Risalah Sidang BPUPKI & PPKI

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Risalah Sidang BPUPKI & PPKI HIMPUNAN R ISA L A H SIDANG-SIDANG DARI: BADAN PENYELIDIK U SAH A PERSIAPAN KEMERDEKAAN INDONESIA (BPUPKI) (Tanggal 29 Mei 1945 — 16 Juli 1945) DAN PANITIA PERSIAPAN KEMERDEKAAN INDONESIA ( P P K I ) (Tanggal 18 dan 19 Agustus 1945) YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 SEKRETARIAT NEtfARA REPUBLIK INDONESIA HIMPUNAN RISALAH SIDANG-SIDANG DARI: BADAN PENYELIDIK USAHA PERSIAPAN KEMERDEKAAN INDONESIA (BPUPKI) (Tanggal 29 Mei 1945 - 16 Juli 1945) DAN PANITIA PERSIAPAN KEMERDEKAAN INDONESIA ( P P K I ) (Tanggal 18 dan 19 Agustus 1945) YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAFTAR ISI Halaman 1. Pidato Mr. Muhammad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 3 - 2 3 2. Pidato Prof. Supomo pada tanggal 31 Mei 1945 ............... 25 - 37 3. Pidato Mr. Muhammad Yamin pada tanggal 31 Mei 1945 3 9 - 55 4. Pidato Ir. Sukarno pada tanggal 1 Juni 1945 .................... 57 - 77 5. Risalah Rapat Besar pada tanggal 10 Juli 1945 .................. 79 - 132 6. Risalah Rapat Besar pada tanggal 11 Juli 1945 .................. 134 - 188 7. Risalah Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar pada tanggal 11 dan 13 Juli 1945 .............................. 189 - 204 8. Risalah Rapat Besar pada tanggal 14 Juli 1945 .................. 205 - 218 9. Risalah Rapat Besar pada tanggal 15 Juli 1945 .................. 219 - 322 10. Risalah Rapat Besar pada tanggal 16 Juli 1945 .................. 323 - 330 11. Risalah Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 ................................................ 331 - 368 12. Risalah Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945 ................................................ 369 - 403 Dikutip dari ’’NASKAH PERSIAPAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945” Oleh : Prof. Mr. Haji Muhammad Yamin Jilid Pertama tahun 1959 PIDATO MR. MUHAMMAD YAMIN PADA TANGGAL 29 MEI 1945 AZAS DAN DASAR NEGARA KEBANGSAAN REPUBLIK INDONESIA. Isinja: Permulaan. Pekerdjaan Panitia Usaha Istimewa — Anggota berpendirian sebagai orang Indonésia — Harapan masjarakat. I. Peri Kebangsaan. Indonésia Merdéka, sekarang — Nationalisme lama dan baru — Dasar negara Seriwidjaja dan Madjapahit — Perubahan zaman — Dasar peradaban Indonésia — Tradisi tatanegara jang putus-Etat national — états patrimoines, états puissances — kesukaran mentjari dasar asli — Tjita-tjita jang hantjur dimédan perdjuangan. Kebangsaan Indonésia mengharuskan dasar sendiri. II. Peri Kemanusiaan. Kemadjuan kemerdekaan — Kemerdekaan akan menghidup­ kan kedaulatan negara — Anggota keluarga — dunia — Status politik jang sempurna — Menolak dominion status, protec- toraat, mandat, Atlantic charter pasal 3 — Status internasional jang berisi kemanusiaan dan kedaulatan sempurna. III. Peri kc-Tuhanan. Peradaban luhur.— Ber-Tuhan — Dasar negara jang berasal dari peradaban dan agama. IV. Peri Kerakjatan. A. Permusjawaratan: Surat asjsjura ajat 38 — Ke­ baikan musjawarat — Musjawarat dalam masjarakat dalam semasa chalif jang empat dan sesudah itu — Musjawarat bersatu dengan dasar mupakat menurut adat — Perpaduan adat dengan perintah agama. B. Perwakilan: Dasar adat jang mengharuskan perwa­ kilan — Perwakilan sebagai ikatan masjarakat diseluruh Indonésia — Perwakilan sebagai dasar abadi bagi tata- negara. 3 <J. Kebidjaksanaan: Rationalisme — Perubahan da­ lam adat dan masjarakat — Keinginan penjerahan — Ra­ tionalisme sebagai dynamica rakjat. 1. F ah a m Negara Indonesia: Membuang dasar negara filsafatiah (Plato, Aristoteles, Thomas More) __ 6 Gabungan Dasar dan faham jang ditolak — 9 Gabungan Dasar dan faham jang diterima — Kesimpulan Negara Kesedjahteraan Rakjat Indonésia; dan terbentuknja Républik Indonésia jang berdasar nationalisme — uni­ tarisme. 