Quick viewing(Text Mode)

Kh Abdurrahman Wahid Sebagai Sumber Inspirasi Katekese Kebangsaan Di Indonesia

Kh Abdurrahman Wahid Sebagai Sumber Inspirasi Katekese Kebangsaan Di Indonesia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KH SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KATEKESE KEBANGSAAN DI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan

Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Paskalis Dimaz Priambodo 141124037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA 2019 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada keluargaku terkasih, yaitu ayah, ibu, dan adik-

adik, serta para sahabat tercinta mahasiswa-mahasiswi Program Studi Pendidikan

Agama Katolik dari berbagai angkatan.

iv

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MOTTO

―Membangun Indonesia sesuai dengan kehendak Allah adalah bagian dari panggilan kita untuk menyempurnakan tata dunia.‖

(Pesan Sidang KWI 2017)

―Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik sebab kita juga merasa 100% Katolik.‖

(Mgr. SJ)

―Perbedaan antarmanusia adalah tidak mungkin dihindari. Orang yang beriman pasti yakin bahwa Tuhan sendirilah yang menciptakan perbedaan itu. Oleh karenanya, kaum Muslim di Indonesia haruslah menghargai dan meninggikan martabat manusia demi menjaga kesejahteraan hidup bersama di tengah masyarakat yang majemuk.‖

(KH Abdurrahman Wahid)

v

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebut dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

vi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta:

Nama : Paskalis Dimaz Priambodo

NIM : 141124037

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul: KH ABDURRAHMAN

WAHID SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KATEKESE KEBANGSAAN DI

INDONESIA beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan demikian, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata

Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola, dan mendistribusikan secara terbatas untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin maupun memberikan royalti, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

vii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “KH ABDURRAHMAN WAHID SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KATEKESE KEBANGSAAN DI INDONESIA”. Judul ini dipilih berdasarkan keprihatinan penulis terhadap situasi di Indonesia dewasa ini yang kurang menghargai keberagaman serta memudarnya rasa cinta tanah air. Dari keprihatinan tersebut penulis merasa khawatir masyarakat Indonesia terjerumus dalam jurang intoleransi dengan bertindak diskriminatif terhadap perbedaan. Bertitik tolak dari kekhawatiran tersebut, skripsi ini dimaksudkan untuk mencari arah dan bentuk katekese yang mengajak umat untuk menanamkan rasa cinta tanah air dan lebih menghargai keberagaman di Indonesia. Persoalan pokok dari skripsi ini adalah inspirasi macam apa yang dapat digali dari sosok KH Abdurrahman Wahid untuk mengonstruksi Katekese Kebangsaan di Indonesia. Persoalan tersebut diolah dengan menggunakan studi pustaka terhadap sosok KH Abdurrahman Wahid terkait biografi singkat, cita-cita, serta berbagai pemikiran dan tindakan konkret dalam hidup beragama dan bernegara. Studi pustaka juga dilakukan terhadap hakikat Katekese Kebangsaan terkait asal-usul, unsur-unsur pokok, dan penerapannya di Indonesia. Metode penulisan dalam skripsi ini menggunakan deskriptif interpretatif yakni menggambarkan bagaimana KH Abdurrahman Wahid dapat menginspirasi praktik Katekese Kebangsaan di Indonesia. KH Abdurrahman Wahid adalah sosok pribadi yang cerdas, bersahaja, sederhana, peduli, serta bersikap inklusif dan pluralis. Beliau bersedia bergaul dengan semua orang dari berbagai kalangan tanpa kecuali. Karena nilai-nilai tersebut, beliau terpilih menjadi Ketua Umum PBNU sebanyak tiga periode dan kemudian menjadi Presiden NKRI periode 1999-2001. Hal ini menjadikan beliau menjadi sosok tepat untuk dijadikan teladan dalam kehidupan beragama dan bernegara. Katekese Kebangsaan merupakan bagian dari kesadaran Gereja dalam mengajak umatnya untuk mewujudnyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah- tengah dunia dengan semakin terlibat aktif dalam kegiatan bermasyarakat. Katekese Kebangsaan membentuk kehidupan beriman yang semakin kontekstual serta praksis sosial yang semakin terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inspirasi-inspirasi yang dapat dipetik dari kerinduan hati terdalam KH Abdurrahman Wahid terhadap bangsa Indonesia untuk mengonstruksi Katekese Kebangsaan yaitu visi kemanusiaan, persaudaraan, kebangsaan, serta kesederhanaan. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian integral yang dibutuhkan dalam Katekese Kebangsaan agar dapat berjalan secara optimal. Berangkat dari inspirasi-inspirasi tersebut, penulis mengusulkan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan sebagai upaya untuk membantu memperkembangkan karya Katekese Kebangsaan di Indonesia agar semakin konteksual sesuai dengan kebutuhan umat di masa sekarang.

Kata kunci: KH Abdurrahman Wahid, Katekese Kebangsaan, Indonesia.

viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRACT

This undergraduate thesis entitled “KH ABDURRAHMAN WAHID AS AN INSPIRATION FOR NATIONHOOD CATECHESIS IN INDONESIA”. This title is chosen based on the author‘s personal concern about Indonesia situation nowadays which is the lack of tolerance and nationalism in the society. From that concern, the author worrying that Indonesian society falls into depth intolerance by discriminatory action towards diversity. Based on the anxiety, this undergraduate thesis is intended to find a catechesis model which lead people to love the country and appreciate diversity. The main issue in this undergraduate thesis is what kind of inspiration based on the figure of KH Abdurrahman Wahid to construct a Nationhood Catechesis in Indonesia. This issue was elaborated by using literature study on the figure of KH Abdurrahman Wahid related to his short biography, aspirations, and also thoughts and concrete actions in religious and national life. The literature study is also applied on the essence of Nationhood Catechesis related to its origin, principal elements, and use in Indonesia. The method used in this undergraduate thesis is interpretative descriptitive which is describing how can KH Abdurrahman Wahid inspire the practice of Nationhood Catechesis in Indonesia. KH Abdurrahman Wahid is a smart, modest, humble, caring, also be inclusive and pluralist person. He is willing to associate with everyone from various circles without exception. Because of those values, he is elected to be PBNU chairman for three periods and President of the Republic of Indonesia at 1999-2001 period. This makes him the right person to be a role model in religious and national life. Nationhood Catechesis is a part of Church consciousness in aware the people to manifest the values of The Kingdom of God by actively involved in society activities. Nationhood Catechesis forms the understanding of faith which is more contextual also social praxis to be more involved in religious and national life. The inspirations which can be taken from KH Abdurrahman Wahid‘s deepest longing are humanity, fraternity, nationality, and humility visions. Those points are an integral part which needed in Nationhood Catechesis in order to run optimally. Based on those inspirations, the author suggests a Nationhood Catechesis, Workshop as an effort to develop Nationhood Catechesis in Indonesia to be more contextual in acordance with the needs of the people nowadays.

Keywords: KH Abdurrahman Wahid, Nationhood Catechesis, Indonesia.

ix

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KATA PENGANTAR

Atas berkat dan rahmat penyertaan Allah Yang Maharahim, penulis mengucapkan syukur karena skripsi berjudul: KH ABDURRAHMAN WAHID SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KATEKESE KEBANGSAAN DI INDONESIA dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun melalui proses yang cukup panjang, mulai dari pencarian sumber buku, konsultasi dengan berbagai pihak, dan juga bagaimana menuangkan pikiran dalam bentuk karya tulis ilmiah. Penulis mengalami banyak hal dalam menulis skripsi ini, baik yang mendukung maupun yang membuat tersendat. Banyak sekali suka dan duka yang membuat penulis semakin mengerti arti dari sebuah pembelajaran dan perjuangan. Hal yang tersulit dalam proses penulisan ini yaitu membangun niat yang stabil dalam setiap harinya untuk menyusun skripsi ini secara optimal. Melalui segala pasang surut dan suka duka yang dialami, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Rama Drs. FX Heryatno Wono Wulung SJ, M.Ed. selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik yang senantiasa mengingatkan dan menyemangati penulis agar menyelesaikan studinya dengan optimal, meminjamkan buku-buku penunjang, membimbing dengan telaten, serta menjadi partner diskusi yang asyik. Terima kasih atas bimbingannya selama ini yang telah menuntun penulis untuk berefleksi dalam menemukan the deepest longing dan menjadi alter-Kristus bagi diri sendiri dan orang lain yang membutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. 2. Rama Patrisius Mutiara Andalas SJ, SS, STD selaku dosen penguji kedua yang bersedia menguji skripsi ini, membuatnya menjadi semakin optimal dan komprehensif sehingga dapat berguna bagi banyak orang. 3. Rama Dr. Ignatius Loyola Madya Utama SJ sebagai dosen penguji ketiga yang juga membantu penulis melalui diskusi hangat yang amat sangat membangun selama ini, memberikan tambahan wawasan dan rujukan

x

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dokumen, serta menyemangati agar skripsi ini dapat diselesaikan secara optimal. 4. Bapak Hairus Salim HS yang di tengah kesibukannya telah rela membantu membimbing penulis dalam lebih mendalami sosok KH Abdurrahman Wahid lewat meminjamkan dan mengarahkan untuk membaca beberapa sumber, dan juga menjadi sarana diskusi yang amat sangat membangun. 5. Keluarga terkasih, ayah saya Th Budi Prakosa dan ibu saya V , serta adik-adik saya Raras dan Nines yang turut serta memberi semangat dan mendoakan dalam hidup sehari-hari sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. 6. Perpustakaan Puskat, Perpustakaan Kolsani, Perpustakaan Sanata Dharma, Perpustakaan Daerah Yogyakarta, serta Toko buku second hand masih layak baca via facebook yakni Bukunya Mantan dan Andi Anang Firmansyah yang turut memberi suplai sumber buku terkait penulisan skripsi ini. 7. Segenap dosen Program Studi Pendidikan Agama Katolik antara lain Rama Suhardiyanto SJ, Rama Ruki SJ, Bapak Kris, Bapak Bintang, Bapak Dapi, Bapak Banyu, Rama Setyawan SJ, Rama Sumarno SJ, Bapak Bambang Hendarto, Ibu Supri, Rama Hendra Asmara SJ, Bapak Rudi Winarto, Rama Rubiyatmoko Pr, Rama Kusmaryanto SCJ, Rama Indra Sanjaya Pr, Rama Eko Riyadi Pr, dan Rama Putranto SJ, serta karyawan-karyawati Pusat Kateketik antara lain Bapak Widiastono, Bapak Bambang Kiswantoto, Bapak Supanto, Bapak Suwarno, Bapak Subari, Ibu Surti, Mas Diono, Mbak Wulan, Mbak Sandra, dan Bapak Eddy yang begitu berperan dalam mendidik penulis menjadi pribadi yang pradnya widya selama proses perkuliahan dan menjadi titik tolak untuk ke depannya. 8. Teman-teman Program Studi Pendidikan Agama Katolik angkatan 2014, terutama pasangan Rena-Gereh, Santi-Tembong, Gaung-Codot sebagai pembuat heboh yang meramaikan suasana, lalu teman-teman satu DPA yakni Dhian, Yunita, dan Retno, kemudian Cika, Sesi, Uly, Yuli, Niken, Lusi, Merianti, Vero, Septiana, Wikan, Ulis, Adswi, Fritz, Niko, Iwan, Jiw, Arni, Manuk, Ira Dhone, Maxima Boy, Gradiana Dangul, dan Riana Sijabat sebagai

xi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

teman sekelas yang menjadi pelengkap kegembiraan dan penderitaan, dan juga Jose De Deus, Eduardus Joni, Fortunatus Sandy Febrian, Matilda Mumut, Bernadetta Salli, dan Eko Wawan Kurniawan yang pernah berjuang bersama meski tak sampai separuh jalan. 9. Ibu Didik selaku pemilik indekos yang saya tempati selama kuliah, teman- teman kos yakni Hendri Chus, Yongki Januardi, dan Otong Kurniawan, serta tetangga kos yakni Ibu Karman dan keluarga, juga Mas Hendri dan keluarga. 10. Segenap warga Lingkungan Petrus Paroki Antonius Padua Kotabaru Yogyakarta yang selama ini telah bersedia ketempatan dan membantu penulis dalam memperkembangkan karya katekese saat praktik pendalaman iman lingkungan, serta segenap warga Stasi Buntu Paroki Paulus Wonosobo yang sempat ditinggali selama pelaksanaan Karya Bakti Paroki. 11. Teman-teman Program Studi Pendidikan Agama Katolik dari berbagai angkatan (2008 hingga 2017) yakni Kebo, Antok, Guruh, Kupret, Bejok, Gembul, Ucup, Yones, Galang, Yohan CKP, Gaplek, Gaboel, Franssenthir, Mael, Didimus, Putri Dinanti, Bonny PS, Patrick Marius, Putri Kenanga, Bernadeta Wahyu, Natalia Yustika, Yohana Susmi, Jamil, Dikta Ganda, Arthi Rosa, Martatik, Nurcahyanti, Tarsius, Afrizal, Angela Merici Agrieny, Valen, Mela, Marcel, Aryo, Betti, Frisca Yuyun, Julbob, Tulus Panjaitan, Natalis, Onelan, Otongmen, Delmi Olivia, Severina Jenita, Dinda Nurmalasari, Priatmoko, Kristhalia Dessindi, Ledyana Lamak, Tasya Mora, Widyastuti, Widyaningrum, Puspita Rahayu, Teo, Adi, dan nama-nama lain yang jika disebutkan membuat skripsi ini semakin penuh. 12. Para penyuplai makanan selama kuliah yakni angkringan malam Oom Sono depan kampus, gerobak merah Oom Aji, warung makan Bu Desi, depot makan depan kampus, warung belakang depot, angkringan malam Mas Kris depan GKS, warung makan Mbak Yuni, dan penyetan malam. Begitu juga Bintang Laundry yang berjasa mencucikan pakaian-pakaian penulis selama kuliah. Kemudian juga para penyuplai sukacita selama hidup yakni The Beatles, Queen, Helloween, Kiss, SNSD, Westlife, Hanoman, Power Rangers, Kamen Rider, Liverpool FC, Timnas Indonesia (untuk segala jenis olahraga),

xii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Asian Games 2018, Roger Federer, Rowan Atkinson a.k.a Mr Bean, Michael Schummacher, Casey Stoner, One Piece, Kungfu Boy, Break Shoot, Detective Conan, Marvel Cinematic Universe, Yakuza Games, Windows, , Android, serta hal-hal lainnya. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini, masih terdapat kekurangan dan keterbatasan. Maka, penulis terbuka untuk menerima berbagai macam saran yang berguna, sehingga skripsi ini dapat diterima dan semakin memberikan sumbangan yang berarti untuk sekarang dan ke depannya. Penulis berharap semoga skripsi ini memberi manfaat dan inspirasi bagi para pembaca. Ecclessia semper reformanda est. Ad maiorem Dei gloriam.

xiii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... ii HALAMAN PENGESAHAN ...... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ...... iv MOTTO ...... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...... vi PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...... vii ABSTRAK ...... viii ABSTRACT ...... ix KATA PENGANTAR ...... x DAFTAR ISI ...... xiv DAFTAR SINGKATAN ...... xvi BAB I. PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 7 C. Tujuan Penulisan ...... 8 D. Manfaat Penulisan ...... 8 E. Metode Penulisan ...... 9 F. Sistematika Penulisan ...... 9 BAB II. KH ABDURRAHMAN WAHID SANG ―KATEKIS‖ KEBANGSAAN 11 A. Biografi Singkat ...... 11 B. Cita-cita ...... 21 C. Sumbangan Pemikiran ...... 25 1. Pemikiran tentang kehidupan beragama ...... 26 2. Pemikiran tentang kehidupan bernegara ...... 32 3. Pemikiran tentang hubungan hidup beragama dengan bernegara ..... 35 D. Perjuangan Konkret ...... 39

xiv

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III. HAKIKAT KATEKESE KEBANGSAAN ...... 54 A. Asal Usul Gagasan ...... 54 1. Berawal dari Katekese Kontekstual ...... 55 2. Allah yang inkarnatoris ...... 61 3. Gabungan antara discipleship dengan citizenship ...... 64 4. Keterlibatan Gereja dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat 67 B. Pokok-pokok Mengenai Katekese Kebangsaan ...... 71 1. Subjek dan objek Katekese Kebangsaan ...... 71 2. Mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di dunia ...... 73 3. Sebagai kebutuhan umat di masa kini ...... 75 C. Penerapan Katekese Kebangsaan di Indonesia ...... 77 BAB IV. INSPIRASI YANG DAPAT DIGALI DARI KERINDUAN TERDALAM HATI KH ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP BANGSA INDONESIA UNTUK MENGONSTRUKSI KATEKESE KEBANGSAAN..... 81 A. Nilai-nilai Inspiraif dari Sosok KH Abdurrahman Wahid ...... 82 1. Kemanusiaan ...... 82 2. Persaudaraan ...... 85 3. Kebangsaan ...... 87 4. Kesederhanaan ...... 90 B. Usulan Kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ...... 92 1. Latar belakang kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ...... 92 2. Tujuan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ...... 95 3. Gambaran pelaksanaan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan . 95 4. Pemilihan materi kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ...... 96 5. Matriks kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ...... 98 6. Contoh persiapan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ...... 102 BAB V. PENUTUP ...... 107 A. Kesimpulan ...... 107 B. Saran ...... 109 DAFTAR PUSTAKA ...... 111

xv

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR SINGKATAN

 Untuk singkatan nama-nama kitab disesuaikan dengan Alkitab Deuterokanonika terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (2005).  Untuk singkatan nama-nama ordo/tarekat/kongregrasi disesuaikan dengan kaidah yang berlaku.

Dokumen Gereja AA : Apostolicam Actuositatem (Dekrit Konsili Vatikan II mengenai kerasulan kaum awam) CT : Catechesi Tradendae (Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II mengenai penyelenggaraan katekese) DFI : Direktorium Formatio Iman (acuan, petunjuk, arah, dan pegangan dalam pengembangan iman umat yang berada di wilayah Keuskupan Agung ) DV : Dei Verbum (Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II mengenai wahyu Ilahi) EG : Evangelii Gaudium (Anjuran Apostolik Paus Fransiskus mengenai misi penginjilan utama Gereja pada masa modern) FR : Fides et Ratio (Ensiklik Paus Yohanes Paulus II mengenai hubungan antara iman dan akal budi) GS : Gaudium et Spes (Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II mengenai Gereja di dunia masa kini) LG : Lumen Gentium (Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja) NA : Nostra Aetate (Deklarasi Konsili Vatikan II mengenai hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen) PUK : Petunjuk Umum Katekese (arah pembaharuan katekese di Gereja-Gereja partikular yang dikeluarkan oleh Kongregasi untuk para imam)

xvi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Organisasi/Kelembagaan ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Bakorstranas : Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional Bulog : Badan Urusan Logistik DIAN/Interfidei : Dialog Antar Iman (sering disebut juga dengan Interfidei) DPR : Dewan Perwakilan Rakyat (lembaga legislatif NKRI) Fordem : Forum Demokrasi GAM : Gerakan Aceh Merdeka GDCC : Gus Dur Crisis Center Golkar : Golongan Karya (partai politik) ICMI : Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia KAS : Keuskupan Agung Semarang KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia LP3ES : Lembaga Pengkajian Pengetahuan, Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat (lembaga legislatif NKRI) NII : Negara Islam Indonesia NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia NU : PBNU : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PDI-P : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (partai politik) PKB : Partai Kebangkitan Bangsa (partai politik) PKI : Partai Komunis Indonesia (partai politik) PPP : Partai Persatuan Pembangunan (partai politik) RI : Republik Indonesia

Lain-lain AD/ART : Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga APP : Aksi Puasa Pembangunan bdk. : bandingkan BKSN : Bulan Kitab Suci Nasional dkk. : dan kawan-kawan

xvii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dsb. : dan sebagainya ed. : editor HAM : Hak Asasi Manusia Inpres : Instruksi Presiden RI Kapolri : Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia KH : Kiai Haji KKN : Korupsi, Kolusi, dan Nepotismee lih. : lihat litsus : penelitian khusus Mgr. : Monsignor (Monsinyur, gelar untuk uskup) Munas : Musyawarah Nasional P4 : Pedoman Penghayatan dan Pengamalan par. : paralel (dengan Injil/kitab lain) pelita : pembangunan lima tahun pemilu : pemilihan umum repelita : rencana pembangunan lima tahun SAW : Shallallahu`alaihi Wa Sallam (artinya adalah Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepadanya, sebuah lafadz yang disematkan kepada Nabi Muhammad sebagai rasul Allah) SCP : Shared Christian Praxis (salah satu model katekese) terj. : terjemahan UUD ‗45 : Undang-Undang Dasar 1945 (konstitusi NKRI)

xviii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini banyak terjadi peristiwa yang melanda Indonesia. Begitu sering kita jumpai berbagai perlakuan diskriminatif, seperti misalnya memutus tali persahabatan karena latar belakang budaya atau agama yang berbeda. Situasi ini mengundang berbagai keprihatinan. Salah satu halnya yaitu kekhawatiran bahwa intoleransi dimanfaatkan untuk kepentingan politik identitas (Hidup: Mingguan

Katolik No.10 Tahun ke-72, 11 Maret 2018: 9). Bentuk keprihatinan yang lain yaitu ada orang-orang tertentu yang merekayasa dan memanfaatkan isu agama untuk mengadu domba dan menciptakan konflik (Hidup: Mingguan Katolik No.10

Tahun ke-72, 11 Maret 2018: 11).

Penulis melihat adanya urgensi akan kesadaran masyarakat dalam berbangsa dan bernegara secara pluralis dan inklusif, mengingat dewasa ini marak terjadi kasus-kasus kekerasan mengarah pada intoleransi yang jika dibiarkan dapat berdampak pada perpecahan suatu bangsa. Penulis merasa adanya krisis moral dalam negeri ini, beberapa oknum merasa paling benar dan berhak untuk main hakim sendiri mengadili kaum yang berbeda pendapat dengan mereka. Penulis juga merasa bahwa dewasa ini rasa nasionalisme dalam diri masyarakat semakin berkurang dan hal ini dapat berdampak pada keutuhan bangsa Indonesia ke depannya. Padahal rasa cinta tanah air sudah ditanamkan sejak awal dan perlu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2

diperkembangkan dengan menghargai keberagaman yang ada dan menjunjung tinggi rasa persatuan.

Perlu ada solusi agar berbagai tindakan intoleransi tidak semakin menjadi- jadi. Sesegera mungkin kita merumuskan langkah-langkah konkret dan tepat sasaran, tidak menunda-nunda lagi untuk menghidupkan nilai-nilai kebinekaan dan toleransi. Hal ini membutuhkan peran kita bersama sebagai warga masyarakat yang peduli akan getaran-getaran kebersamaan, pluralitas, dan kegotongroyongan.

Perlu ada kerja sama antarlini kemasyarakatan, seperti halnya organisasi atau tokoh-tokoh keagamaan dan kemasyarakatan dalam memupuk dan menumbuhkan semangat toleransi, nilai-nilai kemanusiaan, kepekaan sosial, serta penghargaan pada keanekaragaman. Ucapan dan tindakan para tokoh tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat menjadi teladan bagi kita dalam bertindak di kehidupan sehari-hari.

Penulis terinspirasi dari semboyan yang dikemukakan oleh Mgr.

Soegijapranata mengenai menjadi pribadi yang sungguh-sungguh religius sekaligus sungguh-sungguh nasionalis (seratus persen Katolik, seratus persen

Indonesia). Penulis juga terinspirasi dari tindakan Yesus yang membayar pajak dan bea Bait Allah (Mat 17:24-27) dan nasihat Rasul Paulus untuk taat kepada pemerintah (Rm 13:1-8). Penulis merasa bahwa orang Katolik pada masa kini perlu kembali disadarkan akan rasa cinta dan bangga terhadap tanah air Indonesia.

Penulis melihat sosok yang inspiratif dalam menjadi pribadi yang sungguh- sungguh religius sekaligus nasionalis dari seorang Kiai Haji (KH) Abdurrahman

Wahid. Beliau lebih kerap disapa dengan panggilan Gus Dur. Beliau adalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3

seorang pemuka agama Islam yang pernah menjabat sebagai ketua umum dalam kepengurusan besar organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dalam tiga kali masa jabatan (1984-1999) dan terpilih menjadi Presiden Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) yang keempat pada periode 1999-2001. Penulis memilih Gus

Dur yang bukan tokoh dari kalangan Katolik sebagai sosok yang dapat menginspirasi dalam Katekese Kebangsaan karena ingin meninjau lebih jauh aspek kebangsaan yang bersifat lintas agama. Penulis melihat bahwa sosok Gus

Dur adalah seorang yang berpandangan inklusif dan pluralis.

Gus Dur berpandangan bahwa pluralisme agama bukan hanya terletak pada pola hidup berdampingan secara damai, tetapi juga disertai dengan kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran baik dari agama-agama yang lain (Muhaimin

Iskandar, 2000: 16). Sebagai ulama, Gus Dur melihat perlunya semua pihak di kalangan umat Islam memikul tanggung jawab untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap semua warga masyarakat bangsa, sehingga dengan cara demikian Islam dapat tumbuh bersama dengan seluruh penduduk negeri (Parera &

Koekerits, 1999: 18). Bagi Gus Dur, heterogenitas Indonesia adalah anugerah dari

Allah. Menurut Franz Magnis-Suseno (2017: 15), Gus Dur bisa disebut sebagai perwujudan akan tiga sikap yaitu keindonesiaan, agama, dan pluralisme.

Aspirasi atau cita-cita hidup KH Abdurrahman Wahid semenjak kecil adalah menjadi pribadi yang berguna bagi banyak orang, yakni guru bangsa. Beliau terinspirasi oleh beberapa tokoh, seperti , Ki Mangunsarkoro, dan juga kakeknya sendiri Hasyim Asyari (Tim INCReS, 2000: 8). Seiring berjalannya waktu, Gus Dur semakin memantapkan cita-citanya sebagai guru

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4

bangsa, dengan lebih menimba inspirasi dari tokoh-tokoh lainnya, yakni Kim Dae

Jung, Sulakshi Bharaksa, Sun Yat Sen, Soekarno, Mahatma Gandhi, Jawaharlal

Nehru, Joze Rizal, dan Gamal Abdul Nasser (Tim INCReS, 2000: 22-23).

