i

ii

Kata Pengantar

Prof. Dr. Noorhaidi Hasan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi mengamanatkan semua perguruan tinggi di Indonesia harus berkomitmen untuk meningkatkan daya saing dalam pengembangan ilmu pengetahuan sehingga dapat memosisikan diri dalam peta akademik global. Pendidikan tinggi sekaligus diharapkan dapat menjadi ‘sumber inovasi dan solusi bagi pertumbuhan dan pengembangan bangsa.’ Oleh karena itu, perguruan tinggi didorong untuk tumbuh semakin sehat, bermutu, otonom dan maju. Otonomi kampus diyakini sangat penting untuk menyemai semangat kemandirian dalam pengembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi. Pertemuan Forum Tujuh Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) dan masyarakat sipil di Kampus UI Salemba pada 19 April 2013 menegaskan bahwa otonomi kampus merupakan ruh bagi kehidupan perguruan tinggi itu sendiri, demi mendukung cita-cita para ilmuwan Indonesia untuk mampu mensejajarkan diri dengan ilmuwan lain di dunia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberi sumbangan kepada masa depan kesejahteraan umat manusia.

Dalam menjalankan amanat UU No. 12 tahun 2012 ini perguruan tinggi berupaya melakukan penjaminan mutu untuk memenuhi standar nasional pendidikan tinggi dan memacu peningkatan kualitas akademik, sumber daya manusia, sarana-prasarana serta pengembangan kelembagaan menuju World Class University (WCU). Semangat meraih WCU bergema kencang dan berhasil dalam beberapa tingkat mendorong perguruan tinggi Indonesia berlomba melakukan terobosan-terobosan dalam pengembangan akademik, penelitian, sumberdaya dan sarana-prasarana. Namun, kecuali sedikit yang benar-benar terdorong secara substansial melakukan terobosan-terobosan penting terkait hal itu, perguruan tinggi Indonesia kebanyakan masih terjebak pada hal-hal yang bersifat jargonik dan formalistik. WCU lebih kencang didendangkan sebagai slogan, daripada program- program dan langkah-langkah sistematis untuk memacu mutu pendidikan dan penelitian yang dapat bermuara pada peningkatan sumbangan ilmuan Indonesia dalam pengembangan ilmu pengetahuan di tingkat global.

i

Seiring amanat UU No. 12 tahun 2012 dan visi-misi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pascasarjana bercita-cita “menjadi pusat keunggulan (centre of excellence) kajian Islam interdisipliner yang bertaraf internasional dan berparadigma integratif, interkonektif, dan transformatif”. Misinya tak lain adalah “menyelenggarakan pendidikan jenjang magister dan doktor yang dapat menghasilkan sumber daya berkualitas dan memiliki daya saing dalam bidang kajian Islam interdisipliner yang memadukan disiplin keilmuan Islam—sebagai basis—dengan disiplin-disiplin keilmuan sosial dan humaniora”. Dengan visi dan misi ini Pascasarjana berusaha memantapkan dirinya sebagai salah satu pusat riset unggulan terkait isu-isu keislaman dan dinamika kekinian masyarakat Muslim berhadapan arus deras modernisasi dan globalisasi. Namun kajian-kajian tersebut tidaklah mengabaikan arti penting Islam sebagai agama yang berakar dalam tradisi tekstual. Kajian-kajian Islam yang berfokus pada teks juga diperhatikan dan sekaligus dikontekstualisasikan dengan isu-isu kekinian yang berkembang dalam masyarakat Muslim—dengan dukungan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Penguasaan dan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan bahkan dianggap mendasar sebagai bagian dari fondasi utama kajian-kajian Islam.

Komitmen dalam pengembangan riset-riset berkualitas paralel dengan tersedianya sumber daya yang andal, sebagaimana tecermin dari kemampuan mereka melibatkan diri dalam forum-forum akademik berskala nasional dan internasional. Pemerintah sebenarnya telah berupaya memberikan berbagai insentif bagi mereka yang dapat menyiarkan dan mempublikasikan karya ilmiah di forum-forum dan jurnal-jurnal internasional. Namun kerap kali hal ini belum cukup. Faktanya, pada 2017 ini, misalnya, tidak satu pun perguruan tinggi Indonesia dapat bertengger dalam urutan 500 besar universitas terbaik di dunia menurut pemeringkatan yang dibuat oleh Times Higher Education World University. Kita kerap berupaya menghibur diri dengan merujuk kepada ranking kita dalam Webometrics yang dianggap banyak kalangan membuat pemeringkatan perguruan tinggi hanya mengandalkan pelacakan informasi melalui web. Di samping itu, sumbangan para akademisi dan ilmuwan Indonesia dalam pengembangan ilmu pengetahuan masih tergolong rendah, meskipun perlahan naik mendekati 15.000 artikel yang terbit dalam jurnal internasional bereputasi. Paralel dengan sumbangan yang rendah, Science Citation Index (SCI) sarjana PT Indonesia masih jauh dari standard dunia. Hal yang sama terjadi pada forum-forum akademik global, di mana keterlibatan sarjana-sarjana perguruan tinggi Indonesia juga masih belum terlihat memadai.

ii

Oleh karena itulah, berbagai usaha dan terobosan masih tetap perlu dilakukan agar seluruh sivitas akademika benar-benar tergerak untuk melakukan riset dan kerja-kerja pengembangan ilmu pengetahuan yang bernuansa. Dalam konteks inilah Pascasarjana berupaya menciptakan iklim yang kondusif agar dosen dan mahasiswa secara kreatif dan inovatif menjalankan peran dan fungsinya sebagai pelaku utama penelitian yang bermutu dan terencana. Pascasarjana sekaligus memfasilitasi dan melaksanakan kegiatan diseminasi hasil- hasil penelitian dalam berbagai bentuk, antara lain penyelenggaraan forum/seminar ilmiah, presentasi ilmiah dalam forum nasional dan internasional, publikasi dalam jurnal nasional terakreditasi dan/atau internasional yang bereputasi. Melalui penulisan dan penerbitan buku- buku dan artikel hasil riset itulah Pascasarjana sekaligus hadir secara nyata merespons persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat.

Telah lama disadari, masyarakat Muslim di seluruh belahan dunia menghadapi persoalan-persoalan kekinian yang menuntut perhatian dari para ilmuwan, akademisi, sarjana dan mahasiswa. Masalah-masalah itu terentang dari persoalan kemiskinan, kesenjangan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, ketidaksetaraan gender, pengabaian hak-hak asasi manusia, otoritarianisme, korupsi, radikalisme dan bahkan terorisme, yang seluruhnya berkontribusi terhadap rendahnya indeks pembangunan manusia (human development index) di negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim. Indonesia bukanlah pengecualian. Sebagai bangsa yang terdiri dari beragam suku, agama, bahasa dan budaya, Indonesia malahan belum benar-benar bebas dari ancaman konflik komunal bernuansa etno-religius. Nyatanya, menyusul kejatuhan rezim Orde Baru pada Mei 1998, ratusan konflik komunal meletus di pelbagai kawasan Indonesia, antara lain di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Maluku, dan Tengah. Konflik-konflik yang telah merenggut ribuan nyawa ini tak pelak mengguncang fondasi kebangsaan yang telah diletakkan oleh para founding father di atas semboyan bhinneka tunggal ika. Menariknya, intensitas konflik semacam itu bergerak paralel dengan menguatnya simbol-simbol dan identitas keagamaan serta gelombang radikalisme Islam yang terjadi pada ruang publik Indonesia dua dekade terakhir.

Walaupun demikian, masih banyak ruang tersisa untuk menegakkan optimisme melihat masa depan Indonesia. Berbeda dengan negara-negara Muslim di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Selatan, Indonesia telah berhasil melewati ujian yang sangat berat, keluar dari cengkeraman otoritarianisme dan perlahan membangun demokrasi yang berkeadaban. Memang masih ada kekurangan di sana-sini dalam tubuh demokrasi yang iii sedang kita bangun. Demokrasi memang membutuhkan proses pelembagaan dan pembudayaan seiring pertumbuhan ekonomi, tingkat pendidikan dan kesadaran hukum masyarakat. Dalam Transitional Justice Forum yang saya hadiri Oktober 2013 di Cairo, wakil-wakil negara Arab mencecar saya dengan pertanyaan “Apa kunci Indonesia berhasil melewati proses transisi politik secara gemilang?” Saya menguraikan satu persatu kuncinya. Indonesia memiliki (1) ; (2) Civil society yang kuat dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai tulang punggungnya; (3) Tentara yang rela kembali ke barak melepaskan priveleges mereka; dan (4) Kelas menengah yang terus tumbuh seiring akses pendidikan dan ekonomi yang semakin terbuka bagi banyak lapisan masyarakat. Mereka menyimak dengan seksama penjelasan saya dan diam-diam mengagumi Indonesia. Mereka melihat Indonesia sebagai model bagi perubahan dan demokratisasi di dunia Muslim.

Indonesia memang tengah bergerak cepat mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa besar di dunia berkat kemajuan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang sangat mengesankan dalam beberapa dekade terakhir. Prestasi ini tidak bisa dipisahkan dari munculnya kelas menengah yang bertumbuh sangat cepat, rata-rata tujuh juta orang dalam setahun. Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2003 jumlah kelas menengah di Indonesia hanya 37,7 persen dari total populasi, namun pada 2010 telah mencapai 56,5 persen. Kategori kelas menengah terutama dibedakan oleh kapasitas individu dan rumah tangga untuk menambah penghasilan, di luar yang diperlukan untuk kebutuhan pokok hidup. Hal ini tercermin oleh, antara lain, pola mereka menabung, berinvestasi, berekreasi, plus kepemilikan perumahan, transportasi pribadi, dan barang-barang cukup mewah. Kelas sosial menentukan perbedaan pandangan, aspirasi ataupun sikap politik seseorang. Sebagai bagian masyarakat yang memiliki penghasilan lebih dari yang diperlukan, kelas menengah tentu saja lebih mandiri dan lugas dalam pandangan atau sikap politik. Karena persentuhan mereka yang cukup intens dengan globalisasi, selera dan gaya hidup kelas menengah biasanya tidak bisa dipisahkan dari trend-trend yang berkembang di tingkat global. Mereka berupaya mengadopsi, mengapropriasi dan setidaknya mengapresiasi selera dan gaya hidup masyarakat global.

Satu lagi yang penting, Indonesia tengah menikmati bonus demografi, yang ditandai dengan fakta bahwa penduduk usia produktif bertumbuh ideal mengisi lapisan tengah piramida komposisi penduduk Indonesia. Jika negara-negara maju tengah risau dengan gejala penuaan penduduk (aging) yang mengancam pertumbuhan produksi dan ekonomi, kita iv malahan dapat menggantungkan harapan kepada besarnya jumlah penduduk usia produktif yang siap mengisi mata rantai produksi yang akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, pertumbuhan penduduk usia produktif memang harus diimbangi dengan akses pendidikan, ekonomi dan politik yang semakin merata serta ketersediaan lapangan kerja yang memadai. Kagagalan melakukan hal ini dapat menyebabkan bangkitnya politik identitas yang terjadi ketika sekelompok orang berusaha mengeksploitasi sentimen-sentimen primordial—agama, suku, ras—dalam rangka menegosiasikan kepentingan dan posisi mereka di ruang publik, yang akhirnya berujung dengan meningkatnya intoleransi, radikalisme, ekstremisme dan terorisme yang mengancam basis-basis kebhinnekaan bangsa.

Dalam konteks inilah saya sangat mengapresiasi keberhasilan Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (KMP) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menggelar Graduate Forum yang mengangkat tema “Bonus Demografi sebagai Tantangan dan Peluang Menghadapi Keberagaman di Indonesia: Agama, Kewargaan dan Kontestasi Ruang Publik”. Diselenggarakan pada 28-29 November 2017, Graduate Forum ini tidak saja berhasil menghimpun ratusan mahasiswa program magister dan doktor dari seluruh Indonesia utuk berkumpul mempresentasikan riset-riset mutakhir mereka masing-masing, namun juga mendiskusikan secara kritis persoalan-persoalan kekinian terkait tarik-menarik antara agama dan kewargaan serta ancaman politik identitas bagi keberagaman bangsa. Lebih membanggakan lagi, paper-paper yang dipresentasikan dalam Graduate Forum ini telah berhasil diseleksi dan disunting sehingga dapat diterbitkan dalam sebuah buku yang kini hadir di hadapan pembaca. Selamat membacanya!

v

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar isi vi

Penyelesaian Tuntutan Ganti Rudi Sengketa Akad Mudharabah dalam Putusan Pengadilan Agama Bantul No. 463/Pdt.G/2011/PA.Btl Jo. 63/Pdt.G/2011/PTA.Yk Jo. 2/Pdt.Eks/2012/PA.Btl Ahmad Fatkhurohman 1

Daripada Keder Mendingan Ngelem: Fenomena Penggunaan Narkoba Pada Remaja Awal di Daerah Pantai Utara, Jawa Barat Juariah 18

Bonus Demografi di Era Digital dalam Perspektif Fenomena Cracking Zone Adi Prihanisetyo 33

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Pertunanangan dan Perkawinan Pada Masyarakat Desa Longos Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep Theadora Rahmawati 53

Akses Keuanagan Disabiltas Netra: Tingkat Literasi, Inklusi serta Permasalahan yang Dihadapi (Studi Kasus di DKI ) Adib 71

Religious and National Identity Through Religious Leader in in Film: A Comparison of “Sang Pencerah” and “” Kristi 89

Website Fatwa di Indonesia: Konstruksi dan Realitas Fatwa Arivaie Rahman 102

Dilema Ayat-Ayat Hate Speech Ahmad Paishal Amin 116

Promosi Agama Islam Melalui Media Sosial Instagram Kementerian Agama Republik Indonesia Wahfiuddin Rahmad Harahap 133

Inkonsistensi Konstitusi Dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Tri Aktariyani dan Gunawan Aineka 148

Kearifan Lokal dan Konstribusinya Terhadap Penguatan Kerukunan Antar Umat Beragama (Kajian Nilai-Nilai Falsafah Buton Bhinci-Bhinci Kuli

vi

Mutawally 165

Anonymity: Masyarakat Tanpa Identitas (Redefinisi Identitas Diri di Era Digital) Arina Rohmatul Hidayah 183

Meme sebagai Tindak Tutur: Kritik Terhadap Penggunaan Istilah Pribumi Triyono Lukmantoro 200

Disabilitas: Sebuah Refleksi Mahasiswa Non-Difabel Uswatun Nisa 216

Difabel dalam Aksesibilitas Lapangan Kerja: Studi Kasus Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Banjarmasin Arif Rahman 233

Islamic Environmentalism in Indonesia: A Study of Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama’ in The Perspective of Progressive Islam Ali Ilham Almujaddidy 251

Peran Media dalam Pendidikan Agama Islam Lisa Agustiana 267

Dampak Fanatisme Budaya Korea Terhadap Gaya Hidup Penggemar K-Pop (Penelitian Pada Komunitas Online Monstax Fans Club Monbebe Indonesia) Putri Amilosa 275

Intersection of Religious Freedom and Diffabel’s Rights (the Study of Dria Manunggal Yogyakarta) Mauliya Risalaturrohmah 290

Relevansi Teori Feminisme dalam Perspektif Islam dan Hubungan Internasional Khairiyah 303

Uang Panaik dalam Tradisi Pernikahan Masyarakat Bugis-Makassar (Menuju Pada Perspektif Gender) Sunaniah 318

vii

viii

PENYELESAIAN TUNTUTAN GANTI RUGI SENGKETA AKAD MUDHARABAH DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANTUL NO. 463/Pdt.G/2011/PA.Btl Jo. 63/Pdt.G/2011/PTA.Yk Jo. 2/Pdt.Eks/2012/PA.Btl

Ahmad Fatkhurohman Program Studi Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Email: [email protected]

Abstrak Kasus sengketa akad mudharabah yang terjadi Pengadilan Agama Bantul dimana Penggugat selaku shohibul maal menggugat Direktur KSU Syariah Baitul Maal watamwil (BMT) ISRA selaku mudharib sebagai Tergugat dan juga mantan immateriil pada Tergugat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah konsep ganti rugi menurut hukum perdata dan menurut hukum Islam khususnya dalam akad mudharabah. Serta Bagaimanakah Hakim Pengadilan Agama menentukan ukuran ganti rugi dalam akad mudharabah. Tujuan dari permasalahan ini adalah agar dapat diketahui bagaimanakah konsep ganti rugi menurut hukum perdata dan hukum islam menyangkut masalah dalam penelitian penelitian ini. penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif atau doktrinal. Untuk mendapatkan data yang akurat penulis melakukan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum baik hukum primer, skunder maupun tersier serta Adapun nara sumber dalam penelitian ini adalah Hakim yang memutus perkara. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis terhadap kasus Nomor 463/Pdt.G/2011/PA.Btl Jo. 63/Pdt.G/2011/PTA.Yk Jo. 2/Pdt.Eks/2012/PA.Btl. maka, Konsep ganti rugi menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata khususnya dalam akad mudharabah keduanya sama-sama adanya kelalaian/pelanggaran terhadap akad (ingkar janji / wanprestasi), bentuk kerugiannya materi (berupa harta), sedangkan sanksi yang harus ditanggung dalam hukum perdata adalah biaya rugi dan bunga sedangkan dalam hukum Islam adalah kerugian riil (real loos) yang pasti dialami, biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak termasuk biaya proses penyelesaian perkara.

Kata Kunci:Ganti Rugi, Mudharabah, dan Kewenangan Hakim Pengadilan Agama

1

A. PENDAHULUAN Mudharabah merupakan prinsip bagi hasil dan bagi kerugian ketika nasabah sebagai pemilik modal (shahibul mal) menyerahkan uangnya kepada Bank sebagai pengusaha (mudharib) untuk diusahakan. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, dan kerugian ditanggung oleh pemilik dana atau nasabah (Ascarya, 2015: 117). Senada dengan Fatwa DSN Majelis Ulama Indonesia Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah (Qiradh) bagian kedua angka 4 huruf c yang menyatakan Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan (Abdhul Ghofur Anshori, 2009: 134).

Pengecualian tersebut seandainya benar terjadi jika mudharib melakukan keteledoran, kelalaian dan kecerobohan dalam merawat atau menjaga dana yaitu melakukan pelanggaran, kesalahan, atau ia keluar dari ketentuan yang disepakati yakni lalai atau ingkar janji, kemudian bisnis mudharabah mengalami kerugian, maka akan timbul permasalahan hukum, siapakah yang harus bertanggungjawab untuk memikul kerugian tersebut. Permasalahan ganti rugi bukanlah permasalahan yang ringan atau mudah untuk diselesaikan, karena pada umumnya manusia tidak mau rugi, sehingga akan berusaha untuk menghindar / mengelak dari tanggung jawab ganti rugi dengan berbagai dalih / alasan.

Sebagaimana kasus sengketa akad mudharabah yang terjadi Pengadilan Agama Bantul dimana Penggugat selaku shohibul maal menggugat Direktur KSU Syariah Baitul Maal watamwil (BMT) ISRA selaku mudharib, sebagai Tergugat dan juga mantan Direktur tersebut sebagai Turut Tergugat karena pada saat jatuh tempo. Tergugat tidak dapat memberikan simpanan dan sisa nisbah bagi hasil yang belum diberikan kepada Penggugat dengan alasan kondisi keuangan maka Penggugat menuntut ganti kerugian baik materiil maupun immateriil pada Tergugat.

Sengketa berawal sejak tanggal 10 Mei 2010 Penggugat melakukan transaksi penyimpanan uang dengan jenis simpanan Penjaminan Kebutuhan Keluarga (Sipenjaga) kepada Tergugat (KSU) Syariah Baitul maal wa Tamwil (BMT) ISRA yang berkantor di Jalan Bantul Km.4 No. 390 Dongkelan, Panggungharjo, Sewon, Bantul, uang sejumlah Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan jangka waktu 6 bulan, dan jatuh 2 tempo pada tanggal 10 November 2010.Bermula dari adanya pengisian formulir calon anggota oleh Penggugat, kemudian (KSU) Syariah Baitul maal wa Tamwil (BMT) ISRA menerbitkan sertifikat simpanan berjangka atas nama Penggugat.

Bahwa dari simpanan shahibul mal oleh Tergugat digunakan untuk usaha Tergugat di Jasa gadai, usaha detergent, mini market penjualan pulsa, warung makan dan sebagainya. Dari simpanan itu disepakati Tergugat selaku mudharib akan memberikan nisbah setiap bulan sejumlah Rp. 6.375.000,00 (enam juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).Sejak Penggugat (Shohibul maal) menyimpan uang kepada Tergugat (Mudharib) pada tanggal 10 Mei 2010 setiap bulannya Penggugat mendapatkan nisbah bagi hasil sejumlah Rp. 6.375.000,00 (enam juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) sampai dengan bulan September 2010. Sehingga total nisbah yang telah diberikan oleh Tergugat kepada Penggugat sejumlah Rp. 25.500.000,00 (dua puluh lima juta lima ratus ribu rupiah). Sedangkan nisbah dari bulan Oktober sampai dengan Nopember 2010 selama 2 bulan Tergugat tidak memberikan nisbah bagi hasil dengan lasan kondisi keuangan dan Tergugat sedang menjalani proses pidana di Pengadilan Negeri Bantul.Berawal dari tindakan Tergugat yang tidak dapat memberikan nisbah bagi hasil dan mengembalikan simpanan kepada Penggugat kemudian Penggugat pada tanggal 24 Mei 2011 mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Bantul dengan alasan Tergugat telah melakukan wanprestasi.

Bahwa sebagai akibat dari wanprestasi tersebut Penggugat menuntut ganti rugi terhadap Tergugat sebagai berikut: 1) Materiil a. Simpanan Penjaminan Kebutuhan Keluarga (Sipenjaga) sebesar Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) b. Nisbah bagi hasil selama 8 bulan (10 Oktober 2010 sampai dengan 10 Mei 2011) yaitu Rp. 6.375.000,00 (enam juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) X 8 = Rp. 51.000.000,00 (lima puluh satu juta rupiah).Jumlah materiil sebesar Rp. 301.000.000,00 (tiga ratus satu juta rupiah). 2) Immateriil sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sesuai permintaan penggugat.Total materiil dan immateriil sebanyak Rp. 401.000.000,00 (empat ratus satu juta rupiah). Selanjutnya dari tuntutan tersebut Tergugat memberikan jawaban yang pada pokoknya Tergugat membenarkan tidak bisa memberikan nisbah dan mengembalikan simpanan 3

Penggugat karena usaha-usaha yang dikelola oleh Tergugat mengalami kemunduran atau kerugian. Bahwa dari kerugian materiil sebesar Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) atas simpanan penjaminan kebutuhan keluarga harus dikurangi atau tidak seluruhnya karena Penggugat telah menggadaikan Sertifikat Simpanan berjangka tertanggal 10 Mei 2010 pada usaha Tergugat di jasa gadai sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Selanjutnya gugatan Penggugat tentang kerugian immateriil sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan uang paksa (dwangom) sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) perhari atas keterlambatan pembayaran adalah sesuatu yang tidak berdasar dan mengada-ada. Atas dasar gugatan, jawaban dan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan kemudian Majelis Hakim Pengadilan Agama Bantul menjatuhkan putusan sebagai berikut: 1) Gugatan Penggugat tidak dapat diterima ; 2) Memerintahkan kepada Panitera/Jurusita Pengadilan Agama Bantul untuk mengangkat penyitaan terhadap : Sebidang tanah beserta bangunan diatasnya sebagaimana tercatat dalam sertifikat Hak Milik No. 513 atasnama Sri Wardoyo seluas 83 m2 yang terletak di Dongkelan, Panggungharjo, Sewon, Bantul dengan batas-batas sebagai berikut : a. Sebelah Utara : Tanah pekarangan milik Petrus Sugiyanto b. Sebelah timur : Tanah pekarangan milik Madiyo c. Sebelah Selatan : Tanah pekarangan milik Bakhroni d. Sebelah barat : Jalan Bantul 3) Menghukum Penggugat untuk membayar seluruh biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 2.231.000,- (Dua juta dua ratus tiga puluh satu ribu rupiah) ; Karena gugatan Penggugat tidak dikabulkan oleh Pengadilan Agama Bantul kemudian Penggugat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, Hakim Tingkat banding kemudian menjatuhkan putusan sebagai berikut : 1. Menerima permohonan banding Pembanding. 2. Membatalkan putusan Pengadilan Agama Bantul 463/Pdt.G/2011/PA.Btl. Tanggal 17 Oktober 2011. Dan Dengan Mengadili Sendiri : 1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian; 2. Menyatakan sita jaminan yang diletakkan atas sebidang tanah beserta bangunan diatasnya sebagaimana tercatat dalam sertifikat Hak Milik No. 513 atas nama Sri Wardoyo selauas 83 m2 yang terletak di Dongkelan, Panggungharjo, Sewon, Bantul, dengan batas-batas sebagai berikut: 4

a. Sebelah Utara : Tanah pekarangan milik Petrus Sugiyanto b. Sebelah timur : Tanah pekarangan milik Madiyo c. Sebelah Selatan : Tanah pekarangan milik Bakhroni d. Sebelah barat : Jalan Bantul Adalah sah dan berharga. 3. Menyatakan Tergugat melakukan ingkar janji/wanprestasi. 4. Menghukum Tergugat karenannya untuk membayar kepada Penggugat berupa: a. Nisbah yang tersisa terhitung mulai bulan ke-lima (Oktober 2010) sebesar Rp. 12.750.000,- (dua belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). b. Uang ganti rugi selama 8 bulan x Rp. 6.375.000,- = Rp. 51.000.000,- (lima puluh satu juta rupiah). c. Pengembalian uang simpanan/investasi pokok sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). 5. Menolak yang lain dan selebihnya. 6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara tingkat pertama yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 2.231.000,- (dua juta dua ratus tiga puluh satu ribu rupiah). 7. Menghukum kepada Terbanding untuk membayar biaya pada tingkat banding sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah). Mengingat bidang ekonomi syari`ah merupakan kewenangan baru bagi Pengadilan Agama, sedangkan peraturan perundang-undangan baik yang berkaitan dengan hukum acara (hukum formil) maupun hukum materil yang secara khusus mengatur tentang ekonomi syari`ah belum ada, maka menarik untuk dilakukan pengkajian berkaitan dengan mekanisme penyelesaian perkara di bidang ekonomi syari`ah pada Pengadilan Agama. Beragamnya produk dan jenis kegiatan usaha perbankan syari`ah di satu sisi, sedangkan di sisi lain terbatasnya waktu dan kesempatan yang ada bagi Penulis, maka Penulis membatasi obyek penelitian hanya terfokus pada permasalahan Penyelesaian tuntutan ganti rugi dalam sengketa akad mudharabah pada Pengadilan Agama sebagaimana kasus gugatan wanprestasi perkara sengketa ekonomi syariah Nomor 463/Pdt.G/2011/PA.Btl Jo. 63/Pdt.G/2011/PTA.Yk Jo. 2/Pdt.Eks/2012/ PA.Btl. Permasalahan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu Bagaimanakah konsep ganti rugi menurut hukum perdata dan menurut hukum Islam khususnya dalam akad mudharabah dan Bagaimanakah Hakim Pengadilan Agama menentukan ukuran ganti rugi dalam akad mudharabah.

5

B. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran) (Mukti Fajar dan Yulianto, 2015: 34). dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif atau doktrinal, yaitu penelitian yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah suatu peristiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum. Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah Hakim yang memutus perkara Nomor 463/Pdt.G/2011/PA.Btl Jo. 63/Pdt.G/2011/PTA.Yk Jo. 2/Pdt.Eks/2012/ PA.Btl. atau Hakim yang pernah menangani perkara serupa, adapun tempat/lokasi yang digunakan untuk melakukan penelitianini adalah di Pengadilan Agama Bantul, media internet dan forum diskusi.

Untuk mendapatkan data yang akurat penulis melakukan studi pustaka terhadap bahan- bahan hukum baik hukum primer, skunder maupun tersier. Penelurusan bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan membaca, mendengar maupun menggunakan media internet.Dalam penelitian ini, bahan hukum maupun non hukum yang diperoleh dalam penelitian akan dianalisis secara preskriptif dengan menggunakan metode deduktif, yaitu data-data umum tentang konsep hukum baik berupa asas-asas hukum, ajaran-ajaran dan pendapat para ahli yang dirangkai secara sistematika sebagai susunan fakta-fakta hukum untuk mengkaji kemungkinan penerapannya.

C. PEMBAHASAN 1. Konsep Ganti Rugi menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam khususnya dalam akad Mudharabah Dalam Hukum Perdata pemberian ganti rugi atau compensatie yaitu kewajiban debitur untuk mengganti kerugian kreditur akibat kelalaian pihak debitur. Penggantian kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi kontrak/ingkar akad.Seorang debitur yang dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi karena empat macam: 1) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. 2) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya. 3) Debitur memenuhi pretasi tetapi tidak tepat waktunya. 4) Debitur memenuhi prestasi, tetapi melakukan yang dilarang dalam perjanjian (PNH Simanjuntak, 2015: 110). 6

Munculnya ganti rugi dalam kasus ini karena debitur dalam memenuhi prestasi tidak sebagaimana mestinya seperti yang telah dijanjikan pada saat terjadinya akad atau perikatan. Penulis merujuk pendapat seorang ahli menyatakan bahwa : 1) Terhadap suatu hak dan kewajiban yang harus dilakukan kreditur tergantung dari yang diperjanjikan. 2) Hak dan kewajiban kreditur harus diatur oleh Undang-undang yaitu sebagai suatu tindakan untuk menuntut pihak yang lalai dalam melaksanakan suatu prestasi atau kewajibannya (PNH Simajuntak, 2015: 274) Munculnya ganti rugi adalah karena adanya perikatan, sedangkan perikatan ada 2 macam yaitu : 1) Perikatan yang bersumber dari perjanjian (Pasal 1313 KUHPerdta) 2) Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang (Pasal 1352 KUHPerdata). Perikatan antara Penggugat dan Tergugat dalam kasus ini adalah merupakan perikatan karena adanya perjanjian antara debitur dan kreditur.Suatu perjanjian harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1) Ada para pihak. 2) Ada persetujuan antara pihak-pihak tertentu. 3) Ada tujuan yang akan dicapai. 4) Ada prestasi yang akan dilaksanakan. 5) Ada bentuk tertentu baik lesan atau tertulis. 6) Ada syarat-syarat tertentu. Adapun asas-asas perjanjian dibagi menjadi 4 yaitu : a) Sistem terbuka (open system) : Asas ini dikenal dengan asas kebebasan berkontrak karena asas ini mempunyai arti mereka yang tunduk dalam perjanjian bebs dalam menentukan hak dan kewajibannya. b) Bersifat pelengkap: Artinya pasal-pasal dalam hukum perjanjian boleh disingkirkan apabila pihak-pihak yang membuat perjanjian menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal Undang-Undang. c) Berasaskan konsensualisme: Asas ini mempunyai arti bahwa suatu perjanjian lahir sejak detik tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak. d) Berasaskan kepribadian: Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian hanya mengkat bagi para pihak yang membuatnya. Syarat-syarat sahnya perjanjian terdapat pada pasal 1320 KUHPerdata. 7

a) Sepakat mereka yang mengikatkan diri. b) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. c) Adanya suatu hal tertentu. d) Adanya suatu sebab yang halal. Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur dapat menimbulkan bagi kreditur sanksi, atau akibat hukum bagi debitur. Sanksi yang dapat diterapkan jika debitur wanprestasi ada 4 macam, yaitu sebagai berikut: 1) Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata). 2) Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata). 3) Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata). 4) Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim (Pasal 181 ayat 1 HIR). Adapun kewajiban membayar ganti kerugian bagi debitur sudah terpenuhi sebagaimana syarat-syarat dibawah ini: 1) Debitur memang telah lalai melakukan wanprestasi. 2) Debitur tidak berada dalam keadaan memaksa. 3) Tidak adanya tangkisan dari debitur untuk melumpuhkan tuntutan ganti rugi. 4) Kreditur telah melakukan somasi/peringatan. Unsur-unsur ganti rugi menurut ketentuan pasal 1246 KUHPerdata terdiri 3 unsur yaitu : 1) Biaya, yaitu segala pengeluaran atau ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan. 2) Rugi, yaitu Kerugian karena kerusakan barang-barang kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur. 3) Bunga, yaitu keuntungan yang seharusnya diperoleh atau diharapkan oleh kreditur apabila debitur tidak lalai. Menurut J Satrio, pada dasarnya wanprestasi mewajibkan penggantian kerugian, yang diganti meliputi ongkos, kerugian dan bunga (J. Satrio, 1999: 144). Menurut Pasal 1765 KUH Perdata, diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian (PNH Simanjuntak, 315). Pembayaran bunga yang tidak diperjanjikan tidak mewajibkan debitur untuk membayar bunga terus, tetapi bunga yang diperjanjikan wajib dibayar sampai pada 8 saat pengembalian atau penitipan (konsinyasi) uang pnjaman pokok semuanya walaupun pengembalian atau penitipan uang pinjaman itu dilakukan tatkala sudah lewat waktu pelunasan menurut perjanjian, Pasal 1766 KUHPerdata (Tim Yustisia, 2015: 456). Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain (Munir Fuadi, 2013: 3). Pasal 1365 KUHPerdata, menyatakan bahwa tiap perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Kemudian pasal 1366 KUHPerdata menyatakan, setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Adapun unsur perbuatan melawan hukum adalah: Dari ketentuan pasal 1365 KUH Perdata, dapat diketahui bahwa suatu perbuatan melawan hukum baru dapat dituntut penggantian kerugian apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) Perbuatan itu harus melawan hukum. suatu perbuatan adalah merupakan perbuatan melawan hukum apabila berlawanan dengan: a) Hak orang lain, atau b) Kewajiban hukumnya sendiri, atau c) Kesusilaan yang baik, atau d) Keharus yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup masyarakat mengenai orang lain atau benda. 2) Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian. Kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum dpat berup kerugian materiil (dapat dinilai dengan uang) dan kerugin immateriil (tidak dapat dinilai dengan uang). Dengan demikian kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan melawan hukum tidak hanya terbatas pada kerugian yang ditujukan kepada kekayaan harta benda, tetapi juga kerugian yang ditujukan pada tubuh, jiwa dan kehormatan manusia. 3) Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan. Suatu kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan berarti seseorang melakukan suatu perbuatan dan perbuatan ini berniat untuk membuat suatu akibat. Adapun kelalaian berarti seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, padahal menurut hukum ia harus berbuat atau melakukan suatu perbuatan. 9

4) Perbuatan itu harus ada hubungan kausal (sebab akibat).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa akibat dari suatu perbuatan melawan hukum adalah timbulnya kerugian. Kerugian sebagai akibat perbuatan melawan hukum diharuskan supaya diganti oleh orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu atau oleh sipelaku perbuatan melawan hukum. Konsep ganti rugi menurut hukum Islam khususnya dalam pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut :Dalam hukum Islam ganti rugi dinamakan ta’widh,dhaman atau tanggung jawab, gharamah atau denda, ta’zir atau memberi pelajaran dan jawabir yaitu mencukupi atau mengganti yang hilang.Dhaman merupakan tanggung jawab seseorang untuk memenuhi hak yang berkaitan dengan keharta bendaan, fisik maupun perasaan, hal ini berlaku baik darar atau kerugian yang muncul akibat pelanggaran seluruh dan atau sebagian perjanjian dalam akad, melakukan perbuatan yang diharamkan dan atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan menurut undang-undang (Asmuni, 2013: 49-51). Dengan demikian definisi dhaman mencakup makna-makna sebagai berikut: 1) Obyek wajib dhaman terletak pada Zimmah (perjanjian). Kewajiban dhaman tidak akan gugur kecuali dengan memenuhi atau dibebaskan oleh pihak yang berhak menerima ganti rugi tersebut. Pihak yang dirugikan (Mutadarrar) berhak mengadukan Mutasabbib (penyebab kerugian) ke Pengadilan agar memenuhi kewajibannya. 2) Dhaman ditetapkan untuk melindungi hak individu yang tujuanya adalah untuk mengganti atau menutupi (Al-Jabru) kerugian pada korban. Adanya dhaman karena unsur Ta’addi, yaitu melakukan perbuatan terlarang dan atau tidak melakukan kewajiban menurut hukum. Ta’addi dapat terjadi karena melanggar perjanjian dalam akad yang semestinya harus dipenuhi. 3) Ta’addi yang mewajibkan dhaman harus benar-benar menimbulkan darar (kerugian). Jika tidak menimbulkan kerugian maka tidak ada dhaman karena secara faktual tidak ada Darar yang harus diganti rugikan. 4) Antara Ta’addi (pelanggaran) dengan darar (kerugian) harus memiliki hubungan kausalitas. Artinya darar dapat dinisbatkan kepada pelaku secara langsung, Jika darar dinisbatkan kepada sebab-sebab lain, bukan perbuatan pelaku (Muta’addi) sendiri, maka dhaman tidak dapat diberlakukan, karena seseorang tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat perbuatan orang lain.

10

5) Darar yang diganti rugi berkaitan dengan harta benda, manfaat harta benda, jiwa dan hak-hak yang berkaitan dengan keharta bendaan. 6) Kualitas dan kwantitas dhaman harus seimbang dengan darar. Ahmad bin Idris Al-Qarafi, melalui koidah ma yadmanu wa ma la yadmanu, mengelompokkan sebab yang mewajibkan ganti rugi ada 3 macam yaitu: a. Al-‘udwan al-mubasyir (perusakan secara langsung) b. Al-tasabub lil itlaf (perusakan tidak langsung disertai niat) c. Wad’u al-yad allati laisat bimu’taminatin (penguasaan tanpa memelihara amanah). Sebab pertama dan kedua merupakan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, sedangkan sebab yang ketiga merupakan ganti rugi karena wanprestasi kontrak. Jika salah satu diantara ketiga sebab tersebut terjadi, maka ganti rugi menjadi wajib hukumnya (Aris Anwaril Muttaqin, 2015: 96). Syamsul Anwar, membagi Dhaman menjadi 2 macam yaitu : 1) Dhaman al ‘udwan yaitu tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi yang bersumber kepada perbuatan merugikan (al-fi’l adh-dharr) atau perbuatan melawan hukum. 2) Dhaman al aqdi yakni tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi yang bersumber kepada ingkar akad (Samsul Anwar, 2010: 330). Ganti rugi yang diputuskan hakim dalam kasus ini sebagai akibat dari pelanggaran akad/ingkar akad. Sedangkan ganti rugi yang dapat diterapkan adalah ganti rugi ‘an darar madi yaitu ganti rugi terhadap kerugian yang berupa harta, atau kerugian yang menimpa badan atau harta dan kerugian itu dapat ditentukan dengan materi (Aris Anwaril Muttaqin, 26).

2. Ukuran ganti rugi menurut hokum Perdata dan hukum Islam dalam akad Mudharabah yang digunakan Hakim Pengadilan Agama. Setelah mencermati Putusan Hakim tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta maka dalam menghitung berapa jumlah kerugian yang diderita atau keuntungan yang diharapkan oleh kreditur, kita harus memakai patokan “kreditur” pada umumnya, ”Kreditur yang cakap dan hati-hati” pada umumnya. Jadi memakai ukuran obyektif (J. Satrio, 196). Rutten pada asser menyatakan Pada perhitungan yang obyektif Hakim tidak begitu memperhatikan kekhususan peristiwanya atau 11 keadaan subyektif orang yang dirugikan, tetapi hanya memperhitungkan, berapakah “pada umumnya” kerugian kreditur, kalau ia berada dalam posisi yang sama dengan kreditur dalam perkara yang sedang diperiksa. Kerugian disini disamakan dengan berkurangnya kekayaan kreditur berdasarkan perhitungan secara obyektif. Diharapkan dengan cara demikian terhindar dari kemungkinan adanya unsur untung/keuntungan pada kreditur atas wanprestasinya debitur. Ganti rugi tidak dimaksudkan untuk itu, dan jangan sampai atas dasar adanya untung/keuntungan, justru menjadi pengharapan kreditur agar debitur wanprestasi. Karenanya suatu tuntutan ganti rugi yang didasarkan atas harga yang ternyata melebihi dari harga pasaran tidak dibenarkan dan hanya dikabulkan untuk sebesar harga pasaran yang ada saja. Dalam Menghitung kerugian yang diderita paling tidak sebagian adalah menelusuri peristiwa yang sudah terjadi, yang kadang-kadang bisa cukup lama berlalu. Menelusuri kembali pengeluaran-pengeluaran yang terjadi, terutama kalau meliputi berbagai macam pos, disertai dengan perhitungan atau pertimbangan dapat atau tidaknya pengeluaran itu dibuktikan adalah pekerjaan yang cukup rumit. Menghitung kerugian yang tidak ada standar harganya menambah lagi keruwetan penghitungan ganti rugi. Belum lagi menghitung kerugian dalam wujud keuntungan yang diharapkan. Menghitung besarnya kerugian ada kalanya sulit, apalagi bagi hakim yang harus memutuskan, mana yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi debitur, apakah kerugian itu dapat diduga, berapa dari jumlah yang digugat yang benar-benar dapat dikabulkan atau dengan perkataan lain menetapkan berapa kerugian penggugat sebenarnya, dari seluruh tuntutan ganti rugi, mana yang telah berhasil dibuktikan dan lain-lain. Dan dari semuanya itu yang paling sulit adalah ketika hakim harus memutuskan berapakah besarnya kerugian kreditur yang sebenarnya dalam masing-masing pos yang diajukan. Apakah kreditur juga mempunyai andil dari kerugian tersebut, sehingga iapun harus turut menanggung sebagian dan berapakah besarnya bagian kreditur sendiri. Karenanya benar apa yang dikatakanoleh H.R. dalam arresnya tanggal 23 Maret 1963 N.J. 1963/888 dalam hal ini pandangan Hakim memainkan peranan yang besar sekali (Veel hangt hier van het persoonlijk inzicht van de Rechter af) atau dengan perkataan lain Hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan berapa besarnya kerugian. Pada umumnya Hakim berdasarkan pengalaman cenderung untuk menerima adanya kerugian kalau ada wanprestasi, dalam hal ini Hakim berperan dalam menentukan ukuran besarnya ganti rugi. Penghitungan kerugian berdasarkan patokan 12 pada hari/saat debitur mulai wanprestasi. Dalam hal ada diberikan somasi, maka batas waktu yang diberikan dalam – somasi yang dibenarkan oleh Pengadilan – menjadi patokan perhitungan ganti rugi. Karena somasi diberikan oleh kreditur, maka waktu tersebut ada dalam tangan kreditur untuk memilihnya (Aini Zulva, Nur, 2015 : 38). Pasal 1247 memberikan batasan mengenai tuntutan ganti rugi dengan mengatakan bahwa debitur hanya diwajibkan memberikan ganti rugi atas kerugian yang nyata telah atau seharusnya dapat diduga pada waktu perikatan dilahirkan, kecuali kalau tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipu daya yang dilakukan olehnya. Kemudian metode penentuan ganti rugi menurut Hukum Islam dilihat dari Adanya dhaman atau bentuk tanggung jawab adalah bertujuan untuk memberikan ganti rugi pada korban dan menghilangkan kerugian yang diderita (raf’u al-darar wa izalatuha). Hal ini mencakup 2 hal. Pertama ganti rugi terhadap kerugian yang berhubungan dengan jiwa, kehormatan dan nama baik seseorang. Kedua ganti rugi terhadap kerugian yang berkaitan dengan harta benda.Ganti rugi yang berhubungan dengan kerugian yang berhubungan dengan jiwa disebut jawabir al-dharar al- badniyah mencakup kehilangan jiwa, kehilangan anggota badan, atau fungsi keduanya. Jawabir model ini oleh para fuqoha disebut diyat (ganti rugi pembunuhan). Ganti rugi seperti ini sering disebut hukumatu ‘adl karena ukuran kwalitas dan kwantitasnya diserahkan kepada otoritas peradilan yang adil Kemudian ganti rugi yang berkaitan dengan harta (jawabir al-darar al- maliyah) seperti perampasan, perusakan terhadap barang atau manfaatnya mencakup dua hal yaitu: 1. Jawabir naqdiyah yaitu ganti rugi dengan mengembalikan nilai jual (al- qimah). 2. Jawabir ‘ainiyah, yaitu ganti rugi dengan mengambalikan barang itu sendiri, atau menggantinya dengan barang yang sama dalam kasus- kasus perampasan dan penguasaan terhadap harta orang lain secara tidak legal. Putusan Hakim Tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta menghukum ganti rugi yang berkaitan dengan harta benda sebagai akibat dari pelanggaran akad. Adapun penghitungan atau perkiraan (al-taqdir) ganti rugi mengacu pada beberapa hal, antara lain :

13

1. Penghitungan ganti rugi tersebut berdasarkan kesepakatan (al-taqdir al- ittifaqi). 2. Penggantian ganti rugi dilakukan oleh hakim (al-taqdir al-qadai) yang mengacu pada ijtihad dan pendapatnya. 3. Penghitungan sesuai dengan yang ditetapkan oleh pembuat Undang-Undang (al-taqdir al-syar’i). Penghitungan dan perkiraan ganti rugi didasarkan pada beberapa hal diantaranya: 1. Prinsip keseimbangan dan keadilan harus diterapkan agar ganti rugi tidak dimaksudkan untuk memperkaya pihak yang dirugikan, menolongnya, atau memberikan tabarru’ terhadapnya, namun dimaksudkan untuk mengembalikan keadaannya seperti sebelum terjadi kerugian dengan catatan jika hal itu memungkinkan. 2. Ganti rugi dibebankan kepada pihak yang mengakibatkan darar secara langsung. Adapun darar tidak langsung yang tidak dapat dinisbatkan kepada perbuatan muta’addi) tidak dapat dikenakan ganti rugi. 3. Hitungan dan perkiraan ganti rugi disesuaikan dengan tingkat darar yang ada, tidak lebih dan juga tidak kurang. Menyimpang prinsip ini dikategorikan “aklu amwalinnas bi al-bathil” atau memakan harta orang lain secara batil. Kecuali dalam kasus dimana tingkat ta’addi-nya sangat tinggi, ganti rugi perlu dilipat gandakan agar pelaku menjadi jera. 4. Berpedoman dengan fatwa DSN MUI Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi (Ta’widh) sebagai berikut: a) Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain. b) Kerugian yang dapat dikenakan ganti rugi (ta’widh) adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan secara jelas termasuk biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan. c) Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost), bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah) Penulis setelah mencermati putusan ganti rugi yang dijatuhkan oleh Hakim tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, dan menghubungkannya 14

dengan metode penentuan ganti rugi. Sehingga putusan tersebut sesuai konsep ganti rugi menurut Hukum Perdata dan menurut Hukum Islam, juga dari hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Bantul yang menyatakan bahwa dalam menakar ganti rugi hakim berpedoman pada akad/perjanjian. Maka, penjatuhan hukuman ganti rugi yang dilakukan oleh Hakim tingkat banding sebagaimana putusan diatas sudah tepat karena sudah sesuai dengan konsep dengan menerapkan metode sebagaimana tabel berikut: N HUKUM PERDATA HUKUM ISLAM

O

1 Metode menentukan Metode menentukan ukuran ukuran ganti rugi sebagai ganti rugi sebagai berikut : berikut : 1. Penghitungan ganti 1. Peranan Hakim rugi berdasarkan dalam menentukan ukuran kesepakatan (al-taqdir al- ganti rugi. ittifaqi).

2. Patokan Perhitungan 2. Penggantian ganti rugi ganti rugi adalah saat di lakukan oleh hakim (al- debitur wan- prestasi. taqdir al-qadai) yang mengacu pada ijtihad dan 3. Kerugian dapat pendapatnya. diduga pada saat terjadi perikatan atau saat 3. Penghitungan sesuai membuat perjanjian. dengan yang ditetapkan oleh pembuat Undang-

Undang (al-taqdir al- syar’i). a.

D. KESIMPULAN Setelah Penulis melakukan pengkajian terhadap konsep ganti rugi menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam khususnya dalam pembiayaan mudharabah sebagaimana uraian kasus Nomor 463/Pdt.G/2011/PA.Btl Jo. 63/Pdt.G/2011/PTA.Yk Jo. 2/Pdt.Eks/2012/PA.Btl., di atas, maka Penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 15

1. Konsep ganti rugi menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata khususnya dalam akad mudharabah keduanya sama-sama karena kelalaian/pelanggaran terhadap akad (ingkar janji / wanprestasi), bentuk kerugiannya materi (berupa harta), sedangkan sanksi yang harus ditanggung dalam hukum perdata adalah biaya rugi dan bunga sedangkan dalam hukum Islam adalah kerugian riil (real loos) yang pasti dialami, biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak termasuk biaya proses penyelesian perkara. 2. Metode penentuan ukuran ganti rugi yang digunakan oleh Hakim Pengadilan Agama dalam akad mudharabah adalah : a. Penggantian ganti rugi berdasarkan atas kesepakatan atau perjanjian. b. Secara ex officio Hakim menentukan sendiri ganti rugi tanpa diminta oleh para pihak. Sedangkan ukurannya: a. uang sebesar kerugian riil (real loss) yang diderita; b. bagian keuntungan yang sudah jelas tetapi belum/tidak dibayarkan oleh mudharib; c. biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk proses penagihan dan atau proses penyelesaian perkara; d. barang atau aset dapat diganti dengan uang sebesar nilai barang/aset tersebut sesuai dengan kesepakatan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghafur Anshori, 2009, Payung Hukum Perbankan Syariah, UII Press, Yogyakarta. Aini Zulva, Nur, 2015, Praktek Pembiayaan Mudharabah pada BMT An-Nawawi Purworejo. Tugas akhir mahasiswa D3 Perbankan Syariah UIN . Tidak diterbitkan. Diakses tanggal 21 Januari 2017. Ascarya, 2015, Akad dan Produk Bank Syariah, Rajawali Press, Jakarta. Aris Anwaril Mutaqin, 2015, Sistem Transaksi Syariah, Pustaka Ilmu, Yogyakarta. Asmuni, 2013, teori ganti rugi dalam perspektif hukum Islam, Jurnal Hukum dan Peradilan volume 2 Nomor 1, Jakarta. J. Satrio, 1999, Hukum Perikatan, Perikatan pada umumnya, PT. Alumni, . Mahkamah Agung, 2008, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES),

16

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2015, Dualisme penelitian hukum normatif dan empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Munir Fuady, 2013, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung. PNH.Simanjuntak, 2015, Hukum Perdata Indonesia, Prenada Media Gropu, Jakarta. Silvy Arofah, Aini, 2015. Konsep kerugian immateriil dalam hukum bisnis syariah. Tesis Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. tidak diterbitkan. Diakses tanggal 19 Januari 2017. Syamsul Anwar, 2010, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang teori akad dalam fiqh muamalat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Tim Yustisia, 2015, KUHP dan KUH Acara Perdata, Visimedia, Jakarta. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, Tentang Kekuasaan Kehakiman.

17

‘DARIPADA KEDER MENDINGAN NGELEM’ FENOMENA PENGGUNAAN NARKOBA PADA REMAJA AWAL DI DAERAH PANTAI UTARA, JAWA BARAT

Juariah Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Barat Email: [email protected], No. HP: 081320619049

Abstrak

Remaja yang sehat fisik, psikologis dan sosial sangat penting untuk menghadapi era bonus demografi. Remaja sehat akan memiliki kemampuan daya saing yang tinggi menghadapi berbagai tantangan dan memberikan kontribusi positif dalam pembangunan bangsa. Kondisi lingkungan di jalur pantai utara memberikan pengaruh negatif pada remaja yang tinggal di daerah tersebut. Tingginya tingkat perceraian pada orangtua dan juga banyaknya orangtua yang bekerja di luar negeri menjadikan para remaja mudah terbawa pengaruh lingkungan disekitarnya dan memilih untuk mencoba menggunakan narkoba yang sangat mudah didapatkan di lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi fenomena penggunaan narkoba pada remaja awal di daerah pantai utara dan memberikan saran intervensi yang dapat dilakukan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Tempat penelitian dilaksanakan di SMPN 1 dan SMPN 2 Pusakajaya Kabupaten Subang. Informan penelitian ini adalah siswa kelas VII di SMPN 1 dan SMPN 2 Pusakajaya yang terbiasa menggunakan narkoba berjumlah 34 orang. Informan dipilih secara purposive dan diwawancara dengan menggunakan pedoman wawancara terfokus untuk mengeksplorasi penggunaan narkoba pada remaja. Data dianalisis dengan menggunakan content analysis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa informan rata-rata mulai menggunakan narkoba sejak masih bersekolah di SD. Ada tiga alasan utama informan menggunakan narkoba yaitu marah pada keluarga, ingin diakui oleh teman dan untuk kesenangan. Obat atau minuman yang biasa digunakan oleh informan antara lain obat batuk komix, paramex, pil anjing, lem, anggur, alkohol dan air tape yang diperam. Meskipun ada yang pernah menemukan pengguna narkoba yang bermasalah sampai meninggal tapi sebagian besar informan mengaku tidak tahu bahaya narkoba. Untuk menghentikan dan mencegah remaja menggunakan narkoba maka pembuat kebijakan, tenaga kesehatan dan pemuka agama harus berkolaborasi untuk membangun program pendidikan yang terstruktur dan siap diakses oleh para remaja. Intervensi berbasis sekolah dan lingkungan ramah remaja yang didukung oleh regulasi yang jelas, penting diciptakan untuk mendukung perkembangan remaja.

Kata Kunci: Narkoba, Remaja Awal, Pantai Utara

PENDAHULUAN Perubahan struktur usia populasi, pada kondisi tertentu dapat memberikan stimulus kuat untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan keluarga (Hayes & Setyonaluri: 2015). Hal yang sangat penting diperhatikan oleh suatu negara adalah kondisi demografi yang disebut dengan bonus demografi. Bonus demografi diartikan sebagai keuntungan ekonomis yang berpotensi didapatkan oleh suatu negara karena proporsi penduduk yang produktif lebih

18 banyak dibandingkan dengan yang tidak produktif. Kondisi ini dimana struktur usia yang ditandai dengan tingginya proporsi orang di usia kerja dibandingkan dengan usia non-kerja (Hayes & Setyonaluri: 2015). Dengan kata lain, bonus demografi adalah keadaan ketika terjadi penurunan dependency ratio yang disebabkan oleh transisi demografi. Negara-negara dengan konsentrasi populasi usia kerja memiliki keuntungan menghasilkan pendapatan perkapita yang tinggi (Mason: 2017). Jika Pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan kondisi berlimpahnya penduduk yang termasuk kategori produktif dibandingkan dengan yang tidak, maka biaya yang ditujukan untuk pengurusan penduduk muda dan lanjut usia dapat dialihkan untuk investasi di kegiatan ekonomi dan percepatan pembangunan (Heryanah: 2015). Indonesia diperkirakan akan mendapat window of opportunity pada 2020–2030, yaitu ketika dependency ratio-nya berada pada tingkat terendah sepanjang masa transisi demografi (Heryanah: 2015).

Seseorang yang belum menikah dan berada pada rentang usia 10-19 tahun dikategorikan sebagai remaja (Statistics Indonesia, dkk: 2013). Menurut Kementerian kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI: 2015), jumlah remaja di Indonesia diperkirakan sudah mencapai 46.218.571 juta jiwa atau sekitar 19,5% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237 juta jiwa. Sedangkan jumlah remaja di Jawa Barat ada 8.033.548 jiwa terdiri dari 3.921.592 remaja perempuan dan 4.111.956 remaja pria, atau sekitar 18,7% dari total penduduk Jawa Barat yang berjumlah 43.053.735 jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat: 2015). Proporsi remaja yang cukup besar ini memungkinkan untuk meraih bonus demografi. Untuk menghadapi era ini, harus disiapkan remaja yang sehat fisik, psikologis dan sosial. Selain itu mereka harus dipersiapkan sebagai calon tenaga kerja yang terampil dan inovatif (Hayes & Setyonaluri: 2015). Remaja sehat dan inovatif akan memiliki kemampuan daya saing yang tinggi menghadapi berbagai tantangan dan memberikan kontribusi positif dalam pembangunan bangsa.

Hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPKUI) menunjukkan pelajar/mahasiswa penyalahguna narkoba jauh lebih banyak yang merokok bahkan 3-4 kali lebih banyak. Sama halnya dengan perilaku minum alkohol, pelajar dan mahasiswa penyalahguna yang minum alkohol jauh lebih banyak bisa sampai 8 – 9 kali. Selain itu laki-laki lebih berisiko memakai narkoba dibandingkan perempuan.Rasio laki-laki dengan perempuan yang pernah pakai narkoba sekitar 4 berbanding 1 (BNN & PPKUI: 2016). 19

Hasil Youth Risk Behavior Surveillance Survey tahun 2011 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 70,8% siswa pernah minum alkohol; 38.7% melaporkan saat penelitian ini peminum alkohol, 21,9% siswa terlibat dalam pesta minum alkohol, 39,9% siswa pernah menggunakan mariyuana, 23,1% saat penelitian ini menggunakan mariyuana, 6,8% pernah menggunakan kokain, 3% saat ini menggunakan kokain, 11,4% pernah menggunakan inhalan, 8,2% pernah menggunakan ekstasi, 2,9% pernah menggunakan heroin, dan 3,8% pernah menggunakan methamphetamine (Eaton dkk: 2012). Studi lain yang dilakukan oleh Karch dkk dalam BNN & PPKUI (2016) menyimpulkan bahwa konsumsi alkohol, tembakau dan obat-obat terlarang lainnya pada remaja di Amerika dihubungkan dengan kecelakaan dan kematian, termasuk kecelakaan kendaraan bermotor, perilaku bunuh diri, kekerasan, kecelakaan jatuh, tenggelam, perilaku seksual yang tidak aman, dan kanker.

Terkait penyalahgunaan alkohol, World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa bahaya penggunaan alkohol menempati lima faktor resiko teratas untuk penyakit, kecacatan dan kematian di seluruh dunia dan merupakan faktor penyebab lebih dari 200 penyakit dan kondisi cedera. Minum alkohol dihubungkan dengan resiko berkembangnya masalah kesehatan tertentu seperti ketergantungan alkohol, sirosis hati, kanker dan berbagai kecelakaan. Selain itu, juga terdapat hubungan konsumsi alkohol dengan kejadian penyakit infeksi seperti tuberkulosis dan HIV/AIDS. Bahkan bahaya penggunaan alkohol dapat memberikan konsekuensi sosial dan ekonomi yang serius pada individu lain selain peminum dan juga pada masyarakat luas (WHO: 2014).

BNN dan PPKUI (2016) berpendapat lingkungan sekitar tempat tinggal mempengaruhi perilaku berisiko, termasuk penyalahgunaan narkoba. Lingkungan tempat tinggal dipilah menjadi 2 bagian, yaitu lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggal keseharian responden. Kedua lingkungan tersebut, ternyata cukup rawan terhadap seseorang terpapar resiko narkoba. BNN dan PPKUI membuat 7 indikator proxy yang mencerminkan tingkat kerawanan lingkungan, yaitu 1) tinggal dilingkungan kumuh;2) tinggal dilingkungan padat penduduk; 3) lingkungan tempat tinggal banyakpengangguran; 4) lingkungan tempat tinggal banyak yang merokok; 5) lingkungantempat tinggal banyak yang minum alkohol; 6) lingkungan tempat tinggal banyak yang pakai narkoba; dan 7) lingkungan tempat tinggal banyak yang melakukan tindak kriminal.

20

Kondisi lingkungan di jalur pantai utara memberikan pengaruh negatif pada remaja yang tinggal di daerah tersebut. Tingginya tingkat perceraian pada orangtua para remaja dan juga banyaknya orangtua yang bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) menjadikan para remaja mudah terbawa pengaruh lingkungan disekitarnya dan memilih untuk mencoba menggunakan narkoba yang sangat mudah didapatkan di lingkungannya. Lingkungan tempat tinggal di daerah Pantai Utara dapat dikategorikan lingkungan yang rawan karena di daerah ini terbanyak banyak bisnis prostitusi dan tempat-tempat hiburan yang mana juga banyak yang merokok, minum alkohol, pengguna narkoba dan rawan terjadi tindak kriminal. Fenomena lingkungan seperti ini akan mendukung remaja untuk terlibat dalam penggunaan narkoba. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi fenomena penggunaan narkoba pada remaja awal di daerah pantai utara dan memberikan saran intervensi yang dapat dilakukan untuk membantu remaja berhenti dari penggunaan narkoba.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus. Pendekatan ini dipilih dengan pertimbangan penelitian ini memerlukan penjelasan yang detil mengenai satu keadaan dan hanya dapat dilakukan dengan mendengarkan secara langsung suara atau pendapat orang- orang (Rahardjo: 2017). Penelitian dilaksanakan di SMPN 1 dan SMPN 2 Pusakajaya Kabupaten Subang. Kecamatan Pusakajaya Kabupaten Subang berada di Jalur Pantai Utara Jawa Barat dan para siswa sekolah ini bertempat tinggal di sekitar jalur ini. Daerah ini termasuk lingkungan yang rawan dengan banyaknya tempat hiburan dan prostitusi yang mana banyak orang yang merokok, menggunakan narkoba dan juga tinggi kriminalitasnya, yang dapat mempengaruhi remaja yang tinggal di sekitarnya. Informan penelitian dipilih secara purposive karena dengan teknik ini ditetapkan informan yang memenuhi kriteria yang mendukung atau sesuai dengan penelitian. Kriteria informan adalah siswa kelas VII di SMP tempat penelitian dan saat penelitian ini dilaksanakan merupakan pengguna narkoba. Penetapan kriteria didasarkan atas pertimbangan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran fenomena penggunaan narkoba pada remaja awal dan yang akan dijadikan dasar untuk memberikan intervensi pendidikan kesehatan pada siswa pengguna narkoba pada tahapan selanjutnya.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dengan alat bantu pedoman wawancara terfokus untuk mengeksplorasi penggunaan narkoba pada remaja. Sebelum 21 diwawancara, calon informan diberi penjelasan mengenai kegiatan penelitian dan dimintakan persetujuan. Kepada calon informan juga diyakinkan mengenai anonimitas dan kerahasiaan data yang diberikan. Hanya siswa yang bersedia yang dilibatkan dalam penelitian ini. Data yang terkumpul dibuat transkrip kemudian diolah dan dianalisis dengan content analysis. Analisis ini dipilih karena merepresentasikan kata-kata dan ekspresi untuk dilihat, dibaca, diinterpretasikan dan diberi makna (Krippendorff: 2004). Tahapan content analysis adalah: 1) Membaca transkrip dan membuat catatan ringkas untuk informasi-informasi yang relevan dan menarik; 2) Membuat daftar informasi; 3) Membuat kategorisasi; 4) Mengidentifikasi kategori mayor atau tema; 5) Membandingkan berbagai kategori; 6) Mengkaji ulang untuk meyakinkan semua informasi masuk ke dalam kategori; 7)Mengkaji ulang kategori apakah ada yang dapat digabungkan atau yang perlu disub-kategorikan 8) Kembali ke transkrip asli dan meyakinkan kembali bahwa semua informasi yang dnyatuhkan telah dikategorikan. Setelah diolah dan dianalisis data hasil penelitian disajikan dalam bentuk narasi dan kutipan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kecamatan Pusakajaya merupakan salah satu kecamatan yang termasuk wilayah Kabupaten Subang yang berada di jalur Pantai Utara. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Pusakanagara di sebelah utara, Kecamatan Compreng di sebelah selatan, Kecamatan Pamanukan di sebelah barat dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu. Sepanjang jalur jalan utama yang termasuk jalur Pantai Utara kecamatan ini banyak ditemukan hotel,motel, café maupun warung yang pada malam hari berubah fungsi menjadi tempat transaksi seksual. Pada malam hari di teras warung-warung ini banyak ditemukan wanita muda berpakaian mini dan berdandan menor duduk-duduk sambil merokok. Selain itu juga terlihat para pengunjung yang juga merokok.

Karakteristik informan Informan penelitian ini adalah siswa kelas VII SMPN 1 dan SMPN 2 Pusakajaya yang saat penelitian ini dilakukan merupakan pengguna berbagai jenis narkotika dan obat terlarang. Informan berjumlah 34 orang. Semua informan berada pada kelompok usia remaja awal dengan rentang usia 12 sampai 14 tahun. Pada bagian ini dipaparkan dengan siapa informan bertempat tinggal, status keluarga, motivasi informan untuk bersekolah, ketaatan beragama informan dan karakter teman sebaya dari informan.

22

Tempat Tinggal Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, semua informan tidak tinggal dengan orangtua utuh, ada yang tinggal dengan salah satu orangtua (ibu atau ayah), nenek, bibi atau kakak. Ketika ditanya alasannya karena salah satu atau keduanya, ibu dan atau ayah bekerja di luar negeri atau di kota, orangtua bercerai dan ada yang menikah lagi dan salahsatu orangtua atau kedua orangtua telah meninggal.

“ Ibu dan bapak kerja di arab, udah 2 tahun, baru pulang sekali, sekarang tinggal sama nenek, sama kakak” “Ibu udah ga ada, waktu saya kelas IV SD… bapak kawin lagi. Sekarang tinggal sama nenek dan kakek. Abis punya anak lagi sama ibu baru” “ Ibu dan bapak udah meninggal. Duluan ibu…waktu saya kelas 2 SD, katanya ibu sakit dan ga sembuh-sembuh…terus bapak waktu saya kelas V meninggalnya. Sekarang tinggal sama bibi”

Status keluarga Ada 20 informan yang mengatakan bahwa orangtuanya sudah bercerai. Mereka bilang tidak tahu alasannya. “ Saya tinggal sama bapak, ga pernah ketemu ibu lagi sejak kecil. Katanya ibu pergi ke arab, abis itu ga pernah pulang lagi” “ Ibu pergi ke arab, bapak kawin lagi. Dua-duanya pergi dari rumah. Tinggal saya sama kakak. Jadi sekarang kakak yang membiayai, dia kerja di warung kafe”

Ada juga informan yang mengakui bahwa ayah, saudara laki-laki serta teman saudara laki-laki dan perempuannya juga pengguna narkoba. “ Bapak saya suka mabuk, sering banget…kadang suka sama temannya juga” “ Kakak saya suka mabuk juga, suka dilarang sama nenek, tapi ga bisa…” “ Kakak saya pacarnya suka mabuk, suka liat aja kalau di warung café kadang di rumah juga suka bawa minuman”

Motivasi bersekolah Ketika ditanya cita-cita dan motivasi bersekolah para informan beberapa informan mengatakan ingin menjadi polisi, dokter, insinyur tapi ada sebagian yang mengatakan tidak 23 tahu karena tidak ada biaya. Sebagian mereka mengakui kadang bolos sekolah karena belum sempat mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) yang diberikan oleh guru. “ Pingin jadi dokter (ketawa)…tapi yaa ga tau, sekolahnya juga dimana ga tau” “ Ga tau, belum tau mau jadi apa… soalnya ga tau juga nenek punya uang atau ga buat biaya sekolahnya” “ Suka bolos (ketawa)…abis kalau sudah main suka lupa ngerjain PR…Jadi mending ga masuk. Takut dimarah guru soalnya”

Ketaatan beragama Semua informan penelitian ini mengaku beragama Islam, tapi ketika ditanya mengenai sholat, puasa dan ibadah lain, mereka mengatakan jarang melakukan. Mereka juga mengaku tidak pernah dituntut untuk sholat apalagi berjamaah di masjid oleh orangtua atau keluarga lainnya. “Jarang sholat, paling dzuhur aja di sekolah. Suka lupa, malas juga (ketawa)…subuh masih tidur…siang main…yaa malas aja” “ Jarang banget sholat, orang rumah juga ga ada yang nyuruh. Puasa apalagi, males, suka lapar, terus teman-teman juga pada ga puasa”

Karakter teman sebaya Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa informan memiliki teman bermain baik yang satu sekolah maupun diluar sekolah yang merokok dan juga pengguna narkoba. Semua informan mengakui pertama kali menggunakan narkoba karena diberi oleh teman. “Coba-coba ngelem, dikasih sama teman waktu malam mingguan sambil gitaran di posyandu yang diujung kampung…enak, jadinya keterusan” “Pertama kali waktu ikut pesta reggae, ada teman yang ngasih minum alcohol, waah langsung ngefly…udah itu jadi ketagihan”

Mulai Menggunakan narkoba Berdasarkan hasil wawancara, rata-rata informan mengakui mulai menggunakan narkoba sejak masih di Sekolah Dasar (SD) bahkan ada yang sejak kelas 1 SD. Selain itu juga ada informan yang mengaku selain menjadi pengguna, juga menjadi penjual narkoba. “ Sejak kelas 1 SD, dikasih minum alkohol sama teman bapak. Pahit sih rasanya, tapi enak, berikutnya minum lagi lebih banyak…terus sama teman bapak ditawarin buat jualan pil.

24

Bayarannya dikasih duit sama pil gratis…tapi sekarang udah ga jualan lagi, teman bapaknya masuk penjara katanya, ga tau… kabur…” “ Pertamanya waktu kelas V SD. Coba-coba aja dikasih sama pemuda yang suka nongkrong bareng, lama-lama jadi suka…sekarang kadang beli, kadang ngelem bareng sama teman”.

Alasan menggunakan narkoba Informan penelitian ini mengaku awalnya menggunakan narkoba karena coba-coba, tetapi kemudian mereka melanjutkan untuk menggunakannya karena beberapa alasan. Alasan pertama yang mereka kemukakan adalah kesal dan marah pada keluarga. Orangtua yang bercerai, ayah yang mabuk-mabukkan, ibu yang pergi keluar negeri menjadi TKI dan jarang pulang dan kurang perhatian dari keluarga menjadikan mereka merasa tidak diperhatikan. “Keder bu…abis bapak juga suka mabuk,kalau di rumah kerjanya marah, ga pernah ngasih contoh, ya udah biar aja saya juga mabuk aja sekalian” “Biar aja saya mabuk, abis ibu bapak ga perhatian, mereka sibuk sendiri…keder pokoknya…ya udah saya mendingan ngelem aja, ikutan teman-teman…”

Alasan kedua yang dikemukakan oleh informan terkait penggunaan narkoba adalah keinginan diakui oleh teman sebaya. “Teman-teman main juga semuanya suka ngelem, minum juga.Mereka suka berbagi kalau saya lagi ga ada uang. Kami solid, saling bantu..” “ Kalau ga ikutan nanti teman-teman ga mau ngajak. Ada di kelas juga yang ga ikutan, tapi dia jadinya sendirian, ga ada temannya, jadi anak rumahan…yaaa…saya ga maulah begitu…dikucilin”

Alasan lain yang disampaikan oleh informan adalah untuk kesenangan. “Senang aja, kumpul sambil main gitar, nyanyi-nyanyi, sambil minum-minum…bisa lupain semua masalah (ketawa)” “Pokoknya enak banget…kalau ikut pesta reggae sambil minum-minum, sama teman-teman”

Jenis narkoba yang digunakan Mengenai obat atau minuman yang biasa digunakan oleh informan antara lain obat batuk komix, paramex, pil anjing, lem, anggur, alkohol dan air tape yang diperam. “ Macem-macem sih, tergantung yang ada…kalau lagi pada kere, paling ngelem aja. Yang penting enak, bisa ngefly” 25

“ Ngomix juga bisa…itu bu obat batuk komix dicampur macem2…kayak oplosan gitu” “Bisa juga pake air tape yang diperam, itu bisa keras banget…panas, bikin pusing, terus kayak melayang gitu”

Pengetahuan bahaya narkoba Meskipun ada yang pernah menemukan pengguna narkoba yang bermasalah sampai meninggal tapi sebagian besar informan mengaku tidak tahu bahaya narkoba untuk kesehatan “Pernah ada tetangga yang meninggal karena over dosis kata orang-orang…tapi itu karena kebangetan minumnya…kalau biasa-biasa aja sih ga apa-apa kayaknya” “ Suka pusing sih, lemes. Tapi kalau bahayanya apa aja sih saya ga tahu…paling guru bilang bisa bikin mati, tapi yaa ga tau juga. Mati kan bisa karena apa aja (ketawa)”. “Yang jelas bisa masuk penjara katanya, tapi jarang deh…belum pernah nemu”

PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua informan tidak tinggal dengan orangtua yang utuh, sebagian karena orangtuanya bercerai, meninggal atau bekerja di kota dan luar negeri. Hal ini menjadikan para informan yang masih remaja tidak mendapatkan kasih sayang yang utuh sekaligus juga kurang mendapatkan pengawasan dan dukungan dari kedua orangtua. Mengingat karakteristik remaja yang sedang mencari jati diri dan model maka mereka akan menjadikan lingkungannya sebagai contoh untuk pilihan hidupnya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Alhyas dkk (2015) bahwa sebagian besar remaja yang melakukan penyalahgunaan narkoba memiliki konflik dan hubungan yang buruk dengan orang tua mereka. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Gomez dkk (2010) menemukan bahwa anak remaja yang tinggal di jalanan atau di tempat penampungan lebih cenderung untuk mengalami ketergantungan narkoba. Hal ini berarti tempat tinggal yang tidak memberikan kenyamanan dan keamanan bagi remaja membuat para remaja melarikan diri ke narkoba.

Perilaku yang dipilih oleh seorang remaja akan sangat dipengaruhi oleh orang disekitarnya yang menjadi model. Orang yang terdekat dengan remaja adalah yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Informan pada penelitian ini mengakui bahwa ayah dan keluarganya juga pengguna narkoba. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh BNN dan PPKUI (2017) bahwa remaja yang menjadi penyalahguna narkoba ditemukan lebih banyak yang anggota keluarganya adalah perokok, peminum alkohol, dan 26 narkoba. Terjadi penyalahgunaan narkoba sebesar 25.8%, pada remaja yang tinggal dengan keluarga yang berperilaku minum alkohol. Sedangkan pada remaja yang keluarganya berperilaku memakai narkoba, maka terjadi penyalahgunaan narkoba sebesar 7,6%.

Efikasi diri, performa akademik dan motivasi untuk bersekolah dengan baik dapat melindungi remaja dari perilaku beresiko (Adamchak dkk: 2000). Remaja pada penelitian ini cenderung memiliki motivasi bersekolah yang rendah. Mereka mengaku sering bolos sekolah dengan berbagai alasan dan beberapa malah tidak memiliki cita-cita. Hasil konfirmasi peneliti dengan pihak guru, para remaja ini juga memiliki prestasi yang rendah dalam pelajaran dan cenderung dikenal ‘nakal’ di lingkungan teman sekolahnya. Karena motivasi yang rendah untuk meraih sesuatu dalam hidupnya, menjadikan para remaja ini mudah terbawa arus yang tidak baik.

Hasil wawancara dengan para informan juga menunjukkan bahwa mereka memiliki ketaatan yang rendah dalam beragama. Meskipun semuanya mengaku beragama Islam, tetapi mereka tidak menjalankan kewajiban agama sebagaimana mestinya. Mereka tidak melakukan sholat penuh lima waktu dan juga tidak sepenuhnya menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan bahkan ada yang tidak puasa sama sekali di bulan ini. Mereka mengaku hanya mendapatkan pelajaran agama waktu di sekolah, sedangkan di lingkungan tempat tinggal, mereka hampir tidak pernah ke mesjid. Hal ini karena orang dewasa di lingkungan rumah juga tidak mengharuskan mereka untik menjalankan perintah agama. Kekosongan waktu yang mereka miliki akhirnya digunakan untuk bergaul dan kemudian mengenalkan mereka dengan perilaku beresiko termasuk penggunaan narkoba. Padahal ketaatan beragama dapat menjadi faktor pelindung penting terhadap penggunaan narkoba,mencegah individu menggunakan narkoba bahkan jika mereka hidup di lingkungan yang berbahaya (Alhyas dkk: 2015, Sanchez dkk: 2008). Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Haddad dkk (2010) pada remaja di Yordania, bahwa mereka yang tidak menggunakan narkoba karena berpegang pada prinsip-prinsip Islam yang melarang penggunaan minuman keras.

Informan penelitian ini mengaku menggunakan narkoba karena teman juga merupakan pengguna. Temuan ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kelompok sebaya sangat berpengaruh dan penyalahgunaan zat sangat rentan terhadap pengaruh teman sebaya (Sharma: 2015). Memiliki teman yang juga pengguna narkoba merupakan faktor resiko utama untuk bereksperimen dan menggunakan narkoba (Alhyas: 27

2015). Keinginan untuk diakui dan diterima oleh teman sebaya pada remaja sangat tinggi. Sehingga remaja dapat melakukan apa saja asal dapat menjadi bagian dari sebayanya, karena bagi remaja kebersamaan dengan sebaya merupakan hal penting (Sanchez: 2008).

Remaja dalam penelitian ini mulai mengenal dan menggunakan narkoba sejak masih di bangku SD. Fenomena ini lebih muda dibanding hasil penelitian Johnson & Leff dalam WHO (2014) yang mana 43% remaja berusia antara 15 dan 16 tahun dan 25% diantaranya berusia13 sampai 14 tahun telah mencoba obat-obat terlarang/adiktif. Usia awal menggunakan juga lebih muda dari penelitian Gopiram and Kishore (2014) di India menunjukkan bahwa kebanyakan pengguna memulai penyalahgunaan zat/obat pada rentang usia 15 – 18 tahun. Usia mengenal narkoba yang masih sangat kanak-kanak ini kemungkinan terjadi karena pengaruh lingkungan sekitar yang sangat beresiko dengan banyaknya pengguna narkoba di sekeliling informan.

Informan penelitian ini menggunakan berbagai jenis narkoba yang sangat mudah mereka dapatkan seperti lem, obat batuk komix, pil koplo, alkohol, anggur dan berbagai racikan obat/zat bahkan air tape. Hasil survey BNN dan PPKUI (14) menunjukkan bahwa “Ngelem” merupakan salah satu yang paling banyak dipilih untuk pertama kali pakai narkoba, karena pada kelompok pelajar/mahasiswa kemampuan secara finansialnya masih terbatas dan barangnya mudah di dapati karena dijual bebas di warung atau toko. Jenis lain yang banyak disalahgunakan adalah obat daftar G (obat resep) yang dapat dibeli bebas di apotik atau toko obat, seperti tramadol, dextro, trihex, atau pil koplo.

Keadaan rumah yang tidak nyaman untuk para remaja, menjadikan mereka lebih ingin cepat dewasa dan terlihat ‘mandiri’, Ini juga yang menjadi salah satu pemicu mereka untuk lari ke penyalahgunaan narkoba. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian De Visser & Smith (2007) bahwa persepsi tentang maskulinitas sering dikaitkan dengan konsumsi alkohol yang berlebihan. Merasa dewasa serta melatih kemandirian juga menjadi alasan penyalahgunaan narkoba (Gopiram & Kishore: 2014). Perasaan maskulin juga disampaikan oleh informan ketika mereka mengikuti pesta reggae sambil minum dengan teman-teman atau dengan pacar. Di daerah Pantai Utara, pesta reggae adalah istilah yang dikenal dikalangan anak muda untuk perayaan yang diselenggarakan dalam berbagai acara seperti pernikahan, agustusan, panen dan lain-lain. Pada pesta ini biasanya diadakan pertunjukkan dangdut dengan penyanyi dan band lokal dan yang hadir dapat berjoget sepuasnya. Biasanya dalam pesta ini beredar 28 narkoba dengan berbagai jenisnya. Di tempat pesta inilah kebanyakan para informan mulai mengenal dan mendapatkan narkoba.

Meskipun para informan penelitian ini ada yang pernah menemui orang yang meninggal karena menggunakan narkoba, tetapi mereka mengaku tidak tahu bahaya narkoba untuk kesehatan. Mereka hanya mendapat informasi dari orang disekitar mereka bahwa kalau menggunakan narkoba dapat dimasukkan ke penjara. Ketidaktahuan informan tentang bahaya narkoba ini dapat menjadi salah satu faktor yang mendukung mereka untuk mencoba dan tetap menggunakan narkoba. Sebaliknya, pengetahuan yang benar tentang bahaya narkoba baik terhadap kesehatan, jiwa maupun sosial akan menjadi benteng bagi para remaja untuk menghindari narkoba (Haddad dkk: 2010, Gopiram & Kishore: 2014).

Menyongsong era bonus demografi, maka menjadi tantangan untuk menyiapkan penduduk usia muda yang sehat dan tidak gampang sakit sehingga mereka yang nantinya masuk usia tua tetap akan sehat. Hal ini karena, dengan kesehatan yang baik, mereka masih dapat produktif dalam perekonomian negara (7). Untuk itu diperlukan keterlibatan berbagai pihak untuk mendukung terciptanya remaja yang sehat, bermotivasi tinggi dan inovatif. Orangtua adalah unsur yang sangat penting dalam pendidikan remaja. Memperkuat hubungan orangtua-remaja dapat melindungi remaja dari pengguna narkoba (Alhyas dkk: 2015).

Orang tua hendaknya mendukung, merangkul dan tidak menghukum mereka anak untuk perilaku mereka yang tidak diinginkan. Hal ini akan mendorong anak-anak untuk terbuka kepada orang tua mereka tentang masalah mereka.Selain itu orangtua juga tetap harus melakukan pemantauan atas pergaulan anaknya di luar rumah. Mengingat tingginya tingkat perceraian orangtua di daerah ini, maka program ketahanan keluarga hendaknya menjadi prioritas pemerintah. Hal ini hendaknya disertai dengan program ketahanan perekonomian keluarga. Hal ini karena perceraian banyak dipicu oleh ibu yang berangkat menjadi TKI karena alasan ekonomi.

Tenaga kesehatan yang bertugas di fasilitas kesehatan hendaknya juga peduli dengan bahaya penyalahgunaan narkoba yang mengancam para remaja. Hal ini karena banyaknya permasalahan kesehatan yang dapat dialami remaja pengguna narkoba. gangguan penyalahgunaan narkoba seharusnya dipertimbangkan sebagai penyakit kontemporer pada remaja (McArdle: 2017). Pendidikan kesehatan mengenai narkoba dengan melakukan 29 pendekatan dan bahasa yang dapat dimengerti oleh remaja diharapkan dapat memberikan bekal pengetahuan kepada remaja yang akhirnya menjadikan remaja menghindar dan berhenti dari penyalahgunaan narkoba.

Mengingat fatalnya akibat dari penyalahgunaan narkoba pada remaja maka semua pihak harus berkontribusi untuk menjauhkan remaja dari narkoba. Orangtua, guru, pemuka agama, tenaga kesehatan, seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah hendaknya bekerjasama dalam program jauhi narkoba. Hal ini karena remaja yang sehat dan kuat, berakhlak baik dan cerdas hanya akan tumbuh di dalam dukungan keluarga, masyarakat dan Negara yang baik.

Simpulan dan Saran Simpulan Para informan penelitian ini semuanya tidak tinggal dengan orangtua utuh karena orangtua meninggal, bercerai atau bekerja di luar negeri dan luar kota. Mereka mulai menggunakan narkoba sejak masih bersekolah di SD. Awalnya coba-coba tetapi kemudian menjadi ketagihan. Mereka mendapatkan narkoba dengan cuma-cuma diberi oleh teman atau membeli sendiri. Berbagai jenis narkoba yang digunakan antara lain lem, obat batuk komix, pil koplo, berbagai racikan obat, alkohol bahkan air tape yang diperam. Alasan menggunakan narkoba karena marah pada keluarga, ingin diakui oleh sebaya dan untuk kesenangan. Para remaja ini umumnya tidak tahu tentang bahaya narkoba.

Saran Pembuat kebijakan, tenaga kesehatan dan pemuka agama harus berkolaborasi untuk membangun program pendidikan yang terstruktur dan siap diakses oleh para remaja. Selain itu juga perlu intervensi berbasis sekolah untuk mengurangi penyalahgunaan narkoba pada remaja. Penciptaan lingkungan yang ramah remaja yang didukung oleh regulasi yang jelas, akan memberikan kesempatan kepada remaja untuk mendapatkan lingkungan yang baik untuk perkembangannya.

Pustaka Adamchak S, Bond K, MacLaren L, Magnani R, Nelson K, and Seltzer J.2000. A Guide to Monitoring and Evaluating Adolescent Reproductive Health Programs Washington DC: FOCUS

30

Alhyas L, Al-Ozaibi N, El-arabi H, El-Kashef A, Wanigaratne S, Almarzouqi A, Alhosani A and Al-Ghaferi H.2015. Adolescents’ perception of substance use and factors influencing its use: a qualitative study in Abu Dhabi. Journal of the Royal Society of Medicine. 6(2): 1–12

Badan Narkotika Nasional dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. 2016. Hasil Survei Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di 18 Provinsi Tahun 2016. Puslitdatin BNN: Jakarta

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2015. Jawa Barat Dalam Angka 2015. Bandung: BPS Provinsi Jawa Barat. 618 hlm de Visser RO and Smith JA.2007. Alcohol consumption and masculine identity among young men. J Psychol Health 22(5): 595–614.

Eaton DK, Kann L, Kinchen S, Shanklin S, Flint KH & Hawkins J. 2012. Youth risk behavior surveillance – United States, 2011. Morbidity and Mortality Weekly Report Surveillance Summaries 61(4): 1-162.

Gomez R, Thompson SJ, Barczyk AN.2010. Factors associated with substance use among homeless young adults. J Subst Abus 31(1):24–34

Gopiram P. & Kishore MT.2014. Psychosocial attributes of substance abuse among adolescents and young adults: A comparative study of users and non-users. Indian Journal of Psychological Medicine 36(1): 58-61

Haddad L, Shotar A, Umlauf M, Al-Zyoud S. 2010. Knowledge of Substance Abuse Among High School Students in Jordan. Journal of Transcultural Nursing 21(2) 143–150

Hayes A. & Setyonaluri D. 2015. Taking Advantage of The Demographic Dividend in Indonesia: A Brief Introduction to Theory and Practice. UNFPA Indonesia.

Heryanah. 2015. Ageing Population Dan Bonus Demografi Kedua Di Indonesia. Jurnal Populasi 23(2): 1-16

Kementerian Kesehatan RI, 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Kemenkes RI. 382 hlm Krippendorff K.2004. Content analysis : an introduction to its methodology. Ed ke-2. California: Sage publication.

Mason A.2007. Demographic transition and demographic dividends in developing and developed countries. Di dalam: Proceedings of the United Nations expert group meeting on social and economic implications of changing population age structures, Mexico City, hlm 81-101.

McArdle P. 2004. Substance abuse by children and young people. J Arch Dis Child 89(8): 701–704.

31

Rahardjo MH, 2017. Studi Kasus Dalam Penelitian Kualitatif: Konsep Dan Prosedurnya (Makalah). . Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Sanchez Z, Oliveira L and Nappo S. 2008. Religiosity as a protective factor against the use of drugs. J Subst Use Misuse 43(10): 1476–1486.

Statistics Indonesia, National Population and Family Planning, Board Ministry of Health.2013. Indonesia Demographic and Health Survey 2012: Adolescent Reproductive Health. Maryland: MEASURE DHS ICF

Sharma M. 2015. Substance abuse in adolescents: Implications for research and practice. Journal of alcohol and drug education 59(1): 1-6

World Health Organization. 2014. Global status report on alcohol and health. WHO: Luxemburg

32

BONUS DEMOGRAFI DI ERA DIGITAL

DALAM PERSPEKTIF FENOMENA CRACKING ZONE

Adi Prihanisetyo Stie Madani, Balikpapan [email protected] / 0821-3387-3533

ABSTRAK Pembahasan mengenai bonus demografi merujuk pada fenomena cracker zone di era digital. Di satu sisi kehadiran penduduk usia produktif (15-64 tahun), hendaknya dapat maksimal untuk dimanfaatkan sebagai mesin penggerak roda perekonomian. Disisi lainnya, kehadiran mereka bertepatan dengan munculnya era digital, dimana dampak era digital tersebut, ada sisi positif dan negatifnya. Bagi generasi lama, tentu melihat kehadiran era digital ini sebagai bentuk ancaman bagi eksistensi mereka. Tetapi bagi generasi baru (penduduk usia produktif) era digital ini merupakan suatu bentuk kesempatan mereka untuk berusaha atau sebagai lahan penghasilan mereka yang baru. Dengan maraknya konflik yang terjadi selama berlangsungnya era digital ini, jika kondisi tersebut dibiarkan begitu saja, maka akan mengancam keberlangsungan dari bonus demografi, yang seharusnya kehadiran bonus demografi dapat dijadikan sebagai motor penggerak roda perekonomian bangsa. Disinilah letak permasalahan dari era bonus demografi yang bertepatan dengan munculnya era digital saat ini. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, penulis mencoba menghubungkan dua kondisi antara bonus demografi dengan era digital, yaitu fenomena cracker zone, sebagai salah satu solusi untuk menyikapi munculnya bonus demografi di Indonesia. Cracker bisa muncul jika dalam diri setiap manusia selalu mengkondisikan pada kondisi krisis (keluar dari zona nyaman), ditunjang oleh pendidikan karakter Bonus demografi adalah sebuah peluang bukan sebuah ancaman, apabila penduduk usia produktif saat ini mampu memposisikan dirinya sebagai seorang creaker, Munculnya usaha-usaha berbasis online di Indonesia beberapa tahun terahkir ini tentunya akan menghambat atau mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia, sehingga bonus demografi yang terjadi saat ini di kemudian hari tidak memunculkan permasalahan yang baru di Indonesia. Kata Kunci: Bonus Demografi, Fenomena Cracker Zone, Peluang

33

PENDAHULUAN Bonus demografi merupakan transisi demografi yang dialami suatu negara dengan jatuhnya angka kematian, sementara angka kelahiran relatif tetap. Selama transisi ini, terjadi ledakan penduduk yang diikuti dengan rendahnya tingkat kematian. Seiring dengan turunya angka kelahiran dan usia ledakan penduduk memasuki angkatan kerja. (BPS, 2013:16). Tahun 2017 Indonesia telah mengalami masa transisi tersebut, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), proyeksi proporsi penduduk berdasarkan umur untuk tahun 2010-2035 adalah sebagai berikut: Tabel.1 Proyeksi Proporsi Penduduk Berdasarkan Umur Tahun 2010-2035

Sumber: Data BPS diolah Pada tabel diatas, terlihat bahwa jumlah pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2010 paling banyak didominasi oleh penduduk yang berusia 15-64 tahun (usia angkatan kerja), sebesar 66.5 persen, penduduk usia 0-14 tahun berjumlah 28,6 persen, dan penduduk usia 65+ (manula) berjumlah 5 persen. Untuk penduduk usia 0-14 tahun pada tahun 2015 mengalami penurun menjadi 27,3 persen, penduduk usia 15-64 tahun naik menjadi 67,3 persen, untuk penduduk usia 65+ juga meningkat menjadi 5,4 persen. Tetapi kondisi yang berbeda terjadi pada tahun 2020, dimana penduduk usia 0-14 tahun turun menjadi 26,1 sementara penduduk usia 15-64 tahun naik menjadi 67,7 persen dan penduduk usia 65+ naik menjadi 6,2 persen. Dari data pada tabel tersebut, menandakan bahwa Indonesia saat ini (2017) tengah mengalami bonus demografi.

Bonus demografi ditandai dengan banyaknya penduduk usia produktif, dalam hal ini jumlah ketersedian tenaga kerja cukup banyak. Berdasarkan data dari BPS mengenai jumlah angkatan kerja, bekerja dan penganggur, dari tahun 2013-2017 sebagai berikut: Tabel.2 Jumlah Angkatan Kerja, Bekerja dan Penganggur Tahun 2013-2017

34

Sumber: Data BPS diolah Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah angkatan kerja dari tahun ketahun rata-rata mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 (Agustus) jumlah angkatan kerja sebesar 120,17 juta orang, menjadi 131,55 juta orang angkatan kerja pada tahun 2017 (Februari). Dari jumlah angkatan kerja tersebut, menghasilkan tren angka pengangguran yang turun dari tahun ketahunnya, Agustus 2013 sebesar 7,41 juta orang, menjadi 7,01 juta orang pada Februari 2017. Dari uraian data tersebut dapat disimpulkan bahwa, semakin banyaknya jumlah angkatan kerja, tetap menghasilkan jumlah angka pengangguran. Dengan kata lain masih menyisakan beberapa juta orang angkatan kerja yang belum tertampung di dunia kerja.

Meskipun jumlah angka pengangguran mengalami penurunan khususnya bila dilihat dari tahun 2013 sampai dengan 2017 (7,41 juta orang menjadi 7,01 juta orang), kondisi ini tentunya tidak dapat dibiarkan begitu saja, tanpa adanya usaha dari pemerintah untuk dapat terus menciptakan iklim investasi yang baik. Jika pada jaman dahulu, memacu investasi selalu diidentikan dengan dibukanya sektor-sektor industri dalam berbagai bidang, rupanya kondisi tersebut tidak lagi berlaku untuk kondisi saat ini.

Era digital saat ini, ditandai dengan hampir semua kegiatan dapat dilakukan secara digital. Konsultasi psikologi, berobat kedokter, menonton film, membaca berita, survey konsumen atau riset pasar, pertemuan ilmiah, rapat kerja, transaksi perbankan dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut berhubungan dengan semua profesi, apakah seorang dosen atau guru, ustadz atau ustadzah, pastor atau pendeta, dokter atau psikologi, lawyer atau aktivis pembela HAM, pemain band atau penyanyi, anak sekolah atau karyawan. (Kasali, 2010:66). Dengan kemajuan teknologi secara tidak langsung menggiring pola pikir masyarakat, bahwa bekerja tidak selalu melakukan aktivitas di kantor atau pabrik. Melakukan aktivitas bekerja untuk saat ini, bisa mereka lakukan dimana saja, kapanpun, hanya dengan berbekal kecanggihan teknologi.

Jika dicermati, fenomena digital yang saat ini sedang berlangsung, hampir semuanya didominasi oleh anak-anak muda (usia produktif). yang jumlahnya saat ini lebih banyak dari

35 generasi lama (usia 65+). Fenomena hadirnya Go-Jek, Grab, Tokopedia, Traveloka dan lain- lain beberapa tahun terahkir ini, semikin menguatkan bahwa Indonesia saat ini tengah memasuki era digital (startup) Masyarakat begitu dimanjakan dengan berbagai kemudahan yang diberikan, sehingga semakin lama, masyarakat akan tergantung dengan keberadaan teknologi tersebut. Generasi lama selalu identik dengan penduduk yang sebagian besar sudah berumur (usia 65+), Tetapi rupanya generasi lama belum siap dengan adanya perubahan tersebut, sehingga memunculkan gesekan bahkan terjadinya tabrakan antara kedua generasi tersebut. (kasus taksi manual dengan taksi online). Di satu sisi, kehadiran teknologi dapat menjadi ancaman bagi manusia. Fenomena bergantinya metode pembayaran jalan tol dari mempergunakan tenaga manusia menjadi mempergunakan tenaga mesin (elektronik/digital) bisa menjadi contoh nyata dari efek negatif yang dihasilkan karena kemajuan teknologi. (Rhenald Kasali, Kompas, 18 Oktober 2017).

