mengajarkan Ilmu Tafsir, Fikih, Tasawuf, Nahwu, Sharaf, Mantik, Ma’ani, Bayan dan Badi’. Tuanku Kisai juga menyebarkan ajaran tarekat ke negeri-negeri sekitar Danau, Bukittinggi, dan Banuhampu.179 Selain itu, Tuanku Kisai pun pergi ke Arab belajar pada Sayid Zaini Dahlan dan Syekh Muhammad Hasbullah. Di antara teman belajarnya adalah Syekh Ahmad Khatib dan Syekh Thahir Djalaluddin. Di Makkah dia menerima ijazah Tarekat Naqsyabandiyah. Tuanku Kisai menikah delapan kali dan memiliki 46 anak, 15 anak di antaranya anak laki-laki. Salah satunya adalah Muhammad Rasul (Haji

177 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Gema Insani. 2018), h. 5-7 178 Lihat secara rinci di Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra, (Jakarta: Umminda, 1982), h. khususnya bagian II. Gelar ‚H (Haji)‛ di awal nama HAMKA disematkan setelah ia menunaikan ibadah haji yang pertama di tahun 1927. 179 Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup..., h. 40-42

38

Rasul) atau yang dikenal sebagai Dr H Abdul Karim Amrullah (HAKA), ayah dari Hamka. 180 Haji Rasul lahir pada Ahad 17 Safar 1296 H (10 Pebruari 1879 M) di kampung Kepala Kabun, Jorong Betung Panjang, nagari Sungai Batang, Maninjau, dari pasangan Tuanku Kisai - Tarwasa. Rasul pertama kali belajar membaca al- Qur’an kepada Tuanku Haji Hud dan Tuanku Fakih Samnun pada usia 10 tahun. Kemudian belajar menulis huruf Arab kepada Adam (anak Tuanku Said). Pada umur 13 tahun Rasul mulai belajar Nahwu dan Sharaf kepada ayahnya. Kemudian belajar kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan Tafsir Jalalain kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf di Sungai Rotan. Pada tahun 1312 H (1894 M), Haji Rasul berangkat ke Makkah untuk belajar kepada Syekh Ahmad Khatib al- Minangkabawi. Haji Rasul juga belajar kepada Syekh Abdullah Jamidin, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh Saleh Bafadal, Syekh Hamid Jeddah, Syekh Sa’id Yaman, Syekh Yusuf Nabhani pengarang kitab al-Anwar al- MuhammadiyahError! Reference source not found.. Dalam beberapa hal ia juga belajar kepada Syekh dan Syekh Thahir Djalaluddin.181 Berbeda dengan Syekh Amrullah yang berpegang pada dan menyebarkan tarekat, Syekh Abdul Karim Amrullah menjadi pengritik keras adat istiadat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tentu saja tarekat juga menjadi sasaran kritiknya. Di kemudian hari dia menjadi salah satu pelopor gerakan pembaharuan di Sumatera di abad ke 19- awal abad ke 20. Haji Rasul sempat mengajar di Makkah beberapa saat lamanya. Dia juga sempat diminta menjadi guru bagi Sultan Ternate. Namun karena urusan keluarga, dan atas permintaan ayahnya, dia pun kembali pulang ke Minangkabau.182 Abdul Karim Amrullah menikah dengan Raihanah binti H Zakaria, dan mempunyai dua orang anak: Fathimah dan seorang anak laki-laki yang meninggal dunia sehari setelah kelahirannya di Makkah. Raihanah juga meninggal dunia di sana lima bulan setelah melahirkan putranya itu. Haji Rasul kemudian menikah lagi dengan adik istrinya, Syafiah. Pada Ahad malam Senin 13 Muharram 1326 H/ 16 Pebruari 1908 M Syafiah melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Abdul Malik. Perihal nama ini Hamka menulis, ‚nama Abdul Malik itu diambilnya dari nama anak gurunya, Syekh Ahmad Khatib di Mekkah, yang bernama Abdul Malik pula, yang di zaman pemerintahan Syarif Husain di Makkah, pernah menjadi Duta Besar Kerajaan Hasyimiyah di Mesir.‛183 Pada 5 April 1929 Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan yang saat itu berusia 15 tahun. Umur Hamka saat itu 21 tahun. Mereka memiliki

180 Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup..., h. 43-47 181 Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup..., h.53-56 182 Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup..., h. 58-62 183 Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup..., h. 63-64; Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 5-6; James R Rush, Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, penerjemah Zia Anshor, (Jakarta: Gramedia, 2017), h. xxxiv. Namun Rusydi Hamka kurang tepat menulis tahun lahir Hamka. Rusydi Hamka menulis ayahnya dilahirkan tahun 1325 H. Lihat Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, (Jakarta: Noura, 2016), h. 3

39

10 orang anak. Belum termasuk 2 anak yang meninggal di waktu kecil dan 2 lagi keguguran.184 Anak pertama, Hisyam, meninggal di usia 5 tahun. Anak kedua, Zaky, lahir di . Ketiga, Rusydi, lahir di Padang Panjang tahun 1935. Kemudian lahir Fakhri, Azizah, Irfan, dan Aliyah di Medan. Lalu Fathiyah lahir di Padang Panjang. Setelah pindah ke Jakarta pada Januari 1950, lahirlah Hilmi (lahir 10 April 1950), Afif (1952), dan Amir Shaqib Arselan (Syakib) pada 1955.185 Istri Hamka meninggal pada 1 Januari 1972 setelah mengidap sakit komplikasi. Usianya saat itu 58 tahun. Atas desakan anak-anaknya Hamka kemudian menikah lagi dengan wanita asli , Siti Khadijah, pada Agustus 1973. Tentang pernikahannya itu Hamka menyatakan: ‚Kalau almarhumah Ummi dulu dikatakan sebagai obat hati ayahku, karena aku mengawininya saat ayahku dalam duka cita. Maka, Ibu Khadijah ini adalah obat hati anak-anakku, karena duka cita kami ditinggalkan Ummi.‛186 B. Perkembangan Pribadi dan Intelektual Hamka Fachry Ali menyebut beberapa variabel yang mempengaruhi Hamka di masa kecil dan memberi warna hingga dewasa, yaitu: Pertama, peran sosial dan harapan- harapan ayahnya terhadap Hamka; Kedua, kampung tempat dia dilahirkan; dan ketiga, asimilasi ‚adat-Islam‛ yang mempengaruhi masyarakat Minangkabau.187 Sebenarnya bukan hanya ayahnya yang memberikan pengaruh besar pada diri Hamka, HOS Tjokroaminoto juga memiliki tempat istimewa baginya. Tentang dua orang ini Hamka menyatakan: ‚Syukurlah, karena di permulaan jalan, ayahnya telah membawanya ke dalam kehidupan agama dan gurunya, Tjokroaminoto, telah menunjukkan jalan berkhidmat kepada bangsa.‛188 Perjalanan intelektual Hamka dimulai dari keluarga dan . Ia pertama kali belajar membaca huruf hijaiyah dari ayahnya. Kemudian kakaknya, Fatimah, turut mengajarinya membaca al-Qur’an dan doa-doa shalat. Pada usia tujuh tahun Hamka belajar di Sekolah Desa di Guguk Malintang, Padang Panjang. Ketika Zainuddin Labay El Yunusy membuka Diniyah School pada 1916, Hamka pun ikut belajar di sana. Ia kemudian keluar dari Sekolah Desa dan masuk ke , dengan tetap melanjutkan belajar di Diniyah School. Perceraian orang tuanya sempat mempengaruhi psikologinya. Hamka pun terombang-ambing. Saat itu dia berusia 12 tahun. Atas perintah ayahnya, Hamka pun dibawa sang paman, Engku Muaro, kepada Syekh Ibrahim Musa di Parabek untuk belajar.189

184 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 5, 26-27, dan 30; Yanuardi Syukur dan Arlen Ara Guci, Buya Hamka: Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama, (Solo: Tinda Medina, 2017), h. 23-24 185 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 31-37; Yanuardi Syukur dan Arlen Ara Guci, Buya Hamka: Memoar..., h. 25; Irfan Hamka, Ayah…, (Jakarta: Republika, 2013), h. 37-38; James R Rush, Adicerita Hamka..., 66-67 186 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 46-49 187 Fachry Ali, ‚Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendahuluan Riwayat dan Perjuangannya,‛ dalam Prisma, No 2, Tahun XII, Pebruari 1983, h. 50 188 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Gema Insani, 2018), h. 172 189 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 22-51; Yanuardi Syukur dan Arlen Ara Guci, Buya Hamka: Memoar..., h. 5-8 dan 12

40

Hamka belajar tentang ilmu-ilmu Islam kepada ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) yang disebutnya sebagai ‚laksana lautan yang tidak pernah kering airnya‛.190 Ayahnya pula yang memperkenalkan Hamka pada Muhammad Abduh dan Tafsi>r al-Mana>r.191 Abdurrahman Wahid menjelaskan, dari didikan sang ayah ini Hamka menguasai semua bidang-bidang ilmu keislaman secara menyeluruh, ‚baik menyangkut ‘materi inti’ berupa ajaran-ajaran agama itu sendiri dalam berbagai pembidangannya‛ maupun ‚metode-metode yang digunakan untuk memahami ke semua materi itu dan menyusunnya ke dalam sebuah disiplin tunggal.‛ Karena itu, tegas Wahid, pengetahuan Hamka tentang Islam sudah bulat, utuh, dan begitu meyakinkan sehingga ‚terserah Buya Hamka sendiri akan diapakan.‛ 192 Ayah Hamka sebagai pembentuk sistem lingkungan sosial merupakan salah seorang pemimpin Kaum Muda sering menyerang paham dan tradisi keagamaan yang berkembang saat itu.193 Didikan sang ayah dan guru-gurunya yang tergolong Kaum Muda tersebut memberikan pengaruh dalam corak keagamaan dan pemikiran Hamka di kemudian hari. Cara berfikir yang terbuka, rasional, mandiri, dan tidak terikat pada pendapat tokoh tertentu (taklid) diwariskan ayahnya kepada Hamka dan terbawa hingga dewasa.194 Meski demikian, penekanan pada rasio tidak membuat Hamka terperosok pada pengabaian atas teks-teks agama, sebagaimana yang disimpulkan Yunan Yusuf.195 Karakter pemikiran seperti ini lebih lanjut diasah secara mandiri lewat bacaan-bacaannya yang kaya dan beragam, serta pengalamannya bergaul dengan banyak tokoh pemikir dan pergerakan ketika itu. Belajar sendiri (otodidak) menjadi jalan yang ditempuh Hamka. Saat belajar pada El Yunusy ia lebih suka membaca buku-buku di tempat penyewaan buku yang didirikan gurunya itu. Begitu pun ketika di Parabek, Hamka lebih banyak membaca surat kabar dan buku-buku roman. Di sini dia sudah membaca surat kabar Cahaya Sumatra, Sinar Sumatra, dan Hindia Baru pimpinan H Agus Salim.196 Di kemudian hari setelah kembali dari Jawa, daftar surat kabar yang dibacanya semakin bertambah dengan berlangganan Bendera Islam dan Seruan Azhar pimpinan Mokhtar Luthfi dan Ilyas Ya’qub. Dari Seruan Azhar ini Hamka banyak memperoleh informasi tentang dunia Islam secara global, seperti yang terjadi di Turki dengan Mustafa Kemal, kemenangan Ibnu Saud di Hijaz, Saad Zaghlul Pasha

190 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h.112 191 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 60 192 Abdurrahman Wahid, ‚Benarkah Buya Hamka Seorang Besar? Sebuah Pengantar,‛ dalam Nasir Tamara, dkk. (ed), Hamka Di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 30. 193 Fachry Ali, ‚Hamka dan Masyarakat...,‛ h. 50 194 Ahmad Syafii Maarif, ‚Hamka, Minangkabau, dan Indonesia,‛ dalam Afif Hamka, dkk (ed), Buya Hamka, (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h. 23 195 Lihat M Yunan Yusuf, ‚Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Tentang Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989 196 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 51

41 di Mesir, juga pergerakan Islam di Jawa.197 Saat memimpin Pedoman Masjarakat di Medan, Hamka juga terus mengikuti perkembangan kesusastraan, kebudayaan, dan pemikiran di Timur Tengah, khususnya Mesir, saat itu melalui buku-buku berbahasa Arab.198 Di usia belasan itu pula Hamka telah membaca buku-buku berbahasa Melayu asli dan terjemahan dari bahasa-bahasa asing. Usia belum sepuluh tahun dia sudah membaca buku Hikayat Bakhtiar, Hikayat si Miskin, dan Hikayat Panji Semirang. Dia juga sudah membaca beberapa buku terjemahan karya Shakespeare, dan karya Mustafa Luthfi al-Manfaluthi, Shadiq ar-Rafii, Zaki Mubarak, Hafiz Ibrahim, Syauqi Beiy, dan Khalil Mathran, dalam bahasa aslinya.199 Begitu pula ketika Hamka pergi ke Makkah pertama kali. Selain berhaji, di sana dia banyak mengakses buku-buku yang didapatkannya di percetakan tempat dia bekerja. Salah satu buku yang dibacanya saat di percetakan ini adalah al-Siyasat al-`Usbu’iyah.200 Hamka juga sering bepergian ke berbagai tempat untuk belajar kaba (cerita- cerita yang dibaca dengan iringan musik) dan berpidato dari para tetua adat dalam berbagai kegiatan adat, belajar pantun dan silat pada kakeknya di pihak ibu. Pantun-pantun ini banyak memberi warna pada karya-karya Hamka.201 Beberapa kaba yang dinikmati Hamka sewaktu kecil adalah Kaba Malin Deman, Kaba Si Murai Randin, Kaba Sutan Lembak Tuah, Kaba Rajo Unggeh Layang, Kaba Nan Tunggal Megat Jabang, dan Kaba Cindur Mata.202 Penguasaan bahasa Arab yang baik membuat Hamka bisa memperdalam berbagai disiplin keilmuan Islam, hingga Abdurrahman Wahid menyatakan, ‚Pengetahuannya tentang Islam sudah bulat dan meyakinkan...‛.203 Bahasa Arab pulalah yang membantunya bisa mengakses pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh besar Barat, meski tidak menguasai bahasa Belanda dan Inggris secara baik, melalui buku-buku yang diterjemahkan ke bahasa Arab. ‚Jika pengarang-pengarang atau wartawan-wartawan lain di masa itu mengambil ilham dari kesusastraan Barat, terutama kesusastraan Belanda, kawan kita mendalami kesusastraan Arab, puisi atau prosa-nya,‛ ujar Hamka mengaku.204 Yunan Nasution menceritakan, Hamka memiliki buku Whither Islam karya H.A.R Gibb versi terjemahan bahasa Arab Wijhatul Islam.205 Meski demikian, seringkali dia kurang tepat menuliskan

197 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 65-66 198 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 170 199 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 161-163 200 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 86 201 James R Rush, Adicerita Hamka..., h. xxxv-xxxvi; Yanuardi Syukur dan Arlen Ara Guci, Buya Hamka: Memoar..., h. 9-15 202 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 145 203 Lihat Abdurrahman Wahid, ‚Benarkah Buya Hamka Seorang Besar? Sebuah Pengantar,‛ dalam Nasir Tamara, dkk. (ed), Hamka Di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 30 204 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 162 205 Yunan Nasution, ‚Hamka Sebagai Pengarang dan Pujangga,‛ dalam Solichin Salam, Kenang-kenangan 70 tahun..., h. 26. Lihat juga James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 5

42 nama tokoh pemikir Barat yang dikutipnya.206 Mun’im Sirry memberikan contoh kekurangtepatan penulisan nama pemikir Barat dalam Tafsir al-Azhar. Di situ Hamka menulis Adam Clark seharusnya Adam Clarke, Thomas Horn seharusnya Thomas Horne.207 Menurut Rush, kesalahan tulis tersebut karena memang Hamka menulis terlalu cepat, tergesa-gesa, dan sesekali semberono.208 Dalam hal ini pengaruh pemikiran Kaum Muda membawa Hamka untuk menelaah karya-karya pembaharu Islam dari Timur Tengah. Gagasan pembaharuan al-Afghani, Abduh, atau Rashid Rid}a> tampak mewarnai tulisan-tulisan Hamka. Pengaruh itu terlihat setidaknya dalam Tafsir al-Azhar, seperti yang diungkap Abdul Manan Syafi’i, Kevin W Fogg, dan Fachry Ali.209 Dalam konteks perkembangan intelektualitas Hamka, Yogyakarta dan Medan menjadi dua kota yang memberikan arti penting baginya. Fachry Ali menyebut, di Yogyakarta Hamka memperoleh kesadaran tentang Islam sebagai sesuatu yang hidup, suatu perjuangan, dan suatu pendirian yang dinamis. Sementara Medan menjadi wadah bagi Hamka untuk mengembangkan bakat intelektualnya, di mana dia dapat mengaktualkan potensi-potensi alamiahnya sebagai seorang ulama-intelektual, dan intelektual-ulama. 210 Di Medan pula Hamka secara intens terlibat dalam gerakan politik bersama Jepang karena percaya pada janji kemerdekaan yang dijanjikannya. Tentu saja dengan kemampuannya sebagai mubaligh dan penulis/wartawan.211 Kepergiannya ke Jawa pada tahun 1924, ketika usianya 15 tahun, memberikan pengalaman mengesankan pada diri Hamka. Di Yogyakarta Hamka sempat belajar tafsir Baidhawi pada Ki Bagus Hadikusumo. Di sini Hamka menemukan metode pengajaran tafsir yang berbeda dari yang didapatkannya saat belajar di Padang.212 Selain itu Hamka juga mengikuti kursus kaderisasi Sarikat Islam (SI). Di sini Hamka belajar sosialisme pada Tjokroaminoto, sosiologi pada RM Suryopranoto, dan agama Islam pada H Fakhruddin. Di Yogya Hamka sempat mengikuti rapat pertama pendirian Jong Islamieten Bond dan mendengarkan pidato Syamsu Rijal dan Kadhool. Juga ceramah Dr Sumowidagdo tentang tafsir Surat al-Fatihah. Setelah dari Yogya, Hamka tinggal di Pekalongan selama 6 bulan. Di bawah bimbingan kakak iparnya yang tokoh Muhammadiyah, AR Sutan

206 James R Rush, Adicerita Hamka..., h. xxxv-xxxvi. 207 Lihat Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik Al- Qur’an Terhadap Agama Lain, (Jakarta: Gramedia, 2012), h. 189-190 208 James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 5-6 209 Abdul Manan Syafi’i, ‚Pengaruh Tafsir al-Manar Terhadap Tafsir al-Azhar‛, dalam Miqot, vol. XXXVIII, no 2, Juli-Desember 2014, h. 263-275; Kevin W Vogg, ‚Hamka’s Doctoral Address at Al-Azhar: The Influence of Muhammad Abduh in Indonesia‛, Afkaruna, vol. 11, No 2, 2015, h. 125-126; Fachry Ali, ‚Hamka dan Masyarakat...‛, h. 50-51 210 Fachry Ali, ‚Hamka dan Masyarakat...‛, h. 53-56 211 Fachry Ali, ‚Hamka dan Masyarakat...‛, h. 57 212 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 60

43

Mansur, Hamka merasa pengetahuan keagamaannya telah diberi ‚jiwa‛ oleh iparnya itu.213 ‚Jiwa‛ yang dimaksud Hamka adalah ‚intisari perjuangan Islam‛.214 Tokoh lain yang turut memperkaya intelektualitas Hamka adalah H Agus Salim. Hamka mengakui, sejak remaja dia sudah membaca buku-buku yang diterjemahkan oleh tokoh SI itu. Tulisan H Agus Salim yang bergaya bahasa lembut, dengan alunan Minang, telah meresap dalam jiwanya.215 Salim tidak hanya mewarnai pribadi dan intelektualitas Hamka melalui tulisan-tulisannya saja, namun juga melalui pertemuan langsung layaknya guru murid. Tentang H Agus Salim ini Hamka mengenang: Sampai bertahun-tahun kemudian apabila pikirannya tertumbuk, terutama ketika dia hendak melepaskan dahaganya tentang falsafah Islam yang mendalam, dia datang kepada pemimpin besar itu. Tidak bosan ia mendengarkan ucapannya sejam dua jam, tentang tauhid, falsafah, tasawuf, dan politik. Orang tua itu pandai pula menawan hatinya....216 Tinggal selama hampir setahun di Jawa dan belajar pada tokoh-tokoh pergerakan Islam saat itu, begitu memberi kesan pada diri Hamka dan memberinya perspektif baru tentang Islam. Tentang hal ini Hamka menceritakan, .… Dari pemimpin-pemimpin itulah dia mengetahui bahwa Islam sebagai suatu yang hidup. Dari merekalah dia tahu bahwa Islam adalah satu perjuangan, satu pendirian yang dinamik. Apatah lagi setelah dilihatnya perbedaan yang jauh sekali, antara Islam yang hidup di Minangkabau dengan di Jawa, terutama di Yogya.217 Pandangan baru tentang Islam itu membawa Hamka untuk aktif di dunia pergerakan, dan di titik ini pula Hamka berbeda dengan ayahnya. Jika ayahnya lebih fokus dalam berdakwah, dan enggan memasuki dunia politik praktis, Hamka tidak merasa tabu terlibat dalam pergerakan politik, meski dia mengaku sebenarnya itu bukan dunianya. Selain faktor lingkungan sosial-kultural, kondisi geografis Minangkabau – khususnya Maninjau- juga mejadi guru yang turut membentuk pribadi Hamka. Lingkungan alam ini disebut Fachry Ali sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi perkembangan intelektual dan kepribadian Hamka. ‚Alam sekitarnya yang sangat indah mempengaruhi daya imajinasi Hamka,‛ tulis Fachry Ali.218 Keindahan Maninjau dengan danaunya yang luas, hamparan sawah, dan di kelilingi pegunungan telah mengasah jiwa Hamka sejak kecil. Sopan santun, kehalusan budi dan rasa, dan kekayaan bahasa Hamka diasah dari keindahan alam Minangkabau itu.219 Ini menjadi salah satu variabel pengasah jiwa seni Hamka, dan dari sini pula dapat dipahami kenapa Hamka ketika dewasa begitu mudah memaafkan orang-orang yang pernah menyakitinya. Hamka memberikan gambaran tentang keindahan alam Minangkabau yang inspiratif itu:

213 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 60-64 214 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 112 215 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 162 216 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 93 217 James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 56-64 218 Fachry Ali, ‚Hamka dan Masyarakat...‛, h. 52 219 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 139

44

Dia sendiri adalah anak Minangkabau, lahir di desa atau kampung terpencil, di tepi Danau Maninjau. Danau Maninjau sendiri terkenal indah dan menyayukan hati; di sana, danau berpagar gunung, warna biru dari gunung dan bukit bertukar menjadi warna danau di kala tidak ada angin yang menyebabkan riak. Seluruh alam Minangkabau indah dengan pagar gunungnya: Merapi, Singgalang, Tandikat, Sago, Talang Pasaman, Talaman, dan Kerinci! Pantai Lautan Hindi di sebelah barat disebut Bandar Sepulug. Bagi Tuan Haji Kita, Pantai Bandar Sepuluh itu lebih indah daripada Pantai Riviera di Eropa.220 Setelah kembali dari Jawa Hamka terlibat dalam mendirikan Tabligh Muhammadiyah di Padang Panjang. Hamka semakin jauh terlibat dalam Muhammadiyah ketika ia menjadi pendamping kakak iparnya, AR Sutan Mansur, yang bertugas menjadi muballigh Muhammadiyah di Sumatera Barat. Pasca Kongres Muhammadiyah ke 18 tahun 1928 di Solo, Hamka masuk ke jajaran pimpinan Muhammadiyah Padang Panjang sebagai ketua bagian Taman Pustaka, ketua Tabligh, hingga menjabat sebagai ketua cabang.221 Kemampuan pidato dan keaktifannya membantu penyebaran Muhammadiyah di Sumatera mengantarkan Hamka menjadi muballigh Muhammadiyah di Makassar pada 1931. Tugas utamanya adalah menyiapkan Kongres Muhammadiyah ke 21 pada Mei 1932. Tahun 1933 ia kembali ke Padang Panjang dan setahun kemudian menjadi Anggota Tetap Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Ketika pindah ke Medan pada Januari 1936 karena pekerjaan, Hamka tetap aktif di Muhammadiyah. Dia pun sempat menjabat sebagai Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur pada 1942- 1945.222 Selain aktif di Muhammadiyah, Hamka juga terlibat dalam kelompok diskusi Ikhwanus Shafa yang terdiri tokoh-tokoh intelektual Medan seperti H Hasan, Zainal Arifin Abbas, Rahim Haitami, Abdurrahman Syihab, Bustami Ibrahim, dan Teuku M Hasan. Hamka juga terlibat dalam Lembaga Bahasa Indonesia.223 Keberadaannya sebagai pimpinan Muhammadiyah dan popularitasnya sebagai penulis dan wartawan Pedoman Masyarakat membuat Hamka sering bersentuhan dengan urusan sosial dan politik. Gesekan antara Muhammadiyah dengan kelompok tradisi yang didukung kalangan penguasa kesultanan, mengasah kemampuan diplomasi dan berpolitik Hamka. Kemampuan ini semakin terasah ketika terjadi perang antara Belanda dengan Jepang. Dengan strategi ‚komidi putar‛ yang dimainkannya, Hamka pun bergabung dalam pemerintahan Jepang di Sumatera Timur.224 Ketika Jepang kalah oleh Sekutu, strategi ini ternyata menjerumuskan dirinya karena dianggap sebagai kolaborator Jepang, dan memberikan bekas traumatik pada diri Hamka. Namun demikian Hamka mampu bangkit untuk

220 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 134 221 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 4-5. Untuk sejarah perkembangan Muhammadiyah di Sumatera Barat lihat Hamka, Muhammadiyah di Minangkabau, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1974). 222 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 5-6 223 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 189-120 224 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., terutama bagian ketiga

45 mengambil peran penting dalam pergerakan keagamaan dan kemerdekaan di Sumatera. Setelah pindah ke Sumatera Barat pada Desember 1945, Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Pemimpinan Muhammadiyah daerah itu dalam Konferensi pada Mei 1946. Hamka juga terlibat dalam partai Masyumi dan Front Pertahanan Nasional (FPN). Dalam FPN dia menjabat sebagai ketua. Posisi ini membuat Hamka harus sering berkunjung ke daerah-daerah di Sumatera Barat untuk membangkitkan semangat juang rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan.225 Karir Hamka di Muhammadiyah terus menanjak. Dalam Kongres ke 32 di Purwokerto pada 1953, dia terpilih menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dia kembali terpilih dalam Kongres di Palembang, Yogyakarta, Makassar, dan Padang. Pada Kongres di Makassar tahun 1971, Hamka tidak bersedia dipilih kembali karena alasan usia dan kesehatan. Namun dia diberikan posisi sebagai penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Jabatan ini tetap diembannya hingga meninggal dunia.226 Sementara itu aktivitas politik Hamka terus berlanjut di Masyumi. Pada Pemilu pertama tahun 1955, Hamka maju mewakili Masyumi untuk daerah Jawa Tengah dan terpilih sebagai anggota Konstituante. Meski tidak begitu menonjol Hamka sempat memberikan peran penting di partai ini. Ia pernah memberikan pidato di Konstituante mewakili fraksinya. Keaktifannya di Masyumi membuat dia harus mundur dari pegawai negeri di Departemen Agama.227 Beberapa waktu sebelum Masyumi dibubarkan oleh pemerintah Orde Lama, Hamka mulai fokus di kegiatan dakwah. Ini pilihan realistis yang diambilnya di tengah situasi politik yang totaliter, di mana kekuatan politik pro-demokrasi yang dimainkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) mengalami tekanan luar biasa dari rezim Demokrasi Terpimpin dan pengaruh PKI yang semakin dominan. Hamka pun menjadi imam Masjid Agung al-Azhar Kebayoran. Di sini dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Juli 1959-Agustus 1960) dan Gema Islam (1962). Pada 1964 Hamka ditangkap dan menjadi tahanan politik pemerintahan Orde Lama hingga 1966. Setelah keluar dari penjara Hamka makin intensif berdakwah melalui Masjid Al-Azhar. Dia juga kembali menerbitkan Panji

225 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., terutama bagian keempat 226 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 6-7 227 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 8. Pada 27 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluaran Peraturan Presiden RI No 2 Tahun 1959 Tentang Larangan Keanggotaan Partai Politik Bagi Pejabat Negara Republik Indonesia. Di Perpres itu disebutkan bahwa pegawai Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah golongan F yang digaji dari PGPN 1955, semua anggota Angkatan Perang dan Kepolisian Negara, anggota direksi/pimpinan/staf pada badan-badan usaha/yayasan-yayasan/perusahaan- perusahaan/lembaga-lembaga negara harus mengunduran diri dari keanggotaan di partai politik, dalam jangka waktu tiga puluh hari setelah berlakunya Perpres tersebut. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak mengundurkan diri maka akan diberhentikan secara terhormat. Lihat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Keadaan Bahaja (No 23 Th. 1959-LN 1959/139-TLN 1908) dan Peraturan-Peraturan Jang Berhubungan Dengan Itu,diterbitkan oleh Inspektorat Djenderal Territorial dan Perlawanan Rakjat, 1959, h. 97- 101.

46

Masyarakat pada 1967. Hamka kemudian diangkat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama pada 1975 hingga 1981. Pada 24 Juli 1981 Hamka meninggal dunia dalam usia 73 tahun. Dua bulan sebelumnya (18 Mei 1981) Hamka mengundurkan diri dari Ketua MUI karena peristiwa fatwa haram bagi umat Islam mengikuti perayaan natal.228 Pilihan Hamka untuk berjuang melalui dakwah ini pun ‚diikuti‛ oleh rekan-rekannya eks pengurus Masyumi pasca kegagalan rehabilitasi Masyumi dan pembatasan politik oleh rezim Orde Baru. C. Karya-karya Hamka Jejak kepenulisan Hamka dimulai pada 1925 ketika dia membuat majalah Khatibul Ummah berisi kumpulan pidato. Buletin ini sempat terbit tiga edisi.229 Setelah kembali dari hajinya yang dramatik pada 1927, Hamka menuliskan kisah perjalanannya itu dan dimuat di harian Pelita Andalas di Medan. Edisi 13 Agustus menjadi awal baginya menggunakan nama HAMKA. Tahun 1928 Hamka menulis novel Si Sabariyah dalam bahasa Minangkabau dan beraksara Arab Jawi. Tahun 1929 ia menulis buku tentang sejarah Abu Bakar Shiddiq, tentang dakwah, tentang agama dan perempuan, serta beberapa tentang adat Minangkabau. Karir kepenulisan Hamka berlanjut dengan menerbitkan majalah Kemauan Zaman pada 1929. Saat bertugas sebagai muballigh Muhammadiyah di Makassar 1931-1933 Kemauan Zaman cuma terbit tiga edisi. Sementara Al-Mahdi terbit hingga 9 edisi. Dia juga menjadi koresponden untuk majalah Pembela Islam yang terbit di Bandung.230 Hamka juga mengirim artikel-artikelnya ke beberapa majalah seperti Seruan Islam di Pangkalan Brandan, Nibras, Bintang Islam, dan Suara Muhammadiyah di Yogyakarta.231 Sejak 22 Januari 1936 hingga 13 Maret 1942 Hamka menjadi pimpinan redaksi majalah Pedoman Masyarakat di Medan. 232 Pedoman Masyarakat menjadi momen Hamka dikenal sebagai penulis dan ulama. Oplahnya terus meningkat hingga mencapai 4000 eksemplar. Sangat besar untuk saat itu. Persebarannya pun meluas ke wilayah-wilayah lain di Indonesia, bahkan ke Singapura dan Pulau Pinang . Ini membuat nama Hamka semakin dikenal di mana-mana. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai hoofdredaktur Pedoman Masyarakat itu Hamka juga menulis beberapa buku, di antaranya novel Tenggelamnya Kapal Van der Wick dan Tasawuf Modern.233 Pedoman Masyarakat dan buku-buku Hamka menjadi jembatan yang menghubungkan persahabatan Hamka dengan Soekarno. Juga semakin mengeratkan hubungannya dengan Haji Agus Salim yang sudah dianggap guru oleh

228 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 10-11, 245-259 229 James R Rush, Adicerita Hamka..., h. xxxvii; Hamka, Kenang-Kenangan Hidup..., h. 251 230 James R Rush, Adicerita Hamka..., h. xli-xlii; Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 121-122 dan 251. Menurut Hamka majalah-majalah itu tidak terbit lama karena persoalan keuangan. Banyak pelanggan yang tidak membayar. 231 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 250-251 232 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 250-256 233 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 252-256

47

Hamka. Termasuk juga dengan Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, dan Isa Anshori.234 Buah tulisan Hamka terus mengalir. Latar belakang Hamka yang agamis, keterbukaannya pada ide-ide baru, dan keterlibatannya dalam dunia pergerakan mewarnai tulisan-tulisannya di era Revolusi Fisik. Ketika kembali ke Sumatera Barat dari Medan Hamka menerbitkan buku Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Dibantingkan Ombak Masyarakat, dan Negara Islam.235 Sebelumnnya di akhir pemerintahan Jepang dan untuk menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia, Hamka sempat menerbitkan buku Merdeka (September 1949) serta Islam Dan Demokrasi (November 1949).236 Dari tulisan- tulisan tersebut tergambar keinginan Hamka untuk mewarnai kemerdekaan Indonesia dengan nilai-nilai keislaman. Hamka seakan menyatakan bahwa Islam relevan untuk membangun sebuah negara merdeka yang modern. Gagasan tentang relevansi Islam dengan politik modern ini menjadi paradigma politik Hamka yang terus diperjuangkannya di kemudian hari. Hamka kembali menerbitkan majalah ketika dia tinggal ke Jakarta. Bersama KH dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat pada Juli 1959. Namun pada 17 Agustus 1960 majalah ini dibreidel oleh Presiden Soekarno karena memuat karangan Mohammad Hatta berjudul ‚Demokrasi Kita.‛ Pada 1962 bersama dengan beberapa perwira TNI AD Letjen dan Brigjen Muchlas Rowi Hamka menerbitkan majalah Gema Islam. Majalah ini berhenti terbit saat Hamka ditangkap pemerintah dengan tuduhan subversi. Setelah bebas, Hamka kembali menghidupkan majalah Panji Masyarakat.237 Sepanjang kepindahannya ke Jakarta, banyak buku-buku yang dihasilkannya. Buku Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah ditulis setelah dia kembali dari berhaji dan melawat ke beberapa negara Arab.238 Buku 4 Bulan di Amerika ditulis setelah lawatan ke Amerika pada tahun 1952. Hamka juga sempat berpidato Pengaruh Mohammad Abduh di Indonesia ketika dia berkunjung ke Mesir tahun 1958. Dari pidato inilah Hamka kemudian diusulkan untuk menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al- Azhar.239 Ada banyak tulisan-tulisan yang dihasikan Hamka. Rush mencatat sekitar 60-an judul buku Hamka. Beberapa di antaranya terdiri dari beberapa jilid, seperti Kenang-kenangan Hidup (4 jilid), Empat Bulan di Amerika (2 jilid), Sejarah Umat Islam (4 jilid), dan tentu saja magnum opus-nya Tafsir Al-Azhar (30 jilid).240

234 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 252-256; James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 79 235 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 64; Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 458-459 236 Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 426-428 237 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 9-10 238 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 7 239 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 8-9 240 James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 310-312. Beberapa buku Hamka ini kini dicetak ulang dan digabungkan menjadi lebih ringkas. Buku Empat Bulan di Amerika dicetak ulang menjadi 1 jilid. Demikan pula buku Kenang-kenangan Hidup dan Sejarah

48

Tulisan-tulisan Hamka banyak yang dicetak ulang dengan revisi di sana-sini, dan seringkali dengan perubahan judul. Banyak pula tulisan-tulisannya yang semula merupakan isi ceramah atau pidatonya, yang kemudian ditulis dan diterbitkan. Nilai dan arti kehadiran seseorang, tulis Taufik Abdullah, harus ditempatkan pada konteks kesejarahannya. Kehadiran orang tersebut akan dapat dipahami jika dia ditempatkan di tengah-tengah masyarakatnya. Dalam hal ini Abdullah melihat, Hamka hadir dalam konteks masyarakat yang berubah, dari semula murni masyarakat primordial, sebagai warisan dari nenek moyangnya, dengan hubungan emosional yang kuat, melebar menuju ke komunitas yang ikut dibayangkan, diperjuangkan, diciptakan, dan dipeliharanya, yaitu bangsa Indonesia, dengan pola hubungan yang rasional. Di sini Hamka melakukan dialog dalam berbagai intensitas emosional dan rasional dengan komunitas bangsanya tersebut.241

Umat Islam dicetak ulang menjadi 1 jilid. Tafsir al-Azhar dicetak ulang menjadi 9 jilid tebal. 241 Taufik Abdullah, ‚Buya Hamka, Aktor di Atas Pentas Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia,‛ dalam Afif Hamka, dkk (ed.), Buya Hamka, h. 5

49

BAB IV PEMIKIRAN POLITIK DAN KEBANGSAAN HAMKA

Periode 1920-an dan awal 1930-an, tulis Taufik Abdullah, merupakan ‚dasawarsa ideologi‛ dalam sejarah modern Indonesia. Saat itu berbagai ideologi mulai dirumuskan dan memberikan warna dalam perkembangan politik dan keagamaan di Indonesia pada periode setelahnya. Di periode itu pula terjadi perdebatan seputar strategi perjuangan kebangsaan.242 Tema utama perdebatannya adalah seputar Islam dan kebangsaan, dan hubungan agama dengan negara. Di era ini para inteligensia Muslim fase kedua merumuskan ideologi Islam dengan tema besar ‚nasionalisme Islam‛ dan ‚negara Islam,‛ sebagai respons atas pemikiran kelompok nasionalis sekular.243 Periode ideologi, menurut Kuntowijoyo, merupakan babakan kedua dari kesadaran sejarah umat Islam, yang menjadi jembatan bagi periode mitos dan ilmu.244 Perwujudan konkret dari periode ini adalah Pemilu tahun 1955 yang dilihat

242 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 15. 243 Yudi Latif melihat sejarah pembentukan inteligensia Muslim di Indonesia terjadi dalam beberapa babak. Generasi pertama terbentuk pada periode formatif di awal abad ke 20 (tahun 1900-1910-an). Isu yang dikembangkan sekitar kesejahteraan sosial dan gagasan sosialisme Islam sebagai respons terhadap propaganda Marxisme-Sosialisme. Fase kedua terbentuk pada tahun 1920-1930-an. pada periode ini wacana yang populer adalah tentang nasionalisme dan negara merdeka. Rumusan wacana yang dikembangkan oleh intelegensia Muslim periode ini adalah ‚nasionalisme Islam‛ dan ‚negara Islam.‛ Wacana ini terus dilanjutkan pada fase ketiga yang berlangsung tahun 1940-1950-an awal. Pada periode ini formulasi ideologi Islam yang dikembangkan adalah keseimbangan antara keislaman dengan keindonesiaan. Babakan pembentukan keempat terjadi pada akhir dekadi 1950-an dan tahun 1960- an. Ada dua ideologi yang berkembang di kalangan inteligensia Muslim fase ini: ideologi pembaharuan dan ideologi islamis (dakwah). Fase formatif kelima terbentuk pada periode 1970-an dan awal 1980-an. Di periode ini formulasi ideologi yang berkembang adalah akomodasionisme dan rejeksionisme atas negara sekular Orde Baru. Sementara periode 1980-an dan 1990-an menjadi fase formatif generasi keenam. Ada dua formulasi ideologis utama yang berkembang: revivalisme Islam dan liberalisme Islam. Meski demikian sebagian besar intelegensia Muslim periode ini lebih suka menikmati hibriditas antara keduanya. Lihat Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa, (Jakarta: Democracy Project, 2012), h. 744-747 244 Kuntowijoyo membuat periodesasi sejarah umat Islam di Indonesia menjadi tiga tahap: mitos, ideologi dan ilmu. Cara berfikir periode mitos bersifat pra-logis (mistik), berbentuk magis, pergerakan politik bersifat pedesaan, lokal, dengan latar belakang agraris. Masyarakat terbangun atas solidarits mekanis dengan kepemimpinan tokoh kharismatis. Sementara periode ideologi dicirikan dengan cara berfikir rasional tetapi masih tetap non- logis berbetuk pengetahuan apriori tentang nilai-nilai abstrak, berlokasi di perkotaan, perkumpulan bersifat nasional, ekonomi komersial dan industri kecil, masyarakat pedagang, solidaritas organis, dan kepemimpinan intelektual. Periode bermula pada era Sarekat Islam (SI) hingga pertengahan Orde Baru. Sementara periode ilmu cara berfikirnya bersifat logis berdasarkan fakta yang kongkret, obyektif, empiris, dan terbuka. Lihat

50

Kuntowijoyo sebagai wahana pertarungan ideologi-ideologi besar yang ada saat itu: nasionalisme, komunisme, dan Islam yang terus berlangsung dalam Konstituante dan peristiwa 1966.245 Gesekan ideologi telah dimulai pada peristiwa penghinaan Nabi Muhammad oleh koran Djawi Hisworo tahun 1918 antara kaum nasionalis Jawa (Groot ) dengan tokoh-tokoh SI, perdebatan Soekarno dengan Tjokroaminoto dan Agus Salim tentang Islam dan nasionalisme di tahun 1925- 1928, dan kemudian melibatkan A Hassan dan M Natsir di tahun 1940-an.246 Perdebatan tentang Islam dan ideologi negara itu kemudian ditarik ke dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) di tahun 1945 dan melahirkan konsensus berupa Piagam Jakarta.247 Di tengah suasana persaingan ideologi itulah Hamka banyak menulis dan memberikan sumbangsih bagi pemikiran politik dan kebangsaan Indonesia. Hamka memulai karier intelektual dan pengalaman politik pertama kali pada 1924. Di usia remaja (umur 15-16 tahun) dia mengalami kesadaran baru sebagai Muslim setelah belajar tentang Islam, politik, dan dunia pergerakan pada tokoh-tokoh inteligensia Muslim awal seperti HOS Tjokroaminoto, Suryopranoto, Ki Bagus Hadikusumo, H Fakhrudin, H Agus Salim, dan AR Sutan Mansur. Pada bagian ini akan dikemukakan gagasan-gagasan politik dan kebangsaan Hamka yang muncul dan matang di tengah suasana persaingan berbagai kelompok ideologi. Pembahasan akan dimulai dengan tema hubungan agama dengan negara dalam perspektif Hamka. Pembahasan ini didahulukan karena menjadi paradigma bagi pemikiran dan aksi politik Hamka. Setelah itu baru pembahasan masuk ke tema-tema lainnya. Tentang aktivitas politiknya akan dibahas di bagian lain setelah bab ini. A. Hubungan Agama-Negara Menurut Hamka Pemikiran dan perilaku politik Hamka didasarkan pada pandangannya tentang kesalingterkaitan antara agama dan negara. Tentang hal ini Hamka menulis, ‚Islam tidak mengenal apa yang pernah dikatakan orang bahwa: ‘Agama adalah urusan pribadi. Adapun soal-soal kehidupan ini tidaklah ada sangkut pautnya dengan agama. Kita boleh mengatur peri hidup kita menurut kemauan kita sendiri, dengan agama tak usah dicampur-adukkan ke dalamnya’.‛ 248

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), h. 305-307. Dalam ideologi, tulis Kuntowijoyo, kenyataan ditafsirkan sesuai dengan kaidah-kaidah yang diyakini sebagai kebenaran. Sementara dalam ilmu kenyataan dilihat sebagai kenyataan yang otonom dari kesadaran pemandangnya. Lihat Kuntowojoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 22-23 245 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat..., h. 17-22 246 Lihat Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, (Jakarta: Teraju, 2002). 247 Tentang perdebatan-perdebatan di BPUPK lihat Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: Rajawali, 1983); dan A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009). 248 Hamka, Studi Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 196

51

Islam, ungkap Hamka, tidak pernah memposisikan negara yang terpisah dari agama, sebagai konsekuensi logis dari keserbamencakupan Islam. Islam mencakup semua urusan: urusan dunia dan akhirat. Segala aspek kehidupan di dunia ini, tulisnya, tidak bisa dilepaskan dari agama. Tidak mungkin manusia bisa melepaskan aktivitas hidupnya dari agama, baik yang privat atau publik, karena memang dunia ini merupakan jembatan bagi manusia untuk menuju ke akhirat.249 Termasuk juga dalam bernegara. Hamka menegaskan bahwa agama adalah pondasi bagi negara. Jika negara terpisah dari agama, hilanglah dasar tempat negara itu ditegakkan. Dalam perspektif Islam, jelasnya, negara adalah penyelenggara atau pelayan (khadam) dari manusia, sedangkan manusia adalah kumpulan dari pribadi- pribadi. Karena itu Hamka menyimpulkan, tidaklah dapat tergambar dalam pemikirannya bahwa ketika seseorang telah bernegara maka secara otomatis dia terpisah dari agama yang dianutnya.250 Baginya, pemisahan agama dari negara adalah ‚pemisahan tubuh dengan nyawa.‛251 Keserbamencakupan Islam itu diwujudkan dengan apa yang disebut Hamka sebagai ‚trias azasi‛ Islam yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan, yaitu: akidah, syariat, dan akhlak. Akidah merupakan pondasi bagi Islam yang di atasnya terletak elemen-elemen lain yang bersatu padu membangun sebuah bangunan Islam. Sebagai pondasi, akidah menjadi sumber energi yang membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan kepada makhluk. Dengan demikian, akidah itu baru bermakna jika ‚kita hidup di dunia ini menurut yang aturkan oleh Allah, atau membuat undang-undang yang sesuai dengan syariat Allah. Hubungan perseorangan dengan Allah, hubungan sesama manusia walaupun berlainan agama, dan hubungan sesama pemeluk Islam,‛ jelas Hamka.252 Ketika seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, ungkapnya, berarti dia telah menyerahkan jiwa-raga dan seluruh harta-bendanya kepada Allah. Hal ini membawa konsekuensi adanya kewajiban baginya untuk menegakkan aturan-aturan Allah, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, ke penjuru dunia ini, khususnya di negara Indonesia. Hamka menyebut orang-orang yang telah bersyahadat sebagai ‚mujahid/pejuang agama Allah di muka bumi ini.‛253 Karena menjadi bagian tak terpisahkan dari agama, tulisnya, umat Islam wajib memperjuangkan keberlakuan syariat dalam segala segi kehidupan. Umat Islam tidak bisa berlagak masa bodoh dalam soal kenegaraan. Ketika sudah menyatakan dua kalimat syahadat, berarti umat Islam telah menyerahkan urusan dunia dan agamanya kepada Nabi Muhammad, berdasarkan perintah Allah.254

249 Hamka, Studi Islam, h. 196-197. Lihat juga Ahmad Hakim dan M Thalhah, Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka, (Yogyakarta: UII Pres, 2005), h. 62 250 Hamka, Studi Islam, h. 206 251 Hamka, Revolusi Agama… Menudju Negara, (Jakarta: Pustaka Islam, 1952), h. 90 252 Hamka, Studi Islam, h. 202 253 Hamka, ‚Diri Ini Telah Terdjual,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 69, tahun IV, Desember 1970, h. 3-4 254 Hamka, Tafsir al-Azhar jilid 2, (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 336

52

‚Islam telah mewajibkan bagi umatnya menegakkan atau memperjuangkan agar syariat itu berjalan dan berlaku kuat kuasanya dalam diri sendiri, dalam rumah tangga, dalam masyarakat, dan dalam negara. Dia wajib diikuti dan ditaati dengan segala kemungkinan yang ada, semuanya hendaklah terlaksana,‛ tulisnya.255 Hamka menjelaskan, Islam bukan sekedar kepercayaan, namun juga aturan hidup. Orang Islam yang sadar akan agamanya tidak sekedar mencukupkan keislamannya pada Rukun-rukun Iman semata, lalu melaksanakan ibadah ritual (Rukun Islam) semisal shalat, puasa, berzakat dan sedekah, dan naik haji. Sebagai pedoman kehidupan, tegasnya, Islam menuntut umatnya untuk mengerjakan semua bentuk ibadah ritual itu, kemudian melaksanakan hukum-hukum syariat dalam pergaulan kesehariannya, dalam masyarakatnya, dan dalam keputusan hukum dan pemerintahannya. Berdasarkan ini Hamka tidak sepakat dengan penyataan bahwa ‚Islam adalah agama dan negara‛. Menurutnya, rumusan yang tepat adalah ‚Islam adalah agama!‛. Karena itu, simpulnya, mengurus negara merupakan salah satu bagian integral dari agama (Islam).256 Keengganan mengamalkan Islam secara totalitas itu dapat mendorong kepada kedzaliman, kefasikan, bahkan kekafiran. Karena inilah Hamka meyakini umat Islam yang baik pasti memiliki cita-cita menerapkan aturan-aturan agama dalam politik pemerintahan. Hamka berujar, Agama Islam tidaklah tegak, kalau dia dijauhkan dari masyarakat. Dan pemeluknya dicap oleh Tuhan sendiri sebagai orang yang ‚zalim‛ (aniaya), ‚kafir‛ (tiada percaya sungguh) dan, ‚fasiq‛ (durjana), kalau sebagai orang Islam dia tidak bercita-cita supaya hukum Allah berjalan dalam masyarakat. Sebab itu maka dengan sendirinya, karena perintah agamanya, adalah seorang Islam mempunyai cita-cita perjuangan bernegara….257 Untuk memperkuat pernyataannya, Hamka menggunakan beberapa nash al- Qur’an dan Sunnah sebagai argumen. Di antaranya adalah:

           ‚…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.‛ (QS Al-Maidah: 44)

      .         

    ‚Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka

255 Hamka memahami syariat sebagai ‚sekalian tuntunan yang diturunkan Allah kepada manusia dengan perantaraan nabi-nabi, yang diakhiri oleh kedatangan Nabi Muhammad Saw.‛ Syariat bersifat luas dan mencakup banyak hal: akidah, ibadah, muamalat, munakahat, jinayat, kenegaraan, dan meninggikan tingkat kerohanian melalui akhlak/budi pekerti dan amar ma’ruf nahi munkar. Hamka, Studi Islam, h. 202-203 256 Hamka, Studi Islam, h. 205 257 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 80; Hamka, ‚Diri Ini Telah...‛, h. 3-4.

53

perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.‛ (QS. al-Nisa’: 65) Hamka pun menegaskan, keberislaman itu tidak hanya berupa pengakuan akan keesaan Allah. Namun juga harus diiringi dengan ketaatan kepada syariat (peraturan) yang datang dari Allah. Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap Muslim, baik secara individu maupun bermasyarakat, wajib beribadah, berkepercayaan, dan setiap aktivitas hidupnya sesuai dengan aturan yang telah digariskan syariat tersebut. Hal ini juga berlaku bagi setiap Muslim ketika mereka bernegara dan membuat perundang-undangan.258 Selain itu juga banyak aspek-aspek syariat yang tidak bisa terwujud kecuali melalui kekuasaan politik. Hamka menyatakan, bukan hanya syariat di bidang publik semacam urusan perdata, pidana, hubungan antar pribadi dalam bermasyarakat, atau hubungan antar negara, aspek ibadah ritual yang privat pun (seperti shalat, puasa, zakat, atau haji) membutuhkan kekuasaan politik untuk pelaksanaannya. Tanpa adanya kekuasaan untuk penerapan ajaran-ajarannya, simpul Hamka, al-Qur’an akan menjadi sekedar ‚bacaan mati‛.259 Di sini Hamka merujuk pada negara Madinah yang disebutnya sebagai perwujudan dari keyakinannya di atas bahwa ‚cita-cita tauhid tidak dapat dilaksanakan, kalau tidak disertai kekuasaan.‛ Karena itu Hamka menegaskan, pembentukan negara Madinah tersebut hanyalah sebuah sarana dalam melaksanakan hukum Tuhan.260 Selain alasan normatif-doktrinal, Hamka juga mengajukan alasan historis untuk memperkuat paradigma politiknya. Menurutnya, secara historis, sejak awal mula Islam tidak pernah terpisah dari urusan politik kenegaraan. ‚Dan kaum Muslimin harus bangga, karena agama Islam ini sejak mulai tegaknya, bukan saja menjadi contoh bagaimana mengerjakan sembahyang yang diajarkannya, bahkan bagaimana mendirikan suatu staat dan memegang politik, itupun terang ditunjukkannya,‛ tulis Hamka.261 Dijelaskan, Muhammad Saw hadir di Jazirah Arab dengan membawa ajaran tauhid dan telah mempersatukan suku-suku di sana hingga di kemudian hari menjadi sebuah negara yang kuat dan bangsa yang dihormati.262 Secara resmi hal itu terjadi setelah Rasulullah Saw hijrah ke Yatsrib yang kemudian diubah menjadi Madinah.263 Bagi Hamka, pergantian nama Yatsrib menjadi Madinah merupakan tanda penting dari dimulainya peran politik yang dimainkan Nabi Muhammad. Madinah berarti ‚kota.‛ Dalam nama ini, jelasnya, terkandung cita-cita besar bahwa di sana akan dibangun kehidupan berkota (bertamaddun). Tamaddun berarti kemajuan (peradaban) atau civilization dalam bahasa Barat. ‚Madinah‛ juga

258 Hamka, Studi Islam, h. 129 259 Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Jakarta: Widjaya, 1951), h. 7 260 Hamka, ‚Perbandingan Sedjarah‛, dalam Hikmah, no 15-16, tahun V, 16 April 1952, h. 18 261 Hamka, ‚Perbandingan: Hoekoem Kesopanan dengan Hoekoem Politiek (Habis)‛, dalam Pedoman Masjarakat, edisi 27 September 1939, h. 761 262 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 89-90 263 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 89-90

54 berarti polis, akar dari kata ‚politik‛. Dengan demikian, ujar Hamka, Madinah ‚menjadi suatu negara, suatu kemajuan dan peradaban, serta menjadi politik pemerintahan.‛264 Negara Madinah menjadikan Muhammad Saw bukan saja seorang utusan Allah, namun juga ‚kepala dari suatu masyarakat, yang akhirnya jadi semacam negara, yang berbatas berbintalak, berdaerah kekuasaan, mempunyai undang- undang sendiri.‛265 Hamka menyebut negara di Madinah yang dipimpin Nabi Muhammad itu sebagai ‚Negara Qur’an.‛266 Hamka juga mempunyai sebutan lain untuk negara Madinah tersebut: ‚Setelah terbuka jalan ke Madinah, beliau pun pindah ke sana. Di sana beliau mendapat sambutan yang baik dan dapat membentuk masyarakat sendiri: Masyarakat Islam dan negara sendiri: Negara Islam.‛267 Hamka mendefinisikan ‚negara Islam (Da>r al-Isla>m)‛ sebagai ‚negara yang berjiwa agama‛. Di sini Hamka membedakan antara Da>r al-Isla>m dengan Da>r al- Sala>m. Menurutnya, Darul Islam adalah negara yang kehidupannya diatur sesuai dengan aturan-aturan Islam. Namun Hamka menyadari, bagaimanapun juga Da>r al- Isla>m tetap berada di dunia sehingga secara ideal tidak akan pernah seratus persen sesuai dengan kehendak Islam. Idealitas kehidupan yang sesuai dengan aturan Islam itu, tegasnya, baru bisa tercapai nanti di akhirat. Inilah yang disebut Hamka sebagai Da>r al-Sala>m. Meski ‚Negara Islam‛ tidak bisa mewujudkan kondisi Islam yang ideal, namun Hamka mengajak untuk bersikap positif dan optimis dengan terus berupaya memwujudkannya semaksimal mungkin.268 Kekuasaan politik Madinah itu kemudian dilanjutkan oleh para sahabat- sahabat beliau setelah kewafatannya. Dijelaskannya, Sejak Rasulullah Saw. berhijrah dari Mekah ke Madinah, sehari setelah sampai di Madinah telah berdiri suatu kekuasaan atau pemerintahan Islam yang Nabi Saw. sendiri memegang tampuk pemerintahan. Di kiri kanannya berdirilah beberapa pembantu. Pembantu utama ialah empat orang: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali…269 Menurut Hamka, posisi Muhammad sebagai nabi dan rasul tidak bisa digantikan oleh siapapun karena beliau telah menyatakan ‚tidak ada nabi setelahku‛. Namun negara Madinah yang terlah terbentuk itu membutuhkan

264 Hamka, Di Tepi Sungai Dajlah, (Jakarta: Gema Insani, 2019), h. 16-17 265 Hamka, ‚Khilafaat,‛ dalam Panji Masyarakat, no 195, tahun XVII, 15 Maret 1976, h. 5 266 Hamka, Islam dan Demokrasi, (Bukittinggi & Medan: Firma Tjerdas, 1946), h. 9. Buku ini tidak mencantumkan tahun terbitnya. Namun menurut beberapa sumber buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1946. Lihat James R Rush, Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar Untuk Indonesia Modern, penerjemah Zia Anshor (Jakarta: Gramedia, 2017). Penerbitan di tahun 1946 kemungkinan besar benar mengingat dalam memoarnya Hamka menceritakan buku ini selesai ditulisnya di akhir November 1945. Lihat Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: GIP, 2018), h. 428 267 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 103. 268 Lihat Hamka, Tjahaja Baru, (Medan: Pustaka Nasional, 1950), h. 58-60 269 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 341

55 pemimpin yang menggantikan beliau. Melalui proses yang rumit terpilihlah para pengganti beliau yang dimulai dari Abu Bakar, kemudian Umar, Utsman dan Ali. Meskipun ada dua tiga pendapat tentang siapa yang pantas jadi kepala negara itu, golongan mana yang patut, namun akhirnya terpilihlah Abu Bakar Shiddiq untuk menjabat pekerjaan baru itu. Pangkat menggantikan Rasul itu dinamai khilafat, yang menyandang jabatan itu bernama Khalifah. Abu Bakar sendiri disebutlah diri beliau Khalifatu Rasulillah!.270 Bagi Hamka, sejarah panjang peradaban Islam tersebut telah memberikan gambaran jelas akan integrasi agama dengan negara. Secara tegas Hamka pun menyimpulkan, Asal orang sudi membaca riwayat, tidak ada orang yang akan memungkiri, bahwasanya bangsa-bangsa yang telah memeluk dan menyiarkan agama Islam telah pernah mendirikan kerajaan-kerajaan Islam yang besar-besar. Sejak dari kedaulatan yang dibina oleh Nabi Muhammad di Madinah dan disambung oleh khalifahnya yang berempat, lalu kepada kerajaan ‚Bani Umayyah‛, ‚Kerajaan Bani Abbasiyah‛, ‚Kerajaan Fatimiyah‛ di Afrika, ‚Bani Umayyah‛ di Andalusi, ‚Kerajaan Bani Usman‛ di Turki dan lain-lain…271 … Sehingga dengan menyebut nama Islam saja, kita teringat kepada suatu agama, yang mengatur hidup dunia dan akhirat, diri dan masyarakat bersama. Pendeknya suatu agama negara, suatu negara agama…272 Lebih jauh Hamka menjelaskan, kesalingterkaitan agama dengan politik bukan hanya menjadi misi Nabi Muhammad saja, tapi juga menjadi misi nabi-nabi lainnya, meskipun secara historis banyak nabi yang tidak memegang memegang sendiri kekuasaan politik yang ada. ‚Perjuangan segala nabi-nabi menegakkan agama, sejak syariat agama diturunkan Tuhan ke dunia ini, adalah untuk mendirikan negara.‛273 Hamka memberi contoh perjuangan Nabi Musa melawan kekuasaan Fir’aun dan membebaskan bangsa Yahudi dari kesewenang- wenangannya. Contoh lainnya adalah perjuangan Nabi Ibrahim melawan Raja Namrud. Lebih dari itu, ada beberapa Nabi yang juga menjadi pemimpin negara, seperti Nabi Sulaiman dan Daud, atau Nabi yang menjadi pejabat negara seperti Nabi Yusuf.274 Meski meyakini integrasi agama-negara dalam konsep ‚negara Islam,‛ tetapi Hamka sadar bahwa Islam tidak pernah menentukan bentuk negara dan pemerintahan secara baku. Karena itu Hamka memberikan kebebasan yang luas kepada umat Islam untuk membentuk negara sesuai dengan kebutuhan zaman dan kondisinya masing-masing,275 dengan melakukan ijtihad politik sesuai dengan perubahan ruang dan waktu.276 Di titik ini bisa dimengerti jika Hamka

270 Hamka, ‚Khilafaat,‛ h. 5 271 Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 7 272 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 89-90 273 Hamka, Revolusi Agama (Sesudah Ditambah, Diperbaiki Diperluas), (T.Temp: T.P, 1962), h. 120. Buku ini terbit pertama kali tahun 1946. 274 Hamka, Studi Islam, h. 120 275 Hamka, Studi Islam, h. 206; Tim Penulis, Ensiklopedia Buya Hamka, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, 2019), h. 306 276 Hamka, Renungan Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Panjimas. 2002), h. 31

56 mendefinisikan ‚negara Islam‛ sebagai ‚negara yang berjiwa agama.‛ Pemilihan diksi ‚berjiwa agama‛ tersebut menggambarkan penekanan Hamka pada substansi dalam bernegara, bukan pada bentuk formalitasnya. Islam tidak memasuki soal-soal kecil, yang dapat dipecahkan oleh manusia sendiri. Menurut perubahan tempat dan zaman. Kalau soal itu dimasukinya pula, bekulah pertumbuhan masyarakat dan kemanusiaan, dan sudah lama agama ini ‚gulung tikar‛…277 Terlebih lagi dalam susunan negara. Amat besar kebebasan yang diberikan Nabi Muhammad terhadap umatnya dalam menghadapi urusan perkembangan bernegara. Sabda Nabi, ‘Kamu lebih tahu urusan duniamu’ adalah anak kunci yang senantiasa dapat digunakan sehingga titah al-Qur’an dapat dipakai dalam segala zaman dan segala tempat. Dan ketika beliau akan mati tidaklah beliau tinggalkan satu testament politik yang tidak boleh diubah. Bahkan seketika ada sahabat yang mendesak supaya meninggalkan wasiat dalam susunan pemerintahan, yang akan dapat dipedomani, beliau menggelengkan kepalanya.278 Bagi Islam, jelas Hamka, yang terpenting bukanlah bentuk negara dan pemerintahan atau sebutan-sebutan tertentu untuk para pemimpinnya. Karena semua itu hanyalah urusan teknis-birokratis belaka. Hamka menegaskan, substansi dalam bernegara adalah tata kelola pemerintahan yang tidak menyalahi ketentuan- ketentuan syariat dan hukum-hukumnya bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah.279 Inilah yang dimaksud Hamka sebagai ‚negara yang dijiwai agama.‛ Meski mengakui adanya kebebasan dalam membentuk negara, namun Hamka tegas menolak bentuk negara teokrasi. Islam, jelasnya, berbeda dari Kristen yang memiliki kepala agama, sehingga seorang muslim bisa berhubungan secara langsung dengan Allah tanpa melalui perantaraan kepala agama tersebut. Masyarakat muslim memang memiliki institusi ulama, namun ini bukanlah kasta tersendiri. Hamka menegaskan, ulama hanyalah manusia biasa yang memiliki ilmu, namun tidak memiliki hak menguasai agama. Pendapat seorang alim bisa dibantah oleh ulama lainnya. Karena itu jika suatu golongan menguasai agama, padahal dia tidak mendapat izin dari Allah, maka orang lain berhak mengambil kembali agama itu dari mereka dan menegakkan kembali demokrasi. ‚Tidak ada suatu kekuasaan memerintah atau kekuasaan politik yang boleh didakwakan datang dari langit, yang kerap disebut teokrasi. Yang datang dari langit hanyalah akuan dan angkatan Tuhan atas seorang manusia menjadi Nabi atau Rasul,‛ ujar Hamka.280

277 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 107-108 278 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 118 279 Hamka, Studi Islam, h. 205-206 280 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 101. Hamka menjelaskan, ulama’ merupakan jama’ dari kata ‚alim‛ yaitu orang yang berpengetahuan dalam artinya yang umum. Meliputi pengetahuan agama dan dunia. Ulama merupakan orang yang luas pemahamannya, jauh pandangannya, dan terus menerus meneliti. Namun setelah peradaban Islam mengalami kemunduran, makna ulama’ dipersempit hanya mereka yang mengerti kitab suci dan fikih. Lalu dipersempit lagi menjadi yang mengerti fikih di mazhabnya sendiri. Pada era ini terjadi taklid dan kemandegan berfikir di kalangan umat. Lihat juga Hamka, Revolusi Agama... Menudju..., h. 41-42.

57

Selain itu Islam juga memiliki institusi masjid. Namun Hamka membedakan antara masjid dengan gereja, karena setiap masjid berdiri sendiri dengan kepengurusan yang otonom, dan bisa diganti setiap saat. Demikian pula imam shalat, khatib dan muazzin. Mereka semua bukan penguasa ruhani umat Islam karena setiap Muslim bisa berhubungan langsung kepada Allah. Keberadaan mereka dipilih oleh jamaah untuk mengurus masjid dan pelaksanaan ibadah berdasarkan kemampuannya, seperti imam shalat yang dipilih karena kefasihannya dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an. Kondisi seperti ini berbeda dengan Gereja yang memiliki struktur hierarkhis dari pusatnya di Roma hingga ke gereja-geraja di tingkat paling bawah. Dengan demikian, simpul Hamka, dalam Islam tidak pernah ada istilah ‚memisahkan negara dari masjid,‛ sebagaimana di Barat yang memisahkan negara dari Gereja.281 Penolakan Hamka terhadap teokrasi ini kemudian diteruskan dengan penerimaannya pada konsep demokrasi, tentu saja demokrasi yang telah disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Hamka menyebut sintesis demokrasi dengan Islam ini sebagai ‚Demokrasi Takwa.‛282 Konsep ini akan dibahas di bagian lain di bab ini. Dengan cara pandang di atas tampak posisi Hamka sebagai pemikir politik yang tetap merujuk pada sumber-sumber fundamental Islam, namun di saat bersamaan, berkeinginan untuk mentransformasikannya ke dalam konteks zaman modern. Munawir Sjadzali menjelaskan, pemikir model ini memandang bidang politik kenegaraan sebagai bukan bagian dari ibadah mahdah sehingga umat Islam bisa secara selektif mengambil konsep dan kelembagaan politik dari Barat. Kelompok pemikir yang seperti ini, jelas Sjadzali, berbeda dari kelompok tradisional yang menolak segala yang datang dari Barat dan menghendaki Islam murni sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi dan salaf al-s}a>lih. Juga berbeda dari kelompok ketiga yang memandang Islam sebagai semata-mata agama yang berkaitan dengan hubungan manusia-Tuhan. Sementara hubungan antar manusia diatur oleh manusia sendiri.283 B. Gagasan Hamka Tentang Kebangsaan Indonesia 1. Kebangsaan yang Sesuai Islam Menurut Hamka Bagi Hamka rasa cinta tanah air merupakan naluri atau fitrah manusia, sebuah perasaan yang sangat halus dan mendalam di hati manusia. 284 Rasa ini adalah ‚‘tabiat’ yang hidup dalam jiwa manusia yang berakal‛, ungkapnya.285 ‚Cinta‛ dalam konteks ini dimaknai Hamka sebagai ‚condongnya tabiat pada

281 Hamka, Studi Islam, h. 142 282 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 17 dan 23. Lihat juga Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 128 283 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 115-116 284 Hamka, Lembaga Hidup, h. 229-230; Hamka, ‚Anda Bertanja Kami Mendjawab,‛ h. 31 285 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Kebangsaan Yang Dilarang Agama,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 18 Januari 1939, h.52

58 barang suatu yang disukai. Jadi cinta itu adalah perasaan hati yang timbul dari wijda>n.‛ Hamka menjelaskan, secara alamiah seseorang akan lebih mencintai rumah orangtuanya di mana dia dilahirkan dulu, daripada rumah orang lain. Orang itu juga akan lebih mencintai kampung halaman dan negerinya sendiri dibanding kampung dan negeri orang lain. Hamka menulis, ‚yang cinta ialah anak tanah air itu sendiri! Yang benci ialah musuh tanah air! Yang tidak ada apa-apa, ialah orang lain yang berdagang ke tanah air itu, atau orang yang tidak tentu asal.‛286 Lebih lanjut dijelaskannya: Inilah dianya wijda>n, perasaan, yang mesti ada pada tiap-tiap hati yang sehat dan merasa menanggung jawab. Kalau tidak ada kecintaan menurut logika tersebut di atas, tandanya dia benci. Orang yang benci kepada tanah air itu, ialah orang yang jadi musuh tanah air. Tetapi kalau dia tidak merasa apa-apa, tidak cinta dan tidak benci, agaknya orang itu bukan orang di sini.287 Rasa seperti ini, ujarnya, muncul dengan sendirinya tanpa disuruh siapapun juga. Perasaan inilah yang membuat seseorang berani berkorban jiwa dan raga untuk tanah airnya, juga bisa melahirkan riwayat dan gagasan yang besar, serta syair-syair yang indah. 288 ‚Perasaan itu ada pada tiap-tiap orang. Cinta pada tanah air itulah yang dinyanyi disyairkan oleh manusia semenjak manusia pandai bernyanyi dan bersyair. Khianat kepada tanah air itulah suatu kesalahan yang dipandang paling besar oleh segenap bangsa yang ada mempunyai tanah air di dunia ini‛, tulis Hamka.289 Karena bukan sebuah perasaan yang negatif, tegas Hamka, Islam tidak pernah ‚memperkosa‛ rasa cinta pada tanah air itu. Hamka mengaku tidak menemukan ayat al-Qur’an atau Hadits Nabi yang melarang mencintai tanah air. Justru ia menemukan hadits ‚Hubb al-wat}an min al-i>ma>n‛ (cinta kepada tanah air itu setengah daripada iman). Meski dhaif, namun Hamka menilai matan hadits itu sahih dan bisa diterima.290 Hamka juga menolak pandangan bahwa Islam datang ke dunia untuk meleburkan semua identitas kebangsaan menjadi satu, ‚bangsa Islam.‛ Ia menjelaskan, orang yang punya pandangan seperti ini pernah menyatakan bahwa ketika bangsa-bangsa tertentu memeluk Islam, maka identitas kebangsaannya jadi hilang. ‚Tegasnya tiap-tiap pemeluk Islam itu telah lebur bangsanya, kalau dia Arab tidak Arab lagi, kalau dia Persi tidak Persi lagi, tetapi menjadi bangsa baru, yaitu bangsa Islam‛, tulisnya. Pandangan seperti ini, ungkap Hamka, ‚tidak pernah terdengar di dalam Qur’an atau Hadits, lebih-lebih lagi di zaman sahabat dan khalifah-khalifah yang datang di belakangnya.‛ Islam, lanjut Hamka, adalah suatu

286 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Tjinta Bangsa dan Tanah Air,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 11 Januari 1939, h. 27 287 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Tjinta Bangsa dan Tanah Air,‛ h. 26 288 Hamka, Lembaga Hidup, h. 229-230 289 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Tjinta Bangsa dan Tanah Air,‛ h. 26 290 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Tjinta Bangsa dan Tanah Air,‛ h. 26

59 kepercayaan (i’tikad), bukan suatu kebangsaan. Islam boleh dan seharusnya dipeluk oleh tiap manusia apapun bangsanya.291 Terhadap orang yang berpandangan ‚Islam meleburkan semua identitas kebangsaan‛ itu Hamka menyarankan, ‚ada juga orang yang mengatakan bahwa seluruh negeri Islam itu ialah tanah airnya dan bangsa Islam seluruhnya ialah bangsanya. Orang yang berfaham begini lebih baik jangan pergi-pergi dari kampungnya, supaya jangan tertumbuk keningnya kepada keadaan yang sebenarnya.‛292 Hamka menegaskan, alih-alih menghapuskan, Islam justru mengakui adanya kebangsaan. ‚Kebangsaan itu diakui Tuhan, bahkan dijadikan (oleh, pen) Tuhan, bukan dihapuskan Tuhan,‛ tegas Hamka. Di sini Hamka mengutip QS. Al-Hujurat ayat 13:

                ‚…Dan Kami jadikam kamu ber-shu’u>b (berbangsa-bangsa) dan berkabilah- kabilah ialah supaya kamu kenal antara satu pihak dengan yang lain. Tetapi yang semulia-mulia kamu pada sisi Allah, ialah yang paling taqwa kepada- Nya.‛293 Lebih dari itu, Hamka menyatakan bahwa ‚bahkan cinta tanah air itu timbul daripada iman yang sejati.‛ 294 Pernyataan ini ditegaskan dalam tulisannya yang lain: Kita percaya kepada Tuhan dan kita mengabdi kepada Tuhan. Kita bersyukur kepada-Nya karena kita dilahirkan di atas setumpuk dunia yang indah. Tanah air adalah nikmat Ilahi kepada kita. Di atas bumi-Nya kita dibesarkan, hasil buminya yang kita makan, airnya yang mengalir yang kita minum. Jadi dapatlah dikatakan, bahwasanya karena mencintai Tuhanlah maka timbul cinta kita kepada tanah air. Rumpun cinta yang seperti ini dari tauhid asalnya.295 Hamka menjelaskan, Nabi Muhammad sendiri ketika mendakwahkan risalah Islam dimulai kepada sanak kerabatnya dan di kampung halamannya sendiri, Makkah. Sebagaimana yang tertuang dalam QS al-Shu`ara> ayat 214 dan al-Shu>ra> ayat 7. Dari ayat-ayat ini Hamka menyimpulkan: Di sini nyata sekali bahwa Allah Taala sendiri yang menuntun supaya seorang manusia mencintai karib kerabatnya, bersusun sejak dari anak kandung sendiri sampai kepada family yang karib, yang ba`i>d terus kepada suku, kepada kabilah, kepada sejenis dan kepada sebangsa; setelah selesai itu semuanya, baru datang giliran kepada orang lain.296

291 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 4 Januari 1939, h. 4 292 Hamka, ‚Kebangsaan Sebagai Sendi III (Penoetoep),‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 1 Januari 1941, h. 27 293 Hamka, ‚Kebangsaan Sebagai Sendi III (Penoetoep),‛ h. 27 294 Hamka, Lembaga Hidup, h. 229-230 295 Hamka, Pandangan Hidup, h. 221 296 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Tjinta bangsa…,‛ h. 26-27. Ayat yang dimaksud Hamka tersebut adalah: ‚Dan berilah pertakut kepada segala familimu yang karib‛ (QS. al-Shu`ara>: 214), dan ‚Dan demikianlah Kami wahyukan kepada engkau Qur’an

60

Lebih lanjut Hamka menjelaskan, meski mengakui kebangsaan, namun Islam tetap memberikan bimbingan agar rasa cinta itu tidak terserang ‚penyakit kebangsaan‛,297 tidak lepas dari akar tauhid,298 dan tidak tersesat.299 Penekanan Hamka pada unsur agama (tauhid) sebagai pengikat asabiyah menampakkan pengaruh dari pencetus teori asabiyah itu sendiri, Ibn Khaldun.300 Menurutnya, ada dua macam kebangsaan yang dilarang oleh Islam, yaitu kebangsaan ala jahiliyah dan kebangsaan yang berlebih-lebihan. Kebangsaan yang pertama disebut Hamka dengan istilah as}a>biyyah ja>hiliyyah, yaitu as}a>biyyah yang sempit terbatas pada klan dan kaum saja. As}a>biyyah model inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad dalam beberapa haditsnya, seperti ‚la> as}a>biyyah fi> al-Isla>m‛ atau ‚laysa minna> man da`a> ‘ila> `as}a>biyyah,‛ karena bisa menciptakan perpecahan. Hadits-hadits tersebut, ujar Hamka, menegaskan bahwa Nabi Muhammad menghapus As}a>biyyah di kalangan kelompok Muhajirin, Anshar, Aus, Khazraj, dan lain sebagainya dan membawa ke As}a>biyyah yang lebih besar berupa ‚persatuan kebangsaan Arab seluruhnya.‛301 Persatuan suku-suku Arab itu dibangun di atas pondasi tauhid. Hamka menyatakan, ‚bangsa Arab yang berpecah belah dapat disatukan oleh ajaran Muhammad Saw dan di bawah pimpinan Muhammad Saw berhala-berhala di sekeliling Ka’bah diruntuhkan, dan seluruh bangsa Arab dibawa pada tauhid...‛.302 Ditegaskannya kembali: Dalam daerah yang kecil dapatlah kita lihat contohnya seketika Nabi Muhammad akan datang membawa syariat Islam. Setiap suku bangsa Arab mempunyai berhala sendiri, dan dapat berpantun bersyair memuja kampung halaman dan sukunya. Orang Arab pecah belah, yang satu menghinakan yang lain dan membanggakan kabilahnya. Kedatangan Nabi Muhammad membawa kesatuan kepercayaan, membawa tauhid. Karena tauhid sajalah yang dapat mempersatukan bangsa itu.303 Kebangsaan kedua yang dilarang oleh Islam adalah kebangsaan dengan membangga-banggakan bangsa sendiri sembari memandang hina bangsa-bangsa lain. Hamka menyebut kebangsaan ini sebagai ‚as}a>biyah jinsiyah.‛304 Menurut Hamka, As}a>biyyah seperti ini merupakan ‚kebangsaan yang sempit‛ yang ‚dapat merusak-binasakan iman‛ dan ‚menjadi pangkal segala bencana di atas dunia.‛305 Kebangsaan yang sempit akan mendorong suatu bangsa untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya bagi tanah airnya meski merugikan bangsa lain, karena mereka dalam bahasa Arab supaya engkau peringatkan kepada penduduk Mekkah dan kepada yang sekelilingnya‛ (QS. al-Shu>ra:> 7). 297 Hamka, ‚Kebangsaan Sebagai Sendi III (Penoetoep),‛ h. 26 298 Hamka, Pandangan Hidup, h. 221-222 299 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Tjinta bangsa…,‛ h. 26 300 Lihat pembahasan Deliar Noer tentang teori politik Ibn Khaldun, khususnya teori asabiyah, dalam Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung: Mizan, 1999), h. 69-86 301 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Kebangsaan Yang Dilarang Agama,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 18 Januari 1939, h. 52-53 302 Hamka, Di Tepi Sungai ..., h. 16 303 Hamka, Pelajaran Agama Islam, h. 64 304 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Kebangsaan Yang Dilarang Agama,‛ h. 53 305 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 221-222

61 ingin diakui sebagai bangsa yang unggul dibanding yang lainnya. Peperangan dan penjajahan di dunia, ujarnya, dengan dalih ‚tugas suci‛ memperadabkan bangsa- bangsa ‚terbelakang‛ juga banyak yang lahir dari rasa kebangsaan seperti ini. Secara lebih lengkap berikut pernyataan Hamka: Pokok pangkalnya lain tidak hanyalah ‘kemegahan kebangsaan.’ Bangsakulah yang di atas sekali, dan selalu harus di atas sekali. Kedatanganku menjajah suatu negeri yang ‘masih terbelakang’ adalah didesak oleh ‘mission sacre,’ tugas yang amat suci dan mulia, membawa peradaban. Padahal peradaban yang dari saat mulanya telah menaruh dendam.306 Hamka memberi contoh negara-negara di Barat yang banyak terjebak pada kebangsaan yang sempit. Inggris pernah berbangga menjadi negeri di mana ‚matahari tidak pernah tenggelam‛ karena begitu luas jajahannya. Hitler mengklaim bangsa Jerman sebagai ‚bangsa yang di atas segala bangsa‛, karena itu ‚darah Aria adalah darah yang paling bersih, dan harus selalu bersih.‛ Hal serupa juga terjadi pada Napoleon, Hitler, Musollini, serta Rusia yang mengaku komunismenya sebagai ideologi internasional. Tidak lupa Hamka menyebut Amerika Serikat yang banyak memberikan pinjaman besar-besaran kepada dunia ketiga dengan tujuan ‚supaya bangsa-bangsa itu berdiri ‘di belakang’ Amerika dalam menghadapi Rusia.‛307 Dalam konteks ini mission sacre sebagai motivasi penjajahan Belanda atas negeri-negeri di Nusantara diwujudkan dengan membentuk dua lembaga, pertama adalah NGB (Nedherlandch Bijbblegenootschap/Persekutuan Injil Belanda) dan kedua adalah KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde). Jika NGB bergerak di bidang penyiaran agama Kristen di negeri-negeri kepulauan Nusantara untuk menyinari warga Bumiputera dengan cahaya Bibel, maka KITLV bergerak di bidang penelitian bahasa, geografi, dan antropologi masyarakat Nusantara.308 Bukan hanya bangsa-bangsa Eropa, bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang baru merdeka pun sering terjebak ke dalam kebangsaan sempit. Hamka menyebut Mesir yang sempat ditimpa kebangsaan sempit sehingga mereka membangga- banggakan Fir’aun, Piramida, dan Sphinx, serta merasa tidak memiliki hubungan dengan bangsa-bangsa Arab lainnya. Demikian pula di India, di mana sekelompok

306 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 223-224 307 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 223-225. Rasa bangga yang berlebihan bukan hanya terjadi dalam rasa kebangsaan, namun juga terhadap kelompok agama. Hamka menyebut kaum Yahudi dan Nasrani sebagai kelompok agama yang telah terhinggapi penyakit kebanggaan berlebihan itu. Umat Islam, lanjutnya, juga dapat tertular penyakit ini, apalagi jika mereka membaca QS Ali Imran ayat 110 secara sepintas lalu. Karena itu Hamka mengajak umat Islam untuk hati-hati jangan sampai terjatuh dalam kesalahan yang telah menimpa Kaum Yahudi dan Nasrani dengan membaca ayat tersebut secara lengkap dan memahaminya secara benar. Menurutnya, ayat yang menegaskan keunggulan umat Islam sebagai ‚sebaik-baik umat‛ itu memberikan syarat, yaitu: 1. Menyeru kepada kebaikan, 2. Mencegah kemungkaran, dan 3. Beriman kepada Allah. Lihat Hamka, ‚Jang Sebaik-baik Ummat,‛ dalam Pandji Masjarakat, no. 2, tahun I, 1 Juli 1959, h. 4 308 Sudibyo, Dalam Bayang-bayang Kolonialisme: Filologi dan Studi Sastra (Yogyakarta: FIB UGM, 2009), h. 12-13

62 warga Hindu Mahasabh merasa lebih unggul dibanding warga India Muslim dan memusuhi warga Hindu lain yang dekat dengan warga Muslim. Bahkan penyakit ini juga sempat terjangkit di Indonesia, ketika sebagian kelompok berkeinginan untuk kembali ke kebudayaan Indonesia asli yang berakar dari tradisi Hindu- Buddha. Hamka menganggap ‚kembali ke kebudayaan Indonesia asli‛ itu tidak lebih dari upaya ‚menjawakan‛ kebudayaan Indonesia. Padahal ‚kebangsaan Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki kebudayaan-kebudayaan sendiri.‛309 Akibat cara pandang yang sempit terhadap tanah air itu, muncul beberapa negarawan dan pemikir yang bersuara lantang untuk menghentikannya agar umat manusia tidak terus masuk ke dalam lobang kehancuran. Hamka menyebut Leo Tolstoy dan Presiden AS Wilson sebagai beberapa di antara mereka. Tokoh-tokoh ini, ujarnya, mengajak umat manusia untuk kembali kepada rasa kemanusiaan yang memberikan posisi setara pada seluruh umat manusia. ‚Duduk sama rendah berdiri sama tinggi‛, ujar Hamka. Rasa cinta tanah air yang diiringi dengan rasa kemanusiaan seperti ini, jelasnya, merupakan ‚kebangsaan yang luas‛ yang ‚memandang umat manusia itu ‘satu’.‛ ‚Boleh kebangsaan, boleh nasionalisme, tapi berilah batas dalam batas-batas kemanusiaan. Arti kemanusiaan ialah ‘memandang alam atau dunia sebagai suatu keluarga besar, terdiri dari kekeluargaan kecil-kecil’‛, tegas Hamka.310 Hamka menjelaskan, rasa kemanusiaan akan mengikat manusia pada aturan universal bahwa ‚semua bangsa, betapapun warna kulitnya, atau maju atau mundur daerahnya, semuanya ingin kepada keadilan dan kebenaran. Semua bangsa selalu terikat kepada muslihat bersama‛, karena mereka memiliki rasa hati dan kecerdasan akal yang sama. Sementara perbedaan warna kulit (ras), bahasa dan perangai hanyalah disebabkan oleh perbedaan iklim. Hamka menulis, ketika manusia terikat pada satu kekeluargaan yang besar maka, Yang kuat bertugas membela yang lemah, bukan menekannya supaya dia lebih lemah. Yang salah diperbaiki bersama, yang celaka ditolong bersama. Yang besar memberi kesempatan kepada yang kecil supaya dia besar pula. Yang lebih pandai menuntun yang bodoh supaya sama pandai, yang kecil pun insyaf akan kecilnya sehingga tidak ‘besar mulut.’311 Atas dasar inilah Hamka melihat bahwa kecintaan pada tanah air tidak seharusnya membuat kita memandang rendah bangsa lain. Justru yang harus dilakukan adalah menghormati keberadaan bangsa-bangsa lain itu. Hamka menulis, … Namun cinta kita kepada tanah tumpah darah kita sendiri tidaklah boleh menyebabkan kita benci kepada tanah air orang lain. Hiduplah dan biarkan pula orang lain hidup… Jangan sampai suatu bangsa mencintai kebangsaannya sendiri tetapi tidak teringat olehnya hendak menjaga kebangsaan orang lain, jangan sampai hina…312

309 Hamka, Di Tepi Sungai Dajlah, h. 109 310 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 225-226 311 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 225-226 312 Hamka, ‚Kebangsaan Sebagai Sendi III (Penoetoep),‛ h. 27

63

Hamka menegaskan, Islam sangat menentang nasionalisme yang digunakan untuk menindas dan menjajah bangsa lainnya, dan mendukung nasionalisme yang dibatasi oleh kemanusiaan.313 Agar tragedi kemanusiaan atas nama kebangsaan tidak terjadi, Hamka menyarankan agar rasa cinta tanah air harus segera dikembalikan kepada keimanan pada Tuhan. Keimanan akan membuat manusia sadar bahwa tanah airnya hanyalah sejumput kecil dari dunia yang luas ini, dan dunia hanyalah setitik bintang kecil dari jutaan bintang di cakrawala.314 Hamka juga yakin, bencana kemanusiaan yang telah melanda umat manusia dengan berbagai peperangan akan membuat manusia kembali menoleh kepada agama. Manusia akan menjadikan agama sebagai ‚sumber daripada cinta tanah air yang murni.‛ Saat itu, lanjutnya, agama akan menjadi ‚pembongkar dari instink-instink kekejaman dan haus darah, yang selama ini memenuhi isi hati alam. Akan berganti dengan rasa kasih sayang dan perdamaian abadi dan persaudaraan manusia‛.315 Di titik ini Hamka mengajak umat Islam untuk kembali menggali khazanah yang diwariskan Nabi Muhammad untuk dipergunakan bagi kalangan internal umat Islam, yang kemudian dipersembahkan bagi umat manusia seluruhnya. Khazanah yang dimaksudkan Hamka itu adalah ajaran tentang kesatuan umat manusia, keterikatan umat manusia dalam persaudaraan semesta, serta Islam sebagai agama perdamaian.316 Komitmen Islam pada nasionalisme yang luas itu terlihat dari nama agama yang dibawa Nabi Muhammad itu sendiri, Islam. Kalimat ‚Isla>m‛ itu, ujar Hamka, serumpun dengan kalimat ‚sala>m.‛ Ketika seseorang disebut ‚Muslim,‛ sesungguhnya dia ‚menyerahkan diri kepada Tuhan dengan tidak ada keraguan.‛ Karena ‚Isla>m‛ artinya ‚penyerahan‛ dan ‚selamat.‛ Hamka menjelaskan, ‚dan dia juga berarti ‘sala>m,’ artinya ‘damai.’ Apabila seseorang telah berdamai dengan Tuhan, dengan sendirinya dia pun berdamai dengan sesama manusia, dengan sendirinya diapun berdamai dengan sesamanya makhluk.‛317 Hamka memandang umat manusia sebagai satu kesatuan yang terikat dalam ‚persaudaraan semesta.‛ Kesatuan manusia berakar pada kesatuan keturunan, yaitu berasal dari Adam dan Hawa. Meski terkadang terdapat struktur sosial yang timpang, namun sesungguhnya mereka sama di hadapan Allah. Islam tidak mengakui perbedaan berdasarkan ras, kelas atau kasta sosial.318 Selain sama-sama berasal dari Adam dan Hawa, manusia juga diciptakan dari bahan yang sama, air mani. Hamka kembali menegaskan kesatuan dan kesetaraan umat manusia itu dengan menolak kelebihan raja dan bangsawan dari masyarakat biasa. Menurutnya,

313 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan,‛ h. 4 314 Hamka, Pelajaran Agama Islam, h. 64 315 Hamka, ‚Hari Depan Agama (1),‛ dalam Pandji Masjarakat, no 27, tahun II, 15 Juli 1960, h. 4-5 316 Hamka, ‚Tjinta Tanah Air, Kemanusiaan, dan Islam (II),‛ dalam Pandji Masjarakat, no 31, tahun II, 15 September 1960, h. 4 317 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 228-229 318 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 229-230. Tujuan dari penetapan standar kemuliaan pada iman dan takwa menurut Hamka adalah untuk menghapus perasaan sebagian manusia yang menganggap dirinya lebih unggul dari yang lain. Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 8 (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 431

64 perbedaan manusia hanya didasarkan pada amal ibadah dan ketakwaannya semata, bukan berdasar status sosialnya. Hamka juga menolak penguasaan manusia atas manusia yang lain, sebab mereka tercipta dari bahan yang sama, air mani. Ditegaskannya, ‚asal dari tanah, hidup atas tanah, dan akan kembali ke tanah…‛,319 karena itu ‚manusia ini adalah satu. Perlainan daerah, bumi tempat mereka diam, perlainan bahasa dan warna kulit, bukanlah soal. Meskipun di zaman purbakala manusia hanya mengenal daerahnya yang sempit dan sukunya yang kecil jumlahnya, namun semuanya itu hanyalah keragaman di dalam satu kesatuan.‛320 Hamka mendasarkan pendapatnya pada pidato Nabi Muhammad saat Haji Wada’. Pada momen itu Nabi menegaskan bahwa pada saat itu manusia tidak bisa lagi membangga-banggakan keturunannya, karena semuanya berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Nabi juga menyatakan bahwa hak kehormatan nyawa, harta benda, dan kehormatan diri telah dijamin pemeliharaannya. ‚Sama sucinya dengan hari mengerjakan haji itu sendiri, sama sucinya dengan bulannya, dan sama sucinya dengan tanah suci itu sendiri. Tidak boleh diganggu gugat oleh siapa juapun kalau tidak menurut undang-undangnya yang tertentu‛, ungkapnya. Saat itu pula Nabi mengutip Surat al-H}ujura>t ayat 13:

                

      ‚Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya telah Kami ciptakan kamu daripada asal seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu kenal-mengenal; dan sesungguhnya yang semulia-mulia kamu pada sisi Allah ialah yang setaqwa- taqwa kamu.‛321 Dalam ayat ini, jelasnya, Islam mengajarkan agar umat manusia yang terdiri dari berbagai bangsa itu saling menghargai satu di antara yang lain (ta`a>rafu). Penghargaan ini akan bisa muncul kalau mereka sadar jika dirinya adalah sebuah bangsa yang setara dengan yang lainnya. Hamka menjelaskan, ‚dalam sejarah bangsa, bukanlah berkenalan sebagai persoon sesama persoon yang perlu, tetapi berkenalan itu duduk sama rendah, tegak sama tinggi, sanggup membuat verdrag- verdrag dalam hal ekonomi, industri, pendidikan, peradaban dan lain sebagainya.‛322 Kesetaraan antara sesama bangsa ini menjadi dasar bagi Hamka untuk meminta umat Islam di Indonesia agar tidak tergesa-gesa bergabung dalam politik Pan Islamisme yang sedang marak di dekade 1920-1930-an. Hamka beralasan, selama belum bisa menentukan nasib sendiri (merdeka), bangsa Indonesia belum diakui setara dengan bangsa-bangsa Arab, dan dianggap masih di bawah mereka. Bagi Hamka ntuk sementara cukuplah umat Islam di Indonesia bersatu dalam Pan

319 Hamka, ‚Djiwa Bebas Dengan Tauhid,‛ h. 9 320 Hamka, Pelajaran Agama Islam, h. 182 321 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 230-231 322 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan,‛ h. 5