Berbagai hal telah dilakukan oleh Gus Dur dalam menjaga kebebasan beragama di Indonesia ini. Seperti misalnya saja mengeluarkan Keputusan

Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Instruksi

Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama,

Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa yang membuat Konghucu diakui sebagai agama oleh negara dan Hari Raya Imlek ditetapkan sebagai Hari Libur

Nasional Fakultatif (news.liputan6.com/read/814735/sukarno-gus-dur-dan-imlek).

Hal lainnya yaitu menjadi penengah dalam kasus penutupan Sekolah Sang Timur di Tangerang (metro.tempo.co/read/49828/gus-dur-kasus-sang-timur-berbau- politik).

Walaupun memiliki identitas sebagai pemuka agama Islam, Gus Dur lebih dikenal sebagai tokoh lintas agama, karena pandangannya yang inkulsif dan pluralis tersebut. Gus Dur kerap bergaul dengan tokoh-tokoh lintas budaya dan agama, temasuk Katolik. Melalui pikiran, sikap, dan tindakan pluralis-inklusif tersebut, Gus Dur menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai kalangan, termasuk

Katolik.

Gereja sebagai institusi agama di tengah-tengah masyarakat juga memiliki peran untuk mendidik umat. Salah satu upaya Gereja dalam mendidik umat demi pertumbuhan iman, serta sikap toleransi dan inklusivitas yaitu melalui katekese.

Katekese merupakan kegiatan pendalaman iman bagi umat Katolik. Katekese

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5

sering dilihat dalam arti sempit yaitu kegiatan pendalaman iman di lingkungan- lingkungan yang diadakan pada saat-saat tertentu, misalnya saja pada masa adven, prapaskah, atau Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN), sehingga tema yang ditawarkan cenderung tematis mengikuti bahan yang telah dipersiapkan keuskupan. Padahal katekese dapat diadakan kapan saja dan di mana saja (bdk.

CT 47), tidak harus menunggu masa-masa adven, prapaskah, atau BKSN tersebut.

Melihat hal tersebut, sekiranya pemahaman mengenai katekese sejatinya perlu ditinjau kembali.

Marinus Telaumbanua (1999: 5) merumuskan katekese sebagai ―usaha-usaha

Gereja dalam membantu umat semakin memahami, menghayati, dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari‖. Katekese perlu diadakan sebagai sarana bagi umat untuk memperdalam dan memperkembangkan imannya agar merasa semakin mantap sebagai pengikut Kristus. Tema-tema katekese juga perlu diperluas mengikuti perkembangan zaman agar umat dapat lebih bersemangat dalam memberi kesaksian tentang iman mereka sehingga dapat semakin mematangkan dan meneguhkan iman yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (bdk.

CT 24-25).

Katekese sebagai kegiatan pendalaman iman memiliki berbagai macam bentuk, model, dan metode. Penulis selama ini lebih sering mengikuti katekese dengan menggunakan model biblis dan Shared Christian Praxis (SCP) yang disesuaikan dengan tema-tema yang dibuat oleh keuskupan terkait dengan masa- masa prapaskah, BKSN, dan adven. Perlu adanya peninjauan kembali bentuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6

katekese lain yang dapat diperkenalkan kepada umat demi memupuk rasa nasionalisme dan cinta tanah air, yakni Katekese Kebangsaan.

Penulis melihat perlunya pemahaman bahwa katekese masih lebih-lebih berorientasi pada keselamatan surgawi dan belum terlalu memerhatikan bagaimana mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (GS 45) dengan berkontribusi bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Katekese Kebangsaan dapat diselenggarakan dalam rangka mewujudkan Kerajaan Allah di tengah- tengah dunia dengan terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mewujudkan cita-cita kemerdekaan sekaligus merupakan perwujudan iman dalam menanggapi tanda-tanda zaman. Gereja juga perlu turut serta dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.

Melalui Katekese Kebangsaan, Gereja dapat turut beperan menanamkan rasa cinta tanah air dan mencegah tindakan-tindakan kekerasan yang mengarah pada intoleransi tersebut. Gereja dapat berperan langsung dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, menanamkan nilai-nilai moral yang menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi rasa persatuan Indonesia.

Katekese Kebangsaan berawal dari gagasan akan perlunya sebuah katekese yang bersifat mengajak umat terlibat dalam keprihatinan berbangsa dan bermasyarakat. Dalam Sarasehan Kebangsaan "Menjadi Warga Indonesia yang

Inklusif dan Transformatif" yang diselenggarakan oleh Komisi Kateketik

Kevikepan DIY pada Minggu, 24 September 2017, FX Sugiyana Pr mengungkapkan bahwa membangun Indonesia adalah bagian dari iman. Oleh karena itu Gereja sebagai bagian dari NKRI turut serta bertanggung jawab

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7

membuat Indonesia menjadi lebih baik. Beliau juga mengatakan bahwa Arah

Dasar Keuskupan Agung Semarang (KAS), bersama masyarakat Indonesia yang sedang menghidupi nilai-nilai Pancasila di era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi umat, ingin mewujudkan Gereja yang inklusif, inovatif, dan transformatif. Inklusif artinya keterbukaan dan toleran terhadap keberagaman, inovatif berarti bergerak membawa perubahan, kemajuan, dan pembaharuan, serta transformatif yaitu bersama-sama membangun bangsa dan negara

(gerejapelemdukuh.com/2017/10/sarasehan-kebangsaan-menjadi-warga.html).

Berangkat dari berbagai gagasan di atas, penulis berpendapat bahwa Katekese

Kebangsaan dapat belajar dan mengambil inspirasi dari sosok KH Abdurrahman

Wahid. Menyadari hal tersebut, penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul KH ABDURRAHMAN WAHID SEBAGAI SUMBER INSPIRASI

KATEKESE KEBANGSAAN DI INDONESIA.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka masalah

pokok dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Seperti apa sosok KH Abdurrahman Wahid?

2. Apa yang dimaksud dengan Katekese Kebangsaan?

3. Inspirasi macam apa yang dapat dipetik dari KH Abdurrahman Wahid

dalam mengonstruksi Katekese Kebangsaan di Indonesia?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8

C. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka penulisan ini dilakukan dengan tujuan:

1. Mendeskripsikan sosok KH Abdurrahman Wahid.

2. Menemukan hakikat dan pokok-pokok Katekese Kebangsaan.

3. Mengetahui seberapa besar inspirasi KH Abdurrahman Wahid dalam

mengonstruksi Katekese Kebangsaan di Indonesia.

D. MANFAAT PENULISAN

Adapun penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi:

1. Penulis

Penulisan ini diharapkan dapat membantu penulis dalam mempersiapkan diri sebagai calon katekis agar memiliki pemahaman mengenai Katekese

Kebangsaan serta inspirasinya dari KH Abdurrahman Wahid dan dapat menerapkannya kelak dalam berkatekese di berbagai tempat, waktu, dan kesempatan.

2. Mahasiswa

Penulisan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa Program Studi

Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma agar memiliki pemahaman secara utuh mengenai Katekese Kebangsaan sehingga memupuk rasa nasionalisme melalui berkatekese, serta dapat belajar dari KH Abdurrahman

Wahid mengenai wawasan menjadi sungguh-sungguh religius sekaligus nasionalis.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9

3. Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma

Penulisan ini diharapkan dapat membantu memberikan sumbangan untuk

Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma dalam membekali mahasiswanya mengenai Katekese Kebangsaan sehingga mampu memberi sumbangan dan kontribusi yang berarti dalam kegiatan kemasyarakatan melalui Katekese Kebangsaan serta dapat belajar dari KH Abdurrahman Wahid sebagai sumber inspirasinya.

E. METODE PENULISAN

Skripsi ini merupakan studi pustaka dengan menggunakan metode deskriptif interpretatif. Penulis memperoleh data melalui berbagai sumber dokumen, buku, artikel (majalah, jurnal, surat kabar, dan internet), dsb. mengenai Katekese

Kebangsaan serta pemikiran KH Abdurrahman Wahid yang menunjukkan inklusivitas dan pluralitas dalam kehidupan beragama dan bernegara. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggambarkan bagaimana KH Abdurrahman

Wahid dapat menginspirasi praktik Katekese Kebangsaan di Indonesia.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini mengambil judul KH ABDURRAHMAN WAHID SEBAGAI

SUMBER INSPIRASI KATEKESE KEBANGSAAN DI INDONESIA. Judul tersebut akan diuraikan menjadi lima bab sebagai berikut:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10

Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II membahas sosok KH Abdurrahman Wahid yang meliputi biografi singkat, berbagai macam pemikiran beliau tentang kehidupan beragama dan berbangsa, cita-cita beliau terhadap kehidupan berbangsa dan beragama, serta tindakan-tindakan beliau dalam memperjuangkan kebinekaan dan kebebasan beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bab III memuat hakikat dan pokok-pokok Katekese Kebangsaan yang meliputi asal usul pemikiran, pemahaman mengenai Katekese Kebangsaan, dan bagaimana penerapan Katekese Kebangsaan tersebut, secara khusus di Indonesia.

Bab IV menguraikan bagaimana sosok KH Abdurrahman Wahid dapat menjadi sumber inspirasi dalam mengonstruksi Katekese Kebangsaan di

Indonesia, kemudian memberikan usulan kegiatan Lokakarya Katekese

Kebangsaan sebagai usaha meningkatkan praktik pengembangan Katekese

Kebangsaan di Indonesia dengan mengambil inspirasi dari sosok KH

Abdurrahman Wahid.

Bab V adalah penutup. Dalam penutup ini penulis akan menyampaikan kesimpulan dari keseluruhan permasalahan penulisan dan memberikan saran yang dapat meningkatkan pemahaman akan Katekese Kebangsaan dan dapat belajar dari sosok KH Abdurrahman Wahid sebagai sumber inspirasinya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11

BAB II KH ABDURRAHMAN WAHID SANG “KATEKIS” KEBANGSAAN

Pada bab sebelumnya penulis sudah membahas latar belakang penulisan skripsi ini. Sudah dipaparkan mengapa penulis memilih KH Abdurrahman Wahid dan Katekese Kebangsaan dalam penulisan skripsi ini. Kemudian penulis sudah memaparkan berbagai rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, serta sistematika penulisannya.

Pada bab ini penulis akan membahas mengenai sosok KH Abdurrahman

Wahid sebagai ―katekis‖ kebangsaan. Secara gamblang memang beliau tidak berbicara mengenai nilai dalam Agama Katolik tetapi lebih-lebih nilai universal dari iman yang melampaui batas agama. Keterkaitan tersebut akan dipaparkan dalam biografi KH Abdurrahman Wahid secara singkat, mulai dari latar belakang keluarga hingga jenjang karirnya sebagai ulama dan guru bangsa. Nilai-nilai universalitas sang ―katekis‖ kebangsaan ini juga tersirat lewat berbagai macam sumbangan beliau dalam memperjuangkan kebinekaan dan kebebasan beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dituangkan dalam berbagai bentuk tulisan di berbagai media serta tindakan-tindakan konkret dalam perjuangannya tersebut.

A. Biografi Singkat

Abdurrahman Wahid lahir pada 7 September 1940 di Denayar, Jombang.

Sebagian sumber menuliskan bahwa beliau lahir pada 4 Agustus 1940. Akan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12

tetapi, kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah hari keempat dalam bulan kedelapan pada kalender Islam, yakni tanggal 4 Sya‘ban, sama dengan 7 September dalam kalender masehi (Ali Masykur Musa, 2010: 4).

Walaupun begitu, ulang tahun beliau selalu dirayakan pada 4 Agustus (Barton,

2016: 25).

Beliau dilahirkan dengan nama Abdurrahman Addakhil. ―Abdurrahman‖ berarti hamba Allah Sang Maha Penyayang, sedangkan ―Addakhil‖ berarti Sang

Penakluk (Ari Subagyo, 2012: 38). Namun nama ini dirasa berat, maka kemudian nama belakang diganti menggunakan nama depan sang ayah, yakni ―Wahid‖, sehingga seterusnya beliau dikenal sebagai Abdurrahman Wahid (Barton, 2016:

35). Beliau lebih populer dengan nama Gus Dur di kalangan masyarakat. ―Gus‖ sebutan yang berasal dari Jawa Timur, sebetulnya merupakan kependekan dari ucapan ―Bagus‖, yang kemudian disematkan kepada seorang anak kiai, laki-laki, terutama bagi mereka yang dihormati dan diteladani selama belajar di pesantren

(Tim INCReS, 2000: 26). Pada umumnya panggilan ini ditujukan kepada seorang santri sebelum ia menjadi kiai, akan tetapi pada kenyataannya tidak sedikit juga mereka yang sudah menjadi kiai tetap dipanggil ―Gus‖ (Tim INCReS, 2000: 26).

Sedangkan panggilan ―Dur‖ sendiri berasal dari kependekan namanya, yakni

―Abdurrahman‖. Panggilan ―Gus Dur‖ memang terasa lebih dominan dan akrab dibanding dengan ―Kiai Haji Abdurrahman Wahid‖.

Gus Dur semasa hidupnya berada di tengah-tengah kalangan intelektual, sehingga dirinya pun berkembang sebagai pribadi yang cerdas dan mumpuni.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13

Bahkan dapat dikatakan, secara genetis, Gus Dur tergolong seorang santri dan sekaligus (Tim INCReS, 2000: 4). Kedua kakeknya, KH Hasyim Asyari dari pihak ayah dan KH Bisri Syansuri dari pihak ibu, merupakan tokoh-tokoh kunci lahirnya Organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sementara ayahnya, KH Wahid

Hasyim, menjadi tokoh perjuangan nasional dan menteri agama pada era pemerintahan Presiden Soekarno (Barton, 2016: 26).

Semasa kecilnya Gus Dur tinggal di Pondok Pesantren Tebuireng

Jombang, diajari mengaji, membaca Alquran, dan ilmu-ilmu agama oleh kakeknya, KH Hasyim Asyari (Tim INCReS, 2000: 6). Beliau tinggal di lingkungan pesantren Tebuireng Jombang hingga tahun 1949. Kemudian ketika ayahnya, KH , diangkat sebagai Menteri Agama, seluruh keluarga, termasuk Gus Dur, diajak ke . Gus Dur memulai pendidikan formalnya di

Sekolah Dasar KRIS hingga kelas empat, kemudian pindah ke Sekolah Dasar

Matraman Perwari hingga lulus (Barton, 2016: 42).

Selama di Jakarta, suasana keagamaan seakan menghilang dalam sisi kehidupan Gus Dur (Tim INCReS, 2000: 6-8). Gus Dur kecil sering diajak menemani ayahnya ke berbagai pertemuan dan dianjurkan oleh ayahnya untuk membuka wawasan seluas-luasnya dengan membaca apa saja yang disukai, serta membicarakan berbagai ide yang ditemukan, sebagai bentuk pendidikan bagi Gus

Dur (Barton, 2016: 42-44). Pada 1954, setelah ayahnya, KH Wahid Hasyim meninggal pada 1953, Gus Dur pindah ke Yogyakarta melanjutkan studinya di

Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dan lulus pada 1957.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

14

Setelah lulus, Gus Dur mulai mengikuti pelajaran pesantren secara penuh di Tambakberas. Saat inilah suasana keagamaan dalam kehidupan Gus Dur mulai tumbuh kembali. Pada 1959-1963 Gus Dur berhubungan secara intensif dengan

KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri (Barton, 2016: 53). Dalam periode tersebut Gus Dur juga mendapat kesempatan mengajar di madrasah modern yang didirikan di kompleks pesantren dan juga menjadi kepala sekolahnya.

Kemudian pada November 1963 Gus Dur berangkat ke Kairo, Mesir, karena mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di

Universitas Al-Azhar (Barton, 2016: 88). Gus Dur menganggap masa studinya di

Kairo adalah pengalaman yang mengecewakan. Baginya, institut ini tidak sesuai dengan pamornya, sebab ia bosan dengan pendekatan dan metode yang diterapkan di sana, lebih memberikan pokok-pokok pelajaran klasik dengan memprioritaskan hafalan dibandingkan dengan analisis (Barton, 2016: 88-102). Gus Dur berpendapat bahwa metode kuliah yang dipergunakan di Universitas Al-Azhar bertentangan dengan semangat Islam yang asli (Barton, 2016: 58). Karena itulah

Gus Dur menjalani studinya di Universitas Al-Azhar dengan setengah hati.

Pada pertengahan 1966, Gus Dur dinyatakan gagal dalam studinya di

Universitas Al-Azhar. Akan tetapi, Gus Dur menerima kabar baik yaitu mendapat beasiswa di Universitas Baghdad (Barton, 2016: 102). Gus Dur menggunakan kesempatan kedua ini dengan baik. Di Universitas Baghdad ini Gus Dur mengalami hal yang sama sekali lain dengan di Al-Azhar. Gus Dur memperoleh dorongan intelektual yang sejati dengan berpikir kritis dan banyak membaca,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15

sehingga memiliki jadwal belajar yang lebih ketat dari sebelumnya. Pada pertengahan 1970, Gus Dur berhasil menyelesaikan studinya di Universitas

Baghdad dengan hasil riset mengenai sejarah Islam di Indonesia sebagai tugas akhirnya (Barton, 2016: 111). Ia memperoleh gelar Lc—setingkat S1 di

Indonesia—Sastra Arab (Tim INCReS, 2000: 18).

Pada 1971 Gus Dur kembali pulang ke Indonesia dan menikah dengan

Nuriyah secara resmi. Perkawinan mereka dianugerahi empat orang puteri, yaitu

Alissa pada 1973, Yenny pada 1974, Anita pada 1977, dan Inayah pada 1982.

Selama periode ini Gus Dur lebih memilih mengembangkan pendidikan di pondok pesantren. Gus Dur merasa miris dan prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat, sehingga ia mengupayakan membantu pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah tetapi juga tetap memelihara nilai-nilai tradisional (Ali Masykur

Musa, 2010: 8). Gus Dur kemudian mendapat rekomendasi untuk mengajar kaidah fikih dan Kitab Al-Hikam pada 1974 di Pesantren Tambakberas Jombang.

Pada 1978, ketika hendak menuju Pesantren Denayar Jombang, Gus Dur mengalami kecelakaan cukup keras hingga membuat retina mata kirinya terlepas.

Ketika masa pengobatan dan penyembuhan, Gus Dur tidak tahan untuk berdiam diri, sehingga mengalami istirahat yang kurang. Hal ini mengakibatkan retinanya itu tidak kembali menyatu dengan baik (Barton, 2016: 125). Semenjak kejadian itulah penglihatan Gus Dur berangsur-angsur memburuk.

Kemudian kakeknya dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri memohon kepada

Gus Dur untuk secara resmi bergabung dalam Dewan Syuriah Nasional NU yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16

berpusat di Jakarta. Dengan berbagai pertimbangan, Gus Dur akhirnya memenuhi permohonan kakeknya, setelah dua kali pernah menolaknya, bergabung dengan

Dewan Syuriah Nasional NU (Barton, 2016: 126). Selama bergabung dalam

Dewan Syuriah Nasional NU dalam kurun 1981 – 1984, Gus Dur terlibat dalam berbagai kegiatan keagamaan, kebudayaan, dan perpolitikan. Pada 1981 Ia diundang untuk menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pemerintah mengenai pengembangan koperasi (Barton, 2016: 131). Pada 1982

Gus Dur menjadi salah satu anggota tim kampanye untuk Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) (Barton, 2016: 154), selain itu ia bergabung dengan Tim

Tujuh sebagai upaya formulasi reformasi NU masa kepengurusan

(Barton, 2016: 158-159). Pada 1983 Gus Dur diangkat menjadi ketua Dewan

Kesenian Jakarta (Tim INCReS, 2000: 21-22) sebagai penghargaan atas perhatiannya terhadap budaya lewat tulisan-tulisannya di berbagai media. Gus

Dur juga menjadi sosok yang mendorong agar NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada Musyawarah Nasional (Munas) NU di Situbondo pada 1984

(Barton, 2016: 163-167).

Atas perannya yang besar dalam tempo yang relatif singkat, Gus Dur diusulkan oleh para kiai senior untuk menjadi salah satu calon ketua umum dalam

Pengurus Besar NU (PBNU) yang akan dibahas dalam Muktamar NU pada 1984

(Barton, 2016: 165-167). Kemudian KH Abdurrahman Wahid terpilih menjadi

Ketua Umum PBNU pada Muktamar 1984 di Situbondo. Terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU disambut positif oleh pemerintah Orde Baru di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17

bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Gus Dur kemudian dijadikan sebagai salah satu indoktrinator Pancasila pada 1985 dan dipilih menjadi anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) mewakili Golongan Karya (Golkar) pada 1987

(Ali Masykur Musa, 2010: 12-13).

Pada perkembangannya, KH Abdurrahman Wahid menjabat menjadi

Ketua Umum PBNU selama tiga periode. Ini merupakan rekor tersendiri sebab baru pertama kali NU dipimpin ketua yang sama selama tiga periode (Ari

Subagyo, 2012: 45). Gus Dur masih terpilih kembali menjadi Ketua Umum

PBNU pada Muktamar 1989 dan 1994 walaupun ada berbagai upaya untuk menjatuhkan dirinya karena kritiknya yang terlalu tajam bagi Pemerintah Orde

Baru. Salah satunya yaitu membentuk Forum Demokrasi (Fordem) pada 1991 sebagai penolakan dirinya terhadap pembentukan organisasi Ikatan Cendekiawan

Muslim Indonesia (ICMI) oleh pemerintah yang dinilainya cenderung sektarian

(Ali Masykur Musa, 2010: 14).

Begitu gencarnya kritik Gus Dur terhadap Pemerintah Orde Baru melemahkan kondisi kesehatannya hingga terserang stroke berat pada Januari

1998 (Barton, 2016: 304). Penyakit stroke ini juga menjadi salah satu faktor, selain diabetes dan glaukoma yang dialaminya (Barton, 2016: 214), Gus Dur mengalami kehilangan penglihatan secara penuh. Walaupun demikian, ia masih mencermati situasi sosial melalui berita media massa. Perlawanan rakyat memuncak pada pendudukan gedung parlemen dan kerusuhan sosial pada Mei

1998 (Ali Masykur Musa, 2010: 16). Kuatnya tekanan rakyat ini membuat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18

Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden dan menyerakan mandatnya kepada Habibie.

Pada periode transisi dari Soeharto kepada Presiden Habibie, situasi politik nasional menjadi tidak menentu. Menanggapi hal ini, sejumlah kalangan internal

NU meminta agar organisasi ini kembali terlibat aktif dengan membentuk suatu partai politik. Pada 23 Juli 1998 kemudian dideklarasikan kelahiran Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan Gus Dur duduk sebagai ketua dewan syuro partai dan Matori Abdul Djalil sebagai ketua umum partai (Ali Masykur Musa,

2010: 19-20). Sejak didirikannya, PKB langsung terlibat aktif dalam berbagai kegiatan nasional. PKB juga aktif mempersiapkan diri menjelang Pemilu 1999.

Banyak anggota partai berharap bahwa melalui PKB, Gus Dur akan dicalonkan menjadi presiden. Hal ini kemudian diamini oleh Matori Abdul Djalil selaku ketua umum dengan mengumumkan secara resmi bahwa Gus Dur adalah calon presiden dari PKB (Barton, 2016: 343). Langkah lainnya yaitu memperkuat jalinan aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan (PDI-P) (Barton, 2016: 347), serta menambah jalinan hubungan aliansi politik dengan Alwi Shihab dan Amien Rais (Barton, 2016: 352-353).

Pemilu 1999 berlangsung ramai dan alot karena besarnya tuntutan dan tekanan untuk reformasi. Pemilu 1999 dimenangkan oleh PDI-P dengan 34% suara, disusul oleh Golkar yang meraih 22% suara. PKB sendiri meraih 12,4% suara (Barton, 2016: 359). Dengan hasil tersebut tercetuslah dua calon presiden yakni Megawati Soekarnoputri dari PDI-P dan Habibie dari Golkar. Amien Rais

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19

sendiri terpilih menjadi Ketua MPR. Namun animo masyarakatlah yang menjadi penentu pemungutan suara di MPR. Banyak pihak meragukan kemampuan

Megawati jika terpilih menjadi presiden, sementara Habibie diyakini sebagai salah satu bagian dari Orde Baru.

Maka dibentuklah Poros Tengah oleh Amien Rais yang terdiri dari koalisi partai-partai Islam sebagai kekuatan ketiga dan penyeimbang (Barton, 2016: 361).

Nama KH Abdurrahman Wahid dimunculkan sebagai calon presiden oleh Poros

Tengah tersebut. Kemudian secara tiba-tiba Habibie mengundurkan diri sebagai calon presiden (Barton, 2016: 370). Maka hanya tinggal dua calon, yakni

Megawati Soekarnoputri dan KH Abdurrahman Wahid. Pada akhirnya KH

Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia dengan perolehan 373 suara, mengalahkan Megawati yang hanya meraih 313 suara (Ali

Masykur Musa, 2010: 22). Megawati sendiri akhirnya terpilih menjadi wakil presiden untuk mendampingi Gus Dur.

Gus Dur adalah ulama dan tokoh NU pertama yang menjadi Presiden

Republik Indonesia. Semasa menjabat, Presiden KH Abdurrahman Wahid membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang terdiri dari koalisi banyak partai dan juga dari tentara dan kalangan profesional (Ali Masykur Musa, 2010: 22). Masa kepresidenannya dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada 23 Juli 2001 karena ia dimakzulkan melalui Sidang Istimewa MPR.

Meski menjabat presiden hanya dalam waktu yang singkat, tetapi Gus Dur telah melakukan berbagai langkah besar dalam pemerintahannya. Beberapa di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20

antaranya yaitu membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, membantu mengatasi konflik di Aceh dan Papua, serta menetapkan Hari Raya

Imlek sebagai hari libur fakultatif (Ali Masykur Musa, 2010: 23). Memang beberapa pernyataan Gus Dur dinilai kontroversial, seperti mencopot beberapa menteri yang dinilainya tidak becus, serta menuding Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) sebagai Taman Kanak-Kanak (Ali Masykur Musa, 2010: 24, 27). Akan tetapi pernyataan tersebut dapat mewakili perasaan masyarakat yang sedang gundah.

Melihat tindakan Gus Dur yang terlalu kontroversial, DPR mengajukan

Sidang Istimewa kepada MPR untuk menurunkan Gus Dur dari jabatan presiden.

