Quick viewing(Text Mode)

Peran Militer Budak Pada Masa Pemerintahan

Peran Militer Budak Pada Masa Pemerintahan

PERAN MILITER BUDAK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH AL-MU’TASHIM 833-842 M Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh: NUR MAYASARI NIM: 1111022000021

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2015 M

Abstrak

Dinasti Abbasiyah pra al-Mu’tashim berkuasa, angkatan perang/militernya umumnya direkrut dari etnis Arab dan Persia. ketika lahirnya berbagai pemberontakan yang mengancam disintegrasi negara, tentara dari kalangan etnis Arab dan Persia ini tidak mampu mengatasinya. Dalam konteks inilah al- Mu’tashim melihat diperlukan adanya angkatan perang yang kuat dan beribawa, memiliki loyalitas yang tinggi dan kemampuan strategi perang yang hebat, yang menurut beliau berasal dari etnis Turki. Studi ini ingin menjelaskan masalah di atas tentang kebijakan al-Mu’tashim merekrut budak melalui sumber tertulis. Cara melihat persoalan di atas menggunakan perspektif politik. Adapun yang dipakai adalah metode sejarah. Perspektif politik menerangkan keterkaitan berbagai kelompok kepentingan yang saling membutuhkan. Sedangkan metode sejarah lebih menekankan pada pelacakan sumber data baik perpustakaan public dan pribadi untuk mendukung efidensi argument, selain melakukan berbagai diskusi guna mempertajam masalah. Studi ini menemukan bahwa kebijakan yang diambil al-Mu’tashi dapat mengembalikan stabilitas keamanan negara.

Kata Kunci : Peran, Militer Budak, Khalifah al-Mu’tashim

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanyalah kehadirat Allah Swt zat yang Maha Rahman dan Maha Rahim terhadap seluruh mahluknya. Dialah yang menganugrahkan berbagai nikmat dan karunia khususnya kepada penulis, sehingga dengan hidayah dan inayah-Nya memberikan kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan Sarjana

Humaniora pada Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarief

Hidayatullah Jakarta. Semata untuk mendapat gelar Strata 1 berjudul “Peran Militer

Budak Pada Masa Pemerintahan Khalifah al-Mu’tashim 833-842 M”, ini dapat diselesaikan.

Studi ini menemukan dengan adanya kebijakan al-Mu’tashim yang dapat mengembalikan stabilitas keamanan negara serta menjadikan militer budak salah satu tumpuhan pasukan perang yang dapat diandalkan dengan keloyalitasnya dan strateginya dalam hal peperangan. Semua ini direkrut dari budak-budak kemudian dijadikan pasukan militer yang hebat. Dengan status budak tersebut bukanlah menjadi hambatan untuk seseorang dapat berkuasa jika seseorang tersebut mempunyai kemampuan yang mumpuni.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada semua pihak terutama kepada:

1. Kedua orangtua saya yaitu bapak Saran dan ibu Icah Suiyah yang telah

melahirkan, membesarkan, mendidik, serta mendukung baik dalam segi materil

ii

maupun non materil, mendoakan saya tiada henti, mereka lah bagian hidup saya

yang paling indah yang pernah saya miliki. Tangis bahagia mereka yang saya

harapkan ketika mereka dapat melihat anaknya sukses. Jasa mereka tidak akan bisa

terbayar dengan jumlah rupiah sebesar apapun, terima kasih mamah, bapak yang

selalu ada buat anakmu ini hingga impian anakmu bisa tercapai semua berkat

mamah dan bapak.

2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. H. Nurhasan M.A, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN

Syarief Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik saya,

yang selalu memberi motifasi kepada semua mahasiswa dan selalu member

pelayanan yang baik terhadap mahasiswa.

4. Solikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekertaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan

Islam, yang selalu memberi pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.

5. Drs. Azhar Saleh M.A, selaku dosen pembimbing skripsi, terima kasih beliau

telah memotifasi dengan mengajarkan kemandirian untuk saya agar dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan cepat.

6. Drs. Saidun Derani, M.A, selaku dosen yang telah memberikan motivasi tanpa

henti kepada penulis.

7. Abdul Chair dan Drs. Saidun Derani, selaku dosen penguji, terimakasih atas

segala sesuatu yang memudahkan saya sehingga saya dapat melewati ujian

munaqosah saya dengan baik dan lancar berkat bantuan beliau.

iii

8. Bapak, Ibu dosen yang selalu memberikan bimbingan dan pelajaran selama

penulisan mengikuti perkuliahan.

9. Kaka saya tercinta dan orang-orang di sekeliling saya, Nurdiana, Nurmawati, Tuti

Nurhalipah S.Kom, Ahmad Nur Wahid Sabil terima kasih selalu menasehati,

memotifasi, agar saya bisa sabar dan terus semangat menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman-teman seperjuanganku, sahabat tercintaku SKI 2011 khususnya

SEKOTENG 2011, kelas Timur-Tengah, Indi Nisauf Fiqri, Nabilah, Ismawati,

Silvia, Yeni, Ulfa, Wira Kurnia, Wilda, Mulki Mulyadi, Sufyan, Alan Zuhri,

Dzikrul, dan Husen, M.Illham. Terima kasih kalian pernah menjadi bagian

hidupku yang terindah, berbagi keluh-kesah, kegembiraan, kesedihan, apapun itu

kalian luar biasa, semoga Allah mempertemukan kita kembali dalam kesuksesan

dunia maupun akhirat kelak. Pertemanan kita tidak hanya sampai disini semoga

impian kalian semua dapat tercapai amin allahuma amin.

11. Para karyawan/karyawati Perpustakaan Utama dan Fakultas Adab dan

Humaniora yang telah menyediakan fasilitas dalam rangka penulisan skripsi ini.

Semoga pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini,

senantiasa mendapatkan balasan yang baik dari Allah SWT Amin Allahuma

Amin. Dan penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari

pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat

untuk semua Amin

Jakarta, 12 Agustus 2015

Nur Mayasari

iv

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... i

KATA PENGANTAR ...... ii

DAFTAR ISI ...... v

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...... 3

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...... 4

D. Tinjauan Pustaka ...... 5

E. Landasan Teori ...... 7

F. Metode Penelitian ...... 8

G. Sistematika Penulisan ...... 11

BAB II : BIOGRAFI KHALIFAH AL-MU’TASHIM

A. Asal-Usul Khalifah Al-Mu’tashim ...... 13

B. Karir Politik Khalifah Al-Mu’tashim ...... 14

C. Masalah- masalah yang dihadapi khalifah al-Mu’tashim ...... 14

BAB III : MILITER BUDAK PADA MASA KHALIFAH AL-MU’TASHIM

A. Latar Belakang Munculnya Militer Budak...... 21

B. Usaha-usaha pembinaan militer budak ...... 26

C. Tugas pokok militer budak ...... 30

BAB IV : PERAN MILITER BUDAK PADA MASA KHALIFAH AL-

MU’TASHIM

A. Keamanan ...... 36

v

B. Adminstrasi ...... 41

C. Keagamaan ...... 44

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ...... 49

B. Saran ...... 50

DAFTAR PUSTAKA ...... 52

vi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Khalifah al-Mu’tashim (833-842 M), perekrutan militer yang berasal dari budak-budak mulai memainkan peran yang cukup penting dalam pemerintahan

Dinasti Abbasiyah. Akan tetapi dari berbagai sumber tertulis1 tersebut, penulis belum menemukan keterangan atau penjelasan yang lebih mendalam dan rinci mengapa peran militer budak begitu penting. Asumsi penulis bahwa kebijakan khalifah al-

Mu’tasim merekrut militer budak dalam konteks menjaga stabilitas pemerintahanya.

Studi ini ingin menjawab penjelasan diatas melalui sumber tertulis.

Sebelum masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim, Daulah Abbasiyah sepanjang abad pertama hijriah menyandarkan kekuatan militernya pada pasukan yang loyal dan kuat berasal dari etnis Arab dan Persia. Saat itu, pasukan Abbasiyah mempunyai peranan besar dalam memadamkan beberapa pemberontakan dari berbagai wilayah, seperti di Suriah, Persia, dan Asia Tengah, serta meredam serangan

Bizantium. Pada masa inilah orang-orang Arab dianggap sebagai pasukan militer terhebat dan sangat disegani lawan-lawannya.2 Akan tetapi hal ini terbalik ketika masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim, dimana peran militer etnis Arab sudah mulai memudar dengan ditandai kalahnya khalifah al-Amin dalam perang saudara

1Lihat Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, ju z I, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet-4), Yoesoef Soub’by, Sejarah Daulah Abbasiyah I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), Ira M. Lapidus, Sejarah Ummat Islam Terj. Gufron A. Mas’adi ( Jakarta: Rajawali Press 1999 ), Daniel Pippes, Sistem Militer Pemerintahan Islam. 2Philip K.Hitti ,History of The Arabs, terj.Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT.Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 410.

1 dengan al-Ma’mun (813-833 M) atau yang lebih dikenal perang bangsa Arab melawan Persia. melihat kondisi semacam ini, timbul pemikiran al-Mu’tashim memasukkan divisi baru dalam sistem organisasi militer Dinasti Abbasiyah.3

Divisi baru tersebut adalah rekrutan tentara berasal dari budak-budak etnis

Turki, baik dari wilayah Farghonah maupun Asia tengah lainnya. Masalahnya,

Khalifah al-Mu’tashim memandang bahwa tentara yang berasal dari etnis Arab diragukan loyalitasnya dan lemah dalam berperang. Atas pertimbangan inilah mengapa al-Mu’tashim lebih memilih budak-budak etnis Turki. Padahal sebelumnya yang menjadi kekuatan utama tentara Abbasiyah adalah orang-orang Khurasan dan

Persia.

Pada sisi lain ketika al-Mu’tashim memegang tampuk kekuasaan Dinasti

Abbasiyah persoalan keamanan negara masih dipegang tentara berasal dari etnis

Persia, dan etnis Arab (Mesir,Yaman,Rabi’ah). Akan tetapi jumlah dan peran tentara etnis Arab lebih sedikit dibandingkan dari Persia. dan secara sosiologis al-Mu’tashim sendiri melihat langsung dalam perang melawan pemberontak kaum Zott4 dan Babik al-Khurami5 lalu pertempuran dengan tentara Romawi.6 Adanya penurunan semangat

3,History of The Arabs, hal. 409. 4Kaum Zott adalah pengembara yang mayoritasnya berasal dari India yang bertempat tinggal di pinggiran Teluk Persia. ketika al-ma’mun menjabat sebagai khalifah, beliau tidak mampu mengalahkan kaum tersebut. Akan tetapi ketika masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim kaum tersebut berhasil ditumpasnya pada tahun 291 H/834 M yang dipimpin oleh Ujaif bin An’basah. 5Kaum Babik Khurami adalah kaum yang dipimpin langsung oleh Babik Khurami dengan ajaran-ajaran yang mengaku bahwa dalam dirinya menempel sifat ketuhanan. Disamping itu, mereka juga menghalakan perbuatan cabul, mesum, serta pergaulan bebas antara pria dan wanita. Akhirnya kelompok tersebut dapat diatasi oleh al-Mu’tashim dengan bantuan pasukan Afsyin Haidar bin Kawwus seorang panglima Turki dan kemudian mereka dihukum pancung oleh al-Mu’tashim. 6Tentara Romawi adalah tentara yang bengis dan tega, mereka datang kembali setelah kekalahannya ditahun 832 M dengan kehancurannya dalam pertempuran Heraklea. Akan tetapi, ketika masa pemerintahan al- Mu’tashim berhasil dikalahkannya dengan bantuan dua komandan yang terkenal yang bernama Afsyin Asynas dan Itakh.

2 nasionalisme7 dan patriotisme8pasukan Abbasiyah etnis Arab dan Persia mempertahankan negara. Dalam hubungan ini Ahmad Amin menyebutkan bahwa kepercayaan khalifah melemah terhadap tentara etnis Arab dan Persia seiring dengan perjalannya waktu. Apalagi secara biologis ibu al-Mu’tashim berasal dari Turki yang bernama Mardiah.9

Demikianlah paparan di atas menyimpulkan bahwa berbagai faktor yang mendorong terutama faktor kepentingan menjaga stabilitas negara, mengapa al-

Mu’tashim memasukkan divisi baru dalam dinas kemiliteran Dinasti Abbasiyah berasal dari tentara/militer budak. Dengan latar belakang pemikiran diatas, studi ini mencoba mendiskripsikan persoalan militer budak dalam pemerintahan khalifah al-

Mu’tashim lebih rinci dan mendalam pada bab-bab selanjutnya.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang pemikiran di atas mengandung beberapa poin masalah yang dihadapi khalifah al-Mu’tashim akan dilihat lebih jauh dalam bab II, kemudian pada bab III identifikasi masalah terkait munculnya budak militer dan upaya-upaya pembinaannya masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim, pada bab IV dilihat bagaimana kontribusi budak militer menjaga stabilitas Dinasti Abbasiyah.

7Nasionalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah paham ajaran untuk mencintai bangsa dan Negara sendiri. Selain itu Nasionalisme adalah kesadaran anggota dalam suatu bangsa yang secara potensial atau actual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bansa itu. 8Patriotisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya atau semangat cinta tanah air. Sifat tersebut sangat diperlukan dalam pembangunan. 9Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, juz I, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet-4), hal.3.

3

2. Pembatasan Masalah

Studi ini, subjek kajiannya dibatasi pada peran penting budak militer pada masa khalifah al-Mu’tashim (833-842 M).

3. Rumusan Masalah

Masalah pokok studi ini adalah Bagaimana Peran Militer Budak Pada Masa

Pemerintahan Khalifah al-Mu’tashim 833-842 M.

Adapun Sub masalahnya sebagai berikut:

a. Bagaimana Asal-Usul Khalifah Al-Mu’tashim?

b. Bagaimana Latar Belakang Munculnya Militer Budak dan Pembinaannya?

c. Bagaimana Peran Militer Budak Pada Masa Pemerintahan Khalifah al-

Mu’tashim?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memaparkan tentang gambaran khalifah al-Mu’tashim

memilih atau merekrut budak-budak Turki dalam membantu masa

pemerintahannya.

2. Untuk mengetahui mengenai peranan penting yang dimainkan oleh budak-

budak militer Turki dalam pemerintahan khalifah al-Mu’tashim.

Sedangkan kegunaan penelitian ini antara lain:

1. Secara akademis, studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif

bagi pengembangan ilmu politik Islam, melalui sebuah pembelajaran tentang

militer budak dalam sistem pemerintahan Islam.

4

2. Secara umum, studi ini diharapkan dapat memberikan sebuah inspirasi bahwa

status atau kedudukan seseorang tidak menjadi halangan atau hambatan untuk

dapat memegang posisi-posisi penting, sejauh memenuhi kreteria-kreteria

tertentu atau standar yang dibutuhkan.

D. Tinjauan Pustaka

Cukup banyak karya-karya yang membahas tentang sejarah Daulah

Abbasiyah, namun karya yang spesifik berbicara mengenai peran militer budak pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim belum penulis temukan. Beberapa dari hasil penelitian yang ada kaitannya dengan studi ini di antaranya adalah tulisan

Mundzirin Yusuf Kajian Awal Kemunduran Dinasti Abbasiyah10 secara spesifik, kajian tersebut berusaha melihat sebab-sebab kemunduran Daulah Abbasiyah yang tercermin dalam kepemimpinan khalifah al-Mu’tashim. Sebab-sebab kemunduran itu meliputi minimnya perhatian khalifah al-Mu’tashim terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban, kaku akan ideologi negara terutama memaksakan ajaran Mu’tazilah, dan menyerahkan porsi terlalu besar urusan negara kepada orang-orang Turki yang menyebabkan penolakkan dari masyarakat . Tulisan ini tidak membahas lebih detail mengenai peranan militer budak pada masa pemerintahan khalifah al-

Mu’tashim.

Hasil penelitian lain yang ada kaitannya dengan studi ini adalah skripsi yang ditulis oleh Minanur Rohman (Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam)

Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan KaliJaga Yogyakarta 2013 dengan judul

10Mengenai awal kemunduran Daulah Abbasiyah, lihat Mundzirin Yusuf, “Khalifah al-Mu’tashim, Kajian Awal Mundurnya Daulah Abbasiyah”, dalam Thaqafiyyat: Jurnal Kajian Budaya Islam, vol.13, no.1. Edisi: Juni 2012.

5

Intervensi Militer Turki Dalam Pemerintahan Daulah Abbasiyah, secara spesifik studi ini lebih menjelaskan mengenai campur tangan militer keturunan Turki dalam pemerintah Abbasiyah dan merupakan titik kurva perjalanan politik Daulah

Abbasiyah dari masa kejayaan menuju masa kemunduran. Pada studi ini juga lebih menekankan atau lebih detail memaparkan setelah pemerintahan khalifah al-

Mu’tashim. Tulisan ini tidak membahas mengenai peran militer budak pada masa al-

Mu’tashim. Adapun buku-buku yang dipakai menjadi sumber untuk tulisan tersebut antaranya:

Buku Sejarah Sosial Umat Islam11membahas tentang budak militer hanya sebagian kecil dan lebih menekankan pada aspek sosial, dengan memperluas bingkai sejarah Islam seluas wilayah Islam dan memperpanjang proses perkembangan Islam sejek sebelum Islam masuk sampai batas 1980.

Sejarah mengenai militer budak secara lengkap telah ditulis oleh Daniel

Pippes dalam bukunya yang yang berjudul Sistem Militer Dalam Pemerintahan

Islam12 dan Asal Muasal Sebuah sistem militer.13 Buku ini memberikan gambaran yang cukup lengkap mengenai budak militer dilihat dari konteks peradaban Islam, tentang asal usul mereka dan bagaimana budak militer ini muncul pertama kali dalam sejarah Islam.

11Ira M.Lapidus, Sejarah Ummat Islam Ter.Gufron A. Mas’adi ( Jakarta: Rajawali Pers 1999 ) 12Daniel Pippes, Sistem Militer Dalam Pemerintahan Islam ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993) 13Daniel Pippes, Asal-Muasal Sebuah Sistem Militer

6

Kemudian buku yang ditulis oleh Ahmad Amin Dzuhru al-Islam Kitab14 yang bersumber bahasa Arab, dalam buku tersebut mengulas sebab-sebab mengapa khalifah al-Mu’tashim lebih memilih orang Turki daripada orang Arab dan Persia.

Dengan pendekatan analitik dan komparatifnya buku ini kaya dengan sejarah ankedot, peristiwa-peristiwa kecil, ditulis secara rapi, terinci dan jelas dengan pencatatan sumber yang ada. Ia telah mengajukan dengan jelas masalah kaulasitas dalam sejarah, budak militer hanya terdapat dalam kultur Islam.

Dengan melihat paparan karya ilmiah diatas, penulis meyakini bahwa titik urgen dari penelitian ini terletak pada militer budak dalam pemerintahan al-Mutasim

Sebagaimana terlihat mereka yang awalnya seorang budak kemudian setelah ia mempunyai kedudukan ia mampu mempengaruhi kerajaan dan bahkan dapat mengendalikan suksesi pemerintahan.

E. Landasan Teori

Dalam studi ini teori yang dipakai adalah teori Ibnu Khaldun dalam bukunya al-

Muqodimmah: (muncul, bangkit, dan hancurnya negara) yang mengatakan bahwa:

1. Negara bangkit pertama didirikan oleh seorang pioner atau penguasa tinggi

2. Para pendukung atau pelaksana

3. Ketika kekayaan muncul orang-orang pejabat-pejabat tinggi sudah malas untuk

bekerja

4. Terakhir roboh ketika orang-orang sudah tidak adanya keloyalitasannya.15

14Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, juz I, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet-4) 15Abu Zayd’ Abd al-Rahman Ibnu Muhammad Ibn-Khaldun, al-Muqodimmah: vol 1.

7

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pakar sejarah Indonesia, Sartono Kartodirjo menyebutkan bahwa suatu kejadian sejarah tidak tunggal penyebabnya. Jadi, banyak aspek yang perlu dilihat mengapa suatu peristiwa itu terjadi. Dalam konteks studi ini untuk merekontruksi kejadian masa lampau yang bersifat komprehensif beliau menekankan perlu memakai berbagai pendekatan (multy approach), dari segi mana melihatnya, dimensi mana perlu dikaji, dan unsur-unsur mana yang perlu diungkapkan; sejarah, politik, ekonomi, dan sosiologi.16

Pendekatan sejarah kajiannya lebih menekankan aspek kronologis waktu dalam arti linear atau bisa juga diakronis kejadian. Lalu, sosiologi meneropong segi- segi sosial peristiwa, misalnya golongan mana yang berperan beserta nilai-nilainya, hubungan dengan golongan lain, konflik berdasarkan kepentingan, dan masalah ideologi. Adapun politik biasanya melihat struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, hirarki sosial, konflik kekuasaan, dan tak kalah penting persoalan manajemen konflik.17

2. Sumber Data a. Sumber Data Primer

Sumber data primer dalam penelitian ini antara lain, dokumen berupa jurnal, buku yang ada sangkut pautnya dengan militer budak pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim 833-834 M.

16Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal. 4-5, 144-156. 17Sartono Katodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial, hal.4

8 b. Sumber Data Sekunder

Adapun sumber data sekunder antara lain; tulisan orang yang relevansi dengan sumber data primer yang penulis dapatkan dari berbagai bacaan, jurnal, makalah, buku, hasil penelitian media cetak dan elektronik.

2. Metode pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yaitu suatu cara, jalan, atau petunjuk pelaksana, atau arahan teknis untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan sebuah kisah sejarah.18 Sejalan dengan pengertian ini, Louis

Gottschalk19 menjelaskan bahwa metode sejarah sebagai sebuah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan pengalaman masa lampau kesaksian sejarah guna menemukan data yang autentik dan valid, serta upaya sistesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Jadi, metode sejarah adalah sebuah petunjuk atau pedoman untuk mendapatkan data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Cakupan riset meliputi studi kepustakaan. Studi kepustakaan, yaitu menelusuri sumber data dari berbagai bacaan, baik yang bersifat primer dan sekunder. Tujuannya untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan beragam material yang terdapat di ruangan, baik perpustakaan publik maupun pribadi (privat library), misalnya buku-buku, jurnal, catatan pribadi, catatan kisah sejarah, dan hasil penelitian,

3. Analisis Data

18Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah, Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, hal. 53. 19Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1983), h.3

9

Data yang terkumpul diediting dan kemudian diklasifikasikan untuk dikategorisasi. Selanjutnya, data yang terkumpul dipilah berdasarkan relevansi dengan subyek kajian. Tahap kategorisasi bertujuan mengelompokkan setiap data ke dalam unit-unit analisis berdasarkan kesesuaian antara satu tema dengan tema lainnya sehingga menggambarkan keseluruhan analisis yang utuh. Sedang pada tahap tipologisasi, beberapa data yang sudah diproses pada tahap kategorisasi, akan dianalisis berdasarkan kecenderungan khu sus dari data-data yang terkumpul sehingga akan tergambar tipologi yang relatif komprehensif di dalamnya. Oleh karena itu skripsi ini bersifat deskriptif-kualitatif.20

4. Langkah penelitian

Secara umum, metode sejarah ini sendiri dilakukan dengan empat langkah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.21 Heuristik adalah pengumpulan dan penelusuran sumber data. Adapun penelusuran sumber data primer dan sekunder dilakukan ke perpustakaan, baik publik, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan koleksi pribadi yang ada kaitannya dengan pokok bahasan, di antaranya

Drs. Saidun Derani, MA.

Kritik eksteren dilakukan untuk menguji keaslian atau otentisitas sebuah sumber sejarah yang asli. Sedang kritik interen dilakukan untuk menguji validitas data sejarah. Langkah interpretasi adalah upaya menafsirkan data berdasarkan perspektif tertentu sehingga fakta itu menjadi struktur yang logis. Langkah

20Best, dalam Sanafiah Faisal, (ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha Nasional, 1987, hal. 63. 21Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1995, hal. 109-110. Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, hal.44. Louis Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical Method, Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975, hal. 18-19.

10 historiografi adalah menuliskan hasil penafsiran menjadi sebuah kisah sejarah yang utuh versi penulis.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi ke dalam lima bab penulisan, yaitu:

BAB I, Pendahuluan, berisi mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II, pada bab ini berisi mengenai Asal-usul al-Mu’tasim. Di samping itu pula penggambaran mengenai karir politik al-Mu’tashim dan masa pemerintahan al-

Mu’tasim sebagai gambaran kondisi umum sebagai latar belakang sejarah (historical setting) untuk memberikan gambaran situasi yang mendahului masa perbudakan militer.

