<<

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Latar Candi Sukuh dan Candi Cetho

1. Candi Sukuh a. Letak Candi Sukuh Candi Sukuh berada 38 kilometer arah Timur dari kota Surakarta, tepatnya terletak di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Candi Sukuh berada di lereng Barat Gunung Lawu tepatnya pada elevasi 1186 di atas permukaan laut. Secara astronomis Candi Sukuh berada pada 70 37,38’ 85” Lintang Selatan dan 1110 07,52’ 65” Bujur Timur. Kondisi batas lingkungan di sebelah Barat merupakan pemukiman penduduk, sebelah Timur kawasan hutan lindung Perhutani, sebelah Utara tebing atau lereng yang digunakan untuk lahan pertanian, merupakan lahan kas Desa Berjo, dan di sebelah Selatan berupa kawasan pemukiman penduduk. Daerah ini berupa perbukitan dengan suhu udara rata-rata 250 C. Curah hujan di kawasan Candi Sukuh cukup tinggi yaitu rata- rata 88 mm perhari (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2003: 1). Kompleks Candi Sukuh ini terletak di lereng Barat Gunung Lawu, tepatnya di sebuah bukit yang oleh masyarakat setempat disebut dengan Bukit Sukuh. Bukit Sukuh ini dikelilingi oleh dua bukit yaitu Bukit Pringgondani dan Bukit Tambak (Joko Priyanto, 1991: 13). Candi Sukuh dapat dicapai dengan kendaraan bermotor yang jaraknya hanya 12 kilometer di sebelah Timur Karangpandan. Sarana angkutan umum untuk mencapai lokasi ini dengan menggunakan colt yang setiap saat lewat jalur Karangpandan ke Sukuh.

45

b. Seni Bangunan dan Relief Candi Sukuh Candi Sukuh ditemukan oleh Johnson, seorang Residen Surakarta pada tahun 1815 pada masa pemerintahan Raffles (Riboet Darmosoetopo, 1975: 33). Candi Sukuh mempunyai bentuk dan susunan bangunan yang berbeda dengan bentuk dan susunan bangunan candi-candi lain di Jawa Tengah, bahkan dapat dikatakan mempunyai bentuk dan susunan bangunan yang spesifik di . Secara keseluruhan kompleks Candi Sukuh ini merupakan bangunan berteras yang membujur dari arah Timur ke Barat dengan pintu masuk berada di sebelah Barat. Susunan bangunan semacam ini mengingatkan kepada susunan bangunan dari zaman Prasejarah, khususnya dari zaman Megalithikum yang disebut dengan bangunan punden berundak (Riboet Darmosoetopo, 1975: 34). Orang-orang yang sering berkunjung ke situs-situs purbakala akan segera menangkap kesan sederhana pada arsitektur maupun relief-relief pada Candi Sukuh. Bentuk bangunan Candi Sukuh mirip dengan peninggalan budaya di Mexico atau situs-situs sejenis di Peru, Amerika Selatan (Suwarno Asmadi, 2004: 8). Bahkan bilamana berdiri di depan candi induk bentuknya mirip dengan bentuk piramida terpotong sebagaimana yang banyak dijumpai di Mesir.

Kesan sederhana pada Candi Sukuh ini menurut Stutterheim dalam Suwarno Asmadi (2004: 8), ada tiga argumen yang mendasari, pertama, si pemahat Candi Sukuh mungkin seorang ahli pemahat kayu (bukan ahli pemahat batu sebagaimana di candi-candi lainnya) yang berasal dari pedesaan dan bukan para empu istana. Kedua, adanya kebutuhan yang mendesak untuk tempat pemujaan sehingga dilakukan dengan agak tergesa-gesa, dan ketiga, karena situasi politik, ekonomi dan perdagangan menjelang keruntuhan tidak memungkinkan membangun candi yang besar dan monumental. Candi Sukuh menghadap ke arah Barat dan mempunyai tiga bidang halaman (loka), seperti tata letak candi-candi di Jawa Timur, berderet ke belakang, makin ke 46

belakang makin tinggi dengan prinsip halaman yang paling suci terletak paling belakang (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2003: 7). Kondisi bangunan saat ini terdiri dari tiga buah teras atau halaman dan masing-masing mempunyai gapura dan tangga masuk. Teras pertama adalah teras yang paling rendah, diikuti oleh teras kedua dan ketiga yang letaknya makin tinggi dengan masing-masing teras dihubungkan oleh anak tangga dan gapura yang berfungsi sebagai pintu masuk teras (Observasi, 5 Februari 2006). Teras I Sebelum memasuki halaman teras pertama, terlebih dahulu harus mendaki tangga masuk dalam bentuk gapura. Gapura pertama merupakan gapura terbesar dengan ukuran tinggi 8 m dan lebar kaki 12 m. Gapura ini mempunyai bentuk arsitektur yang khas, yaitu dinding disusun tidak tegak lurus, akan tetapi agak miring sehingga sepintas lalu mengingatkan pada bentuk trapesium dengan atap di atasnya (Observasi, 5 Februari 2006). Bentuk semacam inilah yang dapat dianggap mempunyai kesamaan dengan bentuk pylon (pintu masuk bangunan suci) di Mesir dan seni bangunan di Meksiko (Riboet Darmosoetopo, 1975: 36). Gapura pada teras I ini mempunyai 14 anak tangga yang disusun makin ke atas menuju sebuah lorong gapura yang lebarnya 1 m. Di kanan-kiri anak tangga terdapat dinding tangga dengan bagian bawah lebih menjorok ke depan, sehingga menyerupai sayap tangga. Di atas gapura terdapat hiasan berupa ular, dimana kepala ular dengan tubuh ular saling berlilitan yang menjadi batas pinggiran ketiga sisi atap pintu. Hiasan ular ini berlubang pada bagian tengah, dan oleh Stutterheim diperkirakan sebagai saluran air yang dipergunakan untuk mengalirkan air suci pada waktu upacara keagamaan (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2003: 8). Pada gapura pertama ini terdapat beberapa relief, yaitu : 1. Relief yang menggambarkan seseorang dimakan raksasa. Relief ini dipahatkan pada dinding depan sebelah utara dan yang diperkirakan mempunyai arti sengkalan, yang berbunyi: ”Gapura buta aban wong” = 1359 47

Saka atau 1437 Masehi (Riboet Darmosoetopo, 1975: 36). Selain itu juga terdapat hiasan berupa sepasang burung sedang hinggap pada sebatang pohon, di bawahnya digambarkan seekor binatang anjing (Observasi, 5 Februari 2006).

2. Pada dinding depan sebelah selatan terdapat relief seorang tokoh laki-laki sedang lari dan menggigit ekor ular. Di atasnya terdapat hiasan makhluk sedang melayang-layang dan paling atas terdapat hiasan seekor binatang melata. Relief ini dibaca juga sebagai sengkalan yang berbunyi: ”Gapura buta nahut buntut” = 1359 Saka atau 1437 Masehi (Riboet Darmosoetopo, 1975: 37). 3. Baik pada dinding Utara maupun Selatan gapura ini terdapat juga relief seekor dengan sayap terbuka sedang mencengkeram dua ekor ular. Relief ini tentunya berhubungan juga dengan relief-relief yang terdapat pada teras yang lain, yang menggambarkan cerita Garudeya. 4. Salah satu relief yang cukup menarik ialah yang dipahatkan pada lantai pintu masuk gerbang pertama. Relief ini berupa gambar phallus (kemaluan laki- laki) dihadapkan pada (kemaluan wanita) yang berbentuk segitiga dan dihiasi dengan semacam karangan bunga. Oleh para sarjana relief tersebut dianggap sebagai lambang kesuburan (Riboet Darmosoetopo, 1975: 37).

Teras II Kurang lebih 25 m dari gapura pertama ke Timur sampailah pada gapura masuk teras kedua. Seperti halnya teras pertama, pada teras kedua mempunyai gapura yang sudah dalam keadaan rusak dan sudah tidak beratap lagi. Ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan gapura pertama. Kalau gapura pertama mempunyai panjang lorong 2,10 m dan lebar 1 m serta tinggi sampai langit-langit atap 2,35 m, maka 48

panjang lorong gapura kedua 1,30 m dan lebar 60 cm dengan sembilan anak tangga (Observasi, 5 Februari 2006). Berbeda dengan teras pertama yang berbentuk persegi panjang, halaman teras kedua ini sebagian halamannya ada yang menjorok ke dalam (halaman di sebelah Selatan), sehingga halaman ini bentuknya seperti huruf L. Pada halaman kedua ini terdapat beberapa peninggalan yang berupa: 1. Sepasang arca penjaga pintu yang terletak di depan gerbang ketiga. Penggambaran arca ini kelihatan sangat kasar dan kaku, sehingga memberi kesan pada arca-arca dari zaman prasejarah. Arca ini digambarkan dalam ekspresi wajah yang mengerikan, mata melotot, gigi bertaring dan memegang gada atau tongkat.

2. Pada bagian halaman yang menjorok ke dalam terdapat sebuah pondasi bangunan yang membujur arah Barat-Timur, dan di dekatnya (di sebelah Utara pondasi) terdapat semacam dinding bangunan dengan pahatan-pahatan relief. Relief-relief tersebut ialah: a. Relief paling kanan (Selatan) menggambarkan seorang wanita berdiri menghadapi ubunan (peniup api pada pandai besi). b. Di sebelah Utaranya terdapat relief yang menggambarkan seorang pendeta berkepala gajah (Ganesa), tangannya menangkap ekor binatang anjing. Relief ini ada yang menganggap mempunyai nilai sengkalan yang berbunyi “Gajah wiku anahut buntut” = 1378 Saka atau 1456 Masehi (Riboet Darmosoetopo, 1975: 40). c. Relief yang dipahatkan pada dinding paling Utara menggambarkan seorang laki-laki duduk jongkok dan kedua kaki terbuka sedang di dekatnya terdapat beberapa macam senjata seperti tombak, keris, pisau. Relief ini menggambarkan seorang pandai besi. 49

d. Sebagai latar belakang relief tersebut terdapat gambaran sebuah rumah pendapa yang besar.

Teras III Untuk memasuki teras ke III, juga melewati gapura III yang kondisinya tidak utuh lagi dan sudah tidak beratap. Gapura ketiga ini mempunyai panjang lorong 1,53 m dan lebar 1 m. Teras ketiga ini merupakan teras yang terletak paling atas dan paling belakang. Teras ketiga merupakan halaman yang paling suci, karena di dalamnya terdapat bangunan candi. Pada pintu masuk halaman terdapat sebuah jalan yang terbuat dari batu dan ditata seperti lantai sepanjang kurang lebih 12 m. Lantai batu ini membujur ke arah Barat dan membagi halaman menjadi dua yaitu halaman sebelah Utara dan Selatan. Pada teras ketiga ini terdapat beberapa bangunan, termasuk bangunan induk, patung-patung, batu-batu candi dan relief-relief. 1. Halaman sebelah Utara. Pada halaman ini terdapat beberapa peninggalan yang berupa : a. Deretan batu-batu berelief, yaitu : (1) Relief binatang yang menyerupai badak yang bersurai pada punggungnya, bertaring, bertanduk dan berkalung genta.

(2) Relief binatang gajah dengan belalai di atas kepala, memakai pelana dan berkalung genta.

50

(3) Beberapa relief yang merupakan adegan-adegan cerita Sudhamala, yaitu : Relief pertama :

Seorang tokoh wanita dihadap oleh tokoh laki-laki yang diapit oleh dua punakawan. Relief ini menggambarkan adegan pada waktu dewi Kunti minta kepada Sahadewa agar mau meruwat dewi yang dikutuk dewa Siwa.

Relief kedua :

Seorang tokoh laki-laki tinggi besar yang diiringkan oleh pengawalnya dengan membawa senjata dan perisai. Tokoh ini digambarkan sedang mengangkat raksasa dengan tangan kirinya, sedang tangan kanan memegang senjata yang ditusukkan pada pinggang raksasa tersebut. Di atasnya terdapat prasati yang berangka tahun 1371 Saka. Relief ini menggambarkan suatu adegan pada waktu diiringkan Punakawan sedang berperang melawan raksas Kalantaka. Diceritakan bahwa pada waktu itu sedang terjadi perang antara Pandawa dan Kurawa. Di dalam peperangan itu Kurawa dibantu oleh raksasa Kalantaka dan Kalanjaya sehingga berhasil mengalahkan Pandawa. Baru setelah Sahadewa dan Nakula kembali dari Prangalas, kedua raksasa tersebut dapat dikalahkannya, yang berarti lepas dari kutuk dewa. Relief ketiga :

51

Seorang tokoh laki-laki berbadan kecil diikat pada sebatang pohon dan ditunggui oleh tokoh wanita dalam bentuk raksasa yang membawa pedang panjang. Relief ini menggambarkan adegan pada waktu Sahadewa diikat pada sebatang pohon karena menolak permintaan dewi Durga untuk meruwatnya. Nampak pada adegan tersebut para Punakawan sedang menunggui Sahadewa. Relief keempat : Seorang tokoh yang sama dengan relief ketiga berhadapan dengan seorang tokoh berpakaian pertapa, di depannya berdiri seorang wanita. Relief ini menggambarkan pada waktu Sahadewa akan dikawinkan dengan putri Padapa, anak Tambakpetra, seorang pertapa dari Prangalas sebagai hadiah karena telah meruwat dewi Durga. Pada relief ini juga digambarkan adanya tokoh-tokoh Punakawan yang mengikuti Sahadewa. Relief kelima :

Seorang tokoh putri (dewi) berdiri di atas padmasena yang dihadap oleh tokoh lain. Relief ini menggambarkan adegan pada waktu dewi Durga setelah berhasil diruwat, dihadap dengan sembah oleh Sahadewa dan Punakawannya. b. Suatu soubasement setinggi 85 cm, panjang 11,60 m dan lebar 7,80 m. Di atas soubasement ini terdapat ornamen tapal kuda dan relief seekor garuda terbang dengan dua kakinya mencengkeram seekor gajah dan kura-kura. Relief ini menggambarkan suatu cerita pada waktu garuda mencari air amerta dengan ditemani seekor gajah dan kura-kura. Gajah dan kura-kura tersebut tidak lain adalah penjelmaan dari Supratika dan Wibhawasu.

52

Ornamen tapal kuda :

Ornamen yang berbentuk tapal kuda ini bagian atas terdapat hiasan kepala kala dengan janggut panjang. Di kanan-kiri kala terdapat hiasan yang bentuknya seperti makara yang menjulur ke bawah. Di dalam ornamen terdapat hiasan dua tokoh yang berdiri berhadapan, di atas seekor naga yang berkepala dua. Tokoh yang di kiri digambarkan bertangan empat, dengan pakaian kebesaran dan bermahkota, berdiri di atas alas atau lapik yang berbentuk seperti perahu, diatas kepala naga. N.J.Krom berpendapat tokoh ini adalah dewa Siwa, sedang tokoh di depannya adalah . Stutterheim mengatakan bahwa kedua tokoh tersebut adalah Betara Guru dan Bhima (Riboet Darmosoetopo, 1975: 51). Di bawah hiasan dua tokoh yang berdiri berhadapan tersebut terdapat hiasan seorang wanita dengan anak kecil dan di dekatnya terdapat hiasan rumah panggung. Di bawahnya lagi terdapat gambar dua tokoh yang tengah tarik-menarik seakan saling memperebutkan bayi. Gambaran relief tersebut nampaknya menceritakan tentang asal-usul manusia yang diawali dari terjadinya embrio dalam rahim perempuan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan ajaran mengenai dari mana manusia berasal dan kemana kelak manusia akan pergi setelah mati. Di masyarakat Jawa ajaran ini dinamakan “Sangkan paranaing dumadi” (Sangkan = asal, Paran = tujuan, Dumadi = ciptaan). Mengenai relief tokoh yang sedang memperebutkan bayi ini mengandung pengertian bahwa sejak embrio, calon manusia yang tinggal dalam rahim atau rumah memperoleh perawatan atau pemeliharaan fisik dari sang ibu, setelah lahir dan tumbuh dewasa, embrio ini akan menjadi 53

manusia dewasa. Kelak manusia ini akan di bawah pengaruh atau tarik menarik antara baik (subakarma) dan karma buruk (asubakarma), manusia sendirilah yang akan menentukan pilihannya dan tidak lagi berada di bawah pengaruh sang ibu. Sementara tujuan kehidupan atau kemana manusia pergi setelah mati dilukiskan dengan bersatunya roh atau dewa (Suwarno Asmadi, 2004: 21). Ornamen tapal kuda ini menggambarkan betapa tingginya intelektual dan jiwa seni mereka yang hidup pada masa abad ke 15 (Karanganyar Tenteram, 9 September 2003: 24). 2. Halaman sebelah Selatan Di halaman ini antara lain terdapat peninggalan-peninggalan berupa : a. Sebuah soubasement dengan ukuran panjang 5,62 m dan lebar 4,75 m serta tinggi 1 m. Berbeda dengan soubasement yang terdapat di halaman sebelah Utara, di sisi Barat soubasement ini terdapat sebuah tangga masuk selebar 44 cm menuju ke lantai soubasement. b. Di sebelah Timur soubasement, di atas permukaan tanah terdapat sebuah arca berdiri dengan tangan kiri memegang kemaluan dan tangan kanan memegang gada. c. Di sebelah Barat Daya soubasement, di atas permukaan tanah, terdapat tugu batu dengan relief berupa tumbuh-tumbuhan, seorang tokoh laki- laki dan seorang perempuan. d. Di sebelah Utara soubasement, terdapat arca dengan tangan kiri memegang kemaluan dan tangan kanan memegang senjata. e. Di Utara agak kedepan dari soubasement, terdapat suatu bangunan candi berbentuk bujur sangkar dengan ukuran lebar 2,40 m.

