PEREMPUAN TERBUNGKAM DALAM R.A. MOERHIA: PERINGETAN MEDAN 1929—1933 KARYA NJOO CHEONG SENG: SEBUAH KAJIAN SUBALTERN SPIVAK*)

(Silenced Woman in Njoo Cheong Seng’s R.A. Moerhia: Peringetan Medan 1929— 1933: A Spivak’s Subaltern Study)

Cahyaningrum Dewojati

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Indonesia Jalan Sosio Humaniora 1 Bulaksumur, Yogyakarta, 55281 Telepon penulis +628122733032 Pos-el: [email protected]

Diterima: 19 Januari 2021, Disetujui: 9 Maret 2021

ABSTRAK

Pada masa Hindia Belanda, perempuan bumiputra mendapatkan banyak penindasan sehingga mendorong mereka menjadi pihak subaltern. Subaltern merujuk kepada pihak berposisi inferior dan tunduk kepada pihak dari kelas berkuasa. Pihak subaltern tidak memiliki kemampuan untuk bersuara. Permasalahan tersebut dapat ditemukan dalam novel R.A. Moerhia: Peringetan Medan 1929—1933 karya Njoo Cheong Seng. Penelitian ini membahas subalternitas perempuan bumiputra pada masa Hindia Belanda dan berbagai bentuk penindasan yang dialami dalam novel R.A. Moerhia: Peringetan Medan 1929—1933 karya Njoo Cheong Seng melalui teori subaltern Spivak dengan metode deskriptif analitis. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat penindasan terhadap perempuan bumiputra sebagai pihak subaltern. Bentuk penindasan tersebut seperti ketidaksetaraan posisi yang menempatkan perempuan bumiputra sebagai nyai serta pelekatan stereotip buruk yang bersifat selayaknya barang, materialistis, dan digambarkan suka menggunakan hal irasional, misalnya sihir.

Kata kunci: perempuan, bumiputra, subaltern, R.A. Moerhia

ABSTRACT

During the period, Indigenous women had an immense amount of oppression that classified them as the subalterns. Subaltern refers to people that is inferior and submits to people from the dominant class. The subalterns do not have the right to voice their opinions. This issue can be found in the novel, R.A Moerhia: Peringetan Medan 1929-1933 (R.A. Moerhia: Memories of Medan 1929-1933) by Njoo Cheong Seng. This research discusses the subalternity of Indigenous women in the Dutch East Indies as well as the different forms of oppression they endured, which are depicted in the novel, through Spivak’s subaltern theory utilising the analytical descriptive method. The results indicate that there is oppression towards Indigenous women as the subalterns. The form of oppression include inequality of positions that place Indigenous women as nyais and being stereotyped abysmally as being materialistic as well as portrayed as undertaking in acts that were irrational, e.g. magic.

Keywords: women, Indigenous, subaltern, R.A. Moerhia

PENDAHULUAN ini pada abad ke-20, stratifikasi rasial tetap menjadi landasan struktur Dalam sejarah kolonialisme di Hindia kolonial, baik di dalam aspek sistem Belanda, perempuan bumiputra sering hukum, layanan sipil, maupun berada dalam posisi yang pendidikan (Fasseur, 1995; bdk. termaginalkan di masyarakat. Mereka Locher-Scholten, 2000: 18). berada dalam posisi yang rentan Pemerintah kolonial Belanda pada dimanfaatkan oleh kelompok- dasarnya membentuk peraturan kelompok dominan, baik dalam tersebut dengan maksud tertentu, lingkup terkecil, seperti keluarga dengan tujuan memisahkan golongan- maupun lingkup terbesar yakni tatanan golongan ras di Indonesia agar ras masyarakat. Hal itu menyebabkan penguasa (orang-orang Belanda) lebih banyak perempuan bumiputra superior dibandingkan golongan ras terperangkap di dalam posisi sebagai lainnya dan adanya anggapan bahwa pihak yang tertindas dan kehilangan golongan-golongan lain yang kemampuan untuk membela diri atau diperintah bersifat inferieur atau tidak memperjuangkan posisi dirinya agar cakap dalam memerintah setara dengan yang lain. Posisi para (Onghokham, 2009; bdk. Dewojati, perempuan bumiputra tersebut 2018: 7). umumnya makin sulit dengan kondisi Keberadaan perempuan, baik masyarakat Hindia Belanda yang pada pribumi, Tionghoa, maupun Belanda saat itu tersegregasi berdasarkan ras. di Hindia Belanda saat itu terefleksi Seperti diketahui, pemerintah kolonial dengan jelas dalam karya sastra yang Belanda membentuk stratifikasi sosial ditulis oleh sebagian besar pengarang yang membagi masyarakat Hindia ke pada masa itu, termasuk pengarang dalam tiga golongan. Terdapat tiga peranakan Tionghoa. Karya-karya kelompok hukum yang berbeda yang seperti Peniti-Dasi Barlian (1922) diakui oleh hukum kolonial Belanda karya Tan King Tjan, Njai Isah (1931) pada abad ke-20. Kelompok-kelompok karya Sie Lip Lap, Kasopanan Timur tersebut meliputi orang-orang Eropa, (1932) karya Dahlia, dan Djeng orang-orang Timur Asing (Tionghoa Soepiah (1934) karya Sonja dan Arab), dan orang-orang bumiputra menghadirkan keberadaan perempuan- (Fasseur, 1995; bdk. Locher-Scholten, perempuan bumiputra, Tionghoa, 2000: 18). ataupun Belanda dengan berbagai Hal ini dilegitimasi secara resmi macam konflik yang menaungi para oleh perbedaan kebutuhan hukum perempuan tersebut. Salah satu karya sehingga menghasilkan suatu hal yang sastra yang ditulis oleh pengarang disebut sebagai ‘apartheid legal’, yang peranakan Tionghoa adalah R.A. menggunakan bentuk-bentuk berbeda Moerhia: Peringetan Medan 1929— di domain-domain yang berbeda. 1933. Karya tersebut merupakan Meskipun terdapat beberapa kebijakan sebuah karya sastra Melayu Tionghoa etis yang berupaya menghapus sistem yang ditulis oleh Njoo Cheong Seng.

20 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021

Karya ini diterbitkan di pada satu pengarang yang patut tahun 1934 melalui penerbit Tjerita diperhitungkan dalam kancah sastra Roman. R.A. Moerhia: Peringetan Melayu-Tionghoa. Njoo, sesuai Medan 1929—1933 kembali dengan deskripsi menurut Jedamski, diterbitkan dalam sebuah antologi merupakan salah seorang pengarang karya sastra Melayu-Tionghoa sastra peranakan Tionghoa yang berjudul Kesastraan Melayu Tionghoa paling terkenal, paling kreatif, dan dan Kebangsaan Indonesia Jilid 9 paling produktif pada abad ke-20. Di pada tahun 2005 bersama dengan samping sebagai pengarang ataupun karya-karya sastra Melayu-Tionghoa novelis, Njoo dikenal pula berprofesi lainnya. Karya ini memiliki ketebalan sebagai seorang jurnalis, penerjemah, sejumlah 73 halaman. dan editor. Selain itu, Njoo juga aktif Sebagai pengarang peranakan menulis naskah untuk pertunjukan Tionghoa, Njoo Cheong Seng teater dan film (Jedamski, 2009: 354). merupakan salah seorang pengarang R.A. Moerhia: Peringetan terkemuka pada zamannya dengan Medan 1929—1933, selanjutnya berbagai karya yang menarik. disebut R.A. Moerhia mengisahkan Produktivitas Njoo yang cemerlang dinamika kehidupan dari seorang dapat dilihat melalui berbagai karya perempuan Jawa bernama Raden yang berhasil dibuatnya. Beberapa Adjeng Moerhia. Sebagai anak dari judul karyanya, antara lain Menikah seorang pensiunan wedana, Raden dalem Koeboeran (1925), Gagal Adjeng Moerhia menghadapi (1925), Nona Ollanda sebagai Isteri permasalahan ketika ia menjalin Tionghoa (1925), Boeaja Soerabaja hubungan dengan seorang laki-laki (1926), Tjoe Kiat Liang; Djojobojo Belanda totok bernama Willy van ataoe Dari Mana Atsalnya Galen. Raden Adjeng Moerhia adalah Boemipoetra Djawa? (1926), Boeat salah satu tokoh novel yang ditulis Apa Ada Doenia (1929), dan Raden oleh Njoo Cheong Seng yang Adjeng Moerhia (1934) (Salmon, digambarkan memiliki pemikiran 1981; bdk. Setyautama, 2008: 254). ultramodern. Dalam novel ini, tokoh Njoo, yang juga memiliki nama ini digambarkan pengarangnya harus samaran Monsieur Amor atau menghadapi kenyataan bahwa sang Monsieur d‘Amor, lahir pada tanggal ayah, R.M. Hadikoesoemo dan sang 6 November 1902 di , Jawa kakak laki-laki, Raden Soedjono Timur (Salmon, 1981; bdk. menentang keras hubungannya dengan Setyautama, 2008: 253). Selain Willy, lelaki beretnis Belanda karena dengan dua nama yang telah perbedaan ras. Selain itu, penentangan disebutkan, Njoo juga kerap tersebut juga dipengaruhi oleh menggunakan nama samaran lain pandangan mereka yang menolak seperti N.C.S atau N.Ch.S keras adat istiadat Barat. (Ensiklopedia Jakarta, 2012). Njoo Perbedaan ideologi dalam novel mendapatkan pengakuan sebagai salah ini yang digambarkan terlalu keras di