BAB III pembahasan ini lebih memfokuskan pada perbudakan militer atau budak militer. Dalam bab ini penulis menggambarkan akan adanya upaya pengentasan status sosial bagi seorang yang awalnya sebagai seorang budak. Dalam budak militer, pada saat proses pembentukan dan kristalisasi umat terus menuju puncaknya bersamaan dengan kejayaan Islam di Jazirah Arab, dinamika-dinamika internal umat islam tidak bisa lepas dari peran dan kontribusi dari sosok-sosok yang pada awalnya memiliki status al’abd, al-riq dan statusnya dapat diperjualbelikan.

Persoalan tersebut kemudian berkembang ketika secara psikologis seorang menyandang status budak melalui proses waktu yang sangat panjang mereka dapat

11 merubah identitasnya serta mempunyai karir yang sangat mengagumkan dalam kerajaan.

BAB IV pada bab ini berisi tentang peran militer budak dan peranannya pun menjadi penting terutama pada masa khalifah al-Mu’tasim. Serta pengaruh militer budak yang dapat menguasai pemerintahan ketika al-Mu’tashim wafat dan mengambil alih pemerintahan khususnya pada dinasti Abbasiyah dalam pemerintahan al-Mu’tashim.

BAB V merupakan kesimpulan dari apa yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Kesimpulam merupakan hasil dari analisis data dan fakta yang telah dihimpun atau merupakan jawaban atas beberapa pertanyaan yang dirumuskan di bagian pengantar.

12

BAB II

KHALIFAH AL-MU’TASHIM ( 833-842 M )

A. Asal-Usul Khalifah Al-Mu’tashim

Untuk melacak riwayat hidup khalifah al-Mu’tashim secara lengkap sesungguhnya amat sulit. Karena kehidupannya tidak dapat diuraikan secara lengkap pada studi ini.

Nama asli dari khalifah al-Mu’tashim adalah Abu Ishaq Muhammad ibnu

Harun ar-Rasyid ibnu Muhammad al-Mahdi ibnu Al-Mansyur ibn Muhammad ibn

Ali ibn Abdullah ibnu al-Abbas9. Ia lahir pada tahun 178 H/793 M dikota Zapetra.

Ibunya bernama Maridah, yang berasal dari etnis Turki. Al-Mu’tashim adalah seorang khalifah yang berjiwa sehat dan mantap, ia mempunyai karakter pemberani dan dikenal dengan segi delapan atau al-Mutsammin: diberi gelar demikian karena dia adalah putra Abbas kedelapan, khalifah Abbasiyah kedelapan, menjadi khalifah ketika umur 48 tahun, dilahirkan pada bulan Sya’ban atau bulan kedelapan, dan memiliki delapan putra dan delapan putri.10

Dari kecil beliau dibesarkan di lingkungan militer, karena itu ia memiliki sifat berani dan berminat untuk menjadi seorang pahlawan. Al-Mu’tashim tidak berpengetahuan tinggi, sehingga ayahnya Harun ar-Rasyid tidak melantiknya sebagai putra mahkota atau bakal khalifah. Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, ketika itu ia sudah dijadikan sebagai tangan kanan khalifah untuk menyelesaikan berbagai kesulitan sekaligus memimpin peperangan. Dengan prestasinya tersebut

9Jalaluddin al-Suyuti, Tarkih al-Khulafa, Juz I, (Lebanon: 2008 cet-1) hal.215. 10Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hal.123

13 kemudian al-Mu’tashim diangkat oleh al-Ma’mun sebagai gubernur di Syiria dan

Mesir.11 Saat bertugas di Mesir inilah, dia mendapat gelar Al-Mu’tashim Billah yang artinya aku berlindung kepada Allah.12

Karir Politik al-Mu’tashim

Pada masa pemerintahan khalifah al-Ma’mun, seperti keterangan diatas pihak tentara sendiri tidak senang atas diangkatnya khalifah al-Mu’tashim. Saat itu pasukan besar yang tengah berada di front terdepan tepatnya di Asia kecil ramai -ramai mendatangi Abbas ibn-al-Ma’mun untuk mengangkatnya sebagai putra mahkota dan menyatakan kesediaan untuk membai’atnya sebagai khalifah13.

Tindakan al-Ma’mun tentang jabatan putra mahkota itu menjadikan al-

Mu’tashim setaraf dengan khalifah-khalifah pilihan. Anaknya sendiri al-Abbas berkedudukan tinggi di kalangan angkatan tentara sebenarnya layak menjadi khalifah, tetapi al-Ma’mun menyingkirkannya karena beliau menganggap al-

Mu’tashim lebih cerdas dan berani, walaupun al-Ma’mun menyadari bahwa saudaranya tersebut kurang akan ilmu pengetahuan dan pengalaman ilmiah14.

Akan tetapi, dengan sikap al-Mu’tashim yang pemberani dan berjiwa militer maka, al-Ma’mun tidak ragu lagi jika al-Mu’tashim dapat memegang amanat sebagai khalifah saat itu.

11Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islam, jilid 3, (Kairo: Maktabah Nahdjah al-Mishriyah, 1978 cet-4), hal. 192. 12Brockleman, Tarikh al-Syu’ub al-Islamiyah, terj. Nabih Amin Faris dan Munir al- Ba’labaik, (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin 1974, cet-4) , hal.208. 13Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudaan Islam, Terj. Al-Mukkaram Ustad dan Labib Ahmad. ( Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993 ) hal.144 14Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hal.219-220

14

Masalah-masalah Yang Dihadapi Khalifah al-Mu’tashim

Dalam pemaparan ini, mungkin kita bisa mengulas apa yang terjadi sebelumnya. Sebelum al-Mu’tashim diangkat menjadi khalifah kondisi kerajaan saat itu di warnai dengan berbagai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Di Bait al-Hikmah dikumpulkan berbagai ilmu pengetahuan asing, buku-buku karya asing, dan penerjemah buku-buku dalam bahasa Arab. Pada zaman itu muncullah filosof Arab yang besar, seperti al-Kindi yang telah menulis beberapa ilmu pengetahuan. Dan al-Hajaj bin Yusuf bin Matr telah menerjemahkan beberapa buah buku karya Euclides dan buku Ptolemy. Itu lah salah satunya filosof Arab yang muncul pada masa al-Mu’tashim menjadi khalifah yang paling terkenal dan selalu disebut-sebut adalah al-Kindi.

Dengan perkembangan yang terus-menerus masyarakat saat itu telah melahirkan pusat-pusat kekuatan baru dalam pemerintahan seperti kelompok oposisi, militer, maupun ahli dalam bidang hukum. Kelompok-kelompok ini telah berperan dalam kejadian dan pemerintahan yang cenderung melakukan koalisis.

Kekuatan-kekuatan ini tidak mampu membentuk sebuah lembaga politik tersendiri sebagai bentuk ekspresi dari pemikiran dan kemampuan mengarahkan pemerintahan sesuai pemahaman yang dianut. Oleh sebab itu, kekuatan ini selalu memaksakan pandangan politiknya dengan cara kekerasan. Seiringnya perkembangan zaman, akhirnya pemikiran mereka semakin melemah, menghilang dan tenggelam. Yang terjadi akibat dari itu adalah dengan menggunakan cara kekerasan selalu menjadi tumpuan utama dalam mengaktualisasikan pemikiran-

15 pemikirannya. Wajar saja jika Daulah Abbasiyah menggunakan kekuatan militer untuk melaksanakan kebijakan politiknya15.

Terlepas dari uraian diatas dapat kita cermati dalam beberapa uraian dibawah ini yang mampu mewarnai masa pemerintahan al-Mu’tashim saat itu diantanya; ketika tahun 219/834 M, kaum Zott yang semula berada di sekitar

Basrah, kemudian meluas ke dalam Irak. Kemudian khalifah al-Mu’tashim mengirim panglima Ajiff ibn Utbah untuk memadamkan pemberontakan tersebut16.

Kaum Zott adalah suku-suku pengembara dari India yang pada masa dinasti Sasanid (226-651 M) banyak berpindah dari India dan berdiam di lembah

Irak terutama di sekitar Basrah. Kelompok Zott ini sulit untuk diatur dan sering menimbulkan kekacauan. Mereka hidup nomaden dengan sikap hidupnya yang kasar17. Salah satu dari kelompok mereka yang membuat kekacauan di wilayah

Azerbaijan dan wilayah Tabaristan adalah Babek al-Kharrami. Akan tetapi pada tahun 835 M mereka bangkit kembali bersama pasukannya dari tempat persembunyian mereka.

Akhirnya khalifah al-Mu’tashim segera mengirim pasukan di bawah panglima Afsin. Pasukan ini memiliki semangat yang tinggi dalam melakukan pengejaran dan pertempuran terhadap kaum Zott yang berlangsung selama satu setengah tahun. Akhirnya mereka melakukan perlawanannya yang terakhir di

Bazz. Babek al-Kharrami saat itu sempat meluputkan diri dari pengejaran tersebut, tetapi dalam suatu pengejaran akhirnya ia dapat dicegat di wilayah

15 Khaerudin Yujah Sawy, Perebutan Kekuasaan Khalifah Menyingkap Dinamika dan Sejarah Kaum Sunni ( Yogyakarta: Syafira Insani Press, 2005 ), hal.35 16 Yoesoef Soub’by, Sejarah Daulah Abbasiyah I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h.221 17 Ibid., hal.222

16

Armenia. Dan kemudian ia dibawa ke Baghdad untuk menemui khalifah. Sejarah mencatat bahwa khalifah al-Mu’tashim sendiri yang mengeksekusinya dengan memancung sampai mati.

Begitu banyak kejadian atau fenomena yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim. Setelah apa yang sudah terjadi dalam pemerintahan al-Mu’tashim menjalankan dua amanat tertulis dari khalifah sebelumnya yaitu al-Ma’mun. Isi dari amanat itu adalah yang pertama, agar khalifah al-Mu’tashim melanjutkan perjalanan Mihnah yang telah digariskan al-

Ma’mun dan senantiasa meminta pertimbangan hakim agung Ahmad Abi Daud.

Yang kedua, agar al-Mu’tashim bersifat lunak dan melindungi terhadap keluarga

Alawiyah18.

Mengenai kebijakan al-Ma’mun tentang Mihnah atau Inquisisi, pada masa al-Mu’tashim kebijakan tersebut diberlakukan kembali. Inquisisi ini merupakan ide awal dari al-Ma’mun untuk menguji dan mengajukan pertanyaan kepada orang lain; dengan materi pertanyaan apakah “kamu melakukan hal ini dan itu” secara terus menerus hingga orang tersebut mau mengatakan hal yang tidak ia katakan.

Hal ini penyebab utama sebuah fatwa atau sikap pendapat ulama yang berlawanan dengan penguasa19.

Sebab yang lain adalah situasi dan kondisi yang mempengaruhi lembaga kekhalifahan al-Ma’mun, antara lain meluasnya wibawa para ahli hukum dalam pandangan masyarakat, berkembangnya gerakan zindiq, serangan oposisi terhadap

18 Yoesoef Soub’by, Sejarah Daulah Abbasiyah I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 219. 19 Muhammad Jabid al-Jabari, Tragedi Perselingkuhan Politik dan Agama, ( Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003 ), hal. 136.

17 pemerintah, dan keinginan al-Ma’mun untuk menjadikan pemerintahan sebagai mediator berbagai aliran yang ada20.

Mengenai pergerakan zindiq, tentu berkaitan erat dengan apa yang menjadi garis kebijakan mengenai Mihnah yang dijalankan khalifah al-Mu’tashim. Pergerakan zindiq lebih berbahaya bagi pemerintahan dan agama dari pergerakan apapun yang sudah disebutkan diatas. Pengajaran-pengajaran zindiq sudah berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan interprestasi pengikutnya.

Pertama kali pengikut-pengikut kitab suci Zend di Persia dinamakan

Zindiq atau Zanadiqa. Istilah ini berlaku bagi mereka yang tidak percaya bagi ketauhidan Tuhan tetapi menerima dengan dualismenya. Akhirnya mereka yang percaya pada du aspek Tuhan yaitu cahaya dan kegelapan, dijelmakan sebagai

Yezdan dan Agriman. Orang-orang itu adalah orang kafir, yang mempunyai kebudayaan mereka sendiri, beberapa dari mereka diangkat sebagai pembimbing khalifah-khalifah bani Umayyah21.

Zindiq terus berlaku setelah zaman pemerintahan khalifah Abbasiyah, yaitu Harun ar-Rasyid dan pindah ke istana al-Mu’tashim, bahkan salah satu dari jenderal al-Mu’tashim, Afsin merupakan penganut Zindiq. Walaupun demikian orang-orang Zindiq banyak memberiakan sumbangan dalam pembangunan ilmu pengetahuan, literatur, dan politik22.

