perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commitv to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commitvi to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commitvii to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commitviii to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
MOTO
“ Perjuangan semakin terasa jika paham sejauh mana sudah
melangkah, dan melihat kesalahan ada dimana, kemudian
segera memperbaikinya”
commitix to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Skripsi ini ku persembahkan kepada :
Ibunda dan Ayahanda Tercinta
Adik – adik Ku Tersayang
Kekasih Tersayang
commitx to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.WB.,
Alhamdulillah puji syukur hamba panjatkan ke hadirat Allah SWT
yang btelah melimpahkan rahmat, hidayah dan karuniaNya sehingga penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan. selama proses penyusunan skripsi penulis banyak
mendapat bantuan dari berbagai pihak baik dalam bentuk materi maupun spiritual
yang tidak ternilai besarnya. Oleh karena itu, merupakan sebuah kewajuiban penulis
untuk mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
yang telah memberikan fasilitas studi selama masa perkuliahan.
2. Drs. Tundjung WS, M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan
waktu bimbingan, pengetahuan, saran, dan pengaeahan sampai penulisan
skripsi ini selesai.
3. Dra. Sawitri Pri Prabawati, M.Pd selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas
Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan dukungan dalam penulisan
skripsi ini.
4. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan masukan dalam
penyelesaian skripsi ini.
commitxi to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5. Segenap dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang
telah memberikan bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman kepada penulis
selama masa perkuliahan.
6. Seluruh Staf Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS dan UPT
Perpustakaan Universitas Sebelas Maret.
7. Segenap petugas dan karyawan Arsip Nasional RI, Perpustakaan Nasional RI,
Sinematek Indonesia, BPPN dan BPAD yang telah memberikan bantuannya
dalam penelusuran sumber penelitian skripsi ini.
8. Ayah, Bunda, Adik – adik ku ( Nazwa, Pipit dan Hasya ) yang senantiasa
memberikan support dan doa nya.
9. Kekasih tersayang Ahmad Rizky Juansyah yang selalu memberikan support,
perhatian dan doa nya.
10. Sahabat – sahabat kost filantropi, Selvia, Isni, Dian, Wiwit, Mba Dwi yang
senantiasa memberikan perhatiannya, dukungannya, doa, serta selalu menjadi
penyemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Sahabat – sahabat Sejarah Khususnya angkatan 2008, Felecia S, Novita
Wisma, Vera Yulyanti, Suyatmi Wijaya, Meylia, Jecken, Eko Andaru serta
teman – teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu . terima kasih
atas kebaikannya selama ini, untuk masukan – masukannya, untuk
perhatiannya, support dan doa nya.
12. Kakak – kakak tingkat, Kak Ginanjar, Kak Taufiq, Kak Ferry, dan Kak AG.
Azka Fahmi yang pernah menjadi sosok special di kehidupan ku, terima kasih
commitxii to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
untuk setiap bentuk perhatian yang diberikan, nasehat – nasehatnya, untuk
dukungannya, buku – buku yang telah diberikan sangat membantu, serta doa
nya.
13. Semua pihak yang sangat membantu dalam penyelesaiian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membantu kesempurnaan skripsi
ini sangat penulis harapkan. Akhirnya, penulis berharap karya tulisan ini
bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.,
Surakarta, 31 Juli 2012
Penulis
commitxiii to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
JUDUL...... i
HALAMAN PERSETUJUAN...... ii
HALAMAN PENGESAHAN...... iii
HALAMAN PERNYATAAN...... iv
HALAMAN MOTTO...... v HALAMAN PERSEMBAHAN...... vi KATA PENGANTAR...... vii DAFTAR ISI...... x DAFTAR TABEL...... xii DAFTAR LAMPIRAN...... xiii ABSTRAK...... xv BAB I. PENDAHULUAN...... 1 A. Latar Belakang Masalah...... 1 B. Rumusan Masalah...... 7 C. Tujuan Penelitian...... 7 D. Manfaat Penelitian...... 8 E. Tinjauan Pustaka...... 8 F. Metode Penelitian......