Perempuan Terbungkam dalam R.A. Moerhia:... (Cahyaningrum Dewojati) 21 antara Raden Adjeng Moerhia dengan konteks kolonialisme Belanda di tanah keluarganya membuat perempuan itu Hindia, ketidakseimbangan relasi pada akhirnya menempuh jalan pintas kuasa tersebut dialami oleh pihak dengan memutuskan untuk kawin lari terjajah yang mengalami penindasan dengan kekasihnya. Namun, dari pihak penjajah. Pihak terjajah digambarkan dalam cerita ini, yang mengalami penindasan tersebut kebahagiaan dan suka cita pernikahan pada akhirnya sering kali terjebak ke yang dirasakan oleh Raden Adjeng dalam posisi sebagai subaltern. Moerhia itu menjadi antiklimaks. Subaltern dapat diartikan Ungkapan pihak keluarga Raden sebagai (seseorang atau kelompok) Adjeng Moerhia tentang kebiasaan yang berasal dari golongan yang lelaki Belanda digambarkan mulai inferior atau lebih rendah. Subaltern menjadi kenyataan ketika suatu saat merupakan istilah yang diadopsi oleh Willy berniat untuk kembali ke Antonio Gramsci dan merujuk kepada Belanda tanpa sepengetahuan sang kelompok-kelompok di dalam istri. Selain itu, meskipun keduanya masyarakat yang tunduk kepada berada dalam suatu ikatan perkawinan, hegemoni dari kelas penguasa. pandangan masyarakat terhadap Kelompok subaltern dapat terdiri atas pasangan tersebut tidaklah demikian. petani, pekerja, dan kelompok- Baik Raden Adjeng Moerhia maupun kelompok lainnya yang menolak akses Willy van Galen harus menerima ke kekuasaan hegemonik (Ashcroft et kenyataan bahwa hubungan keduanya al., 1998: 215). Dalam alam dianggap tidak lebih dari hubungan kolonialisme, banyak perempuan di antara tuan Eropa dan nyai bumiputra- Hindia Belanda yang termasuk ke nya. Pandangan tersebut didapatkan dalam golongan subaltern. Para oleh keduanya, baik dari lingkungan perempuan tersebut tidak memiliki masyarakat bumiputra maupun sarana ataupun ruang untuk berbicara. masyarakat Eropa di tempat tinggal Ketidakmampuan perempuan mereka. subaltern dalam bersuara sesuai Interaksi para tokoh di dalam dengan pendapat Gayatri Spivak. cerita menunjukkan adanya dinamika Spivak berpendapat bahwa perempuan hubungan yang terjadi antara berbagai dari kelompok subaltern tidak golongan di Hindia Belanda. memiliki kemampuan untuk bersuara. Dinamika tersebut kadang-kadang Lebih lanjut, pernyataan tersebut mampu menciptakan dominasi bagi sering kali ditempatkan di luar konteks salah satu pihak yang pada akhirnya dengan maksud kelompok-kelompok juga menjadi alat diskriminasi kepada yang disubordinasikan secara sosial pihak lainnya. Pihak yang mengalami dan politik tidak mampu bertindak penindasan tersebut sering kali tidak ataupun bersuara karena mereka mampu melakukan perlawanan karena dieksklusi dari representasi kultural adanya pembatasan sosial ataupun dan politis (Morton, 2008: 15). kultural yang dialaminya. Dalam

22 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021

Berbagai bentuk diskriminasi prakemerdekaan, Bahardur dalam dan ketimpangan relasi kuasa penelitiannya ini menggunakan tiga mendorong perempuan bumiputra ke novel Indonesia modern, yaitu Orang- dalam posisi sebagai subaltern. Orang Blanti karya Wisran Hadi, Penelitian ini berusaha mengkaji Maya karya Ayu Utami, dan Gadis permasalahan subalternitas yang Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. dialami oleh perempuan bumiputra Bahardur menggunakan teori pada masa Hindia Belanda serta subaltern yang dikembangkan oleh berbagai bentuk diskriminasi dan Gayatri Spivak untuk menganalisis ketertindasan yang diterima oleh bentuk penindasan kolonial yang perempuan bumiputra dalam novel dialami oleh perempuan pribumi R.A. Moerhia. Penelitian ini subaltern dan upaya perjuangan para menggunakan model penelitian perempuan pribumi subaltern tersebut kualitatif dengan menggunakan melawan ideologi kolonial. Hasil metode deskriptif analisis sebagai penelitian ini mengungkapkan bahwa metode penelitian. Teori penelitian terdapat penindasan yang dialami oleh yang digunakan dalam penelitian ini perempuan pribumi subaltern, seperti adalah teori subaltern yang pemarginalan, pemiskinan dari sudut dikembangkan oleh Gayatri Spivak. ekonomi, dilekatkan oleh stereotip, Sementara itu, data-data penelitian dan pelecehan seksual. Di sisi lain, berupa deskripsi cerita dan dialog ditemukan pula bahwa para antartokoh diperoleh dari novel R.A. perempuan pribumi subaltern ini pun Moerhia karya Njoo Cheong Seng juga melakukan perlawanan atas yang diterbitkan kembali dalam buku penindasan yang mereka alami. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Bentuk-bentuk perlawanan tersebut, Kebangsaan Indonesia Jilid 9. yaitu penanganan kejayaan masa lalu Beberapa penelitian terdahulu untuk menumbuhkan semangat mengenai subaltern perempuan dalam berjuang, pengamalan ilmu melalui karya-karya sastra di Indonesia pendidikan modern, menjaga tradisi menjadi sumber dalam penelitian ini. dan budaya, serta tindakan mimikri. Bahardur (2017) dalam penelitiannya Kajian mengenai subaltern yang berjudul ―Pribumi Subaltern perempuan pada novel karya dalam Novel-Novel Indonesia pengarang peranakan Tionghoa pernah Pascakolonial‖ membahas dibahas oleh Febriani (2020) dalam subalternitas kaum pribumi, terutama skripsinya yang berjudul pada kalangan perempuan dengan ―Representasi Kesadaran Diri mengambil sudut pandang terhadap Subaltern dalam Novel Njai Isah jejak kolonialisme dan imperialisme di Karya Sie Lip Lap: Analisis Indonesia. Apabila penulis Pascakolonial‖. Melalui penerapan menggunakan objek penelitian berupa teori poskolonial Spivak, penelitian ini novel karya pengarang sastra berusaha mengungkapkan pembagian peranakan Tionghoa pada masa masyarakat Hindia Belanda yang

