Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

PENGARUH PROPAGANDA MELALUI MEDIA SOSIAL TERHADAP PENINGKATAN POPULARITAS AHOK SEBAGAI KANDIDAT CALON GUBERNUR DKI 2017

Revi Majiza Putra

Program Studi Komunikasi Politik Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina

*** Abstrak Pengaruh kekuatan media massa di Amerika Serikat pada awalnya dimulai saat debat calon kandidat presiden antara John F. Kennedy dan Richard Nixon tahun 1960 yang memberikan dampak besar pada elektabilitas calon kandidat saat itu. Kekuatan media massa yang besar ditambah dengan perkembangan teknologi internet yang kemudian memunculkan new media berupa twitter telah menjadi sarana bagi partai politik/pendukung kandidat calon gubernur di Indonesia untuk mendapatkan popularitas. Ahok sebagai calon gubernur dalam pilkada DKI Jakarta 2017 menyadari peran new media ini sebagai sarana untuk meningkatkan popularitasnya. Strategi yang digunakan oleh Ahok dalam new media ini adalah dengan menggunakan teknik propaganda dan buzzer untuk meningkatkan popularitasnya sehingga elektabilitas di pilkada DKI Jakarta semakin meningkat. Penelitian ini focus pada pengaruh propaganda media social dalam popularitas Ahok di pilkada DKI Jakarta 2017. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif dan unit Analisa berupa tweet pendukung Ahok dalam twitter. Berdasarkan penelitian ini, teknik propaganda dan buzzer yang digunakan oleh Ahok di twitter tidak sepenuhnya berhasil karena popularitas ternyata tidak berbanding lurus dengan elektabilitas sehingga Ahok yang populer pada saat itu di media sosial kalah dalam pemilukada DKI Jakarta.

Kata Kunci: new media, Twitter, Propaganda, Buzzer ***

Awal Kebangkitan Peran Media Massa : Pendahuluan Berdasarkan sejarah media massa terdapat peristiwa politik yang berpengaruh besar pada sebuah pemilihan Presiden 54 tahun silam. Peristiwa itu berlangsung 26 September 1960, dimana terjadi debat kandidat presiden antara John F. Kennedy dan Richard Nixon dan itu merupakan Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

debat kali pertama dalam sejarah di media televisi. Peritiwa bersejarah itu telah mengubah lanskap politik Amerika Serikat selanjutnya ke arah yang lebih baik. Momentum debat calon Presiden via saluran televisi tersebut, membuka era baru perdebatan televisi guna mencari figur pemimpin top suatu negeri. Debat itu juga disiarkan langsung saluran-saluran radio yang ada di USA ke seluruh negeri. Jajak pendapat jauh sebelum debat calon Presiden di televisi menunjukkan Nixon akan menang telak dalam pilpres Amerika yang digelar pada November 1960. Dalam debat calon Presiden di televisi itu, kata orang Amerika, Richard Nixon sebagai wapres tak akan mendapatkan keuntungan politik. Sebaliknya John F Kennedy akan menarik keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menanggung resiko yang tak berarti. Pada 1960 di Amerika Serikat terdapat 40 juta pesawat televisi. Siarannya belum berwarna & masih televisi hitam putih. Televisi punya kemampuan untuk membentuk pendapat umum yang jauh lebih besar ketimbang gereja, sekolah, media massa cetak atau buku-buku. Diperkirakan 80 juta pemirsa Amerika menyaksikan acara perdebatan pada 26 September 1960 itu melalui layar televisi. Pada saat debat calon presiden tersebut John F. Kennedy mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk terjun ke kancah perdebatan, berbeda degan Nixon yang sangat percaya diri. Kennedy tampil tenang, santai dan luwes serta meyakinkan. Ia juga cekatan dan tangkas menjawab pertanyaan-pertanyaan. Ulasan-ulasan yang datang dari moderator maupun dari Wakil Presiden Richard M. Nixon sendiri juga dijawab meyakinkan oleh Kennedy. John F. Kennedy tak lupa untuk melihat ke arah kamera — ke arah penonton – bukannya melihat kepada lawan debat, sebaliknya Nixon tampak tegang, seolah-olah ketakutan, kurang lancar. Nixon selalu tampak panik dalam mengemukakan pendapat-pendapatnya atau jawaban-jawabannya yang kurang meyakinkan. Nixon juga tak menunjukkan pandangannya ke arah penonton televisi. Selain itu raut muka Nixon juga tampak pucat. Raut muka Nixon yang pucat pasi itu disebabkan karena dia tidak bersedia untuk di-make up sebelum tampil, sebaliknya Kennedy memakainya. Di bawah sorotan lampu terang benderang dalam studio CBS, keputusan Nixon tak bersedia di-make up itu berakibat fatal. Dalam siaran langsung tv saat itu yang masih teknologinya hitam putih, dihadapan pemirsa tv terlihat Nixon tampak pucat pasi. Bahwa apa yang disuguhkan media tv pada debat calon presiden pertama itu ialah memberikan kesempatan kepada publik Amerika Serikat untuk membuat penilaian tentang dua kepribadian. Sesungguhnya Kennedy bukanlah tandingan Nixon, beliau penuh daya tarik, muda, penuh gaya & karisma sedangkan Nixon tampak tegang & kaku. Setelah debat calon presiden pertama berakhir semua penguji pendapat umum sampai pada kesimpulan yang sama yaitu John F. Kennedy memenangkanya. Dampak dari penampilan di media massa tersebut berpengaruh sangat besar pada masyarakat Amerik Serikat yang menyaksikan langsung melalui TV. Ini dibuktikan dari hasil pemilu pada saat itu yang memenangkan John F. Kennedy dengan 34.220.984 popular vote (49,7 %), sedangkan rivalnya Nixon memperoleh 34.108.157 popular vote (49,6 %). Pada tingkat electoral vote, Kennedy jauh meninggalkan Nixon dengan perolehan 303 suara sedangkan lawannya hanya mendapat 219 suara. Jika melihat hasil ini maka tidak salah ketika calon presiden dari Amerika Serikat di 50 tahun dari debat pertama calon presiden saat itu menggunakan teknik yang sama. Seorang muda berkulit hitam keturunan Afro-Amerika, orator seperti halnya Kennedy, dan seorang senator serta dari Partai Demokrat sama halnya dengan Kennedy sukses mengukir kemenangan dalam pilpres Amerika Serikat pada pemilihan presiden Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

November 2008. Dia tak lain adalah Barack H. Obama. Presiden Amerika Serikat ke-44 untuk masa bakti 2008-2012. Mengikuti jejak seniornya John F. Kennedy pula, Obama paham mengenai teknologi informasi dapat mendongkrak popularitas dan elaktibilitas seseorang di kancah politik. Dia mengunakan saluran-saluran media massa dan informasi yang tersedia untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya dan meyakinkan publik. Menyatukan media televisi dan media internet, debat Barack H. Obama dan John McCain seakan mengulangi kembali sejarah perdebatan Kennedy dan Nixon. Hasil akhir dimenangkan Obama, dan dia menuju Gedung Putih. Dalam hal ini kita bisa melihat bukti bahwa media massa sangat berpengaruh terhadap popularitas dalam dunia politik. Melalui media massa setiap manusia bisa mendapatkan informasi yang menyangkut dirinya, orang lain, maupun lingkungannya. Media massa adalah suatu alat yang digunakan seseorang untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas atau banyak. Media massa merupakan media yang selalu mendapat perhatian dari masyarakat luas. Kehidupan manusia pada masa sekarang ini hampir tidak pernah lepas dari media massa baik itu televisi, koran, radio, ataupun internet. Setiap manusia hampir dapat dipastikan akan berhubungan dengan media massa. Sejalan dengan perkembangan zaman, kehidupan masyarakat di dunia banyak yang mengalami perubahan. Perubahan dalam berfikir misalnya, masyarakat kini lebih berfikir maju dan modern. Selain itu pula terjadi perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Dahulu orang hidup hanya seadanya, tanpa memikirkan hal yang lebih maju. Namun, sekarang hal tersebut tidak berlaku lagi. Perubahan-perubahan ini banyak dipengaruhi oleh media massa khususnya televisi yang hampir di setiap rumah ada. Media massa contohnya televisi, buku, majalah, koran, radio, film dan yang sedang banyak digunakan sekarang adalah internet. Seiring dengan perkembangan teknologi dan penggunaan internet dalam kehidupan, pergaulan dan komunikasi sosial kini mempunyai suatu bentuk baru. Oleh karena itu, kini, setiap orang berkomunikasi tanpa mengenal batas, ruang, dan waktu, sebagaimana disampaikan oleh Oetomo, dibawah ini: “Pola kehidupan sehari-hari telah berubah sejak adanya teknologi internet, karena dengan adanya teknologi internet, bumi seakan menjadi desa kecil yang tidak pernah tidur, semua jenis kegiatan dapat difasilitasi oleh teknologi internet”(Oetomo, 2007.11) Perkembangan internet sebagai new media (the second media age) menandai periode baru dimana teknologi interaktif dan komunikasi jaringan khususnya dunia maya akan mengubah masyarakat (Littlejohn, 2009: 413). Internet memberi kemudahan bagi penggunanya untuk mengakses informasi dengan sistem on-line. Sistem On-line ini dapat diakses dimanapun dan kapanpun pengguna berada. Keberadaan internet sebagai media informasi dan komunikasi menjadi jalur alternatif bagi setiap orang yang menggunakannya. Jika melihat peran dan fungsi media saat ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan politik di Indonesia. Salah satu hal yang dipengaruhi oleh media pada politik di Indonesia adalah bagaimana media dapat dijadikan sebagai sarana untuk propaganda di masyarakat. Propaganda berasal dari Bahasa latin, yaitu propagare yang berarti mengembangkan atau memekarkan. Propaganda merupakan salah satu bentuk komunikasi massa yang sering kali digunakan oleh individu ataupun kelompok sebagai media untuk menyebarluaskan suatu keyakinan atau doktrin. Lasswell (dalam buku Stanley J Baran & Dennis K Davis, 2010) menyatakan bahwa kekuatan Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