2. Pembelaan: Dasar sjuriah menimbulkan perang djihat — Perwakilan setjara adat menimbulkan tenaga keraman — Kebidjaksanaan téknik dan siasat perang __ Balatentera kebangsaan Indonésia. 3. Budi Negara: Dahulu dan sekarang — 1. Setia Negara — 2. Pertjaja akan tenaga rakjat — 3. InKjn Merdéka. V. Kesedjahteraan Rakjat. Keadilan Sosial. Kegembiraan dalam Negara Baru — Perubahan bagi RénnKUlr Rakjat Kesedjahteraan. PERMULAAN. Tuan Ketua jang mulia, Rapat jang terhormat! Angkat bitjara dalam rapat Panitia Penjelidikail Indonesia M deka ini memberi ingatan kepada kita, bahwa kewadiiba . er’ terpikul diatas kepala dan kedua belah bahu Juta ialah kewadjiban jang sangat teristimewa. Kewadjiban untuk iL, ♦ 6Ua.tU lidiki bahan-bahan jang akan mendjadi dasar dan eusuna menje' jang akan terbentuk dalam suasana kemerdekaan ianor t„i u j? g,ara dan ,elah dibel» „leh rakj« Indonesia dengan j f i ? dagmg sedjak beratus-ratus tahun adalah suatu kesempatan beTr jang belum pernah dialami oleh bangsa Indonesia dalam zaman jang lampau, entahlah agaknja pula tidakkan perlu dialami T, sesudah turunan bangsa sekarang. Sekirania la,an» lagi dari pada kita berhasil dan memberi akibat ^ tak kundjung lagi datanglah zaman gemilang bagi r a K l ^ l 8 seluruhnja, jang akan diliputi oleh suatu neaafa ™ i ^donesia makmur dan bersifat adil. Kegembiraan membfri sumbangM r o C l 4 ' I itu adalah pula sepadan dan selaras dengan keinginan rakjat: „Mau merdeka” dan „ingin bernegara berkedaulatan” . Menjumbangkan bahan-bahan untuk panitia dan menjelidiki beberapa keadaanJkeadaan penting adalah dengan keinsjafan untuk Negara Indonesia seluruhnja. Ditanah Selatan, memang pulau Djawa berisi sebagian besar penduduk Indonesia jang dalam beberapa hal perpusat kemari: pulau Djawa memang pusat dan djantung kegiatan kepulauan Indonesia. Tetapi dalam menjelidiki bahan- bahan untuk Negara Indonesia, maka kita haruslah bertindak sebagai orang Indonesia, jaitu dengan memperhatikan masaallah-masaallah, soal-soal dan keadaan istimewa dipulau Borneo, Selebes, Maluku, Sunda Ketjil, Malaja dan Sumatera. Melupakan kemestian adalah mempersempit kedudukan Negara Indonesia, dan memperhatikan berarti mendekatkan kita kepada keadaan jang sebenarnja. Tetapi dengan bekerdja seperti itu pekerdjaan makin bertambah, dan. beberapa soal bertambah muskil. Sebaliknja Negara Indonesia tak dapatlah didudukkan diatas hasil penjelidikan bahan-bahan jang didapat dipulau Djawa sadja, karena keadaan itu boleh djadi menjesatkan pemandangan tlan sedikit-dikit mungkin melanggar pendirian kita. Sedjak dari sekarang hendaklah meliputi seluruh keadaan-keadaan disegala pulau Indonesia dengan pikiran jang sudah meminum air persatuan Indonesia. Kita mendirikan Negara Indonesia atas keinsjafan akan pengetahuan jang luas dan lebar tentang seluruh Indonesia. Besar kejakinan saja, bahwa kita semua- nja djangan memutuskan harapan masjarakat Indonesia ini. I. PERI KEBANGSAAN. Tuan Ketua, sekarang sampailah waktu saja akan menlbitjarakan negara kebangsaan Indonesia. Adapun keinginan „Indonesia Mer­ deka sekarang”, memang pada waktu ini mendesak mendjadi umum dan sembojan itu dipangku oleh segala lapisan, disini keras, disana mulai meresap. Tetapi djuga djikalau sekiranja pelaksanaan Indo­ nesia Merdeka itu kini djuga, tidak nanti melainkan saat ini djuga harus dilakukan, maka diantara sembojan dengan berdjalannja Negara Indonesia itu adalah tiga usaha jang tidak boleh tidak harus dilakukan. Pertama ialah pekerdjaan kita anggota panitia mengum­ pulkan segala bahan-bahan untuk pembentukan negara, dan kedua pengurus Undang-undang Dasar negara jang menjusun bahan pilihan itu dan ketiga mendjalaukan isi hukum dasar negara itu dalam negara jang lalu terbentuk. Ketiga usaha ini harus diperas men­ djadi satu paduan, djikalau sekiranja keinginan rakjat jan** tersimpan dalam sembojan „Indonesia Merdeka, sekarang” hendak disesuaikan dengan usaha kita. 5 Dengan sendirinja