Terlepas dari uraian diatas, masih ada lagi sebuah fenomena yang terjadi dalam pemerintahan khalifah al-Mu’tashim, salah satunya al-Mu’tashim pernah mengalami penyerangan terhadap wilayah kekuasaannya. Semenjak kehancuran

20 Ibid, hal. 39 21 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam (Yogyakarta: Kota Pelajar, 1989), hal. 192 22 Ibid., hal 194

18 pasukan kaisar Theopilus dalam pertempuran Heraclea tahun 832 M, dengan persiapan yang matang ia pun melancarkan serangan pada seluruh perbatasan Asia

Kecil. Tekanan terberat pada perbatasan Armenia dan Irak. Kaisar Theopilus berhasil menghalau pasukan muslim dan maju memasuki wilayah utara Irak lalu merebut dan menguasai kota Zapetra. Mereka membunuh para lelaki, anak-anak, dan memotongi telinga dan hidung mereka23.

Kaisar Theopilus menaruh dendam terhadap orang-orang Kristen di Asia kecil yang berada di bawah kekuasaan kaum muslim. Di antara wanita-wanita menderita kebuasaan itu ada yang termasuk dari keluarga Hasyim. Kemudian salah seorang perutusan dari wanita Hasyim melaporkan kejadian tersebut kepada khalifah al-Mu’tashim.

Sejarah mencatat khalifah al-Mu’tashim mempersiapkan kekuatan besar untuk menghadapi penyerangan tersebut. Di penghujung tahun 836 M khalifah al-

Mu’tashim berangkat ke Utara dan langsung melakukan serangan balasan pada segenap penjuru perbatasan24.

Di lain pihak, beberapa resimen baru (Militer Budak) yang pada awalnya memperkokoh kekuasaan khalifah, tetapi mereka sekaligus menjadi sumber kerusuhan. Kondisi kota Baghdad sendiri disebutkan semakin sesak dengan keturunan orang-orang Turki yang dihimpun oleh khalifah al-Mu’tashim. Dengan jumlah mereka yang banyak mereka menggangu hak-hak masyarakat umum serta

23 Yoesoef Soub’by, Sejarah Daulah Abbasiyah I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 225 24Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hal. 225-226

19 menimbulkan kerusuhan dan kekacauan di kota Baghdad. Melihat keadaan ini akhiranya rakyat mengadukan hal tersebut ke khalifah al-Mu’tashim25.

Akhirnya khalifah al-Mu’tashim mengambil keputusan untuk membangun sebuah ibu kota baru dan memindahkan pasukan militer dari masyarakat umum.

Pada tahun 836 M di bangunlah ibu kota Sammara. Dengan memindahkan mereka para militer, al-Mu’tashim mengharapkan akhir dari pertikaian antar warga dan pasukan tentara, namun kota tersebut malah melahirkan persaingan antara atasan dan berbagai resimen. Para pejabat menjadikan kalangan birokrat berada dalam perwaliannya, menguasai pengaruh di wilayah gubernur. Lebih jauh lagi mereka mengendalikan suksesi kekhalifahan26.

Akhirnya persaingan antara resimen menimbulkan anarkis. Antara tahun

861-870 M sejumlah pejabat tinggi menjadi korban pembunuhan. Pasukan militer menjadi lepas kendali, dan sebagian mereka terlibat dalam serangkaian perampokan27.

25Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudaan Islam, Terj. Al-Mukkaram Ustad dan Labib Ahmad. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993 ) hal.182 26Ira M. Lapidus, Sejarah Ummat Islam Terj. Gufron A. Mas’adi ( Jakarta: Rajawali Press 1999 ), hal. 196 27 Ibid., hal. 196

20

BAB III

MILITER BUDAK PADA MASA AL-MU’TASHIM

A. Latar Belakang Munculnya Militer Budak

Dalam menyebutkan dalil mengenai latar belakang atau sebab akibat dari munculnya militer budak, kita bisa terbantu dengan menggunakan rumusan umum mengenai sebab akibat dari munculnya militer budak. Yakni dengan misalnya bahwa X menyebabkan Y, selanjutnya dari tiga hal yang harus disebutkan.

Pertama, harus ada pertalian antara X dan Y. Kedua, harus ada hubungan waktu yang layak dalam peristiwa terjadinya X sebelum Y. Dalam kasus budak militer dan Islam, pertaliannya memang ada dan urutan waktunya tepat (Islam lebih dulu lahir dari pada budak militer) untuk membuktikan adanya hubungan kausalitas

“Dugaan adanya pranatara yang menghubungkan keduanya harus dijelaskan”.

Perbudakan militer telah dihubungkan dengan Islam sebagai agama atau peradaban Islam. Kalau militer budak itu dianggap merupakan bagian dari pada agama atau sistem hukumnya kita menyebutkan“Islamic”. Tetapi kalau sebuah aspek dari pada peradaban yang lebih menyebar yang menyertai budak itu, kita menyebutnya “ Islamicate“27.

Dasar-dasar Islam (seluruh batang tubuh syari’ah yang mengatur aspek kehidupan muslim) menjadi ciri kehidupan muslimin. Semua dasar tersebut timbul bersamaan dengan datangnya agama sebagai kumpulan ajaran Islam.

Semua dasar tersebut non-fungsional dan hanya dapat dijelaskan menurut sudut pandang cita-cita dan tradisi Islam. Jelas perbudakan militer bukan “Islamic”,

27Lihat Marshal Hodgson, The Venture of Islam I, Terj. Mulyadi Kartanegara (Jakarta: Paramadina, 2002), hal. 21.

21 tidak ada sangsi agama yang dikenakan untuk itu. Tidak ada yang menyatakan perbudakan itu merupakan bagian dari agama Islam atau sistem hukumnya. Hal tersebut di atas menunjukkan kenyataan bahwa Islam, memberikan warnanya pada kebudayaan itu cenderung mengambil nya. Islam cenderung menimbulkan sebuah pola sosial total atas nama agama itu sendiri.

Pada masa awal terbentuknya kawasan politik di Madinah peran dan fungsi militer sangat dominan pada saat itu. Dalam artian bahwa masyarakat kaum muslim dan masyarakat lainnya di Madinah sangat berperan aktif dalam dinas kemiliteran. Peran militer ditujukan sebagai dinamisator28 dan stabilisator29 dan bahkan mendukung bagi dakwah Nabi Muhammad Saw dalam penyebaran agama

Islam. Hal ini dikuatkan dengan konstitusi Madinah atau piagam Madinah, yang sengaja dikeluarkan beliau dalam membina kawasan yang baru terbentuk itu.

Dalam perkembangan selanjutnya dua wilayah keagamaan dan politis tersebut, bersamaan dengan bentuk-bentuk konstitusi fungsional yang umum, tidak lama kemudian tenggelam menjadi sebuah peradaban Timur Tengah yang tunggal.

Betapapun besar kecilnya umat, merupakan sebuah kesatuan tunggal, yang secara I deal berada di bawah pimpinan seseorang, yang pada pemerintahan selanjutnya disebut dengan khalifah. Kesetiaan terhadap khalifah merupakan ungkapan perasaan yang nyata ketaatan kepada kesatuan ummat. Persatuan ummat dan pemerintahan khalifah menunjukkan ciri-ciri Islam (Jihad, atau aksi

28Menimbulkan atau menjadikan dinamika, hal atau benda yeng menyebabkan timbulnya tenaga untuk selalu bergerak. 29Keseimbangan menciptakan suatu nasional yang dinamis bukanlah semata-mata tugas pemerintah dan aparatnya, melainkan tugas segenap masyarakatnya juga.

22 militer) Madinah baik dimaksudkan untuk memperthankan diri maupun untuk memperluas wilayah yang diperintah kaum muslim.

Tidak dapat disangkal, persatuan ummat berlangsung kira-kira tiga puluh tahun ( hingga saat terbunuhnya Ustman tahun 35 H/656 M ). Tetapi, perang besar sesama muslim bermula tahun 37 H/657 M dengan timbulnya perang saudara antara Ali dan Muawiyah. Satu abad setelah itu, tahun 138 H/756 M ummat secara resmi terpecah, ketika penguasa Umayyah di Spanyol tidak bersedia mengakui khalifah Abbasiyah sebagai penguasa. Sejak saat itu, setiap lima tahun sekali, setiap wilayah baru memerdekakan diri dan peristiwa demikian berlangsung kira-kira satu abad.

Dalam kepemerintahan ternyata mereka masing-masing mempunyai basis militernya sendiri dalam pemerintahan pusat maupun daerah atau pinggiran. Bani

Umayyah maupun pemerintahan Bani Abbasiyah tidak dapat memenuhi beberapa tuntutan masyarakat, banyak sebagian masyarakat meninggalkan baik dalam dinas kemeliteran maupun pemerintahan. Mereka lebih mencurahkan pada urusan- urusan yang di luar kedua dinas tersebut, dalam hal tertentu lambat laun mereka menjadi panutan bagi masyarakat banyak dalam agama. Posisi mereka secara tidak langsung menggantikan posisi khalifah dalam kewenangan masalah agama.

Dalam waktu tertentu peran militer kaum muslim dalam hal ini suku Arab dan Persia mengalami penurunan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum al-

Mu’tashim menjabat sebagai khalifah mendorong al-Mu’tashim kehilangan kepercayaan terhadap orang-orang keturunan Persia dan Arab. Al-Mu’tashim menganggap bahwa orang-orang keturunan Persia, mereka mempunyai tujuan- tujuan tersembunyi untuk mendapatkan kekuasaan. Sikap ini jelas terlihat dari

23 berbagai keadaan, menyebabkan khalifah bertindak menindas mereka dengan berbagai cara, berawal dari Abu Salamah al-Khallal, Abu Muslim al-Khurasani, al-Fadl bin Sahl, dan seterusnya. Di pihak keturunan Arab juga mulai menyadari kekuasaan mereka kian merosot setelah mereka diruntuhkan dengan sengaja orang-orang Parsi. Karena peristiwa ini, al-Mu’tashim terpaksa mencari keturunan lain yang bisa diharapkan dan memberinya kepercayaan.

Dari segi lain al-Mu’tashim mengikuti peperangan yang berkelanjutan dan pertempuran sengit melawan kelompok Zatti, Babik al-Khurrami dan tentara

Romawi. Oleh sebab itu ia berpendapat perlunya diperkuat angkatan dengan laskar keturunan-keturunan lain yang dikenal gagah berani untuk mencapai kemenangan di medan peperangan tersebut, tentunya dalam hal kemiliteran pasukan dari etnis Turkilah yang menjadi tumpuhan al-Mu’tashim karena beliau menganggap pasukan tersebut sabar, berani dalam berperang.30

Terlepas dari uraian diatas, kita bisa melihat pertama kali militer budak itu muncul dari segi waktu maupun perannya yang penting terhadap khalifah.

Mengenai budak militer sebaya dengan adanya keberadaan manusia yang menurut sejarah jejaknya terlihat di tiap-tiap jaman dan bangsa.31 Sejarah menyebutkan peperangan menyebabkan terjadinya atau adanya perbudakan. Penaklukan, dapat melakukan apapun terhadap musuhnya. Ia bisa membunuh tentara yang ditangkapnya, dan peperangan biasanya diikuti oleh sejumlah besar para budak.

Kita bisa merasa asing mendengar apa yang di sebut dengan budak. Status budak itu tidak lebih dari sebuah barang yang dimiliki. Keberadaannya bisa

30Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, juz I, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet- 4) hal.5-6 31Rizvi Saeed, Slavery From Islamic and Christian Perspektive, (Canada: Vancauver Islamoc Educational,tt), hal. 2.

24 dijadikan sebagai komoditas, layaknya sebuah barang yang dapat diperjualbelikan. Nasib seorang budak tergantung pada tuannya. Dengan artian perlakuan baik dan status tuannya dari seorang budak menjadi penentu bagi nasib seorang budak tersebut. Akan tetapi umumnya budak diperlakukan tidak manusiawi. Orang berfikir tentang budak dalam bentuknya yang lazim dikenal sebagai pembantu rumah tangga atau buruh yang melaksanakan tugas yang secara ekonomis produktif.

Dalam studi ini nampaknya mempunyai banyak interprestasi mengenai budak. Budak yang kita kenal kadang-kadang terlibat dalam perang, akan tetapi mereka berbeda sekali dengan budak militer. Sebagai perbandingan dengan budak biasa, dapat dijelaskan, kehidupan seorang budak militer dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu masa ia diperoleh, masa peralihan, dan saat melaksanakan pekerjaan; pada tiap tahap itu kehidupannya sangat berbeda dengan budak biasa.