propaganda media massa bukanlah hasil dari substansi, isi, atau satuan pesan spesifik, tetap karena pemikiran masyarakat umum yang sangat mudah dipengaruhi. Laswell menambahkan bahwa propaganda media lebih sekedar pemanfaatan media massa untuk membohongi publik agar dapat mengontrol mereka sementara waktu. Secara tidak langsung, pesan yang tidak tepat sasaran pun tidak akan menjatuhkan tatanan sosial yang demokratis. Jika merujuk pada beberapa masa kampanye di beberapa daerah bermunculan black propaganda atau propaganda gelap, baik melalui aneka selebaran gelap, layanan singkat (SMS), e- mail dan berbagai diskusi dalam komunitas tertentu untuk menjatuhkan dan menyudutkan pasangan calon kepala daerah. Black propaganda dalam literatur politik, terutama dalam komunikasi politik sebenarnya adalah sesuatu yang baru. Media baru disebut-sebut sebagai “second media age”, dimana media tradisional seperti radio, koran, dan televisi telah banyak ditinggalkan oleh khalayak. Internet sebagai media baru yang dioperasikan dengan seperangkat alat komputer berjaringan merupakan tonggak dari perkembangan teknologi interaksi global di akhir dekade abad ke-20 Pada masa new media seperti internet berpotensi lebih banyak dipandang sebagai alat yang banyak bernilai negatif. Hal tersebut memungkinkan masyarakat memanfaatkan new media hanya untuk pemenuhan kebutuhan institusi tertentu yang tidak memikirkan efek negatif untuk masyarakat luas karena pada saat ini banyak orang yang mengikatkan atau melabelkan dirinya pada suatu lembaga khusunya dalam bidang politik yang memanfaatkan new media untuk mempengaruhi khalayak. Mereka menjalankan arus informasi untuk mengubah tindakan, opini, pola pikir bahkan pandangan hidup orang banyak. New media kini dimanfaatkan oleh partai-partai politik untuk menjalankan kepentingan karena media memiliki kekuatan dalam mempengaruhi masyarakat. new media sangat efektif dalam menjalankan usaha partai politik untuk mempersuasikan atau melakukan propaganda. Peneliti memilih Pemilukada DKI karena menurut peneliti Pilkada tersebut mampu menarik perhatian semua kalangan. Pemilukada DKI tidak hanya menjadi perhatian warga Jakarta namun juga seluruh masyarakat Indonesia. Menariknya lagi adalah popularitas topik terkait Pemilukada DKI ini tidak hanya terdapat pada ruang publik dan media massa tetapi juga di dalam new media khususnya Twitter. Di Indonesia, Pusat Kajian Komunikasi (PUSKAKOM) UI (14 April 2015) menemukan sebuah fakta bahwa pengguna internet di Indonesia sudah mencapai angkat 88,1 Juta. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang ada 252,4 Juta, maka dapat dikatakan bahwa penetrasi pengguna internet di negara ini mencapai 34,9%. Angka tersebut meningkat cukup banyak bila dibandingkan dengan tahun 2013 dimana penetrasi internet baru mencapai 28,6%. Ini merupakan penemuan menarik lainnya yang disampaikan dalam hasil survei tersebut. Ternyata, 85% dari jumlah pengguna internet di Indonesia menggunakan perangkat seluler saat berselancar di dunia maya. Tidak kurang dari 87% pengguna internet di Indonesia mengaku menggunakan sosial media saat terhubung ke internet. Sebanyak 23,5 persen masyarakat Jakarta diperkirakan akan memilih Gubernur DKI Jakarta jika Pemilihan Gubernur DKI dilakukan di tahun 2017. Dalam rilis hasil surveinya pada Agustus 2016 tentang peluang kandidat-kandidat yang potensial berlaga di Pemilihan Gubernur DKI 2017, Direktur Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

Djayadi Hanan, saat survei dilaksanakan, kepuasan masyarakat Jakarta terhadap kepemimpinan Ahok, sapaan akrab Basuki, begitu tinggi. Nama-nama lainnya antara lain Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (1,4 persen), Wakil Ketua DPRD DKI Abraham Lunggana/Haji Lulung (0,8 persen), Wakil Gubernur DKI (0,3 persen), Sekretaris Daerah DKI Saefullah (0,2 persen), dan Ketua DPD Partai Demokrat DKI Nachrowi Ramli (0,3 persen). Pemberitaan melalui media dengan memanfaatkan media sosial memerlukan strategi dan metode yang tepat untuk mencitrakan diri sehingga secara tidak langsung bisa menaikkan popularitas. Baik ketika pemilihan umum itu berlangsung maupun setelah pemilihan umum yang bertujuan mempertahankan populatiras. Penelitian ini bertujuan untuk mencari pengaruh propaganda media sosial yang dilakukan Ahok yang digunakan di beberapa media, terutama media baru (internet) yaitu twitter sehingga mendapatkan effect popularitas di mata masyarakat

Ahok Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 Tantangan terbesar bagi tim media Ahok-Djarot adalah membangun dan mengembalikan citra positif terhadap masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa Ahok dikenal sebagai sosok yang kontroversial karena menurut banyak orang, gaya komunikasi Ahok tidak baik kepada pihak eksternal maupun internal. Ahok merupakan salah satu orang yang mempunyai gaya komunikasi agresif cenderung menekan, pernyataannya bisa membuat orang lain yang mendengarnya kesal, dan berpotensi menghilangkan kesabaran akibat tersinggung. Beberapa orang ada yang mengkritik gaya komunikasi Ahok yang tidak cocok menjadi pemimpin Jakarta, namun ada juga yang menilai gaya komunikasi Ahok cocok untuk membereskan masalah di ibu kota. Kasus Ahok yang menjadi perhatian besar adalah ketika Ahok melakukan kunjungan resmi di Kepulauan Seribu. Dalam pidato Ahok, terdapat pernyataan yang dinilai masyarakat telah menistakan agama, fatwa itu langsung dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hal ini kemudian membuat sejumlah masyarakat marah dan melakukan protes kepada pihak berwajib. Aksi bela islam 411 dan 212 memang ditujukan kepada Ahok ketika masa kampanye Pilkada DKI Jakarta. Momentum ini yang dimanfaatkan oleh pihak lawan Ahok yakni Agus-Syilvi dan Anies- Sandi. Sebagai akibatnya citra Ahok menjadi buruk dan elektabilitas Ahok menurun, secara otomatis dukungan mengalir kepada pihak pesaing Ahok. Ketika Ahok berkampanye di tengah masyarakat, ada sejumlah warga yang menolak dan menghadang. Berdasarkan hasil lembaga survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pengaruh aksi bela islam berdampak pada menurunnya elektabilitas pasangan calon Ahok-Djarot. Sebagai pelimpahanya suara beralih kepada pasangan lain. Hal ini memang tidak bisa dipungkiri isu agama menjadi sulit untuk dikontrol oleh tim Ahok-Djarot. Peristiwa inilah yang menjadi boomerang bagi tim Ahok-Djarot untuk membuat strategi bagaimana mengembalikan citra positif di tengah serangan kampanye hitam di berbagai media. Aksi bela islam ini telah mnurunkan elektabiltas Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Jika kembali lagi pada efek dari aksi masa terkait penistaan agama yang disampaikan oleh Ahok telah menimbulkan beberapa masalah di lapangan. Salah satu yang muncul adalah adanya Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