Pada 23 Juli 2001 MPR akhirnya secara resmi memakzulkan Gus Dur sebagai presiden dan menggantinya dengan Megawati Soekarnoputri (Ali Masykur Musa,

2010: 29). Gus Dur menerima pencopotannya sebagai presiden dengan lapang dada tetapi dia masih tetap mempertahankan idealismenya sebagai nasionalis sejati (Barton, 2016: 490). Idealisme tersebut dilihat dari berbagai tindakannya setelah tidak menjabat sebagai presiden. Gus Dur kembali aktif menulis di berbagai media massa (Ari Subagyo, 2012: 19). Gur Dur bahkan masih terjun langsung ke lapangan untuk bertindak secara konkret.

Namun seiring berjalannya waktu, aktivitas KH Abdurrahman Wahid mulai menurun karena alasan kesehatan. Pada Desember 2009, ia sempat dirawat di Rumah Sakit Jombang karena kelelahan seusai melakukan kunjungan ke makam ayahnya dan ke beberapa pondok pesantren. Kemudian ia diterbangkan ke

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21

Jakarta dan dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk menjalani perawatan yang lebih intensif (Wicaksana, 2018: 75). Namun, pada 30 Desember

2009 beliau wafat. Jenazah beliau kemudian dimakamkan di Denayar, Jombang pada 31 Desember 2009.

B. Cita-cita

Setiap manusia tentu memiliki impian, harapan, dan cita-cita yang ingin dicapai. Begitu juga di dalam diri seorang Abdurrahman Wahid. Dalam skripsi ini, penulis menggunakan istilah ―cita-cita‖ dibandingkan dengan ―obsesi‖ atau

―ambisi‖ dalam menggambarkan berbagai impian dan harapan yang ingin dicapai oleh Gus Dur dalam hidupnya. Sebab istilah ―obsesi‖ dan ―ambisi‖ berkonotasi negatif, sedangkan ―cita-cita‖ bernuansa positif.

Gus Dur sewaktu kecil bercita-cita menjadi tentara, tetapi cita-cita itu kandas ketika pada usia 14 tahun karena harus memakai kacamata minus akibat terlalu sering baca buku (Tim INCReS, 2000: 8). Hobi membaca Gus Dur dipicu oleh model pendidikan dalam keluarganya yang memang dianjurkan secara terbuka untuk membaca apa saja yang disukai dan membicarakan ide-ide yang ditemukan (Barton, 2016: 42). Hobi tersebut ditekuni oleh Gus Dur semenjak kecil hingga dewasa. Melalui hobi membaca, Gus Dur mendapatkan wawasan yang begitu luas, tidak hanya sebatas dunia pesantren dan keislaman, tetapi juga berbagai karya sastra Eropa, serta perkembangan situasi dunia internasional.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22

Akhirnya Gus Dur merumuskan ulang cita-citanya dengan sederhana yakni menjadi guru bangsa. Beliau terinspirasi oleh beberapa tokoh, seperti Ki

Hajar Dewantara, Ki Mangunsarkoro, dan juga kakeknya sendiri KH Hasyim

Asyari (Tim INCReS, 2000: 8). Inspirasi tersebut didapat oleh Gus Dur pada masa kecilnya ketika ia hidup di pesantren Jombang. Terlebih-lebih ia dekat dengan sosok sang kakek dan sang ayah semasa kecilnya. Cita-citanya sebagai guru bangsa semakin dimantapkan dengan kayanya bahan bacaan dan pengalamannya kuliah di luar negeri, terutama di Baghdad yang mendorongnya untuk semakin berpikir kritis dan banyak membaca (Barton, 2016: 103). Beliau menambah inspirasi dari tokoh-tokoh lainnya, yakni Kim Dae Jung, Sulakshi Bharaksa, Sun

Yat Sen, Soekarno, Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, Joze Rizal, dan Gamal

Abdul Nasser (Tim INCReS, 2000: 22-23).

Jika melihat rekam jejak hidupnya, Gus Dur amat sangat memperjuangkan agar dapat mencapai cita-citanya menjadi seorang guru bangsa. Setelah lulus dari

Baghdad, ia kembali ke Jakarta dan bergabung dalam Lembaga Pengkajian

Pengetahuan, Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES), sebuah organisasi yang terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat (Ali Masykur

Musa, 2010: 8). Ia menjadi kontributor tetap di Jurnal Prisma yang merupakan terbitan dari LP3ES (Barton, 2016: 114). Gus Dur juga menjadi penceramah keliling ke berbagai tempat di Jawa demi mendukung pengembangan pesantren

(Barton, 201: 115-116, 119). Gus Dur juga memperkembangkan dirinya sebagai intelektual dan cendekiawan muslim dengan menjadi kontributor di majalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23

Tempo dan harian Kompas (Ali Masykur Musa, 2010: 9). Lewat berbagai kegiatannya tersebut, dengan cepat Gus Dur dianggap sebagai pengamat sosial yang sedang naik daun (Barton, 2016: 119).

Di samping itu, Gus Dur juga mengajar di Pesantren Tambakberas

Jombang mengenai Kitab Al-Hikam (Barton, 2016: 121-122). Kemudian Gus Dur dengan cepat membuktikan dirinya sebagai seorang pengajar berkemampuan tinggi, sehingga ia diminta menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin pada Universitas

Hasyim Asyari di Jombang (Barton, 2016: 123) dan mengajarkan berbagai macam subjek seperti pedagogi, Syariat Islam, dan misiologi (Ali Masykur Musa, 2010:

9). Dalam pengajarannya, Gus Dur juga berharap pada para muridnya agar mengkaji dan menelaah aneka gagasan dari luar NU dan dunia Islam, bahkan jika mungkin, meneruskan ke perguruan tinggi di negara-negara barat, agar wawasan semakin luas dan berkembang (Wicaksana, 2018: 33).

Pada perkembangannya, Gus Dur terlibat dalam struktur PBNU, bahkan dipilih menjadi ketua umum sebanyak tiga periode. Kemudian ia mendirikan PKB dan terpilih menjadi Presiden NKRI pada Pemilu 1999. Sewaktu menjabat sebagai presiden, intensitas penulisan beliau berkurang. Namun berbagai kebijakan dan tindakannya, mencerminkan bagaimana seorang guru memberikan contoh teladan kepada rakyatnya.

Gus Dur juga memiliki cita-cita demi kemajuan bangsa dan negara

Indonesia. Sewaktu menjabat sebagai presiden, beliau mendeskripsikan cita-cita nasional dalam pidatonya di depan sidang tahunan MPR RI tanggal 7 Agustus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24

2000. Cita-cita tersebut yaitu sosok masyarakat Indonesia yang rukun, toleran, dan harmonis, yang lebih mendapatkan keadilan, hak-hak asasi dan kebebasannya, yang dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, serta yang dapat secara aman, tenang, dan penuh ketertiban (Sudarsono, 2003: 161). Cita-cita tersebut dinamakan oleh Gus Dur sebagai Indonesia Baru.

Setelah KH Abdurrahman Wahid tidak lagi menjabat sebagai Presiden

NKRI, masih banyak cita-citanya terhadap bangsa ini yang belum terwujudkan.

Beliau menginginkan sebuah bentuk pemerintahan yang didasarkan pada

Pancasila. Di dalam negara Pancasila, Gus Dur menginginkan terjadinya rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi yang dimaksud yaitu terlebih dahulu perlu ada pemeriksaan tuntas, mengusut setiap bukti-bukti yang ada oleh pengadilan terhadap pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan Pancasila, seperti misalnya

Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Negara Islam Indonesia (NII) (Nur Khalik

Ridwan, 2018: 203-204). Di samping itu, Gus Dur juga mengharapkan ada gerakan-gerakan swadaya masyarakat yang tetap menjaga independensinya dari skenario asing dan negara (Nur Khalik Ridwan, 2018: 204). Melalui rekonsiliasi tersebut, Gus Dur menginginkan Pancasila senantiasa diprogresifkan, namun tidak melalui cara-cara kekerasan.

Gus Dur berpendapat perlunya perspektif baru dalam penegakkan Hak

Asasi Manusia (HAM) dengan mempertimbangkan aspek psikologis, pendekatan struktural dan liberal, serta kebutuhan politik dan ekonomi (Nur Khalik Ridwan,

2018: 207-208). Gus Dur meyakini bahwa Pancasila berfungsi ampuh sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25

pemersatu bangsa dalam menghadapi banyak tantangan dari luar dan dalam (Nur

Khalik Ridwan, 2018: 236). Oleh karena itu, baginya NKRI berlandaskan

Pancasila masih harus ditegakkan di tengah tantangan globalisasi, korupsi yang merajalela, dan penyimpangan-penyimpangan moral yang terjadi dalam bangsa ini.

Walaupun cita-cita nasionalnya belum berhasil diwujudkan, banyak pihak berpendapat bahwa KH Abdurrahman Wahid telah berhasil mencapai cita-cita pribadinya dalam menjadi seorang guru bangsa. Keberhasilan tersebut terlihat dari banyaknya kata-kata, pesan-pesan, gagasan, dan tulisan beliau yang dikutip dan dijadikan rujukan oleh berbagai kalangan ketika membahas persoalan yang terjadi dalam bangsa dan negara Indonesia. Selain itu terdapat juga Komunitas Gusdurian yang secara khusus membahas berbagai karya dan perjuangan Gus Dur semasa hidupnya dan implikasinya terhadap bangsa dan negara Indonesia. Walaupun begitu, Bondan Gunawan (2017: 13) menuturkan bahwa sebenarnya Gus Dur tidak memiliki ambisi atau obsesi kekuasaan, tidak menginginkan pengakuan, kedudukan, atau penghormatan, tetapi yang beliau inginkan adalah menjadi manusia biasa yang seutuhnya, tidak lebih dari yang lain.

C. Sumbangan Pemikiran

Begitu banyak pemikiran dari KH Abdurrahman Wahid yang telah beliau tuangkan dalam bentuk tulisan di berbagai media. Tulisan-tulisan beliau tidak hanya terpaku pada satu tema tertentu tetapi banyak tema seperti agama, sosial,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26

politik, olahraga, dan seni budaya (Ali Masykur Musa, 2010: 9). Dalam bagian ini, penulis memilih beberapa karya Gus Dur yang berkaitan dengan kehidupan beragama dan bernegara.

1. Pemikiran tentang kehidupan beragama

Gus Dur memandang Islam sebagai agama yang universal, sehingga kehadirannya melampaui batas-batas perbedaan manusia. Gus Dur meyakini bahwa Islam hadir untuk misi kemanusiaan yaitu pelayanan kepada semua orang, termasuk pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan (Wicaksana, 2018: 84-

86). Gus Dur menegaskan bahwa Islam mensyaratkan sikap yang memperlakukan semua manusia dalam posisi yang sama (Woodward, 1998: 147).

KH Abdurrahman Wahid menolak fundamentalisme dan kekerasan atas nama agama. Beliau berpendapat bahwa Islam tidak boleh menjadi sekadar cara untuk membenarkan sistem kekuasaan. Beliau dengan jelas mengungkapkan bahwa kaum Muslim tidak bisa menuntut berdirinya negara Islam, karena hal itu mustahil didirikan dan akan menjadikan kaum non-Muslim sebagai warga negara kelas dua (Woodward, 1998: 146). Dengan kata lain, beliau menolak bentuk negara Islam. Bahkan beliau secara terang-terangan menyatakan bahwa negara

Islam itu ―tidak ada‖ sebagai konsep (Abdurrahman Wahid, 2018: 22). Sepanjang penelusurannya, beliau tidak menemukan konsep negara Islam dalam Alquran dan ajaran Agama Islam, yang ada adalah klaim tentang negara Islam (Nur Khalik

Ridwan, 2018: 89-90). Bagi Gus Dur semangat penghayatan Islam yang sejati

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27

adalah pelayanan kepada umat, bukan mendirikan sebuah negara (Wicaksana,

2018: 85).

Lebih lanjut, KH Abdurrahman Wahid (2018: 68) menyatakan bahwa

Tuhan tidak perlu dibela, walaupun tidak juga menolak dibela. Baginya, Tuhan sudah memiliki segalanya dan kita manusia tidak perlu repot membelanya

(Wicaksana, 2018: 95). Pandangan Gus Dur ini juga menyiratkan bahwa ia menyayangkan kaum yang melakukan kekerasan atas nama agama. Menurutnya kita semua, khususnya Umat Islam, tidak perlu menyakiti sesama manusia dengan dalil membela Tuhan. Bahkan tindakan itu disebutnya dapat mencederai Islam sebagai agama damai bagi semua orang tanpa kecuali.

KH Abdurrahman Wahid menilai bahwa ajaran Islam bersifat dinamis, terbuka terhadap situasi sosial dan perkembangan zaman. KH Abdurrahman

Wahid (2007: 77) melihat ajaran Islam memiliki watak transformatif, yaitu berusaha menanamkan nilai-nilai baru dan menggantikan nilai-nilai lama yang dianggap bertentangan. Aburrahman Wahid (2007: 72) melihat bahwa Islam mengandung ajaran-ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial yang dapat meresap dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat. Beliau setuju dengan pendapat Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia terlihat statis tetapi sebenarnya mengalami perubahan-perubahan fundamental yang nyaris tak terlihat, sehingga hanya orang yang mengamatinya secara teliti dan hati-hati yang mengetahui perubahan tersebut (Abdurrahman Wahid, 2007: 75).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

28

Melihat bahwa ajaran Islam bersifat dinamis dan menanamkan nilai-nilai sosial bagi masyarakat, maka KH Abdurrahman Wahid memiliki gagasan bahwa

Islam dapat dimaknai dalam konteks lokal. Hal ini disebutnya sebagai pribumisasi

Islam (Abdurrahman Wahid, 2018: 108). Beliau jengah dengan perilaku Muslim

Indonesia yang kearab-araban.

Mengapa harus menggunakan kata ‗shalat‘, kalau kata ‗sembahyang‘ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‗dimushalakan‘, padahal dahulu toh cukup ‗langgar‘ atau ‗surau‘? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa sreg kalau dijadikan ‗milad‘. Dahulu ‗tuan guru‘ atau ‗kiai‘, sekarang harus ‗ustadz‘ dan ‗syaikh‘, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini? (Abdurrahman Wahid, 2018: 107-108). Kecenderungan menggunakan istilah Arab ini dikatakan oleh Gus Dur dapat membuat kita tercabut dari akar budaya kita sendiri (Trisno S Sutanto, 2018: 223).

Oleh karena itu gagasan pribumisasi Islam ini dimunculkan Gus Dur sebagai upaya rekonsiliasi antara agama dengan budaya setempat. Gagasan pribumisasi

Islam tersebut sempat menimbulkan kontroversi. Pemicu utama terjadinya kontroversi yaitu ketika Gus Dur diduga bermaksud mengganti ucapan salam

Islam (assalamualaikum) dengan ucapan salam nasional (selamat pagi/siang/sore/malam).

Menurut Gus Dur, seorang aktivis Ornop , yang juga temannya, meminta nasihat kepadanya bagaimana ia harus memberi salam pada suatu pertemuan publik oleh karena ia merasa tidak tepat menggunakan salam standar kaum muslimin, assalamualaikum. Gus Dur memberi nasihat agar temannya itu tidak membiarkan dirinya tertekan dan cukup menggunakan ungkapan ‗selamat pagi‘. Ia menjelaskan lagi bahwa akar kata ‗selamat‘ sama dengan kata Arab salam dan ‗selamat pagi‘ memberi pengertian yang sama dengan ungkapan assalamualaikum (damai untuk Anda) (Barton, 2016: 189).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29

Percakapan tersebut terdengar oleh seorang jurnalis yang kemudian menuliskannya di sebuah surat kabar nasional (Barton, 2016: 189). Lantas para pengkritik membesar-besarkan masalah ini.

Karena hal tersebut, Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum

PBNU sempat didesak oleh para ulama senior untuk meminta maaf kepada khalayak dan mengklarifikasi bahwa ucapannya merupakan pendapat pribadi, bukan mewakili organisasi (Barton, 2016: 206). KH Abdurrahman Wahid (2018:

108) mengklarifikasi bahwa unsur Islam yang dipribumikan adalah manifestasi kehidupannya, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Baginya Islam tetap Islam di mana saja berada. Akan tetapi tidak berarti semua bentuk luarnya harus disamakan menggunakan istilah Arab

(Abdurrahman Wahid, 2018: 108). Baginya Islam harus dibuat mengakar ke dalam bumi Indonesia modern yang sifatnya nasional dan heterogen, tidak lokal dan homogen (Taufik Abdullah, 1998: 77).

Selain gagasan pribumisasi Islam, sifat ajaran Islam yang dilihatnya dinamis membuat Gus Dur mengkaji lebih lanjut mengenai universalisme Islam.

Beliau melihat universalisme Islam itu seiring dengan kearifan yang muncul, yakni keterbukaan yang kemudian mengangkat peradaban Islam ke tingkat sangat tinggi. Gus Dur menyebutkan lima buah jaminan dasar yang membentuk universalisme Islam. Lima hal tersebut yaitu jaminan dasar akan keselamatan fisik, keselamatan keyakinan agama masing-masing, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi, serta keselamatan hak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30

milik dan profesi (Abdurrahman Wahid, 2007: 4). Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar keselamatan tersebut menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Namun, kelima jaminan dasar keselamatan tersebut tidak boleh hanya sekadar teori, tetapi perlu didukung oleh kosmopolitanisme peradaban Islam. Dari sinilah gagasan Islam Kosmopolitan itu muncul.

Abdurrahman Wahid (2007: 11) berpendapat bahwa kosmopolitanisme

Islam akan tercapai jika adanya keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dengan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim). Kosmopolitanisme seperti ini dipandangnya sebagai hal yang kreatif karena adanya inisiatif masyarakat untuk mencari wawasan seluas-luasnya dalam menemukan kebenaran. Situasi kreatif tersebut menurut KH

Abdurrahman Wahid (2007: 11) akan memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin ditemukan dan memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri secara konkret.

Menanggapi hal tersebut, Gus Dur melihat perlunya semua pihak di kalangan umat Islam memikul tanggung jawab untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap semua warga masyarakat bangsa, sehingga dengan cara demikian Islam dapat tumbuh bersama dengan seluruh penduduk negeri (Parera &

Koekerits, 1999: 18). Lebih lanjut, Gus Dur berpandangan bahwa pluralisme agama bukan hanya terletak pada pola hidup berdampingan secara damai, tetapi juga disertai dengan kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran baik dari agama-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31

agama yang lain (, 2000: 16). KH Abdurrahman Wahid memang gigih memperjuangkan pluralisme untuk merawat Indonesia.

Lewat sikap pluralisnya, Gus Dur menyadari bahwa perbedaan adalah hal yang lumrah terjadi, khususnya perbedaan agama. KH Abdurrahman Wahid

(2018: 81) secara gamblang menuturkan ―mengkafirkan orang jelas merupakan tindakan salah‖. Beliau memang mengakui bahwa tidak ada agama yang mau melepaskan ‗hak tunggal‘-nya untuk memonopoli ‗kebenaran ajaran‘, termasuk

Islam (Abdurrahman Wahid, 2018: 83). Namun beliau menolak generalisasi pandangan akan kebenaran dari satu sisi saja. Sebagai contoh, KH Abdurrahman

Wahid (2018: 43) mengkritik seru-seruan untuk beribadat yang didengungkan melalui pengeras suara di berbagai masjid. Beliau menolak argumentasi skolastik yang biasa dilontarkan sebagian besar orang, yaitu hal ini muncul dari niat baik mengingatkan kaum Muslim menunaikan kewajibannya dan bagaimanapun kebutuhan manusiawi harus mengalah pada kebenaran Ilahi (Abdurrahman

Wahid, 2018: 44). Baginya hal tersebut tidak dapat dipukul rata karena dapat mengganggu mereka yang tidak memiliki kewajiban untuk beribadat

(Abdurrahman Wahid, 2018: 45). Hal ini semakin memperlihatkan bahwa beliau menyarankan tindakan pluralis demi kesejahteraan hidup bersama di tengah masyarakat yang majemuk.

Melalui berbagai pemikiran yang telah diuraikan, dapat dilihat bahwa KH

Abdurrahman Wahid memandang bahwa pluralisme adalah suatu fakta dan keharusan, karena perbedaan antarmanusia tidak mungkin dihindari. Beliau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32

menuturkan ―orang yang beriman pasti yakin bahwa Tuhan sendirilah yang menciptakan perbedaan itu‖ (Wicaksana, 2018: 76). Baginya tindakan menghargai keberagaman yang ada merupakan suatu kearifan lokal tersendiri yang sudah dimiliki sejak lama (Abdurrahman Wahid, 2007: 66-67). Oleh karena itu tindakan pluralis perlu dipupuk dan dijaga demi keutuhan bangsa ini, dan agama dapat menjadi salah satu sarana terjalinnya tindakan pluralis tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

2. Pemikiran tentang kehidupan bernegara

KH Abdurrahman Wahid pernah berpendapat mengenai konsep pembentukan berdirinya suatu negara. Menurutnya, unsur agama saja tidak cukup dalam mendirikan suatu negara, masih memerlukan hal lain, yaitu ikatan sosial kemasyarakatan (Ali Masykur Musa, 2010: 95). Beliau berpendapat ikatan sosial kemasyarakatan dapat melampaui ikatan suku, budaya, bahkan agama

(Abdurrahman Wahid, 2018: 70). Ikatan sosial kemasyarakatan ini kemudian berkembang menjadi ikatan kebangsaan dan juga suatu kepentingan nasional.

Gus Dur memberikan suatu gambaran bagaimana ikatan kebangsaan berperan pada masa-masa awal berdirinya Republik Indonesia. Gus Dur melihat fenomena tersebut dalam susunan kabinet yang dibentuk oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sjahrir.

Dalam kabinet Republik Indonesia yang pertama, dikenal dengan sebutan ‗Kabinet Soekarno‘ yang berumur pendek, tidak disebut-sebut nama Kementerian Agama. Baru dalam kabinet berikutnya lembaga itu dicantumkan, dan sejak itu tidak pernah ‗hilang dari peredaran‘. Kabinet

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33

kedua itu dikenal dengan sebutan ‗Kabinet Sjahrir‘. Mengapa Soekarno yang senang bergulat dengan pemikiran Islam tidak mencantumkan Kementerian Agama, sedang Sjahrir yang diklasifikasikan ‗tokoh sekular‘ justru menciptakannya? Sederhana saja sebabnya: kepentingan nasional. Tanpa Kementerian Agama, ‗golongan Islam‘ tidak dapat menerima kehadiran pemerintahan yang sah yang dipimpinnya [Sjahrir]. Dan, sebagai pemimpin bangsa, ia harus memerhatikan aspirasi kelompok- kelompok lain. Sedang Soekarno tidak dihadapkan pada tuntutan itu ketika membentuk kabinet pertama; atau, setidak-tidaknya, tidak menganggap penting aspirasi ‗umat beragama‘ itu (Abdurrahman Wahid, 2018:70-71). Melalui fenomena ini Gus Dur melihat bahwa ternyata kepentingan nasional dapat mewadahi begitu banyak aspirasi dari berbagai kelompok dan golongan yang ada untuk mewujudkan hidup dalam keberagaman secara konkret. Oleh karena itu,

Gus Dur menilai bahwa mempertahankan Indonesia sebagai negara yang diikat oleh nasionalisme kebangsaan adalah suatu bentuk kewajiban.

Dalam konteks Indonesia, Gus Dur bependapat bahwa keberagaman yang ada harus berjalan seiring dengan demokrasi yang di dalamnya terdapat nilai persamaan dan kebebasan. Maka dalam pandangan Gus Dur, perlu dilakukan upaya saling memahami keberagaman yang ada dalam konteks kedewasaan demokrasi (Ali Masykur Musa, 2010: 112). Bagi Gus Dur, memahami keberagaman berbeda dengan sikap saling menyamakan atau menyeragamkan.

Maka menurut Gus Dur, keberagaman terjaga kalau ada demokrasi. Demokrasi yang diinginkan oleh Gus Dur terjadi di Indonesia yaitu situasi adanya berbagai kepentingan, keyakinan, dan kebudayaan dari golongan atau kelompok yang berbeda-beda, bahkan bisa bertentangan, tetapi seluruh golongan atau kelompok tersebut memiliki hak yang sama unttuk dipertimbangkan aspirasinya dalam mengambil keputusan politik (Ali Masykur Musa, 2010: 114-115). Jika demokrasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34

yang demikian benar-benar terwujud, maka dapat menciptakan situasi damai bagi suatu negeri, terutama di Indonesia.

Dalam memaknai ideologi Pancasila, Gus Dur melihat adanya jaminan hak bagi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan kewajiban agamanya masing- masing (Ali Masykur Musa, 2010: 101). Gus Dur melihat hubungan dialogis yang sehat antara Pancasila dengan agama, yang berjalan terus menerus secara dinamis

(Ali Masykur Musa, 2010: 102). Gus Dur melihat Pancasila sebagai dasar negara

Republik Indonesia adalah hasil kesepakatan bersama dari banyak pihak. Maka

Gus Dur berpendapat bahwa penafsiran Pancasila bukanlah monopoli pemerintah, melainkan dapat ditafsirkan oleh seluruh warga negara (Ali Masykur Musa, 2010:

92). Gus Dur mengungkapkan hal ini karena ada indikasi pembatasan penafsiran

Pancasila oleh struktur politik Demokrasi Pancasila yang diciptakan oleh Orde

Baru (Ali Masykur Musa, 2010: 93). Menurutnya, penafsiran Pancasila perlu dikembangkan secara umum karena Pancasila merupakan suatu dasar negara

Indonesia yang dimiliki oleh seluruh masyarakatnya. Dengan demikian, Pancasila bukan saja milik golongan atau kepentingan tertentu, melainkan semakin menjadi milik seluruh rakyat Indonesia secara bersama-sama.

Dalam hal menjadi pemimpin di negeri ini, Gus Dur berpandangan sesuai konstitusi NKRI yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ‘45) bahwa tanpa memandang latar belakang, suku, agama, ras, dan golongan, siapa pun dapat dipilih menjadi seorang pemimpin atau presiden NKRI. Gus Dur memandang konstitusi sebagai kenyataan tertulis hasil dari komitmen bersama yang telah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35

disepakati (Parera & Koekerits, 1999: 77). Gus Dur berpendapat bahwa lebih baik kita berjuang mendisiplinkan diri untuk taat pada undang-undang dibanding berdebat soal tafsir UUD ‘45 tersebut demi memperjuangkan kepentingan pribadi atau golongan tertentu (Parera & Koekerits, 1999: 78).