Adapun perbedaan yang lain bermula dari kepemilikan, karena budak yang dimiliki untuk dijadikan militer sangat terbatas jumlahnya dibandingkan dengan budak biasa. Begitu seorang penguasa atau tokoh terkemuka memutuskan akan memilki budak-budak untuk keperluan militer, ia bersikap hati-hati dalam memilih orang-orang yang akan dijadikan budak.

Seperti halnya budak pada masa dinasti Abbasiyah, tepatnya pada masa khalifah al-Mu’tashim, dapat dikatakan telah mencapai puncak proses (aksi, interaksi, dan reaksi). Dapat kita lihat pada jendral Afsin, Bugha al-Kabir, dan lain-lain telah mengharumkan nama mereka dalam pemerintahan. Kondisi demikian bukan saja membawa perubahan atas nama pimpinan atau khalifah mereka namun lebih dari itu; justru mereka sampai pada sebuah singgasana

25 kekuasaan yang dapat mereka raih. Adapun usaha-usaha pembinaan militer budak tersebut dapat dilihat dalam pemaparan selanjutnya.

B. Usaha-usaha Pembinaan Militer Budak

Mengenai militer budak, budak militer ini berbeda dengan semua jenis budak yang lain. Militer budak mengabdikan hidupnya dalam dinas militer. Sejak saat diperoleh hingga ia pensiun. Yang dimaksud dengan budak-budak biasa ialah semua budak yang tidak menjadi tentara atau alat pemerintahan. Budak-budak seperti itu kadang-kadang secara kebetulan terlibat dalam perang, tetapi mereka sama sekali berbeda dari budak-budak militer. Sebagai perbandingan dengan budak-budak biasa, dapat dijelaskan, kehidupan seorang budak militer dapat dibagi dalam tiga bagian: masa ia diperoleh, masa peralihan, dan saat melaksanakan pekerjaan

Perbedaan antara budak biasa dengan budak militer, memang dalam status mereka sma-sama budak akan tetapi dapat dilihat dari segi pemilikan, mutu yang tinggi, masa peralihan, bagaimana budak-budak militer ini melaksanakan tugas- tugas pentingnya, dan kekuasaan yang dimiliki budak militer. Mengenai budak biasa, mereka menjadi arus utama dalam kelompok militer tempat mereka bertugas. Kalau budak-budak biasa merupakan milik perorangan, Sedangkan budak militer milik para pemimpin mereka. Karena kekuatan militer, mereka mendapat penghormatan dan kekuasaan sebagai pembantu atau buruh yang rendah derajatnya. Walaupun mereka budak, tapi merupakan bagian dari kelompok elite yang berkuasa serta, dapat berhubungan langsung dengan penguasa, memegang berbagai posisi penting dan menikmati fasilitas kekayaan dan kekuasaan32.

32Daniel Pippes, Sistem Militer Pemerintahan Islam, hal. 32.

26

Terlepas dari uraian mengenai usaha-usaha pembinaan militer budak dalam artian bagaimana perekrutannya, pelatihan, dan sampai penggunaannya secara professional dalam catatan sejarah akan dipaparkan lebih lanjut dalam studi ini. Yang pertama mengenai perekrutan para khalifah. Dalam perekrutan ini khalifah tidak hanya mengumpulkan tawanan-tawanan perang pada waktu pasukan mereka menang dalam pertempuran serta menaklukkan daerah-daerah.

Mereka sudah mengatur segalanya secara berlanjut agar rakyat yang ditaklukkan menyerahkan budak-budanya, ada pula perolehan budak didapat dalam pasar budak yang dapat dibeli.

Kekuasaan orang-orang Islam diharuskan mengirim budak-budak ke penguasa-penguasa dibuat sebagai upeti atau pajak. Dengan cara seperti ini penguasa-penguasa muslim memberikan jaminan untuk diri mereka sendiri atas pasukan budak-budak secara tetap, bahkan hingga setelah masa penaklukkan berakhir33.

Dalam kenyataannya kaum Abbasiyah tidak memiliki atau mewarisi pengaturan-pengaturan ala Muawiyah mengenai budak-budak (dengan pengecualian seperti halnya baqt) dan mereka sendiri hampir tidak pernah mempunyai taklukannya sendiri. Sebagai akibatnya, mereka hampir selalu mengeluarkan uang untuk mendapatkan budak-budak mereka. Kalau kaum

Umayyah hampir tidak pernah melakukan pembelian untuk budak-budak (kecuali sedikit pada tahun-tahun terakhir). Tetapi, kaum Abbasiyah harus membeli untuk mendapatkan hampir semua budak-budaknya. Hanya dalam kesempatan yang jarang adanya kaum Abbasiyah tidak harus membeli budak-budak yang

33Ibid, hal.10.

27 dibutuhkan. Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid, 100 dan 1000 budak dikirim sebagai dari Gilam, demikian pula 1000 dan mungkin 4000 orang

Turki dari Khurasan. Khums dalam periode pertama pemerintahan kaum

Abbasiyah kelihatannya hanya figurative semacam tanda kehormatan saja, dan tidak pernah mengikutkan adanya budak34.

Kemudian berbagai agen mengumpulkan budak-budak untuk khalifah. Al-

Ma’mun kemudian meminta khalifah al-Mu’tashim untuk menyediakan orang- orang Turki dan al-Mu’tashim ganti menengok orang lain, ia mengirim pembeli- pembeli ke Samarkand, termasuk mawla-mawlanya sendiri dan juga mengirim permintaan kepada gubernur Khurasan Abdullah bin Tahir (213-230 H/824-845

M), yang kemudian mengirimkan balik budak-budak kepada al-Ma’mun. Dan dengan melalui pujian yang dialamatkan kepada usaha-usaha yang dilakukan

Yahya bin Akhtam, seorang qadi dan pejabat tinggi, yang diberikan oleh al-

Ma’mun bisa diduga bahwa Yahya bin Akhtam berjasa besar sekali dalam pengumpulan budak.35 Tidak semua dibeli beberapa diantaranya ikut dengan sukarela dan sebagian lainnya ditangkap.

Setelah militer budak tersebut diperoleh secara sistematik, berlanjut dengan usaha latihan yang terorganisir atau yang kedua dalam usaha-usaha pembinaan militer budak. Dalam proses latihan suatu hal yang penting dalam militer budak, sementara serdadu-serdadu yang tidak merdeka kurang memperoleh latihan militer yang formal, mungkin saja kadang-kadang di antara mereka ada yang telah memiliki pengalaman militer sebelum memasuki

34Ibid, hal. 239 35Ibid, hal. 242

28 masyarakat Islam. Keahlian yang mereka bawa kadang cukup menjadikan para budak maupun mawla penguasa-penguasa militer yang diakui.

Bukti akan adanya sistem untuk melatih dapat dilihat riwayat seseorang yang hidup sekitar masa tersebut, yakni riwayat tentang diri Ahmad bin Tulun

(lahir tahun 220 H/835 M), menekankan bukan pada latihan militer, tetapi dalam aturan agama. Pendidikan tidak sama dengan pendidikan seorang non-Arab, yang berarti ia mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan Islam.

Petunjuk yang paling pasti menjelaskan hal ini yakni adanya penggunaan kata atau istilah Istina, bahwa para budak menjalani latihan baru yang lebih sistematik sekitar tahun 204 H/820 M. Biarpun kata tersebut dipergunakan di sana-sini sebelum waktu tersebut, kata tersebut muncul lebih sering dalam penjelasan-penjelasan mengenai orang-orang Turki al-Mu’tashim.36 Ketiga yaitu pengerjaan secara professional yang mulai dari sekitar tahun 205 H/820 M cukup kuat. Sejak waktu itu budak-budak bekerja full time, menerima upah tetap dan pakaian lain dari pada yang lain, serta tinggal di daerah/tempat yang terpisah, mereka harus mengabdikan dirinya sepanjang tahun.

Khalifah al-Mu’tashim menjadikan mereka pengawal keamanan pribadi, selanjutnya, mereka digabungkan ke dalam angkatan tentara kerajaan, dengan keberanian dan kegagahan mereka serta keberhasilan dalam peperangan, maka mereka diberikan pula penghargaan oleh khalifah. Saat itu al-Mu’tashim memberikan pakaian seragam yang indah kepada orang-orang Turkinya; brokat emas dan sutra, ikat pinggang emas dan sutra, kerah baju emas serta hiasan-hiasan lainnya. Dia tidak hanya membuat mereka suatu pandangan yang indah, tetapi

36Daniel Pippes, Sistem Militer Pemerintahan Islam, hal. 246

29 membikin mereka gampang di bedakan dari pasukan-pasukan lainnya. Dengan dandanan tersebut mereka memakai seragam kerajaan. Jelas mereka serdadu- serdadu yang bernilai tinggi.

Pemisahan orang-orang Turki dari pasukan-pasukan lain di samarra’ memberikan petunjuk akhir, bahwa mereka adalah budak-budak militer. Di kota penduduk lainnya, terpisahkan oleh tembok, jauh dari pasar maupun khalayak ramai. Untuk melengkapi “pengasingan” al-Mu’tasim membangun untuk mereka masjid-masjid, tempat-tempat mandi dan sebuah pasar kecil. Dia bahkan mencari budak-budak wanita itu dengan bayaran serta melarang mereka bercerai. Bagian kota ini ada di luar batas daerah yang berpenduduk.

Pada waktu naek kejenjang kekuasaan pada tahun 218 H/833 M, al-

Mu’tasim mendelegasikan sejumlah besar orang-orang Asia Tengah masa-masa pemerintahannya di gemakan oleh nama-nama mereka seperti Ahsnas, Itakh,

Bugha al-Kabir, Wasif dan Afsin, yang membela al-Mu’tashim dalam berbagai peristiwa.37

C. Tugas Pokok Militer Budak

Bicara mengenai tugas militer budak, saat itu para militer budak melaksanakan tugas-tugas penting dan memikul beban yang berat, mereka bertugas sepanjang tahun, membentuk korps elite, menyediakan banyak perwira dan menjulang dengan cepat dalam hirarki militer. Daftar kegiatan mereka tidak dapat diungkapkan pada studi ini; dalam berbagai situasi mereka melaksanakan semua tugas militer yang mungkin dilakukan. Dalam tugasnya militer budak sangat berbeda sekali dengan budak-budak biasa, mereka (militer budak) saat

37Foran, FG, The Relation of the Slave and the Client to the Master or Parton in Medievel Islam dalam International Journal of Studies 2 (1991), hal.60.

30 berperang membentuk korps besar dan berperang dalam satuan-satuan budak yang terpisah tidak seperti budak biasa yang cenderung bahu-membahu dengan majikan mereka. Selain itu, cara kerja militer budakpun berbeda mereka cenderung berdiri untuk menunggu dan berkumpul dengan militer budak yang lain, kalaupun mereka segera berpencar (untuk melaksanakan tugas), secepat itu pula mereka berkumpul kembali sangat luar biasa budak militer ini.38

Selain itu, mereka secara bergiliran menjaga setiap kemah dalam jumlah yang diperlukan, begitu pula cara yang dilakukan dengan pelayan pribadi (pelayan raja), sehingga mereka tidak senpat berkelompok. Pada masa lampau, sejak hari pertama mereka dibeli hingga kemajuan yang mereka capai selama bertahun- tahun dan diangkat untuk memegang jabatan yang lebih tinggi, para pelayan saat itu telah diorganisasikan dengan efisien seperti pendidikan dan tingkat mereka.39

Di bawah ini beberapa kutipan langsung afri Daniel yang diambil dari Siyasat namah mengenai karir budak dalam kerjaan tertentu. Dalam kutipan ini saya ambil di kerajaan Samaniah, sebagai gambaran mengenai proses tersebut perlu diperlihatkan.

Daniel Pippes mengatakan bahwa:

Para pelayan atau pembantu mendapat kenaikan posisi sesuai dengan lamanya mereka menjalankan tugas dan besarnya jasa mereka. Karena itu, setelah seorang pelayan diberi, selama satu tahun ia bertugas sebagai perawat sanggurdi seorang penunggang kuda dengan menggunakan mantel Zandaniji dan sepatu boot dan pelayan ini tidak diizinkan selama satu tahun pertama itu menunggang kuda baik secara sembunyi-sembunyi maupun didepan umum, dan kalau ia

38Daniel Pippes, Sistem Militer Pemerintahan Islam, hal. 313-314. 39Ibid., hal. 93-94.