penghadangan dan penolakan pada saat Ahok kampanye menemui warga kerap terjadi. Untuk menghindari dari segala ancaman yang merugikan maka tim kampanye Ahok-Djarot membuat “Rumah Lembang” sebagai tempat berkumpulnya relawan dan simpatisan. Rumah Lembang juga digunakan untuk deklarasi berbagai elemen masyarakat dan menyampaikan aspirasi warga terhadap Ahok-Djarot. Tak heran bila banyak artis-artis datang dan memberikan dukungan kepada Ahok-Djarot, seperti band Slank, Adi MS, Luna Maya, Penyanyi Tompi, Ari Wibowo, Sys NS, dan lain-lain. Artis papan atas memiliki pengaruh cukup besar terhadap khalayak. Semua artis yang mendukung Ahok-Djarot memiliki akun pribadi media sosial dan memiliki followers’ yang jumlahnya mencapai ratusan ribu bahkan jutaan ini kemudian berbagi moment yang diabadikan bersama Ahok. Strategi ini adalah bagian dari membangun citra untuk menarik dukungan khalayak melalui media sosial seperti twiter, instagram, facebook, dan lain-lain. Postingan di media sosial baik video maupun foto membuat citra Ahok kian positif. Media yang digunakan tidak hanya tim resmi yang berada di struktur organisasi, akan tetapi relawan dan simpatisan telah memberikan efek positif kepada khalayak seperti foto perubahan Jakarta dan hasil kinerja Ahok.

Perilaku Politik Pemilih dalam Pemilukada DKI Jakarta 2017 Aspek terpenting dalam Pilkada DKI Jakarta adalah identifikasi prilaku pemilih. Secara sederhana, prilaku pemilih dibagi menjadi tiga golongan yaitu rasional, sosiologis, dan psikologis dikutip dalam buku Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004, sebagai berikut, Pertama Pemilih rasional yaitu berorientasi pada figur dan rekam jejak kandidat, serta tawaran program dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mereka tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kandidat atau partai. Hal yang terpenting adalah apa yang bisa dilakukan oleh kandidat. Kedua pemilih sosiologis yaitu berorientasi pada latar belakang dan ikatan sosial yang meliputi aspek etnik, ras, agama dan gender. Agama merupakan faktor sosiologis yang sangat kuat dalam mempengaruhi sikap pemilih terhadap kandidat. Selain agama, faktor kelas sosial (kalangan atas, menengah dan bawah) juga merupakan unsur yang berpengaruh terhadap pilihan politik seseorang. Ketiga Pemilih psikologis yaitu golongan masyarakat pemilih yang bukan partisan, yang tidak terlalu care dengan masalah politik dan tidak terikat oleh faktor sosiologis, sehingga sangat mudah terpengaruh oleh isu-isu yang berkembang. Mereka ini sebagian besar adalah pemilih pemula (Asfhar, 2006:137-144). Dalam debat pertama, kedua, dan ketiga sebagai faktor pemilih rasional memutuskan memilih Ahok-Djarot. Dalam debat Ahok-Djarot unggul karena argumentasi yang tepat dengan memaparkan data dan hasil kinerja yang sudah diselesaikan. Itulah sebabnya mengapa Ahok- Djarot lebih diuntungkan dibanding kompetitornya. Sebab pemilih Jakarta dikenal sebagai pemilih kritis dapat merasakan dan melihat perubahan baik segi pembangunan maupun birokrasi. Citra Ahok-Djarot dalam debat pertama, kedua, dan ketiga terus meningkat ke arah positif. Meski status tersangka penistaan agama masih melekat di Ahok, akan tetapi tim media mampu mengkontruksi image dengan baik. Di dalam debat ketiga sebagai manifestasi pengabdiannya kepada warga Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

Jakarta, Ahok-Djarot menampilkan foto yang dulunya tempat prostitusi menjadi tempat wahana bermain anak-anak dan sebagai fasilitas olahraga. Sedangkan dua pasangan penantang, yaitu Anis-Sandi dan Agus-Silvi banyak didukung oleh pemilih sosiologis, terutama terkait aspek agama dan karakter budaya. Agus-Syilvi representasi laki-laki dan perempuan, Jawa-Betawi, Militer-PNS, dan dukungan partai politik serta ormas. Basis kekuatan ini menjadi modal Agus-Syilvi berada di atas puncak di berbagai survei. Namun, pada debat dalam tiga kali sejak Januari-Febuari tidak terlalu meyakinkan warga DKI. Dalam survei Anies-Sandi berada di posisi akhir, akan tetapi pada fase Januari 2017 elektabilitas terus menanjak. Penyebab kenaikan elektabilitas Anies-Sandi adalah debat pertama, kedua, dan ketiga tampil impresif dan lugas. Kemudian merosotnya elektabilitas Agus-Sylvi sebagai limpahan ke Anies-Sandi. Namun pada akhirnya saat pemungutan suara Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat berhasil unggul berdasarkan real count KPUD Jakarta di putaran pertama.

Kekuatan Media Sosial Ahok Jumlah pengguna internet yang cukup tinggi di Indonesia menjadikan media sosial sebagai ruang publik yang penting dalam berbagai aktivitas politik. Ini juga berlaku di kancah Pilkada DKI Jakarta2017. Kemampuan tiga pasangan calon dalam menggalang opini di dunia maya, diyakini sebagai salah satu penentu keberhasilan dalam meraih suara terbanyak saat hari pencoblosan. Tak dipungkiri lagi, di era digital, ketiga pasangan calon yang bertarung di Pilkada DKI Jakarta mau tak mau juga harus bertarung di dunia maya. Sedemikian penting pertarungan di dunia maya itu sehingga masing-masing pasangan calon membentuk tim yang khusus beroperasi di jagat siber. Tim kampanye -Sandiga Uno, misalnya, mendaftarkan 14 akun media sosial yang akan digunakan selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta. Jumlah itu adalah yang terbanyak dibandingkan jumlah yang didaftarkan oleh tim kampanye dari pasangan calon Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan pasangan calon Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana. Namun, terlepas dari jumlah tersebut, ketiga pasangan calon memiliki tujuan yang sama, yakni memengaruhi opini pengguna internet di Jakarta sehingga mampu mengambil suara mereka. Buzzer menjadi salah satu aktor paling penting dalam penggalangan opini di dunia maya. Belum ada definisi baku untuk kata tersebut. Namun buzzer bisa juga disebut sebagai aktor, baik secara individu maupun kelompok, yang menjalankan fungsi- fungsi pemasaran untuk 'menjual' produk mereka. Pengamat politik dari LIPI, Wasisto Raharjo Jati dalam wawancara dengan CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu, memilah tiga aktor utama dalam kampanye di dunia maya. Mereka adalah buzzer, influencer dan follower. Ketiganya memiliki kapasitas dan peran yang berbeda. Dalam konteks kampanye, buzzer menurut Wasis berperan sebagai otak yang membentuk sebuah wacana tertentu. Influencer adalah sosok yang memiliki pengaruh di dunia maya yang ditandai dengan banyaknya jumlah follower akun mereka. Pertanyaannya adalah seberapa jauh strategi kampanye atau konstruksi wacana di media sosial, yang digalang para buzzer dan influencer, berhasil memengaruhi opini dan preferensi masyarakat dalam memilih Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