Bonus demografi yang saat ini tengah berlangsung, terjadi pada saat bersamaan dengan munculnya dunia digital yang lekat dengan pergaulan generasi saat ini, generasi Y. Generasi Y lahir dengan adanya perubahan teknologi dan era globalisasi yang sangat cepat, keperdulian terhadap teknologi baru sesuai dengan perkembangan dunia. Hal ini menyebabkan generasi Y akan aktif untuk mencoba hal-hal baru dalam bekerja, apabila perusahaan tempat dimana generasi Y bekerja tidak bisa memberikan wadah yang tepat bagi mereka yang cenderung memiliki ide-ide kreatif dan out of the box maka besar kemungkinan generasi Y akan merasa tidak nyaman dan tidak puas. Generasi Y cenderung tidak takut pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam perusahaan, hal ini dinilai sebagai hal yang positif karena generasi Y mampu menghadapi permasalahan yang timbul dalam bekerja, karena kebanyakan dari generasi Y adalah orang yang pintar dan handal. Hal ini mengakibatkan generasi Y akan melihat dari sudut pandang yang berbeda dari generasi sebelumnya. (Oktariani et al. 2017). Di satu kondisi, dunia digital dapat dipandang sebagai suatu peluang bagi generasi saat ini, di satu kondisi lainnya, adanya dunia digital dapat dipandang sebagai suatu bencana untuk generasi lama, generasi X.

Generasi X memiliki kecendurungan yang negatif yang biasanya tidak sebanding dengan generasi Y yaitu kurang nya kepedulian terhadap kemajuan teknologi sehingga generasi X akan dengan mudahnya dikalahkan oleh generasi Y yang cenderung memiliki ide- ide lebih inovatif dan bersifat global. Karena generasi X hanya akan mengikuti alur

36 perusahaan seperti biasanya dan takut pada perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi dan globalisasi. (Oktariani et al.2017)

Dua kondisi tersebut jika dianalogikan sebagai sebuah lempeng, lempeng pertama mewakili generasi saat ini, lempeng kedua mewakili generasi lama, jika setiap lempeng memiliki kekuatannya sendiri-sendiri (sama kuatnya), maka dapat dimungkinkan akan terjadi tubrukan yang mengakibatkan retakan atau celah (crack). Tumbukan atau tabrakan itu menimbulkan patahan atau suasana paradox, menimbulkan polarisasi antara kelompok “wait and see” (pesimisme dan sinisme) dan kelompok crackres yang “see and do” (optimisme dan optimisme). (Kasali, 2010:16). Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa adanya bonus demografi dalam era digital saat ini, menghasilkan dua kondisi yang berbeda..Adanya moment bonus demografi merupakan peluang pembangunan yang harus dimanfaatkan menjadi mesin pertumbuhan menuju target negara maju tahun 2045. Pemanfaatan bonus demografi tersebut dilakukan melalui pengembangan mutu modal manusia yang dapat memanfaatkan bonus demografi sebagai mesin pertumbuhan melalui peningkatan produktivitas , (Sri Djoko et al.120).

MASALAH Salah satu akibat dari bonus demografi adalah jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan usia penduduk non produktif. Banyaknya jumlah tenaga kerja yang siap bekerja belum tentu diimbangi oleh banyaknya lapangan pekerjaan. Pada saat yang sama, meskipun jumlah lapangan pekerjaan masih terbatas, banyak dari penduduk usia produktif saat ini menjadi pelaku-pelaku usaha dalam bentuk startup. Kehadiran startup disatu sisi memberikan kemudahan, disatu sisi dapat menjadi ancaman bagi pelaku usaha yang selama ini masih berfokus dengan cara-cara manual. Startup diwakili oleh generasi saat ini (usia muda), sementara cara kerja manual diwakili oleh generasi lama (penduduk menjelang usia non produktif). Startup adalah kelompok penganut “see and do”, sementara generasi lama penganut paham “wait and see”. Apabila kondisi demikian tidak disikapi dengan bijaksana, masing-masing pihak sama-sama akan terlibat konflik (retakan) dan dapat menjadi korban dari retakan yang ditimbulkan akibat tubrukan dua lempeng tersebut dalam bentuk mulai tersingkirnya tenaga kerja manusia oleh kehadiran teknologi, sehingga memunculkan gelombang pengangguran yang baru bagi Indonesia,

37

METODE Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian hermeneutika. Menurut Sugiyono (2013), penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Sedangkan, studi hermeneutika adalah pendekatan interpretasi untuk memahami teks (Prasad, 2002). Penelitian jenis hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan berbagai gejala, peristiwa, simbol, nilai yang terkandung dalam ungkapan bahasa atau kebudayaan lainnya yang muncul pada fenomena kehidupan manusia, sehingga tugas peneliti melakukan analisis untuk menangkap esensi makna yang terkandung dalam data tersebut (Kaelan, 2005). Dalam Sandberg (2005), sejak tiga dekade ketertarikan dalam pendekatan kualitatif berbasis penelitian interpretatif

KAJIAN LITERATUR Fenomena Bonus Demografi di Indonesia Bonus demografi adalah bonus atau peluang (window of opportunity) yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan. Di Indonesia fenomena ini terjadi karena proses transisi demografi yang berkembang sejak beberapa tahun lalu dipercepat oleh keberhasilan kita menurunkan tingkat fertilitas, meningkatkan kualitas kesehatan dan program-program pembangunan yang dijalankan, Sri Djoko et,all, hal.124. Selain itu, bonus demografi adalah suatu peningkatan laju pertumbuhan ekonomi yang disebabkan karena peningkatan persentase penduduk usia kerja. Negara-negara maju di Asia, seperti Singgapura, Korea Selatan, Hongkong , dan Jepang telah memanfaatkan jendela kesempatan ini untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonominya,(Indonesia Economic Outlook, 2010:51).

Secara historis, tanda-tanda munculnya fenomena bonus demografi di Indonesia dimulai pada awal 1990-an melalui keberhasilan program Keluarga Berencana (KB). Program KB ini dilakukan atas dasar logika developmentalisme dengan asumsi bahwa ketika populasi penduduk mengalami kelebihan kapasitas (overload), maka itu akan berimplikasi simetris dengan kemiskinan. Keberhasilan program-program tersebut selama tiga puluh tahun telah mampu menggeser anak-anak dan remaja berusia di bawah 15 tahun yang biasanya besar dan berat di bagian bawah dari piramida penduduk Indonesia ke bagian piramida dengan usia yang lebih tinggi yaitu di atas 15 tahun atau pada usia 15-64 tahun, (Wasisto Raharjo Jati.2010). 38

Tabel.3 Struktur Penduduk Indonesia

Sumber: BPS,2012:12 Merujuk pada data BPS tahun 2012, struktur penduduk Indonesia didominasi penduduk dewasa dan produktif dari segmen umur 25-64 tahun yang mencapai 52,63 persen, usia anak sekolah dari segmen 10- 24 tahun mencapai 29,39 persen, balita umur 0-5 tahun di kisaran 10,09 persen, dan lansia 65-75 + mencapai 7,16 persen. Dalam hal ini, bonus demografi pada gelombang pertama tahun 2010 hingga 2020 terjadi pada segmen penduduk produktif 52,63 persen yang menanggung 1 lansia per 100 penduduk maupun 5 balita per 100 penduduk. Tren positif mengenai bonus demografi sepertinya masih akan berlanjut tahun 2020-2030. Pada rentang waktu tersebut, beban ketergantungan penduduk usia anak-anak dan beban ketergantungan penduduk usia tua berada pada posisi paling optimal. Setelah tahun 2030 beban ketergantungan penduduk usia tua akan meningkat sehingga beban ketergantungan total akan naik kembali. Diperkirakan bonus yang dapat disumbangkan oleh penduduk usia kerja akan menjadi makin kecil karena harus menanggung beban ketergantungan penduduk usia tua yang jumlahnya akan makin membengkak. (Wasisto Raharjo Jati.2010).

Menurut guru besar demografi Universitas Indonesia Prof.Dr. Sri Moertiningsih Adioetomo, Indonesia sudah mendapat bonus demografi mulai tahun 2010 dan akan mencapai puncaknya sekitar tahun 2020 hingga 2030, (Sri Djoko et al.2015). Jika dicermati berdasarkan data BPS, kecenderungan penduduk usia produktif diprediksi selalu meningkat,

39 sementara penduduk usia non produktif ada kecenderungan menurun, artinya dengan semakin meningkatnya penduduk usia produktif, menuntut terjaminnya lapangan pekerjaan yang tersedia untuk penduduk usia produktif tersebut. Pada kenyataanya, jumlah lapangan kerja yang baru belum sebanding dengan banyaknya jumlah penduduk usia produktif.

Sejarah Startup di Indonesia Salah satu pakar dalam bidang kewirausahaan Stave G Blank mendefinisikan startup sebagai sebuah organisasi temporer yang dibentuk dengan tujuan untuk mencari model bisnis repeatabel dan scalable. Eric Ries (2011), (dalam Andi Saputra.2015), mencoba mengembangkan definisinya sendiri atas startup dan entrepreneur yang membedakan startup dengan usaha kecil lain, yakni: Startup adalah sebuah institusi yang diciptakan untuk membuat produk atau layanan baru dan inovatif dalam sebuah kondisi ketidakpastian yang tinggi. Setiap orang yang membuat produk atau layanan baru dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi adalah seorang entrepreneur, terlepas dari apakah dia bekerja sendiri, bekerja untuk perusahaan for-profit maupun organisasi non-profit

Istilah startup sendiri mulai popular secara internasional pada masa buble.dot-com. Fenomena buble dot-com adalah ketika pada periode tersebut (1998-2000) banyak perusahaan dot-com didirikan secara bersamaan. Pada masa itu sedang gencar-gencarnya perusahaan membuka website pribadinya. Makin banyak orang yang mengenal internet sebagai ladang baru untuk memulai bisnisnya. Dari waktu itu pula lah, startup lahir dan berkembang. Namun menurut Ronald Widha dari teman/macet.com, startup tidak hanya perusahaan baru yang bersentuhan dengan teknologi, dunia maya, aplikasi atau produk tetapi bisa juga mengenai jasa dan gerakan ekonomi rakyat akar rumput yang bisa mandiri tanpa bantuan korporasi-korporasi yang lebih besar dan mapan. Tech in Asia, 12 Juni 2017.

Kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi informasi memberikan pengaruh yang besar terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Pengaruh yang paling nyata terlihat pada perubahan mendasar terhadap cara orang melakukan transaksi, terutama dalam dunia bisnis. Salah satu hasil kemajuan teknologi informasi yang berkontribusi besar terhadap perubahan ini adalah internet. Internet adalah suatu jaringan yang dipasangkan dengan alat komunikasi sehingga kita bisa berinteraksi dimanapun dan kapanpun. Dengan adanya internet, cara perusahaan melakukan transaksi berubah, dari cara lama yang prosesnya mengorbankan waktu dan biaya yang besar menjadi proses yang lebih cepat dan lebih mudah. Rifaldi dkk (2016). 40

Startup di Indonesia pertama kali muncul pada tahun 2007 yaitu Indowebster, yang menyediakan platform untuk berbagai file baik audio, video, maupun dokumen dimana pada tahun itu akses internet masih sulit, mahal dan lambat. Indowebster mengakui bahwa mereka membuat platform berbagi file itu terinspirasi dari website berbagi file seperti Rapidshare, Photobucket dan YouTube. Merdeka.com. Setelah itu muncul startup-startup lainnya di Indonesia. Tabel.4 Daftar Startup Asal Indonesia

Sumber: iprice, diolah Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa fenomena startup di Indonesia sudah berkembang dengan pesat, dan sudah menjangkau berbagai bidang usaha, dan rata-rata para pelakunya adalah penduduk usia produktif (usia muda). Fenomena diatas semakin menegaskan pandangan bahwa, untuk menampung ribuan tenaga kerja produktif tidak identik dengan harus membuka lapangan pekerjaan secara fisik, tetapi cukup dengan teknologi internet, maka siapapun dapat melakukan usaha dari manapun, kapanpun secara realtime. Bed news dan Good news Teknologi, Pertarungan Generasi Saat Ini dengan Generasi Lama

Perlahan-lahan teknologi menggantikan tenaga manusia (Rhenald Kasali, Kompas, 18 Oktober 2017). Di satu sisi teknologi mempermudah pekerjaan manusia, disisi lainnya, teknologi justru akan mengancam tenaga kerja manusia itu sendiri. Di satu sisi teknologi merupakan suatu peluang bagi sebagaian penduduk usia produktif yang sampai dengan saat ini belum bekerja di sektor informal untuk dapat bekerja. Tetapi disatu sisi lainnya, kehadiran teknologi justru menggusur posisi mereka sebagai pekerja disektor formal dan informal. Contoh nyata konflik yang terjadi antara operator transportasi online (Go-Jek,Grab, Uber) dengan operator transportasi manual, digantikkannya pembayaran gerbang tol oleh teknologi pembayaran cash. Kejadian-kejadian tersebut adalah contoh nyata, bagaimana kehadiran

41 teknologi jika dianalogikan bagai dua sisi mata uang yang saling bertolak belakang, tetapi tanpa adanya mata uang, maka tidak ada roda perekonomian yang berputar.

Sebelum hadirnya teknologi, sistem tradisional telah ada terlebih dahulu. Tetapi seiring dengan perkembangan jaman, sistem manual dirasakan tidak lagi bisa mengikuti perkembangan dunia usaha yang semakin cepat berputarnya, karena terbatasnya ruang, waktu dan banyaknya biaya yang harus dikeluarkan. Karena sistem manual sudah ada sejak dulu, maka tidak mengherankan jika hampir semua usaha yang berbasis manual dikuasai oleh penduduk-penduduk yang lahir pada jaman dulu, yang saat ini sedang akan memasuki masa usia non produktif. Teknologi, bukannya tidak ada sejak dulu, tetapi, teknologi selalu bertransformasi mengikuti perkembangan jaman, dan mulai menunjukkan hasilnya di saat ini. Sehingga tidak mengherankan jika hampir semua palaku usaha yang berbasis teknologi dikuasai oleh mereka yang saat ini memasuki usia produktif. Sebut saja Willian Tanuwijaya dengan Tokopedianya, Nadiem Makarim dengan Go-Jeknya, dan pelaku usaha startup lainnya.

Masing-masing generasi mempunyai opini yang berbeda beda terhadap generasinya dan pada ahkirnya kedua generasi tersebut sama-sama memposisikan dirinya sebagai yang paling baik (kuat). Generasi lama memposisikan dirinya sebagai generasi yang sudah mapan, cukup puas dengan apa yang sekarang ini telah dikerjakan. Sementara generasi baru adalah generasi yang serba terbuka, cepat, generasi yang berusaha untuk menerobos kenyamanan dari generasi lama, generasi yang identik dengan minimnya inovasi, pelayanan, kualitas terhadap produk yang mereka hasilkan. Generasi lama tidak siap dengan perubahan, dan ketika perubahan itu datang, mereka berusaha mencari suatu pembenaran, seolah-olah teknologi merupakan sesuatu yang berbahaya dan diharamkan oleh mereka (generasi lama). Namun jika kita cermati, manusia juga menggunakan teknologi untuk menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya. Disini dapat dilihat penggunaan robot untuk memasuki rumah yang dikuasi teroris dan memadamkan api, tenaga-tenaga kerja yang bertugas di pintu tol akan digantikan dengan mesin. Pekerjaan di pintu-pintu tol semakin hari memang semakin berbahaya, baik bagi kesehatan (asap karbon kendaraan), keamanan maupun kenyamaan (tak dilengkapi toilet), sehingga memindahkan mereka ke control room atau pekerjaan lain tentu lebih manusiawi. Teknologi juga menggantikan jarak sehingga pusat-pusat belanja yang ramai dan macet tiba-tiba sepi karena konsumen memilih belanja dari genggaman tangannya dan barangnya “datang sendiri”. (Rhenald Kasali, Kompas, 18 Oktober 2017). Bagi generasi 42 lama, fenomena-fenomena tersebut dianggap sebagai sesuatu yang akan dapat mengancam eksistensi mereka di dunia kerja. Artinya kehadiran teknologi bisa dianggap sebagai bad news dan good news

Fenomena Crackers Menurut Kasali, Indonesia baru ditandai dengan bad news dan good news. Serangkaian bad news sudah anda kenali simptomnya. Rontoknya kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum, meluasnya perilaku korup, birokrasi yang lamban, lalu lintas yang amburadul, buruknya infrastruktur, rangkaian peristiwa bencana alam tanpa respons penangan yang cepat, dan memudarnya sopan santun serta kemampuan berbicara arif di kalangan para pejabat dan tokoh publik. Tetapi marilah kita akui juga keberadaan good news. Ekonomi yang bergerak, gaji guru meningkat empat kali lipat, gairah kewirausahaan, pendapatan per kapita menyentuh US$3.000, maraknya jejaring sosial dengan 180 juta ponsel, menguatnya sistem demokrasi, tumbuhnya kesadaran-kesadaran baru dan kepedulian sosial, serta partisipasi luas masyarakat dalam berbagai kegiatan sosial-ekonomi. (Kasali, 2010:16).

Diskripsi diatas jika dianalogikan sebagai bad news dan good news dalam era digital dapat dirangkum seperti tabel 5 dibawah ini:

Tabel.5 Bad News dan Good News Teknologi Bad news Good news 1. Transportasi online Vs 1. Transportasi online Vs manual: manual: Menciptakan lapangan pekerjaan Pendapatan sopir transportasi, yang baru, memberikan rasa aman angkot, ojek berkurang bagi penumpang, armada yang semenjak hadirnya aplikasi bersih dan terawat, serta biaya transportasi online, karena yang jelas dan terukur. kondisi armada yang kurang terawat dengan baik, perilaku mengemudi yang buruk, biaya yang kurang terukur

43

2. Belanja online Vs manual: 2. Belanja online Vs Transportasi Toko-toko retail mulai sepi, manual: otomatis berdampak pada Menciptakan lapangan pekerjaan jumlah personal yang yang baru, bagi pelaku usaha dipindahkan ke bidang mandiri, kondisi jalan yang tidak pekerjaan yang lain, atau di ramai, atau macet karena banyak berhentikan. konsumen yang lebih memilih belanja di rumah 3. Penerbit manual 3. Penerbit Mandiri: (tradisional): Menciptakan penulis-penulis Penerbit buku akan berkurang mandiri, yang hasil karya mereka penulisnya, berdampak pada segara dapat dinikmati oleh jumlah buku yang akan konsumen (pembaca), tanpa harus diterbitkan menunggu proses editing dari pihak editor penerbit buku 4. Kasir manual (gerbang tol) 4. Kasir otomatis (gerbang tol) Dipindahnya personel ke Melindungi operator dari bahaya control room atau diberikan karbon kendaraan, dehidrasi dan pekerjaan dibidang lain, atau di dampak kesehatan lainnya karena berhentikan tidak tersedianya toilet, antrian kendaraan tidak panjang, sehingga kemacetan di jalan tol dapat diminimalisir Dari berbagai sumber dioleh Bagi generasi lama, fenomena seperti yang terangkum pada tabel 5 diatas dianggap sebagai bencana (bad news) bagi mereka, karena jelas dengan kehadiran teknologi akan mengancam pekerjaan mereka yang selama ini telah mereka jalani, sehingga ketika iklim perubahan datang, mereka seolah-olah menyalahkan keadaan (teknologi). Mereka bertahan dengan sistem lama atas nama kemanusian. Tetapi dari good news yang muncul karena adanya teknologi, justru semakin hari semakin kuat keberadaannya, karena secara tidak langsung, kehadiran teknologi justru memberikan lapangan pekerjaan yang baru, baik dari penduduk yang belum bekerja, maupun penduduk yang tadinya bekerja. Karena bad news dan good news sama kuatnya, terjadilah tumbukan antara keduanya. Tumbukan atau tabrakan

44 itu menimbulkan patahan atau suasana paradox, menimbulkan polarisasi antara kelompok “wait and see” dan kelompok crackres yang “see and do”. Antara pesimisme-sinisme dan optimisme-positivisme

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bonus Demografi di Era Digital, Generasi X vs Generasi Y Bonus demografi yang saat ini sedang terjadi bertepatan dengan munculnya era digital di Indonesia. Bonus demografi merupakan efek positif dari keberhasilan program KB beberapa tahun yang lalu yang mengakibatkan jumlah tenaga kerja produktif di Indonesia lebih banyak dari tenaga kerja usai menjelang pensiun. Era digital identik dengan teknologi digital dengan sendirinya melahirkan generasi digital. Cara pandang dan perilaku mereka benar-benar berbeda dengan generasi antara, yang dikenal dengan istilah digital migrant atau pendatang yang baru berkenalan dengan komputer setelah memasuki dunia kerja, dan agak terlambat mempelajari internet. Digital migrant bisa cepat beradaptasi dengan dunia digital, tetapi fondasi mereka agak berbeda, dan sedikit rapuh. Masih banyak bertanya dan agak bingung di belantara maya. (Kasali, 2010:77). Digital migrant mayoritas dihuni oleh penduduk dengan usia menjelang pensiun (generasi lama). Generasi digital atau native digital (gen Y) ini melanglang buana di dunia maya, bermain dengan monster-monster digital yang digerakan rekan-rekan mereka dari penjuru dunia dalam bentuk game digital atau online games. Mereka berburu teman, memamerkan talenta digital, berpacaran, bergaul, membentuk komunitas, mengeluh, dan berbelanja di belantara dunia maya. Mereka kenal betul teknologi ini beserta seluruh selebritinya sehingga sulit untuk kesasasr. Kasali, hal 77. Generasi digital mayoritas dihuni oleh penduduk usia produktif (generasi baru).

Sebagian karakter dunia digital bertolak belakang dengan karakter para pendatang digital. Para pendatang digital (digital migrant), (gen X) itu menulis kisah ceritanya di buku harian sebagai buku pribadi yang disimpan rapat-rapat dan diberi kunci khusus. Sebaliknya generasi digital menulisnya secara terbuka di blog yang mereka buat agar dibaca banyak orang. Kasali, hal 77. Generasi digital terbiasa bersentuhan dengan teknologi setiap saat, tanpa disadari melahirkan karakter-karakter baru, diantaranya multitasking, dan partisipatif, membentuk jejaring sosial baru yang membentuk entrepreneurship baru. (Kasali, 2010:64).

45

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Jika dicermati lebih dalam, kehadiran bonus demografi saat ini bisa diumpamakan sebagai dua lempeng yang mempunyai kesempatan besar untuk saling bersinggungan atau benturan. Crack berarti celah, patahan, letusan, atau kerak. Cracking zone dilakukan oleh orang-orang yang melihat celah, Celah, patahan terjadi akibat adanya perubahan lempeng atau tabrakan dari dua lempeng. Ada sekelompok orang yang mampu melihat kesempatan itu, memanfaatkannya dan berhasil menerobos celah itu. Namun sebagian besar lainnya yang menganut asas wait and see tidak melihat celah itu, sehingga tetap berada di zona yang lama. Kasali, hal.20. Crack dalam penulisan ini dapat diartikan sebagai tubrukan atau tabrakan dari dua lempeng atau generasi atau era. Dua lempeng tersebut dapat mewakili tubrukan antara generasi dan antar jamannya (eranya).

Diperlukan Cracker Bukan Leader Ketika muncul retakan-retakan, maka dibutuhkan seseorang yang mampu memperbaharui industri (dalam hal ini gen Y dan dunia digital), mereka adalah crackers, bintang di abad ke-21. Jurus-jurus yang dipegangnya berada setingkat atau dua tingkat diatas leader. Dialah orang yang dibutuhkan untuk menjelajahi creaking zone, (Kasali, 2010:278).

46

Fenomena berbenturnya dua generasi pada era digital di masa bonus demografi bisa dikatakan sebagai sebuah fenomena crackers yang sedang terjadi. Munculnya konflik transportasi manual dan transportasi online, munculnya perubahan pembayaran gerbang tol, dari manual ke otomatis dan fenomena-fenomena digital lainnya, bagaikan sebuah retakan akibat dari terbenturnya dua lempeng tersebut, yang apabila tidak segara dicarikan solusi pemecahannya, maka secara lambat namun pasti akan membuat era bonus demografi ini sebagai bencana. Bukan sebagai suatu peluang. Tidak bisa dipungkiri, kehadiran dunia online saat ini, dirasakan sebagai sebuah peluang yang sangat menjanjikan bagi beberapa orang (perwakilan generasi muda saat ini). Tetapi di satu sisi dianggap sebagai sebuah ancaman, bagi generasi sebelumnya, yang telah nyaman dengan kondisi sebelumnya. Bagi dunia usaha/industri, fenomena digital sangat dirasakan besar manfaatnya, untuk menunjang kelancaran proses produksi atau aktivitas opresional dunia industri tersebut. Namun lagi-lagi di satu sisi, berapa banyak karyawan (petugas pembayaran tol) yang harus kehilangan pekerjaannya? Pada kondisi demikian, yang dibutuhkan adalah hadirnya sosok cracker yang mampu mengubah haluan, “pemimpin bergerak mengubah halauan, mengajak “umatnya” keluar dari belengu-belengu lama”, (Kasali, 2010:280).

Pendidikan Karakter Pendidikan yang dibutuhkan sekarang adalah pendidikan yang sengaja didesain untuk menjadikan manusia sebagai sentral bagi perubahan sosial, bahkan mampu mengarahkan dan mengendalikan perubahan itu (Faisal R. Dongoran. 2014). Pendidikan yang dapat menjadikan manusia sebagai sentral bagi perubahan adalah pendidikan yang tidak hanya mengedepankan faktor pengetahuan saja. Pendidikan yang selama ini telah diterapkan adalah pendidikan yang berbasis pada penguasaan pengetahuan. Pendidikan yang lebih mengedepankan faktor nilai yang nantinya akan dicantumkan di ijazah atau transkrip nilai. Akibatnya, secara tidak langsung akan membentuk mindset bahwa dengan pendidikan, nilai yang bagus, akan memudahkan mereka untuk segera mendapatkan pekerjaan, yang ahkirnya akan membawa mereka untuk memiliki mental pegawai. Mentalitas pegawai, menghasilkan karakter yang mudah menyerah apabila dihadapkan pada kondisi jaman yang sudah berubah. Oleh karena itu diperlukan pendidikan yang mengedepankan karakter sebagai pilar utama disamping penguasaan terhadap pengetahuan.

Menurut Rahardjo, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu proses pendidikan secara holistis yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan 47 peserta didik sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan.(Diana Vidya F.2017). Perguruan Tinggi sebagai tempat untuk menghasilkan tenaga kerja produktif yang siap pakai di dunia kerja hendaknya bisa digunakan sebagai tempat untuk memberikan pendidikan karakter pada mahasiswa-mahasiswanya dalam bentuk kurikukum yang bersifat market oriented. Kurikulum didesaian dengan mengakomodir apa yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja (dunia kerja). Merubah mindset mahasiswa dengan memberikan kurikulum yang berbasis kewirausahaan. Dengan berbasis kewirausahaan, maka menuntut mahasiswa untuk bisa beradaptasi dengan kondisi yang ada. Salah satu karakter yang dimiliki seorang wirausahawan (entrepreneur) adalah selalu berorientasi pada tindakan. Karakter ini harus ada untuk dapat memenuhi pengertian yang dikemukakan oleh Soegoto (2009) yang menyatakan bahwa kewirausahaan (entrepreneurship) adalah proses yang kreatif yang dilandasi inovasi untuk menghasilkan sesuatu yang baru, memiliki nilai tambah, memberi manfaat, dan mendatangkan nilai tambah baik bagi dirinya maupun orang lain (Meiryani,et al. 2016) Pendidikan yang melatih kesadaran kritis sikap yang kritis dan toleran, akan merangsang tumbuhnya kepekaan sosial dan rasa keadilan. Oleh karena itu diharapkan bisa mengatasi kemelut sosial, budaya, politik dan ekonomi bangsa ini. (Regina Ade Darman. 2017). Pengembangan perilaku dalam memandang konsep kewirausahaan dan kemampuan karakter untuk berwirausaha dapat dimulai dari jenjang perkuliahan. Jenjang ini dipandang sebagai periode dan lingkungan dimana individu dapat lebih mengenal konsep kewirausahan, baik secara teoritis maupun praktis. Institusi pendidikan seperti universitas dapat menjadi tempat yang mendukung individu dalam mengembangkan ketertarikannya dalam berwirausaha (Otuya, Kibas, Gichira, & Martin, 2013) dalam Mempersiapkan mahasiswa untuk siap bekerja, meskipun belum atau tidak tertampung di dunia kerja.

Peran entrepreneur/wirausahawan sebagai aktivis berarti berorientasi pada penciptaan nilai, identifikasi, dan pengembangan untuk menangkap peluang bisnis yang baru. Wirausahawan mencoba memperoleh keunggulan kompetitif untuk mengembangkan bisnisnya. Sedangkan peran Peran entrepreneur/wirausahawan sebagai katalis berarti berorientasi pada inovasi, dengan berani mengambil resiko serta pembelajaran terus menerus demi pencapaian inovasi tersebut. (Ati Cahayani 2016). Kondisi diatas menuntut mahasiswa untuk memiliki sikap see and do, dan selalu optimis (cracker) untuk dapat memperbaharui wajah industri.

48

Tempatkan diri pada krisis Mahasiswa mahasiswa asal China yang mengambil program doktor di Amerika sekitar tahun 1990-an, tak lama setelah China membuka diri. Mereka berangkat sekolah ke Amerika Serikat dengan keadaan yang pas-pasan. Uang ditangan sekitar US$ 1,000, berbeda dengan keadaan ekonomi mahasiswa Indonesia yang rata-rata berangkat dengan uang sekitar US$25,000, mahasiswa-mahasiswa asal China tersebut tinggal di apartemen sederhana (unfurnished) yang dijejali oleh banyak orang. Sementara mahasiswa Indonesia datang bersama keluarga dan punya mobil sendiri. Saat itu, puluhan ribu mahasiswa asal China memilih pergi keluar dan berani hidup dalam krisis tanpa bahasa inggris yang memadai. Mereka terjun ke dalam yang berbahaya. Kemungkinan untuk berhasil dalam program doktor yang kompetitif sangat rendah. Namun beberapa tahun kemudian, mereka sudah menjadi peneliti senior yang dihormati, tinggal diapartemen modern dan bahkan, bukan Cuma anak-istri yang dibawa tinggal di Amerika Serikat, lelulur mereka (kakek dan nenek) pun ikut menemani. Sementara putra-putri Indonesia yang datang lebih siap dan lebih sejahtera, justru banyak yang mengalami kegagalan. Mereka kalah bersaing. (Kasali, 2010:335).

Banyak orang yang membenci krisis. Bagi mereka, krisis identik dengan keadaan yang serba terbatas, harus bekerja lebih keras, meninggalkan hobi-hobi mereka, meninggalkan waktu kebersamaan bersama keluarga. Krisis identik dengan pandangan sinis masyarakat disekitar kita, yang siapapun pasti akan berusaha untuk segera keluar dari zona tidak nyaman tersebut. Mereka berlomba-lomba untuk segera mencari zona nyamannya masing-masing. Pada kenyataannya zona nyaman tersebut justru menjadikan mereka sebagai pribadi yang kalah bersaing, sebagai pribadi yang justru berada pada level paling bawah. Karena zona nyaman identik dengan kehidupan tanpa inovasi, tanpa kerja keras dan kehidupan yang menoton, sudah cukup pusa dengan keadaan saat ini. Namun belajar dari dua kasus tersebut diatas, bahwa selalu menempatkan diri pada situasi krisis (zona tidak nyaman), cara ini ternyata efektif untuk memunculkan sifat cracking pada diri manusia tersebut.

KESIMPULAN “Business is dynamic”, dengan mencermati kalimat tersebut kita melihat bahwa lingkungan bisnis selalu berubah. Perubahan lingkungan bisnis baik secara internal maupun eksternal secara langsung menuntut organisasi untuk siap dengan strateginya agar tetap menjaga keberlangsungan aktivitasnya. Organisasi yang berorientasi pada laba maupun yang 49 tidak sama-sama dituntut untuk beradaptasi dengan lingkungan bisnis yang dinamis. Peter Drucker mengatakan: “The greatest danger in times of turbulence is not the turbulence itself, it’s to act with yesterday’s logic”. Organisasi yang tidak siap untuk berubah sama saja bersiap untuk kalah dari kompetisi bahkan gulung tikar menjadi ancaman paling ekstrim. (Imanuel Rivando Lakatua 2016). Perusahaan saat ini dituntut untuk berubah. Dan kadang perubahan tersebut akan mempunyai dampak negatif bagi Sumber Daya Manusia yang terlibat didalam perusahaan.

Orang-orang bodoh sering beranggapan bahwa musuh terbesarnya berada di luar dan mereka membangun benteng-benteng tinggi untuk menghalaunya. Kasali, hal 333 (fenomena taxi konvensional dan online, toko retail dan online). Crackers yang pintar justru berpikir sebaliknya. Ancaman terbesar itu justru ada di dalam, dirumahnya sendiri. Cracker bisa muncul jika (1) dalam diri setiap manusia selalu mengkondisikan pada kondisi krisis (keluar dari zona nyaman), (2) pendidikan karakter baik sejak usia dini, maupun ketika berada pada bangku kuliah (Pergurun Tinggi), kurikulum based learning (pembelajaran terus menerus) .

Dalam menyambut era bonus demografi, kemajuan teknologi (dunia digital) merupakan salah satu aspek terpenting dalam upaya menampung jumlah penduduk usia produktif yang saat ini lebih banyak dibandingkan penduduk usia non produktif. Pada era digital, dimungkinkan akan banyak bermunculan bisnis-bisnis aplikasi berbasis teknologi, yang tidak menuntut pemerintah untuk membuka lapangan pekerjaan yang baru, karena siapapun, dimanapun dan kapanpun setiap penduduk di Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk berusaha (berwirausaha). Perusahaan startup dapat memberikan kesempatan bekerja bagi pihak lainnya, bukan hanya untuk personel-personel didalam startup itu sendiri, karena startup ditunjang oleh bagian-bagian lain yang saling terhubung, yang kesemuanya itu masih memerlukan penduduk usia kerja untuk dapat mendukung kelangsungan hidup keberadaan perusahaan-perusahaan startup dikemudian hari. Sehingga fenomena bonus demografi pada saat ini dipandang sebagai suatu kesempatan bagi perekonomian Indonesia agar lebih maju dan berkembang, dapat bersaing dengan negara-negara lainnya.

50

DAFTAR PUSTAKA A. Cahyani (2016). Analisis Kualitatif Tinjauan Kepemimpinan Wurausaha Pada Wirausaha Muda Di DKI Jakarta, Prosiding, Seminar Nasional Kewirausahaan & Inovasi Bisnis VI, Universitas Tarumanagara, ISSN 2089-1040, 2016

Badan Pusat Statistik, 2013, “Analisis Statistik Sosial, Bonus Demografi Dan Pertumbuhan Ekonomi”. Jakarta: Badan Pusat Statistik

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, United Nation Population Fund, 2013, “Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035”. Jakarta: Badan Pusat Statistik

D.V Fakhriyani (2017). Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Sebagai Salah Satu Jawaban Dalam Mempersiapkan Generasi Muda Untuk Menggapai Bonus Demografi. Didaktika, Jurnal Pemikiran Penelitian dan Sains, Universitas Islam Madura, ISSN 2337-9820 (cetak), Issn 2579-8464 (online), Vol.1, No.1 2017

F.R Dongoran (2014). Paradigma Membangun Generasi Emas 2015 Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan. Jurnal TABULARASA, Universitas Negeri Medan, ISSN 1693- 7732 (cetak), Issn 2502-7247 (online), Vol.11, No.1 2014

Iprice [online] https://iprice.co.id/trend/insights/daftar-lengkap-pendiri-startup-indonesia/ 26 Juli 2017)

I.R Lakatua (2015). Studi Hermeneutika Tipe Kepemimpinan Emirsyah Satar Di PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. AGORA, Jurnal Manajemen Bisnis, Universitas Kristen Petra, Vol 4 no.1 2016

Joko Sri et,all (2015). Mobilitas Penduduk Dan Bonus Demografi: Unpad Press

Kasali,R. (2010). Cracking Zone: Gramedia Pustaka Utama.

Kaelan. (2005).Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat: Yogyakarta Alfabeta Bandung

Kompas.Com[online]http://ekonomi.kompas.com/read/2017/10/18/060000426/inilah- pekerjaan-yang-akan-hilang-akibat-disruption (18 Oktober 2017)

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (2010). Jakarta, Grasindo

Maxmanroe.Com.[online],https://www.maxmanroe.com/apa-itustartup.html (di akses tanggal 17 November 2017)

M Christian (2014). Pengaruh Faktor Perilaku Pada Kelompk Millineal Terhadap Keinginan Untuk Berwirausaha. Journal of Business & Applied Management, Universitas Bunda Mulia, ISSN 1907-0896 (online), Vol.2, No.2 2014

Meiryani et al (2016). Pengaruh Collaborative dan Project Based Learning Dalam Pendidikan Kewirausahaan Terhadap Sikap Berorientasi Pada Tindakan (Studi Pada Mahasiswa S1 Akuntansi Universitas Widyatama Bandung, Prosiding, Seminar 51

Nasional Kewirausahaan & Inovasi Bisnis VI, Universitas Tarumanagara, ISSN 2089- 1040, 2016

Prasad, A (2002). The Contest Over Meaning: Hermeneutics as an Interpretive Methodology for Understanding Texts. Organizational Research Method Vol.5 No.1

Oktariani et al (2017). Kepuasan Kerja Generasi X Dan Generasi Y Terhadap Komitmen Kerja Di Bank Mandiri Palembang. Jurnal Aplikasi Bisnis Dan Manajemen , ISSN 2528-5149 (cetak), Issn 2460-7819 (online), Vol.3, No.1 2017

R.A Darman (2017). Mempersiapakan Generasi Emas Indonesia Tahun 2045 Melalui Pendidikan Berkualitas. Jurnal Edik Informatika, STKIP PGRI Sumatera Barat, ISSN 2407-0941 (cetak), Issn 2541-3716 (online), Vol.3, No.2 2017

Rifaldi et,all (2016). Pengaruh Kualitas Pelayanan Transportasi Online Gojek Terhadap Kepuasan Pelanggan Pada Mahasiswa/I Administrasi Niaga Politeknik Negeri Jakarta, ISSN 1693-1653 (cetak), Issn 2407-909X (online), Vol.13, No.2 Oktober 2016

Sandberg, J. (2005). How Do We Justify Knowledge Produced Within Interpretive Approaches? Organizational Research Methods 2005 8:41

Saputra Andi (2015). Peran Inkubator Bisnis dalam Mengembangkan Digital Startup Lokal di Indonesia. CALYPTRA, Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Universitas , ISSN 2302-8203 (online).

Sugiyono. (2013).Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D: Alfabeta Bandung

Tech in Asia [online] https://id.techinasia.com/bukaloka-bantu-umkm-berjualan-dan-miliki- toko-online-sendiri(12 Juni 2017)

W.R Jati (2015). Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi:Jendela Peluang Atau Bencana Di Indonesia. Populasi, Jurnal Kependudukan dan Kebijakan, ISSN 0853-6202 (cetak), Issn 2476-941X (online), Vol.23, No.1 2015

52

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ADAT PERTUNANGAN DAN PERKAWINAN PADA MASYARAKAT DESA LONGOS KECAMATAN GAPURA KABUPATEN SUMENEP

Theadora Rahmawati Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected], 081804174178

Abstrak: Persoalan umur dalam syarat administratif perkawinan ialah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Ketika sebuah perkawinan tidak memenuhi syarat administratif, maka akan bertentangan dengan peraturan pemerintah sehingga perlu suatu upaya sebagai solusi. Seperti pelaksanaan pertunangan dan perkawinan masyarakat Desa Longos, Kec. Gapura Sumenep, terjadi ketika keduanya masih dibawah umur dan ketika sepakat maka dilangsungkan perkawinan dengan diarak keliling kampung sebagai tanda bahwa diantara mereka telah terjalin suatu ikatan. Tetapi, mereka tidak berkumpul karena masih melanjutkan sekolah. Setelah pihak perempuan siap dan kedua keluarga masih sepakat, mereka akan berkumpul dalam satu rumah dengan akad baru akan tetapi tidak adanya pesta resepsi karena telah diselenggarakan sebelumnya. Beberapa rumusan masalah (1) bagaimana masyarakat Desa Longos memaknai pertunangan dan perkawinan adat tersebut (2) faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya pertunangan dan perkawinan adat (3) bagaimana pandangan hukum Islam atas praktek pertunangan dan perkawinan adat setempat.Dalam menganalisa digunakan metode penelitian lapangan bersifat deskriptif untuk menggambarkan secara sistematik tentang pelaksanaan dan pandangan masyarakat tentang adat tradisi tersebut serta faktor yang melatarbelakangi terjadinya pertunangan dan perkawinan adat tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian masyarakat menganggap pertunangan dan perkawinan yang dilakukan sampai saat ini merupakan solusi yang efektif dalam menjaga dari pergaulan yang negatif, tetapi ada pula yang menjadikan perkawinan sebuah ladang bisnis demi tujuan tertentu. Faktor yang melatarbelakangi tindakan tersebut, (1) agama untuk menjaga kehormatan (2) ekonomi untuk mengambil keuntungan, ( 3) tradisi sebagai suatu kebiasaan yang memang dipatuhi oleh masyarakat dengan istilah mencari besan. Adapun faktor eksternal karena kurangnya sosialisasi dari aparat yang terkait sehingga tingkat kedisiplinan dalam mematuhi aturan pemerintah yang berlaku rentan terjadi pelanggaran. Dalam perspektif hukum positif, hal tersebut bertentangan dengan UU Perkawinan. Menurut syari’at hukumnya sah baik dalam pertunangan maupun perkawinan. Kata kunci: pertunangan, perkawinan, adat

PENDAHULUAN Peminangan merupakan sebuah istilah dalam masyarakat Indonesia yang berarti bahwa seorang laki-laki telah terikat janji dengan seorang perempuan yang akan dinikahi tepat pada waktunya. Peminangan dalam istilah fikih disebut khiṭbah yang mempunyai arti menyatakan permintaan untuk perjodohan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan

53 baik secara langsung maupun melalui perantara seseorang yang dapat dipercaya (Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, 2004: 72).

KHI mengatur tentang peminangan dalam pasal 1(a) yang memuat pengertian peminangan, pasal 11 mengatur tentang pihak yang melakukan peminangan, yaitu peminangan dapat dilakukan langsung oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya, pasal 12 Tentang perempuan yang boleh dan tidak boleh dipinang dan pasal 13 akibat hukum peminangan.Pelaksanaan perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Longos sama halnya dengan perkawinan sirri yang mana perkawinan tersebut tidak dicatatkan karena ada beberapa hal. Salah satunya karena usia dari salah satu mempelai atau kedua-duanya tidak mencukupi syarat administrasi perkawinan.

Di zaman yang modern saat ini tidaklah cukup untuk menggeser adat yang berlaku selama puluhan tahun di Desa Longos Kecamatan Gapura walaupun para sarjana telah banyak di desa tersebut. Pelaksanaan perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Longos sama halnya dengan perkawinan sirri yang mana perkawinan tersebut tidak dicatatkan karena ada beberapa hal. Salah satunya karena usia dari salah satu mempelai atau kedua-duanya tidak mencukupi syarat administrasi perkawinan. Praktek yang dilakukan masyarakat Desa Longos, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep ialah melaksanakan pertunangan ketika mereka masih usia sekolah dasar yaitu sekitar umur 10-12 tahun dan diarak keliling kampung sebagai tanda bahwa di antara mereka telah terjalin ikatan. Kemudian, tak jarang mereka dinikahkaan pada usia masih anak-anak secara sirri, akan tetapi mereka tidak berkumpul karena melanjutkan sekolah terlebih dahulu. Setelah keduanya balig dan kedua keluarga sepakat, maka dilangsungkanlah akad nikah baru dihadapan KUA.

Adanya pertunangan dan perkawinan yang dilakukan oleh mereka (pihak-pihak) yang belum cukup usia dan bukan kehendak atau disepakati oleh keduanya seperti kasus di Desa Longos, salah satu yang menjadi titik permasalahan disini ialah mengenai syarat-syarat perkawinan khususnya bagi mempelai. Syarat perkawinan ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan. Ketika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perkawinan dianggap tidak sah. (Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, 2008:215). Berangkat dari beberapa permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan batasan masalah sebagai berikut: 54

1. Bagaimana masyarakat Desa Longos memaknai adanya pelaksanaan pertunangan dan perkawinan adat masyarakat Desa Longos, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep ? 2. Apa faktor yang melatarbelakangi pelaksanaan pertunangan dan perkawinan masyarakat Desa Longos, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep ? 3. Bagaimana tinjauan hukum Islam mengenai khiṭbah dan perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Longos, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep ? Dalam mencari titik permasalahan diatas digunakan cara observasi (Mas Tarmudi, 2016) dan interview (Lexy J. Moleong, 2006: 186-187) kepada pelaku pertunangan dan perkawinan adat, tokoh masyarakat, sekretaris Desa Longos, Mudin Desa Longos, untuk mengetahui latar belakang dan dampak dari terjadinya pertunangan dan perkawinan adat.

PEMBAHASAN A. Lingkup Dan Budaya Masyarakat Desa Longos Jumlah penduduk Desa Longos 4.971 jiwa dengan jumlah KK 1.647yang terdiri dari jumlah penduduk laki-laki 2.370 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 2.601 jiwa. Tabel 1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia No. Usia Jumlah 1. 0-12 tahun 71 orang 2. 1-4 tahun 363 orang 3. 5-6 tahun 141 orang 4. 7-12 tahun 392 orang 5. 13-15 tahun 215 orang 6. 16-18 tahun 215 orang 7. 19-25 tahun 464 orang 8. 26-35 tahun 629 orang 9. 36-45 tahun 686 orang 9. 46-50 tahun 352 orang 10. Di atas 50 tahun 1544 orang Sumber: wawancara dengan sekretaris Desa Longos, pada hari Selasa, tanggal 11 Oktober 2016, pukul 10.00.

55

Tabel 2 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan No. Tingkat Pendidikan Jumlah

1...... SD ...... 1.002 orang...... 2...... SLTP ...... 124 orang...... 3...... SLTA ...... 84 orang...... 4...... D1/D2/D3 ...... 4 orang...... 5...... S1 ...... 6 orang...... Sumber: wawancara dengan sekretaris Desa Longos, pada hari Selasa, tanggal 11 Oktober 2016, pukul 10.00 Tabel 3 Jumlah Sarana Pendidikan

No. Sarana Pendidikan Jumlah

1...... TK ...... 4 buah...... 2...... SD ...... 3 buah...... 3...... SLTP ...... 2 buah...... 4...... SLTA ...... 1 buah...... 5...... Pondok Pesantren...... 2 gedung...... 6...... Madrasah ...... 7 gedung...... Sumber: wawancara dengan sekretaris Desa Longos, pada hari Selasa, tanggal 11 Oktober 2016, pukul 10.00. Melihat tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa minimnya masyarakat yang berpendidikan hingga kejenjang perguruan tinggi sebagai salah satu penyebab kurangnya pengalaman yang didapat sehingga akan mudah untuk melakukan perkawinan dini. Mengingat, peran lembaga pendidikan dan masyarakat yang paham akan arti penting perkawiann akan membantu menurunkan tingkat pernikahan dini dan perceraian dini.

Menurut penuturan Bapak Masdawi selaku sekretaris desa, masyarakat Desa Longos paham akan aturan tentang perkawinan. Pertunangan dan perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Longos tidak bertentangan dengan hukum karena prakteknya hanyalah sebuah tradisi. Kemeriahan yang terjadi hanya pada saat perkawinan dengan modal hingga

56

100 juta. Pemilik gawe (acara) tidak perlu khawatir jika tidak memiliki modal yang cukup. Karena, para tetangga atau kerabat akan memberikan sumbangan sesuai dengan yang pemilik gawe berikan pada saat tetangga atau kerabatnya memiliki gawe. Misalnya, si A mengawinkan anaknya, maka para tetanggaatau kerabat memberikan sumbangan baik berupa beras, uang, rokok maupun keperluan lainnya. Setelah itu, terdapat sanak saudara atau seseorang yang dipercaya untuk mencatat siapa saja yang memberikan sumbangan dan berapa jumlahnya. Dengan demikian, jika para tetangga memberikan uang sejumlah Rp 500.000 dan si tetangga atau kerabat tersebut memiliki gawe, maka bergantian memberikan sumbangan sebesar Rp 500.000. Jika kurang dari sumbangan tersebut, maka akan dianggap hutang dan mendapatkan sangksi sosial berupa perbincangan di kalangan masyarakat. Model seperti ini memang sudah menjadi tradisi di masyarakat Desa Longos.

Tujuan kemeriahan diatas hanyalah sebagai hiburan dan para orang tua hanya mencari keuntungan dari adanya perayaan tersebut. Keuntungan yang didapat haruslah mengadakan acara besar sehingga para tetangga memberikan sumbangan yang seimbang atau mabelih tompangan (Keuntungan yang di dapat harus sama jumlahnya dengan apa yang telah dikeluarkan). Jika para tetangga atau kerabat telah mabelih tompangan dan dihitung tidak sesuai dengan apa yang ia berikan, maka akan menjadi masalah yang besar, bahkan ditelpon dan didatangi ke rumahnya. Hal tersebut sudah menjadi bisnis bagi masyarakat Desa Longos. Maka dari itu, jika masyarakat pergi ke dukun, bukan karena menginginkan bagaimana anaknya hidup damai, tetapi mencari keuntungan bagaimana agar acaranya bisa menarik perhatian orang dan mendapatkan sumbangan yang banyak. Bahkan sekarang terdapat grup untuk memberikan kembalian jika para tamu undangan lebih dalam memberikan sumbangan. Grup tersebut bernama ”tak kerah nyorot” yang anggotanya 10 orang, secara bergilir menyumbang.

Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan atau pertunangan sebenarnya tidak penting. Jika setelah nikah cerai itu tidak apa-apa asalkan untung, yang menjadi masalah justru ketika selesai acara dengan bermodal 100 juta tetapi mendapatkan 70 juta atau di bawahnya, maka akan rugi. Pelaksanaan seperti itu banyak terjadi di Desa Longos dan Grujukan (Desa perbatasan). Untuk tingkat perceraian di Desa Longos tidak begitu banyak. Jika masyarakat yang nikah sirri sama-sama tidak cocok dan hendak bercerai, maka terdapat dua cara:

57

a. Datang ke desa dan memberitahukan bahwa ingin bercerai. Pihak desa akan memanggil keduanya dengan memakai cara mediasi. Jika mereka tetap memaksa bercerai dan telah mencapai umur minimal perkawinan, maka disarankan ke Pengadilan Agama karena mereka tidak memiliki buku nikah. Jika mereka masih belum cukup umur, maka hanya diputus di depan Kepala Desa Longos. b. Masyarakat melaporkan kepada Pengadilan Agama dengan meminta isbat nikah untuk mendapatkan buku nikah. Setelah itu, baru mendaftar untuk sidang perceraian. Biasanya masyarakat Desa Longos menyebutnya isbat cerai.

Proses pertunangan diawali dari kehendak orang tua anak laki-laki kemudian disampaikan kepada orang tua pihak wanita. ketika umur masih belum mencukupi, maka akta nikah tidak akan diproses sampai ke Kantor Urusan Agama, jadi hanya nikah melalui mudin dihadapan . Akta nikah akan diproses ke KUA jika perangkat desa mengetahui atau mendapat informasi bahwa para pengantin sudah harmonis dan pantas mendapatkan akta. Jika belum memenuhi syarat usia pernikahan, maka akan dilakukan manipulasi usia atau bisa diurus setelah mereka menginjak usia dewasa menurut undang-undang Perkawinan.

B. Pemaknaan Tradisi dan Faktor yang Melatarbelakangi Pelaksanaan Pertunangan dan perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Longos tidak terlepas dari adanya tindakan sosial sehingga menimbulkan tradisi yang dilakukan turun temurun sampai saat ini. Menurut Weber mengenai tindakan sosial pada struktur dan institusi sosial (Bryan S.Turner, Teori Sosial, 2012:115) terdapat empat macam, akan tetapi indikator yang terlihat tipe satu dan empat:

Pertama, rasionalitas sarana-tujuan atau tindakan yang ditentukan oleh pertimbangan secara rasional yang berhubungan dengan tujuan tindakan dan ketersediaan alat yang digunakan untuk mencapainya. Indikator-indikator tindakan disini, mereka melaksanakan pertunangan dan perkawinan tersebut dengan tujuan untuk memenuhi status sosial. Adanya pengangkatan status sosial bertujuan agar mendapatkan pengakuan dari masyarakat bahwa telah terjadi pertunangan dan perkawinan. Karena, pelaksanaan adat tersebut sudah berlangsung sejak lama.

Selain itu, agar ekonomi meningkat, maka dilangsungkanlah perkawinan sebagai alat untuk bisnis. Bisnis yang dimaksud adalah mabalih tompangan yaitu medapatkan sumbangan 58 dari para tetangga atau istilah lainnya modal nikah setara dengan apa yang pernah diberikan sebelumnya. Hal ini telah menjadi tradisi pada masyarakat Desa Longos hingga saat ini. Inilah kepentingan tertentu yang ingin dicapai dengan model mabelih tompangan.

Keempat, tindakan tradisional yang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang telah menjadi adat istiadat atau turun temurun. Indikator-indikator pada tipe tindakan tradisional, (1) para orang tua akan mencari besan untuk dikawinkan dengan anak mereka kelak. Pencarian tersebut biasanya dimulai sejak si calon masih dalam kandungan sampai lahir sekitar usia 5 tahun. Setelah ada kesepakatan kedua orang tua, mereka menikahkan anak masih kecil menjadi penganten dengan dinaikkan ke atas kuda yang selanjutnya disebut mantan jeren agar para tetangga mengetahui jika mereka telah terikat perkawinan. (2) ketika dalam hal pertunangan salah satu pihak tidak ada kecocokan, maka pihak tersebut berkunjung kepada pihak lainnya dengan membawa pisang atau ketupat berjumlah ganjil yang dikosongkan salah satu isinya sebagai lambang bahwa diantara mereka sudah tidak ada ikatan. Mereka mempertahankan hal ini sebagai adat tanpa disadari.

Cara pemaknaan dari pelaksanaan pertunangan dan perkawinan adat masyarakat Desa Longos ialah fenomena tersebut bersifat sakral. Sakral disini dimaksudkan bahwa masyarakat Desa Longos menganggap perkawinan sebagai sebuah solusi dan wujud keimanan dari sebuah perbuatan sebab akibat. Misalnya, bagaimana anak mereka bisa tetap menjaga kesucian dan tidak berkhalwat sehingga menimbulkan zina, yaitu dengan sebuah perkawinan. Bahkan ketika telah melangsungkan perkawinan walaupun tidak dicatatkan, mereka tetap bisa menjalankan kewajiban lain yaitu sekolah.

Dalam pandangan Durkheim (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2014: 104) interaksi sosial ini dianggap sakral, membentuk esensi agama yang menghasilkan sikap takzim, khidmat melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan-Nya, tidak bercampur dengan kepentingan-kepentingan duniawi. bFenomena sosial bersifat profan ialah adanya fenomena pertunangan dan perkawinan tersebut karena adat. Tetapi, adanya kepentingan- kepentingan yang diinginkan oleh beberapa pihak tidak terkecuali orang tua pelaku, misalnya mabelih tompangan.

Sebenarnya, hal ini tidak terlepas dari faktor ekonomi atau biaya pernikahan Seperti yang telah dipaparkan oleh mudin Desa Longos, bahwasanya tujuan dari kemeriahan 59 perkawinan yang dilangsungkan hanya sebagai perantara dari para orang tua untuk mencari keuntungan. Sehingga, salah satu cara agar keuntungan tersebut didapat dengan mengadakan acara besar sehingga para tetangga memberikan sumbangan yang seimbang, modelnya yaitu dengan mabelih tompangan. Jika para tetangga telah mabelih tompangan dan dihitung tidak sesuai dengan apa yang ia berikan, maka akan menjadi masalah yang besar, bahkan ditelpon dan atau didatangi ke rumahnya. Hal tersebut sudah menjadi siklus perekonomian bagi masyarakat Desa Longos. Perilaku tersebut akan mengurangi eksistensi dari arti perkawinan itu sendiri yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan adanya kepentingan-kepentingan tersebut, akan terdapat kerugian bagi pihak yang bersangkutan ataupun anak-anak mereka nantinya.

Menurut Soekanto dalam bukunya Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi (Soerjono Soekanto, 1985: 19-20) berpendapat bahwa faktor yang memenentukan atau yang mempengaruhi perilaku seseorang yaitu: pertama, memperhitungkan untung rugi. Telah dijelaskan di atas, bahwasanya alasan orang tua hendak menikahkan anaknya karena ada kepentingan tertentu. Kepentingan tersebut untuk mabelih tompangan atau memperoleh keuntungan dari sumbangan-sumbangan para tetangga dan kerabat baik berupa uang, sembako, rokok dan lain sebagainya. Adapun ketika tidak memperoleh keuntungan disebabkan para tetangga menyumbang tidak sesuai dengan yang dikeluarkan, maka kekurangan tersebut dianggap hutang. Tidak heran jika masyarakat yang hendak menikahkan anaknya, mendatangi dukun atau orang pintar agar ketika pelaksanaan perkawinan menarik perhatian masyarakat dan mendapat keuntungan yang sama bahkan lebih dari apa yang telah dikeluarkan.

Kedua, menjaga hubungan baik dengan lingkungan sekitar maupun penguasa setempat. Ketika masyarakat yang hendak menikahkan anaknya terhalang oleh aturan undang-undang dikarenakan belum cukup umur, maka sudah pasti aparat desa yang bertanggung jawab.nBerkaitan dengan perkawinan sirri, ketika mereka hendak melapor kepada aparat desa, maka aparat desa akan menerima dan mengurus perkawinan tersebut. Adapun pengurusan perkawinan, akan diakad langsung oleh mudin karena tidak memenuhi syarat umur jika dilaksanakan oleh penghulu atau KUA. Hal ini menjelaskan bahwa jika aparat desa tidak memberi ijin nikah, maka tidak akan terjadi perkawinan sirri. Dari sini dapat dilihat bahwa hubungan antara masyarakat dengan penguasa berjalan dengan baik.

60

Begitu pula dengan tradisi mabelih tompangan yang dimaksudkan saling membantu para tetangga jika ingin menikahkan anaknya. Dengan begitu, akan terjadi sikap saling tolong menolong untuk menumbuhkan hubungan kekeluargaan. Sebaliknya, jika para tetangga yang tidak memberikan sumbangan dengan jumlah yang sama, maka itu akan menjadi gunjingan di masyarakat. Begitupun ketika tidak menikahkan anak secara sirri maka akan menjadi fitnah di tengah-tengah masyarakat karena akan menimbulkan dosa. Dari sini timbullah kerukunan antar sesama dan tercipta hubungan baik.

Ketiga, sesuai dengan hati nurani. Para orang tua yang hendak menikahkan anaknya secara sirri pasti telah dipikir secara matang dan pasti akan mengikuti hati nuraninya. Walaupun mereka telah mengetahui aturan dasar hukum perkawinan khusunya masalah batasan usia, akan tetapi ketika hati nuraninya berkata bahwa nikah sirri itu yang paling baik, maka akan dilakukan juga. Salah satu alasannya, mereka menikahkan anaknya secara sirri agar terhindar dari fitnah dan gunjingan masyarakat.

Keempat, adanya tekanan-tekanan tertentu. Telah dipaparkan di atas mengenai beberapa alasan terjadinya perkawinan sirri. Salah satu sebab terjadinya perkawinan sirri karena orang tua merasa malu jika anaknya bertunangan dalam jangka waktu yang lama, sedangkan mereka sering bertemu atau berduaan. Hal ini dapat menimbulkan gunjingan dari para tetangga dan memalukan bagi keluarga. Dengan adanya tekanan-tekanan seperti itu, maka muncullah sebuah gagasan agar perkawinan harus segera dilaksanakan walaupun secara sirri.

C. Tinjauan Hukum Islam Dan Positif terhadap Pertunangan Masyarakat Desa Longos Pertunangan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Longos dilihat dari sudut pandang hukum Islam akan dibahas dengan memakai teori syarat-syarat khiṭbah. Adapun syarat-syarat dari khiṭbah (Kamal Muchtar, 1993: 31) terbagi menjadi dua macam, yaitu: a. Syarat Mustahsinah Syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa anjuran kepada laki-laki yang akan meminang seorang wanita dengan meneliti terlebih dahulu demi menjamin kelangsungan hidup berumah tangga nanti. Tetapi, tanpa dipenuhinya syarat-syarat tersebut, peminangan tetap sah. Macam-macamnya ialah:

61

1. Wanita yang akan dipinang hendaknya sejodoh, sekufu dalam tingkatan masyarakat, sama berilmunya dan lain sebagainya.

2. Wanita yang hendak dipinang mempunyai sifat kasih sayang dan wanita yang subur.

3. Wanita yang akan dipinang hendaklah yang jauh hubungan darahnya dengan laki-laki yang meminang.

4. Mengetahui keadaan kesehatan jasmani, budi pekerti dan sebagainya.

b. Syarat Lazimah

Syarat lazimah ialah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan terjadi, yaitu: 1) Wanita yang dipinang tidak terikat perkawinan yang sah. 2) Wanita yang dipinang tidak dalam masa ‘iddah raj’ī. 3) Wanita yang dalam masa ‘iddah wafat hanya dapat dipinang dengan sindiran. 4) Wanita dalam masa ‘iddah ba’in sughrā dapat dipinang oleh bekas suaminya. 5) Wanita dalam masa ‘iddah ba’in kubrā boleh dipinang oleh bekas suaminya setelah kawin dengan laki-laki lain, didukhul dan telah bercerai. 6) Wanita yang dipinang tidak dalam pinangan laki laki lain.

Sebagian ulama berpendapat bahwa khiṭbah mempunyai hukum yang sama seperti perkawinan, yaitu sunnah maupun haram. Adapun khiṭbah dikatakan sunnah ketika yang meminang adalah seorang laki-laki yang sunnah untuk menikah. Khiṭbah dikatakan pula menjadi haram apabila meminang wanita yang telah menikah, meminang wanita yang ditalak raj’ī sebelum habis masa ‘iddahnya serta peminangan yang dilakukan oleh laki-laki beristri empat (Oyo Sunaryo Mukhlas, 2015: 110).

Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 memang tidak diatur mengenai tentang tata cara peminangan atau khiṭbah. Akan tetapi, KHI menentukan beberapa hal mengenai khiṭbah untuk ketertiban administrasi dan tata cara khiṭbah, yaitu: a. Secara utuh peminangan diambil dari ketentuan Al-qur’an yang kemudian dimodifikasi secara praktis, rasional dan akurat.

b. Unsur yuridis, nilai-nilai adat, etika dan estetika diingkai didalamnya, sehingga kebiasaan dan pelaksanaan khiṭbah yang hidup dalam masyarakat sesuaidengan adat dan budaya lingkungan sekitar tetap terpelihara dan tidak tersingkirkan dari pergaulan global. 62

Mengenai pertunangan, sebenarnya hal ini termasuk dalam sebuah perjanjian sebab pertunangan disini merupakan sebuah kesepakatan antara seorang pihak laki-laki dan seorag pihak wanita. Menurut Subekti, perjanjian adalah peristiwa ketika seseorang atau lebih berjanji melaksanakan perjanjian atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Subekti, 1991: 1)

Maka seharusnya memenuhi ketentuan yang telah diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sah perjanjian. Unsur-unsur tersebut antara lain: 1. Adanya kesepakatan (Toesteming) kedua belah pihak Pertunangan yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat Desa Longos merupakan kehendak dari orang tua. Dari sini jelas, bahwa kesepakatan yang terjadi bukanlah kehendak dari para pihak melainkan kehendak dari masing-masing orang tua dikarenakan untuk menghilangkan sangkal. Yaitu, menghilangkan gunjingan dari masyarakat sebab belum memiliki besan atau anak mereka belum memiliki calon untuk menikah. 2. Kecakapan melakukan perbuatan hukum Syarat dari seseorang boleh melakukan sebuah perbuatan hukum diantaranya: balig, tidak di bawah pengampuan (baik sehat akal dan tidak boros). Mereka pihak-pihak yang melakukan pertunangan berkisar pada usia sekitar 40 hari sampai 10 tahun. Disini dapat dilihat bahwa rentan umur yang dimaksud bertentangan dengan undang- undang maupun peraturan tentang usia anak cakap hukum. Berdasarkan Undang- undang No. 1 Tahun 1974, anak-anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalan belum mencapai usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Hal ini selaras dengan UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang diubah dengan UU No. 35 tahun 2014 bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jika usia mereka kurang dari 18 tahun, maka termasuk anak yang tidak cakap hukum, termasuk dalam hal perjanjian.

Mereka di dalam bertindak harus diwakili oleh tua, wali atau kuratornya. Sedangkan mengenai istri, berdasarkan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung No. III Tahun 1963 sudah termasuk orang yang cakap melakukan perbuatan hukum secara mandiri (Abdul Ghofur Anshori, 2010: 8). Berbeda dengan KUHPerdata dan KHI, bahwa seseorang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun 63 dan tidak kawin sebelumnya. Dalam KHI, batas usia anak yang mampu berdiri sendiri adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Menurut beberapa peraturan di atas, kecakapan hukum seseorang berada diantara usia 18-21 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usia pertunangan seorang anak sebelum berusia 18-21 tahun, maka tidak dapat dikatan orang yang cakap hukum. Unsur-unsur nomor satu dan dua ini termasuk syarat subyektif yang bila hal ini tidak dipatuhi, dapat dibatalkan.

3. Suatu pokok persoalan tertentu Objek perjanjian adalah (prestasi) pokok perjanjian. Perjanjian terdiri atas perbuatan positif dan negatif. Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian terdiri atas: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Perjanjian harus dapat ditentukan yaitu dalam mengadakan perjanjian isi perjanjian harus dipastikan dalam ukuran yang cukup, dibolehkan, dimungkinkan dan dapat dinilai dengan uang (Wawan Muhwan Hariri, 2011: 126).

Pokok persoalan disini ialah sesuatu hal yang harus dipenuhi atau istilah lainnya prestasi. Pokok persoalannya ialah sebuah pertunangan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Longos dimana para pihak tidak bersedia untuk melakukan akan tetapi ada paksaan dari kedua orang tua masing-masing.

4. Adanya kausa yang halal Dalam suatu perjanjian, alasan-alasan yang mengakibatkan seseorang melakukan suatu perjanjian haruslah jelas dan tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Terkait permasalahan ini, pertunangan yang dipaksakan oleh kehendak orang tua sebenarnya dapat dibatalkan jika alasan-alasannya sangat tidak bertentangan dengan hukum.

Sebenarnya, alasan-alasan orang tua terhadap pengikatan anak-anak mereka dikarenakan takut terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya zina. Walaupun begitu, banyak pula alasan orang tua yang ingin mengikat anaknya dalam sebuah pertunangan dikarenakan agar tali kekeluargaan tetap terjalin. 64

Dari sini jelas, unsur pertama dan kedua sebab bertentangan dengan undang-undang dan KHI yang masih berlaku, maka sesuatu yang tidak dipenuhi oleh pihak yang melakukan pertunangan di Desa Longos dapat dibatalkan demi hukum. Dalam hukum Islam telah dijelaskan perkawinan yang dilarang, salah satunya nikah sirri. Perkawinan sirri ialah perkawinan yang dilakukan secara diam-diam tanpa diumumkan kepada khalayak.

Berlainan dengan hukum Islam, perkawinan sirri yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya ialah perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Padahal, Undang-undang Perkawinan maupun KHI telah mengatur tentang pencatatan perkawinan yang hukumnya wajib diataati demi menciptakan ketertiban. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bukanlah undang-undang pertama yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi orang muslim Indonesia. Sebelumnya sudah ada UU No. 22 Tahun 1946 yang mengatur tentang pencataan nikah, talak dan rujuk yang berlaku di seluruh Indonesia (Khoiruddin Nasution, 2009: 332-333).

Tentang pencatatan perkawinan dalam UU No. 22 Tahun 1946 disebutkan: a. Perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah. b. Bagi pasangan yang ingin melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari Pegawai Pencatat Nikah dikenakan hukuman karena merupakan satu pelanggaran.

Sebenarnya dalam hukum Islam, pencatatan nikah itu diharuskan karena pernikahan termasuk kegiatan muamalat seperti juga dalam kegiatan perjanjian hutang piutang. Perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor Pegawai Pencatat Nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi nonIslam), dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat (2). Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum.

Dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi serta ijab dan kabul.

65

Adapun syarat-syarat perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 6 sampai dengan pasal 11, sebagai berikut: a. Adanya persetujuan kedua calon mempelai. b. Adanya izin dari orang tua atau wali bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun. c. Umur calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun. d. Antara kedua calon mempelai tidak ada hubungan darah atau keluarga yang dilarang kawin. e. Tidak terikat hubungan perkawinan dengan orang lain. f. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami atau istri yang sama, yang hendak dikawini. g. Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat kawin lagi sebelum lewat waktu tunggu.

KESIMPULAN Masyarakat Desa Longos memaknai tradisi pertunangan dan perkawinan yang dilakukan secara turun temurun merupakan sebuah tradisi yang bersifat sakral maupun profan. Beberapa informan yang menganggap sakral ialah mereka mencari solusi bagaimana anak mereka bisa menjaga kesucian, kehormatan dirinya maupun keluarga. yaitu dengan sebuah perkawinan. Walaupun tidak dicatat, akan tetapi mereka telah menyelamatkan nama baik dan kehormatan keluarga dimata masyarakat sekitar. Masyarakat yang mengganggap profan ialah mereka memaknai bahwa sebuah pertunangan dan perkawinan harus dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Salah satunya untuk mencari keuntungan dalam perekonomian, yaitu mabelih tompangan. Jika hal tersebut telah didapat, maka modal yang dikeluarkan oleh pemilik gawe akan kembali bahkan bisa mendapat keuntungan berlipat. Hal ini akan berdampak positif pada hubungan antar tetangga namun bila tidak sesuai dengan harapan, maka akan berakibat negatif dalam hubungan bertetangga. 1. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Pelaksanaan pertunangan dan perkawinan masyarakat Desa Longos memiliki indikator terhadap faktor yang melatarbelakangi adat tradisi setempat, yaitu: a. faktor internal faktor ini meliputi pertama,faktor agama, dimana alasan pelaksanaan pertunangan dan perkawinan oleh masyarakat disebabkan adanya sebuah solusi untuk menjaga harkat martabat keluarga dari timbulnya fitnah. Dapat dikatakan bahwa perkawinan ini murni sebagai ibadah. 66

Kedua, faktor ekonomi, dengan model mabelih tompangan menjadi ladang bisnis bagi masyarakat setempat. Mereka akan merayakan pesta perkawinan besar-besaran walaupun tidak memiliki biaya atau modal yang cukup karena akan ditanggung oleh para tetangga yang pernah ia bantu pula. Jika mereka tidak mengadakan perkawinan, maka tidak akan mendapatkan keuntungan. Ketiga, faktor tradisi, memang pelaksanaan tersebut telah dilakukan secara turun temurun sampai saat ini. Tradisi ini tidak ada unsur paksaan, karena dengan suka rela mereka akan mematuhinya. Jika pada akhirnya mereka memutuskan pertunangan, maka ada suatu tradisi bahwa orang yang ingin membatalkannya harus pergi kerumah calonnya dengan membawa pisang atau ketupat dengan jumlah ganjil yang salah satu isinya dikosongkan. Hal ini akan menjadi simbol bahwa perkawinan tidak bisa dilanjutkan tanpa harus mengatakan.

b. Faktor eksternal Dalam faktor ini, meliputi, pertama, kurangnya kesadaran masyarakat, padahal mereka paham dasar dan aturan dari sutau perkawinan. Kedua, kurangnya sosialisasi dari pihak yang bersangkutan yang memicu perkawinan sirri di masyarakat Desa Longos. Ketiga, jika aparat desa tegas dalam menengahi polemik ini, maka akan lebih berdampak baik bagi masyarakat. Diperlukan sebuah peran yang tidak mudah untuk memberikan atau menfasilitasi masyarakat untuk melaksanakan perkawinan sirri yaitu Kepala Desa dan mudin.

Pertunangan Adat yang dilaksanakan oleh masayarakat Desa Longos tidak bertentangan dengan syarat-syarat khiṭbah. Sesuai dengan adat tersebut, mereka ditunangkan sejak kecil dan diarak keliling kampung agar masyarakat mengetahui bahwa diantara mereka telah terjalin ikatan pertunangan sehingga tidak ada pinangan diatas pinangan orang lain. Akan tetapi, dalam KUHPerdata bertentangan dengan hukum perjanjian secara unsur subjektif.

Mengenai perkawinan, menurut hukum Islam perkawinan adat masyarakat Desa Longos sah karena syarat-syarat perkawinan terpenuhi, yaitu calon mempelai, wali, saksi dan ijab kabul (Zaid ad-Dīn ‘Abd al-‘Azīz, 99). Setiap rukun di atas memiliki syarat-syarat tertentu. Syarat yang berkaitan dengan calon mempelai yaitu: memiliki identitas yang jelas, sama-sama beragama Islam, balig, tidak ada larangan untuk menikah dan sama-sama menyetujui perkawinan dilaksanakan. Adapun syarat dari calon wali yaitu: balig, berakal, muslim, laki-laki, orang merdeka, adil dan tidak sedang ihram. Syarat dari saksi ialah 67 minimal dua orang, Islam, merdeka, laki-laki, adil dan dapat mendengar serta melihat langsung. Terakhir, syarat dari ṣigat ijab dan kabul yaitu akad harus dimulai dengan ijab (pernyataan dari wali) kemudian dilanjutkan dengan jawaban dari mempelai laki-laki yaitu kabul. Ijab dan kabul harus diucapkan secara berkesinambungan dan satu waktu dengan menggunakan lafaẓ yang jelas (Amir Syarifuddin, 2009: 62-83).

Secara fikih, batas usia menikah adalah balig. Akan tetapi secara kontekstual, ukuran balig seseorang bukan diukur apakah telah menstruasi atau mimpi basah melainkan diukur dengan kematangan jiwa dan psikis serta adanya hak dan kewajiban yang terpenting. Dalam praktiknya untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat terdapat suatu aturan. Jika perkawinan di bawah umur, maka harus ada dispensasi dari pengadilan. Begitu pula salah satu fungsi hukum ialah melindungi, ketika ada permasalahan, maka akan dilihat legalitasnya sehingga adanya bukti perkawinan berupa akta nikah merupakan hal yang penting. Allah memberi kewenangan kepada pemimpin untuk mengatur dan boleh memberi batasan terhadap hal-hal yang mubah. Artinya, bukan berarti perkawinan tersebut tidak sah, tetapi lebih idealnya mentaati peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Terlepas dari semua kepentingan atau tujuan-tujuan.

SARAN 1. Diharapkan agar adat yang berlaku di masyarakat terkait mabelih tompangan mulai dihilangkan karena bisa merusak kerukunan masyarakat. Sebaiknya, untuk memberi sumbangan perkawinan, sesuai dengan kemampuan masing-masing agar tidak memberatkan pihak lain. 2. Adat yang baik dan berlaku di masyarakat agar tetap dipertahankan, seperti cara melakukan penolakan dengan simbol pisang dan ketupat yang dikosongkan salah satunya. 3. Pihak Ulama, tokoh masyarakat, Kepala Desa, Mudin dan KUA saling bersinergi untuk menghilangkan praktik perkawinan sirri, perkawinan di bawah umur dan perceraian dengan cara sosialisasi UU Perkawinan dan melakukan hambatan atau penolakan atas praktik tersebut.

68

DAFTAR PUSTAKA Anshori, Abdul Ghofur dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008. Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia: Konsep, Regulasi dan Implementasi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2010. Azīz, Zaid ad-Dīn ‘Abd al-‘, Fatḥ al al-Mu’īn, Semarang: Karya Toha Putra, t.t.. Hariri, Wawan Muhwan, Hukum Perikatan: Dilengkapi Hukum Perikatan Islam, Bandung: Pustaka Setia. 2011. Inpres No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. Ke-20, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Mukhlas, Oyo Sunaryo, Pranata Sosial Hukum Islam, Bandung: Refika Aditama, 2015. Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim dengan Pendekatan Integratif Interkonektif, Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2009. Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2014.

Soekanto, Soerjono, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi, Bandung: Remadja Karya, 1985. Subekti, Hukum Perjanjian, cet. Ke-13, (Jakarta: Intermasa, 1999)

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan cet. Ke- 3, Jakarta: Kencana, 2009. Tarmudi, Mas, “Pengertian Observasi”, http://mastarmudi.blogspot.com/2010/07/pengertian observasi.html, diakses 30 September 2016. Turner, Bryan S., Teori Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

69

UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diubah dengan UU No. 35 tahun 2014. Wawancara dengan sekretaris Desa Longos, pada hari Selasa, tanggal 11 Oktober 2016, pukul 10.00.

70

AKSES KEUANGAN DISABILITAS NETRA: TINGKAT LITERASI, INKLUSI, SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI (STUDI KASUS DI DKI JAKARTA)

ADIB KONSENTRASI: ISLAM PEMBANGUNAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA [email protected] HP: 085743828717

Abstrak Pengetahuan keuangan bagi masyarakat Indonesia sekarang ini merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap individu. Dengan pemahaman literasi keuangan yang baik (well literacy), maka diharapkan akan mampu untuk mengelola keuangan dengan baik. Jumlah disabilitas netra di Indonesia di akhir tahun 2016 sekitar 3,5 juta jiwa dan merupakan jumlah terbesar kedua di dunia. Banyaknya disabilitas netra di Indonesia ini merupakan pasar yang potensial bagi jasa perbankan. Namun selama ini mereka belum menjadi fokus utama dari lembaga jasa keuangan. Minimnya dukungan dari pemerintah terhadap disabilitas netra, membuat mereka kurang inklusi terhadap keuangan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tingkat literasi dan inklusi keuangan para disabilitas netra di Jakarta, melihat kebutuhan para disabilitas netra dalam mengakses layanan keuangan, serta peran pemerintah dalam memfasilitasi akses keuangan bagi kaum disabilitas netra. Dalam hal literasi keuangan, beberapa permasalahan yang dialami disabilitas netra dalam mengakses produk lembaga keuanga antara lain: pengetahuan disabilitas netra yang minim terhadap produk keuangan, serta kendala dalam membedakan nominal mata uang kertas keluaran terbaru. Meskipun Indonesia meraih penghargaan dari Global Inclusion Award 2017 sebagai negara terbaik se-Asia Pasifik dalam pencapaian inklusi keuangan, tetapi disabilitas netra masih belum akses terhadap produk lembaga keuangan yang ada. Penyebabnya berasal dari faktor internal maupun eksternal, yang membuat disabilitas netra enggan untuk mengakses produk lembaga keuangan. Jika hak-hak dan kebutuhan para disabilitas dapat terpenuhi, maka mereka akan mempunyai kesempatan yang sama dalam mengakses layanan keuangan, sehingga indeks literasi dan inklusi keuangan Indonesia semakin meningkat. Kata Kunci: Akses Keuangan, Literasi, Inklusi, Disabilitas Netra

A. PENDAHULUAN Pengetahuan keuangan bagi masyarakat Indonesia sekarang ini merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap individu. Dengan pemahaman literasi keuangan yang baik (well literate), maka kita akan mampu untuk mengelola keuangan dan bisa memanfaatkannya dengan baik. Tidak hanya bagi masyarakat pada umumnya, tetapi orang-orang dengan kebutuhan khusus (disabilitas) pun perlu untuk mengetahui literasi keuangan, agar bisa mandiri serta mempunyai pedoman dalam mengelola keuangan pribadi ke depannya.

71

Berdasarkan survei Pusat Studi dan Layanan Disabulitas yang dimuat di media elektronik, sebanyak 94 persen penyandang disabilitas tidak pernah mencatat keuangan mereka dan hanya 6 persen yang memiliki catatan keuangan dengan baik.1 Disabilitas netra pun tak luput dari survei tersebut, menjadi bagian dari salah satu penyandang disabilitas yang tidak bankable. Masih banyaknya kaum disabilitas netra yang belum well literate serta tidak bankable ini membuat akses keuangan mereka ikut terhambat. Data Pusdatin (Pusat data dan Informasi) Kemensos menyebutkan bahwa di tahun 2010 jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 11.580.117 jiwa, dan 30 persennya (sekitar 3.474.035 jiwa) termasuk dalam kategori disabilitas netra.2

Kemudian meningkat menjadi sekitar 3,5 juta jiwa di akhir tahun 2016 dan merupakan jumlah terbesar kedua di dunia. Berdasarkan data UNDP, jumlah penduduk disabilitas netra di Indonesia ini merupakan terbesar kedua di dunia.3 Banyaknya disabilitas netra di Indonesia ini merupakan pasar yang cukup potensial bagi jasa perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Namun selama ini belum ada titik temu diantara keduanya, baik dari pihak lembaga keuangan atau disabilitas netra itu sendiri terkait hubungan yang saling menguntungkan.

Agar akses keuangan disabilitas netra lebih maksimal, mereka harus mendapatkan perhatian secara serius. Selain faktor literasi, disabilitas netra juga membutuhkan dukungan dari pihak luar supaya lebih inklusi. Perlu adanya dukungan baik dari pemerintah ataupun lembaga keuangan untuk mendorong kaum disabilitas netra terkait pemahaman dan pengetahuan layanan keuangan serta memfasilitasi mereka supaya lebih inklusif terhadap layanan dari lembaga keuangan yang ada.

Kedua hal ini harus berjalan secara linear. Dengan adanya pemahaman keuangan yang baik, akan mendorong terciptanya inklusi keuangan secara baik pula, sehingga manajemen keuangan bisa dikelola secara mandiri. Namun, selama ini dukungan dari pihak

1Tribun Jateng, “Slamet Ingin Industri Jasa Keuangan Memperhatikan Difabel”, http://jateng.tribunnews.com/2015/08/23/slamet-ingin-industri-jasa-keuangan-memperhatikan-kaum-difabel , diakses tanggal 15 November 2017. 2ILO (International Labour Organization),“Penyandang Disabilitas di Indonesia”, http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_233426/lang--en/index.htm diakses pada tanggal 15 November 2017. 3Traktat Marrakkesh, “Meningkatkan Informasi Bagi Orang Dengan Hambatan Membaca Barang Cetakan”, (Issue Brief Indonesia, diterbitkan oleh UNDP). 72 luar masih sangat kurang. Minimnya dukungan dari lembaga keuangan serta intervensi dari pemerintah terhadap disabilitas netra semakin memperburuk harapan mereka untuk lebih inklusi terhadap keuangan.

Perlu adanya dukungan secara penuh agar mereka bisa mengakses jasa keuangan. Tidak sebatas pada masalah infrastruktur saja, tetapi pelayanan yang ramah adalah prioritas utama yang dibutuhkan oleh disabilitas netra selama ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberi gambaran mengenai tingkat literasi dan inklusi keuangan orang-orang dengan disabilitas netra. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi tingkat pemahaman mereka terhadap produk-produk dari lembaga keuangan, serta seberapa mudah akses mereka terhadap lembaga keuangan yang ada.

Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat kebutuhan para disabilitas netra dalam mengakses layanan keuangan, dan melihat sejauh mana peran pemerintah dalam memfasilitasi akses keuangan bagi kaum disabilitas netra di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan memberikan gambaran permasalahan dan situasi yang terjadi di lapangan, serta mewawancarai secara mendalam (in-dept interview) responden disabilitas netra, kemudian menganalisis sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Adapun pertanyaan yang diajukan meliputi informasi responden, pengetahuan tentang literasi keuangan, pengalaman responden dalam mengakses lembaga keuangan, hambatan dalam mengakses keuangan, dan finansial responden.

Penelitian ini dilakukan di Bulan September 2017 dengan cara studi kasus (case study) disabilitas netra di DKI Jakarta, dengan sampel sebanyak 10 orang yang mewakili dua OPD (Organisasi Penyandang Disabilitas), yaitu PERTUNI (Persatuan Tuna Netra Indonesia) dan ITMI (Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia). Responden tersebar di 5 kota di DKI Jakarta, dengan latar belakang pekerjaan yang beragam, mulai dari tukang pijat, pengurus lembaga sosial, guru, dan karyawan swasta. Kedua organisasi ini dipilih karena merupakan organisasi besar dan aktif di Jakarta. Selain itu, data sekunder juga digunakan sebagai pendukung dalam penelitian ini untuk melengkapi data yang dibutuhan.

B. PEMBAHASAN B. 1 Literasi Keuangan

73

Pemahaman literasi keuangan merupakan sesuatu yang esensial bagi masyarakat Indonesia di zaman yang serba teknologi sekarang ini. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk tiap tahun, diharapkan juga diikuti dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di Indonesia, khususnya dalam hal melek keuangan agar bisa merencanakan perekonomiannya yang lebih baik ke depannya. OJK membagi tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia menjadi 4 kategori4, yaitu: a. Well literate, yakni masyarakat yang memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga jasa keuangan serta produk jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan, serta memiliki keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa keuangan. b. Sufficient literate, yakni masyarakat yang memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga jasa keuangan serta produk dan jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan. c. Less literate, yakni masyarakat yang hanya memiliki pengetahuan tentang lembaga jasa keuangan, produk dan jasa keuangan. d. Not literate, yakni masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan dan keyakinan terhadap lembaga jasa keuangan serta produk dan jasa keuangan, serta tidak memiliki keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa keuangan. Penggolongan tersebut bertujuan untuk memonitor perkembangan tingkat keuangan masyarakat Indonesia agar selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Survei OJK menunjukkan adanya peningkatan literasi keuangan masyarakat Indonesia dari 21,8 persen di tahun 2013 menjadi 29,7 persen pada tahun 2016. Pencapaian yang sama juga terjadi dalam hal inklusi keuangan, ada kenaikan yang hampir seimbang pada rentang waktu yang sama, dari 59,7 persen meningkat menjadi 67,8 persen.5 Walaupun kedua hal ini mengalami peningkatan yang linear, secara menyeluruh tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia masih jauh di bawah inklusifitasnya. DKI Jakarta sendiri merupakan provinsi dengan indeks literasi keuangan tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 40 persen.

4OJK, “Literasi Keuangan”, diakses dari http://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan- konsumen/Pages/Literasi-Keuangan.aspx , tanggal 10 November 2017. 5 Otoritas Jasa Keuangan, “Revisit Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia”. Diterbitkan Oleh Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK. 74

Agar literasi keuangan kita semakin meningkat, perlu adanya prioritas program edukasi keuangan oleh pemerintah. Tidak hanya terfokus pada masyarakat umum saja, namun kaum minoritas khususnya disabilitas harus diikutsertakan sebagai salah satu sasaran prioritas baik dalam hal literasi maupun akses terhadap keuangannya, sehingga bisa semakin mandiri . Dewasa ini, seiring dengan pergeseran paradigma dalam pembangunan kesejahteraan di Indonesia dengan diratifikasinya konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas, maka kaum minoritas tidak bisa dianggap hanya sebagai penerima manfaat atau penerima layanan saja, tetapi harus dipandang sebagai user yang terlibat langsung dan ikut menentukan dalam proses keberhasilan pembangunan di Indonesia secara menyeluruh.6

Sebagai salah satu wujud diratifikasinya CRPD7 sesuai dengan pasal 1 Konvensi Hak- Hak Penyandang Disabilitas, maka para disabilitas tidak boleh dipandang sebelah mata, yang hanya mendapatkan berbagai program charity based saja, tetapi pemerintah harus terlibat aktif dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas supaya lebih mandiri dengan berbagai intervensi kebijakan. Adanya revisi prioritas program literasi keuangan oleh OJK dengan memasukkanya para penyandang disabilitas sebagai salah satu subjek penentu indikator literasi keuangan di Indonesia, maka keberpihakan pemerintah terhadap kaum minoritas ini terlihat nyata (Suharto, 2014:39). Namun secara realita, dampak dari kebijakan tersebut belum dirasakan secara penuh oleh kaum disabilitas terutama para disabilitas netra, sehingga program pemerintah ini terlihat belum optimal.

Literasi keuangan disabilitas netra masih jauh di bawah rata-rata masyarakat pada umumnya, sehingga belakangan pemerintah (dalam hal ini OJK) ikut terlibat aktif menyasar para disabilitas dalam rangka meningkatkan Indeks Literasi Keuangan di Indonesia, salah satunya dengan mengakomodir disabilitas sebagai target sasaran program literasi. Dari hasil penelitian ada beberapa kendala yang dialami disabilitas netra dalam mengakses produk- produk lembaga keuangan. Dalam hal literasi keuangan, mayoritas disabilitas netra hanya

6 Edi Suharto, “Analisis Kebijakan Publik: panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial” (Bandung: Alfabeta, 2014) 39. 7 CRPD / Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas adalah sebuah perjanjian multilateral sebagai upaya penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak difabel di Indonesia (Development tool and Human Rights Instrument) yang bertujuan untuk memajukan, melindungi, dan menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang disabilitas serta penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas sebagai bagian yang tak terpisahkan (inherent dignity). 75 mengetahui layanan keuangan sesuai dengan produk yang dibutuhkan. Pada umumnya, produk yang banyak diakses oleh disabilitas netra berupa tabungan, kredit, dan koperasi.

Sedangkan produk lembaga keuangan lainnya, walaupun secara umum pernah mendengar informasi mengenai produk tersebut baik lewat media atau secara langsung, mereka masih belum mengetahui secara detail baik manfaat, resiko, biaya yang harus dikeluarkan, pelayanan yang tersedia, maupun syarat dan ketentuan dari masing-masing produk jasa keuangan tersebut seperti gadai, asuransi, dana pensiun, maupun produk sekuritas. Para disabilitas netra akan mengetahui lebih detail tentang informasi produk tersebut setelah mereka menggunakannya, karena bisa merasakan secara langsung. Lain halnya dengan produk asuransi berupa BPJS, karena program pemerintah secara nasional dan disubsidi secara penuh bagi warga miskin. Walaupun sudah banyak yang mengakses, namun mereka belum mengetahui secara detail baik dalam hal pelayanan yang akan diterima, proses pengurusan, maupun resiko yang ada. Khusus untuk produk asuransi BPJS ini, walaupun sudah inklusif, tetapi tingkat literasi para disabilitas netra masih rendah.

Dalam hal mengakses mata uang, disabilitas netra lebih familiar dengan uang kertas lama keluaran tahun 2000 ke bawah daripada keluaran terbaru. Hal yang paling mudah mereka lakukan adalah dengan membandingkan ukuran uang kertas keluaran lama tersebut untuk membedakan nominalnya, karena masing-masing nominal mempunyai ukuran kertas yang berbeda beda. Ukuran fisik uang kertas yang lama terlihat lebih berbeda. Misalnya nominal lima ribu rupiah berukuran lebih besar dari nominal seribu rupiah, dan berbeda pula dengan nominal dua puluh ribu rupiah. Dengan meraba bentuk fisiknya saja, mereka akan bisa mengetahui nominal uang kertas tersebut.

Berbeda dengan mata uang terbaru yang dikeluarkan setelah tahun 2000, dengan ukuran fisik yang relatif sama. Walaupun terdapat tanda khusus serta nominal angka yang akan terasa kasar bila diraba oleh disabilitas netra, namun jika uang tersebut sudah lama dan kusam, para disabilitas netra mengalami kesulitan untuk mengenali nominal angkanya. Uang kertas yang lama secara fisik relatif mudah diidentifikasi, sehingga walaupun sudah kusam, mereka masih bisa membedakannya dengan mudah.

76

Alternatif terakhir yang bisa dilakukan yaitu dengan bertanya kepada orang terdekat untuk mengidentifikasi besaran nominal uang kertas tersebut. Walaupun secara umum pemerintah sudah memberikan hak aksesibilitas terhadap disabilitas netra dalam bentuk mata uang yang ada, namun pada kenyataannya fasilitas yang diberikan semakin terdegradasi daripada tahun tahun sebelumnya.

Bagi disabilitas netra yang sudah mengerti dan familiar dengan teknologi seperti smartphone, ada beberapa aplikasi yang bisa digunakan untuk mendeteksi nominal mata uang kertas. Salah satu aplikasi yang mereka gunakan adalah Mas Jawa T-Netra (Money Android Scanner Jawaban Masalah Tunanetra).8 Namun aplikasi ini masih belum berfungsi secara maksimal, karena sensor kamera masih lemah dalam mendeteksi uang, sehingga kadang kala harus dilakukan secara berulang-ulang.

D.2 Inklusi Keuangan Inklusi keuangan pada hakikatnya adalah hak setiap orang untuk mengakses layanan keuangan secara penuh dari lembaga keuangan yang ada. Agar masyarakat Indonesia well literate serta dapat menggunakan produk dan layanan jasa keuangan yang sesuai, maka lembaga keuangan didorong untuk menyasar masyarakat secara lebih luas, khususnya ekonomi menengah ke bawah.9 Hal ini dimaksudkan agar indeks inklusi keuangan di Indonesia semakin meningkat.

Dalam mengawal keuangan inklusif di Indonesia, Bank Indonesia mempunyai 4 indikator untuk mengukur perkembangan keuangan inklusif di Indonesia,10 yaitu : a. Ketersediaan akses, untuk mengukur penggunaan jasa keuangan formal dalam hal keterjangkauan fisik dan harga. b. Penggunaan, untuk mengukur kemampuan aktual penggunaan produk dan jasa keuangan.

8Mas Jawa T-Netra (Money Android Scanner jawaban Masalah Tunanetra) merupakan sebuah aplikasi scanner nilai mata uang berbasis android dengan metode OCR (Optical Character Recognition) yang berfungsi untuk membantu penyandang tunanetra dalam mendeteksi nilai nominal mata uang rupiah. Cara melakukannya dengan mengahadapkan uang kertas ke kamera smartphone, kemudian uang kertas tersebut akan terdeteksi oleh sensor kamera, sehingga bisa diketahui nominal uang kertas tersebut melalui suara yang keluar dari smarthphone. 9Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Bank Indonesia, “Booklet Keuangan Inklusif”, (Jakarta: BI, 2014). 10 Ibid 77

c. Kualitas, untuk mengukur apakah atribut produk dan jasa keuangan telah memenuhi kebutuhan pelanggan. d. Kesejahteraan, untuk mengukur dampak layanan keuangan terhadap tingkat kehidupan para pengguna. e. Meskipun Indonesia meraih penghargaan dari Global Inclusion Award 2017 sebagai negara terbaik se-Asia Pasifik dalam pencapaian inklusi keuangan,11 tetapi disabilitas netra masih banyak yang belum akses terhadap beberapa produk lembaga keuangan yang ada. Bahkan, walaupun secara global indeks inklusi keuangan masyarakat Indonesia lebih tinggi dari indeks literasinya, namun tetap saja akses keuangan para disabilitas netra ini masih sangat minim. Hal ini terlihat dari hasil penelitian selama di lapangan.