54

Candi ini mempunyai sebuah relung kecil di bagian depannya, seolah- olah merupakan bilik candi. Di dalam bilik ini terdapat sebuah arca yang menurut kepercayaan setempat adalah arca kyai Sukuh yang menguasai candi ini (Wawancara dengan Pak Kemis, 1 Mei 2006). f. Di depan pintu masuk bangunan induk, terdapat tiga buah arca kura-kura yang sangat besar menghadap ke Barat. Dua kura-kura terletak tepat di depan pintu masuk, sedang kura-kura lainnya terdapat agak ke kiri.

g. Di bawah sebatang pohon kelengkeng, terdapat dua buah arca garuda yang sudah rusak. Pada kedua arca garuda ini terdapat prasasti salah satunya berangka tahun 1361 Saka = 1441 Masehi.

3. Bangunan Induk Bangunan induk Candi Sukuh terletak pada teras ketiga pada ujung jalan masuk dari teras pertama sampai teras ketiga. Candi induk sebagai bangunan utama berada di bagian paling belakang dan menghadap ke arah Barat dengan ukuran 15 m x 15 m. Melihat bentuk bangunannya, candi ini mirip sekali dengan bentuk bangunan di Mesir dan bentuk bangunan di Meksiko, yaitu berbentuk piramid terpancung. Di bagian atas bangunan terdapat bangunan , dan untuk naik ke atas candi melewati tangga yang tegak dan panjang. Sesuai dengan arah kompleks candinya, bangunan ini mempunyai tangga masuk di sebelah Barat. Tangga masuk sangat tinggi, mempunyai sayap tangga dan di atasnya terdapat atap pintu. Pada keempat sudut atap pintunya terdapat hiasan ular (kepala ular) dengan tubuh ularnya saling berlilitan yang menjadi batas pinggiran ketiga sisi atap pintu. Hiasan ular ini 55

dibagian tengahnya berlubang, yang oleh Stutterheim diperkirakan sebagai saluran air yang dipergunakan untuk mengalirkan air suci pada waktu upacara keagamaan (Riboet Darmosoetopo, 1975: 58). Candi yang berbentuk piramid terpotong ini menggambarkan ketidaksempurnaan manusia. Manusia memang hebat, tapi terbatas, karenanya manusia tidak boleh sombong. Orang bisa saja mencapai langit, bisa saja memiliki cita-cita tinggi, tetapi kenyataannya semua serba terbatas (Karanganyar Tenteram, 9 September 2003: 24).

Candi Sukuh, seperti yang telah dijelaskan di depan, relief-reliefnya merupakan gambaran dari cerita Sudhamala dan Garudeya. Adapun cerita Sudhamala dan cerita Garudeya yang terdapat di Candi Sukuh adalah sebagai berikut :

Cerita Sudhamala Nama Sudhamala sebenarnya merupakan sebutan bagi salah satu tokoh Pandawa yang kelima, yang bernama Sahadewa. Menurut asal katanya ”Cuddha- mala” berarti “bersih dari noda dosa”. Nama ini diberikan kepada Sahadewa karena dia telah berhasil membersihkan (menghilangkan) noda dosa dewi Durga dari kutuk dewa Ciwa (Batara Guru). Kata “cuddha-mala” dapat juga diartikan “pelepasan” yang di dalam pewayangan disebut “ruwat”. Dengan kata lain, nama Sudhamala diberikan kepada Sahadewa setelah berhasil meruwat dewi Durga (Dewi Parwati). Dewi Durga adalah isteri dewa Ciwa. Karena ia “elor ing lakine” atau berbuat serong terhadap suaminya, maka ia kemudian dikutuk menjadi raksesi dan harus turun ke dunia. Dewi Durga ini dapat lepas dari kutuk suaminya bila telah diruwat oleh Sahadewa. Oleh karena itu raksesi tersebut kemudian datang kepada Kunti untuk minta tolong kepada Sahadewa agar mau meruwatnya. Permintaan itu pada mulanya ditolak oleh dewi Kunti, akan tetapi setelah dewi Durga mengutus Kalika untuk merasuk ke dalam jasad Kunti, akhirnya Kunti menerimanya. Kunti kemudian minta 56

kepada Sahadewa, tetapi Sahadewa menolaknya. Sebagai akibatnya Sahadewa kemudian diikat pada sebatang pohon dan ditakut-takuti akan dibunuh dengan pedang Durga. Akhirnya atas pertolongan dewa, Sahadewa dapat meruwat dewi Durga. Sejak saat itulah Sahadewa disebut “Sudhamala”, yang berarti “orang yang telah berhasil meruwat (membebaskan seseorang dari dosa). Sebagai hadiahnya Sahadewa kemudian dikawinkan dengan dewi Padapa, putri Tambapatra, seorang pertapa dari Prangalas. Sepulangnya dari Prangalas, di tengah jalan Sahadewa dengan Nakula bertemu dengan raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Kalantaka dan Kalanjaya adalah dua bidadara yang dikutuk dewa Ciwa karena telah mengintip pada waktu dewa Ciwa mandi. Akibat kutukan itu, bidadara kemudian menjadi raksasa dan turun ke dunia. Dua raksasa itu akhirnya dapat diruwat oleh Nakula dan Sahadewa (Suwarno Asmadi, 2004: 24).

Cerita Garudeya Cerita Garudeya ini berkisah tentang Kadru dan Winata. Kadru dan Winata ini adalah istri dari Resi Kasyapa. Kadru mempunyai anak seratus naga sedangkan Winata mempunyai dua anak yaitu Garudeya dan Aruna. Suatu hari Kadru dan Winata ini bertaruh tentang warna ekor kuda Ucchairawa, dan barang siapa yang kalah harus mengabdikan diri pada yang lain. Dewi Winata meyakini bahwa kuda Ucchairawa berwarna putih mulus, sementara dewi Kadru meyakini bahwa kuda itu berwarna putih namun ekornya berwarna hitam. Sebelum melihat kuda itu dewi Kadru bertemu dengan anak-anaknya dan menceritakan pertaruhan itu. Alangkah kagetnya dewi Kadru ketika anak-anaknya mengatakan bahwa memang benar warna kuda itu putih mulus. Akhirnya dewi Kadru menyuruh anak-anaknya yang berupa naga itu agar menyiram ekor kuda itu dengan bisanya yang beracun agar berwarna hitam, dengan demikian ia bisa terhindar dari status budak dewi Winata. Pertaruhan ini kemudian dimenangkan oleh dewi Kadru secara curang. Akibat kekalahan ini dewi Winata menjadi budak dewi Kadru. Namun kemudian dewi Winata dapat 57

dibebaskan dari perbudakan itu oleh anaknya yang bernama Garudeya. Sang Garudeya membebaskan ibunya dari penderitaan sebagai budak dengan cara mencari air amerta dengan membawa gajah dan kura-kura yang merupakan penjelmaan dari Supratika dan Wibhawasu. Karena jasanya, maka Garudeya kemudian diangkat menjadi kendaraan Wisnu dan berhak memakan naga-naga (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, 2003: 11).

2. Candi Cetho a. Letak Candi Cetho Candi Cetho terletak di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, di sebelah Timur kota Surakarta berjarak kurang lebih 25 km. Candi ini terletak pada daerah lereng Barat Gunung Lawu dengan ketinggian 1470 meter di atas permukaan laut dan secara geografis terletak pada koordinat 70 35’ 48” Lintang Selatan dan 110 9’ 14” Bujur Timur. Luas situs ini kurang lebih 5.834 m2 (Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, 2001: 3). Di daerah sekitarnya (di sebelah Barat Daya Candi Cetho) terdapat situs purbakala lainnya seperti Candi Sukuh dan Planggatan. Di sebelah Barat Candi Cetho berbatasan dengan lingkungan pemukiman penduduk, sebelah Timur dan Utara berbatasan dengan hutan pinus, dan sebelah Selatan terdapat perladangan. Untuk mencapai situs ini melewati jalan desa yang menanjak dan beraspal sampai di ujung Timur jalan desa tersebut. b. Seni Bangunan dan Relief Candi Cetho Seperti halnya Candi Sukuh, Candi Cetho ini terletak di lereng Barat Gunung Lawu. Candi Cetho mempunyai bentuk dan susunan bangunan yang menyerupai bangunan Candi Sukuh, yaitu dibangun dalam bentuk teras-teras bersusun, yang semakin ke belakang semakin ke atas. Jumlah teras ada 13 buah. Teras-teras ini 58

disusun berderet dari arah Barat ke Timur dengan pintu masuk di sebelah Barat, makin ke belakang makin tinggi terasnya dan teras tertinggi (paling belakang) merupakan teras yang terpenting dan dianggap paling suci. Antara teras yang satu dengan teras yang lain dihubungkan oleh pintu masuk teras. Masing-masing halaman teras seolah-olah dipisahkan menjadi dua (kiri dan kanan) oleh jalan dari teras pertama menuju teras terakhir. Jalan masuk antar teras dilapisi dengan susunan batuan terutama pada anak tangga dan ambang pintu masuk. Sedangkan jalan yang membelah setiap teras hanya berupa jalan tanah kecuali di teras-teras atas yang seluruh permukaan halaman dilapisi susunan batuan.

Teras I Teras ini terletak paling bawah dan paling Barat dari kompleks Candi Cetho. Sebelum sampai ke halaman teras, terlebih dahulu harus naik tangga masuk yang cukup tinggi dengan jumlah anak tangga 35 buah. Pada halaman teras, baik halaman sebelah kanan maupun sebelah kiri jalan masuk, sekarang tidak ditemukan peninggalan apa-apa lagi. Halaman di kiri-kanan jalan tersebut ditanami rumput- rumputan. Di tengah jalan yang membelah halaman, terdapat 3 buah arca dan batu umpak. Arca tersebut susunannya sudah tidak teratur, ada yang mengarah ke depan, membelakangi arca serta berada di samping kedua arca mengarah agak serong ke depan.

Teras II Seperti halnya teras pertama, teras kedua ini hanya mempunyai tangga masuk tanpa gapura. Anak tangga pintu masuk teras II berjumlah 24 buah. Halaman teras juga terbagi menjadi dua oleh jalan, di tengahnya terdapat sebuah arca menghadap ke depan dalam posisi duduk kaki kiri dilipat ke belakang dan kaki kanan jongkok, 59

kedua tangan bertemu di perut dan kedua ibu jari mengarah ke atas dan jari lainnya menggenggam.

Teras III Teras ini seolah-olah bukan merupakan teras tersendiri, karena selain halaman terasnya tidak luas, teras ini kelihatannya menjadi satu dengan teras berikutnya (teras IV). Pada teras ini terdapat tangga masuk tanpa gapura. Anak tangga pintu masuk tidak tinggi, hanya 7 buah. Di halaman teras ini tidak ditemukan peninggalan apa-apa lagi. Teras IV Untuk memasuki teras ini melewati 23 anak tangga, dan terdapat gapura bentar model Bali yang mengapit pintu masuk teras IV. Pada teras ini juga tidak terdapat benda-benda peninggalan.

Teras V Ketinggian permukaan halaman teras V ini hampir sama (sejajar) dengan teras IV karena untuk memasukinya hanya melewati 4 buah anak tangga. Di kiri dan kanan pintu masuk masih terlihat bekas-bekas gapura. Di depan kanan pintu terdapat sebuah umpak batu, kemungkinan gapura tersebut dahulu dipayungi oleh bangunan yang bertiang kayu dan mempunyai atap. Di belakang gapura, sebelah kanan terdapat arca yang menghadap ke belakang, dengan posisi berdiri di atas lapik, tangan kanan mengepal diletakkan di depan perut dan ibu jari mengarah ke atas, tangan kiri menjulur ke bawah, kuku tangan panjang.

60

Teras VI Antara teras V dan VI hanya dibatasi oleh 2 susun batuan yang sama sekali tidak tinggi. Teras ini tidak mempunyai gapura pintu masuk. Di halaman sebelah kiri teras VI di bawah bangunan bertiang kayu dan beratap ijuk terdapat bentukan semacam altar berdiri di atas pondasi berdenah bujur sangkar.

Altar itu berbentuk seperti candi namun bagian atap terpotong (tidak ada kemuncak), yang terdiri dari susunan batu (pelipit) yang pada bagian tengah tubuhnya menyempit. Pada keempat sudut bagian atas terdapat pahatan berbentuk burung garuda. Lantai altar tersebut masih berupa tanah dan di atasnya berdiri 15 tiang kayu yang mengelilingi pondasi latar dan menyangga atap tumpang 2 tingkat. Untuk memasuki lantai pondasi altar melewati 2 tingkat susunan batu yang berbentuk kura- kura. Pondasi altar berada di tengah batur berbentuk seperti piramida yang terpancung bagian atasnya. Pada bagian batur tersebut tidak terdapat gapura dan anak tangga untuk memasuki altar ini terdiri dari 7 tingkat. Di depan anak tangga tersusun batuan yang dipakai sebagai jalan masuk. Penduduk setempat menamakan altar ini Kyai Krincing Wesi, dan sampai sekarang masih dikeramatkan serta dipakai oleh penduduk sekitarnya sebagai tempat pemujaan (Wawancara dengan Bp. Patmo, 1 Mei 2006). Di belakang halaman teras ini, di kanan bawah gapura pintu masuk teras VII terdapat sebuah arca yang menghadap ke depan dengan posisi setengah duduk, kaki kanan ditekuk ke atas dan kaki kiri ditekuk ke bawah di atas lapik, tangan kanan mengepal diletakkan di depan perut, tangan kiri menjulur ke bawah, kepala sudah hilang.

61

Teras VII Teras ini merupakan teras yang paling menarik karena terdapat banyak peninggalan baik berupa gapura, arca maupun bentukan tatanan batu dan prasasti. Teras ini mempunyai pintu masuk berupa gapura bentar dengan dinding di kiri- kanannya setinggi 3,5 m dari bagian terbawah susunan anak tangga II. Pintu masuk ini mempunyai 2 bagian susunan anak tangga. Susunan terbawah (I) mempunyai 6 anak tangga, susunan anak tangga II berada tepat di bawah gapura terdiri dari 7 anak tangga. Terdapat 8 buah arca di teras ini yang terletak di belakang gapura VII, di depan gapura teras VIII dan di belakang fitur. Terdapat juga alas kaki tangga berbentuk kura-kura di bawah gapura masuk teras VIII. Di tengah halaman, berurutan dari depan ke belakang, terdapat fitur yang terbuat dari batu-batu yang disusun mendatar (rebah) yang membentuk pola tertentu. Peninggalan tersebut antara lain : 1. Phalus (lingga) pada pangkal ujung depan melintang 3 bulatan/bola, satu bola berada tepat di tengah ujung phallus, lainnya menempel di samping kanan dan kirinya. Pada bagian batang/tubuh phallus di atasnya dipahatkan cicak dan belut (ular) yang saling berhadapan. Bagian ujung belakang melebar ke samping. Panjang phallus 1,85 m dan diameter kurang lebih 28 cm, dan bukan terbuat dari satu batu utuh tetapi terdiri dari beberapa bagian batuan.