calon mereka. Jika melihat dari Pemilu Presiden 2014, itu efektif. Karena masyarakat saat ini lebih memilih mencari informasi dari media sosial. Masyarakat sangat tertarik mencari berita baru, dan sebagian besar mereka bukan kelompok yang terikat ideologi tertentu sehingga keputusannya bersifat dinamisMedia social menjadi sarana paling efektif dalam kampanye pilkada DKI Jakarta di tahun 2016-2017 ini. Berdasarkan data Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (Puskakom UI) tahun 2015, pengguna internet di Jakarta mencapai 40 persen dari total pengguna internet di Indonesia yang sebesar 88,1 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Jakarta merupakan kota dengan pengguna Twitter terbesar di dunia. Sementara data Political Wave terkait Pilkada Jakarta menunjukkan, angka pengguna media sosial terus meningkat. Hal itu bisa dilihat dari kenaikan masing-masing calon pasangan. Misal percakapan pasangan Ahok-Djarot. Pada 9 November mencapai 30 ribu dan menjadi 46 ribu pada 11 November. Tiga hari kemudian, angkanya mencapa 56 ribu. Pasangan ini unggul dengan 295 ribu atau 82,5 persen. Sedangkan pasangan Agus-Sylvi, pada 9 November, juga naik dari 2.000 ke 4.000 percakapan. Kemudian naik hingga 11 ribu pada 13 November. Dua hari berikutnya, berangsur turun di kisaran 5.000-3.000 percakapan. Total percakapan pasangan ini mencapai 40.000 atau 11,2 persen. Sementara pasangan Anies-Sandi, percakapan di media sosial yang awalnya dimulai dari angka 3.000 naik menjadi 4.000. Kemudian berfluktuasi di angka 3.000 dan 2.000. Pada 15 November turun menjadi 1.200 percakapan dengan total hasil percakapan mencapai 22.000 atau 6,3 persen. Tensi di media sosial memang meningkat di setiap masa pemilihan pemimpin baru, seperti Pilkada atau Pilpres. Sebab publik ingin mendapatkan pemimpin terbaik dengan men-share segala info yang menguntungkan kandidat pilihannya. Karena mereka tidak bisa berbicara di media konvensional, maka media sosial menjadi jalan keluar. Berdasarkan data tweet yang paling banyak dibicarakan terkait bakal pasangan calon gubernur DKI Jakarta, perbincangan mengenai Ahok baik positif maupun negatif mencapai 76% atau terdapat sekitar 2,6 juta tweet yang membicarakan Ahok dalam waktu tiga bulan. Sedangkan untuk posisi kedua paling populer ditempati oleh Yusril, sebanyak 10 %. Lalu, Ahmad Dhani berada di posisi ketiga dengan popularitas 5% serta dan Haji Lulung berada di posisi selanjutnya dengan popularitas sebesar 4%. Di posisi terakhir adalah Adhyaksa Dault dengan popularitas sebesar 1%. Survey ini juga diperkuat dengan data yang disampaikan oleh Populi Center yang menunjukan bahwa popularitas Ahok tetap paling tinggi diatas kandidat lain. Populi Center adalah lembaga nirlaba untuk pengkajian opini publik dan kebijakan publik yang berkedudukan di Jakarta. Lembaga ini dimaksudkan untuk melakukan kajian-kajian empirik persepsi publik mengenai masalah sosial politik dan ekonomi khususnya yang terkait dengan kepemimpinan nasional dan local pemilihan umum dan kebijakan publik yang menjadi perhatian masyarakat luas. Dalam pemilukada DKI Jakarta 2016-2017 terdapat beberapa calon kandidat yang mengajukan diri menjadi gubernur. Namun nama Ahok dalam survey tetap menempati posisi paling tinggi. Pada masa awal pencalonan tingkat popularitas Ahok merupakan yang paling tinggi dari semua calon kandidat. Ini dibuktikan dari survey yang dilakukan oleh Populi Center. Saat sudah terpilih sebagai calon kandidat gubernur DKI Jakartapun kondisinya tetap sama. Terdapat 3 calon Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

kandidat gubernur yaitu Ahok-Djarot, Anies-Sandi dan Agus-Sylvi. Ketika dilakukan survey oleh salah satu forum diskusi yang cukup besar di Indonesia yaitu Kaskus, maka hasilnya pun mempertegas popularitas Ahok dalam survey tersebut. Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa pendukung Ahok di media social cukup tinggi. Data lainnya yang bisa menjadi salah satu dasar mengapa Ahok menguasai media social adalah dapat dilihat dari follower masing-masing kandidat di media social. Berdasarkan analisa dari salah satu organisasi yang focus dalam mengolah data menjadi solusi yaitu Provetic selama 23 September hingga 9 Oktober 2016, pembicaraan di Twitter didominasi oleh Ahok. Sekitar 27 persen dari total pembicaraan Ahok disebabkan oleh akun-akun bot. Sementara lebih dari setengah total pembicaraan mengenai Agus dan Anies dipicu oleh akun- akun bot. Selama periode pengambilan data, terdeteksi ada 3 lonjakan yang sangat signifikan pada perbincangan mengenai Ahok, yaitu 6, 7, dan 9 Oktober yang dipicu oleh kutipan Alquran dan survei LSI yang menunjukkan potensi kekalahan Ahok. Ketika terjadi masalah terkait kutipan Al- Quran pada bulan Oktober tersebut Ahok tingkat popularitasnya semakin tinggi. Ini terjadi karena beberapa hal berdasarkan teori yang penulis sudah sampaikan sebelumnya. Sebagai komunikator Ahok dan tim kampanye nya memiliki pengaruh yang cukup besar dalam setiap topik yang dibahas. Walaupun sentiment ini bukan sentiment yang positif terhadap calon tersebut namun penulis melihat bagaimana para calon pemilih dapat langsung terpengaruh untuk kemudian membahasnya di media social. Jika dibandingkan lagi dengan beberapa media social yang ada di Indonesia berdasarkan data dari survey yang dilakukan oleh Institute for Transformation Studies (Intrans), dimana dalam survey tersebut telah dipetakan jumlah pendukung 2 kandidat yang lolos pada putaran kedua yang menjelaskan bahwa Ahok-Djarot memiliki pendukung sebesar 648.000 pendukung dibandingkan dengan Anies-Sandi yang hanya didukung 168.000 pendukung. Total pendukung yang cukup tinggi bagi Ahok-Djarot juga berpengaruh pada bagaimana public merespon setiap materi kampanye / informasi yang di bagikan di media social. Ini terlihat dari data total Likes yang di survey oleh Intrans selama kampanye berlangsung. Jumlah ini cukup tinggi dimana 3,76 juta orang menyukai materi yang di share oleh Ahok-Djarot dan Anies-Sandi hanya mendapatkan 1,91 juta orang. Pada bulan September dan oktober kontroversi terkait Surat Al Maidah ayat 51 terhadap Ahok justru semakin mempopulerkan sosoknya. Pernyataan Ahok mengenai Surat Al Maidah Ayat 51 yang menjadi kontroversi, membuat pemberitaan Ahok di media berita 'online' maupun media sosial jadi semakin gencar dan meningkatkan popularitasnya. Berdasarkan analisis yang dilakukan di media sosial pada periode 21 September hingga 17 Oktober 2016, terhadap tiga calon gubernur DKI Jakarta, dipersepsikan Ahok berhadap-hadapan dengan dua calon gubernur lainnya yakni Agus Harimurti Yudhoyono dan Anies Baswedan. Pemberitaan atau komentar terhadap Ahok selalu mendominasi media online dan media sosial sehingga popularitasnya makin meningkat. Peningkatan popularitas ini, karena masyarakat Jakarta, sangat ingin tahu kontroversi surat Al Maidah ayat 51 sehingga menyebabkan popularitas Ahok saat itu hampir 100 persen menurut pendapat analisi media social, Tomi Satryatomo. Efek dari hal ini ternyata juga berpengaruh kepada tingkat elektabilitas dari calon gubernur DKI Jakarta, Ahok yang dirilis oleh Populi yang menyatakan bahwa jika pemilukada diadakan sekarang maka calon gubernur siapa yang akan dipilih. Ahok-Djarot mendapatkan persentase sebesar 45.5 %, Anies- Sandi 23,5 % dan Agus-Silvy 15,8 % jika dipilih saat itu. Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