Perempuan Terbungkam dalam R.A. Moerhia:... (Cahyaningrum Dewojati) 23 terbagi menjadi kelompok dominan bawah bayang-bayang kelompok dan kelompok subaltern, juga guna dominan dan superioritas mereka. mengungkapkan representasi Dinamika tersebut salah satunya kemampuan sadar diri kelompok diperlihatkan melalui perlakuan subaltern dalam novel Njai Isah. hormat dan pantas dari sebuah Hasil penelitian menunjukkan keluarga Tionghoa kepada Isah, bahwa golongan dan ras, gender, dan seorang pembantu dari kalangan hubungan keluarga menjadi dasar bumiputra. Perlakuan baik yang yang memengaruhi kedudukan diterima oleh Isah menunjukkan kelompok subaltern, yang mana adanya kesetaraan yang diterimanya. unsur-unsurnya bisa saling berkaitan. Representasi kesetaraan tersebut Dalam unsur golongan dan ras, orang menunjukkan adanya dinamika karena Eropa yang menempati posisi tertinggi kelompok subaltern yang sering secara otomatis menjadi kelas direndahkan ternyata bisa penguasa yang menekan orang-orang mendapatkan kesetaraan dari bumiputra yang berada pada posisi kelompok dominan. Namun, hal terendah. Dalam unsur gender, tersebut menunjukkan bahwa suara perempuan menjadi golongan yang kelompok subaltern harus diwakilkan menempati posisi subaltern. Dengan oleh kelompok dominan untuk demikian, unsur golongan/ras dan didengar. gender saling berkaitan. Seorang Selain itu, dalam novel Njai Isah perempuan dapat menindas seorang juga terdapat penggambaran laki-laki apabila golongan/rasnya lebih kemampuan sadar diri subaltern yang tinggi. Dalam unsur hubungan digambarkan melalui perlawanan keluarga, yang dipengaruhi oleh langsung. Namun, hal itu Konfusianisme, menempakan anak menunjukkan adanya inkonsistensi perempuan di bawah posisi orang tua, pengarang tentang kekuatan dan sementara anak laki-laki berada di atas kelemahan kelompok subaltern posisi ibu dan berada di bawah posisi terhadap kelompok dominan dan ayah. superioritas mereka. Hal ini, salah Representasi kemampuan sadar satunya diperlihatkan ketika Isah, diri kelompok subaltern dalam novel seorang bumiputra yang juga berstatus Njai Isah banyak direpresentasikan sebagai janda, berusaha mencari melalui kelompok Eropa dan pekerjaan. Bagian ini memperlihatkan kelompok laki-laki, yang keduanya kemampuan sadar diri anggota merupakan kelompok dominan. kelompok subaltern untuk memenuhi Representasi tersebut di satu sisi kebutuhannya. Akan tetapi, memunculkan dinamika yang inkonsistensi muncul ketika menunjukkan kesetaraan antara diperlihatkan bahwa Isah bekerja kelompok dominan dan kelompok sebagai babu dari peranakan subaltern, tetapi di sisi lain juga Tionghoa, yang diposisikan sebagai menempatkan kelompok subaltern di kelompok dominan. Pengarang, dalam

24 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021

hal ini memunculkan inkonsistensi Hal ini diperlihatkan melalui sebab pada akhirnya Isah sebagai penindasan yang dilakukan oleh laki- seorang perempuan bumiputra dan laki terhadap perempuan, terutama janda tetap diperlihatkan berada di perempuan bumiputra yang posisi bawah dalam struktur sosial mengalami penindasan ganda karena yang berlaku di Hindia Belanda. mengakarnya sistem patriarki di Pada tahun yang sama, masyarakat Hindia Belanda. permasalahan subaltern perempuan Dalam Paniti Dasi Berlian, juga pernah diteliti oleh Gitandjali stratifikasi sosial berdasarkan (2020) dalam skripsinya yang berjudul hubungan orang tua dengan anak juga ―Kesadaran Diri Para Tokoh Subaltern dipengaruhi oleh gender dan budaya. dalam Novel Peniti Dasi Berlian Hal ini diperlihatkan melalui Karya Tan King Tjan: Analisis hubungan antara orang tua dan anak Pascakolonial‖. Dengan menggunakan yang bersifat satu arah dan otoriter. teori poskolonial Gayatri Spivak, Dalam hal ini, anak perempuan Gitandjali meneliti permasalahan mengalami penindasan ganda karena stratifikasi sosial yang terjadi pada anak perempuan cenderung tidak masa Hindia Belanda dalam novel diberikan kepercayaan selayaknya Peniti Dasi Berlian sekaligus anak laki-laki. Anak perempuan juga kemampuan sadar diri dari para pihak diharapkan untuk tunduk pada subaltern dalam novel Peniti Dasi kemauan orang tua. Di lain pihak, Berlian. stratifikasi sosial berdasarkan Dalam hasil analisis ditemukan hubungan antara tuan dan budak bahwa terdapat empat faktor yang diperlihatkan oleh kekuasaan tuan atas mempengaruhi stratifikasi sosial di budaknya sehingga seorang budak masyarakat dalam novel Peniti Dasi tidak mampu untuk menentukan nasib Berlian, yaitu ras, gender, hubungan hidupnya sendiri. antara anak dengan orang tua, dan Stratifikasi-stratifikasi sosial kedudukan antara tuan dan budak. yang berlaku itu kemudian Stratifikasi sosial berdasarkan ras menciptakan penindasan pada kaum- muncul melalui aturan pembagian kaum rentan dan lemah hingga kelas yang diterapkan pemerintah melahirkan golongan-golongan kolonial Belanda. Tingkat pertama subaltern. Dalam Peniti Dasi Berlian, yang juga merupakan tingkat tertinggi tokoh-tokoh subaltern mengalami diisi oleh orang-orang Belanda dan penindasan dari kelompok dominan Indo. Tingkat kedua diisi oleh orang- hingga tidak mampu menyuarakan orang Timur Asing seperti Tionghoa, suara mereka secara utuh. Di lain Arab, dan India dan tingkat ketiga pihak, suara para tokoh subaltern sekaligus terakhir diisi oleh orang- justru diwakilkan oleh para tokoh dari orang bumiputra. Sementara itu, kelompok dominan yang diciptakan stratifikasi sosial berdasarkan gender oleh pengarang. Keterwakilan suara juga ikut dipengaruhi oleh status ras. para tokoh subaltern ini memberikan

