10 Bab 2 Landasan Teori 2.1 Konsep Kepercayaan Masyarakat Jepang Terhadap Agama Menurut Yanagawa (1991 : 60), Orang Asing Yang B
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Konsep Kepercayaan Masyarakat Jepang terhadap Agama
Menurut Yanagawa (1991 : 60), orang asing yang berada di negara Jepang, bila memikirkan tentang agama orang Jepang sangatlah membingungkan, apakah orang
Jepang memiliki agama atau tidak atau orang asing yang pertama kali datang ke negara
Jepang pada saat akhir tahun, mereka akan sangat terkejut karena, ada banyak sekali pohon natal yang dihiasi dengan sangat indah. Lalu pada tahun baru setelah pekerjaan
mereka selesai, kebanyakan orang Jepang datang ke tempat suci untuk berdoa dan itu
membuat orang asing terkejut kembali. Kebanyakkan dari mereka datang untuk berdoa di
Kuil Meiji yang ada di kota Tokyo dan kuil Heian yang ada di kota Kyoto. Bukan hanya
orang tua saja tapi para anak muda juga melakukan hal yang sama. Orang Jepang berpikir
mengenai agama pada umumnya, bahwa itu semua terbentuk dari hubungan antar
manusia. Contohnya pada saat kita bertanya pada orang Jepang agama seperti apa yang
mereka percayai, Lalu kita akan mendapat jawaban seperti ini, agama yang kita percayai
adalah agama yang di rumah atau lebih dikenal dengan nama Shinto lokal atau Shinto
domestik. Hal tersebut sesuai dengan yang disebutkan Yanagawa (1991 : 67) sebagai
berikut :
実は、一般の日本人が考える宗教は、人間系の上で成立しているろいえ るかと思います。たとえば我々は、「何か宗教を信じていますか」と訊 かれたときに、「個人としては信じていけれども家の宗教はこれこれで す」という答え方をよくします。
10 Sebenarnya, pemikiran orang Jepang tentang agama adalah bahwa agama terbetuk dari hubungan antar manusia. Contohnya pada saat kita bertanya pada orang Jepang ” Agama seperti apa yang dipercayai ”, ” Secara individu, agama yang kita percayai adalah agama yang dirumah” jawaban seperti itu sering kita temui.
Keluarga Shinto murni, bagaimanapun juga, akan melakukan seluruh upacara dan
pelayanan dengan gaya Shinto. Dalam perkawinan, mereka tidak mempersoalkan agama.
Perkawinan antar agama apapun bisa dengan mudah terjadi. Seseorang yang beragama
Budha bisa menikah dengan penganut Shinto atau penganut Kristen atau sebaliknya.
Begitu pula dalam menyelenggarakan akad nikah mereka dengan bebas memilih cara
yang mereka ingini. Apakah dengan cara Shinto di jinja (kuil Shinto) atau dengan cara
Budha di tera (kuil Budha) atau di kyokai (gereja), namun saat kematian biasanya mereka
meminta bantuan tera (kuil Budha), karena di kuil Shinto tidak menerima
penyelenggaraan kematian.
Banyak yang mengatakan bahwa orang Jepang itu tidak beragama. Tapi jika di lihat
dalam kehidupan sehari-harinya, sangatlah sulit untuk mengatakan orang Jepang itu tidak
beragama. Misalnya, dalam setahun saja berbagai matsuri diselenggarakan, ziarah ke
makam pada saat obon atau dikenal juga dengan istilah Bon no Hakamairi (盆の墓参り).
Pada saat tahun baru mengunjungi jinja (kuil Shinto) yang biasa disebut dengan
Hatsumode (初詣). Lalu pada saat ada yang meninggal mereka melaksanakan upacara
kematian di tera (kuil Budha). Pada saat musim ujian, orang tua beramai-ramai mengunjungi jinja, berdoa agar anaknya bisa lulus ujian atau bisa masuk perguruan tinggi
yang diinginkan. Pada bulan Desember, Natal pun tidak ketinggalan untuk dirayakan.
