BAB II PEMBENTUKAN KABINET HATTA I A. Kondisi Politik Sebelum Kabinet Hatta I Periode revolusi fisik tahun 1945 sampai 1950 dalam Pemerintah Republik Indonesia identik dengan jatuh bangunnya kabinet. Menurut Herbert Feith, jatuh bangunnya kabinet ketika itu karena pemimpin sentral Republik Indonesia terpecah mengenai berbagai aspek dari pandangan dan persepsi mengenai Republik Indonesia dan dunia. Dalam bidang politik luar negeri, persaingan antar elit terjadi di seputar dua pertanyaan, yaitu; pertama, bagaimana menghadapi Belanda; dan kedua, persoalan perumusan identitas internasional Republik Indonesia. Mengenai yang pertama, pemerintah Republik Indonesia menghadapi tekanan politik yang amat kuat dalam perundingan dengan Belanda. Mengenai yang kedua, para elit bersaing, yang terpecah dalam garis politik dan ideologi, serta berbeda pandangan dalam konteks bipolarisme dunia.1 Dari argumen Herbert Feith dapat diuraikan beberapa contoh peristiwa sebagai berikut: 1. Tekanan Politik Belanda dalam Perundingan. Pada tanggal 17 Maret 1946 Sutan Syahrir mengajukan satu usul kompromi dengan memberikan konsesi yang tak sesuai dengan ikrar proklamasi.2 Salah satunya adalah pengakuan secara de facto Republik Indonesia atas Jawa dan Sumatra oleh Belanda. Hal ini mengakibatkan 1 Ganewati Wuryandari, Dharurodin Mashad, Tri Nuke Pujiastuti, dkk, Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 67 - 68. 2 Adam Malik, Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45, Jakarta: Gunung Agung, 1984, hlm. 163. 22 23 pertentangan berbagai golongan mengenai hasil Perjanjian Linggarjati terutama para pengikut Tan Malaka dalam Persatuan Perjuangan.3 Pada malam hari tanggal 27 Juni 1946 Sutan Syahrir ditangkap oleh satuan - satuan tentara di Surakarta dalam perjalanan keliling ke Jawa Timur. Penangkapan Sutan Syahrir ini diharapkan akan memungkinkan Dwitunggal memberikan kemerdekaan 100 persen. Untuk menyikapi peristiwa penangkapan Sutan Syahrir maka tanggal 30 Juni 1946 melalui siaran radio Presiden Sukarno menyatakan bahwa penangkapan Sutan Syahrir membahayakan persatuan bangsa. Pernyataan Presiden Sukarno menggoyahkan kepercayaan diri pihak oposisi sehingga tanggal 3 Juli 1946 satuan - satuan tentara membebaskan tawanan dan mengirimkan delegasi kepada Presiden Sukarno di Yogyakarta supaya presiden membubarkan kabinet.4 Dikirimlah delegasi untuk menyampaikan tujuan penangkapan Sutan Syahrir kepada presiden, tetapi mengalami kegagalan.5 Peristiwa 3 Juli 1946 ini menjadi bukti betapa berbahayanya persaingan elit politik dalam negeri yang dapat menimbulkan perang saudara di Jawa Tengah. Pemerintah menyalahkan Tan Malaka sebagai orang yang bertanggung jawab atas semua peristiwa ini.6 Setelah penculikan 3 Ibid., hlm. 164. 4 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2004, Jakarta: Serambi, 2005, hlm. 449 - 450. 5 Soe Hok Gie, Orang - orang di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997, hlm. 104. 6 M.C. Ricklefs, op.cit., hlm. 450. 24 Sutan Syahrir maka pemerintahan dipegang oleh Presiden Sukarno, tindakan presiden memegang kekuasaan pemerintah tersebut dilakukan dengan mendapat persetujuan dari menteri - menteri yang ada. Dengan pengambilan kekuasaan itu maka otomatis kekuasaan pemerintah langsung dibawah tanggung jawab presiden, sedangkan Kabinet Syahrir II didemisioner.7 Perundingan selanjutnya dengan Belanda yaitu perundingan Renville. Penandatanganan Persetujuan Renville menimbukan suatu krisis kabinet dalam Republik Indonesia. Sebelumnya Masyumi yang merupakan partai politik terbesar telah mengundurkan diri dari kabinet tanggal 16 Januari 1948. Masyumi dan PNI menyatakan bahwa mereka tidak dapat mendukung Mr. Amir Syarifuddin lagi sebagai perdana menteri dan bahwa dukungan mereka kepada setiap pemerintahan mendatang akan tergantung kepada apakah mereka mempunyai posisi dominan didalamnya. Mereka tidak akan mendukung pelaksanaan suatu persetujuan yang tidak mereka setujui itu, kecuali jika yang memimpin bukan dari kelompok yang bertanggungjawab atas persetujuan itu.8 Pernyataan Masyumi dan PNI sudah terlihat ketidaksukaan terhadap kepemimpinan Mr. Amir Syarifuddin setelah Persetujuan Renville dan mengharapkan pergantian kepemimpinan secepatnya. 7 Mr. Achmad Sanusi, Perkembangan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia 1945 - 1958. Bandung: Penerbit Universitas, 1958, hlm. 49. 8 George McTurnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Semarang: UNS Press, 1995, hlm. 290. 