Teuku Mohammad Hasan (Sumatra), Soetardjo Kartohadikoesoemo (Jawa Barat), R
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
GUBERNUR PERTAMA DI INDONESIA GUBERNUR PERTAMA DI INDONESIA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA GUBERNUR PERTAMA DI INDONESIA PENGARAH Hilmar Farid (Direktur Jenderal Kebudayaan) Triana Wulandari (Direktur Sejarah) NARASUMBER Suharja, Mohammad Iskandar, Mirwan Andan EDITOR Mukhlis PaEni, Kasijanto Sastrodinomo PEMBACA UTAMA Anhar Gonggong, Susanto Zuhdi, Triana Wulandari PENULIS Andi Lili Evita, Helen, Hendi Johari, I Gusti Agung Ayu Ratih Linda Sunarti, Martin Sitompul, Raisa Kamila, Taufik Ahmad SEKRETARIAT DAN PRODUKSI Tirmizi, Isak Purba, Bariyo, Haryanto Maemunah, Dwi Artiningsih Budi Harjo Sayoga, Esti Warastika, Martina Safitry, Dirga Fawakih TATA LETAK DAN GRAFIS Rawan Kurniawan, M Abduh Husain PENERBIT: Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta 10270 Tlp/Fax: 021-572504 2017 ISBN: 978-602-1289-72-3 SAMBUTAN Direktur Sejarah Dalam sejarah perjalanan bangsa, Indonesia telah melahirkan banyak tokoh yang kiprah dan pemikirannya tetap hidup, menginspirasi dan relevan hingga kini. Mereka adalah para tokoh yang dengan gigih berjuang menegakkan kedaulatan bangsa. Kisah perjuangan mereka penting untuk dicatat dan diabadikan sebagai bahan inspirasi generasi bangsa kini, dan akan datang, agar generasi bangsa yang tumbuh kelak tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter. Oleh karena itu, dalam upaya mengabadikan nilai-nilai inspiratif para tokoh pahlawan tersebut Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan kegiatan penulisan sejarah pahlawan nasional. Kisah pahlawan nasional secara umum telah banyak ditulis. Namun penulisan kisah pahlawan nasional kali ini akan menekankan peranan tokoh gubernur pertama Republik Indonesia yang menjabat pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia. Para tokoh tersebut adalah Teuku Mohammad Hasan (Sumatra), Soetardjo Kartohadikoesoemo (Jawa Barat), R. Pandji Soeroso (Jawa Tengah), R. M. Soerjo (Jawa Timur), Ir. Pangeran M. Noor (Kalimantan), I Gusti Ketut Pudja (Sunda Kecil), G.S.S.J. Ratulangi (Sulawesi) dan Johannes Latuharhary (Maluku). Sebagai gubernur pertama pascaproklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, mereka dihadapkan pada tantangan dan berbagai persoalan besar, baik lokal maupun nasional. Bayangan kembalinya kolonialisme, kondisi politik nasional dan lokal yang belum stabil, sistem hukum dan ketatanegaraan yang belum kuat, menjadi tantangan besar bagi mereka dalam memerintah negara yang baru terbentuk. Oleh karena itu, menarik untuk diungkap bagaimana para tokoh merespon tantangan, menjawab berbagai persoalan dan menghadapi krisis tersebut. Selain peranan mereka i dalam kancah politik lokal dan nasional, buku ini menjelaskan sisi humanis tokoh yang penting sebagai inspirasi. Akhirnya, kami ucapkan terima kasih kepada seluruh elemen yang terlibat dalam proses penyusunan buku ini. Kepada para penulis yang dengan gigih dan tidak kenal lelah mendulang sumber untuk menghasilkan historiografi yang tidak hanya kuat fakta, namun juga menarik untuk dibaca. Kepada para editor yang tidak bosan memberikan masukan dan arahan, serta mencermati kata demi kata guna tercapainya kedekatan buku ini dengan kesempurnaan. Kami berharap buku ini bermanfaat sebagai teladan bagi generasi muda dan pemimpin bangsa. Direktur Sejarah Triana Wulandari ii SAMBUTAN Direktur Jenderal Kebudayaan Periode 1945-1949 adalah tahun-tahun yang sangat menentukan dalam sejarah Indonesia. Dalam periode itulah berbagai unsur yang membentuk imajinasi kebangsaan tampil ke permukaan. Sebagai negara-bangsa yang baru dibentuk lewat api revolusi kemerdekaan, Indonesia mesti berhadapan dengan berbagai usaha kontra-revolusi yang datang dalam wujud serbuan tentara NICA dalam dua gelombang besar agresi militer Belanda. Situasi yang dihadapi kekuatan pro-Republik sungguh pelik. Namun gejolak revolusi itu justru menempa pemimpin- pemimpin handal, berdedikasi tinggi yang siap berkorban demi bangsa dan negara. Buku ini beranjak dari suatu gagasan untuk melihat kiprah para Gubernur sebagai pemimpin daerah di tengah kecamuk revolusi yang hendak meletakkan dasar yang sehat bagi negara Indonesia merdeka. Para Gubernur ini menghadapi beragam persoalan dengan segala kompleksitas daerah masing-masing. Mereka tidak hanya dituntut untuk melawan kepentingan Belanda yang ingin menancapkan kembali kekuasaannya dan memperjuangkan kepentingan bangsa Indonesia mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Mereka juga mesti berhadapan dengan otoritas regional yang saling berkontestasi dan berebut pengaruh. Para Gubernur pertama ini secara nyata menghadapi penetrasi NICA di berbagai tempat di seluruh Nusantara. Bahkan, tidak jarang juga mereka menghadapi penolakan-penolakan dari kelompok sosial tertentu