<<

Naditira Widya Vol.14 No.1 April 2020 - Balai Arkeologi Selatan p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125

PESAN GENDER PADA RELIEF-RELIEF CANDI SUKUH: FEMINISME MELALUI PENDEKATAN TUBUH DAN SEKS

GENDER MESSAGES IN THE RELIEFS OF CANDI SUKUH: FEMINISM BY APPROACHES OF BODY AND SEX

Karisma Putri Miranti dan Agus Setiawan

Program Studi Desain Komunikasi Visual, Universitas Dian Nuswantoro;Jalan Imam Bonjol No. 207, Semarang Tengah, Semarang 50131; posel: [email protected], [email protected]

Diterima 19 Januari 2020 Direvisi 6 April 2020 Disetujui 4 Mei 2020

Abstrak. Penelitian ini difokuskan untuk menguraikan pesan-pesan yang terkandung dalam relief-relief Candi Sukuh yang dianggap tabu. Studi ini dilakukan karena Candi Sukuh dapat menjadi bukti bahwa jauh sebelum adanya gerakan feminisme, masyarakat berlatar agama Hindu-Buddha pada masa lampau telah mengakui perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut merupakan suatu konstruksi sosial yang dimengerti dalam hubungan kompromi laki-laki dan perempuan. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif-interpretatif, dan data dianalisis dengan pendekatan multidesain. Teori Ikonografi digunakan untuk menganalisis pesan dari relief-relief Candi Sukuh, sedangkan teori feminisme diterapkan dengan pendekatan tubuh, seks, dan gender. Hasil penelitian menunjukkan adanya pesan feminisme pada relief kidung Sudhāmālā, relief linggā dan , dan relief kālāmĕrgā. Kesimpulannya pesan gender yang disajikan di relief-relief Candi Sukuh berupa penolakan perempuan terhadap pengobjekan tubuhnya oleh laki-laki, yang dianggap memiliki otoritas terhadap tubuh perempuan.

Kata kunci: Candi Sukuh, ikonografi, relief, linggā, yoni, pesan gender

Abstract. This research is focused to describe the messages contained in the reliefs of Candi Sukuh, which are considered taboo. This study was conducted because Candi Sukuh may well be an evidence that long before the existence of the feminism movement, the Hindu-Buddhist communities in the past have recognized differences between men and women. Such difference is a social construct which was understood in terms of compromising relations between men and women. The method used in this research was descriptive-interpretive, and data were analyzed using a multi-design approach. Theories of iconography were used to analyze messages of the reliefs of Candi Sukuh, whereas the theory of feminism was applied using approaches of body, sex and gender. Research results showed messages of feminism are contained in the Sudhāmālā hymn, reliefs of linggā and yoni, and the kālāmĕrgā relief. Conclusively, gender messages presented by the reliefs of Candi Sukuh informs the rejection of objectification of women’s body by men, who are considered to have authority over women's bodies.

Keywords: Candi Sukuh, iconography, relief, linggā, yoni, gender messages

PENDAHULUAN diperkirakan mulai muncul sejak abad ke-18 Masehi (M) di Eropa. Gerakan feminisme Perempuan kini terlihat lebih berani dalam dicetuskan akibat dari ketidakpuasan perempuan menyuarakan pendapatnya. Perempuan tidak lagi terhadap dominasi laki-laki dalam berbagai bidang. terkungkung dalam sistem sosial patriarki yang Kala itu perempuan masih dianggap sebagai menyudutkan perempuan. Perempuan kini dapat makhluk hidup kedua setelah laki-laki, perempuan dengan bebas menyuarakan apa yang dirasa dianggap hanya sebagai pelengkap kaum laki-laki. benar dan tak jarang mendebat laki-laki. Kini Mereka tidak berhak menyuarakan pendapatnya perempuan pun layak untuk didengar dan layak dan tidak berhak memperoleh pendidikan. Mary untuk diperjuangkan pendidikannya. Mereka tidak Wollstonecraft (1995) diduga merupakan tokoh lagi merasa menjadi kaum minoritas. Sebaliknya, feminis pertama yang mencetuskan gerakan mereka mulai dianggap keberadaannya, bahkan tersebut melalui karyanya yang berjudul A oleh kaum laki-laki Vindication of the Rights of Woman di saat Beberapa hal tersebut jelas merupakan hasil Revolusi Perancis mulai bergolak pada akhir abad dari gerakan feminisme. Sebuah gerakan yang ke-18 M. Tulisannya mengungkapkan bahwa 19

Pesan Gender Relief Candi Sukuh dengan Pendekatan Tubuh, Seks, dan Gender- Karisma Putri Miranti dan Agus Setiawan (19-34) Doi: 10.24832/nw.v14i1.409 sesungguhnya secara tata nilai dalam kontruksi melahirkan anak dan menyusui’ (Tim Penyusun sosial perempuan tidak lebih rendah daripada 2008). lelaki. Hanya saja pada saat itu perempuan tidak Ciri-ciri lain dari perempuan agar dianggap diberikan hak untuk mengampu pendidikan ‘perempuan’ atau feminin sangat banyak. Namun, sehingga terlihat lebih rendah posisinya. pada dasarnya ciri-ciri tersebut didasarkan pada Wollstonecraft (1995) kemudian mengusulkan agar aspek penampilan dan tingkah laku. Deskripsi ada penyetaraan gender. perempuan pasti digambarkan dengan seorang Awalnya, konsentrasi gerakan feminisme yang bersifat lemah lembut, bergerak seperti air, adalah memperjuangkan penyetaraan gender atas berambut panjang, beraksesoris, dan berpakaian hak dalam menyuarakan pendapat, hak anggun. pendidikan, kondisi kerja, dan penghapusan Perempuan juga identik dengan berbagai standar ganda seksual. Di Jerman para feminis simbol dan variabel yang sudah melekat sejak sibuk memperjuangkan hak perempuan dalam zaman dahulu; misalnya, yang terlihat pada relief rumah tangga. Namun pada abad ke-19-20 M, candi, seorang dewi digambarkan mengenakan gerakan feminis ini mulai berkembang dengan kain panjang dan kemben (penutup dada), pesat, hingga topik yang diangkat tidak lagi mempunyai rambut yang terurai serta mengenakan tentang hak menyuarakan pendapat. Topik yang aksesoris-aksesoris yang feminin. Tidak hanya itu, diperjuangkan menjadi lebih kompleks yang lekuk tubuhnya pun dibuat lebih lembut dan membuat feminisme ini terbagi menjadi beberapa gemulai, berbeda dengan lekuk tubuh seorang golongan. Pandangan feminisme di setiap era dewa. Ada beberapa candi yang memang sangat tergantung kepada kondisi dan situasi didedikasikan untuk perempuan, seperti Candi zaman yang dihadapinya (Djoeffan 2001). Cĕiwā dengan salah satu arcanya adalah Durgā Di aksi memperjuangkan paham Mahisasuramardini di kompleks Candi . feminisme ini dimulai oleh Raden Ajeng Kartini Menurut mitos dewi ini merupakan jelmaan dari yang tidak setuju dengan keputusan bahwa ia tidak Roro Jonggrang yang telah dikutuk menjadi batu boleh mengampu pendidikan dan harus dipingit di oleh Bandung Bondowoso. Tidak hanya di Candi rumah untuk menjadi ‘perempuan’. Selama Prambanan, ada pula candi lain yang kental dipingit, beliau kemudian menuliskan dengan simbol-simbol perempuan, dikenal dengan keresahannya melalui surat yang dikirimkan nama Candi Sukuh. Bahkan Candi Sukuh yang kepada para sahabatnya (Djoeffan 2001). terletak di lereng bagian barat Gunung Lawu ini Feminis secara etimologis berasal dari kata bentuknya pun merupakan representasi dari alat femme atau woman yang berarti ‘perempuan’ kelamin wanita yang lebih dikenal dengan sebutan (tunggal) ‘yang bertujuan untuk memperjuangkan yoni. Lambang linggā dan yoni diartikan sebagai hak-hak perempuan (jamak)’, sebagai kelas sosial. proses terciptanya kehidupan. Oleh karena itu, Dalam hal ini perlu adanya pemahaman berbeda Tantrāyānā meninggikan posisi perempuan antara male dan female atau dapat diartikan sebagai awal dari kreasi manusia. Aliran ini bahwa maskulin dan feminin pada dasarnya memusatkan pemujaan terhadap Dewi Durgā ditentukan oleh kultur yang ada di masyarakat, sebagai ibu. Lebih lanjut lagi perempuan dianggap sebagai hasil dari infrastruktur material dan penyeimbang dan pasangan pria. Sebagai superstruktur ideologis yang telah diatur kembali. (istri) Dewa Cĕiwā atau , kedudukan Dewi Feminitas dalam pengertian psikologis struktural Durgā ini lebih ditonjolkan daripada dewa itu diartikan bahwa seseorang tidak dilahirkan sebagai sendiri. Oleh karena itu, prosesi terciptanya seorang perempuan melainkan menjadi kelahiran baru yang dimulai dari hubungan perempuan. Feminisme dalam bahasa Perancis bertemunya perempuan dan pria dianggap sakral femme yang berarti ‘wanita’ dan feminine yang pada kepercayaan Tantrāyānā (Wirakusumah berarti ‘kewanitaan atau menunjukkan sifat 2017). perempuan’ (Asmalasari 2013). Adapun dalam Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), Candi Sukuh merupakan candi yang penuh perempuan (noun) berarti ‘orang (manusia) yang dengan simbol-simbol perempuan, mulai dari mempunyai , dapat menstruasi, hamil, bentuk arsitektur candi hingga relief yang ada di sana. Beberapa di antara simbol-simbol secara 20