31 kedapatan menunggang kuda ia akan mendapatkan hukuman. Setelah itu ia merampungkan tugasnya satu tahun, pemimpin kemah berbicara dengan kepala rumah tangga istana dan kepala rumah tangga ini memberikan informasi kepada raja, kemudian mereka memberikan kepada pelayan seekor kuda Turki kecil, dengan pelana yang terbungkus kulit. Setelah tugas satu tahun dengan kuda dan cambuk, dalam tahun ketiga ia mendapat ikat pinggang untuk dikenakan dipingganggnya.

Pada tahun keempat mereka memberikan kepadanya sebuah tempat anak panah dan sebuah busur yang diikat ketubuhnya ketika ia menunggang kuda. Pada tahun kelima ia memperoleh pelana yang lebih baik dan sebuah kekang yang diberi hiasan bintang di samoing sebuah mantel dan pentung. Di tahun keenam ia diberikan tugas sebagai pembawa mangkuk atau pengangkat air dan ia menggantungkan sebuah gelas berbentuk piala dari pingangnya. Tahun ketujuh ia bertugas sebagai pembawa jubah.

Pada tahun kedelapan mereka memberikan kepadanya kemah dan enam belas pasak dan menambah tiga pelayan yang baru dibeli kedalam pasukannya.

Mereka menggelarinya pemimpin kemah dan mewajibkannya mengenakan pakaian yang terbuat dari lakan hitam yang diberi hiasan kawat perak dan sebuah mantel (jubah) yang dibuat dari Ganja.

Setiap tahun mereka diberi pakaian yang semakin baik begitu pula hiasan yang dipakainya, disamping posisi dan tanggung jawabnya, hingga ia menjadi pemimpin pasukan dan seterusnya sampai akhirnya ia menjadi kepala rumah tangga. Ketika keserasiannya, keterampilan dan keberaniannya mulai dikenal secara umum dan setelah ia telah melaksanakan langkah-langkah yang sangat baik

32 dan didapati menaruh perhatian penuh terhadap rekan-rekannya di samping setia kepada tuannya, barulah setelah ia berusia tiga puluh lima atau empat puluh tahun, mereka mengangkatnya menjadi amir dan menugaskannya di sebuah propinsi.40

Selama seribu tahun penuh, yakni sejak awal abad ke 3H/9 M hingga awal abad ke 13 H/19 M, orang-orang muslim, secara tetap, teratur dan sengaja memperkejakan budak-budak sebagai serdadu. Hal ini terjadi di semua tempat dalam dunia Islam, dan Afrika tengah sampai Asia Tengah, dari Spanyol ke

Bengal dalam kurun waktu yang sedemikian panjang yang begitu luas.41

Berbicara mengenai munculnya pertama kali budak militer dalam Islam, ada dua pertanyaan yang harus dijawab mengenai siapa dan kapan pertama kali terjadinya perbudak militer atau sistem pekerjaannya dan bagaimana hal itu berkembang. pembahasan ilmiah modern semuanya sependapat untuk mengetengahkan nama al-Mu’tashim kedalam usaha untuk memasukkan orang- orang Turki ke dalam angkatan perang dan usahanya untuk mengembangkan perbudakan militer. Dia bertanggung jawab atas kepercayaan yang berlebihan pada suatu bentuk baru dari ketentaraan, sehingga dia telah membuka jalan untuk adanya suatu pengambil alihan kekuasaan militer setelah ia meninggal. Namun dalam hal ini masih ada keraguan, apakah al-Mu’tashim adalah orang pertama kali menggunakan orang-orang Turki atau al-Ma’mun?

Dalam kesempatan ini dapat kita sebutkan beberapa pendapat mengenai siapa pertama kali yang memperkejakan serdadu-serdadu budak. Montgomery mengatakan bahwa al-Ma’mun dikatakan sebagai orang yang pertama kali memperkejakan serdadu-serdadu budak dari perbatasan kerajaan, kebanyakan

40Daniel Pippes, Sistem Militer Pemerintahan Islam , hal. 313-314. 41Ibid., hal. 93-94.

33 mereka adalah dari suku Barbar dari Sahara atau suku Turki dari seberang sungai

Oxsus. Orang-orang itu tidak berpihak kemana-mana dalam pertikaian politik dan pasukan yang lebih baik sebagai pertimbangan utama-mereka.42

Pernyataan Lapidus justru berbeda dan terkesan kurang jelas dalam memberikan argumentasinya dalam menilai siapa yang pertama kali memasukkan budak Turki dalam ketentaraan. Akan tetapi Lapidus seolah-olah menjelaskan bahwa antara al-Ma’mun dan al-Mu’tashim menyebutkan secara bersamaan.

Sampai pada masa khalifah al-Mansur jumlah mereka sangat sedikit. Al-Mansur adalah orang pertama yang sengaja mengumpulkan orang-orang Turki. Pada masa al-Ma’mun peran mereka meningkat, sehingga tujuan awal dari pertama digunakannya orang-orang Turki tersebut sering kali terlupakan.43

Al-Mu’tashim mengikuti contoh al-Ma’mun untuk membeli orang-orang

Turki dengan harga tinggi; dimasukan untuk dilatih secara sistematik beberapa orang untuk menjadi penasehat dan untuk menarik orang-orang Asia tengah masuk Islam serta bergabung dalam ketentaraan muslim. Lebih jauh al-Mu’tashim membeli budak-budak Turki karena pada hakekatnya dia disuruh al-Ma’mun. dengan diakuinya peran utama yang dimainkan al-Ma’mun, slah satu penelaahan yang menyebutkan bahwa, al-Ma’mun telah mengawali penggunaan orang-orang

Turki dalam dinas kemiliteran.

Biarpun nyatanya al-Ma’mun adalah tokoh yang mengawali praktik ini, namun sistem perbudakan militer belum ada pada masa al-Ma’mun. kesimpulannya adalah al-Mu’tashimlah yang pertama kali dengan sistemnya jelas- jelas adanya perbudakan militer. Akibatnya sebagian besar tentaranya terdiri dari

42Montgomery W.Watt, Kejayaan Islam, Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis (Yogyakarta: Tiara Wicana, 1990). Hal. 123-124. 43Ira M.Lapidus, Sejarah Ummat Islam, hal. 251.

34 budak Turki, yang kemudian juga mendominasi ketentaraan, sebagian dari mereka sudah memeluk Islam sejak masa Ummayah diantara mereka juga ada yang

Majusi dan menyembah berhala dan saat itu pula orang-orang Turki sudah belajar bahsa Arab.44

44Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, juz I, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet-4) hal. 6.

35

BAB IV

PERAN MILITER BUDAK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH

AL-MU’TASHIM

A. Keamanan

Sebelum al-Mu‟tashim diangkat menjadi kepala pemerintahan, beliau adalah tangan kanan al-Ma‟mun dalam memadamkan beberapa pemberontakan diantaranya; melawan kaum zot, babik al-khurami, dan meneruskan peperangan dengan Romawi. Dan ketika al-Mu‟tashim menjabat sebagai kepala pemerintahan masalah demi masalah datang kepadanya diantaranya adalah; Pada tahun 218 H44/834 M, muncul pemberontakan yang dimotori oleh keturunan Ali, yaitu Muhammad Ibnu Qasim bin Ali bin Umar bin Ali bin Husain bin Ali.

Pemberontakan tersebut pertama kali muncul di Kuffah dan di Khurasan, yang kemudian merambat ke kota-kota lain. Akan tetapi, lagi-lagi pemberontakan inipun dapat dipadamkan, karena kerja keras yang dilakukan oleh Abdullah bin

Thahir. Sedangkan Muhammad sendiri dapat ditangkap dan diserahkan kepada al-Mu‟tashim dan akhirnya dipenjarakan di Sammara, nasibnya tidak diketahui sama sekali.

Ketika al-Mu‟tashim diangkat sebagai khalifah ada seorang laki-laki menyatakan bantahannya kepada al-Ma‟mun ketika ia berada di Syam dengan berkata; “wahai amirul mu‟minin lihatlah betapa serupanya apa yang dimiliki orang Arab di Syam dengan apa yang dimiliki ahli Khurasan dan juga mu‟tashim mulai merasa dengan lemahnya kepercayaan orang-orang Furs kepadanya, yang

44Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam , hal. 75.

36

dimana itu ditunjukkan ketika kematian al-Ma‟mun, pada waktu itu tentara-

tentara tersebut lebih condong kepada Ibnu Abbas di karenakan keturunan ibunya

dari Persia. Dan Tabari menyebutkan, bahwa dari orang-orang Persia sangat

menentang ketika di baiatnya Abu Ishaq atau yang lebih dikenal al-Mu‟tashim

menjadi kepala pemerintah, dimana mereka meminta dan menyerukan agar al-

Abbas yang menjadi kepala kekhalifahan. Maka, saat itu Abu Ishaq mengutus

seorang untuk mendatangkan Abu Abbas di hadapannya untuk membaiatnya

sebagai kepala khalifah, dan akhirnya Abu Abbas membaitnya. Dari kejadian ini

menjadikan Abu Ishaq (al-Mu‟tashim) agar berfikir untuk tidak mengulangi

kejadian ini dan bagaimana caranya untuk meminta pertolongan kepada kaum

selain orang Persia dan Arab, yang dimana permintaannya di tujukkan kepada

orang-orang Turki.45

Salah satu dari penggunaan budak militer secara besar-besaran dalam

sejarah terjadi dalam ekspedidi al-Mu‟tashim tahun 213 H/828 M, yang terdiri

dari 4000 orang Turki yang dikirim ke Mesir selama dua tahun. Sementara

budak-budak militer datang untuk kemudian menjadi bagian terbesar bagi

pasukan Abbasiyah pada dekade-dekade berikutnya. Budak-budak itu mendapat

peran yang lebih besar di Mesir. Mereka mencapai puncaknya pada tahun 254

H/868 M, ketika seorang putra dari budak Turki, Ahmad bin Tulun menjadi

gubernur propinsi (Mesir) tersebut dan menjadi penguasa yang independen.46

Sejak pasukan dari Khurasan telah menjadi mandiri di situ pasukan budak

militer terlihat berperan sekali pada masa al-Mu‟tashim. Di sana terlihat ada

kecenderungan al-Mu‟tashim terhadap pasukan budak untuk dijadikan pengganti

45Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, ju z I, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet- 4), hal 3-4. 46Daniel Pippes, Sistem Militer, hal. 251.

37 pasukan kesukuan dengan di luar pasukan yang bukan dari pasukan kesukuan sebagai basis pasukan yang loyal terhadap dirinya. Al-Mu‟tashim mempunyai kepercayaan yang berlebihan terhadap pasukan dari budak, pada masanya al-

Mu‟tashim mampu menghindari bahaya lawan politiknya untuk kembali berkuasa. Pindahnya kekuasaannya ke Sammara‟ setelah mengalami kebosanan di Baghdad. Siasat ini digunakan karena al-Mu‟tashim ingin membentuk sebuah sistem yang kuat dalam kekuasaannya dan beliau memilih orang-orang Turki dalam hal ini.

Di antara khalifah Dinasti Abbasiyah yang pernah memanfaatkan tenaga orang-orang Turki adalah al-Mansur, walaupun saat itu jumlahnya relatif sedikit dan belum mempunyai peran apa-apa di dalam istana. Sebab, pada saat itu yang berperan lebih condong kepada orang-orang etnis Arab dan Persia. Akan tetapi, setelah terjadi persaingan antara orang-orang Arab dan Persia pada masa al-

Manshur, lenyaplah kekuatan Arab bersamaan dengan lenyaplah kekuasaan al-

Amin yang mana berasal dari kubu Arab. Kemudia tumbuhlah kekuasaan Persia yang dimotori oleh khalifah al-Ma‟mun, yang semenjak saat itu al-Mu‟tashim mulai memikirkan bagaimana caranya agar Etnis Persia dapat dilenyapkan dalam tahta kerajaan.47 Seperti diterangkan dalam latar belakang bahwa dalam segi keturunan beliau berasal dari Turki dan itu kita bisa lihat dari ibunya, yang banyak mempengaruhi tabi‟atnya sehingga beliau berwatak pemberani seperti kebanyakan orang-orang Turki. Jadi merupakan hal yang wajar jika dia berusaha

47Jurji Zaidan, Tārikh al-Tamaddun al-Islām, juz IV (Beirut: Darul Hilal, 1958), hal. 177.

