SOEGIJA BIOPIC FILM, POLITICAL AFIRMATION, AND POLITICAL IDENTITY: DECONSTRUCTION OF INDONESIAN HISTORIOGRAPHY

Bambang Aris Kartika¹, Nanik Sri Prihatini², Sri Hastanto³, dan Dharsono⁴ ¹ Universitas Jember, Jawa Timur, ² Institut Seni Indonesia (ISI) , Jawa Tengah, Indonesia ³ Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia ⁴ Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia E-mail: [email protected]

ABSTRACT 's movie is a biopic film based on the historiography of the highest leaders of the people and the in Indonesia. Soegija's film is an antithesis of Indonesian historiography so far, especially the historiography of the era of the Indonesian independence revolution. This article discusses the political affirmation and identity politics of Soegija's film from the perspective of Derrida's Deconstruction. Derrida's Deconstruction approach and historical methodology consisting of Heuristics, Hermeneutics, and internal criticism are used to understand the position of Soegija's biopic on Indonesian historiography. The results of the study show that Soegija's film is a biography moving picture of the character Mgr. , who narrated historical facts about the national attitude of the Catholic leadership as the first native bishop. In deconstruction, it appears that Soegija's biopic is a representation of the political affirmation and identity politics of educational cultural resistance to the truth of the historical facts of the character Mgr. Albertus Soegijapranata who is in binary opposition to Indonesian historiography. Keywords: Affirmation, identity, deconstruction, historiography, and biopic films

ABSTRAK Film Soegija sebagai film biopik berdasarkan pada historiografi dari tokoh pemimpin tertinggi umat dan gereja Katolik di Indonesia. Film Soegija merupakan satu antithesis terhadap historiografi Indonesia selama ini, khususnya historiografi pada era revolusi kemerdekaan Indonesia. Artikel ini membahas tentang afirmasi politik dan politik identitas pada film Soegija dari perspektif Dekonstruksi Derrida. Pendekatan Dekonstruksi Derrida dan metodologi sejarah yang terdiri atas Heuristik, Hermeneutik, dan kritik internal dipakai untuk memahami posisi film biopik Soegija terhadap historiografi Indonesia. Hasil kajian menunjukkan film Soegija merupakan film biografi atau biopic (biography moving picture) dari tokoh Mgr. Albertus Soegijapranata yang menarasikan fakta-fakta historis tentang sikap kebangsaan dari pimpinan umat Katolik sebagai uskup pribumi pertama. Secara dekonstruksi tampak bahwa film biopik Soegija merupakan representasi dari afirmasi politik dan politik identitas perlawanan kultural edukatif atas kebenaran fakta sejarah biografi tokoh Mgr. Albertus Soegijapranata yang beroposisi biner dengan historiografi Indonesia. Kata kunci: Afirmasi, identitas, dekonstruksi, historiografi, dan film biopik

1. PENDAHULUAN 2000-an ditandai oleh kesuksesan film Perkembangan sub genre film biopik Sang Pencerah karya sutradara Hanung di industri film Indonesia periode tahun Bramantyo yang seiring dengan lakunya

28

Vol.12 No.1 Desember 2020 ISSN 2338-428X (Online) DOI: ISSN 2086-308X (Cetak) film-film dari adaptasi novel religi. Era memperolehan penonton hingga mencapai tersebut tampak film-film adaptasi dari 1,2 juta menunjukkan bahwa film sejarah novel religi telah membentuk lanskap secara marketability (pasar) dan playability industri perfilman Indonesia, khususnya (penerimaan penonton) memiliki film-film dengan identitas keislaman, segmentasi pasar sebagai produk artinya identitas keislaman sangat komoditas media, sebagaimana yang mewarnai film-film yang mengakomodasi dikemukakan oleh (Keerigan, 2010) bahwa pasar Islami di Indonesia. Faktanya pertimbangan memproduksi film yang memang secara marketability cukup dihasilkan berdasar atas dua sukses mendulang ceruk keuntungan dari pertimbangan, yaitu: marketability dan pasar film Indonesia, seperti film Ayat-Ayat playability. Marketability merupakan Cinta (AAC), Ketika Cinta Bertasbih (KCB), peluang film diterima oleh pasar yang Ketika Cinta Bertasbih 2 (KCB2), dan besar (mass market). Film adaptasi dari Perempuan Berkalung Sorban (PBS). Film- novel merupakan salah satu faktor film tersebut terbukti cukup sukses diterima marketability dalam produksi film. oleh pasar penonton film di Indonesia. Film Playability adalah bagaimana film yang Ayat-Ayat Cinta (2008) memperoleh jumlah diproduksi akan diterima oleh penontonnya. penonton mencapai 3.675.35, film Ketika Pasca booming film Sang Pencerah, Cinta Bertasbih (2009) mendulang jumlah industri perfilman Indonesia diwarnai oleh penonton hingga 2.105.192, film Ketika hadirnya film biopik karya sutradara Garin Cinta Bertasbih 2 mendapat penonton Nugroho, yaitu film Soegija. Film sejarah sebesar 1.494.739, dan film Perempuan uskup pribumi pertama Indonesia sekaligus Berkalung Sorban (2009) mendulang pahlawan nasional dari golongan minoritas penonton hingga mencapai sejumlah umat Katolik. Film ini dalam konteks 793.277 (www.filmindonesia.or.id). Trend industri perfilman ketika itu menjadi satu film berbasis religi dan adanya pasar Islami anomali di tengah booming film-film ini diakui oleh sebagai berbasis novel religi dan pasar Islami. salah satu pertimbangan memproduksi film dikenal gemar mengangkat Sang Pencerah. Hanung Bramantyo tema-tema yang sensitif di mata publik, menyatakan, "Setelah Ayat-Ayat Cinta ide salah satunya adalah isu-isu minoritas. membuat film Sang Pencerah muncul lagi “Saya selalu mengambil tema-tema sensitif ternyata ada 'pasar Islami' di Indonesia. yang belum ada saja. Lalu memang Saya melihat pasaran itu dari Ayat-Ayat pemimpin minoritas jarang diekspose” Cinta," (Pratama, 2010). (Wawancara Garin Nugroho, 28 Februari Film Sang Pencerah mampu 2020). Garin Nugroho secara idealis berani

29

mendekonstruksi film-film mainstream yang Bahkan, penulisan sejarah masa Orde berorientasi pada aspek komersial. Baru, sarat dengan peran heroik dari tokoh- Konsekuensi dari keberanian sekaligus tokoh sipil nasionalis ataupun militer keberpihakan Garin Nugroho memproduksi dibandingkan tokoh agama, apalagi agama film-film yang berkelindan dengan isu-isu Katolik. Kalaupun ada, kebanyakan film minoritas mengakibatkan efek bahwa yang diproduksi dalam film-film sejarah terkadang menimbulkan kontroversial di berasal dari kalangan ulama-ulama tengah publik seperti penolakan dari beragama Islam. Sebagian besar penulisan kelompok-kelompok yang tidak sepaham sejarah (historiografi) mengagungkan dengan film karya kreatifnya. peran militer dalam konteks meraih Film Soegija sebagai film biopik kemerdekaan, seperti sejarah besar berdasarkan pada historiografi dari tokoh Soekarno-Hatta-Sjahrir, Panglima Besar pemimpin tertinggi umat dan gereja Katolik Jenderal Soedirman, Jenderal Soeharto di Indonesia, memiliki unsur-unsur (mantan Presiden Kedua Republik kepentingan secara politik. Film dokudrama Indonesia), ataupun tokoh-tokoh sipil biopik merekonstruksi adegan masa lalu nasionalis lainnya. berdasarkan tafsirannya (Ayawaila, 2008). Penulisan sejarah (historiografi) SAV Puskat yang memproduksi film pada realitasnya seringkali melakukan Soegija memiliki penafsiran tentang manipulasi terhadap peran para tokoh- pentingnya sosok Uskup Mgr. Albertus tokoh besar (the great men) dalam Soegijapranata dihadirkan di tengah peristiwa besar dalam sejarah, termasuk dinamisasi komersialiasi industri perfilman historiografi Indonesia. Manipulasi Indonesia. Peran rohaniawan Katolik terkait penulisan sejarah (historiografi) seringkali dengan sejarah masa-masa revolusi fisik dilakukan oleh rezim otoritarian yang kemerdekaan Indonesia terlupakan, berkuasa sebagai bentuk aktualisasi bahkan teralienasi dalam penulisan sejarah hegemoni politik untuk tujuan (historiografi) Indonesia. Konsep 100% melanggengkan kekuasaan. Sejarah Katolik 100% Indonesia dan dukungan dijadikan sebagai dasar legitimasi atas politik atas pengakuan pertama kali hegemoni politik kekuasaan suatu rezim. kedaulatan Republik Indonesia oleh Tahta Penulisan sejarah seakan-akan difungsikan Suci Vatikan atas andil besar dari Mgr. sebagai afirmasi politik bagi rezim untuk Albertus Soegijapranata juga baru menghegemoni kekuasaan politik. Rommel dikenalkan publik melalui catatan harian Curaming (dalam (Palmos, 2016) bahwa Romo Soegija yang diterbitkan menjadi penulisan sejarah sangat sering dipelintir buku pada masa pasca Orde Baru. untuk kepentingan tertentu. (Palmos, 2016)