13 G. Sistematika Penulisan......
16
BAB II. SENI PERTUNJUKAN FILM DI BATAVIA AWAL ABAD XX...... 17
A. Awal Masuknya Seni Pertunjukan Film di Batavia...... 17
1. Faktor Demografi Penduduk Batavia Tahun 1900 – 1942...... 17 2. Pergeseran Seni Pertunjukan Tradisional ke Modern...... 23
B. Pertunjukan Film sebagai Gaya Hidup Masyarakat Kota Batavia...... 27
BAB III. PERKEMBANGAN FILM GENRE DI BATAVIA TAHUN 1900
1942...... 33
A. Karakteristik Film Genre di Batavia...... 40 B. Persaingan Industri Perfilman di Batavia Tahun 1900 -1942...... 65
commitxiv to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
C. Fungsi Film sebagai Media Ekspresi Seniman di Batavia Tahun 1900 – 1942...... 85
BAB IV. BENTUK KONTROL PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI FILM
DI BATAVIA TAHUN 1900 - 1942………...... 105 A. Terbentuknya Ordonansi Film...... 105 B. Kebijakan Sensor Film...... 107
BAB V PENUTUP...... 112 DAFTAR PUSTAKA...... 117 LAMPIRAN...... 124
commitxv to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jenis Genre Film dari Tahun 1936 – Era Teknologi...... 44
Tabel 2. Jenis Film Fiksi di Hindia Beland………...………………………...... 46
Tabel 3. Jenis Film Drama di Hindia Belanda...... 47
Tabel 4. Jenis Film Laga di Hindia Belanda…………………………………...... 53
Tabel 5. Film film Komedi Hindia Belanda...... …………………….. 57
Tabel 6. Import Film di Hindia Belanda Tahun 1900 - 1942…………………….. 79
Tabel 7. Film – film Hollywood yang Diputar di Bioskop Hindia Belanda…….. 82
commitxvi to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto Fimuseum Catalogus...... 124
Lampiran 2. Iklan Bintang Betawi 1900...... 125
Lampiran 3. Surat Kabar Bintang Betawi 31 Desember 1900...... 126
Lampiran 4. Pengumuman Iklan Bintang Betawi 4 Desember 1900...... 127 Lampiran 5.Iklan Pengumuman Nederlandsche Bioscope Maatschappij dalam surat kabar Bintang Betawi 30 November 1900…...... 128 Lampiran 6. Artikel “Film sebagai Alat Pendidikan” Pertjatoeran Doenia dan Film...... 129 Lampiran 7. Artikel “Film dan Radio” Pertjatoeran Doenia dan Film...... 130 Lampiran 8. Artikel “Bermain Film dalam Lingkoengan Adat” Pertjatoeran Doenia dan Film...... 131 Lampiran 9. Artikel “Kesenia Film Indonesia” Pertjatoeran Doenia dan Film…. 132 Lampiran 10. Artikel “Pemoeda dan Pemoedi Kita dengan Peroesahaan Film” Doenia Film………...... 133 Lampiran 11. Artikel “Film adalah Barometer Masyarakat” Doenia Film...... 134 Lampiran 12. Artikel “Pemandangan Film Melati van Agam-bagian penghabisan”…………………………………………………...... 135 Lampiran 13. Iklan Film “Nyai Dasima”…………………………...... 136
Lampiran 14. Iklan Bintang Betawi 1905...... 137
Lampiran 15. Iklan Film “Oedjan Djotosan”…………………...... 138
Lampiran 16. Iklan Film “Loetoeng Kasaroeng”……………………………...... 139
Lampiran 17. Iklan Film “Eulis Atjih” koleksi Sinematek Indonesia...... 140
Lampiran 18. Iklan Film “ Terang Boelan” dan “Srigala Item”……………...... 141
Lampiran 19. Iklan Film “Tengkorak Hidoep”……………………………...... 142
Lampiran 20. Iklan Film “Melati van Agam”……………………………...... 143
Lampiran 21. Foto Buku “111 Tahun Kronika Perfilman Indonesia”...... 144
Lampiran 22. Staatsblad van Nederlandcsh-Indie No.377 ( 1919 )...... 145
Lampiran 23. Staatsblad van Nederlandcsh-Indie No.377 ( 1919 )...... 146 commitxvii to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Lampiran 24. Staatsblad van Nederlandcsh-Indie No.378 ( 1919 )...... 147
