<<

idang Hukum Perlindungan Konsumen dan BPersaingan Usaha merupakan bagian dari Hukum Bisnis yang bersifat dinamis, selalu berkembang dan aktual, hal ini menyebabkan pembahasan dari Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha harus selalu relevan dalam mengikuti perkembangan dunia usaha. Buku ajar Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha ini kami susun dalam rangka memberikan gambaran dan rangkuman mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen dan persaingan usaha dalam tata hukum berikut contoh kasus dan penegakan hukumnya.

Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha

Penulis Dr. Mukti Fajar, S.H., M.Hum. Reni Budi Setianingrum, S.H., M.Kn. Muhammad Annas, S.H., M.H.

Desain Sampul Wisnu

Penata Aksara Adnanta Ivan A.

Cetakan I, Desember 2019

Penerbit : PUSTAKA PELAJAR Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167 Telp. (0274) 381542, Fax (0274) 383083 Email : [email protected]

ISBN : 978-623-236-034-1

iv KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Bismillahi Rahmanirrahim, Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya dan junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga kami dapat menyelesaikan buku ajar Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha ini. Bidang Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha merupakan bagian dari Hukum Bisnis yang bersifat dinamis, selalu berkembang dan aktual, hal ini menyebabkan pembahasan dari Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha harus selalu relevan dalam mengikuti perkembangan dunia usaha. Buku ajar Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha ini kami susun dalam rangka memberikan gambaran dan rangkuman mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen dan persaingan usaha dalam tata hukum Indonesia berikut contoh kasus dan penegakan hukumnya. Semoga isi yang termuat dalam buku ini dapat memberikan manfaat bagi

v semua pihak civitas akademika khususnya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Tak lupa pula ucapan terima kasih kami kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan terlibat atas terselesaikannya buku ajar ini. Buku ajar ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan buku ini. Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bantul, September 2018 Tim Penyusun Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha

vi DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v DAFTAR ISI vii BAB I PENGANTAR HUKUM PERLINDUNGAN 1 KONSUMEN A. Sejarah Dan Konsep Hukum Perlindungan 1 Konsumen B. Pengertian Perlindungan Konsumen 6 C. Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen 9 D. Hukum Perlindungan Konsumen Dalam 12 Tata Hukum Indonesia E. Latihan Soal 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN 15 A. Pengertian Konsumen 15 B. Hak Dan Kewajiban Konsumen Menurut 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen C. Hak Dan Kewajiban Konsumen Menurut 20 Undang-Undang ITE Dan Undang Undang Kesehatan D. Latihan Soal 22

vii BAB III TINJAUAN PELAKU USAHA 27 A. Pengertian Pelaku Usaha 27 B. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha 29 C. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha 30 D. Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha 33 (Fault Liability, Contractual Liability Dan Strict Liability) E. Latihan Soal 37

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DAN SANKSI TERHADAP PELANGGARAN 41 UU PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Gugatan Atas Pelanggaran Pelaku Usaha 41 (Class Action Dan Legal Standing) B. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Litigasi 44 Dan Non Litigasi C. Sanksi Terhadap Pelanggaran UU 46 Perlindungan Konsumen. D. Latihan Soal 47

BAB V PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PERLINDUNGAN KONSUMEN 51 A. Badan Pembinaan Perlindungan Konsumen 51 Nasional B. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya 56 Masyarakat C. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 57 D. Latihan Soal 60

viii BAB VI HUKUM PERSAINGAN USAHA 62 A. Sejarah, Konsep & Tujuan Hukum 62 Persaingan Usaha B. Definisi Persaingan 65 C. Hukum Persaingan Usaha di Berbagai 69 Negara di Dunia D. Asas dan Tujuan Hukum Persaingan Usaha 79 E. Norma Dasar Hukum Persaingan Usaha 83 (Pendekatan Perseillegal &Rule Of Reason) F. Latihan Soal 94

BAB BENTUK-BENTUK PERSAINGAN USAHA 95 VII TIDAK SEHAT A. Perjanjian Yang Dilarang 102 B. Kegiatan Yang Dilarang 113 C. Posisi Dominan 120 D. Pengecualian dalam UU Antimonopoli 123 E. Latihan Soal 124

BAB PENEGAKAN HUKUM TERHADAP 136 VIII PERSAINGAN USAHA A. Komisi Pengawas Persaingan Usaha 136 B. Komisi Persaingan di Beberapa Negara 143 C. Prosedur & Mekanisme Penyelesaian 147 Sengketa Persaingan Usaha D. Latihan Soal 163

ix BAB IX Disruptive Innovation Dalam Hukum Persaingan 164 Usaha A. Pendahuluan 164 B. Pengertian Disruptive Innovation 166 C. Definisi Transportasi Online 171 D. Disruptive Innovation Dalam Hukum 173 Persaingan Usaha E. Status Hukum Industri Transportasi 206 Berbasis Aplikasi Dalam Hukum Persaingan Usaha F. Latihan Soal 221

DAFTAR PUSTAKA 222 INDEX 232 BIODATA PENULIS 233

x BAB I PENGANTAR HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen Berbicara mengenai hukum perlindungan konsumen tentu- nya tidak lepas dari sejarah perkembangannya. Pada sub bab pembahasan ini akan diuraikan mengenai sejarah hukum per- lindungan konsumen di Barat maupun di Indonesia.

1. Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen di Barat Pola perekonomian yang semakin berkembang membawa pengaruh pada perkembangan hukum perlindungan konsumen. Sebagai tolak ukur, Amerika Serikat menjadikan perlindungan konsumen menjadi objek kajian oleh berbagai bidang. Sebut saja ekonomi, sosial, politik dan hukum. 1 Apabila dikelompokkan, proses sejarah perkembangan hukum perlindungan konsumen di Barat dibagi dalam empat tahapan:2

1 N.H.T Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen, Panta Rei, , 2005, hlm. 289 dalam Rosmawati, Pokok-Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Prenanda Media Group, Depok, 2018, hlm. 12. 2 Ibid, hlm. 12-13.

1 a. Tahapan I (1881-1914) Titik awal timbulnya kesadaran masyarakat terhadap perlindungan konsumen terjadi pada masa ini. Novel yang berjudul The Jungle karya Upton Sinclair menjadi pemicu gerakan perlindungan konsumen berkembang. Novel ter- sebut menceritakan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang sangat tidak memenuhi syarat- syarat kesehatan. b. Tahapan II (1920-1940) Munculnya sebuah buku kembali menjadi pemicu perkembangan gerakan perlindungan konsumen semakin berkembang. Pada tahapan ini buku yang berjudul Your Money’s Worth karya Chase dan Schlink mampu meng- gugah konsumen untuk semakin menyadari mengenai hak-hak mereka dalam jual beli. Pada masa ini juga muncul slogan: fair deal, best buy. c. Tahapan III (1950-1960) Pada masa ini (1950-an) muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan perlindungan konsumen dalam lingkup internasional. Pada 1 April 1960 berdiri suatu organiasi internasional yang bernama International Organization of Consumer Union. Berdirinya Organisasi tersebut diprakarsai oleh beberapa negara antara lain Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Australian dan Belgia. Setelah berdiri selama dua tahun, organisasi ini kemudian berganti nama menjadi Consumen International (CI). Pada

2 mulanya organisasi ini berpusat di Den Haag, Belanda, namun pada tahun 1993 pindah ke London, Inggris.

d. Tahapan IV (Pasca-1965) Sejak ratusan tahun yang lalu negara-negara di Eropa telah dikenal ungkapan “caveat emptor” atau “jangan racuni roti tetanggamu”. Hal tersebut sesungguhnya memperlihatkan bahwa sejak lama negara-negara Eropa telah menganut nilai-nilai mengenai perlindungan konsumen. Konsep tersebut sangat bermanfaat karena jarak antara konsumen dan produsen masih sangat dekat. Selain itu keadaan perkonomian pada saat itu belum serumit seperti saat ini.

Masa pemantaapan perlindungan konsumen dimulai pasca tahun 1965. Pemantapan tersebut dilakukan secara meluas baik pada tingkat regional maupun tingkat internasional. Hingga saat ini telah ada lima kantor regional. Kantor regional tersebut antara lain Amerika Latin dan Karibia berpusat di Chile, Afrika berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah berpusat di Inggris, dan Asia Pasifik berpusat di Malaysia. Pada pidatonya yang disampaikan pada tanggal 1 Maret 1963 John F. Kennedy menjabarkan empat hak yang dimiliki oleh konsumen. Oleh karena itu JFK dianggap sebagai pelopor gerakan perlindungan konsumen. Menurut JFK empat hak yang dimiliki konsumen adalah, the right to safety (hak atas keamanan), the right to be heard (hak untuk didengarkan), the right to be informed (hak atas informasi), dan the right to chose (hak untuk memilih). Akhirnya pada 9 April 1985, majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa memutuskan memasukkan hak-hak dasar konsumen ter-

3 sebut ke dalam “United Nation Guidelines for Consumer Protection” yang dijadikan sebagai panduan dasar bagi negara-negara anggota PBB untuk membuat regulasi mengenai perlndungan konsumen.

2. Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia Perlindungan konsumen di Indonesia telah diatur sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa peraturan yang memiliki keterkaitan dengan perlindungan konsumen. Walaupun saat ini peraturan-peraturan tersebut sudah tidak berlaku.3 Beberapa kitab undang-undang yang saat ini digunakan di Indonesia juga memuat mengenai ketentuan perlindungan konsumen. Kitab undang-undang tersebut antara lain: a. KUH Pidana: tentang persaingan curang, pemalsuan merek, pemalsuan, penipuan dan sebagainya. b. KUH Perdata: Pada bagian 2 BAB V, Buku II diatur me- ngenai kewajiban penjual dalam perjanjian jual beli. c. KUHD: tentang pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang perlindungan penumpang/barang muatan pada hukum maritime, ketentuan mengenai perantara, asuransi, surat berharga, kepailitan, dan sebagainya.

Setelah kemerdekaan hingga tahun 1999 Indonesia belum mengenal istilah perlindungan konsumen. Walaupun demikian pemerintah Indonesia tetap berusaha untuk membentuk undang- undang yang dapat mengakomodir kebutuhan mengenai per- lindungan konsumen. Hal ini dapat kita lihat pada beberapa

3 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, edisi revisi, cetakan ke-2, Kencana, Jakarta, 2016, hlm. 32.

4 undang-undang yang mengatur mengenai hak-hak konsumen. Beberapa undang-undang yang dimaksud antara lain:4 a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang. b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Per- industrian. c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. d. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. f. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. g. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Selain tujuh undang-undang yang disebutkan diatas, masih ada beberapa undang-undang lain yang juga mengatur mengenai perlindungan konsumen. Berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei tahun 1973 menjadi awal bagi gerakan perlindung- an konsumen di Indonesia. YLKI merupakan lembaga swadaya masyarakat (nongovernmental organization). YLKI merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen yang bertindak selaku perwakilan konsumen dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan mengenai perlindungan konsumen. Lahirnya YLKI juga membuat organisasi-organisasi lain yang berbasis perlindungan konsumen mulai bermunculan. Sebut saja Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) yang lahir pada Februari 1988. Bahkan hingga saat ini jumlah lembaga

4 Ibid, hlm. 33.

5 swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen semakin banyak seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) yang ada di Bandung. Dinamika Politik yang berkembang di Indonesia berperan besar dalam pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia. Iklim politik yang semakin demokratis disertai gerakan refornasi mahasiswa memicu DPR yang berani menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan rancangan undang-undang yang pada pemerintahan sebelumnya tidak pernah digunakan. Faktor lain yang juga mempengaruhi pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia adalah adanya berbagai kasus mengenai perlindungan konsumen. Kasus Konsumen yang dirugikan dan berakhir dengan putusan yang tidak memberikan kepuasan bagi konsumen menyebabkan pembentukan Undang- Undang Perlindungan Konsumen sangat penting. 5 Faktor lain yang tidak kalah penting perannya dalam pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia adalah adanya peran World Trade Organization (WTO) dan International Monetary Fund (IMF). Indonesia dituntut untuk meratifikasi perjanjian perdagangan dunia yang menuntut Indonesia untuk segera melakukan harmonisasi hukum.6

B. Pengertian Perlindungan Konsumen Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum per- lindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas serta kaidah kaidah hukum yang mengatur mengenai hubungan dan masalah

5 Ibid, hlm. 35. 6 Ibid, hlm. 36-37.

6 antara berbagai pihak satu dengan yang lain, dan berkaitan dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup masyarakat. Selain itu definisi lain dari hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.7 Untuk menguraikan pemahaman mengani perlindungan konsumen, dirasa penting untuk mengetahui dasar pertimbangan pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Apabila diuraikan, pertimbangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia adalah sebagai berikut:8 1. Bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2. Bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapat- kan kepastian atas barang dan/jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;

7 Elia Wuri Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen cetakan I, Graha Ilmu Yogyakarta 2015, hlm. 4. 8 M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, academia, Jakarta,2012, hlm. 1.

7 3. Bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar; 4. Bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab; 5. Bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai; 6. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujud- kan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat; 7. Bahwa untuk itu perlu dibentuk undang-undang tentang perlindungan konsumen

Dari uraian mengenai pertimbangan Undang-Undang Per- lindungan Konsumen diatas sesungguhnya sesuai dengan judul dari Undang-Undangnya maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen bertujuan untuk melindungi konsumen dari kemungkinan pelanggaran atas hak-haknya. Oleh karena itu mengenai definisi dari perlindungan konsumen, Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan memberi definisi perlindungan konsumen sebagai “Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan hukum kepada konsumen”.

8 C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen Sebagaimana yang ditegaskan oleh Satjipto Rahardjo, penting- nya kedudukan hukum dalam tatanan masyarakat, menyebabkan dalam pembentukannya peraturan hukum tidak bisa terlepas dari asas hukum, karena asas hukum adalah landasan utama dalam pembentukan hukum juga disebut titik tolak dalam pembentukan dan interpretasi undang-undang tersebut.9 Berbicara mengenai asas hukum yang terkandung dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia, terdapat beberapa asas yang mendasarinya. Asas-asas tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun asas-asas yang di- maksud adalah: 1. Asas manfaat; 2. Asas keadilan; 3. Asas keseimbangan; 4. Asas keamanan dan keselamatan; dan 5. Asas Kepastian Hukum

Asas manfaat mengandung amanat bahwa segala bentuk upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus mem- berikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Oleh karena itu pengaturan undang-undang perlindungan konsumen tidak berpihak hanya pada satu sisi yaitu sisi konsumen. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak diatas pihak

9 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Legal theory Dan Teori Peradilan Judicialprudance, Kencana, Makasar, 2007, hlm. 48.

9 lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak, produsen dan konsumen. Hal ini juga mem- perlihatkan bahwa manfaat yang dimaksud adalah manfaat secara keseluruhan. Oleh karena itu sesungguhnya asas ini juga erat kaitannya dengan asas lain yang juga terkandung dalam undang- undang perlindungan konsumen yaitu asas kesimbangan.10 Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempat- an kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan produsen dapat ber- laku adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, undang-undang ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha (produsen). Pada akhirnya undang-undang perlindungan konsumen tidak menitikberatkan pada satu pihak.11 Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan ke- seimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. Asas ini meng- hendaki agar konsumen, pelaku usaha (produsen), dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan pe- negakkan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, produsen dan pemerintah diatur dan harus diwujud- kan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-

10 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 31. 11 Ibid, hlm. 32.

10 masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingan- nya yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan negara.12 Asas keamanan dan keselamatan konsumen bertujuan untuk menjamin keselamatan dan keamanan konsumen dalam menggunakan, memakai, dan memanfaatkan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Sehingga konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan juga produk yang digunakan tidak akan memberi ancaman yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta dari konsumen. Karena itu, undang-undang ini membeban- kan sejumlah kewajiban yang harus dipatuhi oleh produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.13 Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, seluruh pihak tidak terkecuali baik konsumen maupun pelaku usaha patuh terhadap undang-undang ini dan mendapatkan keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung didalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam ke- hidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh pengadilan. Oleh karena itu, sangat penting bagi negara untuk memastikan undang-undang perlindungan konsumen yang saat ini berlaku harus dilaksanakan sebagaimana yang tertulis.

12 Ibid 13 Ibid

11 Berbicara mengenai tujuan hukum perlindungan konsumen, dapat ditemukan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 3 Undang- Undang Perlindungan Konsumen diuraikan bahwa tujuan hukum perlindungan konsumen adalah: 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara 3. Menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/ atau jasa; 4. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, me- nentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 5. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang me- ngandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 6. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; 7. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

D. Hukum Perlindungan Konsumen dalam Tata Hukum Indonesia Hukum perlindungan konsumen dalam tata hukum di Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting. Hal ini juga tidak lepas dari tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang

12 cukup tinggi yang menyebabkan hukum perlindungan konsumen sangat dibutuhkan. Selain itu kedudukan hukum perlindungan konsumen di Indonesia memiliki keterkaitan dengan hal lainnya. Dapat dilihat beberapa undang-undang yang ada di Indonesia yang juga memiliki keterkaitan dan mengatur mengenai per- lindungan konsumen. Pengaturan mengenai perlindungan konsumen dalam tata hukum di Indonesia diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi konsumen serta dapat menciptkan rasa aman bagi konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hal ini dibukti- kan dengan adanya pengaturan mengenai sanksi pidana dalam hukum perlindungan konsumen. Ini berarti hukum perlindungan konsumen yang saat ini berlaku tidak hanya bersifat preventif tetapi juga bersifat represif dalam semua bidang perlindungan konsumen.14 Oleh karena itu pengaturan mengenai perlindungan konsumen dilakukan dengan berbagai hal sebagai berikut:15 1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang me- ngandung unsur keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastian hukum. 2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha. 3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa. 4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan menyesatkan.

14 Zulham, Op.cit, hlm. 22. 15 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 7.

13 5. Memandukan penyelenggaraan, pengembangan dan peng- aturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang per- lindungan pada bidang-bidang lainnya.

Perlindungan konsumen di Indonesia diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang Undang ini terdiri dari 65 pasal yang mengatur mengenai Hak dan Kewajiban Konsumen, Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha, Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha, Tanggung Jawab Pelaku Usaha, Pembinaan dan Pengawasan Perlindungan Konsumen, Penyelesaian Sengketa Konsumen, berikut Lembaga yang berwenang dan sanksi-sanksi dalam pelanggaran perlindungan konsumen.

E. Latihan Soal 1. Apa yang dimaksud dengan hukum perlindungan konsumen? 2. Bagaimana sejarah perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia? 3. Apa urgensi pengaturan hukum perlindungan konsumen?

14 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN

A. Pengertian Konsumen Pengertian konsumen menurut para ahli bermacam-macam. A.Z Nasution memberikan batasan mengenai pengertian konsumen. Menurut A.Z Nasution konsumen dibedakan menjadi tiga jenis yaitu konsumen, konsumen antara, dan konsumen akhir. Pen-jabaran dari ketiga jenis konsumen tersebut adalah:16 1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu. 2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/ atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/ atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersil); bagi konsumen antara, barang atau jasa itu adalah barang atau jasa kapital yang berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya (produsen). Konsumen antara ini mendapatkan barang atau jasa di pasar industri atau pasar produsen.

16 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 4.

15 3. Konsumen akhir adalah setiap orang yang mendapat dan menggunakan barang dan/ atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/ atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).

Di berbagai negara definisi konsumen juga beragam. Secara harfiah konsumen adalah orang yang memerlukan, membelanja- kan atau menggunakan; pemakai atau pembutuh. Adapun istilah konsumen berasal dari bahasa inggris yaitu “consumer”, atau dalam bahasa Belanda yaitu “consument”.17 Di Amerika Serikat kata ”konsumen” berasal dari consumer yang memiliki arti ”pemakai”, walaupun demikian kata konsumen juga dapat memiliki arti yang lebih luas lagi sebagai ”korban pemakaian produk yang cacat”, dalam hal ini baik posisi korban tersebut sebagai pembeli, pemakai, atau bahkan korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula oleh korban yang bukan pemakai. Tidak hanya secara harfiah pengertian konsumen dalam undang-undang perlindungan konsumen diberbagai negara juga berbeda-beda. Di India dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, konsumen didefinisikan sebagai “setiap orang (pem- beli) atas barang yang disepakati, menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial.18 Di Perancis berkembang doktrin dan yurisprudensi yang dimana konsumen diartikan sebagai ”the person who obtains goods or

17 Celina Tri Siwi Kritiyanti, HukumPerlindungan konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 2. 18 Shidarta, Op.cit, hlm. 4.

16 services for personal or family purposes”. Dari definisi diatas dapat ditarik dua unsur penting dimana unsur tersebut memberikang batasan mengenai pengertian konsumen. Unsur tersebut yaitu (1) konsumen hanya orang dan (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya.19 Di Indonesia, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, definisi konsumen diatur dalam Pasal 1 angka 2. Dalam Undang-Undang tersebut, konsumen didefinisikan “setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Apabila diuraikan ber- d a s a r k a n d e fi n i s i k o n s u m e n d a l a m u n d a n g - u n d a n g p e r l i n d u n g a n konsumen tersebut dapat ditarik beberapa unsur sebagai berikut:

1. Setiap orang Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/ atau jasa, ”orang” dalam hal ini tidak diberi perbedaan antara orang individual yang lazim disebut natuurlijke person dengan termasuk badan hukum (rechtspersoon). Oleh karena itu, yang paling tepat adalah tidak membatasi pengertian konsumen sebatas pada orang perseorangan, tetapi konsumen harus mencakup juga badan usaha. Oleh karena itu definisi konsumen lebih luas.

2. Pemakai Kata “pemakai” dalam bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UU Perlindungan Konsumen diartikan sebagai konsumen akhir (ultimate consumer).

19 Ibid, hlm. 3.

17 3. Barang dan/atau jasa UU Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai sebagai benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, benda yang dapat dihabiskan maupun yang tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

4. Yang tersedia dalam masyarakat Barang/ jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Namun, di era perdagangan sekarang ini, syarat mutlak itu tidak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan telah biasa mengadakan transaksi konsumen tertentu seperti futures tradingdimana keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.

5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan.

6. Barang dan/ atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya, keluarganya, atau pada umumnya

18 untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggana (keperluan non- komersial).

B. Hak dan kewajiban konsumen menurut undang-undang perlindungan konsumen Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur mengenai hak-hak dan apa saja yang menjadi kewajiban konsumen. menurut pasal 4 ada Sembilan hak dari konsumen, delapan diantaranya hak eksplisit diatur dalam undang-undang perlindungan konsumen dan satu hak lainnya diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak tersebut adalah: 1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan atas barang dan jasa; 2. Hak untuk memilih barang dan jasa; 3. Hak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur atas barang dan jasa; 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya; 5. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum (advokasi), per- lindungan dan penyelesaian sengketa; 6. Hak dalam pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. Hak untuk diberlakukan dengan secara benar, jujur dan tidak diskriminatif; 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi atas barang atau jasa yang merugikan; 9. Hak-hak yang ditentukan dalam perundang-undangan lain.

19 Adapun kewajiban konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen meliputi: 1. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi atau prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan jasa atau demi keamanan dan keselamatan; 2. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

C. Hak dan kewajiban konsumen menurut undang-undang ITE dan undang-undang Kesehatan Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, perlindungan terhadap konsumen tidak hanya diatur dalam undang-undang perlindungan konsumen. Ada beberapa peraturan atau undang- undang lain yang juga mengakomodir mengenai perlindung- an konsumen. Beberapa diantaranya adalah undang-undang informasi dan transaksi elektronik dan juga undang-undang tentang kesehatan. Undang -Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen dalam beberapa pasal didalamnya. Hak Konsumen dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 diatur dalam BAB III mengenai Informasi, dokumen dan tanda terima elektronik pada Pasal 9 dan 10. Pasal ini mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha yang sesungguhnya menjadi hak bagi konsumen dalam transaksi elektronik. Pasal 9 mengatur mengenai ketentuan yang mewajibkan pelaku usaha menyediakan secara

20 lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan pada saat menawarkan produknya melalui sistem elektronik (dalam hal ini internet). Pada Pasal selanjutnya yaitu Pasal 10 Undang-Undang ITE juga diatur mengenai ketentuan sertifikasi website bagi pelaku usaha yang menjalankan usahanya melalui sistem elektronik. Pasal 45 Undang-Undang ITE juga memberikan ancaman pidana bagi pihak yang menyebarkan berita bohong yang berakibat pada kerugian konsumen. Pasal 38 ayat (2) juga diatur mengenai gugatan yang dapat diajukan oleh masyarakat apabila dirugikan oleh pelaku usaha yang menyelenggarakan sistem elektronik. Secara garis besar hak-hak dan kewajiban konsumen dalam undang-undang kesehatan juga telah diatur. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, hak-hak konsumen meliputi:20 1. Informasi; 2. Memberikan persetujuan; 3. Rahasia kedokteran; 4. Pendapat kedua (second opinion).

Sedangkan mengenai kewajiban konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, hak- hak konsumen meliputi:21 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur 2. Beritikad baik

20 Bahan kuliah, artikel dan tautan Ir. Djoko Luknanto, M.Sc., Ph.D, diakses melaluihttps:// luk.staff.ugm.ac.id/atur/sehat/Perlindungan-Konsumen-Kesehatan1.pdf pada tanggal 3 September 2018, pukul 21.50 WIB 21 Ibid

21 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati 4. Mengikuti upaya penyelesaian hukun sengketa perlindungan konsumen secara patut.

D. Latihan Soal 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan konsumen dalam perspektif UUPK? 2. Apa saja yang menjadi kewajiban konsumen berdasarkan UUPK? 3. Apa saja yang menjadi hak konsumen dalam UUPK, UU ITE, dan UU Kesehatan?

Contoh Kasus:

Andika Surachman, Anniesa Devitasari Hasibuan, dan Siti Nuraidah Hasibuan alias Kiki. Tiga bos First Travel bak disambar petir di siang bolong. Siapa sangka, hidupnya yang dulu tajir melintir kini berubah 180 derajat.

Setiap hari tidur bersama tahanan beralaskan tikar, serta makan dengan lauk seadanya dan dijatah pula. Begitulah risiko yang harus diterima mereka. Ternyata, harta mereka didapat dari hasil menjalankan biro perjalanan umrah bodong.

Perjalanan karier mereka dimulai saat membuka usaha perjalanan haji dan umrah pada 2015. Perusahaan itu bernama First Travel.

Andika Surachman, Anniesa Devitasari Hasibuan, dibantu Siti Nuraidah Hasibuan alias Kiki berduet membuat perusahaan wisata

22 religi itu. Sang promotor, Andika Surachman, menawarkan wisata religi di bawah harga standar.

Ia menyajikan lima kategori untuk memikat hati konsumen. Bahkan, di antara kategori itu ada satu paket yang benar-benar murah meriah. Tak pelak jadi paket paling digembor-gemborkan dalam promosinya. Namanya umrah Promo 2017. Bayangkan, jemaah cukup merogoh kocek Rp 14,2 juta. Tak masuk akal bukan? Ya memang.

Andika Surachman juga menyadari nominal segitu tidak mencukupi membiayai satu perjalanan ibadah umrah. Apalah daya, itu merupakan cara agar tidak kalah bersaing. Strategi dugaan penipuan itu dianggap sebagai jalan keluar.

Cara itu dimulai dengan membuka cabang First Travel. Cabang- cabang itu bertugas memasarkan paket umrah, dan menerima pendaftaran calon jemaah di wilayah dan sekitarnya. Cabang itu berada di daerah , Kebon Jeruk Jakarta Barat, Kuningan (Jakarta Selatan), Bandung, Sidoarjo, dan Bali.

Kemudian, dia merekrut agen kemitraan yang tersebar di seluruh Indonesia yang jumlahnya 1.173 orang, tapi yang aktif 835 orang. Agen berasal dari para alumnus jemaah umrah First Travel.

Ia ingin para agen tersebut menceritakan pengalaman menggunakan paket umrah promo First Travel. Tidak cuma-cuma, para agen bakal mendapatkan fee menggiurkan bila berhasil menarik calon jemaah. Dari Rp 200 ribu per orang hingga Rp 900 ribu. Fee akan dibayarkan setelah jemaah pulang umrah.

Semakin giat mempromosikan paket murah sampai-sampai First

23 Travel menggunakan jasa artis Rini Fatimah Jaelani alias Syahrini. Pelantun “Kau memilih Aku” mendapatkan pelayanan VIP tanpa bayar sepeser pun. Timbal baliknya, ia harus mempromosikan First Travel di Instagram-nya.

Masih banyak lagi cara-cara First Travel untuk menggaet jemaah. Tak sia-sia promosinya membuahkan hasil sejak Januari 2015 hingga Juni 2017, First Travel berhasil merangkul 93.295 calon jemaah.

Mereka sudah mendaftarkan diri dan menyetorkan uang untuk paket umrah. Total uang yang disetorkan mencapai Rp 1.319.535.402.852. Uang itu dihimpun ke rekening atas nama First Travel.

Namun nyatanya, First Travel baru memberangkatkan 29.985 anggota jemaah dari total 93.295 orang. Sisanya, 63.310 orang harus menelan pil pahit. Gagal berangkat, uang jemaah pun melayang. Tidak main-main, jumlahnya mencapai Rp 905.333.000.000.

Parahnya, uang miliaran itu diduga digunakan membiayai seluruh operasional kantor First Travel, gaji pegawai, fee agen. Tercatat, Andika Surachman, selaku Direktur Utama, mendapatkan gaji Rp 1 miliar. Sementara istrinya, Anniesa Devitasari Hasibuan, memperoleh Rp 500 juta.

Uang itu disebutkan membiayai kepentingan pribadi, terutama memuaskan hasrat Anniesa Devitasari Hasibuan.

Hal itu terungkap dalam dakwaan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum. Saat membacakan dakwaan, JPU menyebutkan bahwa uang itu dihambur-hamburkan untuk membiaya perjalanan wisata keliling Eropa sebesar Rp 8.600.000.000.

24 Fakta mengejutkan datang dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Institusi ini membeberkan secara gamblang aliran uang jemaah dan aset bos First Travel. Kepala PPATK Kiagus Badaruddin menyebut ada aliran dana jemaah diperuntukkan kegiatan fashion show Anniesa dan Andika di Amerika Serikat.

“Satu ke New York gitu ya. Ya yang ada hubungannya dengan fashion-nya, itu kami sudah tahu,” kata Kiagus.

“Ada yang buat buka rekening, ada yang digunakan untuk beli tiket, nyewa hotel dan semacamnya. Untuk berangkatkan jemaah, jadi yang terkait langsung ada untuk operasional perkantoran, untuk pribadi juga ada,” kata dia.

Tidak hanya itu, PPATK memastikan aset restoran di London, Inggris milik bos First Travel merupakan uang setoran calon jemaah umrah yang batal diberangkatkan.

“Iya, aset itu kalau kami kan dari pihak transaksi, kalau transaksi ada. Artinya ya yang tercatat dalam transaksi ada dana untuk membeli aset itu,” ucapnya.

Karopenmas Divhumas Mabes Polri pada saat itu, Brigjen Rikwanto menambahkan, bos First Travel juga menggunakan keuntungan dari dana jemaah untuk berfoya-foya. Itu diketahui setelah polisi tidak menemukan adanya keuntungan yang didapat oleh First Travel.

“Padahal dari hitung-hitungan dalam penyidikan, First Travel tidak ada keuntungan sama sekali. Yang ada adalah pemakaian anggaran yang disetorkan oleh jemaahnya,” ujar Rikwanto.

25 PPATK juga menemukan sisa dana Rp 7 miliar dari rekening First Travel. Dana tersebut ditemukan dari 50 rekening yang telah ditutup PPATK.

Berkas perkara bos perusahaan yang sudah menipu ribuan jemaah itu sudah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Negeri Depok pada awal Desember. Kini, Andhika Surachman, Anniesa Desvitasari Hasibuan dan Kiki Hasibuan akan segera menghadapi vonis.

Pertanyaan:

1. Bacalah kasus First Travel tersebut, dan berikan analisa, apakah kasus tersebut merupakan kasus wanprestasi, atau penipuan?

2. Bagaimana bentuk tanggung jawab perusahaan agen dan perusahaan pusat dalam kasus First Travel tersebut?

26 BAB III TINJAUAN UMUM PELAKU USAHA

A. Pengertian Pelaku Usaha Berbicara mengenai perlindungan konsumen tidak akan lepas dari pelaku usaha. Pelaku usaha juga biasa dikenal sebagai pengusaha. Pengusaha dalam hal ini adalah yang menghasilkan atau memproduksi barang dan jasa. Oleh karena itu pengertian pelaku usaha termasuk didalamnya pembuat, grosir, leveransir dan pengecer professional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen.22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 1 angka 3 mengatur mengena definisi pelaku usaha. Dalam Pasal tersebut pelaku usaha didefinisikan setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berntuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

22 Op.Cit., hlm. 16.

27 melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.23 Pelaku ekonomi atau pelaku usaha atau pelaku bisnis sebagaimana diuraikan di atas pada dasarnya terdiri atas kemungkinan-kemungkinan yaitu: 10 1. Pelaku ekonomi orang perorangan secara pribadi yang melakukan kegiatan ekonomi pada skala yang sangat kecil dengan kapasitas yang juga sangat terbatas dan terdiri atas para wirausahawan pada tingkat yang paling sederhana; 2. Pelaku ekonomi badan-badan usaha bukan badan hukum (Firma dan atau CV) dan badan-badan usaha badan hukum yang bergerak pada kegiatan ekonomi dengan skala usaha dan modal dengan fasilitas terbatas, pelaku ekonomi ini juga merupakan pelaku ekonomi dengan kapasitas terbatas, baik modal maupun teknologi; 3. Pelaku ekonomi badan-badan usaha badan hukum yang dapat meliputi koperasi dan perseroan terbatas, pelaku ekonomi ini biasanya bergerak pada bidang usaha yang bersifat formal, sudah memiliki atau memenuhi persyaratan-persyaratan teknis dan non teknis yang lebih baik dari pada pelaku ekonomi bukan badan hukum; 4. Pelaku ekonomi badan usaha badan hukum dengan kualifikasi canggih dengan persyaratan teknis/non teknis, termasuk persyaratan kemampuan finansial yang cukup dan didukung dengan sumber daya manusia yang profesional sesuai dengan bidangnya.

23 Lihat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

28 B. Hak dan kewajiban pelaku usaha Hak-Hak Pelaku Usaha dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 6. Hak- hak tersebut meliputi : 1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai; 2. Kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang di- perdagangkan; 3. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; 4. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; 5. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 6. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.

Adapun kewajiban pelaku usaha menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindugan Konsumen diatur dalam Pasal 7. Adapun kewajiban pelaku usaha yang dimaksud adalah: 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

29 4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/ atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

C. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha Pasal 8 ayat (1) sampai dengan ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha untuk dilakukan. Perbuatan-perbuatan yang dimaksud meliputi :

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagang- kan barang dan/atau jasa yang: a. Tidak memenuhi atau tidak sesuaidengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang- undangan; b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

30 c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu se- bagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta ke- terangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk peng- gunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

31 2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkansediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

Selain Pasal 8, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha untuk dilakukan. Pasal 9 ayat (1) undang-undang perlindungan konsumen meng- atur mengenai larangan bagi pelaku usaha dalam menawarkan/ memproduksi dimana Pelaku usaha dilarang menawarkan, mem- promosikan suatu barang atau jasa secara tidak benar atau seolah- olah: 1. Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu; 2. Barang tersebut dalam keadaan baik/baru; Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu; 3. Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi; 4. Barang atau jasa tersebut tersedia; 5. Tidak mengandung cacat tersembunyi; 6. Kelengkapan dari barang tertentu; 7. Berasal dari daerah tertentu; 8. Secara langsung atau tidak merendahkan barang atau jasa lain.

32 9. Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap; 10. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Pada ayat (2) dikatakan Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan. Selanjut- nya ayat 3 dikatakan Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

D. Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha (Fault Liability, Contractual Liability Dan Strict Liability)

1. Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Berdasarkan Kesalahan (Fault Liability) Prinsip pertanggungjawaban jenis ini adalah prinsip per- tanggungjawaban yang bersifat subjektif. Dikatakan demikian karena hal ini ditentukan atau tergantung dari perliaku konsumen. Berdasarkan teori ini hak konsumen untuk mengajukan gugatan didasarkan pada apakah produsen melakukan kelalaian se- hingga mengakibatkan kerugian terhadap konsumen. Kelaian atau kesalahan dapat dijadikan alasan ketika terpenuhi syarat-syarat berikut:24 a. Suatu tingkah laku yang menimbukan kerugian, tidak sesuai dengan sikap hati-hati yang normal. b. Harus dibuktikan bahwa tergugat lalai dalam kewajiban berhati-hati terhadap penggugat.

24 Op.cit, hlm.83-84

33 c. Kelakuan tersebut merupakan penyebab nyata (proximate cause) dari kerugian yang timbul.

Disamping kelalain atau kesalahan, hal lain yang dapat menentukan apakah konsumen dapat melakukan gugatan adalah:25 a. Pihak tergugat merupakan benar-benar mempunyai ke- wajiban untuk melakukan tindakan yang dapat meng- hindari terjadinya kerugian konsumen. b. Produsen tidak melaksanakan kewajibannya untuk men- jamin kualitas produk sesuai dengan standar yang aman untuk dikonsumsi atau digunakan. c. Konsumen menderita kerugian. d. Kelalaian konsumen merupakan faktor yang mengakibat- kan adanya kerugian bagi konsumen.