lalu kita panitia bersama-sama rakjat meng­ hadapi suatu pekerdjaan jang maha hébat dalam pertukaran zaman disamping perdjalanan sedjarah kita. Kita menjumbangkan tenaga dan pikiran untuk menjusun negara baru dengan melaksanakan susunan negeri dalam waktu jang singkat dan dalam waktu sangat bergojang. Negara baru jang akan kita bentuk, adalah suatu negara kebangsaan Indonesia atau suatu nasionale staat atau suatu Etat National jang sewadjar dengan peradaban kita dan menurut susunan dunia sekeluarga diatas dasar kebangsaan dan ke-Tuhanan. Negara Indonesia ini ialah sebahagian mendjadi pelaksanaan keinginan rakjat Indonesia sekarang dan sebahagian lagi sebagai usaha dalam beberapa ratus tahun. Keinginan itu sumbernja dalam nationalisme atau dalam dasar kebangsaan jang mengikat kita seturunan dan sesama kemauan; bukanlah menurut nationalisme lama, melainkan menurut nationalisme baru, jang berisi faham hendak mempersatu­ kan rakjat dalam ikatan sedjarah jang dilindungi meréka. Inilah lain dan bédanja nationalisme Indonesia djaman sekarang dari pada usaha rakjat Indonesia waktu mendirikan susunan kenegaraan In- donésia waktu terbentuk dalam negara Sjailéndra-Sriwidjaja (600) — 1400) jang beratus-ratus tahun lamanja; disanalali bédanja usaha kita sekarang dari pada rakjat Indonésia waktu mendirikan Negara Indonesia kedua, seperti terbentuk dalam Keradjaan Madjapahit (1293— 1525). Negara Indonesia pertama dibentuk dan didjundjung oléh rakjat keturunan jang memakai dasar kedatuan jang selaras dengan keperljajaan purbakala (kesaktian-magie) dan agama Budha Mahajana. Negara Indonesia kedua disusun atas faham keperabuan, dan bersandar kepada paduan agama Sjiwa dan Budha, mendjadi agama Tanterajana. Negara Indonésia ketiga jang segera akan datang adalah pula negara kebangsaan dan berke-Tuhanan. Tentang dasar negara itu, tak dapatlah dilandjutkan dasar keda­ tuan atau
Recommended publications
  • 22 BAB II PEMBENTUKAN KABINET HATTA I A. Kondisi Politik Sebelum
    BAB II PEMBENTUKAN KABINET HATTA I A. Kondisi Politik Sebelum Kabinet Hatta I Periode revolusi fisik tahun 1945 sampai 1950 dalam Pemerintah Republik Indonesia identik dengan jatuh bangunnya kabinet. Menurut Herbert Feith, jatuh bangunnya kabinet ketika itu karena pemimpin sentral Republik Indonesia terpecah mengenai berbagai aspek dari pandangan dan persepsi mengenai Republik Indonesia dan dunia. Dalam bidang politik luar negeri, persaingan antar elit terjadi di seputar dua pertanyaan, yaitu; pertama, bagaimana menghadapi Belanda; dan kedua, persoalan perumusan identitas internasional Republik Indonesia. Mengenai yang pertama, pemerintah Republik Indonesia menghadapi tekanan politik yang amat kuat dalam perundingan dengan Belanda. Mengenai yang kedua, para elit bersaing, yang terpecah dalam garis politik dan ideologi, serta berbeda pandangan dalam konteks bipolarisme dunia.1 Dari argumen Herbert Feith dapat diuraikan beberapa contoh peristiwa sebagai berikut: 1. Tekanan Politik Belanda dalam Perundingan. Pada tanggal 17 Maret 1946 Sutan Syahrir mengajukan satu usul kompromi dengan memberikan konsesi yang tak sesuai dengan ikrar proklamasi.2 Salah satunya adalah pengakuan secara de facto Republik Indonesia atas Jawa dan Sumatra oleh Belanda. Hal ini mengakibatkan 1 Ganewati Wuryandari, Dharurodin Mashad, Tri Nuke Pujiastuti, dkk, Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 67 - 68. 2 Adam Malik, Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45, Jakarta: Gunung Agung, 1984, hlm. 163. 22 23 pertentangan berbagai golongan mengenai hasil Perjanjian Linggarjati terutama para pengikut Tan Malaka dalam Persatuan Perjuangan.3 Pada malam hari tanggal 27 Juni 1946 Sutan Syahrir ditangkap oleh satuan - satuan tentara di Surakarta dalam perjalanan keliling ke Jawa Timur. Penangkapan Sutan Syahrir ini diharapkan akan memungkinkan Dwitunggal memberikan kemerdekaan 100 persen.