Perempuan Terbungkam dalam R.A. Moerhia:... (Cahyaningrum Dewojati) 25 gambaran ilusi terhadap kesetaraan memiliki pengetahuan luar biasa dan yang didapatkan oleh para tokoh beragam tentang kebudayaan lokal subaltern tersebut, meskipun pada Indonesia sekaligus kebudayaan akhirnya para tokoh subaltern tersebut Tionghoa. tetap saja berada dalam posisi Selain itu, melalui cerita tertindas. Gagaklodra, Njoo Cheong Seng juga Selain itu, terdapat beberapa berusaha menyampaikan penelitian sebelumnya yang pandangannya tentang identitas. Bagi membahas tentang novel R.A. Njoo, identitas bukanlah sebuah hal Moerhia, karya-karya Njoo Cheong yang kaku, melainkan sesuatu yang Seng lainnya serta Njoo Cheong Seng bersifat cair, terdiri atas elemen- sebagai seorang pengarang peranakan elemen yang saling mengisi dan Tionghoa. Berbeda dengan fokus bersatu padu. Hal itu lantas penelitian penulis yang menggunakan menyiratkan bahwa identitas novel R.A. Moerhia, Chandra (2011) seseorang tidak hanya terdiri atas satu membahas salah satu karya Njoo aspek tunggal semata, pembentukan Cheong Seng berjudul Gagaklodra identitas seseorang lebih dilihat dalam penelitiannya yang berjudul sebagai sebuah proses penerimaan ―Fantasizing Chinese/Indonesian unsur-unsur baru tanpa harus Hero: Njoo Cheong Seng and the melepaskan diri dari akar. Sebuah Gagaklodra Series‖. proses hibriditas yang justru makin Sebagai sebuah karya sastra, menguatkan identitas seseorang. Gagaklodra berhasil memadukan Penelitian terhadap novel R.A. berbagai elemen berbeda dalam proses Moerhia karya Njoo Cheong Seng pembangunan cerita. Dengan juga pernah dilakukan oleh Susanto menggunakan penceritaan ala cerita (2014) dalam artikelnya yang berjudul detektif Inggris, Njoo juga ikut ―Penolakan terhadap Tradisi Barat memberikan sentuhan lokal dan dalam Raden Adjeng Moeria karya Tionghoa melalui identitas para Njoo Cheong Seng‖. Meskipun sama- karakter yang merupakan perpaduan sama menggunakan novel R.A. antara unsur cerita rakyat Indonesia, Moerhia, penelitian ini tidak keberagaman identitas etnis di membahas tentang subalternitas. Indonesia, dan unsur-unsur Tionghoa. Susanto dalam penelitiannya Keberadaan sang tokoh utama, Raden membahas reaksi Njoo Cheong Seng Wiradraka atau Tan It-ban sebagai terhadap situasi sosial yang terjadi seorang keturunan Tionghoa dan Jawa pada zamannya, dalam hal ini adalah menunjukkan adanya sebuah proses mengenai liberalisme dan modernisasi. hibriditas dan identitas yang tidak Selain itu, penelitian ini juga berfokus tunggal. Perpaduan menarik ini tidak dalam eksplorasi terhadap kelompok- diragukan lagi berhasil menunjukkan kelompok sosial yang diwakili oleh sisi seorang Njoo Cheong Seng Njoo Cheong Seng serta pandangan sebagai seorang pengarang yang dunia yang menyertai hal tersebut dan

26 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021

tanggapan terhadap situasi yang HASIL DAN PEMBAHASAN terjadi. Hasil penelitian tersebut Stratifikasi sosial yang dibentuk oleh mengungkapkan bahwa kelompok pemerintah kolonial Belanda di tanah sosial yang diwakili oleh Njoo Cheong Hindia, baik secara langsung maupun Seng adalah kelompok intelektual tidak langsung berhasil membentuk peranakan Tionghoa yang hibrida. dan mempengaruhi cara berpikir Berbeda dengan golongan totok, maupun cara berperilaku dari setiap golongan Tionghoa jenis ini dianggap anggota golongan masyarakat tertentu. sebagai perantauan atau diaspora. Dalam konteks masyarakat Eropa di Selain itu, golongan intelektual yang Hindia, mereka memiliki sikap berpendidikan, mapan secara ekonomi, tersendiri kepada golongan masyarakat dan terafiliasi secara sosial dan Hindia lain, seperti golongan kultural dengan organisasi tertentu bumiputra. Sebagai kelompok (misalnya Tiong Hoa Hui Kuan atau masyarakat yang menempati posisi THHK) menjadi ciri lain dari tertinggi dalam stratifikasi sosial di kelompok sosial yang diwakili oleh Hindia Belanda, orang-orang Eropa Njoo Cheong Seng. Sementara itu, memiliki kecenderungan untuk pandangan dunia yang dimiliki oleh memandang posisi mereka lebih tinggi kelompok sosial ini berasal dari nilai dari seluruh golongan penduduk dan tradisi leluhur, terutama lainnya. Mereka juga tampil sebagai Khonghucu dan Taoisme. Nilai golongan elite kelas menangah yang moralitas menjadi perwujudan dari memiliki kekhasan (Hellwig, 2007: salah satu pandangan dunia yang 27). menyertai kelompok sosial tersebut. Kekhasan tersebut dapat dilihat Dengan demikian, Njoo Cheong melalui sikap superior yang dimiliki Seng melakukan sebuah perlawanan oleh orang-orang Eropa karena kultural dengan mengembangkan kedudukan mereka yang identitas melalui teks Raden Adjeng menguntungkan dan memberikan Moerhia dan juga kelas yang mereka banyak hak istimewa. diwakilinya terhadap permasalahan Superioritas dan dominasi yang pengaruh ideologi liberalisme dan dimiliki golongan masyarakat Eropa modernisasi yang terjadi pada ini pada akhirnya menciptakan masyarakat di zamannya. Di sisi lain, pandangan-pandangan tertentu yang perlawanan kultural yang dilakukan bersifat merendahkan, bahkan oleh Njoo Cheong Seng melalui Raden mendiskriminasi golongan masyarakat Adjeng Moerhia dapat dilihat sebagai lainnya. Sikap seperti itu pun tidak suatu cara dalam mempertahankan luput digambarkan melalui identitas sebagai masyarakat Timur penggambaran tokoh-tokoh Eropa sekaligus menolak identitas dari Barat totok di dalam cerita. yang berpusat pada individualisme. Dalam konteks cerita R.A. Moerhia, superioritas dan dominasi

Perempuan Terbungkam dalam R.A. Moerhia:... (Cahyaningrum Dewojati) 27 golongan masyarakat Eropa menunjukkan adanya pandangan digambarkan berpengaruh pada rasialis dan superioritas dari kehidupan tokoh Raden Adjeng golongan orang-orang Eropa; yang Moerhia, seorang perempuan menunjukkan bahwa posisi antara bumiputra. Ikatan perkawinan antarras keduanya dianggap tidak setara. Hal yang dilaluinya bersama dengan ini tentunya berkaitan dengan seorang lelaki Belanda totok bernama stratifikasi sosial pada masa kolonial Willy van Galen dipandang sebagai yang menempatkan orang-orang suatu hal yang tidak lazim, bahkan bumiputra di posisi terbawah dalam aneh oleh orang-orang Eropa di struktur diskriminatif tersebut. lingkungan sekitarnya. Bagi orang- Perbedaan kelas sosial tersebut orang Eropa tersebut, hubungan antara kemudian memberikan jalan bagi Moerhia dan Willy lebih dianggap orang-orang Eropa untuk menekan dan sebagai hubungan antara tuan dengan mempersempit ruang gerak sosial gundiknya. Penggambaran tersebut orang-orang bumiputra. Moerhia, yang dapat dilihat melalui kutipan di bawah merupakan seorang perempuan ini. Kutipan-kutipan cerita dikutip bumiputra, diposisikan hanya sebagai sesuai dengan ejaan pada naskah asli. sebuah ‗piaraan‘ (gundik) dari seorang lelaki Eropa, dan bukan Seperti suda dikataken Timur sebagai seorang istri resmi yang tinggal Timur, Barat tinggal terhormat. Pandangan tersebut secara Barat, marika tida pernah aken garis besar juga memosisikan Moerhia bertemu. sebagai seseorang yang submisif dan Kabruntungan itu seolah-olah tidak memiliki kuasa, sementara Willy impian, lekas sekali berakhir yang merupakan seorang yang berasal dalem keada‘an yang betul. dari ras Eropa, lelaki Belanda totok, Willy dengen pelahan berasa dianggap melakukan sebuah perbuatan bahua ia banyak dibicaraken yang kurang terpuji karena ia dianggap oleh bangsanya, kerna ia senang memelihara seorang mempiara satu prempuan perempuan bumiputra di rumahnya. Indonesier. Maski bermula Willy Satu hal lain yang menjadi tida berasaken itu dan tida perhatian adalah status sosial yang perduliken, tapi kemudian dimiliki oleh Moerhia, yang merasa kikuk juga. merupakan seorang bumiputra dari (Njoo, 1934; bdk. A.S. & kalangan terpandang dan terpelajar, Hamiyati (ed.), 2005: 153) tetap tidak mampu membuatnya dipandang setara oleh orang-orang Melalui kutipan tersebut, dapat Belanda. Ketidakadilan yang dialami dijumpai penggunaan kata ‗mempiara‘ oleh Moerhia juga berkenaan dengan yang merujuk kepada perkawinan statusnya sebagai perempuan, yang antara Moerhia dan Willy. dalam pandangan masyarakat Penggunaan kata tersebut dianggap lebih lemah dibandingkan