Naditira Widya Vol.14 No.1 April 2020 - Balai Arkeologi Kalimantan Selatan p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125 frontal menggambarkan alat kelamin manusia. tertentu yang merangsang pesan. Simbol-simbol Namun, ada pula yang direpresentasikan menjadi tersebut yang menjadi satu kesatuan dalam relief seorang dewa dan dewi. yang ada di Candi Sukuh kemudian di Relief-relief Candi Sukuh sejatinya memiliki interpretasikan melalui teori-teori yang digunakan makna yang jika diambil secara keseluruhan akan dalam penelitian ini. menceritakan keberlangsungan hidup manusia. Data yang telah direduksi, selanjutnya akan Oleh karena beberapa bentuk dianggap kurang disajikan dalam bentuk deskripsi naratif. sopan, candi ini dianggap sebagai candi yang Kemudian, data dianalisis kembali melalui strategi penuh dengan citra asli dan alamiah dari sebagian analisis interpretasi dengan pendekatan tubuh manusia. menggunakan teori Ikonografi oleh Erwin Panofsky Meskipun kenyataannya Candi Sukuh (1979) serta menggunakan teori feminisme dengan memiliki banyak pemaknaan tentang kehidupan pendekatan tubuh dan seks untuk menganalisis dan perempuan, sejatinya perempuan bukan objek bukti feminisme yang terkandung dalam pesan seksual dan makhluk hidup kedua setelah laki-laki. yang telah ditelaah dari relief-relief Candi Sukuh. Selain itu, Candi Sukuh dapat menjadi bukti bahwa Studi ikonografi merupakan mekanisme untuk sebenarnya jauh sebelum adanya gerakan feminis mengidentifikasi makna terhadap aspek yang dipelopori oleh Mary Wollstonecraft pada representasi, baik metafora maupun alegori, yaitu revolusi Perancis serta Raden Ajeng Kartini cerita yang dikisahkan dalam bentuk idiomatis, sendiri, feminisme sudah terlebih dahulu ada antara motif karya seni dan unsur konsep atau dalam pandangan para pendahulu sejak masa makna yang terkait dengan peristiwa yang kerajaan Hindu di Indonesia. diangkat oleh sebuah gambar. Ada tiga tahapan Oleh karena itu, dibutuhkan suatu studi analisis, yaitu tahap pra-ikonografis ialah langkah kasus untuk menganalisis bentuk visual dari Candi atau tahap awal atau bahasan primer dalam Sukuh. Studi tersebut dilakukan melalui relief- mendeskripsikan ciri-ciri visual yang tampak dari reliefnya, misalnya tentang penggambaran relief sebuah objek amatan. Pokok bahasan primer atau Candi Sukuh dari makna yang terlahir akibat alami dibagi lagi ke dalam faktual dan pembacaan atas relief yang menghubungkannya ekspresional. Hal ini dipahami dengan atau menafsirkannya dengan konteks di luar relief mengidentifikasi bentuk murni, yaitu konfigurasi itu sendiri. Studi lain berupa pengidentifikasian tertentu dari garis dan warna, atau material makna feminisme yang terkandung dalam relief sebagai representasi atas objek alami dengan Candi Sukuh, dan pengidentifikasian relief Candi mengidentifikasikan hubungan bersamaan mereka Sukuh yang menunjukkan bahwa pada masa itu sebagai peristiwa-peristiwa, dan dengan perempuan sudah berada di posisi yang setara merasakan kualitas ekspresional itu sebagai dengan laki-laki. Relief-relief Candi Sukuh dapat karakter atau atmosfer yang kemudian dikenali menjadi salah satu pembuktian bahwa jauh sebagai pembawa makna primer atau alami dari sebelum adanya pergerakan feminisme, orang- motif artistik. orang zaman kerajaan telah lebih dahulu Tahap ikonografis, yaitu sebagai tahapan menggunakan simbol-simbol perempuan sebagai untuk mengidentifikasi makna sekunder terhadap bentuk rasa syukur terhadap kesuburan dan aspek representasi, baik metafora maupun alegori, kekuatan, serta menganggap kedudukan derajat yaitu cerita yang dikisahkan dalam bentuk seorang perempuan dalam strata sosial lambang-lambang dengan melihat hubungan mempunyai peran penting. Selain itu, penelitian ini antara motif sebuah karya seni dan unsur, konsep dilakukan agar tidak lagi memandang Candi Sukuh atau makna yang terkait dengan peristiwa yang sebagai candi yang penuh erotisme. diangkat oleh sebuah gambar. Tahap ikonologis, yaitu tahapan tingkat METODE lanjut untuk melakukan interpretasi secara komprehensif makna intrinsik atau isi. secara Metode penelitian yang digunakan dalam intrinsik perlu dicari hubungan-hubungan penelitian ini adalah deskriptif-interpretatif. Objek fungsional relief sebagai pembentuk makna. Ini kajian penelitian ini berupa relief-relief Candi dipahami dengan menegaskan prinsip dasar yang Sukuh yang dipandang memiliki simbol-simbol memaparkan atitude dasar dari suatu bangsa,