38

untuk mengumpulkan orang-orang Turki yang jumlahnya berkisar antara 8.000-

18.000 orang.48

Mereka gagah berani, perkasa dan kesehatannya cukup terjamin. Oleh

karena itu mereka dilatih kemiliteran, dan diberi tempat yang nyaman dengan

pakaian militer sehingga membuat mereka bertambah semangat. Setelah al-

Mu‟tashim memegang kendali pemerintahan, banyak diantara mereka yang

diberi jabatan penting, seperti pengawal istana dan lain sebagainya. Dengan

demikian orang-orang etnis Turki dapat memperkokoh Dinasti Abbasiyah dalam

mengahadapi lawan-lawannya, baik dari dalam maupun luar negeri. Adapun

orang-orang Turki yang diberi jabatan adalah Afsyin, Asynas, dan Itakh, nama-

nama inilah yang mengharumkan masa pemerintahan al-Mu‟tashim dan mereka

semuanya merupakan komandan tentara yang pernah berjasa dalam menghadapi

tentara Romawi. Meskipun demikian, Afsyin mengadakan kerjasama dengan

Maziyar untuk merongrong kekuasaan al-Mu‟tashim.

Saat itu, Afsyin ingin melepaskan diri dari pemerintaha pusat dan ingin

mendirikan negara yang merdeka di Maa wara‟an-Nahr (Transoksania). Di

samping itu, dia juga ingin menghidupkan kembali agama lamanya yaitu Majusi,

bahkan di rumahnyapun sudah dipasang sebuah patung sebagai sembahyangnya

dan juga buku-buku yang berkaitan dengan agama tersebut. Namun, apa yang

terjadi akhirnya dia mati diracun dan jenazahnya disalib, kemudian dibakar

bersamaan dengan patung yang ada dirumahnya. Peristiwa itu terjadi pada tahun

226 H/841 M.49

48Ahmad Amin, Zuhr al-Islām, juz I, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet-4), hal. 3. 49Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam., hal. 289.

39

Maziyar adalah tokoh yang pernah jaya di masa al-Ma‟mun dan pernah

menjadi gubernur di Tabaristan, dengan nama Muhammad pada saat itu, dia

ingin mengangkat dirinya sebagai khalifah. Oleh karena itu, dia memanggil

sekelompok orang untuk membai‟atnya, tetapi mereka tidak mau membai‟atnya,

bahkan Maziyar sendiri di tangkap dan dimasukan kedalam penjara.50 Al-

Mu‟tashim menduduki kursi kekhilafahan sampai tahun 227 H/842 M.

Setelah al-Mu‟tashim menggantikan peranan militer yang diambil

dominan dari etnis Turki sampai memenuhi Baghdad hingga menyempitkan

penduduknya beliaupun akhirnya membangun kota Sammara sebagai

pesinggahan militer budak tersebut. Letak kota Sammara adalah disebelah timur

sungai Dajlah (Tigris) yang jauhnya kurang lebih 100 km di sebelah utara kota

Baghdad. Asal muasal dinamakan Sammara, diambil dari Surra

manra’a51dikatakan demikian, karena setelah kota tersebut selesai dibangun

menjadi indah dan ramai serta menarik perhatian bagi siapa saja yang

melihatnya. Samara adalah sebuah kota kuno yang dibangun kembali oleh

Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa Harun ar-Rasyid. Akan tetapi dahulu

apa yang diusahakan beliau belum sempurna, tidak seperti yang dilakukan oleh

al-Mu‟tashim.52

Pada tahun 221 H/836 M, kota ini dibangun kembali oleh al-Mu‟tashim dengan tujuan; sebagai tempat tinggal yang baru (istana) bagi khalifah, sebagai

50Ibid., hal. 111-112. 51Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. Al-Mukkarom Ustas dan Labib Ahmad, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993), hal. 230. 52Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, juz I, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet- 4) hal. 6.

40 kerusuhan dan perkelahian.53 Al-Mu‟tashim pindah ke kota tersebut pada tahun

223 H/838 M sampai wafatnya.54 Selanjutnya, kota tersebut ditempati oleh penggantinya, bahkan pada masa Mutawakkil, kota tersebut dilengkapi dengan masjid dan menara yang menjulang tinggi.55

B. Administrasi

Khalifah Abbasiyah, dalam melangsungkan administrasi pemerintahannya melalui beberapa bagian kedinasan. Diantaranya; Diwan al-Rasail (Diwan yang berkenaan dengan kearsipan dan surat menyurat), Diwan al-kharraj (Dinas pemungutan Pajak), Diwan al-Jund (sejumlah kedinasan yang menangani pengeluaran militer), Diwan Qadha (Diwan yang menangani urusan kehakiman),

Diwan al-Syurthah (Diwan urusan kepolisian) di samping staf biroraksi, wazir dalam menjalankan pemerintahan dibantu oleh beberapa Raisud Diwan atau

Menteri Departemen diantaranya; Diwan al-Kharaj (Departemen Keuangan),

Diwan ad-Diyah (Departemen Kehakiman), Diwan azziman (Departemen pengawasan urusan dalam negeri), Diwan al-Jund (Departemen Ketentaraan),

Diwan al-Mawali wa al-Ghilama (Departemen Perburuan), Diwan al-Barid

(Departemen Perhubungan), Diwan Ziman an-Nafaqat (Departemen Pengawas

Keuangan), Diwan al-Rasail (Departemen urusan arsip), Diwan an-Nahdar fil

Madhalim (Departemen pembelaan rakyat tertindas), Diwan al-Akhdas Was syurthah (Departemen Kepolisian), Diwan al „atha‟ wal Hawaaij (Departemen

53 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hal. 381. 54 Brockleman, Tārīkh al-Syu‟ūb al-Islāmiyah, terj. Nabih Amin Faris dan Munir al- Ba‟labaki, (Beirut: Dar al-„Ilmi li al-Malayin, 1974, cet-VI), hal. 210. 55Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hal 195.

41

Sosial), Diwan al-Akhasyam (Departemen urusan keluarga dan wanita), Diwan al-

Akarah (Departemen pekerjaan umum dan tenaga).56

Dalam sebuah imperium terdapat beberapa bagian propinsi yang dikuasainya, propinsi ini dinamakan Imaarat, dengan gubernurnya dinamakan

Amir. Imaarat pada masa Dinasti Abbasiyah ada tiga macam; Pertama, Imaarat al-istihfa yaitu propinsi yang kepada gubernurnya diberi hak kekuasaan yang besar dalam di segala bidang urusan negara, termasuk urusan kepolisian, ketentaraan, keuangan dan kehakiman. Kedua, al-Imaarat al-Khassah yaitu propinsi pada gubernurnya hanya diberikan hak dan wewenang yang terbatas.

Ketiga, Imaarat al-Istilau yakni propinsi de facto yang didirikan oleh seorang panglima dengan kekerasan, yang kemudian terpaksa diakuinya dan panglima yang bersangkutan menjadi gubernutnya.57

Pemerintahan sebelumnya untuk melaksanakan administrasi pemerintah di wilayah kekuasaan dinasti ini pada periode pertama dibagi menjadi dua belas wilayah propinsi: Kufah dan Sawad, Hijaz dan Yamamah, Ahraz, Khurasan,

Jazirah Armenia dan Azerbaijin, Mesir dan Afrika, Basrah dan daerah Dajlah,

Bahrain dan Oman, Yaman Persia, Mosul, Suria, dan Sind.58

Pada saat itu setiap propinsi dikepalai oleh seorang gubernur dan gelar wali. Para pejabat di daerah ini diangkat oleh khalifah. Pada periode pertama pemerintah menerapkan sistem sentralisasi kekuasaan terpusat di tangan khalifah dan wazir, gubernur tidak memiliki kekuasaan penuh untuk segala urusan pemerintahan di daerahnya dan tidak punya pengaruh dalam urusan politik dan

56A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hal. 230-231. 57Ibid,. hal, 231. 58J.Suyuti Puluingan, Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta : Rajawali Press) hal. 176.

42 kemasyarakatan. Kedudukannya tebatas hanya sebagai pemimpin agama dan mengorganisir militer.59

Untuk menyeragamkan resimen dan membiayai unit-unit yang mencapai seribu laki-laki, klan-klan besar dibagi menjadi beberapa bagian, dan klan-klan yang lebih kecil disatukan. Pada tahun 670 M puluhan ribu keluarga berpindah dari Basrah dan Kuffah menuju perkampungan tentara Merv di

Khurasan, dan seluruh kelompok yang tersisa segera diorganisir. Demikian juga pendatang baru yang berdatangan secara terus-menerus untuk ambil bagian dalam peperangan Arab harus diitegrasikan dalam basis unit.60

Tidak banyak bukti yang menunjukkan pada peranan penting daftar militer mekanisme utama yang membayar gaji tentara suku Arab tersebut. Begitu mengetahui bahwa tentara mengikuti perintah orang, suku, kota, atau pemerintah yang membayar mereka, para kepala suku Arab mendesak agar gaji militer diberikan kepada suku, bukan pada orang perorangan. Tentara Arab tetap setia kepada suku itu yang membayar mereka.

Jika pemerintah mencoba menggantikan korps suku-suku ini dengan tentara lain yang para pemimpinnya, kesetiannya dan perhatiannya hampir mengimbangi apa yang mereka miliki, orang-orang suku Arab menolak pergantian itu dan ini.

Secara keseluruhan, organisasi kesukuan tentara yang melancarkan penaklukkan besar dan tetap dipertahankannya organisasi seperti itu melalui daftar militer, jelas pemerintah pusat tidak menguasai tentaranya. Hal ini menimbulkan perkembangan yang ganjil ketika saatnya tiba untuk merekrut tentara baru.

59Ibid.,hal. 176-177. 60Ira .M.Lapiddus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hal. 276.

43

Tentara baru tersebut berasal dari etnis Turki yang dimana masa al-

Mu‟tashim orang-orang Turki memainkan peranan penting dalam kancah pemerintahan. Saat orang-orang Turki naik tahta kepemerintahan mereka banyak menyiksa bangsa orang-orang Arab, karena sebelumnya orang-orang Arab banyak meremehkan orang-orang Turki setelah orang-orang Turki menang atas orang- orang Arab akhirnya derajat bangsa Arabpun turun.61

Selain itu, al-Mu‟tashimpun mengirim surat kepada gubernur Mesir untuk menggantikan pegawai Arab dengan orang-orang Turki pernyataan tersebut ada di dalam kitab Ta rikh al-Khulafa‟.62

C. Keagamaan

Al-Mu‟tashim dilantik menjadi khalifah setelah meninggalnya al-Makmun pada bulan Rajab tahun 218 H. Dia bertindak seperti yang dilakukan al-Makmun dan menghabiskan masa-masa akhir hidupnya dengan menguji manusia tentang kemahlukan Al-Qur‟an. Dia menulis surat perintah agar semua penduduk mengakui hal itu. Dia memerintahkan kepada para guru dan pengajar untuk mengajari anak didik mereka menolak menyatakan bahwa Al-Qur‟an itu mahluk.

Imam Ahmad sendiri adalah orang yang menerima petaka ini, dia dihukum cambuk. Pencambukan Imam Ahmad ini terjadi pada tahun 220 H.63

Hal diatas menjelaskan mengenai Mihnah atau Inquisisi yang mana telah dilaksanakan oleh al-Mkamun sebelumnya dan kini al-Mu‟tashimlah yang meneruskannya.

61Jalaluddin al-suyuti, Tarikh al-Khulafa’, Juz I, (Lebanon: 2008, cet-1) hal. 407. 62Ibid. 63Jalaluddin al-suyuti, Tarikh al-Khulafa’, Juz I, (Lebanon: 2008, cet-1) hal. 404.

44

Ketika al-Makmun berkuasa, pada saat itu ajaran Mu‟tazilah sedang berkembang. al-Makmun mengatakan bahwa jabatan negara tidak boleh dipegang oleh orang-orang musyrik (orang-orang yang tak seide dengannya). Oleh karena itu, dia mengirim instruksi kepada para gubernurnya agar menguji para pemuka yang berpengaruh di masyarakat. Dengan demikian, timbulah istilah yang dikenal dengan mihnah atau inquisisi.64 Paham tersebut didekritkan pada tahun 827 M.65

Mihnah yang dilaksanakan oleh al-Mu‟tashim memakai metode seperti yang ditempuh oleh al-Makmun dengan tidak dialami perubahan sama sekali.66 Bahkan pada masanya mihnah bukan hanya disebarkan kepada para pejabat maupun ulama, melainkan kepada semua lapisan masyarakat.67

Beberapa kajian mengetahui ada dua unsur dasar yang melatar belakangi hegomoni al-Makmun ketika berhadapan dengan pluralism. Banyaknya kelompok yang berseberangan pendapat dengan pemerintahan atas dasar hokum agama yang memiliki sejarah panjang sejak periode khulafarrasyidin.68

Mengenai pergerkan Zindiq, tentu berkaitan erat dengan apa yang menjadi garis kebijakan mihnah yang dijalankan khalifah al-Mu‟tashim. Pergerakan Zindiq lebih berbahaya bagi pemerintahan dan agama dari pergerakan apapun.