Tidak bisa disanggah lagi bahwa kehidupan orang Jepang itu erat dengan ritual
11 keagamaan. Orang Jepang pada umumnya jarang sekali mengakui kalau dirinya itu beragama Budha atau beragama Shinto ataupun agama lainnya. Kebanyakan bilang “saya tidak beragama”. Menurut mereka aktivitas itu seperti menyelengarakan matsuri, dan mengunjungi jinja bukanlah sebuah ritual agama, tapi tidak lebih dari sekedar tradisi saja.
Menurut Gakken (1990), kepercayaan orang Jepang merupakan yang paling kompleks di dunia karena keterbukaannya pada semua agama, seperti yang terlihat pada kunjungan ke kuil Shinto pada tahun baru, pergi ke kuil Budha pada musim semi dan pada musim gugur untuk mengunjungi kuburan keluarga, dan kebiasaan membuat kue dan hadiah pada saat natal. Pada saat shi-chi-go-san masyarakat Jepang pergi ke kuil
Shinto setempat, pada upacara pernikahan biasa dilaksanakan di gereja Kristen, dan pada upacara pemakaman kebanyakan dilakukan dalam upacara agama Budha.
2.2 Konsep Budaya
Menurut Koentjaraningrat (1990 : 181), kata ”kebudayaan” berasal dari kata
Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti ”budi” atau ”akal”.
Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Kata ”budaya” di sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari ”kebudayaan” dengan arti yang sama.
Masih menurut Koentjaraningrat (1990 : 186), kebudayaan mempunya tiga wujud, yaitu :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, norma-norma,
nilai-nilai, peraturan-peraturan, dan sebagainya.
12 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala, atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran masyarakat dimana kebudayaan bersangkutan itu hidup. Contohnya, kalau warga masyarakat menyatakan gagaan dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis masyarakat tersebut.
Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut sistem sosial, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan tidak memerlukan banyak penjelasan. Karena berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, di lihat dan di foto (Koentjaraningrat, 1990 :
187-188).
2.3 Teori Ritual
Ritual adalah segala yang dihubungkan atau disangkutkan dengan upacara keagamaan, seperti ritual dances, ritual laws. Dalam antropologi, upacara ritual dikenal dengan istilah ritus. Ritus dilakukan ada yang untuk mendapatkan berkah atau rejeki yang
13 banyak dari suatu pekerjaan, seperti upacara sakral ketika akan turun ke sawah, ada untuk
menolak bahaya yang telah atau diperkirakan akan datang, ada upacara mengobati penyakit, ada untuk mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atau dewa, ada upacara karena perubahan atau siklus dalam kehidupan manusia, seperti pernikahan, mulai kehamilan, kelahiran (Gustanudin, 2006 : 96-97).
2.4 Konsep Shinto
Shinto terdiri dari dua kanji, yaitu Shin (神) atau disamakan dengan istilah kami
yang berarti Tuhan dan To (道) yang disamakan dengan istilah michi yang berarti jalan.
Shinto tidak memiliki kitab suci resmi yang dapat dibandingkan dengan bacaan seperti
Injil atau Qur’an. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ono (1998 : 3)
sebagai berikut :
Unlike Buddism, Christianity, and Islam, Shinto has neither a founder, such as Gautama the Enlightened one, Jesus the Messiah, or Mohammed the Prophed ; nor does it have scared scriptures, such as the Sutra’s of Buddism, the Bible, or the Qur’an.
Tidak seperti Budha, Kristen, dan Islam, Shinto tidak memiliki penemu, seperti Gautama Sang Pencerah, Yesus Kristus Sang Penyelamat, atau Nabi Muhammad, dan juga tidak memiliki kitab suci, seperti Sutra dalam Budha, Alkitab, atau Al Qur’an.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Shinto merupakan kepercayaan
masyarakat Jepang itu sendiri, tidak seperti yang dikenal dalam ajaran Budha Gautama
dalam agama Budha dan juga ajaran Yesus dalam ajaran Kristen (Ono, 1998 : 3).
