TAFSI

Tesis Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Bidang Pengkajian Islam

Oleh: Muhammad Muammar Alwi 21171200000120

Pembimbing Dr. Yusuf Rahman, M.A

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat berupa kekuatan jasmani maupun rohani, sehingga tesis dengan judul “Tafsir Ahkam di : Studi Kasus Tafsir Al-Ahkam Syekh Abdul Halim Hasan Binjai,” ini dapat terselesaikan sesuai yang diinginkan. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar Magister Kajian Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa tesis ini selesai bukan hanya kerja keras penulis saja, melainkan juga melibatkan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak, baik secara moril maupun materil yang tidak mungkin dapat disebutkan satu persatu, akan tetapi kontribusi tersebut akan selalu menjadi kenangan dalam kebaikan selama roda kehidupan masih terus berjalan. Dari hati sanubari penulis ucapkan banyak terimaksih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam menyelesaikan tugas akhir ini, semoga Allah SWT selalu melindungi serta memberikan kenikmatan kepada orang-orang yang telah berkontribusi dalam tesis ini. Penghormatan dan penghargaan yang setulus-tulusnya dibarengin dengan ucapan terimakasih yang tidak terhingga, penulis ucapkan kepada : 1. Ibu Prof.Amany Burhanuddin Lubis, M.A selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Prof. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Hasan M.A selaku Wakil Direktur, Arif Zamhari, M.Ag, Ph.D, selaku Ketua Program Magister, dan seluruh staf akademik, administrasi dan staf perpustakaan Sps UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang baik, ramah dan berdedikasi tinggi. 3. Dr. Yusuf Rahman, M.A, sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktunya ditengah kesibukan sebagai dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan tidak pernah lelah dalam memberikan masukan serta pemahaman keilmuan dan juga penulisan, sehingga dapat terselesaikannya tesis ini sesuai yang diharapkan. 4. Orangtua saya bapak Alimuddin Spd.I dan Ibu saya Suwarni, yang telah membesarkan saya sampai saat ini, dan selalu senantiasa mendo’akan, memberikan semangat, serta memberikan bantuan baik itu secara moral maupun material kepada penulis. Dan tidak lupa juga kepada kepada kedua saudara kandung saya S.Kom dan Prada. Muhammad Reza Alwi 5. Keluarga besar Almarhum Syekh Abdul Halim Hasan Binjai, yang telah bersedia memberikan informasi pejalanan hidup Syekh Abdul Halim Hasan Binjai 6. Dr. Azhari Akmal Tarigan M.A, sebagai editor tafsir Al-Ahkam, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi terkait sejarah penulisan tafsir Al-Ahkam yang ditulis oleh Syekh Abdul Halim Hasan Binjai. 7. Dr. Ziaulhaq, M.A, yang selalu meluangkan waktunya dalam memberikan masukan serta memantau perkembangan penulisan tesis saya hingga akhir penulisan.

i

8. Teman-teman kampus, kakak Noblana Adib, Indah Kartika, Restia Gustiana, Aam Aminah, dan abang Mardian Idris, Fauzan Arrasyid, Luthfi Chakim, dan Afifuddin. Dan tidak lupa juga kepada teman satu daerah saya Muhammad Nasir. Demikianlah tentunya dalam penulisan tesis ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik kontruktif senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Semoga karya tulis ini berguna dan bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jakarta, 2020 Penulis,

Muhammad Muammar Alwi

ii

LEMBARAN PLAGIARISME

iv

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan metodologi Tafsir Al-Ahkam yang ditulis oleh Abdul Halim Hasan Binjai dalam menafsirkan ayat-ayat hukum dalam al- Qur’an. Kajian ini merumuskan metodologi dalam memahami ayat-ayat hukum baik itu dalam bidang ibadah maupun mu’amalah, agar ke depannya ayat-ayat hukum tidak ditafsirkan secara tendensius dan parsial. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis, yaitu sebuah metode yang berupaya menggambarkan apa yang menjadi objek penelitian yaitu tafsir al-ahkam. Selanjutnya, tafsir al-ahkam dianalisis melalui pengumpulan data dan sampel yang sudah ada. Dengan kata lain, penelitian ini fokus kepada masalah-masalah yang ada ketika penelitian berlangsung. Keseluruhan data-data dalam penelitian ini merupakan bahan kepustakaan yang tertulis atau dikenal dengan library research (penelian kepustakaan), baik itu berupa buku, laporan hasil penelitian, makalah-makalah, jurnal ilmiah dan yang berkenaan dengan penelitian. Selanjutnya untuk meneliti penafsiran Abdul Halim, maka digunakan pendekatan tafsir maudhu’i, yaitu dengan mengklasifikasikan terlebih dahulu ayat-ayat sesuai tema, untuk melihat pendekatan yang dipakai ketika menafsirkan ayat-ayat hukum tersebut. Temuan penelitian ini menunjukan bahwa, penafsiran Syekh Abdul Halim Hasan Binjai terhadap ayat-ayat hukum menggunakan metode tafsir dengan pendekatan tafsir bil ma’tsur, sehingga menghasilkan penafsiran yang cenderung tekstual. Penafsiran ini hanya bergerak dari refleksi (teks) ke praksis (konteks), yang bergerak hanya pada teks saja, dan mengabaikan sisi konteksnya. Namun penafsiran ayat-ayat hukum Abdul Halim bukanlah bagian dari penafsiran yang fanatik kepada mazhab tertentu, seperti mufasir ayat hukum lainnya yaitu, Al-Qurthubi yang cenderung pada mazhab Maliki, Al-Jashash bermazhab Hanafi, dan al-Kayaharasi bermazhab Syafi’i, sehingga terlihat adanya unsur subjektivitas dalam penafsiran mereka. Maka dari itu kesimpulan dari penelitian ini adalah, penafsiran ayat hukum yang cenderung tekstual, dengan menggunakan perbandingan mazhab dalam tafsirnya, akan menghasilkan penafsiran ayat hukum yang luwes, tidak rigid dan eksklusif, serta kordial terhadap berbagai mazhab. Hasil penelitian ini, tidak sepakat dengan Abdullah Saeed (2005, 2006, 2006a, 2014), Nasr Hamid Abu Zayd (1994, 1994a), Hasan Hanafi (1994, 1995, 2005), Yang mengemukakan bahwa, penafsiran yang cenderung tekstual akan menghasilkan sebuah penafsiran yang rigid, eksklusif dan sektarian, kontradiktif serta diskriminatif terhadap satu kelompok. Penelitian ini sepakat dengan, Ibn Uthaymin (2001), al- Albani (2007), dan Ayyub al-Kibsi (2009), yang mengatakan bahwa penafsiran secara tekstual adalah penafsiran yang paling otoritatif dan baik dalam menjelaskan ayat al- Qur’an.

Kata Kunci: Tafsi>r Ah{kam, Syeikh Abdul Halim Hasan, Ayat Hukum, Identitas Tafsir,Metode Tafsir dan Tahlili

vii

ABSTRACT

This study aims to explain the methodology of Al-Ahkam's interpretation written by Abdul Halim Hasan Binjai in interpreting the legal verses in the Qur'an. This study formulates a methodology in understanding the legal verses both in the field of worship and social interaction, so that in the future the legal verses are not interpreted tendently and partially. The method in this study uses the descriptive-analysis method which is a method that seeks to describe  the Al-Ahkam's interpretation the object of this research. Afterward, the the Al-Ahkam's interpretation is analyzed through the collection of existing data and samples. In other words, this research focuses on the problems that exist when the research takes place. The entire data in this study is from literatures or known as library research such as in the form of books, research reports, papers, scientific journals and others books related to this research. Furthermore to examine Abdul Halim's interpretation uses the thematic interpretation approach. Primary, the researcher classify the verses according to the theme to see the approach he used when interpreting the verses of the law. The findings of this study indicate the interpretation of Sheikh Abdul Halim Hasan Binjai to the legal verses using an approach the history interpretation therefore produces the interpretations that tend to be textual.This interpretation only moves from reflection (text) to praxis (context), which moves only to the text, and ignores the context. Nonetheless, the interpretation of Abdul Halim's legal verses is not part of a fanatical interpretation of a particular school. For example, other legal verses, namely Al-Qurthubi which tend to Maliki school, Al-Jashash with Hanafi school, and al-Kayaharasi with Shafi'ite school. So that in their interpretation seen an element of subjectivity. Subsequently, the conclusion of this research is the interpretation of legal texts that tend to be textual by using a comparison of schools in their interpretation will result in a flexible interpretation of the legal verses, not rigid and exclusive, and cordial to various schools. The results of this study, do not agree with Abdullah Saeed (2005, 2006, 2006a, 2014), Nasr Hamid Abu Zayd (1994, 1994a), Hasan Hanafi (1994, 1995, 2005), which suggests that, interpretation which tends to be textual will produce a rigid, exclusive and sectarian, contradictory and discriminatory interpretation of one group. This study agrees with, Ibn Uthaymin (2001), al-Albani (2007), dan Ayyub al-Kibsi (2009), who say that textual interpretation is the most authoritative interpretation in explaining the verses of the Qur'an.

Keywords: tafsi>r Al-Ah{ka>m, Abdul Halim Hasan, Legal Verse, Interpretation Identity, Interpretation Method and Tahlili

viii

ملخص البحث يهدف هذا البحث إلى شرح منهج التفسير آليات األحكام التي كتبها عبد الحليم حسن بنجاي في تفسير آيات األحكام في القرآن الكريم. وضع هذا البحث منهجية في فهم آيات األحكام في مجال العبادة والمعاملة ، لكي ال يتم تفسير آيات األحكام في المستقبل بطريقة منحرفة وجزئية. وكان المنهج لهذا البحث بطريقة التحليل الوصفي، وهو األسلوب الذي يسعى لوصف ما هو موضوع البحث أال إنه تفسير آيات األحكام. ويتم تحليل تفسير آيات األحكام بجمع البيانات والعينات المتوفرة. على حين يركز هذا البحث على المسائل الموجودة أثناء الصنع للبحث. إن البيانات المتناولة في هذا البحث كلها من الوثائق المكتوبة كالكتب و تقارير البحثية ,واألوراق العلمية والمجالت وأخرى مما يتعلق بالبحث حيث تعرف بنوع من البحث في المكتبة. ثم استخدام منهج التفسير الموضوعي لبحث تفسير عبد الحليم، وذلك بتصنيف اآليات حسب الموضوع أوالً، لمعرفة النهج المستخدم في تفسير اآليات الحكمية في القرآن. وتظهر نتائج البحث بأن منهج تفسير الشيخ عبد الحليم حسن بنجاي لآليات التشريعية في القرآن يعتبرمنهج التفسير بالمأثور التفسير بحيث يميل التفسير إلى أن يكون تفسيرا نصيًا. وينتقل منهج هذا التفسير من التصّوري )النص( إلى الفعل ّي )السياق( فقط، لتكونه عامال بالنص فقط ، مهمال السياق. ومع ذلك ، فإن تفسير عبد الحليم آليات األحكام ليس جزءًا من التفسير المتعصب لبعض المذهب الخاص، بخالف المفسيرين األخر لآليات الحكمية مثل القرطبي التي تميل إلى المذهب المالكي، والجصاص الحنفي ، الكيا الهراسي الشافعي، كل على شاكلته ويؤدى ذلك إلى تشكل العناصر الذاتية في تفسيرها. ومن ثم فإن الخالصة التي توصل إليها هذا البحث هي أن تفسير آيات األحكام التي تميل إلى منهج الفسير النصي، مع استخدام مقارنة المذاهب، سيؤدي إلى تكون تفسير آيات األحكام الشرعية المرنة غير تشدد وحصري وتلطف بالمذاهب ستى. التتفق نتيجة هذا البحث مع وجهة نظر عبد الله سعيد )5002 ، 5002 ، 5002 أ ، 5002( ، نصر حامد أبو زيد )0992 ، 0992 أ( ، حسن حنفي )0992 ، 0992 ، 5002( ، القائلون بأن التفسير الذي يميل إلى التفسير النصي يترتب عليه التفسير الصارم والحصري والطائفي المتناقض والتمييزي لمجموعة ما. وتتفق نتيجة البحث مع ابن ابن عثيمين )5000( ناصر الدين األلباني (2007( أيوب الكبيسي (2009) المؤكدون بأن التفسير النصي هو التفسير األكثر موثوقية في شرح آيات القرآن.

الكلمات الدالة: تفسير آيات األحكام، شيخ عبد الحليم حسن، آيات األحكام، نوع التفسير، منهج التفسير والتحليلي.

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah ALA-LC ROMANIZATION tables yaitu sebagai berikut:

A. Konsonan

Initial Romanization Initial Romanization

D{ ض A ا

Ţ ط B ب

}Z ظ T ت

‘ ع Th ث

Gh غ J ج

F ف }H ح

Q ق Kh خ

K ك D د

L ل Dh ذ

M م R ر

N ن Z ز

H ه،ة S س W و Sh ش Y ي }S ص

B. Vokal 1. Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fatḥah A A َ

xi

I Kasrah I َ

Ḑammah U U َ

2. Vokal Rangkap

Tanda Nama Gabungan Huruf Nama

Fatḥah dan ya Ai A dan I َ ... ي

Fatḥah dan wau Au A da U َ ... و Contoh: H{aul :حول H{usain :حسين

C. Vokal Panjang

Tanda Nama Gabungan Huruf Nama

Fatḥah dan alif a> a dan garis di atas ــا I dan garis di atas Kasrah dan ya Ī ـ ـي u dan garis di atas Ḑamah dan wau Ū ــ و

D. Ta’ Marbūţah. .di akhir kata, bila dimatikan ditulis h (ة) Transliterasi ta’ marbūţah Contoh: Madrasah :مدرسة Mar’ah : مرأة (ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan sebagainya, kecuali dikehendaki lafadz aslinya)

E. Shiddah Shiddah/Tashdīd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu. Contoh: Shawwa>l :ش ّوال

F. Kata Sandang Alif + La>m  Apabila diikuti dengan huruf qamariyah, ditulis al. al-Qalam : القلم :Contoh

xii

DAFAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...... iii LEMBARAN PLAGIARISME ...... iv ABSTRAK ...... v PEDOMAN TRANSLITERASI ...... xi BAB I ...... 1 PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 8 C. Perumusan Masalah ...... 9 D. Pembatasan Masalah ...... 9 E. Tujuan Penelitian ...... 9 F. Signifikansi dan Manfaat ...... 10 G. Kajian Terdahulu yang Relevan ...... 10 H. Metode Penelitian ...... 14 I. Sistematika Penulisan ...... 16 BAB II : PENDEKATAN PENAFSIRAN AL-QUR’AN ...... 17 A. Pola Penafsiran: Antara Teks dan Realitas ...... 17 B. Pendekatan Penafsiran ...... 23 C. Subjektifitas Penafsiran ...... 34 BAB III : PERKEMBANGAN INTELEKTUAL SYEKH H.ABDUL HALIM HASAN BINJAI ...... 39 A. Biografi Abdul Halim Hasan ...... 39 B. KaryaTulis Abdul Halim Hasan ...... 41 C. Aktivisme dan Karir Abdul Halim Hasan ...... 43 BAB IV ...... 49 METODOLOGI DAN APLIKASI PENAFSIRAN TAFSIR AL-AHKAM ...... 49

xiii

SYEKH ABDUL HALIM HASAN BINJAI ...... 49 A. Gambaran Umum ...... 49 B. Metodologi Penafsiran ...... 51 1. Metode ...... 51 2. Sumber...... 54 3. Bentuk dan Corak Penafsiran ...... 60 C. Penafsiran Syekh Abdul Halim Hasan Binjai ...... 62 1. Penafsiran Ayat-Ayat Ibadah ...... 63 a. Salat Qasar...... 63 b. Hukum Menghadap Kiblat dalam Salat ...... 66 c. Wanita Haid ...... 71 2. Penafsiran Ayat-Ayat Mu’amalah ...... 77 a. Poligami ...... 77 b. Menikah Lintas Agama ...... 83 c. Laki-Laki Mengatur Perempuan ...... 91 BAB V : PENUTUP ...... 97 A. Kesimpulan ...... 97 B. Saran-saran ...... 97 DAFTAR PUSTAKA ...... 99 GLOSARIUM ...... 105 INDEKS ...... 108 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 110

xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an merupakan sumber primer ajaran Islam, di dalamnya termuat doktrin sebagai petunjuk bagi kehidupan yang bersifat global membutuhkan upaya penafsiran untuk memahaminya. Sisi lainnya, al-Qur’an sebagai teks tertulis berisikan tentang panduan yang menjadi referensi supaya manusia terhindari dari segala hal yang dapat merugikannya.1 Eksistensi al-Qur’an sebagai petunjuk karena memberikan pedoman hidup untuk mencapai sebuah kebahagiaan di dunia dan sekaligus akhirat. Pedoman ini berupa ajaran akidah, ibadah, mu‘amalah, dan sebagainya.2 Dalam menjelaskan, dan memahami itu semua dibutuhkan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an yang bersifat umum (ijmal) karena untuk mengerti makna sebuah ayat al-Qur’an yang terkandung di dalamnya tidak semua umat Islam dapat memahaminya dengan mudah, terlebih al-Qur’an memiliki peran penting dalam kehidupan manusia sebagai referensi dalam kehidupan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut al-Qur’an yang pada umumnya berisikan seperangkat konsep dan prinsip yang belum terjabarkan dan dioperasionalkan agar mudah diaplikasikan dalam kehidupan. Dalam konteks ini, kehadiran sebuah tafsir sangat dibutuhkan, mengingat sifat redaksinya sebuah ayat al-Qur’an yang beragam, ada yang jelas dan juga ada yang terperinci, dan ada juga sebagian lainnya yang global dan juga samar.3 Al-Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad Saw termasuk di dalamnya ayat- ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan hukum, baik yang berkenaan dengan ibadah di dunia maupun di akhirat.4 Kegiatan penafsiran al-Qur’an sudah dimulai sejak nabi Muhammad Saw masih hidup. Pada saat itu Nabi menjadi sosok sentral menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, sebab Nabi sendiri merupakan sosok penerima wahyu pertama. Untuk itu tidak sulit bagi para sahabat mendapatkan makna atau maksud dari ayat al-Qur’an tersebut, sebab mereka bisa bertanya langsung kepada Nabi sebagai penerima wahyu pertama, jika ada ayat yang kurang dimengerti oleh para sahabat. Akan tetapi, tatkala Nabi wafat, para sahabat mendapatkan beberapa masalah yang belum pernah mereka temui ketika mereka masih bersama beliau khususnya dalam permasalahan hukum. Ketika ini terjadi, maka mereka akan merujuk pada sumber hukum Islam utama yaitu al-Qur’an, dan jika mereka tidak menemukannya, maka mereka akan merujuknya kepada as-sunnah.5 Penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat inipun disebut dengan penafsiran bil ma’tsur. Tasfir ini mendasarkan

1Manna>‘ Kha>lil al-Qat}t}an, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Qalam, 1988), 5. 2Mah{mu>d Shaltu>t, al-Isla>m ‘Aqidah wa Shari‘ah (Qahirah: Da>r al-Shuruq, 2001), 3. 3Jala>l al-Di>n al-Suyut}i>, Itqan fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (al-Qahirah: Da>r al-H{adith, 2004), 24, SubhīS{alih{, Maba‘Ulu>m al-Qur’ān (Beirut: Dār ‘Ilm Malayin, 1977), 290, M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), 59. 4Muhammad Husein Adh-Dhahabi, At-Tafsi>r wal Mufassiru>n, (Kairo : Da>r al-Kutu>b al-Hadi>tsah, 2005), h. 319 5 Adh-Dhahabi>, al-Mufassiru>n, h. 319. 1 pembahasannya dan sumbernya kepada periwayatan-periwayatan Nabi. Cara inilah kemudian dikenal dengan sebuah tariqah penafsiran al-Qur’an yang disebut dengan tariqah riwayah.6 Jika dilihat perkembangan tafsir hukum pada masa nabi hingga tabi’in yang berakhir dengan perbedaan pendapat antara sahabat dalam memahami ayat al- Qur’an, disebabkan karena keumuman atau khususan suatu ayat,7 sudut pandang dalam memahami ayat, perbedaan qiraat, atau perbedaan satu kata dalam ayat-ayat hukum yang bermakna ganda.8 Dalam sejarah penafsiran di Indonesia, Ayat-ayat hukum pada mulanya terintegrasi dalam penafsiran al-Quran secara keseluruhan, pada masa itu belum ada pemisahan antara ayat-ayat hukum dengan ayat sains misalnya. Para ulama umumnya akan menafsirkan ayat sesuai dengan “semangat ayat” itu sendiri, ayat-ayat yang bernuansa tauhid atau teologis akan ditafsirkan dengan menggunakan corak teologis, dan ayat-ayat hukum akan ditafsirkan dengan menggunakan corak hukum.9 Untuk mengerti atas ayat al-Qur’an yang bersifat umum dibutuhkan tafsir yang mampu menjelaskan apa yang ada di dalamnya ayat tersebut. Dalam kaitan ini dalam pengalaman Indonesia upaya memperkenalkan dan merumuskan tafsir telah dilakukan setidaknya dimulai pada abad 17 hingga 20 hingga saat sekarang, hal ini dapat kita lihat yang dimulai dari sebuah karya ‘Abd al-Ra’uf Singkel dengan tafsir yang cukup terkenal berujud Tarjuman al-Mustafid dalam tulisan Arab Melayu hingga Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry yang berupaya menafsirkan ayat al- Qur’an sesuai dengan semangat modern.10 Nashruddin Baidan mengatakan terkait dengan pemetaan perkembangan tafsir al-Qur’an, bahwa pada mulanya penafsiran tidak mengacu pada corak atau metode penafsiran ayat al-Qur’an tertentu. Artinya bahwa penafsiran dilakukan secara keseluruhan bersamaan dengan bidang lainnya, seperti tasawuf, fikih dan teologi. Penyajian tafsir juga dilakukan secara praktis dalam bentuk amalan hari-hari, dan tidak dalam kajian teoritis konseptual.11 Sebagaimana yang telah diklasifikasikan

6Subhi Shaleh, Maba>hits fi ‘Ulu>m al-Qur,a>n, (Beirut : Da>r al-Ilmi, 1997), h. 291 7Lihat misalnya dalam pembagian hak waris antara Ibn ,Abbas dan Zaid bin Thabit, dalam hal ini Ibnu Abbas berpendapat bahwa, untuk suami setengah dari harta yang ditinggalkan, untuk ibu sepertiga dan ayah sisa dari pembagian harta waris, sedangkan Zaid bin Tsabit, untuk istri sepertiga hasil dari pembagian wajib untuk suami, Adh-Dhahabi>, al- Mufassiru>n, h. 320 8Perbedaan itu misalnya dalam hal batalnya wudhu’ berdasarkan pemahaman kata “aw lamastumun nisa” apakah berarti menyentuh atau berjima’. Tentang praktek wudhu’ dalam surat al-Maidah ayat 6, apakah kaki dicuci atau diusap. Lihat lebih jelas misalnya : Mustafa Said, Athar al Ikhtilaf fi al Qawa’id al Ushuliyyah fi Ikhtilafi alnFuqaha’, (Syria : Muassah ar Rissalah, 1985), cet. 4, h. 38 9Azhari Akmal Tarigan, “Reorientasi Kajian Tafsir Ahkam di Indonesia dan Peluang Pengembangannya,” Jurnal Syariah, vol. 6, no. 2, h. 102. 10Abdullah Saeed, “Introduction: the Qur’an, Interpretation and the Indonesian Context”, Abdullah Saeed, ed., Approaches to the Qur’an Contemporary Indonesia (London: Oxford University, 2005), h. 4. 11Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia¸ (Solo : Pustaka Mandiri, 2002). h. 33 2 oleh Nashruddin Baidan, ia membagi perkembangan tafsir al-Qur’an di Indonesia kepada empat bagian, periode klasik (abad VIII-XV M), periode tengah (abad XVI- XVIII M), periode pramodern (abad XIX) dan periode modern (abad XX), ia mengatakan bahwa periode klasik pembelajaran tafsir al-Qur’an masih bergantung pada kitab tafsir al-Qur’an yang datang dari Timur Tengah, seperti Tafsir al-Jalalain. Sedangkan pada periode pertengahan sudah muncul penafsiran yang dihasilkan oleh mufasir Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nawawi Banteni dan ‘Abd al-Ra’uf Singkel, namun penafsiran ini masih dalam bentuk Arab-Melayu. Pada periode modern yaitu abad-XX, penafsiran al-Qur’an di Indonesia mengalami perkembangan, hal ini ditandai dengan telah terbitnya penafsiran al-qur’an yang berbahasa Indonesia.12 Pada periode ini juga penafsiran al-Qur’an di Indonesia sudah memulai mengenalkan pemikiran-pemikiran ulama Indonesia diantaranya adalah Mahmud Yunus, ketika ia menafsirkan surat an-Nur ayat : 31, dalam tafsirnya ia mengatakan “Disini ada suatu pikiran orang alim di Indoensia, bahwa suruhan menutup kepala itu adalah suruhan tentang peradaban pakaian perempuan yang ada di tanab Arab. Oleh karena itu, suruhan itu adalah suruhan sunnah bukan wajib.” Berbeda dengan Howard M. Federspie; yang memfokuskan kajiannya terhadap perkembangan tafsir al-Qur’an di Indonesia Abad-20, Menurutnya terkait dengan pemetaan perkembangan tafsir dan penerjemahan al-Qur’an di Indonesia pada abad- 20, dia membaginya kepada tiga generasi. Generasi pertama dimulai pada tahun 1901 sampai dengan 1960. Generasi kedua , yaitu pada pertengah tahun 1960-an. Sedangkan generasi ketiga, dimulai pada tahun1970-an. Menurutnya, dalam kurun waktu tiga generasi di atas, mufasir di Indonesia telah banyak menghasilkan sebuah penerjemahan dan penafsiran dengan menggunakan bahasa Indonesia itu sendiri.13 lanjutnya, Federspiel mengatakan, generasi pertama dimulai dari proses penerjemahan dan penafsiran dilakukan secara terpisah, tidak lengkap karena hanya memilih beberapa pilihan surah, atau juz saja dari al-Qur’an. Sedangkan generasi kedua upaya penerjemahan dan penafsiran terlihat dilakukan lebih utuh dari sebelumnya, sebab sudah dilakukan dari awal surah hingga akhir surah, atau dari permulaan juz pertama hingga selesai. Kemudian, dilengkapi dengan berbagai tafsiran ayat-ayat yang dianggap penting secara ringkas. Untuk generagi ketiga, upaya terjemahan dan penafsiran dilakukan secara baik dan lengkap yang juga direlevankan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern.14 Dalam perkembangannya, tafsir al-Qur’an berbahasa Indonesia untuk pertama kali ditulis oleh Mahmud Yunus.15 Tafsir yang ditulis Yunus ini merupakan tafsir yang lahir pada abad dua puluh. Menurut Mahmud Yunus dalam kata pengantar tafsirnya, menyebutkan bahwa proses penulisan tafsir tersebut dimulai pada November 1922. Penulisannya dilakukan secara bertahap, tetapi konsisten, yaitu dimulai dengan per- juz hinggaa sampai pada juz ketiga. Sedangkan untuk selanjutnya, juz keempat

12Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, h. 31-91 13Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur’an (Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesian Project, 1994), 129. 14Federspiel, Popular, 130. 15M. Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia Abad ke XX”, Jurnal Ulumul Qur’an, 3 (4), 1992, 51. 3 dilanjutkan oleh H. Ilyas Muhammad Ali dibawah bimbingan langsung oleh Yunus.16 Setelah tafsir al-Qur’an bahasa Indonesia yang ditulis oleh Mahmud Yunus kemudian ditemukan juga tafsir al-Qur’an ditulis oleh A. Hasan, tafsir ini diberi judul al-Furqan Tafsir al-Qur’an. Dalam perkembangan selanjutnya kemudian dikenal tafsir yang populer disebut dengan “Tafsir Ulama Tiga Serangkai” yang ditulis ole tiga orang ulama asal Sumatera Utara, dulu Sumatera Timur, yaitu Syeikh H. Abdul Halim Hasan17, Zainal Arifin Abbas dan Abdurrahim Haitami. Untuk selanjutnya, tepatnya pada tahun 1958 muncullah Hamka yang luas dikenal sebagai ulama, dan sekaligus juga sastrawan, ia mulai proses penuliusan tafsirnya berkaitan dengan kegiatan pengajian penafsiran al-Qur’an, yang dilakukan setiap selesai subuh berjamaah di Masjid al-Azhar, Kebayoran Baru Jakarta, tafsir ini dimulai dari Q.S. al-Kahfi, juz 15.18 Hamka memberi nama tafsir ini dengan sebutan “Tafsir al-Azhar”. Saat bersamaan muncullah dua tafsir dari seorang ahli hadis dan fikih terkemuka berdarah , yaitu T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, ia menulis dua tafsir yang kemudian diberi judul “Tafsir al-Qur’an al-Majid an-Nur”,. Tafsir ini pertama kali dicetak pada tahun 1956, dan kedua “Tafsir al-Qur’an al-Bayan” dicetak sekita tahun 1971. Penerbitan tafsir kedua ini karena ketidakpuasan Hasby terhadap karya tafsir pertamanya karena dianggap belum mampu menjelaskan secara mendalam, maka tafsir kedua lebih terperinci dibanding pertama.19 Islah Gusmian dalam kajiannya terhadap perkembangan tafsir al-Qur’an di Indonesia, ia mengatakan bahwa penulisan tafsir al-Qur’an dengan latar belakang keilmuan dan sosial yang berbeda, akan menghasilkan ragam identitas. Identitas itu ia bagi menjadi lima : diantaranya, identitas dengan keulamaannya, sosial- cendikiawan-akademisi, identitas sastrawan-budayawan, identitas sosial birokrat, dan identitas sosial politikus. Hal ini sudah keliatan sejak masa penafsiran yang dilakukan oleh Abdul Ra’uf al-Sinkili hingga Oemar Bakry. Selain itu dengan ragam budaya dan kebutuhan yang mengitarinya, menjadikan penafsiran al-Qur’an di Indonesia ditulis dengan bahasa dan aksara yang beragam juga.20 Hasil penelitian Gusmian juga mengatakan bahwa, penafsiran yang ditulis oleh mufasir Indonesia juga mengalami perjalanan yang dinamis, yang bersifat dialektis. Tidak hanya berhenti pada pembacaan teks al-Qur’an saja, namun para mufasir merangkaikan penafsirannya dengan pembacaan terhadap realitas sosial dan politik, dimana penafsiran itu dilakukan.21

16Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: Pustaka Mahmudiyah, 1957), vii- iii. 17Syeikh H. Abdul Halim Hasan Binjai, lahir pada tanggal 15 Mei 1901 di Binjai Sumatera Utara, diumurnya yang ke 7 tahun mulai belajar ilmu agama pada beberapa ulama Binjai, antara lain, H.Abdullah Samah dan H.Abdullah Umar Kadhi, beliau wafat di Rumah Sakit PNP II Bangkatan Binjai, tepat tanggal 15 November 1969. 18Hamka, Tafsir al-Azhar, 1 (Jakarta: Pembina Masa, 1967), 41. 19T. M. Hasbi Ash Shiddieqy Tafsir al-Qur’an al-Bayan, (Bandung: Alma’rif, 1971),1-2. 20Islah Gusmian, “Tafsir al-Qur’an di Indonesia : Sejarah dan Dinamika”, dalam Nun, Vol. 1, No. 1, 2015. h. 16-19 21Gusmian, “Tafsir al-Qur’an di Indonesia : Sejarah dan Dinamika”, h. 23 4

Menurut M. Yunan Yusuf, sedikitnya terdapat dua corak teologi dalam penafsiran al-Qur’an di Indonesia, yakni teologi liberal dan teologi tradisional. Teologi liberal mempunyai ciri memberikan daya yang kuat pada akal sehingga dalam memahami ayat-ayat al-Quran lebih banyak memakai penafsiran majazi atau metaforis. Sebaliknya, aliran teologi tradisional memberikan daya yang kurang kuat pada akal, lebih banyak berpegang arti lafzi atau harfiah ketika menafsirkan al-Quran. Sedangkan dari segi teknik penafsiran, terdapat dua tehnik penafsiran di Indonesia, yang pertama meyajikan arti ayat kemudian memberikan penafisran secara global dan yang kedua adalah menyajikan arti ayat, memberikan penjelasan panjang lebar kemudian disamping itu diberikan arti kata yang terdapat dalam ayat itu. Dan menurut M.Yunan Yusuf bahwa penafsiran al Quran di Indonesia abad XX masih bersifat tradisional, buktinya adalah masih banyaknya memberikan penafsiran secara harfiah atas ayat-ayat mutasyabihat.22 Dari pemaparan dikemukan, dapat dilihat bahwa\, setiap mufasir mempunyai karakteristik penafsiran ayat al-Quran tersendiri. Karakteristik ini tampak jelas ketika adanya upaya pemilahan fase tertentu dalam kurun waktu antar mufasirin Indoneaia. Dalam menafsirkan para ulama disebut tidak bisa terlepas dari situasi sosial yang dihadapi pada masa itu dengan segala tantangan yang ada. Tafsir pada abad pertama kemunculan Islam berbeda dengan gaya penafsiran mufasir yang hidup pada masa modern. Bisa dilihat dari kota tempat tinggal mufasir tersebut, sehingga penafsiran yang diproduk oleh ulama disatu kota dengan kota lain bisa berbeda. Pada awal mula abad XX, penafsiran ayat-ayat hukum mulai terlihat dinamis, para mufassir sudah tidak lagi terpaku oleh pendapat mufassir atau mazhab tertentu, seperti yang telah dilakukan oleh mufassir Indonesia sendiri diantaranya adalah, Hasbi Ash Shiddiqie, Hamka, dan juga Abdul Halim Hasan. Dari sekian banyak tafsir yang terbit di Indonesia, yang menjadi perhatian penulis adalah karya Syeikh H. Abdul Halim Hasan Binjai (1901-1969 M). Seorang ulama yang berasal dari Binjai Sumatera Utara yang memiliki dua kitab tafsir, salah satunya adalah “Tafsir Ahkam”, yang terbit sekitar abad XX. Abdul Halim merupakan seorang ulama yang cukup berpengaruh di Sumatera Utara. Terbukti bahwa posisinya yang menjadi tokoh di dua ormas, yakni dan al- Jam’iyatul Washliyah sekaligus merupakan sebuah posisi yang tidak lazim pada masanya.23 Kedua ormas ini sangat berpengaruh dalam pola pikir umat Islam di Indonesia, termasuk Sumatera Utara. Menurut Azhari Akmal Tarigan,24 ketokohannya di dalam dua ormas ini bahwa, seorang Abdul Halim disamping dia adalah seorang mufasir, dia adalah salah satu pejuang dari kota rambutan (Binjai) dan dia salah seorang ulama fakih yang cukup matang dengan ilmunya. Itu terbukti dalam

22Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia Abad Kedua Puluh”, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 3, No. 4, 1992, h. 50-60. 23Basyral Hamidy Harahap, Syekh Abdul Halim Hasan dan Perubahan Sosial, Prolog Tafsir Ahkam”, Syek H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Ahkam (Jakarta : Kencana Pranada Group, 2006), Iii. 24Abdul Halim Hasan, Tafsir Ahkam, (Jakarta : Kencana, 2006), ix. 5 tulisannya tentang hukum Islam yang dimuat di Majalah al-Islam dan kitab Tafsi>rAh{ka>m.25 Sebelum Tafsir Ahkam ini diterbitkan Abdul Halim sebelumnya mempunyai kitab tafsir sebagaimana disebut sebelumnya yang dikenal dengan namaTafsir al- Quranul Karim Tiga Serangkai. Penulisan Tafsir al-Qur’an al-Karim ini dimulai awal ramadhan 1355 H di Binjai. Tafsir ini terbit sebulan sekali dalam bentuk majalah 20 halaman dan penerbitan pertamanya dimulai April 1937. Pada akhir 1941 menjelang pendudukan Jepang dan perang Dunia II, akhirnya penerbitan tafsir ini dihentikan karena kertas tidak masuk lagi dari Eropa dan Amerika. Sampai akhir 1941 tafsir ini baru selesai sampai JuzVII.26 Untuk kepentingan penelitian ini penulis membatasinya pada Tafsir Ahkam karya Abdul Halim. Sebab selain karya dalam bidang ahkam (hukun-hukum) yang merupakan sebuah karya yang dapat disebut masih minim dibanding tafsir lainnya, maka melihatnya dalam kerangka yang lebih luas menjadi relevan dilakukan. Melihat secara umum Tafsi>r Ah{ka>m karya Abdul Halimini memuat ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum yang menjadikan tafsir ini terlihat spesialis, sehingga memudahkan bagi para pembaca untuk memahami, melacak dan beradaptasi dengan pemikirannya ketika membaca tafsirnya. Di samping itu, Abdul Halim semasa hidupnya dikenal sebagai ulama yang tidak fanatik terhadap satu mazhab tertentu, tetapi ia mampu menerima berbagai pendapat fikih. Di dalam tafsirnya al-Ah{ka>m beliau selalu saja memaparkan berbagai pendapat imam mazhab dari berbagai mazhab, bahkan pendapat para sahabat, tabi‘in hingga tabi‘in al-tabi‘in juga dikutip dalam tafsirnya ketika menjelaskan suatu ayat. Dengan tujuan agar supaya dapat melihat keragaman pendapat yang berkembang, dan tidak terjebak kepada fanatisme mazhab.27 Penting dikemukan di sini bahwa Abdul Halim hidup pada pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, sedangkan Tafsir Ahkam yang ia tulis tentu dalam situasi sosial yang tidak tenang, sebab beberapa sumber yang ada menyebutkan bahwa selain beraktifitas sebagai seorang ulama dan tokoh organisasi Abdul Halim juga terlibat dalam beberapa peristiwa yang melihatkan dirinya pada upaya perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya pada saat berada di Kota Binjai.28 Menurut sumber yang ada Abdul Halim merupakan salah seorang dari beberapa ulama dan tokoh yang ikut serta membacakan proklamasi di Binjai,29 maka melihat aktifitas tersebut tentu Abdul Halim dalam berbagai kesibukannya berupaya melahirkan sebuah tafsir yang fokus pada aspek hukum sesuai dengan minat dan bidang yang ia dalami. Merujuk pada beberapa karyanya yang lain Abdul Halim terlihat merupakan

25Tarigan, “Moderatisme...”,viii. 26Tarigan, “Moderatisme...”,ixv. 27Tarigan, “Moderatisme...”,vii. 28Tarigan, “Moderatisme...”,viii. 29Beberapa nama yang tercatat pada momumen kemerdekaan Indonesia di Kota Binjai menyebut beberapa nama, yaitu H. Abd. Halim Hasan, Abdur Rahim Haitamy, H. Zainal Arifin Abbas, H. Abdul Wahab Lubis, Achmad Yusuf Husin, Mali Kayo Muhammad Jamil, Muhammad Yahya Nata dan Baharuddin Ali. Razman Arif, “Pemikiran dan Perjuangan Politik Muhammad Idaham: Kajian terhadap Kepimpinan Melayu Islam di Binjai Provinsi Sumatera Utara”, Disertasi, Universiti Sains Malaysia, 2016, 37-40. 6 seorang ulama yang mendalami dalam bidang hukum Islam, sebab beberapa karyanya yang belakangan ditemukan menunjukkan minatnya yang mendalam pada bidang hukum Islam.30 Situasi sosial yang dapat disebut tidak kondusif bagi seseorang berkarya karena situasi politik yang berlangsung ketika itu menunjukkan bahwa Abdul Halim merupakan seorang ulama yang memiliki tradisi menulis yang cukup baik. Sangat mustahil bagi seseorang yang dalam situasi yang tidak aman mampu melahirkan karya tafsir yang penting bagi pengkajian Islam. Konteks lokalitas yang dihadapi Abdul Halim merujuk pada karya tafsirnya tidak hanya dibatasi pada hasil bacaanya sebagaimana disebut pada tafsir-tafsir yang bercorak hukum sebagaimana disebut, tetapi upaya mengkontekstualisaikan pada situasi yang dihadapinya membentuk sikap keterbukaan dalam memahami hukum Islam. Untuk itu, pengkajian mendalam pada tafsir ahkam karya Abdul Halim dilihat dalam perspektif yang lebih luas, terutama memposisikannya sebagai kerangka tafsir ahkam yang berkembang di Indonesia akan mampu melihat lebih mendalam. Tafsir karya Abdul Halim ini diterbitkan jauh setelah ia wafat memberikan gambaran bahwa tafsir tersebut belum sempat beredar di kalangan ulama yang semasa denganya. Maka sebagai sebuah karya yang muncul belakangan juga memberikan ruang tersendiri untuk upaya eksplorasi lebih mendalam pada latar belakang historis pada tafsir Ahkam karya Abdul Halim tersebut. Dalam aspek penafsiran identitas umum yang dikemukan pada Tafsir Ahkam yang disebut menunjukkan bahwa kitab Tafsi>r Ah{ka>m yang ditulis Abdul Halim ini bukanlah kitab tafsir dengan corak atau versi baru, melainkan lebih didasarkan atas suatu upaya menampilkan tafsir yang bersifat selektif terhadap pandangan atau penafsiran para ulama terdahulu (salaf). Dengan kata lain, Abdul Halim mencoba melakukan penafsiran yang akurat, lebih baik, lebih kuat hukumnya. Merujuk pada sumber yang digunakan seperti yang diketahui bahwa Tafsir Ahkam ini memang cukup relatif banyak,31 di antaranya adalah; kitab al-Jami‘ li Ah{kam al-Qur’a>n adalah karya al- Qurt{ubi>, Ah{am al-Qur’a>n karya Ibn ‘Arabi>, Ah{kam al-Qur’a>n karya al-Jas{s{as{, Khanz al-Irfan fi Fiqh al-Qur’a>n karya al-Syauri, Ah{kam al-Qur’a>n karya al-T{abari> atau yang lebih dikenal dengan al-Kiya al-Harasi, Rawa‘i al-Baya>n karya al-S{abuni> dan Tafsi>r Ayat Ah{kam karya ‘Ali> al-Sayi>s,32 menegaskan bahwa Tafsir Ahkam yang ditulis Abdul Halim ini sangat kaya perspektif tentang penafsiran tentang ayat-ayat hukum.

30Sejauh ini beberapa karya Abdul Halim yang ditemukan, di antaranya Tafsir al- Quran al-Karim karya tiga serangkai; Tafsir al-Ahkam; Bingkisan Adab dan Hikmah; Sejarah Fiqih; Wanita dan Islam; Hikmah Puasa; Lailat al-Qadar; Cara memandikan Mayat; Tarekh Tamaddun Islam; Sejarah Kejadian Syara’ Tulis Arab ( terbitan malaysia); Tarekh Abi Hasan al-Asyari; Sejarah Literatur Islam dan Poligami dalam Islam, dan lainnya. Selain dalam bentuk buku karya Abdul Halim juga tersebar dalam beberapa majalah, seperti Majalah al- Islam. 31M. Amin Summa, Pengantar Tafsir Ahkam (Jakarta: Logos, 1997), 3. 32Ummu Kaltsum dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ahkam (Ciputat: UIN Press, 2015), 28-33. 7

Dalam konteks perkembangan tafsir di Indonesia dapat disebut kitab Tafsi>r Ahka>m yang berbahasa Indonesia sangatlah jarang ditemui, bisa dibilang langka, padahal kitab tafsir yang ada tidak selamanya bisa menjawab semua problematika budaya maupun sosial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini.33 Sebagaimana yang dikatakan oleh Ishom El Saha dalam penelitiannya terkait dengan kelangkaan tafsir ahkam di Indonesia, mengatakan pada awalnya penafsiran al- Qur’an di Indonesia banyak dipengaruhi oleh penafsiran dari Timur Tengah, seperti as-Suyuti dengan corak adab ijtima’i yang menekankan pada analisis linguistik dan filologis berdasarakan pada leksikologi Arab. Berdasarkan hal ini, maka penafsiran yang berkembang di Indonesia sebagian besar bercorak adab ijtima’i. Ia mengatakan bahwa, meski banyak mufasir Indonesia menulis tafsir, tetapi sangat jarang ditemukan mufasir Indonesia yang menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan ilmu fikih, sehingga tidak ditemukan karya tafsir yang membahas ayat-ayat hukum secara sistematis.34 Hal ini menyebabkan karya tafsir ahkam yang dihasilkan oleh mufasir di Indonesia sangat jarang ditemukan. Dalam kerangka disebut Tafsi>r Ah{kam karya Abdul Halim ini memberikan perspektif baru dalam upaya memahami ayat-ayat berkaitan tentang masalah hukum. Berdasarkan penjelasan dikemukan penulis melihat penting untuk mengkaji identitas tafsir Ahkam di Indonesia dengan memfokuskan kajian pada Tafsir Ahkam karya Abdul Halim.

B. Identifikasi Masalah Latar belakang masalah dikemukakan untuk memudahkan penelitian akan dilakukan upaya identifikasi masalah yang mampu memberikan perincian untuk memahami apa saja yang menjadi masalah dalam penelitian. Penelitian tentang tafsir Ahkam di Indonesia dalam kerangka yang lebih luas akan dapat dilihat dalam perspektif yang lebih khusus dengan memberikan identifikasi masalah pada objek yang dikaji secara mendalam karena melihat, maka setidaknya terdapat beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai upaya menemukan masalah yang dapat digali secara mendalam melalui penelitian, di antaranya adalah: a. Latar belakang historis penulisan Tafsir Ahkam karya Abdul Halim mencakup situasi sosial dan politik yang terjadi saat proses penulisan. Pengungkapan latar belakang menjadi penting karena sebuah karya lahir sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat ia dilahirkan dan apa yang menjadi tujuan dari penulisan dilakukan, maka sangat dimungkinkan latar belakang historis menjadi penting untuk digali lebih mendalam tentang unsur situasi dan kondisi yang mengitari lahirnya tafsir tersebut, sebab sebuah penafsiran yang sangat kondisional latar belakang penulisan tafsir sangat penting untuk dikaji melihat aspek historis yang terjadi.