65

Islamisme secara akidah dan peribadatan, bukan secara politik, karena puncak dari kebersatuan umat Islam bukanlah khalifah atau khilafat, melainkan al-Qur’an.323 Hamka pun menyarankan agar ‚... janganlah orang tergesa hendak memasuki ‘Pan Islamisme’ dengan artian politik, sebelum politik nasionalismenya sendiri belum sempurna. Cukupkan hingga Pan Islamisme ibadat saja dahulu, yaitu pandangan seluruh Muslimin itu saudaramu, walaupun apa bangsanya.‛324 Mendahulukan nasib bangsa sendiri daripada Pan Islamisme kembali ditegaskan oleh Hamka, ‚oleh karena yang demikian, tidak ada masa Pan- Islamisme pada waktu ini, tidak ada jalan ke sana. Yang harus ditempuh lebih dahulu adalah nasionalisme, yaitu bergeraknya tiap-tiap bangsa memperbaiki diri masing-masing, supaya dapat kemuliaannya.‛325 Meski demikian Hamka juga mengingatkan agar umat Islam tidak egois hanya peduli pada persoalan bangsanya sendiri. Baginya, seorang muslim nasionalis yang positif bukanlah orang yang rasa cinta tanah airnya hanya terlingkup dalam daerahnya yang kecil hingga tidak peduli pada dunia luar. Bukan pula mereka yang terbuai oleh angan-angan pada Pan Islamisme hingga lupa pada kepentingan negerinya. Muslim-nasionalis yang positif, tegasnya, adalah mereka yang rasa kebangsaannya didasarkan pada keimanan kepada Tuhan dan, di saat bersamaan, menjadi ‚penganjur persatuan barisan segenap tanah Islam.‛326

323 Hamka, ‚Khilafaat,‛ h. 8. Hamka memandang bahwa Pan Islamisme itu merupakan jiwa Islam yang muncul dari rasa persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah). Karena itu Pan Islamisme bukan dimulai dari gagasan politik yang dikampanyekan Sultan Abdul Hamid atau Ibn Saud. Namun telah ada sejak umat Islam berada, dan akan terus ada selama adzan masih berkumandang, Ka’bah masih menjadi kiblat umat Islam, dan Padang Arafah masih menjadi tempat berkumpul umat Islam sedunia. Di sini Hamka memberi catatan penting pada ibadah Haji yang dianggapnya sebagai ‚Muslim International Congres.‛ Karena Pan Islamisme merupakan jiwa Islam yang berpotensi menggoyang kolonialisme Barat terhadap negara-negara Islam, bangsa-bangsa penjajah itu begitu waspada dan mengawasi ide Pan Islamisme itu. Lihat Hamka, ‚Al-Djami’atoel Islamijah (Pan Islamisme),‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 38, tahun II, 11 November 1936, h. 741; dan ‚Muslim International Congres,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 6, Tahun III, 21 Pebruari 1937, halaman tidak kelihatan. Karena itu Hamka menyambut baik seruan persatuan negara-negara Islam, khususnya pasca pembakaran Masjid al-Aqsa tahun 1969, dengan pendirian Rabitah Alam Islami. Lihat Hamka, ‚Khilafaat,‛ h. 8. 324 Hamka, ‚Pan Islamisme dan Nasional-Islamisme,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 4 Mei 1938, h. 1. Hamka melihat, jika pada dekade 1930-an ide Pan Islamisme tidak sesemarak dekade sebelumnya, itu bukan karena ide tersebut telah terkubur, namun lebih karena bangsa-bangsa Islam saat itu tengah berupaya melepaskan diri dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa terlebih dahulu. Hal itu karena, ‚...amat timpang mencapai Pan Islamisme jika soal yang pertama ini belum selesai.‛ Lihat Hamka, ‚Al-Djami’atoel Islamijah (Pan Islamisme),‛ h. 742 325 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Diboeaikan Mimpi ‘Pan Islamisme’,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 22 Pebruari 1939, h. 154 326 Hamka, ‚Nasionalist Muslim,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 2 November 1938, h. 869

66

Meski gerakan Pan-Islamisme berupaya menyatukan umat Islam se-dunia, namun pada kenyataannya gerakan ini telah menginspirasi tumbuhnya semangat dan gerakan kebangsaan pada bangsa-bangsa muslim, khususnya bangsa Muslim Timur. Shari>f al-Muja>hid dengan mengutip Hans Kon menjelaskan, Pan Islamisme telah menumbuhkan semangat anti Barat, mempercepat reformasi internal, membangunkan kesadaran diri, merestorasi kepercayaan diri, dan menumbuhkan rasa hormat di antara mereka. Pan Islamisme juga menyadarkan bangsa-bangsa Muslim akan kekuatan tersembunyi mereka. Jadi, jelas al-Muja>hid, meskipun berbasis keagamaan, namun Pan-Islamisme telah meratakan jalan bagi kesadaran kebangsaan dan kebebasan, menstimulasi kecenderungan pembaharuan, mendorong kemerdekaan keagamaan, dan mengantar era kebangkitan kembali Dunia Islam. Dalam praktiknya, Pan Islamisme telah mewujudkan dirinya secara bervariasi di banyak negara, dengan warna nasionalistik dan patriotiknya.327 Hamka menjelaskan, setelah menyatukan umat manusia pada asal usulnya, Islam juga menyatukan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, dan melarang berbuat kerusakan di bumi. Keberadaan manusia yang beragam suku bangsa, bahasa dan warna kulit bukanlah untuk memisah-misah kemanusiaan, namun sebagai tanda-tanda kebesaran Allah yang dimaksudkan agar mereka mengatahui jika mereka saling membutuhkan satu sama lain.328 Komitmen Islam pada kemanusiaan, lanjut Hamka, juga ditunjukkan pada sikapnya yang mengakui keberadaan agama-agama yang dibawa para Nabi dan Rasul sebelumnya. Bahkan Islam mengklaim dirinya sebagai kelanjutan risalah para Nabi-nabi itu. ‚Inti wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad, itu pulalah yang diterima oleh Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang sebelumnya,‛ tulis Hamka. Dengan mengutip QS al-Baqarah ayat 62, Hamka menyatakan, umat yang hidup di zaman Nabi-nabi itu, lalu beriman dan berbuat baik, maka mereka semua akan mendapat pahala di sisi Allah. Hal itu karena, ‚... Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishak, Musa dan Isa dan Nabi-nabi yang lain pun adalah satu keluarga dengan Muhammad karena persatuan tugas, yaitu memberi petunjuk kepada manusia di dalam mencapai hidup yang benar dan kebenaran itu sendiri.‛329 Bukan hanya kemanusiaan yang satu, Hamka melihat alam semesta pun terikat pada kesatuan peraturan. ‚Peraturan yang terdapat dalam ‘atom’ yang paling kecil di bumi, setelah diselidiki sama saja halnya dengan peraturan yang terdapat pada matahari dan satelitnya,‛ karena jika tidak terdapat kesaturan aturan maka ‚...kacau balaulah alam ini; sejak dari bintang-bintang di cakrawala, sampai kepada tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di bumi, tunduk belaka kepada satu aturan,‛ ungkapnya. ‚Demikianlah kesatuan pada makhluk. Dan makhluk yang berkesatuan itu diciptakan pula oleh Pencipta Yang Satu,‛ ujar Hamka menyimpulkan.330

327 Shari>f al-Muja>hid, ‚Sayyid Jama>l al-Di>n al-Afgha>ni>: His Role in the Nineteenth Century Muslim Awakening,‛ Thesis, Mc Gill University, 1954, h. 143-146 328 Hamka, ‚Siapa Anti Pantjasila!,‛ h. 4 329 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 231-232 330 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 233-234; Hamka, ‚Tjinta Tanah Air, Kemanusiaan, dan Islam (II),‛ h. 5

67

Setelah menetapkan kesatuan umat manusia, Hamka pun mengingatkan bahaya cinta yang berlebihan terhadap tanah air. Baginya rasa cinta yang seperti itu merupakan tindakan menyekutukan Allah (syirik) dalam bentuknya yang modern, karena hal itu sama dengan mengakui adanya yang suci selain Tuhan. Kalau telah ada sesuatu barang dipandang suci dan qudus di samping Allah, seumpama ber’abdi (menyembah) kepada tanah air, memuja kepada ‘ibu pertiwi,’ sehingga menyamai, apalagi melebihi pemujaan kepada Tuhan Allah, niscaya berbilanglah pemusatan, dan pecah-berderailah pribadi orang yang membuat pujaan lain itu. Kalau diri pribadi telah pecah berderai, pecah berderai tempat berdiri dan pecah berderai pulalah tujuan hidup. Itulah pangkal segala kehancuran…!‛331 Syirik ini sangat berbahaya bagi kemanusian karena dapat mendorong terjadinya peperangan dan penjajahan, dan ini akan menghancurkan kemanusiaan. Hamka menyatakan: Ialah memperserikatkan Tuhan dengan tanah air… Tanah yang paling indah di dunia ini adalah tanah airku. Bangsa yang paling tinggi adalah bangsaku. Dia senantiasa dalam kebenaran, walaupun salah kata orang lain. ‘Benar atau salah adalah tanah airku’. Darah bangsaku adalah darah yang paling bersih. Bangsakulah yang berhak mengatur dunia. Bangsa lain yang menjadi tetanggaku haruslah menggabungkan diri ke dalam tanah airku! Kalau mereka ingkar halallah diperangi….332 Manusia akan ditimpa siksa yang hebat dahsyat, perikemanusiaan akan hancur berantakan jika dia keluar dari garis ini. Manusia akan tersiksa jiwanya jika dia mensyerikatkan Tuhan dengan yang lain. Sebab yang lain tidak dapat berbuat apa- apa. Dan keadilan tidaklah akan bertemu, dan kebenaran tidaklah akan berjumpa kalau kemanusiaan pecah.333 Meski demikian Hamka juga melihat sisi baik kebangsaan. Hamka mengungkapkan, dengan kebangsaan (nasionalisme) bangsa-bangsa akan terdorong untuk berlomba-lomba mencapai kemajuan. ‚Sebab perlainan kebangsaan menimbulkan perlombaan hendak meningkat kedudukan lebih mulia,‛ jelasnya. Lebih lanjut dijelaskan, Perlombaan itu bukan sedikit mendatangkan keuntungan bagi kemajuan dunia. Sebagaimana dua perkumpulan atau tiga perkumpulan berdiri dalam satu kota, ketiganya mendirikan sekolah dan berlomba mencari murid, meskipun timbul potong memotong di antara dia sama dia, tetapi anak-anak yang tidak kebahagian sekolah tidak ada lagi, apalagi kalau berlomba pula menurunkan uang sekolah. Cuma mana yang kurang hati-hati juga yang kerap kali kalah dan terledor.334 2. Islam Sebagai Ruh Kebangsaan Indonesia Hamka melihat adanya kesamaan antara kebangsaan Indonesia dengan apa yang dilakukan Nabi ketika mempersatukan suku-suku di Arab menjadi satu identitas ‚Arab seluruhnya‛. Inilah ‘As}a>biyyah besar’ yang ‚berusaha mempersatukan bahagian-bahagian dari negeri kita, menjadi persatuan Indonesia Raya,‛ ungkapnya.335 Namun Hamka tetap menyadari bahwa keberhasilan

331 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 237 332 Hamka, Pelajaran Agama Islam, h. 63-64 333 Hamka, ‚Tjinta Tanah Air, Kemanusiaan, dan Islam (II),‛ h. 5 334 Hamka, ‚Kebangsaan Sebagai Sendi III (Penoetoep),‛ h. 28 335 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Kebangsaan Yang Dilarang Agama,‛ h. 52

68 menyatukan suku-suku yang berbeda di wilayah Hindia Belanda itu baru tahap awal dari kebangsaan Indonesia. Langkah selanjutnya adalah memasukkan bangsa- bangsa lain (orang asing/non-pribumi) yang telah tinggal lama di wilayah Indonesia dan berketurunan di sini ke dalam keluarga besar bangsa Indonesia. Bagi Hamka hal ini merupakan tugas yang cukup sulit mengingat di banyak negara Eropa hal seperti ini menjadi permasalahan yang serius, meski kemudian mereka mampu menyelesaikannya. 336 Menurut Hamka Islam merupakan ruh yang membebaskan Indonesia dari penjajahan dan mempersatukannya, karena ajaran tauhid telah memberi spirit kebebasan dan kemerdekaan pada rakyat Indonesia untuk melawan penjajahan kolonial Barat.337 Terbukti, pribadi-pribadi besar yang telah memulai perjuangan kemerdekaan di tanah Indonesia ini adalah ‚manusia-manusia yang berkeyakinan pada Ketuhanan Yang Maha Esa‛.338 Hamka menjelaskan, ruh tauhid ini telah menjiwai perjuangan para pahlawan yang menggunakan senjata. Perlawanan yang yang dilakukan , Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro, , Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin Makassar, Maulana Hasanuddin Banten, hingga Sultan Khairun dan Baabullah di Ternate, tegas Hamka, didasarkan pada spirit keislaman. Bahkan di Maluku dan Si Singamangaraja di juga tidak lepas dari spirit ini. Perjuangan Pattimura, jelasnya, tidak lepas dari dorongan gurunya, Sahid. Sementara Si Singamangaraja terpengaruh oleh ajaran agama Permalim. Permalim sendiri, jelas Hamka, merupakan ‚agama Islam yang belum selesai‛ akibat dakwah Islam yang belum tuntas di daerah itu.339 Spirit iman yang mendasari perjuangan itu terlihat dari berbagai simbol keislaman yang mereka gunakan. Gelar Amirul Mukminin dan Khalifatullah yang digunakan Pangeran Diponegoro, serta lambang ‚bulan sabit‛ pada pelana kudanya membuktikan hal itu, begitu juga dengan tasbih yang selalu dipegang oleh Tuanku

336 Hamka, ‚Kebangsaan Sebagai Sendi III (Penoetoep),‛ h. 26-27 337 Lihat Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 22-24 338 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 14 339 Hamka, ‚Islam Sebagai Dasar...,‛ h. 102-103. Di tulisan lain Hamka menyebut perjuangan Pattimura didampingi oleh ulama bernama Sayid Perintah dari Saparua. Sementara Si Singamangaraja berjuang dengan didampingi oleh ulama-ulama dari Aceh dan Minangkabau. Lihat Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 22 dan Hamka, Sedjarah Islam di Sumatera, (Medan: Pustakan Nasional, 1950), h. 36. Lebih dari itu, A Mansur Suryanegara malah menyebut Si Singamangaraja XII sebagai seorang Muslim. Nama aslinya adalah Patuan Besar Ompu Pulo Batu. Dia keturunan ke 12 dari Dinasti Si Singamangaraja dari keluarga Sinambela. Suryanegara mendasarkan kesimpulannya pada cap stempel Singamangaraja XII yang bertuliskan ‚Inilah Cap Maharaja Di Negeri Toba Kampung Bakara Nama Kotanya. Hijrah Nabi 1304‛, dan diperkuat dengan gambar bendera yang tampak dipengaruhi Islam. Suryanegara juga mengutip surat kabar Belanda yang menulis: ‚Menurut kabar-kabar dari penduduk, raja yang sekarang semenjak 5 tahun yang telah lalu memeluk agama Islam yang fanatik, demikian pula ia tidak menekan supaya orang-orang sekelilingnya menukar agama.‛ Lihat A Mansur Suryanegara, ‚Si Singamangaraja XII Gugur Sebagai Pahlawan Islam,‛ dalam Panji Masyarakat, no 207, tahun XVIII, 15 September 1976, h. 34-37

69

Imam Bonjol. Teuku Cik Ditiro menamakan pasukannya dengan ‚Muslimin‛. Bahkan Raja Aji meninggal dengan memegang kitab Dalailul Khairat dalam pertempuran melawan Belanda di pantai Malaka.340 Dalam tulisannya yang lain Hamka juga memberikan gambaran hal itu pada kisah Sentot AliError! Reference source not found. Basyah yang ditangkat Belanda. Kemudian dibuang ke Sumatera. Di sana dia dibujuk oleh Belanda untuk memerangi pasukan Paderi di Minangkabau. Dengan segenap pasukannya Sentot pun berangkat berperang. Namun mereka kaget ketika mendengar suara azan di daerah yang akan diserang itu. Sementara pasukan Paderi juga kaget saat mengetahui pasukan Sentot yang menggunakan serban. Kedua pasukan itu pun kemudian menghentikan pertempuran dan sepakat bersekutu untuk memerangi Belanda. Meskipun persekutuan itu gagal karena Belanda terlebih dulu mengetahuinya.341 Spirit tauhid inilah yang dilihat Hamka sebagai pembeda antara revolusi yang terjadi di negara-negara Barat (Perancis dan Rusia) dengan revolusi/perjuangan kemerdekaan di Indonesia. Dalam revolusi Perancis dan Rusia tergambar kebosanan rakyat pada agama. Ajaran Voltaire, tulis Hamka, memperdalam rasa bosan rakyat Perancis pada kaum agamawan yang berkuasa sejak Abad Pertengahan. Sementara ajaran Karl Marx yang memandang agama sebagai candu dan angan-angan rakyat akibat tekanan ekonomi mendorong terjadinya revolusi di Rusia. Namun tidak demikian yang terjadi di Indonesia. Justru agama (Islam) lah yang memberikan dorongan terjadinya revolusi itu. Hamka menyatakan, ‚… Di dalam anasir atau bahan penglaksanaan revolusi Indonesia, ada termasuk di antara lain-lain satu cita-cita yang tersimpan di dalam hati tiap-tiap kaum Muslimin, tiap-tiap pengikut Nabi Muhammad, seluruh dunia Islam. Yaitu menegakkan suatu negara yang diridhai Allah…‛342 Tauhid juga memberi jiwa bagi perjuangan dengan organisasi pergerakan seperti HOS Tjokroaminoto. Bahkan perjuangan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta pun, menurut Hamka, didasarkan pada spirit ini, seperti yang ditulisnya, ‚tidak ada perhitungan, hanya satu saja, Ketuhanan Yang Maha Esa. Cobalah tanyai kepada Bung Karno, kepada Bung Hatta, bukankah hanya itu saja modal yang ada dalam hati mereka di waktu itu?‛.343 Perjuangan berdasar iman ini pun disambut oleh rakyat dengan semangat keimanan. Dasar keimanan inilah yang dilihat Hamka sebagai sumber energi bagi rakyat Indonesia bisa bertahan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, apapun resikonya, hingga -Hatta ditangkap dan dibuang ke Bangka. ‚Musuh menyangka bahwa akan padamlah perjuangan bangsa Indonesia, tetapi tidak padam. Karena bukan Sukarno dan bukan Hatta yang mereka jadikan sandaran, melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa saja‛, ujarnya.344

340 Hamka, ‚Islam Sebagai Dasar...,‛ h. 105-107 341 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), h. 69-70 342 Hamka, Revolusi Agama (Jakarta: Pustaka Antara, 1949), h. 11; Hamka, ‚Pertjaja Kepada Allah,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 23, tahun II, 15 Mei 1960, h. 4 343 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 15 344 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 16

70

Tentang dasar iman dalam perjuangan kemerdekaan tersebut Hamka menulis, Cahaya telah bertemu dengan cahaya. Cahaya iman kedua pemimpin itu (Soekarno- Hatta, pen) telah membangkitkan cahaya iman yang terpendam dalam hati kaum Muslimin, hingga mereka telah bangun, mengambil keris pusakanya, pedang janawinya, bambu runcingnya, dan kitab suci di tangan kanannya. Turut tampil ke muka, ke medan perjuangan, ke medan pemberontakan, ke medan penentuan bersama-sama dengan saudara-saudara yang lain.345 Karena itu Hamka mengingatkan agar perjuangan membela tanah air harus selalu diniatkan karena Allah semata. Perjuangan yang bukan karena Allah dinilai Hamka sebagai ‚bertumpang di biduk lapuk‛. Hal itu karena tanah air hanyalah makhluk Allah yang tidak bisa memberi pahala atas perbuatan-perbuatan manusia. Apalagi perjuang itu pasti lintas generasi dan lebih lama daripada usia manusia. ‚Tak dapat kita mengubah keyakinan kita, bahwa jika kita anak Indonesia hendak memuliakan, memerdekakan ‘ibu’ Indonesia, hendaklah kita mengikhlaskan diri karena Allah‛, ungkapnya.346 Lebih lanjut dinyatakan: Kalau bukan karena Allah, guna apa kita bekerja? Perjuangan itu selalu lebih besar susahnya daripada mudahnya. HOS Tjokroaminoto meninggal, Indonesia masih korat karit. wafat, Indonesia masih kocar kacir. Rivai mati, Indonesia masih begitu juga. Maka mana yang bergerak tidak karena Allah, badan payah keringat mengalir, upahnya belum juga dilihat atas diri sendiri. Karena Allah, bergeraklah karena Allah, walaupun perkumpulan itu politik kebangsaan yang tidak menuliskan ‘berdasar Islam’.347 Hamka menegaskan bahwa kebangsaan Indonesia bukanlah kebangsaan yang sempit (chauvinisme), yaitu kebangsaan yang dibangun di atas identitas dan kejayaanan masa lalu suku-suku yang ada di Nusantara. Kebangsaan berdasar suku, jelasnya, hanya akan melahirkan reaksi dari suku-suku lainnya sehingga persatuan tidak akan tercapai. Agar bangsa Indonesia bisa selamat, Hamka kembali menegaskan jalan yang harus ditempuh, yaitu kebangsaan yang berpadu dengan kesadaran keagamaan. Hamka menulis, ‚apabila telah berpadu kesadaran bangsa dengan kesadaran beragama, jayalah kita di dunia dan jayalah kita sampai ke akhirat...‛.348 Karena itu bangsa Indonesia harus ‚...berpegang teguh kepada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu sajalah yang akan menjamin selamatnya kebangsaan Indonesia ini. Dialah yang akan sangat progressief jika keadaannya mesti berubah‛.349 Bagi Hamka, kebangsaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keislaman. Identitas kebangsaan itu telah terbentuk sejak lama, jauh sebelum Indonesia merdeka. Umat Islam sejak awal secara tegas telah mengakui identitas tersebut.

345 Hamka, Tjahaja Baru, h. 20 346 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Gerakan Politiek Tidak Menerima Bangsa Asing,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 1 Pebruari 1939, h. 93 347 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Gerakan Politiek ...,‛ h. 94 348 Hamka, ‚Djakarta Lambang Kemenangan Islam,‛ dalam Gema Islam, no 12, tahun I (15 Juli 1962), h. 7 349 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 28-33; H Shobahussurur, ‚Relasi Islam dan Kekuasaan Dalam Perspektif Hamka,‛ dalam Asy-Syir’ah, vol 43, no 1, 2009, h. 239

71

Bahkan Hamka mengklaim, justru umat Islamlah yang terlebih dahulu memiliki kesadaran kebangsaan daripada kaum intelektual hasil didikan sekolah-sekolah Belanda. Identitas kebangsaan itu berupa kesadaran sebagai ‚Bangsa Jawi‛. Sudah beratus-ratus tahun lebih dahulu sebelum pergerakan kebangsaan, orang Islam yang naik haji ke Mekkah, seketika ditanyai di ‘Ba>b al-Su’al’ (pintu pertanyaan) siapa nama dan apa bangsa, mereka telah menjawab nama saya si fulan dan saya bangsa JAWA!. Satu masa nama kita semuanya bangsa Melayu. Satu masa lagi nama kita bangsa JAWA, dan baru sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 kita bernama Bangsa Indonesia. Bukan nama bangsa yang penting, tetapi rasa kebangsaanlah yang dahulu!.350 Hamka menjelaskan, ketika bertemu dengan bangsa-bangsa lain di luar negeri, umat Islam selalu menyebut dirinya sebagai bangsa Jawa/Jawi terlebih dahulu. Baru kemudian menyebut nama suku-bangsanya. Maka dikenallah ‚Jawa- Padang‛, ‚Jawa-Sunda‛, ‚Jawa-Madura‛, ‚Jawa-Banjar‛, atau ‚ Jawa-Bugis.‛ Sementara untuk orang Jawi yang berasal dari suku Jawa menyebut dirinya sebagai ‚Jawa-Mriki.‛ Perubahan dari identitas ‚bangsa Jawi‛ menjadi ‚bangsa Indonesia‛, jelasnya, adalah bertujuan agar orang-orang suku Jawa tidak merasa lebih tinggi dari suku lain, dan suku-suku lainnya tidak merasa inferior dari suku Jawa. Hal ini berbeda dengan orang-orang berpendidikan Belanda yang belum tegas menyatakan identitas kebangsaannya, bahkan pun setelah Sumpah Pemuda diikrarkan. Demikian Hamka mengritik mereka, ‚Padahal orang-orang berpendidikan Belanda kalau datang ke negeri Belanda tidaklah dapat memberikan jawab setegas itu. Padahal sampai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang ada baru ‘Jong Java’, ‘Jong Sumatera’, ‘Jong Celebes’, dan berbagai macam Jong?.‛351 Dengan pandangan seperti ini Hamka tegas menolak jika kebangsaan Indonesia dirujukkan kepada unsur-unsur non-Islam. ‚… Hingga jelaslah bahwa bukan jiwa Kejawen, jiwa Majapahit, jiwa Sriwijaya yang dibangunkan kembali untuk masa depan, tetapi jiwa Nabi Muhammad,‛ tulisnya.352 Hamka mengakui, memang ada tiga unsur yang mempengaruhi kepribadian bangsa Indonesia: Hindu- Buddha, Islam, dan peradaban Barat. Namun Hamka merasa aneh karena pasca kemerdekaan banyak kebudayaan non-Islam yang bebas hidup dan memberikan pengaruhnya terhadap kepribadian nasional Indonesia. Sementara kebudayaan Islam terkesan dikesampingkan bahkan diberi label ‚kebudayaan Arab‛ dengan nada peyoratif. Padahal Islam dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Islam juga telah memberi kontribusi bagi bangsa Indonesia untuk tetap bertahan meski selama berabad-abad ditekan oleh kekuatan kolonial Barat. Baginya, Islam adalah ‚satu kebudayaan yang telah mempertahankan pribadi Indonesia sehingga tidak dapat ditelan mentah-mentah oleh penjajah, sebagaimana telah tertelannya Indian

350 Hamka, ‚Siapa Anti Pantjasila!‛, h. 3-4 351 Hamka, ‚Siapa Anti Pantjasila!‛, h. 4 352 Hamka, Tjahaja Baru, h. 23

72 di Amerika dan bangsa asli Australia.‛353 Hamka kembali menegaskan peran penting Islam bagi Indonesia: Lepas dari benar tidaknya bilangan tahun masuknya Islam di Indonesia, dan dengan tidak mengindahkan pula bahwa di antara 90% itu ada yang Islam-islaman saja, namun agama Islam sudah tidak dapat disangkal lagi paling besar modalnya dalam membina kebudayaan Indonesia dibandingkan dengan pengaruh-pengaruh lainnya‛.354 Bukan hanya menjaga eksistensi bangsa Indonesia, Hamka juga meyakini, hanya dengan kebangsaan yang berakar pada Ketuhanan Yang Maha Esa sajalah perdamaian dan tata dunia baru yang adil dan makmur sebagaimana yang dicitakan dalam Pembukaan UUD 1945 akan dapat diwujudkan. Tidak lagi surut ke belakang sejarah, membanggakan kebesaran yang lampau; ‘kebudayaan asli’, yang definisi aslinya itu tidak dapat pula ditunjukkan. Dan sila dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu telah mengajarkan, bahwasanya seluruh bangsa adalah kawan, seluruh manusia adalah sahabat, dan tujuan yang paling akhir ialah perdamaian kemanusiaan menegakkan dunia yang baru yang adil dan makmur‛355 Hal itu karena ‚Lantaran berjuang dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu saja, maka dengan sendirinya mereka telah mempunyai peri-kemanusiaan yang tinggi. Karena manusia dan kemanusiaan yang setinggi-tingginya, pada keyakinan dan kepercayaan mereka, dan dalam praktek hidup mereka, ialah yang paling dekat hubungannya dengan Tuhan‛, tegasnya.356 Meski begitu menekankan peran penting Islam bagi pembentukan kebangsaan Indonesia, Hamka tetap menyadari realitas sosial politik yang ada, khususnya menjelang kemerdekaan. Hamka menjelaskan, di awal-awal pertumbuhannya, gerakan kebangsaan dipegang oleh tokoh-tokoh Islam semacam HOS Tjokroaminoto dan H Agus Salim. Namun pasca Tjokroaminoto, kendali kepemimpinan pergerakan kebangsaan Indonesia dipegang oleh tokoh-tokoh yang secara ideologi berbeda dengan keduanya, seperti Soekarno dan Hatta. Sementara dari kelompok Islam belum muncul sosok yang bisa menggantikan Tjokroaminoto. Hal itu membuat cita-cita menegakkan nasionalisme berbasis Islam menjadi sulit tercapai.357 Keberadaan umat agama lain pun tidak luput dari perhatian Hamka. Di sini Hamka bersikap terbuka dan positif pada mereka. Ini setidaknya terlihat dari penolakannya atas adanya peraturan-peraturan yang memberikan keistimewaan pada umat Islam. Pertama, Hamka menolak usulan bahwa yang berhak menjadi kepala pemerintahan (staatshoofd) Indonesia adalah orang yang beragama Islam.

353 Hamka, ‚Kebudajaan Arab atau Kebudajaan Islam,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 16, tahun II, 1 Pebruari 1960, h. 3 354 Hamka, ‚Keutamaan Mu’min,‛ dalam Pandji Masjarakat, no. 24, tahun II, 1 Juni 160, h. 3 355 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 33. Hamka menganggap kebudayaan asli tersebut tidak lebih dari upaya jawanisasi Indonesia. Lihat Hamka, Di Tepi Sungai Dajlah, h. 109 356 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 17 357 Hamka, ‚Undang-undang Dasar Indonesia dan Tjita-tjita Islam,‛ dalam Hikmah, no 10, tahun IX, 17 Maret 1956, h. 7

73

Kedua, Ia juga menolak usulan tentang dua pertiga anggota kabinet harus orang Islam. Ketiga, Hamka menolak usulan bendera kebangsaan Indonesia merah-putih diberi tambahan gambar bulan sabit. Sikap Hamka in dinyatakan secara tegas sebagai tanggapan atas proposal (voostel) Dewan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang akan dibawa ke dalam musyawarah yang melibatkan organisasi-organisasi Islam yang menjadi anggotanya. Dalam draf usulan itu terdapat empat hal yang akan diajukan, selain tiga yang disebutkan di atas, Dewan MIAI juga mengusulkan adanya kementerian khusus yang mengurus kepentingan umat Islam (Ministerie van Islamietische Zaken). 358 Usulan ini juga disampaikan juru bicara MIAI, Wondoamiseno, kepada GAPI (Gabungan Politik Indonesia) ketika federasi pergerakan politik yang didirikan tahun 1939 itu menyusun suatu memorandum tentang konstitusi Indonesia masa depan. Wondoamiseno menyatakan, MIAI mendukung upaya ini asal memuat keempat hal di atas.359 Dalam tanggapannya, Hamka menyatakan belum memberikan komentar tentang kementerian khusus tersebut. Namun dia memberikan sikapnya terkait tiga usulan lainnya. Menurutnya, sulit untuk menerima aturan tentang kepala pemerintahan harus beragama Islam secara hitam putih termaktub dalam Undang- undang Dasar (grondwet). Karena hal itu akan membuat renggang hubungan dengan umat agama lain di negeri ini. Bahkan Hamka memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak perlu. Sebab mayoritas rakyat Indonesia telah beragama Islam. Pun demikian mayoritas pemimpin yang terlibat dalam pergerakan politik, baik yang berasas Islam atau bukan Islam, dan mayoritas anggota Dewan Rakyat (Volksraad) juga beragama Islam. Hamka menjelaskan: Untuk menciptakan seorang Staatshoofd muslim, bukanlah dari kini membuat aturan demikian, karena dari bermula hal itu sudah bisa menimbulkan sakit hati dengan kawan lain yang bukan seagama. Menciptakan seorang Staatshoofd Islam, ialah dengan jalan membanyakkan persoon-persoon muslim yang berkaliber besar, yang luas faham, yang bisa diakui oleh segala pihak bahwa dia penganjur mereka, bapak mereka, walaupun dia seorang Islam yang besar dan taat di dalam

358 Hamka, ‚Tjita-tjita MIAI,‛ dalam Pedoman Masjarakat, No 21, Tahun VII (21 Mei 1941), h. 401-402. MIAI dibentuk di Surabaya atas inisiatif Mas Mansur (Muhammadiyah), Muhammad Dahlan dan Wahab Hasbullah (NU), serta W Wondoamiseno (SI) pada 21 September 1937. MIAI merupakan federasi dari pergerakan Islam saat itu. Di awal mula ada 7 anggota. Kemudian menjadi 21 pada tahun 1941. Untuk mewujudkan persatuan antara pergerakan-pergerakan Islam saat itu, MIAI aktif menyelenggarakan Kongres Al-Islam. Lihat Noer, Gerakan Moderen Islam, h. 262-267. Meski tidak sependapat dengan beberapa usulan MIAI tersebut, Hamka sejak awal mendukung pendirian MIAI. Bahkan sejak sebelum federasi itu berdiri. Menurutnya, sebuah lembaga yang menyatukan semua elemen umat Islam di Indonesia amat penting berdiri untuk ‚membicarakan kepentingan umat Islam umum‛ dan ‚berikhtiar mempertinggi martabat umat,‛ yang manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh umat Islam. Bukan hanya kelompok-kelompok tertentu saja. Lihat Hamka, ‚Madjlis ‘Oelama Tinggi,‛ dalam Pedoman Masjarakat, No 5, Tahun III (14 Pebruari 1937), h. 97 359 Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Bandung: Mizan, 2000), h. 20-21

74

keislamannya. Jangan orang-orang yang setelah maju di dalam Islam dia menjadi seorang yang fanatik, buta faham, sempit pendirian, sehingga hanya pihaknya saja yang mengakuinya, pihak lain tidak. 360 Untuk mewujudkan pribadi pemimpin yang seperti itu, tulis Hamka, tempatnya bukan di dalam perundang-undangan, namun di dalam dakwah dan penyiaran agama. ‚Oleh sebab itu maka perjuangan buat mencapai maksud ini bukanlah di dalam grondwet tempatnya, tetapi di dalam jalan propaganda agama dan penyiarannya, serta pergaulan yang rapat di antara kaum intelektueel dan ulama‛, ujarnya.361 Dari sekian banyak tokoh politik muslim saat itu, hanya sedikit yang dinilai Hamka memenuhi kriteria tersebut. Di antara yang sedikit itu, Hamka menyebut HOS Tjokroaminoto dan Mohammad Hatta. Menurutnya, keduanya itu merupakan tokoh nasionalis yang besar, juga muslim yang taat, dan semua golongan memandangnya sebagai penganjurnya yang besar.362 Alasan serupa juga digunakan Hamka untuk menolak usulan dua pertiga menteri kabinet harus beragama Islam. Hamka mengungkapkan: Yang kedua, supaya 2/3 dari para wazir (ministers) hendaklah beragama Islam. Hampirlah sama dengan yang di atas itu. Di Volksraad sekarang saja, sudah tercapai 9/10 dari anggota bangsa Indonesia yang beragama Islam. Ini akan terjadi senantiasa, kalau sekiranya golongan Islam bertambah banyak yang aktif di dalam perjuangan politik tanah air.363 Karena itu Hamka menyambut baik keterlibatan tokoh-tokoh pergerakan Islam dalam medan perjuangan politik, seperti kemunculan Partai Islam Indonesia (PII). Apalagi para pengurus partai tersebut selama itu dikenal sebagai aktivis Islam seperti RM Wiwoho, Dr Soekiman, Wali Al-Fatah, Mr Kasmat, A Kahar Moezakkir, Farid Ma’roef, M Rasjidi, Ki Hadikoesoemo, dan HM Soedjak. Menurut Hamka, keberadaan PII akan membuat gerakan Islam di Indonesia kembali bersemangat, ‚Kebangunan kebangsaan Indonesia, selama ini terpegang oleh tangan orang-orang yang tidak mengerti agama, sekarang akan diambil over kembali, sekurangnya, kaum gerakan agama akan turut dalam barisan membela kebangsaan kita, walaupun kaum yang tidak perduli kepada kepentingan Indonesia ini, tidak juga akan menerima.‛364 Hamka juga menolak penambahan gambar bulan sabit pada bendera merah putih, karena hal itu akan mendorong pihak agama lain meminta hal serupa. Orang Kristen, ujarnya, akan meminta gambar Salib ditambahkan. Tuntutan serupa juga bisa muncul dari umat Hindu di Bali. Hamka bersepakat dengan cukup ‚merah putih‛ sebagai warna bendera karena itu merupakan bendera persatuan yang telah

360 Hamka, ‚Tjita-tjita MIAI,‛ h. 401 361 Hamka, ‚Tjita-tjita MIAI,‛ h. 402 362 Hamka, ‚Tjita-tjita MIAI,‛ h. 401 363 Hamka, ‚Tjita-tjita MIAI,‛ h. 402 364 Hamka, ‚Samboetan Kita Atas: Party Islam Indonesia,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 14 Desember 1938, h. 1008. Partai Islam Indonesia (PII) didirikan pada 4 Desember 1938 dengan Wiwoho sebagai ketuanya. Wiwoho merupakan mantan aktivis JIB dan saat itu menjadi anggota Volksraad. Di tingkat pusat pimpinan PII mayoritas terdiri dari tokoh-tokoh Muhammadiyah. Menurut Deliar Noer PII lahir dari perpecahan yang terjadi dalam tubuh PSII. Lihat Noer, Gerakan Moderen Islam, h. 175-179

75 disepakati bersama,365 apalagi Hamka melihat warna merah putih tersebut bersesuaian dengan warna bendera kesultanan di Solo.366 Persoalan lainnya yang dikemukakan Hamka adalah mengenai validitas bulan sabit sebagai simbol Islam. Di sini Hamka mempertanyakannya sebagai simbol Islam, ‚atau hanyakah itu simbol bendera kerajaan Usmaniyah, yang kemudian disambung oleh bendera Turki sekarang dan bendera Mesir? Kalau tidak, mengapa Persi, Irak dan Saudi Arabia tidak menggunakan simbol itu?‛.367 Sikap terbuka Hamka juga diperlihatkan pada respons positifnya atas asas ‚kebangsaan‛ yang dianut beberapa pergerakan nasional, salah satunya Permi (Persatuan Muslimin Indonesia). Permi didirikan tahun 1930 dengan basis utamanya pada pelajar dan alumni Thawalib di Sumatera. Pada 1932 Permi berubah menjadi partai politik dengan mencantumkan asas ‚Islam dan kebangsaan.‛368 Asas ini dipilih oleh pendirinya, Haji Ilyas Yakub dan H Mukhtar Lutfi, berdasar atas pengalaman keduanya selama belajar di Mesir dan dari pengamatan mereka terhadap pertentangan antara SI dengan PNI mengenai Islam dan kebangsaan.369 Meski diniatkan untuk menampung aspirasi umat Islam di Sumatera, asas Permi ini mendapat tanggapan negatif dari para tokoh-tokoh pembaharu. Deliar Noer menulis AR Sutan Mansur dan Hamka yang didukung Haji Rasul mengritik asas Permi tersebut. Menurut mereka, tulis Noer, Islam tidak perlu ditambahi dengan kebangsaan, karena Islam telah telah cukup, telah sempurna. Untuk menyerang Permi, kalangan Persis membuat slogan ‚ada Islam yang pakai ‘dan’,‛ dan ‚ada Islam yang tak pakai ‘dan’,‛. Persis dan kelompok non-Permi mengklaim diri mereka sebagai kelompok terakhir ini.370

365 Hamka, ‚Tjita-tjita MIAI,‛ h. 402 366 Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: ‘Dan’, Bendera dan Lagoe,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 15 Februari 1939, h. 127. Dalam tulisan ini Hamka menjelaskan bahwa bendera dan lagu kebangsaan merupakan urusan adat istiadat dan kebangsaan yang mubah dalam agama, bukan termasuk urusan ibadah. Umat Islam boleh menggunakan bendera dan lagu kebangsaan. Serta berdiri memberi hormat kepadanya. Penghormatan itu sendiri bukan sebagai bentuk ibadah dan tidak berarti menganggap bendera sebagai Tuhan. Tidak ada nash yang melarangnya. Di zaman Rasul sendiri telah digunakan bendera dalam peperangan. Lagu-lagu juga dinyanyikan sebagai penguat semangat pasukan perang. 367 Hamka, ‚Tjita-tjita MIAI,‛ h. 402 368 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 ,(Jakarta: LP3ES, 1991), h. 59-60, 284. 369 Firdaus Syam, Yusril Ihza Mahendra: Perjalanan Hidup, Pemikiran dan Tindakan Politik, (Jakarta: Dyatama Milenia, 2004), h. 135 370 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam..., h. 284-285. Namun pada tulisannya yang lain Noer menyatakan bahwa Hamka sepakat dengan kalangan Persis dalam hal nasionalisme sekular yang memiliki pandangan chauvinistik sebagai As}abiyyah. Meski demikian, tulis Noer, Hamka bisa memahami posisi kaum nasionalis yang netral agama. Karena itu Hamka berupaya menyerasikan kebangsaan dengan Islam. Di titik inilah, simpul Noer, letak perbedaan Hamka dengan Persis. Dari sini tampaknya Noer mulai memandang Hamka secara lebih detail. Lihat Deliar Noer, ‚Yamin dan Hamka: Dua Jalan Menuju

76

Penyantuman nama Hamka sebagai salah satu pihak yang menolak asas kebangsaan itu kiranya perlu ditinjau kembali. Mengingat dalam banyak tulisannya di Pedoman Masjarakat, Hamka tidak pernah mempermasalahkannya, bahkan dia bisa menerima asas tersebut. Menurut Hamka, tuduhan men-dan-kan atau menyandingkan Islam dengan kebangsaan dalam asas pergerakan sebagai mencampuradukkan yang haq dengan yang batil itu sesungguhnya tidak tepat. Khususnya dalam kasus asas ‚Islam dan kebangsaan‛ pada Permi. Berikut penjelasan Hamka: Setelah diselidiki ternyatalah bahwa kebangsaan yang mereka maksudkan ialah kebangsaan yang diizinkan Islam, diridhai Islam, kebangsaan yang memang diakui oleh Islam. Mereka ‘dan’-kan Islam dengan dia untuk penjelaskan program yang mereka kerjakan, bukan sekali-kali kebangsaan Hindu atau hendak kembali ke zaman Minangkabau lama atau ke zaman Hindu Majapahit.371 Hamka mengakui Islam memang telah sempurna dan mencukupi, temasuk juga mencakup kebangsaan. Namun menambahkan kata ‚dan kebangsaan‛ bukanlah suatu kesalahan. Secara kebahasaan, jelasnya dengan mengutip pernyataan Permi, penambahan itu berarti sebuah penekanan. Ini seperti perintah Allah kepada kaum muslimin untuk menjaga shalat lima waktu dan shalat wust}a> (pertengahan). Shalat wust}a > itu, jelasnya, sudah tercakup dalam shalat lima waktu, namun tetap saja disebut oleh Allah. Sama juga seperti perintah ‚taat kepada Allah, Rasul, dan ulil amri‛. Perintah ‚taat kepada Allah‛ sesungguhnya sudah mencukupi dan mencakupi ‚kepada Rasul‛ serta ‚ulil amri‛, namun Allah tetap saja menyebut keduanya.372 Jadi men-‘dan’-kan Islam dengan kebangsaan – karena demikianlah maksudnya- tidaklah salah. Yang salah ialah tergesa menerka maksud orang lain, sebelum diketahui sedalam-dalamnya maksud orang itu… Sebab itu tidaklah salah kalau ada orang menamai dirinya ‘Nasionalis Muslim Indonesia’ untuk membedakannya dengan ‘Nasionalis Kristen Indonesia’, malah lebih baik lagi supaya nyata bahwa nasionalisme yang dianutnya itu tidak akan keluar dari garis Islam.373 Hamka juga tidak mempermasalahkan pergerakan nasional lainnya yang hanya mencantumkan asas kebangsaan, karena dia memandang kebangsaan itu tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan Hamka menyatakan bahwa pergerakan yang berasas kebangsaan seperti Parindra (Partai Indonesia RayaError! Reference source not found.) perlu untuk dibantu. ‚Kalau sesuatu pergerakan politik bangsa Indonesia itu, tujuannya hendak menyelamatkan rakyat, masyarakat dan mengangkat derajat bangsa dan nusa, adalah fardhu kifayah dimasuki umat Islam‛, ujarnya. Akan lebih baik lagi, lanjut Hamka, ketika umat Islam masuk ke dalam pergerakan yang berasas kebangsaan itu juga melakukan dakwah di dalamnya.374

Identitas Indonesia,‛ dalam Anthony Reid dan David Marr, Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya, (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), h. 44 371 Hamka, ‚ ‘dan’, Bendera dan Lagoe‛, h. 126 372 Hamka, ‚ ‘dan’, Bendera dan Lagoe‛, h. 126 373 Hamka, ‚ ‘dan’, Bendera dan Lagoe‛, h. 126-127 374 ‚Thamrin dan Hamka di Kalimantan,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 43, tahun III, 10 November 1937, h. 864

77

Meski demikian Hamka kembali mengingatkan agar dalam perjuangan itu tetap diniatkan karena mencari ridha Allah. ‚Karena Allah, bergeraklah karena Allah, walaupun perkumpulan itu politik kebangsaan yang tidak menuliskan ‘berdasar Islam’,‛ ujarnya. Pergerakan tanpa niat karena Allah itu percuma, tidak akan mendapatkan balasan. Meski demikian, lanjutnya, ‚niat karena Alah‛ itu tidak harus disebutkan dalam statuten pergerakan. Hamka menyatakan: Tetapi apakah perlu ‘karena Allah’ itu dituliskan pula di dalam statuten? Tidak perlu! Karena itu hanya mengajar riya semata-mata. Menyebutkan karena Allah supaya lepas dari tuduhan manusia bergerak tidak karena Allah, adalah suatu perbuatan yang telah terlepas dari karena Allah. Karena Allah itu adalah ‘ikhlas’, dan ikhlas bukan tertulis di dalam kertas, tetapi terlukis di dalam hati.375 Sikap terbuka dan kurang berminat pada formalisme agama dalam politik seperti ini tentu saja berbeda dengan sikap yang ditunjukkan Hamka di zaman pasca kemerdekaan, khususnya di era demokrasi parlementer di mana Hamka begitu tegas memperjuangkan simbol-simbol Islam dalam kenegaraan, seperti tuntutannya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dalam Konstituante. Perubahan seperti ini sesungguhnya bukan sebuah pergeseran mendasar pada pemikiran politiknya, namun lebih sebagai sebuah sikap yang secara kontekstual disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Secara paradigmatik Hamka tetap meyakini akan saling terkaitnya agama dengan politik. Namun bagaimanapun juga Hamka menyadari tantangan dan kebutuhan zaman saat itu. Di dekade 1930-an tersebut Hamka melihat bahwa kebutuhan bangsa Indonesia saat itu adalah terwujudnya persatuan antar kelompok anak bangsa demi memperjuangkan kemerdekaan. Dengan kondisi seperti ini, tuntutan pada hal-hal yang bersifat formal dan simbolik tentu saja tidak mendukung bagi upaya persatuan tersebut. Atas pertimbangan semacam inilah Hamka berani mengambil sikap berbeda dari banyak tokoh politik Islam saat itu dengan gagasannya yang terbuka dan merangkul kelompok-kelompok yang berbeda. Kondisi berbeda dihadapi Hamka di Konstituante, di mana kemerdekaan telah diraih dan kebutuhan bangsa ketika itu adalah mengisi kemerdekaan tersebut. Dalam situasi seperti inilah, Hamka pun menawarkan Islam sebagai isi bagi Indonesia merdeka. Sebagai sebuah tawaran, adalah sebuah kewajaran jika Hamka lebih menonjolkan segala macam keunggulan Islam dibanding dengan Pancasila yang ditawarkan kelompok lain. C. Sintesis Islam-Demokrasi Menurut Hamka Hamka mengakui gagasan kenegaraan modern berasal dari pemikir-pemikir Barat abad ke 17/18 semacam Rousseau, Montesquieu, atau Voltaire. Mereka hendak melepaskan akal fikiran manusia dari belenggu Gereja. Juga menentang persekutuan antara para raja dengan kardinal yang sering melakukan penindasan.376

375 Hamka, ‚Gerakan Politiek Tidak Menerima Bangsa Asing,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 1 Pebruari 1939, h. 94 376 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 22-23. Hamka menyebut Eropa abad pertengahan sebagai abad iman. Sedangkan Eropa abad modern disebutnya sebagai abad gelombang ilmu (science). Namun Hamka juga menyebut abad modern tersebut sebagai era

78

Memang Eropa Abad Pertengahan diwarnai dengan kekuasaan Gereja yang begitu dominan. Para raja membutuhkan Paus sebagai pemberi legitimasi atas kekuasaan mereka. Mereka tidak berani melawan Paus, karena mahkota yang ada di kepala mereka diletakkan oleh Paus. Atas legitimasi Paus inilah mereka bisa berkuasa atas nama Tuhan. ‚Pemerintahan Raja adalah atas kehendak Tuhan sebagai wahyu suci yang tidak dapat dibantah,‛ tulis Hamka.377 Para pemikir yang disebut Hamka di atas memang lahir dalam konteks Eropa abad ke 17 yang saat itu sedang didominasi oleh praktik politik monarkhi absolut dengan agama sebagai basis legitimasinya. Sistem politik seperti ini merupakan jawaban atas kondisi Eropa yang kacau, sering terjadi perang saudara dan perang agama antara kaum Katolik dengan Protestan. Monarkhi absolut dianggap sebagai jalan keluar terbaik demi mewujudkan tertib sosial saat itu. Namun ternyata sistem politik ini justru melahirkan pemerintahan tiran. Merespon hal ini, para pemikir itu pun menawarkan ide-ide politik alternatif yang mendorong pada perlindungan terhadap hak-hak sipil dan kebebasan. Pada titik ini kontrak sosial dan pembatasan kekuasaan melalui pembagian kekuasaan menjadi solusi bagi negara yang melindungi kebebasan dan hak-hak individu tersebut.378 Meski dipopulerkan oleh Barat modern, namun Hamka melihat sesungguhnya demokrasi memiliki akar yang kuat dalam Islam, baik secara teologis maupun empiris. Secara teologis konsepsi demokrasi Hamka berangkat dari penafsirannya terhadap posisi manusia sebagai khalifah Allah (pembahasan tentang ini akan diuraikan dalam bagian tersendiri). Sementara secara empiris demokrasi pernah terwujud dalam praktik pemerintahan Islam di masa lalu, khususnya di era empat khalifah utama. Namun kehidupan demokratis itu kemudian berhenti ketika Muawiyah menjadi khalifah yang menunjuk putranya, Yazid, sebagai penggantinya.379 Hamka menjelaskan: Muawiyah bin Abi Sufyan memandang bahwa pemilihan secara khalifah berempat tidak mungkin dilakukan lagi. Sebabnya ialah karena umat Islam telah berlipat ganda banyaknya, negeri Islam telah melebar ke Timur dan ke Barat. Sebab itu kekufuran Eropa. Saat itu pengaruh science telah meliputi dunia Barat, dan pengaruh agama mulai berkurang. Kalangan terpelajar Eropa menghindar dari agama. Ilmu pengetahuan yang dibangun pun dimulai dari skeptisisme. Akibatnya ilmu pengetahuan juga menghasilkan skeptisisme (ketidakpercayaan). Agama/gereja diserang dengan perkataan dan perbuatan. Lihat Hamka, ‚Ilmu dan Agama,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 21, tahun II, 15 April 1960, h. 4; Hamka, ‚Kufur dan Iman,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 17, tahun II, 15 Pebruari 1960, h. 4. 377 Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 27 378 Lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta: Darul Falah, 1999), khususnya bahasan tentang John Montesquieu, Locke, dan Rousseau. 379 Lihat Hamka, ‚Parlement dan Doenia Islam I,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 1, tahun VII, 1 Januari 1941, halaman hilang/tidak kelihatan; ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam I,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 7, tahun VII, 12 Pebruari 1941, h. 126-127; ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam II,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 8, tahun VII, 19 Pebruari 1941, h. 154-155; ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam III,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 9, tahun VII, 26 Pebruari 1941, h. 174

79

setelah beliau sampai ke jabatan itu sesudah konferensi di Daumatul Jandal, beliau mengambil langkah baru, yaitu mencalonkan putranya akan menggantikan beliau setelah beliau meninggal, sebagaimana Abu Bakar mencalonkan Umar. Dan anak yang beliau calonkan itu supaya diterima oleh kaum muslimin. Sejak zaman Muawiyah itu jabatan khalifah menjadi pegangan dinasti (keturunan). Sebab itu maka sifat khalifah sudah lebih merupakan Raja, bukan lagi dekat jabatan ‚kepresidenan‛.380 Meski menganggap Muawiyah telah membuat kocar-kacir dan hancur susunan masyarakat Islam,381 karena telah mengubah ‚demokrasi dan pemerintahan yang begitu murni‛ selama pemerintahan empat khalifah utama, namun Hamka bisa memahami keputusan itu. Menurut Hamka, saat itu kekuasaan Islam telah meluas meliputi Mesir, Yaman, Irak, dan Syam, bahkan hingga perbatasan Persia dan India. Sementara jalur perhubungan transportasi dan komunikasi masih sangat sulit. Jika pemerintahan musyawarah model empat khalifah sebelumnya tetap diteruskan, maka akan terjadi kekacauan, apalagi dalam hal pergantian kepemimpinan. Hamka mengakui perubahan sistem pemerintahan menjadi monarki bisa menjadi solusi sementara. ‚Ideal terpaksa dikalahkan oleh hal yang real, oleh kenyataan,‛ jelas Hamka. Lebih lanjut Hamka menjelaskan, ‚Setengah ahli tarikh menyalahkan Muawiyah sebab telah merubah dasar shu>ra>, dasar musyawarat yang begitu agung kepada pemerintahan monarki! Tetapi orang yang melihat biografi dan mengetahui tarikh tidak dapat menyalahkan perbuatan itu, bahkan mengakui.‛382 Perubahan sistem pemerintahan itulah, ujar Hamka, yang membuat Muawiyah tidak dimasukkan ke dalam bagian al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n. Hamka menjelaskan, ‚Waktu itu tertutuplah pintu ‘shu>ra>’, pintu pemilihan khalifah atau ‘kepala negara’ yang telah dimulai oleh Abu Bakar dan Umar dahulu. Dan sepakatlah ahli tarikh tidak memasukkan Muawiyah lagi di dalam golongan ‘khulafaur rasyidin’. Hanya diakui sebagai seorang ‘raja besar’ yang mula-mula mendirikan Kerajaan Bani Umayyah.‛383 Pemerintahan monarki itu pun berlanjut pada era Bani Abbasiyah, Bani Umayyah II di Andalusia, Fatimiyyah, hingga Turki Utsmani. Lebih lanjut Hamka menjelaskan: …bertambah jauhlah kaum Muslimin dari pada pemilihan khilafat secara yang dibentuk oleh Abu Bakar itu. Tiap-tiap negeri telah berdiri dengan rajanya sendiri- sendiri meskipun ada jabatan khalifah misalnya di Baghdad dari Bani Abbas, di Andalus dari Bani Umayyah, dan di Mesir dari kerajaan Fatimiyah, tetapi tidak bertemu lagi jejak dan bekas demokrasi atau pemilihan yang secara shu>ra> itu.384

380 Hamka, ‚Khilafaat,‛ h. 6 381 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 106 382 Hamka, ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam III,‛ h. 174 383 Hama, Islam dan Demokrasi, h. 17. Meski menilai pemerintahan 4 khalifah utama sebagai yang terbaik, namun Hamka melihat pemerintahan yang paling mendekati idealitas Islam di antara keempat khalifah itu adalah periode Abu Bakar dan Umar bin Khattab. ‚Abu Bakar dan Umar adalah contoh yang setinggi-tingginya daripada pemerintahan yang dikehendaki Islam. Dan sesuai pula dengan suasana zaman pada waktu itu,‛ tulisnya. Lihat Hamka, ‚Perbandingan Sedjarah‛, dalam Hikmah, no 15-16, tahun V, 16 April 1952, h. 19 384 Hamka, ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam III,‛ h. 174

80

Model pemerintahan monarki inilah yang kemudian tersebar ke seluruh dunia Islam. Di Nusantara sendiri, ujar Hamka, sistem pemerintahan monarki Islam itu muncul dan melanjutkan monarki Hindu yang pernah ada sebelumnya. Kerajaan Melayu Islam Malaka di abad ke 14 adalah pergantian dari Melayu Hindu di Tumasik. Demikian pula kerajaan Demak dan Mataram di Jawa yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Majapahit.385 Sebagai akibat sejarah panjang monarki absolut seperti itulah umat Islam jadi lupa pada ajaran agamanya tentang pergantian kepemimpinan. Hal ini membuat Dunia Islam ‚tidak lagi mengenal pilihan imam atau kepala negara dengan jalan shu>ra> (pilihan orang banyak), sehingga lantaran tidak ada kemajuan itu, orang menyangka cara demikianlah pemerintahan yang dikehendaki Islam,‛ ujarnya.386 Terdapat beberapa kata kunci penting dalam konsep Demokrasi Takwa yang dibangun Hamka, yaitu: penafsiran tentang manusia sebagai khalifah di muka bumi, musyawarah, dan masyarakat yang bertakwa. Berikut ini akan diuraikan lebih lanjut. 1. Manusia sebagai Khalifah Allah di Bumi Bagi Hamka, doktrin Islam tentang manusia sebagai wakil Allah di muka bumi (khali>fat Alla>h fi> al-ard}) adalah landasan normatif utama akan sistem demokrasi dalam Islam. Ayat tentang khalifah Allah ini termaktub dalam Surat al-Baqarah ayat 30:

                

              Dalam ayat ini, jelas Hamka, Allah menyatakan maksudnya kepada malaikat-Nya bahwa Dia hendak melantik khalifah-Nya di atas bumi. Karena itu Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama yang akan menjadi khalifah. Khalifah berarti pengganti, pelaksana, atau penerus pekerjaan.387 ‚Khalifah adalah orang yang diserahi melanjutkan kehendak orang yang mengkhalifahinya,‛ tulis Hamka.388 Atas tugas berat ini Allah pun memberi bekal kepada manusia berupa ‚akal‛.389

385 Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 25 386 Hamka, Lembaga Hidup, h. 78 387 Hamka, Dari Hati Ke..., h. 36. Hamka menjelaskan ada dua pendapat tentang makna manusia sebagai ‚khalifah‛ sebagaimana yang terdapat dalam QS al-Baqarah ayat 30. Pertama, manusia adalah khalifah Allah. Kedua, manusia adalah khalifah (pengganti) dari makhluk-mahluk yang telah lalu di muka bumi, seperti jin, iblis, dewa-dewa, dan lain- lainnya yang dahulu kala menjadi penguasa bumi. Lihat Hamka, Dari Hati Ke..., h. 37. Lihat juga Hamka, ‚Kedudukan Manusia,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 5, tahun I, 5 Desember 1966, h. 9; Hamka, ‚Theorie Darwin dan Islam,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 33, tahun II, 30 September 1936, h. 643-644 388 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 15 389 Hamka, Dari Hati Ke..., h. 37

81

Sebagai khalifah manusia mempunyai posisi istimewa yang sering kali disalahgunakan oleh sekelompok orang untuk berkuasa secara absolut dan bertindak secara sewenang-wenang sebagaimana yang terjadi dalam negara-negara monarki dan sistem teokrasi. Namun tidak demikian pemahaman khalifah menurut Hamka. Posisi khalifah itu bukanlah sebuah legitimasi bagi sebagian orang untuk bertindak sewenang-wenang atas nama Tuhan terhadap orang lain. Hal itu karena Hamka memahami bahwa yang berposisi sebagai khalifah itu bukan satu dua orang atau golongan tertentu dari umat manusia belaka, tapi seluruh umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi ini.390 Jadi, simpul Hamka, ‚amat berat dan amat mulialah beban manusia ketika dia dianugerahi hidup dalam dunia ini. Mereka semuanya dipandang satu dan sama memikul tanggung jawab, hendak menyempurnakan kehendak Allah di atas bumi. Mereka semuanya adalah khalifah Tuhan di bumi.‛391 Dengan demikian semua umat manusia memiliki posisi yang sama. Tidak ada keunggulan satu orang terhadap orang lain. Karena itu tidak boleh seseorang mengklaim berkuasa atas nama Tuhan.392 Semua manusia sama mulianya dan sama asalnya dan sama kedudukannya di hadapan Tuhan. Dengan ajaran ini, habislah kepercayaan kuno turun-temurun tentang dewa-dewa manusia keturunan langit, yang mempunyai darah lain dari darah orang lain, manusia yang turun dari atas keindraan untuk dipuja dan dilebihkan dari manusia lain.393 Hamka mendasarkan pemahamannya ini pada Surat al-Baqarah ayat 213 yang menjelaskan tentang kesatuan umat manusia. Dan diperkuat oleh Surat Faathir ayat 39, al-A’raf ayat 68, al-Naml ayat 62, Yunus ayat 14 dan al-An`am ayat 165:

              ‚Dan Dialah yang menjadikan kamu menjadi khalifah-khalifah di bumi, dan diangkatnya derajat setengah dari yang setengah, supaya diberi ujian kamu pada barang yang diberikan atas kamu itu." (QS. al-An`am: 165) Karena itu Hamka secara tegas menyatakan, Tidak ada lagi satu manusiapun yang boleh mengambil tempat istimewa untuk merendahkan manusia yang lain... Dan dengan ajaran ini terbantahlah dasar pemerintahan lama dari manusia, di dalam mendirikan negara dan masyarakat, yaitu memandang raja, atau nenek atau dukun sebagai Tuhan… Bukanlah menuhankan seorang manusia, mensucikannya dan yang lain bersedia menjadi budaknya, dan menurut apa yang diaturnya, dan beliau tidak boleh disalahkan, dan dipandang tidak pernah bersalah!.394

390 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 16 391 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 16 392 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 101 393 Hamka, Dari Hati Ke..., h. 39 394 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 16-17. Dalam sistem politik kerajaan dan kepercayaan lama diyakini bahwa raja merupakan orang istimewa yang memiliki garis keturunan hingga ke dewa atau makhluk adidokrati lainnya. Seperti dalam kepercayaan

82

Kesederajatan umat manusia yang menjadi prinsip demokrasi ini tercermin dalam shalat berjamaah. Hamka menulis, Jiwa yang terkandung dalam masjid adalah jiwa demokrasi. Siapa yang dahulu masuk masjid, walaupun dia tukang becak dan tukang rumput, dia mendapat pahala, karena duduk dalam s}aff pertama. Siapa yang kemudian masuk, walaupun dia kepala negara, dia mendapat saf di belakang, dan dilarang melangkahi kuduk orang. Bagaimana di tempat yang begitu demokrasi, malahan lebih tinggi daripada demokrasi, dicoba menanamkan feodalisme? Dan disandarkan pula kepada agama?.395 Jika kemudian Allah mengutus manusia-manusia tertentu (para rasul dan nabi), jelas Hamka, itu hanyalah untuk menuntun manusia agar bisa memikul beban berat tersebut (sebagai khalifah). Namun sayangnya, ketika para rasul datang dengan membawa kitab-kitabnya, justru sebagian manusia menjadi berselisih dan bertengkar karena mereka mengingkarinya, sehingga petunjuk dalam kitab-kitab itu pun hanya didapatkan oleh orang-orang yang percaya. Mereka ini, ungkap Hamka, adalah orang-orang yang menginginkan kebenaran sehingga lepas dari perselisihan itu. Konsep khalifah seperti yang dijelaskan Hamka tersebut merupakan dasar dari pemerintahan Islam. Hal ini, simpulnya, merupakan demokrasi. Bahkan Hamka menilainya sebagai lebih tinggi dari demokrasi karena Hamka melihat demokrasi yang digaungkan oleh Barat masih bersifat diskriminatif. Bangsa- bangsa Barat yang mengaku menganut demokrasi ternyata masih suka menjajah dan menghisap darah bangsa lain yang lemah,396 karena memang demokrasi di Barat tidak berlandaskan pada tauhid.397 Padahal, ungkap Hamka, tujuan demokrasi adalah kemanusiaan yang merdeka. Bagi Hamka, cita seperti ini hanya bisa diraih melalui kemerdekaan pikiran dan jiwa. ‚Dari pada pikiran yang merdeka akal yang merdeka dan jiwa yang merdeka, tidak dapat tidak, akan menimbulkan kemanusiaan yang merdeka,‛ tegasnya. Untuk mencapai hal itu, demokrasi perlu dibangun di atas landasan Tauhid, karena ‚tauhid menghendaki kemerdekaan akal dan fikiran manusia; supaya jangan dibelenggu oleh fanatik, turut-turutan pada adat yang telah terbiasa. Berfikir yang merdeka, itulah kehendak Islam.‛398

Jawa pada masa kekuasaan Mataram Islam yang menyebutkan bahwa Sultan Mataram (Panembahan Senopati) memiliki garis keturunan pada raja-raja Majapahit. Sementara raja- raja Majapahit merupakan anak keturunan dari Raden Panji yang memiliki jalur keturunan hingga ke Parikesit (Raden Panji putra dari Getayu, Getayu putra dari Joyoboyo putra dari Parikesit). Parikesit putra dari Abimanyu, putra dari Arjuna, putra dari Brahmana, putra Betara Guru, putra dari Sang Tunggal. Sang Hyang Tunggal berasal dari Sang Hyang Wening, dari Sang Hyang Nur Rasa, dari Sang Hyang Nur Cahaya. Untuk semakin memperkuat kharisma dan kesakralan, raja-raja Mataram juga disebut menikah dengan Nyi Roro Kidul penguasa Laut Selatan Jawa (Samudera Hindia). Lihat Hamka, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 12-13 395 Hamka, Tjahaja Baru, h. 55-56 396 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 16-17 397 Hamka, Pelajaran Agama, h. 66 398 Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 44

83

Tauhid inilah yang menjadikan demokrasi dalam Islam sebagai ‚demokrasi sejati‛ karena dimulai dari jiwa dan dipraktekkan dalam masyarakat, dan semua itu telah tercakup dalam dua kalimat syahadat.399 Ketika tauhid telah tertanam dalam diri seseorang, jelasnya, ia akan membentuk pandangan hidup orang itu. Akan hilanglah rasa takutnya pada selain Allah. Hamka menyebutnya sebagai ‚revolusi mental yang berpangkal dari tauhid‛. Orang yang di hatinya telah tertanam ajaran ini, jelasnya, ‚tidak lagi merasa takut kepada sesama manusia, walaupun manusia itu raja, kepala negara, presiden, hantu, atau segala macam dewa sekalipun.‛400 Ini akan membawa manusia pada kemerdekaan yang sejati, bukan sekedar tangan yang bebas dari belenggu dan tubuh tidak dipenjara. Lebih dari itu, Hamka menjelaskan bahwa kemerdekaan sejati adalah kemampuan menguasai diri dan mengendalikan hawa nafsu serta keberanian melawan perbudakan dari orang lain.401 ‚Tidak diperintah oleh tradisi yang tidak sesuai dengan timbangan akalmu yang murni, dan hidupmu tidak habis musnah hanya karena dorongan syahwat dan nafsu belaka,‛ jelasnya.402 Dalam ungkapan lain Hamka mendefinisikan kemerdekaan sejati sebagai komitmen berpegang teguh kepada kebenaran. ‚Memperhambakan diri atau mengakui diri jadi budak dari kebenaran,‛ ungkap Hamka menjelaskan. 403 Dengan memegang komitmen kepada kebenaran inilah orang Islam harus menggunakan kebebasannya dalam lingkup batas-batas yang telah ditentukan agama.404 Hamka menjelaskan: Tujuan Islam ialah untuk kesempurnaan diri dan menciptakan masyarakat yang tinggi nilainya dan bebas merdeka. Jelas semua itu dalam filsafat ajarannya. Jelas dalam bekas dan hasilnya. Tidak mungkin ajaran itu ditimbulkan menjadi suatu kenyataan, kalau kekuasaan tidak berdiri. Sebab itu, maka mendirikan masyarakat yang teratur dan pemerintahan yang teratur, adalah perlu, supaya cita-cita hidup yang demikian dapat tercapai.405 Hamka menyatakan, tauhid dapat menimbulkan suatu kekuatan dan harga diri kepada penganutnya, sebab mereka percaya bahwa hanya Allah saja yang berkuasa atas segala sesuatu. Kepercayaan seperti ini dengan sendirinya akan menimbulkan keyakinan bahwa yang lain tidak ada yang berkuasa. Selain Allah adalah sama dengan mereka, yaitu alam belaka,406 sehingga manusia bukanlah budak dari segala macam makhluk yang ada di alam ini. ‚Di hari pertama, di wahyu pertama telah tertanam kemerdekaan jiwa, bahwa manusia ini hanya sama! Ini sudah menanamkan revolusi dalam jiwa, sehingga tidak akan merasa segan

399 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 92 400 Hamka, Dari Hati Ke..., h. 42 401 Hamka, Studi Islam, h. 103 402 Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 12-13 403 Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 12-13 404 Hamka, Studi Islam, h. 127 405 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 93 406 Hamka, ‚Kesatuan Sedjati,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 15, tahun II, 15 Januari 1960, h. 4.

84 takut lagi kepada sesama manusia karena pangkat, karena jabatan, karena dia raja, karena dia kaya,‛ ujarnya.407 Ketika iman sudah tertancap dalam jiwa, lanjutnya, tidak ada satu pun makhluk yang dapat mengikat dan membatasinya. Dia tidak takut kepada satu apapun. Rasa takutnya hanya kepada Allah Swt. Bahkan ketika melihat dunia yang tidak adil, penjajahan misalnya, dia akan berjuang melepaskan belenggu penjajahan itu.408 ‚Lantaran hati telah sepenuhnya diserahkan kepada Allah, yang bernama Islam; Maka rasa takut kepada apapun, tidak ada lagi. Takut hanya kepada Allah saja. Yang penting ialah mencapai cita-cita mencari dan menegakkan kebenaran‛, tegas Hamka.409 Hamka mengibaratkan iman dengan senjata. Iman, jelasnya, merupakan senjata ampuh bagi umat Islam karena ia yang menentukan seseorang menjadi manusia yang merdeka.410 Dengan demikian, seseorang yang tidak beriman sama saja dengan tentara yang pergi ke medan juang tanpa membawa senjata untuk melawan musuhnya.‛411 Ketika manusia sudah terbebas dari ketakutan selain dari Allah, maka dia akan memiliki kemerdekaan kemauan (iradah, will). Orang yang telah memiliki kemerdekaan kemauan, akan lahir dalam dirinya dua keberanian: Berani menyatakan pendapat-pendapatnya dan membela yang ma’ruf, serta keberanian menentang yang munkar. Hamka menjelaskan: …Orang yang beriman kepada Allah, bebas merdekalah dia dari pengaruh yang lain, sebab yang lain makhluk Allah semata. Keimanan kepada Allah menghilangkan ketakutan dan duka cita, menimbulkan daya hidup. Tegasnya juga menimbulkan dinamika hidup. Itulah jiwa bebas! Maka dengan sendirinya kemerdekaan jiwa karena tauhid itu menimbulkan pula kemerdekaan kemauan (iradah, will)… Kemerdekaan kemauan menimbulkan kelanjutannya, yaitu kemerdekaan menyatakan pikiran, menentang hal yang dipandang munkar.412 Keimanan inilah yang dilihat Hamka sebagai dasar perjuangan Nabi Muhammad Saw. Iman pula yang menjadi pondasi bagi negara yang didirikan Nabi di Madinah, yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabat-sahabatnya hingga membentuk sebuah peradaban yang gemilang selama berabad-abad.413 Kejayaan negara yang dibangun Nabi Muhammad di masa lalu itu, jelas Hamka, karena dua hal: kebersihan jiwa dan undang-undang yang meliputi seluruh warga negara. Jiwa manusia dibersihkan dari syirik. Dorongan-dorongan hawa nafsu dikanalisasi dan

407 Hamka, ‚Djiwa Bebas Dengan Tauhid,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 4, tahun I, 20 Nopember 1966, h. 9-10. 408 Hamka, Pelajaran Agama, h. 66 409 Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 13 410 Hamka memaknai ‚merdeka‛ sebagai: Mengetahui hak dan kewajiban kepada masyarakat serta memenuhi kewajiban itu, bebas mengembangkan diri mengikuti suara hati, bebas menyuarakan pendapat asal tetap menghormati kebebasan orang lain, bebas berserikat dan bekumpul, dan memiliki hak untuk mengurus negeri sendiri. Lihat Hamka, ‚Bagaimana Soepaja Kita Merdeka?,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 18 Oktober 1939, h. 825 411 Hamka, Doktrin Islam Yang ..., h. 3 412 Hamka, Tafsir al-Azhar jilid 2, (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 41-43 413 Hamka, Dari Lembah Cita-cita, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 43

85 diarahkan ke hal-hal yang sesuai dengan syariat. Dengan modal inilah, simpulnya, masyarakat yang adil dapat terwujud.414 Dengan demikian, ujar Hamka, ajaran tauhid dengan sendirinya membawa akibat penghapusan kekuasaan yang sewenang-wenang dan menindas. Tauhid memberantas penindasan manusia terhadap manusia lainnya, juga menolak klaim keunggulan manusia atas dasar keturunan, kebangsaan, dan ras. 415 Dari konsep manusia sebagai khalifah tersebut Hamka dengan tegas menyimpulkan adanya integrasi agama dengan negara. Filsafat ajaran ‘Khalifatullah’ ini, ujar Hamka menyimpulkan, ‚yang menumbuhkan keyakinan dalam hati kaum Muslimin, bahwasanya urusan negara dengan agama tidaklah pernah terpisah, dan urusan kerja usaha jiwa dan badan, rohani dan jasmani tidak tercerai.‛416 Lebih lanjut Hamka menjelaskan, sistem demokrasi yang merupakan pemerintahan dengan prinsip kedaulatan rakyat bersesuaian dengan sabda Nabi Saw: ‚Tangan Tuhan adalah bersama dengan kumpulan orang banyak.‛ Karena itu Nabi menjamin kesepakatan kumpulan orang banyak itu lebih banyak benarnya. ‚Tidaklah akan berhimpun umatku atas kesesatan,‛ tulis Hamka mengutip sabda Nabi Muhammad.417 Hamka juga memandang konsep kontrak sosial yang dirumuskan JJ Rousseau telah terwujud dalam Islam melalui persetujuan kaum Muhajirin dan Anshar pada kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah, dan berlanjut pada kepemimpinan setelah beliau.418 Terkait hal ini Hamka memberikan contoh kasus pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad, sebagai berikut: Bahwasanya yang empunya hak, adalah bersama. Abu Bakar tidak mencapai kedudukannya yang mulia tetapi berat itu, kalau belum diakui oleh bersama. Jadi sebetulnya yang berdaulat ialah persamaan tadi. Dan seketika dia diangkat diadakan ‘baiat’, suatu macam ‘serah terima’ di antara yang mengangkat dengan yang diangkat. Yang mengangkat berjanji akan taat kepada perintahnya, selama dia masih tetap berjalan di garis yang ditentukan, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah Rasul.419 Karena itu Hamka berani menegaskan, ‚kalau begitu nyatalah bahwa dasar demokrasi itu telah cukup di dalam ajaran agama kita. Jika di zaman akhir ini kita melihat kezaliman raja-raja Islam, aniayanya kepada rakyat yang diberinya bertopeng agama, janganlah kita jadikan hal itu jadi ukuran.‛420 Melalui doktrin manusia sebagai khalifah Allah seperti ini lah Hamka telah berupaya menyelesaikan dilema antara demokrasi dengan Islam; antara kedaulatan rakyat yang menjadi doktrin asasi dari demokrasi, dengan kedaulatan Tuhan yang terkandung dalam doktrin agama. Hamka menjelaskan, ‚Sebagaimana telah diketahui di atas tadi, daulat yang sejati adalah di tangan Allah, dan diserahkannya

414 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 6-7 415 Hamka, ‚Tjinta Tanah Air Kemanusiaan dan Islam (III Habis),‛ dalam Pandji Masjarakat, no 32/33, tahun II, 1/15 Oktober 1960, h. 4 416 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 17 417 Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 45 418 Hamka, Renungan Tasawuf, h. 30-31 419 Hamka, Lembaga Hidup, h. 73-74 420 Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 47

86 daulat itu kepada manusia, dengan mengangkat manusia itu menjadi khalifah- Nya.‛421 Lebih lanjut dijelaskan: Manusia di dunia ini adalah khalifah Tuhan, wakil Tuhan mengatur dunia. Maka kalau ada pemimpin, baik raja atau presiden diserahi memimpin suatu negara, penyerahan itu bukanlah datang dari langit yang langsung diberikan kepadanya. Bukan sebagai perkataan Lodewick ke –XIV yang berkata ‘Sayalah negara.’ Atau Willem II yang berkata, ‘Saya memerintah atas kehendak Tuhan.’ Tetapi kepala negara memerintah atas kehendak rakyat. Rakyat itulah yang berdaulat, yang berkuasa. Dialah khalifah Tuhan. Semua!. Dan susunan masyarakat manusia itu,…. adalah amanat belaka dari Allah, barang Tuhan yang dipercayakan kepada insan.422 2. Musyawarah Sebagai Pondasi Hidup Bermasyarakat Setelah menempatkan manusia pada posisi yang setara sebagai khalifah Allah, Hamka kemudian masuk ke dalam kata kunci kedua, yaitu musyawarah (shu>ra>). Hamka menyebut ini sebagai ‚pokok yang utama sekali yang diajarkan oleh al-Qur’an di dalam membentuk suatu masyarakat atau jamaah sampai kepada negara ialah ajaran yang dinamai shu>ra>.‛423 Shu>ra> atau musyawarah, jelasnya, merupakan hal yang pokok dalam pembangunan masyarakat dan negara Islam. ‚Inilah dasar politik pemerintahan dan pimpinan negara, masyarakat dalam perang dan damai, ketika aman atau ketika terancam dalam bahaya,‛ ungkapnya.424 Hamka merujuk kepada Surat al-Shu>ra> ayat 38:

            ‚Dan orang-orang yang selalu siap melaksanakan panggilan Tuhan, dan mereka mendirikan sembahyang, dan segala urusan mereka, mereka musyawaratkan di antara mereka, dan dari rezeki yang Kami berikan, mereka belanjakan.‛ Juga berdasar pada Surat Ali Imran ayat 159:

                  

                 ‚Jika engkau terlalu kaku dan kesat hati, niscaya mereka akan bercerai berai dari kelilingmu. Sebab itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka dan ajaklah mereka musyawarat pada urusan. Maka apabila telah bulat pendapat engkau, bertawakkallah kepada Allah.‛ Musyawarah menjadi poin penting dari konsep demokrasi takwa karena Hamka membagi urusan agama menjadi dua: ta`abbudi (murni agama) dan ta`aqquli (urusan yang bisa difikirkan dan dimusyawarahkan). Dalam soal yang pertama, Hamka menegaskan keharusan umat Islam untuk menerima ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya tanpa ada perbantahan. Sementara pada persoalan yang kedua, Nabi

421 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 24 422 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, (Jakarta: Pustaka Keluarga, 1952), h. 24-25 423 Hamka, Studi Islam, h. 116 424 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 104

87

Muhammad memberi kebebasan pada manusia untuk menentukannya sendiri melalui sabdanya: ‚Kalian lebih mengetahui urusan duniamu.‛ Pada poin ini pertimbangan mas}lahah dan mafsadat menjadi sangat penting bagi pengambilan keputusan (lihat sub bab ‚sekularisme‛ di atas). Karena umat manusia berkedudukan sama sebagai khalifah Allah, dan banyak urusan kehidupan bersama (politik-kemasyarakatan) yang masuk dalam domain ta`aqquli, maka musyawarah menjadi sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Bahkan, ujar Hamka, musyawarah merupakan konsekuensi logis dari adanya jamaah (komunitas).425‚Rakyat sesamanya wajib bermusyawarat memilih bentuk pemerintahan dan kalau ada yang terpilih memegang kekuasaan, maka si pemegang kekuasaan itu wajib bermusyawarat pula kembali dengan yang memberi kekuasaan‛, jelasnya.426 Hal ini, lanjut Hamka, memang disengaja oleh Allah untuk ‚menumbuhkan akal fikiran manusia sebagai khalifah-Nya‛. 427 Meski musyawarah merupakan bagian dari urusan yang ta`aqquli, namun Hamka melihat prinsip ini memiliki kedekatan dengan urusan ta`abbudi semacam shalat. Perintah shalat berjamaah di masjid, ujar Hamka, secara tidak langsung mendorong pembentukan masyarakat yang rukun dan bergotong royong, hingga pada akhirnya terbentuklah shu>ra>.428 Indikasi ini juga dilihat Hamka pada kasus pensyariatan shalat Jumat yang terjadi di Quba beberapa saat sebelum Nabi Muhammad tiba di Madinah untuk membangun tatanan masyarakat baru. Ketika tiba di Madinah, hal pertama yang dikerjakan Nabi adalah membangun masjid sebagai tempat pertemuan memadukan pikiran menjadi satu, menyelesaikan permasalahan yang rumit, dan menerima utusan dari luar.429 Maka wajar jika Surat al-Shu>ra> ayat 38 memposisikan musyawarah sejajar dengan beriman kepada Allah, mendirikan shalat, dan berinfaq. Hamka menyatakan, ‚akan mengerjakan shalat saja sudah mulai ada musyawarah, yaitu memilih siapa yang akan menjadi imam jamaah dalam kalangan mereka. Dengan suburnya jamaah, timbullah usaha mengerjakan atau mengeluarkan harta untuk keperluan umum.‛430 Meski demikian, Hamka mengingatkan hal prinsipil yang tidak boleh dilanggar oleh manusia, yaitu prinsip dasar bahwa Tuhan tetaplah Tuhan, dan manusia bukanlah Tuhan. Tidak boleh seorang manusia pun yang mengangkat dirinya sendiri sebagai Tuhan. Seseorang juga tidak boleh menerima pengangkatan dirinya oleh orang lain untuk menjadi Tuhan.431 Pelanggaran prinsip dasar ini akan merusak konsep manusia sebagai khalifah Allah sebagaimana yang dijelaskan Hamka di atas. Karena itu, ujar Hamka, pernyataan Nabi ‚Kamu lebih tahu urusan duniamu‛ bukanlah cek kosong bagi manusia untuk berbuat semaunya. Kebebasan yang diberikan untuk mengurusi urusan yang ta`aqquli itu, ujar Hamka, harus tetap berada dalam tilikan Tuhan. Karena dunia yang dikehendaki oleh Islam adalah

425 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 104 426 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 25 427 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 18 428 Hamka, Iman dan Amal..., h. 74 429 Hamka, Dari Lembah Cita-cita ,(Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 27 430 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 104 431 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 18

88 tempat bagi manusia untuk menanam kebaikan demi memanen hasilnya di akhirat kelak.432 Dengan prinsip ini maka musyawarah harus berada dalam koridor ketuhanan. Demikian pula ketika terjadi perselisihan, harus dikembalikan kepada ketentuan Allah dan Rasulullah juga. ‚Baik yang berupa nash dari al-Qur’an dan hadits, ataupun kepada roh syariat, dengan menilik pendapat ahli-ahli Islam yang terdahulu atau dengan memakai qiyas perbandingan,‛ jelas Hamka.433 Selain itu juga musyawarah hendaknya memperhatikan pertimbangan suara mayoritas dalam pengambilan keputusan.434 Berdasar prinsip seperti ini Hamka bisa memahami mengapa Rasulullah wafat tanpa meninggalkan wasiat siapa pengganti beliau. Menurutnya, Nabi melakukan itu karena para sahabat berhak memilih bentuk dan kepala pemerintahan sendiri. Hamka menyebut hal itu sebagai right of self determination mereka. Apalagi para sahabat tersebut telah mukallaf, dewasa (ba>lig}}}) dan berakal sehat.435 Hamka menegaskan bahwa praktik shu>ra> benar-benar dilaksanakan oleh para sahabat, baik dalam proses pemilihan khalifah,436 maupun dalam praktik pemerintahan yang dijalankan oleh empat khalifah utama Islam.437 Praktik seperti ini, ungkapnya, memiliki akar pada praktik serupa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad semasa hidup. Hamka menyatakan, ‚waktu di Mekah, mereka masih golongan kecil, maka tumbuhlah shu>ra> dalam kelompok kecil. Setelah pindah ke Madinah, telah tumbuh masyarakat Islam dalam jamaah besar, maka tumbuhlah musyawarah secara jamaah besar pula.‛438 Hamka menegaskan, musyawarah adalah prinsip dasar, sementara bentuk dan tatacara pelaksanaannya diserahkan kepada umat Islam sendiri. ‚Rasulullah Saw. tidaklah meninggalkan wasiat politik yang terperinci tentang teknik cara bagaimana menyusun shu>ra> itu,‛ ungkap Hamka. Umat Islam, lanjutnya, dapat berijtihad tentang teknis pelaksanaannya.439 Umat Islam boleh membentuk suatu pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan peradabannya, dan juga boleh mengadopsi sistem politik dari peradaban lain yang dianggap tepat selama prinsip musyawarah tersebut tetap dijaga. Hamka menulis, ‚pilih dan contohlah mana yang baik untuk zaman dan tempat kita. Namun, prinsip tidak kita lepaskan:

432 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 130 433 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 344 434 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 26 435 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h.19. Hamka menyebut right of self determination sebagai hak setiap bangsa untuk memilih bentuk dan susunan pemerintahan dan negaranya. Lihat Hamka, Lembaga Hidup, h. 13 436 Lihat Hamka, ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam I,‛ h. 126-127; ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam II,‛ h. 154-155; ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam III,‛ h. 174 437 Lihat Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 45-46 438 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 104 439 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 105

89 shu>ra>. Karena kita semua adalah khalifatullah di bumi-Nya.‛440 Di tempat lain ia juga menulis: Bangsa yang akan kekal tegaknya di dalam dunia ialah bangsa yang sanggup mencari suatu peraturan hidup di dunia, yang cocok dengan zaman. Dan pergantian peraturan urusan dunia itu menurut zaman, telah diberi pula izin lebih dahulu oleh Nabi, menurut bunyi hadits yang kita salinkan tadi, yaitu ‘pekerjaan agama serahkan kepadaku, dan pekerjaan dunia, kamulah yang lebih tahu’.441 Musyawarah tersebut bisa dilaksanakan dengan membentuk ahl al-h}all wa al-`aqd, yaitu ‚ahli-ahli terkemuka yang memegang peranan penting dalam negara Islam, seperti pemegang pemerintahan, ahli-ahli fikir dan filsafat, wartawan dan ahli masyarakat yang menguasai opini masyarakat,‛ jelas Hamka.442 Juga bisa berupa lembaga perwakilan seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).443 Hamka juga mengungkapkan bahwa sesungguhnya tradisi bermusyawarah telah kuat melekat dalam masyarakat Indonesia sejak lama. Ketika Islam datang, tradisi tersebut pun diperkuat oleh ajaran Islam tentang shu>ra> tersebut. Ini tampak pada istilah ‚mufakat‛ yang selalu mengiringi kata ‚musyawarah‛ sehingga menjadi ‚musyawarah mufakat‛. Meski demikian, ujar Hamka, tradisi itu kemudian dirusak oleh kaum feodal dan penjajah Barat. Di era Indonesia merdeka, lanjutnya, tradisi tersebut juga dirusak oleh orang-orang yang suka menjilat pemimpinnya. Hamka menyebut mereka ini sebagai ‚orang-orang yang hanya bertindak ABS (Asal Bapak Suka) dan ‘yes men’ saja kepada atasannya‛.444 Penekanan pada shu>ra> menjadi perhatian penting dalam pemikiran politik Islam modern. Rid}a> yang disebut Enayat sebagai salah satu pemikir yang mentrasnformasikan konsep politik Islam modern juga menekankan pentingnya shu>ra>. Salah satu tujuan yang ingin dicapai Rid}a> adalah menghindarkan kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat. Hal ini tidak lepas dari kondisi institusi politik Islam klasik (khilafah Utsmani) yang cenderung memberikan kekuasaan mutlak kepada penguasa sehingga mereka bisa bersikap sekehendak hatinya. 3. Takwa Sebagai Landasan Moral Masyarakat Konsekuensi logis dari pelaksanaan musyawarah antara pemimpin dan rakyat melalui wakil-wakilnya adalah munculnya kewajiban di antara mereka, yaitu berupa kewajiban sebagai pemimpin, karena setiap individu telah ditetapkan Allah sebagai pemimpin. Kewajiban seperti ini memestikan adanya tanggung jawab, baik kepada sesama manusia maupun, utamanya, kepada Allah. Pada titik inilah mereka dituntut untuk memiliki iman dan berkomitmen melakukan perbuatan yang baik.445 Hamka menjelaskan, ‚untuk itu, pertama beriman kepada

440 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 21 441 Hamka, ‚Parlement dan Doenia Islam I,‛ 442 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 107-108; Hamka, Lembaga Hidup, h. 74 443 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 105 444 Hamka, ‚Siapa Anti Pantjasila!,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 4, tahun I, 20 November 1966, h. 4 445 Hamka, Renungan Tasawuf, h. 32-33

90

Tuhan Allah Swt. Kedua bekerja dengan amal yang saleh. Di situ akan tercapailah ‘baldat t}ayyibat wa rabb g}afu>r,’ negara makmur penuh ampunan Tuhan. Ini akan mengatasi, misalnya kemelut politik, karena politik itu pasang naik pasang surut.‛446 Bagi Hamka, iman dan takwa merupakan prasyarat utama agar musyawarah tetap berada dalam tilikan Tuhan, seperti yang dicitakan Hamka di atas. Maka wajar jika ia pun menjadikan ketakwaan masyarakat sebagai salah satu elemen penting dalam konsep Demokrasi Takwa-nya. Dijelaskannya, ‚dasar-dasar kehidupan masyarakat yang ada dalam al-Qur’an, yang jauh lebih tinggi mutunya daripada demokrasi Barat, yaitu takwa bagi pribadi dan shu>ra> bagi binaan masyarakat.‛447 Meski dalam sebuah negara terdapat undang-undang dan aparatur negara, namun dorongan hawa nafsu dapat membuat manusia melakukan keingkaran. Insaf atas kelemahan manusia inilah, ungkap Hamka, Islam menekankan pentingnya rasa takut kepada Allah sebagai pengontrol. Apalagi, lanjutnya, Islam memandang kebersihan jiwa sebagai unsur terpenting dalam membangun negara, bukan bentuk, susunan, dan tatacara pemerintahan, karena itu Islam pun tidak mengatur hal-hal teknis seperti ini. Pun demikian, sebaik apapun teori pemerintahan yang dibuat tetap akan terdapat cacat jika jiwa masyarakatnya tidak bersih.448 Lebih lanjut dijelaskan: Kalau rasa takut kepada Allah, tidak menjadi ‘kontrol’ daripada hati sanubari yang sangat di dalam itu, yang tidak pernah berbohong itu, tidaklah ada kehakiman mendapat jaminan. Karena undang-undang buatan manusia ini, dapat diputar-putar oleh manusia, dapat diregang dirunyut, untuk melepaskan diri, atau untuk mengelabui mata hakim dan kadi, dan manusia. 449 Ketakwaan inilah yang dinilai Hamka sebagai pembeda antara demokrasi dalam Islam dengan demokrasi ala Barat. Menurutnya, meski demokrasi telah berlaku di negeri-negeri Barat, namun mereka belum bisa menghapus kebencian rasial terhadap warga kulit hitam, seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Afrika Selatan saat itu. ‚Islam tidak memandang ada seorang yang lebih daripada yang lain, karena harta benda, karena kekayaan, karena keturunan, karena dia

446 Hamka, Renungan Tasawuf, h. 41. Hamka melihat hubungan erat antara iman dan amal salih. Hal itu karena tauhid memiliki tiga bagian: 1. Penuh kepercayaan bahwa alam ini dijadikan oleh zat Yang Kuasa; 2. Penuh kepercayaan kepada alam gaib, yaitu alam akhirat sebagai tujuan hidup manusia; 3. Dengan keyakinan seperti inilah manusia dituntut mengerjakan perbuatan baik dan yang bermanfaat bagi diri dan masyarakat. Lihat Hamka, Dari Lembah, h. 26. Lebih lanjut dijelaskan, hubungan antara akidah dengan akhla bagaikan kuku dengan dan daging. Akidah pasti menegakkan akhlak. Orang yang memiliki akidah yang kuat pasti berani berbuat baik dan memperjuangkan kebenaran. Lihat Hamka, ‚Harapan Kepada Pemuda,‛ dalam Panji Masyarakat, no 108, tahun XIII, 1 Agustus 1972, h. 4. 447 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 126 448 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 28 449 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 37

91

‘orang alim’. Semua orang, kaya dan miskin, sama dekat dan jauhnya di sisi Allah. Kelebihan seseorang dari yang lain, adalah karena taqwanya,‛ tulis Hamka. 450 Atas dasar inilah Nabi Muhammad terlebih dahulu melakukan pembersihan jiwa pengikutnya dengan menanamkan tauhid terlebih dahulu, baru kemudian membangun susunan masyarakat dan negara di Madinah. Dengan tauhid manusia dibebaskan dari segala belenggu perbudakan dan perhambaan kepada selain Allah. Kediktatoran sekelompok manusia terhadap manusia lain juga diberangus, karena hanya Allah saja yang berkuasa atas diri manusia. Hamka menjelaskan: Dan tidaklah pantas, dan ditolak pula oleh akal fikiran yang teratur, jika sesama manusia dijadikan tuhan-tuhan pula. Seorang manusia tidak lebih dari yang lain, hanya karena amalnya dan taqwanya. Bukankah di sini diberantasnya semangat diktator, semangat mendewakan pemimpin, dan hanya satu tujuan, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa?.451 Bahkan Nabi Muhammad pun diingatkan oleh Allah tentang posisinya sebagai hamba-Nya, agar umat pengikutnya tidak silap dengan menuhankannya.452 Dengan ajaran-ajaran keimanan yang demikian itu, jelas Hamka, Nabi Muhammad telah sanggup mendirikan sebuah negara. Setelah beliau wafat, sahabat-sahabatnya telah memperluas dan memperkembangkan negara itu, sampai berpuluh dan beratus tahun kemudian.453 Tentang ini Hamka menyatakan: Nabi Muhammad Saw mengajarkan bahwa budi adalah permulaan dari pembinaan masyarakat yang adil dan makmur. Semasa umatnya memegang teguh teori itu, berhasillah dia menduduki tempat yang layak di dalam tarikh. Dan setelah itu ditinggalkannya, barulah dia turut runtuh, sebagai keruntuhan yang lain pula. Kalau aku disuruh memilih, aku akan tetap memilih: ‘Dari pembinaan budi, kepada pembinaan negara.’454 Apa yang dilakukan Nabi Muhammad ini, jelas Hamka, sesungguhnya tidak berbeda dengan yang dilakukan Nabi Isa, yaitu membersihkan jiwa dan memperbaiki moralitas terlebih dahulu. Namun sayangnya kaum Kristiani hanya berhenti di aspek memerdekakan jiwa dari tarikan kelezatan hidup duniawi dan dorongan syahwat, tidak melangkah lebih lanjut seperti yang dilakukan Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Pengikut Nabi Isa itu justru membangun cita- cita ‚Kerajaan Langit‛ dengan menolak kenikmatan hidup sebagai langkah untuk menjamin kemerdekaan jiwa tersebut.455 Hamka bisa memahami kondisi tersebut. Menurutnya, konteks kesejarahan juga mendukung Nabi Muhammad untuk melangkah lebih jauh dari Nabi Isa. Tanah Arab khususnya Hijaz, ungkap Hamka, merupakan wilayah yang relatif otonom dari dominasi politik tertentu. Kondisi politik di sana pun cenderung labil dan belum mapan, di mana para aristokrat Quraisy sering terlibat perebutan pengaruh, terutama antara klan Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Ini berbeda dengan wilayah di luar Hijaz, seperti Syam yang berada di bawah kekuasaan

450 Hamka, Tjahaja Baru, h. 65 451 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 21 452 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 136-139 453 Hamka, Dari Lembah Cita-cita, h. 43 454 Hamka, Tjahaja Baru, h. 71 455 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 136-137

92

Romawi atau Yaman yang masuk dalam pengaruh bangsa Persia dan Habsyi. Kondisi Hijaz seperti itu diperparah dengan sistem kepercayaan yang didominasi oleh paganisme pemujaan terhadap berhala.456 Di tengah kondisi seperti inilah Muhammad diutus oleh Allah. Tugas utamanya adalah melepaskan manusia dari perhambaan selain Allah.457 Namun permusuhan para aristokrat Arab terhadap Nabi Muhammad dan pengikutnya memaksa mereka hijrah ke Yatsrib, dan di sana Nabi pun membangun tatanan masyarakat dan politik yang stabil dan kuat di kota itu agar bisa bertahan dari gangguan luar, khususnya dari serangan penguasa Makkah.458 Dari sinilah cikal bakal tatanan masyarakat politik Islam terbentuk. Nabi Muhammad menyempurnakan sistem kemasyarakatan Arab yang belum tumbuh sempurna itu dan mempertinggi peradabannya. Muhammad juga menyatukan bangsa Arab yang sebelumnya terpecah belah. Apa yang telah dimulai Nabi Saw itu di kemudian hari dilanjutkan oleh para sahabatnya setelah beliau wafat.459 Kondisi seperti ini tentu berbeda dengan yang terjadi pada Nabi Isa. Seperti yang telah dijelaskan di bagian lain di bab ini, Isa muncul di tengah masyarakat politik yang telah mapan, bangsa Yahudi berada di bawah kekuasaan Romawi. Mereka telah memiliki sistem hukum yang bersumber dari Taurat, meski dilaksanakan dengan tidak konsisten. Kondisi sosial-politik yang telah mapan ini membuat ruang gerak Isa jadi cukup terbatas. Dakwah Nabi Isa belum menyentuh tatanan sosial politik, karena belum adanya tuntutan mendesak untuk merombak sistem politik yang sudah mapan itu. Maka wajar bila Isa memfokuskan dakwahnya untuk menangani kerusakan moral masyarakatnya terlebih dulu. Usia Nabi Isa yang pendek membuat dakwah itu terhenti di perbaikan moral.460 Menurut Hamka, penekanan pada iman dan takwa sebagai basis pembangunan masyarakat politik seperti ini tentu bertentangan dengan kaidah yang umum berlaku dalam politik, di mana opini publik menjadi pedoman dalam membuat kebijakan politik. Padahal, ujar Hamka, ‚pendapat suara ramai itu senantiasa tidak tetap‛, berbeda dengan itu ‚budi pekerti diambil dari timbangan akal yang sedang tenteram.‛461 Karena itulah Hamka menekankan, ‚sebab itu haruslah hukum kesopanan itu menjadi didikan yang terutama kepada segenap insani. Adapun didikan hukum siasat, sebagaimana kita nyatakan di nomor yang lalu, tak usah dididikkan, karena itu bukan tujuan asli dari manusia, itu hanya penyakit yang hinggap sezaman-sezaman.‛462 Gagasan Hamka tentang Demokrasi Takwa ini sesungguhnya menarik jika dielaborasi lebih jauh dan dibawa ke ranah teoritis, apalagi praktis. Ini tentu patut

456 Hamka, Dari Lembah Cita-cita, h. 14-16 457 Hamka, Dari Lembah Cita-cita, h. 17 458 Hamka, Dari Lembah Cita-cita, h. 25-26 459 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 89 460 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 77-80 461 Hamka, ‚Perbandingan: Hoekoem Kesopanan dan Hoekoem Politiek,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 20 September 1939, h. 745 462 Hamka, ‚Hoekom Kesopanan dan Hoekoem Politiek (Habis),‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 27 September 1939, h. 760

93 disayangkan mengingat saat membahas demokrasi sebagai sistem politik dari Barat Hamka merujuk pada tokoh-tokoh pencetusnya. Apalagi kemudian dia terlibat langsung dalam dinamika politik praktis di Masyumi, dan di pemerintahan sebagai anggota Konstituante dan pegawai tinggi di Kementerian Agama. Sayangnya, pengalaman lapangannya ini tidak dimanfaatkannya untuk merumuskan lebih rinci konsepnya tersebut, sehigga gagasannya itu hanya bergerak di wilayah filosofis dan normatif. Sebagai misal Hamka tidak menjawab apakah sistem demokrasi parlementer ataukah presidensil yang sesuai dengan Islam dan cocok untuk konteks Indonesia, atau mungkin ada tawaran yang baru dan berbeda dari itu. Hamka hanya menyerahkannya pada masyarakat sesuai kebutuhan mereka. Permasalahan lain yang juga perlu dijelaskan lebih jauh adalah soal ketentuan orang-orang bertakwa yang bermusyawarah itu, ‚bagaimana membuat mekanisme yang bisa menjamin parlemen memang diisi oleh orang-orang bertakwa sehingga hasil musyawarah mereka tidak keluar dari ketentuan agama?‛ atau ‚bagaimana menjamin agar produk permusyawaratan di parlemen atau di eksekutif tidak keluar dari jalur agama?‛. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ini belum terungkap dari tulisan-tulisannya. Padahal pengetahuan teoritis dan pengalaman praktis Hamka tersebut bila digunakan untuk merumuskan gagasannya tentang Demokrasi Takwa tentu akan melahirkan teori-teori politik yang khas Indonesia dengan warna Islam. D. Respons Hamka Terhadap Konsep Politik Barat 1. Respons Terhadap Sekularisme Paradigma Hamka tentang integrasi negara dengan agama membawa konsekuensi pada penolakannya terhadap ide pemisahan antara keduanya (sekularisme). Di era pra kemerdekaan hubungan agama dan negara pernah menjadi tema perdebatan sengit di antara tokoh-tokoh pergerakan nasional di Indonesia. Suhelmi mencatat perdebatan tentang persoalan ini telah terjadi antara Soekarno dengan M Natsir dan A Hassan di tahun 1940-an. Polemik antara keduanya bermula dari artikel Soekarno, ‚Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara‛ dan ‚Saya Kurang Dinamis,‛ yang dimuat Pandji Islam antara Mei hingga Juli 1940.463 Dalam tulisan-tulisannya itu Soekarno mengadopsi gagasan yang muncul Eropa tentang pemisahan agama dan negara. Agama diposisikan sebagai aturan- aturan spiritual, sementara negara dan pemerintahan adalah masalah duniawi (sekular). Jika disatukan, tegas Soekarno, agama akan dimanfaatkan sebagai alat kekuasaan. Untuk menguatkan idenya itu Soekarno mengutip pendapat cendekiawan Turki Mahmud Essad Bey, Mustofa Kemal hingga sarjana Mesir Ali Abd al-Raziq.464 Gagasan Soekarno kontan ditolak oleh M Natsir. Menggunakan nama pena A Muchlis, Natsir menulis di media massa yang sama antara Juli hingga September

463 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam..., h. 79. Lihat keterangan edisi penerbitan artikel itu catatan akhir (end note) no 2 di halaman 135. Lihat juga Muhammad Ainun Najib, ‚NU, Soekarno, dan Staat Islam: Wacana Negara Islam dalam Berita Nahdlatoel Oelama (BNO)‛, Ahkam, vol. 5, no 1, Juli 2017, h. 167. 464 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam..., h. 79, h. 80-86.