    [Show full text]
  • Discourses Exploring the Space Between Tradition and Modernity in Indonesia
    In the 8th International Indonesia Forum Conference DISCOURSES EXPLORING THE SPACE BETWEEN TRADITION AND MODERNITY IN INDONESIA i Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). ii In the 8th International Indonesia Forum Conference DISCOURSES EXPLORING THE SPACE BETWEEN TRADITION AND MODERNITY IN INDONESIA Editorial Board: Hermanu Joebagio, Frank Dhont Pramudita Press iii In the 8th International Indonesia Forum Conference Sebelas Maret University, Solo, Indonesia 29 – 30 July 2015 Organized by: Sebelas Maret University and International Indonesia Forum DISCOURSES EXPLORING THE SPACE BETWEEN TRADITION AND MODERNITY IN INDONESIA Editorial Board: Hermanu Joebagio, Frank Dhont Paper Contributor:
    [Show full text]
  • BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1
    BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang Pengakuan Secara terminologis, ”pengakuan” berarti proses, cara, perbuatan mengaku atau mengakui, sedangkan kata “mengakui” berarti menyatakan berhak. Pengakuan dalam konteks ilmu hukum internasional, misalnya terhadap keberadaan suatu negara/pemerintahan biasanya mengarah pada istilah pengakuan de facto dan de jure. Pengakuan yang secara nyata terhadap entitas tertentu untuk menjalankan kekuasaan efektif pada suatu wilayah disebut dengan pengakuan de facto. Pengakuan tersebut bersifat sementara, karena pengakuan ini ditunjukkan kepada kenyataan- kenyataan mengenai kedudukan pemerintahan yang baru. Apabila kemudian dipertahankan terus dan makin bertambah maju, maka pengakuan de facto akan berubah dengan sendirinya menjadi pengakuan de jureyang bersifat tetap dan diikuti dengan tindakan- tindakan hukum lainnya.1 Moh. Kusnadi dan Bintan R Saragih menjelaskan pengakuan secara hukum (de jure) adalah pengakuan suatu negara terhadap negara lain yang diikuti dengan tindakan-tindakan hukum tertentu, misalnya pembukaan hubungan diplomatik dan pembuatan perjanjian antara 1 http://e-journal.uajy.ac.id/6153/3/MIH201583.pdf diakses pada 31 Juli 2019 Pukul : 22.51 WIB 8 Analisis Hari Lahir..., Rahmat Dwi Nugroho, FKIP UMP, 2019 kedua negara. Hans Kelsen dalam Otje Salman Soemadiningrat menguraikan terminologi “pengakuan” dalam kaitannya dengan keberadaan suatu negara yaitu; terdapat dua tindakan dalam suatu pengakuan yakni tindakan politik dan tindakan hukum.2 Berdasarkan rujukan diatas, dalam
    [Show full text]
  • Bab 02 Pancasila Dalam Konteks Sejarah Perjuangan
    PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA Rowland Bismark Fernando Pasaribu 9/9/2013 Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual maupun operasional. Banyak hal harus ditinjau kembali dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan. BAB 2 PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA Nilai–nilai Pancasila telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dulu kala sebelum bangsa Indonesia mendirikan negara. Proses terbentuknya negara Indonesia melalui proses sejarah yang cukup panjang yaitu sejak zaman batu hingga munculnya kerajaan-kerajaan pada abad ke-IV sampai pada zaman merebut kemerdekaan Republik Indonesia. A. Zaman Kutai Pada zaman ini masyarakat Kutai yang memulai zaman sejarah Indonesia pertama kalinya ini menampilkan nilai-nilai sosial politik, dan ketuhanan. B. Zaman Sriwijaya Cita-cita tentang kesejahteraan bersama dalam sesuatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya yang berbunyi yaitu " marvuat vanua criwijaya siddhayara subhika " (suatu cita-cita negara yang adil & makmur). C. Zaman Kerajaan-Kerajaan Sebelum Kerajaan Majapahit Pada zaman ini diterapkan antara lain untuk Raja Airlangga sikap tolerensi dalam beragama nilai-nilai kemanusiaan (hubungan dagang & kerjasama dengan Benggala, Chola, dan Chompa) serta perhatian kesejahteraan pertanian bagi rakyat dengan dengan membangun tanggul & waduk. D. Zaman Kerajaan Majapahit Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gadjah Mada berisi cita-cita mempersatukan seluruh Nusantara. E. Zaman Penjajahan Setelah Majapahit runtuh maka berkembanglah agama Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersama dengan itu maka berkembang pula kerajaan-karajaan Islam seperti kerajaan Demak.