2. Di belakang phallus, terdapat fitur segitiga sama kaki dengan satu sudut menghadap ke depan dan dua sudut lainnya mengarah ke samping. Kedua kaki segitiga panjangnya 3,05 m dan panjang alas 3,14 m. Di atas bidang segitiga pada bagian tengahnya terdapat hiasan 3 ekor katak menghadap ketiga titik sudut. Hiasan katak tadi dikelilingi oleh seekor ketam (kepiting) di sebelah kirinya, seekor belut di bagian belakangnya, dan seekor mimi di bagian kanannya, kesemuanya menghadap ke dalam.

62

Pada masing-masing sudut bidang segitiga dipahatkan seekor kadal menghadap ke dalam. Fitur yang menggambarkan ketam, belut dan mimi ini oleh K.C. Cruca dan A.J. Bernet Kempers dalam Riboet Darmosoetopo (1975: 94) dianggap sebagai sengkalan yang berbunyi “welut wiku nahut iku”, welut = 3, wiku = 7, kepiting = nahut = 3, dan mimi = iku = 1, jadi = 1373 Caka. Cruca juga mengatakan bahwa bentuk segitiga adalah lambang pelepasan dalam dunia seksual, bentuk segitiga ini berhubungan dengan lambang kesuburan, yang lebih dekat dengan lambang kewanitaan. Hal ini dapat dikembalikan pada lukisan yang dipahatkan pada lantai pintu masuk gapura pertama Candi Sukuh, yang berupa gambar phallus yang dihadapkan pada kemaluan wanita, yang bentuknya juga berupa gambar segitiga. 3. Terdapat 3 buah batu utuh berbentuk bundar yang tersusun melintang berjajar di belakang fitur segitiga tersebut. Di atas batu bundar itu dipahatkan lambang matahari (bola bersinar) seperti lambang “ Majapahit”. Lambang matahari yang berada di tengah (persis di belakang segitiga) memiliki 7 garis sinar, sedangkan dua lainnya (di kiri-kanannya) memiliki 9 garis sinar. Kedua bundaran (di kiri-kanan) berdiameter 85 cm dan tinggi dari permukaan tanah 20 cm, sedangkan diameter bundaran tengah 74 cm. Bundaran tersebut satu sama lain berjarak kurang lebih 3 m.

4. Tatanan batu di belakang batu bundar yang menggambarkan seekor garuda terbang (rentang sayap 6,71 m dan panjang 5,40 m) berada di bawah seekor kura-kura dengan batok pelindung tubuh berbentuk oval (panjang 4,15 m dan lebar 3,35 m). Tinggi tatanan batu dari permukaan tanah 15 cm. 5. Tatanan batu berbentuk persegi panjang di samping kanan dan kiri fitur garuda dan kura-kura, berukuran panjang 2,19 m, lebar 1,05 m, dan tinggi 40 cm. 6. 2 buah tatanan batu seperti pondasi bangunan berukuran 3,64 m x 3,44 m dan berada di belakang agak menyamping dari fitur garuda dan kura-kura.

63

Teras VIII Di bagian halaman sebelah kiri jalan masuk terdapat bekas pondasi berdenah bujursangkar. Di atasnya terdapat batu-batu berelief yang disusun berjajar mengikuti bentuk pinggiran pondasi. Pondasi berukuran panjang 4,10 m, lebar 3,95 m dan tinggi 39 cm. Tatanan batu berelief di atasnya berukuran panjang 2,96 m x 2,55 m, sedangkan tiap fragmen relief berukuran tinggi 37 cm, lebar 17 cm dan tebal 16 cm. Di dalam kotak tatanan relief terdapat alas kaki tangga berbentuk kura-kura yang bagian kepalanya sudah hilang. Alas kaki tangga berbentuk kura-kura ini juga diletakkan di depan relief samping kanan serta pada bagian bawah kaki tangga masuk teras IX. Di bawah kaki tangga masuk teras IX terdapat sepasang arca penjaga pintu menghadap ke depan. Arca sebelah kanan dengan posisi setengah bersila di atas lapik, kaki kanan dilipat vertical dan kaki kiri bersila, tangan kanan diletakkan di atas lutut kaki kanan dan tangan kiri memegang gada, kepalanya sudah hilang. Sedang arca sebelah kiri dengan posisi setengah bersila di atas lapik, kaki kiri dilipat vertikal dan kaki kanan bersila, tangan kiri diletakkan di atas lutut kaki kiri dan tangan kanan memegang gada.

Teras IX Bangunan pada teras ini sampai teras terakhir merupakan bangunan hasil renovasi tahun 1978, sehingga merupakan bangunan baru (Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, 2001: 7). Bangunan baru tersebut berupa gapura, pendapa balai-balai maupun rumah arca. Pada teras ini hanya terdapat 2 buah bangunan pendopo di samping jalan masuk serta 3 arca menghadap ke depan. Arca tersebut yaitu, arca manusia menunggang binatang, dan dua arca gajah duduk dengan pelana di punggungnya, namun arca ini sudah dalam keadaan rusak dan tidak jelas. Teras ini sampai teras terakhir, lantai halaman dilapisi oleh tatanan ubin batu.

64

Teras X Pada teras ini hanya terdapat 2 buah bangunan pendopo. Anak tangga yang harus kita lewati sebelumnya berjumlah 21 anak tangga. Dan anak tangga yang paling bawah berbentuk kura-kura.

Teras XI Pada teras ini terdapat 4 buah bangunan baru sebagai tempat arca dan 2 bangunan balai-balai sebagai tempat istirahat peziarah. Bangunan yang berada di sebelah kiri dan kanan jalan masuk dan berada di tengah halaman merupakan bangunan yang tidak berpintu, sehingga kedua arca dapat dilihat secara langsung dari depan. Sedangkan 2 buah bangunan yang berada di samping bangunan di halaman tengah, menempel pada dinding sampai teras, merupakan bangunan tertutup yang di dalamnya berisi kumpulan arca.

Teras XII Bangunan di teras ini sama dengan bangunan di teras XI namun bangunan arca di teras ini berisi arca yang berbeda dengan teras sebelumnya, dimana 2 arca menghadap kedepan berupa arca manusia berdiri di atas lapik dengan posisi kedua tangan mengepal di depan dada dengan kedua ibu jari bertemu mengarah ke atas, dan arca phallus.

Teras XIII Teras ini merupakan teras yang terakhir dan merupakan teras yang paling penting. Meskipun teras ini dianggap paling suci, akan tetapi di dalamnya sudah tidak terdapat peninggalan. Untuk naik kita melewati 18 anak tangga. Pada teras ini terdapat bangunan mirip Candi Sukuh yang merupakan bangunan baru. Dan pada 65

bagian atasnya terdapat bangunan batu atau altar yang digunakan sebagai tempat untuk pemujaan atau tempat berdoa.

B. Latar Belakang Sejarah Candi Sukuh dan Candi Cetho

1. Candi Sukuh a. Latar Belakang Dibangunnya Candi Sukuh Candi Sukuh merupakan candi yang dibangun pada saat kerajaan Hindu yaitu Majapahit mulai kehilangan pengaruhnya dan mulai berkembangnya kerajaan Islam di Jawa. Berdasarkan prasasti yang terdapat pada bangunan, arca dan relief, Candi Sukuh diperkirakan dibangun pada abad ke 15 Masehi (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2003: 5). Hal ini dapat diketahui dari beberapa relief yang ada di Candi Sukuh. Relief yang menggambarkan seseorang dimakan raksasa. Relief ini dipahatkan pada dinding depan sebelah Utara dan diperkirakan mempunyai arti sengkalan, yang berbunyi: ”Gapura buta aban wong”, gapura = 9, buta = 5, mangan = 3, wong = 1, jadi 1359 Saka atau 1437 Masehi (Riboet Darmosoetopo, 1975: 36). Pada dinding depan sebelah Selatan terdapat relief seorang tokoh laki-laki sedang lari dan menggigit ekor ular. Di atasnya terdapat hiasan makhluk sedang melayang-layang dan paling atas terdapat hiasan seekor binatang melata. Relief ini menurut K.C. Cruca dibaca juga sebagai sengkalan yang berbunyi: ”Gapura buta nahut buntut”, gapura = 9, buta = 5, nahut = 3, buntut = 1, jadi 1359 Saka atau 1437 Masehi (Riboet Darmosoetopo, 1975: 37). Selain itu pada teras ke II, halaman sebelah Selatan terdapat relief yang menggambarkan seorang pendeta berkepala gajah (Ganesa), tangannya menangkap ekor binatang anjing. Relief ini ada yang menganggap mempunyai nilai sengkalan yang berbunyi “Gajah wiku anahut buntut”, gajah = 8, wiku = 7, anahut = 3, buntut = 1, jadi 1378 Saka atau 1456 Masehi (Riboet Darmosoetopo, 1975: 40). 66

Pembuatan Candi Sukuh tidak dapat diketahui dengan pasti, namun demikian dengan diketemukannya beberapa relief dan sengkalan memet yang terdapat pada candi tersebut dapat ditafsirkan bahwa Candi Sukuh dibangun antara tahun 1437 sampai tahun 1456 Masehi. Pada tahun-tahun tersebut bersamaan dengan surutnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur, karena mulai berpengaruhnya agama Islam di pulau Jawa (Joko Priyanto, 1991: 22). Pendirian Candi Sukuh ini tidak tertutup kemungkinan adanya kepentingan politik yang ikut melatarbelakanginya. Hal ini berdasarkan keberadaan prasasti sebanyak 8 garis yang ditulis dengan bahasa dan huruf kawi berangka tahun 1363 Saka, yang dipahatkan di belakang arca Garuda. Adapun bunyi prasasti itu adalah : Lawese rajeg wesi du K pinerp kapeteg de Ne wong medang ki hempu ra Ma karubuh alabuh geni ha Rbut bumi kacaritane Babajang mara mari setra Hanag tang bango 1363

Terjemahannya : ”Lamanya Rajegwesi ketika diserang (dan) ditahan oleh orang Medang. Ki Hempu terkalahkan (dan) menerjunkan (diri) ke api. Orang saling berebutan tanah. Ceritanya babajang datang di tempat pengruwatan ada bango. 1363. (Riboet Darmosoetopo, 1975: 77). Rajegwesi adalah nama tempat. Di Mojokerta ada nama tempat dengan nama Pagerwesi, dulu wilayah kerajaan Majapahit. Pager (bahasa Indonesia: pagar) 67

memang sama artinya dengan rajeg (bahasa Indonesia: terali). Mungkin yang dimaksud Pagerwesi adalah Rajegwesi itu. Apabila penafsiran itu betul maka Rajegwesi terletak di daerah Mojokerto. Kata Medang juga berarti nama tempat, dulu merupakan nama daerah kekuasaan raja-raja pada jaman Majapahit. Pada intinya prasasti tersebut bercerita tentang upaya seseorang yaitu penguasa Rajegwesi yang berusaha merebut kembali daerahnya yang dikuasai musuh yaitu penguasa Medang, dengan cara mencari kekuatan spiritual yaitu dengan membangun Candi Sukuh yang memuat cerita ruwatan. Berdasarkan isi prasasti tersebut maka dapat disimpulkan adanya kepentingan politik yang ikut melatarbelakangi pendirian Candi Sukuh, yaitu pada saat terjadi peperangan antar dua orang raja yaitu raja Rajegwesi dan raja Medang yang saling memperebutkan daerah kekuasaan. Pada peperangan tersebut raja Rajegwesi akhirnya kalah dan menyingkir ke wilayah Jawa Tengah yang kemudian mendirikan daerah kekuasaan baru. Di daerah kekuasaan barunya ini raja Rajegwesi menyusun kekuatan agar dapat merebut kembali daerah kekuasaannya yang direbut oleh raja Medang. Di daerah kekuasaan barunya inilah raja Rajegwesi mendirikan Candi Sukuh yang dimaksudkan untuk mendapatkan air suci agar dapat menebus kekalahan perang dari raja Medang dan bebas dari kekuasaannya (Riboet Darmosoetopo, 1975: 78). Pembangunan Candi Sukuh ini tidak lagi memperoleh pengaruh kuat dari budaya Hindu, namun terlihat bahwa bangunan cenderung kembali pada konsep unsur Indonesia asli dari masa prasejarah. Situs purbakala Candi Sukuh mengungkapkan keperluan akan munculnya agama baru, yang tidak ada hubungan lagi dengan Hinduisme (Denys Lombard, 2005: 25). Menurut Von Heine Geldern, pembangunan candi-candi di Indonesia merupakan refleksi dari bangunan megalitik. Geldern menyatakan bahwa tradisi megalitik turut menentukan bentuk susunan percandian di Indonesia (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2003: 6). Kompleks Candi Sukuh yang berbentuk teras berundak, dan didirikan di atas gunung, mengingatkan pada bentuk punden berundak serta kepercayaan yang 68

mendasari pendirian bangunan megalitik. Punden berundak mempunyai fungsi sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang, sedang gunung dianggap sebagai pusat segala potensi. Berdasarkan anggapan tersebut, maka diperkirakan latar belakang dibangunnya Candi Sukuh ini adalah didorong adanya kepentingan religius atau kepercayaan yaitu sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang. Hal ini diperkuat dengan arca-arca yang mempunyai bentuk sederhana yang mengingatkan pada patung-patung sederhana dari masa megalitik. Patung-patung tersebut mempunyai fungsi sebagai alat pemujaan arwah nenek moyang (Riboet Darmosoetopo, 1975: 30). Selain kepercayaan mengenai pemujaan terhadap roh nenek moyang, ada suatu anggapan, bahwa pendirian suatu bangunan megalitik bertujuan untuk memohon perlindungan, kekuatan gaib serta kesuburan dari nenek moyang. Berpangkal pada kepercayaan tersebut, maka kemungkinan latar belakang pendirian Candi Sukuh adalah adanya keinginan untuk memohon kekuatan gaib serta kesuburan dari nenek moyang. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya relief serta patung- patung yang dianggap sebagai lambang kesuburan, antara lain relief phallus, penggambaran sex yang menonjol (phallus yang dihadapkan pada kemaluan wanita). Di samping itu relief phallus dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat mengusir roh-roh jahat (Riboet Darmosoetopo, 1975: 31). Berdasarkan relief-relief yang menceritakan kisah Sudhamala dan Garudeya diperkirakan bahwa pendirian Candi Sukuh berhubungan dengan upacara pelepasan atau ruwatan. Upacara pelepasan tersebut berhubungan dengan kepercayaan arwah leluhur yang tampak pada susunan bangunan teras-teras berundak yang mirip bangunan punden berundak pada masa pra sejarah. Hal ini juga terlihat pada Candi Sukuh yang menggunakan konsep bahwa bangunan yang paling suci terletak di tempat paling atas, masing-masing halaman dikelilingi oleh tembok batu dan masing- masing penjuru mempunyai pintu gerbang (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2003: 7).