Menurut Dwitya Ariwaba yang merujuk dari Financial Literacy Assesment Framework (2016:4), faktor internal dari konsumen dan faktor eksternal dari penyedia jasa keuangan sangat berpengaruh terhadap keputusan keuangan nasabah. Sehingga tingkat literasi dan inklusi keuangan para disabilitas netra sangat dipengaruhi baik dari faktor internal maupun eksternalnya. Terkait faktor internal, temuan di lapangan menunjukkan bahwa literasi keuangan disabilitas netra masih sangat minim. Selain itu finansial para disabilitas netra yang masih di bawah rata-rata cukup berpengaruh terhadap inklusi para disabilitas dalam mengakses lembaga keuangan yang ada.

a. Literasi keuangan yang minim Dengan pemahaman terhadap produk keuangan yang minim (less literate), tentunya para disabilitas netra tidak akan mengakses produk yang kurang familiar bagi mereka, dan hanya akan mengakses produk jasa keuangan yang dipahami dan sesuai dengan kebutuhan.

Walaupun sudah banyak produk yang bisa dinikmati oleh kelas menengah ke bawah dengan modal yang terjangkau, tetapi sosialisasi dari lembaga keuangan masih sangat minim. Jika para disabilitas belum familiar dengan suatu produk investasi, maka produk tersebut dianggap kurang bermanfaat.

11 OJK, “Kaleidoskop Laporan Kinerja Otoritas Jasa Keuangan Tahun 2002-2017”, (Jakarta: OJK, 2017). 78 b. Finansial yang masih di bawah rata rata Dengan perekonomian yang pas-pasan, para disabilitas netra merasa belum membutuhkan produk keuangan yang tidak sesuai dengan kebutuhan finansialnya. Mereka lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan berinvestasi sesuai dengan kondisi keuangan yang ada.

Sebagian besar disabilitas netra merupakan golongan menengah ke bawah dengan pendapatan dibawah rata-rata. Mereka masih awam terhadap produk investasi yang tidak sesuai dengan kapasitas perekonomian mereka. Produk yang umum diakses hanya sebatas kebutuhan sehari-hari mereka seperti tabungan, kredit, atau koperasi. Jenis produk lainnya seperti pegadaian, asuransi, produk BMT, dana pensiun, atau sekuritas sangat jarang diakses, karena kurang terjangkau.

Secara umum, para disabilitas netra banyak yang mengakses koperasi, karena di dalam organisasi atau perkumpulan disabilitas netra umumnya mempunyai koperasi yang mewadahi mereka untuk melakukan simpan pinjam, walaupun secara informal.

Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi para disabilitas netra dalam mengakses keuangan antara lain : persyaratan yang menyulitkan, lokasi yang kurang terjangkau, infrastruktur yang kurang aksesibel, dan petugas yang kurang ramah kepada para disabilitas netra. a. Persyaratan yang menyulitkan Hal yang paling banyak dikeluhkan oleh para disabilitas netra adalah persyaratan dalam pembuatan rekening tabungan di perbankan. Mereka sering terganjal pada tahap awal terkait tanda tangan, karena pola tanda tangan yang dianggap berubah-ubah. Beberapa bank memberi kelonggaran untuk menggantikannya dengan cap jempol, tetapi lebih banyak yang menolak dan meminta agar membawa pendamping yang dianggap bisa mewakili disabilitas netra tersebut. Petugas lembaga keuangan masih mempunyai stigma negatif dan menganggap bahwa disabilitas netra belum mandiri dan tidak cakap hukum, sehingga adanya pendamping adalah syarat mutlak ketika melakukan transaksi di perbankan. Yang terjadi, jika sudah dalam keadaan mendesak, mereka akan meminta tolong kepada orang yang bisa

79

membantunya pada saat itu, misalnya tukang ojek yang mengantarkan, untuk sekedar menggugurkan syarat dalam proses pembuatan rekening tersebut.

Kasus semacam ini membuat orang yang tidak dikenal baik dapat mengetahui data responden, dan menjadikan data tersebut tidak aman, karena diketahui oleh orang lain. Hal ini sangat bertentangan dengan poin 3 bab 2 dari surat edaran OJK tentang kerahasiaan dan keamanan data dan informasi pribadi konsumen.12

Pada dasarnya, perlakuan secara diskriminatif dari staf lembaga keuangan ini sangat bertentangan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 pasal 8, mengenai hak privasi para disabilitas yang dilindungi kerahasiannya terkait data pribadi agar tidak diketahui oleh orang lain. Kemudian, pada saat pengajuan kredit pembiayaan, disabilitas netra banyak terganjal dalam hal agunan, karena mayoritas bekerja di sektor informal dengan keuangan yang pas-pasan. Belum lagi tempat tinggal yang hanya kontrak dan belum mempunyai rumah secara permanen, membuat disabilitas netra semakin sulit untuk mengakses pembiayaan dari perbankan.

b. Lokasi yang kurang terjangkau Jarak merupakan salah satu faktor yang menyulitkan akses disabilitas netra. Dengan letak kantor pusat, unit, ataupun fasilitas lain dari jasa keuangan seperti konter ATM yang jauh dan kurang terjangkau, membuat disabilitas mengalami kesulitan mengakses.

Selain transportasi, waktu juga merupakan salah satu kendala para disabilitas netra untuk mengakses layanan keuangan secara mandiri. Beberapa konter ATM letaknya cukup tinggi dengan pintu yang tertutup rapat, membuat disabilitas netra kesulitan mengakses. Apalagi jika baru pertama kali mengunjungi lokasi tersebut.

c. Infrastruktur yang kurang aksesibel Salah satu kendala disabilitas netra saat mengakses jasa keuangan adalah fitur layar pada mesin ATM yang tidak seragam. Secara umum, mesin ATM belum sepenuhnya inklusi terhadap para penyandang disabilitas. Seringkali fitur ATM antara bank yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Dalam slip penarikan misalnya, ada yang nominal

12 Surat Edaran Otoritas jasa keuangan No.14/SEOJK.07/2014 Tentang Kerahasiaan dan Keamanan Data Dan / Atau Informasi Pribadi Konsumen. 80

Rp.100.000,-, Rp.200.000,- dan Rp.500.000,-. Tetapi ada juga mesin ATM dengan nominal penarikan Rp.100.000,-, Rp.250.000,-, serta Rp.500.000,- pada urutan yang sama. Fitur ini hanya terlihat di layar ATM yang tidak bisa diakses oleh disabilitas netra.

Disabilitas netra umumnya mengakses ATM berdasarkan pengalaman. Jika setiap ATM mempunyai fitur yang berbeda-beda, berimbas pada keengganan mereka untuk mengaksesnya. Terlebih, sekarang ini banyak mesin ATM dengan layar sentuh. Tanpa bantuan audio atau tombol yang bisa diraba, membuat disaibiltas netra sangat terkendala ketika mengaksesnya.

Di ruang tunggu, umumnya tidak ada loket khusus bagi disabilitas netra. Mereka harus antri bersama dengan masyarakat umum lainnya. Ketika nomor antrian tidak terdengar jelas, dan tidak ada fasilitas audio atau speaker yang dijadikan petunjuk, membuat disabilitas netra mengalami kesulitan ketika menunggu giliran. Begitu juga ketika harus ke toilet, karena pada umumnya letak toilet berada di belakang atau paling ujung, sehingga jauh dari jangkauan nasabah disabilitas yang sedang berada di ruang tunggu. d. Petugas yang kurang ramah Hal mendasar yang paling dibutuhkan oleh para disabilitas netra adalah pelayanan dari para petugas jasa keuangan, baik security, front desk, atau customer service dari lembaga keuangan. Perlu sensitifitas yang tinggi terhadap disabilitas netra, agar permasalahan yang mereka hadapi saat transaksi di lembaga keuangan dapat teratasi. Walaupun infrastruktur suatu lembaga keuangan kurang mendukung, jika para petugas empati dan ramah saat melayani disabilitas netra, mereka akan sangat terbantu ketika melakukan transaksi. Jika hal ini bisa mereka dapatkan, para disabilitas netra akan kembali untuk melakukan transaksi di lembaga keuangan tanpa ada rasa cemas.

Selama ini belum banyak lembaga keuangan yang memiliki staf yang ramah terhadap disabilitas. Para petugas belum care dan memahami kebutuhan para disabilitas. Beberapa masih awam dan kebingungan dalam menghadapi nasabah disabilitas. Minimnya pengetahuan petugas terhadap disabilitas netra ini membuat mereka enggan untuk mengakses produk lembaga keuangan. Pelayanan yang baik dari para petugas lembaga

81

keuangan sangat dibutuhkan sebagai langkah awal bagi disabilitas netra untuk mengakses produk-produk lembaga keuangan lainnya.

C. Peran Pemerintah Dalam Mewujudkan Literasi dan Inklusi Keuangan Bagi Para Disabilitas Negara yang bermartabat adalah negara yang menghormati, menghargai, memenuhi dan memberikan perlindungan bagi setiap warga negaranya tanpa kecuali, termasuk hak-hak para penyandang disabilitas.13 Dengan diratifikasinya Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas oleh pemerintah Indonesia dan diimplementasikan secara langsung melalui Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011, maka sejatinya pemerintah Indonesia tidak sekedar memberikan harapan yang besar bagi para penyandang disabilitas untuk memperoleh hak-haknya tanpa diskriminasi. Akan tetapi hal ini juga merupakan tanggung jawab yang besar bagi pemerintah untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat menikmati hak-haknya secara penuh dalam kesetaraan.

Pada tahun 2016, pemerintah merubah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 ini dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang sebelumnya. Pemerintah meyakini bahwa sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, dan miskin. Hal ini disebabkan karena masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan dan pengurangan hak penyandang disabilitas. Dengan adanya penyempurnaan Undang-Undang tentang disabilitas ini, diharapkan dapat mewujudkan kesetaraan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi.

Di pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 dijelaskan bahwa para disabilitas harus mempunyai kesempatan yang sama dalam hal pemenuhan kebutuhan, penghormatan, perlindungan, aksesibilitas, termasuk pelayanan publik dalam rangka memberdayakan kaum disabilitas tanpa adanya diskriminasi.14 Dalam hal privasi, disabilitas dijamin haknya untuk memperoleh perlakuan yang sama serta dilindungi kerahasiannya atas data-data pribadi, termasuk memperoleh akses terhadap pelayanan jasa perbankan dan non perbankan.

13 Lembaga Peduli Dhuafa Aceh, “Hak Bagi Penyandang Disabilitas dan Perlindungan Hukum”, dalam http://www.lpd-aceh.org/2017/04/hak-bagi-penyandang-disabilitas-dan.html, diakses tanggal 20 November 2017. 14 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang disabilitas. 82

Dalam hal aksesibilitas dan pelayanan publik, disabilitas diberikan jaminan untuk mendapatkan akses dalam memanfaatkan fasilitas publik dan juga pendampingan, penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan biaya, termasuk mendapatkan informasi dan berkomunikasi melalui media yang mudah diakses. Disabilitas netra, sebagai salah satu ragam dari disabilitas tersebut harus turut serta dalam memperoleh perlindungan secara hukum dari pemerintah.15

Dalam rangka memperluas akses masyarakat terhadap layanan keuangan, pemerintah telah mengeluarkan Perpres nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). SNKI ini dikeluarkan untuk meningkatkan dan memperluas inklusi keuangan masyarakat Indonesia, karena masih banyak yang belum tersentuh oleh jasa keuangan modern. Selain itu, SNKI juga berfungsi untuk melindungi konsumen, agar Indeks Nasional Keuangan Inklusif di Indonesia meningkat menjadi 75% di tahun 2019 seperti yang ditargetkan oleh pemerintah16.

Di Indonesia, ada 2 lembaga pemerintah yang bertanggung jawab untuk meningkatkan inklusi keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI) yang mengatur dan mengawasi perbankan regulasi perbankan di Indonesia, serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mempunyai wewenang dalam hal pengawasan lembaga keuangan baik bank maupun non bank. Masing-masing mempunyai wewenang yang berbeda untuk meningkatkan Indeks Literasi Keuangan di Indonesia ini. Walaupun begitu keduanya saling bekerja sama untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan masyarakat Indonesia.

Sebagai otoritas industri keuangan di Indonesia Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai kepentingan untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan serta perlindungan ke masyarakat pengguna produk keuangan. Pada Tahun 2016, OJK bersama dengan BI dan pemerintah telah merevisi definisi literasi keuangan dengan menambahkan aspek sikap dan perilaku keuangan masyarakat Indonesia untuk mengakomodir perkembangan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia.17

15 Ibid., Pasal 19. 16 Dalam siaran Pers OJK Dengan Nomor SP/82/DKSN/OJK/VII/2017, disebutkan bahwa target pencapaian Indeks Inklusi Keuangan di tahun 2019 saebesar 75%.

17Otoritas Jasa Keuangan, “Revisit Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia”. Diterbitkan Oleh Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK. 83

Salah satu perubahan yang dilakukan adalah dengan menambahkan komponen penyandang disabilitas sebagai salah satu prioritas sasaran target SNKI. Penambahan prioritas ini atas dasar kesamaan hak serta kebutuhan literasi dan inklusi keuangan masyarakat di Indonesia. Dalam menjalankan visi misi SNKI tersebut, ada 3 program strategis yang diperhatikan, yaitu cakap keuangan, sikap dan perilaku bijak, serta akses keuangan.

Di bidang cakap keuangan, disabilitas netra merupakan salah satu sasaran pemerintah untuk meningkatkan literasi keuangan di Indonesia. Untuk itu, pemerintah harus menyasar disabilitas netra dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, serta mengembangkan infrastruktur yang ada agar akses mereka terhadap lembaga keuangan semakin meningkat. Untuk program sikap dan perilaku bijak, perlu adanya pendampingan keterampilan yang sesuai, agar disabilitas netra bisa menjalankan usaha sesuai dengan keterampilannya masing- masing. Tidak hanya sebatas pendampingan keterampilan saja, tetapi termasuk juga pendampingan pengelolaan keuangan, sehingga dalam tahapan berikutnya mereka bisa mandiri dan memperluas usaha yang dijalankan.

Dalam hal akses keuangan, pemerintah perlu menjamin dan mempermudah disabilitas netra dalam mengakses lembaga keuangan. Selama ini, masih ada beberapa kendala untuk mengakses lembaga keuangan yang ada, baik secara pribadi maupun kendala dari luar. Kendala dari luar ini merupakan kendala yang paling dominan. Perlu adanya pembenahan di bidang infrastruktur, seperti letak konter yang perlu dibenahi, penambahan fasilitas screen reader di mesin ATM, atau penambahan audio di masing-masing konter ATM agar bisa diidentifikasi oleh para disabilitas netra.

Jika bisa teratasi, maka semakin mempermudah para disabilitas netra untuk mengakses lembaga keuangan yang ada. Produk yang sesuai dengan keadaan disabilitas juga sangat mendukung dalam meningkatkan inklusi keuangan mereka. Dengan adanya payung hukum dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan disabilitas di Indonesia baik melalui ratifikasi CRPD, melalui Undang-Undang disabilitas serta meningkatkan sasaran SNKI dengan dimasukkannya disabilitas sebagai salah satu sasaran target inklusi keuangan pemerintah, maka perhatian pemerintah terhadap disabilitas netra semakin terlihat nyata.

84

Namun selama ini masih banyak lembaga keuangan yang belum menjalankan amanat tersebut dengan baik. Lemahnya undang-undang, tidak adanya ketegasan pemerintah, serta tidak adanya sanksi yang tegas ini membuat lembaga keuangan belum mempunyai kesadaran penuh terhadap kaum disabilitas, karena masih menganggap mereka sebagai golongan minoritas dan tidak memberikan keuntungan secara finansial bagi lembaga keuangan.

Payung hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah ini masih relatif baru, dan masih perlu adanya perubahan atau penambahan agar lebih sempurna. Walaupun upaya pemerintah untuk mengakomodir kaum disabilitas, khususnya disabilitas netra masih minim, namun tidak berarti bahwa pemerintah mengesampingan pemenuhan terhadap hak-hak disabilitas netra dalam mengakses lembaga keuangan di Indonesia. Perlu adanya perbaikan sesegera mungkin agar target Indeks Nasional Keuangan Inklusif yang dicanagkan oleh OJK sebesar 75% di tahun 2019 bisa tercapai secara maksimal.

D. PENUTUP Banyaknya jumlah disabilitas netra merupakan pasar yang potensial bagi lembaga keuangan. Namun, selama ini mereka belum menikmati inklusi lembaga keuangan. Untuk mendorong inklusi keuangan yang baik, perlu adanya literasi keuangan agar semakin melek terhadap produk yang ada, sehingga bisa mengakses produk sesuai dengan kebutuhan dan perencanaan eknomi mereka. Tetapi ada berbagai permasalahan yang terjadi terkait literasi dan inklusi keuangan mereka, sehingga produk lembaga keuangan belum sepenuhnya terakses oleh kaum disabilitas netra.

Dalam hal literasi keuangan, secara umum pemahaman terhadap produk keuangan masih sebatas dari pengalaman, dan mereka akan mengakses jika sesuai dengan keadaan ekonominya. Kaum disabilitas netra belum familiar dengan produk investasi lain seperti asuransi, gadai, atau sekuritas, karena belum dianggap sebagai kebutuhan yang penting. Dalam menggunakan mata uang, disabilitas netra lebih familiar dengan mata uang lama yang dikeluarkan sebelum tahun 2000, karena bentuknya relatif berbeda dalam hal ukuran uang kertas, dibanding keluaran setelahnya dengan ukuran yang hampir sama.

Literasi keuangan yang baik akan diikuti dengan inklusi keuangan yang baik pula. Jika melek keuangan dan paham terhadap produk lembaga keuangan, mereka akan

85 mempunyai preferensi dalam memilih suatu produk secara lebih leluasa, tidak hanya terbatas pada produk umum seperti tabungan atau koperasi.

Meskipun survei OJK menunjukkan bahwa Indeks Inklusi Keuangan di Indonesia, termasuk di Jakarta, lebih tinggi daripada literasinya, hal ini ternyata tidak merefleksikan keadaan para disabilitas netra. Beberapa kendala dari internal diri mereka sendiri, seperti terbatasnya pemahaman terhadap produk lembaga keuangan dan lemahnya kapasitas finansial mereka, serta faktor eksternal berupa persyaratan yang menyulitkan, lokasi yang kurang terjangkau, infrastruktur yang kurang aksesibel, dan petugas yang kurang ramah kepada para disabilitas netra membuat akses mereka terhadap lembaga keuangan semakin rendah.

Pemerintah telah mengakui hak-hak disabilitas secara sah di Indonesia. Pengakuan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011, yang kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016, sebagai tindak lanjut dari ratifikasi CRPD di Indonesia. Dalam hal akses keuangan, OJK bersama Bank Indonesia juga telah mengakomodir para disabilitas sebagai salah satu sasaran dalam program inklusi keuangan nasional.

Semangat disabilitas netra untuk semakin mandiri hendaknya dijawab dengan penyediaan fasilitas dengan desain yang universal, yang dapat diakses oleh semua orang, layanan yang ramah dan baik dari para petugas/ staf lembaga keuangan, dan kelonggaran persyaratan yang dapat memudahkan mereka untuk mengaksesnya. Walaupun sudah ada payung hukum untuk para disabilitas, tetapi dalam praktiknya belum ada aturan pemberian sanksi yang tegas. Perlu ada aturan dan sosialisasi kepada lembaga keuangan yang lebih spesifik agar mereka mempunyai landasan dan pelayanan yang baik bagi para disabilitas netra. Jika hak-hak dan kebutuhan para disabilitas terpenuhi, sesuai dengan amanat Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016, maka komitmen pemerintah untuk meningkatkan Indeks Inklusi Keuangan di Indonesia akan terwujud.

86

E. DAFTAR PUSTAKA

CRPD. “Convention On The Rights of Persons With Disabilities”. Handicap International, 2011.

Daulay, Zainul. “Makna Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) dan Implementasinya Galam Kebijakan Pembangunan Daerah Yang Inklusif Serta Urgensi Perda Perlindungan Disabilitas.” Paper dipresentasikan dalam Seminar Sehari: Convention on The Rights of Persons With Disability dan Implementasinya Dalam Bentuk Kebijakan Pembangunan Daerah Yang Inklusif di Sumatera Barat. Dipresentasikan di Auditorium Gubernuran, Padang, tanggal 4 Februari 2013.

Dwitya Aribawa. “Pengaruh Literasi keuangan Terhadap Kinerja dan Keberlangsungan UMKM di Jawa Tengah”, Jurnal Siasat Bisnis, Vol.20 No.1,Januari 2016).

Hermans, B. “Desperately Seeking: Helping Hands and Human Touch”. http://www.hermans.org/agents2/ch3_1_2.htm. diakses tanggal 25 Juli 2008.

Hidayah, Nur. Implementasi Financial Inclusion (Keuangan Inklusif) Bagi masyarakat kelurahan Karah Kecamatan Jambangan Kota Surabaya. Surabaya: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.

Irfani, Fauziah. Pengaruh Pengetahuan Keuangan dan Indeks Inklusi Keuangan Terhadap Perilaku Keuangan Personal Masyarakat di Wilayah Kabupaten Sleman. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.

International Labour Organization, Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia. http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_233426/lang-- en/index.htm. diakses pada tanggal 15 November 2017.

Nazir, Moh. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

OJK. “Laporan Kinerja Otoritas Jasa Keuangan 2012-2017”. Jakarta: OJK, 2017.

______“SP 82/DKSN/OJK/VII/2017, Siaran Pers: Revisit Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLKI) Sebagai Upaya Akselerasi Pencapaian Indeks Literasi dan Inklusi Keuangan. Jakarta: OJK, 2017.

______“Literasi Keuangan”. Jakarta: OJK, 2017.

______"Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2016”. http://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Documents/Pages/Siaran- Pers-OJK-Indeks-Literasi-dan-Inklusi-Keuangan- Meningkat/17.01.23%20Tayangan%20%20Presscon%20%20nett.compressed.pdf. diakses tanggal 10 November 2017.

Republik Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2016 Tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Jakarta: Sekretariat Negara, 2016.

87

Sugiyono. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), Cet. Ke-7. Bandung: Alfabeta, 2015.

Suharto, Edi. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktisi Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: Alfabeta, 2014.

United Nations Development Program, ”Traktat Marrakkesh: Meningkatkan Akses Informasi Bagi Orang Dengan Hambatan Membaca Barang Cetakan”. Issue Brief Indonesia. Jakarta.

Web

ILO (International Labour Organization),“Penyandang Disabilitas di Indonesia”, http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_233426/lang-- en/index.htm diakses pada tanggal 15 November 2017.

Lembaga Peduli Dhuafa Aceh, “Hak Bagi Penyandang Disabilitas dan Perlindungan Hukum”, dalam http://www.lpd-aceh.org/2017/04/hak-bagi-penyandang-disabilitas- dan.html, diakses tanggal 20 November 2017.

OJK, “Literasi Keuangan”, diakses dari http://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan- perlindungan-konsumen/Pages/Literasi-Keuangan.aspx , tanggal 10 November 2017.

Tribun Jateng. “Slamet Ingin Industri Jasa Keuangan Memperhatikan Difabel.” http://jateng.tribunnews.com/2015/08/23/slamet-ingin-industri-jasa-keuangan- memperhatikan-kaum-difabel, diakses tanggal 15 November 2017.

88

A COMPARISON OF “SANG PENCERAH” AND “SOEGIJA”

Kristi Center for Religious and Cultural Studies (CRCS), Graduate School, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Email: [email protected] Phone number: 082135980555

Abstract

Media represents culture. It can represent what can be seen in reality or, on the other hand, construct a new one. Media also brings message through its representation. One part of the media is film. Film, which is produced for big-screen audiences must relevant to the spirit of the market but still bring messages for and from certain community. “Sang Pencerah” tells about the life of Kyai Haji , an Islamic leader, the founder of Muhammadiyah. “Soegija” tells about Mgr. Albertus Soegijapranata, the first Javanese bishop in . Both are Indonesian national heroes. Both are prominent leaders of their religion. Both are also leader in the struggle of building national identity of Indonesia. The paper compares these two films, especially in the portrayal of them as religious leader who lead to religious and national identity of their followers. The comparison includes their mise-en- scène (costume and stars), story, production house, and history and context. From the comparison it can be seen the difference of representation and the way of production and distribution that can be related with the difference of religion. The difference can be traced to the different of Islam and Catholic on the matter of their number in society. As majority in number, Islamic themed film is more acceptable in society. As minority in number, to make and distribute a film about Catholic leader need to show other aspect to make it acceptable. It can be seen as contestation between different religions to make their story and participation in the nation building is accepted by public through media.

Keywords: religion, nationality, media, representation, Sang Pencerah, Soegija

INTRODUCTION

Kyai Haji Ahmad Dahlan and Mgr. Albertus Soegijapranata are Indonesian National Heroes. From their name, it can be seen that they are from different religious communities. The first is the founder of Muhammadiyah, the second largest Islamic organization in Indonesia, an Islamic organization that was founded in modern organization way. The latter is the first indigenous bishop of Roman Catholic Church in Indonesia. By that identity, they both are big figure in their own community.

89

Both are filmed in two biopic films, Sang Pencerah (2010) and Soegija (2012), and showed in big screens. This paper wants to investigate the representation of religious and national identity that wants to be shown through the religious leaders. The identity will be investigated through comparing their mise-en-scène (costume and stars), story, production house, and history and context. Lastly, the result of the comparison will be seen in the context of contestation of religion in public life.

LITERATURE REVIEW

Lynn Schofield Clark writes that traditional scholars in Europe are difficult to accept that popular culture is something worth it to study. It comes from understanding that popular culture is lower than high arts, exists only for leisure need (Clark, 2007: 8). Not only Clark who recognize that. Dominic Strinati also writes that scholars differentiate popular culture from high art or culture. It is said that popular culture has low status (Strinati, 2004: 1-2).

Similar understanding also exists in Indonesia. Max Richter even contrasts it specifically in Yogyakarta between progressive popular culture by artists and students with the ‘refined’ culture of Sultanate of Yogyakarta (Richter, 2008: 167). Ariel Heryanto writes that in Indonesia, popular culture seen as something unimportant to study. The reason is that it is often associated with crude profit-making in the entertainment industry. But Heryanto argues that it is important to study popular culture because it is inform something more important than what is portrayed, such as political condition in Indonesia. Besides that, popular culture has power because it can attract many people at once. Other reason is that after economic crisis at 1997-1998, contemporary cultures are thriving as never before (Heryanto, 2008: 3-5).

To understand the importance of popular culture, study of representation becomes something inevitable. Representation commonly understood as a reflection of reality. It means media show what reality is (Hall, 2005: 7). Hall proposes a new understanding that representation is within the event, means that what we see in media represent itself (Hall, 2005: 8). Representation produces meaning which involves symbolic work, activity, and practice to give meaning and communicate that meaning (Hall, 2005: 14). Hall correlates these understanding with identity. Choosing to focus on image representation (Hall, 2005: 3), when someone want to produce meaning from an image, it must engage the audience psychically and imaginary (Hall, 2005: 17).

90

Film is one of popular culture (Clark, 2007: 8). As popular culture, film has its own language to communicate its message (Turner, 1999: 52). Film is a rich set of codes and convention (Turner, 1999: 56). It means when we see film, there are techniques and ways that represents what the maker(s) want to show. It called signifying practice and using signifying systems, which are camera, lighting, sound, mise-en-scène, and editing (Turner, 1999: 69- 73). Through these signifying systems, message can reach the audience.

One of the film genres is biopic. There are several definitions of biopic. One of them says that biopic is a simple recounting of the facts of someone’s life. It is an attempt to discover biographical truth (Bingham, 1954: 7). Other definition is a fiction film that deals with a figure whose existence is documented in history, and whose claims to fame or notoriety warrant the uniqueness of his or her story (Vidal, 2014:3). It is often seen as low or problematical genre (Bingham, 1954: 11; Vidal, 2014: 1). But biopic is important because it shows the importance of someone’s life in the world or an evaluation about her/his role (Bingham, 1954: 10).

FILM REVIEW

1. Sang Pencerah Sang Pencerah is a 2010 film directed by Hanung Bramantyo. The producer is Raam Punjabi, is produced by PT Multivison Plus (MVP) Pictures, and fully supported by Pengurus Pusat (PP/Central Board) Muhammadiyah. The film is about Kyai Haji Ahmad Dahlan (or formerly known as Muhammad Darwis, later will be reffered as Ahmad Dahlan), the founder of Muhammadiyah, the second largest Islamic organization in Indonesia. The context shown is Islam in Yogyakarta at the end of 19th century that full of superstition in its practice. The time context, for exact, is between 1 August 1868 (the birth of Ahmad Dahlan) until 12 November 1912 (the establishment of Muhammadiyah).

This film divides the life of Ahmad Dahlan into three stages. The first is the birth and childhood until early teenager, which only shown as a glimpse. Here Darwis is shown feel uncomfortable with the practice of his fellow Muslim. It shown by his face when see people give offering. He even steals the offering and gives it to people who starving. He also reject to give respect in a worship attitude to the head kyai and do not want to take special bath before Ramadhan fasting.

91

The second stage starts at age 15 years old when he decides to do hajj in Mecca. He studied Islam for five years there. Back to Yogyakarta, he does some reformation in Muslim practice. He redirects the direction of prayer according to his calculation about the position of Yogyakarta and Mecca. He teaches Islam using ‘western music instrument’, a violin. He tells people that it is not an obligation to do offerings or feasts for special occasion, that the most important thing is the prayer to Allah. These reformations make other do not like and feel threatened. They move people to stop Ahmad Dahlan and destroy his mosque. Even after he rebuilds the mosque and starts teaching again, the rejection is still continued.

The third stage is after he does hajj for the second time. After back to Indonesia, he is interested to modern education and organization. He teaches Islam in public school. He makes school in his mosque using ‘western way’. He learns from Boedi Oetomo, the first modern organization in Indonesia, which is established by scholars from high class Javanese. Then he decides to establish another organization which can be used as a means for Islamic movement. This stage is also full of rejection from other kyais and also ordinary people.

2. Soegija Soegija is a 2012 film directed by . The producers are Djaduk Ferianto, Murti Hadi Wijayanto, and Tri Giovanni. The film is the project of Studio Audio Visual (SAV) Puskat Yogyakarta, a production house owned by Jesuit order of Catholic Church. This film is about Mgr. Albertus Soegijapranata, the first indigenous bishop of Roman Catholic Church in Indonesia. The context for this film is from 1940 (the year of the of Mgr. Albertus Soegjapranata as bishop) until 1950 (when the Netherland leaves Indonesia).

During the film, Mgr. Albertus Soegijapranata (later will be referred as Soegija) not dominate the scenes. He only appeared in some scenes which show his initiative and idea. During those scenes, it is shown that he is not only think about the Church but also have important role in the history of Indonesia. After ordained as bishop, he tells the adherents that they must love the Church so they can love the nation. They must be 100% republic because they are 100% Catholic. In the middle of starving during Japan occupation, he tells the Lurah to give food to the people first, not to the clerics. He sends a letter to the Prime Minister Syahrir giving advice to

92

immediately establish local governance in Semarang. He also leads the ceasefire in Semarang. By his letter to Vatican and his diplomacy, Vatican immediately recognize the independence of Indonesia. He moves the office of diocese to Yogyakarta to give support to the government which must move the capital of Indonesia from Jakarta to Yogyakarta. He preaches that although Indonesia consists of various people, they must respect each other to become a nation, because this nation is the will of God. He also let the Church in Bintaran be the place for the refugees.

Comparing Sang Pencerah and Soegija

The comparison here will see the mise-en-scène, especially costumes and stars. Second comparison is about the story presented in the films about the main character. Two last comparisons are about the production company and the history and context of the film.

1. Mise-en-scène Mise-en-scène is everything that is in frame includes costumes and stars (Turner, 1999: 69-70). From the costume and star for the main character in Sang Pencerah and Soegija, it can be seen what identity the director wants to show. a. Costume Ahmad Dahlan is represented as wearing Javanese clothes at his childhood and teenage. It shows how his early life is under authority of the kyais and family. After doing his first hajj, Ahmad Dahlan always wears robe (Arabic clothes). This is same clothes worn by other kyai in this film. Ahmad Dahlan now has same authority as religious expert or Islamic teacher as other kyais. His clothes are changing again after his second hajj and during his involvement on modern education and organization. He wears European clothes.

These changes show the stages of Ahmad Dahlan’s life. It also shows the struggle of Ahmad Dahlan. He needs to go through different paths of life before he becomes a famous founder of Muhammadiyah. Muhammadiyah is not an instant product. It is part of struggle. Live in the true path of Islam as Muhammadiyah teach is not an easy way. It needs struggle and open minded. The changes also show that Muhammadiyah represent the modern Islam.

93

Soegija is portrayed always wearing his robe. It is part of Vatican rule. It can also be seen as his authority. But by wearing the robe in the daily life, even in a beach, it shows that the authority is not makes a distance between him and the people. It emphasizes that the cleric is integral part of the society. It also shows the identity as Catholic bishop but in the same time show the presence of religion in daily life, even in nation struggle.

Both Sang Pencerah and Soegija use costume to emphasize the status of Ahmad Dahlan and Soegija as religious leader. The difference is Ahmad Dahlan changes according to his stages of life, while Soegija only wears what he must wear. But both show us that in one sense, a religious leader can be recognised and look authoritative by what he wear.

b. Stars Ahmad Dahlan is thin, contrasted with chief kyai which is big. It shows the fragility and his position that can be seen as small defiant from the official religion. Although later he will be an important and famous leader, it is not by nature. He becomes religious leader because he struggle for it.

On the other hand, Soegija is represented by a man in ordinary size. Ordinary size means not thin not fat, not tall not short. It shows that Soegija is same as other ordinary people although have authority as a bishop. It emphasizes that religious leader is same as ordinary people, then feel and experience the same thing with other people. That is why Soegija can be so emphatic with the suffering at that time, because he is same with others.

2. Story Sang Pencerah shows the process of Ahmad Dahlan’s life until the establishment of Muhammadiyah. He reforms the Islamic practice by redirect the kiblat direction. He also reforms the image of Islam to be modern through education and organization. Although Muhammadiyah later become big organization that works in education and health issues and Ahmad Dahlan itself is recognized as Indonesian hero, which is meant he has important role in the independence of Indonesia, this film does not show that. This film wants to show the struggle that religious leader is not an instant product. Reformation of 94

religion also not an instant thing happened. Religion can be deviated but it also can be reformed although need a struggle and a religious leader have important role here.

Soegija has different point of few. It does not emphasize on Soegija’s life story but on his ideas and actions in correlation with Indonesian’s struggle to be independent. Religion is not portrayed for itself but in the work with other as nation. Soegija often referred as silent diplomacy. It seems that he only does what he must do as bishop in a very structured Church. But by his work, Vatican recognize the independence of Indonesia. Rémy Madinier stated that Soegija’s work have important role in Indonesia’s history. It is said that Soegija was the architect of the alignment of the Catholic Church with the young Indonesian Republic and the clever architect of the Vatican recognition of the Republic (Picard and Madinier, 2011: 42). This interpretation can be seen clearly in the film. The portrayal of the bishop is not for religion’s need but in the role of religion (in this case Catholic Church) in the struggle of the nation.

3. Production House These two films are produced by two different production houses/companies. Sang Pencerah is produced by MVP Pictures. MVP Pictures is a production house which is established at 1989 when private television station is starting operated in Indonesia. Until now, it produces many television series, television movie, and movie for cinema (mvpindonesia). On the other hand, Soegija is produced by SAV Puskat as its first cinema movie. SAV Puskat is founded by Jesuit clerics to give service in communication and media. It is then become a training centre and not only serve the need of the Church (savpuskat-profile).

Different characteristic of these two production house give different impression to the film. The reason and purpose of producing Sang Pencerah is cannot be found in MVP website. The only source can be found in the Internet is the interview of Hanung Bramantya, the director, in a television program “Mata Najwa”. Hanung said that he made this film firstly for personal reason because he live very near with Langgar Kidul, the mosque where Ahmad Dahlan started his work. Hanung also gives emphasize to the process of Ahmad Dahlan until he can establish Muhammadiyah. He starts by study abroad at 15 then go back to make a humble change, which is the direction of the prayer. He not starts by big ambition (metrotvnews). But a review also stated that the choice of this part of Ahmad Dahlan’s life is to show youth power of making change. It can be used

95 to reach Muhammadiyah youth also; let them know about their history and encourage them to do something for the goodness of nation (detik, sang pencerah).

For Soegija, SAV Puskat clearly define that the production’s background is the concern to Indonesian condition which is dominated by intolerant and violence. This film is produced to promote peace through the spirit of Soegija. Puskat also stated the purpose of this film as to make people learn from a national hero whose life is full of love to the plural Indonesia. This film also intended as character education for the nation (savpuskat- menggali semangat).

Although its content is about history and the character is a religious leader, Sang Pencerah is produced by a big and commercial production company. It is only one of many films produced by this company so after six years there are no comments or data in the official website of the company. Then a question can be raised about the purpose of the production of this film. Is it because they want to promote Islam and its organization? Or they only interested to produce because know this film will have particular audience which will watch it although they are not used to watch film? Or they want to represent themselves as a company that have religious side? While the involvement of Muhammadiyah itself only shown in the credit title that it is fully supported by central board of Muhammadiyah. It cannot be found in the official website or other sources in Internet.

On other hand, although produced by Catholic institution, it is clearly stated that Soegija is about nationality. It is not about Catholic itself, but how Catholic become integral part of Indonesia and its nationality. It does not make this film become less religious. Although does not show religious part explicitly, it shows religious praxis through Soegija’s role in the struggle of Indonesia. The fact that Catholic is minority in number in Indonesia can be a reason of the choice not to show Soegija as mere a religious leader, but as nationalist, a national hero. It can be the commercial reason also involved here. If this film is merely about the bishop with his internal role in the Church, less people will interested to watch and the message will not reached.

96

4. History and Context Indonesia is well-known as largest Muslim population country. It makes film with Islamic theme seems prevalent, although there are different kinds of Islamic films before and after Soeharto regime (Huda, 2012: 7-8). Muhammadiyah is second largest Islamic organization in Indonesia. It makes film about the founder of Muhammadiyah also seems prevalent. Especially Sang Pencerah was released at 2010, two years before the centenary of Muhammadiyah at 2012. This film shows the story behind Muhammadiyah and its founder. This film reminds all Muslims, especially Muhammadiyah members that Islam is modern, up to date, but also need to always struggle to reform and do good thing. For non-muslim, this film let them know about one of national hero.

The context of Soegija is different. Catholic (or Christianity as a whole) is minority in number of population in Indonesia. Although Soegija is recognized as national hero by the President Soekarno, not many people know about him, especially because he did not involve in physic action and also not part of delegations in diplomatic meetings. Although it is not a dakwah film, the intention to make a Catholic figure known by the public is seen clearly, especially because this film is made by a Catholic institution. It is also can be seen the way to build the perception of people about Catholic which is integral part of Indonesia. The identity of Catholic as nationalist is very clear in this film.

Religious Contestation in Public Life

Indonesia is not a nation that tightly separate between religion and public space. Religion is part of people’s life and can be freely expressed in public space. It includes in film. Since the rise of film industry in Indonesia, shortly after the independence, religious, especially Islamic, theme is already found in film. During Indonesian history, the style of Islamic films is changing over time. While in the post-independence (1950s-1960s) most of the Islamic film portray about Islamic reformation, patriotism and nationalism, in 1980s it shifts to biographies of Muslim saints. In the late 1980s, there was different style again, usually called as dakwah film. In reformation era, the rise of Islamic film can be seen by the various themes they choose. There is love story, such as “Ayat-ayat Cinta”, but also biopic as “Sang Pencerah”, and many more (Huda, 2012: 7-8).

The rise of Islamic film in the cinema can be seen as the shift of Muslim way of seeing the modern culture. While in the past watching cinema is seen as something evil, now

97 even a boarding school (pesantren) can produce a film (Huda, 2012: 4, 6). By the various theme of Islamic films distributed through large cinema network, say 21 cinema, it can be seen that the expected audiences are larger than a religious community such as a Qur’an reciter group (kelompok pengajian). Youth and young families that are engaged with modern popular culture are part of expected audiences.

By seeing the fact that Muslim is majority in number in Indonesia, the produce of Islamic themed film can be seen as something natural. Because they are majority in number, they also large population that can be expected to watch the film and that is good from commercial side. The film will be seen by many people, generating big income for the cinema, production house, and producers. There will be no loss by producing Islamic themed film.

On the other hand, for the idealists, producing Islamic themed film can be seen as promoting Islam also. As mention above, the production of “Sang Pencerah” is also intended to reach the young Muslims, to get them know about the founding father of Muhammadiyah. The globalization leads younger generation to depend on popular culture and new media to get information and others. Thus film is one of the best ways to ‘teach’ the youth Islamic values. They will not feel judged or taught but still penetrated by the values of Islam. They can also be proud of Islam when they see that Islam is not far from modernity. It can be seen from the portrayal of Ahmad Dahlan that is shown as a modern Muslim leader that lead to Muhammadiyah, a modern Islamic organization.

On the other hand, there are not many religious Indonesia film with non-Islam themed. It can be happened because too small number of expected audiences. It is not good from commercial side. The possibility to loss is bigger that producing Islamic film. “Soegija” itself is produced by a Catholic institution. They can successfully networking with 21 Cinema. But it was only played in Cinema 21, not XXI. At that time XXI is seen as have higher reputation than Cinema 21.

The conditions above can be seen as contestation of religion in public space. Through film by its medium, religion also want to reach the adherents in modern way. It also wants to spread its message to people outside their religion, to the public. The religious identity can be advantage when its adherence is majority in number, but in contrary it can be disadvantage when its adherence is minority in number. Moreover when each religious community feel that they are integral part of the nation and play important role in the nation building. Each

98 religious community want to promote that role, especially through their religious leader. From this point of view, it can be seen that “Sang Pencerah” and “Soegija” is part of the contestation. Each religious community want to show that their leader support Indonesia and do something important in the process of nation building.

CONCLUSION

Film is a medium to represent the culture. What we see in culture is represented in film. But not only that, what we do not realize in reality can be also portrayed in film (Bryant, 1982: 107). By this understanding, we can accept that film can be used as a mean to spread message, include the message about identity of a community. Sang Pencerah shows the identity of Islam which is piety, modern, and ready to do something to the nation through the organization. Soegija shows the identity of Catholic that is concern about the people and nation, even play an important role in the struggle of the nation. Both films show the identity of religion and nationality through the religious leaders.

Although both films are about religious leader they can be seen differently. In number, Islam has the biggest adherents in Indonesia. The fact makes an Islamic film, a film about Islamic leader, can be made freely. It will be easily accepted. Especially when the leader portrayed is the founder of the second biggest Islamic organization. It has community base which expected to watch even before the film produced. That is why Ahmad Dahlan can be portrayed in his work inside Islam. On the other side, Soegija is about a Catholic figure, a figure from a community which is minority in number in Indonesia. The producer must think the best way to make this film accepted by public which most are not Catholic. The role of Soegija as national hero is the best way to make this film and his figure accepted by public. On the other hand, these two films show the contestation between religions in Indonesia to show their important role in Indonesia and that they are integral part of this nation.

WORKS CITED

Articles and Books

Bingham, Dennis. (1954). Whose Live are They Anyway?: The biopic as contemporary film genre. Rutgers University Press.

99

Bryant, M. Darrol. (1982). “Cinema, Religion, and Popular Culture”. Religion in Film, edited by John R. May and Michael Bird, The University of Tennessee Press/Knoxville, pp. 101-114.

Clark, Lynn Schofield. (2007). “Why study popular culture?: Or, how to build a case for your thesis in a religious studies or theology department?” Between sacred and profane: Researching religion and popular culture, edited by Gordon Lynch, I.B.Tauris, pp. 5-20.

Hall, Stuart. (2005). Representation and the media. Media Education Foundation.

Heryanto, Ariel. (2008). “Pop culture and competing identity.” Popular Culture in Indonesia: Fluid identities in post-authoritarian politics. Ariel Heryanto. Routledge, pp. 1-36.

Huda, Ahmad Nuril. (2012). “Negotiating Islam with cinema: A theoretical discussion on Indonesian Islamic Films”. Wacana, Vol. 14 No. 1, April 2012, pp. 1-16.

Madinier, Rémy. (2011). “The Catholic politics of inclusiveness: A Jesuit epic in in the early twentieth century and its memory”. The Politics of Religion in Indonesia Syncretism, orthodoxy, and religious contention in Java and Bali, edited by Michel Picard and Rémy Madinier, pp. 23-47.

Richter, Max M. (2008). “Pop culture and competing identity.” Popular Culture in Indonesia: Fluid identities in post-authoritarian politics. Ariel Heryanto. Routledge, pp. 164-181.

Strinati, Dominic. (1995/2004). “Mass culture and popular culture.” An introduction to theories of popular culture, second edition, Routledge, pp. 1-45.

Turner, Graeme. (1999). “Film languages.” Film as Social Practice, Routledge, pp. 51-74.

Vidal, Belén. (2014). “Introduction: the biopic and its critical context”. The biopic in contemporary film culture edited by Tom Brown and Belén Vidal, Routledge, pp. 1-32.

Websites http://forum.detik.com/sang-pencerah-kisah-perjuangan-kh-ahmad-dahlan- t207491.html?&page=8

100 http://video.metrotvnews.com/play/2015/07/15/413405/ini-alasan-hanung-rako-membuat- film-tentang-dua-tokoh-islam-indonesia http://www.savpuskat.or.id/read/132/film-mgr.-soegijapranata-menggali-semangat-sang- pahlawan.html http://www.savpuskat.or.id/profil/ www.mvpindonesia.com/about.html

101

WEBSITE FATWA DI INDONESIA: KONSTRUKSI DAN REALITAS FATWA

Arivaie Rahman Hermeneutika al-Qur’an Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Email: [email protected] Cp. 085278632950

Abstrak Penelitian ini membahas tentang berbagai website fatwa yang masih aktif dan populer di Indonesia saat ini. Penelitian ini secara random akan memilih sepuluh buah website fatwa di Indonesia, antara lain: mui.or.id, fatwatarjih.or.id, suaramuhammadiyah.id, nu.or.id, alkhoirot.net, pesantrenvirtual.com, rumahfiqih.com, konsultasisyariah.com, salaf.com, dan republika.co.id. Website-website ini akan menjadi objek dan sumber data dalam penelitian ini, data-data yang relevan dikumpulkan sesuai tema dan klasifikasi yang telah ditentukan, kemudian diolah dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analisis dan mengkomparatifkan beberapa website untuk melihat persamaan serta perbedaannya yang signifikan. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin pesat ini, lembaga fatwa tidak ingin kehilangan popularitas dan otoritas, hal ini terbukti dengan bergesernya “media” dalam mempublikasikan fatwa, dari yang semulanya offline berubah menjadi online dengan alasan efektifitas dan efisiensi, walaupun sebagian lembaga memilih memanfaatkan keduanya untuk penyiaran fatwa. Persoalan demikian, tentu akan menciptakan peta konstruksi baru, mulai dari: pola uraian fatwa, tipologi mufti, rujukan dalam mengeluarkan fatwa, dan mekanisme untuk memperoleh fatwa. Selain itu, yang paling menarik adalah realitas yang tanpa disadari tercipta dan bersembunyi disebalik fatwa itu sendiri, yakni terlihatnya ideologi tertentu yang menyusup di belakang website fatwa, terjadinya perang antar website fatwa, terjadinya bisnis fatwa atau komersialisasi fatwa, namun di sisi lain keberagaman fatwa ini dapat pula melatih sikap toleransi dalam menghadapi perbedaan. Kata kunci: Fatwa, Indonesia, Website.

A. PENDAHULUAN Tulisan ini mengulas beberapa website fatwa di Indonesia yang masih aktif dan populer hingga saat ini. Sampel yang dijadikan sebagai objek penelitian ini diambil secara acak, namun setidaknya ada sepuluh buah website yang akan dijadikan objek penelitian, yakni: mui.or.id, fatwatarjih.or.id, suaramuhammadiyah.id, nu.or.id, alkhoirot.net, pesantrenvirtual.com, rumahfiqih.com, konsultasisyariah.com, salaf.com, dan republika.co.id. Sepuluh website ini dianggap telah mewakili seluruh website fatwa di Indonesia.

Sebenaranya, penelitian tentang lembaga fatwa (offline) di Indonesia telah banyak dilakukan oleh para peneliti seperti: Moch. Nur Ichwan, ia meneliti tentang kondisi dan posisi Majelis Ulama Indonesia (MUI) pasca jatuhnya rezim Orde Baru atau pasca lengsernya

102

Presiden Soeharto, 1998 (Ichwan 2005, 45-72). Selain Ichwan, Syamsul Anwar meneliti tentang ideologi dan metode fatwa yang ditempuh oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah (Syamsul 2005, 27-44). Tidak ketinggalan, fatwa yang dikeluarkan Nahdhatul Ulama yang sebelumnya telah mengalami diskusi dan dialog serius di Bahtsul Masail tidak luput dari perhatian peneliti Michael Laffan (Laffan 2005, 93-121). Nico J.G Kaptein and Mechael Laffan menyebut tiga lembaga fatwa ini merupakan perwakilan golongan di Indonesia, MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai lembaga utama yang mewakili seluruh organisasi masyarakat. Sedangkan Majelis Tarjih Muhammadiyah sebagai perwakilan gerakan pembaharuan, dan Nahdhatul Ulama sebagai perwakilan dari muslim tradisional (Nico 2005, 4).

Nadirsyah Hosen (2008), juga menyinggung tiga lembaga fatwa yakni Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga-lembaga ini telah mengalami ‘pergeseran’ media fatwa, dari fatwa yang dipunlikasikan secara offline beranjak ke publikasi online, tujuannya tidak lain agar fatwa yang diputuskan lebih tersebar dan diketahui khalayak ramai (Nadirsyah 2008, 159-173). Namun semua penelitian yang telah ada ini sangat terbatas serta belum menyentuh berbagai website baru yang muncul belakangan.

Dengan latarbelakang singkat ini, setidaknya kita akan memuculkan pertanyaan mengapa media fatwa lahir dan bergeser dari offline menjadi online? Dan bagaimana pula peta konstruksi fatwa online di Indonesia? Selain itu, perlu melihat bagaimana sebenaranya fakta dan realita dibalik fatwa yang dikeluarkan oleh website? Penelitian ini sangat perlu dilakukan karena untuk melihat apakah telah terjadi pergeseran peta konstruksi fatwa disebabkan karena bergesernya media dalam berfatwa (dari online ke offline) dan penting pula mengungkap kenyataan disebalik fatwa yang dihasilkan oleh website-website tersebut.

B. LAHIR DAN BERGESERNYA MEDIA FATWA DI INDONESIA

Otoritas pemberi fatwa terkenal di Indonesia adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), MUI berdiri pada tanggal 26 Juli 1975 M bertepatan dengan 7 Rajab 1395 H di Jakarta, Indonesia. Lembaga ini yang terbangun atas usaha swadaya dari masyarakat untuk mewadahi bermusyawarahnya para ulama, zuama’ dan cendikiawan muslim, yang fungsinya untuk

103 membimbing, membina, dan mengayomi umat Islam Indonesia serta mengembangkan kehidupan secara Islami (Sejarah MUI, dalam http://mui.or.id, diakses tanggal 13 Juli 2017). Lembaga ini diakui sebagai lembaga yang paling kredibel –sebagai otoritas pemberi fatwa-, maka tidak heran jika sejumlah apresiasi disematkan kepadanya seperti: cultural broker, political entrepreneur, religious scholar dan social leader. Selain MUI, beberapa dekade awal abad ke-20, Indonesia memiliki banyak organisasi seperti; Jami’at Khair, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU) dan seterusnya, yang masing-masing organisasi tersebut juga memiliki otoritas fatwa namun sifatnya yang tidak mengikat satu sama lain (Ahmatnijar 2015, 172-179). Walaupun ada banyak organisasi yang dapat mengeluarkan fatwa, tetapi media untuk penyebar-luasan fatwa itu terbatas pada media cetak.

Setelah muncul dan gencarnya internet digunakan sebagai media untuk berkomunikasi di dunia maya, ketika itu pula media dakwah Islam turut berkembang secara signifikan. Maka tidak heran jika banyak organisasi dan lembaga Islam memanfaatkannya sebagai sarana untuk menyebarluaskan ideologi, pemikiran, termasuk fatwa. Media yang mereka gunakan bervariasi, seperti website, blog, jejaring sosial dan lain sebagainya, semua ini terjadi karena pertimbangan efektifitas dan mampu menjangkau berbagai wilayah secara luas (Mustaqim 2012). Alasan ini pulalah yang menjadi titik tolak organisasi-organisasi pemberi fatwa offline seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indoenesia (MUI) beralih untuk memanfaatkan alternatif baru berbasis online, disamping tetap mempertahankan cara konvensional (Nadirsyah 2005, 160). Harus disadari, secara perlahan cara konvensional lambat laun akan tergantikan bahkan akan mematikan budaya tulis di media cetak, karena pengaruh dan jangkauan media online telah berkembang pesat jauh melampau apa yang dicapai oleh media cetak (Jinan 2013). Terbukti dengan munculnya website-website di Indonesia yang memberikan layanan konsultasi fatwa berbasis online, di antranya seperti: www.nu.com, www.fatwatarjih.or.id, www.suaramuhammadiyah.id, www.nu.or.id, www.alkhoirat.net, dan lain-lain.

C. PETA KONSTRUKSI FATWA ONLINE DI INDONESIA Seiring berkembangnya website yang memberikan layanan konsultasi fatwa, maka perlu untuk memetakan kembali konstruksi fatwa online yang tentu sedikit banyak memiliki perbedaan dengan fatwa offline. Setidaknya beberapa hal yang panting menjadi perhatian

104 adalah: pola bahasa uraian fatwa, tipe mufti, rujukan fatwa, mekanisme lahirnya fatwa, hingga biaya fatwa.

Pola Bahasa Uraian Fatwa: Sistematik dan Populer Kebanyakan website tidak menguraikan fatwa secara terstuktur (sistematik), efektifitas menjadi salah satu pertimbangan, karena yang dibutuhkan oleh mustafti (orang yang bertanya) adalah jawaban langsung yang mengarah ke inti persoalan yang sedang ditanyakan, dengan jawaban tegas dan lugas. Seperti tanya-jawab yang ada di republika.co.id berikut ini:

Pertanyaan: Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Mohon penjelasan tentang hukum membaca al-Qur’an digital digadget seperti ebook reader. Apa sama afdhalnya seperti kita membaca al-Qur’an biasa yang dicetak di kertas? Jawaban: Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Allah SWT merahmati kita semua. 1). Membaca al-Qur’an digital, hukumnya sama dengan membaca mushaf yang dicetak. Karena pada dasarnya cetakan dan ebook reader adalah sama-sama wahana ditulisnya al-Qur’an. 2) sebagai informasi tambahan, salah satu fadhilah al-Qur’an adalah ia bisa memberikan syafa’at kepada pembacanya. Hadits Rasulullah, artinya, bacalah al-Qur’an karena ia datang pada hari kiamat kelak memberikan syafaat pada pembacanya (HR. Muslim). Judul laman untuk tanya-jawab ini adalah: ‘Membaca al-Qur’an Digital, Apakah Hukumnya sama dengan Mushaf Cetak?’, dipulikasikan pada tanggal: 20 Juni 2011. Pertanyaan ini diajukan oleh Ari dan dijawab secara individual oleh pengasuh rubrik konsultasi Ustadz Muchsinin Fauzi, Lc.

Meskipun ada banyak website fatwa yang menyampaikan hasil jawaban (keputusan fatwa) dengan menggunakan bahasa populer, yang singkat dan padat, MUI (Majelis Ulama Indonesia) tetap saja yang menggunakan uraian fatwa secara sistematis dan terstuktur. Fatwa yang dikeluarkan MUI sering terikat dengan sistematika berikut ini: (I) Menimbang, berisi beragam pertimbangan dan latar belakang sebelum serta alasan tentang mengapa perlunya dibuat fatwa. (II) Mengingat, biasanya terdiri atas: a. Firman Allah, b. hadits Nabi, c. qaidah fiqhiyah atau qaidah-qaidah lainnya. (III) Memperhatikan, berisi nukilan dari berbagai kitab- kitab ulama klasik maupun kontemporer serta pendapat dan saran dari beberapa tokoh yang mengikuti siding komisi fatwa. (IV) Memutuskan/Menetapkan, konten yang berisi keputusan yang telah disepakati oleh seluruh anggota sidang, pada akhir bagian ini terdapat ungkapan penutup yang berisi pernyataan ‘jika dikemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan akan disempurnakan sebagaimana mestinya,’ pernyataan ini mengindikasikan bahwa sewaktu-waktu fatwa bisa berubah dan dapat diperbaiki ulang. Terakhir terdapat pula

105 ajakan untuk menyebarluaskan fatwa dan tanda tangan ketua dan sekretaris Komisi Fatwa MUI. Putusan fatwa MUI terlihat sangat resmi dan karena memang MUI merupakan satu- satunya lembaga yang paling otoritatif serta diakui oleh pemerintah untuk untuk mengeluarkan fatwa secara legal, bahkan MUI pula yang berhak mengeluarkan sertifikat produk Halal di Indonesia.

Tipologi Mufti: Individual, semi-kolektif dan Kolektif

Mufti berasal dari bahasa Arab, al-mufti bermakna orang yang memberi fatwa (Warson 1997, 1034). Dari sudut kuantitas orang yang berfatwa, tipologi mufti online dapat dibagi menjadi tiga kategori: Pertama, Mufti individual, maksudnya orang yang memberi putusan atau jawaban fatwa itu terdiri atas satu orang saja. Seperti: website www.konsultasisyariah.com yang diasuh secara tunggal oleh Ammi Nur Baits dan website www.republika.co.id dalam rubrik Ustadz-menjawab diasuh oleh Ustadz Muchsinin Fauzi, Lc.

Kedua, Mufti Semi-Kolektif, maksudnya adalah fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga (website) tertentu namun pertanyaan yang diajukan itu hanya dijawab oleh salah satu perwakilan anggota perkumpulan website. Website yang termasuk kategori ini seperti: www.alkhoirat.net, www.pesantrenvirtual.com, www.rumahfiqih.com, dan salaf.or.id. dan Ketiga, Mufti Kolektif atau mufti jama’i adalah fatwa yang diputuskan oleh beberapa orang sebagai tanggapan dan memberikan solusi untuk kasus-kasus tertentu yang telah ditanyakan oleh mustafti. Fatwa kolektif ini dipraktekkan oleh beberapa oraganisasi masyarakat seperti: mui.or.id, fatwatarjih.or.id, suaramuhammadiyah.id, dan nu.or.id. Dalam hal ini MUI (Majelis Ulama Indonesia) secara tegas mengatakan bahwa fatwa yang dikeluarkannya berdasarkan keputusan yang diambil secara kolektif, yakni oleh Komisi Fatwa (http://mui.or.id, diakses tanggal 13 Juli 2017).

Rujukan dalam Berfatwa

Rujukan utama dan menjadi sumber hukum dalam Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah (hadits), kedua sumber rujukan ini digunakan oleh semua website fatwa (Asrarun, Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa, dalam http://mui.or.id, diakses tanggal 13 Juli 2017), terutama website yang mengatasnamakan dirinya ‘ahlussunnah’ atau populer dengan istilah ‘bermanhaj salaf’ (Sekretariat, Tentang Kami, dalam http://salaf.or.id, diakses tanggal 24 Juli

106

2017). Selain itu, Ijma’ dan Qiyas menjadi sumber ketiga dan keempat sebagai dasar penetapan fatwa, namun Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak meyebutnya secara eksplisit – jika enggan berkata bahwa meraka tidak menggunakannya-, akan tetapi mereka tetap berpatokan pada ilmu Ushul Fiqh. Seperti yang tertulis di website Majelis Tarjih berikut:

Dalam menjawab persoalan atau mengambil kesimpulan hukum Majelis Tarjih tidak lepas dari dasar syariah (al-Qur’an dan hadits) yang dalam pengambilannya didasari dengan ilmu Ushul Fiqih, baik persoalan itu telah ada hukumnya namun masih diperdebatkan di masyarakat, ataupun persoalan yang benar-benar baru yang memang belum ada ketentuan hukumnya, seperti: bayi tabung, bank dan lain-lain (http://tarjih.muhammadiyah.or.id, diakses tanggal 13 Juli 2017). Dari kutipan di atas terkesan bahwa harus ada kebenaran mutlak, terutama ungkapan ‘baik persoalan itu telah ada hukumnya namun masih diperdebatkan di masyarakat’. Seolah- olah ingin mengatakan bahwa ‘marilah sudahi perdebatan dan bersepakat dalam satu keputusan final.’ Berbeda dengan ini, rumahfiqih.com lebih lunak, untuk menghormati setiap perbedaan yang ada dan memang terus ada, pernyataan itu tercantum dalam laman karakter pertama website Rumah Fiqih:

Berpegang teguh kepada al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan sumber-sumber syariah lainnya dengan menghormati semua pendapat para ulama yang mu’tamad dari berbagai mazhab (www.rumahfiqih.com, diakses tanggal 24 Juli 2017). Kutipan ini mengindikasikan rumahfiqih.com sangat lentur dalam mengeluarkan fatwa, selagi memang ada pendapat dari ulama mazhab yang mengeluarkan pendapat tertentu yang berbeda, maka seseorang tidak berhak untuk menyalahkan. Rumahfiqih.com merupakan salah satu website yang paling kencang menitikberatkan pemahaman mazhabi, hal ini terlihat ketika Ahmad Sarwat, Lc menanggapi pertanyaan seseorang, yang diberi judul oleh admin website dengan judul: Mazhab Cuma Pendapat Manusia, Buang Saja Cukup Qur’an dan Sunnah.

“Jawabannya adalah bahwa orang-orang yang terbaik saja masih bermazhab dan tidak sok tahu menafsir-nafsirkan ayat-ayat Allah SWT dengan akal pikiran dan nalar mereka sendiri. Mereka masih tetap bertanya tentang Al-Qur’an, As-Sunnah dan hukum-hukum syariah kepada Rasulullah SAW” (www.rumahfiqih.com, diakses tanggal 24 Juli 2017). Jika rumahfiqih merujuk kepada pendapat beberapa mazhab, website alkhairot.net lebih fokus memberikan jawaban dan solusi berdasarkan mazhab fikih Mazhab Syafi’i, bahkan mereka mencantumkan nama-nama kitab yang menjadi rujukan untuk berfatwa (www.alkhairot.net, diakses tanggal 24 Juli 2017). Berbeda dengan Rumah Fiqih dan al-

107

Khairot, Majelis Tarjih terkesan lebih cendrung mengarahkan umat untuk mengikuti al- Qur’an dan Sunnah, apalagi ketika pendapat seorang ulama menyalahi al-Qur’an dan Sunnah, maka yang harus dipedomani adalah al-Qur’an dan Sunnah. Seperti yang diuraikan ketika menjawab pertanyaan dari Muhammad Mukhtar, beralamat: di Darungan, Jember, Jawa Timur. Laman Tanya-jawab ini diberi judul: Kiyay Kharismatik dan Mazhab. Berikut merupakan jawaban salah satu dari dua pertanyaan yang diajukan, yaitu: ‘Hukum fanatik terhadap mazhab atau ormas tertentu?’

“…fanatik kepada suatu mazhab itu tidak diajarkan oleh al-Qur’an dan as-sunnah. Yang boleh kita lakukan ialah ittiba’ (mengikuti) pendapat para ulama selama kita yakin bahwa pendapat yang dikemukakan oleh ulama atau kyai itu tidak menyalahi al- Qur’an dan as-sunnah. Pada saat kita mengetahui bahwa pendapat ulama atau kyai itu tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah kita wajib meninggalkannya.” (www.fatwatarjih.com, diakses tanggal 24 Juli 2017). Jawaban ini di satu sisi menunjukkan pembolehan bermazhab asalkan tidak fanatik dan meyakini bahwa pendapat dalam mazhab tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Namun, di sisi lain seakan-akan al-Qur’an dan Sunnahlah yang lebih diperhatikan daripada hanya mengikuti pendapat mazhab (www.suaramuhammadiyah.id, diakses tanggal 25 Juli 2017). Maka tidak heran ketika menjawab pertanyaan yang masuk, Majelis Tarjih menyuguhkan banyak hadits sebagai dalil fatwa. Tradisi Muhammadiyah maupun juga yang terjadi pada website-website yang mengatasnamakan dirinya bermanhaj ‘salaf’ dan ‘Sunnah’, berbeda dengan terjadi di website yang berlatarbelakang Nahdhatul Ulama (Bahtsul Masail), seperti yang dapat disaksikan ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan di laman www.nu.com, www.pesantrenvirtual.com, dan www.alkhoirot.net, mereka menjawab dengan ‘ta’bir’ atau ‘ibarat’ dengan mengutip kitab-kitab klasik, khususnya kitab-kitab fiqih. Contohnya ketika menjawab pertanyaan tentang hukum bekicot halal atau haram? Maka pertanyaan ini dijawab dengan mengutip kitab al-Majmu’ Syarah Muhadzab (9/17) karya Imam Nawawi dan kitab al-Muhalla (6/76-77) karya Ibn Hazm kedua kitab ini jelas mengharamkan bekicot. Kemudian dikutip pula kitab al-Mudawwanah (1/542) dan kitab al-Muntaqi Syarah al- Muwatta’ (3/110), kedua kitab yang terakhir ini menghalalkan memakan bekicot (www.alkhoirot.net, diakses tanggal 25 Juli 2017).

Mekanisme Hadirnya Fatwa

Fatwa merupakan respon balik untuk menanggapi pertanyaan atau persoalan yang diajukan oleh muftasfi (orang yang meminta fatwa) kepada mufti (orang yang berfatwa), dalam website fatwa laman dikenal dengan istilah ‘konsultasi’ atau ‘tanya-jawab’. Masing-

108 masing website memiliki cara dan prosedur masing-masing dalam mengeluarkan fatwa. Meskipun begitu, pada umumnya adalah dengan cara mengisi formulir pendaftaran yang disediakan website paling tidak mengisi kolom pertanyaan yang telah disediakan atau harus memiliki akun terlebih dahulu sebelum mengajukan pertanyaan seperti yang lumrah di website rumahfiqih.com. Dalam membuat akun baru seseorang akan disediakan formulir yang harus dilengkapi seperti: a) nama lengkap, b) email aktif, c) pasword, d) nomor handphone, dan e) alamat (www.rumahfiqih.com, diakses tanggal 24 Juli 2017).

Namun ada pula yang tidak menggunakan sistem pendaftaran, seperti www.salaf.or.id, untuk mengajukan pertanyaan pada website ini kita hanya mengetik pertanyaan pada kolom komentar di bawah uraian pertanyaan yang sudah mendapat jawaban dari website. Lain lagi dengan website www.alkhoirot.net semua pertanyaan diajukan lewat email [email protected], sedangkan pertanyaan yang diajukan lewat facebook, twitter, plus, sms, telepon tidak akan dilayani. Alkhoirot membagi beberapa kategori konsultasi: a) Konsultasi Gratis, terbagi atas: konsultasi topik umum dan konsultasi masalah warisan, b) Konsultasi Berbayar, terbagi atas: konsultasi darurat (akan dijawab 2 – 24 jam) dan konsultasi segera (akan dijawab 24-28 jam) (www.alkhoirot.net, diakses tanggal 25 Juli 2017).

Fatwa Gratis dan Berbayar

Di zaman yang serba sulit dan permasalahan hidup semakin kompleks dewasa ini, membuat manusia memutar otak untuk meraih kesempatan finansial, dan ungkapan ‘di dunia ini tidak ada yang gratis’ menjadi bukti tentang sulitnya perekonomian bangsa ini, sehingga segala cara dan usaha ditempuh untuk meningkatkan penghasilan pribadi atau kelompok, termasuk sesuatu yang masih memiliki kaitan dengan persoalan agama dan iman.

Walaupun mayoritas website tidak mengambil pungutan biaya sepeserpun terhadap pihak penanya, namun bukan berarti tidak ada sama sekali. Salah satu contoh website yang menetapkan biaya konsultasi agama adalah web alkhoirot.net. Biaya ini dibebankan kepada pihak penanya dengan rincian sebagai berikut ini, yaitu: 1) Konsultasi darurat (2 s/d 24 jam) Rp. 200.000, 2) Konsultasi segera (1 s/d 2 hari) Rp.100.000, 3) Konsultasi sangat penting (2 s/d hari) Rp. 75.000, 4) Konsultasi penting (3 s/d 4 hari) Rp. 50.000, dan 5) Konsultasi reguler (7 s/d 30 hari) Gratis (www.alkhoirot.net, diakses tanggal 25 Juli 2017).

109

Fakta ini menjadi bukti bahwa telah terjadi komersialisasi fatwa, yang pada awalnya tidak dipungut biaya sepeserpun menjadi lahan bisnis mengatasnamakan agama. Di satu sisi memang wajar memberikan imbalan (hadiah) kepada seorang mufti, karena dia telah membantu mencarikan solusi dan memecahkan persoalan yang dihadapi, namun pada sisi yang lain ada dampak negatifnya yakni seolah-olah terjadinya jual-beli fatwa, yang dapat merusak citra fatwa dan website itu sendiri.

D. REALITA DIBALIK FATWA

Fatwa yang muncul tidak lepas dari realitas yang ada disekelilingnya, kondisi geografis dan psikologis turut mempengaruhi fatwa yang dikeluarkan oleh mufti. Selain itu, semangat ideologis seorang mufti juga dipandang dapat memberi pengaruh yang cukup besar pada warna dan arah fatwa yang dikeluarkannya.

Ideologi Mufti

Dalam bahasa Indonesia, ‘ideologi’ diartikan sebagai: i) sekumpulan konsep bersistem, ii) cara berfikir seseorang atau suatu golongan manusia, iii) paham, teori, dan tujuan yang berpadu merupakan satu program sosial politik (Tim Redaksi 2008, 538). Dari beberapa pengertian ini dapat dipahami ‘ideologi mufti’ merupakan cara pandang dan ‘paham’ mufti, baik individual ataupun kolektif. Ada beberapa website yang dengan ekplisit meyebutkan cara fikir (manhaj) mereka seperti website alkhoirot.net yang menulis ‘konsultasi Syariah Islam dibimbing oleh ulama Ahlussunnah Wal-Jamaah (Aswaja).’ Dan ditambah pula dengan slogan: ‘Tidak liberal, bukan radikal’ (www.alkhoirot.net, diakses tanggal 25 Juli 2017). Pernyataan ini bukan tanpa makna, ini tidak lain merupakan usaha untuk menunjukkan identitas ideologis sekaligus sikap penolakan terhadap pemikiran Liberalis dan Radikalis yang kerap dianggap ‘nyeleneh’ dan menyimpang.

Tidak ketinggalan website salaf.or.id mengatasnamakan dirinya: ‘Website informasi dan ta’awun dakwah manhaj salaf terutama di Yogyakarta dan sekitarnya yang diampu oleh beberapa ustadz dan ikhwah ahlussunnah di Yogyakarta’(http://Salaf.or.id, diakses tanggal 25 Juli 2017). Senada dengan ideologi yang diusung ini, Muhammadiyah juga mengusung ideologi tersendiri sebagaimana tertulis di laman berita suaramuhammadiyah.id yang merupakan hasil penyampaian dari Yunahar Ilyas (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bidang Tarjih dan Tabligh), ia menyebutkan: Muhammadiyah memahami Islam berdasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah serta tidak terikat dengan aliran teologis, madzhab fiqih, dan

110 tariqat sufiyah apapun. Di bidang fiqih, Muhammadiyah menganut ‘fiqih manhaji’ yang lebih mengutamakan dalil dibanding pendapat para imam mazhab. Meskipun begitu, bukan berarti Muhammadiyah anti aliran teologi, mazhab, dan tasawuf (www.suaramuhammadiyah.id, diakses tanggal 27 Juli 2017).

Perang Fatwa

Semakin pesatnya perkembangan sistem teknologi informasi membuat segala hal dapat tersebar dan diketahui secara cepat di berbagai belahan dunia. Sehingga sikap saling menanggapi dan merespon antar website satu dengan website lainnya tidak bisa terelakkan. Boleh jadi ada pihak-pihak yang ingin mengadu domba dan membanding-bandingkan fatwa satu dengan fatwa lainnya sehingga muncul sikap saling berlawanan dan terlihat pro-kontra dalam memutuskan satu kasus yang sama. Jika persoalan ini tidak dihadapi dengan kepala dingin maka akhirnya akan berakibat tersulutnya emosi bahkan mungkin lebih dari itu.

Contoh respon website tertentu terhadap website atau lembaga lain terjadi di website rumahfiqih.com, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan oleh seorang penanya, laman tanya-jawab ini diberi judul ‘Manhaj Majelis Tarjih Muhammadiyah’ bertanggal 21 Januari 2013.

‘Cuma yang agak sedikit memperprihatinkan saya, termasuk teman-teman yang ada di dalam lingkaran Majelis Tarjih sendiri, ternyata tidak semua hasil fatwa itu dijamin akan diketahui oleh warga Muhammadiyah. Jangankan umat Islam dalam arti luas, kadang malah sesama pengurus organisasi Muhammadiyah sendiripun juga banyak yang tidak tahu kalau ada fatwa seperti itu.’ ‘Dan lebih memprihatinkan lagi, belum tentu apa yang difatwakan oleh Majelis Tarjih ini dalam kenyataannya otomatis ditaati oleh sesama pengurus. Contoh yang paling mudah adalah fatwa haramnya rokok. Saya menemukan begitu banyak bapak-bapak pengurus yang bersikap masa bodoh dengan fatwa haramnya rokok yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih ini, seyang sekali memang’(www.rumahfiqih.com, diakses tanggal 25 Juli 2017). Kutipan ini menggambarkan kritik atas kelemahan fatwa satu website kepada website/lembaga lain dalam memutuskan dan menerapkan fatwa, atau dalam bahasa yang lebih kasar ‘pengurus atau anggota fatwa saja melanggar fatwa apalagi masayarakat luas’.

Dalam website alkhoirot.net juga sedikit menyinggung fatwa (ijtihad) yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah, laman tanya-jawab ini berjudul ‘Orang NU Bermakmum Ke Imam Muhammadiyah’, salah satu pertanyaan yang diajukan si penanya adalah tentang: ‘apakah Muhammadiyah alirannya menyimpang? Pertanyaan ini dijawab dengan jawaban berikut:

111

‘Secara fikih tidak menyimpang orang Muhammadiyah umumnya mengikuti mazhab Hanbali walaupun ada sebagaian yang “ijtihad” sendiri. Ijtihad dalam tanda kutip karena ulama mereka tidak memenuhi syarat untuk berijtihad. Namun secara akidah tauhid, Muhammadiyah sama dengan Wahabi mengikuti konsep tauhid Ibn Taimiyah yang menurut banyak ulama dianggap menyimpang karena Ibn Taimiyah mengikut akidah mujassimah atau menfisikkan Tuhan. Namun, penyimpangan tauhid ini tidak membuatnya sesat secara total sampai ketingkat kufur. Karena penyimpangan itu masih dalam level perbedaan ulama (ikhtilaf) bukan dalam masalah yang disepakati ulama’(www.alkhoirot.net, diakses tanggal 27 Juli 2017). Selain secara eksplisit yang menyinggung website lain, juga sering terjadi pertentangan ideologi antar website, seperti pertentangan antara web suaramuhammadiyah.id dan alkhoirot.c ketika menanggapi persoalan ‘tahlilan’. Dalam suaramuhammadiyah.id tertulis: ‘Tadisi selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, maupun 1000 hari untuk orang yang meninggal dunia, sesungguhnya merupakan tradisi yang tidak ada sumbernya dari ajaran Islam’. Ini merupakan potongan jawaban pertanyaan dari Siswo S dari Mojokerto, Jawa Timur. Tanya jawab ini diberi judul ‘Menyikapi Undangan Tahlilan’ (www.suaramuhammadiyah.id, diakses tanggal 27 Juli 2017).

Berbeda dengan sikap Muhammadiyah di atas, pesantrenvirtual.com yang berbasis Nahdhatul Ulama menyikapi masalah tahlilan ini dengan memancing pertanyaan baru;

‘saat melaksanakan acara tahlilan itu adakah keyakinan bahwa acara itu harus dilakukan pada hari-hari ke-7, ke-40, ke-100 dst, sehingga seandainya dilakukan di luar hari-hari itu menjadi tidak sah?’ ‘menurut saya, penentuan pelaksanaan tahlilan pada hitungan hari-hari tertentu itu tidak termasuk bagian tak terpisahkan dari ritual ‘tahlilan’ itu sendiri. Itu hanya berdasar kebiasaan saja, tidak bagian inheren dari ibadah pengiriman ganjaran bacaan dan doa, sehingga seandainya dilaksanakan di luar hari itu tetap saja sah’ (www.pesantrenvirtual.com, diakses tanggal 27 Juli 2017). Dari dua website ini terlihat pertentangan yang sangat mencolok, Muhammadiyah tidak membenarakan upacara selamatan atau yang lebih tepatnya tahlilan dengan alasan tidak ada sumbernya dari dari ajaran Islam. Sedangkan Pesantren Virtual menjelaskan sebenarnya penentuan hari itu tidak ada kaitannya masalah dengan tahlil, penentuan hari ke- 3, 7, 25, 40, 100, dan seterusnya hanyalah kebiasaan masyarakat saja, tidak masalah jika dilakukan kapan saja dan tidak ada pula keyakinan tertentu harus dilakukan mengikuti hari-hari yang tersebut.

Toleransi dalam perbedaan

Saling menghormati dan bertenggang rasa dalam menghadapi perbedaan menjadi aspek penting dalam menerapkan keyakinan dan pemahaman. Tidak ada kata seragam apalagi

112 serupa di dunia ini, bahkan dua orang anak kembar sekalipun tentu memiliki perbedaan satu sama lain, sehingga salah besar jika ada orang yang menganggap bahwa diri atau kelompoknyalah yang paling benar sedangkan kelompok lain salah dan sesat.

Seiring perkembangan dunia teknologi dan informasi, ada banyak website yang menawarkan konsultasi atau tanya-jawab agama, jawaban dari pertanyaan yang diajukan inilah yang disebut dengan fatwa online. Masing-masing website memiliki ideologi, karakter dan ciri khas masing-masing, oleh sebab itu maka bukan sesuatu yang mustahil jika terjadi perbedaan fatwa. Namun sikap toleransilah yang lebih penting untuk ditanamkan, karna sejatinya fatwa tidak mengikat dan tidak menjustifikasi bahwa pendapatnya yang paling benar sendiri. Sikap ini tergambar di website pesantrenvirtual.com ketika menjawab pertanyaan pengunjung bernama Iswandi tentang: ‘fatwa mana yang harus diikuti?’ pertanyaan ini dijawab:

‘semua ulama yang telah berijtihad, masing-masing pasti mempunyai landasan hukum yang kemungkinan saling berbeda sehingga hasilnyapun berbeda beda. Yang paling penting dalam perbedaan seperti itu, kita jangan saling membenci. Kita harus bersikap tegas: ‘Saya ya saya, anda ya anda, kita saling menghormati. Kalau cocok dengan fatwanya MUI, silahkan. Cocok dengan Majlis Tarjih Muhammadiyah juga silahkan, atau hasil fatwanya Bahtsul Masail NU juga tak apa. Atau tidak yang di Indonesia, seperti fatwanya Yusuf Qardhawu juga tidak salah. Yang salah besar itu jika anda memilih seenaknya tanpa berfikir secara jernih, tanpa memikirkan dampaknya jauh ke depan. Habis itu anda masih menghujat kelompok lain, padahal anda sendiri juga ikut- ikutan’(www.pesantranvirtual.com, diakses tanggal 27 Juli 2017). Jawaban ini ditulis oleh Arif Hidayat, salah seorang narasumber tanya-jawab di web pesantrenvirtual.com. Sikap bijaksana mesti harus diterapkan dalam menghadapi setiap perbedaan, termasuk dalam menyikapi perbedaan fatwa. Dampak negatif yang sering terjadi adalah saling membenci dan saling menyalahkan, semua ini harus dihindarkan dengan lebih menanamkan sikap saling menghormati.

E. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapatlah kita melihat bahwa telah terjadinya pergeseran fatwa dari offline menjadi online, pergeseran ini turut mempengaruhi peta konstruksi fatwa. Fatwa semakin mudah dikeluarkan baik secara perorangan, semi-kolektif maupun kolektif, bahkan kadangkala tanpa diketahui siapa yang berfatwa. Dan pergeseran yang paling mencolok adalah prosedur atau mekanisme yang harus ditempuh seorang mustasfi untuk memperoleh

113 jawaban dari Mufti. Ada yang hanya menuliskan pertanyaan di kolom komentar tetapi ada juga yang harus membuat akun member sebagai syarat untuk dapat mengajukan pertanyaan tertentu. Dalam mengajukan pertanyaan tersebut, ada yang gratis dan adapula yang berbayar, seperti website alkhoirot.net yang membebani biaya tertentu tetapi kebanyakan website tidak melakukan pungutan sepeserpun.

Di sudut lain, fatwa tidak hadir tanpa memiliki karakter dan cirri khas tertentu yang tidak sama antara satu website satu dengan yang lain. Di antara karekter yang mewarnai suatu website adalah ideologi. Selain realita itu, perang fatwa juga kerap terjadi antar satu web dengan seb yang lain, maka tidak heran jika terjadi saling kritik dan lahirnya fatwa yang berbeda meskipun pertanyaan yang diajukan sama. Meskipun begitu, adanya banyak perbedaan ini justru mendidik masyarakat maupun website untuk saling bertoleransi menghadapi segala macam perbedaan yang ada.

Daftar Pustaka

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlangkap, (Surabaya: Pustaka Progresif). Ahmatijar, Ulama Berbagi Otoritas: Fungsi dan Peran MUI Kota Padangsidempuan dalam meningkatkan Kesadaran dan Budaya Hukum Masyarakat, dalam Jurnal Tazkir, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2015. Michael Laffan, The Fatwa Debated: Shura in One Indonesian Context, dalam Islamic Law and Society, vol. 12, No. 1, Fatwas in Indonesia (2005). Moch. Nur Ichwan, Ulama, State and Politics: Majelis Ulama Indonesia after Soeharto, dalam Islamic Law and Society, vol. 12, No. 1, Fatwas in Indonesia (2005). Muhammad Mustaqim, Pergulatan Pemikiran Islam di Ruang Publik Maya: Analisis terhadap Tiga Website Organisasi Islam di Indonesia, dalam Jurnal Penelitian, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013. Mutchharun Jinan, Intervensi New Media dan Impersonalisasi Otoritas Keagamaan di Indonesia, dalam Jurnal Komunikasi Islam UIN Sunan Ampel, Vol. 3, No. 2, Desember 2013. Nadirsyah Hosen, Fatwa in Indonesia: From Fatwa Shopping to Goggling A Kiai, dalam Greg Fealy and Sally White, Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008).

114

Nico. J.G. Kaptein dan Michael Laffan, Theme Issue: Fatwas in Indonesia, dalam Islamic Law and Society, vol. 12, No. 1, Fatwas in Indonesia (2005). Syamsul Anwar, Fatwa, Purification and Dynamization: A Study of Tarjih in Muhammadiyah, dalam Islamic Law and Society, vol. 12, No. 1, Fatwas in Indonesia (2005). Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, 2008).

Website: www.alkhoirat.net. www.fatwatarjih.or.id. www.konsultasisyariah.com. www.mui.or.id www.nu.or.id. www.pesantrenvirtual.com. www.rumahfiqih.com. www.Salaf.or.id. www.suaramuhammadiyah.id.

Tentang Penulis

Arivaie Rahman, lahir di Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, pada tanggal 30 Maret 1994 M (17 Syawal 1414 H). Sekolah Menengah Atas di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) 039 Tembilahan, pada jurusan Agama, lulus pada tahun 2012. Kemudian melanjutkan pendidikan Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau (UIN Suska) Pekanbaru, pada fakultas Ushuluddin, program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, lulus pada tahun 2016. Sekarang sedang menempuh pendidikan Strata Dua (S2) di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta, pada konsentrasi Hermeneutika al-Qur’an. Nomer Handphone dan WhatsApp: 085278632950 atau melalui e- mail: [email protected].

115

DILEMA AYAT-AYAT HATE SPEECH

Ahmad Paishal Amin Mahasiswa Magister Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected] / 082231115085

Abstrak

Al-Qur’an dalam dirinya sendiri mengatakan bahwa ia adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia, penjelas, dan pembeda antara kebenaran dan kebathilan (Q.S. al-Baqarah: 185). Dari sini umat Islam meyakini bahwa al-Qur’an adalah pedoman bagi mereka sebagai petunjuk ke jalan yang lurus dan pembimbing kepada petunjuk tersebut. Hal ini sebagaimana pula yang diungkapkan oleh Quraisy Syihab dalam bukunya Lentera al-Qur’an bahwa al- Qur’an memberikan petunjuk: bahwa jalan yang baik itu dihimpun oleh suatu ciri, yaitu kedamaian, ketentraman dan ketenangan. Namun di sisi lain, beberapa ayat al-Qur’an terkesan melakukan hal-hal yang bertentangan dari norma di atas (petunjuk), seperti melakukan/mengandung hal—hal yang negatif, dalam hal ini adalah hate speech (ujaran kebencian). Contohnya adalah seperti teks al-Qur’an yang berbunyi: “perangilah orang- orang musyrik...,” dll. Keadaan ini menjadi problematika tersendiri bagi pengikutnya (terutama bagi mereka yang tidak mendalami Studi Ilmu al-Qur’an). Dari sinilah penulis tertarik untuk mengkaji ayat-ayat yang terkesan melakukan ujaran kebencian tersebut. Beberapa pertanyaan yang muncul di benak penulis adalah apakah al-Qur’an memang mengandung ujaran kebencian? Jika iya, kenapa? Dan Bagaimana seharusnya kita memahami ayat-ayat tersebut? Metode yang penulis gunakan dalam mengkaji ayat-ayat tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan HAM dan hermeneutikanya Fazlur Rahman, double movement (dengan melihat sosio-historis ayat tersebut ketika diturunkan, kemudian merelevansikan kandungan moral yang diinginkan dari turunnya ayat tersebut dengan masa kekinian). Dari hasil analisis, penulis bisa menyimpulkan bahwa ayat-ayat yang mengandung ujaran kebencian tersebut adalah memang ada secara literal, namun praktik dari ayat tersebut hanya berlaku pada konteks sosiologis masa ayat tersebut diturunkan, dan tidak berlaku lagi untuk zaman sekarang. Sedangkan esensi moralnya masih berlaku hingga sekarang, yakni untuk menciptakan perdamaian dan ketentraman di masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan refleksi ayat-ayat lain yang mengandung petunjuk atau perintah untuk menjaga lisan dari ujaran-ujaran yang bersifat kebencian. Bahkan ayat-ayat ini juga bisa menganulir (menaskh) ayat-ayat yang terkesan mengandung ujaran kebencian sebelumnya tadi. Kata Kunci: Al-Qur’an, Hate Speech (Ujaran Kebencian), Double Movement, dan Naskh

.

PENDAHULUAN

Salah satu isu yang ramai diperbincangkan hari ini adalah isu tentang hate-speech atau yang lebih dikenal dalam istilah Indonesianya adalah ujaran kebencian. Hate-speech atau ujaran kebencian tersebut menjadi marak di masyarakat dikarenakan adanya kontestasi politik

116 yang juga bergejolak seiring berjalannya waktu (http://www.tribunnews.com/nasional/2017/10/16/kelompok-radikal-akan-menyisipkan- ujaran-kebencian-di-kampanye-pilpres-2019 diakses 16 Oktober 2017). Persaingan politik yang ketat secara langsung dan tidak langsung menstimulus masyarakat untuk ikut andil dalam memberikan suara mereka, baik di depan publik maupun di sosial media. Ujaran- ujaran yang disampaikan beberapa oknum bahkan terkadang berupa provokasi atau propaganda yang menyebabkan tersulutnya emosi kebencian para audien yang hadir di dalamnya. Sehingga dengan alasan ini, Kapolri mengeluarkan Surat Edaran Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) yang cikal bakal mengarah pada tindak pidana (Kapolri, 2015).

Di sisi lain, kebebasan berpendapat juga menjadi alasan yang membenarkan ujaran kebencian yang dilakukan oleh beberapa oknum (Ramadhan, Jurnal RVO, No. 3, 2015: 3). Mereka beralasan bahwa setiap orang punya hak untuk mengekspresikan suaranya masing- masing. Apalagi jika dialihfungsikan kepada sebuah negara yang berdemokrasi, maka sudah sepatutnya setiap warga negara punya hak untuk berpendapat dan mengkritisi pemerintah sesuai dengan apa yang mereka alami dan ketahui (Ramadhan, 2015: 4). Tidak hanya sampai di situ, fenomena hate speech ini menjadi lebih polemik manakala ia dihadapkan pada teks- teks keagamaan. Pasalnya, kitab suci keagamaan yang sudah terkompilasi dan termodifikasi sejak ribuan tahun yang lalu ternyata juga tak lepas dari ayat—ayat yang berkesan melakukan ujaran kebencian, seperti ayat yang memerintahkan peperangan dan intimidasi terhadap orang-orang yang tidak sealiran (Anam dan Hafiz, 2015: 342).

Ayat-ayat tersebut cukup banyak ditemukan di dalam al-Qur’an, sebuah kitab yang menjadi rujukan dan pedoman nomor satu umat Islam. Contohnya adalah seperti firman Allah Swt. yang artinya sebagai berikut: “Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian...” (Q.S al-Taubah: 05). Bukan hanya menyerukan peperangan, al-Qur’an juga terkadang melakukan ujaran kepada mereka yang tidak seyakinan dengan pengikutnya dengan menyebut mereka sesuatu yang jelek seperti monyet, binatang ternak, dan lainnya. Dari sini muncul pertanyaan apaka memang iya bahwa al-Qur’an melakukan ujaran kebencian terhadap kelompok lain? Apakah bisa disamakan konteks sosio-historis saat ayat-ayat tersebut diturunkan dengan masa-masa sekarang sehingga ia bisa disebut sebagai media hate speech yang membuat seseorang terpidanakan?

117

PEMBAHASAN

Sekilas tentang Hate Speech

Kata hate speech atau yang dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan ujaran kebencian adalah istilah yang berkaitan erat dengan minoritas dan masyarakat asli, yang menimpa suatu komunitas tertentu dan dapat menyebabkan mereka sangat menderita, sementara (orang) yang lain tidak peduli. Ia dapat menimbulkan penderitaan fisik maupun psikis, yang dalam praktiknya banya menimpa kaum minoritas dan masyarakat asli. Di antara contoh yang menunjukkan bahwa ujaran kebencian telah menimbulkan kekerasan terhadap kelompok tertentu adalah seperti pada kelompok Kristen Koptik di Mesir, Muslim Rohingya di Myanmar, para imigran di Yunani (Benech, dalam Peter Grant, 2014: 19), dan peristiwa genosida di Rwanda yang hingga kini terus diperingaai sebagai salah satu peristiwa kemanusiaan terpenting dalam sejarah dunia modern (Anam dan Hafiz, 2015: 345).

Susan Benesch mengidentifikasikan apa yang dimaksud dengan hate speech (ujaran kebencian) adalah berbeda dengan speechs (ujaran-ujaran) biasa pada umumnya, meski ujaran terebut mengandung juga kebencian, menyerang, dan berkoar-koar. Perbedaan ini terletak pada niat (intention) dari pelaku ujaran yang memang bermaksud untuk menimbulkan dampak tertentu, baik secara langsung (aktual) ataupun tidak langsung (terhenti pada niat). Jika ujaran yang disampaikan dengan berkoar-koar dan bersemangat tersebut menginspirasi para audien untuk melakukan kekerasan dan menyakiti orang atau kelompok lain, maka pada posisi itulah suatu hasutan kebencian telah berlaku (Ghanea: 940) (Benesch, USHMM).

Dalam ragam lain, David O. Brink, sebagaimana dicatat oleh Nazila Ghanea, menegaskan bahwa ada banyak pernyataan atau ujaran yang bersifat diskriminatif namun tidak termasuk dalam kategori ujaran kebencian. Hal ini dapat dicontohkan pada stereotipe yang bias dan jahat, namun tidak sampai pada derajat stigmatisasi, merendahkan, menyakiti atau bahkan melukai. Hate speech, demikian Brink menyatakan, lebih buruk lagi dari sekedar pernyataan yang diskriminatif. Ia menggunakan julukan atau simbol tradisional untuk melecehkan seseorang karena keterikatannya pada kelompok tertentu dan sebagai ekspresi dari penghinaan kepada targetnya agar menimbulkan efek kesengsaraan secara psikologis (Ghanea: 940).

118

Jika ditilik dari sisi regulasi, sedikitnya ada dua peraturan perundang-undangan yang secara limitatif mengatur norma ujaran kebencian, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), di samping ada UU terkait lainnya seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (Riyanto, Jurnal Cahaya, No. 2, 2015: 5).

Pasal 156-157 dan Pasal 130-131 KUHP pada intinya mengatur larangan: a. menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan terhadap satu atau lebih suku bangsa Indonesia di depan umun; b. menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dan c. sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui oleh umum (Riyanto, 2015: 5). Bahkan secara lebih khusus UU ITE Pasal 28 mengatur larangan ujaran kebencian dalam kaitan kegiatan transaksi elektronik. (Riyanto, 2015: 5).

Dari sini bisa ditegaskan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong yang semua tindakan itu bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan/atau konflik sosial. Ujaran kebencian tersebut bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian individu dan/atau kelompok masyarakat dari berbagai komunitas yang dibedakan kepada beberapa aspek yaitu; suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual. Selanjutnya juga disebutkan bahwa ujaran kebencian tersebut bisa dilakukan melalui berbagai macam kegiatan dan media seperti orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di depan umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media masa cetak maupun elektronik.

Kriteria Hate Speech

Demi menjaga keseimbangan hak, antara hak beragama atau berkeyakinan di satu sisi, hak untuk berekspresi di sisi yang lain, serta mencegah terjadinya diskriminasi, permusuhan

119 dan kekerasan dengan alasan ras, etnis, dan agama, pelaksanaan hate speech harus menyertakan, setidaknya, lima tahapan ujicoba atau tes (Anam dan Hafiz , Jurnal KN, No. 3, 2015: 350). Uji coba ini bertujuan untuk menilai, apakah suatu tindakan dan/atau pernyataan termasuk dalam kategori hate speech atau tidak. Kelima tahapan tes ini adalah: 1) Konteks; 2) Pembicara/pelaku; 3) Niat; 4) Konten atau isi; 5) Tatacara atau bentuk penyampaian pesan. Kelima hal ini harus diuji satu per satu terhadap suatu tindakan, sehingga bila kelima hal tersebut terpenuhi, barulah bisa dikatakan sebagai hatespeech. Sebaliknya, bila ternyata ada salah satu atau lebih komponen ujicoba ini tidak terpenuhi, maka tindakan itu tak dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian (Article 19: 31) (AI, UN Commite on Ellimination of Racial Discrimination, 2012).