21

Pesan Gender Relief Candi Sukuh dengan Pendekatan Tubuh, Seks, dan Gender- Karisma Putri Miranti dan Agus Setiawan (19-34) Doi: 10.24832/nw.v14i1.409 zaman, kelas, persuasi filosofis atau religius yang manusia sebagai wadah suci untuk mencapai dikualifikasikan oleh satu kepribadian dan pencerahan (Dewi 2013). Tāntrā melalui akar kata dipadatkan ke dalam satu karya (Panofsky 1979). bahasa Sanskerta berarti menyebar atau meraju. Penafsiran filosofisnya, Tāntrā berarti penyebaran HASIL DAN PEMBAHASAN ajaran esoterik menggunakan diagram-diagram yang disebut sebagai yantra dan mandala. Ajaran Keberadaan Candi Sukuh Tāntrā meyakini pemujaan pada shākti, yakni aspek feminin dari dewa Cĕiwā. Praktik Candi Sukuh secara administratif terletak di Tantrāyānā menekankan pada keutuhan yang Dusun Sukuh, Desa Sumberejo, Kecamatan dicapai dalam aspek gender dalam simbol Shiva Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa dan shākti (Dewi 2013). Tengah, sekitar 20 km dari Kota Karanganyar. Unsur Indonesia dalam Candi Sukuh terlihat Candi ini dibangun di lereng barat Gunung Lawu, lebih menonjol daripada unsur India atau pada ketinggian 1.186 meter di atas permukaan Hinduisme yang banyak dianut oleh candi bercorak laut (dpl) pada koordinat 7037’38’’ LS – Hindu lainnya. Candi Sukuh merupakan suatu 11107’52’’BT. bangunan suci agama Cĕiwā. Di Indonesia, Cĕiwā Candi Sukuh diperkirakan dibangun pada digambarkan dengan lingga dan secara realistis abad ke-15 M. Berdasarkan penanggalan digambarkan sebagai alat kelamin laki-laki sengkalan memet pada relief gapura teras (Soetarno 1986). pertama, Candi Sukuh diduga dibangun dari tahun Para pendiri Candi Sukuh ini dianggap 1359 Çaka (1437 M) sampai dengan 1378 Çaka mengadopsi kembali ajaran-ajaran lokal yang (1456 M), yang bertepatan dengan masa menganut pemujaan terhadap nenek moyang. mengalami kemunduran (Gambar 1). Oleh karena pada masa itu Majapahit sedang mengalami kemunduran, hal ini membuat ajaran Hinduisme makin memudar. Kondisi tersebut dapat dilihat dari bentuk arsitektur Candi Sukuh yang menyerupai bentuk punden berundak yang biasa ditemukan pada kebudayaan megalitik. Kompleks Candi Sukuh ini terdiri atas tiga teras, yaitu pertama, kedua, dan teras ketiga yang merupakan ruang paling suci. Jika dilihat dari atas, denah Candi Sukuh akan terlihat seperti Gambar 2

Sumber: Dok. Miranti 2018 Gambar 1 Bangunan Induk Candi Sukuh

Candi Sukuh juga dipercaya menjadi bukti fisik adanya ajaran Tantrāyānā di Indonesia, ajaran yang memusatkan pemujaan terhadap dewi sebagai ibu Bhāirāwā (Ibu Durgā atau Kāli), juga sebagai istri dari Dewa Cĕiwā atau Shiva. Peran Dewi Durgā dalam ajaran ini lebih ditonjolkan daripada Dewa Cĕiwā itu sendiri. Dewi Durgā berperan dalam menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran. Naskah-naskah Tāntrā sejatinya memuat ajaran yang berkembang dari agama yang mengagungkan dan menyembah kekuatan shākti, yakni aspek feminin dari dewa Cĕiwā. Tāntrā adalah keunikan dari religi Cĕiwā- Sumber: Miranti 2018 Buddha di . Tāntrā menempatkan Gambar 2 Bangunan Induk Candi Sukuh

22

Naditira Widya Vol.14 No.1 April 2020 - Balai Arkeologi Kalimantan Selatan p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125

Kompleks candi ini menghadap ke barat Relief Teras Pertama dengan susunan halaman bentuk idiomatis, terdiri Pada teras pertama terdapat gapura yang atas tiga teras yang berundak-undak. Relief yang merupakan gapura terbesar yang terdapat di terdapat di kompleks tersebut juga melambangkan kompleks Candi Sukuh. Gapura ini merupakan ketiga dunia, yaitu dunia bawah dilambangkan Gapura Paduraksa atau gapura yang dilengkapi dengan relief Bimā Suci, dunia tengah atap. Gapura pertama ini memiliki tinggi 8 meter dilambangkan dengan relief Rāmāyānā, Gārudeyā, dengan lebar kaki 12 meter, dan memiliki 14 dan Sudhāmālā, dunia atas dilambangkan dengan tangga yang menuju ke lorong gapura (berukuran relief Swārgārohānāpārwā. Penggambaran ketiga 1 meter; Gambar 3 dan 4). dunia pada relief-relief tersebut menunjukkan Pada pipi gapura sebelah utara terdapat tahapan yang harus dilalui manusia untuk relief yang menggambarkan seorang raksasa yang mencapai nirwana (Wirakusumah 2017). sedang memakan manusia, Musses (dalam Tim Kepustakaan Candi Perpustakaan Hidayati 2006) mengartikannya sebagai sengkala Nasional (Perpusnas) menuliskan bahwa Candi yang berbunyi “gapura butha mangan wong Sukuh dahulunya berfungsi sebagai tempat untuk (gapura raksasa memakan manusia)”, yang melakukan upacara ruwatan untuk menangkal atau menyimbolkan tahun 1359 Saka atau 1437 melepaskan kekuatan buruk dari dalam diri Masehi. Pada bagian ini juga terdapat relief yang seseorang. Informasi tersebut disimpulkan dari melukiskan sepasang burung yang hinggap di adanya relief-relief yang mengandung cerita-cerita sebatang pohon (Gambar 5). ruwatan dalam relief Kidung Sudāmālā dan Gārudheyā (Tim Kepustakaan Candi 2014). Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dipahami bahwa Sudāmālā (Sādewā) meruwat Durgā dalam kidung Sudāmālā yang intinya adalah manunggaling kawula lan Gusti (leburnya perbedaan) sebagai kekuatan pengurang (sudā) keburukan (mālā). Relief kidung Sudāmālā dan Gārudheyā, relief lingga dan yoni yang dipahat pada lantai gapura pertama, juga dipercaya sebagai suwuk. Kata suwuk diartikan berhenti (Purwadi dan Eko 2008). Arti kata ‘berhenti’ dalam pengobatan suwuk dapat dimaknai sebagai berhentinya suatu Sumber: Dok. Miranti 2018 penyakit atau keburukan yang diderita seseorang. Gambar 3 Relief Kala di atas Pintu Masuk Keberadaan lingga dan yoni yang ditempatkan di lantai pintu gerbang Candi Sukuh diperuntukkan untuk meruwat siapa saja yang dianggap memiliki kesialan dengan cara melangkahi relief lingga dan yoni. Di sisi lain keberadaan relief lingga dan yoni dimaksudkan bahwa sebelum beribadah hendaklah meninggalkan urusan duniawi agar dapat beribadah dalam keadaan jasmani dan rohani yang suci (Cholis 2019).

