BAB II PEMBENTUKAN KABINET HATTA I

A. Kondisi Politik Sebelum Kabinet Hatta I

Periode revolusi fisik tahun 1945 sampai 1950 dalam Pemerintah Republik

Indonesia identik dengan jatuh bangunnya kabinet. Menurut Herbert Feith, jatuh

bangunnya kabinet ketika itu karena pemimpin sentral Republik

terpecah mengenai berbagai aspek dari pandangan dan persepsi mengenai

Republik Indonesia dan dunia. Dalam bidang politik luar negeri, persaingan antar

elit terjadi di seputar dua pertanyaan, yaitu; pertama, bagaimana menghadapi

Belanda; dan kedua, persoalan perumusan identitas internasional Republik

Indonesia. Mengenai yang pertama, pemerintah Republik Indonesia menghadapi

tekanan politik yang amat kuat dalam perundingan dengan Belanda. Mengenai

yang kedua, para elit bersaing, yang terpecah dalam garis politik dan ideologi,

serta berbeda pandangan dalam konteks bipolarisme dunia.1 Dari argumen Herbert

Feith dapat diuraikan beberapa contoh peristiwa sebagai berikut:

1. Tekanan Politik Belanda dalam Perundingan.

Pada tanggal 17 Maret 1946 Sutan Syahrir mengajukan satu usul

kompromi dengan memberikan konsesi yang tak sesuai dengan ikrar

proklamasi.2 Salah satunya adalah pengakuan secara de facto Republik

Indonesia atas Jawa dan Sumatra oleh Belanda. Hal ini mengakibatkan

1 Ganewati Wuryandari, Dharurodin Mashad, Tri Nuke Pujiastuti, dkk, Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 67 - 68.

2 Adam Malik, Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45, Jakarta: Gunung Agung, 1984, hlm. 163.

22

23

pertentangan berbagai golongan mengenai hasil Perjanjian Linggarjati

terutama para pengikut Tan Malaka dalam Persatuan Perjuangan.3

Pada malam hari tanggal 27 Juni 1946 Sutan Syahrir ditangkap oleh

satuan - satuan tentara di dalam perjalanan keliling ke Jawa Timur.

Penangkapan Sutan Syahrir ini diharapkan akan memungkinkan Dwitunggal

memberikan kemerdekaan 100 persen. Untuk menyikapi peristiwa

penangkapan Sutan Syahrir maka tanggal 30 Juni 1946 melalui siaran radio

Presiden menyatakan bahwa penangkapan Sutan Syahrir

membahayakan persatuan bangsa. Pernyataan Presiden Sukarno

menggoyahkan kepercayaan diri pihak oposisi sehingga tanggal 3 Juli 1946

satuan - satuan tentara membebaskan tawanan dan mengirimkan delegasi

kepada Presiden Sukarno di Yogyakarta supaya presiden membubarkan

kabinet.4 Dikirimlah delegasi untuk menyampaikan tujuan penangkapan Sutan

Syahrir kepada presiden, tetapi mengalami kegagalan.5

Peristiwa 3 Juli 1946 ini menjadi bukti betapa berbahayanya

persaingan elit politik dalam negeri yang dapat menimbulkan perang saudara

di Jawa Tengah. Pemerintah menyalahkan Tan Malaka sebagai orang yang

bertanggung jawab atas semua peristiwa ini.6 Setelah penculikan

3 Ibid., hlm. 164.

4 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2004, Jakarta: Serambi, 2005, hlm. 449 - 450.

5 Soe Hok Gie, Orang - orang di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997, hlm. 104.

6 M.C. Ricklefs, op.cit., hlm. 450.

24

Sutan Syahrir maka pemerintahan dipegang oleh Presiden Sukarno, tindakan

presiden memegang kekuasaan pemerintah tersebut dilakukan dengan

mendapat persetujuan dari menteri - menteri yang ada. Dengan pengambilan

kekuasaan itu maka otomatis kekuasaan pemerintah langsung dibawah

tanggung jawab presiden, sedangkan Kabinet Syahrir II didemisioner.7

Perundingan selanjutnya dengan Belanda yaitu perundingan Renville.