Melalui berbagai pemikiran di atas, terlihat bahwa dalam kehidupan bernegara, khususnya di Indonesia, Gus Dur berpegang teguh kepada Pancasila dan UUD ‘45 sebagai acuan. Gus Dur mengedepankan demokrasi sebagai upaya mewujudkan hubungan yang harmonis bagi kemajemukan yang ada di Indonesia ini. Gus Dur melihat bahwa kemajemukan yang ada dapat dipersatukan dalam suatu ikatan kebangsaan, di mana demokrasi menjadi wadahnya, serta Pancasila dan UUD ‘45 sebagai acuan dan pedoman dalam menjalankannya.

3. Pemikiran tentang hubungan hidup beragama dengan bernegara

Jauh sebelum KH Abdurrahman Wahid terlibat langsung dalam politik praktis, yakni menjadi pejabat struktural PKB dan terpilih menjadi Presiden NKRI pada Pemilu 1999, ia sudah memikirkan bagaimana harmonisasi antara hidup beragama dengan bernegara. Gus Dur melihat bahwa dalam kehidupan sehari- hari, urusan keagamaan dengan hal ikhwal kebangsaan bukanlah sesuatu yang tumpang tindih, melainkan dapat disinkronisasikan menjadi sebuah harmoni yang luwes dan indah (Parera & Koekerits, 1999: 22). Beliau berpendapat bahwa Islam seharusnya tidak menampilkan diri dalam bentuknya yang eksklusif, melainkan harus mengintegrasikan kegiatannya dalam aktivitas bangsa secara keseluruhan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36

(Ali Masykur Musa, 2010: 110). Pendekatan yang dapat dilakukan yaitu secara sosio-kultural sebagai upaya membangun sistem kelembagaan masyarakat yang sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai (Ali Masykur Musa, 2010:

111-112). Dengan begitu, baginya Islam dapat merawat bangsa yang terdiri dari bermacam-macam keberagaman yang ada.

Demi mewujudkan harmonisasi hubungan antara hidup beragama dengan hidup bernegara, secara sederhana Gus Dur menggambarkan pluralisme dalam analogi banyaknya kamar dalam sebuah rumah.

―Bayangkan saja kita hidup di sebuah rumah besar yang banyak kamarnya dan kita mempunyai kamar sendiri-sendiri. Saat di dalam kamar maka masing-masing pemilik kamar bisa menggunakan dan merawat kamarnya sendiri-sendiri serta boleh berbuat apa pun di dalamnya, tetapi ketika ada di ruang keluarga atau di ruang tamu maka kepentingan masing-masing kamar dilebur untuk kepentingan bersama. Penghuni rumah, tanpa mempersoalkan asal kamar masing-masing, harus bersatu merawat rumah itu dan mempertahankannya bersama-sama dari serangan yang datang dari luar‖ (Wicaksana, 2018: 77). Begitulah gambaran pluralisme yang diharapkan hidup di NKRI oleh Gus Dur.

Indonesia yang sudah dibangun di atas pondasi Pancasila dan terdiri dari beraneka ragam corak yang ada harus bersatu menjaga bangsa dan negara tanpa kehilangan identitas kekhasan masing-masing (Wicaksana, 2018: 78).

Hubungan antara agama dengan Pancasila menurut gambaran Gus Dur yaitu agama berperanan memotivasikan kegiatan individu melalui nilai-nilai luhur bangsa yang diserap oleh Pancasila dan dituangkan dalam pandangan hidup bangsa (Ali Masykur Musa, 2010: 90). Gambaran Gus Dur tersebut menandakan bahwa hubungan antara Pancasila dengan agama tidak saling berlawanan, melainkan pada hubungan dialogis yang sehat dan dinamis. Gambaran ini juga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37

memperlihatkan bahwa Gus Dur berada dalam posisi responsi integratif, yakni

Islam yang tidak mempersoalkan kedudukan formalnya dan hubungan mereka dengan negara menyesuaikan kehidupan pola hidup kemasyarakatan yang mereka ikuti (Parera & Koekerits, 1999: 23).

Bagi Gus Dur, Pancasila memiliki status sebagai kerangka berpikir seluruh bangsa yang perlu terus menerus dijaga keberadaan dan konsistensinya oleh negara (Nur Khalik Ridwan, 2018: 53). Namun tak bisa dipungkiri kemungkinan adanya tumpang tindih antara Pancasila dengan sebagian sisi kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa oleh karena perbedaan wawasan mengenai toleransi di dalamnya. Gus Dur menyebutkan akan ada ketegangan antara independensi teologis kebenaran masing-masing agama dan kepercayaan dengan peran Pancasila sebagai ―polisi lalu lintas‖ dalam kehidupan beragama dan berkepercayaan (Nur Khalik Ridwan, 2018: 54-55). Hal ini disebutnya sebagai ketegangan kreatif dalam bangsa kita.

Ketegangan kreatif itu bermakna sebagai suatu sikap kelapangan dada dan toleransi dalam lalu lintas kebangsaan yang kreatif untuk mengembangkan kualitas bangsa Indonesia (Nur Khalik Ridwan, 2018: 55). Dari ketegangan kreatif itulah, Gus Dur melihat perlunya perkembangan pemikiran untuk mencari nilai- nilai dasar kehidupan bangsa Indonesia dari dua sisi tersebut. Pertama, ajaran agama akan tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan kedua, agama- agama dan kepercayaan-kepercayaan juga harus memperhitungkan eksistensi

Pancasila sebagai ―polisi lalu lintas‖ yang menjamin kehidupan bangsa (Nur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38

Khalik Ridwan, 2018: 56). Gus Dur melihat perlunya dialog terus menerus demi terwujudnya kreativitas membangun bangsa dengan mempertimbangkan masing- masing kelompok agama/keperacayaan, dan tetap menjaga Pancasila sebagai dasar ideologi bangsa agar lebih dapat kontekstual terhadap perkembangan zaman

(Nur Khalik Ridwan, 2018: 61). Dengan demikian ketegangan kreatif memungkinkan Indonesia dapat dikelola secara adil tanpa memberikan konsesi berlebihan terhadap sebuah kelompok dan hal ini perlu dikontrol oleh masyarakat

(Nur Khalik Ridwan, 2018: 70).

Melalui berbagai pemikiran di atas, dapat dilihat sebagaimana Gus Dur berpendapat bahwa Pancasila dan UUD ‘45 merupakan unsur-unsur penting yang menjadi titik temu dalam pembahasan permasalahan terkait hubungan agama dan negara di Indonesia. Bahkan Gus Dur mempercayai bahwa Pancasila merupakan kompromi terbaik untuk memecahkan masalah-masalah sulit mengenai hubungan agama dan negara (Barton, 2016: 160). Gus Dur menilai bahwa Pancasila sebagai dasar ideologi mampu menjembatani dan mengakomodasi elemen-elemen bangsa yang majemuk. Gus Dur melihat bahwa di dalam Pancasila terdapat unsur demokratisasi yang dapat mempersatukan beragam kekuatan bangsa menuju arah kedewasaan yaitu kemajuan dan integritas bangsa (Nur Khalik Ridwan, 2018:

142). Hal ini semakin menampakkan pemikiran Gus Dur yang mengedepankan keberagaman dan harmonisasi dalam hidup beragama dan hidup bernegara.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39

D. Perjuangan Konkret

Semasa hidupnya, KH Abdurrahman Wahid aktif dalam memperjuangkan harmonisasi dalam kehidupan beragama dan bernegara di tengah masyarakat

Indonesia yang majemuk. Perjuangan konkret ini telah beliau lakukan sejak masih muda, lalu terlibat dalam keanggotaan NU dan kemudian menjabat sebagai ketua umumnya, hingga kemudian menjabat sebagai Presiden RI. Bahkan setelah beliau lengser dari jabatan Presiden RI, Gus Dur masih aktif dalam perjuangannya mewujudkan demokrasi sejati di Indonesia sehingga terjalin harmonisasi di tengah masyarakat yang plural.

Pada awal keanggotaannya dalam organisasi NU, Gus Dur mengungkapkan pendapatnya dalam Munas 1984 di Situbondo mengenai penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal (Barton, 2016: 163-167). Sebetulnya banyak kiai senior yang tidak setuju atas inisiasi Pemerintah Orde Baru menerapkan asas tunggal Pancasila tersebut, apalagi bagi NU yang merupakan organisasi berlandaskan asas Islam. Terlebih ada indikasi bahwa Pemerintah Orde

Baru memaksakan dan akan menyalahgunakan Pancasila demi kepentingannya sendiri, memuluskan indoktrinasinya dalam Program P4 (Abdurrahman Wahid,

2007: 170-171). Namun Gus Dur berhasil meyakinkan para kiai senior tersebut, bahwa visi NU terkait keislaman sejalan dengan apa yang tercantum dalam nilai- nilai Pancasila. Hal ini kemudian berusaha dibuktikan bersama oleh para kiai NU dengan memeriksa secara saksama Alquran, kitab-kitab kuning, dan berbagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40

sunah bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam (Barton, 2016:

161).

Ketika KH Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, melalui rapat akbar pada 1 Maret 1992, beliau menegaskan kembali kesetiaan NU terhadap Pancasila dan UUD ‘45 (Nur Khalik Ridwan, 2018: 67). Hal ini dilakukan sebagai bentuk kontribusi NU meletakkan dirinya menjadi bagian yang cukup memiliki peranan dalam kerangka umum perjuangan bangsa (Ali Masykur

Musa, 2010: 108). Gus Dur pada saat itu menyatakan bahwa dengan mendukung

Pancasila dan UUD ‘45, NU menolak mendukung sistem pemerintahan yang tidak adil dan mencoba melancarkan transisi dari sistem yang didasarkan pada kronisme yang dimanfaatkan oleh segelintir orang (Nur Khalik Ridwan, 2018: 68). Bagi

Gus Dur, demi membangun negara demokratis yang berdasarkan Pancasila, maka

NU harus selalu berada ―di tengah‖ dengan mengembangkan prinsip moderat sehingga mampu menjalankan peran sebagai ―jangkar kestabilan politik‖ (Trisno

S Sutanto, 2018: 222).

Melalui langkahnya dalam menegaskan kembali kesetiaan NU terhadap

Pancasila dan UUD ‘45, secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa kesetiaan tersebut ditujukan bukan pada orang atau kekuasaan, melainkan lebih pada bentuk ideal pemerintahan yang didasarkan pada Pancasila (Nur Khalik

Ridwan, 2018: 68). Bahkan dalam upaya mencapai negara ideal Pancasila yang dapat mewujudkan keadilan sosial, Gus Dur dengan berani menyatakan siap mempertaruhkan nyawanya untuk membela Pancasila, termasuk berhadapan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41

dengan angkatan bersenjata dan umat Islam, apabila mereka memanipulasi

Pancasila (Nur Khalik Ridwan, 2018: 69, 71). Sebab baginya, Pancasila adalah seperangkat gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan selamanya, tanpa Pancasila negara Indonesia akan bubar.

Selama memimpin NU, KH Abdurrahman Wahid juga memiliki keprihatinan dengan keadaan ekonomi masyarakat Indonesia. Secara konkret ia berusaha membangun gerakan ekonomi kerakyatan. Bermodalkan koneksi persahabatannya dengan keluarga Soerjadjaja, NU di bawah kepemimpinan Gus

Dur membentuk mitra bisnis dengan Bank Summa, yang kemudian bertransformasi menjadi Bank NU-Summa pada 1990 (Wicaksana, 2018: 41).

Bank NU-Summa merupakan respon Gus Dur terhadap problem ekonomi dan kredit keuangan bagi rakyat kecil. Selain itu, Gus Dur juga ingin memberi contoh nyata tindakan inklusif dan pluralis dengan memiliki hubungan yang harmonis dengan orang-orang keturunan Tionghoa, yang terdiskriminasi oleh kebijakan politik pemerintah Orde Baru (Wicaksana, 2018: 43). Namun sayangnya, setelah berhasil membangun sembilan cabang, Bank NU-Summa harus terhenti pada

1992 karena mengalami kebangkrutan (Wicaksana, 2018: 45).

Sebagai sumbangsihnya dalam mengembangkan demokrasi di Indonesia,

KH Abdurrahman Wahid membentuk Forum Demokrasi (Fordem) pada 1991

(Barton, 2016: 224). Fordem menjadi suatu gerakan bersama dalam melawan pelanggaran HAM demi tegaknya demokrasi sejati di Indonesia (Ari Subagyo,

2012: 32). Fordem dibentuk oleh Gus Dur bersama berbagai tokoh nasional, di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42

antaranya yaitu Marsilam Simanjuntak dan Bondan Gunawan (Barton, 2016:

225), serta Franz Magnis-Suseno, YB Mangunwijaya, Todung Mulya Lubis, dan

Harry Tjan Silalahi (Ali Masykur Musa, 2010: 114).

Selain membentuk Fordem di Jakarta, Gus Dur juga menginisiasi terbentuknya Dialog Antar Iman (DIAN)/Interfidei di Yogyakarta. Jika Fordem bergerak pada tataran politik, maka DIAN/Interfidei merupakan laboratorium sosial guna membangun harmonisasi kehidupan yang pluralis di tengah masyarakat yang majemuk (Trisno S Sutanto, 2018: 226). DIAN/Interfidei dibentuk Gus Dur bersama sahabat-sahabatnya dari berbagai agama, di antaranya yaitu Djohan Effendi, Ibu Gdong Oka, Th. Sumartana, dan Pdt. Eka Darmaputra

(Trisno S Sutanto, 2018: 226). DIAN/Interfidei menjadi sarana pengembangan perjumpaan-perjumpaan dialogis antariman yang memupuk kerukunan antarumat beragama demi semakin terwujudnya harmonisasi kehidupan di tengah masyarakat yang majemuk (Trisno S Sutanto, 2018: 226-227).

Hal lain yang dilakukan Gus Dur dalam menjaga harmonisasi kehidupan dalam masyarakat yang plural yaitu ketika padinterfi tragedi Mei 1998 yang sangat menyakitkan bagi warga keturunan Tionghoa. Di tengah kecemasan tragedi tersebut, Gus Dur tampil dan mengaku diri sebagai keturunan Tionghoa (Trisno S

Sutanto, 2018: 218). Beliau membuat silsilah yang cukup panjang untuk meyakinkan banyak orang bahwa dirinya memang seorang keturunan Tionghoa.

Beliau menyatakan diri sebagai keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung dari Tan Eng Hwa (Raden Patah), anak dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43

Putri Campa yang menjadi selir Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit

(Wicaksana, 2018: 2). Tentu saja pengakuan Gus Dur tersebut menggegerkan banyak kalangan, sebagian besar menduga bahwa pengakuan ini merupakan siasat kultural yang piawai dalam memberi ketenteraman di dalam kecemasan (Trisno S

Sutanto, 2018: 218).

Dalam perjuangannya menjaga harmonisasi kehidupan di tengah masyarakat yang majemuk, tidak jarang Gus Dur mengkritik kebijakan

Pemerintah Orde Baru. Selama tiga kali menjabat sebagai Ketua Umum PBNU,

Gus Dur sangat aktif dalam mengkritik Pemerintah Orde Baru. Hal ini dilakukan oleh Gus Dur demi tegaknya demokrasi sejati di NKRI. Hal yang paling keras dikritik oleh Gus Dur yaitu begitu maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme

(KKN) yang terjadi dalam berbagai tubuh pemerintahan.

Sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur menganjurkan para anggotanya untuk bersikap netral dari politik praktis dalam Pemilu 1992 sebagai upaya masif penggembosan terhadap Golkar (Saleh Aldjufri, 1997: 98). Namun sejumlah kalangan internal NU meminta agar organisasi ini kembali terlibat aktif dengan membentuk suatu partai politik. Alasan yang saat itu dikemukakan yaitu NU merasa tidak terwakili suara politiknya dalam tubuh PPP (Saleh Aldjufri, 1997:

112). Kembalinya NU sebagai partai baru juga dengan perhitungan bahwa berbagai aspirasi politiknya akan semakin diperhatikan dan disalurkan secara lebih demokratis (Saleh Aldjufri, 1997: 115-116).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44

Pada awalnya Gus Dur tidak langsung setuju akan pembentukan partai politik berbasis pengurus, anggota, dan simpatisan NU. Akan tetapi Gus Dur menilai bahwa situasi politik nasional berada dalam keadaan darurat, maka memerlukan berbagai tindakan yang juga bersifat darurat (Barton, 2016: 330).

Gus Dur melihat bahwa memberikan pilihan kepada NU untuk kembali ke politik adalah pilihan paling tepat sebab menyangkut pada hal yang substansial yakni hak kebebasan berserikat sesuai dengan landasan UUD ‘45 (Saleh Aldjufri, 1997:

120).

Sebagai respon akan hal tersebut, dibentuklah PKB pada 23 Juli 1998. Gus

Dur sendiri diangkat sebagai ketua dewan syuro partai tersebut. Namun agar tidak mengundang kecurigaan bahwa para ulama terlibat dalam politik praktis, maka dikeluarkanlah instruksi bagi para fungsionaris NU di segala jenjang kepengurusan tidak boleh merangkap jabatan di dalam kepengurusan PKB (Ali

Masykur Musa, 2010: 20). Gus Dur sendiri mundur dari jabatannya sebagai Ketua

Umum PBNU. Kemudian dirumuskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga (AD/ART) bahwa PKB harus menjadi partai nonsektarian, terbuka bagi semua orang, dan mewakili semua elemen masyarakat (Ali Masykur

Musa, 2010: 19-20). Di kemudian hari, PKB pada akhirnya juga menjadi jalur politik praktis bagi Gus Dur hingga beliau terpilih menjadi Presiden Republik

Indonesia.

Semasa menjabat, Presiden KH Abdurrahman Wahid membentuk Kabinet

Persatuan Nasional yang terdiri dari koalisi banyak partai dan juga dari tentara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

45

dan kalangan profesional (Ali Masykur Musa, 2010: 22). Hal penting yang dilakukan Gus Dur dalam masa pemerintahannya yaitu berusaha menciptakan perdamaian di daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Republik

Indonesia. Gus Dur lebih mengusahakan solusi damai lewat perundingan dibandingkan operasi militer dalam mengatasi gerakan pemisahan diri seperti di

Irian Jaya dan Aceh. Di dalam benak Gus Dur, solusi bagi daerah-daerah tersebut bukanlah suatu referendum mengenai kemerdekaan, melainkan suatu bentuk otonomi daerah (Barton, 2016: 385). Tindakan konkret yang diusahakan oleh Gus

Dur yaitu bersedia untuk berbicara secara serius dengan masyarakat di daerah- daerah yang ingin memisahkan diri mengenai aspirasi-aspirasi mereka (Barton,

2016: 385).

Pada malam 30 Desember 1999 Gus Dur berangkat ke Jayapura dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin masyarakat dari segenap Irian Jaya. Dalam pertemuan itu Gus Dur menyetujui penyebutan Papua sebagai pengganti nama

Provinsi Irian Jaya (Barton, 2016: 386). Gus Dur juga memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, asalkan posisinya tidak lebih tinggi dari bendera nasional RI (Barton, 2016: 447). Kebijakan-kebijakan ini disambut hangat oleh rakyat Papua, tetapi menuai kritik dari berbagai kalangan yang tidak setuju, terutama pihak oposisi.

Hal serupa juga Gus Dur lakukan di Aceh. Pada Maret 2000, Gus Dur melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diikuti dengan nota kesepahaman Pemerintah NKRI dengan GAM (Ali Masykur Musa, 2010:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46

23). Kebijakan ini disebut oleh Gus Dur sebagai program kesejahteraan masyarakat Aceh. Namun niat baik Gus Dur mengirim uang untuk membantu program kesejahteraan masyarakat sebagai dukungan terciptanya perdamaian di

Aceh malah mendatangkan kerugian bagi dirinya, yakni terkena skandal

Buloggate dan Bruneigate.

Gus Dur mencari jalan untuk meminjam dari cadangan yang disimpan oleh badan-badan pemerintah seperti Badan Urusan Logistik (Bulog), namun lewat cara ini ia dituding melakukan manipulasi uang, sebab yang mengambil uang tersebut adalah Suwondo, seorang tukang pijat kepresidenan (Barton, 2016:

400-401). Dalam waktu yang hampir bersamaan Gus Dur juga mencari bantuan dari negara-negara lain demi mendukung perdamaian di Aceh. Pada saat itu juga ia mendapat sumbangan pribadi dari Sultan Brunei, namun hal ini juga dipermasalahkan sebab uang tersebut tidak ditempatkan di rekening resmi pemerintah karena alasan permohonan Sultan Brunei sendiri untuk menjaga kerahasiaan pemberian sumbangan tersebut (Barton, 2016: 401). Walaupun tak seorang pun percaya bahwa Gus Dur bersalah melakukan korupsi untuk kepentingan pribadi, namun hal ini tampaknya merupakan suatu tindakan yang bodoh dan tidak profesional (Barton, 2016: 401-402).

Hal penting lainnya yang telah dilakukan Gus Dur sewaktu menjabat sebagai presiden adalah kepeduliannya kepada warga keturunan Tionghoa. Gus

Dur mencabut pemberlakuan Instruksi Presiden RI (Inpres) No 12 Tahun 1967 yang telah membatasi budaya, adat istiadat, dan bahasa Cina di Indonesia (Ali

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47

Masykur Musa, 2010: 23). Gus Dur bahkan menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur fakultatif (Ali Masykur Musa, 2010: 23). Hal ini tentu saja membuat warga keturunan Tionghoa bersukacita.

Ketika menjabat sebagai Presiden RI, Gus Dur membuat beberapa langkah berani dalam mereformasi berbagai aspek dalam pemerintahan yang dinilai tidak beres ketika masa Orde Baru. Beberapa di antaranya yaitu membubarkan

Departemen Penerangan dan Departemen Sosial yang pada masa Orde Baru dinilai sarat akan KKN (Ali Masykur Musa, 2010: 23). Langkah lain yang tak kalah pentingnya yaitu menghapuskan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia (ABRI), mengembalikan tentara pada posisinya, memisahkan polisi dari tentara, memisahkan keamanan dengan pertahanan, menegaskan bahwa aparat tidak boleh terlibat dalam politik praktis sehingga tercipta demokrasi yang sehat

(M Imam Aziz, 2018: 251). Langkah-langkah yang diambil oleh Gus Dur di antaranya yaitu membubarkan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas

Nasional (Bakorstranas) dan menghapuskan penelitian khusus (litsus) yang selama Pemerintah Orde Baru digunakan untuk ―menakuti‖ pegawai negeri agar tidak bersikap kritis (Ali Masykur Musa, 2010: 123).

Namun dalam usahanya mereformasi tatanan pemerintahan, Gus Dur sepertinya masih belum dapat meninggalkan kebiasaannya yakni gaya kepemimpinan pesantren (Wicaksana, 2018: 65). Gus Dur berkali-kali memberhentikan menteri-menterinya yang membangkang terhadap dirinya.

Contohnya yaitu pada April 2000 ketika Gus Dur memecat Jusuf Kalla dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

48

jabatan Menteri Perindustrian dan Perdagangan serta Laksamana Sukardi dari jabatan Menteri Badan Usaha Milik Negara karena mereka dinilai tidak mampu bekerja dengan anggota-anggota timnya, di samping juga karena adanya tekanan untuk segera mereformasi bidang perekonomian (Barton, 2016: 398). Gus Dur juga tidak segan memecat Yusril Ihza Mahendra dari jabatan Menteri Kehakiman dan HAM karena mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur, serta memberhentikan Susilo Bambang Yudhoyono dari jabatan Menteri Koordinator

Politik, Sosial, dan Keamanan pada 1 Juli 2001 karena menolak perintahnya untuk menyatakan negara dalam keadaan darurat (Ali Masykur Musa, 2010: 28).

Hal serupa juga dilakukan oleh Gus Dur dalam usahanya mereformasi bidang kemiliteran dan kepolisian. Pada Maret 2000 Gus Dur mengabaikan struktur pergantian jabatan di kalangan militer dengan mengangkat Agus

Wirahadikusumah sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Ali

Masykur Musa, 2010: 25). Lalu pada September 2000 Gus Dur memecat

Rusdihardjo dari jabatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dan menggantikannya dengan Suroyo Bimantoro oleh karena menolak untuk menangkap Tommy Soeharto yang saat itu menjadi tersangka kasus tukar guling tanah milik Bulog (Barton, 2016: 444).

Gus Dur juga menuai berbagai kritik hingga menimbulkan kontroversi dalam usahanya mereformasi pemerintahan di Indonesia selama ia menjabat sebagai presiden. Salah satunya adalah usulan Gus Dur tentang pencabutan

Ketetapan MPR Nomor XXV/MPRS/1966 yang berisikan mengenai larangan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49

terhadap paham Marxisme/Leninisme (komunisme) di Indonesia (Wicaksana,

2018: 53-54). Usulan ini mendapat reaksi keras karena kaum komunis dianggap pernah melakukan pemberontakan di Indonesia. Bagi Gus Dur sendiri, usulan ini dimunculkan karena ia menganggap peraturan tersebut tidak demokratis dan melanggar HAM (Wicaksana, 2018: 54).

Tindakan kontroversi lainnya adalah soal gagasan pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel (Wicaksana, 2018: 54, 66). Gagasan ini mendapat tantangan keras dari banyak pihak. Banyak pihak menuding gagasan ini muncul karena persahabatan Gus Dur dengan Yitzak Rabin yang saat itu menjabat sebagai

Presiden Israel (nasional.kompas.com/read/2018/02/06/13315291/gus-dur-gus- mus-dan-jalan-cinta-untuk-diplomasi-israel-palestina). Adapula yang mengaitkan dengan keanggotaan Gus Dur dalam The Peres Center for Peace and Innovation, yayasan perdamaian yang didirikan mantan Presiden Israel Shimon Peres (Ali

Masykur Musa, 2010: 25). Gagasan ini juga ditentang oleh banyak kalangan, mengingat Israel adalah negara yang telah banyak melakukan pelanggaran HAM terhadap warga Palestina. Berbagai pihak berpendapat bahwa membuka hubungan diplomatik dengan Israel sama saja dengan melanggar pembukaan UUD ‘45 yang menyerukan akan ―penjajahan di atas dunia harus dihapuskan‖ (Wicaksana, 2018:

67). Padahal gagasan ini diambil oleh Gus Dur sebagai bentuk dialog dengan beberapa pemimpin agama di Israel, untuk mengupayakan perdamaian. Gagasan

Gus Dur sederhana, Indonesia tidak mungkin bisa berperan dalam perdamaian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50

Palestina dan Israel jika tidak menjalin hubungan diplomatik dengan keduanya

(tirto.id/gus-dur-sobat-israel-dari-dunia-islam-cMvf).