1. Konteks

Analisa terhadap konteks mengharuskan penegak hukum—atau siapapun yang hendak menguji suatu tindakan sebagai hate speech—untuk melihat secara utuh setiap situasi yang melatarbelakangi sebuah tindakan atau pernyataan, mulai dari kondisi politik, sosial, budaya dan ekonomi di suatu komunitas atau wilayah. Pendalaman terhadap situasi ini memberikan pedoman pada penegak hukum apakah situasi yang ada mengarah pada diskriminasi, eksklusi atau intoleransi terhadap kelompok yang menjadi sasaran. Secara lebih dalam, analisa terhadap konteks ini mencakup beberapa hal, yaitu: a. Apakah terdapat konflik antar kelompok di wilayah tersebut, terutama di antara provokator dan kelompok sasaran? b. Apakah ada sejarah diskriminasi yang kuat (terinstitusionalisasi) terhadap suatu kelompok? c. Sejarah perselisihan, konflik, di wilayah ini antara kelompok; d. Apakah hukum telah ditegakkan secara adil, di antaranya misalkan melarang diskriminasi dan kebebasan berekspresi, bahkan adanya jaminan akses terhadap keadilan? e. Keberadaan media, apakah terdapat kebebasan media yang tergambar dari pluralitas dan keragaman media? Atau sebaliknya, media justru diredam, dibungkam dan tidak ada ruang bagi media untuk melaporkan situasi secara independen?

Kelima hal di atas harus diuji satu per satu dan dianalisa agar penegak hukum betul- betul dapat memahami situasi untuk kemudian menentukan apakah sebuah tindakan pernyataan masuk dalam kategori hatespeech atau tidak (Article: 29).

2. Pembicara/pelaku

120

Siapa yang mengeluarkan pernyataan menjadi penting untuk dilihat, karena ia akan menentukan apakah ucapan tersebut berpotensi memprovokasi massa secara massif atau ia hanya ungkapan intoleransi yang seharusnya diselesaikan melalui jalur non-pidana. Penilaian terhadap siapa yang berbicara ini merupakan implikasi dari konsep hate speech itu sendiri, yang dikhawatirkan akan mengarah pada diskriminasi, kekerasan, bahkan genosida.

Hal yang juga penting untuk dilihat dalam konteks narasumber ini adalah intensitas sang pembicara atau pelaku ujaran tersebut dalam menyampaikan pesan-pesan yang mengandung ujaran kebencian, apakah setiap pernyataan, publikasi, ujaran, pidato atau hal lain yang dilakoninya selalu membawa dan menyatakan hal serupa atau tidak. Intensitas ini akan menunjukkan intensi seseorang, apakah betul-betul memiliki maksud untuk memunculkan efek dari advokasi yang ia lakukan tersebut.

Demikian bagaimana pelaku menjadi salah satu komponen penting untuk mengetahui konteks dari setiap ujaran kebencian. Keberadaan pelaku harus pula dikaitkan dengan konteks yang telah dijelaskan di atas, sehingga jahitan kasus sudah semakin lengkap dan aparat penegak hukum sudah memiliki separoh dari gambaran utuh tindakan ujaran kebencian ini (Article 19: 30).

3. Niat

Aspek ketika yang tak dapat dipisahkan dari hate speech adalah niat pelaku dalam melakukan tindakan dan/atau ucapan yang mengandung kebencian ini. Identifikasi terhadap niat dibutuhkan untuk mengetahui tujuan dari tindakan pelaku yang dilarang oleh konsep hate speech itu sendiri, yaitu niat untuk melakukan diskriminasi, intoleransi, permusuhan, bahkan kekerasan dengan menggunakan alasan agama, ras, atau etnis. Pertanyaan yang harus dijawab dalam hal ini adalah, apakah tindakan tersebut merupakan tindakan emosional sesaat, kealpaan atau keteledoran pelaku, atau memang sengaja dilakukan? Hal ini pula yang sangat terkait dengan hukum pidana dan pemidanaan yang menyertakan niat pelaku dalam melakukan tindakan kejahatan (means rea).

Merujuk pada Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, niat ini dapat ditafsirkan melalui tiga hal, yaitu:

1) Sengaja untuk mendorong kebencian; 2) Sengaja menyasar kelompok tertentu berdasarkan alasan-alasan yang dilarang;

121

3) Mengetahui akibat dari apa yang dia sampaikan, dampaknya, atau apa yang akan terjadi setelah tindakan dan/atau pernyataan itu dikeluarkan.

Karena bersifat immateri (intangible), niat agak sulit untuk dibuktikan secara konkret. Para pakar hukum atau yurisprudensi hukum internasional, termasuk pula praktik di beberapa negara, selalu mengaitkan niat ini dengan situasi yang melingkupi pelaku, dikaitkan dengan aspek-aspek lain, seperti konteks dan isi dari ujaran kebencian itu.

4. Konten atau isi pernyataan/ujaran

Analisa terhadap konten atau isi berfokus pada materi yang dinyatakan, bentuk, cara, dan apakah ekspresi tersebut mengandung seruan untuk melakukan diskriminasi secara langsung, kekerasan, atau di antara keduanya. Identifikasi pada tahapan ini mencakup sejumlah tahapan, yaitu: a. Apa yang disampaikan oleh pelaku? b. Siapa yang menjadi audien pelaku? c. Siapa korban yang disasar oleh pelaku dalam pernyatannya? d. Bagaimana ucapan atau pernyataan tersebut disampaikan (intonasi)? e. Bagaimana ekspresi yang dilakukan pelaku saat menyampaikan pernyataan?

Beberapa pertanyaan di atas adalah kunci bagaimana seorang penegak hukum menilai suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai hate speech atau tidak, sehingga dari pertanyaan- pertanyaan tersebut akan mengindikasikan konten dari pembicaraan yang dimaksud.

5. Kecenderungan ucapan tersebut menjadi kejahatan dan potensial terjadi

Terakhir yang juga sangat penting untuk menilai hate speech adalah apakah ujaran tersebut dapat diprediksi secara kuat terjadi atau memunculkan efek pada audiennya. Ukuran kelima dalam hate speech ini tidak mengharuskan adanya efek terlebih dahulu dalam suatu ujaran, karena hate speech – termasuk di Indonesia – merupakan tindakan pidana materil yang dapat ditindak tanpa harus menunggu adanya akibat dari tindakan tersebut. Meskipun demikian, bukan berarti hate speech harus dilaksanakan secara serampangan, tetapi sebaliknya aparat penegak hukum juga harus mengidentifikasi tingkat kerusakan atau potensi dampak yang akan dimunculkan dari ujaran kebencian tersebut, termasuk pula masuk akal tidaknya suatu ujaran tersebut untuk memunculkan efek yang hendak dihindari. Hal ini

122 adalah upaya untuk membatasi agar hate speech tidak kemudian disalahgunakan untuk kepentingan politis dan akhirnya justru melanggar hak asasi itu sendiri.

Dilema Ayat-ayat Hate Speech dalam al-Qur’an

Sebagaimana kita ketahui bahwa al-Qur’an adalam sumber otoritas utama untuk mengistinbath (menggali) hukum yang menjadi rujukan umat Islam dunia (Nata, 2011: 205). Baik sunni, syiah, atau aliran apapun, selama mereka masih berafiliasi dengan Islam maka mereka akan merujuk segala sistem kerja hidup (baca: hukum Islam) kepada al-Qur’an sebagai otoritas utamanya.

Sejauh penelusuran penulis, tidak ada kata khusus dalam bahasa arab yang menunjukkan arti “hate-speech” atau “ujaran kebencian” di dalam al-Qur’an, bahkan juga di dalam ayat-ayat Nabi. Namun jika diterjemahkan dengan terjemahan standar, kata hate- speech dalam bahasa arab bisa berarti “al-khitab al-muf’im bi al-karahiyah” atau “khitab al- karahiyah.”

Meski kata khitab al-karahiyah tidak ada disebutkan dalam al-Qur’an secara terkstual atau literal, namun jika kita melihat kepada maknanya, maka ada banyak kesamaan dan contoh yang bisa kita kembalikan kepada makna khitab al-karahiyah tersebut, seperti menghina, mengadu domba, mencaci, dsb.

Ada banyak ayat-ayat yang terkesan melakukan hal-hal yang tersebut di atas. Namun penulis hanya akan memasukkan beberapa dari ayat-ayat tersebut dan penulis klasifikasikan kepada beberapa bagian sesuai dengan kelompok keyakinan dan kesesatan yang ada disebutkan di dalam al-Qur’an:

1. Hate Speech kepada Yahudi

َو َل َق ۡد َع ِل ۡمتُ ُم ٱ َّل ِذي َن ٱ ۡعتَدَۡواْ ِمن ُك ۡم فِي ٱل َّسۡب ِت َفقُۡلنَا َل ُه ۡم ُكو ُنواْ قِ َردَةً ََٰخ ِِس ي َن ٦٥ ]سورة البقرة, ٦٦[

65. Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina". [Al Baqarah: 65-66]

َٰ َٰ ََٰٰٓ قُ ۡل َه ۡل أُنَب ِئُ ُكم بِ َش ّٖ ر ِ من ذَ ِل َك َمثُوبَةً ِعندَ ٱ َِّّۚللِ َمن َّل َعنَهُ ٱ َّّللُ َو َغ ِض َب َع َلۡي ِه َو َجعَ َل ِمۡن ُه ُم ٱۡل ِق َردَةَ َوٱۡل َخنَا ِزي َر َو َعبَدَ ٱل َّطغُو َِۚت أُ ْو َلئِ َك َش ّٞ ر َّم َكاٗنا َوأَ َض ُّل َعن َس َوآَٰ ِء ٱل َّسبِي ِل ٦٠ ]سورة المائدة,٦٠[

123

60. Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?". Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. [Al Ma"idah: 60]

َف َل َّما َعتَۡواْ َعن َّما نُ ُهواْ َعۡنهُ قُۡلنَا َل ُه ۡم ُكونُواْ قِ َر دَةً ََٰخ ِِس ي َن ١٦٦ ]سورة األعراف,١٦٦[

166. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: "Jadilah kamu kera yang hina. [Al A'raf: 166]

2. Hate Speech kepada Kristen

َٰ ۡ ۡ ۡ َٰ َقتِلُواْ ٱ َّل ِذي َن ََل ي ُ ۡؤ ِمنُو َن بِٱ َّّللِ َو ََل بِٱليَ ۡو ِم ٱۡألَٰٓ ِخ ِر َو ََل يُ َح ِ ر ُمو َن َما َح َّر َم ٱ َّّللُ َو َر ُسولُهۥُ َو ََل يَ ِدينُو َن ِدي َن ٱل َح ِق ِم َن ٱ َّل ِذي َن أُوتُواْ ٱل ِكتَ َب َحتَّ َٰى يُ ۡع ُطواْ ٱۡل ِج ۡزيَةَ َعن يَ ّٖد َو ُه ۡم ََٰص ِغ ُرو َن ٢٩ ]سورة التوبة,٢٩[

29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. [At Tawbah: 29]

3. Hate Speech kepada Penyembah Patung (Hindu, Budha)

َفإِذَا ٱن َس َل َخ ٱۡألَ ۡش ُه ُر ٱۡل ُح ُر ُم َفٱ ۡقتُلُواْ ٱۡل ُم ۡش ِر ِكي َن َحۡي ُث َو َجدتُّ ُمو ُه ۡم َو ُخذُو ُه ۡم َوٱ ۡح ُص ُرو ُه ۡم َوٱ ۡقعُد ُواْ َل ُه ۡم ُك َّل َم ۡر َص ِّٖۚد ... ]سورة التوبة,٥[

5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian, ... [At Tawbah: 5]

4. Hate Speech kepada Para Gay

ۡ َوٱ َّلذَا ِن يَأتِ َٰيَنِ َها ِمن ُك ۡم َف اذُو ُه َم ۖا َفإِن تَابَا َوأَ ۡص َل َحا َفأَ ۡع ِر ُضواْ َعۡن ُه َما َٰٓ إِ َّن ٱ َّّللَ َكا َن تَ َّواٗبا َّر ِحي ًما ١٦ ]سورة النساء,١٦[

16. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu (sejenis), maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [An Nisa": 16]

124

َٰ ۡ َوٱ َّلتِي يَأتِي َن ٱۡل ََٰف ِح َشةَ ِمن نِ َسآَٰئِ ُك ۡم َفٱ ۡستَ ۡش ِهدُواْ َع َلۡي ِه َّن أَ ۡربَعَ ٗة ِ من ُك ۡۖم َفإِن َش ِهدُواْ َفأَ ۡم ِس ُكو ُه َّن فِي ٱۡلبُيُو ِت َحتَّ َٰى يَتَ َو َّف َٰى ُه َّن ٱۡل َم ۡو ُت أَۡو يَ ۡجعَ َل ٱ َّّللُ َل ُه َّن َسبِي ٗٗل ١٥ ]سورة النساء,١٥[

15. Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. [An Nisa": 15]

ۡ ۡ َولُو ًطا إِ ۡذ َقا َل ِل َق ۡو ِم َِٰٓهۦ أَتَأتُو َن ٱۡل ََٰف ِح َشةَ َوأَنتُ ۡم تُۡب ِص ُرو َن ٥٤ أَئِ َّن ُك ۡم َلتَأتُو َن ٱل ِ ر َجا َل َش ۡه َو ٗة ِ من دُو ِن ٱل نِ َسآَٰ ِِۚء بَ ۡل أَنتُ ۡم َق ۡو ّٞم تَ ۡج َهلُو َن ٥٥ ]سورة النمل,٥٤-٥٥[

54. Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?

55. "Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)". [An Naml: 54-55]

5. Hate Speech terhadap Orang-orang yang Sesat / Berbuat Dosa

ۡ ۡ ِۚ َو َل َق ۡد ذَ َرأنَا ِل َج َه َّن َم َكثِي ٗرا ِ م َن ٱل ِج ِن َوٱۡ ِۡلن ِۖس َل ُه ۡم قُلُو ّٞب ََّل يَ ۡف َق ُهو َن بِ َها َو َل ُه ۡم أَ ۡعيُ ّٞن ََّل يُۡب ِص ُرو َن بِ َها َو َل ُه ۡم َءاذَا ّٞن ََّل يَ ۡس َمعُو َن ِب َهآَٰ ََٰٰٓ ِۚ ََٰٰٓ أُ ْو َلئِ َك َكٱۡألَۡن َٰعَ ِم بَ ۡل ُه ۡم أَ َض ُّل أُ ْو َلئِ َك ُه ُم ٱۡل ََٰغ ِفلُو َن ١٧٩ ]سورة األعراف,١٧٩[

179. Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda- tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. [Al A'raf: 179]

6. Hate Speech kepada Pengikut Hawa Nafsu

َٰ ِۚ ... َو َل ِك َّن َٰٓهۥُ أَ ۡخ َلدَ إِ َلى ٱۡألَ ۡر ِض َوٱتَّبَ َع َه َو َٰىهُ َف َمثَلُهۥُ َك َمثَ ِل ٱۡل َكۡل ِب إِن تَ ۡح ِم ۡل َع َلۡي ِه يَۡل َه ۡث أَۡو تَۡت ُر ۡكهُ يَۡل َه ِۚث ... ]سورة األعراف,١٧٦[

176. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat- ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). [Al A'raf: 176]

125

Dari ayat-ayat yang telah disebutkan di atas tadi nampak bahwa al-Qur’an telah melakukan hate speech (ujaran kebencian) kepada orang yang berbeda keyakinan dengannya dengan sebutan yang bermacam-macam, dengan menyebut mereka sebagai kera, binatang ternak, orang bodoh, bahkan memerintahkan pengikutnya untuk membunuh mereka yang bertentangan keyakinan.

Namun pada sisi lain, ada pula ayat-ayat al-Qur’an yang menuntut para pembacanya untuk tidak melakukan ujaran-ujaran jahat yang notabenenya akan memicu kebencian dari seorang individu atau sekelompok orang. Maka dari sini, ayat-ayat tersebut terkesan polemik, dilematis, dan kontradiktif. Di antara ayat-ayat yang berlawanan dari ayat-ayat di atas adalah sebagai berikut:

1. Ayat tentang Anjuran Berlaku Adil kepada Siapapun

َٰ ََّل َيۡن َه َٰى ُك ُم ٱ َّّللُ َع ِن ٱ َّل ِذي َن َل ۡم يُ َقتِلُو ُك ۡم فِي ٱل ِد ي ِن َو َل ۡم يُ ۡخ ِر ُجو ُكم ِ من ِد ََٰي ِر ُك ۡم أَن تَبَ ُّرو ُه ۡم َوتُۡق ِس ُط َٰٓواْ إِ َلۡي ِه ِۡۚم إِ َّن ٱ َّّللَ يُ ِح ُّب ٱۡل ُم ۡق ِس ِطي َن ٨ ]سورة الـمـمـتـحنة,٨[

8. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [Al Mumtahanah: 8]

2. Ayat tentang Perintah Berbuat Baik kepada Orang Tua yang Berbeda Keyakinan

َو َو َّصۡينَا ٱۡ ِۡلن ََٰس َن بِ ََٰو ِلدَۡي ِه َح َم َل ۡتهُ أُ ُّمهۥُ َو ۡه ًنا َع َل َٰى َو ۡه ّٖن َوفِ ََٰصلُهۥُ فِي َعا َمۡي ِن أَ ِن ٱ ۡش ُك ۡر ِلي َو ِل ََٰو ِلدَۡي َك إِ َل َّي ٱۡل َم ِصي ُر ١٤ َوإِن ََٰج َهدَا َك َع َل ََٰٰٓى أَن تُ ۡش ِر َك بِي َما َلۡي َس َل َك بِ ِهۦ ِعۡل ّٞم َف َٗل تُ ِط ۡع ُه َم ۖا َو َص ا ِحۡب ُه َما فِي ٱلدُّۡنيَا َم ۡع ُرو ٗف ۖا ... ]سورة لقمان,١٤-١٥[

14. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, ... (Luqman: 14-15)

3. Ayat tentang Anjuran Saling Mengenal antar Bangsa dan Suku

ِۚ ََٰٰٓيَأَيُّ َها ٱل َّنا ُس إِ َّنا َخ َل ۡق َٰنَ ُكم ِ من ذَ َك ّٖر َوأُنثَ َٰى َو َجعَۡل َٰنَ ُك ۡم ُشعُوٗبا َو َقبَآَٰئِ َل ِلتَعَا َر ُف َٰٓواْ إِ َّن أَ ۡك َر َم ُك ۡم ِعندَ ٱ َّّللِ أَۡت َق َٰى ُك ِۡۚم ... ]سورة ال ُحـ ُجـرات,١٣[

126

13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. ... [Al Hujurat: 13]

4. Ayat tetang Larangan Berdebat dengan Cara Buruk

ۡ َٰ ۞ َو ََل تُ ََٰج ِدلُ َٰٓواْ أَ ۡه َل ٱل ِكتَ ِب إِ ََّل بِٱ َّل ِتي ِه َي أَ ۡح َس ُن ... ]سورة العنكبوت,٤٦[

46. Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, ..." [Al 'Ankabut: 46]

5. Ayat tentang Kebebasan Beragama

َ ََٰٓل إِ ۡك َراهَ فِي ٱل ِد ي ِۖن ... ]سورة البقرة,٢٥٦[

256. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) ... [Al Baqarah: 256]

6. Ayat tentang Toleransi

َل ُك ۡم ِدينُ ُك ۡم َو ِل َي ِدي ِن ٦ ]سورة الـكافرون,٦[

6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku". [Al Kafirun: 6]

7. Ayat tentang Perintah Memerangi kepada yang Memerangi saja

َٰ َٰ ِۚ َو َقتِلُواْ فِي َسبِي ِل ٱ َّّللِ ٱ َّل ِذي َن يُ َقتِلُونَ ُك ۡم َو ََل تَ ۡعتَدُ َٰٓواْ ... ]سورة البقرة,١٩٠[

190. Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, ... [Al Baqarah: 190]

Perbedaan dari dua kelompok ayat di atas membuat kita bingung harus bersikap bagaimana, di satu sisi kita dilarang melakukan tindakan ujaran yang menyebabkan permusuhan antar sesama, sedangkan di sisi lain ada ayat-ayat al-Qur’an yang melakukan ujarana kebencian. Maka dari hal-hal di atas perlu diteliti lebih dalam lagi bagaimana sebenarnya hate speech (ujaran kebencian) itu berlaku dalam teks-teks al-Qur’an tersebut.

Analisis terhadap ayat-ayat Hate Speech dalam al-Qur’an

Sebagimana yang telah dijelaskan bahwa suatu tindakan atau ungkapan bisa dinyatakan sebagai tindakan yang melakukan ujaran kebencian jika ia sesuai dan sinkron dengan 5 (lima) kriterian ujaran kebencian yang telah ditetapkan oleh HAM. Lima hal

127 tersebut adalah konteks, pelaku, niat, konten, dan medianya berpotensi menimbulkan kejahatan. Maka dari lima hal tersebut, kita bisa melihatnya dan menerapkannya pada ayat- ayat al-Qur’an tadi apakah ia sesuai atau tidak? Atau untuk lebih tepatnya, apakah ia media yang memproklamirkan ujaran kebencian atau tidak?

Pada dasarya kelima kriteria ini saling terhubung satu sama lain ketika digunakan untuk menganalisis suatu ujaran. Yang pertama yang dilihat adalah konteks. Konteks di sini adalah tentang pada keadaan apa dan situasi yang bagaimana ayat-ayat al-Qur’an tersebut dipergunakan. Secara literal, ayat-ayat tersebut (konten) memang punya fungsi yang bisa dijadikan sebagai media untuk melakukan ujaran kebencian dikarenakan kata-katanya yang terkesan memprovokasi. Tapi yang perlu diperhatikan adalah, yang dimaksud konteks di sini yaitu keadaan dimana ketika pelaku menggunakan ayat-ayat tersebut memang di saat situasi yang sudah tenang dan damai, sehingga dengan ayat-ayat tersebut bisa memicu timbulnya kembali permusuhan. Selain konteks, tak lupa pula yang perlu diperhatikan adalah niat sang pelaku. Niat tersebut salah satunya bisa diidentifikasi dengan melihat indikasi-indikasi kalimat yang disampaikan sebelum ujaran tersebut dilontarkan, atau dengan meminta advokat (hakim) untuk menerapkan teori hukum pidana seperti kausalitas atau semacamnya (Chazawi, 2005: 213). Kemudian juga yang paling penting adalah, ujaran tersebut memicu reaksi audiens untuk membenci dan bahkan bisa berpotensi melakukan tindak kejahatan.

Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah apakah al-Qur’an memang mengandung ujaran kebencian (hate speech)? Sebagaimana dijelaskan di atas, secara literal ada beberapa ayat al-Qur’an yang memang terkesan menyuarakan ujaran kebencian. Namun yang harus dipahami lebih dalam adalah bahwa al-Qur’an hanyalah sebuah benda (baca: media) yang tak bernyawa. Ia ibarat mata pisau yang bisa digunakan untuk apapun. Tapi yang harus lebih diperjelas lagi adalah apakah tujuan al-Qur’an memang untuk difungsikan dan digunakan sebagai media melakukan ujaran kebencian? Apakah ayat-ayat tersebut selalu berlaku digunakan hingga saat ini? Maka untuk menjawab hal tersebut kita harus melihat konteks sosio-historis ayat-ayat tersebut diturunkan.

Satu hal—yang pertama— yang perlu kita pastikan adalah, di jaman Nabi tidak ada Undang-Undang yang mengatur tentang ujaran kebencian, apalagi untuk mendeklarasikan bahwa hal tersebut adalah merupakan tindakan pidana. Di zaman Nabi, semua proses hukum berjalan sesuai konteks jamannya, yakni masih merupakan manifestasi dari aturan-aturan yang berlaku di jaman jahiliah (Katsir, 1999: 131).

128

Yang kedua, di jaman Nabi tersebut punya konteks peperangan, yang mana antara satu kelompok dengan kelompok yang lain sudah menjadi tradisi untuk saling mengungguli dan menguasai. Begitu juga halnya antar keyakinan yang mereka anut. Keadaan tersebut membuat hal-hal yang bersifat propokatif dan propaganda terhadap musuh menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan, karena hal tersebut bertujuan untuk memenangkan peperangan dan menguasai perpolitikan. Sehingga ayat-ayat yang melakukan ujaran kebencian tersebut secara wajar berlaku pada zaman saat itu. Namun yang perlu kita perhatikan adalah tentang tujuan (maqashid) dan norma apa yang diinginkan dari ayat-ayat tersebut ketika diturunkan.

Jika kita merujuk kepada double movement-nya Fazlur Rahman, maka yang menjadi rujukan untuk direlevansikan dengan konteks kekinian adalah tentang norma universal yang ada pada ayat tersebut ketika diturunkan. Ayat-ayat yang terkesan melakukan ujaran kebencian tersebut diturunkan adalah pada konteks sosio-historis peperangan (sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya), namun norma yang ingin diinginkan dari al-Qur’an secara umum adalah untuk memunculkan kedamaian dan ketenangan bagi masyarakat saat itu. Hal ini bisa dibuktikan dengan ayat al-Qur’an sebagai berikut:

َٰ ِۚ أُ ِذ َن ِل َّل ِذي َن يُ َقتَلُو َن بِأَ َّن ُه ۡم ُظ ِل ُمواْ َوإِ َّن ٱ َّّللَ َع َل َٰى نَ ۡص ِر ِه ۡم َل َق ِدي ٌر ٣٩ ٱلَّ ِذي َن أُ ۡخ ِر ُجواْ ِمن ِد َٰيَ ِر ِهم بِ َغۡي ِر َح ٍّق إِ َّ ََٰٓل أَن يَقُولُواْ َربُّنَا ٱ َّ ّللُ َو َل ۡو ََل دَ ۡف ُع ٱ َّّللِ ٱل َّنا َس َب ۡع َض ُهم ِببَ ۡع ّٖض َّل ُه ِد َم ۡت َص ََٰو ِم ُع َو ِبيَ ّٞع َو َص َل ََٰو ّٞت َو َم ََٰس ِجدُ يُ ۡذ َك ُر فِي َها ٱ ۡس ُم ٱ َّّللِ َك ِثي ٗر ا ... ]سورة الحج,٣٩- ٤٠[

39. Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.

40. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. ... [Al Hajj: 39-40]

Dari ayat di atas bisa dilihat bahwa di antara tujuan diperintahkannya peperangan adalah untuk memberikan keamanan dan kedamaian dengan salah satu praktiknya adalah melindungi rumah-rumah ibadah orang yang berbeda keyakinan dengan Islam. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Quraisy Syihab bahwa al-Qur’an itu menghimpun kedamaian, ketentraman dan ketenangan (Syihab, 2008: 53).

129

Sehingga jika dikontekstualisasikan dengan zaman sekarang, masa peperangan telah berakhir dan negara sedang menikmati masa-masa berbenahnya masing-masing untuk menghidupkan suasana damai dan makmur terhadap rakyatnya. Maka provokasi dan propaganda yang akan menimbulkan benih peperangan yang baru tentu saja akan dikontrol dan dilarang kemunculannya, bahkan dianggap tindak pidana yang akan mencobloskan para pelakunya ke dalam penjara.

Kemudian terkait ayat-ayat yang merendahkan orang-orang yang berdosa atau menyimpang dari ajaran Islam dengan sebutan binatang seperti kambing, anjing, dsb, adalah hanyalah sebuah perumpamaan untuk memberikan pelajaran kepada para pengikutnya (pembacanya). Ayat-ayat tersebut memang terkesan melakukan ujaran kebencian, namun secara universal (umum) orang-orang yang berdosa memang selalu dikaitkan atau ditamtsilkan dengan hal-hal negatif. Hal-hal seperti ini tidak hanya ada dalam kitab Umat Islam namun hampir pada semua kitab juga melakukan hal yang sama. Misalnya dalam Kitab Kristen disebutkan bahwa orang-orang yang tidak searah dengan ajarannya adalah domba- domba yang hilang (sesat) (Matius 18: 12-14) (Lukas 15: 3-7). Ayat-ayat tersebut juga tidak bisa dijadikan acuan untuk mengeneralisasi bahwa al-Qur’an adalah kitab yang mengandung ujaran kebencian, karena ada juga banyak ayat al-Qur’an yang melarang melakukan ujaran- ujaran yang memicu kebencian serta memerintahkan para pengikutnya untuk selalu melakukakn perbuatan baik, bijak, dan sopan. Hal ini sebagaimana ayat-ayat yang telah lalu pembahasannya yang bertindak sebagai oposisi (menentang) dari ayat-ayat yang terkesan melakukan hate speech. Bahkan ayat-ayat ini bisa menganulir (menasakh) ayat-ayat penebar kebencian tadi dikarenakan hukum universal al-Qur’an—atau yang disebut Fazlur Rahman dengan ideal moralnya al-Qur’an—yaitu sebagaimana yang disampaikan oleh Quraisy Syihab: Bahwa isi kandungan al-Qur’an adalah untuk memberikan kedamaian, ketentraman, dan ketenangan.

Bahkan hal ini juga dikuatkan dengan kepribadian Nabi Muhammad yang dikenal pada masa tersebut—sebagaimana yang sejarah cerikatan—adalah sebagai orang yang paling mulia akhlaknya dan paling bijak dalam mengambil sikap hingga mendapat gelar shadiq (orang yang jujur) dan al-Amin (orang yang dipercaya) dari suku Quraisy pada masa itu (Handono, 2004: 253).

130

KESIMPULAN

Dari hasil analisis, penulis bisa menyimpulkan bahwa ayat-ayat yang mengandung ujaran kebencian tersebut adalah memang ada secara literal, namun praktik dari ayat tersebut hanya berlaku pada konteks sosiologis masa ayat tersebut diturunkan, dan tidak berlaku lagi untuk zaman sekarang. Sedangkan esensi moralnya masih berlaku hingga sekarang, yakni untuk menciptakan perdamaian dan ketentraman di masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan refleksi ayat-ayat lain yang mengandung petunjuk atau perintah untuk menjaga lisan dari ujaran-ujaran yang bersifat kebencian. Bahkan ayat-ayat ini juga bisa menganulir (menaskh) ayat-ayat yang terkesan mengandung ujaran kebencian sebelumnya tadi.

Rujukan

Al-Kitab

Al-Qur’an

Amnesty International. Written contribution to the thematic discussion on Racist Hate Speech and Freedom of Opinion and Expression. Jenewa. 2012.

Anam, M. Choirul dan Muhammad hafiz. Surat Edaran Kapolri Tentang PenangananUjaran Kebencian (Hate Speech) dalam Kerangka Hak Asasi Manusia. Jurnal Keamanan Nasional, 2015.

Article 19, Prohibition Incitement to Discrimination, Hostility, or Violence.

Benech, Susan. Defining and Diminishing Hate Speech. Peter Grant, ed. Freedom from hate, State of The World’s Minorities and Indigenous Peoples. London, Minority Rights Group International, 2014.

------Countering Dangerous Speech: New Ideas for Genocide Prevention, Working Paper.

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana 2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Ghanea, Nazila. Intersectionality and the Spectrum of Racist Hate Speech.

Handono, Irene. Islam Dihujat, Menjawab Buku the Islamic Invasion. Kudus: Bima Rodheta, 2004)

Katsir, Ibn. Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim. Daar Thayyibah, 1999.

Nata, Abuddin. Studi Islam Komprehensif. Jakarta. Kencana, 2011.

131

Rahmadan, Zaqiu. Surat Edaran Kapolri Tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech), Akankah Membelenggu Kebebasan Berpendapat?. Jurnal RechtsVinding Online; Media Pembinaan Hukum Nasional, 2015.

Riyanto, Agus. Eksistensi dan Kedudukan Hukum Surat Edaran KAPOLRI tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Jurnal Cahaya, 2015.

Syihab, Quraisy. Lentera al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008. http://www.tribunnews.com/nasional/2017/10/16/kelompok-radikal-akan-menyisipkan- ujaran-kebencian-di-kampanye-pilpres-2019

Surat Edaran Kapolri, 2015.

132

PROMOSI AGAMA ISLAM MELALUI MEDIA SOSIAL INSTAGRAM KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

Oleh: Wahfiuddin Rahmad Harahap (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Perpustakaan Dan Informasi UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta) e-mail: [email protected] CP: 082166075665

ABSTRAK

Minimnya pengetahuan masyarakat masa kini tentang agama islam yang dianutnya membuat dirinya seakan menjalani kehidupan di muka bumi ini tanpa aturan dan hukum. Hadirnya media sosial instagram yang banyak digandrungi masyarakat hanya sebagai penghibur semata. Hal ini ditandai dengan semakin maraknya perbuatan negatif yang terjadi di tengah masyarakat seperti pornografi, pencurian, narkoba, penipuan, perkelahian dan sebagainya. Peran agama islam yang seharusnya menjadi benteng agar tidak terjadinya perbuatan tersebut seakan ambruk bagi mereka yang tidak mengetahui hakikat dari agamanya sendiri. Awamnya masyarakat tentang agama islam membutuhkan promosi yang baik dari kementrian agama yang bertanggung jawab atas masyarakatnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan promosi agama islam melalui media sosial instagram kementrian agama republik Indonesia. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana promosi agama islam melalui media sosial instagram kementrian agama republik Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif melalui pendekatan studi pustaka dan studi kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa promosi agama islam melalui media sosial instagram kementrian agama republik Indonesia ialah sebagai berikut: (1) Promosi agama islam melalui media sosial instagram kementrian agama republik Indonesia belum dilakukan dengan maksimal. (2) Media sosial instagram kementrian agama republik Indonesia tidak terfokus pada ruang lingkup promosi agama islam saja. (3) Media sosial instagram kementrian agama republik Indonesia kebanyakan meng update kegiatan-kegiatannya.

Kata Kunci: Promosi Agama Islam, Media Sosial Instagram, Kementrian Agama.

I. PENDAHULUAN Perkembangan zaman yang semakin pesat diiringi dengan semakin majunya teknologi masa kini tidak sebanding dengan kemampuan manusia dalam menjalani kehidupannya sehari-hari yang sesuai dengan ajaran agama islam. Meskipun manusia yang membuat teknologi tersebut, tapi tidak semua manusia siap dengan kehadirannya. Hal ini berdampak pada penyimpangan penggunaan teknologi yang tidak semestinya dilakukan.

133

Teknologi yang dimaksud disini adalah teknologi smartphone dengan segala fitur media sosial didalamnya, khususnya media sosial instagram. Memang benar, cukup banyak manfaat yang didapat dari media sosial instagram ini. diantaranya mendekatkan segala yang jauh. Tetapi tidak sedikit pula permasalahan yang terkandung didalamnya. Salah satunya ialah media sosial tersebut hanya digunakan sebagai pemuas diri yang cenderung kepada hiburan-hiburan sesaat yang tidak menghasilkan manfaat banyak bagi penggunanya.

Menurut data statistik yang diambil dari laporan yang ditulis koran tribun jogja berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh menteri dalam negeri Thajo Kumolo jumlah penduduk Indonesia pada juli 2017 telah mencapai 262 juta jiwa. Selain itu, Sri Widowati selaku Country director facebook Indonesia, memaparkan statistik perihal pengguna instagram di Indonesia berjumlah 45 juta pengguna aktif pada 26 juli 2017. Dari paparan tersebut jumlah persentase pengguna media sosial instagram di Indonesia mencapai 18 %.

Berdasarkan data diatas peneliti memiliki dasar yang kuat dalam penulisan artikel ilmiah ini adalah karena cukup banyaknya pengguna media sosial instagram khususnya di negara Indonesia tidak berbanding lurus dengan fenomena perilaku ajaran agama islam yang dilaksanakan oleh masyarakat, hal ini ditandai dengan munculnya perbuatan pornografi, pencurian, narkoba, penipuan, perkelahian dan sebagainya. Oleh karenanya masyarakat perlu diingatkan kembali tentang ajaran-ajaran agama islam yang dianutnya lewat promosi agama islam melalui media sosial instagram yang sedang banyak digemari masyarakat masa kini. Dalam mempromosikan agama tersebut kementrian agama republik Indonesia sebagai pemerintah memegang andil sepenuhnya dalam membawa masyarakat Indonesia kepada yang lebih baik.

Indonesia sebagai negara yang multi kultural dalam keagamaan membutuhkan kementrian agama yang akan menjadi rujukan bagi masyarakatnya. Ada enam agama yang diakui di Indonesia dibawah naungan kementrian agama yaitu: agama islam, kristen protestan, katolik, hindu, budha dan kong hu cu. Untuk memfokuskan penelitian ini maka peneliti hanya membahas satu promosi agama saja yaitu promosi agama islam.

II. PEMBAHASAN A. Promosi Agama Islam Promosi menurut Fandy Tjiptono (1997: 219) adalah suatu bentuk komunikasi pemasaran, yakni aktivitas pemasaran yang berusaha menyebarkan informasi, 134 mempengaruhi/ membujuk, dan atau mengingatkan pasar sasaran atas perusahaan dan produknya agar bersedia menerima, memberi dan loyal pada produk yang ditawarkan perusahaan yang bersangkutan. Sedikit berbeda dengan defenisi yang dikemukakan Philip Kotler (2006: 587), promosi adalah suatu bentuk kegiatan komunikasi yang sifatnya memotivasi melalui kegiatan, iklan, persentasi, pameran, insentif, tatap muka, dan menciptakan iklim.

Hemat peneliti menanggapi pendapat diatas, promosi merupakan arus informasi atau persuasi satu arah yang dibuat untuk mengarahkan individu atau kelompok kepada tindakan yang menciptakan pertukaran dalam pemasaran. Promosi memang identik dengan pemasaran sesuatu. Promosi juga dapat dikaitkan dengan kata kerja perintah yaitu pemenuhan harapan promotor terhadap sasaran yang dipromosikan. Secara umum kata promosi banyak dikaitkan dengan aspek komoditas, tetapi disini agama bukanlah termasuk bagian dari komoditas tersebut. Melainkan promosi dihubungkan dengan mengingatkan kembali (dakwah) pada hukum agama. Promosi menurut Deliyanti (2012: 173) merupakan suatu usaha dari pemasar dalam menginformasikan dan mempengaruhi orang atau pihak lain sehingga tertarik untuk melakukan transaksi atau pertukaran produk barang atau jasa yang dipasarkan.

Mengkritisi pendapat diatas tentang promosi pada masa kini sudah seharusnya lebih kepada penyampaian kembali informasi secara terus menerus sehingga informasi dapat tersampaikan dan membekas pada masyarakat yang dituju. Promosi yang baik tidak hanya dilakukan untuk menghilangkan kata pinomat (yang penting ada). Melainkan, promosi yang pantas dilakukan masa kini yaitu bagaimana caranya agar apa yang disampaikan promotor secara berkesinambungan dapat mempengaruhi masyarakat sehingga mau bereaksi sesuai dengan apa yang diinginkan promotor. Promosi tidak sekedar memenuhi keinginan dari promotor untuk memberikan efek pada individu yang diinformasikan. Tetapi bagaimana caranya promosi dapat tersampaikan pada titik kebutuhan yang harus diperbuat dan dicapai oleh objek yang dituju.

Keinginan dan kebutuhan memiliki makna yang sedikit berbeda dan saling berkaitan. Kita ambil contohnya saja seseorang memiliki keinginan untuk masuk surga, maka ia membutuhkan jalan berupa agama untuk mencapainya. Seharusnya kita lebih mengetahui apa yang kita butuhkan dibanding apa yang kita inginkan. Sebagai manusia yang bersosial belum 135 tentu apa yang kita inginkan baik bagi kita dan orang sekeliling kita. Lain halnya dengan kebutuhan, terkadang apa yang kita butuhkan sama dengan kebutuhan orang lain sampai timbullah rasa tolong menolong dalam meraih kebutuhan itu. Lupa akan kebutuhan ajaran- ajaran agama pada manusia haruslah di review kembali melalui promosi agama.

Dalam KBBI (2008: 18) dijelaskan bahwa Agama adalah ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan yang Mahakuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan itu. Agama sangat dibutuhkan bagi setiap invidu. Dengannya hidup seseorang akan lebih terarah kemana ia akan memulai dan kembali. Dengannya pula manusia dalam menjalani hidup ini akan terbebas dari rasa bimbang dalam berbuat, karena ia memiliki pedoman dalam hidup yaitu agama. Sebaliknya, tanpa agama seseorang akan hidup dengan penuh kehampaan dengan ketiadaan pedoman yang menuntunnya dalam berprilaku. Negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberadaan agama telah memiliki dasar negara yang terdapat pada sila pertama pada pancasila yaitu ketuhanan yang maha esa. Ini menunjukkan bahwa tidak diperbolehkannya suatu individu yang tidak memiliki agama hidup di negara Indonesia.

Agama islam merupakan salah satu agama terbesar dan terbanyak penganutnya di Indonesia bahkan di dunia. Islam sebagai agama telah dijelaskan pada Firman Tuhan QS al- Maidah [5]:3 (al yauma akmaltu lakum dînakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matî wa radhîtu lakum al-Islâma dîinan)” artinya: “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian, Ku-tuntaskan bagi kalian pemberian nikmat- Ku dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama” (QS Al-Maidah [5]:3)

Menaggapi ayat diatas Abdurrahman Wahid (2006: 18) Dalam bukunya yang berjudul islamku islam anda islam kita agama masyarakat demokrasi dinyatakan bahwa agama Islam sebagai sebuah sistem hidup yang sempurna yang hanya dapat terwujud dalam sebuah sistem kenegaraan yang berbau agama.

Menurut Choirul (2002: 73) Hidup bernegara membutuhkan agama islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang artinya agama islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan, jin dan juga manusia. Sesuai dengan firman tuhan QS Al-Anbiya [21]:107 (wa maa arsalnaaka 136 illa rahmatan lil alamin) artinya: “dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Ajaran-ajaran agama islam yang dibawakan khatimul anbiya Muhammad Saw sudah sangat sempurna untuk membentuk individu atau kelompok menjadi sebaik-baiknya manusia. Islam telah mengajarkan manusia agar tidak berbuat semena-mena pada makhluk lain apalagi pada manusia, tetapi masih ada juga fenomena masa kini yang didapat suatu individu membunuh individu lainnya. Seakan rasa kasih sayang yang ditanamkan oleh agama islam telah larut dalam perkembangan zaman.

Masalah keagamaan, merupakan masalah yang selalu hadir dalam sejarah kehidupan manusia sepanjang zaman dan sama dengan masalah kehidupan lainnya. Perilaku hidup beragama yang amat luas tersebar di permukaan bumi dan dikatakan menjadi “bagian dari hidup kebudayaan” yang dapat dikembangkan dalam aneka corak yang khas antara suatu lingkup sosial-budaya berbeda dengan lingkup sosial budaya lainnya. Fenomena keagamaan yang berakumulasi pada pola perilaku manusia dalam kehidupan beragama adalah perwujudan dari “sikap” dan “perilaku” manusia yang menyangkut dengan hal-hal yang dipandang sakral. Untuk mengatasi berbagai macam permasalahan prilaku yang tidak sesuai dengan agama islam tersebut perlu adanya promosi agama islam itu sendiri yang berfungsi sebagai pengingat ajaran-ajaran islam yang telah dilupakan oleh masyarakat.

Hadirnya Promosi agama islam akan kembali menyebarluaskan atau menyampaikan kembali ajaran-ajaran agama islam yang telah “dilupakan” oleh masyarakat masa kini dalam rangka menghapus segala ketidak tahuan mereka dan menstimulasi masyarakat untuk mau berbuat sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agama islam dan menjauhi segala apa yang dilarang dalam agama islam tersebut. Tujuan utama promosi agama adalah untuk menyadarkan kembali masyarakat yang telah jauh kehidupannya dari agama. Mempromosikan agama juga tidak berbeda dengan berdakwah dalam kebaikan.

Banyak sarana yang dapat digunakan untuk mempromosikan agama. Untuk menentukan sarana apa yang cocok kita harus mengobservasi sarana apa yang lagi banyak- banyaknya orang cenderung datang dan mau berlama-lama menghabiskan waktu dengannya. Agar lebih hemat ruang dan biaya, sarana promosi secara online melalui media sosial instagram bisa sangat membantu.

137

B. Media Sosial Instagram @kemenag_ri Menurut Zarella (2010: 12) social media atau media sosial adalah konten berisi informasi, yang dibuat oleh orang yang memanfaatkan teknologi penerbitan, sangat mudah diakses dan dimaksudkan untuk memfasilitasi komunikasi, pengaruh dan interaksi dengan sesama dan dengan khalayak umum. Dengan media sosial masa kini setiap individu dapat berkomunikasi jarak jauh dengan individu lainnya baik secara oral dan visual. Persahabatan yang dahulu hilang pun akan kembali erat dengan media sosial, karena diantara fungsi media sosial itu sendiri ialah mendekatkan yang jauh dan bukan menjauhkan yang dekat.

Kominfo dalam bukunya cakap bermedia sosial (2017: 5) memaparkan bahwa media sosial merupakan sarana penghubung bagi masing-masing pengguna yang terdiri dari beberapa kategori media sosial yaitu: jejaring sosial (contoh: facebook, instagram), blog (contoh: kompasiana), wikis (contoh: wikipedia), forum (contoh: kaskus), sharing konten (contoh: you tube), microblogging (contoh: twitter) dan media sosial komersil (contoh: itunes, playstore).

Media sosial instagram termasuk dalam kategori jejaring sosial. Jenis media sosial ini memungkinkan pengguna untuk membuat dan mengelola halaman sendiri, berbagi konten dan membangun hubungan pertemanan. Instagram juga didesain khusus oleh penciptanya dengan fitur-fitur pembagian informasi yang menarik berupa gambar atau foto yang berdeskripsi (infografis) dan video. Gambar atau foto yang berdeskripsi (infografis) dan video inilah yang disebut dengan konten. Apapun yang disebarkan melalui media instagram dapat disebut dengan konten. Baik atau buruknya konten yang disebarkan itu kembali kepada pemilik akun instagram tersebut. Instagram juga dapat dikategorikan sebagai anggota dari sistem jejaring sosial media kontemporer dan merupakan bagian dari microblogging yang berkonsentrasi pada kegiatan photo-sharing.

Istilah akun dalam instagram berarti kepemilikan halaman terhadap instagram. Pemilik akun bebas menyebarkan apa saja dihalaman miliknya. Akan tetapi seiring berjalannya waktu pihak pemilik instagram pusat memberikan kebijakan terhadap apa saja yang boleh dan tidak disebarkan dalam aplikasi instagram tersebut. Jika kebijakan atau regulasi tersebut dilanggar maka konsekuensinya adalah pemblokiran atau penghapusan kepemilikan akun langsung dari pusatnya.

138

Instagram memiliki sejumlah peraturan yang harus ditaati oleh pengguna. Peraturan tersebut disusun dalam Terms of Use, contohnya persyaratan bahwa untuk bisa mendaftar di Instagram seseorang harus minimal berusia 13 tahun atau lebih tua. Ada pula pembatasan terhadap posting yang berupa kekerasan, telanjang, sebagian telanjang, atau bernada seksual. Hal ini juga didukung oleh kebijakan pemerintahan disuatu negara contohnya negara Indonesia dengan hadirnya undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE).

Umumnya pelanggaran yang dilakukan yang terkait tentang undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) ialah menyebarkan konten bermuatan kesusilaan, mencemarkan nama baik seseorang, perjudian online, penyebaran berita bohong atau palsu (hoax) dan ujaran kebencian kepada sesama manusia. Pengguna mendapatkan hak kepemilikan konten di Instagram. Instagram tidak mengklaim hak kepemilikan dalam teks, file, gambar, foto, video, suara, karya musik, karya tulisan, aplikasi, atau bahan lain yang di- posting oleh pengguna akun instagram.

Manusia sebagai makhluk sosial tentu saling membutuhkan pertemanan satu sama lain, tiada manusia yang dapat hidup dengan sendirinya. Kalau dulu kehidupan sosial manusia hanya dapat terjalin dengan realita nya saja yaitu hubungan sosial antar individu masih terisolasi oleh jarak dan waktu. Namun sekarang isolasi tersebut telah lekang dengan hadirnya media-media sosial di dunia maya. Burhan menambahkan (2006: 35) dengan media sosial antara komunikator dan komunikan tidak berhadapan langsung. Sudah barang tentu kehidupan realita dan maya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dengan media sosial yang bersifat maya tidak terbatas oleh ruang dan waktu, alias kapan dan dimana saja kita ingin berkomunikasi dapat dilakukan dengan begitu mudah.

Joseph linaschke (2011: 12) mendefinisikan media sosial instagram adalah aplikasi untuk photo-sharing dan layanan jejaring sosial online yang memungkinkan penggunanya untuk memposting gambar, menerapkan filter digital untuk mereka (pengguna bebas membatasi atau menyaring apa saja yang dapat diterima bergantu pada akun yang ia ikuti atau follow), dan berbagi hasilnya melalui fitur-fitur yang terdapat pada media tersebut. Hematnya, instagram adalah wadah atau sarana penghubung untuk berbagi informasi pribadi atau kelompok yang terkoneksi secara luas dan mudah untuk di akses yang bersifat infografis dan videografis. 139

Dalam buku Getting the most from instagram karangan Joseph linaschke (2011: 12) dijelaskan Instagram diciptakan oleh Kevin Systrom dan Mike Krieger, dua sarjana dari Stanford University di Amerika Serikat. Mereka berdua meluncurkan Instagram pada bulan Oktober 2010. Layanan instagram yang masih berupa aplikasi smartphone ini mendapatkan popularitas yang tinggi dalam waktu cepat, dengan lebih dari 100 juta pengguna atau akun yang terdaftar dan sekitar 90 juta pengguna aktif bulanan per Januari 2013. Ini berarti hanya dalam kurun waktu 3 tahun saja, jumlah pengguna Instagram sudah mencapai ratusan juta. Instagram saat ini dapat diakses melalui Apple App Store (khusus pengguna iphone) and Google Play (khusus pengguna android).

Dewasa ini, praktek promosi pemasaran melalui media sosial instagram mulai berkembang dan digunakan sebagai alat pemasaran produk dan merek suatu perusahaan yang cukup optimal. Instagram dimanfaatkan sebagai wadah untuk mempromosikan produk- produknya dengan biaya yang sangat murah lagi menghasilkan banyak manfaat bagi kalangan tertentu. Alasannya simpel yaitu karena sangat banyak muda-mudi usia produktif yang bakal menjadi konsumen. Karena mayoritas dari mereka juga memiliki akun instagram. Fenomena ini telah menimbulkan slogan berupa “bukan anak zaman now bila belum punya akun instagram.”

Tidak mau ketinggalan, Kementrian agama selaku pemerintah yang menaungi agama- agama di Indonesia juga memiliki akun instagram yang dinamai @kemenag_ri. Akun ini memiliki jumlah postingan sebanyak 457 kali dengan jumlah pengikutnya 56 ribu akun instagram. Berdasarkan jumlah postingan dan akun yang mengikutinya, akun @kemenag_ri dapat dikatakan kurang aktif dan kurang menarik perhatian pengguna instagram (akun) lainnya untuk mengikuti perkembangannya. Berbeda dengan akun yang dimiliki ulama kondang al-ustadz abdul somad yang dinamakan @ustadzabdulsomad. Akun ulama tersebut memiliki pengikut yang lebih banyak dari @kemenag_ri yaitu sebanyak 607 ribu dengan jumlah postingan 344 kali.

Banyaknya pengikut (followers) tidak harus sebanding dengan jumlah postingannya (kirimannya). Naiknya eksistensi suatu akun instagram dapat dilihat dari berapa banyak akun yang mengikuti perkembangannya dan bukan dari berapa banyak postingannya. Postingan atau konten yang disebarkan di akun instagram tidak lain tujuannya adalah untuk menarik pengikut agar setia mengikuti akun pengirim tersebut. Hematnya, kurang menariknya 140 postingan yang disebarkan oleh akun @kemenag_ri berdampak pada jumlah pengikutnya.

Mendalami lebih jauh (stalking) apa saja yang di posting di akun @kemenag_ri ialah sebagai berikut: (1) laporan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh kementrian terkait. (2) informasi ibadah haji yang notabene juga terdapat pada harian koran atau berita. (3) ucapan selamat pada hari-hari nasional dan (4) maklumat-maklumat dalam ibadah haji. Peneliti tidak menyalahkan postingan tersebut, akan tetapi para pengikut akun @kemenag_ri lebih berharap banyak dari sekedar postingan yang “itu-itu saja”.

Mengkritisi data diatas yang dihubungkan dengan akun @kemenag_ri yang dimiliki kementrian agama RI peneliti berkesimpulan bahwa akun instagram @kemenag_ri belum menjalankan fungsinya sebagai kementrian agama. Hal ini berlandaskan pada fungsi kementrian agama yang dikutip dari website resminya ialah: a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu, penyelenggaraan haji dan umrah, dan pendidikan agama dan keagamaan. b. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama. c. Pengelolaan barang milik/ kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama. d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Agama di daerah. e. Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah. f. Pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan di bidang agama dan keagamaan. g. Pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal. h. Pelaksanaan dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama.

Khusus pada fungsi bimbingan masyarakat Islam (fungsi a) dan pengembangan di bidang agama dan keagamaan (fungsi g) belum terdapat pada postingan instagram @kemenag_ri. Semestinya kementrian agama dapat memanfaatkan media sosial instagram

141 dalam membimbing dan mengembangkan keagamaan masyarakat melalui postingan di instagram miliknya. Sehingga akun tersebut dapat menjadi rujukan bagi masyarakat dikala mengalami kebimbangan dalam hal agama. Tidak hanya itu, postingan yang berkelas tentang agama akan meminimalisir perbedaan dan perpecahan antar ummat muslim. Karena pemerintah telah menyatukan persepsi dan prilaku masyarakatnya.

Sebenarnya tidak hanya kemenag saja yang berkecimpung dalam tugas keagamaan di Indonesia ini, Majelis ulama Indonesia (MUI) yang merupakan Lembaga yang mewadahi para ulama, dan cendikiawan islam di Indonesia yang bertugas untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia juga demikian. Tetapi dalam pemanfaatan media sosial instagram untuk promosi agama islam masih tergolong kurang. Dibuktikan dengan tidak adanya akun resmi dari lembaga MUI itu sendiri. Kalaupun ada akun atas nama “majelisulamaindonesia” atau “majelisulamaid” keduanya itu hanyalah akun palsu alias bukan resmi dari lembaga majelis ulama Indonesia (MUI).

Ajaran atau materi yang disampaikan melalui instagram dapat lebih melekat pada pengguna yang mengikutinya. Karena informasi yang disajikan berupa audio visual. Sehingga pengguna akan tertarik dan akan mengekspresikan ajaran dari postingan instagram tadi kedalam kehidupan kesehariannya dengan cara bertindak langsung sesuai pedoman yang diajarkan.

Tujuan dilaksanakannya promosi agama melalui akun instagram @kemenag_ri yaitu menjadi sumber pendidikan dan pengajaran agama secara santai, unik, menarik dan membekas dalam benak pengikutnya. Selain itu tujuannya dapat meningkatkan eksistensi kementrian agama sebagai pemerintah Indonesia. Dengan demikian, promosi agama akan bernilai guna dalam menaikkan rasa cinta pada agama dan menjalani segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya agar senantiasa tumbuh manusia-manusia yang berpribadi baik lagi berakhlak mulia.

Dalam mempromosikan agama, akun instagram @kemenag_ri haruslah mengetahui unsur apa saja yang harus dicermatinya yaitu:

1. Perhatian (attention), akun @kemenag_ri haruslah memfokuskan perhatian masyarakat dalam promosinya. Umumnya perhatian masyarakat akan mendalam dengan adanya video-video dan gambar-gambar yang di desain semenarik mungkin.

142

2. Keinginan (desire) dan kebutuhan (necessary), akun @kemenag_ri sebaiknya mengetahui konten apa yang diinginkan dan menjadi kebutuhan masyarakat dalam agama. Hal ini dapat dilihat dari kolom komentar yang berupa tanggapan dari para pengguna di instagram. Kecenderungan masyarakat pengguna akan mempengaruhi efektifitas dan efisiensi promosi yang dilakukan. Contohnya, ketika masyarakat menemukan masalah bagaimana berbusana sesuai dengan syariat islam. Maka akun @kemenag_ri memberikan solusinya dengan memposting tutorial atau cara berbusana yang diajarkan oleh agama islam. 3. Tindakan (action), akun @kemenag_ri tindakan berarti adanya respon baik dari masyarakat sehingga mereka setia mengikuti perkembangan akun @kemenag_ri tanpa ada paksaan. Hal ini ditandai dengan akun @kemenag_ri yang telah memperbanya postingan dan naiknya jumlah pengikut (followers). 4. Kepuasan (satisfy) setelah melakukan promosi agama diharapkan para pengikut dapat terpuaskan atas postingan akun @kemenag_ri, karena unsur promosi agama lebih menekankan pada kepuasan pemahaman pengguna, dimana promosi agama harus memperhatikan latar belakang, minat dan kebutuhan pengguna dalam pelaksanaannya untuk menghasilkan kepuasan pemahaman para pengguna.

C. Mengenal Kementrian Agama Republik Indonesia Pembentukan Kementerian Agama dalam Kabinet ditetapkan dengan Penetapan Pemerintah No 1/s.d. tanggal 3 Januari 1946 (29 Muharram 1365 H) yang berbunyi; Presiden Republik Indonesia, Mengingat: usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Kementerian Agama.

Maksud dan tujuan membentuk Kementerian Agama, selain untuk memenuhi tuntutan sebagian besar rakyat beragama di tanah air, yang merasa urusan keagamaan di zaman penjajahan dahulu tidak mendapat layanan yang semestinya, juga agar soal-soal yang bertalian dengan urusan keagamaan diurus serta diselenggarakan oleh suatu instansi atau kementerian khusus, sehingga pertanggungan jawab, kebijaksanaan (beleid), dan taktis berada di tangan seorang menteri.

Indonesia mendirikan Kementerian Agama yakni untuk memenuhi kewajiban Pemerintah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Bab XI pasal 29, yang menerangkan bahwa "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa" dan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk

143 beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu" (ayat 1 dan 2). Jadi, lapangan pekerjaan Kementerian Agama ialah berfokus pada mengurus segala hal yang bersangkut paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1950 serta Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1951 antara lain menetapkan kewajiban dan lapangan tugas Kementerian Agama yaitu:

1. Melaksanakan asas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sebaik-baiknya. 2. Menjaga bahwa tiap-tiap penduduk mempunyai kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. 3. Membimbing, menyokong, memelihara dan mengembangkan aliran-aliran agama yang sehat. 4. Menyeleggarakan, memimpin dan mengawasi pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri. 5. Memimpin, menyokong serta mengamat-amati pendidikan dan pengajaran di madrasah-madrasah dan perguruan-perguruan agama. 6. Mengadakan pendidikan guru-guru dan hakim agama. 7. Menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan pengajaran rohani kepada anggota-anggota tentara, asrama-asrama, rumah-rumah penjara dan tempat- tempat lain yang dipandang perlu. 8. Mengatur, mengerjakan dan mengamati segala hal yang bersangkutan dengan pencatatan pernikahan, rujuk dan talak orang Islam. 9. Memberikan bantuan materil untuk perbaikan dan pemeliharaan tempat-tempat beribadat (masjid-masjid, gereja-gereja dan lain-lain). 10. Menyelenggarakan, mengurus dan mengawasi segala sesuatu yang bersangkut paut dengan Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi. 11. Menyelidiki, menentukan, mendaftarkan dan mengawasi pemeliharaan wakaf-wakaf. 12. Mempertinggi kecerdasan umum dalam hidup bermasyarakat dan hidup beragama.

Tidak mudah menjalani tugas diatas bila hanya dilakukan dengan cara konvensional tanpa mengandalkan media-media sosial masa kini seperti instagram. Mempertinggi kecerdasan umum dalam hidup bermasyarakat dan hidup beragama dapat di sebarkan melalui

144 postingan di instagram. Memang tidak semua orang memiliki akun instagram khususnya para orang tua kita, tapi itu tidak menjadi masalah yang besar. Melalui pengajian-pengajian yang dinaungi oleh ulama-ulama modern maka postingan akun @kemenag_ri akan tersampaikan, asalkan ulama tersebut mengikuti akun @kemenag_ri dan mempromosikan kajian-kajian yang terdapat didalamnya kepada para jamaah yang dibimbingnya. Oleh karenanya kementrian agama seyogyanya juga membangun kerjasama dengan para ulama dalam mempromosikan agama.

Pada perkembangan selanjutnya, dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, saat ini Kementerian Agama terdiri dari 11 unit eselon I yaitu : Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Badan Penelitian dan Pengembangan, dan Pendidikan dan Pelatihan, dan 7 Direktorat Jenderal yang membidangi Pendidikan Islam, Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Bimbingan Masyarakat Islam, Bimbingan Masyarakat Kristen, Bimbingan Masyarakat Katolik, Bimbingan Masyarakat Hindu, Bimbingan Masyarakat Buddha, dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Selain 11 unit kerja tersebut, Menteri Agama juga dibantu oleh 3 (tiga) staf ahli dan 2 (dua) pusat yaitu : Staf Ahli Bidang Hubungan Kelembagaan Keagamaan, Staf Ahli Bidang Manajemen Komunikasi dan Informasi, Staf Ahli Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pusat Kerukunan Umat Beragama, Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu.

Dua paragraf diatas dikutip dari website resmi kementrian agama dan ini tidak tertera pada postingan akun @kemenag_ri. Memiliki staf ahli dalam bidang manajemen komunikasi dan informasi dalam kementrian agama akan mempermudah dalam mengelola sebuah akun instagram. Mengelola suatu akun dibawah tangan para ahli dibidangnya akan menarik jumah pengikut atau pengunjung yang datang, apalagi postingannya menarik yang sesuai dengan jawaban pada problema masa kini yang berlandaskan agama islam.

III. KESIMPULAN DAN SARAN Dari pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa: Pertama, Promosi agama islam melalui media sosial instagram kementrian agama republik Indonesia belum dilakukan dengan maksimal dan belum mengarah pada tugas pokok dan fungsinya sebagai kementrian agama.

Kedua, sedikitnya bimbingan atau ajaran agama islam yang diposting dan disebarkan oleh akun @kemenag_ri serta minimnya jumlah pengikut akun tersebut.

145

Ketiga, Media sosial instagram kementrian agama republik Indonesia tidak terfokus pada ruang lingkup promosi agama islam saja.

Keempat, Media sosial instagram kementrian agama republik Indonesia kebanyakan meng update kegiatan-kegiatannya daripada ajaran-ajaran agama.

Saran peneliti terhadap akun @kemenag_ri ialah sebagai berikut: Pertama, sebaiknya kementrian agama mengadakan pengkhususan fungsi dari sebuah akun instagram miliknya seperti akun instagram khusus agama islam dan agama-agama lainnya. Sehingga promosi agama dapat mencapai sasarannya dalam mengedukasi masyarakat.

kedua, kementrian agama seyogyanya membuat tim khusus dalam mengoperasikan akun instagramnya, agar akun tersebut dapat selalu aktif dalam memposting kajian-kajian menarik dan menanggapi komentar-komentar para pengguna lainnya di instagram.

ketiga, sebaiknya kementrian agama dan majelis ulama Indonesia (MUI) bekerjasama dalam mempromosikan agama islam melalui media sosial instagram. Sehingga dengan timbulnya kerjasama, segala problema kehidupan masa kini dapat terjawabkan dan dapat memperkuat persatuan ummat islam di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA Burhan, Bungin, Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, ______2006. Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf ______Al-Qur’an, 2009 Fuad, Choirul, Gerakan Islam Kontemporer Di Era Reformasi. Jakarta: Badan ______Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan Depag RI, 2002. Kominfo, Cakap Bermedia Sosial. Jakarta: Dirjen Pengolahan Dan Penyediaan ______Informasi, 2017. Kotler, Philip Dan Gary Amstrong, 2012, Prinsip-Prinsip Pemasaran, Edisi 2, ______Jilid 2 Terj. Bob Sabran, Jakarta: Erlangga Linaschke, Joseph, Getting The Most From Instagram. San Francisco: Peachpit, ______2011. Oentoro, Deliyanti, Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta: Laksbang ______Pressindo, 2012. Sugono, Dendy, Dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Pusat

146

______Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Tjiptono, Fandy, Prinsip-Prinsip Total Quality Services. Yogyakarta: Andi Offset, ______1997. Zarella, The Social Media Marketing Book. Jakarta: PT. Serambi, 2010.

WEB Adi, Aghni, “45 Juta Pengguna Instagram, Indonesia Pasar Terbesar Asia” ______www.bisnis.tempo.co. Diakses Pada Kamis, 15 November 2017. Tribun Jogja.Com. “Hingga Juli 2017, Jumlah Penduduk Indonesia Bertambah ______Jadi 262 Juta Jiwa.” www.jogja.tribunnews.com. Diakses Pada Kamis, 15 November 2017. Website Resmi Kemenag: www.kemenag.go.id Akun Instagram Resmi Kemenag: @kemenag_ri

147

INKONSISTENSI KONSTITUSI DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

Tri Aktariyani, Gunawan Aineka [email protected], [email protected] Universitas Gadjah Mada 08976060427

Abstrak

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah program jaminan sosial untuk pembiayaan pelayanan kesehatan dengan menggunakan prinsip asuransi sosial. Program JKN mulai digagas pemerintah Indonesia sejak tahun 2004 dan dapat terlaksana pada tahun 2014 dengan ditandai lahirnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tujuan program JKN adalah menunaikan kewajiban dalam Pasal 34 UUD 1945 yaitu memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa ada inkonsistensi muatan dalam peraturan perundang-undangan terkait JKN, yaitu salah satunya pengaturan dana kapitasi pada pusat pelayanan kesehatan masyarakat (Puskesmas). Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis regulasi terkait JKN yang masih mengalami multiinterpretasi, dan kekosongan hukum yang menjadi kendala dalam pelaksanaan JKN. Sifat penelitian yaitu normatif yuridis (library research) yaitu mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan.. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa inkonsistensi pada regulasi terkait JKN menyebabkan ketidakpastian hukum dan pelaksanaan program tidak berjalan seperti apa yang diamanahkan dalam konstitusi Indonesia. Salah satunya interpretasi dan rumusan regulasi pada kebijakan mengenai dana kapitasi bagi puskesmas yang menimbulkan potensial penyimpangan dalam akuntabilitas pengelolaan dana amanat dalam JKN karena dalam pengaturan pengawasan tidak menunjukkan dengan tegas pihak atau organ yang bertanggung jawab. DJSN dengan kewenangannya merumuskan kebijakan dan sinkronisasi peraturan penyelenggaraan jamina sosial diharapkan mampu bersinergi dan koordinasi dengan organ negara lainnya dalam mengawal komitmen penyelenggaraan JKN.

Kata Kunci : Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kapitasi, Konstitusi, Kebijakan.

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan pancasila sila kelima, bahwa negara Indonesia adalah negara sosialis, karna salah satu tujuan negara adalah kepada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan ini kemudian dituangkan kedalam pasal-pasal UUD 1945, Pasal 34 ayat

148

(3) UUD 1945 menerangkan bahwa negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas kesehatan yang layak. Ketentuan pasal-pasal tentang kesejahteraan kesehatan masyarakat Indonesia kemudian diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang maupun peraturan yang berada dibawahnya.

Konstitusi juga telah menentukan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Agar hak warga negara atas jaminan kesehatan sosial itu dapat dipenuhi. Pasal 34 ayat (2) juga mengamanatkan bahwa negara wajib mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (Ali Ghufran Mukti dan Moertjahjo, 2010).

Berdasarkan amanat konstitusi tersebut kemudian lahir peraturan dibawahnya berupa Undang-Undang atau peraturan di bawahnya untuk melaksanakan jaminan sosial tersebut. Pelaksanaan ini dikelola oleh pemerintah dimana peran dominan serta tanggungjawabnya dilaksanakan oleh kementrian kesehatan, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk bekerja sama dan berkolaborasi dengan kementerian dan instansi lainnya di pemerintahan atau sektor di luar pemerintahan (swasta).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 21 Tahun 2016 bahwa Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2013 menyebutkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam menyelenggarakan jaminan kesehatan menggunakan sistem pembiayaan kapitasi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP atau puskesmas). Menurut Permenkes Nomor 21 Tahun 2016 bahwa alokasi dana kapitasi dipergunakan sebanyak 60% untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan bagi tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan yang melakukan pelayanan di FKTP dan 40% untuk layanan operasional seperti obat, alat kesehatan, bahan habis pakai dan kegiatan operasional pelayanan kesehatan lainnya. 149

Pembahasan inkonsistensi pemerintah dalam pelaksanaan amanat konstitusi ini difokuskan kepada persoalan distribusi pembayaran anggaran pembiayaan kesehatan oleh pemerintah kepada fasilitas pelayanan kesehatan, salah satunya adalah mekanisme dana kapaitasi. Dana kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka kepada FKTP/Puskesmas berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Dalam praktiknya pelaksanaan mekanisme dana kapitasi ini menjadi sorotan karena dinilai tidak konsisten sesuai tujuan awalnya.

Pengelolaan dana kapitasi ini adalah wujud dari rumusan dalam Pasal 24 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), bahwa pembayaran pelayanan kesehatan kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan asosiasi fasilitas kesehatan dan BPJS Kesehatan di wilayah tersebut. BPJS Kesehatan mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan.

Dana kapitasi dapat dikategorikan sebagai keuangan negara, karena teknis pengumpulan dana jaminan sosial tidak hanya dari iuran pribadi peserta, tetapi juga aliran dana APBD dan APBN. Status badan hukum BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik yang mengartikan bahwa BPJS Kesehatan adalah wakil pemerintah yang bertugas khusus mengurusi pembiayaan pelayanan kesehatan di era JKN.

Menurut hasil beberapa kajian menyatakan bahwa secara umum dana kapitasi belum efisien. Dana kapitasi yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan ke tiap-tiap Puskesmas harus dikumpulkan terlebih dahulu di kas daerah. Penggelontoran dana kapitasi yang cukup besar dan minimnya pengawasan memunculkan celah adanya korupsi.

Indonesia Hospital dan Clinic Watch (INHOTCH) menemukan keluhan dari sejumlah Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) adanya pemotongan dana kapitasi oleh Dinas Kesehatan sebesar 50 persen (Sindo News, 2014). Dinas Kesehatan Subang menjadi "sapi perah". Bupati selalu memungut uang miliaran rupiah dari kas Dinas kesehatan Subang, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah maupun dana kapitasi BPJS Kesehatan (Tempo, 2016). Kepala Puskesmas 150

Kecamatan Moro ditetapkan menjadi tersangka kerugian keuangan negara sebesar Rp300 juta dari total dana JKN kapitasi Rp1,2 miliar (Batampos, 2017).

KPK menemukan sejumlah kelemahan pengelolaan dana kapitasi yaitu pada aspek regulasi dimana aturan pembagian jasa medis dan biaya operasional berpotensi menimbulkan moral hazard dan ketidakwajaran, regulasi belum mengatur mekanisme pengelolaan sisa lebih dana kapitasi, aturan penggunaan dana kapitasi juga dinilai kurang mengakomodasi kebutuhan FKTP/Puskesmas, pada aspek tata laksana dan sumber daya masih lemahnya pemahaman dan kompetensi petugas di FKTP/Puskesmas, dan terakhir pada aspek pengawasan yang terlihat pada tidak adanya anggaran pengawasan dana kapitasi di daerah. (KPK, 2015).

Menurut Riley et al., (2010) produktifitas yang meningkat tajam dapat justru memicu terjadinya inefisiensi. Sementara utilitas yang tepat merupakan elemen yang sangat penting untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang efisien dan bermutu. Oleh karena itu tingkat utilitas merupakan salah satu alat ukur penting dalam evaluasi kinerja provider untuk menilai efisiensi.

Dana kapitasi yang disalurkan oleh BPJS Kesehatan hampir menyentuh 8 trilyun rupiah per tahun. Kualitas pelayanan kesehatan yang rendah di FKTP/Puskesmas meskipun telah mendapat dana kapitasi menyebabkan penumpukan pasien di rumah sakit. Pembiayaan pelayanan kesehatan di rumah sakit menelan biaya lebih tinggi, sehingga pengelolaan dana kapitasi yang belum efisien turut menyumbang defisit BPJS Kesehatan.

BPJS Kesehatan resmi beroperasi menjalankan program JKN tahun 2014. Data menunjukkan selama BPJS Kesehatan beroperasi setiap tahunnya selalu mengalami defisit dan jumlahnya selalu meningkat. Pada tahun 2014 BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp. 2,9 Trilyun ((Nur Nisahairini - Bappenas, 2015). Defisit BPJS Kesehatan pada tahun 2015 mencapai Rp. 5,85 Trilyun, dan defisit mencapai kurang lebih Rp. 9 Trilyun pada tahun 2016 (Majalah Parlementaria, 2016).

Dana kapitasi sebagai keuangan negara memiliki peran sangat penting dalam mewujudkan tujuan negara yaitu mewujudkan jaminan kesehatan dan kesejahteraan umum. Tujuan tersebut dapat dicapai apabila keuangan negara dikelola secara tertib, taat 151

pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan akuntabel (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003). Penelitian ini akan mengkaji mengenai konsistensi pengelolaan dana jaminan kesehatan pada dana kapitasi di puskesmas.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah pengaturan dana kapitasi yang mampu mewujudkan konsistensi dalam penyelenggaraan JKN?.

B. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Sifat penelitian yaitu normatif yuridis (library research). Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasi atau penelitian ini sering disebut theoretical law research (Abdulkadir Muhammad, 2004). Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum kepustakaan mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001).

2. Sumber Data dan Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini melalui studi kepustakaan. Data sekunder merupakan data utama yang digunakan dalam penulisan ini. Penulis dalam penelitian ini menggunakan 3(tiga) bahan hukum sebagai berikut; a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang berasal dari: 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

152

3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 4. Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan 5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) 6. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional 7. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan 8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan 9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. 10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat 11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan Dan Dukungan Biaya Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah. b) Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terdiri dari literatur-literatur, buku-buku yang berkaitan dengan pengelolaan dana jaminan kesehatan dan keuangan negara dalam pelaksanaan program JKN. Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara studi dokumen, mempelajari permasalahan dari buku-buku, literatur, makalah dan kamus hukum dan bahan-bahan lainnya yang berkaitan. c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan tambahan atau dukungan data yang telah ada pada bahan hukum primer dan bahan sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah penelusuran-penelusuran di internet.

3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan studi kepustakaan adalah cara pengumpulan data dengan membaca, memahami, dan mengutip, merangkum, dan membuat catatan-catatan serta menganalisis peraturan perundang- undangan.

153

4. Analisis Data Seluruh data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif dilakukan dengan cara mengelompokkan data- data yang diperoleh, untuk selanjutnya dipilah berdasarkan relevansinya terhadap topik penelitian. Data tersebut kemudian disusun secara sistematis untuk dihubungkan dan dianalisis dengan peraturan-peraturan yang terkait, agar selanjutnya dapat ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan. Penyajian data dilakukan secara deskriptif dengan cara menggambarkan dan menjelaskan hasil yang didapat di lapangan dengan data dan teori yang ada, sehingga menjawab permasalahan.

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka 1. Konstitusi Menurut Wirjono Prodjodikoro (1977) istilah konstitusi berasal dari bahasa perancis yaitu constituer atau membentuk, yang berarti membentuk suatu negara. Sehingga konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai negara. Konstitusi memuat suatu peraturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan negara.

Carl J. Friedrich dalam Budiardjo (2003) mendefiniskan konstitusi atau konstitusionalisme sebagai sebuah gagasan yang menyatakan bahwa pemerintahan merupakan sekumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, namun demikian tetap tunduk pada beberapa pembatasan. Adanya pembatasan tersebut dengan maksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah.

Konstitusi di Indonesia ialah UUD 1945 yang merumuskan tujuan bernegara salah satunya yaitu mewujudkan kesejahteraan seperti yang termuat dalam Pasal 34 yaitu menjadi pernyataan bahwa negara Indonesia adalah negara kesejahteraan, yang bermakna bahwa negara melalui lembaga negara dan segenap pemerintahan memiliki tanggung jawab mengembangkan kebijakan untuk kesejahteraan masyarakat.Penyamaan konstitusi dengan Undang-Undang Dasar disebabkan oleh

154

pengaruh paham kodifikasi yang mengkehendaki agar semua peraturan hukum ditulis demi mencapai kesatuan hukum, kesederhanaan hukum dan kepastian hukum (Ahmad Suakrdja, 2012).

2. Jaminan Kesehatan Nasional Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah (Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013).

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah Program jaminan sosial yang menjamin biaya pemeliharaan kesehatan serta pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan yang diselenggarakan nasional secara bergotong-royong wajib oleh seluruh penduduk Indonesia dengan membayar iuran berkala atau iurannya dibayari oleh Pemerintah kepada badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan nirlaba (BPJS Kesehatan).

Kata “jaminan”, secara bahasa dapat berarti asuransi (insurance), peyakinan (assurance), garansi (guarantee/warranty), janji (promise/ pledge), dan dapat berarti pengamanan (security). Kata “jaminan” yang berarti asuransi di Indonesia berakar dari proses pengumpulan dana bersama untuk kepentingan bersama yang memiliki arti transfer risiko. (Thabrany, 2014).Manfaat perlindungan sosial dalam kesehatan adalah untuk mengurangi kesulitan keuangan dalam mengakses layanan kesehatan dan perlindungan dari katastrofik keuangan serta pemiskinan akibat pengeluaran untuk kesehatan (Kimani et al., 2012).

Peraturan perundang-undangan yang memerintahkan dan memberi kewenangan penyelenggaraan JKN terbentang luas, mulai dari UUD 1945 hingga Peraturan Menteri dan Lembaga. Pemerintah telah mengundangkan banyak Peraturan Perundang- undangan yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan program JKN dan tata kelola BPJS Kesehatan (Buku Saku SJSN).

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disingkat BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program 155

Jaminan Kesehatan. Penyelenggara pelayanan kesehatan pada program JKN meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan (Permenkes 71 Tahun 2013).

Puskesmas atau Fasilitas Kesehatan tingkat pertama(FKTP) dibentuk dengan tujuan untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional, yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Efendi, 2009).Pusat Kesehatan Masyarakat sebagai salah satu jenis fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama memiliki peranan penting dalam sistem kesehatan nasional, khususnya subsistem upaya kesehatan.

Rumah Sakit atau Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

3. Dana Kapitasi Pada beberapa negara maju dana kapitasi untuk pelayanan primer dalam perhitungannya sudah mempertimbangkan umur, jenis kelamin dan riwayat penyakit serta faktor risiko lainnya (Sibley & Glazier, 2012). Dana kapitasi di Indonesia dihitung seragam setiap penduduknya. Menurut BPJS Kesehatan (2014), FKTP terutama puskesmas akan dikembangkan program “payment for performance” atau pembayaran berbasis kinerja. Hal ini dilakukan agar kendali mutu dan kendali biaya dapat diintegrasikan secara optimal. Ada 9 indikator kualitas (QI-9) kinerja FKTP berbasis 4 fungsi utama pelayanan primer yang harus dilakukan untuk mendukung suksesnya penerapan pembayaran berbasis kinerja ini, yaitu fungsi kontak dan komunikasi, fungsi kontinuitas, fungsi koordinasi, dan fungsi komprehensifitas.

Menurut Hasbullah Tabrany (2015) Pembayaran kapitasi merupakan suatu cara pengendalian biaya kesehatan dengan menempatkan fasilitas kesehatan pada posisi menanggung risiko,, seluruhnya atau sebagian dengan menerima pemborongan. Secara makro,pembayaran kapitasi merupakan salah satu cara meningkatkan efisiensi dengan

156 memanfaatkan mekanisme pasar layanan kesehata. Pembayaran kapitasi ini efektif apabila dilaksanakan dalam konteks JKN atau pemerintah.

Frank et al., (2000) menjelaskan bahwa kapitasi dapat dihitung dengan membagi hasil kali tingkat penggunaan (utilization rate) terhadap biaya setiap pelayanan (charge per proceduree) dengan jumlah bulan. Utilization rate dalam perhitungan kapitasi merupakan peluang kebutuhan seorang peserta terhadap pemanfaatan suatu jenis pelayanan kesehatan. Utilization rate dihitung berdasarkan rasio jumlah kasus pelayanan kesehatan pada suatu periode (umumnya satu tahun) tertentu terhadap jumlah rata-rata peserta program pada periode yang sama.

Dana Kapitasi yang diterima oleh FKTP/Puskesmas dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dimanfaatkan seluruhnya untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan sebanyak 60% dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Besaran alokasi dukungan biaya operasional ditetapkan setiap tahun dengan Keputusan Kepala Daerah atas usulan Kepala SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan: tunjangan yang telah diterima dari Pemerintah Daerah; kegiatan operasional pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai target kinerja di bidang pelayanan kesehatan; dan kebutuhan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (Pasal 3 dalam Permenkes No. 21 Tahun 2016).

Pendapatan Dana Kapitasi yang tidak digunakan seluruhnya pada tahun anggaran berkenaan, sisa Dana Kapitasi dimanfaatkan untuk tahun anggaran berikutnya. Sisa dana kapitasi tersebut berasal dari dana dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan maka pemanfatannya hanya dapat digunakan untuk dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Sedangkan sisa Dana Kapitasi yang berasal dari dana jasa pelayanan kesehatan maka pemanfatannya hanya dapat digunakan untuk jasa pelayanan (Pasal 7 dalam Permenkes No. 21 Tahun 2016).

Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan dana kapitasi dilakukan oleh Kepala SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Kepala FKTP secara berjenjang dan secara fungsional oleh Aparatur Pengawas Instansi Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

157

Ada reaksi positif dan reaksi negatif terhadap mekanisme pembayaran menggunakan kapitasi (Hasbullah Tabrany,2015). Reaksi positif diantaranya: a. Memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, dengan menegakkan diagnosis yang tepat dan terapi yang tepat. Peserta yang sakit akan cepat sembuh dan senang memilih dokter tersebut sebagai dokter primernya b. Memberikan nasehat dan layanan promotif-preventif mencegah insiden sakit akut atau kronik. Jika peserta menderita penyakit kronis, obatnya yang ditanggung atau dibayar terpisah di luar kapitasi, maka dokter akan berupaya agar komplikasi penyakit tidak terjadi. c. Jika kapitasi dibayar dengan penuh atau total, termasuk rawat inap, maka terjadi efek terbaik dimana layanan yang pas, sesuai dosis akan terjadi.

Reaksi negatif diantaranya:

a. Pada bayaran kapitasi terpisah-pisah antara rawat jalan primer dan rujukan tanpa diimbangi dengan insentif yang memadai akan terjadi angka rujukan yang tinggi. b. Mendorong pasien untuk tidak sering konsultasi dengan berbagai cara. Meskipun pada jangka panjang hal ini akan merugikan dokter.

4. Sistem Pembiayaan Kesehatan Secara sederhana, sistem adalah suatu tatanan berbagai unsur yang berfungsi untuk mencapai atau menghasilkan suatu perubahan mencapai suatu keseimbangan atau tujuan tertentu. Sistem kesehatan disusun untuk mencapai keseimbangan fungsi sebuah sistem kesehatan agar seluruh anggota masyarakat menikmati hidup sehat produktif. Sebuah sistem kesehatan yang baik harus bisa berfungsi terus menerus dalam jangka panjang menyehatkan anggota kumpulan (seluruh penduduk di suatu wilayah atau negeri). Secara nasional ada sistem kesehatan nasional, yang berlaku dan harus dipatuhi mau tidak mau diterima oleh semua pihak baik ditingkat pusat atau daerah, badan publik di luar pemerintahan, badan swasta maupun penduduk secara perorangan (Hasbullah Tabrany,2015)

Indikator pengeluaran untuk kesehatan suatu negara dicerminkan oleh tiga aspek pendanaan, yaitu (1) komitmen pemerintah terhadap pembiayaan pelayanan kesehatan, (2) pendapatan perkapita, (3) pengeluaran kesehatan masyarakat sebagai bagian dari pengeluaran kesehatan total, yang mencerminkan tingkat pembiayaan

158

pemerintah untuk pelayanan kesehatan dan (4) persentase pengeluaran kesehatan swasta yang disediakan (Odeyemi, 2013). Tujuan yang ingin dicapai dalam universal helath coverage adalah kebijakan terkoordinasi dan implementasi di seluruh fungsi sistem kesehatan untuk membuat kemajuan pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan (Mathauer & Carrin, 2011). Menurut Kutzin (2008), ada 4 faktor yang mempengaruhi tujuan pembiayaan kesehatan yang selanjutnya dapat mempengaruhi tujuan dari sistem kesehatan yaitu regulasi, saran prasarana dan sumber daya manusia.

Menurut Horn (1975) ada beberapa hal yang menyebabkan tidak berjalan dengan baiknya peraturan yang dibuat oleh pemerintah, yaitu bidang program yang terlalu luas dan sifat tujuan yang kompleks dan akibat ketidakjelasan dan kontradiksi dalam pernyataan ukuran-ukuran (peraturan) dasar dan tujuan-tujuan. Menurut Kutzin (2010) tujuan sistem pembiayaan kesehatan tercapai apabila dpenuhinya unsur keadilan, efisiensi, berkualitas transparan dan akuntabilitas.

5. Tinjauan Sistem Hukum Pada hakikatnya, sebuah sistem adalah sebuah unit yang beroperasi dengan batas-batas tertentu. Sistem bisa bersifat mekanis, organis, atau sosial. Yang menjadi inti dari sistem adalah caranya mengubah input menjadi output, struktur sistem hukum mirip dengan program komputer yang besar yang berisi kode untuk menangani jutaan masalah yang diumpankan kedalam mesin. Kemudian, peraturan- peraturan organisasi, jurisdiksi dan prosedur adalah bagian dari pengkodeannya (Lawrence M. Friedman,2009).

Dari teori sistem hukum Friedman, kita dapat melihat tolak ukur berlakunya hukum sebagai suatu sistem. Substansi hukum, merupakan produk aturan perundang-undangan yang mengatur tentang isi hukum yang berlaku. Dalam konteks tulisan ini yaitu keberadaan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengatur tentang Jaminan Kesehatan Nasional melalui mekanisme pembayaran dana Kapitasi. UUD 1945 dalam Pasal 34 ayat (3) menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan sarana kesehatan yang layak. Dari pasal tersebut, lahir Undang-Undang SJSN untuk mengakomodasikan substansi hukum tersebut. Struktur hukum, secara ringkas, dapat 159

dipahami bahwa aparatur negara berfungsi untuk menjalankan isi peraturan perundang-undangan. Agar undang-undang dapat berjalan dengan baik diadakanlah pemerintahan dengan segala bentuk manajerialnya dalam hal BPJS sebagai penyelenggara jaminan sosial.

Struktur adalah elemen nyata dari sistem hukum, substansi (peraturan- peraturan) adalah elemen-elemen lainnya. Elemen berikutnya adalah budaya, dalam menjelaskan sistem hukum aspek budaya adalah komponen akhir yang menentukan. Budaya masyarakat mempengaruhi dipatuhi atau tidak dipatuhinya sebuah peraturan. Sehingga, menciptakan sistem yang baik harus memperhatikan komponen substansi, struktur dan budaya masyarakat. Hal ini pun berlaku terhdap pelaksanaan sistem jaminan kesehatan nasional atau yang kita kenal dalam undang-undang dengan nama SJSN.

B. Analisa Hukum Pengaturan Dana Kapitasi dalam Mewujudkan Konsistensi Penyelenggaraan JKN Sistem pembayaran kapitasi adalah jawaban rasional dari karakteristik informasi asimetri layanan kesehatan. Kebutuhan akan layanan kesehatan memiliki karakter yang cukup rumit yaitu ketidakpastian, informasi asimetris dan externialitas yang menunjukkan bahwa konsumsi layanan kesehatan tidak saja memengaruhi atau dinikmati oleh pasien atau pembeli tetapi juga dinikmati oleh bukan pembeli (Hasbullah Thabrany, 2015). Pada era JKN pengaturan penggunaan dana kapitasi JKN untuk jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pada FKTP milik pemerintah daerah ditujukan bagi FKTP milik pemerintah daerah yang belum menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah (Pasal 2 Permenkes 21 Tahun 2016).

FKTP adalah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang terdiri dari puskesmas, klinik pratama, dan praktek dokter mandiri. Peserta JKN belum sepenuhnya memanfaatkan layanan kesehatan di FKTP/Puskesmas karena jarak puskesmas yang jauh, antrian panjang karena tenaga kesehatan yang tidak sebanding dengan pasien, puskesmas yang tidak beroperasi 24 jam dan sarana prasarana yang masih minim (Women Research Institute, 2015).

160

Pembayaran kapitasi adalah salah satu upaya pengendalian biaya kesehatan dengan pembayaran borongan sebagai pembagian tempat risiko pembayaran dengan meningkatkan pelayanan kesehatan pada tingkat pertama baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, dan/atau masyarakat. Pelaksanaan dana kapitasi dalam program JKN menurut beberapa hasil penelitian menunjukkan belum efisien. Pengelolaan dana kapitasi tersebut masih mengalami beberapa masalah yaitu pada kebijakan atau regulasi, sumber daya manusia dan sarana prasarana. Pertama, kebijakan atau regulasi mengenai dana kapitasi termuat dalam Peraturan Menteri Kesehatan yang sudah mengalami perubahan sebanyak dua kali.

Mencermati perubahan Permenkes masih terdapat kekurangan yaitu pada aspek pengawasan. Permenkes Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah masih belum melibatkan BPJS Kesehatan selaku Lembaga Negara yang memiliki otoritas dalam mengurusi pembiayaan pelayanan kesehatan pada program JKN.

Pengawasan adalah unsur mutlak yang harus ada dalam pengelolaan keuangan negara yang diatur dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip kesejahteraan rakyat dan agar penyelenggaraan negara dapat terkendali dan mencapai cita-cita negara. Dana kapitasi sebagai keuangan negara membawa konsekuensi adanya batasan ketentuan hak dan kewajiban serta konsekuensi mengatur mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah dan daerah, keuangan negara dan keuangan lainnya (Dian Puji, 2011).

Kebijakan yang dirumuskan dalam regulasi pengelolaan dana kapitasi masih belum memadai karena meninggalkan unsur penting organ dan substansi mengenai pengawasan.Unsur pengawasan yang tidak diperhatikan akan membawa potensi penyimpangan yang berakibat efektivitas dana kapitasi dalam meningkatkan mutu layanan masih rendah.

Permasalahan kedua, yaitu ada pada sumber daya manusia yang masih butuh penyesuaian dalam memahami dan melaksanakan perintah dalam regulasi dana kapitasi. Dana kapitasi sebagai keuangan negara telah diatur dalam konstitusi Indonesia yaitu dalam uud 1945, jelas menyatakan bahwa keuangan negara harus 161 dikelola secara tertib, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan.

Besarnya dana kapitasi yang diterima oleh puskesmas dan lambat direalisasi menyebabkan menumpukkannya dana pada puskesmas dan berpeluang terjadinya deviasi pada dana kapitasi. Sedangkan selama tiga tahun BPJS Kesehatan beroperasi selalu mengalami defisit. Defisit pada BPJS Kesehatan mengganggu upaya pelayanan kesehatan pada masyarakat. Pengelolaan dana kapitasi yang masih belum sesuai konstitusi tersebut membawa pengaruh pada pelaksanaan program JKN menjadi terhambat.

Sistem jaminan kesehatan di Indonesia menggabungkan pendekatan market- driven dan state-controlled. Beberapa studi menunjukkan bahwa kebijakan sistem kesehatan Indonesia yang hanya menyentuh sisi penawaran (supply-side policy) bisa memunculkan persoalan yang berkelanjutan yaitu biaya-biaya lanjutan seperti pemeliharaan dan penyelenggaraan perawatan kesehatan, biasanya akan menjadi beban yang memberatkan anggaran pemerintah (Edi Suharto, 2013).

Indonesia sebagai welfare state memiliki konsekuensi untuk campur tangan penuh dalam penyelenggaraan JKN khususnya pada pengelolaan dana kapitasi. Program JKN yang masih balita usianya memiliki potensi penyimpangan pada pengelolaan dana amanat. Persepsi banyak memunculkan prediksi penyimpangan pada pembayaran dana kapitasi. Pemerintah dituntut untuk segera membagi dengan jelas dan tegas kewenangan yang melekatkan tanggung jawab dalam akuntabilitas pengelolaan dana kapitasi JKN kepada pemerintah daerah yang juga memiliki otonomi dalam mengurus wilayahnya.

Penyelenggaraan jaminan kesehatan banyak mengalami kendala karena lemahnya sistem manajemen dana. Akuntabilitas yang buruk dalam pengelolaan dana kapitasi JKN akan menjauhkan jaminan kesehatan pada tujuan yang dicita-citakan. Hukum sebagai alat rekayasa yang mengatur tingkah laku manusia dapat difungsikan dalam menjaga konsistensi penyelenggaraan JKN agar terselenggara dengan asas kemanusiaan, asas keadilan dan asas kemanfaatan.

162

Kebijakan yang dibentuk harus ditelaah secara komprehensif agar mampu menyempurnakan program JKN. Selain BPJS Kesehatan, organ negara yang sangat memiliki kewajiban dalam hal ini adalah DJSN yang memiliki kewenangan merumuskan kebijakan umum dan mensinkronisasikan peraturan dalam jaminan sosial.

KESIMPULAN

Inkonsistensi pada regulasi terkait JKN menyebabkan ketidakpastian hukum dan pelaksanaan program tidak berjalan seperti apa yang diamanahkan dalam Undang-Undang SJSN. Hal ini terlihat dari setiap peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah. Multi interpretasi pada Undang-Undang SJSN sampai pada aturan pelaksananya salah satu yang menjadi hambatan pelaksanaan program JKN. Pada dasarnya perumus Undang-Undang SJSN mengamanahkan bahwa dalam pengelolaan dana jaminan sosial sangat menuntut profesionalitas, transparansi, efektif, efisien dan akuntabilitas. Namun, dalam perjalanannya pelaksanaan Undang-Undang SJSN tersebut pihak-pihak yang memiliki kewenangan seperti BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, khsusnya Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) belum melakukan koordinasi yang sinergi, sehingga menuai polemik yang menjauhkan dari cita-cita jaminan sosial tersebut. Pemerintah daerah dalam hal mengelola dana kapitasi memiliki andil penting, sehingga dibutuhkan komitmen dan pertanggungjawaban. Negara memiliki tanggung jawab penuh dalam mewujudkan program JKN, namun yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan program ini juga adalah kebijakan pemerintah, sehingga dibutuhkan kontrol sosial untuk mencapainya.

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam, 2003, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

Efendi, F., 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktek dalam Keperawatan Jilid I, Jakarta: Salemba Merdeka.

Frank, C.R.,2000, Empowerment Through Capitation. Maryland: Aspen Publisher.

Horn, V.M. dan Van, 1975. The Polive Implementation Process: A Conceptual Framework dalam Administration and Society, London: Sage Publication, Ltd.

163

Kutzin, J., 2008, Health financing policy: a guide for decision-makers. The Regional Office for Europe of the World Health Organization, Pages: 29,5 Suppl 5, p.S2.

Kutzin, J., 2013, Health financing for universal coverage and health system performance: concept and implications for policy. Wolrd Health Organization. Bulletin of the World Health Organization, 91(8), pp.602-611.