30

Vol.12 No.1 Desember 2020 ISSN 2338-428X (Online) DOI: ISSN 2086-308X (Cetak) mencontohkan gaya Presiden Soekarno K.H. Hasyim Asy’ari melalui Resolusi Jihad (1945-1966) dan Soeharto (1966-1998) maupun peran tokoh-tokoh militer dan sipil, dalam menggunakan pendekatan yang seperti Jenderal Soedirman, Jenderal sama terhadap sejarah kemerdekaan, yaitu Soeharto, Bung Tomo, Soekarno, Hatta, dengan menata ulang penulisannya Sjahrir, ataupun Sri Sultan sebagai propaganda bagi rezim mereka IX. Film tidak hanya masing-masing. Fakta ini merupakan dipandang menjadi media tontonan yang sebuah hal yang banyak terjadi dalam menghibur, melainkan juga berfungsi sejarah dunia. Bahkan, hingga tahun-tahun sebagai media ekspresi yang sarat dengan terakhir pemerintahan Presiden Soeharto, nilai-nilai estetis, etika, moral, dan ideologi pemerintah Orde Baru masih berusaha (Palmos, 2016). untuk mengendalikan penulisan sejarah Berdasarkan deskripsi latar belakang Indonesia, dengan tujuan utama untuk masalah di atas, maka tujuan dari menonjolkan peran Soeharto sekaligus penulisan artikel ini adalah (1) untuk menempatkan ABRI/TNI di garda terdepan mengungkapkan dan mendeskripsikan Revolusi Kemerdekaan (Palmos, 2016). tujuan utama (the main purpose) produksi Ruang ilmiah harus terbebas dari film Soegija dari perspektif historiografi manipulasi politik terhadap penulisan Indonesia, dan (2) mengidentifikasikan sejarah menjadi hal yang sangat penting faktor-faktor yang melatarbelakangi bagi independensi riset-riset akademik kepentingan diproduksinya film Soegija. kritis, termasuk pada kajian film tentang Harapan dari proses ini adalah akan sejarah. Apalagi kemampuan film untuk ditemukan posisioning film Soegija membangun kesadaran publik sangat terhadap historiografi revolusi efektif untuk melakukan indoktrinasi kemerdekaan Indonesia. Film biopik ideologi tentang pengakuan atas fakta meskipun karya fiksi, akan tetapi tidak bisa kebenaran sejarah penguasa, selain meninggalkan kepentingan-kepentingan melalui penulisan teks-teks historiografi. tersembunyi di balik di produksinya sebagai Film Soegija merupakan satu antithesis media tontonan kepada publik. terhadap historiografi Indonesia selama ini, Film bisa menjalankan fungsi kritis khususnya historiografi pada era revolusi terhadap kebenaran sejarah. Film Soegija kemerdekaan. Bagaimana kalangan dapat dimaknai sebagai upaya kultural rohaniawan Katolik juga berkontribusi edukatif dengan mendekonstruksi terhadap sejarah pembentukan Negara historigrafi Indonesia. Bahkan, film Soegija Kesatuan Republik Indonesia, tidak saja merupakan artikulasi pengakuan atas dari kalangan ulama-ulama Islam, seperti afirmasi sejarah yang sangat strategis

31

sebagai mesin perjuangan politik bagi ini menunjukkan bahwa film tersebut golongan minoritas. Afirmasi politik sebagai merupakan respons yang tajam dari nilai- aktualisasi dari perlawanan kultural edukatif nilai history, cultural, dan political dari melalui media karya seni audiovisual yang sekian banyak tokoh pejuang nasional di direpresentasikan dengan teks-teks sinema Indonesia yang mengalami eksistensi dari pengaruh alienasi dan marginalisasi identitas di kalangan tertentu dalam peran rohaniwan Katolik oleh kekuatan masyarakat Indonesia. K.H. hegemoni penguasa negara semenjak pada film Sang Pencerah dikostruksikan Orde Baru. sebagai tokoh pejuang nasional Indonesia dari tradisi keras Islam saat itu 2. TINJAUAN PUSTAKA dan beralih kepada syariat Islam sesuai Maria Dewi Kristianingrum menulis dengan Al-Qur’an dan Al Hadits. Mgr. artikel berjudul “Konstruksi Sosok Albertus Soegijapranata dikonstruksikan Perjuangan Mgr. Albertus Soegijapranata, sebagai tokoh pejuang nasional Indonesia S.J. dalam Film Soegija” di Jurnal THE dalam film Soegija. Adegan saat Romo MESEENGER. 2013. Volume V, No. 2 : 41- Soegija melihat warga Belanda yang 46. Artikel ini membahas tentang film ditangkap oleh Jepang, termasuk suster Soegija dalam analisis framing media. Hasil dan bruder Belanda dibawa ke interniran, kajiannya menunjukkan bahwa film Soegija tampak Romo Soegija tidak bisa berbuat sebagai sarana komunikasi media massa apapun kecuali menyelamatkan gereja dari tidak dapat dikatakan netral, karena film rencana Jepang menjadikan gereja Soegija merupakan adaptasi dari catatan sebagai markas komando. Kedua film harian Mgr. Albertus Soegijapranata, biopik tersebut mengkonstruksikan memiliki sedikit banyak perbedaan antara bagaimana nilai-nilai kemanusiaan seorang data sejarah dan fakta yang ditampilkan tokoh agama harus melakukan upaya- dalam film tersebut. upaya yang tegas demi kepentingan Ninah Arisyanti menulis dalam Tesis masyarakat di negaranya. berjudul “Politik Identitas Tokoh Sandy Allifiansyah mempublikasikan Keagamaan Indonesia (KH. Ahmad Dahlan artikel berjudul “Oposisi Biner Kesejarahan dan Mgr. Soegijapranata) dalam Film Indonesia Periode Revolusi Fisik (1945- Nasional (Analisis Semiotika Media pada 1949) dalam Film Soegija (2012) dan Sang Film Sang Pencerah dan Film Soegija”, Kiai (2013).” Semiotika: Jurnal Komunikasi, Program Magister Media dan Ilmu Vol. 11, No. 1 (2017), hlm, 163-200. Artikel Komunikasi Universitas Airlangga ini mengkaji teks film sebagai teks fiksi . Tesis yang mengkaji film Sang dengan memposisikan cara berpikir oposisi Pencerah dan Soegija dari kajian Semiotika