Melihat Gus Dur begitu menuai kontroversi serta situasi politik yang tak kunjung kondusif, maka DPR bereaksi dengan membuat petisi yang menuntut pemakzulan Gus Dur (Ali Masykur Musa, 2010: 27-28). Menanggapi hal tersebut,

Gus Dur menyatakan DPR sebagai Taman Kanak-Kanak (Ali Masykur Musa,

2010: 27). Gur Dur juga responsif dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 22

Juli 2001 yang berisi mengenai pembekuan DPR/MPR RI, pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat, persiapan pemilu dalam waktu satu tahun, dan penyelamatan gerakan reformasi dari hambatan unsur-unsur Orde Baru

(Wicaksana, 2018: 71). Namun dekrit itu gagal karena tentara dan polisi yang diperintahkan untuk mengamankan langkah-langkah penyelamatan justru tidak menjalankan tugasnya. Sidang Istimewa MPR tetap berlangsung dan pada 23 Juli

Gus Dur dimakzulkan dari jabatannya sebagai Presiden RI (Ali Masykur Musa,

2010: 29).

Setelah lengser dari jabatan presiden, Gus Dur masih terus melanjutkan karier dan perjuangannya. Gus Dur kembali aktif menulis di berbagai media massa (Ari Subagyo, 2012: 19). Pada 2002 beliau menjabat sebagai penasihat

Solidaritas Korban Pelanggaran HAM dan pada 2003 beliau menjabat sebagai penasihat Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional (Wicaksana, 2018: 73). Beliau juga masih aktif dalam pergerakan politik, bahkan masih memiliki niatan untuk kembali menjadi Presiden RI karena merasa tugasnya belum tuntas. Niat tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51

didukung oleh berbagai partai politik bukan peserta pemilu, total ada 61 partai, dengan mendirikan lembaga bernama Gus Dur Crisis Center (GDCC) yang dideklarasikan di Jakarta (news.detik.com/berita/127696/parpol-bukan-peserta- pemilu-dirikan-gus-dur-crisis-center). Gus Dur sendiri mengaku tidak keberatan namanya dipakai karena nanti rakyat sendiri yang akan menilai keabsahan lembaga tersebut. Lalu Gus Dur bersama Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, Alwi

Shihab, Mahfud MD, Eros Djarot, dan Rahmawati Soekarnoputri membentuk suatu forum yang bernama Forum Bersama untuk Menyelamatkan Bangsa

(Tempo. No 08/XXXIII/19-25 April 2004: 25).

Setelah melihat situasi politik saat itu dan menempuh berbagai macam cara, akhirnya Gus Dur mengajukan diri kembali sebagai pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden bersama Marwah Daud Ibrahim pada Pemilu 2004, tetapi gagal sebab dinyatakan tidak lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum karena alasan kesehatan (liputan6.com/news/read/78670/gus-dur-tidak-lolos).

Pemilu 2004 kemudian memenangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan

Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden NKRI. Pada Agustus 2005, sebagai bentuk keaktifannya dalam dunia politik, Gus Dur bersama dengan

Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Wiranto, dan Akbar Tandjung tergabung dalam Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu, mengkritik kebijakan pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sambil memberi arahan bagaimana semestinya (Wicaksana, 2018: 74).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52

Setelah dirinya tidak terpilih menjadi presiden, Gus Dur masih melanjutkan berbagai perjuangan konkret demi terwujudnya demokrasi sejati dan terciptanya harmonisasi di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Beberapa tindakan konkret yang ia lakukan yaitu menjadi penengah dalam kasus penutupan

Sekolah Sang Timur di Tangerang karena keberadaan sekolah tersebut dipermasalahkan oleh kelompok Muslim radikal (metro.tempo.co/read/49828/gus- dur-kasus-sang-timur-berbau-politik). Kemudian beliau juga mendukung Basuki

Tjahaja Purnama, seorang keturunan Tionghoa dan beragama Kristen, sebagai calon gubernur Provinsi Bangka Belitung, di mana basis masyarakatnya mayoritas merupakan pemeluk agama Islam (antaranews.com/berita/53140/gus-dur-jadi- jurkam-cagub-babel-di-belitung). Hal lain yang ia lakukan yaitu menjadi saksi ahli pengadilan penghayat dari Kuningan, pasangan Gugum dan Susi, yang diadili karena menikah secara adat (M Imam Aziz, 2018: 253). Segala tindakan KH

Abdurrahman Wahid tersebut dilakukan berdasarkan Pancasila dan UUD ‘45 yang menyatakan bahwa kepercayaan setiap warga negara itu dilindungi oleh konstitusi (M Imam Aziz, 2018: 253).

Sepanjang hayatnya, Gus Dur selalu berupaya untuk memberi teladan lewat perjuangan konkret, dibanding melalui perkataan atau tulisan (Wicaksana,

2018: 96). Bagi Gus Dur, yang paling penting dilakukan adalah berbuat baik secara nyata dan menjadi pribadi yang berguna bagi setiap orang tanpa kecuali

(Wicaksana, 2018: 96). Mencari titik temu antara Islam, pluralisme, dan demokrasi adalah bidang kajian yang memang digeluti beliau sampai dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

53

akhir hayatnya (Ali Masykur Musa, 2010: 110). Semua itu digerakkan oleh visi

Islamnya yang universal dan humanis, yang mampu merangkul dan mengayomi semua kalangan (Trisno S Sutanto, 2018: 227). Melalui perjuangan konkretnya,

Gus Dur telah menanamkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia dan mengajarkan untuk bersikap pluralis dengan saling menghargai berbagai kemajemukan yang terdapat di masyarakat Indonesia (Wicaksana, 2018: 74).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54

BAB III HAKIKAT KATEKESE KEBANGSAAN

Pada bab-bab sebelumnya penulis sudah membahas latar belakang penulisan, serta memaparkan berbagai rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan metode penulisan skripsi ini. Sudah juga dipaparkan mengapa penulis memilih KH Abdurrahman Wahid dan Katekese Kebangsaan dalam penulisan skripsi ini. Kemudian sudah juga diulas mengenai sosok KH

Abdurrahman Wahid melalui paparan biografi singkatnya, cita-citanya, berbagai macam sumbangan pikiran yang pernah diucapkan dan dituliskannya dalam berbagai media, serta perjuangan konkretnya dalam melihara kerukunan hidup berbangsa dan beragama.

Pada bab ini penulis akan membahas hakikat Katekese Kebangsaan.

Pembahasan akan diawali dengan berbagai macam asal usul gagasan yang turut membentuk terciptanya konsep Katekese Kebangsaan. Dalam bab ini juga akan dipaparkan rincian unsur-unsur pokok yang terdapat dalam Katekese Kebangsaan.

Kemudian juga akan disebutkan berbagai contoh penerapan Katekese Kebangsaan di Indonesia.

A. Asal Usul Gagasan

Katekese adalah suatu pembinaan iman bagi siapa saja, seluruh umat

Kristen dari segala kelompok usia dan semua golongan tanpa kecuali, melingkupi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55

penyampaian ajaran Kristen, diberikan secara terencana dan berkesinambungan dengan maksud mengantar umat memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT 18).

Senada dengan pengertian tersebut, Marinus Telaumbanua (1999: 5) merumuskan katekese sebagai usaha-usaha Gereja dalam membantu umat semakin memahami, menghayati, dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Tema-tema katekese juga perlu diperluas mengikuti perkembangan zaman agar umat dapat lebih bersemangat dalam memberi kesaksian tentang iman mereka sehingga dapat semakin mematangkan dan meneguhkan iman yang sesuai dengan kepenuhan

Kristus (bdk. CT 24-25).

Katekese Kebangsaan dapat diselenggarakan dalam rangka mewujudkan

Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (GS 45) dengan terlibat dalam kehidupan berbangsa sekaligus merupakan perwujudan iman dalam menanggapi tanda-tanda zaman. Katekese Kebangsaan merupakan hal yang cukup baru dalam perkembangan katekese dewasa ini, khususnya di Indonesia. Melalui Katekese

Kebangsaan, Gereja turut menanamkan rasa cinta tanah air, berperan langsung dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa, serta menanamkan nilai-nilai moral yang menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi rasa persatuan sebagai sebuah bangsa.

1. Berawal dari Katekese Kontekstual

Pada kurun 1959 hingga 1968 diadakan enam pekan studi kateketik internasional. Pada 1959 diselenggarakan di , kemudian 1960 di

Eichstatt, 1962 di Bangkok, 1964 di Katigondo, 1967 di Manila, dan 1968 di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56

Medellin. Enam studi ini menunjukkan betapa pentingnya katekese dalam kurun tahun tersebut. Sayangnya setelah tahun 1980-an pekan-pekan studi kateketik internasional sudah jarang diselenggarakan, sehingga berakibat pada kurang berlanjutnya perkembangan kateketik dalam skala internasional.

Luis Erdozain (1983: 86-105) mengelompokkan enam pekan studi kateketik internasional tersebut dalam tiga tahap, yakni kerigmatis (Nijmegen dan

Eichstatt), antropologis (Bangkok, Katigondo, dan Manila), dan politis

(Medellin). Erdozain (1983: 96) melihat adanya perbedaan mencolok dalam tiga tahap ini, tetapi bukan sebagai suatu pertentangan antara tahap satu dengan lainnya, melainkan suatu gerakan maju antara satu tahap menuju tahap yang berikutnya. Menurutnya tahap kerigmatis lebih menekankan pada isi pewartaan

Sabda Allah yang berpusat pada Yesus Kristus (Kristosentris) dengan menggunakan bahasa reflektif yang dekat dengan umat (Erdozain, 1983: 89-91).

Tahap antropologis lebih menekankan pada katekese yang bertolak dari keadaan dan kebudayaan umat (umatsentris), dengan prinsip dasarnya bahwa wahyu Allah bersifat dialogal, mengundang dan memampukan manusia untuk menanggapi-

Nya, memungkinkan perjumpaan nilai-nilai Injil dengan nilai-nilai budaya

(Erdozain, 1983: 92-95). Tahap politis menekankan pada kesatuan antara karya penyelamatan Allah dengan peristiwa hidup manusia sehari-hari, tidak mempertentangkan keduanya (Erdozain, 1983: 100-101).

Namun Michael Warren sendiri mengkritik pembagian tahap-tahap perkembangan kateketik menurut Luis Erdozain atas enam pekan studi kateketik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57

internasional. Menurutnya pengelompokkan Eichstatt ke dalam tahap kerigmatis dan menyebut Bangkok sebagai gerakan yang pertama kalinya memperhatikan segi antropologis adalah pandangan yang keliru. Warren (1983: 26-27) melihat bahwa pembagian tahap-tahap perkembangan kateketik tidak perlu digolongkan secara kaku, seperti halnya Erdozain menyebut Bangkok sebagai pertama kalinya katekese memerhatikan aspek antropologis, sebab perkembangan kateketik di

Eropa sesungguhnya sudah memerhatikan peserta. Warren (1983: 333-334) juga melihat perubahan mencolok terjadi di Medellin dengan dua pembahasan pokok yaitu pentingnya konteks katekese dan perhatian akan perkembangan sejarah keselamatan, berkaitan erat dengan bagaimana Injil perlu disebarkan melalui tanda-tanda yang ―akrab‖ dengan kemanusiaan, yaitu pembebasan, perkembangan, dan persatuan.

Berdasarkan hasil studi terhadap enam pekan studi kateketik internasional, penulis menduga bahwa Katekese Kebangsaan berada dalam posisi penggabungan antara tahap antropologis dengan tahap politis. Luis Erdozain (1983: 105) mengungkapkan bahwa tahap antropologis dan politis termasuk dalam katekese kontemporer, merepresentasikan Sabda Allah pada dunia kekinian, menunjukkan perkembangan iman dan wahyu, serta semangat dan wajah baru dalam katekese yang Kristosentris sekaligus umatsentris. Katekese Kebangsaan memiliki dimensi pluralis, cocok dengan tahap antropologis yang memungkinkan dialog dengan budaya dan agama lain (Erdozain, 1983: 96). Katekese Kebangsaan juga merupakan persoalan bagaimana usaha Gereja untuk mewujudkan Kerajaan Allah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58

di tengah-tengah dunia dengan cara melibatkan diri secara aktif di dalamnya, cocok dengan tahap politis yang berorientasi pada praksis perjuangan bersama demi keadilan dan kesejahteraan bersama sebagai komunitas beriman (Erdozain,

1983: 103).

Enam pekan studi kateketik tersebut menunjukkan bahwa katekese dijalankan sesuai pada konteksnya. Seperti misalnya hasil di Bangkok dan

Katigondo yang menyesuaikan dengan konteks budaya setempat, bagaimana katekese dapat diadakan secara inkulturatif, bagaimana mengenalkan Kristus dengan ciri khas Asia dan Afrika. Hasil di Medellin juga menunjukkan bahwa katekese adalah upaya mewujudnyatakan Kerajaan Allah pada masyarakat yang miskin dan tertindas, sesuai yang dialami di Amerika Selatan.

Hope Antone (2010: xiii) menyatakan bahwa pelaksanaan katekese kontekstual perlu menyapa konteks kemajemukan menggunakan pendekatan pluralisme agama, berdialog dengan tradisi iman agama lain namun tetap berkomitmen pada tradisi spiritualitas Katolik. Seorang pluralis sejati bagaimanapun juga adalah seseorang yang berakar dengan baik dalam tradisi imannya tetapi mampu mengakui dan terbuka kepada orang-orang yang berasal dari tradisi lain, mengakui bahwa kasih Allah lebih luas daripada apa yang benar- benar dapat dipahami oleh akal budi manusia (Antone, 2010: 89). Hal ini menandakan dimensi iman yang universal, bahwa Allah mengasihi dan berkomitmen untuk menyelamatkan semua orang tanpa terkecuali.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

59

Antone (2010: 10) menegaskan bahwa konteks membentuk teologi serta teori dan praksis pendidikan. Perlu adanya upaya kontekstualisasi dalam proses berteologi, kemudian membentuk suatu teori pendidikan dan mempraktikannya, termasuk juga terhadap teori dan praksis katekese. Konteks dapat dilihat sebagai ruang, waktu, dan tempat suatu realitas kehidupan yang dinamis, masalah dan kebutuhan muncul, begitu juga dengan aspirasi dan harapan pun muncul dan dibagikan (Antone, 2010: 11).

Antone menggambarkan suatu katekese kontekstual dalam metafora meja makan. Bagi Antone (2010: 96) gambaran percakapan di meja makan bukan hanya metaforis atau figuratif, tetapi juga bersifat denotatif karena telah mengalaminya langsung di tengah lingkungan hidupnya yang majemuk. Hal yang dialami oleh Antone yaitu bahwa suatu keluarga yang terdiri dari berbagai komunitas budaya dan agama dapat bergaul dengan indah dan bermakna di sekitar meja makan, menyediakan ruang bersama untuk saling berbincang dan berbagi kehidupan dengan penuh kasih mesra dan mendalam. Percakapan di meja makan merupakan suatu kegiatan bersama dengan situasi percakapan yang multiarah di mana semua orang terlibat di dalamnya dan dapat dengan aktif mengungkapkan uneg-uneg secara bebas tanpa batas-batas tertentu (Antone, 2010: 95-98). Meja makan dalam situasi tersebut menjadi suatu tempat yang hangat dan diselimuti dengan suasana keramahtamahan, sekumpulan orang dapat saling berbagi dan bercakap-cakap dengan bebas, bahkan hingga merumuskan harapan dan tujuan hidup bersama.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60

Metafora meja makan sebagai gambaran katekese kontekstual sejajar dengan praktik meja makan yang diperlihatkan oleh Yesus dalam Injil. Secara gamblang Yesus mau duduk makan bersama-sama dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa (Mrk 2:16, Luk 15:2) sekaligus berbagi kasih dalam pengalaman iman dan juga pengajaran kepada mereka. Yesus memperlihatkan bahwa di meja makan Allah semua orang disambut tanpa kecuali. Lewat perumpamaan tentang perjamuan kawin (Mat 22:1-14 par.) Yesus mengundang orang-orang dan berbagi makanan bersama mereka, menunjukkan kerahiman dan belas kasih Allah yang melampaui batas-batas tatanan sosial duniawi. Yesus memberikan gambaran situasi kerahiman Kerajaan Allah melalui praktik makan bersama. Makanan dan kegiatan makan tidak hanya suatu kebutuhan biologis, tetapi juga memiliki makna penting yang bersifat sosial, kultural, dan pedagogis

(Antone, 2010: 116). Oleh karena itu, meja makan dan perjamuan makan telah menjadi gambaran tentang Kerajaan Allah yakni keramahtamahan yang berlimpah, keterbukaan sejati, dan perayaan sukacita bersama. Gambaran ini berpengaruh dalam praktik katekese kontekstual yang berusaha memahami kondisi dan situasi umat setempat yang majemuk dengan saling memahami, menghormati, dan terbuka terhadap satu sama lain.

Karena meja makan secara alami mengundang, maka katekese kontekstual juga mengambil pendekatan yang mengundang secara terbuka. Katekese kontekstual terdiri dari berbagi kisah hidup, pengalaman keagamaan, keprihatinan serta apresiasi bersama yang membuat kita menjadi sungguh-sungguh manusiawi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

61

(Antone, 2010: 133). Dengan berkumpul bersama dan mengambil bagian dalam seluruh proses katekese, dapat terlihat seberapa besar kita saling membutuhkan satu sama lain demi keberlangsungan bersama dalam kehidupan sehari-hari.

Metafora meja makan menggambarkan betapa luas dan dalamnya kepekaan sejati terhadap orang lain, sehingga kita dapat tergerak untuk menawarkan keramatamahan dan persahabatan yang melimpah, berbagi apa yang diperlukan, melihat apa yang sering tak terlihat, dan mendengarkan apa yang tidak terucapkan

(Antone, 2010: 135). Dengan demikian, kita akan dapat lebih bekerja secara kolektif dan efektif dengan orang lain di sekitar kita, baik di dalam satu komunitas atau bahkan bergerak ke luar.

2. Allah yang inkarnatoris

Konstitusi Dei Verbum mengatakan bahwa ketaatan iman berarti manusia bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, yang berarti mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan, dan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia (DV 5). Dengan kata lain, iman dapat dimaknai sebagai Sabda Allah, yang merupakan tawaran karunia dan rahmat dari

Tuhan, yang menuntut jawaban secara pribadi dan menyeluruh dari manusia. Arti iman tersebut tidak terpisahkan dari cinta yang dimengerti sebagai jawaban dan penerimaan manusia atas sejarah keselamatan yang diwahyukan Allah

(Telaumbanua, 1999: 43-46).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62

Hubungan antara wahyu dengan iman merupakan visi Ilahi yang tidak terlepas dari misteri inkarnasi. Di dalam inkarnasi, Anak Allah yang bersifat universal dan kekal hadir di dunia yang bersifat terbatas dan sementara (Heryatno

Wono Wulung, 2000: 127). Allah berinisiatif bergerak menuju umat manusia untuk mengantarkan mereka kepada keselamatan (FR 7). Inisiatif tersebut membuat manusia dapat memahami Allah sesuai dengan akal budi yang dimilikinya melalui berbagai pengetahuan iman yang telah diwahyukan dalam

Sabda Allah (FR 8). Pengetahuan tersebut menunjukkan betapa besar cinta kasih

Allah terhadap umat manusia dan mempercayakan tanggung jawab yang besar kepada umat manusia dalam mewartakan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia

(FR 13, GS 45).

Inisiatif Allah dalam misteri inkarnasi menjalin suatu relasi baru antara

Allah, yakni menyatakan bahwa manusia pada dasarnya baik dan sungguh bersifat positif. Melalui inkarnasi, Allah berkenan mendatangi manusia dan menjadi satu dengan seluruh realitas hidup manusia, sehingga manusia dapat mengalami kehadiran Allah secara konkret (Heryatno Wono Wulung, 2000: 127). Oleh karena itu kebaikan manusia sungguh-sungguh diakui dan diteguhkan, dan manusia dengan mudah berinteraksi dengan Allah karena relasi dengan-Nya telah dipulihkan dan diperbarui.

Inkarnasi Allah dapat nampak secara nyata dalam inkulturasi, yakni penjelmaan nilai-nilai Injil ke dalam konteks kebudayaan tertentu sehingga jemaat setempat dapat menghayati Injil Yesus Kristus seturut cara hidup mereka masing-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63

masing (Heryatno Wono Wulung, 2000: 126). Penekanan kebudayaan dalam inkulturasi dapat dilihat dalam misteri Paskah Yesus Kristus yang bersedia menyerahkan seluruh hidup-Nya supaya semua orang dapat diselamatkan

(Heryatno Wono Wulung, 2000: 130). Melalui wafat dan kebangkitan-Nya,

Kristus mengubah dosa manusia yang mengalami pertobatan menjadi semangat untuk menjalani hidup yang baru.

Dalam memahami Allah yang inkarnatoris, maka katekese mengupayakan terjadinya perjumpaan pribadi antara manusia dengan Allah sebagai proses wahyu dan iman (Madya Utama, 2018: viii). Dengan prinsip iman dan wahyu, katekese memiliki jenis pengetahuan yang tidak hanya bergantung pada pemahaman manusia saja tetapi juga pada wahyu diri Allah yang diterima manusia dalam iman

(Manfred Habur, 2016: 38-39). Oleh karena itu katekese mesti membantu peserta katekese untuk menyadari bahwa mereka perlu meresapi hidupnya dengan nilai- nilai Injili sehingga dapat menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia (Madya

Utama, 2018: ix). Katekis diharapkan dapat membantu mengantarkan umat mengalami wahyu secara konkret dalam kehidupan sehari-hari dan mengupayakan persatuan di antara semua orang dalam persekutuan persaudaraan (Madya Utama,

2018: x).

Allah yang inkarnatoris menjadi tolok ukur diselenggarakannya Katekese

Kebangsaan. Katekese Kebangsaan mewartakan Yesus Kristus sebab pokok pewartaan katekese yakni mewartakan Kabar Gembira yang berada dalam diri

Yesus Kristus dan Kristus sendirilah sebenarnya yang sedang berkatekese (CT 6).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64

Yesus sendiri pernah berujar bahwa: "Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku‖ (Yoh 7:16). Maka selayaknya ajaran yang disampaikan bukanlah pendapat pribadi sang katekis atau membela kepentingan tertentu, melainkan ajaran yang berasal dari Kristus dan sesuai dengan kebutuhan umat sendiri. Dengan demikian sungguh nampak bahwa

Katekese Kebangsaan bersifat Kristosentris sekaligus umatsentris.

Katekese Kebangsaan mewartakan Allah yang turut serta terlibat dengan persoalan dunia, bersama dengan itu mengajak umat sekalian untuk mau turut terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan demi terjalinnya kesejahteraan umum.

Umat dipanggil untuk mengambil bagian di dalam tugas perutusan Yesus yakni meneguhkan, membangun, dan memperkembangkan kehidupan. Sangat diharapkan bahwa Allah sungguh dapat berinkarnasi atau mengakar di dalam hidup masing-masing umat (Heryatno Wono Wulung, 2000: 133). Oleh karena itu, umat juga sangat diharapkan sungguh-sungguh mengalami perjumpaan dengan Allah dalam diri Yesus Kristus sehingga dalam kesehariannya menghayati

Injil dan berani bersaksi dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat luas

(CT 9).

3. Gabungan antara discipleship dengan citizenship

John Coleman mengungkapkan gagasan mengenai penggabungan antara semangat kemuridan (discipleship) dengan semangat kewarganegaraan

(citizenship). Dalam tiga narasi yang dikemukakan Coleman, terlihat adanya perbedaan pandangan mengenai perihal discipleship dengan citizenship. Di satu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65

sisi meyakini pemisahan antara keduanya, di sisi lain setuju untuk menggabungkan urusan keduanya. Dua hal tersebut sering dipertentangkan satu sama lain, dibedakan menurut urusan masing-masing, tetapi sebenarnya dapat dipersatukan tanpa tumpang tindih satu sama lain.

Coleman (1992: 339) menyatakan bahwa sejak awal Gereja Puritan berusaha menggabungkan discipleship dengan citizenship sebagai bentuk kehidupan bersama tetapi tidak mendominasi pemerintahan sipil, tetap menempatkan perbedaan penting antara pemerintahan gerejani yang layak dengan pemerintahan sipil. Pendapat lain muncul dari kelompok revivalist yang mengatakan bahwa agama sesungguhnya memegang peranan penting dalam membentuk kehidupan berbangsa yang baik, discipleship dapat berkontribusi baik terhadap citizenship (Coleman, 1992: 342-343). Lewat cara pandang pluralisme dengan toleransinya, kelompok ini berusaha menengahkan relasi antara gagasan citizenship dengan discipleship yang masih berkaitan erat, terlepas dari unsur- unsur perbedaannya. Pendapat lain lagi mengatakan adanya unsur paradoksal dalam usaha menggabungkan semangat citizenship dengan discipleship.

Kelompok ini merasa urusan agama terlalu mencampuri ranah publik. Kaum religius dinilai sebagai contoh warga negara (citizenship) yang buruk karena mereka gagal menerapkan nilai-nilai ajaran (discipleship) mereka sendiri

(Coleman, 1992: 348). Namun politik sering kali menggunakan agama untuk menarik simpati pemilih saat pemilu, contohnya mengirim surat kepada kardinal agar mendapat suara dari kaum Katolik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66

Pada akhirnya Coleman (1992: 350) menyimpulkan bahwa sebenarnya masih ada perdebatan tentang relasi antara discipleship dengan citizenship.

Meskipun ada arah untuk penggabungan keduanya, masih belum ada penataan kembali relasi antar keduanya yang dinyatakan dengan jelas. Ada keresahan publik untuk menghimpun jaringan dengan Gereja demi membahas permasalahan sosial dan moral. Murid Kristus yang memiliki rasa tanggung jawab sebaiknya tertarik untuk meningkatkan kesadaran moral dalam masyarakat. Konsensus antara keduanya akan mampu mengatasi konflik moral dan sosial tersebut, menjawab tantangan zaman, dan meningkatkan kesadaran akan kehidupan bersama.