Penandatanganan Persetujuan Renville menimbukan suatu krisis kabinet

dalam Republik Indonesia. Sebelumnya Masyumi yang merupakan partai

politik terbesar telah mengundurkan diri dari kabinet tanggal 16 Januari 1948.

Masyumi dan PNI menyatakan bahwa mereka tidak dapat mendukung Mr.

Amir Syarifuddin lagi sebagai perdana menteri dan bahwa dukungan mereka

kepada setiap pemerintahan mendatang akan tergantung kepada apakah

mereka mempunyai posisi dominan didalamnya. Mereka tidak akan

mendukung pelaksanaan suatu persetujuan yang tidak mereka setujui itu,

kecuali jika yang memimpin bukan dari kelompok yang bertanggungjawab

atas persetujuan itu.8 Pernyataan Masyumi dan PNI sudah terlihat

ketidaksukaan terhadap kepemimpinan Mr. Amir Syarifuddin setelah

Persetujuan Renville dan mengharapkan pergantian kepemimpinan

secepatnya.

7 Mr. Achmad Sanusi, Perkembangan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia 1945 - 1958. Bandung: Penerbit Universitas, 1958, hlm. 49.

8 George McTurnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Semarang: UNS Press, 1995, hlm. 290.

25

Dengan pengunduran diri kedua partai itu, kini Mr. Amir Syarifuddin

hanya mempunyai dukungan dari Sayap Kiri. Karena itu ia lalu

mengundurkan diri sebagai perdana menteri.9 Dibutuhkannya pemimpin yang

kuat dalam menjalankan Persetujuan Renville dikarenakan situasi yang sangat

panas dalam hubungannya dengan Belanda dan Angkatan Perang Republik

Indonesia yang merasa dirugikan. Akan tetapi Masyumi dan PNI tidak

berminat memegang tanggung jawab utama dalam melaksanakan syarat -

syarat utama yang tidak mereka sukai itu.

2. Persaingan Elit Politik yang Terpecah dalam Garis Politik dan Ideologi.

Tiga pasangan pemimpin angkatan 1945 dengan tiga dinamika

perjuangan memberikan warna khas bagi revolusi Indonesia. Ketiga pasangan

itu yaitu; Ir. Sukarno dengan Drs. , Sutan Syahrir dengan

Mr. Amir Syarifuddin, dan Tan Malaka dengan Jenderal Sudirman. Ir.

Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta duduk manunggal dalam pucuk pimpinan

negara dan pemerintahan dari kalangan nasionalis, Sutan Syahrir dan Mr.

Amir Syarifuddin membentuk suatu kekuatan baru yang bersendi pada

pemikiran intelektualistis sebagai alumni dari PNI Gaya Baru dan Partindo,

disamping itu pasangan Tan Malaka dan Jenderal Sudirman mempunyai urat

dan akar langsung di kalangan pemuda - pemuda radikal dan anggota pasukan

PETA.10

9 Ibid., hlm. 291.

10 Adam Malik, op,cit., hlm. 90.

26

Masa kabinet pertama ditandai dengan orang - orang yang menduduki kabinet sebagai kolaborator Jepang menjadi senjata Belanda dalam melakukan provokasi, dengan harapan Sekutu menilai pemerintah Republik Indonesia adalah buatan Jepang. Munculnya isu ini memberikan peluang Sutan Syahrir untuk melakukan kampanye bahwa perubahan dalam pemerintahan dianggap perlu guna memperkokoh kedudukan Republik Indonesia di dunia internasional, maka muncullah Sutan Syahrir dengan predikat bukan kolaborator Jepang ke panggung politik sebagai pimpinan eksekutif ditemani

Mr. Amir Syarifuddin. Kampanye Sutan Syahrir untuk merombak pimpinan pemerintahan dan menghapus kolaborator Jepang menyinggung posisi

Jenderal Sudirman sebagai pimpinan PETA. Maka Jenderal Sudirman mendekati Tan Malaka sebagai kekuatan penentang Sutan Syahrir.