Majalah Parlementaria, 2016,Audit dan Modernisasi BPJS Kesehatan, Edisi : 135 TH- XLVI.

Mathuer, I. & Carrin, G., 2011. The role of institutional design and organizational practice for health financing performance and universal coverage. Health policy (, ), 99(3), pp.183-192.

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Citra Aditya Bakti.

Nisahairini, Nur 2015, Satu Tahun Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasiona, Direktorat Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta.

Odeyemi, IA, N.J., 2013, Assesing Equity in Health Care Through the National Health Insurance Schemes of Nigeria: A Review-Based Comparative Analysis. Equity Health, 12(9), pp. 1-18.

Prodjodikoro, Wirjono, 1974, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta, Dian Rakyat.

Puji Dian, N., 2011, Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah, Jakarta, Badan Penerbitan FH UI.

Riley, 2010, Rekayasa Berorientasi Objek. Yogyakarta: Penerbit CV Andi.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Suharto, Edi, 2013, Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia, Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan, Bandung, Alfabeta.

Sukardja, Ahmad, 2012, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Sinar Grafika

Sibley, L.M. & Glazier, R.H., 2012, Evaluation of the equity of age-sex adjusted primary care capitation payment in Ontario, Canada. Health Policy, 104(2), pp.186-192.

164

KEARIFAN LOKAL DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENGUATAN KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA (KAJIAN NILAI-NILAI FALSAFAH BUTON BHINCI-BHINCIKI KULI)

Mutawally Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected] 082257322250

Abstrak

Maraknya konflik sosial berlatar suku, agama, etnis, dan budaya merupakan bukti bahwa kemajemukan tidak selamanya membawa berkah, tetapi juga bisa membawa petaka. Sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia mencatat telah terjadi beberapa kali ketegangan antara penganut agama di Indonesia. Misalnya ketegangan antara Islam-Kristen pada tahun 1960 an di Toraja Sulawesi Selatan, tahun 1999 an di Ambon Maluku, dan berbagai konflik lainnya. Menguatkan kerukunan antar umat beragama merupakan hajat nasional yang sangat penting untuk dilakukan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menguatkan kerukunan antar umat beragama adalah menggunakan pendekatan kultural atau kearifan lokal. Penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif ini menjelaskan konsep falsafah Buton bhinci- bhinciki kuli dan kontribusinya terhadap penguatan kerukunan antar umat beragama di Kota Baubau. Pengumpulan data ini melibatkan beberapa informan yang dipilih melalui purposive sampling dimana data dihasilkan melalui wawancara dan studi dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa falsafah bhinci-bhinciki kuli mengandung empat pemahaman (sara pataguna) yang menjadi pedoman masyarakat Buton dalam berprilaku sehari-hari, yaitu: (1) pomae-maeka (saling menakuti), (2) pomaa-maasiaka (saling menyanyangi), (3) popia-piara (saling memelihara), (4) poangka-angkataka (saling meghormati dan menghargai jasa sesama kita). Nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah bhinchi-bhinciki kuli ini mengajarkan tentang pentingnya untuk senantiasa menjaga keharmonisan, kedamaian, dan kerukunan di antara kelompok masyarakat. Falsafah bhinci-bhinciki kuli sebagai prinsip hidup masyarakat Buton ternyata berkontribusi positif bagi penguatan kerukunan antar umat beragama di Kota Baubau. Kata kunci: Kearifan Lokal, Kerukunan Umat Beragama, Bhinci-Bhinciki Kuli

A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan kemajemukannya. Kekayaan yang terefleksi dari kemajemukan suku, budaya, etnis, dan agama mengantarkan Indonesia menjadi sebuah negara dengan kekuatan budaya yang khas di dunia. Warisan kesejarahan dari sejumlah kerajaan dan kesultanan di Nusantara menjadi sumber utama tatanan nilai lokal yang memberi sumbangsih bagi penguatan karakter bangsa (nation building) sekaligus mengantarkan bangsa Indonesia menjadi cermin bagi bangsa-bangsa

165 di dunia yang mampu menyatu dalam kemajemukan (Abdul Munafi, 2014: 94). Namun demikian, kemajemukan yang tidak lain merupakan anugerah itu sangat rentan memancing lahirnya konflik di antara kelompok masyarakat. Artinya, kemajemukan selain membawa berkah, juga bisa membawa petaka. Akan tetapi, semua lagi-lagi kembali pada bagaimana bangsa Indonesia mengelola kemajemukan tersebut (Nurrahman, 2015: 227).

Mengelola kemajemukan memang diakui bukanlah perkara yang mudah (Muhiddinur, 2013: 451). Sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia mencatat telah terjadi beberapa kali ketegagan antara penganut agama di Indonesia. Misalnya ketegangan antara Islam- Kristen pada tahun 1950 an di Aceh, tahun 1960 an di Toraja Sulawesi Selatan, tahun 2000 an di Ambon Maluku, dan sejumlah konflik berlatar SARA yang terjadi di berbagai daerah di tanah air (Gavin, 1985: 116). Dalam hal konflik tersebut, agama menjadi salah satu variabel yang seringkali memicu perselisihan antar kelompok dalam masyarakat hingga meluas menjadi benturan sosial.

Mengingat agama sangat rentan memicu terjadinya konflik, olehnya menguatkan kerukunan antar umat beragama menjadi hajat nasional yang sangat penting untuk dilakukan demi menjaga keutuhan dan kerukunan hubungan sosial masyarakat yang heterogen. Sebagaimana pernyataan KH. Muhammad Dachlan (Mantan Mentri Agama RI) dalam Muhdina (2015: 20), bahwa kerukunan antar umat beragama merupakan syarat mutlak bagi terciptanya stabilitas politik dan ekonomi. Hal senada diungkapkan Edi Suradjat dalam Basrie (1994: 86) bahwa kerukunan umat beragama merupakan syarat agar Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap stabil dan pembangunan nasional berjalan dengan lancar.

Kerukunan umat beragama yang dimaksudkan adalah hubungan sesama umat beragama yang didasari oleh sikap toleransi, saling pengertian dan menghormati, menghargai kesetaraan dan keyakinan agama masing-masing, serta saling bekerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Abu Tolhah, 1980: 14)

166

Dalam terminologi yang digunakan oleh Pemerintah sendiri, konsep kerukunan hidup antar umat beragama terdiri atas tiga kerukunan, yang disebut dengan istilah “Trilogi Kerukunan” (Alamsyah, 1982: 12). Konsep trilogi kerukunan tersebut merupakan dimensi-dimensi yang digunakan untuk mengukur kerukunan hidup beragama di masyarakat. Adapun dimensi-dimensi kerukunan itu adalah: Pertama, dimensi kerukunan antar umat seagama. Kedua, dimensi kerukunan antar umat beragama. Ketiga, dimensi kerukunan umat beragama dengan pemerintah (Iskandar, 2005: 398).

Membangun kerukunan umat beragama dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, baik itu pendekatan yang sifatnya struktural, maupun kultural. Namun, pendekatan kultural dinilai sebagai pendekatan yang sangat efektif untuk menguatkan kerukunan di antara kelompok masyarakat, termasuk halnya kerukunan antar umat beragama (Sabara, 2015: 204). Sebagai contoh, penyelesaian konflik antara Islam-Kristen di Maluku dilakukan menggunakan pendekatan kebudayaan “pela dan gandong” yang intinya sebuah resolusi konflik dengan mempersaudarakan dua kubu yang berselisih sebagai kakak dan adik (Tuleka, 2010: 5). Keberhasilan penyelesaian konflik menggunakan kebudayaan Maluku “pela dan gandong” merupakan bukti bahwa kearifan lokal dapat memberi kontribusi yang positif dalam menciptakan kedamaian dan kerukunan antar umat beragama.

Indonesia memiliki kearifan lokal yang beranekaragam. Keanekaragaman kearifan lokal tersebut dapat dijadikan alat untuk merekatkan hubungan antar umat beragama di suatu daerah. Kearifan lokal mengandung nilai penting di antaranya sebagai acuan dalam bertingkah laku dan berinteraksi dengan orang lain yang berbeda secara budaya maupun agama. Kearifan lokal cukup efektif dalam menciptakan suasana lingkungan sosial yang rukun dan harmonis. Misalnya dalihan na tulo di Sumatera Utara, siro yo ingsun, ingsun yo siro di Jawa Timur, sipakalebbi dan sipakatauu di Sulawesi Selatan, konsep menyama braya dari Bali dan konsep rumah betang dari Kalimantan Tengah (Abdullah dkk, 2008: 6).

Secara substansial, kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, nilai-nilai tersebut diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam kehidupan sehari-hari (Sabara, 2015: 205). Kearifan lokal berwujud dalam kata-kata 167

bijak (falsafah) berupa nasehat, pepatah, pantun, dan syair. Kearifan lokal menyediakan aspek kohesif berupa elemen perekat lintas kelompok, agama, dan kepercayaan. Dalam konteks ini, kearifan lokal dapat diartikan sebagai ruang maupun arena dialogis untuk melunturkan segala jenis eksklusivitas identitas politik kelompok (Abdullah dalam Sabara, 2015: 205).

Dengan demikian, kearifan lokal dapat dikatakan sebagai komponen penting dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama, sehingga dengan memberdayakan kearifan lokal yang fungsional tersebut, dapat terwujud tata kehidupan umat beragama yang harmonis dan rukun. Adapun kearifan lokal Buton yang dimaksud dalam tulisan ini adalah falsafah “Bhinici-Bhinciki Kuli” yang telah difungsikan sebagai elemen perekat kerukunan antar umat beragama di kota Baubau. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka makalah ini bertujuan membahas nilai-nilai kearifan lokal pada falsafah bhinci-bhinciki kuli dan kontribusinya dalam mendukung penguatan kerukunan antar umat beragama di Kota Baubau.

B. Metode Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan makalah ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang bertujuan mendeskripsikan kearifan lokal Buton, yaitu falsafah bhinci- bhinciki kuli dan kontribusinya terhadap penguatan kerukunan umat beragama di Kota Baubau. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, dan studi dokumen. Informan dalam penelitian ini adalah Ketua FKUB, Kepala Kemenag, tokoh agama, dan masyarakat Baubau sendiri. Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2017 di Kota Baubau.

C. Hasil dan Pembahasan Penelitian 1. Sekilas tentang Kota Baubau Baubau merupakan sebuah kota di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Baubau telah memberi andil besar bagi dinamika dan kontinuitas sejarah Buton dan Sulawesi Tenggara apabila dilihat kedudukannya sebagai: a. Pusat Kerajaan Buton (abad 14- 16), b. Pusatk Kesultanan Buton (abad 16-20), c. Pusat pemerintahan afdeeling Boetoen en laiwoei (sejak 1927), d. Pusat pemerintahan onder afdeeling Boetoen, e. Ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara (1950an-1964), f. Ibukota Kabupaten Buton (1964-2001). Setelah ±3 dekade menjadi ibukota Kabupaten Buton, Baubau yang 168 saat itu berstatus kota administratif kemudian ditingkatkan menjadi kota otonom dalam Provinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 17 Oktober 2001 (Abdul Munafi, 2014: 4-5).

Secara geografis, kota Baubau terletak di bagian selatan khatulistiwa di antara 5.210-5330 Lintang Selatan dan di antara 22.30°-122.47° Bujur Timur. Adapun batas-batas administratif sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kapuntori Kabupaten Buton, sebelah timur dengan Kecamatan Pasar Wajo Kabupaten Buton, sebelah selatan dengan Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Selatan, dan sebelah barat berbatasan dengan selat Buton. Luas keseluruhan wilayah kota Baubau adalah 221 km², yang terbagi ke dalam delapan kecamatan yaitu, Kecamatan Sorawolio 83,25 km², Kecamatan Bungi 47,71 km², Kecamatan Lea-Lea 28,39 km², Kecamatan betoambari 27,89 km², Kecamatan Wolio 17,33 km², Kecamatan Kokalukuna 9,44 km², Kecamatan Murhum 4,9², dan Kecamatan Batupoaro 1,55 km².

Saat ini kota Baubau menduduki peringkat ke-8 sebagai kota terbesar di Sulawesi berdasarkan jumlah populasi tahun 2010 atau urutan ke-2 untuk Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2015 jumlah penduduk kota Baubau sebanyak 154. 1877 jiwa yang terdiri atas 76.395 penduduk laki-laki dan 78.482 jiwa penduduk perempuan. Jika dibandingkan dengan proyeksi penduduk tahun 2014 jumlah penduduk kota Baubau tahun 2015 mengalami pertumbuhan sebesar 2,24% dengan kepadatan sebesar 528 jiwa/km².

Kota Baubau dihuni oleh berbagai suku pendatang, mulai dari suku Bugis, Jawa, Bali, Batak, dan lain-lain. Namun, penduduk dengan suku Buton masih merupakan suku dominan yang mendiami wilayah kota Baubau. Di kota Baubau juga terdapat lima agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 menyebutkan bahwa Agama Islam merupakan Agama Mayoritas Penduduk Kota Baubau dengan prosentasi, 95,80% penganut agama Islam, 1,41 % penganut agama Kristen, 1,70% penganut agama Hindu, 0,04% penganut agama Budha, dan 0,01% penganut agama Konghucu.

169

2. Gambaran Umum Kerukunan Umat Beragama di Kota Baubau Kerukunan antar umat beragama di Kota Baubau bisa dikatakan cukup baik. Berdasarkan penjelasan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Baubau (Rusdin T, 2017), Masyarakat Kota Baubau sejauh ini hidup dengan rukun dan harmonis. Tingkat toleransi antar umat beragama di Kota Baubau juga terbilang cukup tinggi, hal itu dibuktikan sejak berdirinya Kota Baubau sebagai daerah otonom belum pernah terjadi konflik antar umat beragama. Sebagaimana menurut Faisal (2014: 1), bahwa kerukunan merupakan kehidupan bersama yang diliputi oleh suasana yang damai dan harmonis, jauh dari konflik masyarakat.

Di Kota Baubau masing-masing pemeluk agama dapat melaksanakan ibadah agamanya dengan baik dan mendapat jaminan penuh dari Pemerintah maupun masyarakat sekitar. Semua pemeluk agama diberi kebebasan mengekspresikan kayakinannya masing-masing tanpa perlu khawatir mendapat ancaman, teror, maupun gangguan-gangguan lainnya selama pelaksanaannya tidak melanggar peraturan- peraturan yang berlaku (wawawncara dengan ketua FKUB kota Baubau). Hal senada dikatakan oleh Wahyuddin (2009: 32), bahwa kerukunan beragama adalah toleransi antar umat beragama dimana masyarakat bersikap lapang dada dan menerima perbedaan antar umat beragama. Selain itu masyarakat juga saling menghormati satu sama lainnya misalnya dalam hal menjalankan ibadah, dan antar pemeluk agama yang satu dengan lainnya tidak saling mengganggu.

Hal senada diungkapkan Abu Tolhah (1980: 14), bahwa kerukunan antar umat beragama merupakan hubungan sesama umat beragama yang didasari oleh sikap toleransi, saling pengertian dan menghormati, menghargai kesetaraan dan keyakinan agama masing-masing, serta saling bekerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Sejauh ini pula, kota Baubau tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai daerah konflik apalagi daerah anti kebhinekaan. Survei Setara Institue tentang indeks kota toleran tahun 2015, menyebutkan bahwa Kota Baubau masuk dalam kategori kota toleran di Indonesia dengan total nilai 42 dan skor 2,21. kota Baubau bertengker di posisi 40 Besar, jauh mengungguli kota-kota besar di Indonesia, seperti Surabaya, 170

Malang, Jambi, Yogyakarta, Palembang, Aceh, DKI Jakarta dan kota-kota besar lainnya.

Kerukunan yang tergambar di Kota Baubau tersebut merupakan wujud dari terjadinya proses interaksi antara umat beragama yang membentuk ikatan-ikatan sosial yang tidak individualis dan menjadi satu kesatuan yang utuh dibawah koordinasi para tokoh agama, tokoh masyarakat yang masing-masing memiliki sistem dan peranan di lingkungan tempat tinggalnya. Inti terpenting untuk mewujudkan kerukunan menurut Durkheim adalah penghapusan deskriminasi terhadap golongan atau keyakinan tertentu dan memberi pengakuan dan penghormatan terhadap pluralisme (Musahadi, 2007: 57).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kerukunan antar umat beragama di Kota Baubau berjalan cukup baik, jauh dari perpecahan dan benturan sosial antar agama yang satu dengan agama lainnya. Masyarakat Baubau adalah masyarakat dinamis, mampu melangsungkan hidup berdampingan dengan golongan yang berbeda dengan kesukuan secara rukun dan damai.

3. Peran Pemerintah Dalam Penguatan Kerukunan Umat Beragama Di Kota Baubau Pemerintah Kota Baubau sangat konsen memerhatikan masalah kerukunan umat beragama, apalagi saat ini maraknya tindakan intoleran di masyarakat. Menyikapi kejadian tersebut, Pemerintah Kota Baubau secara intens menyelenggarakan kegiatan- kegiatan terkait pemeliharaan dan penguatan kerukunan umat beragama, baik kegiatan yang dikemas dalam bentuk dialog kerukunan, seminar, diskusi, maupun kegiatan- kegiatan lainnya yang berupaya menginternalisasi dan menguatkan kerukunan antar umat beragama di Kota Baubau (Wawancara dengan Ketua FKUB).

Sebagaimana dalam peraturan bersama Mentri Agama dan Mentri Dalam Negeri nomor 9 dan nomor 8 tahun 2006, pada pasal 5 ayat (1) yang menegaskan tugas dan kewajiban pemerintah daerah tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadah. Namun, pemeliharaan kerukunan tidak hanya menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah, melainkan tanggung jawab yang dipikul bersama-sama oleh seluruh 171 komponen masyarakat. Sebagaimana bunyi pasal 2 peraturan bersama Mentri Agama dan Mentri Dalam Negeri nomor 9 dan nomor 8 tahun 2006 bahwa: “Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintahan daerah, dan Pemerintah”.

Hasil wawancara dengan ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Baubau menjeleskan bahwa pemerintah kota Baubau telah berperan cukup baik dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Peranan yang cukup baik itu ditunjukkan dengan dibentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang melibatkan seluruh pemeluk agama di kota Baubau ke dalam kepengurusannya. Selain itu pemerintah juga menyelenggarakan berbagai program unggulan di setiap tahunnya. Misalnya dalam peringatan hari amal bhakti (HAB) Kementrian Agama, Kementrian Agama beserta FKUB menyelenggarakan jalan santai kerukunan dengan mengikutsertakan semua agama, yaitu Agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu (Wawancara dengan Ketua FKUB).

Menurut Dinisa (Kepala Kementrian Agama kota Baubau) pelaksanaan berbagai kegiatan tersebut, adalah wujud kepedulian pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama terhadap penguatan kerukunan antar umat beragama yang belakangan ini menurut pemberitaan mulai kendor. Olehnya menurut beliau, Pemerintah bertanggung jawab menguatkan kembali kerukunan tersebut dengan berbagai kegiatan-kegiatan positif salah satunya dengan jalan santai kerukunan. Terlebih, sebagai pengayom umat, Pemerintah bertugas melayani seluruh kebutuhan masyarakat, terlebih yang menyangkut kebutuhan akan spiritual dan ruhani, tidak membeda-bedakan suku, ras, budaya, bahkan agama. Sebagaimana dikatakan Toha ( 2003: 71), bahwa pemerintah bertugas mengayomi dan melayani masyarakat.

Hasil wawancara dengan beberapa pemuka agama, juga menjelaskan bahwa sejauh ini peran dan kontribusi pemerintah daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama mengalami peningkatan positif, di antaranya kehidupan masyarakat Baubau yang cenderung semakin rukun dan kondusif, jauh dari konflik sosial berlatarbelakang agama dan kebijakan yang dikeluarkan tidak bersifat deskriminatif. Selain itu, pemerintah memberi jaminan kebebasan dan keamanaan bagi semua pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah sesuai keyakinan masing-masing. 172

Sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 tentang negara memberi kebebasan warga negaranya memeluk agama dan menjalankan agama yang dipeluknya.

Namun yang terkadang menjadi masalah adalah perizinan pendirian tempat ibadah yang terkadang mengalami penundaan bahkan pembatalan. Namun, belakangan permasalah tersebut diklarifikasi oleh Kemenag, bahwa penundaan dan pembatalan pendirian ibadah semata-mata karena izin pendirian tempat ibadah yang tidak memenuhi persyaratan administratif, baik konstruksi bangunan maupun jumlah pengguna rumah ibadah yang kurang dari 90 orang. Sebagaimana PBM nomor 9 dan nomor 8 tahun 2006 pasal 14 ayat (2) yang menyebutkan rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus: (a) daftar nama dan ktp pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan pejabat setempat. (b) dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pemerintah Kota Baubau telah berperan aktif dalam membina dan menguatkan kerukunan antar umat beragama di kota Baubau lewat berbagai program dan kebijakan yang dibuat. Di antaranya Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), pelaksanaan kegiatan yang bersifat kerukunan berupa dialog kerukunan, seminar, diskusi, dan kegiatan lainnya. Yang tak kalah pentingnya, Pemerintah memberi jaminan kebebasan dan keamanan bagi semua pemeluk agama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.

4. Kearifan Lokal (bhinci-bhinciki kuli) Bagi Penguatan Kerukunan Antar Umat Beragama Di Kota Baubau Jika ditelisik lebih dalam, sesungguhnya semua daerah di seluruh tanah air khususnya Buton memiliki sejumlah kearifan lokal dan oleh masing-masing masyarakat dijadikan sebagai pagangan, pandangan, dan pedoman dalam bermasyarakat. Penghayatan yang tinggi terhadap kearifan lokal telah membuktikan bahwa kebudayaan yang merupakan cipta karsa manusia selain mampu mengukuhkan budaya bangsa, juga dapat menopang kerukunan antar masyarakat, dan khususnya antar umat beragama di daerah masing-masing (Darwis Muhdia, 2015: 28).

173

Baubau yang dahulunya merupakan pusat kerajaan Buton memiliki sejumlah kearifan lokal yang hingga saat ini terpelihara dengan baik. Wujud terpeliharanya kearifan lokal tersebut dapat dilihat dari intensitas dan konsistensi masyarakat Baubau dalam melaksanakan kegiatan adat dan pengamalan nilai-nilai yang terkandung di dalam kearifan lokal. Bentuk pemeliharaan juga dilakukan dengan dimanfaatkannya selain untuk promosi daerah, juga dimanfaatkan untuk menjaga dan menciptakan kerukunan antar masyarakat, mengembangkan sumber daya manusia, dan pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Sebagaimana penjelasan Sirtha dalam Aulia (2010: 345) mengemukakan bahwa tipologi kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat nusantara bisa berupa: norma, nilai, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Tipologi atau bentuk yang bermacam- macam ini menyebabkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam. Pada tabel 2.1 di bawah ini dijelaskan mengenai peranan kearifan lokal dalam filosofi sebagai petuah dan kepercayaan di tengah-tengah masyarakat.

No Komponen Peranan 1 Kearifan lokal berfungsi untuk Suber daya konservasi dan pelestarian alam/lingkungan sumberdaya alam atau lingkungan 2 Kearifan lokal berfungsi untuk Sumber daya manusia mengembangkan sumber daya manusia 3 Kearifan lokal berfungsi sebagai Ilmu pengetahuan pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan 4 Kearifan lokal Berfungsi sebagai Filosofi petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan Sumber: Sirtha 2003

Menurut Koentjaningrat (2009: 5), kebudayaan dibagi dalam tiga wujud, yaitu: Pertama, wujud kebudayaan sebagai sebuah kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai- nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. Wujud kebudayaan ini bersifat sangat asbtrak, tidak bisa diraba atau difoto terdapat dalam alam pikiran individu, Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas yang berpola dari manusia dalam

174 suatu masyarakat. Wujud kebudayan ini berupa aktivitas yang berpola dari individu dalam suatu masyarakat dan bersifat konkrit, bisa difoto dan bisa dilihat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ini bersifat paling konkret bisa dilihat dan diraba secara langsung oleh pancaindra.

Salah satu wujud kebudayaan yang hingga saat ini masih dilestarikan di dalam masyarakat Buton-Baubau adalah berupa kebudayaan abstrak, seperti petuah, semboyan, atau falsafah kehidupan. Kearifan lokal berwujud falsafah misalnya, salah satu nilai-nilai falsafah kehidupan yang hingga saat ini dipegang teguh masyarakat Baubau adalah falsafah bhinci-bhinciki kuli yang artinya “masing-masing orang saling mencubit kulitnya sendiri-sendiri”. Maksudnya, jangan mencubit kulit orang lain, kalau mencubit kulit sendiri terasa sakit (Tasrifin, 2008: 132).

Bhinci-bhinciki kuli juga biasa dikenal dengan sara pataguna ‘hukum yang keempat’. Sara pataguna merupakan hukum adat masyarakat Buton yang berkontribusi memberikan inspirasi kepada masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sesama manusia secara rukun dan harmonis (Athar Hasimin, 2011: 293). Hasil wawancara dengan Nurawalia (Pemerhati Budaya Buton), falsafah bhinci- bhinciki kuli mengajarkan tentang keharmonisan, kedamaian, dan kerukunan dalam kehidupan orang Buton. Secara garis besar, masyarakat Buton-Baubau mengimplementasikan falsafah ini dalam kehidupan, meskipun seiring perkembangan zaman falsafah ini mulai tergerus secara perlahan dan mulai ditinggalkan anak-anak mudanya. Namun bukan berarti ditinggalkan secara total, implementasi nila-nilai falsafah tetap berjalan hanya saja bergeser dari tradisi verbal ke tradisi non-verbal.

Secara umum, falsafah bhinci-bhinciki kuli mengandung empat prinsip kehidupan (sara pataguna) masyarakat Buton, yaitu pomae-maeka (saling menakuti), pomaa- maasiaka (saling menyayangi), popia-piara (saling memelihara), dan poangka- ngaktaka (saling menghargai). Dengan prinsip hidup ini, masyarakat Buton-Baubau terdorong untuk hidup membantu orang, peduli terhadap sesama, dan toleran terhadap keberagaman (Sahlan, 2012: 323).

175 a. Pomae-maeka (saling menakuti) Pomae-maeka mengandung nilai luhur bahwa setiap orang harus senantiasa saling memuliakan dan memiliki rasa takut apabila melanggar rasa kemanusiaan antara sesama anggota masyarakat. Pomae-maeka dimaksudkan agar setiap orang mengerti di mana letak kedudukannya, mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah. Pomae-maeka juga mengandung maksud agar setiap orang senantiasa saling mematuhi dan saling takut diantara sesamanya. Saling takut bermakna pengakuan bahwa setiap orang memiliki hak-hak asasi yang sama. b. Pomaa-maasiaka (saling menyayangi) Pomaa-maasiaka mengandung nilai luhur bahwa anggota masyarakat harus senantiasa hidup saling peduli, saling menyayangi, dan saling mengasihi secara timbal balik, tanpa memandang apapun status dan keadaan sosialnya, apapun agamanya, kaya atau miskin, tua ataupun muda. Semua dilakukan semata-mata karena bentuk kasih sayang. Dengan demikian, terealisasinya nilai ini maka rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan gotong royong dapat berjalan di masyarakat. c. Popia-piara (saling memelihara) Popia-piara mengandung nilai luhur agar anggota masyarakat senantiasa memelihara kedamaian, ketentraman antara sesama anggota masyarakat. Falsafah ini menegaskan bahwa anggota masyarakat berkewajiban saling memelihara, saling membina, melindungi, mengamankan material, moril, dan kedudukan di dalam masyrakat sehingga tercipta kesejahteraan bersama. d. Poangka-angkataka (saling menghormati) Poangka-angkataka mengandung nilai luhur agar senantiasa hidup bermanfaat dengan saling mengangkat derajat antara sesama anggota masyarakat. Poangka- angkataka dimaksudkan agar anggota masyarakat saling menghormati sesama warga negara menurut adat dan nilai-nilai kesopanan yang berlaku, seling menghormati secara timbal balik, yaitu antara syara pemerintah dengan anggota masyarakat, dan antar masyarakat satu dan lainnya.

Falsafah bhinci-bhinciki kuli pada hakikatnya memiliki peran signifikan dalam kehidupan. Falsafah kehidupan masyarakat Buton ini mengajarkan masyarakat agar 176

satu sama lain saling takut melanggar hak asasi orang lain, saling menyayangi, saling memelihara, dan saling menghargai. Falsafah bhinci-bhinciki kuli pun merupakan kompas kehidupan yang senantiasi berfungsi memberi arah masyarakat Buton-Baubau dalam bertingkah laku dan memilah-milah antara kebaikan dan keburukan dalam menentukan prilaku kesehariannya. Lebih dari itu tak kalah pentingnya, nilai-nilai dalam falsafah bhinci-bhinciki kuli mendorong terciptanya kehidupan hidup umat manusia yang harmonis, toleran, dan rukun di tengah-tengah masyarakat heterogen.

Namun lagi-lagi, betapapun baiknya nilai-nilai luhur yang terkandung dalam falsafah bhinci-bhinciki kuli ini, tidak akan memiliki makna apa pun apabila tidak diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Olehnya, agar faham falsafah bhinci-bhinciki kuli yang mendukung terciptanya kerukunan ini lebih meluas, diperlukan usaha-usaha dari seluruh lapisan, baik pemerintah maupun masyarakat khususnya masyarakat Baubau agar menebarkan paham kebaikan budaya ini agar terinternalisasi dalam diri dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sehingga, dapat terwujud kerukunan hidup yang hakiki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Kota Baubau.

5. Teori Peace Architecture Luc Reychland Kerukunan antar umat beragama yang hari ini terjadi di kota Baubau, dapat dilihat menggunakan teori Peace Architecture Luc Reychland. Teori ini menjelaskan bahwa ada faktor-faktor lain selain agama yang ikut berpengaruh terhadap integrasi sosial. Faktor-faktor tersebut mencakup beberapa hal, yaitu: an affective channels of communication, peace-enhancing structure and institutions, an integrative political- psychological climate, a critical mass of peace building leadership, just structure. (Luc Reychland dalam Nurkhaliq Affandi, 2012: 71).

Pertama, Faktor effective channels of communication. Komunikasi yang efektif merupakan faktor yang menentukan terwujudnya kerukunan dan harmoninya sebuah tata hubungan masyarakat. Saluran komunikasi yang efektif ditandai dengan adanya intensitas komunikasi antar anggota masyarakat di mana masyararakat dapat menyalurkan aspirasi, gagasan sebagai bagaian dari masyarakat.

177

Jika dilihat berdasarkan faktor ini, kerukunan umat beragama yang selama ini berjalan baik di kota Baubau tidak terlepas dari komunikasi yang terbangun baik di masyarakat lintas agama. Baiknya komunikasi tersebut terlihat dari kehidupan masyarakat Baubau yang inklusif dan dinamis, tidak berkenan melebarkan masalah yang sifatnya fundamental seperti masalah perbedaan keyakinan, ataupun masalah lainnya yang berpotensi merusak persaudaraan dan tatanan kehidupan.

Kedua, faktor effective system of arbitration. Sistem peradilan baik yang bersifat formal ataupun non-formal memiliki peran yang sangat besar bagi terwujudnya perdamaian masyarakat. Melalui sistem peradilan yang efektif, hak-hak individu sebagai anggota masyarakat akan terjamin, tanpa perlu khawatir terhadap kekuatan- kekuatan yang yang ingin menindas atau menguasaianya. Adanya effective system of arbitration juga berimplikasi pada sebuah tatanan kehidupan yang berdasar kepastian hukum.

Jika dilihat berdasarkan faktor ini, peradilan dan penegakkan hukum yang saat ini berjalan di Baubau baik formal maupun non-formal terbilang baik. Baiknya sistem peradilan yang berjalan terlihat dari putusan pengadilan terhadap para pelanggar hukum yang cukup berat. Di depan hukum, masyarakat Baubau mempunyai kesamaan (equality before the law) tanpa mendapat perlakuan spesial berdasar pada faktor agama, suku, dan budaya yang dianut. Tegaknya penegakan hukum berimplikasi pada terciptanya suasana yang rukun di antara masyarakat kota Baubau. Meskipun pada beberapa kasus masih ada yang mendapatkan catatan hitam. Namun secara umum cukup baik.

Ketiga, faktor an integrative political-psychological climate. Keberadaan lingkungan sosial yang integratif yang secara politik-psikologis dapat menciptakan sebuah iklim yang memungkinkan interaksi lintas kelompok (inter-group) dalam masyarakat. Integrative climate adalah sebuah situasi yang kondusif dalam masyarakat yang mengarah pada suasana yang harmoni. Integrative climate yang ada dalam masyarakat biasanya ditandai dengan adanya institusi-institusi non-formal yang menjelma dalam sebuah tradisi masyarakat.

178

Jika dilihat berdarakan faktor ini, kedamian dan kerukunan umat beragama dalam masyarakat kota Baubau erat hubungannya dengan kontribusi kearifan lokal yang secara fungsional dapat memperkuat sistem budaya dan memperkuat semangat hidup rukun di masyarakat. Kerukunan umat beragama yang hari ini tergambar di Kota Baubau, tidak bisa dipisahkan dari salah satu pandangan dan pemikiran yang bersumber dari falsafah bhinci-bhinciki kuli yang mengajarkan tentang pentingnya kerukunan dan keharmonisan di antara umat manusia.

Keempat, faktor critical mass of leadeship. Peran tokoh-tokoh atau kepemimpinan yang dapat mencegeah terjadinya konflik. Keberadaan sejumlah tokoh dalam kehidupan terutama dalam mengatasi konflik yang diperlukan, hal ini disebabkan kedukan tokoh dalam masyarakat memiliki fungsi sebagai mediator dalam setiap konflik yang terjadi.

Jika dilihat berdasarkan faktor ini, terciptanya kerukunan antar umat beragama di Kota Baubau sebagaimana yang penulis jelaskan sebelumnya, erat hubungannya dengan peran kongkrit para tokoh-tokoh yang ada di masyarakat Baubau, mulai dari tokoh agama, tokoh adat, dan pemerintah yang terus bersinergi bersama-sama merangkul para penganut agama untuk senantiasa menciptakan iklim perdamaian dan kerukunan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Selain itu, para tokoh teresebut proaktif dalam merespon berbagai potensi perpelisihan agar tidak melebar menjadi konflik agama.

Kelima, faktor just structure. Faktor ini terkait dengan upaya menciptakan sistem keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Just structure merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang tertib sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Dalam pemerintahan, faktor ini biasanya berwujud dalam sistem Undang-Undang yang berfungsi mengatur tatanan kehidupan dalam berbagai bidang, seperti bidang ekonomi, pendidikan sosial dan budaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.

Dilihat dari faktor di atas, terwujudnya kerukunan di Baubau erat kaitannya dengan sistem yang dibangun oleh pemerintah yang berkeadilan sosial. Berkeadilan dalam arti segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan dapat mengakomodir kebutuhan 179

masing-masing pemeluk agama tanpa menimbulkan protes dan penolakan. Hal lain, baiknya struktur dan sistem sosial di Kota Baubau tercermin dari dinobatkannya Baubau sebagai salah Kota toleran di Indonesia. Penobatan tersebut berdasarkan pada beberaa indikator, di antaranya; sistem tata aturan dan peraturan daerah yang tidak diskriminatif, alias tidak berat sebelah dan menyudutkan komunitas agama yang ada, tindakan dan respon pemerintah dalam menyikapi dalam mengatur dan menyikapi peristiwa yang mengandung kebebasan beragama dan kejadian yang mengandung kekerasan berbasis agama.

Berdasarkan pada teori peace architecture di atas, kita melihat bahwa kerukunan masyarakat khusunya umat beragama di Kota Baubau telah sesuai dengan teori konstruksi perdamain ini, artinya kerukunan yang tercipta tidak luput dari efektivitas sistem-sistem yang dibangun. Seperti saluran komunikasi sosial yang baik, suasana lingkungan yang harmonis, kepastian hukum, peranan tokoh masyarkat dan pemerintah, dan sistem undang-undang yang dibuat pemerintah. Meskipun dalam catatan, terdapat beberapa sistem yang belum berjalan maksimal, seperti kepastian hukum yang terkadang tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

D. Kesimpulan Kota Baubau merupakan sebuah kota di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Dahulu kota ini merupakan pusat kerajaan/kesultanan Buton yang berdiri pada awal abad ke 15 (1401-1499). Sebagai eks pusat kerajaan Buton, Baubau diwarisi sejumlah kearifan lokal, baik yang berwujud abstrak, maupun konkrit. Salah satu kearifan lokal peninggalan kerajaaan Buton tersebut adalah falsafah kehidupan bhinci-bhinciki kuli yang mengandung empat dasar pemahaman kehidupan masyarakat Buton, yang dalam bahasa adatnya disebut sara pataguna, yaitu, pomae-maeka (saling menakuti), pomaa- maasiaka (saling menyayangi), popia-piara (saling memelihara), dan poangka- angkataka (saling menghormati).

Empat dasar pemahaman dalam bhinci-bhinci kuli memberi kontribusi signifikan terhadap kehidupan masyarakat kota Baubau, terlebih dalam hal pembinaan dan penguatan kerukunan antar umat beragama. Sejauh ini, kehidupan dan hubungan antar umat beragama di Kota Baubau terbilang cukup baik. Masyarakat Baubau yang heterogen mampu hidup berdampingan secara rukun, damai, dan harmonis tanpa pernah 180 mempersoalkan latarbelakang keyakinan yang dianut. Olehnya, kearifan lokal bhinci- bhinciki kuli ini perlu mendapat perhatian semua kalangan, khususnya pemangku jabatan di pemerintahan untuk tidak berhenti mensosialisasikan nilai-nilai kebaikan universal di dalam falsafah bhinci-bhinciki kuli, yaitu mendukung penguatan kerukunan antar masyarakat dan antar umat beragama agar senantiasa menjadi pegangan hidup masyarakat sehari-hari.

Daftar Pustaka

Buku

Abu Tholhah, Kerukunan Antar Umat Beragama. Semarang: IAIN Walisong, 1980. Al Munawa, Husain. Said Agil. Fiqih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press, 2003. Basrie, Pemantapan Pembangunan Melalui Pendekatan Ketahanan Nasional. Jakarta: PPS UI dan Ditjen Renungan Dephankam, 1994. Hasimin, Athar Hasimi. Tinjauan Konstitusional Martabat Tujuh Kerajaan/Kesultanan Buton. Baubau: Respect, 2012. Ismail, Faisal. Dinamika Kerukunan Antar Umat Beragama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014. Koentjaningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Munafi, Abdul. Dinamika Tanah Wolio. Makassar: Fahmis Pustaka, 2014. Musahadi, Mediasi dan Konflik di Indonesia. Semarang: WMC, 2007. Sabara.”Merawat Kerukunan Dengan Kearifan Lokal Di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara”. Jurnal Al-Qalam. Vol. 21, No. 2, 2015. Said, Pembentukan Provinsi di Sulawesi Tenggara 1950-1978: Studi Konflik dan Integrasi. Tesis Universitas Indonesia, 1997. Sartini. “Menggali Kearifan Lokal Nusantara, Sebuah Kajian Filsafat”. Jurnal filsafat, No. 37, 2004. Tahara, Tasrifin. Menyibak Kabut di Keraton Buton, edt Yusran Dermawan. Baubau: Respect, 2008.s Tholhah, Abu. Kerukunan Antar Umat Beragama. Semarang: IAIN Walisong, 1980. Wahyuddin dkk. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,2009.

181

Jurnal/Artikel Tulaeka, Hamzah.”Konflik dan Integrasi Sosial bernuansa Agama”, Disertasi Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Affandi, Nurkhaliq. “Harmoni dalam keragaman; sebuah analisis tentang konstruksi perdamaian antar umat beragama”. Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamaan. Vol. XV. No.1, Juni-2012. Aulia, TOS., Dharmawan, AH. 2010. Kearifan lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Kampung Kuta. Jurnal Transdisiplin Soisologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. Vol. 4. No. 3, 2011. Darwis, Muhdina. “Kerukunan Umat Beragama Berbasis Kearifan Lokal Di Kota Makassar”. Jurnal Diskursus Islam. Vol. 3, No. 1, 2015. Muhiddinur Kamal,” Pendidikan Multikultural Bagi Masyarakat Indonesia Yang Majemuk”. Jurnal Al-Ta’lim. Vol. 1, No. 6, November 2013. Nurrohman.“Islam Dan Kemajemukan Di Indonesia: Upaya Menjadikan Nilai-nilai yang Menjunjung Tinggi Kemajemukan dalam Islam sebagai Kekuatan Positif bagi Perkembangan Demokrasi”, Jurnal Asy-Syari‘ah. Vol. 17, No. 3, Desember 2015. Sahlan. “Kearifan Lokal Pada Kabanti Masyarakat Buton Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Karakter”, Jurnal el Harakah. Vol. 14, No. 2, 2012.

182

ANONYMITY: MASYARAKAT TANPA IDENTITAS (REDEFINISI IDENTITAS DIRI DI ERA DIGITAL)

Arina Rohmatul Hidayah S2 Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta [email protected] 082138890539

Abstrak

Menurut Martin & Nakayama (1997), sebuah perspektif komunikasi menekankan bahwa diri bukan satu-satunya penentu identitas, melainkan juga diciptakan melalui komunikasi dengan orang lain (dalam Jessica, et al, 2001). Namun konsep tersebut perlu didefinisikan kembali dalam era digital. Sebab, pertukaran informasi yang terjalin menggunakan media baru, justru menimbulkan masyarakat baru yaitu masyarakat tanpa identitas (anonymity). Anonimitas adalah kondisi di mana sumber pesan tidak ada atau sebagian besar tidak diketahui dan/atau sengaja disembunyikan dari penerima pesan. Tidak ada nama atau identitas yang dikenali terkait dengan teks atau ucapan tertentu, atau seperti yang dikatakan Bronco (2004), “sejauh mana seorang komunikan menganggap sumber pesan tidak diketahui dan tidak ditentukan (dalam Sell, 2013). Melalui literature review, peneliti melakukan kajian teoritik terkait anonimitas dan pergeseran identitas dalam media digital, motif penggunaannya, serta dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan sosial masyarakat. Mengambil contoh hoax dan identitas palsu di sejumlah media sosial menunjukkan bahwa identitas asli tidak lagi penting untuk saat ini. Hartanto (2013) menjelaskan, pengguna internet pada tahun 2000an di Indonesia menggunakan nama aslinya di surel untuk menunjukkan identitasnya, sedangkan pada tahun 2010an tidak demikian (dalam Pasopati, 2015). Pergeseran tersebut dapat dilandasi motif positif yang mengacu pada hyperpersonal communication sedangkan motif negatifnya dapat dijelaskan melalui mitologi Ring of Gyges’ dari Glaucon. Hyperpersonal communication menjadi salah satu dampak positif terhadap hadirnya media baru. Masyarakat memiliki ruang untuk menampilkan identitas yang diinginkan (selective self-representation) tanpa harus menunjukkan identitas aslinya. Sedangkan Gyges’ Ring menggambarkan bagaimana media digital menjadi fasilitas bagi individu atau kelompok tanpa identitas, dalam melakukan penyimpangan yang berorientasi profit. Keywords: Anonymity, Identitas Diri, Media Digital

A. PENDAHULUAN Menurut Martin & Nakayama (1997), sebuah perspektif komunikasi menekankan bahwa diri bukan satu-satunya penentu identitas, melainkan juga diciptakan melalui komunikasi dengan orang lain. Ditekankan pula oleh Collier (1997), identitas etnis dinegosiasikan, diperkuat, dan ditantang melalui komunikasi, dan dia menggambarkan bagaimana masing-masing "properti" identitas etnik ditakdirkan dan dikembangkan melalui

183 komunikasi (dalam Jessica, et al, 2001). Dari konsep ini tersirat makna bahwa identitas itu akan terungkap apabila terdapat proses komunikasi. Namun konsep tersebut perlu dikaji ulang di era digital saat ini. Sebab, pertukaran informasi atau proses komunikasi yang terjalin menggunakan media digital, justru menimbulkan masyarakat baru yaitu masyarakat tanpa identitas (anonymity). Anonimitas adalah kondisi di mana sumber pesan tidak ada atau sebagian besar tidak diketahui dan/atau sengaja disembunyikan dari penerima pesan. Tidak ada nama atau identitas yang dikenali terkait dengan teks atau ucapan tertentu, atau seperti yang dikatakan Bronco (2004), “sejauh mana seorang komunikan menganggap sumber pesan tidak diketahui dan tidak ditentukan (Sell, 2013).

Media digital dinilai memiliki peran cukup besar dalam menciptakan anonimitas. Hal ini tidak lepas dari karakteristik media itu sendiri yang disebutkan oleh Ferguson (2005) sebagai mitologi tentang globalisasi. Ia menyebutkan bahwa salah satu mitologi tersebut adalah menghilangnya ruang dan waktu sebagai akibat keajaiban listrik dan media elektronik yang menyatukan dunia. Ketika ruang dan waktu bukan lagi persoalan, masing-masing orang dapat terhubung dan membentuk sebuah jaringan dalam ruang baru yaitu dunia virtual atau Mc Luhan menyebutnya sebagai global village. Media sebagai perantara memperlihatkan interaksi antara komunikator dengan komunikan tidak perlu dilakukan secara langsung (face to face) sehingga kehadiran tubuh tidak menjadi komponen utama. Siapapun dengan berbagai latar belakang dan karakteristik fisik yang berbeda memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk saling berkomunikasi. Ketika isyarat nonverbal tersebut dihilangkan, maka virtualitas media memberikan fasilitas terhadap munculnya anonymity yang bisa digunakan dalam motif positif maupun negatif oleh pengguna. Lister, et al (2009) mengungkapkan, fakta bahwa komunikasi online berbasis teks adalah interaksi 'isyarat yang disaring' tanpa kode fisik untuk menemukan jenis kelamin, ras, atau kelas yang menjadi dasar untuk memperdebatkan bahwa internet memfasilitasi pengembangan berbagai pengalaman identitas dan pengalaman kelompok yang berbeda.

Berbicara tentang motif positif penggunaan media digital dapat dilihat dari konsep hyperpersonal communication. Di situ dijelaskan bahwa ada beberapa kondisi yang mengharuskan seseorang untuk menggunakan media dalam berkomunikasi. Caplan & High (2011) mengkritisi masalah kehadiran fisik dalam CMC. Ketika komunikasi yang terjalin bukan berdasarkan fisik semata, merujuk pada perspektif hyperpersonal yang secara khusus berguna untuk menjelaskan mengapa seseorang dengan masalah psikososial yang sudah ada 184 sebelumnya, merasa lebih aman berkomunikasi melalui CMC. Anonimitas dan virtualitas yang menjadi salah satu karakteristik dari media digital membuat komunikator dan komunikan tidak saling mengetahui. Sehingga ada perasaan terlindungi dan self-disclosure seseorang akan muncul dengan mudah. Dijelaskan pula oleh Kerr, et al (2009), internet mengizinkan pidato politik yang kuat di lingkungan yang tidak bersahabat, yang memungkinkan penggunanya mengatakan dan melakukan hal-hal yang mungkin tidak pernah berani mereka katakan atau lakukan di tempat-tempat di mana identitas mereka dibatasi secara kaku oleh hubungan kekuasaan yang mengurung pengalaman mereka dari kebebasan.

Sedangkan motif negatif penggunaan media digital dapat dijelaskan melalui konsep Ring of Gyges dari Glaucon yang dimuat dalam Book II of Plato’s Republic. Ciulla (2004) melalui tulisannya Ethics and Leadership Effectiveness mengisahkan ada seorang gembala muda dari Raja Lydia bernama Gyges yang menemukan sebuah cincin dan mengetahui bahwa ketika dia memutar cincin tersebut di jarinya, akan membuatnya tidak terlihat. Kemudian Gyges menggunakan cincin itu untuk merayu istri raja, menyerang raja dan mengambil alih kerajaan. Dalam konteks ini, cincin itu adalah media digital yang dapat memicu penyalahgunaan anonimitas. Hoax misalnya. Tanpa diketahui siapa yang terlebih dahulu membuat atau menyebarkannya, informasi palsu seringkali meresahkan dan menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat. Pada kasus demonstrasi di kantor YLBHI Jakarta Pusat kemarin, tirto.id mencatat bahwa aksi tersebut diduga lantaran mereka mendapat informasi adanya rapat kebangkitan komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI), kabar yang diklarifikasi sebagai berita bohong alias hoax oleh pihak YLBHI (Hasan, 2017).

Berdasarkan paparan di atas, dengan menggunakan metode literature review yang menurut Aveyard (2014) diartikan sebagai studi komprehensif dan interpretasi literatur yang berkaitan dengan topik tertentu, menarik untuk membahas lebih dalam terkait bagaimana peran media digital dalam membentuk anonymity dan kecenderungan hilangnya identitas di era digital serta bagaimana motif dan dampak penggunaan anonymity tersebut. Pembahasan ini penting karena munculnya virtualitas membuat konsep identitas diri perlu redefinisi untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada. Dan di sini anonimitas atau masyarakat tanpa identitas adalah definisi yang cocok mengingat ada kecenderungan ke sana melihat motif penggunaan medianya serta pernyataan Hartanto (2013) yang menjelaskan, pengguna internet pada tahun

185

2000an di Indonesia menggunakan nama aslinya di surel untuk menunjukkan identitasnya, sedangkan pada tahun 2010an tidak demikian (dalam Pasopati, 2015).

B. PEMBAHASAN 1. Peran media digital dalam membentuk anonymity dan kecenderungan hilangnya identitas di era digital Kehadiran media baru membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat. Teknologi sudah mendekatkan yang jauh dan membentuk sebuah jaringan global. Aksesibilitas informasi tidak lagi berada dalam cakupan lokal, namun sudah menembus batas wilayah dan bahkan negara. Kita dapat mengakses berbagai informasi dari negara lain secara real time, sehingga wajar apabila prediksi Mc Luhan tentang global village itu benar. Teknologi membuat kita terhubung satu sama lain layaknya sebuah desa. Berbeda dengan dulu ketika masyarakat masih mengandalkan telepon rumah untuk menghubungi kerabat jauh. Sekarang sudah muncul WhatsApp Messanger dengan berbagai fitur seperti video call, voice call, fasilitas chatting yang bisa diselidiki apakah pesan kita sudah terbaca atau belum ditambah pula dengan emoji-emoji menarik dalam mengungkapkan ekspresi. Demikan halnya dengan beberapa media sosial, facebook, twitter, instagram, youtube, dan segala macamnya.

Messaris & Humphreys (2006) menyebutkan,the defining ingredient of digital media is the use of computers in the creation, transmission, and/or reception of human symbols. More simply, digital media involve computers in the process of human meaning-making. Digital media are often referred to as “new media”. Lister, et al (2009) pun menambahkan, the ‘new’ is ‘the cutting-edge’, ‘the avant-garde’, the place for forward-thingking people to be (whether they be producers, consumers, or, indeed, media academics). Melalui teknologi siapapun dapat menjadi konsumen sekaligus produsen konten. Ada pergeseran khalayak dari yang dulunya dianggap pasif sekarang aktif dengan preferensi mereka terhadap media.

Pergeseran tersebut mengindikasikan bahwa saat ini masyarakat atau pengguna memiliki kontrol penuh atas konten apa yang ingin disampaikan atau media apa yang akan mereka gunakan. Crosbic (2002) menjelaskan secara fungsional, setelah mengatasi keterbatasan interaksi one-to-one dari media interpersonal dan ketidakmampuan media massa untuk mengidividualisasi pesan, media baru mewarisi kemampuan yang sama untuk

186 mengendalikan pesan dalam media interpersonal dan kemampuan kontrol individu dari pesan dalam media massa (dalam Chen & Zhang, 2010).

Chen & Zhang (2010) menyebutkan ada 5 fitur yang dimiliki oleh media baru yakni digitality, convergency, interactivity, hypertextuality dan virtuality. Pertama, Media digital mengubah semua teks, suara dan gambar menjadi kode biner angka sederhana 0 dan 1, yang berarti mengirimkan sifat analog dari media tradisional seperti surat kabar ke sifat digital seperti komputer modern. Kedua, konvergensi merujuk pada kesuksesan media baru dalam mengkombinasikan bentuk dan fungsi dari komputasi elektronik, komunikasi elektronik, media dan informasi. Ketiga, interaktivitas menjadi tujuan ideal dari media baru untuk dicapai. Interaktivitas secara spesifik mengacu pada tingkat pilihan dan kontrol ketika pengguna media baru memanfaatkan sumber informasi dan sistem. Keempat, hypertext sebagai karya yang terdiri dari bahan-bahan yang berbeda, yang masing-masing membawa sejumlah jalur ke unit lain. Pekerjaan adalah jaringan koneksi yang dieksplorasi oleh pengguna dengan menggunakan alat bantu navigasi dari desain antarmuka. Setiap node 'diskrit' di web memiliki sejumlah pintu masuk dan keluar atau tautan (Lister, et al, 2009). Terakhir, virtualitas diartikan oleh Manuel Castells sebagai sebuah sistem di mana realitas itu sendiri (materi orang atau keberadaan simbolis) sepenuhnya tertangkap, terbenam sepenuhnya dalam setting gambar virtual, di dunia yang membuat percaya, di mana penampilan tidak hanya di layar dimana pengalaman dikomunikasikan, namun mereka menjadi pengalaman (Mackenzie, 2006).

Menyoroti fitur virtualitas dari media baru yang sekaligus menjadi salah satu poin penting dalam pembahasan ini, dikaitkan secara kuat dengan simulasi atau simulakra. Lister,et al (2009) mengungkapkan bahwa simulasi tersebut sangat dekat dengan dua istilah yaitu imitasi atau representasi. Media digital adalah media perantara yang menjembatani komunikasi antara dua orang atau lebih. Tanpa kehadiran fisik di dalamnya, membuat media itu menjadi alat representasi identitas diri seseorang. Sehingga apapun isyarat nonverbal yang digunakan, mulai dari pemilihan bahasa, tanda baca dan lain sebagainya, dianggap menjadi cermin atas diri kita. Konsep simulakra dari Jean Baudrillard adalah benar. Batasan antara yang nyata dengan yang tidak menjadi kabur. Dalam lingkungan digital, kita dibuat seakan- akan percaya akan identitas orang lain yang direpresentasikan melalui media. Kita menganggap bahwa identitas tersebut adalah identitas yang sesungguhnya. Maka wajar apabila dalam konteks sekarang hyperreality sangat mudah ditemukan. 187

Pernyataan di atas sekaligus menegaskan bahwa virtualitas dalam media baru dapat menimbulkan anonimitas atau masyarakat tanpa identitas. Menurut Sell (2013), anonimitas adalah kondisi di mana sumber pesan tidak ada atau sebagian besar tidak diketahui dan/atau sengaja disembunyikan dari penerima pesan. Tidak ada nama atau identitas yang dikenali terkait dengan teks atau ucapan tertentu, atau seperti yang dikatakan Bronco (2004), “sejauh mana seorang komunikan menganggap sumber pesan tidak diketahui dan tidak ditentukan. Terdapat perbedaan antara anonimitas dengan dua konsep yang hampir sama, yaitu confidentiality dan pseudonymity. Anonymous (1998) mengatakan bahwa confidentiality (kerahasiaan) adalah suatu kondisi di mana sumbernya tidak diketahui sesuai hasil kesepakatan. Misalnya narasumber yang meminta namanya tidak dicantumkan dalam berita. Sedangkan pseudonymity merupakan anonimitas yang dapat dicapai tidak hanya karena tidak adanya sumber identitas, tapi melalui identitas fiktif yang disebut nama samaran (dalam Sell, 2013). Dari kedua konsep tersebut, pseudonymity yang paling dekat atau dapat dikatakan pemicu munculnya anonymity.

Kehadiran fisik yang dapat disembunyikan oleh media membuat seseorang memilih untuk menjadi anonim dengan tujuan tertentu. Komunikasi melalui media tidak mengharuskan seseorang untuk mengetahui lawan bicaranya. Apakah dia benar manusia atau mungkin anjing, kita tidak pernah tahu. Begitupun dengan beberapa kasus hoax yang merebak di masyarakat. Entah siapa yang memulai, tidak jarang kita mendapat pesan dari teman di grup WhatsApp yang kemudian dikonfirmasi oleh teman yang lain bahwa informasi tersebut palsu. Infromasi bergulir dari satu orang ke orang yang lain, begitu seterusnya, sehingga sumber awal tidak diketahui atau bisa saja dia memakai identitas palsu (pseudonymity). Kabar bohong atau hoax beredar di dunia maya, disebar dari satu akun ke akun lain, berpindah dari Facebook ke Twitter, Twitter ke WhatsApp grup, dan dalam beberapa jam-tanpa diketahui siapa yang pertama menyebarkan-pesan itu telah mengundang amarah atau rasa takut pengguna (www.bbc.com, 2016).

Di dalam media baru, setiap orang bisa berekspresi sesuai dengan keinginannya, termasuk menjadi anonim. Dalam Article 19 (2015), dijelaskan bahwa anonimitas adalah konsep kunci dalam perlindungan kebebasan berekspresi serta hak untuk privasi. Selain itu, anonimitas tidak hanya melindungi kebebasan individu untuk mengkomunikasikan informasi dan gagasan sehingga mereka dapat dihambat atau dicegah untuk mengungkapkan, namun juga melindungi kebebasan individu untuk menjalani hidup mereka tanpa pemeriksaan yang 188 tidak perlu dan tidak semestinya.Contohnya, beberapa waktu lalu situs resmi telkomsel diblokir oleh seorang hacker yang mengeluhkan harga paket internet sangat mahal (bali.tribunnews.com, 2017). .

Gambar1 Diakses dari http://bali.tribunnews.com/2017/04/28/situs-telkomsel-dibobol- hacker-gara-gara-kuota-internet-ini-saran-mabes-polri pada tanggal 16 November 2017

Hal ini diakui oleh Schmidt (2007), Director Freedom Expression of Unit, UNESCO bahwa media baru memegang potensi besar sebagai sumber untuk kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Mereka berfungsi sebagai platform dialog lintas batas dan memungkinkan pendekatan inovatif untuk distribusi dan perolehan pengetahuan. Kualitas ini sangat penting untuk kebebasan pers. Tapi mereka mungkin dilemahkan oleh upaya untuk mengatur dan menyensor akses dan konten.

Puddephatt (2011) juga menjelaskan hal yang sama, kombinasi jaringan dan layanan yang beroperasi di seluruh dunia yang menciptakan begitu banyak kemungkinan komunikasi di dunia digital. Ini telah menciptakan ruang baru untuk publikasi, secara virtual tanpa biaya masuk (tidak seperti media tradisional). Ini memungkinkan kolaborasi peer-to-peer dalam bentuk konten buatan pengguna dan konten yang dimediasi pengguna. Dalam hal ini, ia memiliki kapasitas untuk mengarah pada apa yang bisa kita sebut "demokratisasi" kebebasan berekspresi di ranah publik. Sebelumnya, sebuah kelompok elit - yang dibentuk oleh wartawan, penerbit, pemilik media, bahkan sensor pemerintah - yang menentukan siapa yang menulis untuk publik. Pertumbuhan internet dan web melewati penjaga gerbang ini dan memungkinkan seseorang untuk menjadi penulis, penyiar, atau penerbit. Fasilitas untuk

189 menyediakan dan mengakses materi tampaknya tidak terbatas kemungkinan untuk memproduksi, berbagi dan bertukar konten dari semua jenis.

Kecenderungan untuk menjadi anonim di media digital dinilai cukup besar. Hartanto (2013) menyebutkan, pengguna internet pada tahun 2000an di Indonesia menggunakan nama aslinya di surel untuk menunjukkan identitasnya, sedangkan pada tahun 2010an tidak demikian (dalam Pasopati, 2015). Selain itu terdapat penelitian dari Pew Research Center (2013) yang membuktikan bahwa 86% pengguna mencoba menggunakan internet dengan cara meminimalkan visibilitas jejak kaki digital mereka. Berikut diagramnya:

Gambar 2. Diakses dari http://www.pewinternet.org/files/old- media/Files/Reports/2013/PIP_AnonymityOnline_090513.pdf pada tanggal 16 November 2017

55% pengguna telah mengambil langkah untuk bersembunyi dari orang lain atau organisasi tertentu. Di luar harapan umum mereka bahwa mereka bisa online secara anonim, mayoritas pengguna internet telah mencoba untuk menghindari pengamatan oleh orang lain, kelompok, perusahaan, dan agen pemerintah. Hacker, penjahat dan pengiklan berada di urutan teratas daftar kelompok yang ingin dihindari orang Pew Research Center (2013).

190

Gambar 3. Diakses dari http://www.pewinternet.org/files/old-media/Files/Reports/2013/PIP_AnonymityOnline_090513.pdf pada tanggal 16 November 2017

Meski penelitian di atas dilakukan oleh Carnegie Mellon University terhadap 1.002 masyarakat Amerika berusia 18 tahun dan lebih, bukan di Indonesia, ada penelitian lain yang juga membuktikan bahwa angka anonimitas menggunakan media online tergolong cukup besar di negara ini. Lebih dari 1.300 orang dari seluruh 68 negara ikut serta dalam survei Proyek IGF Remaja. Survei ini dirancang oleh sekelompok orang muda berusia 15-17 tahun untuk membantu mereka mengeksplorasi sikap dan pengalaman global dari anonimitas online (Youth IGF Project - Childnet International, 2013). Dari 68 negara tersebut, Indonesia termasuk di dalamnya. Hasil yang didapat menunjukkan, hampir dua pertiga (65%) responden mengatakan bahwa mereka telah berinteraksi secara online tanpa mengungkapkan identitas mereka pada tahun lalu, 29% mengatakan tidak, sementara 6% mengatakan mereka tidak tahu (Youth IGF Project - Childnet International, 2013).

191

Beberapa penelitian di atas mengindikasikan adanya pergeseran identitas. Mengingatkan kembali pada konsep yang ditawarkan oleh Martin & Nakayama (1997), sebuah perspektif komunikasi menekankan bahwa diri bukan satu-satunya penentu identitas, melainkan juga diciptakan melalui komunikasi dengan orang lain (dalam Jessica, et al, 2001). Ketika identitas itu muncul dari sebuah proses komunikasi, sekarang ini justru sebaliknya. Dalam proses komunikasi tidak ada identitas yang dihasilkan karena pengguna media baik komunikator maupun komunikan cenderung menyembunyikan identitas aslinya (anonymity). Dapat dikatakan, pendapat dari Martin &n Nakayama di atas lebih relevan untuk disematkan pada interaksi langsung (face to face) di mana komunikator maupun komunikan dapat melihat secara langsung isyarat nonverbal seperti gesture, sikap, ekspresi dan lain sebagainya. Dari isyarat tersebut akan terlihat identitas asli dan muncul kesan yang selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan identitas sosial mereka.

2. Motif dan dampak positif penggunaan anonymity Kecenderungan hilangnya identitas di era digital memiliki motif penggunaan dalam ranah positif maupun negatif. Motif penggunaan dalam ranah positif dapat dijelaskan melalui teori hyperpersonal communication. Merujuk pada tulisan Caplan & High (2011) yang berjudul Online Social Interaction, Psychosocial Well-Being, and Problematic Internet Use, awalnya teori CMC mencerminkan cues filtered out paradigm. Paradigma ini menekankan keterbatasan saluran dan keterbatasan CMC dalam memperoleh informasi tentang seseorang dari isyarat nonverbal. Sebaliknya, muncul teori modern cues filtered in yang menganggap bahwa CMC adalah saluran yang efektif untuk komunikasi interpersonal. Teori tersebut bisa memahami kekurangan dari CMC dalam menghadirkan isyarat nonverbal dan justru menilai bahwa informasi yang terbatas yang ditransmisikan secara online bisa mendatangkan keuntungan pribadi bagi beberapa orang. Dan hyperpersonal communication termasuk salah satu perspektif dalam paradigma ini.

Walther (1992b; Walther & Burgoon, 1992) menyebut hyperpersonal communication sebagai selective self-presentation (dalam Walther, 1996). Dengan mengurangi isyarat nonverbal, termasuk salah satunya identitas asli, komunikator dapat dengan mudah mengatur identitas seperti apa yang dia inginkan untuk dimiliki orang lain tentang dirinya. Perspektif hyperpersonal menawarkan sebuah penjelasan berguna mengapa orang lebih memilih pertukaran sosial secara online. CMC memungkinkan mereka untuk mengekspresikan identitas-karakteristik penting yang tidak dapat mereka berikan dalam situasi tatap muka 192

(Bargh, McKenna & Fitzsimmons, 2002 dalam Caplan & High, 2011). Penjelasan tersebut relevan dengan konteks di mana ada kelompok marjinal yang mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungan sosialnya karena karakteristik fisik mereka. Perspektif hyperpersonal secara khusus berguna untuk menjelaskan mengapa orang dengan masalah psikososial yang ada sebelumnya, seperti kegelisahan sosial, lebih menyukai interaksi sosial melalui media online (Caplan & High, 2011). Dengan kata lain, konsep hyperpersonal communication ini memberikan gambaran bahwa komunikasi melalui media membuat seseorang murni melihat pribadi orang lain dan bukan fisiknya. ABC News (1993) menyatakan people at first wouldn’t want to, you know, come and talk to me in the pie shop or whatever, but over the modem, it’s a lot easier to break that because it’s, like, they don’t see that-they seen the person, they don’t see the physical form (dalam Walther, 1996).

Hyperpersonal communication ini erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Seperti yang sudah dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya bahwa memang virtualitas pada media baru memberikan peluang bagi siapapun untuk mengungkapkan atau mencurahkan ekspresinya, termasuk menjadi anonim. Melalui survei Proyek IGF Remaja, dari 1.300 responden 59% di antaranya mengatakan bahwa mereka cenderung mengatakan apa yang mereka inginkan secara online jika mereka tidak dikenal. Sedangkan 53% responden telah melihat anonimitas online yang digunakan untuk alasan yang baik, termasuk untuk mencari bantuan dan saran tentang subjek yang berpotensi memalukan, sensitif atau tabu; mengucapkan pujian bahwa Anda mungkin merasa malu untuk mengatakan sebaliknya; untuk melindungi privasi; untuk berbicara pikiran Anda tanpa dihakimi atau menghadapi reaksi balik; serta mengkritik pemerintah, korporat atau berbicara tentang subyek kontroversial (Youth IGF Project - Childnet International, 2013).

Ada beberapa dampak positif dari anonimitas menurut Palme & Berglund (2004) yang sesuai dengan konteks ini di antaranya adalah orang mungkin secara terbuka mendiskusikan hal-hal pribadi yang akan memalukan untuk diceritakan kepada banyak orang, seperti masalah seksual. Penelitian menunjukkan bahwa peserta anonim mengungkapkan secara signifikan lebih banyak informasi tentang diri mereka sendiri, orang mungkin mendapatkan evaluasi pesan yang lebih obyektif, dengan tidak menunjukkan nama asli mereka, serta orang lebih setara dalam diskusi anonim, faktor seperti status, jenis kelamin, dan lain-lain, tidak akan mempengaruhi evaluasi dari apa yang mereka katakan.

193

Dari penjelasan di atas dapat ditangkap sebuah garis besar bahwa anonimitas apabila dilihat melalui konsep hyperpersonal communication membawa dampak positif dalam hal privasi dan keterbukaan diri (self disclosure). Dengan anonimitas ada beberapa orang yang merasa dirinya lebih terlindungi sehingga dapat terbuka pada orang lain tanpa ada ketakutan untuk diancam, mendapat perlakuan diskriminatif, dan segala macamnya.

3. Motif dan dampak negatif penggunaan anonymity Ciulla (2004) melalui tulisannya Ethics and Leadership Effectiveness mengisahkan sebuah cerita tentang Gyge’s Ring dari Glaucon yang dimuat dalam Book II of Plato’s Republic. Ada seorang gembala muda dari Raja Lydia bernama Gyges yang menemukan sebuah cincin dan mengetahui bahwa ketika dia memutar cincin tersebut di jarinya, akan membuatnya tidak terlihat. Kemudian Gyges menggunakan cincin itu untuk merayu istri raja, menyerang raja dan mengambil alih kerajaan.

Cincin yang dipakai oleh Gyges tersebut diibaratkan sebagai media digital. Masyarakat dapat menggunakan media untuk menghilangkan identitas diri yang sesungguhnya. Dengan anonimitas yang diterapkan, akan memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan tindak penyimpangan seperti yang dilakukan oleh Gyges. Banyak kasus yang dapat menjelaskan hal ini. Misalnya saja masalah genosida yang terjadi pada kelompok Rohingya. Tirto.id mencatat bahwa isu kekerasan dan genosida etnis Rohingya di Myanmar kembali memanas. Sejumlah foto dan video soal situasi di wilayah itu tersebar di media sosial namun tak dapat diverifikasi. Hal ini dinilai berpotensi tingkatkan konflik, menurut laporan BBC (Debora, 2017).

Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama pun tidak luput dari pemberitaan palsu di sejumlah akun media sosial. Mengutip dari www.bbc.com (2016), seseorang mengambil berita Kompas.com dan mengganti satu kata dalam judul sehingga membuat artinya menjadi sama sekali lain. Bandingkan:  ASLI-Ahok: Kamu Kira kami BOHONG bangun masjid dan naikkan haji marbut?  PALSU-Ahok: Kamu kira kami NIAT bangun masjid dan naikkan haji marbut?

194

Gambar 4. Diakses dari http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-37843842 pada tanggal 11 Oktober 2017 Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pengguna dengan memanfaatkan virtualitas media, tidak dapat dipungkiri bahwa sudah ada pergeseran dari “audiens” ke “pemakai” hingga “konsumen” ke “produser” (Lister, et al, 2009). Siapapun dapat menjadi produser sekaligus konsumen dalam satu waktu. Pengguna media digital tidak hanya dipenuhi oleh orang baik, ada banyak tipe atau karakter orang dengan segala motif di baliknya, dapat menciptakan konten dan menyebarkannya. Ekman & Friesen (1969) mengemukakan, konten verbal yang mendominasi pertukaran pesan melalui CMC lebih mudah untuk dikontrol dan secara trategis dapat memanipulasi daripada perilaku nonverbal (dalam Caplan & High, 2011).

Persoalannya adalah penggunaan media dalam ranah negatif cenderung jauh lebih banyak dibandingkan ranah positifnya. Banyak orang telah melihat anonimitas online yang digunakan untuk alasan negatif. 70% responden mengatakan bahwa mereka melihat anonimitas online digunakan untuk alasan yang buruk, termasuk intimidasi, ucapan kebencian, pelecehan seksual, pencurian identitas dan penyebaran informasi dan rumor palsu

195

(Youth IGF Project - Childnet International, 2013). Data ini memiliki ketimpangan lumayan besar, 20% di atas penggunaan anonimitas untuk alasan positif yang hanya 53%.

Penelitian Pew Research Center (2013) pun juga menyimpulkan hal yang sama pada 1.002 warga Amerika. Sejumlah pengguna internet mengatakan bahwa mereka memiliki pengalaman orang lain mencuri informasi pribadi mereka atau memanfaatkan visibilitas mereka secara online - termasuk akun email dan media sosial yang dibajak, informasi yang dicuri seperti Nomor Jaminan Sosial atau informasi kartu kredit, penguntitan atau pelecehan, kehilangan reputasi, atau pengorbanan oleh penipu. Adapun rinciannya adalah 21% pengguna internet telah memiliki email atau akun jejaring sosial yang dikompromikan atau diambil alih tanpa izin mereka, 12% telah dikuntit atau dilecehkan secara online, 11% memiliki informasi pribadi penting yang dicuri seperti nomor Jaminan Sosial, kartu kredit, atau informasi rekening bank mereka,6% reputasi mereka rusak karena sesuatu yang terjadi secara online, 6% telah menjadi korban penipuan online dan kehilangan uang, 4% memiliki sesuatu yang terjadi secara online yang membawa mereka ke dalam bahaya fisik.

Data tersebut relevan dengan pernyataan Palme & Berglund (2004) bahwa motif negatif dari anonimitas membawa dampak pada beberapa hal di antaranya anonimitas dapat digunakan untuk melindungi penjahat yang melakukan banyak kejahatan yang berbeda, anonimitas dapat digunakan untuk mencari kontak untuk melakukan tindakan ilegal, dan bahkan bila tindakannya tidak ilegal, anonimitas dapat digunakan untuk komunikasi yang menyinggung atau mengganggu.

Pelanggaran secara anonim membawa pada sebuah kesimpulan, media digital memungkinkan moralitas sosial semakin berkurang. Orang cenderung melakukan apapun yang mereka inginkan tanpa mempedulikan apakah perbuatannya baik atau buruk. Grimshaw (2009) menyatakan, sekarang anggap ada dua cincin seperti itu. Salah satu diberikan pada pria jahat sedangkan yang lain diberikan pada pria berbudi luhur. Tidak ada keraguan pria jahat akan bertindak seperti Gyges. Dia akan melakukan kejahatan untuk mendapatkan kekayaan dan kekuasaan, dan sejak dia tidak dapat ditangkap dan dihukum, dia akan melakukannya tanpa dibatasi oleh moralitas, dengan pertimbangan benar dan salah. Tetapi apa yang akan dilakukan oleh pria berbudi luhur? Glaucon argues that the virtuous man will behave no better than the wicked man. If he can commit crimes like stealing and killing with no fear of punishment, then why wouldn’t he do them? Why should he care about morality? 196

Why should he worry about what is right and wrong? Dalam lingkungan media baru, segala kemungkinan dapat terjadi. Bahkan orang baik sekalipun dapat menjadi jahat karena anonimitas yang dipakainya.

C. KESIMPULAN 1. Peran media dalam menciptakan anonimitas melalui virtualitas atau dunia maya yang diciptakan oleh media itu sendiri. 2. Ada kecenderungan redefinisi identitas diri di era digital adalah anonim atau masyarakat tanpa identitas. Hal ini didukung oleh pernyataan Hartanto (2013), hasil penelitian dari Pew Research Center (2013) serta Youth IGF Project (2013). Namun perlu ada penelitian terbaru terkait anonimitas mengingat siklus atau pergerakan dalam lingkungan media baru sangat dinamis. 3. Motif dan dampak positif enggunaan anonimitas di media digital berada dalam hal privasi dan keterbukaan diri (self-disclosure) sedangkan pada ranah negatif anonimitas digunakan dalam beberapa bentuk pelanggaran seperti penipuan, ucapan kebencian, pelecehan seksual, pencurian identitas dan penyebaran informasi dan rumor palsu. Berdasarkan data dari Youth IGF Project (2013), motif dan dampak penggunaan anonimitas dalam ranah negatif lebih tinggi dibandingkan sisi positifnya.

Daftar Pustaka 1. Article 19. (2015). Right to Online Anonymity. London: Free Word Centre. Diakses pada tanggal 15 November 2017 dari https://www.article19.org/data/files/medialibrary/38006/Anonymity_and_encryption_r eport_A5_final-web.pdf 2. Aveyard, Helen. (2014). Doing A Literature Review in Health and Social Care (3rd Ed.). London: Open University Press. 3. Caplan, Scott E. & High, Andrew C. (2011). Online Social Interaction, Psychosocial Well- Being, and Problematic Internet Use. Dalam Young, Kimberly S. & de Abreu, Cristiano Nabuco (Eds.). Internet Addiction: A Handbook and Guide to Evaluation and Treatment. (pp.35-53). USA: John Wiley & Sons. 4. Chen, Ghuo-Ming & Zhang, Kai. (2010). New Media and Cultural Identity in the Global Society. Dalam Taiwo, Rotimi (Ed.). Handbook of Research On Discourse Behavior and Digital Communication: Language Structures and Social Interaction. (pp.795- 807). USA: IGI Global. 197

5. Ciulla, Joanne B. (2004). Ethics and Leadership Effectiveness. Dalam Antonakis, John & Day, David V. (Eds.). The Nature of Leadership. (pp.302-329). USA: Sage Publications 6. Debora, Yantina. (2017). Foto Hoax Terkait Rohingya Berpotensi Tingkatkan Konflik. Diakses pada tanggal 18 November 2017 dari https://tirto.id/foto-hoax-terkait-rohingya- berpotensi-tingkatkan-konflik-cvNy 7. Ferguson, Marjorie. (2005). The Mythology about Globalization. Dalam Mc Quail, Denis, et al (Eds.). Communication Theory & Research. (pp.23-35). London: Sage Publications. 8. Grimshaw, Jean. (2009). The Idea of a Female Ethic. Dalam White, James E (Ed). Contemporary Moral Problems (9th Ed.). (pp.69-81). USA: Thomson Wadsworth. 9. Hasan, Akhmad Muawal. (2017). Gairah Membunuh Gara-Gara Hoax. Diakses pada 10 Oktober 2017, dari https://tirto.id/gairah-membunuh-gara-gara-hoax-cwSy 10. ‘Hoax’ Seputar Kasus Ahok, FPI, 4 November. (2016). Diakses pada 11 Oktober 2017, dari http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-37843842 11. Jessica, Abrams, et al. (2001). Identity and Intergroup Communication. Dalam Gudykunst, William B. & Mody, Bella (Eds.). Handbook of International and Intercultural Communication (2nd Ed.) (pp.225-240). California: Sage Publications, Inc. 12. Kerr, Ian, et al. (Eds.). (2009). Lessons from The Identity Trail: Anonymity, Privacy, and Identity in A Networked Society. New York: Oxford University Press, Inc. 13. Lister, Martin, et al. (2009). New Media: A Critical Introduction. New York: Routledge. 14. Mackenzie, Adrian. (2006). Cutting Code: Software and Sociality. New York: Peter Lang Publishing, Inc. 15. Messaris, Paul & Humphreys, Lee (Eds.). (2006). Digital Media: Transformations in Human Communication. New York: Peter Lang Publishing, Inc. 16. Palme, Jacob & Berglund, Mikael. (2004). Anonymity on the Internet. Diakses pada 10 Oktober 2017, dari https://people.dsv.su.se/~jpalme/society/anonymity.pdf 17. Pasopati, Rommel Utungga. (2015). Interaksi Bahasa Identitas Digital dan Nasionalisme di Era Kontemporer. 6. 117-124. Diakses dari http://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/pesat/article/viewFile/1377/1224 18. Pew Research Centre. (2013). Anonymity, Privacy, and Security Online. Diakses pada tanggal 15 November 2017 dari http://www.pewinternet.org/files/old- media/Files/Reports/2013/PIP_AnonymityOnline_090513.pdf 19. Puddephatt, Andrew. (2011). Mapping Digital Media: Freedom of Expression Rights in the Digital Age. Diakses pada tanggal 15 November 2017 dari 198

https://www.opensocietyfoundations.org/sites/default/files/mapping-digital-media- freedom-expression-rights-20110728.pdf 20. Schmidt, Mogens. (2007). New Media-Expanding Press Freedom: International Commitments Guarantee Media Freedoms. Dalam Barry, James (Ed.). “New Media: The Press Freedom Dimension Challenges and Opportunities of New Media for Press Freedom”. (pp.6-8). Paris: World Press Freedom Committee, the Communication and Information Sector of UNESCO, and the World Association of Newspapers. 21. Sell, Saskia. (2013). “We Are Anonymous.” Anonymity in the Public Sphere-Challenges of Free and Open Communication. 3 (1). (pp.1-21). Diakses dari https://www.db- thueringen.de/servlets/MCRFileNodeServlet/dbt_derivate_00027642/GMJ5_Sell_final .pdf 22. Situs Telkomsel Dibobol Hacker Gara-Gara Kuota Internet, Ini Saran Mabes Polri!. Diakses pada tanggal 18 November 2017 dari http://bali.tribunnews.com/2017/04/28/situs- telkomsel-dibobol-hacker-gara-gara-kuota-internet-ini-saran-mabes-polri 23. Walther, Joseph B. (1996). Computer-Mediated Communication: Impersonal, Interpersonal, and Hyperpersonal Interaction. Communication Research. 23 (3). (pp.3-43). DOI: 10.1177/009365096023001001. 24. Youth IGF Project-Childnet International. (2013). Global Perspectives On Online Anonymity Age Trends in the Use of Anonymity Online and Its Impact On Human Behaviour and Freedom of Expression. Diakses pada tanggal 15 November 2017 dari http://www.youthigfproject.com/uploads/8/5/3/6/8536818/global_perspectives_on_onl ine_anonymity.pdf

199

MEME SEBAGAI TINDAK TUTUR KRITIK TERHADAP PENGGUNAAN ISTILAH PRIBUMI

Triyono Lukmantoro Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Undip [email protected] Hp/WA. 0815 6555 576

Abstrak

Pada pidato pertama setelah dilantik sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Senin, 16 Oktober 2017, Anies Baswedan menyatakan: “Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.” Tidak lama seusai pernyataan itu meluas, kontroversi pun terjadi. Ada pihak yang mendukungnya dengan menegaskan bahwa pribumi yang dimaksud Anies adalah semua warga apa pun etnisnya, yang telah lama tinggal di Indonesia. Ada pula pihak yang menyatakan tidak setuju dan menentang penggunaan konsep itu karena dituding menciptakan kebencian bagi kaum nonpribumi (etnis Tionghoa). Dalam konteks lain, muncul sejumlah meme yang berisi olok-olok terhadap pemakaian istilah pribumi itu. Meme, sebagai kependekan internet meme atau meme comics, memuat kekuatan visual dalam bentuk perpaduan gambar dan tulisan. Ciri khas meme ialah kelucuan yang disodorkannya. Selain menampilkan persoalan yang aktual, meme juga memberikan penekanan yang besar pada humor. Meme berkenaan dengan ingatan. Sebab, asal kata meme adalah mimeme yang berarti memori. Hal lain yang layak diungkap ialah meme sebagai realisasi speech acts (tindak tutur). Terdapat trikotomi dalam tindak tutur. Pertama, locutionary yang melibatkan produksi suara dan produksi kata-kata. Kedua, illocutionary yang berfungsi menampilkan tindakan mengatakan sesuatu. Ketiga, perlocutionary yang merujuk pada efek, yang dikehendaki atau tidak dikehendaki, sebagai hasil dari mengatakan sesuatu. Pada domain itu, meme termasuk locutionary karena mampu menampilkan aneka pernyataan, seperti mengekspresikan, menegaskan, mendeklarasikan, atau memberikan peringatan. Sebagai tindak tutur, berbagai meme yang memberi kritik pada penggunaan istilah pribumi itu mempertanyakan ketimpangan dalam relasi-relasi kuasa, gugatan terhadap politik asimilasi, dan peringatan hadirnya kembali “hantu kepribumian”.

Kata kunci: meme, tindak tutur, kritik, pribumi, Anies Baswedan

PENDAHULUAN Meme menjadi begitu populer sebagai senjata untuk menjalankan kritik. Dalam berbagai jurnal ilmiah, meme mendapatkan sebutan sebagai internet meme. Hal ini merujuk pada berbagai perpaduan gambar dan tulisan yang sering muncul di internet. Apa yang dimuat di sana adalah olok-olok maupun kecaman. Meme disebut pula sebagai meme comics. Unsur kelucuan, humor, dianggap sebagai sifat yang tidak mampu dielakkan. Bahkan, meme itu sendiri sangat identik dengan banyolan. Hanya saja, penamaan yang sekarang semakin populer adalah: meme. Selain selalu berseliweran di internet untuk merespon persalan- 200 persoalan aktual, meme juga dianggap mampu menunjukkan kecaman. Sekalipun dibungkus dengan kelakar, daya kritik meme justru dipandang semakin kekar untuk menonjok siapa saja yang telah berbuat lancung. Tindakan irasional yang menabrak akal waras masyarakat pastilah akan mendapatkan sorotan dalam berbagai meme.

Hal itu pula yang dialami oleh Setya Novanto, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Ketua Umum Partai Golongan Karya, yang tersangkut kasus hukum Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik. Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka tiba-tiba Setya sakit. Tidak tanggung-tanggung sakitnya. Jadi, Setya harus dirawat intensif. Aneka peralatan medis mengerumuni tubuhnya. Netizen tidak lekas percaya begitu saja. Berbagai meme berseliweran di media sosial. Isinya mengecam, menertawakan, dan mengolok-olok Setya yang dinilai sedang berpura-pura. Tanpa diduga-duga, kuasa hukum Setya melaporkan peristiwa peredaran meme itu. Pihak kepolisian pun, tampaknya, amat responsif menangani kasus ini. Bahkan, polisi telah menetapkan seorang tersangka, yakni seorang kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang akun Instagram-nya menampilkan meme Setya sedang sakit (Tempo.co edisi Sabtu, 4 November 2017 12:27 WIB). Tidak sekadar itu langkah yang dijalankan polisi. Sebanyak 32 akun media sosial yang dianggap merendahkan martabat Setya juga akan ditelusuri. Sembilan akun di antaranya dinilai memuat unsur penghinaan (Tempo.co edisi Sabtu, 4 November 2017 18:52 WIB). Ternyata, meme dituding memuat pelecehan.

Tidak hanya sampai di situ persoalan meme itu berlangsung. Ketika rumah Setya digeledah KPK dan Setya kabur, muncul berita besar pada hari berikutnya. Fortuner, mobil yang membawa Setya, menabrak tiang listrik. Bukan simpati atau belas kasihan yang didapatkan Setya. Lagi-lagi, berbagai meme yang mengecam dan menertawakan Setya terus bergulir di media sosial. Tapi, lagi-lagi pula, pihak penasehat hukum Setya mengancam para netizen yang menyebarkan meme itu untuk diadukan kepada polisi (Tempo.co edisi Sabtu, 18 November 2017 18:33 WIB). Agaknya, advokat Setya berupaya secara serius memperkarakan kehadiran aneka meme yang dianggap merendahkan kehormatan kliennya itu. Berlainan halnya dengan seorang kolega Setya yang juga berasal dari partai politik yang sama dengannya. Jauh-jauh hari sebelum ada perkara hukum yang berkenaan dengan berbagai meme tersebut, politisi ini menyatakan tidak mengganggap serius berbagai meme itu. Ridwan Bae, politisi itu, sekadar berkata: “Kalau kita ikuti meme-meme di masyarakat, gimana ceritanya” (Tempo.co edisi Senin, 2 Oktober 2017 17:12 WIB). Ada 201 benarnya politisi ini mengemukakan pernyataan demikian. Jika setiap meme ditanggapi sebagai perkara hukum, berapa banyak aparat kepolisian harus dikerahkan.

Tapi, apa sebenarnya meme? Secara leksikal, sebagaimana dikemukakan Merriam- Webster Dictionary, ada dua pengertian dasar meme. Pertama, sebuah gagasan, perilaku, gaya, atau penggunaan yang menyebar dari orang ke orang dalam sebuah budaya. Kedua, sebuah hal yang menggelikan atau menarik, seperti gambar atau video yang diberi keterangan atau genre dari berbagai hal tersebut yang luas tersebar secara online, khususnya melalui media sosial. Pada kamus itu juga ditambahkan keterangan bahwa penggunaan kata meme pertama kali terjadi pada 1976 (https://www.merriam- webster.com/dictionary/meme diakses pada 15 November 2017). Merujuk pada pengertian secara kamus itu, maka meme menunjukkan gagasan tertentu. Dikaitkan dengan keberadaan media sosial, ada penekanan lain yang disodorkan meme, yaitu mengundang kelucuan dan mampu menarik perhatian. Tentu saja, karena media sosial mengandaikan kemampuan menciptakan jejaring yang luas dan interaktivitas yang lugas, maka meme pun mampu terdiseminasi secara cepat.

Apabila disebutkan bahwa pemakaian kata meme terjadi pertama kali pada 1976, tentu saja, tidak terlepas dari sosok Richard Dawkins. Dalam bukunya, Selfish Gene (2006/1976), Dawkins menyatakan bahwa kita membutuhkan sebuah nama untuk replikator baru. Itulah kata benda yang menyampaikan suatu unit transmisi, atau sebuah unit imitasi. Kata itu adalah mimeme yang berasal dari akar kata Yunani, yang secara monosilabus bersuara sedikit menyerupai gene. Mimeme itulah yang lalu disingkat menjadi meme, yang berkaitan dengan ingatan (memori). Terdapat sejumlah contoh meme, yakni lagu, gagasan, slogan, gaya pakaian, cara membuat jambangan atau membentuk busur. Dawkins mengatakan bahwa seperti halnya gen menyebarluaskan diri dalam kolam gen melalui lompatan dari tubuh ke tubuh melalui sperma atau telur, meme pun memperbanyak dirinya dalam kolam meme melalui lompatan dari otak ke otak melalui sebuah proses yang dalam pengertian umum disebut sebagai peniruan (imitasi) (Dawkins 2006: 192). Apabila pemikiran Dawkins dikaitkan dengan perkembangan internet atau media sosial, maka meme tidak saja memuat memori, tapi juga mimesis (tiruan). Tidak mengherankan juga jika aneka meme, dengan sendirinya, menampilkan tiruan dari berbagai hal yang telah populer dan serentak dengan itu menyodorkan rekaman ingatan bagi publik atau pun netizen.

202

Dalam kultur internet, berbagai meme itu bisa berupa gambar atau video yang sedang ramai diperbincangkan dan melintas amat cepat. Tapi, aneka meme lain mendorong munculnya pengulangan kata-kata, imitasi, parodi, dan satire yang merebak dalam ribuan varian (Marwick 2013). Dalam sebuah kasus yang sama, misalnya saja fenomena politisi yang lancung dan gemar bersandiwara, maka berseliweran pula aneka meme. Jadi, meme justru mendorong kreativitas. Kritik disampaikan dalam lelucon yang tidak tunggal, tapi saling mengisi dan menimpali. Pada titik demikian, tiga komponen meme pun dapat dilacak. Pertama, manifestasi. Hal ini berkaitan dengan fenomena eksternal, yakni rangkaian obyek yang diciptakan oleh meme yang dapat diobservasi. Kedua, perilaku. Hal ini berkenaan dengan tindakan yang diambil individu dalam menciptakan meme, seperti memanipulasi foto dengan perangkat lunak tertentu. Dan, ketiga, ideal. Inilah pemikiran atau konsep yang dikemukakan pencipta meme. Konsep atau gagasan inilah yang menentukan perilaku dan, sebaliknya, menciptakan manifestasi (Davison dalam Mandiberg, ed. 2012: 120-134). Dengan begitu, meme tidak cuma memuat gerutu atau sekadar bermaksud melucu. Dalam meme yang dianggap hanya berkelakar itu terdapat kehendak menyampaikan gagasan.

Kemungkinan, hanya satu-dua atau segelintir orang yang bisa membuat meme. Tapi, apa saja yang dimanifestasikan dalam aneka meme itu tidak dapat lagi dianggap sebagai pemikiran individual. Berbagai meme itu adalah realisasi dari aspirasi yang bersifat kolektif. Kebersamaan sebagai komunitas atau netizen tertuang dalam meme-meme yang demikian menggelitik itu. Ketika seseorang menunjukkan menyukai, menyalin, dan menyebarkan sebuah meme, di situlah kolektivitas yang menjadi karakteristik meme terjadi. Tepatlah pula apa yang dikemukakan Shifman yang menegaskan bahwa sebagaimana aplikasi-aplikasi Web 2.0, berbagai meme menyebar dari orang ke orang, membentuk dan mampu mencerminkan pola-pola pemikiran sosial umumnya. Gejala itu menunjukkan bahwa reproduksi kultural diarahkan oleh berbagai perangkat salinan dan imitasi. Praktik- praktik semacam itu menjadi hal yang esensial dalam budaya digital kontemporer. Hal itu juga yang menjadi pilar-pilar bagi keberlangsungan budaya partisipatoris (Shifman 2014). Melalui meme, makin banyak netizen yang terlibat dalam membicarakan pokok masalah tertentu. Mereka bisa berkomentar, menyebarkan meme, dan bahkan membuatnya karena aneka perkakas digital telah tersedia.

203

Tidak berlebihan pula jika dikemukakan bahwa meme mampu menjadi medium untuk mengekspresikan identitas kolektif. Ketika ada seorang gay belasan tahun melakukan bunuh diri karena mendapat perundungan (bullying) dari masyarakat yang homofobik, maka pada September 2010, di Youtube muncul sebuah video berjudul “It Gets Better”. Ribuan pengguna internet lantas menambahkan berbagai versi klip, menciptakan daya tarik massal bagi kawula muda. Sehingga, serentak dengan itu sebenarnya sedang berlangsung negosiasi norma-norma identitas kolektif kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transjender, dan Queer (LGBTQ). Hal itu menunjukkan pula bahwa terdapat pihak yang secara kuasi melakukan penyaringan (gatekeepers), sehingga para partisipan itu mengawasi diri mereka sendiri, melakukan kompromi dengan norma-norma yang telah ada. Selain itu, terdapat pula potensi-potensi untuk melakukan subversi (Gal, Shifman, dan Kampf 2016). Sehingga, meme bukan sekadar menyampaikan kelakar, tapi juga negosiasi dan malah perlawanan terhadap tatanan yang dominan.

Hal penting lan yang juga dapat dikemukakan adalah meme, sekalipun berbeda dari komunikasi tertulis tradisional, tetap mampu menciptakan relasi pesan antara penciptanya dengan penerimanya. Sekalipun aneka meme tersebut menampilkan berbagai kelucuan, meme tetap saja mampu mengkomunikasikan informasi dan opini-opini yang penting. Sebagaimana seseorang mengirimkan surat kepada seseorang lain atau lebih atau mengemukakan pertanyaan, sebuah meme dapat diarahkan kepada seseorang yang lain atau bahkan bisa diarahkan bagi seluruh pengguna internet. Konsekuensinya adalah meme dapat dianggap sebagai medium untuk menjalankan tindak tutur (speech acts), dalam kaitan ini adalah illocutionary acts (Grundlingh 2017). Artinya adalah meme bukan sekadar memuat kenyinyiran yang menghadirkan banyolan, tapi juga ekspresi untuk memberikan penegasan, gugatan, permohonan, penolakan, perdebatan, dan seterusnya.

Tindak tutur sendiri dapat didefinisikan sebagai “upaya untuk melakukan sesuatu dengan semata-mata berbicara”. Ada berbagai hal yang dapat dilakukan, atau berupaya dijalankan, hanya secara sederhana dengan mengatakannya saja (Trask 1999: 189). Atau, bisa pula dirumuskan bahwa tindak tutur adalah tindakan yang dijalankan seorang pembicara dengan menyampaikan ujaran tertentu. Misalnya, memohon, memerintahkan, menanyakan, atau memberitahukan (Yule 2006: 118). Dalam kehidupan sehari-hari, tindak tutur itu lazim dijalankan sekalipun tanpa disadari. Bentuknya ialah pernyataan-pernyataan lisan. Hanya saja, tindak tutur itu dapat pula dilakukan melalui media visual, seperti 204 penyampaian pesan yang secara teknis merupakan perpaduan gambar dan tulisan. Dalam budaya digital, meme adalah wujud yang bisa dirujuk sebagai realisasi dari tindak tutur itu. Meme, yang secara mudah bisa diakses oleh siapa saja, memuat pula tindak tutur yang spesifik.