2. Kelalaian berdasarkan Hubungan Kontraktual (Contractual Liability) Dalam sejarah pembentukan dan perkembangan hukum tanggung jawab produk terdapat empat karakteristik gugatan konsumen dengan tingkat responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen:26 a. Gugatan atas dasar kelalaian produsen dengan persyaratan hubungan kontrak. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian yang di- dasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak (privity of contract), merupakan teori tanggung

25 Ibid 26 Ibid, hlm. 85-92.

34 jawab yang paling merugikan konsumen. Karena gugatan konsumen hanya dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat tersebut, yakni adanya unsur kelalaian dan kesalahan dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen. Dalam prinsip ini konsumen tidak terlindungi. Hal ini disebabkan hubungan dengan produsen menjadi salah satu hambantan bagi konsumen yang mengalami kerugian untuk menuntut haknya. Sebaliknya, persyarat- an hubungan kontrak mempersempit tanggung jawab produsen, karena konsumen mempunyai hak menggugat terbatas pada konsumen yang mempunyai hubungan langsung dengan produsen. b. Gugatan atas dasar kelalaian produsen dengan beberapa pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak Tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan dengan persyaratan hubungan kontrak dipandang sangat tidak akomodatif dan responsif terhadapat kepentingan konsumen, serta kondisi nyata dalam kehidupan sehari- hari. Hal ini dikarenakan produk tidak mempunyai hubungan hukum atau kontrak dengan produsen yang sering menjadi korban dari produk yang ditawarkan produsen. Ada tiga pemikiran yang digambarkan oleh Hakim Sarbon sebagai alasan dari pengecualian terhadap hubungan kontrak tersebut. 1) Pengecualian berdasarkan alasan karakter produk membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen. 2) Pengecualian berdasarkan konsep implied invitation,

35 yaitu tawaran produk kepada pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan hukum. 3) Dalam hal suatu produk dapat membahayakan konsumen, kelalaian produsen atau penjual untuk memberitahukan kondisi produk tersebut pada saat penyerahan barang dapat melahirkan tanggung jawab kepada pihak ketiga, walaupun tidak ada hubungan hukum antara produsen dan konsumen yang menderita kerugian. c. Gugatan konsumen tanpa persyaratan hubungan kontrak Tahap berikutnya adalah prinsip tanggung jawab tetap berdasarkan kelalaian/kesalahan namun sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan kontrak. Persyaratan adanya hubungan kontrak diabaikan sejak tahun 1916 ketika Hakim Cardozo memberikan pendapatnya dalam putusan banding kasus Mac Pherson v. Buick Motor Co. putusan ini kemudian diikuti oleh negara-negara. Dasar filosofi dari putusan ini adalah pembuat produk yang mengedarkan atau menjual barang-barang yang berbahaya di pasar bertanggung jawab bukan karena atau berdasarkan kontrak, tetapi karena ancaman yang dapat diperhitungkan juka tidak melakukan berbagai upaya untuk mencegah kerugian konsumen. d. Gugatan dengan pengecualian atau modifikasi terhadap kelalaian Prinsip ini merupakan modifikasi dari prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian dan kesalahan. Modifikasi

36 ini merupakan transisi menuju pertanggungjawaban mutlak. Prinsip ini juga dikenal dengan prinsip praduga lalai dan praduga bertanggung jawab dengan pembuktian terbalik. Pada intinya prinsip ini menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Sehingga beban pembuktian berada pada tergugat.

3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)27 Prinsip tanggung jawab mutlak dalam perlindungan konsumen tidak identik dengan tanggung jawab absolut. Penerapan strict liability didasarkan pada alasan bahwa konsumen tidak dapat berbuat banyak untuk memproteksi diri dari risiko kerugian yang disebabkan produk cacat. Prinsip tanggung jawab mutlak adalah sistem tanggung jawab yang tidak berdasarkan kesalahan produsen, tetapi menerapkan tanggung jawab kepada penjual produk yang cacat tanpa ada beban bagi konsumen atau pihak yang diragukan untuk membuktikan kesalahan tersebut.

E. Latihan Soal 1. Apa yang dimaksud dengan pelaku usaha? 2. Apa saja yang menjadi hak dan kewajiban pelaku usaha? 3. Apa saja yang termasuk hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha?

27 Ibid , hlm. 95-104.

37 Contoh Kasus:

KASUS VAKSIN PALSU*

Sumber: https://news.detik.com/berita/d-3383169/gemparperedaran -vaksin-palsu

RS Harapan Bunda, Jl Raya Bogor, Jakarta Timur, gaduh. Teriakan dan sahutan dari orang tua pasien yang datang beramai-ramai menimbulkan suasana tegang di rumah sakit.

Peristiwa ini menjadi bagian dari aksi protes orang tua yang terkejut atas kabar beredarnya vaksin palsu. Dalam aksi yang diawali pada Kamis, 14 Juli 2016, itu, orang tua menuntut pertanggungjawaban rumah sakit soal penggunaan vaksin yang diberikan kepada anak- anak.

Kegelisahan bermula dari pengungkapan polisi mengenai per- edaran vaksin palsu di sejumlah fasilitas kesehatan, seperti bidan dan klinik. Mulanya tim Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri melakukan penggerebekan di Pondok Aren, Tangerang Selatan, pada Rabu, 22 Juni 2016.

Polisi bergerak cepat melakukan pengembangan dari hasil penggerebekan. Total ada 25 tersangka dalam kasus vaksin palsu. Dari sederet tersangka, dua orang yang juga pasangan suami- istri, Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina, sudah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Kota Bekasi.

38 Bermacam latar belakang para tersangka yang dirilis Polri. Mulai dari pembuat, pengumpul botol vaksin, pencetak label, distributor, hingga pemilik apotik ataupun bidan dan dokter yang membeli vaksin oplosan.

Vaksin palsu yang diketahui beredar berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di antaranya vaksin Engerix B, Pediacel, Euvax B, Tripacel, Tyberculin PPDRT 23, serta vaksin BCG. Dari hasil penelusuran (BPOM), penyebaran vaksin palsu ditemukan di 9 daerah, yakni Pekanbaru, , Bandar Lampung, Serang, DKI Jakarta, Bandung, , Pangkalpinang, dan Batam.

Temuan-temuan ini membuat para orang tua terus mendesak dipublikasikannya daftar rumah sakit atau pelayanan kesehatan (fasyankes) yang menggunakan vaksin oplosan. Daftar 14 RS serta 8 bidan/klinik pengguna itu kemudian dibeberkan Menkes Nila F. Moeloek dalam rapat bersama Komisi IX DPR pada Kamis (14/7).

Semula dari hasil kajian Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), kandungan pada vaksin oplosan disebut tidak berbahaya. Kandungan ini adalah cairan infus atau cairan pembersih yang biasa digunakan untuk membersihkan tubuh bayi.

Ketua IDAI dr Aman Bhakti Pulungan menyebut suntikan vaksin palsu membuat tubuh bayi tidak kebal terhadap penyakit tertentu. Karena itu, setelah terbongkarnya kasus ini, para orang tua diminta melakukan suntik ulang vaksin.

Tapi fakta lain terungkap dalam persidangan pasutri Hidayat dan Rita. Pihak dari BPOM, berdasarkan hasil uji laboratorium,

39 menyebut kandungan vaksin palsu jenis Tripacel mengandung zat logam merkuri.

Jumlahnya teridentifikasi hingga 10 part per million (ppm) sehingga menjadi berbahaya. Pembuatan vaksin bagi imunitas bayi dan balita memang menggunakan kandungan merkuri sebagai peng- awet. Namun merkuri yang digunakan sejenis etil merkuri atau tiomersal atau yang dikenal sebagai garam merkuri dengan ambang batas 0,01 persen

Yang pasti, ancaman pidana penjara menanti para pelaku pengoplos vaksin. Para tersangka, termasuk Hidayat dan Rita, yang duduk di kursi pesakitan, diancam pasal berlapis, yakni UU Kesehatan dan UU Perlindungan Konsumen, dengan ancaman 15 tahun penjara.

Pertanyaan:

1. Baca kasus tersebut dan analisalah, bagaimana bentuk per- tanggungjawaban Rumah Sakit bagi pasien yang terkena vaksin palsu

2. Analisislah sanksi yang mungkin diberikan kepada Rumah Sakit sesuai Undang Undang Perlindungan Konsumen

40 BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DAN SANKSI TERHADAP PELANGGARAN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha (Class Action dan Legal Standing) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, konsumen dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyebabkan kerugian yang dialami konsumen. Pasal 46 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama”. Pada ayat selanjutnya yaitu Pasal 46 ayat (2) Undang- Undang Perlindungan Konsumen Ditentukan bahwa “Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen,.. diajukan kepada peradilan umum”. Selanjutnya pada Pasa 46 ayat (1) huruf c juga dinyatakan bahwa lembaga swadaya masyarakat di bidang konsumen atau yang dikenal dengan istilah lembaga perlindungan konsumen

41 swadaya masyarakat (LPKSM) juga memiliki hak untuk meng- ajukan gugatan perlindungan konsumen. LPKSM yang dimaksud adalah yang harus berbadan hukum atau yayasan, dimana di dalam anggaran dasarnya disebutkan secara tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah demi kepentingan konsumen dan dijalankan sesuai dengan kegiatan yang tercantum dalam anggaran dasarnya. Berbicara mengenai gugatan class action atau gugata kelompok, dapat ditemukan beberapa definisi. Dalam Meriam Webster Colegiate Dictionary edisi ke-10 tahun 1994 disebutkan yang dimaksud class action: a legal action under taken by one or more plaintiffs on behalf of themselves and all other persons havings an identical interest in alleged wrong. Blacks Law Dictionary mendefinisikan class action adalah sekelompok besar orang yang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut mewakili kekompok besar orang tersebut tanpa perlu menyebut satu peristiwa satu anggota yang diwakili. Menurut Achmad Santosa Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak -- misalnya satu atau dua orang) sebagai perwakilan kelas (class repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members.28

28 Emerson Yuntho, S.H., Class Action Sebuah Pengantar, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat , 2007, hlm. 1.

42 Saat ini berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2002 memberikan pengertian Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Oleh karena itu istilah class action di Indonesia lebih dikenal dengan gugatan kelompok.29 Selain class action dalam hukum perlindungan konsumen juga dikenal adanya hak gugat organisasi. Hak gugat organisasi biasanya akan berkaitan dengan kepentingan umum atau yang menyangkut hajad hidur orang banyak. Dalam hal ini sekelompok orang atau organisasi tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung terhadap suatu permasalahan akan tetapi karena kaitan- nya dengan kepentingan masyarakat luas seperti masalah me- ngenai lingkungan termasuk dalam hal ini mengenai perlindungan konsumen. Pengembangan mengenai teori dan penerapan standing di- dasarkan pada dua, pertama faktor kepentingan masyarakat luas. Beberapa kasus seperti kasus perlindungan konsumen dan pelestarian daya lingkungan adalah kasus‐kasus publik yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, dengan kasus ini akhirnya mendorong lahirnya dan tumbuhnya organisasi – organisasi advokasi seperti Sierra Club Defense Fund (USA), Pollution Probe (Kananda), Environmental defenders Office

29 Ibid.

43 (Australia), YLBHI, YLKI, Walhi, Yayasan Jantung Indonesia (Indonesia), dan lain-lain yang sebenarnya telah ada sebelum undang-undang yayasan mengaturnya, sedangkan isu per- lindungan konsumen telah didengungkan YLKI di era 1970 an. Organisasi ini dinilai efektif dalam mendorong pembaruan kebijakan dan merubah sikap serta perilaku birokrasi dan kalangan penguasa melalui tekanan‐tekanan (pressures) yang dilakukan. Salah satu tekanan yang dapat dilakukan dalam kerangka negara hukum (rule of law) adalah melalui gugatan di pengadilan. 30 Adapun faktor kedua yang menjadi awal pengembangan mengenai teori dan penerapan standing adalah faktor penguasaan sumber daya alam oleh negara, berkenaan dengan kasus‐kasus sumber daya alam, objek sumber daya alam (sungai, hutan dan mineral atau tambang) biasanya secara konstitusional dikuasai oleh negara. Penguasaan oleh negara mengandung koensekuensi bahwa sifat keberlanjutan sumber daya alam lebih banyak ditentu- kan dan tergantung pada konsekuensi arah kebijakan pemerintah.31

B. Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dan non litigasi Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui dua cara, litigasi dan non litigasi. Hal ini sesuai dengan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 45 – Pasal 48. Berdasarkan hal tersebut dijelaskan konsumen yang mengalami

30 Legal Standing (Hak Gugat Organisasi Lingkungan), ELSAM, Kurusus HAM Pengacara 2007, hal 7 dalam Teguh Supriyanto, Mencermati Hak Gugat LPKSM bpkn.go.id/uploads/ document/592606c26253b7d868ba7eb78d46d6c59862e3d4.pdf 31 Legal Standing (Hak Gugat Organisasi Lingkungan), ELSAM, Kurusus HAM Pengacara 2007, hal 2 dalam Ibid, bpkn.go.id/uploads/document/592606c26253b7d868ba7eb7 8d46d6c59862e3d4.pd

44 kerugian dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen atau melalui per- adilan yang berada dilingkungan peradilan umum. Oleh karena itu penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui jalur litigasi (pengadilan) dan jalur non litigasi (di luar pengadilan). Mengenai penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dilakukan melalui pengadilan dengan mengacu pada ketentuan peradilan umum menggunakan hukum acara yang umum berlaku yakni HIR/ RBg.32 Sedangkan penyelesaian sengketa melalui jalur non litigas (diluar pengadilan) dapat dilakukan melalui beberapa alternative pilihan seperti konsiliasi, mediasi dan arbitrase.33 Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapat- nya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak. Walaupun demikian, pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat se- bagaimana mengikatnya putusan arbitrase.34 Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk mem- peroleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator yang merupakan pihak netral yang membantu para pihak dalam perundingan untuk mencapai berbagai kemungkinan penyelesaian masalah. Demikian terminologi mediasi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008. Sedangkat Arbitrase merupakan suatu metode penyelesaian sengketa dalam masalah-

32 Nurul Fibiranti, Perlindungan Konsumen dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Jalur Litigasi, Jurnal Hukum Acara Perdata, ADHAPER, Vol 1, No. 1. Januari-Juni, 2015, Hlm.118. 33 Ibid, Hlm. 115. 34 Ibid, Hlm. 116.

45 masalah perdata yang dapat dapat disetujui oleh kedua belah pihak yang dapat mengikat dan dapat dilaksanakan.35

C. Sanksi terhadap pelanggaran UU perlindungan konsumen Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur bebera jenis sanksi.

1. Sanksi Administratif a. Maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25 b. Dalam UUPK sanksi administrasi diatur dalam Pasal 60: 1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. 2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur lebih lanjut dalam per- aturan perundang-undangan.

2. Sanksi Perdata Sanksi Perdata Ganti rugi dalam bentuk : a. Pengembalian uang atau b. Penggantian barang atau c. Perawatan kesehatan, dan/atau d. Pemberian santunan

35 Ibid, Hlm. 118.

46 e. Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi

3. Sanksi Pidana Kurungan : a. Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18. b. Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f. Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian. Hukuman tambahan , antara lain : c. Pengumuman keputusan Hakim d. Pencabuttan izin usaha; e. Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ; f. Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa; g. Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat

D. Latihan Soal 1. Apa perbedaan gugatan class action dan legal standing? 2. Bagaimana perbedaan penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur litigasi dan non litigasi? 3. Bagaimana pengaturan sanksi dalam UUPK?

47 Contoh kasus:

Kasus LION JT 610*

Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/news/20190321081612-4- 61979/ini-fakta-terbaru-jatuhnya-lion-air-jt-610

Hasil investigasi terbaru penyebab kecelakaan Boeing 737 Max milik Lion Air mulai menunjukkan sejumlah fakta-fakta baru.

Para pilot pesawat Lion Air JT 610 yang mengalami kecelakaan Oktober lalu dikabarkan membuka-buka sebuah buku panduan sesaat sebelum pesawat jatuh ke dalam air.

Mereka bermaksud mencari tahu alasan kenapa pesawat yang dikemudikannya meluncur ke bawah, tetapi tidak dapat me- nemukan jawabannya, kata tiga orang yang mengetahui isi perekam suara kokpit dari kotak hitam atau black box pesawat, dikutip dari Reuters.

Penyelidik yang memeriksa kecelakaan di Indonesia sedang mencari tahu bagaimana sebuah komputer dapat memerintahkan pesawat untuk terjun bebas sebagai respons terhadap data dari sensor yang salah. Mereka juga sedang mencari tahu apakah pilot yang bertugas saat itu memiliki cukup pelatihan untuk menanggapi keadaan darurat dengan tepat, serta beberapa faktor lainnya.

Ini adalah pertama kalinya isi dari perekam suara pesawat Lion Air nahas itu dipublikasikan. Tiga sumber tersebut meminta identitas mereka disembunyikan, tulis Reuters, Rabu (20/3/2019).

48 Fakta lainnya, satu hari sebelum jatuhnya pesawat Lion Air JT-610, 29 Oktober tahun lalu, pilot yang menerbangkan Boeing 737 MAX 8 yang sama sempat kehilangan kendali atas pesawat itu.

Akan tetapi, mereka diselamatkan oleh seorang kolega yang sedang tidak bertugas yang saat itu ikut mengendalikan di kokpit. Demikian laporan Bloomberg yang dikutip CNBC Indonesia, Rabu (20/03/2019).

Pilot yang tidak bertugas itu dengan tepat mengidentifikasi masalah yang dihadapi awak kabin dan membimbing mereka untuk menonaktifkan sistem kontrol penerbangan untuk menyelamatkan pesawat, menurut laporan itu. Laporan tersebut mengutip dua orang yang mengetahui investigasi kecelakaan itu.

Penyelidik mengatakan kerusakan sistem kontrol penerbangan hari itu identik dengan apa yang membuat pesawat yang sama jatuh di hari berikutnya, menurut laporan. Pesawat Boeing, yang dioperasikan oleh kru yang berbeda, jatuh di Laut Jawa, dan menewaskan 189 orang.

Sebelumnya, di saat Federal Aviation Administration (FAA) mengumumkan akan melarang sementara operasional Boeing 737 MAX seri 8 maupun 9, lembaga yang berdomisili di Washington DC itu mengklaim telah mengidentifikasi kesamaan antara ke- celakaan Ethiopian Airlines di Addis Ababa, Minggu (10/3/2019), dengan kecelakaan Lion Air di Karawang, Oktober 2018.

Menteri Transportasi Ethiopia Dagmawit Moges menegaskan hal itu pada Minggu (17/3/2019). Moges merujuk pada data awal kotak

49 hitam pesawat Ethiopian Airlines dengan nomor penerbangan 302 yang menunjukkan kesamaan dengan kecelakaan Lion Air.

Pertanyaan:

Bacalah kasus kecelakaan Lion Air JT 610 dan analisalah, apa bentuk gugatan yang dapat ditempuh oleh keluarga korban terhadap maskapai udara maupun produsen pesawat udara, sebutkan alasannya dan dasar hukumnya

50 BAB V PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Badan Pembinaan Perlindungan Konsumen Nasional Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dibentuk sebagai upaya merespondinamika dan kebutuhan perlindungan konsumen yang berkembang dengan cepat di masyarakat. Pem- bentukan BPKN berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang ditindaklanjuti dengan PP No. 57 Tahun 2001 tentang Tugas, Fungsi serta Keanggotaan BPKN. Keanggotaan BPKN Periode I masa jabatan 2004 -2007 berjumlah 17 orang, yang terbentuk berdasarkan Keppres RI No. 150/M tahun 2004 tentang Pengangkatan Anggota BPKN. Dengan semangat baru, terbentuk 20 Anggota BPKN Periode II masa jabatan 2009-2012 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80/P Tahun 2009 tanggal 11 Oktober 2009, Periode III masa jabatan 2013 –2016 dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80/P Tahun 2013 terbentuk 23 Orang Anggota BPKN yang mewakili pemerintah, akademisi, tenaga

51 ahli dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Fungsi dan tugas BPKN ditetapkan dalam Pasal 33 dan 34 UU 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sebagai berikut: 1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen; 2. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen; 3. Melakukanpenelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen; 4. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; 5. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai per- lindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap ke- berpihakan kepada konsumen; 6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau Pelaku Usaha; dan Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

Pembangunan perlindungan konsumen di Indonesia memiliki urgensi nasional yang tinggi sehingga BPKN berupaya mewujud- kan visi untuk Menjadi Lembaga Terdepan Bagi Terwujudnya Konsumen yang Bermartabat dan Pelaku Usaha yang ber- tanggungjawab.

52 Pembinaan konsumen diatur dalam Pasal 29 UUPK, dalam pasal ini mengatur bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pem- binaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. Pengawasan diatur lebih lanjut dalam Pasal 30 UUPK, Pasal ini menyebutkan bahwa Pengawasan terhadap penyelenggara- an perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peratur- an perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 1. Pengawasan oleh pemerintah dilaksanakan oleh Menteri dan/ atau menteri teknis terkait. 2. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.

Apabila dari hasil pengawasan ternyata diktemukan adanya hal yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Hasil pengawasan yang diselenggara- kan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.

53 Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah adalah peng- awasan tentang (Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen) 1. Standar mutu 2. Klausula baku 3. Purna jual/ garansi 4. Produksi, penawaran, promosi.

Pengawasan oleh masyarakat (Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen) adalah meliputi pengawasan terhadap: 1. Barang dan jasa beredar di pasaran 2. Melalui penelitian, pengujian, survey 3. Resiko penggunaan barang, pemasangan label, dll 4. Hasil penegawasan disebarluaskan/ disampaikan pada menteri.

Pengawasan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat/ LPKSM (Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen) adalah meliputi pengawasan terhadap: 1. Barang dan jasa beredar di pasaran; 2. Melalui penelitian yang dilakukan thd barang yg diduga tidak aman; 3. Resiko penggunaan barang, pemasangan label, dan lain-lain; 4. Hasil pengawasan disebarluaskan/ disampaikan pada menteri.

54 Pemerintah Indonesia mempunyai lembaga pemerintah khusus dalam rangka upaya perlindungan konsumen, lembaga yang dimaksud adalah Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dibentuk dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen, yang berkedudukan di ibu kota negara. Fungsi BPKN memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya me- ngembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUPK, Badan Perlindungan Konsumen Nasional mem- punyai tugas: 1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen; 2. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen; 3. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen; 4. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; 5. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai per- lindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihak- an kepada konsumen;

55 6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha; 7. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

B. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat Pemerintah mengakui LPSKM yang terdaftar pada pemerintah kabupaten/kota dan bergerak di bidang perlindung- an konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar- nya. Pendaftaran LPSKM bertujuan untuk menjamin ketertiban, kepastian, dan keterbukaan LPSKM dalam penyelenggaraan per- lindungan konsumen. Tugas LPKSM diatur dalam Pasal 44 ayat (3) UUPK. Tugas LPSKM antara lain: 1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehatihatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; 3. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; 4. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, ter- masuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; 5. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen

56 C. Badan Penylesaian Sengketa Konsumen Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen (Pasal 1 angka 11 UUPK). Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar peng- adilan (Pasal 49 ayat (1) UUPK). Putusan BPSK bersifat final and binding tanpa upaya banding dan kasasi. Pembentukan BPSK dilakukan pada Pemerintahan Kota Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, , Yogyakarta, Surabaya, , dan Makassar Tugas dan wewenang BPSK antara lain (Pasal 52 UUPK): 1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; 2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; 3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; 4. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pe- langgaran ketentuan dalam Undang-Undang ini; 5. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; 7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

57 8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; 9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; 10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; 11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; 12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melaku- kan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK membentuk majelis yang berjumlah harus ganjil dan paling sedikit tiga orang yang mewakili semua unsur (pemerintah, konsumen, pelaku usaha) dibantu oleh seorang pemerintah. Untuk menghindari proses penyelesaian sengketa konsumen yang berlarut-larut, UUPK memberikan batasan dimana setelah gugatan diterima, BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 hari kerja. Ketentuan mengenai putusan BPSK diatur dalam Pasal 55 dan 56 Undang Undang Perlindungan Konsumen sebagai berikut:

58 1. Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima. 2. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut. 3. Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. 4. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen. 5. Apabila ketentuan mengenai keterlambatan pelaksanaan putusan tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesai- an sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ke- tentuan perundang-undangan yang berlaku 6. Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

Sanksi sanksi dalam Undang Undang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:

1. Sanksi administrative (Pasal 60 Undang Undang Perlindungan Konsumen), yaitu sanksi bagi pelanggaran Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. berupa berupa

59 penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

2. Sanksi Pidana (pasal 62 Undang Undang Perlindungan Konsumen), yaitu sanksi bagi pelanggaran: a) Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18, dengan sanksi penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). b) Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f, dengan sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Sanksi tambahan terhadap sanksi pidana (Pasal 63 Undang Undang Perlindungan Konsumen), yaitu berupa: i. perampasan barang tertentu; ii. pengumuman keputusan hakim; iii. pembayaran ganti rugi; iv. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; v. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau vi. pencabutan izin usaha.

D. Latihan Soal 1. Apa fungsi dari Badan Pembinaan Perlindungan Konsumen Nasional?

60 2. Apa saja yang menjadi tugas dan wewenang BPSK berdasarkan UUPK?

3. Apa saja yang menjadi tugas dan wewenang Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat berdasarkan UUPK?

61 BAB VI HUKUM PERSAINGAN USAHA

A. Sejarah, Konsep dan Tujuan Hukum Persaingan Usaha Pada garis besarnya, terdapat 3 (tiga) macam sistem ekonomi yang berlaku di dunia, (definisi sistem ekonomi adalah cara atau strategi suatu bangsa atau negara dalam mengatur kehidupan ekonominya dalam rangka mencapai kemakmuran masyarakat- nya), yaitu: 1. Sistem Ekonomi Pasar Bebas (Kapitalis/Liberal); Sistem ekonomi liberal disebut juga sistem ekonomi pasar bebas atau sistem ekonomi laissez faire. Sistem ekonomi liberal adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan sepenuhnya dalam segala bidang perekonomian kepada masing-masing individu untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. 2. Sistem Ekonomi Komando/ Perencanaan (Sosialis); Sistem perekonomian sosialis merupakan sistem perekonomian yang menghendaki kemakmuran masyarakat secara merata dan tidak adanya penindasan ekonomi. Untuk mewujudkan kemakmuran yang merata pemerintah harus ikut campur

62 dalam perekonomian. Oleh karena itu hal tersebut meng- akibatkan potensi dan daya kreasi masyarakat akan mati dan tidak adanya kebebasan individu dalam melakukan kegiatan ekonomi. 3. Sistem Ekonomi Campuran; yaitu merupakan campuran atau perpaduan antara sistem ekonomi liberal dengan sistem ekonomi sosialis. Masalah-masalah pokok ekonomi mengenai barang apa yang akan diproduksi, bagaimana barang itu dihasilkan, dan untuk siapa barang itu dihasilkan, akan diatasi bersama-sama oleh pemerintah dan swasta. Dalam sistem ekonomi campuran pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian dalam perekonomian, namun pihak swasta (masyarakat) masih diberi kebebasan untuk menentukan kegiatan-kegiatan ekonomi yang ingin mereka jalankan.

Setelah runtuhnya sistem-sistem ekonomi sosialis di Eropa Timur lebih dari satu dasawarsa yang lalu, banyak negara dunia ketiga juga mulai memilih kebijakan ekonomi yang baru. Negara- negara berkembang semakin sering memanfaatkan instrumen- instrumen seperti harga dan persaingan, untuk meningkatkan dinamika pembangunan di negara masing-masing. Hal ini disebabkan oleh pengalaman menyedihkan dari kegagalan birokrasi, yang terlalu membebani pemerintah dan pejabat negara dalam sistem ekonomi sosialis. Seperti negara-negara bekas blok timur, negara-negara berkembang juga harus membayar mahal akibat kebijakan ekonomi sosialis ini. Hal ini terlihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat mereka. Inilah akibat penyangkalan terhadap “prinsip ekonomi” yang melekat pada sistem ekonomi

63 sosialis padahal prinsip tersebut merupakan syarat mendasar bagi aktivitas ekonomi yang sehat.36 Dewasa ini sudah lebih 80 negara di dunia yang telah me- miliki Undang-Undang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli dan lebih dari 20 negara lainnya sedang berupaya menyusun aturan perundangan yang sama. Langkah Negara-negara tersebut, sementara mengarah pada satu tujuan yaitu meletakkan dasar bagi suatu aturan hukum untuk melakukan regulasi guna men- ciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Persaingan usaha yang sehat (fair competition) merupakan salah satu syarat bagi Negara-negara mengelola perekonomian yang berorientasi pasar.37 Kecenderungan dan kegandrungan negara-negara di dunia terhadap pasar bebas telah diprediksikan sebelumnya oleh Francis Fukuyama pada era tahun 1990-an. Menurut Fukuyama, prinsip- prinsip liberal dalam ekonomi “pasar bebas”, telah menyebar dan berhasil memproduksi kesejahteraan material yang belum pernah dicapai sebelumnya. Kedua hal tersebut terjadi di Negara- negara industri dan di Negara-negara berkembang. Padahal menjelang Perang Dunia II, negara-negara tersebut masih me- rupakan negara dunia ketiga yang sangat miskin. Oleh karena itu, menurut Fukuyama sebuah revolusi liberal dalam pemikiran ekonomi kadang-kadang mendahului dan kadang-kadang meng- ikuti gerakan menuju kebebasan politik di seluruh dunia. 38 Hukum persaingan merupakan salah satu perangkat hukum penting dalam ekonomi pasar (market economy). Melalui hukum

36 Hukum Persaingan Usaha antara teks dan Konteks, hlm. 1. 37 Ibid 38 Francis Fukuyama, 2004, The end of History and The Last of Man, trans. Amirullah: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal ,Yogyakarta: Qalam, hlm. 4.

64 persaingan usaha, pemerintah berupaya melindungi persaingan yang sehat antar pelaku usaha di dalam pasar. Khemani (1998), menjelaskan bahwa persaingan yang sehat akan memaksa pelaku usaha menjadi lebih efisien dan menawarkan lebih banyak pilihan produk barang dan jasa dengan harga yang lebih murah. Pengalaman di banyak negara industri baru di Asia Timur ter- utama Korea Selatan dan Taiwan menunjukkan bahwa persaingan usaha yang sehat memaksa pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi dan mutu produk serta melakukan inovasi. Persaingan yang terjadi dalam dunia usaha telah mendorong perusahaan- perusahaan manufaktur di negara tersebut untuk meningkatkan daya saing dengan melakukan investasi lebih besar dalam teknologi. Sebaliknya, perusahaan yang tidak efisien dan tidak kompetitif, serta tidak responsif terhadap kebutuhan konsumen, akan dipaksa keluar dari persaingan.39

B. Definisi Persaingan Persaingan atau “competition” dalam bahasa Inggris oleh Webster didefinisikan sebagai ”… a struggle or contest between two or more persons for the some objects”.40 Sedangkan menurut Kamus Hukum Ekonomi, Persaingan Usaha adalah Persaingan antar pelaku usaha untuk mempengaruhi pembeli/konsumen untuk produk tertentu.41 Salah satu bentuk persaingan di bidang ekonomi adalah persaingan usaha ( competition) yang secara sederhana bisa

39 Thee Kian Wie, 2004, Kebijakan Persaingan dan Undang-undang Antimonopoli dan Persaingan di Indonesia, dalam buku Pembangunan, Kebebasan, dan “Mukjizat” Orde Baru, Cet 1, Jakarta: penerbit Buku Kompas. hlml.173. 40 Ari Siswanto, 2004, Hukum Persaingan Usaha, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 13 41 Sri Rejeki Hartono, 2010, Kamus Hukum Ekonomi, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm. 141.

65 didefinisikan sebagai persaingan antara para penjual di dalam ‘merebut’ pembeli dan pangsa pasar.42 Dalam bukunya, Ningrum Natasya Sirait mengemukakan bahwa makna bersaing diartikan sebagai tindakan yang bersifat individualistis dan hanya berorientasi pada kepentingan sepihak dengan cara melakukan berbagai cara dan upaya semaksimal mungkin untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya.43 Jika terjadi proses persaingan antara para pelaku usaha, maka mereka akan berupaya mencapai tujuannya dengan saling menungguli dalam mendapatkan konsumen dan pangsa pasar. Para ekonom memberikan argumentasi bahwa persaingan jelas akan mengakibatkan harga menjadi lebih kompetitif dan membuat pelaku usah terpacu melakukan inovasi dan terobosan baru dalam produknya. Disamping itu para pelaku usaha berupaya menggunakan sumber daya dengan efisien, termasuk dalam menetapkan biaya produksi yang bervariatif dengan harga pesaing yang pada akhirnya akan menguntungkan produsen maupun konsumen.44 Secara umum, dalam bisnis terdapat dua jenis persaingan, yaitu:45 1. Fair competition, dan; 2. Unfair competition.

42 Ari Siswanto.Loc.Cit. 43 Ningrum Natasya Sirait, 2003, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan: Pustaka Bangsa Press, hlm. 15. 44 Ari Siswanto, Op.Cit. hlm.14 45 Diterjemahkan dari Gilbert Holland Montague, Unfair Methods of Competition, The Yale Law Journal, Vol. 25, No. 1, 1915, hlm. 26.

66 Para ahli ekonomi dan praktisi dalam bidang hukum persaingan sepakat bahwa persaingan pada umumnya menguntungkan bagi masyarakat sebagai konsumen. Regulator di bidang persaingan pada berbagai jenjang pemerintahan harus memiliki pemahaman yang mendalam dan komprehensif mengenai keuntungan per- saingan bagi masyarakat dan tindakan apa saja yang dapat membatasi maupun mendorong persaingan dan bagaimana regulasi yang mereka terapkan dapat berpengaruh pada proses persaingan. Pemahaman ini akan membantu regulator untuk bisa mengevaluasi dengan lebih baik apakah kebijakan tertentu dapat menciptakan suatu manfaat luas bagi rakyat. Dalam dunia usaha harus dicegah penguasaan pasar oleh satu, dua, atau beberapa pelaku usaha saja (monopoli dan oligopoli), karena dalam pasar yang hanya dikuasai oleh sejumlah pelaku usaha maka akan mematikan bekerjanya suatu mekanisme pasar (market mechanism) yang menjadi nyawa dari pasar bebas, dalam pasar yang dikuasai, maka terdapat kemungkinan harga-harga ditetapkan secara sepihak dan hal tersebut akan merugikan masyarakat sebagai konsumen. Pelaku usaha yang jumlahnya sedikit dapat membuat berbagai perjanjian-perjanjian dan ke- sepakatan diantara mereka untuk membagi wilayah pemasaran, menetapkan harga, kualitas, dan kuantitas barang dan jasa agar memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya bagi mereka. Persaingan yang terjadi di antara para pelaku usaha juga dapat terjadi secara curang (unfair competition) sehingga merugikan konsumen, dan bahkan juga dapat merugikan negara. Oleh karena

67 itu, pengaturan hukum untuk menjamin terselenggaranya pasar bebas secara adil mutlak diperlukan. Dari uraian diatas, maka arti penting/ manfaat persaingan usaha dapat kita sarikan sebagai berikut:46 1. Persaingan membuat perusahaan untuk menekan biaya produksi menjadi lebih rendah. 2. Persaingan membuat perusahaan untuk selalu menciptakan produk baru dan berinovasi. 3. Pesaingan membuat terciptanya pelayanan yang lebih baik. 4. Konsumen diuntungkan.

Adapun arti penting dari Hukum Persaingan Usaha adalah penegakan hukum persaingan usaha merupakan instrumen ekonomi yang sering digunakan untuk memastikan bahwa per- saingan antar pelaku usaha berlangsung dengan sehat dan hasilnya dapat terukur berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat.47 Keterlibatan pemerintah dalam persaingan adalah: 1. Untuk menciptakan pasar yang adil bagi para pelaku usaha; 2. Melindungi pihak yang lemah dari eksploitasi pihak yang kuat; 3. Negara sebagai pihak yang menerbitkan Peraturan Perundang- undangan dan memiliki “wewenang” menjatuhkan sanksi pidana & administratif bagi pelanggar UU Persaingan Usaha.

46 Bahan ajar Dr Mukti Fajar ND, Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha 47 Ibid

68 C. Hukum Persaingan Usaha di Berbagai Negara di Dunia Pada bagian ini akan dijelaskan sejarah persaingan usaha di berbagai Negara khususnya Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, Jerman, Australia, Uni Eropa dan Indonesia.48

1. Amerika Serikat Pada tahun 1980, atas inisiatif senator John Sherman dari partai Republik, Kongres Amerika Sertikat mengesahkan undang- undang dengan judul “Act to Protect Trade and Commerce Againts Unlawful Restraints and Monopolies”, yang lebih dikenal dengan Sherman Act disesuaikan dengan nama penggagasnya. Akan tetapi, dikemudian hari muncul serangkaian aturan perundang- undangan sebagai perubahan atau tambahan untuk memper- kuat aturan hukum sebelumnya. Kelompok aturan perundang- undangan tersebut diberi nama “Antitrust Law”, karena pada awalnya aturan hukum tersebut ditujukan untuk mencegah pengelompokan kekuatan industri-industri yang membentuk “trust” (sejenis kartel atau penggabungan) untuk memonopoli komoditi-komoditi strategis dan menyingkirkan para pesaing lain yang tidak tergabung dalam trust tersebut. Antitrust Law terbukti dapat mencegah pemusatan kekuatan ekonomi pada sekelompok perusahaan sehingga perekonomian lebih tersebar, membuka kesempatan usaha bagi para pendatang baru, serta memberikan perlindungan hukum bagi terselenggaranya proses persaingan yang berorientasi pada mekanisme pasar.

2. Jepang Pada tanggal 14 April 1947, Majelis Nasional (Diet) Jepang

48 Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks hlm 3

69 mengesahkan undang-undang yang diberi nama “Act Concerning Prohibition of Private Monopoly and Maintenance of Fair Trade” (Act No. 54 of 14 April 1947). Nama lengkap aslinya adalah Shiteki Dokusen No Kinshi Oyobi Kosei Torihiki No Kakuho Ni Kansuru Horitsu, namun nama yang panjang disingkat menjadi Dokusen Kinshi Ho. Dengan berlakunya undang-undang tersebut, beberapa raksasa industri di Jepang terpaksa direstrukturisasi dengan memecah diri menjadi perusahaan yang lebih kecil. Raksasa industri seperti Mitsubishi Heavy Industry dipecah menjadi tiga perusahaan, sedangkan The Japan Steel Corp dipecah menjadi dua industri yang terpisah. Meskipun dalam era pemberlakuan Dokusen Kinshi Ho, sempat terjadi gelombang merger (penggabungan), namun Industrial Structure Council, se- buah lembaga riset industri dibawah Kementerian Perdagangan dan Industri (MITI) secara berkala menerbitkan laporan-laporan praktik dagang yang tidak adil dan bersifat anti-persaingan, baik yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Jepang maupun oleh partner dagangnya di luar negeri.