Relief-relief Candi Sukuh

Keberadaan relief Candi Sukuh terletak di beberapa bagian, yaitu teras pertama, teras kedua, Sumber: Dok. Miranti 2018 dan teras ketiga (Gambar 2). Gambar 4 Relief Kala di Belakang Gapura

23

Pesan Gender Relief Candi Sukuh dengan Pendekatan Tubuh, Seks, dan Gender- Karisma Putri Miranti dan Agus Setiawan (19-34) Doi: 10.24832/nw.v14i1.409

Pada dinding sebelah utara dan selatan terdapat pula relief yang menggambarkan burung dengan sayap yang terbuka. Cakar-cakar burung garuda terlihat sedang mencengkeram ular naga. Relief ini diperkirakan bagian dari relief Gārudheyā (Gambar 7).

Sumber: Dok. Miranti 2018 Gambar 5 Relief Raksasa Memakan Manusia

Pada pipi gapura sebelah selatan, terdapat Sumber: Dok. Miranti 2018 relief yang menggambarkan seorang raksasa yang Gambar 7 Relief Garuda sedang menggigit ekor ular (Gambar 6), oleh Crucq (dalam Saringendyanti 2008) diartikan Terakhir, pada bagian gapura utama Candi sebagai sengkala yang berbunyi “gapura butha Sukuh, yang dianggap relief penting merupakan anahut buntut (gapura raksasa menggigit ekor)”, relief lingga dan yoni yang digambarkan yang juga menyimbolkan tahun 1359 Saka atau bersentuhan satu sama lain dan dipahat dalam 1437 Masehi. bentuk yang naturalistik (Gambar 8).

Sumber: Dok. Miranti 2018 Gambar 6 Relief Raksasa Menggigit Ular Sumber: Dok. Miranti 2018 Gambar 8 Relief Linggā Yoni Teras Pertama 24

Naditira Widya Vol.14 No.1 April 2020 - Balai Arkeologi Kalimantan Selatan p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125

Pada teras pertama juga terdapat panel pengiring yang membawa tombak. Sisi lain panel monolit berupa relief terpisah yang ini menggambarkan empat ekor gajah (Gambar 9). menggambarkan seorang laki-laki yang sedang Panel monolit kedua berisi gambaran relief sapi menunggang seekor gajah dan dikawal oleh yang berjumlah empat ekor.

Sumber: Dok. Miranti 2018 Gambar 9 Relief Linggā Yoni Teras Pertama

Panel lain yang berelief yang masih berada di Relief Teras Kedua teras pertama menggambarkan seorang laki-laki Pada teras ini terdapat dua arca dwarapala yang sedang menunggang seekor kuda dan diiringi yang menjaga pintu gapura ke teras ke tiga, satu oleh lima orang pengawal yang membawa tombak panel relief yang menggambarkan kegiatan pandai dan satu orang yang berada di depan dengan besi, dan relief yang menggambarkan seorang membawa payung (Gambar 10). laki-laki yang sedang berjongkok dengan kaki terbuka. Laki-laki tersebut terlihat sedang menempa sebuah pedang (Gambar 11). Di depannya terhampar berbagai macam alat senjata, seperti keris, tombak, kudi serta cangkul (Saringendyanti 2008). Relief berkepala gajah (Gambar 12) yang sedang menari dan mengenakan serban. Makhluk tersebut terlihat sedang mencengkeram ekor binatang yang diduga adalah seekor anjing. Darmosoetopo (Hidayati 2006) mengartikan relief tersebut sebagai sengkala yang berbunyi “gajah wiku hanaut buntut” (1378 Saka atau 1456 Masehi) Panel terakhir menggambarkan seseorang yang sedang duduk sambil memegang tangkai ububan (alat peniup api pada pandai besi) (Gambar 13). O’Connor (dalam Mufida 2013) berpendapat bahwa relief ini dibuat bukan semata- mata untuk menunjukkan adanya kegiatan pertukangan atau pandai besi di Jawa. Akan tetapi, lebih dari itu, relief ini merupakan perlambangan dari keabadian setelah menjalani berbagai Sumber: Dok. Miranti 2018 tingkatan dalam ajaran agama Cĕiwā. Logam Gambar 10 Relief Laki-laki penunggang kuda dianggap sebagai sesuatu yang melambangkan 25

Pesan Gender Relief Candi Sukuh dengan Pendekatan Tubuh, Seks, dan Gender- Karisma Putri Miranti dan Agus Setiawan (19-34) Doi: 10.24832/nw.v14i1.409 kekekalan (tidak berubah) dalam berbagai perubahan.

Sumber: Dok. Miranti 2018 Gambar 13 Relief Pandai Besi Sumber: Dok.Miranti 2018 Gambar 11 Relief Pandai Besi Relief Teras Ketiga Halaman teras ketiga ini terpisah menjadi dua bagian oleh sebuah jalan batu yang menuju candi induk. Relief dan arca tersebar di kedua halaman tersebut. Keberadaan relief melekat pada beberapa arca, di antaranya terdapat relief dua orang perempuan, sedangkan sisi lainnya terdapat relief beberapa ular. Relief-relief tersebut merupakan bagian dari adegan-adegan cerita Gārudheyā (Gambar 14).

Sumber: Dok. Miranti 2018 Gambar 12 Relief Gajah

Sumber: Dok. Miranti 2018 Gambar 14 Relief Gārudheyā 26

Naditira Widya Vol.14 No.1 April 2020 - Balai Arkeologi Kalimantan Selatan p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125

Terdapat relief yang menggambarkan dua kijang. Terdapat pula dua tokoh yang berada Gārudheyā sedang terbang. Kedua kakinya di hadapan seorang raksasa yang terlentang, dan mencengkeram seekor gajah dan kura-kura, di atas raksasa tersebut berdiri para punakawan digambarkan pula seorang laki laki yang sedang (Gambar 15). bersama dengan punakawan yang membawa . Pada sisi yang lain panel terdapat relief yang Pada halaman utara ditemukan panel relief menggambarkan seekor kera yang tengah binatang yang menyerupai babi, memiliki tanduk, bersama dengan seorang tokoh yang sedang dan memegang genta. Terdapat pula relief gajah berhadapan dengan seorang pertapa. Ornamen yang sedang memegang genta (Gambar 16), serta kālāmĕrgā dipahatkan dengan kepala kala di beberapa panel yang menceritakan cerita kidung bagian atas, dan di ujung bawah terdapat relief Sudāmālā

Sumber: Dok. Miranti 2018 Gambar 15 Relief Raksasa dan Punokawan

Sumber: Dok. Miranti 2018 Gambar 16 Relief sapi dan gajah

Feminisme dalam Relief Candi Sukuh Figur Manusia sebagai Gambaran Feminisme Pembahasan feminisme jelas tidak akan Gambaran feminisme dalam relief Candi jauh dengan pembahasan tentang perempuan Sukuh dijabarkan ke dalam dua bentuk, yaitu figur (Gambar 17). Ini akan selalu beriringan karena manusia dan simbol lingga dan yoni. tokoh utama yang sedang diperjuangkan adalah perempuan. Dalam relief ini ada satu tokoh utama 27