Dalam Shinto to Nihon Bunka (2006 : 13-14), arti Shinto adalah :
14 神道という現象については、たとえばお祭りをしてきたとか、神社に祈っ てきたとか、神社の神様の前でご祈祷をするとか、神様についての物語が 書かれている神道古典であるとか、あるいは神道について言葉で説明した 新党思想家たちの考えていたことといった、神道の歴史を材料にして考え るしかない。
Yang dimaksud dengan Shinto yaitu, seperti melaksanakan perayaan dengan mengunjungi kuil Shinto, memanjatkan doa di depan dewa-dewa yang ada di kuil, cerita mengenai dewa-dewa yang ditulis dalam catatan kuno Shinto, atau penjelasan para sejarahwan Shinto mengenai Shinto. Dapat dikatakan penjelasan tersebut merupakan sejarah Shinto yang dimaterikan.
Cerita kuno yang disebut Kojiki (古事記) dan Nihon Shoki (日本初期) dianggap
sebagai buku keramat Shinto. Buku tersebut ditulis pada tahun 712 dan 720 sesudah
Masehi, dan merupakan kompilasi atau kumpulan tradisi, mitos, serta upacara-upacara
Shinto kuno. Buku tersebut juga merupakan buku mengenai sejarah, topografi, dan
kesusastraan Jepang kuno (Ono, 1998 : 10-11).
Shinto sudah lama dianggap sebagai unsur penting dalam keagamaan di Jepang
yang membuatnya berbeda dan spesial. Kuroda (1993 : 7), mengungkapkan mengenai
pandangan orang terhadap Shinto adalah sebagai berikut :
The common person’s view of Shinto usually includes the following assumptions : Shinto bears the unmistakable characteristics of a primitive religion, including nature worship and taboos agains kegare (impurities), but it has no system of doctrine; it exists in diverse forms as folk belief.
Pandangan orang secara umum mengenai Shinto biasanya meliputi asumsi berikut ini : Shinto memiliki karakteristik yang paling benar dari kepercayaan kuno, termasuk menyembah alam dan tabu terhadap kegare atau ketidaksucian, namun Shinto tidak memiliki sistem pengajaran atau doktin. Shinto muncul dari kepercayaan rakyat dalam bentuk yang bermacam-macam.
Ciri-ciri dari Shinto adalah adanya pengorganisasian yang baik, contohnya susunan upacaranya, organisasi, dan kuil-kuilnya. Shinto juga memainkan peranan yang penting
15 dalam mitologi Jepang kuno dan menjadi dasar dalam penyembahan nenek moyang atau
leluhur dan Kaisar. Singkatnya Shinto dianggap sebagai kepercayaan asli agama Jepang
yang merupakan kelanjutan dari garis yang tidak terputus dari zaman pra sejarah hingga
saat ini (Kuroda 1993 : 7).
Menurut Ono (1998 : 22-31), pada jalan masuk ke kuil Shinto biasanya terdapat
gerbang yang dinamakan torii. Torii merupakan sebuah pintu khusus untuk para dewa. Di
zaman dulu torii digunakan sebgaai pintu gerbang biasa. Tapi pada saat ini penggunaan
torii terbatas, yaitu hanya digunakan di lingkungan kuil, lingkungan istana, dan beberapa
kuburan. Torii terdiri dari dua tiang dan dua palang. Gerbang tersebut adalah sebagai
pembatas untuk memisahkan kehidupan dunia dan kehidupan kami. Biasanya ada dua
hewan penjaga atau disebut komainu (狛犬) yang ditempatkan di masing-masing sisi
gerbang dan hewan tersebut menjaga pintu masuk Shinto. Banyak orang lebih mengenal
torii yang dapat diartikan sebagai pintu gerbang menuju tempat suci Shinto, dan
beberapa diantaranya berpengaruh pada hiasan – hiasan yang unik yang menghiasi langit
– langit atau atap tempat suci itu atau disebut shimenawa (注連縄).