3. Korea Selatan Pada tanggal 31 Desember 1980 mengundangkan Undang- Undang No. 3320 yang diberi nama “The Regulation of Monopolies and Fair Trade Act” yang diberlakukan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan tanggal 1 April 1981. Sekurang-kurangnya sudah tujuh kali dilakukan amandemen terhadap undang-undang yang awalnya terdiri atas 62 pasal tersebut. Korea Selatan sekarang me- rupakan sebuah kekuatan ekonomi yang diperhitungkan dunia, karena pengelolaan perekonomian negara yang berorientasi pada mekanisme pasar. 70 4. Jerman Sejak tahun 1909 Jerman memiliki Gesetz Gegen Unlauteren Wettbewerb (UWG) (Undang-undang Melawan Persaingan Tidak Sehat). Sesudah Perang Dunia II, terpecahnya Jerman menjadi Jerman Barat dan Timur memengaruhi aturan hukum di bidang persaingan usaha, karena Jerman Timur sebagai Negara komunis tidak memerlukan aturan hukum seperti ini, karena semua kegiatan ekonomi diatur oleh Negara secara terpusat. Sebaliknya Jerman Barat di bawah Menteri Ekonomi Federal, Ludwig Erhard menerapkan sistem ekonomi sosialisme yang berorientasi pasar dan mewajibkan Negara memberikan jaminan terhadap kebebasan pasar melalui aturan hukum. Dengan alasan itu, Parlemen, me- nyetujui diundangkannya Gesetz Gegen Wettbewerbsbeschraenkungen (GWB) (Undang-Undang Perlindungan Persaingan) yang oleh para pelaku usaha di Jerman lebih suka menyebutnya dengan Kartel Act (Undang-Undang Kartel). Dengan bersatunya kembali dua Jerman tersebut maka kedua undang-undang tersebut berlaku di seluruh Jerman. Praktek kartel pasar sudah terjadi di Jerman sejak lama. Baru pada saat memburuknya hubungan ekonomi setelah kekalahan perang dunia dan adanya tekanan dari publik pembuat undang-undang akhir- nya pada tahun 1923 terpaksa mengambil inisitif mengundangkan Peraturan Kartel Tahun 1923. Peraturan Kartel tersebut mengatur larangan penyalahgunaan, tetapi pada waktu itu praktis tidak berpengaruh, karena kenyataannya hanya sedikit kasus-kasus kartel yang dihadapkan dengan Peraturan Kartel 1923. Bahkan hasilnya Peraturan Kartel tersebut melalui legalisasi kartel dan legalisasi pemaksaan organisasi melawan pihak luar gerakan

71 kartel di Jerman tidak dapat dihentikan, tetapi sebaliknya semakin dituntut melakukan kartelisasi. Organisasi ekonomi Jerman dalam melakukan kartel secara terpaksa berdasarkan Undang-undang Kartel Paksa Tahun 1933 (Das Zwangskartellgesetz Von 1933). Para Negara sekutu baru pada tahun 1947 memperkenalkan Undang- undang dekartelisasi di Jerman. Konsekuensi pelaksanaan perundang-undangan ini adalah kartelisasi tidak terjadi lagi, karena diperkenalkan iklim usaha yang baru. Sejak tahun 1950 Pemerintah Federal Jerman berusaha menghilangkan undang- undang dekartelisasi Negara sekutu melalui Undang-undang Kartel Jerman dimana titik poinnya terdapat larangan kartelisasi dan pengawasan merger dan akuisisi. Baru pada tahun 1957 Gesetz Gegen Wettbewerbsbeschraengkung (Undang-undang Anti Hambatan Persaingan Usaha) berhasil diundangkan dan dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1958. Dan undang-undang ini sejak diundangkan sampai sekarang sudah diamandemen tujuh kali dan telah dilakukan harmonisasi dengan hukum persaingan usaha Uni Eropa.

5. Australia Pada tahun 1906 diundangkan The Australian Industries Preservation Act yang dipengaruhi juga oleh Sherman Act dari Amerika. Tetapi pendekatan mengenai larangan dalam perundang- undangan ini mendapat batasan karena konstitusi Australia. Hal ini disebabkan tidak adanya yurisdiksi khusus yang menegaskan tentang larangan praktek monopoli dalam sistem hukum Commonwealth. Berdasarkan kewenangan kekuasaan, maka badan legislatif mengatur perdagangan serta kewenangan yang ber-

72 hubungan dengan perusahaan asing atau keuangan perusahaan yang dibentuk dalam Commonwealth. Pasal 4 dan 7 dibatasi hanya pada kombinasi dan monopoli yang berhubungan dengan perdagangan dengan negara lain atau diantara negara bagian dan pasal 5 dan 8 ditujukan pada larangan kombinasi antara hambatan persaingan pada negara Commonwealth bila kegiatan tersebut dilakukan melalui perusahaan asing atau perdagangan atau perusahaan keuangan yang dibentuk dengan Commonwealth. Undang-undang ini akhirnya tidak begitu efektif semasa melalui 2 perang dunia, perubahan paradigma mengenai sistem ekonomi dan juga ketika masa depresi. Pada tahun 1965, Australia memberlakukan Commonwealth’s Trade Practices Act dengan menggantikan undang-undang tahun 1906. Undang-undang ini kemudian menghadapi beberapa per- masalahan yang berkenaan dengan seputar isi pasal 7 yang ber- hubungan dengan pasal 35 dan 36 mengenai batasan kegiatan perdagangan, kewenangan yang diatur oleh konstitusi, perdagangan antar Negara Bagian, perusahaan, territorial dan hubungan dengan Commonwealth. Sehingga pada tahun 1971 undang-undang ini digantikan dengan Restrictive Trade Practices Act yang efektif berlaku pada tanggal 1 Februari 1972. Pada saat pemerintahan buruh berkuasa, maka Restrictive Trade Practices Act menjadi undang-undang sesudah amandemen yang substansial dilakukan pada tahun 1973 dan kemudian efektif diberlakukan pada tanggal 24 Agustus 1974. Masih terjadi juga amandemen minor pada tahun 1974 dan 1975 yang mengatur mengenai substansi distribusi kartu kredit dan memberikan Pengadilan Industri kewenangan untuk melakukan perintah.

73 Undang-undang tahun 1974 juga ditinjau oleh berbagai komite yang dibentuk oleh Partai Liberal Country pada 1 April 1976 dengan mempublikasikan Trade Practices Act Review Committee Report pada 20 Agustus 1976. Laporan itu berisikan 139 rekomendasi yang diusulkan untuk mengamandemen undang- undang. Amandemen yang dituangkan efektif berlaku pada 1 Juli 1977.49 Menarik untuk diamati bahwa Trade Practices Commissions dan Trade Practices Tribuna l yang dibentuk berdasarkan undang- undang tahun 1965 tetap dipertahankan dalam substansi undang- undang ini. Tetapi fungsi mereka yang diperluas pada undang- undang tahun 1974 kemudian dibatasi pada amandemen tahun 1977. Disamping itu Australia juga memberlakukan Competition Policy Reform Act pada tahun 1995 yang melakukan perubahan cukup penting pada Trade Practices Act dimana pada intinya ruang lingkup bagian IV Trade Practices Act diperluas sampai dengan kegiatan usaha di tingkat Commonwealth, pemerintah Negara Bagian dan teritorial serta kegiatan bukan perusahaan (non corporate persons, sole traders and partners). Kemudian Trade Practices Commission digabung dengan Prices Surveilance Authority, yaitu badan yang didirikan untuk mengawasi pelaksanaan Prices Surveillance Act 1983 menjadi Australian Competition and Consumer Commission atau ACCC. Salah satu fungsi dari Trade Practice Commission (yang sekarang dikenal dengan nama Australian Competition and Consumer

49 Amandemen yang cukup signifikan adalah pelaksanaan Conciliation and Arbitration Act 1904 yang mengatakan bahwa sengketa industri yang melanggar pasal 45 D atau 45 E dapat dialihkan kepada komisi Konsiliasi dan Arbitrase atau Peradilan Negara Bagian atau Teritorial yang setara (State or Territorial Tribunal).

74 Commission – ACCC) adalah untuk menentukan aplikasi untuk menyetujui permohonan melakukan perjanjian yang sifatnya eksklusif (exclusive dealing). Pemohon dapat mengajukan per- mintaan kepada Trade Practice Tribunal untuk memeriksa kembali bila pemohon keberatan terhadap putusan penolakan komisi. Pertimbangan untuk pemeriksaan kembali adalah menjadi fungsi satu-satunya dari Tribunal. Trade Practice Commission (yang sekarang dikenal dengan nama Australian Competition and Consumer Commission – ACCC) yang dibentuk pada tahun 1974 untuk menggantikan Office of the Commissioner of Trade Practices yang dibentuk pada tahun 1965. Komisi ini terdiri dari Ketua yang bertugas penuh serta anggota yang bertugas penuh serta paruh waktu. Komisi didirikan berdasarkan amandemen undang-undang tahun 1977 sekaligus memfasilitasi prosedur legal untuk komisi ketika menjalankan tugasnya. Amandemen juga merubah posisi anggota paruh waktu dengan anggota associate, yang dapat diangkat berdasarkan ke- putusan Ketua untuk menyelesaikan masalah tertentu. Australia juga membentuk The National Competition Council yang mengeluarkan rekomendasi terhadap akses sebagaimana diatur dalam Bagian III A serta meninjau Perjanjian Prinsip Persaingan (Competition Principles Agreement) yang kemudian me- mutuskan kebijakan persaingan nasional.

6. Uni Eropa Uni Eropa beranggotakan 27 (dua puluh tujuh) Negara, pada awalnya Uni Eropa merupakan suatu Masyarakat (Community) yang dibentuk dalam komunitas batu bara dan baja di Eropa

75 (European Coal and Steel Community- ECSC) dengan anggota 6 (enam) negara yaitu Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Belgia, dan Luksemburg. Keenam negara tersebut membuat satu langkah penting yang bersifat kerjasama antar pemerintahan (intergovernmentalism), dengan meletakkan kedaulatan yang ter- integrasi di atas kedaulatan nasional (supranational authority) sebagai suatu lembaga independen yang memiliki kekuatan mengikat bagi para konstituen negara anggotanya. Atas kesamaan kepentingan tersebut, maka pada tahun 1951 ditandatanganilah perjanjian Paris, yang dikenal sebagai ECSC Treaty atau Traktat Paris. Melalui traktat ECSC, Community mencoba melakukan pendekatan integrasi sektor ekonomi lainnya yang pada akhirnya menuju integrasi ekonomi secara menyeluruh. Pada penandatangan traktat ECSC di Mesina Italia pada tahun 1955, tercapailah sebuah kesepakatan untuk mengintegrasikan ekonomi dan terbentuklah European Atomic Energy Community - EURATOM dan Economic European Community – EEC, yang ditandatangani pada 1957 dan dikenal sebagai Traktat Roma. Pembentukan pasar tunggal mulai terarah pembentukannya pada 1986 dengan ditandatanganinya Single European Act - SEA.” Pada 1992 Treaty on European Union - TEU ditandatangani di Maastricht yang kemudian dikenal sebagai sebagai Traktat Maastricht, dan traktat ini melahirkan sebutan European Union (EU) atau Uni Eropa. Tujuan utama berdirinya Masyarakat Eropa (European Community) adalah terciptanya pasar bebas. Ketentuan-ketentuan khusus yang mengaturnya adalah Pasal 3(a) yang melarang adanya cukai; Pasal 3(b) mengatur Community’s common commercial

76 policy seperti dalam bidang pertanian, perikanan dan transpor; Pasal 3(g) secara khusus mewajibkan Community memasyarakatkan bahwa ‘persaingan dijamin dalam internal market tidak terganggu, dan Pasal 3(h) mengatur tentang perkiraan tingkat kebutuhan hukum dalam pasar bebas. Dalam pasar bebas semua sumber ekonomi harus bergerak secara bebas, tidak ada hambatan oleh batasan yang berupa hukum negara. Oleh karena itu Traktat Roma menetapkan empat kebebasan (four freedoms) yang mengikat yaitu kebebasan per- pindahan barang, kebebasan berpindah tempat kerja, kebebasan memilih tempat tinggal dan lalu lintas jasa yang bebas, lalu lintas modal yang bebas. Salah satu dari ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur pasar bebas yang mempunyai peranan sangat penting bagi Masyarakat Eropa adalah Hukum Persaingan Usaha. Dasar Ke- bijakan Hukum Persaingan Usaha oleh Masyarakat Eropa diatur dalam Pasal 3(g) EC Treaty, bahwa persaingan dijamin di pasar antara anggota masyarakat Uni Eropa tidak terdistorsi. Sebagai peraturan pelaksanaan Pasal 3(g) EC Treaty tersebut ditetapkan di dalam Pasal 81 dan Pasal 82 EC Treaty.

7. Indonesia Latar belakang lahirnya regulasi mengenai persaingan usaha di Indonesia yaitu Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat yang selanjutnya dalam buku ini akan disebut sebagai UU Antimonopoli, adalah perjanjian yang dilakukan antara lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) dengan pemerintah Republik

77 Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 15 Januari 1998. Dalam perjanjian tersebut, IMF menyetujui pengucuran bantuan ekonomi berupa bantuan keuangan kepada Negara Republik Indonesia sebesar US$ 43 (empatpuluh tiga) miliar yang bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Bantuan tersebut akan diberikan akan tetapi dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi dalam bidang ekonomi dan hukum ekonomi tertentu. Hal ini menyebabkan diperlukannya UU Antimonopoli. Persyaratan IMF tersebut bukan merupakan satu- satunya alasan penyusunan undang-undang tersebut, alasan lain adalah maraknya praktek konglomerasi di Indonesia. Dengan situasi tersebut, maka kemudian disadari penting- nya Negara menjamin keberlangsungan proses persaingan usaha terhadap gangguan dari pelaku usaha dengan menyusun peraturan perundang-undangan, yang melarang pelaku usaha mengganti hambatan perdagangan yang diberikan oleh negara melalui regulasi (yang baru saja ditiadakan melalui UU Antimonopoli) dengan hambatan persaingan yang dihasilkan oleh sesama pelaku usaha melalui praktek persaingan curang. Indonesia sendiri baru memiliki aturan hukum dalam bidang persaingan usaha pada tahun 1999, setelah DPR berinisiatif menyusun RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. RUU tersebut akhirnya disetujui dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 18 Februari 1999, dalam hal ini pemerintah diwakili oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan. Setelah seluruh prosedur legislasi terpenuhi, akhirnya Undang-undang tentang larangan Praktek Monopoli dan

78 Persaingan Usaha Tidak Sehat ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie dan diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 serta berlaku satu tahun setelah diundangkan. Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai tindak lanjut hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional, maka Indonesia memasuki babak baru pengorganisasian ekonomi yang berorientasi pasar.

D. Asas dan Tujuan Hukum Persaingan Usaha Pada prinsipnya keberadaan hukum persaingan usaha ber- tujuan untuk mengupayakan terciptanya persaingan usaha yang sehat (fair competition) yang dapat mendorong pelaku usaha untuk melakukan efisiensi agar mampu bersaing secara wajar dengan para pesaingnya.50 Untuk memahami makna suatu aturan perundang-undangan, perlu disimak terlebih dahulu apa asas dan tujuan dibuatnya aturan tersebut. Asas dan tujuan akan menjadi dasar bagi bentuk pengaturan dan norma-norma yang dikandung dalam aturan tersebut. Selanjutnya pemahaman terhadap norma-norma aturan hukum tersebut akan memberi arahan dan mempengaruhi pelaksanaan dan cara-cara penegakan hukum yang akan dilakukan.

50 Supianto, Pendekatan Per Se Illegal Dan Rule Of Reason Dalam Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, JURNAL RECHTENS, Vol. 2, No. 1, Juni 2013, hlm. 48.

79 Asas dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 2 bahwa: “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”. Asas demokrasi ekonomi tersebut merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dan ruang lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu dapat ditemukan dalam penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945. Demokrasi ekonomi pada dasarnya dapat dipahami dari sistem ekonominya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam Rísalah Sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1845 di Gedung Pejambon Jakarta dapat diketahui bahwa Supomo selaku ketua Panitia Perancang UUD menolak paham individualisme dan menggunakan semangat kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat pedesaan Indonesia. Di sini ia mengikuti ajaran filsafat idealisme kekeluargaan dari Hegel, Adam Muller, dan Spinoza. Adam Muller adalah penganut aliran Neo-Romantisisme Jerman, aliran yang timbul sebagai reaksi terhadap ekses-ekses individualisme Revolusi Perancis.51 Adapun tujuan dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 3 adalah untuk: 1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkat- kan kesejahteraan rakyat;

51 Safroedin Sabar dkk., 1992, in Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, Cetakan kedua, (Malang: Bayumedia, 2007) Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia p.192

80 2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil; 3. Mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan 4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Dua hal yang menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan (policy objectives) yang ideal dalam pengaturan persaingan di negara-negara yang memiliki undang-undang persaingan adalah kepentingan umum (public interest) dan efisiensi ekonomi (economic efficiency). Ternyata dua unsur penting tersebut (Pasal 3 (a)) juga merupakan bagian dari tujuan diundangkannya UU Anti- monopoli.52 Pasal 2 dan 3 tersebut di atas menyebutkan asas dan tujuan- tujuan utama UU Antimonopoli. Diharapkan bahwa peraturan mengenai persaingan akan membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 (Pasal 2) dan menjamin sistem persaingan usaha yang bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem perekonomian yang efisien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka mengambil bagian pembukaan UUD 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b UU Antimonopoli dari struktur ekonomi untuk tujuan perealisasian kesejahteraan nasional menurut UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada sistem persaingan bebas dan adil dalam pasal 3

52 Ibid

81 Huruf a dan b UU Antimonopoli. Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada setiap pelaku usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya penyalah- gunaan wewenang di sektor ekonomi. Selaku asas dan tujuan, Pasal 2 dan 3 tidak memiliki relevansi langsung terhadap pelaku usaha, karena kedua pasal tersebut tidak menjatuhkan tuntutan konkrit terhadap perilaku pelaku usaha. Walaupun demikian, kedua pasal tersebut harus diguna- kan dalam interpretasi dan penerapan setiap ketentuan dalam Undang-undang Antimonopoli. Peraturan persaingan usaha agar diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga tujuan-tujuan yang termuat dalam Pasal 2 dan 3 tersebut dapat dilaksanakan seefisien mungkin. Misalnya, sehubungan dengan penerimaan dan jangkauan dari rule of reason dalam rangka ketentuan tentang perjanjian- perjanjian yang dilarang (Pasal 4-16), harus diperhatikan bahwa Pasal 2 dan 3 tidak menetapkan tujuan-tujuan yang dilaksanakan dalam bidang sumber daya manusia, kebijakan struktural dan perindustrian.53 Perundang-undangan antimonopoli Indonesia tidak bertujuan melindungi persaingan usaha demi kepentingan persaingan itu sendiri. Oleh karena itu ketentuan Pasal 3 tidak hanya terbatas pada tujuan utama undang-undang antimonopoli, yaitu sistem persaingan usaha yang bebas dan adil, di mana terdapat kepasti- an kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku usaha, sedangkan perjanjian atau penggabungan usaha yang menghambat persaingan serta penyalahgunaan kekuasaan ekonomi tidak ada

53 Ibid

82 (Huruf b dan c), sehingga bagi semua pelaku usaha dalam me- lakukan kegiatan ekonomi tersedia ruang gerak yang luas. Tujuan ini telah ditegaskan dalam Huruf b dan c dari bagian pembukaan. Selain itu. Pasal 3 menyebutkan tujuan sekunder undang-undang antimonopoli, yang ingin dicapai melalui sistem persaingan usaha yang bebas dan adil: kesejahteraan rakyat dan suatu sistem ekonomi yang efisien (Huruf a dan d), tujuan- tujuan yang mana sudah disebutkan dalam Huruf a dan b bagian pembukaan. Sehingga seharusnya sebagai konsekuensi terakhir tujuan kebijakan ekonomi, yaitu penyediaan barang dan jasa yang optimal bagi para konsumen.

E. Norma Dasar Hukum Persaingan Usaha (Per Se Illegal dan Rule of Reason) Hukum persaingan usaha mengenal adanya beberapa pen- dekatan dalam penerapan hukumnya, dua pendekatan diantara- nya adalah pendekatan perse illegal dan pendekatan rule of reason.54 Landasan berfikir dari kedua pendekatan ini adalah apakah seseorang harus dihukum karena melakukan suatu perjanjian atau perbuatan dengan alasan bahwa perbuatan tersebut dianggap dapat membahayakan persaingan? Disisi lain, apakah diperlukan

54 Pendekatan lain yang dikenal dalam hukum persaingan usaha adalah pendekatan de minimis rule, yaitu pendekatan yang merupakan pengecualian melakukan kartel bagi pelaku usaha sepanjang tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat (unfair competition). Pendekatan ini dilakukan di Eropa terhadap pangsa pasar yang margin keuntungannya kurang dari lima persen. Pendekatan lain adalah pendekatan teori teleologisch, yaitu teori yang menerapkan ketentuan undang-undang anti monopoli sesuai dengan tujuan undang-undang yang bersangkutan. Teori ini dikenal di NegaraJerman. (Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2009, hlm. 80.)

83 pembuktian (dengan asumsi mahal, lama dan sulit dilakukan) adanya suatu perjanjian atau perbuatan yang hampir pasti me- rugikan atau merusak persaingan?55 Pendekatan per se illegal maupun rule of reason diterapkan untuk menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku usaha melanggar undang-undang persaingan usaha. Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Sebaliknya, pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.56 Larangan-larangan yang bersifat per se adalah larangan yang bersifat mutlak dan jelas terhadap suatu perbuatan atau perjanjian tertentu untuk, sehingga dapat memberikan kepastian kepada pelaku usaha. Suatu perbuatan atau perjanjian dilarang yang secara per se berarti dapat dipastikan bahwa perbuatan tersebut akan merusak, mengganggu atau menghilangkan persaingan. Sebalik- nya dalam pendekatan yang bersifat rule of reason, suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha akan dilihat sejauh mana dampak negatifnya terhadap persaingan bebas. Apabila dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut terbukti secara signifikan

55 Mustafa Kamal Rokan, 2010, Hukum Persaingan Usaha – Teori dan Praktiknya di Indonesia, Jakarta : Rajagrafindo Persada, hlm. 59. 56 Hukum persaingan usaha antara teks dan konteks, hlm. 55.

84 akan mengganggu atau menghambat persaingan maka akan di- ambil tindakan hukum yang tegas. Secara singkat, dalam Hukum Persaingan ada dua cara untuk menentukan pelanggaran undang undang, kedua cara/ metode tersebut yaitu: 1. Per se illegal (penentuan berdasarkan pembuktian yang sederhana) 2. Rule of reason (penentuan berdasarkan pembuktian yang rumit)

Kedua metode pendekatan yang memiliki perbedaan ekstrim tersebut juga digunakan dalam UU Antimonopoli. Untuk mem- bedakan pasal yang menganut per se dan rule of reason, dapat dilihat dari redaksional ketentuan pasal-pasalnya, untuk rule of reason, maka akan ada pencantuman kata-kata “yang dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga”. Kata-kata tersebut me- nyiratkan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat menimbulkan praktek monopoli yang bersifat menghambat persaingan. Salah satu Pasal yang menggunakan metode pendekatan Rule of Reason adalah Pasal 4 UU Antimonopoli tentang Oligopoli, yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Sedangkan penerapan pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “di-

85 larang”, pasal ini tidak mencantumkan anak kalimat “…yang dapat mengakibatkan…”. Oleh karena itu, penyelidikan terhadap beberapa perjanjian atau kegiatan usaha, misalnya kartel (Pasal 11) dan praktek monopoli (Pasal 17) dianggap menggunakan pen- dekatan rule of reason. Sedangkan pemeriksaan terhadap perjanjian penetapan harga (Pasal 5) dianggap menggunakan pendekatan per se illegal.57 Contoh Pasal yang menggunakan metode Per se Illegal adalah Pasal 5 UU Antimonopoli yang berbunyi sebagai berikut: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”

1. Pendekatan Per Se Illegal a. Berasal dari bahasa latin: by itself; in itself; taken alone; by means of itself. b. Apabila suatu aktivitas adalah jelas maksudnya dan mempunyai akibat merusak, hakim tidak perlu sampai harus mempermasalahkan masuk-akal tidaknya dari peristiwa yang sama (analogi dengan peristiwa yang sedang diadili) sebelum menentukan bahwa peristiwa yang bersangkutan merupakan pelanggaran hukum persaingan.

Menurut Kaplan: Hambatan perdagangan dianggap per se illegal jika secara inheren bersifat anti persaingan, tidak ada keuntungan yang dapat

57 Ibid

86 diperoleh darinya, dan tidak ada maksud lain selain menghambat atau melumpuhkan proses persaingan. Penyelidikan terhadap ada tidaknya pelanggaran terhadap ketentuan hukum persaingan melalui pendekatan per se illegal dianggap lebih memberikan kepastian hukum. Artinya, bahwa adanya larangan yang tegas dapat memberikan kepastian bagi pengusaha untuk mengetahui keabsahan suatu perbuatan. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengatur dan menjalankan usaha tanpa khawatir adanya gugatan hukum di kemudian hari, yang menimbulkan kerugian berlipat ganda. Dengan perkataan lain, bahwa pendekatan per se illegal dapat memperingatkan pelaku usaha sejak awal, mengenai perbuatan apa saja yang dilarang, serta berusaha menjauhkan mereka untuk mencoba melakukannya.58 Namun demikian, tidak mudah untuk membuktikan adanya perjanjian, terutama jika perjanjian tersebut dilakukan secara lisan.59 Dalam hal ini, hakim hanya perlu membuktikan apakah terjadi suatu perjanjian. Namun demikian, terdapat kesulitan untuk membuktikan suatu perjanjian yang dilakukan dengan cara lisan (tidak tertulis).60 Contoh kasus yang diputus secara per se illegal oleh KPPU adalah sebagai berikut:61 1) Penetapan harga Organda DKI Tindakan yang dianggap merugikan konsumen dan telah

58 Carl Kaysen and Donald F. Turner 59 Pasal 1 butir 7 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”. 60 Hukum persaingan usaha antara teks dan konteks halaman 64 61 Dirangkum dari Hukum persaingan usaha antara teks dan konteks

87 diputuskan KPPU adalah perkara penetapan harga yang dilakukan oleh beberapa pengusaha Bus Kota Patas AC, yang tergabung dalam suatu asosiasi angkutan jalan raya (Organda). Kesepakatan bersama tersebut diakomodasi melalui DPD Organda DKI Jakarta melalui Surat DPD Organda tentang Penyesuaian Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC di wilayah DKI Jakarta tanggal 5 September 2001. Kesepakatan ini dianggap merupakan pelanggaran terhadap Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999. KPPU dalam Putusan Perkara Inisiatif Nomor: 05/KPPU-I/2003 menduga, bahwa Dewan Pimpinan Daerah Organda wilayah Jakarta melakukan penetapan tarif Bus Kota Patas AC sebesar Rp. 3.300-. Tindakan tersebut diawali dengan cara mengajukan permohonan kepada Gubernur DKI Jakarta. Setelah melalui proses pembahasan antara beberapa pengusaha angkutan bus kota dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta, akhirnya Pemerintah Daerah menyetujui kenaikan tarif dari Rp. 2.500- menjadi Rp. 3.300-per- penumpang, melalui Surat Nomor: 2640/-1.811.33 pada tanggal 4 September 2001 tentang Penyesuaian Tarif Angkutan. Berdasarkan Surat Gubernur ini, Organda menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SKEP-115/DPD/IX/2001 tanggal 5 September 2001 tentang Penyesuaian Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC di wilayah Jakarta Dalam perkara ini, KPPU cukup membuktikan adanya perjanjian yang dilakukan oleh operator bus kota Patas AC, yang dalam hal ini disepakati secara tertulis. Kemudian surat tersebut diajukan dan disetujui Gubernur DKI Jakarta, yang ditindak- lanjuti berupa Surat Keputusan tentang Penyesuaian Tarif. Pem- buktian tersebut seharusnya disertai dengan adanya pembuktian

88 dampak negatif terhadap konsumen atau pesaingnya atas adanya kesepakatan tersebut.

2) Perkara penetapan tarif pelayaran Perkara serupa juga terjadi di bidang angkutan laut, di mana tujuh (7) perusahaan pelayaran di jalur pelayaran Surabaya- Makassar melakukan kesepakatan untuk menetapkan tarif dan kuota jalur Surabaya-Makassar yang dibuat dan ditandatangan pada tanggal 23 Desember 2002. Perkara No.03/KPPU-I/2003 berawal dari adanya kesepakatan yang dilatar-belakangi adanya “banting-bantingan” harga di antara perusahaan pelayaran yang melayani jalur Surabaya-Makassar- Surabaya, serta adanya maksud Pelindo IV untuk menaikkan tarif THC/port charge. Perjanjian penetapan tarif dan kuota jalur Surabaya- Makassar dibuat pada tanggal 23 Desember 2002 ditanda-tangani oleh 7 perusahaan pelayaran. Perjanjian itu juga mengatur mekanisme penalti atau denda yang akan dikenakan jika terjadi kelebihan kuota, dan apabila perusahaan pelayaran tidak membayar denda, maka perusahaan pelayaran tersebut tidak akan mendapatkan pelayanan fasilitas pelabuhan dari Pelindo IV cabang Makassar. Dalam putusannya, KPPU menyatakan bahwa kesepakatan di antara para perusahaan pelayaran tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999.

3) Penetapan tarif SMS Pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 yang menggunakan pendekatan per se illegal lainnya adalah perkara kartel SMS (Short Message Service) yang dilakukan oleh para operator penyelenggara

89 jasa telekomunikasi. Perkara KPPU No.26/KPPU-L/2007 ini bermula dari laporan tentang adanya penetapan harga SMS off- net. Pelanggaran tersebut dilakukan oleh para operator jasa telekomunikasi pada periode 2004 sampai dengan 1 April 2008. KPPU menemukan bukti adanya klausula perjanjian kerja sama (PKS) Interkoneksi yang menyatakan bahwa harga layanan SMS off-net berkisar pada Rp. 250,00 – Rp. 350,00. Tim Pemeriksa juga menemukan beberapa klausula penetapan harga SMS tidak boleh lebih rendah dari Rp. 250,00 dalam PKS Interkoneksi. Komisi juga melihat adanya dampak atas penetapan harga yang mengakibatkan kerugian konsumen dihitung berdasarkan selisih penerimaan harga kartel dengan penerimaan harga kompetitif SMS off-net setidak-tidaknya sebesar Rp. 2.827.700.000.000. Komisi tidak ber- wenang untuk menjatuhkan sanksi ganti rugi untuk konsumen. Dalam putusannya, KPPU menyatakan bahwa 6 (enam) operator telekomunikasi melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 dengan dijatuhi denda berkisar Rp. 4 Milyar sampai dengan Rp. 25 Milyar. Dalam Putusan KPPU No. 26/KPPU-L/2007 tentang Penetapan Harga SMS, selain KPPU menemukan bukti adanya perjanjian tertulis di antara para operator, juga membuktikan dampak terhadap persaingan itu sendiri, yakni adanya kerugian yang dialami konsumen.

2. Pendekatan Rule of Reason Untuk menyatakan suatu perbuatan dituduh melanggar hukum persaingan, maka penegak hukum harus mempertimbangkan ke- adaan kasus untuk menentukan apakah perbuatan tersebut meng- hambat persaingan secara tidak patut, dan untuk itu disyaratkan

90 bahwa penggugat dapat menunjukkan akibat-akibat rusaknya/ hilangnya persaingan, atau adanya suatu kerugian yang nyata terhadap persaingan dan tidak merupakan hal apakah perbuatan itu tidak adil ataupun melanggar hukum. Berbeda halnya dengan per se illegal, penggunaan pendekatan rule of reason memungkin- kan pengadilan untuk melakukan interpretasi/ penafsiran terhadap Undang-undang. Dalam rule of reason, kepatutan dan validitas hambatan per- dagangan ditentukan oleh kepatutan berdasarkan asas hukum dan kewajiban untuk menerapkan dan melaksanakan kepentingan umum yang termuat dalam perundang-undangan. Dalam metode rule of reason, pembuktian yang rumit dilakukan karena pem- buktian terjadinya praktek monopoli atau persaingan tidak sehat harus memperhatikan semua faktor. Menyatakan suatu perbuatan dituduh melanggar hukum persaingan, maka pencari fakta harus mempertimbangkan dan menentukan apakah perbuatan tersebut menghambat persaingan dengan menunjukkan akibatnya terhadap proses persaingan dan apakah perbuatan itu tidak adil atau mempunyai pertimbangan lainnya. Pertimbangan/alasan lainnya dalam memutus suatu perkara dengan metode pendekatan Rule of Reason antara lain: a. Ekonomi b. Keadilan c. Efisiensi d. Perlindungan terhadap golongan ekonomi tertentu e. Fairness f. Pembuktian yang rumit

91 Dalam beberapa keputusannya, KPPU melakukan penyelidikan atas perkara-perkara tertentu dengan pendekatan rule of reason, antara lain adalah perkara tentang Cineplex 2162 dengan Putusan Nomor: 05/KPPU-L/2002. Putusan KPPU No. 05/KPPU-L/2002 ini bermula dari perkara yang melibatkan beberapa terlapor yang merupakan Group 21, yaitu: PT Camila Internusa Film (terlapor I), PT Satrya Perkasa Esthetika Film (terlapor II), dan PT Nusantara Sejahtera Raya (terlapor III). Pihak pelapor dalam suratnya tertanggal 5 Juli 2002 menyatakan, bahwa pada pokoknya pihak terlapor, antara lain, diduga telah melakukan praktek monopoli dan penyalah-gunaan posisi dominan di bidang distribusi film-film dari major companies yang diberikan oleh pihak MPA (distributor film-film Hollywood: 21 Century Fox, Universal Studio, Warner Bross, Buena Vista International Touch Town dan Columbia Tri Star). Di samping itu, mereka diduga melakukan penguasaan saham mayoritas pada industri sejenis, sehingga secara berturut-turut dianggap melanggar ketentuan Pasal 17, Pasal 25, dan Pasal 27 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Perkara ini melibatkan beberapa terlapor yang merupakan Group 21, yaitu: PT Camila Internusa Film (terlapor I), PT Satrya Perkasa Esthetika Film (terlapor II), dan PT Nusantara Sejahtera Raya (terlapor III). Pihak pelapor dalam suratnya tertanggal 5 Juli 2002 menyatakan, bahwa pada pokoknya pihak terlapor, antara lain, diduga telah melakukan praktek monopoli dan penyalah- gunaan posisi dominan di bidang distribusi film-film dari major

62 Ibid

92 companies yang diberikan oleh pihak MPA (distributor film-film Hollywood: 21 Century Fox, Universal Studio, Warner Bross, Buena Vista International Touch Town dan Columbia Tri Star). Di samping itu, mereka diduga melakukan penguasaan saham mayoritas pada industri sejenis, sehingga secara berturut-turut dianggap melanggar ketentuan Pasal 17, Pasal 25, dan Pasal 27 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Pemeriksaan Komisi meliputi pasar produk, yakni jasa penayangan film-film dari major companies, dan pasar geografik yang meliputi Studio 21 yang tersebar di wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi (Jabotabek), dan kota-kota besar lainnya, seperti Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Denpasar, dan Makassar. Dalam perkara ini, KPPU memutuskan, bahwa para terlapor (terutama terlapor I dan II), dianggap menghalangi konsumen untuk memperoleh jasa penayangan film dengan cara bersaing secara sehat, atau membatasi pasar atau menghambat pelaku usaha bioskop lain, yang berpotensi menjadi pesaingnya. Hasil penyelidikan KPPU menyimpulkan, bahwa mereka tidak melanggar Pasal 17 UU Nomor 5 Tahun 1999, karena meskipun menguasai distribusi film impor MPA, tetapi penguasaan itu kurang dari 50% dari seluruh film impor pada tahun 2001 dan 2002. Alasan yang sama juga digunakan sebagai pembuktian, bahwa para Terlapor tidak melanggar ketentuan Pasal 25 tentang Posisi Dominan. Baik metode per se illegal dan rule of reason, pola pendekatan tersebut mengandung keunggulan dan kelemahan masing-masing, yang mungkin dapat menjadi bahan pemikiran untuk menerap- kan salah satu pendekatan terhadap tindakan pelaku usaha yang

93 diduga melanggar UU Antimonopoli. Keunggulan rule of reason adalah, menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti, yaitu apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan. Dengan perkataan lain, apakah suatu tindakan dianggap menghambat persaingan atau mendorong persaingan, ditentukan oleh: “…economic values, that is, with the maximization of consumer want satisfaction through the most efficient allocation and use resources… ”.63 Sebaliknya, jika menerapkan per se illegal, maka tindakan pelaku usaha tertentu selalu dianggap melanggar Undang-undang. Namun pendekatan rule of reason juga mengandung satu kelemahan, dan mungkin merupakan kelemahan paling utama yaitu, bahwa rule of reason yang digunakan oleh para hakim dan juri mensyaratkan adanya pengetahuan tentang teori ekonomi dan sejumlah data ekonomi yang kompleks, di mana mereka belum tentu memiliki kemampuan yang cukup untuk memahaminya, guna dapat menghasilkan keputusan yang rasional.

F. Latihan Soal 1. Jelaskan manfaat dari persaingan usaha yang sehat? 2. Jelaskan 2 (dua) bentuk persaingan usaha? 3. Buatlah analisa masing-masing pasal dalam UU Antimonopoli apakah menggunakan metode per se illegal ataukah rule of reason?

63 Ibid

94 BAB VII BENTUK BENTUK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Dalam UU No. 5 Tahun 1999 sendiri tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai pengertian dari persaingan usaha. Namun dapat kita tarik pengertian persaingan usaha dari pengertian persaingan tidak sehat yang tercantum pada Pasal 1 angka 6 yaitu Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.64 Persaingan usaha tidak sehat menurut ketentuan UU Anti- monopoli Pasal 1 angka 6 adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Maka per- saingan usaha adalah persaingan seperti yang dijelaskan diatas

64 Lihat Undang Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 1 angka 6.

95 tanpa ada unsur tidak jujur, melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.65 Bentuk-bentuk persaingan usaha tidak sehat menurut UU Anti Monopoli antara lain:66 1. Perjanjian yang dilarang, diatur dalam UU Anti Monopoli Pasal 4 sampai dengan Pasal 16; 2. Kegiatan yang dilarang, diatur dalam UU Anti Monopoli Pasal 17 sampai dengan Pasal 24, dan; 3. Penyalahgunaan posisi dominan.