Semenjak tahun 1946 pimpinan tertinggi pemerintahan dipegang oleh pasangan Sutan Syahrir dengan Mr. Amir Syarifuddin dan pasangan Ir.

Sukarno dengan Drs. Mohammad Hatta yang mendukung politik diplomasi

Sutan Syahrir. Sebaliknya politik diplomasi ini ditentang oleh kelompok Tan

Malaka dengan Jenderal Sudirman yang condong kepada garis politik keras.

Maka pada proses diplomasi pertama dengan Belanda mengenai Perjanjian

Linggarjati pasangan Tan Malaka dan Jenderal Sudirman menjadi oposisi terhadap kebijakan Sutan Syahrir melalui Persatuan Perjuangan. Peristiwa 3

Juli 1946 menjadi bukti sikap elit politik terhadap kebijakan Pemerintah.

Reaksi atas peristiwa 3 Juli 1946 pasangan Ir. Sukarno dengan

27

Drs. Mohammad Hatta berperan sebagai penengah, Jenderal Sudirman sendiri bersikap luwes, sedangkan kelompok Tan Malaka ditangkap.

Salah satu corak sistem pemerintahan parlementer di Republik

Indonesia yaitu menganut banyak partai, maka dalam menjalankan pemerintahan tidak ada partai yang dominan. Koalisi dari berbagai macam partai merupakan salah satu cara dalam memperkuat jalannya pemerintahan.

Sedangkan partai yang tidak tergabung dalam koalisi membentuk oposisi.11

Pertentangan tidak hanya muncul dalam setiap individu tetapi juga muncul dalam partai politik yang bergabung dalam kelompok tertentu. Setelah muncul Persatuan Perjuangan yang berimbas pada pergolakan Kabinet Syahrir

II, maka harapan muncul dengan menyatukan berbagai kalangan partai politik dalam Kabinet Syahrir III. Campur tangan presiden dalam pembentukan komposisi kabinet masih besar, kekuatan nasionalis (Partai Sosialis dan Partai

Nasional Indonesia), agama (Masyumi dan Partai Kristen) dan komunis dari

Partai Komunis Indonesia. Komposisi partai dalam kabinet diharapkan dapat menghancurkan kekuatan Dr. H.J. van Mook melalui meja perundingan.

Setelah melalui perundingan dengan Belanda dan Agresi Militer Belanda I memunculkan pertentangan dalam kehidupan kepartaian di Republik

Indonesia.12

Pertentangan ini memecah kekuatan menjadi dua kelompok yang saling beradu. Kedua kelompok itu ialah partai - partai pendukung pemerintah

11 Mr. Achmad Sanusi, op.cit., hlm. 73.

12 Adam Malik, op.cit., hlm. 155 -176.

28

mengenai hasil Perjanjian Linggarjati. Kelompok yang mendukung

Pemerintah dikenal dengan sebutan Sayap Kiri yang berasal dari Partai

Sosialis, Pesindo, Partai Buruh, dan Partai Komunis Indonesia. Kelompok

yang menentang Pemerintah dikenal dengan sebutan Benteng Republik yang

berasal dari PNI, Masyumi, dan Partai Rakyat.

Pertentangan kedua kelompok ini nampak jelas pada rapat pleno KNIP

di Malang yang berlangsung antara tanggal 25 Februari sampai 5 Maret 1947.