Gagasan John Coleman untuk menyeimbangkan semangat discipleship dengan citizenship mendapat respon positif di kemudian hari. Gereja menyadari bahwa kedua semangat tersebut amat penting dalam tugas dan pelayanannya di dunia ini. Maka melalui katekese, Gereja berusaha untuk mengajak anggotanya mengalami kedua semangat tersebut dan mencoba menyeimbangkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam proses katekese, pendamping dan peserta saling berhubungan sebagai mitra, sama-sama berziarah untuk menjadi murid Yesus sejati (Schipani,

1997: 28). Pendamping dan peserta katekese bersama-sama memperkembangkan dan menyelaraskan semangat discipleship sekaligus citizenship menuju kepenuhan hidup Kristiani yang meliputi visi Allah yang hidup, keutamaan Yesus

Kristus, dan panggilan Roh Kudus (Schipani, 1997: 30). Dengan demikian, katekese dapat menjadi penjembatan antara semangat discipleship sekaligus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67

citizenship, semakin terlibat dalam masyarakat demi semakin terwujudnya

Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia.

4. Keterlibatan Gereja dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat

Gereja menyangkut umat banyak, jadi perlu ada unsur kesatuannya, kebersamaannya dalam satu rasa yang dapat ditangkap oleh orang banyak, selain itu juga harus bermakna, berbudi, luhur, namun terutama autentik atau asli

(Mangunwijaya, 1999: 19). Gereja merupakan umat yang beriman kepada Yesus sebagai pewarta Kabar Gembira, maka umat sebagai penerima dan pewarta Kabar

Gembira sebaiknya selalu gembira, optimis, dan energik, tetapi prinsipial dan berani, pecinta para miskin dan penderita (Mangunwijaya, 1999: 24).

Katekese adalah salah satu upaya Gereja dalam mengembangkan tugas karya pewartaan. Katekese bertujuan membangunkan, memelihara, memperkembangkan iman, sambil memperbarui, memperdalam, dan menyempurnakan pertobatan dengan jalan membuatnya semakin bersifat pribadi dan berbuah dalam tindakan. ―Katekese harus memperhatikan keseluruhan hidup manusia yang sekuler dan religius, harus memuat hubungan tetap dengan keadaan hidup yang sesungguhnya, yang memuat bukan saja tugas sosial ekonomis dan politis, tetapi juga kenyataan dan kelompok kultis dan religius‖ (Amalorpavadass,

1972: 9). Katekese dilakukan dalam rangka pewartaan iman yakni menerangkan pesan Injil sebagai cara untuk mengungkapkan iman dengan tujuan bagaimana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

68

orang dapat dibimbing dan ditolong agar memahami iman (Kiswara, 1988: 50-

51).

Dengan kata lain, katekese harus juga bersifat umatsentris, sesuai dengan situasi hidup jemaat, termasuk berbagai pengalaman dan masalah yang dialami oleh mereka. Maka tugas katekese adalah mengolah situasi hidup umat setempat, dan semuanya itu dipandang, dipahami, dan dihayati menurut Sabda Allah, dengan penyerahan diri secara menyeluruh kepada Kristus. Dengan demikian, masing-masing pribadi akan mengalami hubungan mesra dan mendalam dengan

Kristus, sehingga kemudian dapat bersaksi dengan membagikan pengalaman tersebut sesuai dengan konteks lingkungan hidup mereka masing-masing.

Dalam mencapai tujuannya untuk membangunkan, memelihara, memperkembangkan iman, sambil memperbarui, memperdalam, dan menyempurnakan pertobatan dengan jalan membuatnya semakin bersifat pribadi dan berbuah dalam tindakan, katekese dapat dilakukan melalui langkah-langkah dan pendekatan yang dinamis, dalam gerak, irama, dan tahapan yang jelas.

Katekis sebagai fasilitator atau pemandu katekese perlu memiliki daya kreativitas sehingga dapat berbaur dan menyatu dengan umat yang dilayaninya. Maka katekis hendaknya perlu mengalami sendiri persekutuan hidup yang mesra dan mendalam bersama Kristus (CT 9, 23) dan umat setempat. Katekis menghayati semua peristiwa serta segi-segi kehidupan komunitas umat dengan penuh rasa tanggung jawab. Sehingga apa yang terjadi dalam proses katekese adalah benar-benar sesuatu yang konkret, bukan sekadar teori, dan benar-benar relevan dengan situasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69

hidup keseharian umat setempat. Dengan demikian proses katekese tidaklah kering, melainkan benar-benar mengalir dan dinamis karena umat mengalaminya secara penuh dan dapat semakin menyadari kasih kerahiman Allah dalam diri masing-masing pribadi.

Menurut Amalorpavadass (1972: 36), langkah-langkah yang dapat dilakukan katekis dalam mencapai tujuan katekese untuk membangunkan, memelihara, memperkembangkan iman, sambil memperbarui, memperdalam, dan menyempurnakan pertobatan dengan jalan membuatnya semakin bersifat pribadi dan berbuah dalam tindakan adalah sebagai berikut. Pertama yaitu berusaha mengingatkan kepada pengalaman manusiawi, merenungkannya dan memaknainya sejauh mungkin. Kedua yakni membawa pengalaman manusiawi tersebut dan menghadapkannya pada terang Sabda Allah, kemudian kembali memaknainya dengan lebih penuh dan mendalam. Ketiga adalah mempelajari kembali dan menghayati pengalaman manusiawi tersebut dengan menyesuaikan sepenuhnya dengan iman, yaitu menyadari kesesuaian atau relevansi Sabda Allah di dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam perkembangannya, Gereja perlu terlibat aktif dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Semangat Konsili Vatikan II mengajak seluruh bangsa manusia melupakan permusuhan dan perselisihan yang sudah lewat, berusaha untuk saling memahami dan menjadi kawan seperjuangan demi penyelamatan dan pengembangan keadilan sosial, nilai-nilai moral, perdamaian, dan kemerdekaan (NA 3). Mangunwijaya (1999: 29) mengemukakan pendapatnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

70

yang bertajuk Gereja Diaspora, yakni berarti keluar ikut berjuang dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya bersama masyarakat dan bangsa.

Pelayanan umat diaspora tidak terlepas dari Tritugas Kristus yang diterima dalam Sakaramen Baptis, yakni menyucikan, mewartakan, dan memimpin (imam, nabi, dan raja) (lih. GS 31, AA 2). Tugas tersebut tidak hanya ditujukan kepada para imam, tetapi mencakup keseluruhan umat (Mangunwijaya, 1999: 56).

Pelayanan umat diaspora membutuhkan visi dan mental pimpinan umat yang terbuka terhadap segala bentuk perubahan, namun diimbangi oleh prinsip mutlak yakni fungsi kita sebagai anak Allah sekaligus murid Kristus yang dibekali oleh semangat Roh Kudus di dalam persaudaraan Gereja universal (Mangunwijaya,

1999: 63). Sikap terbuka menuntut kerendahan hati seorang manusia, sedangkan berprinsip membutuhkan keyakinan mendalam tentang perlunya kebijaksanaan untuk memilih tindakan yang benar atau salah (Mangunwijaya, 1999: 64).

Kerasulan awam dalam bidang kemasyarakatan dan kenegaraan dapat menjadi salah satu cara untuk mewujudkan pelayanan umat diaspora

(Mangunwijaya, 1999: 123). Keterlibatan umat awam di tengah dunia politik dan kemasyarakatan adalah bentuk konkret dari pelayanan umat diaspora demi terwujudnya Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (Mangunwijaya, 1999: 124).

Gereja dan umat jelas punya kewajiban dan hak untuk berpolitik demi terwujudnya kepentingan dan kesejahteraan umum (Mangunwijaya, 1999: 125).

Gereja dan umat harus tetap hadir dan bijak membela segala kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan kebaikan, terlepas dari setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang dengan bentuk kekuasaan pemerintahan yang ada (Mangunwijaya,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71

1999: 127). Maka dari itu, kaum awam sangat dianjurkan untuk terlibat dalam masalah-masalah politik praktis kekuasaan lewat segala sarana macam-macam badan kekuasaan seperti partai politik, lobby politik, parlemen, dan sebagainya, akan tetapi tindakan tersebut dilakukan atas nama pribadi, tidak atas nama Gereja, umat, ataupun Hierarki Gereja (Mangunwijaya, 1999: 127, 129).

Gereja Diaspora dengan pengembangan konteks pluralisme agama dapat memperkuat hubungan ke luar, menjalin hubungan yang harmonis dengan berbagai pihak dari seluruh kalangan (Sudiarja, 1999: 27). Oleh karena itu partisipasi awam sangat diharapkan untuk terlibat aktif membangun komunikasi iman dengan dunia yang mereka geluti (Sudiarja, 1999: 30). Dengan begitu umat dapat memberikan kesaksian kasih dalam hidup mereka sehari-hari.

B. Pokok-pokok Mengenai Katekese Kebangsaan

1. Subjek dan objek Katekese Kebangsaan

Ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan katekese disebut kateketik. Kateketik sebagai ilmu tentu memiliki subjek, objek material, dan objek formal tersendiri. Dalam ilmu pengetahuan, manusia menempati posisi sebagai subjek sekaligus sebagai objek. Manfred Habur (2016: 31-34) mengutip pendapat S. Curro mengatakan bahwa ilmu kateketik memiliki subjek yaitu manusia yang mencari identitas dirinya yang mampu merencanakan sendiri kehidupannya lewat berbagai macam kompetensi yang ada, dan juga realitas iman yakni inisiatif Allah yang memanggil, menangkap, dan merangkul manusia dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72

persahabatan seturut kehendak-Nya. Marinus Telaumbanua (1999: 20-21) mengemukakan objek material ilmu kateketik yaitu seluruh umat Kristiani, sedangkan objek formalnya yaitu pendidikan dan komunikasi iman. Manfred

Habur (2016: 50) melihat kedudukan kateketik sebagai bagian dalam teologi praktis, di mana objek material-formalnya menyangkut iman umat dan pendidikan iman ke arah kedewasaan. Refleksi atas pendidikan iman tidak hanya bergantung pada usaha manusia melalui nalar dan intuisi rohaninya, melainkan juga pada iman dan wahyu dari Allah sendiri.

Katekese Kebangsaan merupakan hal yang cukup baru dalam perkembangan katekese dewasa ini, khususnya di Indonesia. Perlu diselidiki lebih lanjut mengenai deskripsi lengkapnya, aspek-aspeknya, juga subjek dan objeknya.

Menurut penulis sebenarnya tidak perlu adanya tumpang tindih antara Gereja dan masyarakat jika mengacu pada peran Gereja dalam mewujudkan nilai-nilai

Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (GS 45), yaitu dengan berkontribusi bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Hal yang perlu diperhatikan yaitu, bagaimana melalui realitas kebangsaan katekese tidak mengabaikan subjek lainnya yaitu inisiatif Allah sendiri yang mengundang manusia menjalin relasi yang intim dengan-Nya. Begitu juga dengan objek formalnya yaitu pendidikan dan komunikasi iman bagaimana menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia sebagai usaha untuk mewujudkan Kerajaan Allah.

Karenanya sebaiknya, katekese tidak boleh terlalu menekankan subjek manusia sehingga mengabaikan Allah, dan sebaliknya tidak boleh terlalu menekankan Allah sehingga tidak menyentuh realitas kehidupan konkret manusia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73

Singkatnya, katekese harus setia kepada Allah sekaligus setia kepada manusia.

Katekese yaitu mewartakan Sabda Tuhan yang selalu berinkarnasi dalam kehidupan manusia dalam bentuk dan bidang apa pun secara konkret (Rukiyanto,

2016: 73-74).

2. Mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di dunia

Datangnya Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia dan terwujudnya keselamatan segenap bangsa manusia adalah tujuan dari seluruh tugas dan perutusan Gereja selama peziarahannya di dunia (GS 45). Untuk itulah Gereja dengan seluruh karyanya perlu terlibat secara penuh mengusahakan terjadinya kesejahteraan umum bagi segenap umat manusia sehingga Kerajaan Allah dapat terwujud secara konkret di dunia (GS 73). Keterlibatan tersebut ditunjukkan oleh

Gereja dengan mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum dan mengembangkan diri di bawah pemerintahan manapun yang mengakui hak-hak asasi manusia serta berbagai kebutuhan akan kesejahteraan umum (GS 42).

Tepatlah jika Groome (2011: 24) berpendapat bahwa tolok ukur utama yang menentukan keberhasilan sebuah katekese yakni terwujudnya nilai-nilai Kerajaan

Allah di tengah kehidupan manusia. Katekese Kebangsaan adalah salah satu upaya Gereja dalam mengajak seluruh anggotanya untuk turut terlibat aktif dalam seluruh kegiatan kemasyarakatan demi tercapainya tujuan tersebut. Jika Katekese

Kebangsaan dipetakan, maka dapat digolongkan dalam Katekese Transformasi

Sosial, yakni katekese yang bersifat inkulturatif, inklusif, dan pluralis, serta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

74

bertujuan untuk mewujudkan transformasi sosial demi melayani Kerajaan Allah

(Schipani, 1997: 25-26).

Katekese Transformasi Sosial bermula dari pengamatan Daniel Schipani yang mengeksplorasi transformasi sosial sebagai bingkai dari pendidikan agama

(Seymour, 1997: 19). Daniel Schipani (1997: 25) melihat bentuk rekonsiliasi rasial yang dialami oleh Gereja Reba Place pada 1991 telah menunjukkan bahwa relasi pertemanan atau kekeluargaan melampaui batas-batas perbedaan yang ada.

Hal ini menunjukkan tantangan dan peluang untuk merintis suatu pendidikan iman yang memberi dampak perubahan baik secara personal maupun sosial, menyadari bahwa keanekaragaman warga jemaatnya justru merupakan anugerah yang diberikan Tuhan untuk bersatu memeperjuangkan terwujudnya Kerajaan Allah di tengah-tengah hidup mereka.

Langkah-langkah dalam Katekese Transformasi Sosial meliputi tiga aspek yakni seeing (melihat), judging (menafsirkan), dan acting (bertindak). Seeing yaitu berusaha menyimak dan memahami realita konkret yang dialami umat, menganalisisnya, dan dengan itu diharapkan sampai pada beberapa keprihatinan dasar (Schipani, 1997: 33). Judging berarti berusaha menemukan kehendak Allah di dalam kenyataan yang konkret dengan cara menafsirkan Kitab Suci dan

Dokumen Gereja, yaitu Sabda Allah menurut keprihatinan mendasar yang ditemukan dari analisis kita terhadap kenyataan konkret (Schipani, 1997: 33-34).

Acting berarti melakukan tindakan konkret selanjutnya sebagai tanggapan setelah mempertemukan sintesis antara realita konkret dengan tafsiran Sabda Allah sesuai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75

realita tersebut (Schipani, 1997: 34). Langkah lain tetapi serupa yang dapat diambil yaitu menggunakan cara going dan seeing (pergi melihat) serta welcoming

(mengundang mereka datang) (Schipani, 1997: 37).

Dalam tujuannya mewujudnyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah- tengah dunia, Katekese Kebangsaan dapat menggunakan langkah-langkah tersebut sehingga semakin dapat menumbuhkembangkan iman umat untuk semakin terlibat dalam kehidupan menggereja dan memasyarakat. Groome (2011: 26) menyatakan bahwa iman yang utuh yakni mencakup aspek kognitif (head), afektif

(heart), dan psikomotoris (hands). Hal ini berarti seseorang yang beriman secara utuh sungguh mengasihi Allah dan sesama secara total dengan seluruh akal budi, hati, jiwa, dan juga segenap kekuatan (Mrk 12:33). Dengan begitu maka Katekese

Kebangsaan dapat menggerakan semangat umat sehingga mencapai kepenuhan imannya demi mewujudnyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia.

3. Sebagai kebutuhan umat di masa kini

Bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai persoalan yang menguras banyak energi, menjadi beban berat pembangunan, dan menghambat kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Kondisi persatuan dan kesatuan sebagai bangsa beberapa tahun terakhir ini cukup mengkhawatirkan karena terkoyaknya kerukunan dan toleransi antarumat beragama (Nota Pastoral KWI 2018 No 5). Hal ini dapat memicu sikap saling curiga, berprasangka buruk, dan intoleransi yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76

semakin melemahkan semangat kebangsaan. Persoalan intoleransi ini merembet sampai pada radikalisme. Maraknya radikalisme yang disertai kekerasan menunjukkan penolakan terhadap Pancasila, serta memanfaatkan isu ketidakadilan, kemiskinan, keterbelakangan dan pengangguran sebagai pintu masuk memprovokasi masyarakat (Nota Pastoral KWI 2018 No 5).

Terjadinya intoleransi atau radikalisme beragama salah satunya disebabkan oleh kesalahan berpikir dalam memahami dan memaknai teks/ajaran agama dan ayat-ayat Kitab Sucinya, sebab umat beragama apa pun jika memahami teks atau pesan agama dan Kitab Suci secara tekstualis, maka akan mudah melahirkan sikap dan perilaku intoleran atau radikalisme agama (Nota

Pastoral KAS 2018: 26). Manusia kehilangan relasi pribadi yang akrab dengan

Tuhan mengakibatkan tumpulnya hati nurani, sehingga penghayatan terhadap ajaran iman dan agama menjadi sebatas ketaatan pada peraturan semata (DFI 19).

Pemerintah dan masyarakat seharusnya memahami dan melaksanakan

Ketetapan MPR No. V Tahun 2000 Tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan

Nasional yakni menyadarkan bahwa NKRI mempunyai ciri khas, yaitu kebinekaan suku, kebudayaan, dan agama yang dipersatukan oleh tekad: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan, yaitu Indonesia, serta dialaskan pada Pancasila sebagai dasar negara (Nota Pastoral KAS 2018: 19). Di tengah bangsa yang majemuk, Sabda Tuhan menjadi pendorong dan penyemangat bagi

Gereja untuk menjadi garam dan terang, menghasilkan buah, menjadi pelopor perdamaian dan kerukunan serta hidup atas dasar nilai-nilai Kerajaan Allah (Nota

Pastoral KWI 2018 No 14).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77

Bagi Indonesia, Pancasila tidak hanya sekedar dasar ideologis, tetapi cara hidup dan sumber dari segala sumber hukum, serta nilai-nilai dasar dari kehidupan

Indonesia. Oleh karena itu memperjuangkan nilai Pancasila demi mencapai cita- cita dan tujuan negara merupakan dimensi hakiki dari iman Kristiani (Nota

Pastoral KWI 2018 No 22). Maka warga Gereja penting menghidupi secara konkret dari nilai-nilai Pancasila dan UUD ‘45 dengan cara terlibat aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Berangkat dari situasi tersebut, Katekese Kebangsaan hendaknya membantu umat untuk mengalami Allah yang inkarnatoris dan turut melibatkan diri di dalam-Nya sehingga mampu mendorong transformasi hidup berbangsa dan bernegara dengan menghayati nilai-nilai luhur dan cita-cita yang terwujud dalam

Pancasila dan UUD ‘45 secara konsisten dan total. Katekese Kebangsaan merupakan konsekuensi logis dan konstitutif dari iman kita akan inkarnasi Allah.

Katekese Kebangsaan kemudian menjadi sarana bagi Gereja untuk menguatkan basis sosial agar kembali pada nilai-nilai Pancasila yang mengajarkan kebaikan, kemanusiaan, kerukunan, kerjasama, dan keadilan kepada umat. Katekese

Kebangsaan diharapkan menciptakan situasi yang memerdekakan yakni seluruh prosesnya dibangun atas dasar kebutuhan bersama seluruh umat di mana setiap orang bebas menyuarakan pendapatnya tanpa tekanan dari pihak manapun.

C. Penerapan Katekese Kebangsaan di Indonesia

Dasar keterlibatan Gereja di dalam dunia mengenai masalah sosial diletakkan pada keteladanan terhadap Yesus Kristus yang mewartakan pertobatan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78

dan sekaligus memberikan perhatian kepada orang-orang yang terpinggirkan (lih.

Luk 14: 12-14). Karena itu Gereja melibatkan diri dengan masalah dunia sebagai usaha untuk mewujudkan iman dan panggilannya dalam memperjuangkan keadilan yang berdasarkan cinta kasih (Mali, 2014: 139).

Katekese kebangsaan diawali dengan perjumpaan dengan Allah yang inkarnatoris, yang mau terjun dalam karut marut kehidupan dunia dan memilih untuk ikut terlibat dalam masyarakat dengan rasa nasionalitas untuk menciptakan kehidupan yang utuh (lih. EG 11). Allah tidak tinggal diam atas manusia yang sedang berjerih payah menghadapi karut marut dunia, agar manusia tidak kehilangan iman, harapan dan kasih. Maka titik tolak dari Katekese Kebangsaan itu bukan pada pewartaan nilai-nilai Pancasila namun pada pribadi Allah yang inkarnatoris tersebut.

Dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila, menggambarkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan ajaran Gereja dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya (Suharyo, 2009: 53). Dengan menerima Pancasila, umat Katolik tidak merasa menerima tambahan beban, melainkan tambahan dukungan dan bantuan dari NKRI, sebab Pancasila mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, yang digali dari budaya dan sejarah bangsa Indonesia sendiri, yang juga dijunjung tinggi dalam ajaran-ajaran Gereja (Suharyo, 2009: 53). Tanpa Pancasila pun, umat Katolik tetap memiliki keharusan moral untuk menghormati martabat setiap warga bangsa Indonesia (Darmaatmadja, 2019: 64). Oleh karena itu, membangun Indonesia sesuai dengan kehendak Allah adalah bagian dari panggilan kita untuk menyempurnakan tata dunia (Darmaatmadja, 2019: 75).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79

Seorang Katolik tidak pernah bisa hidup terpisah dari konteks hidupnya, yakni hidup bermasyarakat. Kaum awam memiliki panggilan khas untuk menyucikan dunia (LG 33, 35). Kaum awam harus menanggung usaha pembaharuan tertib duniawi itu sebagai kewajiban istimewa bagi mereka sendiri

(AA 7). Oleh karena itu kaum awam harus mampu menyuarakan visi hidup bermasyarakat dan bermartabat berdasarkan iman Katolik yang benar (Mali, 2014:

155). Katekese Kebangsaan memungkinkan umat untuk tetap berpegang teguh dalam iman dan pengharapan untuk terus berjuang membangun kehidupan yang lebih baik, yakni terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah secara konket di tengah- tengah dunia (Suharyo, 2009: 242).

Katekese Kebangsaan selama ini sudah berusaha berbicara bagaimana keterlibatan Gereja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni memberikan etika politik yang sesuai Ajaran Sosial Gereja sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan bersama (Suharyo, 2009: 61, 69). Katekese Kebangsaan mengupayakan agar umat turut proaktif mewujudkan dialog kehidupan dan tindakan nyata untuk hidup dalam semangat keterbukaan dan kerukunan hidup bersama (Widharsana, 2018: 93). Katekese Kebangsaan membantu umat dalam mengembangkan semangat patriotisme dan nasionalisme, berani menyuarakan kebenaran dan keadilan dengan cara-cara yang beradab (Widharsana, 2018: 134-

135). Katekese Kebangsaan menjadi salah satu ruang bersama untuk mengajak umat mengembangkan sikap terbuka dalam hidup beragama, memperkuat

Bhinneka Tunggal Ika, membangkitkan semangat bermusyawarah, dan mewujudkan keadilan sosial. Dengan demikian akan semakin terlihat wujud

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80

keterlibatan konkret Gereja dalam kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia, lewat paradigma yang lebih inklusif dan pluralis, yakni mampu melihat keindahan dalam keberagaman sebagai rangka persatuan kita bersama.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81

BAB IV INSPIRASI YANG DAPAT DIGALI DARI KERINDUAN TERDALAM HATI KH ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP BANGSA INDONESIA UNTUK MENGONSTRUKSI KATEKESE KEBANGSAAN

Katekese Kebangsaan adalah usaha, misi dan panggilan Gereja yang melalui karya katekese dalam mengikuti perkembangan zaman. Katekese

Kebangsaan diharapkan dapat menciptakan situasi yang merdeka di mana seluruh proses dibangun atas dasar kebutuhan kolektif, berangkat dari kesepakatan bersama seluruh anggota umat. Katekese Kebangsaan menjadi upaya Gereja untuk semakin melibatkan diri pada persoalan duniawi demi terciptanya kesejahteraan umum bagi masyarakat luas. Pada akhirnya yang menjadi metapurpose dari

Katekese Kebangsaan yaitu terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah- tengah masyarakat.

Penulis dalam bab ini akan membahas inspirasi yang dapat diambil dari sosok KH Abdurrahman Wahid dalam mengonstruksi Katekese Kebangsaan di

Indonesia. Dalam bab II penulis sudah menyampaikan sosok KH Abdurrahman

Wahid serta berbagai macam sumbangan pemikiran dan tindakan nyata beliau yang telah dilakukan bagi negeri ini. Sedangkan dalam bab III penulis sudah membahas pokok-pokok Katekese Kebangsaan dan bagaimana penerapannya, khususnya di Indonesia. Maka dalam bab ini penulis akan menyampaikan inspirasi apa saja yang ditemukan dari berbagai macam sumbangan pemikiran dan tindakan nyata KH Abdurrahman Wahid yang dapat dipakai dalam mengonstruksi

Katekese Kebangsaan di Indonesia sehingga dapat semakin optimal dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82

mencapai tujuan akhirnya yakni terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah- tengah dunia dengan masyakarat Indonesia sebagai lokusnya. Penulis juga akan menyampaikan usulan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan untuk mengoptimalkan praktik Katekese Kebangsaan di Indonesia dengan mengambil inspirasi dari sosok KH Abdurrahman Wahid.

A. Nilai-nilai Inspiratif dari Sosok KH Abdurrahman Wahid

KH Abdurrahman Wahid yang lebih sering dipanggil Gus Dur merupakan sosok yang inspiratif dalam membangun bangsa dan negara Indonesia. Semasa hidupnya beliau berjuang demi terjalinnya relasi antarmasyarakat yang inklusif dan pluralis di tengah kemajemukan yang ada dalam bangsa Indonesia. Bahkan hingga sekarang berbagai sumbangan pikiran beliau dalam tulisan-tulisannya di berbagai media masih menjadi inspirasi bagi perkembangan negara Indonesia dalam memperjuangkan pluralitas dan inklusivitas dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Berikut ini adalah beberapa nilai inspiratif dari sosok

KH Abdurrahman Wahid yang dapat membantu mengonstruksi Katekese

Kebangsaan di Indonesia.