28 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021

dengan laki-laki. Permasalahan yang para nyai tersebut juga seakan-akan dialami oleh Moerhia kemungkinan memiliki penanda tersendiri yang besar tidak akan terjadi apabila dapat membuatnya mudah dikenali konteks subjeknya adalah seorang oleh orang-orang di sekitarnya. Bagi laki-laki ningrat bumiputra. Hal itu golongan masyarakat bumiputra, disebabkan pada umumnya struktur keberadaan para nyai ini nyatanya juga masyarakat bumiputra, khususnya dianggap sebagai sebuah tindakan dalam hal ini kalangan ningrat, penyimpangan. mengistimewakan laki-laki dan tidak memberi ruang bersuara kepada Bertambah sayangnya ia kepada perempuan. majikannya itu, dan ia berasa Tidak berhenti sampai di sana, bahua satu waktu, ia perlu dominasi orang-orang Eropa juga dengen iapunya tenaga dan diperlihatkan melalui adanya ―perang pembelahan. Ia suka kesian gosip‖, kasak-kusuk, yang menjadi kapada Raden-Adjeng Moerhia, semacam alat untuk menekan secara kerna ia ampir belon perna liat sosial kepada seorang individu. Dalam satu prempuan bangsanya begitu kutipan di atas, Willy merasa terpojok cantik, begitu pande, begitu karena ia menjadi pembicaraan di pinter mengurus rumah tangga, kalangan bangsanya. Hal itu lantas begitu mencinta pada suaminya, memberikan gambaran bahwa Willy hingga ia merasa sayang sekali, dianggap telah melakukan perbuatan juga dengen ia punya tingkatan keliru di dalam lingkungan pergaulan ia musti menjadi ‗Nyainya‘ bangsanya dengan memiliki hubungan saorang Blanda, maski ada juga bersama Moerhia. Hubungan inter- laen perkata‘an yang lebih halus, rasial yang terjalin di antara seorang ia itu dianggep seperti ‗Nyonya‘ perempuan bumiputra dan seorang oleh itu orang Blanda. Tapi lelaki Eropa tetap dianggap sebagai sampe brapa tinggi satu sebuah hubungan antara seorang nyai prempuan Indonesier boleh naik dan tuan Eropa-nya. Selain itu, tingkatan, ia pun kurang lebih hubungan inter-rasial tersebut juga aken sebagi ‗Nyai‘ sa‘ande tida dipandang sebuah hubungan yang dipanggilnya ia itu ‗Nyai‘, toch rendah, buruk, dan bermasalah, ia aken dipandengnya seperti bahkan ketika hubungan tersebut ‗Nyai‘. merupakan sebuah hubungan Satu ‗Nyai-Blanda‘. perkawinan di antara keduanya. Itu klas yang sekarang ditempati Anggapan mengenai perempuan oleh Raden-Adjeng Moerhia, bumiputra sebagai nyai ini tidak hanya menurut anggepannya Karto, dimiliki oleh golongan masyarakat bukan ia punya tempat. Itu Eropa saja, golongan masyarakat tempat cuma boleh ditempati bumiputra pun diperlihatkan memiliki oleh prempuan-prempuan pandangan yang serupa. Selain itu,

Perempuan Terbungkam dalam R.A. Moerhia:... (Cahyaningrum Dewojati) 29

kabanyakan yang suda terusak seorang perempuan bumiputra. Di lain penghidupannya. pihak, keberadaan tokoh Karto juga (Njoo, 1934; bdk. A.S. & dapat diartikan sebagai sarana bagi Hamiyati (ed.), 2005: 156—157) narator, yang dalam hal ini adalah suara pengarang, untuk Ia suda perna tiga atawa ampat mempertanyakan kebijakan mengenai kali ikut ‗Tuan-Kebon‘ yang hubungan antarras, khususnya antara mempiara ‗Nyai‘ – ‗Nyai‘ itu, orang-orang Belanda dan orang-orang tida perduli dari tingkatan apa bumiputra serta posisi perempuan juga, kerna baek rawatannya ningrat bumiputra pada masa kolonial terhadep kapada iapunya ‗Tuan‘, Belanda. dikasihi dan disayangnya oleh Keberadaan nyai di lingkungan iapunya ‗Tuan‘, Tapi itu lelakon masyarakat Hindia dapat dilacak sejak cepet sekali berakhir. Si ‗Tuan‘ adanya keberadaan VOC. Menurut brangkat pulang ka Europa Taylor (2009: 147), selama masa VOC atawa hendak menikah dengen berkuasa, para lelaki memiliki bangsanya sendiri, si ‗Nyai‘ kebebasan untuk memiliki ataupun dikasi uwang-cap, disuru pulang tinggal bersama budak perempuan kampung, kasarnya disuru pilih Asia di rumah tangga mereka. Akan laen suami. Begitulah akhirnya tetapi, praktik perbudakan domestik riwayat dari satu ‗Nyai‘. kemudian menghilang setelah tahun Tapi kabanyakan ‗Nyai-Kebon‘ 1860. Para lelaki yang mempraktikkan itu yang terdiri dari prempuan pergundikan tersebut lantas mencari yang merdika, sasuda terlepas pasangan mereka di antara populasi dari tuannya telah tuntut kombali bebas di desa-desa Indonesia. penghidupannya yang merdika. Perempuan yang dipilih kemudian Dunia teratur seperti biasa dan menjadi pekerja dan ditugaskan untuk ‗Sang Ex-Nyai‘ pun ikut terputer mengatur rumah tangga orang-orang dan terkatung-katung dalem itu Eropa, sebuah posisi yang gelombang penghidupan. memunculkan eufemisme kolonial (Njoo, 1934; bdk. A.S. & yang umum untuk pergundikan, yaitu Hamiyati (ed.), 2005: 157) sebagai pengurus rumah (Taylor, 2009: 147). Sudut pandang orang-orang bumiputra Meskipun lekat dengan terhadap nyai dihadirkan melalui pandangan bahwa nyai umumnya keberadaan Karto. Sebagai seorang berasal dari perempuan-perempuan bujang (sebutan untuk pembantu laki- bumiputra kelas bawah, fenomena laki pada masa kolonial), Karto tersebut kemungkinan besar dapat menyayangkan nasib Moerhia yang bergeser sehingga aktivitas pernyaian berakhir hanya menjadi istri seorang tidak hanya dapat terjadi pada laki-laki Belanda dengan segala perempuan bumiputra kelas bawah kualitas baik yang dimilikinya sebagai atau budak, tetapi dapat pula dialami