69

b. Fungsi Keberadaan Candi Sukuh Menilik fungsi pembangunan Candi Sukuh, maka secara keseluruhan bangunan itu lebih banyak dipengaruhi oleh kepercayaan asli yang ada. Adapun secara umum keberadaan Candi Sukuh ini memiliki tiga fungsi, yaitu : 1. Fungsi religi atau yang berhubungan dengan kepercayaan. Fungsi religi di sini lebih berkaitan erat dengan pengaruh kepercayaan asli yang ada. Fungsi yang menampakkan pengaruh asli tersebut antara lain : (a) Tempat meruwat dari malapetaka Meruwat dalam kepercayaan Jawa adalah suatu upacara yang dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari malapetaka. Meruwat di sini bisa juga diartikan upacara pembersihan atau pelepasan dari pengaruh buruk. Beberapa relief yang ada hubungannya dengan fungsi ruwat ini antara lain: kisah Sudhamala dan Garudeya. Sampai saat ini upacara ruwatan masih sering diadakan di Candi Sukuh. Biasanya ruwatan ini ditujukan kepada anak tunggal, anak dua laki-laki semua/wanita semua, anak tiga di mana perempuan berada di tengah (sendang kapit pancuran) dan sebaliknya anak tiga di mana laki-laki berada di urutan kedua (pancuran kapit sendang). Kaitannya dengan upacara pembersihan atau pelepasan, yang sampai saat ini masih diadakan adalah upacara Grebeg Sukuh, yaitu merupakan peringatan bersih desa yang diselenggarakan dalam rangka melestarikan tradisi budaya dan adat masyarakat desa Berjo, kecamatan Ngargoyoso. Grebeg Sukuh ini biasanya diperingati tiap hari Jum’at Kliwon bulan Mulud (Rabiul Awal) (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). (b) Tempat upacara berhubungan dengan kesuburan dan memohon kekuatan gaib. Candi Sukuh sebagai tempat upacara kesuburan dapat diketahui dari relief pada lantai pintu pertama candi, yang berupa phallus (kemaluan laki-laki) berhadapan dengan kemaluan wanita. Di samping itu relief phallus juga 70

diyakini mempunyai kekuatan gaib yang dapat mengusir roh-roh jahat (Riboet Darmosoetopo, 1975: 31). (c) Tempat pemujaan roh nenek moyang Kompleks Candi Sukuh yang berbentuk teras berundak, dan didirikan di atas gunung, mengingatkan pada bentuk punden berundak serta kepercayaan yang mendasari pendirian bangunan megalitik. Punden berundak mempunyai fungsi sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang, sedang gunung dianggap sebagai pusat segala potensi. Berdasarkan hal tersebut, maka fungsi Candi Sukuh adalah sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang. Hal ini diperkuat dengan arca-arca yang mempunyai bentuk sederhana yang mengingatkan pada patung-patung sederhana dari masa megalitik. Patung-patung tersebut mempunyai fungsi sebagai alat pemujaan arwah nenek moyang (Riboet Darmosoetopo, 1975: 30). Sebagai fungsi pemujaan terhadap roh nenek moyang bisa pula dilihat dari bentuk kura-kura yang pada bagian atasnya dibuat datar, yang berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan sesaji. Fungsi semacam ini juga merupakan peninggalan tradisi megalitik yang biasa disebut dolmen (meja batu untuk sesaji) (Joko Priyanto, 1991: 58).

2. Fungsi pendidikan Keberadaan Candi Sukuh dapat dimanfaatkan sebagai sarana kegiatan belajar mengajar bagi para pelajar, baik mereka yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun mereka yang sudah duduk di bangku perkuliahan. Kegiatan pembelajaran yang mereka lakukan biasanya adalah dengan mengunjungi situs Candi Sukuh ini dengan maksud untuk lebih memperjelas dan memperdalam materi bidang sejarah, khususnya yang berhubungan dengan Candi Sukuh, yang telah mereka terima secara teori di kelas. Mereka yang sudah duduk di bangku kuliah (mahasiswa), di samping untuk memperjelas materi, biasanya tujuan mereka ke Candi Sukuh adalah melakukan 71

penelitian untuk kepentingan tugas yang ada kaitannya dengan Candi Sukuh (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). Selain itu tujuan kunjungan pelajar ke Candi Sukuh ini adalah agar mereka bisa mengambil nilai-nilai atau unsur-unsur filosofis dan kesejarahan yang terkandung di dalamnya, karena ternyata banyak nilai yang bisa kita ambil dari Candi Sukuh ini. Misalnya bangunan candi yang berbentuk piramid terpotong menggambarkan ketidak sempurnaan manusia. Manusia memang hebat tetapi terbatas, karenanya manusia tidak boleh sombong. Manusia bisa saja mencapai langit, memiliki cita-cita tinggi, tetapi kenyataannya semuanya serba terbatas (Karanganyar Tenteram, 09 September 2003: 24). Ornamen tapal kuda yang menceritakan tentang asal-usul manusia yang diawali dari terjadinya embrio dalam rahim perempuan. Kemudian mengenai relief tokoh yang sedang memperebutkan bayi mengandung pengertian bahwa sejak embrio, calon manusia yang tinggal dalam rahim atau rumah memperoleh perawatan atau pemeliharaan fisik dari sang ibu, setelah lahir dan tumbuh dewasa, embrio ini akan menjadi manusia dewasa dan akan di bawah pengaruh atau tarik menarik antara karma baik (subakarma) dan karma buruk (asubakarma). Manusia ini sendirilah yang akan menentukan pilihannya dan tidak lagi berada di bawah pengaruh sang ibu. Ornamen tapal kuda ini juga dapat diambil nilainya, yaitu bahwa manusia harus mampu memilih jalan hidup yang baik, harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Relief yang menceritakan kisah Garudeya yang mampu membebaskan ibunya (dewi Winata) dari perbudakan dewi Kadru, dapat diambil nilai dan maknanya, yaitu bahwa seorang anak harus berbakti pada orang tuanya. Demikian, karena Candi Sukuh ini banyak mengandung nilai-nilai filosofis yang berguna, maka candi ini dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan. 3. Fungsi pariwisata Keberadaan Candi Sukuh memiliki fungsi pariwisata, yaitu sebagai obyek wisata budaya. Hal ini jelas tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan sektor pariwisata yang menjadi salah satu andalan Kabupaten Karanganyar di samping 72

sektor industri dan pertanian. Keberadaan Candi Sukuh yang dekat dengan obyek wisata lainnya seperti Candi Planggatan, kebun teh Kemuning dan air terjun Jumok membuat wisatawan yang berkunjung ke sini rasanya belum lengkap kalau belum mengunjungi Candi Sukuh, karena memang candi ini dikenal dengan relief-reliefnya yang terlalu vulgar dan bersifat erotis (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). Jalan menuju candi yang berkelok-kelok dan di kanan-kiri jalan yang mulus terhampar pemandangan indah, hamparan lahan pertanian yang menghijau, lekuk liku bukit-bukit kecil yang tergolek menambah indahnya pemandangan, dan tentu saja ini mampu menarik wisatawan untuk berkunjung ke lokasi ini. Wisatawan yang berkunjung ke Candi Sukuhpun dari berbagai kalangan dan dengan tujuan yang beragam pula. Ada dari mereka yang mengunjungi Candi Sukuh karena memang dengan tujuan mengadakan penelitian, namun banyak juga mereka yang berkunjung ke candi ini hanya sekedar ingin melihat-lihat saja, membuktikan sendiri seperti apa sebenarnya relief yang terkesan erotis itu (Wawancara dengan Adi, 1 Mei 2006). Candi Sukuh ini ramai dikunjungi oleh wisatawan pada hari Minggu atau hari-hari libur (Wawancara dengan Pak Kemis, 1 Mei 2006). Selain melihat bangunan candi, wisatawan yang datang bisa juga melihat atraksi-atraksi lokal yang setiap saat ditampilkan berdasarkan permintaan wisatawan, kalau ada wisatawan yang datang dalam jumlah besar (rombongan), misalnya atraksi reog, rebana, klenengan, tek-tek bambu dan seni tradisional kotekan lesung (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). Di Candi Sukuh sendiri sering diadakan event-event yang mampu menarik kunjungan wisatawan, seperti yang sudah pernah diadakan adalah Gelar Budaya, Sendratari Tundhung Kala Durga dan Upacara Bayu Ruci. Upacara Bayu Ruci dan Bayu Aji yang diberi judul “Making Love With The Winds of Solo” merupakan salah satu bentuk sinergi budaya Jawa dan Jepang. Sinergi budaya Jawa dan Jepang ini mampu menarik kunjungan wisatawan ke Candi Sukuh. Selain itu juga pernah diadakan upacara Grebeg Sukuh, yaitu upacara peringatan bersih desa yang 73

diselenggarakan dalam rangka melestarikan tradisi budaya dan adat masyarakat Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso yang diperingati tiap hari Jum’at Kliwon bulan Mulud (Rabiul Awal), selain sebagai upacara tradisional, Grebeg Sukuh ini juga mampu menarik kunjungan wisatawan yang ingin menyaksikan bagaimana prosesi upacara tersebut (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). Terlepas dari itu semua keberadaan Candi Sukuh sebagai fungsi pariwisata ini memiliki tujuan selain untuk melestarikan budaya juga sebagai sarana peningkatan kesejahteraan masyarakat (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006).

2. Candi Cetho a. Latar Belakang Dibangunnya Candi Cetho Keberadaan Candi Cetho yang terletak di sebelah Barat lereng Gunung Lawu masih diliputi banyak misteri. Para sejarawan, arkeolog berusaha menterjemahkan simbol-simbol kultural yang ada pada Candi Cetho sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing (Edy Suwiryo, 1997: 60). Pembangunan Candi Cetho sebagai kreasi budaya umat manusia sudah pasti banyak faktor yang melatarbelakanginya.

1. Aspek Politik Menurut Stutterheim bahwa Candi Cetho dibangun pada masa kerajaan Majapahit. Dasar analisa Stutterheim adalah ditemukan lambang kerajaan Majapahit yaitu bintang persegi (Edy Suwiryo, 1997: 61). Berdasarkan observasi yang telah dilakukan memang terbukti bahwa pada teras ketujuh Candi Cetho ditemukan tiga lingkaran yang di atasnya terdapat relief bintang, dimana satu lingkaran terdapat relief bintang bersegi tujuh dan dua lingkaran lainnya terdapat relief bintang bersegi sembilan. Kompleks percandian Cetho didirikan pada periode Indonesia Hindu terakhir yaitu abad 15 Masehi (Riboet Darmoseotopo, 1975: 116). Candi Cetho dibangun pada tahun 1475 Masehi (Stutterheim dalam Edy Suwiryo, 1997: 61). Raja Majapahit 74

yang berkuasa pada saat itu adalah Bhre Kertabhumi atau yang bernama lain Brawijaya V. Bhre Kertabhumi ini memegang tampuk tertinggi di lingkungan kerajaan Majapahit dari tahun 1474 sampai tahun 1478 (Slamet Mulyono, 1979: 157). Dengan demikian maka dapat diketahui bahwa pada saat dibangunnya Candi Cetho, kekuasaan politik berada di bawah Majapahit dengan raja yang berkuasa adalah Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi. Pada masa Majapahit ada usaha yang dilakukan para penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya di hadapan rakyat. Salah satu cara dengan melalui jalur budaya yaitu membuat rekayasa seni religius. Karya seni religius ditujukan untuk membuat rakyat jelata tunduk dan patuh pada perintah raja (Edy Suwiryo, 1997: 62). Dalam pola kehidupan budaya masyarakat Indonesia terindikasi adanya sifat fanatis, terutama dalam memegang unsur-unsur kehidupan yang bersifat mistis dan religius. Kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh para penguasa untuk menarik simpatik rakyat bagi kepentingan kekuasaannya. Maka para pujangga dan para seniman membuat karya-karya seni budaya yang berbau mistik dan religius. Dalam karya budaya tersebut para raja atau pembesar kerajaan ditokohkan seperti dewa. Karya seni yang banyak digunakan untuk kepentingan politik adalah seni patung. Raja dibuat patung dewa dan arcanya ditempatkan di candi. Sebagai contohnya Raja Rajasa diperdewa sebagai Siwa di Candi Kagenengan, Raja Anusapati juga diperdewa sebagai Siwa di Candi Kidal, Raja Wisnuwardhana diperdewa sebagai Budha di Candi Tumpang, Raja Kertanegara sebagai Wairocana Locana di Candi Segala dan Raja Kertajasa Jayawardhana sebagai Harihara di Candi Simping (Slamet Mulyono, 1979: 222). Hal yang sama terdapat pula pada Candi Cetho, tepatnya pada sisi kanan jalan masuk teras kedua belas terdapat patung yang memakai mahkota kebesaran kerajaan. Patung tersebut diidentifikasikan seperti patung Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi. Dengan demikian ada semacam usaha untuk memasukkan nilai-nilai mistis ke dalam pola kehidupan rakyat Majapahit. Nilai-nilai mistis yang berupa Kultus Dewa Raja kemudian berangsur-angsur tertanam dalam hati rakyat. Semua perintah dan larangan 75

Bhre Kertabhumi disamakan dengan perintah dan larangan dewa, sehingga rakyat Majapahit akan selalu mematuhi dan melaksanakan semua perintah dan larangan raja. Kebijaksanaan seperti ini sangat penting sekali untuk meningkatkan loyalitas rakyat dan akhirnya akan menjamin keutuhan wilayah kerajaan Majapahit. Dapat disimpulkan bahwa latar belakang politik dibangunnya Candi Cetho adalah untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan raja Bhre Kertabhumi dan untuk kepentingan stabilitas serta keutuhan wilayah kerajaan Majapahit.

2. Aspek Sosial Sekitar tahun 1475 Masehi atau pada saat kekuasaan kerajaan Majapahit berada di tangan Bhre Kertabhumi, agama Islam telah tersebar di wilayah pesisir (Slamet Mulyono, 1979: 199). Kedatangan agama Islam disambut baik oleh rakyat Majapahit, hal ini dikarenakan dalam konsep ajaran Islam digariskan suatu aturan yang memberikan perlakuan yang sama terhadap manusia. Sedangkan dalam ajaran agama Hindu membedakan stratifikasi individu berdasarkan golongan kasta. Masing-masing kasta memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Semakin tinggi kasta seseorang, maka semakin banyak hak yang diterimanya dan semakin kecil kewajiban yang dilakukannya, demikian sebaliknya semakin rendah kasta seseorang, maka semakin besar kewajiban yang harus dilakukannya dan semakin kecil hak yang diterimanya. Perkembangan agama Islam begitu pesat, sehingga akhirnya terbentuk masyarakat muslim. Diterimanya agama Islam ini ternyata membawa pengaruh bagi kestabilan dan keutuhan wilayah Majapahit. Islam mengajarkan bahwa hanya Allah SWT yang wajib disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Konsep Islam yang seperti itu sudah secara otomatis melemahkan konsep Kultus Dewa Raja. Maka lemahnya keyakinan rakyat Majapahit terhadap Kultus Dewa Raja ini berarti lemah pula kekuasaan politik Majapahit. Melihat fenomena tersebut maka Raja Majapahit yang berkuasa saat itu, yaitu Bhre Kertabhumi berusaha untuk menghambat meluasnya ajaran agama Islam. Usaha yang dilakukannya untuk tetap menjaga masyarakat yang 76

berpola Hinduisme adalah dengan melalui cara seni budaya. Dalam hal ini adalah dengan membuat dan melestarikan tempat-tempat peribadatan yang berlatar belakang unsur-unsur Hinduisme, seperti candi. Menarik dari analisa di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa latar belakang sosial dibangunnya Candi Cetho yang paling dominan adalah adanya suatu upaya untuk mempertahankan sistem masyarakat yang bercorak Hinduisme. Asumsi ini dapat diperkuat oleh adanya fenomena kehidupan masyarakat sekitar Candi Cetho yang mayoritas beragama Hindu.