1. Kemanusiaan

Visi kemanusiaan KH Abdurrahman Wahid terlihat dari bagaimana beliau

memperjuangkan HAM. Semasa hidupnya KH Abdurrahman Wahid berjuang

mengusahakan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Hal ini pernah

beliau upayakan semasa menjabat Ketua Umum PBNU yakni membangun

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83

gerakan ekonomi kerakyatan dengan membentuk mitra bisnis dengan Bank

Summa, yang kemudian bertransformasi menjadi Bank NU-Summa pada 1990, untuk memberikan bantuan perkreditan bagi rakyat kecil (Wicaksana, 2018: 41).

Salah satu tindakan konkretnya yaitu pada 1991 KH Abdurrahman Wahid membentuk Forum Demokrasi (Fordem) sebagai suatu gerakan bersama dalam melawan pelanggaran HAM demi tegaknya demokrasi sejati di Indonesia

(Barton, 2016: 224). Kemudian ketika menjabat sebagai presiden beliau juga sangat peduli untuk menyelesaikan konflik kemanusiaan di Papua dan Aceh dengan mendengarkan dan menjalankan aspirasi masyarakat setempat (Ali

Masykur Musa, 2010: 130). Beberapa kebijakannya antara lain menyetujui penyebutan Papua sebagai pengganti nama Provinsi Irian Jaya (Barton, 2016:

386), memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, asalkan posisinya tidak lebih tinggi dari bendera nasional RI (Barton, 2016: 447), dan membuat nota kesepahaman dengan GAM (Ali Masykur Musa, 2010: 23).

Setelah lengser dari jabatan presiden, Gus Dur masih tetap konsisten dalam memperjuangkan visi kemanusiaannya. Pada 2002 beliau menjabat sebagai penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (Wicaksana, 2018: 73).

Kemudian beliau juga menjadi penengah dalam kasus penutupan Sekolah Sang

Timur di Tangerang karena keberadaan sekolah tersebut dipermasalahkan oleh kelompok Muslim radikal (metro.tempo.co/read/49828/gus-dur-kasus-sang- timur-berbau-politik). Hal lain yang ia lakukan yaitu menjadi saksi ahli pengadilan penghayat dari Kuningan, pasangan Gugum dan Susi, yang diadili

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84

karena menikah secara adat (M Imam Aziz, 2018: 253). Berbagai tindakan KH

Abdurrahman Wahid tersebut dilakukan berdasarkan Pancasila dan UUD ‘45 yang menyatakan bahwa kepercayaan setiap warga negara itu dilindungi oleh konstitusi (M Imam Aziz, 2018: 253).

Visi kemanusiaan ini merupakan bagian integral dalam Katekese

Kebangsaan. Dalam proses pelaksanaan katekese, pendamping dan peserta memiliki kedudukan yang setara, semuanya berhak untuk mengungkapkan cerita, saling berbagi pengalaman dan pengetahuan secara terbuka tanpa tekanan dari pihak mana pun. Pengalaman masing-masing pribadi mendapatkan apresiasi bersama dari seluruh peserta, kemudian semakin diperkaya oleh Sabda Allah dan

Ajaran-ajaran Gereja. Prinsip kesetaraan tersebut kemudian diperkembangkan dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih lanjut, Katekese Kebangsaan dapat menggerakkan umat untuk peduli terhadap permasalahan kemanusiaan sebagai lokus perwujudan Kerajaan

Allah. Katekese Kebangsaan dapat menggerakkan umat untuk turut terlibat dalam memerhatikan kesejahteraan umum sebagai perwujudan konkret nilai-nilai

Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia. Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum ialah ―keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri‖ (GS 26). Kesejahteraan akan dapat tercapai bila kebutuhan- kebutuhan pokok mencakup pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85

dari seluruh anggota masyarakat dapat terpenuhi dengan baik. Oleh karena itu dalam lebih memerhatikan permasalahan kemanusiaan perlu digalakkan pemberdayaan pribadi-pribadi dengan memberikan pendampingan yang mengasah keterampilan mereka sehingga dapat berjuang dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.

2. Persaudaraan

Gus Dur memberi banyak contoh lewat tindakannya yang inklusif dan pluralis dalam mewujudkan cita-citanya agar masyarakat Indonesia hidup rukun, toleran, dan harmonis (Sudarsono, 2003: 161). Bagi Gus Dur, toleransi berarti tidak hanya menghargai berbagai perbedaan, tetapi juga kewajiban untuk tidak melakukan kekerasan atas nama agama (Wicaksana, 2018: 95). Gus Dur memandang Islam sebagai agama yang universal, sehingga kehadirannya melampaui batas-batas perbedaan manusia. Gus Dur meyakini bahwa Islam hadir untuk misi kemanusiaan yaitu pelayanan kepada semua orang, termasuk pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan (Wicaksana, 2018: 84-86).

Demi mewujudkan cita-cita terjalinnya hubungan persaudaraan yang harmonis, Gus Dur memperlihatkan konsistensinya dalam memperjuangkan demokrasi yang ideal. Demokrasi yang dimaksud yaitu situasi adanya berbagai kepentingan, keyakinan, dan kebudayaan dari golongan atau kelompok yang berbeda-beda, bahkan bisa bertentangan, tetapi seluruh golongan atau kelompok tersebut memiliki hak yang sama untuk dipertimbangkan aspirasinya dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

86

mengambil keputusan politik (Ali Masykur Musa, 2010: 114-115). Hal ini beliau buktikan pada Mei 1998 dengan mengunjungi Soeharto yang waktu itu dianggap sebagai musuh reformasi. Dengan kunjungan tersebut, Gus Dur berpotensi kehilangan popularitas dan dukungan massa karena dianggap berpihak pada

Soeharto, walaupun beliau juga diketahui sering mengkritik Pemerintahan Orde

Baru dan mendukung terjadinya reformasi. Namun Gus Dur menegaskan bahwa permusuhan dirinya dengan Soeharto adalah soal pemikiran bukan soal pribadi, maka demi menjaga keutuhan bangsa beliau berani mempertaruhkan apapun untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh rakyat yang terlampau larut dalam emosi dan kebencian (Wicaksana, 2018: 58-59).

Dalam kenyataannya, Gus Dur memang dikenal sebagai pribadi yang bergaul dengan banyak orang dari berbagai macam suku, agama, ras, dan golongan (Ari Subagyo, 2012: 53). Ia tidak canggung untuk turun menjumpai masyarakat dari golongan terbawah sekalipun. Beliau juga tidak segan untuk mendiskusikan berbagai macam persoalan agama, budaya, sosial, politik, dan semacamnya dengan orang-orang yang beragam latar belakangnya. Hal ini terlihat dari keterlibatannya dalam berbagai organisasi pluralis, antara lain

Fordem, DIAN/Interfidei, dan Shimon Peres Foundation. Melalui berbagai macam kegiatan tersebut Gus Dur secara nyata menjalin hubungan persaudaraan bersama masyarakat yang beraneka ragam secara harmonis.

Hubungan persaudaraan yang hamonis ini berlaku dalam praktik Katekese

Kebangsaan. Setiap orang dari berbagai latar belakang disambut dan diterima

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

87

dalam proses katekese. Berbagai keanekaragaman yang ada dilihat sebagai keunikan tersendiri yang dimiliki oleh masing-masing pribadi dan bukanlah sebagai penghalang untuk menjalin hubungan persaudaraan yang harmonis.

Dalam praktik hidup sehari-hari, kemudian umat diajak untuk memperlakukan secara setara setiap pribadi yang ia jumpai, melihat kenanekaragaman sebagai bentuk keunikan tersendiri yang perlu dihargai.

Dengan begitu Katekese Kebangsaan menjadi salah satu ruang bersama untuk mengajak umat mengembangkan sikap terbuka dalam hidup beragama, memperkuat Bhinneka Tunggal Ika, membangkitkan semangat bermusyawarah, dan mewujudkan keadilan sosial. Setiap orang bersama-sama diajak untuk turut proaktif mewujudkan dialog kehidupan dan tindakan nyata untuk hidup dalam semangat keterbukaan dan kerukunan hidup bersama.

3. Kebangsaan

Visi Kebangsaan lahir dari hasil pergulatan dan refleksi pengalaman pribadi seorang KH Abdurrahman Wahid tentang keberadaan dirinya sebagai umat dan pemimpin agama Islam sekaligus sebagai warga negara Indonesia (Ari

Subagyo, 2012: 21). Gus Dur melihat bahwa dalam kehidupan sehari-hari, urusan keagamaan dengan hal ikhwal kebangsaan bukanlah sesuatu yang tumpang tindih, melainkan dapat disinkronisasikan menjadi sebuah harmoni yang luwes dan indah (Parera & Koekerits, 1999: 22).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

Visi kebangsaan Gus Dur tampak jelas ketika beliau menjadi sosok yang mendorong agar NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada Munas NU di

Situbondo pada 1984 (Barton, 2016: 163-167). Bagi Gus Dur, demi membangun negara demokratis yang berdasarkan Pancasila, maka NU harus selalu berada ―di tengah‖ dengan mengembangkan prinsip moderat sehingga mampu menjalankan peran sebagai ―jangkar kestabilan politik‖ (Trisno S Sutanto, 2018: 222). Bagi

KH Abdurrahman Wahid, Pancasila adalah seperangkat gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan selamanya, sebab tanpa Pancasila negara

Indonesia akan bubar. Bahkan dalam upaya mencapai negara ideal Pancasila yang dapat mewujudkan keadilan sosial, Gus Dur dengan berani menyatakan siap mempertaruhkan nyawanya untuk membela Pancasila, termasuk berhadapan dengan angkatan bersenjata dan umat Islam, apabila mereka memanipulasi

Pancasila (Nur Khalik Ridwan, 2018: 69, 71).

Dari berbagai ulasan tersebut terungkaplah bahwa KH Abdurrahman

Wahid mampu mengintegrasikan panggilan keagamaan dan pergulatan kebangsaan, sanggup menjadi tokoh agama sekaligus tokoh bangsa. Gus Dur berpegang teguh kepada Pancasila dan UUD ‘45 sebagai acuan hidup bernegara di Indonesia. Gus Dur meyakini bahwa kepercayaan setiap warga negara itu dilindungi oleh konstitusi (M Imam Aziz, 2018: 253). Gus Dur mengedepankan demokrasi sebagai upaya mewujudkan hubungan yang harmonis bagi kemajemukan yang ada di Indonesia ini. Gus Dur melihat bahwa kemajemukan yang ada dapat dipersatukan dalam suatu ikatan kebangsaan, di mana demokrasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

89

menjadi wadahnya, serta Pancasila dan UUD ‘45 sebagai acuan dan pedoman dalam menjalankannya.

Visi Kebangsaan ini tentu menjadi poin penting di dalam Katekese

Kebangsaan. Katekese Kebangsaan berusaha menyeleraskan antara semangat discipleship dengan citizenship. Murid Kristus yang memiliki rasa tanggung jawab sebaiknya tertarik untuk meningkatkan kesadaran moral dalam masyarakat.

Konsensus antara keduanya akan mampu mengatasi konflik moral dan sosial tersebut, menjawab tantangan zaman, dan meningkatkan kesadaran akan kehidupan bersama.

Oleh karena itu melalui Katekese Kebangsaan umat diharapkan dapat semakin terlibat dalam masyarakat demi semakin terwujudnya Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia. Dengan demikian Katekese Kebangsaan memiliki sifat regnosentris yakni berpusat pada Kerajaan Allah dengan realitas kebangsaan manusia Indonesia sebagai lokusnya. Katekese Kebangsaan diharapkan dapat semakin setia kepada Allah dan setia kepada manusia. Katekese Kebangsaan diharapkan mampu untuk mewartakan Sabda Allah yang hidup sekaligus mampu mengajak warga Gereja untuk terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan dan kenegaraan sebagai penghidupan secara konkret dari nilai-nilai Pancasila dan

UUD ‘45.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

90

4. Kesederhanaan

KH Abdurrahman Wahid memberikan inspirasi bahwa pemimpin seyogianya sederhana dan peduli. Padahal bisa saja Gus Dur menjadi pribadi yang sombong dan arogan karena ia merupakan keturunan dari tiga tokoh besar, yakni KH Hasyim Asyari, KH Bisri Syansuri, dan KH Wahid Hasyim. Namun

Gus Dur tetap berperilaku sederhana dan ramah kepada siapa saja.

Kesederhanaan Gus Dur muncul dari pendidikan keluarganya yang mengajarkan untuk memandang setiap orang setara dan tidak berperilaku sombong.

Pengalaman studinya di pesantren, di luar negeri, dan bertemu banyak orang dari berbagai kalangan juga membuat beliau semakin berperilaku sederhana dan peduli kepada siapa saja.

Kesederhanaan Gus Dur juga terlihat dari penampilan dalam hidup sehari-harinya, tidak menggunakan pakaian ―Islami‖ seperti jubah gamis dan surban, lebih memilih berpakaian biasa saja (Wicaksana, 2018: 87). Dalam mengatasi ekonomi keluarga, Gus Dur juga tidak segan untuk berjualan es lilin dan kacang goreng, walaupun beliau sudah dikenal sebagai seorang kiai yang mengajar di beberapa pesantren (Wicaksana, 2018: 27). Begitu juga kesederhanaan Gus Dur tercermin dari pola pikirnya yakni berusaha menjelaskan persoalan yang rumit dengan cara yang sederhana agar dapat dipahami oleh khalayak.

Ucapan yang terkenal dari beliau, ―Gitu aja kok repot!‖, menandakan kesederhanaan Gus Dur dalam melihat bahwa segala persoalan pasti bisa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

91

ditangani dan ada jalan keluarnya, namun bukan berarti menggampangkan semua persoalan (Ari Subagyo, 2012: 50-51). Ungkapan ini muncul karena keprihatinan

Gus Dur terkait pelayanan birokrasi yang sesungguhnya sederhana namun menjadi sulit karena memang dibuat sulit. Hal ini kemudian ia realisasikan ketika menjabat sebagai Presiden RI dengan membubarkan Departemen Sosial dan

Departemen Penerangan yang dinilai tidak berfungsi secara efektif selama

Pemerintahan Orde Baru (Ali Masykur Musa, 2010: 23).

Selama menjabat presiden, Gus Dur juga masih menjadi sosok yang rendah hati dan sederhana. Sebisa mungkin ia memilih untuk menanggalkan simbol-simbol penguasa, fasilitas pengawalan presiden, dan menjaga jarak dengan publikasi ketika menghadiri berbagai macam acara (Wicaksana, 2018:

104-105). Bentuk kesederhanaan beliau yaitu tidak memikirkan materi yang berlebihan, tetap menerima apa adanya, serta teguh pada pendiriannya dalam memperjuangkan kebenaran (Wicaksana, 2018: 79).

Bersikap sederhana tentu dibutuhkan dalam Katekese Kebangsaan. Gereja selayaknya meneladani Allah sendiri yang dengan rendah hati berinisiatif bergerak menuju manusia, dan turut terlibat dalam persoalan duniawi. Oleh karena itu Gereja sepatutnya bertindak penuh dengan kasih, rendah hati dan tidak memegahkan diri (1Kor 13:4).

Aspek kesederhanaan jelas bertentangan dengan kesombongan, ketamakan, dan keserakahan. Lebih jauh lagi yaitu bagaimana kesederhanaan menjadi counter culture terhadap budaya koruptif yang sedang melanda negeri

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

92

ini. Katekese Kebangsaan diharapkan dapat menuntun umat untuk bersikap

sederhana dalam kehidupan sehari-hari dengan berusaha meneladani

kesederhanaan yang dicontohkan Allah dalam pribadi Yesus Kristus. Melalui

kesederhanaan, Gereja akan lebih mudah diterima dan membaur dengan

masyarakat luas.

B. Usulan Kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan

1. Latar belakang kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan

Gereja sebagai institusi agama di tengah-tengah masyarakat juga memiliki

peran untuk mendidik umat. Salah satu upaya Gereja dalam mendidik umat demi

pertumbuhan iman, serta rasa toleransi dan inklusivitas yaitu melalui katekese.

Marinus Telaumbanua (1999: 5) merumuskan katekese sebagai ―usaha-usaha

Gereja dalam membantu umat semakin memahami, menghayati, dan

mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari‖. Katekese perlu diadakan

sebagai sarana bagi umat untuk memperdalam dan memperkembangkan imannya

agar merasa semakin mantap sebagai pengikut Kristus.

Penulis melihat perlunya pemahaman bahwa katekese masih lebih-lebih

berorientasi dengan keselamatan surgawi, tetapi bagaimana mewujudkan nilai-

nilai Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (GS 45), dengan berkontribusi bagi

masyarakat, bangsa, dan negara. Katekese Kebangsaan dapat diselenggarakan

dalam rangka mewujudkan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia dengan terlibat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

93

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mewujudkan cita-cita kemerdekaan sekaligus merupakan perwujudan iman dalam menanggapi tanda-tanda zaman.

Melalui Katekese Kebangsaan, Gereja dapat turut beperan menanamkan rasa cinta tanah air dan mencegah tindakan-tindakan kekerasan yang mengarah pada intoleransi tersebut. Gereja dapat berperan langsung dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, menanamkan nilai-nilai moral yang menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi rasa persatuan Indonesia.

Katekese Kebangsaan kemudian menjadi sarana bagi Gereja untuk menguatkan basis sosial agar kembali pada nilai-nilai Pancasila yang mengajarkan kebaikan, kemanusiaan, kerukunan, kerjasama dan keadilan kepada umat. Katekese Kebangsaan diharapkan menciptakan situasi yang merdeka yakni seluruh prosesnya dibangun atas dasar kebutuhan kolektif, berangkat dari kesepakatan bersama seluruh anggota umat.

Katekese Kebangsaan menjadi salah satu ruang bersama untuk mengajak umat mengembangkan sikap terbuka dalam hidup beragama, memperkuat

Bhinneka Tunggal Ika, membangkitkan semangat bermusyawarah, dan mewujudkan keadilan sosial. Dengan demikian akan semakin terlihat wujud keterlibatan konkret Gereja dalam kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia, lewat paradigma yang lebih inklusif dan pluralis, yakni mampu melihat keindahan dalam keberagaman sebagai rangka persatuan kita bersama.

Salah satu pribadi yang sungguh-sungguh religius sekaligus nasionalis yaitu sosok KH Abdurrahman Wahid yang kerap disapa dengan panggilan Gus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

94

Dur. Beliau adalah seorang pemuka agama Islam yang pernah menjabat sebagai

Ketua Umum PBNU dalam tiga kali masa jabatan (1984-1999) dan terpilih menjadi Presiden NKRI yang keempat pada periode 1999-2001. Setelah tidak menjabat presiden pun beliau masih tetap aktif terlibat dalam berbagai kegiatan kemanusiaan.

Banyak hal yang telah beliau lakukan semasa hidupnya dalam kehidupan beragama dan bernegara. Beberapa hal yang pernah beliau lakukan yaitu mendorong NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal, membentuk Fordem sebagai usaha penegakkan demokrasi sejati di Indonesia, menengahi penyelesaian konflik di Aceh dan Papua, hingga menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur fakultatif. Beliau juga tidak membatasi pergaulannya, ia mau berteman dengan siapa saja dari berbagai kalangan tanpa kecuali. Beliau juga menjalani kehidupannya secara sederhana, namun tetap setia dan berani memperjuangkan kebenaran.

Cita-cita Gus Dur dari dasar hatinya yakni menginginkan sebuah bentuk pemerintahan yang didasarkan pada Pancasila yakni masyarakat Indonesia yang rukun, toleran, harmonis, sejahtera, aman, tenang, dan tertib (Sudarsono, 2003:

161). Cita-cita beliau belum sepenuhnya terwujud, namun berbagai macam sumbangan pemikirannya sampai hari ini masih digunakan oleh generasi penerus dalam rangka mewujudkan demokrasi Pancasila yang sejati di negara Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

95

2. Tujuan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan

Berdasarkan latar belakang situasi dan alasan pemilihan, maka tujuan diadakannya Lokakarya Katekese Kebangsaan adalah sebagai berikut.

a. Menggali inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid mengenai bagaimana

menyeimbangkan antara hidup beragama dan bernegara di Indonesia.

b. Membangun dan menjalin harmonisasi hubungan persaudaraan lebih dekat

dengan berbagai pihak dalam keberagaman agama di Indonesia.

3. Gambaran pelaksanaan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan

Kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ini akan dilaksanakan pada

Sabtu, 16 November 2019. Kegiatan ini akan bertempat di Pusat Pastoral Sanjaya

Muntilan, Jawa Tengah, Indonesia. Lokakarya Katekese Kebangsaan ini bertajuk

―Menggali Inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid dalam Praktik Katekese

Kebangsaan‖. Lokakarya Katekese Kebangsaan ini diselenggarakan oleh Komisi

Kateketik Keuskupan Agung Semarang bekerja sama dengan Komunitas

Gusdurian. Lokakarya Katekese Kebangsaan ini ditujukan kepada para katekis

dari berbagai kevikepan di Keuskupan Agung Semarang dengan dikenakan biaya

kontribusi Rp 100.000,- per orang. Lokakarya Katekese Kebangsaan ini akan

mengundang beberapa pembicara yang cukup andal di bidangnya, terutama

seputar inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid dan praktik Katekese Kebangsaan

di Indonesia. Pembicara yang dapat diundang antara lain Bapak Hairus Salim dari

Komunitas Gusdurian dan Bapak Purwono dari Komisi Kateketik Regio Jawa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

96

Dalam kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ini juga turut mengundang

berbagai pihak dari masing-masing agama sehingga dapat semakin merekatkan

hubungan dalam keberagaman secara harmonis di Indonesia.

4. Pemilihan materi kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan

Lokakarya Katekese Kebangsaan ini mengambil inspirasi dari sosok KH

Abdurrahman Wahid, mulai dari riwayat hidup, berbagai tulisan pemikiran, hingga tindakan-tindakan konkret terkait kehidupan beragama dan bernegara.

Kegiatan ini juga terkait dengan praktik pelaksanaan Katekese Kebangsaan di masa sekarang. Diharapkan melalui Lokakarya Katekese Kebangsaan ini para katekis dapat menimba inspirasi dari kerinduan terdalam hati KH Abdurrahman

Wahid sehingga dapat membantu memperkembangkan praktik pelaksanaan

Katekese Kebangsaan di Indonesia untuk semakin mengantarkan umat menghayati imannya dengan turut terlibat secara seimbang dalam kegiatan Gereja dan masyarakat.

Maka usulan materi Lokakarya Katekese Kebangsaan ini adalah sebagai berikut.

Tema Umum : Menggali Inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid dalam

Praktik Katekese Kebangsaan.

Tujuan : Menggali inspirasi dari kerinduan terdalam hati KH

Abdurrahman Wahid sehingga dapat membantu

memperkembangkan praktik pelaksanaan Katekese

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

97

Kebangsaan di Indonesia untuk semakin mengantarkan umat

menghayati imannya dengan turut terlibat secara seimbang

dalam kegiatan Gereja dan masyarakat.

Untuk mencapai tema dan tujuan di atas, Lokakarya Katekese Kebangsaan ini akan diperinci melalui sub-sub tema sebagai berikut.

Sub Tema 1 : Penjajakan Katekese Kebangsaan.

Tujuan : Menemukan simpul-simpul mengenai Katekese Kebangsaan.

Sub Tema 2 : Sosok KH Abdurrahman Wahid.

Tujuan : Menemukan inspirasi dari sosok KH Abdurrahman Wahid

terkait bagaimana hidup beragama dan bernegara.

Sub Tema 3 : Harmonisasi persaudaraan dalam keberagaman.

Tujuan : Membina hubungan persaudaraan lebih dekat dengan

berbagai pihak dalam keberagaman agama di Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5. Matriks kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan

Tema Umum : Menggali Inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid dalam Praktik Katekese Kebangsaan.

Tujuan : Menggali inspirasi dari kerinduan terdalam hati KH Abdurrahman Wahid sehingga dapat membantu

memperkembangkan praktik pelaksanaan Katekese Kebangsaan di Indonesia untuk semakin mengantarkan umat

menghayati imannya dengan turut terlibat secara seimbang dalam kegiatan Gereja dan masyarakat.

Waktu : Sabtu, 16 November 2019.

Tempat : Pusat Pastoral Sanjaya , Jawa Tengah.

No Waktu Judul Tujuan Uraian Materi Metode Sarana Sumber Bahan

Pertemuan Pertemuan

1 09.00 – 09.15 Pembuka. Mengetahui Sambutan, penjelasan  Berdoa. Mic,  Doa pembuka. tema dan tujuan Speaker. WIB arah dan tujuan  Informasi.  Tema dan tujuan pertemuan. pertemuan. pertemuan.

98

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

No Waktu Judul Tujuan Uraian Materi Metode Sarana Sumber Bahan

Pertemuan Pertemuan

2 09.15 – 10.15 Sesi I: Menemukan  Pokok-pokok  Informasi. Mic,  Pengalaman Speaker, WIB Penjajakan simpul-simpul Katekese  Tanya Peserta. Kebangsaan. jawab. Viewer,  Yohanes Paulus II. Katekese mengenai  Katekese  Sharing. dan (1992). Catechesi Kebangsaan. Katekese Kebangsaan menurut  Diskusi. Laptop. Tradendae. Jakarta:

Kebangsaan. Gereja. KWI.  Nota Pastoral KWI 2018.  Pembicara: Bapak Thomas Aquino Purwono NA. 3 10.15 – 11.35 Sesi II: Sosok Menemukan  Biografi singkat Gus  Informasi. Mic,  Pengalaman Speaker, WIB KH inspirasi dari Dur.  Tanya peserta.  Cita-cita Gus Dur jawab. Viewer,  Ali Masykur Musa. Abdurrahman sosok KH terhadap Bangsa  Sharing. dan (2010). Pemikiran

Indonesia.  Diskusi. Laptop. dan Sikap Politik 99

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

No Waktu Judul Tujuan Uraian Materi Metode Sarana Sumber Bahan

Pertemuan Pertemuan

Wahid. Abdurrahman  Berbagai Pemikiran Gus Dur. Jakarta: Erlangga. Wahid terkait Gus Dur dalam kehidupan beragama  Barton, Greg. bagaimana dan bernegara. (2016). Biografi hidup  Tindakan konkret Gus Dur.

beragama dan Gus Dur selama Yogyakarta: Saufa. hidupnya.  Pembicara: Bapak bernegara. Hairus Salim HS. 4 11.35 – 12.05 Makan Siang

WIB

5 12.05 – 13.05 Sesi III: Membina Menghayati  Informasi. Mic,  Pengalaman Speaker, WIB Harmonisasi hubungan Semboyan ―Bhinekka  Tanya peserta. jawab. Viewer,  Darmaatmadja, persaudaraan persaudaraan Tunggal Ika‖.  Sharing. dan Yulius. (2019). dalam lebih dekat Laptop. Umat Katolik Diskusi. 100

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

No Waktu Judul Tujuan Uraian Materi Metode Sarana Sumber Bahan

Pertemuan Pertemuan

keberagaman. dengan Dipanggil Membangun NKRI. berbagai pihak Yogyakarta: dalam Kanisius. keberagaman  Mali, Mateus.

agama di (2014). Konsep Berpolitik Orang Indonesia. Kristiani. Yogyakarta: Kanisius. 6 13.05 – 13.20 Rangkuman Merangkum  Rangkuman jalannya  Informasi. Mic,  Rangkuman acara. Speaker. WIB dan Penutup. dan menutup pertemuan.  Berdoa.  Harapan peserta.  Harapan dan tindak  Doa penutup. acara. lanjut untuk ke depannya.