Dalam rapat pleno terjadi perdebatan antara Sayap Kiri yang mendukung

Dekrit Presiden dan Benteng Republik yang menentangnya. Dekrit Presiden

ini bertujuan supaya KNIP meratifikasi13 Perjanjian Linggajati. Dalam

keadaan macet ini muncul Wakil Presiden Mohammad Hatta yang

mengancam akan mundurnya Dwitunggal dari jabatan apabila Dekrit Presiden

mengenai jumlah anggota KNIP sampai ditolak dalam sidang.14

B. Mohammad Hatta Terpilih sebagai Perdana Menteri

Setelah panjang lebar menguraikan berbagai peristiwa sebagai penguat

pernyataan Herbert Feith mengenai akibat jatuh bangunnya kabinet, maka

pembahasan tertuju kepada Drs. Mohammad Hatta sebagai orang yang terpilih

13 Hak ratifikasi diserahkan kepada Presiden untuk melakukan perjanjian dengan negara lain, menyatakan perang dan lainnya. Setelah keluar Maklumat Wakil Presiden Nomor X tertanggal 16 Oktober 1945 KNIP di berikan kekuasaan legislatif dan mempunyai hak ratifikasi juga. Sehingga dalam menyatakan perang, membuat perdamain dan perjanjian dengan negara lain Presiden harus meminta persetujuan KNIP. Mr. Assaat, Hukum Tata Negara Republik Indonesia dalam Masa Peralihan, Yogyakarta: Badan Penerbit Nasional, 1947, hlm. 20 - 21.

14 Adam Malik, op.cit., hlm. 177.

29

untuk memimpin kabinet. Ramalan mengenai terpilihnya Drs. Mohammad Hatta sebagai pengganti Mr. Amir Syarifuddin sudah tercium jauh hari sebelum Kabinet

Amir Syarifuddin jatuh. Terpilihnya Drs. Mohammad Hatta sebagai perdana menteri terkait dengan kondisi kabinet sebelumnya sesuai dengan pendapat

Herbert Feith, ditambah dengan besarnya pencitraan pemimpin Republik

Indonesia kala itu dimana terjadi ketergantungan tokoh politik kepada Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta.

Pada tanggal 24 Januari 1948 Kabinet Amir Syarifuddin menyerahkan jabatannya sebagai perdana menteri kepada presiden. Malam itu juga presiden menunjuk Drs. Mohammad Hatta sebagai formatur kabinet.15 Tanggal 6 Februari

1948 Drs. Mohammad Hatta bertemu Ir. Soekarno, pembicaraan kedua tokoh ini terutama pada krisis kabinet. Menurut Ir. Sukarno banyak pemimpin - pemimpin partai yang mendekati dia, seperti Dr. Sukiman W., Mangunsarkoro dan Dr. J.

Leimena, mereka menyarankan Wakil Presiden Mohammad Hatta merangkap sebagai perdana menteri.16 Ketika Drs. Mohammad Hatta baru pulang dari

Sumatra, datanglah Sutan Syahrir, Dr. J. Leimena dan beberapa tokoh lainnya untuk menjelaskan kondisi yang terjadi dan mereka berpendapat hanya Drs.

Mohammad Hatta yang dapat menyelamatkan keadaan. Selanjutnya mereka menanyakan kesediaan Drs. Mohammad Hatta untuk menjadi calon perdana

15 Kabinet Amir Bubar, Moh. Hatta Formateur, Kedaulatan Rakyat, 24 Januari 1948.

16 Mohammad Hatta, Memoir, Jakarta: Tintamas, 1979, hlm. 523.

30

menteri, dan tawaran ini diterima Drs. Mohammad Hatta dengan syarat bahwa

PNI dan Masyumi mendukungnya.17

Kedudukan Dwitunggal tidak hanya merupakan simbol negara dilihat dari dasar konstitusionalnya tetapi juga sebagai pemimpin - pemimpin besar yang merupakan pusat dari kepercayaan rakyat.18 Kelebihan tersebut terbukti pada rapat pleno KNIP di Malang, dengan campur tangan Dwitunggal sikap tidak percaya partai oposisi terhadap Pemerintah dapat dihilangkan mengingat kondisi yang sangat krisis.