3. Aspek Agama Mengacu pada struktur fisik Candi Cetho yang ditandai dengan adanya susunan bangunan yang berbentuk teras berundak dari teras I sampai dengan teras XIII. Bangunan induk Candi Cetho yang paling suci terletak pada teras yang paling tinggi dan paling belakang. Susunan fisik Candi Cetho menggambarkan perjalanan kehidupan manusia dan pada teras yang ketiga belas sebagai simbol akhir dari perjalanan manusia (Edy Suwiryo, 1997: 70). Digambarkan untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus melewati berbagai macam rintangan dan cobaan dalam kehidupannya. Orang harus benar-benar bersih dan suci untuk mencapai tingkatan tertinggi dalam beragama Hindu. I Gede Wijaya dalam Edy Suwiryo (1997: 71) menyatakan bahwa tujuan akhir umat Hindu, di dalam kitab suci Weda disebutkan Moksarthem Jagadita Ya Ca Ih , yang artinya bahwa tujuan akhir agama Hindu itu adalah untuk mencapai moksa atau kesejahteraan umat manusia. Moksa adalah kelepasan, kebebasan atau kemerdekaan. Adapun yang dimaksud kebebasan dalam pengertian yang dikandung dalam istilah moksa sebagai tujuan akhir dan tertinggi menurut ajaran kerohanian Hindu adalah terlepasnya roh dari pengaruh nafsu-nafsu duniawi dan dapat bertemu kembali dengan asalnya yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan mencapai kebenaran tertinggi serta mengalami kesadaran, ketentraman dan kebahagiaan kekal abadi (Persada Hindu Dharma dalam Edy Suwiryo, 1997: 71). 77

Secara umum struktur bangunan Candi Cetho yang berbentuk punden berundak dan semakin ke belakang, semakin tinggi, serta banyaknya arca yang ditemukan, maka susunan bangunan dapat dianggap suatu kontinuitas atau mungkin mendapat pengaruh dari punden berundak masa prasejarah yaitu masa megalitik. Dari sini maka dapat diketahui fungsi dan tujuan pendirian Candi Cetho adalah untuk pemujaan arwah nenek moyang. Sedangkan arca phallus diperkirakan bertujuan untuk menangkis pengaruh jahat (Riboet Darmoseotopo, 1975: 29). Relief kura-kura, belut, mimi dan ketam merupakan lambang kesuburan. Konsep bangunan Candi Cetho ini merupakan perpaduan unsur budaya Hinduisme dengan pengaruh budaya asli (Riboet Darmosoetopo, 1975: 32). Dapat diambil kesimpulan bahwa latar belakang agama dibangunnya Candi Cetho adalah dalam upaya untuk membentuk rakyat Majapahit agar memiliki pola perilaku yang berlandaskan ajaran agama Hindu. Dalam arti bahwa melalui pembangunan tempat peribadatan Hindu tersebut akan mendorong rakyat Majapahit untuk taat dalam melaksanakan ajaran agama Hindu agar dapat mencapai tingkat tertinggi yaitu Moksa. Selain itu juga dengan adanya kepercayaan terhadap arwah nenek moyang, maka dengan dibangunnya Candi Cetho ini diharapkan mereka akan selalu mendapat perlindungan dari nenek moyang mereka, agar mereka terhindar dari pengaruh roh-roh jahat. b. Fungsi Keberadaan Candi Cetho Melihat susunan bentuk serta letak Candi Cetho yang dibangun seperti punden berundak dengan teras semakin ke belakang semakin tinggi, ditambah dengan adanya arca-arca yang digambarkan secara sederhana, maka dapat diketahui bahwa fungsi dan tujuan pendirian Candi Cetho adalah untuk pemujaan arwah nenek moyang. Dugaan ini diperkuat oleh K. C. Cruca, yang mengatakan bahwa pemujaan arwah nenek moyang dapat dihubungkan dengan adanya relief kadal pada teras ke VII (Riboet Darmosoetopo, 1975: 32). Disamping itu di Candi Cetho juga terdapat arca phallus, relief binatang lambang kesuburan, antara lain: kura-kura, belut, mimi dan 78

ketam. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi dari pendirian Candi Cetho tidak berbeda dengan fungsi pendirian Candi Sukuh (Riboet Darmosoetopo, 1975: 32). Seperti halnya Candi Sukuh, Candi Cetho ini secara umum juga memiliki tiga fungsi, yaitu : 1. Fungsi religi atau yang berhubungan dengan kepercayaan. Fungsi religi di sini lebih berkaitan erat dengan pengaruh kepercayaan asli yang ada. Fungsi yang menampakkan pengaruh asli tersebut antara lain : (a) Tempat upacara berhubungan dengan kesuburan dan memohon kekuatan gaib. Candi Cetho sebagai tempat upacara kesuburan dapat diketahui dari relief yang berupa phallus (kemaluan laki-laki), relief binatang lambang kesuburan seperti kura-kura, belut, mimi dan ketam (Riboet Darmosoetopo, 1975: 32). Di samping itu relief phallus juga diyakini mempunyai kekuatan gaib yang dapat mengusir roh-roh jahat (Riboet Darmosoetopo, 1975: 31).

(b) Tempat pemujaan roh nenek moyang Kompleks Candi Cetho yang berbentuk teras berundak, semakin ke belakang semakin tinggi, mengingatkan pada bentuk punden berundak serta kepercayaan yang mendasari pendirian bangunan megalitik. Punden berundak mempunyai fungsi sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang. Berdasarkan hal tersebut, maka fungsi Candi Cetho adalah sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang. Hal ini diperkuat dengan arca-arca yang mempunyai bentuk sederhana yang mengingatkan pada patung-patung sederhana dari masa megalitik. Patung-patung tersebut mempunyai fungsi sebagai alat pemujaan arwah nenek moyang. Dugaan ini diperkuat dengan pendapat K. C. Cruca yang mengatakan bahwa 79

pemujaan arwah nenek moyang dapat dihubungkan dengan adanya relief kadal pada teras ke VII (Riboet Darmosoetopo, 1975: 32). (c) Tempat peruwatan atau tempat untuk membebaskan orang dari kutukan karena kesalahannya. Melalui simbol-simbol yang ditampilkan dari arca-arcanya, misal arca garuda dan kura-kura dimaksudkan untuk menjelaskan cerita Garudeya yang mengisahkan tentang kutukan dan pembebasannya, maka fungsi Candi Cetho dapat dijelaskan sebagai tempat peruwatan. Setelah diruwat, orang terbebas dari kutukan dan menjadi suci kembali seperti baru dilahirkan (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2005). (d) Tempat meditasi dan permohonan Saat ini keberadaan Candi Cetho masih digunakan sebagai tempat meditasi bagi sebagian orang. Mereka meyakini bahwa dengan meditasi di Candi Cetho sambil mengucapkan permohonan atau keinginannya, maka keinginannya itu akan terwujud. Sebagian besar permohonan orang yang melakukan meditasi di Candi Cetho adalah untuk mendapatkan jabatan dan kedudukan yang tinggi dalam pekerjaan. Biasanya mereka yang berkeinginan untuk melakukan permohonan atau sesaji akan datang pada malam Jum’at Kliwon dan malam Selasa Kliwon. Lamanya mereka melakukan meditasi juga tergantung pada niat mereka masing-masing, ada yang meditasi di Candi Cetho selama 3 hari, ada yang 1 minggu, bahkan ada yang sampai 1 bulan (Wawancara dengan Bp. Parno, 4 Mei 2006). Orang-orang yang datang ke Candi Cetho untuk tujuan inipun tidak hanya datang dari Kabupaten Karanganyar saja, tetapi ada yang datang dari Ponorogo, Blora, Cepu dan Sragen (Wawancara dengan para pengunjung, 4 Mei 2006). (e) Tempat ibadah bagi umat Hindu Candi Cetho ini merupakan bangunan suci bagi umat Hindu. Sebagian masyarakat di sekitar Candi Cetho mayoritas memang menganut agama 80

Hindu. Sampai saat inipun Candi Cetho digunakan untuk tempat upacara hari raya Nyepi dan Galungan. Oleh karena itu bagi para pengunjung yang datang diharapkan tetap menjaga kesucian tingkah laku dan perkataan di Candi Cetho untuk menghormati mereka yang masih menggunakan tempat ini sebagai tempat ibadah (Wawancara dengan Bp. Parno, 4 Mei 2006). 2. Fungsi pendidikan Seperti halnya Candi Sukuh, keberadaan Candi Cetho juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana kegiatan belajar mengajar bagi para pelajar, baik mereka yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun mereka yang sudah duduk di bangku perkuliahan. Kegiatan pembelajaran yang mereka lakukan biasanya adalah dengan mengunjungi situs Candi Cetho ini dengan maksud untuk lebih memperjelas dan memperdalam materi bidang sejarah, khususnya yang berhubungan dengan Candi Cetho. Mereka yang sudah duduk di bangku kuliah (mahasiswa), disamping untuk memperjelas materi, biasanya tujuan mereka ke Candi Cetho adalah melakukan penelitian untuk kepentingan tugas yang ada kaitannya dengan Candi Cetho (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). 3. Fungsi pariwisata Keberadaan Candi Cetho memiliki fungsi pariwisata. Hal ini jelas tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan sektor pariwisata yang menjadi salah satu andalan Kabupaten Karanganyar di samping sektor industri dan pertanian. Didukung dengan panorama pegunungan yang indah di sekelilingnya, udara yang sejuk dan letaknya yang berdekatan dengan obyek-obyek wisata yang lain seperti Candi Sukuh, kebun teh Kemuning dan air terjun Jumok, kompleks Candi Cetho mempunyai daya tarik tinggi untuk dikunjungi sebagai obyek wisata budaya. Apalagi sekarang di kompleks Candi Cetho terdapat obyek wisata baru yaitu Taman yang berada di sebelah Timur Candi Cetho. Puri Taman Saraswati ini merupakan obyek wisata baru yang diresmikan pada tanggal 28 Mei 2004, oleh Bupati Karanganyar, Hj. Rina Iriani 81

Sriratnaningsih, SPd, Mhum dan Bupati Gianyar, A.A. GDE Agung Bharata, sebagai wujud tali persaudaraan antara masyarakat sekitar Candi Cetho dan masyarakat Gianyar, Bali yang mempunyai persamaan spiritual dan budaya agama Hindu. Arca Dewi Saraswati ini merupakan bantuan Bupati Gianyar untuk menyokong pengembangan kawasan Candi Cetho, sebagai kawasan spiritual dan budaya (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). Puri Taman Saraswati ini bagi umat Hindu setempat berfungsi sebagai tempat pemujaan kepada Sang Hyang Aji Saraswati. Perayaannya dilakukan setiap 6 bulan sekali pada Hari Saraswati yang jatuh pada Sabtu (Saniscara) Umanis Wuku Watugunung. Hari Saraswati dirayakan sebagai hari Pawedalan Hyang Aji Saraswati, hari turunnya ilmu pengetahuan suci. Dalam pengarcaan (ikonografi), Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang Dewi cantik berkulit putih bersih, dengan perilaku yang lemah lembut, berbusana putih gemerlapan. Dewi Saraswati bersinggasana di atas padma (teratai) yang diapit oleh angsa dan merak. Dewi Saraswati juga digambarkan bertangan empat, yang masing-masing memegang Wina (kecapi), Aksmala (tasbih), Damaru (kendang kecil) dan Pustaka suci. Keberadaan Puri Taman Saraswati ini juga mampu menarik wisatawan yang berkunjung ke Candi Cetho lebih banyak. Jalan menuju candi yang berkelok-kelok dan di kanan-kiri jalan yang mulus terhampar pemandangan indah, hamparan lahan pertanian yang menghijau, lekuk liku bukit-bukit kecil yang tergolek di sana-sini menambah indahnya pemandangan, dan tentu saja ini mampu menarik wisatawan untuk berkunjung ke lokasi ini. Selama perjalanan dari Candi Sukuh ke Candi Cetho wisatawan akan melalui keindahan hamparan hijau kebun teh yang berbukit-bukit dengan hawa yang sejuk dan segar. Wisatawan yang berkunjung ke candi inipun dari berbagai kalangan dan dengan tujuan yang beragam pula. Ada dari mereka yang mengunjungi Candi Cetho dengan tujuan mengadakan penelitian, melakukan meditasi dan permohonan, namun banyak juga mereka yang berkunjung ke candi ini hanya sekedar ingin melihat-lihat saja (Wawancara dengan Bp. Parno, 4 Mei 2006). Candi Cetho ini ramai dikunjungi oleh wisatawan pada hari Minggu atau hari-hari libur, lebih ramai kalau pada malam tahun 82

baru dan malam bulan Syura (Wawancara dengan bu Endang, 1 Mei 2006). Selain melihat bangunan candi, wisatawan yang datang bisa juga melihat atraksi-atraksi lokal yang setiap saat dapat ditampilkan berdasarkan permintaan wisatawan, kalau ada wisatawan yang datang dalam jumlah besar (rombongan), misalnya atraksi kesenian cokekan, jatilan dan seni tradisional kotekan lesung yang disajikan oleh masyarakat sekitar (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). Di Candi Cetho sendiri sering diadakan event-event yang mampu menarik kunjungan wisatawan, seperti yang sudah pernah diadakan adalah upacara peringatan hari Saraswati. Terlepas dari itu semua keberadaan Candi Cetho sebagai fungsi pariwisata ini memiliki tujuan selain untuk melestarikan budaya juga sebagai sarana peningkatan kesejahteraan masyarakat (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006).

C. Upaya Pengembangan dan Pelestarian Candi Sukuh dan Candi Cetho

1. Upaya Pengembangan

Di dalam Undang-undang No. 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya, dalam bab I, pasal 1, telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan benda cagar budaya adalah : “benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahun, dan kebudayaan”.

83

Berdasarkan pengertian di atas, maka Candi Sukuh dan Candi Cetho jelas merupakan salah satu benda cagar budaya. Dan berdasarkan Undang-Undang itu pula tepatnya pada Bab III, pasal 4 dinyatakan bahwa semua benda cagar budaya dikuasai oleh Negara. Maka pengawasan dan wewenang terhadap keberadaan kedua candi tersebut berada di bawah Dinas Purbakala, dalam hal ini adalah Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah yang berada di . Candi Sukuh dan Candi Cetho juga merupakan warisan budaya masa lampau yang bernilai sangat tinggi, sehingga Candi Sukuh dan Candi Cetho perlu mendapatkan usaha-usaha pengembangan dan pelestarian agar keberadaannya tetap terjaga dengan baik. Untuk usaha pengembangan agar Candi Sukuh dan Candi Cetho ini berkembang menjadi obyek wisata budaya yang menarik minat wisatawan, tanggung jawabnya dipegang oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar dalam hal ini dilimpahkan kepada Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar. Sedangkan usaha-usaha pelestariannya dipegang oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah di Prambanan. Candi Sukuh dan Candi Cetho pada mulanya berstatus sebagai obyek wisata alternatif, namun kini pemerintah daerah senantiasa melakukan usaha-usaha yang intensif agar keberadaan kedua obyek wisata tersebut mampu menjadi obyek wisata budaya andalan. Usaha-usaha pengembangan dan pembaharuan terus dilakukan terhadap Candi Sukuh dan Candi Cetho agar keberadaannya dapat mengimbangi keberadaan obyek wisata Tawangmangu yang memang menjadi obyek wisata andalan bagi Kabupaten Karanganyar. Dengan demikian munculnya Candi Sukuh dan Candi Cetho sebagai obyek wisata budaya di Kabupaten Karanganyar, nantinya diharapkan dapat menambah pendapatan daerah Kabupaten Karanganyar pada umumnya, dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya pada khususnya. Secara umum kondisi kepariwisataan pada Candi Sukuh dan Candi Cetho dapat dijelaskan berdasarkan Standard Operating Procedures (SOP) dari Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar adalah sebagai berikut : a. Candi Sukuh 1. Kemasan Umum 84

(a) Lokasi obyek wisata budaya Candi Sukuh ini terletak di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. (b) Pengelolanya adalah kantor Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala. (c) Tujuan mengunjungi obyek wisata budaya Candi Sukuh ini adalah untuk mengenal atau mengetahui secara langsung apa dan bagaimana Candi Sukuh yang konon kabarnya mempunyai kekuatan magis, bahkan dapat untuk mengetes kegadisan seorang wanita hanya dengan melangkahi patung lingga dan yang ada di pintu pertama pelataran Candi Sukuh ini. (d) Obyek wisata budaya Candi Sukuh ini dapat dijangkau dengan bus besar, namun pengunjung harus berhenti di terminal Karangpandan dan berganti bus kecil sampai di pertigaan dukuh Nglorog, kemudian untuk dapat naik sampai ke lokasi Candi Sukuh bisa menggunakan jasa ojek yang selalu tersedia di pangkalan ojek. Tetapi kalau pengunjung membawa kendaraan pribadi bisa langsung sampai ke lokasi. (e) Obyek wisata Candi Sukuh ini mulai dibuka pada jam 07.30 sampai dengan 17.00 WIB setiap hari. (f) Tempat parkir di lokasi obyek wisata budaya Candi Sukuh ini berupa halaman yang cukup luas yang bisa menampung tidak kurang 30 buah kendaraan roda dua dan beberapa mobil. 2. Kemasan Pelayanan (a) Pramuwisata yang harus melayani wisatawan tentang hal-hal yang berhubungan dengan Candi Sukuh perlu dipersiapkan dengan kriteria yang harus dipenuhi : - Mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan bahasa Asing (paling tidak bahasa Inggris). - Dapat memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Candi Sukuh, meliputi: legenda Candi Sukuh dan cerita relief Candi Sukuh. 85