32

Vol.12 No.1 Desember 2020 ISSN 2338-428X (Online) DOI: ISSN 2086-308X (Cetak) biner terhadap teks kesejarahan di dalam alternatif bagi historiografi sejarah media sinema. Historiografi visual yang perfilman Indonesia, terutama setelah disajikan dalam kedua film biopik ini tumbangnya Rezim Orde Baru. (Soegija dan Sang Kiai) menunjukkan Kajian artikel ilmiah ini berbeda kesamaan narasi. Kesamaan narasi yang dengan kajian-kajian terdahulu, karena ditampilkan melalui imajinasi historis dari kajian ini mengkaji tujuan utama dari film kemunculan tokoh-tokoh rekaan yang dengan konten teks sejarah biografi dari dimaknai secara simbolis. Mgr. Albertus Soegijapranata yang Dwi Haryanto dalam artikel yang dipindahkan ke medium film layar lebar. berjudul “Biopic Film and Political Identity: Permasalahan penelitian ini adalah Contestation of Diversity of Ideology in relevansi tujuan produksi film Soegija Indonesia Movies text Post-Soeharto terhadap historiografi Indonesia bertujuan Regime” Capture: Jurnal Seni Media menggali sejauhmana posisi film tersebut Rekam, Vol. 10. No. 1 Desember 2018, dalam konteks teks narasi historiografi hlm, 46-64, mengkaji film-film biopik Gie, Indonesia yang selama ini mengalienasikan Soegija, Sang Kiai, Soekarno, dan Jenderal peran dari tokoh-tokoh agama dari Soedirman. Hasil kajiannya tampak golongan minoritas dalam sejarah revolusi keragaman atas eksistensi politik identitas kemerdekaan Indonesia. Permasalahan dari perspektif agama, etnis, ataupun lain yang ingin digali adalah faktor-faktor platform ideologi politik dalam film-film kepentingan dalam produksi film Soegija biopic tersebut. Film-film tersebut juga yang menjadi sangat penting untuk menjadi penanda hadirnya semangat dan menegaskan posisinya sebagai bagian dari kesadaran ethnic nasionalism ataupun civic eksistensi politik identitas terhadap nasionalism. Tokoh-tokoh yang dihadirkan historiografi Indonesia. dalam film biopik merupakan tokoh-tokoh dengan keragaman identitas, namun 3. METODE Kajian menggunakan Pendekatan disatukan oleh satu konsepsi wacana ke- Dekonstruksi Derrida yang Indonesia-an sebagai ideologi dan identitas mengedepankan Paradigma Post- kolektif. Film biopik pasca rezim Orde Baru Positivism. Pemikiran Dekonstruksi Derrida memunculkan keragaman ideologi dan berupaya untuk menunjukkan bahwa ada politik identitas dari keterwakilan tokoh- pemikiran lain yang bisa menjadi pemikiran tokoh Soe Hok Gie, Mgr. Albertus alternatif di samping pemikiran yang telah Soegijapranata, K.H. Hasyim Asy‟ari, “ada”. Konsep yang ditawarkan ini bisa Soekarno, dan Jenderal Soedirman menjadi suara lebih bagi pemikiran- sebagai subject matter. Selain itu, menjadi pemikiran yang selama ini terpinggirkan

33

oleh pemikiran tunggal. Dekonstruksi tidak kata-kata (kutipan berasal dari wawancara, berarti menjurus pada penghancuran catatan lapangan, percakapan), potongan suatu konsep tanpa solusi, tapi bisa gambar (capture image), foto, rekaman, menawarkan konsep baru untuk ataupun bahan empiris seperti teks menggantikan konsep lama. Kelebihan dari sejarah, studi kasus, pengamatan Dekonstruksi ini bisa memacu para pemikir interaksional dan visual, dokumen pribadi lain untuk ikut andil dalam menentukan dan dokumen resmi, dan bukan angka ((N. kebenaran menurut apa yang mereka K. Denzin & Lincoln, 1994);(N. K. Denzin & butuhkan (Nurhidayat, 2015). McQuillan Lincoln, 2011); (Upe & Damsid, menyatakan ada lima strategi untuk 2010);(Rahmat, 2009). memahami Dekonstruksi. Salah satunya Pengumpulan data menggunakan adalah bagaimana Dekonstruksi dipahami metode Wawancara, sedangkan terkait sebagai kontaminasi oposisi-oposisi biner, dengan konten cerita sejarah dalam film pasangan makna yang berlawanan, ditunjang dengan metode Studi Pustaka misalnya oposisi biner itu seperti rasional berupa telaah teks historiografi. Hal ini dan irasional, maskulin, dan feminisme, berhubungan dengan kajian film sejarah fiksi dan realitas. Dekonstruksi fokus pada bahwa metode Studi Pustaka berdasar yang terpinggir atau termarjinalkan, pada kerangka teori Heuristik dan kritik misalnya dalam oposisi biner, pria dan internal yang secara umum merupakan wanita, rasional dan emosional, progresif prosedur dalam penelitian sejarah. Menurut dan terbelakang. Dalam konteks ini istilah (Sjamsuddin, 2016) “Heuristik (heuristic) di pinggiran, wanita, emosional, dan sebuah kegiatan mencari sumber-sumber terbelakang adalah yang termarjinal. untuk mendapatkan data-data, atau materi Dengan adanya oposisi biner ini, maka sejarah, atau evidensi sejarah.” Teori tidak ada hegemoni makna dari salah satu Heuristik menerapkan metode tentang kutub dan kedua kutub menjadi sama kuat teknik atau cara-cara untuk menemukan (dalam (Hardiman, 2015). Menurut sumber yang bisa diperoleh melalui studi pandangan Post-Posivitism, kebenaran kepustakaan, pengamatan secara tidak hanya satu tetapi lebih kompleks, langsung di lapangan (jika memungkinkan), sehingga tidak dapat diikat oleh satu teori melalui interview untuk sejarah tertentu saja (Rahmat, 2009). kontemporer. Sumber sejarah sebagai data Kajian film Soegija ini menggunakan dapat diperoleh dari kronik, annual, Pendekatan Kualitatif yang terdiri atas biografi, geneologi, memoir, catatan harian, serangkaian praktik material, interpretif sejumlah inskripsi tertentu, karya seni yang deskritif, representasi, meliputi data berupa meliputi potret, lukisan-lukisan sejarah,