94

1940 untuk menanggapi tulisan-tulisan Soekarno itu. Bagi Natsir agama tidak bisa dipisahkan dari negara. Kenegaraan, menurutnya, merupakan bagian integral dari risalah Islam. Gambaran negatif tentang penyatuan agama dengan negara seperti yang ditulis Soekarno adalah hasil dari kesalahpahaman atas pemerintahan Islam. Lebih jauh Natsir menyatakan, negara merupakan alat untuk merealisasikan aturan-aturan Islam, karena banyak ajaran Islam seperti kewajiban zakat dan larangan zina tidak bisa diwujudkan tanpa adanya negara.465 Selain Natsir, tokoh lain yang menanggapi tulisan Soekarno tersebut adalah A Hassan. Tokoh Persatuan Islam (Persis) ini menganggap Soekarno tidak mengetahui latar belakang pemisahan politik dari agama yang terjadi di Barat. Menurutnya, Barat mengambil langkah seperti itu karena memang agama Kristen tidak memiliki aturan tentang politik.466 Bukan hanya kalangan modernis, kelompok tradisionalis juga memberikan reaksi. Melalui corong resminya, Berita Nahdlatoel Oelama (BNO), tanggapan Nahdlatul Ulama (NU) dimuat pada edisi 1 dan 15 Juni, 15 Agustus, 15 September 1940, serta 1 dan 15 Oktober 1940. Secara tegas NU menganggap tulisan-tulisan Soekarno mencerminkan kekurangpahamannya terhadap Islam, kekanak-kanakan (t}ufayl), dan menimbulkan kekacauan dalam Islam.467 NU menilai Soekarno telah terkontaminasi oleh ide-ide Barat dan kurang akses pada kitab-kitab agama berbahasa Arab karena keterbatasannya dalam berbahasa Arab.468 Pendirian negara Islam, tegas NU, didasarkan pada totalitas Islam dalam segala aspek kehidupan manusia. Bagi NU Islam adalah ‚sekumpulan undang-undang dari Tuhan yang menyusun dan memimpin manusia menuju arah kebajikan dan kepentingannya di dalam perikehidupan dan perikeakhiratannya.‛469 Sekularisme berasal dari kata ‚saeculum‛ yang memiliki arti ganda. Makna pertama terkait dengan waktu (time) yang berarti zaman sekarang (now) atau saat ini (present). Makna kedua terkait dengan lokasi (location), yaitu dunia (world) atau yang bersifat duniawi (worldly). Padanan kata saeculum adalah mundus. Meski demikian kedua kata ini memiliki titik tekan yang berbeda. Saeculum lebih cenderung ke makna waktu (time). Sementara mundus maknanya lebih berkonotasi pada ruang.470 Menurut Masykuri Abdillah, sekularisme merupakan ideologi di mana para pendukungnya mengecam segala bentuk supernaturalisme dan lembaga yang dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-prinsip non-agama atau anti agama sebagai dasar bagi moralitas pribadi dan organisasi sosial.471 Ada dua

465 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam..., h. 87-90 466 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam..., h. 7-8 467 M Ainun Najib, ‚NU, Soekarno, dan…,‛ h. 171 468 M Ainun Najib, ‚NU, Soekarno, dan…,‛ h. 174 469 M Ainun Najib, ‚NU, Soekarno, dan…,‛ h. 175-176 470 Ahmad Khoirul Fata & Siti Mahmudah Noorhayati, ‚Sekularisme dan Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer,‛ Madania, vol. 20, no 2, Desember 2016, h. 219. Lihat juga Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), h. 16. 471 Masykuri Abdillah, ‚Hubungan Agama Dan Negara Dalam Konteks Modernisasi Politik Di Era Reformasi,‛ Ahkam, vol. XIII, no. 2, Juli 2013, h. 248

95 bentuk sekularisme, yaitu Laicite atau assertive secularism yang secara aktif mendukung pengusiran agama dari negara dan kehidupan publik. Sebalik dari itu adalah sekularisme pasif.472 Sebagai sebentuk ideologi yang berupaya menjauhkan negara dan segala aspek kehidupan manusia dari pengaruh agama. Sementara proses menuju itu disebut sebagai sekularisasi. Dengan mengutip Peter L Berger, Abdillah menjelaskan bahwa sekularisasi merupakan ‚sebuah proses di mana sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat dan budaya dilepaskan dari dominasi lembaga- lembaga dan simbol-simbol keagamaan‛.473 Proses ini meliputi tiga hal: Pertama, pengosongan dunia dari kepercayaan akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai dunia (Disenchantment of nature/ die Entzauberung der Welt). Kedua, desakralisasi kehidupan politik (desacralization of politics). Ketiga, penyingkiran kehidupan manusia dari kemutlakan nilai-nilai agama (deconsecration of values).474 Senada dengan itu, Hamka juga melihat adanya dua macam sekularisme, yaitu sekularisme lunak (moderat) dan sekularisme radikal. Sekularisme lunak merujuk kepada kelompok yang masih mengakui keberadaan agama, namun mereka memisahkannya dari kehidupan sehari-hari. Bagi mereka agama hanya terkait dengan hubungan antara pribadi dengan Tuhan. Sementara ekonomi, politik, kehakiman, dan negara adalah urusan masyarakat atau negara yang tidak boleh dicampuri oleh agama. Hamka menyebut kelompok ini sebagai mereka ‚yang menoleh ke Barat menurut faham demokrasi dan liberalisme‛.475 Sementara yang kedua bersikap lebih keras lagi. Inilah orang-orang yang berpaham Marxisme. Mereka memusuhi agama karena dianggap telah turut serta melanggengkan cengkeraman imperialisme-kapitalisme. Menurut mereka agama adalah racun yang menghancurkan semangat perlawanan kaum proletar. Agama dijadikan alat kaum kapitalis untuk meninabobokkan kaum proletar agar tidak bangkit melawan. Karena itu kaum Marxis menganggap agama sebagai candu bagi rakyat yang memberikan mimpi-mimpi indah di dalam derita kesengsaraan jasmani.476 Bahasan lebih lanjut tentang marxisme menurut Hamka akan diuraikan setelah bagian ini. Menurut Hamka, kemunculan sekularisme tidak lepas dari akar sejarah peradaban Barat Kristen, terutama sebelum terjadi perpecahan antara Katolik dengan Protestan. Ketika itu, jelas Hamka, dengan mengatasnamakan Tuhan dan melaksanakan hukum Tuhan, Gereja Katolik memiliki kekuasaan pada pemerintahan duniawi sehingga para raja-raja harus meminta restu kepada Paus untuk menempati kursi singgasananya. Kekuasaan Gereja itu biasa disebut sebagai teokrasi.477

472 Erin K Wilson, After Secularism: Rethinking Religion in Global Politics, (New York: Palgrave MacMillan, 2012), h. 30-31 473 Masykuri Abdillah, ‚Hubungan Agama Dan...,‛ h. 248 474 AK Fata & SM Noorhayati, ‚Sekularisme dan Tantangan...,‛ h. 220 475 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 74 476 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 74 477 Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisasi Undang-undang Dasar ‘45,‛ dalam Panji Masyarakat, no 212, tahun XVIII, 1 Desember 1976, h. 19-20

96

Lebih dari itu, Hamka menjelaskan bahwa sekularisme Barat memiliki akar yang dalam hingga ke era Nabi Isa AS yang berdakwah mengajarkan penyucian jiwa kepada bangsa Yahudi yang hidup di bawah kekuasaan (jajahan) bangsa Romawi dengan sistem hukum dan pemerintahannya yang mapan.478 Di kalangan bangsa Yahudi sendiri telah berlaku aturan-aturan hukum sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Lama. Namun mereka menjalankannya secara kaku dan di aspek luarnya saja, tidak meresap ke dalam intinya. Mereka membaca yang tersurat, tidak masuk ke makna yang tersirat. Ini membuat sering terjadinya pertengkaran dalam persoalan kecil dan remeh temeh di antara mereka, sehingga melupakan persoalan inti yang lebih besar. Kondisi ini membuat Nabi Isa belum perlu masuk ke wilayah politik dan hukum pemerintahan. Perhatian utama Nabi Isa masih diarahkan ke perbaikan aspek dalam (batin) bangsa Yahudi yang tengah kering dan rusak.479 Ajaran Nabi Isa ini terus dilanjutkan oleh murid-muridnya. Mereka menyebar ke pelosok negeri hingga mampu masuk ke pusat kekuasaan Romawi. Persebaran yang massif membuat ajaran Kristiani akhirnya bisa diterima oleh penguasa Roma. Namun kristianitas tetap saja bergerak di wilayah rohani dan moral. Penguasa Romawi menerima Kristianitas hanya sekedar kepercayaan belaka. Itu pun sudah banyak dilakukan perubahan, khususnya di ajaran Trinitas (Hamka menyebutnya Trimurti). Kristianitas tidak turut campur di bidang politik pemerintahan. Sementara di bidang hukum Romawi mengambil dari khazanah hukum warisan Yunani dan Romawi sendiri. Hal inilah yang kemudian membentuk pandangan hidup Barat yang sekuler. Barat yang memposisikan ‚agama adalah hubungan masing-masing orang dengan Tuhannya.‛ Sementara hubungan antar manusia dan antar negara menjadi urusan manusia itu sendiri, dan agama dilarang ikut campur. Di bidang ini berlaku peraturan Romawi yang telah mapan tersebut. Kaidah yang berlaku adalah ‚Berikanlah kepada Allah hak Allah, dan kepada kaisar hak kaisar.‛480 Menurut Hamka, pemisahan urusan negara dari agama di dunia Kristen dengan berdasar kaidah tersebut sesungguhnya merupakan sebentuk kesalahpemahaman. Kaidah itu semula memang merupakan pernyataan Nabi Isa, namun bukan dimaksudkan untuk memisahkan antara keduanya. Hamka menjelaskan, sebenarnya Nabi Isa hendak berfokus pada perbaikan jiwa bangsa Yahudi terlebih dahulu. Setelah berhasil dibawa keluar dari Mesir ke Tanah Yang Dijanjikan oleh Nabi Musa, bangsa Yahudi mendirikan negara dengan berhukum

478 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 77 479 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 78-79. Meski demikian Hamka melihat sesungguhnya Nabi Isa datang bukan tanpa membawa syariat atau aturan-aturan kehidupan sama sekali. Kedatangan Isa adalah untuk menggenapkan ajaran nabi sebelumnya, Musa. Isa memerintahkan kepada pengikutnya untuk menjalankan aturan-aturan yang dibawa Nabi Musa. Dengan hati yang bersih dan penuh ketulusan. Dengan demikian, aturan-aturan yang diberlakukan zaman Isa adalah aturan-aturan Musa yang telah disempurnakan. Lihat Hamka, Studi Islam, h. 198-199 480 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 80-82. Lihat juga Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2 (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 703-704.

97 pada Taurat. Seiring berjalannya waktu, jiwa bangsa Yahudi menjadi lemah. Mereka kehilangan energi dinamisnya. Di kemudian hari mereka ditaklukkan dan dijajah bangsa Romawi. Pada saat itulah Nabi Isa datang untuk kembali membangkitkan bangsa Yahudi dengan memperbaiki jiwa dan moralitas mereka terlebih dahulu. Karena di situlah terletak kekuatan dinamis bangsa Yahudi yang telah hilang tadi. Jadi, ungkap Hamka berkesimpulan, yang dilakukan Nabi Isa sesungguhnya adalah sebuah perlawanan terhadap bangsa Romawi, meski bersifat halus lembut.481 Di zaman pertengahan para pemimpin agama Kristen (Bapa-bapa Gereja) mulai terdorong untuk meluaskan otoritasnya. Bukan hanya di bidang kerohanian, namun juga di bidang politik. Di akhir abad keempat Kerajaan Romawi pecah jadi dua: Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel dan Romawi Barat di Roma. Pasang surut kekuasaan para kaisar memberi kesempatan bagi pimpinan Gereja untuk meraih kekuasaan politik. Gereja pun akhirnya memiliki kekuasaan, wilayah, dan tentara sendiri. Di era kekuasaan Gereja inilah Barat memasuki Era Kegelapan. Tugas Gereja adalah ‚mengendalikan jiwa rakyat banyak agar tunduk kepada kekuasaan dengan janji-janji ‘Kerajaan Surga’.‛ Inilah yang disebut Hamka sebagai zaman feodal. Di era ini Gereja menjadi pusat kebenaran. Mereka memosisikan dirinya sebagai ‚wakil Tuhan.‛ Semua rakyat harus taat kepada Bapa-bapa Gereja. Tidak boleh ada yang ingkar. Keingkaran pada Bapa Gereja sama dengan melawan Tuhan. Gereja pun menerapkan hukuman yang keras pada mereka yang ingkar.482 Kemunculan Aufklarung dan Revolusi Perancis menjadi era perlawanan terhadap kekuasaan Gereja. Pada akhirnya kekuasaan Gereja meredup dan kalah. Revolusi Perancis menjadi pintu gerbang kebebasan (liberalisme) dan universalisme. Ketika itu kepemilikan terhadap sains, modal, dan industri menjadi sumber kekuasaan. Sementara Gereja kembali tersudut di ruang gelap yang hanya mengurusi hubungan pribadi hamba dengan Tuhan.483 Hamka menjelaskan: Sejak semula sudah kita ketahui bahwa timbulnya peradaban Eropa modern ialah setelah pemberontakan kaum borjuis terhadap Gereja. Tantangan terhadap agama menyebabkan teori pemisahan urusan kenegaraan dengan Gereja. Tetapi pemisahan ini bukan lagi semata pemisahan, bahkan dicampuri oleh tantangan dan kebencian. Sebab itu untuk selanjutnya menjadi faham hidup sekuler yang berakibatkan memisahkan segala yang berbau keagamaan dari kegiatan hidup.484

481 Hamka, Revolusi Agama (Sesudah Ditambah…), h. 121-122 482 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 83-84; Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 704-705 483 Meski demikian, Hamka melihat, kaum agamawan Katolik kemudian menyadari ketertinggalannya dari para filosof dan saintis sekular. Mereka pun kemudian mempelajari filsafat dan ilmu-ilmu sekular sehingga bisa menyejajarkan dirinya dengan mereka. Bahkan mereka lebih unggul karena bisa menyatukan ilmu-ilmu sekular itu dengan agamanya. Namun sayangnya, Hamka tidak menyebut contoh tokoh Katolik yang telah mencapai kemampuan ini. Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar jilid 2, h. 33-34 484 Hamka, ‚Renungan Melihat Eropa‛, dalam Panji Masyarakat, no 202, tahun XVIII, 1 Juli 1976, h. 7

98

Pemisahan agama dan negara menurut tafsir Barat yang sekarang bukanlah satu undang-undang yang mutlak dari kehidupan. Itu hanyalah satu akibat dari insiden, karena salah mempergunakan kekuasaan.485 Meski telah terlanjur mengambil jalan sekularisme, namun Hamka melihat pengaruh agama di Barat tidak bisa hilang begitu saja. Ini tampak dari banyaknya negara Barat yang tetap mencantumkan nama Tuhan di mata uang mereka. Vatikan juga tetap memiliki pengaruh ke jemaatnya yang tersebar di seluruh dunia dan ke banyak negara-negara Barat. Karena itu Hamka menyimpulkan bahwa yang terjadi sesungguhnya bukan pemisahan agama dari negara, tapi pemisahan Gereja Katolik dari urusan pemerintahan. Namun sayangnya, justru yang diekspor ke dunia Islam adalah ‚pemisahan agama dari negara.‛486 Kekuasaan kaum feodal, raja, dan kaum Gereja yang surut itu pun berganti dengan kekuasaan kaum kapitalis.487 Di era ini terjadi kebangkitan liberalisme, kapitalisme, dan imperialisme yang memunculkan kolonialisasi ke penjuru dunia. Negeri-negeri Islam pun tidak luput sebagai sasaran kolonialisasi. Hamka melanjutkan penjelasannya: Individualisme menimbulkan liberalisme. Liberalisme menimbulkan materialisme. Kapitalisme mesti menimbulkan imperialisme. Mengutamakan diri sendiri mesti menimbulkan keinginan kemajuan hidup diri sendiri. Kemajuan hidup sendiri mesti menimbulkan perbuatan kebendaan. Perbuatan kebendaan mesti menimbulkan pertumpukan modal. Modal yang telah tertumpuk, sendirinya menumbuhkan keinginan mencari pasaran, yaitu jajahan.‛488 Hamka menjelaskan, orang yang berpaham kebendaan (materialisme) akan memandang segala sesuatu dari keuntungan yang akan didapatkannya. Mereka menghargai manusia bukan karena kemanusiaannya, namun atas dasar tenaga yang bisa dimanfaatkan untuk keuntungannya. ‚Dinilainya manusia sekedar keuntungan yang akan didapatnya daripadanya,‛ ungkap Hamka.489 Selain faktor ekonomi, kolonialisasi juga menyimpan motivasi keagamaan. Penyebaran agama Kristen menjadi salah satu tujuan mereka. Lebih dari itu penjajahan terhadap negeri-negeri Muslim, termasuk di kepulauan Nusantara, ungkap Hamka, merupakan kelanjutan dari Perang Salib yang didorong oleh fanatisme agama.490 ‚Penjajahan negara-negara Barat ke negeri Timur, terutama kerajaan-kerajaan Kristen ke Dunia Islam, sejak pangkal abad ke enam belas, adalah lanjutan belaka dari Perang Salib itu,‛ simpul Hamka.491 Di sini Hamka melihat sikap mendua penjajah Barat. Di satu sisi, di negeri sendiri mereka tidak peduli pada agama. Bahkan cenderung meninggalkan dan

485 Hamka, Revolusi Agama (Sesudah ...), h. 124 486 Lihat Hamka, Studi Islam, h. 207-211 487 Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 33 488 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 86-87 489 Hamka, ‚Tidak Semata-mata Benda,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 16, tahun II, 1 Pebruari 1960, h. 4-5 490 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 112; Hamka, Sedjarah Islam di Sumatera, (Medan: Pustakan Nasional, 1950), h. 18. 491 Hamka, ‚Hari Depan Agama (III Habis),‛ dalam Pandji Masjarakat, no. 29, tahun II, 15 Agustus 1960, h. 4

99 memusuhinya. Namun di negara-negara jajahan mereka mendukung penyebaran agama Kristen ke tengah-tengah masyarakat jajahan.492 Hamka melihat agama hanya dijadikan sebagai alat penjajahan belaka, karena di Barat sendiri cahaya agama sedang redup.493 Hamka menyatakan, ‚berhenti Perang Salib pada lahir, tetapi tidak berhenti dalam batin. Zending dan missi lebih digiatkan dalam negeri Islam, padahal jelas sekali bahwa di negara-negara Barat sendiri, karena pengaruh sekuler, sudah lama agama tidak diperdulikan orang lagi.‛494 Penyebaran ajaran agama ke negeri-negeri jajahan bertujuan mengerdilkan kekuatan Islam yang dianggap sebagai penghalang bagi penjajahan. Hamka mengutip pidato Alfonso d’Albuquerque ketika hendak menyerang Malaka di tahun 1911: ‚Adalah suatu pemujaan yang sangat suci dari kita untuk Tuhan dengan mengusir dan mengikis habis orang Arab dari negeri ini, dan dengan menghembus padam pelita pengikut Muhammad sehingga tidak akan ada lagi cahayanya di sini buat selama-lamanya.‛495 Namun Hamka menemukan adanya hal positif dari kolonialisasi yang terjadi di kepulauan Indonesia. Hamka melihat, ketika Barat datang dengan kekuatan senjata, justru terjadi proses penguatan sentimen keislaman di tengah-tengah masyarakat Nusantara kala itu. Seandainya Barat datang dengan damai dan membawa kemajuan ilmu pengetahuannya, Hamka memperkirakan Islam sudah hancur di Nusantara ini. ‚Jika sekiranya agama Islam masih ada di sini, itu adalah hanya sebagai reaksi dari rasa permusuhan. Kaum Muslimin mendindingi dirinya bukanlah dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan perkembangan akal, hanyalah dengan taklid dan fanatik. Demikianlah keadaan kita kira-kira 300 tahun lamanya‛, ungkapnya.496

492 Hamka, ‚Ilmu dan Agama,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 21, tahun II, 15 April 1960, h. 5 493 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 734. Hamka menyebut imperialisme Barat itu merupakan gabungan dari tiga hal, yaitu serbuan militer, serbuan zending-misi Kristen, dan serbuan menanam kapital. Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 743. Meski cahaya agama di Barat tengah meredup namun Hamka masih melihat pengaruh agama dalam kehidupan publik (politik pemerintahan) di Amerika Serikat. Dalam deklarasi kemerdekaannya, pendiri Amerika menyebut nama Tuhan. Demikian juga di mata uang dan pelantikan presiden yang menyebut nama Tuhan. Pengajaran agama juga diberikan di akademi militer Amerika. Begitu pun pemelihan presiden yang masih mempertimbangkan asal usul agama sang capres: Protestan atau Katolik. Lihat Hamka, 4 Bulan di Amerika, (Jakarta: Gema Insani, 2018), h. 96-99 494 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 260 495 Hamka, ‚Tanggung dJawab Angkatan Muda Islam,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 106, tahun XIII, 1 Juli 1972, h. 4 496 Hamka, Renungan Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), h. 65. Selain faktor ini, faktor lain yang turut berperan mempertahankan Islam di Indonesia adalah ‚kesadaran bahwa nasib agama kita tidak boleh digantungkan kepada penjajah itu.‛ Kesadaran ini telah mendorong sejumlah pelajar Indonesia pergi ke Tanah Arab untuk belajar Islam langsung di sumbernya. Di antara mereka ada yang menetap di sana dan ada yang kembali. Dari mereka lah dipertahankan semangat dan keilmuan Islam di tengah- tengah masyarakat Indonesia yang terjajah. Dari mereka juga disebarkan semangat

100

Di bawah cengkeraman kekuasaan kolonial, Islam memainkan peran penting bagi perjuangan merebut kemerdekaan. Islam, ujar Hamka, memberikan ruh bagi bangsa Indonesia untuk melawan kekuasaan kolonial Barat. Ruh inilah yang telah menjiwai perjuangan hingga mencapai kemerdekaan. Dalam pidatonya mewakili Fraksi Masyumi di Konstituante, Hamka menjelaskan bahwa semangat dan jiwa proklamasi 17 Agustus 1945 bukanlah Pancasila, tapi keimanan di hati rakyat. Pancasila, ujar Hamka, merupakan sesuatu yang baru dikenal oleh Bangsa Indonesia, Itulah yang kami kenal, jiwa atau yang menjiwai proklamasi tanggal 17 Agustus, bukan Pancasila. Sungguh saudara ketua, Pancasila itu belum pernah dan tidak pernah dikenal, tidak populer dan belum pernah terdengar! Yang terdengar hanya sorak ‚Allahu Akbar‛. Dan api yang nyala di dalam dada ini sampai sekarang, saudara ketua, bukanlah Pancasila, tetapi ‚Allahu Akbar!‛.497 Kesimpulan Hamka ini senada dengan salah satu teori yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra. Menurut Azra, salah satu faktor pendorong intensifikasi penyebaran Islam di Nusantara adalah identifikasi kaum kolonial sebagai orang kafir. Hal ini membuka jalan bagi Islam untuk tampil secara gagah sebagai satu- satunya wadah yang bisa memberikan identitas diri dan pemersatu bagi masyarakat pribumi yang beragam. Islam pun menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan kaum kolonial Barat. Ini ditandai dengan penggunaan simbol-simbol keislaman dalam berbagai perlawanan terhadap kolonial.498 Daya tahan ini mau tidak mau memaksa kaum kolonial untuk menerapkan strategi lain. Jalur kebudayaan pun diambil. Politik etis dan politik asosiasi diterapkan guna menarik warga pribumi ke dalam kebudayaan Barat. Melalui pendidikan, mereka berupaya menjauhkan warga pribumi dari agamanya.499 Dengan begitu, ujar Ahmad Baso, jika nanti akhirnya penjajah Barat harus keluar dari negeri jajahannya, setidaknya masih ada sekelompok pribumi yang tetap tinggal di negeri itu dan bisa melanjutkan warisan kolonial di sana.500 Yudi Latif mengakui, politik etis dan asosiasi memang sengaja dicipta untuk ‚bisa mengembangkan sebuah ikatan yang lestari antara negeri Hindia dan negeri Belanda.‛ Jalur pendidikan diambil sebagai strategi utama, selain juga strategi irigasi dan transmigrasi. Pada jalur pendidikan ini, Latif menulis, pemerintah perlawanan terhadap penjajahan. Lihat Hamka, ‚Orang-orang Jang Kembali,‛ dalam Gema Islam, no 2, tahun I, 1 Pebruari 1962, h. 11 497 Hamka, ‚Islam Sebagai Dasar Negara,‛ dalam Yusran R (ed.), Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila: Konstituante 1957, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 100 498 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 38 499 Hamka, Iman dan Amal Shaleh, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 7. Hamka mengakui semula pendidikan Barat di negara-negara terjajah dimaksudkan untuk menciptakan suatu kelas dalam masyarakat yang digunakan untuk melancarkan kekuasaan kolonial tersebut. Namun kemudian tujuan itu dikembangkan dengan berupaya memisahkan masyarakat terjajah dari agamanya. Karena ‚apabila agama bangsa yang menjajah dengan bangsa yang dijajah masih berlainan, akhir kelaknya bangsa ini akan melawan juga.‛ Lihat Hamka, ‚Orang-orang Jang...,‛ h. 11. 500 Ahmad Baso, Islam Pasca Kolonial, (Jakarta: Pustaka Afid, 2016), h.90

101 kolonial Belanda bertujuan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang berorientasi Barat demi ‚merawat masyarakat Hindia modern seiring dengan garis- garis kebijakan asosiasi.‛ Untuk itu pendidikan yang dipromosikan Belanda adalah yang netral agama agar bisa ‚mengemansipasi elit baru dari ikatan keagamaannya.‛ Latif menjelaskan, yang dimaksud emansipasi dalam konteks ini adalah ‚menjauhkan elit baru dari Islam.‛501 Pemerintah Kolonial pun mendirikan sekolah-sekolah yang netral agama tanpa ada pelajaran agama. Pendidikan netral agama itu hanya diberlakukan untuk murid-murid warga pribumi muslim, dan tidak diberlakukan kepada murid yang beragama Kristen. Mereka tetap mendapatkan pengajaran agamanya.502 Akibatnya, ujar Hamka, banyak lulusan sekolah-sekolah itu yang tidak mengenal agamanya. Jauh dari Islam. Bahkan memusuhinya.503 Anehnya, jauh dari agama itu justru membuat mereka merasa sebagai intelek sejati yang serupa dengan bangsa Barat. Padahal, lanjutnya, mereka tidak lebih dari sekedar burung Beo yang menuruti apa yang dibicarakan tuannya itu, Barat.504 Demikian Hamka menyatakan: Tetapi orang Islam yang keluar dari sekolah pemerintah yang netral itu betul-betul kosong dari agama. Seakan-akan memegang teguh agama Islam, adalah tanda dari kefanatikan. Dan ciri yang khas dari seorang terpelajar kalau pandangannya sinis terhadap agama.505 Sebab rasa cemooh kepada agama, sinis, acuh tak acuh telah memenuhi sikapnya; mereka itu menamai dirinya Kaum Intelek yang meminta keterangan agama yang masuk akal. Padahal akalnya itu telah dicekok oleh didikan asing, sehingga kebenaran tidak bisa masuk lagi.506 Tujuan lain strategi pendidikan netral agama adalah sebagai langkah melemahkan pengaruh pesantren di Indonesia. Selama itu, ungkap Hamka, pesantren menjadi sumber energi Islam di Indonesia. ‚al-Fisantrinu `imadul Islam fi Indonesia (Pesantren adalah tiang agama Islam di Indonesia),‛ tegas Hamka. Tentang peran pesantren ini Hamka menulis: ‚Bagaimana supaya pengaruh pondok ini hilang di Indonesia? Inilah penyelidikan yang sangat mendalam dan hati-hati dari Pemerintah Kolonial. Inilah yang menyebabkan Prof Snouck Hurgronje duduk

501 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa, (Jakarta: Democracy Project, 2012), h. 90-93 502 Hamka, Iman Dan Amal..., h. 10. Hamka pernah menyoroti kasus pemberian pelajaran agama Kristen di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Inggris di Semenanjung Melayu. Semula, tulisnya, di sekolah-sekolah tersebut hanya diajarkan pelajaran-pelajaran umum yang netral agama. Namun kemudian pelajaran agama Kristen juga diajarkan di sana. Termasuk kepada anak-anak Muslim Melayu. Menyikapi hal ini Hamka menyeru kepada tokoh-tokoh Islam di Semenanjung untuk melawannya. Karena hal itu merupakan upaya kristenisasi yang halus. Lihat Hamka, ‚Didikan Kristen dan Didikan Neutraal,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 37, tahun II, 31 Oktober 1936, h. 721 503 Hamka, Ghirah dan Tantangan..., h. 11; Hamka, Iman dan Amal..., h. 8; Hamka, Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi & Sekularisasi, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003), h. 64 504 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 191-192; Hamka, ‚Ilmu dan Agama,‛ h. 5 505 Hamka, Umat Islam Menghadapi..., h. 64; Hamka, Ghirah dan Tantangan..., h. 31 506 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 716

102 di Aceh bertahun-tahun dan sampai ziarah ke Mekkah dan menukar namanya dengan Abdul Gaffar Snauk al Hulandy‛.507 Dalam hal ini Latif menuturkan, Snouck Hurgronje memandang kaum Muslim Hindia yang taat beragama, kebanyakan lahir dari pesantren, tidak bisa dipercaya untuk melestarikan ikatan dengan negeri Belanda. Sementara elit tradisional (priyayi lama) dianggapnya terlalu konservatif untuk mengusung tujuan jangka panjang pemerintah kolonial. Karena itu perlu diciptakan elit baru yang berorientasi Barat melalui lembaga pendidikan yang netral agama.508 Bukan hanya di Nusantara, program seperti ini juga diberlakukan secara umum di dunia Islam. ‚Bangsa yang menang dan penjajah pun memasukkan pula pendidikan ‘netral’ agama kepada anak-anak Islam yang dididiknya. Sebab itu maka orang yang mendapat didikan Barat pada umumnya bertambah jauhlah daripada bangsanya sendiri yang memang telah menjauhkan diri itu‛, ujar Hamka.509 Di level sekolah tinggi Belanda memang mengajarkan agama Islam. Namun mereka mengajarkan Islam dari perspektif luar Islam, atau dalam ungkapan Hamka, Islam yang diajarkan adalah ‘agama Islam’ dari segi ‘ilmu pengetahuan’.510 Kajian seperti ini disebut Hamka sebagai ‚studi terpimpin‛. Tujuannya adalah ‚mengelabui mata orang yang menerima Islam sebagai agama pusaka nenek moyangnya tetapi tidak mendapat peluang untuk mempelajari Islam dari sumbernya sendiri.‛511 Hamka memberi contoh Recht Hooge School di Batavia yang memberikan pelajaran Hukum Islam. Namun buku pegangan yang digunakan bukan karya ulama-ulama Islam sendiri. Karya-karya orientalis semisal Wensinck dan Schrieke yang dijadikan rujukan karena dianggap lebih kritis dan obyektif. Hal ini membuat para pelajar di sekolah-sekolah itu menjadi terasing dari agama dan masyarakatnya. Serta memperlebar jurang antara lulusan sekolah Belanda itu dengan kalangan agamawan (ulama).512

507 Hamka, Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 11 508 Latif, Inteligensia Muslim dan..., h. 91-92 509 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 104 510 Hamka, Iman dan Amal..., h. 8 511 Hamka, Doktrin Islam Yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1975), h. 15 512 Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 9-11; Hamka, Studi Islam, h. 154. Meski demikian Hamka bukannya menolak sama sekali menjadikan karya-karya kaum Orientalis sebagai rujukan. Hanya saja, ujarnya, karya-karya itu cukup dijadikan tinjauan belaka, bukan sebagai pegangan utama. Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 720. Menurut Hamka, salah satu penyebab kalangan intelektual itu jauh dari ulama (dan sebaliknya) adalah perbedaan cara berfikir mereka. Kaum intelektual berfikir secara kritis dan bebas. Sementara kaum ulama hanya mengikuti pendapat guru dan mazhab yang dianutnya (taklid). Lihat Hamka, ‚Intellektueel dan Oelama,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 25, tahun VII, 18 Juni 1941, h. 483. Meski demikian Hamka membedakan dua macam agamawan (dalam istilah Hamka: kehidupan beragama) di Indonesia saat itu (pra kemerdekaan), yaitu: mereka yang hidup di sekeliling kiai dan mereka yang hidup dalam dunia pergerakan. Umat Islam yang cenderung taklid adalah mereka yang hidupnya berada

103

Hamka juga menyebut, sikap seperti ini tidak lepas dari peran orientalis yang berupaya mengaburkan ajaran Islam dan membangun propaganda negatif terhadapnya. Mereka menyiarkan beberapa isu negatif tentang Islam, seperti Islam itu fanatik, disiarkan dengan kekerasan, tidak toleran terhadap agama lain, mengajarkan poligami, mengekang hak-hak perempuan, atau al-Qur’an bukan dari Allah tapi karangan Muhammad. 513 Mereka juga melakukan upaya pengaburan atas sejarah Islam, termasuk di Nusantara. Bekerjasama dengan zending dan missi Kristen, kaum orientalis mengembangkan isu bahwa Islam di Indonesia merupakan Islam yang tidak murni dan bersifat mistik sinkretis. Mereka juga melakukan pemutarbalikkan fakta sejarah Islam di Indonesia.514 Tujuan utamanya adalah menjauhkan generasi muda Islam dari sumber sejarahnya sehingga mudah dikendalikan oleh kekuatan asing tersebut.515 Hamka menyatakan: Hanya buku-buku hasil usaha orientalis itulah yang harus dimasukkan, ditekankan, ditanamkan dalam hati anak Islam, sehingga akhir kelaknya anak Islam itu, agamanya masih Islam, tetapi caranya berfikir sudah Kristen! Atau hilang sandaran berfikir sama sekali! Sehingga dia merasa malu jika dikatakan Islam!516 Dan insaflah bahwasanya rasa takut orang menerima hukum Islam ialah karena propaganda terus menerus dari kaum penjajah selama berpuluh beratus tahun, sehingga orang-orang yang mengaku beragama Islam sendiri pun kemasukan rasa takut itu karena dipompakan oleh penjajahan.517 Sikap netral agama yang diiringi dengan penyebaran hasil kajian kaum orientalis yang cenderung peyoratif terhadap Islam itu, jelas Hamka, merupakan benih-benih bagi tumbuhnya paham sekularisme di Indonesia. ‚Setelah Indonesia merdeka, lanjutan dari netralisme itu ialah sekularisme,‛ ungkapnya. Benih tersebut terus berkembang meski penjajah telah pergi dari ibu pertiwi. Tujuan utama mereka adalah menekan umat Islam agar tidak menjadikan agamanya sebagai pegangan hidup. Mereka juga terus berupaya agar umat Islam tetap menjadi kelas bawah (orang suruhan).518 Menurut mereka, jika Indonesia ingin maju, maka harus menyingkirkan ajaran agama dari dirinya.519 Hamka menulis: ... Meskipun angkatan perang besar-besaran secara lama di atas nama agama tidak dikirimkan lagi, dialihlah caranya caranya dengan cara yang baru. Di setiap negeri- negeri Islam yang terjajah dengan berangsur tetapi teratur dibolehkan pendidikan anak-anak Islam agar mereka lepas dari agamanya. Dikirimlah zending dan missi,

di sekeliling kiai. Lihat Hamka, ‚Pemandangan Oemoem Tentang Soeasana Islam di Tanah Air Kita,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 26, tahun VII, 25 Juni 1941, h. 513 513 Hamka, Umat Islam Menghadapi..., h. 65-66; Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 734-735. Pandangan orientalis tentang poligami dan perempuan, dan kritik Hamka terhadapnya lihat Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996). 514 Hamka, Ghirah dan Tantangan..., h. 32 515 Hamka, 1001 Soal Kehidupan , (Jakarta: Gema Insani, 2016), h. 125 516 Hamka, ‚Hari Depan Agama (III Habis),‛ dalam Pandji Masjarakat, no. 29, tahun II, 15 Agustus 1960, h. 4 517 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 706 518 Hamka, Umat Islam Menghadapi..., h. 64; Hamka, Ghirah dan Tantangan..., h. 31 519 Hamka, ‚Didikan Kristen dan ...,‛ h. 722

104

diberi belanja yang besar. Dikerahkan ahli-ahli ilmu pengetahuan yang bernama kaum orientalis untuk menyelidiki rahasia kekuatan Islam.520 Sayangnya, meski Indonesia telah merdeka namun upaya memberikan pengajaran agama di sekolah-sekolah tetap dihambat dan dihalang-halangi.521 Bahkan diciptakan kesan bahwa agama adalah sumber kekolotan dan kemunduran. Agar bisa maju, umat harus meninggalkan agamanya dan menjadi manusia modern.522 Namun, ujar Hamka, modernisasi yang mereka lakukan adalah ‚modernisasi terpimpin‛, yaitu modernisasi ‚yang dipimpinkan oleh orang-orang dari luar Islam.‛ Modernisasi model ini tidak lain adalah ‚sekularisasi, pemisahan antara agama dengan negara. Mengisolasi agama di masjid.‛523 Hamka menyebut proyek tersebut sebagai bagian dari Ghazw al-Fikr, yaitu: Sebuah teknik propaganda yang hebat, melalui segala jalan, baik kasar atau halus, baik secara kebudayaan atau secara ilmiah, agar cara dunia Islam berubah dari pangkal agamanya dan dengan tidak disadarinya dia berfikir bahwa jalan benar satu- satunya supaya orang Islam maju adalah meninggalkan pikiran Islam. Untuk itu tidak usah menukar agama. Biar tetap jadi orang Islam juga, tetapi tidak lagi meyakini dan melaksanakan ajaran Islam.524 Dalam tulisan lain Hamka mendefinisikan Ghazw al-Fikr sebagai ‚percobaan besar-besaran hendak menaklukkan alam fikiran kita, bentuk rohani kita, agar berubah dari berfikir seorang penganut Islam yang sadar dalam Islam menjadi orang yang masih memeluk Islam, tetapi tidak lagi berfikir dalam Islam, malahan melihat Islam dari luar.‛525 Meski terdapat orientalis yang bersikap obyektif dan jujur dalam melakukan studi keislaman demi kepentingan ilmu pengetahuan. Namun Hamka melihat kebanyakan kajian kaum orientalis bertujuan untuk melanggengkan penjajahan politik Barat terhadap negeri-negeri Islam. Yang kemudian dilanjutkan dengan

520 Hamka, ‚Hari Depan Agama (III Habis),‛ h. 4. 521 Hamka, ‚Harapan Kepada Pemuda,‛ h. 4-5. Hamka menyambut baik kesepakatan Menteri Agama KH A Wahid Hasyim dengan Menteri PPK Dr Bahder Djohan tentang pengajaran agama di sekolah-sekolah umum negeri. Meski akan menghadapi banyak kendala, seperti kualitas dan kuantitas guru agama, namun Hamka yakin ke depannya masalah-masalah itu akan dapat diatasi seiring pendirian berbagai sekolah dan pendidikan pendidikan guru agama. Namun Hamka juga melihat masalah baru terkait dengan pengajaran agama di tingkat universitas. Di mana para pengajarnya masih terpengaruh pemikiran orientalis yang menjadikan agama hanya sebagai ilmu tanpa penghayatan dan pengamalan. Padahal di saat bersamaan para orientalis itu tetap dipengaruhi oleh subyektivitasnya. Lihat Hamka, ‚Islamologi di Universitas,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 14, tahun II, 1 Januari 1960, h. 3. 522 Hamka, ‚Rasa Rendah Diri‛, dalam Pandji Masjarakat, no 117, tahun XIII, 15 Desember 1972, h. 5 523 Hamka,‛Modernisasi Terpimpin‛, dalam Pandji Masjarakat, no 96, tahun VI, 1 Pebruari 1972, h. 4-5 524 Hamka, Umat Islam Menghadapi..., h. 61; Hamka, Ghirah dan Tantangan..., h. 29 525 Hamka, ‚Pembangunan Da’wah Islamiyah di Indonesia,‛ dalam Panji Masyarakat, no 203, tahun XVIII, 15 Juli 1976, h. 9; Lihat juga Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 259-260

105 penjajahan peradaban setelah negeri-negeri Islam itu mencapai kemerdekaannya.526 Karena inilah Hamka menganggap orientalisme merupakan sebentuk Perang Salib model baru atau kelanjutan darinya.527 Mengutip pendapat Guru Besar Universitas Ain al-Shams Mesir, Ali Husny al-Kharbuthly, Hamka menyebut tiga motif utama orientalisme, yaitu: 1. Untuk kepentingan penyebaran agama Kristen ke negeri-negeri Islam, 2. Untuk kepentingan penjajahan, 3. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata-mata. Dari ketiga itu, kelompok orientalis dengan motif missi Kristen dan kolonialisme sering berdiri bersama-sama dalam satu barisan.528 Seringkali, tulisnya, kaum orientalis jenis ini menutupi maksud-tujuannya itu dengan dalih kajian ‚ilmiah‛. Padahal apa yang mereka lakukan tidak lebih dari ‚menyelidiki Islam secara mendalam untuk mencari cacat dan kelemahannya.‛529 Program utamanya adalah ‚Membelokkan cara berfikir orang Islam dari agama tauhidnya, dan tunduk pada cara mereka berfikir, yaitu memisahkan agama dari kegiatan sosial, dan mengurung agama itu dalam Gereja saja.‛530 Banyak sarjana Muslim yang terpengaruh oleh mereka. Salah satu yang disebut Hamka adalah AliError! Reference source not found. Abd al-Raziq yang menulis buku al-Isla>mError! Reference source not found. wa Us}u>l al-H}ukm. Dalam buku itu, jelas Hamka, Raziq menyatakan bahwa Islam hanya semata-mata agama, tidak mengandung kenegaraan. Nabi Muhammad tidak menganjurkan mendirikan suatu negara, cukup agama saja. Islam hanya semata-mata ibadat dan jalan keakhiratan saja. Islam tidak memiliki konsepsi mengatur negara.531 Hamka secara tegas menolak gagasan Raziq tersebut. Menurutnya argumen yang dikemukakan Raziq itu hanya ‚dibikinkan‛ oleh pihak lain. Tidak memiliki dasar yang kuat dalam khazanah keislaman.‛532 Dengan mengutip pernyataan ayahnya yang baru kembali dari Arab tahun 1926 guna mengikuti Kongres Khilafah yang digelar di Mesir, Hamka menyatakan bahwa Raziq hanya melihat sisi gelap kekhilafahan di masa lalu dan telah mengingkari kenyataan sejarah panjang kekuasaan para khalifah di masa lalu. Sejak era empat khalifah utama hingga kekhilafahan Turki Utsmani. Lebih dari itu, gagasan Raziq tersebut juga berupaya merombak struktur Islam dengan memisahkan agama dari negara dan menggantinya dengan sistem pemerintahan ala Barat.533 Untuk saat ini, ungkap Hamka, gagasan Raziq itu tergolong ide yang telah usang. Banyak sarjana dan pemikir muslim yang telah membantah buku Raziq tersebut. Karena itu orang yang mengikutinya pun termasuk ketinggalan zaman.534

526 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 9, (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 638 527 Hamka, 1001 Soal Kehidupan..., h. 124 528 Hamka, Studi Islam, h. 22 529 Hamka, ‚Bagaimana Cara Menghadapi,‛ dalam Panji Masyarakat, no 211, tahun XVIII, 15 November 1976, h. 5 530 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 9, h. 638 531 Hamka, ‚Bagaimana Cara Menghadapi‛, h. 5 532 Hamka, Studi Islam, h.150-151 533 Hamka, Studi Islam, h. 19 534 Hamka, Studi Islam, h. 26

106

Hamka menjelaskan, ide Raziq tersebut muncul saat kekuatan politik Islam dalam kondisi sedang terpuruk. Pasca penghapusan kekhilafahan Turki Utsmani oleh Kemal Attaturk pada 1924, banyak upaya yang dilakukan para pemimpin negara- negara Islam untuk mengembalikan kekhilafahan, namun semua mengalami kegagalan.535 Upaya menegakkan kembali khilafah dilakukan oleh Syarif Husain dengan membentuk Dewan Khalifah pada tahun 1924. Panitia yang terdiri dari 9 orang sayyid dan 19 orang perwakilan daerah/negara lain. Namun usaha ini gagal. Syarif Husain kehilangan kekuasaannya setelah kemenangan kelompok Wahabi. Pada 1925 direncanakan digelar kongres dunia Islam yang akan membahas tentang persoalan khalifah di Kairo. Namun kemudian batal dan baru terlaksana pada 13-19 Mei 1926. Kongres ini disokong Raja Fuad yang diam-diam berharap dirinya dipilih menjadi khalifah. Kongres memang mengakui pentingnya khalifah untuk mengagungkan kalimat Allah dan mempertahankan kebesaran Islam. Namun itu hanya terwujud di masa lalu. Di saat ini, ketika kongres berlangsung, peserta kongres menilai hampir mustahil menegakkan kekuasaan khalifah kembali. Mereka pun menyarankan supaya tidak melanjutkan gagasan ini. Upaya lain dilakukan di Makkah pada 1 Juni 1926 dan dilanjutkan kongres kedua pada 1927 atas prakarsa Raja Ibnu Saud. Namun di kongres Makkah ini tidak dihasilkan kesepakatan mengembalikan jabatan khalifah.536 Dalam momen kegagalan membangun kembali kekhilafahan itulah buku Ali Abd al-Raziq terbit dan menghebohkan dunia Islam. Jadi, simpul Hamka, gagasan Raziq tersebut sesungguhnya muncul ‚dari rasa rendah diri, kagum dan silau, disertai ‘menjilat’ intelektual Barat.‛ Di kemudian hari banyak sarjana dan pemikir Muslim yang bangkit dan membantah gagasan Raziq tersebut. Hingga kemudian al-Azhar pun mencabut gelar Shaha>dah `A>limiyyah Ali Abd al-Raziq. Pasca Perang Dunia II, ungkap Hamka, semakin banyak bermunculan sarjana dan pemikir Muslim generasi baru yang membangkitkan kembali hakikat Islam yang asli secara ilmiah. Di kemudian hari Hamka mendengar Ali Abd al-Raziq pun mulai memperbaiki dirinya dan memperluas wawasannya.537 Dan pada akhirnya nama al- Raziq direhabilitasi atas usaha kakaknya ketika dia menjabat sebagai Shaykh al- Azhar.538 Tentang hal ini Hamka menulis: ‚Syaikh `Ali Abd al-Raziq dan beberapa penulis lain yang telah hanyut berfikir secara ‘sekuler,’ mencoba menyebarkan ajaran pemisah agama dengan negara. Karena hendak mengekor kepada teori Barat yang memisahkan negara dengan gereja. Padahal dalam Islam tidak pernah ada pemisahan di antara negara dengan masjid.‛539 Meski demikian terdapat beberapa kalangan yang membela pemikiran tokoh-tokoh yang telah terbaratkan itu. Sekaligus menyerang pemikir dan sarjana Muslim yang menolak pemikiran mereka. Salah satu tokoh yang disorot Hamka

535 Hamka, Studi Islam, h. 12-18. 536 Lihat H Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 86-90. 537 Hamka, Studi Islam, h. 28-29 538 Hamka, Studi Islam, h. 73 539 Hamka, Studi Islam, h. 188

107 adalah Nurcholish Madjid. Madjid menilai, tulis Hamka, gagasan yang menonjolkan Islam sebagai sistem lengkap yang mencakup segala bidang kehidupan seperti yang diungkapkan para pemikir Muslim yang menolak ide-ide Barat sebagai sebentuk pembelaan diri (apologia). Akibat dari rasa rendah diri dan silau berhadapan dengan kemajuan bangsa-bangsa Barat. Hamka menolak tuduhan Madjid ini. Alih-alih sebuah apologia, Hamka melihat gagasan dan upaya mengembalikan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang komplit tersebut merupakan bukti bahwa para pemikir dan tokoh-tokoh Muslim tersebut ‚telah mendapatkan kembali kepribadiannya, setelah menderita tekanan bathin hampir dua abad lamanya‛. Sebaliknya, Hamka menegaskan, justru yang bersikap apologia adalah Ali Abd al-Raziq dan pemikir-pemikir yang telah terbaratkan lainnya.540 ‚Dan jelaslah sekarang yang apologi, timbul dari rasa rendah diri, kagum dan silau, disertai ‘menjilat’ kepada inteligensia Barat ialah orang yang semacam Syaikh Ali Abd al-Raziq, Dr Manshur Fahmi dan Dr Thaha Husain setengah abad yang lalu itu‛, ujar Hamka.541 Kritik Hamka terhadap Ali Abd al-Raziq tersebut merupakan refrleksi dari paradigma politik integratifnya. Baginya Islam bukan sekedar agama yang berurusan dengan ritual hubungan manusia dengan Tuhan. Namun juga agama yang berhubungan dengan urusan hubungan antar manusia. Hamka senantiasa berjuang mewujudkan pandangan politiknya ini dalam kehidupan bangsa Indonesia. Hamka mencita-citakan Indonesia merdeka harus menerapkan hukum dan perundang-undangan syariat dan meninggalkan perundang-undangan warisan kolonial Barat: Sebenarnya belumlah berisi dan belumlah berarti kemerdekaan negara kita kalau Undang-undang yang kita perturun penaik siang dan malam, petang dan pagi masih sisa-sisa penjajahan. Wajarlah jika di dalam negeri yang penduduknya sebagian

540 Hamka, Studi Islam, h. 26-28. Hamka menyebut tokoh-tokoh lain yang terbaratkan, di antaranya Thaha Husain yang menulis buku al-Shi’r al-Ja>hili> dan Mustaqbal al-Thaqafi> fi> Mis}r, Zaki Mubarak yang menulis buku al-Akhla>q `Inda al-G}azali>, serta Mansur Fahmi yang mengritik pribadi Nabi Muhammad. Namun di kemudian hari tokoh terakhir ini sadar dan kembali ke jalan yang benar setelah mengkaji literatur-literatur Islam dari sumber utamanya mengikuti saran Shaykh al-Azhar Ahmad al-Zhawabiry. Lihat juga Hamka, ‚Bagaimana Cara Menghadapi‛, h. 5. Meski mengritik gagasan Nurcholish Madjid, namun Hamka tetap bersikap tasamuh dan terbuka pada muridnya tersebut. Ini terlihat dari pemuatan tulisan-tulisan Madjid di majalah Panji Masyarakat dan tanggapan beberapa tokoh lainnya, seperti HM Rasyidi, Endang Saefuddin Anshari, dan lain-lainnya. Polemik tentang pembaharuan Islam dan sekularisasi ala Madjid itu dimuat dalam Panji Masyarakat edisi No 111, tahun XIII, 15 September 1972; No 112, tahun XIII, 1 Oktober 1972; No 113, tahun XIII, 15 Oktober 1972; No 114, tahun XIII, 1 November 1972; No 15, tahun XIII, 15 November 1972; Dan no 116, tahun XIII, 1 Desember 1972. Peneliti tidak menemukan tanggapan Hamka sendiri terhadap gagasan Madjid di Panji Masyarakat pada edisi-edisi tersebut. Mungkin di Panji Masyarakat edisi tahun berikutnya atau di kesempatan/media massa yang lain. Yang pasti peneliti justru menemukan tanggapan tersebut dalam buku Studi Islam yang merupakan kumpulan tulisan Hamka yang disunting oleh Rusydi Hamka. 541 Hamka, Studi Islam, h. 29

108

besar beragama Islam ini ada cita-cita kembali memakai Hukum Syariat menjadi Undang-undang. 542 Dan jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang, ‘Adakah kamu, hai umat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu memegang kekuasaan, akan menjalankan hukum syariat Islam dalam negara yang kamu kuasai itu?’ Janganlah berbohong dan mengolok-olokkan jawaban. Katakan terus terang bahwa cita-cita kami memang itu. Memang hendaknya berjalan hukum Allah dalam negara yang kita kuasai itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita yang telah digariskan Allah dalam al-Qur’an itu kita mungkiri?.543 Penggunaan diksi ‚kembali memakai Hukum Syariat menjadi Undang- undang‛ tampaknya sengaja digunakan Hamka untuk mengingatkan pada sejarah Nusantara pra kolonial, di mana saat itu negeri-negeri di Nusantara sudah menerapkan perundang-undangan yang digali dari ajaran Islam. Di Kesultanan Aceh Sultan Malikuzh Zhahir memerintah dengan berpedoman pada Mazhab Syafii. Demikian pula di Malaka di mana kitab al-Muhazzab menjadi pegangan hukum di sana. Hukum Islam juga diterapkan di Kesultanan Banten, Palembang, atau pun Banjarmasin. Di negeri-negeri itu juga dibuat institusi mufti sebagai penjaga dan penegak hukum syariat,544 namun semua itu berubah tatkala Barat masuk dan menguasai negeri-negeri di kepulauan Nusantara. Setelah sekian lama kian masuk cengkeraman kuku penjajahan Belanda di negeri ini, sesuai dengan ‘Mission Sacre’ Kristennya, diusahakanlah menghilangkan pengaruh Syariat Islam, lalu ditonjolkanlah ‘Hukum Adat’. Dengan paksaan kekuasaan Ummat Islam yang telah maju selangkah dikembalikan kepada Hukum Jahiliyyah.545 … Dan setelah kekuasaan jatuh ke tangan penjajah, kekuasaan syariat inilah yang dipatahkan terlebih dahulu lalu menggantinya dengan hukum adat yang tidak berbau Islam, mereka tidak mau mengakuinya.546 Faktor sejarah ini pula yang dijadikan dasar bagi Hamka untuk tidak memisahkan Indonesia dari agama. ‚Alhasil tidaklah ada satu sebab dan alasan bagi kita dalam masyarakat Indonesia khususnya, buat menyisihkan agama dengan masyarakat, dengan negara. Karena tidak begitu tabiatnya dan tidak begitu sejarahnya. Jauh berbeda daripada pertumbuhan agama Nasrani di Eropa, yang memisahkan agama dengan dunia…‛, jelas Hamka.547 Di era penjajahan memang masih terdapat lembaga peradilan syariat di beberapa daerah. Namun seiring waktu kewenangan lembaga tersebut terus dipersempit. Di Jawa dan Madura, tulisnya memberi contoh, pengadilan agama yang didirikan pemerintah kolonial semula menangani perkara-perkara sipil yang lebih luas, seperti warisan, nikah, talak, rujuk dan beberapa hal lainnya. Namun

542 Hamka, Studi Islam, h.150-151 543 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 706 544 Hamka, Studi Islam, h. 152-153 545 Hamka, Studi Islam, h. 153 546 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 205 547 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 105-106

109 kewenangannya kemudian dikurangi hingga tersisa nikah, talak dan rujuk saja. Perkara warisan diserahkan ke pengadilan negeri.548 Bukan hanya di bidang hukum, di bidang bahasa pun demikian. Penyingkiran terhadap pengaruh Islam perlahan-lahan dilakukan oleh kolonial di bidang ini. Hamka menyatakan: Perhatikanlah bagaimana bangsa-bangsa penjajah Kristen yang telah menaklukkan negeri-negeri Islam, yang mula-mula mereka kerjakan dengan sungguh-sungguh ialah mengajarkan bahasa mereka, supaya rakyat Islam yang terjajah itu berfikir dalam bahasa bangsa yang menjajah, lalu mereka lemah dalam bahasa sendiri dan terpengaruh dengan peradaban dan kebudayaan bangsa Kristen yang menjajahnya. Kian lama kian hilanglah kepribadian umat yang terjajah tadi, hilang pokok asalnya berfikir dan hilang perkembangan bahasanya sendiri. Lalu yang dipandangnya tinggi ialah bangsa yang menjajahnya itu.549 Salah satu yang terjadi dalam penjajahan bahasa di Nusantara adalah kasus penggusuran aksara (huruf) Jawi atau Melayu digantikan oleh aksara latin. Padahal, tegas Hamka, aksara Jawi yang diadopsi dari huruf Arab itu merupakan bagian dari khazanah bangsa yang dikembangkan oleh masyarakat Muslim di Nusantara selama berabad-abad. Ulama seperti Ar-Raniri, , Abdurrauf As-SingkiliError! Reference source not found., Syamsuddin al-Sumatrani, Fadhlullah dan lain-lainnya disebut Hamka sebagai pihak yang berperan penting dalam penyebaran Islam melalui Bahasa Melayu.550 Mereka pula yang berperan penting bagi memperkaya kesusastraan Melayu dengan ajaran Islam.551 Usaha para ulama tersebut kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh semisal Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dan Raja Ali Haji.552 Hamka menjelaskan peran penting aksara MelayuError! Reference source not found. tersebut: Dengan huruf itu, pengarang-pengarang besar, sejak dari Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Abdur Rauf Singkel menuliskan bahasa Melayu lama, yang kemudian kita lantik menjadi bahasa Indonesia (1928). Tun Sri Lanang pun menulis dengan huruf Arab. Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi pun menulis bahasa Melayu dengan huruf Arab. Ulama-ulama Islam yang besar, sejak Syaikh Nawawi Bantam, Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mukhtar Cianjur di Makkah, dan Syaikh Arsyad Banjar, semuanya kerajaan-kerajaan di Indonesia, tidak ada wakil-wakil bangsa asing yang dapat menyampaikan kehendaknya kepada

548 Hamka, Studi Islam, h. 153 549 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 716 550 Hamka, ‚Pengaruh Islam Dalam Sastra Melayu,‛ dalam Panji Masyarakat, no 206, tahun XVIII, 1 September 1976, h. 28. 551 Hamka, ‚Pengaruh Islam Dalam Sastra Melayu (Sambungan),‛ dalam Panji Masyarakat, no 207, tahun XVIII, 15 September 1976, h. 7. 552 Hamka, ‚Pengaruh Islam Dalam Sastra Melayu (Sambungan),‛ h. 8. Bahasa Melayu dengan aksara Arab telah menjadi ikatan kultural keagamaan Muslim Nusantara yang tersebar di banyak kerajaan sejak abad ke 13 M. Ulama di Nusantara telah menggunakan huruf Jawi itu dalam berbagai karyanya. Seperti Syamsuddin Sumatrani pada abad ke 16 menulis buku ‚Mir’atul Mu’minin‛. Demikian pula ulama di kerajaan-kerajaan Nusantara sebelah Timur (Ternate, Tidore, Bacan). Lihat Jajat Burhanudin, ‚Islam dan Negara Bangsa: Melacak Akar-akar Nasionalisme Indonesia‛, dalam Studia Islamika, vol 11, no. 1, 2004, h. 171.

110

raja-raja Indonesia, kalau dia tidak menulis surat resmi dalam bahasa Indonesia lama, huruf Arab...553 Penggunaan huruf Jawi/Melayu, jelasnya, bermula dari pengajaran al-Qur’an setiap hari kepada anak-anak di kepulauan Melayu. Kemudian diadopsi oleh ulama- ulama dengan penyesuaian terhadap bahasa dan pengucapan yang berlaku di tanah Melayu.554 Pengembangan sastra Melayu Islam ini makin intensif dengan penerjemahaan dan penyaduran cerita-cerita Arab dan Persia ke dalam Bahasa Melayu. Hamka menyebut kisah Malin Dagang di Malaysia, Malin Demam di Minangkabau, dan Malin Dewa di Aceh yang merupakan saduran dari kisah 1001 malam. Kemudian muncul cerita-cerita asli Melayu dengan kisah perlawanan terhadap para penjajah Barat semisal Si Jobang.555 ‚Sebelum dikalahkan oleh huruf Latin yang dimasukkan Belanda bersama penjajahannya, huruf Arab-lah huruf kesatuan bangsa Indonesia, setelah disesuaikan dengan keperluan bahasa itu. Di tanah Melayu diberi nama ‘Huruf Jawi’ di Jawa sendiri dinamai ‘Huruf Melayu’ dan ‘Huruf Pegon’‛, ujar Hamka.556 Penyingkiran huruf Arab dan digantikan dengan huruf Latin menurut Hamka bermula dari sekolah-sekolah yang didirikan Belanda yang tidak megajarkan huruf Arab. ‚Dengan adanya HIS, Mulo dan HBS mulailah selangkah demi selangkah huruf Arab itu disingkirkan ke tepi,‛ ujar Hamka. Upaya itu dilanjutkan dengan pembentukan Balai Pustaka. Saat itulah, ungkapnya, kita harus menerima kenyataan huruf Latinlah yang harus kita pakai. Dan mulai saat itu pula, lanjutnya, orang yang tidak bisa membaca huruf Latin dipandang sebagai buta huruf. Hamka menyatakan, ‚setelah Kongres Pemuda (1928) meresmikan menukar nama bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, dengan sendirinya huruf Arab menjadi jauh. Dahulu bahasa Melayu bertiang pada huruf Arab, sekarang bahasa Indonesia bertiang pada huruf Latin‛.557

553 Hamka, ‚Pengaruh Huruf atas Bahasa dan Bangsa,‛ dalam Hikmah, no 7, tahun V, 16 Pebruari 1952, h. 18 554 Hamka, ‚Pengaruh Islam Dalam…‛, h. 26 555 Hamka, ‚Pengaruh Islam Dalam ... (sambungan)‛, h. 7-8 556 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 274 557 Hamka, ‚Pengaruh Huruf atas Bahasa dan Bangsa,‛ h. 18. Dalam sidang Konstituante yang membahasa tentang bahasa, Hamka dan Masyumi mengusulkan supaya bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa resmi negara. Bukan sebagai ‚bahasa nasional atau bahasa kebangsaan.‛ Hamka beralasan, semua bahasa daerah di Indonesia merupakan bahasa kebangsaan dan bahasa nasional. Hal ini sesuai dengan semboyan ‚Bhinneka Tunggal Ika‛. Bahasa-bahasa daerah itu, jelas Hamka, merupakan kekayaan nasional bangsa Indonesia. Dalam bahasa-bahasa itu tersimpan ‚kekayaan kita sebagai bangsa‛ dan ‚pusaka nenek moyang kita yang mendalam dan juga filsafat dan hikmahnya.‛ Bahkan lebih dari itu di dalam bahasa daerah itulah ‚terletak sandaran kebangsaan kita‛. Pun demikian, secara rasa bahasa (Balaghah) penyebutan ‚bahasa resmi ialah bahasa Indonesia‛ terasa lebih mudah diucapkan daripada ‚bahasa kebangsaan adalah bahasa Indonesia‛. Mengingat sebegitu penting keberadaan bahasa daerah, Masyumi melalui Hamka mengusulkan agar pelestarian bahasa daerah diatur dalam undang-undang, bukan melalui peraturan menteri. Lihat penyampaian Hamka tersebut dalam Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid V, h. 180-181.

111

Persoalan lain yang diungkap Hamka terkait dengan huruf Latin adalah ‚amat miskin untuk menumpahkan rasa keislaman‛.558 Hamka melihat pertukaran ke huruf Latin itu memiliki pengaruh besar dalam membelokkan cara berfikir kita dari rumpun agama kepada rumpun peradaban lain. Dan kelanjutannya ialah bahwa hilangnya huruf Arab pun membawa hilangnya perhatian orang kepada al-Qur’an. ‚Malahan lama-lama sudah ada yang berani mengatakan: ‘al-Qur’an itu tidak bahasa kita! Itu adalah bahasa asing!’‛, ungkap Hamka kuatir.559 Selain mengganti huruf, politik bahasa juga terjadi melalui penyingkiran pengaruh Arab dalam Bahasa Indonesia. Ini terjadi melalui penggantian kosakata Melayu dengan kosakata lokal, khususnya Jawa, yang bersumber dari Bahasa Sansekerta. Atau juga dengan menggunakan bahasa asing non Arab. Hamka memberikan contoh penggantian kata ‚pelancongan‛ atau ‚tamasya‛ menjadi ‚pariwisata‛. ‚Takziah‛ menjadi ‚belasungkawa‛. ‚Tahniah‛ menjadi ‚ucapan selamat‛. ‚Iktisad‛ menjadi ‚ekonomi‛. ‚Siasat‛ menjadi ‚politik‛. Hal ini, jelas Hamka, memiliki beberapa efek negatif, yaitu: Pertama, akan memutuskan ikatan generasi mendatang dengan khazanah nenek moyangnya. Kedua, Perubahan itu juga akan mencabut Bahasa Melayu/Indonesia dari sumbernya yang asli, Bahasa Arab.560 Hamka menulis, Entah disengaja entah tidak, kata-kata Arab yang telah ada dalam bahasa Indonesia, kian lama kian diketepikan. Buat digantinya ialah bahasa Belanda yang di-Indonesiakan. Bilamana tuan mendengar pidato radio kalau tuan hanya mengerti Bahasa MelayuError! Reference source not found. itulah yang diindonesiakan, tuan

558 Hamka, ‚Pengaruh Huruf atas Bahasa dan Bangsa,‛ h. 19 559 Hamka, ‚Agama Bisa Hapus Sadja,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 94, tahun VI, 1 Januari 1972, h. 6 560 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Gema Insani, 2018), h. 240-241; Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 88. Menurut Hamka, saat berlangsung revolusi tahun 1945 mulailah dilakukan politik bahasa melalui ‚Ejaan Suwandi‛ dengan menghilangkan pengaruh asing dalam bahasa Indonesia, termasuk Bahasa Arab. Maka kemudian diubahlah beberapa kosakata yang diambil dari Bahasa Arab. Seperti kata ‚zaman‛ ditulis dengan ‚jaman‛, ‚Mohammad Syarif‛ ditulis ‚Moamat Sarip‛, ‚akhir‛ ditulis ‚akir‛, ‚khabar‛ ditulis ‚kabar‛, ‚fikir‛ menjadi ‚pikir‛. Tanda ain berupa (‘) diganti dengan k, seperti ‚ni’mat‛ menjadi ‚nikmat‛. Namun pada Maret 1972 diadakan seminar bahasa di Puncak terjadi perubahan lagi. Diputuskan untuk kembali ke penulisan sebelumnya karena ternyata di masyarakat umum tetap digunakan ejaan lama itu. Lihat Hamka, ‚Pengaruh Islam Dalam…‛, h. 27. Tentang hasil seminar Bahasa Indonesia Maret 1972 tersebut lihat ‚Seminar Bahasa Indonesia‛ dan ‚Keputusan2 Dari Seminar Bahasa Nasional 1972‛, dalam Pandji Masjarakat, no 99, tahun VI, 15 Maret 1972, h. 4-6. Meski demikian bukan berarti Hamka anti terhadap bahasa asing. Bagi Hamka, meski bahasa asing itu banyak ruwetnya, namun perlu juga dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia untuk memperkayanya setelah dilakukan penyesuaian dengan lidah bangsa Indonesia. Khususnya terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern yang semakin pesat. Dalam hal ini Hamka memandang bahasa Arab bukanlah bahasa asing karena memang menjadi sumber bagi bahasa Indonesia. Lihat Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid V, h. 182

112 akan bingung dan tidak mengerti. Sebab hampir tiap susun kata di-‘sempurnakan’ dengan Bahasa Belanda.561 Pendidikan ala pemerintah kolonial Hindia Belanda memiliki pengaruh kuat dalam mengubah cara berfikir dan bersikap sebagian rakyat Indonesia, terutama di kalangan pemimpinnya, dan itu terus berlanjut meski Indonesia telah merdeka. Dan setelah bangsa-bangsa itu merdeka, penyerangan dari segi kebudayaan itu masih diteruskan. Bahkan kadang-kadang pada beberapa negeri, pemerintahan yang menggantikan bekas penjajah itu sendiri, cara berfikirpun sudah jauh dari kepribadian sebagai Muslim, malahan menyalin kepribadian guru yang mereka gantikan, sehingga setelah merdeka, kembali kepada Islam adalah dipandang satu bahaya besar, dan mengikuti selangkah demi selangkah kepada cara-cara Barat, lalu dinamai modernisasi, jauh lebih hebat, dan lebih maju dari pada masa dijajah itu sendiri.562 Hamka menyebut mereka sebagai orang Muslim yang berkepribadian asing: Dan banyak yang mengakui dirinya Islam, tetapi segala gerak langkah hidupnya sangatlah jauh daripada yang diajarkan oleh Islam. Dasar dalam jiwanya masih tetap Hindu, Mahabharata dan Ramayana, atau dia berfikir dalam Islam, secara Keristen!563 Agama Islam kadang-kadang masih mereka kerjakan, tetapi hakikat Islam telah hilang dari jiwa mereka. Saking tertariknya dan tergadainya jiwa mereka kepada bangsa yang memimpinnya tidaklah mereka berkeberatan lagi menjual agama dan bangsanya dengan harga murah… Orang seperti ini banyak terdapat dalam sejarah. Negerinya hancur, agamanya terdesak dan buat itu dia diberi balas jasa, yaitu bintang!...564 Bagi Hamka, modernisasi dalam masyarakat muslim seharusnya dimaknai sebagai kebebasan fikiran dan keluasan ilmu, sehingga umat Islam dapat turut menentukan nasib dunia ini. Jadi, ujar Hamka, yang harus dimodernisasi dan direformasi adalah cara berfikir umat terhadap agama. Bukan agama itu sendiri. Modernisasi seperti ini akan tercapai kalau umat Islam memiliki pola pikir yang tidak sempit, selalu menambah pengetahuan, dan memperluas pandangan terhadap seluruh persoalan kehidupan. 565 Hamka menjelaskan: Islam itu sendiri dalam kedudukannya sebagai agama tidaklah berubah. Dia harus diterima sebagai suatu yang mutlak dari Allah dengan perantaraan Rasul-Nya Muhammad Saw. Tetapi cara kita memikirkannya haruslah sesuai dengan tantangan zaman. Itulah sebabnya maka Rasulullah Saw pernah bersabda bahwa setiap sekali 100 tahun harus ada mujaddid, yaitu pembaharu. Bukan agama yang dibaharui, tetapi fikiran terhadapnya yang selalu harus diperbaharui, sehingga kita tidak ketinggalan zaman.566

561 Hamka, ‚Pengaruh Huruf Atas...‛, h. 19 562 Hamka, ‚Agama Bisa Hapus…‛ h. 6 563 Hamka, ‚Agama Bisa Hapus…‛, h. 27 564 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 717 565 Hamka, ‚Orthodox dan Modernisasi,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 2, tahun I, 1 Juli 1959, h. 24-25 566 Hamka, ‚Chittah Pandji Masjarakat,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 9, tahun I, 15 Oktober 1959, h. 27

113

Dalam proses modernisasi pemikiran umat Islam itu, Hamka menekankan pentingnya menjadikan al-Qur’an, hadits, dan akal sebagai pegangan. Karena itu, ungkap Hamka, seorang pembaharu harus mengerti inti dari al-Qur’an dan hadits, membebaskan jiwanya dari taklid, dan memahami kebudayaan dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas.567 Namun demikian, Hamka mengingatkan, modernisasi seperti ini tidak berlaku untuk bidang akidah dan ibadah. Di dua bidang ini umat Islam harus bersikap ortodok, dalam artian kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi seperti yang dilakukan mazhab Salaf.568 ‚Dalam hal ini kita tidak mau modernisasi! Sebab kalau pokok yang dari Nabi itu kita ubah, modernisasi akan berubah jadi bid’ah! Sebab Nabi Muhammad lebih pintar dari kita‛, ujarnya.569 Bagi Hamka, orang Islam yang menganggap agama hanya sebagai urusan pribadi yang tidak terkait dengan muamalat (pergaulan sesama manusia) sebagai orang yang telah mengikuti langkah-langkah setan. Dalam hal ini mereka telah mengikuti setan dalam bentuk manusia, yaitu kaum kolonial yang telah menjajah negeri-negeri Islam.570 Bahkan Hamka menyebut mereka sebagai ‚pengawal- pengawal penjajah yang sangat terpercaya‛.571 Mereka ini dikelompokkan oleh Hamka ke dalam golongan munafik, yaitu ‚orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya secara setengah- setengah.‛ Orang seperti ini mengaku beragama Islam dan menjalankan ibadah, tetapi tidak yakin lagi terhadap Syariat Islam. Bahkan mereka dengan tegas menolak setiap upaya menjadikan Syariat sebagai dasar bagi negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, meski keberlakuan Syariat itu hanya untuk umat Islam saja, tidak untuk seluruh warga negara. Alih-alih menegakkan syariat untuk penduduk beragama Islam, mereka lebih suka mengambil aturan- aturan warisan penjajah atau hukum-hukum dari Barat untuk diadopsi sebagai hukum negara. Padahal aturan-aturan yang bersumber selain dari Allah merupakan peraturan t}a>gu>t yang akan membawa kesesatan bagi mereka yang mengikutinya. Sesungguhnya mereka itu, tegas Hamka, telah mencampur keimanannya dengan syirik. 572 Hamka menyandarkan pandangannya ini pada ayat:

567 Hamka, ‚Chittah Pandji Masjarakat,‛ h. 27 568 Hamka, ‚Orthodox dan Modernisasi,‛ h. 24-25 569 Hamka, ‚Orthodox dan Modernisasi,‛ h. 24. Menurut Hamka bid’ah yang dilarang oleh agama adalah bid’ah dalam bidang akidah dan ibadah. Lafadz ‚kullu‛ dalam hadits yang berbunyi ‚Kullu bid’ah d}ala>lah,‛ itu hanya berlaku pada dua bidang itu. ‚Karena kalau segala bid’ah dimasukkan ke dalam kullu, dengan tidak menentukan di dalam ibadat dan akidah, akan sangat banyaklah yang bid’ah dalam Islam.‛ Lihat Hamka, ‚Anda Bertanja Kami Mendjawab,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 8, tahun I, 1 Oktober 1959, h. 31. 570 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 249-350 571 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 657 572 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 350-353

114

                

               ‚Tidakkah engkau lihat kepada orang-orang yang berkata bahwa mereka telah beriman dengan apa yang tlah diturunkan kepada engkau dan apa yang diturunkan sebelum engkau, padahal mereka meminta hukum kepada thagut sedang mereka sudah diperintah supaya jangan percaya kepadanya! Dan ingatlah setan hendak menyesatkan mereka, sesat yang sejauh-jauhnya.‛ (QS. al-Nisa’: 60) Tumbuhnya kepribadian seperti ini di tengah-tengah umat, tegasnya, dapat mengancam eksistensi Islam di Indonesia. Karena itu Hamka mengajak untuk kembali kepada Islam. Dengan mengutip pernyataan KH , Hamka menjelaskan, ‚Islam bisa saja hilang dari Indonesia ini, yang beliau maksud ialah bahwa Islam akan tetap hidup selama pemeluknya atau ummatnya itu masih sadar akan dirinya dan masih yakin akan pandangan hidupnya, masih belum menukari dengan kesadaran atau tidak sadar segala pelajaran pusaka Nabi Muhammad itu dengan ajaran lain atau pusaka lain.‛573 Seperti yang dipaparkan di bab sebelum ini, Islam sendiri sejak awal mula tidak memisahkan antara urusan agama dengan politik-pemerintahan. Bahkan Islam memposisikan urusan yang terakhir itu sebagai bagian tak terpisahkan dari agama (Islam). Rumusan yang digunakan Hamka yaitu ‚Islam adalah agama!‛. Agama di sini memiliki makna yang luas mencakup semua urusan manusia baik yang privat maupun yang publik. Meski tak terpisahkan, jelas Hamka, ketika menjadi pemimpin di Madinah Nabi tetap melakukan pembagian kerjanya: urusan yang murni agama dan urusan dunia. 574 Dalam tulisannya yang lain Hamka menjelaskan, urusan agama terbagi menjadi dua: ta`abbudi dan ta`aqquli. Ta`abbudi inilah yang disebutnya sebagai ‚urusan agama murni.‛ Sementara ta`aqquli adalah urusan yang bisa difikirkan dan dimusyawarahkan bersama, seperti urusan bentuk pemerintahan.575 Mana yang mengenai urusan agama, yaitu ibadah, syariat, dan hukum dasar adalah dari Allah. Muhammad memimpin dan semuanya wajib tunduk. Akan tetapi, urusan yang berkenaan dengan duniawi, misalnya perang dan damai, menjalankan ekonomi, ternak, bertani, dan hubungan-hubungan biasa antara manusia (human relation), hendaklah dimusyarawahkan. Berdasar kepada pertimbangan maslahat (apa yang lebih baik untuk umum) dan mafsadat (apa yang membahayakan).576 Urusan keagamaan semata-mata menunggu perintah dari Rasul dan Rasul menunggu perintah wahyu dari Allah. Tetapi urusan umum seumpama perang dan damai…

573 Hamka, ‚Tanggung dJawab Angkatan…,‛ h. 4 574 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 103 575 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 19 576 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 103

115

diserahkan kepada kamu sendiri. Tetapi dasar utamanya ialah shu>ra>, yaitu permusyawaratan….577 Musyawarah (shu>ra>) menjadi poin penting dari pemikiran politik Hamka. Ini merupakan salah satu kata kunci dari Demokrasi Takwa yang dikonsepkan Hamka. Pembahasan tentang Demokrasi Takwa ala Hamka telah dibahas di sub bab tersendiri di bab ini. Meski membedakan antara keduanya, di masa itu kedua urusan tersebut bersatu dipegang oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, jelas Hamka, Nabi Saw memegang dua tampuk kekuasaan: kepemimpinan agama dan kepemimpina dunia. Pasca wafatnya Nabi Saw. kedua tampuk kepemimpinan itu diteruskan oleh para sahabat sesudahnya, yaitu empat khalifah utama (al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n). Namun demikian, dalam hal kepemimpinan agama, para pengganti beliau itu hanya berperan untuk meneruskan praktik ajaran-ajaran yang ditinggalkan Nabi Muhammad, karena risalah kenabian telah berhenti seiring dengan meninggalnya Nabi Muhammad Saw.578 ‚… Sebab itu di samping urusan agama, maka urusan dunia, yaitu urusan staat mereka pegang pula….‛, tulis Hamka.579 2. Respons Terhadap Komunisme Di sub bab sebelum ini disebutkan bahwa Hamka menggolongkan kelompok Marxisme-Komunisme sebagai sekularis radikal yang begitu memusuhi agama. Persentuhan Hamka dengan kelompok ini pertama kali terjadi di tahun 1923. Ketika itu Sumatra Thawalib telah mendapat warna baru yang lebih revolusioner setelah kepulangan murid ayahnya dari tanah Jawa, yaitu Haji Dt Batuah bersama Natar Zainuddin yang kembali ke Sumatra Thawalib dengan membawa paham baru, komunisme, dan menyebarkannya ke kalangan murid-murid di sana.580 Paham ini segera disambut oleh banyak murid-murid Thawalib karena keadaan saat itu cukup kondusif bagi perkembangannya. Di mana, ungkap Hamka, murid-murid Thawalib saat itu sedang melawan gurunya, Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA).581 Sebabnya adalah ketidakpuasan mereka terhadap sikap dan beberapa kebijakan ayah Hamka itu. Setidaknya ada lima hal pemicu perlawanan tersebut: 1) Pemukulan terhadap murid-murid HAKA yang ketahuan bermain ceki (koa) padahal mereka tidak menggunakan taruhan, hanya sekedar permainan; 2) Pada tahun 1922 HAKA mengharamkan permainan sepakbola dan melarang murid- muridnya bermain olahraga itu. Padahal di saat bersamaan adik HAKA sendiri Muhammad Amin Amrullah masuk klub sepakbola. Demikian pula keponakannya, Abdul Muin. Meski HAKA tidak mengetahuinya, namun hal itu menimbulkan ketidakpuasan; 3) Sikapnya yang keras dan suka memerintah; 4). Salah satu murid kesayangan HAKA, Zainuddin Labai mulai menjauh darinya; 5). Ketidakpuasan di

577 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 341; Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 9-10 578 Hamka, ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam (I),‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 7, tahun VII, 12 Pebruari 1941, h. 126 579 Hamka, ‚Parlement dan Doenia Islam I,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 1, tahun VII, 1 Januari 1941, halaman hilang/tidak kelihatan. 580 Hamka, Sedjarah Islam di..., h. 40-41 581 Hamka, Ayahku , (Jakarta: Umminda, 1982), h. 144

116 kalangan pengurus Sumatra Thawalib pasca kekalahan di pengadilan dalam kasus buku ‚Pertimbangan Adat Minangkabau‛. Denda yang besar membuat kas lembaga terkuras. Akumulasi dari ketidakpuasan tersebut akhirnya melahirkan krisis di Thawalib. Banyak murid-murid HAKA yang melawan. Sementara murid-murid terdekatnya sedang berada jauh atau menjauh darinya. HAKA pun menarik diri dari Thawalib dan hanya bersedia mengajar di rumahnya sendiri. Dalam kondisi krisis itulah Dt Batuah datang dengan membawa ajaran-ajaran komunisme. Meski demikian, Hamka melihat sebab lain yang lebih penting bagi perkembangan paham ini di Sumatra, yaitu secara psikologis masyarakat Minang kental dengan semangat keislaman dan spirit perlawanan terhadap hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan keyakinan. Dalam hal ini semangat anti terhadap pemerintah kolonial telah lama terpendam di kalangan masyarakat Minang, namun belum memiliki saluran yang tepat.582 Semangat anti kolonialisme inilah yang ditangkap oleh Dt Batuah dan dimanfaatkan untuk menyebarkan pahamnya. Untuk kepentingan ini Batuah menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, khususnya ayat-ayat perjuangan yang banyak termuat dalam Surat al-Anfal dan al-Taubah. Batuah juga memanfaatkan ayat-ayat yang berisi kebencian kepada orang kafir untuk digunakan sebagai propaganda melawan penjajahan Belanda yang dianggap kapitalis dan imperialis.583 Tentang hal ini Hamka menjelaskan: Rasa melawan dan tidak puas kepada pemerintah Belanda sajalah yang menyebabkan mereka memasuki komunis. Kursus berdalam-dalam tentang Histori Materialisme belumlah dimasukkan kepada mereka. Yang terpenting lebih dahulu ialah rasa menentang ‘Kapitalisme Imperialisme’. Di Minangkabau belum ada pergerakan rakyat yang radikal… Maka mana yang masuk lebih dahulu, itulah yang lebih dahulu pula akan dimakan mereka. Rasa benci kepada penjajahan telah tersalur dalam komunis.584 Pemanfaatan nash-nash agama untuk menyebarkan paham komunisme itu dinilai Hamka tidak beda dengan apa yang dilakukan H Misbach di Jawa. Ketika menyebarkan paham komunisme Misbach dan kawan-kawannya juga rajin mengutip ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, ujarnya, komunisme yang mereka terima adalah komunisme yang tidak terpisah dari Islam. Hanya mengisahkan: Maka berkatalah mereka itu bahwasanya komunis itu sesuai dengan Islam. Sebab Islam adalah anti penjajahan, maka komunis pun anti penjajahan. Apa ayatnya ? Kyai pun menjawan: ‘La> yattahid} al-mu’mini>n al-ka>firi>na awliya>!’ (Janganlah mengambil orang yang beriman akan orang kafir menjadi pemerintahnya)...585

582 Hamka, Ayahku, h. 141-144 583 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Gema Insani, 2018), h. 57. Lihat juga Hamka, Ayahku, h. 144 584 Hamka, Ayahku, h. 143 585 Hamka, ‚Semua ‘Sesuai’‛, dalam Pandji Masjarakat, no 22, tahun II, 1 Mei 1960, h. 3. Terhadap mereka ini Hamka bertanya, ‚Kalau dalam Islam ada ajaran anti penjajahan, yang cukup alasan dalam al-Qur’an, mengapa dia akan memakai ayat itu untuk menegakkan komunis? Bukankah itu menunjukkan tidak Islam lagi, hanya meminjam ayat al-Qur’an buat menguatkan alasan faham komunisnya?‛.