- Berbusana rapi, sopan, ramah dan cakap dalam melayani atau memandu wisatawan. (b) Pengunjung yang datang baik kelompok kecil maupun besar yang ingin penjelasan harus dipandu oleh pramuwisata yang menyertai rombongan. Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar juga telah memiliki pramuwisata. 3. Kemasan Fasilitas Pengunjung (a) Brosur dan leaflet Candi Sukuh dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing (bahasa Inggris) perlu disediakan secara cuma-cuma bagi wisatawan. (b) Alur kunjungan wisatawan perlu diatur dari pintu masuk atau gapura pertama sampai ke candi induk atau candi utama pada teras ketiga. (c) Fasilitas kamar kecil senantiasa dijaga kebersihannya dan cukup air, tetapi masih perlu disediakan kamar kecil yang bertaraf Internasional (bersih, higienis, yang terbuat dari porselin). (d) Tempat parkir kendaraan disediakan dan pada saat pengunjung banyak perlu pengaturan yang lebih teratur. (e) Warung-warung desa atau tradisional sudah ada, namun masih perlu disediakan kafe atau buffet yang ditata secara profesional. b. Candi Cetho 1. Kemasan Umum (a) Obyek wisata budaya Candi Cetho ini terletak di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. (b) Pengelolanya adalah kantor Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala. (c) Tujuan mengunjungi obyek wisata budaya Candi Cetho adalah untuk mengenal atau mengetahui secara dekat sejarah atau cerita mengenai Candi Cetho, ada pula yang datang berkunjung untuk beribadah. (d) Obyek wisata budaya Candi Cetho ini dapat dijangkau dengan kendaraan jenis jeep, karena jalannya banyak tanjakan tajam dan tikungan tajam, sehingga harus memerlukan pengemudi yang telah sering ke daerah itu atau paling 86

tidak pengemudi yang benar-benar berpengalaman dalam mengemudi di jalan-jalan tanjakan dan tikungan tajam. (e) Obyek wisata budaya Candi Cetho mulai dibuka pada jam 07.30 sampai 17.00 WIB setiap hari. (f) Tempat parkir di lokasi obyek wisata budaya Candi Cetho berupa halaman yang cukup luas yang dapat menampung kurang lebih 20 buah kendaraan station dan roda dua. Untuk saat ini tempat parkir yang tersedia ada dua. 2. Kemasan Pelayanan (a) Pramuwisata yang harus melayani wisatawan dipersiapkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan Candi Cetho, antara lain : - Menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan bahasa asing (minimal bahasa Inggris). - Bisa memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Candi Cetho. - Berbusana rapi, sopan, ramah dan cakap melayani atau memandu wisatawan. (b) Pengunjung yang datang baik kelompok kecil maupun besar yang ingin penjelasan harus dipandu oleh pramuwisata yang menyertai rombongan. Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar sudah ada pramuwisatanya. (c) Sudah ada tempat-tempat penjualan souvenir dan warung makan di lokasi Candi Cetho. 3. Kemasan Fasilitas Pengunjung (a) Brosur dan leaflet Candi Cetho dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing (Bahasa Inggris) disediakan secara cuma-cuma bagi wisatawan. (b) Fasilitas kamar kecil sudah ada, namun perlu disediakan kamar kecil yang bertaraf Internasional (bersih dan terbuat dari porselin). (c) Tempat parkir kendaraan cukup luas. (d) Warung atau kios dan rumah makan tersedia di sekitar lokasi. Sumber : Standard Operational Procedures (SOP) Dinas Pariwisata Karanganyar 87

Sebagai salah satu obyek wisata budaya dan sebagai peninggalan purbakala, Candi Sukuh dan Candi Cetho sebenarnya telah memiliki fasilitas yang cukup memadai jika dibandingkan dengan obyek wisata budaya lainnya yang juga berada di Kabupaten Karanganyar. Memang selain Candi Sukuh dan Candi Cetho di Kabupaten Karanganyar juga terdapat obyek wisata budaya yang lain, seperti Candi Planggatan yang juga berada di Kecamatan Ngargoyoso, Candi Menggung di Tawangmangu, situs Watukandang di Karangbangun, Matesih dan yang baru saja ditemukan yaitu Candi Kethek. Jika dibandingkan dengan obyek wisata budaya tersebut, Candi Sukuh dan Candi Cetho memiliki fasilitas yang lebih lengkap (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). Di Candi Sukuh terdapat joglo pertemuan, kamar mandi dan disediakan tempat parkir. Candi Cetho sendiri mempunyai balai peristirahatan yang dapat digunakan bagi wisatawan, kamar mandi, tempat berdoa, dan juga disediakan tempat parkir yang cukup luas. Sedangkan candi yang lain di Kabupaten Karanganyar belum memiliki fasilitas seperti yang dimiliki oleh Candi Sukuh maupun Candi Cetho. Untuk lebih jelasnya mengenai fasilitas yang dimiliki di Candi Sukuh dan Candi Cetho dapat dilihat secara rinci dalam tabel berikut ini : Tabel 1: Jenis dan Nama Obyek Wisata Budaya di Kabupaten Karanganyar Tahun 2004 Jenis / Nama Obyek Alamat Fasilitas 88

1. Candi Sukuh Berjo, Ngargoyoso § Joglo pertemuan § MCK § Tempat parkir

2. Candi Cetho Gumeng, Jenawi § Balai peristirahatan § Tempat berdoa § MCK § Tempat parkir

3. Candi Planggatan Ngargoyoso § Jalan setapak

4. Candi Menggung Bener, Tawangmangu § Rumah jaga

5. Situs Watukandang Karangbangun, Matesih § Rumah jaga

6. Penggalian Fosil Dayu, Gondangrejo § Musium

Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar Tahun 2004

Meskipun Candi Sukuh dan Candi Cetho sebagai obyek wisata budaya memiliki fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan dengan obyek wisata budaya yang lain, pemerintah daerah Kabupaten Karanganyar dalam hal ini Dinas Pariwisata masih melakukan upaya-upaya pengembangan. Hal ini dilakukan mengingat Candi Sukuh dan Candi Cetho adalah obyek wisata budaya yang paling populer dibandingkan dengan obyek wisata budaya yang lain. Kedua candi ini terkenal karena seninya yang erotis, maka candi ini lebih sering dikunjungi oleh wisatawan. Namun pada akhir tahun 2004, kunjungan wisatawan ke Candi Sukuh dan Candi Cetho mengalamai penurunan. Mengenai banyaknya pengunjung yang datang ke obyek wisata budaya ini dapat dilihat dari tabel berikut : Tabel 2: Banyaknya Pengunjung Obyek Wisata di Kabupaten Karanganyar Tahun 2004 Banyaknya Pengunjung (tahun 2004) 89

Obyek Wisata September Oktober Nopember Desember

Candi Sukuh 1.276 1.024 3.724 1.000

Candi Cetho 1.331 1.096 4.081 1.007

Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar Tahun 2004

Karena terjadi penurunan pengunjung, maka Dinas Pariwisata melakukan upaya-upaya pengembangan dengan maksud untuk menarik minat wisatawan, sehingga diharapkan akan terjadi peningkatan pengunjung. Adapun upaya-upaya pengembangan yang dilakukan antara lain dengan : 1. Memberdayakan masyarakat di sekitar Candi Sukuh dan Candi Cetho agar mereka mengenal adanya industri pariwisata. Industri pariwisata merupakan industri yang bebas polusi karena sifatnya yang berbeda dengan industri-industri lain pada umumnya, misalnya industri tekstil, industri kertas dan lain-lain. Industri semacam itu tentu mengeluarkan polusi baik berupa asap, maupun limbah. Industri pariwisata yang digalakkan bagi masyarakat yang dekat dengan obyek wisata budaya Candi Sukuh dan Candi Cetho diharapkan dapat lebih menarik minat kunjungan wisatawan, selain itu industri pariwisata juga diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Adapun usaha pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah daerah Kabupaten Karanganyar dalam hal ini diwakili oleh Dinas Pariwisata antara lain : (a) Membantu memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang cara pembuatan cinderamata atau souvenir dan makanan khas daerah yaitu roti wortel. Masyarakat di sekitar Candi Sukuh dan Candi Cetho diundang oleh Dinas Pariwisata, di sini mereka mendapatkan pelatihan cara membuat souvenir berupa bunga dari kulit jagung (klobot), gantungan kunci, replika relief yang berbahan baku semen, kaos dengan gambar obyek wisata, dan bermacam- macam aksesoris seperti gelang, akik, tasbih, serta tongkat kayu liwung. 90

Masyarakat juga mendapat pelatihan cara membuat roti yang berbahan baku dari wortel, hal ini mengingat di daerah yang berhawa sejuk dan segar ini produksi wortel sangat melimpah. Jadi masyarakat diupayakan bagaimana memanfaatkan hasil wortel yang melimpah tersebut agar menjadi suatu bentuk yang berbeda. Roti wortel ini bisa dijual dengan harga Rp 13.000,- setiap kalengnya. (b) Membantu membuat penginapan (homestay) yang nantinya akan dikelola oleh masyarakat. Dari Dinas Pariwisata memberikan bantuan sebesar Rp 50.000.000,- untuk membuat 5 penginapan (homestay). Berdasarkan wawancara dengan Bp. Cipto selaku pemilik salah satu homestay di kawasan obyek wisata budaya Candi Cetho, bantuan tersebut lebih diwujudkan dalam bentuk barang, seperti keramik, meja-kursi (sofa), tempat tidur, almari dan lain sebagainya. (c) Karena masyarakat di kawasan obyek wisata budaya Candi Sukuh dan Candi Cetho ini sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, maka mata pencaharian petani justru dapat digunakan sebagai suatu peluang usaha. Artinya masyarakat juga dapat menjual hasil sayuran mereka kepada para wisatawan yang berkunjung. Oleh karena itu Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar juga memberikan pelatihan mengenai bagaimana cara mengemas hasil-hasil sayuran tersebut supaya lebih menarik bagi wisatawan yang datang. Misalnya masyarakat bisa memberdayakan perkebunan di lahan dekat rumah, sehingga pengunjung yang datang bisa langsung memetik sendiri sayuran yang mereka inginkan. (d) Masyarakat dididik dan diberi pelatihan untuk menampilkan atraksi-atraksi lokal, seperti musik gamelan atau klenengan, kesenian rebana, tek-tek bambu, kotekan lesung, reog dan lain sebagainya. Penampilan atraksi-atraksi lokal ini bekerja sama dengan Dinas Pariwisata, artinya sebagian pemainnya ada yang dari masyarakat sekitar tetapi sebagian ada pula yang dari Dinas Pariwisata. 91

(e) Membentuk masyarakat sadar wisata atau yang lebih dikenal dengan POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata) dengan mensosialisasikan Sapta Pesona. Sapta Pesona adalah 7 keadaan atau kondisi yang harus diwujudkan dalam setiap jasa pelayanan yang diberikan kepada wisatawan. 7 kondisi tersebut terdiri dari unsur sebagai berikut : 1. Aman 2. Tertib 3. Bersih 4. Sejuk 5. Indah 6. Ramah-tamah 7. Kenangan Ketujuh unsur tersebut akan memperbesar daya tarik pariwisata Indonesia dan akan mendorong para wisatawan untuk berkunjung dan merasa betah di tempat yang akan dikunjunginya. 1. Aman Aman adalah suatu keadaan atau kondisi lingkungan dan suasana, di mana seseorang merasa tenteram, tidak merasa takut, terlindung jiwa dan raga termasuk barangnya dari : a. Bahaya tindak pidana, kekerasan, ancaman, misalnya: pencopetan, pemerasan, penodongan, penipuan dan lain sebagainya. b. Gangguan oleh masyarakat, antara lain berupa pemaksaan oleh pedagang asongan, tangan jahil, kelompok masyarakat tertentu, ucapan dan tindakan serta perilaku yang tidak bersahabat dan lain sebagainya. Kondisi yang tidak aman, jelas akan menyebabkan wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara enggan untuk berkunjung. Oleh karena itu masyarakat diberi pengertian bahwa hendaknya turut membantu menciptakan keadaan yang aman antara lain dengan : 92

§ Memahami bahwa kunjungan wisatawan itu akan membawa manfaat dan keuntungan bagi masyarakat setempat. § Tanggap terhadap tanda-tanda atau gejala-gejala yang menunjukkan keadaan yang tidak aman dan segera melaporkannya kepada petugas keamanan. § Memberi informasi kepada wisatawan, tentang adat istiadat masyarakat setempat, tindak serta perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat dan apa yang dilarang serta menjadi pantangan. § Ikut serta aktif menjelaskan kepada masyarakat terutama di tempat yang banyak mendapat kunjungan wisatawan bahwa keamanan lingkungan tidak terjamin, bila masyarakat suka mengganggu wisatawan, pada akhirnya masyarakat setempat yang akan rugi sendiri, karena wisatawan enggan datang. 2. Tertib Tertib adalah suatu keadaan atau kondisi yang mencerminkan suasana yang teratur, rapi dan lancar serta adanya disiplin yang tinggi dalam semua segi kehidupan masyarakat, misalnya : a. Lalu lintas tertib, teratur dan lancar, alat angkutan datang dan berangkat tepat pada waktunya. b. Tidak nampak orang yang berdesakan atau berebutan untuk mendapatkan atau membeli sesuatu yang diperlukan. c. Bangunan, tanaman terletak secara teratur dan rapih. d. Bila memberi pelayanan dilakukan secara cepat dan tepat. e. Informasi yang diberikan adalah informasi yang benar. Masyarakat harus mampu menciptakan ketertiban dengan cara : § Menanamkan dan menumbuhkan disiplin yang tinggi pada diri sendiri dan lingkungan masing-masing. § Mematuhi semua peraturan yang berlaku, misalnya tidak membuat kegaduhan, patuh pada rambu lalu lintas. 93

§ Tidak melakukan pengrusakan ataupun corat-coret fasilitas yang tersedia. 3. Bersih Bersih adalah suatu keadaan atau kondisi dan suasana yang menampilkan kebersihan, kerapihan dan kesehatan di semua tempat yang menjadi kegiatan manusia. Kebersihan yang dikehendaki meliputi : a. Kebersihan lingkungan, baik di rumah sendiri maupun di tempat-tempat umum, seperti di hotel, restoran, angkutan umum, tempat rekreasi, tempat buang air dan lain sebagainya. b. Kebersihan dan kesehatan untuk bahan makanan dan minuman yang akan dikonsumsi sendiri maupun yang dijual. c. Kebersihan dari alat perlengkapan yang dipakai, seperti sendok, piring, tempat tidur, dan lain sebagainya. Masyarakat hendaknya dibiasakan untuk tidak membuang sampah secara sembarangan. Betapapun indahnya suatu objek wisata, akan tetapi kalau tempat itu kotor, sampah berserakan, mengeluarkan bau yang tidak sedap, maka tidak akan banyak artinya. 4. Sejuk Yang dimaksud dengan kesejukan adalah suatu keadaan atau kondisi yang menampilkan lingkungan dan suasana yang sejuk, nyaman dan tenteram oleh karena lingkungan yang serba hijau, bersih, segar dan rapi. Kesejukan yang dikehendaki tidak saja harus berada di luar ruangan atau bangunan, akan tetapi juga di dalam ruangan. Untuk membuat keadaan yang sejuk, maka hendaknya masyarakat : a. Turut serta secara aktif memelihara kelestarian lingkungan serta hasil penghijauan yang telah dilakukan masyarakat ataupun pemerintah. b. Membentuk perkumpulan yang tujuannya memelihara kelestarian lingkungan. c. Berperan serta secara aktif untuk mempelopori kegiatan penghijauan dan memelihara kebersihan. 94

5. Indah Indah atau keindahan adalah sesuatu yang dinilai dan dirasakan oleh seseorang, dan sangat erat kaitannya dengan selera seseorang. Indah itu tidak selalu mewah dan dikaitkan dengan sesuatu yang mahal harganya. Ada patokan yang dapat dipakai untuk membuat sesuatu itu menjadi indah, yaitu menciptakan kondisi dan suasana yang menunjukkan keserasian dan keselarasan suatu lingkungan, misalnya dalam hal tata warna, tata letak, bentuk ataupun gaya dan gerak yang serasi dan selaras sehingga memberi kesan yang enak dan cantik untuk dilihat. 6. Ramah-tamah Ramah-tamah adalah suatu sikap dan perilaku seseorang yang menunjukkan keakraban, sopan, suka membantu, suka tersenyum dan menarik hati. Ramah-tamah merupakan watak dan budaya bangsa Indonesia yang selalu menghormati tamunya dan dapat menjadi tuan rumah yang baik. Sikap ramah-tamah ini menjadi salah satu hal yang sangat menarik bagi wisatawan. 7. Kenangan Kenangan adalah kesan yang melekat dengan kuat pada ingatan dan perasaan seseorang yang disebabkan oleh pengalaman yang diperolehnya. Kenangan yang indah dapat diciptakan dengan : a. Menyediakan akomodasi yang nyaman, bersih dan sehat, pelayanan yang cepat, tepat dan ramah, suasana yang mencerminkan ciri-ciri khas daerah dalam bentuk dan gaya bangunan serta dekorasinya dan lain sebagainya. b. Menyediakan atraksi seni budaya daerah yang khas dan mempesona, baik itu berupa seni tari, seni suara dan berbagai macam upacara yang hanya dapat disaksikan di Indonesia. c. Menyediakan makanan dan minuman khas daerah yang lezat, dengan penampilan dan penyajian yang menarik. Makanan dan minuman merupakan salah satu daya tarik yang kuat dan dapat pula dijadikan sebagai jati diri atau identitas suatu daerah. 95

Sumber: Materi Sosialisasi Peraturan Usaha Kepariwisataan Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar. 2. Mengadakan peningkatan sarana dan prasarana untuk menunjang keberadaan obyek wisata budaya Candi Sukuh dan Candi Cetho. Proyek yang selama ini telah dilakukan antara lain pelebaran jalan Kadipeso – Candi Cetho, pembangunan jembatan Gumeng – Candi Cetho, pelebaran jalan di Dusun Cetho, pembangunan Puri Taman Saraswati, pembuatan area parkir dan pembuatan homestay. Untuk lebih jelasnya berikut adalah rincian proyek APBD II Kabupaten Karanganyar tahun 2005 :

Proyek APBD II Kabupaten Karanganyar Tahun 2005 Untuk Menunjang Pengembangan Obyek Wisata Candi Cetho

1. Penyusunan RUTRK dan RDTRK Kawasan Wisata Candi Cetho (BAPPEDA) Rp 100.000.000,- 2. Pelebaran jalan Kadipeso – Candi Cetho (DPU) Rp 250.000.000,- 3. Pembangunan jembatan Gumeng – Candi Cetho (DPU) Rp 327.500.000,- 4. Bantuan pelebaran jalan di Dusun Cetho (Diparta) Rp 250.000.000,- 5. Pembangunan Puri Taman Saraswati (Diparta) Rp 75.000.000- 6. Bantuan pembuatan Home Stay (Diparta) Rp 50.000.000,- 7. Pembuatan area parkir untuk Candi Cetho (Diparta) Rp 200.000.000,- Jumlah : Rp 1.252.500.000,-

Sumber : Data primer Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar Tahun 2005.