Pengajaran-pengajaran zindiq sudah berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan bermacam-macam interpretasi pengikutnya.

64Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1973), hal. 58. 65Grunebeaum,, hal. 205. 66Ahmad Amin, Duha al-Islam, juz III (Kairo: Maktabah Nahdah al-Mishriyah 1936), hal. 178. 67 Jalaluddin al-suyuti, Tarikh al-Khulafa’, Juz I, (Lebanon: 2008, cet-1) hal. 31 68Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hal. 201.

45

Pertama kali pengikut-pengikut kitab suci Zend di Persia dinamakan Zindiq atau

Zanadiqa. Istilah ini berlaku bagi mereka yang tidak percaya bagi ketauhidan tuhan tetapi menerima dengan dualismenya. Akhirnya mereka yang percaya pada dua aspek Tuhan yaitu cahaya dan kegelapan, dijelmakan sebagai Yezdan dan

Agriman. Orang-orang itu adalah orang-orang kafir, yang mempunyai kebudayaan mereka sendiri.

D. Membangun Kota Sammara

Dalam masa pemerintahan khalifah al-Mu‟tashim, militer budak menjadi

salah satu tumpuhan perang yang hebat yang dipercayai oleh beliau. Namun,

militer budak yang oada awalnya memperkokoh kekuasaan khalifah, tetapi

mereka sekaligus menjadi sumber kerusuhan. Kondisi kota Baghdad sendiri

disebutkan semakin sesak dengan keturunan orang-orang Turki yang dihimpun

oleh khalifah al-Mu‟tashim. Dengan jumlah mereka yang banyak mereka

mengganggu hak-hak masyarakat umum serta menimbulkan kerusuhan dan

kekacauan di kota Baghdad.

Kejadian ini mendorong penduduk Baghdad untuk datang menemui al-

Mu‟tashim, mereka memprotes masalah social baru tersebut seraya berkata “ Jika

kamu tidak mengusir mereka dari Baghdad dengan tentaramu, maka kami

penduduk Baghdad akan memerangimu!”.

Al-Mu‟tashim berkata, “ Bagaimana mungkin kalian bisa memerangiku?”

dan mereka berkata, “ Kami akan memerangimu dengan panah malam (do‟a)”

dengan jawaban seperti ini al-Mu‟tashim sudah tidak bisa berbuat apa-apa.

46

Inilah yang menyebabkan dia memindahkan ibu kota khilafah dari Baghdad ke

Surra Man Raa.69

Letak kota Sammara adalah di sebelah timur sungai Dajlah atau Tigris

yang jauhnya kurang lebih 100 km si sebelah utara kota Baghdad. Dinamakan

demikian, sebab setelah kota tersebut selesai dibangun menjadi kota yang indah

dan ramai, serta menarik perhatian bagi s iapa saja yang melihatnya. Samara

adalah sebuah kota kuno yang dibangun kembali oleh Daulah Abbasiyah,

khususnya pada masa Harun ar-Rasyid. Akan tetapi, apa yang diusahakan oleh

ar-Rasyid itu belum sempurna, seperti yang dilakukan al-Mu‟tashim putranya.

Sebab ar-Rasyid hanya membangun sebuah istana dan menggali Sungai Qathul

yang terletak berdampingan dengan kota Sammara.

Pada tahun 221/835M, kota ini kemudian dibangun kembali oleh al-

Mu‟tashim dengan tujuan: sebagai tempat tinggal yang baru (istana) bagi

khalifah, sebagai hadiah untuk Asynas, slah seorang komandan tentara yang

berkebangsaan Turki.70, untuk menampung orang-orang Turki yang tidak

tertampung di Baghdad, di samping karena mereka dibenci penduduk Baghdad,

sebab mereka sering mengadakan kerusuhan dan perkelahian.71

Pada tahun 223 H, al-Mu‟tashim melakukan peperangan ke negeri Romawi.

Serangan ini menimbulkan kerugian yang sangat besar di pihak tentara Romawi

yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan belum pernah dilakukan oleh khalifah

manapun. Al-Mu‟tashim telah berhasil menghancurleburkan barisan mereka dan

69Jalaluddin al-suyuti, Tarikh al-Khulafa’, Juz I, Terj. Samson Rahman (Pustaka Kausar: 200 0, cet-1) hal. 405 70Brockleman, Tarikh al-Syu’ub al-Islamiyah, terj. Nabih Amin Faris dan Munir al- Ba‟labaik, (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin 1974, cet-4), hal. 210. 71Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudaan Islam, Terj. Al-Mukkaram Ustad dan Labib Ahmad, ( Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993 ), hal. 195.

47

merobohkan bangunan mereka, serta mampu membuka „Amuriyyah dengan

pedang. Pada penyerangan itu sekitar tiga ribu tentara Romawi terbunuh dan

sekitar tiga puluh lagi tertawan. Pada saat dia mempersiapkan bala tentaranya

untuk menyerang Romawi, orang-orang ahli ramal mengatakan bahwa dia akan

terkalahkan karena menurut mereka tahun itu adalah tahun perunggu, namun

yang terjadi justru sebaliknya. Kemenangan yang dihasilkan oleh al-Mu‟tashim

menunjukkan betapa dia benar-benar piawai dalam berperang.72

72Jalaluddin al-suyuti, Tarikh al-Khulafa’, Juz I, Terj. Samson Rahman (Pustaka Kausar: 200 0, cet-1) hal. 407

48

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam studi ini ini menjelaskan pertanyaan besar mengenai bagaimana peran militer budak pada masa khalifah al-Mu’tashim? Dan jawabannya adalah peran militer budak pada masa tersebut sangat memainkan peranan yang penting, khususnya dalam memadamkan pemberontakan. Berbagai faktor yang telah menyokong tegaknya imperium Abbasiyah yakni kalangan elit imperium dan bentuk- bentuk kulturalnya, sekaligus juga menyokong kehancuran transformasi imperium tersebut. Bahkan kemerosotan Abbasiyah telah berlangsung di saat konsolidasi.

Ketika rezim ini sedang memperkuat angkatan militernya dan instansi pemerintahan terjadi beberapa peristiwa yang pada akhirnya mengahru-birukan nasib imperium

Abbasiyah khususnya masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim.

Beberapa kebijakan yang diambil oleh al-Mu’tashim dalam mengahadapi permasalahan, tampaknya belum bisa membantu sepenuhnya. Ada beberapa hal yang muncul setelah perang saudara terjadi yaitu adanya kebutuhan akan adanya dukungan dari berbagai kalangan dan basis militer yang loyal terhadap al-Mu’tashim. Beberapa pendukung al-Mu’tashim tampaknya tidak sepenuhnya memberikan dukungan bagi pemerintah pada saat itu.

Beberapa peristiwa di sini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas adanya persaingan dan perebutan kekuasaan dari masing-masing pendukung al-

Mu’tashim di antaranya adalah peristiwa pemberontakan Zatti, Babik al-Kharrami,

49 kebijakan Mihnah, dan terakhir militer budak muncul sebagai sebuah alternative bagi al-Mu’tashim dalam menanggulangi beberapa permasalahan yang ada. Mereka memainkan peranan yang cukup penting dalam masa al-Mu’tashim, sebut saja

Afsyin, Itakh, Bugha nama-nama inilah yang menghadapi beberapa pemberontakan.

Dalam tesisnya Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa sebuah kedaulatan yang hampir tua umurnya dan mendekati kehancuran, sementara di kalangan mereka tidak ada yang mampu mengendalikan negara, maka mereka merangkul kelompok- kelompok solidaritas lain kedalam kelompoknya untuk dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Keadaan ini, Ibnu Khaldun berkata, terjadi pada orang-orang Turki yang berada di bawah kedaulatan Abbasiyah.

Dengan demikian, militer budak pada masa Dinasti Abbasiyah tentunya masa khalifah al-Mu’tashim dapat dikatakan telah mencapai puncak proses (aksi, interaksi, dan reaksinya). Kondisi demikian bukan saja membawa perubahan atas nama pimpinan atau khalifah mereka namun lebih dari itu justru mereka sampai pada sebuah singgasana kekuasaan yang dapat mereka ambil. Apa yang mereka lakukan dan uji cobakan memunculkan sebuah pakem tersendiri bagi ahli sejarah untuk kemudian diamati lebih lanjut mengapa dan bagaimana proses yang demikian itu terjadi.

B. Saran

Penulis memahami betul dalam tulisan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritk dan saran sangat dibutuhkan demi baiknya tulisan/karya ini.

50

Untuk generasi selanjutnya akan lebih bagus lagi jika mengkaji lebih mendalam dan memunculkan ide-ide yang cemerlang menggali tulisan pada periode

Abbasiyah ataupun setelah masa khalifah al-Mu’tashim cukup menarik untuk dikaji.

Apa yang mereka (militer budak) lakukan dan uji cobakan memunculkan sebuah pakem tersendiri bagi ahli sejarah untuk kemudian diamati mengapa dan bagaimana proses yang demikian itu terjadi.

Melalui referensi ini akan sangat membantu dalam mengkaji fenomena munculnya kerajaan-kerajaan pada masa setelah khalifah al-Mu’tashim atau biasa disebut dengan periode kedua yang tentu dalam hal imi pengaruh militer dalam pemerintahan sangat kuat sehingga dapat menduduki kursi pemerintahan.

51

DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Primer

Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, juz I, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet-4) Jalaluddin al-suyuti, Tarikh al-Khulafa’, Juz I, (Lebanon: 2008, cet-1)

Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islam, jilid 3, (Kairo: Maktabah Nahdjah al- Mishriyah, 1978 cet-4)

B. Sumber Sekunder

Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudaan Islam, Terj. Al-Mukkaram Ustad dan Labib Ahmad, ( Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993 )

Abu Zayd’ Abd al-Rahman Ibnu Muhammad Ibn-Khaldun, al-Muqodimmah: muncul, bangkit, dan hancurnya negara, vol 1.

Brockleman, Tarikh al-Syu’ub al-Islamiyah, terj. Nabih Amin Faris dan Munir al- Ba’labaik, (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin 1974, cet-4)

Daniel Pippes, Sistem Militer Dalam Pemerintahan Islam ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993)

Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2007) Foran, FG, The Relation of the Slave and the Client to the Master or Parton in Medievel Islam dalam International Journal of Middle East Studies 2 (1991)

Hanif Anwari, Peran Kebudayaan Yunani dan Persia Bagi Perkembangan Rasionalitas Dalam Islam, Dalam Agama, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Adab Press, 2005)

Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, (Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1995)

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)

Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam (Yogyakarta: Kota Pelajar, 1989)

52

Ira M.Lapidus, Sejarah Ummat Islam Ter.Gufron A. Mas’adi (Jakarta: Rajawali Pers 1999)

Jurji Zaidan, Tārikh al-Tamaddun al-Islām, juz IV (Beirut: Darul Hilal, 1958)

J.Suyuti Puluingan, Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Rajawali Press)

Khaerudin Yujah Sawy, Perebutan Kekuasaan Khalifah Menyingkap Dinamika dan Sejarah Kaum Sunni ( Yogyakarta: Syafira Insani Press, 2005 )

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1983)

Marshal Hodgson, The Venture of Islam I, Terj. Mulyadi Kartanegara (Jakarta: Paramadina, 2002)

Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wicana, 1990)

Muhammad A Burai, Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembanguanan, (Jakarta: Rajawali Press, 1986)

Muhammad Jabid al-Jabari, Tragedi Perselingkuhan Politik dan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003)

Mundzirin Yusuf, “Khalifah al-Mu’tashim, Kajian Awal Mundurnya Daulah Abbasiyah”, dalam Thaqafiyyat : Jurnal Kajian Budaya Islam, vol. 13, no.1. Edisi Juni 2012.

Nu’man Sibli, Umar yang Agung Sejarah Dan Analisa Kepimpinan Khalifah (Bandung: Pustaka, 1991)

Philip K.Hitti ,History of The Arabs, terj.Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT.Serambi Ilmu Semesta, 2005)

Rizvi Saeed, Slavery From Islamic and Christian Perspektive, (Canada: Vancauver Islamic Educational,tt)

Sanafiah Faisal, (ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif, (Surabaya:Usaha Nasional, 1987)

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992)

53

Yoesoef Soub’by, Sejarah Daulah Abbasiyah I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)

54