117

Menurutnya, kekomunisan Dt Batuah itu lebih disebabkan oleh kepribadiannya yang sejak semula memang sudah radikal, bukan karena pemahamannya tentang pokok-pokok ajaran Karl Marx. Hamka menyebut Dt Batuah hanya ‚menumpang kapal Karl Marx tentang teori ekonominya, tetapi tidak sampai hati meninggalkan kepercayaan kepada Tuhan.‛ Komunis seperti ini disebut Hamka sebagai ‚Komunis Islam‛ atau ‚Islam revolusioner/Islam Repolisi (Revolusi) yang diberi nama komunis‛.586 Komunis yang seperti ini dianggap Hamka sebagai bukan komunis yang sejati: Kencang sekali propaganda partij kominis itu di dalam kalangan penuntut-penuntut agama Islam yang datang sendiri dari seluruh Sumatera itu. Tetapi jika sekiranya Lenin menyaksikan gerakan itu, tentu dia tidak akan mengakuinya komunis sejati, sebab didasarkan kepada agama, padahal komunis anti agama.587 Meski dikemas dalam simbol-simbol keislaman, Hamka tetap bersikap anti terhadap komunisme. Sikap ini diwarisi dari ayahnya yang gigih menolak dan menyerang Dt Batuah dengan komunismenya. Hamka menceritakan, setelah membaca buku karya Jamaluddin al-Afghani, al-Radd `ala> al-Dahriyyi>n, ayahnya jadi mengetahui bahwa hakikat dari paham yang dikembangkan Batuah itu adalah menentang semua agama. Dari sinilah ayah Hamka tersebut mulai gencar menolak komunisme.588 Sang ayah pun mewanti-wanti Hamka untuk tidak mengikuti paham anti agama itu: Pernah ayahnya berkata, ‘Malik, apakah engkau masuk komunis pula?’ ‘Tidak, Abuya,’ jawab pemuda kita ‘Hati-hati! Pengalamanmu belum ada. Lahirnya komunis di sini membawa-bawa agama; pada batinnya hendak menghapus agama’.589 Persentuhan Hamka dengan paham komunisme semakin intensif tatkala dia merantau pertama kali ke Jawa pada 1924. Ketika itu di Jawa sedang terjadi konflik panas antara Sarekat Islam Putih dengan Sarekat Islam Merah hingga menimbulkan perpecahan di tubuh Sarekat Islam (SI). SI Merah yang basis utamanya di pun di kemudian hari menjadi Partai Komunis Indonesia

586 Hamka, ‚Semua ‘Sesuai’‛, h. 144; Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 57-58; Hamka, Sedjarah Islam di..., h. 40. Selain H Dt Batuah, terdapat tokoh agama dengan gelar ‚Haji‛ lainnya yang bergabung dengan komunis. Mereka adalah H Misbach, H Moh Siradj, dan H Muchlas. H Misbach berasal dari Surakarta. Ia semula merupaan aktivis SI sekaligus menjadi wakil presiden ISDV (Indische Social Democratische Vereeniging). Untuk menyebarkan paham komunisme, H Misbach membentuk organisasi persatuan buruh dan tani, dan menerbitkan ‚Islam Bergerak‛. H Moh Siradj berasal dari Tegal. Sementara H Muchlas pernah dibuang ke Boven Digul. Anaknya yang bernama Mohamad Hatta Lukman menjadi anggota CC PKI dengan sebutan MH Lukman. Pasca kemerdekaan Muchlas sempat pulang ke Jawa, namun kemudian tewas dibunuh tentara Darul Islam. Lihat Imam Achmad & Dirgantara Wicaksono, Marxisme dan Kehancuran PKI, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), h. 68-69 587 Hamka, Sedjarah Islam di..., h. 41 588 Hamka, Ayahku, h.144-145 589 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 58

118

(PKI).590 Semangat permusuhan terhadap kaum komunis itu diwarisi Hamka secara lebih mendalam saat dia mengikuti kursus-kursus pengaderan dan kegiatan- kegiatan SI. Hamka belajar tentang Islam dan sosialisme langsung kepada HOS Tjokroaminoto dan tentang sosiologi pada RM Suryopranoto. Materi sosialisme yang disampaikan Tjokroaminoto dalam kursus-kursus itu kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Islam dan Sosialisme.591 Sosialisasi Hamka dalam dunia pergerakan juga terjadi melalui organisasi pelajar Muslim saat itu, Jong Islamieten Bond (JIB). Di sini dia bisa mengenal tokoh-tokoh muda seperti Samsuridjal, Kadhool, Osman Pujotomo, Muhammad Roem, dan Iskandar Idris.592 JIB merupakan organisasi pemuda pelajar Muslim yang berdirinya didasari oleh kekecewaan terhadap Jong Java karena tidak mengajarkan pelajaran agama Islam kepada anggota-anggotanya. Mentor utama JIB adalah ideolog SI Haji Agus Salim. 593 JIB dan juga SIS (Studenten Islam Studieclub), menjadi wadah kaderisasi tokoh-tokoh inteligensia Muslim pasca Tjokroaminoto dan H Agus Salim, seperti Samsuridjal, , Kasman Singodimedjo, Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Daliono, Yusuf Wibisono, dan AliError! Reference source not found. Akbar.594 Mereka itu merupakan tokoh-tokoh muda ‚kernligaam (kader inti)‛ JIB yang kemudian menjadi tokoh-tokoh utama Partai Masyumi.595 Masyumi sebagai partai yang dikelola kader-kader didikan tokoh-tokoh SI, tulis Kuntowijoyo, merupakan pewaris ideologi Tjokroaminoto dan sekaligus mewarisi musuh utama SI, yaitu PKI.596 Bekal sikap anti komunis yang diterima dari sang ayah, kemudian diperkuat dan diperkaya oleh ajaran-ajaran tokoh SI, membuat Hamka bersemangat membantu ayahnya melawan ideologi anti Tuhan itu. Sekembali dari Jawa pada Juni 1925, Hamka pun berkeliling ke daerah-daerah. Dia berpidato dan memberikan kursus-kursus melawan ajaran Dt Batuah yang sedang berkembang itu. Buku yang menjadi pegangan utamanya adalah Islam dan Sosialisme-nya Tjokroaminoto dan Islam dan Materialisme yang disalin AD Hani dari karya Jamaluddin al-Afghani. Selain itu Hamka juga berlangganan surat kabar Hindia Baru yang dipimpin H Agus Salim, serta Seruan Azhar yang dipimpin Mokhtar Luthfi dan Ilyas Ya’qub di Mesir, serta Bendera Islam.597

590 Hamka, ‚HOS Tjokroaminoto,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 14, tahun VII, 2 April 1941, h. 266 591 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 61-65 592 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 61-65 593 Kajian lengkap tentang JIB lihat Dardiri Husni, ‚Jong Islamieten Bond: A Study of a Muslim Youth Movement in Indonesia During the Dutch Colonial Era, 1924-1942,‛ MA Thesis, Institute of Islamic Studies McGill University , 1998. 594 Yudi Latief, Inteligensia Muslim dan Kuasa, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2012), h. 733-734 595 Hamka, Dari Hati Ke..., h. 111 596 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), h. 78 597 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 65

119

Komunisme, ujar Hamka, berakar pada sosialisme ilmiah Karl Marx dan Frederich Engels dengan teori dialektikanya: tesis, anti-tesis, dan sintesis. Hamka menyebut ini sebagai teori perjuangan, yaitu teori tentang perubahan-perubahan masyarakat di alam ini. Hamka menjelaskan, pengikut faham Marx ini kemudian terbagi menjadi tiga golongan: sosial demokrat yang bekerjasama dengan kaum pemodal; sosialisme yang menghendaki perubahan secara berangsur-angsur dan mengakui adanya demokrasi; serta kaum komunis yang menghendaki perubahan cepat, pengambilan kekuasaan dengan kekerasan, dan terwujudnya diktator proletariat.598 Dijelaskan pula, komunisme merupakan paham yang berakar dari materialisme.599 Hamka menyebut beberapa poin penting ajaran komunisme, yaitu: pandangan hidup hanya dari segi kepentingan ekonomi, teori sejarah alam kebendaan (materialisme historis), dan pertentangan kelas. Pertentangan kelas ini akan menghasilkan kemenangan kelas proletar atas kelas borjuis, sehingga akan terwujud masyarakat ideal tanpa kelas ala komunis.600 Komunisme tidak mengakui Tuhan (ateis). Bagi mereka agama hanyalah ciptaan manusia belaka. Komunisme, ungkap Hamka, meyakini bahwa agama hanyalah lapis atas (super structure) dari kehidupan manusia yang ditentukan oleh lapisan bawah (basic structure) berupa ekonomi. ‚Tegasnya, Tuhan bagi paham komunis adalah sesuatu yang ditentukan perut semata,‛ simpul Hamka.601 Bagi mereka agama hanyalah ‘dongeng’ buatan manusia.602 Menurut Marx, ujar Hamka, ‚agama hanyalah angan-angan atau buatan-buatan manusia; hasil daripada keluhan jiwa karena tekanan ekonomi.‛603 Bukan sekedar tidak percaya Tuhan (ateis), Hamka juga memandang komunisme sebagai paham yang anti terhadap agama, karena itu tidak mungkin syiar agama dapat ditegakkan dalam negara komunis.604 Komunisme begitu memusuhi agama, maka antara keduanya tidak akan bisa disatukan. Bagi Hamka orang Islam yang menganut paham komunis adalah muslim yang belum matang. Orang seperti ini harus memilih salah satu: Islam atau komunisme.605 Hamka menulis, Mungkin sekali dia hanya Islam karena keturunan, sehingga tidak mengerti hakikat pokok ajaran Islam, yaitu percaya kepada Tuhan. Lalu lantara tidak tahu, dia pun masuk komunis. Atau dia tidak mendapat keterangan tentang hakikat komunis yang sebenarnya, sehingga dia terperosok masuk. Atau dengan mulut manis mengaku Islam, padahal dia adalah komunis. Sebab dalam ajaran komunis tidak apa berbohong untuk mencapai tujuan, yaitu kekuasaan.606

598 Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), h 24 599 Hamka, Studi Islam, h. 141 600 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 128 601 Hamka, 1001 Soal Kehidupan..., h. 86 602 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 19 603 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. xiv 604 Hamka, Studi Islam, h. 72 605 Hamka, Dari Hati Ke..., h. 86-87 606 Lihat rubrik ‚Tanja-Djawab,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 31, tahun II, 15 September 1960, h. 32

120

Meski anti agama, namun mereka sering juga memanfaatkan agama untuk kepentingannya. Bagi mereka agama hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan perjuangan, bukan sebagai keyakinan.607 Mereka sering mencari-cari ayat- ayat al-Qur’an yang dimanfaatkan untuk mendukung program dan rencana- rencananya.608 Karakter kaum komunis, jelas Hamka, ketika berkuasa mereka akan menekan dan memusuhi agama (Islam), dan ketika sedang tidak mendominasi, mereka akan menyusup ke kelompok-kelompok Islam berpura-pura menjadi orang yang taat beragama. Ketika memiliki kesempatan, mereka akan menyebarkan pengaruhnya untuk menghancurkan Islam.609 Hamka memberi contoh kasus komunisme di Uni Soviet yang secara agresif berupaya menghapuskan agama Islam di negeri itu. Bukan hanya di negara-negara Uni Soviet, mereka juga mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghapuskan Islam di negara-negara yang mereka kuasai. Salah satu cara yang mereka gunakan adalah melakukan indoktrinasi terhadap anak-anak muda Muslim dengan ajaran yang jauh dari agama dan menentang semua kepercayaan kepada yang gaib, sehingga anak-anak muda itu tidak lagi mengenal agamanya, meski mereka memiliki nama yang mencerminkan identitas keislaman.610 Tentang hal ini Hamka menyatakan, Ingatlah negeri Rusia (Soviet) yang berpenduduk 500 juta, diperintah oleh hanya 10% orang komunis, sampai sekarang tidak percaya kepada tuhan, dan ingatlah negeri Cina yang berpenduduk lebih dari 600 juta, diperintah oleh tidak lebih dari 12% orang komunis, kian lama kian hancur segala nilai keruhanian.611 Karena itulah Hamka menolak upaya Bung Karno untuk menyandingkan agama dengan komunisme dalam Nasakom (Nasionalisme, agama, dan komunisme).612 Akibat dari sikap ini pada Januari 1964 hingga Mei 1966 Hamka ditangkap dan dipenjara oleh rezim Orde Lama.613 Hamka menceritakan, dalam sebuah khutbah di Masjid Agung Al-Azhar tahun 1960 dirinya menyatakan bahwa Islam sedang dalam bahaya karena kaum komunis semakin diberi peluang oleh presiden Soekarno. Khutbah itu kemudian dijawab oleh Soekarno: ‚Islam tidak dalam bahaya, yang dalam bahaya ialah yang berkhutbah itu sendiri.‛ ‚Yang beliau katakan tersebut beberapa waktu kemudian telah terjadi. Bahaya tersebut telah dilalui oleh yang berkhutbah ‘Islam Dalam Bahaya’, ujar Hamka.‛614 Selain komunisme, Hamka juga menyebut paham-paham lain yang juga tidak bertuhan (ateis): Eksistensialisme Jean Paul Sartre, evolusi Darwin, dan

607 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 77 608 Hamka, ‚Rasa Rendah Diri,‛ h. 5 609 Hamka, Prinsip & Kebijakan Dakwah Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2018), h. 49 & 269 610 Hamka, ‚Agama Bisa Hapus Sadja‛, dalam Pandji Masjarakat, no 94, tahun VI, 1 Januari 1972, h. 5 611 Hamka, Dari Hati Ke..., h. 235. Ini merupakan isi khutbah Idul Fithri yang disampaikan Hamka di Istana Negara pada 1 Januari 1968/ 1 Syawal 1387 H. 612 Hamka, Prinsip & Kebijaksanaan..., h. 49; Hamka, Dari Hati Ke..., h. 251-252 613 Hamka, ‚Khutbah `Idul Fithri 1 Syawal 1396 H: Bersyukur Atas Kemerdekaan Jiwa,‛ dalam Panji Masyarakat, no 209, tahun XVIII, 15 Oktober 1976, h. 8 614 Hamka, Dari Hati Ke..., h. 227-228

121 psikoanalisa Sigmund Freud yang menyatakan bahwa yang menggerakkan manusia dalam hidup ialah nafsu bersetubuh (libido).615 Ideologi-ideologi inilah yang menjadi intisari dari modernisme.616 Tentang eksistensialisme Sartre itu Hamka berkomentar, Segala ajaran agama, segala nilai-nilai akhlak, moral, mental dan sebagainya itu, hanya dibuat-buat saja oleh manusia, untuk meniadakan dirinya yang ada. Jika segala nilai itu diperturutkan, kosonglah arti wujud kita di dunia. Maka bebaslah orang berkawan, dengan tidak usah menikah.617 Sebagai paham yang sekular, bahkan sekularme tingkat tinggi, kelahiran komunisme tidak lepas dari realitas sejarah Barat yang traumatik terhadap agama, di mana ketika cengkeraman kaum kapitalis begitu kuat, pihak Gereja justru mengampanyekan ‚Kerajaan Surga‛ yang akan diterima oleh umat yang mau bersabar di akhirat kelak. 618 Pun demikian, atas nama agama kaum pendeta ortodok Rusia melakukan pemerasan kepada rakyat.619 Di saat itulah Karl Marx hadir dengan kritik kerasnya, ‚Agama adalah candu rakyat!.‛ Hamka menulis, Si buruh mendapat ‘nabi baru’, ‘Yesus baru’; agama, Tuhan, salib, kerajaan syurga, semua adalah nonsens! Yang perlu sekarang adalah rotimu! Darahmu telah dihisap! Musuhmu yang sebesar-besarnya ialah borjuis, kapitalis-kapitalis. Dan kaum agama masuk ke dalam barisan mereka. Perutmu mesti makan; sekarang! Sekarang juga, bukan di syurga kelak, setelah kamu kembali jadi tanah! Kamu mesti makan. Dunia ini tidak adil. Rezeki mesti dibagi. 620 Tentu saja tuduhan ‚agama adalah candu masyarakat‛ itu ditolak keras oleh Hamka. Hamka menjelaskan, dalam konteks masyarakat Barat mungkin saja hal itu terjadi, namun tidak demikian dalam Islam dan masyarakat Muslim. Di Indonesia yang mayoritas Muslim, Islam telah menjadi kekuatan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Semangat itu kemudian diwariskan kepada tokoh- tokoh pergerakan kebangsaan modern semisal HOS Tjokroaminoto.

615 Hamka, ‚Pokok Pegangan Hidup Kita,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 107, tahun XIII, 15 Juli 1972, h. 5. Menurut Hamka sesungguhnya teori evolusi Darwin memiliki kemiripan dengan teori yang dikemukakan oleh para ilmuan Muslim di masa lalu. Namun Darwin terbentur pada missing link perubahan dari hewan (monyet) menjadi manusia. Dia tidak mempercayai adanya takdir Ilahi. Sementara ilmuan Muslim tetap percaya kepada hal itu. Lihat Hamka, 1001 Soal Kehidupan..., h. 82-86. Hamka melihat teori struggle for life dalam evolusi Darwinian telah mengubah alur filsafat transendensialisme yang menjadi pandangan hidup masyarakat Amerika ke arah pragmatisme. Tokoh aliran ini adalah William James dan John Dewey. Berbeda dengan transendensialisme yang menekankan pada makna dan hakikat segala sesuatu, pragmatisme mengukur kebenaran segala sesuatu pada kemanfaatannya. Lihat Hamka, 4 Bulan di Amerika, (Jakarta: Gema Insani, 2018), h. 219-227 616 Hamka, ‚Jiwa yang Hampa Dengan Apa Diisi?,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 113, tahun XIII, 15 Oktober 1972, h. 4-9. Lihat juga Hamka, ‚Renungan Melihat Eropa‛, h. 5-8 617 Hamka, Ghirah dan Tantangan..., h. 36 618 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 88 619 Hamka, Revolusi Agama… Menudju..., h. 19 620 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 88

122

Muso dan , Darsono, Marko, Misbach dan Fachrudin. Dan kemudiannya sekali pemuda Sukarno, dicetus belaka semangatnya dalam rumah saluran semangat Islam Tjokro! Candu apakah yang disuruhnya isap kepada mereka, sehingga mereka semuanya telah menggoncangkan kekuasaan Belanda?. Kita akui, memang kemudiannya faham telah berbeda-beda dan masing-masing telah mencari tempat tegak sendiri-sendiri, tetapi bahwa asal semuanya itu dari Tjokro, janganlah dimungkiri…621 Selain lahir sebagai reaksi terhadap kaum agamawan (Gereja), komunisme juga muncul sebagai kritik terhadap kapitalisme.622 Hamka menulis: Kehidupan modern adalah hasil pertentangan yang hebat manusia dengan dengan ‘exploitasi manusia atas manusia’ yang berlaku di zaman tengah... Tetapi yang timbul mula-mula adalah ialah kapitalisme dan kapitalisme memerlukan sangat imperialisme. Tetapi kapitalisme ditentang keras oleh klas rakyat tertindas yang diikat oleh belenggu ikatan besi – yang kaum buruh dan tani tidak dapat melepaskan diri daripadanya, maka timbullah sosialisme dan komunisme.623 Meski demikian, Hamka melihat pada hakikatnya komunisme dan kapitalisme itu satu: materialisme, yaitu ‚blok yang disesatkan oleh kebendaan,‛624 yang berakar pada filsafat Yunani.625 Pertentangan yang terjadi antara komunisme dan kapitalisme dilihat Hamka sebagai persaingan memperebutkan kedaulatan atas paham kebendaan (materialisme). Hamka menjelaskan, Keduanya adalah hasil dari individualisme yang telah timbul sejak abad kedelapan belas. Mulanya diberi kebebasan satu pribadi merebut rezeki sebanyak-banyaknya. Hasilnya ialah yang cerdik mendapat banyak, yang bodoh menjadi alat mesin bagi si cerdik. Oleh sebab itu maka mesinlah yang menimbulkan kapitalis, dan kapitalislah yang dengan sendirinya menimbulkan komunisme.626 Karena keduanya sama-sama paham kebendaan (materialisme), maka lawan yang sebenarnya bagi mereka adalah kelompok yang memiliki pandangan hidup kerohanian. Di sini Hamka memperhadapkan antara blok materialisme (kapitalis- komunis) versus blok kerohanian.627 Dalam konteks ini Hamka memposisikan Kristianitas dalam blok kerohanian karena titik tekan ajarannya pada kemurnian jiwa dan kebersihan ruh. Dengan demikian, sebenarnya Islam bukanlah lawan

621 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 75-76 622 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 87-88 623 Hamka, ‚Renungan Melihat Eropa,‛ h. 5 624 Hamka, ‚Haluan Hidup... (Peringatan Idul Fithri 1371),‛ dalam Hikmah, edisi , no 24-25, tahun V, 21 Juni 1952, h. 13 625 Hamka, ‚Orang-orang Jang Kembali,‛ h. 11 626 Hamka, Revolusi Agama…Menudju..., h. 81-83. Hamka melihat sesungguhnya kaum komunis itu juga individualis. Komunisme, jelasnya, ‚tidak bisa subur, kalau tidak didasarkan pada dengki, dendam dan benci. Dan semuanya itu adalah akibat-akibat daripada individualisme.‛ Lihat Hamka, ‚Individualisme,‛ dalam Hikmah, no 14, tahun IV, 29 Desember 1951, h. 17-18 627 Hamka, Revolusi Agama…Menudju..., h. 84. Hamka melihat, meski antara pengikut paham materialisme dengan paham kerohanian memiliki sejumlah perbedaan. Namun sebenarnya mereka memiliki kesamaan. Kesamaannya adalah keduanya sama-sama egois. Hanya berfikir tentang ‚aku‛ tanpa peduli dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Lihat Hamka, ‚Tidak Semata-mata Benda,‛ h. 4; Hamka, ‚Individualisme,‛ h. 17-18.

123 langsung dari Materialisme (Komunisme), karena Islam berdiri di tengah-tengah antara kedua blok tersebut. Islam tidak memisahkan atau mempertentangkan antara kebutuhan rohani dengan keinginan jasmani, lahir dengan batin, jiwa dengan tubuh, dan antara idealisme dengan realisme. Islam, ungkap Hamka menyimpulkan, memandang kemanusiaan dari segala seginya. 628 Lebih lanjut Hamka menjelaskan, meski Karl Marx orang Jerman, namun ajaran-ajarannya justru mendapatkan tanah subur di Rusia. Di bawah pimpinan tokoh-tokoh komunis Rusia semisal Lenin dan Stalin, pada tahun 1917 berhasil didirikan pemerintahan kaum buruh/proletar. Perjuangan mengganti diktator gereja menjadi diktator proletar itu dipenuhi dengan penumpahan darah ‚yang menganak sungai‛. 629 Di zaman kekuasaan kaum buruh inilah agama dihapuskan karena dianggap sebagai alat imperialisme.630 Setelah kaum buruh mencapai kekuasaan, sendirinya dendamnya dilepaskan dengan amat hebatnya. Tsar sendiri kepala gereja yang terbesar, dibunuh bersama seluruh keluarganya. Istana Kremlin yang indah tempat Tsar bersemayam menjadi istananya kaum buruh. Diktatuur Tsar dengan staf-stafnya, jenderal-jenderal, Graaf-graaf, bishop-bishop, bankier, dan kaum kapitalis, diganti dengan kediktaturnya kaum buruh, dikepalai oleh Lenin dan dilanjutkan oleh Stalin dan staf-stafnya pula.631 Hamka melihat tidak semua ajaran Marxisme keliru. Terdapat beberapa poin yang bersesuaian dengan ajaran agama, salah satu titik temunya adalah penolakan terhadap kapitalisme dan imperialisme yang penuh keganasan itu. Di sini Hamka mengutip pernyataan sejarawan Arnold Toynbee yang menyebut bahwa Marxisme hanya mengambil sehelai daun ajaran kitab suci Kristen, lalu menganggap itu sebagai seluruh kitab suci. Hamka juga mengutip pernyataan Syafruddin Prawiranegara, ‚Faham Marx telah mendapat separo dari kebenaran, kita akui, tetapi mereka belum mendapat kebenaran yang separo lagi.‛632 Senada dengan Toynbee, Hamka melihat perjuangan Karl Marx membebaskan kaum proletar dari penindasan kaum borjuis ‚hanyalah satu tafsir kecil dari pada kesusasteraan Muhammad,‛ sembari mengutip ayat ‚tahukah engkau orang yang mendustakan agama...‛.633 Namun demikian, tegas Hamka, bukan berarti komunisme bisa diterima, karena bagaimanapun juga komunisme itu ateis. Hamka menulis, ‚Sudah terang bahwa kaum komunis tidak menyukai agama. Tidak menyukai agama adalah dasar, adalah urat, adalah pokok dari kepercayaan komunis...‛.634 Di tempat lain ia juga menyatakan,

628 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 127-128. 629 Hamka, Revolusi Agama…Menudju..., h. 18-19 630 Hamka, Revolusi Agama…Menudju..., h. 37 631 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 18-19 632 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 55 633 Hamka, ‚Nabi Muhammad Dan Kesusasteraan,‛ dalam Hikmah, No. 11, Tahun IV (8 Desember 1951), h. 11. 634 Hamka, ‚Peladjaran Agama di Sekolah Pemerintah,‛ dalam Hikmah, no 23, tahun V, 7 Juni 1952, h. 18

124

Datang teori Karl Marx tentang ekonomi, yang didasarkannya kepada Historis Materialisme. Satu perkara, yaitu perkara pokok, jelas selisih kita dengan dia! Yaitu tidak mengakui Tuhan, dia memandang agama hanyalah sebagai akibat dari ekonomi, dan kadang-kadang agama itu sebagai musuh yang akan menghalangi tumbuhnya diktator proletar dan Revolusi Dunia!. Tentang ini bersimpang jalan kita. Dan inilah prinsip! Maka tentang ini bersedialah Umat Islam mempertahankan prinsipnya!635 Selain itu, penolakan terhadap komunisme juga disebabkan oleh penjajahan baru berupa kekuasaan yang diktator.636 Hamka menyebut, alih-alih mencapai masyarakat sosialis ideal seperti yang mereka impikan, pemerintahan kaum buruh di Rusia itu justru melahirkan diktator baru.637 Telah ternyata sekarang, bahwa memberikan nama ‘blok Sosialisme’ kepada Russia, tidak tepat lagi. Sebab nafsu penjajahan, nafsu kapitalisme, dengan sendirinya telah tumbuh di Russia. Kedaulatan Kaum Buruh dan Tani telah menjadi nama ‘semboyan’ saja, sebab kian lama kian tumbuhlah perbudakan yang diatur oleh negara, sebagai kebalikan daripada perbudakan yang tadinya diatur oleh perseorangan.638 Hamka menjelaskan, di bawah kekuasaan kapitalisme penindasan tersebar di tangan pemilik-pemilik modal, maka di bawah kekuasaan komunisme penindasan itu berkumpul di satu tangan pemerintah diktator. Pemerintahan yang memiliki kekuasaan yang sangat luas tanpa batas sehingga pribadi-pribadi tertekan tanpa kemerdekaan. Tidak ada kebebasan bersuara. Bahkan buruh pun dilarang melakukan aksi pemogokan. Padahal mereka mengklaim sebagai pemerintahan kaum buruh.639 Pada akhirnya Hamka melihat komunisme pun telah menjadi semacam agama. Das Kapital-nya Karl Marx dan Engels lebih dihormati oleh orang komunis daripada Perjanjian Baru bagi orang Kristen atau al-Qur’an oleh orang Islam. Mereka yang tidak taat dan mengikuti ajaran-ajaran Marxisme akan dimasukkan ke dalam ‘neraka’ di Siberia untuk menjalani kerja paksa. Alhasil komunisme dan paham-paham materialisme lainnya, simpul Hamka, telah membebaskan diri manusia dari kepercayaan kepada Tuhan untuk membuat suatu agama tanpa Tuhan.640 Selain faktor ateisme, komunisme – dan juga kapitalisme- dikritik Hamka karena telah salah membangun konsepsi tentang posisi manusia dalam perputaran ekonomi. Kedua ideologi itu menganggap manusia hanyalah alat ekonomi yang

635 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 21-22. Hamka melihat kapitalisme hanya bisa tegak jika diiringi dengan imperialisme. Sementara komunisme hanya bisa tegak dengan menghapuskan kepercayaan kepada Tuhan. Lihat Hamka, ‚Menegakkan Agama Dengan Harta,‛ dalam Hikmah, no 40, tahun V, 4 Oktober 1952, h. 23 636 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 75-78 637 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 38 638 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 78-82 639 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 98-99 640 Hamka, ‚Bebas Merdeka,‛ dalam Panji Masyarakat, no 208, tahun XVIII, 1 Oktober 1976, h. 5-6

125 tidak memiliki akal, budi dan jiwa. Sehingga manusia menjadi serupa dengan barang (komoditas) atau binatang yang berputar di sekitar proses ekonomi.641 Memang! Manusia menghasilkan dan manusia memakai menurut unsur ilmu ekonomi. Tetapi ingatlah bahwa di samping itu dia mempunyai pula segi lain, yaitu segi budi, segi pergaulan hidup dan segi kejiwaan. Semuanya ikut serta, di dalam membina manusia sebagai manusia, dan membina manusia sehingga mempunyai apa yang dinamai kemanusiaan.642 Komunisme dilihat Hamka sebagai paham yang tidak mengakui adanya keterkaitan antara aktivitas ekonomi dengan agama, moralitas, dan masyarakat. Hal ini tentu saja bertentangan dengan pandangan agama (Islam) yang selalu mengaitkan segala aktivitas manusia dengan agama dan moralitas. Hamka mencontohkan ajaran Islam tentang larangan riba. Jika dilihat hanya dari perspektif ekonomi yang nir-moralitas, riba tidak berbeda dengan aktivitas jual beli lainnya. Namun, jelas Hamka, hal tersebut tidak patut menurut moralitas. Sebab riba akan merusak hubungan antara pemberi utang dengan pihak yang menerima utang. 643 ‚Ajaran Marx mengajarkan pertentangan, perjuangan klas. Ajaran Islam menganjurkan perdamaian di antara yang sanggup dengan yang tidak sanggup, yang punya dengan yang tidak punya‛, tulisnya.644 Hamka menyatakan, ada banyak ajaran moral agama dalam urusan ekonomi, seperti ajaran tentang zakat, infaq dan sedekah, waris, hibah, dan tolong-menolong. Ajaran-ajaran ini juga diperkuat dengan ajaran lain berupa larangan hidup bermewah-mewahan, boros, menumpuk-numpuk harta, bakhil dan lain sebagainya. Dalam semua itu terdapat pesan moral akan pentingnya kasih sayang di antara orang kaya dengan kaum papa. Karena, tegas Hamka, dasar hubungan antar manusia adalah cinta bukan kebencian, keseimbangan bukan pertentangan. Diperintahkan yang mampu mengeluarkan bahagian hartanya untuk membantu yang miskin dan papa, yang dibantingkan oleh ombak masyarakat. Kalau ini terjadi, pastilah hilang pertentangan kelas seperti yang ada sekarang, pelepasan dendam yang tidak berkeputusan. Tidak ada lagi kaya terlalu kaya, dan miskin terlalu miskin, tetapi di antara yang kaya dan yang miskin ada tali halus yang menghubungkan, tali bakti kepada Tuhan dalam masyarakat. 645 3. ResponsTerhadap Konsep HAM Barat Hak Asasi Manusia (HAM) dianggap sebagai hak yang secara kodrati dimiliki oleh setiap manusia sejak kelahirannya. Hak-hak ini dianggap bersifat universal karena menjadi bagian dari kemanusiaan tanpa memandang ras, suku bangsa, jenis kelamin, budaya dan agama.646

641 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 98 642 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 97-98 643 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 100 644 Hamka, Tjahaja Baru, h. 65 645 Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 100-101 646 Lihat Izzuddin Washil dan Ahmad Khoirul Fata, ‚HAM Islam dan Duham PBB: Sebuah Ikhtiar Mencari Titik Temu‛, dalam Miqot, vol XLI, no 2, Juli-Desember 2017, h. 430

126

Ide tentang HAM di Barat memiliki akar pada pemikiran John Locke. Sementara catatan sejarah perjuangan HAM di Barat bermula dari Magna Charta Libertatum tahun 1215. Piagam ini ditandatangani oleh Raja John Lockland sebagai hasil dari kesepakatan dengan para bangsawan di sana. Dalam piagam ini termaktub pengaturan tentang pengakuan atas hak-hak para bangsawan dan pembatasan kekuasaan raja. Pada tahun 1689 muncul Bill of Rights (1689) yang memberi penekanan yang kuat terhadap hak warga negara dan aturan tentang pergantian raja. Kedua perjanjian ini terjadi di Inggris. Kemudian di Amerika keluar Declaration of Independence tahun 1776 sebagai proklamasi kemerdekaan mereka dari Inggris. Di Perancis juga terdapat Declaration des droits de l’ homme et du citoye (tahun 1789) yang menjadi dasar bagi Revolusi Perancis. Dalam piagam ini termuat aturan-aturan tentang pokok- pokok rule of law, pemerintahan konstitusional, dan hak-hak dasar warga negara. Puncaknya terjadi pada tahun 1948 ketika Perserikatan Bangsa-bangsa mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) yang berisi 30 pasal. 647 Menurut Hamka sejarah panjang tersebut merupakan ‚usaha masyarakat Barat membebaskan diri dari perbudakan, mencari kemerdekaan sejati, baik bagi pribadi atau bagi bangsa, dan juga karena mengelakkan bahaya perang.‛ Meski disebut universal, namun Hamka melihat dalam pelaksanaannya deklarasi tersebut ternyata juga diskriminatif, hanya berlaku untuk bangsa-bangsa Barat dan tidak untuk bangsa-bangsa lainnya. Pada poin ini Hamka memberikan contoh kasus penjajahan yang dilakukan bangsa-bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Timur, di mana hak-hak bangsa-bangsa non-Barat itu baru bisa dipenuhi jika mereka berjuang berdarah-darah merebutnya dari penjajahan Barat.648 Secara umum Hamka bisa menerima isi dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tersebut. Namun ada dua materi yang dipersoalkannya, yaitu tentang hak manusia untuk menikah tanpa melihat agamanya (Pasal 16 ayat 1) dan tentang hak berpindah agama (Pasal 18).649 Menurutnya, hak untuk menikah tanpa memandang suku dan bangsa, seperti yang tercantum dalam Pasal 16 ayat 1, sudah sesuai dengan spirit ajaran Islam. Sebab apabila orang telah sama kepercayaannya dalam Islam, tergabunglah dia menjadi satu ummat, yaitu umat Islam. Asal ada persesuaian kedua belah pihak, dan halal kawin menurut agama, karena tidak ada pelanggaran kepada ketentuan- ketentuan dalam al-Qur’an yang dinamai mahram, bolehlah berkawin mendirikan rumah tangga.650 Namun untuk pernikahan tanpa melihat agama sebagaimana lanjutan dari Pasal 16 ayat 1 tersebut Hamka tegas menolaknya, karena Islam telah memberikan batasan-batasan pernikahan, yaitu: Pertama, larangan menikahi pezina. Berdasarkan Surat al-Nur ayat 3:

647 Izzuddin Washil dan AK. Fata, ‚HAM Islam dan...‛, h. 431 648 Hamka, Studi Islam, h. 228-230 649 Hamka, Studi Islam, h. 231 650 Hamka, Studi Islam, h. 231

127

                 

  ‚Seorang laki-laki pezina tidak boleh mengawini kecuali perempuan yang pezina pula atau perempuan musyrik. Dan seorang perempuan pezina tidak boleh dinikahinya, kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik, dan haram yang demikian itu atas orang-orang yang beriman.‛651 Kedua, larangan menikah orang musyrik/kafir berdasarkan pada Surat al- Baqarah ayat 221 dan Surat Mumtahanah ayat 10:652

               

                  

             ‚Dan janganlah kamu kawinkan perempuan yang musyrik sebelum dia mengakui percaya, dan sesungguhnya hamba sahaya yang percaya lebih baik dari pada perepuan yang musyrik, meskipun dia mempesonakan kamu. Dan janganlah kamu kawinkan orang-orang laki-laki yang musyrik sampai dia beriman. Dan seorang hamba sahaya yang beriman lebih baik dari pada yang musyrik, walaupun dia mempesonakan kamu. Sebab mereka semuanya itu akan membawa kamu ke neraka, sedang Allah menyeru kamu kepada surga dan ampunan, dengan izinNya. Dan dia menyatakan perintah-perintahNya kepada manusia supaya mereka itu ingat benar-benar.‛

              

                  

               

                  ‚Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal

651 Hamka, Studi Islam, h. 232. Meski demikian Hamka memberikan kelonggaran dengan membolehkan menikahi pezina (pelacur) yang memang sudah bertaubat. Lihat Hamka, 1001 Soal Kehidupan..., h. 277-282. 652 Hamka, Studi Islam, h. 232-233; Hamka, 1001 Soal Kehidupan..., h. 256-258

128

pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.‛ Larangan menikahi orang musyrik ini dikecualikan bagi perempuan terhormat dari kalangan Ahl al-Kita>b. Hamka berpegangan pada Surat al-Maidah ayat 5:

              …

     ‚Dan makanan Ahlul Kitab halal bagi kamu dan makanan kamu halal bagi mereka, dan perempuan-perempuan yang terbenteng dari orang-orang ahlul kitab.‛ Namun Hamka menjelaskan pengecualian ini berlaku setelah masyarakat Islam menjadi kuat dan kokoh.653 Meski demikian penguasa Islam tetap berhak campur tangan jika wanita Ahl al-Kita>b itu dianggap tidak tepat. Pendapat Hamka ini didasarkan pada perintah Khalifah Umar bin Khattab kepada Huzaifah bin Yaman yang menikahi wanita Yahudi di Kufah untuk bercerai demi menghidari fitnah. Meski dibolehkan, Hamka tampaknya cenderung untuk tidak merekomendasikan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahl al-Kita>b. Dengan mengutip pernyataan Abdullah bin Umar, Hamka menulis: ‚Saya tidak tahu lagi syirik yang lebih besar dari pada kata perempuan itu, bahwa Tuhannya ialah Isa.‛654 Selain karena persoalan perbedaan teologis ini, sikap Hamka juga didasarkan pada kenyataan bahwa pernikahan seringkali menjadi alat bagi pemurtadan.655 Pernikahan beda keyakinan juga bisa menimbulkan kebingungan pada anak- anaknya. Tentang hal ini Hamka menyatakan, Perlainan agama yang dianut di antara suami istri, demi cinta, hanyalah semata memuaskan hati mereka berdua, tidak memikirkan hari depan dari anak mereka. Ada yang dengan secara mudah saja berkata; ‘Beri kebebasan anak-anak itu memilih agamanya kelak!’. Padahal agama -menurut dasar ilmu jiwa sendiri- haruslah ditanamkan di waktu kecil. Anak kecil belumlah punya kebebasan buat memilih soal yang begitu peka, yang begitu halus, mengenai akidah dan pegangan hidup yang

653 Hamka, Studi Islam, h. 232-233 654 Hamka, Studi Islam, h. 235-236 655 Kesan ini terlihat jelas dari pesan-pesan yang terkandung dalam beberapa tulisan Hamka, seperti ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama,‛ dalam Panji Masyarakat, no 197, tahun XVIII, 15 April 1976, h. 5-6; ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama II,‛ dalam Panji Masyarakat, no 198, tahun XVIII, 1 Mei 1976, h. 5-7; dan ‚Pemurtadan dan Perkawinan: Kisah Farida Perempuan Jakarta,‛ dalam Panji Masyarakat, no 206, tahun XVIII, 1 September 1976, h. 5-7.

129

akan menentukan hari depan. Maka dari manakah seorang anak akan mengambil suri teladan? Padahal seorang di antara orang tuanya ke gereja dan yang seorang lagi ke masjid?.656 Ketentuan lain dalam DUHAM PBB yang tidak diterima oleh Hamka adalah Pasal 18 tentang hak berpindah agama. Pasal ini menurut Hamka lahir dari pengalaman konflik dan peperangan antar agama, khususnya antara Katolik dengan Protestan, yang terjadi dalam sejarah Eropa. Hamka menilai pasal ini sangat bertentangan dengan pokok ajaran Islam. ‚Dalam Islam, seorang yang meninggalkan Islam, sehingga tidak beragama sama sekali, atau pindah kepada agama lain murtad namanya,‛ tegasnya. 657 Terhadap orang Islam yang menerima hak berpindah agama versi DUHAM PBB ini Hamka menyatakan, ‚Kalau ada orang-orang yang mengaku Islam menerima hak pindah agama ini buat diterapkan di Indonesia, peringatkanlah kepadanya bahwa ia telah turut dengan sengaja menghancurkan ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an. Dengan demikian Islamnya sudah diragukan.‛658 Sikap Hamka ini berpijak pada Surat al-Baqarah ayat 217:

وال             

              

   ‚Dan mereka akan selalu memerangimu, sampai mereka dapat memalingkan kamu dari agama kamu; jika mereka bisa. Dan barangsiapa yang berpaling (murtad) di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati, padahal dia tetap kafir, maka gugurlah amalan mereka di dunia dan akhirat, dan mereka itu ialah ahli neraka, yang kekal di dalamnya.‛ Hamka menjelaskan, ayat ini memberi dua peringatan: Pertama, bahwa selalu ada orang yang berusaha agar kaum Muslimin murtad. Mulai dengan jalan kekerasan, penjajahan, tipu daya, hingga pendidikan.659 Dalam beberapa tulisannya yang lain Hamka menceritakan berbagai cara pemurtadan, seperti melalui pernikahan, pemberian bantuan sosial, penguasaan tanah-tanah daerah milik umat Islam hingga mengadopsi anak-anak terlantar.660 Kedua, penegasan bahwa orang

656 Hamka, ‚Untuk Kita Fikirkan…‛, h. 6. Lihat juga Hamka, Ghirah Dan Tantangan..., h. 47 657 Hamka, Studi Islam, h. 239. Peperangan antara Kaum Katolik yang menyukai Paus dengan kaum Protestan terjadi selama 80 tahun. Dengan korban yang sangat banyak. Negeri-negeri Eropa yang berdarah Jerman banyak yang memilih ajaran Luther. Sementara yang latin tetap berpegang pada Paus. Lihat Hamka, Revolusi Agama… Menudju..., h. 32 658 Hamka, Studi Islam, h. 241 659 Hamka, Studi Islam, h. 239-240 660 Seperti tulisan-tulisan Hamka berikut ini, ‚Kewaspadaan Kita,‛ dalam Panji Masyarakat, no 111, tahun XIII, 15 September 1972, h. 4-5; ‚Adopsi Memungut Anak,‛ dalam Panji Masyarakat, no 196, tahun XVII, 1 April 1976, h. 5-7; ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama I,‛ dalam Panji Masyarakat, no 197, tahun XVIII, 15 April 1976, h. 5-6; ‚Untuk

130 yang murtad dan mati dalam kekafiran, maka semua amal perbuatannya tidak diterima oleh Allah dan akan menjadi penghuni neraka. Bahkan dalam sebuah hadits Hamka menyebutkan bahwa Nabi Muhammad memerintahkan untuk membunuh orang yang menukar agamanya.661 Sikap tegas Hamka terhadap hak berpindah agama dan keyakinan dalam DUHAM PBB ini didasari oleh keyakinannya bahwa Islam merupakan sebuah sistem kehidupan. Bukan sekedar ajaran peribadatan belaka. Islam tidak pernah memaksa seseorang untuk masuk ke dalam sistem ini. Namun setiap orang yang sudah menyatakan dirinya sebagai bagian dari Islam, maka mereka dengan penuh kedisiplinan harus terikat pada sistem hidup yang ada. Hamka menilai orang yang berpindah agama sebagai pembangkang dan pengacau dari tatanan yang ada. Hamka memberi ibarat sebuah negara dengan struktur dan segala aturan-aturannya. Warga negara boleh melakukan apapun, bahkan beroposisi terhadap pemerintah, selama tidak menentang dasar dan susunan negara. Namun ketika mereka melakukan hal-hal yang mengancam sistem yang ada, maka dia sudah dianggap sebagai ‘murtad’ dan layak diperangi. ‚Seketika seorang dukun jahat bernama Mbah Suro di Jawa Tengah ternyata ‘murtad’ dari Pancasila, lalu membuat negara sendiri yang ternyata di belakangnya berdiri kaum Komunis, bukankah Mbah Suro diperangi dan setelah dapat lalu dibunuh?‛, tegasnya.662 Selain menerima hak-hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam DUHAM PBB tersebut, dengan pengecualian dua hal di atas, Hamka juga memberi tambahan hak-hak asasi manusia yang disarikannya dari ajaran Islam, yaitu: a) Hak beramar ma’ruf (menyatakan apa yang baik bagi masyarakat menurut keyakinan kita). b) Hak nahi munkar (menyatakan sanggahan terhadap hal yang kita yakin bahwa itu salah). c) Beriman kepada Allah.663 Hamka memaknai hak beramar ma’ruf sebagai kemerdekaan jiwa, nahi munkar adalah kemerdekaan menyatakan pendirian, dan beriman kepada Allah sebagai pondasi bagi tempat tegak berdirinya kedua hal itu.664 Kemerdekaan jiwa akan membawa kebebasan kemauan (Hamka menyebutnya sebagai ‚iradat‛ atau ‚karsa‛), kemerdekaan menyatakan pendirian melahirkan kebebasan menyatakan

Kita Fikirkan Bersama II,‛ dalam Panji Masyarakat, no 198, tahun XVIII, 1 Mei 1976, h. 5- 7; ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama III,‛ dalam Panji Masyarakat, no 199, tahun XVIII, 15 Mei 1976, h. 5-7; ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama IV,‛ dalam Panji Masyarakat, no 200, tahun XVIII, 1 Juni 1976, h. 5-7; dan ‚Pemurtadan dan Perkawinan: Kisah Farida Perempuan Jakarta,‛ dalam Panji Masyarakat, no 206, tahun XVIII, 1 September 1976, h. 5-7; ‚Dialog,‛ dalam Panji Masyarakat, no 203, tahun XVIII, 15 Juli 1976, h. 5-7; ‚Mengagamakan Orang Yang Belum Beragama, Munafiq?,‛ dalam Panji Masyarakat, No 204, tahun XVIII, 1 Agustus 1976, h. 5-8. Lihat juga Hamka, Umat Islam Menghadapi..., h. 1-58. 661 Hamka, Studi Islam, h. 240-241 662 Hamka, Studi Islam, h. 243-244 663 Hamka, Prinsip & Kebijaksanaan..., h. 99 664 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 111

131 pikiran (Hamka menyebutnya sebagai ‚periksa‛), dan iman kepada Allah merupakan kebebasan jiwa dari keraguan (disebutnya sebagai ‚rasa‛).665 Apabila seseorang mempunyai kebebasan iradat, kemauan atau karsa, ungkap Hamka, niscaya dia berani menjadi penyuruh dan pelaksana dari yang ma’ruf. Hamka menyebut itu semua merupakan modal bagi para pemimpin untuk membawa umatnya ke arah kemajuan yang dicitakan.666 Kebebasan berfikir dan kebebasan menyatakan fikiran akan melahirkan keberanian menentang kemunkaran. Kedua hal ini merupakan dari kemerdekaan jiwa dari belenggu-belenggu kebendaan. Karena itu jiwa harus dibebaskan dari belenggu kebendaan dan dibawa kepada pembuat benda itu, yaitu Tuhan. Dalam hal ini Hamka menulis, Percaya kepada Tuhan Yang Satu adalah dinamo yang menghidupkan auto-activitiet dalam diri. Sehingga hidup itu datang dari dalam, bukan dipompakan dari luar. Itulah yang memberikan petunjuk mana yang salah, mana yang benar. Mana yang ma’ruf, mana yang munkar. Mana yang haq, mana yang batil!.667

Gagasan politik Hamka merupakan respons atas kondisi yang terjadi saat itu, juga cerminan atas realitas sosial-politik yang ada. Sebagai pemikir yang senantiasa mendialogkan keyakinannya dengan kondisi yang zaman yang terus berubah, tampak ada hal-hal yang berubah pada pemikiran dan respons Hamka. Terdapat pula konsistensi pada pemikirannya. Perubahan dan konsistensi itu menjadi gambaran betapa intens keterlibatan Hamka dalam proses perubahan bangsanya. Namun sayang, intensitas keterlibatan itu tidak mendorongnya untuk memberikan penjelasan detail terhadap gagasan-gagasannya itu. Ini membuat ide- ide Hamka hanya bersifat filosofis dan tidak melahirkan teori politik yang khas.

665 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 64 666 Hamka, ‚Jang Sebaik-baik Ummat,‛ h. 3 667 Hamka, ‚Jang Sebaik-baik Ummat,‛ h. 4

132

BAB V PERAN HAMKA DI PENTAS POLITIK NASIONAL

Selain banyak menulis tentang politik dan kebangsaan, Hamka juga seorang aktor politik. Tidak hanya di ranah politik moral (high politics), aksi politiknya juga bergerak di ranah praktis. Bab ini akan mengulas peran Hamka di ranah politik dengan penekanan pada peranannya di tingkat nasional, yaitu ketika Hamka berada di era demokrasi perlementer/liberal, demokrasi terpimpin, dan Orde Baru. Bahasan tentang peran politiknya di era Orde Baru akan difokuskan pada posisinya sebagai Ketua Umum MUI. A. Hamka Dalam Dinamika Politik Masyumi Karir politik Hamka telah dirintis tatkala dia pergi ke Jawa untuk pertama kalinya pada tahun 1924, dan belajar tentang Islam dan pergerakan pada tokoh- tokoh Islam terkemuka saat itu. Setelah belajar pada Ki Bagus Hadikusumo, HOS Tjokroaminoto, H Fakhrudin, RM Suryopranoto, AR Sutan Mansur, serta beberapa kali mengikuti kegiatan Jong Islamieten Bond (JIB), Hamka mengaku mendapatkan perspektif baru tentang Islam yang dinamis.668 Sekembalinya ke Sumatera Hamka bergerak membantu ayahnya melawan pengaruh komunis yang mulai menyebar di sana, khususnya di kalangan Thawalib. Dia juga memdampingi kakak iparnya AR Sutan Mansur mengembangkan Muhammadiyah di Sumatera.669 Keterlibatan Hamka dalam dinamika politik menjadi semakin intens ketika dia tinggal di Medan menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masjarakat dan pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur. Peran ini membawa Hamka ke popularitasnya sebagai penulis dan tokoh Muhammadiyah yang cukup disegani. Mau tidak mau Hamka pun sering bersentuhan dengan dinamika politik saat itu. 670 Peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang membuatnya semakin jauh terlibat dalam politik. Apalagi penguasa Jepang di Sumatera Timur mengangkat dirinya sebagai anggota Dewan Penasehat Sumatera Timur (Shu Sangi Kai) bagi Chokan (Gubernur) Jend Tetsuzo Nakashima.671 Di era Revolusi Fisik Hamka terpilih menjadi Ketua Front Pertahanan Nasional (FPN) dan pimpinan Sekretariat Badan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK) di Sumatera Barat pada 1947. FPN merupakan aliansi seluruh kekuatan pergerakan nasional di Sumatera Barat untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari agresi Belanda. Selain di FPN Hamka juga terlibat dalam Muhammadiyah dan Masyumi Sumatera Barat. Di Masyumi ia sempat menjadi anggota formatur untuk menyusun pimpinan Masyumi pada Juli 1947, Ketua Dewan Pembelaan yang bertugas menyusun Hizbullah dan Sabilillah dalam satu

668 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Gema Insani: 2018), h. 60-63 669 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 65-66, 112 670 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, (Jakarta: Noura, 2016), h. 5- 6. Lihat juga Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 250-257 671 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, terutama bagian ketiga

133 pimpinan, dan menjadi pembela (advokat) bagi beberapa anggota Hizbullah dan Masyumi yang dituduh terlibat dalam beberapa aksi kerusuhan.672 Kepindahan Hamka ke Jakarta pada Januari 1950 membuat langkah politiknya semakin luas. Karir politik yang telah dilakoninya selama di Sumatera membuat Hamka tidak terlalu sulit terlibat dalam dinamika politik nasional. Di ibu kota Hamka pun mengembangkan karir politiknya di tingkat nasional. Meski secara formal tidak masuk dalam struktur kepengurusan inti Dewan Pimpinan Pusat Masyumi,673 namun itu bukan berarti Hamka tidak memiliki posisi dan peran penting dalam partai itu. Emzita mencatat, di tahun 1950-an Hamka sudah sering berkunjung ke kantor Masyumi.674 Dia juga terlibat dalam ‚klub makan siang‛ di mana tokoh-tokoh penting Masyumi mendiskusikan berbagai berita dan berbagi informasi rahasia. Selain itu Hamka juga aktif mengikuti kongres, rapat, perdebatan publik, perundingan dan strategi politik di belakang layar. Emzita menceritakan, jika memiliki masalah berat Natsir sering datang malam-malam ke rumah Hamka dan berdiskusi dengannya.675 Secara formal posisi Hamka di Masyumi adalah anggota Fraksi Masyumi di Konstituante. Yusril Ihza Mahendra juga menyebut posisi Hamka lainnya di Masyumi: anggota Dewan Partai.676 Dewan Partai masuk dalam struktur Masyumi pada tahun 1950. Pada kepengurusan Masyumi yang pertama tidak terdapat struktur ini.677 Dalam Anggaran Dasar (AD) Masyumi disebutkan bahwa anggota Dewan Partai terdiri dari: Anggota-anggota Pimpinan Partai; Tiga orang utusan Wilayah, seorang di antaranya Muslimat, yang dipilih oleh Konferensi Wilayah; Dua orang dari setiap anggota istimewa; Tiga orang dari Fraksi Masyumi di Dewan Perwakilan Rakyat; Dua orang dari setiap Badan Khusus.678

672 Lihat Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 505-559 673 Dari enam kali pergantian kepengurusan (tahun 1949, 1951, 1952, 1954, 1956, dan 1959) tidak ditemukan nama Hamka di dalamnya. Lihat Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi, (Jakarta: Grafiti, 1997), h. 147-157; SU Bajasut dan Lukman Hakiem, Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito, (Jakarta: Kompas, 2014), h. 479. Syaifullah mencatat pergantian kepengurusan Masyumi kedua terjadi tahun 1951, namun Deliar Noer mencatatnya tahun 1950. Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Bandung: Mizan, 2000), h. 74-76 674 Emzita, ‚Seorang Ulama dan Pujangga Islam Indonesia‛, dalam Solichin Salam dkk (ed), Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1979), h. 98-99 675 Emzita, ‚Seorang Ulama dan...‛, h. 99 dan 103; James R Rush, Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, penerjemah Zia Anshor, (Jakarta: Gramedia, 2017), h. 146 676 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 136. 677 Lihat Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 74-76 678 Lihat SU Bajasut dan Lukman Hakiem, Alam Pikiran dan..., h. 430. Kemungkinan besar Hamka masuk ke dalam Dewan Partai sebagai wakil dari Muhammadiyah karena dia bukan anggota DPR dari Fraksi Masyumi. Hamka baru masuk ke Konstituante setelah Pemilu 1955. Sementara dia telah menjabat anggota Dewan Partai sebelum itu. Kemungkinan ini diperkuat pernyataan Hamka bahwa dia bersama Fakih

134

Di awal mula pembentukan Masyumi diniatkan untuk menjadi wadah tunggal bagi perjuangan umat Islam Indonesia melalui jalur politik. Niat itu diwujudkan melalui Kongres Umat Islam I di Yogyakarta, 7-8 November 1945.679 Meski memiliki nama yang sama dengan Masyumi yang dibentuk oleh pemerintah Jepang, namun Masyumi hasil Kongres ini bukan merupakan singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia. Secara lengkap nama partai ini adalah Partai Politik Islam Indonesia Masyumi.680 Remy Madinier menduga pemilihan nama Masyumi itu juga bertujuan memanfaatkan jaringan Masyumi buatan Jepang yang masih aktif di berbagai daerah.681 Sebagai partai yang sejak awal mula dimaksudkan untuk menjadi satu- satunya saluran politik Islam di Indonesia, Masyumi pun mencoba merangkul semua kalangan umat Islam.682 Selain menerima anggota dari perorangan yang berusia 18 tahun ke atas, Masyumi juga memiliki anggota istimewa berupa organisasi Islam. Beberapa anggota istimewa Masyumi di antaranya: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Perikatan Ummat Islam, Persatuan Ummat Islam Indonesia, Persatuan Islam (Persis), al-Irsyad, al-Jam’iyatul Washliyah, al-Ittihadiyah, dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Pasca

Usman dan Kasman Singodimedjo adalah perwakilan Muhammadiyah. Lihat Hamka, Muhammadijah-Masjumi, (Jakarta: Masjarakat Islam, tt), h. 3 679 Samsuri, ‚Komunisme Dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi,‛ dalam Millah, vol 1, no 1, Agustus 2001, h. 101 680 Deliar Noer mencatat, sebagian peserta kongres mengusulkan nama Partai Rakyat Islam. Mereka menolak nama Masyumi karena dinilai identik dan mengingatkan pada Masyumi bentukan Jepang. Namun hasil voting memenangkan nama Masyumi dengan perolehan 52:50 suara. Lihat Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 51; Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 62-64. Meski bukan merupakan singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia, namun Partai Masyumi sering disebut dengan nama panjang itu. Dalam persidangan-persidangan di Konstituante, seringkali pimpinan dan anggota-anggotanya menyebut Masyumi sebagai Majelis Syura Muslimin Indonesia. Bahkan Hamka sendiri juga menyebut demikian. Seperti dalam Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid VII, h 107. 681 Remy Madinier, Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral, penerjemah Tonny Pasuhuk, (Bandung: Mizan, 2013), h. 67; Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi, (Jakarta: Prenadamedia, 2015), h. 33 682 Keinginan itu tercermin dalam struktur kepemimpinan Masyumi hasil Kongres Umat Islam 7-8 November 1945 di Yogyakarta tersebut. Pada level Majelis Syura terdapat: KH Hasyim Asy’ari (Ketua/NU), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muda I/Muhammadiyah), KH Abdul Wahid Hasyim (Ketua Muda II/NU), Kasman Singodimedjo (Ketua Muda III), dan beberapa anggotanya: Syaikh Djamil Jambek (ulama Sumatera Barat), KH Abd Wahab (NU), H Agus Salim (Gerakan Penyadar), RHM Adnan (Persatuan Penghulu dan Pegawai), dan KH Sanusi (Persatuan Umat Islam). Di level Pengurus Besar terdiri atas: Dr Soekiman (Ketua/PSII), Abikoesno Tjokrosoejoso (Ketua Muda I/PSII), Wali Al-Fatah (Ketua Muda II/Partai Islam Indonesia-PII), Harsono Tjokroaminoto (Sekretaris I/PSII), Prawoto Mangkusasmito (Sekretaris II/Muhammadiyah). Pada Bagian Pemuda terdapat: Mohammad Natsir (Persis), SM Kartosoewirjo (PSII), Mohammad Roem (Penyadar), KH Faqih Utsman (Muhammadiyah), dan (PSII). Lihat Artawijaya, Belajar Dari Partai Masjumi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), 58-59.

135

Perjanjian Meja Bundar semakin banyak organisasi Islam di daerah-daerah yang bergabung dengan Masyumi, seperti Mathlaul Anwar di Banten dan di Lombok. Meski demikian ada pula pergerakan Islam yang ditolak masuk, yaitu Ahmadiyah Qadian dan Lahore karena dianggap bukan bagian dari Ahlus Sunnah wal Jamaah.683 Syafii Maarif melihat, kelahiran Masyumi bukanlah sebuah kebetulan dalam sejarah (an historical accident), namun sebuah kemestian sejarah (an historical necessity) perjalanan politik umat Islam Indonesia. Menurutnya, Masyumi merupakan kelanjutan dari kesadaran politik umat Islam di zaman modern yang berakar pada Sarekat Islam (SI), kemudian berkembang pada MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah organisasi federatif yang didirikan di Surabaya pada 21 September 1937 untuk menyatukan pergerakan-pergerakan Islam saat itu. 684 Maarif kemudian menyimpulkan, secara ideologis ‚Masyumi adalah kelanjutan dari MIAI, tapi kali ini mengkhususkan perjuangannya di bidang politik dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia merdeka.‛685 Selain mewarisi ideologi SI, Masyumi juga mewarisi musuh SI, yaitu kaum komunis. Karena itu buku Islam dan Sosialisme karya Tjokroaminoto menjadi salah satu pegangan penting bagi kalangan Masyumi.686 Permusuhan dengan komunis ini kemudian akan menjadi salah satu warna dominan dalam perjalanan politik Masyumi. Masyumi didirikan dalam suasana revolusi yang serba cepat dan mendadak. Kekalahan Jepang melawan Sekutu, diikuti gerak cepat proklamasi kemerdekaan Indonesia, serta kedatangan pasukan Sekutu yang diboncengi tentara Belanda untuk melucuti senjata tentara Jepang dan mengembalikan kekuasaan Belanda atas Indonesia. Dalam suasana yang serba cepat itulah terjadi persaingan pengaruh di

683 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 52-54, dan 59. Tentang gabungnya PUI dan PUII ke dalam Masyumi lihat ‚Berfusi untuk Keselamatan Umat,‛ Hikmah, no 11, tahun V, 15 Maret 1952, h. 7-8. Sementara tentang keanggotaan Masyumi lihat Sekretariat Umum Masyumi, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Masjumi Ditambah Anggaran Dasar STII, SDII, SBII, (T.Temp: T Penerbit, Tt). Lihat juga Bajasut dan Hakiem, Alam Pikiran, h. 427-447. Semula Masyumi didirikan oleh ormas-ormas dan pergerakan Islam di Indonesia sehingga bersifat federatif. Namun sejak PSII dan NU keluar, Masyumi menjadi partai politik tersendiri. Karena bukan merupakan fusi dan federasi, maka bentuk baru hubungan Masyumi dengan ormas-ormas itu berupa ‚anggota istimewa.‛ Namun karena sering terjadinya tumpang tindih peran antara anggota istimewa dengan gerak Masyumi, serta banyaknya anggota ormas-ormas itu yang menjadi anggota Masyumi secara pribadi, dicarilah bentuk baru hubungan antara Masyumi dengan para anggota istimewanya. Ketika tekanan politik terhadap Masyumi semakin kuat di era Demokrasi Terpimpin, antara Masyumi dan para anggota istimewa tersebut bersepakat untuk membagi tugasnya dengan melepas posisi anggota istimewa, sehingga anggota Masyumi hanya terdiri dari perseorangan. Lihat ‚Pembagian Tugas,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 8, tahun I, 1 Oktober 1959, h. 3 684 A Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin, (Yogyakarta: IAIN Press, 1988), h. 17 685 A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 30 686 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), h. 78

136 antara pergerakan-pergerakan kebangsaan dengan berbagai ideologinya. Beberapa ideologi utama yang bertarung ketika itu adalah: Islam, nasionalisme sekular, dan komunisme. Ada juga kelompok sosialis. Namun pertarungan sengit terjadi antara ketiga aliran pertama tersebut.687 Kondisi pertarungan ideologi pada dekade 1950- an ini disebut Taufik Abdullah sebagai ‚seakan-akan menghidupkan kembali suasana pertengahan 1920-an dan 1930-an (a ‘decade of ideologies’ dalam sejarah modern Indonesia), ketika berbagai corak ideologi diperkenalkan kepada masyarakat kota yang mulai menyadari makna kolonialisme.‛688 Dalam persaingan tersebut, kelompok Islam tampak mengalami kekalahan. Kekalahan utama terjadi pada penghapusan Piagam Jakarta di sidang PPKI 18 Agustus 1945, beberapa bulan sebelum pendirian Partai Masyumi. Dengan demikian, salah satu alasan utama pendirian Masyumi adalah melanjutkan perjuangan Islam di bidang politik pasca penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta sehari setelah proklamasi.689 Kekalahan kelompok Islam berlanjut dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebuah badan sementara yang dipilih oleh presiden dengan fungsi legislasi. Dari 136 anggota KNIP, hanya 15 orang yang dianggap sebagai mewakili kelompok Islam, dan dari 15 anggota Badan Pekerja (BP) KNIP hanya 2 orang (A Wahid Hasyim dan Syafruddin Prawiranegara) yang dianggap wakil Islam. Wakil Islam kemudian bertambah satu orang lagi (M Natsir) ketika BP KNIP ditambah menjadi 17 orang, kemudian menjadi 4 orang saat M Zein Djambek masuk menjadi anggotanya. Di pemerintahan juga hanya Abikusno Tjokrosujoso dan A Wahid Hasyim yang masuk kabinet. Abikusno menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum, dan Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama.690 Persaingan antar kelompok ideologi itu sesungguhnya sudah terjadi jauh sebelum kemerdekaan. Rapat-rapat BPUPK menjelang kemerdekaan dan PPKI di saat kemerdekaan menjadi pertarungan itu. Pertarungan itu kemudian terjadi lagi dalam sebuah majelis yang bertugas membentuk undang-undang dasar permanen bagi Negara Republik Indonesia, Konstituante. Salah satu sebab ketegangan antar kelompok-kelompok ideologis tersebut di awal kemerdekaan adalah keputusan

687 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 66-67. Lihat juga A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 30; Artawijaya, Belajar Dari Partai..., h. 48-51; Rizki Lesus, Perjuangan Yang Dilupakan: Mengulas Perjuangan Umat Islam yang Ter(di)lupakan dalam Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2017), Khususnya Bagian Kedua. 688 Taufik Abdullah, ‚Demokrasi Parlementer, Optimisme Yang Terabaikan‛, dalam Tempo, Edisi khusus kemerdekaan, 13-19 Agustus 2007, h. 36-37 689 Artawijaya, Belajar Dari Partai..., h. 54; Rizki Lesus, Perjuangan Yang Dilupakan...,, h. 100. 690 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 49-50; Remy Madinier, Partai Masjumi..., h. 64-66. KNIP semula dibentuk hanya sebagai lembaga penasehat presiden, namun kemudian ‚kaum demokrat‛ dari anggota KNIP mengajukan petisi kepada presiden untuk mengubah KNIP menjadi lembaga dengan kekuasaan legislatif. Petisi ini disetujui Soekarno-Hatta dan pada 16 Oktober 1945 Soekarno secara resmi mengumumkan perubahan itu. Lihat Fachry Ali, ‚Pengantar: Dinamika Sosial-Politik Indonesia Tahun Lima Puluhan,‛ kata pengantar untuk buku Boyd R Compton, Kemelut Demokrasi Liberal, penerjemah Hamid Basyaib, (Jakarta: LP3ES, 1992), h. xviii

137

PPKI untuk menetapkan PNI (Partai Nasional Indonesia) sebagai satu-satunya partai politik di Indonesia merdeka. Partai ini biasa disebut dengan PNI Staatpartij (partai negara). Keputusan ini ditolak oleh berbagai kelompok karena dianggap sebagai cerminan sistem negara fasis, bukan negara demokrasi. Mereka juga mencurigai keberadaan partai tunggal itu sebagai salah satu cara kalangan nasionalis sekular untuk menguasai politik nasional.691 KNIP sendiri pada 22 Agustus 1945 menolak sistem partai tunggal PNI Staatpartij karena beraroma otoriterian, dan menuntut pemberlakuan sistem multi partai.692 Merespons penolakan tersebut, Presiden Soekarno pada 30 Agustus 1945 akhirnya menangguhkan PNI Staatpartij. Tiap kelompok ideologi itu pun kemudian mendirikan partai politik menurut alirannya masing-masing, sesuai dengan ‚Pengumuman Pemerintah pada tanggal 3 November 1945‛. Maka muncullah PBI (Partai Buruh Indonesia) pada 15 September 1945, PKI (Partai Komunis Indonesia) pada 21 Oktober 1945, dan PARSI (Partai Sosialis Indonesia) pada 1 November 1945. PNI Staatpartij pun kemudian direorganisasi menjadi PNI yang baru pada akhir Oktober 1945. Dalam suasana persaingan aliran-aliran ideologi yang seperti inilah Masyumi didirikan sebagai partai modern yang menawarkan solusi-solusi bagi berbagai persoalan Indonesia dengan berlandaskan pada Islam.693 Senada dengan itu, Maarif menulis: Bila dihubungkan dengan situasi tahun 1945, maka pembentukan Masyumi adalah dalam rangka menyalurkan aspirasi politik umat sebagai cermin dari potensi mereka yang sangat besar dan konkret. Menurut pengamatan pada masa itu, suatu massa konkret tanpa pimpinan partai politik yang berasaskan Islam akan mudah jatuh ke tangan mereka yang sudah sejak semula menentang implementasi syariat dalam kehidupan bernegara pada pasca kemerdekaan Indonesia.694 Meski diniatkan sebagai satu-satunya wadah saluran politik Islam di Indonesia, namun tujuan itu tidak bisa terwujud dengan keluarnya beberapa pergerakan Islam dari Masyumi. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) keluar pada tahun 1947 dan menjadi partai sendiri setelah Masyumi menolak masuk dalam kabinet Amir Syarifuddin. PSII pun ikut serta dalam kabinet tersebut dengan mengirim 4 kadernya sebagai menteri. Sebelum itu Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) juga enggan masuk ke dalam Masyumi. Posisi Masyumi sebagai satu- satunya wadah perjuangan politik Islam semakin pudar setelah NU keluar pada tahun 1952.695

691 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 49; Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 67-68 692 Fachry Ali, ‚Pengantar: Dinamika Sosial-Politik...‛, h. xvii 693 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 68-70 694 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan dalam Konstituante, (Bandung: Mizan, 2017), h. 151 695 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 58. Ada beberapa alasan kenapa Perti enggan bergabung dengan Masyumi dan memilih menjadi partai sendiri. Yaitu: Pertama, merasa tidak cocok karena melihat Masyumi didominasi kalangan modernis. Kedua, Mereka melihat urgensi politik dalam mempertahankan paham keagamaannya, dan itu lebih mudah dilakukan dengan mengubah organisasinya menjadi partai politik tersendiri daripada bergabung dalam Masyumi. Ketiga, ambisi beberapa pimpinan Perti untuk berperan dalam

138

Keputusan keluar dari Masyumi bermula dari rapat Pengurus Besar NU di Surabaya 5 April 1952. Kemudian dikukuhkan dalam Muktamar NU di Palembang akhir April 1952. Dalam muktamar ini juga dibentuk panitia yang bertugas berunding dengan pimpinan Masyumi untuk membuat kesepakatan tentang mekanisme pemisahan diri tersebut. Secara resmi NU memisahkan diri pada 31 Juli 1952 melalui penarikan anggota NU dari kepengurusan Masyumi, kemudian dilanjutkan dengan penarikan kader NU di DPR dan membentuk fraksi tersendiri lepas dari Masyumi pada 17 September. Sementara persoalan keanggotaan ganda NU dan Masyumi disepakati diselesaikan paling lambat pada 31 Oktober 1952.696 Beberapa sebab NU keluar dari Masyumi adalah: Pertama, perubahan AD- ART Masyumi pada kongres di Yogyakarta akhir tahun 1949, yang memposisikan Majelis Syura hanya sebagai badan penasehat saja, bukan badan legislatif lagi seperti sebelumnya. Kalangan NU menganggap perubahan itu telah mengubah Masyumi dari partai yang memberi tempat terhormat kepada ulama menjadi tidak menghormatinya. Kedua, Persoalan dengan wakil ketua Masyumi, Sukiman. Pimpinan NU merasa tidak puas dengan kebijakan partai yang dinilai turut menyebabkan kabinet Sukiman jatuh. KH Wahab Hasbullah terus memperjuangkan agar Sukiman kembali menjadi perdana menteri atau wakil perdana menteri pada kabinet yang akan dibentuk oleh Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) dan Sidik Djojosukarto dari PNI, serta kabinet yang dibentuk oleh (PNI) dan Prawoto, setelah Prawoto dan Sidik gagal membentuk kabinet.697 Pada pembentukan kabinet ini KH Wahab kembali kecewa pada kebijakan partainya.

kancah politik nasional. Lihat Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 78-79; A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 150-151. Ketegangan antara Perti dengan kaum reformis dalam Masyumi terus berlanjut dalam beberapa momen politik. Seperti saat Natsir menjadi ketua formatur untuk membentuk kabinet. Natsir tidak mengikutsertakan PKI, PNI, dan Perti. Untuk PKI karena pertimbangan ideologis. Sementara PNI karena tidak terjadi kesepakatan jatah kursi. PNI minta kursi menteri sama dengan jatah Masyumi. Sementara Perti tidak dihubungi Natsir untuk bergabung dalam kabinetnya. Karena itu Perti bersikap kritis dan skeptis terhadap program-program kabinet Natsir. Bahkan Perti menganggap Natsir lebih suka bekerjasama dengan pihak Kristen daripada dengan kawan yang seagama. Lihat Alaiddin Koto, Pemikiran Politik Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) 45-70, (Jakarta: Nimas Multima, 1997), h. 184-185. Sementara untuk PSII, selain alasan di atas, Noer juga mengungungkapkan alasan lain. Menurutnya beberapa pimpinan PSII juga tidak setuju dengan sikap beberapa pimpinan Masyumi seperti M Natsir dan M Roem yang mereka anggap bersikap lunak dan kompromistis terhadap Belanda. Selain juga karena desakan dari berbagai pengurus daerah agar PSII berdiri sendiri sebagai partai politik. Lihat Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 81-82. 696 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, penerjemah Farida Wajidi & Mulni Adelina B, (Yogyakarta: LkiS, 2007), h. 126-133. 697 Majalah Hikmah menulis, kegagalan formatur Sidik-Prawoto disebabkan oleh ketidaksepakatan dalam pembagian kursi kabinet. Hikmah menyebut Sidik hanya memperjuangkan kepentingan partainya dan melihat Prawoto sebagai lawan yang harus diawasi. Bukan sebagai kawan koalisi. Sidik juga berupaya memecah belah Masyumi dengan terus menerus mengungkit faksi-faksi dalam partai Islam itu. Ini berbeda dengan Wilopo yang berkeinginan untuk mencari jalan tengah di antara kepentingan partai-partai

139

Faktor ketiga pemisahan NU dari Masyumi terkait dengan posisi menteri agama. KH Wahab pada 20 Maret 1952 mengirim surat berisi ultimatum kepada pimpinan Masyumi untuk memberikan kursi kementerian itu kepada wakil NU. Surat ini diperkuat oleh surat Majelis Pertimbangan Politik (MPP) NU di tanggal yang sama. Pada 23 Maret digelar rapat pimpinan Masyumi membahas hal itu. Namun KH Wahab merasa tidak puas atas keputusan rapat yang dianggapnya tidak tegas memberikan kursi menteri agama kepada organisasinya. KH Wahab kemudian mendatangi Wilopo untuk menyampaikan keinginannya itu. Dia juga memberitahu Wilopo bahwa NU akan keluar dari Masyumi jika tuntutannya tidak dipenuhi. Atas sikap KH Wahab ini pimpinan Masyumi pun kemudian melakukan rapat dan memutuskan memilih KH Fakih Usman dari Muhammadiyah untuk duduk di kursi menteri agama dalam kabinet Wilopo. Padahal pada rapat pimpinan Masyumi tanggal 19 dan 23 Maret yang juga dihadiri KH Wahab dihasilkan kesepakatan untuk menyerahkan nama-nama calon menteri kepada formatur untuk dipilih. 698 Keputusan ini diambil mengingat bukan hanya NU yang menuntut kursi menteri agama. Muhammadiyah, Jamiyatul Washliyah, dan beberapa anggota perseorangan juga menuntut hal serupa.699 yang ada. Lihat ‚Dari Prawoto-Sidik ke Wilopo,‛ Hikmah, no 13, tahun V, 29 Maret 1952, h. 6-7. Majalah mingguan yang diterbitkan tokoh-tokoh Masyumi itu juga memuji susunan kabinet yang diajukan Wilopo yang dianggapnya ‚mengandung harapan baik‛ karena ‚mendekati keinginan Presiden dan harapan orang banyak.‛ Lihat ‚Sekitar Pembentukan Kabinet,‛ Hikmah, no 14, tahun V, 5 April 1952, h. 6-7. Menurut Fealy, di dalam Masyumi terdapat dua kubu yang saling bersaing: kubu Sukiman dan tokoh-tokoh senior Jawa semisal Jusuf Wibisono, Mr Samsudin, Abu Hanifah, dan Wali Alfatah. Mereka ini dekat dengan NU, Soekarno, dan PNI. Di sisi lain terdapat kubu Natsir dan para modernis muda. Mereka kebanyakan berasal dari luar Jawa (Sumatera). Kubu ini lebih dekat kepada PSI. NU lebih menyukai kubu Sukiman karena dianggap lebih luwes dan bisa mengakomodasi kepentingannya. Lihat Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama..., h. 95-96 698 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 86-96. Susunan Kabinet Wilopo sebagai berikut: 1. Perdana Menteri: Wilopo (PNI); 2. Wakil PM: Prawoto Mangkusasmito (Masyumi); 3. Menteri Luar Negeri: Mukarto (PNI); 4. Menteri Dalam Negeri: Moh Roem (Masyumi); 5. Menteri Pertahanan: Sultan Jogja (Non Partai); 6. Menteri Perdagangan & Perindustrian: Sumanang (PNI); 7. Menteri Keuangan: Sumitro Djojohadikusumo (PSI); 8. Menteri Kehakiman: Lukman Wiriadinata (PSI); 9. Menteri Agama: Fakih Usman (Masyumi); 10. Menteri Pertanian: Sardjan (Masyumi); 11. Menteri PP dan K: Bahder Djohan (Non Partai); 12. Menteri Kesehatan: J Leimana (Parkindo); 13. Menteri Urusan Pegawai: RP Suroso (Parindra); 14. Menteri Perburuhan: Tedjasukmana (Partai Buruh); 15. Menteri Perhubungan: Djuanda (Non Partai); 16. Menteri Sosial: Anwar Tjokroaminoto (PSII); 17. Menteri Pekerjaan Umum: Suwarto (Partai Katolik); 18. Menteri Penerangan: A Mononutu (PNI). Lihat ‚Sekitar Pembentukan Kabinet,‛ Hikmah, no 14, tahun V, 5 April 1952, h. 6. 699 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 134. Majalah Hikmah yang diterbitkan tokoh-tokoh Masyumi menyebutkan, jika NU sebagai anggota istimewa Masyumi meminta jatah kursi dalam kabinet (Menteri Agama) maka setiap anggota istimewa Masyumi lainnya seperti Al-Washliyah, PUI, dan PUII juga harus mendapatkan jatah juga. Ini merupakan hal yang tidak mungkin. Hikmah juga menyebut

140

Hamka termasuk pihak yang tidak setuju dengan tuntutan dan langkah KH Wahab tersebut. Menurutnya persoalan kursi menteri adalah urusan partai, bukan urusan organisasi anggota istimewa. Keinginan organisasi anggota istimewa seharusnya disalurkan melalui partai, bukan bertindak sendiri-sendiri tanpa koordinasi. Hamka juga menyatakan sebaiknya NU melepaskan tuntutannya atas posisi menteri agama karena telah tiga kali berturut-turut jabatan itu dipegang kader NU. ‚Hendaknya digantikan dengan Muhammadiyah, karena dapat menimbulkan semangat dan gairah baru dalam kementerian,‛ kata Hamka.700 Persoalan Kementerian Agama ini menjadi sorotan tajam di internal Masyumi. Selain dominasi NU atas kursi menteri di kementerian tersebut, sorotan juga tertuju pada beberapa kesalahan tata kelola seperti tentang kasus korupsi dan kegagalan jamaah haji berangkat ke Tanah Suci pada tahun 1951. Pada tahun 1951 Kementerian Agama menyewa kapal-kapal non-Belanda untuk memberangkatkan jamaah haji, namun kemudian batal sehingga jamaah haji gagal berangkat. Meski Wahid Hasyim selaku Menteri Agama saat itu diyakini tidak terlibat dalam korupsi di lembaganya, namun bagaimanapun juga dia punya tanggung jawab atas hal tersebut.701 Kementerian Agama juga disoroti karena lebih banyak bahwa pemisahan diri NU hanyalah terkait dengan persoalan insidentil berupa posisi menteri agama. Persoalan ini ternyata ditiupkan oleh sebagian kalangan untuk memecah belah persatuan umat. Manurut Hikmah, pemisahan NU itu telah membuat umat bingung dan terpecah. Namun Hikmah juga melihat, sesungguhnya bukan umat tidak terpecah belah., justru para pemimpinnya lah yang menjadi sebab dari perpecahan itu. Lihat ‚Nahdlatul Ulama dan Masjumi,‛ Hikmah, no 15-16, tahun V, 16 April 1952, h. 7. Ada dua orang tokoh yang dianggap mempercepat pemisahan diri NU dari Masyumi: KH Wahab Hasbullah dan M Natsir. Greg Fealy menilai keduanya sebagai orang yang berpendirian keras dan tidak mau berkompromi demi mencegah terjadinya perpecahan. Natsir dianggap Fealy telah bersikap keras tidak mau menyerahkan posisi Menag kepada NU. Sementara KH Wahab dengan kekuasaannya yang besar di NU dan kelihaian politiknya bersikeras menuntut jabatan itu untuk NU. Meski demikian Fealy tetap menganggap KH Wahab bukan faktor utama perpisahan itu mengingat semangat anti Masyumi telah merebak di arus bawah NU akibat perasaan terpinggirkan dalam Masyumi. Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama..., h. 132-133. 700 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h.. 236. Sebenarnya banyak pihak meminta NU untuk tidak berpisah dari Masyumi. Salah satunya datang dari wakil GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) yang hadir dalam Muktamar NU dan diberi kesempatan berbicara di forum tersebut. Wakil GPII itu menyatakan, ‚Janganlah hendaknya kurang puas atau kecewa terhadap padi, yang diganggu dalam lumbung oleh orang-orang atau tikus-tikus luaran, lantas lumbung dan padi dibakar habis-habisan.‛ Namun kehadiran tokoh Masyumi Sukiman dalam Muktamar tersebut disebut malah memperkuat hasrat perpisahan itu. Atas kehadiran Sukiman itu majalah Hikmah yang dekat dengan Natsir dkk menulis, meski tidak memberikan pernyataan sedikit pun saat pada muktamar tersebut, namun kehadiran Sukiman turut memberikan dukungan moral kepada PB NU untuk meminta persetujuan muktamirin agar pisah dari Masyumi. Lihat ‚Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri,‛ Hikmah, no 19, tahun V, 10 Mei 1952, h. 6-7 701 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama..., h. 100. Lihat catatan kaki no 19; Lihat juga Abdul Razak, ‚Apakah Sukarno Berperan Dalam Perpecahan Masyumi,‛ Al-Muslimun, No. 335, Tahun XXVIII (Pebruari 1998), h. 51

141 dimanfaatkan untuk kelompok sendiri daripada kepentingan umat secara umum. Bukan hanya internal Masyumi, pihak luar pun menyoroti permasalahan- permasalahan tersebut, hingga Partai PIR (Persatuan Indonesia Raya) mengajukan tuntutan pembubaran Kementerian Agama.702 Persoalan kursi Menteri Agama dilihat Noer sebagai faktor yang secara langsung membuat NU menarik diri dari Masyumi. Noer juga melihat pemisahan diri itu merupakan puncak dari ketidakserasian hubungan antara berbagai elemen dalam Masyumi, khususnya antara kalangan santri pesantren (NU) dengan lulusan sekolah-sekolah Belanda.703 Senada dengan itu Maarif juga melihat potensi perpecahan NU dari Masyumi sebenarnya telah tertanam sejak lama, yaitu ketika struktur partai berubah dengan memposisikan Majelis Syura sekedar sebagai dewan penasehat. Sementara kursi menteri agama hanyalah faktor yang mempercepat proses perceraian itu.704 Perpecahan itu membuat Hamka prihatin. Menurutnya, perpecahan itu merupakan ‚puncak percobaan Tuhan‛ yang diberikan dalam perjuangan menegakkan kalimat-Nya.705 Dalam hal ini Hamka melihat adanya campur tangan lawan-lawan politik dalam perpisahan NU dari Masyumi. Pihak yang dituduh Hamka adalah PNI dan PKI, mengingat partai-partai ini merupakan pihak yang paling berkepentingan mengalahkan Masyumi dalam Pemilihan Umum. ‚Partai- partai yang berkuasa itu, utamanya PNI, insyaf bahwa kekuatan mereka tidak besar pada massa‛, ujarnya. Lebih lanjut dinyatakannya: PNI sangat berbesar hati karena perpecahan lawan politiknya itu. Niscaya NU didekati oleh PNI. Almarhum Siddik Djojosukarto mendapat penghargaan besar dari partainya, karena PNI memandang bahwasanya tangan almarhum Siddik amat banyak menolong lekasnya perpecahan itu. Dalam pada itu PKI pun bekerja keras pula, menuduh bahwa Masyumi itu adalah berhubungan rapat dengan DI-TII. Dan NU dipuji-puji, dikatakan lebih progresif daripada golongan Islam yang lain.706

702 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama..., h. 101. Lihat catatan kaki No 22. Fealy mencatat, di tahun 1950-an NU merupakan ‚partai yang paling banyak dikotori skandal korupsi setelah PNI‛. Bukan hanya soal kegagalan pemberangkatan haji, banyak tokoh- tokoh NU yang juga disebut-sebut terlibat dalam korupsi dan pemanfaatan jabatan. Fealy menyebut beberapa tokoh NU yang sempat terseret kasus tersebut: saat menjadi pembantu Perdana Menteri, Djamaluddin Malik di masa Kabinet Ali kedua, Kafrawi ketika menjabat Sekjen Kementerian Agama, Tan Eng Hong (anggota Fraksi NU di DPR), Masykur dan M Dachlan dalam kasus Bank Masjarakat, dan Mohammad Ilyas dalam kasus jual beli tekstil, Wahib Wahab dalam kasus mata uang asing, dan Wahab Chasbullah yang dituduh menekan Menteri Bidang Ekonomi Burhanuddin (NU) untuk menyetujui pengambilalihan PT Sri Gula dari CV Nivas. Selain korupsi, skandal pemanfaatan jabatan/pengaruh dan salah manajemen juga meluas melibatkan tokoh-tokoh dan lembaga NU. Lihat Fealy, Ijtihad Politik Ulama..., h. 244-255 703 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 86-96 704 A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 159-164 705 Emzita, ‚Seorang Ulama dan...‛, h. 100 706 Hamka, ‚Undang-undang Dasar Islam dan Tjita-tjita Islam,‛ dalam Hikmah, no 10, tahun IX, 17 Maret 1956, h. 9

142

Tentu saja, ungkap Hamka, hal itu akan membuat Masyumi tidak leluasa lagi menentang lawan-lawan politiknya karena ‚ada kawan kita sendiri yang diletakkan orang di front muka‛. Hamka menyebut NU dan PSII sebagai kawan sendiri karena keduanya tidak memiliki perbedaan ideologis dengan Masyumi. Meski demikian, Hamka tetap mengajak anggota-anggota Masyumi untuk tetap tegar menghadapinya laksana walau terasa seperti menelan ‚pil kinini yang terkupas gulanya‛. Hamka juga mengajak untuk memperkuat iman dan tetap yakin akan merebut kemenangan.707 Tuduhan Hamka terhadap pihak lain terlibat dalam perpecahan Masyumi itu juga dilihat oleh Fealy. Di sini Fealy menilai adanya peran Soekarno atas keluarnya NU dari partai tersebut. Indikasinya, pada 29 Pebruari 1952 KH Wahab bertemu dengan Soekarno di Istana Kepresidenan. Meski saat itu KH Wahab menyatakan bahwa pertemuan tersebut tidak membahas persoalan politik, namun Fealy mendapat informasi bahwa belakangan KH Wahab mengaku kepada keponakannya jika saat itu dia memang membahas politik dengan Soekarno.708 Meski demikian, Razak menilai peran yang dimainkan Soekarno tersebut bersifat tidak langsung. Dia hanya memanfaatkan kondisi konflik yang ada di Masyumi untuk kepentingannya.709 Sebagai wakil Muhammadiyah di Masyumi Hamka memiliki peran penting menjaga persyarikatannya tetap berada dalam Masyumi. Menurut Syaifullah hubungan Muhammadiyah-Masyumi mengalami dinamika dalam tiga tahap, yaitu: hubungan mesra yang berlangsung dari 1945 hingga 1955; hubungan renggang pada tahun 1956-1959; akhir hubungan antara keduanya pada 8 September 1959.710 Meski menyebut periode 1956-1959 sebagai tahap kerenggangan hubungan antara Muhammadiyah dan Masyumi, namun Muhammadiyah tidak pernah lepas dari posisinya sebagai anggota istimewa Masyumi. Sesungguhnya yang terjadi di periode ini adalah munculnya aspirasi dari beberapa kalangan di internal Muhammadiyah yang mempertanyakan relevansi dan urgensi Muhammadiyah tetap dalam Masyumi. Aspirasi ini mengemuka dalam sidang tanwir Muhammadiyah tahun 1956 di Kaliurang, Yogyakarta. Syaifullah mencatat setidaknya ada empat corak aspirasi yang mengemuka saat itu. Pertama, mereka yang menghendaki Muhammadiyah keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik sendiri. Kedua, mereka yang menghendaki Muhammadiyah keluar dari Masyumi dan fokus sebagai gerakan dakwah. Sementara jalur politik biar dimasuki kader-kader Muhammadiyah sebagai personal, bukan secara intitusional. Ketiga, mirip dengan aspirasi pertama di mana Muhammadiyah keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri, lalu bersama-sama dengan partai Islam yang lain (seperti NU dan PSII) membentuk federasi. Keempat, aspirasi yang menginginkan Muhammadiyah sebagai bagian dari Masyumi.711

707 Emzita, ‚Seorang Ulama dan...‛, h. 100 708 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama..., h 104. Lihat catatan kaki no 26 709 Abdul Razak, ‚Apakah Sukarno Berperan...‛, h. 52 710 Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah..., h. 190. 711 Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah..., h. 190-198

143

Tanwir pun membentuk tim perumus yang terdiri dari empat orang, yaitu: AR Fachruddin, M Junan Nasution, HA Malik Ahmad, dan Hamka. Tim Perumus kemudian memutuskan dua hal: satu, Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, berjalan menurut khittahnya, sedang yang berkenaan dengan politik praktis disalurkan dan diatur bersama Masyumi, dan anggota-anggota Muhammadiyah yang berkeinginan berjuang di lapangan politik secara langsung dianjurkan untuk masuk Masyumi; dua, menerima secara aklamasi hasil musyawarah PP Muhammadiyah dengan PP Masyumi beberapa hari sebelum sidang tanwir 1956. Dalam musyawarah ini kedua Pimpinan Pusat sepakat untuk menghapus keanggotaan istimewa ormas di Masyumi karena dinilai tidak wajar, di mana pada prakteknya posisi anggota istimewa ternyata menjadi sejajar dengan anggota perorangan. Malik Ahmad pun mengusulkan istilah ‚anggota teras‛ sebagai ganti anggota istimewa bagi ormas anggota Masyumi.712 Namun hingga pelepasan ormas-ormas anggota Masyumi dari posisi anggota istimewa pada tanggal 8 September 1959, belum ada keputusan akhir tentang bentuk baru hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi. Pelepasan anggota istimewa itu sendiri didasari oleh realitas politik di mana saat itu Masyumi dalam posisi terjepit akibat peristiwa PRRI, dan dengan pertimbangan penyelamatan organisasi, khususnya anggota-anggota istimewa Masyumi.713 Dengan demikian, meski sempat muncul aspirasi dari sebagian anggota Muhammadiyah untuk memisahkan diri dari Masyumi, namun hingga setahun sebelum partai Islam itu dibubarkan Soekarno, Muhammadiyah tetap menjadi bagian dari Masyumi. Dari empat aspirasi tersebut, Hamka sendiri termasuk dalam kelompok yang menginginkan hubungan Muhammadiyah-Masyumi tetap seperti sedia kala sebagai anggota istimewa, sepanjang belum ada ketentuan lainnya, seperti jika Masyumi menghapuskan keanggotaan istimewa.714 Dalam pidatonya di sidang Tanwir tahun 1956, Hamka mengibaratkan hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi bagaikan ‚kuku dengan daging‛ yang tidak terpisahkan.715 Menurutnya, Muhammadiyah dan Masyumi memiliki tujuan yang satu, yaitu ‚berdirinya agama Islam dan terwujudnya masyarakat Islam‛. Hanya saja bidang memulainya berbeda, ‚Masyumi dalam lapangan politik, dan Muhammadiyah dalam lapangan pembangunan amal! Masyumi mencapai kekuasaan Islam, Muhammadiyah mengisi kekuasaan itu.‛716 Munculnya keinginan agar Muhammadiyah lepas dari Masyumi dan menjadi partai politik dinilai Hamka merupakan provokasi lawan-lawan politik Masyumi karena mereka mengetahui kekuatan Muhammadiyah dalam menopang partai Islam itu.717 Meski sempat mempengaruhi beberapa pengurus, namun Hamka bersyukur Muhammadiyah masih memiliki pimpinan yang berwawasan luas dan bervisi ke depan hingga tidak terpengaruh oleh provokasi tersebut. Hamka pun

712 Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah..., h. 204-205 713 Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah..., h. 221 714 Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah..., h. 201. 715 Hamka, Muhammadijah-Masjumi, (Jakarta: Masjarakat Islam, tt), h. 9 716 Hamka, Muhammadijah-Masjumi, h. 8 717 Hamka, Muhammadijah-Masjumi, h. 3-5

144 mengingatkan bagaimana upaya keras Muhammadiyah untuk membentuk Masyumi di perguruan Muhammadiyah Yogyakarta dulu, dan antara keduanya memiliki ideologi yang sama.718 Hamka menegaskan, pemisahan Muhammadiyah dari Masyumi dan menjadi partai politik sendiri justru akan membuat perpecahan di kalangan umat dan Muhammadiyah akan diadu-domba dengan kelompok Islam lain. Hal ini akan semakin menjauhkan umat Islam dari cita-citanya. ‚Dan Masyumi? Porak porandalah partai yang telah didirikan dengan darah dan air mata itu. Karena kalau Muhammadiyah telah mulai keluar, yang lain pun akan mengikut, maka pecahlah gabungan yang telah didirikan dahulu itu. Kalau akan bersatu juga, bukan lagi persatuan cita-cita, tetapi karena kepentingan!,‛ ujarnya.719 Isu lain yang mengemuka dalam hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi adalah keterlibatan anggota Muhammadiyah (secara individual) dalam Kabinet Karya yang ditentang Masyumi. Keikutsertaan Moelyadi Djoyomartono sebagai Menteri Sosial dalam Kabinet Karya mengundang kritikan Hamka. Ia menganggap kader Muhammadiyah tersebut telah mengusik soliditas dan memunculkan keretakan dalam tubuh persyarikatan. Bukan hanya Moelyadi, kritikan Hamka juga ditujukan kepada tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya yang mendukung keputusan Moelyadi tersebut. Dalam artikelnya di Harian Abadi Hamka menyebut adanya dua golongan dalam Muhammadiyah: golongan istana dan golongan hutan. Hamka menyebut mereka sebagai ‚golongan istana‛ yang ada di dalam Muhammadiyah. Golongan ini disebutnya hendak membawa Muhammadiyah ke dalam lingkaran kekuasaan. Di antara golongan ini adalah KH Farid Ma’ruf, salah satu anggota PP Muhammadiyah. Tak pelak kritik tajam Hamka tersebut semakin memanaskan suasana internal persyarikatan, yang memang sejak semula mayoritas warga Muhammadiyah sejalan dengan sikap Masyumi menolak campur tangan Presiden dalam membentuk kabinet.720 Sikap Hamka tersebut didasari oleh kekhawatiran bahwa Muhammadiyah dan dakwah Islam secara umum akan limbung di ketiak penguasa. Apalagi Hamka melihat keakraban Bung Karno dengan kalangan komunis.721 B. Perjuangan Hamka di Konstituante 1. Perdebatan tentang Islam dan Pancasila di Konstituante Persoalan dasar negara Indonesia menjadi diskusi hangat di antara para pendiri bangsa dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Sebagian anggota BPUPK menghendaki agar Indonesia merdeka berdasarkan Islam, namun sebagian yang lain menghendaki sebuah negara yang

718 Hamka, Muhammadijah-Masjumi, h. 6-8 719 Hamka, Muhammadijah-Masjumi, h. 8-9 720 Djarnawi Hadikusuma, ‚Buya Genius Hamka,‛ dalam Salam (ed), Kenang- kenangan 70 Tahun..., h. 32; Yusuf Maulana, Buya Hamka: Ulama Umat Teladan Rakyat, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2018), 253-254 721 Djarnawi Hadikusuma, ‚Buya Genius Hamka‛, h. 253-254; Yusuf Maulana, Buya Hamka: Ulama..., h. 256

145 berdasarkan kebangsaan tanpa terkait dengan ideologi agama tertentu.722 Pada 22 Juni 1945 kompromi kedua kubu tersebut menghasilkan rumusan Piagam Jakarta dengan sila pertama yang berbunyi: ‚Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariatError! Reference source not found. Islam bagi pemeluk-pemeluknya.‛723 Tetapi sehari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidang pembahasan Undang-undang Dasar (UUD) memutuskan untuk mengubah beberapa hal, di antaranya perubahan sila pertama Piagam Jakarta dari ‚Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya‛ menjadi ‚Ketuhanan Yang Maha Esa.‛ Dalam pidatonya selaku pimpinan PPKI Soekarno menyatakan bahwa UUD yang dibuat itu adalah UUD sementara, UUD kilat, atau revolutie grondwet karena dibuat dalam suasana darurat. Nanti, ujar Soekarno, ketika negara dalam keadaan lebih tenteram akan dibuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.724 Janji untuk membuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna tersebut terwujud pada tahun 1956 dengan terbentuknya Konstituante sebagai badan pembentuk UUD. Konstituante sendiri dihasilkan dari pemilihan umum tanggal 15 Desember 1955 di bawah pemerintahan dari Partai Masyumi. Adnan Buyung Nasution mencatat, masa kampanye yang lama, sekitar 12 hingga 17 bulan antara waktu pendaftaran dan saat pemilihan, telah mengakibatkan polarisasi ideologis antara partai-partai politik Islam dan non-Islam makin mengeras. Polarisasi ini kemudian berlanjut dalam Konstituante. Secara resmi anggota Konstituante dilantik pada tanggal 10 November 1956 oleh Presiden Soekarno. 725 Pada Pemilihan Umum tahun 1955 itu Hamka maju sebagai calon anggota Konstituante dari daerah pemilihan Jawa Tengah. Menurut Rusydi Hamka, semula Hamka menolak mencalonkan diri, namun Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu, AR Sutan Mansur, mengirimkan telegram kepadanya agar bersedia untuk maju, ketika itu Hamka sedang mengajar di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Hamka pun bersedia maju sebagai calon anggota Konstituante dengan tujuan mengumpulkan suara.726 Hamka maju dari wilayah Jawa Tengah, karena daerah ini merupakan daerah basis dari lawan-lawan politik Masyumi seperti NU, PKI, dan PNI. Di sini Hamka ingin meraup suara dengan memanfaatkan popularitasnya sebagai mubaligh dan penulis. Pilihan Hamka tepat. Popularitas mengantarkannya menjadi anggota Konstituante. Semula ada tiga rancangan dasar negara yang diajukan tiga kelompok di Konstituante: Islam, Pancasila, dan Sosial-Ekonomi. Dasar negara Islam diusung

722 Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: Rajawali,1986), h. 3 723 Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 29-48 724 Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 49-52 725 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Grafiti, 2001), h. 29-30; Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 74 726 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, (Jakarta: Noura, 2016), h. 8.