Jika melihat informasi yang ada di media social maupun cetak popularitas Ahok terus berada diatas. Terdapat beberapa peristiwa yang semakin membuat popularitasnya tetap berada diatas yaitu, salah satunya adalah ketika Ahok melontarkan pernyataan kepada Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma`ruf Amin. Citra pasangan kandidat gubernur DKI Jakarta Ahok-Djarot di media sosial menjadi negative namun tetap popular. Berdasarkan pemantauan Tempo.co dan Politicawave skor keterpilihan kandidat, khususnya Net Sentiment, skor Ahok-Djarot pada saat itu sekitar minus 5.000. Skor Net Sentiment Ahok-Djarot minus 57.6788 pada 1 Januari 2017 dan terus turun menjadi minus 117 ribu pada 2 Januari 2017. Skor ini mirip dengan saat terjadinya aksi menuntut Ahok diadili pada aksi 411 (4 November 2016) dan aksi 212 (2 Desember 2016). Sebulan setelah aksi, saat suasana mereda, skor Net Sentiment Ahok sebenarnya sempat naik ke minus 5.000. Jumlah pesan di Twitter yang menyebut Ahok memang tetap paling banyak. Namun, senitmen pesan itu negatif. Berkaca dalam kasus Pilkada DKI Jakarta DKI 2012 skor keterpilihan kandidat dan net sentiment, selaras dengan hasil pilkada. Artinya, bila pemilihan dilakukan saat ini Ahok bisa kalah. Menurunnya skor Net Sentiment Ahok-Djarot ini terlihat pada tagar #AhokHinaUlama yang menjadi trending topic nomor dua di media sosila Twitter di Indonesia pada Rabu 1 Januari 2017. Pada saat yang sama tagar #Ma`ruf Amin juga menjadi trending topic dengan jumlah pesan tweet 70,5 ribu pesan. Dalam survei yang dilakukan oleh Saiful Muljani Research Center (SMRC), di 14 Januari elektabilitas Ahok-Djarot naik 6 persen, Anies Baswedan-Sandiaga Uno naik 2 persen dan Agus Yudhoyono- turun 8,3 persen. Dengan pergerakan itu, elektabilitas Ahok-Djarot mencapai 34,8 persen, Anies-Sandi 26,4 persen, dan Agus-Sylvi 22,5 persen. Sebagai pembanding survei Pollmark yang dilakukan pada 5 Januari menempatkan Agus-Sylvi 29,9 persen, Ahok- Djarot 28,9 persen, Anies-Sandi, 31,7 persen. Namun, respon Ahok terhadap Ketua MUI Ma`ruf Amin yang juga Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di media sosial saat itu telah mengubah peta dukungan. Massa tradisional NU marah sehingga citranya menurun lagi. Pada grafik 4.10 dapat dilihat perubahan tingkat popularitas terhadapa ketiga pasangan calon gubernur DKI Jakarta. Walaupun terdapat sentimen negative mengenai apa yang dilakukan oleh Ahok dalam beberapa hal terkait dengan masalah penistaan agama, hal ini tidak menurunkan popularitas Ahok hingga bulan Februari 2017

Teknik Propaganda Ahok melalui Media Sosial Jika dilihat dari popularitas Ahok mulai dari awal tahun 2016 yang masih sebagai calon kandidat gubernur, hingga akhinrya maju sebagai calon independen yang kemudian bekerjasama dengan beberapa partai untuk turut mendukungnya dalam pemilukada DKI Jakarta 2017, dapat dilihat bahwa popularitas Ahok selalu berada diatas dalam setiap survey yang dilakukan oleh media social maupun beberapa lembaga survei. Hal apa sajakah yang menjadi strategi bagi tim kampanye Ahok selama masa kampanye hingga bisa ke putaran kedua pemilukada DKI Jakarrta. Berikut ini merupakan beberapa Analisa terkait tipe teknik propaganda yang dilakukan oleh tim pemenangan Ahok-Djarot selama pemilukada DKI Jakarta. Dalam Praktik komunikasi politik, sejumlah teknik propaganda yang digunakan bahkan diandalkan dalam upaya mengubah cara pandang adalah sebagai berikut : Pertama, Name Calling, yaitu Memberi label buruk kepada Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

gagasan, orang, objek atau tujuan agar orang menolak suatu tanpa menguji kenyataannya. Jika kita lihat pada beberapa twitter dukungan dari tim yang mendukung ahok ada beberapa contoh untuk name calling yang cukup jelas. Salah satunya adalah dari twitter @gunromli yang menyatakan bahwa ahok tidak butuh buzzer bayaran. Fokusnya adalah pada label buzzer bayaran namun yang ditekankan adalah pada kerja nyata dari ahok sehingga tidak butuh buzzer bayaran Karena hasil kerjanya sudah dapat terlihat. Selain itu beberapa tweet lainnya yang memberikan contoh ini adalah ketika partai memilih untuk mengalihkan suara ke calon gubernur lainnya hanya karena kebencian terhadap Ahok. Sehingga hal ini tidak menunjukan bahwa partai politik seharusnya melihat pada hasil kerja calon gubernur sebelumnya, bukan dari suka atau tidak suka. Contoh lainnya adalah ketika pendukung Ahok menuduh calon gubernur lainnya sebagai “rasis”. Hal ini menyebutkan nama kandidat lain yang menurut pendapat mereka perilakunya tidak sesuai dengan norma yang berlaku di Indonesia yaitu rasisme. Kedua, Glittering Generalities adalah teknik propaganda menggunakan “kata yang baik” untuk melukiskan sesuatu agar mendapat dukungan, lagi-lagi tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi itu. Tweet ini termasuk dalam kategori Glittering Generalities Karena penulis menemukan penggunaan “kata yang baik” atau “kata bijak yang membuat kita menerima dan menyetujui hal itu tanpa memeriksa terlebih dahulu. Contohnya adalah sebagai berikut :

Penyebutan kata “abdi rakyat nan jujur, berani,tegas dan cerdas” merupakan label kata yang baik

Dalam salah satu tweet tersebut disampaikan oleh seorang tokoh pendukung ahok yang dalam kesehariannya juga santun sehingga apa yang disampaikanya dalam twitter maka tidak diragukan lagi “kata-kata baiknya” oleh para follower nya sehingga ini menjadi salah satu penanda kategori propaganda juga. Teknik propaganda ini digunakan untuk menonjolkan propagandis dengan mengidentifikasi dirinya dengan segala apa yang serba luhur dan agung. Dalam beberapa tweet menyebutkan bagaimana calon kandidat gubernur lainnya menikmati suasana kampanye yang santai dan enak, namun kondisi Ahok-Djarot lebih memfokuskan kampanye sembari menolong warga yang membutuhkan bantuan mereka. Ini menjadi pembeda antara Ahok-Djarot Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

dengan kandidat lainnya. Penekanan kerja nyata dalam setiap blusukanya walaupun sedang kampanye menekankan kembali branding Ahok yang dicirikan sebagai pelayan warga. Seperti yang disampaikan Ahok pada saat debat cagub yang menyatakan bahwa para pegawai PNS harus bekerja sebagai pelayan yang melayani masyarakat DKI dan juga menegaskan bahwa dirinya tidak ingin menjadi seorang pemimpin melainkan menjadi pelayan warga DKI Jakarta. Ketiga, Plain Folks adalah propaganda yang mengatakan bahwa pembicara berpihak kepada khalayaknya dalam usaha bersama yang kolaboratif. Plain Folks juga merupakan propaganda dengan menggunakan cara memberi identifikasi terhadap suatu ide. Teknik ini mengidentikan yang dipropagandakan milik atau mengabdi pada komunikan.

Dukungan dari Muhammadiyah DKI menjadi salah satu penekanan kembali contoh propaganda Plain Folks yang dilakukan. Ini menunjukan bahwa umat muslim juga mendukung Ahok

Keempat, Testimonial adalah memperoleh ucapan orang yang dihormati atau dibenci untuk mempromosikan atau meremehkan suatu maksud. Kita mengenalnya dalam dukungan politik yang digunakan oleh tokoh terkenal, dll. Testimonial berisi perkataan manusia yang dihormati atau dibenci bahwa idea tau program/produk adalah baik atau buruk. Propaganda ini sering digunakan dalam kegiatan komersial meskipun juga bisa digunakan untuk kegiatan politik

Salah satu testimony dari pendukung Anies yang kini lebih memilih mendukung Ahok karena melihat kerja nyata dari Ahok

Tweet ini termasuk dalam kategori Testimonial karena terdapat usaha untuk menggembar- gemborkan kesuksesan dan orang akan turut serta dalam gagasan. Jika kita lihat orang yang melakukan tweet ini adalah orang-orang yang memiliki follower banyak dan dampaknya menjadi lebih besar bagi masyarakat di Jakarta. Selain contoh tersebut terdapat contoh lainnya lagi yang menceritakan pengalaman seseorang bekerja bersama calon gubernur tersebut sehingga membuat orang simpatik. Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

Dalam tweet yang disampaikan oleh berbagai pendukung Ahok di media social ini, mereka melampirkan bukti nyata dari kerja Ahok. Hal ini semakin mendukung branding Ahok yang selalu menekankan kerja nyata, tegas dan bersih. Bukti foto yang dilampirkan oleh masing-masing pendukung Ahok ini menjadikan kekuatan propaganda testimonial yang dilakukan oleh tim kampanye Ahok menjadi lebih efektif. Berdasarkan strategi tim Ahok melalui media social ini maka peneliti menduga bahwa jenis propaganda yang digunakan oleh tim Ahok adalah dengan propaganda vertical. Propaganda vertical adalah representasi propaganda satu-ke- pada-banyak (one-to-many). Seorang atau sekelompok propagandis yang menjalankan skema kegiatan sistematis berupaya memaksimalkan saluran-saluran yang dalam waktu cepat dan mudah bisa menjangkau khalayak atau sasaran propaganda. Misalnya melalui media massa, propagandis menyebarkan isu sehingga isu tersebut diterima secara massif dan serentak. Propaganda ini memang tidak semata identik dengan media massa, bisa juga melalui sebuah struktur organisasi yang memungkinkan dalam waktu singkat seluruh komponen organisasi terpengaruh. Masalahnya propaganda ini dijalankan lewat orang atau sekelompok orang yang menjadi pimpinan di sebuah organisasi. Peran buzzer dalam twitter melalui serangkaian tweet yang disampaikan oleh tim Ahok maupun pendukungnya bentuknya lebih terstruktur dengan isu yang sama di masing-masing tim. Kekuatan tim media Ahok menggunakan twitter dimanfaatkan untuk mempengaruhi masyarakat DKI Jakarta untuk popularitas Ahok.