    [Show full text]
  • Pancasila Ideologi Negara Indonesia: Pendekatan Etika Dan Budaya
    PANCASILA IDEOLOGI NEGARA INDONESIA: PENDEKATAN ETIKA DAN BUDAYA Dra. Komang Sriningsih, M.Si. PENDIDIKAN PEMBANGUNAN KAREKTER BANGSA UNIVERSITAS UDAYANA 2019 1 Kata Pengantar Dengan mengucapkan puji syukur kehadapan Allah swt, bahwa materi perkuliahan PPKB dapat dirampungkan sebagai materi ISBD. Memahami kebudayaan suatu masyarakat berarti: mengungkapkan kenormalannya tanpa mengurangi keistimewaannya Analisis budaya merupakan suatu upaya untuk masuk ke dalam dunia kontektual kelompok mnusia tertentu baikan dengan ideologinya. Ia berusahan untuk memahami nilai- nilai, konsep-konsep, dan gagasan-gagasan melalui mana dan dengan apa kelompok manusia itu hidup, serta memahami baik pengalaman sendiri maupun dunia dimana mereka hidup. Untuk memahmi suatu masyarakat, adalah memalui memahami tingkah laku anggotanya dalam kontek berkebudayaan, karena budaya merupakan kristalisasi dari pola dan kehidupan masyarakat yang telah dilaksanakan dan menjadi pemahaman bersama sebagai pola kehidupan dalam pergaulan secara internal maupun secara eksternal. Perkembangan dunia dan perilaku manusia pada masa 4.0 (four poin zero) dengan perkembangan teknologi begitu pesat dan beragam, sehingga sumber informasi bisa datang dan muncul dari segala penjuru dunia. Dengan jiwa yang statis dan lekstar dinamis, maka ada kehidupan yang harus disesuaikan sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan zaman, tetapi ada pula, kehidupan yang statis sebagai fundamen kehdupan permananen yang tidak mengalami perubahan dalam situasi yang berubah. Demikianlah karya ilmiah ini dibuat
    [Show full text]
  • Oleh: FLORENTINUS RECKYADO
    PRINSIP-PRINSIP KEMANUSIAAN RERUM NOVARUM DALAM PERPEKTIF PANCASILA SKRIPSI SARJANA STRATA SATU (S-1) Oleh: FLORENTINUS RECKYADO 142805 SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN WIDYA YUWANA MADIUN 2021 PRINSIP-PRINSIP KEMANUSIAAN RERUM NOVARUM DALAM PERPEKTIF PANCASILA SKRIPSI Diajukan kepada Sekolah Tinggi Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Widya Yuwana Madiun untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Oleh: FLORENTINUS RECKYADO 142805 SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN WIDYA YUWANA MADIUN 2021 PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Florentinus ReckYado NPM :142805 Programstudi : Ilmu Pendidikan Teologi Jenjang Studi : Strata Satu Judul skripsi : Prinsip-Prirsip Kemanusiaan Rerum Novarum ' Dalam Perpektif Pancasila Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini adalah mumi merupakan gagasan, mmusan dan penelitian saya sendiri tanpa ada bantuan pihak lain kecuali bimbingan dan arahan dosen pembimbing. 2. Skripsi ini belum pemah diajukan untuk mendapat gelat akademik apapun di STKIP Widya Yuwana Madiun maupun di perguruan tinggi lain- 3. Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan mencantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan menyebutkan nama pengamng dan mencantumkan dalam daftar pust*a. Demikianlah pemyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terbukti pemyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencbutan gelar yang telah diberikan melalui karya tulis ini se(a sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini. Madi !.fl... hs :!.t.1:'. t 74Y\ lvtETERAl TEMPEL DAJX198738966 Florentinus Reckyado 142805 HALAMAN PERSETUJUAN Skripsi dengan judul "Prinsip-Prinsip Kemanusiaan Rerum Novarum Dalam Perpektif Pancasila", yang ditulis oleh Florentinus Reckyado telah diterima dan disetujui untuk diqji pada tanggal tA 3u\i eo3\ Oleh: Pembimbing Dr.