33Menurut Muhammad Amin Summa, bahwa sangat jarang kita temui kitab tafsir ahkam yang berbahasa Indonesia, dan didalam buku ini beliau menjelaskan bahwa sangat dibutuhkan sekali kitab tafsir ahkam yang berbahasa Indonesia, agar masyarakat awam juga bisa memahaminya. Muhammad Amin Summa, Pengantar Tafsir Ahkam, 1. 34M.Ishom El- Saha, “Mengatasi Kelangkaan Tafsir Ahkam di Tengah Komunitas Pegiat Fikih Nusantara”, dalam Jurnal Suhuf, Vol. 3, No. 2, 2010, h. 8 b. Identitas tafsir Ahkam mencakup identitas yang melekat pada tafsir tersebut, sebab identitas menjadi “alat penanda” yang berbeda dari yang lainnya, maka upaya pengungkapan identitas tafsir Ahkam menjadi relevan dilakukan dalam melihat identitas umum tafsir ahkam yang berkembang di Indonesia, maka masalah dalam penelitian ini berkaitan tentang identitas “Tafsi>r Ah{kam” tersebut di Indonesia untuk melihat dalam konteks yang lebih luas memposisikannya sebagai tafsir ahkam yang berkembang dan banyak menjadi referensi.

C. Perumusan Masalah Untuk menjawab apa yang telah diidentifikasi sebagai masalah utama penelitian selanjutnya akan dirumuskan apa saja masalah utama penelitian dalam bentuk pertanyaan, sebab dengan mengajukan rumusan masalah diharapkan mampu memfokuskan masalah utama penelitian. a. Bagaimana Abdul Halim Hasan menafsirkan al-Qur’an dalam karyanya ? b. Apakah penafsiran Abdul Halim Hasan terpengaruh oleh satu mazhab tertentu, atau merangkul beberapa mazhab ?

D. Pembatasan Masalah Dari beberapa identifikasi masalah yang cukup luas, maka penulis akan membatasi pada dua objek katagori, yang pertama adalah dibatasi pada aspek-aspek. metodologis tafsir: metode, sumber, corak dan bentuk tafsir. Masalah kedua dibatasi pada penafsiran ayat-ayat hukum yang berkenaan dengan Ibadah dan mu’amalah saja.

E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab apa saja yang telah diajukan dalam rumusan masalah, sebab tujuan utama penelitian dilakukan sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang utuh pada masalah utama penelitian yang dapat dirinci, a) Menganalisis metodologi yang digunakan Abdul Halim Hasan dalam menafsirkan ayat-ayat hukum dalam al Quran, serta apakah corak fiqih yang dilakukannya dalam menafsirkan ayat al Quran bersifat netral atau cendrung memihak ke mazhab yang dianutnya; b) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Abdul Halim Hasan dalam menafsirkan ayat-ayat hukum; dan c) Menganalisis posisi tafsi>r ah{ka>mAbdul Halim Hasan di Indonesia. Secara akademis penelitian ini bertujuan untuk untuk menjadikan kajian metodologi tafsir sebagai bagian dari ciri khas akademik yang mendorong mahasiswa untuk menelaah dan memahami tafsir al-Qur’an terutama dalam bidang ayat-ayat hukum secara professional. Selain itu, secara pribadi, penilitian ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang ilmu- ilmu agama Islam kosentrasi Tafsir pada Program Sekolah Pasca Sarjana (SPS) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun kegunaan penelitian ini adalah, memberikan informasi bahwa ummat Indonesia mempunyai produk tafsir al-Quran yang hanya membahas ayat-ayat hukum saja 30 juz, khususnya umat sumatera. Sumbangan pemikiran bagi berkembangnya wacana pemikiran seputar metodologi penafsiran ayat-ayat hukum ditengah masyarakat. Dengan

9 diformulasikannya penafsiran ayat ahkamAbdul Halim, diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap permasalahan-permasalahan hukum islam kontemporer, dan bisa membangkitkan kesadaran ummat muslim, khususnya tentang mengkritisi kembali pemahaman keagamaan dan corak penafsiran yang mengedepankan fanatisme mazhab dan taklid buta ditengah tantangan modernitas.

F. Signifikansi dan Manfaat Signifikansi penelitian diproyeksikan memberikan sumbangan dalam pengkajian tafsir di Indonenesia, khususnya tafsir ahkam, sebab sejauh ini pengkajian tentang tafsir ahkam, baik yang dijadikan referensi pada lembaga pendidikan Islam umumnya merupakan tafsir ahkam yang bersumber dari Timur Tengah, maka dengan melakukan penelitian ini tentu akan memberikan penjelasan yang memadai tentang perkembangan tafsir ahkam di Indonesia, maka dalam hal ini Tafsir Ahkam karya Abdul Halim menjadi penting dilihat dalam kerangka yang lebih luas, yaitu memposisikannya dalam perspektif tafsir Ahkam di Indonesia. Manfaat penelitian ini sebagai bagian dari upaya menjaga tradisi dan karya yang dihasilkan ulama Indonesia dalam bidang tafsir tentu akan mampu menumbuhkan semangat penggalian lebih mendalam pada karya-karya ulama Indonesia, sebab sebagai sebuah produk penafsiran yang tidak dapat dipisahkan dari situasi sosial dan politik mungkin juga ekonomi akan dapat menjadi kajian lanjutan bagi sarjana selanjutnya untuk melihat konteks yang lebih luas.

G. Kajian Terdahulu yang Relevan Sepanjang penelusuran penulis, bahwa penelitian terhadap tafsir Ahkam dan Abdul Halim Hasan bukanlah penelitian pertama karena banyak sarjana Indonesia ataupun luar yang telah berupaya menjelaskan tentang tafsir Ahkam, baik metodologi, corak maupun sistematika yang dipakai dalam penafsiran. Maka ditemukanlah beberapa penelitian tentang tafsir Ahkam dan Abdul Halim Hasan. Penelitian tentang tafsir ahkam yang dilakukan oleh sonafist dalam disertasinya berjudul “Penafsiran Ayat-Ayat Ahkam dalam Tafsir al-Mannar: Studi Perbandingan antara Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha” pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2002. Ia mengkaji seputar perbedaan-perbedaan pemahaman terhadap ayat-ayat hukum yang berkaitan dengan aspek ibadah mahdlah (seperti ; shalat, puasa, zakat dan haji) antara kedua tokoh tersebut. Kesimpulannya adalah terdapat nuansa perbedaan antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, pembahasannya tidak menunjukan apa yang mendasari dari perbedaan itu dan tidak membahas corak penafsiran ayat hukumnya. Selain disertasi tersebut, sebuah tesis yang ditulis oleh saudara Ishaq yang membahas tentang penafsiran ayat-ayat hukum dalam tafsir al-Kabir karya al-Razi dengan judul “ Corak Pemahaman Fiqih Islam ar-Razi (Studi Penafsiran Ayat-Ayat Hukum dalam Tafsir al-Kabir). Tafsir ini lebih condong membahas pada kajian fiqih dalam tafsir al-Kabir. Meskipun tafsir ini tidak cendrung pada tafsir ahkam, namun

10 didalamnya memuat penafsiran yang bernuansa fiqih ketika bertemu dengan ayat hukum.35 Sementara itu, penelitian penafsiran ayat-ayat ahkam pernah juga dilakukan oleh Syafruddin dengan judul “Penafsiran Ayat Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al- Munir” sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatulla Jakarta, tahun 2008.36disertasi ini lebih cenderung dan berupaya menggali pemikiran al-Zuhaili dalam tafsirnya al- Munir, dengan kata lain disertasi ini lebih fokus pada penelitian atau kajian tokoh. ia berpendapat bahwa dalam penafsiran ayat-ayat hukum al-Zuhailiy adalah seorang ulama yang berkapasitas akademis dan netral. Sebab al-Zuhailiy tidak membela mazhab fikih tertentu. Sedangkan Zamakhsari Abdul Majid dalam disertasinya dengan kajian objek yang sama dengan judul “Metodologi Penafsiran Wahbah al-Zuhaili terhadap Ayat- ayat Hukum dalam Tafsir al-Munir“, disertasi ini lebih kepada metodologi dan pengaruh penafsiran Wahbah al-Zuhaily terhadap ayat-ayat hukum dalam tafsirnya Al Munir.37Bahwa ia berkesimpulan secara teknis tafsir al-Munir termasuk kitab tafsir yang menggunakan bentuk penyajian yang sistematis. Dan ia juga mengatakan bahwa ada tiga metode yang digunakan dalam penafsiran al-Zuhailiy, diantaranya adalah; 1) al-Tashih, yaitu metode penafsiran yang bersumber dari argumentasi yang shohih. 2) Muqaranah al-Mazahib, metode penafsiran dengan cara menampilkan perspektif ulama mazhab dalam satu masalah. 3) al-Tarjih, mendukung dan mengambil pendapat ulama yang dianggap lebih kuat dalil (kehujjahan)nya. Adapun penelitian terhadap penafsiran Abdul Halim Hasan, Penelitian ini dilakukan Karel A. Steenbrink38 yang diterbitkan dalam artikel berjudul “The Study Comparative Religion by Indonesian Muslim”. Penelitian Steenbrink menemukan bahwa tafsir yang ditulis Abd Halim Hasan dan temannya merupakan tafsir yang banyak dipengaruhi oleh Muhammad ‘Abduh melalui tafsir al-Manar dan Mustafa al- Maragi dengan Tafsi>r al-Maragi>. Kemudian Nadzrah Ahmad dalam penelitianya berjudul “Methodology and Issues Within Tafsir al-Quran al-Karim By Abdul Halim Hasan “. Penelitian ini lebih pada penelitian terhadap tafsir al-Quran al-Karim yang dipelopori oleh tiga ulama nusantara salah satunya yaitu Abdul Halim Hasan. Tesis Nadzrah Ahmad ini menunjukan tentang metodologi dalam tafsir al-Quran al-Karim, tidak membahas metodhologi penafsiran ayat hukum secara khusus yang dilakukan Abdul Halim Hasan dalam tafsirnya.39 Demikian juga ‘Abd Qadir al-Hamidi,dalam penelitiannya

35Ishaq, Corak Pemahaman Fiqih Islam ar-Razi ((Studi Penafsiran Ayat-Ayat Hukum dalam Tafsir al-Kabir)\, Jakarta IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999. 36Syafruddin, “Penafsiran Ayat-Ayat Ahkam Al Zuhaily dalam Tafsir Al Munir,” Disertasi, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. 37Zamakhsyari Abdul Majid, “Metodologi Penafsiran Wahbah Az Zuhaily Terhadap Ayat-Ayat Hukum Dalam Tafsir Al Munir,” Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta, 2009. 38Karel A. Steenbrink, “The Study of Comparative Religion by Indonesian Muslim”, Numen, 37 (2), (1990): 141-167. 39Nadzrah Ahmad, Methodology and Issues Within Tafsir al-Quran al-Karim by Abdul Halim Hasan,Tesis, International Islamic University Malaysia, 2014. 11 berujudul “Tafsir al-Quran al-Karim li Abdul Halim Hasan wa Akharayn : Dirasah Manhajiyah wa Tariban li al-Juz al Awwal Minhu”. Penelitian ini lebih fokus membahas tentang metodologi penafsiran yang digunakan dalam Tafsir al-Quran Karim yang ditulis oleh Abdul Halim Hasan dan dua temannya yaitu Zainal Arifin Abbas dan Abdul Rahim Haitami, yang disusun menjadi beberapa poin mulai dari Hubungan antara ayat (munasabatil ayat), sebab turun ayat (Asbabun Nuzul), Nasikh wal Mansukh. Dan penelitian ini tidak memfokuskan kepada tafsi>r ah{ka>m yang ditulis oleh Abdul Halim Hasan secara khusus.40 Penelitian lain yang penting juga disebut dilakukan Ahmad N. Amir berjudul“Muhammad Abduh’s Influence in Southeast Asia”.41 Dalam penelitiannya mengatakan bahwa, tafsir karya Abdul Halim Hasan termasuk salah satu tafsir yang dipengaruhi oleh penafsiran Muhammad Abduh. Karya yang dimaksud di sini adalah tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh ulama tiga serangkai, di antaranya adalah Zainal Arifin Abbas dan Abdurrahman Haitami sebagai team penulis merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Tafsir Ahkam karya Abdul Halim, sebab sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa tafsir tiga serangkai lebih dahulu ditulis sebelum tafsir ahkam tersebut. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Abdul Qadir Umar Usman al- Hamidiy “Abdul Halim Hasan and His Contributions in Qur’anic Exegesis in the Malay Word”.42 Ia berpendapat bahwa Abdul Halim Hasan sangat terbuka dan objektif terhadapa berbagai pandangan ulama dalam isu-isu tentang agama, dan metode yang dipakai dalam tafsirnya membuat pembaca untuk menerima kebenaran berdasarkan argument yang tepat dan menolak untuk taklid buta, maka tafsir ini sangat berpengaruh terhadap penafsiran ulama di dunia melayu. Penelitian ini berdasarkan terhadap dua karya tafsir yang dimiliki Abdul Halim Hasan yaitu, Tafsir al-Ahkam dan Tafsir al-Qur’an al-Karim yang di karang bersama dua temannya Abdurrahman Haitami dan Zainal Arifin Abbas. Sedangkan Nur Lubis dalam bukunya “Data-Data Terbitan Awal Penterjemahan dan penafsiran al-Qur’an di Alam Melayu”.43 Di sini Nur Lubis menjelaskan secara rinci latar belakang tafsir al-Qur’an al-Karim, mulai dari latar belakang penerbitannya hingga waktu dan lokasi publikasi di Indonesia. Dia meringkas bahwa ketidaklengkapan atau kesempurnaan penafsiran ayat pada tafsir al-Qura’n al-Karim dikarenakan terjadinya perang dunia ke-II. Nur Lubis juga menyajikan analisis singkat terhadap metode tafsir al-Qura’n al-Karim, disini dia menjelaskan metode yang diadopsi dalam penulisan tafsir.

40Abdul Qadir Umar Uthman al-Hamidy, “Tafsir al-Quran al-Karim li Abdul Halim Hasan wa Akharayn : Dirasah Manhajiyah wa Tariban li al-Juz al Awwal Minhu”, (Ph.D Thesis, University of Al-Azhar, 200 6). 41Ahmad N.Amir, “Muhammad Abduh’s Influence in southeast Asia”, Middle Journal Scientific Reseach, 13 (124), 2013. 42Abdul Qadir Umar Usman al-Hamidiy, “Abdul Halim Hasan and His Contributions in Qur’anic Exegesis in the Malay Word”, International Journal of Academic Research in Business and Social Sciens, Vol 7, No. 8, 2017. 43Muhammad Nur Lubis, Data-Data Terbitan Awal Penterjemahan dan penafsiran al-Qur’an di Alam Melayu (Kuala Lumpur: al-Hidayah, 2002), 37. 12

Selain itu, penelitian yang masih berkaitan dilakukan Mazlan Ibrahim dengan judul “Development of Qur’anic Exegesis in Malay Archipelago”.44 Dalam penelitian ini Mazlan menuliskan tentang perkembangan tafsir di Kepulauan Melayu khususnya di Indonesia. Mazlan menjelaskan bahwa tafsir al-Qur’anul Karim Karya ulama tiga serangkai yaitu Abdul Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas dan Abdurrahman Haitami memiliki peran dalam menyebarkan agama islam lewat tafsirnya pada tahun 1937 (edisi bahasa Indonesia) dan 1969 (edisi Malaysia). Penelitian tentang tafsir ahkam di Indonesia dilakukan oleh Azhari Akmal Tarigan dalam penelitian yang berjudul “Reorientasi Kajian Tafsir Ahkam di Indonesia, Peluang dan pengembangannya”. Beliau mengatakan dalam analisisnya bahwa adanya pergeseran penafsiran yang signifikan pasca abad dua puluh, dimana tafsir ahkam yang belakangan terbit masih terbilang klasik. Berbeda dengan penafsiran yang dilakukan mufassir awal abad dua puluh yang terlihat dinamis dengan tidak terpaku kedalam mufassir dan mazhab tertentu. seperti yang dilakukan oleh, Hasbi Ash Shiddieqy, Hamka dan Abdul Halim Hasan. Penelitian ini dilakukan hanya sebatas menilai penilaian terhadap perkembangan penafsiran ayat-ayat ahkam di Indonesia baik di awal abad dua puluh maupun sesudahnya.45 Penelitian yang dilakukan oleh Amin Summa dalam bentuk buku yang berjudul Pengantar Tafsir Ahkam. Dalam bukunya ia membahas seputar ayat dan tafsir ahkam di Indonesia, dia mengatakan bahwa kajian tafir ahkam di Indonesia masih terbilang langkah, untuk itu perlu kiranya melakukan kajian lanjutan khususnya terhadap tokoh atau objek tertentu.Kajian terhadapa tafsir ahkam merupakan pembahasan yang terbengkalai dan menyisakan beberapa masalah.46 Penelitian lain yang relevan disebut dilakukan M. Yunan Yusuf dalam sebuah penelitian terhadap kitab-kitab tafsir di Indonesia, dalam sebuah artikelnya mengatakan bahwa, dilihat dari karakteristiknya tafsir al-Quran di Indonesia banyak persamaan walaupun ada juga perbedaannya, namun M.Yunan Yusuf berkesimpulan bahwa masih ada sebagaian besar tafsir di Indonesia yang beraliran tradisional, contohnya memberikan penafsiran secara harfiah atas ayat-ayat mutasyabihat. Tetapi penelitian ini hanya sebatas penafsiran di abad 20 saja dengan beberapa kajian kitab tafsir, termasuk kitab tafsir al-Quranul karim karya Abdul Halim Hasan dan dua temannya Abdul Rahim Haitami dan Zainal Arifin Abbas. Dari beberapa hasil penelitian yang penulis temukan, terutama khususnya yang mengkaji dan membahas tentang penafsiran Abdul Halim, belum ditemukan sebuah penelitian yang membahas tentang metodologi penafsiran ayat-ayat hukum yang dilakukan Abdul Halim dalam tafsirnya al-Ahkam. Dengan kata lain bahwa, bahasan yang penulis lakukan dalam penelitian ini dapat dikatakan berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya.

44Mazlan Ibrahim, Development Of Qur’anic Exegesis in Malay Archipelago, Advances in Natural and Applied Sciences, 5 (5), 2011, 452-455. 45Azhari Akmal Tarigan, “Reorientasi Kajian Tafsir Ahkam di Indonesia dan Peluang Pengembangannya: Sebuah Survei Singkat”, Jurnal Jurisprudensi, 6 (2), 2014, 99- 118. 46M.Amin Summa, Pengantar Tafsir Ahkam (Jakarta; Logos, 1997), 11 13

H. Metode Penelitian 1. Jenis Penilitian Penelitian pada thesis ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat deskriptif-analisis, yaitu berupaya menggambarkan apa yang menjadi objek penelitian, sekaligus melakukan analisis obyek yang diteliti dilapangan. Lebih lanjut penelitian ini digolongkan kedalam penelitian kualitatif.47 Oleh karena itu data-data dalam penelitian ini, sepenuhnya berupa bahan kepustakaan tertulis, baik berupa buku, laporan hasil penelitian, makalah-makalah, jurnal-jurnal ilmiah dan lain-lainnya yang berkenaan dengan penelititan. 2. Sumber Data Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini, dikelompokkan menjadi dua katagori yaitu sumber data utama (primer) dan data pendukung (sekunder). Oleh karena penelitian ini adalah penelitian terhadap tokoh tertentu, maka yang dijadikan sumber primer adalah Tafsi>r Ah{ka>m karya Abdul Halim Hasan.48 Adapun yang menjadi data sekunder dalam penelitian ini adalah, pertama, literatur-literatur tentang Abdul Halim Hasan, terutama yang mengkaji tentang tafsirnya. Kedua, kitab-kitab tafsir dan ‘ulum al-Qur’an. Ketiga, karya-karya tentang metodologi penafsiran Al Quran. Keempat, literatur-literatur lain yang ada relevansinya dengan pokok pembahasan dalam proses penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Dalam hal ini, untuk memperoleh data-data yang diinginkan, penulis berupaya menggalinya dari sumber data primer dan sekunder. Dari sumber primer, penulis melakukan penelitian langsung kepada kitab tafsi>r ah{ka>mkarya Abdul Halim. Sedangkan data sekunder, penulis mempelajari beberapa karya Abdul Halim yang lain. Selain itu, penulis juga berupaya mencari berbagai informasi lewat buku- buku karya ulama lain, artikel atau dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian. Mengingat data-data dalam penelitian ini bersumber dari banyak literatur, maka penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dokumenter, yaitu teknik pengumpulan data dari sumber tertulis. 4. Analisis Data Penelitian ini dimaksudkan untuk menguraikan dan menganalisa karakteristik penafsiran ayat-ayat hukum dalam kitab tafsi>r ah{ka>mkarya Abdul Halim, maka penulis menggunakan metode analisis isi (content analysis), yaitu suatu teknik penelitian untuk menarik kesimpulan dari data-data yang shahih (valid)

47Penelitian tafsir digolongkan oleh para peneliti sebagai penelitian kualitatif, penelitian ini sebagaimana dikemukakan oleh Kirk dan Miller adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dalam peristilahannya. Penelitian kualitatif merupakan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dalam perilaku yang diamati. Lexy J Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung ; Remaja Karya, 1989), 3. 48Abdul Halim Hasan, Tafsi>r Ah{ka>m, (Jakarta: Kencana, 2006). 14 dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya.49 Hal ini berarti bahwa, dari data- data yang telah dikumpulkan, penulis akan menganalisisnya untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang diteliti. Menurut Marzuki, bahwa tujuan analisis data dalam penelitian adalah menyempitkan dan membatasi penemuan- penemuan sehingga menjadi suatu data yang teratur, tersusun dan lebih berarti.50Analisis merupakan suatu usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan dari rumusan yang telah tersusun. Dalam penelitian kualitatif langkah yang harus ditempuh dalam analisis data adalah pemrosesan satuan (unityzing), katagorisasi dan penafsiran data.51 Adapun uraian singkat mengenai langkah-langkah yang dilalui untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Unitisasi data, yaitu data-data yang ada dikelompokan berdasarkan kerangka pemikiran. b. Katagorisasi data, yaitu menyusun data sesuai rumusan masalah atau tujuan penulisan. c. Interpretasi data, yaitu menginterpretasikan atau menafsirkan data-data yang didukung oleh teori. 5. Jenis Pendekatan Mengingat objek utama penelitian ini adalah kitab Tafsir Ahkam Abdul Halim Hasan, maka digunakan pendekatan ilmu tafsir. Pada konteks penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan tafsi>r al-maudu>’i>. Upaya ini dilakukan untuk mengelompokkan tafsir berdasarkan tema yang sama supaya memudahkan proses analisis dalam upaya menemukan kecenderungan tafsir tersebut. Teknis penerapan metode ini dilakukan dengan mengumpulkan ayat-ayat yang dianggap relevan dengan tema tertentu dalam konteks pembahasan berbeda. Untuk selanjutnya akan dilakukan analisis berdasarkan kesatuan antar ayat tersebut, sehingga memberikan pemahaman utuh.52 Dalam penelitian ini, metode maudu>’i hanya dijadikan alat untuk menghimpun ayat-ayat yang menjadi fokus penelitian, diantaranya adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan tema tertentu yang menjadi fokus untuk menjelaskan tafsir karya Abdul Halim Hasan tersebut. Sedangkan untuk melihat biografi Abdul Halim Hasan dalam hal ini, maka dalam menganalisisnya penulis menggunakan pendekatan sejarah (historical approach) sebab salah satu penelitian sejarah itu adalah penelitian biografi. Ini diperlukan untuk memperoleh penjelasan tentang riwayat hidup dan latar belakang aktivitas keilmuan dari penulis kitab ini. Dengan menggunakan pendekatan sejarah ini dapat dilacak setting sosio historis dan sosio intelektual yang melingkupi suasana kehidupan Abdul Halim Hasan. Dan pendekatan ini juga digunakan untuk melihat sejarah perjalanan penafsiran di Indonesia.

49Klaus Krippendorf, Analisis Isi : Pengantar Teori dan Metodologi, terj. Farid Wajdi, (Jakarta ; Rajawali Press, 1991), 15. 50Marzuki, Metodologi Riset, (Jakarta; FE-UI,1989), 87. 51Lexi J Moleong, Metodologi Penelitian kualitatif, Cet ke-4, 112. 52‘Abd al-Hay al-Farmawi>, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Maudu>’i>, (Kairo; al-Hada>rah al- ‘Arabiyyah, 1997), 23-36 15

Dalam tekhnik penulisannya, penelitian ini mengikuti buku pedoman penyusunan proposal tesis / disertasi yang diterbitkan oleh Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016. Sedangkan dalam penulisan footnote dan transliterasi, penulis mengacu pada ALA-LC Romanization Tables dan Turabian and Chicago Styles Citations.

I. Sistematika Penulisan Penulisan dalam thesis ini dibagi menjadi beberapa bab dan setiap babnya terdiri dari beberapa sub bab yang keseluruhannya merupakan satu kesatuan yang utuh. Satu bab terdiri dari pendahuluan dan tiga bab pembahasan materi, dengan satu bab terakhir sebagai penutup yang berisi berupa kesimpulan dari penelitian ini dan ditambah rekomendasi. Bab pertama merupakan bab pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, dan tujuan serta kegunaan penelitian. Dalam bab ini dikemukakan juga kajian pustaka yang menguraikan beberapa karya dan literatur yang berhubungan dengan penelitian ini, metode yang digunakan dalam penelitian ini, serta sistematika penulisannya. Bab kedua berisi kajian tentang sebuah paradigma penafsiran. Baik dikaji dari perspektif tekstual maupun kontekstual. Kajian ini dibuat untuk memantapkan landasan teoritis serta menggambarkan dua metode penafsiran baik tekstual maupun kontekstual secara utuh sebelum menganalisis tema penafsiran pada bagian berikutnya. Bab ketiga ini berisi tentang biografi Abdul Halim Hasan beserta tafsir ahkamnya, dalam bab ini diawali dengan silsilah keluarga, pendidikan Syekh H. Abdul Halim Hasan, karya-karya yang dimilikinya. Disamping itu, penjelasan tentang tafsir Al-Ahkam Abdul Halim Hasan, yang berisi tentang sejarah penulisan tafsir ahkam, metodologi, sistematika serta corak penulisannya. Sedangkan bab empat adalah salah satu bab inti dari pembahasan ini, untuk melihat identitas sebuah tafsir maka diperlukan sebuah analisis yang mendalam terhadap penafsiran ayat-ayat hukum yang berkenaan dengan ibadah dan mu’amalah. Adapun ibadah meliputi, ayat tentang shalat qashar, hukum menghadap kiblat dan wanita haid. Sedangkan mu’amalah meliputi tentang, poligami, menikah lintas agama dan pemimpin perempuan. Bab lima adalah bab akhir dari penelitian iniu, sebagaimana lazimnya sebuah laporan hasil penelitian, maka bab keenam ini akan dikemukakan kesimpulan yang didasarkan atas dasar pembahasan sebelumnya, sekaligus membahas masalah pokok yang dirumuskan pada bagian pendahuluan. Selanjutnya, sebagai kelengkapan penelitian, tesis ini diakhiri dengan beberapa rekomendasi dan saran penulis yang dianggap perlu dan relevan.

16

BAB II PENDEKATAN PENAFSIRAN AL-QUR’AN

Pada bab ini, akan dijelaskan sebuah pandangan para tokoh terkait dengan metodologi penafsiran al-Qur’an. Salah satunya adalah penafsiran yang berorientasi pada teks, atau disebut dengan pendekatan tekstual. Disamping itu, akan dipaparkan juga pendapat-pendapat para tokoh yang tidak sependapat dengan penafsiran yang berorientasi pada teks, atau disebut dengan penafsiran kontekstual, dimana analisis pemikirannya bertumpu pada sebuah kondisi kapan ayat diturunkan dan hendak ditafsirkan. Namun sebelum masuk kepada pembahasan sebuah pendekatan penafsiran tekstual (penafsiran yang berorientasi pada teks) dan kontekstual (penafsiran yang berorientasi pada konteks), penulis terlebih dahulu akan membahas sebuah pola penafsiran, terkait dengan teks. Apakah teks terikat dengan sebuah realitas tertentu atau tidak. Selanjutnya penulis akan memaparkan bagaimana paradigma pendekatan tekstual dan kontekstual menurut para sarjana, yang kemudian diakhiri dengan sebuah pembahasan tentang subjektivitas penafsiran. Beranjak dari sebuah paradigma pendekatan tekstual dan kontekstual inilah kemudian, menjadi sebuah landasan untuk meneliti orientasi penafsiran Abdul Halim Hasan Binjai dalam tafsirnya Al-Ahkam. Disamping itu juga, apakah ketika menetapkan sebuah hukum dalam tafsirnya ia cenderung pada ideologi tertentu.

A. Pola Penafsiran: Antara Teks dan Realitas Al-Qur’an sebagai sebuah teks keagamaan yang berisikan informasi umum tentang segala hal berkaitan dengan kehidupan, ataupun pasca kehidupan. Teks keagamaan sebagai teks yang disucikan karena dipercayai bersumber dari alam teks manusia, tetapi teks keagamaan tetap saja menggunakan atribut kemanusiaan supaya bisa dipahami dan dijadikan panduan dalam kehidupan. Dalam konteks ini, al-Qur’an merupakan teks suci tidak bisa memisahkan aspek diyakini memiliki unsur budaya di dalamnya karena teks tersebut muncul dan menjadi menggunakan perangkat budaya tersebut. Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, secara lebih luas, apabila sebuah teks menjadi sumber terbentuknya sebuah peradaban, maka interpretasi yang dihasilkan dari teks tersebut merupakan bagian dari sisi lain teks itu sendiri, sehingga dapat dipahami dan dimengerti sebagai budaya dan peradaban yang menghasilan sebuah pengetahuan. Untuk itu, dapat dipahami bahwa sebenarnya bukan teks yang mendorong terbentuknya peradaban, tetapi kemampuan manusia untuk menginterpretasian teks dengan realitas yang dihadapi.1 Corak teks sebenarnya merupakan bentuk ilustrasi yang merefleksikan sistem budaya, dan struktur berpikir masyarakat dalam unsur dibentuk teks tersebut. Dalam konteks yang sama al-Qur’an juga terikat pada situasi sosial dan budaya dalam sistem budaya masyarakat Arab yang ketika memberi ruang pada proses pembentukan teks

1Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhu>m al-Nas} Dira>sah fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Beiru>t: Markaz al-Thaqafi> al-‘Arabi>, 1994), 9 17 al-Qur’an.2 Menurut Abu Zayd bahwa secara umum peradaban Arab Islam merupakan sebuah peradaban “teks”, sebab dalam saat perkembangan awal ilmu dan budaya Arab Islam mulai tumbuh dan berkembang dalam sebuah landasan yang memposisikan teks sebagai pusat kehidupan.3 Pertemuan antara teks dengan realitas membentuk makna tersendiri karena tentu teks tidak muncul dalam ruang kosong, tetapi justru teks muncul berkaitan khusus dengan konteks realitas sosial dan budaya yang berkembang saat itu. Untuk itu, teks tentu seharusnya memiliki makna yang luas karena berkaitan dengan diktum ayat yang harus mengalami integrasi berdasarkan konteks pengalaman sejarah yang terjadi saat teks tersebut diproduksi. Realitas sejarah menegasan bawa terjadi adanya dialog antara teks al-Qur’an dengan realitas sosial dan budaya masyarakat.4 Integrasi teks dalam konteks ini, membutuhkan elaborasi secara sistematis dan mendalam karena “hukum Tuhan” tidak muncul begitu saja, kecuali ada unsur kesejarahan, dan funsgi kemaslahatan bagi umat manusia sebagai tujuan dari teks tersebut. Relasi antara teks dengan realitas telah membentuk sedikitnya ada 3 (tiga) unsur terlibat dalam proses mediasi antara teks denga realitas berlangsung. Pertama, pemahaman makna, dan tujuan sebua teks diproduksi. Pemahaman ini dipandang penting karena produksi makna yang muncul dari teks akan tidak dapat berubah dari prinsip dasar syar‘i yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan kepada objek teks, yaitu manusia. Kedua, pengamatan terhadap realitas sosial tumbuh dalam komunitas sebagai ranah hokum, baik secara individu, maupun kelompok. Di sisi lainnya, dibutuhkan juga penghayatan situasi sosial bagi mukallaf supaya dalam proses produkdi hukum tidak hanya memenangkan kepentingan, atau kemaslahatan kelompok tertentu. Ketiga, pemberian makna teks terhadap realitas sebuah sebuah produk hukum supaya dapat ditetapkan sesuai dengan konteks sosial.5 Ketika seorang mufassir berhadapan dengan teks, ia harus bergerak dari situasi sekarang ke situasi masa lampau, guna untuk mengetahui konteks sosio-historisnya. Karena tanpa memahami konteks pewahyuan al-Qur’an seseorang tidak bisa memahami pesan inti al-Qur’an,6 karena bagaimana pun, berbagai fenomena dan data historis yang mengiringi proses pewahyuan akan membuka perspektif mufassir, yang membantunya dalam memahami pesan al-Qur’an secara utuh.7 Sementara untuk mengkontekstualisasikan pesan al-Qur’an, seorang mufassir juga harus memahami secara tepat konteks sekarang, yang menuntut analisis yang mendalam terhadap

2J. Brugman, An Introduction to History of Modern Arabic Literature in Egypt, (Leiden; Ej Brill, 1984), 338-340 3Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas, 11 4Abu Yasid, Aspek-Aspek Penelitian Hukum, (; Pustaka Pelajar, 2010), 18 5Abu Yazid, Interelasi Teks dan Realitas dalam Proses Pembangunan Syari’at, Aula No. I, 17 Oktober 2004, 59 6Nasr Hamid Abu Zayd, Naqb al-Khitab al-Dini, (Kairo: Si>na> li-al-Nashr, 1994), 210 7Abdul Kabir Husain Solihu, “Understanding the Qur’an in the light of Historical Change,” Islamic Studies, Vol. 42, No. 3 (Autumn 2003): 413 18 realitas kotemporer dan berbagai komponennya, sehingga diharapkan mampu mengimplementasikan pesan al-Qur’an secara tepat.8 Menurut Hasan Hanafi, dalam metode hermeunetika kritik emansipatorisnya, ia mengatakan, prasyarat yang baik dalam memahami teks suci seharusnya tentu terlebih dapat memastikan keaslian dengan melakukan kritik sejarah. Kemudian, apabila telah ditemukan keaslian teks dilakukan didekati dengan hermeunetika. Lebih lanjut, menurut Hanafi, hermeunetika dapat berfungsi sebagai ilmu berkenaan tentang bahasa, dan situasi sejarah yang menyebabkan munculnya sebuah teks. Dalam upaya memahami makna secara mendalam dari sebuah teks harus dilakukan dengan menyadari bahwa teks merupakan bagian dari kehidupan manusia, sebab sebenarnya tujuan teks sebagai wahyu merupakan bagian dari transformasi kehidupan manusia.9 Menurut Umar Shihab, al-Qur’an turun dengan gagasan universal yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw untuk menjadi rahmat bagi selutuh alam. Pada hakikatnya al-Qur’an secara langsung, atau tidak langsung ingin berdialog secara interaktif sembari menebar rahmatnya kepada manusia dari segala hal berkaitan dengannya, terutama aspek dimensi, dan corak sosial yang ada di dalamnya, baik itu di masa lalu, sekarang ataupun mendatang. Begitu juga seharusnya bukan hanya umat Islam saja diharuskan untuk memahami al-Qur’an secara kontekstual sesuai dengan situasi dan waktu tertentu, tetapi lebih dari pada itu bersifat profetik yang melampaui batas ruang dan waktu.10 Upaya untuk menjadikan al-Qur’an supaya tetap aktual dalam kehidupan manusia tidak harus terikat pada penafsiran ulama terdahulu, sebab situasi dihadapi masing-masing berbeda dengan situasi generasi selanjutnya.11 Untuk itu, Mahmud ‘Abbas Al-Aqqad sebagimana yang dirujuk oleh Umar Shihab berpendapat bahwa; “seandainya para sahabat masih hidup pada masa sekarang ini, maka mereka akan menggunakan penemuan-penemuan baru, pengalaman sejarah yang baru diketahui pada saat ini untuk memahami al-Qur’an. Maka, tidaklah mustahil bahwa pemahaman mereka yang sekarang akan berbeda dengan pemahaman mereka yang terdahulu” 12 Memahami makna sebuah ayat al-Qur’an, seseorang tidak boleh hanya terpaku semata-mata pada teks ayat, tetapi harus memperhatikan konteks sosial dimana masyarakat berada. Perkembangan masyarakat positif dan penemuan-penemuan ilmiah yang telah mapan, merupakan dasar pertimbangan yang sangat penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Asal saja, penafsiran tersebut memenuhi kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh mufassir.

8Fazlur Rahman, Islam and Modernity : Tranformation of An Intelectual Tradition, (Chicago and London : the Univercity of Chicago Press, 1982), 4 9Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1994), 1-2 10Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an “Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum Dalam Al-Qur’an”, (Jakarta; Penamadani, 2005), Cet ke-3, 24 11Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, 24 12Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, 24. Lihat jugaM.Quraish Shihab, “Tafsir Kontekstual itu Mutlak Diperlukan”, artikel dimuat di Majalah Panji Masyarakat, No. 456, Jakarta, 21 Juli 1987, 56 19

Menurut Inggrid Mattson, dalam poses turunya ayat al-Qur’an ada proses dialektika yang berlangsung di dalamnya, yaitu dialektika Tuhan dengan manusia, walaupun diakui al-Qur’an bersumber dari alam ‘azali, tetapi dalam proses menjadi wahyu tetap saja tidak turun sekaligus, melainkan melalui poses tahapan yang terkaiat dengan situasi sosial saat proses ayat tersebut turun. Untuk itu, dalam proses penafsiran teks al-Qur’an aspek sosial saat turun ayat tidak bisa dihilangkan untuk memahaminya secara komprehenshif.13 Abdullah Saeed juga berpendapat bahwa, makna bukanlah sekedar muatan otonom yang terdapat dalam teks. Makna merupakan hasil dialektika antara teks dan konteks. Oleh karena itu makna sebuah teks tidak hanya sekedar pada tampilan teks saja, namun bersifat multiple dan plural, dikarenakan cara pembacaan yang berbeda, dari satu individu ke individu yang lain, dari satu generasi ke generasi yang lain.14 Mereka berpandangan bahwa al-Qur’an sebagai sumber petunjuk mesti dipahami secara berbeda, dengan keadaan yang berbeda, dan bukan sebagai kumpulan dan hukum yang kaku dan rigird. Ajaran-ajaran al-Qur’an harus diaplikasikan secara berbeda tergantung pada konteksnya,15 agar ia tetap relevan di setiap tempat, waktu dan masa. Fazlur Rahman mengomentari hal yang sama terkait dengan teks al-Qur’an. Ia mengatakan al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang di dalamnya terkandung seruan- seruan keagamaan, moral serta prinsip-prinsip keagamaan, bukan dokumen sebuah hukum. Maka berdasarkan pernyataan diatas ia berpendapat bahwa, memahami ayat al-Qur’an secara literal dan mengabaikan konteks sosial dimana ayat itu ditafsirkan, hal ini dapat mencederai tujuan dan maksud makna ayat al-Qur’an tersebut.16 Sebab itu ia membedakan antara Islam historis dan Islam normatif. Metode-metode penafsiran klasik terhadap ayat al-Qur’an menjadi perhatian khusus bagi para sarjana modern, hal ini disebabkan karena adanya kesenjangan antara produk hukum yang lahir dengan problematika kehidupan sosial masyarakat pada saat ini. Al-Jabiri juga memberikan pandangannya terhadap sebuah teks, baginya teks al-Qur’an adalah sebuah produk budaya, al-Qur’an muncul tidak dalam ruang yang hampa, melainkan ia lahir dikarenakan permasalan-permasalahan sosial pada masa itu. Sebab itu baginya teks al-Qur’an terstruktur secara historis dan terkontruksi secara kultural. Maka teks al-Qur’an dipandang tidak akan relevan terhadap suatu masa jika sebuah produk penafsiran mengabaikan sisi konteks ayat tersebut. Bahkan teks al-Qur’an akan bisa di nilai sebagai sebuah teks yang terkungkung dalam ruang dan waktu.

13Inggrid Mattson, The Story of The Qur’an: Its History and Place in Muslim Life, (Oxford: Blackwell Publishing, 2008), 35 14Richard C. Martin, “understanding the Qur’a>n in Text and context, “ History of Religions, Vol. 21 No. 24, (May, 1982); 363-364 15Abdullah Saeed, “Some Reflections on the Contextualist Approach to Ethico- Legal Text of the Qur’an,” Bulletin of School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 71 No. 2, (2008); 221-237 16Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of Intelectual Tradition, (Chicago: The Univercity of Chicago Press, 1982), 37. 20

Misalnya, Teks al-Qur’an yang berbicara tentang warisan untuk anak perempuan baginya ada negoisasi dalam realitas.17 Hal ini berbeda dengan kalangan tekstualis yang berpendapat bahwa, hakikat makna al-Qur’an terletak pada kontruksi lahiriah teks, sehingga harus dipahami sebagaimana yang tersurat dalam setiap ayat agar tidak terjadi penyimpangan penafsiran.18 Oleh karena itu, pemaknaan merupakan aktivitas rasio yang selalu mengarah dari lafaz ke makna,19 dan berjalan searah secara linear. Makna dengan demikian merupakan entitas objektif yang bisa dipahami secara independen dari dalam teks, sehingga teks tidak boleh dipahami melalui realitas, namun justru realitas lah yang harus dipahami melalui teks.20 Mereka memandang juga bahwa, makna teks dapat diketahui secara objektif melalui perangkat linguistik dan tranmisional, kemudian makna dihukumi sebagai hal yang tetap dan determinan, sehingga mesti diaplikasikan sepanjang masa, mengingat universalitas pesan dan ajaran al-Qur’an.21 Sebagai akibatnya adalah, jargon ajaran yang relevan bagi setiap masa dan tempat dimaknai sebagai penundukan dinamika realitas kemanusiaan terhadap kontruksi interpretasi dogmatis yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke genersi. Dalam hal ini Abdullah Saeed memberikan pendapatnya bahwa, konsep objektifitas makna teks suci yang digagas kalangan tekstualis setidaknya berdasar pada dua asumsi kunci, pertama, firman Allah yang berbahasa Arab, dan penggunaanya yang dipraktekan orang Arab bisa menentukan makna objektif dari dalam teks. Kedua, objektifitas makna bisa dihasilkan, ketika makna tekstual ini di dukung oleh berbagai keterangan yang bersumber baik dari Rasulullah, sahabat dan tabiin. Kesimpulannya, bahwa makna objektif ini dapat dihasilkan melalui perangkat linguistik dan tranmisi historis propetik.22 Terkait pernyataan di atas, mereka mengatakan bahwa ummat Islam tentu harus merujuk pada pinsip umum al-Qur’an supaya perannya sebagai petunjuk dan rujukan dapat mampu merespon kebutuhan masyarakat. Islam sebagai agama yang selalu memberi perhatian kepada rasionalitas menunjukkan sebenarnya dalam upaya memahami pesan mujmal al-Qur’an dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi rasional tersebut, sehingga tafsiran tentang ayat dapat relevan dengan segala situasi

17Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: alMarkaz al- Tsaqafi al-‘Arabi, 1991), 85. 18U. Syafruddin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2009), 39 19Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut; Markaz Dirasat al-Wahdah al- ‘Arabiyya, 2002), 64 20Adis Duderija, “Islamic Groups and Their World-Views and Identities; Neo- Tradisional Salafis and progressive Muslim”, Arab Law Quarterly, Vol. 21 No. 4 (2007); 357 21Adis Duderija, “Neo-Traditional Salafi Qur’an-Sunnah Hermeunetics and its interpretational Implications”, Religion Kompas, Vol. 5,7. (2011), 330 22Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an : Toward a Contemporary Approach, (London and New York; Routledge, 2006), 102-103 21 dan kondisi dihadapi masyarakat.23 Aspek keumum al-Qur’an menjadikannya selalu relevan untuk ditafsirkan dengan dalam segala situasi, maka walaupun al-Qur’an turun abad 7 H, tetapi persoalan yang dijawabnya tidak hanya terbatas pada masa turunnya. Namun, lebih dari pada itu tetap aktual untuk kondisi kekinian dan mungkin masa depan. Berbagai upaya yang dilakukan umat Islam secara indiviual, ataupun kelompok berupaya untuk kembali kepada al-Qur’an dan sunnah dapat dipahami sebagai bentuk pengakuan akan aktualnya doktrin yang terkandung di dalamnya. Hal ini juga disebutkan dalam al-Qur’an yang mengklim bahwa prinsip yang diajarkan di dalamnnya merupakan doktrin yang sempurna.24 Variasi dalam memahami teks merupakan sebuah keniscayaan, sebab teks al- Qur’an terbuka pada semua bentuk varian terssebut. Dalam konteks ini, para kelompok tekstualis yang mempercaya bahwa al-Qur’an harus dipahami berdasarkan teksnya merujuk pada model penafsiran yang dilakukan sala>f al-s{alih.25 Sedangkan kelompok lainnya, khususnya kelompok terdahulu dipandang berpikir normatif, statis dan tidak universal, sehingga berimplikasi pada produk tafsir yang dihasilkan generasi selanjutnya harus mengacu pada pemikiran tersebut. Untuk alasan tersebut kelompok tekstualis cenderung menggunakan pendekatan penafsiran literal apa adanya sesuai teks, dan tidak berupaya untuk mengembangkan kontekstualisasi teks ayat al-Qur’an dan hadis. Model tafsir disebut sebagai produk dari sebuah pentafsiran didasarkan dengan analisis bahasa, dan metode periwayatan dipercayai akan mampu selalu relevan dengan segala situasi dan kondisi.26 Dalam hal ini Ibn ‘Uthaymi>n menjelaskan bahwa, penafsiran yang benar adalah penafsiran yang berbasis pada al-Qur’an. Hal ini dikarenakan antara teks al-Quran satu dengan lainnya saling menafsirkan. Selain itu, penafsiran yang berdasarkan pada tradisi nabi atau sunnah dikatagorikan penafsiran paling benar. Hal ini juga dikarenakan nabi merupakan manusia yang paling paham tentang apa yang diturunkannya melalui Jibri>l. yang selanjutnya adalah, penafsiran yang bebasis pada pendapat sahabat dan tabi’in. Hal ini dikarenakan generasi awal Islam paling mengetahui al-Qur’an dibandingkan generasi setelahnya. Oleh karena itu, ketika seseorang menafsirkan ayat tidak menemukan penjelasannya dari al-Qur’a>n dan sunnah, maka ia merujuk pada pendapat para sahabat dab tabi’in.27 Sama hal nya

23Massimo Campanini, The Qur’an : Modern Muslim Interpretation, terj, Caroline Higgit (London and New York : Routledge, 2011), 8-10 24Berdasarkan penafsiran terhadaf tiga tafsir salafi, yaitu Tafsi>r al-Kari>m al-Rahma>n karya Muhammad Nasi>r al-Sa’di> (1889-1956), Adwa> al-Baya>n karya Muhammad Ami>n al- Shinqi>ti> (1907-1973), dan Aysa>r al-Tafsi>r karya Abu> Bakar Jabi>r al-Jazi>ri> (1921), ditemukan bahwa penafsisran salafi adalah penafsiran yang bersifat literal (wooden literalism) menutup kemungkinan makna lain. Ini disebabkan generalitas pembacaan ayat dan al-Qur’an dianggap sebagai language dan bukan discourse. Lihat Izzah Rohman, “Salafi Tafsirs : Textualist and Authoritarian,” Qur’an and Hadith Academic Society, 1, 2 (2012): 197-213. 25As-Sala>f as-Sa>lih adalah komunitas Muslim yang hidup pada masa awal Islam, yang terdiri dari, sahabat, tabiin dan tabi’in tabi’in 26Tariq Ramadhan, Western Muslim and The Future of Islam, (New York: Oxford University Press, 2004), 5. 27Ibn ‘Uthaymin, Usu>lun fi> al-Tafsi>r, (‘Ain Shams : al-Maktabah al-Isla>mi>yyah, 2001), 24-25 22 dengan Nasi>r al-Di>n al-Alba>ni>, bahwa pendekatan paling otoritatif dalam menafsirkan al-Qur’an adalah dengan al-Qur’an itu sendiri, sunnah nabi, baik itu perkataan, perbuatan maupun penegasannya. Jikalau penjelasan tidak terdapat dikeduanya maka, merujuk kepada pendapat sahabat dan tabi’in terutama yang berkonsentrasi dalam mempelajari tafsir dari generasi sahabat. Al-Alba>ni> menyayangkan adanya penafsiran ayat berdasarkan rasio ataupun mazhab penafsir yang tidak ada keterangannya dari Rasulullah Saw.28 Perdebatan diatas menunjukan bahwa pola penafsiran ayat al-Qur’an tidaklah harus berdasarkan makna teksnya saja, karena jika seorang mufassir menafsirkan berdasarkan hanya pada teks semata ini akan menghasilkan penafsiran yang kaku dan tidak relevan, begitu juga dengan penafsiran yang berdasarkan hanya pada realitas semata atau konteksnya, ia akan menjadi penafsiran yang sangat idealis jika dilihat dari realitas (lingkungan dimana ayat itu ditafsirkan) semata. Hal ini menunjukan adanya kesewenang-wenangan dalam penafsiran. Alangkah baiknya seorang mufassir menjadikan makna teks sebagai langkah pengambilan makna awal dan kemudian dikontekstualisasikan dengan kondisi dimana ia menafsirkan.