Terdapat trikotomi dalam tindak tutur, seperti dikemukakan Austin, yakni: (1) locutionary act yang berarti menuturkan kalimat tertentu dengan sebuah pengertian dan rujukan yang khas pula. Dalam pengertian tradisional, hal ini mempunyai pengertian sebagai “makna”; (2) illocutionary acts, misalnya menginformasikan, memerintahkan, memperingatkan, atau melakukan. Artinya adalah dalam ujaran ini terdapat kekuatan (konvensional) tertentu; dan, (3) perlocutionary acts, yang memiliki pengertian bahwa kita menyebabkan atau mendapatkan dengan mengatakan sesuatu, seperti meyakinkan, membujuk, menghalangi, dan mengejutkan atau menyesatkan. Austin sendiri membagi illocutionary acts menjadi lima, yaitu verdictives (memutuskan yang dilakukan juri atau hakim), exercitives (menjalankan kekuasaan atau hak, seperti menunjuk dan memilih), commissives (menyampaikan pernyataan yang punya maksud tertentu; behabitives (berkenaan dengan sikap atau perilaku sosial tertentu, seperti memohon maaf atau menyampaikan selamat), dan expositives (seperti pernyataan “Saya menjawab”, “Saya berargumentasi”, atau “Saya mengakui”) (Austin 1962).

Pemikiran Austin mengenai illocutionary acts itu dikembangkan Searle, seperti berikut ini: assertive (keterlibatan pembicara dengan kebenaran proposisi yang diekspresikan, seperti pernyataan, penjelasan, dan penegasan), directives (pembicara mendorong pendengar menjalankan sesuatu, seperti memerintahkan, memohon, dan menginstruksikan), commissives (pembicara melibatkan dirinya menjalankan sesuatu pada masa mendatang, seperti menjanjikan, bersumpah, dan mengancam), expressives (pembicara menunjukkan perasaan dan sikapnya, seperti memohon maaf, berterima kasih, menyampaikan ucapan selamat), dan, declarations (pembicara membawa perubahan dengan menyampaikan ujaran-ujaran tertentu, seperti mendeklarasikan peperangan, menyampaikan bahwa seseorang merupakan suami atau istrinya, atau menunda pertemuan (Searle 1979 dan Searle 2002 dalam Grewendorf dan Meggle, eds. 2002: 3-16). Dengan begitu, tindak tutur bukan sekadar mengucapkan sesuatu bagi pihak lain, namun terdapat ekspresi ide atau perintah yang dinyatakan secara implisit atau eksplisit.

205

Demikian halnya ketika berbagai meme bermunculan merespon pidato Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Anies Baswedan berkenaan dengan pemakaian istilah pribumi. Pada pidato yang mendatangkan kontroversi itu, Anies menegaskan: “Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.” (Detik.com edisi Senin 16 Oktober 2017, 22:32 WIB). Perhatian netizen amat tinggi dengan penggunaan istilah pribumi itu, sehingga kata pribumi pun menjadi trending topic (Tribunnews.com edisi Selasa, 17 Oktober 2017, 09:03 WIB), istilah yang mengacu pada topik pembicaraan yang mendapatkan perhatian amat tinggi dari netizen. Meskipun ada pembelaan bahwa Anies terpeleset lidahnya dengan pemakaian kata pribumi itu, tapi tidak masuk akal juga. Sebab, istilah pribumi tertera dalam teks tertulis yang dibacakan Anies dalam pidatonya itu. Jadi, ada unsur kesengajaan dan hal itu telah direncanakan secara sistematis. Bukti lain yang dapat disodorkan adalah pada momentum itu, di Menteng, terdapat spanduk besar bertulis “Kebangkitan Pribumi Muslim”. Walau pada akhirnya, spanduk itu diturunkan untuk meredam kontroversi lebih lanjut (Detik.com edisi Rabu, 18 Oktober 2017, 15:49 WIB).

Fokus pertanyaan yang dikemukakan dalam paper ini adalah bagaimana tiga meme yang menyoroti pemakaian istilah pribumi itu diposisikan sebagai tindak tutur dalam perspektif illocutionary acts. Tujuan dari penulisan paper ini ialah menganalisis secara tekstual tiga meme yang memuat illocutionary acts. Sejumlah konsep yang berkaitan dengan semiotika, wacana (discourse), asimilasi yang merujuk pada relasi kelompok dominan dengan kaum minoritas, serta sudut pandang pascakolonial (postcolonial) digunakan untuk menjawab pertanyaan itu.

PEMBAHASAN Mempertanyakan relasi-relasi kuasa Adakah seseorang yang benar-benar pribumi, termasuk Anies Baswedan sendiri? Bukankah dia tidak lain adalah keturunan Arab? Namun, mengapa dia begitu berani berbicara tentang kepribumian dan membela kaum yang dikatakan sebagai kelompok yang mengalami penindasan itu? Gambar 1 secara satire

206

Gambar 1 mendeskripsikan tentang etnisitas dan ras Anies sendiri yang sama sekali bukanlah pribumi. Pada meme itu ditunjukkan ketika Anies mengatakan: “Saatnya pribumi menjadi tuan rumah di Indonesia..” justru direspon Prabowo, pendukung utama pasangan Anies-Sandiaga Uno pada Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017, dengan kalimat yang menyangsikan, meragukannya: “Tapi kan.. Ah, sudahlah..”. Tampaknya, Prabowo hendak menyatakan bahwa Anies adalah keturunan Arab dan, dengan demikian, tidak pula layak dianggap pribumi. Tapi, kalimat itu tidak sampai (hati) dikemukakan. Boleh jadi karena Prabowo memang tidak tega. Bisa jadi karena Prabowo paham benar bahwa itu politik saja.

Untuk mengetahui apa dan siapa pribumi itu, ada baiknya memahaminya dari literatur yang ditulis dari kelompok yang dikategorikan sebagai nonpribumi (Tionghoa). Penyebutan pribumi dan nonpribumi merupakan produk politik yang dilakukan pada zaman kolonialisme. Pribumi merujuk pada kaum Inlanders yang secara emosional terikat dengan bumi, sebagai anak lelaki/perempuan bumi. Jadi, berdasarkan perbedaan latar belakang sejarah atau kelahiran itu, maka Tionghoa dan Inlanders memiliki hak-hak dan kewajiban yang berbeda yang ditentukan oleh Belanda. Lebih dari itu, karena Belanda selalu memandang Tionghoa memiliki spirit dan ethos yang lebih dekat dengan mereka, maka penjajah pun berpikiran bahwa hal itu akan menjadi ancaman besar jika Tionghoa bercampur dan berdampingan dengan pribumi. Sehingga, sejak 1830, pemerintah kolonial telah menjalankan pembatasan gerakan bagi warga Tionghoa. Ada dua bentuk yang diterapkan, yakni sistem perlintasan dan sistem kewilayahan.

Hanya saja, ternyata, sekalipun pemerintah kolonial telah berakhir, dampaknya masih terlihat sekalipun dengan sejumlah modifikasi (Thung 2012 dan Turner 2003). Dampak lain yang bisa disimak sampai saat ini ialah tidak sekadar terjadinya segregasi secara geografis, melainkan juga secara politis. Ada perasaan dari pihak yang mengklaim diri sebagai pribumi sebagai kelompok yang terus-menerus mengalami penjajahan dan dieksploitasi. Sebaliknya, bagi kalangan yang dituding nonpribumi, pemahaman bahwa mereka adalah kelompok minoritas yang mengalami diskriminasi juga begitu kuat. Bahkan, selama rezim Orde Baru (1966-1998) berkuasa pun, pola-pola pemikiran dan langkah-langkah kolonialis itu tetap dijalankan (Da Silva 2010). Ingatan dan cara berpikir ala kolonialis Belanda dan fasisme model Orde Baru itulah yang menghinggapi pemikiran banyak orang, termasuk di dalamnya adalah Anies yang memenangkan kontestasi pemilihan gubernur.

207

Keberadaan kelompok nonpribumi (Tionghoa) dibentuk secara diskursif maupun legal dalam kaitan dengan kelompok yang diposisikan pribumi (Freedman 2003). Dalam pengertian yang lain, secara semiotis, pribumi hanya mungkin hadir karena adanya kelompok nonpribumi. Itulah yang disebut sebagai perbedaan (difference) dalam ilmu tanda. Makna hanya mungkin muncul justru karena perbedaan. Tanpa perbedaan, makna mustahil bisa didapatkan. Perbedaan tanda-tanda menjadi soal yang penting dalam konteks ini. Bahasa tidak lain merupakan sistem perbedaan dan oposisi yang fungsional (Chandler 2007: 21). Jika bahasa juga dianggap sebagai medium untuk memahami realitas dan mendapatkan pemaknaan, maka oposisi biner pribumi-nonpribumi sekadar bersifat fungsional belaka. Tapi, persoalannya tidak sebatas itu. Oposisi biner pribumi-nonpribumi juga menunjukkan relasi- relasi kekuasaan.

Relasi-relasi kuasa itu hanya dapat dimengerti dalam wacana. Dalam kaitan ini, wacana lebih dari sekadar bahasa, menunjukkan bagaimana manusia memahami diri mereka dalam budaya. Selain itu, bagaimana pula pengetahuan tentang yang sosial, individu yang terbentuk dan makna bersama diproduksi dalam periode-periode yang berlainan (Hall dalam Hall, ed. 1997: 13-64). Namun, persoalannya adalah bagaimana mungkin pengetahuan dan model penguasaan yang berasal dari era kolonialisme yang rasialis dan era Orde Baru yang fasis masih digunakan sampai sekarang, bahkan oleh seorang Anies Baswedan. Jawabannya terletak pada pemahaman bahwa individu dengan identitas dan segala karakteristiknya merupakan produk dari relasi kekuasaan yang diterapkan terhadap tubuhnya, gerakan- gerakannya, hasrat-hasratnya, dan kekuatan-kekuatannya (Foucault 1980).

Anies, yang mengklaim sebagai representasi dari pribumi, tidak lebih dari produk relasi-relasi kuasa yang terjalin sejak begitu lama. Dan, meme itu sendiri dengan cukup cerdas mempertanyakan relasi-relasi kuasa yang terjadi sudah sedemikian berkepanjangan itu. Adakah Anies yang ingin menjadikan pribumi menjadi tuan rumah di negeri sendiri ialah juga sesosok pribumi? Ataukah, Anies sekadar berpura-pura menjadi pribumi agar mendapatkan simpati dan dukungan luas? Tidak lebih Anies menerapkan strategi relasi-relasi kekuasaan yang ingin membedakan dan hendak dibedakan dari gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama, yang Tionghoa (dan Kristen).

208

Menggugat politik asimilasi Pertanyaan berikutnya adalah mengapa Anies sebegitu berani mengklaim diri sebagai pribumi dan membelanya? Apakah karena Anies merupakan orang yang berdarah Arab? Jawabannya memanglah demikian. Pada Gambar 2 dapat disimak bagaimana perbedaan perlakuan terhadap keturunan Cina dan keturunan Arab itu terjadi. “Keturunan Cina Lo Bilang Aseng”. Sementara itu, sebaliknya, “Keturunan Arab Lo Bilang Pribumi”. Nada menggugat terdapat pada meme itu, dengan frasa yang ringkas, jelas, tapi begitu tegas, yakni: “Situ Waras?” Apa yang disebut sebagai waras bukan sekadar tubuh dalam kondisi sehat, melainkan lebih bermakna pada apakah seseorang dalam keadaan gila atau normal dari sisi cara berpikir. Naturalisasi, menganggap peristiwa-peristiwa kultural sebagai hal yang bersifat alamiah, menjadikan sebagian besar orang tidak waras lagi. Kenapa keturunan Cina disebut sebagai aseng? Apa sebutan yang tepat untuk keturunan Arab? Asing ataukah pribumi? Bukankah keturunan Arab bukan merupakan pihak asli yang semenjak awal menempati tanah air ini? Meme itu dengan sangat baik menggugat politik asimilasi. Dalam sudut pandang sosiologi, asimilasi merupakan proses penyebaran kultural yang saling mempengaruhi, sehingga seseorang atau kelompok menjadi serupa. Diuraikan lebih lanjut, asimilasi merupakan alternatif terhadap konflik. Asimilasi mereduksi konflik-konflik kelompok dengan mencampur kelompok-kelompok ke group yang lebih besar, yakni kelompok-

kelompok yang homogen secara budaya Gambar 2 (Horton dan Hunt 1964: 340-341). Bisa pula dibedakan antara asimilasi, amalgamasi, dan pluralisme budaya. Pada asimilasi, sering sebuah kelompok minoritas menerima budaya kelompok dominan, lenyap dalam masyarakat yang lebih besar. Jika dirumuskan adalah: A + B + C = A. Pada rumusan itu, B dan C merupakan kelompok-kelompok minoritas. Sebaliknya, A adalah kelompok dominan. Sementara itu, amalgamasi menghasilkan “melting pot”, yang berarti berbagai subkultur dicampur secara bersama-sama untuk memproduksi sebuah budaya baru. Apabila dirumuskan adalah: A + B + C = D. Jadi, A, B, dan C merepresentasikan kelompok-kelompok budaya

209 yang berlainan yang menghasilkan budaya baru (D). Sedangkan pluralisme kultural merujuk pada ketiadaan asimilasi atau amalgamasi. Berbagai kelompok budaya yang berbeda menjaga keunikan subkultur mereka dan hidup bersama dengan damai. Apabila dirumuskan: A + B + C = A + B + C (Thio 1989). Negeri ini mengalami kegagalan dalam menciptakan amalgamasi dan terlalu jauh untuk menjalankan pluralisme kultural. Asimilasi dinilai sebagai pilihan terbaik, sekalipun minoritas dikorbankan terus.

Secara lebih tegas dapat dikemukakan bahwa dalam wacana asimilasi, kelompok- kelompok minoritas dituntut beradaptasi dengan budaya dominan, sehingga menjadi “kita”. Apa pun bisa dipakai sebagai dalih, seperti menjadikan mereka sebagai kaum yang beriman, lebih beradab, dan meneriman program-program pembangunan (Weedon 2004: 23). Paduan agama dan etinistas atau ras merupakan kuasa terbaik untuk melakukan asimilasi itu. Sehingga, terdapat keterkaitan yang erat antara agama dan etnisitas dalam membentuk identitas tempat-tempat peribadatan, misalnya. Teori asimilasi klasik, sebagaimana dapat dilihat di Barat, menunjukkan bahwa hanya ada satu jalur tunggal inkorporasi, yakni asimilasi menuju kelas menengah Protestan berkulit putih (Kim 2011). Di Barat, asimilasi itu dikendalikan oleh ras kulit putih yang beragama Protestan. Di negeri ini, asimilasi itu dikontrol oleh pribumi yang beragama Islam. Karena Islam identik dengan Arab, maka siapa saja keturunan Arab pun tidak lagi merasa sebagai nonpribumi.

Hanya saja, “kita” sebagai produk asimilasi dipersoalkan ketika terjadi krisis ekonomi dan politik, seperti Peristiwa 1997-1998. Orang-orang Tionghoa, yang dianggap nonpribumi itu, yang dianggap bukan memiliki identitas serupa, dijadikan kambing hitam (Budianta 2000). Praktik pengkambinghitaman sudah terjadi sejak era tribal. Era modern sekadar menampilkannya dalam bentuk yang lebih baru, atau lebih brutal. Ketika orang-orang tribal itu merasa komunitas mereka digerogoti oleh iblis dan terpecah belah, mereka akan menyingkirkan iblis tersebut dengan proses pengambinghitaman. Pihak yang dijadikan kambing hitam hampir selalu korban-korban yang tiada berdosa—baik karena dianggap asing, janggal, atau pun lemah oleh komunitas tersebut (Dorr 2010: 92-97). Pada era modern atau pascamodern Indonesia, kambing hitam itu gampang direalisasikan dalam sosok bernama etnis Tionghoa, yang tidak saja dikategorikan sebagai nonpribumi, asing, tapi lebih dari itu semua: aseng! Itulah tribalisme yang sengaja dikembalikan Anies Baswedan ketika dia mulai memimpin Jakarta. Hanya saja, meme itu dengan pintar menggugatnya.

210

Memperingatkan kedatangan “hantu kepribumian” Hantu adalah sosok yang menakutkan. Tidak kasat mata, memang. Tapi, kehadirannya yang tidak terang-terangan justru menjadikan banyak orang yang penasaran. Gambar 3 jelas- jelas adalah parodi dari poster film Pengabdi Setan (2017). Film yang meraih sukses besar secara komersial dan mendapatkan banyak pujian itu memiliki tagline atau slogan: Ibu Datang

Gambar 3 Lagi. Dalam film itu, memang hantu yang bergentayangan dan memburu manusia ialah sosok seorang ibu. Profil yang lazim dikenal baik dan lembut itu justru dalam film dijungkirbalikkan hanya menjadi hantu yang meneror kenyamanan anak-anaknya sendiri serta suaminya. Tentu saja ketika poster itu dijadikan meme, maka sosok hantu itu bukan figur perempuan yang menimbulkan perasaan ngeri luar biasa, melainkan tidak lain adalah Anies Baswedan. Sebagaimana busana yang dikenakan dalam film, maka hantu Ibu yang diperankan Anies itu juga mengenakan penutup muka transparan layaknya pengantin. Bukan rasa mencekam yang dimunculkan oleh meme itu. Tapi, sebaliknya, kegelian yang luar biasa. Pada meme itu tertulis kalimat kunci: “Kamu pribumi bukan?”. Kata-kata itu tidak sekadar memuat pertanyaan biasa, namun suasana interogatif yang menyembulkan ketakutan yang mendalam. Jika pribumi, maka hantu itu tidak bakal memangsa. Hanya saja, bagaimana jika yang ditemui si hantu adalah penduduk yang berstatus nonpribumi? Kita bisa menduga-duga bahwa hantu itu akan mengerkah dan melenyapkannya. Meme itu memberi peringatan tentang kedatangan lagi “hantu kepribumian”.

Meme itu sekalipun bermain-main dalam tampilannya sebenarnya justru mengundang perenungan bahwa Indonesia sebagai negara pascakolonial bakal dihantui oleh persoalan yang tidak gampang diselesaikan. Pada bangsa yang telah mengalami penjajahan, keberadaan perpecahan sosial, budaya, dan eknomi dan banyaknya identitas sejak awal telah menghambat kemunculan sebuah bangsa. Langkah yang diambil oleh negara-negara pascakolonial adalah memprakarsai pembentukan identitas bangsa itu dengan mengasimilasikan perbedaan-perbedaan yang sebegitu luas itu (Kumar. 2005). Jadi, ketika Anies melontarkan kembali istilah pribumi dalam pidatonya itu, ternyata, telah menghadirkan

211 pascakolonialitas, yakni sebuah kondisi yang dipersulit oleh konsekuensi-konsekuensi dari amnesia historis yang justru dikehendaki oleh diri sendiri. Nilai teoretis pascakolonialisme adalah pada kemampuannya mengelaborasikan memori-memori yang terlupakan (Gandhi 1998: 7-8). Alih-alih mampu memberikan penyembuhan atau terapi tentang masa silam kolonial yang amat kelam, Anies menciptakan ingatan yang justru menciptakan luka mendalam.

Pernyataan Anies tentang pribumi hanya menghembuskan kembali tentang sosok native, yang pada era kolonial diposisikan sebagai figur inferior. Siapa saja yang dianggap native itu dikategorikan liar, sosok biadab atau kekanak-kanakan, sehingga harus mendapatkan pengasuhan kolonial untuk menjadikannya beradab dan modern (Ashcroft, Griffiths, dan Tiffin 1998: 158-159). Pada pidatonya itu, Anies seakan-akan hendak mengangkat derajat penduduk asli, sang pribumi, yang selama ini tersingkir. Tapi, nada yang dominan hadir adalah Anies menciptakan resentimen, sebuah upaya balas dendam, untuk menghardik dan menyerang siapa saja yang dianggap sebagai nonpribumi. Lebih jauh lagi bisa dikemukakan bahwa Anies, dalam tataran retorika, menghembuskan semangat populisme kanan. Pada cara pandang populisme ini, masyarakat terpilah menjadi dua golongan homogen dan kelompok-kelompok itu saling bertentangan, mereka yang asli versus elite yang korup. Tidak hanya kaum elite yang dimusuhi, tapi juga mereka yang tidak pribumi, seperti pendatang dan etnis minoritas (Rydgren 2007). Baik sadar atau tidak sadar, pernyataan Anies tentang pribumi itu memang menyulut kebencian. Sikap permusuhan terhadap nonpribumi sengaja terus dipelihara.

Sekalipun ada tipe populisme yang inklusioner, namun terdapat pula corak yang eksklusioner yang menekankan pada perspektif nativis dan ada pemahaman bahwa rakyat dipandang sebagai unit yang secara etnis dan kultural homogen. Dari cara pandang ini, maka keinginan untuk menyingkirkan imigran dan kaum minoritas terjadi (Filc 2015). Saat populisme dikombinasikan dengan intoleransi, nativisme, dan fanatisme, maka dalam perspektif liberal memang berbahaya (Molyneux dan Osborne 2017). Dari sudut pandang kemanusiaan pun, populisme memang berbahaya. Sebab, menempatkan kelompok sendiri (pribumi) sebagai superior serta menempatkan kelompok lain sebagai kaum minoritas yang inferior dan kapan pun boleh disingkirkan.

212

PENUTUP

Tiga meme yang menyoroti istilah pribumi—yang dilontarkan oleh Anies Baswedan untuk menempatkan lagi supremasi nativisme—itu tidak hanya berisi kelucuan. Pada semua meme itu terdapat tindak tutur dalam kategori illocutionary acts yang mempertanyakan ketimpangan dalam relasi-relasi kekuasaan, gugatan terhadap politik asimilasi, dan peringatan hadirnya kembali “hantu kepribumian”. * * *

Daftar Pustaka Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin. 1998. Key Concepts in Post Colonial Studies. London dan New York: Routledge.

Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Oxford: Oxford University Press.

Budianta, Melani. 2000. “Discourse of Cultural Identity in Indonesia during the 1997-1998 Monetary Crisis.” Inter-Asia Cultural Studies, Vol. 1, No. 1, hal. 109-128. DOI: 10.1080/146493700361033.

Chandler, Daniel. 2007. Semiotics: The Basics 2nd Edition. London dan New York: Routledge.

Da Silva, Felix. 2010. “The Chinese Minority in Indonesia.” Hohonu, Vol. 8, hal. 61-63.

Davison, Patrick. 2012. “The Language of Internet Memes.” Hal. 120-134 dalam The Social Media Reader, diedit oleh Michael Mandiberg. New York dan London: New York University Press.

Dawkins, Richard. 2006. The Selfish Gene. New York, NY: Oxford Unversity Press.

Detik.com. 2017. “Ini Pidato Lengkap Anies Usai Dilantik Jadi Gubernur DKI”, edisi Senin 16 Oktober, 22:32 WIB.

Detik.com. 2017. “Satpol PP Turunkan Spanduk “Kebangkitan Pribumi Muslim” di Menteng, edisi Rabu, 18 Oktober, 15:49 WIB.

Dorr, Donal. 2010. “The Scapegoat.” The Furrow, Vol. 61, No. 2, hal. 92-97.

Filc, Dani. 2015. “ American Inclusive and European Exclusionary Populism: Colonialism as an Explanation.” Journal of Political Ideologies, Vol. 20. No. 3, hal. 263- 283. DOI: 10.1080/13569317.2015.1075264.

Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972- 1977. New York: Pantheon Books.

213

Freedman, Amy. 2003. “Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia.“ Asian Ethnicity, Vol. 4, No. 3, hal. 439-452. DOI: 10.1080/1343900032000117259.

Gal, Noam, Limor Shifman, dan Zohar Kampf. 2016. “”It Gets Better”: Internet Memes and the Construction of Collective Identity.” New Media and Society, Vol 18 (8), hal. 169-1714. DOI: 10.1177/1461444814568784.

Gandhi, Leela. 1998. Postcolonial Theory: A Critical Introduction. Crows Nest: Allen & Unwin.

Grundlingh, L. 2017. “Memes as Speech Acts.” Social Semiotics, DOI: 10.1080/10350330.2017.1303020.

Hall, Stuart. 1997. “The Work of Representation.” Hal. 13-64 dalam Representation: Cultural Representations and Signifying Practices diedit oleh Stuart Hall. London: Sage Publications.

Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1964. Sociology. New York: McGraw-Hill Book Company.

Kim, Rebecca Y. 2011. “Religion and Ethnicity: Theoretical Connections.” Religions, Vol. 2, hal. 312-329. DOI:10.3390/rel2030312. Kumar, V. Biju. 2005. “Postcolonial State: An Overview.” The Indian Journal of Political Science, Vol. 66, No. 4, hal. 935-954.

Marwick, Alice. 2013. “Memes.” Contexts, Vol. 12, No. 4, hal. 12-13, DOI: 10.1177/1536504213511210.

Meriam-Webster Dictionary, https://www.merriam webster.com/dictionary/meme diakses pada 15 November 2017.

Molyneux, Maxine dan Thomas Osborne. 2017. “Populism: A Deflationary View.” Economy and Society, Vol. 46, No. 1, hal. 1-19.

Rydgren, Jens. 2007. “The Sociology of the Radical Right.” Annual Review of Sociology, Vol. 33, hal. 241-262. DOI: 10.1146/annurev.soc.33.040406.131752.

Searle, John R. 2002. “Speech Acts, Minds, and Social Reality.” Hal. 3-16 dalam Speech Acts, Mind, and Social Reality diedit oleh Gunther Grewendorf dan Georg Meggle. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Searle, John R.1979. Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press.

Shifman, Limor. 2014. Memes in Digital Culture. Cambridge, MA: The MIT Press.

Tempo.co. 2017. “Polisi Tindaklanjuti Laporan Soal Meme Setya Novanto”, edisi Sabtu, 4 November, 12:27 WIB.

214

Tempo.co. 2017. “Kasus Meme Setya Novanto, Bareskrim Selidiki 32 Akun Medsos”, edisi Sabtu, 4 November, 18:52 WIB.

Tempo.co. 2017. “Kuasa Hukum akan Laporkan Lagi Meme Kecelakaan Setya Novanto”, edisi Sabtu, 18 November, 18:33 WIB.

Tempo.co. 2017. “Setya Novanto Jadi Bahan Meme, Ini Tanggapan Golkar”, edisi Senin, 2 Oktober, 17:12 WIB.

Thio, Alex. 1989. Sociology: An Introduction 2nd Edition. New York: Harper & Row Publishers.

Thung, Ju Lan. 2012. “Contesting the Post-Colonial Legal Construction of Chinese Indnesians as ‘Foreigns Subjects’.” Asian Ethnicity, Vol. 13, No. 4, hal. 373-387. DOI: 10.1080/14631369.2012.710075.

Trask, R.L. 1999. Key Concepts in Language and Linguistics. London dan New York: Routledge. Tribunnews.com. 2017. “Gara-Gara Pidato Anies Baswedan, Kata “Pribumi” Langsung Jadi “Trending Topic”, edisi Selasa, 17 Oktober, 09:03 WIB.

Turner, Sarah. 2003. “Setting the Scene Speaking Out: Chinese Indonesians After Suharto.” Asian Ethnicity, Vol. 4, No. 3, hal. 337-352. DOI: 10.1080/1343900032000117187.

Weedon, Chris. 2004. Identity and Culture. Berkshire: Open University Press.

Yule, George. The Study of Language 3rd Edition. Cambridge: Cambridge University Press.

215

DISABILITAS: SEBUAH REFLEKSI MAHASISWA NON-DIFABEL

Oleh: Uswatun Nisa - Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Email: [email protected], 082156881063

Abstrak

Disabilitas dalam studi nya di Indonesia masih cenderung berpangkal pada kerangka medical model, di mana para penyandang disabilitas atau dengan istilah yang lebih halus disebut sebagai ‘difabel’ (differently abled people: seseorang dengan kemampuan berbeda) kerap kali diidentikkan dengan kepemilikan kondisi tubuh yang sakit, catat, abnormal, anomali, sampai pada ketidakberfungsian organ tubuh. Sehingga keadaan demikian memerlukan intervensi, penanganan, kontrol dan penyembuhan di bawah kuasa para ahli secara medis. Konsekuensi dari perspektif ini menyebabkan munculnya stigma tentang ketidakberdayaan dan kelemahan baik secara fisik, mental maupun intelektual terhadap penyandang disabilitas. Tulisan ini merupakan sebuah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis, bertujuan untuk menggali berbagai refleksi mahasiswa non-difabel dalam melihat isu ‘disabilitas’ sebagai kenyataan yang tidak pernah lepas dari lingkungan tempat tinggal dan keseharian mereka bersosialisasi. Proses pengumpulan data melibatkan lima orang mahasiswa non-difabel, dipilih secara sengaja sesuai dengan kriteria subyek yang telah ditentukan. Obyek yang akan dibahas berupa refleksi sadar para mahasiswa non-difabel dalam menanggapi dilema disabilitas yang ada di sekeliling mereka. Melalui teori social model yang dipelopori oleh Vic Finkelstein dan dilanjutkan oleh Michael Oliver, diharapkan mampu mereduksi pandangan medis dan citra inferior tentang kondisi penyandang disabilitas agar hak-hak mendasar dalam kehidupan dapat terpenuhi dan jauh dari diskriminasi sosial melalui sinergitas lingkungan yang multikultural-inklusif.

Kata kunci: Disabilitas, medical model, sosial model, inklusif.

PENDAHULUAN Fenomena disabilitas merupakan sesuatu yang sangat kompleks, multi-dimensional sekaligus dilematis ketika dihadapkan pada realita di masyarakat. Disabilitas merupakan sebuah konstruksi sosial yang melekat pada sebagian mereka yang mengalami keadaan di bawah standar ‘normal’ menurut kacamata ideologi normalitas. Orang-orang yang mengalami kebutaan fisik, kehilangan pendengaran dan bisu, cacat fisik sehingga menggunakan alat bantu sampai pada keterbelakangan mental, emosional, intelektual disebut sebagai penyandang disabilitas.

Penyebutan istilah ini kerap bergeser dari satu waktu ke waktu yang lainnya. Mulai dari istilah penyandang cacat, penyandang ketunaan sampai pada penyandang disabilitas. Istilah terakhir ini pun saling berjalan beriringan dengan istilah ‘difabel’ (differently abled people: seseorang yang memiliki kemampuan dengan cara berbeda). Perubahan istilah dan konsep

216

dalam memahami disabilitas merupakan sebuah revolusi yang patut diacungi jempol. Pergeseran makna dalam melihat disabilitas di masyarakat tidak secara instan terjadi begitu saja.

Terdapat tahapan proses yang dilalui dalam kurun waktu yang tidak sebentar, bersamaan dengan kegiatan seminar, lokakarya, workshop, edukasi, advokasi, informasi, sosialisasi yang pada akhirnya membuahkan hasil terhadap keterbukaan perspektif di lingkungan masyarakat khususnya di kalangan akademisi. Implikasi perubahan tersebut berdampak pada kemajuan dalam pembuatan kebijakan politik pemerintah yang lebih pro dan memperhatikan kondisi kaum minoritas (salah satunya para penyandang disabilitas). Hal ini dibuktikan dengan disahkannya Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, terhitung sejak 15 April 2016 oleh presiden ke-7 kita Joko Widodo di Jakarta silam. Undang-Undang tentang penyandang disabilitas tersebut menaungi secara hukum terkait kesamaan hak penyandang disabilitas sebagai warga negara Indonesia yang harus dijamin, dipenuhi dan dilindungi dari segala bentuk diskriminatif yang masih ditemui di masyarakat, seperti pelecehan, pengucilan, pembedaan hingga pembatasan.

Tulisan ini ingin membahas tentang refleksi disabilitas dalam kacamata mahasiswa non- difabel. Ketertarikan penulis untuk mengungkap refleksi sadar para mahasiswa non-difabel sebagai bagian dari masyarakat kampus (Perguruan Tinggi) dalam mempersepsikan penyandang disabilitas cukup menjadi fokus perhatian yang penting untuk digambarkan. Bagaimana seorang akademisi kampus yang tidak bersinggungan secara langsung dengan isu disabilitas melihat dan merespon realitas tersebut. Alasan mengapa masyarakat kampus menjadi penting, sebab mahasiswa merupakan agen yang dapat mempengaruhi perubahan sosial dan bertanggung jawab untuk turut berkontribusi di masyarakat mereka. Budaya akademik yang senantiasa bersifat kritis, terbuka, objektif dan humanis akan mendorong lahirnya masyarakat yang inklusif. Penulis melalui penelitian fenomenologis mencoba untuk melihat keadaan mahasiswa non-difabel dalam menggambarkan pengalaman mereka di lapangan ketika berinteraksi dengan penyandang disabilitas di berbagai tempat.

A. Mengulas Kembali Potret Disabilitas 1. Mengenal Singkat “Apa itu Disabilitas?”

Ketika kita menelusuri pengertian disability melalui daring (online) google, maka akan ditemukan penjelasan yang secara leksikal menyebutkan a physical or mental condition that limits a person's movements, senses, or activities, artinya sebuah kondisi fisik atau mental

217 yang membatasi ruang gerak, mobilitas, aktivitas dan penginderaan diri seseorang. Pengertian tersebut sesuai dengan terminologi dis-able yang berarti ketidakmampuan, kecacatan, abnormal dan anomali. Namun pemaknaan tersebut tidak sejalan bagi para sosiolog yang mengusung model sosial sebagai perlawanan atas model medis yang terobsesi dengan normalitas (Maftuhin, 2017: 147).

Disabilitas dalam kacamata mereka dipandang sebagai sebuah social construction (konstruksi sosial) yang terjadi melalui proses di lingkungan masyarakat. Sebagaimana Oliver menyebutkan bahwa ada perbedaan yang jelas antara impairment (kerusakan) dan disability (disabilitas) itu sendiri. Ia menyebutkan jika kerusakan merupakan sebuah kekurangan yang nyata dari sebagian atau keseluruhan anggota badan, kepemilikan organ serta mekanisme (cara kerja) tubuh yang tidak sempurna. Sedangkan disabilitas merupakan sebuah kerugian atau pembatasan aktivitas yang disebabkan oleh pengaturan (organisasi) masyarakat pada saat itu, sehingga partisipasi orang dengan kecacatan18 secara otomatis terpinggirkan dari lingkungan sosialnya (Kristiansen, 2008: 38).

Apabila mengacu pada World Health Organization (WHO), konsep disabilitas terbagi ke dalam tiga kategori yaitu impairment, disability dan handicap. Impairment (kerusakan) dimaksudkan senada dengan hilangnya normalitas secara fisik, psikologis maupun tingkah laku. Disability (disabilitas) merupakan akibat dari sebab munculnya kerusakan tersebut. Sedangkan handicap (kecacatan) merupakan sebuah kondisi yang menghambat fungsi tubuh dalam keseharian (Chaim, 2007: 1). Pemahaman terhadap disabilitas sangat dipengaruhi oleh dua model yang akan dijelaskan pada ulasan selanjutnya. Dua jenis model yang menjadi acuan global berdasarkan perspektif internasional.

2. Ragam Model dalam Memahami Disabilitas

Pergulatan antara dua jenis model; medis dan sosial dalam memahami disabilitas menjadi dilemma of difference yang tak ada akhirnya. Keduanya saling berpengaruh, tarik ulur dan menentukan berbagai kebijakan di setiap negara. Menurut Shakespeare, dua perspektif di atas kerap kali menjadi gambaran diskursus disabilitas yang ada di Eropa, tanpa menafikan kompleksitas dan keragaman faktor yang melatarbelakangi fenomena tersebut (Shakespeare, 2015: 3). Di Indonesia saja misalnya, model tradisional yang akrab disebut sebagai model

1Istilah impairment yang berarti kecacatan dalam tulisan ini telah dikonsep ulang dengan dua istilah alternatif yaitu difabel dan penyandang disabilitas. (Lihat Arif Maftuhin dalam Mengikat Makna Diskriminasi: Penyandang Cacat, Difabel dan Penyandang Disabilitas, Inklusi: Journal of Disability Studies, Vol. 3, No. 2, 2016) 218 moral masih mendominasi kalangan masyarakat awam dalam mempersepsikan disabilitas (Ro’fah, 2015: 138).

Secara singkat, model medis mendefinisikan akar permasalahan disabilitas terletak pada keterbatasan fungsi fisik, mental maupun intelektual individunya. Model ini mereduksi pribadi penyandang disabilitas secara biologis, sehingga analogi sederhananya para penyandang disabilitas mempunyai ‘penyakit’ apa, dan obat atau treatment nya apa. Model medis selalu menghubungkan kondisi penyandang disabilitas dengan personal tragedy, dimana disabilitas dipahami sebagai keadaan yang paling konkrit, objektif, buruk dan merugikan (Sinulingga, 2015: 39).

Ketika model medis hanya menimbulkan tindak diskriminatif terhadap penyandang disabilitas (MacKinlay, 2008: 41) sementara itu lahirlah kritik dari model sosial yang menyebutkan bahwa disabilitas merupakan sebuah akibat dari konstruksi sosial masyarakat yang melumpuhkan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi penuh di lingkungannya (disabling society) (Rohman, 2017: 35). Melalui model sosial inilah lingkungan yang inklusif terbentuk.

Sehingga pada akhirnya rehabilitasi bukan berbasis pada individu penyandang disabilitas, namun berbasis pada masyarakatnya. Misalnya, ketika hambatan seorang bisu-tuli adalah berbicara dan tidak mampu dengar, maka interaksi lingkungan yang harus dirubah adalah dengan menggunakan bahasa isyarat. Demikian peran lingkungan dan masyarakat merupakan prioritas utama dalam mendukung aksesibilitas penyandang disabilitas terkait berbagai hak warga negara, sipil, sosial, politik yang harus dipenuhi (Oliver, 1996: 46).

3. Layaknya Kuhn tentang Shifting Paradigm

Berbicara isu disabilitas tidak akan lepas dengan konsep normalitas dan medikalisasi yang dilakukannya. Ketika medikalisasi senantiasa merujuk pada proses-proses dimana ilmu kedokteran dianggap sebagai institusi pengambil alih serangkaian aktivitas yang terjadi di masyarakat, sebagaimana Talcott Parsons juga menyatakan bahwa setiap ‘penyakit’ membentuk sebuah penyimpangan sosial di masyarakat dan hanya kekuatan ilmu kedokteran lah yang berhak untuk melegitimasi dan mengontrol penyakit mereka. Maka di sini perubahan paradigma yang digagas oleh Thomas S. Kuhn menjadi sangat penting.

Menurut Zola, ia sangat mengkritisi medikalisasi yang dianggap sebagai institusi utama terhadap kontrol sosial. Zola lebih lanjut mengidentifikasikan empat komponen dari

219

medikalisasi yaitu pertama, ilmu kedokteran selalu membantah perubahan multi-kausal sebuah ‘penyakit’ yang dikarenakan berbagai aspek dari dinamika kehidupan. Kedua, kontrol mutlak ilmu kedokteran akan prosedur penanganan tertentu. Ketiga, diagnosa yang melebihi batas kewajaran. Keempat, ilmu kedokteran masih dianggap sebagai praktik baik dalam kehidupan (Scott, 2011: 156). Konsep medikalisasi ini kemudian mengawali model medis dalam studi disabilitas.

Belum cukup puas dengan pemikiran positivistik tentang proses evolusi, akumulasi dan eliminasi dalam perkembangan ilmu, Kuhn memperluas sudut pandang keilmuannya dari perspektif sejarah. Sebab dari sejarah akan menghasilkan revolusi saintifik yang merubah paradigma lama menuju paradigma baru yang tentu lebih mempertimbangkan konteks- konteks sosial. Kuhn melihat selalu ada pengaruh sosial-politik dalam kerja sebuah pengetahuan. Pada akhirnya argumen Kuhn merepresentasikan pembinasaan besar-besaran terhadap landasan teoritis modern yang selama ini dianggap telah mapan (Zaprulkhan, 2016: 157).

Berkat Kuhn, setidaknya Vic Finklestein telah terpengaruh dan memperkenalkan untuk pertama kalinya model sosial dalam melihat fenomena disabilitas (Oliver, 1996: 40). Tentu tidak hanya gesekan intelektual Kuhn semata, model sosial juga dihubungkan dengan konsep inklusif yang merupakan gagasan sosialis Karl Marx dalam menanggapi masyarakat kapitalis di era post-modern. Pada intinya, sumbangsih Kuhn yang sangat kritis dalam filsafat ilmu sedikit banyaknya telah menggeser ‘keyakinan’ atas normalitas dan model medis yang cederung bersikap opresif terhadap penyandang disabilitas untuk mengalihkan paradigma disabled people menjadi disabled society (dalam arti dalam arti ketika impairment penyandang disabilitas itu tidak dapat diakomodasi oleh lingkungan masyarakatnya, maka yang sebenarnya mengalami disabilitas adalah masyarakatnya (society disabled)).

Pun demikian, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari akan muncul model baru yang dapat melihat disabilitas secara holistik dan komprehensif dengan resiko falsifikasi yang paling sedikit.

B. Disabilitas dalam Refleksi Mahasiswa non-Difabel 1. Masih sebagai Objek Karitas

Ketika penulis melakukan wawancara kepada beberapa orang mahasiswa non-difabel tentang persepsi mereka terhadap penyandang disabilitas, maka hampir 95% kecenderungan

220 jawabannya adalah memandang sebagai objek karitas. Penyandang disabilitas diasumsikan sebagai ‘makhluk’ yang kasihan dan wajar dikasihani. Latar belakang asumsi tersebut pun bervariasi. Sebagaimana kutipan hasil wawancara berikut bersama para responden yang telah dipilih penulis secara sengaja (purposive sampling).

No. Kutipan Wawancara Koding Tematik R1 “Selama saya hidup, saya hanya pernah Penyandang menjumpai penyandang disabilitas netra disabilitas baik yang tidak sengaja bersamaan dalam mini yang mengalami bus angkutan kota. Dari lubuk hati yang hambatan fisik, paling dalam dan jawaban terjujur saya mental maupun adalah kasihan sekali melihatnya. Saya intelektual kasihan atas kondisi cacatnya, dipandang ketidaksempunaannya, dan kekurangan sebagai subjek fisiknya, melihat mereka saya lalu sangat sekaligus objek bersyukur atas kesempurnaan yang saya yang memang miliki” selayaknya R2 “Sejauh ini, saya pernah menemui dikasihani (objek penyandang disabilitas daksa, muka 1000 karitas/citra wajah (down-syndrome) dan akal lemah inferior). (keterbelakangan mental). Saya merasa kasihan dan hal itu manusiawi kan, kasihan karena mereka tidak normal dan tidak wajar” R3 “Dulu ketika saya bertemu penyandang disabilitas yang mukanya mirip-mirip, yang sangat hiperaktif kesana kemari, saya kasihan kenapa mereka bisa seperti itu, mereka sering di bully, dianggap nakal dan tidak normal. Saya penasaran dengan rasa ingin tahu saya, apakah hal tersebut karena keturunan orang tuanya atau penyebab lainnya. Saya kasihan ia tidak dihiraukan dan tidak dianggap oleh lingkungan sosialnya” R4 “Saya pernah bertemu dengan penyandang disabilitas netra dan yang mukanya mirip-mirip, saya merasa kasihan dan sedih ketika mendapati mereka dibedakan dengan anak-anak lainnya, bukan orang namanya kalau gak ada rasa kasihan dengan mereka” R5 “Saya tidak pernah bertemu penyandang disabilitas fisik, namun saya kerap kali berinteraksi dengan penyandang disabilitas jenis C yang lemot-lemot itu (tunagrahita). Mereka seperti anak

221

berkebutuhan khusus, orang yang kurang, yang sejak lahir memang sudah tidak normal, orang yang tidak sempurna meskipun saya juga tidak sempurna, namun mereka sama kayak kita, orang biasa dan manusia pada umumnya, perasaan kasihan itu pasti ada”

Alasan dibalik rasa kasihan itu pun disebabkan oleh ‘perbedaan’ kemampuan yang dimiliki penyandang disabilitas dengan lainnya. Perspektif mahasiswa non-difabel yang masih menilai penyandang disabilitas sebagai manusia kurang normal, kurang sempurna, kurang wajar merujuk kembali pada ideologi normalitas yang masih dianut dalam realitas keseharian mereka. Normalitas masih dipahami sebagai satu-satunya standar hidup rata-rata manusia pada umumnya. Tubuh yang normal adalah tubuh yang tidak mengalami penyimpangan atau perbedaan apapun. Jelas apabila seseorang mengalami tumbuh-kembang di bawah atau di atas rata-rata, maka dapat dipastikan ia telah melampaui standar kelaziman normalitas tersebut.

Pada hakikatnya, konsep normalitas atau rata-rata (average) itu digunakan dalam budaya Eropa sejak abad ke-19 sebagai cabang dari ilmu pengetahuan statistik seperti mengukur law of error. Para astronom di era tersebut menggunakan angka-angka untuk menghitung letak dan posisi arah mata angin melalui kode bintang di alam. Lalu mengapa kemudian konsep tersebut diadopsi untuk menilai moral maupun kualitas atau sifat manusia yang sebenarnya tidak dapat dikuantitaskan?

Ketika kita melihat tentang bodies (tubuh) dalam kacamata masyarakat yang teroperasikan dengan normalitas, maka kemudian penyandang disabilitas hanya akan dianggap sebagai individu yang menyimpang dari garis normal. Berbeda ketika kita melihat hal tersebut dalam kacamata masyarakat yang menganut konsep ideal maka jelas setiap orang akan memiliki status yang tidak sempurna. Konsep ideal lebih dulu muncul di Yunani sejak abad ke-17. Kala itu, para pencari ‘sosok ideal perempuan (Venuse)’ secara total tidak pernah menemukan ‘bentuk’ yang paling sempurna. (Davis: 2013: 2).

Dapat ditarik kesimpulan bahwa ideologi normalitas memang secara empirik dapat diamati, namun kurang sesuai ketika digunakan untuk menilai kondisi manusia yang sangat kompleks dan sarat akan keunikan masing-masing. Bahwa impairment tertentu yang ada dalam tubuh penyandang disabilitas merupakan fakta yang telah selesai dan tidak serta merta

222

mempengaruhi ruang gerak tubuh, emosi dan intelektual mereka secara holistik. Hegemoni normalitas yang melahirkan model medis ini perlu dilawan dengan konsep ideal di atas, dimana abstraksi untuk melengkapi kesempurnaan harus dibantu oleh lingkungan masyarakat. Sehingga segala keterbatasan dari ketidaksempurnaan dapat dimanifestasikan melalui alternatif model sosial.

Menganggap penyandang disabilitas sebagai objek karitas juga memiliki arti menempatkan posisi mereka sebagai seorang yang pasif. Prejudise ini perlu disingkirkan sebab apa yang mereka butuhkan adalah jaminan atas hak asasi manusia sebagai warga negara secara penuh. Ketika semua diidentikkan dengan sosok yang hanya dikasihani, sama saja masyarakat kita tidak mendorong mereka ke arah kemajuan dan pemberdayaan sosial (empowerment). Objek karitas serupa dengan objek yang hanya menerima dispensi atau keringanan dalam berbagai hal. Berbeda dengan pandangan yang melihat mereka sebagai manusia seutuhnya. Maka asumsi karitas tersebut akan bergeser pada manusia yang harus dijunjung tinggi hak hidupnya beserta segala atribut lainnya (Hadi, 2016: 5). Demikian tidak dapat dipungkiri pula, ketika asumsi normalitas tersebut masih melekat, maka istilah atau sebutan yang digunakan pun cenderung inferior atau berkonotasi negatif seperti orang cacat, kayak orang gila dan orang tidak normal.

2. Diskriminasi Simbolik yang Sulit Dihindari

Diskriminasi secara simplistik sering dipahami sebagai dominasi kelompok yang memiliki power, baik dalam hal politik, sosial, ekonomi maupun kultural terhadap kelompok yang ‘lemah’ atau subordinated group dan terjadi melalui berbagai cara. Diskriminasi merupakan fenomena yang sering ditemui dalam konteks interaksi antar manusia di kehidupan sosial masyarakat.

Di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1998 tentang HAM, dijelaskan pengertian diskriminasi yang berarti setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan pada perbedaan manusia dan berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan dst. Para penyandang disabilitas tidak jarang mendapatkan diskriminasi dari lingkungan tempat tinggalnya.

Tindak opresif tersebut tergambarkan dalam bentuk simbol-simbol yang berupa tanggapan terhadap rangsangan yang bersifat fisik seperti gesture, eye contact, body language, dan pysical distance, atau dapat juga melalui bahasa yang digunakan dalam

223 komunikasi seperti ungkapan yang mendiskreditkan. Kesemua bentuk diskriminasi di atas tervisualisasikan dan dapat diperdengarkan (Ritzer, 2016:54). Sikap dan perlakuan masyarakat khususnya sebagian responden yang penulis wawancarai masih mengandung unsur diskriminatif. Sebagaimana kutipan wawancara berikut.

No. Kutipan Wawancara Koding Tematik R1 “Saya tidak bisa menafikan bahwa Bentuk sebenarnya saya sedikit merasa jijik dan diskriminasi risih, sebab penampilan tunanetra tersebut simbolik secara agak kumuh, dan hal tersebut membuat tidak langsung saya menahan diri untuk berinteraksi lebih (merasa jijik, intens, sehingga saya mengurung diri risih, aneh, takut, untuk tetap diam, seharusnya itu tidak bingung). Kesan saya lakukan lagi pula saya hanya yang tertangkap bergumam dalam hati saja, saya berupa gesture memaklumi hal tersebut karena mungkin tubuh yang tidak dia tidak bisa melihat tubuhnya sendiri” ramah R2 “Saya tidak dapat munafik bahwa saya (pandangan yang sedikit takut dan heran ketika melihat merendahkan dan kondisi mereka, mukanya sama semua, sejenisnya). bingung harus diapakan, sulit untuk memulai interaksi, terasa serba salah, belum ada ilmu khusus” R3 “Saya tidak bisa mengelak kalau di awal- awal saya mengenal dan bertemu mereka yang kelainan mental saya agak takut dan merasa aneh sekali, awalnya hanya terpikirkan untuk menghindar karena ia selalu mendekat, namun ketika sudah tahu ia tidak mengganggu dan sepertinya ingin berteman, maka persepsi itu tidak lagi seseram yang saya bayangkan sebelumnya, mereka juga butuh perhatian yang sama seperti kita” R4 “Orang-orang seperti mereka mungkin ya orang yang kurang beruntung saja sih, tapi biasanya dibalik kekurangannya itu ada sesuatu yang lebih atau keistimewaan tersendiri” R5 “Sebenarnya saya tidak masalah dengan penyandang disabilitas fisik yang memiliki kekurangan seperti tunanetra dan sejenisnya, namun ketika ada dari mereka yang penampilannya suka ‘ngiler/ileran’, pipis sembarangan, saya langsung merasa jijik dan ingin menghindar saja. Terus anak yang sangat hiperaktif atau autis kalau mereka sudah mengamuk di tengah

224

keramaian maka akan langsung dijauhi orang”

Meski bentuk diskriminasi tersebut terbilang invisible, hal ini juga disebabkan oleh power yang mereka miliki dan superioritas yang lebih unggul daripada penyandang disabilitas dalam beberapa aspek. Sekalipun mereka pada pemaparan selanjutnya bersedia untuk menerima dan menjadi masyarakat yang inklusif, namun kebersediaan dan penerimaan tersebut masih dirasakan setengah-setengah. Kalaupun ada pernyataan yang mengisyaratkan penerimaan, maka hanya sampai pada penerimaan saja tanpa mengetahui dukungan moril dan bantuan sosial apa yang seyogyanya diberikan.

3. Masyarakat Inklusif yang Diimpikan

Berbicara masyarakat yang inklusif merupakan mimpi yang terus diwariskan sejak Karl Marx menginginkan kesetaraan dan keadilan sosial bagi kaum buruh yang tergerus oleh industrialisasi kaum bourjuis dan globalisasi zaman. Begitu pula dengan Freire dalam memperjuangkan pengakuan dan melawan tindak opresif untuk memanusiakan manusia (humanizing human beings). Sejarah menuju inklusif dalam diskursus disabilitas diawali dengan segregasi lingkungan penyandang disabilitas yang bertempat tinggal di sebuah institusi khusus sebagai pusat rehabilitasi berbasis penyembuhan dan kontrol sosial.

Para penyandang disabilitas, orang dengan penyakit lepra, orang dengan gangguan mental berada dalam satu lingkungan yang sangat terbatas menuju akses sosial di masyarakat. Mereka ter-excluded dan terpinggirkan dari hak-hak partisipatif kemasyarakatan. Belum lagi stigma yang terus dilabelkan oleh konstruksi sosialnya sendiri. Sampai kemudian segregasi ini mengilhami lembaga pendidikan dengan didirikannya sekolah khusus atau sekolah luar biasa yang terpisah dengan masyarakat ‘normal’ lainnya. Dalam sejarahnya, muncul lah berbagai gerakan pembebasan untuk menuntut kesamaan kesempatan, kesetaraan, pengakuan dan penghargaan yang melahirkan masyarakat multikultural (mengakui keragaman/perbedaan ras, suku, gender, agama).

Revolusi yang terjadi di Eropa dan Amerika membuahkan hasil yang tidak sia-sia. Reduksi atas diskriminasi dapat dikendalikan dan masyarakat dengan sadar menghargai perbedaan. Bagaimana di Indonesia? Pada dasarnya filosofi inklusif itu telah ada sejak semboyan Bhinneka Tunggal Ika dicetuskan. Namun dalam prakteknya, penghayatan akan nilai-nilai Inklusi di Indonesia masih belum terealisasikan dengan ideal, belum sepenuhnya

225 menyentuh aspek-aspek sosial kemasyarakat seperti isu tentang pendidikan penyandang disabilitas. Sebagaimana kumparan wawancara berikut.

No. Kutipan Wawancara Koding Tematik R1 “Saya bersedia untuk membantu mereka Dilema ketika butuh pertolongan seperti inklusifitas versus menyeberang jalan atau menaiki tangga, eksklusifitas saya kira hidup bersama mereka tidak terlalu masalah, saya siap membantu selama saya bisa untuk membantu” (catatan: responden memberikan jawaban dengan gesture tubuh yang sedikit menghindar dan memalingkan muka). R2 “Kalau penyandang disabilitasnya parah, lebih baik ditempatkan di panti, daripada dibaurkan di lingkungan masyarakat yang hanya menyebabkan ia mendapat bullying orang sekitarnya, kasihan orang tuanya, jadi antisipasi saja sih, karena tergantung dan kembali ke orangnya lagi, tapi kalau penyandang disabilitas fisik biasanya bisa saja diajak kerjasama bahkan bisa jadi mereka lebih pintar” R3 “Saya tertarik ingin bergabung dengan komunitas yang menangani mereka, tapi saya tidak tahu dari mana, menjadi relawan kelompok mereka merupakan panggilan nurani, ketika saya telah mempelajarinya, saya menjadi lebih siap menghadapinya, lebih bisa melihatnya secara positif, mungkin masyarakat perlu waktu agar dapat menerima, disamping itu harus ada penyuluhan di masyarakat agar mereka semua paham” R4 “Melihat kondisi sekarang ini, sebagian sekolah atau masyarakat ada yang menerima dan beberapa lainnya tidak menerima. Namun ketika banyaknya pelatihan tentang bagaimana mendidik anak penyandang disabilitas menunjukkan adanya kepedulian untuk berpartisipasi secara khusus dalam menangani mereka, termasuk pemerintah” R5 “Untuk menciptakan lingkungan yang berbaur antara penyandang disabilitas dan orang-orang biasa tidak masalah. Asalkan jangan ada bullying antar sesama masyarakat, karena walaupun mereka lemot (tunagrahita), mereka juga punya

226

perasaan, bisa menangis apabila diejek, mereka bisa berpikir dari apa yang dikatakan orang lain. Orang-orang demikian lebih baik dimasukkan ke sekolah agar ia memiliki keterampilan meski hanya mampu berjualan, menjahit, salon dan pekerjaan yang lebih banyak tertumpu pada praktek. Saya kasihan kalau hanya melihat mereka berdiam diri di rumah tanpa melakukan sesuatu apapun, lebih baik bersekolah sih”

Menerima keragaman saja belum lah cukup untuk mencapai inklusi yang diimpikan. Kehadiran bersama, partisipasi penuh, pencapaian, kooperatif, adaptasi (peyesuaian), fleksibel dan dukungan merupakan multi-faktor yang melatarbelakangi keberhasilan inklusi di masyarakat menurut Dr. Hidayat dalam Seminar Semarak Pendidikan Inklusif pada 10 November lalu di UPI Bandung.

Oleh sebab itu, masyarakat inklusif adalah masyarakat yang sungguh-sungguh terbuka dan mau membuka diri, pikiran dan hati untuk menerima segala perbedaan fisik, ras, suku, agama, gender disertai dengan keberpihakan. Menjunjung tinggi hak asasi manusia satu dengan lainnya, memberi kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh anggota masyarakat agar dapat turut andil dalam keseharian (Elshabrawy, 2008: 27). Terbentuknya masyarakat yang inklusif juga tidak lepas dari peran para agen dalam mengubah dan menyesuaikan kebijakan yang relevan dengan memperhatikan kondisi kelompok minoritas. Lembaga pendidikan juga berperan penting dalam membiasakan anak untuk melihat keragaman (Rogers, 2007: 30).

4. Mereka, Manusia-Manusia Istimewa

Ada sisi positif yang digambarkan mahasiswa non-difabel dalam menilai penyandang disabilitas menurut benak mereka. Penilaian yang menyebutkan bahwa penyandang disabilitas itu merupakan manusia-manusia istimewa. Keistimewaan mereka justru dikarenakan ‘kekurangan’ yang dimiliki. Pandangan yang mencerminkan adanya spiritual belief dalam diri mahasiswa non-difabel menunjukkan penghargaan tersirat atas keberbedaan mereka. Meskipun secara interaksi ada kesan diskriminasi ‘ringan’ dalam arti tidak sampai berlaku menyakiti secara fisik, namun hal ini beriringan dengan rasa yang sejatinya menunjukkan sikap kerendahan hati di balik power yang dimiliki. Berikut hasil wawancara yang didapat penulis.

227

No. Kutipan Wawancara Koding Tematik R1 “Saya kadang malah menganggap mereka Penyandang sebagai seorang yang tidak banyak dosa, disabilitas karena dengan mata mereka yang tidak dipandang bisa melihat, otomatis mereka tidak sebagai manusia- banyak melihat sesuatu yang bisa manusia pilihan menimbulkan dosa dan maksiat, kemudian dan istimewa ada yang telinga mereka tuli, otomatis secara spiritual. mereka tidak banyak mendengar omongan yang membicarakan atau mengghibah orang lain, sehingga mereka tidak banyak dosa layaknya orang yang bisa melihat dan mendengar, mungkin itu keistimewaannya” R2 “Orang-orang seperti mereka tidak banyak dosa, karena mereka banyak menyimpan dan memendam sesuatu dalam hati, mengasuh orang kayak mereka, apabila orang tuanya sabar maka akan menjadi rizki yang terus mengalir (banyak rizki) kata orang sejak dulu, mungkin saja kehadiran mereka dapat menyadarkan orang tuanya yang bermaksiat, sehingga mereka jadi kayak hidayah bagi orang tuanya, sempurna tak sempurna adalah sebuah ujian” R3 “Saya melihat mereka sebagai seorang yang memiliki kepekaan hati yang tinggi, biasanya orang seperti itu lebih perasa dan peka” R4 “Orang-orang yang berkebutuhan khusus itu pasti memiliki kelebihan yang tidak kita miliki, mereka titipan Allah yang sangat mengajarkan kita arti kesabaran” R5 “Mereka membuat saya selalu mensyukuri keadaan dan mengajarkan saya untuk menjaga ucapan yang tidak merendahkan”

Berbagai keyakinan tersebut tidak lepas dari pengetahuan keagamaan yang mereka anut dan percayai. Di samping faktor budaya juga mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan yang mereka lihat di keseharian. Kemudian kondisi para penyandang disabilitas juga menjadi cermin bagi mereka yang ‘biasa’ untuk senantiasa bersyukur atas segala kelengkapan yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta.

5. Disabilitas sebagai Pelecut

228

No. Kutipan Wawancara Koding Tematik R1 “Saya melihat bahwa semangat hidup Penyandang mereka jauh lebih tinggi, mereka yang disabilitas berkekurangan saja semangat untuk sebagai belajar mengapa saya tidak, di sini representasi kemudian menjadi penyemangat saya manusia kuat untuk rajin lagi dalam belajar” R2 “Saya menganggap mereka sebagai orang yang tidak sempurna secara fisik tapi punya kemampuan lebih, mereka mampu memanfaatkan potensi fisik lainnya, misalnya tidak mampu melihat tapi masih bisa mendengar, mereka membuat saya malu karena tidak memaksimalkan kesempurnaan yang saya miliki saat ini” R3 “Kebanyakan penyandang disabilitas fisik orangnya baik-baik dan dapat diajak kerjasama, semangat mereka sangat tinggi, lebih kreatif dan memotivasi kita” R4 “Mereka bagaikan cermin yang membuat saya semakin semangat agar tidak malas- malasan dalam belajar” R5 “Orang-orang penyandang disabilitas membuat saya berpikir bahwa mereka hebat, seperti seorang tuna netra yang pernah saya dapati di kampus, meskipun ia tidak bisa melihat namun sangat pandai menggunakan komputer, saya salut dengan mereka yang bisa bersekolah sampai kuliah. Dan anak-anak tunagrahita meskipun intelektualnya lemah, namun sebagin dari mereka sangat berprestasi di bidang olahraga dan seni”

Berdasarkan pemaparan hasil kutipan wawancara di atas, dapat kita pahami bahwa mahasiswa non-difabel mengagumi dan mengapresiasi ‘dibalik’ kelemahan penyandang disabilitas yang pernah mereka temui. Meskipun di awal, mereka menganggap penyandang disabilitas adalah orang yang ‘berkekurangan’, sekali lagi asumsi tersebut tidak serta merta mengabaikan nilai positif yang ada pada setiap diri penyandang disabilitas. Apa yang mahasiswa non-difabel ungkapkan sebagai sebuah realitas, pada akhirnya tidak selalu menyudutkan.

Hal ini tidak lepas dari usaha para penyandang disabilitas tersebut untuk membuktikan bahwa mereka layaknya manusia pada umumnya, mampu untuk melakukan sesuatu yang

229

sama dengan teknologi asistif, akomodasi dan fasilitas lingkungan yang memadai. Mulai dari lingkungan keluarga; di rumah, lingkungan sekolah sampai di masyarakat. Seberapa sering mahasiswa terbiasa dan bersinggungan langsung dalam interaksi bersama para penyandang disabilitas berdampak terhadap peningkatan intensitas kesadaran dan kepekaan (sensitifitas) mereka terhadap kondisi penyandang disabilitas agar dapat terpahami dengan baik.

Para mahasiswa non-difabel memiliki modal keterbukaan dengan segala perubahan dan perbedaan, sehingga menciptakan lingkungan inklusif sejak dini merupakan ‘rekayasa’ yang harus dilakukan oleh segenap masyarakat, tentu dengan dukungan para pemegang kebijakan dan pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar bias normalitas bukan menjadi acuan dan referensi sosial yang rigid lagi.

6. Pentingnya Kontrol Informasi

Informasi merupakan faktor krusial yang harus diperhatikan. Sebab melalui informasi masyarakat dapat mengenal satu sama lain, memahami kondisi yang sebenarnya terjadi dan membuka ruang pengakuan antar sesama. Bagaimana informasi dapat diperoleh, tentu tidak hanya melalui edukasi dan advokasi yang diberikan melalui sekolah, buku-buku pengetahuan yang disediakan pemerintah dan sumber media sosialisasi lainnya.

Kontrol informasi dapat dilakukan melalui keterlibatan dan hubungan sosial masyarakat satu dengan lainnya secara rutin. Misalnya Goffman menyebutkan untuk mengetahui sebuah informasi, seseorang harus menjadi bagian dari identitas dirinya, meski hanya sekedar berjalan berdua menyusuri jalan, merayakan kegiatan bersama dan lain sebagainya, sehingga dinamika itu terjadi dengan sangat fluid (cair) (Gofmann, 1990: 47). Akibatnya pengaruh ‘keterlihatan (visibility)’ identitas individu penyandang disabilitas dalam lingkaran keseharian di masyarakat akan menghubungkan pada situasi yang tidak bias lagi.

PENUTUP

Setiap manusia tentu membutuhkan pengakuan, penghargaan dan penerimaan dari manusia lainnya atas hak hidup yang dimiliki. Hak yang telah dijamin oleh Undang-Undang Negara secara sah dan meng-cover hampir keseluruhan aspek dari kehidupan. Begitu pula dengan penyandang disabilitas pun tidak ada yang berbeda, semua diatur sesuai porsinya dan terus diperbaharui menuju idealitas yang diharapkan. Pergulatan dan dilema dua model dalam

230 memahami disabilitas akan terus berkompetisi, terintegrasi dan terkoneksi satu sama lain dalam memberikan kontribusi berdasarkan kapasitasnya.

Sedangkan dinamika di masyarakat terus berubah dan melakukan perubahan, berupaya mencari penyesuaian yang dirasa paling tepat. Maka tidak dipungkiri, paradigma senatiasa bergeser setelah kurun waktu tertentu. Sebagaimana refleksi mahasiswa non-difabel dalam mempersepsikan penyandang disabilitas juga lebih cenderung terbuka dan positif. Walaupun pelabelan istilah ‘inferior’ masih melekat dalam asumsi mereka. Seiring berjalannya waktu, lingkungan yang inklusif mampu mereduksi nila-nilai normalitas dan mengkritisi hal tersebut dengan memikirkan ulang.

Berbagai fakta dari istilah yang masih berujung pada model medis tersebut dapat terpatahkan oleh ‘pembuktian’ kemampuan penyandang disabilitas yang ditunjukkan dengan cara yang berbeda (beragam). Oleh sebab itu, pengikatan makna diskriminatif harus dibarengi dengan kontrol informasi atas identitas personal penyandang disabilitas. Spirit untuk terus membudayakan dan habituasi lingkungan yang inklusif akan mendorong model sosial dalam menyempurnakan implementasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hassanein, Elsayed Elshabrawy (2008) Studies in Inclusive Education: Inclusion, Disability and Culture, New York: Sense Publishers. Chaim, Vardit Rispler (2007) Disability in Islamic Law. Netherlands: Springer. Davis, Lennard J. (2013) The Disability Studies Reader, New York and London: Routledge. Gofmann, Erving (1990) Stigma: Notes on the Management of Spooiled Identity, England: Penguin Books. Kristiansen, Kristjana et.all. (2008) Arguing About Disability: Philosophical Perspectives. London and New York: Routledge. MacKinlay, Elizabeth (2008) Ageing, Disability and Spirituality, London and Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers. Oliver, Michael (1996) Understanding Disability: From Theory To Practice, New York: Macmillan Education. Ritzer, George (2016) Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali Pers. Rogers, Chrissie (2007) Parenting and Inclusive Education: Discovering Difference, Experiencing Difficulty, New York: Palgrave Macmillan.

231

Scott, John (2011) Sosiologi: The Key Concepts, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Shakespeare, Tom (2015) Disability Research Today, London and New York: Routledge. Zaprulkhan (2016) Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hadi, M. Khoirul (2016) Fikih Disabilitas: Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maslahah, Palastren, Vol. 9, No. 1, Juni.

Maftuhin, Arif (2017) Mengikat Makna Diskriminasi: Penyandang Cacat, Difabel dan Penyandang Disabilitas, Inklusi: Journal of Disability Studies, Vol. 3, No. 2. Muhammad Saifullah Rohman (2017) Thesis: Islam dan Disabilitas, Peran Kyai Dalam Transmisi Nilai-Nilai Tentang Anak Autis (Studi Kasus di Pondok Pesantren Autis Al- Achsaniyyah, Kudus) Ro’fah (2015) Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur, Jurnal Difabel, Vol. 2, No. 2, Yogyakarta: SIGAB. Sinulingga, Isabella Novsima (2015) Keindahan Dalam Disabilitas: Sebuah Konstruksi Teologi Disabilitas Intelektual, Indonesian Journal of Theology, Vol. 3, No. 1, Juli. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Penyandang Disabilitas Tahun 2016.

232

DIFABEL DALAM AKSESIBILITAS LAPANGAN KERJA (Studi Kasus Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Banjarmasin)

Arif Rahman, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Konsentrasi Studi Disabilitas dan Pendidikan Inklusi), e-mail: [email protected], No HP: 085249880607

Abstract This study uses field research which attempts to give data and information based on experiences of respondents from Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) or Indonesian Association of Women with Disabilities in Banjarmasin city, South Kalimantan on disability problems toward their accessibility in the working field. Based on the observation I have conducted, many people with disabilities are rejected in employment agencies since they are underestimated, especially women with disabilities. Most of the people with disabilities fail at interview session as the company parties who interview them see the real condition that the prospective employees are those with disabilities (phisical disability and others). They are rejected due to the reason of work safety or eligibility of competence compared to those who are mostly non-disabled people. Particularly, this condition is apprehensive for women with disabilities, especially those in Banjarmasin. In gender context, however, this matter should be addressed seriously since groups of women always voice emancipation and equality. In this article, it is concluded that the people with disabilities have high expectation that all institutions, government, and stake holders related to jobs must be open to inclusiveness for the sake of equality for people with disabilities, so the openness and acceptance no longer create gender injustice and obstacles for women with disabilities to work in job field.

Keywords: problem, disabilities, accessibility, job field, job opportunity

A. PENDAHULUAN Dalam menghadapi tantangan dan kemajuan zaman, cara manusia untuk mempertahankan hidup yakni salah satunya dengan bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan sehari-hari. Begitu pula dengan para difabel (penyandang disabilitas), dibalik kejamnya era modern para difabel seakan dituntut dan turut serta dalam membangun perekonomian negara dengan turut bekerja mencari nafkah, baik itu dengan bentuk usaha apa saja demi memenuhi kebutuhan mereka. Namun implementasi pemberdayaan kepada difabel di Indonesia, masih banyak menjumpai persoalan yang memerlukan adanya pembenahan di berbagai sisi, termasuk aksesibilitas mereka terhadap kesempatan kerja.

Indonesia sudah melewati masa krisis moneter yang pada abad 20 negara ini terus berkembang salah satunya dalam bidang perekonomian. Namun dibalik semua itu apakah para difabel sudah mendapatkan disposisinya sebagai orang yang tidak dianggap

233 pengangguran? Sampai tahun 2017 ini lapangan pekerjaan semakin tumbuh pesat dan membuka lowongan-lowongan bagi yang membutuhkan di setiap periodenya. Mirisnya, betapa banyak kaum difabel yang terpinggirkan dan dipandang sebelah mata dalam dunia pekerjaan. Seolah-olah mereka dianggap dan dinilai tidak mampu berbaur dengan tenaga kerja lainnya yang sebagian besar non difabel, karena dengan berbagai alasan yang orientasinya mengarah kepada kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh penyandang disabilitas tersebut. Sampai dewasa ini, lapangan kerja pun sudah semakin banyak berhamburan namun seakan-akan kesempatan itu semakin terasa sempit oleh mereka, karena beberapa lapangan pekerjaan terlalu menerapkan standar operasional yang tinggi bagi karyawan tenaga kerjanya.

Problematika ini seakan terus berkembang dan tak kunjung selesai apabila baik itu dari para difabelnya atau pihak terkait tidak menanggapi serius akan fenomena ini, serta semua pihak hanya bisa berdiam saja dan larut dalam ketidakseimbangan sosial. Untuk apa berbicara tentang ‘aksesibilitas terhadap lapangan kerja’ karena sebagian besar perusahaan maupun lembaga pekerjaan tidak memiliki pegawai atau karyawan penyandang disabilitas. Di antara hak para penyandang disabilitas di Indonesia, ironisnya hak untuk mendapatkan kesempatan kerja adalah salah satu hak yang paling sering diabaikan oleh pihak-pihak yang berkewajiban. Padahal melalui Undang-Undang Penyandang Cacat No 14 tahun 1997, telah menyebutkan dan menjamin berbagai macam akan hak para penyandang disabilitas.19 Selain itu hak ketenagakerjaan merupakan hak konstitusional semua warga negara termasuk difabel yang sudah dijamin di dalam UUD 1945. Di dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 juga sudah ditegaskan bahwa kewajiban perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada kaum difabel untuk turut serta mempekerjakan mereka di perusahaannya. Pemerintah harus melakukan affirmative action dalam perlindungan dan pemenuhan hak atas pekerjaan difabel. RUU Disabilitas akan menjawab problematika persoalan perlindungan dan pemenuhan hak-hak disabilitas selama ini.20 Namun kenyataannya sampai detik ini masih banyak para difabel yang tersisih tidak merasakan manisnya kesempatan dalam lapangan kerja. Karena pada saat ini, kaum difabel masih menghadapi persoalan yang berkenaan dengan penghidupan dan kesejahteraan mereka. Seperti kasus yang tengah dihadapi penyandang disabilitas wanita di kota Banjarmasin. Oleh

19 Maftuhin Arif, “Aksesibilitas Ibadah bagi Difabel”, Jurnal Difabilitas dan Pendidikan Inklusi, Yogyakarta: PLD-UIN Suka, 2014, h 251. 20 Kurniawan Hari, “Potret Kasus Tenaga Kerja Difabel di Indonesia”, Jurnal Difabel, SIGAB, Volume 2, No 2, 2015. 234 karena itu, sudah sepatutnya harus ada jalan keluar yang serta-merta harus dicari titik terangnya demi kemerataan sosial dalam negeri ini.

B. PENELITIAN TERKAIT (KAJIAN PUSTAKA) Tulisan ini termasuk dalam lingkup kajian inklusi dalam disability studies. Tentang inklusifitas terhadap kesempatan kerja bagi difabel, penelitian terkait masalah ini sudah tidak asing lagi dalam berbagai studi kasus di wilayah-wilayah tertentu, namun penulis merasa tertarik melakukannya di kota Banjarmasin karena belum ada penelitian yang merujuk akan permasalahan ini, berbeda dengan wilayah seperti di pulau Jawa khususnya, ada banyak sekali tela’ah maupun tulisan yang meneliti akan problematika difabel terhadap penerimaan lapangan pekerjaan.

Penelitian semisal dilakukan oleh Denia Martini Machdan dan Nurul Hartini dengan judul “Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Pada Tunadaksa Di UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh Pasuruan”, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan negatif antara penerimaan diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada tunadaksa. Berdasarkan penelitian, secara internal individu tunadaksa memiliki penerimaan diri yang rendah dan kecemasan yang tinggi dikarenakan kecacatan/kekurangan pada dirinya. Secara eksternal, individu tunadaksa mendapatkan diskriminasi dari masyarakat dan memiliki kesempatan kerja yang terbatas.21 Penelitian terkait selanjutnya juga ditulis oleh Milu Winasti tentang “Motivasi Berwirausaha pada Penyandang Disabilitas Fisik” di tahun 2012.22 Tulisan terkait selanjutnya adalah skripsi dari Iffatus Shalehah yang membahas tentang “Kesempatan Kerja Bagi Tuna Netra”, penelitian ini dilakukan di Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Kota Yogyakarta karena menurut pengamatan peneliti masih banyak tunanetra yang masih belum memiliki kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan.23

21 Denia Martini Machdan & Nurul Hartini, “Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Pada Tunadaksa Di UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh Pasuruan”, Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vol. 1 No. 02, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya, Juni 2012. 22 Milu Winasti, “Motivasi Berwirausaha pada Penyandang Disabilitas Fisik”, Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Empathy Vol I No 1, Desember, 2012. 23 Iffatus Shalehah, “Kesempatan Kerja Bagi Tuna Netra (Studi Kasus Terhadap Anggota Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia ITMI Kota Yogyakarta)”, Skripsi Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014. 235

Dan masih banyak lagi penelitian terkait lainnya yakni tentang Potret Kasus Tenaga Kerja Difabel di Indonesia, (Menyusun Kebijakan Ketenagakerjaan yang Non-Diskriminasi bagi Difabel)24, ada pula tentang Potret Upaya Pemberdayaan Ekonomi Difabel Melalui Kewirausahaan dan Pembentukan Koperasi25, Pemenuhan Hak Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas Pada Badan Hukum Nirlaba di Bali26, Makna Kerja Bagi Penyandang Disabilitas Di Yayasan Bina Karya “Tiara Handycraft” Surabaya27, Pelaksanaan Pemberian Kesempatan Kerja Bagi Pekerja Penyandang Disabilitas Di PT. Alfa Retailindo (Carrefour) Maguwoharjo, Sleman28

C. PEMBAHASAN Istilah problema/problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu "problematic". Problem dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti masalah atau persoalan.29 Problematika berasal dari kata ‘problem’ yang artinya persoalan masalah yang belum terpecahkan atau terselesaikan. Sedangkan masalah diartikan sebagai ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang telah terjadi. Adapun masalah itu disini adalah suatu kendala atau persoalan yang harus dipecahkan dengan kata lain masalah merupakan kesenjangan antara kenyataan dengan suatu yang diharapkan dengan baik, agar tercapai hasil yang maksimal.30 Syukir mengemukakan problematika adalah suatu kesenjangan yang mana antara harapan dan kenyataan yang diharapkan dapat menyelesaikan atau dapat diperlukan. Jadi, problema adalah berbagai persoalan-persoalan sulit yang dihadapi dalam proses pemberdayaan manusia, baik yang datang dari individu (faktor eksternal) maupun dari lingkungan luar (faktor eksternal).31 Problematika di sini dapat diorientasikan sebagai hal-hal yang menjadikan penghalang atau kesulitan dalam pencapaian aksebilitas para difabel atau penyandang disabilitas terhadap kesempatan pekerjaan.

24 Kurniawan Hari, “Potret Kasus Tenaga Kerja Difabel di Indonesia”, Jurnal Difabel, SIGAB, Volume 2, No 2, 2015. 25 Arni Surwanti, “Potret Upaya Pemberdayaan Ekonomi Difabel Melalui Kewirausahaan dan Pembentukan Koperasi”, Jurnal Difabel, SIGAB, Volume 2, No 2, 2015. 26 Kadek Januarsa Adi Sudharma, Pemenuhan Hak Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas Pada Badan Hukum Nirlaba di Bali, Tesis Universitas Udayana, Denpasar, 2015. 27 Fatkhur Rokhim & Pambudi Handoyo, Makna Kerja Bagi Penyandang Disabilitas Di Yayasan Bina Karya “Tiara Handycraft” Surabaya, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya, 2015. 28 Nilla Widyaningrum, Pelaksanaan Pemberian Kesempatan Kerja Bagi Pekerja Penyandang Disabilitas Di Pt.Alfa Retailindo (Carrefour) Maguwoharjo, Sleman, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2014. 29 Debdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 2002) 30 Departemen Sosial Republik Indonesia, Pola Pembangunan Kesejahteraan Sosial, (Jakarta :2003) 31 Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islami, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1983), h 23. 236

Dalam kasus difabel (penyandang disabilitas) di tempat saya di Banjarmasin telah muncul problematika ini sudah sejak lama, yakni permasalahan kurang diterimanya mereka atau tidak ada disposisi dalam penerimaan dunia kerja, sehingga menyebabkan mereka selalu terkungkung atau pasrah dalam ketidakmampuan melawan untuk menunjukkan skill diri maupun keterampilan. Karena dalam fenomena yang ada di mata kebanyakan masyarakat Banjar, difabel dianggap kurang mampu atau memiliki kemampuan yang tak sama dibandingkan pekerja yang non difabel.

Difabel atau kata yang memiliki definisi “Different Abled People” ini adalah sebutan bagi orang cacat. Kata ini sengaja dibuat oleh lembaga yang mengurus orang – orang cacat dengan tujuan untuk memperhalus kata-kata atau sebutan bagi seluruh penyandang cacat yang kemudian mulai ditetapkan pada masyarakat luas pada tahun 1999 untuk menggunakan kata ini sebagai pengganti dari kata cacat.32 Adapun definisi dan pengertian tentang difabel, menurut Pakar John C. Maxwell, difabel adalah mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan suatu rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktifitas secara layak atau normal. Kemudian menurut WHO, difabel adalah suatu kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis.33

Istilah Difabel merupakan peng-Indonesiaan dari kependekan istilah different ability people (orang dengan kemampuan berbeda). Dengan istilah Difabel, masyarakat diajak untuk merekontruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan atau ketidak mampuan menjadi pemahaman terhadap Difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktifitas dengan cara dan menyampaian yang berbeda pula.34 Istilah lain ialah differently able yang secara harfiah berarti sesuatu yang berbeda atau yang memiliki kekurangan.35 Ada beberapa penggolongan pada penyandang disabilitas, yang merupakan jenis atau klasifikasi dari difabel, seperti: Difabel Daksa, Difabel Netra, Difabel Rungu/Wicara, Difabel

32 Mansour Fakih, Panggil Saja Kami kaum Difabel, Pustaka Pelajar: 2002, h.5 33 Biswan Marwati, 2013, “Aktifitas Spiritual dan Semangat Hidup Penyandang Disabilitas Paraplegia”, jurnal. 34 Biswan Marwati, 2013, “Aktifitas Spiritual dan Semangat Hidup Penyandang Disabilitas Paraplegia”, jurnal. 35 International Labour Organitation, 2013,“Pengelolaan Penyandang Disabilitas di Tempat Kerja”, artikel. 237

Mental Eks-psilotik, Difabel Mental Retardasi, dan jenis disabilitas lainnya.36 Aksesibilitas, menurut Permen PU No.30/PRT/M/2006, adalah kemudahan yang disediakan dan diperuntukan bagi setiap orang termasuk penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamarataan dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Hal-hal yang juga esensial dalam aksesibilitas ini adalah azas keselamatan, kemudahan, kegunaan, dan kemandirian sebagai dasar perencanaan dan penerapannya, serta dalam konteks penciptaan lingkungan.37

Kata aksesibilitas berasal dari bahasa Inggris (accessibility) yang artinya adalah kemudahan. Aksesibilitas adalah derajat kemudahan yang dicapai oleh semua orang maupun individunya, misalkan terhadap suatu objek, pelayanan ataupun lingkungan. 38 Menurut Barnartt dan Scotch, (access) ialah sebuah konsep yang rumit serta memiliki dampak kepada setiap aspek kehidupan manusia dalam sehari-hari, lalu bagi para difabel, akses dapat didefinisikan sebagai hak untuk turut serta (berpartisipasi) secara penuh di aspek manapun terlebih dalam hal kesempatan kerja bagi mereka tanpa ada halangan hambatan fisik maupun mental.39 Jadi aksesibilitas di sini dapat kita pahami sebagai kemudahan yang diberikan kepada penyandang disabilitas untuk dapat mengembangkan dirinya sebagai kompensasi dan akses penerimaan mereka terhadap lapangan kerja.

Lapangan pekerjaan menurut Sensus Penduduk 2000, adalah bidang kegiatan dari usaha atau perusahaan/instansi dimana seseorang bekerja atau pernah bekerja. Lapangan pekerjaan ini dibagi dalam 10 golongan, terdiri dari 5 sub sektor pertanian dan 5 sektor lainnya. 40 Dari masing-masing sektor lapangan pekerjaan itu tentu akan menyerap tenaga kerja. Bagi yang sedikit kreatif tentu tidak hanya memiliki orientasi mencari kerja, namun bisa melihat potensi dan peluang dari berbagai sektor lapangan kerja untuk dijadikan peluang usaha.

Lapangan kerja di sini juga mengandung istilah kesempatan kerja atau kesempatan yang tersedia untuk bekerja akibat dari suatu kegiatan ekonomi (produksi). Dengan demikian pengertian kesempatan kerja adalah mencakup lapangan perkerjaan yang sudah diisi dan

36 Nurali, 2015, “Strategi KPU Sleman dalam Sosialisasi Pilpres 2014 kepada Komunitas Tuli”, skripsi. 37 UNESCAP, 1995 38 Lihat wikipedia.org (diakses 21 November 2017) 39 Paul T. Jaegar & Cynthia Ann Bowman, Understanding Disability: Inclusion, Access, Diversity, and Civil Right, Wesport: Praeger Publisher, 2005, h 63. 40 Departemen Sosial Republik Indonesia, Pola Pembangunan Kesejahteraan Sosial, (Jakarta :2003) 238 semua lapangan pekerjaan yang masih berstatus ‘lowong’. Dari lapangan pekerjaan yang masih kosong tersebut (yang mengandung arti adanya kesempatan), kemudian timbul aksebilitas dan kebutuhan akan tenaga kerja, pegawai, ataupun karyawan. Kebutuhan tenaga kerja sudah jelas diperlukan oleh perusahaan atau lembaga yang menerima tenaga kerja pada tingkat upah, posisi, dan syarat-syarat kerja tertentu.

Kesempatan kerja adalah banyaknya orang atau tenaga kerja yang dapat terserap untuk bekerja pada suatu perusahaan atau suatu instansi, kesempatan kerja ini akan menyerap semua tenaga kerja yang tersedia apabila lapangan pekerjaan yang tersedia mencukupi atau seimbang dengan banyaknya tenaga kerja yang tersedia. (Tambunan, 2001). Dengan adanya ketersediaan lapangan kerja yang memadai tentu akan mempercepat proses pembangunan ekonomi sesorang apalagi disertai dengan produktivitas yang tinggi. Suatu peluang untuk mendapatkan pekerjaan di berbagai sektor ekonomi disebut dengan kesempatan kerja.41 Adapun pembangunan tenaga kerja dapat dilihat dari dua aspek, yaitu persediaan atau penawaran tenaga kerja dan permintaan atau kebutuhan tenaga kerja.42

Saat ini tercatat ada banyak kaum muda yang tidak dapat memperoleh pekerjaan yang layak. Tingkat kemungkinan mereka menganggur mencapai lima kali lebih besar dari orang dewasa. Tercatat terdapat satu dari empat orang muda menganggur, dan ini merupakan tingkat pengangguran tertinggi di kalangan muda di kawasan ini. Bila dibandingkan 10 tahun lalu, kaum muda Indonesia sekarang jauh lebih berpendidikan. Namun, sayangnya, dengan keterampilan dan pendidikan yang mereka miliki, kaum muda masih kesulitan memperoleh pekerjaan dengan berbagai faktor seperti persaingan ataupun kualitas dari setiap individu masing-masing, termasuk kaum difabel yang juga sebagian besar telah berhasil menyelesaikan studi pendidikan mereka hingga jenjang sarjana juga turut serta ada dalam lingkaran permasalahan tersebut.

Salah satu cara untuk mengatasi masalah pengangguran adalah dengan pembangunan sumber daya manusia. Menurut Mardianti (2011) dalam Isti Pertiwi (2015), ada tiga cara yaitu :

41 Dewi Frisca, :2016, “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesempatan Kerja di Provinsi Lampung”, skripsi, h 24. 42 Karningsih, “Analisi Penciptaan Lapangan Kerja di Kota Semarang”, Serat Acitya – Jurnal Ilmiah, UNTAG, Semarang, h 3. 239

1) Peningkatan mobilitas tenaga kerja akibat adanya kesenjangan antara angkatan kerja dan kesempatan kerja dan melatih ulang keterampilannya sehingga dapat memenuhi tuntutan kualifikasi di tempat baru. 2). Pemerintah dapat mengurangi penganguran siklikal melalui manajemen yang mengarahkan permintaan-permintaan masyarakat ke barang atau jasa yang tersedia dalam jumlah yang melimpah. 3). Untuk mengatasi pengangguran musiman, perlu adanya pemberian informasi yang cepat mengenai tempat-tempat mana yang sedang memerlukan tenaga kerja.

Lantas bagaimana dengan mereka kaum difabel? Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas jelas dilarang oleh banyak undang-undang. Terdapat dua perundang-undangan pokok mengenai penyandang disabilitas di Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 4/1997 mengenai penyandang disabilitas beserta pengaturan implementasinya serta Peraturan Pemerintah No. 43/1998 (Upaya untuk Meningkatkan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas). Namun, mayoritas dari kebijakan hukum ini masih berbasis amal saja sehingga tidak sepenuhnya mematuhi UNCRPD. Padahal tujuan dibuatnya pedoman ini adalah untuk memberikan petunjuk dan saran bagi para pemilik perusahaan dalam mengelola isu disabilitas di dunia kerja.43

D. HASIL PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) dan penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, yakni pengalaman utama atau peristiwa langsung yang telah dialami oleh subjek. Subjek penelitian dipilih dengan menggunakan tekhnik purposive sampling, seperti yang sudah penulis jelaskan bahwa yang menjadi subjek penelitian ini adalah beberapa anggota dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Banjarmasin. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua tahap, yaitu observasi (pengamatan) dan indept interview (wawancara mendalam). Teknik analisis data menggunakan reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan.

Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu dipertemukan dengan mereka ketika mengikuti konferensi (audiensi) komisi IV DPRD Prov. Kalimantan Selatan tentang kesejahteraan sosial masyarakat. Pada waktu itu para kelompok HWDI (Himpunan Wanita

43 International Labour Organization, Mempekerjakan Penyandang Disabilitas, (ILO), Jakarta, 2010 240

Disabilitas Indonesia) cabang Kalsel telah menyuarakan aspirasinya terkait aksesibilitas mereka terhadap lapangan pekerjaan, dalam pertemuan tersebut beberapa perwakilan dari mereka menceritakan permasalah betapa sulitnya untuk memasuki lapangan pekerjaan. Ketika mengikuti prasyarat test tertulis, psikotes, kepribadian dan sebagainya, akhirnya harus gugur di sesi wawancara dikarenakan para HRD yang menangani mengetahui langsung kalau calon karyawan di hadapannya adalah seorang yang cacat/disabilitas. Dari beberapa perwakilan HWDI yang hadir, bahkan ada yang jujur kalau masalah yang menimpanya ini telah ia hadapi hampir 100 kali. Sangat ironis, karena sebagian dari mereka pun telah menyelesaikan jenjang pendidikannya hingga lulus S1, namun bagaimana kalau kebijakan- kebijakan dari pihak lembaga kerja terkait tidak memberikan kesempatan dan kesejahteraan bagi mereka?

HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) lahir di tengah masyarakat Kalsel, Banjarmasin khususnya dikarenakan landasan filosofi bahwa kedisabilitasan bukanlah merupakan hambatan untuk berperan sebagai subjek pembangunan. Para penyandang disabilitas Indonesia menyadari bahwa kemajuan, kecerdasan, kesejahteraan umum negeri ini juga bisa diperjuangkan bersama oleh para penyandang disabilitas. Yang artinya penyandang disabilitas juga dapat membina kepribadian yang sehat dan wajar sebagai manusia mandiri yang berdaya guna baik bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Disamping itu para penyandang disabilitas hendaknya mampu berperan aktif dalam pembangunan nasional demi tercapainya tujuan Negara yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Berkaitan dengan hal di atas, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) dibentuk untuk berperan sebagai wadah yang menghimpun potensi serta kekuatan sosial di antara para disabilitas wanita untuk kesejahteraan penyandang disabilitas perempuan khususnya yang ada di Kalimantan Selatan.

Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) adalah organisasi sosial masyarakat pagi penyandang disabilitas yang pengurus dan anggotanya terdiri dari perempuan berbagai jenis disabilitas (seperti: tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, tuna grahita dan orang tua anak dengan disabilitas). Perlu diketahui, sebelumnya wadah organisasi ini berdiri dengan nama HWPCI yakni Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia, namun dengan kebijakan- kebijakan sosial yang berjalan istilah cacat diganti dengan istilah yang lebih layak dan manusiawi yakni: ‘disabilitas’.

241

Visi HWDI adalah: “Mewujudkan Wanita Penyandang Disabilitas yang Mandiri, Produktif, dan Mampu Memberi Manfaat”. Adapun misi HWDI yaitu: 1). Memperjuangkan pembangunan sosial wanita disabilitas untuk mengangkat harkat dan martabatnya, 2). Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) wanita penyandang disabilitas, 3). Memperjuangkan kesamaan kesempatan dan partisipasi penuh di masyarakat, 4). Meningkatkan kemitra sejajaran antara pria, wanita dan wanita penyandang disabilitas. Tujuan pendirian HWDI yaitu untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak wanita penyandang disabilitas agar memperoleh kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan guna meningkatkan kesejahteraan sosial bagi wanita penyandang disabilitas serta dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan Nasional dalam arti yang seluas-luasnya. Sampai sekarang ini anggota HWDI yang terdata di Banjarmasin berjumlah kurang lebih 208 orang. Beberapa dokumentasi poto dari HWDI Banjarmasin

Gambar 1.

242

Gambar 2.

Gambar 3.

243

Gambar 4.

Pada proses penelitian, dalam sesi wawancara penulis memberikan pertanyaan inti kepada responden, yakni ‘bagaimana pengalaman anda ketika melamar pekerjaan di luar sana?’ Pada responden pertama, subjek ini menceritakan dengan emosionalnya karena sudah hampir terhitung 50 kali lebih ditolak perusahaan yang telah dia lamar. Begitu juga dengan responden lainnya yang belum mendapatkan pekerjaan formal milik lembaga atau pun pemerintah yang sudah dicoba, responden selanjutnya mengatakan bisa terhitung 100 kali sudah ditolak padahal dia sudah berstatus sarjana. Rata-rata mereka gugur dalam sesi wawancara di hadapan HRD maupun pihak lembaga yang bersangkutan. Nah, ketika berbicara mengenai pengalaman melamar pekerjaan mungkin responden akan terpaku pada penolakan yang telah mereka alami berkali-kalinya. Kemudian pada menit berikutnya saya mencoba untuk memancing mereka agar bercerita lebih dalam yakni dengan menanyakan, “Adakah faktor-faktor yang menyebabkan anda ditolak dan terhenti dalam perjalanan tersebut?”. Sebagian besar dari anggota HWDI yang saya jumpai adalah penyandang tuna daksa (disabilitas fisik), lalu dari situlah saya kembali mendapatkan data maupun fakta bahwa sebagian besar dari pihak lembaga pekerjaan ada yang terang-terangan menyebutkan bahwa penyandang disabilitas kurang bisa dipercaya akan potensi yang mereka miliki apakah bisa

244 setara dengan kemampuan orang yang bukan disabilitas. Selanjutnya adalah alasan tehnis bawa mereka (penyandang disabilitas) tidak mempunyai kendaraan pribadi maupun SIM sehingga akan berpotensi akan ketidakmaksimal mereka terhadap efektifitas waktu bekerja, padahal sebagian dari mereka sudah terbiasa dengan menumpangi ojek maupun diantar kerabat demi kebutuhan mobilitas sehari-harinya, namun masih saja alasan itu masih dirasa tipis dan mampu disanggah oleh pihak perusahaan. Selanjutnya jawaban dari ketua HWDI mengatakan bahwa alasan spesifik yang disampaikan oleh lembaga-lembaga tersebut adalah bahwa efektifitas sebuah perusahaan ada dalam pegawai yang sehat secara fisik dan jasmani, hal ini menjadi telak karena mereka yang memiliki kekurangan fisik (disabilitas daksa) akan selalu dicap tidak mampu, lemah dan lamban bergerak.