146 oleh partai Masyumi (112 anggota), Nahdlatul Ulama (NU, 91 anggota), PSII (16 anggota), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti, 7 anggota), dan empat partai kecil lainnya sehingga total 230 orang. Sementara Pancasila didukung PNI (116 anggota), PKI termasuk fraksi Republik Proklamasi (80 anggota), Partai KristenError! Reference source not found. Indonesia (Parkindo, 16), Partai Katolik (10), Partai Sosialis Indonesia (PSI, 10), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI, 8), dan partai-partai kecil lainnya dengan total pendukung sejumlah 273 orang. Sedangkan dasar negara sosial-ekonomi diusulkan partai Murba (5 orang) dan partai Buruh (4 orang). Namun kemudian usulan terakhir ini tidak dibahas sehingga polarisasi mengerucut ke kelompok pendukung dasar negara Islam dan kelompok yang mendukung dasar negara Pancasila.727 Di bulan-bulan terakhir tahun 1957 pembahasan tentang dasar negara tersebut dilakukan dengan debat yang panas dan cenderung mengarah ke perpecahan. Masing-masing pengusul mengajukan argumennya secara ideologis dan mutlak-mutlakan sehingga pada 6 Desember 1957 pembahasan tentang dasar negara ini ditangguhkan. Sidang Pleno kemudian menugaskan Panitia Persiapan KonstitusiError! Reference source not found. untuk mempersiapkan sebuah rumusan yang bisa diterima semua pihak. Pemerintah menganggap pertentangan ideologis antar kelompok ini sebagai ancaman terhadap kesatuan nasional, namun Konstituante menganggapnya sebagai bagian dari proses demokrasi. 728 Hamka termasuk anggota yang aktif terlibat dalam berbagai perdebatan di Konstituante, khususnya terkait dengan ideologi negara. Sebagai bagian dari kelompok Islam yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia, isi pidato Hamka lebih banyak menekankan keunggulan Islam dibanding Pancasila. Dalam pidato pada Sidang III, Rapat ke 72 (lanjutan), Kamis 28 November 1957, Hamka membantah argumen kelompok pendukung Pancasila yang menyatakan bahwa ‚Proklamasi 17 Agustus‛ didasarkan pada semangat Pancasila. Menurutnya, bukan Pancasila yang melandasi proklamasi 17 Agustus 1945, tetapi ‚semangat merdeka, semangat tidak mau dijajah lagi‛-lah dasar dari proklamasi tersebut. Hamka pun menegaskan bahwa semangat tidak bersedia dijajah itu dijiwai oleh ajaran agama, dalam hal ini adalah agama Islam.729

727 Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 85-86; Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan Dalam Konstituante, (Bandung: Mizan, 2017), h. 170. Menurut Adnan Buyung Nasution, Pancasila didukung 274 orang dari 24 partai dan pribadi. Sementara dasar negara Islam didukung 8 partai dan pribadi yang berjumlah 230 orang, dan sosial-ekonomi didukung 10 orang dengan rincian 5 orang dari partai Buruh, 4 partai Murba dan 1 dari Acoma. Lihat Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio- Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Grafiti, 2001), h. 32-33. 728 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional, h. 40-42 729 Lihat Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid VII, h. 108-109. Pidato Hamka tentang dasar negara di Konstituante kemudian dimuat dalam sebuah buku kumpulan pidato tokoh-tokoh Masyumi di Konstituante yang dieditori Yusran R berjudul Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila: Konstituante 1957, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001). Buku ini memuat dua tulisan Hamka, yaitu ‚Islam Sebagai Dasar

147

Untuk memperkuat pernyataannya ini Hamka merujuk kepada sejarah perlawanan-perlawanan terhadap kolonial Barat di seantero Nusantara. Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro, Teuku Umar Djohan Pahlawan, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin, Maulanan Hasanuddin Banten, Sultan Khairun dan Babullah, Raja Aji, hingga Mahkota Alam dari Aceh disebut Hamka dalam pidatonya. Hamka juga menyebut tokoh perjuangan modern semisal HOS Tjokroaminoto. Menurutnya, semua pahlawan tersebut bergerak melawan penjajahan karena dasar agama. Pernyataan Hamka ini merupakan bantahan terhadap pidato pihak sebelah yang menyebutkan bahwa keinginan mengganti Pancasila dengan dasar lain sebagai sebuah pengkhiatan terhadap arwah para pemimpin di masa lalu. Perujukan kepada perjuangan para pahlawan tersebut menjadi pernyataan tegas Hamka bahwa aspirasi membangun Indonesia di atas dasar Islam bukan sebuah pengkhiatan. Sebaliknya, aspirasi itu justru memiliki landasan historis yang kokoh. 730 Hamka juga berupaya menepis kekhawatiran sebagian kalangan tentang bayangan negara berdasar Islam akan menjadi seperti Pakistan atau Arab Saudi. Juga menepis kekhawatiran kalangan minoritas tentang diskriminasi yang bakal mereka alami jika Indonesia berdasar Islam.731 Di bagian penutup pidatonya Hamka mengkhawatirkan dua hal. Pertama, Pancasila yang sekular akan melahirkan berbagai rentetan keraguan hidup bagi umat beragama. Di sini Hamka memberikan contoh berbagai perilaku dari mereka yang mengaku sebagai pendukung Pancasila, seperti ritual bertafakkur di makam Semaki, menyampaikan hajat dan permohonan kepada penghuni makam sembari membakar obor tepat tengah malam. Setelah itu obor dibawa ke Kalibata, dan mengheningkan cipta di sana. Bahkan ada pula yang mengangkat Soekarno sebagai nabi yang menerima wahyu berupa Pancasila.732 Kekhawatiran kedua berkaitan dengan dukungan kaum komunis terhadap Pancasila. Hamka mencurigai dukungan tersebut karena sejak awal mula komunisme itu paham yang anti Tuhan. 733 Kecurigaan terhadap dukungan kaum

Negara‛ dan ‚Urat Tunggang Pancasila.‛ Namun tulisan yang benar-benar berasal dari pidato Hamka di Konstituante hanya yang berjudul ‚Islam Sebagai Dasar Negara‛. Sementara ‚Urat Tunggang Pancasila‛ berasal dari buku tipis yang ditulis Hamka yang terbit pertama kali pada tahun 1951. 730 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid VII, h. 110-111; Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante, Djilid III, (Bandung: Konstituante RI, 1958), h. 59-60 731 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid VII, h. 109-134; Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante, Djilid III, h. 62- 63. 732 Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante, Djilid III, h. 77- 78 733 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid VII, h. 128-131; Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante, Djilid III, h. 78 Dalam materi kampanye untuk pemilihan Konstituante, PKI menyatakan sikapnya mendukung ‚Negara Pancasila‛ dan menolak menggantinya dengan ‚Negara Islam‛. PKI juga menegaskan sikap politik mereka yang tidak akan mendirikan ‚Negara Komunis‛.

148 komunis atas Pancasila sejak lama sudah ditampakkan Hamka. Dalam sebuah artikelnya di Hikmah Hamka menegaskan sikapnya untuk tidak bekerjasama dengan komunis di Konstituante. ‚Komunis menolak segala macam cita yang hendak menegakkan ketuhanan,‛ ungkapnya memberi alasan. Sikap kaum komunis yang seolah-olah dekat dan mendukung kelompok nasionalis pun dicurigainya hanya sebagai ‚kuda-kuda di dalam mencapai maksudnya.‛ Hal itu karena pada hakikatnya komunis itu menolak ideologi nasionalisme.734 Pidato Hamka pun mendapat banyak tanggapan dari kubu pendukung Pancasila. Fraksi Katolik melalui PS Da Cunha menolaknya, karena ‚iman kami, kepercayaan kami kepada kebenaran agama kami yang absolut itu, tidak mengizinkan kami menerima Islam sebagai dasar negara,‛ ujarnya. Sementara Njoto dari PKI menilai Hamka telah mencoba merenggut Pancasila dari semangat dan jiwa merdeka. ‚Usahanya ini sama sia-sianya dengan usaha memisahkan sisi muka dari sisi belakang medali yang satu dan sama,‛ ungkap Njoto.735 Perjuangan membangun Indonesia secara formal berdasarkan Islam dalam Konstituante terhenti setelah Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit yang membubarkan Konstituante itu menjadi tanda berlakunya kembali UUD 1945 dan berakhirnya demokrasi parlementer. Ide kembali ke UUD 45 sesungguhnya telah berulangkali disuarakan AH Nasution sejak 1954 dan telah beberapa kali disampaikan ke Presiden. Soekarno pun menerima usul itu. Pada 19 Pebruari 1959 pemerintahan Kabinet Djuanda secara resmi mengajukan usulan kepada Konstituante untuk kembali kepada UUD 1945. Usulan ini kemudian dipertegas pada sidang Konstituante pada 22 April 1959 dengan agenda ‚Mendengarkan Amanat Paduka Yang Mulia Presiden Dr Ir Soekarno.‛ Pada kesempatan itu, Soekarno juga berupaya menenteramkan hati kalangan Islam yang menuntut pengembalian Piagam Jakarta. Menurutnya, Piagam Jakarta diakui sebagai dokumen historis yang memiliki arti besar bagi perjuangan bangsa Indonesia dan sebagai bahan dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945, yang menjadi bagian dari Konstitusi Proklamasi.736 Rencananya, jika usulan pemerintah tersebut diterima oleh Konstituante, maka akan dituangkan ke dalam sebuah piagam kesepakatan yang disebut Piagam Bandung. Di dalam rancangan Piagam Bandung yang dilampirkan dalam pidato presiden itu disebutkan bahwa Piagam Jakarta sebagai ‚dokumen historis‛, dan yang menjiwai penyusunan Pembukaan UUD 1945, dan menjadi bagian dari pada konstitusi tersebut.737

Lihat PKI dan Konstituante (Pokok2 Fikiran Yang Dikemukakan oleh PKI Dalam Kampanje Pemilihan Konstituante), Depatgiprop CC PKI, tanpa tahun, h. 6. 734 Hamka, ‚Undang-undang Dasar Indonesia dan Tjita-tjita Islam,‛ dalam Hikmah, no 10, tahun IX, 17 Maret 1956, h. 7 735 Hendaru Tri Hanggoro, ‚Menjajal Medan Konstituante‛, dalam Historia, no 21, tahun II, 2015, h. 45 736 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 28 737 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 60-62

149

Usulan pemerintah Djuanda untuk kembali kepada UUD 1945, yang kemudian dikuatkan dengan pidato Soekarno, itu pun menjadi kontroversi di Konstituante. Pro-kontra mewarnai persidangan-persidangan dalam majelis itu. Beberapa pihak mendukung usulan itu. Asmara Hadi, salah satu pendukung Soekarno, bahkan menganggap kembali ke UUD 1945 itu sebagai jembatan Shirathal Mustaqim yang akan membimbing menuju taman Firdaus masyarakat yang adil dan makmur. Juga akan melepaskan diri bangsa Indonesia dari ‚kubur demokrasi liberal yang telah busuk.‛738 Salah satu pihak yang tegas menolak adalah Masyumi. Pandangan Masyumi terhadap pidato Presiden itu disampaikan oleh Prawoto Mangkusasmito, A Kahar Muzakkir, S Mangunpuspito, Dachlan Lukman, dan Hamka. Dalam tanggapannya pada Sidang I, Rapat ke 5, Senin 4 Mei 1959, Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito mengingatkan Soekarno akan pernyataannya sendiri yang disampaikan dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Dalam rapat yang mencoret tujuh kata Piagam Jakarta itu, Soekarno selaku pimpinan PPKI menyatakan bahwa UUD 1945 adalah UUD sementara, UUD kilat. Nanti ketika keadaan telah tenteram, ungkap Prawoto mengutip Soekarno, akan dibentuk MPR untuk membuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna. Namun ketika kesempatan itu telah datang dan akan menghasilkan sesuatu yang lebih memuaskan, lanjutnya, secara tiba-tiba pemerintah hadir dengan usulan kembali kepada UUD 1945. Hal ini dipandang Prawoto sebagai ‚seperti hendak memenangkan Pancasila.‛ Usulan itu, ujarnya lagi, merupakan sesuatu yang tragis dan dirasakan oleh umat Islam sebagai ‚kita diegoisi lagi untuk kedua kalinya. Jalan kita dipotong lagi.‛739 Wakil Masyumi lainnya Abdul Kahar Muzakkir mengaku kaget dan heran dengan usulan pemerintah tersebut. Menurutnya, Konstituante telah bekerja selama 2 tahun lebih dan sudah menghasilkan banyak karya. Bahkan, dengan mengutip pernyataan Ketua Konstituante Wilopo dalam penutupan Panitia Persiapan Konstitusi tanggal 18 Pebruari 1959, Kahar Muzakkir menyebut 90% tugas Konstituante telah tercapai. Usulan Pemerintah itu dipandangnya sebagai ‚sedikit-dikitnya akan menghilangkan atau menyia-nyiakan karya kita selama dua tahun setengah itu.‛ Ini dinilainya sebagai ‚terang dan jelaslah menyinggung perasaan dan kehormatan‛. Dengan usulan itu Kahar Muzakkir menilai pemerintah Djuanda telah bermain politik ‚membikin barang sesuatu menurut kehendak yang membikinnya itu sendiri.‛740 Jika Kahar Muzakkir mengaku kaget dan heran, setelah mengkaji secara seksama isi pidato tersebut Hamka mengaku kehilangan rasa kagum dan bangga

738 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 212-213 739 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 198. Tanggapan Prawoto ini kemudian dimasukkan dalam buku yang disunting SU Bajasut dan Lukman Hakiem, Alam Pikiran dan..., h. 90-105. 740 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid II, h. 505-506

150 kepada Soekarno.741 Dalam tanggapannya yang disampaikan pada Sidang I, Rapat ke-9, Rabu 6 Mei 1959, Hamka membantah tuduhan Soekarno bahwa Konstituante bertele-tele dalam melaksanakan tugasnya. Menurutnya, ‚menciptakan suatu Undang-undang Dasar pun bukanlah laksana menggosok lampu Aladin.‛ Dalam proses pembuatan aturan dasar negara itu, jelasnya, memang ditemukan banyak pikiran yang berbeda dan berbagai macam kesulitan lainnya. Namun melalui proses musyawarah akhirnya ditemukan juga kata sepakat di antara kelompok-kelompok yang ada. ‚Cuma satu yang belum, yaitu dasar negara,‛ tegasnya. Karena itu Hamka meminta semua pihak untuk bersabar menanti Konstituante menyelesaikan pekerjaannya. ‚Oleh sebab itu, baik pun kita tetap memakai Undang-undang Dasar 1950, atau sabar sebentar menunggu selesai Undang-undang Dasar yang sedang disusun dengan memakai belanja berjuta-juta...,‛ pintanya. 742 Keinginan kembali ke UUD 1945 dianggap Hamka tidak lebih dari sekedar untuk mewujudkan Demokrasi Terpimpin yang sudah diimpikan Soekarno sejak lama.743 Tujuan dari demokrasi semacam ini, menurut Hamka, adalah untuk ‚dimenangkanlah Dasar Negara Pancasila, dan Dasar Negara Islam telah dikalahkan!‛. Pernyataan Soekarno tentang Piagam Jakarta sebagai dokumen historis dipandang Hamka hanya sekedar menjadi ‚sedikit ‘obat hati’.‛ Hamka memang sepakat dengan Soekarno tentang kondisi bangsa yang saat itu sedang sakit. Namun obat yang ditawarkan Soekarno itu dinilainya bagaikan memberi ‚obat yang berlipat ganda dari takaran‛ kepada pasien. Tentu saja bukan kesembuhan yang didapatkan, namun ‚si pasien akan mati segera karena terlalu banyak makan obat.‛ Karena itulah Hamka menyamakan Soekarno dengan seorang dokter yang sedang dilanda kecemasan saat mengobati pasien. Karena dipenuhi rasa cemas, si dokter pun memberikan obat berlipat ganda melebihi takaran yang justru menyebabkan pasien malah lekas mati.744 Hamka juga balas menyerang Soekarno. Menurutnya, klaim Soekarno bahwa kembali ke UUD 1945 merupakan kehendak massa yang tidak dapat ditahan dan dihalang-halangi lagi tidak lebih dari sekedar slogan kampanye dan agitasi semata. Hamka menyatakan, Soalnya saudara ketua, bukanlah soal massa, tetapi soal cukup alat dan kekayaan dan perlengkapan, dan kekuasaan buat mengerahkan massa. Massa yang tidak menyetujui pun banyak, massa yang mempunyai konsepsi sendiri sebagai tegen- conceptie pun banyak, massa yang menerima kembali ke Undang-undang Dasar tahun 1945, tetapi dengan syarat pun banyak. Tetapi sayang tidak mempunyai alat, tidak menguasai radio, tidak mempunyai truck-truck buat mengangkut orang, dan diikat pula oleh Staat van Oorlog en Beleg, oleh Undang-undang Keadaan dalam

741 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 362 742 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 360 743 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 360. 744 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 368-369

151

Bahaya, yang melarang mengadakan rapat-rapat politik kalau tidak izin penguasa perang.745 Karena hanya menjadi alat kampanye, Hamka menilai seruan kembali ke UUD 1945 itu tidak akan menyelesaikan masalah. Justru akan segera ‚hilang saja setelah selesai dipidatokan atau dikampanyekan dengan berapi-api.‛ Hamka melanjutkan, suatu saat nanti ketika mengalami kegagalan dia pun akan ‚menumpahkan kemarahan hatinya kepada orang lain, dan tidak mau sama sekali menilik kesalahan dirinya sendiri.‛ Hamka melihat berbagai aksi massa yang sering terjadi merupakan bagian dari upaya Soekarno untuk menekan dan mengancam Konstituante agar menuruti keinginannya kembali ke UUD 1945. Selain pula ancaman yang berbentuk verbal dalam berbagai pidato Soekarno. Atas ancaman ini Hamka menyatakan, ‚kecut dan gentarlah hati kalau iman kurang kuat, serasa-rasa anggota Konstituante ‘yang terhormat’ hanya laksana murid-murid sekolah yang sedang dimarahi guru, entah apa sebabnya, atau laksana pesakitan yang sedang menghadapi putusan hakim.‛746 Penggunaan cara-cara intimidatif itu membuat Hamka menduga sebenarnya Soekarno tidak sepenuhnya yakin pada kebenaran pendapatnya sendiri. Bagi Hamka, ‚suatu cita atau pikiran yang diyakini kebenarannya oleh penciptanya, tidaklah perlu dilancarkan dengan ancaman.‛ Jika gagasan kembali ke UUD 1945 itu diyakini benar oleh Soekarno, lanjutnya, tentu tanpa diragukan lagi ‚cukup kuat untuk mempertahankan dirinya.‛ Hamka juga mengajak untuk menghentikan cara- cara seperti itu, serta membicarakan persoalan-persoalan yang ada secara baik-baik dan dengan pikiran terbuka. ‚Sedianya janganlah sampai demikian. Ketengahkanlah hitungan dan kemarikanlah usul. Dan mari kita bicarakan baik- baik dengan hati yang sama-sama terbuka. Tidak ada orang lain di sini. Semuanya adalah wakil daripada rakyat yang 85 juta, putera dari Indonesia yang jaya, di bawah naungan Sang Saka‛, ujarnya.747 Hamka juga mengritik Asmara Hadi yang mengatakan bahwa kembali ke UUD 1945 merupakan ‚jembatan Shirathal Mustaqim yang akan membimbing menuju taman Firdaus masyarakat yang adil dan makmur.‛ Bagi Hamka, Asmara Hadi telah salah menempatkan istilah tersebut. Alih-alih menempuh Shirathal Mustaqim, ujar Hamka, kembali ke UUD 1945 itu merupakan jalan yang berkelok- kelok. Bahkan jalan menuju ke arah neraka Jahim. Secara lugas Hamka menyatakan, ‚ash-Shirathal Mustaqim artinya ialah jalan yang lurus. Garis lurus ialah jarak yang sedekat-dekatnya di antara dua titik. Geweten dan logika yang

745 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 364 746 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 360- 361, 364-365 747 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 360-361; Lihat juga Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 217; A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 243- 244; Bonnie Triyana, ‚Ikhtiar Terhenti Di...,‛ h. 59

152 sehat akan mengatakan bahwa jalan yang ditempuh ini bukan lurus tetapi berbelok- belok, berliku-liku. Lebih tepat kalau beliau pakai ‘Ash-Shirat ilal Jahim’‛.748 Meski getol menolak usulan Soekarno untuk kembali kepada UUD 1945, namun pada akhirnya atas usul KH Masjkur dan disetujui fraksi-fraksi Islam, mereka pun mengendorkan tuntutannya. Golongan Islam pun membuat tuntutan baru: bisa menerima UUD 1945 asal diamandemen dengan memasukkan Tujuh Kata Piagam Jakarta ke dalam Mukaddimah. Pilihan ini kemudian diputuskan melalui voting terbuka di Konstituante. Pemungutan suara pertama dilakukan pada Sidang I Rapat ke 25, Sabtu 30 Mei 1959. Voting ini untuk memilih ‚Setuju‛ atau ‚Tidak Setuju‛ atas tuntutan golongan Islam agar UUD 1945 diamandemen dengan memasukkan kalimat ‘Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya’. Dari 470 anggota Konstituante yang hadir, sebanyak 466 anggota yang memberikan suara, dengan hasil: 201 suara menyatakan ‚setuju‛, dan 265 suara yang ‚tidak setuju‛. Karena pihak yang setuju amandemen kurang dari dua pertiga suara, maka tuntutan amandemen dengan memasukkan Tujuh Kata Piagam Jakarta itu pun kandas.749 Setelah tuntutan amandemen kandas, selanjutnya Konstituante menggelar pemungutan suara dengan pilihan: ‚Setuju atau tidak setuju terhadap Undang- undang Dasar 1945 keseluruhannya,‛ sebagaimana yang diusulkan pemerintah. Dari 474 anggota yang hadir didapat hasil 199 suara tidak setuju dan 269 suara menyatakan setuju. Hasil pemungutan suara ini kembali tidak mencapai 2/3 suara dari anggota yang hadir. Maka pilihan menerima UUD 1945 secara keseluruhan pun kandas, sehingga harus diadakan pemungutan suara ulang.750 Pemungutan ulang dilaksanakan Senin 1 Juni 1949 pada Sidang I, Rapat ke 26, secara tertutup. Dari 468 anggota yang hadir, sebanyak 264 suara menyatakan setuju dan 204 suara tidak setuju. Dengan demikian pilihan ‚kembali kepada UUD 1945 secara keseluruhan‛ kembali tidak mencapai batas minimal 2/3 suara yang hadir.751 Ulangan pemungutan suara ketiga dengan pilihan yang sama digelar pada Sidang I, Rapat ke 27, Selasa 2 Juni 1959. Dalam pemungutan terbuka sebanyak 263 suara menyatakan setuju. Sementara yang tidak setuju berjumlah 203 suara. Lagi-lagi tidak tercapai kata putus karena kedua pihak belum mencapai 2/3 suara dari 468 anggota Konstituante yang hadir.752 Sidang ini menjadi yang terakhir bagi Konstituante karena mereka akan memasuki masa reses. Dalam reses itu akan dilakukan perundingan dengan

748 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 365 749 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h. 1084. Voting dengan pilihan ‚menerima UUD 1945 dengan amandemen yang memasukkan Tujuh Kata Piagam Jakarta‛ dilakukan sekali atas permintaan pengusulnya. 750 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h. 1102 751 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h. 1114 752 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h. 1131

153 pemerintah terkait dengan penyusunan Undang-undang Dasar. Saat itu pemerintah menyatakan tidak memberikan tanggapannya atas hasil di Konstituante.753 Tanggapan pemerintah keluar sebulan kemudian melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memutuskan kembali ke UUD 1945 dan membubarkan Konstituante. Atas pembubaran tersebut M Natsir memberikan apresiasi kepada Konstituante yang dinilainya ‚bubar dengan terhormat‛ karena ‚tidak bersedia menjualbelikan prinsip dan martabatnya.‛ ‚Kita memberi salut kepada para anggota Konstituante yang telah berhasil sampai pada saat yang terakhir mempertahankan martabat lembaga demokrasi tertinggi di Indonesia,‛ tulisnya.754 Pembubaran Konstituante melalui Dekrit Presiden diiringi dengan tuduhan kegagalan Konstituante melaksanakan tugas membentuk UUD yang permanen. Namun tuduhan ini ditolak banyak pihak. Menurut Ketua Konstituante Wilopo, saat itu Konstituante sudah menyelesaikan 90 persen tugasnya. Mereka tinggal mencari kompromi terkait masalah dasar negara. Kemungkinan kompromi dapat tercapai seandainya Konstituante tidak digagalkan oleh intervensi luar, karena saat Dekrit dikeluarkan posisi Konstituante sedang reses. Sedangkan Ketua Umum PNI Soewirjo dan Ketua Umum Masyumi Prawoto sudah bertemu untuk mencari kesepakatan bersama. Pembicaraan keduanya juga sudah mendekati kesepakatan kompromi.755 Meski keras menolak Dekrit tersebut, Masyumi akhirnya terpaksa bersikap realistis. Mereka pun menerima pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai sebuah kenyataan. Masyumi pun bisa menerima isi dari Dekrit tersebut, hanya saja partai ini menolak cara pemberlakuannya yang dilakukan melalui Dekrit. Masyumi menilai Dekrit sebagai sebuah tindak kekuatan, bukan hasil musyawarah. Tentang hal ini menarik pernyataan Ketua Fraksi Masyumi di DPR Mohammad Sardjan seperti yang dikutip Mahendra berikut ini: Sardjan mengatakan, meskipun Masyumi menentang dekrit sebagai ‘prosedur’ untuk memberlakukan UUD 1945, tetapi Masyumi ‘dapat’ menerima ‘berlakunya UUD 1945 sebagai suatu realitas’. Sardjan mengibaratkan sikap partainya itu dengan seorang yang yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Orang yang dipenjara itu, kata Sardjan, boleh menolak dakwaan bahwa ia bersalah. Tetapi ia tidak dapat menolak realitas bahwa ia dimasukkan ke dalam penjara. Masyumi,

753 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h. 1132 754 M Natsir, Capita Selecta 3, h. 275 755 Lihat Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 99; Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan & Persatuan: Biografi Dr Anwar Harjono, SH, (Jakarta: Media Dakwah, 1993), h. 190-191. Pernyataan Wilopo bahwa Konstituante telah menyelesaikan 90 persen pembahasan UUD baru juga disampaikannya dalam persidangan di Konstituante dan diungkapkan ulang oleh banyak anggotanya. Sebagai contoh lihat Kahar Muzakkir yang mengutip pernyataan Wilopo tersebut menyatakan ‚Saya perhatikan dari kata-kata penutupan Sidang Panitia Persiapan Konstitusi hari ini, dengan jelas beliau mengatakan bahwa Konstituante sudah menyelesaikan 90% dari tugasnya.‛ Lihat Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan 1959 Djilid II, h. 505.

154

tambah Sardjan, akhirnya ‘menyerah kepada sejarah, apakah dekrit itu benar atau salah’.756 Penerimaan itu ditandai dengan sikap Fraksi Masyumi di DPR, yang bersama-sama dengan fraksi-fraksi lainnya, secara aklamasi menerima Dekrit tersebut. Sebelum akhirnya DPR pilihan rakyat itu juga turut dibubarkan Soekarno dan digantikan dengan DPR-GR (DPR-Gotong Royong) karena menolak RAPBN yang diajukan pemerintah.757 Madinier pun mencatat, pada akhir Juli 1959 Prawoto Mangkusasmito selaku Ketua Umum Masyumi memberitahu Presiden Soekarno tentang kesediaan partainya untuk tunduk pada UUD 1945, dengan tambahan bahwa dirinya pun berhak meminta semua pihak, termasuk presiden dan pemerintah, untuk mematuhi seluruh tata aturan kenegaraan yang berlaku.758 Ada hal menarik di sini, jika diperbandingkan isi Dekrit dengan Rancangan Piagam Bandung yang ditawarkan pemerintah melalui pidato Presiden Soekarno tanggal 22 April 1959, sesungguhnya tidak ada perbedaan yang terlalu jauh. Dalam Piagam Bandung yang dilampirkan dalam pidato presiden itu disebutkan bahwa Piagam Jakarta sebagai ‚dokumen historis‛ yang menjiwai penyusunan Pembukaan UUD 1945, dan menjadi bagian dari pada konstitusi tersebut.759 Sementara dalam Dekrit juga disebutkan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Di sini tampak adanya perubahan sikap pemerintah, dari semula memposisikan Piagam Jakarta hanya sebagai dokumen historis yang menjiwai Pembukaan UUD 1945 menjadi menjiwai keseluruhan UUD 1945, dari pembukaan hingga batang tubuhnya. Sebelum keluarnya dekrit, pemerintah tampak ragu-ragu mengakui dan menempatkan posisi Piagam Jakarta dalam UUD 1945, sebagaimana yang terlihat dari penjelasan pemerintah yang berubah-ubah. Anshari mencatat empat penjelasan pemerintah sebelum dekrit: pertama, rumusan Kabinet 19 Pebruari 1959 yang hanya mengakui adanya Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kedua, Dalam keterangan di DPR pada 2 Maret 19459 pemerintah mengakui Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang mendahului pembentukan UUD 1945. Ketiga, Dalam pidato presiden di Konstituante tanggal 22 April 1959, Soekarno menyatakan Piagam Jakarta adalah ‘dokumen historis’ yang mempelopori dan mempengaruhi pembentukan UUD 1945, dan keempat dalam jawaban pemerintah di Konstituante 21 Mei 1959 pemerintah mengakui adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis yang menjiwai penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang menjadi bagian daripada konstitusi.760

756 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 221-222; Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan..., h. 192 757 Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan..., h. 192; Prawoto Mangkusasmito, ‚Masyumi, Pancasila, dan Revolusi Kiri atau Kanan,‛ dalam SU Bajasut dan Lukman Hakiem, Alam Pikiran dan..., h. 262 758 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 221; Remy Madinier, Partai Masjumi..., h. 256 759 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 60-62 760 Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni..., h. 117-118

155

Tampaknya pemerintah ‚terpaksa mengalah‛ pada keteguhan sikap yang ditunjukkan wakil-wakil golongan Islam di Konstituante. Meski secara jumlah tidak lebih banyak dari pada lawannya, namun mereka tetap teguh memperjuangkan cita-cita politiknya, seperti yang diceritakan oleh Saifuddin Zuhri. Di suatu malam di awal bulan Juli 1959, Saifuddin Zuhri dan Idham Chalid didatangi dua perwira tinggi APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia, sekarang jadi disebut TNI – Tentara Nasional Indonesia) Jend. AH Nasution dan Letkol CPM R. Rush. Keduanya meminta masukan materi apa yang perlu dimasukkan jika presiden mengeluarkan dekrit. Secara tegas keduanya meminta pemerintah memperhatikan aspirasi kelompok Islam di Konstituante. Ketika ditanya apa konkritnya aspirasi itu, secara tegas dijawab: ‚Agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945.‛761 Atas hal ini Boland, sebagaimana yang dikutip Anshari, menyatakan, seandainya rumusan yang menyebut secara eksplisit bahwa Piagam Jakarta itu menjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut yang ditawarkan pemerintah, kemungkinan besar akan diterima oleh kelompok Islam di Konstituante sehingga tidak diperlukan adanya dekrit.762 Perjuangan mewarnai Indonesia dengan nilai-nilai keislaman dalam Konstituante bukan hanya dilakukan Hamka dengan mangusulkan Islam sebagai dasar negara. Dalam persidangan yang membahas tentang bahasa nasional Hamka juga memberikan penekanan pada peran Islam dan Arab bagi bahasa Indonesia. Menurutnya bahasa Indonesia yang ada saat ini bersumber dari bahasa Melayu, yang merupakan lingua franca bagi penduduk di berbagai kepulauan Nusantara dan bahasa diplomasi di antara kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara, jauh sebelum Portugis datang ke Nusantara pada 1511. Di abad ke 16-17 bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan keislaman di Nusantara. Para ulama dan sarjana menulis karya-karyanya dalam berbagai bidang keilmuan seperti Tasawuf, Kalam, dan Fikih dalam bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab (Arab Melayu/Jawi/Pegon). 763 Melayu juga menjadi bahasa hukum yang digunakan untuk menuliskan undang-undang di berbagai kesultanan di Nusantara. Undang-undang Peutumuruhum di Kesultanan Aceh dan UU Simburtjahaja di Kesultanan Palembang ditulis dalam bahasa Melayu. Termasuk juga UU di Kesultanan Banjarmasin di zaman Sultan Adam Al-Watsiq Billah. Bahasa Melayu juga terus digunakan dalam pergerakan-pergerakan kebangsaan modern di abad ke 20, seperti yang dilakukan HOS Tjokroaminoto dan Sarekat Islam. Atas dasar itu Hamka yang mewakili Masyumi mengusulkan dua hal: 1. Bahasa resmi negara adalah bahasa Indonesia; dan 2. Pemeliharaan dan pemakaian bahasa daerah diatur oleh undang- undang. Pada usulan pertama Masyumi tidak menggunakan rumusan ‚Bahasa kebangsaan atau bahasa nasional adalah bahasa Indonesia,‛ karena memandang

761 Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2013), h. 575 762 Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni..., h. 127. 763 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid V, h. 177

156 bahwa bahasa daerah pun sesungguhnya merupakan bahasa kebangsaan dan bahasa nasional. Dalam rumusan ‚Bahasa nasional/kebangsaan adalah bahasa Indonesia,‛ tegas Hamka, seolah menyatakan bahwa bahasa daerah bukanlah bahasa bangsa Indonesia, dan itu, menurutnya, telah menyinggung perasaan.764 Dalam sidang pembahasan tentang bahasa itu pula Hamka meminta agar bahasa Arab tidak dikategorikan sebagai bahasa asing. Karena, ungkap Hamka beralasan, bahasa Arab telah menjadi bagian hidup bangsa Indonesia, khususnya yang beragama Islam. Sejak dini, jelasnya, orang Islam telah menggunakan bahasa Arab melalui adzan yang diperdengarkan pada bayi-bayi yang baru lahir. Pun demikian setiap hari umat Islam selalu mendengarkan bahasa Arab setidak- tidaknya lima kali sehari melalui adzan shalat fardhu. Lebih dari itu bahasa Arab adalah bahasa kitab suci bagi umat Islam, al-Qur’an. Hamka juga mengingatkan bahwa upaya penyingkiran bahasa Arab dari kehidupan umat Islam akan sia-sia belaka, sembari memberi contoh kasus sekularisme Turki pada zaman Mustafa Kemal. 765 2. Sikap Hamka Terhadap Pancasila Berkaitan dengan persoalan Pancasila, tampak terlihat perbedaan sikap pada diri Hamka dan tokoh-tokoh Masyumi ketika berada di dalam dan di luar Konstituante. Saat berada di Konstituante Hamka, Masyumi, dan partai-partai Islam tegas menolak Pancasila sebagai dasar negara, dan mati-matian menginginkan Indonesia berdasarkan Islam. Namun demikian, jika diamati secara mendalam akan terlihat konsistensi di balik penampakan luar itu, yaitu keinginan untuk menjadikan agama sebagai pondasi bagi pembangunan Indonesia merdeka. Sesungguhnya Hamka dan tokoh-tokoh Masyumi memiliki sikap yang positif terhadap Pancasila. Mereka menilai Pancasila telah sesuai dengan kehendak Islam, seperti yang dicatat oleh Yusril Ihza Mahendra: ‚Dr Hamka, seorang pengurus Dewan Partai, mempunyai pandangan yang positif mengenai Pancasila. Menurutnya kelima sila di dalam Pancasila itu adalah asas-asas yang sesuai dengan Islam‛.766 Lalu kenapa Hamka dan kelompok-kelompok Islam (khususnya Masyumi di mana Hamka aktif) dalam Konstituante menginginkan sebuah negara yang berdasarkan Islam? Sebagaimana yang telah disinggung di awal sub bab ini, Masyumi dan partai-partai Islam lainnya lahir dalam situasi ‚persaingan ideologi‛ memperebutkan pengaruh atas negara yang masih muda. Dalam suasana seperti ini adalah wajar bila masing-masing aliran berupaya menampilkan keunggulan dan wajah ideal dari pahamnya masing-masing. Konstituante sebagai lembaga resmi ‚pertarungan ideologi‛ menjadi ajang bagi setiap aliran menawarkan idealitas ideologinya. Dalam konteks ini Masyumi dan kelompok Islam lainnya membuat

764 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid V, h. 178 765 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid V, h. 180-183 766 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 135

157 strategi ‚tidak lantas menerima Pancasila sebagai dasar negara‛ seperti yang diajukan oleh golongan-golongan lain.767 Strategi ini dilanjutkan dengan strategi lain, yaitu penetapan tujuan maksimal dan tujuan minimal dalam perjuangan di Konstituante. Tujuan maksimalnya, seperti yang nyatakan pimpinan Masyumi Zainal Abidin Ahmad, adalah ‚memperjuangkan ideologi Islam menjadi ideologi negara‛.768 Lebih lanjut dijelaskan, tujuan maksimal tersebut adalah ‚Menjadikannya negara Islam dalam arti yang sesungguhnya,‛ yaitu: ‚Negara Islam Indonesia itu, bukan saja menempatkan Islam sebagai dasar negara secara formal, tetapi prinsip-prinsip yang dipergunakan dalam menyelenggarakan negara seluruhnya didasarkan kepada hukum-hukum Islam.‛769 Namun jika tujuan maksimal itu tidak tercapai, tujuan minimal yang ingin dicapai Masyumi adalah ‚menerima Pancasila sebagai ideologi negara, dengan memasukkan dan mengisinya dengan jaminan cita-cita dan kehendak umat Islam‛.770 Strategi seperti ini jelas tergambar dari pernyataan Hamka: Bagi orang Islam sendiri dapatlah Ketuhanan Yang Maha Esa itu ditafsirkan dengan tauhid. Sebab di sana nyata Ke-Esaan menjadi pokok Ketuhanan. Dan bilamana yang pertama telah diterima, sebagai muslim tidaklah apriori akan menolak yang empat belakangan. Sebab yang empat di belakang itu adalah konsekuensi yang sewajarnya daripada yang pertama. Tetapi tidak dapat menolak, bukanlah artinya telah puas! Karena yang dicita ialah agar nama ISLAM itu terang-terang tercantum.771 Meskipun tokoh-tokoh Masyumi mengakui bahwa Pancasila ‚telah mencerminkan kehendak Islam‛, bahkan UUD 1950 yang berlaku saat itu dianggap telah ‚melampaui garis tengah negara yang dikehendaki Islam‛. Namun Masyumi tetap terlebih dahulu mengajukan cita-citanya yang maksimal berupa Islam secara nyata tertulis sebagai dasar negara. Untuk strateginya ini, dalam Rancangan Undang-undang Republik (Islam) Indonesia yang disusun Masyumi dirumuskan dua alternatif dasar negara, yaitu: ‚Republik Indonesia Berdasarkan Islam‛ atau ‚Republik Islam Indonesia Berdasarkan Pancasila,‛ dengan satu acuan bahwa rancangan tersebut bukan ‚harga mati‛. Dengan demikian, simpul Mahendra, rancangan tersebut merupakan gambaran ideal cita-cita maksimal Masyumi.772

767 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 206 768 Lihat Zainal Abidin Ahmad, ‚Konstitusi dan Pantja Sila,‛ dalam Hikmah, no 43- 44, tahun VIII, 26 Oktober 1955, h. 10; Bonnie Triyana, ‚Ikhtiar Terhenti di Konstituante‛, dalam Historia, no 16, tahun II, 2013, h. 58 769 Lihat Ideologi Masyumi, dokumen tidak diterbitkan, h. 36 770 ZA Ahmad, ‚Konstitusi dan Pantja Sila...,‛ h. 10; Bonnie Triyana, ‚Ikhtiar Terhenti di...,‛ h. 58 771 Hamka, ‚Undang-undang Dasar Indonesia...,‛ h. 8. Kata ‚ISLAM‛ dicetak kapital berasal dari penulisnya sendiri. 772 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 206-207. UUD 1950 merupakan UUD hasil kesepakatan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Republik Indonesia (RI) setelah Mosi Integral Natsir diterima dan negara-negara bagian RIS kembali melebur ke dalam RI. Pada tanggal 20 Juli 1950 kedua pemerintah menyepakati suatu UUD Sementara yang kemudian dikenal sebagai UUDS 1950. UUD ini

158

Strategi tersebut diambil berdasarkan dua pertimbangan. Pertama, terkait dengan persoalan tafsir atas Pancasila. Masyumi, jelas Mahendra, ingin mengetahui secara pasti maksud dari Pancasila yang diajukan kelompok seberang, karena memang Pancasila tidak hanya didukung oleh kalangan nasionalis sekular, namun juga partai Kristen, Katolik, sosialis, kejawen, bahkan komunis. Kedua, Masyumi ingin memenuhi janjinya kepada konstituennya pada Pemilu 1955 sebagai sebuah amanah yang harus ditunaikan.773 Memang, para pendukung Pancasila dalam Konstituante memiliki pemahaman yang tidak sama terhadap Pancasila, khususnya sila pertama. Mahendra mencatat, Wongsonegoro - seorang Kejawen tokoh Partai Indonesia Raya- memaknai Ketuhanan sebagai panteisme. Aidit, Njoto, dan Sakirman dari PKI memaknainya sebagai ‚kebebasan beragama dan kebebasan untuk tidak beragama,‛ bahkan ‚kebebasan untuk melakukan propaganda anti agama.‛ Sudjatmoko dari Partai Sosialis memahaminya dari sudut pandang teosofi. Sementara tokoh-tokoh PNI ada yang menafsirkan ‚Ketuhanan‛ secara Kristiani, mistik, bahkan sekuleristik. Keragaman penafsiran tentang Pancasila bukan hanya pada Sila Ketuhanan, namun juga Sila Keadilan Sosial.774 Dari seluruh pendapat yang disampaikan tokoh-tokoh pengusung Pancasila, Maarif melihat hanya pendapat M Hatta dan Arnold Mononutu yang mengatakan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pokok dari Pancasila dan merupakan sumber moral-etik bagi sila-sila lainnya.775 Dengan demikian, sesungguhnya Pancasila yang didukung oleh beberapa fraksi di Konstituante pada hakikatnya bukanlah Pancasila yang bersumber dari Piagam Jakarta, namun Pancasila menurut penafsiran masing-masing pendukungnya di badan pembentuk UUD tersebut.776 Konsep Pancasila yang non-agamis seperti ini juga mendapat dukungan penuh dari kaum Komunis. Bahkan dalam sidang-sidang Konstituante mereka berupaya membawa Sila Ketuhanan pada pengertian kebebasan beragama seperti di atas.777 Selain itu, kalangan Islam juga telah belajar dari masa-masa sebelumnya. Pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK, Soekarno mengusulkan nama ‚Pancasila‛ dengan menempatkan sila ‚Ketuhanan‛ di posisi terakhir. Menurut M Yamin, Soekarno menggali Pancasila dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia jauh sebelum Islam. Ketuhanan dalam Pancasila versi Soekarno tidak memiliki

merupakan gabungan dari permulaan Pembukaan UUD 1945 dan akhiran Mukadimah UUD RIS. Dalam UUDS 1950 ini rumusan Pancasila berbunyi: Pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa; Peri-Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Lihat Prawoto Mangkusasmito, ‚Apakah Arti Dekrit Presiden Republik Indonesia 5 Juli 1959?,‛ dalam SU Bajasut dan Lukman Hakiem, Alam Pikiran dan..., h. 402-406. Jika dibandingkan Mukaddimah UUDS 1950 ini dengan Pembukaan UUD 1945 tidak terlihat perbedaan yang substansial antara keduanya. Dengan demikian dapat disimpulkan, tokoh-tokoh Masyumi pun melihat UUD 1945 telah ‚ melampaui garis tengah negara yang dikehendaki Islam.‛ 773 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 207-208. 774 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 207-208. 775 A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 214 776 Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 86-87 777 A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 194-197.

159 kaitan organik dengan doktrin sentral agama manapun. Ketuhanan dalam konsepsi ini bersifat sosiologis, dan karenanya, bersifat relatif dan bisa diperas dengan menghilangkan Sila Ketuhanan sebagaimana yang dilakukan Soekarno dalam konsep Eka Sila yang cuma berisi Gotong Royong. 778 Ternyata tafsiran yang sosiologis dan non-agamis atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa kembali disuarakan Soekarno beberapa saat sebelum pemilihan umum 1955, yaitu pada kuliah umum di Makassar tanggal 5-6 Mei 1954, dan saat Soekarno bertemu dengan Gerakan Pembela Pancasila pada 17 Juni 1954.779 Kekhawatiran pihak Islam atas sila pertama Pancasila yang ditafsirkan secara semena-mena itu tampak dari pidato Hamka di Konstituante. Saat itu Hamka menyatakan bahwa pihaknya cemas pada cara berfikir yang sekular atas Pancasila karena dapat melahirkan ‚keragu-raguan hidup‛. Selain itu Hamka juga cemas dengan dukungan kalangan komunis terhadap Pancasila, padahal secara pandangan hidup komunisme bertentangan dengan Pancasila itu sendiri.780 Dalam situasi seperti inilah taktik ‚tidak lantas menerima Pancasila sebagai dasar negara‛ digunakan oleh kelompok Islam untuk memastikan bahwa Pancasila memang tidak bermakna sekuler. Namun ternyata perbedaan pemahaman dari para pendukung Pancasila di Konstituante membuat kalangan Islam belum bisa teryakinkan dengan Pancasila.781 Dalam kerangka seperti inilah dapat dipahami jika sikap tokoh-tokoh kelompok Islam, termasuk Masyumi dan Hamka di dalamnya, terhadap Pancasila terlihat berbeda saat berada dalam Konstituante dengan di luar Konstituante. Sikap positif Hamka terhadap Pancasila sesungguhnya sudah terlihat sejak awal kemerdekaan. Dalam buku berjudul Islam dan Demokrasi yang terbit tahun 1946, Hamka secara tegas menyambut baik kemerdekaan Indonesia. Hamka juga mengajak rakyat untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan dan demokrasi itu. Apalagi, tegasnya, ‚di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal XI sudah dilukiskan dasar asli negara kita, yaitu ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.‛782 Di tahun yang sama Hamka juga menerbitkan buku berjudul Revolusi Agama. Dalam buku ini Hamka memandang bahwa dasar utama revolusi kemerdekaan Indonesia adalah ‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ yang kemudian ditulis dalam UUD. Karena itu, jelasnya, ‚revolusi Indonesia‛ telah menjadi revolusi ibadat kepada Allah Swt.783 Sementara di dalam buku Keadilan Sosial Dalam Islam Hamka menulis, ‚Kita susun negara Indonesia merdeka. Dan kita jadikan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, menjadi sunting dari kehidupan kita. Kita

778 A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 194-197. 779 Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 81-82 780 Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Djilid III..., h. 78 781 A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 197-198 782 Hamka, Islam dan Demokrasi, (Bukittinggi – Medan: Firma Tjerdas, 1946), h. 48 783 Hamka, Revolusi Agama, (Jakarta: Pustaka Antara, 1949), h. 11-12. Buku ini terbit pertama kali tahun 1946. Dalam tulisan ini digunakan edisi kedua tahun 1949 setelah ada penambahan dan perluasan.

160 akan merasa bahagia berlindung di bawahnya.‛784 Penerimaan Hamka terhadap sila ‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ sangat terlihat dalam bukunya Urat Tunggang Pantjasila.785 Penjelasan lain diberikan Deliar Noer. Menurutnya perbedaan situasilah yang membuat Hamka melakukan pendekatan yang berbeda terhadap Pancasila. Jika dalam Konstituante dia punya pilihan antara dasar negara Pancasila atau Islam, sementara di luar itu, khususnya pasca Konstituante, pilihan itu tidak ada lagi. Ketika tidak tersedia peluang memilih, yang dilakukan Hamka adalah bagaimana memandang Pancasila itu sendiri. Di sinilah Hamka melakukan pembacaan secara holistik terhadap Pembukaan UUD 1945. Dari kalimat ‚berkat rahmat Allah yang Mahakuasa‛ yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945, Hamka menyimpulkan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merujuk pada konsep yang tauhidik.786 Ada dua poin penting yang dicatat Hamka dalam alinea itu. Pertama, kalimat ‚Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa,‛ dan kedua ‚didorongkan oleh keinginan luhur.‛ Hamka menjelaskan, dari dua kalimat tersebut terlihat kesadaran bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan yang diraihnya merupakan hasil dari pertemuan antara takdir Allah dengan kehendak manusia. Kesadaran seperti itu muncul dari ajaran al-Qur’an sebagaimana yang termaktub dalam Surat al-Ra’d (Surat ke 13) ayat 11 yang menyatakan bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri.787 Ini kemudian diperkuat dengan sila pertama Pancasila yang secara tegas menyebut ‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ dan juga dalam Pasal 29 UUD 1945.788 Bahkan, tegas Hamka, sila pertama ini merupakan inti sebagai ‚urat tunggang‛ dari Pancasila itu sendiri. Inilah sila yang tetap dan tidak boleh berubah meski sila- sila yang lain dapat diubah.789 ‚Saya sebagai seorang Muslim tidak dapat berfikir lain, dan tidak dapat dipaksa berfikir lain dari bahwa sila yang pokok ialah Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa!‛, tegasnya. 790 Sikap tegas Hamka ini tampak dari pernyataannya berikut ini: Tidak! Bagi kita Dasar Negara yang pertama itu adalah prinsip hidup kita. Misalkanlah berubah dasar negara ini, misalkanlah komunis yang mengadakan kup pada 30 September 1965 itu berhasil, lalu dasar negara ini mereka robah, namun kita

784 Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Jakarta: Widjaja, 1951), h. 117 785 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila.... 786 Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa, (Bandung: Mizan, 2001), h. 77-78. Kalimat yang terdapat dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 itu secara lengkap berbunyi: ‚Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.‛ 787 Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ h. 18 788 Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ H. 18; Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 25 789 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 35-36 790 Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ h. 18

161

kaum muslimin akan tetap mempertahankan Dasar Negara ini, Ketuhanan Yang Maha Esa ini, sampai saat menghembuskan nafas yang penghabisan…791 Sebagai ‚urat tunggang‛ Pancasila, sila pertama itu memberikan jiwa bagi sila-sila yang lain. Tanpa jiwa ‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ itu, keempat sila lainnya tidak akan dapat terlaksana. Hamka beralasan, ‚...bilamana berjuang dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa saja, dijamin, akan terpeliharalah Sila Yang Empat lagi,‛ hal itu disebabkan oleh ‚Ketuhanan Yang Maha Esa! Sumber hakiki dari segala sila dan kesusilaan‛.792 ‚Sebab orang yang percaya kepada Tuhan pasti berperi-kemanusiaan. Orang yang percaya kepada Tuhan pasti mempertahankan Persatuan Indonesia, karena dia beriman kepada Tuhan. Sebab Persatuan Indonesia itu adalah janji kita sebagai bangsa yang sadar. Janji itu adalah 22 Juni 1945‛, tulisnya.793 Hamka tegas menolak upaya sebagian kelompok yang mencoba memaknai kata ‚Tuhan‛ dalam Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai ‚bukanlah Tuhan sebagai yang diajarkan oleh suatu agama‛ atau ‚Ketuhanan yang bersumber dari jiwa bangsa Indonesia sendiri lama sebelum agama Islam datang ke Indonesia.‛ Bagi Hamka ‚Tuhan‛ dalam ‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ tersebut jelas-jelas merujuk kepada tauhid.794 Hamka merujukkannya pada Pembukaan UUD 1945 yang secara jelas menyebut ‚Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa.‛ Sementara yang disembah dalam kepercayaan-kepercayaan nenek moyang Indonesia ketika masih primitif (Animisme–Dinamisme) menurutnya bukanlah Tuhan, tetapi Hantu.795 ‚Dasarnya yang pertama ialah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Tuhan itu ialah Allah… Karena Allah yang tertulis di Mukaddimah UUD 1945 itu bukanlah Allah yang lain, tetapi Allah yang kita sembah sekurangnya lima waktu sehari semalam itu‛, jelasnya.796 Demikian pula Hamka menegaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu telah menjadikan negara Indonesia sebagai bukan negara sekular dan bukan pula negara liberal. Sebab menurut falsafah hidup bangsa kita, ujarnya, agama tidak dapat dipisahkan dari negara.797 Maka kalimat berkat dan rahmat yang telah terlukis di dalam preambule Undang- undang Dasar itu tidaklah boleh dipandang ringan. Kemerdekaan adalah anugerah Ilahi! Sebab itu maka dari permulaan sampai pada akhir perjalanan, tidaklah boleh

791 Hamka, ‚Siapa Anti Pantjasila!,‛ h. 3 792 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 35-36 793 Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ h. 18. Menurut Hamka sila Persatuan Indonesia merupakan hasil perjanjian antara tiga golongan di Indonesia: nasionalis (diwakili Sukarno, Hatta, M Yamin dan Soebardjo), golongan Islam (diwakili Agus Salim, Abikusno Cokrosuyoso, Wahid Hasyim dan Abdul Kahar Muzakkir), dan golongan Kristen (diwakili AA Maramis), dalam bentuk Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Ketiga golongan tersebut telah mencerminkan keragaman di Indonesia. Perjanjian semacam ini, jelasnya, adalah sah dalam Islam dan harus ditepati. Lihat juga Hamka, ‚Moral Pancasila,‛ h. 5 794 Hamka, ‚Moral Pancasila,‛ dalam Panji Masyarakat, no 207, tahun XVIII, 15 September 1976, h. 6 795 Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ h. 19 796 Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 26 797 Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ h. 18

162

kita melepaskan dari Allah. Dan dengan demikian dengan sendirinya pula, disadari atau tidak disadari, kekuasaan Allah tidaklah pernah dan tidak akan pernah tanggal dari negara kita ini.798 Namun demikian bukan berarti Indonesia menganut sistem teokrasi. Bagi Hamka, dalam Islam urusan kenegaraan harus diurus melalui musyawarah. Sementara pokok-pokok permusyawaratan sebagaimana yang terkandung dalam UUD 1945 telah sesuai dengan ajaran Islam. Hamka menjelaskan, Sedang dalam ajaran yang pokok dalam Islam sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Saw yang mendapat wahyu dari langit, namun urusan negara yang dinamai urusan duniawi dan hendaklah semuanya itu dilakukan oleh musyawarat. Baik musyawarat yang dikehendaki oleh penguasa (wa sha>wirhum fi> al-‘amr), atau musyawarat yang timbul atas inisiatif pemuka-pemuka masyarakat itu sendiri (wa ‘amruhum shu>ra> baynahum). Pokok musyawarat dalam UU Dasar 45 telah sesuai dengan kehendak agama Islam;…799 Meski Pancasila sebagai falsafah bernegara merupakan sesuatu yang baru, namun Hamka menekankan bahwa jiwa Pancasila telah ada sejak bangsa Indonesia mengenal Islam.800 ‚Pancasila telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, yaitu sejak seruan Islam sampai ke Indonesia dan diterima oleh bangsa Indonesia,‛ ungkapnya.801 Ruh inilah yang kemudian menjiwai perjuangan para pahlawan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.802 Karena itu, Hamka berkesimpulan, Pancasila akan tetap lestari jika urat tunggangnya, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, terus dipupuk.803 Caranya, jelasnya, umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini senantiasa berupaya menjadi pribadi muslim yang baik804 dan bersama-sama menghidupkan ajaran agama Islam dalam masyarakat.805 ‚Pancasila sebagai Falsafat Negara Indonesia, akan hidup dengan suburnya dan dapat terjamin, sekiranya kaum Muslimin sungguh-sungguh memahamkan agamanya, sehingga agama menjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah hidupnya‛, ujar Hamka.806 Hamka memang mengakui jika Pancasila merupakan ‚sebahagian dari ajaran Islam‛ sehingga umat Islam bersedia memegang teguh, menjunjung tinggi dan mengamalkannya dengan sepenuh hati. Namun demikian Hamka juga mengingatkan agar Pancasila tidak diposisikan layaknya agama, apalagi memaksa umat Islam untuk mengganti agamanya dengan Pancasila. Menurutnya, ajakan seperti ini pasti gagal, apalagi ‚...kalau pemimpin-pemimpin yang menganjurkan dan yang menyorak-nyorakkan Pancasila itu ialah pelanggar yang sebenarnya.

798 Hamka, ‚Moral Pancasila,‛ h. 5 799 Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ h. 20 800 Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 25 801 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 38 802 Hamka, ‚Islam Sebagai Dasar Negara,‛ h. 97-108 803 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 38 804 Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 25-26 805 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila..., h. 38 806 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila..., h. 37

163

Apatah lagi kalau perbuatan-perbuatan mereka dengan terang-terang seakan-akan menantang kemurkaan kaum muslimin…‛, ungkap Hamka.807 Berdasar kerangka seperti ini, Hamka kemudian memberikan tafsir yang tauhidik terhadap Pasal 29 UUD 1945 ayat 2 tentang jaminan atas kebebasan memeluk agama dan beribadah. Secara lengkap ayat tersebut berbunyi: ‚Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.‛ Dalam hal ini yang menjadi fokus perhatian Hamka adalah tentang makna kata ‚kepercayaan‛. Apa yang dimaksud dengan ‚kepercayaan‛ dalam ayat tersebut? Bagi Hamka ‚kepercayaan‛ dalam ayat tersebut bermakna ‚iman‛. Bukan bermakna yang lainnya. Makna ini, menurutnya, sesuai dengan maknanya dalam Bahasa Melayu yang merupakan sumber dari Bahasa Indonesia. Hal lain yang disorot Hamka adalah keberadaan kata ganti ‚itu‛ setelah ‚kepercayaannya‛. Hamka menjelaskan, keberadaan kata ‚itu‛ menjadi petunjuk bahwa ‚kepercayaan‛ dalam ayat tersebut tidak bisa dilepaskan dari ‚agama.‛ Dengan demikian, simpulnya, Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 tidak bisa digunakan untuk melegitimasi ‚ kepada Tuhan Yang Maha Esa‛ sebagai setara dengan agama. Saya sebagai seorang penganut faham demokrasi sejati, Demokrasi Pancasila, tidaklah keberatan kalau di negara kita ini ada golongan yang mengakui diri mereka percaya juga kepada Tuhan Yang Maha Esa, asal Tuhan itu jangan Allah; dan mereka tidak mau beragama, sebab itu mereka mau nikah dengan upacara sendiri, mengubur mayat dengan mengarang upacara sendiri, tetapi adalah suatu hal yang tidak logis kalau mereka musti dimasukkan pula sebagai golongan suatu yang sama duduknya dengan satu agama.808 Sikap Hamka seperti ini pernah disampaikannya kepada Presiden Soeharto melalui tulisan. Djarnawi Hadikusuma menceritakan, Hamka pernah mengirimkan surat yang tebal kepada Presiden Soeharto sebagai pertimbangan tentang permasalahan aliran kepercayaan. Dalam surat tersebut Hamka menjelaskan pikiran-pikirannya dengan nada emosional namun sopan, dan dengan kalimat- kalimat yang jelas dan tuntas. Hadikusuma menceritakan, dalam surat itu Hamka memberikan pentimbangan tentang madharat apabila aliran kepercayaan disetarakan dengan agama. Baik bahaya bagi agama, khususnya Islam, maupun bahaya bagi bangsa dan negara.809 C. Peran Politik Hamka di Era Demokrasi Terpimpin 1. Respons Hamka Terhadap Demokrasi Terpimpin Dekrit Presiden 5 Juli 1959 secara resmi menandai berlakunya sistem Demokrasi Terpimpin yang telah lama diimpikan Soekarno dan mengakhiri

807 Hamka, ‚Chutbah Hari Raja `Idil Fithri (1 Syawal 1386),‛ dalam Pandji Masjarakat, no 8, 20 Januari 1967, h. 5 808 Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ h. 21. 809Namun sayangnya Hadikusuma tidak menjelaskan madharat apa saja yang disampaikan Hamka kepada Presiden. Lihat Djarnawi Hadikusuma, ‚Buya Genius Hamka,‛ dalam Solichin Salam (ed), Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1979), h. 34

164 demokrasi parlementer. Secara resmi pemerintah mengajukan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945 melalui surat yang dikirim Perdana Menteri Djuanda kepada DPR tanggal 21 Pebruari 1959, yang berisi keputusan sidang Dewan Menteri tanggal 19 Pebruari 1959. Dalam sidang tersebut Dewan Menteri secara bulat menyepakati pelaksaan Demokrasi Terpimpin dan kembali kepada UUD 1945. Dewan Menteri juga menyatakan bahwa UUD 1945 adalah cukup demokratis dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia berupa ‚Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan‛ sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, sehingga lebih menjamin terlaksananya prinsip Demokrasi Terpimpin, karena ‚Demokrasi Terpimpin ialah demokrasi‛ itu sendiri. Dewan Menteri juga menyatakan bahwa UUD 1945 akan menjamin pemerintahan yang stabil selama lima tahun sesuai dengan Pasal 7 daripada Undang-undang Dasar Sementara yang berlaku saat itu, karena yang bisa menjatuhkan presiden adalah MPR bukan DPR.810 Dalam keterangannya di hadapan rapat pleno DPR, Senin 2 Maret 1959, Djuanda menjelaskan bahwa Demokrasi Terpimpin diambil oleh pemerintah dan ditawarkan kepada parlemen didasari oleh kesulitan-kesulitan di bidang politik, ekonomi-keuangan, militer, dan kemasyarakatan ‚yang dihadapi oleh negara dan masyarakat kita semenjak kemerdekaan Indonesia diakui, pada akhir tahun 1949, yang semakin lama makin bertambah.‛ Di bidang politik, Djuanda menyebut sistem multi partai dalam demokrasi liberal yang berlaku saat itu sebagai sebuah persoalan karena menimbulkan ketidakstabilan pemerintahan dan tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Padahal, ujarnya, demokrasi hanyalah alat untuk mewujudkan masyarakat yang adil-makmur. Masyarakat seperti ini menurut Djuanda hanya bisa diwujudkan dalam sistem demokrasi yang disiplin dan mempunyai pimpinan.811 Djuanda sendiri menyebut Demokrasi Terpimpin sebagai ‚demokrasi karya yang teratur dan terencana‛, yang sangat berbeda dari ‚demokrasi liberal yang bebas dan merdeka,‛ dan berbeda pula dari otokrasi dan diktator.812 Pada 22 April 1959, Soekarno menyampaikan pidato ‚Amanat Presiden‛ di Konstituante, yang mengajak untuk kembali kepada UUD 1945, menegakkan Demokrasi Terpimpin, dan pembentukan Front Nasional yang melibatkan kelompok-kelompok fungsional. Soekarno juga menegaskan bahwa keputusan Dewan Menteri tersebut bukan keputusan yang diambil secara tergesa-gesa.

810 Lihat ‚Putusan Dewan Menteri Mengenai Pelaksaan Demokrasi Terpimpin Dalam Rangka Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945,‛ dalam Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Departemen Penerangan RI, tt), h. 5-6 811 Lihat ‚Keterangan Pemerintah Mengenai Pelaksaan Demokrasi Terpimpin Dalam Rangka Kembali Ke UUD 1945,‛ dalam Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Departemen Penerangan RI, tt), h. 37-39 812 Lihat ‚Djawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Konstituante Mengenai Amanat Presiden Tanggal 22 April 1959 dan Anjuran Pemerintah Untuk ‘Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945’,‛ disampaikan oleh Perdana Menteri H Djuanda dalam Rapat Pleno Konstituante di Bandung, pada tanggal 21 Mei 1959, dalam Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945, Departemen Penerangan RI, h. 232-333

165

Keputusan itu diambil dengan pertimbangan yang matang dan dirumuskan dalam susunan redaksi yang terbaik, serta diyakini sebagai jalan terbaik bagi bangsa untuk mencapai cita-cita kemerdekaan.Soekarno menjadikan tawaran ‚kembali ke UUD 1945 dan Demokrasi Terpimpin‛ dalam satu paket karena menurutnya UUD 1945 ‚lebih menjamin terlaksananya prinsip Demokrasi Terpimpin.‛813 Tawaran ini merupakan pengulangan kesekian kalinya dari Soekarno. Sejak 1956 dia sudah beberapa kali menyampaikan keinginannya itu. Dalam pidatonya itu Soekarno mengulangi kembali beberapa poin penting pidatonya dahulu pada saat pelantikan anggota Konstituante tanggal 10 November 1956. Hal-hal penting itu adalah: Pertama, Konstituante harus menjadi penyambung lidah rakyat; Kedua, Dalam menyusun UUD yang baru harus sesuai dengan jiwa, watak, dan kepribadian bangsa Indonesia. Yang dimaksud Soekarno dengan jiwa, watak dan kepribadian bangsa tersebut adalah ‚demokrasi terbimbing‛ atau ‚demokrasi terpimpin‛ di segala bidang kenegaraan, kemasyarakatan, politik, militer, dan sosial-ekonomi; Ketiga, Konstituante tidak menjadi ajang perdebatan yang bertele-tele, dan harus berupaya mencari jalan keluar. Bukan jalan buntu.814 Soekarno juga mengklaim sudah berbicara dengan beberapa pihak tentang kondisi negara dan masyarakat. Dari pembicaraan itu dia semakin yakin akan perlunya sebuah perubahan yang revolusioner dalam sistem kenegaraan dan kemasyarakatan. Karena itu dia minta supaya proses pembuatan UUD lebih dipercepat lagi. Sementara untuk mengatasi persoalan-persoalan berat yang dihadapi Konstituante, Soekarno mengajak untuk kembali kepada UUD 1945. Soekarno pun minta supaya Konstituante segera menerima usulan tersebut dengan segera. Dengan begitu Konstituante telah ‚melakukan suatu tindakan bersejarah yang bernilai tinggi di zaman Revolusi Nasional kita dan dalam riwayat Bangsa Indonesia,‛ karena bisa memahami sedalam-dalamnya jiwa, watak dan kepribadian bangsa Indonesia.815 Soekarno juga mengulangi pidato Konsepsinya pada 21 Pebruari 1957 yang mengecam sistem kepartaian yang berlaku saat itu dan menolak adanya oposisi. Dia menegaskan sistem demokrasi liberal ala Barat tidak sesuai dengan dengan iklim Indonesia sehingga menimbulkan berbagai ekses. Untuk itu dirinya akan membubarkan partai-partai yang ada dan mengondisikan keadaan kepartaian agar sesuai dengan suasana Demokrasi Terpimpin biar bisa kembali sehat. Hal itu

813 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 19. Pidato Presiden Soekarno yang disampaikan pada sidang yang dipimpin Ketua Konstituante Wilopo itu kemudian dicetak dengan judul itu berjudul ‚Res Publica, Sekali Lagi Res Publica‛. Sidang itu sendiri dihadiri 464 anggota Konstituante, serta 25 orang wakil pemerintah yang terdiri dari Perdana Menteri, Wakil-wakil Perdana Menteri dan jajaran menteri Kabinet Djuanda. Lihat Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 3-7 814 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 9- 10 815 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 11-13

166 dilakukan dengan meninjau kembali Maklumat Pemerintah Republik Indonesia tanggal 3 November 1945. 816 Saat itu Soekarno membedakan Demokrasi Terpimpin dari diktatorisme, demokrasi sentralisme, dan demokrasi liberal. Demokrasi Terpimpin dalam definisi Soekarno adalah ‚demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.‛ Baginya, konsep ini merupakan demokrasi yang cocok dengan ‚kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia,‛ karena berinti pada musyawarah. Meski demikian, jelasnya, musyawarah dalam Demokrasi Terpimpin bukanlah ‚perdebatan dan penyiasatan yang diakhiri dengan pengaduan kekuatan dan penghitungan suara pro dan kontra,‛ tetapi ‚suatu permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.‛817 Dalam pernyataannya yang lain Soekarno memberikan pengertian yang lebih jelas tentang idenya itu, yaitu demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kesatuan sentral di tangan seorang ‘sesepuh’ yang ‘memimpin’ dan ‘mengayomi’, bukan mendiktatori. Demokrasi model ini dianggap Soekarno sebagai demokrasi yang memancarkan kepribadian bangsa Indonesia, sebuah Demokrasi Timur yang telah berlangsung di Indonesia sejak zaman purbakala. Dengan konsep Demokrasi Terpimpin ini Maarif melihat Soekarno sebenarnya berkeinginan menempatkan dirinya sebagai ayah bagi suatu keluarga besar rakyat Indonesia. Seorang ayah dengan kekuasaan yang sepenuhnya terpusat di tangannya.818 Mimpi itu telah lama diungkap Soekarno. Pada pidato tanggal 28 dan 30 Oktober 1956 Soekarno menilai demokrasi parlemeter telah gagal. Dia pun menyatakan keinginannya untuk ‚mengubur‛ partai-partai, dan menerapkan sebuah ‚Demokrasi Terpimpin‛ yang dinilainya sebagai demokrasi yang sesuai dengan kondisi Indonesia.819 Pidato itu pun menuai kontroversi. Dari partai-partai yang ada hanya PKI dan PRI (Partai Rakyat Indonesia) yang tegas mendukungnya. Masyumi, PSI, PNI dan NU menolaknya. Namun beberapa bulan kemudian tinggal Masyumi dan PSI yang menolak keinginan Soekarno itu.820 Demokrasi yang sesuai dengan kondisi Indonesia ala Soekarno itu kembali dipertegas dalam pidato Konsepsi Presiden tanggal 21 Pebruari 1957 untuk ‚Menyelamatkan Republik Proklamasi‛. Selain berkeinginan meninggalkan demokrasi Barat, Soekarno juga menginginkan pembentukan Kabinet Gotong

816 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 32-33 817 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 19-20 818 A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 249 819 R Madinier, Partai Masjumi..., h. 211 820 R Madinier, Partai Masjumi..., h. 213; Lihat ‚Djawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Konstituante Mengenai Amanat Presiden Tanggal 22 April 1959 dan Anjuran Pemerintah Untuk ‘Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945’,‛ disampaikan oleh Perdana Menteri H Djuanda dalam Rapat Pleno Konstituante di Bandung, pada tanggal 21 Mei 1959, dalam Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945, Departemen Penerangan RI, h. 218-219

167

Royong dan Dewan Nasional yang terdiri dari ‚golongan fungsional‛ mewakili seluruh elemen rakyat Indonesia. Masyumi dan Partai Katolik tegas menolak. PKI, PNI, Partai Murba, dan PRN (Partai Rakyat Nasional) tegas mendukung. Sementara NU, PSII, Parkindo, IPKI, dan PSI memberikan beberapa keberatan terhadap Konsepsi tersebut. Ada dua alasan utama penolakan Masyumi: Bahwa demokrasi itu bersifat universal tidak membedakan Timur dan Barat, dan kekhawatiran akan kemungkinan PKI berpartisipasi dalam pemerintahan.821 Terhadap pidato presiden tersebut Hamka menyatakan adanya dua tujuan yang ingin diraih Soekarno, yaitu: ‚Pertama membulatkan kuasa kepada Presiden, dengan redaksi ‘menyatukan pemerintahan dengan pimpinan revolusi’; dan tujuan yang kedua ialah memelihara ‘Pancasila’ yang sekarang tengah digoncangkan oleh perjuangan kaum Muslimin. Untuk maksud itu dinamailah dianya ‘Demokrasi Terpimpin’.‛822 Hamka melanjutkan, ketika terwujud Demokrasi Terpimpin negara akan dikelola sesuai keinginan Presiden sendiri dengan mengatasnamakan ‚hikmat kebijaksanaan‛. DPR, MPR, DPA, dan Front Nasional akan dibentuk dengan Peraturan Pemerintah, dan akan berisi orang-orang yang disukai Presiden dengan mengatasnamakan ‚hikmat kebijaksanaan‛. Trias Politica jadi jadi kabur. Oposisi akan mati dan tidak akan ada lagi demokrasi karena semua kekuasaan (legislatif, yudikatif, dan eksekutif) akan terpusat di tangan Presiden. Pada akhirnya terciptalah totalitarianisme. Sementara Front Nasional dianggap Hamka tak ubahnya sebagai staat-partij (partai negara). ‚Dalam jalan berpikir yang logis, apabila kekuasaan seluruhnya telah terkumpul ke dalam satu tangan, atau total ke dalam satu tangan, bernamalah dia ‘totaliter’. Tetapi karena nama totaliter tidak populer, ditukarlah jadi ‘demokrasi terpimpin’‛, ungkapnya.823 Karena itu, Hamka tegas menolak usulan kembali kepada UUD 1945 dan Demokrasi Terpimpin. Menurutunya, usulan itu bukanlah obat yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa yang akut saat itu. Obat yang sepadan dengan penyakit itu menurut Hamka dan Masyumi adalah membentuk pemerintahan presidensial dengan mengembalikan kepemimpinan Dwi Tunggal Soekarno – Hatta, dengan dibantu oleh kabinet yang profesional dan berintegritas.824 Pernyataan keras Hamka tersebut mendapat respon sengit dari pendukung Soekarno di Konstituante. Wakil dari PKI MA Chanafiah menyerang pribadi Hamka dengan mengungkit masa lalunya yang sempat menjadi penasehat Jepang

821 R Madinier, Partai Masjumi..., h. 221-222 822 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 365 823 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 365-366. Tuduhan Hamka tentang Trias Politica yang jadi kabur tersebut dilatarbelakangi oleh kenyataan pemusatan kekuasaan semua lembaga negara ke dalam satu kekuatan. Dalam hal ini Soekarno mengangkat Ketua Mahkamah Agung dan para ketua DPR-GR dan MPRS sebagai menteri. Lihat Noer, Membincangkan Tokoh-tokoh, h. 251 824 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 369

168 di Sumatera. ‚Ucapan saudara yang terhormat itu sungguh tidak mengherankan, karena memang surganya terletak di bawah telapak kaki Jepang. Dengan runtuhnya Jepang, runtuh pulalah surganya,‛ kata Chanafiah menyerang.825 Sementara dalam tanggapannya Perdana Menteri Djuanda sebagai wakil pemerintah membantah usulan pemerintah tersebut ‚mengandung tujuan membubarkan Konstituante‛. Djuanda juga membantah pernyataan wakil-wakil Fraksi Masyumi dan Fraksi Partai Buruh yang menuduh Demokrasi Terpimpin sebagai pemerintahan diktator.826 Bantahan juga diberikan Djuanda atas pernyataan Hamka bahwa Demokrasi Terpimpin akan mengaburkan prinsip Trias Politica, dan merupakan sebuah totalitarianisme, serta Front Nasional tak ubahnya ‚staat partij‛. Bahkan Djuanda balik menyerang dengan menyebut pernyataan Hamka itu bersifat mengejek, ‚personlijk,‛ dan ‚provokatif‛.827 Serangan dari Chanafiah tentang Hamka sebagai kolaborator Jepang dan tuduhan Djuanda bahwa pernyataan Hamka bersifat mengejek, personal, dan provokatif tersebut disampaikan ulang oleh anggota Konstituante Fraksi Gerakan Pembela PancasilaError! Reference source not found. (GPPs), Anwar Nasution.828 Pernyataan Hamka bahwa Demokrasi Terpimpin adalah totaliter, mengaburkan trias politica, dan kembali ke UUD 1945 sebagai jalan menuju ke arah neraka mendapat beragam respons. Selain dari kalangan internal Konstituante, kalangan di luar Konstituante pun banyak yang tersengat. Muhammad Yamin dan Soekarno termasuk orang yang disebut-sebut tersinggung terhadap pernyataan itu. Inilah yang diduga menjadi salah satu sebab kenapa di kemudian hari Hamka turut ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim Soekarno.829 Sebaliknya, sikap tegas Hamka itu mendapat apresiasi dari M Natsir. Rekan Hamka di Masyumi yang saat itu sedang berada di Sumpur Kudus Sumatera Barat itu pun memuji tanggapan tersebut. ‚Suara Hamka demikian itu, kami rasakan bagai halilintar di siang hari, yang tadinya kami tak duga-duga,‛ ungkap Natsir. Natsir pun kemudian mengubah sebuah puisi untuk Hamka yang disiarkan melalui radio PRRI.830

825 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid II, h. 783. 826 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid II, h. 802 827 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid II, h. 803 828 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h. 849 829 Lihat Artawijaya, Belajar Dari, h. 148-149; Maulana, Buya Hamka, h. 288 830 M Natsir, ‚Dua Kali Kami Berjumpa‛, dalam Salam (ed), Kenang-kenangan 70 Tahun..., h. 5-7; M Natsir, Capita Selecta 3, (Jakarta: Abadi & Panitia Peringatan Refleksi Seabad M Natsir, 2008), h. 308-309. Puisi Natsir itu berjudul ‚Daftar‛. Selengkapnya berbunyi: Saudaraku, Hamka// Lama// Suaramu tak ku dengar lagi// Lama...// Kadang- kadang,// Di tengah si pongang mortir dan mitraleur// Dentuman bom dan meriam sahut menyahut// Ku dengar tingkahan irama sajakmu itu// Yang pernah kau hadiah kepadaku// Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam ‚daftar‛// Tiba-tiba// Di tengah gemuruh ancaman dan gertakan// Rayuan umbuk dan umbai silih berganti// Melantang menyambar api kalimah-hak dari mulutmu// Yang biasa bersenandung itu// Seakan tak kau hiraukan

169

Hamka tidak puas atas jawaban PM Djuanda tersebut. Pada sidang tanggal 25 Mei 1959 ia kembali memberikan tanggapan atas jawaban Djuanda sekaligus merespons serangan atas dirinya dari beberapa anggota Konstituante lainnya. Menurut Hamka, pemerintah tidak mempunyai ‚daya upaya buat mengubah jalan pikiran saya‛ sehingga untuk ‚menyembunyikan ketidakmampuan itu dituduh sajalah saya mengejek‛. Hamka pun semakin yakin dengan pernyataannya sebelumnya bahwa kebenaran itu kuat dan mampu mempertahankan dirinya sendiri. Namun sayangnya, ujarnya, ‚Kebenaran yang kuat dan dapat mempertahankan diri itulah rupanya yang belum kompak dalam pendirian pemerintah.‛831 Hamka juga membantah pidatonya bersifat provokatif. Ia balik menyerang dengan menyatakan bahwa ‚pidato amanat pemerintah sendiri yang terang provokatif dan berisi intimidasi.‛ Di sini Hamka mengutip pernyataan yang dianggapnya provokatif dalam pidato Presiden Soekarno yang telah diterbitkan dengan judul ‚Res Publica Sekali Lagi Res Publica‛ itu: ‚Jagalah jangan sampai negara dan rakyat menunggu-nunggu terlalu lama, sehingga rakyat nanti terpaksa bertindak sendiri, sebagaimana kita saksikan sendiri pada permulaan revolusi nasional kita‛.832 Bukan hanya pidato Soekarno tersebut yang dianggapnya provokatif, pernyataan-pernyataan dari para pendukung UUD 1945 juga disebut Hamka sebagai provokatif. Di sini Hamka mempermasalahkan pernyataan- pernyataan Njoto dari PKI yang mencaci maki M Hatta. Bahkan Hamka juga mengutip pidato provokatif dari Residen Banyumas Raden Sumardjito pada 20 Mei 1959: ‚Siapa yang tidak setuju kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 dan tidak setuju Demokrasi Terpimpin supaya keluar dari Indonesia!‛.833 Tentang tuduhan pidatonya menyinggung pribadi, Hamka menyatakan dirinya hanya menanggapi pidato Presiden yang disampaikan di depan majelis Konstituante. Berdasar prinsip demokrasi, ungkapnya, tidak masalah dirinya mempermasalahkan kekuasaan Presiden yang begitu besar. Namun demikian, lanjutnya, jika membantah pidato Presiden dianggap merendahkan pribadi dan marwah kepala negara, maka itu merupakan ‚cara yang dulu dipakai dalam negara- negara totaliter atau zaman baheula, zaman feodal, atau digabung keduanya‛.834 Justru yang menyinggung person, ungkap Hamka, adalah pernyataan Anwar Nasution tentang dirinya sebagai kolaborator Jepang. Tentang hal ini Hamka membandingkan apa yang dilakukannya dulu itu belum sebanding dengan yang olehmu bahaya mengancam// Pancangkan!// Pancangkan olehmu, wahai Bilal!// Pancangkan panji-panji kalimah tauhid// Walau karihal kafirun!...// Berjuta kawan sefaham bersiap masuk// Ke dalam ‚daftarmu‛.... 831 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h. 874 832 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h. 875 833 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h. 875 834 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h. 876

170 telah dilakukan Soekarno. ‚Beliau sampai dapat bintang ‘Ratna Suci Kelas I’ dari Tenno Heika dan saya tidak dapat bintang,‛ jelasnya. Hamka mengaku, kedekatannya dengan Jepang di masa lalu itu telah mendapat restu dari Soekarno saat dia berkunjung ke kediamannya di Pegangsaan Timur 56 pada April 1944.835 Meski secara resmi baru berjalan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, namun sesungguhnya Soekarno telah memulai pelaksanaan demokrasi impiannya itu sejak beberapa waktu sebelum itu. Momen Soekarno selaku Presiden RI yang memilih dirinya sendiri sebagai warga negara menjadi formatur untuk membentuk Kabinet Karya dipandang sebagai praktik nyata pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Pelaksanaan itu pun dilakukan dengan memanfaatkan gejolak politik di beberapa daerah, di mana beberapa kelompok ‚dewan-dewan‛ muncul dan mengambil alih pemerintahan di daerah, seperti Dewan Banteng dipimpin Kol Ahmad Husein di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara dipimpin Kol Maludin Simbolon, dan di muncul Dewan Perjuangan Semesta yang dipimpin Kol Sumual. Dari gejolak ini kemudian lahir lah PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan di Sulawesi yang dibidani para perwira tersebut, dan kemudian melibatkan beberapa tokoh Masyumi dan PSI. Selain faktor persaingan antar perwira militer, pergolakan di beberapa daerah itu juga disebabkan oleh ketidakpuasan daerah-daerah luar Jawa atas hubungan pusat- daerah yang timpang, di mana pembangunan hanya terpusat di Jakarta, sementara daerah-daerah di luar Jawa menjadi tidak terperhatikan. Salah satu tuntutan utama mereka adalah otonomi daerah. Atas peristiwa ini Presiden dengan dukungan Panglima TNI AH Nasution menyatakan Keadaan Darurat Perang (SOB – Staat von Orloog en Beleg) pada 14 Maret 1957.836 Setelah Soewirjo (Ketua PNI) gagal membentuk kabinet baru pengganti Kabinet II, pada 4 April Soekarno mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur. Maka terbentuklah Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya pada 8 April.837 Masyumi mengecam campur tangan Presiden dalam pemerintahan itu. Mereka menilai Presiden telah melanggar UUD. Pun demikian alasan SOB yang digunakan Presiden untuk bertindak membentuk kabinet ‚secara mutlak‛ itu. Masyumi menilai hal itu tidak sesuai dengan pasal-pasal dalam undang-undang itu sendiri. Masyumi pun melarang anggotanya berpartisipasi dalam Kabinet Karya. Meski demikian ada dua pimpinan Masyumi yang terlibat

835 Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h. 876 836 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 268-270, 290-307; ‚Pemberontakan Separuh Jalan,‛ dalam Tempo, edisi khusus kemerdekaan, 13-19 Agustus 2007, h. 46-49. Kehadiran dan keterlibatan tokoh-tokoh Masyumi M Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Hararap dalam PRRI disebut justru menghalangi keinginan beberapa perwira militer di Sumatera untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Sehingga hanya melahirkan PRRI sebagai sebuah alternatif pemerintahan bagi pemerintahan RI di Jakarta. Lihat Hendri F Isnaeni, ‚Trio Masyumi dalam PRRI‛, dalam Historia, no 16, tahun II, 2013, h. 60-61. k 837 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 222-223.