B. Pendekatan Penafsiran Secara umum pendekatan penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh para mufasir memiliki berbagai pendekatan yang berbeda ketika menafsirkan al-Qur’an, hal ini disebabkan setiap mufasir memiliki keahlian dalam bidang ilmu tertentu. Jika seorang mufasir memiliki keahlian ilmu dalam bidang hukum, maka ia akan menafsirkan dengan pendekatan ilmu hukumnya, begitu juga dengan seseorang yang ahli dalam bidang aqidah maka ia akan menafsirkan ayat itu dengan pendekatan aqidah, dan juga dengan orang yang menggeluti dalam bidang tasawuf, maka dia akan menafsirkan dengan ilmu bathiniahnya.29 Namun tidak tertutup kemungkinan adanya pendekatan-pendekatan lain yang digunakan para mufasir seiring dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan. Secara umum menurut Abdullah Saeed ada empat pendekatan utama yang digunakan dalam menafsirkan al-Quran’ diantaranya adalah, pendekatan berdasarkan bahasa/linguistik, periwayatan, tasawuf dan akal.30 Pendekatan ini ia katakan disuguhkan untuk kepentingan analisis saja. Berbagai pendekatan yang disebutkan di atas, menurutnya ada kesamaan dalam memahami makna al-Qur’an secara literal, baik itu ayat yang berkenaan dengan hukum, maupun semi hukum. Pendekatan literal ini menurutnya berangkat dari analisis filologis terhadap teks dan juga berdasarkan periwayatan yang telah dikumpulkan, baik itu dalam bentuk hadis maupun perkataan ulama terdahulu, penafsiran ini juga disebut dengan pendekatan tekstual. Disamping itu, Abdullah Saeed juga mengatakan bahwa di masa modern ini, para sarjana-sarjana

28Muhammad Nasi>r al-Di>n al-Alba>ni>, Kayfa Yajib Alayna> an-Nufassira al-Qur’an al- Kari>m ?, (Riya>d: al-Maktabah al-Ma’a>rif, 2007), 35-36 29Abd Al-Halim Mahmud Mani’, Mana>hij al-Mufassiru>n, (Kairo : Dar al-Misri, 1978), h. 16 30Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in the Twenty-First Century, (London : Routledge, 2014), h. 16 23 muslim berusaha untuk mengembangkan pemahaman-pemahaman dan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an secara keseluruhan. Dalam melakukan hal ini kemudian, banyak para sarjana melakukan pengembangan terhadap teori-teori penafsiran al- Qur’an dan menawarkan cara baru dalam memahami ayat al-Qur’an itu sendiri.31 Salah satunya adalah dengan melihat dua sudut pandang, yaitu dengan melihat bagaimana sebuah ayat itu dipahami dan dipraktikan pada masa awal Islam, dan juga dapat diimplementasikan dimasa modern ini, atau masa yang berbeda. Hal ini dilakukan agar al-Qur’an dapat dibaca oleh pembaca sesuai dengan prinsipnya yaitu “Shalih li kulli zaman wal makan”. Pendekatan inilah kemudian disebut dengan pendekatan kontekstual. Adapaun penjelasan dari kedua pendekatan ini adalah sebagai berikut : 1. Tekstualis Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) teks didefinisikan dengan sebuah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang. Sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan nas}s}, telah dipakai dalam keilmuan wacana klasik khususnya dalam bidang hukum Islam. Dalam Mu’jam al-Maqa>yis al-Lughah, nas}s} diartikan dengan mengangkat atau batas akhir sesuatu.32 Dikalangan sarjana Ushul Fiqh nas}s} dikenal sebagai lafal yang hanya bermakna sesuai dengan ungkapannya dan tidak dapat dialihkan pada makna lain.33 Menurut Hanafi, nas}s} adalah menunjukan makna sesuai dengan apa yang tersurat, tetapi masih bisa kemungkinan mengambil makna lain, misalnya makna khusus untuk makna berpengertian umum. Sementara itu imam Syafi’i berpendapat bahwa nas}s} adalah suatu teks al-Qur’an yang mengandung makna jelas dan pasti.34 Berdasarkan makna teks diatas, bahwa tekstual dalam studi tafsir adalah suatu usaha dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dari makna lahiriah teks. Dalam praktik penafsiran, tafsir tekstual lebih bergerak pada makna teks yang ada dalam diri. Bahkan penafsiran ini lebih cenderung yang menggunakan analisis yang bergerak dari refleksi (teks) ke praksis (konteks). Yaitu yang memfokuskan pada gramatikal- tekstual. Praksis yang menjadi muaranya adalah bersifat kearaban, sehingga pengalaman sejarah dan budaya dimana penafsir dan audiensnya berada tidak diperhatikan. Teori ini didukung oleh argumentasi bahwa al-Qur’an sebagai sebuah teks suci telah sempurna pada dirinya sendiri.35 Dalam istilah fiqhiyah, tafsir tekstual adalah memberikan makna pada ayat al- Qur’an sesuai dengan makna zahir nya saja, di dalam lingkungan ilmu fikih kelompok ini dipelopori oleh aliran zahiriah. Dalam menafsirkan al-Qur’an aliran ini memiliki tiga dasar prinsip, diantaranya adalah; a) mempunyai prinsip yang harus selalu berpegang teguh kepada makna lahiriah teks ketika menafsirkan ayat al-Qur’an serta

31Abdullah Saeed, Reading the Qur’an, h. 14 32Ahmad bin Faris, Mu’jam Maqa>yis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 356 33Abd. Azis Dahlan, Ensklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1303 34Harun Nasution, Ensklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: CV.Anda Utama, 1993), Jilid, II, h. 835-836 35Islah Gusmian, Khazanah Tafsir di Indonesia “Dari Hermeunetika Hingga Ideologi”, (Jakarta: Teraju, 2003), 275 24 tidak melampauinya kecuali dengan yang zahir lainnya atau dengan konsensus ijma’ yang pasti. b) makna sesungguhnya teks itu berdasarkan pada makna zahirnya saja, bukan yang ada dibalik teks, yang perlu dicari dengan makna yang mendalam. Demikian pula dengan maslahat yang dikehendaki syara’. c) mencari sebab dibalik penetapan syai’at adalah sebuah kekeliruan.36 Bagi seorang mufassir tekstual, al-Qur’an diyakini memiliki kebenaran yang bersifat muthlak sebagai firman Allah Swt. Sebab itu mereka meyakini al-Qur’an sebagai sumber tunggal dalam menafsirkan al-Qur’an. Kebenaran yang dilahirkannya tidak terikat dalam kondisi dan waktu tertentu, tetapi kebenaran yang dilahirkan akan berlaku di setiap situasi dan kondisi. Al-Qur’an sebagai kitab suci sha>lih li kulli zaman wal maka>n. Oleh karena itu, dalam pandangan mereka al-Qur’an diposisikan sebagai kitab suci yang mengandung doktrin dan seperangkat hukum yang telah baku, tetapi pada saat yang sama ia bergerak mengikuti perkembangan zaman.37 Hal ini juga pernah dikemukan oleh Khaled Abou el-Fadl bahwa, keserjanaan klasik pernah mencoba untuk mengembangkan suatu metode atau kaedah untuk menafsirkan sebuah teks. Dengan melakukan upaya-upaya dengan menarik kaidah yang telah disediakan oleh struktur dan kaedah bahasa Arab untuk mengetahui maksud dari pengarang dibalik penggunaan bahasa, sehingga muncullah kemudian yang disebut dengan ilmu al-Qur’an (ulumul Qur’an).38 Interpretasi yang dilakukan ulama klasik senantiasa berambisi untuk dapat mengetahui maksud Tuhan yang asli, ketika Tuhan merefleksikan diri-Nya dalam al-Qur’an. Maksud asli tersebut dipandang sebagai suatu yang menetukan sebuah makna. Dan gagasan inilah kemudian yang menancap lama dalam ingatan kaum muslim. Muhammad Asad dalam bukunya “The Principles of State and Government in Islam” mengatakan mengenai hukum Islam, bahwa undang-undang Tuhan itu tidak perlu digantungkan kepada pikiran dan kesimpulan manusia. Tetapi harus diberlakukan secara positif. Sebagai undang-undang yang terang, ia harus dapat menyatakan dengan istilah-istilah perintah, larangan, atau pernyataan yang jelas, yang datang dari al-Qur’an dan sunnah dan diterangkan secara nas}s}. Hukum-hukum nas}s} ini tidak bisa ditafsirkan dengan cara yang bertentangan. Karena pada dasarnya ia tidak membutuhkan penafsiran lagi. Ia telah nyata jelas dan cukup mempunyai pengertian. Karena al-Qur’an dan sunnah menunjukan hukum-hukum yang telah jelas.39 Ebrahim Moosa juga menegaskan bahwa, pendekatan tafsir tekstual didasarkan pada asumsi bahwa bahasa merupakan sebuah tanda eksterior, yang mewakili pemikiran internal dalam teks. Dengan demikian teks suci merupakan penanda yang jelas, dan secara transparan menggambarkan kebenaran Tuhan yang diartikulasikan

36U.Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual “Usaha Memaknai Kembali Pesan al-Qur’an”, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2017), Cet Ke-2, 38 37U.Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual, 38-39 38Khaled Abou el-Fadl, Speaking in God’s Name : Islamic Law, Authority, an Women, (England: Oneword Publications, 2003), 16 39Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam, (Malaysia; Islamic Book Trust, 2000), 3 25 sebagaimana yang termaktub dalam bahasanya.40 Dalam praktiknya, penafsiran secara tekstual ingin mempertahankan penafsiran secara literal yang berbasis pada periwayatan setepat mungkin, untuk mendukung pemahaman itu, mereka menggunakan teks lainnya seperti, teks Qur’an, hadith maupun pendapat sahabat sebagai pendukungnya. Sedangkan Muin Salim memahami penafsiran tekstual yaitu, suatu penafsiran teks-teks al-Qur’an yang menggunakan al-Qur’an dan hadist Nabi saw sebagai acuan dalam menafsirkan teks tersebut. Baginya alasan dasar dalam menggunakan teknik ini adalah, sebagai penegasan bahwa al-Qur’an memiliki fungsi sebagai penjelasan terhadap dirinya sendiri dan tegas Nabi sebagai mubayyin terhadap al-Qur’an. Pengertian Muin Salim terhadap penafsiran tekstual sepintas terlihat berbeda dengan pengertian penafsiran tekstual pada umumnya yang sering digandeng dengan penafsiran kontekstual. Ia lebih memahami penafsiran tekstual yaitu penafsiran teks dengan teks, baik itu teks al-Qur’an maupun hadith, atau lebih dikenal dengan tafsir bil ma’tsur.41 Abdullah Saeed berpendapat bahwa, pendekatan tekstual adalah pendekatan yang lebih menekankan pada makna literal teks dan asbabu an-nuzul sebagai penafsiran terhadap teks. Di samping itu juga, para tekstualis mengutip berbagai teks lainnya (al-Qur’an, hadith, pendapat sahabat, pakar teologi serta pendapat ulama tafsir) sebagai pendukung terhadap penafsiran tekstual tersebut. Sebab itu Abdullah Saeed berpendapat bahwa kaum tekstualis ini terbagi menjadi dua bagian, ada yang ekstrem dan ada juga yang tidak.42 Menurutnya kaum tekstualis ekstrem tidak memberikan ruang untuk fleksibelitas makna. Mereka benar-benar menafsirkan ayat secara harfiah tanpa melihat hal lain yang berhubungan dengan kata tersebut. Hal ini dilakukan menurut mereka agar tetap beriman pada suatu teks dan menjauhkan diri dari subjektivitas yang mungkin bisa saja terbawa ke dalam interpretasi. Sedangkan kaum tekstual yang tidak ekstrem, mereka lebih menggunakan perangkat teks lainnya (termasuk al-Qur’an, hadith, pendapat sabahat serta pendapat mufassir lainnya) sebagai sebuah penafsiran. Hal ini memungkinkan akan memberikan stabilitas makna dan konsistensi makna terhadap interpretasi.43 Secara khusus dapat disebut, pola pemikiran tekstual merupakan bentuk dari gaya berpikir yang berpegang kuat dengan al-Qur’an, sunnah dan ijma’, khususnya ijma’ ulama generasi pertama. Identitas ini dapat ditandai dalam berrbagai kelompok pengikut mazhab fikih, seperti Malikiyah dan Hanabilah yang memang sangat kuat dalam litelatur dikonotasikan sebagai kelompok pendukung utama model penafsiran tekstualis tersebut. Sedangkan identitas lain dapat pahami di kalangan fikih mazhab

40Ebrahim Moosa, “The Poetics and Politics of Law After Emperi: Readings Women’s Right in The Contestations of Law,” UCLA Journal of Islamic and Near East Law, 1 (2001): 1-28: 8 41Zuhri Abu Nawas, “Tehnik Interpretasi Tekstual dan Kontekstual”, Jurnal al-Asas Vol. III No. I, 2015, 101 42Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in the Twenty-first Century ; A Contextualist Approach, (London and New York; Routledge, 2014), 19 43Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in the Twenty-first Century, 20-21 26

Syafi’iyah secara tegas menulis “...al-Qur’an dan sunnah tidak hanya sebagai sumber kebenaran, tetapi juga digunakan dalam upaya menentukan dan sekaligus menguji segala hal yang didapatkan manusia melalui akal”. Namun, kelompok tekstual ini tidak memberi ruang kepada penggunaa qiyas (analogi) dalam memahami teks al- Qur’an dan sunnah, sebab ulama Malikiyah justeru mengatakan bahwa “laysa fi al- sunnah qiyas” (tidak ada qiyas dalam sunna). Pandangan ini memahami bawa penggunaan qiyas sebagai bentuk penggunaan dalil rasional, sehingga cenderung menolak penggunaan qiyas tersebut. Kelompok aliran tekstual mempercayai bahwa penggunaan rasionalitas ketika dalam memahami teks keagamaan { harus dihindari karena dapat menghilangkan makna dari teks itu sendiri. Sisi lainnya, dampak positif dari model tekstual cenderung lebih kuat dalam berpegang kepada al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Namun, tekstualis yang tradisional memiliki implikasi negatif, seperti kurang luas dalam menggunakan literatur keagamaan yang dapat membatasi nalar manusia.44

2. Kontektualis Konteks dalam KBBI diartikan sebagai bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna. Atau dengan pengertian lain, situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian.45 Peter Salim mengartikannya dengan lingkungan sekitar, atau keliling. Yang dimaksud dengan kontekstualis disini adalah, kelompok yang memahami al-Qur’an berdasarkan konteks sosio-historis al-Qur’an serta konteks sosial, politik dan budaya dimana ayat itu ditafsirkan. Kelompok ini meyakini bahwa kandungan al-Qur’an bisa diaplikasikan sesuai waktu dan tempat tertentu.46Secara teknis, interpretasi kontekstual dipahami sebagai proses pencarian makna teks, yang tidak hanya bersandar kepada analisis kebahasaan dan warisan tradisi, namun disamping itu, lebih menekankan urgensi konteks dalam penentuan signifikansi makna. Bagi kalangan kontekstualis, konteks diartikan sebagai kondisi sosio-historis yang mengiringi penurunan al-Qur’an dan setting sosio-historis kontemporer, dimana teks dituntut mewacana.47 Dengan demikian untuk memahami al-Qur’an secara holistik, seorang mufassir tidak hanya dituntut untuk menguasai perangkat analisis kebahasaan, namun lebih dari itu, ia juga harus memahami kondisi sosial, ekonomi dan politik yang mengiringi proses penurunan wahyu,48 untuk kemudian dikompromikan dengan tuntutan dan problematika kekinian, dimana proses interpretasi terjadi.

44Agus Toni, Membangun Paradigma Kritis Tekstualis Menuju Historis Sosialis Dalam Islam, (jurnal Studi Agama, Vol. V No. I, 2017), 18. 45Anton. M. Mulyono dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Edisi. II Cet. III, h. 458 46Abdullah Saeed, The Qur’an : An Introduction, (London dan New York: Routledge, 2006), 221 47Yusuf Rahman, “Penafsiran Tekstual dan Kontekstual Terhadap al-Qur’a>n dan Hadi>st (Kajian Terhadap Muslim Salafi dan Muslim Progresif,” Journal of al-Qur’a>n and Hadi>th Studies, Vol. 1 No. 2, (January-June 2012); 298 48Massimo Campanini, The Qur’an : Modern Muslim Interpretions, trans. Caroline Higgit, (London and New York: Routledge, 2011), 125 27

Berdasarkan penalaran di atas, maka pemaknaan terhadap ayat al-Qur’an merupakan proses yang dinamis, berevolusi dari masa ke masa, dan sangat terkait dengan konteks, baik itu konteks budaya yang melatar belakangi lahirnya teks,49 maupun konteks kontemporer di mana seorang mufassir itu menafsirkan. Makna teks yang dikontruksikan dengan sosio-historis masa lalu, kemudian dihubungkan dengan konteks sekarang atau di mana seorang mufassir menafsirkan, maka makna akan tampak lebih relevan sepanjang kesejarahan manusia. Fazlur Rahman mengistilahkan penafsiran ini dengan istilah double movement. Konsep penafsiran kontekstual yang ia sebut dengan gerakan ganda (double movement), ini menjelaskan, pertama, bahwa ketika seorang mufassir menjalankan kegiatannya dalam menafsirkan ayat al-Qur’an hendaknya diawali dengan melihat situasi dimana ayat itu diturunkan dengan masa dimana ayat itu ditafsirkan. Untuk gerakan yang pertama ini meliputi pada dua hal; satu, hendaknya seorang mufassir ketika ingin memahami sebuah makna teks tidak lari dari konteks historisnya, baik itu yang bersifat makro (kondisi kultural, sosial, politik, ekonomi dan religius masyarakat Arab sebagai penerima pertama/asbabun nuzul makro), maupun yang bersifat mikro (latar belakang partikular yang menyebabkan ayat itu lahir/asba>b al- nuzu>l mikro). Kedua, menggeneralkan jawaban khusus dalam bentuk ekspresi penjelasan untuk tujuan kepentingan sosial dan moral yang bersifat universal untuk memperkuat jawaban khusus tersebut.50 Sedangkan gerakan kedua bersumber dari prinsip umum bersifat general, dimulai dari teks menuju realitas sosio-historis kontemporer yang berlangsung. Dalam upaya mewujudkan gerakan kedua ini diperlukan kajian lebih mendalam dan komprehensif, serta didukung dengan analisis yang tepat, dari berbagai elemen berkaitan langsung dengan menjadikan berbagai disiplin ilmu modern untuk lebih memudahkan kerja penafsiran, sehingga dapat dirumuskan secara efektif dan relevan untuk kebutuhan permasalahan kontemporer yang dihadapi masyarakat.51 Untuk menggunakan gerakan kedua ini secara tepat, maka dimungkinkan al-Qur’an dapat berperan efektif dan fungsional dalam setiap dinamika kehidupan masyarakat. Menurut Fazlur Rahman, suatu pendekatan penafsiran ayat al-Qur’an yang digunakan oleh seorang mufassir klasik maupun kontemporer dengan mengabaikan sisi konteks makronya (kondisi sosial masyarakat Arab pada abad VII Hijriyah, kultur dan tradisi) dan konteks pewahyuan serta konteks sosial pada masa kontemporer, maka seorang mufassir tidak akan mendapatkan maksud dan tujuan makna dari ayat al-Qur’an yang akan ditafsirkan. Hal ini dikarenakan al-Qur’an merupakan sebuah kitab petunjuk bagi ummat Islam pada setiap generasinya, sehingga teks al-Qur’an dapat dipahami dan dibaca berdasarkan konteks pewahyuan dan penafsiran. Dan berharap agar nilai-nilai ideal-ethics dalam al-Qur’an dapat dipahami dan dikontekstualisasikan dengan keadaan masyarakat setiap masanya.52 Sebab itu ia

49Abdul Kabir Hussain Solihu, “Understanding the Qur’an in the Light of Historical Change,” Islamic Studies, Vol. 42, No. 3 (Autumn, 2003): 395 50Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 5-6 51Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 7 52Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of An Intellectual Tradition, (Chicago dan London : The University of Chicago Press, 1984), 28 mengungkapkan bahwa, makna teks al-Qur’an tidak dapat dipahami, jika pemahaman seseorang terhadap sebuah ayat (teks) berdasarkan makna literal (harfiah) saja, sebagaimana yang dipahami oleh ulama-ulama terdahulu ketika menafsirkan sebuah ayat al-Qur’an. Lebih lanjut, Rahman menyebutkan bahwa pesan sebenarnya akan disampaikan al-Qur’an tidak berfokus pada makna dalam bentuk literal hurfiyah dalam sebuah ayat, tetapi lebih dari itu, nilai moral yang berada dibalik teks literal tersebut, sebab ayat al-Qur’an tentu harus terlebih dahulu dipahami melalui pesan moral terkandung di dalamnya.53 Dalam upaya menggali pesan moral dalam sebuah ayat al-Qur’an diperlukan memahami secara mendalam tentang situasi, dan kondisi yang menjadi latarbelakang proses pewahyuan. Dalam hal ini, situasi dan kondisi aspek kesejarahan tidak hanya menjadi bagian dari pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an, khususnya ulum al-Qur’an, seperti sabab al-nuzul, tetapi lebih dari itu juga mempertimbangkan aspek historis untuk memahami struktur sosial masyarakat saat teks ayat turun. Menurut Gracia, tujuan utama sebuah teks untuk memberikan pesan dari makna terdalam dari teks kepada audiens. Pemahaman atas sebuah teks merupakan suatu yang penting bagi audiens. Maka dari itu pemahaman terhadap teks antara audien satu dengan lainnya memiliki makna yang beragam dan bervariasi, sehingga dalam beberapa kasus banyak ditemukan ketidakpahaman (understanding).54 Baginya teks merupakan entitas sejarah yang terbentuk dalam situasi tertentu yang melibatkan pengarangnya, dengan demikian seoang mufassir baginya, memiliki dua tugas dalam menafsirkan sebuah teks. satu sisi menjadi historian, yaitu berusaha kembali pada makna sejarah, dan disisi lain menjadi seorang philosopher yang berusaha mencari dan menciptakan makna. Ia menambahkan, seorang mufassir harus sadar bahwa seseorang tidak bisa mengakses langsung kepada makna. Ia hanya bisa mengakses kepada teks (entitas makna) yang menjadi wadah dari ide dan makna sang pengarang. Narasi interpretasi ini merinci elemen-elemen penting dalam interpretasi, yang meliputi, kesejarahan, kepengarangan, konteks pengarang, konteks audiens dan konteks penafsir. Kesadaran seorang penafsir menjadi penting, karena hal ini mempengaruhi langkah-langkah seorang penafsir dalam menafsirkan.55 Menurutnya, terdapat batas-batas makna dari teks yang akan dipahami. Tetapi batasan makna itu tergantung pada beberapa faktor. Oleh karena itu, teks tidak harus dimaknai secara sempit. Meski makna sebuah teks terbatas, tetapi batasan-batasan yang ada harus dipahami dalam konteks inti dari makna, bukan dari sesuatu yang mungkin dipahami ketika seseorang mengatakan bahwa ia memahami susatu teks. Menurut Gracia, ada beberapa faktor yang mungkin dapat mempengaruhi dan menetapkan batas-batas makna di antaranya; pengarang, audiens, konteks, bahasa, masyarakat, teks itu sendiri serta fungsi budaya.56 Sementara itu, Nasr Hamid Abu Zayd, berangkat dari pandangan bahwa, pada hakikatnya al-Qur’an itu adalah “perbuatan Tuhan” bukan sifat. Pandangan ini tentu

53Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (ttp, Tafakkur, tt), 222 54Jorge J.E Gracia, A Theory of Textuality : The Logic and Epistemology, (Albany; State Univercity of New York Press, 1995), 147-148 55Jorge J.E Gracia, A Theory of Textuality : The Logic and Epistemology, 101 56Jorge J.E Gracia, A Theory of Textuality : The Logic and Epistemology, 114 29 tidak dapat dipisahkan dari perdebatan teologis dalam sejarah Islam klasik antara Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah tentang masalah esensi al-Qur’an. Menurut Mu’tazilah al-Qur’an sebenarnya bukan sifat Tuhan, tetapi perbuatan Tuhan itu sendiri. Pendapat sebagaimana dikemukakan ini memposisikan bahwa al-Qur’an tersebut bersifat baharu, tidak kekal karena diciptakan Tuhan. Berbeda dengan Mu‘tazilah, sedangkan Asy‘ariyah berpandangan bahwa esensi al-Qur’an itu adalah merupakan sifat Tuhan itu sendiri, dan sifat Tuhan itu kekal.57 Dari kedua pandangan aliran teologi disebut oleh Abu Zayd cenderung mendukung pendapat Mu’tazilah yang meyakini bahwa al-Qur’an diciptakan Tuhan. Pandangan ini menjelaskan pemahaman bahwa al-Qur’an merupakan sebuah realitas historis yang memiliki konteksnya tersendiri.58 Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa, al-Qur’an merupakan sebuah teks yang menjadi pusat perhatian dalam sejarah Arab. Pernyataan ini menunjukan bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab serta Islam tumbuh dan berdiri diatas landasan teks. Dengan begitu, suatu teks tidak akan bisa membentuk sebuah peradaban jika teks itu hanya berdiri sendiri. Akan tetapi terbentuknya peradaban dan kebudayaan suatu ummat jika adanya suatu proses dialektika antara manusia, realitas dan teks.59 Dan ketiga unsur ini baginya memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sebab itu, Nasr Hamid Abu Zayd menganggap bahwa al- Qur’an merupakan hasil sebuah produk budaya. Pernyataan ini didasarkan atas ungkapannya bahwa al-Qur’an adalah sebuah teks yang tidak bisa terlepas dari realitas dan budaya masyarakat disaat ayat itu diturunkan.60 Sebuah penafsiran terhadap teks al-Qur’an tidak bisa dilakukan hanya dengan menganalisis dari segi bahasanya saja, melainkan juga memerlukan suatu analisis terhadap konteks suatu masa. Karena al-Qur’an tidak diturunkan pada masyarakat yang sama, sekalipun ia tidak memiliki sebuah kebudayaan. Paling tidak kebenaran sebuah asbabun nuzul merupakan bukti bahwa al-Qur’an merespon terhadap kondisi

57Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2010), 143 58Mun’im Sirry mengutip pandangan Nasr Hamid Abu Zayd tentang ide “keterciptaan al-Qur’an versi Mu’tazilah dan perdebatan kontemporer . Abu Zayd mengatakan bahwa “jika al-Qur’an tidak eksternal berarti ia diciptakan dalam konteks tertentu, dan pesan yang dikandungnya juga harus dipahami dalam konteks itu. Pandangan ini membuka bagi reintertpretasi hukum agama, Karena firman Tuhan dipahami sesuai dengan semangatnya, bukan lafazdnya. Konsekuensi selanjutnya adalah bahwa setiap orang memiliki peran penting terhadap penafsirannya dan mengaplikasikan hukum. jika pada pihak lain, firman Tuhan bersifat eksternal, tidak diciptakan dan tidak berubah, maka gagasan reinterpretasi dalam situasi baru menjadi sesuatu yang diharamkan dan dikutuk. Tidak ada perbedaan antara lafazd dan semangat hukum Tuhan, dan hanya ulama tertentu yang memiliki peran penting dalam menjaga dan mempertahankannya. Lihat Mun’im Sirry. Tradisi Intelektual Islam “Rekonfigurasi Sumber Otoritas Agama”. (Malang: Madani, 2015), 17 59Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum an-Nas, terj. Nahdyyin (Yogyakarta: LKIS, 2005), 1 60Pandangan ini mendapatkan pencekalan dari ulama-ulama Mesir yang berujung diusirnya Nasr Hamid Abu Zayd dari negaranya, Mesir. Prolog K.H Husein Muhammad, Pluralisme sebagai Keniscayaan Teologis, dalam buku Maqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama (Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an), (Depok: Kata Kita, 2009), xiii 30 masyarakat pada saat itu. Oleh sebab itu Nasr Hamid Abu Zayd berpendapat bahwa, perkembangan sebuah konteks budaya secara luas merupakan salah satu persoalan penting yang tidak dapat ditinggalkan ketika proses penafsiran dilakukan.61 Dengan demikian konteks ayat pada saat diturunkan merupakan sebuah hal yang sangat penting untuk dilihat. Untuk membangun teori penafsirannya, Nasr Hamid Abu Zayd memandang bahwa, as-Siyaq (Konteks) sangat penting dalam memproduksi makna. Menurutnya terdapat beberapa level konteks; yaitu, konteks sosio kultural, konteks internal, konteks eksternal, konteks linguistik dan konteks bacaan. Penggalian makna teks dengan menggunakan kelima konteks ini sudah cukup. Sebagai langkah-langkah penafsirannya akan dilakukan sebagai berikut; a) menganalisa sturktur linguistik ayat-ayat al-Qur’an dan mencari fakta-fakta yang mengitarinya, b) menentukan tingkatan makna teks,62 c) menentukan makna asli teks, d) menentukan makna signifikan, d) mengkontekstualisasikan makna historis dengan berpijak pada makna yang tidak terkatakan.63 Dalam proses penafsiran al-Qur’an secara kontekstual, Abdullah Saeed membaginya pada empat tahapan, diantaranya : a. Hendaknya seorang mufassir mengetahui secara umum tentang teks dan dunianya. b. Hendaknya seorang mufassir memperluas analisisnya saat ingin menafsirkan teks al-Qur’an, baik itu dari unsur historis maupun konteks. Hal ini mencakup pada ; a) analisis linguistik, aspek ini berkaitan dengan bahasa yang digunakan teks, makna kata dan frase, sintaksis ayat dan secara umum semua persoalan linguistic dan gramatikal yang terkait dengan teks. Aspek ini juga mencakup qiraat (varian dalam membaca teks), b) analisis konteks sastra, analisis konteks sastra ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana suatu teks berfungsi dalam surat tertentu atau, lebih luas lagi, dalam al-Qur’an misalnya, ayat apa saja yang datang sebelum dan sesudah ayat yang dibicarakan, bagaimana komposisi dan struktur teks, dan juga gaya retorikanya, c) analisis bentuk sastra, yaitu untuk mengedintifikasi apakah ayat yang dmaksud merupakan ayat kisah, ibadah, peribahasa, perumpamaan atau hukum. Bentuk sastra ayat ini dan maknanya lalu dihubungkan, d) analisis teks-teks yang paralel (mirip), yaitu dengan menganalisis, apakah ada ayat yang serupa dengan ayat yang dikaji. Jika ada, maka kemudian perlu dikaji tingkat persamaan dan perbedaannya, e) analisis preseden, yaitu mengidentifikasi teks-teks yang memiliki kesamaan content maupun maknanya, kemudian dianalisis ayat ini turun sesudah atau sebelum teks. c. Tingkatan ini berkaitan dengan kelompok pertama penerima ayat al-Qur’an, yaitu menganalisis makna al-Qur’an dalam relasinya dengan penerima pertama, mencakup a) analisis kontekstual, yang menerima unsur budaya, norma atau nilai, b) mengklasifikasi pesan ayat, seperti ayat etik atau teologi, c)

61Ali Imron dkk, Hermeunetika al-qur’an dan Hadith, (Yogyakarta; Elsaq Press, 2010), 125 62Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesrjanaan Kritis ; Teori Hermeunetika Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta; Teraju, 2003), 90 63Muammar Zayn Qadafi, Tesis ; Epistomologi Sabab Nuzul Makro, 87 31

mengeksplorasi pesan teks, termasuk pesan universal,64 atau partikular (spesifik), d) menghubungkan pesan al-Qur’an ke sasaran yang dituju, e) menegevaluasi sebuah teks, dimana ia dapat diterima, dimengerti, atau diaplikasikan pertama kali pada masyarakat muslim pertama.65Empat, menganalisis hubungan antara makna al-Qur’an dengan konteks saat ini, yaitu dimana saat teks itu diaplikasikan. Analisis ini juga melibatkan isu-isu sosial, politik dan ekonomi.66 d. Tingkatan ini berkaitan dengan konteks kekinian atau kontemporer. cara yang ditempuh adalah; pertama, menentukan problem dan kebutuhan kekinian yang relevan dengan ayat yang dimaksud. Kedua, mengeksplore konteks social, politik, ekonomi dan budaya yang relevan dengan teks. Ketiga, menngeksplor nilai-nilai, norma dan pandangan-pandangan spesifik yang memiliki hubungan dengan pesan teks. keempat, membandingkan konteks sekarang dengan konteks saat ayat diturunkan, apakah memiliki kesamaan dan perbedaan antara keduanya. Kelima, menghubungkan, bagaimana makna teks tersebut dipahami, diinterpretasi, dan diamalkan penerima pertama dengan konteks sekarang. Keenam, mengevaluasi keuniversalitasan atau kespesifikasikan pesan yang disampaikan teks dan menelaah apakah pesan yang disampaikan berhubungan dengan tujuan dan persoalan al-Qur’an yang lebih luas.67 Hasan Hanafi mengatakan bahwa, suatu makna tidak dihasilkan dalam suatu teks, melainkan adanya pertemuan antara teks dengan manusia sebagai makhluk populis. Menurutnya, pemahaman terhadap suatu makna akan berbeda ketika suatu teks di baca kembali dari satu generasi ke generasi yang lain. Atau dalam konteks sosial dan politik tertentu.68 Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa sebuah realitas sejarah lahir tidak disebabkan karena turunnya sebuah wahyu, melainkan peristiwa sejarahlah yang menyebabkan turunnya wahyu ke muka bumi ini. Hubungan realitas dan wahyu baginya merefleksikan relasi pengetahuan dan tindakan. Wahyu merupakan pembentuk realitas dan realitas adalah wahyu pembentuk dalam pikiran.69 Menurut Jaser Auda dalam “Abrogation of Rulings’ Methodology: A Critique,” mengatakan bahwa, model pembacaan teks al-Qur’an untuk mendapatkan maksud di balik teks secara tekstual (secara harfiah), dengan mengabaikan konteks proses pewahyuan akan menimbulkan terjadinya pengabaian sejumlah ayat al-Qur’an yang seharusnya tidak boleh diabaikan. Untuk itu, supaya teks al-Qur’an dapat dipahami secara adil sesuai dengan maksud dan tujuannya, maka upaya yang tepat dalam pembacaan ayat tersebut harus melibatkan unsur konteks, baik konteks latar

64Jaser ‘Audah menghubungkan makna universal dan al-Maqa>sid. Sedangkan konsep al-Maqasid menurut Jaser ‘Audah yaitu sejumlah tujuan (yang dianggap baik) oleh Ilahi dan konsep akhlak yang melandasi proses al-Tasyri’ al Isla>mi. Jaser ‘Audah, al-Maqasid Untuk pemula. Terj. ‘Ali Abdelmon’im. (Yogyakarta; Suka Press UIN SUKA, 2013), h. 5 65Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 5. 66Abdullah Saeed, “Some Reflections on The Contextualist Appproach”, 227. 67Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 152 68Hasan Hanafi, Dirasat Falsafiah, (Kairo: Dar al-Tanwir , 1995), 528 69Hasan Hanafi, Min an-Nas ila al-Waqi’, (Kairo: Markaz Kitab li al-Nashr, 2005), 46-47 32 belakang turun (asba>bun nuzu>l), ataupun konteks yang lebih luas mencakup tradisi, kultur masyarakat Arab saat proses ketika ayat al-Qur’an turun.70 Amina Wadud dalam metodologi tafsirnya ia lebih mengedepankan atau mengutamakan konteks ketika proses penafsiran dilakukan. Ia berpendapat bahwa, pada masa kontemporer ini, penafsiran kontekstual adalah sebuah solusi penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang berkenaan dengan gender. Menurutnya, penafsiran klasik yang terpaku hanya pada teks saja, tanpa memperhatikan sisi konteks pewahyuan dan ke-universalitasan ajaran Islam, penafsiran ini akan menghasilkan produk penafsiran yang bias gender, hal ini dapat menyudutkan posisi kaum perempuan.71 Syafruddin dalam bukunya “Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual: Usaha Memaknai Kembali Pesan al-Qur’an” mengatakan bahwa, produk penafsiran yang hanya menafsirkan ayat al-Qur’an berdasarkan teks saja (harfiah), akan menghasilkan sebuah produk penafsiran yang eksklusif, terutama jika dihadapkan dengan ayat-ayat yang berkenaan dengan toleransi antar agama. Di samping itu, ia juga mengkritisi penafsiran-penafsiran yang hanya berdasarkan pada konteks semata. Menurutnya produk penafsiran akan terlihat cenderung lebih pada nalar liar jika disandarkan pada konteks saja. Oleh karena itu, hendaknya seorang mufassir mengagabungkan kedua pendekatan di atas, baik itu pendekatan secara tekstual (berorientasi pada teks) maupun kontekstual (berorientasi pada konteks). Maka ia berpendapat bahwa, penafsiran secara teks menjadi langkah awal dalam sebuah penafsiran yang kemudian di lanjutkan dengan analisis konteksnya. Dengan begitu ayat akan dapat di kontekstualisasikan setiap masanya.72 Berdasarkan penjelasan dikemukan, dapat dipahami bahwa kontekstual sebagai proses yang mengacu pada paradigma berpikir, baik cara ataupun metode serta pendekatan yang lebih mengacu pada dimensi konteks sebagai upaya memahami teks. Dengan kata lain, kontekstual berarti suatu aliran yang ketika menafsirkan sebuah ayat lebih mengacu pada dimensi konteksnya ketimbang dimensi bahasa. Ini menunjukan bahwa penafsiran ini tidak memandang dari segi bahasa saja, melainkan juga melibatkan dimensi sosio-historis teks dan keterlibatan subjektif penafsir dalam aktivitas penafsirannya.73 Poin-poin diatas memungkinkan mengantar penafsir pada aplikasi pesan teks yang dipertimbangkan dengan konteks masa kini dan memungkin juga untuk pengaplikasian tingkat lebih luas lagi terhadap lingkungan kontemporer. Untuk itu, kompromi paradigma penafsiran tekstualis dan kontekstulis merupakan bagian yang sangat mungkin dalam proses penafsiran. Kelompok pendukung paradigma tekstualis di sisi lain tetap juga melihat pada aspek kontekstual teks, sedangkan sebaliknya kelompok yang menggunakan paradigma kontekstualis juga tidak dapat memisahkan

70Jasser Auda, “Abrogation of Rulings’ Methodology: A Critique,” Intellectual Discourse 12, 2 (2004): 195-203 71Aminah Wadud, Qur’an and Women: Rereading Sacred Text form a Women’s Prespectiv, (Kula Lumpur: Fajar Bhakti SDN. BHD. 1994) 72U Syafruddin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual : Usaha Memaknai Kembali Pesan al-Qur’an, 45 73Islah Gusmian, Khazanah Tafsir di Indonesia, 249 33 diri pada teks, yang menjadikannya juga sangat terikat pada unsur tekstualis teks. Kompromi paradigma tekstualis dan kontestualis merupakan penegasan tidak adanya penafsiran yang semata-mata cenderung bersifat tekstualis atau kontekstualis, tetap saja memperhatikan aspek tekstualis dan kontekstualisnya, walaupun kecenderung kuat pada pilihan tekstualis dan kontekstualis menjadi bagian pengelompok paradigma penafsiran terhadap teks al-Qur’an.