Pengaruh Buzzer Dalam Popularitas Ahok di Media Sosial Selama pemilukada DKI Jakarta, pasangan calon gubernur Ahok-Djarot selalu menduduki popularitas paling tinggi dalam setiap survey yang dilakukan lembaga survey. Baik itu di media massa ataupun media social. Namun dalam survei tersebut juga dapat dilihat bahwa kemampuan tim kampanye Ahok-Djarot dalam media social menjadi salah satu pembeda bagi pasangan kandidat gubernur lainnya. Dalam media sosial, fenomena buzzer yang berkampanye untuk salah satu kandidat tertentu tidak sepenuhnya murni sebagai pendukung, karena ada juga yang bekerja profesional dengan tujuan memperoleh imbalan tertentu. Istilah buzzer atau bot, memang dikenal dalam dunia maya sebagai suatu aktivitas seseorang atau kelompok tertentu yang sengaja membuat propaganda terhadap produk politik (kontestan) dengan tujuan menimbulkan gangguan terhadap produk politik kompetitor. Sejatinya, istilah buzzer merujuk kepada istilah dalam dunia marketing yang memiliki aktivitas sama, yaitu memunculkan gangguan terhadap produk yang sedang diluncurkan competitor. Buzzer adalah sebuah predikat yang namanya diambil dari kata dasar Buzz yang artinya ‘pembicaraan’ atau ‘percakapan’. Sehingga Buzzer sendiri adalah orang yang diharapkan bisa membuat sebuah topik/keywords jadi sebuah pembicaraan bukan saja di dunia online tapi juga in real world. Banyak yang menganggap bahwa kekuatan buzzer itu bisa diukur dari jumlah follower-nya, namun sebenarnya tidak bisa hanya berhenti sampai disitu. Seorang buzzer seharusnya terlepas dari jumlah follower yang ia miliki harus memiliki kemampuan membangun buzz. Dan jika iya juga memiliki jumlah follower yang banyak maka itu adalah nilai plus buat si buzzer tersebut. Aturan tidak tertulis dalam menggunakan buzzer pada saat ini memang masih dihitung dari tweetberisikan pesan tersebut, dengan kata lain mereka dibayar dari jumlah Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

tweet yang diminta oleh perusahaan/brand/agency yang meng-hired mereka. Penghitungan success rate-nya adalah dari jumlah tweet yang di-retweet, sehingga bisa diukur seberapa jauh si pesan tersebut bisa menjangkau dalam hitungan jumlah retweet tersebut (artinya makin besar jumlah retweet, makin besar pula nilai reach-nya). Kampanye politik memiliki keterkaitan yang sama dengan aktivitas marketing, mereka memperkenalkan, membuat propaganda, membuat branding dan positioning dan yang paling sering dilakukan adalah membuat gangguan terhadap kompetitor agar publik terpengaruh untuk tidak memilih produk milik competitor. Jika merujuk kembali kepada buzzer yang digunakan oleh Ahok-Djarot berdasarkan data Katapedia yang mengamati selama empat hari dari 10-13 November 2016, terlihat cuitan seputar pasangan Ahok-Djarot (kandidat nomor 2, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat) begitu mendominasi. Selama empat hari, itu, Katapedia mengolah data Twitter saja sebanyak 184.093 tweets. Jumlah tweets terbesar membicarakan pasangan Ahok-Djarot (92,47%), disusul jauh di belakangnya pasangan Agus-Sylvi (5,71%) dan yang terakhir pasangan Anies-Sandi (1,82%). Katapedia adalah perusahaan penyedia layanan data analytics yang tersedia secara online, terutama media sosial. Dari data akun yang berhasil diperoleh Katapedia, dalam empat hari, telah terdeteksi jumlah akun-akun buzzer yang cukup besar dan yang terbesar adalah buzzer Ahok-Djarot dengan jumlah diatas 40.000-an. Dilanjutkan dengan buzzer Agus-Sylvi dengan jumlah sekitar 3.000-an, dan terakhir buzzer Anies-Sandi sekitar 1.200-an saja. Diperkirakan, bila ada polling online oleh media apapun dan siapapun, maka tim buzzer ini (cyber army) akan bekerja untuk memenangkan polling tersebut. Jadi sudah pasti bisa ditebak pasangan mana yang akan memenangkan polling online tersebut. Katapedia juga mengukur efektifitas kampanye online dari masing-masing kandidat. Untuk Agus-Sylvi efektifitas kampanye online-nya sekitar 32,40 %. Yang terendah adalah Ahok-Djarot, dengan efektifitas kampanye online-nya hanya 25,31 %. Artinya, pembicaraan hanya didominasi oleh tim buzzer Ahok-Djarot, tidak memberikan efek signifikan untuk menginspirasi netizen memilih pasangan ini. Dan untuk Anies-Sandi, efektifitas kampanye online-nya yang tertinggi, yakni sebesar 49,07 %. Untuk melihat kekuatan Buzzer Ahok juga dapat dilakukan dengan menggunakan twitter analysis yang bisa menunjukan trend dari masing-masing. Seperti data di bawah ini yang menunjukan kekuatan buzzer ahok untuk menggunakan tagar #AhokTersangka dan #KamiAhok pada bulan November 2016. Sebagai pembanding data di Gambar 4.5 dapat dilihat juga grafik trend di Grafik dibawah ini yang menunjukan bahwa dalam waktu 2 jam saja ada 10.500 tweet yang mengusung tagar #KamiAhok. Dari tweet analysis ini hanya ada 3 buzzer dominan Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

yang menjadikan #KamiAhok menjadi trending topik yaitu @kurawa,@gunromli dan @digembok. Ketiga buzzer tersebut memiliki followers yang cukup besar di twitter yang kemudian dapat memberikan dampak yang besar pada strategi kampanye tim Ahok. Contohnya adalah @kurawa yang memiliki followers sebanyak 233.000, @gunromli memiliki followers sebanyak 136.000, dan @digembok sebesar 56.000 followers. Dari Twitter tersebut, bisa dilihat seberapa banyak publik yang menaruh perhatian terhadap tokoh tersebut dari seberapa banyak follower yang dimiliki tokoh tersebut. Semakin banyak jumlah follower-nya, artinya semakin banyak publik yang menaruh perhatian terhadap tokoh tersebut dan semakin banyak yang melakukan mention tokoh tersebut, artinya semakin banyak pula publik yang ingin berkomunikasi dengan tokoh tersebut. Tweet yang ditulis tokoh politik mampu menunjukkan opininya terkait isu-isu politik sehingga follower-nya bisa mengetahui bagaimana stand politiknya terhadap suatu isu atau keadaan. Dari sinilah akan terjadi komunikasi dua arah antara tokoh politik tersebut dengan para follower-nya. Pemanfaatan Twitter sebagai media mendekatkan tokoh politik dengan publiknya memang cara baik dan paling murah. Maka jika melihat dari 3 dominan buzzer yang mendukung Ahok, dapat dianalisa berapa banyak pengaruhnya terhadap para pendukung Ahok di media social. Jika melihat data peningkatan hastag ini maka dapat dilihat bahwa ini setara dengan 5250 twit/jam, atau 87.5 twit/menit, ATAU 1,5 twit/detik. Hal ini tidak rasional sehingga semakin menunjukan bahwa kekuatan Buzzer / Bot yang berada dibalik trend di twitter ini. Jika menganalisa lebih dekat lagi maka dapat terlihat sesuai gambar dibawah ini dimana terdapat jarak polarisasi yang sama yang telah menunjukan pengulangan tagar / hastag yang dapat diasumsikan sebagai bot. Pada saat debat kandidat di putaran kedua juga dapat dilihat pada tweet analytic yang menunjukan bagaimana kekuatan buzzer Ahok. Efek Bot / Buzzer ini bukan hanya memberikan dampak positif bagi Ahok-Djarot di media social namun ada sisi negatifnya. Terutama pada kasus penistaan agama yaitu Al-Maidah 51 dimana sikap para buzzer pendukung Ahok yang bukan meredakan malah justru memprovokasi masyarakat. Buzzer Ahok ini terdapat beberapa yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang telah membuat masyarakat resah. Sehingga kemudian perang di sosial media yang tadinya hanya dilakukan oleh para pendukung pun kini sudah melibatkan masyarakat yang tadinya tidak peduli. Mereka menjadi aktif di sosial media karena tidak setuju dengan perilaku para buzzer pendukung Ahok. Sebagai contoh para buzzer pendukung Ahok yang kerap kali membuat pernyataan SARA dan menyerang Islam sehingga membuat kondisi menjadi seperti bola salju yang terus membesar dan siap meluluhlantakkan Ahok dan para pendukungnya. Salah satu contoh tweet yang meresahkan adalah dari pendukung Ahok ini yang kemudian bisa memicu kebencian dari pihak lainnya yang dapat berpengaruh pada perilaku kedua pendukung. Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