Untuk memahami bentuk persaingan usaha yang tidak sehat, maka kita harus terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan “pasar” sebagaimana diatur dalam UU Antimonopoli. Definisi “pasar” diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU Antimonopoli yang berbunyi “Pasar adalah lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa”. Terdapat beberapa istilah terkait dengan pasar yang ada dalam UU Antimonopoli, yaitu: a. Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut. b. Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh

65 Lihat Undang Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 66 Lihat Undang Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

96 penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kenerja pasar, antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi, dan pengusaan pangsa pasar. c. Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam kapasitasnya sebagai pemasok atau pembeli barang dan atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan, antara lain pencapaian laba, petumbuhan aset, target penjualan, dan metode persaingan yang digunakan. d. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. e. Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan atau jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan.

Secara sederhana, struktur pasar dapat diberikan pengertian sebagai kondisi lingkungan dimana perusahaan melakukan aktivitasnya sebagai produsen. Terdapat 4 (empat) bentuk struktur pasar dalam teori ekonomi dasar, yaitu: 1. Pasar Persaingan Sempurna (Perfect Competition), di mana jumlah perusahaan begitu banyak dan kemampuan setiap per- usahaan sangat kecil untuk mempengaruhi harga pasar; 2. Pasar Persaingan Monopolistis (Monopolistic Competition), perusahaan bersaing, tetapi masing-masing mempunyai daya monopoli (terbatas);

97 3. Pasar Oligopoli (Oligopoly), pasar hanya ada beberapa produsen yang jika bekerja sama mampu menghasilkan gaya monopoli; dan 4. Pasar Monopoli (Monopoly), perusahaan hanya satu-satunya produsen (monopoli). Dalam posisi ini perusahaan mampu mempengaruhi harga dan jumlah output dalam pasar.

Karakteristik Pasar Persaingan Monopolistik67 1. Banyak Penjual (Many Sellers). Seperti di struktur pasar persaingan sempurna, pasar persaingan monopolistik juga ditandai oleh jumlah perusahaan yang banyak. Tidak ada ukuran yang bisa digunakan untuk memberi batasan seberapa banyak itu ‘banyak’? (how much is ’many’?). Namun satu hal yang bisa dikatakan bahwa jumlah perusahaan di pasar cukup banyak sehingga pangsa satu perusahaan relatif kecil dibanding total. 2. Produknya Terdiferensiasi (Differentiated Product). Yang dimaksud dengan produk yang terdiferensiasi adalah produk yang memiliki perbedaan karakteristik dengan produk sejenis lain. Perbedaan karakteristik ini mengakibatkan mulai munculnya preferensi konsumen terhadap produk tertentu relatif terhadap produk yang lain. Munculnya preferensi konsumen ini menandakan bahwa produk tersebut tidak lagi bisa digantikan secara sempurna oleh produk lain. Akibatnya konsumen rela untuk membayar lebih mahal produk yang sesuai dengan preferensinya tersebut.

67 Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, hlm 35

98 3. Bebas Masuk dan Keluar Pasar (Free Entry and Free Exit). Masih sama dengan struktur pasar persaingan sempurna, jika perusahaan di pasar sedang mendapatkan keuntungan hal itu akan segera mengundang masuknya perusahaan-perusahaan baru ke dalam pasar. Perusahaan baru tersebut dengan mudah masuk ke dalam pasar tanpa harus mengeluarkan biaya (no entry cost). Begitu pula ketika perusahaan sedang mengalami kerugian, dengan mudah mereka akan keluar dari pasar.

Perbedaan utama antara strukur pasar persaingan monopolistik dengan pasar persaingan sempurna terletak pada jenis produk yang dihasilkan. Dengan memproduksi produk yang ter- diferensiasi, perusahaan mampu menentukan harga untuk masing-masing produknya. Dengan demikian perusahaan di struktur pasar persaingan monopolistik sudah memiliki market power atau kekuatan untuk mempengaruhi harga keseimbangan.

Karakteristik Pasar Oligopoli68 1. Terdapat Beberapa Penjual (Few Sellers). Hanya terdapat beberapa penjual yang ada di pasar. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa pasar masing-masing perusahaan di pasar cukup signifikan. Jumlah perusahaan yang lebih sedikit di- banding pasar persaingan sempurna ataupun persaingan monopolistik disebabkan oleh terdapatnya hambatan masuk ke dalam pasar. 2. Saling Ketergantungan (Interdependence). Pada struktur pasar persaingan sempurna maupun persaingan monopolistis, keputusan perusahaan atas harga dan kuantitas hanya mem- 68 Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, hlm 36

99 pertimbangkan tingkat permintaan di pasar dan biaya produksi yang dikeluarkan. Sementara di pasar oligopoli, keputusan strategis perusahaan sangat ditentukan oleh perilaku strategis perusahaan lain yang ada di pasar.

Karakteristik Pasar Monopoli Pasar monopoli mempunyai mempunyai beberapa karakteristik khusus seperti yang diuraikan di bawah ini:69 1. Pasar monopoli adalah industri satu perusahaan. Sifat ini sesuai dengan definisi dari monopoli yaitu struktur pasar atau industri dimana terdapat hanya seorang penjual saja. Dengan demikian barang atau jasa yang dihasilkannya tidak dapat dibeli di tempat lain. Para pembeli tidak mempunyai pilihan lain, kalau mereka menginginkan barang tersebut, maka mereka harus membeli dari perusahaan tersebut. Syarat-syarat penjualan tersebut sepenuhnya ditentukan oleh pengusaha monopoli itu, dan para pembeli tidak dapat berbuat sesuatu apapun di dalam menentukan syarat. 2. Tidak memiliki barang pengganti yang mirip. Barang yang dihasilkan perusahaan monopoli tidak dapat digantikan oleh barang lain yang ada dalam perekonomian. Barang tersebut merupakan satu-satunya jenis barang yang seperti itu. Yang “mirip” dengannya dari segi kegunaan tidak ada sama sekali. Aliran listrik sampai saat ini adalah contoh dari barang pengganti yang “mirip”, yang ada hanyalah barang pengganti yang sangat berbeda sifatnya, yaitu lampu minyak. Lampu

69 Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, hlm. 33.

100 minyak tidak dapat menggantikan listrik karena ia tidak dapat digunakan untuk menghidupkan televisi atau memanaskan setrika/gosokan. 3. Tidak terdapat kemungkinan untuk masuk ke dalam pasar. Sifat ini merupakan sebab utama yang menimbulkan per- usahaan yang mempunyai kekuasaan monopoli. Tanpa sifat ini pasar monopoli tidak akan terwujud, karena tanpa adanya hambatan tersebut pada akhirnya akan terdapat beberapa perusahaan dalam industri. Keuntungan perusahaan monopoli akan menarik pengusaha-pengusaha lain ke dalam industri tersebut. Adanya hambatan masuk yang sangat tinggi meng- hindarkan berlakunya keadaan yang seperti itu. 4. Dapat menguasai penentuan harga. Oleh karena perusahaan monopoli merupakan satu-satunya penjual di dalam pasar, maka penentuan harga dapat dikuasainya. Oleh sebab itu perusahaan monopoli dipandang sebagai penentu harga atau price setter. Dengan mengadakan pengendalian ke atas produksi dan jumlah barang yang ditawarkan, perusahaan monopoli dapat menentukan harga pada tingkat yang dikehendakinya. 5. Promosi kurang diperlukan. Oleh karena perusahaan monopoli adalah satu-satunya perusahaan di dalam industri, ia tidak perlu melakukan promosi penjualan secara iklan. Ketiadaan saingan menyebabkan semua pembeli yang memerlukan barang yang diproduksi oleh perusahaan monopoli tersebut. Kalaupun perusahaan monopoli membuat iklan, iklan tersebut bukanlah bertujuan untuk menarik pembeli, tetapi untuk memelihara hubungan baik dengan masyarakat.

101 Dalam UU Antimonopoli, secara garis besar terdapat 3 (tiga) hal yang dilarang, yaitu sebagai berikut: a. Perjanjian yang dilarang; b. Kegiatan yang dilarang; c. Penyalahgunaan posisi dominan;

A. Perjanjian yang dilarang Sebelum diperkenalkannya istilah perjanjian yang ada dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka istilah perjanjian secara umum telah lama dikenal oleh masyarakat. Prof. Wirjono me- nafsirkan perjanjian sebagai perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak dalam hal mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lainnya berhak menuntut pelaksanaan dari perjanjian itu.70 Sedangkan Prof. Subekti me- nyatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa, dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.71 Selanjutnya Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan atau perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian dalam KUH Perdata ini merupakan asas-asas dan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk semua perjanjian secara umum. Disamping itu suatu Undang-Undang khusus dapat saja mengatur secara khusus yang hanya berlaku untuk ketentuan-ketentuan dalam undang- 70 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, (Bandung: PT. Eresto,1989) hlm. 9. 71 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa,1985) hlm. 1.

102 undang yang khusus tersebut. Hal ini dapat ditemui dalam UU Antimonopoli yang mengatur secara khusus apa yang dimaksud dengan perjanjian dalam UU ini. Menurut Pasal 1 ayat (7) UU Antimonopoli, perjanjian di- definisikan sebagai: “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.” Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh UU Antimonopoli, dapat diketahui bahwa UU Antimonopoli merumuskan bahwa perjanjian dapat dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, kedua-duanya diakui atau digunakan sebagai alat bukti dalam kasus persaingan usaha. Sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya dianggap tidak begitu kuat sebagai alat bukti di pengadilan, karena hukum acara perdata yang berlaku pada saat ini lebih menekankan dan mengganggap bukti tertulis dan otentik sebagai alat bukti yang kuat.72 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu: 1. Oligopoli 2. Penetapan harga: a. Penetapan harga (Pasal 5 UU No.5/1999); b. Diskriminasi harga (Pasal 6 UU No.5/1999); c. Jual Rugi (Pasal 7 UU No.5/1999); d. Pengaturan Harga Jual Kembali (Pasal 8 UU No.5/1999); 3. Pembagian wilayah (Pasal 9 UU No.5/1999);

72 Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, hlm. 86.

103 4. Pemboikotan (Pasal 10 UU No.5/1999); 5. Kartel (Pasal 11 UU No.5/1999); 6. Trust (Pasal 12 UU No.5/1999); 7. Oligopsoni (Pasal 13 UU No.5/1999) ; 8. Integrasi vertikal (Pasal 14 UU No.5/1999);

9. Perjanjian Tertutup: a) exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU No.5/1999); b) tying agreement (Pasal 15 ayat (2) UU No.5/1999); c) vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU No.5/ 1999);

10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri.

1) Oligopoli Pengertian Oligopoli menurut termuat dalam ketentuan UU Antimonopoli Pasal 4 ayat (1) dimana apa yang disebut dengan oligopoli yaitu “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat.” Sedangkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Antimonopoli menyatakan bahwa: “pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/ atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagimana dimaksud ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%

104 (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.” Pasal 4 Undang-undang Antimonopoli merupakan pasal yang ditafsirkan menggunakan prinsip Rule of Reason, oleh karena itu sebenarnya pelaku usaha tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa atau membuat perjanjian oligopoli selama tidak mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima sebagai dasar pembenar dari perbuatan mereka tersebut. Terjadinya kerjasama atau kolusi pada pasar oligopoli dapat terjadi secara sengaja atau secara diam-diam tanpa adanya kesepakatan diantara para pelaku usaha (tacit collusion). Kolusi secara diam-diam dapat terjadi karena adanya” meeting of mind” diantara para pelaku usaha untuk kebaikan mereka bersama untuk menetapkan harga atau produksi suatu barang.73

2) Penetapan harga; a) Penetapan harga (Pasal 5 UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. b) Diskriminasi harga (Pasal 6 UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang

73 Hukum persaingan usaha antara teks dan konteks hlm. 88.

105 berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama c) Jual Rugi (Pasal 7 UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat d) Pengaturan Harga Jual Kembali (Pasal 8 UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. e) Pembagian wilayah (Pasal 9 UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. f) Pemboikotan (Pasal 10 UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. g) Kartel (Pasal 11 UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya,

106 yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. h) Trust (Pasal 12 UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing- masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. i) Oligopsoni (Pasal 13 Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang ber- tujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. j) Integrasi vertikal (Pasal 14 UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik

107 dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.

3) Perjanjian Tertutup a. Exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. b. Tying agreement (Pasal 15 ayat (2) UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. c. Vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

108 4) Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16 UU Anti- monopoli); Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Beberapa kasus yang diputus oleh KPPU yang termasuk dalam kategori perjanjian yang dilarang, antara lain sebagai berikut: a. Kasus Oligopoli PT Garam (Putusan No. 10/KPPU-L/2005 mengenai perdagangan garam ke Sumatera Utara) Kasus bermula dari laporan tentang adanya kesulitan me- lakukan pengiriman garam bahan baku ke Sumatera Utara selain juga ada kesulitan melakukan pembelian garam bahan baku di Sumatera Utara. Dalam kasus ini yang menjadi Terlapor adalah PT. Garam, PT Budiono, dan PT Garindo dengan PT Graha Reksa, PT Sumatra Palm, UD. Jangkar Waja, dan UD Sumber Samudera. Dari pemeriksaan ditemukan bahwa kebutuhan garam bahan bakudi Sumatera Utara hanya dipasok oleh PT Garam, PT Budiono dan PT Garindo. Sebagian besar pasokan garam bahan baku dibeli oleh G4 dari G3. Penguasaan pembelian garam bahan baku yang dipasok oleh G3 ke Sumatera Utara oleh G4 men- cerminkan struktur pasar yang bersifat oligopsoni. G3 dan G4 secara bersama menguasai lebih dari 75% pangsa pasar garam di Sumatra Utara. Bahwa jumlah garam bahan baku yang dikirim oleh G3 ke Sumatera Utara hanya disesuaikan dan atau ditentukan berdasarkan pada jumlah permintaan G4 dan sesama G3 lainnya

109 saja. Tindakan penyesuaian jumlah pasokan garam bahan baku tersebut mengakibatkan kebutuhan garam bahan baku selalu terpenuhi oleh G4 dan sesama G3 lainnya. Juga ditemukan apa- bila jumlah garam bahan baku yang dikirim ke Sumatera Utara melebihi jumlah permintaan G4 dan sesama G3 lainnya maka kelebihan tersebut selalu dititipkan ke gudang G4 yang juga dikenal dengan istilah sistem titip simpan dan titip jual karena G3 tidak dikenakan sewa gudang dan G4 baru akan membayar kelebihan tersebut setelah garam bahan baku yang dititipkan tersebut ter- jual. Bahwa tindakan penyesuaian jumlah pasokan serta tindakan pengontrolan atas kelebihan jumlah pengiriman tersebut dilakukan oleh semua anggota G3 dan G4 secara sistematis, teratur dan telah berlangsung lama. Bahwa dengan struktur pasar garam bahan baku di Sumatera Utara yang bersifat oligopolistik, maka rangkaian tindakan G3 dan G4 mengakibatkan tidak mungkin ada pesaing baru di pasar bersangkutan sehingga rangkaian tindakan tersebut merupa- kan perjanjian untuk secara bersama-sama mempertahankan pe- nguasaan pemasaran garam bahan baku di Sumatera Utara. KPPU memutuskan bahwa PT Garam, PT Budiono, PT Garindo, PT Graha Reksa, PT Sumatera Palm, UD Jangkar Waja, UD Sumber Samudera secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Putusan KPPU ini telah tepat karena walaupun tidak terdapat perjanjian secara tertulis, namun dengan adanya koordinasi antara para Terlapor dan juga adanya kerjasama menitipkan barang

110 yang berlebih pada Terlapor lainnya telah membuktikan adanya kerjasama ataupun perjanjian antar Pelaku usaha. b. Putusan KPPU No. 02/KPPU-I/2003 mengenai Kargo (Jakarta- Pontianak) Adapun yang menjadi pihak dalam kasus ini adalah Pelaku Usaha Angkutan Laut Khusus Barang Trayek Jakarta-Pontianak, yaitu PT. Perusahaan Pelayaran Nusantara Panurjwan (Terlapor I), PT.Pelayaran Tempuran Emas, Tbk. (Terlapor II), PT. Tanto Intim Line (Terlapor III) dan PT. Perusahaan Pelayaran Wahana Barunakhatulistiwa (Terlapor IV), karena telah melakukan per- janjian kesepakatan bersama besaran tarif uang tambang untuk trayek Jakarta- Pontianak-Jakarta. Dalam kasus ini dapat diketahui bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III dan Terlapor IV telah menandatangani kesepakatan bersama tarif uang tambang petikemas Jakarta-Pontianak-Jakarta No: 01/SKB/PNP-TE-WBK-TIL/06/ 2002 yang diketahui dan di- tandatangani juga oleh Ketua Bidang Kontainer DPP INSA dan Direktur Lalulintas Angkutan Laut Direktorat Jenderal Per- hubungan Laut Departemen Perhubungan. Para Terlapor mendalilkan bahwa kesepakatan bersama tarif untuk menghindari perang tarif ataupun terjadinya persaingan yang sangat tajam (cut throat competition) antar pelaku usaha semenjak meningkatnya permintaan dan masuknya pelaku usaha baru dalam industri ini. KPPU memutuskan bahwa penetapan tarif ini melanggar Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 karena selain akan mengurangi persaingan dan meniadakan alternatif pilihan tarif baik yang

111 akan ditawarkan oleh penyedia jasa sesuai dengan variasi kualitas pelayanannya, maupun yang akan dipilih oleh konsumen sesuai dengan kebutuhannya, kesepakatan ini juga akan sangat merugi- kan industri bersangkutan karena terciptanya hambatan masuk (entry bariers) yang cukup besar yang akan menghambat pelaku usaha baru untuk memasuki pasar bersangkutan. Apabila kita lihat perumusan Pasal 5 ini, maka ketentuan dalam pasal ini dapat ditafsirkan secara per se illegal. Artinya apabila telah terbukti adanya perjanjian mengenai harga atas suatu barang atau jasa, maka perbuatan tersebut secara otomatis telah bertentangan dengan ketentuan dalam pasal dimaksud, tanpa perlu melihat alasan-alasan dari pelaku usaha melakukan perbuatan tersebut. Putusan KPPU ini menurut hemat penulis adalah tepat, karena kesepakatan harga yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam kasus ini jelas-jelas telah terbukti dan akan merugikan konsumen. c. Kasus mengenai kartel yang pernah diputus oleh KPPU yaitu Putusan No. 03/KPPU-I/2003 mengenai Kargo Surabaya- Makasar. Adapun duduk perkaranya adalah sebagai berikut Tujuh perusahaan pelayaran yaitu PT. Meratus, PT. Tempuran Emas, PT. Djakarta Lloyd, PT. Jayakusuma Perdana Lines, PT. Samudera Indonesia, PT. Tanto Intim Line, dan PT. Lumintu Sinar Perkasa pada Rapat Pertemuan Bisnis di Ruang Rapat MPH I Hotel Elmi Surabaya pada hari Senin tanggal 23 Desember 2002 yang dihadiri para Terlapor, Saksi I dan Saksi III telah disepakati

112 penetapan tarif dan kuota yang kemudian dituangkan dalam Berita Acara Pertemuan Bisnis di Hotel Elmi Surabaya dan masing- masing pihak mengakui dan membubuhkan tanda tangan atas dokumen kesepakatan tarif dan kuota. Pelaksanaan kesepakatan tahap I mulai berlaku sejak 1 Januari 2003 sampai dengan 31 Maret 2003. Unsur Pasar 11 UU No. 5 Tahun 1999 pada intinya adalah ada- nya kesepakatan antar perusahaan yang bersaing untuk mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa yang ditujukan untuk mempengaruhi harga dan dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Dengan ditetapkannya kuota bongkar muat tersebut, para Terlapor telah mengatur produksi jasa pengangkutan laut khusus barang (kargo) dari para Terlapor yang melayani jalur Surabaya – Makassar – Surabaya dan Makassar – Jakarta – Makassar, yang bertujuan mencegah terjadinya perang harga. Disamping itu dengan ditetapkannya kuota bongkar muat peti kemas tersebut para Terlapor telah melakukan tindakan yang meniadakan persaingan usaha antara anggota kartel. Dengan demikian para Terlapor telah melakukan praktek usaha persaingan tidak sehat sehingga melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

B. Kegiatan yang dilarang

1. Monopoli (pasal 17 UU Antimonopoli); Monopoli diatur dalam UU Antimonopoli Pasal 17 yang

113 berbunyi sebagai berikut” Pelaku usaha dilarang melakukan pe- nguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Sebetulnya istilah monopoly berasal dari bahasa Inggris, yaitu monopoly dan istilah tersebut menurut sejarahnya berasal dari bahasa Yunani, yakni “monos polein” yang berarti sendirian menjual.74 Berdasarkan kamus Ekonomi Collins yang dimaksud dengan monopoli adalah:75 “salah satu jenis struktur pasar yang mempunyai sifat-sifat, bahwa satu perusahaan dengan banyak pembeli, kurangnya produk substitusi atau pengganti serta adanya pemblokiran pasar (barrier to entry) yang tidak dapat dimasuki oleh pelaku usaha lainnya”. Definisi Monopoli diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang- undang Antimonopoli yang berbunyi sebagai berikut “Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha”, dari pengertian tersebut, terdapat unsur- unsur yang dapat dikategorikan sebagai monopoli, yaitu: adanya penguasaan atas produksi, dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu; serta dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Kemudian mengenai larangan kegiatan monopoli itu sendiri diatur dalam Pasal 17 UU Antimonopoli, yang menyatakan bahwa :

74 H. Kusnadi, Ekonomi Mikro, 1977 , Malang: FE Unbraw. hlm 370 75 Christopher Pass dan Bryan Lowes, 2001, in Elyta Ras Ginting: Hukum Antimonopoli Indonesia: Analisis dan Perbandingan UU No. 5 Tahun 1999, Bandung: Citra Aditya Bakti, Hlm. 19.

114 a. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila :

1) Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau 2) Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau 3) Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 17 UU Antimonopoli adalah sebagai berikut : a. Melakukan perbuatan penguasaan atas suatu produk. b. Melakukan perbuatan atas pemasaran suatu produk. c. Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli. d. Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat.

Untuk membuktikan unsur-unsur perbuatan di atas maka kriteria ini harus dipenuhi:76

76 Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, hlm 131

115 a. Tidak terdapat produk substitusinya. b. Pelaku usaha lain sulit masuk ke dalam pasar persaingan terhadap produk yang sama dikarenakan hambatan masuk yang tinggi. c. Pelaku usaha lain tersebut adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan. d. Satu atau satu kelompok pelaku usaha telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar suatu jenis produk.

2. Monopsoni (pasal 18 UU Antimonopoli); Monopsoni diatur dalam UU Antimonopoli Pasal 18 yang berbunyi sebagai berikut “Pelaku usaha dilarang menguasai pe- nerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Jika dalam hal monopoli, seorang atau satu kelompok usaha menguasai pangsa pasar yang besar untuk menjual suatu produk, maka istilah monopsoni, dimaksudkan sebagai seorang atau satu kelompok usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli suatu produk, atau acapkali monopsoni itu identik dengan pembeli tunggal atas produk barang maupun jasa tertentu.77 Berdasarkan pada Pasal 18 UU Antimonopoli, maka monopsoni merupakan suatu keadaan dimana suatu kelompok usaha menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli suatu produk, sehingga perilaku pembeli tunggal tersebut akan dapat meng-

77 Ibid, hlm. 136. 116 akibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat, dan apabila pembeli tunggal tersebut juga menguasai lebih dari 50% pangsa pasar suatu jenis produk atau jasa.78

3. Penguasaan pasar (Pasal 19 UU Antimonopoli); Penguasaan pasar diatur dalam Pasal 19 UU Antimonopoli yang berbunyi “Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau be- berapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; b. Atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkut-an sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Penguasaan pasar atau dengan kata lain menjadi penguasa di pasar merupakan keinginan dari hampir semua pelaku usaha, karena penguasaan pasar yang cukup besar memiliki korelasi positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa diperoleh oleh pelaku usaha. Untuk memperoleh penguasaan pasar ini, pelaku usaha kadangkala melakukan tindakan-tindakan yang ber- tentangan dengan hukum.79

78 Ibid 79 Ibid 117 4. Kegiatan menjual rugi (predatory pricing) (Pasal 20 UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Kegiatan jual rugi atau predatory pricing ini merupakan suatu bentuk penjualan atau pemasokan barang dan atau jasa dengan cara jual rugi (predatory pricing) yang bertujuan untuk mematikan pesaingnya. Berdasarkan sudut pandang ekonomi predatory pricing ini dapat dilakukan dengan menetapkan harga yang tidak wajar, dimana harga lebih rendah dari pada biaya variabel rata-rata. Dalam praktek penentuan biaya variabel rata-rata sangat sulit dilakukan, oleh karenanya kebanyakan para sarjana mengatakan, bahwa predatory pricing merupakan tindakan menentukan harga dibawah harga rata-rata atau tindakan jual rugi.80

5. Kecurangan Dalam Menetapkan Biaya Produksi (pasal 21 UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam me- netapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat meng- akibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

80 Partnership for Business Competition, 2001, Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya di Indonesia, Jakarta: Elips Project, hlm. 44.

118 6. Persekongkolan; Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. a. Persekongkolan tender (Pasal 22 UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk meng- atur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. b. Persekongkolan membocorkan rahasia dagang (Pasal 23 UU Antimonopoli); Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. c. Persekongkolan Menghambat Perdagangan (Pasal 24); Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan. Secara ekonomis, hambatan perdagangan (restrain of trade) yang dilarang berdasarkan pasal 24 UU Antimonopoli dapat dibedakan ke dalam:

119 1) Restrictive trade agreement, yaitu bentuk kolusi di antara para pemasok yang bertujuan menghapus persaingan secara keseluruhan ataupun sebagian, dan 2) Restrictive trade practice, yaitu suatu alat untuk mengurangi atau menghilangkan persaingan usaha di antara para pemasok produk yang saling bersaing. Misalnya yang terjadi dalam perjanjian exclusive dealing, refusal to supply

Terdapat beberapa Perkara Persekongkolan Tender Peng- adaan/Pembelian Barang atau Jasa yang disebabkan adanya tawaran mengajukan harga terbaik untuk pengadaan/pem- belian barang atau jasa, yakni antara lain: 1) Putusan No. 01/KPPU-L/2000: Perkara Tender Pengadaan Cashing dan Tubing di PT Caltex Pacific Indonesia (PT CPI). 2) Putusan No. 07/KPPU-L-I/2000: Perkara Tender Pengadaan Bakalan Sapi Impor di oleh Dinas Peternakan Jawa Timur. 3) Putusan No. 08/KPPU-L/200: Perkara Tender Pengadaan Barite & Bentonite di YPF Maxus Southeast Sumatra B.V. (YPF MSS B.V.). 4) Putusan No. 06/KPPU-I/2005: Perkara Persekongkolan Tender Proyek Multi Years di Riau.

C. Posisi Dominan Posisi dominan atau menjadi lebih unggul di pasar ber- sangkutan adalah menjadi salah satu tujuan pelaku usaha. Oleh karena itu, setiap pelaku usaha berusaha menjadi yang lebih unggul (market leader) pada pasar yang bersangkutan. Penguasaan posisi dominan di dalam hukum persaingan usaha (HPU) tidak

120 dilarang, sepanjang pelaku usaha tersebut dalam mencapai posisi dominannya atau menjadi pelaku usaha yang lebih unggul (market leader) pada pasar yang bersangkutan atas kemampuannya sendiri dengan cara yang fair.81 UU No. 5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan per- saingan usaha tidak sehat (UU Antimonopoli) tidak melarang pelaku usaha menjadi perusahaan besar. UU Antimonopoli justru mendorong pelaku usaha untuk dapat bersaing pada pasar yang bersangkutan. Persaingan inilah yang memacu pelaku usaha untuk melakukan efisiensi dan inovasi-inovasi untuk menghasil- kan produk yang lebih berkualitas dan harga yang kompetitif dibandingkan dengan kualitas produk dan harga jual dari pesaingnya. Persainganlah yang mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang dominan. Pertanyaannya adalah apa definisi atau pengertian posisi dominan? Dalam perspektif ekonomi, posisi dominan adalah posisi yang ditempati oleh perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar. Dengan pangsa pasar yang besar tersebut perusahaan memiliki market power. Dengan market power tersebut, perusahaan dominan dapat melakukan tindakan/strategi tanpa dapat di- pengaruhi oleh perusahaan pesaingnya. Dalam UU Antimonopoli, posisi dominan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau suatu pelaku usaha mempunyai posisi lebih tinggi daripada pesaingnya pada pasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan, akses pada pasokan atau penjualan serta

81 Op. Cit, hlm. 165.

121 kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Antimonopoli tersebut menetapkan syarat atau parameter posisi dominan. Dari ketentuan Pasal 1 angka 4 tersebut dapat disimpulkan terdapat 4 syarat yang dimiliki oleh suatu pelaku usaha sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan, yaitu pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan:82 1. Pangsa pasarnya; 2. Kemampuan keuangan; 3. Kemampuan akses pada pasokan atau penjualan; dan 4. Kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu,

Pasal 25 ayat 1 yang menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: 1. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau 2. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau 3. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

Kasus penyalahgunaan posisi dominan yang pernah diputus oleh KPPU adalah kasus baterai ABC.

82 Ibid

122 Perkara ini berawal dari dugaan terjadi perilaku anti persaingan dalam program promosi ABC yang bertitel Program Geser Kompetitor (PGK) selama periode Maret sampai dengan Juni 2004. Dengan adanya PGK, beberapa took grosir/semi grosir di pasar tradisional wilayah Jawa dan Bali diikat oleh ABC dengan pemberian potongan harga sebesar 2% jika bersedia memajang produk baterai ABC dan 2% lagi jika bersedia untuk tidak menjual baterai Panasonic. Potongan harga diberikan selama periode berlangsungnya PGK. Pangsa pasar baterai ABC jenis manganese AA blue secara nasional sebesar 88,73%, memiliki maksud untuk menyingkirkan pesaingnya yakni PT Panasonic Gobel Indonesia (PGI) yang memproduksi baterai sejenis. ABC juga melarang toko grosir atau semi grosir untuk membeli baterai Panasonic. Akibatnya, terjadi penurunan volume penjualan baterai manganese AA blue milik PGI, timbulnya potensi mengurangi tingkat persaingan yang pada akhirnya akan mengurangi konsumen utuk memilih produk baterai yang sesuai. Perbuatan ini diwujudkan dalam bentuk perjanjian antara ABC dan para pemilik toko grosir/semi grosir. Komisi menyatakan, bahwa PGK terbukti melanggar Pasal 19 huruf a) dan Pasal 25 ayat (1) huruf a) jo. Ayat (2) huruf a) UU Nomor 5/1999. Guna menghentikan perjanjian tersebut, Komisi membatalkan PGK yang dibuat oleh ABC dengan toko grosir/semi grosir.

D. Pengecualian dalam UU Antimonopoli Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah: 1. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksankan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau

123 2. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, patenm merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau 3. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau 4. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau 5. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau 6. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah republik indonesia; atau 7. Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau 8. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau 9. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya

E. Latihan Soal 1. Jelaskan perbedaan konsep “perjanjian” dan “kegiatan”? 2. Jelaskan tentang monopoli dan oligopoly? 3. Jelaskan bentuk penyalahgunaan posisi dominan?

124 Contoh-contoh kasus Persaingan usaha:

1. Oligopoli83 Kasus bermula dari laporan tentang adanya kesulitan me- lakukan pengiriman garam bahan baku ke Sumatera Utara selain juga ada kesulitan melakukan pembelian garam bahan baku di Sumatera Utara. Dalam kasus ini yang menjadi Terlapor adalah PT. Garam, PT Budiono, dan PT Garindo dengan PT Graha Reksa, PT Sumatra Palm, UD. Jangkar Waja, dan UD Sumber Samudera. Dari pemeriksaan ditemukan bahwa kebutuhan garam bahan baku di Sumatera Utara hanya dipasok oleh PT Garam, PT Budiono dan PT Garindo. Sebagian besar pasokan garam bahan baku dibeli oleh G4 dari G3. Penguasaan pembelian garam bahan baku yang dipasok oleh G3 ke Sumatera Utara oleh G4 mencerminkan struktur pasar yang bersifat oligopsoni. G3 dan G4 secara bersama menguasai lebih dari 75% pangsa pasar garam di Sumatra Utara. Bahwa jumlah garam bahan baku yang dikirim oleh G3 ke Sumatera Utara hanya disesuaikan dan atau ditentukan berdasarkan pada jumlah permintaan G4 dan sesama G3 lainnya saja. Tindakan penyesuaian jumlah pasokan garam bahan baku tersebut mengakibatkan kebutuhan garam bahan baku selalu terpenuhi oleh G4 dan sesama G3 lainnya. Juga ditemukan apabila jumlah garam bahan baku yang dikirim ke Sumatera Utara melebihi jumlah permintaan G4 dan sesama G3 lainnya maka kelebihan tersebut selalu dititipkan ke gudang G4 yang juga dikenal dengan istilah sistem titip simpan dan titip jual karena G3 tidak dikenakan sewa gudang dan G4

83 Andi Fahmi Lubis, et.al. 2009. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Jakarta: KPPU, hlm. 90.

125 baru akan membayar kelebihan tersebut setelah garam bahan baku yang dititipkan tersebut terjual. Bahwa tindakan penyesuaian jumlah pasokan serta tindakan pengontrolan atas kelebihan jumlah pengiriman tersebut dilakukan oleh semua anggota G3 dan G4 secara sistematis, teratur dan telah berlangsung lama.Bahwa dengan struktur pasar garam bahan baku di Sumatera Utara yang bersifat oligopolistik, maka rangkaian tindakan G3 dan G4 mengakibatkan tidak mungkin ada pesaing baru di pasar bersangkutan sehingga rangkaian tindakan tersebut merupakan perjanjian untuk secara bersama-sama mempertahankan penguasaan pemasaran garam bahan baku di Sumatera Utara. KPPU memutuskan bahwa PT Garam, PT Budiono, PT Garindo, PT Graha Reksa, PT Sumatera Palm, UD Jangkar Waja, UD Sumber Samudera secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Putusan KPPU ini telah tepat karena walaupun tidak terdapat perjanjian secara tertulis, namun dengan adanya koordinasi antara para Terlapor dan juga danya kerjasama me- nitipkan barang yang berlebih pada Terlapor lainnya telah membuktikan adanya kerjasama ataupun perjanjian antar Pelaku usaha.

2. Perjanjian Penetapan harga84 Putusan KPPU No. 02/KPPU-I/2003 mengenai Kargo (Jakarta- Pontianak) adalah sebagai berikut : Adapun yang menjadi pihak dalam kasus ini adalah Pelaku Usaha Angkutan Laut Khusus Barang Trayek Jakarta-Pontianak, yaitu PT. Perusahaan Pelayaran

84Ibid, hlm.

126 Nusantara Panurjwan (Terlapor I) , PT. Pelayaran Tempuran Emas, Tbk. (Terlapor II), PT. Tanto Intim Line (Terlapor III) dan PT. Perusahaan Pelayaran Wahana Barunakhatulistiwa (Terlapor IV), karena telah melakukan perjanjian kesepakatan bersama besaran tarif uang tambang untuk trayek Jakarta- Pontianak-Jakarta. Dalam kasus ini dapat diketahui bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III dan Terlapor IV telah menandatangani kesepakatan bersama tarif uang tambang petikemas Jakarta-Pontianak-Jakarta No: 01/ SKB/ PNP-TE-WBK-TIL/ 06/ 2002 yang diketahui dan ditandatangani juga oleh Ketua Bidang Kontainer DPP INSA dan Direktur Lalulintas Angkutan Laut Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan. Para Terlapor mendalilkan bahwa ke- sepakatan bersama tarif untuk menghindari perang tarif ataupun terjadinya persaingan yang sangat tajam (cut throat competition) antar pelaku usaha semenjak meningkatnya permintaan dan masuknya pelaku usaha baru dalam industri ini. KPPU me- mutuskan bahwa penetapan tarif ini melanggar Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 karena selain akan mengurangi persaingan dan meniadakan alternatif pilihan tarif baik yang akan ditawarkan oleh penyedia jasa sesuai dengan variasi kualitas pelayanannya, maupun yang akan dipilih oleh konsumen sesuai dengan ke- butuhannya, kesepakatan ini juga akan sangat merugikan industri bersangkutan karena terciptanya hambatan masuk (entry bariers) yang cukup besar yang akan menghambat pelaku usaha baru untuk memasuki pasar bersangkutan. Apabila kita lihat perumusan Pasal 5 ini, maka ketentuan dalam pasal ini dapat ditafsirkan secara per se illegal. Artinya apabila telah terbukti adanya perjanjian mengenai harga atas suatu barang atau jasa, maka perbuatan

127 tersebut secara otomatis telah bertentangan dengan ketentuan dalam pasal dimaksud, tanpa perlu melihat alasan-alasan dari pelaku usaha melakukan perbuatan tersebut. Putusan KPPU ini menurut hemat penulis adalah tepat, karena kesepakatan harga yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam kasus ini jelas-jelas telah terbukti dan akan merugikan konsumen.