Pesan Gender Relief Candi Sukuh dengan Pendekatan Tubuh, Seks, dan Gender- Karisma Putri Miranti dan Agus Setiawan (19-34) Doi: 10.24832/nw.v14i1.409 perempuan dalam ceritanya. Tokoh tersebut dipandang sebagai pemegang otoritas tertinggi. bernama Bāthāri Durgā atau Dewi Umāyi atau Selain itu, faktor ekonomi juga membuat Dewi Pārwāti yang merupakan istri dari Dewa perempuan tidak dapat berada dalam posisi untuk Cĕiwā. menolak hubungan seksual dengan pasangannya Dalam ceritanya, Dewi Umāyi dikutuk (Dalimoenthe 2011). menjadi raksasa karena dituduh berselingkuh saat mencari obat untuk kesembuhan Dewa Cĕiwā. Linggā dan Yoni Sebagai Gambaran Feminisme Dewi Umāyi sudah berusaha mengelak, tetapi Dewa Cĕiwā tetap tidak percaya hingga akhirnya Linggā Yoni di Teras Pertama murka dan mengutuk Dewi Umāyi menjadi Jika diartikan secara filosofis, makna simbol raksasa. lingga dan yoni adalah linggā (bahasa Sanskerta) sebagai tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti keterangan, petunjuk; dan linggā sebagai lambang kemaluan laki-laki (terutama linggā Cĕiwā dibentuk tiang batu), patung dewa, titik tugu pemujaan, titik pusat poros, sumbu (Zoetmulder dan Robson 1995). Yoni (bahasa Sanskerta) berarti rahim, tempat lahir, āslā Brāhmānā, Dāityā, dewā, gārbhā, pādmā, nāgā, rāksāsā, sārwā, sārwābāthā, sudrā, Cĕiwā, widyādhārādānāYoniā” (Zoetmulder dan Robson 1995). Linggā yang terdapat pada mitologi Hindu merupakan alat kelamin laki-laki (lambang Cĕiwā sebagai dewa semesta), dan yoni yang merupakan alat kelamin Sumber: Dok. Miranti 2018 perempuan sebagai Tara atau timbahan, dan Gambar 17 Figur Manusia merupakan suatu lambang shakti atau prakrti yang dijabarkan dalam bentuk unsur Namun, ada versi berbeda dari cerita kewanitaan (Wawan 2015). dikutuknya Dewi Umāyi ini. Versi kedua diceritakan Relief lingga dan yoni di teras pertama tentang Dewa Cĕiwā yang murka terhadap Dewi memiliki kaitan yang erat dengan hubungan seks Umāyi karena menolak melakukan hubungan seks dalam agama Hindu. Relief tersebut yang dengannya di atas punggung lembu Nandini yang digambarkan menyatu melambangkan bersatunya sedang terbang. Dewi Umāyi menolak karena perempuan dan laki-laki. Menurut Kieven (2014) merasa hubungan tersebut tidak pantas dilakukan pada penelitiannya tentang “Simbolisme cerita pada waktu itu. Dewa Cĕiwā yang merasa marah Panji dalam relief-relief Candi Zaman Majapahit karena penolakan tersebut akhirnya mengutuk dan nilai pada masa kini”, menggambarkan sosok Dewi Umāyi (Mufida 2013). Pānji dan Cāndrākirānā sebagai sepasang kekasih Dari kedua versi tersebut ditemukan sikap yang berjuang untuk dapat bersatu. Kisahnya, Dewi Umāyi yang berani melawan suaminya untuk mereka kemudian maju kepada tingkat spiritual memperjuangkan hal-hal yang dianggap benar. yang tinggi dan menemui seorang petapa untuk Sikap yang ditunjukkan Dewi Umāyi tersebut mencapai pemahaman religius, lalu dengan mencerminkan sikap pandangan feminisme yang menyeberangi air dan menyucikan diri, hingga menggambarkan keberanian seorang perempuan akhirnya mereka dapat menyatu. Proses dalam memperjuangkan hak-haknya meskipun menyatunya perbedaan alami laki-laki (linggā) dan harus melawan laki-laki. Kisah perselingkuhan perempuan (yoni) secara konstruksi sosial sebagai Dewi Umāyi menyebabkan Bāthārā Guru sangat karakteristik gender (Gambar 18). Karakteristik marah. Tanpa sadar beliau mengutuk Dewi Umāyi, gender dalam relief yang tergambarkan tersiratkan sang istri yang cantik jelita itu menjadi seorang menyatunya hubungan antara perempuan dan laki- rāseksi (raksasa perempuan) (Setiawan dkk. laki dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik serta 2018). kemampuan laki-laki dan perempuan hubungan Dalam hubungan pernikahan, laki-laki merasa memiliki kontrol terhadap istri, karena 28

Naditira Widya Vol.14 No.1 April 2020 - Balai Arkeologi Kalimantan Selatan p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125 kekuasaan, dan peran yang cocok bagi laki-laki dalam rahim merupakan hasil dari masuknya penis dan perempuan dalam masyarakat. ke dalam vagina. Relief ini memiliki tiga figure, yaitu kala di bagian ataa, dan dua figur merak di kedua sisi yang kemudian dibuat sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti kālāmĕrgā atau menyerupai rahim (Gambar 19). Di dalamnya terdapat beberapa figur manusia yang terbagi ke dalam tiga kelompok.

Sumber: Dok. dan ilustrasi Miranti 2019 Gambar 18 Klasifikasi bagian Linggā Yoni pada teras pertama

Menurut Zoetmulder dan Robson (1995) ajaran Tantrāyānā, penyatuan dewa-dewi dapat dicapai melalui tertentu dan dengan cara melakukan hubungan badan sehingga manusia dapat manunggal (menyatu) dengan Yang Maha Kuasa, seperti yang juga dilambangkan dalam sastra Jawa Kuno yang disebut kakawin (Kieven 2014). Dengan kata lain, penyatuan antara linggā dan yoni merupakan simbol dalam hubungan seks antara perempuan dan laki-laki untuk mencapai Sumber: Dok. Miranti 2018 suatu spiritualitas seks serta sebagai asal mula Gambar 19 Relief Bimā Suci berbentuk pahatan kehidupan. Kālāmĕrgā Relief linggā yoni yang digambarkan secara sejajar dan sama besar dapat mengarah pada Kelompok pertama, yaitu kelompok yang kesimpulan bahwa untuk mencapai tingkat tertinggi berada di bagian paling atas, terdiri atas dua figur dalam spiritualitas seks, harus ada kontribusi dari manusia yang saling berhadapan dan berdiri di kedua belah pihak. atas dua kepala naga. Posisi tangan kedua figur ini Dalam feminisme, seks merupakan sesuatu menunjuk satu sama lain. Figur manusia di yang harus disetujui satu sama lain. Tiap-tiap sebelah kiri memiliki postur yang lebih kecil individu memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri dibandingkan dengan figur yang berada di sebelah bahwa tubuh yang ia miliki merupakan miliknya kanan. Figur ini terlihat mengenakan hiasan kepala sendiri dan kepemilikan tubuh sebagai syarat yang mirip dengan serban, serta mengenakan kain pembebasan diri. yang menutupi bagian pinggang hingga pergelangan kaki. Selain itu, figur ini terlihat berdiri Linggā Yoni di Teras Ketiga di atas sebuah podium, dan pada latarnya Bentuk yoni sudah jelas direpresentasikan digambarkan ornamen berupa sulur-suluran. Figur dengan bentuk rahim yang juga merupakan bagian sebelah kanan disejajarkan, berpostur tubuh yang dari anatomi vagina. Dua kelompok figur manusia gagah dan bertubuh besar. Figur ini terlihat yang berada di bagian bawah, jika ditarik garis, mengenakan aksesoris kepala berupa mahkota akan mempresentasikan linggā atau penis yang supit udang, kalung, gelang lengan serta memasuki vagina. Kelompok figur yang berada di selendang yang diikatkan pada pinggang dan menjulur menutupi bagian kemaluan. 29