yang masih menginginkan kehadiran Belanda. Membaca kiprah gubernur-gubernur pertama dengan segala persoalan yang dihadapinya, dan sejumlah gagasan untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut, menyadarkan kita betapa periode ini dipenuhi tantangan dan rintangan. Menjadi Gubernur pada periode revolusi berarti siap-sedia merelakan kehidupan pribadi, iii mengorbankan jiwa dan raga untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Buku ini diharapkan dapat menjadi bahan permenungan bagi kita semua serta generasi muda bahwa dalam sejarah Indonesia, pemimpin yang berkarakter dapat lahir dari situasi yang sulit, penuh tantangan dan rintangan. Semoga buku ini dapat merawat etos kepemimpinan dan semangat rela berkorban demi kepentingan rakyat yang menghidupi para gubernur pertama sehingga dapat kita teladani bersama. Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid iv DAFTAR ISI SAMBUTAN DIREKTUR SEJARAH i SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL KEBUDAYAAN iii DAFTAR ISI v PENDAHULUAN 1 TEUKU MOHAMMAD HASAN 7 Gubernur Pertama dan Terakhir Sumatera SOETARDJO KARTOHADIKOESOEMO 47 Anak Priayi Mengabdi Bangsa RADEN PANDJI SOEROSO 85 Gubernur Jawa Tengah Pertama R.M.T.A. SOERJO 119 Gubernur di Tengah Perang PANGERAN MOHAMMAD NOOR 163 Imajinasi Kebangsaan di Kalimantan I GUSTI KETUT PUDJA 199 Sang “Kusir” dan Riwayat Sunda Kecil G.S.S.J. RATULANGI 261 Gubernur di Pengasingan JOHANNES LATUHARHARY 289 Hari-hari Membangun Provinsi v PENUTUP 319 DAFTAR PUSTAKA 323 vi Suasana Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Sumber : Arsip Nasional Republik Indonesia – ANRI) 2 Gubernur Pertama di Indonesia Pendahuluan 1 PENDAHULUAN Dua hari setelah Proklamasi 17 Angustus 1945 diadakan sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) secara berturut-turut. Pada sidang hari pertama, 18 Agustus, diawali dengan ketegangan menjelang pembukaan. Kelompok pemuda menghendaki agar nama PPKI sebaiknya tidak digunakan karena istitusi PPKI dianggap sebagai bentukan Jepang yang sesungguhnya tidak dibutuhkan lagi sejak Indonesia merdeka. Oleh sebab itu setelah merdeka, bayang- bayang Jepang harus dihapus. Kelompok pemuda yang terdiri atas Chairul Soleh, Wikana, Sukarni, juga mendesak agar PPKI diganti menjadi KNI atau Komite Nasional Indonesia. Walau demikaian Bung Karno dan Bung Hatta tidak menghiraukan usulan itu dan terus melakukan sidang tanpa perubahan istilah PPKI menjadi KNI. Sidang hari pertama itu mengesahkan Pembukaan Undang-Undang Dasar negara, dan mengangkat Ir. Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia, dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada sidang kedua PPKI esok harinya, suasana sedikit terganggu karena sebelum sidang berlangsung Jenderal Yamamoto menyampaikan sikap resmi Pemerintah Jepang bahwa kehadiran tentara Jepang di Indonesia saat itu hanyalah berstatus selaku penjaga status quo, dan tidak lagi memberi bantuan terhadap pemenuhan janji kemerdekaan Indonesia. Atas sikap itu kedua 1 2 Gubernur Pertama di Indonesia pemimpin Indonesia, Sukarno dan Hatta, menyampaikan sikap dan pendiriannya disertai harapan agar tentara Jepang tidak menghalang-halangi pelaksanaan kemerdekaan karena segala risiko atas proklamasi itu akan menjadi tanggung jawab rakyat Indonesia. Maka, pada sidang hari kedua itu pula institusi PPKI yang berbau Jepang diganti menjadi sidang KNI. Dengan demikian, sidang hari kedua PPKI itu menjadi sidang hari pertama KNI. Sidang itu secara khusus membahas pembagian daerah bekas wilayah kekuasaan Hindia Belanda yang telah berganti menjadi wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Ditetapkan bahwa wilayah Republik Indonesia ketika itu dibagi menjadi delapan Provinsi, yaitu Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan, yang dipimpin oleh gubernut. Pada sidang tersebut sekaligus ditunjuk seorang gubernur yang akan memimpin wilayah masing-masing. Kedelapan gubernur dan wilayah kerjanya itu adalah Mr. Teuku Mohammad Hasan (Sumatera), Soetardjo Kartohadikoesoemo (Jawa Barat), Raden Panji Soeroso (Jawa Tengah), Raden Tumenggung Adipati Arjo Soerjo (Jawa Timur), Mr. I Gusti Ketut Pudja (Sunda Kecil), Mr. Latuharhary (Maluku), Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi (Sulawesi), dan Ir. Pangeran Mohammad Noor (Kalimantan). [Sebagai catatan kecil, seluruh nama diri para gubernur tersebut menggunakan Ejaan Van Ophuysen yang berlaku pada saat itu.] Hampir semua gubernur yang baru diangkat tersebut adalah tokoh yang mewakili daerah dan aktivis pergerakan nasional di daerahnya. Selain itu tampil pula tokoh kharismatik lokal, berpendidikan Barat, dan dari golongan bangsawan lokal, amtenar. Terlihat secara jelas bahwa seluruh tokoh itu memiliki silsilah geneologi kelas atas dalam masyarakatnya. Dengan kata lain, mereka adalah bagian dari lapisan elite masing-masing wilayahnya. Pengangkatan