Selanjutnya dari responden yang lain menyebutkan faktor-faktor mengapa penyandang disabilitas dengan mudahnya tertolak oleh lapangan pekerjaan dikarenakan oleh faktor internal/pribadi dari penyandang disabilitas itu sendiri. Misalkan sebagian besar anggota HWDI tidak bisa mengecap pendidikan yang layak karena berbagai faktor keluarga maupun lingkungannya, sehingga dari faktor utama ini lah penyandang disabilitas sangat kurang dalam memiliki skill intelektul. Kemudian rendahnya ekonomi dari keluarga, dan sejak kecil mereka (penyandang disabilitas) kurang mendapatkan dukungan emosional dari keluarga dan kurangnya kasih sayang yang mereka rasakan. Di faktor-faktor ini lah yang pada akhirnya menyebabkan penyandang disabilitas kurang memiliki kepercayaan dan krisis penerimaan diri, rendahnya mental sehingga mereka belum bisa mengasah keterampilan dan selalu dianggap sebelah mata oleh masyarakat maupun pihak pemerintah.

Selanjutnya setelah subjek memberikan jawaban dengan mendalam dan emosional, di akhir wawancara penulis kembali memberikan pertanyaan apa harapan anda selanjutnya terkait keadaan ini? Ketua umum HWDI sendiri angkat bicara, harapan dia dan seluruh teman-teman anggota disabilitas dengan melihat begitu susahnya kondisi ini, semoga adanya kesadaran dari pemerintah, lembaga swasta, dan para pengusaha yang mau menerima kami dan mencoba untuk melihat kemampuan kami dengan benar-benar kedua mata, karena apabila seseorang ketika melihat kemampuan orang lain hanya dengan sebelah mata, di situlah akan timbul kesenjangan dan realitas yang seluruhnya belum benar.

Dari salah satu responden, penulis jadi mengetahui bahwa dalam tahun terakhir telah lahir UU No. 8 tahun 2016 tentang kebijakan penyandang disabilitas dalam pasal 53, bahwa 245 pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD wajib mempekerjakan paling sedikit 2% dari penyandang disabilitas dari jumlah pegawai, serta perusahaan-perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% penyandang disabilitas dari jumlah total pegawainya. Akan tetapi iklim yang dirasakan mereka sampai saat ini belum terwujud secara maksimal karena masih banyak penyandang disabilitas yang tertolak ketika mengakses lapangan pekerjaan sampai saat ini.

Para penyandang disabilitas seharusnya memiliki hak-hak dan kesempatan yang sama seperti yang lainnya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Waktu telah membuktikan bahwa dari mereka ada yang telah berhasil menjadi wirausaha dan karyawan yang sangat produktif. Mereka dapat memberikan kontribusi yang berharga bagi perusahaan dan ekonomi Negara jika tidak ada halangan mendapatkan pekerjaan dan kesempatan terbuka untuk mereka bagi lembaga pekerjaan tersebut.

Kritik analisis: mengapa penyandang disabilitas sulit dalam mengakses lapangan pekerjaan? Penyandang disabilitas memerlukan pekerjaan untuk alasan yang sama seperti mereka yang tidak memiliki hambatan/disabilitas. Mereka ingin mencari nafkah selayaknya manusia biasa, memanfaatkan keterampilan dan memberikan kontribusi kepada masyarakat. Berbeda dengan mereka yang tidak menyandang disabilitas, para penyandang disabilitas sering menghadapi kesulitan dalam fase tersebut, baik memperoleh pelatihan keterampilan dan kesempatan pada saat mereka mencari pekerjaan. Salah satu poin terbesar dalam problematika difabel terhadap aksesibel kesempatan kerja adalah lembaga pekerjaan tersebut belum memiliki akan paham inklusif dan terlalu terpaku pada standar kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap pegawai maupun karyawan.

Penyandang disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan masyarakat pada umumnya sebab mereka memiliki berbagai hambatan dalam mengakses layanan umum. Sedari dini, mereka seringkali tidak memiliki akses untuk pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan, dan kegiatan perekonomian. Kurangnya akses dalam transportasi, bangunan, pendidikan, dan pekerjaan merupakan beberapa contoh yang menjadi penghambat dalam kehidupan sehari-hari para penyandang disabilitas. Mirisnya dalam beberapa kejadian yang penulis temui, sebagian besar dari mereka sudah dikucilkan (terpasung) dalam lingkungan keluarga karena dianggap aib dan masalah besar bagi keluarga 246 itu sendiri. Sehingga dari realita tersebut sudah menghalangi mereka untuk berkembang secara mental dan sosial, apalagi dalam kesempatan untuk meraih aksesibilitas di dunia luar. Selain itu penyandang disabilitas dipandang sebelah mata bagi masyarakat luas, hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya disebabkan oleh keterbatasan mereka untuk melakukan suatu aktivitas dan keterbatasan mereka terhadap kemampuan fisik.

Kaum difabel juga memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan di tengah masyarakat agar menjadi lebih baik, salah satunya dengan terfasilitasinya mereka di dunia kerja. Akan tetapi kesempatan kerja yang tersedia untuk kaum difabel masih sangat kurang. Di luar sana jutaan orang muda tidak menjalani transisi ke pekerjaan layak dan berisiko mengalami eksklusi sosial. Krisis lapangan kerja bagi penyandang disabilitas yang diperburuk oleh krisis ekonomi dan krisis keuangan global kini membutuhkan upaya pemerintah, pengusaha dan pekerja untuk bekerja lebih keras dalam mempromosikan, menciptakan dan memelihara pekerjaan layak dan produktif, karena krisis lapangan kerja bagi kaum difabel merupakan tantangan global yang harus dipikirkan secara bersama.

Penyandang disabilitas yang berhasil memasuki dunia kerja pun akan dihadapkan kepada persoalan proses penyesuaian diri, dimana sebelumnya mereka berada di lingkungan dengan orang yang sama atau lingkungan yang telah mengerti akan keberadaan dia tiba-tiba dihadapkan pada situasi yang berbeda di tengah orang-orang yang normal. Sangatlah pencapaian yang luar biasa bagi penyandang disabilitas untuk melakukan penyesuaian diri baik tempat, lingkungan sosial dan norma di lingkungan tempat kerja mereka. Mereka mungkin juga menghadapi sikap-sikap yang kurang menyenangkan dari pihak perusahaan dan rekan-rekan kerja yang meragukan kemampuan mereka bekerja walaupun mereka sudah berlatih keras demi membantu kemajuan perusahaan. Dalam situasi ini lah mereka akan melalui tahap berbagai proses baik itu aspek kematangan sosial, kematangan tanggung jawab personal, maupun kematangan intelektual. Namun, difabel sebagai manusia pada umumnya juga memiliki potensi dan sikap positif demi kemajuan terhadap lingkungannya.

Dan pada akhirnya, saya mendapatkan kesimpulan bahwa penyandang disabilitas/difabel berhak mendapatkan hak-hak yang sama dalam kehidupan sosial ini, terutama kesempatan mereka di lapangan kerja, karena saya yakin dibalik kekurangan yang mereka miliki selalu ada kelebihan yang mesti dikembangkan dan berguna bagi khalayak maupun pihak lembaga pekerjaannya nantinya. Para petinggi wakil rakyat itu pun berjanji 247 akan menindaklanjuti permasalahan ini dengan menerapkan sosialisasi ke seluruh elemen lembaga pekerjaan yang ada di sana untuk menerapkan sistem inklusi (yakni penerimaan terhadap penyandang disabilitas tanpa adanya diskrimnasi), serta membangun sekre dan lapangan pekerjaan unit usaha kecil menengah untuk persiapan bagi mereka yang mau mengembangkan usaha kerja sendiri tanpa harus berharap kepada lembaga pekerjaan formal di luar sana.

E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sulitnya para difabel dalam mengakses lapangan pekerjaan di Indonesia, menjadi salah satu masalah sosial yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan tanggung jawab kita bersama. Keterbatasan lapangan pekerjaan yang tidak sesuai dengan jumlah peningkatan pendidikan yang setiap tahun mahasiswa maupun siswa sehingga menyebabkan mereka sulit mendapatkan pekerjaan. Akibatnya menjadi problematika sosial dalam pembangunan ekonomi nasional dan regional. Masyarakat tanpa pekerjaan menjadi menjadi beban ekonomi berkepanjangan, yang sebenarnya mereka juga tidak ingin dalam keadaan dan kondisi seperti itu. Ketika masalah pekerjaan dikelompokkan atau pun dibedakan menjadi masalah pekerjaan orang normal dan mereka yang penyandang disabilitas (difabel), hal ini akan menyebabkan munculnya permasalahan tersendiri. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan para kaum difabel semakin menjadikan mereka terpinggirkan dalam pola dan teknis kerja. Padahal peran serta difabel dalam kehidupan sosial kemasyarakatan juga sama pentingnya dalam pengembangan ekonomi di dalam keluarga mereka masing-masing. Pada intinya kaum difabel pun semestinya mempunyai hak yang sama untuk mengakses lapangan kerja demi kebutuhan hidup dan masa depan mereka.

Saran Pada saat ini, difabel masih menghadapi persoalan yang berkenaan dengan penghidupan dan kesejahteraan mereka. Implementasi pemberdayaan kepada difabel di Indonesia, masih banyak menjumpai persoalan yang memerlukan adanya pembenahan di berbagai sisi. Oleh karena itu, peran masyarakat dan pemerintah serta elemen lainnya sangat banyak diperlukan. Karena, suksesnya upaya pemberdayaan ekonomi bagi difabel dapat tercapai apabila beberapa hambatan dapat diminimalkan.

248

Untuk menciptakan lapangan kerja baru, Indonesia harus mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Artinya dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi untuk menyerap pengangguran yang telah ada dan menurunkan angka pengangguran. Jalan terbaik untuk menggerakan pertumbuhan ekonomi tidak lain ialah dengan meningkatkan iklim investasi dan memperbaiki daya saing Indonesia di pasar internasional, namun tetap melibatkan semua orang dari berbagai latar, termasuk masyarakat yang menyandang status disabilitas itu sendiri.

Para stakeholder (Pemerintah, masyarakat dan elemen lainnya) harus turut membuka pikiran dengan luas bahwa kaum difabel itu ada dan sama seperti manusia lainnya, membutuhkan dan dibutuhkan. Hal ini menjadi benang merah untuk merekatkan rasa kebersamaan bahwa tidak ada perbedaan dan diskriminasi dalam peningkatan kesejahteraan manusia, walaupun pada dasarnya ada persaingan dalam pekerjaan, namun seiring berkembangnya waktu dalam penerimaan ini, niscaya para difabel akan turut merasakan dampak positifnya ketika bisa memperoleh hak-hak mereka di dunia pekerjaan. Karena hidup dinamis dalam warna perbedaan itu bukan manjadi hambatan, melainkan suatu keindahan dari Tuhan yang harus kita jaga keseimbangannya dalam aspek kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Biswan Marwati, “Aktifitas Spiritual dan Semangat Hidup Penyandang Disabilitas Paraplegia”, Jurnal, 2013 Debdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 2002 Departemen Sosial Republik Indonesia, Pola Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Jakarta: 2003 Dewi Frisca, Lampung: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesempatan Kerja di Provinsi Lampung, Skripsi, 2016 Febriani Kartika, Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Lapangan Kerja di Provinsi Sumatera Utara, Skripsi, 2009 Hari Kurniawan, “Potret Kasus Tenaga Kerja Difabel di Indonesia”, Jurnal Difabel, SIGAB, Volume 2, No 2, 2015 http://wikipedia.org (diakses 21 November 2017) Indonesia Policy Briefs, Menciptakan Lapangan Kerja, Ide-Ide Program 100 Hari , Bank Dunia / The World Bank, Jakarta International Labour Organization, 10 Tahun Menangani Lapangan Kerja bagi Kaum Muda di Indonesia, Jakarta, 2012 International Labour Organization, Mempekerjakan Penyandang Disabilitas, (ILO), Jakarta, 2010

249

International Labour Organitation, Pengelolaan Penyandang Disabilitas di Tempat Kerja, Artikel, 2013 Karningsih, “Analisi Penciptaan Lapangan Kerja di Kota Semarang”, Serat Acitya – Jurnal Ilmiah, UNTAG, Semarang Kurniawan Harry, “Tipologi Renovasi Aksesibilitas Halte Trans Jogja”, Jurnal Difabilitas dan Pendidikan Inklusi, Yogyakarta: PLD-UIN Suka, 2013 Machdan Denia Martini, Surabaya, “Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja pada Tunadaksa di UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh Pasuruan”, 2012 Maftuhin Arif, “Aksesibilitas Ibadah bagi Difabel”, Jurnal Difabilitas dan Pendidikan Inklusi, Yogyakarta: PLD-UIN Suka, 2014 Mansour Fakih, Panggil Saja Kami kaum Difabel, Pustaka Pelajar: 2002 Musyaddad Kholid, “Problematika Pendidikan di Indonesia”, Jurnal, 2013 Nanang Martono, Karakteristik Lapangan Pekerjaan, Artikel, 2010 Nurali, 2015, “Strategi KPU Sleman dalam Sosialisasi Pilpres 2014 kepada Komunitas Tuli”, skripsi. Paul T. Jaegar & Cynthia Ann Bowman, Understanding Disability: Inclusion, Access, Diversity, and Civil Right, Wesport: Praeger Publisher, 2005 Rochanah Tuti, 2009, “Problematika Proses Pembelajaran PAI pada Siswa Tunarungu SDLB-B Bantul Yogyakarta”, skripsi. Setyawati Yuni, 2008, “Problematika Pembelajaran dan Upaya Pemberian Mahasiswa Difabel di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta”, skripsi. Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islami, Surabaya : Al-Ikhlas, 1983

250

ISLAMIC ENVIRONMENTALISM IN INDONEISA: A STUDY OF MUHAMMADIYAH AND NAHDLATUL ULAMA’ IN THE PERSPECTIVE OF PROGRESSIVE ISLAM

Ali Ilham Almujaddidy Center for Religious and Cross-cultural Studies Gadjah Mada University ([email protected]/085799577346)

Abstract: This paper attempts to examine the religious practices of Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama in addressing the environmental issues and ecological crisis. Despite the proliferation of research subject on Islam and environmentalism in Indonesia, however it leaves the major weaknesses by the fact that it does not much examine the materialist aspect such as the impact of capitalist development regime to the oppressed society. Progressive Islam is used as theoretical framework in defining the methodological, ontological, and epistemological assumptions to understand the primacy sources of religious knowledge. Hence, this paper argues that the discourse on Islam and ecology should not do textual reform only based on canonical sources of Qur’an and Hadith, but also revolve its activism as well. As Progressive Islam demands socially engaged activism, the study shows that Muhammadiyah has been successfully advocates the environmental rights through Jihad Konstitusi and do socio-ecological Jihad through the implementation of Theology of Mustad’afin advanced by the young intellectual network of Muhammadiyah. Meanwhile in NU, the Front Nahdliyin for Sovereignty of Natural Resources advocates for economic, political and cultural struggle of society by implementing the idea of Jihad Resolusi, providing assistance to the victims of agrarian conflict, and facilitating the society with the agenda of Pesantren Agraria.

Keywords: Progressive Islam, Environmentalism, Muhammadiyah, Nahdlatul ‘Ulama

INTRODUCTION Indonesia is entering an era of demographic dividend, a condition when the ideal population composition is dominated by productive age groups. This is a prospective opportunity for Indonesia to succeed the national ideals and development on the one hand, and challenge to face overpopulation, poverty, and inequality on the other. However, the current president, Joko Widodo, puts the emphasis on infrastructure as a priority agenda for realizing development equity and increase the economic growth. Unfortunately, this policy is considered inconsistent with the Nawacita program promoted during the campaign. The paradigm of economic development that has been used is still exploitative, or what Taylor (2000) called as “exploitative capitalist paradigm,” instead of social justice. It is indicated by the evidenced of undergoing agrarian conflict which has a negative impact on the farmers and

251 local people. The establishment of cement factory in Kendeng Mountains, Benoa Bay reclamation in Bali, and the construction of mega project international airports in Sukamulyo (West Java) and Kulonprogo (Yogyakarta) are the examples among others.

As a matter of fact, farmers are the granary of food in Indonesia in particular and in Southeast Asia in general. ASEAN shows that this region has produced million tons of rice corn, sugarcane, soybean, and cassava during 2012. Yet ASEAN is also one of the World’s largest emitter of greenhouse gases, with Indonesia represent the highest total of 780,550 kilotonnes (Kt) of CO2 equivalent respectively in the same year (Simanjuntak, 2017). This fact illustrates the absence of a balance between agricultural productivity and the vulnerability of climate change, affirming the evidence of the Post-ASEAN Economic Community project that leaves no balance between environmental protection and economic growth (Chandra and Estriana, 2015). Further, only seven percent of legislative candidates have a degree of knowledge about environmental issues, and almost all of them do not address such issues during the campaign. Whereas, the direction of Indonesia's development platform in the future is depending on them to determine whether the country would still depend on the exploitation of natural resources or improve natural resource management regimes that significantly reduce environmental degradation (Ardiansyah, 2014). It is also calls the necessity to consider the environmental rights and take into account the local values and rights of the farmers. Anticipating this complex circumstance, I notice a phenomenon of what so called by Garret Hardin (1968) as “the tragedy of the commons.”

This phenomenon not only affects environmental destruction, energy reduction, and natural disasters, but broadly threatens the sustainability of human and nature. Regardless the pros and cons, climate change and environmental damage is a fact. No matter how secular and capitalist our world is, the issue of environmental crisis is an ethico-moral concern and a knowledge paradigm that demands a more radical approach to the problem. As a point of departure, this paper attempt to discuss the role of the two largest Islamic organizations in Indonesia, namely Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama, in combating ecological crisis and agrarian conflicts. By using perspective of Progressive Islam, this paper tries to further explore the roles of both organizations not only in the production of religious values of the environment derived from the Qur'an and hadith, but ecological activism capable of advocating for environmental rights and the right of farmer as victims of development. 252

Islam and Environmentalism The linkage between Islam and ecology has been present in academic discourse since Seyyed Hossein Nasr delivered his lectures in 1966, describing the relation between environmental degradation with spiritual and moral crisis of modern society (Bagir and Najiyah, 2016: 79). It later developed in a broader academic discussion which leads to the various forms of definitive formulation that integrate Islam with ecology, such as "Green Islam," "eco-Muslim," "eco-Jihad," and so on. Considering the diverse interpretations of Islam (An-Na'im, 2008: 1), it is important to define what Islam is as a legitimacy of religious identity and to know how Muslim practice environmentalism so it can be regarded as Islamic (Jenkins, 2009: 284; Bagir and Najiyah, 2016: 85).

In defining Islam, we tend to follow the academic understanding of religion formulated in the World Religion paradigm, which was insufficiently inclusive, problematic and potentially misleading (Smith, 1964; Masuzawa, 2005). For instance, Islam is oftentimes associated with the idea of 'myth,' 'supernatural,' 'spirituality,' and other terms that may not be found in different kind of Islam and tradition (Karamustafa 2003: 99). The case of Ammatoan (Maarif, 2015) and Penghayat (Mutaqin, 2014) in Indonesia are some representative examples with the problem of defining Islam as a religion.

Others also defined Islam as a culture, so it is often associated with Arabic culture, such as hijab, polygamy, or other particular human culture and identity (Karamustafa, 2003: 102). This kind of tension can result in the essentialization of certain culture to claim their identity as “the pure” Islam. This has happened since the first time Islam came to Indonesia by the form of syncretism between sufism and , which was then considered as ‘un-Islamic’ and ‘un-pure’ as it is far from the birthplace of Islam in the Middle East (John 1993: 47).

If defining Islam as religion and culture might be problematic, then Islam should be interpreted through observation of religious experience and expression manifested in history, human phenomena, and the complexity of its meaning (Ahmed, 2015: 5). Another possible approach is to define Islam as a project of civilization, which appears as dynamic, evolving phenomenon, and cannot be reified and fixed in any way (Karamustafa, 2003: 109).

253

In relation to environmentalism, it is necessary to distinguish between ecology and environmentalism in order to know the difference in implications. Ecology is a science that studies about how organisms interact with the surrounding environment (Bauman et al, 2011: 49). While environmentalism refers to the form of environmental activism that emerged as definite political and social movement focused on broad ecological issues (Vincenti, 2017: 7). Thus, Islamic environmentalism means a form of ecological activism based on Islamic values.

In Indonesia, Islamic Environmentalism emerged and was generally developed by two major Islamic organizations, Muhammadiyah and Nahdlatul 'Ulama, with the implementation of concepts such as fatwa, haram, hima (conservation area), harim (protected area), eco- dakwah, and eco- Islamic literature (Laarse, 2016: 16). While the government has established an eco-Pesantren and Madrasah Adiwiyata program, a semi-curriculum based on Environmental Education with about 900 pesantren who have been involved in this program (Saniotis, 2012: 163).

Eco-pesantren focuses on the cultivation of awareness and environmental conservation using traditional approaches, such as utilizing the role of Ulama to teach environmental-based Islamic theology and developing eco-friendly of Islamic Jurisprudence (fiqhul bi'ah) (Mangunjaya, 2011). In addition, eco-pesantren also aims to promote effective environmental protection by using a horizontal approach, involving grassroots communities with cultural approaches rather than structural one (Mangunjaya and McKay, 2012).

If eco-pesantren use traditional and cultural approaches to environmental activism so that it becomes more flexible and open, Madrasah Adiwiyata focus only in school environment. There are three basic principles of Madrasah Adiwiyata (Hidayat, 2015: 385): 1. Educative; that all policies, curriculum, or implementation of the activity should have educational content or value for all school member who are responsible for environmental protection and management through good school governance. 2. Participative; that all madrasah involved in school management through the process of planning, implementation, and evaluation in accordance with the roles and responsibilities. 3. Sustainable, that the whole activity must be carried out continuously in a comprehensive manner. 254

These three principles are based on the regulation of the Minister of Environment of the Republic of Indonesia no. 5 of 2013 on Guidelines for the Implementation of the Adiwiyata Program.

The government-developed eco-pesantren and Madrasah Adiwiyata programs have demonstrated how Islam and environmentalism in Indonesia have grown quite well. By involving the largest Islamic organizations—Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama—this program is expected to foster awareness of society and students to the environment early on. However, there are some disadvantages that I want to underline from this program. First, that the interrelationship between Islam and ecology is still within the construction of the mainstream theological values, therefore it has the potential to not develop into deeper analysis. Second, that Islam and environmental activism should not only spin in the realm of conservation and protection alone, it must reach further to the immediate impact felt by society at large from the ecological crisis.

Progressive Islamic Thought In defining the identity and tradition of religious thought, it is important to know the methodological, ontological and epistemological differences in conceptualizing, understanding and interpreting the primary sources of religious knowledge (Duderija, 2013: 127). Abdullah Saeed (2006) places the position of progressive Muslims within the group of 'progressive ijtihadist', contemporary Muslim thinkers who have a mastery of classical Islamic literature, and seek to reinterpret religious understanding through ijtihad by using modern sciences methodologies in order to respond to the needs of contemporary Muslims society (Saeed, 2006: 150).

Substantially, Progressive Islam is not much different from other paradigms of thought such as Liberal Islam, Transformative Islam, Inclusive Islam or Islam Hadhari. Even Progressive Islam emerges as a response to Liberal Islam as it places more emphasis on internal criticism and religious transformation on theological and Islamic normative discourse alone (Safi, 2003: 48). In addition, Liberal Islam is also considered enamored to modernity, so it cannot afford to criticize all forms of injustice in both Muslim societies and Western hegemony (Safi, 2003: 17). Therefore, Progressive Islam as an intellectual tradition should be released from Liberal Islam because of its different principles (Al Fayyadl, 2015: 4).

255

On the other hand, Progressive Islam in general is also regarded as an umbrella term that refers to the various schools of thought developed by Muslims as opposed to the status quo (Bustaman, 2011: 92). It has a leftist nuance in contrast to the reactionary group and more communitarian compare to liberalism that adopts individualism in a wider socio- economic context. Progressive also means transcend beyond religious reformism with a more radical concern to the structural basis of injustice (Esack, 2003: 79).

In regard to epistemological concern, I examine the characteristics of progressive Islam based on the explanations of contemporary thinkers: 1. Progressive Islamic thought is based on three basic assumptions, that; All human beings have equality in respect of dignity, referring to QS. 15:29. They are created to uphold justice, and do good to others (ihsan) based on QS. 16:90 (Mukhlis, 2011: 36- 37). 2. Progressive Islam concerns with contemporary challenges to Muslims based on iman and aqidah by performing reforms based on tajdid and islah (Bustaman, 2011: 117- 118). 3. Progressive Islam is fully optimistic and affirm in believing that every dynamic social change, whether intellectual, moral, legal, economic, or technology, can be reflected in Islam (Yusdani, 2016: 149). 4. Progressive Islam becomes part of its society, its intellectual tradition siding with people who experience oppression. Its movement is radical in the sense of not only focusing on the reformation of religious ideas but also implementing them in actual and concrete praxis (Al Fayyadl, 2015: 4).

In addition, the methodological principles of progressive Islam are broadly referring to issues of human rights, justice, gender, and equality (Safi, 2003; Bustaman, 2011; Duderija, 2013) and making justice as a fundamental foundation for the creation of peace (Muhklis, 2011: 39). Mukhlis (2011) elaborates on the methodological aspects of progressive Islam specifically as follows. First, critical engagement of tradition in the present perspective, and reject the polar dualism between tradition and modernity (2011: 43). Second, multiple critiques of modernity as a radical extension of the liberal Islamic tradition. In this context, there is a post-modernist nuance of the movement of thought which critically evaluates any forms of colonialism and imperialism in its former or present manifestation (2011: 45). Third, the plurality of scientific resources not only comes from the two main canonical sources of 256

Islam (Qur'an and hadith), classical and contemporary authoritative literature, but also considers other sources outside Islam such as the other sacred texts of religions, the values of local wisdom, tradition, culture, and Western intellectual thought (2011: 47). Fourth, self- positioning beyond apologetic, openness to criticism, dissent, and freedom from the immunity of knowledge (2011: 48). Here, progressive Islam experiences internal and external criticism, as religious understanding goes on and is open to change.

Thereby, progressive Islam is the most recent form of the intellectual tradition of Islamic thought in the twenty-first century. Since the establishment of the Progressive Muslim Network (PMN) in response to the events of September 11, 2001 and the criticism towards Liberal Islam (Esack, 2003: 80), progressive Islam is regarded as the most relevant and significant Islamic thought to face contemporary complex and multidimensional challenges in view of its wide range of methodological thoughts and principles, and the demands of reform that focus not only on religious issues within the ideal normativity but also on the material aspects implicated in activism.

If we look at the current trend of Islamic thought, progressive Islam is a necessity that must be present in the majority Muslim community, especially in Indonesia. One of the problems that progressive Islam must address is the rampant injustice resulting from economic growth and development regimes. Unfortunately, the discourse on progressive Islam in Indonesia still has not received more attention and clear distinction because it remains trapped in the dichotomy between 'moderate-progressive' and 'conservative- fundamentalist' (Anugrah, 2015: 160). Such a reification could end in the essentialization of religious identity which is in fact constantly changing.

In addition, one of the criticisms of progressive Islamic discourse is the absence of attention to ecological and environmental crises in the most contemporary discussion of the great works developed by Omid Safi (2003), Bustaman (2011), and Adis Duderija (2013). This is certainly a question of the actuality and contextuality of the object of progressive Islamic studies, where ecological and environmental crises have become the center of cross- disciplinary academic attention. Therefore, here I would like to try to explore the progressive aspects of the thought and activism of two major Islamic organizations in Indonesia, Muhammadiyah and NU, in responding to the challenges of ecological and environmental crisis. 257

Muslim Environmentalism in Indonesia: From Eco-Theology to Eco-Jihad Nahdlatul Ulama (NU) and Muhammadiyah are the two largest Islamic organizations in Indonesia (Mujani and Liddle, 2004: 122). Both are widely known as Indonesian representatives promoting a pluralist and peaceful Islam, and a model of a democratic, moderate and tolerant Islam (Hefner, 2011; Haara 2012; Hughes 2013). As the largest Islamic organization, both NU and Muhammadiyah have great opportunities in teaching eco-friendly Islam and mobilizing the masses to be aware of the threat of environmental and ecological damage. So far, the efforts of Muhammadiyah and NU in conducting ecological activism have been proven by several activities such as fighting deforestation, reforestation, protection of land rights, conservation and so forth. In developing the teachings of environment, Muhammadiyah advance the schools building, while NU made Pesantren as its educational base, both uses theological argument and interpretation as a form of understanding the environmental issues from Islamic canonical sources (Amri, 2013; Aoki, 2015). Following the introduction study above, this section will further discuss the role of these two largest Islamic organizations in conducting ecological activism with a deeper approach, in the frame of progressive Islam, as every ecological activism is always shaped by a combination of Islamic sources and Islamic cultural tradition (Foltz, 2014: 8). Based on the methodological assumption that in theological and ethical discourse on Islam and ecology, the practices of individuals and religious communities should be more considered (Bagir and Najiyah, 2016: 85) as most Islamic and ecological studies tend to emphasize theological aspects only (Foltz, 2003: 253), the coming study will discuss both Islamic understanding of nature and the implementation of religious ethics.

Muhammadiyah Muhammadiyah is known by the ideology of ‘Islam Berkemajuan’ which literally means ‘progressive.’ The progressiveness of Muhammadiyah can be traced back to the basic theological idea developed by its founder Ahmad Dahlan, theology of Al-Ma’un. It concept originates from the chapter of Qur’an surah Al-Ma’un (107) which provides the spirit of philanthropic theological basis (Fauzia, 2013: 127). This theological basis has been used to legitimate the activism of jihad against colonialism, imperialism and feudalism in Indonesia, and Java in particular (Al Fayyadl, 2016: 1). In its development, to provide theological relevance and activism of contemporary colonialism and the challenges of modernity, Al- Ma’un theology later transformed into the theology of Mustad'afin. 258

Theology of Mustad'afin has more comprehensive epistemological foundations with emphasis on the victims of developmentalism and the oppressed societies. This epistemological basis derived directly from the values of taught and conceptualization by progressive thinkers, that is (1) Wahhabi-Salafi ideology of Rashid Rida; (2) the idea of education reform of Muhammad Abduh, and; (3) theology of al-Ma'un of Ahmad Dahlan. The implementation of this three-epistemological foundation is followed by the significant adaptation of certain conditions; (1) oppression of faith; (2) retardation, (3) suffering of economic and social status; (4) moral suffering; and (5) the threat of theologies and the existence of Indonesia (Huda, 2011: 345).

In addition, Muhammadiyah also has the Environmental Assembly (Majlis Lingkungan Hidup Muhammadiyah) as a structural foundation which specifically discusses and implements programs directly related to environmental issues. Some of the agenda of this assembly among others are; 1) Preparation of Guidelines and Technical Guidelines for Environmental Management; 2) Intensification of Socialization, Dissemination of Information and Enhancement of Environmental Awareness for Muhammadiyah Citizens; 3) Development of Environmental Education Program; 4) Empowerment and Environmental Advocacy of Muhammadiyah Citizens; 5) Institutional Strengthening Muhammadiyah Environment Movement; 6) Establish Cooperation in the Implementation of the Environmental Movement.

One of the successful programs conducted by the Muhammadiyah Environmental Assembly is the constitutional Jihad (Jihad Konstitusi), namely the reform movement in the field of law and the corrective efforts made through the formal channels by submitting a judicial review to the Constitutional Court on a number of laws that are considered contradictory to the 1945 Constitution. There are four Laws 'won' by Muhammadiyah and its supporting elements in the material test law, two of which are considered to be part of the ecological jihad, namely Law No.22 of 2001 on Oil and Gas and Law No.6 of 2004 on Water. It was a very strategic form of advocacy and alignment of Muhammadiyah towards the interests of the nation in the future (Efendi, 2015). This advocacy was certainly reflecting what Bruno Latour calls as parliament of things (Blok and Jansen, 2011: 93).

259

On the other hand, the socio-ecological jihad in the form of activism is done by progressive youth of Muhammadiyah who are affiliated in Muhammadiyah Young Intellectual Network (JIMM, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). This network calls for the reinterpretation of Al-Ma’un as a liberation theology and affirming the contextualization of Islamic ethico-moralism in accordance with social, economic, political, cultural, and psycho-social structures and systems (Al Fayyadl, 2016: 3). Some of current activism conducted by JIMM is the political advocacy for Kerawang and Kendeng Farmers among others (Efendi, 2017).

In its contextualization strategy for the implementation of Al-Ma’un theology, JIMM based their ideological movement into three significant issues: hermeneutics, critical social sciences, and new social movements (Al Fayyadl, 2016: 4). Hermeneutics as a tool of analysis is expected to provides reproduction of the meaning of divine revelation that is manifested in the Qur'an. The critical social science used to diagnose the existence of oppressive power hegemony disseminated in various fields to build counter hegemony power which emphasizes the awakening of the oppressed and the importance of building a liberation theological perspective. Meanwhile the new social movement is a different theological method compared to the formal model of theology. In this context, theology defined as a pedagogical work of humanity that can be liberated. In addition, this theology must also be supported by four important things that can change the level of intellectual awareness; capital on the move, media on the move, people on the move, and revolutionary ideas in order to navigate the current wave of globalization (Al Fayyadl, 2016: 4).

Nahdlatul ‘Ulama The exploration of historical context implies that progressive Islam in Nahdlatul ‘Ulama (NU) emerge as a response to the struggle against colonialism and imperialism. It is arguable that progressive thought within NU has become the character of this organization since it was founded by Hasyim Asy’ari. The term Nahdlatul ‘Ulama contains a literal meaning of ‘the awakening scholars’ which is ‘progressive.’ However, NU developed a different concept of theological ideals as a basis of its movement manifested in Jihad Resolution (Resolusi Jihad). In the contemporary context, Jihad resolution interpreted differently and affiliated with certain conceptual designation of Islam Nusantara, liberal Islam, and moderate Islam. It shows the internal segregation of intellectual tradition within NU which characterize the different ideological orientation albeit the similar substantial 260 theological and normative argument. While Islam Nusantara and moderate Islam are considered as the same, liberal Islam often critically conflictual with progressive Islam.

The historical engagement between NU and ecological issues, and agrarian sovereignty in particular, made the Progressive youth of NU establish an ecologically based movement called Front Nahdliyin for the Sovereignty of Natural Resources (FNKSDA, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam). This movement has a mission to strengthen and support the economic, political and cultural struggle of the victims of agrarian conflict and natural resources in accordance with the mandate of Article 33 of the 1945 Constitution and the Basic Agrarian Law (UUPA). It is also a coordination forum between NU Jamaahs who have concerns about natural resource management conflicts, such as air, water, land, and everything contained therein, especially those occurring on the NU base. The establishment of this movement initiated by the young activist of NU in 2012 as a response to the destruction of natural resources around the Java province in particular and Indonesia in general (Kodir and Mushoffa, 2017: 64). To run their agenda and legitimize their ideological basis of movement, they transform the idea of ‘Resolusi Jihad’ to ‘Jihad against capitalism.’ Further, they do not subscribe the mutual opposition of Islam as ideas and practices such as Hegelian idealism and Marxist materialism, which means both should be in balanced in understanding and implementing religious ethics.

In differs with Muhammadiyah, FNKSDA moves beyond the official structure of the NU. They based their ecological activism on the sources of Islamic law, the Qur'an and the Hadith, and the results of the NU congress (Kodir and Mushoffa, 2017: 74). After broadcasting ‘Press Release’ with the Nahdlatul Ulama Board (PBNU), FNKSDA directly advocates ideally and materially with a focus on mining cases. One of the advocacies is the case of the construction of a cement factory in Kendeng which has occurred since 2007. The advocacy from FNKSDA takes into consideration the socio-ecological and political argument in Kendeng Mountain. FNKSDA therefore requires: 1. Central Java Governor to revoke Environmental Permit PT Semen Indonesia No. 1/17 of 2012 on Environmental Permit for Mining Activities by PT. Semen Gresik (Persero) Tbk, in Rembang District, Central Java Province. 2. Governor of Central Java to stop the process of building a factory PT. SI because it will adversely affect the carrying capacity of the environment in the karst area of CAT Watuputih. 261

3. The Governor of Central Java to immediately carry out recommendations from KOMNAS HAM to stop the construction of a cement plant in Rembang Regency. 4. The Commander of Regional Military Command IV and Central Java Police Chief should have pulled out TNI soldiers and police members from the location of PT SI factory for allegedly doing discriminatory actions and involved intimidating the community, especially those who reject PT SI. 5. General Director of Geology to enacted the CAT Watuputih area as a stretch of karst and to legitimate the prohibition of ongoing mining activities in the area. 6. President and Vice President should involve in solving this problem. In addition, FNKSDA also develops Pesantren Agraria (agrarian schools) which examine and interpret the normative arguments in the Qur'an and Hadith on environmental issues as well as the threat of capitalist paradigm and focus on grassroots moves for cadres and victims of agrarian conflicts. This concept is different with Eco-Pesantren developed by the Minister of Environment as describred above.

At this point, we can assume that Muhammadiyah and NU have succeeded in conducting environmental activism beyond superficial ecological forms such as reforestation, conservation, recycle, and protection. This means that Muhammadiyah and NU with progressive thought and activism are able to transform the values and norms of nature contained in the Qur'an and Hadith to a wider, radical, and socially engaged implementation towards the victims of agrarian conflict and the mustad'afin that has been absent from mainstream ecology concerns in Indonesia.

The success of Muhammadiyah in advocating natural resources in the legal system opens opportunities for Indonesia to adopt the rights of nature in constitution or what so- called as ‘parliament of things,’ as has been done by New Zealand, Ecuador and Bolivia. This can prevent the larger exploitation of nature and lead to sustainable development. While NU advocacy for agrarian conflicts against capitalism and developmentalism on the other hand addresses environmental rights and the rights of farmer as the guardian of nature and producers of barns by the fact that farmer, women and the elderly are the most affected victims of crisis.

CONCLUDING REMARKS

262

Indonesia has supported many programs that have concerns on ecological and environmental issues, both in academic discourse and governmental structural policies. However, this is not enough in a sense that the threat of climate change and ecological crisis being greater than the undertaken activism, makes this kind of environmentalism is regarded as shallow. Therefore, Islamic environmentalism should not only reform religious texts to legitimize current environmental conditions, but must also reform in the form of radical activism and concrete movements. Although we cannot resist development as the world continues to grow, there must be a deeper evaluation of development policies to be taken into consideration.

Nevertheless, this paper remains introspective in the wider potential of research on Islam and ecology. Discussing the role of two major organizations, Muhammadiyah and NU, which have been successful and struggling to uphold social and environmental justice, this paper suggests future ecological research not to discuss normative arguments only but to see the broader dynamics of ecological practice for enriching the new Islamic and ecological paradigm. In addition, since ecology has become a global and cross-disciplinary concern, it is time for Islam and its educational institutions to pay more attention to environmental issues.

BIBLIOGRAPHY Ahmed, S. (2015). What is Islam?: The Importance of Being Islamic. Princeton University Press. Al Fayyadl, M. (2015). Apa itu Islam Progresif? retrieved from http://islambergerak.com/2015/07/apa-itu-islam-progresif/ Al Fayyadl, M. (2016). Generasi Muhammadiyah Progresif. retrieved from http://islambergerak.com/2016/04/generasi-muhammadiyah-progresif-2/ Amri, U. (2013). From theology to a praxis of ‘‘Eco-Jihad’’: the role of religious civil society organizations in combating climate change in Indonesia. How the World’s Religions Are Responding to Climate Change: Social Scientific Investigations. New York: Routledge. Anugrah, I. (2015). Recent Studies on Indonesian Islam: A Sign of Intellectual Exhaustion?. Indonesia, 100(1), 105-116. Aoki, T. (2015). 6 Islamic NGOs on environmental problems in Indonesia. NGOs in the Muslim World: Faith and Social Services, 69. Ardiansyah, F. (2014). What goes unsaid: Indonesian’s environment, retrieved from http://www.newmandala.org/what-goes-unsaid-indonesias-environment/ Bagir, Z. A. and Najiyah M. (2016). “Islam; Norms and practices” in Jenkins, W. J., Tucker, M. E., & Grim, J. (Eds.). Routledge handbook of religion and ecology. Routledge. 263

Bauman, W. A., & Bohannon, R. (Eds.). (2011). Grounding religion: A field guide to the study of religion and ecology. Taylor & Francis. Blok, A., & Jensen, T. E. (2011). Bruno Latour: Hybrid thoughts in a hybrid world. Routledge. Bustamam-Ahmad, K. (2011). Contemporary Islamic Thought in Indonesian and Malay World: Islam Liberal, Islam Hadhari, and Islam Progresif. Journal of Indonesian Islam, 5(1), 91-129. Efendi, D. (2015). Jihad Ekologis ala Muhammadiyah. Retrieved from http://davidefendi.staff.umy.ac.id/2015/05/25/jihad-ekologis-ala-muhammadiyah/ Efendi, D. (2017). Gerakan Sosial-Ekologi Muhammadiyah. Retrieved from http://www.suaramuhammadiyah.id/2017/05/14/gerakan-sosial-ekologi-muhammadiyah/ Esack, F. (2003). In search of progressive Islam beyond 9/11. Progressive Muslims: On justice, gender, and pluralism, 78-97. Fauzia, A. (2013). Faith and the state: A history of Islamic philanthropy in Indonesia (Vol. 1). Brill. Foltz, R. (2014). Animals in Islamic traditions and Muslim cultures. Oneworld Publications. Foltz, R. C. (2003). Islamic environmentalism: A matter of interpretation. Islam and ecology, 249-279. Haara, S. (2012). Indonesia–The ‘Perfect Model’for Islam and Democracy?.

Hardin, G. (2009). The Tragedy of the Commons∗. Journal of Natural Resources Policy Research, 1(3), 243-253. Hefner, R. W. (2011). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton University Press. Hidayat, A. (2015). Pendidikan Islam dan Lingkungan Hidup. Jurnal Pendidikan Islam, 4(2), 373-389. Huda, S. (2011). Teologi Mustad’afin di Indonesia: Kajian atas Teologi Muhammadiyah. TSAQAFAH, 7(2), 345-374. Huda, S. (2011). Teologi Mustad’afin di Indonesia: Kajian atas Teologi Muhammadiyah. TSAQAFAH, 7(2), 345-374. Hughes, J. (2013). Islamic Extremism and the War of Ideas: Lessons from Indonesia (No. 592). Hoover Press. Jenkins, W. (2009). After Lynn White: Religious ethics and environmental problems. Journal of Religious Ethics, 37(2), 283-309. Johns, A. H. (1993). Islamization in Southeast Asia: Reflections and reconsiderations with special reference to the role of Sufism. Karamustafa, A. (2003). Islam: A civilizational project in progress. Progressive Muslims: On Justice, Gender and Pluralism (Oxford, Oneworld).

264

Kodir, A. and Mushoffa, I. (2017). Islam, Agrarian Struggle, and Natural Resources: The Exertion of Front Nahdliyin for Sovereignty of Natural Resources Struggle Towards Socio- Ecological Crisis in Indonesia. KARSA: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman, 25(1), 57-89. Laarse, M. C. (2016). Environmentalism in Indonesia Today (Master's thesis). Maarif, S. (2015). Ammatoan Indigenous Religion and Forest Conservation. Worldviews: Global Religions, Culture, and Ecology, 19 (2), 144-160. Mangunjaya, F. M. (2011). Developing environmental awareness and conservation through Islamic teaching. Journal of Islamic Studies, 22(1), 36-49. Mangunjaya, F. M. (2014). Ekopesantren: bagaimana merancang pesantren ramah lingkungan?. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Mangunjaya, F. M., & McKay, J. E. (2012). Reviving an Islamic approach for environmental conservation in Indonesia. Worldviews: Global Religions, Culture, and Ecology, 16(3), 286- 305. Masuzawa, T. (2005). The invention of world religions: Or, how European universalism was preserved in the language of pluralism. University of Chicago Press. Mujani, S., & Liddle, R. W. (2004). Politics, Islam, and public opinion. Journal of Democracy, 15(1), 109-123. Mukhlis, M. (2011). Metodologi Muslim Progresif dalam Memahami Pesan Sejati Al- Qur'an. Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, 11(1), 29-53. Mutaqin, Z. Z. (2014). Penghayat, orthodoxy and the legal politics of the state: The survival of Agama Djawa Sunda (Madraisism) in Indonesia. Indonesia and the Malay World, 42(122), 1-23. Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. Saeed, A. (2006). Islamic thought: An introduction. Routledge. Safi, O. (2003). Progressive Muslims: On Gender, Justice, and Pluralism. Oxford, Oneworld. Safi, O. (2003). What is progressive Islam?. ISIM Newsletter, 13, 2. Saniotis, A. (2012). Muslims and ecology: fostering Islamic environmental ethics. Contemporary Islam, 6(2), 155-171. Simanjuntak, L. (2017). Why Climate Change Matters to Southeast Asia?. ASEAN Focus, 13, 1. Smith, W. C. (1964). The meaning and end of religion. Fortress Press. Taylor, D. E. (2000). The rise of the environmental justice paradigm: Injustice framing and the social construction of environmental discourses. American behavioral scientist, 43(4), 508-580. Vincenti, D. (2017). “Green” Islam and social movements for sustainability: socio- ecological transitions in the Muslim world (Doctoral dissertation, LUISS Guido Carli).

265

Yusdani, Y. (2016). Pemikiran Dan Gerakan Muslim Progresif. El Tarbawi, 8(2), 146-160.

266

PERAN MEDIA DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

LISA AGUSTIANA UIN SUNAN KALIJAGA [email protected] 081317130093

Abstrak Peran media dalam kehidupan sosial saat ini, tidak dipungkiri lagi. Walaupun banyak yang berbeda pendapat tentang pandangan media, namun tidak ada yang menyangkal atas peran media yang sangat signifikan. Penelitian ini berawal dari realita yang terjadi di SMA NU Palembang. Dari hasil observasi awal, menunjukkan bahwa, peran media sangat berkembang pesat dalam gaya hidup siswa, yaitu siswa tidak terlepas dari kecanggihan teknologi, dampak yang dirasakan dari media siswa lebih memilih menggunakan media elektronik seperti e-book dalam belajar. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui seberapa besar peran media dalam Pendidikan Agama Islam. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif. Sumber data yang digunakan ada dua, yaitu data primer diperoleh dari wakil kepala sekolah bidang kurikulum, guru dan siswa yang menjadi informan, dan data sekunder berasal dari document dan literature yang mendukung dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, peran media sangatlah berpengaruh terhadap siswa. Hasil yang diharapkan media membawa peran yang baik, namun media juga sering dianggap sebagai a mirror of events in society and the world, implying a faithful reflection. Padahal sesungguhnya, angle, arah, dan framing dari isi yang dianggap sebagai cermin realitas tersebut diputuskan oleh para profesional media, dan khalayak tidak sepenuhnya bebas untuk mengetahui apa yang mereka inginkan. Terutama bagi siswa yang hanya menerima begitu saja apa yang disampaikan oleh media, tanpa memfilter terlebih dahulu kebenaranya.

Kata kunci : Media, Pendidikan, Kehidupan Sosial

PENDAHULUAN

Saat ini media perkembanganya semakin pesat. Tidak dipungkiri peran media dalam berbagai aspek yang terjadi telah mendominasi. Salah satunya dalam dunia Pendidikan, media bukanlah suatu hal yang baru dalam pembelajaran. Dahulu media yang digunakan hanyalah terpusat pada guru. Namun perkembangan yang terjadi media tidak hanya terpusat pada guru. Berbagai media baik elektronik, visual, audiovisual, dan lainnya turut peran dalam pembelajaran demi tercapainya tujuan dalam pembelajaran. Berkembangnya teknologi yang sangat maju, menjadikan semakin mudahnya untuk mengakses berbagai informasi dengan cepat dalam satu genggaman tangan.

267

Menurut UUSPN No. 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan segala potensinya berupa kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara44.

Pendidikan memiliki peran dalam mencerdaskan siswa, memperluas dan mengembangkan keilmuan mereka, dan membantu mereka agar mampu menjawab tantangan dan gagasan baru dimasa mendatang. Pendidikan Islam adalah proses pembentukan kepribadian individu sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah, sehingga individu yang bersangkutan dapat mencerminkan kepribadian muslim, yang berakhlak al karimah45. Peningkatan mutu pendidikan pada jenjang sekolah sangtlah diharuskan. Termasuk peningkatan mutu dalam Pendidikan Agama Islam di sekolah. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam meningkatkan mutu pembalajaran PAI yaitu aspek pembelajaran, materi, media, dan evaluasi.

Pengembangan standar PAIKEMI (pembelajaran, aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan dan islami) dalam pembelajaran merupakan sarana media baru yang wajib diterapkan dalam pembelajaran di kelas. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti pada tanggal 04 Agustus sampai dengan 17 September 2016 di SMA NU Palembang, peneliti menemukan permasalahan perpustakaan terlihat sepi. Hanya disaat waktu tertentu perpustakaan ramai. Dijalan pun kebanyakan siswa selalu menggenggam handphone, hal ini menandakan bahwa siswa terbawa arus deras kemajuan teknologi. Namun disayangkan pemanfaatan kecanggihan teknologi yang mereka punya kurang dimanfaatkan secara optimal.

Bahkan pada saat jam pelajaran dimulai beberapa siswa tidak membawa buku pelajaran. Ada juga siswa yang bertanya kepada gurunya bu bolehkah membuka google ? padahal buku pelajaran sudah ada tapi mereka tidak membacanya. Dan siswa lebih menyukai pembelajaran dengan metode ceramah yang terpusat oleh guru dari pada siswa belajar mandiri. Kemajuan teknologi media yang mereka punya membuat siswa malas membaca buku, karena siswa hanya mengandalkan informasi yang diperoleh melalui google. Hal

44 Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20, Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Penerbit Citra Umbara, 2003), hal 3 45Rusmaini. Ilmu Pendidikan. 2013, (Depok: Pustaka Felicha), hlm. 9 268

yang sangat disayangkan disaat jam pelajaran sedang berlangsung banyak siswa menggunakan handphone di kelas. Di dalam lingkungan sekolah seharusnya siswa menggunakan bahasa Indonesia, namun yang terjadi di lapangan masih banyak siswa yang menggunakan bahasa ibu atau bahasa gaul yang lagi trend di kalangan remaja saat ini. Berdasarkan masalah yang ditemukan, peneliti mencoba mengamati kebiasaan siswa sehari-hari di sekolah, yang dapat digunakan untuk membantu mengatasi kesulitan guru dan siswa khususnya untuk melihat seberapa besar pengaruh peran media dalam PAI. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan peran media dalam PAI, khususnya di SMA NU Palembang. Apakah dengan peran media dalam PAI dapat mengembangkan prestasi belajar siswa, khususnya prestasi belajar Pendidikan Agama Islam akan semakin lebih baik.

PEMBAHASAN

Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi (Sadiman,2002:6). Pada hakikatnya media telah memperluas atau memperpanjang kemampuan manusia untuk merasakan, mendengar dan melihat batas-batas jarak, ruang dan waktu tertentu, kini dengan bentuan media batas- batas itu hampir menjadi tidak ada.

Sedangkan menurut menurut Blake dengan Horalsen, media adalah saluran dimana perantara ini merupakan jalan atau alat untuk lalu lintas suatu pesan antara komunikator dengan komunikan. Briggs, yang mendefinisikan segala bentuk alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Dari dua definisi ini tampak pengertian media mengacu pada penggunaan alat yang berupa benda untuk membantu proses penyampaian pesan (Azhar Arshad, 2007,3). Dengan demikian, kalau ada teknologi pengajaran agama misalnya, maka itu akan membahas masalah bagaimana kita memakai media dan alat bantu dalam proses mengajar agama, akan membahas masalah keterampilan, sikap, perbuatan, dan strategi mengajarkan agama. Jadi media adalah

269 perantara untuk mempercepat penyampaian pesan dari guru kesiswa dalam proses pembelajaran dikelas.

Pendidikan agama terdiri atas dua kata, yaitu “pendidikan” dan “agama”. Kata pendidikan secara etimologi berasal dari kata didik yang berarti “proses perubahan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pendidikan dan latihan. Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak.Istilah ini kemudian diterjamhkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata education yang berarti pengembangan atau bimbingan (Abdul Rachman Shaleh,2005: 1-2).

Sementara itu, kata religi bersal dari bahasa Latin relegere yang berarti kumpulan atau bacaan.Adapun arti agama secara istilah adalah pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. Agama dapat pula berarti ajaran-ajaran yang di wahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul. Dengan demikian pendidikan agama adalah pendidikan yang materi bimbingan dan arahnya adalah ajaran agama yang ditujukan agar manusia mempercayainya dengan sepenuh hati akan adanya Tuhan, patuh dan tunduk melaksankan perintah-Nya dalam bentuk beribadah, dan berakhalak mulia.

Dzakiah Daradjat yang dikutip oleh Abdul Rachman Shaleh menjelaskan pengertian Pendidikan Agama Islam, sebagai berikut : a) Pendidikan Agama Islam adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life) b) Pendidikan Agama Islam ialah pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam c) Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan melalui ajarana-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah di yakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupan demi

270

keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat kelak (Abdul Rachman Shaleh, 2005: 4)

Dapat disimpulkan bahawa Pendidikan Agama Islam adalah membentuk kepribadian peserta didik menjadi manusia paripurna, sebagai Abd Allah dan khalifah fi al-ard yang berakhlak al-karimah, secara serasi dan seimbang dalam berbagi bidang kehidupan. Adapun peran media dalam Pendidikan yaitu (Arsyad, Ashar, 2002:99-100) :

a. Menjelaskan materi pembelajaran atau obyek yang abstrak (tidak nyata) menjadi konkret nyata. b. Memberikan pengalaman nyata dan langsung karena siswa dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan tempat belajarnya.

c. Mempelajari materi pembelajaran secara berulang-ulang.

d. Memungkinkan adanya persamaan pendapat dan persepsi yang benar terhadap suatu materi pembelajaran atau obyek.

e. Menarik perhatian siswa, sehingga membangkitkan minat, motivasi, aktivitas, dan kreativitas belajar siswa.

f. Membantu siswa belajar secara individual, kelmpok, atau klasikal.

g. Materi pembelajaran lebih lama diingat dan mudah untuk diungkapkan kembali dengan cepat dan tepat.

h. Mempermudah dan mempercepat guru menyajikan materi pembelajaran sehingga siswa mudah mengerti serta mengatasi ruang, waktu dan indera.

Tahap penelitian ini, peneliti melakukan penelitian selama satu bulan dengan melakukan pertemuan terhadap guru PAI yaitu Abdul Rahman Lubis. Beliau juga merupakan lulusan sarjana Pendidikan Agama Islam, beliau mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam kelas X di SMA NU Palembang. Dalam proses belajar-mengajar, media mempunyai peran untuk mendorong, mempercepat, dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran (Abdul Rahman Lubis, 2017). Sedangkan menurut pak Mahmud sebagai guru PAI di kelas X MIA 1 SMA NU Palembang, yang senada dengan pak Lubis bahwa media sebagai perantara menyampaikan pesan secara secapat dari guru kesiswa. Berbagai dampak dari media yang telah mempengaruhi siswa menjadi malas membaca buku, melainkan mengandalkan media teknologi seperti e-book yang menjadi sumber pembelajaran.

271

Hal ini terjadi karena pesatnya kemajuan teknologi saat ini yang udah diakses melalui genggaman tangan dengan berbagai informasi yang disediakan, namun sayangnya media teknologi yang berkembang pesat dan memudahkan siswa untuk mendapatkan informasi lebih cepat, menjadikan siswa malas belajar, dan mengambil jalan pintas untuk menyalahgunakan saat pembelajaran, seperti menyontek, dll (Mahmud, 2017).

Siswa cendrung mendapatkan informasi dari media tanpa memfilter apa yang didapatkan, padahal informasi yang disampaikan bukan murni informasi yang disajikan melainkan ada tambahan dan pengurangan dari penyaluran informasi tersebut. Salah satu factor untuk mempercepat tujuan pembelajaran adalah dengan tersedianya fasilitas yang baik, maka penunjang proses belajar harus digunakan dengan maksimal. Untuk itu selain pembelajaran yang didapatkan dari buku sekolah siswa, harus mencari referensi lain dari internet,, untuk memperluas khazana keilmuan siswa.

Dengan catatan tetap berpedoman pada buku sekolah, informasi yang didapatkan dari media seperti internet maupun majalah hanya untuk menambah informasi saja dan diukur kebenaranya terlebih dahulu dari buku sekolah. Jadi peran media dalam PAI sangatlah mempengaruhi kualitas pembalajaran siswa. Hal yang sangat disanyangkan pemanfaatkan media yang salah, menjadikan hampir 90% dari siswa yang menyalahgunakan pemanfaatan media tersebut. Dapat dilihat ketika pada saat ulangan siswa menggunakan media sebagai alasan mencontek, dan tidak jujur.

Padahal media sendiri memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap keberhasilan dalam pembelajaran, apa lagi dalam kehidupan social saat ini media teknologi tidak dapat dipungkiri lagi perkembangannya. Wawancara yang dilakukan kepada siswa M gilang Afuatri , mengatakan bahwa media sendiri sangat memberikan kemudahan dalam proses pembelajaran, mereka sering menggunakan e-book sebagai acuan pembelajaran tanpa terlebih dahulu membaca buku pelajaran yang sudah ada (M gilang Afuatri, 2017).

Hal ini berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ahmad Imammudin yang tidak terlalu mendominasi menggunakan media dalam belajar, ia lebih cendrung suka membaca buku text pelajaran baik dikelas maupun diperpustakaan (Ahmad Imammudin, 2017). Karena baginya membaca buku langsung dapat menghidupkan kembali budaya baca siswa disekolah. Peran media dalam PAI sangatlah berdampak, dapat dibuktikan dengan siswa lebih suka 272 belajar dengan suasana yang nyata, seperti siswa disajikan materi belajar dengan ilustrasi film pendek. Pemanfaatan waktu luang untuk mengunjungi perpustakaan dan menggali informasi tambahan diperpustakaan semakin jarang dilakukan hanya ada 10 dari 38 orang yang melakukannya. Sarana wifi disekolah digunakan siswa untuk berinteraksi dimedia social. Dan seringkali siswa tidak membawa buku pelajaran dikelas.

Padahal peran media dalam PAI sangatlah membantu guru dalam mencapai tujuan pembalajaran dengan cepat. Seperti adanya media film-film tentang nabi yang dapat digunakan guru dalam menjelaskan materi tentang kenabian, tanpa harus terpusat pada cermah guru yang sering kali monoton dan menjadikan siswa cepat bosan, sehingga siswa tidak tertarik dalam pembelajaraan. Keaktifan siswa didalam kelas pun sangatlah rendah. Mereka hanya mau mendengarkan dan sedikit feedback yang didapatkan dari interaksi guru dan siswa. Hal ini menjadikan kekhawatiran tersendiri akan peran media yang salah dimanfaatkan oleh siswa, dan menerima langsung apa yang ia dapatkan tanpa harus memfilternya terlebih dahulu.

KESIMPULAN Saat ini media yang sudah berkembang pesat sedemikian rupa, menjadikan sulitnya mengontrol dampak negative yang diambil oleh siswa. Media yang seharusnya memudahkan proses dan mempercepat penyampaian tujuan oleh guru, malah menjadikan perantara yang kurang baik bagi siswa, seperti hilangnya budaya membaca di perpustakaan. Di kehidupan sosial dewasa ini semua orang dapat mengakses informasi yang ia dapatkan dengan cepat, namun informasi yang didapatkan belum tentu real dengan kejadian yang ada. Apalagi dalam Pendidikan yang bertujuan menciptakan generasi muda berilmu pengetahuan yang tinggi dengan mengupayakan segala sarana dan prasarana yang terbaik dengan harpan tujuan Pendidikan dapat dicapai dengan baik.

273

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama Islam & Pengembangan Watak Bangsa,

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005

Arief S. Sadiman, dkk. (1990). Media Pendidikan (Pengertian, Pengembangan dan

Pemanfaatannya). Jakarta: CV. Rajawali

Arsyad, Ashar. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Depdiknas. 2003. Media pembelajaran. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar dan

Menengah Direktorat Tenaga Kependidikan

Hamalik, Oemar.1989. Media Pendidikan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti

I Nyoman Sudana. (1993) Media Pendidikan. Malang: FIP IKIP Malang

Nana Sudjana dan Ahmad Rivai. (1991). Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru.

Degeng.

Rusmaini. Ilmu Pendidikan. 2013, (Depok: Pustaka Felicha)

Sanaky, Hujair AH. 2009. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Safiria Insania Press.

Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20, Tentang Sistem Pendidikan

Nasional (Bandung: Penerbit Citra Umbara, 2003)

Usman, Basyirudin dan Asnawir. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: Delia Citra

Utama.

274

DAMPAK FANATISME BUDAYA KOREA TERHADAP GAYA HIDUP PENGGEMAR K-POP (Penelitian Pada Komunitas Online MonstaX Fans Club Monbebe Indonesia)

Oleh: Putri Amilosa Universitas Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Email: [email protected] 082260065210

Abstrak

Budaya Korea berkembang sangat pesat hingga diterima semua negara di dunia termasuk Indonesia. Produk dari budaya ini berupa K-Drama, K-pop, dan K-Style hingga K- Product. Akibat dari berkembangnya budaya Korea yang terkenal dengan Korean Wave atau Hallyu ini adalah sekelompok penggemar fanatik K-pop yang menamakan diri mereka K- popers yang kebanyakan mereka berasal dari kalangan remaja hingga dewasa berusia 15-25 tahun. Gaya hidup para fans berubah dengan perlahan merupakan dampak dari kefanatikan terhadap idola mereka. Penelitian ini berusaha menganalisis dampak fanatisme budaya Korea terhadap gaya hidup para penggemarnya. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualiatif. Teori yang digunakan adalah teori fanatisme dan gaya hidup dengan pendekatan psikologi. Subjek penelitian ini adalah anggota Monbebe (Fans Club MonstaX Indonesia) sebanyak 30 orang dan 4 orang informan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar anggota Monbebe merupakan murid sekolah dan mahasiswa yang masing- masing dari mereka memiliki nama Korea dan role model yang biasa mereka sebut dengan bias. Mereka menjadikan kehidupan idolanya sebagai kiblat dan motivasi hidup dalam berbagai aspek kehidupan, seperti: belajar Bahasa Korea dan menggunakannya dalam keseharian, melatih dance skill, rap dan vocal, hidup hedonis dengan menggunakan hampir seluruh uang mereka untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan K-pop seperti Original CD, K-pop marchandise, tiket konser dan tabungan ke Korea Selatan.

Kata Kunci: Fanatisme, Budaya Korea, Gaya Hidup, Penggemar K-pop.

PENDAHULUAN

Negara Indonesia menjadi salah satu negara yang saat ini terserang gelombang Korea atau Hallyu yang dalam Bahasa Inggris disebut dengan Korean Wave. Produk-produk budaya ini berupa budaya Korean Music Culture atau disebut dengan K-pop, K-Drama, K-fashion, K-Style, K-Beauty, hingga K-Culinary. Hal terebut dapat dilihat melalui fenomena yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2009, dimana dunia hiburan Korea mulai mendominasi dunia hiburan Indonesia. Objek dari budaya ini berpusat pada para idola yang menarik perhatian para kawula muda Indonesia yang dikemas dengan bagus dalam bentuk boyband dan girlband.

275

Dalam hal ini media sosial memiliki peranan yang sangat besar sebagai perantara antara penggemar dengan idolanya. Pada hakikatnya mereka tidak dapat berinteraksi dan bertemu secara langsung setiap harinya. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana seorang penggemar mulai gandrung mengkonsumsi televisi, mendengarkan radio, musik, Youtube dan internet untuk melihat idolanya setiap hari. Para penggemar akan secara otomatis membutuhkan banyak waktu untuk bertemu dengan idolanya dengan cara mengikuti semua acara idolanya secara teratur dan konsisten di dalam televisi atau internet.

Hal lain ditunjukkan dengan hubungan yang baik dan erat diantara para penggemar fanatik. Penggemar fanatik yang sebagian besar terdiri dari remaja dan dewasa awal akan lebih senang untuk berkumpul dengan teman-teman yang memiliki kesamaan dengan mereka salah satunya adalah kecintaan dan idola yang sama (Setyano: 2007, 1-14). Mereka tergabung dalam suatu komunitas online atau komunitas secara langsung dan saling berbagi segala informasi yang ingin mereka ketahui tentang idolanya. Hal ini berdampak pada bertambahnya kecintaan para penggemar terhadap idolanya karena adanya dukungan dari orang-orang disekitar mereka walaupun hanya melalui media online. Dunia online diketahui, saat ini telah memiliki kekuatan raksasa di era globalisasi seperti sekarang. Tidak sedikit masyarakat yang percaya dengan berita-berita online walaupun belum mengetahui aktualisasinya.

Pada tahun 2016-2017 ini saja terdapat setidaknya sepuluh konser dan fan- meet boyband dan girlband maupun solo dari idola Korea di Jakarta dengan penonton hampir puluhan ribu dengan harga tiket konser yang tidak murah. Beberapa grup idola yang mengadakan konser di Indoenesia adalah Exo, BTS, Super Junior, Girls Generation, Bigbang, Winner, dan Fan meeting seperti Got7, Seventeen, dan MonstaX. Tidak tebatas pada hal yang berhubungan dengan musik atau dunia hiburan, restoran Korea, pusat kursus Bahasa Korea, acara dan festival Korea laris manis oleh para pemuda-pemudi Indonesia. Hal ini juga berdampak pada konsumsi masyarakat terhadap produk-produk Korea mulai dari fashion dan kosmetik.

Hal-hal tersebut memperlihatkan bahwa fenomena budaya K-pop ini tidak hanya berhenti pada musik dan tariannya saja, tetapi berekspansi ke aspek budaya Korea lainnya (Margaretha: 2014, 3). Ekspansi budaya ini telah membuat negaranya bertambah maju dengan semakin banyaknya minat masyarakat Indonesia untuk berwisata ke Korea Selatan untuk melihat indahnya negara tersebut yang telah banyak diperlihatkan melalui drama dan MV atau Music Video dan untuk bertemu dengan idolanya yang terkenal karena kecantikan

276 dan ketampanan yang dianggap sempurna bahkan melebihi batas. Budaya ini bukan lagi sebagai tren tetapi sudah menjadi kebanggaan bagi para penggemar fanatiknya dan akhirnya berdampak pada gaya hidup para penggemar yang terbentuk dari pola pikir mereka terhadap para idola. Hal ini menunjukan bahwa Korea Selatan sebagai negara yang budayanya dapat diterima oleh berbagai negara di dunia melalui para idolanya khususnya Indonesia.

Bertolak dari fenomena budaya K-pop diatas, muncul berbagai pertanyaan apakah yang menjadikan budaya Korea bisa semeledak ini di Indonesia. Padahal sebelumnya Indonesia telah terekspansi oleh film-film India dan Hongkong yang tidak kalah romantis dan menghibur. Apakah kelebihan dari para idola sehingga menghasilkan penggemar-penggemar yang fanatik hingga menjadikan budaya Korea sebagai kiblat gaya hidup mereka. Berbagai dampak yang terjadi setelah masuknya budaya Korea ke Indonesia melalui K-pop, apakah dampak positif ataukah negatif pada gaya hidup para penggemarnya. Permasalahan yang ditemukan oleh peneliti dari penelitian ini adalah gaya hidup yang muncul dari para penggemar fanatik K-pop terhadap Budaya Korea yang sudah mulai menjadi konsumsi keseharian remaja-remaja di Indonesia. Dalam menggemari seorang idola, seseorang yang fanatik akan akan bersifat overacting dalam apa yang disukainya.

Melalui penelitian ini, peneliti akan mengungkapkan dampak fanatisme budaya Korea terhadap gaya hidup penggemar K-pop. Penelitian ini akan meneliti 30 subyek yang merupakan penggemar fanatik K-pop yang tergabung dalam Komunitas online Fans Club MonstaX Monbebe Indonesia dan 4 orang informan dari penggemar dan non penggemar K- Pop. Monbebe merupakan fandom dari boyband asal Korea Selatan yang berada dibawah naungan Starship Entertaiment. MonstaX merupakan salah satu boyband yang membawa dampak Hallyu atau Korean Wave dalam bidang musik yang kini sudah menjamur di kalangan remaja dan dewasa awal Indonesia. Penelitian ini menggunakan teknik deep interview, observasi perilaku objek melalui kuesioner yang dibagikan. Desain penelitian ini adalah kualitatif dengan metode deskriptif melalui teori fanatisme dan gaya hidup dengan pendekatan psikologi remaja dan dewasa awal.

LANDASAN TEORI

Fanatisme

Kata fanatisme dan fanatik berasal dari Bahasa Latin fanatike (fren-ziedly, ragingly) dan (enthusiastic; raging, fanatikal, furious). Kalimat tersebut berdasarkan pada kata benda

277 yang berarti tempat yang dutujukan pada dewa, tempat suci, kuil). Kata tersebut juga serupa dengan kata kerja fano yang berarti mencurahkan (Marima: 2011, 30). Menggabungkan kata benda fanum dan kata sifat fanatikus, kata fanatik dapat dipahami sebagai, contohnya, “sebuah kuil pemujaan bagi orang-orang yang penuh kegilaan” (Marima: 2011, 30). Dominique Colas seorang Profesor Ilmu Politik yang mempelajari ketegangan antara masyarakat sipil dengan fanatisme yang menggambarkan orang-orang fanatik dengan cukup ringkas yaitu sebagai penyerang kuil, pencemar relik, penentang dan pengutuk para dewa (Marima: 2011, 30). Dalam Webster’s Encyclopedic Unabridged Dictionary of the English Language menjelaskan menjelaskan fanatik sebagai a person with an extreme and uncritical enthusiasm or zeal, as a religion or politics (Marima: 2011, 30.) Artinya fanatik adalah sifat seseorang dengan antusiasme dan semangat yang ekstrim dan tidak memiliki kritikan terhadap agama atau politik. Seorang yang fanatik jarang menjadi kritis sehingga mereka akan menerima segala kebaikan dan keburukan sesuatu yang mereka puja tanpa mempertimbangkan hal yang lain.

Fanatisme didefinisikan sebagai pengapdian yang luar biasa untuk sebuah objek, dimana “pengapdian” terdiri dari gairah, keintiman, dan dedikasi, dan “luar biasa” berarti melampaui, rata-rata biasa yang biasa, atau tingkat. Objek dapat mengacu pada sebuah merek, produk, orang (misalnya selebriti), acara televisi, atau kegiatan konsumsi lainnya. Fanatik cenderung bersikeras terhadap ide-ide mereka yang menganggap diri sendiri atau kelompok mereka benar dan mengabaikan semua fakta atau argumen yang mungkin bertentangan dengan pemikiran atau keyakinan (Chung: 2008, 333-340).

Fanatisme hampir selalu dilihat dan dipelajari sebagai fenomena komunal (bersama- sama), banyak penggemar menunjukkan hal yang sangat menarik pandangan yaitu mereka merasa bahwa memiliki komunitas fans akan mengikuti perubahan dan perkembangan obyek mereka. (Pertiwi: 2013, 130) Sifat fanatik ini akan berkembang dengan adanya dorongan yang mendukungnya seperti lingkungan sekitar dan informasi terkait idola mereka sehingga mereka merasakan candu pada hal tersebut.

Budaya Korea

Menurut bahasa budaya berarti pikiran, hasil, atau akal budi (Kemendiknas: 2013, 180). Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. 278

Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi (Bungin: 2007, 52).s Budaya juga dapat diartikan sebagai pandangan hidup dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu atau merujuk pada karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktifitas artistik (Storey: 2003, 2-3).

Sedangkan menurut Raymond Williams, tokoh studi budaya (cultural studies) dari Inggris, memberikan beberapa definisi mengenai budaya. Pertama, budaya dapat digunakan untuk mengacu pada suatu proses umum perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis. Kedua, budaya berarti pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu. Selain itu, Williams juga mengatakan bahwa budaya pun bisa merujuk pada karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas artistik. Dengan kata lain, teks-teks dan praktik-praktik itu diandaikan memiliki fungsi utama menunjukkan, menandakan, memproduksi, atau kadang menjadi peristiwa yang menciptakan makna tertentu (Kaparang: 2013, 7-15).

Budaya Korea adalah adat istiadat yang telah berkembang dan menjadi perilaku aktif seseorang diambil dari negeri Korea Selatan. Budaya Korea yang diambil oleh para penggemar K-pop adalah segala sesuatu yang mereka lihat dan dapatkan dengan cara mengadaptasi para idola khususnya gaya hidup.

Gaya Hidup

Gaya hidup adalah konsep yang lebih baru dan lebih mudah terukur dibandingkan dengan kepribadian. Gaya hidup menurut Engel, Blackwell dan Iniard didefinisikan sebagai pola di mana orang hidup dengan menggunakan uang dan waktunya (Listyorini: 2012, 14). Sebagaimana dijelaskan oleh Mandey gaya hidup mengacu pada suatu pola kosumsi yang mencerminkan pilihan seseorang terhadap berbagai hal serta bagaimana menghabiskan waktu dan uangnya (Ajiwibawani: 2015, 6-14).

Gaya hidup para K-popers berarti gaya hidup dimana didalamnya para penggemar menghabiskan waktu dan uang mereka untuk idola mereka demi memuaskan jiwa dan raga. Gaya hidup yang pada akhirnya menentukan pilihan mereka pada konsumsi seseorang terliat dari hasil pembelanjaan yang berupa K-pop stuff dan tiket konser dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Gaya hidup membuat seseorang menjadi lebih eksis dalam hal tertentu dalam suatu kelompok.

279

Penggemar K-pop

Penggemar adalah nyawa dari hidupnya seorang idola K-pop di Korea. K-pop sendiri merupakan jenis lagu Korea dengan gendre hip-hop, electronic, rock, dan R’ n ‘B. Lagu-lagu Korea ini dibuat sangat bagus, manis, dan nikmat untuk didengarkan sehingga memiliki banyak penggemar. Penggemar merupakan seseorang yang menggemari sesuatu dengan antusias dan secara kolektif kelompok penggemar akan membentuk basis penggemar fanbase atau fandom (Mahmudah: 2015, 3). Fanbase yaitu suatu forum yang ditunjukan untuk mendukung seorang idola sedangkan fandom adalah istilah untuk kumpulan fans dari seorang idola (Simbar: 2016, 8-20). Contohnya seperti, VIP fandom dari Bigbang, BLINK fandom dari BlackPink, dan Monbebe fandom dari MonstaX.

Banyaknya idola K-pop saat ini menumbuhkan banyak sekali fanbase dan fandom. Dalam hal ini fandom lebih memiliki pengaruh dalam meningkatnya pertumbuhan fanatisme dalam diri penggemar dari biasa menjadi fanatik, fanatik menjadi sasaeng fans atau penguntit. Fandom cenderung memiliki kesetiaan yang tinggi pada idolanya sebagai contohnya fandom MonstaX Indonesia memiliki Official group online di berbagai media sosial termasuk Line yang setiap harinya dapat menghasilkan ribuan bahkan puluhan ribu obrolan dari ratusan member di dalamnya. Mereka akan rajin berbagi info tentang jadwal comeback, V-life, konser, dan fan-meet. Dalam fandom tersebut juga selalu dianjurkan untuk selalu mendukung idolanya dengan membeli official CD, melakukan music streaming, dan memvoting idola untuk memenangkan suatu penghargaan melalui situs atau aplikasi musik Korea Selatan yang akan membantu meningkatkan popularitas idolanya.

Pada dasarnya K-pop tidaklah berdiri sediri, karena ia merupakan salah satu produk dari hallyu wave. Hallyu dalam Bahasa Korea berarti sungai Han, Han tersebut mengacu pada Hankuk atau Korea. Istilah ini diciptakan oleh media massa Cina tempat asal muasal Hallyu berkembang sejak tahun 1997 dengan ditayangkannya Drama Korea berjudul “What Is Love All About (Sarangi Mwo Gille). Dari sini Cina mulai menayangkan drama-drama Korea lainnya yang menurut mereka bagus (Simbar: 2016). Selain itu pada tahun 1997 adalah cikal bakal dari berjayanya boyband dan girlband legendaris Korea yaitu H.O.T dan S.E.S besutan SM Entertaiment yang pada saat itu belum ada boyband dan girlband di Cina. Bermula dari Cina inilah produk K-Drama dan K-pop menyebar ke Taiwan, Vietnam, dan negara-negara Asia lainnya salah satunya yaitu Indonesia.

280

Di Indonesia sendiri sebenarnya Drama Korea sudah ada sejak tahun 90an seperti Winter Sonata dan Autumn in My Heart, namun baru benar-benar meledak setelah munculnya “Boys Before Flower” dan mulai dikenalnya boyband Super Junior dan girlband SNSD pada tahun 2008. Hebatnya, hallyu ini tidak dapat diprediksi sampai kapan budaya tersebut akan terus bertahan karena semakin berkembang pula teknologi dan ilmu pengetahuan dalam mengemas suatu produk budaya dengan baik dan menarik.

Hal lain terbukti dengan mengglobalnya K-pop di Amerika, Jepang, Perancis, Italia, hingga negara-negara di Timur Tengah yang pada dasarnya tidak memahami Bahasa Korea. Melalui K-pop ini para idola tidak hanya mengusung lagu yang bagus namun juga performance yang maksimal dengan dance, fashion, make up, dan tentunya wajah dan bentuk tubuh yang menawan. Hal inilah yang belum ditemukan pada boyband atau girlband dari negara Barat yang sempat membooming di Indonesia pada awal millennium seperti Westlife dan Backstreet boys. Para Idola Korea dipaksa oleh para agensinya untuk memiliki kesempurnaan dalam segala hal termasuk gaya hidup untuk menguasai pasaran manusia. Dalam hal gaya hidup misalnya, adalah para idola tidak bisa bebas bertemu teman atau keluarga, memiliki jadwal super padat, diet ketat, dan prosedur kecantikan yang semuanya diatur oleh agensinya

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dampak fenomena K-pop dalam penelitian ini terkait dengan resepsi dan reaksi dari praktik gaya hidup budaya Korea melalui jejaring online dalam sebuah komunitas penggemar bernama fandom. K-pop merupakan salah satu produk budaya Korea Selatan yang telah mendunia dan diminati oleh banyak orang yang terdapat di setiap negara. Wujudnya saat ini, K-pop seperti aliran non agama tersendiri yang memiliki banyak penggemar fanatik karena mampu membuat penggemarnya memiliki ikatan emosional yang mendalam dengan para idola dan negara asalnya.

Dari hasil wawancara dan kuesioner yang telah diedarkan kepada koresponden sebanyak 30 orang subjek penelitian dan 4 informan terdiri dari 2 penggemar K-pop dan 2 bukan penggemar K-pop.

Hasil wawancara dan jawaban dari kuesioner menunjukkan bahwa penggemar fanatik K-pop dilihat dari usianya mayoritas berasal dari remaja dan dewasa berumur 17-26 tahun.

281

Didapati dari penelitian bahwa penggemar fanatik K-pop yang kebanyakan merupakan orang- orang yang sudah dapat menghasilkan uang dari jerih payah sendiri atau memiliki uang saku yang lebih dari cukup. Diketahui bahwa penggemar fanatik K-pop yang berasal dari umur 16- 26 tahun yaitu para remaja hingga dewasa awal yan merupakan anak sekolah tingkat menengah hingga para mahasiswa dan beberapa orang yang sudah bekerja.

Faktor-faktor kefanatikan dari para penggemar K-pop yaitu internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang datang dari diri mereka sendiri seperti melakukan hal-hal yang dapat memuaskan diri mereka sendiri terhadap idola. Hal-hal tersebut diantaranya adalah: membeli Officcial Music CD yang langsung datang dari Korea Selatan dengan harga ratusan ribu rupiah, menonton konser dan fan-meet dengan harga tiket mulai 1-3,5 juta rupiah, membeli K-pop idol stuff dan menggunakannya dalam keseharian untuk menunjukkan identitas mereka yang seorang K-popers seperti topi, tas ransel, kaos, hoodie, jaket, kemeja, kosmetik, dan berbagai akseseoris lainnya yang berlambangkan K-pop dengan harga yang lagi-lagi tidaklah murah dan dapat dicapai oleh seseorang dengan uang jajan pas-pasan. Barang-barang tersebut biasa mereka beli melalui online shop di Instagram atau teman di fandom yang sama. Faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar diri mereka seperti dukungan dari orang-orang terdekat atau kelompok yang mereka ikuti yang disebut fandom.

Menurut Storey kelompok penggemar dilihat sebagai perilaku yang berlebihan dan mendekati kegilaan. Mereka cenderung terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sesuatu yang digemari, dalam hal ini adalah boyband yang menjadi idola mereka (Raharja: 2015, 12). Perilaku para penggemar fanatik ini juga sesuai dnegan penuturan Jenkis, yaitu kelompok penggemar hakikatnya adalah pejuang yang menciptakan budaya partisipatoris (Raharja: 2015, 13). Karena kegilaan yang tidak dirasakan oleh para penggemar ini, mereka akan dengan sangat senang hati untuk menghabiskan uang saku dan tabungan mereka selama berbulan-bulan untuk membeli segala hal yang berhubungan dengan para idola Korea. Sifat berlebihan ini juga terliat dari chat room para anggota fandom di Line seperti memanggil idola mereka dengan sebutan oppa, suami, atau pacar.

Banyaknya konser boyband dan girlband di Indonesia membuat bandara Soekarno Hatta menjadi sarang berkumpulnya para K-popers dari berbagai daerah untuk menyambut kedatangan para idolanya. Melalui wawancara, didapatkan bahwa kebanyakan penggemar K- pop fanatik tidak akan puas hanya dengan menonton idolanya dan Korea Selatan hanya

282 melalui internet. Hal ini dibuktikan dengan 10% dari responden telah berhasil datang ke Negara tersebut dan mendatangi tempat atau kantor agensi idola mereka bekerja, sedangkan 90% lainnya walaupun belum dapat datang ke Korea Selatan tetap memiliki keinginan untuk mendatangi negara asal K-pop tersebut dan telah mulai menabung dari gaji ataupun uang saku mereka setiap bulannya. Distribusi mereka terhadap idola mereka membuat mereka bangga dan atas kesetiaan dan pemujaan mereka terhadap idola mereka.

Salah satu narasumber yang merupakan penggemar fanatik K-pop mengaku telah menghabiskan uang belasan juta untuk menonton konser idola Korea sejak tahun 2010 hingga sekarang. Dia juga menyimpan hampir 2000 video, drama, dan variety show Korea. Beberapa anggota Monbebe Indonesia yang bertempat tinggal di Jakartas memiliki kebiasaan menjemput dan mengantarkan semua idola Korea yang datang ke Indonesia dan hendak pulang ke Korea Selatan dengan berkumpul di Bandara Soekarno Hatta dengan perlengkapan berupa welcome banner dan hadiah. Merayakan hari ulang tahun sang idola dengan membuat poster dan menyebarkannya secara online agar menjadi viral adalah salah satu cara mereka mengekspresikan cinta mereka pada sang idola. Tidak jarang beberapa anggota komunitas bahkan memberikan hadiah dengan memberikannya secara langsung saat sang idola datang ke Indonesia atau mengirimkannya ke Korea Selatan dengan biaya yang sekali lagi tidak sedikit.

K-pop telah ditetapkan sebagai salah satu produk jual Korea Selatan yang paling membantu penyebaran budaya Korea dan meningkatkan ekonomi negara. (Yoon: 2013, 19) Dari survey Korean Federation for International Culture Exchange (KOFICE) dari 2000 populasi di Jepang, Cina, Brazil, dan Prancis tentang “hal yang paling berkesan dari hallyu atau gelombang Korea”. Hasil menunjukkan bahwa idola K-pop menjadi peringkat pertama sebagai hal yang paling berkesan dari hallyu (Yoon: 2013, 18). Korea Selatan telah berkembang menjadi macan Asia dalam bidang ekonomi. Meningkatnya ekonomi di Korea Selatan bukan karena produk teknologi atau industri berat melainkan budaya pop atau hallyu yang lebih dikenal dengan istilah K-pop (Truong: 2014, 3).

Dampak yang terjadi pada penggemar disebabkan kefanatikan terhadap budaya Korea yaitu K-pop ini menjadikan seseorang tidak peduli terhadap hal lain selain yang mereka anut dan percayai. Mereka kebanyakan tidak tertarik lagi dengan budaya negara asal mereka yaitu Indonesia. Dari koresponden yang peneliti dapatkan adalah bahwa 100% dari mereka hanya mendengarkan lagu Korea saja. Mereka mendengarkan lagu barat apabila mereka rasa hal

283 tersebut sedang tren dalam komunitas dan lingkungan mereka namun tidak mendownloadnya dan hanya mendengarkannya sekali. Para K-popers tidak tertarik lagi terhadap lagu Indonesia, bahkan mereka tidak menyukai lagu dengan genre dangdut dengan alasan musiknya yang memang sangat kontras dengan karakterstik music-musik Korea.

Fanatisme ini merupakan orientasi sentimental yang mepengaruhi seseorang dalam berbuat, menempuh, memberi, berpikir dan memutuskan, mempersepsi, mempersepsi dan memahami serta merasakan sesuatu. Fanatisme dalam kontesk K-pop berkembang dari kecintaan yang tumbuh terhadap sebuah budaya Korea beserta produk-produk budayanya. Fanatisme akan mendorong seorang penggemar berperilaku dan memiliki gaya hidup layaknya idolanya untuk menunjukkan identitasnya sebagai seorang fans. Dampak-dampak dari gaya hidup yang mereka adopsi dari para idola ditunjukkan dengan terpakainya waktu dan uang mereka dalam ruang lingkup yang berhubungan dan berbau budaya Korea.

Peneliti juga menemukan bahwa para K-popers memiliki nama Korea dan menggunkannya dalam perkenalan di dalam komunitas penggemar atau fandom K-pop disamping nama aslinya. Nama Korea mereka kebanyakan merupakan gabungan antara nama mereka dan nama idola sebagai contohnya adalah ByunLeen yaitu Baek hyun (idola) dan Lintang (penggemar K-pop) Tidak jarang mereka menggunakan Bahasa Korea dalam obrolan mereka seperti anyeonghaseoyo, sarangheyo, dan arasseoyo.

Pengetahuan tentang Bahasa Korea pertama kali mereka dapatkan dari seringnya mereka menonton acara idola dalam drama maupun variety show. Sebagian dari mereka memutuskan untuk menjadi seorang profesional dalam berbahasa Korea sehingga memutuskan untuk mengikuti kursus Bahasa Korea. Salah satu subjek berinisial “ER” seorang K-poper sejak tahun 2009 hingga sekarang, telah mengikuti kursus Bahasa Korea selama dua tahun terakhir ini di salah satu lembaga bimbingan Bahasa Korea di Jakarta dengan biaya yang cukup mahal yaitu sekitar 5-6 jt untuk setiap tingkatan.

Untuk menjalin keakraban dan kekeluargaan para k-popers (sebutan bagi penggemar K-pop) beberapa anggota komunitas online penggemar MonstaX Monbebe Indonesia khususnya, tidak jarang mengadakan perkumpulan secara langsung atau face to face untuk merencanakan program mereka terhadap idola atau sekedar hang out bersama. Salah satu subjek mengatakan bahwa tempat mereka biasa mengadakan pertemuan yaitu ketika K-pop Festival event atau di restoran-restoran Korea. Alasan inipun menjadikan mereka semakin

284 betah menjadi seorang K-popers karena merasa memiliki lebih banyak teman dari fandom- fandom ini.

Sesuai dengan sifat remaja yang lebih senang bergaul dengan seseorang atau suatu kelompok yang memiliki kesamaan dengannya seperi kesukaan atau hobi yang sama (Agustiani: 2006, 34), begitu pula yang dirasakan oleh seorang penggemar K-pop. Walaupun mereka tetap menjalin hubungan yang baik dengan teman-teman mereka yang bukan merupakan penggemar K-pop, namun mereka sendiri merasa nyaman ketika berbincang dengan sesama K-popers tentang segala hal yang berhubungan dengan Korea.

Dari pengamatan peneliti tentang kehidupan beberapa koresponden adalah mereka banyak menghabiskan waktu mereka untuk mengetahui info idola mereka melalui Instagram, twitter, dan website korea langganan mereka seperti Koreaboo atau Netizzenbuzz dan berbincang-bincang tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Korea dengan teman- teman mereka. Hal ini didukung oleh semakin banyaknya akun Instagram yang setiap jamnya selalu mengunggah berita seputar idola dan selebritis Korea Selatan seperti akun @fyi.korea, @korea.world, @wowfakta_kpop, @k_popersindo dan masih banyak lagi. Akun-akun tersebut adalah akun dengan pengikut ratusan ribu hingga jutaan penggemar produk budaya Korea seperti K-pop dan K-Drama.

Perkembangan IPTEK dalam konteks ilmu komunikasi akhirnya memberikan kesempatan kepada masyarakat dunia untuk menampilkan serta menunjukkan budayanya kepada ornag lain melalui media internet. Hasilnya pertukaran budaya yang dikemas dengan indah dan menarik ini mendapatkan respon positif bagi para remaja dan menjadikannya sebagai gaya hidup.

Durasi waktu yang dipakai para penggemar fanatikuntuk menonton acara-acara Korea yang dikemukakan oleh para informan kerap kali menjadikan mereka lupa pada hal-hal yang lebih penting. Hasil dari wawancara pada para penggemar K-pop, mereka menghabiskan waktu luangnya untuk aplikasi Instagram, mendownload video, variey show, drama, survival program, menyimpannya dalam HP dan komputer atau tablet dan menontonnya. Salah satu subjek berinisial “DM” mengaku memiliki dua harddisk khusus untuk menyimpan drama dan video-video para idola Korea. Hal yang diungkapkan oleh semua responden yang merupakan penggemar MonstaX ini adalah kesadaran mereka bahwa mereka sering lupa akan waktu hingga begadang setiap malamnya guna menyibukkan diri dengan hal-hal yang berbau Korea khususnya media sosial dan internet. Hal ini otomatis membutuhkan uang banyak untuk

285 membeli kuota bagi yang rumah dan kantornya tidak meiliki akses wifi. Hal ini dipaparkan oleh parapeggemar sendiri bahwa mereka tidak jalan-jalan atau memakan makana enak di luar rumah demi membeli kuota. Kuota internet yang dubutuhkan oleh para penggemar K- pop tidak cukup hanya 2 GB seperti orang-orang pada umumnya. Mereka bisa menghabiskan 10 GB bahkan puluhan GB untuk mendukung kesetiaan mereka terhadap sang idola.

Semakin seringnya seorang penggemar mendapatkan pengaruh internal atau eksternal akan semakin tumbuh pula rasa cintanya terhadap budaya Korea. Dukungan ini dapat berupa obrolan-obrolan seputar budaya Korea pada waktu luang. Sebanyak 90% responden mengaku bahwa mereka mengenal budaya Korea dari teman atau saudara mereka, hanya 10% nya mengenal budaya Korea dengan sendiri. Keunikan dan originalitas budaya Korea ini terutama tren fashion. Hal ini menjadikan 98% penggemar K-pop dan budaya Korea lainnya adalah seorang wanita. Tren fashion dan kosmetik Korea banyak di konsumsi oleh para wanita di Indonesia terutama merek-merek yang menggunakan para idola sebagai ambassador produk tersebut seperti wanna one dalam Innisfree, EXO dalam Nature Republic, Krystal dan Sulli f(x) dalam Etude House, dan lain sebagainya. Bahkan sekarang budaya operasi plastik yang menjamur di Korea dapat diterima mentah-mentah oleh para penggemar K-pop dengan alasan para idola melakukannya demi profesionalitas seorang idola. Hal yang ditakutkan adalah penggemar bermimpi untuk melakukan operasi plastik sehingga cantik menyerupai idola- idola Korea.

Menurut para koresponden, sifat positif yang mereka diambil dari para idola adalah pekerja keras dan pantang menyerah. 100% dari 30 subjek menyatakan hal yang paling mereka sukai dari idola mereka adalah kerja keras perjuangan yang tak kenal lelah seseorang untuk menjadi idola yang memiliki banyak penggemar.

Sejak 2009, setidaknya ada Sembilan survival program yang ditayangkan oleh agensi hiburan dan stasiun televisi sejak tahun 2005-2017 ini. Isi dari acara tersebut tidaklah sebatas musik dan tarian, namun pelatihan, pembinaan mental sehingga banyak tawa dan tangisan didalamnya. Hal ini sangat mempengaruhi gejolak jiwa remaja yang pada masanya sangatlah sensitif.

Dari budaya yang diciptakan ini, beberapa responden mengaku bahwa mereka menjadikan idola sebagai role model mereka untuk hidup lebih bersemangat dan bekerja keras. Selain itu, dibandingkan dengan para non K-popers, seorang K-poper akan lebih fasih berbahasa Korea walaupun sebatas percakapan sehari-hari dan sangat paham tentang budaya

286

Korea seperti sejarah, pahlawan, tempat wisata, makanan khas, dan lain sebagainya. Para K- popers pun memiliki banyak teman dari berbagai daerah yang dipertemukan lewat komunitas online atau budaya Korea di Indonesia. Beberapa anggota yang tergolong pandai dalam menyanyi dan menari akan tergabung dalam grup yang lebih spesifik yaitu vocal cover dan dance cover yang biasanya mereka tampilkan dalam acara-acara budaya Korea di Indonesia tertesssntu.

Disini, fanatisme terhadap idola membentuk pola pikir dan identitas diri seseorang yang berdampak pada gaya hidup seorang penggemar untuk hidup menyerupai orang Korea. Semua data hasil penelitian telah menampilkan budaya Korea telah menjadi incaran dan konsumsi remaja saat ini. Penggemar budaya Korea khususnya seorang K-popers memperjuangkan budaya lain dibandingkan budaya negara sendiri. Inilah yang disebut sebagai pergeseran budaya dimana budaya Korea lebih menarik dan menjadi kawajiban untuk diikuti. Dengan jelas, melalui fanatisme terhadap budaya Korea ini terdapat beberapa sisi positif untuk remaja penggemar fanatik yaitu memahami budaya dan bahasa asing, setia kawan, dan pekerja keras yang ambisius dalam mencapai apa yang diinginkannya. Dampak negatifnya yaitu tidak produktif, susah bersosialisasi dengan masyarakat, menghabiskan uang dan waktunya untuk sesuatu yang tidak penting untuk masa depannya, lebih parahnya menjadikan budaya Korea sebagai pegangan dan panutan dalam hidup. Budaya sendiri tidak lagi menjadi sesuatu yang dicintai lagi oleh para remaja Indonesia.

Berdasarkan hal ini, orang tua sebagai guru pertama bagi remaja terlihat lemah. Orang tua seharusnya dapat memahamkan dan mengajak anak untuk dapat membedakan hal yang penting dan tidak penting dalam kehidupan. Masa remaja adalah masa dimana seseorang mencari jati dirinya dan bercita-cita setinggi mungkin serta merencanakan hal-hal yang akan mereka lakukan ketika dewasa nanti. Kesibukan mereka dengan K-pop ini lebih banyak menyita waktu belajar dan produktifitas mereka. Para penggemar K-pop lebih bangga untuk memiliki cita-cita sebagai istri atau kekasih sang idola yang mereka ungkapkan dalam group chat Line.