34

Vol.12 No.1 Desember 2020 ISSN 2338-428X (Online) DOI: ISSN 2086-308X (Cetak) patung, sejumlah film tertentu, kineskop, akurat. Adapun informan atau narasumber dan lain-lain (Sjamsuddin, 2016). Oleh yang terdiri atas sutradara, produser, dan karena itu, operasionalisasi teknik pengamat film. Analisis data dilakukan pengumpulan data dalam penelitian kajian dengan Analisis Interaksi berdasar pada ini terkait dengan metode Studi Pustaka, data kualitatif. Data diperoleh melalui dilakukan dengan menemukan data-data wawancara secara langsung maupun dari berdasarkan fakta sejarah dengan penelusuran sumber data secara heuristik menelusuri sumber-sumber referensi, baik terhadap filmmaker yang terdiri atas primer maupun sekunder dari buku-buku sutradara dan produser dari film biopik sejarah (historiografi), jurnal ilmiah, Soegija. makalah, maupun berita di surat kabar 4. PEMBAHASAN yang membahas tentang teks naratif histori 4.1. Afirmasi Politik: Relevansi Tujuan biografi. Data-data tersebut untuk Produksi Film Soegija terhadap membuktikan keterkaitan konten film Teks Historiografi Indonesia dengan historiografi Indonesia. Untuk itu, Produksi film biopik yang dilakukan kritik internal sebagai bagian dari menghadirkan sejarah biografi dari tokoh- kritik sumber juga dilakukan terkait dengan tokoh popular oleh para filmmaker jelas teknik pengumpulan data. Kritik sumber memiliki tujuan yang bersifat idealis. dengan melakukan kritik internal untuk Menurut Marseli Sumarno, pakar film memperoleh kebenaran atau ketepatan Fakultas Film dan Televisi, Institut (akurasi) dari sumber sejarah (Sjamsuddin, Kesenian (FFTV-IKJ) bahwa: 2016). Hal ini merupakan bagian dari “Film sebagai karya seni tahapan kegiatan verifikasi atau pengujian mengandung pesan-pesan yang terhadap sumber-sumber sejarah pada ingin disampaikan kepada publik melalui yang disebut director data teks historiografi untuk mendukung statement. Director statement bahasan kajian alih wahana (adaptasi) merupakan tujuan dari pesan yang ingin dicapai dari film yang pada film biopik yang dikaji. Film biopik diproduksi. Tujuan dari pesan ini merupakan film epik sejarah yang harus mengandung pemaknaan sebagai ide atau gagasan awal atas film berdasar pada fakta-fakta sejarah. Tugas yang akan diproduksi” kritik internal untuk menegakkan akurasi (Wawancara Marseli Sumarno, 8 Mei 2017). terhadap fakta-fakta sejarah (Sjamsuddin, 2016). Film biopik sebagai film dokudrama sejarah Pengumpulan data wawancara memiliki sudut pandang terhadap subyek terhadap nara sumber dilakukan dengan atau karakter tokoh yang dihadirkan dalam metode Wawancara Mendalam agar lebih media film sebagai produk tontonan. Sudut pandang pembuatnya dapat

35

mengindikasikan makna-makna dari pesan- maupun bagi dunia luar itu punya peranan penting. Terutama terkait pesan apa yang ingin disampaikan kepada dengan cita-cita kebangsaan, yaitu penonton dalam film yang diproduksinya nilai nasionalisme dari pemimpin umat Katolik. Soegija dan gereja sebagai tujuan idealisme atas produk film. punya andil juga dalam Dengan demikian, akan terlihat tujuan dari membangun negeri ini melalui sikap kebangsaan yang para filmmaker terhadap produksi filmnya dicerminkan dari sikap dan tersebut. pemikiran Mgr. Albertus Soegijapranata, yang walau Tujuan utama dari produksi film mewakili kelompok minoritas tetapi Soegija secara tersirat terlihat dari director memiliki kepercayaan diri untuk melawan penjajah, termasuk statement yang merupakan sudut pandang diplomasi politik dengan Tahta filmmaker-nya. Garin Nugroho Suci Vatikan untuk mengakui kedaulatan Indonesia dari menyatakan: kolonialis Belanda. Bagian penting Tujuan dari film biopik Soegija dari pembuatan film ini adalah adalah pertama, menghadirkan karena kiprah dari Monsinyur ini tokoh katolik dari kelompok tidak diakui dalam historiografi minoritas yang kontribusinya Indonesia. Film ini hadir untuk terhadap sejarah berdirinya menunjukkan kepada masyarakat Negara Indonesia tidak tentang nilai-nilai semangat memperoleh pengakuan di dalam kebangsaan ini hanya akan historiografi Indonesia. Kedua, tercapai dan bisa dipupuk kalau menggambarkan proses tiap orang tidak hanya bagaimana diplomasi politik yang mementingkan agamanya sendiri dilakukan oleh Mgr. Albertus atau kelompoknya sendiri Soegijapranata terhadap Tahta (Wawancara Romo I.Y. Suci Vatikan yang kemudian Iswarahadi, 9 Mei 2016). mengutus Mgr. D’Aroye ke Indonesia dan mengakui Penjelasan Romo I.Y. Iswarahadi tampak kedaulatan RI di bawah Soekarno- bahwa tujuan film Soegija adalah Hatta. Walaupun peristiwa ini pun tidak disebutkan dalam menunjukkan nilai-nilai semangat historiografi kemerdekaan kebangsaan hanya akan tercapai dan bisa Indonesia (Wawancara Garin Nugroho, 28 Februari 2020). dipupuk, jika setiap orang tidak hanya

Film Soegija (representasi biografi Mgr. mementingkan agamanya sendiri atau kelompoknya sendiri. Penegasan dari Albertus Soegijapranata) dapat diartikan tujuan produksi film Soegija selaras dengan sebagai artikulasi dan ekspresi politik identitas (Haryanto, 2018). adegan dan konten film. Adegan diplomasi politik yang Romo I.Y. Iswarahadi selaku dilakukan oleh Mgr. Albertus eksekutif produser mengatakan tujuan Soegijapranata kepada Tahta Suci Vatikan produksi film Soegija tampak dalam penjelasannya berikut: tampak ada film ini. Sebagai wujud dukungan politik, Tahta Suci Vatikan Monsinyur yang bagi gereja

36

Vol.12 No.1 Desember 2020 ISSN 2338-428X (Online) DOI: ISSN 2086-308X (Cetak) mengutus Mgr. George de Jonge d’Ardoye untuk mendukung kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Kedatangan Monsinyur menjadi Duta Tahta Suci Vatikan yang George de Jonge d’Ardoye merupakan keberhasilan diplomasi politik yang diakukan oleh Mgr Albertus mendukung pemerintahan Soekarno dan Soegijapranata. (Sumber: Soegija, 2012, TC: 00:58:39-00:59:31). Hatta. Mgr. George de Jonge d’Ardoye dengan Mgr. Albertus Soegijapranata Salah satu adegan dalam film itu kemudian menemui Soekarno di Gedung menggambarkan Romo Soegija melakukan Agung Yogyakarta untuk menyatakan diplomasi dengan Negara Vatikan yang bahwa Negara Vatikan secara resmi diwakili oleh Monsinyur George de Jonge mendukung kemerdekaan Indonesia. Hal d’Ardoye untuk mendukung kedaulatan itu menunjukkan bahwa meskipun film Indonesia. Sekuen adegan film ditunjukkan Soegija dalah film fiksi, tetapi tetap dengan siaran radio oleh Pak Besut yang mendasarkan pada kebenaran sejarah memberitakan tentang upaya Uskup Mgr. (historical truth), sebagaimana konsep Albertus Soegijapranata mengantar wakil yang dikemukakan oleh sejarawan dari Negara Vatikan Monsinyur George de (Kuntowijoyo, 2006) bahwa karya fiksi Jonge d’Ardoye bertemu dengan Bung sejarah yang sengaja menggunakan Karno. Monsinyur George de Jonge peristiwa sejarah sebagai bahan, haruslah d’Ardoye secara resmi menyatakan bahwa mempunyai ikatan kepada historical truth Negara Vatikan mendukung kemerdekaan (kebenaran sejarah). Film biopik sebagai Indonesia. Pernyataan dukungan politik film fiksi sejarah tidak dapat mengabaikan tersebut disampaikan pada saat bertemu ataupun melepaskan diri dari keberadaan dengan Bung Karno di . Hal fakta-fakta sejarah dari subjek atau tokoh ini merupakan hasil diplomasi Mgr. Albertus yang diangkat. Fakta sejarah masa lalu Soegijapranata. Adegan menampilkan Mgr direkonstruksi peristiwanya pada penuturan d’Ardoye, Romo Soegija, dan Bung Karno cerita dengan mempertimbangkan logika sedang melihat-lihat lukisan koleksi Bung dari kronologi peristiwa, kemudian Karno karya dari seniman istana seperti diadaptasi ke dalam medium film. Basuki Adullah, Affandi, dan juga Soedjojono. Fakta sejarah yang bersumber dari beberapa teks historiografi yang ditulis di kalangan internal umat Katolik menuliskan bahwa Romo Soegija mengirim surat ke Vatikan. Surat berisi permohonan agar