Gambar 2.3 : Torii
Sumber:http://www./japan/images/kyoto/heian-jingu/torii-wp.jpg
16 Gambar 2.4 : Shimenawa
Sumber : http://cache.virtualtourist.com/1/1477195-Heian_Shrine-Kyoto.jpg
Gambar 2.5 : Komainu
Sumber : http://foxglove.dailybells.co/f_kego_komainu.jpg
Ono (1998 : 24-25) mengatakan bahwa peralatan yang dipergunakan dalam upacara
Shinto adalah haraigushi, spanduk, dan pedang. Haraigushi yaitu sebuah tongkat atau
juga terkadang ranting pohon sakaki (cemara) yang disekelilingnya dipenuhi dengan kertas panjang dan digunakan sebagai alat penyucian dalam Shinto, spanduk sebagai
17 simbol kehadiran kami, dan pedang yang berfungsi sebagai tanda kekuatan kami untuk
memberikan keadilan dan kedamaian.
Dalam upacara Shinto, terdapat pula alat musik yang turut serta dipergunakan
sebagai pelengkap. Dalam suatu perayaan atau upacara biasanya terdapat acara pengisi
sebelum acara utama dimulai. Acara pengisi tersebut berupa tari-tarian, musik , dan
nyanyian tradisional. Acara ini disebut gagaku. Peralatan musik yang dipergunakan
adalah uchi-mono (gong), taiko (drum), sankan yang didalamnya terdapat tiga jenis alat
musik tiup seperti fue (sejenis suling dengan enam lubang), sho ( sejenis angklung,
terbuat dari bambu yang berjumlah tujuh belas tabung), dan hichikiri (sejenis suling
dengan sembilan lubang), serta suzu atau rebana (Picken 1994 : 183).
Omikoshi adalah kuil yang dapat diangkut dan dipindah-pindahkan, dapat dikategorikan sebagai peralatan yang digunakan dalam upacara atau perayaan Shinto.
Ada juga omikoshi yang dapat ditarik, dikenal dengan nama yatai atau dashi. Omikoshi, yatai atau dashi ini dapat ditarik atau diangkat oleh para peserta upacara (Picken
1994 :179).
Shinto juga mengenal beberapa warna yang dianggap sebagai pembawa keberuntungan seperti warna merah dan warna putih. Warna merah dianggap dapat mengusir roh jahat dan penyakit. Di Jepang, warna merah juga dianggap sebagai simbol dari kebaikan dan kejahatan, persimpangan antara surga dan neraka, kematian dan kehidupan, sehingga pda akhirnya dikatakan bahwa warna merah tidak hanya simbol dari kejahatan dan penyakit saja melainkan juga sebagai simbol kesembuhan, kesuburan, dan juga kelahiran. Sedangkan, warna putih, di Jepang merupakan simbol dari kesucian, sekaligus merupakan warna suci yang melambangkan para dewa (Schumacher,2007).
18 Menurut Ono (1998 : 12-15), jenis-jenis Shinto adalah :
a. Shinto Kuil
Merupakan jenis Shinto tertua dan paling umum dalam hubungannya terhadap
kepercayaan kepada dewa. Diperkirakan sudah ada lebih dari 8000 kuil Shinto di
Jepang.
b. Shinto Sekte
Terdiri dari 13 kelompok yang terbentuk pada abad ke-19. Shinto Sekte ini tidak
mempunyai kuil-kuil, tetapi mempunyai kegiatan religius dibalai pertemuan. c. Kuil Ise
Kuil Ise adalah kuil yang ditujukan kepada Amaterasu no Omikami atau dewi
matahari di Jepang. d. Shinto Populer
Merupakan hasil dari berbagai ide dan kebudayaan yang dihubungkan dengan
kepercayaan primitif selama berabad-abad lamanya dan berfikir secara tradisional.