3. Perjanjian diskriminasi harga85 Dalam kasus ini Terlapor adalah PT. Garam, PT Budiono, dan PT Garindo dengan PT Graha Reksa, PT Sumatra Palm, UD Jangkar Waja, dan UD Sumber Samudera. Berdasarkan hasil pemeriksaan, KPPU menyatakan bahwa Para Terlapor telah melakukan pelanggaran terhadap Ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 diantaranya Pasal 6 mengenai diskriminasi harga. Hal ini didasarkan pada hasil pemeriksaan yang menemukan adanya kesepakatan secara lisan yang dilakukan PT Garam, PT Budiono dan PT Garindo (G3) dengan PT GrahaReksa, PT Sumatera Palm, UD Jangkar Waja dan UD Sumber Samudera (G4) untuk menetapkan harga produk PT Garam lebih tinggi dibandingkan dengan harga produk PT Budiono dan PT Garindo. Melalui kesepakatan tersebut dinayatakan bahwa G3 menetapkan harga jual garam bahan baku kepada pelaku usaha selain G3 dan G4 lebih tinggi (Rp 490 atau Rp 510) dibandingkan dengan harga jual garam bahan bakunya kepada pelaku usaha selain G3 dan G4 tidak diperlukan komponen biaya tambahan. Dengan demikian maka pada tanggal 13 Maret 2006, Majelis Komisi memutuskan sebagai berikut: Putusan KPPU dalam perkara ini adalah tepat, karena

85 Ibid, 94-95

128 dengan adanya diskriminasi harga tersebut, maka menyebabkan pembeli yang bukan merupakan anggota group membayar lebih mahal dari pada anggota

4. Harga pemangsa atau Jual rugi86 Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat bagaimana penerapan predatori pricing ini dalam praktek. Sejauh ini belum terdapat putusan KPPU mengenai predatory pricing ini. Oleh karenanya akan diuraikan contoh kasus dari luar negeri, yairu yang terjadi di Amerika. Salah satu kasus predatory pricing adalah yang terjadi antara William Inglis & Son Co. vs. ITT Continetal Baking Co.131. Secara singkat kasus ini diajukan oleh Inglis yang mendalilkan bahwa Continental berusaha menghilangkan persaingan dengan jalan menjual rugi roti dengan private label miliknya dibawah biaya tidak tetap rata-rata, sehingga menyebabkan Inglis bankrut. Ingris mendalilkan bahwa roti dengan merek pribadi berkembang di California bagian Utara kira-kira tahun 1967-1968. Hal ini menyebabkan pangsa pasar Continental untuk Wonder Rotinya menurun. Untuk itu Continental mulai juga menjual roti dengan merek pribadi (private label). Inglis mendalilkan bahwa Continental menurunkan harga roti dengan merek pribadi dengan tujuan mematikan Wholeseller seperti Inglis. Sebalinya Continental mendalilkan bahwa dia hanya melakukan kompetisi secara ketat. Harganya adalah dapat dibenarkan mengingat kelebihan kapasitas dalam industri. Putusan pengadilan menyatakan bahwa Continental tidak melanggar Hukum Persaingan. Ninth Circuit (Pengadilan Banding) menyatakan bahwa apabila harga dari

86 Ibid, 97-98

129 terlapor adalah dibawah harga total rata-rata, tetapi diatas biaya tidak tetap rata-rata, maka pelapor/penggugat mempunyai ke- wajiban untuk membuktikan bahwa harga dari terlapor adalah predator. Namun apabila penggugat membuktikan bahwa harga Terlapor adalah dibawah harga tidak tetap rata-rata, maka Ter- lapor mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa harganya tersebut adalah masuk akal terlepas dari akibatnya terhadap pesaing.

5. Resale Price Maintenance (Penetapan Harga Jual Kembali)87 Secara singkat kasus ini adalah mengenai distribusi Semen Gresik di Area 4 Jawa Timur yang meliputi wilayah Blitar, Jombang, Kediri, Kertosono, Nganjuk, Pare, Trenggalek, dan Tulungagung. Pelanggaran tersebut diduga dilakukan oleh PT. Bina Bangun Putra, PT. Varia Usaha, PT. Waru Abadi, PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero), UD. Mujiarto, TB. Lima Mas, CV. Obor Baru, CV. Tiga Bhakti, CV. Sura Raya Trading, CV. Bumi Gresik yang merupakan Distributor Semen Gresik dan PT. Semen Gresik.Dalam rangka memasarkan produknya, PT. Semen Gresik, Tbk. Dalam kasus ini sebagai Terlapor XI menunjuk distributor. Kemudian PT. Semen Gresik, Tbk. dan para Distributor mengikatkan diri melalui suatu Perjanjian Jual Beli yang menempatkan para Distributor sebagai distributor mandiri/pembeli lepas. Dalam perjanjian ter- sebut maka para distributor yaitu Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X harus menjual Semen Gresik sesuai dengan harga yang telah ditentukan oleh Terlapor XI. Disamping

87 Ibid, 99-100

130 itu juga terdapat ketentuan yang melarang Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X untuk memberikan potongan harga (discount) di muka. Terlapor XI juga menentukan harga tebus Distributor, harga jual Semen Gresik dari Distributor kepada LT, harga jual Semen Gresik dari Distributor dan atau LT kepada Toko dan harga jual eceran minimum.Unsur utama dalam resale price maintenance adalah adanya perjanjian antar pelaku usaha yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan ter- jadinya persaingan usaha tidak sehat. Dengan adanya perjanjian penetapan harga ditingkat distributor tersebut, maka Terlapor telah melanggar ketentuan dalam Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999, karena dalam kasus ini tidak ditemukan adanya alasan-alasan dilakukan- nya perjanjian-perjanjian tersebut yang dapat diterima, sehingga perbuatan tersebut akan menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat dan tidak membawa dampak yang positif bagi masyarakat.

6. Pembagian Wilayah Dalam Putusan KPPU No. 53/KPPU-L/2008 mengenai Pemagian Wilayah DPP AKLI Pusat. KPPU memutuskan bahwa bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 9 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.Adapun para Terlapor dalam kasus ini adalah Terlapor I adalah Dewan Pengurus Pusat

131 Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPP AKLI), Terlapor II Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPD AKLI) Sulawesi Selatan, Terlapor III Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Palopo, Terlapor IV Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu Utara, Terlapor V Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu Timur, Terlapor VI Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Tana Toraja. Bahwa Terlapor I adalah asosiasi perusahaan yang bergerak di bidang pekerjaan elektrikal dan mekanikal yang bertujuan membina anggota-anggotanya untuk dapat memenuhi tugas dan tanggung jawab dalam proses pembangunan Indonesia di bidang ketenagalistrikan. Terlapor I memiliki 32 (tiga puluh dua) Dewan Pengurus Daerah (DPD), 121 (seratus dua puluh satu) Dewan Pengurus Cabang (DPC), dan 4806 (empat ribu delapan ratus enam) badan usaha instalatir. Terlapor II adalah pengurus daerah Terlapor I di Propinsi Sulawesi Selatan, Terlapor II membawahi 9 (sembilan) DPC dan memiliki anggota sebanyak 173 (seratus tujuh puluh tiga) badan usaha instalatir. Terlapor III adalah pengurus cabang Terlapor I di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, dan memiliki anggota sebanyak 11 (sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor IV adalah pengurus cabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 11 (sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor V adalah pengurus cabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 10 (sepuluh) anggota badan instalatir.KPPU

132 berpendapat berdasarkan bukti-bukti bahwa Terlapor I melalui Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan DPC-DPC lain di wilayah Sulawesi Selatan, membagi wilayah kerja PJT berdasarkan wilayah cabang PT. PLN (Persero) di Sulawesi Selatan. Namun khusus di wilayah PT. PLN (Persero) Cabang Palopo, Terlapor II membagi lagi wilayah kerja PJT ( Penanggung Jawab Teknik) menjadi 4 (empat) wilayah berdasarkan tempat kedudukan DPC berada, yaitu: Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI. Pembagian wilayah PJT dalam SP-PJT oleh Terlapor I dapat dikategorikan sebagai perjanjian dilaksanakan oleh Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI.Adapun yang menjadi alasan dari Terlapor I membagi wilayah kerja PJT melalui SP-PJT adalah untuk keselamatan dan ke- amanan instalasi, serta memberdayakan potensi sumber daya PJT setempat. Pembagian wilayah kerja PJT yang dilakukan oleh Terlapor I di daerah Sulawesi Selatan melalui Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan DPCDPC lainnya di Sulawesi Selatan ini, menimbulkan dampak badan usaha instalatir tidak dapat menggunakan PJT-nya di wilayah lain dan harus menggunakan jasa PJT setempat yang menjadi pegawai di badan usaha instalatir. Putusan ini menunjukkan kepada kita bahwa suatu assosiasi perusahaan dapat digunakan untuk melakukan aktivitas ataupun perjanjian-perjanjian yang anti persaingan. Dengan adanya pembagian wilayah tersebut, maka kiranya jelas hal tersebut akan menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Pada sisi lain tidak ditemukan adanya alasan-alasan yang dapat membenarkan perbuatan tersebut.

133 7. Pemboikotan88 Untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara lebih detail lagi dengan membahas kasus pemboikotan yang ada. Diantaranya adalah Northwest Wholesale Stationers, Inc. vs Pacific Stationery & Printing Co. 140 Secara singkat duduk persoalan dalam kasus ini adalah sebagai berikut. Pelapor dalam kasus ini adalah Northwest Wholsale Stationers adalah sebuah koperasi agen pembelian y a n g t e r d i r i d a r i k u r a n g l e b i h r e t a i l e r a l a t - a l a t k a n t o r d i P a c i fi c Northwest US. Koperasi bertindak sebagai retailer utama bagi retail-retail lainnya. Retailer yang bukan anggota dapat membeli alat-lata kantor dengan harga yang sama dengan anggota. Namun pada setiap akhir tahun koperasi membagikan keuntungan kepada anggotanya dalam bentuk percentase rebate dalam pembelian. Sehingga sebenarnya anggota membeli lebih rendah dari non anggota. Sementara Terlapor Pacific Stationery Co. adalah menjual alat kantor baik retail maupun wholesale. Pacific menjadi anggota Northwest sejak tahun 1958. Pada tahun 1978 Northwest merubah anggaran dasarnya dengan melarang anggotanya menjual retail dan wholesale. Suatu klausula menjamin hak Pacific untuk menjadi anggota. Pada tahun 1977 kepemilikan Pacific berpindah tangan, namun pemilik baru ini tidak melakukan perubahan kegiatannya, hal mana bertentangan dengan anggaran dasar Northwest. Pada 1978 sebagian besar anggota Northwest. memutuskan untuk mengeluarkan Pacific. Pacific kemudian membawa perkara ini ke pengadilan berdasarkan group boycott yang membatasi ke- mampuan Paciifc untuk berkompetisi karena harus dinyatakan

88 Ibid, 105-106

134 melanggar hukum persiangan secara per se illegal. Pengadilan Negeri menyatakan tidak terdapat pelanggaran hukum persaingan secara per se illegal, karenanya harus dipreriksa secara rule of reason. Namun Pengadilan Banding menyatakan bahwa Northwest melanggar Sherman Act secara per se illegal.

135 BAB VIII PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERSAINGAN USAHA

A. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Untuk mengawasi pelaksanaan UU No 5 Tahun 1999 (UU Antimonopoli) dibentuk suatu komisi. Pembentukan ini di- dasarkan pada Pasal 34 UU Antimonopoli yang menginstruksikan bahwa pembentukan susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keppres No 75 Tahun 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.

Gambar 1. illustrasi KPPU

136 Dengan demikian, penegakan hukum Antimonopoli dan persaingan usaha berada dalam kewenangan KPPU. Namun demikian, tidak berarti bahwa tidak ada lembaga lain yang ber- wenang menangani perkara monopoli dan persaingan usaha. Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA) juga diberi wewenang untuk menyelesaikan perkara tersebut. PN diberi wewenang untuk menangani keberatan terhadap putusan KPPU dan menangani pelanggaran hukum persaingan yang menjadi perkara pidana karena tidak dijalankannya putusan KPPU yang sudah in kracht. MA diberi kewenangan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hukum persaingan apabila terjadi kasasi terhadap keputusan PN tersebut. Sebagai suatu lembaga independen, dapat dikatakan bahwa kewenangan yang dimiliki Komisi sangat besar yang meliputi juga kewenangan yang dimiliki oleh lembaga peradilan. Kewenangan tersebut meliputi penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Pasal 1 angka 18 UU Antimonopoli menyebutkan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 UU Antimonopoli. Pasal 31 mengatur bahwa Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurang- nya 7 (tujuh) orang anggota. Anggota Komisi diangkat dan di- berhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan

137 Rakyat. Anggota Komisi diangkat dan berhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dengan masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan Komisi, maka masa jabatan antara dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru. Persyaratan keanggotaan Komisi sesuai ketentuan Pasal 32 UU Antimonopoli adalah: 1. Warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saart pengangkatan; 2. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 3. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 4. Jujur, adil, dan berkelakuan baik; 5. Bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia. 6. Berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi; 7. Tidak pernah dipidana; 8. Tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan 9. Tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha.

Biaya untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau sumber- sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku.89

89 Pasal 37 UU Antimonopoli

138 Dalam konteks ketatanegaraan, KPPU merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary organ)90 yang mempunyai wewenang berdasarkan UU No 5 Tahun 1999 untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha. Secara sederhana state auxiliary organ adalah lembaga negara yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembagia negara pokok (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif)91 yang sering juga disebut dengan lembaga independen semu negara (quasi). Peran sebuah lembaga independen semu negara (quasi) menjadi penting sebagai upaya responsif bagi negara-negara yang tengah transisi dari otoriterisme ke demokrasi.92 Jika dibandingkan dengan state auxiliary organ lainnya seperti KPK maka terdapat persamaan dan perbedaan antara KPK dengan KPPU. Beberapa persamaan antara keduanya adalah: kedua komisi ini dibentuk berdasarkan ketentuan Undang- Undang. KPK dibentuk dengan UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sedangkan KPPU dibentuk dengan UU Antimonopoli. Namun demikian sejalan dengan pemikiran Jimly Asshiddigie, kedua komisi ini berbeda dalam hal kedudukan. KPK disebut sebagai komisi Negara yang independent berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional importance93. Hal ini dikarenakan walaupun pem- bentukan KPK dengan UU, namun keberadaan KPK memiliki sifat

90 Budi L. Kagramanto, “Implementasi UU No 5 Tahun 1999 Oleh KPPU”, Jurnal Ilmu Hukum Yustisia 2007: hlm. 2. 91 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konpress, hlm. 24. 92 Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, hlm 312 93 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit. hlm.24.

139 constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945. Sedangkan KPPU merupakan lembaga independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang.94 Selanjutnya, KPPU merupakan suatu organ khusus yang mempunyai tugas ganda selain menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha juga berperan untuk menciptakan dan me- melihara iklim persaingan usaha yang kondusif. Meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya Hukum Persaingan Usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga administrative karena kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif.95 Pasal 35 UU Antimonopoli menentukan bahwa tugas tugas KPPU terdiri dari: a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau per- saingan usaha tidak sehat. b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya pe- nyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha.

94 Ibid, hlm. 26. 95 Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, hlm. 312.

140 d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi se- bagaimana diatur dalam Pasal 36. e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UU Antimonopoli g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan DPR.

Dalam menjalankan tugas tugasnya tersebut, Pasal 36 UU Antimonopoli memberi wewenang kepada KPPU untuk: a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan komisi sebagai hasil penelitiannya. d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pe- langgaran terhadap ketentuan UU Antimonopoli

141 f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran ketentuan UU Antimonopoli g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang dimaksud dalam nomor 5 dan 6 tersebut di atas yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi. h. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Antimonopoli. i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain untuk keperluan penyelidikan dan atau pemeriksaan. j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat. k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Antimonopoli.

Jadi, KPPU berwenang untuk melakukan penelitian dan penyelidikan dan akhirnya memutuskan apakah pelaku usaha tertentu telah melanggar UU Antimonopoli atau tidak. Pelaku usaha yang merasa keberatan terhadap Putusan KPPU tersebut diberikan kesempatan selama 14 hari setelah menerima pem- beritahuan putusan tersebut untuk mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri.

142 B. Komisi Persaingan di Beberapa Negara Lembaga yang serupa dengan KPPU di Australia adalah The Australian Competition and Consumer Commission (ACCC). Sebagaimana KPPU, ACCC adalah sebuah lembaga independen (independent statutory authority) yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan the Trade Practices Act 1974 dan peraturan peraturan yang lain. ACCC mempunyai seorang ketua, wakil ketua, anggota komisi tetap, anggota komisi yang diangkat secara ex officio dan associate members. Anggota ACCC disebut the commission (komisi). ACCC mempunyai lima komite untuk membantu tugas Komisi membuat keputusan. Komisi ini berisi anggota full time dan atau associate dan ex officio commissioners yang mempunyai keahlian dalam bidang-bidang tertentu. Komisi ini bertemu secara rutin, biasanya seminggu sekali, untuk membuat keputusan tentang masalah masalah yang tengah diselidiki oleh ACCC.96 Di Indonesia, terhadap putusan KPPU dapat diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri. Kemudian, terhadap putusan PN tersebut, dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Di Australia, lembaga keberatan seperti ini tidak dikenal. Keputusan ACCC dapat langsung dimintakan banding ke the Australian Competition Tribunal. Selain itu, keputusan ACCC juga dapat direview oleh Commonwealth administrative law principles.97 Di Amerika Serikat, Komisi yang menangani persaingan usaha disebut The Federal Trade Commission (FTC). Sebagaimana KPPU, FTC adalah suatu lembaga independen yang bertanggung jawab

96 The Australian Competition and Consumer Commission, Roles and Activities, 2 September 2018 97 Ibid

143 kepada Kongres. Struktur organisasi Komisi adalah: 5 komisioner yang dicalonkan oleh presiden dan dilantik oleh senat dan ber- tugas selama 7 tahun. Presiden kemudian memilih satu komisioner sebagai ketua. Tidak boleh ada lebih dari 3 komisioner yang berasal dari partai politik yang sama.98 FTC bertugas untuk menjaga pasar yang kompetitif untuk konsumen dan pelaku usaha. Berbeda dengan KPPU, FTC mempunyai beberapa biro yaitu Biro perlindungan konsumen (Bureau of Consumer Protection), Biro persaingan (The Bureau of Competition) dan Biro Ekonomi (The Bureau of Economics).99 The Japanese Fair Trade Commission (JFTC) merupakan komisi yang menangani persaingan usaha di Jepang. JFTC adalah komisi administrative independen yang dibentuk meniru The Federal Trade Commission di AS.100 JFTC terdiri dari seorang ketua, dan empat komisioner yang ditunjuk oleh Perdana Menteri Jepang dengan persetujuan dari Kongres. Sebagaimana KPPU Ketua JFTC dan empat komisionernya melaksanakan wewenang mereka secara independen dan tidak bisa digugat.101 Sebagaimana KPPU, JFTC mempunyai wewenang untuk melakukan penelitian dan penyelidikan adanya pelanggaran Hukum Persaingan Usaha (Japanese Antimonopoly Act). JFTC menunjuk beberapa anggota stafnya sebagai penyelidik. JFTC mempunyai wewenang untuk memerintahkan kepada pelaku usaha untuk membuat laporan tertulis, menyerahkan dokumen-

98 The Federal Trade Commission, A Guide to the Federal Trade Commission, 2 September 2018 www.ftc.gov/bcp/edu/pubs/consumer/general/gen03.shtm 99 Ibid 100Masahiro Murakami, 2003, The Japanese Antimonopoly Act , hlm. 64. 101Ibid

144 dokumen tertulis yang relevan, dan memanggil saksi ahli berkaitan dengan kasus yang bersangkutan. Di samping itu, berbeda dengan KPPU, JFTC mempunyai wewenang untuk masuk ke tempat- tempat bisnis pelaku usaha dan tempat-tempat lain yang relevan untuk menggeladah dokumen-dokumen bisnis dan lain sebagainya. Bahkan, dalam penyelidikan adanya kartel, JFTC dapat melakukan on-the-spot investigation, yakni penyelidikan secara mendadak di tempat-tempat pelaku usaha dan dapat memaksa pelaku usaha untuk menyerahkan dokumen-dokumen yang relevan. Barang siapa menolak untuk dilakukan penyelidikan semacam ini dapat dikenai hukuman penjara maksimal 6 bulan atau denda maksimal 200.000 yen.102 Berbeda dengan di Indonesia dimana gugatan keberatan harus diajukan ke pengadilan negeri, di Jepang, pelaku usaha dapat mengajukan banding terhadap putusan JFTC kepada the Tokyo High Court. Pengadilan Tinggi ini bisa menguatkan putusan JFTC atau membatalkannya apabila ada alasan-alasan yang kuat. Komisi yang menangani Persaingan di Singapura disebut The Competition Commission of Singapore (CCS). 400 Berdasarkan Pasal 6 UU Persaingan Singapura, mempunyai fungsi dan tugas sbb: 1. Mempertahankan dan mengusahakan perilaku pasar yang efisien dan mempromosikan keseluruhan produktivitas, inovasi dan daya saing pasar di Singapura; 2. Menghilangkan atau mengontrol praktek-praktek yang ber- dampak buruk pada persaingan di Singapura; 3. Mempromosikan dan mempertahankan persaingan di pasar di Singapura; 102Ibid

145 4. Mempromosikan budaya dan lingkungan persaingan yang kuat pada keseluruhan ekonomi Singapura; 5. Bertindak secara internasional sebagai badan perwakilan nasional Singapura sehubungan dengan masalah persaingan; 6. Memberikan nasihat kepada Pemerintah atau otoritas publik lainnya dalam kepentingan dan kebijakan nasional terkait dengan masalah persaingan pada umumnya; 7. Menjalankan fungsi lainnya atau melaksanakan tugas lainnya yang dibebankan kepada CCS atau oleh peraturan tertulis lainnya.

Jika dibanding dengan kewenangan KPPU, kewenangan CCS sebagaimana ditentukan dalam Competition Act 2004 lebih luas dan lebih terperinci. Misalnya, berdasarkan Pasal 64 ayat (1) Competition Act 2004, pejabat penyelidik ataupun pengawas dari CCS dapat memasuki rumah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu jika pejabat tersebut mempunyai alasan yang masuk akal untuk curiga bahwa rumah tersebut adalah atau telah berisi perjanjian yang sedang diselidiki berkaitan dengan (i) perjanjian yang menghambat, membatasi, atau merusak persaingan; (ii) perbuatan pemanfaatan posisi dominan; dan (iii) merjer yang mengakibat- kan, atau dapat mengakibatkan mengurangi persaingan secara substansial. Jika dibandingkan dengan kewenangan serupa yang dipunyai oleh KPPU berdasarkan UU Antimonopoli Indonesia, KPPU hanya diberi wewenang untuk mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan pemeriksaan.

146 C. Prosedur & Mekanisme Penyelesaian Sengketa Persaingan Usaha

Gambar 2. tata cara penanganan perkara di KPPU

Hukum Acara di KPPU ditetapkan oleh KPPU dan sejak berdiri di tahun 2000, hukum acara tersebut telah mengalami satu kali perubahan dari SK No. 05/KPPU/ KEP/IX/2000 tentang tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran Terhadap UU No. 5 Tahun 1999 (SK 05) menjadi Peraturan Komisi No 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU (Perkom 1/2006) yang mulai efektif berlaku 18 Oktober 2006.

147 Gambar 3. Proses Hukum di KPPU

Dalam melaksanakan tugasnya mengawasi pelaksanaan UU Antimonopoli, KPPU berwenang untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan kepada pelaku usaha, saksi ataupun pihak lain baik karena adanya laporan (Pasal 39) maupun melakukan pe- meriksaan berdasarkan inisiatif KPPU sendiri (Pasal 40), terhadap pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam memeriksa perkara, terdapat 2 (dua) jenis metode pemeriksaan oleh KPPU sebagaimana diatur dalam UU Antimonopoli:

1. Pemeriksaan Atas Dasar Laporan. Pemeriksaan atas dasar laporan adalah pemeriksaan yang di- lakukan karena adanya laporan dari masyarakat yang dirugikan atau atas dasar laporan dari pelaku usaha yang dirugikan oleh

148 tindakan pelaku usaha yang dilaporkan. Setelah menerima laporan, KPPU menetapkan majelis komisi yang akan bertugas memeriksa dan menyelidiki pelaku usaha yang dilaporkan. Dalam menjalankan tugasnya, majelis komisi dibantu oleh staf komisi. Untuk mengetahui apakah pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU karena adanya laporan ataupun atas dasar inisiatif dari KPPU, dapat dilihat dari nomor perkaranya. Untuk perkara atas dasar laporan nomor perkara tersebut adalah: Nomor perkara/ KPPU-L (laporan)/Tahun.

2. Pemeriksaan Atas Dasar Inisiatif KPPU Pemeriksaan atas dasar inisiatif adalah pemeriksaan yang dilakukan atas dasar insiatif dari KPPU sendiri karena adanya dugaan atau indikasi pelanggaran terhadap UU Antimonopoli. Untuk perkara atas dasar inisiatif dari KPPU nomornya adalah sebagai berikut: Nomor perkara/KPPU-I (Inisiatif)/Tahun. Dalam pemeriksaan atas inisiatif, KPPU pertama-tama akan membentuk suatu Majelis Komisi untuk melakukan pemeriksaaan terhadap pelaku usaha dan saksi. Dalam menjalankan tugas ini, majelis komisis dibantu oleh staf komisi. Selanjutnya majelis komisi menetapkan jadwal dimulainya pemeriksaan pendahuluan. Jenis Pemeriksaan oleh KPPU, adalah: a. Pemeriksaan Pendahuluan Pemeriksaan pendahuluan dapat dimulai setelah KPPU me- ngeluarkan surat penetapan atau keputusan tentang dapat dimulainya pemeriksaan pendahuluan. Pasal 39 ayat 1 UU Antimonopoli menentukan bahwa jangka waktu pemeriksaan pendahuluan adalah tiga puluh hari

149 sejak tanggal surat penetapan dimulainya suatu pemeriksaan pendahuluan. Untuk pemeriksaan berdasarkan inisiatif, jangka waktu pemeriksaan pendahuluan dihitung sejak tanggal surat penetapan Majelis Komisi untuk memulai pemeriksaan pendahuluan. Sedangkan untuk pemeriksaan berdasarkan laporan, KPPU terlebih dahulu wajib melakukan penelitian terhadap kejelasan laporan. Apabila laporan telah lengkap, KPPU akan mengeluarkan penetapan yang bersisi tentang dimulainya waktu pemeriksaan pendahuluan dan jangka waktu pemeriksaan pendahuluan. Jangka waktu pemeriksaan dihitung sejak tanggal surat penetapan Komisi. b. Pemeriksaan Lanjutan Tahap berikutnya setelah tahap pemeriksaan pendahuluan adalah tahap pemeriksaan lanjutan. Sebelum dilakukan pe- meriksaan lanjutan, KPPU mengeluarkan surat keputusan untuk dimulainya pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan lanjutan di-lakukan oleh KPPU bila telah ditemukan adanya indikasi praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, atau apabila KPPU memerlukan waktu yang lebih lama untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan secara lebih men- dalam mengenai kasus yang ada. Pasal 43 UU Antimonopli menetukan bahwa jangka waktu pe-meriksaan lanjutan adalah 60 hari sejak berakhirnya pemeriksaan pendahuluan, dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari. Pelaku usaha yang sedang diperiksa oleh KPPU mempunyai status hukum yang berbeda tergantung jenis perkaranya apakah laporan atau inisiatif. Apabila pemeriksaan perkara

150 berdasarkan adanya laporan, maka pelaku usaha yang diperiksa disebut sebagai “terlapor.” Sedangkan untuk perkara yang berdasar inisiatif, pelaku usaha yang diperiksa disebut “saksi.”

3. Tahap Pemeriksaan Oleh KPPU a. Panggilan Sebelum proses pemeriksaan dilaksanakan, KPPU terlebih dahulu menyampaikan panggilan kepada pelaku usaha, saksi atau pihak lain untuk hadir dalam proses pemeriksaan. Surat panggilan dari KPPU biasanya memuat tanggal, hari, jam sidang serta tempat persidangan yang akan dilaksanakan. Pelaku usaha atau saksi yang telah dipanggil namun tidak hadir dalam persidangan di KPPU dapat diancam dengan tindakan tidak kooperatif yang melanggar Pasal 42 UU Anti- monopoli, kemudian perkara diserahkan kepada kepolisian (Pasal 41 ayat 3 UU Antimonopoli). Ini berarti bahwa perkara berubah menjadi perkara pidana. b. Pemeriksaan 1) Administratif Prosedur administratif meliputi pemeriksaan identitas dan pembacaan hak yang dimiliki oleh pelaku usaha, saksi atau pihak lain. Menurut Pasal 39(3), Komisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari pelaku usaha apabila memang informasi tersebut termasuk rahasia perusahaan. Menurut Pasal 39(5), dalam melakukan pe- meriksaan, anggota Komisi dilengkapi dengan surat tugas. Menurut ketentuan Pasal 20 Keputusan KPPU No. 05 Tahun 2000, pihak yang diperiksa tersebut berhak di-

151 dampingi oleh kuasa hukumnya yaitu advokat se- bagaimana diatur dalam UU Advokat No 18 Tahun 2003.

2) Pokok permasalahan Dalam memeriksa pokok permasalahan, terdapat dua tahap yaitu pemeriksaan oleh KPPU dan pemberian kesempatan pada pelaku usaha untuk menyampaikan keterangan atau dokumen. Pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU sifatnya searah, artinya KPPU memberikan pertanyaan pertanyaan kepada pelaku usaha, sedangkan pelaku usaha tidak diberi kesempatan memberikan tanggapan atas dokumen yang diperoleh KPPU atau saksi yang telah diperiksa. Pelaku usaha diberi kesempatan untuk memeriksa dan membaca BAP pemeriksaan. Apabila diperlukan dan disetujui KPPU, pelaku usaha dapat memberikan koreksi atas BAP tersebut. Sebelum sidang ditutup, baik dalam pemeriksaan pendahuluan maupun pemeriksaan lanjutan, KPPU memberikan kesempatan pada pelaku usaha atau saksi untuk memberikan keterangan atau dokumen tambahan. Bagi pelaku usaha, keterangan atau dokumen tambahan ini berfungsi sebagai bentuk pembelaan.

3) Pembuktian Pasal 42 UU Antimonopoli menentukan bahwa yang dapat dijadikan alat bukti dalam pemeriksaan oleh KPPU terdiri dari: keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk, keterangan terlapor/saksi pelaku usaha. Keterangan ahli diperlukan dalam pemeriksaan perkara yang rumit. Saksi ahli dapat dihadirkan atas inisiatif

152 pelaku usaha maupun KPPU. Walaupun tidak ada definisi yang pasti tentang saksi ahli dalam perkara monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dapat disimpulkan bahwa pengertian ahli disini adalah orang yang mempunyai keahlian di bidang praktik monopoli dan persaingan usaha, dan memahami bidang usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha yang sedang diperiksa. Pelaku usaha maupun saksi dapat memberikan dokumen untuk menguatkan posisinya/keterangannya. Setiap dokumen yang diserahkan akan diterima oleh KPPU. Majelis KPPU kemudian akan memberikan penilaian terhadap dokumen tersebut. Dokumen pelaku usaha dianggap mempunyai sifat yang obyektif, oleh karena itu dalam perkara monopoli dan persaingan usaha, dokumen pelaku usaha mempunyai kekuatan pembuktian yang khusus. Petunjuk dapat dijadikan sebagai alat bukti asalkan petunjuk itu mempunyai kesesuaian dengan petunjuk lainnya atau sesuai dengan perbuatan atau perjanjian yang diduga melanggar UU Antimonopoli. Suatu petunjuk yang didapat dalam bentuk tertulis, kekuatan pembuktiannya dikategorikan sama dengan kekuatan pembuktian surat atau dokumen. Penggunaan alat bukti petunjuk dalam perkara monopoli dan persaingan usaha tidak dapat disama ratakan, melainkan ditentukan kasus perkasus. Alat bukti petunjuk merupakan indirect evidence yang dapat diterima dalam hukum persaingan. Di negara lain juga demikian. Misalnya, di Australia, untuk menentukan

153 adanya kesepakatan (meeting of the minds) yang diharuskan dalam pembuktian adanya perjanjian yang melanggar hukum persaingan, bukti situasional (circumstantial evidence) bisa dipakai yakni yang berupa: petunjuk perbuatan yang paralel, petunjuk tindakan bersama-sama, petunjuk adanya kolusi, petunjuk adanya struktur harga yang serupa (dalam kasus price fixing) dan lain sebagainya. c. Pembacaan Putusan Pasal 43 ayat (3) UU Antimonopoli mensyaratkan setelah 30 hari pemeriksaan maka KPPU wajib memutuskan apakah telah terjadi pelanggaran ataupun tidak. Dalam penjelasan Pasal 43 ayat (3) UU Antimonopoli disebutkan bahwa pengambilan keputusan itu diambil dalam suatu sidang Majelis yang beranggotakan sekurang kurangnya 3 orang anggota Komisi. Putusan komisi tersebut harus dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha (Pasal 43 ayat (4) UU Antimonopoli). Berdasarkan penjelasan Pasal 43 ayat (4) UU ini yang dimaksudkan dengan pemberitahuan kepada pelaku usaha tersebut adalah penyampaian petikan putusan komisi kepada pelaku usaha atau kuasa hukumnya. UU Antimonopoli tidak menyebutkan secara rinci apakah petikan putusan tersebut harus disampaikan secara langsung kepada pelaku usaha (in person) atau dapat dilakukan dengan metode lain. Dengan berpegang pada asas efisiensi serta keterbukaan, maka pada asasnya Komisi harus berusaha

154 memberitahukan putusannya pada pelaku usaha yang bersangkutan pada hari yang sama dengan hari pembacaan putusan yang terbuka untuk umum. Dengan mengingat pada pendeknya waktu (yakni 14 hari) yang dimiliki oleh pelaku usaha untuk mengajukan upaya hukum keberatan terhadap putusan Komisi, maka selayaknyalah pemberitahuan putusan tidak harus dilakukan dengan in person melainkan dapat dilakukan dengan bantuan sarana komunikasi yang modern seperti e-mail atau fax. UU Antimonopoli menetapkan 2 macam sanksi yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. 1) Sanksi administratif Sanksi administratif merupakan satu tindakan yang dapat diambil oleh Komisi terhadap pelaku usaha yang melanggar UU Antimonopoli. Sanksi administratif ini diatur dalam Pasal 47, yang berupa: a) Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana di- maksud dalam Pasal 4 sampai 13, Pasal 15 dan Pasal 16; b) Perintah untuk menghentikan integrasi vertikal se- bagaimana dimaksud dalam Pasal 14; c) Perintah untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; d) Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; e) Penetapan pembayaran ganti rugi;

155 f) Pengenaan denda minimal Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan setinggi tingginya Rp 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah).

Komisi dapat menjatuhkan sanksi administratif tersebut secara kumulatif ataupun alternatif. Keputusan mengenai bentuk sanksi tergantung pada pertimbangan Komisi dengan melihat situasi dan kondisi masing masing kasus. Ketentuan soal denda diatur dalam Pasal 47 UU Antimonopoli. Namun, Pasal tersebut tidak merinci secara teknis penghitungan besarnya yang dapat dijatuhkan KPPU. Penghitungan atas kerugian ekonomis yang ditimbulkan karena pelanggaran hukum persaingan memerlukan banyak pertimbangan dan harus mendasarkan pada unsur kehati- hatian.

2) Sanksi pidana pokok Pasal 48 UU Antimonopoli menentukan bahwa sanksi pidana pokok meliputi pidana denda minimal Rp 25.000.000.000,- dan maksimal Rp.100.000.000.000,-. Pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kurungan selama lamanya 6 bulan. Sanksi pidana ini diberikan oleh pengadilan (bukan merupakan kewenangan Komisi) apabila: a) Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, 9-14, 16-19, 25,27, dan 28. Pelaku diancam dengan pidana serendah rendahnya Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setingi tingginya Rp. 100.000.000.000

156 (seratus miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama lamanya 6 bulan. b) Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5-8, 15, 20-24 dan 26. Pelaku diancam pidana denda serendah rendahnya Rp. 5.000.000.000,- dan setinggi tingginya Rp 25.000.000.000,- atau pidana kurungan pengganti denda selama lamanya 5 bulan. c) Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41. Ancaman pidananya adalah serendah rendahnya Rp. 1.000.000.000,- dan setinggi tingginya Rp 5.000.000.000,- atau pidana kurungan pengganti denda selama lamanya 3 bulan.

3) Pidana Tambahan Pasal 49 UU No.5/1999 menentukan bahwa pidana tambahan yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha dapat berupa: a) Pencabutan ijin usaha, atau b) Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap UU ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang kurangnya 2 tahun, atau c) Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

Di dalam penjelasan umum UU Antimonopoli disebutkan bahwa Komisi hanya berwenang menjatuhkan sanksi administratif, sedangkan yang berwenang menjatuhkan sanksi pidana adalah pengadilan. Suatu perkara yang

157 ditangani oleh KPPU dapat kemudian diserahkan kepada penyidik dan karenanya dapat dijatuhi pidana dalam hal: a) Pelaku usaha tidak menjalankan putusan Komisi yang berupa sanksi administratif (Pasal 44 ayat (4)) b) Pelaku usaha menolak untuk diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan atau pemeriksaan (Pasal 41 ayat (2)). Terhadap kedua pelanggaran tersebut, Komisi menyerahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan. Putusan Komisi merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan (Pasal 41 ayat (3) jo Pasal 44 ayat (5)).

4. Pelaksanaan Putusan KPPU Terhadap putusan KPPU terdapat tiga kemungkinan, yaitu: a. Pelaku usaha menerima keputusan KPPU dan secara sukarela melaksanakan sanksi yang dijatuhkan oleh KPPU. Pelaku usaha dianggap menerima putusan KPPU apabila tidak melakukan upaya hukum dalam jangka waktu yang diberikan oleh UU untuk mengajukan keberatan (Pasal 44 ayat 2). Selanjutnya dalam waktu 30 hari sejak diterimanya pemberitahuan mengenai putusan KPPU, pelaku usaha wajib melaksanakan isi putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU. Dengan tidak diajukannya keberatan, maka putusan KPPU akan memiliki kekuatan hukum tetap (Pasal 46 ayat (1) UU Antimonopoli) dan terhadap putusan tersebut, dimintakan

158 fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri (Pasal 46 ayat (2) UU Antimonopoli). b. Pelaku usaha menolak putusan KPPU dan selanjutnya mengajukan keberatan kepada Pengadilan negeri. Dalam hal ini pelaku usaha yang tidak setuju terhadap putusan yang dijatuhkan oleh KPPU, maka pelaku usaha dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan negeri dalam jangka waktu 14 hari setelah menerima pemberitahuan tersebut (Pasal 44 ayat (2) UU Antimonopoli). c. Pelaku usaha tidak mengajukan keberatan, namun menolak melaksanakan putusan KPPU. Apabila pelaku usaha tidak mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) UU Antimonopoli, namun tidak juga mau melaksanakan putusan KPPU dalam jangka waktu 30 hari, KPPU menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini putusan KPPU akan dianggap sebagai bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan (Pasal 44 ayat (5) UU Antimonopoli). Putusan KPPU merupakan salah satu sumber penting Hukum Persaingan Usaha di Indonesia karena merupakan bentuk implementasi terhadap UU Antimonopoli. Oleh karena itu, wajar kiranya ketentuan bahwa setiap putusan Komisi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dimintakan penetapan eksekusi dari PN. Hal ini dapat diartikan bahwa kekuatan dan pelaksanaan putusan tersebut berada di bawah pengawasan Ketua PN.