    [Show full text]
  • Soekarno Dan Kemerdekaan Republik Indonesia
    SOEKARNO DAN PERJUANGAN DALAM MEWUJUDKAN KEMERDEKAAN RI (1942-1945) SKRIPSI Robby Chairil 103022027521 FAKULTAS ADAB HUMANIORA JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 / 1431 H ABSTRAKSI Robby Chairi Perjuangan Soekarno Dalam Mewujudkan Kemerdekaan RI (1942-1945) Perjuangan Soekarno dimulaii pada saat beliau mendirika Partai Nasional Indoonesia (PNI) tahun 1927, dan dijadikannya sebagai kendaraan poliitiknya. Atas aktivitasnya di PNI yang selalu menujuu kearah kemerdekaan Indonesia, ditambah lagi dengan pemikiran dan sikapnya yang anti Kolonialliisme dan Imperialisme, dan selalu menentang selalu menentang Kapitalisme-Imperialisme. Dengan perjuangan Soekarno bersama teman-temannya pada waktu itu dan bantuan Tentara Jepang, penjajahan Belanda dapat diusir dari Indonesia. Atas bantuan Jepang mengusir Belanda dari Indonesia, maka timbulah penjajah baru di Indonesia yaitu Jepang pada tahun 1942. Kedatangan tentara Jepang ke Indonesia bermula ingin mencari minyak dan karet, dan disambut dengan gembira oleh rakyat Indonesia yang dianggap akan membantu rakyat Indonesia mewuudkan kemakmuran bagi bangsa-bangsa Asia. Bahkan, pada waktu kekuuasaan Jepang di Indonesia, Soekarno dengan tterpaksa turut serta bekerja sama dengan Jepang dan ikut ambil bagian dalam organisassi buatan Jepang yaitu, Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyyat (PUTERA), Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Terjalinnya kerjasama dengan Jepang, membawa dampak yang sangat besar baginya yaitu, Soekarno dijulukii sebagai Kolaborator dan penjahat perang, Soekarno memanfaatkan kerjasama itu dengan menciptakan suatu pergerakan menuju Indonesia merdeka. Dengan pemikiran, sikap dan ucapan Sokarno yang selalu menentang Kolonialisme, Kapitaisme, Imperialisme, dan bantuan teman seperjuangan Soekarno pada waktu itu, akhirnya dapat mendeklarasikan teks Proklamasi di rumah Soekarno, di Jalan Pengangsaan Timur No. 56, pada harri Jumat tanggal 17 Agustus 1945.
    [Show full text]
  • Oleh : SUCIYANI
    DISKURSUS TOKOH ISLAM DALAM PERUMUSAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA Oleh : SUCIYANI, S.H.I NIM : 1420311069 TESIS Diajukan Kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Sosial Program Studi Hukum Islam Kosentrasi Studi Politik dan Pemerintahan Islam YOGYAKARTA 2017 ABSTRAK Tesis ini menganalisis Tokoh nasionalis yang dianggap tidak mewakili umat Islam dalam perumusan Pancasila sebagai ideologi negara. Pengkatagorian dominasi kekuasaan dan pemikiran menjadi permasalahan di kalangan umat Islam. Dari permasalahan ini saya mengambil kajian mengenai diskursus tokoh Islam dalam perumusan Pancasila sebagai ideologi negara. Tujuan dari tesis ini untuk meneliti diskursus para tokoh Islam dalam perumusan Pancasila, seperti ide dan konsep serta korelasinya dengan kekuasaan dan politik saat itu. Studi ini lebih menekankan pada sebab dan akar masalah adanya penggolongan nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Teori yang digunakan dalam menganalisis permasalahan diatas dengan teori diskursus Michel Foucault dan dilanjutkan teori paradigma karakteristik pemikiran Islam. Kedua teori tersebut menjadi alat untuk memcari fakta dibalik diskursus tokoh Islam dengan menggunakan pendekatan sejarah. Melalui studi kepustakaan dengan menelaah tulisan-tulisan karya tokoh Islam yang terlibat dalam perumusan Pancasila. Penelitian ini hanya mengambil dua tokoh Islam sebagai fokus kajian. Dua Tokoh besar inilah yang menjadi kunci penentuan Pancasilayaitu KH. Abdul Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wacana keterlibatan tokoh Islam dalam perumusan Pancasila merupakan dampak dari kekuasaan. Tokoh Islam mempunyai budaya berperan dibalik layar, karena konsep dikotomi budaya Islam di Indonesia. Keislaman dipandang sebagai Pengetahuan daripada kekuasaan atau politik. Pokok permasalahannya adalah diskursus, yang mana penyebutan golongan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam berada pada ide bukan kekuasaan.