Lampiran 25. Staatsblad van Nederlandcsh-Indie No.51 & 356 ( 1920 )...... 148
Lampiran 26. Staatsblad van Nederlandcsh-Indie No.356 ( 1920 )...... 149
Lampiran 27. Staatsblad van Nederlandcsh-Indie No.356 ( 1920 )…...... 150
Lampiran 28. Lembaran Negara Hindia Belanda No.507 Tahun 1940 )...... 151
Lampiran 29. Majalah Filmland No.1 ( 1923 )...... 152 Lampiran 30. Film Januari – Juni dalam Majalah Filmland No.1 ( 1923 )...... 153 Lampiran 31. Film Juli – Desember dalam Majalah Filmland No.1 ( 1923 )... 154 Lampiran 32-34. Nieuw Weekblad v.d. Cinematografie No.41 ( 1925 )...... 155 Lampiran 35-37. Nieuw Weekblad v.d. Cinematografie No.52 ( 1925 )...... 158 Lampiran 38. Film en Muziek “ dalam Surat Kabar De Preanger Post 1926... 161 Lampiran 39. “ Filmcensuur “ dalam Surat Kabar Pewarta Soerabaia 1927... 162 Lampiran 40. “ Welkom Aan de Eerste Nederlandsch Indie Films “ Surat Kabar Vaderland Tanggal 1936...... 163 Lampiran 41. Terjemahan “ Welkom Aan de Eerste Nederlandsch Indie Films “ Surat Kabar Vaderland 1936...... 164 Lampiran 42-43. “ Nederlandsch Indie door Willy Mullens op de Film gebract “
Majalah Filmland N0.12 (1927 )...... 165
Lampiran 44. Film-Industrie di Indo “Majalah Panorama No.37 ( 1927 )...... 167
commitxviii to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Sari Wulan. C0508046. 2008. Sejarah Industri Perfilaman di Batavia Tahun 1900 – 1942. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana latar belakang munculnya seni pertunjukan film di Batavia. 2) Bagaimana perkembangan film genre di Batavia Tahun 1900 – 1942. 3) Bagaimana kontrol pemerintah koloniah terhadap industri film di Batavia Tahun 1900 – 1942
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1) latar belakang munculnya seni pertunjukan film di Batavia. 2) perkembangan film genre di Batavia Tahun 1900 – 1942. 3) kontrol pemerintah koloniah terhadap industri film di Batavia Tahun 1900 – 1942.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Metode tersebut digunakan untuk menggambarkan gejala – gejala masa lalu sebagai sebab dan keadaan atau kejadian masa sekarang sebagai akibatnya. Dengan metode tersebut peneliti dapat menjelaskan kejadian atau keadaan sebelum dan sesudah pesat nya industri perfilman di Batavia dengan melihat juga perkembangan jenis atau aliran film yang berkembang pada periode 1900 – 1942.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Sejarah Seni Pertunjukan di Batavia
Tahun 1900 – 1942 perkembangan film genre sangat pesat khususnya tahun 1900- 1930 an. Film – film Hollywood yang merupakan bentuk dari film genre ini sangat
digemari oleh semua kalangan terutama kalangan kelas atas yaitu orang Eropa dan
mereka yang intelek. Untuk kalangan kelas bawah lebih mendominasi film – film lokal karena teks yang digunakan mudah untuk dimengerti dibandingkan film – film
Hollywood yang membanjiri bioskop – bioskop di Batavia. Hal ini terjadi karena lemahnya kontrol pemerintah terhadap import film di Hindia Belanda.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah Industri Perfilman di
Btavia Tahun 1900 – 1928 banyak dibanjiri oleh film – film Hollywood. Film lokal mulai berkembang ketika film cerita pertama yaitu Loetoeng Kasaroeng merupakan
tonggak bagi lahirnya film lokal lainnya hingga meningkatnya produksi film lokal khusus nya yang ber-genre drama.