Biasanya disebut dengan ‘folk Shinto’ atau kepercayaan populer. e. Shinto Lokal atau Shinto domestik
Merupakan kegiatan keagamaan yang dilakukan di kamidana (神棚) atau yang
disebut altar Shinto yang terdapat di dalam rumah. f. Shinto Kekaisaran
Merupakan nama yang diberikan kepada tatacara upacara religius yang
dilaksanakan di tiga kuil yang berada di halaman istana yang biasanya digunakan
khusus untuk keluarga Kekaisaran.
19 g. Shinto Negara
Shinto Negara merupakan gabungan dari Shinto Kekaisaran dan juga Kuil Ise.
Dalam ajaran Shinto dikenal adanya kami atau dewa. Adapun yang dimaksud dengan kami menurut Ono (1998 : 6) adalah :
Kami are the object of worship in Shinto. What is meant by “kami”. Fundamentally, the term is an honoric for noble, sacret spirits, which implies a sense of adocation for their virtues and authority.
Kami merupakan objek penyembahan dalam kepercayaan Shinto. Apakah yang disebut dengan kami. Pada dasarnya, istilah kami adalah sebuah sebutan kehormatan bagi kaum bangsawan, sebuah semagat suci yang menyatakan rasa penyembahan untuk kebaikan dan penyembahan kami.
Picken (1994: 92-121), menggolongkan kami menjadi dua bagian utama dimana bagian-bagian tersebut terdapat beberapa kelompok kami sebagai berikut :
1. Kami yang terdapat dalam mitologi Jepang adalah
a. Amatsu no kami (dewa surga atau langit) yang diketuai oleh Amaterasu no
Omikami yang bertempat di kuil Ise.
b. Kumitsu no kami (dewa bumi) yang diketuai oleh Saruta Hito no Mikoto.
2. Kami yang tidak terdapat dalam mitologi Jepang adalah
a. Kami yang berkaitan dengan fenomena alam, seperti para dewa yang memiliki
hubungan dengan kejadian-kejadian alam. Contohnya dewa angin, dewa api, dewa
air, dan lain sebagainya.
b. Kami yang dikaitkan dengan sejarah personal. Berhubungan dengan orang-orang
penting sepanjang sejarah yang kemudian namanya diabadikan sebagai dalam
bentuk kuil.
20 c. Kami yang berkaitan dengan asal politik. Dewa utama dalam kategori ini adalah
Hachiman.
d. Kami yang berhubungan dengan perdagangan, kemakmuran. Yang paling terkenal
adalah Inari yaitu dewa yang mempunyai wujud berupa rubah. Selain itu juga
terdapat Sichi-fuku-jin atau tujuh dewa keberuntungan. Tidak semua dewa Sichi-
fuku-jin ini merupakan dewa-dewa dalam Shinto, namun masyarakat Jepang tetap
menggolongkannya sebagai dewa.
Pye (1996), mengatakan bahwa objek utama dalam pemujaan Shinto adalah para dewa yang dikenal dengan kami. Kami memiliki tiga kriteria sebagai berikut :
1. Kami tidak memiliki wujud sendiri. Biasanya untuk menunjukan keberadaan
mereka, mereka harus dipanggil atau dibujuk untuk hadir dalam bentuk yang
sesuai, bentuk ini dikenal dengan nama yorishiro. Yorishiro biasanya memiliki
bentuk yang panjang dan tipis. Kayu, tongkat, dan spanduk adalah yang paling
lazim digunakan.
2. Kami dikatakan tidak memiliki moral, mereka dalah kekuatan yang merespon
setiap tingkah laku manusia dalam komunitas berdasarkan perlakuan yang mereka
terima. Dengan memperlakukan mereka dengan baik, seperti memberikan
persembahan dengan ritual yang pantas, maka mereka akan memberikan panen
yang berhasil, perlindungan dari segala macam bencana. Namun, dengan
menelantarkan mereka, maka mereka akan memberikan kutukan atau tatari.
3. Kami memiliki dunia sendiri, namun mereka dapat dipanggil untuk datang kedunia
manusia dalam berbagai kesempatan. Sebagai contoh, dengan adanya musik dan
21 tarian dalam matsuri, serta kata-kata magis, kami meninggalkan dunia mereka dan
datang ke jinja setempat. kami dihibur, dimintai berkat, atau diberi pertanyaan
sebelum kami kembali ke dunia mereka.