    [Show full text]
  • Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945
    Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945 R. E. Elson* On the morning of August 18, 1945, three days after the Japanese surrender and just a day after Indonesia's proclamation of independence, Mohammad Hatta, soon to be elected as vice-president of the infant republic, prevailed upon delegates at the first meeting of the Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI, Committee for the Preparation of Indonesian Independence) to adjust key aspects of the republic's draft constitution, notably its preamble. The changes enjoined by Hatta on members of the Preparation Committee, charged with finalizing and promulgating the constitution, were made quickly and with little dispute. Their effect, however, particularly the removal of seven words stipulating that all Muslims should observe Islamic law, was significantly to reduce the proposed formal role of Islam in Indonesian political and social life. Episodically thereafter, the actions of the PPKI that day came to be castigated by some Muslims as catastrophic for Islam in Indonesia—indeed, as an act of treason* 1—and efforts were put in train to restore the seven words to the constitution.2 In retracing the history of the drafting of the Jakarta Charter in June 1945, * This research was supported under the Australian Research Council's Discovery Projects funding scheme. I am grateful for the helpful comments on and assistance with an earlier draft of this article that I received from John Butcher, Ananda B. Kusuma, Gerry van Klinken, Tomoko Aoyama, Akh Muzakki, and especially an anonymous reviewer. 1 Anonymous, "Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945: Pengkhianatan Pertama terhadap Piagam Jakarta?," Suara Hidayatullah 13,5 (2000): 13-14.
    [Show full text]
  • Studia Islamika
    Volume 24, Number 2, 2017 ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﺮﺍﺑﻌﺔ ﻭﺍﻟﻌﺸﺮﻭﻥ، ﺍﻟﻌﺪﺩ ٢، ٢٠١٧ T R K S S O S S: E L, E G Achmad Ubaedillah ‘R’ N -S: A B B D Mehmet Özay E I S L C S T C اﻟﺤﺮﻛﺎت اﻟﻤﻨﺎﻫﻀﺔ ﻟﻠﻤﺸﺎﻳﺦ Raihani واﻟﻌﻠﻤﺎء اﻟﺤﻤﺮ ﻓﻲ Priangan: P E C D ( I I U P (PSII اﻻﺗﺤﺎد اﻷﺧﻀﺮ ١٩٤٢-١٩٢٠ ﻧﻤﻮذﺟﺎ Valina Singka Subekti ﳏﻤﺪ ﺇﺳﻜﻨﺪﺭ E-ISSN: 2355-6145 STUDIA ISLAMIKA STUDIA ISLAMIKA Indonesian Journal for Islamic Studies Vol. 24, no. 2, 2017 EDITOR-IN-CHIEF Azyumardi Azra MANAGING EDITOR Oman Fathurahman EDITORS Saiful Mujani Jamhari Didin Syafruddin Jajat Burhanudin Fuad Jabali Ali Munhanif Saiful Umam Ismatu Ropi Dadi Darmadi Jajang Jahroni Din Wahid INTERNATIONAL EDITORIAL BOARD M. Quraish Shihab (Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta, INDONESIA) Tauk Abdullah (Indonesian Institute of Sciences (LIPI), INDONESIA) M.C. Ricklefs (Australian National University, AUSTRALIA) Martin van Bruinessen (Utrecht University, NETHERLANDS) John R. Bowen (Washington University, USA) M. Kamal Hasan (International Islamic University, MALAYSIA) Virginia M. Hooker (Australian National University, AUSTRALIA) Edwin P. Wieringa (Universität zu Köln, GERMANY) Robert W. Hefner (Boston University, USA) Rémy Madinier (Centre national de la recherche scientique (CNRS), FRANCE) R. Michael Feener (National University of Singapore, SINGAPORE) Michael F. Laffan (Princeton University, USA) ASSISTANT TO THE EDITORS Testriono Muhammad Nida' Fadlan Endi Aulia Garadian ENGLISH LANGUAGE ADVISOR Dick van der Meij Daniel Peterson ARABIC LANGUAGE ADVISOR Tb. Ade Asnawi COVER DESIGNER S. Prinka STUDIA ISLAMIKA (ISSN 0215-0492; E-ISSN: 2355-6145) is an international journal published by the Center for the Study of Islam and Society (PPIM) Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta, INDONESIA.