30 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021

oleh perempuan bumiputra dari hubungan transaksional antara gundik kalangan terdidik atau terpelajar. Hal dan tuannya. Dibandingkan dianggap itu dibuktikan melalui keberadaan sebagai seorang manusia, lebih-lebih tokoh Moerhia dalam cerita ini. seorang perempuan, nyai justru Selain itu, cerita menunjukkan dianggap sebagai barang yang bahwa terdapat suatu pandangan memiliki masa pakai yang bergantung tersendiri yang diterima oleh Moerhia dengan kondisi sang tuan. Posisi para perihal statusnya sebagai istri dari nyai ditekan sedemikian rupa sehingga seorang lelaki Belanda. Sebutan mereka tidak memiliki kemampuan nyonya yang dilekatkan kepada untuk mendobrak pandangan buruk Moerhia tidak lebih daripada sebuah terhadap diri mereka. Pandangan penghalusan status yang menyamarkan buruk yang diterima oleh para nyai fakta bahwa ia tetap saja dipandang dari golongan masyarakat Eropa dan sebagai seorang gundik. Sudut golongan masyarakat bumiputra pandang Karto dalam kutipan pertama sejalan dengan ketiadaan hak yang juga memperlihatkan bahwa ada dimiliki oleh para nyai tersebut. semacam proses turun kelas yang Hellwig menjelaskan bahwa nyai dialami oleh Moerhia ketika ia berada dalam posisi yang tidak menikah dengan seorang laki-laki menguntungkan karena tidak memiliki Belanda. Moerhia, yang semula adalah hak apa pun, baik hak atas anak seorang perempuan bumiputra mereka maupun hak atas dirinya terpelajar dan berasal dari keluarga sendiri. Kondisi tersebut juga terpandang, lantas turun derajatnya diperkuat fakta bahwa seorang nyai menjadi seorang nyai Belanda. Satu dapat ditinggalkan kapan pun oleh hal yang perlu digarisbawahi juga tuannya, tanpa adanya bantuan dalam adalah kenyataan bahwa posisi nyai bentuk apapun (Hellwig, 2007: 38). setelah lepas dari tuannya juga belum Dalam salah satu bagian cerita, tentu baik dan cap sebagai mantan kemalangan yang dialami oleh para nyai akan terus melekat kepada nyai ini juga menimpa Moerhia mereka. Istilah merdika yang manakala Willy diharuskan untuk dimaksud oleh tokoh Karto tidak lebih kembali ke Belanda atas permintaan dari sebuah ungkapan mengenai nasib sang ibu. para nyai setelah mereka dicampakkan oleh tuan mereka. Kabetulan itu pagi ia punya Nyai, dalam pandangan kawan guru sekolah Jay masyarakat, dianggap hanya sebagai Hoffman dateng. Ia ini ada sebuah alat untuk memenuhi kawan yang paling baek dan kebutuhan biologis dan rumah tangga yang selalu membri nasehat dari lelaki-lelaki Eropa. Hal itu tentang ia punya ka‘adaan. menyebabkan pandangan terhadap Dalem banyak perkata‘an yang hubungan antara nyai dan laki-laki ia orang bicaraken, akhirnya Eropa tidak lebih dari sebuah Willy nyataken tentang

Perempuan Terbungkam dalam R.A. Moerhia:... (Cahyaningrum Dewojati) 31

bagimana ia telah mendapet satu bagimana musti mulai dengen surat dari ibunya, kerna ia musti pembicar‘an saya....‖ kombali. ―Saya heran kau sebagi saorang Cuma ia nyataken bahua ia tida Blanda boleh punya adat begitu tau bagimana ia musti ceritaken rupa terhadap kapada kau punya kepada istrinya Moerhia. ‗Nyai‘. Apa kau ini suda kena Menurut advies Hoffman itu ‗Jamu-Jawa?‘ kalu kau tida bisa tinggalken saja Moerhia, mulai dengen kau punya prempuan Jawa sanget gampang percakepan, saya nanti yang sekali, sesuda ditinggal tuannya mulai, dan kau aken tinggal tentu ia kawin di kampung. menyambung saja....‖ ―Orang prempuan Jawa jangan Kamudian itu permufakatan kau terlampau beratken. suda dibikin, dan kaduanya Perkawinan dan perceraian buat lantas kluar rumah dengen tida marika ada satu perkara enteng. tau ke mana perginya. Coba liat tentang marika punya (Njoo, 1934; bdk. A.S. & perkawinan, agaknya dengen Hamiyati (ed.), 2005: 154—155) lima rupia ia bisa kawin, dan dengen SATU RUPIA Maka tatkala mendapet liat STENGAH ia bisa bercerai. Apa ka‘ada‘an yang aneh itu, bebrapa yang kau pikirken?‖ kali Lelie coba buat cari tau, tapi ―Betul juga,‖ kata Willy, tapi Willy selalu lolosken diri. Tapi kamudian ia lantas membantah, kerna didesek terus, akhirnya kerna ia anggep Moerhia ada Willy itu ceritaken apa suda berlaenan. ―Tapi, saya pikir kajadian. Banyak-banyak ia Moerhia ada berlaenan, ia ada telah cerita, dan antara laen-laen satu gadis terpelajar, dan ia ia ada kata: sangat cinta pada saya. ―Tapi bagimana juga kau Bagimana ia boleh berbuat mengerti bahua sasuda saya begitu?‖ terjrumus saya telah mendapet ―Saya lebih kenyang tinggal di pikiran saya yang sehat. Saya Hindia, saya lebih banyak tau telah kombali padamu, kerna hal prempuan Bumiputera. kau menjadi kapunya‘an yang Terplajar atawa tida, ia punya saya sabetulnya, itu semua yang adat dan klakuan tida bisa laen, hanya seperti pinjeman dan beroba. Coba kau nanti liat, seperti penambah lelakon sasuda kau tinggalken pergi, penghidupan saya....‖ tentu ia lantas kawin lagi. Tapi Lelie tertawa. kalu kau kesian padanya, ―Kau rupanya sekarang tinggalken sedikit uwang....‖ berkuatir, kerna kita aken ―Tapi saya sanget berat, betul- kombali ka Sumatra. Boleh jadi betul berat, saya tida tau kau takut buat berjumpa lagi

32 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021

padanya. Saya heran, kenapa kau merendahkan orang-orang Eropa musti kuatirken. Sa‘ande kau terhadap para perempuan bumiputra berjumpa lagi padanya, kau juga tergambarkan melalui pandangan bilang yang kau suda kawin Jay Hoffman yang penuh dengan dengen saya dan justru memang tendensi rasis dan stereotip. kau ada menjadi kapunya‘an Dalam kutipan pertama, saya. Apa yang bikin kau sampe stereotip terhadap nyai diperlihatkan begitu bingung memikir. Ia toch melalui bujukan Jay Hoffman kepada cuma ada satu bangsa Jawa saja. Willy agar meninggalkan Moerhia Selaennya itu ia cuma satu karena statusnya sebagai seorang ‗piara‘an‘ saja. Saya kenal dan perempuan Jawa dan juga nyai. Dalam bisa maafken perbuatan lelaki pandangan Hoffman, para perempuan sebelon menikah. Saya pun suda Jawa (atau pun bumiputra) memiliki duga bahua kau di Hindia, tentu sifat yang sama seperti sebuah barang: kau kenah dibujuknya oleh mudah berpindah kepada orang lain kecantikan prempuan di sana, apabila sang pemilik tidak lagi yang katanya ada cantik dan menginginkannya. Hal itu tercermin berkulit item manis. Tapi buat melalui prasangka bahwa perempuan apa kau perduli. Ia punya derajat Jawa dapat mudah menikah dan banyak lebih rendah dari kita. bercerai atas dasar materi sehingga Anggep saja itu sebagi barang dinilai tidak memiliki nilai yang permaenan.‖ berarti sebagai seorang manusia. (Njoo, 1934; bdk. A.S. & Selain itu, kedua kutipan Hamiyati (ed.), 2005: 168—169) tersebut juga ikut memperlihatkan adanya inkonsistensi sikap dan Kutipan tersebut memperlihatkan pandangan Willy terhadap Moerhia. posisi perempuan bumiputra yang Pernikahan Moerhia dengan Willy sebenarnya di hadapan orang-orang pada awalnya memberikan rasa Eropa. Berbeda dengan Moerhia yang kesetaraan di antara keduanya, tidak selama ini menganggap bahwa ia ada pertentangan ras atau pun sikap berposisi sebagai seorang istri, Willy diskriminatif yang dialami oleh mematahkan pendapat tersebut dengan Moerhia sebagai perempuan secara tidak langsung menyamakan bumiputra. Akan tetapi, melalui Moerhia sebagai seorang nyai. kutipan di atas dapat dilihat bahwa Kepulangan Willy ke Belanda seakan Willy mengalami perubahan sikap mempertegas anggapan bahwa setelah bertemu dan berdiskusi dengan keberadaan Moerhia tidak lebih dari Jay Hoffman, seorang kawannya yang seorang nyai yang dapat ditinggalkan berkebangsaan Belanda. Sikapnya sewaktu-waktu oleh tuan Eropanya yang pada awalnya membela Moerhia manakala mereka harus kembali ke dengan mudah dihancurkan oleh negeri asal mereka dan mengawini perkataan kawannya. Melalui hal itu, perempuan Eropa. Pandangan Willy secara tidak langsung menerima