Terdapat banyak strategi pemasaran yang diterapkan para buzzer. Secara umum, strategi itu terbagi dalam dua cara: strategi melalui kampanye negatif dan positif. Hanya saja, pemakaian istilah buzzer di media sosial cenderung diidentikkan dengan penggunaan strategi kampanye negatif sehingga membuat istilah tersebut terkesan negative. Selain buzzer, tim Ahok-Djarot juga memiliki pasukan khusus yang bekerja di media sosial. Pasukan itu dinamai Jakarta Ahok Social Media Volunteers (Jasmev). Para sukarelawan ini di ikutkan ke dalam grup-grup WhatsApp berdasarkan wilayah. Di dalam grup ini mereka saling berbagi informasi dan berdiskusi bagaimana mengatur materi kampanye di media social yaitu Twitter. Model kampanye yang sering mereka lakukan adalah menunjukkan klaim hasil kerja nyata Ahok melalui foto, video, dan cerita. Cara lainnya lagi yang dilakukan oleh tim Jasmev adalah dengan mengenalkan program- program Ahok kepada masyarakat lewat sentuhan poster digital dengan desain menarik dan mudah dipahami. Mereka bekerja dengan bebas memilih isu yang dianggap menarik. Namun, mereka juga melawan balik isu-isu yang menyudutkan Ahok. Misalnya isu penggusuran di Kalijodo, lokasi prostitusi di Jakarta Barat, Jasmev melawan isu itu dengan mengunggah foto dan video pemandangan Kalijodo yang rapi dan bersih sesudah digusur. Pasukan Jasmev bekerja lebih massif ketimbang pasukan siber bentukan Anies-Sandi. Sebagai perbandingan untuk melihat perbedaaan tim ini kita dapat melihat pada kandidat gubernur lainnya dimana tim operator media sosial Anies- Sandiaga hanya 25 orang, menurut Reiza Patters yang punya akun twitter dengan 11,5 ribu pengikut (per 21 April). Di kubu paslon 3 ini pun ada komedian tunggal Pandji Pragiwaksono (1,02 juta pengikut per 21 April). Dua puluh lima orang itu khusus operator saja. Jika melihat data yang ada maka tim kampanye Ahok-Djarot memilih strategi komunikasi politik sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Cangara (2009) dimana komunikasi politik diantaranya berfungsi untuk; Pertama, memberikan informasi kepada masyarakat terhadap usaha- usaha yang dilakukan lembaga politik maupun dalam hubungannya dengan pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini tim Ahok-Djarot melakukannya dengan menyebarkan informasi terkait target atau pencapaian yang sudah dilakukan oleh Ahok-Djarot selama menjabat. Terutama melalui media social twitter dan juga tim kampanyenya. Kedua, melakukan sosialisasi tentang kebijakan, program, dan tujuan lembaga politik. Untuk sosialisasi ini tim Ahok-Djarot melakukan sosialisasi dengan blusukan ke daerah-daerah yang merupakan target suara dari tim ini. Setelah itu setiap kunjungan tersebut di sampaikan kembali ke social media untuk menjadi awareness bagi para warga DKI Jakarta bahwa ini merupakan program mereka dan juga hasil yang mereka dapatkan selama ini. Ketiga memberikan motivasi kepada politisi, fungsionaris, dan para pendukung partai. Dengan adanya Rumah Lembang menjadikan wadah bagi tim Ahok-Djarot untuk menggalang suara dari para pendukung partai dan politisi. Ini menjadi wadah untuk bertukar ide dan juga membahas strategi pemenangan. Keempat, Menjadi platform yang bisa menampung ide-ide masyarakat sehingga menjadi bahan pembicaraan dalam bentuk opini publik. Untuk hal ini Ahok-Djarot menggunakan Rumah Lembang juga tim relawan Ahok-Djarot yang membantu dalam proses pemilu. Seperti pada saat putaran pertama ketika terjadi masalah dalam pemungutan suara di beberapa lokasi. Kelima, meningkatkan aktivitas politik masyarakat melalui siaran berita, agenda setting, maupun komentator-komentator politik. Hal ini paling rutin dilakukan oleh tim media ahok melalu media social untuk menunjukan brand dari Ahok-Djarot sendiri agar kembali terpilih dalam Pilkada DKI Jakarta ini. Dalam hal ini Ahok-Djarot juga menekankan citra positif dirinya di para pendukung yang kemudian di posting ulang oleh para pendukung baik para artis ataupun politisi di twitter dengan Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

tujuan untuk mempengaruhi pendapat para pemilih di Jakarta. Jika melihat para follower dan pendukung Ahok-Djarot yang cukup tinggi maka kegiatan ini mereka fokuskan di media social. Hasil popularitas Ahok yang selalu berada diatas dalam setiap survey yang dilakukan adalah salah satu bukti kemampuan dari tim media social kampanye Ahok. Selain dengan strategi propaganda tersebut, Ahok juga menggunakan Buzzer. Berdasarkan data yang sudah disampaikan dapat disimpulkan bahwa popularitas Ahok yang didukung dengan adanya buzzer hanya bisa membantu menaikan popularitas di media social. Tingkap popularitas yang tetap tinggi dalam berbagai isu yang dialami oleh Ahok-Djarot ternyata tidak berbanding lurus dengan Elektabilitasnya. Jika merujuk pada data yang sudah disampaikan Elektabilitas Ahok mulai menurun pada saat berbagai kasus menerpa calon gubernur tersebut. Kasus ini bukan hanya mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Ahok namun ketidakmampuan tim kampanye Ahok untuk mengimbangi pendekatan di media social dan pendekatan di masyarakat secara langsung menyebabkan data yang didapatkan dalam popularitas tersebut menjadi semu. Terlihat besar di media social namun ternyata ini terjadi karena ada buzzer yang mendorongnya dan tidak ada lagi lingkaran lain selain buzzer yang mendukung kekuatan Ahok. Hal ini juga semakin diperburuk ketika selama proses kampanye tahap kedua, Ahok-Djarot ditolak oleh beberapa masyarakat di beberapa daerah di Jakarta sehingga menyebabkan, sosialisasi dan pendekatan Ahok kepada warga Jakarta yang sebelumnya dapat dilakukan pada saat kampanye tahap pertama kini sudah tidak bisa dilakukan lagi. Jika dibandingkan dengan kandidat lainnya yang dapat melakukan kampanye dengan leluasa tanpa ada penolakan dari masyarakat, Ahok- Djarot tidak bisa memaksimalkan strateginya untuk bertemu masyarakat. Jadi walaupun popularitas Ahok tetap diatas namun persentase sentiment negative lebih besar daripada sentiment positif. Jika meneliti berdasarkan data yang ada terdapat efek echo chamber. “The echo chamber effect results in an information bubble around a user, where that person is only exposed to articles (information inside the bubble) that support their previously held beliefs” Berdasarkan teori echo camber effects dimana menyatakan bahwa seseorang jika hanya mendapatkan informasi dari lingkaran-lingkaran di sekitarnya saja dan hanya mendapatkan informasi tertentu sesuai dengan kelompoknya dapat mengakibatkan seseorang tersebut hanya mempercayai info yang berasal dari pihak yang didukungnya. Melihat dari kasus Ahok, dapat dilihat bahwa para pendukung Ahok saat itu hanya diberikan semua informasi dari orang-orang kelompok pendukungnya saja. Jika ada informasi dari pihak lain selain pendukung Ahok tidak akan dipercaya. Namun permasalahanya muncul jika hal ini terkait dengan pemilukada DKI Jakarta, dimana calon gubernur harus mempengaruhi bukan hanya orang-orang yang mendukungnya saat ini atau sebelumnya namun juga harus menjaring masyarakat lainnya sehingga pengaruh popularitas yang didapatkan pada kelompok sebelumnya juga berpengaruh pada kelompok baru sehingga bisa mendukung elektabilitasnya dalam pemilukada DKI Jakarta. Jika di analogikan maka jika dari 100 orang ada 50 orang pendukung Ahok, maka echo chamber effect ini hanya berpengaruh pada 50 orang tersebut. Mereka akan semakin kuat dan percaya terhadap Ahok namun 50 orang lainnya belum terpengaruh. Fokus tim Ahok hanya pada 50 orang. Inilah yang peneliti duga dalam pembahasan ini. Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