2.4 Konsep Matsuri
Matsuri disebut juga girei atau gyouji. Menurut Yanagita dalam Madubrangti
(2008 : 22), matsuri pada hakikatnya adalah kegiatan yang diyakini atau dipercayai oleh masyarakat Jepang sebagai ritual terhadap pemujaan kepada leluhur dan kepada alam semesta. Orang memohon dan memanjatkan rasa syukur atas kemakmuran, kesejahteraan dan keselamatan yang diperolehnya.
Setiap matsuri mengandung berbagai makna yang disampaikan di dalam kehidupan suatu masyarakat. Kepercayaan dan keyakinan orang Jepang tersebut diekspresikan dalam kegiatan yang disakralkan. Kegiatan ini terus berlangsung dalam kehidupan orang
Jepang sebagai sesuatu pementasan yang disebut matsuri (Madubrangti, 2008 : 21).
Matsuri dilaksanakan untuk menghindari malapetaka dan pada saat dilangsungkan matsuri juga diadakan upacara. Hal ini membuat semua orang bersenang-senang. Semua orang merayakannya dengan penuh gembira sebagai salah satu bentuk hormat mereka
(Yanagawa, 1991 : 81).
Matsuri merupakan upacara yang mendatangkan dewa untuk mendekatkan diri pada dewa dengan menyajikan sajian suci yang dilakukan oleh Pendeta Shinto dan merupakan perwujudan kepercayaan orang Jepang yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-harinya. Pada umumnya orang Jepang melakukan matsuri sebagai jalan dewa.
22 Tanpa matsuri tidak ada jalan lain menuju dewa. Mengenai hal ini Yanagita dalam
Sutanto (2007 : 31) mengatakan sebagai berikut :
祭りは国民信仰の、いうわばただ一筋の飛石であった。この筋をあるい ていくより他にはこれ神え道、すなわち神ながらの道というものを、究 めることはできなかったわけである。
Matsuri merupakan suatu batu loncatan atau jalan menuju kepercayaan suatu bangsa. Tidak ada jalan lain menuju jalan dewa, kecuali menempuh satu- satunya jalan ini.
Masyarakat Jepang akan melaksanakan salah satu dari kegiatan matsuri ini secara
periodik baik tua maupun muda. Melalui matsuri ini masyarakat Jepang dapat merasakan
akan kehadiran dewa dalam kehidupan .
Menurut Yanagita dalam Sutanto (2006 : 5), matsuri dapat digolongkan dalam tiga
kategori, yaitu ninigirei, nenchugyoji, dan tsukagirei.
Kategori pertama, ninigirei, adalah matsuri yang diselenggarakan secara aksidental dan tidak semua orang mengalami atau melakukannya. Ninigirei merupakan kegiatan matsuri yang dilakukan jika seseorang telah berhasil mencapai sebuah pencapaian
tertentu seperti tujuan agar terhindar dari segala kemalangan, atau lulus sekolah,
mendapat pekerjaan, dan sebagainya.
Kategori kedua, nenchugyouji, adalah matsuri yang diselenggarakan menurut
kalender penanggalan dan dilakukan secara periodik setiap tahunnya. Salah satu tipe nenchugyoji yang paling terkenal adalah hatsumode. Hatsumode adalah upacara
mengunjungi kuil untuk pertama kali pada saat tahun baru dan berdoa supaya tahun ini
menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya.