Perempuan Terbungkam dalam R.A. Moerhia:... (Cahyaningrum Dewojati) 33 pendapat Jay Hoffman yang sarat kepada perempuan bumiputra diskriminasi. mengenai penggunaan ilmu hitam. Inkonsistensi pandangan dan Tokoh Hoffman menyinggung soal sikap Willy terhadap Moerhia pun Jamu Jawa yang dianggap sebagai berlanjut dan mencapai titik puncak sebuah benda berbahaya. Perempuan setelah ia kembali ke Belanda dan bumiputra dalam pandangan orang- menikah dengan Lelie, seorang orang Eropa dianggap senang perempuan Belanda. Willy secara jelas menggunakan berbagai cara untuk menyebut hubungannya dengan mencapai tujuannya, salah satunya Moerhia sebagai sebuah kesalahan di dengan menggunakan sihir. Dalam masa lalu di hadapan Lelie. Hal itu cerita, bentuk sihir itu salah satunya menyiratkan bahwa Willy sudah digunakan melalui jamu. Hal ini menganggap Moerhia tidak memiliki tentunya memiliki maksud yang posisi yang setara lagi dengannya. buruk, terutama karena pandangan Lebih lanjut, ia sekaligus Hoffman tersebut menunjukkan bila merendahkan posisi Moerhia dan perempuan bumiputra dianggap menempatkan Moerhia hanya sebagai bersifat licik dan jahat. Di lain pihak, bagian dari masa lalunya yang pandangan merendahkan terhadap para dianggap kelam dan buruk. Melalui perempuan bumiputra juga hal tersebut, Willy mempertegas diperlihatkan melalui keberadaan superioritasnya sebagai seorang lelaki Lelie, seorang perempuan Belanda Belanda yang memiliki kedudukan totok yang dinikahi oleh Willy di lebih tinggi dibandingkan perempuan Belanda. bumiputra. Meskipun berasal dari kelompok Pada kenyataannya, pandangan gender yang sama, konteks terhadap para nyai sebagai sebuah kolonialisme membuat posisi antara barang dapat ditemukan melalui Moerhia dan Lelie tampak tidak istilah-istilah yang disematkan kepada setara. Lelie menempatkan dirinya mereka. Pandangan buruk terhadap sebagai kelompok dominan karena ia para nyai salah satunya ditunjukkan berasal dari ras Eropa yang mendapat melalui penggunaan istilah-istilah privilese dari hukum kolonial sehingga yang penuh dengan maksud menempatkannya di posisi tertinggi di merendahkan dan menghina, seperti hierarki sosial. Di lain pihak, dominasi meubel dan inventarisstuk. Istilah- Lelie sebagai seorang perempuan istilah tersebut dilekatkan kepada para Belanda kemudian membuatnya nyai karena posisi mereka yang ―menekan‖ Moerhia yang merupakan dengan mudah dipindahtangankan seorang perempuan bumiputra. Di kepada lelaki Eropa lain atau dilelang mata Lelie, Moerhia dianggap tidak selayaknya barang inventaris (Janti, setara dengannya dan tidak memiliki 2019). nilai yang sama dengannya sebagai Selain itu, dapat dilihat pula seorang perempuan. Hal ini terlihat sebuah stereotip yang dilekatkan dalam kutipan kedua cerita, dapat

34 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021

ditemukan penggunaan kata cuma pada kalimat ―Ia toch cuma ada satu R.A. Moerhia selalu hiburken bangsa Jawa saja. Selaennya itu ia hatinya dengen membilang cuma satu ‗piara‘an‘ saja‖. Hal itu bahua Willy akan dateng menunjukkan bahwa perempuan kombali. Karto suda cape bumiputra dianggap memiliki derajat menunggui, dan Karto dalem yang tidak lebih baik dibandingkan hati ada anggep, bahua Willy dengan perempuan-perempuan Eropa. tentu tida nanti dateng kombali. Perempuan bumiputra, khususnya Tapi ia tida brani nyataken itu perempuan Jawa dilihat hanya sebagai pada Moerhia. barang yang digunakan untuk Banyak lamaran ia suda trima bersenang-senang oleh para lelaki dari bangsanya, maski ia bekas Eropa. Istilah ‗piara‘an‘ yang satu ‗Nyai‘ Blanda. Lamaran itu digunakan oleh tokoh Lelie juga semua ada dari familie yang seakan menunjukkan posisinya yang pantes, antara siapa ada terdapet lebih superior ketimbang Moerhia satu guru Indonesier kluaran dari karena anggapan bahwa perempuan kweekschool voor Inlandsche bumiputra hanya berstatus sebatas Onderwijs di Medan dulu, sebagai simpanan, sementara itu bernama Mochtar, yang rupanya perempuan Belanda adalah istri yang jato hati padanya. Tapi lamaran sebenarnya. itu suda ditolaknya seperti Namun, tidak selamanya suatu lamaran-lamaran yang laen. individu atau suatu kelompok tertindas Tetep Moerhia setia dengen terjebak dalam posisi yang sama. suaminya dan selalu mengharep Pandangan yang menetapkan mereka ia punya dateng. menjadi suatu individu atau suatu (Njoo, 1934; bdk. A.S. & kelompok yang dominan atau pun Hamiyati (ed.), 2005: 170—171) tertindas bergantung pada individu atau kelompok lain yang dihadapi oleh Melalui kutipan tersebut, terlihat mereka. Dalam hal ini, suatu individu bahwa Moerhia memiliki momen yang atau suatu kelompok dapat menjadi memperlihatkan posisinya yang setara golongan tertindas ketika berhadapan di hadapan kalangan bumiputra. Posisi dengan individu atau kelompok A, Moerhia sebagai perempuan sementara suatu individu atau suatu bumiputra yang menjadi subaltern kelompok bisa saja memiliki posisi ketika berhadapan dengan orang-orang yang setara atau bahkan berubah Belanda berubah ketika ia berhadapan menjadi golongan dominan ketika dengan orang-orang bumiputra dari berhadapan dengan individu atau kalangan terpelajar. Meskipun kelompok B. Hal itu dapat dilihat pada memiliki label sebagai mantan nyai, posisi Moerhia dalam salah satu Moerhia masih dianggap memiliki bagian cerita, seperti dalam kutipan di kedudukan yang setara bagi orang- bawah ini. orang bumiputra dari kalangan