Pesan Gender Relief Candi Sukuh dengan Pendekatan Tubuh, Seks, dan Gender- Karisma Putri Miranti dan Agus Setiawan (19-34) Doi: 10.24832/nw.v14i1.409

Kelompok kedua, yaitu dua figur manusia Penggambaran figur Bhimā atau Arjunā dengan rumah joglo sebagai latarnya. Kedua figur yang bersatu dengan dewa diduga menjadi ini memiliki postur dan ukuran tubuh yang berbeda. penggambaran tempat nanti manusia yang telah Figur pertama digambarkan sedang duduk meninggal. Menurut Hidayati (2006), ornamen ini bersimpuh sambil memegang figur kedua yang berisi tentang ajaran asal-usul manusia dan memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil. Figur tempatnya ketika meninggal nanti. Pada pertama memiliki serban atau gelungan rambut di masyarakat Jawa, ajaran ini terkenal dengan nama kepalanya. Adapun, figur kedua terlihat seperti ‘sangkan paranaing dumadi’ (bahasa Jawa ke seorang bayi atau anak kecil. Bahasa Indonesia: sangkan = asal, paran = Kelompok ketiga, berada di bagian paling menuju, dumadi = ciptaan). Dari ornamen ini dapat bawah, terdapat dua figur manusia yang terlihat disimpulkan bahwa manusia pada zaman seperti sedang memperebutkan sesuatu. Majapahit telah mengetahui pentingnya Keduanya mengenakan serban, dan digambarkan perempuan dalam hubungannya dengan tanpa busana. Figur manusia ini digambarkan kesuburan dan asal muasal kehidupan. Di sisi lain, berjajar ke atas masuk ke dalam rangka rahim ornament tersebut menyiratkan makna mendalam yang terbentuk dari merak. bahwa kembalinya sosok yang bersih, suci, jujur, Kelompok figur pertama yang berada di dan berwatak ksatria. dalam rahim dan digambarkan dengan ukuran Perlu kembali diingat bahwa masyarakat paling besar. Kelompok kedua digambarkan pendiri Candi Sukuh diduga merupakan berada di leher rahim dan kelompok ketiga berada manyarakat yang berhubungan dengan aliran di bagian terluar dari rahim. Relief menakjubkan ini Tantrāyānā, salah satunya mengagungkan sosok dibingkai dalam pahatan yang menyerupai pahatan perempuan. Dalam hal ini dapat dibuktikan dengan relief kālāmĕrgā sehingga figur ini lebih dikenal bentuk arsitektur Candi Sukuh yang berbentuk yoni dengan sebutan relief rahim atau relief kālāmĕrgā yang merupakan simbolisasi dari vagina. Selain karena bentuknya yang menyerupai rahim dan itu, didapat juga suatu relief kālāmĕrgā yang kālāmĕrgā (Gambar 20). Hanya saja, jika menggambarkan proses kehidupan manusia di diperhatikan lebih lanjut, relief ini sebenarnya akan dalam rahim seorang perempuan dan peran membentuk figur linggā dan yoni (Gunawan 2016). seorang ibu dalam merawat anaknya. Peran ibu Kemudian, N. J. Krom (dalam Hidayati dalam kehidupan sehari-hari merupakan peran 2006) berpendapat bahwa figur dewa yang ada di yang sangat penting. dalam relief merupakan Dewa Cĕiwā dan tokoh Namun, pada praktiknya, perempuan yang yang berada di depannya adalah Arjunā. hamil sebagai akibat dari hubungan seks tersebut Stutterheim (dalam Hidayati 2006) berpendapat kemudian tersingkir subjektivitasnya oleh fetus bahwa itu merupakan Bāthārā Guru (Dewa Cĕiwā) yang dikandungnya. Prabasmoro (2006) dan Bhimā. menyatakan bahwa “...begitu kemanusiaan perempuan hamil direbut darinya dan fungsinya sebagai inkubator fetus diaktifkan, subjektivitas fetus kemudian ditinggikan". Kemudian adanya fakta biologis yang terlibat, ketika peran ayah dilibatkan dan peran perempuan makin kuat dipandang sebagai kontainer bagi fetus. Bagaimanapun, to father a child dalam bahasa Inggris berarti membuahi, menyediakan sperma yang memfertilisasi ovum. To mother a child dapat memiliki arti menjadi ibu dalam rangka merawat atau membesarkan atau to nurture. Sementara itu, meskipun seorang perempuan juga berkontribusi

Sumber: Dok. dan ilustrasi Miranti 2019 secara setara, kontribusinya diabaikan dan pada Gambar 20 Klasifikasi Bagian Relief Linggā Yoni saat yang sama kontribusi sosialnya pun mulai Teras Ketiga/Relief Rahim diabaikan. Gerakan feminisme mencoba untuk menyingkirkan paradigma masyarakat tentang 30