159 Fiat eksekusi dalam hal ini dapat diartikan persetujuan PN untuk dapat dilaksanakannya putusan KPPU. Per-setujuan ini tentu tidak akan diberikan apabila Ketua PN menganggap KPPU telah salah dalam memeriksa perkara tersebut. Dengan demikian maka mekanisme fiat eksekusi ini dapat menjadi kontrol terhadap putusan putusan yang dihasilkan oleh KPPU yang tidak diajukan upaya keberatan oleh pihak pelaku usaha. Untuk putusan yang diajukan upaya keberatan, peran kontrol yang dilakukan oleh pengadilan akan lebih terlihat. Hal ini karena hakim yang memeriksa upaya keberatan akan memeriksa fakta serta penerapan hukum yang dilakukan oleh KPPU. Dengan demikian, KPPU pasti akan sangat berhati- hati dalam memeriksa perkara karena kesalahan dalam mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir akan mengakibatkan putusannya dibatalkan oleh hakim PN atau MA.

5. Upaya Hukum oleh Pelaku Usaha a. Upaya Hukum Keberatan Pelaku usaha yang tidak menerima keputusan Komisi dapat mengajukan upaya keberatan ke Pengadilan Negeri (PN) dalam tenggang waktu 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan komisi (Pasal 44 ayat (2) UU Antimonopoli). Upaya hukum tersebut diajukan ke PN tempat kedudukan hukum usaha pelaku usaha (Pasal 1 angka (19) UU Antimonopoli). Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan tersebut dalam waktu 14 hari terhitung sejak diterimanya keberatan tersebut (Pasal 45 ayat (1) UU Antimonopoli). Setelah dilakukan

160 pemeriksaan oleh PN, maka PN wajib memberikan putusan dalam waktu 30 hari terhitung sejak dimulainya pemeriksaan keberatan (Pasal 45 ayat (2) UU Antimonopoli). Pengajuan Keberatan merupakan upaya hukum baru yang diperkenalkan oleh UU Antimonopoli. Sebelumnya, hukum acara di Indonesia hanya mengenal 2 jenis upaya hukum, yakni upaya hukum biasa yang meliputi banding dan kasasi, dan upaya hukum luar biasa, yakni peninjauan kembali. Ketentuan yang khusus mengatur keberatan terdapat dalam Perma No 1 Tahun 2003 yang mendefinisikan keberatan sebagai “upaya hukum bagi pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU.” Pasal 2 ayat (1) Perma No 3 Tahun 2005 menyatakan “Keberatan terhadap putusan KPPU hanya diajukan oleh pelaku usaha terlapor kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum usaha pelaku usaha terlapor.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa upaya hukum keberatan merupakan suatu upaya hukum bagi pelaku usaha yang dihukum (yang dinyatakan melanggar UU Antimonopoli) oleh KPPU dan terhadap putusan KPPU tersebut kemudian pelaku usaha tidak menerima atau merasa keberatan terhadap putusan KPPU tersebut.

6. Prosedur Keberatan Prosedur pengajuan upaya hukum keberatan diatur dalam Perma No. 3 Tahun 2005 tentang Tata cara pengajuan upaya hukum keberatan terhadap putusan KPPU. Sebelum Perma tersebut di- berlakukan, tidak ada hukum acara yang rinci dan tegas yang mengatur tentang pengajuan upaya hukum keberatan.

161 Contoh kasus yang mengajukan keberatan kepada KPPU adalah sebagai berikut:103

Kasus akuisisi yang dilakukan oleh PT Carrefour Indonesia terhadap PT Alfa Retailindo, di mana tindakan ini dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasca akuisisi, PT CI diduga menguasai pasar retail 48,3% atau meningkat dari sebelumnya 37,9%. PT CI juga diduga menguasai 66,7% pasar pemasok dari sebelumnya 44,72%. Sedangkan data yang diperoleh AC Nielsen menjelaskan bahwa sebelum mengakuisisi PT AR, pangsa pasar produk makanan PT CI hanya 5%. Namun setelah mengakuisisi, diperkirakan pangsa pasar yang akan dikuasai adalah 7%. Walaupun PT CI bersama dengan PT AR belum menguasai produk makanan lebih dari 50%, tetapi pasar HC adalah menjadi pelaku usaha dominan. PT CI pada tahun 2007 telah memiliki 31 gerai. Maka PT CI menjadi pelaku usaha hypermarket yang mempunyai gerai tertinggi. Setelah mengakuisisi PT AR, PT CI menjadi perusahaan yang dominan menguasai pangsa pasar lebih dari 50%. Berdasarkan data dan laporan yang telah diterima, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan pemeriksaan awal terhadap bisnis PT CI dan ditemukan pangsa pasar PT CI melonjak melebihi 50%. Dalam sidang KPPU tanggal 4 November 2009, majelis KPPU menyatakan PT CI terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 ayat (1) dan 103Mukti Fajar Nur Dewata, Problematika Pengukuran Pangsa Pasar, Kajian Putusan Nomor 502 K/PDT.SUS/2010, Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 3, 2017: hlm 297

162 Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Selanjutnya majelis KPPU memerintahkan PT CI melepas seluruh kepemilikan pada pihak yang tidak terafiliasi serta menghukum membayar denda Rp25 miliar. Namun kasus tersebut tidak berhenti pada putusan KPPU. Pihak PT CI mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada tanggal 17 Februari 2010, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan keberatan PT CI atas putusan KPPU dan menyatakan perusahaan ritel asing itu tidak terbukti melakukan monopoli. Putusan pengadilan negeri tersebut disambut KPPU dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada tanggal 21 Oktober 2010, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 502 K/PDT.SUS/2010 menolak kasasi KPPU dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

D. Latihan Soal 1. Jelaskan secara singkat mengenai kelembagaan KPPU? 2. Jelaskan maksud dari KPPU merupakan lembaga independent? 3. Jelaskan secara singkat perbedaan KPPU dengan lembaga serupa di Jepang? 4. Jelaskan secara singkat kemungkinan yang terjadi atas putusan KPPU dan upaya hukum yang dapat dilakukan? 5. Jelaskan apa itu fiat execution dan jelaskan fungsinya?

163 BAB IX DISRUPTIVE INNOVATION DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA

A. Pendahuluan Teknologi telah merubah cara hidup manusia, sehingga pada era ini, teknologi dianggap sebagai sebuah keharusan. Banyak industri berinovasi secara konstan, akan tetapi perkembangan ekonomi melalui sharing teknologi telah “memaksa” terjadinya dinamisme dalam dunia bisnis.104 Peluang ini dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk terus berinovasi dan menggunakan teknologi sebagai nilai jual produk barang dan jasa. Perubahan ini berpengaruh cukup besar dalam persaingan bebas, dimana bisnis yang tidak inovatif secara bertahap akan ditinggalkan oleh konsumen. Banyak kasus dimana pelaku usaha yang merupakan raksasa industri kemudian tergeser karena dianggap lamban berinovasi, antara lain Nokia dan Blackberry yang digempur produk Apple dan Samsung, Yahoo yang kalah

104Geradin, Damien. 2015. “Should be Allowed to Compete in Europe? And if so How?”. Competition Policy International. Inc., hlm. 2

164 dengan dan , lenyapnya produk walkman karena kelahiran smartphone, dan moda transportasi konvensional di berbagai negara beramai-ramai menolak moda transportasi ber- basis aplikasi online.105 Berbagai inovasi yang dibawa newcumbent sering menyebabkan perselisihan dengan incumbent. Penggunaan teknologi memberikan pelayanan yang maksimal dengan biaya yang efisien. Faktor tersebut tentu menyebabkan semakin beralihnya konsumen incumbent ke produsen newcumbent yang membawa inovasi tersebut. Hal tersebut kemudian menjadi alasan bahwa inovasi tersebut dianggap sebagai Disruptive Innovation.106 Orang-orang lama selalu khawatir produk baru atau bisnis model baru selalu akan menganibal pekerjaan dan bisnis mereka. Maka mereka kerap melempar gunjingan dan isu-isu negatif agar perusahaan mengurungkan niatnya mengembangkan bisnis baru yang belum menghasilkan keuntungan dalam jangka pendek.107 Tapi benarkah inovasi baru selalu menjadi Disruptive Innovation? Saat ini dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli) tidak terdapat larangan bagi pelaku usaha

105Dirangkum dari laman http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/10/14/1904022/ Belajar.dari.Kegagalan.BlackBerry.dan.Nokia,https://www.kompasiana.com/ prastiwoanggoro/kejatuhan-raksasa-yahoo-dan-refleksi-ke-krisis-ekonomi-di-batam_5 9421041c222bd6f37fc1b01,http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/ global/12/12/23/mfhpkw-cerita-sedih-jatuhnya-para-raksasa-elektronik,https:// indonesiana.tempo.co/read/43591/2015/07/01/desibelku.1/uber-taxi-dan-gojek- tantangan-model-bisnis-baru 106Ibid 107Rhenald Khasali, “Inilah “Mindset” Baru Yang Perlu Diubah Pelaku Usaha di Tahun “Disruption”, diunduh dari laman http://kom.ps/AFvqSi, tanggal 11 November 2018 jam 09.00

165 untuk mengembangkan inovasi produk, bahkan dalam teori pasar bebas, dikatakan oleh Adam Smith bahwa “praktek perekonomian harus terlihat dalam kekebasan dalam berusaha dan pasarlah yang mengatur dan menciptakan mekanisme bukan kebijakan pemerintah”108 Saat ini yang sedang gencar dituding sebagai Disruptive Innovation di Indonesia adalah lahirnya inovasi baru dalam bisnis transportasi yaitu moda transportasi berbasis aplikasi Go Jek, disisi lain kehadiran Go Jek justru dianggap sangat membantu oleh konsumen dan pihak yang bermitra dengan Go Jek.109

B. Pengertian Disruptive Innovation Disruptive Innovation, dalam bahasa Indonesia yang disadur bebas berarti inovasi yang mengacau atau inovasi yang meng- ganggu. Kata mengganggu pada konteks ini tidak dapat diambil maknanya secara bebas begitu saja. Sejalan dengan perkembang- an teknologi, mengganggu dalam konteks ini bermakna bahwa munculnya inovasi teknologi baru akan mengganggu keberadaan teknologi yang lama.110 Schumpeter memperkenalkan sebuah inovasi sebagai:111 1. Memperkenalkan suatu barang (dapat diartikan teknologi) baru.

108Liya Sukma Mulia, 2012. “Promosi Pelaku Usaha Yang Merugikan Konsumen”, media. neliti.com, hlm. 5 109Diunduh dari laman https://kompas.com/megapolitan/read/2015/12/18/06400081/ Plus.Minus.Keberadaan.Ojek.Online, tanggal 11 November 2018 jam 09.00 110Edy Suandi Hamid, 2017, Disruptive Innovation: Manfaat Dan Kekurangan Dalam Konteks Pembangunan Ekonomi, Universitas Islam Indonesia, hlm. 2 111Sukirno, 1978, Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijaksanaan. Medan: Borta Gorat. hlm. 283

166 2. Menggunakan cara baru dalam memproduksi barang. 3. Memperluas pasar suatu barang ke daerah-daerah yang baru. 4. Mengadakan reorganisasi dalam suatu perusahaan. 5. Mengembangkan sumber bahan mentah yang baru.

Inovasi juga dapat disebut sebagai proses pembaharuan.112 Menurut Schumpeter pembaharuan tersebut haruslah berguna bagi masyarakat banyak. Selanjutnya proses tersebut adalah bagian dari proses produksi yang dibuat secara efisien dan efektif. Proses inovasi tersebut bersumber dari kreatifitas para pengusaha.113 Inovasi produk merupakan salah satu dampak dari perubahan teknologi yang cepat dan variasi produk yang tinggi akan menentukan kinerja suatu organisasi.114 Inovasi adalah memulai atau memperkenalkan sesuatu yang baru. Kebanyakan peneliti sepakat atas definisi inovasi yang mencakup hasil produk dan proses baru.115 Inovasi merupakan proses teknologis, manajerial dan sosial, yang mana gagasan atau konsep baru pertama kali diperkenalkan untuk dipraktekkan dalam suatu kultur.116 Inovasi merupakan faktor penentu dalam persaingan industri dan meru-pakan senjata yang tangguh menghadapi persaingan.117

112Edy Suandi Hamid, Loc.Cit 113Sukirno, Loc.Cit 114Hurley, R. & Hult, G. T, Innovation, Market Orientation and Organizational Learning: An Integration and Empirical Exemination. Journal of Marketing, Vol.62, No(3), 1998, hlm. 42−54. 115Sri Hartini, Peran Inovasi: Pengembangan Kualitas Produk dan Kinerja Bisnis, Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol.14, No. 1, 2012, hlm. 82 116Quinn, J. B., Baruch, J., & Zien, K. A, Soft-ware-based innovation.Sloan Management Re-view, Vol.37, No.4, 1996, hlm. 11−24. 117Ibid

167 Istilah inovasi yang mengganggu dipopulerkan oleh Clayton M. Christensen pada tahun 1997.118 Inovasi yang mengganggu pertama kali dipopulerkan dengan istilah teknologi yang mengganggu.119 Christensen memperkenalkan inovasi yang meng- ganggu sebagai bentuk gangguan oleh pendatang baru. Pendatang baru tersebut berkompetisi dengan perusahaan incumbent yang sudah mapan.120 Teori ini mengatakan bahwa Disruptive Innovation adalah sebuah proses dimana sebuah perusahaan dengan sumber daya terbatas bisa mematahkan kedigdayaan usaha incumbent (penguasa pasar).121 Petahana/ incumbent biasanya fokus dalam peningkatan kualitas produk dan jasa untuk pasar yang mereka kuasai. Peningkatan ini melebihi kebutuhan dari sebagian pasar dan juga biasanya ada pasar yang tidak tergarap. Sedangkan newcumbent atau penantang biasanya menargetkan pasar yang terlupakan tersebut, paling umum dengan memberikan harga yang lebih rendah. Incumbent pada umumnya karena fokus pada keuntungan yang lebih tinggi (diberikan oleh pasar yang memiliki tuntutan lebih) tidak memperdulikan usaha newcumbent. Newcumbent setelah sukses akan masuk ke pasar yang dikuasai incumbent dengan memberikan kualitas yang dituntut tetapi tetap mempertahankan keunggulan yang mereka miliki. Ketika mayoritas pasar pindah dari incumbent ke newcumbent, maka terjadilah “disruption” (gangguan).122

118Australian Government, 2016, Productivity Commission, hal. 15 119Edy Suandi Hamid, Op.Cit. hlm 3 120Christensen dalam Edy Suandi Hamid, Ibid 121https://www.kompasiana.com/ronaldwan/5993b303da56da0ad9637e92/apakah- uber-merupakan-disruptive-innovation, tanggal 11 November 2018 jam 09.00 122Ibid

168 Ketika istilah “inovasi mengganggu” pertama kali diperkenalkan pada akademisi bidang manajemen, teori aslinya berfokus pada teknologi yang mengganggu.123 Penggunaan ide-ide serupa telah berkembang dari waktu ke waktu, dan dewasa ini istilah ini dapat dirujuk bagi berbagai jenis gangguan lain termasuk inovasi model bisnis dan inovasi produk yang radikal.124 Inovasi yang mengganggu terjadi di berbagai belahan dunia. Di Eropa misalnya, kasus terbesar yang pernah terjadi misalnya perusahaan Nokia. Ponsel yang di masa jayanya dijuluki sebagai ponsel sejuta umat itu pada akhirnya harus mengakui handphone bersistem android dan iOs sebagai inovasi yang mengganggu. Pada awalnya Nokia masih penuh percaya diri dengan sistem Symbiannya. Perusahaan itu merasa bahwa pasar yang dimiliki sangat tergantung dengan Symbiannya. Bahkan saat Apple merilis Iphone pada tahun 2007, Nokia tetap merasa tidak tersaingi dan meneruskan Symbiannya sebagai andalan. Sedangkan pesaing barunya, android, terus memantapkan posisinya dalam pasar. Pangsa pasar Symbian Nokia mulai turun ketika Apple mulai memperkenalkan iPhone 3G pada 2008. Akhir dari Symbian mulai terlihat saat Android diperkenalkan oleh Google melalui perangkat HTC. Mulai 2010, pangsa pasar Symbian Nokia terus turun bahkan hanya menyisakan 13,9 % pada tahun 2013.125 Penelitian Christensen tentang dampak teknologi mengganggu dan bagaimana perusahaan seharusnya menghadapinya telah

123Clayton M. Christensen, The Innovator’s Dilemma: When New Technologies Cause Great Firms to Fail, Harvard Business School Press (1997). 124Constantinos Markides, “Disruptive Innovation: In Need of Better Theory,” 23(1) The Journal of Product Innovation Management, 19 (2006). 125Edy Suandi Hamid, Op. Cit. Hlm. 7.

169 memicu perdebatan dalam literatur akademis dan bisnis. Aspek utama aspek yang secara kontroversial dibahas antara lain sebagai berikut:126

1. Kurangnya definisi yang tepat. Sumber dari perdebatan adalah kurangnya definisi yang terukur bagaimana persisnya inovasi yang mengganggu berbeda dari inovasi lain (non-disruptif), dan bagaimana merencanakan kinerja yang memadai untuk mengantisipasi dampak dari teknologi mengganggu.

2. High-end vs low-end Disruptive Innovation. Beberapa penulis menyarankan untuk membuat perbedaan antara Disruptive Innovation high-end dan low-end. Gangguan pada segmen low-end dimulai siklus hidupnya di segmen pasar dengan biaya lebih rendah ketika menarik konsumen yang sensitif terhadap harga. Gangguan pada segmen highend biasanya lebih radikal pada faktor kebaruan dan bersaing pada produk atau layanan bukan pada biaya dengan menawarkan fitur-fitur khusus.

3. Prediktabilitas dari inovasi yang mengganggu.

4. Bisnis-model vs inovasi produk. Markides (2006) mengemukakan bahwa harus dibuat pem- bedaan antara Disruptive Innovation dan inovasi produk yang tidak mengganggu. Markides juga berpendapat bahwa Disruptive Innovation dan inovasi bisa hidup berdampingan di

126INNO-Grips Policy Brief No. 4, 2012, Disruptive Innovation: Implications for Competitiveness and Innovation Policy, European Commission Enterprise and Industry, hlm. 5

170 beberapa pasar. Terdapat perdebatan tentang strategi bisnis yang benar untuk mengatasi Disruptive Innovation, misalnya tentang bagaimana incumbent harus membuat strategi bisnis baru untuk berurusan dengan inovasi yang berpotensi menjadi Disruptive Innovation.

C. Definisi Transportasi Online Kegiatan pembaharuan (inovasi) oleh para pengusaha akan menimbulkan efisiensi. Dari efisiensi tersebut akan menyebabkan turunnya harga produk secara berkala.127 Salah satu inovasi dalam industri transportasi ditandai dengan munculnya bisnis transportasi online. Transportasi online adalah pelayanan jasa transportasi yang berbasis internet dalam setiap kegiatan transaksinya, mulai dari pemesanan, pemantauan jalur, pembayaran dan penilaian terhadap pelayanan jasa itu sendiri.128 Uber adalah pelaku usaha yang menandai mulainya revolusi di bidang transportasi pada tahun 2014, Uber yang baru berusia lima tahun mengubah industri taksi New York, Uber “mengambil alih” pelanggan taksi Medallion (taksi dengan ijin taksi pribadi) dengan menurunkan harga dan meningkatkan jumlah armada dari 7.000 menjadi 16.000. Untuk pertama kalinya dalam beberapa dasawarsa, taksi Medallion menghadapi persaingan yang ketat dari pesaing

127Oakey dalam Edy Suandi Hamid, hlm. 5. 128Gestiar Yoga Pratama, Suradi, Aminah, Perlindungan Hukum Terhadap Data pribadi pengguna Jasa Transportasi Online Dari Tindakan Penyalahgunaan Pihak Penyedia Jasa Berdasarkan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Diponegoro Law Journal, Vol.5, No.3 , 2016, hlm. 2.

171 baru yang tidak harus memiliki ijin Medallion dan beroperasi di bawah kerangka peraturan yang berbeda dan lebih longgar. Langkah Uber ini kemudian diikuti oleh berbagai pelaku bisnis di berbagai negara termasuk di Indonesia dengan lahirnya bisnis transportasi online di berbagai negara, termasuk juga diantaranya, Indonesia. Taksi online Uber sangat pesat berkembang di Brazil, Chile, Columbia, Costa Rica, Mexico, dan Uruguay. Perkembangan inovasi taksi online sangat pesat sehingga mengganggu taksi konvensional. Bahkan pangsa pasar taksi konvensional turun rata- rata 7,5 % setiap tahun.129 Sebelum ini, pemerintah Indonesia telah mengatur taksi online dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan No 26 Tahun 2017 tentang Angkutan Online, peraturan ini kemudian diajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung (MA). Peraturan ini kemudian diganti dengan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek (PM 108). Dalam PM 108 tersebut tidak hanya mengatur taksi online saja, tetapi terdapat empat angkutan lain yang diatur, diantaranya angkutan antar-jemput, angkutan pemukiman, angkutan karyawan, dan angkutan carter (sewa). Menurut PM 108, angkutan taksi online merupakan angkutan dari pintu ke pintu dengan pengemudi, memiliki wilayah operasi, dan pemesanan menggunakan aplikasi berbasis teknologi. PM 108 juga berisi pelayanan yang harus diwajibkan oleh pengemudi

129Edy uandi Hamid, Op.Cit. hlm 9

172 taksi online. Kewajiban tersebut yakni tarif harus tertera di aplikasi, penggunaan kendaraan harus melalui pemesanan, tidak menaikan penumpang secara langsung di jalan, beroperasi pada wilayah operasi yang telah ditetapkan dan wajib memenuhi standar layanan minimum. Aturan tentang tarif batas atas dan bawah juga masih tercantum dalam PM 108. Selain itu, pengenaan stiker di kendaraan taksi online dalam aturan merupakan suatu keharusan yang dipenuhi. Di Indonesia, armada transportasi berbasis aplikasi online dianggap sebagai salah satu sebagai inovasi yang mengganggu. Keberadaan transportasi konvensional, seperti taksi konvensional makin lama akan tergantikan dengan transportasi online. Hal ini dikarenakan banyaknya kemudahan yang ditawarkan membuat konsumen merasa sangat nyaman. Terlebih dengan tarif yang ditetapkan begitu murah membuat banyak konsumen transportasi konvensional berpindah ke transportasi online.

D. Disruptive Innovation dalam hukum persaingan usaha Teori mengenai inovasi yang mengganggu awalnya muncul dari studi tentang industri disk drive (disket), studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan besar tidak dapat mempertahankannya kepemimpinan industri mereka secara berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hasil studi ini ditunjukkan untuk menjelaskan sejarah bahwa di ratusan industri banyak perusahaan atau lembaga yang dominan telah digantikan posisinya oleh pendatang. Hal ini terjadi baik pada industri barang dan jasa, organisasi profit oriented dan organisasi nirlaba, serta industri yang bergerak lambat maupun yang

173 bergerak cepat. Disrupsi atau gangguan adalah mekanisme di balik fenomena tersebut, yang oleh ahli ekonomi Joseph Schumpeter disebut sebagai “creative destruction.”130 Fokus utama inovasi adalah penciptaan gagasan baru, yang ada gilirannya akan diimplementasikan ke dalam produk baru, proses baru. Adapun tujuan utama proses inovasi adalah memberikan dan menyalurkan nilai pelanggan yang lebih baik.131 Lukas & Farel (2000) membedakan inovasi produk atas tiga kategori dasar, yaitu “product line extensions, mee to products dan new to the world product”. Product line extensions adalah produk yang relatif baru di pasar namun tidak baru bagi perusahaan. Mee to product adalah produk yang relatif baru bagi perusahaan namun relatif sudah dikenal di pasar. New to the world product adalah produk baru baik bagi perusahaan maupun bagi pasar.132 Konsep Disruptive Innovation diperkenalkan dalam literatur bisnis oleh Bower dan Christensen yang menggunakannya untuk menjelaskan mengapa perusahaan terkemuka sering gagal untuk tetap berada di puncak industri mereka ketika teknologi atau pasar berubah.133 Bower dan Christensen membuat perbedaan antara dua jenis teknologi inovasi, yaitu Sustaining Innovation (inovasi yang mempertahankan) dan Disruptive Innovation (inovasi yang mengganggu). Sustaining Innovation menghadirkan beberapa

130Disrupting College, Center for American Progress, Innosight Institute, hlm. 12 131Sri Hartini, Op.Cit, hlm 83 132Ibid 133J.L. BOWER AND C.M. CHRISTENSEN, “Disruptive Technologies: Catching the Wave”, Harvard Business Review 1995, vol. 73, no. 1 (January-February), (43) yang telah dikembangkan oleh Christensen dalam C.M. Christensen, The Innovator’s Dilemma. When New Technologies Cause Great Firms to Fail, Boston, Massachusetts, Harvard Business School Press, 1997.

174 tingkat peningkatan produk yang sudah ada tetapi tidak mempengaruhi pasar yang sudah mapan seperti Disruptive Innovation. Disruptive Innovation memiliki fitur yang benar-benar baru berbeda dari produk yang sebelumnya. Glen M. Schmidt and Cheryl T. Druehl dalam artikelnya When Is a Disruptive Innovation Disruptive? Juga menggolongkan inovasi menjadi 2 (dua) macam, yaitu pertama, Sustaining Innovation, dan kedua, Disruptive Innovation.134 Dengan membedakan kedua inovasi tersebut seperti terlihat dalam tabel berikut:135

Jenis inovasi Jenis sasaran/ Deskripsi target Sustaining Pasar high end Produk pertama kali menyasar Innovation high end market dan kemudian menyebar ke low end market Disruptive Pasar low end Produk pertama kali menyasar Innovation low end market dan kemudian merambah ke high end market Tabel 1. Perbedaan Disruptive Innovation dan Sustaining Innovation

M. Nawir Messi, dalam presentasinya memberikan definisi bahwa Sustaining Innovation adalah innovation within the existing value network (inovasi dalam jaringan yang ada) dan Disruptive Innovation adalah innovation outside (or even a new) value network (inovasi diluar jaringan yang ada, bahkan kadang memunculkan jaringan baru). Steve Morris, dalam presentasinya yang berjudul Disruptive vs Sustaining Innovation, Oregon Technology Business Center, mem-

134Glen M. Schmidt and Cheryl T. Druehl, When Is a Disruptive Innovation Disruptive? The journal of Product management, 2008, hlm. 248 135Ibid

175 bedakan Sustaining Innovation dan Disruptive Innovation dari “siapa” yang memiliki usaha tersebut, sebagaimana terlihat dalam gambar dibawah ini:

Gambar 4. Perbedaan Sustaining Innovation dan Disruptive Innovation

Sustaining Innovation, biasanya dilakukan oleh perusahaan besar, sedangkan Disruptive Innovation biasanya dilakukan oleh suatu start up company. Start up company adalah sebuah perusahaan yang mencari model bisnis baru yang terukur, berulang, dan menguntungkan Sementara Tim Fritzley, dalam presentasinya untuk Intune, membagi inovasi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu sebagai berikut: 1. Inovasi Inkremental / Sustaining Innovation, yaitu inovasi yang sesuai dengan model bisnis dan jangka waktu yang direncanakan; 2. Inovasi Mengganggu / Revolusioner/ Disruptive Innovation, yaitu menciptakan model bisnis baru dalam industri dalam jangka waktu lama; dan

176 3. Inovasi Uber / Radikal, yaitu inovasi yang menggeser ekonomi dunia dan gaya hidup orang-orang dalam satu generasi atau lebih.

Beberapa contoh Sustaining Innovation adalah sebagai berikut: a. Perkembangan teknologi komunikasi, dari menggunakan jaringan kabel (wired phone), menjadi wireless phone atau sering disebut dengan mobile phone.

Gambar 5. Fixed Phone dan Wireless Phone

Dari sisi inovasi teknologi ada kemajuan yang baru, namun dari sisi fungsi dan penggunaan tidak mengalami perubahan. Sustaining Innovation disini hanya menciptakan sistem telepon yang yang bisa mudah dipergunakan secara mobile tanpa memerlukan kabel (wireless). b. Layanan perdagangan retail atau toko.

Gambar 6. Toko konvensional dan toko swalayan modern

177 Dari model bisnis tidak mengalami perubahan, yaitu menjual barang retail di sebuah toko. Namun model pelayanan berubah, dari tradisional menjadi layanan yang memberikan kenyamanan bagi konsumen untuk memilih barang secara swalayan dengan layanan yang memberikan kenyamanan konsumen. Namun ada pola pengembangan yang berbeda dengan Sustaining Innovation, disebut dengan Disruptive Innovation. Bower and Christensen (1995) menjelaskan: Disruptive Innovation ; takes place outside the value network of the established firms and introduces a different package of attributes from the one mainstream customers historically value.136 Inovasi ini mengubah secara radikal dari model bisnis yang ada. Bersaing dengan pelaku usaha lama (incumbent competitor) dipasar yang sama.137 Disruptive Innovation: “a new competitor creates radical change in an existing industry, launching a new product or service, often with some distinctly novel features or an entirely different business mode” 138 Disruptive Innovation bagaikan musuh yang tak terlihat oleh pesaing petahana. Dia datang tidak melalui persaingan formal, seperti iklan dijalan, atau sales yang mengetuk pintu. Pesaing baru ini tiba-tiba mengendap-endap masuk langsung ke kamar konsumen melalui bantuan Information Technologi (IT), menawar-

136Bower and Christensen, 1995, dalam Alexandre de Streel and Pierre Larouche , Disruptive Innovation And Competition Policy Enforcement, the Global Forum on Competition 29-30 October 2015, www.oecd.org/competition/globalforum 137Hsin Fang Wei, 2016, Does Disruptive Innovation “Disrupt” Competition Law Enforcement ? The Review and Reflect, Paper on Taiwan International Conference Competition Policy in Global and Digital Economy , June 28-29, 138Han Li TOH, Disruptive Innovation: Implications for Enforcement of Competition Law, 14th OECD Global Forum on Competition , www.ccs.gov.sg

178 kan produk yang sama dengan cara yang berbeda.139 Konsumen dilayani dengan diversifikasi bisnis yang tak terkirakan. Perusahaan yang menggunakan Disruptive Innovation tersebut bukanlah perusahaan dengan modal besar. Tetapi juga bukan perusahaan UMKM konvensional. Disruptive Innovation seringkali dilakukan oleh perusahaan Startup. Perusahaan start-up adalah perusahaan yang belum lama beroperasi. Biasanya berbentuk Perseroan Terbatas dengan memiliki legalitas surat ijin usaha dan nomer wajib pajak.140 Perusahaan ini didirikan dan berada dalam fase pengembangan dan penelitian untuk menemukan pasar yang tepat.141 Istilah “startup” menjadi populer secara internasional pada periode di mana banyak perusahaan dot-com didirikan. bisnis startup ini lebih identik bisnis yang berbau teknologi, web, internet dan yang berhubungan dengan ranah tersebut.142 Dari pengertian ini, bisa diartikan bahwa persaingan bisnis dalam era milenial ini bukan selalu persaingan antara perusahaan besar dan perusaha- an kecil. Tetapi persaingan antara incumbent yang menggunakan Sustaining Innovation dengan newcumbent yang menggunakan disruption innovation. Beberapa contoh model bisnis dengan disruption innovation adalah:

139Rhenald Kasali, 2017, Disruption : Menghadapi Lawan Lawan Tak Kelihatan Dalam Peradaban UBER , Jakarta, Gramedia. 140Doni Wijayanto, 2018, Legal Startup Business, Solo , Metagraf, Hlm,73 – 157 141Perusahaan rintisan,https://id.wikipedia.org/wiki/Perusahaan_rintisan ,11 November 2018 jam 09.00 142Apa Itu bisnis Startup? Dan Bagaimana Perkembangannya? https://id.techinasia.com/ talk/apa-itu-bisnis-startup-dan-bagaimana-perkembangannya, 11 November 2018 jam 09.00

179 a. Dari teknologi telepon menjadi teknologi arus informasi

Gambar 7. Fixed Phone dan Smart Phone

Temuan smartphone merupakan disruption innovation karena merubah fungsi telephone menjadi alat berbagai transaksi informasi dengan fitur layanan yang semakin beragam. b. Telepon dengan teknologi SST Satuan Sambungan Telepon/fixed telephone line mejadi VoIP (Voice over Internet Protocol) Tenologi komunikasi dalam bentuk aplikasi seperti Whatsapp, Kakao Talk, BBM, memungkinkan orang bertukar data dari teks, audio hingga audio visual dengan menggunakan saluran Internet data. c. Bisnis Pertokoan Modern (Mall) menjadi bisnis Electronic Mall

Gambar 8. Mall konvensional dan E-Mall

180 Dari sisi transaksinya merupakan model bisnis yang sama, Namun e mall telah merubah cara orang mendirikan usaha pertokoan dan cara orang berbelanja menjadi sangat praktis dan efisien. Terlepas dari adanya beberapa istilah yang berbeda, pelaku bisnis sering mengalami kesulitan dalam mengidentifikasikan inovasi yang mengganggu. Tulisan Bower dan Christensen yang dimuat oleh Harvard Business School Publishing sebagai salah satu yang artikel paling popular juga menyiratkan bahwa istilah ini sering disalahpahami:143 ‘‘The word disruption . . . has become loaded with meanings and connotations at odds with the concept’’ (kata gangguan. . . telah dimuat dengan makna dan konotasi yang bertentangan dengan konsep awalnya) Istilah disruptive dapat begitu mudah disalahartikan, bahkan Glen M. Schmidt and Cheryl T. Druehl menyatakan bahwa sebuah inovasi yang mengganggu pasar saat ini belum tentu termasuk kedalam jenis Disruptive Innovation sesuai yang dimaksud oleh Christensen.144 Menurut Christensen, terdapat beberapa kriteria dalam meng- identifikasikan bahwa suatu inovasi dianggap sebagai inovasi yang mengganggu atau Disruptive Innovation, yaitu sebagai berikut:145 1) Disruptive Innovation menyasar low end market, dan selanjutnya merambah pada high end market; proses ini menyebabkan konsumen segmen high end market kemudian bergerak meninggalkan incumbent berpindah pada newcumbent;

143Glen M. Schmidt and Cheryl T. Druehl, loc.cit 144Ibid 145Hasil wawancara dengan M. Nawir Messi, eks Komisioner KPPU

181 2) Disruptive Innovation menciptakan pasar sendiri yang benar- benar baru, sehingga tidak overlap dengan pasar yang telah ada. Pada awalnya pasar ini tidak menggerus profit incumbent akan tetapi pada akhirnya menggerus profit incumbent; 3) Disruptive Innovation merupakan terobosan dari generasi baru, terobosan ini kemudian berproses menggerus pasar incumbent.

Lebih lanjut, Steve Morris, menyatakan ada 3 (tiga) karakteristik dari Disruptive Innovation, yaitu berbiaya rendah (bisa jadi produk baru tersebut tidak lebih baik dari produk incumbent, akan tetapi cukup baik untuk menyasar konsumen), lebih mudah diakses (dan lebih mudah dipakai), serta menciptakan pasar baru yang belum pernah ada sebelumnya.146 Keberadaan Uber, oleh Clayton Christensen dinyatakan tidak memenuhi ciri-ciri utama dari Disruptive Innovation. Ke- beradaan taksi online, meskipun taksi online dianggap menggerus keuntungan pelaku usaha transportasi konvensional, belum bisa dikatakan sebagai Disruptive Innovation karena bisnis taksi online tidak memenuhi salah satu kriteria Disruptive Innovation. Hal ini disebabkan karena keuntungan yang diterima oleh transportasi konvensional tidak diperoleh dari persaingan pasar, keuntungan tersebut dibentuk/ diterima karena adanya regulasi pemerintah yang memberikan pengaturan mengenai trayek dan tarif batas bawah.147 Dalam prakteknya menurut Prof Clayton dalam tulisannya “What is Disruptive Innovation?” ada 4 hal yang sering terlupakan

146Steve Morris, Ibid 147Hasil wawancara dengan M. Nawir Messi

182 atau terlewat tentang teori Disruptive Innovation, yaitu sebagai berikut:148

1. Disruption adalah sebuah proses Istilah Disruptive Innovation tidak hanya terkait dengan produk atau jasa hanya pada satu masa. Istilah ini pada hakikatnya menggambarkan suatu proses evolusi produk atau jasa dalam suatu kurun waktu, dimana inovasi, apakah disruptive atau tidak, dimulai dengan percobaan kecil. Newcumbent biasanya fokus kepada mencari model bisnis baru, bukan hanya produk atau jasa yang bagus. Proses untuk menumbuhkan usaha dan perlahan- lahan mengambil pasar incumbent membutuhkan waktu. Meski- pun terkadang incumbent tidak sadar akan hal ini dan terlambat mengantisipasi.