Perempuan Terbungkam dalam R.A. Moerhia:... (Cahyaningrum Dewojati) 35 terpelajar. Hal ini disebabkan oleh bumiputra bernama Raden Adjeng status terdahulunya yang berasal dari Moerhia. Sebagai tokoh utama di kalangan terpelajar dan terpandang dalam cerita, Raden Adjeng Moerhia pula sebelum menikah dengan seorang menjadi pihak yang digambarkan laki-laki Belanda. Status terpelajar dan mengalami ketidakadilan karena ras berasal dari keluarga terpandang dan gender. Berlatar kehidupan memberikan semacam posisi tawar masyarakat Hindia Belanda pada bagi status Moerhia ketika berhadapan kisaran tahun 1929—1933, dengan kalangan bumiputra terpelajar, subalternitas yang dialami oleh tokoh yang terlihat dari adanya lamaran dari Raden Adjeng Moerhia berkaitan individu maupun keluarga-keluarga dengan struktur sosial dan kultural bumiputra yang terpelajar dan pada masa itu yang penuh dengan terpandang yang ditujukan kepadanya. diskriminasi dan prasangka ras. Selain itu, kutipan tersebut juga Penindasan yang dialami oleh Raden memperlihatkan bahwa stereotip yang Adjeng Moerhia bermula dari dilekatkan pada perempuan- hubungannya dengan seorang laki-laki perempuan Jawa secara khusus atau Belanda totok bernama Willy van perempuan bumiputra secara umum Galen. Dengan adanya aturan tidak terjadi pada Moerhia. Tidak pembedaan kelas sosial berdasarkan semua perempuan bumiputra bersifat ras pada masa itu, hubungan antara murahan atau mudah dijadikan seorang perempuan bumiputra dan gundik/ nyai oleh orang Belanda yang seorang laki-laki Belanda dipandang sedang bertugas di Hindia Belanda. sebagai sesuatu yang tidak lazim. Akan tetapi, hal itu juga tergantung Ketidakadilan akibat ras dan dari kedudukan sosial di masyarakat, gender yang dialami oleh Moerhia pendidikan, dan norma-norma tertentu terlihat dari stereotip-stereotip buruk dalam masyarakat. Jika perempuan yang diterimanya. Sebagai seorang bumiputra itu mempunyai posisi sosial perempuan bumiputra, stereotip- yang tinggi dan berpendidikan, stereotip buruk tersebut menjadi hal perempuan itu biasanya mempunyai yang tidak bisa terelakkan sebab daya tawar yang lebih tinggi. Di lain sistem sosial yang diskriminatif pada pihak, kesetiaan Moerhia terhadap masa Hindia Belanda mendorong Willy dapat dilihat pula sebagai adanya golongan yang lebih superior bentuk perlawanan tidak langsung dibandingkan golongan lainnya. terhadap stigma buruk yang dilekatkan Stereotip-stereotip buruk yang kepada perempuan bumiputra. diterima oleh Moerhia seperti tidak setia, materialistis, dan senang SIMPULAN menggunakan sihir sesungguhnya dapat dilihat sebagai upaya dari orang- Novel R.A. Moerhia karya Njoo orang Eropa untuk melanggengkan Cheong Seng berfokus pada kekuasaan dan superioritas mereka pergulatan hidup seorang perempuan sebagai kelompok dominan sekaligus

36 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021

menjadi cara mereka untuk menindas bumiputra dari kalangan terpelajar dan golongan subaltern (dalam hal ini terpandang. Walaupun cap sebagai adalah Moerhia yang merupakan bekas nyai masih melekat padanya, seorang perempuan bumiputra) dan Raden Adjeng Moerhia masih menghindarkan kemungkinan pihak dianggap memiliki posisi yang setara subaltern untuk melakukan di hadapan golongan bumiputra yang perlawanan atas ketidakadilan yang terpelajar dan terpandang karena latar mereka hadapi. belakang yang dimilikinya. Dalam Selain itu, satu hal yang perlu konteks cerita ini, dapat dilihat bahwa digarisbawahi adalah adanya dinamika terdapat temuan baru yang berbeda perihal status sosial yang dimiliki oleh dengan teori Spivak. Moerhia sebagai seorang perempuan bumiputra. subaltern yang diasumsikan tidak Moerhia yang merupakan perempuan dapat bersuara atas ketertindasannya bumiputra dari kalangan ningrat yang ternyata masih bisa mendapatkan terdidik dan terpelajar nyatanya tetap penghargaan dari golongan bumiputra terjebak menjadi pihak subaltern terpelajar dan terpandang. ketika ia tidak bisa mengungkapkan pendapatnya, kekecewaannya, dan DAFTAR PUSTAKA sakit hatinya kepada suaminya yang berkebangsaan Belanda. Hal itu A.S., Marcus dan Yul Hamiyati (ed.). terbukti melalui serangkaian 2005. Kesastraan Melayu perubahan status yang dialaminya. Tionghoa dan Kebangsaan Moerhia yang semula memiliki posisi Indonesia Jilid 9. Jakarta: KPG yang setara dengan Willy, suaminya (Kepustakaan Populer Gramedia). yang seorang berkebangsaan Belanda Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, dan berubah menjadi tidak setara dan Helen Tiffin. 1998. Key Concepts dilekatkan dengan status sebagai in Post-Colonial Studies. seorang nyai manakala Willy kembali London: Routledge. ke Belanda dan menikah dengan Lelie, Bahardur, I. 2017. "Pribumi Subaltern seorang perempuan Belanda. Dalam Novel-Novel Indonesia Penurunan status sosial Moerhia juga Pascakolonial". Jurnal dipengaruhi oleh pandangan- Gramatika: Jurnal Penelitian pandangan orang-orang Belanda dan Pendidikan Bahasa Dan Sastra bumiputra yang menganggap Indonesia, 3(1): 89–100. hubungannya dengan Willy sebagai Chandra, Elizabeth. 2011. hubungan antara tuan dan gundiknya. "Fantasizing Chinese/Indonesian Akan tetapi, posisi subaltern Hero: Njoo Cheong Seng and the yang disandang oleh Moerhia juga Gagaklodra Series". Archipel, dapat berubah sesuai dengan pihak dan 82(1): 83–113. golongan yang ditemuinya. Hal ini Dewojati, Cahyaningrum. 2018. terlihat ketika Raden Adjeng Moerhia Pengantar Sastra Peranakan berhadapan dengan golongan Tionghoa. Yogyakarta: Oceania

Perempuan Terbungkam dalam R.A. Moerhia:... (Cahyaningrum Dewojati) 37

Press. Holmes in Indonesia‘s National Ensiklopedia Jakarta. 2012. "Njoo Awakening". dalam Jedamski, Cheong Seng". Jakarta.go.id. Doris (ed.), Chewing Over the https://www.webcitation.org/6A West: Occidental Narratives in Oa4L35J?url=http://www.jakarta. Non-Western Readings. go.id/jakv1/encyclopedia/detail/2 Amsterdam/New York: Rodopi. 024. diarsipkan pada tanggal 3 Locher-Scholten, Elsbeth. 2000. September 2012, diunduh pada Women and the Colonial State: 29 Desember 2020, pukul 13.24 Essays on Gender and Modernity WIB. in the Netherlands Indies 1900— Fasseur, C. 1995. "Hoeksteen en 1942. Amsterdam: Amsterdam struikelblok. Rassenonderscheid University Press. en overheidsbeleid in Morton, Stephen. 2008. Gayatri Nederlands-Indie". dalam De weg Spivak: Etika, Subalternitas & naar het paradijs en andere Kritik Penalaran Poskolonial. Indische geschiedenissen. Yogyakarta: Pararaton. Amsterdam: Bert Bakker. Njoo, Cheong Seng. 1934. R.A. Febriani, Dyan. 2020. "Representasi Moerhia: Peringetan Medan Kesadaran Diri Subaltern dalam 1929—1933. Surabaya: Tjerita Novel Njai Isah Karya Sie Lip Roman. Lap: Analisis Pascakolonial". Onghokham. 2009. Riwayat Tionghoa Universitas Gadjah Mada. Peranakan. Depok: Komunitas Gitandjali, Vivekananda. 2020. Bambu. "Kesadaran Diri Para Tokoh Salmon, Claudine. 1981. Literature in Subaltern dalam Novel Peniti Malay by the Chinese of Dasi Berlian Karya Tan King Indonesia. Paris: Edition Dela Tjan: Kajian Pascakolonial". Maison Des Sciences De L‘home. Universitas Gadjah Mada. Setyautama, Sam. 2008. Tokoh-Tokoh Hellwig, Tineke. 2007. Citra Kaum Etnis Tionghoa di Indonesia. Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta: KPG (Kepustakaan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Populer Gramedia). Janti, N. 2019. "Nyai Ontosoroh dan Susanto, Dwi. 2014. "Penolakan Kisah Pergundikan di Hindia Terhadap Tradisi Barat Dalam Belanda". Historia. Raden Adjeng Moeria Karya https://historia.id/kultur/articles/n Njoo Cheong Seng". Atavisme, yai-ontosoroh-dan-kisah- 17(2): 178–190. pergundikan-di-hindia-belanda- Taylor, Jean Gelman. 2009. The Social DrLgw/page/1. diunduh pada 24 World of Batavia: Europeans and Desember 2020, pukul 10.48 Eurasians in Colonial Indonesia WIB. (Edisi Kedua). Wisconsin: The Jedamski, Doris. 2009. "The University of Wisconsin Press. Vanishing-Act of Sherlock

38 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021