Dimasa pemerintahan Republik Indonesia telah dicoba mengubah sistem pemerintahan presidensil menjadi sistem pemerintahan parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada BPKNIP.

Presiden dan wakil presiden dilindungi oleh kabinet yang bertanggungjawab politik, yang setiap waktu dapat diganti kalau perlu. Tetapi dalam praktek ternyata berbeda, bahwa bukan kabinet yang melindungi presiden dan wakil presiden, dan memagari mereka dengan tanggungjawabnya, melainkan sebaliknya. Dimana - mana presiden dan wakil presiden harus bertindak untuk mempergunakan kewibawaannya untuk melindungi posisi kabinet dari kecaman dan serangan rakyat yang tidak puas. Sampai wakil presiden dalam Sidang KNIP terpaksa

17 Soe Hok Gie, op.cit., hlm. 162.

18 Mr. Achmad Sanusi, op.cit., hlm. 70.

31

bersuara untuk mempertahankan politik pemerintah yang digugat dan dikecam sehebat - hebatnya oleh berbagai golongan didalamnya.19

Tidak ada jalan lain bagi Presiden Sukarno pada waktu itu untuk mengatasi pertentangan partai politik, kecuali menunjuk Wakil Presiden

Mohammad Hatta membentuk kabinet yang baru dengan sistem presidensil, yang bebas dari ikatan partai.20 Mengingat kekuatan Dwitunggal di dalam rakyat yang besar dapat memungkinkan meyelesaikan kekacauan yang terjadi. Tindakan ini untuk mengisi kekosongan secepatnya pasca mundurnya Mr. Amir Syarifuddin.

Maka tanggal 29 Januari 1948, Presiden Soekarno mengangkat Drs. Mohammad

Hatta menjadi perdana menteri melalui Maklumat Presiden Nomor 3 Tahun 1948.

Secara pribadi Drs. Mohammad Hatta dikenal sebagai seorang yang jujur, antikorupsi, memegang teguh prinsip, tegas, terampil berorganisasi, memiliki intelektualitas tak tertandingkan, dan pemegang paham sosialisme yang setia.

Sifat yang khas dari Drs. Mohammad Hatta adalah sanggup menjadi seorang rasional tanpa harus kebarat - baratan. Tokoh yang taat beragama ini kerap dikisahkan menjauhi dansa dan berbagai warna - warni pergaulan barat. Drs.

Mohammad Hatta yang berorientasi kerakyatan mengambil teladan dari barat dalam urusan disiplin dan berorganisasi.21

19 Mohammad Hatta, Beberapa Pokok Pikiran, Jakarta: UI-Press, 1992, hlm. 112 - 113.

20 Mr. Achmad Sanusi, op.cit., hlm. 53 - 54.

21 Salman Alfarisi, Mohammad Hatta: Biografi Singkat (1902 - 1980), Yogyakarta: Garasi, 2009, hlm. 191 - 192

32

C. Pembentukan Kabinet Hatta I

Pembentukan suatu kabinet presidensil yang bersifat nasional dan

mencakup semua partai, tampaknya merupakan satu - satunya jalan yang cepat

untuk menciptakan pimpinan kuat yang dibutuhkan. Drs. Mohammad Hatta

berusaha membentuk suatu pemerintahan nasional yang mengikutsertakan semua

partai besar.22 Corak kabinet presidensil yang didalamnya terdapat dualisme

fungsi Drs. Mohammad Hatta sebagai perdana menteri dan wakil presiden secara

teori bentuk pertanggungjawaban menteri langsung kepada presiden. Tetapi

dikarenakan presiden tidak mempunyai alat dalam mengawasi kinerja menterinya

maka presiden tidak dapat meminta pertanggungjawaban dengan memuaskan.