25 Dengan pengunduran diri kedua partai itu, kini Mr. Amir Syarifuddin hanya mempunyai dukungan dari Sayap Kiri. Karena itu ia lalu mengundurkan diri sebagai perdana menteri.9 Dibutuhkannya pemimpin yang kuat dalam menjalankan Persetujuan Renville dikarenakan situasi yang sangat panas dalam hubungannya dengan Belanda dan Angkatan Perang Republik Indonesia yang merasa dirugikan. Akan tetapi Masyumi dan PNI tidak berminat memegang tanggung jawab utama dalam melaksanakan syarat - syarat utama yang tidak mereka sukai itu. 2. Persaingan Elit Politik yang Terpecah dalam Garis Politik dan Ideologi. Tiga pasangan pemimpin angkatan 1945 dengan tiga dinamika perjuangan memberikan warna khas bagi revolusi Indonesia. Ketiga pasangan itu yaitu; Ir. Sukarno dengan Drs. Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dengan Mr. Amir Syarifuddin, dan Tan Malaka dengan Jenderal Sudirman. Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta duduk manunggal dalam pucuk pimpinan negara dan pemerintahan dari kalangan nasionalis, Sutan Syahrir dan Mr. Amir Syarifuddin membentuk suatu kekuatan baru yang bersendi pada pemikiran intelektualistis sebagai alumni dari PNI Gaya Baru dan Partindo, disamping itu pasangan Tan Malaka dan Jenderal Sudirman mempunyai urat dan akar langsung di kalangan pemuda - pemuda radikal dan anggota pasukan PETA.10 9 Ibid., hlm. 291. 10 Adam Malik, op,cit., hlm. 90. 26 Masa kabinet pertama ditandai dengan orang - orang yang menduduki kabinet sebagai kolaborator Jepang menjadi senjata Belanda dalam melakukan provokasi, dengan harapan Sekutu menilai pemerintah Republik Indonesia adalah buatan Jepang. Munculnya isu ini memberikan peluang Sutan Syahrir untuk melakukan kampanye bahwa perubahan dalam pemerintahan dianggap perlu guna memperkokoh kedudukan Republik Indonesia di dunia internasional, maka muncullah Sutan Syahrir dengan predikat bukan kolaborator Jepang ke panggung politik sebagai pimpinan eksekutif ditemani Mr. Amir Syarifuddin. Kampanye Sutan Syahrir untuk merombak pimpinan pemerintahan dan menghapus kolaborator Jepang menyinggung posisi Jenderal Sudirman sebagai pimpinan PETA. Maka Jenderal Sudirman mendekati Tan Malaka sebagai kekuatan penentang Sutan Syahrir. Semenjak tahun 1946 pimpinan tertinggi pemerintahan dipegang oleh pasangan Sutan Syahrir dengan Mr. Amir Syarifuddin dan pasangan Ir. Sukarno dengan Drs. Mohammad Hatta yang mendukung politik diplomasi Sutan Syahrir. Sebaliknya politik diplomasi ini ditentang oleh kelompok Tan Malaka dengan Jenderal Sudirman yang condong kepada garis politik keras. Maka pada proses diplomasi pertama dengan Belanda mengenai Perjanjian Linggarjati pasangan Tan Malaka dan Jenderal Sudirman menjadi oposisi terhadap kebijakan Sutan Syahrir melalui Persatuan Perjuangan. Peristiwa 3 Juli 1946 menjadi bukti sikap elit politik terhadap kebijakan Pemerintah. Reaksi atas peristiwa 3 Juli 1946 pasangan Ir. Sukarno dengan 27 Drs. Mohammad Hatta berperan sebagai penengah, Jenderal Sudirman sendiri bersikap luwes, sedangkan kelompok Tan Malaka ditangkap. Salah satu corak sistem pemerintahan parlementer di Republik Indonesia yaitu menganut banyak partai, maka dalam menjalankan pemerintahan tidak ada partai yang dominan. Koalisi dari berbagai macam partai merupakan salah satu cara dalam memperkuat jalannya pemerintahan. Sedangkan partai yang tidak tergabung dalam koalisi membentuk oposisi.11 Pertentangan tidak hanya muncul dalam setiap individu tetapi juga muncul dalam partai politik yang bergabung dalam kelompok tertentu. Setelah muncul Persatuan Perjuangan yang berimbas pada pergolakan Kabinet Syahrir II, maka harapan muncul dengan menyatukan berbagai kalangan partai politik dalam Kabinet Syahrir III. Campur tangan presiden dalam pembentukan komposisi kabinet masih besar, kekuatan nasionalis (Partai Sosialis dan Partai Nasional Indonesia), agama (Masyumi dan Partai Kristen) dan komunis dari Partai Komunis Indonesia. Komposisi partai dalam kabinet diharapkan dapat menghancurkan kekuatan Dr. H.J. van Mook melalui meja perundingan. Setelah melalui perundingan dengan Belanda dan Agresi Militer Belanda I memunculkan pertentangan dalam kehidupan kepartaian di Republik Indonesia.12 Pertentangan ini memecah kekuatan menjadi dua kelompok yang saling beradu. Kedua kelompok itu ialah partai - partai pendukung pemerintah 11 Mr. Achmad Sanusi, op.cit., hlm. 73. 12 Adam Malik, op.cit., hlm. 155 -176. 28 mengenai hasil Perjanjian Linggarjati. Kelompok yang mendukung Pemerintah dikenal dengan sebutan Sayap Kiri yang berasal dari Partai Sosialis, Pesindo, Partai Buruh, dan Partai Komunis Indonesia. Kelompok yang menentang Pemerintah dikenal dengan sebutan Benteng Republik yang berasal dari PNI, Masyumi, dan Partai Rakyat. Pertentangan kedua kelompok ini nampak jelas pada rapat pleno KNIP di Malang yang berlangsung antara tanggal 25 Februari sampai 5 Maret 1947. Dalam rapat pleno terjadi perdebatan antara Sayap Kiri yang mendukung Dekrit Presiden dan Benteng Republik yang menentangnya. Dekrit Presiden ini bertujuan supaya KNIP
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages15 Page
-
File Size-