Jika melihat pengertian popularitas dan elektabilitas maka berikut ini penjelasanya. Popularitas merupakan tingkat keterkenalan seseorang atau sesuatu di mata publik sedangkan Elektabilitas adalah tingkat keterpilihan berdasarkan kriteria pilihan. Popularitas menjadi suatu yang dikejar-kejar banyak orang, masing-masing berlomba agar dirinya dikenal dan terkenal. Tak heran banyak orang yang mengaktualisasikan dirinya lewat banyak hal agar mudah dikenal orang. Keterkenalan ini bisa karena hal positif dan bisa juga karena hal negatif sehingga seseorang dikenal atau populer di mata dan telinga masyarakat. Kepopuleran seseorang bisa terjadi dalam waktu yang singkat tergantung kemampuannya menarik perhatian khalayak ramai sehingga ia disaksikan oleh mata dunia. Di Indonesia ini terjadi pada Ahok pada pemilukada DKI Jakarta 2017. Popularitas menjadi sebuah kebanggaan bagi seseorang, tentu saja jika ia populer karena hal yang baik, suatu negara juga memiliki kebanggaan jika dikenal dunia karena hal yang baik dalam negara tersebut. Popularitas karena hal positif adalah impian semua orang maupun bangsa, kita cukup bangga jika kita dikenal misalnya lewat prestasi. Namun untuk Ahok sendiri popularitasnya tinggi tapi dengan sentiment negative meliputi semua topik yang dibahas di media social. Namun sebenarnya tidak cukup hanya dikenal atau populer, Ahok juga harus mendapat simpati rakyat sehingga dia yang akan maju sebagai calon gubernur nantinya dipilih rakyat. Tidak cukup hanya terkenal, namun calon pemimpin harus memiliki tingkat keterpilihan cukup tinggi yang diperoleh lewat kepercayaan rakyat terhadap orang atau golongan tersebut. Tingkat elektabilitas ini sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti bersih korupsi, dekat dengan rakyat, bertanggung jawab, setia, beriman, sederhana, pintar, rendah hati, berpengalaman, teruji dan banyak nilai-nilai hidup yang baik dalam diri seseorang sehingga ia layak dipilih menjadi pemimpin. Setiap pribadi memiliki alasannya sendiri sehingga menetapkan seorang calon atau partai untuk dipilih atau didukung dalam pemilukada, mungkin berdasarkan tingkat kepercayaan mereka terhadap sosok atau partai. Bagi Ahok beberapa hal diatas telah diraihnya untuk memiliki popularitas yang tinggi namun kasus yang dia hadapi juga menjadikan popularitasnya tidak bisa mendukung elektabilitasnya. Popularitas dan elektabilitas memang kerap kali disamaartikan, keduanya sulit untuk dibedakan terkhusus untuk beberapa golongan masyarakat. Popularitas tidak selalu berbanding lurus dengan elektabilitas, namun elektabilitas bisa dipengaruhi oleh popularitas. Karena itulah ketika melakukan kampanye menjadi populer tidaklah cukup, partai atau calon harus mampu membuat dirinya berpeluang tinggi untuk dipilih oleh masyarakat. Popularitas harus diikuti oleh elektabilitas. Ini yang tidak dimiliki oleh Ahok dalam pemilukada DKI Jakarta 2017

Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

DAFTAR PUSTAKA

Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Instropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda Pemilu 2009, (Yogyakarta: Lembaga Studi Agama & Budaya dan Fajar Pustaka, 2007) cet ke-1 Anwar Arifin, Komunikasi Politik, (Jogjakarta: Graha Ilmu), 2011, edisi kedua Ardial (2009). Komunikasi Politik. Jakarta: Indeks Boyd, Danah M. dan Ellison, Nicole B (2007). Social network sites: Definition, history, and scholarship. Journal of Computer-mediated Communication, 13(1), article 11. February 12, 2009. http://jcmc.indiana.edu/vol13/ issue1/boyd.ellison.html Cangara, Hafied (2009). Komunikasi politik: Konsep, teori, dan strategi. Jakarta: Rajawali Pers. Firmanzah (2007). Marketing politik: Antara pemahaman dan realita. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Gun Gun Heryanto dan Ade Rina Farida, Komunikasi Politik, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, cet-1 Habermas, Jurgen. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere, An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge: Polity Press. Hafid Cangara, Komunikasi Politik:Konsep, Teori, dan Strategi, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada, Jakarta), 2011, cet-3 Juju, Dominikus & Feri Sulianta (2010). Branding Promotion with Social Networks. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Moleong, Lexy J. (2003). Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung. Mike Westling (2007). Expanding the Public Sphere: The Impact of Facebook on Political Communication. Mc. Quail (1987). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga ---. (2000). Mass Communication Theory (4th ed.). London: Sage Publication Nimmo, Dan (1978). Political communication and public opinion in America. Santa Monica, California: Goodyear Publishing Company. Nimmo, Dan (1989). Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media (Edisi Terjemahan oleh Tjun Surjaman). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Neuman, W. Lawrence (2003). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (fifth Ed). Boston, Allyn and Bacon., Norris, Pippa (February 16, 2004). Political communication. Harvard University http://www.hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acrobat/Political%20Communications%20encyclopedia2. pdf Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

Rulli Nasrullah. 2012. Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber. Jakarta. Kencana Pernada Media group Rossman, Gretchen B. dan Rallis, Sharon F (2003). Learning in the field: An introduction to Qualitative Research (2nd ed). Sage Publication. Rauf, Maswadi (1993). Indonesia dan Komunikasi Politik, Jakarta: Gramedia. Stanley J. Baran & Dennis K. Davis. (2012), Mass Communication Theory, USA, Cengange Learning. Walther, Joseph B. (1996). Computer-Mediated Communication: Impersonal, Interpersonal, and Hyperpersonal Interaction. Communication Research. Walther, Joseph (2006). Social Information Processing Theory. In EM. Griffin (Ed). A first look at communication theory (6th ed). McGraw Hill. Yin, Robert K. (2006) Studi Kasus:Desain dan Metode, PT.Raja Grafmdo Persada, Jakarta.

Jurnal Elektronik Mike Westling (2007). Expanding the Public Sphere: The Impact of Facebook on Political Communication http://www.thenewvernacular.com/projects/Facebook_and_political_comm unication.pdf Boyd, Danah M. dan Ellison, Nicole B (2007). Social network sites: Definition, history, and scholarship. Journal of Computer-mediated Communication, 13(1), article 11. February 12, 2009. http://jcmc.indiana.edu/vol13/ issue1/boyd.ellison.html

Websites https://www.unpas.ac.id/apa-itu-sosial-media https://wearesocial.com/special-reports/digital-in-2017-global-overview http://techno.okezone.com/read/2017/06/19/207/1720068/hampir-5-miliar-orang-di-dunia- gunakan-gadget http://metro.news.viva.co.id/news/read/686962-survei--emil-pesaing-utama-ahok-bila-ikut- pilkada-dki http://salingsilang.com/baca/posisi-indonesia-tergusur-di-daftar-pengguna-Facebook-terbesar http://semiocast.com/publications/2012_01_31_Brazil_becomes_2nd_country_on_Twitter_super seds_Japan https://news.detik.com/kolom/d-3424200/mengapa-ahok-djarot-unggul-di-pilgub-dki-putaran- pertama Pengaruh Propaganda Melalui Media Sosial Terhadap Peningkatan Popularitas Ahok by Revy Majiza Putra

http://tekno.kompas.com/read/2016/10/24/15064727/2016.pengguna.internet.di.indonesia.capai.1 32.juta https://tirto.id/perang-di-media-sosial-untuk-merebut-jakarta-b44r http://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20170321163409-516-201765/survei-lsi-anies- kuasai-facebook-ahok-unggul-di-twitter/ http://jakarta.bisnis.com/read/20160625/388/561258/pilkada-dki-2017-ahok-jadi-calon- gubernur-hits-di-media-sosial http://populicenter.org/index.php?tentang_kami http://pilkada.liputan6.com/read/2626965/siapa-cagub-dki-yang-kuasai-facebook-twitter-dan- instagram