Naditira Widya Vol.14 No.1 April 2020 - Balai Arkeologi Kalimantan Selatan p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125 perempuan sebagai inkubator fetus, ketika (images) Bāthāri Durgā. Identifikasi seks pun kelangsungan hidup perempuan saat hamil juga ditunjukkan melalui adanya bentuk payudara sama pentingnya dengan kelangsungan hidup sehingga dapat mengategorikan figur tersebut fetus yang dikandungnya. Begitu pula saat dan sebagai figur Bāthāri Durgā. sesudah fetus dilahirkan. Selain itu, figur manusia tersebut diletakkan Namun, jika relief ini dimaknai sebagai relief tepat di bagian tengah kerumunan sehingga dapat linggā yoni, artinya akan sedikit berubah. Dua diindikasikan sebagai tokoh utama. Figur Bāthāri sosok yang diartikan sebagai Bāthārā Guru dan Durgā juga digambarkan memiliki posisi yang lebih Bhimā itu bukan lagi dimaknai sebagai titik saat tinggi sebagai dewi dalam relief tersebut. bertemunya manusia dan Tuhan ketika manusia itu Ketika mengingat masyarakat pendiri Candi mangkat, moksa atau meninggal. Akan tetapi, lebih Sukuh merupakan penganut Hindu-Buddha sekte kepada pencapaian spiritual seks tertinggi sebagai Tantrāyānā, sebenarnya tidak mengherankan jika akibat dari penyatuan diri perempuan dan laki-laki. Bāthāri Durgā dianggap memiliki posisi yang tinggi. Relief kālāmĕrgā menggambarkan bebasnya Pada figur linggā dan Yoni pada teras pertama, Durgā dari kutukan Syiwā dan kembali menjadi feminisme secara visual digambarkan melalui Umāyi, Bāthārā Guru pun kemudian turun dan penggambaran Linggā dan Yoni yang dibuat menjelma ke dalam raga Sādewā. Dia berkata secara sejajar dan memiliki volume yang sama bahwa saat itu dia telah sanggup meruwat kutukan besar. Hal ini bertujuan untuk memberikan arti dari Bāthārā Guru. Tak berlangsung lama setelah bahwa pesan gender dalam hubungan seks, untuk dibacakan mantra oleh Sādewā, sang Bāthārā mencapai tingkat spiritualitas tertinggi, harus ada Durgā kemudian berubah kembali menjadi sosok kontribusi yang sama besar dari kedua belah Dewi Umā yang cantik jelita. Atas keberhasilnnya pihak. Tidak boleh hanya salah satu pihak yang dalam meruwat Bāthārā Durgā, Sādewā diberikan setuju. Bahkan, dari komposisinya, yoni diletakkan sebuah nama baru, yakni Bāmbāng Sudāmālā dan pada bagian depan, seolah ingin menunjukkan diberikan pusaka kepadanya untuk mengatasi bahwa perempuan bukan objek seksual. berbagai masalah (Setiawan dkk. 2018). Figur linggā dan yoni pada teras ketiga, ukuran rahim yang memakan lebih dari setengah Pesan Gender Relief Candi Sukuh komposisi keseluruhan relief itu, dibuat untuk mengingatkan masyarakat pada pentingnya peran Pesan gender dalam relief telah memasuki perempuan dalam proses perkembangan fetus, tema arkeologi gender, yaitu bias gender. Kajian baik saat di dalam kandungan maupun setelah arkeologi gender dianggap telah merasuk dalam dilahirkan. penelitian-penelitian arkeologi dan secara tidak Ukuran yoni yang digambarkan lebih besar sadar telah mempengaruhi interpretasi arkeologis. daripada linggā juga merupakan cara Banyak interpretasi arkeologi yang lebih penyampaian pesan bahwa setelah adanya menonjolkan peran laki-laki daripada perempuan, penyatuan diri antara perempuan dan laki-laki, padahal perermpuan juga memiliki peran yang perempuan masih memiliki peran yang besar. penting dalam kehidupan di masa lalu serta terdapat hubungan timbal balik antara laki-laki dan Melalui Strategi Kreatif perempuan di masa lalu (Savitri 2012). Wilayah Jika dilihat melalui strategi kreatif, feminisme interpretasi dalam pesan gender berupa relief pada relief kidung Sudhāmālā secara kreatif Candi Sukuh dicapai melalui strategi visual, kreatif, ditunjukkan melalui sosok Bāthāri Durgā. Pesan dan media. tidak secara langsung disampaikan melalui cerita tersebut, tetapi disampaikan melalui latar belakang Melalui Strategi Visual cerita dari Bāthāri Durgā itu sendiri. Sejatinya Secara visual, pesan feminisme pada relief- cerita kidung Sudhāmālā merupakan kelanjutan relief Candi Sukuh ditampilkan melalui bentuk figur dari cerita dikutuknya Bāthāri Durgā atas dasar manusia dan bentuk linggā yoni. Pesan feminisme laporan oleh beberapa dewa di kayangan kepada dalam bentuk figur manusia ditunjukkan melalui Bāthārā Guru atas tingkah lakunya yang tidak relief kidung Sudhāmālā yang mempertontonkan pantas sebagai seorang Dewi. Umā telah hubungan-hubungan antarberbagai sosok

31

Pesan Gender Relief Candi Sukuh dengan Pendekatan Tubuh, Seks, dan Gender- Karisma Putri Miranti dan Agus Setiawan (19-34) Doi: 10.24832/nw.v14i1.409 berkhianat terhadap suaminya dengan PENUTUP berselingkuh (Setiawan dkk. 2018). Untuk relief linggā dan yoni pada teras Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah pertama, feminisme direpresentasikan melalui dilakukan oleh penulis, dapat ditarik kesimpulan bentuk paling naturalis dari linggā dan yoni yang sebagai berikut. menyerupai penis dan vagina serta digambarkan Eksistensi Candi Sukuh yang diceritakan bersentuhan satu sama lain dengan ukuran yang melalui aspek historisnya dapat membantu untuk sama besar untuk menunjukkan kontribusi dan menjelaskan pesan gender di balik relief yang ada persetujuan antarindividu. di Candi Sukuh melalui figure manusia dan simbol Linggā dan yoni pada teras ketiga, linggā yoni. feminisme ditampilkan dengan jelas melalui bentuk Candi Sukuh memiliki berbagai macam rahim. Penggambaran linggā disamarkan menjadi simbol keagamaan yang diagungkan umat Hindu- kelompok-kelompok figur manusia yang juga Buddha sekte Tantrāyānā. Simbol ini memiliki arti tentang kelangsungan hidup fetus direpresentasikan melalui berbagai macam bentuk beriringan dengan peran perempuan dalam relief dan arca yang tersebar di teras pertama, perkembangan fetus. Penyamaran bentuk linggā kedua, dan ketiga. Relief yang ada antara lain, ini kemungkinan besar agar bentuk rahim tetap relief linggā yoni, kidung Sudhāmālā, dan menjadi fokus utama dari relief ini. kālāmĕrgā atau relief rahim. Pesan gender pada relief kidung Sudhāmālā Melalui Strategi Media direpresentasikan melalui figur Bāthāri Durgā yang Media yang digunakan adalah batu cadas jika dianalisis dari strategi visual dan kreatif, yang dipahat. Pemahatan pada relief Candi Sukuh ditempatkan di bagian tengah relief untuk tampak kasar dan memperlihatkan penggunaan menunjukkan bahwa ia adalah figur utama dalam batu bertujuan agar relief yang dipahat tidak panel tersebut. Dari cerita ini dapat diketahui mudah rusak dan pudar. Keberadaan Candi Sukuh bahwa tubuh perempuan selalu menjadi objek dari kental dengan nuansa simbolis erotis, tetapi dilihat kontrol kekuasaan laki-laki. dari sudut pandang media bahwa Candi Sukuh Dalam gerakan feminisme dikatakan bahwa mengadaptasi kebudayaan megalitikum pada pada hubungan pernikahan, laki-laki merasa masa Hindu-Buddha di Jawa. Beberapa pendapat memiliki kontrol terhadap istri karena dipandang mengatakan bahwa sosok Candi Sukuh cenderung sebagai pemegang otoritas tertinggi. Bahkan dibangun dan dipahat secara kasar (Wirakusumah setiap perempuan menyatakan hal yang sama, 2017). bahwa perempuan dituntut untuk terus membuat Pembentukan candi beserta relief dibuat objek dari seluruh dirinya dan membentuk dirinya secara kasar merupakan kelanjutan tradisi sendiri untuk menjadi yang bukan dirinya. Laki-laki megalitik yang dapat dijumpai pada fragmen dianggap menjadi hal-hal subjek. Padahal tubuh Gārudheyā, fragmen Sudhāmālā, fragmen Bhimā, yang ada merupakan milik setiap individu itu Bhimāswārgā, Nāwāruci, adegan pandai besi, dan sendiri, bukan milik suatu kelompok tertentu atau cerita belum dikenal. Munandar (2004) publik. Penolakan Bāthāri Durgā terhadap berpendapat bahwa kebanyakan panel-panel relief suaminya saat diajak melakukan hubungan seks di naratif ditempatkan di bagian-bagian yang strategis tempat yang tidak pantas merupakan salah satu pada bangunan candi sehingga mudah untuk contoh dari perjuangan perempuan untuk dapat dibaca ulang atau resitasi oleh para pengunjung dipandang sebagai subjek, bukan lagi sebagai pada masa silam ataupun pada masa kini. Sudah objek. tentu dengan hadirnya relief-relief naratif, Melalui strategi visual, pesan feminisme bangunan candi tersebut menjadi makin menarik, Relief linggā dan yoni teras pertama ditunjukkan terkesan berwibawa dan anggun (Munandar 2004). dengan penggambaran bentuk yang sejajar dan Konsep media yang diterapkan dalam struktur sama besar. Hal ini memiliki arti bahwa pada Candi Sukuh, yaitu memperlihatkan konsep hubungan seks yang terjadi di dalam ikatan megalitikum dan konsepsi spiritualitas yang pernikahan, perlu adanya kontribusi yang sama terwujudkan dalam bentuk-bentuk relief. dari kedua belah pihak. Tidak boleh hanya salah satu pihak yang menyetujui. Persetujuan ini ada 32