Melihat hubungan presiden dengan KNIP maka bentuk pertanggungjawaban

menteri dilakukan dengan cara presiden mempersilahkan menteri memberikan

keterangan dan pembelaannya kepada KNIP. Pertanggungjawaban menteri adalah

pertanggungjawaban presiden juga.23 Drs. Mohammad Hatta dalam posisinya

sebagai wakil presiden bertanggungjawab kepada presiden dan posisinya sebagai

perdana menteri bertanggungjawab kepada KNIP. Dalam praktek Kabinet Hatta I

tidak mutlak menganut sistem pemerintahan presidensil maupun parlementer

tetapi merupakan kabinet kawin silang diantara keduanya.24

22 George McTurnan Kahin, loc.cit.

23 Mr. Assaat, op.cit., hlm. 14.

24 Lambert Giebels, Soekarno Biografi 1901 - 1950, Jakarta: Grasindo, 2001, hlm. 452.

33

Susunan Kabinet Hatta I yang terbentuk pada tanggal 29 Januari 1948 sebagai berikut:25

Kementrian Nama Partai

1. Perdana Menteri : Drs. Mohammad Hatta Non Partai

2. Menteri Luar Negeri : Haji Non Partai

3. Menteri Dalam Negeri : Dr. Sukiman W. Masyumi

4. Menteri Pertahanan : Drs. Mohammad Hatta Non Partai

5. Menteri Kehakiman : Mr. Susanto Tirtoprodjo PNI

6. Menteri Penerangan : Mohamad Natsir Masyumi

7. Menteri Keuangan : Mr. A.A. Maramis PNI

8. Menteri Persediaan Makanan Rakyat : I.J. Kasimo PKRI

9. Menteri Kemakmuran : Sjafruddin Prawiranegara Masyumi

10. Menteri Perhubungan : Ir. Djuanda Non Partai

11. Menteri Pekerjaan Umum : Ir. Djuanda26 Non Partai

12. Menteri Perburuhan dan Sosial : Kusnan Non Partai28

13. Menteri Pembangunan dan Pemuda : Supeno27 PSI

25 Departemen Penerangan, Susunan dan Program Kabinet Republik Indonesia Selama 25 Tahun 1945 - 1970, Jakarta: Pradnja Paramita, 1970, hlm. 8.

26 Pada tanggal 13 April 1948 Ir. Djuanda diberhentikan sebagai Menteri Pek. Umum dan Ir. Laoh dari PNI diangkat sebagai Menteri Pekerjaan Umum (Keputusan Presiden Tanggal 13 April 1948 No. 40-A C-1948). Ibid.

27 Meninggal pada tanggal 24 Februari 1949. Berhubungan dengan meninggalnya Supeno dan karena jabatan itu tidak diisi, maka jumlah jabatan kurang satu. Ibid.

28 Berbeda dengan yang tercantum dalam susunan kementrian dalam Departemen Penerangan bahwa Kusnan dari Persatuan Guru Republik Indonesia

34

14. Menteri P. P. & K. : Mr PNI

15. Menteri Agama : K.H Masjkur Masyumi

16. Menteri Kesehatan : Dr. J. Leimena Parkindo

17. Menteri Negara : Sultan HB ke IX Non Partai

Perdana Menteri Mohammad Hatta dalam pidatonya yang pertama dengan

Badan Pekerja KNIP pada tanggal 16 Februari 1948 memberikan keterangan menganai sifat kabinet yang dipimpinnya sebagai berikut:

Kabinet ini, seperti dikatahui adalah Kabinet Presiden, dan dimagsud untuk sementara waktu saja. Apabila telah ada kemungkinan untuk membentuk suatu Kabinet Parlementer, maka kami bersedia mengundurkan diri dan memberi jalan akan timbulnya Kabinet Parlemeter itu.29