C. Subjektifitas Penafsiran Adanya kepentingan menjadikan seseorang melakukan penafsiran terhadap ayat al- Qur’an. Berdasarkan kepentingan inilah kemudian seseorang melakukan penafsiran, dan hasil penafsiran inilah kemudian seseorang mengeluarkan sebuah produk yang disebut dengan tafsi>r. Kalau disimpulkan bahwa tafsir adalah sebuah produk dari sebuah proses penafsiran, dan dilakukannya sebuah penafsiran adalah berangkat dari sebuah kepentingan. Khaled Abou el-Fadl dalam dataran subjektivitas penafsiran ia menegaskan bahwa, setiap penafsiran memiliki kecenderungan ketika menafsirkan, baik itu kecenderungan yang disebabkan oleh lingkungan, ilmu, budaya dan politik, yang bisa menimbulkan pada otoritarianisme penafsiran. Yang di tandai dengan penetapan makna yang bersifat tetap dan tidak bisa berubah. Ia menambahkan bahwa, sebuah makna tidak akan final, ia akan terus mengalami perubahan selama masih ada dialektika antara teks, pengarang (author) dan pembaca (reader). Dan sebaliknya sebuah penafsiran yang otoriter memandang bahwa makna pada akhirnya akan memiliki kebenaran final yang tidak dapat dirubah lagi. Dengan kata lain bahwa penafsiran otoriter menganggap firman Tuhan memiliki makna yang lugas dan jelas, tidak ambiguitas.74 Hal ini terkadang dapat menyebabkan seorang penafsir dapat melakukan kesewenang-wenangan dalam menafsirkan, sehingga dapat merusak keorisinalitasan sebuah makna yang dikandung dalam teks. Dalam hal ini, Abu Zayd mengingatkan kepada seluruh mufassir agar mawas diri dan waspada sehingga tidak terjebak dalam penafsiran ideologis. Ia mengecam kepada penafsiran yang bercorak tendensi ideologis. Menurutnya penafsiran ideologis cukup beragam. Ada penafsiran ideologis yang berpijak pada kesadaran kelompok dalam rangka mengamankan kelompok mereka saat berhadapan dengan kelompok yang berbeda atau bentuk manipulasi politik terhadap makna teks.75 Sedangkan Hasan Hanafi, menurutnya keberpihakan sebuah tafsir adalah keniscayaan. Seorang penafsir adalah pembaharu yang bukan hanya memahami makna universalitas al-Qur’an, tetapi juga untuk merubah realitas kekinian. Dalam menafsirkan al-Qur’an tidak hanya menjelaskan, tetapi juga memahami. Ia tidak hanya mengetahui, tetapi juga mampu mempengaruhi kesadaran. Tafsir juga bukan hanya menganalisis, tetapi juga mensistesa. Konflik tafsir merupakan konflik maslahah, konflik sosial-politik bukan konflik teoritis. Seseorang penafsir seseorang yang hidup dalam kondisi sosial-politik serta dalam permasalahan dan kemaslahatan

74Khaled M. Abou el-Fadl, “Speaking in God’s Name : Islamic Law Authority”, terj. R. Cecep Lukman Yasin (Atas Nama Tuhan : Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif), (Jakarta : Serambi, 2003), 135 75Islah Gusmian, Khazanah Tafsir di Indonesia, 294 34 tertentu. Perbedaan tafsir dipengaruhi oleh perbedaanya maslahah, dan perbedaan maslahah disebabkan oleh perbedaannya struktur social.76 Hanafi juga mengatakan bahwa, setiap penafsiran berangkat dari kepentingan tertentu, tidak ada yang obyektif, absolut, dan universal. Selain itu juga, menurutnya setiap penafsiran yang menggunakan pendekatan rasional (tafsi>r bi al-‘aql), atau pendekatan menggunakan riwayat (tafsir bi an-naql), tidak mungkin terhindar dari penggunaan pemikiran terlebih dahulu. Setiap penafsir yang ingin menafsirkan ayat al-Qur’an pasti akan menggunakan pemikirannya terlebih dahulu. Baru kemudian dicari justifikasinya dengan argumen rasional atau argumen secara tertulis.77 Relasi antara kepentingan dan penafsiran, dapat pula dianalisis dengan teori hermeunetika filosofis Goerg Hans-Gadamer. Dalam pembacaan terhadap teks, ia mengajukan beberapa teori. Pertama, teori kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah (historically effected counsciousness), dan kedua adalah teori prapemahaman (pre- understanding).78 Betti menurutnya, sekalipun penafsiran sampai pada objektifitas, namun objektifitas itu tetap relatif. Baginya makna harus diderivasi dari teks, dan bukan dimasukkan ke dalam teks. (meaning has to be derived from the text and not imputed to it). Betti menyusun empat norma untuk mendapatkan penafsiran yang objektif. Dua norma terkait dengan objek penafsiran dan dua lainnya terkait dengan subjek penafsiran. Dua norma yang terkait dengan objek penafsiran adalah sebagai berikut, yang pertama adalah, norma otonomi objek hermeunetis dan standart hermeunetis yang immanent. Dengan norma ini Betti menyatakan bahwa makna harus didasarkan pada objek penafsiran, yaitu bentuk-bentuk yang penuh makna harus dianggap sebagai otonomi. Makna yang ditafsirkan adalah makna yang immanent bukan hasil proyeksi dari seorang penafsir. Kedua, norma koherensi makna (prinsip totalitas). Yang dimaksud dengan norma ini adalah, adanya hubungan antara makna secara keseluruhan atau sebahagian. Makna keseluruhan berasal dari unsur-unsur individu. Sama halnya dengan, sebuah unsur individu harus dimengerti dengan merujuk kepada keseluruhan yang komprehensif, dimana unsur individu tadi merupakan bagian darinya.79 Sedangkan norma yang berkaitan dengan subjek dalam penafsiran, yang pertama adalah norma aktualitas pemahaman. Di sini Betti berpandangan, funsgi seorang ahli tafsir berusaha untuk menggali makna terdalam yang ingin disampaikan pengarang

76Hasan Hanafi, Islam in the Modern World : Religion Ideology and Development, Vol. I (Kairo:Anglo-Egyption Bookshop, 1995), 409 77Hasan Hanafi, Islam in the Modern World, 184. Ilham B.Saenong, Hermeunetika Pembebasan : Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi (Jakarta : Teraju, 2002), 168 78Hans-Georg Gadamer, Truth-Method, trans. Joel Weinshemer dan Donald G. Marshall (New York : Continum, 1998), 197 79Penafsiran berarti, memahami teks sebagaimana dipahami oleh pengarangnya, sebab apa yang disebut teks menurut Schleiemacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya, seperti itulah disebutkan dalam hokum Betti. Abd. Hadi, Hermeunetika Qur’ani dan Perbedaan Pemahaman dalam Menafsirkan al-Qur’an, dalam Jurnal Islamica, Vol. 6 No. 1. Sepetember, 2011. 41 35 tersebut, hal ini menegaskan bahwa tentunya seorang ahli tafsir merupakan kelompok yang pasif, tetapi menempati posisi yang aktif, sehingga dalam upaya menemukan makna teks diperlukan adanya komitmen kuat supaya pesan dibalik teks dapat ditangkap. Proses pemahaman terhadap teks ini sebagaimana yang disebut Gadame dengan pra-pemahaman (vorverstandnis) tidak sama posisinya dalam proses menggali pemahaman dari penulis, atau pembuat teks.80 Proses selanjutnya dalam proses penemuan pesan dalam teks dibutukan norma keharmonisan untuk memperoleh keyakinan terhadap makna pesan teks dalam makna hermeunetis. Norma keharrmonisan ini dimaksudkan supaya ahli tafsir mampu membawa situasi tertentu yang menjadi faktor sosial dan antropologis dari teks ke dalam penafsiran. Menurut al-Jabiri> untuk memukakan pesan yang aktual dari teks al-Qur’an supaya relevan dengan kehidupan kontemporer, sebab teks itu sendiri merupakan bagian dari situasi dan tempat berdasarrkan zamannya.81 Menurut al-Jabiri lebih lanjut dalam proses penafsiran tentu ada beberapa prinsip umum yang harus dijadikan acuan oleh para mufasir untuk menafsirkan teks al-Qur’an supaya seorang ahli tafsirr tidak membuat sendiri penilaian (value-judgement) yang cenderung bersifat subjekti, sebab makna teks itu sendiri bersifat objektif. Langkah untuk mencapai proses disebut tentu seorang ahli tafsir harus mampu menjadikan al-Qur’an sebagai bagian dari diri sendiri, maka upaya penelusuran pada unsur otentitas teks (al-asalah) menjadi bagian dari pembentukan penafsiran yang menghasilkan berbagai karya tafsir sebagai mana yang berkembang dalam khazanah tafsir yang beragam.82 Sisi lainnya, seorang ahli tafsir harus mampu menjaga jarak dengan sumber tafsir lainnya supaya dapat melihat secara fokus tentang pesan yang ingin disampaikan teks tersebut. Posisi ini menjadikan ahli tafsi untuk dapat melepaskan segala bentuk asumsi, atau apriori terhadap segala sumber yang menjadi sumber sebelumnya. Langkah ini menegaskan eksistensi ahli tafsir akan berfokus pada makna dibalik teks tersebut.83 Pembacaan atau penafsiran modal disebut dibangun dengan 2 (dua) kerangka berfikir fenomenologis, yaitu 1) epoche sebagai bentuk upaya menahan diri”; 2) eidetic vision dengan membiarkan teks dan fakta menjelaskan sendiri makna dari teks tersebut. Tradisi penafsiran di Barat menurut Habermas, resepsi yang muncul merupakan bentuk dari kepentingan yang ada dan masuk di dalam penafsiran.84 Kepentingan ini biasanya bersumber dari asumsi umum pengetahuan tentang penafsirang yang

80Gademer secara spesifik menggarap hermeunetika sebagai suatu teori pengalaman yang nyata. Pengalaman adalah fusi cakrawala. Hal ini dikarenakan adanya suatu cakarawala yang mencakup segalanya di dalam kesadaran menyejarah. Lihat Poespoprodjo, Hermeunetika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 14. 81al-Jabiri, Fahm al-Qur’a>n al-Haki>m, al-Tafsi>r al-Wa>dih Hasb Tarti>b al-Nuzu>l, (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 2008), 9. 82al-Jabiri, Nahn wal al-Tura>ts : Qira’a>t Mua>’thirah fi> Tura>tsina> al-Falsafi>, (Beirut : al-Markaz al-Tsaqa>fi> al-‘Arabi>, 1993), 12 83al-Jabiri, Nahn wal al-Tura>ts, 23 84Fransisco Budi Hadirman, Kritik Ideologi : Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Penerbit Buku Baik, 2004), 1 36 diberikan penafsira tersebut.85 Lebih tegas Habermas menyebut bahwa sangat bahayanya apabila ilmu dianggap bebas dari kepentingan, sebab ilmu juga memiliki tujuan untuk kepentingan kemanusiaan, sehingga segala bentuk prasangka menjadi dapat dinetralisir dari prasanga pribadi yang tidak berdasar, walaupun diakui bahwa ilmu pengetahuan harus benar-benar bebas nilai, dan memiliki mekanisme tersendiri untuk mencapai tujuan kemanusiaan, seperti emansipasi untuk menyelamatkan dari perbudakan, tidak memberi ruang kolonisasi dan melawan kekuasaan yang tidak berpihak keadilan. 86 Sebagaimana dikemukakan bahwa unsur subjektifitas dalam penafsiran terhadap teks, terutama teks al-Qur’an merupakan bagian yang tidak bisa dihindari, sebab setiap penafsiran memiliki kecenderungan subjektifitas yang mempengaruhi tafsiran yang dihasilkan. Untuk itu, berbagai karya penafsirang yang terus berkembang selalu saja ada yang membedakan antara satu dengan lainnya. Dalam konteks ini juga dapat dipahami bahwa perkembangan penafsiran sangat berkaitan dengan diterimanya unsur subjektifitas dalam menafsiran teks al-Qur’an yang melahirkan tafsir al-Qur’an dengan berbagai corak yang mempengaruhi penafsir tersebut. Dalam pengkajian al- Qur’an unsur subjektifitas pada penafsiran juga dapat dilihat dari berbagai ragam kecenderungan yang membentuk penafsiran tentu semakin memperkaya kajian tafsiran terhadap teks al-Qur’an. Pembahasan dikemukakan memberikan deskripsi umum tentu paradigma penfasiran yang mendalam, terutama dalam proses hingga penemuan pada unsur terdalam teks menjadi bagian utama dalam proses penafsiran, seperti penafsiran kontekstual nmerupaan suatu usaha penafsiran ayat al-Qur’an berdasarkan analisis kebahasaan, yang kemudian didukung oleh periwayatan hadist ataupun penafsiran sala>f al-sali>h. Sedangkan paradigma penafsiran kontekstual adalah suatu usaha penafsiran yang berorientasi pada konteks di mana ayat itu diturunkan dan kemudian disesuaikan dengan konteks dimana ayat itu ditafsirkan.

85Fransisco Budi Hadirman, Menuju Masyarakat Komunikatif, (Yogyakarta : Kansius, 1993), 5 dan 244-252 86Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistomologi Modern : dari Postmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme, hingga Culture Studies, (Jakarta : Pustaka Indonesia Satu, 2006), 48-50 37

38

BAB III PERKEMBANGAN INTELEKTUAL SYEKH H.ABDUL HALIM HASAN BINJAI

Pada bab ini akan mengkaji seputar kehidupan Syekh Abdul Halim Hasan Binjai, sebab pengkajian terhadap biografi seseorang merupakan bagian dari kajian dasar untuk mengetahui alur pemikiran seseorang, maka untuk itu pengkajian biografi dalam penelitian ini ada sebuah pengkajian penting untuk menelusuri alur pemikiran Syekh H.Abdul Halim Hasan Binjai sebagai seorang mufassir.Adapun Pengkajian ini meliputi tentang, latar belakang keluarga dan pendidikan, karya-karya yang telah dihasilkan, serta perjalanan karir yang telah diduduki Abdul Halim semasa hidupnya.

A. Biografi Abdul Halim Hasan Abdul Halim Hasan Binjai (selanjutnya disebutkan Abdul Halim) lahir pada tanggal 15 Mei 1901 di sebuah daerah kecil di Kota Binjai, yaitu tepatnya di Kelurahan Limau Sundai daera Binjai Barat. Kota Binjai ini merupakan sebuah kota yang terletak di antara Kota dengan Langkat. Kota Binjai merupakan sebuah kota yang dahulunya masuk kawasan Kabupaten Langkat dengan penduduk asli beretnis Melayu.1 Tahun kelahiran Abdul Halim menunjukkan bahwa tahun tersebut kekuasaan kolonialisasi Belanda di Sumatera Timur, termasuk kawasan Binjai, maka Abdul Halim kecil dan besar secara langsung melihat bagaimana proses kolonisasi berlangsung di daerahnya. Abdul Halim menghabiskan masa kecilnya di Kota yang dikenal sebagai “Kota Rambutan” tersebut sampai menjelang remaja ia berpindah ke Langkat. Abdul Halim lahir dari keluarga Mandailing yang migrasi ke daerah Binjai, sebab ayahnya seorang petani di Binjai yang bernama Hasan Daulay, tetapi Abdul Halim sendiri dalam berbagai karyanya tidak pernah menuliskan marga “Daulay” tersebut. Tidak diketahui apa yang menjadi alasan kenapa Abdul Halim tidak pernah menyebutkan marganya di dalam karya-karya menurut tradisi masyarakat patrilineal yang selalu menegaskan identitas keluarga, tetapi dapat dipahami bahwa Binjai sebagai daerah yang berbasis etnis Melayu menjadi alasan utama kenapa marga tersebut tidak muncul di namanya. Dari jalur ibunya Abdul Halim tidak diketahui secara pasti karena sumber berkaitan tentangnya sejauh ini tidak ada yang menjelaskan tentang silsilah ibunya. Abdul Halim sendiri lahir sebagai anak pertama dari 6 (enam) orang bersaudara,2 yang biasanya dalam tradisi keluarga masyarakat Melayu atau Mandailing anak pertama adalah “aset” bagi keluarga yang dibutuhkan tenaga untuk membantu keluarga, tetapi Abdul Halim sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya dalam belajar sebagaimana akan dijelaskan, walaupun terlibat membantu keluarga bekerja

1Faris A. Noor, John Anderson’s Data Mining Mission to Sumatera in 1823 : When Method Creates the Object, RSIS (Rajaratnam School of International Studies), 2014. No. 278, h. 2-4 2Zaini Dahlan, Syekh Abdul Halim Hasan : Akar Tradisi Intelektual di Sumatera Timur Awal Abad XX, Jurnal of Contemporary Islam and Islam Society, Vol. 2 No. 1, 2018, h. 131 39 hanya sebagian waktu saja. Dapat dipahami bahwa orang tua Abdul Halim lebih memberikan ruang luas kepada anaknya untuk menuntut ilmu dibanding harus terlibat aktif dalam membentu ekonomi keluarga, sebab mengingat bahwa keluarga dengan jumlah bersaudara dengan profesi orang tua sebagai petani tentu menunjukkan keluarga yang sederhana. Abdul Halim kecil sebagaimana anak seusianya saat itu tumbuh dan berkembang dalam situasi penguasaan Belanda yang akses pendidikan sangat terbatas, tetapi tetap saja mendapatkan formal, baik di lingkungan keluarga dari orangtuanya langsung, ataupun guru-guru kampung di tempat tinggalnya. Abdul Halim dewasa tercatat dua kali menikah semasa hidupnya, yaitu pertama dengan Rahmah Lubis dengan jumlah anak 8 (delapan) orang, dan isteri kedua dengan Hj. Syarifah Batubara dengan anak 7 (tujuh) orang. Dari hasil pernikahan dengan kedua isterinya ini anaknya berjumlah 15 (lima belas) orang.3 Keluarga besar Abdul Halim tumbuh dan besar di kota kelahirannya, tetapi sejauh pengkajian dilakukan tidak ada satupun dari anaknya yang mengikuti jejaknya dalam bidang keagamaan, sebagian di antaranya anak-anaknya tersebut ada yang terlibat di instansi pemerintah, dan sebagian lainnya di swasta. Abdul Halim sebagai anak petani yang hidup dengan sederhana, tetapi tidak menyurutkannya untuk terus menerus menuntut ilmu. Abdul Halim kecil juga sempat menempuh pendidikan formal di tingkat Sekolah Rakyat (SR). Pendidikan awal di SR ini merupakan sebagai jenjang pendidikan formal yang dipernah dilalui. Abdul Halim Hasan sebagai anak seorang petani tentu pada waktu itu hanya sebagian saja di antara anak-anak yang sempat mendapatkan pendidikan formal tersebut, maka Abdul Halim sebagai salah satu anak yang dapat disebut beruntung sempat mendapatkan pendidikan SR tersebut. Abdul Halim menempuh pendidian di SR ini sekitar tahun 1908.4 Dalam usia tujuh tahun tentu semangat Abdul Halim muda yang cinta ilmu pengetahuan memudahkannya untuk menyelesaikan pendidikan ditingkat SR yang dikenal cukup berat dalam sistem pengajarannya. Abdul Halim di kenal sebagai murid yang rajin dan pandai, dalam catatan sejarah ia selalu memiliki prestasi yang baik di sekolahnya, tercatat bahwa ia selalu naik kelas tiap tahunnya. disamping itu, ia juga memiliki semangat yang tinggi untuk mendalami ilmu-ilmu yang berkenaan dengan agama, terbukti bahwa ia belajar tentang agama kepada beberapa ulama yang ada di kota Binjai. Di antaranya adalah, Faqih Saidi Haris, H. Abdullah Umar (kadhi di Binjai), H.M. Nur Ismail, Syekh H.M. Samah (guru thariqat di Binjai), H.Abdul Karim, dan Syekh Hasan Ma’sum. Tidak hanya kepada ulama lokal saja, ternyata ia juga belajar ilmu agama kepada ulama yang berasal dari Arab yaitu Syaikh Mukhtar Attharid. Hal ini membuktikan bahwa adanya ketekunan Abdul Halim belajar terhadap ilmu-ilmu agama, hal ini ia lakukan di sela-sela ia melaksanakan ibadah hajinya pada tahun 1926.5 Ilmu-ilmu yang

3Zaini Dahlan, Abdul Halim Hasan : Akar Tradisi Intelektual, Jurnal of Contemporary Islam and Islam Society, h. 133 4Lihat Dewan Harian Cabang Angkatan 45, Catatan Pelaku Sejarah Pengibar Bendera Merah Putih Pertama di Binjai, (Binjai : t.p, 1996), h. 1 5Majelis Ulama Sumatera Utara, Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka di Sumatera Utara, (Medan : Institut Agama Islam Negeri Al-Jami’ah, 1983), h. 230 40 menjadi kesukaan Abdul Halim dalam bidang agama diantaranya adalah, ilmu fiqih, tafsir, hadith dan sejarah. Dari sini dapat kita lihat bahwa masa kecilnya Abdul Halim tidak banyak digunakan untuk bermain selayaknya anak-anak seusianya, melainkan ia gunakan waktunya untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Maka dapat dipastikan bahwa proses belajarnya terhadap agama kepada ulama-ulama yang ada disekitar kampung halamannya dan di luar, memberikan pengaruh besar dalam pembentukan pemahaman keagamaannya. Hal ini terbukti dalam beberapa kesempatan ia memiliki peran penting dalam sebuah ormas Islam yaitu Muhammadiyah dan al-Washliyah. Abdul Halim dalam perjalanan pendidikannya, ia tidak hanya mendalami ilmu- ilmu yang terkait dengan agama saja, melainkan ilmu-ilmu umum menjadi pusat perhatian ia juga. Hal ini dapat dilihat pada tahun 1930 ketika ia belajar ilmu politik dan jurnalistik kepada Jamaludin Adinegoro, serta mengikuti kursus bahasa Inggris yang digurui oleh M.Ridwan (pensiunan kepala jawatan penerangan Kab. Langkat).6 Ketekunan ia dalam memepelajari ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu umum lainnya, menjadi senjata ia untuk menulis beberapa hal yang terkait dengan agama dan politik, hal ini dibuktikan dengan beberapa tulisannya yang di muat di majalah al-Islam, serta tafsirnya al-Qur’an al-Karim yang menurut informasinya penulisan tafsir ini sempat terhenti beberapa saat dikarenakan pemasokan kertas yang kurang, sedangkan dalam dunia politik ia mempunya peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari analisis diatas penulis melihat bahwa Abdul Halim mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi, bahwa dakwah secara oral tidak cukup baginya pada saat itu, sehingga ia harus belajar ilmu menulis (jurnalistik), agar apa yang disampaikan ia tidak secara lisan saja, melainkan juga tulisan. Abdul Halim sendiri tercatat wafat pada tanggal 15 November 19697 di Kota Binjai dalam usianya sekitar 68 tahun. Dikabarkan pada saat itu, ia sakit mendadak, tepat di hari Jum’at tanggal 14 November 1969 setelah beliau melaksanakan sholat Jum'at di Masjid Raya Binjai. Menurut dokter yang memeriksa penyakit yang dialami oleh Abdul Halim, yaitu dr.Dzulkarnaen Tala dan dr.Aerlangga Sahir bahwa ia mengalami pendarahan di otak, dan ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit ia sudah tidak sadarkan diri lagi sampai pada akhirnya ia wafat kembali kepada sang Maha Kuasa. Maka untuk mengenang ketokohannya sekarang di Kota Binjai telah berdiri lembaga pendidikan dengan nama STAI Abdul Halim Hasan.8 Dan di kota Binjai itu juga ada sebuah nama jalan diberi atas namanya, hal ini sebagai atas tanda jasa yang sudah berjuang mempertahankan kemerdekaan di kota tersebut.

B. KaryaTulis Abdul Halim Hasan Abdul Halim selain menjadi salah satu ulama, pahlawan dan guru di masanya, ia juga merupakan seorang penulis yang produktif, hal ini dibuktikan dengan beberapa karyanya yang terbit, baik itu dalam bentuk buku maupun artikel yang dimuat di

6Dewan Harian Cabang Angkatan 45, Catatan Pelaku Sejarah, h. 1 7Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka, h. 260 8Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, Sejarah Ulama Sumatera Utara, (Medan, MUI Sumatera Utara, 2013), hal. 229 41 majalah Islam dan kitab-kitab tafsirnya yang ditulis secara kolektif maupun sendiri, diantaranya adalah : 1. Kitab Tafsir al-Qur’anul Karim, kitab ini adalah kitab tafsir yang ditulis tidak secara sendirian oleh Abdul Halim, melainkan ditulis secara kolektif bersama dua teman lainnya, yaitu, Abdurrahim Haitam dan Zainal Arifin Abbas. Kitab tafsir ini terdiri dari delapan jilid dan delapan juz ayat al- Qur’an, namun sebelum sampai menyelesaikan jilid yang ke-delapan Abdul Halim telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa, sehingga penafsiran pada jilid ke-delapan ini terhenti.9 Namun menurut data dari hasil survey penulis, tafsir jilid yang ke-delapan ini diteruskan oleh Zainal Arifin Abbas seorang, sehingga dalam tafsir jilid kedelapan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Zainal Arifin Abbas. Sedangkan manuskrip dari kitab ini hanya terdiri dari enam jilid, dimana enam jilid ini membahas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang dimulai dari surat al-Baqarah ayat 1 (satu) sampai dengan surat al-Maidah ayat 82. Dengan rincian sebagai berikut; pada jilid pertama tafsir ini membahas surat al-Baqarah ayat 1 sampai dengan ayat 141. Selanjutnya di jilid kedua ini pembahasan masih pada surat al-Baqarah ayat 142-252. Untuk jilid ketiga surat al-Baqarah ayat 253-286 dan surat al-Imran ayat 1 sampai dengan 91. Pada jilid yang keempat tafsir ini membahas tentang surat al- Imran ayat 92 sampai dengan 200 beserta surat an-Nisa yang dimulai dari ayat 1 hingga ayat yang ke 23. Pada jilid kelima masih lanjutan dari surat an- Nisa yang dimulai dari ayat 24 sampai dengan ayat 147. Dan untuk jilid yang terakhir yaitu jilid keenam, tafsir ini hanya membahas surat an-Nisa ayat 148-176 serta tafsir al-Qur’an surat al-Maidah ayat 1 hingga ayat 82. 2. Sejarah Fiqih Islam, buku ini berisi pembahasan tentang hukum peribadatan yang menjadi kewajiban setiap ummat muslim dan hukum tentang hubungan kemasyarakatan. Pembahasan dalam buku ini dilengkapi dengan dalil-dalil yang berasal dari al-Qur’an dan hadith-hadith shahih.10 3. Wanita dan Islam, buku ini membahas terkait dengan hak-hak wanita dalam al-Qur’an dan hadis. Pembahasan dalam buku ini terdiri 38 (tiga puluh delapan) bab yang berkaitan dengan wanita. Dimana al-Qur’an dan hadith tetap menjadi rujukan yang utama dalam pembahasan ini. Pembahasan dalam buku ini meliputi beberapa pembahasan yang terkait dengan hak wanita, diantaranya adalah, bahwa wanita itu adalah belahan jiwa laki-laki, ganjaran wanita di akhirat, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam menyiarkan agama, wanita memiliki hak juga dalam meberikan keamanan, wanita juga berhak dalam membai’at Rasulullah, hak wanita dalam menuntut ilmu pengetahuan, hak-hak wanita yang berkaitan dengan harta, hak wanita dalam melakukas amar ma’ruf nahi munkar, hak seorang istri, hak wanita yang berkaitan dengan puasa, dan lainnya.

9Zaini Dahlan, Abdul Halim Hasan : Akar Tradisi Intelektual, Jurnal of Contemporary Islam and Islam Society, h. 144 10Abdul Halim Hasan, Adab dan kesopanan Islam, (Medan : al-Ichwan, 1962), h. 128 42

4. Hikmah Puasa, buku ini membahas tentang persoalan hikmah dari puasa, dimana al-Qur’an dan hadis tetap menjadi landasan utama dalam pembahasan buku ini. kajian dalam buku ini memiliki kajian cukup komprehensip ketika membahas sesuatu. 5. Adab dan Kesopanan Islam, buku ini membahas tentang cara beretika (adab), baik itu terhadap sesama manusia maupun ketika menghadap kepada Allah Swt sesuai dengan tuntunan nabi Muhammad Saw, sahabat maupun tabiin. Buku ini banyak mengutip keterangan-keterangan dari Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Disamping itu Abdul Halim juga tetap menjadikan al-Qur’an dan sunah sebagai landasan dalam menerangkan beberapa permasalahan dalam buku ini. Buku ini diterbitkan pada tahun 1382 H/ 1962 M, oleh penerbit yang berasal dari Medan yaitu al-Ichwan. 6. Tafsir al-Ahkam, kitab ini adalah kitab karangan Abdul Halim yang kedua dalam bentuk penafsiran, dimana ia sebelumnya juga memiliki karangan kitab tafsir yang ditulis secara kolektif. Kitab ini berisikan penjelasan terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum, baik itu dari segi ibadah maupun muamalat. Buku ini hanya berisikan 250 ayat tentang hukum,11 tidak semua ayat al-Qur’an ditafsirkannya melainkan hanya sebagian saja dari ayat al-Qur’an. Penafsiran dalam kitab ini dimulai dari surat al-Baqarah sampai dengan surat al-Kautsar ayat 2 (dua). Kitab ini disusun tidak berdasarkan pada susunan dalam pembahasan kitab-kitab fiqih sebagaimana biasanya, melainkan sesuai dengan susunan mushaf usmani. Kitab ini diterbitkan oleh penerbit Prenada Media di tahun 2006. 7. Sinar Memanjar dari Masjid, buku ini berisikan kumpulan-kumpulan artikel yang dikarang oleh ulama-ulama terkenal di Indonesia daintaranya, Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa disebut dengan Buya Hamka, Syekh H.Abdul Halim Hasan Binjai, dan M.Bustami Ibrahim. Artikel dalam buku ini membahas tentang kemakmuran masjid yang ditujukan kepada bkemakmuran masjid daerah Sumatera Timur, sebagai panduan dalam manajemen masjid. Buku ini juga diterbitkan oleh penerbit al-Ichwan. Selain karya-karya yang telah disebutkan diatas, sebenarnya masih banyak lagi karya-karyanya yang tidak ditemukan manuskripnya, sehingga tidak dapat dideskripsikan secara detail tentang isi buku-buku tersebut. Sebagai contoh, bingkisan adab dan hikmah, sejarah literature Islam, poligami, cara memandikan mayat, tarekh tamaddun Islam, dan tarikh Abi Hasan al-Asy’ari.12

C. Aktivisme dan Karir Abdul Halim Hasan Abdul Halim semasa hidupnya memiliki perjalanan karir yang cukup baik dan jabatan yang cukup penting. Hal ini dapat kita lihat ketika ia mengawali karirnya pada tahun 1920 sebagai guru bantu di suatu madrasah kota Binjai yaitu di madrasah Jami’atul Khairiyyah. Setelah beberapa tahun ia mengajar di madrasah tersebut, yaitu tepat

11Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta : Prenada Media, 2006), h. xxxii 12Zaini Dahlan, Abdul Halim Hasan : Akar Tradisi Intelektual, Jurnal of Contemporary Islam and Islam Society, h. 146 43 pada tahun 1927, madrasah ini berganti nama menjadi Madrasah ‘Arabiyyah (‘Arabiyyah School). Hal ini disebabkan pada masa itu adalah suatu masa peralihan dari paham-paham yang statis menuju kepada pemahaman-pemahaman yang dinamis atau disebut dengan menuju pada masa perubahan, terutama dalam bidang pendidikan agama yang harus dirubah sedemikian rupa, agar sekolah-sekolah agama yang sedang berkembang pada saat itu tidak dipandang sebagai sekolah-sekolah liar.13 Keadaan yang semakin berubah, membuat masyarakat Kedai Panjang Binjai serta mudir (pimpinan) yaitu K.H. Abd Karim sepakat untuk memberikan kepercayaan penuh kepada Abdul Halim untuk meneruskan perjuangan mengembangkan madrasah yang telah diasuh oleh Kiyai Abd Karim, dimana ia pada saat itu dilantik langsung menjadi mudir (pimpinan) madrasah tersebut.14 untuk menyesuaikan kondisi dan situasi pada saat itu, maka Abdul Halim yang telah dilantik sebagai mudir membuat beberapa kebijakan, dianataranya adalah ; 1. Merubah nama madrasah dari Jami’ayul Khairiyyah Menjadi Madrasah ‘Arabiyah (‘Arabiyah School). 2. Menyusun tenang-tenaga pengajar sesuai dengan bidang-bidangnya, yaitu : a. Pelajaran agama penuh yang dipimpin oleh Usman Do’a dan Aja Syarif. b. Tentang agama dan dagang yang dipimpin oleh M.Idris Karim dan M.Sidik Aminoto. c. Agama dan ilmiah dipimpin oleh al-ustad Abdurrahim Haitami dan al- ustad Zainal Arifin Abbas. d. Pelajaran agama dan pemuda dipimpin oleh ustadz M.Ilyas Amin. 3. Memberikan pendidikan kepada murid-murid madrasah sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. 4. Bagi pelajar dianjurkan untuk membuat organisai-organisi baik di luar madrash maupun di dalam, sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat sekitar. 5. Untuk membangun hubungan dengan masyarakat, maka para pelajar diperintahkan untuk : a. Menulis di beberapa majalah harian. b. Menulis buku yang berkaitan tentang agama. c. Menerjemahkan buku-buku yang berbahasa Arab tentang sejarah Islam ke bahasa Indonesia. Melihat paparan diatas, penulis berpendapat bahwa Abdul Halim membawa suatu perubahan terhadap madrasah tersebut, yaitu menjadikan manajemen pendidikan madrasah yang lebih modernis. Terlihat ketika ia membuat beberapa kebijakan di madrasah tersebut. Bahwa anak-anak yang dididik di bawah asuhan madrasah itu harus diajarkan sesuai dengan keahlian mereka masing-masing, tidak sampai disitu saja, ia juga merubah nama madrasah lebih kelihatan modernis pada saat itu, dengan ada penggunaan bahasa Inggris dibelakang nama madrasah tersebut.

13Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka, h. 254 14Dewan Harian Cabang Angkatan 45, Catatan Pelaku Sejarah, h. 2 44 hal ini terlaksana bukan karena jasa Abdul Halim saja, melainkan berkat bantuan- bantuan dari guru-guru lainnya yang ada di madrasah tersebut. Pastinya hal ini dilakukan agar masyarakat sadar akan pentingnya sebuah ilmu pengetahuan dan harga diri, di samping perkembangan atau perubahan yang ada di tengah-tengah masyarakat tanah air. Pada tahun 1937, madrasah ‘Arabiyah School kembali berganti nama menjadi Madrasah ‘Arabiyah Listanawiyah, nama ini tidak jauh dari nama yang sebelumnya hanya saja nama School yang ada di belakang nama sekolah tersebut dihilangkan dan diganti dengan kalimat Listanawiyah. Pergantian nama ini dipandang oleh masyarakat sebagai pandangan Abdul Halim yang berkemajuan untuk di masa mendatang. Pada tahun 1942 Abdul Halim sendiri mengalami musibah yang tak disangka, dimana rumah ia hancur terkena banjir. Dari kejadian ini ia sempat dipindahkan sementara untuk tinggal di sekolah ‘Arabiyah, dan beberapa buku dan tulisan-tulisan ia basah dan berlumpur terkena air. Di saat penjemuran buku-bukunya yang terkena lumpur dan air datanglah seorang pangeran Langkat Hulu yang ada di kota Binjai, yaitu Teuku , dan berkata kepada ia, “tetaplah bersabar menghadapi takdir, semoga Allah membals kebaikan-kebaikan kalian”.15 Perjalanan Abdul Halim dalam hal mengajar dapat kita lihat di mulai pada tahun 1920 di kota Binjai. tercatat di kota Binjai inilah ia paling lama mengajar, yaitu sampai pada tahun 1947. Setelah tahun ini ia sudah mulai berpindah-pindah mengajar dikarenakan dari perjuangan kemerdekaan pada saat itu. Tercatat di tahun 1947 sampai dengan 1948 ia mengajar di kota Raja, di tahun 1948 hingga 1950 ia mengajar di Langsa, dan ia kembali lagi untuk mengajar di kota Binjai serta daerah Sumatera Utara dan sekitarnya pada tahun 1950 sampai dengan wafatnya yaitu tahun 1969.16 Diantara orang-orang yang pernah menjadi murid Abdul Halim adalah : 1. H.Zainal Arifin Abbas, sebagai petuah di Partai Persatuan Pembangunan di wilayah Sumatera Utara 2. Amru Daulay, SH. salah satu anak Abdul Halim, sekaligus mantan Dekan Fakultas Hukum USU, serta mantan bupati Mandailing Natal selama dua periode. 3. H.Ahmaddin, salah satu dosen fakultas syari’ah di IAIN Sumatera Utara. 4. A. Karim YS. Menjadi kepala bagian koordinasi serta pengawasan perwaklan departemen agama provinsi Sumatera Utara. 5. Sufyan Helmy Daulay, ini adalah anak kandung dari Abdul Halim 6. Izuddin Qadi, sebagai kepala penerangan mobil jawatan Provin Sumatera Utara di Medan. 7. Dul Helmy, anak kandung dan juga menjabat sebagai mantan kepala kantor telekomunikasi di Binjai 8. M.Isa Dadi, BA. guru di bidang agama SMA negeri Binjai. 9. Zainal Abidin Nurdin, mantan anggota DPR tingkat II Langkat 10. Bakhtiar Hasan, Insp, mantan penerangan agama Kabupaten Langkat

15Zaini Dahlan, Abdul Halim Hasan : Akar Tradisi Intelektual, Jurnal of Contemporary Islam and Islam Society, h. 135 16Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, Sejarah Ulama Sumatera Utara, h. 231 45

11. A. Malik Ahmad, kepala dinas sosial tingkat II langkat Binjai 12. H.Halimah binti H.M Noor (alm), guru taman pendidikan agama Islam di Kuala Lumpur. Perjalanan Abdul Halim dalam meberikan ilmu, tidak hanya di dalam negeri saja, tetapi juga lintas negara, terbukti ia juga memiliki murid yang berada di Malaysia. walaupun dalam hal ini Abdul Halim dalam mengajarkan muridnya hanya bisa melalui via surat-meyurat, hal ini karena pada saat itu tidak memungkinkan bagi Abdul Halim harus pulang-pergi Malaysia untuk memberikan ilmu, diantaranya adalah: 1. M. ahmad Syah bin H. Abd Jabbar, seorang Qadhi di Johor 2. M. Bahauddin, seorang ahli nahwu di daeran Kelantan. Abdul halim dikenal sebagai guru yang memiliki kepribadian yang baik, yang memiliki jiwa yang sabar dalam memberikan ilmu kepada murid-muridnya, dan ia juga merupakan seseorang yang tegas dalam melarang murid-muridnya melakukan sesuatu yang tidak ada manfaat bagi diri. Sebagai, contoh ia sangat melarang murid- muridnya agar tidak merokok dan memberikan pemisah (hijab) antara pria dan wanita ketika ia sedang memberikan ilmu. Dalam metode belajarnya ia juga mengajarkan kepada murid-muridnya untuk bisa mengemukakan pendapat, agar bisa saling tukar pikiran antara satu dengan lainnya.17 hal ini dilakukan untuk melatih keberanian murid-muridnya dalam memberikan pendapat. Keberadaan Abdul Halim sangatlah penting dalam mengembangkan pendidikan di Sumatera Utara khususnya di Binjai. hal ini bisa kita lihat dari keaktifannya dalam hal mengajar di beberapa sekolah. Disamping keaktifannya dalam dunia pendidikan, ia juga memiliki sejumlah jabatan penting, baik itu di parlemen, organisasi-organisasi Islam maupun yang lainnya, beberapa jabatan yang didudukinya selama masa penajajahan belanda, yaitu, di tahun 1927 ia mendapat kepercayaan sebagai anggota pemimpin Ikhwanus Shafa, yaitu perkumpulan para intelektual atau ulama di Medan, atau sekarang disebut dengan ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), di tahun yang sama ia juga menjabat sebagai ketua umum al-Hilal, yaitu sebuah organisasi pemuda yang berada di kampong Limau Sundai, masih d tahun yang sama, secara bersamaan ia juga menjabat sebagai mudir (pimpinan), sekaligus penasihat di madrasah ‘Arabiah School Binjai, selanjutnya di tahun 1936 ia merupakan bagian dari anggota pengurus pembangunan perguruan taman siswa di Binjai, tahun 1937 ia menjadi salah satu anggota majelis syar’iy di kota Binjai, dan di tahun 1938 ia dipercaya sebagai penasehat di sebuah organisasi Islam di Binjai yaitu al-Jami’atul Al-Washliyah. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang ia memiliki tiga kedudukan, diantaranya pada tahun 1934 menjadi anggota pengurus Badan Oentek Membantoe Pertahanan Asia (BOMPA) di Binjai, menjadi anggota majelis tarjih Muhammadiyah di tahun 1943 di Binjai, dan di tahun yang sama juga yaitu tahun 1943 ia menjabat sebagai ketua umum Majelis Islam Tinggi (MIT) di Binjai.18

17Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka,, h. 258. 18Dewan Harian Cabang Angkatan 45, Catatan Pelaku Sejarah, h. 3 46

Abdul Halim juga memiliki sejumlah jabatan penting menjelang kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, diantaranya adalah, menjadi ketua sidang Majelis Islam Tinggi di Binjai, dimana ketika itu ia menerima dua buah telegram dari Djamaluddin Adinegoro dan Buya A.R Sutan Mansyur. Kedua telegram ini berisikan bahwa Indonesia sudah dinyatakan merdeka, yang telah diproklamirkan oleh Soekarno dan Bung Hatta. Telegram ini diterima tepat pada jam 11.00 WIB di kota Binjai. Dengan adanya dua buah telegram ini, maka pada saat itu juga bendera merah putih dikibarkan untuk pertama kalinya di kota Binjai, dan untuk mendukung kemerdekaan ini maka dibentuklah pemerintahan Republik Indonesia di kota Binjai. Mr. Teuku Muhammad Hasan selaku gubernur Sumatera Utara juga mengintruksikan kepada seluruh masyarakat Sumatera Utara agar membentuk pemerintahan di daerahnya masing-masing, baik itu dari desa, kecamatan, kabupaten serta membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang telah diresmikan oleh gubernur pada tanggal 30 September 1945.19 Disamping itu ia juga menjabat sebagai ketua umum pasukan Hizbullah Sabilillah Mujahidin, ketua persatuan perjuangan Langkat Binjai, ketua makam syuhada (makam pahlawan), sebagai anggota dewan pertahanan Republik Indonesia bagian Sumatera Timur, Siantar, serta kepala jawatan agama kabupaten Langkat/Binjai.20 Pada masa perang kemerdekaan yang pertama dan kedua, ia juga medapatkan peran atau jabatan penting pada saat itu, diantaranya adalah, menjadi anggota staf gubernur militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, dengan pangkat Letnan Kolonel Titulir, hal ini berdasarkan putusan wakil presiden atau wakil panglima tertinggi yaitu Drs. Muh. Hatta. Ia pernah juga menjabat sebagai anggota DPRD Prov. Aceh di Kuta raja, anggota pimpinan perbekalan RES. V. DIV. X. TNI.KSBO di Langsa (Aceh Timur), menjadi penasehat Local Yoint Comite (LYC), yaitu suatu lembaga yang menjadi perundingan antara pemerintahan Republik Indonesia dengan pihak Belanda. Anggota pengurus panitia penolong pemerintah Pusat Yogyakarta, di langsa pada tahun 1949 sampai dengan 1950, ia juga pernah menjadi bagian dari keanggotaan pengurus pembangunan Sekolah Menengah Islam Modern di Langsa. Menjadi ketua Zending Islam Kabupaten Langkat dan Aceh Timur, dan selanjutnya ia juga pernah menjabat sebagai pimpinan redaksi penerbitan majalah bulanan Islam yaitu “Menara”, masa jabatan ini ia dapat hanya satu tahun saja, yaitu pada tahun 1949 sampai dengan 1950.21 Adapun jabatan yang Abdul Halim miliki pada masa negara kesatuan atau setelah masa perang kemerdekaan, adalah, ia pernah menjadi kepala jawatan agama Kabupaten Langkat/Binjai, hingga pensiun. Ia juga menjadi salah satu pencetus pertama kali dalam mengadakan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) se-Sumatera Timur pada tanggal 17/18 Januari 1951, yang diselenggarakan di Masjid Raya Binjai dan ia juga sebagai pencutus dalam mengadakan malam perayaan lailatul mina di Binjai. Salah satu anggota pengurus dalam pembangunan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU Medan), sekaligus juga menjadi guru besar di kampus tersebut. Anggota

19Dewan Harian Cabang Angkatan 45, Catatan Pelaku Sejarah, h. 4 20Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, Sejarah Ulama Sumatera Utara, h. 233 21Dewan Harian Cabang Angkatan 45, Catatan Pelaku Sejarah, h. 5 47

BKS-Ulama militer Sumatera Utara di Medan, juga pernah menjadi anggota pembangunan masjid agung Medan, dan terakhir ia juga pernah menjadi penasihat kesatuan aksi pengganyangan pengkhianatan G.30.S/PKI Kabupaten Langkat dan Kotamadya Binjai.22

22Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, Sejarah Ulama Sumatera Utara, h. 235 48

BAB IV METODOLOGI DAN APLIKASI PENAFSIRAN TAFSIR AL-AHKAM SYEKH ABDUL HALIM HASAN BINJAI

Bab IV ini akan mendeskripsikan tentang identitas Tafsir Ahkam Syekh H. Abdul Halim Hasan. Bagian ini menjelaskan terkait proses penulisan Tafsir Ahkam yang ditulis dalam proses situasi yang tidak normal, yaitu situasi masa pergerakan. Dari gambaran proses penulisan memperlihatkan bahwa Abdul Halim terlihat memiliki berbagai kesibukan yang tidak hanya melibatkan diri dalam tradisi keulamaan, tetapi juga terlibat akitif sebagai organisasi dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan.Tafsir Al-Ahkam ditulis dalam situasi dikemukan untuk memperlihatkan situasi yang membentuk identitas tafsir tersebut. Dalam pembahasan lain dalam bagian ini akan dijelaskan juga terkait identitas Tafsir Ahkam dengan melihat pada aspek metode, bentuk dan sumber untuk memposisikan Tafsir Ahkam ini dalam konteks penafsiran ulama Indonesia. Selain itu, penulis mengekplorasi terkait aplikasi penafsiran Abdul Halim Hasan Binjai seputar ayat-ayat hukum dalam Tafsir al-Ahkam. Bahasan pada bab ini akan difokuskan pada kajian terhadap bagaimana cara kerja tafsir Abdul Halim dalam menjelaskan ayat-ayat hukum. Penulis juga membandingkan penafsiran Abdul Halim dengan penafsiran mufasir Indonesia lain yang semasa dengannya. Agar tidak terjadi pembahasan yang meluas.Pada bab ini hanya akan difokuskan pada penafsiran Abdul Halim seputar ayat ibadah dan mu’amalah. Tidak semua ayat yang terkait dengan ibadah dan mu’amalah yang tertuang dalam Tafsir al-Ahkam akan dibahas, mengingat keterbatasan pada ruang dan mengambil fokus pembahasan, tetapi beberapa penafsiran dipilih telah mewakili dari keseluruhan ayat terkait tentang masalah hukum sudah dapat menjelaskan penafsiran Abdul Halim.

A. Gambaran Umum Tafsir Ahkam ini adalah salah satu karya Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai dari sekian karya-karya yang dimilikinya. Sebelumnya ia juga pernah menulis kitab tafsir bersama kedua temannya yang disebut dengan “Tafsir Ulama Tiga Serangkai”.1 Kitab Tafsir Ahkam ini hanya terdiri dari satu jilid saja, dan hanya membahas seputar ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum. Jumlah ayat yang ditafsirkan dalam Kitab Ahkam ini hanya sekitar 250 ayat saja. Walaupun sebenarmya jumlah ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum dalam al-Qur’an lebih dari ayat disebutkan. Menurut Abdul Halim di dalam kata pengantarnya bahwa, “al-Qur’an terdiri dari 6000 ayat, baik itu ayat-ayat yang berkenaan dengan ibadah, iman dan juga mu’amalat. Dari sekian ribu ayat, hanya ada beberapa ratusan ayat saja yang berkaitan dengan hukum, sebagaimana Imam al-Ghazali berpendapat bahwa dalam al-Qur’an ayat yang

1Tafsir ulama tiga serangkai sebutan yang populer generasi 70-an dan 80-an di kalangan masyarakat Sumatera Utara untuk menyebut “Tafsir al-Qur’anul Karim” yang ditulis tiga orang berkawan, yaitu Abdul Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas dan Abdurrahim Haitami. M. Jamil dan Ja’far, “Pemimpin Perempuan dan Non-Muslim Perspektif Ulama Tiga Serangkai”, Teosofi, 8 (1), 2018, h. 149. 49 berbicara tentang hukum hanya ada sekitar 500 ayat saja, sedangkan yang lainnya berpendapat ada sekitar 200 ayat”.2 Catatan sejarah mengatakan bahwa, kitab tafsir ini ditulis pada tahun 1961, setelah penerbitan kitab “Tafsir al-Qur’anul Karim” yang ditulis bersama dua temannya.3 Dalam kata pengantarnya Abdul Halim mengatakan bahwa tujuan ia menulis kitab Tafsir Ahkam adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan umat Islam terkait pembahasan tentang hukum Islam, terutama bagi para penuntut ilmu yang telah menduduki tingkat Tsanawiyah atau Qismul Ali, dan khususnya bagi kaum muslimin yang ingin mengetahui isi pesan ayat-ayat al-Qur’an terkait dengan hukum Islam. Hal ini juga dibuat agar kitab tafsir bisa menjadi bagian pendorong bagi para pelajar untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi lagi dalam ilmu hukum Islam.4 Kitab Tafsir Ahkam terbit dalam bentuk buku pada tahun 2006 oleh penerbit Prenada Media, yang mana sebelumnya kitab tersebut ditemukan dalam bentuk script saja. Tulisan dalam kitab tafsir inipun sebelum diterbitkan dalam bentuk buku masih dalam bentuk ejaan bahasa Indonesia yang belum disempurnakan. Scrip tafsir baru ditemukan ketika seorang dosen Universitas Islam Sumatera Utara asal Medan, yaitu Azhari Akmal Tarigan (selanjutnya disebut dengan Akmal) ketika sedang ingin menulis buku tentang sejarah ulama-ulama di Sumatera Utara.5 Di tengah-tengah mencari data terkait dengan ulama-ulama yang ada di Sumatera Utara, baik itu dari segi perjalanan hidup hingga karya yang dimiliki seorang ulama asal Sumatera Utara, ia menemukan sebuah karya monumental yang dimiliki oleh ulama asal Binjai, yaitu Abdul Halim Hasan, sebuah karya yang tidak biasa, yang dianggap oleh Akmal sebuah karya penafsiran yang modern dan kontekstual pada zaman atau masanya. Atas dasar ini kemudian Akmal mempunyai ide untuk menulis kembali dan mengedit kitab Tafsir al-Ahkam ke dalam bentuk buku. Untuk menulis kembali dan mengedit kitab tafsir ini ia tidak bekerja sendirian saja, tetapi dampingi oleh temannya, yaitu Agus Khair, yang mana ia orang yang memegang script Tafsir al- Ahkam karya Abdul Halim tersebut. Menurut Akmal, jika penafsiran tersebut tidak diselamatkan dengan menulis ulang ke dalam bentuk buku, maka umat Islam Indonesia akan mengalami kerugian intelektual, khususnya umat Islam Sumatera Utara yang akan kehilangan pijakan sejarah serta kearifan yang menyertainya.6 Untuk langkah awal dalam penerbitan buku Tafsir al-Ahkam, maka Akmal berusaha sekaligus beranikan diri untuk berkomunikasi dengan salah satu anak dari Abdul Halim sebagai pew\aris, yaitu Amru Daulay, yang saat itu tercatat sebagai Bupati Kota Mandailing Natal, maka atas izin dari anak Abdul Halim penulisan ulang Tafsir al-Ahkam dimulai.

2Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta : Kencana, 2006), h. iii. 3Abdul Qadir Umar al-Hamidy dan Muhammad Mustaqim Mohd Zarif, “Abdul Halim Hasan and His Contributions in Quranic Exegesis in the Malay World”, International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 7 (8), 2017, h. 470. 4Abdul Halim, Tafsir al-Ahkam, h. ii. 5Wawancara dengan Azhari Akmal Tarigan di Medan, 16 Februari 2019 6Wawancara dengan Azhari Akmal Tarigan di Medan, 16 Februari 2019 50

Salah satu murid Abdul Halim yaitu Lahmuddin Nasution telah menashihkan Kitab Tafsir al-Ahkam. Ia adalah salah satu dosen di IAIN Sumatera Utara. Lahmuddin berpendapat bahwa seorang Abdul Halim adalah seorang guru yang menguasai khazanah keilmuan klasik, khususnya dalam bidang tafsir dan fikih. Dalam Kitab al-Ahkamnya Abdul Halim begitu sangat hati-hati sekali mengutip, baik itu perkataan sahabat maupun tabi’in dalam menjelaskan ayat-ayat yang ditafsirkannya. Lanjut Lahmuddin, bahwa dalam kitab tafsir ini, ketika Abdul Halim menjelaskan suatu hukum, maka ia berusaha untuk menguraikan atau mendeskripsikan secara jelas pendapat dari berbagai mazhab, sehingga ia tidak terlalu menonjolkan pada satu mazhab saja, inilah kemudia ia dikatakan sebagai mufasir yang moderat.7 Dalam kitab Tafsir al-Ahkam dimulai dengan beberapa kata sambutan dari ulama maupun kalangan intelektual di Sumatera Utara. Di antaranya Mahmud Aziz Siregar, ia mengatakan bahwa sebagai dewan pimpinan MUI Provinsi Sumatera Utara sangat bersyukur atas terbitnya kitab Tafsir al-Ahkam, tidak diragukan lagi tentang keabsahan kitab ini, dengan paparan penafsiran yang begitu mudah dipahamin.8 Begitu juga dengan mantan rektor IAIN Sumatera Utara M. Yasir Nasution mengatakan bahwa, kitab ini menjadi sangat penting untuk menjadi rujukan bagi umat Islam dalam memahami pesan-pesan Allah yang disampaikan melalui al- Qur’an. Terkhususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum karena kitab ini memfokuskan pembahasannya pada aspek hukum. Kesimpulan dalam penafsiran kitab ini tidak mengambang begitu saja, melainkan memberikan wawasan baru dalam memahami pesan al-Qur’an dengan menghubungkan antara ayat satu dengan lainnya, hal ini dilakukan agar umat memiliki pandangan yang luas dan tidak kaku terhadap ayat al-Qur’an, dan dalam penyampaiannya ia memiliki penyampaian yang sederhana sehingga mudah untuk dipahami.9

B. Metodologi Penafsiran 1. Metode Sebelum penulis masuk pada penjelasan tentang metode penafsiran yang dipakai Abdul Halim dalam Tafsir al-Ahkam, ada baik penulis menerangkan beberapa metode penafsiran al-Qur’an yang berkembang. Kata metode diambil dari bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti suatu cara atau jalan, dan dalam bahasa Inggris disebut dengan method, sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan manhaj atau tariqah. Dalam bahasa Indonesia metode berarti sebuah cara atau sistem yang digunakan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan agar memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan. Dalam hubungannya dengan ilmu tafsir, bahwa metode tidak dapat dipisahkan dari penafsiran al-Qur’an. Dalam penafsiran untuk menjelaskan maksud pesan dari al-Qur’an atau kalam Allah yang benar dibutuhkannya sebuah metode

7Lahmuddin Nasution, “Sambutan”, Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. vii. 8Mahmud Aziz Siregar, “Sambutan”, Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. ix. 9M. Yasir Nasution, “Sambutan”, Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. xi. 51 yang telah diatur atau disepakati oleh ulama untuk diikuti ketika menafsirkan al- Qur’an. Maka dari itu Nashruddin Baidan membedakan antara metode dan metodologi tafsir, metode tafsir adalah sebuah kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an, atau sebuah pedoman dan tatacara yang digunakan seorang mufassir untuk mendapatkan maksud dari ayat-ayat al-Qur’an yang ingin ditafsirkan. Sedangkan metodologi tafsir adalah ilmu yang mempelajari metode tafsir al-Qur’an.10 Menurut ‘Abd al-Hayy al-Farmawi metode penafsiran dalam bukunya al-Bidayah al-Tafsir al-Mawd{u>‘i>, bahwa ada empat metode dalam menafsirkan al-Qur’an, di antaranya adalah tah{lili, ijma>li, muqarin dan mawd{u‘i.11Tah{lili, adalah metode penafsiran yang menjelaskan pesan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara menguraikan maksud ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya, baik itu dari segi kosa kata, makna kalimat, maksud dari setiap ungkapan, hubungan antar ayat (munasabah ayat), sampai sisi-sisi hubungan antar ayat yang dibantu dengan asbabu al-nuzul. Dalam penafsirannya biasa metode ini menggunakan riwayat, baik itu yang berasal dari Nabi, sahabat, tabi’in, ungkapan Arab pra-Islam maupun kisah-kisah israilliyat. Metode ini dilakukan sesuai dengan susunan mushaf, yaitu ayat per-ayat dan surat per-surat.12 Metode ini bisa dikatakan sebagai salah satu metode yang paling tua. Metode tah{lili ini oleh Muhammad Baqir al-S{adr disebut dengan sebutan lain yaitu tajzi’i, yaitu suatu metode yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara menguraikan makna yang terkandung di dalamnya dari berbagai sisi.13 Sedangkan menurut Quraish Shihab mengatakan yang dimaksud dengan metode ini adalah suatu cara dalam mengungkapkan isi kandungan ayat al-Qur’an yang digunakan oleh para penafsir dengan menguraikan yang berawal dari kosa kota (mufradat), asbab al-nuzul hingga munasabah ayat dan sebagainya.14 Sedangkan metode tafsir al-muqaran atau metode tafsir komparasi adalah suatu metode penafsiran yang menjelaskan isi kandungan ayat al-Qur’an dengan membandingkan pendapat-pendapat dari berbagai ulama terhadap ayat al-Qur’an, baik itu ulama salaf maupun khalaf. Atau dengan membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis, ayat dengan ayat yang memiliki kesamaan redaksi dalam satu masalah tertentu .15 Biasanya penafsiran yang menggunakan dengan metode ini akan kelihatan kecenderungan mereka terhadap satu golongan tertentu atau mazhab tertentu. Selain kecenderungannya terhadap golongan, penafsiran dengan metode tersebut juga akan diwarnai dengan kecenderungan ilmu yang dimiliki oleh seorang mufassir itu sendiri, seperti bahasa, fikih, filsafat, tasawuuf dan kelimuan yang lainnya.

10Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), Cet II, h. 2 11‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Tafsi>r Mawd{u>‘i>, h. 23 12‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Tafsi>r Mawd{u>‘i>>, h. 24 13Muhammad Ba>qir al-Sadr, al-Tafsi>r al-Mawdu>’i wa al-Tafsi>r al-Tajzi’i> fi al-Qur’a>n al-Kari>m, (Beirut : Da>r al-Ta’a>ruf li al-Matbu>’a>t, 1980), h. 10 14M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan, 1425 H/2004 M), H. 26 15Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Tafsi>r Mawd{u>‘i>>, h. 45 52

Metode tafsir ijmali (global), yang dimaksud dengan metode ini adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara singkat, dengan menggunakan bahasa yang popular, mudah dipahami serta dimengerti oleh semua orang, baik dari kalangan intelektual hingga masyarakat awam. Sistematika yang diterapkan dalam metode ini sama seperti metode tahlili, yaitu menafsirkan sesuai dengan runtutan mushaf al- Qur’an, yaitu dari surat per surat dan ayat per ayat. Hal ini dilakukan agar tampak antara ayat dengan ayat lain atau surat ke surat yang lain saling memiliki keterkaitan.16 Penyajian makna dengan metode inipun tidak jauh dari gaya bahasa al- Qur’an, sehingga baik pendengar maupun pembaca seakan-akan masih mendengarkan al-Qur’an itu sendiri. Diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah, tafsir al-Qur’anul karim karya Muhammad Fari Wajdi dan at- Tafsir al-Wasith, yang diterbitkan oleh Majma al-Buhuts al-Islamiyyah. Metode tafsir mawdhu’i adalah, metode yang biasa digunakan oleh para mufassir dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan satu tema yang telah ditetapkan, kemudian dikaji secara mendalam dari berbagai aspek. Biasanya dengan menggunakan metode ini, para mufassir menyajikan pembahasan berdasarkan runtutan kronologis turunnya ayat dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya ayat.17 Contoh yang sering menerapkan metode seperti ini di Indonesia sendiri adalah penafsiran yang dilakukan Qurais Shihab. Metode ini biasanya memudahkan orang dalam pencarian terhadap satu persolan masalah, khususnya tentang hukum. Dalam tafsir Al-Ahkam Abdul Halim secara umum ketika menafsirkan ayat-ayat di awali dengan penafsiran yang mengikuti susunan mushaf Ustmani. Penyajian penafsiran Abdul Halim dalam tafsirnya dimulai dengan surat al-Baqarah dan diakhiri dengan surat al-Kautsar. Dalam tafsirnya dia hanya mengambil ayat-ayat memiliki unsur hukumnya. Selanjutnya ketika dia menafsirkan sebuah ayat, disebagian penafsirannya dia menampilkan makna ayat dari segi bahasa. Hal ini dapat dilihat ketika dia membahas terkait dengan masa idah perempuan, dalam surat al- Baqarah ayat 228, dijelaskan bahwa kata al muthallaqat dalam ayat ini yaitu perempuan yang dicerai-ditalak, sedangkan makna quru’ dalam ayat tersebut jamak dari qar yang menurut asli kata berarti waktu.18 Selain penyajian secara bahasa, Abdul Halim disebagian penafsirannya juga memberikan keterangan berdasarkan sebab turun ayat al-Qur’an tersebut (sabab an nuzul). Hal ini dibuktikan ketika dia menafsirkan ayat yang berkenaan mengangkat orang kafir sebagai wali dalam surat Ali Imran ayat 28. Dalam tafsirnya dia mengatakan ayat ini turun disebabkan atas kisah Ibn Abu Balta’ah yang terdapat dalam sahihain. Pada saat itu Ibn Abu Balta’ah mengirim seseorang perempuan untuk pergi ke Mekkah dalam misi membongkar rahasia Nabi yang ingin menyerang kota Mekkah.19 Selanjutnya, Abdul Halim juga memberikan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an berdasarkan bunyi qira’at. Hal ini dilakukan ketika dia menafsirkan ayat yang berkenaan dengan hukum fidyah bagi orang yang puasa. Dalam keterangannya dia

16Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Tafsi>r Mawd{u>‘i>>, h. 43 17Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Tafsi>r Mawd{u>‘i>>, h. 81 18Halim Hasan, Tafsir Ahkam, h. 104-106 19Halim Hasan, Tafsir Ahkam, h. 180 53 menyebutkan, ayat ini sesuai dengan qira’at Ibnu Abbas yang membacanya “wallazina yuthawwiqunahu”. Artinya, dan atas mereka yang amat sukar mengerjakan puasa, maka boleh baginya membayar fidiah saja.20 Ketika membahas soal saksi atas utang piutang Abdul Halim juga memberikan keterangan berdasarkan qira’at juga. Seperti, menurut qira’at hamzah aayat ini dibaca “in tahdhill ihdahuma fa tuzakkir”, artinya jika salah seorang di antaranya tersesat atau terlupa, maka diingatkan oleh orang lain. “ Jumhur membaca “an tadhillahuma fa tuzakkir”, artinya, terlupa salah seorang dari padanya maka dia peringatkan”. Sedangkan qira’at Amru, “fa tuzkira”, artinya, menambahi ingatan.21 Jika dilihat dari sistematika penafsiran yang dilakukan oleh Abdul Halim, berdasarkan kerangka metodologi penafsiran Abd al-Hayy al-Farmawi, maka dapat dikatakan bahwa, secara umum penafsiran Abdul Halim tergolong dalam kitab tafsir yang menggunakan metode tah{lili. Hal ini dikarenakan dalam pemaparan tafsirnya ia memunculkan beberapa aspek ketika menafsirkan ayat al-Qur’an tersebut, diantaranya menafsirkan al-Qur’an berdasarkan susunan mushaf ustmani, dari segi umum kosakata ayat, munasabah ayat, sabab an-nuzul (sebab turunnya ayat), menarik suatu hukum, yang kemudian memaparkan aneka pendapat ulama mazhab, dan juga terkadang menarik makna dengan menampilkan qira’at. Sebagaimana definisi yang telah disampaikan metode tah{lili adalah metode penafsiran ayat al- Qur’an dengan meninjau dari segala aspek. Namun disisi lain, tafsir Al-Ahkam Abdul Halim juga dapat dikatakan sebagai tafsir yang menggunakan metode muqarin (perbandingan). Sebab dalam tafsirnya ia menghidangkan beberapa perbedaan pendapat ulama, terkait dengan penafsiran yang memiliki masalah yang sama. Hal ini ia lakukan pada setiap penafsirannya baik itu terkait dengan ayat hukum ibadah, maupun ayat hukum mu’amalah. Sebagaimana definisi yang telah disampaikan diatas, bahwa metode muqarin yaitu mebandingkan ayat dengan ayat, ayat dengan hadist, dan pendapat ulama maupun mufasir dengan persoalan yang sama. Hal ini juga dilakukan oleh mufasir lainnya, seperti az-Zuhaili ketika menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum dalam tafsirnya, ia memberikan beberapa pendapat ulama pada suatu masalah hukum.

2. Sumber Seperti tafsir pada umumnya bahwa, Abdul Halim juga menjadikan ayat-ayat al- Qur’an, sabda Nabi, perkataan ulama dan juga mufasir, sebagai sumber penafsirannya ketika ia menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum. Di samping itu juga ia terkadang memberikan pandangannya terhadap penafsiran ayat-ayat tersebut. Dalam hal maka penulis ingin memaparkan bagaimana Abdul Halim menjadikan ayat al-Qur’an, perkataan Nabi, sahabat dan ulama sebagai sumber dalam penafsirannya. Adapun sumber penafasiran tafsir al-Ahkam Abdul Halim dalam menafsirkan ayat-ayat hukum adalah sebagai berikut;

20Halim Hasan, Tafsir Ahkam, h.36 21Halim Hasan, Tafsir Ahkam, h. 173 54

1. Menggunakan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai penjelasan ayat. Hal ini dapat kita lihat bagaimana Abdul Halim menjelaskan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 178, yaitu terkait dengan hukum kisas,

ِ ۟ ِ ِ ِ ِ ِ ي َٰٓأَي ُّها ٱلَّذين ءامنُوا ُكتب َعلَْي ُكم ٱلْقصاص فى ٱلَْقْت لَى ۖ ٱلْحُّر بِٱلْحِر وٱلْعْبُد بِٱلْعْبد وٱْألُنثَ ى بِٱْألُنثَ ى ۚ فَمن عُفى َ َ َ َ َ َ ٌۢ ُ َ ُ ُ ُّ َ َ َ َ َ ْ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ لَهُۥ م ْن أَخيه َش ْىءٌ فَٱتّبَاعٌ بٱلَْمْعُروف َوأََدآَٰءٌ إلَيْه بإ ْح َسن

Terkait dengan hal ini maka Abdul Halim menjelaskan bahwa makna haid yaitu, mengikuti jejak yang bermula, hal ini sebagaimana Allah berfirman dalam surat al- Qashash ayat 11, ِ ِ ِ ِ ِ َوقَالَ ْت ألُ ْخته قُصّ يه Artinya : “Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan , ikutilah dia .”

Dijelaskan bahwa, qisas itu adalah mengikuti jejak apa yang telah diperbuatnya yang telah berlalu. Misal, jika seseorang itu membunuh orang, maka ia dibunuh pula, dan jika seseorang itu memotong tangannya orang lain, maka dipotonglah juga tangannya, begitu seterusnya.22 Abdul Halim juga menjelaskan siapa yang berhak menjalankan atas kisas ini, berdasarkan surat al-Isra ayat 33 Allah SWT berfirman,

ِ ِ ِِ ِ َومَ ْن قُتلَ مَظْلُومًا ف َقَ ْد َجعَلْنَا ل َوليّه سُلْطَانًا Artinya :”Dan barang siapadibunuh secara zalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan pada ahli warisnya.”

Berdasarkan ayat ini maka, wali berhak atasnya menerima diat atau menjalankan kisas tersebut. Maka dari itu, seseorang tidak dapat di qisas sebab telah membunuh hambanya sendiri, sebab ia merupakan seorang wali dari hambanya, mka dia berhak memaafkan atas kesalahan seseorng yang telah membunuh hambanya itu, dan ia berhak memaafkan kesalahannya sendiri.23 Hal ini juga dilakukan oleh Wahbah az-Zuhaili dalam tafsirnya al-Munir tekait dengan hukum qisas ini, ia mengatakan, dalam hadis dijelaskan bahwa, laki-laki dapat di qisas disebabkan karena membunuh wanita, demikian halnya dengan seseorang yang merdeka, dia dapat diqisas karena membunuh seorang budak, kecuali budaknya sendiri. Selain itu, unsur keadilan merupakan sebuah tuntutan di dalam qisas. Konsekuensinya adalah. Bahwaorang yang banyak tidak dapat dihukum qisas terhadap pembunuhan yang sedikit, seorang tuan (pemiliki budak juga tidak dapat dihukum qisas jika membunuh budaknya sendiri. Namun yang dapat dilakukan adalah meng-qisas terhadap satu pembunuh saja, dan bukan terhadap satu kelompok.

22Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta : kencana, 2006), h. 27 23Abdul Halim, Tafsir Al-Ahkam, h. 28 55

Orang yang membunuh, baik itu kerabat maupun keluarga pembunuh. Namun jika seorang pembunuh tadi mendapatkan pemaafan dari ahli waris atau walinya, dengan mengalihkannya pembayaran denda (diyat), maka hendaknya bagi pewaris ataupun wali memberkan pengampunan dengan cara meminta dengan cara yang baik tanpa melakukan kekerasan. Begitu juga dengan seseorang yang dituntut hendaknya ia membayar diyat segera tanpa menunda-nunda. 24 Ampunan terhadap qisas ini juga berdasarkan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 92, yang berbunyi

ِ ِ َّ ِ ِ ِ َِّ مُ ْؤمنَة َوديَةٌ مُسَل َمةٌ إلَ ى أَ ْهله إال أَ ْن يَصَّ َّدقُوا

Artinya : “Serta membayar denda yang diserahkan kepada keluarganya (terbunuh), kecuali jika keluarga mereka (terbunuh) bersedekah.”

Mengambil sumber penafsiran dari perkataan hadis Nabi juga dilakukan oleh Abdul Halim, dimana ini dilakukan ketika ia membahas terkait dengan makna haid dalam al-Qur’an. Dijelaskan bahwa arti quru’ di dalam surat al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi, َّ ِ ِ ِ َوالْمُطَلقَا ُت ي َت َربَّ ْص َن بأَن ْفُسه َّن ثََالث َةَ ق ُروء ۚ Artinya : “Wanita-wanita yang ditalakُ hendaklah menahan diri (menunggu)َ tiga kali quru.”

Abdul Halim menjelaskan, bahwa kata quru’ jamak dari qar yang artinya waktu, baik itu waktu suci maupun waktu haid. Kata quru’ ini kemudian menurutnya memiliki dua makna yang berbeda, ada yang mengatakan bahwa quru’ berarti haid, hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW,25 دعي الصالة أيام أقرائك Artinya : “Tinggalkanlah shalat di hari engkau quru’ yaitu diwaktu engkau haid.”

Hadis lain juga disebutkan, dimana Nabi Muhammad SAW bersabda, ِ ِ ِ ِ ِ طََال ُق اْألََمة تَطْليَقتَان، َوعَّدت َُها َحيْ َضتَان Artinya : Talak sahaya perempuan (amah) adalah dua kali dan idahnya dua kali haid.”

2. Menjadikan perkataan sahabat dan tabi’in sebagai penafsirannya. Hal ini dapat kita lihat ketika ia menafsirkan ayat terkait dengan riba dalam surat al-Baqarah ayat 275, yang berbunyi, َّ ِ َوأَ َحلَّ اللهُ الْب َيْعَ َو َح َّرمَ ال ّربَا ۚ Artinya : “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

24Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsi>r al-Muni>r fi> Aqi>dati wa Syari>’ati wal Manhaj, (Damaskus : Dar al-Fikr al-Mu’ashirah, 1998), h. 106 25Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 106 56

Abdul Halim memberikan keterangan bahwa riba itu terbagi pada dua macam, yang pertama adalah riba nasi’ah dan yang kedua riba fadhal. Riba nasi’ah seperti jika seseorang berhutang, namun tidak dapat membayar dengan jangka waktu yang telah ditentukan, dan ia membayar lebih besar dari hutangnya atas keterlambatan itu.26 Sedangkan riba fadhal, Abdul Halim mengambil keterangan dari sahabat Nabi yaitu hadis Ubbadah bin Shamit, dia berkata, ِِ ِ ِ َّ ِ َّ َّ ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ إنّي َسمْع ُت َرُسوَل الله َصلى اللهُ عَلَْيه َو َسلَم ي َْن َهى َع ْن ب َْيِع الذَهب بالذَهب , َوالْف َّضة بالْف َّضة , َوالْبُ ّر بالْبُ ّر , ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َِّ ِ ِ ِ َوال َّشعير بال َّشعير , َوالتَّْمر بالتَّْمر , َوالْمْل ِح بالْمْل ِح إال َسَواءً ب َس َواء َعْي نًا بعَْي ن فََم ْن َزاَد , أَو اْزَداَد فَ َقْد أَْربَى Artinya : “Bahwasannya aku telah mendengarkan Rasulullah SAW, melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, tamar dengan tamar, gandum dengan gandum, syair dengan syair, garam dengan garam, kecuali satu rupa dengan satu rupa, dibayar tunai. Maka barang sapa yang menambah atau minta tambah, sesungguhnya dia telah melakukan riba.” Abdul Halim juga menyebutkan pendapat Ibnu Abbas, bahwa ia hanya menghaamkan riba jahiliyah. Namun menurut keterangan bahwa ia telah merujuk fatwanya dan meminta taubat kepada Allah SWT dan mengharamkan riba fadhal. Demkianlah yang diriwayatkan Ibnu Abbas.27 Jika dilihat bahwa penafsiran yang dilakukan Abdul Halim dengan menggunakan perkataan sahabat dan tabi’in, ini juga dilakukan at-Thabari dalam tafsirnya, bahwa ia mengatakan riba’ adalah sesuatu yang bertambah atau berkembang, misalnya jika seseorang itu memberikan tambahan atas hutang orang yang dia pinjamkan, dengan syarat jika penghutang tidak dapat membayar pada waktu yang telah ditentukan, maka pemberi hutang memberikan tambahan atas hutang tersebut, sebagai pengganti dari penangguhan pembayarannya, inilah yang dikatakan riba’.28 Hal ini seperti apa yang telah dikatakan Muhammad bin ‘Amr telah menyampaikan kepada kami Abu ‘Asim dari Isa dari Ibn Abi Najih, dari Mujahid mengatakan, ِ ِ َِّ َّ ِ ِِ ِ ِ قَاَل في الّربَا الذي ن ََهى اللهُ َعنْهُ: " َكانُوا في الْ َجاهليَّة يَ ُكوُن للَّرُجِل َعلَى الَّرُجِل الَّديْ ُن، فَ يَ ُقوُل: لَ َك َكَذا َوَكَذا ِ ِ ِ َوت َُؤّخُر عَني فَ يُ َؤّخُر عَْنه ُ " Artinya : “Bahwa praktek riba yang dilarang oleh Allah adalah mereka di masa Jahiliyah, digambarkan misalnya, seseorang memiliki hutang kepada orang lain, kemudian si peminjam mengatakan kepada pemilik harta, akan aku berikan tambahan harta itu, dengan syarat engkau mau menambah masa tangguh tagihan hutang kepada ku.” Terkait dengan hadis diatas maka at-Thabari mengatakan, jika hal di atas terjadi maka terjadilah riba diantara transaksi mereka. Selain itu juga dari perkataan sahabat,

26Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 163 27Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 164 28Abu Ja’far at-Thabari, Tasir at-Thabari : Jami’ul Bayan an Ta’wil al-Qur’an, (tt : Dar Hijr, 2001), h. 38 57

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َحَّد ثَني الُْمثَ نَّى، قَاَل: ثنا أَبُو ُحَذيْ َفةَ، قَاَل: ثنا شبْ ٌل، َع ِن ابْ ِن أَبي نَجي ح، َع ْن ُم َجاهد، مثْ لَهُ َحَّدث َني ب ْشٌر، ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ قَاَل: ثنا يَزيُد، قَاَل: ثنا َسعيٌد، عَ ْن قَ تَاَدةَ »أََّن ربَا الْ َجاهليَّة، يَبي ُع الَّرُج ُل الْبَ ْي َع إل َى أَ َج ل ُم َسًّمى، فَإذَا َحلَّ ِ ِ ِِ اْألَ َج ُل َولَْم يَ ُك ْن عْنَد َصاحبه قَ َضاءٌ َزاَدهُ َوأَ َّخَر َعنْه ُ Artinya : “Telah mengatakan kepada ku Mutsanna, mengatakan kepada kami Abu Hudzaifah, mengatakan kepada kami Syibl, mengatakan kepada kami Yazid Said Qatadah, riba Jahiliyah adalah, seorang penjual menjual barangnya kepada orang lain (pembeli) dengan cara tidak tunai (pembayaran kredit) dengan masa jatuh tempo yang disepakati, ketika jatuh tempo, pembeli tidak bisa membayar kewajibannya, maka pembeli mengatakan kepada penjual, “saya tambah harga pokok barangnya, namun saya tidak membayarnya sekarang tetapi nanti.” At-Thabari mengatakan, jika seseorang melakukan transaksi sebagaimana hadis di atas, maka kelak dia akan dibangunkan nanti diakhiran seperti orang gila.29 Disamping itu Abdul Halim juga menggunakan perkataan tabi’in dalam penjelasannya, seperti terkait dengan persaksian dalam hutang-piutang, bahwa Abu Musa Al-‘Asy’ari, Ibnu Umar, Dhahhaq, Atha’, Said bin Musaiyyab, Jabir bin Zaid, Mujahid, dan Dawud Zahiri mengatakan bahwa persaksian itu hukumnya adalah wajib. Sedangkan menurut qira’at Hamzah bahwa ayat ini dibaca in tadhill ihdahuma fa tuzakkir, artinya, jika salah seseorang di antaranya tersesat atau terlupa, maka diingatkan dengan orang lainnya (saksi), dan qira’at Ibnu Amru mengatakan fa tuzkira, yang artinya menambahi ingatan.30

3. Menjadikan perkataan (pendapat) ulama dan mufasir lain sebagai penjelasan tafsir Al-Ahkamnya. Seperti ketika Abdul Halim menafsirkan ayat terkait dengan hukum memakan bangkai dalam surat al-Baqarah ayat 173, yang berbunyi, ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ َّ ِ إنَّ َما َح َّرمَ عَلَيْكُمُ الْ َميْ تَةَ َوال َّدمَ َولَ ْحمَ الْخنْزير َومَا أُهلَّ به لغَيْر الله ۖ Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah.”

Abdul Halim menjelaskan bahwa pada suatu hari Nabi Muhammad SAW pernah mengutus satu pasukan tentara, lalu mereka mendapatkan seekor ikan besar yang mati terdampar di tepi laut. Ikan itu kemudian dimakan mereka bersama-sama, dan hampir setengah bulan barulah ikan itu habis dimakan. Begitu sesampainya mereka di Madinah, mereka melaporkan kejadian ini kepada Rasulullah SAW, dan beliau bersabda, “Apakah ada lagi sisa yang tinggal dari yang telah kamu makan itu ?.” Namun, ada juga sebagian ulama yang tidak sepakat terkait dengan ikan mati yang terapung di atas permukaan air.31 Abu Hanifah sendiri telah mengharamkan hal ini, sebab ia berpegang pada umumnya ayat, dan berdalil kepada sebah hadis Jabir, dia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

29At-Thabari, Tafsir at-Thabari, h.38 30Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 173 31Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 22 58

ما ألقى البحُر، أو َجَزَر عنه ف ُكلُوه، وما ما َت فيه وطََفا، فال تأ ُكلُوه Artinya : “Apa yang dilemparkan oleh laut atau yang dihanyutkan oleh pasang, makanlah olehmu, dan mana yang mati terapung, janganlah kamu makan.”

Abdul Halim juga mengambil keterangan Al-Jashash dalam tafsirnya, Syafi’i dan ulama lainnya, mereka menghalalkan ikan mati yang terapung di air, sebab mereka berpegang pada hadis yang telah disebutkan, dan mereka juga berpendapat, bahwa ibarat umum telah dikhususkan dengan hadis tersebut.32 Mereka juga berpendapat yang dimaksud dengan bangkai di dalam ayat ini yaitu bangkai binatang daratan, bukan binatang lautan, hal ini mereka dasarakan pada firman Allah ta’ala, dalam surat al-Maidah ayat 96, yang berbunyi, ِ أُحلَّ لَكُ ْم صَيْ ُد الْبَ ْحرِ َوطَعَامُه ُ Artinya : “Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut.” Apa yang dilakukan oleh Abdul Halim juga dilakukan oleh ulama lainnya, yaitu imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya al-Ja>mi li Ahka>m al-Qur’a>n, terkait dengan hal ini dia mengatakan bahwa, mayoritas ulama memperbolehkan memakan hewan laut, baik itu dalam keadaan mati maupun hidup, ini adalah mazhab Maliki. Namun mereka tidak banyak berkomentar terkait dengan anjing laut, ditanyakan dalam fiqih mazhab Maliki, maka tokoh mereka yakni Ibn Qasim al-‘Itqi (w. 192 H), menjawab, “aku berhati-hati dengan anjing, namun menurut ku itu (anjing laut) tidak termasuk haram.”33 Selanjutnya, Al-Qurthubi mengambil penjelasan juga dari Ibn ‘Arabi (tokoh tafsir mazhab Hanafi) yang mengatakan bahwa, ulama berbeda pendapatterkait dengan men-takhsis al-Qur’an dengan hadis, walaupun mereka berbeda pendapat, namun mereka sepakat bahwa al-Qur’an tidak boleh di-takhsis dengan dalil hadis yang dho’if (lemah). Terkadang ayat ِ di-takhsis-kan dengan hadis أُح َّل لَ ُكْم َصْيُد الْبَ ْحِر dalam Shahih Muslim yaitu hadis ‘Abdillah bin Aufa mengatakan, ِ َِّ َّ َّ ِ َّ َغَزْونَا َم َع َرُسول الله َصلى اللهُ َعلَيْه َو َسلَم َسْب َع َغَزَوات ُكنَّا نَأْ ُكلُ الْ َجَراَد َمَعه ُ Artinya : Kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukan peperangan sebanyak tujuh atau enam kali, dan setiap itu kami bersama beliau (nabi) makan belalang” Makna dzohir hadis diatas yaitu, Nabi memakan belalang yang mati dengan cara dimatikan (diberi obat) atau belalang mati secara alami. Sedangkan sebagian besar ulama bermazhab Maliki melarang memakan belalang mati secara alami, sebab binatang itu termasuk binatang darat buruan, dan jika matinya dibunuh maka belalang tadi menjadi halal, sebagaimana hal nya binatang rusa.34

32Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 23 33Abu Bakr Al-Anshari Al-Qurthubi, Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’a>n, (Kairo : Dar al-Kitab Al-Mishriyah, 1964), Jilid-2, h. 217 34 Al-Qurthubi, Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’a>n, h. 217 59

3. Bentuk dan Corak Penafsiran Ada beberapa perbedaan pandangan antara ulama terkait dengan bentuk dan corak dalam penafsiran, dalam persoalan ‘Ulu>m al-Tafsi>r Imam al-Zarkasyi> mengatakan bahwa ada dua bentuk dalam penafsiran al-Qur,an, yaitu, naql (al- ma’tsur), menafsirkan berdasarkan riwayat-riwayat nabi, sahabat maupun tabi’in dan aql (ghayr al-ma’tsur), menafsirkan berdasarkan hasil dari ijtihad seorang mufassir itu sendiri.35 Hal yang sama juga disampaikan oleh Nashruddin Baidan, bahwa ia membaginya kepada tiga pokok pembahasan, yaitu bentuk, corak, dan metode. Menurutnya ada empat metode dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu tah{lili, ijma>li, muqarin dan mawd{u>‘i>. Untuk corak tafsir ada ishari / sufi, fiqhi, falsafi, ilmi, adab al- i’jima’i. Sedangkan untuk bentuk tafsir terbagi dua yaitu, al-tafsi>r bi al-ma’thur (riwayat) dan al-tafsi>r bi al-ray’ (pemikiran).36 Sedangkan Quraish Shihab sendiri mengatakan bahwa tafsir bi al-ma’thur termasuk bagian dari corak penafsiran bukan bentuk atau metode. Hal ini dapat kita lihat dalam sub tulisannya yang membahas corak ma’thur (riwayat).37 Menurut ‘Ali> al-S{abuni> dalam karyanya al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, ia mengatakan bahwa ragam bentuk tafsir dibedakan mejadi tiga bagian diantaranya adalah, al-tafsir bi al-riwayah atau disebut dengan al-tafsi>r bi al-ma’thur, al-tafsi>r al- dirayah atau disebut dengan al-tafsi>r al-ra’yu, dan al-tafsi>r bi al-isharah atau disebut dengan al-tafsi>r al-isyari.38 Berbeda dengan ‘Abd Hayy al-Farmawi> dalam bukunya al-Tafsi>r al-Mawd{u>‘i> bahwa tafsi>r bi al-ma’thur dan tafsir bi al-ray’ merupakan bagian dari corak penafsiran, di mana kedua alat ini dijadikan sebagai alat operasional penafsiran ketika menggunakan metode tah{lili. Ia tidak memasukkan sebagai sumber ataupun bentuk tafsir. Berikut penjelasan terkait dengan bentuk atau sumber penafsiran ; 1. Tafsir bi al-Ma’thur Tafsir bi al-Ma’thur adalah suatu penafsiran yang menjelaskan isi kandungan ayat al-Qur’an melalui penjelasan dari Nabi Muhammad Saw yang kemudian disampaikan ke sahabat, kemudian penjelasan dari sahabat berdasarkan ijtihadnya dan juga penjelasan dari tabi’in berdasarkan ijtihadnya.39 Husein al-Dhahabi sependapat dengan Manna‘ Khalil al-Qattan dalam mendefinisikan tafsir bi al ma’stur adalah penafsiran atau penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan mengambil penjelasan dari al-Qur’an itu sendiri (tafsir al-Qur’an bil al-Qur’an), kemudian penjelasan dari Nabi, sahabat maupun tabi’in.40 Berbeda dengan apa yang

35Muhammad Husein al-Dhahabi, al-Mufassiru>n, h. 96 36Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, h. 9 37M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan, 2004), h. 83 38Muhammad Ali Shabuni, at-Tibya>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Damsyik : Maktabah al- Ghazali, 1981), h.67 39Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Tafsi>r Mawd{u>‘i>>, h. 11 40Muhammad Husein ad-dhahabi, al-Mufassiru>n, h. 152 60 disampaikan al-Zarqani dalam definisinya tentang tafsir bil al-ma’stur bahwa ia tidak memasukkan penjelasan tabi’in dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.41 2. Tafsir bi al-Ra’yi Tafsir bi al-Ra’yi adalah suatu penafsiran yang menjelaskan isi kandungan al- Qur’an berdasarkan dari hasil ijtihad seorang mufassir itu sendiri. Ijtihad seorang mufassir juga dibantu dengan beberapa sumber yang berasal dari syi’ir Jahiliyah, asbab an-nuzul, nasikh-mansukh dan lainnya. Disamping itu kemunculan corak penafsiran ini disebabkan semakin berkembangnya ilmu-ilmu pengetahuan Islam yang diwarnai dengan ragam disiplin ilmu, sehingga karya tafsir seorang mufasir akhirnya diwarnai oleh bidang ilmu yang dikuasainya. Seperti ada yang menekankan pada bahasanya, balaghahnya, hukum syara’nya maupun bidang ilmu lainnya.42 Tafsir bi al-Ra’yi ini juga terbagi menjadi dua bagian, ada yang dapat diterima (maqbul) dan ada juga yang tidak dapat diterima (mardud). Penafsiran seorang mufasir dapat diterima, satu, jika ia tidak memaksakan kehendak sendiri untuk mengetahui makna, sedang ia tidak memenuhi syarat untuk itu. Kedua, tidak menafsirkan berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan persepsinya saja. Ketiga, tidak menjadikan satu mazhab yang salah sebagai dasar atas penafsirannya dan yang keempat, menafsirkan al-Qur’an disertai dengan dalil yang kuat.43 Selanjutnya, terkait dengan corak tafsir, corak dalam pengertian kamus bahasa Indonesia berarti gambar atau bunga pada sebuah kain anyaman, tenun dan lain sebagainya. Bisa juga diartikan sebagai sifat, paham, macam dan bentuk tertentu.44 Sedangkan dalam bahasa Arab corak dapat disebut dengan warna (lawn) atau bentuk (syaklun). Namun tidak ada ulama tafsir yang menggunakan kata syaklun ketika menunjukan coraknya, syaklu at-tafsir, melainkan istilah lawn seringkali dipakai ketika menunjukan corak tafsirnya, seperti dalam kitab Tafsir wa al-Mufassiru>n.45 Nashruddin Baidan menambahkan bahwa corak tafsir adalah suatu kecenderungan ide atau pemikiran tertentu seorang mufasir dalam tafsirnya.46. Penjelasan di atas menunjukan corak berarti suatu bidang keilmuan yang yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini dikarenakan setiap mufasir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda, sehingga corak yang dihasilkan juga akan berbeda, sesuai dengan bidang keilmuan yang dikuasai oleh seorang mufasir.47 Adapun ragam corak penafsiran al-Qur’an sebagai berikut ; 1. Tafsir sufi : suatu kecenderungan penafsiran yang menitikberatkan pada kajian makna batin dan bersifat alegoris. 2. Tafsir fiqhiy : suatu penafsiran yang berorientasi pada masalah-masalah hukum. penafsiran ini berkembang ketika Rasulullah Saw wafat, dimana para

41Muhammad Abdul Adhim Az-Zarqani, Mana>hilul Irfa>n fi Ulu>mil Qur’a>n, (Beirut : Darul Kitab al-Arabi, 1995), h. 481 42Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Tafsi>r Mawd{u>‘i>>, h. 13 43Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Tafsi>r Mawd{u>‘i>>, h. 13 44Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), h. 220 45Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Mufassiru>n, Jilid-I, h. 140 46Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h. 388 47Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Tafsi>r Mawd{u>‘i>>, h.11-18 61

sahabat pada saat itu mulai melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah yang belum pernah dihadapi pada masa nabi masih hidup. 3. Tafsir falsafi : suatu penafsiran, dimana dalam penjelasannya menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu filsafat, termasuk di dalamnya tafsir yang bercorak pada kajian ilmu kalam. 4. Tafsir ilmi : suatu penafsiran yang lebih menekankan pada pendekatan- pendekatan ilmu pengetahuan umum. 5. Tafsir al-Adab al-Ijtima’I : suatu penafsiran al-Qur’an yang menekankan pada pembahasan terkait dengan masalah-masalah sosial-kemasyarakatan. Berdasarakan pemaparan uraian-uraian yang telah disampaikan di atas, maka dari segi bentuk penafsiran, tafsir Al-Ahkam Karya Abdul Halim ini dapat digolongkan ke dalam bentuk tafsir bil al-ma’tsur, sebab dalam tafsirnya, Abdul Halim lebih banyak menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan beberapa riwayat Nabi, sahabat, dan juga tabi’in sebagai alat penafsirannya, untuk menjelaskan maksud dari ayat al- Qur’an itu. Hal ini sudah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, mengenai sumber tafsir Al-Ahkam Abdul Halim. Selanjutnya, untuk melihat kecenderungan keilmuan yang mewarnai tafsir Al- Ahkam karya Abdul Halim ini, atau dalam ilmu tafsir disebut dengan corak (lawn), maka penafsiran ini dapat digolongkan kepada penafsiran yang bercorak fikih. Hal ini dapat dibuktikan dengan, pertama dalam tafsirnya ia hanya membahas terkait dengan ayat-ayat yang berbicara tentang hukum saja, sehingga ia menamai tafsirnya dengan tafsir Al-Ahkam. Kemudian, dalam penjelasan terkait dengan hukum yang ada di dalam ayat terkait, ia mencoba membandingkan pendapat-pendapat imam mazhab dan pendapat ulama lainnya. Namun kendati Abdul Halim memaparkan pendapat imam mazhab, tetapi Abdul Halim bukanlah seorang mufasir yang condong membela terhadap satu mazhab saja, sehingga hal ini dapat memberikan keluasan pengetahuan pembaca terkait dengan pendapat mazhab, dan tidak mendorong kepada fanatik buta.

C. Penafsiran Syekh Abdul Halim Hasan Binjai Dalam hal membuktikan metodologi tafsir Al-Ahkam karya Abdul Halim Hasan, maka penulis akan memaparkan beberapa contoh penafsirannya dalam dua tema utama, yaitu, ayat-ayat yang berkenaan dengan ibadah dan mu’amalah. Ayat ibadah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah, ayat-ayat yang berkenaan dengan suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Dalam hal ini dibatasin pada tiga pembahasan, shalat qashar, menghadap kiblat dan yang berhubungan dengan wanita haid. Sedangkan ayat-ayat mu’amalah yaitu ayat-ayat yang berkenaan dengan hubungan manusia dalam berinteraksi sosial sesuai dengan syari’at kan. Hal ini juga dibatasi pada pemabahasan ayat-ayat yang berkenaan dengan poligami, nikah lintas agama dan laki-laki mengatur perempuan. Alasan penulis memilih ayat-ayat di atas untuk dikaji dalam penelitian tesis ini, karena pembahasan dalam ayat-ayat tersebut masih banyak perdebatan dikalangan ulama. Disamping itu ayat-ayat ini masih aktual dan menarik untuk dibahas. Mengingat ayat-ayat yang akan dibahas dalam penelitian ini selalu terkait dengan

62 aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari. Sehingga dengan pembahasan ini, dapat mencerahkan bagi kehidupan umat muslim, terkhususnya di Indonesia.