23 Kategori ketiga, tsukagirei, adalah matsuri yang diselenggarakan oleh orang Jepang sepanjang hidup yang ia lakukan, mulai dari kelahiran sampai kematian atau bisa juga
disebut dengan upacara peralihan. Upacara peralihan adalah upacara keagamaan yang
berhubungan dengan tahap penting di dalam kehidupan manusia untuk melewati krisis yang menentukan dalam setiap tahap kehidupannya. Upacara tsukagirei dimulai ketika
usia kandungan lima bulan, ditandai dengan penggunaan obi iwai, yaitu sabuk khusus
yang dibeli di kuil. Setelah itu dikenal pula upacara hatsu miyamairi yaitu upacara
mengunjungi kuil untuk pertama kali dan biasa dilakukan pada hari ke-23 bagi bayi laki- laki dan hari ke-30 bagi bayi perempuan. Kemudian pada usia ke-20 tahun para remaja
Jepang akan mengikuti seijin no hi (hari kedewasaan) pada tanggal 15 Januari. Upacara tsukagirei yang terakhir adalah upacara kematian seseorang.
Menurut Ono (1998:51-52), ada empat unsur penting dalam matsuri: a.Monoimi(Penyucian)
Monoimi adalah penyucian yang harus dilakukan ketika akan melaksanakan matsuri.
Monoimi biasanya dilakukan oleh para Toya, yaitu pemimpin upacara ritual dalam matsuri itu sebagai orang yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan matsuri.
Monoimi diadakan dengan maksud untuk membersihkan diri dari dosa dan hal-hal yang bersifat kotor dalam diri manusia.
Monoimi terbagi atas tiga. Menurut Picken (1994 : 172) terdapat tiga bentuk cara penyucian, yaitu :
1. Harai
Harai merupakan penyucian yang dilakukan oleh pendeta dengan menggunakan
harai-gushi (sebuah tongkat yang ditempelkan kertas putih yang berbentuk zig-zag).
24 Harai-gushi tersebut dilambaikan pada tempat atau orang yang menginginkan
penyucian.
2. Misogi
Misogi merupakan penyucian dengan menggunakan air. Misogi dapat dilakukan
dengan cara mengambil air dengan tangan atau ember kecil atau dengan cara berdiri
dibawah air terjun.
Schumacher (2007) juga mengatakan bahwa air digunakan sebagai salah satu bentuk
penyucian. Hal ini dikarenakan bahwa air dianggap sebagai air mata dewa sehingga
memiliki kekuatan yang besar untuk mengusir roh jahat. Api, garam, dan sake (arak
beras khas Jepang) juga digunakan sebagai alat penyucian atau oharai. Dalam ritual
upacara Shinto, pemercikan yang menggunakan air ini disebut dengan misogi.
3. Imi
Imi merupakan penyucian dengan cara menghindari kata-kata atau tindakan tertentu,
seperti larangan penggunaan kata-kata “kiru” dan “deru” pada hari pernikahan. b. Shinzen (Persembahan Sesajian)
Shinzen adalah sesajian yang diadakan untuk persembahan kepada dewa. Sesajian yang paling umum adalah kue mochi, arak (sake), ganggang laut, sayur-sayuran, buah- buahan, serta bunga-bunga petik. Menurut Picken (1994 : 183), ada empat jenis persembahan pada umumnya yakni :
1. Uang
Persembahan uang biasanya dilakukan dengan melempar koin ke dalam kotak
persembahan di depan dekat altar atau dengan menyumbangkan dana untuk
kepentingan kuil.
25 2. Makanan dan Minuman
Persembahan makanan berupa makanan yang belum dimasak maupun yang sudah
dimasak. Persembahan ini berupa makanan kesukaan dari kami yang dihormati
sebagai orang yang bersejarah.
3. Barang
Berbagai macam benda yang hebat termasuk ke dalam persembahan ini, seperti kertas
zaman dulu, kain sutra atau katun, senjata, bahkan alat pertanian. Di beberapa kuil
terdapat pula persembahan berupa hewan.
4. Kegiatan simbolis
Berbagai macam hiburan, seperti tarian, drama, gulat, dan panahan juga dianggap
sebagai persembahan kepada kami. Musik dan tarian juga bertujuan untuk
memberikan hiburan kepada kami tetapi para pemuja juga dapat menikmatinya.