Keterangan Perdana Menteri Mohammad Hatta dengan pertimbangan bahwa tidak ada partai yang mengakibatkan Kabinet Amir II jatuh menjadi formatur, sehingga apabila tidak secepatnya dibentuk kabinet baru akan menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Apabila Masyumi dan PNI menjadi formatur yang jelas - jelas menentang Persetujuan Renville pasti akan menimbulkan anggapan negatif dari dunia internasional. Maka dari itu anggota - anggota yang menempati kementrian terdiri dari orang - orang yang ahli dan

(PGRI). Penulis cantumkan Kusnan sebagai non partai hal ini didasarkan bahwa PGRI bukan merupakan partai, diperkuat dengan uraian Kusnan sendiri dan Kusnan bukan sebagai wakil SOBSI tetapi sebagai perorangan. Rh. Koesnan, “Membantu Perdana Menteri Bung Hatta”, Dalam Hatta (Ed), Bung Hatta: Mengabdi Pada Tjita – tjita Perdjoangan Bangsa, Jakarta: Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta ke 70, 1972, hlm. 223. Dan Menteri Kusnan Bukan Wakil SOBSI, Kedaulatan Rakyat, 3 Februari 1948.

29 Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato Dari Tahun 1942 sampai dengan 1949, Jakarta: Yayasan Idayu, 1981, hlm 151.

35

terampil, bukan sekedar merupakan perimbangan partai - partai politik yang ada.30

Penempatan Kusnan sebagai menteri perburuhan dan sosial dapat dijadikan bukti bahwa Drs. Mohammad Hatta menunjuk orang yang ahli dan terampil, dengan dasar keberanian Kusnan mengkeritik dengan pedas, tatapi jujur dan objektif terhadap kebijaksanaan pemerintah pada bidang pendidikan dan pengajaran.31

Namun demikian, Drs. Mohammad Hatta tidak mampu mendamaikan

Sayap Kiri. Sayap Kiri mengubah dirinya menjadi kelompok Front Demokrasi

Rakyat (FDR) menuntut minimum sembilan jabatan kabinet32, yaitu Kementrian

Pertahanan, Kementrian Perburuhan dan Sosial, Kementrian Kemakmuran,

Kementrian Pembagian Makanan, Kementrian Penerangan, Kementrian Luar

Negeri, Kementrian Perhubungan, Kementrian P.D.K., Kementrian Kehakiman dan Kementrian dalam Negeri.33 Dalam menanggapi tuntutan FDR, Mohammad

Hatta menyatakan bahwa:

Dari sikap FDR itu aku merasa, bahwa mereka akan mengadakan sabotase. Pendapatku sudah bulat, aku akan menerima satu orang dari antara mereka dan yang seorang itu ialah Mr. Amir Syarifuddin sendiri, tetapi tidak untuk Menteri Pertahanan. Menteri Pertahanan akan kurangkap sendiri, sebab Sultan Hamengkubuwono mengatakan, bahwa ia tidak sanggup mengatasi T.N.I.34

30 Ibid., hlm. 153.

31 Rh. Koesnan, “Membantu Perdana Menteri Bung Hatta”, Dalam Hatta (Ed), loc.cit.

32 Berbeda dalam bukunya George McTurnan Kahin, dimana Sayap Kiri menuntut empat jabatan kabinet. George McTurnan Kahin, op.cit., hlm. 292.

33 Mohammad Hatta, Memoir, op.cit., hlm. 525.

34 Ibid., hlm. 526.

36

Tuntutan Sayap Kiri dengan Mr. Amir Syarifuddin sebagai menteri pertahanan ditentang oleh Masyumi dikarenakan dengan pertimbangan kejadian - kejadian dahulu. Dalam kabinet ini Masyumi dan PNI adalah yang dominan, kabinet ini juga meliputi Partai Katolik dan Kristen, dan anggota - anggota dari

Partai Sosialis Syahrir.35

35 George McTurnan Kahin, loc.cit.