171 dalam Kabinet Djuanda: Pangeran Mohammad Noor sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Moelyadi Djoyomartono sebagai Menteri Sosial. Akhirnya Pangeran Mohammad Noor dipecat dari partai. Sementara Moelyadi mengundurkan diri.838 Pemerintah pun kemudian membentuk Dewan Nasional seperti keinginan Presiden sejak semula. Mulai bertugas pada 12 Juli 1957, Dewan Nasional memiliki 42 anggota yang dipilih Presiden dari kalangan militer dan kepolisian, wakil daerah dan golongan fungsional. Meski secara resmi bukan mewakili partai- partai namun Madinier mencatat tidak adanya simpatisan Masyumi yang dilibatkan dalam dewan ini. PNI dan PKI membagi rata kursinya bagi kelompok petani, buruh, pemuda dan wartawan. Sementara NU memberikan kursinya bagi golongan ulama. Masyumi menilai pembentukan institusi baru ini sebagai tidak konstitusional dan suatu jalan menuju pemberlakuan Demokrasi Terpimpin impian Soekarno.839 Benar saja dugaan Masyumi, sejak Juli hingga November 1948 Dewan Nasional terus memunculkan berbagai usulan untuk mengurangi peran partai-partai politik sekaligus memberikan peran penting bagi golongan fungsional. Dewan juga membentuk sebuah komisi yang diketuai Ahem (aktivis Buruh dari PNI) untuk mengajukan gagasan AH Nasution agar kembali kepada UUD 1945.840 Atas peran seperti inilah Adnan Buyung Nasution menilai posisi Dewan Nasional ‚tak ubahnya Konstituante tandingan yang ditawarkan Soekarno‛.841 Setelah sukses membubarkan Konstituante dan memaksa kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit, Soekarno semakin leluasa memusatkan kekuasan negara di tangannya. Pada 20 Maret 1960 dia membubarkan parlemen hasil pilihan rakyat karena menolak usulan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan pemerintah. Kemudian pada 24 Juni 1960 dia membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Anggota-anggota DPR- GR dipilih oleh Soekarno tanpa melibatkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia

838 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 389 839 R Madinier, Partai Masjumi..., h. 225-226. Pelibatan perwira militer dalam Dewan Nasional dinilai Andi Widjajanto sebagai ‚memberi jalan bagi pelibatan organisasi TNI ke arena politik nasional.‛ Sebelumnya perwira militer telah dilibatkan dalam politik secara individual dalam Kabinet Karya yang dibentuk pada 9 April 1957. Pelibatan militer dalam politik semakin mendalam tatkala diterapkan doktrin perang teritorial. Pada 1959 dibentuk 16 Kodam menggantikan keberadaan Tujuh Tentara & Teritorium yang dibentuk pada 20 Juli 1950. Lihat Andi Widjajanto, ‚Nasution, Jalan Tengah, dan Politik Militer,‛ dalam Tempo, edisi khusus kemerdekaan, 13-19 Agustus 2007, h. 92-93 840 R Madinier, Partai Masjumi..., h. 249. Kembali kepada UUD 1945 menjadi bagian penting bagi doktrin perang gerilya-nya AH Nasution. Widjajanto mencatat, doktrin tersebut mengharuskan militer untuk menumbuhkan militansi rakyat untuk berjuang bersama dan mewujudkan kepemimpinan yang kuat. Dengan doktrin ini militer merasa memiliki tanggungjawab untuk mengangkat kualitas kepemimpinan sipil. Hal ini mendorong Nasution untuk memperjuangkan gerakan kembali ke UUD 1945, karena dapat menciptakan sistem presidensial yang menghilangkan persaingan pengaruh antara presiden, perdana menteri, menteri pertahanan, dan DPR. Lihat Andi Widjajanto, ‚Nasution, Jalan Tengah,...‛ h. 93 841 Lihat ‚Panas di Sidang, Akrab di Luar,‛ dalam Tempo, edisi khusus kemerdekaan, 13-19 Agustus 2007, h. 42

172

(PSI), karena keduanya dianggap ‚merintangi revolusi kita.‛ Keduanya juga dituduh terlibat dalam pergolakan di beberapa daerah. Dari 283 anggota DPR GR hanya terdapat 43 orang wakil partai-partai Islam: NU 36 orang, PSII 5, dan Perti 2. Sementara ada 94 kursi untuk PNI dan afiliasinya, 81 untuk PKI dan afiliasinya. Jika ditotal seluruh wakil Islam dari partai-partai tersebut dan golongan ulama yang mendapat 24 kursi, maka seluruh wakil Islam dalam DPR-GR hanyalah 67 orang.842 Saat itu Soekarno membagi anak bangsa menjadi kekuatan ‚revolusioner‛ dan ‚kontra revolusioner‛. Soekarno sendiri berposisi sebagai ‚pemimpin besar revolusi.‛843 Ukuran revolusioner adalah dukungannya terhadap Demokrasi Terpimpin dan Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Semakin loyal mendukung Nasakom, semakin dianggap revolusioner. Sebaliknya juga, yang mengritik Nasakom dan Demokrasi Terpimpin diposisikan sebagai kelompok kontra revolusioner.844 Pada titik ini Masyumi dan PSI merupakan kekuatan oposisi yang selalu mengritik kebijakan-kebijakan Demokrasi Terpimpin Soekarno. Kelompok oposisi ini disebut sebagai ‚merintangi revolusi kita‛ oleh Soekarno, atau ‚golongan kepala batu‛ menurut PKI.845 Langkah Soekarno terus dilakukan dengan membentuk Dewan Pertimbangan Agung (Dikenal sebagai DPA-S, DPA Sementara) menggantikan Dewan Nasional, Badan Perancang Nasional, Badan Pengawas Penertiban Aparatur Negara, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPR-S), serta Front Nasional.846 Keanggotaan MPR-S terdiri dari anggota DPR-GR dan ditambah dengan utusan daerah/golongan. Mereka itu pun dipilih dan diangkat oleh Soekarno. MPR-S memiliki 616 anggota. Salah satu wakil ketuanya adalah Aidit dari PKI. Dengan demikian PKI ikut serta dalam setiap lembaga pemerintahan kecuali kabinet. Dan ini merupakan perwujudkan dari mimpi Soekarno untuk menyatukan kelompok nasionalis, agama dan komunis dalam satu koalisi pemerintahan.847

842 ‚Panas di Sidang, Akrab...,‛ h. 250-253; Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 392-393. Sebenarnya ada dua pimpinan Masyumi yang ditawari masuk dalam DPR-GR, yaitu Soekiman dan Jusuf Wibisono. Namun Soekiman menolak karena jika menerima berarti dia merasa bukan sebagai seorang yang berjiwa perwira dan menjadi seseorang yang rendah budi. Sementara Wibisono menerimanya sebagai wakil dari SBII (Serikat Buruh Islam Indonesia) setelah keluar dan memutus semua ikatan dari Masyumi. Lihat R Madinier, Partai Masjumi..., h. 261-262. Dalam sebuah pernyataan anggota Konstituante Fraksi Murba Sudijono Djojoprajitno terungkap bahwa Wibisono pada 10 Mei 1959 telah mendukung usulan Soekarno untuk kembali pada UUD 1945 dan Demokrasi Terpimpin. Lihat Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h. 968 843 Taufik Abdullah, ‚Demokrasi Parlementer, Optimisme...‛ h. 37; Firdaus Syam, Yusril Ihza Mahendra: Perjalanan Hidup. Pemikiran dan Tindakan Politik, (Jakarta: Dyatama Milenia, 2004), h. 179 844 A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 96-97 845 A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 250 846 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 394. Lihat juga Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa, (Jakarta: Kompas, 2012), h. 155 847 MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, penerjemah Tim Penerjemah Serambi, (Jakarta: Serambi, 2008), h. 556

173

Maarif mencatat DPA-S, yang dipimpin sendiri oleh Soekarno dengan Wakil Ketua Roeslan Abdoelgani (PNI), yang mengusulkan kepada MPR-S agar pidato kenegaraan Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 berjudul ‚Menemukan Kembali Revolusi Kita‛ dijadikan sebagai Manifesto Politik (Manipol). Manifesto ini kemudian dikembangkan menjadi Manipol-Usdek.848 Abdoelgani menyebut pidato tersebut sebagai semacam verantwoording atau ‚pertanggungjawaban‛ presiden kepada rakyat atas keputusannya mengeluarkan Dekrit 5 Juli. Sedangkan DPA-S menyebutnya sebagai ‚penjelasan resmi‛ dari dekrit, dan karenanya, merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dari Dekrit 5 Juli. DPA-S sendiri memutuskan secara bulat Manipol Usdek sebagai GBHN pada sidang pertama dan kedua sekitar Agustus-September 1959. Keputusan ini diambil karena saat itu belum terbentuk MPR, sementara UUD ’45 mengamanahkan keharusan adanya GBHN. Keputusan DPA-S ini kemudian diusulkan kepada Presiden, dan disetujui oleh presiden, Depernas, dan Kabinet Kerja secara bulat.849 Di kemudian hari usulan ini pun disahkan oleh MPR-S menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).850 Manipol merupakan akronim dari Manifesto Politik. Abdoelgani menjelaskan, istilah ‚Manifesto‛ pertama kali digunakan oleh Menteri Penerangan Maladi jauh hari sebelum isi pidato itu selesai dibuat, yaitu tanggal 30 Juli 1959. Sementara Usdek akronim dari UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional. Usdek dianggap Abdoelgani sebagai intisari dari Manipol.851 Manipol-Usdek kemudian menjadi ideologi Demokrasi Terpimpin yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan. Para penolak Manipol-Usdek dan Demokrasi Terpimpin menghadapi tekanan yang besar dari penguasa. Melalui Peperti No 10/1960 pemerintah memerintahkan semua media massa membuat pernyataan menyetujui dan mendukung Manipol-Usdek. Media massa yang menolak Manipol-Usdek diberangus. 852 Kejaksaan Agung

848 A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., 53. Lihat juga Artawijaya, Belajar Dari Partai..., h.120-121 849 Roeslan Abdulgani, Pendjelasan Manipol dan Usdek,(Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1960), h. 6-8. 850 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 394. 851 Maarif menyebut USDEK sebagai akronim dari UUD 45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi ala Indonesia, Ekonomi Terpimpin, dan Keadilan Sosial. Lihat A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 53. Sementara Madinier menyebut USDEK sebagai UUD 45, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional. Lihat R Madinier, Partai Masjumi..., h. 257 catatan kaki no 123. Akronim ini sama dengan yang ditulis MC Ricklefs (lihat MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern..., h. 553); dan Ahmad Mansur Suryanegara -lihat Api Sejarah 2, (Bandung: Salamadani, 2014)- h. 392. Di sini akronim yang digunakan Madinier, Ricklefs dan Suryanegara yang digunakan karena Hamka pun menyebut akronim Usdek seperti itu. Roeslan Abdulgani selaku Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung dan Ketua Panitia Pembina Djiwa Revolusi juga menyebut akronim USDEK sama seperti yang disebut Hamka tersebut, lihat Roeslan Abdulgani, Pendjelasan Manipol dan..., h. 9 852 MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern..., h. 553. Lihat juga Fajar Riadi, ‚Menegaskan Kawan dan Lawan‛, dalam Historia, no 16, tahun II, 2013, h. 49

174 melarang ceramah dan pembicaraan politik di masjid.853 Kegiatan-kegiatan masyarakat yang tidak bersifat murni ibadah keagamaan namun terkait dengan keagamaan diharuskan memiliki izin dari pemerintah. Permohonan izin harus diajukan paling lambat 7 hari sebelum kegiatan dilaksanakan dengan menyertakan materi ceramah/khutbah yang akan disampaikan secara lengkap.854 Bahkan anggota MPRError! Reference source not found.-S pun harus menyatakan ikrar setia kepada manifesto tersebut.855 Di Bandung, lima mantan anggota Konstituante dari Masyumi ditangkap karena mengecam konsepsi Demokrasi Terpimpin dan menuduhnya sebagai arah menuju diktatorial.856 Media massa pun coba dikendalikan pemerintah. Media massa yang tidak mau mengikuti keinginan penguasa terancam dibreidel. Smith mencatat, pada tahun 1957 pemerintah mengeluarkan 125 tindakan kepada pers. Mulai dari interogasi dan peringatan, pembreidelan, hingga penahanan dan pemenjaraan wartawan. Tuduhan yang diberikan pun bermacam-macam, mulai dari pemuatan berita tidak benar, penghinaan terhadap pemerintah atau pejabat pemerintah, hingga tanpa memberikan alasan sama sekali.857 Pada tahun 1958

853 Mohamad Roem, ‚Politik Hamka‛, dalam Salam (ed), Kenang-kenangan 70 Tahun..., h. 9; Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah 3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983) h. 103-104. Namun demikian aparatur pemerintah bisa memanfaatkan khutbah itu untuk kepentingan politiknya. Hamka pernah menceritakan, pada tahun 1964 juru bicara Manipol Usdek Roeslan Abdulgani menggunakan kesempatan sebagai khatib hari raya di halaman Masjid Agung al-Azhar untuk mengadakan indoktrinasi. Namun kemudian mendapat perlawanan halus dari para jamaah. Satu persatu mereka pergi dari barisan sehingga ‚tinggallah beliau di atas mimbar dengan serba salah; akan diteruskan semangat sudah mulai patah, akan turun saja khutbah belum habis,‛ kisah Hamka. Lihat Hamka, ‚Bismillah Dengan Orde Baru‛, dalam Pandji Masjarakat, no 8, 20 Januari 1967, h. 2 854 ‚Kegiatan Agama‛, dalam Pandji Masjarakat, no 4, tahun I, 1 Agustus 1959, h. 3. Peraturan ini dikeluarkan karena saat itu Presiden Soekarno menetapkan negara dalam Keadaan Bahaya berdasar pada UU Keadaan Bahaja No 74 tahun 1957. Kemudian hari UU Keadaan Bahaja tahun 1957 ini diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang No 23 tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Selain karena UU No 74/1957 itu telah habis masa berlakunya pada tanggal 16 Desember 1959, saat itu juga telah berlaku UUD 1945 menggantikan UUDS melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kelurnya PERPPU ini juga melanjutkan penetapan negara dalam kondisi bahaya (perang). Meski saat itu beberapa pemberontakan dan pergolakan telah selesai, namun Presiden tetap melanjutkan negara dalam keadaan bahaya dengan alasan ‚masih harus melakukan konsolidasi dan stabilisasi territorial sepenuhnya bagi keamanan rakyat, -konsolidasi dan stabilisasi yang merata, yang memerlukan waktu yang lama.‛ Lihat Amanat Presiden Berhubung Dengan Pernjataan Negara Dalam Keadaan Perang, dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Keadaan Bahaja (No 23 Th. 1959-LN 1959/139-TLN 1908) dan Peraturan-Peraturan Jang Berhubungan Dengan Itu, diterbitkan oleh Inspektorat Djenderal Territorial dan Perlawanan Rakjat, 1959, h. 72-73 855 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 394. 856 ‚Tak Pasti Karena Si Bung‛, dalam Tempo, edisi khusus kemerdekaan, 13-19 Agustus 2007, h. 56 857 Edward C Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia, penerjemah Atmakusumah, dkk., (Jakarta: Pustaka Grafiti, 1986), h. 169-170

175 jumlah tindakan pemerintah terhadap pers sebanyak 95 kali.858 Tahun 1959 sebanyak 73 tindakan,859 tahun 1960 sebanyak 93 tindakan,860 tahun 1961 sebanyak 52 tindakan,861 tahun 1962 ada 16 tindakan,862 tahun 1963 ada 6 tindakan, 863 dan masing-masing ada 10 tindakan pada tahun 1964 dan 1965.864 Pembubaran beberapa partai politik (Masyumi dan PSI) pada 1960 menjadikan posisi Soekarno semakin kuat. Saat itu hanya ada 8 partai politik yang dibolehkan hidup: PKI, PNI, NU, PSII, Murba, IPKI, Partai Katolik, dan . Namun demikian melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada April 1961 Soekarno memiliki kekuasaan untuk membubarkan partai politik yang ada jika tidak mengikuti, apa yang disebut Edward C Smith sebagai ‚ideologi progresif kiri‛, pemerintah.865 Hal ini membuat Soekarno semakin leluasa membentuk berbagai institusi yang memperkuat Demokrasi Terpimpinnya.866 Dia menjadi pusat kekuasaan yang mengendalikan dua kekuatan besar yang ada di sekitarnya: TNI (khususnya Angkatan Darat/AD) dan PKI. Sesungguhnya dua kekuatan ini secara diam-diam saling bersaing memperebutkan pengaruh, dan pada titik tertentu menjadi persaingan terbuka dan konflik fisik.867 Totalitarianisme Soekarno semakin memuncak ketika MPR-S mengangkatnya sebagai presiden seumur hidup pada tahun 1962.868

858 EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 181 859 EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 208 860 EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 210 861 EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 212 862 EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 214 863 EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 216 864 EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 218 dan 220 865 EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 153 866 R Madinier, Partai Masjumi..., h. 256-257 867 Firdaus Syam, Yusril Ihza Mahendra..., h. 178. Beberapa sarjana menyebut, sebenarnya persaingan terjadi antara Soekarno dengan AD. Soekarno pun berusaha memperkuat posisinya dengan merangkul PNI dan NU, dan terutama pada PKI. Lihat Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, (Jakarta: Rajawali, 1984), h. 14-15. Berbeda dengan ini, Herbert Feith melihat kekuasaan di era Demokrasi Terpimpin tidaklah terpusat pada Soekarno seorang, namun presiden berbagi kekuasaan dengan militer. Hubungan keduanya bukan sebagai pemimpin-pengikut, namun sebagai dua mitra yang berhubungan secara kooperatif dan kompetitif. Keduanya sama-sama tidak suka pada parpol-parpol, liberalisme, dan percekcokan antar kelompok. Menurut Feith, kekuasaan Soekarno pada bidang artikulasi nilai-nilai, perumusan ideologi negara dan penanaman kesetiaan kepadanya, penciptaan lambang-lambang, pemeliharaan semangat perjuangan, politik luar negeri, dan prakarsa politik secara umum. Sementara militer menentukan dalam bidang pemerintahan daerah, pengelolaan kembali perusahaan-perusahaan bekas Belanda, pada taraf tertentu di bidang administrasi secara umum, dan penanganan masalah pemberontakan. Lihat Feith, Soekarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h. 30-31 868 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 394; Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa, (Jakarta: Kompas, 2012), h. 155. Pada 24 Desember 1962 Musyawarah Persatuan Karyawan Perusahaan Negara memunculkan gagasan agar

176

2. Perjuangan Melalui Jalur Non-Politik Cengkeram kekuasaan Soekarno yang begitu kuat melahirkan berbagai serangan, teror, dan intimidasi kepada lawan-lawan politiknya. Tokoh-tokoh yang kritis terhadap rezim menjadi sasaran teror mereka. Kondisi ini membuat beberapa pimpinan Masyumi harus hijrah ke Sumatera. Sementara tokoh-tokoh Masyumi yang tidak ikut ke Sumatera terus menjadi sasaran teror.869 Dalam surat pribadinya kepada Soekarno tertanggal 27 Februari 1957, Bung Hatta mengecam teror yang terjadi pada tokoh-tokoh oposisi. Bung Hatta menceritakan, Bung Tomo didatangi oleh seorang dengan bersenjata untuk memaksakan, supaya ia menyetujui ‚konsepsi Bung Karno‛... Djamaludin Malik sudah dua kali diancam dengan pistol, sehingga dia sekarang menyingkir ke Sumatra Tengah. Kiai Dahlan didatangi di rumahnya dan diancam supaya menyetujui konsepsi Bung itu. Ny dibawa dengan paksa dengan jeep dari gedung sensor film ke markas besar pemuda TP di Jalan Waringin... Banyak pula pemimpin-pemimpin lain yang didatangi seperti Mr Tambunan, Sdr. Natsir dan lain-lainnya...870 Teror terus berlangsung hingga beberapa tahun kemudian. Pada November 1961 (mantan menteri luar negeri) dan Dr Syahriar Rasad ditangkap. Prof Bahder Djohan dan Maria Ulfa Santoso juga mengalami teror dari ‚orang tak dikenal.‛ Pada Januari 1962 rezim Soekarno menangkapi tokoh-tokoh oposisi, seperti Sjahrir, Subadio Sastrosatomo, Anak Agung Gde Agung, Prawoto Mangkusasmito, Yunan Nasution, IsaError! Reference source not found. Anshary, Mochtar Ghozali, Muttaqien, dan Moh Roem. Mereka ini adalah tokoh-tokoh dari PSI dan Masyumi.871 Selain itu pemerintah juga semakin ketat mengawasi dan mengekang rakyatnya. Pada Juni 1959 Peperpu (Penguasa Perang Pusat) mengeluarkan aturan tentang perizinan kegiatan masyarakat. Di dalamnya memuat aturan bahwa: ‚Dalam pada itu untuk mengadakan ibadah-ibadah agama, upacara-upacara/ pendidikan-pendidikan/ penerangan-penerangan agama yang khusus bersifat agama dan upacara-upacara adat yang khusus bersifat adat tidak memerlukan izin.‛ Sebaliknya, ‚Mengadakan upacara-upacara, pidato-pidato, khutbah-khutbah, kursus-kursus, ceramah-ceramah, siaran-siaran, lukisan-lukisan, pendidikan- pendidikan, penerangan-penerangan, yang bersangkut paut dengan agama dan adat, diharuskan minta izin lebih dahulu kepada bahagian umum Paperda...‛. Dengan ketentuan, pengajuan izin paling lambat 7 hari sebelum kegiatan dan harus menyertakan materi ceramah, khutbah, dan lainnya secara lengkap. Atas terbitnya aturan ini majalah Pandji Masjarakat yang dikelola Hamka dan KH Fakih Usman

Soekarno dijadikan presiden seumur hidup. Gagasan ini kemudian disambut oleh Chaerul Saleh selaku Ketua MPRS dan disahkan secara resmi oleh MPRS. Lihat Mochtar Lubis, Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-surat Bung Hatta Kepada Presiden Soekarno 1957- 1965, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1986), h. 18 869 R Madinier, Partai Masjumi..., h. 233-235; Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 174-175; Mochtar Lubis, Hati Nurani Melawan..., h. 49 870 Mochtar Lubis, Hati Nurani Melawan..., h. 18. 871 Mochtar Lubis, Hati Nurani Melawan..., h. 68-69

177 menulis, ‚Segala kegiatan yang mengenai politik kita hentikan sementara, karena kita ingin pulihnya keamanan. Tetapi kegiatan beragama tidaklah sekali-kali boleh dihentikan.‛872 Pemberangusan oposisi dan pemusatan kekuasaan di satu tangan menjadikan Soekarno semakin di puncak kekuasaannya. Partai-partai yang ada hanya mengikuti apa kehendaknya, bahkan semakin menguatkan totalitarianisme itu dengan mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. NU sebagai partai Islam terbesar saat itu juga melegitimasinya dengan dalil-dalil agama. Sementara kekuatan masyarakat (civil society) menjadi tidak berdaya, bahkan turut memberikan legitimasi pada Soekarno. Muhammadiyah menyebut Soekarno sebagai ‚Pengayom Agung Muhammadiyah‛, Universitas Muhammadiyah Jakarta memberikan gelar doktor kehormatan bidang Falsafah Ilmu Tauhid, dan musyawarah dekan-dekan IAIN yang dipimpin Prof R.H.A. Soenarjo memberi gelar Waliyyul Amri kepadanya. Gelar ini merupakan penguat atas gelar serupa yang pernah diberikan NU dan Perti.873 Dalam kondisi politik seperti inilah Hamka mengambil pilihan yang realistik untuk kondisi saat itu: meninggalkan gelanggang politik praktis dan kembali ke jalur dakwah. Pada pilihan ini Hamka mengambil beberapa peran sekaligus: sebagai juru dakwah, penulis/jurnalis, dan jalur kesenian. Di sini Hamka menjadikan Masjid Agung Al-Azhar yang baru selesai pembangunannya sebagai pusat perjuangan. Dalam sebuah ceramahnya di hadapan jamaah masjid tersebut Hamka pernah menyatakan, ‚Kita mulai perjuangan dari masjid, selama ini kita lalai memperhatikan masjid karena terlalu sibuk di parlemen.‛ 874 Hamka bersama KH Fakih Usman mendirikan majalah Pandji Masyarakat pada 1959. Pada edisi perdana majalah ini mencantumkan mottonya sebagai ‚Penyebar kebudayaan dan pengetahuan selaras dengan perjuangan reformasi dan modernisasi Islam‛.875 Nama Pandji Masjarakat merupakan gabungan dari dua

872 ‚Kegiatan Agama‛, dalam Pandji Masjarakat, h. 3 873 Lihat Syafii Maarif, Islam dan Politik Di Indonesia..., h.109-120; Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama..., 170-175 874 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 174-175. 875 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 174-175. Dalam tulisannya ini Rusydi Hamka menyebut penerbitan majalah Pandji Masjarakat bersama KH Faqih Usman dimulai bulan Juli 1959. Catatan Rusydi ini tampaknya kurang tepat karena peneliti mendapatkan Pandji Masjarakat edisi No 1, Tahun I, tertanggal 15 Juni 1959/8 Dzulhijjah 1379. Dalam edisi perdana ini struktur pengelola Pandji Masjarakat adalah: Moh Fakih Usman (Pimpinan Umum), Hamka dan Jusuf Abdullah Puar (Pimpinan Redaksi), M Joesoef Ahmad (Pimpinan Usaha). Di situ juga mecantumkan alamat redaksi: Jl Majapahit 28/3 Jakarta. Lihat Pandji Masjarakat, no 1, tahun I, 15 Juni 1959, h. 3. Hamka menceritakan, pada Januari 1950 dirinya bersama M Yusuf Ahmad, M Yunan Nasution, M Zain Djambek dan beberapa rekannya yang lain membicarakan rencana menerbitkan sebuah majalah pengetahuan dan kebudayaan Islam sebagai kelanjutan dari Pedoman Masjarakat. Namun karena berbagai sebab rencana itu baru terwujud pada pertengahan Juni 1959 dengan nama Pandji Masjarakat. Hamka sendiri baru bisa secara penuh waktu mengurus majalah Pandji Masjarakat itu setelah dirinya keluar dari pegawai negeri pada 31 Agustus 1959. Sehingga mulai 1 September Hamka yang memimpin langsung Pandji Masjarakat. Lihat Hamka,

178 majalah Islam yang pernah terbit di Medan sebelum kemerdekaan: Pandji Islam yang dipimpin Zainal Abidin Ahmad dan M Joesoef Ahmad, dan Pedoman Masjarakat yang dipimpin Hamka. Dengan demikian Pandji Masjarakat diharapkan menjadi pelanjut dari kedua majalah yang cukup berpengaruh di era sebelum kemerdekaan itu.876 Meski bergerak di bidang pengetahuan dan kebudayaan, namun tak pelak Pandji Masjarakat sering juga memuat kritik terhadap Soekarno. Banyak kebijakan Soekarno yang mendapat tanggapan dari majalah ini. Dalam Pandji Masjarakat Desember 1959 misalnya, Hamka menolak ‚Kepribadian Nasional‛ dalam ideologi Manipol Usdek yang dimaknai sebagai kebudayaan Hindu Buddha dan Animisme- Dinamisme. Menurutnya, kepribadian bangsa Indonesia adalah Islam, karena Islam telah memberi jiwa dan warna dalam kehidupan keseharian bangsa Indonesia. Sebegitu kuat pengaruh Islam itu hingga penjajahan Barat yang berlangsung berabad-abad tidak bisa mengubahnya. 877 Karena itu, jelas Hamka, berbagai perayaan keagamaan seperti shalat Id atau menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha yang secara kolosal dilaksanakan umat Islam di Indonesia hendaklah menjadi momen yang melahirkan kesadaran diri sebagai umat Islam. ‚Pada Hari Raya Id ini anda mulailah membuka jalan dengan tekad kembali kepada kepribadian mukmin yaitu yang konsepsinya dari Tuhan,‛ jelasnya.878 Kepribadian yang dijiwai dengan Islam inilah yang dilihat oleh Hamka sebagai faktor penting bangsa Indonesia tidak bisa musnah ‚ditelan mentah-mentah‛ oleh para kolonial Barat. Sebagaimana yang pernah terjadi pada bangsa asli Amerika dan Australia.879 Setelah Orde Lama jatuh, Hamka kembali mempersoalkan istilah ‚Kepribadian Nasional‛ itu. Menurut Hamka terminologi itu masih samar dan tidak memiliki pengertian yang jelas. Sembari mengutip tajuk harian ‚Kami‛ tanggal 3 Maret 1967 Hamka menyatakan, ‚Sekian tahun Soekarno memerintah, sekian tahun pula dia tak putus-putusnya bicara tentang ‘Kepribadian Indonesia’. Tapi juga sekian tahun lamanya dia tak kunjung menjelaskan apa yang dimaksudkannya.‛880 Ketidakjelasan itu, lanjutnya, memang sengaja dilakukan oleh Soekarno. Karena jika masyarakat terpelajar mengetahui maksud dari ‚Kepribadian Nasional‛ yang diinginkannya, tentu mereka akan tegas menolaknya. Meski harus dengan mengorbankan nyawanya.

‚Utjapan Sjukur dan Terimakasih‛, dalam Pandji Masjarakat, no 6, tahun I, 1 September 1959, h. 4 876 Sidi Gazalba, ‚Beberapa Peristiwa Bersama Buya Hamka‛, dalam Salam (ed), Kenang-kenangan 70 Tahun..., h. 226 877 Hamka, ‚Kebudayaan Nasional‛, dalam Pandji Masjarakat, no 12, tahun I, 1 Desember 1959, h. 3 878 Hamka, ‚Keutamaan Mu’min‛, dalam Pandji Masjarakat, no 24, tahun II, 1 Juni 1960, h. 3 879 Hamka, ‚Kebudayaan Arab atau Kebudayaan Islam,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 16, tahun II, 1 Pebruari 1960, h. 3 880 Hamka, ‚Kepribadian Indonesia,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 11, Maret 1967, h. 8

179

Hamka menjelaskan, sebagai bagian dari Manipol-Usdek, ‚Kepribadian Nasional‛ yang dikampanyekan Soekarno merupakan alat yang digunakannya untuk menyukseskan otoritarianisme Demokrasi Terpimpinnya. Hamka berargumen, dengan merujukkan ‚Kepribadian Nasional‛ ke zaman Sriwijaya dan Majapahit seperti yang diinginkan Soekarno, berarti dia ingin agar rakyat Indonesia bersikap taat dan tunduk patuh menyerahkan jiwa raga kepadanya sebagaimana yang berlaku di zaman kerajaan-kerajaan itu. Jadi, simpulnya, ‚Kepribadian Nasional‛ yang diinginkan Soekarno adalah kepribadian rakyat sebagai budak dan dia sebagai baginda raja. Hamka menulis: Dan kepribadian seperti ini belum hilang sampai sekarang, masih berkesan dalam bahasa kita sehari-hari. Selain dari kata ‘aku’, tidak ada suku-suku bangsa Indonesia yang membahasakan diri sebagai budak. Kata-kata saya (dari sahaya), hamba, kulo, abdi, ulun, perhamba adalah kata yang belum hilang, dan oleh Soekarno tidak boleh hilang, malah harus diartikan dengan sepenuhnya, supaya ‘pribadi’ itu tumbuh kembali. Jangan sampai ‘dirusakkan’ oleh demokrasi liberal, oleh ajaran Barat atau ajaran Islam. Kamu ini adalah sahaya, hamba, abdi (budak) kawulo dari ‘Gustimu’. Dan yang berhak mengucapkan diri sebagai beta atau aku hanyalah ‘Pemimpin Besar Revolusi’-mu.881 Pada edisi 1 Agustus 1959 Pandji Masjarakat menanggapi aturan yang dikeluarkan Peperpu (Penguasa Perang Pusat) yang mengatur kegiatan keagamaan masyarakat. Dalam ‚editorial‛-nya Pandji Masjarakat menyatakan tunduk kepada aturan tersebut dengan menghentikan sementara kegiatan politik. Meski demikian, kegiatan agama tidak boleh dihentikan. ‚Syukurlah bahwa perintah Penguasa Perang tidak berlawanan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga kita masih tetap melancarkan perintah Ilahi dengan sepenuh hati dan sepenuh iman!,‛ tulis Pandji Masjarakat. Karena itu Pandji Masjarakat mengajak untuk memperkuat iman dengan memperbanyak ibadah dan memperdalam pengetahuan agama. Pandji juga mengajak untuk memperkuat ukhuwah islamiyah, tolong- menolong di antara sesama Muslim, dan memperjuat dakwah dan jamaah.882 Banyak tulisan-tulisan di Pandji Masjarakat yang mengritik pemerintahan Soekarno. Seperti pada edisi 1 September 1959 editorial Pandji menurunkan judul ‚Masjarakat Adil dan Ma’mur.‛ Pandji menyebut bahwa keadilan itu adalah alat untuk mencapai kemakmuran, bukan tujuan itu sendiri. Semua orang harus menegakkan keadilan. Bukan hanya masyarakat secara pribadi, namun terlebih lagi pemimpin harus berbuat adil dan meninggalkan kedzaliman. Pemimpin tidak boleh menyuruh rakyatnya hidup sederhana, tahan menderita lapar, tidur di kolong jembatan, sementara dia bebas hidup mewah dan tinggal di gedung megah. Sikap seperti ini dianggap Pandji sebagai sebentuk kedzaliman pemimpin. Jika rakyat menemukan pemimpin yang seperti ini, mereka wajib menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan menegur pemimpinnya. Bila keadilan telah terwujud, lanjutnya,

881 Hamka, ‚Kepribadian Indonesia,‛ h. 8 882 ‚Kegiatan Agama,‛ Pandji Masjarakat, h. 3

180 maka akan tercipta kemakmuran, yaitu ‚terasa di sana, terasa di sini, bukan terasa di sana saja!.‛883 Kondisi ekonomi Indonesia di tahun 1950-an dan 1960-an memang sedang krisis berat. Inflasi menjulang tinggi hingga 600-an persen. Harga-harga kebutuhan pokok semakin mahal. Harga beras yang semula Rp4,50 perkilo naik menjadi Rp60-70 perkilo. Tarif listrik, air, gas, bus, trem, dan kereta api juga naik drastis. Kehidupan rakyat makin terjepit, namun pejabat pemerintah memamerkan kehidupan yang mewah. Mochtar Lubis menceritakan gaya hidup Soekarno saat itu: ... Malahan Presiden Soekarno dan orang-orang sekelilingnya memamerkan pola hidup yang mewah tanpa malu-malu. Soekarno juga tiap sebentar melakukan perlawatan ke luar negeri, sebuah hobby yang amat disukainya, membawa rombongan besar, menteri dan pejabat tinggi, wartawan. Cerita-cerita yang tersiar di kalangan masyarakat tentang kunjungan-kunjungan Soekarno ke luar negeri penuh cerita seks dan penghamburan dana rakyat yang luar biasa...884 Mungkin serangan terberat yang diberikan Hamka dan Pandji Masjarakat terhadap Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah keberaniannya memuat tulisan mantan wakil presiden M Hatta berjudul Demokrasi Kita. Tulisan yang dimuat dalam Pandji Masjarakat edisi No 22, 1 Mei 1960, itu menggugat praktik pemerintahan yang dilaksanakan Soekarno yang dinilai Hatta ‚kelihatan makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya.‛ Hatta menyebut beberapa hal untuk meneguhkan pernyataannya itu. Pertama, Ketika Soekarno mengangkat dirinya menjadi formatur kabinet dan membentuk Kabinet Djuanda. Meski melanggar UUD 1950, namun parlemen ‚tiada menyatakan keberatan prinsipil,‛ malah ada di antara mereka yang membela dengan dengan dalih ‚keadaan darurat‛.885 Kedua, melalui sebuah dekrit Presiden membubarkan Konstituante yang dipilih oleh rakyat sebelum usai membuat UUD yang baru. Meski tindakan itu termasuk pelanggaran konstitusi dan merupakan sebuah kudeta (coup d`etat), ujar Hatta, namun mayoritas DPR membenarkannya. Sementara kelompok minoritas yang menganggap tindakan Soekarno itu sebuah pemerkosaan terhadap konstitusi terpaksa harus menyesuaikan diri dengan kenyataan yang ada. Ketiga, ketika Presiden membubarkan DPR pilihan rakyat akibat berselisih dengannya dalam persoalan APBN. Kemudian menggantikannya dengan DPR baru menurut ‚konsepsinya sendiri‛. Dengan perubahan DPR yang ada sekarang, tulis Hatta, ‚lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan.‛ Sementara ‚demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu diktatur yang didukung oleh golongan-golongan yang tertentu.‛ 886 Hatta juga mengritik sistem pemerintahan parlementer yang disebutnya sebagai ‚semangat yang ultra-demokratis yang merajalela dalam dada pemimpin-

883 ‚Masjarakat `Adil dan Ma’mur‛, dalam Pandji Masjarakat, no 6, tahun I, 1 September 1959, h. 3 884 Mochtar Lubis, Hati Nurani Melawan..., h. 68 885 Mohammad Hatta, ‚Demokrasi Kita‛, dalam Pandji Masjarakat, no 22, tahun II, 1 Mei 1960, h. 3 886 Hatta, ‚Demokrasi Kita,‛ h. 3

181 pemimpin‛. Padahal, ujarnya, Indonesia yang saat ini sedang dalam era peralihan menuju pemerintahan nasional yang demokratis membutuhkan pemerintahan yang kuat. Sementara sejarah Indonesia menunjukkan pemerintahan yang kuat itu terjadi dalam sistem presidensiil.887 Akibat serangan ini, Pandji Masjarakat dilarang terbit oleh pemerintah. Bersama Pandji terdapat juga Harian Indonesia RayaError! Reference source not found. pimpinan Mochtar Lubis, Harian Pedoman pimpinan Rosihan Anwar, Harian Abadi milik Masyumi, dan Nusantara.888 Cetak ulang artikel Demokrasi Kita dalam bentuk buku pun diberangus.889 Sementara Hatta sendiri mendapatkan larangan bepergian ke luar negeri dan juga dilarang memberi kuliah/ceramah di berbagai kampus.890 Lebih dari itu, Hamka bersama tokoh-tokoh oposisi (Masyumi dan PSI) ditangkap dan dimasukkan ke penjara tanpa proses peradilan.891 Tentang penahanannya ini Hamka menceritakan, dirinya ditangkap pada Senin siang tanggal 27 Januari 1964 seusai mengisi pengajian ibu-ibu di Masjid Agung al-Azhar, dan dibawa ke Puncak Bogor. Di sana ia bertemu Kasman Singodimedjo yang telah ditahan selama dua bulan lebih. Hamka sendiri tidak mengetahui tuduhan kepadanya. Pada pemeriksaan yang dilaksanakan pertama kali pada Sabtu pagi tanggal 1 Pebruari 1964, Hamka baru tahu tuduhan itu, terlibat dalam kelompok GAS yang berencana melakukan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno.892 Selain menentang totalitarianisme Soekarno, Hamka juga melanjutkan perjuangannya melawan kaum komunis yang mendapat angin segar di era Demokrasi Terpimpin, atau dalam bahasa Feith, ‚tetap mempertahankan prestise dan semangat juangnya‛.893 Sesungguhnya anti-komunisme menjadi salah satu warisan Sarekat Islam (SI) bagi Masyumi.894 Pernyataan Kuntowijoyo ini terbukti

887 Hatta, ‚Demokrasi Kita,‛ h. 3 888 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 174; Mochtar Lubis, Hati Nurani Melawan..., h. 14. Peneliti masih menemukan Pandji Masjarakat edisi no 32-33, 1-15 Oktober 1960. Kedua edisi tersebut digabung menjadi satu terbitan. Kemungkinan pelarangan terbit setelah edisi tersebut atau pada bulan November 1960. Pada edisi tersebut (No 32-33) redakturnya membuat tajuk rencana tentang hijrah Nabi Muhammad Saw dengan catatan penjelasan: ‚Sedianya dimuat dalam memperingati hari hijrah beberapa waktu lalu‛. Lihat ‚Hidjrah,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 32-33, tahun II, 1-15 Oktober 1960, h. 3. Sebagai tambahan lihat Feith, Soekarno-Militer Dalam..., h. 80-86 889 Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-tokoh..., h. 251 890 Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani..., h. 162 891 Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani..., h. 162 892 Lihat Hamka, ‚Catatan Dalam Tahanan Rezim Soekarno‛, dalam Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 262-296 893 Feith, Soekatno-Militer Dalam..., h. 29 894 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, h. 78. Meski memusuhi komunisme, namun secara umum dalam Masyumi terdapat cara yang berbeda dalam permusuhannya itu. Di satu sisi terdapat Isa Anshary yang keras dalam menentang komunisme sehingga cenderung ke arah konfrontasi, namun di sisi lain terdapat Natsir yang mengambil cara lain. Lihat Boyd R Compton, Kemelut Demokrasi Liberal, penerjemah Hamid Basyaib, (Jakarta: LP3ES, 1992), 224-226; Pepen Irpan Fauzan & Ahmad Khoirul Fata, ‚Portraying Political

182 dalam sejarah perjalanan Masyumi dan tokoh-tokohnya, tidak terkecuali Hamka yang sejak remaja memang telah tertanam rasa permusuhan terhadap ‚paham anti Tuhan‛ itu. Selain diwarisi dari para gurunya di SI semacam Tjokroaminoto dan H Agus Salim, semangat anti komunisme itu juga ditanamkan oleh ayahandanya, Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA). Sepanjang sejarahnya di pemerintahan, Masyumi tidak pernah terlibat dalam koalisi di kabinet bersama dengan PKI,895 bahkan pimpinan Masyumi menentang pembentukan Koalisi Nasional yang luas yang melibatkan PKI dalam pemerintahan. Atas penolakan ini PKI menilai penolakan tersebut sebagai bukan sikap rakyat Indonesia, namun sikap musuh rakyat Indonesia.896 Dalam Fatwa Majelis Syura Partai Masyumi pada Muktamar VII di Surabaya, 3-7 Desember 1954, tentang ideologi komunisme dengan merujuk ke berbagai tulisan Karl Marx dan Engels langsung serta beberapa tulisan tokoh komunis lainnya, dihasilkan kesimpulan bahwa secara akidah dan syariah Islam ideologi komunisme itu hukumnya kufur, dan orang Islam yang menganut ideologi itu dengan keyakinan dan kesadaran sendiri tanpa paksaan pihak luar, maka dia telah kafir. Sementara yang sekedar ikut-ikutan tanpa memahami ideologi tersebut dihukumi sesat. Mereka ini wajib untuk segera bertaubat meminta ampun kepada Allah Swt. Majelis Syura melihat komunisme ‚sepanjang sejarahnya adalah bertentangan, menentang dan memusuhi hukum syariat Islam serta umat Islam.‛ Mereka adalah kelompok yang suka menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya. Hal ini jelas sangat membahayakan, terutama, bagi tujuan Masyumi. 897 Fatwa Majelis Syura pusat itu menguatkan fatwa yang telah dikeluarkan Majelis Syura Masyumi Jawa Barat pada 24 Oktober 1954, yang memutuskan: a) Ideologi komunisme adalah satu ideologi yang sangat bertentangan dengan ajaran dan hukum Islam, dan merupakan bahaya besar bagi kehidupan agama dan Negara Republik Indonesia; b) Umat Islam yang menganut ideologi komunisme terang MURTAD dari agama Islam; c) Haram hukumnya umat Islam masuk menjadi anggota Partai Komunis Indonesia dan partai-partai dan organisasi-organisasi yang sudah terang hendak menegakkan hukum dan ideologi komunisme di Indonesia;

Polarization in Persatuan Islam in the Case of Mohamad Natsir vs Isa Anshari,‛ Journal of Contemporary Islam and Muslim Society, vol. 3, no 2, 2019, h. 205-232 895 Tentang susunan kabinet-kabinet selama pemerintahan Orde Lama lihat Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., khususnya Bab IV dan V. Dari susunan itu kelihatan Masyumi pernah satu kabinet dengan partai-partai nasionalis, kristen, dan sosialis. Tapi tidak pernah duduk bersama PKI dalam satu kabinet. 896 PKI dan Konstituante (Pokok2 Fikiran Yang Dikemukakan oleh PKI Dalam Kampanje Pemilihan Konstituante), Depatgiprop CC PKI, tanpa tahun, h. 3 897 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 142; Samsuri, ‚Komunisme Dalam Pergumulan...,‛ h. 113-114

183

d) Kalau ada orang yang menganut paham komunisme (PKI) yang meninggal dunia, tidak wajib disembahyangkan dan dikuburkan secara Islam; e) Menyetujui berdirinya ‚Front Anti Komunis‛ yang dibentuk oleh para pemimpin Masyumi Jawa Barat, dan menganjurkan kepada segenap kaum Muslimin seluruh Indonesia supaya membentuk ‚Front Anti Komunis‛ di daerah masing-masing, sebagai pernyataan pendirian tegas dan tantangan perlawanan terhadap ideologi komunisme; f) Bersikap diam terhadap aliran dan ideologi komunisme yang diperjuangkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) berarti membiarkan dan ridha berkembang dan berkuasanya satu ideologi yang sangat dimurkai oleh Allah Swt.; g) Menyerukan kepada segenap umat Islam Indonesia terutama para ulama dan zu`amma Islam agar melaksanakan ajaran Islam, ialah membentuk front persatuan Islam yang kuat dan kukuh, guna membendung aliran dan ideologi yang membahayakan itu; h) Menyerukan kepada segenap aliran partai-partai politik yang anti- komunis, agar mereka mengentikan kerja sama mereka dengan Partai Komunis Indonesia.898 Namun Majelis Syura tidak memberi fatwa tentang hukum berkoalisi dengan kaum komunis. Meski demikian, Pimpinan Masyumi sejak awal telah menolak kerjasama dengan mereka dalam bentuk apapun.899 Namun ini bukan berarti Masyumi sama sekali tidak bersedia kerjasama dengan kalangan komunis. Di zaman Revolusi Fisik Laskar Hizbullah pernah berjuang bersama-sama dengan Komunis aliran Trotskis di bawah pimpinan .900 Hamka pun bersikap demikian, seperti pada tahun 1947 ketika berbagai elemen masyarakat di Sumatera bergabung dan membentuk Front Pertahanan Nasional (FPN) untuk mempertahankan Republik yang baru berdiri dari serbuan tentara Belanda. Di antara pergerakan yang bergabung dalam front tersebut adalah PKI yang diwakili H. Dt. Batuah. Dalam FPN itu Hamka berposisi sebagai ketua.901 Namun demikian, setelah peristiwa pemberontakan kelompok Komunis Stalinis di bawah pimpinan

898 Samsuri, ‚Komunisme Dalam Pergumulan...,‛ h. 114-115. Front Anti Komunis didirikan Isa Anshary pada 1953 sebagai pengembangan dari Front Ketuhanan dan Demokrasi yang berdiri setahun sebelumnya. Pendirian front ini dilatarbelakangi oleh kerisauan Isa Anshary dan beberapa pimpinan Masyumi atas perkembangan paham komunisme yang semakin pesat. Meski demikian front ini tidak memiliki hubungan struktural dengan Masyumi. Lihat h. 117. Menurut Anshary perkembangan komunisme selama beberapa tahun terakhir itu terjadi karena dua hal: pertama, perlindungan yang diberikan oleh kabinet Ali Sastroamidjojo, dan kedua adalah pembukaan kedutaan Moskow dan Peking di Jakarta. Menurut Anshary, keduanya ini memberi dukungan dan nasihat kepada PKI. Lihat Boyd R Compton, Kemelut Demorasi Liberal, penerjemah Hamid Basyaib, (Jakarta: LP3ES, 1992), h. 213 899 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 142 900 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 82 901 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Gema Insani, 2018), h. 519

184

Muso di Madiun tahun 1948, Masyumi pun membuat keputusan tidak lagi membuka pintu kerjasama dengan ‚kaum anti Tuhan, anti agama, dan anti demokrasi‛ itu.902 Sikap Masyumi terhadap komunisme juga tercermin pada majalah Hikmah. Dalam mingguan yang dikelola para pemimpin Masyumi seperti Natsir, Zainal Abidin Ahmad, AR Baswedan, Hamka dan lainnya itu terdapat rubrik Lawan & Kawan. Secara tegas dalam artikel-artikel dalam rubrik tersebut Hikmah menempatkan komunisme sebagai lawan. Setiap edisi, rubrik tersebut membahas segala hal seputar komunisme dan dosa-dosanya. Seperti pada edisi 5 Juli 1952, Hikmah menurunkan tulisan berjudul Komunisme dan Islam dalam rubrik Lawan & Kawan. Dalam artikel itu Hikmah menulis tentang perlakuan kelompok komunis di Soviet terhadap umat beragama, khususnya umat Islam. Hikmah menceritakan kasus Abdureza, seorang warga Bulgaria keturunan Turki, yang harus kehilangan tanah warisan kakek dan orangtuanya, serta harta bendanya karena dideportasi oleh pemerintah komunis. Dia juga terpisah dari anak laki-lakinya yang berusia 9 tahun karena diambil pemerintah untuk kerja paksa di Trudovak. Kisah lain terjadi pada Tashmuhamed warga Uzbekistan yang dilarang beribadah, masjid di desanya ditutup dan dijadikan musium Anti-Tuhan, dan dipaksa menandatangani pernyataan berbunyi: ‚Tidak ada Tuhan, tidak ada agama, tidak ada sesuatu selain Stalin, tidak ada sesuatu selain komunisme.‛903 Sikap tegas Masyumi terhadap PKI menjadi semakin mengeras di era Demokrasi Terpimpin. Pemusatan kekuasaan negara ke tangan Soekarno yang turut memperkuat kedudukan PKI dalam pemerintahan menjadi sebabnya. Salah satu amunisi yang digunakan PKI untuk menyerang Masyumi adalah kasus Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) tahun 1949 di Jawa Barat. DI/TII terus dikaitkan dengan Masyumi karena gerakan tersebut dipimpin salah satu mantan tokoh Masyumi, Kartosoewirjo. Padahal, jelas Mahendra, Masyumi menentang aksi DI/TII tersebut. Dalam Tafsir Azas Masyumi sendiri disebutkan bahwa dalam mencapai cita-citanya Masyumi akan menempuh jalan yang sah dan demokratis, serta menentang cara-cara kekerasan dan paksaan. 904 Meski memanfaatkan isu DI/TII untuk menyerang Masyumi, PKI sendiri tersandera peristiwa pemberontakan di Madiun tahun 1948. Hamka sendiri melihat apa yang dilakukan Kartosoewirjo tersebut sebagai sebuah kesalahan. Kartosoewirjo, tulisnya, adalah ‚mujtahid politik yang salah melakukan ijtihad, karena sempit pandangan atas kemungkinan!‛. Menurutnya, semua orang Islam memiliki cita-cita untuk menegakkan negara berdasar Islam, termasuk dirinya sendiri. Namun, tegas Hamka, dia bukanlah pengikut Kartosoewirjo, karena ia dan kelompok-kelompok Islam semacam Masyumi, NU, PSII, PUSA, atau pun Al-Washliyah menempuh jalan mewujudkan cita-cita ‚Darul

902 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 84 903 ‚Komunisme dan Islam,‛ dalam Hikmah, no 27, tahun V, 5 Juli 1952, h. 13 904 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 84-85. Tentang hal ini lihat materi kampanye PKI untuk pemilihan Konstituante, PKI dan Konstituante (Pokok2 Fikiran Yang Dikemukakan oleh PKI Dalam Kampanje Pemilihan Konstituante), Depatgiprop CC PKI, tanpa tahun, h. 7.

185

Islam‛ tersebut secara damai dan konstitusional, tidak dengan kekerasan. Langkah itu adalah sah dan legal sesuai dengan ‚jiwa demokrasi dalam pemerintahan yang teratur,‛ tegas Hamka sembari mengutip pernyataan M Hatta. Belajar dari kegagalan DI-nya Kartosoewirjo, Hamka pun mengajak untuk memperjuangkan cita-cita ‚Darul Islam‛ secara legal, bukan dengan kekerasan. Hamka juga melihat adanya upaya pihak-pihak tertentu untuk mematahkan perjuangan Islam dengan memanfaatkan isu kesalahan Kartosoewirjo tersebut.905 Perang sengit antara Masyumi dengan PKI sebenarnya telah terjadi dalam Konstituante. Mahendra menceritakan, tokoh-tokoh Masyumi semacam Kasman Singodimedjo dan Isa Anshary menuduh dukungan PKI terhadap Pancasila sebagai dukungan palsu. Ahmad Dasuki Siradj, seorang kyai tokoh PKI, balik menyerang dengan menyatakan bahwa yang dimusuhi PKI itu bukan Islam, tetapi Masyumi. Menurutnya, Masyumi merupakan partai borjuis yang selama berkuasa selalu merugikan rakyat jelata. Tidak lupa Dasuki Siradj juga menyebut DI/TII. 906 Jawaban Dasuki Siradj itu pun dikuatkan oleh Njoto dengan pernyataan yang serupa. Dalam pidatonya di Konstituante Njoto juga kembali mengungkit persoalan DI/TII. 907 Di luar parlemen, Masyumi dan PKI juga terlibat perang propaganda melalui media massa, kampanye, dan pamflet-pamflet. Hamka masuk dalam peperangan itu, bahkan dia menjadi salah satu korban propaganda PKI. Serangan bermula dari artikel Hamka, Benarkah Dia Manfaluthi Indonesia? karya Abdullah Said Patmadji di Bintang Timur edisi 7 September 1962. Dalam tulisannya itu Patmadji menuduh novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wick sebagai jiplakan dari novel karya sastrawan Mesir Mustafa al-Manfaluthi berjudul al-Majdulin. Kontroversi pun muncul menghiasi jagad sastra Indonesia saat itu. Para sastrawan dan media massa yang berafiliasi ke PKI gencar mempropagandakan isu ini. Sebaliknya, pembelaan pun bermunculan dari banyak sastrawan lainnya. Usmar Ismail, A Rahim Mufty, Ali Audah, HB Jassin, dan Anas Ma’ruf menjadi pembela Hamka. Dalam tulisannya di Berita Minggu edisi 7 Oktober 1962 Anas Ma’ruf menganggap pernyataan Abdullah SP tidak meyakinkan. Ma’ruf menjelaskan, hal pokok seperti gagasan, tema, plot cerita dalam keseluruhannya kurang disinggung oleh Abdullah SP. Sebelumnya, pada 30 September 1962 di media yang sama HB Jassin juga menyatakan, jika dibandingkan tulisan Hamka dengan Manfaluthi, maka jelas karya Hamka itu masih ada pemikiran-pemikiran, penghayatan dan pengalaman Hamka sendiri. Karena itu Rahim Mufty

905 Hamka, Tjahaja Baru, (Medan: Pustaka Nasional, 1950), h. 90-93 906 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 210-211. Pidato KH Muhammad Isa Anshary dan KH Ahmad Dasuki Siradj bisa dilihat dalam Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid II, h. 175-296 untuk Isa Anshary dan h. 326-336 untuk Dasuki Siradj. Sementara pidato Kasman Singodimedjo bisa dilihat dalam Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I, h. 166-189. 907 Lihat pidato Njoto dalam Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid III, h. 83-111

186 menganggap Hamka hanya dipengaruhi oleh Manfaluthi, bukan menjiplak.908 Hal serupa juga ditegaskan oleh putra Hamka sendiri, Rusydi.909 Hamka sendiri tidak membalas serangan itu. Secara lugas ia menyatakan tidak akan membalas segala caci maki tersebut. Ia juga menegaskan, segala tuduhan dan caci maki itu tidak akan dapat menjatuhkan dan menghancurkan dirinya, sebagaimana yang mereka inginkan. Karena, ujar Hamka beralasan, yang mempercayai tuduhan itu hanyalah orang-orang yang selama ini telah memusuhinya. Sedangkan orang-orang yang sebelumnya telah bersimpati kepadanya akan tetap membelanya. Untuk menyelesaikan tuduhan penjiplakan Hamka pun menyarankan agar dibentuk sebuah ‚Panitia Kesusasteraan yang bersifat ilmiah di bawah naungan salah satu universitas; lebih baik Universitas Indonesia‛. Jika panitia ini terbentuk Hamka mengaku siap memberi keterangan dan penjelasan tentang karyanya itu.910 Menurut Amura, dia bersama beberapa orang dari Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) datang ke Hamka dan memintanya untuk tidak membalas tuduhan itu. ‚Karena tujuannya jelas untuk menjatuhkan nama baik Buya Hamka,‛ tulisnya.911 Hamka tetap konsentrasi di jalur dakwah yang sedang dijalaninya bersama beberapa kawannya di Masjid Agung al-Azhar. Hamka menyebut langkah yang dijalaninya itu sebagai ‚membina umat melalui masjid dan meningkatkan dakwah Islam‛. Namun demikian salah satu tujuan yang hendak diraihnya adalah melawan pengaruh komunisme yang semakin merebak di masyarakat.912 Karena itu, dalam berbagai ceramahnya Hamka sering membahas ketauhidan, sesuai saran sahabatnya KH Fakih Usman, dengan tujuan ‚agar jamaah tidak hanyut dalam indoktrinasi Manipol-Usdek‛.913 Di sini terlihat sikap realistis Hamka dengan perhitungan untung-rugi dalam perjuangan. Meski realistis, Hamka tetap menjaga idealismenya untuk menjaga agama dan melawan komunisme. Hamka menceritakan, pada tahun 1960 dia pernah berkhutbah di Masjid Agung al-Azhar tentang bahaya komunisme. Hamka mengatakan bahwa saat itu Islam tengah berada dalam bahaya karena kaum komunis semakin diberi hati oleh presiden. Di saat yang bersamaan kelompok Kristen juga tengah gencar melakukan gerakan missinya. Sementara banyak ulama yang terlena dalam fasilitas pemberian

908 ‚Polemik Kapal Van Der Wick‛, dalam Historia, no 21, tahun II, 2015, h. 46-47 909 Lihat Rusjdi, ‚‘Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck’ Apakah Suatu Karja Plagiat?‛, dalam Gema Islam, no 17, tahun I, 1 Oktober 1962, h. 19-22; Rusjdi, ‚‘Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck’ Apakah Suatu Karja Plagiat? II‛, dalam Gema Islam, no 18, tahun I, 15 Oktober 1962, h. 8-10. Selain tulisan Rusjdi tersebut Gema Islam juga menurunkan tulisan M Junus Amir Hamzah berjudul ‚Suatu Penjelidikan Pendahuluan Tentang: ‘Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck’‛, dalam Gema Islam, no 18, tahun I, 15 Oktober 1962, h. 19-21 910 ‚Sambutan Hamka Atas Heboh Mengenai ‘Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck’‛, dalam Gema Islam, no 17, tahun I, 1 Oktober 1962, h. 25 911 Amura, ‚Dengan Buya Hamka Dalam Berbagai Peristiwa‛, dalam Salam (ed), Kenang-kenangan 70 Tahun..., h. 214 912 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 176-177 913 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 122.

187 penguasa sehingga lupa pada tugasnya. Khutbah ini pun ditanggapi oleh Soekarno dengan menyatakan: ‚Islam tidak dalam bahaya, yang dalam bahaya ialah yang berkhutbah sendiri.‛914 Selain melalui dakwah di masjid, perlawanan terhadap komunisme juga dilakukan dengan berbagai jalur. Bekerjasama dengan Brigjen Sudirman (Komandan Seskoad saat itu) dan Letkol Muchlas Rowi (Kepala Pusroh Islam Angkatan Darat) Hamka mendirikan Yayasan Perpustakaan Islam. Mereka juga menerbitkan majalah baru, Gema Islam, dengan isi dan semangat yang serupa dengan Pandji Masjarakat yang dibreidel oleh Soekarno tahun 1960. Tentang hal ini Sudirman menyatakan, ‚Kita harus bekerjasama, yah saling menunggangi untuk menyelamatkan bangsa dari bahaya komunis.‛ 915 Memang, ketika Demokrasi Terpimpin diberlakukan, tulis Nazaruddin Sjamsuddin, ‚Sejak itu partai-partai politik kecuali PKI mulai kehilangan pengaruhnya.‛916 Namun kemudian tentara mulai melawan pengaruh PKI itu dengan cara khusus.917 Rusydi menceritakan, Brigjen Sudirman dan Letkol Muchlas Rowi datang ke Hamka membawa pesan dari Jend AH Nasution. Mereka mengajak Hamka untuk kembali menerbitkan majalah Islam. Nasution mengusulkan nama majalah itu Gema Islam. Atas tawaran itu, Hamka kemudian bermusyawarah dengan KH Fakih Usman. Keduanya pun sepakat menerima tawaran tersebut dengan syarat namanya tidak dicantumkan sebagai pemimpin redaksi. Maka yang menjadi pemimpin umum adalah Brigjen Sudirman dan pemimpin redaksinya Letkol Muchlas Rowi. Sementara Hamka dan tokoh-tokoh Islam lainnya hanya masuk dalam ‚pembantu‛. Dalam posisi ini dimasukkan beberapa nama dari partai-partai dan ormas-ormas Islam untuk mencerminkan persatuan umat Islam.918 Edisi perdana Gema Islam terbit pada 15 Januari 1962. Tagline-nya mirip dengan milik Pandji Masjarakat: ‚Majalah Pengetahuan dan Kebudayaan‛. Pada edisi ini dijelaskan, Gema Islam merupakan majalah yang diterbitkan oleh Yayasan Perpustakaan Islam Pusat yang berakte notaris R Soerojo Wongsowidjojo No 29/ tgl 11 November 1961). Sementara Gema Islam sendiri telah mendapatkan izin terbit dari Peperda Jakarta Raya No 222 tanggal 15 Desember 1951. Dalam susunan kepengurusan Yayasan tersebut yang berposisi sebagai pelindung adalah Menteri Agama KH A Wahib Wahab, Menteri Keamanan Nasional/Kastaf AD Jend A Harris Nasution, dan Menteri Kesejahteraan Sosial R . Sementara yang menjadi ketua umum adalah Brigjen Sudirman, dan Anwar Tjokroaminoto sebagai ketua. Hamka sendiri menjadi wakil ketua. Sedangkan susunan pengelola Gema Islam sebagai berikut: Brigjen Sudirman (Pemimpin Umum); Letkol Muchlas Rowi (Penanggungjawab); H Anwar Tjokroaminoto, A , A Musa Idris, dan Mahbub Junaidi (Dewan Redaksi); Rusydi Hamka (Sekretaris Redaksi); M Joesoef Ahmad (Pemimpin Usaha). Hamka

914 Hamka, ‚Beratnja Kewadjiban Kita‛, dalam Pandji Masjarakat, no 13, April 1967, h. 2 915 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 176-178. 916 N Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, h. 11 917 EC Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia..., h. 149 918 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 176-178.

188 berposisi sebagai ‚Para Pembantu‛ bersama Fakih Usman, Jusuf Abdullah Puar, Sidi Gazalba, Imran Rosyadi, Aboebakar Atjeh, Osman Raliby, Abdullah Sjahir, Bahrum Rangkuti, Aisyah Aminy, S Baroroh Baried, Mahmudah Mawardi, dan Musyaffa Basyir. 919 Meski di posisi ‚Pembantu‛ namun hampir di setiap edisi terlihat tulisan Hamka,920 bahkan dia menjadi penggerak majalah tersebut.921 Rosihan Anwar menyebut Gema Islam terbit atas dasar keprihatinan akan kedudukan umat Islam yang kala itu semakin terjepit dan terdesak. Ada dua kekuatan yang membuat terdesak, yaitu PKI dan kristenisasi yang semakin marak. PKI yang secara politik saat itu sedang di atas angin memanfaatkan posisinya untuk memojokkan kekuatan Islam dari gelanggang politik. Sementara di saat bersamaan gelombang kristenisasi oleh para missionaris dan zending begitu marak mencari pengikut di kalangan umat Islam. Tentang hal ini Anwar menulis: ‚Dalam keadaan demikianlah ‘Gema Islam’ berusaha memanggil umat Islam untuk merapatkan barisannya. Dan para pengarang dan serta penulis Islam mengangkat pena mereka menyumbangkan tulisan untuk ‘Gema Islam’ dengan tujuan memelihara dan mempertahankan identitas umat Islam.‛922 Jika pada era Pandji Masjarakat masih tampak sikap sebagai oposan terhadap Demokrasi Terpimpin Soekarno, di era Gema Islam ini sikap itu tidak diperlihatkan. Majalah ini lebih menfokuskan pada isu-isu dakwah, ilmu pengetahuan, seni-budaya Islam, dan tentu saja isu kristenisasi seperti yang diungkap Rosihan Anwar di atas. Dalam majalah ini perlawanan terhadap komunisme tidak lagi tampil dalam wacana politik, namun lebih ditekankan pada pemikiran dan kebudayaan. Tampaknya ‘trauma’ atas pembreidelan Pandji Masjarakat dan tekanan yang begitu kuat dari penguasa dan kelompok komunis yang melatari pilihan ini. Trauma itu pula yang membuat Hamka dan kawan-kawannya bersedia menerima tawaran kerjasama yang diulurkan beberapa eksponen Angkatan Darat yang saat itu juga sedang bergesekan dengan PKI. Dalam hal ini Hamka dan kawan-kawannya melihat AH Nasution sebagai ‚Satu-satunya yang bisa dijadikan tulang punggung untuk melancarkan dakwah di mana-mana.‛923 Apalagi saat itu sudah banyak tokoh-tokoh Masyumi dan PSI yang hilang atau ditangkap aparat pemerintah. Pertimbangan inilah yang disampaikan Fakih Usman kepada Hamka, ‚Kita terima saja, saya tak keberatan nama saya dicantumkan, meskipun saya tidak

919 Lihat Gema Islam, no 1, tahun I, 15 Januari 1962, h. 2-3 920 Amura, ‚Dengan Buya Hamka Dalam Berbagai Peristiwa‛, h. 214 921 Rosihan Anwar, ‚Hamka dan ‘Gema Islam’ dan Kumandang Da’wah‛, dalam Salam (ed), Kenang-kenangan 70 Tahun..., h. 156. Rosihan Anwar mengaku dirinya juga terlibat dalam majalah Gema Islam. Namun namanya tidak tercantum dalam susunan redaksi. Anwar mengasuh rubrik ‚Kronik dan Komentar Islam‛ dengan menggunakan nama samaran Al-Bahits. Nama yang berarti ‚Sang Pembahas‛ ini diberikan langsung oleh Hamka. 922 Rosihan Anwar, ‚Hamka dan ‘Gema Islam’ dan Kumandang Da’wah‛, h. 156 923 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 183-184

189 mengarang, agar umat tahu bahwa kita belum hilang. Dengan tercantumnya nama kita di situ, kalau kita sampai hilang, tentu orang akan bertanya-tanya juga.‛924 Tampaknya kerjasama dengan militer itu cukup membuat Hamka bisa bernafas bebas lebih lama daripada kawan-kawannya yang lain. Pada akhir Januari 1962 Isa Anshary ditangkap di Bandung. Kemudian menyusul yang lainnya: Prawoto Mangkusasmito, Moh Roem, M Yunan Nasution, , dan Anak Agung Gde Agung. Hamka sendiri punya waktu dua tahun untuk mengembangkan Gema Islam sebelum akhirnya pada 27 Januari 1964 dia ditangkap dengan tuduhan subversi.925 Sesungguhnya perlawanan terhadap komunisme secara kebudayaan telah lama dilakukan Hamka. Dalam berbagai kegiatan kebudayaan, Hamka selalu menyampaikan gagasan tentang kebudayaan dengan warna Islam, sebagai penyeimbang dari gagasan-gagasan kebudayaan dengan warna komunisme atau nilai-nilai non-Islam lainnya. Seperti yang disampaikan Hamka ketika menjadi salah satu pembicara dalam Kongres Kebudayaan Nasional pertama di Bandung (1953) dan Kongres kedua di Solo (1955) yang diadakan oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).926 Dalam Kongres kedua tersebut Hamka sempat bertemu dengan beberapa budayawan muslim muda dan mengutarakan niatnya untuk mendirikan Badan Musyawarah Kebudayaan Islam Indonesia (BMKII) jika seandainya Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)927 bisa mendominasi BMKN. Saat itu BMKN menjadi wadah yang menampung para seniman dan budayawan dari berbagai

924 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 178-179. 925 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 178-179. Setelah Orde Lama tumbang Hamka menulis bahwa penangkapan dan penahanan terhadap Isa Anshary disebabkan karena kegigihannya dalam menentang komunisme. Salah satu peran yang dimainkan Anshary terjadi pada Muktamar Ulama Seluruh Indonesia di Palembang, 8-11 September 1957. Muktamar yang membahas komunisme itu menghasilkan sebuah resolusi yang mirip dengan fatwa Majelis Syura Masyumi Jawa Barat (lihat sub bab C. Melawan Komunisme). Resolusi itu ditandatangani oleh Isa Anshary (Ketua) dan Ghazali Hassan (Sekretaris). Lihat Hamka, ‚Mari Kita Segarkan Kembali Ingatan,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 10, 1967, h. 2 926 Sidi Gazalba, ‚Beberapa Peristiwa Bersama...‛, h. 224-225. Saat Kongres di Bandung itu, ungkap Hamka, wakil-wakil Lekra secara terang-terangan mengemukakan prinsipnya menolak Pancasila, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Hamka hal tersebut wajar saja karena kaum komunis memang tidak menyukai agama. Ini adalah dasar, urat, dan pokok dari kepercayaan komunisme. Lihat Hamka, ‚Peladjaran Agama di Sekolah Pemerintah,‛ dalam Hikmah, no 23, tahun V, 7 Juni 1952, h. 18 927 Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan di Jakarta pada 17 Agustus 1950 oleh beberapa tokoh komunis Indonesia, yaitu A.S Dharta, M.S Ashar, Henk Ngantung, Herman Arjuno, Joebaar Ajoeb, Sudharnoto, Njoto, dan DN Aidit. Semula Lekra direncanakan menjadi lembaga tink-thank kebudayaan semata. Namun kemudian berkembang dan membuka cabang ke daerah-daerah melalui PKI di daerah. Meski secara resmi tidak menjadi organisasi underbuow dari PKI, namun keduanya memiliki kedekatan ideologis dan personil, sehingga keduanya sangat sulit untuk dipisahkan. Lihat Tempo, edisi khusus Lekra, 30 September – 6 Oktober 2013.

190 aliran: Islam, nasionalis, dan komunis. Dalam berbagai diskusi dan musyawarah di Kongres, budayawan Lekra tampak agak memaksakan ide-idenya mewarnai Kongres. Ternyata rencana Hamka itu juga akan diikuti oleh para budayawan yang berafiliasi ke PNI yang berencana mendirikan organisasi kebudayaan Pancasila. Namun rencana mendirikan BMKII itu urung terwujud karena militansi para budayawan muda muslim itu mampu mengimbangi militansi Lekra di Kongres.928 Perlawanan terhadap Lekra terwujud dalam bentuk Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI). HSBI dibentuk sebagai respons terhadap keberadaan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi pada PKI. Lekra menjadikan kesenian untuk menanamkan ide-ide komunisme kepada masyarakat (seni untuk ideologi). Ide tentang kesenian untuk tujuan tertentu, bukan hanya untuk seni sendiri/kesenangan, semula disuarakan pada zaman kolonialisme Jepang oleh Usmar Ismail. Dengan semboyan ‚Seni untuk bangsa, tanah air, dan agama,‛ Usmar Ismail mengritik ide ‚seni untuk seni semata‛. Namun kemudian Lekra dan PKI memanfaatkan ide ini dengan menggunakan kesenian sebagat alat perjuangan ideologisnya.929 Bagi Lekra, tulis Hersri Setiawan, seniman dan ilmuan tidak boleh mengisolasi diri dari rakyat dan tak acuh pada nasib mereka. Mantan Sekretaris Umum Lekra Yogyakarta dan Jawa Tengah itu menegaskan, Lekra tidak ingin kehidupan kebudayaan dikuasai kaum priyayi kota dan desa, yang secara tidak sadar –apalagi dengan sadar- menjadi kepanjangan tangan kapitalisme asing dan

928 Sidi Gazalba, ‚Beberapa Peristiwa Bersama...‛, h. 225-226. Meski tidak jadi terbentuk saat itu, di kemudian hari dibentuklah BMKI (Badan Musyawarah Kebudayaan Islam) yang merupakan federasi dari lembaga-lembaga kebudayaan Islam seperti HSBI, Lesbumi, Laksmi, Leksi, ISBM, dan beberapa organisasi kebudayaan Islam lokal. BMKI menggelar Musyawarah Kerja I-nya di Masjid Al-Azhar pada 22-23 Agustus 1963. Lihat ‚Musjawarah Kerdja I Badan Musjawarah Kebudajaan Islam 22-23 Agustus 1963,‛ Gema Islam, no 59, tahun III, 1 Oktober 1964, h. 25. Penyebutan tahun 1963 sebagai tahun pelaksanaan Musyker I BMKI tampaknya salah karena 1) Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Musyker pertama tersebut digelar beberapa hari setelah pidato Presiden Soekarno yang berjudul Vivere Pericoloso. Pidato ini sendiri terjadi pada 1964; 2) Di artikel itu juga disebutkan bahwa pelaksanaan Musyker I itu merupakan amanat dari Munas Pembangunan Moral dan Seni Islam yang dilaksanakan pada Desember 1963. Jadi tidak mungkin Musyker I BMKI itu dilaksanakan beberapa bulan sebelum Munas Pembangunan Moral dan Seni Islam tersebut. Lihat juga ‚Menyambut Musjawarah Nasional Pembangunan Moral dan Seni Islam‛, Gema Islam, no 15, tahun II, 15 November 1963, h. 22-23; ‚Manifes Kebudajaan dan Kesenian Islam‛, Gema Islam, no 45, tahun II, 1 Januari 1964, h. 9 929 Taufiq Idris, ‚Seni Sebagai Media Dakwah‛, Serial Media Dakwah, no 88, Oktober 1981, h. 28. Perlawanan terhadap ideologi seni Lekra tersebut juga datang dari banyak seniman non-komunis lainnya. Pada 17 Agustus 1963 dicetuskan Manifesto Kebudayaan oleh para budayawan yang tetap mendukung seni untuk menyempurnakan keadaan hidup manusia dan tetap berpegang teguh pada Pancasila sebagai falsafah kebudayaan mereka. Lihat Mochtar Lubis, Hati Nurani Melawan..., h. 77

191 feodalisme pribumi.930 Karena itulah Lekra menempatkan politik sebagai panglima bagi kesenian, karena menurut mereka ‚rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan.‛ Sikap ini secara tegas dinyatakan Njoto dalam pidato Kongres I Lekra di Taman Sriwedari Solo di pekan terakhir Januari 1959, ‚kekeliruan besar mempersilakan kebudayaan berjalan sendiri, polos, tanpa bimbingan politik.‛931 Penempatan politik sebagai pemandu bagi kesenian dirumuskan dalam resolusi hasil Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner yang digelar PKI pada akhir Agustus 1964, ‚seni dan sastra revolusioner harus mengakui dan menaati pimpinan partai.‛932 Di tahun 1956, bertepatan dengan ulang tahunnya, Lekra menerbitkan ulang manifesto yang pernah dirumuskan pada tahun 1950 dengan beberapa revisi. Banyak istilah-istilah Arab dalam manifesto baru ini. Meski demikian manifesto tersebut berisi serangan terhadap seniman-budayawan Islam. Atas hal ini kalangan seniman dan budayawan Muslim pun membentuk HSBI. Inisiator lembaga ini adalah Muhammad Aidid dan M Nur Alian, dan didukung oleh Menteri Agama Muhammad Ilyas dari NU. HSBI didirikan pada 24 September 1956. M Nur Alian menjabat sebagai ketuanya. Sementara Muh Aidid pindah ke Yordania menjadi Kuasa Usaha di sana. Meski secara struktural independen, namun HSBI dekat dengan Masyumi.933 Pada lima tahun pertama belum tampak peran signifikan yang dimainka HSBI. Baru pada era kepemimpinan Junan Helmy Nasution (terpilih pada Muktamar HSBI I, Januari 1961), HSBI bergeliat dan menunjukkan perannya. Selain karena didukung militer (Junan Helmy adalah perwira menengah yang memimpin Pusat Rohani (Pusroh) Islam III di TNI AD), dukungan dari Gema Islam juga turut menggerakkan HSBI.934 Helmy Nasution menjelaskan, dalam HSBI terdapat dua badan: Pertama, badan pekerja yang terdiri dari ‚karyawan seniman pekerja‛. Mereka ini masuk dalam Pimpinan Pusat HSBI. Badan yang kedua adalah (Musyawarah Seniman Budayawan Islam) MASBI yang terdiri dari para ulama, zuama dan seniman-budayawan. Helmy Nasution menyebut mereka sebagai ‚Karyawan Seniman-Budayawan Pemikir‛ sebagai ‚otak‛ dari HSBI yang

930 Hersri Setiawan, ‚Mengapa Saya Memilih Lekra,‛ Tempo, edisi khusus Lekra, 30 September-6 Okotober 2013, h. 102-103 931 ‚Turba dan Jurus 1-51,‛ Tempo, edisi khusus Lekra, 30 September-6 Okotober 2013, h. 70-71 932 ‚Satu Ayah Lain Rumah,‛ Tempo, edisi khusus Lekra, 30 September-6 Okotober 2013, h. 88 933 Lihat Choirotun Chisaan, ‚In Search of an Indonesian Islamic Cultural Identity, 1956-1965‛, dalam Jennifer Lindsay & Maya HT Liem (ed), Heirs to World Culture: Being Indonesia, 1950-1965, (Leiden: Brill, 2012), 284 & 295. 934 Chisaan, ‚In Search of an Indonesian...‛, h. 298-299; Hendri F Isnaeni, ‚Himpunan Seni Budaya Islam: Melawan Lekra, Menghalalkan Seni‛, dalam Historia, no 16, tahun II, 2013, h. 55. Berbeda dengan ini, Junan Helmy Nasution menyebut HSBI sebagai ide murni dari Menag KH Moh Iljas pada tahun 1956. Lihat Kapten Junan Helmy Nasution, ‚Tudjuh Tahun HSBI: 24 Sept 1956-24 Sept 1963‛, dalam Gema Islam, no 40, tahun II, 15 September 1963, h. 20. Tentang Helmy Nasution lihat ‚Tokoh Pentas Islam: Yunan Helmy Nasution‛, Gema Islam, no 36/37, tahun II, 1 Agustus 1963, h. 21-23

192 membuat ‚blue-print dan sketsa-sketsa kesenian Islam yang henda dipahat‛. MASBI diketuai oleh Hamka.935 MASBI dibentuk karena tantangan HSBI bukan hanya dari Lekra, tetapi juga dari sebagian kalangan tokoh Islam. Ternyata, banyak di antara tokoh-tokoh Islam yang menganggap kesenian sebagai sesuatu yang haram. Hal ini membuat kegiatan kesenian yang akan ditampilkan para seniman HSBI di berbagai tempat menjadi terhambat karena mengalami penolakan dari mereka. Padahal di saat bersamaan Lekra begitu bebas menggelar kegiatan seni di tengah-tengah masyarakat. Atas persoalan ini Ketua HSBI Junan Helmy Nasution bersama pengurus HSBI menemui Hamka. Setelah berdiskusi mereka pun sepakat untuk membentuk MASBI. 936 Amura menyatakan, MASBI merupakan amanat Muktamar I HSBI pada Januari 1960 yang menghimpun para ulama, cendekiawan dan sarjana yang berjiwa Islam dari berbagai golongan tanpa memandang orientasi politiknya.937 Setelah membentuk MASBI, mereka pun mengadakan Musyawarah Seniman Budayawan Islam untuk membahas persoalan kesenian dalam pandangan Islam. Tujuannya adalah ‚mendudukkan masalah-masalah yang oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia masih merupakan tanda tanya‛. Rencana tersebut pun terlaksana di Aula Lembaga Administrasi Negara, tanggal 15-17 Desember 1961. Ada 100-an ulama, sarjana, cendekiawan, dan seniman-budayaan Islam yang terlibat, dengan 20 orang pemrasaran.938 Dalam kesimpulannya, peserta musyawarah menyatakan bahwa ‚Kebudayaan ialah manifestasi ruh, dzauq, iradah dan amal (cipta, rasa, karsa, dan karya) dalam seluruh segi kehidupan insani sebagai fitrah, ciptaan karunia Allah.‛ Sementara kebudayaan Islam didefinisikan sebagai manifestasi dari keempat hal itu ‚yang bersumber atau berunsur ajaran Islam‛. Musyawarah juga merumuskan tujuan kebudayaan bagi bagi kaum muslimin adalah untuk ‚ibadah, perhambaan, dan kebaktian kepada Allah dan amal salih terhadap sesama manusia, dengan mempergunakan nikmat karunia Allah untuk mewujudkan aman, tenteram sentosa dan makmur lahir batin bagi setiap pribadi dan masyarakat umat manusia.‛ Karena itu usaha berkesenian dan berkebudayaan harus dilaksanakan dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah. Mereka pun menolak kaidah ‚seni untuk seni‛ atau ‚seni untuk rakyat‛. Kaidah yang tepat dan luhur adalah ‚seni untuk kebaktian ke hadirat Allah‛, karena dalam rumusan ini sudah terkandung makna kemanfaatan bagi kemanusiaan secara lahir dan batin.939 Atas dasar itu semua, Musyawarah pun mengeluarkan fatwa bahwa ‚Islam memperkenankan karya segala cabang kesenian untuk keluhuran budi (akhlak) dan untuk takwa ke hadirat Allah dan tidak berunsur asusila, maksiat, cabul dan syirik serta melanggar larangan Allah dan Rasul.‛ Sementara untuk seni pahat,

935 Helmy Nasution, ‚Tudjuh Tahun HSBI...‛, h. 20 936 Sidi Gazalba, ‚Beberapa Peristiwa Bersama Buya Hamka‛, h. 227 937 Amura, ‚Musjawarah Besar Seniman dan Kebudayaan Islam‛, dalam Gema Islam, no 1, tahun I, 15 Januari 1962, h. 25 938 Amura, ‚Musjawarah Besar Seniman...‛, h. 26 939 Amura, ‚Musjawarah Besar Seniman...‛, h. 26

193

Musyawarah memfatwakannya sebagai ‚diperkenankan‛ untuk tujuan perhiasan, permainan, dan pengajaran. Namun seni patung yang diperuntukkan penyembahan (ta’abbud) berhukum syirik. Sedangkan yang bertujuan asusila, maksiat, dan pengagungan dihukumi haram.940 Bermodal fatwa inilah para seniman HSBI mulai leluasa bergerak di tengah masyarakat melawan pengaruh kesenian Komunis yang disebarkan Lekra. 941 Sementara dalam sambutannya, Hamka menjelaskan pentingnya kegiatan tersebut karena menyangkut sesuatu ‚yang menentukan nasib hidup dan matinya agama kita Islam di tanah air kita ini.‛ Hamka juga menekankan betapa kebudayaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Dan kebudayaan Islam, ungkapnya, sesungguhnya telah lama terwujud di Indonesia yang ‚terbentuk menurut corak ragam Indonesia sendiri, ditentukan oleh ruang dan waktunya.‛ Pada kesempatan itu Hamka memberi contoh mulai dari berbagai arsitektur masjid hingga nyanyi-nyanyian dan tari-tarian di Indonesia. Bahkan, ujarnya, pengaruh Islam juga meresap dalam karya sastra dan tradisi Nusantara yang dianggap bercorak non-Islam. Bahkan dalam filsafat ‘Kejawen’ buah tanggan Ronggowarsito yang terkenal. Masuklah pengaruh Islam. Ke dalam ceritera dengan usaha Sunan Kalijogo, pun masuklah pengaruh Islam. Bahkan ke dalam dongeng ‘Dewa Ruci’ atau ‘Bima Sakti’ masuk juga kisah Nabi Khidhir yang terkenal itu. Bahkan, kononnya, ke dalam salah satu kesusasteraan Bali terdapat kisah Bagindo Ali, atau Sayidina Ali. Dan dalam mantera orang Batak yang masih pelbagu, yang belum Kristen dan belum Islam masuk pula kata ‘Bismillah’. 942 Namun demikian Hamka juga mengingatkan, kebudayaan Islam di Indonesia saat itu tengah terjepit di antara dua kebudayaan besar: Kebudayaan Hindu Shiwa- Buddha yang diwarisi dari nenek moyang bangsa Indonesia, dan kebudayaan Barat yang tengah melanda masyarakat Muslim saat itu. Di tengah himpitan dua kebudayaan besar itu, lanjutnya, kini kebudayaan Islam di Indonesia juga mendapat serangan dari kebudayaan Kristen dan dari sebelah kiri pun datang serangan ‚kebudayaan kaum yang tidak mempercayai Tuhan‛ yaitu komunis. ‚Sekarang gerakan kebudayaan telah tumbuh di mana-mana di tanah air kita ini. Ada yang entah hendak kemana perginya, entah kembali ke Hindu atau dibawa hanyut oleh arus Barat. Ada gerakan kebudayaan Kristen. Dan ada gerakan kebudayaan Lekra. Lembaga Kebudayaan Rakyat, alat komunis‛, ungkapnya.943 Terkait dengan fatwa MASBI yang menghalalkan kesenian, Hamka menyatakan bahwa fatwa tersebut sebagai sebuah ijtihad semata. Bukan sebuah ikhtiar mencari-cari dalil agama yang digunakan untuk menghalalkan sesuatu yang haram, sebagaimana yang disangka oleh sebagian pihak. Atas fatwa tersebut Hamka pun menyatakan, ‚Dalam simpulan yang telah kita dapati, dan keputusan

940 Amura, ‚Musjawarah Besar Seniman...‛, h. 26 941 Sidi Gazalba, ‚Beberapa Peristiwa Bersama...‛, h. 227 942 ‚Kebudayaan Islam adalah Mazhar Dari Tauhid dan Taqwa: Sambutan Ketua MASBI Dr Hamka Pada Malam Penutupan Musyawarah HSBI tgl. 15-17 Desember 1961 di Jakarta,‛ dalam Gema Islam, no 1, tahun I, 15 Januari 1962, h. 11 943 ‚Kebudayaan Islam adalah Mazhar Dari Tauhid dan Taqwa...,‛ h. 12-13

194 yang telah kita rumuskan, timbullah kesan kepada yang mulia ulama-ulama, bahwa kalau demikian halnya, aku pun adalah orang-orang kebudayaan‛.944 Selain menggelar MASBI, HSBI juga aktif mengadakan pentas seni Islami di berbagai daerah. Salah satu kegiatan yang dilakukan HSBI adalah peringatan Maulid Nabi tahun 1961 di halaman Masjid Agung al-Azhar dengan pergelaran drama. Pementasan ini diapresiasi banyak pihak karena ‚tidak biasa‛ peringatan Maulid Nabi dengan menggelar drama kolosal yang melibatkan artileri berkuda. Pada pertunjukan ini Hamka menjadi konsultan yang membaca dan memberi masukan terhadap skrip sebelum dimainkan.945 Pada peringatan Maulid tahun berikutnya, HSBI bersama Masjid Agung al- Azhar kembali menyajikan pementasan drama. Selain drama bertema kelahiran Nabi Muhammad yang melibatkan anggota TNI berkuda, juga digelar drama ‚Jihad Diponegoro‛ oleh perkumpulan sandiwara ‚Ratu Asia‛ pimpinan Sjamsuddin Syafei. Juga diadakan pemutaran film, pameran lukisan sejarah perjuangan Islam di Indonesia, bazar, berbagai perlombaan, dan tentu saja dengan penceramah Anwar Tjokroaminoto dan Hamka. Terhadap pementasan drama tersebut Gema Islam berkomentar: Kesan yang kita dapat dari pementasan-pementasan itu adalah, bahwasanya sandiwara amat baik digunakan untuk medium dakwah. Kita dapat membandingkan antara jumlah pengunjung tabligh akbar dengan malam-malam pementasan itu. Nyata benar bedanya, apalagi dengan adanya bantuan dari Djawatan Angkutan Angkatan Darat, dengan meminjamkan beberapa ekor kuda serta penunggang- penunggangnya, pementasan cerita-cerita yang tersebut di atas menjadi semarak benar.946 Bagaimana pandangan Hamka sendiri tentang seni dan kebudayaan? Sebagai seorang pecinta seni yang ulama,947 Hamka selalu mengaitkan segala ide-ide dan inspirasinya dengan nilai-nilai keislaman. Termasuk dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Budaya, jelas Hamka, terdiri dari dua kata: Budi dan daya. ‚Budi‛ berarti ‚cahaya atau sinar yang terletak di dalam batin manusia‛. Cahaya ini dapat memberikan pengaruh pada pandangan manusia terhadap kehidupan. Juga menimbulkan dalam diri manusia pertimbangan tentang yang baik dan jahat. Sementara ‚daya‛ adalah ‚usaha atau keaktifan manusia melaksanakan dengan anggotanya apa yang digerakkan oleh budinya.‛ Apabila cahaya dalam batin itu telah semakin terang benderang, maka budi telah menjadi tinggi, dan dengan sendirinya timbul daya upaya untuk melaksanakan petunjuk cahaya itu di dalam kehidupan. Hamka mendefinisikan kebudayaan sebagai ‚Usaha dan hasil usaha manusia menyesuaikan kehendaknya

944 ‚Kebudayaan Islam adalah Mazhar Dari Tauhid dan Taqwa...,‛ h. 14 945 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 177 946 ‚Pekan Maulid Ke-II Di Mesdjid Agung ‘Al-Azhar’ Kebajoranbaru‛, dalam Gema Islam, no 15, tahun I, 1 September 1962, h. 13-15 947 Hamka mengaku dirinya adalah pecinta seni. Dia menyerahkan kepada masyarakat untuk menilai apakah dia layak menyandang gelar seniman atau pujangga. Lihat Hamka, ‚Untuk Siapa Seni?‛, dalam Hikmah, no 8, tahun IV, 16 November 1951, h. 20

195 buat hidup dengan alam yang ada di kelilingnya.‛ Karena itu kebudayaan memiliki cakupan yang begitu luas. Seni masuk ke dalamnya bersama dengan filsafat dan ilmu pengetahuan. 948 Jika kaum komunis yang memosisikan agama sebagai bagian dari kebudayaan karena merupakan ‚buatan manusia, yang bersangkut paut dengan tekanan ekonomi‛, tidak demikian halnya dengan Hamka. Baginya agama adalah wahyu yang datang dari Tuhan. Bukan hasil dari perbuatan manusia. Sebab itu agama bukanlah bagian dari kebudayaan, justru agama (Islam) adalah sumber dari kebudayaan. Karena memang iman itu belum sempurna jika tidak dilanjutkan dengan amal salih. Bagi umat Islam, jelasnya, iman itu memberikan cahaya kepada akal budi. Akal budi tersebut akan melahirkan budi daya berupa amal salih. Dari sini Hamka pun menyimpulkan ‚bahwasanya seorang muslim pun adalah seorang budayawan‛. 949 Meski mengakui semua manusia yang berbudi pasti berbudaya, namun Hamka melihat kebudayaan yang muncul dari jiwa tauhid itu berbeda dari kebudayaan yang non-agama. 950 Terkait dengan seni, bagi Hamka sisi estetika dalam seni hanyalah ‚belahan yang kedua dari keindahan yang asli‛. Hamka membagi keindahan menjadi dua: asli dan tiruan. Keindahan yang asli adalah alam ciptaan Allah yang ada di sekeliling kita. Sementara seni hanyalah ‚usaha manusia menumbuhkan kesan rasa dalam jiwa karena pengaruh keindahan sekeliling‛. Wujud dari usaha ini bisa berbentuk pantun, prosa, puisi, pahat, ukir, dan sebagainya.951 Karena itu setiap hasil kesenian selalu terbatas oleh ruang dan waktu. ‚Syair atau prosa manusia, bagaimanapun hangat dan indah menurut nilai suatu masa; Dingin dan basi, menurut nilai masa yang lain,‛ tulis Hamka. Hal ini berbeda dengan nilai sastra al- Qur’an yang mengatasi ruang dan waktu. Sebab al-Qur’an merupakan puncak dan sumber dari kesusasteraan. Ungkapan yang digunakan Hamka untuk menggambarkan al-Qur’an adalah ‚kepadanyalah berhimpun segala kesusasteraan, dan dari padanya tercipta beberapa kesusasteraan.‛952 Hamka melihat bahwa kaidah ‚seni itu untuk seni‛ yang diikuti sebagian seniman sebagai sesuatu yang belum mencukupi. Memang, ujarnya, seni itu merupakan cerminan pribadi si seniman, ‚adakah dia realis atau idealis, adalah dia seorang eksistensialis atau seorang surealis! Adakah dia seorang fasik atau mukmin,‛ ujarnya.953 Namun demikian, tegas Hamka, seorang seniman adalah bagian dari anggota masyarakat. Dia tidak akan bisa melepaskan dirinya dari masyarakat. ‚Sebab seorang tidak akan tumbuh bakat seninya, jika dia hanya

948 Hamka, ‚Kebudajaan Dipandang Dari Segi Adjaran Islam (Prasaran Dr. Hamka Pada Seminar Kebudayaan Nasional Pada Tanggal 26-29 Mei 1960 di Semarang)‛, dalam Pandji Masjarakat, no 24, tahun II, 1 Djuni 1960, h. 4; Hamka, ‚Kongres Lembaga Kebudajaan Indonesia di Bandung,‛ dalam Hikmah, no 2, tahun IV, 6 Oktober 1951, h. 19 949 Hamka, ‚Kebudajaan Dipandang Dari...‛, h. 4-5 950 Hamka, ‚Kebudajaan Dipandang Dari...‛, h. 5-6 951 Hamka, ‚Untuk Siapa Seni?,‛ h. 20 952 Hamka, ‚Nabi Muhammad Dan Kesusasteraan,‛ dalam Hikmah, no. 11, tahun IV, 8 Desember 1951, h. 11. 953 Hamka, ‚Untuk Siapa Seni?‛, h. 20

196 memahat patung di dalam kamar, menulis gubahan dalam notes, dengan tidak ada keinginan memperlihatkan hasil ciptaannya kepada masyarakat. Perseorang dan masyarakat adalah beri-memberi. Oleh sebab itu, maka seni yang tidak untuk masyarakat tidaklah ada,‛ tulisnya. Karena itu, lanjutnya, ketika mengemukakan seni kepada masyarakat ‚hendaklah seni itu mengandung kebenaran. Jangan menipu masyarakat.‛ Sebab dia dapat memberi pendidikan baik dan buruk kepada mereka.954 Pada titik ini Hamka menyebut slogan ‚seni untuk rakyat‛ sebagaimana yang dipropagandakan kalangan komunis sebagai ‚penuh dengan kebohongan‛. Hamka menjelaskan, kesenian rakyat atau seni untuk rakyat yang dipropagandakan sebagai tantangan kepada kesenian feodal itu dalam prakteknya tidak lebih dari sebentuk ‘neo-feodalisme.’ Seni yang seperti ini, simpul Hamka, tidak lebih dari ‚mendustai kesenian itu sendiri!‛. Lebih lanjut dijelaskan, dalam slogan ‚seni untuk rakyat‛ itu terkandung filsafat pertentangan. Kata-kata ‚rakyat‛ dalam slogan tersebut, ungkapnya, terkandung semangat permusuhan dan kebencian. Tentu saja hal ini bertentangan dengan filosofi seni yang dianut oleh Hamka, yaitu kedamaian.955 Karena bagi Hamka, seni itu bermula dari rasa cinta, bukan takut.956 Bagi seniman atau budayawan yang akal budi-nya disinari oleh cahaya tauhid, jelas Hamka, kebudayaan tidak bisa lepas dari pengaruh Allah. Orang seperti ini memandang alam lingkungan semata-mata sebagai bahan mentah yang disediakan Allah untuk diolah. Bukan faktor pembentuk akal budi dan kebudayaan. Dengan pandangan tauhid, jelasnya, seorang muslim ketika berfilsafat, berkesenian, dan mencari ilmu pengetahuan selalu memegang prinsip manfaat dan madharatnya bagi kehidupan. ‚Seorang muslim akan bertanya: ‘hendak kemana semua ini?’,‛ ujar Hamka. Dengan pertimbangan ini pula, seorang muslim ketika berkesenian akan melihat manfaat seni itu bagi kedekatan dirinya dengan Allah. Sehingga terhindar dari memuja dan menyembah produk kesenian. 957 Puncak dari kesenian menurut Hamka adalah ‚gabungan di antara rasa keindahan (jama>l), dan rasa kesempurnaan (kama>l)Error! Reference source not found., dan rasa kemuliaan (jala>l).‛ Seni seperti ini dinilai Hamka memiliki nilai yang tinggi karena dapat menyebabkan ‚si seniman lebur di bawah cerpu telapak kaki budi (etika) dengan kebenaran (al-h}aqq),‛ sehingga membawa ‚si seniman fana>, hilang ke dalam yang Baqa‛. Dari sini Hamka pun menyimpulkan bahwa ‚batas antara seorang seniman dan seorang shufi tipis sekali!‛. Karena itu,