Berbagai hiburan itu disebut juga dengan gagaku yang sering ditampilkan pula di
berbagai matsuri.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai musik dan tarian dalam Shinto (Picken,
1994 : 178) :
Music and dance include several separate forms that are arts in their own right. Kagura is a classical Japanese dance performed by shrine maidens (miko). Dance have a central place in Japanese religion, it was a dance that enticed Amaterasu out of cave. To the music of fue and the rhythm of drumbeats, the lion performs a sequence of dance.
Musik dan tarian termasuk beberapa bentuk yang terpisah yang memiliki unsur keseniannya sendiri. Kagura adalah sebuah tarian Jepang yang dipertunjukkan oleh gadis perrawan kuil (miko). Tari-tarian ini mempunyai bagian penting dalam agama orang Jepang. Tarian tersebut adalah tairan yang menarik Amaterasu untuk keluar dari gua. Seiring dengan alunan musik fue dan irama gendang, tarian singa mempertunjukkan rangkaian tariannya.
26 c. Norito (Doa)
Norito adalah doa-doa yang dibacakan oleh seorang kannushi (pendeta Shinto) dengan menggunakan gaya bahasa Jepang kuno untuk menjelaskan kepada dewa tentang arti dan alasan dalam mengadakan matsuri. Isi doa-doa tersebut adalah mengungkapkan
rasa terima kasih kepada dewa serta memohon kepada dewa dengan tujuan untuk
meminta kesejahteraan atau perlindungan kepada dewa.
d. Naorai (Jamuan Suci)
Naorai adalah jamuan makan bersama para peserta matsuri yang dilakukan pada
akhir upacara Shinto. Makanan yang dimakan adalah sesajian yang telah disediakan bagi
para dewa dan sudah di doakan oleh kannushi (pendeta Shinto).
2.5 Konsep Jidai Matsuri
Dalam Masaaki (2007 : 208), dijelaskan bahwa Jidai matsuri yang diadakan setiap tahun pada tanggal 22 Oktober , termasuk salah satu dari tiga matsuri terbesar di Kyoto selain Aoi matsuri dan Gion matsuri. Matsuri ini mulai diselenggarakan pertama kali pada tahun 1895 dan dilangsungkan di Heian Jingu (kuil Heian) yang diperkirakan sudah berusia sekitar 1200 tahun. Jidai matsuri di Kyoto dirayakan sebagai tanda terima kasih kepada Kaisar Kammu dan Kaisar Komei sebagai kaisar pertama dan kaisar terakhir yang memerintah Kyoto karena telah membangun Heian Jingu pada tahun 1895 dan untuk memperingati 1100 tahun perpindahan ibu kota Jepang dari Nara ke Kyoto oleh masyarakat kota Kyoto . Parade matsuri ini dimulai dari Kyoto Gosho (istana kekaisaran
Kyoto) dan berakhir di Heian Jingu (kuil Heian). Lebih kurang pukul 14.30, iring-iringan parade akan mulai melalui torii (gerbang) raksasa yang berada lebih kurang 200 m di
27 selatan Heian Jingu. Iring-iringan yang pertama kali melintas dikenal dengan sebutan
Jidai Gyoretsu lalu iring-iringan berikutnya terdiri dari satu kelompok ibu-ibu berkimono biru-putih membawakan tarian pembuka untuk menyambut iring-iringan parade selanjutnya sekaligus mengawali perjalanan parade ini memasuki Heian Jingu. Tidak lama kemudian satu per satu kelompok parade mulai melintas. Kelompok yang menggambarkan ksatria dan pasukan kerajaan pada era Restorasi Meiji adalah yang pertama melintas, kemudian diikuti oleh kelompok yang mewakili Periode Edo dan seterusnya. Ada juga kelompok yang menggambarkan pelaksanaan upacara-upacara, seperti Yamaguni Tai (upacara menembak), Shinko-Retsu (prosesi kereta suci), dan
Hanagyoretsu (prosesi wanita pembawa bunga) sebagai upacara persembahan untuk kami atau dewa. Kyuusen Gumi (pasukan pemanah) menjadi penutup barisan panjang Jidai matsuri kota Kyoto ini. Semua itu dirayakan selama lebih dari 1000 tahun.
28