KESIMPULAN

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa sebagian besar anggota Monbebe merupakan murid sekolah dan mahasiswa yang masing-masing dari mereka memiliki nama Korea dan role model yang biasa mereka sebut dengan bias. Mereka menjadikan kehidupan idolanya sebagai kiblat dan motivasi hidup dalam berbagai aspek kehidupan, seperti: belajar Bahasa

287

Korea dan menggunakannya dalam keseharian, melatih dance skill, rap dan vocal, hidup hedonis dengan menggunakan hampir seluruh uang mereka untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan K-pop seperti Original CD, K-pop marchandise, tiket konser dan tabungan ke Korea Selatan.

Melalui dampak fanatisme yang terlihat pada gaya hidup para penggemar fanatik budaya Korea khususnya K-pop menyebabkan terjadinya pergeseran budaya, kehilangan identitas diri, dan pemaksaan gaya hidup sesuai dnegan idola masing-masing. Semua itu terlihat melalui gaya hidup dan pola pikir para penggemar fanatik yang menyerupai orang Korea dengan menghabiskan waktu dan uangnya untuk idola mereka.

Daftar Pustaka

Ajiwibawani, Meriena Puti, “Pengaruh Faktor Internal Dan Eksternal Gaya Hidup Terhadap Keputusan Pembelian (Studi Pada Konsumen D’Goda Coffee Pazkul Sidoarjo)”, Jurnal Universitas Negeri Surabaya, 2015. Agustiani, Hendriati, “Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitannya Dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja”, Bandung, Refika Aditama, 2009. Bungin, Burhan, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi Di Masyarakat, Jakarta: Kencana, 2007. Chung, Emily , Michael Beverland, and friends, “Exploring Consumer Fanaticism: Extraordinary Devotion in the Consumption Context”, in NA-Advances in Consumer Research Volume 35, eds. Angela Y. Lee and Dilip Soman, Duluth, MN; Association for consumer research, 2008. Kaparang, Olivia M, “Analisa Gaya Hidup Remaja Dalam Mengimitasi Budaya Pop Korea Melalui Televisi (Studi pada siswa SMA Negeri 9, Manado)”, Jurnal Acta Diuma, Volume. 2, No. 2, 2013. Listyorini, Sari, “Analisis Fator-Faktor Gaya Hidup dan Pengaruhnya Terhadap Pembelian Rumah Sehat Sederhana”, Jurnal Administrasi Bisnis, Volume 1, No. 1, 2012. Mahmudah, Inayatul, “Dampak Budaya Korean Pop Terhadap Penggemar Dalam Perspektif Keberfungsian Sosial (Studi Kasus Penggemar Korean Pop EXO Pada Komunitas Maupun Non Komunitas di Yogyakarta)”. Skripsi diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015. Margaretha, Judika, “Trifecta of Korean Wave Pemerintah, Media, dan Budaya”, Makalah Non Seminar Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014.

288

Marimaa, Kalmer, “The Many Faces of Fanaticism”. Journal ENDC Proceedings, Volume 14, 2012. Pertiwi, Sella Ayu. 2013. “Konformitas dan Fanatisme Pada Remaja Korean Wave (Penelitian pada Komunitas Super Junior Fans Club ELF “Ever Lasting Friend”) di Samarinda”, E-Journal Psikologi. Volume. 1, Nomor. 2, 2013. Setyano, Yugih Setyanto, Septia Winduwati, dan Lusia Savitri, “Early Adolescent Behavior On Media Toward idol Figure (Parasocial study On Preliminary Youth As An effect Of New Media)”, International Journal Of Communication And Media Studies, Volume. 7, Issues. 3, June 2017. Simbar, Frulyndese K. 2016. Fenomena Konsumsi Budaya Korea Pada Anak Muda Di Kota Manado. Jurnal Holistik. Volume 10. No. 18. Edisi Juli-Desember. Storey, John, Teori Budaya dan Budaya Pop, Yogyakarta: Qalam, 2003. Tim Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2011.

289

INTERSECTION OF RELIGIOUS FREEDOM AND DIFFABEL’S RIGHTS (the Study of Dria Manunggal Yogyakarta)

Mauliya Risalaturrohmah Center for Religious and Cross-Cultural Studies Graduate School of Gadjah Mada University [email protected] (082257335675)

Abstract

This article focuses on the accessibility of diffabel’s rights in the context of worship places where their rights have not fully been got by them in the context of Indonesia. It will guide this article to see one of social organization on advocacy placed in Yogyakarta naming “Dria Manunggal”. It is the institution for study and the struggle for social transformation in which there are activists of diffabel’s rights especially for accessibility on worship places, such as, Church, Mosque, Temple, or Vihara. As the democratic country, Indonesia has positioned each citizenship to have his/her rights equally, especially on freedom of religion and belief. Focusing on some cases, the writer considers that this issue is important to be discussed because we have to realize that there has imbalance between human rights and diffabel’s rights. Here are two research questions that will be observed by the writer toward some literatures and interviews; what are the strategies used by “Dria Manunggal” to advocate the cases of accessibility for the diffable in worship places in Yogyakarta; how are the intersection of religious freedom and the diffable’s rights are seen by Islamic perspective of Muthahhari using the concepts of justice.

Keywords: Dria Manunggal, Rights of Religious Freedom, Diffable’s Rights, Theory of Justice

I. INTRODUCTION In society, we often see that there have some people with the diffable condition where it has caused them being labelled as the disability. But, the writer considers that people have to point that categorization of the term “diffable and disability” is depending on the way how the society positions them. Based on Purwanta [2015], the interviewer and director of Dria Manunggal, the term “diffable” and “disability” called by non-disable people are influenced by men’s understanding because that is the way people of their perspective is, whether they understand by using the perspective of conservative, liberal, or critical awareness. He states that people with critical awareness will not label people by “the disability,” but rather using the diffable as the name. They will not see the different condition of people as the defect since they are not having normal condition as people in common, but they position the

290 diffable as cosmic condition created by God that people cannot label it as defect. Purwanta emphasizes that actually what has differentiated human are on their different ability not fully disable to act. Otherwise, the diffable which means Differently Able Person is used here as the guidance on analysis this case.

Related to the issue of human rights, the writer considers the diffable as important case where they often get less freedom and sometime excludes from the society. Based on UU no.8 year 2016, it is asserted that, “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.” The varieties of diffable characters have caused them to have different ability to express and act as non-disable people, but it does not mean that the diffable cannot have role in society. By examining on the issue of religious freedom on accessibility of worship places as part of the diffable’s rights, this article uses Dria Manunggal as the main information in which they have advocated some cases relating to the diffable’s rights. After having some interviews as supporting data, and committing some literatures, this article will use descriptive qualitative method.

II. DESCRIPTION AND ANALYSIS A. Dria Manunggal

Dria Manunggal is non-governmental organization [NGO] placed in Yogyakarta where it was built in November 14th 1991. Directed by Setia Adi Purwanta gathering with some struggles of the diffable’s rights, this organization concerns on supporting to create fulfillment, protection, respect, and the progress for the diffable’s rights. It is purposed to build social transformation and not to be limited by the time and place where they do because their contribution is for all parts of Indonesia. Further, Dria Manuggal can establish those purposes by building the consciousness for people to live inclusively with all people, particularly with the diffable. To attain the purposes, Dria Manunggal have focused on study, education, training, community development and empowerment, advocacy, and social work. They use some strategies namely social transformation and bring diffable’s existences as affirmative actions. The principles brought by Dria Manunggal are the following: a). honoring the human

291 dignity in individual level including freedom to choose and to be in their living; b). non- discrimination; c). participating and involving effectively and inclusively with the diffable in society as citizens; d). honoring the differences and openness individually for the diffables as the various humans and bringing the values of humanity; e). equal opportunities; f). Accessibility; g). the equality between men and women; h). honoring their capacities to grow particularly the diffable children and struggling their rights to protect their individual identity. However, this paper will only focus on advocacy of religious freedom done by Dria Manunggal to support the accessibility on worship places.

B. Religious Freedom and Diffable’s Rights When talking about the law, it cannot be denied that people will look at the facts supporting how the law is asserted. As the democratic country, Indonesia has regulated some laws related to the religious freedom of the diffable, namely law no.8 year 2016 on “Persons with Disabilities,” law no.19 year 2011 about Ratification of Convention on the Rights of Persons with Disabilities [Ratifikasi Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas], Permen [minister regulation] PU no. 30 year 2006 on “Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan,” and Perda [regional regulation] DIY no. 4 year 2012 on “Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.” It implies that there has already been the legal law under the state where the diffable will get protection on religious freedom. Hurd, et al [2015: p.50] states, “legal protection for religious freedom is proposed as the remedy for a host of societal ills, from poverty and oppression to violence and discrimination.” This shows that before regulating those laws, the State has faced some cases in which it may marginalized the diffable. Additionally, Bagir in Robert [Forthcoming 2017] argues that in the notion of religious freedom, the word freedom itself is usually contrasted with harmony. It is challenging the State to see how far those regulations have covered and protected the diffable’s rights.

Here, Hurd points that religious freedom advocacy can be the way to protect the rights to choose meaning that a choice is defined as the part of people’s freedom. It is because advocacy for religious freedom and religious liberalization promote and protect forms of [religious] subjectivity [2015: 52]. And as part of religious freedom, the accessibility on worship places for the diffable are explained and guided in those regulations by giving the details of how facility and accessibility for buildings and societies have many functions including religiosity, such as, Mosque, Church, Temple, Monastery, “Klentheng”, and other

292 building of worship places for believers. Further, when people have chosen one religion as their belief, people have rights to have religious practice as their individual rights. Nevertheless, when the lack of freedom happens, the state the State should account for their own failure to respect and protect the rights of all believers [2015]. The state’s law will cover and include everyone wherever they live. Under the law, moreover the state should create the conditions for the emergence and flourish rational, tolerant, believing or nonbelieving consumers of free religion under law [2015].

C. Analysis By looking at Muthahhari’s theory on justice, it will guide the analysis on analyzing the intersection between rights of religious freedom and diffable’s rights on worship places. Limited by the object of study, here only focuses on the diffables living in Yogyakarta where Dria Manunggal as social non-governmental organization commits some cases where the diffable’s rights are lack of freedom. Hence, this NGO attempts to advocate the accessibility for worship places not only for six religions but also indigenous religion in Yogyakarta. Based on Yogyakarta’s surveys on census population for the diffable in 2015, it shows that 21, 66% of difficult to see [censor diffable], 18, 87% of deaf [censor diffable], 17,66% problems to walk [physical diffable], 14,49% problems to remember and concentrate [intellectual diffable], 8,96% problems to communicate [censor diffable], 6,94% problems with emotion and action [mental diffable/md], 6,04% problems to handle themselves [mental diffable], 5,38% problems to use their hands and fingers [physical diffable] by starting the age of 10 years old and more. Those data are 2,45 % (6.515.500) from 244.919.000 people including all types of the diffable around Indonesia provinces estimated by the National Survey of Social and Economic initiated by the Central Bureau of Statistics of RI [the data shown by Ministry of Health in Tamba, 2017: p. 64]. Before those data are related to the issue religious freedom of accessibility on worship places for the diffable, we have to know what the meaning of accessibility. Based on Law no.8 Year 2016, it is asserted “aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk Penyandang Disabilitas guna mewujudkan Kesamaan Kesempatan”. In the context of religious freedom, Bagir in Robert [Forthcoming 2017] states that although Indonesia becomes the majority of Muslim in plural society, it does not make this country to affiliate with certain religion. It is also supported by the 1945 constitution where Indonesia has recognized the freedom of religion for all citizens. No matter what people are, every

293 person will get the rights to choose and act based on religious freedom which is believed. In the subject of freedom, Malcolm Evans in Sullivan, et al [2015: p.46] said that “it is the freedom to believe and to manifest beliefs, subject only to those limitation strictly necessary to protect the rights and interests of others, which is the subject of human rights protection, and not the beliefs themselves.” Further, all citizens are protected under the state’s law.

Here, accessibility in worship places is the part of religious freedom for each citizen living in Indonesia. As mentioned in Law 8 year 2016, in part 10 about the rights of religiosity article 14, “Hak keagamaan untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a). memeluk agama dan kepercayaan masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya; b). memperoleh kemudahan akses dalam memanfaatkan tempat peribadatan; c). mendapatkan kitab suci dan lektur keagamaan lainnya yang mudah diakses berdasarkan kebutuhannya; d). mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pada saat menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya; dan e). berperan aktif dalam organisasi keagamaan”. Hence, whether individual or groups, the diffable’s rights are protected and guaranteed. When there is no place for them to have worship as the religious service, it means that groups of people have deleted the diffable’s function as people who believe in religion and have responsibility to worship. According to Muthahhari (1998) in the perspective of Islamic philosophy, basically every man has same potencies (fitrah) which mean that all people have capabilities to act and express in the humanitarian affairs. Then, what distinguishes located in fact that we can see there have some diffables there. It is important to see their capabilities to choose and act in the public sphere without discriminating them, particularly in worship places. In other words, Sen in Nussbaum (2011: p.20) defines capabilities as “substantial freedom” meaning that “they are not just abilities residing inside a person but also the freedoms or opportunities created by a combination of personal abilities and the political, social, and economic environment”.

Nevertheless, when there emerged the limitations of the diffable’s rights to express their religious freedom, Asfinawati in Bagir [2014: p.50] points that we should see those cases by having some approaches whether it is law or social matters because in Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR, human rights are defined as the freedom of thought, conscience, and religion; there is one point talking about the prohibition of non- discrimination which positions human rights without differentiating, limiting, excepting, and prioritizing person by using any kinds of reason, like sex, religion, race, ethnic, political view, the condition of economy, social status, nationality, citizenship, the disability, sexual

294 orientation, and gender expression. Hence, the diffable are not becoming the reason for anyone, any other non-diffable people to reduce their rights. It is why doing advocacy of religious freedom is needed to defend the diffable’s rights for accessibility on worship places. Dria Manunggal has started to do advocacy for the diffable’s right not just because they concern with the rights, but also it is about social justice where each person without exception must get it. Hurd, et al (2015) points that “religious freedom advocacy does not only support a right to choose one’s religion or belief but also attempt to protect the rights to choose.” Here are some strategies used by Dria Manunggal to provide the diffable rights on religious freedom;

1). Building relations and promoting the critical awareness for the diffable youth by holding interfaith discussions, establishing the diffables discussions and interfaith youth inclusively, initiating FILI [Forum Inklusif Lintas Iman / Interfaith-Inclusive Forum], giving the chances for FILI, especially the diffable youth to participate some events held by organizations concerning on religious freedom in order to increase the capacity and make a broader relation [such as the class of advocacy held by LBH Yogyakarta / Lembaga Bantuan Hukum, involving FILI to have socialization and campaign about accessibility on worship places toward presenting “ millennium” / millennium puppet.

2). Consolidating the diffable youth with interfaith youth organizations, (FILI, Komite Disabilitas Yogyakarta/ Yogyakarta Diffable Committee, Interfaith Srikandi Yogyakarta, etc)

3). Lobbying and approaching the groups who have opportunity to guide the policy, such as, government, FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama/ Forum of Religious Harmony), MUI (Majelis Ulama Indonesia/ Indonesian Ulama Council], religious figure, etc); academicians (Pusat Transportasi dan Logistik [Pustral UGM], Magister Arsitektur UII, CUDD UGM), religious organizations / management of worship places [MUI who has given the warning letter to all mosques in Yogyakarta to provide the facilities for the diffable, Catholic Organization [Kevikepan DIY], Parisada Hindu Dharma Indonesia [PHDI]/ Indonesia Hinduism Society DIY, steward of mosques in Jogokaryan, Baitul Makmur, steward of indigenous religion (Penghayat Sumarah), steward of Karangjati Buddha temple, steward of church in GKJ Wirobrajan, in Catholic Kemetiran, steward of Jagadnatha temple in Banguntapang, Eka Dharma Kasihan, Artists (Institute Sangkerta, some artists from ISI/Indonesia Institute of Arts), governments [Kanwil Kemenag DIY, Dinas Penanaman Modal and Pelayanan Ijin Terpadu Kulon Progo, local government around regencies/town in

295

DIY] and now Dria Manunggal is still negotiating the government in order to motivate and build the commitment to assist the diffable rights, the last is with NGO [LBH Yogya; ANBTI [Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika]; Dian Institute; LKiS; Sobat KBB].

4). Building the social awareness by optimalizing media

Dria Manunggal has ever held the media gathering where they invited the medias to visit and report worship places succeeding to be supported as the model of accessible worship places during one day. There were 16 medias including electronic, audio, audio visual, etc. Dria Manuggal also has used website and facebook to socialize their events. Nevertheless, Based on Purwanta during his observation toward Dria Manunggal and as Committee in protection of the diffable rights, he considers that there have some problems causing the lack of religious freedom faced by the diffables in the society, particularly in Yogyakarta;

a. The inability of religious figures to contextualize the religious teachings People are getting the doctrine where they use some verses of ayat in Qur’an to marginalize the diffable rights. People should realize the various condition of others without building the stigma on labelling the diffable as “defect” and thus they reduce their rights on accessibility in worship places. In Islamic thought, If the worship places can be considered not only as the religious room but also sharing love and affection as mentioned in the ayat “bismillahirrohmanirrohim,” people will not build the marginalization with the diffable since the principles are to share both values of “rahman” and “rahim.” It is the example of verse in which anytime almost all Muslims people will recite it before doing something. It may also emerge in other verses of holy books in other religions talking about the love and affection but practically the diffable still have lack of freedom. Therefore, worship places are expected to be the model for the great place of all religions. And the basic values of religion can be interpreted broadly depending on the context of time.

b. The limitation of religious teachings It seems in common when we see at all religious worship places there have no some accessible buildings for the diffable to provide their rights in religiosity. Therefore, it is needed three points on what religious leaders, governments, and public should do responding to the issues of diffable rights. firstly, the religious leaders or figures can deconstruct the interpretation of holy books, and finally there will not emerge the discrimination for minority or the diffable on the religious freedom in worship places; secondly, the government have to stop the social reconstruction discriminated the diffable on their religious freedom of worship

296 places because they have to be honored, protected, and provided under the state’s law. It is important to give some punishments or the state’s policy for worship places if the governments find inaccessibility of worship places for the diffable. Further, it can build the social awareness for the public about honoring the diffable rights in order to get accessible worship places; thirdly, the process of education about the diffable rights in public through ethical education in the schools, social organizations, and the families. In the end, the worship places become the place for establishing the agent of changes for society to develop the civilized human and raise the social justice based on religious freedom for the diffable.

However, to understand the justice in relation to freedom of people, Muthahhari [2009: p.60-68] conceptualizes that there are four concepts of “justice.” Here, the writer attempts to correlate the religious freedom and the diffable rights in order to find the intersection of both factor, those are in the following: a). justice means balance, in this context the balance opposes of the imbalance not the tyranny. It is because the balance and imbalance will emerge in the cosmic where anything is created with balanced by God. As mentioned in Al-Qur’an; “dan Alloh telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca [keadilan] [QS.Ar-Rahman 55: 7].” Thus, anything is placed and positioned as its proportion. Hence, “justice which means balance” is purposed to public servants. Whereas, the balance which is opposed with tyranny focuses on the individual right as the matter because the justice in the meaning of “proportion” includes the consequences of God as the wisest and most knowing. Further, no one in the world is created futile. The first concept of “justice” here is the scope of God not human for there is no people who have more priority rather than God in standardizing “justice.” Here, the existence of the diffable in the society is becoming the condition of cosmic. No one can judge the diffable as defect or disability because justice has already been given by God for all human beings in the world wherever they live and whatever their religions are. All people without exception should honor other people’s dignity. Although in fact there have some differences, it cannot be the reason for reducing other people’s rights in order to achieve the justice itself.

Supported by Scharffs [2016: p.7], human dignity is not decided by the state but it is the innate values since people were born. Otherwise, the human rights must be protected and it cannot be taken by anyone with no exception. As part of religious freedom for the diffable, the state must protect their rights and provide the accessibility on worship places since there is no right for the state to make the standardization for differentiating the diffable because of

297 their differences physically, mentally, and intellectually. Under the state’s law, all people should be protected equally even though there have four regulations of the state’s law regulating the diffable rights. Based on the first concept of justice here, I consider that “justice” will never be accepted when people in the state or universal level attempt to see other people separately between who are the diffable and who are not. It is clearly stated by Muthahhari that justice here is understood as God’s territory in which all people are created proportionally based on him as the most knowing and wise. When the state has covered the regulations for the diffable, and the accessibility on worship places toward religious freedom are accepted by the diffable, it cannot be defined that the accessibility for the diffable are provided because they are the diffable, but it is rather the diffable or non-diffable people have rights to have accessibility in worship places as believers. Further, individual or communal persons cannot create the way on how people position the diffable in worship places. And justice is achieved when all worship places are accessible for all people. b). justice means non-discrimination, it means that justice is the similarities and it denies discrimination in all forms. People are categorized as covering justice when they look at other people individually or in communal equally without differentiating or specifying. No one can be allowed to discriminate other people in all forms. It demands for assertion that the justice must cover all people without exception. Further, the justice is the way to maintain the equality in which no one has opportunity to reduce or having distortion of people’s rights if it is purposed to accept the justice. By looking at the diffable, the law no. 8 year 2016 in part 14 article 18, it is asserted that “Hak Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a). mendapatkan Aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik; dan b). mendapatkan Akomodasi yang Layak sebagai bentuk Aksesibilitas bagi individu.” It is clear that the diffable are guaranteed by the state’s law in order to have accessibility. Here are some mosques, church, temple and one worship place of indigenous religion in Yogyakarta where it has been accessible for the diffable ‘before and after’ being advocated by Dria Manunggal.

Mosque of Baitul Makmur in Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, [ramp, guiding block, and the sitting place for taking wudlu]; Church of Java Christian in Wirobrajan [GKJ], [now there is guiding block, and it has already had ramp before being advocated by Dria Manunggal]. Now, the church stewards attempt to have some renovations for the accessible bathrooms; Temple of Jagadnatha Banguntapang [guiding block and ramp]; Buddha temple of Karangjati [there have book of prayer using braille, but the temple has not accessible for the diffables]; Padepokan Sumawah [indigineous religion]. It has ramp and guiding block after being

298 advocated by Dria Manunggal. Although this NGO has succeeded to do some advocacies, it does not represent the four regulations of the diffable’s rights in the context of Indonesia. One of worker in Dria Manunggal states that as one of examples in NGO concerning on advocacy for religious freedom for the diffable’s rights, we think that it is not easy to negotiate with religious leaders in the society, official governments, and the society; practically most of worship places on Yogyakarta have not been accessible [Ninik/interviewer, Dria Manunggal]. The four regulations of state’s law, particularly Perda DIY [regional regulation] no. 4 year 2012, in article 2 point ‘b’, it is asserted that “prinsip-prinsip yang harus dilakukan dalam pelaksanaan Peraturan Daerah ini: b. nondiskriminasi.” And when the diffables are discriminated in case of accessibility in worship places, it has been guaranteed toward the protection and fulfillment committee of diffables’ rights regulated in regional law, in chapter VII, article 98, “(1) Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) mempunyai fungsi: a. mediasi komunikasi dan informasi dari penyandang disabilitas kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya; b. menerima pengaduan Penyandang Disabilitas yang mengalami kasuskasus diskriminasi; dan c. menindaklanjuti aduan dari Penyandang Disabilitas.”

However, this right has not fully been provided by this committee who are living in Yogyakarta. Hence, justice is accepted by the diffable when both state and local government are able to provide their rights getting accessibility on worship places without being discriminated by the society or even the religious figures in the place where the diffable do not get the accessible worship places. If not, justice is not got by the diffable and it means that the state and all other people having authorities have discriminated the diffable rights. c). justice means giving the rights to people who have the rights, meaning that it is purposed to social justice for humanity which must be honored and each person must struggle to get his or her own rights. There are two things defining the important point of justice itself, namely, the right and priority of people and the certain character of human. The purposes of both points are related to the social life because the justice and tyranny are relied on priority and human characters which forces to create the number of conventions arranging what should be and not be, what is good and bad, what is proper and not proper, etc. further, people will not get justice if there have tyranny like the offence and violation of priorities and the rights of other people. In this case, the diffable whether they are individual or communal person have the rights to get accessible worship places wherever they live. As mentioned in the minister

299 regulations / Permen PU 30 year 2006 about “Pedoman Teknis Fasilitas Dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung Dan Lingkungan.”

From many types and functions of buildings, worship places have become one of religious function that must be provided as the basic for facility and accessibility for the diffable. Here are the followings: a) Keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan terbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang; b). Kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan; c). Kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan; d). Kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Those are also supported by the sixteenth technical requirements how the buildings must be built, such as “ukuran dasar ruang, jalur pedestrian, jalur parkir, area pintu, ram, tangga, lif, lif tangga, toilet, pancuran, wastafel, telepon, perlengkapan n peralatan control, perabot, rambu n marka.” It means that when there have no accessible buildings on worship places, the justice will not be accepted by the diffable. As mentioned by Dria Manunggal in previous point of discrimination that in Yogyakarta most of worship places have not accessible for the diffables. Otherwise, the worship places will not have function for the diffables in the name of religious freedom, if to get social justice they have some difficulties to access it. d). justice means maintaining the level and feasibility of creation. It is the act of eligibility in achieving abundance of God’s mercy and not to avoid God’s mercy in the possible and perfect things given by God for human. Further, it becomes God’s right as creator to create anything based on him in which people are impossible to deny it. No one can guarantee the continued existence of people except God himself. In this context, we cannot use the state’s law or universal declaration of human rights to change and limit people’s right to accept God’s mercy. This definition of justice cannot be related to the religious freedom and diffable’s rights because all people do not know their continued existences.

300

III. CONCLUSION By observing Dria Manunggal to see the possibility for advocacy of religious freedom, it has been found that although there have some accessible worship places in Yogyakarta, but the four regulations regulating the diffable’ s rights have not fully been provided, especially local government in Yogyakarta. Some arguments stated by the director of Dria Manunggal, Adi Setya Purwanta, also emphasizes that the religious figures have not been able to contextualize the holy books which caused the limit understanding on how the public accept the appropriate interpretation based on the context. Further, it is important for people having authority whether in state or social organization to build the worship places as great location for sharing harmony and consciousness for positioning the diffables equally by giving and providing the accessibility on the worship places to provide their rights and thus they can do their responsibility as believers without being marginalized because of the diffable’s condition.

On other side, the Muthahhari’ s perspective on how theory of justice applied in the case of religious freedom and the diffable rights show that there has intersection between both rights looked by the four concepts of justice, namely, justice means balance, justice means non-discrimination, justice means giving the rights for people having the rights, and justice means the level and feasibility of creation. The the different types of the diffable should not become the problems in accessing their rights since they can do more varied works without being limited by the society in case of doing worship in public services [mosques, churches, temples, etc]. Further, it becomes the big challenge for the state not only for supporting the diffable rights but also obtaining their dignity in order to build the justice not only under the state’s law but also as God’s creation where all people are created without being excepted, excluded, discriminated, marginalized, particularly in religious freedom.

301

References

Bagir, Z. A. “Politics and Law of Religious Regulation in Indonesia,” in Robert W. Hefner, ed. Routledge Handbook of Contemporary Indonesia (Forthcoming 2017)

Bagir, Z. A. (Ed.). (2014). Mengelola keragaman dan kebebasan beragama di Indonesia. Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

Law No.8 Year 2016 on “Persons with Disabilities.”

Law No. 19 Year 2011 on Ratification of “Convention on the Rights of Persons with Disabilities.”

Minister Regulation / Permen PU No.30 Year 2006 on “Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.”

Muthahhari, Murtadha. (1998). Fitrah. Lentera: Jakarta

Muthahhari, Murtadha. (2009). Keadilan Ilahi: Asas Pandangan-Dunia Islam. Mizan Pustaka

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities. Harvard University Press.

Purwanta, Setya Adi. 2015. Bagaimana Aku Menyebut Mereka? Penyandang Cacat, Penyandang Disabilitas, Ataukah Difabel? [not published writing, but it has been uploaded in the website of Dria Manunggal]

Regional Regulation / Perda DIY No.4 Year 2012 on “Perlindungan dan Pemenuhan Hak- Hak Penyandang Disabilitas.”

Scharffs, Brett G. (2016) “Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia: sebuah pengantar tentang sejarah, proses penyusunan, ketentuan-ketentuan penting dan warisannya”

Sullivan, W. F., Hurd, E. S., Mahmood, S., & Danchin, P. G. (Eds.). (2015). Politics of religious freedom. University of Chicago Press.

Tamba, Jefri. (2017). A Juridical Study toward Indonesian Disabilities Right for Public Services Accessibility according to Law No. 8 Year 2016. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 63 - 68. http://yogyakarta.bps.go.id Penduduk-Daerah-Istimewa-Yogyakarta-Hasil-Survei-Penduduk- Antar-Sensus-2015.pdf

Al-Qur’an Terjemahan

302

Relevansi Teori Feminisme dalam Perspektif Islam dan Hubungan Internasional

Khairiyah Program Pascasarjana Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta [email protected] 082134214781

Abstrak

Tulisan ini menjelaskan keterkaitan antara teori feminisme dengan hubungan internasional dan relevansinya terhadap perspektif islam. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif dalam menjelaskan bagaimana sejarah awal munculnya kaum feminis di dalam hubungan internasional dan bagaimana perkembangan feminisme serta pandangan islam terhadap teori feminis. Sejarah feminisme dapat dibagi menjadi tiga gelombang. Gelombang feminis pertama di abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, Gelombang yang kedua adalah pada 1960-an dan 1970-an, dan yang ketiga memanjang dari tahun 1990-an hingga saat ini. Dari ketiga gelombang tersebut menghasilkan berbagai pendekatan-pendekatan mengenai kaum feminis, gelombang pertaman menghasilkan tiga pendekatan yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme Feminisme Marxis/ Sosialis, gelombang kedua menghasilkan dua pendekatan Feminisme Psikoanalisa, Feminisme Eksistensialisme, dan gelombang ketiga menghasilkan dua pendekatan Feminisme Postmoderen, Feminisme Multikultural. Pemikiran feminisme hadir sebagai kritik terhadap pemikiran-pemikiran mainstream yang “tradisional” dan bersifat state-centric. Pemikiran feminisme dalam Hubungan Internasional menyatakan bahwa telah terjadi diskriminasi atas keberadaan perempuan dalam politik internasional yang disebabkan oleh beberapa faktor atau sebab. Sedangkan dalam perspektif Islam tidak ada perbedaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. di dalam Islam kaum perempuan sangat di muliakan hal ini telah diatur secara jelas dalam Al-qur’an bahwasanya tidak ada deskriminasi, penindasan, dan pemerasan terhadap kaum perempuan.

Kata kunci: hubungan internasional, feminisme,perspektif islam

PENDAHULUAN Feminisme merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi bagi kita di era modern ini, emansipasi wanita menjadi hal yang wajar untuk di perjuangkan dan di kampanyekan dalam isu-isu internasional, teori feminisme kemudian menjadi sangat terkenal di dalam studi hubungan internasional yang mulai di sejajarkan dengan teori-teori mainstream perspectives seperti realisme, liberalisme, marxisme/strukturalisme. Gerakan feminis adalah gerakan yang

303 menyuarakan aspek kesamarataan peran dan hak dalam mengaktualisasikan diri sebagai kebutuhan manusia yang paling puncak. Kesamarataan tersebut mencakup bidang politik, ekonomi, budaya, ideologi dan lingkungan. (Nugroho, 2008) Feminisme melibatkan teori-teori politik dan sosiologis dan filsafat yang berhubungan dengan masalah perbedaan jenis kelamin, serta gerakan yang menganjurkan kesetaraan gender bagi perempuan dan kampanye untuk hak-hak dan kepentingan perempuan. Pemikiran feminisme menyatakan telah terjadinya diskriminasi dan ketidaksamaan yang melahirkan ketidakadilan oleh sebab konsep objektifitas yang selalu lahir dari pemikiran dan pengalaman kaum laki-laki. Gerakan feminis muncul karena adanya penolakan perempuan barat terhadap dokrin gereja yang memarginalkan kaum perempuan selama berabad-abad. Doktrin gereja telah mengekang hak-hak perempuan untuk mengembangkan diri dan menyuarakan kepentingan mereka. Begitu juga dengan hak-hak sipil perempuan yang terpinggirkan karena perempuan dipandang sebagai masyarakat kelas dua. Pandangan meremehkan kaum perempuan bahkan membenci perempuan bermacam- macam anggapan buruk yang dilekatkan kepadanya serta aneka citra negatif yang terwujud dalam tata nilai masyarakat, kebudayaan, hukum, dan politik. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilihat dalam sejarah kelahirannya bersamaan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Kata faminisme diperkenalkan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Feminisme mulai timbul pada abad ke-18 di Eropa, tepatnya di Perancis yang didorong oleh ideology pencerahan yang menekankan pentingnya peran rasio dalam mencapai kebenaran. Revolusi Perancis 1789 juga telah memberi pengaruh besar pada gerakan perempuan di Barat. Kaum perempuan saat itu terus bergerak memanfaatkan gejolak politik di tengah revolusi yang mengusung isu liberty, equality dan fraternity. Setelah terjadi revolusi sosial dan politik di Amerika Serikat, perhatian terhadap hak- hak kaum perempuan mulai mencuat. Gerakan ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat disana sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Tahun 1882 di Inggris ditetapkan undang-undang yang menetapkan perempuan berhak memiliki uang yang mereka peroleh. (ICWC)) Kaum Feminis kemudian mengembangkan konsep jender pada tahun 1970 sebagai alat untuk mengenali bahwa perempuan tidak dihubungkan dengan laki-laki di setiap budaya dan bahwa kedudukan perempuan di masyarakat pada akhirnya berbeda-beda. Kemudian wacana jender diperkenalkan oleh sekelompok feminis di London pada awal tahun 1977. Sejak itu para feminis mengusung konsep gender equality atau kesetaraan jender sebagai 304

mainstream gerakan mereka. Jender menurut Unger adalah, “a term used to encompass the social expectations associated with feminity and msculinity.“ Para feminis berpendapat gender merupakan konstruk sosial, dan berbeda dengan “sex“ yang merujuk pada anatomi biologis. Gender dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya, agama, dan hukum yang berlaku di masyarakat serta faktor-faktor lainnya. Gerakan feminisme telah mendapat pengakuan dari Perserikatan Bangsa Bangsa di tandai dengan dikeluarkannya CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women). Negara dan lembaga serta organisasi-organisasi di dunia terus mendukung gerakan-gerakan perempuan. (Ali, 2000) Perkembangan feminisme dapat dibagi menjadi tiga gelombang. Gelombang feminis pertama di abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, Gelombang yang kedua adalah pada 1960-an dan 1970-an, dan yang ketiga memanjang dari tahun 1990-an hingga saat ini. Teori feminis muncul dari gerakan-gerakan feminis. Studi Literatur Pengertian Teori Feminisme menurut beberapa tokoh:

1. Boadicea, Elizabeth I (1533 - 1603), Kaisar wanita Catherine the Great of Russia (1729 - 96) dan Joan of Arc (1412 - 31). Christine de Pizan(1364 - 1430) adalah penulis Venetian bukuTreasuresof the City of Ladies, menolak anggapan kaum pria yang menyatakan bahwa perempuan lebih lemah daripada kaum laki-laki. (Osborne, 2001). Feminisme atau teori-teori feminisme hadir dengan sangat terlambat dalam studi Hubungan Internasional. Perkembangan feminisme dalam studi Hubungan Internasional tertinggal dibandingkan dengan ilmu politik maupun sosiologi. Politik Dunia didominasi oleh masalah perang dan damai sehingga para penstudi tidak lekas segera mengalihkan pandangan mereka pada isu gender. (Smith, 2001)

2. Cynthia Enloe, pada (1980) mulai mengelaborasi pemikiran Feminisme ke dalam kajian HI. Melalui Bananas, Beaches, and Bases (1989), Enloe mengatakan bahwa dalam politik dan diplomasi perempuan hadir sebagai satu kesatuan hubungan yang sangat dekat, seperti peran para istri pejabat dalam berbagai kegiatan politik (Scott Burchill, 2005)

3. Sejourner Truth, dan Elizabeth Cady Stanton. Perhatian feminis gelombang pertama adalah memperoleh hak-hak politik dan kesempatan ekonomi yang setara bagi kaum perempuan. Feminis berargumentasi bahwa perempuan memiliki kapasitas rasio yang sama dengan laki- 305

laki. Aksi politik feminis yang dimotori oleh kaum feminis liberal telah membawa perubahan pada kondisi perempuan saat itu. Perempuan berhasil mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu pada tahun 1920, dan bukan hanya itu, kaum feminis berhasil memenangkan hak kepemilikan bagi perempuan, kebebasan reproduksi yang lebih dan akses yang lebih besar dalam bidang pendidikan dan profesional. (Cudd, 2005)

4. Menurut Maggie Humm dan Rebecca Walker, sejarah feminisme dapat dibagi menjadi tiga gelombang. Gelombang feminis pertama di abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, Gelombang yang kedua adalah pada 1960-an dan 1970-an, dan yang ketiga memanjang dari tahun 1990-an hingga saat ini. Teori feminis muncul dari gerakan-gerakan feminis. Hal ini terwujud dalam berbagai disiplin ilmu seperti geografi feminis, sejarah feminis dan kritik sastra feminis. Feminisme telah diubah perspektif dominan dalam berbagai bidang dalam masyarakat Barat, mulai dari budaya hukum. aktivis feminis telah berkampanye untuk hak-hak hukum perempuan (hak kontrak, hak milik, hak suara); untuk hak perempuan untuk integritas tubuhnya dan otonomi, hak aborsi, dan hak-hak reproduksi (termasuk akses terhadap kontrasepsi dan perawatan prenatal kualitas); untuk perlindungan perempuan dan anak perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual dan pemerkosaan, karena hak di tempat kerja, termasuk cuti hamil dan upah yang sama; melawan kebencian terhadap wanita; dan terhadap bentuk-bentuk diskriminasi gender-spesifik terhadap perempuan. (NETWORK, akses 20 November 2017)

Feminisme telah mengajarkan kita tentang berbagai pemikiran yang mengusung tema “kebebasan” dalam individu, kesetaraan kedudukan dan persamaan hak pada kaum perempuan yang pada masa lampau sering kali di marginalisasikan. Akan tetapi pemikiran feminisme dalam kontek keislaman sangat bertolak belakang dengan ajaran islam yang sebenarnya dimana Islam sangat memuliakan perempuan, dan tidak ada perbedaan kedudukan dalam Islam antara laki-laki dan perempuan. Pada zaman sekarang ini konsep feminis seringkali dijadikan sebuah aliran pemikiran, dimana konsep ini sering disalah artikan sebagai bentuk penolakan atas ketidak adilan perlakukan antara laki-laki dan perempuan, konsep feminis juga sering dikait-kaitkan dengan ajaran islam dimana sebagian orang beranggapan bahwa islam tidak adil dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan baik dalam hal kepemimpinan maupun dalam hal kebebasan individu. Sedangkan dalam dunia hubungan internasional konsep feminis sudah mulai diakui dan mulai setara dengan 306 teori-teori mainstream lainnya, dalam hubungan internasional representatif perempuan mulai dipertimbangkan, meskipun masih terjadi ketimpangan dalam jumlah representatif antara laki-laki dan perempuan di parlemen dan sebagai pemimpin negara dimana laki-laki masih mendoninasi posisi-posisi penting sebagai ”decision maker” dan seringkali wanita yang menjadi korban dalam berbagai keputusan yang diambil salah satunya adalah perang, yang menimbulkan konflik berkepanjangan dimana korban terbesarnya adalah perempuan.

RUMUSAN MASALAH Merujuk pada problematika yang dikemukakan pada latar belakang, maka permasalahan utama yang diajukan dalam penelitian ini adalah ” Bagaimana relevansi teori feminisme dalam perspektif islam dan hubungan internasional?”

METODE Tulisan ini merupakan kajian literatur yang mencoba mengkaji literatur mengenai Relevansi Teori Feminisme dalam Perspektif Islam dan Hubungan Internasional. Tulisan ini memaparkan keterkaitan antara teori feminisme dengan hubungan internasional dan relevansinya terhadap perspektif islam. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif dalam menjelaskan bagaimana sejarah awal munculnya kaum feminis di dalam hubungan internasional dan bagaimana perkembangan feminisme serta pandangan islam terhadap teori feminis. Melalui literatur dan penelitian yang ada, tulisan ini mencoba untuk menganalisis keberadaan Teori Feminis dalam Hubungan Internasional serta perkembangannya dari masa ke masa hingga kontribusi yang diberikan teori ini dalam hubungan internasional. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambar perkembangan gender dari masa ke masa, peranan perempuan dalam pembagian kerja, posisi perempuan dalam islam dan posisi perempuan dalam pembangunan kesejahteraan social dimana melalui tulisan ini diharapkan dapat menjadi tolak ukur dalam perumusan kebijakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

PEMBAHASAN Isu kesetaran dan kebebasaan yang diperjuangkan kaum feminis merupakan konsep abstrak, bias dan absurd karena sampai saat ini para feminis sendiri belum sepakat mengenai kesetaraan dan kebebasan seperti apa yang diinginkan kaum perempuan. Terminlogi ”Feminis” sendiri memiliki beragam definisi berdasarkan latar belakang sejarahnya. (Beasley, 1999) 307

Akan tetapi dengan adanya teori feminisme, perempuan di seluruh dunia merasakan manfaat yang sangat berarti dimana kaum perempuan mendapatkan hak kesetaraaan dan persamaan derajat dengan kaum laki-laki, mendapatkan kesempatan untuk ikut dapat menyuarakan kepentingan mereka, mendapatkan hak untuk memilih dalam pemilu, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk mendapatkan informasi. Perempuan mendapatkan kesetaraan di segala bidang baik bidang ekonomi, sosial maupun politik. Dalam hal kepemimpinan di dalam islam laki-laki memang mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi daripada perempuan akan tetapi hal tersebut tidak lantas menyebabkan ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan. Dalam Islam kaum perempuan sangat di muliakan hal ini telah diatur secara jelas dalam Al-qur’an bahwasanya tidak ada deskriminasi, penindasan, dan pemerasan terhadap kaum perempuan. Maka dalam bab pembahasan ini akan dijelaskan hasil temuan yang menjelaskan bagaimana relevansi teori feminis dalam persfektif islam dan keterkaitannya dalam studi Hubungan Internasional. I. Relevansi Teori Feminisme dalam Perspetif Islam 1) Konsep Islam Tentang Perempuan Pembahasan tentang konsep Islam tentang perempuan diawalai dengan pandangan sejumlah peradaban lain tentang perempuan sebelum datangnya Islam. Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran filsafatnya, dikala itu tidak terlalu banyak membicarakan tentang perempuan. Dikalangan elite, para perempuan ditempatkan (disekap) dalam istana- istana. Dikalangan bawah, nasib mereka sangat menyedihkan, mereka diperjualbelikan. Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada dibawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah kepada sang suami. Peradaban Hindu dan China tidak lebih baik dari peradaban Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya; istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Dalam ajaran Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Dalam pandangan sementara pemuka Nasrani ditemukan bahwa perempuan adalah senjata iblis untuk menyesatkan manusia. Sementara itu, di semenanjung Arabia sebelum datangnya Islam, terdapat kebudayaan yang disebut Jahiliyah. Di zaman ini perempuan dipandang sangat rendah. Islam datang untuk melepaskan perempuan dari perlakuan yang tidak manusiawi dari berbagai kebudayaan manusia, sebagaimana disebutkan diatas. Islam memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan terhormat, memiliki hak dan kewajiban yang disyariatkan Allah. Dalam Islam, haram hukumnya menganiaya dan memperbudak perempuan, dan pelakunya diancam dengan siksaan yang pedih. 308

2) Kesamaan Kedudukan Perempuan dengan Laki-laki Dalam ajaran Islam tidak ada yang membedakan antara perempuan dan laki-laki kecuali ketakwaannya. Sebagaimana terdapat dalam tertulis dalam ayat al-Quran surat al- Hujurat ayat 13, yakni: “Wahai manusia!sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu disisi Allah SWT adalah yang paling bertaqwa. Sungguh , Allah SWT Maha Mengetahui, Maha Teliti”. Ayat tersebut dengan jelas, menjelaskan bahwa antara satu manusia dengan manusia yang lain tidak ada pembeda diantara mereka, bah kan antara laki-laki dengan perempuan. Sebagian orang mengatakan, laki-laki adalah pemimpin perempuan. Pernyataan inilah yang paling banyak dianut di masyarakat. Ketika anggapan tersebut ada, maka para lelaki menganggap diri mereka satu tingkat diatas perempuan. Sebenarnya pernyataan tersebut (tentang laki-laki sebagai pemimpin) memang benar, akan tetapi perasaan diatas perempuan inilah yang salah. Pernyataan ini akan memudar secara aturan akan tetapi tetap ada secara kebiasaan. Ayat lain yang menerangkan tentang persamaan derajat antar manusia baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku, dan keturunan. Ketika menyebutkan asal kejadian manusia, ayat pertama dari Q.S. al-Nisa’ ayat 1 menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya Allah mengembangbiakkan keturunannya, baik lelaki maupun perempuan. Kesamaan lain antara perempuan dan laki-laki adalah dalam hal menerima bebantaklif (melaksanakan hukum) dan balasannya kelak di kahirat. Q.S. al-Mu’min:40 menyebutkan bahwa siapa saja laki-laki maupun perempuan yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka akan masuk surga. 3) Hak- hak perempuan dalam Islam Disamping kesamaan yang dimiliki laki-laki dan perempuan, Islam juga memberikan sejumlah hak kepada perempuan. yaitu: a) Hak politik Salah satu ayat yang dikaitkan dengan hak-hak politik kaumperempuan adalah yang tertera dalam Q.S. al-Taubah:71 yang menjelaskan kewajiban melakukan kerjasama antara lelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar.

309

b) Hak profesi Dalam hal memilih pekerjaan, secara singkat dapat dikemukakan bahwa perempuan mempunyai hak untuk bekerja selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan (atau) selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut. c) Hak dan kewajiban belajar Hak dan kewajiban belajar bagi perempuan (dan laki-laki) sangat banyak dibicarakan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Wahyu pertama al-Qur’an adalah perintah membaca atau belajar. d) Hak sipil Menurut Muhammad Utsman al-Huyst, perempuan dalam Islam memiliki hak-hak sipil sebagaimana laki-laki, seperti: hak kepemilikan, mengatur hartanya sendiri, melakukan perjanjian, jual-beli, wasiat, hibah, mewakili atau menjamin orang lain, serta hak memilih suami. e) Hak berpendapat Perempuan juga boleh berpendapat dan dipertimbangkan pendapatnya itu (Q.S. al- Mujadilah:1-4). Dalam kehidupan berumah tangga, jika sang istri merasa tidak sanggup melanjutkan perkawinannya dengan suami, Islam juga memberikan hak gugatan cerai kepada perempuan yang dikenal dengan istilah khulu’. 4) Pandangan Islam Tentang Feminisme Dalam pandangan Islam, ide dasar dan utama yang diperjuangkan oleh feminisme berupa keadilan antara laki-laki dan perempuan dalam wujud kesetaraan kedudukan dan hak antara perempuan dengan laki-laki adalah sesuatu yang tidak benar dan menyalahi kodrat kemanusiaan. Sebagaimana telah tertulis dalam Al-Qur’an surat An-nisa’ ayat 34 yang artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang sholih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mancari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

310

Laki-laki adalah pemimpin kaum wanita dalam arti pemimpin, kepala, hakim, dan pendidik wanita, jika ia menyimpang (Ghofar, 2008) . Selain berkewajiban menafkahi keluarga seorang laki-laki bertugas melindungi kaum perempuan. Itu sebabnya peperangan hanya diwajibkan untuk kaum laki-laki, tidak kepada kaum perempuan. Peperangan merupakan suatu urusan melindungi bangsa dan Negara. Inilah yang menjadi dasar mengapa kaum laki-laki memperoleh bagian lebih banyak harta warisan dari pada kaum perempuan. (Aly, 1986). Keutamaan laki-laki atas wanita disebabkan dari beberapa segi, diantaranya adalah dari segi kekuasaan, seperti Kenabian dan Kerosulan. Selain itu juga dari keputusan mereka dalam segi ibadah, seperti jihad, sholat hari raya, dan sholat jum’at. Dan apa yang telah allah berikan secara khusus buat mereka berupa akal pikiran yang matang kesabaran dan ketegaran yang tidak dimiliki oleh wanita (Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di). Dalam konteks keluarga, Islam memandang perempuan sebagai pasangan, partner, dan sahabat laki-laki dalam menjalankan tugas mengabdi kepada Allah SWT dan menjadi khalifah di bumi melalui pembagian pekerjaan di antara keduanya. Selain itu Islam tidak memandang peran seseorang sebagai penentu kualitas kehidupan seseorang. Tolak ukur kemuliaan adalah ketakwaan yang diukur secara kualitatif, yaitu sebaik dan sebannyak apa seseorang bertakwa kepada Allah SWT (Q.S. al-Hujurat:13 dan al-Mulk:2). II. Feminis Dalam Hubungan Internasional Feminis dan Hubungan Internasional memiliki keterkaitan satu sama lain dan teori Feminis merupakan bagian dari Hubungan Internasional, Feminis berkembang relatif lambat jika dibandingkan dengan aliran lain dari ilmu-ilmu sosial untuk masuk dalam Hubungan Internasional. Selama adanya perdebatan antara positivis dan post-positivis yang disebut “ debat ketiga” Teori Feminis mulai mengidentifikasi bahwasanya gender dapat dipengaruhi teori oleh Hubungan Internasional dan mulai dipraktekan pada akhir 1980-an, Teori Feminis berpendapat bahwa paradigma seperti realisme, neo-realisme dan institusionalisme liberal, menyajikan pandangan sebagian berakar pada asumsi politik yang diakui bahwa tidak menceritakan seluruh kisah politik internasional. Pendekatan feminis dalam Hubungan Internasional bukan merupakan teori kesatuan tunggal, melainkan wacana yang berbeda yang terdiri dari banyak teori yang bersaing. Misalnya, kaum Feminis Liberal menganggap bahwa manusia adalah otonom yang dipimpin oleh akal (reason). Dengan akal manusia mampu untuk memahami prinsip-prinsip moralitas, kebebasan individu. Prinsip-prinsip ini juga menjamin hak-hak individu. Feminis Marxis berpendapat bahwa modus produksi kehidupan material mengkondisikan proses umum kehidupan sosial, politik dan intelektual. 311

Bukan kesadaran yang menentukan eksistensi seseorang tetapi eksistensi sosial mereka yang menentukan kesadaran mereka. Sedangkan Feminis Radikal memiliki dasar pemikiran bahwa Sistem seks/jender merupakan dasar penindasan terhadap perempuan. Pada gelombang kedua, Feminisme Psikoanalisa Penjelasan bahwa dasar penindasan perempuan terletak pada psyche perempuan, cara perempuan berpikir. Feminisme Eksistensialisme, menjelaskan Konsep ada dari Jean Paul Satre :Etre-en-soi, Etre-pour-soi, Etre-Pour-les-autres. Kelombang ketiga, Feminisme Postmoderen Seperti aliran postmoderenisme menolak pemikiran phalogosentris (ide-ide yang dikuasai oleh logos absolut yakni ”laki-laki” berreferensi pada phallus). Sedangkan Feminisme Multikultural, Sejalan dengan filsafat postmoderen tetapi lebih menekankan kajian kultural. (Arivia, 2002) Ada pula pendapat lain tentang Feminis post-modern yang menyatakan bahwa pengalaman pada perempuan secara otentik atau sudut pandang yang dapat digunakan sebagai template untuk memahami dunia, dan mengkritik feminis liberal. (Sylvester, 2002) Perbedaan gender didasari oleh ketidaksetaraan dalam hubungan kekuasaan dan struktur sosial, dan memiliki implikasi yang signifikan untuk pengalaman masing-masing pria dan wanita. Dengan cara yang berbeda, feminis bertujuan untuk menjelaskan peran gender dalam teori dan praktek hubungan internasional dengan menempatkan perempuan dalam politik internasional, menyelidiki bagaimana mereka dipengaruhi oleh struktur dan perilaku dalam sistem internasional, dan mencari cara teori dalam hubungan internasional dalam merekonstruksi di gender secara netral. Kaum feminis pada awalnya belum memiliki peran penting dalam hubungan internasional. Baik dalam ruang konvensional politik internasional, seperti ekonomi global, politik tinggi dan perang. Tokoh feminisme seperti Cynthia Enloe (1989) menulis pengalaman sehari-hari perempuan sebagai individu, menunjukkan pentingnya mereka untuk menjalankan lanjutan dari sistem negara sebagai pekerja perkebunan, konsumen, istri diplomat dan tentara, dan pelacur sekitarnya pangkalan militer. Dia menegaskan bahwa menghilangkan perempuan dalam teori Hubungan Internasional dengan analisis politik yang tidak lengkap, dan bahkan naif . Dapat di lihat melalui contoh pengalaman perempuan dalam perang secara umum, perang mengintensifkan kesenjangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan dan sering memaksa perempuan ke pekerjaan yang tidak dibayar. Perempuan dipaksa ke dalam perdagangan seks untuk subsisten, kadang-kadang yang dikontrak secara informal oleh para pemimpin militer di seluruh pangkalan untuk mempertahankan semangat para tentara. Non- kombatan, yang berarti wanita dan anak-anak, menjadi korban dari 90% dari kematian dalam perang kontemporer, dan pemerkosaan sistematis telah digunakan sebagai senjata selama 312 perang, seperti selama perang di Bosnia dan Herzegovina, atau saat di Republik Demokratik Kongo. Melihat perang melalui mata seorang wanita dapat mengubah sifat apa yang merupakan batas-batas dalam Hubungan Internasional, mengalihkan fokus dari penyebab dan biaya perang antar negara dengan konsekuensi drastis individu menderita karena militerisasi dan penindasan. Namun, dalam ranah teori tokoh konvensional agak enggan untuk terlibat dalam argumen feminis dengan alasan Pertama, ada tokoh yang menolak teori feminis, mempertanyakan apa yang bisa di lakukan kaum feminis dalam hubungan internasional. Hubungan Internasional secara tradisional telah mengembangkan rasionalis, dan penelitian mandiri, yang menempatkan pertanyaan tentang negara dan sistem negara sebagai fokus sentral. Sebaliknya, kaum feminis menggunakan pendekatan etnografi yang menggarisbawahi pentingnya pengalaman individu dan hubungan sosial daripada perilaku negara dan abstraksi, sehingga berkonsentrasi pada orang, tempat, pihak berwenang dan kegiatan yang diluar lingkup Hubungan Internasional. Implikasi dari perbedaan-perbedaan epistemologis, ada tokoh yang mencoba untuk mendisiplinkan feminis ke dalam penelitian. Dengan demikian, kaum feminis memiliki kecenderungan untuk menanyakan gagasan teori Feminisme itu sendiri karena ia menciptakan batas sewenang-wenang yang memaksa disiplin untuk mengabaikan isu-isu yang tidak termasuk dalam potret dunia yang disajikan oleh teori itu sendiri. Hal ini mengasumsikan teori Feminisme mampu mengembangkan pemikiran dalam Teori Sosial Politik Internasional. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Feminisme memberikan kontribusi dalam teori Hubungan internasional secara keseluruhan. Hal ini dapat di lihat dengan jelas bahwa kaum feminis liberal terus memberikan kontribusi yang besar terhadap praktek politik internasional, yang mempengaruhi perubahan dalam kebijakan nasional dan internasional. Demikian analisis feminis dapat mengubah cara atau konsep dalam hubungan internasional yang selama ini hanya berfokus kepada negara, kekuasaan dan keamanan, yang kemudian membawa Hubungan Internasional mendekati kenyataan dengan memfokuskan kembali tujuan kepada soft power, saling ketergantungan, hak asasi manusia individu dan hak-hak perempuan. Namun, perdebatan antara kaum feminis liberal, feminis sudut pandang dan feminis pasca-positivis menunjukkan bahwa ada ketegangan yang melekat antara keinginan mereka untuk menempatkan suara perempuan di kancah internasional dan tujuan mereka mendekonstruksi jenis kelamin. Akibatnya, pendekatan feminis agak menyebar dan sulit 313

untuk dijabarkan karena tidak jelas apakah mereka ingin benar-benar merekonstruksi inti dalam hubungan internasional atau menolak literatur arus utama disiplin dan terus mengkritik. Secara keseluruhan, bagaimanapun, gerakan ini bekerja untuk menjaga teori feminis dari memparodikan sastra mainstream, dengan feminis post-modern memeriksa dan menyeimbangkan kecenderungan khususnya dari kaum feminis sudut pandang untuk mengklaim berbicara untuk semua orang tertindas. Meskipun demikian, Feminis memberikan kontribusi yang sangat besar untuk hubungan internasional. Secara keseluruhan teori feminis menunjukkan bias normatif yang mendasari dasar-dasar dalam teori Hubungan Internasional konvensional. Mereka juga menjelaskan cara-cara di mana teori utama kurang mampu memperhitungkan setengah populasi dunia adalah pengawasan hampir tidak bisa dipercaya. Ini partialities mendalam yang, dulu dikenal, sulit untuk menyisihkan. Dalam hal ini, teori feminis menyediakan alat analisis yang kaya yang akan terus membuat kontribusi wawasan dan transformatif untuk disiplin Hubungan Internasional.

1) Konsep Feminis dan Defenisi Gender dalam Hubungan Internasional Dalam dunia kontemporer tidak jarang membahas mengenai subordinasi wanita di seluruh dunia tidak hanya di ruang publik tapi juga di lingkungan politik Internasional. Wanita adalah mayoritas populasi termiskin di dunia, dalam artian hanya sedikit wanita di dunia yang memegang tampuk kepemimpinan dan pengambil kebijakan, kurang dari 10% kepala negara di dunia adalah wanita dan sebagian besar personil militer dunia adalah laki- laki. Namun, wanita menanggung beban atas semua keputusan yang dibuat oleh pemimpin mereka yang notabene laki-laki . Tidak jarang dalam sebuah konflik baik etno-nasional atau kekerasan komunal yang paling banyak menjadi korban sipil dan terkena dampak dari konflik adalah perempuan, dimana perempuan merupakan 90% dari korban. (Vaiphei, akses 20 November 2017) Feminisme sebagai salah satu disiplin ilmu mengemukakan bagaimana gender dibangun di ranah sosial. Mereka menggunakan gender sebagai kategori analisis yang penting untuk memahami konstruksi kekuatan dalam politik. Analisis utama adalah perbedaan jenis kelamin yang mendefinisikan jenis kelamin yang berbeda tidak didasarkan pada perbedaan anatomis atau biologis tetapi bukan bagaimana gender dibangun. Karena gender adalah seperangkat sosial dan budaya, karakteristik yang dibangun bervariasi antar waktu dan tempat. Atribut karakteristiknya gender didasarkan pada sosialisasi tentang bagaimana mereka dibangun secara sosial. 314

Sebagai contoh karakteristik “pria sejati” adalah rasionalitas, keberanian, kesopanan, dan kuat sedangkan sebaliknya karakteristik wanita identik dengan emosi, lemah, dan ketergantungan. Nilai yang lebih positif telah dianggap berasal dari yang maskulin. Jenis kelamin dilihat sebagai sebuah struktur yang menandakan hubungan kekuasaan, dan ini menunjukkan ketidaksetaraan. Dengan kata lain, Jenis kelamin adalah sistem hirarki sosial dimana laki-laki lebih dihargai daripada perempuan. Oleh karena itu, perspektif gender menjadi sangat penting dalam menganalisis politik global dan ekonomi, terutama berkenaan dengan konsep ketidaksetaraan, ketidakamanan dan keadilan sosial.

2) Pendekatan Feminis dalam Hubungan Internasional

Feminis dalam Hubungan Internasional menggunakan analisis gender untuk menjawab, pertanyaan mengapa perempuan berada di bawah derajat laki-laki dalam politik global. Subordinasi perempuan tercermin baik dalam politik global maupun dalam ekonomi. Wanita melakukan sebagian besar pekerjaan yang tidak dibayar, bahkan mereka bekerja untuk upah yang minim. Kenyataan bahwa di sebagian besar konflik regional maupun nasional diciptakan oleh laki-laki akan tetapi perempuanlah yang menanggung beban atas konflik yang terjadi. Pada masa silam ketika konflik banyak terjadi di berbagai negara perempuanlah dan anak-anak lah yang banyak menjadi korban, dan suara perempuan tidak dihiraukan oleh pemegang kekuasaan atau dalam pemimpinan militer. Fokus teori feminis adalah membangun pengetahuan intelektual para wanita melalui praktik yang akan membantu mereka dalam mencapai persamaan sosial, politik, dan ekonomi untuk memperbaiki kehidupan para perempuan di dunia. Tujuan terpenting teori feminis adalah untuk menjelaskan subordinasi perempuan dan mencari cara untuk mengakhirinya. Dalam isu inilah teoretisi feminisme mengembangkan pendekatan yang berbeda dalam dinamika hubungan internasional. Alur yang berbeda ini menyebabkan perdebatan menarik dalam wacana feminisme. Rosemary Tong telah klasifikasikan dan membagi pemikiran feminis dan teori hubungan internasional menjadi enam klasifikasi yaitu feminisme liberal, radikal feminisme, feminisme Marxis, feminisme sosialis, femooalitik dan eksistensial feminis. (Vaiphei, akses 20 November 2017)

KESIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa Feminisme memberikan kontribusi dalam teori Hubungan internasional. Hal ini dapat di buktikan dengan jelas bahwa kaum feminis liberal telah 315 memberikan kontribusi yang besar dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di masa silam terutama hak dalam politik dimana kaum perempuan dapat berpartisipasi secara langsung dalam politik internasional seperti yang kita rasakan saat sekarang ini, dimana perempuan juga memberikan peran dalam pembuatan kebijakan, meskipun tidak sebanyak kaum laki-laki. Sedangkan dalam perfektif Islam teori feminis memiliki latar belakang yang berbeda dengan dunia Islam, dimana perempuan barat mengalami deskriminasi dan dimarginalkan oleh dokrin gereja selama berabad-abad, tentunya hal sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam yang sangat memuliakan perempuan. Islam datang menyelamatkan kaum perempuan dikala itu yang masih tertindas oleh peradaban lain di masa jahiliyah. Sebagai umat Islam seharusnya tidak ada lagi keraguan dalam diri kita untuk mengakui kebenaran semua ajaran Islam yang memuliakan perempuan, teori feminis hanyalah sebuah konsep pemikiran yang patut di hargai tetapi tidak untuk diperdebatkan karna Islam mempunyai cara tersendiri dalam menempatkan perempuan pada posisi yang mulia.

DAFTAR PUSTAKA Buku Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di. (t.thn.). Tafsir As-Sa’di, 77. Ali, S. (2000). Global Feminist Politics ; Identities in Changing World. New York: Routledge. Aly, B. A. (1986). Terjemahan Tafsir Al Maraghy. Semarang: Toha Putra. Arivia, G. (2002). Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat berperspektif Feminis. Depok: Universitas Indonesia. Beasley. (1999). Chris, What is Feminisme ? An Introduction to Feminist Theory. NSW: Sage Publications. Cudd, A. E. (2005). Feminist Theory; A Philosophical Anthology . Cornwal: Blackwell Publishing. Ghofar, A. (2008). Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta Timur: Pustaka Imam Asy-Syafi. Nugroho, R. ( 2008). Gender dan Strategi, Pengarus Utamanya di Indonesia. Jogjakarta: Pustaka pelajar. Osborne, S. (2001). Pocket Essenstials Feminism. USA: Trafalgar Square Publishing. Scott Burchill, e. a. (2005). Theories of international relations, third edition. New York: Palgrave Macmillan.

316

Smith, J. B. (2001). The Globalization of World Politics. New York: Oxford University Press. Sylvester, C. (2002). Feminist International Relations: An Unfinished Journey (Cambridge Studies in International Relations). Cambridge University Press .

Internet ASIA”, N. “.—G. (akses 15 Juni 2007). HISTORY AND THEORY OF FEMINISM . http://www.gender.cawater-info.net/knowledge_base/rubricator/feminism_e.htm. ICWC), S.-I. C. (t.thn.). HISTORY AND THEORY OF FEMINISM. NETWORK “GWANET — GENDER AND WATER IN CENTRAL ASIA”, http://www.gender.cawater- info.net/knowledge_base/rubricator/feminism_e.htm. NETWORK, G. (akses 20 November 2017). HISTORY AND THEORY OF FEMINISM , http://www.gender.cawater- info.net/knowledge_base/rubricator/feminism_e.htm. Vaiphei, D. L. (akses 20 November 2017). Feminist Perspectives and International Relations. http://vle.du.ac.in/file.php/629/Feminist_Perspectives_and_International_Relations/Feminist_ Perspectives_and_International_Relations.pdf.

317

UANG PANAIK DALAM TRADISI PERNIKAHAN MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR (MERUJUK PADA PERSPEKTIF GENDER)

Oleh Sunaniah Magister Sosiologi UGM 2017 [email protected] +6285299797297

Abstrak

Uang Panaik merupakan adat yang sampai saat ini masih dipertahankan dalam prosesi pernikahan masyarakat Bugis-Makassar. Uang panaik yang dipahami masyarakat Bugis- Makassar merupakan syarat bagi berlangsungnya akad nikah yang dipandang sebagai uang pesta dalam jumlah yang tidak mengikat. Besar kecilnya uang panaik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti status sosial, pendidikan, dan ekonomi seseorang. Dalam konteks masyarakat Bugis-Makassar saat ini, pernikahan dianggap sebagai alat pertukaran nilai, dimana perempuan diibaratkan sebagai sesuatu yang berharga sehingga ada nilai yang harus dibayarkan oleh laki-laki untuk melaksanakan sebuah pernikahan. Pola pembayaran ini dikenal dengan istilah uang panaik. Uang panaik yang dikenal masyarakat modern saat ini berbeda dari konsep adat masyarakat Bugis-Makassar terdahulu (tradisional). Masyarakat saat ini lebih melihat uang panaik sebagai hal yang bersifat komersil, sehingga hal tersebut dianggap telah mengalami pergeseran secara makna. Pergeseran makna yang terlihat adalah masyarakat lebih memaknai uang panaik sebagai alat untuk menaikkan strata sosialnya, karena saat ini sistem pelapisan sosial pada masyarakat tersebut cenderung bersifat terbuka, sehingga golongan bawah dan menengah atau masyarakat biasa sangat mudah untuk menaikkan strata sosial mereka melalui usaha yang dilakukan, salah satunya adalah melalui pernikahan dengan prasyarat uang panaik yang tinggi. Uang panaik yang tinggi akan berkaitan dengan resepsi pernikahan yang menjadi acara inti, dan merupakan sebuah perhelatan dalam masyarakat tersebut untuk menunjukkan dan mempertegas kedudukan mereka. Keyword : Uang Panaik, Tradisi, Pernikahan, Gender

I. Pendahuluan Pemberian mahar pada prosesi pernikahan menjadi syarat wajib yang dibayarkan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan besaran yang bisa dinegosiasi. Dalam pernikahan masyarakat Bugis-Makassar, mahar dikenal dengan dua istilah yakni sompa dan uang panaik. Kedua hal ini berbeda, sompa biasanya berupa seserahan yang ditentukan berupa barang berharga seperti perhiasan, tanah dan barang berharga lainnya. Sedangkan uang panaik berupa uang yang besarannya sudah disepakati bersama antar kedua belah pihak.

Menurut Susan Millar (1975), dalam bukunya yang berjudul Wedding Bugis, Ia menunjukkan bahwa besarnya uang panaik hanya berkisar Rp.2000,- sampai Rp. 5000,-

318

(Perlas : 2006). Melihat kondisi saat ini sangat berbeda dengan penggambaran Susan Millar, besaran uang panaik dalam prosesi pernikahan masyarakat tersebut semakin hari semakin meningkat jumlahnya. Meningkatnya besaran jumlah permintaan uang panaik, maka semakin banyak anggapan yang berkembang baik dari masyarakat Bugis-Makassar itu sendiri maupun dari luar suku tersebut, yang menyiratkan bahwa uang tersebut sebagai kompensasi ataupun alat tukar untuk membeli seorang perempuan.

Uang panaik menjadi kekhasan tersendiri dalam tradisi pernikahan masyarakat Bugis-Makassar, jika dulu besaran nominal uang panaik hanya dipengaruhi oleh status kebangsawanan seseorang, lambat laun hal tersebut mulai dipengaruh oleh banyak faktor yakni ekonomi, pendidikan bahkan politik. Menariknya besaran uang panaik ini menjadi sebuah persaingan dalam masyarakat, dimana mereka akan saling pamer tentang besaran nominal uang panaik yang mereka berikan maupun terima, uang panaik tidak lagi bermakna adat yang sakral yakni sebagai bentuk penghargaan yang tulus laki-laki kepada perempuan yang ingin dinikahinya tetapi lebih kepada gengsi sosial.

Seperti yang dikemukakan William J Goode (1991) dalam teori saling memenuhi kebutuhan (the Theory Of Complementary Needs) memberikan jawaban atas ikatan-ikatan romantik ini bahwa “dalam pemilihan jodoh, setiap orang mencari dalam lingkungannya, orang yang akan diperkirakan dapat memberikan pengharapan terbesar untuk memenuhi kebutuhannya”. Dalam arti, mereka yang jatuh cinta umumnya sama dalam ciri sosialnya, tetapi saling melengkapi dalam kebutuhan psikologisnya. Dalam sistem pernikahan masyarakat Bugis-Makassar, terdapat banyak tahapan yang akan dilalui, dalam hal ini cinta tidak lagi masuk dalam prosesi yang penting, artinya pernikahan yang terjadi terkadang tidak lagi berdasar pada mereka saling jatuh cinta atau tidak, tetapi lebih menitik beratkan pada keluarga kedua belah pihak. Dewasa ini, nominal uang panaik tergolong cukup tinggi, berkisar antara Rp. 25 juta sampai Rp. 50 juta, bahkan pada golongan tertentu bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Besarnya nominal uang panaik ini biasanya ditentukan oleh strata sosial, tingkat pendidikan, dan kondisi ekonomi seseorang. Semakin tinggi strata sosial, tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi seseorang, maka permintaan uang panaik juga akan tinggi. Pada tahapan ini, uang panaik perlahan berubah makna, pada awalnya hanya sebagai syarat pelengkap dalam hukum adat pernikahan masyarakat Bugis-Makassar, kemudian berubah 319

menjadi syarat utama yang harus dipenuhi dalam pernikahan masyarakat Bugis-Makassar, sehingga implikasinya adalah banyak rencana pernikahan yang batal karena tidak tercapainnya kesepakatan tentang besaran uang panaik. Seperti beberapa kasus pemuda yang pernah terjadi didaerah Bugis-Makassar, mereka mengalami penolakan oleh pihak perempuan karena ketidaksanggupan mereka dalam memenuhi permintaan uang panaik , bahkan yang sempat viral adalah kasus bunuh diri yang dilakukan Sulfiani di Belawa (Wajo), ia nekat mengakhiri hidupnya dikarenakan kekasihnya gagal meminang karena terbentur dengan persoalan besaran uang panaik yang diminta oleh orang tua si gadis.

Dari pemaparan diatas, tulisan ini mencoba untuk melihat pergeseran makna uang panaik dalam tradisi perikahan Bugis-Makassar. Dan bagaimana konsep gender dalam melihat fenomena ini?

II. Pembahasan II.1. Konsep Pernikahan Masyarakat Bugis-Makassar Pernikahan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bagi masyarakat Bugis-Makassar, pernikahan adalah bukan hanya peralihan dalam arti biologis, tetapi lebih ditekankan pada arti sosiologis, yaitu adanya tanggung jawab baru bagi kedua orang yang mengikat tali pernikahan terhadap masyarakatnya. Oleh karena itu, pernikahan bagi orang Bugis dianggap sebagai hal yang suci, sehingga dalam pelaksanaannya dilaksanakan dengan prosesi adat yang sakral dan pesta yang meriah. (Kadir : 2006).

Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram (Rasjid, 2003). Ini menandakan bahwa suatu pernikahan merupakan asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan dan masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju perkenalan antara satu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Ikatan pernikahan merupakan pertalian yang teguh dalam kehidupan manusia, bukan saja antara suami-istri dan keturunannya, tetapi melibatkan keluarga dari kedua belah pihak. Bagi masyarakat Bugis, pernikahan berarti siala “saling mengambil satu sama lain”, pernikahan dianggap sebagai ikatan timbal balik.

320

Walaupun mereka berasal dari status sosial yang berbeda, setelah menjadi suami- istri mereka merupakan mitra. Tetapi, pernikahan bukan sekedar penyatuan dua mempelai semata, akan tetapi suatu upacara penyatuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya dengan maksud kian mempereratnya (Perlas : 2006). Abdullah (1985) melihat pernikahan dalam masyarakat Bugis menggunakan sistem pernikahan yang bersifat endogamy, yaitu suatu usaha untuk mempertahankan garis keturunan dengan motif yang berbeda. Ada yang berdasarkan motif darah, motif harta benda, dan ada pula untuk motif mempertahankan keluarga atau kerabat. Motif ini masih berlaku dalam masyarakat Bugis- Makassar hingga kini dengan interpretasi baru yang menyesuaikan dengan perkembangan masa. Wujud dari suatu pernikahan pada masyarakat Bugis-Makassar yaitu penyatuan dua buah keluarga secara utuh. Pernikahan dilakukan untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan merekatkan keluarga yang renggang. Keluarga yang jaraknya sudah mulai menjauh didekatkan kembali dalam pernikahan. Tradisi pernikahan masyarakat Bugis-Makassar mengandung lebih banyak perwujudan simbolis maupun formal dari kepentingan acara ini. Acara perrnikahan menjadi semacam arena dimana hubungan hirarkis dan kompetitif digelar secara temporer. Pada pernikahan masyarakat Bugis-Makassar, banyak tahapan-tahapan yang dilalui untuk sampai pada inti dari pernikahan itu, melalui beberapa tahapan tersebut, nantinya akan sampai pada tahap pemberian uang panaik. Penentuan besaran uang panaik itu akan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti strata sosial, pendidikan dan kondisi ekonomi seseorang. Besaran tersebut akan berkaitan dengan meriahnya pesta pernikahan yang digelar, yang nantinya akan berhubungan dengan penilaian tinggi rendahnya status sosial (gengsi sosial) seseorang dalam masyarakatnya.

II.2 Uang Panaik dalam Prosesi Adat Pernikahan Masyarakat Bugis-Makassar A. Pengertian Uang panaik merupakan sejumlah uang yang akan diserahkan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan. Makna yang terkandung dalam uang panaik adalah sebagai uang antaran laki-laki untuk pihak keluarga perempuan, sebagai bentuk kesanggupan dan kerelaannya berkorban menjadi anggota keluarga. Uang panaik akan digunakan untuk membiayai acara resepsi pernikahan pihak mempelai perempuan, dan nantinya harus habis terpakai dalam acara tersebut.

321

Pada tahun 1975 Susan Millar dalam bukunya Wedding Bugis (Perlas : 2006) menunjukkan bahwa besaran jumlah uang panaik hanya berkisar Rp. 2000,- samapai Rp. 5000,-. Kondisi kekinian berbeda, uang panaik ini terus mengalami kenaikan, jumlahnya sangat beragam tergantung pada tingkat kesejahteraan dan status keluarga calon mempelai perempuan. Saat ini uang panaik tidak lagi dikombinasikan dengan besaran mahar yang berupa sompa, seperti yang dipraktekkan oleh kalangan bangsawan dan orang terpandang dalam masyarakat Bugis-Makassar, tetapi saat ini uang panaik berdiri sendiri dan terus mengalami perkembangan.

Uang panaik yang tinggi jumlahnya, kini umum dipraktekkan dikalangan masyarakat Bugis-Makassar. Masyarakat biasa dari kalangan orang kaya yang biasanya berfrofesi pedagang dan pemilik tanah, atau bangsawan dengan golongan rendah cenderung menaikkan status melalui kekayaan atau lewat pendidikan yang tinggi, dengan demikian mereka tetap memiliki keleluasaan untuk menentukan besaran uang panaik. Ini berarti bahwa perkembangan nilai uang panaik tidak lagi hanya berdasar pada prinsip tradisional yang dulunya sangat dipengaruhi oleh status kebangsawanan seseorang, tetapi saat ini penentuan nilainya lebih bersifat modern, bisa diakses oleh siapa saja yang menonjol dalam hal tertentu (kekayaan, pendidikan, status). Dengan demikian, tradisi uang panaik yang tinggi akan menjadi sebuah ajang pengukuhan kedudukan, gengsi, dan citra seseorang dalam masyarakat. Karena adanya hal tersebut pihak keluarga calon mempelai perempuan akan ditinggikan kedudukannya dalam masyarakat, sedangkan keluarga calon mempelai laki-laki juga berhasil mempertegas kedudukannya dengan kemampuan memenuhi prasyarat uang panaik yang tidak sedikit atau bahkan diatas kemampuan rata-rata.

B. Uang panaik dalam praktik Budaya Siri’ Konsep masyarakat Bugis-Makassar tentang siri’ adalah menyangkut segala sesuatu yang peka dalam diri mereka, seperti maratabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan, yang semuanya harus ditegakkan dan dipelihara dalam kehidupan nyata. Siri’ bukan hanya berarti rasa malu seperti yang umumnya terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat suku lain. Istilah malu disini menyangkut masalah yang hakiki dalam diri manusia Bugis-Makassar yang telah dipelihara sejak mereka mengenal apa sesungguhnya arti hidup dan apa arti harga diri bagi seorang manusia (Abdullah, 1985). Siri’ berperan sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, sehingga mereka beranggapan bahwa hidup di dunia ini adalah hanya untuk menegakkan dan menjaga siri’. 322

Menurut Pelras (Pelras,2006) pernikahan adalah realitas sosial yang banyak bersinggungan dengan masalah siri’, jika pinangan seseorang ditolak, maka pihak peminang akan mate siri’ (kehilangan rasa malu). Pernikahan masyarakat Bugis-Makassar berkenaan dengan pemberian pihak laki-laki yang berupa mas kawin atau mahar (sompa) dan pembayaran sejumlah uang yang biasa disebut uang panaik, yang merupakan prasyarat dalam adat pernikahan masyarakat Bugis-Makassar.

Mahar (sompa) dalam pernikahan masyarakat Bugis-Makassar merupakan salah satu penanda status, kesesuaian antara mahar (sompa) dan uang panaik harusnya tidak jauh berbeda dengan status kebangsawanan seseorang. Namun saat ini mahar dan uang panaik tidak terlalu fleksibel dan bisa saja terjadi negosiasi dalam penentuannya. Penentuannya tidak lagi melihat dari aspek kebangsawanan saja tetapi dari aspek lain seperti kekayaan, pendidikan, kekuasaan dan lainnya.

Penentuan mahar (sompa) dan uang panaik bagi masyarakat Bugis-Makassar, dianggap sebagai salah satu bentuk ukuran status sosial seseorang sehingga bisa menimbulkan siri’. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan dalam masyarakat, dalam hal ini berkenaan dengan negosiasi mahar dan uang panaik, keseuaian sompa dan uang panaik merupakan hal yang wajib dalam adat pernikahan masyarakat Bugis- Makassar. Sompa dan uang panaik yang tinggi hanya menjadi praktik kaum bangsawan sesuai aturan adat pernikahan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang terjadi saat ini, kesesuaian antara sompa dan uang panaik tidak lagi terjadi, uang panaik cenderung lebih tinggi jumlahnya dan saat ini umum diprektekkan oleh masyarakat Bugis-Makassar. Nominal uang panaik yang tinggi menimbulkan perasaan bangga bagi keluarga calon mempelai perempuan, dan pihak laki-lakipun akan merasakan kebanggaan yang sama karena telah memenuhi prasyarat tersebut. Namun sebaliknya apabila uang panaik yang diberikan sedikit, terkadang akan muncul isu dalam masyarakat bahwa si calon mempelai perempuan hamil sebelum menikah.

Bagi pihak keluarga laki-laki, memenuhi prasyarat uang panaik dianggap sebagai praktik budaya siri’. Hal ini bisa terungkap ketika calon mempelai laki-laki tidak mampu memenuhi permintaan pihak keluarga perempuan dan menebus rasa malu tersebut dengan meninggalkan daerahnya dan kembali setelah punya uang yang di syaratkan. Tindakan masyarakat Bugis-Makassar dalam memaknai uang panaik senantiasa mengikuti 323 perkembangan, dimana tindakan tersebut didasari atas berbagai kepentingan didalamnya. Pernikahan tidak hanya bermakna suci dan sakral, tetapi menjadi ajang menaikkan status melalui perhelatan akbar, dalam sebuah resepsi yang megah dan mewah oleh seseorang akan berhasil menegaskan status dan kedudukannya dalam masyarakat.

C. Uang panaik sebagai gengsi social

Pada pernikahan masyarakat Bugis-Makassar, terdapat nilai-nilai yang menjadi pertimbangan (status sosial, ekonomi dan budaya) yang nantinya akan mengarahkan pada sebuah pengukuhan dan penegasan tentang strata sosial seseorang. Pernikahan dikalangan masyarakat Bugis, bukan hanya menjadi arena dimana hierarki status terpampang jelas, tetapi juga menjadi arena dimana simbol-simbol status baru terpajang.

Hal ini berkaitan tentang konsep habitus yang dikatakan oleh Bourdieu dimana ranah/arena (field) dan kapital (modal sosial) turut mempengaruhi. Habitus dipahami sebagai ruang konseptual di mana pengalaman doxa tersimpan sebagai seperangkat ingatan (memories) mengenai cara berperilaku. Habitus merupakan pengetahuan praktis atau masuk akal dari agen mengenai cara-cara melakukan sesuatu, merespon situasi, dan memahami apa yang terjadi. Habitus merujuk pada yang rutin kita lakukan, bentuk pemahaman ini meliputi suatu rentang situasi yang beragam dari yang keduniawian (trival) hingga keukhrawian (mundane) – mulai dari cara berjalan, makan atau berbicara hingga yang signifikan secara politik, seperti kelas, kelompok usia, dan jenis kelamin. Bourdieu sendiri mengartikan habitus sebagai cara yang diperoleh (aquaried way) dalam memandang dunia sosial dan tergantung pada posisi seseorang dan melakukannya di dunia itu. Meski habitus adalah pandangan yang dimiliki bersama (shared vision) mengenai dunia sosial, namun perbedaan kelas, usia, gender, dan sebagainya, akan mewarnai pandangan ini. Ringkasnya habitus bukan hanya milik individu dan berada dalam self, tetapi juga mencerminkan pemahaman bersama (shared and common understanding) mengenai dunia sosial (Pip Jones, Liz and Shaun : 2016).

Berangkat dari konsep Bourdieu tentang arena dan kapital (modal), penulis ingin mengatakan bahwa tradisi dalam pernikahan masyarakat Bugis-Makassar sejalan dengan konsep arena dan kapital tersebut, dimana masyarakat menempatkan pernikahan sebagai arena bisnis dan ajang pamer yang nantinya mempertegas status mereka. Sebuah pernikahan 324 bukan sekedar mempertemukan hubungan dua insan dalam satu mahligai, namun lebih dari itu, sebuah penikahan merupakan arena yang mempertemukan dua keluarga besar dengan segala identitas serta status sosial. Inilah yang menyebabkan prosesnya menjadi rumit. Pernikahan pada masyarakat Bugis-Makassar menjadi sebuah arena untuk menampilkan identitas sosial dan melestarikan garis silsilah serta posisi mereka ditengah masyarakat. Pernikahan tidak lagi menjadi prosesi sakral yang sesuai dengan konsep adat dan tradisi sebelumnya, juga tidak lagi bermakna modus tradisi dan agama dalam menjaga kebertahanan rumah tangga, tetapi lebih pada modus ekonomi yang transaksional dikedua belah pihak yakni antara keluarga laki-laki dan perempuan.

II.3 Konsep gender Istilah gender bukan hanya mengacu pada pengertian perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, tetapi gender secara umum dapat berarti interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin antara laki-laki dan perempuan. Gender juga sering digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan. Kata gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep budaya yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. (PSGA Uinsa, 2015).

Hilary M. Lips, dalam bukunya Sex & Gender: an Intro– duction yang dikutip oleh dikutip Nasaruddin Umar dalam PSGA (2015), mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat feminis Linda L. Lindsey, ia menganggap bahwa definisi masyarakat atas penentuan lakilaki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (what a given society defines as masculine or feminine is a component of a gender). H.T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai dasar menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan pada kehidupan kolektif. Elaine Showalter mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dalam konstruksi sosialbudaya. Ia menambahkan bahwa gender adalah konsep analisis (an analytic concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu. Menurut Nasaruddin Umar (1999), gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial dan budaya. 325

Aspek yang bersifat non-biologislah yang dilihat dalam perspektif gender ini. Konsep gender berbeda dengan kata seks yang merupakan istilah dari jenis kelamin. Seks merupakan konsep pembeda antara laki-laki dan perempuan berdasarkan realitas atau struktur biologis manusia. Perbedaan tersebut dalam realitas sosial mempengaruhi konstruksi gender dalam masyarakat. Perbedaan gender laki-laki dan perempuan secara biologis menuntut adanya perbedaan peran yang kemudian disosialisasi, dianut, dan diinternalisasikan secara turun temurun, bahkan dilegitimasi dengan melibatkan konsep mitos dan agama, sehingga konstruksi gender tersebut menjadi sebuah kebenaran yang kodrati, tidak dapat berubah seperti status dan keberadaan pembedanya yakni jenis kelamin (seks).

Konstruksi gender yang seringkali dilekatkan dengan perbedaan seks yang given inilah yang seringkali menjadi salah satu mekanisme penguat dan medan legitimasi. Barang kali jika tidak terjadi perubahan episteme sosial, mungkin tidak ada atau tidak akan muncul persoalan gender equality atau gender equity. Kebenaran sebuah prilaku budaya dalam masyarakat erat kaitannya dengan episteme sosial yang sedang menjadi mainstream. Episteme sosial dalam (Muhammad In’am Esha, 2007) adalah sebuah kesadaran dan mekanisme sosial yang diakui dan menjadi kebenaran dalam masyarakat. Episteme sosial inilah yang mempengaruhi medan perilaku dan ukuran-ukuran kebenaran dalam suatu masyarakat dan waktu tertentu. Episteme sosial inilah yang pada kenyataannya ikut berperan dalam menentukan kebenaran-kebenaran dalam masyarakat. Lalu bagaimana gender melihat fenomena uang panaik?

Konsep gender yang terlihat dalam fenomena uang panaik tidak terlepas dari konsep budaya patriarki yang melihat bahwa kehidupan ini hierarki dan laki-laki harus berada di atas sedangkan perempuan selalu di posisi kedua. Laki-laki harus selalu memberi dan perempuan menjadi pihak yang selalu menerima. Pada konsep ini tidak pernah dipahami bahwa bisa saja kondisi terbalik, atau posisi keduanya berada pada posisi yang seimbang, sehingga tidak lagi terjadi hal yang sifat berat sebelah. Gender menyoal kepada konstruksi sosial budaya antara laki-laki dan perempuan mengenai status, peran, dan tanggung jawab.

Dalam konteks kesakralan pernikahan, uang panaik dipahami sebagai uang belanja yang diberikan kepada pihak perempuan. Dalam hal tersebut, uang panaik ini sebagai bukti perwujudan tanggung jawab seorang laki-laki untuk menafkahi seorang perempuan. Dan juga, hal ini menjadi sebuah bukti kesiapan laki-laki untuk menjalankan kehidupan berumah 326 tangga. Uang panaik menjadi reward kepada pihak perempuan, dengan fungsi uang panaik sebagai hal yang meringankan beban pihak perempuan. Konsep saat ini uang panaik dipahami terlalu patriarki, dimana peran dan tanggung jawab lebih banyak dibebankan kepada laki-laki dalam pemberian uang panaik itu sendiri. Superioritas perempuan dalam menentukan uang panaik sebagai pencapaian status sosial.

Penetuan standar uang panaik saat ini ditentukan oleh tingkat inflasi harga-harga bahan pokok di pasaran, status kebangsawanan, gelar pendidikan, gelar haji, status sosial perempuan, status orang tua, pekerjaan dan kecantikan. Standar tersebut dibicarakan diantara kedua belah pihak untuk terjadi proses negosiasi yang nantinya sampai pada penentuan uang panaik yang dikalkulasi untuk mendanai pesta pernikahan. Dalam konteks ini, pemberian mahar (uang panaik ) bisa dipandang dalam dua aspek yang berbeda yakni sebagai uang yang menjadi alat untuk membeli atau sebagai alat untuk menghargai, dua konsep pandangan yang memiliki makna dan implikasi yang berbeda. Jika uang panaik dianggap sebagai alat untuk membeli, maka perempuan dipandang sebagai pihak yang dimiliki oleh pihak pembeli yakni laki-laki. Jika pernikahan dipahami sebagai akad jual beli tentunya akan mempengaruhi hubungan atau relasi seseorang dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Konsep tuan dan hamba di kedua belah pihak akan terjadi meskipun tidak digambarkan secara terang, namun cenderung terjadi superioritas suami yang berlebihan. Uang panaik yang diartikan sebagai uang untuk membeli tentunya akan berelasi dengan nilai materi yang dihitung berdasarkan logika untung dan rugi. Namun akan berbeda ketika uang panaik diartikan sebagai sesuatu yang menghargai, maka tentunya konsep untung rugi tidak akan muncul, hubungan tersebut tentunya tidak lagi berdasar pada nilai materi. Lebih dari itu, arti dari pemberian tersebut akan menjadi titik awal terjadinya relasi yang lebih egaliter bukan hanya relasi antara suami dan istri tetapi juga relasi antara keluarga kedua belah pihak yang saling menghargai seperti tujuan dan konsep adat pernikahan masyarakat Bugis-Makassar yang sesungguhnya.

III. Penutup Uang panaik sebagai sebuah tradisi yang menjadi bagian dari sebuah kearifan lokal tentu saja bisa dipandang dari berbagai perspektif. Tradisi ini bisa saja dipandang sebagai sesuatu yang ditentang oleh sebagian kalangan, di sisi lain pun bisa saja dipandang sebagai sesuatu yang bermakna positif dari persepktif kesakralan pernikahan yang telah

327 dipaparkan sebelumnya, pandangan seperti ini tentu saja berkaitan dengan cara masyarakat melihat dan menyepakati hal tersebut. Keragaman persepsi yang muncul terhadap fenomena tersebut tentu saja menjadi hal yang wajar tergantung apa yang mendasari persepsi tersebut.

Dari pemaparan panjang lebar penulis di atas, penulis sampai pada kesimpulan yang berdasar pada persepsi yang sudah terbangun. Bahwa uang panaik merupakan uang hantaran yang diserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai bentuk kerelaan pihak laki-laki untuk menjadi bagian dari keluarga perempuan. Saat ini uang panaik tidak lagi berdasar pada prinsip tradisional yakni besar kecilnya uang panaik dulunya hanya dipengaruhi oleh status kebangsawanan seseorang yang disesuaikan dengan besaran sompa sesuai ketentuan adat. Penetapan besaran uang panaik kini lebih fleksibel dan bersifat modern, bisa diakses oleh siapa saja yang menonjol dalam hal tertentu seperti ekonomi, strata sosial, dan pendidikan. Pergeseran makna yang terlihat adalah, masyarakat menempatkan uang panaik sebagai alat untuk memperoleh strata sosial yang mereka inginkan. Jika merujuk pada perspektif gender, uang panaik lebih ditekankan sebagai sesuatu yang terkonstruksi berdasarkan pada budaya patriarki dimana ada ketimpangan peran pada kedua pihak yakni pihak laki-laki dan pihak perempuan. Dalam kasus uang panaik secara nominal, laki-laki menjadi pihak yang tersubordinasi dimana mereka dibebankan nilai nominal uang panaik yang cukup besar. Sedangkan dilihat dari segi nilai, uang panaik memberikan stigma negatif yang memposisikan perempuan sebagai sesuatu yang dimiliki dan sebuah komoditi yang diperjual belikan.

Dari penggambaran kasus dan fenomena di masyarakat, seakan terlihat sebuah tragedi budaya dimana digambarkan “pernikahan yang bersifat transaksional” akan menghancurkan relasi sosial antar laki-laki dan perempuan melalui komodifikasi tersebut. Seharusnya pernikahan menjadi perwujudan pembebasan perempuan dari stigma buruk. Dan sudah seharusnya pernikahan itu dipahami sebagai praktek pembebasan (emansipasi), persaudaraan, dan kebersamaan dalam membangun dan membina rumah tangga.

Interpretasi yang telah penulis paparkan di atas masih perlu dieksplorasi, mengingat masih banyak hal yang perlu diungkap dalam fenomena ini. Tulisan ini masih perlu untuk dibedah, sehingga membutuhkan studi lanjutan guna melengkapi apa yang masih belum tercover dalam tulisan ini.

328

Daftar Pustaka Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar : Suatu Tinjauan Historis Terhadap Pola Tingkah Laku Dan Pandangan Hidup Manusia Bugis. Jakarta : Inti Idayu Press. Dwi Narwoko, J. dan Bagong Suyanto. 2007. Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta : Kencana. Goode, William. 1991. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Bumi Aksara Haryanto, Sindung. 2012. Spectrum Teori Sosial : Dari Klasik Hingga Postmodern. Jogjakarta : AR-Ruzz Media Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta. Kadir Ahmad, Abd. 2006. Sistem Perkawinan Di Sulawesi Selatan Dan Sulawesi Barat. Makassar : Indobis Kesindo Utama. 2006. Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia & Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Surabaya Mattulada. 1995. Latoa : Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar : Hasanuddin University Press. M. Poloma, Margaret. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Pers. Millar, Susan Bolyard. 2009. Perkawianan Bugis. Makassar : Ininnawa. Perlas, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta : Nalar Bekerja Sama Dengan Forum Jakarta Paris. Rasjid, Sulaiman. 2003. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta : Rajawali Pers ______. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta Kencana. Soekanto, Soerjono. 1980. Intisari Hukum Keluarga. Bandung : Alumni. ______. 1981. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. ______. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Wardatun, Atun. 2009. Kompromi Dan Interseksionalitas Gender Dalam Pemberian Mahar : Tradisi Ampa Coi’ Ndai Pada Suku Mbojo. Ulumna. Jurnal Studi Keislaman. Volume XIII. Nomor. 1 Juni 2009 Abdul Azis, dkk. 2015. Gender, Islam dan Budaya. Surabaya: PSGA UIN Sunan Ampel. Pip Jones, Liz and Shaun. 2016. Pengantar Teori-teori Sosial. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia. In’am Esha, Muhammad. 2007. Membicang Perempuan Bersama Pierre Bourdieu. Jurnal Egalita. Volume 2 No. 1 2007 329

Wattimena, Reza AA. 2012. Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu. (online). (http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritisdan-sosiologi-reflektif- pemikiran-pierre-bourdieu/ tanggal 24 April 2014).

330

331