Gambar 1. Adegan Pak Besut melalui siaran radio Vatikan sebagai negara berdaulat memberitakan perihal Kedatangan Monsinyur George mendukung kedaulatan pemerintah de Jonge d’Ardoye Utusan Tahta Suci Vatikan menemui Presiden Soekarno di Gedung Agung Republik Indonesia yang dipimpin oleh

37

Soekarno-. Tujuannya Vatikan. Hubungan yang sekaligus untuk memperkuat posisi RI dalam merupakan wujud pengakuan Vatikan atas perundingan dengan Belanda. Vatikan pun kemerdekaan Republik Indonesia. merespon surat Romo Soegija dengan Pengakuan Vatikan atas kemerdekaan menyetujui permohonan tersebut dan Indonesia tentu saja memiliki nilai yang selanjutnya mengangkat Monsinyur sangat strategis dalam kancah hubungan George de Jonge d’Ardoye sebagai internasional. Delegat Apostolik untuk Indonesia. Pada tanggal 30 Desember 1947 pada pukul 12.00 WIB dengan ditemani oleh Romo Soegija, Mgr. d’Ardoye menemui Wakil Perdana Menteri untuk menyerahkan Surat (Kepercayaan) dari Sekretariat Vatikan. Pada pukul 12:30 WIB dari Wakil Perdana Gambar 2. Mgr. Georges de Jonghe d’Ardoye (kiri) Menteri menuju ke Istana Gedung Agung bertemu Presiden Soekarno (tengah) di Yogyakarta, didampingi Mgr. Albertus Soegijapranata (kanan) – untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. (Sumber: perpusnas-lpphos). Utusan Vatikan Mgr. d’Ardoye bertemu Fakta sejarah bersumber dari dengan Presiden dalam sebuah beberapa teks historiografi di kalangan perjamuan yang hangat (Subanar, 2012); internal umat Katolik menuliskan upaya (Sudimin & Gunawan, 2015); (Utami, Romo Soegija meminta pengakuan 2012); (Wijayanto, 2012). Fakta sejarah kedaulatan dan dukungan terhadap tersebut menunjukkan dukungan pemerintahan Repulik Indonesia yang pengakuan Vatikan terhadap kedaulatan dipimpin oleh Soekarno-Hatta kepada Republik Indonesia yang dimulai dengan Vatikan hingga pengangkatan Mgr. kunjungan delegasi Takhta Suci Vatikan d’Ardoye sebagai Apostolik Indonesia beberapa kali tahun 1947-1948 dan menunjukkan adanya relevansi tekstual akhirnya Indonesia menempatkan antara teks histriografi dengan teks visual Wirjopranoto sebagai Duta Besar di dalam cerita film. Sekuen adegan tersebut, Vatikan pada tahun 1950. dalam perspektif kajian adaptasi (alih Pengakuan kedaulatan Indonesia wahana) merupakan transposisi dari oleh Vatikan tidak dapat dilepaskan dari medium teks narasi sejarah historiografi ke peran Romo Soegija. Berkat inisiatif dari medium audiovisual film. Berdasarkan data Romo Soegija melakukan lobi-lobi politik, teks visual dan teks naratif pada layar film maka terjalinlah hubungan diplomatik serta data teks historiografi menunjukkan antara pemerintah Indonesia dengan terjadinya afirmasi politik tentang peran

38

Vol.12 No.1 Desember 2020 ISSN 2338-428X (Online) DOI: ISSN 2086-308X (Cetak)

Mgr. Albertus Soegijapranata melalui Soegijapranata semasa revolusi tindakan diplomasi politik, yang selama ini kemerdekaan Indonesia. Kontribusi sejarah termarginalkan bahkan teralienasikan politik pimpinan dari kelompok minoritas dalam historiografi Indonesia. Katolik kepada bangsa dan negara. Film Soegija dengan tegas Afirmasi politik yang menegaskan terhadap menunjukkan kepada publik bahwa gereja penulisan sejarah (historiografi) Indonesia dan pimpinan umat Katolik turut sebagai hasil dari penelaahan secara berkonstribusi terhadap peristiwa-peristiwa dekonstruksi. Bagaimana film Soegija besar sejarah kemerdekaan Indonesia. merupakan perlawanan kultural edukatif Bahkan, sejarah diplomasi politik yang yang menempatkan tokoh dari golongan dilakukan oleh Romo Soegija begitu besar minoritas beroposisi biner dengan tokoh- dampaknya terhadap melemahnya tokoh sipil nasionalis ataupun militer dalam eksistensi kolonialisme Belanda. konstruksi narasi historiografi Indonesia Berdasarkan risetnya, Garin Nugroho oleh negara semasa revolusi menjelaskan: kemerdekaan. Rekonstruksi peristiwa yang “Memang betul bahwa ketika melibatkan tokoh Mgr. Albertus Vatikan mengirim delegasi ke sini Soegijapranata dan waktu terjadinya kurang diakui dalam historiografi Indonesia. Padahal, pengaruhnya peristiwa sejarah berupa adegan Mgr. Vatikan demikian besar di negara- Albertus Soegijapranata meminta Vatikan negara Katolik. Minimal mereka tidak bersikap keras dengan Tahta untuk mendukung kedaulatan dan Suci Vatikan mengutus utusan ke kemerdekaan Indonesia hingga akhirnya Indonesia. Maka dari itu, Mgr. D’Aroye itu ada dalam adegan film Vatikan mengangkat Mgr. d’Ardoye Soegija. Di internal negara sebagai Vikaris Apostolik Indonesia Belanda sendiri, partai Katolik di Belanda juga pasti men-support. mengacu pada kebenaran fakta sejarah Fakta-fakta ini yang jarang sekali berdasar referensi teks historiografi muncul di historiografi Indonesia. Bahkan hampir tidak ada” (historical truth). Referensi sejarah sebagai (Wawancara Garin Nugroho, 28 sumber sineas untuk melakukan Februari 2020). rekonstruksi adegan di layar film. Dengan Analisis data sekuen adegan film demikian, film Soegija sebagai bentuk dapat disimpulkan adanya hubungan reaksi politik dan afirmasi sejarah atas diri rekonstruksi referensial. Konten cerita film Romo Soegija, tokoh dari golongan mengacu pada rekonstruksi atas referensi minoritas Katolik yang kiprah perjuangan sejarah yang menegaskan tujuan diplomasinya kurang memperoleh diproduksinya film Soegija sebagai wujud pengakuan secara tegas dalam dari afirmasi politik terkait kontribusi historiografi Indonesia semasa kekuasaan sejarah Romo Mgr. Albertus