954 Hamka, ‚Untuk Siapa Seni?‛, h. 19 955 Hamka, ‚Untuk Siapa Seni?‛, h. 20. 956 Lihat Hamka, ‚Kufur dan Iman‛. dalam Pandji Masjarakat, no 17, tahun II, 15 Pebruari 1960, h. 5. Memang, cinta dan kedamaian menjadi pegangan Hamka dalam berkesenian. Ini ditegaskan oleh Hamka pada ceramah sastra-nya di Taman , tanggal 11 Maret 1970. ‚Dasar dari kepengarangan saya adalah cinta,‛ tulis Iwan Simatupang mengutip pidato Hamka malam itu. Bagi Simatupang, Hamka adalah prototipe cendekiawan yang berhasil menempatkan inteleknya di bawah naungan Ka’bah. Lihat Iwan Simatupang, ‚Ceramah Sastra Hamka: Kisah Dari Suatu Kepengarangan Berdasarkan Cinta‛, dalam Salam (ed), Kenang-kenangan 70 Tahun..., h. 238-239 957 Hamka, ‚Kebudajaan Dipandang Dari...‛ h. 6

197 jelasnya, ketika seseorang sedang menikmati keindahan, lalu spontan dia teringat kepada Allah dan menyebut nama-Nya, maka berarti dia ‚telah sampai‛ kepada kesatuan yang sejati, yaitu tauhid.958 Karena baginya, ‚Dari jendela yang mana pun anda meninjau, baik dari jendela ilmu atau jendela seni, anda hanya melihat kesatuan! Anda hanya melihat tauhid!‛.959 ‚Bagiku seni adalah untuk kesenian yang Mutlak, untuk keindahan yang Mutlak. Yang di baliknya tidak ada keindahan lagi. Yang padanya berkumpul puncaknya segenap keindahan (aesthetica), segenap budi (ethica), dan segenap mantik (logica). Huwal Haqqu (Dialah kebenaran itu!),‛ tegas Hamka.960 Inilah yang disebut Hamka, dengan mengutip Imam al-Ghazali, sebagai ‚ma’rifatullah.‛ ‚Maka tidaklah syak lagi –demikian Ghazali- bahwasanya puncak dan puncaknya segala keindahan, kepuasan, dan kebahagiaan ialah mengetahui pokok pangkal segala kejadian, pokok pangkal segala keindahan. Itulah Allah,‛ ungkap Hamka. Karena itu manusia harus melampaui inderanya dan beralih ke dalam hatinya. ‚Pusat indera yang sebenarnya ialah hati,‛ ujar Hamka, dan telah menjadi kewajiban hati untuk mengetahui sumber dari keindahan itu. ‚Karena seni adalah tiruan daripada keindahan, dan sumber keindahan adalah alam yang dapat disaksikan di dalam alam ini, dipandang dan direnungi oleh hati sanubari yang fana> di dalam cinta, dan baqa’ lantaran ma’rifat,‛ tulisnya. 961 Peran Hamka dalam melawan Komunisme pun berhenti ketika dia ditangkap dan dipenjarakan selama dua tahun lebih tanpa proses persidangan. Setelah bebas dari penjara, pada tahun 1966 Hamka kembali menerbitkan Pandji Masjarakat. Di edisi-edisi awal era penerbitan kedua inilah permusuhan terhadap komunisme mendapatkan salurannya yang bebas dan keras. D. Peran Politik Hamka di Era Orde Baru Berpolitik lewat dakwah yang dilakoni Hamka terus berlanjut hingga pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto. Pasca kejatuhan Orde Lama Hamka pun dikeluarkan dari penjara pada Januari 1966 sebagai tahanan rumah, pada Maret menjadi tahanan kota, dan pada Mei resmi berstatus bebas. Kejaksaan Agung dan Kepolisian menyatakan Hamka tidak bersalah.962 Rekan- rekan Hamka lainnya juga turut dibebaskan. Hamka pun kembali beraktivitas di Masjid al-Azhar, berdakwah, dan kembali menerbitkan majalah Panji Masyarakat yang sempat dibreidel rezim Orde Lama. Pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru sempat melahirkan harapan baru pada Hamka dan rekan-rekannya eks pimpinan Masyumi. Hamka

958 Hamka, ‚Dari Djendela Seni‛, dalam Pandji Masjarakat, no 14, tahun II, 1 Januari 1960, h. 4-5. 959 Hamka ‚Kesatuan Sedjati‛, dalam Pandji Masjarakat, no 15, tahun II, 15 Januari 1960, h. 4. 960 Hamka, ‚Seni Untuk Siapa?‛, h. 20. Cetak tebal kalimat ‚Huwal Haqqu‛ dari Hamka sendiri. 961 Hamka, ‚Filsafat Ghazali (Tentang Ma’rifat dan Keindahan)‛, dalam Hikmah, no 12, tahun IV, 15 Desember 1951, h. 18 962 Lihat James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 192

198 pernah mengungkapkan kebahagiannya karena Orde Baru bersikap anti-komunis. Secara tegas Hamka menyatakan sikapnya untuk terus menerus berkonfrontasi terhadap Orde Lama ‚hingga hancur dan tidak bangun lagi,‛ karena menurutnya ‚di antara Orde Lama dengan komunis tidaklah dapat dipisahkan‛.963 Ia juga menyebut Orde Lama sebagai ‚pemerintahan yang paling buruk di negeri kita.‛964 Terhadap Soekarno, secara pribadi Hamka menyarankan agar mantan presiden itu sering-sering ke masjid untuk memperbanyak ibadah.965 Namun harapan itu segera luntur. Bulan madu itu hanya berlangsung singkat. Sebabnya, upaya rehabilitasi Partai Masyumi ditolak pemerintah. Bahkan tokoh- tokoh eks Masyumi dihalang-halangi untuk memimpin partai pengganti Masyumi, Parmusi (Partai Muslimin Indonesia).966 Bukan hanya dihalangi menjadi pimpinan partai baru itu, para aktivis Masyumi dan PSI juga dilarang untuk dipilih pada Pemilu 1971.967 Menurut Rush, pihak militer masih menyimpan memandang negatif keterlibatan beberapa pimpinan Masyumi dalam pergolakan PRRI.968 Upaya lain dilakukan M Hatta bersama mantan aktivis HMI dan PII untuk mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII), namun juga gagal karena tidak direstui pemerintah.969 Di periode ini narasi yang dikembangkan Hamka tidak lagi mengembalikan rumusan Piagam Jakarta atau secara formal menghendaki Indonesia berdasar Islam sebagaimana yang ia perjuangkan di era demokrasi liberal. Bukan berarti keinginan memperjuangkan kembali Piagam Jakarta hilang sama sekali di awal-awal Orde Baru. Hingga akhir dekade 1960 atau awal 1970 saat Pemilu pertama kali di era Orde Baru, wacana tentang Piagam Jakarta masih sempat terdengar. Pada tanggal

963 Hamka, ‚Bismillah Dengan Orde Baru,‛ h. 3 964 Hamka, ‚Tugas Kita Sekarang‛, dalam Pandji Masjarakat, no. 12, Maret 1967, h. 2 965 Hamka, ‚Kembalilah ke Mesdjid,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 6, 20 Desember 1966, h. 3-4. 966 Optimisme menyambut Orde Baru juga diungkapkan tokoh-tokoh Masyumi lainnya. Dalam pidato tasyakuran di Pontianak atas pembebasannya dan para tokoh Masyumi lainnya, mantan Ketua Umum Masyumi terakhir Prawoto Mangkusasmito menyatakan, pekerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintahan baru adalah mengembalikan mengembalikan UUD 1945 ke posisi yang sebenarnya setelah sekian lama diselewengkan oleh Orde Lama. Prawoto juga menuntut agar partai-partai oposisi yang sempat dibubarkan oleh Soekarno – Masyumi dan PSI- untuk segera direhabilitasi karena pembubaran itu dinilainya tidak sah secara juridis formil, lihat ‚Langkah Pertama Menegakkan Orba: Merehabilitir Kedudukan UUD -45‛, Pandji Masjarakat, no 6, 20 Desember 1966, h. 2. Rehabilitasi Masyumi menjadi persoalan awal yang membuat kekecewaan tokoh-tokoh Masyumi terhadap Orde Baru, dan kemudian berlanjut dengan larangan terhadap tokoh-tokoh Masyumi untuk aktif di partai baru pengganti Masyumi, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). 967 Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan & Persatuan: Biografi Dr. Anwar Harjono, SH, (Jakarta: Media Dakwah, 1993), h. 235 968 James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 199 969 Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 243, 244-246

199

29 Juni 1968 misalnya, pernah diadakan peringatan Hari Piagam Jakarta di Gedung Pola yang dihadiri Menteri Agama Moch Dahlan. Dalam Sidang Umum MPRS 1968 juga dimunculkan wacana legalisasi Piagam Jakarta hingga membuat persidangan di Komisi I dan II mandeg. Namun kerinduan pada Piagam Jakarta dan politik aliran segera menepi. Pemerintah Orde Baru dengan program pembangunan ekonominya tidak menyukai hal-hal yang berbau politik ideologis. Untuk menyukseskannya, pemerintah melakukan pengawasan dan kontrol ketat terhadap kekuatan politik Islam. Proses deideologisasi politik dilakukan secara terencana.970 Menyadari hal ini, para eks pimpinan Masyumi segera mengalihkan strategi perjuangannya. Jika semula mereka getol berjuang di jalur politik kepartaian, kini jalur dakwah menjadi pilihan yang realistis. Pada Pebruari 1967 mereka mendirikan Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Para pendirinya adalah: Mohammad Natsir, HM Rasjidi, Daud Dt.Palimo Kayo, Taufiqurrahman, Hasan Basri, Prawoto Mangkusasmito, Nawawi Duski, Abdul Hamid, Abdul Malik Ahmad, dan Buchari Tamam.971 Hamka berpusat pada upaya menjaga akidah umat Islam dari pengaruh ideologi/keyakinan lain dan efek negatif modernisasi. Di periode ini Hamka juga berjuang untuk mengintegrasikan Islam dengan keindonesiaan. Pilihan ini didasarkan pada tantangan yang dihadapi saat itu. Pertama, propagandis Kristen makin berani dan terang-terangan mempropagandakan agamanya ke umat Islam dengan berbagai cara, termasuk dengan bujukan bantuan sembako dan pendirian gereja yang massif di tengah-tengah masyarakat Muslim. Ini membuat keresahan umat Islam, dan di beberapa derah menimbulkan konflik antar umat beragama. Tantangan kedua terkait dengan masih kuatnya sikap saling mencurigai antara pemerintah dengan umat Islam. Sebagian kalangan menuduh umat Islam menentang program pembangunan yang sedang digalakkan Orde Baru. Sementara umat Islam sering melihat curiga setiap kebijakan pemerintah.972 Hamka menilai sikap curiga dan tidak suka dari sebagian pihak di pemerintahan itu berakar dari pendidikan yang ditanamkan sejak zaman penjajahan. Hamka dan rekan-rekannya mantan pimpinan Masyumi pun mengkhawatirkan terjadinya proses peminggiran umat Islam 973 Bila rekan-rekan Hamka mulai beralih ke jalur dakwah pasca kegagalan rehabilitasi Masyumi dan pembatasan-pembatasan politik pada mereka, maka Hamka sejak awal telah memulai itu. Terhitung semenjak pembubaran Konstituante dan pembubaran partai Masyumi Hamka telah mengalihkan medan juangnya ke ranah dakwah, dengan menjadikan Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusatnya. Langkah ini terus dilakukan pasca dia dikeluarkan dari penjara pada tahun 1966. Jika di era Orde Lama dakwah Hamka ditekankan pada membendung pengaruh komunisme, maka di era Orde Baru dakwahnya difokuskan pada

970 Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 243-244 971 Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan..., h. 235-236 972 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 186-187; James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 202-203 973 Lihat James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 200-201

200 beberapa tema: membendung kristenisasi, mengurangi kecurigaan kalangan terdidik dan birokrat pada umat Islam, serta mengisi program modernisasi dan pembangunan dengan nilai-nilai Islam.974 Jika di masa Demokrasi Terpimpin Hamka melakukan dakwahnya dengan mendekat kepada militer (Angkatan Darat/AD) demi melawan pengaruh komunisme yang diberi angin oleh Soekarno, maka di era Orde Baru strategi yang dilakukannya adalah mendekati dan mengajak kelas menengah dan birokrat untuk belajar Islam.975 Tentang hal ini Rusydi menceritakan, Kita sekarang masih berhadapan dengan satu lapisan masyarakat yang terdidik dengan cara berpikir dan sistem kolonial. Mereka itu beragama Islam, tapi takut pada Islam, karena begitulah Belanda mengajarnya dulu... Oleh karena itu, para mubalig harus memanggil mereka dengan dakwah, jangan terus menerus memusuhi mereka, dakwah mencari kawan, bukan lawan...976 Usaha Hamka berlangsung baik. Dia pun sering diundang memberi pengajian ke instansi pemerintahan dan rumah-rumah pejabat negara. Secara rutin Hamka juga memberi ceramah di Radio Republik Indonesia (RRI) dan TVRI.977 Bahkan pada Idul Fitri tahun 1969, Hamka diminta menjadi khatib shalat Id di Masjid Baitul Rahim di Istana Merdeka. Kesempatan ini dimanfaatkan Hamka untuk menjelaskan hubungan Islam dengan Pancasila.978 Tampaknya Hamka ingin meyakinkan Soeharto akan komitmen umat Islam pada Pancasila. Selain mendekati kalangan pemerintahan, Hamka juga terus mendakwahi kelas menengah non-pemerintahan, sesuatu yang telah dirintisnya sejak era sebelumnya. Masjid Al-Azhar yang sejak semula berdiri di sekitar pemukiman pedagang dan kelas menengah yang mulai tumbuh di Jakarta bagian selatan menjadi pusat dakwahnya. Hamka dan Al-Azhar pun semakin lebar membuka tangannya untuk merangkul mereka. Pada tahun 1964 Al-Azhar membuka Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) yang diperuntukkan bagi anak-anak kelas menangah yang menginginkan pendidikan modern dengan warna keislaman. Lembaga pendidikan Islam modern ini terus berkembang. Pada 3 Januari 1971 berdiri Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 3 Januari 1976 berdiri Sekolah Menengah Atas (SMA).979 Dengan peran yang dimainkannya ini Hamka pun menjelma menjadi ‚ulama kota‛ menurut Fachry Ali. Popularitasnya menjangkau masyarakat yang terdidik secara modern dengan pengetahuan yang belum mendalam dan terkonsentrasi di

974 Lihat Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 185-206; James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 201-203. 975 Hamka pernah bertemu dan berdikusi dengan tokoh-tokoh HMI (Sulastomo, Ekki Syahruddin, dan Mar’ie Muhammad) tentang strategi dakwah di zaman yang kritis saat PKI begitu agresif dan mendapat sokongan Soekarno. Dia menekankan agar bekerjasama dengan AD demi melancarkan dakwahnya. Lihat Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 183 976 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 204 977 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 203-204 978 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 190-192 979 Lihat Tim Historia, Hamka: Ulama Serba Bisa Dalam Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2018), h. 125-134

201 daerah perkotaan. Dengan kemampuan baca tulisnya itu mereka pun berupaya memperdalam pengetahuan agamanya, dan buku-buku Hamka menjadi salah satu pilihan utama.980 Dalam istilah lain Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai ‚ulama nasional‛, yaitu ulama yang dipercaya untuk mengurus masalah-masalah makro. Karena itu Hamka kurang menjadi rujukan dalam kaitan dengan masalah- masalah khusus sehingga dia kurang populer di kalangan pesantren.981 Namun demikian, Wahid mengakui peran Hamka sebagai ‚tokoh penghubung dan komunikator antara begitu banyak kelompok masyarakat yang beraneka ragam keinginan dan kecenderungan masing-masing‛.982 Posisinya sebagai ‚ulama nasional‛ dan kemampuannya menjembatani berbagai kelompok dan kepentingan inilah yang menjadi salah satu alasan pemerintah bisa menerima Hamka menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).983 Posisi sebagai ‚ulama nasional‛ itu makin kokoh dengan terpilihnya Hamka sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama pada 27 Juli 1975, sehari setelah pembentukan lembaga itu. MUI sendiri lahir dari keinginan pemerintah untuk menciptakan persatuan dan kerukunan umat beragama demi menyukseskan program pembangunan. Keinginan ini diungkapkan Presiden Soeharto pada Lokakarya Muballigh se Indonesia di Istana Negara pada 30 Nopember 1974,984 dan diulangi lagi pada 24 Mei 1975, ketika presiden menerima delegasi Dewan Masjid Indonesia.985 Pidato presiden itu kemudian ditindaklanjuti dengan instruksi Menteri Dalam Negeri untuk membentuk majelis ulama di tingkat daerah. Pada Mei 1975 telah terbentuk majelis itu di seluruh daerah tingkat I (Provinsi). Sementara untuk tingkat pusat, melalui Surat Keputusan No 28 Tanggal 1 Juli 1975, Menteri Agama membentuk Panitia Musyawarah. Sebagai ketua adalah Letjen H Soedirman dengan tiga orang tim penasehat: Hamka, KH Abdullah Syafii, dan KH Syukri Ghozali. Panitia ini ditugaskan untuk mengadakan musyawarah alim ulama pada 21 hingga 27 Juli 1975. Pihak-pihak yang diundang adalah 4 orang perwakilan dari majelis ulama di tiap-tiap daerah tingkat I (provinsi), 1 orang perwakilan tiap-tiap ormas Islam di tingkat pusat (berjumlah 14 orang), perwakilan dari Dinas-dinas Rawatan Rohani Islam ABRI, dan 12 tokoh-tokoh ulama pusat dan daerah. Hasil permusyawaratan itu adalah pembentukan MUI pada 26 Juli, dan pemilihan Ketua Umum sehari setelahnya.986

980 Fachry Ali, ‚Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendahuluan Riwayat dan Perjuangannya,‛ Prisma, no 2, tahun XII (Pebruari 1983), h. 49 981 Abdurrahman Wahid, ‚Benarkah Buya Hamka Seorang Besar?: Sebuah Pengantar,‛ dalam Nasir Tamara, dkk (ed.), Hamka Di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 36. 982 Abdurrahman Wahid, ‚Benarkah Buya Hamka...‛, h. 50 983 Lihat James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 210 984 Sekretariat MUI, Majelis Ulama Indonesia 1976, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1976), h. 9 985 Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), h. 55 986 Sekretariat MUI, Majelis Ulama Indonesia 1976, h. 10

202

Meski demikian, sesungguhnya keinginan pemerintah untuk membentuk majelis ulama telah dinyatakan beberapa tahun sebelum pidato presiden 30 November 1974. Mudzhar mencatat, pada konferensi ulama yang diselenggarakan Pusat Dakwah Islam di Jakarta, 30 September – 4 Oktober 1970, Menteri Agama KH Muhammad Dahlan mengajukan saran untuk membentuk sebuah wadah bagi ulama Indonesia yang bertugas memberikan fatwa.987 Dalam konferensi ini Prof Ibrahim Hosen mengusulkan lembaga ulama yang akan dibentuk bertugas mengeluarkan fatwa kolektif dengan melibatkan sarjana-sarjana non-agama. Namun usulan ini ditolak Hamka karena kuatir lembaga seperti itu akan didominasi dan dipengaruhi oleh satu kelompok Islam yang dekat dengan Departemen Agama. Saat itu yang menjabat Menteri Agama adalah KH Moh Dahlan dari NU. Pada akhirnya tidak tercapai keputusan pembentukan lembaga ulama tersebut. Beberapa tahun kemudian Hamka setuju dengan pembentukan lembaga tersebut, bahkan bersedia menjadi Ketuanya. Di saat ini yang menjadi Menteri Agama adalah Mukti Ali yang dekat dengan kelompok Islam modernis. Menurut Hosen, sikap ini menunjukkan betapa rentannya hubungan antara kelompok-kelompok dalam Islam.988 Selain faktor masih tersimpannya saling curiga antar kelompok dalam umat Islam (antara ‚tradisionalis‛ dengan ‚modernis‛), kemungkinan lain penolakan Hamka tersebut juga dilatari oleh ingatannya pada lembaga ulama di era Demokrasi Terpimpin, yang dibentuk untuk memperkuat rezim. Pada Oktober 1962, pemerintah membentuk sebuah wadah Madjlis Ulama yang berfungsi ‚sebagai penghubung dari masyarakat Islam kepada pemerintah‛. Selain itu juga sebagai ‚tempat mengkoordinir segala usaha umat Islam dalam bidang pembangunan mental/rohani/agama,‛ dan menjadi ‚tempat menampung segala persoalan-persoalan umat Islam‛.989 Pembentukan lembaga ini dilatari oleh kebijakan pemerintah yang membagi masyarakat ke dalam dua golongan: golongan partai dan golongan karya/fungsional. Golongan karya (disebut karyawan) dibagi menjadi empat: karyawan angkatan bersenjata, karyawan materiil, karyawan spirituil, dan karyawan rohani/agama. Dari keempat ini, ulama masuk dalam golongan karyawan bidang rohani/agama. Baik golongan partai atau pun karya, keduanya dikoordinasikan dalam sebuah organisasi massa bernama Front Nasional, sebuah wadah bersama yang dibentuk untuk ‚menyelesaikan revolusi kita‛. 990 Kekhawatiran lembaga ulama hanya dijadikan sebagai alat kekuasaan ini bukan hanya dirasakan Hamka, rekan-rekannya Hamka lainnya sesama eks Masyumi juga merasakan hal yang sama. Sebab itu Mohammad Natsir menentang pembentukan MUI, demikian pula Mohammad Roem. Jika Roem juga tidak setuju Hamka menjadi Ketua Umum MUI dan menyebutnya sebagai ‚naif‛, Natsir bersikap sebaliknya: menyarankan Hamka untuk menerima posisi itu. Namun

987 MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 54. 988 Nadirsyah Hosen, ‚Behind The Scenes: Fatwas of the Majelis Ulama Indonesia (1975-1998)‛, Journal of Islamic Studies, 15/2, 2004, h. 179 989 ‚Keterangan Resmi Tentang Madjlis Ulama,‛ Gema Islam, no 30, tahun II, 15 April 1963, h. 6 990 ‚Keterangan Resmi Tentang ...‛, h. 6

203

Natsir memberi nasihat agar Hamka ‚tetap merdeka‛ dan ‚jangan berbicara atas nama pemerintah. Ingat tanggung jawabmu adalah mewakili umat Islam di hadapan pemerintah, bukan mewakili pemerintah di hadapan umat Islam.991 Latar belakang inilah yang membuat usulan pembentukan majelis ulama di 1970 itu baru direspons umat Islam lima tahun kemudian. Mudzhar melihat, tenggang waktu yang lama itu tidak lepas dari kondisi politik ‚saling curiga‛ antara umat Islam dengan pemerintah.992 Karena itu Menteri Agama Mukti Ali menilai pembentukan MUI merupakan momen mengubur rasa tidak saling percaya dan saling curiga antara kaum ulama dengan pemerintah.993 Namun demikian, sebagian sarjana melihat pembentukan MUI tidak lebih dari upaya pemerintah untuk mengontrol aspirasi umat Islam.994 Hosen menyebut beberapa karakter MUI, yaitu: MUI bertugas memberi nasihat dan mengeluarkan fatwa, baik kepada pemerintah maupun umat Islam secara umum. MUI tidak membuat program praktis seperti organisasi Islam lainnya dan tidak menjalankan peran politik seperti partai politik; MUI mengakomodasi kelompok-kelompok Islam yang ada di Indonesia. Karenanya kepengurusan MUI merepresentasikan semua kelompok, baik yang tradisionalis maupun yang modernis; karakter lainnya adalah, bahwa MUI merupakan jembatan yang menghubungkan antara umat Islam dengan pemerintah.995 Kesediaan Hamka menjadi Ketua Umum MUI sempat diprotes secara keras oleh sekelompok pemuda Islam yang datang ke rumahnya. Beberapa mubaligh juga mengejek Hamka di masjid dan di hadapan publik atas pilihannya itu.996 Namun Hamka tetap bergeming. Setelah melakukan shalat istikharah dan berkonsultasi dengan pimpinan Muhammadiyah, ia pun menerima posisi itu. Ada beberapa pertimbangan yang dipakai Hamka: Pertama, untuk mengisi program ‚Ketahanan Nasional‛. Hamka memaknai ‚Ketahanan Nasional‛ sebagai ketahanan ideologi rakyat menghadapi komunisme, dan pembangunan moral bangsa; Kedua, untuk menghilangkan rasa dendam dan saling curiga antara umat Islam dengan pemerintah. Menurutnya, perasaan seperti itu masih tertanam sebagai akibat dari indoktrinasi yang ditanamkan PKI dan Orde Lama. ‚Akibatnya, apapun yang hendak kita lakukan, selalu dicurigai,‛ ujarnya. Sikap sebaliknya juga ditunjukkan umat Islam yang selalu apriori terhadap kebijakan pemerintah.997 Hamka menggambarkan hubungan yang tidak harmonis itu dalam beberapa kejadian yang menimpa dirinya. Pada tahun 1970 ia dan Mohamad Mawardi selaku

991 James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 211-212. Tentang pernyataan Roem bahwa Hamka itu naif lihat catatan akhir no 1052. 992 MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 62 993 MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 62-63; Sekretariat MUI, Majelis Ulama Indonesia 1976, h. 10-11 994 Lihat Mun'im Sirry, ‚Fatwas and their controversy: The case of the Council of Indonesian Ulama (MUI)‛, Journal of Southeast Asian Studies, vol. 44, no. 1, Pebruari 2013, h. 100-117. 995 Nadirsyah Hosen, ‚Behind the Scenes...,‛ h. 152-154 996 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 64 & 211 997 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 209-210.

204 pimpinan Muhammadiyah turun ke cabang-cabang Muhammadiyah di Jawa Timur. Ketika tiba di Tulungagung, tiba-tiba kegiatan mereka urung dilaksanakan karena adanya larangan dari pimpinan militer setempat. Peristiwa larangan berdakwah juga dialami Hamka di tahun 1973. Ketika itu ia sedang berada di Payakumbuh. Warga Muhammadiyah di sana pun memintanya untuk memberi ceramah. Namun penguasa setempat melarang dengan alibi Presiden Soeharto sedang berkunjung ke Padang. Bahkan Hamka pernah dilarang menghadiri acara halal bi halal warga Sumbar di Cirebon ketika ia sedang liburan ke kampung halaman istri (kedua) Hamka di sana.998 Alasan logis yang dijadikan dasar pertimbangan Hamka mengambil keputusan itu terlihat masih selaras dengan pandangan hidupnya tentang ketidakterpisahan Islam dengan urusan bermasyarakat. Meski tidak lagi bergerak di wilayah politik praktis, Hamka tetap berupaya menjadikan Islam sebagai panduan bagi kehidupan bermasyarakat melalui aktivitas dakwah yang dijalaninya. Dalam hal ini Hamka melihat perlunya kerjasama yang baik antara ulama dengan umara. Dengan pembentukan MUI, ungkapnya, ‚kita baru saja berangsur membangun pandangan yang demikian.‛999 Sikap seperti ini ditegaskan Hamka kepada jamaah masjid al-Azhar: ‚Kita tidak mengartikan amar ma’ruf nahi munkar itu sebagai oposisi. Tapi dengan sikap itu, tidak berarti kita menjilat kepada pemerintah.‛1000 ‚Yang penting dalam menentukan langkah-langkah ini ialah, jangan menyimpang dari tujuan,‛ ujar Hamka. Hamka menyebut strateginya ini sebagai ‚Pegang pangkal bedil supaya tidak kena di ujungnya.‛1001 Secara umum hubungan Hamka dengan pemerintah Orde Baru berjalan baik. Hamka sering bertemu dengan presiden dan pejabat negara lainnya. Pemerintah juga memfasitasi kebutuhan MUI. Di saat bersamaan, MUI juga sering mendukung program-program pemerintah melalui fatwa-fatwanya.1002 Namun demikian, bukan berarti hubungan tersebut tanpa dinamika dan ketegangan sama sekali. Meski terlihat dekat dengan kekuasaan, sikap ‚bukan oposisi, tetapi tidak menjilat kepada pemerintah‛ yang diambil Hamka membuatnya tidak mudah dikendalikan oleh penguasa. Independensi ini sejak awal telah ditegaskan Hamka ketika MUI akan dibentuk. M Roem mengutip pernyataan Hamka tentang sikapnya itu: ‚Kalau saya diminta menjadi anggota majelis ulama saya terima, akan tetapi ketauhilah saya sebagai ulama tidak bisa dibeli.‛1003 Maka anggapan bahwa MUI merupakan alat pemerintah untuk mengendalikan aspirasi umat Islam kurang relevan di era Hamka. Dalam beberapa

998 Hamka, ‚Ulama dan Pemerintah‛, dalam Panji Masyarakat, no 210, tahun XVIII, 1 November 1976, h. 7 999 Hamka, ‚Ulama dan Pemerintah,‛ h. 7 1000 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 211 1001 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 206 1002 Seperti fatwa tentang anjuran hidup sederhana, tanggal 10 Pebruari 1976 dan fatwa tentang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1978, tanggal 16 Pebruari 1978. 1003 Mohamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah 3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 107

205 hal memang fatwa MUI tampak sejalan dengan keinginan pemerintah, seperti fatwa tentang anjuran hidup sederhana yang mendukung ajakan Presiden Soeharto, atau fatwa tentang Sidang Umum MPR tahun 1978 yang menyatakan MUI mendukung suksesnya sidang tersebut. Dalam beberapa hal lainnya Hamka dan MUI juga cenderung mengambil posisi aman. Contoh kasus terakhir ini adalah pernyataan MUI menjelang Pemilu 1977. Pada Mei 1977, sebulan sebelum Pemilu, MUI mengeluarkan ‚Pernyataan Majelis Ulama Indonesia Menghadapi Pemilu‛. Dalam pernyataannya, MUI menghimbau masyarakat untuk menyukseskan agenda nasional itu tanpa menyatakan dukungan kepada salah satu peserta Pemilu. Hanya saja dalam pernyataan itu MUI juga menghimbau para ulama untuk tidak menyampaikan khutbah berisi politik.1004 Dengan pernyataan itu sesungguhnya MUI sedang mengambil posisi tengah-tengah sesuai dengan karakternya yang tidak terlibat dalam politik praktis. Sikap seperti MUI seperti itu tidak lepas dari sikap Ketua Umumnya, Hamka, yang menjaga jarak dari politik praktis. Sikap tidak mau terlibat politik praktis sebenarnya telah diambil Hamka sejak sejak pembubaran Masyumi di tahun 1960. Pilihan ‚berpolitik lewat jalur dakwah‛ terus digenggamnya ketika Orde Baru berdiri. Pada Pemilu pertama di era Orde Baru sikap Hamka itu ditegaskan dengan pernyataannya ‚Lapangan politik bukan bidangku, aku dikenal tetap pujangga yang bersayap terbanglah laju, alat juangku tetaplah pena.‛ Karena itu Hamka tidak mau terlibat dalam dukung-mendukung kekuatan politik yang ada. Namun Hamka menolak jika sikapnya yang demikian itu dianggap sebagai tidak loyal kepada pemerintah. Baginya, loyalitas berarti turut membangun negara sesuai dengan bidangnya. Hamka pun mengaku akan tetap memilih dalam Pemilu dengan pilihan yang tidak diketahui pihak lain.1005 Meski tidak terlibat langsung dalam politik praktis, namun Hamka tetap menggunakan hak pilihnya dengan mengikuti pilihan politik ‚pemimpin yang lebih ahli‛ yaitu Natsir dan Sutan Mansur. Namun demikian, namun setiap ditanya tentang pilihannya dia tidak memberikan jawaban. ‚Sebagai warga negara dia akan turut menyukseskan Pemilu. Namun apa pilihannya adalah rahasia, sesuai dengan asas itu sendiri,‛ ujar Rusydi. Kepada pengurus MUI, Hamka pun memberikan kebebasan untuk memilih. Ia juga menolak ketika diajak untuk kampanye mendukung Golkar.1006 Karena itu dalam kepengurusan MUI terdapat keragaman orientasi politik. Sekjen MUI Kafrawi dan Habib Habsyi cenderung kepada Golkar. Sementara KH Syukri Ghozali, KH Abdullah Syafii, dan Amiruddin kepada PPP (Partai Persatuan Pembangunan), bahkan ketiganya menjadi juru kampanye untuk partai itu.

1004 Muhammad As’ad, ‚Official Ulama in Indonesian Politics: Study on the Attitudes of the Indonesian Council of Ulama in the General Elections‛, makalah dipresentaskan pada International Conference Is Indonesian Islam Different? in an International Comparative Perspective, Jakarta, 24-26 Januari 2011, h. 5 1005 Lihat Hamka, ‚Loyalitas,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 80, tahun V, 1 Juni 1971, h. 4-5. 1006 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 234-236.

206

Di sisi lain MUI di era Hamka juga pernah bersikap yang tidak sejalan dengan pemerintah. Pada suatu kasus bahkan sempat menimbulkan ketegangan. Hubungan yang dinamis antara Hamka dan MUI dengan pemerintah adalah terkait dengan isu kristenisasi dan kerukunan umat beragama, khususnya tentang perayaan natal bersama, serta mengenai Aliran Kepercayaan. Jika dalam persoalan kristenisasi sikap Hamka dan MUI tampak sejalan dengan pemerintah, tidak demikian halnya dengan persoalan Aliran Kepercayaan dan kegiatan Natal bersama. Pada kasus Aliran Kepercayaan, meski sempat mengalami ketegangan, namun pada akhirnya Hamka, MUI, dan pemerintah bisa menemukan titik temu. Sementara pada kasus natal bersama, ketegangan antara kedua pihak sulit dipertemukan sehingga Hamka selaku Ketua Umum MUI harus rela menjadi korban atas independensi sikapnya. Dinamika ini menjadikan relasi kedua belah pihak bersifat fluktuatif, atau dalam istilah Sirry sebagai rumit (complexity),1007 khususnya pada periode kepemimpinan Hamka.1008 Periode awal-awal Orde Baru diwarnai dengan gesekan yang terjadi antar umat beragama, khususnya umat Islam dengan Kristen. Isu utamanya adalah kristenisasi yang mewabah di masyarakat. Sebenarnya ketegangan antara dua umat itu telah terjadi sejak lama. Salah satu sebab utama kelahiran Muhammadiyah pada 1912 adalah massifnya gerakan kristenisasi yang didukung pemerintah kolonial. Ketegangan ini terus berlanjut pasca proklamasi dan masih berlangsung hingga era Orde Baru, dengan berbagai isu yang memanaskannya.1009 Meski demikian, Mujiburrahman mencatat, sempat terjalin kerjasama antara kedua umat itu secara singkat sewaktu melawan PKI tahun 1965-1966.1010 Dalam banyak tulisannya di Pandji Masjarakat Hamka memberikan contoh-contoh kristenisasi yang makin massif di era Orde Lama dan terus berlangsung di era Orde Baru: Ini di dekat rumah kami, di Senayan, di zaman Orde Lama dirampas tanah penduduk Jakarta asli yang semuanya orang Islam taat. Katanya karena hendak mendirikan rumah sakit ‘Sari Asih’. Tetapi kemudian dengan diam diserahkan kepada Kristen Adventis. Sebuah masjid didesak supaya dibongkar, karena di samping rumah sakit itu akan didirikan gereja.‛1011 Kristenisasi berlangsung dengan berbagai cara. Selain mendirikan gereja- gereja dan rumah sakit di daerah-daerah berpenduduk muslim, kristenisasi juga marak dilakukan dari rumah ke rumah. Para missionaris datang ke rumah orang- orang Islam, membagi-bagi buku kekristenan, menjelaskan keunggulan Kristen daripada agama tuan rumah, dan mengajak untuk pindah agama. Keluarga Hamka

1007 Mun’im Sirry, ‚Fatwas and Their Controversy...,‛ h. 103 1008 Wildan Insan Fauzi, ‚Hamka Sebagai Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) Dalam Menghadapi Masalah Sosial Politik Pada Masa Orde Baru 1975-1981,‛ Factum, Vol 6, No 2 (Oktober 2017), h. 278-295 1009 MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 74-75. 1010 Lihat Mujiburrahman, ‚Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order‛, disertasi, ISIM/Amsterdam University, 2006, h. 21-28 1011 Hamka, ‚Tjuma Untuk Orang Mukmin‛, dalam Pandji Masjarakat, no 19, Oktober 1967, h. 4

207 sendiri pernah mengalami peristiwa seperti ini.1012 Bukan hanya mengajak, mereka bahkan lebih berani lagi melakukan tindakannya, sebagaimana yang diceritakan Hamka: Pada suatu malam beliau (KH SS Djam’an, ulama di Jakarta, red) mengadakan suatu pertemuan pengajian. Beliau mengupas dan menafsirkan ayat al-Qur’an, Surat ke 18, al-Kahfi ayat 4 dan 5... Tidak beberapa saat sehabis beliau memberikan penerangan itu rumah beliau dikepung oleh beberapa pemuda Kristen yang galak gagah berani. Beliau dituduh karena membuka tafsir ayat itu, bahwa beliau anti Pancasila!1013 Hamka menyebut kristenisasi terhadap umat Islam itu sebagai ‚toleransi dibalas dengan tamparan‛.1014 Meski demikian Hamka melihat penyebab hal tersebut bukanlah orang-orang Kristen asli Indonesia. Karena bagaimana pun hubungan Islam-Kristen di Indonesia selama itu tidak pernah bermasalah serius. Justru, ujarnya, kristenisasi itu bersumber dari zending dan missi luar negeri yang ‚hendak meneruskan penjajahan dalam negeri ini dengan berkedok agama.‛1015 Amos Sukamto mengakui terjadinya gesekan antara kedua umat tersebut telah terjadi sejak sebelum kemerdekaan. Namun ketegangan yang melibatkan akar rumput dan mengakibatkan konflik fisik antara kedua umat tersebut terjadi pasca peristiwa 1965. Untuk menghilangkan pengaruh komunisme, pemerintah Orde Baru mewajibkan semua penduduk memeluk salah satu agama. Di saat inilah terjadi pertumbuhan besar pengikut Kristen di Indonesia. Di Gereja Batak Karo Sumatera Utara saja, tulis Sukamto, per Juni 1966 hingga November 1967 terjadi kenaikan jumlah jamaah hingga 83 persen.1016 Secara nasional beberapa sumber menyebut kenaikan jumlah umat Kristen sekitar dua juta orang.1017 Ketegangan itu menimbulkan gesekan fisik di berbagai daerah, seperti di Meulaboh di awal tahun 1967 dan Makassar pada Oktober 1957.1018 Merespons ini pemerintah pun mengadakan pertemuan antar kelompok agama pada 30 November 1967. Dalam sambutannya, Soeharto selaku Pejabat Presiden menyerukan agar terwujud perdamaian di antara umat beragama, maka seharusnya orang-orang yang sudah beragama tidak menjadi obyek propaganda agama lain. ‚Atau untuk memperbanyak pemeluk janganlah orang yang telah ada agamanya dijadikan sasaran propaganda,‛ tulis Hamka yang turut dalam kegiatan itu. Seruan ini

1012 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 22 1013 Hamka, ‚Toleransi dibalas Dengan Tamparan,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 16, Agustus 1967, h. 4 1014 Istilah ini menjadi judul tulisan Hamka di Pandji Masjarakat. Lihat Hamka, ‚Toleransi dibalas Dengan Tamparan‛, dalam Pandji Masjarakat, no 16, Agustus 1967, h. 4-5 1015 Hamka, ‚Toleransi Agama‛, dalam Pandji Masjarakat, no 17, 1967, h. 3-4 1016 Amos Sukamto, ‚Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lama Sampai Awal Orde Baru‛, Jurnal Teologi Indonesia, vol 1, no 1, Juli 2013, h. 25-47 1017 MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 75. Ada banyak versi berapa jumlah konversi ke Kristen. Data lebih detail lihat Mujiburrahman, ‚Feeling Threatened...,‛ h. 28-29 1018 MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 75; Amos Sukamto, ‚Ketegangan Antar Kelompok..,‛ h. 36-37

208 beberapa kali diulangi oleh Soeharto ketika memberikan sambutan acara Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Maulid Nabi, dan ketika pidato di DPR.1019 Selain Hamka, dari kalangan Islam yang hadir antara lain M Natsir, M Rasjidi, Fakih Usman, dan Prawoto Mangkusasmito. Sementara dari pihak Kristen ada TB Simatupang, Tambunan, Kasimo, dan Harry Chan. Ada dua agenda utama pertemuan itu: pertama, untuk membentuk sebuah badan konsultasi antaragama; kedua, untuk membuat kesepakatan bahwa penyebaran suatu agama hendaklah tidak ditujukan kepada salah satu dari pemeluk lima agama yang diakui negara. Namun pertemuan itu gagal mencapai kesepakatan. Kelompok Kristen menolak poin kedua karena menganggap bahwa penyebaran agama Kristen kepada orang non-Kristen merupakan tugas suci. Karenanya tidak perlu diatur.1020 Secara sarkastik Hamka menulis, penolakan itu disebabkan oleh keyakinan kelompok Kristen bahwa ‚menyampaikan Injil kepada umat manusia adalah termasuk iman Kristen, karena mereka menganggap yang agama hanya Kristen, yang lain tidak!.‛1021 Menanggapi kegagalan itu Hamka berkomentar, meski menolak isu akan mengkristenkan Indonesia dalam waktu 50 tahun, namun pernyataan Tambunan bahwa menyebarkan Kristen kepada umat lain itu sebagai misi suci membuktikan adanya keinginan mereka untuk mengubah Indonesia menjadi Kristen. Hanya saja tenggat waktunya tidak harus 50 tahun. Pengakuan itu juga mengonfirmasi ayat al- Qur’an tentang ketidakrelaan Yahudi dan Nasrani selama orang Islam tidak mengikuti agama mereka. Karena itu Hamka mengingatkan umat Islam untuk waspada atas apa yang disebutnya sebagai ancaman ‚Perang Salib baru gaya baru‛ yang dibiayai luar negeri.1022 Penolakan terus disuarakan kelompok Kristen. Dalam Kongres Dewan Gereja di Salatiga (Juli 1976), pemimpin tertinggi Katolik di Indonesia Darmoyuwono bahkan menyatakan bahwa mengagamakan orang yang belum beragama sebagai munafik. Pernyataan ini disambut oleh tokoh Protestan TB Simatupang yang kembali menolak usulan Presiden Soeharto itu. Hamka bereaksi atas pernyataan Darmoyuwono itu. Ketua Umum MUI itu menilai keberanian kalangan Kristen untuk bersuara keras itu ‚karena mereka sudah merasa kuat,‛ dan memaknai konsep toleransi sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Lebih lanjut Hamka menyatakan, Dan mafhum dari ucapan itu ialah bahwa usaha mereka yang sejati, yang bukan munafik, usaha yang sungguh-sungguh demi iman Kristen ialah meng-kristenkan orang yang telah beragama. Logika dari ucapan itu ialah bahwa sebab pemeluk

1019 Hamka, ‚Mengagamakan Orang Yang Belum Beragama, Munafiq?‛, dalam Panji Masyarakat, no 204, tahun XVIII, 1 Agustus 1976, h. 5 1020 MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 75-76; Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 188. Menurut Mudzhar, kalangan Islam menolak agenda yang pertama (membentuk badan antaragama) dan menerima agenda yang kedua. Sebaliknya kalangan Kristen menyetujui agenda yang pertama dan menolak yang kedua. 1021 Hamka, ‚Mengagamakan Orang Yang...‛, h. 5 1022 Mujiburrahman, ‚Feeling Threatened...,‛ h. 47; Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 188-189

209

agama Islam lah golongan yang terbesar di tanah Indonesia ini, maka usaha mereka yang sejati, yang bukan munafik ialah meng-kristenkan umat Islam.1023 Isu kristenisasi menjadi ‘misi pertama’ yang dibawa Hamka sebagai Ketua Umum MUI. Dalam pertemuan pimpinan MUI dengan Presiden Soeharto untuk yang pertama kali pada 17 September 1975, Hamka mengemukakan persoalan kristenisasi yang meresahkan umat Islam itu. Beberapa kasus diungkap oleh Hamka, seperti kristenisasi dengan membagi-bagi sembako, pendirian gereja di tengah perkampungan umat Islam, serta pembangunan rumah sakit Baptis di Bukittinggi. Hamka menyebut hal itu telah membuat umat Islam resah dan bisa menganggu kerukunan umat beragama. Karena itu Hamka meminta presiden membuat aturan larangan penyebaran agama kepada orang yang sudah beragama. Soeharto merespons positif usulan Hamka ini. Soeharto bahkan menyebut penyebaran agama dengan iming-iming materi sebagai ‚sangat tercela‛. Terkait rumah sakit Baptis di Bukittinggi, Hamka meminta Presiden untuk membelinya dan mengubahnya menjadi rumah sakit pemerintah. Meski Soeharto menyambut baik usul tersebut dan berjanji akan memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk membelinya. Namun, menurut Mudzhar, rencana tersebut tidak pernah terwujud.1024 Pada Maret 1978 terjadi pergantian menteri agama dari Mukti Ali ke Alamsjah Ratu Prawiranegara. Alamsjah mengeluarkan dua keputusan penting terkait kerukunan antara umat beragama pada Agustus 1978. Surat Keputusan Menteri Agama No 70 mengatur persoalan penyebaran agama. Sementara keputusan yang kedua (No 77) mengatur persoalan bantuan luar negeri untuk lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia. Keputusan yang pertama melarang beberapa hal: 1) menyebarkan agama kepada orang yang telah memeluk agama; 2) menggunakan uang, pakaian, obat-obatan dan lain-lainnya untuk mengajak orang lain masuk agama tertentu; 3) menyebarkan pamflet, buku, majalah, dan sebagainya ke rumah-rumah pemeluk agama lain; 4) mendatangi rumah-rumah pemeluk agama lain untuk menyebarkan agama. Sementara keputusan kedua mengatur, segala bentuk bantuan, baik personel maupun materiil, dari luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia harus dengan persetujuan atau rekomendasi dari Menteri Agama. 1025 Langkah Alamsjah ini tergolong berani. Sejak tahun 1967 kedua isu tersebut telah dibahas di antara tokoh-tokoh agama yang berbeda. Namun blm tercapai kesepakatan karena adanya penolakan dari kelompok Kristen. Apalagi keputusan itu dikeluarkan tanpa diskusi terlebih dahulu dengan kelompok-kelompok agama yang ada. Meski demikian Keputusan Menteri Agama ini diterima dengan baik oleh kelompok Islam, Hindu, dan Budha. Dalam keterangannya kepada pers pada 9 September 1978, Hamka selaku Ketua MUI menilai keputusan tersebut secara

1023 Hamka, ‚Mengagamakan Orang Yang...‛, h. 6-7 1024 Hasan Basri, ‚Catatan Kenangan Untuk Buya‛, dalam Salam (ed), Kenang- kenangan 70 tahun..., h. 79-80; Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 214-216; MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 76 1025 MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 77; Mujiburrahman, ‚Feeling Threatened...,‛ h. 81

210 signifikan dapat mencegah radikalisasi di kalangan umat Islam. Dijelaskan, kegiatan misionaris yang mendatangi rumah-rumah orang Islam dapat menimbulkan keresahan dan konflik fisik. Beberapa hari kemudian Parisada Hindu Dharma dan Perwalian Umat Budha Indonesia juga menyatakan dukungannya.1026 Sementara kalangan Kristen, baik Katolik maupun Protestan, secara tegas menolak keputusan Menteri Agama itu. Sebuah sikap yang telah mereka tunjukkan sejak pertemuan tahun 1967. Mereka dua kali mengirim surat kepada Presiden Soeharto untuk membatalkan kedua keputusan tersebut. Juga meminta audiensi kepada Presiden. Namun Soeharto tidak meresponnya. Mereka hanya bisa bertemu dengan Wakil Presiden , Sekretaris Negara , Menteri Sosial Surono, dan Menteri Agama. Alasan pokok penolakan itu adalah ‚kemerdekaan beragama‛ yang dilindungi oleh Konstitusi dan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan PancasilaError! Reference source not found.). Menurut mereka, kemerdekaan beragama ini mencakup beberapa poin penting, termasuk: 1) kebebasan menyebarkan agama kepada umat agama yang berbeda, 2) kebebasan untuk berpindah atau berganti agama bagi seseorang, dan 3) kebebasan untuk menjalin kerjasama dengan pihak yang memiliki kesamaan keyakinan di manapun di penjuru dunia.1027 Pemerintah tetap pada sikapnya. Pada 10 Oktober 1978 Presiden Soeharto memerintahkan Menteri Agama untuk melaksanakan Keputusan itu. Bahkan kemudian pada 2 Januari 1979 dibuat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dengan Menteri Dalam Negeri yang mengatur penyiaran agama dan bantuan luar negeri untuk lembaga keagamaan. Secara garis besar Keputusan Bersama itu sesuai dengan dua Keputusan Menteri Agama sebelumnya.1028 Sikap pemerintah ini dianggap sebagai upaya mengakomodasi aspirasi umat Islam Indonesia. Keresahan umat atas maraknya kristenisasi, yang kemudian disampaikan Hamka kepada Presiden disambut dengan peraturan menteri. Hal ini turut memupuk rasa percaya umat Islam kepada pemerintah, juga kepada Alamsjah sebagai Menteri Agama yang berasal dari kalangan militer. Upaya pemerintah untuk menjalin hubungan baik dengan umat Islam juga dilakukan dengan keluarnya Keputusan Menteri Agama (KMA) No 44/1978, Instruksi Menteri Agama No 9/1978, dan Surat Edaran Menteri Agama No 3/1978, mengenai dakwah dan agama dan siaran agama di radio, di mana pemerintah tidak lagi menempatkan dakwah agama ke dalam ranah keamanan sebagaimana sebelumnya. Dengan demikian kegiatan dakwah dan siaran agama di radio tidak lagi memerlukan izin selama tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, serta tidak mengganggu stabilitas dan program-program pemerintah. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Menteri Agama setelah berdiskusi dengan Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban).1029

1026 Mujiburrahman, ‚Feeling Threatened...,‛ h. 82 1027 MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 77; Mujiburrahman, ‚Feeling Threatened...,‛ h. 83 1028 Mujiburrahman, ‚Feeling Threatened...,‛ h. 85-86 1029 Abdul Syukur, ‚Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Agama (Kajian Atas Relasi Agama dan Negara)‛, Sosio-Politica, vol. 1, no 2, Juli-Desember 2012, h. 1-13

211

Ketegangan antaumat beragama yang sejak awal mewarnai Orde Baru membuat pemerintah menjadi peka terhadap isu-isu yang berkaitan dengan hal tersebut. Untuk itu sejak 1969 pemerintah telah mengeluarkan Proyek Pengembangan Kerukunan Beragama. Di awal 1970-an digelar sejumlah pertemuan dan dialog antara umat beragama, khususnya Islam dan Kristen. Pada 1975 dibentuk MUI yang salah satu fungsinya adalah wakil pihak Islam dalam pertemuan antaragama. Di tahun 1978 dikeluarkan keputusan Menteri Agama yang mengatur kegiatan penyebaran agama dan bantuan keagamaan dari luar negeri, yang kemudian dikuatkan dengan Keputusan Bersama Menteri Agama dengan Menteri Dalam Negeri yang mengatur pendirian rumah ibadah. Setahun kemudian Badan Konsultasi Antar Umat Beragama berhasil dibentuk. Dalam konteks seperti inilah keluar fatwa MUI tentang larangan bagi umat Islam untuk mengikuti kegiatan Natal. Fatwa ini, ungkap Mudhzar, merupakan pukulan bagi upaya pemerintah untuk menyuburkan kerukunan antaragama.1030 Fatwa yang dikeluarkan pada Maret 1981 itu dilatari oleh fenomena maraknya perayaan Natal dengan melibatkan umat Islam. Dengan dalih kerukunan, toleransi, dan Pancasila kalangan Kristen mengajak serta umat Islam untuk merayakan Natal. Bukan hanya di gereja-gereja, perayaan itu juga digelar di sekolah, tempat-tempat bekerja, perumahan, bahkan di kantor pemerintahan. Dalam banyak kasus, murid-murid yang beragama Islam diwajibkan terlibat dalam perayaan Natal oleh pihak sekolah, khususnya di lembaga pendidikan Kristen. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari penarikan iuran hingga menyanyikan lagu-lagu Kristiani dalam perayaan tersebut. Begitu juga lembaga-lembaga pemerintahan banyak yang menggelar perayaan Natal dengan melibatkan pegawai yang non-Kristen.1031 Menurut catatan Rush, fenomena perayaan natal bersama ini bermula dari impian Soeharto untuk mengintegrasikan seluruh lapisan masyarakat untuk menghidari pertentangan dan ketegangan yang menjadi sumber perpecahan dan luka nasional. Impian ini kemudian diterjemahkan oleh beberapa menteri dengan menggabungkan perayaan Natal dengan perayaan Idul Fitri, khususnya Halal Bi Halal. Kebetulan pada tahun 1968 dua hari raya itu waktunya berdekatan, Idul Fitri pada tanggal 21 Desember dan Natal 25 Desember.1032 Massifitas perayaan Natal bersama diiringi dengan munculnya pandangan yang menyamakan perayaan Natal dengan peringatan maulid Nabi Muhammad Saw di tengah-tengah masyarakat Muslim. Padahal Maulid bukanlah sebentuk ibadah dalam Islam. Bagi kaum kristiani sendiri, pelibatan umat Islam itu merupakan upaya mereka mendekatkan umat non Kristen kepada kekristenan. Sementara MUI memandang fenomena Natal bersama dapat mengganggu keyakinan umat Islam, dan karenanya, tidak bisa ditoleransi lagi. 1033 Dengan latar sosio-historis inilah MUI kemudian mengeluarkan fatwa tersebut. Hamka sendiri

1030 MA Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama..., h. 122 1031 ‚Heboh Tentang Natal Bersama,‛ Serial Media Dakwah, no 85, Juli 1981, h. 35 1032 James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 204 1033 MA Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama..., h. 117-118; Mujiburrahman, ‚Feeling Threatened...‛, h. 96

212 sebelum fatwa tersebut keluar, telah menyatakan sikapnya tentang kegiatan Natal bersama. Bukan hanya melarang, Hamka bahkan menyatakan orang Islam yang mengikuti upacara Natal sebagai kafir dan musyrik.1034 Dalam fatwa tersebut MUI tidak membedakan antara kegiatan Natal yang bersifat ritual maupun yang merupakan selebrasi. Dengan demikian larangan itu mencakup semua kegiatan perayaan Natal. Dalil-dalil yang digunakan MUI pun, ungkap Mudzhar, sangat terperinci dan sangat kuat. Bahkan, lanjutnya, ‚mungkin sekali fatwa tersebut adalah yang paling kuat dalilnya yang pernah disusun dalam fatwa-fatwa MUI‛. Hal ini, ujar Mudzhar berkesimpulan, menunjukkan betapa MUI bersungguh-sungguh dalam menghadapi permasalahan Natal bersama.1035 Selain berdasar landasan teologis normatif, fatwa tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari trauma para ulama atas kristenisasi yang massif belum lama berselang. Pun demikian, kepercayaan para ulama terhadap pemerintah juga belum pulih benar. Malah beberapa kejadian membuat trauma dan rasa curiga itu terus terpupuk dalam ruang batin mereka. Seperti kasus pelarangan pencantuman tafsir Surat al-Ikhlas dalam buku pelajaran PMP (Pendidikan Moral PancasilaError! Reference source not found.) oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan (P & K) Jawa Timur dengan alasan toleransi. Hamka pun sempat memprotes hal itu.1036 Di saat bersamaan, pemerintah mengeluarkan Pedoman Perpustakaan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan daftar buku-buku bacaan yang dianjurkan untuk siswa SLTA, di mana sebagian besarnya merupakan buku-buku pelajaran agama Kristen. ‚Jadi lebih dari 80 judul buku adalah uraian agama Kristen belaka. Yang mengenai agama Islam hanya satu buku saja No 297 (agama Islam), itu pun digolongkan dalam perbandingan agama.1037 Maka fatwa tersebut bisa dinilai sebagai gambaran masih adanya rasa kurang percaya kepada pemerintah, yang sedikit banyak turut mendorong kegiatan Natal bersama. Juga menjadi peringatan bagi kalangan Kristen untuk tidak memanfaatkan proyek kerukunan sebagai alat kristenisasi. Kekhawatiran akan rusaknya proyek kerukunan yang tengah dijalankan membuat pemerintah bereaksi keras terhadap fatwa tersebut. Mereka pun mendesak MUI untuk mencabut fatwa tersebut. Namun di sisi yang lain, keteguhan pada sikap pada keyakinan agama, yang dirangkai dengan trauma atas kristenisasi dan rasa kurang percaya pada pemerintah menjadikan MUI begitu kukuh memegang fatwanya. Kondisi ini membuat hubungan kedua lembaga tersebut menjadi tegang. Harmoni yang belum lama terjalin pun terancam retak. Di titik didih inilah, Hamka ‚mengalah‛ dan menyatakan pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum MUI, dengan tetap tidak bersedia mencabut fatwa tersebut. Pilihan ini diambil oleh Hamka demi menjaga keberadaan MUI, dan menjaga hubungan antara ulama dengan pemerintah.1038 Hamka juga menegaskan

1034 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 241-242 1035 MA Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama..., h. 118-121 1036 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 242-243 1037 Hamka, ‚Pedoman Perpustakaan SLTA‛, dalam Panji Masyarakat, no 315, tahun XXII, 21 Pebruari 1981, h. 7-8 1038 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 246-247

213 bahwa keputusannya itu bukanlah sebuah manuver politik. Ia hanya ingin pemerintah mempercayai MUI dan menghilangkan kecurigaan atasnya. Kritik- kritik yang selama ini ia lancarkan kepada pemerintah, tegas Hamka, dilandasi oleh niat baik dan demi kebaikan bersama.1039 Dinamika hubungan MUI dengan pemerintah yang fluktuatif dan complexity itu tidak terlepas dari karakter Ketua Umumnya Hamka yang tegas, namun moderat dan fleksibel.1040 Sikap ini membuat Hamka bisa menjalin hubungan yang baik, bekerjasama, dan membangun kompromi dengan pihak-pihak lain yang berbeda. Karakter ini juga membuat Hamka bersikap terbuka atas segala pilihan yang ada dalam memperjuangkan cita-citanya. Tidak terpaku pada satu pilihan yang kaku. Ketika suatu jalan perjuangan dinilainya tertutup atau sukar dilalui, Hamka akan membuka peluang jalan-jalan lain yang dianggapnya cukup efektif dalam berjuang, sehingga terkesan ia bersikap pragmatis. Namun demikian, ikatan kuat nilai dan cita-citanya membuat Hamka bersikap tegas pada sesuatu yang dianggapnya bertentangan dengan idealisme itu. Inilah yang menjadikan langkah Hamka tetap pada panduan cita ideal sebuah Islam yang diyakininya, meski gerak langkah politiknya terkesan berkelok-kelok.

1039 Hamka, ‚Niat Yang Tulus‛, dalam Panji Masyarakat, no 325, tahun XXII, 1 Juni 1981, h. 7 1040 WI Fauzi, ‚Hamka Sebagai Ketua...‛, h. 293

214

BAB VI KESIMPULAN

Hamka lahir dalam situasi dunia Islam yang sedang berubah, khususnya di bidang politik. Keruntuhan sistem politik Islam lama (dengan dihapuskannya khilafah Utsmani), penjajahan bangsa-bangsa Barat atas negeri-negeri Islam, serta keinginan untuk bangkit kembali melalui gerakan pembaharuan dan perjuangan lepas dari penjajahan menjadi variabel-variabel penting yang melatari sejarah kehidupan Hamka. Dalam situasi seperti ini, pencarian bentuk pemerintahan dan sistem politik yang tepat bagi umat Islam di zaman baru itu menjadi tantangan tersendiri bagi para pemikir politik Islam. Konteks dunia Islam ini juga terjadi dalam lingkup yang lebih kecil Indonesia, di mana para tokoh-tokohnya juga disibukkan dengan pencarian bentuk politik yang tepat untuk bangsanya tanpa menyalahi ajaran agamanya. Kegagalan berbagai Kongres Khilafat, yang juga diikuti tokoh-tokoh Islam Indonesia itu, memantapkan mereka untuk mengadopsi sistem politik baru yang berasal dari Barat. Format negara kebangsaan dengan sistem republik menjadi pilihan yang mereka pilih. Ini merupakan kekhasan politik Islam di Indonesia, di mana sejak awal mula para tokoh pemikir dan pergerakan Islam telah ‚bersikap terbuka pada gagasan dan sistem politik modern‛. Karakter seperti ini merata di semua tokoh pergerakan Islam Indonesia saat itu, apapun orientasi keagamaannya (tradisionalis atau modernis). Dengan demikian, dalam konteks pemikiran politik, para tokoh pemikir dan pergerakan Islam di Indonesia tergolong modernis, karena keterbukaan dan penerimaan mereka pada ide-ide dan lembaga politik Barat modern. Dikotomi modernisme-tradisionalisme tidak berlaku dalam politik Islam Indonesia saat itu. Namun sebagai Muslim mereka tidak serta merta menelan mentah-mentah sistem politik baru itu. Upaya menyuntikkan nilai-nilai keislaman ke dalam sistem politik baru itu menjadi kisah perjuangan yang mewarnai sejarah politik Islam Indonesia di paro pertama abad ke 20. Dalam dinamika sejarah seperti inilah Hamka turut bermain dan memberikan kontribusinya. Realitas Indonesia yang beragam menjadi tantangan bagi perjuangan itu. Tantangan datang bukan hanya dari kelompok beda agama dan keyakinan, namun juga dari rekan seagama yang memiliki orientasi dan ideologi politik yang berbeda. Dengan dinamikanya yang keras, mereka pun dituntut memperjuangkan nilai dan visi politik Islamnya tanpa mengorbankan agenda bersama: Indonesia Raya. Di titik inilah politik Islam Indonesia menunjukkan karakter khasnya yang lain, ‚sikap luwes tanpa lepas dari keyakinannya‛. Dua karakter khas ini, terbuka pada ide-ide politik baru dan bersikap luwes tanpa lepas dari keyakinan agama, juga menjadi karakter yang tampak pada pemikiran dan perilaku politik Hamka. Hamka bisa menerima ide-ide dan konsep politik baru (Barat modern), namun tidak serta merta menerimanya. Catatan- catatan kritis Hamka pada konsep politik Barat, serta upayanya untuk mensintesiskan demokrasi Barat dengan Islam dalam konsep ‚Demokrasi Takwa‛ merupakan bagian dari upaya mendialogkan ide-ide baru yang diterima dengan

215 nilai-nilai agama yang diyakininya. Di sini terlihat karakter terbuka tanpa menelan mentah-mentah pada pemikiran politik Hamka. Selain ide-ide politik baru dari Barat dan nilai-nilai Islam, upaya dialog itu juga memperhatikan realitas historis yang sedang terjadi saat itu. Konteks keindonesiaan yang berubah menjadi variabel penting yang membuat pemikiran politik Hamka tampak mengalami perubahan. Sebelum kemerdekaan, di dekade 1930-an, gagasan-gagasan politik Hamka tampak sangat terbuka. Di periode ini Hamka menolak formalisme agama yang diusulkan MIAI. Sementara di periode 1950-an, khususnya di Konstituante, Hamka justru menperjuangkan apa yang dulu dia tolak itu. Perubahan sikap ini sesungguhnya bagian dari responnya terhadap situasi yang berubah-ubah. Di era pra kemerdekaan, Hamka melihat yang dibutuhkan saat itu adalah persatuan antar seluruh elemen bangsa demi merebut kemerdekaan. Menonjolkan hal-hal yang formal di saat seperti ini tentu bisa kontra produktif dengan cita-cita persatuan itu. Hal ini berbeda dengan kondisi tahun 1950-an, di mana terbuka kesempatan luas untuk memberi isi ideologi pada negara yang baru merdeka. Karakter terbuka dan luwes dengan tetap berpedoman pada visi politik dalam gagasan dan perjuangan politik Hamka, dan juga tokoh-tokoh politik Islam saat itu, berangkat dari paradigma bahwa Islam merupakan agama yang mencakup segala aspek kehidupan, termasuk politik-kenegaraan. Dengan demikian, Hamka meyakini akan integrasi politik dengan agama. Namun di saat bersamaan Hamka dan yang lainnya juga menyadari bahwa Islam tidak menentukan bentuk dan rincian sistem politik-kenegaraan itu, sehingga memberi ruang yang luas bagi umat Islam untuk berijtihad menetukan sistem politik dan pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhannya. Berangkat dari paradigma seperti inilah, Hamka dan tokoh-tokoh pergerakan politik Islam saat itu pun menentukan batas minimal-maksimal dalam cita-cita perjuangan politiknya. Pada garis minimalnya, mereka memperjuangkan agar sistem politik-kenegaraan Indonesia tidak menyalahi, apalagi menentang, nilai- nilai agama. Di sini letak politik Islam yang substansial itu. Pada titik maksimalnya, perjuangan politiknya bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara secara formal berdasarkan Islam melalui pengembalian Piagam Jakarta dalam konstitusi negara. Dalam ruang batas minimal-maksimal inilah mereka bergerak dengan keluwesannya. Penentuan batas minimal-maksimal ini juga menjadikan politik Islam Indonesia menampakkan karakter khasnya yang lain, yaitu ‚tidak mengenal jalan buntu‛. Dalam memperjuangkan cita-citanya, para tokoh politik Islam di Indonesia, khususnya Hamka, menempuh cara-cara yang damai dan konstitusional. Debat dan musyawarah dengan orientasi mencari titik temu menjadi pilihannya. Perjuangan melalui jalan ekstrim memang pernah ada, namun itu bukan arus utama politik Islam di Indonesia. Adanya batas minimal-maksimal membuat perjuangan politik Islam di Indonesia tidak mengenal kata gagal. Meski upaya mengembalikan Piagam Jakarta tidak tercapai, namun perjuangan itu tidaklah gagal. Pancasila yang menempatkan

216

Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama menjadi wujud ketidakgagalan perjuangan itu. Meski secara formal bukan negara Islam, namun sila pertama ini telah menjadikan Indonesia bukan sebagai negara sekuler. Sila ini telah menempatkan agama menjadi elemen penting bagi pembangunan negara Indonesia merdeka. Apalagi dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 secara tegas disebutkan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian tak terpisahkan dari konstitusi itu. Dengan adanya konsideran ini sesungguhnya Indonesia merupakan negara yang sistem kenegaraannya telah melewati batas tengah negara yang ditetapkan Islam. Dalam kerangka seperti ini bisa dipahami jika ada perbedaan strategi dalam perjuangan politik yang dilakoni Hamka di masa hidupnya, khususnya di era demokrasi parlemeter, demokrasi terpimpin, dan Orde Baru. Di era demokrasi parlementer perjuangan politik Hamka bertujuan untuk ‚mengintegrasikan Islam dalam konstitusi negara‛, dengan cara secara formal menjadikan Islam sebagai dasar negara. Di era demokrasi terpimpin perjuangannya lebih ditekankan pada ‚menjaga umat Islam dari pengaruh ideologi anti agama (komunisme)‛, melalui gerakan dakwah dan budaya. Sementara di era Orde Baru perjuangan politik Hamka bertujuan ‚mengintegrasikan umat Islam dalam kehidupan bernegara,‛ dengan strategi berpolitik melalui gerakan dakwah. Meski berbeda strategi, namun tujuan perjuangan politik Hamka tidaklah berubah. Boleh dikata, ketiga tujuan perjuangan politik Hamka di tiga zaman yang berbeda itu merupakan penerjemahan yang lebih teknis atas satu tujuan besar yang tetap dan tidak berubah ini, yaitu: ‚menjadikan Islam dan umat Islam sebagai bagian penting bagi Indonesia merdeka‛. Allahu a’lam.

217

DAFTAR PUSTAKA A. Primer

‚Berfusi untuk Keselamatan Umat.‛ Hikmah. No 11. Tahun V (15 Maret 1952). ‚Dari Prawoto-Sidik ke Wilopo.‛ Hikmah. No 13. Tahun V (29 Maret 1952) ‚Heboh Tentang Natal Bersama.‛ Serial Media Dakwah, No 85 (Juli 1981) ‚Hidjrah.‛ Pandji Masjarakat. No 32-33. Tahun II (1-15 Oktober 1960). ‚Kebudayaan Islam adalah Mazhar Dari Tauhid dan Taqwa: Sambutan Ketua MASBI Dr Hamka Pada Malam Penutupan Musyawarah HSBI tgl. 15-17 Desember 1961 di Jakarta.‛ Gema Islam. No 1. Tahun I (15 Januari 1962). ‚Kegiatan Agama.‛ Pandji Masjarakat. No 4. Tahun I (1 Agustus 1959). ‚Komunisme dan Islam.‛ Hikmah. No 27. Tahun V (5 Juli 1952). ‚Langkah Pertama Menegakkan Orba: Merehabilitir Kedudukan UUD -45,‛ Pandji Masjarakat, No 6 (20 Desember 1966) ‚Manifes Kebudajaan dan Kesenian Islam,‛ Gema Islam, No 45, Tahun II (1 Januari 1964) ‚Masjarakat `Adil dan Ma’mur.‛ Pandji Masjarakat. No 6. Tahun I (1 September 1959). ‚Menyambut Musjawarah Nasional Pembangunan Moral dan Seni Islam,‛ Gema Islam, No 15, Tahun II (15 November 1963) ‚Musjawarah Kerdja I Badan Musjawarah Kebudajaan Islam 22-23 Agustus 1963,‛ Gema Islam, No 59, Tahun III (1 Oktober 1964) ‚Nahdlatul Ulama dan Masjumi.‛ Hikmah. No 15-16. Tahun V (16 April 1952). ‚Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri.‛ Hikmah. No 19. Tahun V (10 Mei 1952). ‚Pekan Maulid Ke-II Di Mesdjid Agung ‘Al-Azhar’ Kebajoranbaru.‛ Gema Islam. No 15. Tahun I (1 September 1962). ‚Pembagian Tugas.‛ Pandji Masjarakat. No 8. Tahun I (1 Oktober 1959). ‚Sambutan Hamka Atas Heboh Mengenai ‘Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck’.‛ Gema Islam. No 17. Tahun I (1 Oktober 1962). ‚Sekitar Pembentukan Kabinet.‛ Hikmah. No 14. Tahun V (5 April 1952). ‚Seminar Bahasa Indonesia‛ dan ‚Keputusan2 Dari Seminar Bahasa Nasional 1972‛. Dalam Pandji Masjarakat No 99 tahun VI (15 Maret 1972). ‚Tanja-Djawab.‛ Pandji Masjarakat. No 31. Tahun II (15 September 1960) ‚Thamrin dan Hamka di Kalimantan.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 43. Tahun III (10 November 1937). ‚Tokoh Pentas Islam: Yunan Helmy Nasution.‛ Dalam Gema Islam, No 36/37, Tahun II (1 Agustus 1963) Ahmad, Zainal Abidin. ‚Konstitusi dan Pantja Sila.‛ Dalam Hikmah, No 43-44, Tahun VIII (26 Oktober 1955). Amura. ‚Musjawarah Besar Seniman dan Kebudayaan Islam.‛ Dalam Gema Islam. No 1. Tahun I (15 Januari 1962). Departemen Penerangan RI, Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945, Penerbitan Chusus 48-56-58. Hamka. ‚Adopsi Memungut Anak.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 196. Tahun XVII (1 April 1976). Hamka. ‚Agama Bisa Hapus Sadja‛. Dalam Pandji Masjarakat. No 94. tahun VI (1 Januari 1972). Hamka. ‚Al-Djami’atoel Islamijah (Pan Islamisme).‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 38. Tahun II (11 November 1936). Hamka. ‚Anda Bertanja Kami Mendjawab.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 8. Tahun I (1 Oktober 1959)

218

Hamka. ‚Bagaimana Cara Menghadapi.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 211. Tahun XVIII (15 November 1976). Hamka. ‚Bagaimana Soepaja Kita Merdeka?.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi (18 Oktober 1939). Hamka. ‚Bebas Merdeka.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 208. Tahun XVIII (1 Oktober 1976) Hamka. ‚Beratnja Kewadjiban Kita.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 13 (April 1967). Hamka. ‚Bismillah Dengan Orde Baru.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 8 (20 Januari 1967). Hamka. ‚Chittah Pandji Masjarakat.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 9. Tahun I (15 Oktober 1959). Hamka. ‚Chutbah Hari Raja `Idil Fithri 1 Syawal 1386.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 8 (20 Januari 1967) Hamka. ‚Dari Djendela Seni.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 14. Tahun II (1 Januari 1960). Hamka. ‚Dialog.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 203. Tahun XVIII (15 Juli 1976). Hamka. ‚Didikan Kristen dan Didikan Neutraal.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 37. Tahun II (31 Oktober 1936). Hamka. ‚Diri Ini Telah Terdjual,‛ dalam Pandji Masjarakat, No 69, Tahun IV (Desember 1970). Hamka. ‚Djakarta Lambang Kemenangan Islam.‛ Dalam Gema Islam. No 12. Tahun I (15 Juli 1962). Hamka. ‚Djiwa Bebas Dengan Tauhid.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 4. Tahun I (20 Nopember 1966). Hamka. ‚Filsafat Ghazali (Tentang Ma’rifat dan Keindahan),‛ dalam Hikmah, No 12, Tahun IV (15 Desember 1951) Hamka. ‚Filsafat Ghazali Tentang Ma’rifat dan Keindahan.‛ Dalam Hikmah. No 12. Tahun IV (15 Desember 1951). Hamka. ‚Gerakan Politiek Tidak Menerima Bangsa Asing.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 1 Pebruari 1939. Hamka. ‚Haluan Hidup... (Peringatan Idul Fithri 1371).‛ Dalam Hikmah. Edisi Lebaran No 24-25. Tahun V (21 Juni 1952) Hamka. ‚Harapan Kepada Pemuda.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 108. Tahun XIII (1 Agustus 1972) Hamka. ‚Harapan Kepada Pemuda.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 108. Tahun XIII (1 Agustus 1972). Hamka. ‚Hari Depan Agama 1.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 27. Tahun II (15 Juli 1960). Hamka. ‚Hari Depan Agama III (Habis).‛ Dalam Pandji Masjarakat. No. 29. Tahun II (15 Agustus 1960). Hamka. ‚Hoekom Kesopanan dan Hoekoem Politiek (Habis).‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 27 September 1939. Hamka. ‚HOS Tjokroaminoto.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 14. tahun VII (2 April 1941). Hamka. ‚Ilmu dan Agama.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 21. Tahun II (15 April 1960) Hamka. ‚Individualisme.‛ Dalam Hikmah. No 14. Tahun IV (29 Desember 1951) Hamka. ‚Intellektueel dan Oelama.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 25. Tahun VII (18 Juni 1941). Hamka. ‚Islam dan Kebangsaan.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 4 Januari 1939. Hamka. ‚Islam dan Kebangsaan: ‘Dan’, Bendera dan Lagoe.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 15 Februari 1939. Hamka. ‚Islam dan Kebangsaan: Diboeaikan Mimpi ‘Pan Islamisme’.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 22 Pebruari 1939.

219

Hamka. ‚Islam dan Kebangsaan: Gerakan Politiek Tidak Menerima Bangsa Asing.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 1 Pebruari 1939. Hamka. ‚Islam dan Kebangsaan: Kebangsaan Yang Dilarang Agama.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 18 Januari 1939. Hamka. ‚Islam dan Kebangsaan: Tjinta Bangsa dan Tanah Air.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 11 Januari 1939. Hamka. ‚Islamologi di Universitas.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 14. Tahun II (1 Januari 1960) Hamka. ‚Jang Sebaik-baik Ummat.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No. 2. Tahun I (1 Juli 1959). Hamka. ‚Jiwa yang Hampa Dengan Apa Diisi?.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 113. Tahun XIII (15 Oktober 1972). Hamka. ‚Kebangsaan Sebagai Sendi III (Penoetoep).‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 1 Januari 1941. Hamka. ‚Kebudajaan Arab atau Kebudajaan Islam.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 16. Tahun II (1 Pebruari 1960). Hamka. ‚Kebudajaan Dipandang Dari Segi Adjaran Islam Prasaran Dr. Hamka Pada Seminar Kebudayaan Nasional Pada Tanggal 26-29 Mei 1960 di Semarang.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 24. Tahun II (1 Djuni 1960). Hamka. ‚Kebudajaan Nasional.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 12. Tahun I (1 Desember 1959). Hamka. ‚Kebudayaan Arab atau Kebudayaan Islam.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 16. Tahun II (1 Pebruari 1960) Hamka. ‚Kebudayaan Nasional.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 12. Tahun I (1 Desember 1959) Hamka. ‚Kedudukan Manusia.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 5. Tahun (I 5 Desember 1966). Hamka. ‚Kembalilah ke Mesdjid,‛ dalam Pandji Masjarakat, No 6 (20 Desember 1966) Hamka. ‚Kepribadian Indonesia.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 11 (Maret 1967) Hamka. ‚Kesatuan Sedjati.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 15. Tahun II (15 Januari 1960). Hamka. ‚Kesatuan Sedjati.‛ dalam Pandji Masjarakat. No 15. Tahun II (15 Januari 1960). Hamka. ‚Keutamaan Mu’min.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No. 24. Tahun II (1 Juni 1960) Hamka. ‚Kewaspadaan Kita.‛ dalam Panji Masyarakat. No 111. tahun XIII (15 September 1972). Hamka. ‚Khilafaat.‛ dalam Panji Masyarakat. No 195. Tahun XVII 15 Maret 1976. Hamka. ‚Khutbah `Idul Fithri 1 Syawal 1396 H: Bersyukur Atas Kemerdekaan Jiwa.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 209. Tahun XVIII (15 Oktober 1976) Hamka. ‚Kongres Lembaga Kebudajaan Indonesia di Bandung.‛ Dalam Hikmah. No 2. Tahun IV (6 Oktober 1951). Hamka. ‚Kufur dan Iman.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 17. Tahun II (15 Pebruari 1960). Hamka. ‚Loyalitas,‛ dalam Pandji Masjarakat, No 80, Tahun V (1 Juni 1971) Hamka. ‚Madjlis ‘Oelama Tinggi.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 5. Tahun III (14 Pebruari 1937). Hamka. ‚Mari Kita Segarkan Kembali Ingatan.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 10 (1967). Hamka. ‚Menegakkan Agama Dengan Harta.‛ Dalam Hikmah. No 40. Tahun V (4 Oktober 1952) Hamka. ‚Mengagamakan Orang Yang Belum Beragama, Munafiq?,‛ dalam Panji Masyarakat, No 204, Tahun XVIII (1 Agustus 1976) Hamka. ‚Mengagamakan Orang Yang Belum Beragama. Munafiq?.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 204. Tahun XVIII (1 Agustus 1976).

220

Hamka. ‚Modernisasi Terpimpin.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 96. Tahun VI (1 Pebruari 1972). Hamka. ‚Moral Pancasila.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 207. Tahun XVIII (15 September 1976). Hamka. ‚Muslim International Congres.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 6. Tahun III (21 Pebruari 1937). Hamka. ‚Nabi Muhammad Dan Kesusasteraan.‛ Dalam Hikmah. No. 11. Tahun IV (8 Desember 1951) Hamka. ‚Nasionalist Muslim.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 2 November 1938. Hamka. ‚Niat Yang Tulus.‛ Dalam Panji Masyarakat, No 325, Tahun XXII (1 Juni 1981) Hamka. ‚Orang-orang Jang Kembali.‛ Dalam Gema Islam. No 2. Tahun I (1 Pebruari 1962). Hamka. ‚Orthodox dan Modernisasi.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 2. Tahun I (1 Juli 1959). Hamka. ‚Pan Islamisme dan Nasional-Islamisme.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 4 Mei 1938. Hamka. ‚Parlement dan Doenia Islam I.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 1. Tahun VII (1 Januari 1941). Hamka. ‚Pedoman Perpustakaan SLTA.‛ Dalam Panji Masyarakat, No 315, Tahun XXII (21 Pebruari 1981) Hamka. ‚Peladjaran Agama di Sekolah Pemerintah.‛ Dalam Hikmah. No 23. Tahun V (7 Juni 1952). Hamka. ‚Pemandangan Oemoem Tentang Soeasana Islam di Tanah Air Kita.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 26. tahun VII (25 Juni 1941). Hamka. ‚Pembahasan Darihal Intisasi Undang-undang Dasar ‘45.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 212. Tahun XVIII (1 Desember 1976). Hamka. ‚Pembangunan Da’wah Islamiyah di Indonesia.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 203. Tahun XVIII (15 Juli 1976). Hamka. ‚Pemurtadan dan Perkawinan: Kisah Farida Perempuan Jakarta.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 206. Tahun XVIII (1 September 1976). Hamka. ‚Pengaruh Huruf atas Bahasa dan Bangsa.‛ Dalam Hikmah. No 7. Tahun V (16 Pebruari 1952). Hamka. ‚Pengaruh Islam Dalam Sastra Melayu (Sambungan).‛ Dalam Panji Masyarakat. No 207. Tahun XVIII (15 September 1976). Hamka. ‚Pengaruh Islam Dalam Sastra Melayu.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 206. Tahun XVIII (1 September 1976). Hamka. ‚Perbandingan Sedjarah.‛ Dalam Hikmah. No 15-16. Tahun V (16 April 1952). Hamka. ‚Perbandingan: Hoekoem Kesopanan dan Hoekoem Politiek.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 20 September 1939. Hamka. ‚Perbandingan: Hoekoem Kesopanan dengan Hoekoem Politiek (Habis).‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 27 September 1939. Hamka. ‚Pertjaja Kepada Allah.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 23. Tahun II (15 Mei 1960). Hamka. ‚Pokok Pegangan Hidup Kita.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 107. Tahun XIII (15 Juli 1972) Hamka. ‚Rasa Rendah Diri.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 117. Tahun XIII (15 Desember 1972) Hamka. ‚Renungan Melihat Eropa.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 202. Tahun XVIII (1 Juli 1976).

221

Hamka. ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam I.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 7. Tahun VII (12 Pebruari 1941). Hamka. ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam II.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 8. Tahun VII (19 Pebruari 1941). Hamka. ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam III.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 9. Tahun VII (26 Pebruari 1941). Hamka. ‚Samboetan Kita Atas: Party Islam Indonesia.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 14 Desember 1938. Hamka. ‚Semua ‘Sesuai’.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 22. Tahun II (1 Mei 1960). Hamka. ‚Siapa Anti Pantjasila!.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 4. Tahun I (20 November 1966) Hamka. ‚Tanggung dJawab Angkatan Muda Islam.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 106. Tahun XIII (1 Juli 1972) Hamka. ‚Theorie Darwin dan Islam.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 33. Tahun II (30 September 1936) Hamka. ‚Tidak Semata-mata Benda.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 16. Tahun II (1 Pebruari 1960). Hamka. ‚Tjinta Tanah Air, Kemanusiaan, dan Islam III (Habis).‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 32/33. Tahun II (1/15 Oktober 1960). Hamka. ‚Tjinta Tanah Air, Kemanusiaan, dan Islam (II).‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 31. Tahun II (15 September 1960). Hamka. ‚Tjita-tjita MIAI.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 21. Tahun VII (21 Mei 1941). Hamka. ‚Tjuma Untuk Orang Mukmin.‛ Dalam Pandji Masjarakat, No 19 (Oktober 1967) Hamka. ‚Toleransi Agama.‛ Dalam Pandji Masjarakat, No 17 (1967) Hamka. ‚Toleransi Dibalas Dengan Tamparan.‛ Dalam Pandji Masjarakat, No 16 (Agustus 1967) Hamka. ‚Tugas Kita Sekarang,‛ dalam Pandji Masjarakat, No. 12 (Maret 1967) Hamka. ‚Ulama dan Pemerintah.‛ Dalam Panji Masyarakat, No 210, Tahun XVIII (I November 1976) Hamka. ‚Undang-undang Dasar Indonesia dan Tjita-tjita Islam.‛ Dalam Hikmah, No 10, Tahun IX (17 Maret 1956) Hamka. ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama I.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 197. Tahun XVIII (15 April 1976). Hamka. ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama II.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 198. Tahun XVIII (1 Mei 1976). Hamka. ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama III.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 199. Tahun XVIII (15 Mei 1976). Hamka. ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama IV.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 200. Tahun XVIII (1 Juni 1976). Hamka. ‚Untuk Siapa Seni?.‛ Dalam Hikmah. No 8. Tahun IV (16 November 1951). Hamka. ‚Utjapan Sjukur dan Terimakasih.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 6. Tahun I (1 September 1959). Hamka. 1001 Soal Kehidupan. Jakarta: Gema Insani. 2016. Hamka. 4 Bulan di Amerika. Jakarta: Gema Insani. 2018. Hamka. Ayahku: Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah Dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra. Jakarta: Umminda. 1982. Hamka. Dari Hati Ke Hati. Jakarta: GIP. 2016. Hamka. Dari Hati Ke Hati: Tentang Agama, Sosial, Budaya dan Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002. Hamka. Dari Lembah Cita-cita. Jakarta: Bulan Bintang. 1982.

222

Hamka. Dari Perbendaharaan Lama. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1994. Hamka. Di Tepi Sungai Dajlah. Jakarta: Gema Insani. 2019. Hamka. Doktrin Islam Yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian. Jakarta: Yayasan Idayu. 1975. Hamka. Falsafah Hidup. Jakarta: Republika. 2015. Hamka. Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982. Hamka. Iman dan Amal Shaleh. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982. Hamka. Islam dan Demokrasi. Bukittinggi – Medan: Firma Tjerdas. 1946. Hamka. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1984. Hamka. Keadilan Sosial Dalam Islam. Jakarta: Widjaja. 1951. Hamka. Kedudukan Perempuan Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1996. Hamka. Kenang-kenangan Hidup. Jakarta: Gema Insani. 2018. Hamka. Lembaga Hidup. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1991. Hamka. Lembaga Hidup. Jakarta: Republika. 2015. Hamka. Muhammadijah-Masjumi. Jakarta: Masjarakat Islam, tt. Hamka. Muhammadiyah di Minangkabau. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1974. Hamka. Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: Bulan Bintang. 1992. Hamka. Pelajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1956. Hamka. Perkembangan Kebatinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. 1971. Hamka. Pribadi Hebat. Jakarta: Gema Insani. 2014. Hamka. Prinsip & Kebijakan Dakwah Islam. Jakarta: Gema Insani. 2018. Hamka. Renungan Tasawuf. Jakarta: Pustaka Panjimas. 2002 Hamka. Revolusi Agama Sesudah Ditambah, Diperbaiki, Diperluas. T.Temp: T.P. 1962. Hamka. Revolusi Agama. Jakarta: Pustaka Antara. 1949. Hamka. Revolusi Agama… Menudju Negara. Jakarta: Pustaka Islam. 1952. Hamka. Sedjarah Islam di Sumatera. Medan: Pustaka Nasional. 1950. Hamka. Studi Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983. Hamka. Tafsir al-Azhar Jilid 1. Jakarta: Gema Insani. 2015. Hamka. Tafsir al-Azhar Jilid 2 Jakarta: Gema Insani. 2015. Hamka. Tafsir al-Azhar Jilid 3. Jakarta: Gema Insani. 2015. Hamka. Tafsir al-Azhar Jilid 8. Jakarta: Gema Insani. 2015. Hamka. Tafsir al-Azhar Jilid 9. Jakarta: Gema Insani. 2015. Hamka. Tjahaja Baru. Medan: Pustaka Nasional. 1950. Hamka. Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi dan Sekularisasi. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003. Hamka. Urat Tunggang Pantjasila. Jakarta: Pustaka Keluarga. 1952. Hamzah, M Junus Amir. ‚Suatu Penjelidikan Pendahuluan Tentang: ‘Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck’.‛ Dalam Gema Islam. No 18. Tahun I (15 Oktober 1962). Hatta, Mohammad. ‚Demokrasi Kita.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 22. Tahun II (1 Mei 1960). Ideologi Masyumi, dokumen tidak diterbitkan. Konstituante Republik Indonesia. Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid V. Konstituante Republik Indonesia. Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid VII. Konstituante Republik Indonesia. Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I. Konstituante Republik Indonesia. Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid II. Konstituante Republik Indonesia. Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III. Majalah Gema Islam. No 1. Tahun I (15 Januari 1962). Majalah Pandji Masjarakat. No 1. Tahun I (15 Juni 1959). Nasution, Junan Helmy. ‚Tudjuh Tahun HSBI: 24 Sept 1956-24 Sept 1963.‛ Dalam Gema Islam. No 40. Tahun II (15 September 1963).

223

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Keadaan Bahaja (No 23 Th. 1959-LN 1959/139-TLN 1908) dan Peraturan-Peraturan Jang Berhubungan Dengan Itu, diterbitkan oleh Inspektorat Djenderal Territorial dan Perlawanan Rakjat, 1959 PKI dan Konstituante (Pokok2 Fikiran Yang Dikemukakan oleh PKI Dalam Kampanje Pemilihan Konstituante), Depatgiprop CC PKI, tanpa tahun Rusjdi. ‚‘Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck’ Apakah Suatu Karja Plagiat?.‛ Dalam Gema Islam. No 17. Tahun I (1 Oktober 1962). Sekretariat Umum Masyumi. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Masjumi Ditambah Anggaran Dasar STII. SDII. SBII. Suryanegara, A Mansur. ‚Si Singamangaraja XII Gugur Sebagai Pahlawan Islam.‛ dalam Panji Masyarakat. No 207. Tahun XVIII (15 September 1976) Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid II. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid III. UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

B. Sekunder 1. Buku, Bagian dari Buku, Disertasi & Tesis Abdillah, Masykuri. Islam dan Demokrasi: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993. Jakarta: Prenada. 2015. Abdillah, Masykuri. Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia. 2011 Abdulgani, Roeslan. Pendjelasan Manipol dan Usdek. Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1960 Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES. 1996. Abdullah, Taufik. Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in 1927-1933. Singapura: Equinox. 2009. Achmad, Imam & Dirgantara Wicaksono. Marxisme dan Kehancuran PKI. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2013. Adnan. Pergulatan Politik Elit NU dan Muhammadiyah Masa Reformasi. Gorontalo: Sultan Amai Press. 2011. Ahmad EQ, Nurwajah. ‚Pemahaman Hamka dan TM Hasbi Ash-Shidiqy Mengenai Ayat Yang Berkaitan dengan Politik, Ekonomi, dan Ilmu Pengetahuan.‛ Disertasi. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1998. Ahmad, Zainal Abidin. Piagam Madinah: Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia. Jakarta: Al-Kautsar. 2014 Akhmad, Wardini. ‚Kongres Al Islam 1922-1941: Satu Telaah Tentang Integrasi dan Disintegrasi Organisas-organisasi Islam di Indonesia Dalam Perkembangan Pergerakan Nasional.‛ Disertasi Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah. 1989. Akram, Ejaz. ‚The Muslim World and Globalization: Modernity anda the Roots of Conflict.‛ dalam Joseph EB Lumbard. Islam, Fundamentalism, and the Betrayal of Tradition. Indiana: World Wisdom. 2004. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC. 1993. Ali, Fachry. ‚Pengantar: Dinamika Sosial-Politik Indonesia Tahun Lima Puluhan,‛ Kata Pengantar untuk buku Boyd R Compton. Kemelut Demokrasi Liberal. Penerjemah: Hamid Basyaib. Jakarta: LP3ES, 1992 Ali, Fachry. Golongan Agama dan Etika Kekuasaan. Surabaya: Risalah Gusti. 1996.