Dalam kasus Netflix vs Blockbuster, pada awalnya memiliki pasar yang berbeda. Netflix memilih jaluronline untuk memasarkan DVD sewa dan mengirimkannya melalui pos, sedangkan Blockbuster menyewakan film secara langsung. Netflix dan Blockbuster memiliki pelanggannya masing-masing. Akan tetapi dengan perkembangan internet, Netflix kemudian merubah model bisnisnya dari penyewaan film menjadi video streaming berlangganan. Pelanggan Blockbuster pindah ke Netflix karena lebih murah dan mudah dengan kualitas yang sama dengan DVD yang disewa dari Blockbuster. Jika pada awalnya Netflix bersaing dalam pasar yang sama dengan Blockbuster, bisa jadi Blockbuster akan menyerang balik dan Netflix akan kalah. 148Dirangkum dari Clayton M. Christensen, Michael E. Raynor, and Rory Mc.Donald, What Is Disruptive Innovation, Harvard Business Review, 2015

183 2. Newcumbent membangun model bisnis yang berbeda dengan incumbent Contoh kasus yang terjadi adalah Apple dengan iPhone. iPhone merupakan sebuah inovasi yang bisa mengalahkan pemain lama seperti Nokia dan Blackberry. Kesuksesan iPhone adalah karena produk mereka memang bagus, akan tetapi hal yang paling menentukan bahwa iPhone bisa disebut sebagai Disruptive Innovation adalah karena Apple menggunakan model bisnis yang baru. Yaitu membuat platform (apple store) yang mempertemukan antara pengguna dengan pengembang aplikasi. Pada akhirnya orang lebih suka menggunakan iPhone untuk berselancar di Internet dibanding menggunakan PC atau laptop., hal ini menyebabkan penjualan laptop dan PC menurun.

3. Tidak semua Disruptive Innovation berhasil Tidak semua Disruptive Innovation berhasil tetapi juga tidak semua usaha yang berhasil adalah karena menjalankan teori Disruptive Innovation. Sebagai contoh banyak pelaku yang mencoba peruntungan di bisnis retail online/ e commerce tetapi hanya sedikit yang sukses.

4. Jangan terjebak dengan kata-kata Disrupt atau Be disrupted Incumbent harus terus waspada dan melakukan antisipasi jika terindikasi bahwa ada perusahaan lain yang bisa membahayakan bisnis di masa depan. Cara yang bisa ditempuh adalah dengan meningkatkan layanan kepada pelanggan dengan melakukan inovasi. Selain itu jika diperlukan petahana bisa membuat divisi atau perusahaan baru untuk melawan dan memanfaatkan peluang

184 baru yang timbul dari usaha kompetitor. Contoh yang mudah adalah dengan membuat merek baru yang dijual dengan harga yang kompetitif dibanding kompetitor, akan tetapi juga tetap mempertahankan merek lama sebagai produk yang premium. Incumbent bisa membuat dua perusahaan yang berbeda untuk mengurus masing-masing merek. Teori Disruptive Innovation memprediksi bahwa ketika kita membuat usaha baru yang langsung menantang petahana di pasar mereka dengan produk atau jasa yang baru dan lebih baik. Incumbent akan langsung bereaksi dan berusaha membunuh kita baik dengan perang harga atau memberikan produk atau jasa yang lebih bagus dari kita.149 The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)’s Oslo Manual (2005), kerangka pengukuran aktivitas inovasi yang telah digunakan secara global oleh anggota OECD, mendefinisikan Disruptive Innovation sebagai “an innovation that has a significant impact on a market and on the economic activity of firms in that market. This concept focuses on the impact of innovations as opposed to their novelty.” Atau sebuah inovasi yang memiliki dampak signifikan pada pasar dan aktivitas ekonomi perusahaan di pasar itu. Konsep ini berfokus pada dampak inovasi yang bertentangan dengan kebaruan mereka.150

149https://www.kompasiana.com/ronaldwan/4-hal-tentang-teori-disruptive-innovation- yang-sering-dilupakan_599502a993be254d572933b2, diakses pada 11 November 2018 jam 09.00 150INNO-Grips Policy Brief No. 4, 2012, Disruptive Innovation: Implications for Competitiveness and Innovation Policy, European Commission Enterprise and Industry, hlm. 5

185 Dengan demikian, dalam praktiknya, semua jenis inovasi (produk, proses, pemasaran atau inovasi organisasi) dapat meng- ganggu. Konsep mengacu terutama pada inovasi produk dan inovasi proses. Manual OECD memperingatkan bahwa itu tidak mungkin terlihat nyata dari awal apakah suatu inovasi memiliki dampak yang mengganggu, dampak tersebut baru akan terasa setelah inovasi tersebut cukup lama diperkenalkan.151 Apa yang disebut Disruptive Innovation atau inovasi meng- ganggu ini telah membawa efek yang mengganggu bukan hanya pada produk atau layanan yang mereka sumbangkan ke pasar, tetapi juga memberikan tantangan bagaimana penegak hukum persaingan menanggapi skenario baru ini secara global.152 Secara khusus, di bidang industri transportasi, menurut OECD, Information and Communication Technology (ICT) merupa- kan pendorong utama munculnya Disruptive Innovation di bidang industri transportasi. ICT adalah kunci pendukung inovasi dalam industri jasa transportasi dan logistik. Ada tiga tren inovasi utama yang dipicu dan diaktifkan oleh kemajuan ICT, yaitu sebagai berikut: a. Layanan baru elektronik (e-new services): merupakan integrasi antara layanan konvensional dengan layanan informasi baru dan inovatif yang difasilitasi oleh internet. Ini layanan yang ditingkatkan tidak memiliki potensi mengganggu yang signifikan;

151Ibid 152Wei, Hsin-Fang, Does Disruptive Innovation “Disrupt” Competition Law Enforcement? The Review and Reflection,

186 b. Pemain baru: ICT telah memfasilitasi masuknya pemain usaha baru kedalam pasar: berbagai jenis transportasi berbasis aplikasi, media pemasaran bersama berbasis aplikasi (e-marketplace/ pasar elektronik). Pemain baru ini memiliki potensi dampak mengganggu pada beberapa aspek industri; c. Aliansi baru: Inovasi lain yang dihasilkan dari peleburan CT dan teknologi web adalah pembentukan jenis aliansi baru antara penyedia logistik pihak ketiga dan perusahaan yang beroperasi di layanan lain sektor seperti jasa keuangan, manajemen konsultasi dan vendor ICT.

Tak perlu dijelaskan lagi, bahwa tidak semua orang terutama pelaku usaha incumbent yang sudah mapan menyambut dengan sukacita “kekuatan destruktif kreatif” dari sang disrupters/ peng- ganggu. Keuntungan utama dan eksistensi mereka terancam oleh penawaran baru dan inovatif ini. Disisi lain, lembaga legislatif dan regulator juga berpacu dengan waktu untuk memastikan bahwa peraturan yang mereka susun dapat mengikuti perkembangan pasar yang cepat ini.153 Disruptive Innovation dapat menimbulkan kekhawatiran di bidang-bidang tertentu, contohnya hilangnya lapangan pekerjaan, perlindungan konsumen, keselamatan dan kesehatan publik, karena Disruptive Innovation ini mungkin tidak dapat secara efektif diatur di bawah kerangka peraturan yang ada. Mungkin juga ada kejadian di mana disrupters dapat memulai usaha tanpa perlu

153Government Advocacy and Disruptive Innovations, Special Project Report International Competition Network Annual Conference, Singapore 2016

187 mematuhi peraturan yang ada. Hal ini membuat badan legislatif dan regulator menghadapi tekanan dari pelaku usaha dan konsumen untuk mengatur, atau bahkan melarang Disruptive Innovation tersebut sama sekali.154 Pemerintah dapat bereaksi dengan menegakkan peraturan yang ada. Misalnya, Otoritas Kompetisi Belgia mencatat bahwa, tindakan pemerintah dalam menghadapi Disruptive Innovation biasanya adalah dengan menegakkan aturan yang sudah ada. Perlu juga dicatat bahwa perselisihan antara pelaku usaha incumbent dan para inovator yang “mengganggu” biasanya dibawa ke hadapan pengadilan. Mereka terikat untuk menegakkan aturan yang sudah ada.”155 Namun, selalu ada risiko bahwa peraturan yang ada, yang dirancang untuk model bisnis “lebih tua”, tidak cocok apabila diterapkan untuk perusahaan newcumbent dan tidak cukup mengatasi situasi pasar saat ini.156 Dalam tabel berikut ini terlihat contoh regulasi yang terkait dengan Disruptive Innovation di berbagai negara:157

154Ibid 155Ibid 156Ibid 157Ibid

188 Negara Kebijakan Amerika Belum ada regulasi khusus mengenai Disruptive Serikat Innovation; Federal Trade Commision menganjurkan bahwa persaingan harus dibatasi hanya jika diperlukan untuk mencapai manfaat publik yang sah dan mengimbangi, seperti melindungi konsumen dari bahaya; FTC, melalui advokasinya, mendorong regulator untuk mempertimbangkan nilai-nilai persaingan dan untuk menentukan apakah regulasi yang diusulkan dapat menghambat persaingan yang tidak perlu. Untuk penanganan kasus Uber, FTC menetapkan standar keamanan dan UBER harus membayar biaya lisensi tahunan, sama seperti Taksi Konvensional Australia Belum ada regulasi khusus mengenai Disruptive Innovation; Australian Competition and Consumer Commission (ACCC) mendukung bahwa setiap peraturan yang dapat mendistorsi atau menghambat persaingan, atau membatasi layanan baru dan / atau pelaku usaha baru, harus dihindari. Dalam penanganan kasus Uber, Uber dapat beroperasi di beberapa wilayah, salah satunya Queensland

189 Malaysia Belum terdapat regulasi khusus mengenai Disruptive Innovation; Malaysia Competition Commission (MyCC) melakukan advokasi dengan regulator dalam menghadapi kasus terkait inovasi baru yang mengganggu pasar. Kasus yang pernah terjadi adalah advokasi dalam penyelesaian kasus asuransi mahasiswa asing oleh Education Malaysia Global Services (EMGS), dalam kasus ini pemerintah Malaysia tidak melarang EMGS beroperasi, akan tetapi MyCC dan pemerintah melakukan advokasi agar para mahasiswa dijamin kebebasannya dalam memilih asuransi wajib. Singapura Belum ada regulasi khusus mengenai Disruptive Innovation; Competition Commission of Singapore (CCS) berpendapat bahwa Disruptive Innovation merupa- kan tantangan untuk berinovasi bagi pelaku usaha incumbent, dalam kasus Uber, Land Transport Authority (LTA) mengadakan review peraturan dan bersama-sama dengan CCS melakukan kajian dampak Uber terhadap persaingan di Singapura, hasilnya, CCS memastikan bahwa setiap peraturan memungkinkan inovasi yang mengganggu untuk tetap dapat bersaing di pasar Singapura

Tabel 2. Pengaturan mengenai Disruptive Innovation di berberapa negara

Pertanyaan berikutnya adalah, perlukah Disruptive Innovation diatur secara khusus? Terdapat dua pendapat yang saling bertentangan, sebagian pihak menganggap Disruptive Innovation perlu diatur

190 secara khusus, sedangkan beberapa pihak lain menyatakan bahwa Disruptive Innovation tidak perlu diatur secara khusus. Government Advocacy and Disruptive Innovations, Special Project Report International Competition Network Annual Conference, merangkum beberapa alasan perlunya pengaturan khusus mengenai Disruptive Innovation, yaitu sebagai berikut:158

1) Disruptive Innovation perlu diatur untuk mengatasi masalah publik, misalkan keamanan publik, terkait kewajiban dan hak- hak pekerja. Jika kita runut kembali pada industri transportasi online, perusahaan taksi incumbent khawatir apabila terdapat ketidakpatuhan terhadap hukum dan standar industri yang ada, asuransi dan kompensasi pekerja yang tidak memadai, kurangnya pengaturan hubungan industrial dan pengaturan tentang harga. Contoh kasusnya adalah dimana Uber telah dituduh oleh pengacara distrik San Francisco dan Los Angeles memberikan jaminan palsu kepada publik bahwa pengemudinya aman, hal tersebut terungkap saat sistem pemeriksaan latar belakang pengemudi, gagal menyaring pelaku kejahatan seksual, pencuri, penculik, dan terpidana pembunuh di California. Kasus kedua adalah kasus , dimana AirBnB menghadapi tantangan dalam menjaga privasi dan memastikan keselamatan konsumen di Amerika Serikat. Airbnb dilaporkan digugat oleh konsumennya, dimana konsumen AirBnB yang menyewa apartemen di Irvine, California menemukan bahwa pemilik/ mitra AirBnB telah menempatkan kamera video tersembunyi di ruang tamu.

158Ibid

191 Menurut laporan tersebut, konsumen berpendapat bahwa AirBnB tidak melakukan pemeriksaan latar belakang pada mitranya.

2) Disruptive inovation perlu diatur secara khusus demi keadilan. Perusahaan newcumbent mungkin tidak bermain di dalam pasar yang sama akan tetapi tetap dapat menimbulkan masalah keadilan, karena newcumbent bersaing dengan para incumbent tanpa diminta mematuhi standar dan aturan yang sama, atau bahkan standar dan aturan apa pun sama sekali. Sebagai contoh, perusahaan taksi incumbent di Singapura (yang me- miliki aplikasi pemesanan taksi masing-masing) merasa bahwa aplikasi pemesanan taksi pihak ketiga yang disediakan oleh perusahaan taksi online di Singapura seharusnya juga me- menuhi persyaratan layanan yang dikenakan pada perusahaan taksi incumbent, seperti standar minimum tingkat keberhasilan yaitu 92% dari total pemesanan.

3) Perusahaan newcumbent juga menginginkan regulasi yang jelas. Mungkin yang mengejutkan bagi beberapa orang adalah bahwa newcumbent itu sendiri ingin memiliki aturan yang jelas tentang apa yang dapat dan tidak dapat mereka lakukan. Bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para kritikus, ternyata tidak semua newcumbent senang bersembunyi di balik ambiguitas hukum. Sebaliknya, newcumbent justru meng- inginkan seperangkat aturan yang jelas, relevan dan tidak memberatkan untuk mengesahkan keberadaan mereka dan mendefinisikan identitas mereka. Dua contoh dari Singapura, Uber dan mendukung langkah Singapore Land Transport

192 Authority (Otoritas Transportasi Darat Singapura) untuk memperkenalkan kerangka pengaturan dasar bagi industri berplatform ridesharing. Di sektor keuangan, perusahaan pembiayaan berbasis peer-to-peer juga datang bersama- sama untuk meminta Monetary Authority of Singapore (Otoritas Moneter Singapura) untuk kerangka pengaturan yang jelas untuk membantu industri tumbuh, yang pada gilirannya akan mendukung perusahaan rintisan dan usaha kecil dan menengah dengan akses yang lebih luas ke pendanaan. Perusahaan-perusahaan newcumbent ini berpendapat bahwa peraturan yang jelas dan kepatuhan mereka terhadap peraturan tersebut sangat penting karena membantu meningkatkan kepercayaan investor dan menghindari kesalahan pengelolaan platform yang dapat mengancam reputasi dan kredibilitas perusahaan.159

Pendapat yang kedua adalah pendapat bahwa Disruptive Innovation tidak perlu diatur secara khusus, hal ini berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:160

1) Peraturan yang dikenakan oleh pemerintah terlalu berbiaya tinggi, lambat dan kaku untuk inovasi yang mengganggu. Di sisi lain, beberapa orang percaya bahwa pertumbuh- an yang cepat dari Disruptive Innovation ini mengurangi kebutuhan untuk banyak regulasi, karena Disruptive Innovation memberikan produk dan layanan yang lebih baik dalam

159The Business Times, Singapore crowdlending platforms call for clear regulations, 31 August 2015 dalam Government Advocacy and Disruptive Innovations, Special Project Report International Competition Network Annual Conference, Singapore 2016, hlm 14 160Ibid

193 melayani kebutuhan konsumen. Self regulation bagi perusahaan newcumbent (bisa berbentuk penilaian pengguna (user rating) dan tinjauan secara online (online review) pada kualitas produk / layanan) dapat menjadi cara yang lebih efektif untuk mengatasi masalah yang muncul dalam banyak inovasi berbasis platform digital daripada mengeluarkan undang-undang baru tentang kualitas produk / layanan. Menurut ekonom pemenang Hadiah Nobel Elinor Ostrom, intervensi pemerintah mungkin akan menghambat dan menghambat kemajuan, daripada melindungi individu. Dengan demikian, posisi pemerintah sebagai regulator seharusnya adalah untuk memungkinkan institusi-institusi yang bersifat bottom-up, organik, dan mengatur diri sendiri untuk berkembang. Hal tersebut dikarenakan tata kelola bottom-up cenderung lebih dinamis, lincah, fleksibel, dan berbiaya rendah karena menghasilkan layanan yang andal dan aman dengan cara yang paling efisien merupakan kepentingan utama newcumbent. Hal ini dapat dilihat pada bisnis yang berplatform sharing, bisnis ini sangat bergantung pada ulasan pengguna untuk mempromosikan layanan mereka, dimana ulasan negatif akan secara drastis memengaruhi popularitas mereka. Untuk menghindari situasi seperti itu, mereka harus mengembangkan dan menerapkan aturan yang paling dapat memenuhi kebutuhan pelanggan mereka.

2) Peraturan tidak selalu bertindak untuk memaksimalkan ke- sejahteraan sosial. Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa peraturan tidak selalu bertindak untuk memaksimalkan

194 kesejahteraan sosial tetapi lebih mempromosikan kepentingan pribadi. Regulasi dapat menjadi rentan untuk diperkenalkan dan diimplementasikan karena lebih menonjolkan kepenting- an pribadi daripada kepentingan umum. Incumbent di pasar sering menyambut peraturan baru, bahkan peraturan baru yang berbiaya tinggi, karena peraturan tersebut memberikan hambatan masuk untuk pesaing baru dan berkembangnya bisnis baru.

Hasil riset Singapore Special Project Report International Competition Network Annual Conference juga memaparkan bahwa sekitar sepertiga dari competition authority berbagai negara yang menjadi responden menyatakan bahwa mereka harus menghadapi lobi yang kuat oleh incumbent. Hal ini menjadi tantangan tersendiri ketika competition authority suatu negara melakukan advokasi untuk mempertimbangkan dampak persaingan dalam peraturan yang terkait dengan (tetapi tidak terbatas) dengan inovasi yang mengganggu. Sebagai contoh, masuknya bisnis taksi online di Italia telah mempengaruhi nilai dari lisensi taksi konvensional. Di Italia, pembatasan jumlah lisensi taksi konvensional telah mewakili adanya entry barrier bagi newcumbent yang tertarik untuk memasuki pasar industri taksi. Jelas bahwa perusahaan taksi incumbent memiliki kepentingan yang kuat untuk melobi pemerintah selaku regulator agar mengeluarkan peraturan baru yang menghalangi masuknya inovasi yang mengganggu. Kasus tersebut diatas memperlihatkan bahwa competition authority tidak bebas dari upaya lobi para pelaku usaha.161

161Ibid

195 Mengenai benar atau salahnya Disruptive Innovation ditinjau dari perspektif hukum persaingan usaha, dapat kita tinjau dengan pernyataan berikut ini, dimana perbuatan dikatakan baik atau buruk, benar atau salah berdasarkan norma sebagai ukuran.162 Sumaryono163 mengklasifikasikan moralitas menjadi dua golongan, yaitu:

1) Moralitas objektif, adalah moralitas yang terlihat pada per- buatan sebagaimana adanya, terlepas dari bentuk modifikasi kehendak bebas pelakunya. Moralitas ini dinyatakan dari semua kondisi subjektif khusus pelakunya. Moralitas objektif sebagai norma berhubungan dengan semua perbuatan yang hakekatnya baik atau jahat, benar atau salah, misalnya menolong sesama manusia adalah perbuatan baik, dan mencuri, memperkosa, membunuh adalah perbuatan jahat. Tetapi pada situasi khusus, mencuri atau membunuh adalah perbuatan yang dapat dibenarkan jika untuk mempertahankan hidup atau membela diri. Jadi moralitasnya terletak pada upaya untuk mempertahankan hidup atau membela diri (hak utnuk hidup adalah hak asasi).

2) Moralitas subjektif, adalah moralitas yang melihat perbuatan dipengaruhi oleh pengetahuan dan perhatian pelakunya, latar belakang, stabilitas emosional, dan perlakuan personal lainnya. Moralitas ini mempertanyakan apakah perbuatan itu sesuai atau tidak dengan suara hati nurani pelakunya. Moralitas

162https://wiramartha.wordpress.com/moralitas-sebagai-norma/ 163E. Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum, Norma Bagi Penegak Hukum,Yogyakarta: Kanisius.

196 subjektif sebagai norma berhubungan dengan semua per- buatan yang diwarnai nait pelakunya, niat baik atau niat buruk. Dalam musibah kebakaran misalnya, banyak orang membantu menyelamatkan harta benda korban, ini adalah niat baik. Tetapi jika tujuan akhirnya adalah mencuri harta benda karena tak ada yang melihat, maka perbuatan tersebut adalah jahat. Jadi, moralitasnya terletak pada niat pelaku. Moralitas dapat juga instrinsik atau ekstrinsik. Moralitas instrinsik menentukan perbuatan itu benar atau salah ber- dasarkan hakekatnya, terlepas dari pengaruh hukum positif. Artinya, penentuan benar atau salah perbuatan tidak tergantung pada perintah atau larangan hukum positif, contohnya gotong royong, walaupun Undang undang tidak mengatur perbuatan-perbuatan tersebut secara instrinsik, namun per- buatan tersebut menurut hakekatnya adalah baik dan benar. Moralitas ekstrinsik menentukan perbuatan itu benar atau salah sesuai dengan sifatnya sebagai perintah atau larangan dalam bentuk hukum positif, misalnya perbuatan pencurian biasa melanggar Pasal 362 KUHP.164

Dari pernyataan diatas, maka jika ditinjau dari sisi norma, Disruptive Innovation tidak melanggar Hukum Persaingan Usaha, hal ini disebabkan karena: 1) Tumbuhnya inovasi sesuai dengan prinsip no entry barrier dalam Hukum Persaingan Usaha; dan 2) Tumbuhnya inovasi baru memberikan pilihan yang lebih variatif bagi konsumen.

164https://wiramartha.wordpress.com/moralitas-sebagai-norma/

197 Disruptive Innovation menjadi salah, apabila produk dan atau jasa yang dihasilkan tersebut melanggar ketentuan mengenai kegiatan yang dilarang, perjanjian yang dilarang, dan penyalah- gunaan posisi dominan sebagaimana diatur dalam Undang Undang Anti Monopoli, misalkan apabila pelaku usaha dihasilkan terbukti melakukan predatory pricing, distribusi wilayah, melakukan persekongkolan dengan pelaku usaha lain atau menetapkan harga secara bersama-sama dengan pelaku usaha lain Dari sisi hukum persaingan usaha, sebuah inovasi produk baik barang maupun jasa menjadi suatu perbuatan yang dilarang jika mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hukum persaingan melarang 3 hal yaitu : (a) Perjanjian yang dilarang; (b) Kegiatan yang dilarang; dan (c) Penyalahgunaan posisi dominan. Selain ketiga hal tersebut, persaingan usaha tidak boleh melanggar prinsip prinsip persaingan usaha yang sehat. Hukum persaingan usaha tidak sehat terdiri atas kesalahan yang mengakibatkan gangguan/ kerusakan pada kegiatan usaha melalui sebuah tindakan bisnis yang tidak jujur dan tidak sah. Persaingan usaha tidak sehat dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu:165 a. unfair competition persaingan usaha tidak sehat: istilah ini biasanya digunakan untuk menunjuk pada kesalahan yang sengaja dilakukan untuk membingungkan konsumen mengenai sumber produk (juga dikenal sebagai praktik perdagangan yang tidak jujur)

165https://www.law.cornell.edu/wex/unfair_competition

198 b. unfair trade practices: praktik perdagangan yang tidak adil dan merupakan semua bentuk lain dari persaingan usaha tidak sehat

Dalam UU Anti Monopoli di Indonesia prinsip persaingan tidak sehat adalah: (a) persaingan tidak boleh dilakukan dengan cara tidak jujur yaitu dengan menipu atau memberikan informasi yang salah; (b) atau melawan hukum yaitu suatu perbuatan yang merugikan sesuai pasal 1365 KUH Perdata166; atau (c) menghambat persaingan usaha dalah upaya untuk menghalang halangi masuk- nya pesaing kedalam pasar. Bisnis dengan cara tidak jujur pada prinsipnya berkaitan dengan hubungan antara produsen dan konsumen, karena me- langgar Pasal 4 huruf c Undang Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 yaitu hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Dalam praktek persaingan usaha, persaingan tidak jujur misalnya adalah membuat perjanjian distribusi namum sebenar- nya perjanjian keagenan. Perjanjian distribusi yang isinya memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana dalam perjanjian keagenan terdapat dalam kasus PT.SG (Semen Gresik) yang diduga telah menerapkan pola pemasaransemen yang di sebut vertical marketing system (VMS).167 Contoh persaingan dilakukan dengan tidak

166Dalam pasal 1365 BW tersebut memuat ketentuan sebagai berikut : “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian” 167Yati Nurhayati, Konstitusionalitas Perjanjian Distribusi dalam Persaingan Usaha Sehat, Jurnal Konstitusi, Vol.8, No.6, 2011

199 jujur banyak diputuskan oleh KPPU dalam perkara Tender yang kolutif. Dalam Putusan Perkara No 03/KPPU-L/2016 mengenai Persekongkolan Tender Jack-Up Drilling Rig Services antara Husky- Cnooc Madura Limited dengan PT Cosl Indo.168 Selanjutnya, perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang yang memenuhi syarat 4 unsur yaitu: (1) Adanya suatu pelanggaran hukum; (2) Adanya kesalahan; (3) Terjadinya kerugian; (4) Adanya hubungan kausalitas.169 Dalam konteks hukum persaingan usaha, dikatakan me- lawan perbuatan hukum jika: (1) melakukan perbuatan yang dilarang Undang Undang Anti Monopoli; (2) Perbuatan tersebut mengakibatkan monopoli dan persainagan usaha tidak sehat; (3) Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha laiinya; (4) perbuatan tersebut dapat dibuktikan secara langsung merugikan pihak lain. Prinsip pelanggarang perbuatan melawan hukum banyak mewarnai kasus kasus persaingan usaha yang sedang dan diputuskan oleh KPPU. Misalnya Putusan KPPU Nomor 09/ KPPU-L/2009 mengenai akusisi PT CI terhadap PT AR yang telah terbukti dan meyakinkan melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 17 ayat (1) yang memuat ketentuan mengenai

168Putusan Perkara No 03/KPPU-L/2016 mengenai Persekongkolan Tender Jack-Up Drilling Rig Services antara Husky-Cnooc Madura Limited dengan PT Cosl Indo, Menyatakan bahwa Husky – CNOOC Madura Limited dan PT COSL INDO terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 169Moegni Djojodirjo, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Tanggung Gugat (aanspraakelijkheid) untuk Kerugian, yang Disebabkan karena Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.22

200 larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan penguasaan pasar, dan Pasal 25 ayat (1) yang memuat ketentuan terkait dengan posisi dominan.170 Sedangkan Prinsip menghambat persaingan adalah berbagai upaya yang dilakukan oleh pelaku usaha maupun pemerintah untuk mengatur masuknya pesaing dengan perjanjian atapun regulasi yang menghambat. Misalnya kasus Aqua Vs Le Minerale, dimana Tirta Investama/TIV dan Balina Agung Perkasa/BAP).171 Dalam putusan Nomor 22/KPPU-I/2016, KPPU memutus bahwa kedua Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 Ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b UU anti Monopoli, karena menurut KPPU tindakan tersebut seakan menghalangi pelaku usaha lain di dunia usaha.172 Tetapi bila dikaitkan dengan sebuah produk dan layanan baru masuk kepasar dan tidak melakukan ketiga hal yang dilarang serta tidak melanggar prinsip persaingan tidak sehat, maka Disruptive Innovation tidaklah melanggar hukum persaingan. Namun, jika dikaji secara lebih luas, ketika inovasi tersebut menghadirkan lompatan atau kekacauan, sehingga terjadi ke- tidaktertiban sosial. Maka perlu untuk justifikasi benar atau salah, atau seharusnya menurut kaedah hukum. Kaedah hukum

170Mukti Fajar ND , Problematika Pengukuran Pangsa Pasar : Kajian Putusan Nomor 502 K/PDT.SUS/2010, Jurnal Yudisial Vol.10, No.3, 2017, hlm.295–310, http://jurnal. komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/view/287 171“Aqua Vs Le Minerale, KPPU Nyatakan Aqua Bersalah”, https://ekonomi.kompas.com/ read/2017/12/19/162107726/aqua-vs-le-minerale-kppu-nyatakan-aqua-bersalah 172Putusan KPPU Perkara Nomor 22/KPPU-I/2016, tentang dugaan pelanggaran Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Produk Air Minum dalam Kemasan Air Mineral

201 berisi kenyataan normatif (das sollen) : “barangsiapa bersalah harus dihukum”.173 Selanjutnya adalah menentukan suatu perbuatan “bersalah” jika melanggar norma hukum. Norma mengajarkan “apa yang seharusnya”.174 Norma adalah aturan, ketentuan, tatanan, atau kaidah yang dipakai sebagai panduan, pengendali tingkahlaku (pemerintah dan masyarakat), atau sebagai tolok ukur untuk menilai atau memperbandingkan sesuatu.175 Menurut Kelsen norma hukum akan menentukan mana yang legal dan illegal 176 Norma diwujudkan dalam bentuk berbagai peraturan perundang undangan, perjanjian, ataupun putusan hakim (yuris- prudensi), dengan maksud menciptakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.177 Keseluruhan ini diwujudkan dalam bentuk kondisi ketertiban masyarakat. 178 Artinya sebuah peristiwa di- anggap bersalah oleh hukum ketika mengakibatkan ketidaktertib- an sosial. Untuk menentukan Disruptive Innovation dalam prespektif hukum dilakukan dengan beberapa tahap diskusi berikut ini.

173Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hlm.16. 174Ibid, hal 13 175Sri Hariningsih SH., MH, Perumusan Norma Dalam Peraturan Perundang-Undangan diunduh dari http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/1944_Perumus%20 Norma%20dalam%20Peraturan%20Perundang-undangan.pdf, diakses pada 11 November 2018 jam 09.00 176Hans Kelsen, , 2006, Teori Hukum Murni: Dasar Dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung, Nusamedia, hlm. 4. 177Gustav Radbrug dalam Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Gunung Agung, hlm. 83-84. 178Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty, hlm.11

202 Pertama, menjawab pertanyaan apakah Disruptive Innovation adalah sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum? Hal ini untuk menentukan apakah ia patut diukur dengan norma dan kaedah hukum atau tidak. Menurut Satjipto Rahadjo peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang meng- gerakkan suatu peraturan hukum tertentu, sehingga ketentuan- ketentuan yang tercantum di dalamnya lalu diwujudkan.179 Sedangkan Perbuatan hukum adalah setiap perbuataan manusia yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan hak dan kewajiban.180 Jika peristiwa hukum didefinisikan seperti diatas, maka sebuah inovasi yang diterapkan pada masyarakat adalah peristiwa hukum, karena melahirkan berbagai hak, kewajiban serta tanggung jawab yang harus diatur agar tidak terjadi konflik kepentingan. Kedua, selanjutnya meletakkan Disruptive Innovation pada ukuran norma, apa yang seharusnya, maka inovasi adalah sesuatu yang seharusnya terjadi. Masyarakat tidak mungkin hidup dalam keadaan yang tetap terus menerus, secara kodrati hidup dan kehidupan manusia dalam masyarakat harus berubah dan berkembang. Sehingga inovasi menjadi sesuatu yang benar dari ukuran norma. Persoalan inovasi itu sebagai sebuah perubahan yang berkelanjutan (sustaining) ataupun mengakibatkan ganggu- an (disruption) pada pelaku usaha yang mapan itu hanya soal persaingan usaha bukan persoalan norma. Bahkan Kenneth Arrow

179Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, Hlm.35 180Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 292 dalam Irvan Fauzan, Pengertian Peristiwa Perbuatan Akibat Hukum dan Hak dan Kewajiban, ttp:// kingartikel.blogspot.com/2015/09/pengertian-peristiwa-perbuatan-akibat.html

203 menegaskan bahwa persaingan yang mendorong terjadinya inovasi.181 Sehingga inovasi justru harus diberi ruang oleh pemerintah melalui regulasi dan bukannya dibatasi atau dilarang. 182 Florian Baumann dan Klaus Heine menyatakan bahwa per- saingan memaksa pelaku usaha untuk memperkenalkan inovasi terlalu dini sehingga menimbulkan resiko terhadap konsumen.183 Ketiga, jika Disruptive Innovation tidak bisa disalahkan secara normatif, bagaimana dengan akibatnya terhadap ketertiban sosial? Disruptive Innovation pada bentuk lahiriahnya telah mencipta- kan kekacauan pada sistem pasar, sehingga dengan pandangan konvensional ini, dapat dijustifikasi sebagai “perbuatan yang salah” menurut hukum karena telah “mengganggu ketertiban” pasar. Analisis diatas perlu dikritisi dan direkonstruksi, karena Disruptive Innovation lahir dari ide yang berbeda dengan logika Sustaining Innovation, walaupun tidak bisa dikatakan sebagian lawan atau kontradiksi. Secara konseptual ide tersebut lahir dengan cara berfikir yang sama sekali berbeda, sekalipun tidak bertentangan. Sehingga diperlukan logika hukum yang inovatif pula dalam memberikan standarisasi salah benar suatu penemuan. Sebagai contoh, model bisnis AirBnB. Ia bukan bisnis perhotelan,184 namun hanya mengatur orang yang membutuhkan

181Kenneth Arrow dalam Hsin Fang Wei, Does Disruptive Innovation “Disrupt” Competition Law Enforcement? The Review and Reflect, Paper on Taiwan International Conference Competition Policy in Global and Digital Economy, June 28-29,2016 182Wawancara dengan Ir Nawir Messi Mantan Ketua KPPU 183Florian Baumann and Klaus Heine, Innovation, Tort Law, and Competition, Düsseldorf Institute for Competition Economics (DICE), 2012, hlm 5 184Peraturan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor PM.53/ HM.001/MPEK/2013 Tentang Standar Usaha Hotel pasal 1 angak 4 menyebutkan : Usaha

204 tumpangan kamar tidur atau . Sehingga tidak diperlukan ketentuan hukum yang berlaku dalam bisnis perhotelan. Tetapi juga tidak bisa disalahkan secara hukum bagi orang yang mem- berikan tempat beristirahat. Begitu pula dengan bisnis electronic Mall, seperti Bukalapak, Lazada dan lainnya. Bisnis tersebut memberikan kepada setiap pelaku usaha untuk melakukan perdagangan dengan konsumen secara on line. Namun tidak bisa diterapkan hukum yang sama dengan pusat perbelanjaan konvensioal, walaupun melakukan perbuatan hukum yang sama karena tidak ada bangunan yang disediakan. 185 Kedua contoh ter- sebut bisa bisa menunjukan bahwa ada perbedaan prinsip cara berbisnis antara model konvensional dengan model yang Disruptive Innovation. Sehingga tidak serta merta dapat diperlakukan hukum yang sama. Sehingga bisa dikatakan bahwa Disruptive Innovation suatu produk yang kemudian “mengacaukan” persaingan antara pelaku usaha baru dan lama tidak menyalahi prinsip-prinsip dan hukum persaingan usaha. Namun perlu persyaratan hukum lainnya yang haruslah dipenuhi sesuai ketentuan hukum dalam bidang usahanya. Seperti yang disampaikan Alexandre de Streel and Pierre Larouche, Bahwa penegakan hukum persaingan, harus menyesuai- kan metode dalam menangani dan melindungi proses inovasi,

Hotel adalah usaha penyediaan akomodasi berupa kamar didalam suatu bangunan, yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan dan/ atau fasilitas lainnya secara harian dengan tujuan memperoleh keuntungan 185Permendag No 70/M-DAG/PER/12/2013 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern pada Pasal 1 angak 4 disebutkan Pusat Perbelajaan adalah suatu area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertical mapun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan perdagangan barang.

205 dan bahwa penyesuaian tersebut dapat dilakukan dengan hukum yang ada. Regulasi tersebut harus menyesuaikan dengan literatur tentang inovasi yaitu menyerukan sebuah perubahan penekanan dari efisiensi statis dan evolusi harga ke efisiensi dinamis dan insentif inovasi. Regulasi tersebut juga menyerukan pergeseran penekanan dari definisi pasar terhadap perilaku pasar dan teori pelanggaran.186

E. Status Hukum Industri Transportasi Berbasis Aplikasi Dalam Hukum Persaingan Usaha Ketika tekanan dari pelaku usaha baru semakin dirasakan oleh incumbent, maka incumbent akan meminta “perlindungan” pada pemerintah. Sementara disisi lain, pemerintah masih belum memahami sepenuhnya situasi yang tengah terjadi dan terus berkembang pesat tersebut.187 Secara konvensional, harga merupakan parameter utama untuk kompetisi. Namun, dalam sektor dinamis seperti ranah online, persaingan terjadi berdasarkan tingkat inovasi. Karena pengguna mendapatkan akses gratis ke sebagian besar layanan online termasuk mesin pencari dan sosial jaringan, mereka memilih penyedia mereka berdasarkan aspek selain harga, seperti kualitas dan inovasi.188

186Alexandre de Streel and Pierre Larouche ,2015, Disrupltive Innovation and Competition Policy Enforcement, Global Forum on Competition 2015. 187Paparan Drs Munrokhim Misanam, 2017, MA.Ec, Ph.D “Regulating Disruptive Innovatin:Plausibility and Fairness”, disampaikan dalam seminar nasional Disruptive Innovation: Kajian Ekonomi dan Hukum. 188Inge Graef, Sih Yuliana Wahyuningtyas dan Peggy Valcke, How Google and others upset competition analysis: Disruptive Innovation and European competition law, 25th European Regional Conference of the International Telecommunications Society (ITS),

206 Idealnya, dalam dunia usaha, terjadi suatu pasar persaingan sempurna (perfect competition), akan tetapi hal tersebut saat ini hanyalah sebuah hal yang masih sebatas wacana dan tidak bisa terjadi, karena dalam dunia usaha, setiap pelaku usaha berusaha mempersempit ruang lingkup persaingannya, salah satunya dengan berinovasi melalui bentuk diferensiasi produk.189 Disruptive Innovation atau inovasi yang mengganggu, merupakan bentuk ekstrim dari differensiasi produk yang dilakukan oleh pelaku usaha.190 Prajogo & Sohal (2003) dalam studinya, menunjukkan adanya hubungan kausal antara inovasi dan kualitas produk. Inovasi perusahaan menentukan kualitas produk. Inovasi perusahaan menentukan kemampuan perusahaan dalam menciptakan produk sesuai spesifikasi yang ditetapkan pelanggan. Semakin tinggi inovasi perusahaan, semakin tinggi pula kesesuaian produk yang dihasilkan perusahaan di banding spesifikasi yang ditetapkan pelanggan.191 Dalam industri transportasi di Indonesia, telah lahir fenomena transportasi online yang saat ini dikuasai oleh 2 (dua) perusahaan yaitu GO-JEK dan Grab. Sejak awal, GO-JEK bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menggunakan teknologi sebagai sarana, GO-JEK telah menciptakan lapangan kerja, meningkatkan penghidupan banyak orang dan membantu

Brussels, Belgium, 22-25 June 2014 189M. Nawir Messi, Disruptive Innovation and competition law, disampaikan dalam Seminar nasional Dsruptive Innovation: kajian Ekonomi dan Hukum, Universitas islam Indonesia, 27 Juli 2017 190Ibid 191Sri Hartini, Op.cit. hlm 84

207 para pengusaha mikro untuk bergabung sebagai mitra GO-JEK.192 Masuknya bisnis transportasi berbasis aplikasi ini kedalam industri transportasi disebabkan masih adanya kebutuhan transportasi umum di Indonesia, terutama di Jakarta. Di Jakarta rasio taksi untuk orang masih sangat rendah pada 1,4 taksi per 1000 orang, terutama dibandingkan dengan kota-kota lain di Asia. Ini menyiratkan bahwa ada ruang untuk armada tambahan di kota.193

Gambar 9. Grafik Rasio ketersediaan taksi di beberapa kota (Sumber: Euromonitor (2012) in Credit Suisse (2015))

Pertumbuhan transportasi online berbasis aplikasi, tentunya didukung oleh banyak faktor, selain kemudahan akses, alasan kepraktisan, tentu saja juga karena biayanya yang lebih murah. Dalam grafik dibawah ini, terlihat perbandingan tarif transportasi berbasis aplikasi dibandingkan dengan transportasi konvensional.