101

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

102

6. Contoh persiapan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan a. Tema : Sosok KH Abdurrahman Wahid. b. Tujuan : Menemukan inspirasi dari sosok KH Abdurrahman

Wahid terkait bagaimana hidup beragama dan

bernegara. c. Materi :  Biografi singkat Gus Dur.

 Cita-cita Gus Dur terhadap Bangsa Indonesia.

 Berbagai Pemikiran Gus Dur dalam kehidupan

beragama dan bernegara.

 Tindakan konkret Gus Dur selama hidupnya. d. Metode : Informasi, tanya jawab, sharing, dan diskusi. e. Sumber Bahan :  Pengalaman peserta.

 Ali Masykur Musa. (2010). Pemikiran dan Sikap

Politik Gus Dur. Jakarta: Erlangga.

 Barton, Greg. (2016). Biografi Gus Dur. Yogyakarta:

Saufa.

 Narasumber: Bapak Hairus Salim HS dari Komunitas

Gusdurian f. Sarana : Mic, Speaker, Viewer, dan Laptop. g. Pemikiran Dasar :

Dewasa ini sering kita jumpai berbagai perlakuan diskriminatif, serta memudarnya rasa nasionalisme dan kepemilikan terhadap bangsa dan negara

Indonesia dalam diri masyarakat. Perlu ada penyelesaian atau solusi agar berbagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

103

tindakan intoleransi tidak semakin menjadi-jadi. Sesegera mungkin kita merumuskan langkah-langkah konkret dan tepat sasaran, tidak menunda-nunda lagi untuk menghidupkan nilai-nilai kebinekaaan dan toleransi. Hal ini membutuhkan peran kita bersama sebagai warga masyarakat yang peduli akan getaran-getaran kebersamaan, pluralitas, dan kegotongroyongan. Perlu ada kerja sama antarlini kemasyarakatan, seperti halnya organisasi atau tokoh-tokoh keagamaan dan kemasyarakatan dalam memupuk dan menumbuhkan semangat toleransi, nilai-nilai kemanusiaan, kepekaan sosial, dan penghargaan pada keanekaragaman. Ucapan dan tindakan para tokoh tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat menjadi teladan bagi kita dalam bertindak di kehidupan sehari-hari.

Salah satu sosok inspiratif dalam menjadi pribadi yang sungguh-sungguh religius sekaligus nasionalis adalah KH Abdurrahman Wahid. Beliau lebih kerap disapa dengan panggilan Gus Dur. Beliau adalah seorang pemuka agama Islam yang pernah menjabat sebagai ketua umum dalam kepengurusan besar organisasi

Nahdlatul Ulama (NU) dalam tiga kali masa jabatan (1984-1999) dan terpilih menjadi Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang keempat periode 1999-2001. Banyak hal yang telah beliau lakukan semasa hidupnya dalam kehidupan beragama dan bernegara. Beliau juga tidak membatasi pergaulannya, ia mau berteman dengan siapa saja dari berbagai kalangan tanpa kecuali. Beliau juga menjalani kehidupannya secara sederhana, namun tetap setia dan berani memperjuangkan kebenaran.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

104

Maka dari itu pada pertemuan ini kita bersama-sama mencari dan menemukan berbagai macam inspirasi dari sosok KH Abdurrahman Wahid terkait bagaimana hidup beragama dan bernegara. Diharapkan selepas pertemuan ini masyarakat dapat menjalin kehidupan beragama dan bernegara secara harmonis dan saling menghargai keberagaman yang ada sebagai keunikan dari pribadi masing-masing. h. Pengembangan Langkah-Langkah:

1) Pengantar

Bapak, Ibu, dan Saudara-saudari terkasih, dewasa ini situasi negara kita begitu memprihatinkan sebab memudarnya rasa nasionalisme dalam diri masyarakat.

Perlu ada tindak lanjut dalam menyikapi keprihatinan tersebut agar kerukunan dan persatuan dapat terjalin. Hal ini membutuhkan peran kita bersama sebagai warga masyarakat Pada kesempatan ini kita bersama-sama akan mencari dan menemukan berbagai macam inspirasi dari sosok KH Abdurrahman Wahid terkait bagaimana hidup beragama dan bernegara sebagai upaya mengatasi keprihatinan- keprihatinan tersebut.

2) Penyajian Materi

Materi yang disajikan adalah seputar biografi singkat KH Abdurrahman

Wahid, cita-cita dan harapan beliau terhadap Indonesia yang lebih baik, berbagai macam sumbangan pemikiran dalam kehidupan beragama dan bernegara.

Penyajian materi di sini berfungsi sebagai bahan sharing bagi pendamping dan peserta dalam upaya mengatasi keprihatinan bersama yang dialami.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

105

3) Pertanyaan sharing dan diskusi

Setelah bersama-sama menyimak dan mendalami sosok KH Abdurrahman

Wahid, peserta dipersilakan untuk sharing bersama-sama dengan bantuan pertanyaan sebagai berikut:

- Inspirasi-inspirasi macam apa yang dapat dipetik dari sosok KH

Abdurrahman Wahid?

- Bagaimana Anda memaknai inspirasi-inspirasi tersebut dalam hidup sehari-

sehari?

4) Jawaban yang diharapkan

Berbagai macam inspirasi dapat diambil dari sosok KH Abdurrahman Wahid untuk dijadikan teladan dalam kehidupan beragama dan bernegara. Beliau merupakan pribadi yang sederhana dan tidak sombong walaupun memiliki kecerdasan yang luar biasa. Inspirasi lainnya yang bisa dipetik yaitu pribadinya yang jenaka, menanggapi berbagai macam hal dengan sederhana. Beliau mampu memaknai hal-hal yang rumit menjadi sederhana. Hal lain yang dapat dipetik yaitu sosok yang mau bergaul dengan siapa saja tanpa kecuali.

Inspirasi-inspirasi tersebut dapat dimaknai dalam kehidupan sehari-hari sebagai teladan dalam menyeimbangkan kehidupan beragama dengan bernegara. Dalam pergaulan tidak baik bertindak diskriminatif terhadap perbedaan. Justru yang perlu dilakukan yaitu menghargai keberagaman yang ada sebagai keunikan dari masing- masing pribadi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

106

5) Peneguhan

Beberapa inspirasi yang dapat diambil dari KH Abdurrahman Wahid dalam kehidupan beragama dan bernegara adalah sosok beliau yang cerdas, bersahaja, sederhana, peduli, serta bersikap inklusif dan pluralis. Inspirasi-inspirasi tersebut dapat dimaknai dalam kehidupan sehari-hari untuk menjalin persaudaraan dengan semua orang dari berbagai kalangan tanpa kecuali.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

107

BAB V PENUTUP

Pada bab-bab sebelumnya penulis sudah membahas sosok KH

Abdurrahman Wahid melalui berbagai sumbangan pikiran yang beliau tulis di berbagai media serta berbagai tindakan konkret yang beliau lakukan dalam kehidupan beragama dan bernegara. Penulis juga sudah membahas mengenai pokok-pokok Katekese Kebangsaan dan bagaimana penerapannya di Indonesia.

Dalam pembahasan tersebut, penulis menemukan berbagai inspirasi dari kerinduan hati terdalam KH Abdurrahman Wahid terhadap Bangsa Indonesia yang dapat digunakan dalam mengonstruksi praktik Katekese Kebangsaan.

Penulis merasa bahwa pembahasan-pembahasan tersebut merupakan hal yang menarik dan dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan karya katekese ke depannya. Maka dari itu pada bab V ini penulis akan menarik kesimpulan yang dapat memudahkan pemahaman terhadap seluruh karya tulis ini. Pada bab ini juga memuat beberapa saran bagi semua pihak yang terkait dengan penulisan karya tulis ini demi perkembangan karya katekese ke arah yang lebih baik lagi.

A. Kesimpulan

KH Abdurrahman Wahid merupakan sosok pribadi yang cerdas, bersahaja, sederhana, peduli, serta bersikap inklusif dan pluralis. Beliau bersedia bergaul dengan semua orang dari berbagai kalangan tanpa kecuali. Oleh karena nilai-nilai tersebut, beliau terpilih menjadi Ketua Umum PBNU sebanyak tiga periode dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

108

kemudian menjadi Presiden NKRI periode 1999-2001. Hal ini menjadikan beliau menjadi sosok tepat untuk dijadikan teladan dalam kehidupan beragama dan bernegara, bahkan beliau dapat juga disebut sebagai seorang ―katekis‖ kebangsaan. Hal ini secara tersirat terungkapkan dalam berbagai pikiran beliau yang dituangkan dalam banyak tulisan di berbagai media, ditambah lagi dengan berbagai tindakan konkret yang dilakukan dalam menjaga kesejahteraan hidup bersama di tengah masyarakat yang majemuk.

Katekese Kebangsaan merupakan bagian dari kesadaran Gereja dalam menyadarkan anggotanya dalam mewujudnyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia dengan semakin terlibat aktif dalam kegiatan bermasyarakat.

Katekese Kebangsaan bermula dari situasi yang konteksual di mana dibutuhkan suatu wadah untuk menyeimbangkan unsur discipleship dengan citizenship.

Katekese Kebangsaan diawali dengan perjumpaan Allah yang inkarnatoris.

Intinya adalah Allah yang memilih untuk ikut terlibat dalam masyarakat dengan rasa nasionalitas untuk menciptakan kehidupan yang utuh, Allah yang mencintai ciptaan-Nya, Allah yang mau terjun dalam karut marut kehidupan dunia. Katekese

Kebangsaan membentuk pemahaman iman yang semakin kontekstual serta praksis sosial yang semakin terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Katekese Kebangsaan hendaknya membantu umat Allah untuk mengalami sendiri Allah yang inkarnatoris dan bekerja sama dengan-Nya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mampu mendorong transformasi hidup berbangsa dan bernegara dengan menghayati nilai-nilai luhur dan cita-cita yang terwujud dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

109

Pancasila dan UUD ‘45 secara konsisten dan total. Katekese Kebangsaan diharapkan menjadi salah satu ruang bersama untuk mengajak umat mengembangkan sikap terbuka dalam hidup beragama, memperkuat Bhinneka

Tunggal Ika, membangkitkan semangat bermusyawarah, dan mewujudkan keadilan sosial. Dengan demikian akan semakin terlihat wujud keterlibatan konkret Gereja dalam kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia, lewat paradigma yang lebih inklusif dan pluralis, yakni mampu melihat keindahan dalam keberagaman sebagai rangka persatuan kita bersama.

Beberapa inspirasi dari kerinduan hati terdalam KH Abdurrahman Wahid terhadap Bangsa Indonesia yang dapat digunakan untuk mengontruksi karya

Katekese Kebangsaan antara lain yaitu visi kemanusiaan, persaudaraan, kebangsaan, serta kesederhanan. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian integral yang dibutuhkan dalam Katekese Kebangsaan agar dapat berjalan secara optimal.

Berangkat dari inspirasi-inspirasi tersebut, penulis mengusulkan kegiatan

Lokakarya Katekese Kebangsaan sebagai upaya untuk membantu memperkembangkan karya Katekese Kebangsaan di Indonesia agar semakin konteksual sesuai dengan kebutuhan umat di masa sekarang.

B. Saran

Skripsi ini tentu saja bukanlah hasil karya tulis yang sudah sempurna, sebaliknya masih memiliki kekurangan dan keterbatasannya. Pembahasan mengenai sosok KH Abdurrahman Wahid terkait kisah hidup, cita-cita, buah-buah pemikiran, dan perjuangan beliau yang tercantum dalam skripsi ini bukanlah suatu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

110

pemaparan yang lengkap. Pembahasan mengenai hakikat Katekese Kebangsaan dan penerapannya di Indonesia yang dipaparkan dalam skripsi ini juga masih jauh dari sempurna. Maka penulis menyarankan kepada para pembaca untuk mencari berbagai tambahan literatur baik dalam media cetak maupun elektronik guna memperkaya wawasan terkait sosok KH Abdurrahman Wahid dan hakikat

Katekese Kebangsaan.

Begitu juga dengan inspirasi yang dapat digali dari kerinduan hati terdalam

KH Abdurrahman Wahid terhadap Bangsa Indonesia untuk mengonstruksi

Katekese Kebangsaan tidak terbatas hanya seperti yang sudah dipaparkan dalam skripsi ini. Tentu masih banyak inspirasi lain yang dapat ditemukan dan digali sesuai dengan kebutuhan pembaca. Maka penulis juga menyarankan agar mencari berbagai inspirasi yang ada dari sumber-sumber lain. Kegiatan Lokakarya

Katekese Kebangsaan yang penulis usulkan diharapkan dapat digunakan dan dimanfaatkan dalam rangka pengembangan karya katekese di Indonesia, khususnya Katekese Kebangsaan, ke arah yang lebih baik. Melalui usulan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan tersebut, penulis berharap bahwa para katekis dapat melayani kebutuhan umat setempat sesuai dengan situasi dan konndisi yang dialami, serta mampu mengajak umat untuk turut terlibat aktif dalam kehidupan Gereja dan masyarakat. Dengan demikian penulis berharap bahwa karya katekese di Indonesia menjadi sungguh-sungguh kontekstual pada kebutuhan umat di masa sekarang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

111

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Alkitab Deuterokanonika. (2005). Cetakan kelima belas. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia versi dalam jaringan (daring), kbbi.web.id.

Dokumen Gereja Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. (1993). Dokumen Konsili Vatikan II (alih bahasa: R Hardawiryana). Jakarta: Obor. Fransiskus, Paus. (2014). Evangelii Gaudium (terjemahan: FX Adisusanto dan Bernadeta Harini Tri Prasasti). Jakarta: Dokpen KWI. Konferensi Waligereja Indonesia. (1996). Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius. Kongregasi Untuk Imam. (2000). Petunjuk Umum Katekese (alih bahasa: Komisi Kateketik KWI). Jakarta: Dokpen KWI. Markus Nur Widipranoto, Fransiscus Xaverius Sugiyana, dan Thomas Aquino Purwono NA (penyusun). (2018). Direktorium Formatio Iman Keuskupan Agung Semarang. Yogyakarta: Kanisius. Nota Pastoral Keuskupan Agung Semarang 2018. Merevitalisasi Nilai-Nilai Pancasila dan Semangat Kebangsaan Demi Terwujudnya Peradaban Kasih. Muntilan: Dewan Karya Pastoral KAS. Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia 2018. Panggilan Gereja dalam Hidup Berbangsa: Menjadi Gereja yang Relevan dan Signifikan. Jakarta: Obor. Yohanes Paulus II, Paus. (1992). Catechesi Tradendae (alih bahasa: R Hardawiryana). Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia. ______. (2015). Fides et Ratio (alih bahasa: R Hardawiryana). Jakarta: Dokpen KWI.

Buku Abdurrahman Wahid. (2007). Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute. ______. (2010). Misteri Kata-Kata. Jakarta: Pensil-324. ______. (2018). Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: IRCiSoD. ______. ―Bercermin dari Para Pemimpin‖, dalam Abdul Mun‘im DZ (ed.). (2000). Islam Di Tengah Arus Transisi. Jakarta: Kompas., halaman 285- 289. ______. ―Kata Pengantar‖, dalam Sitompul, Einar Martahan. (1989). NU dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan., halaman 9-18. ______. ―Kongres Umat Islam Mencari Format Hubungan Agama dengan Negara‖, dalam Abdul Mun‘im DZ (ed.). (2000). Islam Di Tengah Arus Transisi. Jakarta: Kompas., halaman 3-6. Abdul Mun‘im DZ (ed.). (2000). Islam Di Tengah Arus Transisi. Jakarta: Kompas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

112

Adisusanto, FX, FX Heryatno Wono Wulung, dan FX Dapiyanta (ed.). (2000). Katekese Pada Millenium III: Quo Vadis? (Seri Menyongsong Millenium ke-3). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Ali Masykur Musa. (2010). Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur. Jakarta: Erlangga. Amalorpavadass, DS. (1972). Katekese sebagai Tugas Pastoral Gereja (Seri Puskat No. 97). Yogyakarta: Publikasi-publikasi Pusat Kateketik. Antone, Hope S. (2010). Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan dalam Pendidikan Agama (terjemahan: Maryam Sutanto). Jakarta: BPK Gunung Mulia. Ari Subagyo, P. (2012). Bahasa dan Kepemimpinan: Menggali Inspirasi Discursive Leadership Soegijapranata dan Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Barton, Greg. (2016). Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: Saufa. Darmaatmadja, Yulius. (2019). Umat Katolik Dipanggil Membangun NKRI: Dalam Terang Iman Katolik Mengamalkan Pancasila untuk Menggapai Damai Sejahtera Dunia Akhirat. Yogyakarta: Kanisius. Erdozain, Luis. ―The Evolution of Catechetics: A Survey of Six International Study Weeks on Catechetics‖, dalam Warren, Michael (ed.). (1983). Sourcebook for Modern Catechetics. Minnesota: Saint Mary‘s Press., halaman 86-109. Groome, Thomas H. (2011). Will There Be Faith?: A New Vision for Educating and Growing Disciples. New York: HarperCollins Publishers. Harry Bhaskara. (2000). Questioning Gus Dur. Jakarta: The Jakarta Post. Heryatno Wono Wulung, FX. ―Katekese sebagai Salah Satu Momen Penting dalam Inkulturasi‖, dalam Adisusanto, FX, FX Heryatno Wono Wulung, dan FX Dapiyanta (ed.). (2000). Katekese Pada Millenium III: Quo Vadis? (Seri Menyongsong Millenium ke-3). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma., halaman 119-143. Iip D Yahya (ed.). (2018). NU Penjaga NKRI. Yogyakarta: Kanisius. Kiswara, C. (1988). Gereja Memasyarakat: Belajar dari Kisah Para Rasul. Yogyakarta: Kanisius. Lalu, Yosef. (2007). Katekese Umat. Jakarta: Komkat KWI. M Imam Aziz. ―Memanusiakan Manusia‖, dalam Iip D Yahya (ed.). (2018). NU Penjaga NKRI. Yogyakarta: Kanisius., halaman 245-255. Madya Utama, Ignatius L (ed.). (2018). Menjadi Katekis Handal di Zaman Sekarang. Yogyakarta: Press. ______. ―Kata Pengantar‖, dalam Madya Utama, Ignatius L (ed.). (2018). Menjadi Katekis Handal di Zaman Sekarang. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press., halaman x-xv. Mali, Mateus. (2014). Konsep Berpolitik Orang Kristiani. Yogyakarta: Kanisius. Manfred Habur, Agustinus. ―Identitas Ilmu Kateketik Sekarang Ini‖, dalam Putranto, Carolus, dkk. (ed.). (2016). Ilmu Kateketik dan Identitasnya. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press., halaman 23-56.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

113

Mangunwijaya, YB. (1999). Gereja Diaspora. Yogyakarta: Kanisius. Muhaimin Iskandar. (2000). Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. Yogyakarta: LKiS. Nur Khalik Ridwan. (2018). Negara Bukan-Bukan. Yogyakarta: IRCiSoD. Papo, Yakob. (1987). Memahami Katekese. Ende: Nusa Indah. Parera, Frans M. dan T. Jakob Koekerits (ed.). (1999). Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman. Jakarta: Kompas. Putranto, Carolus, dkk. (ed.). (2016). Ilmu Kateketik dan Identitasnya. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press. Rukiyanto, Bernardus Agus. ―Rangkuman Diskusi tentang Identitas Ilmu Kateketik Sekarang Ini‖, dalam Putranto, Carolus, dkk. (ed.). (2016). Ilmu Kateketik dan Identitasnya. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press., halaman 69-75. Saleh Aldjufri. (1997). Politik NU dan Era Demokratisasi Gus Dur. : Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam Sunan Ampel. Schipani, Daniel S. ―Educating for Social Transformation‖, dalam Seymour, Jack L (ed.). (1997). Mapping Christian Education: Approaches to Congregational Learning. Nashville: Abingdon Press., halaman 23-40. Seymour, Jack L (ed.). (1997). Mapping Christian Education: Approaches to Congregational Learning. Nashville: Abingdon Press. ______. ―Approaches to Christian Education‖, dalam Seymour, Jack L (ed.). (1997). Mapping Christian Education: Approaches to Congregational Learning. Nashville: Abingdon Press., halaman 9-22. Sitompul, Einar Martahan. (1989). NU dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Sudarsono. (2003). Krisis Di Mata Para Presiden: Kaidah Berpikir Sistem Para Pemimpin Bangsa. Yogyakarta: Matabangsa. Sudiarja, A (ed.). (1999). Tinjauan Kritis atas Gereja Diaspora Romo Mangunwijaya. Yogyakarta: Kanisius. ______. ―Pendahuluan‖, dalam Sudiarja, A (ed.). (1999). Tinjauan Kritis atas Gereja Diaspora Romo Mangunwijaya. Yogyakarta: Kanisius., halaman 19- 32. Suharyo, Ignatius. (2009). The Catholic Way: Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita. Yogyakarta: Kanisius. Taufik Abdullah. ―Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam Kontemporer‖, dalam Woodward, Mark R. (ed.). (1998). Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. : Mizan., halaman 55-89. Telaumbanua, Marinus. (1999). Ilmu Kateketik: Hakikat, Metode, dan Peserta Katekese Gerejawi. Jakarta: Obor. Tim INCReS. (2000). Beyond The Symbols: Jejak Antropologis dan Gerakan Gus Dur. Bandung: Rosda. Trisno S Sutanto. ―Gus Dur, Pribumisasi Islam, dan Pancasila‖, dalam Iip D Yahya (ed.). (2018). NU Penjaga NKRI. Yogyakarta: Kanisius., halaman 214-227.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

114

Warren, Michael (ed.). (1983). Sourcebook for Modern Catechetics. Minnesota: Saint Mary‘s Press. ______. ―Evangelization: A Catechetical Concern‖, dalam Warren, Michael (ed.). (1983). Sourcebook for Modern Catechetics. Minnesota: Saint Mary‘s Press., halaman 329-338. ______. ―Introductory Overview‖, dalam Warren, Michael (ed.). (1983). Sourcebook for Modern Catechetics. Minnesota: Saint Mary‘s Press., halaman 23-29. Wicaksana, Anom Whani. (2018). Gus Dur: Jejak Bijak Sang Guru Bangsa. Yogyakarta: C-Klik Media. Widharsana, Petrus Danan. (2018). Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius. Woodward, Mark R. (ed.). (1998). Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. Bandung: Mizan. ______. ―Memahami Semangat Baru Islam Indonesia: Percakapan dengan Abdurrahman Wahid‖, dalam Woodward, Mark R. (ed.). (1998). Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. Bandung: Mizan., halaman 131-151.

Jurnal dan Majalah ――Lampu Kuning‖ Toleransi di Indonesia‖. Hidup: Mingguan Katolik No 10. Tahun ke-72. 11 Maret 2018., halaman 8-9. ―Saling Silang Mencari Sekondan‖. Tempo. No 08/XXXIII/19-25 April 2004., halaman 24-27. ―Satu Tarikan Nafas Toleransi‖. Hidup: Mingguan Katolik No 10. Tahun ke-72. 11 Maret 2018., halaman 11-12. Bondan Gunawan. (2017, 15 Januari). ―Gus Dur Manusia Biasa‖. Hidup: Mingguan Katolik. No 03. Tahun ke-71., halaman 13. Coleman, John. (1992, winter). ―Discipleship and Citizenship from Consensus to Culture Wars.‖ Louvain Studies 17/4., halaman 333-350. Magnis-Suseno, Franz. (2017, 15 Januari). ―Haul Tujuh Tahun Wafat Gus Dur‖. Hidup: Mingguan Katolik. No 03. Tahun ke-71., halaman 14-15.

Internet ―Gus Dur Jadi Jurkam Cagub Babel di Belitung‖. antaranews.com/berita/53140/gus-dur-jadi-jurkam-cagub-babel-di-belitung, diakses pada Jumat, 19 Oktober 2018, pukul 18.22 WIB. ―Gus Dur Tidak Lolos‖. liputan6.com/news/read/78670/gus-dur-tidak-lolos, diakses pada Senin, 1 April 2019, pukul 13.55 WIB. ―Gus Dur, Gus Mus, dan Jalan Cinta untuk Diplomasi Israel-Palestina‖. nasional.kompas.com/read/2018/02/06/13315291/gus-dur-gus-mus-dan- jalan-cinta-untuk-diplomasi-israel-palestina, diakses pada Rabu, 3 April 2019, pukul 13.37 WIB.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

115

―Gus Dur: Kasus Sang Timur Berbau Politik‖. metro.tempo.co/read/49828/gus- dur-kasus-sang-timur-berbau-politik, diakses pada Senin, 6 November 2017, pukul 18.22 WIB. ―Gus Dur: Sobat Israel dari Dunia Islam‖. tirto.id/gus-dur-sobat-israel-dari-dunia- islam-cMvf, diakses pada Rabu, 3 April 2019, pukul 13.41 WIB. ―Parpol Bukan Peserta Pemilu Dirikan Gus Dur Crisis Center‖. news.detik.com/berita/127696/parpol-bukan-peserta-pemilu-dirikan-gus- dur-crisis-center, diakses pada Kamis 28 Maret 2019, pukul 21.47 WIB. ―Sarasehan Kebangsaan: Menjadi Warga Indonesia yang Inklusif dan Transformatif". gerejapelemdukuh.com/2017/10/sarasehan-kebangsaan- menjadi-warga.html, diakses pada Senin, 6 November 2017, pukul 17.57 WIB.