224 al-Muja>hid, Shari>f. ‚Sayyid Jama>l al-Di>n al-Afgha>ni>: His Role in the Nineteenth Century Muslim Awakening.‛ MA Thesis. Mc Gill University. 1954 Amin, Muhammad. ‚Kualitas Asbab al-Nuzul Dalam Tafsir al-Azhar.‛ Disertasi. SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007. Amir, Mafri. Reformasi Islam Dunia Melayu-Indonesia: Studi Pemikiran, Gerakan, dan Pengaruh Syaikh Muhammad Thahir Jalal al-Din. Jakarta: Balitbang-Diklat Kemenag RI, 2008. Anis, Muhammad. Islam dan Demokrasi: Perspektif Wilayah al-Faqih. Jakarta: Mizan Publika. 2013. Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945:Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia. Jakarta: GIP. 1997 Anwar, M Syafii. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina. 1995. Anwar, Rosihan. ‚Hamka dan ‘Gema Islam’ dan Kumandang Da’wah.‛ Dalam Solichin Salam dkk (ed). Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1979. Arnold, Sir Thomas W. The Caliphate. London: Routledge & Kegan Paul LTD. 1965 Artawijaya. Belajar Dari Partai Masjumi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2014. Asshiddiqie, Jimly. ‚Keislaman dan Keindonesiaa: Kiprah dan Pemikiran Buya Hamka.‛ Dalam Afif Hamka. dkk (ed). Buya Hamka. Jakarta: Uhamka Press. 2008. Audi, Robert (Ed). The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 1995 Aziz, Abdul. Chiefdom Madinah: Kerucut Kekuasaan Pada Zaman Awal Islam. Tangerang Selatan: Alvabet. 2016 Azra, Azyumardi (ed). Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989 Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2009. Azra, Azyumardi. Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi. Jakarta: Prenada & PPIM UIN Jakarta. 2016. Azwar, Alfi Julizun. ‚Dimensi Tasawuf Dalam Karya Hamka: Analisis Roman ‘ Di Bawah Lindungan Ka’bah’ dan ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk’.‛ Disertasi. SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008 Bachtiar, Tiar Anwar. Jas Mewah: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah & Dakwah. Yogyakarta: Pro-U Media. 2018. Bachtiar, Tiar Anwar. Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia: Kritik-kritik Terhadap Islam Liberal Dari HM Rasjidi Sampai INSIST. Jakarta: al-Kautsar, 2017 Bajasut, SU & Lukman Hakiem (Ed). Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito. Jakarta: Kompas. 2014. Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2002 Baso, Ahmad. Islam Pasca Kolonial. Jakarta: Pustaka Afid, 2016 Bawazir, Tohir. Jalan Tengah Demokrasi: Antara Fundamentalisme dan Sekularisme. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015. Belkeziz, Abdelillah. The State in Contemporary Islamic Thought: A Historical Survey of the Major Muslim Political Thinkers of the Modern Era. London: IB Tauris & Co.Ltd. 2009. Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Penerjemah: Daniel Dakhidae. Jakarta: Pustaka Jaya. 1980.

225

Black, Anthony. The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present. Edinburgh: Edinburgh University Press. 2011. Bruinessen, Martin Van (ed). Conservative Turn: Islam Indonesia Dalam Ancaman Fundamentalisme. Bandung: Mizan. 2014 Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. 2013. Chisaan, Choirotun. ‚In Search of an Indonesian Islamic Cultural Identity. 1956-1965.‛ Dalam Jennifer Lindsay & Maya HT Liem ed. Heirs to World Culture: Being Indonesia, 1950-1965. Leiden: Brill. 2012. Compton, Boyd R. Kemelut Demorasi Liberal. Penerjemah: Hamid Basyaib. Jakarta: LP3ES, 1992 Crone, Patricia. Medieval Islamic Political Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press. 2005. Dami>ji>, `Abd Alla>h ibn `Umar ibn Sulayma>n al-. Al-Ima>mah al-Ud}ma> `Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jama>`ah. Riya>d}: Da>r T}ayyibah, 1408 H. Dobbin, Christine. Islamic Revivalism in Changing Peasant Economy Central Sumatera 1784-1847. London and Malmo: Curzon Press. 1983. Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina. 2009. Emzita. ‚Seorang Ulama dan Pujangga Islam Indonesia.‛ Dalam Solichin Salam dkk (ed). Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1979. Enayat, Hamid. Modern Islamic Political Thought. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust. 2001 Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Penerjemah: Farida Wajidi & Mulni Adelina B. Yogyakarta: LKiS. 2007. Gani, MA. Cita Dasar & Pola Perjuangan Syarikat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Gazalba, Sidi. ‚Beberapa Peristiwa Bersama Buya Hamka.‛ Dalam Solichin Salam dkk (ed). Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1979. Gunawan, Akmal Rizki. Dimensi Politik Tafsir al-Azhar Hamka: Kajian Nilai-nilai Pancasila. Ciputat: Cinta Buku Media. 2016. Hadikusuma, Djarnawi. ‚Buya Genius Hamka.‛ Dalam Solichin Salam. Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1979. Hakiem, Lukman. Perjalanan Mencari Keadilan & Persatuan: Biografi Dr Anwar Harjono, SH. Jakarta: Media Dakwah. 1993. Hakim, Ahmad dan Thalhah, M. Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka. Yogyakarta: UII Press. 2005. Haris, Abd. ‚Etika Islam: Studi Pemikiran Hamka.‛ Disertasi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2005. Haris, Abd. Etika Hamka: Konstruksi Etika Berbasis Rasional Religius. Yogyakarta: LkiS. 2010. Hazleton, Lesley. After The Prophet: The Epic Story of the Shia-Sunni Split. New York: Anchor Book, 2009. Heriyanto, Husain. Paradigma Holistik. Jakarta: Teraju. 2003. Hidayat, Komaruddin (ed). Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila. Bandung: Mizan. 2014 Hilmy, Masdar. and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2010. Huda, Nor. Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.

226

Husni, Dardiri. ‚Jong Islamieten Bond: A Study of a Muslim Youth Movement in Indonesia During the Dutch Colonial Era. 1924-1942.‛ MA Thesis. Institute of Islamic Studies McGill University Canada. 1998. Jainuri, Achmad. Ideologi Kaum Reformis. Surabaya: LPAM. 2002. Jamil, M. ‚Metode Istinbat Hukum Hamka: Studi Terhadap Ayat-ayat Ahkam Tafsir al- Azhar.‛ Disertasi. SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2008. Jaylani, Timur. ‚The Sarekat Islam Movement: Its Contribution to Indonesian Nationalism.‛ MA Thesis. Institute of Islamic Studies. Mc Gill University Canada. 1959. Kahfi, Erni Haryanti. ‚Haji Agus Salim: His Role in Nationalist Movements in Indonesia During The Early Twentieth Century.‛ MA Thesis. Institute of Islamic Studies McGill University Canada. 1996. Kahin, Audrey R. Islam, Nationalism and Democracy: A Political Biography of Mohammad Natsir. Singapore: NUS Press. 2012. Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta: Kencana. 2013 Kartodirjo, . Sejarah Pergerakan Nasional 2: Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Yogyakarta: Ombak. 2014 Khair, Abd. ‚Pembaharuan Pemikiran Hamka Dalam Bidang Aqidah, Tasawuf dan Sosial Politik.‛ Disertasi. IAIN Syarif Hidayatullah. 1996. Khan, M.A. Muqtader. ‚What Is Islamic Democracy? The Three CS of Islamic Governance.‛ Dalam Timothy Poirson & Robert L Oprisko (ed). Caliphates And Islamic Global Politics. Bristol: E-International Relations. 2014. Khatib, Adrianus. ‚Kaum Paderi Dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau.‛ Disertasi. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1991. Koto, Alaiddin. Pemikiran Politik Perti Persatuan Tarbiyah Islamiyah 45-70. Jakarta: Nimas Multima. 1997. Kramer, Martin. Islam Assembled: The Advent of the Muslim Congresses. New York: Columbia University Press. 1986. Kuhn, Thomas S. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Penerjemah: Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan. 2001. Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan. 1994. Kuntowojoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan. 1997. Kusuma, A.B. Lahirnya Undang-undang Dasar 1945. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2009. Laffan, Michael Francis. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia. London & New York: Routletdge Curzon, 2003. Lambton, Ann K.S. State and Government in Medieval Islam: an Introduction to the Study of Islamic Political Theory: The Jurists. New York: Routledge Curzon. 1991. Latif, Yudi. Inteligensia Muslim dan Kuasa. Jakarta: Democracy Project. 2012. Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas. Rasionalitas. dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia. 2015. Lesus, Rizki. Perjuangan Yang Dilupakan: Mengulas Perjuangan Umat Islam yang Terdilupakan dalam Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Pro-U Media. 2017. Lewis, Bernard, dkk. Islam Liberalisme Demokrasi. Mun’im A Sirry (ed). Jakarta: Paramadina. 2002. Lewis, Bernard. The Political Languange of Islam. Chicago & London: The University of Chicago Press. 1988. Lubis, Mochtar. Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-surat Bung Hatta Kepada Presiden Soekarno 1957-1965. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1986.

227

Ma’mur, Ilzamudin. ‚Abul A’la Mawdudi’s and Mohammad Natsir’s Views on Statehood: A Comparative Studies.‛ Thesis Master. Mc Gill University, Montreal Canada. 1995. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988 Maarif, Ahmad Syafii. ‚Hamka, Pribadi Multitalenta, Minangkabau, dan Indonesi.‛ Kata Pengantar untuk buku James R Rush. Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern. Penerjemah: Zia Anshor. Jakarta: Gramedia. 2017 Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES. 1987. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan dalam Konstituante. Bandung: Mizan. 2017. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan Dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES. 2006 Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988. Machmudi, Yon. ‚Islamising Indonesia: The Rise of and The (PKS).‛ Disertasi. Faculty of Asian Studies, The Australian National University. 2006 Madinier, Remy. Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral. Penerjemah: Tonny Pasuhuk Bandung: Mizan. 2013. Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina. 1998. Mahendra, Yusril Ihza. Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra. Jakarta: Pro Deleader, tt. Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam. Jakarta: Paramadina, 1999. Mangkusasmito, Prawoto. ‚Apakah Arti Dekrit Presiden Republik Indonesia 5 Juli 1959?.‛ Dalam Bajasut, SU & Lukman Hakiem. Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito. Jakarta: Kompas. 2014. Mangkusasmito, Prawoto. ‚Masyumi. Pancasila. dan Revolusi Kiri atau Kanan.‛ Dalam Bajasut, SU & Lukman Hakiem. Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito. Jakarta: Kompas. 2014. Maqdisi, Abu Muhammad al-. Democracy: A Religion!. Perjemah dari Arab ke Inggris: Abu Muhammad al-Maleki. Australia: al-Furqan Islamic Information Centre. 2012. Maulana, Yusuf. Buya Hamka: Ulama Umat Teladan Rakyat. Yogyakarta: Pro-U Media. 2018. Moten, Abdul Rashid. Political Science: an Islamic Perspective. London: MacMillan Press, 1996. Mubarok, Jaih. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005. Mudzhar, Mohammad Atho. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993 Muhajir, Afifuddin. Fiqh Tata Negara: Upaya Mendialogkan Sistem Ketatanegaraan Islam. Yogyakarta: Ircisod. 2017 Muhtadi, Burhanuddin. Dilema PKS: Suara dan Syariah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2012 MUI, Sekretariat. Majelis Ulama Indonesia 1976. Jakarta: Sekretariat MUI, 1976 Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, Dan Partisipasi Politik Di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia, 2007

228

Mujiburrahman. ‚Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order.‛ Disertasi. ISIM/Amsterdam University. 2006. Nabhani. Taqiy al-Din al-. Nid}a>m al-Isla>m. Ttemp: Hizbut Tahrir, 2001. Nasihin. Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012. Nasution, Muslim. ‚Pemikiran Dr Abdul Karim Amrullah Tentang Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau.‛ Disertasi. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2000 Natsir, M. ‚Dua Kali Kami Berjumpa.‛ Dalam Solichin Salam dkk (ed). Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1979. Natsir, M. Capita Selecta 3. Jakarta: PT Abadi & Panitia Peringatan Refleksi Seabad M Natsir. 2008. Nazar, Muhammad. ‚Intelektualitas Dakwah Prof Dr Hamka: Kajian Tentang Konsep Dan Pendekatan.‛ Disertasi. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2000. Niel, Robert Van. Munculnya Elite Modern Indonesia. Penerjemah: Zahara Deliar Noer. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984 Noer, Deliar. ‚Yamin dan Hamka: Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia.‛ Dalam Anthony Reid dan David Marr. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafiti Pers. 1983. Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. 1991. Noer, Deliar. Islam & Politik. Jakarta: Yayasan Risalah. 2003. Noer, Deliar. Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Kompas, 2012 Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisa Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965. Bandung: Mizan. 2000. R, Yusran (ed). Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila: Konstituante 1957. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001. Rambe, Safrizal. Sarekat Islam: Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942. TT: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia. 2008. Ranuwijaya, Utang. ‚Hadis-hadis Pada Kitab Tafsir al-Azhar Hamka: Analisis Sanad Pada Ayat-ayat Hukum Bidang Perkawinan.‛ Disertasi. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1998. Reid, Anthony. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Penerjemah: RZ Leirissa & P Soemitro. Jakarta: Pustaka Obor. 2015. Ricklefs, MC. Mengislamkan Jawa. Penerjemah: FX Dono Sunardi & Satrio Wahono. Jakarta: Serambi. 2013. Ricklefs, MC. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Penerjemah: Tim Penerjemah Serambi. Jakarta: Serambi, 2008 Roem, Mohamad. Bunga Rampai Dari Sejarah 3. Jakarta: Bulan Bintang. 1983. Rosenthal, E.I.J. Political Thought in Medieval Islam: an Introductory Outline. London: Cambridge University Press. 1962. Rush, James R. Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern. Penerjemah: Zia Anshor. Jakarta: Gramedia. 2017. Hamka, Rusydi. Buya Hamka. Jakarta: Noura. 2016. Sahal, Akhmad. ‚Khilafah: Antara Api Islam dan Abunya.‛ Dalam Komaruddin Hidayat ed. Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila. Bandung: Mizan. 2014. Saleh, Fauzan. Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta: Serambi. 2004. Simatupang, Iwan. ‚Ceramah Sastra Hamka: Kisah Dari Suatu Kepengarangan Berdasarkan Cinta.‛ Dalam Solichin Salam dkk (ed). Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1979.

229

Sirry, Mun’im. Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik Al-Qur’an Terhadap Agama Lain Jakarta: Gramedia. 2012. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press. 1993 Sjamsuddin, Nazaruddin. PNI dan Kepolitikannya. Jakarta: Rajawali, 1984 Smith, Edward C. Pembreidelan Pers Di Indonesia. Penerjemah Atmakusumah, dkk. Jakarta: Pustaka Grafiti. 1986. Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19. Jakarta: Bulan Bintang. 1984. Sudibyo. Dalam Bayang-bayang Kolonialisme: Filologi dan Studi Sastra. Yogyakarta: FIB UGM, 2009. Suhelmi, Ahmad. Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir. Jakarta: Teraju. 2002. Suja’i, Achmad. ‚Konsep Khilafah Dalam Tafsir Sayyid Quthb dan Tafsir Hamka.‛ Disertasi. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2000. Suminto, H Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES. 1985. Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani. 2014. Syaifullah. Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi. Jakarta: Grafiti. 1997. Syam, Firdaus. Yusril Ihza Mahendra: Perjalanan Hidup, Pemikiran, dan Tindakan Politik. Jakarta: Dyatama Milenia. 2004. Syamsuddin, M Din. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos. 2001 Syukur, Yanuardi dan Arlen Ara Guci. Buya Hamka: Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama. Solo: Tinda Medina. 2017. Tamara, Nasir, Buntaran Sanusi, dan Vincent Djauhari (ed). Hamka Di Mata Hati Umat. Jakarta: Sinar Harapan. 1983 Tempo, Tim. Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim. Jakarta: Tempo & KPG. 2011. Thaba, Abdul Azis. Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Tibbi, Bassam. Islam’s Predicament with Modernity: Religious Reform and Cultural Change. London & New York: Routledge. 2009. Tim Penulis. Ensiklopedia Buya Hamka. Jakarta: Suara Muhammadiyah. 2019. Wahid, Abdurrahman (ed). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: . 2009. Watt, W Montgomery. Islamic Political Thought. Edinburgh: Edinburh University Press. 2003. Wilson, Erin K. After Secularism: Rethinking Religion in Global Politics. New York: Palgrave MacMillan. 2012. Yusuf, M Yunan. ‚Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Tentang Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam.‛ Disertasi. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1989 Zallum, Abd al-Qadim. Democracy is a System of Kufr: It is Forbidden to Adopt, Implement or Call for It. Ttemp.: al-Khilafah Publication. 1995 Zallum, Abd al-Qadim. Nid}a>m al-H}ukm fi al-Isla>m. Ttemp: Hizb al-Tahrir. 2002.

2. Artikel Jurnal dan Konferensi/Seminar Abdullah, Abdul Hafiz bin & Mohd Ya’qub Zulkifli bin Mohd Yusoff. ‚Islam dan Keadilan Sosial Menurut Pandangan Hamka Dalam Tafsir al-Azhar: Tumpuan Khusus Kepada Kepentingan Zakat.‛ Seminar Sarantau Islam & Kesejahteraan Sejagat, Fakultas Usuluddin, Universiti Islam Sultan Sharif Ali, Brunei Darussalam, 24- 25 Februari 2010.

230

Abdillah, Masykuri. ‚Hubungan Agama Dan Negara Dalam Konteks Modernisasi Politik Di Era Reformasi‛. Ahkam. Vol. XIII, No. 2 (Juli 2013). h. 247-258 Ali, Muhamad. ‚The Rise of Liberal Islam Network (JIL) in Contemporary Indonesia.‛ The American Journal of Islamic Social Sciences. 22:1 (winter 2005). h. 1-26. Ali, Fachry. ‚Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendahuluan Riwayat dan Perjuangannya.‛ Prisma. No 2, Tahun XII (Pebruari 1983). h.48-60 Amir, Ahmad N., Abdi O. Shuriye, & Ahmad F. Ismail. ‚Muhammad Abduh’s Contributions To Modernity.‛ Asian Journal Of Management Sciences And Education. Vol. 1, No. 1 (2012). h. 63-75 Amir, Ahmad N., Abdi O. Shuriye, & Jamal I. Daoud. ‚Muhammad Abduh’s Influence in Southeast Asia.‛ Middle-East Journal of Scientific Research. Vol. 13 (2013). h. 124-138 As’ad, Mahrus. ‚Pembaruan Pendidikan Islam KH Hasyim Asy’ari.‛ Tsaqafah. Vol 8, No 1 (2012). h. 105-134 As’ad, Muhammad. ‚Official Ulama in Indonesian Politics: Study on the Attitudes of the Indonesian Council of Ulama in the General Elections.‛ International Conference Is Indonesian Islam Different? Islam in Indonesia in an International Comparative Perspective, Jakarta, 24-26 Januari 2011 Azra, Azyumardi. ‚Book Review: Islamisasi Jawa.‛ Studia Islamika. Vol 20. No 1 (2013). h. 169-178 Bruinessen, Martin van. ‚Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Soeharto Indonesia.‛ South East Asia Reseach. Vol 10, No 2 (2002), 117-154 Burhanuddin, Nunu. ‚Konstruksi Nasionalisme Religius: Relasi Cinta dan Harga Diri Dalam Karya Sastra Hamka.‛ Episteme. Vol 10, No 2 (2015), h. 353-384 Burhanudin, Jajat. ‚Islam dan Negara Bangsa: Melacak Akar-akar Nasionalisme Indonesia.‛ Studia Islamika. Vol 11. No. 1 (2004). h. 171-175. El Moudden, Abderrahmane. ‚The Idea of the Caliphate between Moroccans and Ottomans: Political and Symbolic Stakesin the 16th and 17th Century-Maghrib.‛ Studia Islamika. No. 82 (1995), h. 103-112. Fata, Ahmad Khoirul & Fauzan. ‚Kritik ‘INSIST’ Terhadap Gagasan Pluralisme Agama.‛ Kalam. Vol 11, No 1 (2017), 31-56 Fata, Ahmad Khoirul. ‚Membangun Sains Berbasis Iman.‛ Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XXII, Surabaya, 5-8 November 2012. Fata, Ahmad Khoirul & Siti Mahmudah Noorhayati. ‚Sekularisme dan Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer.‛ Madania. Vol. 20, No 2 (Desember 2016). Fata, Ahmad Khoirul. ‚Hadits Ghadir Khum: Mandat Kepemimpinan Untuk Ali?.‛ Jurnal Studi Islam. Vol II, No 3 (2017). h. 71-90 Fata, Ahmad Khoirul. ‚Kepemimpinan dalam Perspektif Pemikiran Politik Islam.‛ Jurnal Review Politik. Vol 02, No. 01 (2012). h. 1-15 Fauzan, Pepen Irpan & Ahmad Khoirul Fata. ‚Portraying Political Polarization in Persatuan Islam in the Case of Mohamad Natsir vs Isa Anshari.‛ Journal of Contemporary Islam and Muslim Society. Vol. 3, No 2 (2019). h. 205-232 Fauzi, Wildan Insan. ‚Hamka Sebagai Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) Dalam Menghadapi Masalah Sosial Politik Pada Masa Orde Baru 1975-1981.‛ Factum. Vol 6, No 2 (Oktober 2017). h. 278-295 Fuad, Fokky. ‚Kehancuran Nilai Kemanusiaan Reaktualisasi Pemikiran Hamka Dalam Hukum.‛ Lex Jurnalica. Vol 13. No 1 (2016), h. 35-45. Fuad, Fokky. ‚Moral Hukum dan Nilai-nilai Kebangsaan: Sebuah Refleksi Pemikiran Buya Hamka.‛ Mimbar Demokrasi. Vol 16. No 1 (2016), h. 71-85

231

Haddad, Mahmood. ‚Arab Religious Nationalism In The Colonial Era: Rereading Rashid Rida's Ideas On The Caliphate.‛ Journal of the American Oriental Society. Vol. 117, No. 2 (April - Juni 1997), h. 253-277 Hilmi, Masdar. ‚Akar-akar Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).‛ Islamica. Vol 6, No 1 (2011), h. 1-13 Hosen, Nadirsyah. ‚Behind The Scenes: Fatwas of the Majelis Ulama Indonesia (1975- 1998).‛ Journal of Islamic Studies. 15/2 (2004), h. 147-179 Husda, Husaini. ‚Islamisasi Nusantara: Analisis Terhadap Discursus Para Sejarawan.‛ Adabiya. Vol 18, No 35 (2016), h. 17-30 Ilyas, Ahmad Fauzi. ‚Syekh Ahmad Khatib Minangkabau Dan Polemik Tarekat Naqsyabandiyah Di Nusantara.‛ Journal Of Contemporary Islam And Muslim Societies. Vol. 1, No. 1 (2017), h. 86-112. Indrawati, Nadia Nur. ‚Peran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi 1860-1916 M Dalam Islamisasi Nusantara.‛ Tamaddun. Vol. 4. No 1 (2016). h. 177-200. Ismail, Faisal. ‚The Nahdlatul Ulama: Its Early History and Contribution to the Establishment of Indonesia State.‛ Journal of Indonesian Islam. Vol 5. No 2 (2011). h. 248-282 Jalil, Muhammad Hilmi dan Fakhrul Adabi Abdul Kadir. ‚Kepentingan Kesihatan Diri Dalam Pembangunan Insan: Analisis Karya Falsafah Hamka.‛ Jurnal Hadari. Vol 5. No 2 (2013), h. 69-84 Zarkasyi, Hamid Fahmy. ‚Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam.‛ Islamia. No 2, Tahun II (2005), h. 9-20 Maksum, Ali. ‚Diskursus Islam dan Demokrasi di Indonesia Kontemporer: Telaah Pemikiran dan Hizbut Tahrir Indonesia.‛ Proceedings Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XII. Surabaya tgl 5- 8 November 2012, h. 2340-2361. Mantovani, Sarah Larasati & M Abdul Fattah Santoso. ‚Pemikiran Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) Tentang Partisipasi Politik Perempuan di Tahun (1949-1963).‛ Profetika. Vol 16. No 1 (2015), 83-92. Margono, Hartono. ‚KH Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan Awal dan Kontemporer.‛ Media Akademika. Vol 26. No 3 (2011). h. 335-349 Muzakki, Akh. ‚Perseteruan Dua kutub Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer: Jaringan Islam Liberal dan Media Dakwah.‛ Jurnal Universitas Paramadina. Vol 3. No 1 (2003), h. 40-62 Najib, Muhammad Ainun. ‚NU. Soekarno. dan Staat Islam: Wacana Negara Islam dalam Berita Nahdlatoel Oelama BNO.‛ Ahkam. Vol. 5. No 1 (Juli 2017). Najjar, Fauzi M. ‚Islam and Modern Democracy.‛ The Review of Politics. Vol 20. No 2 (April 1958), h. 164-180 Nashir, Abdul. ‚Buya Hamka dan Mohammad Natsir Tentang Pendidikan Islam.‛ At- Ta’dib. Vol 3. No 1 (Shafar 1428), h. 59-81. Osman, Mohamed Nawab Mohamed. ‚The Transnational Network of Hizbut Tahrir Indonesia.‛ South East Asia Research. Vol 8 No 4 Special Issue (Dec 2010), h. 735-755. Rahman, Rini. ‚Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20 Studi Kasus Sumatera Barat.‛ Humanis. Vol XIV. No 2 (2015), h. 174-182 Rowi, M Roem. ‚Hamka Wujuduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim bi Indunisiy fi Kitabih al- Azhar.‛ Journal of Indonesian Islam. Vol 03. No 2 (2009), h. 421-451 Samsuri. ‚Komunisme Dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi.‛ Millah. Vol 1. No 1 (Agustus 2001).

232

Shobahussurur. ‚Relasi Islam dan Kekuasaan Dalam Perspektif Hamka.‛ Jurnal Asy- Syir’ah. Vol 43, No 1 (2009), h. 231-245 Sidik. ‚Deradikalisasi Pemaknaan Negara dan Jihad Dalam Tafsir Al-Azhar.‛ Jurnal Analisa. Vol 19, No 1 (2012), h. 69-82 Sirry, Mun'im. ‚Fatwas and their controversy: The case of the Council of Indonesian Ulama (MUI),‛ Journal of Southeast Asian Studies. Vol. 44, No. 1 (Pebruari 2013), h. 100-117. Sukamto, Amos. ‚Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lama Sampai Awal Orde Baru.‛ Jurnal Teologi Indonesia. Vol 1, No 1 (Juli 2013), h. 25-47 Syafi’i, Abdul Manan. ‚Pengaruh Tafsir al-Manar Terhadap Tafsir al-Azhar.‛ Miqot, Vol. XXXVIII, No 2 (Juli-Desember 2014), h. 263-275 Syukur, Abdul. ‚Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Agama (Kajian Atas Relasi Agama dan Negara).‛ Sosio-Politica. Vol. 1, No 2(Juli-Desember 2012), h. 1-13 Tahzeeb, Sana. ‚A Comparative Study of Islam and Modern Democratic Ideals.‛ Journal of Islamic Studies and Culture. Vol 2. No 1. (March 2014), h. 47-54. Taufiq, Imam. ‚Membangun Damai Melalui Mediasi: Studi terhadap Pemikiran Hamka Dalam Tafsir al-Azhar.‛ Jurnal al-Tahrir. Vol 14. No 2 (2014), h. 297-320 Vogg, Kevin W. ‚Hamka’s Doctoral Address at Al-Azhar: The Influence of Muhammad Abduh in Indonesia.‛ Afkaruna. Vol. 11, No 2 (2015), h. 125-126 Wahid, Abdul. ‚Sosial Politik Dalam Tafsir Hamka.‛ Conference proceedings, Ar-Raniry International Conference on Islamic Studies (ARICIS) I, Banda Aceh 26-27 Oktober 2016. h. 328-340 Wahid, Din. ‚PhD Thesis Summary: ‘Nurturing Salafi Manhaj: A Study of Salafi Pesantren in Contemporary Indonesia.‛ Wacana. Vol 15. No 2 (2014), h. 367-376 Wahid, Din. ‚The Challenge of Democracy in Indonesia: The Case of Salafi Movement.‛ Islamika Indonesia. Vol I. No 1 (2014), h. 51-64 Washil, Izzuddin dan Ahmad Khoirul Fata. ‚Hadis Gadir Khum Dalam Pandangan Syiah dan Sunnah.‛ Al-Dzikra. Vol 12. No 1 (2018). h. 51-74 Washil, Izzuddin dan Ahmad Khoirul Fata. ‚HAM Islam dan Duham PBB: Sebuah Ikhtiar Mencari Titik Temu.‛ Miqot. Vol XLI. No 2 (Juli-Desember 2017). Yaakob, Zul `Azmi. ‚Falsafah Alam Dalam Konteks Falsafah Ketuhanan Menurut Hamka.‛ International Journal of Islamic Thought. Vol 1 (June 2012), h. 74-86. Yakin, Ayang Utriza. ‚Islamisasi dan Syariatisasi Samudera Pasai Abad ke 14 M‛. Islamica. Vol 9 No 2 (2015). h. 270-294 Yusoff, Zulkifli Mohd dan Abdullah, Abdul Hafiz. ‚Pemimpin Menurut Pandangan Hamka: Satu Tinjauan Dalam Tafsir Al-Azhar.‛ Jurnal Al-Tamaddun, Vol 8, No 1 (2013), h. 17-38. Zakariya, Hafiz. ‚Islamic Reform in Malaya: The Contribution of Shaykh Tahir Djalaluddin.‛ Intellectual Discourse. Vol 13. No 1 (2005). h. 49-72.

3. Koran, Majalah, dan Media Online ‚Pemberontakan Separuh Jalan.‛ Tempo. Edisi Khusus Kemerdekaan (13-19 Agustus 2007). Abdullah, Taufik. ‚Demokrasi Parlementer, Optimisme Yang Terabaikan.‛ Dalam Tempo, edisi khusus Kemerdekaan (13-19 Agustus 2007). Hanggoro, Hendaru Tri. ‚Menjajal Medan Konstituante.‛ Dalam Historia, No 21. Tahun II (2015). Hanggoro, Hendaru Tri. ‚Sekolah Islam ala Hamka.‛ Dalam Historia, No 21. Tahun II (2015).

233

Isnaeni, Hendri F. ‚Himpunan Seni Budaya Islam: Melawan Lekra, Menghalalkan Seni.‛ Dalam Historia, No 16. Tahun II (2013). Isnaeni, Hendri F. ‚Trio Masyumi dalam PRRI.‛ Dalam Historia, No 16. Tahun II (2013). Madjid, Nurcholish. ‚Natsir itu Tulus Kepada Pancasila.‛ Dalam Harmonis, No 431 (Maret 1993). Mukhti, MF. ‚Di Balik Jerajak Besi Penguasa.‛ Dalam Historia, No 21, Tahun II (2015) Mukthi, MF. ‚Di Balik Jerajak Besi Penguasa.‛ Dalam Historia, No 21. Tahun II (2015). Triyana, Bonnie. ‚Ikhtiar Terhenti di Konstituante.‛ Dalam Historia, No 16. Tahun II (2013). Widjajanto, Andi. ‚Nasution. Jalan Tengah. dan Politik Militer.‛ Dalam Tempo, edisi Khusus Kemerdekaan (13-19 Agustus 2007).

234

GLOSARIUM ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (R)APBN : (Rencana) Anggaran Pendapatan Belanja Negara BMKII : Musyawarah Kebudayaan Islam Indonesia BMKN : Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional BPNK : Badan Pengawal Negeri Dan Kota BPUPK : Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan DDII : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia DI/TII : Darul Islam/Tentara Islam Indonesia DPA(S) : Dewan Pertimbangan Agung (Sementara) DPR : Dewan Perwakilan Rakyat DPR-GR : Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong DPRS : Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DU)HAM : (Deklarasi Universal) Hak Asasi Manusia Dwi Tunggal : Soekarno-Hatta FPN : Front Pertahanan Nasional GAPI : Gabungan Politik Indonesia GBHN : Garis-garis Besar Haluan Negara GPII : Gerakan Pemuda Islam (Indonesia) GPPs : Gerakan Pembela Pancasila HAKA : Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) HSBI : Himpunan Seni Budaya Islam HT/HTI : Hizbut Tahrir/ Hizbut Tahrir Indonesia Icoma : Ikatan Comunis Muda IPKI : Ikatan Pembela Kemerdekaan Indonesia ISBM : Ikatan Seni Budaya Muhammadiyah ISDV : Indische Sociaal Democratische Vereeniging JAT : JIB : Jong Islamieten Bond JIL : Jaringan Islam Liberal KITLV : Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde KNIP : Komite Nasional Indonesia Pusat Lekra : Lembaga Kebudayaan Rakyat Lesbumi : Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Manipol-USDEK: Manifesto Politik- UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional MASBI : Majelis Seni Budaya Islam Masyumi/Masjumi: Majelis Syura Muslimin Indonesia MIAI : Majelis Islam A’la Indonesia MMI : Majelis Mujahidin Indonesia MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat MPRS : Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara MUI : Majelis Ulama Indonesia MURBA : Musyawarah Rakyat Banyak NASAKOM : Nasionalis, Agama, Komunis NGB : Nedherlandch Bijbblegenootschap/Persekutuan Injil Belanda (PB) NU : (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama P4 : Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila Pangkopkamtib : Panglima Komando Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban Parindra : Partai Indonesia Raya

235

Parkindo : Partai Kristen Indonesia Parmusi : Partai Muslimin Indonesia PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa PBI : Partai Buruh Indonesia PEPERDA : Penguasa Perang Daerah PEPERPU : Penguasa Perang Pusat PERSIS : Persatuan Islam PERTI : Persatuan Tarbiyah Islamiyah PGAI : Persatuan Guru-guru Agama Islam PII : Partai Islam Indonesia PKI : Partai Komunis Indonesia PMP : Pendidikan Moral Pancasila PNI : Partai Nasional Indonesia PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPP : Partai Persatuan Pembangunan PRI : Partai Rakyat Indonesia PRRI : Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia PSI : Partai Sosialis Indonesia PSII : Partai Syarikat Islam Indonesia PUI : Persatuan Umat Islam PUSA : Persatuan Ulama Seluruh Aceh PUSROH : Pusat Rohani SDI/SI : Sarikat Dagang Islam/Sarekat Islam Shumubu : Kantor Urusan Agama Zaman Jepang SIS : Studenten Islam Studieclub SOB : Staat Von Orloog En Beleg/ Negara Dalam Keadaan Darurat TNI-AD : Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Darat UMI : Universitas Muslim Indonesia Volksraad : Dewan Rakyat zaman Hindia Belanda

236

INDEKS

1 Juni 1945 ...... 159 Aisyah Aminy ...... 189 22 Juni11, 36, 51, 146, 147, 154, 159, akal budi ...... 196, 197 160, 162 akhlak ...... 33, 52, 53, 91, 122, 193 a ‘decade of ideologies ...... 137 akidah19, 52, 53, 66, 91, 114, 129, 183, A Hassan ...... 51, 94, 95 200 A Muchlis ...... 94 Akidah ...... 52, 91 A Rahim Mufty ...... 186 Akram ...... 14, 15 Abad Pertengahan ...... 70, 79 Aksara Jawi ...... 110 Abd al-Qadim Zallum...... 19 Aksara Melayu ...... 110 Abduh ...... 18, 22, 30, 43, 48 Al-Afghani ...... 18, 43 Abdul Gaffar Snauk al Hulandy ...... 103 Alamsjah ...... 210, 211 Abdul Hamid ...... 66 Alamsjah Ratu Prawiranegara ...... 210 Abdul Karim Amrullah10, 38, 39, 116, al-Anwar al-Muhammadiyah ...... 39 183 al-Aqsa ...... 66 Abdulkadir Munsyi ...... 110 alat ekonomi ...... 125 Abdullah bin Umar ...... 129 al-Azhar6, 8, 28, 46, 100, 107, 108, 175, Abdullah Said Patmadji ...... 186 182, 187, 195, 198, 205 Abdullah Sjahir ...... 189 Alfonso d’Albuquerque ...... 100 Abdullah SP ...... 186 al-h}aqq ...... 197 Abdullah Syafii...... 202, 206 Ali6, 16, 19, 22, 30, 34, 40, 41, 43, 44, Abdurrahman Syihab ...... 45 55, 56, 62, 77, 87, 94, 106, 107, 108, Abdurrauf As-Singkili ...... 110 137, 138, 184, 188, 203, 204, 210 Abikoesno Tjokrosoejoso ...... 135 Ali Abd al-Raziq..... 30, 94, 106, 107, 108 Abikusno Tjokrosujoso ...... 137 Ali Akbar ...... 119 Aboebakar Atjeh ...... 189 Ali Audah ...... 186 Abu Bakar ...... 47, 55, 56, 80, 86 Ali Sastroamidjojo ...... 171, 184 Aceh ...... 8, 69, 103, 109, 111, 148, 156 Alim ...... 57, 92, 202 Achmad Soebardjo ...... 177 Acoma ...... 147 Aliran Kepercayaan ...... 164, 207 Adam ...... 39, 43, 64, 65, 81, 211 Al-Irsyad ...... 135 AD-ART ...... 139 Al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm ...... 106 Adat Minangkabau ...... 47 Al-Ittihadiyah ...... 135 Adnan Buyung Nasution .... 146, 147, 172 Aliyah ...... 40 Adventis ...... 207 Al-Jam’iyatul Washliyah ...... 135 Afif ...... 40 Al-Kawakibi ...... 16, 17 Agama dan negara .. 28, 29, 51, 53, 94, 99 Al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n ...... 29, 80, 116 Agus Salim34, 41, 44, 47, 51, 73, 119, Allahu Akbar ...... 101 135, 162, 183 Al-Mahdi ...... 47 AH Nasution ...... 149, 171, 172, 188, 189 Al-Majdulin ...... 186 Ahem ...... 172 Al-Manar ...... 43 Ahl al-h}all wa al-`aqd ...... 90 Al-Manfaluthi ...... 42, 186 Ahl al-Kita>b ...... 129 Al-Mawdudi ...... 30, 31 Ahmad Dahlan ...... 115 Al-Qur’an10, 13, 19, 21, 23, 28, 31, 39, Ahmad Dasuki Siradj ...... 186 40, 52, 53, 54, 57, 58, 59, 66, 86, 87, Ahmad Husein ...... 171 89, 91, 104, 109, 111, 112, 114, 117, Ahmad Sjaichu ...... 36 121, 125, 127, 130, 157, 161, 196, 208, Ahmadiyah ...... 136 209

237

Al-Radd ``ala> al-Dahriyyi>n ...... 118 Azra ...... 13, 15, 17, 19, 101 Amerika16, 21, 48, 62, 72, 91, 100, 122, Azyumardi Azra13, 15, 17, 18, 20, 29, 127, 179 101 Amir Shaqib Arselan ...... 40 Baabullah ...... 69 Amir Syarifuddin ...... 138 Badan Konsultasi Antar Umat Beragama Amiruddin ...... 206 ...... 212 An historical accident ...... 136 Badan Musyawarah Kebudayaan An historical necessity ...... 136 Nasional (BMKN) ...... 190 Anak Agung Gde Agung ...... 26, 177, 190 Badan Pengawal Negeri dan Kota ...... 133 Anas Ma’ruf...... 186 Badan Pengawas Penertiban Aparatur Anggaran Dasar ...... 134, 136 Negara...... 173 Anggaran Rumah Tangga ...... 136, 224 Badan Penyelidik Usaha-usaha Anggota istimewa134, 135, 136, 140, Kemerdekaan ...... 51, 145 141, 143, 144 Badan Perancang Nasional ...... 173 Anggota perorangan ...... 144 Badi’ ...... 38 Anggota teras ...... 144 Baghdad ...... 80 Angkatan Darat ...... 176, 188, 189, 195 Bagindo Ali ...... 194 Animisme–Dinamisme ...... 162 Bahasa Arab ...... 17, 112 Anshar ...... 61, 86 Bahasa Belanda ...... 113 Anti Tuhan ...... 119, 148, 183, 185 Bahasa daerah ...... 111, 156 Anwar Nasution...... 169, 170 Bahasa Indonesia ...... 112, 164 Anwar Tjokroaminoto ...... 135, 140 Bahasa kebangsaan ...... 111, 157 APBN ...... 181 Bahasa Melayu ... 110, 111, 112, 113, 156 Aqidah ...... 7, 10 Bahasa nasional ...... 111, 156 AR Baswedan ...... 185 Bahder Djohan ...... 105, 140, 177 AR Fachruddin ...... 144 Bahrum Rangkuti ...... 189 AR Sutan Mansur44, 45, 51, 76, 133, Bahtiar Effendy ...... 3, 26, 28, 35 146 Bajasut ...... 134, 136, 150, 155, 159 Arab16, 17, 18, 22, 28, 30, 38, 39, 42, 47, Baldat t}ayyibat wa rabb g}afu>r ...... 91 48, 54, 59, 61, 62, 65, 68, 72, 92, 93, Bangsa Islam ...... 59, 60, 66 95, 100, 106, 110, 111, 112, 156, 157, Bani Abbas ...... 80 179, 192 Bani Abbasiyah ...... 56, 80 Aria ...... 62 Bani Hasyim ...... 92 Arnold Toynbee ...... 124 Bani Umayah ...... 29, 56, 92 Ar-Raniri ...... 110 Bani Umayyah ...... 29, 80 Arsyad Banjar ...... 110 Banjarmasin ...... 109, 156 Artawijaya ...... 135, 137, 169, 174 Banten ...... 69, 109, 136, 148 as}a>biyah jinsiyah ...... 61 Banyumas ...... 170 as}a>biyyah ...... 61, 68 Baqa’ ...... 198 As}a>biyyah ...... 61 Barat3, 5, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 22, As}a>biyyah ja>hiliyyah ...... 61 28, 30, 31, 32, 33, 34, 38, 42, 43, 45, Ashabiyah ...... 76 48, 54, 58, 62, 66, 67, 69, 70, 72, 78, Ash-Shirat ilal Jahim ...... 153 79, 83, 90, 91, 94, 95, 96, 97, 98, 99, Ash-Shirathal Mustaqim ...... 152 100, 101, 102, 103, 105, 106, 107, 108, Asosiasi ...... 21, 101 109, 111, 113, 114, 122, 126, 127, 133, Assertive secularism ...... 96 135, 148, 166, 167, 179, 180, 183, 184, Ateis ...... 120, 121, 124 185, 190, 194 Ateisme ...... 125 Baroroh Baried ...... 189 Aufklarung ...... 98 Batak ...... 69, 194, 208 Azizah ...... 40 Batavia...... 103

238

Bayan ...... 38 Declaration des droits de l’ homme et du Belanda19, 32, 42, 45, 62, 69, 70, 72, citoye ...... 127 101, 103, 109, 111, 112, 117, 123, 133, Declaration of Independence ...... 127 136, 139, 142, 184 Dekrit Presiden25, 35, 36, 149, 154, 159, Bendera Islam ...... 41, 119 164, 171, 175, 176 Berita Minggu ...... 186 Deliar Noer11, 25, 26, 27, 32, 34, 74, 75, Berita Nahdlatoel Oelama ...... 94, 95 76, 134, 135, 136, 137, 138, 140, 141, berjiwa agama ...... 57 142, 161, 171, 172, 173, 174, 175, 176, berpolitik lewat jalur dakwah ...... 206 182, 183 Bibel ...... 62 Demak...... 81 Bid’ah ...... 31, 114 Demokrasi4, 5, 12, 15, 19, 20, 21, 22, 23, Bill of Rights ...... 127 26, 30, 31, 32, 36, 46, 57, 58, 79, 80, Bima Sakti ...... 194 81, 83, 84, 86, 87, 91, 96, 120, 138, Bintang Islam ...... 47 147, 149, 150, 151, 154, 160, 164, 165, Bintang Timur ...... 186 166, 167, 168, 170, 171, 180, 181, 185, BMKII ...... 190 186, 199 BMKN ...... 190 Demokrasi karya ...... 165 BNO ...... 94, 95 Demokrasi Kita ...... 26, 48, 181, 182 Borjuis ...... 98, 120, 122, 124, 186 Demokrasi liberal ...... 165, 167 BPNK ...... 133 Demokrasi sentralisme ...... 167 BPUPK ...... 35, 51, 137, 145, 159 Demokrasi Takwa ...... 58, 81, 91, 116 Buddha ...... 72, 179, 194 Demokrasi Terpimpin4, 25, 26, 46, 136, Budi daya ...... 196 151, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, Bulan sabit ...... 69, 73, 75 171, 172, 173, 174, 175, 181, 182, 185, Bumiputera ...... 62 188, 189, 235 Bung Hatta ...... 70, 177 Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Bung Karno ...... 70, 121, 145 Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya ...153 Burhanuddin Harahap ...... 146 Departemen Agama ...... 46 Bustami Ibrahim ...... 45 Dewa Ruci ...... 194 Cahaya iman ...... 71 Dewa-dewa ...... 81, 82 Cahaya Sumatra ...... 41 Dewan Banteng ...... 171 Ceramah Sastra Hamka ...... 197 Dewan Gajah ...... 171 Chanafiah...... 169 Dewan Masjid Indonesia ...... 202 Chauvinisme ...... 71 Dewan Menteri ...... 165 Chokan ...... 133 Dewan Nasional...... 25, 168, 172, 173 Cirebon ...... 40, 205 Dewan Partai ...... 134, 157 Da>r al-h}arb ...... 15 Dewan Pembelaan ...... 133 Da>r al-Isla>m ...... 15, 55 Dewan Penasehat Sumatera Timur ....133 Da>r al-Sala>m ...... 55 Dewan Perjuangan Semesta ...... 171 Dachlan Lukman ...... 150 Dewan Pertimbangan Agung 25, 173, 174 Dakwah . 6, 27, 36, 93, 121, 154, 191, 212 Dewan Perwakilan Rakyat25, 37, 90, Dalailul Khairat ...... 70 134, 172 Darmoyuwono ...... 209 Dewan Rakyat ...... 74 Darsono ...... 123 DI ...... 35, 142, 185, 186 Darul Islam ...... 35, 55, 118, 185, 186 DI/TII...... 185, 186 Darwin ...... 81, 121, 122 Dialah kebenaran itu...... 198 Dasawarsa ideologi ...... 2, 50 diktator proletar...... 124 Dasuki Siradj ...... 186 diktator proletariat ...... 120 Daud ...... 56 diktatorisme ...... 167 DDII ...... 27 Din Syamsuddin ...... 27, 29, 30

239

Din Wahid ...... 20 Fatimiyyah ...... 80 Dinas Rawatan Rohani Islam ABRI ... 202 Fatwa MUI ...... 206, 212, 213 Diniyah School ...... 40 Federasi ...... 74, 136, 143, 191 Diplomasi ...... 15, 45, 156 Fikih...... 57 Diponegoro ...... 69, 148, 195 Fikih...... 38, 156 Djamaludin Malik ...... 177 Filsafat10, 84, 90, 98, 111, 122, 123, Djamil Jambek ...... 135 194, 196, 197 Djarnawi Hadikusuma ...... 145, 164 Fir’aun ...... 56, 62 Djawi Hisworo ...... 51 Formatur ...... 133, 139, 140, 171, 181 Djuanda140, 149, 150, 165, 166, 169, FPN ...... 46, 133, 184 170, 171, 181 Fraksi Republik Proklamasi ...... 147 Doktor Honoris Causa ...... 48 Front Anti Komunis ...... 184 DPA Sementara ...... 173 Front Nasional ...... 165, 168, 169, 173 DPA-S ...... 173, 174 Front Pertahanan Nasional ... 46, 133, 184 DPR25, 36, 90, 134, 139, 154, 155, 165, Fundamentalisme11, 12, 22, 34, 35, 36, 168, 172, 173, 181, 209 134, 135, 137, 138, 140, 152, 155, 157, DPR-GR ...... 25, 155, 172 158, 159, 183, 184, 185, 186 Drama ...... 195 GAPI ...... 74 DUHAM ...... 127, 130, 131 Garis-garis Besar Haluan Negara Dunia Islam ...... 67, 81, 99 (GBHN) ...... 27, 174 Dwi Tunggal ...... 70, 168 GAS ...... 182 Eka Sila ...... 160 GBHN ...... 27, 174 Ekonomi23, 26, 28, 50, 65, 70, 96, 99, Gema Islam9, 46, 48, 71, 101, 187, 188, 112, 115, 120, 125, 126, 147, 165, 166, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195 181, 196 Gerakan Pembela Pancasila ...... 160 Ekonomi Terpimpin ...... 174, 235 Gerakan Pembela Pancasila (GPPs) ...169 El Yunusy ...... 40, 41 Gerakan Pemuda Islam Indonesia ...... 141 Empat khalifah utama23, 79, 80, 89, 106, Gereja58, 78, 96, 98, 99, 106, 122, 123, 116 208 Enayat ...... 15, 18, 22, 23, 90 Ghazali ...... 190, 198, 219 Endang Saefuddin Anshari11, 36, 51, Ghazw al-Fikr ...... 105 108, 146, 147, 154, 159, 160 Golkar ...... 27, 206 Engels ...... 120, 125, 183 Golongan fungsional...... 168, 172 Engku Muaro ...... 40 Golongan kepala batu ...... 173 Era Kegelapan ...... 98 GPII ...... 141 Eropa14, 15, 16, 18, 30, 45, 62, 66, 69, Greg Fealy ...... 139, 141 78, 79, 94, 98, 109, 122, 123, 130 H Abdul Halim Hasan ...... 45 Fadhlullah ...... 110 H Djuanda ...... 36, 165, 167 Fakhri...... 40 H Fakhruddin ...... 43 Fakih Usman48, 135, 140, 177, 178, 187, H Fakhrudin ...... 51, 133 188, 189, 209 H Mukhtar Lutfi ...... 76 Falsafah ...... 44, 162, 163, 191 Habib Habsyi ...... 206 Fana> ...... 197, 198 Hafiz Ibrahim...... 42 Fanatik ...... 69, 75, 83, 100, 104 Haji ...... 38, 53, 54, 65, 72 Fanatisme agama ...... 99 Haji Ilyas Yakub ...... 76 Farid Ma’roef ...... 75 Haji Rasul ...... 39, 76 Farid Ma’ruf ...... 145 Haji Wada’ ...... 65 Fasiq ...... 53 Hak Asasi Manusia ...... 4, 126, 127 Fathimah ...... 39 Hak berpindah agama ...... 127, 130, 131 Fathiyah ...... 40 HAKA...... 39, 116, 117, 183

240

HAM ...... 31, 126, 127 Ibadah33, 38, 53, 54, 58, 65, 66, 76, 114, Hamzah Fansuri ...... 110 115, 175, 177, 180, 193, 199, 212 Harian Abadi ...... 145, 182 Ibn Saud ...... 66 Harian Indonesia Raya ...... 182 Ibn Taymiyah ...... 20 Harian Pedoman ...... 182 Ibnu Saud ...... 41, 107 Harry Chan ...... 209 Idealisme...... 23, 30, 37, 124, 214 Harsono Tjokroaminoto ...... 135 Identitas kebangsaan ...... 71 Hasyim Asy’ari ...... 135 Ideologi2, 3, 14, 17, 19, 21, 22, 26, 33, Hasyimiyah ...... 39 35, 50, 51, 62, 73, 95, 96, 119, 122, Hatta25, 26, 36, 48, 70, 71, 73, 75, 118, 125, 136, 137, 138, 145, 146, 147, 149, 137, 159, 162, 168, 170, 173, 176, 177, 157, 158, 174, 176, 179, 183, 184, 191, 181, 182, 186 200, 204 Hawa ...... 64 Ideologi negara ...... 3, 33, 51, 158 HB Jassin ...... 186 Ijtihad ...... 23, 56, 185, 194 Hegemoni ...... 14 Ijtihad ...... 139, 141 Hibah ...... 126 Ikhwanus Shafa ...... 45 Hijaz ...... 19, 20, 41, 92 Ilmu pengetahuan13, 15, 33, 79, 100, hijrah ...... 54, 93, 177, 182 103, 105, 106, 112, 114, 156, 189, 196, Hikmah9, 54, 73, 80, 111, 123, 124, 125, 197 136, 139, 140, 141, 142, 149, 158, 185, Ilmu Tafsir ...... 38 190, 195, 196, 198 Ilyas Ya’qub ...... 41, 119 Hilmi ...... 6, 30, 40 Imam Bonjol ...... 69, 70, 148 Himpunan Seni Budaya Islam187, 191, imperialisme13, 96, 99, 100, 122, 123, 192 124, 125 Hindia Baru ...... 41, 119 Imran Rosyadi ...... 189 Hindia Belanda ...... 18, 69, 107, 113 India ...... 17, 62, 80 Hindu63, 72, 75, 77, 81, 113, 179, 194, Indian ...... 72 210 Individualisme ...... 99, 123 Hindu-Buddha ...... 63 Indoktrinasi ...... 121, 175, 187, 204 Historis Materialisme ...... 125 Indonesia Raya ...... 68, 159 Hisyam...... 40 Infaq ...... 126 Hitler ...... 62 Infiltrasi ...... 18 Hizbullah ...... 133, 184 Inggris ...... 21, 42, 62, 102, 127 Hizbut Tahrir Indonesia ...... 30 Injil ...... 62, 209 HM Soedjak ...... 75 Instruksi Menteri Agama No 9/1978 ..211 HSBI ...... 187, 191, 192, 193, 194, 195 Instruksi Menteri Dalam Negeri...... 202 HT ...... 19, 20, 22, 30, 192 Integrasi negara dengan agama ...... 94 HTI ...... 30, 31 Inteligensia ...... 50, 51, 108, 119 Hubungan Agama-Negara ...... 51 IPKI ...... 147, 168, 176 Hukum Adat ...... 109 Iradah ...... 85, 193 Hukum Allah ...... 53, 109, 129 Iradat ...... 131, 132 Hukum Islam ...... 103, 109, 202 Irak ...... 76, 80 Hurgronje ...... 102 Iran ...... 19, 23 Huruf Arab...... 110, 111 Irfan ...... 40 Huruf Jawi ...... 111 Isa48, 67, 92, 93, 97, 129, 182, 184, 186, Huruf Latin ...... 111, 112 190 Huruf Melayu ...... 111 Isa Anshary ...... 177, 184, 186, 190 Huruf Pegon ...... 111 ISBM ...... 191 Husny al-Kharbuthly ...... 106 ISDV ...... 118 Isla>m ...... 19, 55, 61, 64

241

Islam adalah agama ...... 33, 53, 115 Kafir 20, 53, 101, 117, 128, 130, 183, 213 Islam Dalam Bahaya...... 121 Kafrawi ...... 206 Islam dan Demokrasi9, 10, 22, 23, 26, Kahar Muzakkir ...... 150, 154, 162 55, 56, 79, 80, 81, 83, 86, 89, 99, 116, Kairo ...... 107 135, 160 Kalam ...... 6, 30, 41, 156 Islam Dan Demokrasi ...... 48 Kalibata ...... 148 Islam dan kebangsaan ...... 76 kalimat syahadat ...... 52, 84 Islam dan Materialisme ...... 119 Kaliurang ...... 143 Islam dan Sosialisme ...... 119, 136 kama>l ...... 197 Islam sebagai dasar negara4, 35, 147, kapitalisme 12, 96, 99, 123, 124, 125, 191 149, 156, 158 kardinal ...... 78 Isra’ Mi’raj ...... 209 Karl Marx70, 118, 120, 122, 124, 125, istikharah ...... 204 183 Iwan Simatupang ...... 197 karsa ...... 131, 132, 193 jala>l ...... 197 Kartosoewirjo ...... 135, 185 jama>l ...... 197 Kasimo ...... 209 Jamaluddin al-Afghani ...... 18, 118, 119 Kasman Singodimedjo27, 119, 135, 182, Jamiyatul Washliyah ...... 140 186 JAWA ...... 72 Kasmat ...... 75 Jawa Tengah ...... 46, 131, 146, 191 Katolik96, 98, 99, 100, 130, 140, 149, Jawa Timur ...... 205, 213 159, 168, 176, 209, 211 Jawa-Banjar ...... 72 kaum buruh ...... 123, 124, 125 Jawa-Bugis ...... 72 Kaum Muda ...... 41, 43 Jawa-Madura ...... 72 Keadaan Darurat Perang ...... 171 Jawa-Mriki...... 72 Keadilan Sosial Dalam Islam2, 9, 54, Jawa-Padang ...... 72 160, 161 Jawa-Sunda ...... 72 kebangsaan2, 3, 4, 5, 7, 8, 11, 12, 16, 32, Jawi ...... 47, 72, 110, 111, 156 33, 37, 50, 51, 59, 60, 61, 62, 63, 64, Jean Paul Sartre ...... 121 67, 68, 71, 72, 73, 75, 76, 77, 78, 86, Jepang43, 45, 48, 133, 135, 136, 168, 111, 122, 137, 146, 156, 161 169, 170, 191 Kebangsaan8, 58, 59, 60, 61, 63, 64, 65, Jerman ...... 62, 124, 130 66, 68, 69, 71, 76, 159 JIB ...... 2, 75, 119, 133 kebendaan ...... 99, 120, 123, 132 jihad ...... 8, 13 kebudayaan14, 42, 63, 72, 73, 101, 105, jinayat ...... 53 110, 113, 114, 178, 179, 189, 190, 191, jiwa Islam ...... 66 193, 194, 195, 196, 197 John Locke...... 127 kebudayaan Indonesia ...... 63, 73 John Lockland ...... 127 kebudayaan Indonesia asli ...... 63 Jong Celebes ...... 72 kebudayaan Islam . 72, 178, 191, 193, 194 Jong Islamieten Bond (JIB) .... 2, 119, 133 Kejaksaan Agung ...... 174 Jong Java ...... 72, 119 kejawen ...... 159 Jong Sumatera ...... 72 Kejawen ...... 72, 159, 194 Junan Helmy ...... 192, 193 kekhalifahan Islam ...... 4 Junan Nasution ...... 144 kekuasaan3, 4, 14, 17, 19, 20, 21, 23, 26, Jusuf Abdullah Puar ...... 178, 189 28, 54, 55, 56, 57, 79, 80, 83, 84, 86, Ka’bah ...... 6, 61, 66, 197 88, 90, 92, 93, 94, 96, 97, 98, 99, 101, kaba ...... 42 106, 107, 109, 116, 120, 123, 124, 125, Kabinet Djuanda ...... 172 127, 133, 136, 137, 144, 145, 151, 163, Kabinet Gotong Royong ...... 168 167, 168, 170, 176, 177, 185, 198, 205 Kabinet Karya ...... 145, 171, 172 Kemal Attaturk ...... 18, 107

242 kemanusiaan57, 63, 64, 67, 68, 73, 83, klub makan siang ...... 134 124, 126, 162, 193 KNIP ...... 137, 138 Kemauan Zaman ...... 47 kolonial26, 27, 69, 72, 101, 102, 103, kembali ke UUD 1945 ...... 150, 152, 172 108, 109, 110, 113, 114, 117, 148, 179, kepribadian bangsa Indonesia72, 159, 207 165, 166, 167, 179 kolonial Barat ...... 72 Kepribadian Nasional ...... 174, 179, 180 kolonialisasi ...... 14, 16, 33, 99, 100 Keputusan Bersama ...... 211, 212 kolonialisme13, 18, 66, 106, 117, 122, Keputusan Menteri Agama ...... 210, 211 137, 191 kerajaan20, 56, 76, 80, 81, 82, 99, 110, komidi putar ...... 45 122, 156, 180 Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Kerajaan Langit ...... 92 ...... 137 Kerajaan Surga ...... 98, 122 Komunis Islam ...... 118 kerukunan umat beragama . 202, 207, 210 Komunis Stalinis ...... 184 kesadaran kebangsaan ...... 67, 72 komunisme4, 51, 116, 117, 118, 120, kesenian Islam ...... 193 121, 122, 123, 124, 125, 137, 148, 182, kesenian rakyat ...... 197 183, 184, 185, 187, 188, 189, 190, 191, Kesultanan ...... 109, 156 198, 204, 208 Ketahanan Nasional ...... 204 Komunisme4, 116, 120, 123, 124, 126, Ketuhanan Yang Maha Esa35, 36, 69, 135, 183, 184, 185, 190, 198 70, 71, 73, 92, 146, 158, 159, 160, 161, Konferensi Nasional Sastra dan Seni 162, 163, 190 Revolusioner ...... 192 Ketuhanan, Dengan Kewajiban Kongres Dewan Gereja ...... 209 Menjalankan Syariat Islam Bagi Kongres Kebudayaan Nasional ...... 190 Pemeluknya ...... 35 Kongres Khilafah ...... 106 Ketuhanan, dengan kewajiban Kongres Khilafat ...... 18 menjalankan syariat Islam bagi Kongres Muhammadiyah ...... 45 pemeluk-pemeluknya ...... 146 Kongres Umat Islam ...... 135 KH Faqih Utsman...... 135 Koninklijk Instituut voor Taal Land en KH Moh Dahlan ...... 203 Volkenkunde ...... 62 KH Sanusi...... 135 konsepsi Bung Karno...... 177 KH SS Djam’an ...... 208 konservatif ...... 103 KH Wahab Hasbullah ...... 139, 141 Konstituante9, 12, 26, 32, 35, 36, 37, 46, khali>fat Alla>h fi> al-ard ...... 81 51, 101, 111, 112, 134, 135, 137, 138, khalifah17, 19, 22, 23, 29, 59, 66, 67, 79, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 80, 81, 82, 83, 86, 87, 88, 89, 106, 107, 153, 154, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 116 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, Khalifah ...... 56, 81, 107, 129 173, 175, 181, 183, 185, 186 Khalifah Allah ...... 81 Konstitusi ...... 149, 150, 158, 211 khalifah Tuhan ...... 82, 87 konsultasi ...... 13, 209 Khalifatullah ...... 69, 86 kontra revolusioner ...... 173 Khalil Mathran ...... 42 Kristen14, 15, 16, 17, 57, 62, 75, 77, 95, Khatib ...... 38, 39, 110 96, 97, 98, 99, 100, 102, 104, 106, 110, Khatibul Ummah ...... 47 124, 125, 139, 159, 162, 187, 194, 207, khilafah8, 18, 19, 20, 22, 29, 30, 32, 90, 208, 209, 210, 211, 212, 213 107 kristenisasi27, 102, 189, 207, 208, 210, khilafat...... 18, 56, 66, 80 211, 213 Ki Bagus Hadikusumo .... 43, 51, 133, 135 kudeta ...... 26, 181 KITLV ...... 62 kuku dengan daging ...... 144 klan ...... 61, 92 Kuntowijoyo ...... 50, 51, 119, 136, 182

243

Lahore ...... 136 Makkah ... 17, 38, 39, 42, 60, 93, 107, 110 Laicite ...... 96 Maklumat Pemerintah Republik Laksmi ...... 191 Indonesia ...... 167 lampu Aladin ...... 151 maksiat ...... 193 Lawan & Kawan ...... 185 Malaka ...... 70, 81, 100, 109, 184 Leimana ...... 140 Malik Ahmad ...... 144 Lekra ...... 190, 191, 192, 193, 194 Maludin Simbolon ...... 171 Leksi ...... 191 Maluku ...... 69 Lembaga Bahasa Indonesia ...... 45 Manfaluthi ...... 186 Lembaga Kebudayaan Rakyat190, 191, Mangunpuspito ...... 150 194 Manifesto Politik ...... 174 Lenin ...... 118, 124 Maninjau ...... 38, 39, 44, 45 Leo Tolstoy ...... 63 Manipol ...... 174, 175, 179, 180, 187 Lesbumi ...... 191 Manipol-Usdek ...... 174 liberal16, 22, 150, 162, 165, 166, 180, Manshur Fahmi ...... 108 199 Mantik ...... 38 liberalisme ...... 50, 96, 98, 99 Maramis ...... 162 libido ...... 122 Maria Ulfah Santoso ...... 177 lingua franca ...... 156 Marx ...... 118, 120, 124, 126 LIPIA ...... 28 Marxis ...... 96 Logika ...... 209 Marxisme ...... 50, 96, 116, 118, 124, 125 Lokakarya Muballigh se Indonesia..... 202 Marxisme-Sosialisme ...... 50 Lukman Wiriadinata...... 140 Mas Mansur ...... 74 M Joesoef Ahmad ...... 178, 179, 188 MASBI ...... 192, 193, 194, 195 M Nur Alian ...... 192 masjid28, 58, 83, 88, 105, 107, 130, 175, M Zein Djambek...... 137 178, 185, 187, 188, 194, 199, 204, 205, MA Chanafiah ...... 168 207 Ma’ani ...... 38 Masjid Agung Al-Azhar ...... 121 ma’rifat ...... 198 Masykuri Abdillah10, 15, 22, 26, 28, 29, ma’rifatullah ...... 198 31, 32, 33, 95, 96, 135 Maarif1, 7, 25, 26, 32, 36, 136, 137, 138, Masyumi2, 9, 11, 12, 26, 27, 28, 34, 46, 139, 142, 147, 152, 159, 160, 167, 173, 47, 101, 111, 119, 133, 134, 135, 136, 174 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, Madinah16, 17, 18, 29, 54, 55, 56, 85, 145, 146, 147, 150, 154, 155, 156, 157, 86, 88, 89, 92, 115 158, 159, 160, 167, 168, 169, 171, 172, Madiun...... 185 173, 175, 176, 177, 182, 183, 184, 185, Madjid ...... 28, 108 186, 189, 190, 192, 199, 206 Magna Charta Libertatum ...... 127 Mataram ...... 81, 83 Mahasabh ...... 63 materialisme ...... 15, 99, 120, 123, 125 Mahmudah Mawardi ...... 189 Mathlaul Anwar ...... 136 Majapahit...... 72, 77, 81, 83, 178, 180 Maulana Hasanuddin ...... 69 Majelis Islam A’la Indonesia ...... 74, 136 Maulid Nabi ...... 195, 209 Majelis Permusyawaratan Rakyat25, 26, Mazhab Syafii...... 109 90, 146, 173, 205 Mbah Suro ...... 131 Majelis Permusyawaratan Rakyat Medan2, 9, 40, 42, 43, 45, 47, 48, 55, 69, Sementara (MPRS) ...... 26 99, 133, 149, 160, 179, 186 Majelis Syura ...... 139, 142, 183, 184, 190 Media Dakwah...... 191, 218 Majelis Syura Muslimin Indonesia ..... 135 Melayu42, 72, 81, 102, 110, 111, 112, Majelis Syuro Muslimin Indonesia .... 135 156, 164 Makassar ...... 40, 45, 46, 47, 69, 146, 208 menikah tanpa melihat agamanya ...... 127

244 menteri agama ...... 140, 141, 142, 210 Muhammad Dahlan ...... 74, 203 Menteri Agama105, 137, 140, 142, 188, Muhammad Ilyas ...... 192 192, 202, 203, 210, 211, 212 Muhammadiyah2, 32, 43, 45, 46, 47, 56, merah-putih ...... 73 74, 75, 133, 134, 135, 140, 141, 143, merintangi revolusi kita ...... 173 144, 145, 146, 204, 205, 207 Mesir16, 17, 18, 31, 39, 42, 48, 62, 76, MUI4, 12, 47, 202, 204, 205, 206, 207, 80, 94, 97, 106, 119, 186 209, 210, 212, 213, 214 Meulaboh ...... 208 Mukaddimah UUD 1945 ...... 162 MIAI ...... 74, 75, 76, 136 Mukarto ...... 140 militer14, 16, 17, 27, 100, 165, 166, 171, muktamar ...... 139, 141 172, 190, 192, 205, 211 Muktamar Ulama Seluruh Indonesia ..190 Minangkabau39, 40, 44, 45, 47, 48, 69, Muljadi Djojomartono ...... 188 70, 77, 111, 117 munakahat ...... 53 Minhajut Thalibin ...... 39 Munawir Sjadzali ...... 3, 18, 33, 34, 58 missi ...... 100, 104, 106 mundus ...... 95 mission sacre ...... 62 Murba ...... 168, 173, 176 Mission Sacre ...... 109 murtad ...... 130, 131 missionaris ...... 189, 207 Muslim Hindia ...... 103 mistik ...... 36, 50, 104, 159 Muslim International Congres ...... 66 mitos ...... 50 Muslim-nasionalis ...... 66 Mochtar Ghozali ...... 177 Muso ...... 123, 185 Mochtar Lubis ...... 26, 177, 181, 182, 191 Musollini ...... 62 modernis 11, 30, 31, 32, 95, 138, 203, 204 Mustafa Kemal ...... 41, 157 modernisasi ... 27, 105, 113, 114, 178, 200 Musyaffa Basyir ...... 189 Modernisasi ...... 15, 16, 95, 105, 113, 114 musyawarah13, 18, 74, 80, 81, 87, 88, modernisasi terpimpin ...... 105 89, 90, 91, 144, 151, 154, 163, 167, Modernisme11, 12, 14, 31, 34, 35, 36, 191, 193, 202 134, 135, 137, 138, 140, 152, 155, 157, Musyawarah Kebudayaan Islam 158, 159, 183, 184, 185, 186 Indonesia (BMKII) ...... 190 Moelyadi Djoyomartono ...... 145, 172 Musyawarah Seniman Budayawan Islam Mohamad Mawardi ...... 204 ...... 193 Mohammad Atho Mudzhar ...... 202 Muttaqien ...... 177 Mohammad Noor ...... 172 Nabi Muhammad29, 51, 52, 53, 54, 55, Mohammad Roem ...... 119, 135 56, 57, 60, 61, 64, 65, 67, 70, 72, 85, Mokhtar Luthfi ...... 41, 119 86, 88, 89, 92, 93, 106, 108, 114, 115, monarki ...... 29, 80, 81, 82 116, 124, 131, 182, 195, 196, 212 Mononutu ...... 36, 140, 159 Nahdlatul Ulama .... 32, 95, 135, 141, 147 Montesquieu ...... 78 Nahdlatul Wathan ...... 136 moralitas ...... 14, 92, 95, 98, 126 Nahwu...... 38, 39 Mosi Integral ...... 158 Namrud ...... 56 MPR25, 90, 150, 165, 168, 173, 174, Napoleon...... 62 176, 205, 206 Nasakom ...... 121, 173 MPR-S ...... 173, 174, 175 nasionalis Jawa ...... 51 muamalat ...... 53, 114 Nasional-Islamisme ...... 66 Muawiyah ...... 79, 80 nasionalisme2, 4, 15, 16, 17, 18, 22, 32, Muchlas Rowi ...... 48, 188 50, 51, 63, 64, 66, 68, 73, 76, 77, 137, Mudzhar203, 204, 207, 208, 209, 210, 149 211, 212, 213 nasionalisme Arab ...... 16 Muhajirin ...... 61, 86 Natal bersama ...... 207, 212, 213 Muhammad Aidid ...... 192 Natar Zainuddin ...... 116

245 nation state ...... 15, 31 Pancasila8, 9, 10, 20, 27, 28, 32, 33, 35, Natsir2, 6, 11, 25, 26, 27, 28, 48, 51, 94, 36, 37, 101, 131, 138, 139, 142, 145, 119, 134, 135, 137, 139, 141, 154, 158, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 155, 169, 171, 177, 182, 185, 206, 209 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, Nawawi ...... 39, 110 167, 168, 186, 190, 191, 208, 211, 212 negara bangsa ...... 15, 31 pandangan dunia ...... 14, 30 negara Islam12, 15, 18, 22, 28, 29, 37, Pandji Islam ...... 94, 179 50, 55, 56, 66, 87, 90, 95, 107, 146, Pandji Masjarakat9, 52, 62, 64, 70, 72, 147, 158 73, 79, 81, 84, 85, 86, 90, 99, 100, 104, Negara Islam48, 51, 55, 94, 95, 101, 147, 105, 112, 113, 114, 117, 120, 121, 122, 148, 151, 158 136, 164, 175, 177, 178, 179, 180, 181, negara Madinah ...... 54, 55 182, 188, 189, 190, 196, 197, 198, 199, Negara Qur’an ...... 55 206, 207, 208 negara yang berjiwa agama ...... 55, 57 Pandji Masyarakat ...... 178 neo-feodalisme ...... 197 Pangkopkamtib (Panglima Komando netral agama ...... 76, 102, 104 Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) NGB ...... 62 ...... 211 NGB (Nedherlandch Pan-Islamisme ...... 18, 66, 67 Bijbblegenootschap/Persekutuan Injil Panitia Pembina Djiwa Revolusi ...... 174 Belanda) ...... 62 Panitia Persiapan Kemerdekaan Nibras ...... 47 Indonesia ...... 35, 146 Njoto ...... 149, 159, 170, 186, 190, 192 Panitia Persiapan Konstitusi ...... 147, 154 non-Islam ...... 72, 146, 190, 194 Panji Masyarakat9, 46, 47, 48, 55, 69, NU26, 32, 74, 94, 95, 135, 136, 138, 139, 91, 96, 98, 105, 106, 108, 110, 121, 140, 141, 142, 143, 146, 147, 167, 168, 125, 129, 130, 162, 198, 205, 209, 213, 172, 173, 176, 185, 192, 203 214 Nurcholish Madjid ...... 28, 108 pantun ...... 42, 196 Nusantara62, 71, 81, 99, 100, 101, 103, Parabek ...... 40, 41 104, 109, 110, 148, 156, 182, 194 Paradigma ...... 15, 28, 30, 94 Nuzulul Qur’an ...... 209 Parindra ...... 77, 140 Nyi Roro Kidul ...... 83 Parkindo ...... 140, 147, 168 oposisi ... 21, 166, 173, 177, 182, 199, 205 parlementer ...... 5, 149, 165, 181 Orde Baru4, 5, 12, 26, 27, 28, 30, 47, 50, Parmusi ...... 26, 27, 199 175, 198, 199, 205, 206, 207, 208, 212 Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) ...26 Orde Lama4, 5, 10, 12, 26, 28, 46, 121, PARSI ...... 138 179, 183, 190, 198, 199, 204, 207, 208 partai Buruh ...... 147 orientalis ...... 103, 104, 105, 106 Partai Buruh...... 138, 140, 169 ortodok ...... 114, 122 Partai Indonesia Raya ...... 77 Osman Raliby ...... 27, 189 Partai Islam Indonesia ...... 75, 135 otodidak ...... 41 Partai Katolik ...... 147 Otokrasi ...... 165 Partai Komunis Indonesia118, 138, 183, otonomi daerah ...... 171 184 otoritas...... 13, 20, 23 Partai Kristen Indonesia ...... 147 P4 (Pedoman Penghayatan dan partai Murba ...... 147 Pengamalan Pancasila) ...... 211 Partai Politik Islam Indonesia Masyumi Paderi ...... 38, 70 ...... 135 Pakistan ...... 19, 34, 148 Partai Sosialis Indonesia46, 138, 147, Palembang ...... 46, 109, 139, 156, 190 172 Pan Islamisme ...... 15, 18, 65, 66, 67 Pasal 29 ayat 2 ...... 164 Pan-Arabisme ...... 17 Pattimura ...... 69

246

Paus ...... 79, 96, 130 Permi ...... 76, 77 Payakumbuh ...... 205 Pernyataan Majelis Ulama Indonesia PB NU ...... 141 Menghadapi Pemilu ...... 206 PBB ...... 126, 127, 130, 131 Persatuan Islam (Persis) ...... 32, 95, 135 PBI (Partai Buruh Indonesia) ...... 138 persatuan kebangsaan Arab seluruhnya61 Pedoman Masjarakat2, 9, 42, 54, 58, 59, Persatuan Muslimin Indonesia ...... 76 60, 61, 66, 71, 74, 75, 76, 77, 78, 79, Persatuan Penghulu dan Pegawai ...... 135 81, 85, 93, 102, 103, 116, 119, 133, Persatuan Tarbiyah Islamiyah138, 139, 178, 179 147 Pedoman Masyarakat ...... 45, 47 Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) Pegangsaan Timur ...... 171 ...... 135 Pegon ...... 156 Persatuan Umat Islam ...... 135 Pekalongan ...... 43 Persatuan Ummat Islam Indonesia .....135 pelajaran umum ...... 102 persaudaraan Islam ...... 66 Pelita Andalas ...... 47 Persia ...... 80, 93, 111 pembaharuan2, 3, 18, 23, 32, 39, 43, 50, Persis ...... 32, 76, 95, 135 67, 108 personlijk ...... 169 pembangunan26, 87, 93, 144, 157, 202, Perti ...... 26, 138, 147, 173 204, 210 pesantren...... 32, 102, 142 Pembukaan UUD 194573, 149, 159, 161, Pesantren ...... 20, 102 165 Peter L Berger ...... 96 Pemerintah Revolusioner Republik Piagam Jakarta11, 35, 36, 37, 51, 137, Indonesia...... 171 146, 147, 149, 150, 151, 153, 154, 159, pemikiran politik Islam ...... 3 160, 162, 199 Pemilu ... 20, 25, 27, 46, 50, 134, 159, 206 PII ...... 75, 135 pemimpin besar revolusi ...... 173 pindah agama ...... 130, 207 pemurtadan ...... 129, 130 PKI26, 36, 46, 118, 119, 138, 139, 142, Pencerahan ...... 14 146, 147, 148, 149, 159, 167, 168, 170, Pendidikan netral agama ...... 102 172, 173, 176, 183, 184, 185, 186, 188, Penguasa Perang Pusat ...... 177, 180 189, 190, 191, 192, 204, 207 penjajah66, 72, 90, 99, 100, 101, 103, PMP (Pendidikan Moral Pancasila) ....213 104, 109, 110, 111, 113, 114 PNI76, 138, 139, 140, 142, 146, 147, penjajahan3, 14, 62, 66, 68, 69, 85, 99, 154, 159, 167, 168, 171, 172, 173, 174, 100, 101, 104, 105, 106, 108, 109, 110, 176, 188, 191 117, 125, 127, 130, 148, 179, 208 PNI Staatpartij ...... 138 Penyadar ...... 135 politik etis ...... 101 penyakit kebangsaan ...... 61 politik Islam3, 4, 5, 11, 13, 15, 16, 18, Peperpu ...... 177, 180 19, 22, 26, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34, peradaban13, 14, 15, 17, 19, 54, 56, 57, 35, 36, 37, 90, 93, 107, 135, 138, 146 62, 65, 72, 85, 89, 96, 98, 106, 110, politik modern4, 10, 15, 16, 23, 29, 32, 112 34, 48 Perancis ...... 70, 98, 127 Pontianak ...... 199 Perang Dunia I ...... 18 Portugis ...... 156 Perang Salib ...... 99, 100, 106, 209 PPKI ...... 35, 37, 137, 146, 150 Perikatan Ummat Islam ...... 135 PPP ...... 206 periode formatif ...... 50 Prawoto26, 119, 134, 135, 139, 140, 150, Perjanjian Lama ...... 97 154, 155, 159, 177, 190, 199, 209 Perjanjian Meja Bundar ...... 136 PRI (Partai Rakyat Indonesia) ...... 167 Permalim ...... 69 pribumi ...... 69, 101, 102, 192 Permesta ...... 171 priyayi ...... 26, 103, 191

247 proklamasi35, 48, 101, 127, 136, 137, Res Publica ...... 166, 170 147, 207 Revolusi Fisik ...... 2, 7, 48, 133, 184 Proklamasi 17 Agustus 1945 ...... 146 revolusi mental ...... 84 proletar ...... 96, 120, 124, 125 Revolusi Perancis ...... 14, 98, 127 propaganda36, 50, 75, 104, 105, 117, revolutie grondwet ...... 146 118, 159, 186, 208 RHM Adnan ...... 135 Protestan ...... 96, 100, 130, 209, 211 riba ...... 126 provokatif ...... 169, 170 Ricklefs ...... 27, 28, 173, 174 PRRI ...... 144, 169, 171 Ridha ...... 18, 22, 23, 30, 43, 90 PS Da Cunha ...... 149 RIS ...... 158 PSI26, 46, 140, 147, 167, 168, 171, 173, Risalah Perundingan9, 111, 112, 135, 176, 177, 182, 189, 199 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, PSII26, 75, 135, 136, 138, 139, 140, 143, 156, 157, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 147, 168, 173, 176, 185 173, 223 puasa ...... 53, 54 Roem6, 10, 26, 27, 119, 139, 140, 175, Puisi Natsir ...... 169 177, 190, 205 Purwokerto ...... 46 Roeslan Abdoelgani ...... 174 PUSA ...... 135, 185 Romawi ...... 93, 97, 98 Pusat Dakwah Islam ...... 203 Rosihan Anwar ...... 182, 189 Pusroh ...... 188, 192 Rousseau ...... 78, 86 Qadian ...... 136 RP Suroso ...... 140 qanun ...... 23 Rukun Islam ...... 53 Quraisy ...... 17, 92 rumah sakit Baptis ...... 210 R Soerojo Wongsowidjojo...... 188 Rusia ...... 62, 70, 121, 122, 124, 125 Raden Sumardjito ...... 170 Rusydi39, 40, 45, 46, 47, 48, 108, 146, Rahim Haitami ...... 45 177, 178, 182, 187, 188, 189, 190, 195, Rahim Mufty ...... 186 204, 205, 206, 208, 209, 210, 213 Raihanah ...... 39 Sabilillah ...... 133 raja64, 69, 78, 80, 82, 84, 85, 86, 87, 96, saeculum ...... 95 99, 111, 127, 180 sala>m ...... 64 Raja Aji...... 70, 148 salaf al-s}a>lih ...... 20, 30, 33, 34, 58 Raja Ali Haji ...... 110 Salafi ...... 20, 22 Raja Fuad ...... 107 salafisme ...... 18 RAPBN ...... 155, 172 Samsuridjal ...... 119 ras ...... 63, 64, 86, 126 santri ...... 26, 142 Ratna Suci Kelas I ...... 171 Sardjan ...... 140, 154 Ratu Asia ...... 195 Sarekat Islam2, 32, 50, 118, 136, 156, realisme ...... 30, 124 182 realistis ...... 35, 46, 154, 187 Sari Asih ...... 207 Recht Hooge School ...... 103 sastrawan ...... 3, 7, 186 reformasi ...... 16, 67, 178 Saudi Arabia ...... 76 Reformasi ...... 14, 15, 32, 43, 95 sayyid ...... 107 Rehabilitasi Masyumi...... 199 Schrieke ...... 103 Remy Madinier ...... 11, 135, 137, 155 sedekah ...... 53, 126 Renaisans ...... 14, 101 Sejarah2, 3, 10, 48, 50, 58, 137, 139, 173, Republik Indonesia Berdasarkan Islam 174, 175, 205 ...... 158 Sekolah Desa ...... 40 Republik Islam...... 19, 23 sekular15, 16, 17, 18, 22, 37, 50, 76, 94, Republik Islam Indonesia Berdasarkan 98, 122, 137, 138, 148, 159, 162 Pancasila ...... 158

248 sekularisme14, 21, 30, 88, 94, 95, 96, 97, Soekarno4, 9, 25, 26, 36, 37, 46, 47, 48, 99, 104, 157 51, 70, 71, 73, 94, 95, 121, 137, 138, sekularisme lunak ...... 96 144, 146, 148, 149, 150, 151, 152, 153, sekularisme pasif ...... 96 154, 155, 159, 164, 165, 166, 167, 168, sekularisme radikal ...... 96 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, Sekutu ...... 45, 136 177, 179, 180, 181, 182, 185, 188, 189, seni44, 189, 191, 192, 193, 195, 196, 191, 198, 199 197, 198 Soekiman ...... 75, 135, 173 seni itu bermula dari rasa cinta ...... 197 Soewirjo ...... 154, 171 seni untuk kebaktian ke hadirat Allah 193 Solo ...... 40, 45, 76, 190, 192 seni untuk rakyat ...... 193, 197 sosial-ekonomi ...... 147 seni untuk seni ...... 191, 193 sosialis ...... 125, 137, 159, 183 seni untuk seni semata...... 191 sosialisme ...... 43, 50, 119, 120, 123 Sentot ...... 70 Sosialisme Indonesia ...... 174, 235 Sentot Ali Basyah ...... 70 spirit perlawanan ...... 117 Seruan Azhar ...... 41, 119 Sriwijaya ...... 72, 180 Seruan Islam ...... 47 staatshoofd ...... 73 Shadiq ar-Rafii ...... 42 Stalin ...... 124, 185 shalat 40, 53, 54, 58, 77, 83, 88, 157, 204 Studenten Islam Studieclub ...... 119 shalat Id ...... 179 studi terpimpin ...... 103 Sharaf ...... 38, 39 Suara Muhammadiyah ...... 47 Shari>f al-Muja>hid ...... 18, 67 Subadio Sastrosatomo ...... 177 Shaykh al-Azhar...... 107 Sudijono Djojoprajitno ...... 173 Shu Sangi Kai ...... 133 Sudirman ...... 48, 188 shu>ra>13, 23, 30, 80, 81, 87, 88, 89, 90, Sudjatmoko ...... 36, 159 91, 116, 163 Suhelmi ...... 51, 94, 95 SI 2, 32, 43, 44, 50, 51, 74, 76, 118, 119, Sukarno-Hatta ...... 70 136, 182 Sukiman ...... 139, 141 SI Merah ...... 118 suku bangsa ...... 61, 63, 67, 126, 180 Si Sabariyah...... 47 Sulaiman ...... 56 Si Singamangaraja ...... 69 Sultan Adam Al-Watsiq Billah ...... 156 sidang tanwir ...... 143, 144 Sultan Jogja ...... 140 Siddik Djojosukarto ...... 139, 142 Sultan Khairun ...... 69, 148 Sidi Gazalba 179, 189, 190, 191, 193, 194 Sultan Malikuzh Zhahir ...... 109 Sigmund Freud ...... 122 Sultan Ternate ...... 39 silat ...... 42 Sumanang ...... 140 Simburtjahaja ...... 156 Sumatera Barat ...... 46, 133, 169 Sinar Sumatra ...... 41 Sumatera Thawalib ...... 40 Singapura ...... 47 Sumitro Djojohadikusumo ...... 140 sinkretis ...... 104 Sumpah Pemuda ...... 72 SIS ...... 119 Sumpur Kudus ...... 169 Siti Khadijah ...... 40 Sumual ...... 171 Siti Raham ...... 39 Sunan Kalijogo ...... 194 Sjahrir ...... 25, 26, 177, 190 Sungai Batang ...... 38, 39 Sjamsuddin Syafei ...... 195 Sunnah ...... 19, 52, 53, 57, 86, 114, 136 SOB ...... 171 Sunni ...... 17 SOB – Staat von Orloog en Beleg...... 171 Surat Edaran Menteri Agama No 3/1978 Soeharto26, 164, 198, 202, 205, 206, ...... 211 208, 209, 210, 211 Surat Keputusan Menteri Agama No 70 ...... 210

249

Suryopranoto ...... 43, 51, 119, 133 Taufik Abdullah ...... 2, 50, 137, 173 Sutan Mansur ...... 133, 206 tauhid13, 36, 44, 54, 60, 61, 69, 70, 83, Suwarto ...... 140 84, 85, 86, 91, 92, 158, 162, 170, 196, Syafiah ...... 39 197, 198 Syafii Maarif ...... 136, 174 Taurat ...... 93, 98 Syafruddin Prawiranegara119, 124, 137, TB Simatupang ...... 209 171 Tedjasukmana ...... 140 Syahriar Rasad ...... 177 tegen-conceptie ...... 151 Syaifullah ...... 134, 143, 144 Teistik Demokrasi ...... 2 Syakib ...... 40 Tenggelamnya Kapal Van Der Wick..186 Syam ...... 76, 80, 92, 173, 176 Tenno Heika ...... 171 Syamsuddin al-Sumatrani ...... 110 Tentara Islam Indonesia ...... 35, 185 syariah ...... 13, 15, 23, 30, 33, 183 teo-demokrasi ...... 31 syariat13, 19, 36, 37, 52, 53, 54, 56, 57, Teo-demokrasi ...... 2 61, 86, 89, 97, 108, 109, 114, 115, 138, teokrasi ...... 21, 29, 57, 58, 82, 96, 163 146, 183 teologis ...... 19, 79, 129, 213 Syarif Husain ...... 39, 107 Tetsuzo Nakashima ...... 133 Syauqi Beiy ...... 42 Teuku Cik Ditiro ...... 69, 70, 148 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Teuku M Hasan ...... 45 ...... 39 Thaha Husain ...... 108 Syekh Amrullah ...... 39 Thahir Djalaluddin ...... 38, 39 Syekh Ibrahim Musa...... 40 Thawalib ...... 76, 116, 117, 133 Syiah ...... 23 tidak lantas menerima Pancasila sebagai syirik ...... 68, 85, 114, 129, 193 dasar negara ...... 158, 160 Syria ...... 17 TII ...... 35, 142, 185, 186 Syukri Ghozali ...... 202, 206 Tjokroaminoto34, 40, 43, 51, 70, 71, 73, t}a>g}u>t...... 20 75, 119, 122, 133, 136, 148, 156, 183, t}a>gu>t...... 114 188, 195 ta`abbudi ...... 87, 88, 115 TNI ...... 48, 171, 172, 176, 192, 195 ta`aqquli ...... 87, 88, 115 toleransi ...... 208, 212, 213 Tabligh ...... 45 totalitarianisme ...... 168, 169, 182 Tafsir al-Azhar6, 7, 8, 10, 43, 49, 52, 55, totaliter ...... 46, 168, 169, 170 64, 80, 85, 87, 88, 89, 90, 97, 98, 100, tradisional ...... 14, 15, 30, 33, 58, 103 102, 103, 104, 106, 109, 110, 112, 113, tradisionalis ...... 22, 32, 95, 204 114, 115, 116 trias azasi ...... 52 Tafsir Azas ...... 185 Trias Politica ...... 168, 169 Tafsir Jalalain ...... 39 trias politika ...... 21 taklid ...... 41, 57, 100, 103, 114 Trimurti ...... 97 Takwa ...... 90 Trinitas ...... 97 Taman Ismail Marzuki ...... 197 Tujuh Kata ...... 153 Taman Pustaka ...... 45 Tulungagung ...... 205 Taman Sriwedari ...... 192 Tun Sri Lanang ...... 110 Tambunan ...... 177, 209 Turki15, 16, 17, 18, 22, 29, 41, 56, 76, tanah air58, 59, 60, 63, 64, 68, 71, 75, 80, 94, 106, 107, 157, 185 191, 194 ukhuwah islamiyah ...... 66, 180 Taqiy al-Din al-Nabhani ...... 19, 30 ulama3, 7, 20, 23, 31, 38, 43, 47, 57, 69, tarekat ...... 38, 39 75, 103, 110, 111, 135, 139, 156, 172, Tarekat Naqsyabandiyah ...... 38 173, 184, 187, 192, 193, 195, 202, 203, Tasawuf6, 7, 10, 38, 47, 56, 86, 90, 91, 205, 206, 208, 213 100, 156, 223 ultimatum ...... 140

250

Umar ...... 19, 55, 56, 69, 80, 129, 148 Wensinck ...... 103 Umar bin Khattab ...... 19, 80, 129 Wibisono ...... 173 umara ...... 205 wijda>n ...... 59 Umayyah ...... 29 Wilopo ...... 139, 140, 150, 154, 166 Undang-undang Dasar 1950 ...... 151 Wilson ...... 63, 96 Undang-undang Peutumuruhum ...... 156 Wondoamiseno ...... 74 Uni Soviet ...... 121 Wongsonegoro ...... 36, 159 Universal Declaration of Human Rights worldview ...... 14, 15 ...... 127 Yahudi ...... 56, 62, 93, 97, 129, 209 Universitas Muslim Indonesia (UMI) 146 Yaman ...... 39, 80, 93, 129 urat tunggang ...... 161, 162 Yamin ...... 34, 76, 159, 162, 169 Usdek ...... 174, 175, 179, 180, 187 Yatsrib ...... 54, 93 Usmar Ismail ...... 186, 191 Yayasan Perpustakaan Islam ...... 188 Utsman ...... 55, 56 Yazid ...... 79 UUD35, 36, 73, 146, 149, 150, 151, 152, Yogyakarta2, 8, 11, 43, 46, 47, 52, 62, 153, 154, 155, 158, 159, 160, 161, 162, 135, 136, 137, 139, 143, 145, 191 163, 164, 165, 166, 168, 169, 170, 171, Yudi Latif ...... 3, 50, 101, 102 172, 173, 174, 175, 181, 199, 211, 235 Yunan Nasution ...... 27, 177, 178, 190 UUD 194535, 36, 149, 150, 151, 152, Yunan Yusuf ...... 6, 41 153, 154, 155, 159, 161, 162, 163, 164, Yusril Ihza Mahendra3, 7, 11, 12, 34, 35, 165, 166, 168, 169, 170, 172, 173, 174, 36, 76, 134, 135, 137, 138, 140, 152, 175, 199, 211, 235 155, 157, 158, 159, 173, 176, 183, 184, UUD kilat ...... 146, 150 185, 186 UUDS 1950 ...... 158 Yusuf Wibisono ...... 119 Vatikan ...... 99 Zainal Abidin Ahmad ...... 158, 179, 185 Vivere Pericoloso ...... 191 Zainal Arifin Abbas ...... 45 Volksraad ...... 74, 75 Zainuddin Labai ...... 116 Voltaire ...... 70, 78 zakat ...... 13, 54, 95, 126 Wahab ...... 74, 135, 139, 140, 141, 188 Zaki Mubarak ...... 42, 108 Wahabi...... 22, 107 Zaky ...... 40 Wahid Hasyim ...... 105, 135, 137, 162 zalim ...... 53 wakil Allah ...... 19, 81 zending ...... 100, 104, 189, 208 Wali Al-Fatah ...... 75, 135 Zending ...... 100 waris ...... 126 Zia Gokalp ...... 17 wartawan 3, 42, 43, 45, 90, 172, 175, 181

251

Lampiran I

252

Lampiran VIII

260