1. Penafsiran Ayat-Ayat Ibadah a. Salat Qasar ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َوإذَا ضَ َرب ْتُ ْم في ا ْألَْرض ف َلَيْ َس عَلَيْكُ ْم جُنَاحٌ أَ ْن ت َ ْقصُ ُروا م َن الصَّ َالة إ ْن خ ْفتُ ْم أَ ْن ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ي َ ْفتنَكُمُ الذي َن َكفَ ُروا ۚ إ َّن الْ َكافري َن كَانُوا لَكُ ْم عَ ُد ًّوا مُبينًا Artinya : “Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqasar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS : An-Nisa’, 101)

Salat merupakan rukun Islam ke lima yang harus dijalankan bagi setiap seorang muslim setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dalam syariatnya seorang muslim harus menjalan salat fardu lima kali dalam sehari dengan waktu yang telah ditentukan sesuai syariat. Namun terkadang seorang muslim mendapatkan halangan untuk melaksanakan salat tersebut sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, seperti sering terjadi saat seorang muslim berpergian dengan jarak tempuh yang sangat jauh.48 Dalam al-Qur’an telah dijelaskan terkait dengan hal tersebut, sehingga ada keringanan bagi umat muslim yang sedang dalam perjalanan. Namun tidak bisa melakukannya sesuai dengan waktu yang ditentukan. Di sini akan dibahas terkait dengan keringanan (rukhs}ah) bagi seseorang yang takut tidak dapat melakukannya sesuai dengan waktunya, atau hal ini disebut dengan salat qas}ar. Dalam al-Qur’an disebut secara global, sehingga menimbulkan berbagai tafsiran terkait dengan hal ini. Pembicaraan ini menjadi perhatian bagi Abdul Halim yang dibahas dalam Tafsir al- Ahkam-nya, dia beri judul “Tidak Mengapa Mengqashar Salat.” Mengenai permasalahan yang ada dalam ayat di atas , Abdul Halim menjelaskan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan hukum melaksanakan salat ketika dalam perjalanan yang disertai dengan rasa takut akan terganggu keamanannya. Menurut Abdul Halim, ini disebut dengan salat dalam keadaan takut, ia menjelaskan bahwa dengan mengambil ayat ini sebagai dalil, maka para fukaha menjelaskan salat qas}ar ketika dalam perjalanan itu hukumnya adalah boleh dilakukan dan bukan wajib.49 Kebolehan meng-qasar yang dijelaskan Abdul Halim di dukung dengan riwayat dari Ya’la bin Umaiyah, berkata bahwa, “aku telah bertanya kepada ‘Umar bin Khat{t{ab maksud ayat ini dan aku mengatakan, “bahwasannya bolehnya seseorang itu meng- qas}ar salat itu karena takut.” Sekarang perasaan takut itu sudah tidak ada lagi, apakah masih boleh meng-qas}ar salat itu? lalu ‘Umar pun menjawab, “saya juga merasa heran,” sebagaimana yang engkau tanyakan itu. Lalu saya tanyakan kepada Rasulullah Saw. Maksud ayat tersebut, beliau berkata, “sedakah yang telah Allah

48Mohammad Nabeel Musharraf, “Shortening and Combining of Salah During Travel”, Australian Journal of Humanities and Islamic Studies Research, 2 (1), 20, 2016, h. 53-63. 49Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982), h. 306 63 berikan kepada kamu itu, hendaklah engkau terima!” diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Ahli Sunnah.50 Disisi lain, Menurut Hamka bahwa dalam ayat ini ada dua sebab yang pertama karena musafir dan yang kedua karena ketakutan gangguan orang kafir. Menurut Hamka, yang menjadi perhatian penting dalam ayat ini adalah ketika dalam keadaan musafir dan bukan gangguan orang kafirnya. Karena yang menjadi contoh dalam menjalankan syariat itu adalah Rasulullah sendiri.51 Dalam konteks yang sama Abdul Halim dan Hamka juga menguraikan riwayat dari Ya’la bin Umaiyah menunjukan bahwa diperbolehkannya meng-qasar salat dalam keaadaan musafir. Hamka berpegang terkait dengan sebab turunnya ayat riwayat dari Ibn Abi Nujaih, yang bersumber dari Mujahid, di mana asal usul terjadinya turun ayat adalah terjadi pada Nabi Muhammad Saw. dengan para sahabat di dalam suatu peperangan di dekat Usfan. Menurut sumber lain, pada saat itu kaum musyrikin sedang berhenti dan masih jauh. Di saat keadaan luang seperti itu, maka Rasulullah dan para sahabat terus salat zuhur empat rakaat lengkap dengan sujud dan rukuk. Lalu, tiba-tiba tatkala mereka sedang khusyuk saat itu musuh mengepung mereka dan merampas senjata. Menurut Mujahid inilah sebab kejadian ayat ini turun. Namun keterangan Mujahid tersebut dianggap dilemahkan oleh sunah itu sendiri. Para ulama berkesimpulan bahwa ayat dikemukan bukanlah menjadi alasan diperbolehkannya meng-qasar salat di waktu musafir, tetapi diambil dari perbuatan Rasulullah dan para sahabat.52 Hasbi dalam tafsirnya An-Nur, dia mengatakan bahwa bolehnya seseorang memendekkan salatnya ketika dalam keadaan berhijarah, dengan syarat seseorang itu takut akan dapat gangguan dari orang-orang kafir. Namun Hasbi juga mengatakan bahwa hal ini tidak dikhususkan pada masa peperangan saja, melainkan juga ketika seseorang khawatir akan adanya perampokan. Yang dimaksud qashar dalam ayat ini menurut Hasbi, bukan berarti seseorang itu meng-qashar salatnya yang empat menjadi dua, sebgaimana yang telah ditetapkan bagi orang-orang musafir dalam hadis yang mutawatir, akan tetapi, setiap golongan malaksanakan salat satu rakaat bersama imam, jika sudah sempurna melaksanakannya, maka satu golongan lain beserta imam untuk melakukan rakaat keduanya, dan tidak ada diterangkan golongan-golongan itu menyempurnakan salatnya satu-satu rakaat lagi.53 Setelah menjelaskan terkait dengan permaslahan yang ada di dalam ayat tersebut, selanjutnya Abdul Halim membahas tentang bagaimana hukum terkait dengan melakukan salat qashar ini? Untuk menjelaskan terkait dengan hukum ini, maka Abdul Halim menguraikan beberapa pendapat, diantaranya adalah, keterangan dari Umar bin Abdul Azis dan dari orang Kufah, mereka mengatakan bahwa mengqashar salat itu hukumnya adalah wajib. Sedangkan Kadi Ismail dan Hammad Abu Sulaiman mereka mengatakan, sesungguhnya telah diriwayatkan oleh Malik dalil mereka dari hadis yang tersebut dalam sahih, bahwa difardhukan salat dua rakaat, dua rakaat dan dua rakaat ketika menetap, dan ditetapkan dalam perjalanan. Selain itu juga Abdul

50Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 307 51Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 299 52Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 301 53Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Cet ke- II, (Jakarta : Pustaka Rizki Putra, 1995), h. 906 64

Halim juga menyebutkan pendapat yang mengatakan bahwa, diperbolehkannya melakukan qasar itu adalah seperti apa yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an, yaitu jika mereka takut akan ada musuh. Tetapi tidaklah boleh bagi mereka mengqasar salatnya, jika mereka merasa aman.54 Abdul Halim juga mengemukakan pendapat lain , yang berbeda dengan pendapat di atas, yang mengatakan bahwa, takut bukanlah menjadi sebuah alasan atau syarat orang untuk melakukan salat qashar, sebab kalimat yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu, “ jika kamu merasa takut”, kalimat ini tidak memiliki hubungannya sama sekali dengan kalimat yang terdahulu. Untuk itu, maksud dari ayat ini bagi mereka adalah, “jika kamu musafir, maka tidak ada dosa atas mu ketika engkau mengqasar salat, dan jika kamu takut akan terjadinya fitnah dari orang-orang kafir, maka hendakla kamu dirikan salat khauf.” Dan selain itu ada juga yang berpendapat bahwa, “jika kamu merasa takut” hal ini telah di naskh-kan oleh sunah yang telah disebutkan di atas.55 Dari semua pendapat-pendapat yang telah dipaparkan di atas, maka Abdul Halim mengatakan, bahwa dalam hal ini, maka kita bisa berpedoman kepada sunnah nabi Muhammad SAW yang telah dilakukaknnya, begitu juga hal nya dengan ijma’ para ulama, yang mengatakan bahwasannya salat qashar itu telah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW, baik itu ketika dalam keadaan perjalanan yang aman, maupun juga dalam keadaan takut.56 Lanjutnya, Abdul Halim mengatakan, sebab itulah para ahli ushul mengatakan, bahwa pada masa itu takut yang menjadi syarat bolehnya mengqashar salat, hanya sebagai suatu kebiasaan saja, sebab pada saat itu, orang- orang Islam biasanya merasa takut ketika dalam sebuah perjalanan. Untuk itu Abdul Halim juga berpendapat bahwa, walaupun syarat (takut) itu tidak adalagi pada saat ini, tetapi kebolehan mengqasar salat ketika dalam perjalanan itu bagi umat Islam tetaplah berlaku. Hal ini dia perkuat dengan perkataan dari Ibnu Qayyim dalam Hadyu ar-Rasul, yang berbunyi, “bahwasannya nabi Muhammad SAW telah mengqasarsalatnya yang empat rakaat ketika dalam keadaan musafir, sampai beliau kembali ke kota Madinah, dan sekalipun tidak pernah terdengar, bahwa Rasulullah itu dalam perjalanannya mengerjakan salat sebanyak empat rakaat.57 Dalam hal ini Hamka sendiri berpendapat bahwa, salat ketika dalam musafir adalah dua rakaat, hal ini menurutnya bukanlah sebuah keringanan atau rukhshoh, melainkan ini adalah suatu hal yang mesti. Sebagaimana Aisyah pernah berkata, “sembahyang itu telah difardhukan dua rakaat-dua rakaat. Namun, setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, ditambahkanlah pada sembahyang Hadhar dan ditetapkan pada sembahyang musafir." Dijelaskankan oleh Hamka bahwa salat hadhar yaitu sedang bertetap dalam negeri, dan tidak pergi kemana-mana.58 Kemudian Hamka juga menggambarkan dengan suatu kondisi dimana ketika seseorang singgah disuatu daerah satu hingga dua hari, singgahla disebuah masjid, dimana pada saat itu orang- orang ingin melakukan salat isya berjama’ah, maka Hamka menyarankan, agar

54Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 307 55Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 307 56Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 308 57Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 308 58Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 302 65 seseorang itu hendaknya mengikuti salat isya berjama’ah dahulu, hal ini untuk menghormati orang-orang yang ingin melaksanakan salat isya tadi secara berjama’ah.59 Hasbi mengatakan bahwa, dengan berpegang dengan pendapat ulama Hanafiyah, bahwa diperbolehkannya seseorang mengqashar salat dan berbuka di saat Ramadhan, jika safar yang dilakukan seseorang itu berjarak tiga hari tiga malam. Selain itu dari ulama Malikiyah juga dia kemukakan bahwa, bolehnya mengqashar salat jika jarak perjalanan itu sampai dua hari. Dan setngah ulama ada juga yang mengatakan, bolehnya mengqashar salat walaupun perjalanan itu tidak jauh, hal ini berdasarkan hadis dari Anas yang mengatakan bahwa Nabi mengqashar salatnya jika beliau pergi tiga mil atau sekitar enak kilometer. Sedangkan Ibnu Hazm, dia mengatakan cukup satu mil saja seseorang boleh mengqashar salatnya.60 Melihat pemaparan di atas terkait dengan shalat qashar, maka Abdul Halim tampak dalam penjelasannya terkait dengan ayat ini, dia menggunakan perkataan sahabat dan tabi’in sebagai penjelasannya. Disamping itu Abdul Halim juga menggunakan para pendapat fuqaha dan juga ahli ushul dalam tafsirnya. Namun Abdul Halim tidak ada memberikan pendapat pribadinya secara detail terkait dengan ayat ini. b. Hukum Menghadap Kiblat dalam Salat َِّ ِ ِ ِ ُّ َّ ِ َولله الْ َم ْشر ُق َوالْ َمغْر ُب ۚ فَأَي ْنَ َما ت ُ َولوا ف َثَمَّ َو ْجهُ الله ۚ Artinya : “dan kepunyaan Allah lah Timur dan Barat, maka kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah.” (QS : Al-Baqarah, 115)

Ketika seseorang ingin masuk ke dalam Islam, maka secara otomatis ia sudah siap untuk melaksanakan semua yang ada di rukun Islam, kecuali rukun yang ke-5, sebab rukun ini hanya dapat dilakukan bagi mereka yang mampu.61 Setelah mengucapkan syahadat, maka kewajiban yang kedua yang harus dijalankan oleh seorang muslim adalah solat. Solat yang harus didirikan seorang muslim yaitu lima kali dalam sehari. Untuk mendirikan kelima solat ini, maka seorang muslim juga harus tau kapan waktu solat datang dan berakhir, tidak itu saja, tentu umat Islam juga harus menghadapkan wajahnya ke arah kiblat ketika solat. Mengarah pada kiblat ketika salat merupakan perkara yang wajib, namun pada situasi tertentu umat Islam mendapatkan kendala ketika hendak melaksanakannya. Sebagai contoh, ketika mereka dalam situasi diperjalanan atau di atas kendaraan, yang tidak memungkinkan bagi umat Islam tepat mengarah pada kiblat. Untuk itu ayat ini akan menguraikan tentang hukum menghadap kiblat ketika salat. Definisi kiblat dalam kamus besar dijelaskan disana, yaitu arah ka’bah yang berada di Mekkah ketika melakukan solat. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan

59Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 309 60Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 907-908 61 ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َول لَّه عَلَى النَّا ِس ح جُّ الْب َيْت مَنِ اسْ تَطَاعَ إ لَيْه سَب ي ًال Artinya : “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” 66 oleh Muhammad al-Katib al-Asyarbini bahwa kiblat yang dimaksudkan disini adalah 62 ini قبل, يقبل, قبلة berasal dari kata (قبلة) Ka’bah. Sedangkan dalam bahasa Arab kiblat memiliki arti menghadap.63 Jumhur ulama’ telah sepakat bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sah nya solat itu. Sebagaimana Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat terkait dengan kewajiban menghadap kiblat.64 Sedangkan as-Syaukani mengatakan bahwa ulama telah sepakat menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya salat, kecuali apabila ia tidak sanggup melakukannya, misalnya, ketika dalam peperangan, atau ketika mengerjakan salat sunah dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan.65 Sejarah mengatakan bahwa kiblat umat Islam ketika sedang malaksanakan salat atau ibadah selama nabi masih hidup itu pernah berganti, yang mana awal mula kiblat umat Islam pada saat itu yaitu Baitul Maqdis di Yerussalem, Palestina, hal ini berlangsung selama 16 bulan. Namun setelah 16 bulan umat Islam berkiblat ke Baitul Maqdis, datanglah perintah Allah SWT agar umat Islam menggantikan arah kiblatnya ke Mekkah.66 Hal ini sebagaimana telah tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 144. Terkait dengan ayat ini, Abdul Halim memulai penafsirannya dengan memberikan pengertian kata masyrik dan kata maghrib.Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata masyrik dalam ayat ini yaitu Timur, yang berarti tempat dimana matahari terbit. Sedangkan kata maghribyang berarti Barat, dimana tempat terbenamnya matahari. Maka dari itu, berdasarkan redaksi ayat di atas, Abdul Halim mengatakan bahwa kedua penjuru tersebut adalah kepunyaan Allah SWT, baik itu apa yang terdapat dalamnya, semua adalah milik Allah.67 Setelah mengemukakan makna dari kata masyrik dan maghrib, kemudian Abdul Halim memberikan makna dari lanjutan ayat di atas yaitu, “Dan ke mana saja kamu menghadap, maka di sana ada wajah Allah,” ia mengatakan bahwa ini disebabkan karena Dzat Allah SWT, dan tidak pula mengambil tempat, atau juga terbagi-bagi. Selanjutnya Abdul Halim menjelaskan terkait dengan maksud ayat di atas, ia mengatakan bahwa ayat ini menunjukan kepada kamu sekalian, bahwa kemana saja kamu berpaling untuk menghadap Allah, maka Allah meridhai itu semua, sebagaimana hal nya ketika datang kepada kamu perintah untuk menghadap kiblat,68 hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 144, Allah SWT

62Slamet Hambali, Ilmu Falak I (Penentuan Awal Waktu Shalat dan Arah Kiblat Seluruh Dunia), (Semarang : Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2011), h. 167 63Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997), h. 1168-1169. 64Ahmad Ibnu Abd al-Halim Ibn Taimiyah, Fatawa> Al-Kubro> li Ibnu Taimiyah, (tt : Darul Kutub al-Ilmiyah, 1987), h. 44 65Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdillah as-Syaukani, Nailul al-Autha>r, (Mesir : Dar al-Hadis, 1993), h. 164 66Ensiklopedi Islam, Jilid III, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), h. 66 67Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 8 68Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 8 67 berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam dan di mana saja kamu berada,maka hadapkanlah mukamu ke arahnya.” Menjelaskan terkait maksud ayat di atas, maka Abdul Halim mengambil keterangan dari tafsir Al-Kassyaf, yang ditulis oleh Zamakhsyari, disana dijelaskan bahwa, makna dari ayat di atas adalah, jika seseorang itu terhalang untuk salat di Masjidilharam ataupun Bait al-Maqdis, maka Allah telah jadikan bumi ini sebagai masjid. Untuk itu, kamu bisa melaksanakan salat di mana saja kamu kehendaki dan kamu lakukan atau juga di mana saja yang kamu dapat, dan tidak hanya bertumpuh pada satu masjid tertentu saja.69 Tidak dari tafsir Al-Kassyaf saja, Abdul Halim juga mengambil keterangan dari Syaukani dalam Fath Al-Qadir nya, dia berkata, “tidak ada satu jalan untuk mengkhususkan ayat ini kepada satu macam itu saja, dan sebenarnya maksud ayat itu lebih umum lagi, dan kalau hanya dimaksud untuk menyatakan sebab, maka hal itu tidaklah menjadi apa-apa.70 Menurut penulis, Abdul Halim disini mencoba untuk menghubungkan keterkaitan antara surat al-Baqarah ayat 115 dengan Al-Baqarah 144, dengan mengambil penafsiran dari Zamakhsyari dalam kitabnya Al-Kassyaf dan Syaukani dalam Fath Al-Qadir. Dimana mereka menjelaskan bahwa, jika kamu tidak dapat menghadap tepat ke arah Masjidilharam maupun Baitul Maqdis ketika beribadah, maka surat Al-Baqarah ayat 115 ini berlaku bagi umat muslim, dalam arti umat muslim bisa mengerjakan salat atau ibadah dimana saja, tanpa harus tepat menghadap kedua arah tersebut (Masjidilharam dan Baitul Maqdis). Sebab dalam Al- Baqarah ayat 115 telah dijelaskan bahwa Barat dan Timur adalah kepunyaan Allah SWT, ini berarti kemana pun umat muslim menghadap maka disana ada wajah Allah (kiblat). Sama hal nya juga dengan Hamka, dia menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa kemana saja seorang muslim menghadap ketika ia sedang beribadah kepada Allah, sekalipun dia sembahyang, maka menurut Hamka ibadah itu telah diterima oleh Allah, dengan syarat hati seorang muslim itu benar-benar dihadapkan kepada Allah SWT. Hamka juga menjelaskan walaupun Rasulullah SAW telah memerintahkan bahwa Ka’bah Majidilharam sebagai kiblat umat muslim yang telah ditetapkan, sesuai dengan firman Tuhan. Namun ketika seorang muslim mendapat kesulitan dalam menentukan arah kiblat itu sendiri, misal dalam keadaan gelap gulita, atau ketika sedang di kapal yang menuju ke satu tujuan yang tidak mengarah pada Ka’bah, maka ayat ini datang untuk menegaskan bahwa, kemana saja seorang muslim itu menghadap tetaplah sah salat mereka, asal hati mereka khusyu’ atau tetap tertuju pada Allah SWt.71Dia juga mengatakan dalam penjelasannya, bahwa belum tentu juga seseorang yang menghadap kiblat ketika beribadah itu diterima. Hal ini dia dasarkan kepada pendapat imam Al-Ghazali yang mengatakan bahwa “tidak sah salat seseorang kalau dia tidak khusyu’ dalam salatnya.”72

69Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 9 70Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 9 71Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 360 72Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 360 68

Berhubungan dengan kiblat, untuk menjelaskan terkait dengan hal ini, maka Abdul Halim mengambil penjelasan dari riwayat Ibnu Munzir, Abu Hatim, Hakim dan juga Baihaqi dalam sunannya dari Ibnu Abbas mereka menyatakan, permulaan ayat al-Qur’an yang di-naskh-kan yang dikatakan kepada kami, sedangkan Allah lebih mengetahuinya, ialah yang berhubungan dengan kiblat. Allah berfirman, “dan Allah yang mempunyai Timur dan Barat.” Maka salat nabi Muhammad menghadap ke arah Bait al-Maqdis, dan bukan ke arah Ka’bah. Kemudian diperintahkan Allah menghadap ke Bait Al-Maqdis, dan sesudah itu, di-nasakh-kan dengan surat al- Baqarah ayat 144, “dimana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya (Masjidilharam).73 Selanjutnya, terkait dengan sebab turun ayat ini, maka Abdul Halim berpegang pada periwayatan Abi Syaibah, Abd bin Hamid, Muslim, Tirmizi dan Nasa’I telah meriwayatkan dari Umar dan dia berkata, “adalah nabi Muhammad melakukan salat sunah di atas kendaraannya.” Lantas Ibnu Umar membacakan ayat, “ dan kemana saja kamu menghadap, maka di sana ada wjah Allah.” Selanjutnya dia berkata, “ayat ini diturunkan pada peristiwa yang demikian itulah.”74 Tidak sampai disitu saja, Abdul Halim juga mengambil keterangan dari dalam kitab Shahih Bukhari untuk menjelaskan terkait masalah kiblat. Dari Hadis Jabir dan lain-lain, dari Rasulullah ada dinyatakan, bahwa Rasulullah mengerjakan salat di atas kendaraannya menghadap Timur, dan jika beliau bermaksud untuk melaksanakan salat wajib, maka beliau pun turun dan menghadap ke kiblat.75 Menanggapi hadis di atas yang berkenaan dengan sholat nabi Muhammad di atas kendaraan, maka Abdul Halim juga memaparkan sebuah keterangan yang diriwayatkan oleh Abd bin Hamid dan Tirmidzi, dimana menurut mereka hadis di atas adalah hadis dha’if, begitu juga dengan pendapatnya Ibnu Majah, Ibnu Jarir dan lain-lain. Disini Abdul Halim tidak menyebutkan secara detail terkait dengan pendapat ulama yang lain itu. Tetapi disisi lain, Abdul Halim mengambil keterangan dari Amir Rabi’ah yang mana dia berkata, “adalah kami pada suatu malam bersama Rasulullah, malam itu amat gelap gulita, maka kami singgahlah pada suatu tempat.76 Kemudian seorang laki-laki mengambil batu dan dijadikannya masjid, maka salatlah dia di sana. Dan pada pagi harinya kami melihat tempat salat itu tidak menghadap kiblat, kemudian kami katakan kepada nabi, “wahai Rasulullah !kami salat malam tadi tidak menghadap kiblat, maka turunlah ayat, “dan Allah lah yang mempunyai Timur dan Barat” Maka nabi pun bersabda, “telah berlalu salat kamu.”77 Terkait dengan hadis di atas yaitu, cerita tentang seorang sahabat yang ketika salat tidak menghadap ke kiblat, maka dalam hal ini Abdul Halim mengambil keterangan yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah, Daru Quthni, dan Tirmizi, bahwa mereka mengatakan hadis ini adalah hadis sahih.78 Dan dia juga menambahkan periwayatan lain untuk menambahkan penjelasan hadis di atas dengan mengambil

73Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 9 74Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 9 75Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 10 76Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 10 77Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 10 78Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 10 69 periwayatan dari Ibnu Majah, dari Abu Hurairah, dari nabi Muhammad SAW bersabda, “kiblat adalah antara masyrik dan maghrib.” Tampak disini Abdul Halim tidak hanya memaparkan riwayat-riwayat yang berbicara tentang sebab turunnya ayat ini, melainkan dia juga memeparkan riwayat lain yang merespon tentang keadaan riwayat tersebut, sehingga para pembaca tafsir ini mengetahui keadaan riwayat-riwayat tersebut. Hasbi Ash-Shiddiqy dalam hal ini juga memiliki pendapat yang sama terkait dengan sebab turun ayat tentang kiblat ini. Dia mengatakan ada beberapa perbedaan pendapat dikalangan ulama terkait dengan sebab turunnya ayat ini. Yang pertama mengatakan bahwa, ayat ini diturunkan sebelum datangnya perintah untuk menghadap ke arah kiblat tertentu. Adapula yang mengatakan bahwa ayat ini turun disebabkan karena adanya pergantian kiblat dari Bait Al-Maqdis ke Ka’bah. Ada juga yang mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan salat sunah yang dilakukan dalam perjalanan. Pendapat lain juga mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seseorang yang sedang berijtihad dalam menentukan arah kiblat, namun ijtihadnya itu salah. Salatnya adalah sah, sebab yang mewajibkan dia menghadap ke arah tertentu adalah suatu tujuan, untuk mewujudkan persatuan umat.79 Setelah berbicara terkait dengan sebab turun, Abdul Halim melanjutkan penafsirannya dengan memaparkan beberapa pendapat ulama terkait dengan salatnya seseorang ketika dalam perjalanan.80 Mengambil keterangan dari Abu Bakar Al- Jashash yang mengatakan, “ulama berbeda pendapat tentang salatnya seseorang dalam perjalanan, yang kemudian dengan ijtihadnya itu dia melakukan salat, dan ternyata salatnya itu tidak menghadap kiblat.” Selanjutnya, Abdul Halim mengambil pendapat dari Hanafiah dan juga Tsauri yang mengatakan bahwa, jika seseorang dalam perjalanan, dan didapatkannya tempat bertanya, lalu dia tidak bertanya, maka memadailah salat itu, walaupun dia pada saat itu membelakangi kiblat atau mengarah ke Timur dan Barat. Begitu juga apa yang telah diriwayatkan dari Mujahid, Said bin Musayyab, Ibrahim, Atha’ dan Sya’bi. Kemudian Abdul Halim juga mengambil perkataan dari Hasan, Zuhri dan Rabi’ah dan Ibnu Abu Salamah mengatakan bahwa, “jika seseorang salat ternyata salah kiblatnya, hendaknya diulangi kembali salat itu, jika masih ada waktu. Namun jika waktu salatnya sudah lewat, maka tidak perlu baginya untuk mengulangi kembali.” Begitu juga diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Malik.81 Abdul Halim juga Mengambil periwayatan dari Abu Mash’ab dari Malik, dia berkata bahwa yang mewajibkan salat itu diulangin adalah ketika seseorang salat membelakangi kiblat, atau dia menghadap ke Timur maupun Barat, dan jika salatnya itu kurang ke kanan sedikit, maka tidaklah perlu diulangi kembali salatnya.82 Selain itu, Abdul Halim juga tidak ketinggalan dengan mengambil pendapat dari Imam Syafi’i yang berkata, “seseorang yang ketika salat dengan ijtihadnya sendiri dia menghadap ke Timur, kemudian ternyata bahwa kiblat itu harus menghadap ke sebelah Barat, maka hendaknya dia mengulangi kembali salat itu. Namun jika

79Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 190 80Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 10 81Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 10 82Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 11 70 salatnya menghadap ke sebelah Timur dan miring sedikit, sedang itu masih dalam satu arah, yang kemudian ketika dalam salat itu dia putarkan badannya kea rah yang lebih tepat, maka boleh dia meneruskan salatnya itu dan tidak usah mengulanginya kembali.”83 Abdul Halim juga mengambil perkataan dari Abu Bakar yang berkata, “zahir ayat ini menunjukan bahwa diperbolehkan salat menghadap ke arah mana saja.” Hal ini dia perkuat dengan firman Allah SWT yang berisi, “maka disana ada wajah Allah.” Maka dari itu Abu Bakar menjelaskan bahwa salat itu bukanlah menghadap kiblat. Sebab itu sudah lama dimaklumi, bahwa luas ka’bah itu tidak mencukupi bagi salat orang-orang yang jauh dari tempat itu, agar masing-masing mereka tepat menghadap kea rah Ka’bah itu. Bukankah kamu melhat Masjid Jami’ yang jauh lebih luas dari ka’bah, tidak dapat setiap orang-orang yang sedang salat di dalam masjid itu, tepat menghadapkan badannya kea rah Ka’bah, yang menurut mereka bertentangan dengan arah Ka’bah, dan bukan bertentangan dengan Ka’bah itu sendiri. Maka dari itu, ini menunjukan bahwa segenap jurusan telah ditetapkan sebagai tempat berdirinya arah Ka’bah ketika dalam uzur.84 Penulis melihat bahwa apa yang disampaikan Abdul Halim dalam tafsirnya mengenai hukum menghadap kiblat dalam salat, dalam hal ini Abdul Halim masih terlihat penafsirannya cenderung kepada penafsiran tekstual, sebab jika dilihat Abdul Halim banyak menggunakan periwayatan-periwayatan sebagai alat penafsirannya, tanpa ada melihat sisi konteksnya. Seperti hal nya, disaat hari dalam keadaan gelap gulita yang menjadikan umat muslim kesulitan dalam menentukan arah kiblat, maka seiring dengan perkembangan zaman, umat muslim bisa dapat menggunakan alat kompas sebagai petunjuk arah kiblat.

c. Wanita Haid ِ ِ ِ ِ ِ ِ َويَ ْسأَلُونَ َك عَ ِن الَْمحي ِض قُ ْل ُهَو أَذًى فَا ْعتَزلُوا النّ َساءَ في الَْمحي ِض َوَال تَ ْقَربُوُه َّن َحتَّى يَطُْهْرَن فَإذَا تَطََّهْرَن ِ َّ ِ َّ َّ ِ ِ ِ ِ ِ فَأْتُوُه َّن م ْن َحْي ُث أََمَرُكُم اللهُ إن اللهَ يُح ُّب التَّ َّواب ي َن َويُح ُّب الُْمتَطَّهري َن Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “haid itu adalah kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”(QS : Al-Baqarah, 222)

Jika dilihat maka ayat iniakan menjelaskan terkait dengan hukum-hukum seputar wanita haidh. Maksud hukum disini yaitu, kaitannya dengan persyaratan dalam menjalankan ibadah mahdhah seperti solat, puasa ataupun haji. Selain itu, ayat ini juga akan menjelaskan terkait dengan solusi hubungan suami-istri tatkala dalam keadaan haid. Berbeda dengan zaman dulu, dimana berdasarkan kebiasaan mereka, perempuan saat itu yang sedang haid diasingkan dari keluarganya. Persepsi inilah

83Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 11 84Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 11 71 kemudian yang bisa menjadikan perempuan tampak direndahkan dalam kehidupan sosialnya. Dalam penafsirannya terkait dengan ayat di atas, maka Abdul Halim mengatakan, ayat di atas berbicara terkait dengan hukum-hukum yang berhubungan dengan wanita haid. Diawal penafsirannya dia terlebih dahulu menguraikan terkait dengan makna kata mahidh yang terdapat pada awal ayat di atas. Maksud dari kata mahidh disini yang berarti seorang wanita yang sedang kedatangan bulan atau menstruation.85 Sedangkan arti haid itu sendiri memiliki arti, seorang wanita yang mengeluarkan darah pada waktu-waktu yang tertentu dan dengan jalan yang tertentu pula. Sebab tidak selamanya darah yang keluar dari anggota keterunan wanita itu disebut dengan haid. Ada juga nifas, yaitu darah yang keluar setelah seorang wanita itu melahirkan, seperti halnya darah keputihan dan lain sebagainya, yang tidak bisa disamakan sifat, warna, waktu dan lainnya dengan haid.86 Selalin itu, Abdul Halim juga mengatakan bahwa Allah telah menerangkan makna haid, yang diartikan dengan aza, yaitu gangguan. Dan dia juga mnegambil keterangan dari mufasir lain yaitu Thabari, yang mengartikan haid itu berarti penyakit, karena ia menyakiti, sebab baunya dan kotornya. Selain itu Thabari juga mengatakan dalam penjelasannya haid juga dapat diartikan sebagai najis, sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda, “apabila sepatu salah satu di antaramu menginjak “aza” (yakni najis), maka hendaklah disapukannya ke tanah dan dia terus mengerjakan salat, sebab tanah itulah yang menyucikannya.87 Riwayat Abu Dawud. Abdul Halim juga menggunakan keterangan dari al-Qur’an terkait dengan makna aza itu sendiri, yang berarti menyakitkan hati, hal ini sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 264 yang berbunyi, َّ ِ ِ ِ ِ أَي ُّهَ ا ال ذ ينَ آمَنُوا َال ت ُبْط لُوا صَدَقَاتكُمْ ب الْمَ نِّ َوا ْألَذَى Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).”

Mengenai hal ini Hamka sendiri memberikan penafsiran yang dimulai dengan sebuah cerita, dimana suatu hari timbul pertanyaan dari para sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang berada di Madinah, yaitu bagaimana cara memperlakukan istri ketika mereka sedang dalam keadaan haid (membawa bulan, menstruasi). Pada saat itu juga kaum muslimin yang berada di Madinah bertetanggaan dengan orang-orang Yahudi. Orang Yahudi sendiri memiliki peraturan yang keras terhadap wanita-wanita yang sedang haid, hal ini sebagaimana tercantum dalam perjanjian lama mereka, yaitu Kitab Imamat Orang Lewi, fasal 15, yang dimulai dari ayat 19 sampai dengan ayat 24, yang berisi tentang dilarang keras mendekati wanita-wanita yang sedalam dalam keadaan haid, sampai wanita itu mengasingkan dirinya. Sampai segala barang yang didudukinnya termasuk najis, hingga menjamah tempat tidur jugapun najis. Lalu mereka bertanya tentang wanita haid, seperti apa hukumnya, apakah sama saja dengan kau Yahudi yang sekeras itu ?maka Tuhan pun menyuruh nabi Muhammad

85Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 89 86Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 90 87Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 90 72 menjawab permasalahan itu, “katakanlah dia itu gangguan.” Dalam arti, tatkala wanita sedang haid, mereka sedang terganggu dari keadaannya yang biasa, atau keadaannya pada saat itu sedang kotor.88 Selanjutnya, lanjutan dari ayat di atas, “oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” Dalam hal ini Abdul Halim mencoba memandang dari segi kesehatan atau pandangan dokter, terkait dengan hubungan suami-istri di saat sang wanita sedang haid, yang bisa mendatangkan penyakit yang berbahaya. Abdul Halim mengatakan dalam ilmu kedokteran disebutkan yang pertama, akan menyebabkan pada anggota keturunan wanita tersebut (vagina) mengalami kesakitan, seperti bisa terjadi pembengkakan dan bernanah pada rahim seorang wanita, dan juga pada salurannya atau kolam rahim, jika hal ini dilakukan. Dan kemungkinan juga mudharat paling besar akan menimpa pada seorang wanita, jika hal ini dilakukan, yaitu merusak kedua saluran tersebut, yang akan menyebabkan wanita tidak bisa hamil lagi, atau beranak lagi.89 Penyakit kedua, jika suatu darah haid masuk ke dalam anggota keturunan laki- laki atau penis (zakar), disebabkan karena melakukan persetubuhan dengan wanita yang sedang haid, maka hal ini akan menimbulkan terjadinya suatu nanah yang menyerupai gonorhoa, dan apabila nanah ini masuk ke dalam kedua sel telur laki-laki tadi, maka ia akan menyebabkan timbulnya penyakit yang menyebabkan seorang laki-laki tersebut tidak dapat mempunyai anak lagi selamanya. Dan disamping itu juga, laki-laki itu akan terkena penyakit yang dinamakan dengan sifilis.90 Sama halnya apa yang telah disampaikan oleh Hasbi dalam tafsirnya An-Nur, dia mengatakan bahwa, yang diharamkan dalam ayat ini adalah menyetubuhi wanita disaat mereka sedang haid. Sebab menurut Hasbi hal itu bisa menjadikan sebab datangnya penyakit ataupun gangguan kesehatan. Hal ini juga telah diakui kebenarannya oleh dokter modern, bahwa berhubungan disaat wanita haid akan menimbulkan kemelaratan bagi suami-istri tersebut.91hal ini juga dia dasarkan pada pendapat Ibnu Katsir dalam tafsirnya, yang mengatakan bahwa tidak ada perselisihan antara ulama terkait dengan istri satu kasur dengan suaminya disaat seorang istri itu haid. Begitu juga dengan Aisyah yang berkata, “adalah Rasulullah menyuruh membasuh kepalanya, semenatara aku saat itu sedang haid. Rasul bertekan di lambungku dan membaca al-Qur’an. Dan riwayat dari Abu Dawud dijelaskan bahwa Aisyah pernah tidur satu selimut dengan Rasulullah pada saat dia sedang haid. Maka berdasarkan pendapat-pendapat di atas, Hasbi menyimpulkan arti mengasingkan disini adalah, agar para suami tidak melakukan persetubuhan dengan mereka, sampai mereka berhenti dari masa haidnya.92 Berbeda hal nya dengan apa yang disampaikan Hamka dalam tafsirnya, dia mengatakan bahwa, maksud menjauhi atau jangan mendekati dalam ayat tersebut, yaitu, bukan berarti laki-laki harus benar-benar menjauhi istrinya (wanita), sampai

88Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 260 89Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 90 90Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 91 91Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 375 92Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 376 73 suami (laki-laki) terpisah tempat dari istrinya (wanita). Hamka menjelaskan bahwa al-Qur’an sendiri selalu memakai bahasa-bahasa yang halus terhadap persoalan persetubuhan. Hal ini sebagaimana bisa ketika lihat, ketika al-Qur’an berbicara tentang keadaan suami dan istri ketika sedang dalam keadaan puasa. Pada ujung ayat Allah SWT mengatakan, sebagaimana yang kita ketahui, “itu adalah batas-batas Allah, maka janganlah kamu dekati akan dia.” Singkatnya, Hamka mengatakan bahwa, jagalah hawa nafsu mu, jangan karena berdekat-dekatan, lantas kamu melakukan persetubuhan dengan wanita disaat mereka sedang haid, disebabkan kamu tidak dapat menahan hawa nafsu mu tadi. Dan janganlah kamu dekati sebab-sebab yang akan membawamu untuk bersetubuh di saat wanita itu haid.93 Berkenaan dengan hukum melaksanakan hubungan suami-istri dalam keadaan haid, maka Abdul Halim mengatakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam masalah ini. yang pertama, dia mengatakan, dilarang mendatangi wanita yang sedang dalam keadaan haid, hal ini ia perkuat dengan sabda nabi Muhammad SAW, “Barang siapa yang mendatangin perempuan yang sedang haid, atau mendatangin perempuan dari dubburnya, maka sesungguhnya telah kafirlah ia dengan Muhammad.” Riwayat Tirmizi. Jika seseorang itu melakukannya, padahal ia tau akan hukumnya itu, maka ia akan dihukum takzir.94 Mengenai hukuman bagi orang yang melanggar peraturan Allah SWT tersebut, maka Abdul Halim disini memaparkan beberapa pendapat ulama mazhab diantaranya adalah, Syafi’i, yang memiliki dua qaul, pertama yaitu, cukuplah seseorang itu bertobat kepada Allah, sebab dia telah melakukan apa yang telah diharamkan oleh Allah SWT,dan tidak wajib baginya untuk membayar kafarat.95 Begitu juga dengan apa yang disampaikan Abu Hanifah dan qaul jaded Syafi’i. sedangkan pendapat yang kedua, wajib baginya mebayar kafarat, inilah apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad,karena hadis dari Ibnu Abbas, telah bersabda nabi Muhammad SAW, “laki- laki yang mendatangi istrinya yang sedang dalam haid, hendaklah bersedekah setengah dinar.” Dalam riwayat lain jjga disebutkan, “jika didatanginya perempuanyang sedang mengeluarkan darah merah, hendaklah membayar satu dinar, dan jika darah yang kuning hendaklah dia membayar setengah dinar.”96 Riwayat Tirmizi Kemudian, Abdul Halim juga membahas terkait dengan istimta’ atau merasakan nikmat dengan istri. Dia mengatakan dalam hal ini segenap ulama telah memberikan penjelasan, yaitu, istimta’ atau merasakan nikmat dengan istri kecuali apa yang terletak antara pusar dan lutut, seperti misalnya memeluk atau juga mencium, istri yang sedang dalam keadaan haid, maka hukumnya halal.97 Hal ini diperkuat dengan hadis Aisyah, dia berkata, “salah seorang diantara kami, apabila berada dalam haid dan kalau Rasulullah SAW berkehendak akan memeluknya, maka disuruhnya agar

93Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 260 94Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 91 95Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 91 96Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 91 97Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 91 74 memakai cawat di tempat mana keluar darah haidnya, kemudian barulah dipeluknya. Siapakah dianatara kamu yang sanggup menahan nafsunya seperti Rasulullah ?.98 Selain hadis di atas, Abdul Halim menambahkan juga hadis dari Anas dalam hadis shahih, yang mana ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW. “kamu perbuatlah apa-apanya, kecuali jimak.” Berdasarkan hadis ini, Abdul Halim menyimpulkan bahwa, dari hadis ini, maka dapat diambil pemahaman, bolehnya seseorang menyentuh atau juga istimta’ dengan istri (wanita) yang sedang dalam keadaan haid, dikecualikan bersetubuh dengan dia.99 Selanjutnya, Abdul Halim dalam penafsirannya, dia juga menjelaskan terkait dengan hukum mengerjakan salat, kemudian puasa, membaca atau juga menyentuh al-Qur’an, serta melewati masjid bagi wanita yang sedang haid. Dia mengatakan bahwa, haram bagi seorang wanita haid mengerjakan salat, puasa, menyentuh atau membaca al-Qur’an, dan jika dia juga khawatir dengan darahnya itu, dia akan mengotori masjid, maka haram juga baginya melewati masjid itu. Dalam hal ini Abdul Halim juga memaparkan sebuah riwayat yang berbicara tentang seorang yang bertanya terkait dengan keadaan seorang wanita yang haid yang tidak mengqadha salatnya dan mengqadha puasanya. Hadis dari Mu’az dari Adhawiyah, dia berkata, “akau tanyakan kepada Aisyah, bagaimana keadaannya orang yang sedang haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalaltnya ? “Aisyah pun berkata, “apakah engkau seorang Haruriyah (Khawarij) ?lantas dia menjawab, “tidak ! saya akan bertanya tentang hal tersebut. Maka Aisyah pun berkata, “jika kami sedang didatangi haid, maka kami diperintahkan mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha salat.”100 Riwayat Bukhari-Muslim Setelah berbicara terkait dengan apa yang harus dijauhi seorang wanita yang sedang dalam keadaan haid, kini Abdul Halim menguraikan tentang hukum seorang wanita haid yang belum mandi tatkala dia sudah berhenti dari haidnya. Dia mengatakan bahwa, jika masa haid mereka telah habis, namun mereka belum malakukan mandi ataupun belum juga tayamum, missal jika tidak ada air pada saat itu, maka haram bagi wanita yang sedang haid melakukan pekerjaan yang diharamkan bagi mereka tatkala haid, kecuali puasa. Maka dalam hal ini, diperbolehkannya bagi mereka tetap melanjutkan puasa mereka, walau mereka belum mandi. Pendapat ini dia dasarkan kepada keterangan dari Syafi’i. Selain itu, dia juga emaparkan pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa halal bagi suaminya menjimak istrinya yang sudah haid selama sepuluh hari, walaupun wanita tersebut belum mandi.101 Lanjutan ayat, “apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” Abdul Halim mengatakan bahwa, dalam ayat ini memiliki dua persoalan, yang pertama, dia mengatakan, apa yang dimaksud dengan wanita-wanita yang suci dari haid. Apakah yang dimaksud itu adalah wanita yang telah berhenti dari haidnya, sehingga boleh atau halal bagi seorang suami mendatangi mereka, walau mereka belum melakukan mandi wajib.102 Kedua, apakah

98Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 92 99Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 92 100Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 92 101Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 92 102Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 92-93 75 arti dari “maka datangilah mereka itu sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.” Apakah kata perintah dalam ayat ini, memiliki arti wajib mendatangi wanita yang sudah bersuci dari haidnya ?.atau ada makna yang lain. Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka Abdul Halim mengemukakan pendapat ulama terkait dengan hal ini, diantaranya adalah, Imam Ibnu Ali anak dari Abu Thalhah, dari Ibnu Jarir al-Thabari, kalimat (faidza tathoharna) maknanya adalah, “jika seorang wanita yang telah selesai haidnya itu telah mandi wajib, sebagaimana yang telah disyariatkan oleh Islam itu terhadap mereka.” Menurut Ibnu Jarir juga, ulama dalam hal ini telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan “suci” dalam ayat ini adalah, suci yang menghalalkan seorang wanita itu untuk salat. Maka dengan demikian, haram hukumnya bagi seorang suami melakukan hubungan suami- istri, jika wanita itu atau istrinya belum melakukan mandi wajib. sedangkan kalimat fa’tuhunna dalam ayat di atas, yang artinya, “maka datangilah mereka” bukanlah berarti maksud dari ayat tersebut mengandung sebuah arti bahwa perintah itu adalah wajib, melainkan itu dalam makna irsyad (petunjuk tuntunan) yang menunjukan bahwa hal itu diperbolehkan.103 Selain itu, masalah lainnya juga dia bahas, yaitu apakah seorang wanita yang telah lepas dari haidnya itu harus mandi wajib, apakah cukup dengan wudhu saja. Dengan mengambil dari perkataan ulama, Abdul Halim menjelaskan bahwa, telah berkata Mujahid dan Ikrimah, jika seorang wanita telah terputus dari haidnya, kemudian ia telah mengambil wudhu, maka halal bagi seorang suami mendatanginya. Kemudian Syaukani dalam Fath Al-Qadir ia mengatakan bahwa, ia sepakat dengan pendapat pertama, bahwa hendaknya seorang wanita itu mandi atau juga tayamum, jika tidak ada air, jika mereka telah terlepas dari masa haidnya, sebab Allah telah menjadikan dua batas, putus dari darah dan batas mandi. Dan ia menjelaskan bahwa, batasan yang kedua ini merupakan tambahan bagi batas yang pertama, sebab itu wajib diambil batas tambahan itu. Hasbi juga menjelaskan suci yang dimaksud dalam ayat ini, apabila darahnya itu telah berhenti, maka boleh bagi suami menyetubuhi mereka. Dan dalam ayat ini juga Hasbi mengatakan, bahwa ayat ini memiliki pengertian bahwa agama itu menuntut kita untuk beristri dan diharamkannya rahbaniyah. Untuk itu, menurutnya, seorang muslim dilarang beristri, jika tidak diniatkan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.104 Hamka juga memiliki penjelasan yang sama dengan ulama lainnya, bahwa seorang wanita itu boleh didekati kembali jika telah usai masa haidnya yaitu, enam hari atau juga ada yang lebih. Dan apabila dia telah bersuci, yakni yang dimaksud telah bersuci disini Hamka menjelaskan bahwa, jika seroang wanita itu sudah mandi setelah ia terlepas dari haid, maka boleh bagi suaminya itu melakukan sebagaimana lazimnya seorang suami-istri.105 Pada akhir ayat ini Abdul Halim menjelaskan, bahwa Allah berfirman, “bahwasannya Allah mencintai orangorang yang taubat dan orang-orang yang suci.”

103Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 93 104Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 376 105Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 261 76

Abdul Halim mengatakan maksud dari kata tobat dalam ayat ini, yaitu mereka yang suci dari dosanya, sedangkan orang yang suci itu menurut Abdul Halim adalah mereka yang suci dari janabat dan juga suci dari hadas, baik itu hadas kecil maupun juga hadas besar.106 Terkait dengan permasalahan yang ada dalam ayat di atas, jika dilihat, maka dalam hal ini Abdul Halim menjelaskannya dengan meninjau dari segi bahasa, yang dilanjutkan dengan penjelasan dari ayat al-Qur’an dan juga dari hadis nabi. Selain itu Abdul Halim juga mengemukakan pendapat-pendapat para imam mazhab terkait dengan hukum yang ada di dalam ayat tersebut, namun dia tidak ada mengemukakan pendapat pribadinya atau condong terhadap satu pendapat mazhab terkait dengan permasalahan ini. Hal ini terkesan bahwa dalam penafsirannya Abdul Halim ketika membahas ayat ini hanya seputar pada ayat yang dibahasnya, namun tidak ada membahas terkait dengan permasalahan-permasalahan terkini, seperti jika ingin menunaikan haji, agar tidak terjadi haid di kala haji, maka ada obat atau pil yang bisa menunda datangnya haid itu.