39

rezim Orde Baru, khususnya terkait dengan politik, dan kebudayaan juga tampak pada sejarah diplomasi politik semasa awal-awal film GIE (2004, ) dan Merry Riana: pengakuan terhadap kemerdekaan Mimpi Sejuta Dolar (2014, Hestu Saputra). Indonesia. Beberapa waktu lalu publik diramaikan dengan kehadiran film 4.2. Faktor-Faktor Kepentingan Produksi dokumenter Jagal (2012) dan Senyap Film Soegija: Politik Identitas Film (2014) karya Josua Oppenheimer yang Soegija atas Historiografi Indonesia menimbulkan kegaduhan karena adanya Produksi film, selain didasari oleh penolakan dari masyarakat ataupun kebutuhan komersial, juga berfungsi organisasi massa yang berujung pada sebagai media massa di ruang publik. Film pelarangan pemutaran film tersebut. Film- mampu memediasi dan mengartikulasikan film tersebut merupakan film-film yang kepentingan-kepentingan sosial, politik, mendekonstruksi film-film mainstream yang sejarah, agama, ataupun kebudayaan, memang diproduksi untuk kepentingan khususnya di Indonesia yang sangat orientasi komersial di industri film heterogen, pluralis, dan multukultural. Para Indonesia. Setidaknya film-film tersebut filmmaker berani menyuarakan kebebasan merupakan film yang berani untuk tidak berekspresinya dengan mengeksplorasi menitikberatkan sisi komersial, karena lebih tema-tema politik. Beberapa film mengutamakan idealisme konten cerita. menyajikan latar belakang situasional Film tersebut bukan dikategorikan tahun 1965, seperti film Surat Dari Praha eksploitasi film yang laku dan disukai (2016, Angga Dwimas Sasongko), penonton Indonesia, seperti film yang Istirahatlah Kata-Kata (2017, Yosep Anggi mengumbar unsur seksualitas, horor, Noen), Student Movement in Indonesia kekerasan, ataupun komedi. Film-film Surat (2002, Tino Saroengallo), 9808, Antologi 10 Dari Praha, Istirahtlah Kata-Kata, Student Tahun Reformasi (2008, , Ifa Movement in Indonesia, 9808, Antologi 10 Isfansyah, Lucky Kuswandi, dan Ucu Tahun Reformasi, May, Di Balik 1998, “?” Agustin), May (2008, Viva Westi), dan Di (Tanda Tanya), Perempuan Berkalung Balik 1998 (2015, Lukman Sardi). Ada juga Sorban, GIE, Merry Riana: Mimpi Sejuta film-film yang mengeksplorasi persoalan Dolar, Jagal, dan Senyap merupakan film agama sebagai ideologi ataupun identitas, yang beroposisi biner dengan seperti “?” (Tanda Tanya) (2011, Hanung menghadirkan keberpihakan kepada pihak- Bramantyo) dan Perempuan Berkalung pihak termarjinalkan dalam konstruksi Sorban (2009, Hanung Bramantyo). Film- sejarah. film tentang identitas etnis Tionghoa yang Deskripsi di atas menunjukkan mengalami subordinasi secara identitas,

40

Vol.12 No.1 Desember 2020 ISSN 2338-428X (Online) DOI: ISSN 2086-308X (Cetak) bahwa selain motif komersial, film-film tradisi konservatif terhadap wanita dan Indonesia juga mengidentifikasi motif-motif kehidupan modern. Film tersebut eksistensi identitas, khususnya film-film menceritakan kehidupan pesantren bertema agama, contohnya film Ayat-Ayat Salafiah Putri Al-Huda yang mengajarkan Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, bagaimana seorang perempuan harus Ketika Cinta Bertasbih, Sang Pencerah, patuh dan tunduk kepada laki-laki, terlebih Sang Kiai, dan “?” (Tanda Tanya). lagi kepada suaminya. Ajaran tersebut Demikian juga film Soegija. Meskipun membuat Anissa beranggapan bahwa dalam sejarah industri perfilman yang ajaran Islam hanya membela kaum laki- mengangkat isu-isu identitas dan agama laki. Ajaran yang menempatkan perempuan juga seringkali meninggalkan kontroversi dalam posisi sangat lemah di hadapan dan polemik di tengah masyarakat, seperti kaum laki-laki. Persoalan identitas dan film “?” (Tanda Tanya) yang dianggap agama rupanya sangat penting dalam mendiskreditkan dan menstereotipe umat industri perfilman di Indonesia. Hal ini Islam oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). disebabkan, isu-isu identitas, apalagi MUI beralasan dalam film tersebut umat identitas agama merupakan potensi untuk Islam digambarkan berperilaku kasar, dikemas menjadi komoditas jualan berupa penuh dengan sikap picik dan kebodohan, komoditas film. intoleran, eksklusif, rasis, dan brutal Konten cerita film biopik Indonesia ataupun anarkis, sedangkan umat Katolik juga memunculkan isu-isu terkait eksistensi dan etnis Cina digambarkan sangat toleran, identitas, khususnya yang mengangkat penuh kesabaran, kesantunan, pengertian, tentang tokoh-tokoh agama. Akan tetapi, penuh kasih dan sering digambarkan identitas pada film-film biopik bersifat menjadi korban kekerasan umat Islam. positif, karena terkait dengan eksistensi Bahkan, di awal-awal film ditampilkan identitas yang melekat pada tokoh yang adegan penusukan seorang pastur yang difilmkan dan berkonstribusi terhadap nilai- akan memimpin misa di gereja oleh orang nilai moralitas dan kepribadian personal Islam (Salim, 2011). terhadap sikap kebangsaan dan Isu-isu poligami di kalangan dunia keberterimaan atas heterogenitas, pesantren tampak dalam film Perempuan pluralitas, dan multikultural yang menjadi Berkalung Sorban. Film drama bertema ciri masyarakat di Indonesia. Bagaimana Islam yang diadaptasi dari novel dengan pun persoalan agama di Indonesia judul yang sama, memang menyajikan latar merupakan bagian inheren dari identitas tradisi sekolah pesantren di Jawa Timur. pribadi maupun komunal secara sosiologis. Tradisi yang cenderung mempraktikkan Di Indonesia terdapat ikatan-ikatan sosial

41

yang berbasis pada identitas menonjolkan peran militer dan sipil primordialisme, termasuk di antaranya nasionalis dibandingkan golongan tokoh- adalah berbasis pada agama. Salah satu tokoh agama. Film Soegija dapat dikatakan dari tiga pendekatan pembentuk identitas merupakan bagian dari ekspresi politik adalah primordialisme. Identitas diperoleh identitas merujuk pada definisi politik secara alamiah turun temurun, seperti identitas yang dikemukakan oleh Maarif etnis, ras, agama (Widayanti, 2009). Film (dalam Fauzi dan Panggabean, 2012) yang Soegija dalam konten ceritanya sangat menyatakan “suatu praktik politik yang melekat dengan eksistensi identitas tokoh dikaitkan dengan kepentingan anggota- agama Katolik yaitu Mgr. Albertus anggota sebuah kelompok sosial yang Soegijapranata. Oleh karena itu, perlu merasa diperas dan tersingkir oleh pembahasan bagaimana faktor-faktor yang dominasi arus besar dalam sebuah bangsa mempengaruhi kepentingan produksi film atau negara”. Di situlah letak pemikiran Soegija dalam posisinya terhadap kritis terkait dengan latar belakang produksi historiografi Indonesia sebagai telaah kritis film Soegija sebagai artikulasi atas politik berbasis pada media film. identitas melalui telaah Dekonstruksi Medium film sebagai alat aktualisasi Derrida. Film Soegija menjadi antitesis politik identitas memiliki relevansi yang terhadap posisi historiografi Indonesia yang positif bagi kepentingan politik golongan lekat dengan identitas militer ataupun sipil minoritas. Produksi film pasti nasionalis bahkan film-film yang dilatarbelakangi oleh kepentingan- menghadirkan ulama-ulama Islam. kepentingan tertentu. Demikian pula Produksi film biopik Soegija tidak produksi film Soegija yang lekat dengan dapat dihindarkan dari pengaruh atas identitas pimpinan umat Katolik. Film eksistensi identitas, karena film biopik Soegija bisa diartikan sebagai aktualisasi tersebut dalam perspektif industri perfilman dan ekspresi politik golongan minoritas, dapat dimaknai sebagai bentuk dari khususnya terkait dengan posisi dalam reproduksi identitas. Film biopik Soegija historiografi Indonesia. Film Soegija memproduksi teks terkait dengan beroposisi biner dalam perspektif komoditas identitas yang menjadi strategi dekonstruksi Derrida. Premis ini terlihat dari jualannya kepada penonton dan sebagai bagaimana selama ini kiprah dan peran bagian strategis terhadap dekonstruksi dari Mgr. Abertus Soegijapranata historiografi Indonesia. Eksplorasi atas teralineasikan dalam narasi besar identitas tokoh dan agama yang melekat historiogafi kemerdekaan Indonesia, pada diri karakter utama film, tokoh Mgr. terutama semasa Orde Baru yang lebih Albertus Soegijapranata berhubungan