Dan lebih lengkapnya berikut tabel mengenai pembangunan kegiatan kepariwisataan di Kabupaten Karanganyar tahun 2005 : Tabel 3: Kegiatan Pembangunan Pariwisata Tahun 2005 Kabupaten Karanganyar

96

Program / Kegiatan Sasaran Biaya Manfaat Dampak 1. Peningkatan Pembangunan Rp774.460.000 Mudah Wisatawan jalan menuju dan mencapai meningkat OW. Air terjun meningkatnya DTW Jumog, Kec. kondisi jalan Ngargoyoso dan jembatan 2. Pembangunan Meningkatnya Rp 75.000.000 Mempercantik Menarik Puri Taman mutu, jumlah, lokasi wisata wisatawan Saraswati fasilitas dan atraksi di obyek wisata 3. Pembangunan Meningkatnya Rp200.000.000 Kendaraan Wisatawan area parkir dan mutu dan aman tenang kios wisata jumlah, Cetho fasilitas dan atraksi di obyek wisata 4. Belanja modal Meningkatnya Rp 50.000.000 Tersedia Data DTW revisi jumlah profil tersedia penggandaan kunjungan profile wisatawan dan orientasi kerja 5. Kepariwisataan Meningkatnya Rp 10.000.000 Kendaraan Wisatawan Kab. KRA jumlah aman tenang kunjungan wisatawan dan orientasi kerja 6. Belanja modal Meningkatnya Rp20.328.000 Tersedianya Kesehatan pemasangan mutu dan air minum meningkat instalasi air jumlah, minum fasilitas dan atraksi di obyek wisata

97

3. Bekerja sama dengan Bali dalam membangun Puri Taman Saraswati di kompleks Candi Cetho, sebagai obyek wisata baru yang diresmikan pada tanggal 28 Mei 2004, oleh Bupati Karanganyar, Hj. Rina Iriani Sriratnaningsih, Spd, Mhum dan Bupati Gianyar, A. A. GDE Agung Bharata, sebagai wujud tali persaudaraan antar masyarakat sekitar Candi Cetho dan masyarakat Gianyar, Bali yang mempunyai persamaan spiritual dan budaya agama Hindu. Arca Saraswati tersebut merupakan bantuan Bupati Gianyar untuk meyokong pengembangan kawasan Candi Cetho sebagai kawasan spiritual dan budaya. Ibu Bupati ingin mengembangkan wisata di Kabupaten Karanganyar : (a) Sesuai Visi dengan Kabupaten Karanganyar (INTANPARI) yaitu Industri, Pertanian dan Pariwisata. (b) Mengadakan kerja sama dengan Bupati Ginyar Propinsi Bali. (c) Gianyar memberikan bantuan Patung Saraswati yang ditempatkan di kompleks Candi Cetho. Hasil-hasil yang diperoleh dari adanya kerjasama tersebut : o Kunjungan wisata semakin meningkat o Masyarakat bisa menikmati hasilnya dengan menjual makanan/minuman, buah-buahan, dll. o Menjual hasil cinderamata o Membuka lapangan parkir ada 2 tempat Karena ada perkembangan yang baik, maka oleh Gubernur Bali kerjasama tersebut ditingkatkan dengan dikoordinasikan oleh Bapak Gubernur. Tindak lanjut Koordinasi tersebut ; a. Diusahakan adanya paket wisata Bali – – Karanganyar. § Hasilnya pada bulan Agustus ada kunjungan turis Jepang 3 bus ke Candi Sukuh dan Candi Ceto. § Dari Belanda 2 bus. 98

b. Tamu dari Bali banyak berdatangan di Karangnnyar. Pejabat Gianyar banyak yang hadir. c. Gubernur dan Bupati Gianmyar telah hadir 2 di Kabupaten Karanganyar. d. Duta Kesenian Karanganyar telah diundang 2 kali untuk mengadakan Parade atau Karnaval Seni dan Pentas Seni : § Di Denpasar pada bulan Juli 2005. § Di Jembrana pada bulan September 2005. e. Saran dari Bapak Gubernur Bali : § Supaya penataan dan pengembangan di Candi Cetho dan Puri Taman saraswati dapat dikembangkan menjadi Taman Wisata yang baik dan dapat mengundang pengunjung lebih banyak. § Membuat proposal pengembangan Puri Taman saraswati yang akan diusahakan mendapat bentuan dari Gubernur dan Bupati atau Walikota se Propinsi Bali

D. Manfaat Pengembangan dan Pelestarian Candi Sukuh dan Candi Cetho Terhadap Masyarakat

1. Manfaat Dalam Bidang Ekonomi

Upaya pengembangan dan pelestarian Candi Sukuh dan Candi Cetho tentunya diaharapkan dapat memberikan manfaat terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya. Pengembangan dan pelestarian kedua obyek ini bertujuan agar keduanya mampu menjadi obyek wisata budaya andalan di Kabupaten Karanganyar. Selanjutnya pembangunan sektor pariwisata diharapkan dapat memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya kepada pendapatan daerah dan dapat mengembangkan 99

lapangan kerja khususnya bagi masyarakat sekitarnya sehingga kesejahteraan mereka dapat meningkat. Manfaat pengembangan dan pelestarian Candi Sukuh dan Candi Cetho yang saat ini terlihat nyata adalah munculnya industri pariwisata. Industri pariwisata ini dipercaya akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan adanya industri pariwisata semakin membuka peluang usaha baru yang tentunya akan menciptakan lapangan kerja baru pula dan hal ini jelas akan dapat memberikan pekuang ekonomi pada masyarakat (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). Demikian juga dengan upaya pengembangan dan pelestarian Candi Sukuh dan Candi Cetho tentunya telah memberikan manfaat pada kehidupan ekonomi masyarakat yang berada di lingkungan pengembangan pariwisata tersebut. Dalam bidang ekonomi manfaat yang diinginkan dari adanya upaya pengembangan dan pariwisata di kawasan Candi Sukuh dan Candi Cetho adalah mampu menciptakan suatu kondisi dimana tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat, yang disebabkan oleh adanya keuntungan-keuntungan ekonomi yang dapat dinikmati masyarakat di sekitarnya. Hal ini tentunya juga diimbangi dengan usaha-usaha masyarakat yang memiliki sesuatu untuk dijual kepada wisatawan yang datang berkunjung ke Candi Sukuh dan Candi Cetho. Saat ini pemerintah daerah Kabupaten Karanganyar telah melakukan upaya- upaya intensif untuk mengembangkan kawasan Candi Sukuh dan Candi Cetho sebagai daerah tujuan wisata budaya. Upaya ini tentu memberikan dampak positif bagi masyarakat dari segi ekonomi yang tampak dari meningkatnya kegiatan-kegiatan ekonomi pada sebagian masyarakat dusun Sukuh dan dusun Cetho khususnya yang berada di sepanjang jalur lintasan wisata, serta yang berada dekat dengan lokasi Candi Sukuh dan Candi Cetho. Seperti halnya masyarakat pedesaan pada umumnya, masyarakat dusun Sukuh dan dusun Cetho menggantungkan hidupnya sebagai petani. Apalagi kondisi iklim di kawasan ini yang selalu berhawa sejuk dan dingin maka sangat cocok ditanami sayur dan buah. Di sepanjang jalur utama menuju kawasan Candi Sukuh sekarang dapat 100

dijumpai kegiatan-kegiatan pertanian yang lebih kreatif, yaitu lebih mengarah pada konsep agrowisata. Mereka tidak hanya berorientasi pada pemanenan hasil pertanian untuk dijual pada pedagang pasar atau tengkulak, tetapi mereka juga mencoba melirik pasar lain, yaitu para wisatawan yang akan mengunjungi Candi Sukuh sehingga lebih meningkatkan nilai tambah bagi usaha taninya. Seperti yang dilakukan oleh salah seorang penduduk dusun Sukuh bernama Partono yang rumahnya terletak di pinggir jalan menuju Candi Sukuh. Dia berusaha untuk memanfaatkan halaman rumahnya yang cukup luas untuk ditanami dengan tanaman sayuran seperti buncis dan labu siam. Ketika musim panen tiba hasilnya selain dikonsumsi untuk kebutuhannya sendiri juga akan dijual kepada wisatawan yang kebetulan melewati depan rumahnya. Dia mengaku semula memang hanya untuk mencukupi kebutuhan sendiri, tetapi ternyata banyak wisatawan yang berminat untuk membeli sayur-sayurannya. Bahkan dia mempersilahkan wisatawan untuk memetiknya sendiri. Menurut pengakuannya hasil dari penjualan itu lumayan buat nambah uang dapur (Wawancara, 5 Februari 2006). Bertambahnya penghasilan juga dirasakan oleh Pak Kemis yang rumahnya tidak jauh dari kompleks Candi Sukuh. Dari hasil wawancara diperoleh keterangan bahwa Pak Kemis sebenarnya juga memiliki mata pencaharian utama sebagai petani, tetapi karena letak rumahnya yang dekat dengan kompleks Candi Sukuh, maka hal ini mendorong ia dan istrinya untuk membuka usaha warung makan sederhana. Pak Kemis mengaku sudah 2 tahun berjualan di kompleks Candi Sukuh. Dagangan yang menjadi andalan warungnya selain kopi susu hangat adalah nasi dengan sate ayam sebagai lauknya. Nasi yang ia jual selalu dalam keadaan hangat sehingga menarik pengunjung yang datang untuk mampir ke warung makannya, karena memang udara di Candi Sukuh ini sangat dingin. Ia menjual sepiring nasi dengan dua belas tusuk sate dengan harga Rp 5.000,-. Menurut pengakuannya pendapatan yang ia peroleh dalam sehari minimal Rp 50.000,-. Tetapi kalau pengunjung ramai, ia bisa meraih pendapatan Rp 300.000,- sehari. Biasanya Pak Kemis membuka warungnya dari jam delapan pagi sampai jam empat sore, tetapi kalau ada acara-acara tertentu atau 101

pengunjung sedang ramai, ia bisa buka sampai malam hari. Dan dari penuturan Pak Kemis ini juga dapat diketahui bahwa biasanya Candi Sukuh ini banyak dikunjungi wisatawan kalau hari Sabtu, Minggu dan hari-hari libur lainnya (Wawancara dengan Pak Kemis, 5 Februari 2006). Untuk menuju kompleks Candi Sukuh yang terletak di atas bukit Sukuh ini, medan yang harus ditempuh tidaklah mudah. Meskipun jalan menuju Candi Sukuh sudah diaspal halus tetapi karena kondisi jalan yang berkelak-kelok dengan tanjakan yang tajam menyebabkan kendaraan umum dengan ukuran besar seperti bus sulit untuk mencapai lokasi obyek, selain itu juga jalan menjadi sangat berbahaya bagi yang tidak terbiasa menempuh medan jalan seperti ini. Hanya wisatawan yang menggunakan kendaraan pribadi dan kendaraan sewaan saja yang bisa sampai di depan kompleks Candi Sukuh. Kendaraan umum yang selama ini tersedia berupa bus antar pedesaan (colt) melayani trayek sampai di pertigaan dukuh Nglorog, kalaupun ada yang naik sampai ke Candi Sukuh, kita harus menunggu lama. Sedangkan jarak yang harus ditempuh untuk menuju kompleks Candi Sukuh masih 5 km lagi. Kondisi seperti ini akhirnya dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk membuka jasa layanan kendaraan roda dua atau yang biasa disebut dengan jasa layanan ojek. Pangkalan ojek dapat dijumpai di depan pintu masuk menuju kawasan wisata Candi Sukuh tepatnya di pertigaan dukuh Nglorog. Para tukang ojek yang tergabung dalam paguyuban tukang ojek Nglorog memiliki anggota sebanyak 13 orang dengan ketuanya Pak Marso. Mengenai tarif yang berlaku telah dibuat standarisasi berdasarkan jauh dekatnya jarak yang akan dituju. Untuk menuju Candi Sukuh, tarif yang telah ditetapkan adalah sebesar Rp 5.000,-. Menurut Sugito, salah satu anggota dari paguyuban ojek ini mengaku sudah lama menjadi tukang ojek, dan pendapatan yang ia peroleh sehari rata-rata Rp 20.000,-. Layanan jasa ojek ini tidak hanya melayani wisatawan yang ingin berkunjung ke Candi Sukuh tetapi juga melayani keperluan penduduk setempat yang membutuhkan jasa ojek (Wawancara dengan Sugito, 5 Februari 2006). 102

Kemudian untuk harga tiket masuk ke Candi Sukuh ini adalah sebesar Rp 5.000,-. Dari hasil wawancara dengan Bp. Nugroho dari Dinas Pariwisata, hasil uang retribusi ini 50 % masuk kepada Dinas Purbakala dan 50 % masuk ke pemerintah daerah Karanganyar. Dengan adanya upaya pengembangan dan pelestarian terhadap Candi Sukuh dan Candi Cetho juga mampu menambah pendapatan daerah Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah pengunjung ke Candi Sukuh dari tahun 2003-2004 memang ada penurunan sedikit yaitu pada tahun 2003 sebanyak 15.346 maka pada tahun 2004 menjadi 15.204. Namun demikian justru pendapatan obyek wisata ini bisa meningkat. Berdasarkan data yang diperoleh, pendapatan obyek wisata dan kawasan wisata Candi Sukuh sepanjang tahun 2003-2004 menunjukkan peningkatan. Dimana pada tahun 2003 pendapatan obyek wisata dan kawasan wisata Candi Sukuh adalah Rp 4.813.500,- maka pada tahun 2004 mengalami peningkatan menjadi Rp 31.348.825,-. Hal ini disebabkan meskipun data pengunjung obyek menurun, tetapi kawasan Candi Sukuh sering digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain di luar kepariwisataan, misalnya kegiatan ospek yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa. Mengenai jumlah pengunjung yang datang ke obyek wisata yang ada di Kabupaten Karanganyar dapat dilihat dari table sebagai berikut :