2. Penafsiran Ayat-Ayat Mu’amalah a. Poligami

ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َوإ ْن خ ْف تُ ْم أَال ت ُ ْقسطُوا في الْي َتَامَ ى فَانْكحُوا مَا طَا َب لَكُ ْم م َن النّسَاء مَث ْنَ ى ِ ِ َّ ِ ِ ِ َوثَُال َث َوُربَاعَ ۖ فَإ ْن خ ْفتُ ْم أَال ت َعْدلُوا ف َ َواح َدةً أَْو مَا مَلَ َك ْت أَيْ َمانُكُ ْم ۚ ذَل َك أَدْن َ ى

أََّال ت َعُولُوا Artinya : “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak- hak)perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita- wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS : An-Nisa’, 3)

Ayat diatas, merupakan suatu ayat yang berbicara terkait dengan menikahi wanita lebih dari seorang atau biasa disebut dengan istilah poligami. Jika dilihat sampai saat ini, praktek ini menjadi isu yang masih hangat untuk dibahas di kalangan masyarakat, terutama di kalangan umat Islam. Sebab hal ini masih menjadi hal yang memiliki pro dan kontra di seluruh kalangan masyarakat, terutama di kalangan aktivis gender. Mereka melihat dalam hal ini adanya suatu ketimpangan atau ketidakadilan yang dihasilkan oleh satu tatanan sosial yang bersifat patriarki, maka dari itu mereka mencoba mendekontruksi serta merekonstruksi terhadap penafsiran-penafsiran ayat poligami, yang menurut mereka bias gender. adapun ulama yang mengatakan bahwa ayat ini ada kaitannya dengan perlindungan terhadap anak-anak yatim dari orang-orang yang bermaksud ingin berbuat zalim terhadap mereka. Diantaranya Muhammad Jarir al-Thabari, dimana

106Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 93 77 iasetuju dengan pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan kekhawatiran seseorang terhadap penggunaan harta anak yatim yang ditinggal oleh walinya dengan cara tidak adil. Dengan kekhawatiran seperti itu, yaitu tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim, maka begitu jugalah kekhawatiran terhadap perempuan. Untuk itu janganlah kamu menikahi mereka jikalau kamu tidak dapat berbuat adil, dan nikahilah wanita mana saja yang menurut kamu dapat berbuat adil terhadap mereka.107 Selanjutnya, Rasyid Ridho yang berpendapat bahwa, maksud dan tujuan diturunkannya ayat ini adalah untuk memberantas kejahatan atau tradisi zaman jahiliyah yang dinilai tidak manusiawi. Dimana pada saat itu para wali anak-anak yatim mengawini anak yatimnya ketika mereka sudah beranjak dewasa, dengan tidak memberikan mahar yang layak dan tidak memberikan hak-haknya, sebagaimana dia memberikan kepada wanita lainnya. Dan ia juga bermaksud mengambil harta anak yatim tersebut dengan menempuh jalan yang tidak baik, seperti menghalangi anak- anak yatim tersebut untuk tidak menikah dengan pria lain, agar dia bisa mengusai harta anak yatim itu sesukanya. Dengan demikian dengan turunnya ayat ini berguna untuk meng hapus tradisi-tradisi atau kebiasaan yang telah lama di zaman jahiliyah yang menikahi perempuan yang banyak tanpa batas dan memperlakukan istri-istrinya secara tidak adil.108 Ashgar Ali Engineer menurutnya, ayat ini turun setelah terjadinya perang Uhud. Diketahui bahwa terdapat 70 orang dari 700 laki-laki yang ikut dalam peperangan ini telah gugur atau mati syahid. Dari peristiwa ini kemudian banyak dari kaum perempuan yang telah ditinggal mati oleh suaminya, sehingga banyak yang menyandang status janda dan anak yatim. Atas dasar konteks inilah kemudian para sahabat diperintahkan untuk melakukan poligami dengan menikahi mereka. Tetapi menurut Ali ini bukanlah merupakan bagian dari solusi yang tepat untuk melakukan poligami, sebab, sebelum peperangan masyarakat Islam juga sudah mengenal yang namanya poligami, bahkan dengan jumlah yang tidak memiliki batas.109 Islam pada dasarnya tidak melarang terhadap praktek poligami, dan bukan berarti Islam juga yang melegitimasi terhadap diperbolehkannya praktek poligami ini, Berdasarkan sejarahnya, bahwa poligami bukanlah suatu praktik yang terjadi pada masa Nabi Muhammad, melainkan praktik ini merupakan suatu peristiwa sejarah yang telah lama adanya, sebelum masa kenabian Muhammad Saw. Praktik poligami ini merupakan praktik yang telah dikenal sebelumnya oleh masyarakat luas, termasuk di kalangan para nabi, seperti yang terjadi pada nabi Ibrahim a.s. yang mana ia menikahi Siti Hajar, disamping ia telah memiliki seorang wanita yang telah dinikahinya yaitu Siti Sarah. Jadi tidak benar bahwa praktek poligami ini merupakan

107Ibnu Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan, h. 155 108Rasyid Ridho, Tafsir Al-Manar, Vol. 4, (Mesir : Dar Al-Manar, 1347 H), h. 347- 348 109Ashgar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam, Terjm. Amiruddin ar-Raniy dan Cicik Farcha Assegaf, (Yogyakarta : LSPPA, 1994), h. 143 78 bagian dari sunnah fi’liyah yang disandarkan kepada nabi Muhammad Saw,110 sebagaimana apa yang telah dituduhkan oleh sarjana Barat kepada Islam. Selain itu ulama tafsir lainnya, yaitu Zamakhsyari, mengenai ayat ini dia mengatakan bahwa, huruf waw yang ada ditengah-tengah kata matsna, tsulasa, dan ruba’, itu yang berarti memiliki makna penjumlahan. Sebab itu dia memiliki pandangan yang berbeda dengan dengan ulama tafsir pada umumnya, dimana ia mengatakan bolehnya menikahi perempuan lebih dari empat orang, yaitu sembilan orang, jika seorang laki-laki tersebut yakin degan dirinya akan dapat berlaku adil terhadap perempuan tersebut.111 Hal yang berbeda juga diungkapkan oleh Al-Razi dalam tafsirnya, dia menyebutkan satu pendapat yang menyatakan bahwa batas maksimal menikahi perempuan yaitu delapan belas. Hal ini didasarkan analisa terhadap makna dari kata- kata mastna, tsulasa’ dan ruba’. Bagi mereka makna dari kata mastna bukan berarti dua melainkan isnaini-isnaini yang bermakna dua dua yang berarti jumlahnya adalah empat. Begitu juga dengan makna tsulasa’ yang bermakna tiga tiga yang berarti enam, dan ruba’ yang bermakna empat-empat yang berarti delapan. Dengan demikian jika ini dijumlahkan maka hasilnya adalah delapan belas.112 Pendapat inilah kemudian menjadi dasar bagi orang-orang yang membolehkan menikahi wanita dengan batas maksimal delapan belas. Dalam pembahasan ayat ini, Abdul Halim sendiri memberikan tema terkait dengan ayat diatas adalah, “nikahilah perempuan itu dua, tiga atau, empat. Ia mengawali penafsirannya dengan mengemukakan asbabu an nuzul (sebab turun ayat), dimana keterangan ini ia ambil dari kitab shahihain, Sunan Nasa’i, Baihaqi, begitu juga dalam tafsir Ibnu Jarir, Ibnu Munzir, dan Ibnu Abi Hatim. Menceritakan dari Urwah bin Zubair, yang ketika itu bertanya kepada bibinya Aisyah Ummu al- Mukminin terkait dengan ayat ini, dan Aisyah pun berkata, “Wahai anak saudaraku! Perempuan itu berada dalam pemeliharaan walinya, bersama-sama dengan harta yang dipusakainya, sedang orang itu suka kepada harta harta dan kecantikan anak yatim itu. Dia bermaksud mengawinanya dengan tidak berlaku jujur menurut pembayaran yang diserahkannya kepada orang lain. Sebab itu maka dilarang lah menikahinya, kecuali jika mau berlaku jujur dengan memberikan mahar yang sebaik-baiknya dan bersamaan dengan mahar itu disuruh juga menikahi perempuan yang lain-lain.”113 Berdasarkan keterangan Aisyah diatas, maka Abdul Halim berpendapat, jika seseorang merasa tidak mampu untuk berlaku jujur dalam pernikahannya dengan anak-anak yatim yang berada di dalam penjagaannya, maka hendaknya orang itu membatalkan niatnya untuk menikahi anak-anak yatim itu, dan nikahilah wanita- wanita lain yang menurut pandangannya itu baik. Baik itu satu, dua, tiga atau empat

110Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 2004), h. 162 111Abu Al-Qasim Mahmud Ibn Umar al-Zamakhshari, Al-Kassa>f‘an Haqa>iqi Ghawa>midi al-Tanzi>l, (Beirut : Dar al-Kitab, 1987), h. 77 112Fakhr al-Din al-Razi, Al-Tafsi>r Al-Kabi>r, Juz V, h. 182 113Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 192 79 orang.114 Dan ia menguatkan pernyataannya ini juga dengan perkataan Rabi’ah yang mengatakan “tinggalkan anak-anak yatim itu dan kawini yang lain”. Abdul Halim juga mengutip perkataan Muhammad Abduh, dimana di dalam tafsirnya ia menyebutkan dengan sebutan “Ustaz Al-Imam”. Ia berkata “apabila kamu bermaksud hendak mengawini anak yatim dan kamu merasa takut akan termakan hartanya, maka janganlah kamu kawinin anak yatim itu dan kawinlah dengan perempuan lain yang baik-baik”. Selain itu, Abduh juga berkata, dari keterangan Aisyah ini, dia menyimpulkan bahwa, dari sini telah tampak jelas antara perintah untuk menikah dengan memelihara anak yatim. Dia mengatakan bukan berarti bahwa takutnya seseorang menikah dengan anak yatim merupakan sebuah syarat dari diperbolehkannya menikah dengan wanita lain. Ulama sepakat bahwa syarat dalam ayat ini, bukanlah menjadi sebuah ketentuan untuk menikahi wanita lain hingga empat orang.115 Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar, dimana ia memulai penafsirannya dengan riwayat dari Aisyah yang menjawab pertanyaan dari sepupunya Urwah bin Zubair. Dari kisah ini, maka Hamka berpendapat bahwa ayat ini ada hubungannya dengan ayat sebelumnya, yaitu surat An-Nisa ayat 2, tentang memelihara harta anak yatim. Dimana di ayat kedua ini dijelaskan jangan sampai ada perlakuan aniaya dan curang terhadap anak yatim itu. Sebab akan ada masanya seorang wali mengembalikan harta anak yatim itu ketika dia ingin menikah. Namun seorang wali anak yatim itu memiliki niat yang tidak baik dalam pikirannya, sehingga dia ingin cepat-cepat menikahinya, agar harta anak yatim tersebut tetap ditanganya. Dengan niat seperti ini, maka Hamka berkesimpulan ayat ini melarang seseorang menikahi anak yatim karena memiliki niat tidak baik tersebut, dan lebih baik menikahi wanita lain walau sampai empat orang.116 Berbeda dengan penafsiran Hasbi Ash-Shiddieqy, dimana ia tidak menggunakan asbabun nuzul dalam tafsirnya ketika menjelaskan ayat ini. dia mengatakan bahwa, jikalau seorang wali khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim yang ingin dinikahinya, dan memiliki niat ingin menghabiskan hartanya, maka janganlah kamu menikahi mereka, dan jangan pula kamu menghalangi mereka ketika mereka hendak menikah dengan laki-laki lain. Namun nikahilah wanita lain satu, dua, tiga hingga empat orang.117 Abdul Halim dengan mengambil pendapat dari jama’ah salaf juga mengatakan bahwa, ayat ini datang me-nasakh-kan perbuatan-perbuatan yang telah terjadi pada saat zamannya Jahiliah dan permulaan Islam, dimana seorang laki-laki diperbolehkan mengawini perempuan-perempuan yang mereka sukai dengan jumlah yang tidak terbatas, dengan kemampuan dan kesukaan hati mereka saja. oleh sebab itulah dia menjadi sasaran dua kalimat, yaitu, pertama, jika mereka merasa takut tidak akan bisa berbuat adil terhadap perempuan-perempuan dan yang kedua, jika mereka

114Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 192 115Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 192 116Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 289 117Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 757 80 merasa berat kawin dengan anak-anak yatim namun tidak merasa berat dengan perempuan-perempuan lain.118 Berdasarkan ayat ini, dan pendapat jama’ah salaf yang dikutipnya, maka Abdul Halim berpendapat bahwa, haram bagi siapapun yang menikahi perempuan atau wanita lebih dari empat orang. Dan dia tidak setuju dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa boleh menikahi wanita hingga sembilan orang, dari jumlah yang ditambahkan dua, tiga dan empat. Karena menurutnya kata “au” dalam ayat ini itu memiliki arti “atau”, jadi maknanya, boleh bagi seseorang menikahi wanita dua, atau tiga atau empat, sifatnya adalah pilihan, dan bukan jumlahan dari angka tersebut. dan dia juga berpendapat bahwa menikah dengan wanita lebih dari empat orang itu hanyalah ketentuan bagi Nabi Muhammad SAW saja, dan tidak diperuntukkan bagi yang lain.119 Hal ini dia perkuat dengan hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Tirmizi, ia berkata, “Bahwasannya Ghailan bin Salamah Tsaqofi telah memeluk agama Islam sedang dia mempunyai sembilan orang istri yang dikawininya pada zaman Jahiliah dan semuanya memeluk agama Islam bersama-sama dengan dia. Maka Nabi memerintahkan kepadanya, supaya dipilihnya empat orang saja di antara mereka dan menceraikan yang lain.”120 Hasbi Ash-Shiddieqy memiliki pendapat yang sama dengan Abdul Halim, yang mengatakan bahwa biasanya kata “au” bagi orang Arab itu diartikan, bolehnya kita mengambil wanita sebanyak, satu orang atau dua, atau tiga atau empat oran. Jadi menurut Hasbi kata “au” di dalam ayat ini merupakan sebuah pilihan, dan bukan berarti semua itu dijumlahkan sehingga menjadi Sembilan orang.121 Sedangkan Hamka tidak menyebutkan berapa jumlah wanita yang boleh dinikahi, tetapi dengan diperbolehkannya menikahi wanita hingga empat orang dalam tafsirnya,122 menurut penulis, ini menunjukan bahwa Hamka membolehkan hanya sampai empat orang wanita saja. Dapat dilihat bahwa adanya perbedaan penafsiran terhadap batas jumlah wanita yang ingin dinikahi. Hal ini terletak pada perbedaan arti dari kata “au”, dimana sebagian ulama tafsir seperti yang telah diterangkan diatas, ada yang mengatakan merupakan penjumlahan, dan ada yang mengatakan merupakan pilihan. Dan ada juga yang menafsirkan bahwa angka yang terdapat dalam ayat ini merupakan kelipatan, sehingga batas jumlah wanita yang boleh dinikahi adalah delapan belas. Selanjutnya, Abdul Halim juga mengemukakan perbedaan pendapat dikalangan ulama mazhab terkait dengan seorang hamba yang diperbolehkan menikahi perempuan lebih dari dua orang. Yang pertama, dalam salah satu riwayatnya Imam Malik berkata, “seorang hamba boleh menikahi hingga empat orang, berdasarkan dalil ayat diatas.” Berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan, “ ayat ini hanya ditujukan kepada orang yang merdeka saja, sebab ujung ayat ini berbunyi, “maka jika kamu merasa takut tidak dapat berlaku adil, cukuplah seorang saja atau

118Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 193 119Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 193 120Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 193 121Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 757 122Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 290 81 apa yang telah kamu miliki.” Kata “miliki” disini menunjukan kepada seorang yang merdeka yang memiliki hamba.123 Terkait dengan seseorang yang memiliki istri hingga empat orang, Abdul Halim memiliki pendapat, dimana sifat keadilan kepada istri-istri yang dinikahinya adalah hal yang nomor satu untuk dilakukan, dalam segala hal, baik itu giliran maupun memberikan nafkah kepada istri-istri yang mereka nikahi. Dan jika hal ini terasa tidak sanggup mereka lakukan, maka Abdul Halim berpendapat cukup satu istri saja, tanpa menikahi wanita-wanita lainnya. Sebagaimana dalam tafsir Al-Ahkamnya dia mengatakan “ jika kamu merasa takut tidak dapat berbuat adil di dalam memenuhi giliran masing-masing di antara istri-istri itu, atau tidak dapat berlaku adil dalam membagi nafkahnya, maka kamu kawinilah seorang saja, atau nikahilah sahaya- sahaya perempuan (amah). Namun disini Abdul Halim menjelaskan, yang dimaksud dengan menikahi sahaya adalah membeli mereka, dan bukan dengan jalan mengawini mereka, sebab sahaya-sahaya itu tidak memilki hak apapun dalam hal giliran maupun pembagian rezeki dan lainnya.124 Hasbi Ash-Shiddhiqy juga memiliki penafsiran yang sama dengan Abdul Halim terkait dengan keadilan diantara istri-istri yang dinikahi. Menurutnya, cukuplah bagi seorang laki-laki itu menikah dengan seorang wanita merdeka saja, atau cukup dengan budak-budak yang telah mereka miliki, karena dikhawatirkan dengan banyaknya istri, seseorang tidak dapat berlaku adil diantara mereka. Dan menurut Hasbi sangat sulit untuk bersifat adil diantara mereka. Karena adil yang dimaksudkan Hasbi disini adalah kecondongan hati seseorang. Dan tidak mungkin perasaan cinta terhadap istri-istrinya memiliki kadar yang sama.125 Mengenai seorang hamba, atau dikenal dengan istilah budak, Hamka disini mencoba mengaitkannya dengan kejadian sosial yang ada pada zaman dahulu terkait halnya dengan perbudakan, dengan zaman sekarang yang sudah tidak ada lagi tradisi perbudakan itu. Pada saat itu adanya perbedaan sikap terhadap orang merdeka yang dinikahi dengan seorang budak yang dinikahi. Jika wanita merdeka memiliki mahar yang harus dibayar seorang laki-laki, sedangkan seorang budak tidak perlu membayarnya. Dan seorang tuan memiliki hak apa saja terhadap budaknya itu, termasuk menggaulinya. Maka terkait dengan hal ini Hamka berpendapat, untuk saat ini tidaklah menjadi sebuah alasan bagi seorang pemuda yang tidak sanggup menikah, lantas dia menggauli pembantunya selayaknya suami-istri. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang dahulu.126 Pada ujung ayat “yang demikian itu adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya,” Abdul Halim disini lagi-lagi, dalam tafsirnya, ia menjelaskan maksud ayat ini dengan keterangan dari beberapa ulama dengan yang memiliki perbedaan pendapat terkait Diantaranya Syafi’i yang berpendapat bahwa, ini yang ”.أ اَّل ت ع ول وا“ dengan makna berarti, agar seseorang lebih dekat kepada tidak memiliki anak yang banyak, disebabkan seseorang mengawini banyak perempuan. Sebab dikhawatirkan dengan banyaknya anak, kamu tidak bisa mengurusnya, dan bahkan kamu bisa jadi

123Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 193 124Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 194 125Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 757 126Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 309 82 menelantarkan mereka. Inilah yang kemudian dimaksudkan dengan perbuatan dzalim. Kemudian Abdul Halim juga memaparkan pendapat Tsa’labi yang menolak atas keterangan Syafi’i diatas. Tetapi menurut Abdul Halim keterangan Tsa’labi ini dapat dijawab, bahwa menurutnya ulama sebelum Syafi’i juga menafsirkan hal yang sama dengan Syafi’i, diantaranya adalah Zaid bin Aslam dan Jabir bin Zaid, dan mereka semua tidaklah akan menafsirkan al-Qur’an itu, kalau tidak memiliki kemampuan bahasa Arab. Hal ini dia perkuat dengan sebuah riwayat dari tabiin, telah diceritakan oleh Al-Qurthubi, dari Ahmad, Ibnu Amri Duri dan Ibnu Arabi, bahwa Ibnu Hatim berkata, “Syafi’i adalah orang yang lebih mengerti bahasa Arab dari pada kita, barangkali yang dikatakannya itu adalah satu lughat (bahasa).”127 Abdul Halim juga memperkuatnya dengan mengambil perkataan dari Ibnu Amri Al-Duri, dia berkata “ kata alla dengan makna banyak adalah bahasa Himyar. Mereka berkata, وإن الموت يأخذ كل حي بال شك وإن أمشى وعال Artinya : “mati itu akan menjemput segala yang bernyawa, tak ragu, sekalipun dia punya ternak dan banyak pula.”

Hasbi dan Hamka memiliki pandangan yang sama dengan Abdul Halim dalam penafsirannya. Hamka juga mengutip pendapat Syafi’i yang mengatakan, “agar kamu tidak banyak tanggungan.” Artinya dengan banyak istri, maka banyakla pulak anak. Dikhawatirkan kamu tidak dapat menjaga titipan Allah (Istri dan anak) oleh karena kamu bukan dari kalangan orang kaya. Terhadap istri kamu tidak bisa membagi kasih sayang, dan kepada anak, kamu tidak bisa mengasuhnya dengan baik, seperti menyekolahkannya dan lain sebagainya.128 Sedangkan Hasbi mengambil keterangan dari kitab Sirrul Islam yang diterangkan oleh al-Amir Ali yang mengatakan bahwa, ulama Mu’tazilah melarang seorang laki-laki beristeri hingga dua orang. Mereka melihat praktek poligami ini memiliki banyak kerusakannya jika dilakukan, ketimbang kemashlahatan yang ada di dalamnya. Dengan begini, Hasbi menyarankan kepada pemuka hukum dan ahli fatwa, agar mempertimbangkan maslahat dari pada kerusakan ketika memutuskan sebuah hukum.129 Penulis melihat bahwa ketiga ulama ini lebih menyarankan kepada seorang laki- laki seharusnya untuk lebih kepada monogami. Hal ini agar terhindar dari perbuatan dzalim terhadap wanita yang dia nikahin, dan terhadap anak-anak yang dia milikidari istri-istrinya itu. Dan dikhawatirkan juga seorang laki-laki yang menikahi wanita lebih dari satu, tidak dapat berbuat adil kepada anak dan istri-istri mereka. b. Menikah Lintas Agama ِ ِ ِ ِ ِ َوَال ت َنْكحُوا الْمُ ْشرَِكات َحتَّ ى ي ُ ْؤم َّن ۚ َوَألَمَةٌ مُ ْؤمنَةٌ َخي ْ ٌر م ْن مُ ْشرَِكة َولَ ْو أَعْ َجب َتْكُ ْم ۗ ِ ِ ِ ِ ِ َوَال ت ُنْكحُوا الْمُ ْشرِكي َن َحتَّ ى ي ُ ْؤمنُوا ۚ َولَعَبْ ٌد مُ ْؤم ٌن َخيْ ٌر م ْن مُ ْشرِك َولَ ْو أَعْ َجبَكُ ْم ۗ

127Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 194 128Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 294 129Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 758 83

ِ ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِِ ِِ ِ ِِ ِ أُولَئ َك يَ ْدعُو َن إلَى النَّار ۖ َواللهُ يَ ْدعُو إلَى الْ َجنَّة َوالْ َمغْف َرة بإذْنه ۖ َوي ُب َيّ ُن آيَاته للنَّا ِس َّ لَعَلهُ ْم ي َتَ َذ َّك ُرونَ Artinya : “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS : Al-Baqarah, 221)

Ayat ini berbicara terkait dengan hukum menikah dengan wanita-wanita musyrik, dan sebaliknya menikahkan wanita-wanita mukmin dengan laki-laki musyrik. Dalam ayat ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Hal ini terkait dengan pemaknaan pada kata musyrik dalam ayat ini. untuk itu sebelum masuk pada pembahasan, penulis terlebih dahulu akan memaparkan beberapa pendapat ulama terkait dengan kata musyrik. Kata “musyrik” merupakan isim fa’il dari kata asyraka-yusyriku-isyrakan, secara literal kata ini memiliki makna yang berarti menyekutukan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Tetapi, kata syirk ini lebih dikenal dengan seseorang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu atau benda-benda lain. Maka oleh sebab itu bagi siapa yang melakukan perbuatan syirk ini disebut dengan panggilan musyrik.130 Sedangkan secara historis, kata “syirk” ini menunjukan kepada suatu perbuatan orang-orang Mekkah yang menyembah suatu obyek fisik, sebagai contoh misalnya, patung atau juga benda-benda keramat yang mereka anggap suatu yang sakral.131 Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan kata musyrik dalam ayat ini yaitu, mereka perempuan-perempuan para penyembah berhala dan juga perempuan-perempuan yang beragama majusi, hal ini ia nukil sebagaimana pendapat dari Abu Hanifah, Imam Malik, As-Syafi’i dan juga Al-Auza’i, yang mengatakan bahwa dilarang menikah dnegan wanita-wanita majusi. Ia juga menmbahkan bahwa, tidak ada kontradiksi antara surat al-Baqarah dan Al-maidah, sebab secara dzahir lafazd syirik itu termasuk ahl kitab.132 Ibnu Katsir dalam tafsirnya al-Qur’an Al-Azhim, menjelaskan makna musyrik dengan meriwayatkan, bahwa Abu Abdillah Ibn Hanbal pernah ditanya perihal siapa saja yang tergolong ke dalam orang-orang yang musyrik dalam ayat tersebut, Ibn Hanbal pun menjawab yaitu mereka perempuan-perempuan musyrik Arab yang telah

130Ibn Manzhur, Lisa>n al-‘Ara>b, (Kairo : Dar al-Hadist, 2003), Jilid V, h. 95 131Farid Esack, Qur’an, Liberation, and Pluralism : An Islamic Perspective of Interre;ihious Solidarity Against Oppression, (Oxford : One World, 2001), h. 154 132Imam Al-Qurthubi, Al Jami>’ li Ahka>m Al-Qur’a>n, Juz I, (Kairo : Dar Al-Kitab Al- Mishriyah, 1964), h.151 84 menyembah patung.133Berdasarkan periwayatan ini, maka Ibnu Katsir berpendapat bahwa orang-orang musyrik yaitu mereka para penyembah berhala atau patung. Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa wanita musyrik yang tidak boleh dinikahi dalam ayat tersebut adalah wanita musyrik secara keseluruhan, baik itu dari Arab maupun non-Arab. Sampai mereka mau beriman kepada Allah Swt dan meyakini apa yang telah datang kepada nabi Muhammad Saw. Jika mereka tetap bertahan dengan keyakinan mereka anut, maka tidak ada alasan bagi seorang muslim menjalin kekeluargaan dengan mereka melalui pernikahan.134 At-Thabathaba’i dalam tafsirnya Al-Mizan, ia mengatakan bahwa syirik itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu syirik khafi dan syirik dzahir. Yang dimaksud dengan syirik dzahir menurutnya adalah mereka yang menjadikan Tuhan itu banyak, serta menjadikan patung dan berhala sebagai sesembahan mereka, sedangkan syirik khafi adalah mereka yang mengingkari kenabian, termasuk ahl kitab. Terutama bahwa mereka menganggap Isa al-Masih atau Uzair merupakan anak Tuhan, hal ini merupakan bagian dari perbuatan syirik.135 Senada dengan juga apa yang telah disampaikan oleh Sayyid Qutub dalam tafsirnya bahwa, ia mengartikan makna musyrik yaitu, seseorang yang berakidah atau mempercayai bahwa Al-Masih adalah putera Maryam, dan juga meyakini bahwa Uzair adalah putera Allah. Maka musyrik menurut Sayyid Qutub adalah seseorang yang menyekutukan Allah dengan makhluknya baik dari segi sifat ataupun wujud- Nya.136 Wahbah az-Zuhaili menurutnya makna musyrik adalah seseorang yang tidak memiliki agama samawi dan kitab samawi, yaitu mereka para penyembah berhala atau patung, bintang dan api.137 Sedangkan Ali Al-Shabuni memberikan makna yang sama dengan az-Zuhaili bahwa makna musyrikat itu adalah mereka para penyembah berhala dan tidak memiliki agama samawi, hanya saja ia memasukkan ahl kitab juga bagian dari orang-orang musyrik, sebagaimana firman Allah dalam QS : Al- Bayyinah, 1.138 Makna musyrik bagi Muhammad Rasyid Ridha sebagagimana yang ia jelaskan dalam tafsirnya, bahwa kata musyrik yang dimaksud dalam ayat ini tidak termasuk perempuan-perempuan ahl kitab di Arab. ia menyebutkan juga dalam keterangannya bahwa ada sebagian lain yang mengatakan bahwa sebagian ahl kitab termasuk dalam katagori musyrikat, sebagaimana Allah berfirman dalam QS : At-Taubah, 31, dan QS : An-Nisa’, 4. Tetapi menurut Rasyid Ridho, banyak yang bependapat bahwa makna

133Ibnu Katsir, Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-Azhi>m, (Beirut : Dar al-Fikri, t.th), h, 242 134Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsi>r al-Ma>raghi>, (Mesir : Mathba’ah al-Hilabiyah, 1946), h. 120 135Muhammad Husein ath-Thaba>thaba>’i>, al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, Juz II, (Beirut : Lebanon, 1997), H. 206 136Sayyid Qutub, Tafsi>r fi Zhila>l Al-Qur’a>n, (Beirut : Dar al-‘Arabiah, t.t.), Jilid I, h. 286 137Wahbah az-Zuhaili, al-Tafsi>r al-Muni>r fi> Aqi>dati wa syari>’ati wa Manha>j, (Damaskus : Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1989), Juz II, h. 291 138Muhammad Ali Shabuni, Tafsi>r Aya>t al-Ahka>m, (Mekkah : Dar al-Qur’an, t.t), h.289 85 musyrik atau musyrikat sebagaimana yang dimaksudkan dalam al-Qur’an adalah perempuan-perempuan Arab yang tidak memiliki kitab suci, sebagaimana Allah berfirman dalam QS : Al-Bayyinah, 1.139Dari keterangan diatas dapat dilihat bahwa Rasyid Ridho menilai orang-orang musyrik adalah mereka yang tidak memiliki kitab pada saat itu. Quraish Shihab dalam tafsirnya ia mengartikan kata syirik yaitu mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Ia juga menjelaskan kata syirik dari sudut pandang agama, bahwa seorang yang musyrik itu adalah orang-orang yang percaya bahwa ada Tuhan selain Allah, atau siapa saja yang melakukan aktivitas dengan tujuan ganda, yang pertama kepada Allah dan yang kedua selain-Nya. Maka siapa saja yang mempersekutukan Allah dari sudut pandang tinjauan ini, ia adalah seorang yang musyrik.140 Namun dia juga membedakan kata musyrik dalam istilah agama dan al-Qur’an. Dia mengatakan bahwa, jika ditinjau dari istilah al-Qur’an maka orang Kristen yang percaya kepada Tuhan Bapak dan Tuhan Anak tidak dinamakan dengan orang-orang musyrik melainkan menemai mereka dengan Ahl al- Kitab, sedangkan dari sudut pandang agama mereka adalah orang yang telah mempersekutukan Allah.141 Pada awal penafsiran, Abdul Halim memberikan penjelasan terkait dengan .yang berarti memiliki makna, janganlah kamu nikahi atau kawini وَّلتنكحوا makna Menurut Abdul halim, kalimat ini merupakan sebuah larangan Allah kepada kaum muslimin secara umum atau menyeluruh, tanpa pengecualian. Dengan kata lain bahwa Allah SWT tela melarang seluruh kaum muslimin menikahi perempuan- perempuan musyrik.142 Selain itu, Abdul Halim juga memaparkan sebab turun ayat ini (asbabun nuzul). Bahwa, “ayat ini diturunkan kepada Abu Marsad Al-Ghinawi ketika ia diutus Rasulullah ke Mekkah, di sana dia bertemu dengan seorang perempuan musyrik yang bernama Inaq, yang telah berkenalan dengannya pada masa zaman Jahiliyah. Perempuan itu memintanya agar Abu Marsad mengawininya, namun Abu Marsad belum mau mengabulkan permintaannya dan berjanji akan terlebih dahulu menanyakannya kepada Rasulullah SAW di Madinah. Sesampainya ia di Madinah, ditanyakannya hal itu kepada Rasulullah, maka berdasarkan kasus tersebut turunlah ayat ini.”143 Terkait dengan asbabun nuzul di atas Buya Hamka menambahkan bahwa, Inaq pada saat itu juga sakit hatinya, sebab kecintaan lamanya dengan Marstad telah berubah, sejak Marstad masuk Islam, dan dia tidak diperhatikan lagi. Sebelum Mastad kembali ke Madinah, Inaq pun memerintahkan teman laki-lakinya untuk memukul Marstad atas kekecewaanya itu. Lalu diceritakanlah kepada Nabi kisahnya dengan Inaq. Dengan mengambil pendapat as-Suyuthi, maka lantaran kisah inilah ayat ini turun. Lanjutnya, dia mengatakan bahwa berdasarkan kisah ini juga, sebab

139Muhammad Rasyid Ridha, Tafsi>r al-Qur’a>nul Haki>m, Jilid II, (Beirut : Dar al- Kutb, 1999), H. 281 140Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 442 141Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 442 142Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 86 143Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 86 86 laki-laki yang beriman itu dilarang mengawini perempuan musyrik, karena bisa terjadi hubungan rumah tangga yang kacau dan berantakan. Apalagi kalau sudah memiliki anak, Hamka mengatakan kamu lebih baik terus terang, bahwa kamu mau menikah dengannya setelah dia mengatakan kalau dia sudah beriman (masuk Islam).144 Terkait dengan kata musyrik, Abdul Halim sendiri mengambil keterangan dari Qatadah, dan dia menjelaskan bahwa perempuan musyrik yang haram dinikahi dalam ayat ini yaitu, mereka perempuan kafir penyembah berhala.145 Selain itu, dia juga mengambil menjelaskan keterangan dari beberapa pendapat, namun tidak disebutkan pendapat ulama dan mazhab mana, melainkan dia hanya menyebutkan, bahwa adapula orang yang memahami kata musyrik secara umum. Mereka tidak saja menggolongkan penyembah berhala sebagai kaum musyrik, tetapi ahlul kitab bagi mereka merupakan bagian dari orang-orang musyrik juga, seperti Yahudi dan Nahsrani. Hal ini didasarkan atas firman Allah ta’ala dalam surat At-Taubah ayat 30 yang berbunyi, “Orang Yahudi berkata, Uzair anak Allah dan orang Nashrani berkata Isa al-Masih adalah anak Allah.”146 Menurut Hasbi Ash-Shiddiqi bahwa orang-orang yang musyrikah dalam ayat ini yaitu mereka yang tidak memiliki kitab, atau wanita Arab yang beragama musyrik, dan tidak termasuk di dalam nya, wanita musyrikah itu, wanita Tionghoa, Hindu dan sebagainya.147Sedangkan Hamka dalam tafsirnya, tidak ada membahas terkait dengan siapa musyrikah itu. Selanjutnya, Abdul Halim juga menyebutkan beberapa pendapat terkait dengan hukum boleh atau tidaknya menikahi ahli kitab. Diantaranya, yaitu salah satu keterangan dari qaul Syafi’i, yang mengatakan bahwa ayat di atas me-menaskh-kan ayat dalam surat Al-Maidah yang menghalalkan menikahi wanita ahli kitab. Dan menurut keterangan dari satu jamaah, keterangan ini lebih kuat. Namun keterangan ini ditolak oleh sebagian yang lain dengan alasan, bahwa surat al-Baqarah merupakan ayat yang diturunkan terlebih dahulu dari surat al-Maidah. Oleh karena itu, bagaimana mungkin ayat yang terlebih dahulu datang dapat me-naskh-kan ayat yang datang belakangan. Untuk itu, jelaslah bahwa surat al-Baqarah itu tidak dapat me- naskh-kan surat al-Maidah.148 Lebih lanjut, Abdul Halim juga menyebutkan beberapa pendapat ulama juga terkait dengan bolehnya menikahi wanita ahli kitab. Mereka mengatakan bahwa, surat al-Maidah datang untuk men-naskh-kan surat al-Baqarah yang mengharamkan menikahi wanita musyrik maupun ahli kitab. Atau dengan kata lain surat al-Maidah menurut mereka telah men-takhsis-kan surat al-Baqarah dengan artian, dikecualikan menikah dengan wanita-wanita ahli kitab. Demikianlah yang diceritakan dari Ibnu Abbas, Malik, Sufyan bin Sayyid, Abdurrahman bin Umar, dan Auza’i. begitu juga qaul dari Usman Ibnu Affan, Talhah, Jabir, Said bin Musayyab, Said bin Zubair, Hasan, Hasan, Thawus, Ikrimah, Sya’bi dan Dahhak, sebagaimana yang telah diceritakan Nahas dari Qurthubi. Abdul Halim juga menambahkan perkataan Ibnu

144Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 255 145Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 86 146Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 86 147Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 371 148Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 87 87

Muzdir yang diambil dari perkataan Umar Ibnu Al-Khattab, yaitu, “tidak dapat dibenarkan perkataan orang yang mengharamkan itu.”149 Hasbi Ash Shiddiqy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa, menikah dengan wanita-wanita kitabiyah seperti Yahudi dan Nashrani adalah suatu yang dihalalkan, sebagaimana dalam surat al-Maidah. Lain halnya dengan seorang perempuan dengan laki-laki kitabi, menurut Hasbi hal itu diharamkan, sebagaimana dalam sunnah dan ijma para ulama muslimin. Hikmah dari diharamkannya ini adalah, sebab wanita tidak memiliki hak sebagaimana seorang lai-laki, yang bisa mengendalikan perempuan, sehingga dapat membawa wanita itu ke jalan yang sesat dan merusak akidah wanita tersebut.150 Bagi Hamka surat al-Maidah datang untuk meringankan peraturan yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 221, dimana diperbolehkannya seorang muslim menikahi wanita ahli kitab, yaitu mereka orang Yahudi dan Nashrani. Karena menurut Hamka ajaran dasar pokok wanita ahli kitab memiliki kesamaan dengan laki-laki muslim, yaitu mengakui bahwa Tuhan yang satu.151 Namun, disebabkan mereka telah terpengaruh oleh ajaran pendeta-pendeta mereka, maka ada anggapan bahwa Allah beranak Isa almasih. Atau Isa almasih itu Allah. Terlepas dari pada sifat ta’ashub, yaitu mempertahankan keyakinan, maka menurut Hamka mereka yang mempercayai Tuhan itu beranak tidaklah bisa dapat mempertahankan keyakinan mereka, jika mereka kembali kepada akal yang murni. Maka dari itu menurut Hamka, jika seorang laki-laki yang kuat Islamnya berjodoh dengan wanita Yahudi maupun Nashrani, maka hal ini tidaklah dilarang, sebab pengecualian ini sudah diterangkan dalam surat al-Maidah ayat lima.152 Tidak sampai disini saja, Hamka juga mengungkapkan keterangan dari ulama- ulama fikih yang menerangkan bahwa, jika seorang istri yang berbeda agama dengan kita minta ditemani pergi ke gereja untuk melakukan sembahyang di hari Minggu, maka hendaknya suami yang Islam itu mengantarkannya, dan seorang suami tidak boleh melarang istrinya untuk melakukan ibadah dalam rumahnya. Menurut Hamka keterangan dari ulama fikih ini bermaksud untuk memperlihatkan kelapangan dada, atau disebut dengan toleransi dalam Islam. Namun sama hal nya dengan Hasbi, Hamka juga berpendapat bahwa, perempuan muslim tidak boleh menikahi laki-laki ahli kitab. Sebab kata Hamka, perempuan itu tidak memiliki kekuasaan sama dengan laki-laki dalam rumah tangga. Apalagi dalam agama lain, yang tidak memberikan jaminan kebebasan yang luas dalam peraturan agamanya terhadap perempuan, sebagaimana ajaran yang dimiliki orang Islam.153 Dia juga tampak dalam penafsirannya dengan mengungkapkan keadaan yang terjadi disekitarnya. dengan mengatakan bahwa, "walau perkawinan percampuran boleh, yaitu laki-laki Islam diperbolehkan menikah dengan perempuan yang lain agama dengannya, pada kenyataannya sekarang ini, jarang perkawinan lain agama yang menguntungkan Islam. Mereka menikah disebabkan karena pergaulan bebas, dan memperturutkan

149Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 87 150Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 372 151Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 257 152Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 257 153Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 257 88 rayuan cinta semata, yang berakhir dengan rusaknya agama kedua bela pihak, dan munculnya anak-anak mereka yang tidak menentu lagi agamanya.154 Jika dilihat, Hamka dalam hal ini lebih mementingkan menikah disebabkan karena agama, dan bukan hawa nafsu semata. Hal ini dia kisahkan bagaimana cintanya, pangeran Ali Khan menikah dengan seorang wanita yang berbeda agama dengannya, yang berakhir dengan perceraian. Tetapi Hamka tidak melarang seorang laki-laki muslim yang kuat agamanya menikah dengan perempuan yang berbeda agama dengannya. Hal ini dia contohkan kepada kisah temannya yang menikah dengan wanita yang berbeda agamanya. Yang berakhir dengan wanita dan keluarga perempuan itu masuk Islam.155 Lanjutan potongan ayat berikutnya yaitu, “sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari laki-laki musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” Abdul Halim menjelaskan bahwa yang dimaksud dari sambungan ayat ini adalah, sebuah perintah kepada wali muslimat, agar tidak menikahkan wanita atau anak perempuan mereka dengan laki-laki musyrik, betapapun tampannya mereka, kaya dan gagahnya mereka itu, sampai pada saatnya mereka telah beriman.156 Jika mereka telah masuk Islam, maka boleh bagi para wali menikahkan anak perempuan mereka dengan laki- laki musyrik. Lanjutnya, menurut Abdul Halim, berdasarkan potongan ayat di atas, baginya walaupun laki-laki itu adalah seorang budak yang rendah pangkatnya, atau buruk juga rupanya, dan tidak memiliki kekayaan atau apapun dan itu, maka itulah lebih baik bagi kamu, apabila kamu nikahkan anak perempuan kamu dengan mereka, dari pada kamu nikahkan dengan seorang laki-laki yang musyrik.157 Berdasarkan bunyi potongan ayat di atas maka Hasbi berpendapat bahwa, budak yang beriman itu lebih baik, sebab iman itu dapat menyempurnakan agama, sedangkan harta dan kemegahan menyempurnakan dunia. Baginya memelihara agama lebih utama daripada memelihara dunia, dan kesamaan dalam agama menurutnya dapat menghasilkan berbagai manfaat keduniaan bagi suami-istri. Sebab itu Hasbi juga melarang bagi kaum muslimin mengadakan perbesanan dengan orang- orang musyrik, baik itu menikahi wanita mereka, atau menikahkan wanita-wanita kita dengan mereka.158 Hamka sendiri melihat ayat ini turun, yaitu berawal dari seorang sahabat nabi yang gagah dan berani dalam perang yaitu Abdullah bin Rawahah. Pada suatu hari, Abdullah memerdekakan budak hitam yang shalihah, dan kemudian mengawininya, disaat itu pula, ada kabar yang mengatakan bahwa tidaklah layak Abdullah menikahi budak wanita hitam tersebut, karena masih banyak wanita lain yang mau dengannya. Berdasarkan kisah inilah kemudian ayat ini turun, bahwa menikahi budak beriman itu lebih baik. Untuk itu, dia berpendapat bahwa, kecantikan, ketampanan, dan juga

154Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 258 155Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 258 156Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 87 157Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 87 158Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 371 89 kekayaan, tidaklah bisa menjadi dasar kamu menikah dengan orang-orang musyrik, dan ini dilarang.159 Maka Abdul Halim mengambil kesimpulan bahwa, ayat di atas mengandung dua unsur larangan yang dihadapkan kepada kaum muslimin, yaitu tidak bolehnya kaum muslimin mengadakan hubungan perkawinan dengan dengan orang-orang musyrik, baik itu kaum muslimin mengambil ataupun diambil.160 Sebab menurut Abul Halim pada dasarnya wanita adalah tempatnya kepercayaan laki-laki (suami)untuk memelihara dan merawat dirinya, anak-anaknya, harta bendanya, serta kaum keluarga dan lain sebagainya. Untuk itu menurutnya, untuk kepentingan terkait dengan persoalan-persoalan di atas, maka kecantikan bukanlah suatu hal yang menjamin terlaksananya persoalan-persoalan itu dengan baik. Begitu juga denga harta dan kemuliaan tidak juga dapat menjamin kesemuanya terlaksana degan baik. Dan menurut Abdul Halim jika ketiga ciri-ciri diatas dihimpun menjadi satu, yaiu kecantikan, kemuliaan dan kekayaan, masih sukar menjamin bahwa wanita itu dapat dipercaya. Hanya dengan agamalah yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut.161 Abdul halim juga memberikan penjelasan dalam tafsirnya, terkait dengan seorang perempuan ahli kitab namun dia musyrik. Menurutnya walaupun illat itu terletak pada perempuan ahli kitab, seperti pada kasus istri nabi Nuh dan istri nabi Luth as. Keduanya adalah perempuan-perempuan musyrik walaupun mereka adalah istri-istri nabi.162 Hal ini dapat dilihat sebagaimana dalam surat At-Tahrim ayat 10.

َّ َِّ ِ ِ ِ ِ ضَ َر َب اللهُ مَثَ ًال للذي َن َكفَ ُروا ا ْم َرأَ َت نُو ح َوا ْم َرأَ َت لُوط ۖ َكان َتَا تَ ْح َت عَبْ َديْنِ م ْن عب َادنَا ِ ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ صَال َحيْنِ فَ َخان َتَاهُ َما ف َلَ ْم ي ُغْنيَا عَن ْهُ َما م َن الله شَيْ ئًا َوقيلَ ادْخُ َال النَّا َر مَعَ ال َّداخل ي َن

Artinya : “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perempamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba kami, lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari Allah, dan dikatakan (kepada keduanya), “masuklah ke neraka bersama-sama yang masuk (mereka).” Berdasarkan ayat inilah kemudian Abdul Halim berpendapat bahwa kafir bukanlah menjadi illat yang mengharamkan menikahi mereka, melainkan yang menjadi illat nya adalah karena mereka tidak dapat dipercaya (berkhianat).163 Menurut penulis Abdul Halim disini hanya terfokus dengan bunyi ayat saja, baik itu ,dan pada surat at-Tahrim ayat 10 ( وَّلتنكح المشركات) pada ayat al-Baqarah ayat 221 yang mana Abdul Halim mengambil ayat ini sebagai penguat larangan menikahi wanita musyrik. bukan karena kekafiran mereka saja, melainkan juga sebab mereka orang-orang yang tidak bisa dapat dipercaya (berkhianat).

159Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 255 160Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 88 161Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 88 162Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 88 163Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 88 90

Ayat di atas diakhir dengan kalimat yang berbunyi “mereka menyeru kepada ke neraka.” Abdul Halim berpendapat maksud kata “ mereka” dalam sambungan dari ayat ini adalah, mereka kaum musyrik. Menurutnya hubungan perkawinan adalah sebuah hubungan yang sangat efektif menarik seseorang kepada kemusyrikan. Berdasarkan inilah kemudian menurutnya menikahi wanita-wanita musyrik itu dilarang selain kitabi. Begitu juga, menurut dia berdasarkan ayat ini dilarang seseorang menikahi wanita muslim dengan seorang laki-laki musyrik ataupun laki- laki kitabi. Dan menurut Hamka, berdasarkan sambungan ayat ini,baginya ini sudah berlainan arah dengan kaum muslimin yang bertauhid dengan mereka yang masih musyrik. Maka jika seseorang sudah berlainan pendirian saja, hal itu bisa mengacaukan hubungan dalam rumah tangga seseorang. Apalagi, jika dalam rumah tangga itu sudah memiliki seorang anak. Menurut Hamka pertumbuhan seorang anak itu tidak akan berjalan dengan baik, jika dibawah asuhan seorang ayah dan bunda yang berlainan pendirian.164 Untuk itu Abdul Halim berpendapat, bahwa baik laki-laki musyrik maupun wanitanya, baik perkataan mereka maupun perbuatannya, selamamnya mengajak dan menarik orang-orang supaya masuk ke dalam neraka, terutama pengaruhnya dalam ikatan suami-istri yang begitu mendalam dan meresap. Sebab ini jugalah Abdul Halim melarang seorang muslim menikah dengan wanita musyrik atau sebaliknya.165 Menurut penulis, berdasarkan pemaparan penafsiran Abdul Halim di atas, tampak dalam hal ini Abdul Halim dalam menjelaskan keterangan-keterangan maksud ayat al-Qur’an dengan menggunakan ayat lain (tafsir ayat bil ayat), kemudian keterangan dari sahabat (tafsir bil riwayah) dan juga pendapat ulama (qaul ulama). Dan jika dilihat Abdul Halim dalam hal ini juga tidak ada menyinggung persoalan-persoalan yang ada ketika dia menafsirkan. Berbeda dengan Hamka, sebagaimana penulis suda paparkan, dimana dia menyinggung persoalan-persoalan disaat dia menafsirkan. Dan ini juga tidak dilakukan oleh Hasbi dalam penafsirannya. c. Laki-Laki Mengatur Perempuan ِ ِ ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ال ّر َجا ُل ق َ َّوامُو َن عَلَى النّسَاء ب َما فَضَّلَ اللهُ ب َعْضَهُ ْم عَلَ ى ب َعْض َوب َما أَن ْفَقُوا م ْن أ َْم َوالهمْ

Artinya : “Kamu laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dank arena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS : An- Nisa’, 34)

Ayat diatas berbicara terkait dengan kepemimpinan laki-laki atas perempuan, dimana laki-lakilah yang lebih berhak untuk menjadi pemimpin dari pada perempuan. Hal ini didasarkan atas penafsiran sebagian ulama, yang menafsirkan kata qawwam sebagai pemimpin. Ayat ini juga yang menjadi doktrin bagi kaum laki-laki, yang menganggap bahwa mereka lebih superior atau lebih kuat dibandingkan dengan perempuan.

164Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 89 165Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 89 91

Jika dilihat secara redaksi atau pada konteks kalimat, maka ayat ini dapat dipahami bahwa, kepemimpinan seorang laki-laki atas perempuan dalam ayat ini hanya sebatas pada kepemimpinan seorang laki-laki dalam rumah tangga, atau pada ranah domestik saja. Hal ini dapat dilihat pada lanjutan ayat, dimana laki-laki harus memberikan nafkah kepada perempuan, ini berarti menunjukan bahwa kedudukan seorang laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Perbedaan pendapat terkait dengan masalah kepemimpinan dikalangan ulama, disebabkan karena adanya perbedaan pemaknaan kata qawwam dalam ayat tersebut. Misalnya, Ibnu Manzur ia berkata bahwa makna qawwam pada ayat diatas memiliki arti menjaga (muhafzah) dan memperbaiki (islah).Sedangkan Quraish Shihab menurutnya, seseorang yang melakukan tugasnya atau sesuatu yang diharapkan darinya maka dia disebut dengan qaim, sedangkan orang yang melakukan tugasnya dengan sempurna dan berkali-kali, dan berkesinambungan, maka dia disebut dengan qawwam. Ibnu katsir mengatakan bahwa makna qawwamunayang dimaksuddalam ayat ini adalah, pemimpin, hakim, penguasa dan pendidik bagi seorang perempuan. Hal ini disebabkan karena seorang laki-laki diberikan kelebihan oleh Allah Swt, dan ini juga menurut Ibnu Katsir yang menjadi alasan mengapa kenabian serta kepemimpinan itu dipercayakan hanya kepada seorang laki-laki.166 Begitu juga dengan al-Qurthubi yang mengatakan bahwa kata qawwamuna dalam ayat ini menunjukan kepemimpinan laki- laki terhadap perempuan yang disebabkan karena laki-laki yang memberi nafkah dan membela perempuan, sebab itu dia juga layak menjadi pemimpin, hakim dan juga pasukan perang.167 Ketika Abdul Halim menjelaskan ayat ini, diawal penafsirannya dia mencoba memberikan dahulu sedikit gambaran terkait dengan kedudukan seorang laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, yang sudah dia jelaskan sebelumnya di surat al- Baqarah ayat 228. Dan menurutnya surat an-Nisa’ ayat 34 ini, sebagai bentuk, dimana Allah ingin menaikkan derajat atau kedudukan laki-laki satu tingkat diatas perempuan dengan diberikannya amanah untuk mengetuai dan mengatur perempuan. menurut Abdul Halim Kepercayaan ini Allah berikan kepada kepada laki-laki berdasarkan dua alasan, yang pertama, karena laki-laki memiliki kelebihan watak dari pada perempuan, dan yang kedua adalah, sebab laki-laki yang membelanjai kebutuhan perempuan dan yang memberikan nafkah untuk istri dan anaknya. Hal inilah yang kemudian disebut dengan mengetuai atau mengatur, yang mana dalam ayat ini menurut Abdul Halim disebut dengan qawwam.168 Abdul Halim dalam ayat ini juga menyinggung persoalan, tidak bolehnya seorang perempuan (istri) menolak ajakan suami ketika ingin melakukan hubungan suami- istri, jika istri tidak memiliki halangan atau uzur. Dan dia mengatakan bahwa termasuk perbuatan dosa besar jika seorang perempuan (istri) menolak ajakan

166Imaduddin Abu al-Fida Isma’il bin Katsir al-Damasyqi, Tafsir al-Qur’a>nul ‘Adhi>m, Juz III, (Beirut : Dar al-Fikr, 1994), h. 357 167Al-Qurthubi, Al-Jami>’ li Ahka>m al-Qur’a>n, Jilid III, (Beirut : Dar al-Kitab al- ‘Arabi, 2000), h. 344 168Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 261 92 suaminya itu. Hal ini didasarkan atas penafsirannya terhadap surat al-Baqarah ayat 228 terkait dengan kewajiban seorang istri terhadap suami dan sebaliknya.169 Abdul Halim juga menjelaskan terkait dengan tugas dalam hubungan rumah tangga, hal ini dia sandarkan kepada, bagaimana Rasulullah SAW membagi tugas antara putrinya Fatimah dengan Ali.170 Dan dia juga menambahkan kisah terkait dengan pembagian tugas dalam rumah tangga, yang diambilnya dari riwayat shahih diceritakan bagaimana seorang Asma binti Abu Bakar bergaul dengan suaminya Zubair. Dia berkata,”akulah yang mengurus segala urusan rumah tangga kami. Zubair mempunyai seekor kuda, akulah yang memelihara dan menyabit rumputnya, memberi makan kuda itu, mengambil air diperigi (sumur) untuk dimasak, mengambil buah- buahan dari kebun dan menjunjungnya diatas kepalaku, dan jarak antara rumahku dengan tempat itu adalah 2/3 farsakh (2 mili).” Dan begitu juga dengan apa yang dilakukan oleh istri-istri sahabat yang lain. Selain memaparkan beberapa kisah melalui riwayat shahih, Abdul Halim juga memaparkan beberapa pandangan atau pendapat para fuqaha terkait dengan hubungan rumah tangga ini. misalnya Abu Tsaur (sahabat Syafi’i), yang mengatakan bahwa seorang perempuan itu wajib berkhidmat kepada suaminya. Berbeda halnya dengan pendapat Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah, yang mengatakan bahwa hal itu tidaklah mesti dilakukan, sebab menurut mereka bahwa kewajiban perempuan hanyalah semata-mata istimta’ (melayani kebutuhan seks), dan bukan untuk mengurus rumah tangga laki-laki (suami). Akad dalam pernikahan bagi mereka hanya untuk istimta’ saja, dan bukan untuk urusan rumah tangga. Dan menurut mereka apa yang dikatakan hadis di atas hanyalah perlakuan yang dikerjakan perempuan, bukanlah menjadi suatu kewajiban, melainkan hanya untuk kesenangan hati semata.171 Disamping itu, dia juga memberikan keterangan bahwa orang yang mengatakan wajibnya seorang perempuan (berkhidmat) kepada seorang suami, mereka berpegangan kepada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 228, yang artinya, “dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang baik.” Dan sambungan ayat ini, “dan laki-laki itu ada satu derajat di atas mereka.” Abdul Halim menjelaskan bahwa arti ma’ruf (yang baik) dalam ayat tersebut adalah, menurut kebiasaan yang berlaku. Sebab urusan rumah tangga biasanya diselenggarakan oleh perempuan bukan laki-laki, maka cara makruf yang demikian itu adalah kewajiban perempuan. maka dari itu, jika seorang laki-laki yang mempersiapkan segala urusan istrinya, seperti menghiasi istrinya, memasakkan makanan untuk istrinya, mencuci pakaian istrinya dan lain sebagainya, yang berkenaan dengan urusan rumah tangga, maka perbuatan itu termasuk dalam katagori munkar, atau tidak makruf (tidak baik).172 Pernyataan ini dia ambil dari perkataan ulama terkenal yaitu Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dalam kitabnya Zad Al-Ma’ad. Abdul Halim juga mengambil beberapa kisah untuk menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa istri wajib berkhidmat, dengan mengambil kisah sewaktu

169Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 261 170Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 262 171Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 262 172Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 263 93

Fatimah yang mengadukan urusan rumah tangganya kepada Rasulullah SAW, dan rasul sendiri tidak berkata kepada Ali, “Ali itu adalah kewajibanmu !” Mmelainkan rasul sendiri berkata kepada Fatimah, “hal itu merupakan kewajiban atas mu.” Dan yang kedua, diambil dari kisah Asma, dimana tatkala itu Rasulullah melihat Asma memikul rumput di atas kepalanya, DAN Zubair berjalan bersama Asma, dan Rasulullah SAW tidak ada berkata kepada Zubair, “itu bukanlah kewajiban istrimu, dan engkau seorang yang zalim.” Melankan rasul pada saat itu mengikrarkan atau tidak melarang perbuatan sahabatnya itu, yang telah menyuruh istri mereka bekerja untuk urusan rumah tangganya. Jika dibandingkan dengan penafsiran ulama nusantara lainnya, seperti Hasbi Ash Shiddiqy, maka akan terdapat perbedaan antara keduanya terkait dengan ayat di atas. Dimana Hasbi memahami kata pemimpin dalam ayat ini yaitu, laki-laki itu merupakan pelindung bagi kaum perempuan. Oleh karena itu, peperangan ketika itu menurutnya hanya diwajibkan kepada laki-laki saja, dan tidak kepada perempuan, karena tugas laki-laki untuk melindungi perempuan. Selain melindungi, menurut Hasbi laki-laki memiliki tugas lain, yaitu bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada keluarganya. Dan menurutnya, kedua tugas inilah yang kemudian menjadikan seorang laki-laki mendapat harta warisan lebih banyak ketimbang perempuan. Namun dalam hal yang lain ataupun kewajiban yang lain, yaitu diluar hak mengendalikan, menuntut dan memimpin, maka perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.173 Laki-laki menurut Hasbi memiliki derajat untuk mengepalai (memimpin) dan mengurus (mengelola) rumah tangga. Dan istri menurutnya, memiliki kebebasan dalam mengurus rumah tangga, selama masih dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh syara’ dan diridhai oleh suaminya. Seperti istri merawat rumah, mengendalikannya, dan mendidik serta memelihara anak, termasuk juga membelanjakan nafkah keluarga sesuai dengan kemampuan nafkah yang telah diberikan oleh suaminya. Dan dibawah kepemimpinan suaminya, istri bisa menjalankan tugasnya sebagai istri yaitu, mengandung, melahirkan dan menyusui bayinya.174 Abdul Malik Karim Amrullah atau yang dikenal dengan Hamka, juga memiliki pandangan terkait dengan ayat ini. Dia mengatakan bahwa, ayat ini yang memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terkait dengan, mengapa laki-laki mendapatkan dua kali lipat bagian dari pembagian harta ?, dan mengapa laki-laki yang dibebankan untuk membayar mahar kepada perempuan, hingga menggaulinya dengan cara yang baik. Dan mengapa laki-laki juga diperbolehkan menikah dengan empat perempuan. Menurut hamka bahwa, laki-laki dan perempuan tidak sama kedudukan. Berdasarkan ayat ini maka laki-lakilah yang memimpin perempuan dan bukan perempuan yang memimpin laki-laki. Dan dia mengatakan bahwa, laki-laki lebih bisa dapat mengendalkan empat orang perempuan (istri), ketimbang perempuan (istri) yang

173Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h.816 174Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 816 94 bersuami empat. Malahan, menurut Hamka, perempuan itu akan menjadi sengsara, jika dia diizinkan menikah dengan empat laki-laki (suami).175 Menurut Hamka, ayat ini datang bukanlah dalam bentuk perintah, bahwa laki- laki harus menjadi pemimpin, dan perempuan harus siap menjadi orang yang dipimpin. Tetapi menurutnya, ayat ini datang diawali dengan sebuah kenyataan bahwa laki-lakilah yang memimpin perempuan. sehingga jika ada perintah perempuan memimpin laki-laki, maka perintah itu tidaklah dapat berjalan, sebab menurut Hamka, hal itu tidak sesuai dengan kenyataan hidup manusia. Dan hal ini tidak terjadi saja pada manusia, menurutnya ini juga terjadi pada makhluk Tuhan lainnya yaitu hewan. Seperti yang terjadi pada itik, dimana itik jantanlah yang memimpin rombongan puluhan itik yang menggiringnya. Begitu juga dengan kera dan beruk, yang megangkat beruk tua jantan sebagai pemimpin mereka. Kenyataan ini menurut Hamka, disebabkan dalam ayat ini Allah SWT telah melebihkan mereka laki-laki atas perempuan, baik itu dalam hal tenaga, dan kecerdasan, sebab ini jugalah Allah melebihkan tanggung jawab kepada laki-laki. Hamka menggambarkan ketika seorang membangun rumah tangga, disana ada bapak, ada istri, dan ada anak. Dengan sendirinya maka yang menjadi pemimpin adalah bapak, yaitu laki-laki.meskipun hal itu tidak disuruh. Dia mengibaratkannya seperti batang tubuh manusia, ada kepala, ada tangan, kaki dan perut, kesemuanya penting, namun kepala tetaplah kepala.176 Hamka juga mengibaratkan bagai kapal yang sedang berlayar, yang memiliki nahkoda (kapten kapal) dan jurubatu (masinis). Dia menerangkan bahwa, dalam sebuah pelayaran kedudukan masinis sangatlah penting, sebab jika masinis tidak ada, maka kapal tidak akan bisa berlayar. Namun, masinis tetap mengetahui bahwa, dalam pelayaran nahkoda adalah kepala tertinggi. Dan ayat ini menurut Hamka telah menerangkan tentang kenyataan itu, yaitu kenyataan bahwa laki-lakilah yang memimpin perempuan. Jika terdapat suatu saat perempuan lebih cerdik dari pada laki-laki, sehingga perempuan yang memimpin. Maka menurut Hamka hal yang jarang terjadi tidak bisa dijadikan sebagai pokok dan dalil hukum. Dan lanjutan ayat ini “dan dari sebab apa yang mereka belanjakan dari harta-harta mereka.” Menurut Hamka, penggalan ayat ini memiliki arti bahwa, dalam perwilahan harta-benda juga adalah tanggung jawab laki-laki. Dimisalkan, dalam bersuami-istri harta-benda mereka berdua, yang dinamai dengan adat Minangkabau “harato suarang” menurutnya, laki-laki tetap memiliki hak dalam mengatur harta-benda itu. Hamka menjelaskan bahwa, ketika agama Islam mewajibkan seorang laki-laki membayar mahar kepada perempuan, dan ketika laki-laki sudah mulai membayarnya, maka ini menunjukan bahwa otomatis seorang perempuan (istri) sudah menyerahkan kepemimpinan atas dirinya kepada seorang laki-laki (suami). Begitu juga di Barat, yang memiliki adat perempuanlah yang membayar mahar kepada laki-laki. Ketika seorang laki-laki (suami) sudah menerima mahar dari istrinya tersebut, secara otomatis sudah menjadi kewajiban seorang laki-laki (suami) untuk memimpin dan membela perempuan (istri) itu, sebab mulai saat itu dia sudah mulai lepas dari tanggung jawab ayah dan bundanya. Dan menurutnya dalam suatu rumah tangga

175Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 58 176Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 59 95 tidak mungkin ada dua kekuasaan yang memiliki hak dan kewajiban yang sama, mesti ada pimpinan dalam rumah tangga tersebut. Dan menurut Hamka berdasarkan kejadian jasmani dan rohani manusia, laki-lakilah yang memiliki kekuasaan untuk memimpin.177 Menurut penulis, penafsiran Abdul Halim terkait dengan ayat di atas memiliki kesamaan dengan mufasir nusantara lainnya yaitu Hamka dan Hasbi. Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, bahwa mereka sama-sama tidak menggunakan asbab nuzul sebagai alat penafsiran mereka. Namun mereka lebih memahami ayat di atas berdasarkan bunyi ayat tersebut. Sehingga terkesan laki-laki itu lebih superior dan berhak atas memimpin dalam rumah tangga. Sebab itu menurut Asghar Ali, terkait dengan ayat ini, bahwa perlunya melihat kondisi sosial dimana ayat itu ditafsirkan, dan tidak lupa juga untuk melihat sebab ayat itu turun (asbab nuzul). Hal ini dilakukan agar penafsiran tidak bias terhadap gender. Dalam pemaparan terkait dengan ayat di atas, dapat dilihat bahwa Abdul Halim disini lebih cenderung menafsirkan ayat dengan menggunakan ayat lain sebagai penafsirannya. Tidak dengan ayat saja, dia juga menggunakan beberapa riwayat sebagai penguat atas penafsirannya. Dia juga memaparkan beberapa pendapat fukaha’, termasuk empat imam mazhab, sebagai penjelasan terkait dengan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. Namun dia tidak men-tarjih nya. Menurut penulis ini menunjukan bahwa Abdul Halim lebih terbuka terhadap pendapat- pendapat fukaha’ dengan tanpa ada men-tarjih nya.

177Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 60 96

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian bab terdahulu, maka penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa, Abdul Halim Hasan dalam tafsirnya Al-Ahkam menggunakan pendekatan-pendekatan tekstual ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Pernyataan tersebut dapat dibuktikan pada sejumlah penafsiran Abdul Halim Hasan terhadap dua tema utama yaitu ayat hukum ibadah dan mu’amalah. Kendati Abdul Halim menggunakan pendekatan-pendekatan tekstual dalam tafsirnya, namun penafsiran yang dihasilkan tidak menghasilkan penafsiran yang esklusif, rigid serta sektarian. Tesis ini juga membuktikan bahwa dalam istinbat al ahkam Abdul Halim Hasan memiliki kecenderungan pada imam mazhab tertentu. Kendati ia cenderung pada satu mazhab, tetapi dia tidak menafikan mazhab yang lain untuk ditampilkan dalam tafsirnya, sehingga penafsirannya terlihat kordial terhadap pendapat imam mazhab. Kesimpulan ini dibuat berdasarkan pada bukti-bukti yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah tertera dalam bab IV, adalah sebagai berikut : 1. Terkait dengan metodologi yang dipakai dalam tafsirnya Al-Ahkam, Abdul Halim Hasan menggunkan metode penafsiran tahlili. Ini dapat dibuktikan ketika dia menafsirkan sebuah ayat, dia membahasnya dari segala aspek. Hal ini dapat dibuktikan dalam tafsirnya Al-Ahkam, dia memberikan penjelasannya dari berbagai aspek, dimulai dengan susunan yang sesuai dengan susunan mushaf Ustmani, segi bahasa, asbabun nuzul, serta jika ada qira’at dia juga menampilkannya. Sedangkan untuk sumber penafsirannya, dia banyak menggunakan ayat al-Qur’an, perkataan Nabi, sahabat, tabiin dan sejumlah ulama dalam menjelaskan ayat al-Qur’an tersebut, sehingga penafsirannya tergolong ke dalam bentuk penafsiran bil ma’tsur. Sedangkan corak atau kecenderungan ilmu yang mempengaruhi dalam tafsirnya penafsiran Abdul Halim Hasan tergolong ke dalam penafsiran yang bercorak fikih (hukum). 2. Dalam tafsirnya Abdul Halim Hasan mengemukakan beberapa pendapat imam mazhab sebagai perbandingan ketika menarik sebuah hukum yang ada dalam ayat tersebut. Dari pemaparan pendapat-pendapat imam mazhab yang dikemukan, dia akan memberikan pendapatnya dengan mengambil keterangan dari salah satu imam mazhab tersebut untuk memberikan sebuah kesimpulan hukum. Kecenderungan Abdul Halim Hasan pada mazhab tertentu, tidak menjadikan dia mengabaikan pendapat imam mazhab lainnya. Khususnya dalam hal ibadah maka dia akan terlihat lebih cenderung kepada imam Syafi’i.

B. Saran-saran Penelitian ini memberikan beberapa saran yang dianggap relevan, terutama pada aspek kekurangan temuan penelitian. Untuk itu, dipandang perlu adanya pengembangan terhadap penelitian ini, khususnya pada penafsiran karya ulama Indonesia. 1. Perlu adanya penelitian lain, terkhususnya pada kitab tafsir karya ulama Indonesia, secara khusus dalam bidang hukum.

97

2. Perlu adanya perhatian yang lebih besar lagi terhadap kajian tafsir Indonesia, terkhususnya tafsir yang ditulis oleh ulama lokal (daerah), sehingga dapat melihat peran ulama lokal dalam memperkaya tafsir Indonesia. 3. Bantuan dan dorongan yang kuat dari pemerintah kepada para peminat kajian tafsir supaya dapat memunculkan para mufasir yang lebih memberikan solusi terhadap perkembangan yang ada di masyarakat.

98

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abou el-Fadl, Khaled M. “Speaking in God’s Name : Islamic Law Authority”, terj. R. Cecep Lukman Yasin (Atas Nama Tuhan : Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif), Jakarta : Serambi, 2003 Abu Zayd, Nasr. Mafhu>m al-Nass}} Dira>sah fi> Ulu>m al-Qur’a>n, Beiru>t: Markaz al- Tsaqafi> al-‘Arabi>, 1994 Abu Zayd, Nasr. Naqb al-Khitab al-Dini, Kairo: Si>na> li-al-Nashr, 1994 Ahmad bin Faris, Mu’jam Maqa>yis al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Ahmad, Nadzrah, Methodology and Issues Within Tafsir al-Quran al-Karim by Abdul Halim Hasan, Tesis, International Islamic University Malaysia, 2014. al-Alba>ni>, Muhammad Nasi>r al-Di>n. Kayfa Yajib Alayna> an-Nufassira al-Qur’an al- Kari>m ?, Riya>d: al-Maktabah al-Ma’a>rif, 2007. Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta : Rajawali Press, 2004. Asad, Muhammad. The Principles of State and Government in Islam, Malaysia; Islamic Book Trust, 2000 Auda, Jasser. “Abrogation of Rulings’ Methodology: A Critique,” Intellectual Discourse 12, 2, 2004 Audah, Jaser. al-Maqasid Untuk pemula. Terj. ‘Ali Abdelmon’im. Yogyakarta; Suka Press UIN SUKA, 2013 Baidan, Nashruddin Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Cet II, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005. Brugman, J. An Introduction to History of Modern Arabic Literature in Egypt, Leiden; Ej Brill, 1984 Campanini, Massimo. The Qur’an : Modern Muslim Interpretation, terj, Caroline Higgit, London and New York : Routledge, 2011 Dahlan, Abd. Azis. Ensklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996 Dewan Harian Cabang Angkatan 45, Catatan Pelaku Sejarah Pengibar Bendera Merah Putih Pertama di Binjai, Binjai : t.p, 1996 Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000. Esack, Farid, Qur’an, Liberation, and Pluralism : An Islamic Perspective of Interre;ihious Solidarity Against Oppression, Oxford : One World, 2001. Federspiel, Howard M., Popular Indonesian Literature of the Qur’an (Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesian Project, 1994). Gadamer Georg, Hans. Truth-Method, trans. Joel Weinshemer dan Donald G. Marshall, New York : Continum, 1998 Ghazali, Abdul Maqsith. Argumen Pluralisme Agama : Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, Depok: Kata Kita, 2009 J.E Gracia, Jorge. A Theory of Textuality : The Logic and Epistemology, Albany; State Univercity of New York Press, 1995. Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir di Indonesia : Dari Hermeunetika Hingga Ideologi¸ Jakarta: Teraju, 2003

99

Hadirman, Fransisco Budi. Kritik Ideologi : Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta : Penerbit Buku Baik, 2004 Hadirman, Fransisco Budi. Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta : Kansius, 1993 Hasan, Abdul Halim ,Tafsir al-Ahkam, Jakarta : Prenada Media, 2006. Hasan, Abdul Halim, Adab dan kesopanan Islam, Medan : al-Ichwan, 1962. Hambali, Slamet, Ilmu Falak I (Penentuan Awal Waktu Shalat dan Arah Kiblat Seluruh Dunia), (Semarang : Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2011), h. 167 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982. Hanafi, Hasan. Dialog Agama dan Revolusi, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1994 Hanafi, Hasan. Dirasat Falsafiah, Kairo: Dar al-Tanwir , 1995 Hanafi, Hasan. Min an-Nas ila al-Waqi’, Kairo: Markaz Kitab li al-Nashr, 2005 Hasan Binjai, Abdul Halim, Tafsir Al-Ahkam, Jakarta : Kencana, 2006. Hasan, Abdul Halim, Tafsi>r Ah{ka>m, (Jakarta: Kencana, 2006). Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, Jilid V, Kairo : Dar al-Hadist, 2003. Ibn Taimiyah, Ahmad Ibnu Abd al-Hali, Fatawa> Al-Kubro> li Ibnu Taimiyah, tt : Darul Kutub al-Ilmiyah, 1987 Ibn Uthaymin, Usu>lun fi> al-Tafsi>r, ‘Ain Shams : al-Maktabah al-Isla>mi>yyah, 2001. Ichwan, Moch Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis ; Teori Hermeunetika Nasr Hamid Abu Zayd, Jakarta; Teraju, 2003 Imron, Ali dkk. Hermeunetika al-qur’an dan Hadith, Yogyakarta; Elsaq Press, 2010 Isma’il Ibn Katsir al-Damasyqi, Imaduddin Abu al-Fida, Tafsir al-Qur’anul ‘Adhim, Juz III, Beirut : Dar al-Fikr, 1994. Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir, ttp, Tafakkur, tt Al-Jabiri, Fahm al-Qur’a>n al-Haki>m, al-Tafsi>r al-Wa>dih Hasb Tarti>b al-Nuzu>l, Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 2008 Al-Jabiri, Nahn wal al-Tura>ts : Qira’a>t Mua>’thirah fi> Tura>tsina> al-Falsafi>, Beirut : al- Markaz al-Tsaqa>fi> al-‘Arabi>, 1993 al-Jabiri, Muhammad Abid. Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: Markaz al-Thaqafi al- ‘Arabi, 1991 Kaltsum, Lilik Ummi dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ahkam (Ciputat: UIN Press, 2015). Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005 Al-Khin, Mustafa Said, Atsar al Ikhtilaf fi al Qawaid al Ushuliyyah fi Ikhtilaf al Fuqaha’, (Syria; Muassah ar Risalah, 1985). Krippendorf, Klaus, Analisis Isi : Pengantar Teori dan Metodologi, terj. Farid Wajdi, (Jakarta ; Rajawali Press, 1991). Lubis, Akhyar Yusuf. Dekonstruksi Epistomologi Modern : dari Postmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme, hingga Culture Studies, (Jakarta : Pustaka Indonesia Satu, 2006) Lubis, Muhammad Nur, Data-Data Terbitan Awal Penterjemahan dan penafsiran al- Qur’an di Alam Melayu (Kuala Lumpur: al-Hidayah, 2002). al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, Mesir : Mathba’ah al-Hilabiyah, 1946.

100

Mulyono Anton. dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, Edisi. II Cet. III, h. 458 Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, Sejarah Ulama Sumatera Utara, Medan, MUI Sumatera Utara, 2013. Majelis Ulama Sumatera Utara, Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka di Sumatera Utara, Medan : Institut Agama Islam Negeri Al-Jami’ah, 1983. Marzuki, Metodologi Riset, (Jakarta; FE-UI,1989). Mattson, Inggrid. The Story of The Qur’an: Its History and Place in Muslim Life, Oxford: Blackwell Publishing, 2008 Meleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung ; Remaja Karya, 1989). Munawir, Ahmad Warson, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997. Nasution, Harun. Ensklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: CV.Anda Utama, 1993, Jilid, II Nasution, Harun. Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2010 Poespoprodjo, Hermeunetika, Bandung: Pustaka Setia, 2004 Al-Qat}t}an, Manna>‘ Kha>lil, Mabah}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Qalam, 1988). Al-Qurthubi, Imam, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid III, Beirut : Dar al-Kitab al- ‘Arabi, 2000. Qutub, Sayyid, Tafsir fi Zhilal Al-Qur’an, Jilid I, Beirut : Dar al-‘Arabiah, t.t. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity : Tranformation of An Intelectual Tradition, Chicago and London : the Univercity of Chicago Press, 1982 Ramadhan, Tariq. Western Muslim and The Future of Islam, New York: Oxford University Press, 2004 Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Qur’anul Hakim, Jilid II, Beirut : Dar al-Kutb, 1999 Rohman, Izza. “Salafi Tafsirs : Textualist and Authoritarian,” Qur’an and Hadith Academic Society, 1, 2, 2012 al-Sadr, Muhammad Ba>qir, al-Tafsi>r al-Mawdu>’i wa al-Tafsi>r al-Tajzi’i> fi al-Qur’a>n al-Kari>m, Beirut : Da>r al-Ta’a>ruf li al-Matbu>’a>t, 1980. Saeed, Abdullah, “Introduction: the Qur’an, Interpretation and the Indonesian Context”, Abdullah Saeed, ed., Approaches to the Qur’an Contemporary Indonesia (London: Oxford University, 2005). Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an : Towards a Contemporary Approach, London and New York: Routledge, 2006 Saeed, Abdullah. Reading the Qur’an in the Twenty-first Century ; A Contextualist Approach, London and New York; Routledge, 2014 Saeed, Abdullah. The Qur’an : An Introduction, London dan New York: Routledge, 2006 S{alih{, Subhī, Mabāhith fī> ‘Ulu>m al-Qur’ān (Beirut: Dār ‘Ilm Malayin, 1977). Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir Aayat al-Ahkam, Mekkah : Dar al-Qur’an, t.t Shabuni, Muhammad Ali, at-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, Damsyik : Maktabah al- Ghazali, 1981.

101

Shaltu>t, Mah{mu>d, al-Isla>m ‘Aqidah wa Syari‘ah (Qahirah: Da>r al-Syuruq, 2001). Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Cet ke-II, Jakarta : Pustaka Rizki Putra, 1995. Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Tafsir al-Qur’an al-Bayan, (Bandung: Alma’rif, 1971). Shihab, M.Quraish Membumikan al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung : Mizan, 1425 H/2004 M. Shihab, Umar. Kontekstualitas al-Qur’an “Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum Dalam Al-Qur’an”, Jakarta; Penamadani, Cet ke-3, 2005. Sirry , Mun’im. Tradisi Intelektual Islam “Rekonfigurasi Sumber Otoritas Agama”. Malang: Madani, 2015 Summa, M. Amin, Pengantar Tafsir Ahkam (Jakarta: Logos, 1997). Syafruddin, U. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2009 as-Syaukani, Muhammad bin Ali, Nailul al-Authar, Mesir : Dar al-Hadis, 1993. Al-Suyut}i>, Jala>l al-Di>n, Itqan fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (al-Qahirah: Da>r al-H{adith, 2004). ath-Thabathaba’i, Muhammad Husein, al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, Juz II, Beirut : Lebanon, 1997. Wadud, Aminah. Qur’an and Women: Rereading Sacred Text form a Women’s Prespectiv, Kula Lumpur: Fajar Bhakti SDN. BHD. 1994 Yasid, Abu. Aspek-Aspek Penelitian Hukum, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2010) al-Zamakhshari, Abu Al-Qasim Mahmud Ibn Umar, Al-Kassaf ‘an Haqaiqi Ghawamidi al-Tanzil, Beirut : Dar al-Kitab, 1987. Az-Zarqani, Muhammad Abdul Adhim, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, Beirut : Darul Kitab al-Arabi, 1995. az-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsir al-Munir fi Aqidati wa syari’ati wa Manhaj, Juz II, Damaskus : Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1989

Jurnal dan Artikel

Noor, Faris A, John Anderson’s Data Mining Mission to Sumatera in 1823 : When Method Creates the Object, RSIS (Rajaratnam School of International Studies), No. 278, 2014. Abou el-Fadl, Khaled. Speaking in God’s Name : Islamic Law, Authority, an Women, England: Oneword Publications, 2003 Abu Nawas, Zuhri. “Tehnik Interpretasi Tekstual dan Kontekstual”, Jurnal al-Asas Vol. III No. I, 2015 Amir, Ahmad N., “Muhammad Abduh’s Influence in southeast Asia”, Middle Journal Scientific Reseach, 13 (124), 2013. Aspandi, “Pembacaan Kontekstual Eksegesis Dalam Teks Keagamaan”, dalam Jurnal Syari’ah dan Hukum Islam (Al-‘Adalah), Vol. 2 No. 2, Juli 2017, pp. 65- 88. Diakses dari https://doi.org/10.31538/adlh.v2i2.418

102

Dahlan, Zaini, Syekh Abdul Halim Hasan : Akar Tradisi Intelektual di Sumatera Timur Awal Abad XX, Jurnal of Contemporary Islam and Islam Society, Vol. 2 No. 1, 2018 Duderija Adis, “Islamic Groups and Their World-Views and Identities; Neo- Tradisional Salafis and progressive Muslim”, Arab Law Quarterly, Vol. 21 No. 4, 2007 Duderija Adis, “Neo-Traditional Salafi Qur’an-Sunnah Hermeunetics and its interpretational Implications”, Religion Kompas, Vol. 5,7. 2011, 33 Engineer, Ashgar Ali, The Rights of Women in Islam, Terjm. Amiruddin ar-Raniy dan Cicik Farcha Assegaf, Yogyakarta : LSPPA, 1994 Hadi, Abd. Hermeunetika Qur’ani dan Perbedaan Pemahaman dalam Menafsirkan al- Qur’an, dalam Jurnal “Islamica” Vol. 6 No. 1. Sepetember, 2011 Haleem, MAS Abdel. "The Role of Context in Interpreting and Translating the Qur'an." Journal of Qur'anic Studies Vol. 20 No.1, (2018): 47-66. Diakses dari https://www.euppublishing.com/doi/full/10.3366/jqs.2018.0320 Hanafi, Hasan. Islam in the Modern World : Religion Ideology and Development, Vol. I, Kairo:Anglo-Egyption Bookshop, 1995 Hedi, Fathol, Abdul Ghofur Anshori, and Harun Harun. "Legal Policy of Interfaith Marriage in Indonesia." Hasanuddin Law Review Vol. 3 No. 3 (2017): 263-276. Diakses dari http://pasca.unhas.ac.id/ojs/index.php/halrev/article/view/1297/303 Ibrahim, Mazlan, Development of Qur’anic Exegesis in Malay Archipelago, Advances in Natural and Applied Sciences, 5 (5), 2011. Ismail, Muhammad Ali, “A Comparative Study of Islamic Feminist and Traditional Shiʿi Approaches to Qurʾanic Exegesis”, dalam Journal of Shi’a Islamic Studies, Vol. 9 No. 2, Spring 2016, pp. 166-195. Diakses dari . Lestari, Leni, “Refleksi Abdullah Saeed Tentang Pendekatan Kontekstual Terhadap Ayat-Ayat Ethico-Legal Dalam Alquran”, dalam Jurnal At-Tibyan, Vol. 2 No. 1, Juni 2017, pp. 15-28. Diakses dari https://journal.iainlangsa.ac.id/index.php/tibyan Martin, Richard C. “understanding the Qur’a>n in Text and context, “ History of Religions, Vol. 21 No. 24, May, 1982 Muttaqin, Farid. "Feminist Interpretation of the Quran As An Ideological Critique Against Patriarchy (An Indonesia Context)." Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 17 No. 1 (2015): 29-36. Diakses dari http://jmb.lipi.go.id/index.php/jmb/article/view/119/100 Najib, Aan, “Contextual Qur’an Interpretation: The Study on the Concept of “Hierarchy of Values” Abdullah Saeed”, dalam Journal of Islamic Studies and Culture, Vol. 4 No 2, December 2016, pp. 89-94. Diakses darihttp://jiscnet.com/journals/jisc/Vol4%20No%202December_2016/9. pdf Rahman, Yusuf. “Penafsiran Tekstual dan Kontekstual Terhadap al-Qur’a>n dan Hadi>st : Kajian Terhadap Muslim Salafi dan Muslim Progresif,” Journal of al-Qur’a>n and Hadi>th Studies, Vol. 1 No. 2, January-June 2012

103

Rohman, Izza, “Salafi Tafsirs: Textualist and Authoritarian”, dalam Journal Qur’an and Hadith Studies, Vol. 1 No. 2, 2012, pp. 197-213. Diakses dari Saeed, Abdullah. “Some Reflections on the Contextualist Approach to Ethico-Legal Text of the Qur’an,” Bulletin of School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 71 No. 2, 2008. Solihu Hussain, Abdul Kabir. “Understanding the Qur’an in the Light of Historical Change,” Islamic Studies, Vol. 42, No. 3, Autumn, 2003 Steenbrink, Karel A., “The Study Comparative of Religion by Indonesian Muslim”, Numen, 37 (2), (1990). Suhasti, Ermi, Siti Djazimah, and Hartini. "Polemics on Interfaith Marriage in Indonesia between Rules and Practices." Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies Vol. 56 No. 2 (2018): 367-394. Diakses dari https://www.aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/56205/364 Toni, Agus.Membangun Paradigma Kritis Tekstualis Menuju Historis Sosialis Dalam Islam, jurnal Studi Agama, Vol. V No. I, 2017 Van Niekerk, Jana, and Maykel Verkuyten. "Interfaith marriage attitudes in Muslim majority countries: A multilevel approach." The International Journal for the Psychology of Religion 28.4 (2018): 257-270. Diakses dari : https://www.tandfonline.com/loi/hjpr20 Yazid, Abu. Interelasi Teks dan Realitas dalam Proses Pembangunan Syari’at, Aula No. I, 17 Oktober 2004 Zuhdi, M. Nurdin, Syamsudin, Sahiron, “The Contemporary Qur'anic Exegesis: Tracking Trends in The Interpretation of The Qur’an in Indonesia 2000- 2010, dalam Jurnal Jawi, Vol. 1 No. 1, 2018, p. 1-43. Diakses darihttp://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/jawi/article/view/2840/259 4

Tesis dan Disertasi Arif, Razman, “Pemikiran dan Perjuangan Politik Muhammad Idaham: Kajian terhadap Kepimpinan Melayu Islam di Binjai Provinsi Sumatera Utara”, Disertasi, Universiti Sains Malaysia, 2016. Al-Hamidy, Abdul Qadir Umar Uthman, “Tafsir al-Quran al-Karim li Abdul Halim Hasan wa Akharayn : Dirasah Manhajiyah wa Ta’riban li al-Juz al Awwal Minhu”, (Ph.D Thesis, University of Al-Azhar, 2006). Ishaq, “ Corak Pemahaman Fiqih Islam ar-Razi (Studi Terhadap Penafsiran Ayat- Ayat Hukum dalam Tafsir al-Kabir), “ Tesis, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999. Majid, Zamakhsyari Abdul, “Metodologi Penafsiran Wahbah Az Zuhaily Terhadap Ayat-Ayat Hukum Dalam Tafsir Al Munir,” Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta, 2009. Zayn Qadafi, Muammar. Tesis ; Epistomologi Sabab Nuzul Makro (Studi atas Metodologi Tafsir Kontekstualis Kontemporer), (Yogyakarta : Uin Suka, 2014).

104

GLOSARIUM

Refleksi : Penafsiran yang berbasis kepada makna literal

Tafsi

Praksis : Penafsiran yang melihat pada kehidupan manusia dan sekitarnya

Konteks : Bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian

Sosio-historis : Sesuatu kondisi sosial dimasa lampau, yang berkenaan dengan sejarah

Muqa>ranah al-maza>hib : Perbandingan dalam mazhab Fikih

Perspektif : Sudut pandang

Taklid : Mengikuri tanpa dasar ilmu

Mazhab : Suatu aliran dalam bidang fikih

Qiraat : Metode bacaan dalam al- Qur’an

Teologis : Pengetahuan ketuhanan

Majazi : Suatu ungkapan yang melebihi asal kata dengan perbandingan yang masuk akal untuk menyampaikan makna

105

Metaforis : Memaknai suatu arti kata diluar kata tersebut

Tradisional : Suatu penafsiran yang melihat dari sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun- temurun

Lokalitas : Suatu Penafsiran yang melihat pada tempat atau wilayah tertentu yang bersifat permanen

Realitas : Suatu Penafsiran yang melihat pada kenyataan

Teks : Naskah yang berupa kata- kata asli dari pengarang

Corak : Jenis-jenis dalam penafsiran

Hermeunetika : Salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna

Rigird : kaku

Binjai : Nama kota di daerah Sumatera Utara

Langkat : Nama Kabupaten yang berada di Sumatera Utara

Ulama : Pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun

106

sosial kemasyarakatan

Tsanawiyah : Jenjang dasar pada pendidikan formal di Indonesia,setara dengan sekolah menengah pertama, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama

Qismul Ali : Suatu pendidikan formal yang setingkat dengan sekolah menengah pertama disuatu ormas Islam yaitu Al- Washliyah

Karakteristik : Mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu

107

INDEKS

A F A. Hasan, 3 Faqih Saidi Haris,, 39 A.R Sutan Mansyur, 45 Fazlur Rahman, 19, 20, 27, 28 Abd al-Hayy al-Farmawi, 49, 50, 51, 52, 53, 59 Abd Hayy al-Farmawi>, 52 G Abdullah Saeed, 2, 20, 21, 25, 26, 27, 30, 31, Goerg Hans-Gadamer, 34 32, 101, 102 Gracia, 28, 29, 99 Abdurrahim Haitami, 3, 43, 47 Ali> al-Sayi>s, 7 Al-Jabiri, 20, 99 H al-Jas{s{as{, 7 H. Abdullah Umar, 39 al-Qurt{ubi, 7 H. Ilyas Muhammad Ali, 3 al-S{abuni, 7, 52 H. Oemar Bakry, 2 al-Syauri, 7 H.Abdul Karim,, 39 al-T{abari>, 7 H.M. Nur Ismail,, 39 Amru Daulay, 44, 48 Habermas, 36, 99 Azhari Akmal Tarigan, 2, 4, 5, 12, 48 Hamka, 3, 4, 12, 42, 62, 64, 67, 71, 72, 75, 79, 80, 81, 82, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 93, 94, B 95, 96, 99 Hanafi, 19, 23, 32, 34, 57, 96, 99, 102 Binjai, i, vi, 3, 5, 6, 17, 38, 39, 40, 42, 43, 44, Hasan Hanafi, 19, 32, 34 45, 46, 47, 48, 49, 53, 54, 55, 56, 57, 58, Hermeunetika, 24, 30, 34, 35, 99, 100, 102, 59, 61, 62, 63, 64, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 105 72, 73, 74, 75, 78, 79, 80, 81, 82, 85, 86, Hj. Syarifah Batubara, 39 87, 88, 89, 90, 92, 93, 94, 98, 99, 103, 105 Howard M. Federspiel, 2 Bung Hatta, 45

C I Ibn ‘Arabi, 7 Corak, vi, 10, 17, 51, 103, 105 Ibn ‘Uthaymi>n, 22 Imam al-Zarkasyi>, 51 D Inggrid Mattson, 20 Djamaluddin Adinegoro, 45 dr.Aerlangga Sahir, 40 J dr.Dzulkarnaen, 40 Jaser Auda, 32

E K Ebrahim Moosa, 25 Karakteristik, vi, 3, 4, 49, 106 Khaled Abou el-Fadl, 24, 33

108

Konteks, i, 6, 26, 30, 104 Qismul Ali, 47, 106

L R

Lahmuddin Nasution, 48 Realitas, vi, 17, 18, 103, 105 Langkat, 38, 40, 44, 46, 105 Refleksi, 102, 104 Lokalitas, 105 Rigird, 105

M S

M. Yunan Yusuf, 3, 4, 12 Soekarno, 45 M.Bustami Ibrahim, 42 Sosio-historis, 104 M.Ridwan, 40 Syaikh Mukhtar Attharid, 39 Mahmud ‘Abbas Al-Aqqad, 19 Syekh H.Abdul Halim Hasan Binjai, i, 38, 42 Mahmud Yunus, 3 Syekh Hasan Ma’sum, 39 Majazi, 104 Manna‘ Khalil al-Qattan, 52 T mazhab, i, 1, 4, 5, 8, 9, 10, 12, 23, 26, 48, 50, 53, 57, 60, 73, 75, 80, 86, 95, 96, 104 T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, 3, 4 Metaforis, 105 Tafsiranah al-maza>hib, i, ii Teuku Muhammad Hasan, 45 Tradisional, 21, 102, 105 N Tsanawiyah, 47, 106 Nashruddin Baidan, 49, 51, 59 U Nasi>r al-Di>n al-Alba>ni, 23, 100 Nasr Hamid Abu Zayd, 17, 18, 29, 30, 100 Ulama, 3, 39, 40, 42, 44, 45, 46, 47, 58, 78, 100, 105 P Umar Shihab, 19 perspektif, i, 6, 7, 9, 10, 15, 18 Z Praksis, 24, 104 Zainal Arifin Abbas, 3, 6, 11, 12, 13, 41, 43, Q 44, 47 qiraat, 2, 31

109