    [Show full text]
  • Asian Socialists and the Forgotten Architects of Post-Colonial Freedom
    Lewis, S. L. (2019). Asian Socialists and the Forgotten Architects of Post-Colonial Freedom. Journal of World History, 30(1-2), 55-88. https://doi.org/10.1353/jwh.2019.0028 Publisher's PDF, also known as Version of record Link to published version (if available): 10.1353/jwh.2019.0028 Link to publication record in Explore Bristol Research PDF-document This is the final published version of the article (version of record). It first appeared online via University of Hawaii Press at https://muse.jhu.edu/article/729105. Please refer to any applicable terms of use of the publisher. University of Bristol - Explore Bristol Research General rights This document is made available in accordance with publisher policies. Please cite only the published version using the reference above. Full terms of use are available: http://www.bristol.ac.uk/red/research-policy/pure/user-guides/ebr-terms/ Asian Socialism and the Forgotten Architects of Post-Colonial Freedom, 1952–1956 Su Lin Lewis Journal of World History, Volume 30, Numbers 1-2, June 2019, pp. 55-88 (Article) Published by University of Hawai'i Press For additional information about this article https://muse.jhu.edu/article/729105 Access provided at 11 Jul 2019 10:40 GMT from Bristol University Asian Socialism and the Forgotten Architects of Post-Colonial Freedom, 1952–1956* SU LIN LEWIS University of Bristol N a photograph taken in 1953, Sutan Sjahrir arrives off an airplane in IRangoon and is greeted warmly on the tarmac by Burmese socialist leaders U Ba Swe and U Kyaw Nyein, as well as his close friend Ali Algadri, the Arab-Indonesian chargé d’affairs.
    [Show full text]
  • Dari Nasionalisme Cina Hingga Indonesierschap: Pemikiran Liem Koen Hian Tentang Kedudukan Orang Tionghoa Di Indonesia (1919 – 1951)
    UNIVERSITAS INDONESIA DARI NASIONALISME CINA HINGGA INDONESIERSCHAP: PEMIKIRAN LIEM KOEN HIAN TENTANG KEDUDUKAN ORANG TIONGHOA DI INDONESIA (1919 – 1951) SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana MICHAEL AGUSTINUS 0706279875 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPOK JULI 2012 i Dari nasionalisme..., Michael Agustinus, FIB UI, 2012 ii Dari nasionalisme..., Michael Agustinus, FIB UI, 2012 iii Dari nasionalisme..., Michael Agustinus, FIB UI, 2012 iv Dari nasionalisme..., Michael Agustinus, FIB UI, 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat kasih sayangnya, penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang sarjana di Universitas Indonesia. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang begitu dalam kep ada keluarga yang telah memberikan dukungan moril dan materil demi rampungnya masa studi penulis. Rasa terima kasih ini khususnya kepada kedua kakak penulis, Aileen, dan Aime, yang dengan penuh kasih sayang terus memberi semangat penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Dari sisi akademis, penulis banyak ucapkan terima kasih kepada para dosen Program Studi Ilmu Sejarah yang telah membimbing hingga rampungnya skripsi ini. Kepada Tri Wahyuning Mudaryanti, M.Si. sebagai dosen pembimbing, penulis banyak mengucapkan terima kasih atas kesediaan waktu dan juga arahannya selama pengerjaan tugas akhir ini, mulai dari kelas Bimbingan Bacaan hingga skripsi. Dosen-dosen lain juga sangat berjasa melalui perkuliahan dan diskusi yang mereka berikan selama sepuluh semester ini. Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada semua dosen di Program Studi Ilmu Sejarah. Dalam menjalankan penelitian lapangan, penulis sangat berterima kasih kepada para pengurus Perpustakaan FIB UI dan Perpustakaan Nasional atas pelayanannya yang sangat baik. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian lapangan yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, penulis ucapkan banyak terima kasih.
    [Show full text]