Naditira Widya Vol.14 No.1 April 2020 - Balai Arkeologi Kalimantan Selatan p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125 kaitannya dengan gerakan feminisme yang kelompok figur manusia. Hal ini menandakan menganggap otoritas tubuh hanya dimiliki oleh bahwa pemahat ingin memfokuskan pada individu pemilik tubuh itu sendiri bahwa ada gambaran rahim pada relief tersebut pada peran penolakan perempuan agar tidak terus dijadikan perempuan terhadap keberlangsungan hidup fetus objek. dan bahwa kelangsungan hidup perempuan itu Relief linggā dan yoni teras ketiga, pesan juga sama pentingnya dengan keberadaan fetus feminisme ditunjukkan melalui strategi visual itu sendiri. Dalam kata lain, perempuan menolak dengan penggambaran rahim yang berukuran bahwa tubuhnya hanya dijadikan sebagai alat atau lebih besar dan lebih jelas dan secara kreatif objek, dalam hal ini adalah sebagai inkubator menyamarkan bentuk linggā menjadi kelompok- untuk fetus itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Asmalasari, Devyanti. 2013. “Eksistensi Kuno yang Diabadikan Pada Relief Candi- Perempuan Tionghoa Dalam Novel Samita: Candi Abad Ke-13—15 M.” Makara Seri Bintang Berpijar Di Langit Majapahit Karya Sosial Humaniora 8(2): 54-60. Tasaro (the Existence Chinese Woman in Panofsky, Erwin. 1979. Meaning In The Visual Samita Novel:“Bintang.” Metasastra 6(1):1–9. Arts: Papers In And On Art History. Chicago: Cholis, Henry. 2019. Makna Lingga Yoni di Pintu The University of Chicago Press. Gerbang Candi Sukuh. Surakarta: Institut Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Seni Indonesia Surakarta. Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Dalimoenthe, Ikhlasiah. 2011. “Perempuan Dalam Pop. : Jalasutra. Cengkeraman HIV/AIDS: Kajian Sosiologis Purwadi dan Eko Priyo Purnomo. 2008. Kamus Feminis Perempuan Ibu Rumah Tangga.” Sansekerta Indonesia. Yogyakarta: Budaya Jurnal Komunitas 5(1):41–48. Jawa Dewi, Saras. 2013. “Budaya Erotika Timur.” Jurnal Saringendyanti, E. 2008. “Candi Sukuh Dan Ceto Our Voice Indonesia: 1-3 Di Kawasan Gunung Lawu: Peranannya Djoeffan, Sri Hidayati. 2001. “Gerakan Feminisme Pada Abad 14–15 Masehi.” Makalah Hasil Di Indonesia: Tantangan Dan Strategi Penelitian. Bandung: Universitas Mendatang.” Mimbar: Jurnal Sosial Dan Padjadjaran. Pembangunan 17(3):284–300. Savitri, Mimi. 2012. “Bias Gender: Masalah Utama Gunawan, Aditia. 2016. “Produksi Naskah Dan Dalam Interpretasi Arkeologi.” Jurnal Mistisisme Aksara Dalam Bhīma Svarga.” Humaniora 19(2):161–67. Manuskripta 6(1):11–39. Setiawan, Restu Budi, Sahid Teguh Widodo, dan Hidayati, Siti Nurul. 2006. “Optimalisasi Situs Suyitno Suyitno. 2018. “Kajian Struktural Candi Sukuh Dan Candi Cetho Dalam Wanda Dalam Perspekstif Pengembangan Pariwisata.” UNS (Sebelas Cerita Pewayangan Sudamala Dan Budaya Maret University). Jawa (Structural Study of Wanda Wayang Kieven, Lydia. 2014. “Simbolisme Cerita Panji Durga in Perspective of Sudamala Puppet Dalam Relief-Relief Di Candi Zaman Story and Javanese Culture).” Widyaparwa Majapahit Dan Nilainya Pada Masa Kini.” in A 46(1):17–29. seminar paper ‘Cerita Panji Sebagai Warisan Soetarno, R. 1986. Aneka Candi Kuno Di Budaya Dunia, Seminar Naskah Panji’in Indonesia. Dahara Prize. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Tim Kepustakaan Candi. 2014. “Candi Sukuh (Jakarta, 28/29 October 2014). (Jawa Tengah)-Kepustakaan Candi.” Mufida, Riha Rahma. 2013. “Cerita-Cerita di Balik Perpusnas 1. Diunduh 9 Februari 2020 Candi Sukuh Sebagai Pemerkaya Cerita (https://candi.perpusnas.go.id/temples/deskri Drama Tradisional.” Proceeding 1(1):13–24. psi-jawa_tengah-candi_sukuh). Munandar, Agus Aris. 2004. “Karya Sastra Jawa Tim Penyusun, KBBI. 2008. “Kamus Besar Bahasa

33

Pesan Gender Relief Candi Sukuh dengan Pendekatan Tubuh, Seks, dan Gender- Karisma Putri Miranti dan Agus Setiawan (19-34) Doi: 10.24832/nw.v14i1.409

Indonesia.” Jakarta: Balai Pustaka Vindication of the Rights of Woman and Wawan, Putu. 2015. “Lingga Yoni.” Parisada Hindu Hints. United Kingdom: Cambridge University Indonesia 1. Diunduh 8 Februari Press. (http://phdi.or.id/artikel/lingga-yoni). Zoetmulder, Petrus Josephus dan Stuart O. Wirakusumah, Indri A. 2017. “Langgam Arsitektur Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia: Candi Sukuh.” Media Matrasain 14(1):49–60. PY. Vol. 2. Jakarta Perwakilan Koninklijk Wollstonecraft, Mary. 1995. Wollstonecraft: A Instituut voor Taal, Land-, en Volkenkunde: Vindication of the Rights of Men and A PT. Gramedia Pustaka Utama.

34