42

Vol.12 No.1 Desember 2020 ISSN 2338-428X (Online) DOI: ISSN 2086-308X (Cetak) secara marketability dan playability dengan Agung ” (Wardhani, 2011). penonton dari kalangan umat Katolik. Identitas keagamaan melekat pada diri Bagaimana labeling identitas pengikut tokoh Mgr. Albertus Soegijapranata dalam umat Katolik jelas merupakan segmentasi kaitannya dengan perjuangan dan kiprah dari marketplace film biopik Soegija dari tokoh gereja dalam konteks sebagai sebagai komoditas tontonan, sedangkan sosok pejuang pada masa revolusi makna tersembunyi yang sengaja kemerdekaan. Faktor memunculkan dihadirkan mengarah kepada upaya kekuatan identitas dari tokoh Mgr. Albertus mendekonstruksi atas historiografi Soegijapranata menjadi kekuatan utama Indonesia semasa revolusi kemerdekaan dari film Soegija. Tujuannya jelas, agar ada yang identik dengan identitas kaum militer satu ikatan kolektif dari umat Katolik bahwa dan nasionalis sipil, seperti peran terpusat mereka berkonstribusi besar dalam revolusi dari tokoh Soekarno, Moh. Hatta, Sjahrir, kemerdekaan, seperti juga tokoh agama , Jenderal Soedirman, maupun Islam yang mayoritas, ataupun kalangan Jenderal Soeharto, ataupun tokoh-tokoh sipil nasionalis dan militer. Penggugahan dari kalangan agama Islam seperti film kesadaran kolektif sebagai bagian dari Tjoet Nya Dien, Pangeran , politik identitas tersebut melalui peran Fatahillah, Sultan Agung, dan Sang Kiai. positif tokoh agama Katolik pada sejarah Garin Nugroho mengemukakan berdirinya Republik Indonesia. tentang ketokohan dalam film Soegija, Garin Nugroho menunjukkan bahwa bahwa: produksi film Soegija dilatarbelakangi oleh Film Soegija merupakan film yang tujuan tentang kesadaran kebangsaan atau mengangkat tokoh agama katolik nasionalisme dari tokoh Katolik, seperti yang merupakan uskup pribumi pertama. Tokoh dari yang Monsinyur Albertus Soegijapranata. Tokoh diidentifikasi dan digolongkan dari Katolik juga berkonstribusi terhadap kelompok minoritas di Indonesia, yaitu tokoh dengan identitas kesadaran kebangsaan pada masa itu. agama Katolik” (Wawancara Garin Kesadaran kebangsaan yang dibangun Nugroho, 28 Februari 2020). atas pluralitas dan kebhinekaan yang Penjelasan tersebut selaras dengan ditunjukkan oleh Romo Soegija perlu untuk pendapat Garin Nugroho dalam artikel dilestarikan. Oleh karena itu, melihat media massa bahwa plot film Soegija kepentingan itu film Soegija pun diproduksi. bercerita tentang kiprah perjuangan dan Penokohan Romo Soegija sebagai semangat kepahlawan seorang uskup wujud dari eksistensi identitas dari umat gereja Katolik bernama Soegijapranata Katolik yang diangkat dalam layar lebar yang lahir di Surakarta, 25 November 1896 juga dikemukakan oleh Romo Y.I. yang menjadi Uskup Agung di Keuskupan

43

Iswarahadi selaku produser eksekutif film pemimpin. Reproduksi identitas ini lebih Soegija, yang mengatakan: kepada mereproduksi identitas dari tokoh- Selain tahu tentang siapa Romo tokoh yang memiliki sikap politik yang jelas Soegija juga menunjukkan bahwa berkhitmad untuk kepentingan bangsa dan ternyata gereja punya andil juga dalam membangun negeri ini. Dan, negara, bukan para elite tokoh yang umat katolik semakin sadar bahwa mementingkan diri dan golongannya saja. meskipun minoritas telah berkontribusi bagi berdirinya Tokoh-tokoh dengan identitas agama justru Republik ini.” (Wawancara Romo menjadi idola atau panutan yang perlu Y.I. Iswarahadi, 9 Mei 2016). diteladani karena mampu bersikap dan Konten film Soegija dengan kiprah dari berkiprah untuk kepentingan bangsa dan karakter utama Mgr. Albertus negara di atas kepentingan yang berbasis Soegijapranata sebagai pemimpin umat pada primordialisme maupun ikatan Katolik dengan sangat jelas menunjukkan emosional religiusitasnya. eksistensi identitas dari umat dan agama Tokoh Mgr. Albertus Soegijapranata Katolik dalam sejarah berdirinya Republik meninggalkan identitas agama untuk Indonesia. Film Soegija sengaja diciptakan kepentingan bangsa dan negara tanpa untuk menggerakkan kehidupan bersama memandang identitas pribadi. Mgr. Albertus untuk meraih cita-cita bangsa berdasar Soegijapranata melakukan diplomasi politik pada semangat nasionalisme, nilai-nilai kepada pihak Tahta Suci Vatikan untuk kemanusiaan, dan multikulural di tengah mengakui kedaulatan Indonesia serta kebhinekaan kehidupan bangsa Indonesia. menjadikan gereja sebagai tempat Sikap yang dimiliki oleh Mgr. Albertus perlindungan dan pelayanan bagi Soegijapranata pada masa lalu sebagai pengungsi tanpa memandang mereka seorang pemimpin. orang Katolik atau bukan. Semua Film biopik yang diproduksi oleh dilakukannya atas nama kemanusiaan. filmmaker pasca rezim Orde Baru memang Semua dilakukan demi kemerdekaan dan memiliki perspektif baru dengan pembebasan seluruh rakyat Indonesia dari menghadirkan tema-tema yang non kekuasaan kolonialisme. Eksistensi mainstream (non selera pasar) di industri identitas dari tokoh tersebut untuk perfilman Indonesia. Para sineas lebih kritis kepentingan bangsa dan negara dalam melihat persoalan untuk merupakan daya tarik dari komoditas film diartikulasikan dalam medium film dengan biopik Soegija. memproduksi film biopik sebagai Klaim sejarah berdasarkan atas reproduksi identitas dari artikulasi artistik klaim identitas yang melekat pada tokoh- atas realitas politik yang mengalami krisis tokoh yang diangkat dalam film juga keteladanan dari elite tokoh-tokoh