192https://blog.gojekengineering.com/200-engineers-261-million-people-go-jeks-impact- in-indonesia-b8f87934e6c1 193https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-rise-of-the-sharing-economy-in- indonesia/

208 Gambar 10. Perbandingan tarif transportasi konvensional dan transportasi online di Indonesia

Di Jakarta saja, telah terdapat lebih dari 900.000 pengemudi GO- JEK. Sebelum menjadi pengemudi GO-JEK, seorang pengemudi akan mendapatkan rata-rata 3,3 juta rupiah perbulan. Akan tetapi GO-JEK menyediakan platform dan menghubungkan penumpang dengan pengemudi, maka penghasilan bulanan driver meningkat menjadi 4,2 juta.194 Pada tahun 2016, GO-JEK telah memiliki lebih dari 250,000 driver roda dua dan roda empat, 3,000 penyedia jasa, dan 35,000 merchant Go-Food.195

194Ibid 195https://digitalentrepreneur.id/belajar-dari-go-jek/ diakses pada 11 November 2018 jam 09.00

209 Gambar 11. Grafik pertumbuhan jumlah pengemudi GO-JEK

Belum lama ini, GO-JEK telah mendapat suntikan dana $550 juta atau setara Rp7 triliun (kurs Rp13.000 per dolar AS) dari perusahaan investasi asal Amerika Serikat KKR & Co. dan Warbug Pincus. Suntikan dana tersebut meningkatkan nilai perusahaan menjadi $1,3 miliar, atau setara 17 triliun rupiah.196 Valuasi perusahaan bentukan ini kini mendekati perusahaan sejenis yang sudah beroperasi di Singapura, Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Indonesia yakni Grab Taxi Holdings Pte Ltd. Seperti dikabarkan Wall Street Journal, nilai Grab kini mencapai $1,6 miliar atau setara 20 triliun rupiah.197 Berdasarkan kapitalisasi pasar (market cap) di bursa saham, Garuda yang hingga Juni 2016 tercatat mengoperasikan 197 pesawat dan menguasai 40,5 persen pasar penerbangan domestik hanya dihargai Rp12,3 triliun. Sementara Blue Bird yang memiliki 26.719

196http://www.bareksa.com/id/text/2016/08/12/masuk-modal-besar-gojek-kini-lebih- bernilai-daripada-garuda-indonesia/13779/analysis, diakses pada 11 November 2018 jam 09.00 197Ibid

210 armada taksi reguler, 1.223 taksi eksekutif, 4.918 limosin dan mobil sewaan serta 567 unit bus, hanya memiliki nilai 9,8 triliun rupiah.

Sumber: TechCrunch, Wall Street Journal, Bareksa Gambar 12. Grafik Perbandingan Valuasi Perusahaan Transportasi Online & Konvensional

Maraknya transportasi berbasis aplikasi berimbas terhadap kinerja keuangan perusahaan taksi konvensional dan efeknya muncul secara kasat mata sejak kuartal pertama 2016. Per Maret 2016, rugi berjalan taxi Express mencapai Rp 9,8 miliar atau anjlok 148 persen dibandingkan kuartal yang sama tahun 2015 sebesar Rp 20,3 miliar. Sedangkan sepanjang tahun 2015, laba tahun berjalan taksi Express turun 72,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu laba Blue Bird pada kuartal pertama 2016, juga anjlok 61 persen year-on-year.198

198http://www.bareksa.com/id/text/2016/05/03/taxi-merugi-rp9-miliar-garagara- digerus-taksi-online/13226/analysis

211 Industri transportasi online dianggap sebagai salah satu Disruptive Innovation, Mereka hadir dengan menggunakan model platform bisnis baru yang sama sekali berbeda dengan bisnis angkutan konvensional. Menggunakan mobil dengan plat nomor biasa tanpa tanda tulisan taxi atau nomor telepon dan pengemudinya tanpa seragam perusahaan.199 Tetapi lawan tak terlihat ini menurunkan jumlah pelanggan taxi konvensional secara drastis, dan membuat gejolak sosial demonstrasi sopir taksi konvensional diberbagai negara.200 Dari bisnis angkutan (taxi konvensional) menjadi hantaran berbonceng (ride sharing). Konsep ride sharing adalah dimana pemilik kendaraan menjalin kemitraan dengan pengelola dan menggunakan kendaraan pribadi untuk menawarkan tumpangan dengan biaya tertentu. Pengelola tidak perlu berinvestasi kendaraan, operasional dan perizinan. Hal ini bertolak belakang dengan moda transportasi konvensional, dimana perusahaan harus membiayai seluruh biaya operasional, termasuk perijinan yang mahal. 201 Konsep ridesharing merupakan bagian dari konsep , yang antara lain terdiri dari berbagi kendaraan (misalnya, berbagi sepeda), perumahan (mis., AirBnB), real estate (mis., ruang kerja), dan properti (mis, tempat penyimpanan alat).202 Dilihat dari sisi konsumen, konsep ride sharing ini sangat menguntungkan,

199Rhenal Kasali, 2017, Menghadapi Lawan Lawan Tak Kelihatan Dalam Peradaban UBER, Jakarta: Gramedia, hlm. 5-6 200Ibid 201Schneider, Allison. 2015. Uber Takes The Passing Lane, Disruptive Competition and Taxi- Livery Service Regulations. Elements , hlm.14 -15 202Ngo, Victor. 2015. Transportation Network Companies And The Ridesourcing Industry, Review of Impacts and Emerging Regulatory Frameworks for Uber. Report for City of Vancouver. Hal 28

212 konsumen memperoleh harga yang sangat murah dan rute yang lebih pasti. Konsumen hanya cukup bertransaksi melalui aplikasi smartphone, dan moda transportasi online akan datang, konsumen juga diberikan sarana untuk mengungkapkan kepuasan dan ke- luhan secara online. Dari sisi keamanan, lokasi moda transportasi online dan sangat mudah dilacak melalui GPS.203 Saat ini tampak bahwa maraknya platform digital mengubah dunia bisnis dan menuntut pemerintah untuk dapat mengaturnya. 204 Hadirnya platform digital dalam moda transportasi online (taksi online/ ToL) ini menimbulkan dua masalah besar, yaitu: pertama: munculnya gugatan dan seringkali dalam bentuk protes kekerasan dari pengemudi dan pengelola Taksi Reguler (TR) karena pasar mereka diambil oleh Taksi online (ToL). Kedua: pemerintah di berbagai negara mencoba melakukan pengaturan dengan melarang dan membatasi ToL, hal ini berlawanan dengan prinsip pasar bebas, dimana pemerintah tidak boleh menutup masuknya pesaing baru ke dalam pasar. Sehingga muncul perlawanan balik dari pengemudi dan pengelola ToL yang merasa hak mereka dibatasi. Hingga saat ini, pemerintah kota New York dan berbagai tempat lain di Amerika Serikat dan seluruh dunia masih berjuang guna merombak pengaturan mengenai taksi, mengingat Uber dan taksi online lain telah mengubah pasar menjadi transportasi menjadi “point to point”, pemerintah Amerika Serikat bahkan belum berinovasi secara khusus untuk mengantisipasi munculnya

203Schneider, Allison. 2015. Uber Takes The Passing Lane, Disruptive Competition and Taxi- Livery Service Regulations. Elements , Hal 13 204Tucker, Eric. 2017. Uber and the Unmaking and Remaking of Taxi Capitalisms: Technology, Law and Resistance in Historical Perspective. Osgoode Hall Law School of York University.

213 Uber dan taksi online berbasis aplikasi yang telah mengubah bisnis taksi tersebut.205 Kasus serupa juga timbul di berbagai negara. Di Amerika, pengusaha taksi reguler meminta pemerintah untuk mem-perlakukan Uber sama dengan mengikuti aturan taksi reguler. Pengelola Taksi di Prancis meminta Uber mengurus perijinan sama seperti angkutan umum. Uber juga dianggap tidak memenuhi standar keamanan bagi penumpang dan sering menimbulkan kejahatan di Korea dan India. Pada 2014 terjadi demo pengemudi taksi reguler di Taipeh sehingga Uber menjadi Illegal di Taiwan. Asosiasi pengemudi taksi reguler di Inggris protes agar diperlakukan standar tarif terhadap Uber. Sedangkan di Jepang Uber justru kalah canggih dengan pelayanan taksi reguler, sehingga Uber akhirnya bermitra dengan perusahaan taksi reguler. Dalam menganalisa kedudukan hukum industri transportasi berbasis aplikasi, kita bisa merujuk pada aturan beberapa negara mengenai transportasi berbasis aplikasi sebagai berikut:206

Negara Kasus terkait tansportasi online Amerika Serikat Perusahaan taksi Medallion meminta pemerintah untuk memperlakukan Uber sama dengan taksi konvensional dan mewajibkan Uber mematuhi aturan transportasi yang berlaku

205Katrina M. Wyman. 2017. Taxi Regulation In The Age of Uber. Legislation and Public Policy Vol. 20. hlm. 4 206Dirangkum dari http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2014/09/140902iptek_uber_ jerman, dan https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150910115802-92-77859/ kecewa-ditolak-di-bandung-uber-protes/ diakses pada11 November 2018 jam 09.00

214 Perancis Terjadi kesenjangan karena Uber tidak diwajibkan untuk memiliki ijin operasional seperti taksi konvensional Inggris Uber tidak diminta mematuhi standar taksimeter Korea Selatan Belum ada pengaturan khusus, Uber di Korea Selatan memiliki masalah keamanan dan keselamatan Australia Uber hanya boleh beroperasi di beberapa negara bagian contohnya Queensland Kanada Belum ada pengaturan khusus sehingga banyak kasus terkait pelatihan sopir dan masalah keamanan kendaraan Belanda Uber dilarang beroperasi karena melanggar peraturan transportasi tentang sopir angkutan umum, bahkan beberapa sopir Uber tidak memiliki surat ijin mengemudi India Uber dilarang di Indoa, bukan karena masalah perijinan akan tetapi karena tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh sopir Uber Jepang Uber kalah bersaing dalam hal teknologi dengan industri transportasi konvensional, sehingga Uber terpaksa berkolaborasi dengan taksi konvensional Taiwan Pemerintah Taiwan menyatakan Uber illegal Indonesia Masih belum ada peraturan khusus, masih banyak demonstrasi menentang transportasi online Jerman Uber ditolak karena permasalahan pajak yang belum jelas

215 Malaysia Uber dan Grab dipertimbangkan mengganggu persaingan usaha

Tabel 3. Pengaturan mengenai transportasi online di berbagai negara

Di Indonesia sendiri, Uber juga ditolak di berbagai daerah, pihak Uber Technologies menyatakan bahwa penolakan taksi Online ini karena pemerintah mengutamakan untuk menjaga ‘zona nyaman’ kepentingan pihak tertentu.207 Selain Uber, pengelola taksi berbasis aplikasi online lainnya yaitu GoJek dan Grab juga ditolak di berbagai wilayah di Indonesia.208 Penolakan disebabkan karena perusahaan-perusahaan tersebut dianggap belum me- menuhi aturan yang berlaku di tingkat pusat maupun daerah, baik aturan mengenai perizinan, aturan mengenai uji kelayakan kendaraan, aturan mengenai SIM B Umum bagi pengemudi maupun aturan mengenai pembayaran pajak.209 Pemerintah Indonesia telah mengatur taksi online dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan No 26 Tahun 2017 tentang tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek, Permenhub ini kemudian diajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung (MA). MA melalui putusan Nomor 37 P/HUM/2017MA memutus pem- batalan 18 pasal karena dianggap menghambatnya masuknya pelaku

207https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150910115802-92-77859/kecewa- ditolak-di-bandung-uber-protes/, diakses pada 11 November 2018 jam 09.00 208https://www.jawapos.com/read/2016/01/22/16368/uber-grab-taxi-dan-gojek-ditolak- di-bali,https://www.merdeka.com/peristiwa/go-jek-ditolak-giliran-taksi-online-grab- datang-di-solo.html), diakses pada 11 November 2018 jam 09.00 209http://www.viva.co.id/berita/bisnis/811744-pemicu-taksi-online-ditolak-beroperasi- di-daerah, diakses pada 11 November 2018 jam 09.00

216 usaha dan melanggar hak-hak masyarakat dalam menjalankan pekerjaan.210 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberikan perhatian khusus untuk membantu pemerintah menyelesaikan sengkarut dalam kebijakan di industri jasa transportasi, khususnya terkait pengaturan taksi online dan taksi konvensional. Sedikitnya, ada tiga rekomendasi yang diberikan KPPU kepada pemerintah agar kebijakan yang dikeluarkan bisa mendorong penyelenggaraan industri jasa transportasi sesuai prinsip persaingan usaha yang sehat. Adapun tiga rekomendasi tersebut yakni:211 1) Pertama, KPPU meminta pemerintah menghapus kebijakan penetapan batas bawah tarif yang selama ini diberlakukan untuk taksi konvensional. Sebagai gantinya, wasit persaingan usaha ini menyarankan agar pemerintah mengatur penetapan batas atas tarif saja. Penetapan tarif batas bawah akan berdampak pada inefisiensi di industri jasa angkutan taksi secara keseluruhan dan bermuara pada mahalnya tarif bagi konsumen. Tarif batas bawah juga menghambat inovasi untuk meningkatkan efisiensi industri jasa transportasi. Lebih jauh batas bawah tarif dapat menjadi sumber inflasi. 2) Kedua, KPPU menyarankan pemerintah agar tidak mengatur kuota atau jumlah armada baik taksi konvensional maupun online yang beroperasi di suatu daerah. Dengan demikian, penentuan jumlah armada bagi pelaku usaha angkutan diserahkan kepada mekanisme pasar. Setiap pelaku usaha

210Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 37 P/HUM/2017 211http://www.kppu.go.id/id/blog/2017/03/kppu-berikan-tiga-rekomendasi-ke- pemerintah-terkait-kisruh-taksi-online-dan-konvensional/ 217 akan menyesuaikan jumlah armadanya sesuai kebutuhan konsumen. Pengaturan oleh pemerintah akan mengurangi persaingan dan pada akhirnya merugikan konsumen. Namun, pemerintah selaku regulator mesti mengawasi secara ketat pemegang lisensi jasa angkutan taksi. Pemerintah harus tegas dengan memberikan sanksi berupa pencabutan izin operasi alias mengeluarkan pelaku usaha dari pasar apabila melanggar regulasi. Sehingga, pengawasan yang super ketat ini akan menjaga kinerja operator taksi konvensional dan berbasis aplikasi online untuk memenuhi standar pelayanan minimal. Pemerintah juga harus menetapkan sebuah standar pelayanan minimal yang terperinci dan harus dipatuhi oleh seluruh pelaku usaha penyedia jasa taksi. Pemerintah harus bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. 3) Ketiga, pemerintah disarankan untuk menghapus kebijakan surat tanda nomor kendaraan (STNK) taksi online yang diharuskan atas nama badan hukum. Hal ini dikarenakan kewajiban STNK kendaraan taksi online atas nama badan hukum memiliki makna pengalihan kepemilikan dari per- seorangan. Pemerintah sebaiknya mengembangkan regulasi yang dapat mengakomodasi sistem taksi online dengan badan Hukum koperasi yang asetnya dimiliki oleh anggota. Sehingga, meskipun STNK tetap tercatat sebagai milik perseorangan akan tetapi dapat memenuhi seluruh kewajiban sebagai perusahaan jasa angkutan taksi dalam naungan badan hukum koperasi. Dengan demikian, pola pengaturan STNK ini bisa memberikan

218 ruang bagi masyarakat yang ingin berusaha dalam industri taksi online.

Rekomendasi tersebut memberikan ruang bagi industri transportasi berbasis aplikasi untuk tumbuh dan berkembang dalam dunia usaha, tugas pemerintah adalah dengan melaksana- kan pengawasan yang sangat ketat sehingga sesuai dengan regulasi yang pro persaingan usaha sehat. Artinya hukum tentang pengangkutan yang diterapkan pada taksi konvensional tidak bisa serta merta diterapkan pada peristiwa pengangkutan ride sharing. Karena pastilah ToL salah. Sebab tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku sebagai perusahaan pengangkutan. Walaupun kegiatannya adalah mengangkut orang dari suatu tempat ke tujuan dengan menerima pembayaran.212 Namun bisnis pengangkutan sangat berbeda dengan “usaha mengatur orang berboncengan”. Tidak ada norma didunia ini yang menyatakan bahwa berboncengan dengan kendaraan adalah sesuatu yang salah menurut hukum. Mungkin diperlukan peraturan tertentu yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha ToL demi menjamin keselamatan konsumen. Seperti pe- ngemudi yang terdaftar, memiliki SIM serta kendaraan yang dinyatakan aman. Pelanggaran hukum persaingan yang sering dituduhkan pada bisnis transportasi berbasis aplikasi adalah menerapkan harga

212Purwosutjipto (1984): Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan pengirim atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan diunduh dari http://folorensus.blogspot.co.id/2008/07/hukum-tentang-perjanjian-pengangkutan. html

219 yang lebih rendah (predatory pricing). Hal ini masih menjadi kajian dari KPPU apakah menyalahi pasal 7 UU Anti Monopoli, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.213 Adapun isu terbaru mengenai hukum transportasi berbasis aplikasi melakukan pelangaran hukum persaingan usaha adalah pasca Uber menjual aset, berikut operasional kegiatannya di Asia Tenggara kepada Grab pada akhir Maret 2018. Akuisisi tersebut berpotensi monopoli. Namun saat ini KPPU melihat hal tersebut merupakan akuisisi aset dan tanpa perpindahan kendali dari Uber ke Grab sehingga bukan merupa- kan penggabungan usaha, karena badan hukum Uber Indonesia tetap ada dan tidak bergabung dengan Grab Indonesia. KPPU menyimpulkan bahwa akuisisi diluar ketentuan pasal 28 dan 29 UU Anti Monopoli. Pertanyaan berikutnya yang sampai saat ini menjadi perdebatan, apa itu Go Jek? perusahaan teknologi aplikasi atau perusahaan transportasi? Bagaimana status pengemudi Go Jek? Karyawan Go Jek kah atau individu yang terikat kontrak dengan Go Jek? Maka jawabannya adalah, Go Jek merupakan model bisnis baru (new business model) yang tidak bisa dipaksakan untuk diatur/ diakomodasi dengan kerangka regulasi yang sudah ada.214 Dari pembahasan diatas, maka penelitian mengenai Disruptive Innovation dalam hukum persaingan usaha, khususnya mengenai

213Pasal 7 UU Anti Monopoli menyebutkan Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. 214Government Advocacy and Disruptive Innovations Special Project Report International Competition Network Annual Conference, Singapore 2016, hlm 12

220 bisnis transportasi berbasis aplikasi memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa inovasi, baik yang merupakan Sustaining Innovation maupun Disruptive Innovation adalah suatu yang harus dilakukan oleh para pelaku usaha untuk bertahan dalam persaingan bebas. Disruptive Innovation memang menciptakan kekacauan pada persaingan antara pelaku usaha yang menggunakan model bisnis konvensional dan pelaku usaha baru yang menggunakan platform bisnis baru. Namun selama tidak melanggar (1) kegiatan yang dilarang; (2) perjanjian yang dilarang; dan (3) tidak menyalahgunakan posisi dominan serta dilakukan secara jujur, tidak melawan hukum dan menghambat masuknya pesaing, maka tidak melanggar hukum persaingan usaha. 2. Bahwa bisnis angkutan berbasis aplikasi menimbulkan permasalahan pada ketentuan hukum yang yang ada. Karena secara platform bisnisnya sama sekali berbeda dengan perusahaan angkutan konvensional. Tetapi jika usahanya tidak melakukan akusisi yang menimbulkan monopoli, atau tidak menerapkan predatory pricing yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, maka tidak melanggar hukum persaingan usaha.

F. Latihan Soal 1. Jelaskan perbedaan disruptive innovation dan sustaining innovation? 2. Jelaskan yang dimaksud dengan start up company? 3. Jelaskan, kapan disruptive innovation dianggap melanggar hukum persaingan usaha?

221 DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali. 2007. Menguak Teori Hukum Legal theory Dan Teori Peradilan Judicialprudance, Makassar: Kencana Andi Fahmi Lubis, et.al. 2009. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Jakarta: KPPU Ari Siswanto. 2004 Hukum Persaingan Usaha, Jakarta: Ghalia Indonesia Celina Tri Siwi Kritiyanti. 2008. HukumPerlindungan konsumen, Jakarta: Sinar Grafika Christopher Pass and Bryan Lowes. 2001. in Elyta Ras Ginting: Hukum Antimonopoli Indonesia: Analisis dan Perbandingan UU No. 5 Tahun 1999, Bandung: Citra Aditya Bakti Doni Wijayanto, 2018, Legal Startup Business, Solo: Metagraf E. Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum, Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta: Kanisius. Elia Wuri Dewi. 2015. Hukum Perlindungan Konsumen cetakan I, Yogyakarta: Graha Ilmu Emerson Yuntho, S.H., 2007. Class Action Sebuah Pengantar, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

222 Francis Fukuyama. 2004. The end of History and The Last of Man, trans. Amirullah: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal , Yogyakarta: Qalam Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni: Dasar Dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung: Nusamedia H. Kusnadi. 1977. Ekonomi Mikro. Malang: FE Unbrawijaya Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyanti. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju Janus Sidabalok. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, Cetakan kedua, (Malang: Bayumedia, 2007) Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi. 2012. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Jakarta: academia Masahiro Murakami. 2003. The Japanese Antimonopoly Act Moegni Djojodirjo, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Tanggung Gugat (aanspraakelijkheid) untuk Kerugian, yang Disebabkan karena Per- buatan Melawan Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita Mustafa Kamal Rokan, 2010, Hukum Persaingan Usaha – Teori dan Praktiknya di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada N.H.T Siahaan. 2005. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Panta Rei Ningrum Natasya Sirait. 2003. Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan: Pustaka Bangsa Press Partnership for Business Competition. 2001. Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya di Indonesia, Jakarta: Elips Project

223 R. Subekti. 1985. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa Rhenald Kasali, 2017, Disruption: Menghadapi Lawan Lawan Tak Kelihatan Dalam Peradaban UBER, Jakarta: Gramedia. Rosmawati. 2018. Pokok-Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Depok: Prenanda Media Group Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti Shidarta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia Sri Rejeki Hartono. 2010. Kamus Hukum Ekonomi, Bogor: Ghalia Indonesia Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty Thee Kian Wie. 2004, Kebijakan Persaingan dan Undang-undang Antimonopoli dan Persaingan di Indonesia, dalam buku Pembangunan, Kebebasan, dan “Mukjizat” Orde Baru, Cet 1, Jakarta: penerbit Buku Kompas Wirjono Prodjodikoro. 1989. Azas-azas Hukum Perjanjian, Bandung: PT. Eresto Zulham. 2016. Hukum Perlindungan Konsumen, edisi revisi, cetakan ke-2, Jakarta: Kencana

Artikel Ilmiah Edy Suandi Hamid. 2017. Disruptive Innovation: Manfaat Dan Kekurangan Dalam Konteks Pembangunan Ekonomi, Universitas Islam Indonesia Sukirno. 1978. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijaksanaan. Medan: Borta Gorat

224 Hurley, R. & Hult, G. T, Innovation, Market Orientation and Organizational Learning: An Integration and Empirical Exemination. Journal of Alexandre de Streel and Pierre Larouche , Disruptive Innovation And Competition Policy Enforcement, the Global Forum on Competition 29-30 October 2015, www.oecd.org/competition/globalforum Hsin Fang Wei, 2016, Does Disruptive Innovation “Disrupt” Competition Law Enforcement ? The Review and Reflect, Paper on Taiwan International Conference Competition Policy in Global and Digital Economy , June 28-29, Han Li TOH, Disruptive Innovation: Implications for Enforcement of Competition Law, 14th OECD Global Forum on Competition , www.ccs.gov.sg Yati Nurhayati, Konstitusionalitas Perjanjian Distribusi dalam Persaingan Usaha Sehat, Jurnal Konstitusi, Vol.8, No.6, 2011 Marketing, Vol.62, No(3), 1998 Sri Hartini, Peran Inovasi: Pengembangan Kualitas Produk dan Kinerja Bisnis, Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol.14, No. 1, 2012 Quinn, J. B., Baruch, J., & Zien, K. A, Soft-ware-based innovation. Sloan Management Re-view, Vol.37, No.4, 1996 Clayton M. Christensen. 1997. The Innovator’s Dilemma: When New Technologies Cause Great Firms to Fail, Harvard Business School Press Constantinos Markides. 2206. “Disruptive Innovation: In Need of Better Theory,” 23(1) The Journal of Product Innovation Management

225 INNO-Grips Policy Brief No. 4. 2012. Disruptive Innovation: Implications for Competitiveness and Innovation Policy, European Commission Enterprise and Industry Gestiar Yoga Pratama, Suradi, Aminah, Perlindungan Hukum Terhadap Data pribadi pengguna Jasa Transportasi Online Dari Tindakan Penyalahgunaan Pihak Penyedia Jasa Berdasarkan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Diponegoro Law Journal, Vol.5, No.3 , 2016 Disrupting College, Center for American Progress, Innosight Institute J.L. BOWER AND C.M. CHRISTENSEN, “Disruptive Technologies: Catching the Wave”, Harvard Business Review 1995, vol. 73, no. 1 (January-February), (43) yang telah dikembangkan oleh Christensen dalam C.M. Christensen, The Innovator’s Dilemma. When New Technologies Cause Great Firms to Fail, Boston, Massachusetts, Harvard Business School Press, 1997. Glen M. Schmidt and Cheryl T. Druehl, When Is a Disruptive Innovation Disruptive? The journal of Product management, 2008, hlm. 248 Legal Standing (Hak Gugat Organisasi Lingkungan), ELSAM, Kursus HAM Pengacara 2007 Nurul Fibiranti, Perlindungan Konsumen dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Jalur Litigasi, Jurnal Hukum Acara Perdata, ADHAPER, Vol 1, No. 1. Januari-Juni, 2015 Liya Sukma Mulia, 2012. “Promosi Pelaku Usaha Yang Merugikan Konsumen”, media.neliti.com Gilbert Holland Montague, Unfair Methods of Competition, The Yale Law Journal, Vol. 25, No. 1, 1915

226 Supianto, Pendekatan Per Se Illegal Dan Rule Of Reason Dalam Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, JURNAL RECHTENS, Vol. 2, No. 1, Juni 2013 Budi L. Kagramanto, “Implementasi UU No 5 Tahun 1999 Oleh KPPU”, Jurnal Ilmu Hukum Yustisia 2007 Jimly Asshiddiqie. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konpress Mukti Fajar Nur Dewata, Problematika Pengukuran Pangsa Pasar, Kajian Putusan Nomor 502 K/PDT.SUS/2010, Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 3, 2017 Florian Bauman and Klaus Heine, Innovation Tort Law, and Competition, Düsseldorf Institute for Competition Economics (DICE), 2012 Alexandre de Streel and Pierre Larouche ,2015, Disrupltive Innovation and Competition Policy Enforcement, Global Forum on Competition 2015. Drs Munrokhim Misanam, 2017, MA.Ec, Ph.D “Regulating Disruptive Innovatin:Plausibility and Fairness”, disampaikan dalam seminar nasional Disruptive Innovation: Kajian Ekonomi dan Hukum. Inge Graef, Sih Yuliana Wahyuningtyas dan Peggy Valcke, How Google and others upset competition analysis: Disruptive Innovation and European competition law, 25th European Regional Conference of the International Telecommunications Society (ITS), Brussels, Belgium, 22-25 June 2014 M. Nawir Messi, Disruptive Innovation and competition law, disampaikan dalam Seminar nasional Dsruptive Innovation: kajian Ekonomi dan Hukum, Universitas islam Indonesia, 27 Juli 2017 227 Schneider, Allison. 2015. Uber Takes The Passing Lane, Disruptive Competition and Taxi-Livery Service Regulations. Elements Ngo, Victor. 2015. Transportation Network Companies And The Ridesourcing Industry, Review of Impacts and Emerging Regulatory Frameworks for Uber. Report for City of Vancouver Tucker, Eric. 2017. Uber and the Unmaking and Remaking of Taxi Capitalisms: Technology, Law and Resistance in Historical Perspective. Osgoode Hall Law School of York University. Katrina M. Wyman. 2017. Taxi Regulation In The Age of Uber. Legislation and Public Policy Vol 20 hal 4 Geradin, Damien. 2015. “Should Uber be Allowed to Compete in Europe? And if so How?”. Competition Policy International. Inc.,

Peraturan Undang Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Peraturan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor PM.53/HM.001/MPEK/2013 Tentang Standar Usaha Hotel Permendag No 70/M-DAG/PER/12/2013 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern

Internet http://www.accc.gov.au/content/index.phtml/itemId/54165 www.ftc.gov/bcp/edu/pubs/consumer/general/gen03.shtm https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/sehat/Perlindungan-Konsumen- Kesehatan1.pdf

228 Mencermati Hak Gugat LPKSM bpkn.go.id/uploads/document/592606 c26253b7d868ba7eb78d46d6c59862e3d4.pdf bpkn.go.id/uploadsdocument/592606c26253b7d868ba7eb78d46d6c 59862e3d4.pd http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/10/14/1904022/ Belajar.dari.Kegagalan.BlackBerry.dan.Nokia,https://www. kompasiana.com/prastiwoanggoro/kejatuhan-raksasa- yahoo-dan-refleksi-ke-krisis-ekonomi-di-batam_594210 41c222bd6f37fc1b01,http://internasional.republika.co.id/ berita/internasional/global/12/12/23/mfhpkw-cerita-sedih- jatuhnya-para-raksasa-elektronik, https://indonesiana.tempo. co/read/43591/2015/07/01/desibelku.1/uber-taxi-dan-gojek- tantangan-model-bisnis-baru http://kom.ps/AFvqSi https://kompas.com/megapolitan/read/2015/12/18/06400081/Plus. Minus.Keberadaan.Ojek.Online https://www.kompasiana.com/ ronaldwan/5993b303da56da0ad9637e92/apakah-uber- merupakan-disruptive-innovation, www.otbc.org/files/disruptive_innovation_biz_models.pdf https://www.southernassembly.ie/uploads/presentations/Tim_ Fritzley_InTune.pdf, https://id.wikipedia.org/wiki/Perusahaan_rintisan, https://id.techinasia.com/talk/apa-itu-bisnis-startup-dan- bagaimana-perkembangannya, https://www.kompasiana.com/ronaldwan/4-hal-tentang-teori- disruptive-innovation-yang-sering-dilupakan_599502a993be2 54d572933b2

229 https://wiramartha.wordpress.com/moralitas-sebagai-norma/ http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/1944_Perumus%20 Norma%20dalam%20Peraturan%20Perundang-undangan. pdf, http://kingartikel.blogspot.com/2015/09/pengertian-peristiwa- perbuatan-akibat.html https://blog.gojekengineering.com/200-engineers-261-million- people-go-jeks-impact-in-indonesia-b8f87934e6c1 https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-rise-of-the-sharing- economy-in-indonesia/ https://digitalentrepreneur.id/belajar-dari-go-jek/ http://www.bareksa.com/id/text/2016/08/12/masuk-modal-besar- gojek-kini-lebih-bernilai-daripada-garuda-indonesia/13779/ analysis, http://www.bareksa.com/id/text/2016/05/03/taxi-merugi-rp9-miliar- garagara-digerus-taksi-online/13226/analysis http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2014/09/140902_iptek_ uber_jerman https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150910115802-9 2-77859/kecewa-ditolak-di-bandung-uber-protes/ https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150910115802-92-77 859/kecewa-ditolak-di-bandung-uber-protes/, https://www.jawapos.com/read/2016/01/22/16368/uber-grab- taxi-dan-gojek-ditolak-di-bali, https://www.merdeka.com/ peristiwa/go-jek-ditolak-giliran-taksi-online-grab-datang-di- solo.html http://www.viva.co.id/berita/bisnis/811744-pemicu-taksi-online- ditolak-beroperasi-di-daerah

230 http://www.kppu.go.id/id/blog/2017/03/kppu-berikan-tiga- rekomendasi-ke-pemerintah-terkait-kisruh-taksi-online-dan- konvensional http://folorensus.blogspot.co.id/2008/07/hukum-tentang-perjanjian- pengangkutan.htm

Wawancara dengan Ir Nawir Messi Mantan Ketua KPPU

231 INDEKS

Asas vii, ix, 6, 7, 9, 10, 11, 79, 80 Pelaku Usaha viii, 29, 33, 111, 160, Class Action viii, 41, 42, 43, 47, 222 165, 166, 226 Hukum v, 1, 4, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, Penjual 4, 36, 37, 66, 96, 97, 99, 100, 14, 16, 17, 19, 27, 28, 29, 34, 101 35, 36, 42, 43, 44, 45, 64, 67, Perdagangan 6, 7, 18, 72, 73, 78, 86, 68, 69, 71, 72, 77, 78, 79, 83, 91, 96, 109, 119, 122, 198, 199, 85, 86, 87, 90, 91, 95, 102, 103, 205 117, 120, 137, 138, 139, 140, Perjanjian Yang Dilarang ix 147, 150, 153, 155, 156, 158, Perlindungan v, vi, vii, viii, 1, 4, 5, 159, 160, 161, 163, 173, 186, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 191, 192, 196, 197, 198, 199, 18, 19, 20, 21, 27, 29, 30, 32, 41, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 45, 46, 47, 51, 54, 55, 60, 68, 214, 218, 219, 220, 221, 231 71, 91, 171, 199, 222, 223, 224, Kegiatan Yang Dilarang ix 226, 228 Komisi ix, 75, 90, 93, 123, 136, 137, Persaingan Usaha v, vi, ix, x, 62, 64, 138, 139, 141, 142, 143, 145, 65, 66, 68, 69, 72, 77, 78, 79, 80, 147, 149, 150, 151, 154, 155, 83, 84, 95, 96, 98, 99, 100, 102, 156, 157, 158, 159, 160, 162, 103, 110, 115, 118, 125, 136, 217 137, 139, 140, 144, 147, 159, Konsumen v, vi, vii, viii, 1, 4, 5, 6, 162, 165, 197, 199, 200, 206, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 217, 222, 223, 225, 227, 228 18, 19, 20, 21, 27, 29, 30, 32, Sengketa viii, ix, 45, 57, 147, 226 34, 41, 45, 46, 47, 51, 54, 55, 57, 60, 68, 166, 171, 179, 199, 213, 222, 223, 224, 226, 228 Legal Standing viii, 41, 44, 226

232 BIODATA PENULIS

Dr. Mukti Fajar Nurdewata, S.H.,M.Hum, lahir di Jogjakarta pada tanggal 29 September 1968. Dr. Mukti Fajar Nurdewata, S.H., M.Hum menempuh S1 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, S2 di Universitas Diponegoro, dan meraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia. Saat aktif sebagai dosen tetap di Fakultas Hukum dan Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Adapun fokus bidang keilmuanya adalah hukum bisnis. Aktif melakukan penelitian dan publikasi. Diantara karyanya yang sudah terbit antara lain adalah Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, terbit pada tahun 2010, dan UMKM di Indonesia (Perspektif Hukum Ekonomi) yang terbit pada tahun 2015.

233 Lahir di Temanggung pada tanggal 15 Februari 1982, menempuh pendidikan strata 1 di Universitas Gadjah Mada. S2 diselesaikan di Universitas Padjajaran dan saat ini sedang menempuh pendidikan Doktoral di Universitas Gadjah Mada. Reni Budi Setianingrum, S.H., M.Kn aktif dalam melakukan penelitian dan penulisan ilmiah. Bidang yang menjadi fokus keahliannya adalah hukum persaingan usaha.

Lahir di Palu 16 Mei 1992. Menempuh pendidikan strata 1 di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia pada tahun 2010- 2014. Pendidikan S2 ditempuh pada 2010-2014-2016 di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Saat ini memimpin di Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas

234 Muhammadiyah Yogyakarta. Aktif mengajar sebagai dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk beberapa mata kuliah seperti hukum bisnis, hukum persaingan usaha, hukum perlindungan konsumen, dan hukum dagang internasional

235