Tabel 3: Data Pengunjung Obyek Wisata Kabupaten Karanganyar No. Nama Obyek Wisata 2000 2001 2002 2003 2004 1. Grojogan Sewu 416.828 425.108 367.393 330.162 342.755 2. TR Balekambang 52.159 43.349 59.168 31.054 33.629 3. Camping Lawu Resort 2.107 2.109 4.051 5.065 4.483 4. Candi Sukuh 18.579 20.452 7.960 15.346 15.204 5. Candi Cetho 2.343 5.234 7.254 7.121 18.983 Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar Tahun 2004

103

Sedangkan mengenai jumlah pendapatan yang diperoleh oleh pemeirntah daerah dari sektor pariwisata adalah tahun 2003 dan 2004 adalah sebagai berikut :

Tabel 4: Data Pendapatan Obyek Wisata dan Kawasan Wisata No. Nama Obyek Wisata 2003 (Rp. ) 2004 (Rp. ) 1. Grojogan Sewu 197.312.472 150.782.157 2. TR Balekambang 18.562.734 21.088.404 3. Camping Lawu Resort 834.960 1.073.240 4. Candi Sukuh 4.813.500 31.348.825 5. Candi Cetho 1.191.750 14.845.650 Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar Tahun 2004 Seperti halnya Candi Sukuh, upaya pengembangan dan pelestarian yang dilakukan terhadap keberadaan Candi Cetho juga mampu memberikan manfaat dalam bidang ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya, khususnya yang berada dekat dengan obyek wisata budaya ini. Adalah ibu Endang Sri Wahyuni yang berusia 35 tahun. Ia memiliki mata pencaharian seperti warga pedesaan lainnya yaitu sebagai petani. Namun karena ia melihat peluang lain untuk mencari uang, maka wanita yang sudah tinggal di dekat kompleks Candi Cetho selama 17 tahun ini akhirnya membuka toko kecil-kecilan dan warung makan sebagai usaha sampingan dari pekerjaan tetapnya sebagai petani. Ia membuka toko kecil yang menjual aneka makanan ringan dan minuman. Selain itu ia juga memenuhi permintaan pengunjung yang menginginkan mie hangat dan minuman hangat. Meskipun toko yang dimilikinya kecil namun isinya cukup lengkap karena selain makanan dan minuman ternyata bu Endang ini juga menjual aneka souvenir atau cinderamata yang ada hubungannya dengan Candi Cetho, misalnya relief dan arca Garudeya yang terbuat dari semen, serta kaos yang bergambar Candi Cetho. Untuk arca Garudeya ia jual dengan harga Rp 14.000,-, sedangkan kaos ia menjual seharga Rp 14.500 – Rp 17.500 disesuaikan dengan ukurannya. Berdasarkan wawancara, bu Endang mengaku keberadaan Candi Cetho 104

ini lumayan membantu menambah perekonomian keluarga. Pendapatan dari hasil tokonya ini minimal Rp 10.000 – Rp 15.000 sehari, tetapi kalau pengunjung ramai maka dalam sehari ia bisa meraih Rp 100.000 – Rp 150. 000. Menurut bu Endang, ia pernah mengikuti pengarahan dan pelatihan yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata, dimana isi pengarahan ini adalah mengenai usaha- usaha apa yang dapat dilakukan untuk dapat menarik wisatawan dan sekaligus dapat menambah perekonomiannya. Menurut pengakuannya dari Dinas Pariwisata pernah mengadakan kursus cara membuat souvenir yang berupa bunga dari kulit jagung (klobot) dan gantungan kunci. Harga setangkai bunga klobot itu bisa dijual dengan harga Rp 1.000,-. Tetapi untuk saat ini karena ia agak sibuk di kebun maka ia belum sempat untuk membuat bunga klobot lagi. Selain itu dari pemerintah daerah juga pernah mengadakan pelatihan cara membuat roti wortel, karena memang hasil sayuran yang berupa wortel di daerah ini sangat melimpah. Di tokonya roti wortel ini dijual dengan harga Rp 13.000,- per kalengnya (Wawancara dengan Endang, 4 Mei 2006). Dusun Cetho merupakan daerah yang memiliki tanah yang subur dengan cuaca yang sejuk segar, maka berbagai jenis tanaman dapat tumbuh subur di daerah ini. Salah satu contohnya adalah tanaman bunga mawar yang merupakan salah satu tanaman yang tumbuh subur dan dapat dijumpai di setiap pelosok daerah ini. Hal ini dimanfaatkan oleh salah seorang warga desa yang bernama Kasni. Seperti halnya dengan bu Endang, Kasni juga memiliki warung sederhana yang menjual makanan ringan dan minuman. Namun yang berbeda, di warungnya ini selain menjual makanan dan minuman, Kasni juga menjual bunga-bunga yang ditata rapi di dalam pot kecil-kecil. Kebanyakan yang ia jual adalah bunga mawar dengan berbagai jenis warna. Meskipun bunga-bunga ini dijual murah tetapi Kasni mengaku bisa menambah uang dapurnya. Untuk satu pot bunga mawar Kasni menjualnya seharga Rp 2.000 – Rp 5. 000 sesuai dengan ukuran dan warna. Memang di daerah ini bunga dan sayuran dijual murah karena memang tidak terlalu sulit untuk 105

mebudidayakannya. Dengan demikian dia akan memperoleh penghasilan tambahan dari penjualan bunga mawar tersebut (Wawancara dengan Kasni, 4 Mei 2006). Selain tersebut di atas, ada juga warga masyarakat yang menjual souvenir berupa gelang, tasbih, cincin, akik dan tongkat yang terbuat dari kayu liwung. Konon kayu liwung ini bagi masyarakat dusun Cetho ini merupakan kayu yang bertuah (Wawancara dengan Pak Parno, 4 Mei 2006). Namun sayang pada saat penelitian ini penulis tidak menemui atau melihat jenis souvenir tersebut, karena kebetulan yang menjual souvenir-souvenir itu sedang bepergian dan tidak membuka tokonya. Warga masyarakat lain yang juga bisa mengambil keuntungan dari adanya upaya pengembangan Candi Cetho adalah Bp. Patmo Wiyono. Ia baru setahun membuat halaman parkir di kompleks Candi Cetho ini. Menurut pengakuan bapak 60 tahun ini untuk membuat parkiran yang sekarang dijadikan sebagai usahanya ini membutuhkan dana 12 juta. Setiap harinya pendapatan yang ia peroleh minimal Rp 15.000,-. Kalau pengunjung sedang ramai, dalam sehari ia bisa mendapat Rp 150.000,-. Tarif yang ia gunakan adalah untuk kendaraan jenis roda dua atau sepeda motor ia memasang tarif seharga Rp 1.000,- sedangkan untuk kendaraan roda empat tarifnya adalah Rp 2.000,- (Wawancara dengan Pak Patmo, 4 Mei 2006). Adanya upaya pengembangan dan pelestarian terhadap Candi Sukuh dan Candi Cetho juga membuka lapangan usaha baru, yaitu adanya usaha penginapan (homestay). Adalah Cipto, warga dusun Cetho yang juga bermata pencaharian sebagai petani ini sekarang memiliki mata pencaharian baru yaitu sebagai pemilik homestay yang ia beri nama “Mekar Sari”. Menurut pengakuannya ia mendapat bantuan dari pemerintah daerah Kabupaten Karanganyar dalam hal ini Dinas Pariwisata setempat sebesar Rp 10.000.000,- untuk membuat homestay tersebut. Bantuan ini dalam bentuk barang, seperti keramik, meja kursi (sofa), tempat tidur dan lain sebagainya. Pendapatan yang ia peroleh dalam satu malam minimal Rp 50.000,-. Dan menurutnya lagi kebanyakan yang menginap adalah wisatawan dalam negeri. Selain pengiapan “Mekar Sari”, masih ada penginapan yang lain seperti panginapan “Adem Ayem” dan penginapan “Setia Hati”. Pemilik homestay seperti Cipto ini harus 106

telaten menawarkan penginapannya apabila ada pengunjung yang datang. Namun demikian ada juga pemilik homestay yang tidak telaten menunggu dan menawarkan penginapannya kepada pengunjung datang, mereka memilih untuk bekerja di kebun, maka mereka ini biasanya menggunakan jasa seseorang yang menawarkan dan kemudian mengantarkan wisatawan ke penginapannya. Jasa antar ini dihargai Rp 5.000,- (Wawancara dengan Cipto, 4 Mei 2006). Seperti halnya dengan Candi Sukuh, keberadaan Candi Cetho ini juga mampu menambah pendapatan pemerintah daerah. Retribusi untuk masuk ke Candi Cetho adalah sebesar Rp 2.500,- untuk umum, sedangkan untuk turis mancanegara sebesar Rp 10.000,- dan bagi siswa sekolah yang datang rombongan biasanya mendapatkan diskon sebesar 50 %. Hasil retribusi masuk dari Candi Cetho ini 50 % masuk kepada Dinas Purbakala dan 50 % masuk kepada pemerintah daerah. Candi Cetho ini juga banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara. Berdasarkan data yang diperoleh dari buku tamu yang disediakan khusus bagi wisatawan mancanegara, pada bulan Januari 2006 kunjungan wisatawan asing sebanyak 26 orang, bulan Februari sebanyak 23 orang, Maret sebanyak 21 orang dan bulan April sebanyak 49 orang. Hal ini cukup bagus dan dapat menambah pendapatan daerah. Hasil retribusi oleh pemerintah daerah digunakan untuk biaya pemeliharaan dan sebagainya. Menurut Parno dari Dinas Pariwisata, bagian dalam pagar Candi Cetho itu menjadi tanggung jawab Dinas Purbakala, sedangkan bagian luar Candi Cetho, seperti pelebaran dan perbaikan jalan masuk itu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, dalam hal ini Kabupaten Karanganyar (Wawancara dengan Parno, 4 Mei 2006). Berdasarkan data yang diperoleh, pengunjung ke Candi Cetho sampai tahun 2004 mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan dibangunnya Puri Taman Saraswati, yaitu obyek wisata baru yang terletak di sebelah kiri Candi Cetho. Tahun 2003 pengunjung sebanyak 7.121 maka pada tahun 2004 terjadi peningkatan menjadi 18.983. Sedangkan untuk pendapatannya sendiri terjadi peningkatan, yang semula pada tahun 2003 sebesar Rp 1.191.750,- maka pada tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi Rp 14. 845.650,-. Lebih jelasnya dapat dilihat dari table berikut ini : 107

Data Pengunjung Obyek Wisata Kabupaten Karanganyar No. Nama Obyek Wisata 2000 2001 2002 2003 2004 1. Grojogan Sewu 416.828 425.108 367.393 330.162 342.755 2. TR Balekambang 52.159 43.349 59.168 31.054 33.629 3. Camping Lawu Resort 2.107 2.109 4.051 5.065 4.483 4. Candi Sukuh 18.579 20.452 7.960 15.346 15.204 5. Candi Cetho 2.343 5.234 7.254 7.121 18.983

Data Pendapatan Obyek Wisata dan Kawasan Wisata No. Nama Obyek Wisata 2003 (Rp. ) 2004 (Rp. ) 1. Grojogan Sewu 197.312.472 150.782.157 2. TR Balekambang 18.562.734 21.088.404 3. Camping Lawu Resort 834.960 1.073.240 4. Candi Sukuh 4.813.500 31.348.825 5. Candi Cetho 1.191.750 14.845.650 Sumber : Data Primer Dinas Pariwisata Tahun 2004 2. Manfaat Dalam Bidang Sosial

Dengan adanya upaya pengembangan dan pelestarian Candi Sukuh dan Candi Cetho tentu saja membawa manfaat atau dampak yang mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat yang ada di sekitar kawasan wisata tersebut. Masyarakat dusun Sukuh dan dusun Cetho menyadari bahwa daerahnya yang termasuk dalam kawasan wisata budaya Candi Sukuh dan Candi Cetho telah dikembangkan menjadi suatu kawasan wisata yang mampu menarik wisatawan untuk berkunjung. Banyaknya wisatawan yang datang untuk berkunjung baik wisatawan dalam negeri maupun wisatawan mancanegara telah merubah sikap penduduk desa yang semula mereka tertutup terhadap wisatawan yang datang kini menjadi lebih terbuka. Semula penduduk desa merasa sungkan, takut dan malah memandang aneh dengan 108

kedatangan para wisatawan yang terkadang penampilan mereka itu berbeda, terutama wisatawan mancanegara. Namun pada akhirnya penduduk desa menyadari bahwa wisatawan yang datang berasal dari daerah lain itu tentunya memiliki budaya yang berbeda pula. Sikap terbuka yang ditunjukkan oleh masyarakat desa ini diwujudkan dalam bentuk keramahtamahan mereka dalam menyambut wisatawan yang datang, mereka sadar bahwa wisatawan adalah tamu yang harus dilayani dengan baik. Dan mereka juga menyadari bahwa kedatangan wisatawan bisa menambah pendapatan mereka. Maka sekarang ini kedatangan wisatawan justru mereka nanti-nantikan. Dengan adanya upaya pengembangan dan pelestarian terhadap Candi Sukuh dan Candi Cetho juga telah berpengaruh pada perilaku masyarakat desa dalam hal cara menghadapi hidup. Mereka yang pada umumnya bermata pencaharian dan menggantungkan hidupnya sebagai petani, kemudian tersadar bahwa hidup itu tidak sepenuhnya tergantung sebagai petani saja tetapi menjalani profesi lain juga dapat memperoleh hasil. Perubahan perilaku ini ditunjukkan dengan kreatifitas penduduk desa dalam memanfaatkan tempat wisata sebagai lahan untuk menambah penghasilan. Banyak penduduk desa yang semula hanya bermata pencaharian sebagai petani, tetapi kini banyak yang mempunyai pekerjaan sampingan, misalnya membuka usaha warung makan, buka toko kecil-kecilan, menjadi tukang ojek, membuka lahan parkir dan membuka usaha penginapan atau homestay bagi para wisatawan. Manfaat positif lainnya dari upaya pengembangan dan pelestarian Candi Sukuh dan Candi Cetho adalah timbulnya kesadaran bagi masyarakat di sekitar obyek wisata budaya tersebut untuk ikut merasa memiliki Candi Sukuh dan Candi Cetho. Karena mereka merasa memiliki, maka dengan sendirinya juga akan timbul kesadaran untuk turut menjaga dan memelihara keberadaan serta kelestarian kedua candi ini. Masyarakat ikut memelihara kebersihan lingkungan di sekitar candi, dengan demikian wisatawan yang datang akan merasa nyaman bila berada di sini (Wawancara dengan bu Endang, 4 Mei 2006). Seperti kita ketahui bersama bahwa baik di Candi Sukuh maupun Candi Cetho masih sering digunakan sebagai tempat untuk mengadakan event-event atau 109

pagelaran-pagelaran budaya yang bertujuan menarik wisatawan. Seperti misalnya sendratari Tundhung Kala Durga yang diadakan di Candi Sukuh, peringatan hari Saraswati di Puri Taman Saraswati kompleks Candi Cetho. Dengan adanya event- event tersebut maka selain penduduk sekitar yang datang menyaksikan tentu juga banyak wisatawan dari luar daerah, sehingga mereka yang bertemu di sini akan saling mengenal dan saling menghormati. Penduduk desapun menjadi lebih akrab, sehingga hal ini akan semakin memperkuat tali kekeluargaan dan gotong-royong diantara mereka. (Wawancara dengan Pak Kemis, 5 Februari 2006). Penduduk di sekitar Candi Cetho mayoritas beragama Hindu, namun ada juga yang beragama Islam. Keberadaan Candi Cetho inipun masih digunakan sebagai tempat ibadah bagi pemeluk Hindu, oleh karena itu perlu adanya kesadaran bagi warga untuk saling menghormati perbedaan diantara mereka. Mereka mengaku solidaritas di antara warga itu sangat penting, jadi kalau ada warga yang ingin beribadah di Candi Cetho, maka warga masyarakat yang berlainan agama akan sangat menghormati dan bahkan membantu. Misalnya ketika seorang pemilik warung yang kebetulan beragama Hindu akan mengikuti upacara Nyepi di Candi Cetho, maka pemilik warung yang lain akan ikut membantu menjaga warungnya, demikian juga sebaliknya ketika pemilik warung yang beragama Islam akan menjalankan ibadah sholat, maka pemilik warung yang lainpun membantu menjaga warungnya. Dan mereka mengaku tidak ada perasaan bersaing satu sama lain, karena mereka meyakini bahwa rejeki manusia itu sudah diatur sendiri-sendiri (Wawancara dengan bu Endang, 4 Mei 2006).

110