44

Vol.12 No.1 Desember 2020 ISSN 2338-428X (Online) DOI: ISSN 2086-308X (Cetak) dikemukakan oleh pengamat film, Moh. Film Soegija merupakan ekspresi Ariansyah mengatakan “faktor identitas dari politik identitas terhadap posisi umat dalam konteks produksi film secara agama minoritas dalam konstruksi strategis berkepentingan dengan sudut historiografi Indonesia yang selama ini pandang akurasi sejarah, kepentingan memarginalkan tokoh umat Katolik. Wujud politik pribadi maupun golongan” dari telaah dekonstruksi atas oposisi biner (Wawancara Moh. Ariansyah, 8 Mei 2017). film Soegija dengan historiografi Indonesia. Faktor identitas dalam film biopik Soegija Hal ini selaras dengan yang dikemukakan berpengaruh terhadap diproduksinya film oleh (Bagir, 2011) bahwa politik identitas tersebut. Film tersebut untuk adalah nama untuk menjelaskan situasi mempertahankan identitas atas sejarah yang ditandai dengan kebangkitan tokoh agama kepada penonton. Begitu pula kelompok-kelompok identitas sebagai dengan identitas tokoh tersebut tanggapan untuk represi yang mempertahankan sejarah atas kontribusi memarjinalkan mereka di masa lalu. Film tokoh agama Katolik dalam sejarah Soegija dapat dimaknai sebagai pergerakan Indonesia berdasarkan konten kebangkitan dari kesadaran kolektif dari struktur naratif film. Film biopik Soegija identitas umat Katolik terkait dengan posisi memang secara substansi memiliki mereka atas historiografi Indonesia. relevansi dengan situasional masa Dekonstruksi atas fakta sejarah tentang pergerakan nasional melawan eksistensi golongan minoritas terhadap kolonialisme. Dan, identitas keagamaan sejarah kebangsaan dan kemerdekaan sangat kuat pengaruhnya sebagai penanda Indonesia menempatkan film Soegija eksistensi golongan rohaniawan dan sebagai antithesis dan upaya meluruskan agamawan berkontribusi terhadap sejarah kebenaran sejarah (historical truth), revolusi dan pergerakan nasional meskipun melalui medium film fiksi sejarah Indonesia. Dengan demikian, motif biografi dari Mgr. Abertus Soegijapranata. eksistensi identitas dalam film biopik 5. SIMPULAN Soegija tersebut sangat kuat untuk Film biopik Soegija diproduksi bukan menegaskan tentang klaim atas fakta tanpa tujuan yang bersifat marketability sejarah tentang kontribusi tokoh-tokoh ataupun playability dalam industri perfilman agama terhadap bangsa dan negara. Klaim Indonesia, namun memiliki tujuan politik ini merujuk kepada sikap, pemikiran, yang strategis bagi golongan umat Katolik, upaya, dan kegigihan dalam berjuang serta khususnya terhadap peran gereja dalam bertahan hidup pada masa Indonesia historiografi Indonesia semasa revolusi dikuasai oleh kolonialisme. kemerdekaan. Semasa rezim Ore Baru,

45

sebagian besar historiografi Indonesia 6. DAFTAR ACUAN memarjinalkan peran-peran golongan Pustaka: agamawan, apalagi dari golongan umat Ayawaila, G. R. (2008). Dokumenter: Dari Ide Sampai Produksi. Jakarta: IKJ minoritas. Penulisan historiografi yang Press. sudah ada lebih ‘mendewakan’ peran Bagir, Z. A. (2011). Pluralisme Kewargaan, militer maupun tokoh-tokoh pergerakan dari Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia. : Mizan dan kalangan sipil nasionalis. Film Soegija CRCS. menjadi alat perlawanan kultural edukatif Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (1994). dengan melakukan dekonstruksi atas Entering the Field of Qualitative Research historiografi Indonesia. Film biopik Soegija . CA: Sage Publication. setidaknya bertujuan untuk memproduksi Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (2011). The Sage Handbook of Qualitative afirmasi politik bahwa umat Katolik memiliki Research 1 ((Terj.)). Yogyakarta: kontribusi besar terhadap sejarah revolusi Pustaka Pelajar. kemerdekaan Indonesia. Upaya diplomasi Hardiman, F. B. (2015). Seni Memahami Hermeneuti dari Schleiermacher politik Mgr. Albertus Soegijapranata sampai Derrida. Yogyakarta: terhadap Tahta Suci Vatikan yang Kanisius. kemudian mendukung kedaulatan RI Haryanto, D. (2018). Biopic Film and Political Identity: Contestation of dengan mengakui Soekarno dan Hatta Diversity of Ideology in Indonesian sebagai pemimpin Negara Republik Movies Text Post-Soeharto Regime. CAPTURE: Jurnal Seni Indonesia merupakan fakta sejarah. Film ini Media Rekam, 10(1), 46–64. menjadi afirmasi politik atas fakta sejarah Keerigan, F. (2010). Film Marketing. peran strategis dari Mgr. Albertus Butterworth-Heinemann: Elsiever Ltd. Soegijapranata sebagai uskup pertama Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan pribumi. Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Film Soegija juga merupakan Wacana. perlawanan secara kultural dan Nurhidayat, T. (2015, June 24). Konsep Dekonstruksi Derrida. Retrieved dekonstruksi terkait dengan politik identitas. from Produksi film Soegija bertujuan untuk https://www.kompasiana.com/amp/ tofix.kompasiana/konsep- menumbuhkan kesadaran kolektif dari dekonstruksi- umat Katolik bahwa pimpinan umat Katolik derrida_552e12d66ea834b7328b4 570 dan gereja memiliki peran strategis semasa Palmos, F. (2016). Surabaya 1945 Sakral revolusi kemerdekaan. Hal itu jarang Tanahku. Jakarta: Yayasan Obor diketahui oleh publik, termasuk dari Indonesia. kalangan umat Katolik sendiri. Pratama, A. F. (2010, May 9). Film Sang Pencerah Hadiah Hanung untuk Muhammadiyah . Retrieved from http://www.tribunnews.com/seleb/2 46

Vol.12 No.1 Desember 2020 ISSN 2338-428X (Online) DOI: ISSN 2086-308X (Cetak)

010/09/05/film-sang-pencerah- dengan Puskat Pictures. hadiah-hanung-untuk- muhammadiyah Narasumber: Rahmat, P. S. (2009). Penelitian Kualitatif. Garin Nugroho Rianto (55), Sutradara Film Jurnal EQUILIBRIUM, 5(9), 1–8. Soegija. Alamat: Jl. Rajawali HD 5a Salim, F. (2011, April 14). Film “?” (Tanda No. 1, Bintaro, Sektor 9, Tangerang. Tanya): Pelecehan Sistematis Marselli Sumarno (63), Pakar dan Praktisi terhadap Islam. Retrieved from Film serta Dosen Fakultas Film https://www.hidayatullah.com/artike Televisi Institut Kesenian Jakarta l/opini/read/2011/04/14/47382/film- (IKJ), Kompleks TIM, Jl. Cikini Raya tanda-tanya-pelecehan-sistematis- No. 73, RT. 08 / RW. 2, Cikini, terhadap-islam.html Menteng, Jakarta Pusat. Sjamsuddin, H. (2016). Metodologi Mohamad Ariansah (45), Pengamat Film Sejarah. Yogyakarta: Ombak. dan Dosen Fakultas Film Televisi Subanar, G. B. (2012). Soegija Catatan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Harian Seorang Pejuang Kompleks TIM, Jl. Cikini Raya No. Kemanusiaan. Yogyakarta: Galang 73, RT. 08 / RW. 2, Cikini, Menteng, Press. Jakarta Pusat. Sudimin, T., & Gunawan, Y. (2015). Romo Y.I. Iswarahadi, SJ, (57), Direktur Semangat dan Perjuangan Mgr. SAV Puskat dan Eksekutif Produser Albertus Soegijapranata, SJ. Film Soegija, Alamat: Balai Budaya Yogyakarta: Kanisius bekerjasama Sinduharjo Jl. Kaliurang Km. 8,5 Unika Soegijapranata. Jaban, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman Yogyakarta 55581-Indonesia. Upe, A., & Damsid. (2010). Asas-Asas Multiple Researches (dari Norman K. Denzin hingga John W. Creswell dan Penerapannya). Yogyakarta: Tiara Wacana. Utami, A. (2012). Soegija 100% Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Puskat Pictures. Wardhani, A. K. (2011, April 19). Garin Nugroho Angkat Tokoh Kebhinekaan ke dalam Sinema. Retrieved from http://www.tribunnews.com/seleb/2 011/04/19/garin-nugroho-angkat- tokoh-kebhinekaan-ke-dalam- sinema Widayanti, T. (2009). Politik Subaltern: Pergulatan Identitas Waria. Yogyakarta: Pusat Penelitian Politik dan Pemerintahan Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM. Wijayanto, FX. M. H. (2012). Soegija in Frames. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama

47