commitxix to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
SEJARAH INDUSTRI PERFILAMAN DI BATAVIA film lokal karena teks yang digunakan mudah untuk dimengerti TAHUN 1900 – 1942 dibandingkan film – film Hollywood yang membanjiri bioskop – bioskop di Batavia. Hal ini terjadi karena lemahnya kontrol pemerintah Sari Wulan1 terhadap import film di Hindia Belanda. Drs. Tunjung Wahadi Sutirto, M.Si2 Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah Industri Perfilman di Btavia Tahun 1900 – 1928 banyak dibanjiri oleh ABSTRAK film – film Hollywood. Film lokal mulai berkembang ketika film cerita 2008. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa pertama yaitu Loetoeng Kasaroeng merupakan tonggak bagi lahirnya Universitas Sebelas Maret Surakarta. film lokal lainnya hingga meningkatnya produksi film lokal khusus nya Masalah yang dibahas dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana yang ber-genre drama. latar belakang munculnya seni pertunjukan film di Batavia. 2) Bagaimana perkembangan film genre di Batavia Tahun 1900 – 1942. 3) Bagaimana kontrol pemerintah koloniah terhadap industri film di Batavia Tahun 1900 – 1942 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1) latar belakang munculnya seni pertunjukan film di Batavia. 2) perkembangan film genre di Batavia Tahun 1900 – 1942. 3) kontrol pemerintah koloniah terhadap industri film di Batavia Tahun 1900 – 1942. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Metode tersebut digunakan untuk menggambarkan gejala – gejala masa lalu sebagai sebab dan keadaan atau kejadian masa sekarang sebagai akibatnya. Dengan metode tersebut peneliti dapat menjelaskan kejadian atau keadaan sebelum dan sesudah pesat nya industri perfilman di Batavia dengan melihat juga perkembangan jenis atau aliran film yang berkembang pada periode 1900 – 1942. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Sejarah Seni
Pertunjukan di Batavia Tahun 1900 – 1942 perkembangan film genre sangat pesat khususnya tahun 1900-1930 an. Film – film Hollywood yang merupakan bentuk dari film genr e ini sangat digemari oleh semua kalangan terutama kalangan kelas atas yaitu orang Eropa dan mereka yang intelek. Untuk kalangan kelas bawah lebih mendominasi film –
1 Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah dengan NIM C0508046 2 Dosen Pembimbing
xv
commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Batavia merupakan kota pusat pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1619
– 1942. Pada tahun 1620 diatas reruntuhan kota Jayakarta, Belanda membangun kota
baru yang diberi nama Batavia sebagai penghormatan atas kaum Batavieren suku
bangsa Eropa yang menjadi nenek moyang orang – orang Belanda. Kota Batavia
dianggap sebagai fase baru dalam perkembangan kota di Indonesia. Batavia pada
awalnya merupakan sebuah kota para kolonis yang secara fisik mirip dengan kota
Amsterdam dengan dinding muka atap rumah yang berbentuk tangga – tangga dan
juga kanal – kanal.1
Pada tahap awal Batavia ditata dengan menggunakan prinsip – prinsip sebagai
kota yang ideal. Batavia mempunyai karakter yang bersifat Indo atau Mestizo (
campuran ). Akulturasi budaya antara budaya Timur dan Barat berkembang begitu
pesat dan mendalam sehingga mengakibatkan munculnya sebuah gaya hidup baru
yang menuntut sebuah penataan lingkungan pemukiman di Batavia. Kota Batavia
yang selanjutnya menjadi pusat pemerintahan dan dengan segala infrastuktur kota nya
yang modern dan berkembang hingga menjadi wajah Batavia baru yaitu Jakarta.
1 Lance Castle, 2007. Profil Etnik Jakarta. Jakarta : Masup Jakarta. Hal 13.
commit1 to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2
Batavia merupakan kota kolonial dengan arsitektur bangunan – bangunan
gaya Eropa dan Indis yang sangat mencolok dan mempunyai nilai historis yang kuat.
Ciri – ciri kota kolonial dapat terlihat yaitu dengan berorientasi ke Barat, mempunyai
fungsi sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan, pemisahan kelompok –
kelompok penduduk berdasarkan latar belakang etnis. Potret kehidupan inilah yang
masih terasa dan meninggalkan jejak – jejaknya dalam bentuk artefak dan non
artefak. Dalam hal ini sebuah kota tidak hanya meninggalkan sejarah peradabannya
yang masih dapat terlihat dari arsitektur bangunan – bangunan yang bernilai hiostoris
yang merupakan peninggalan dari sebuah perkembangan kota namun juga
menyisakan bekasnya melalui seni dan budaya seperti perkembangan seni
pertunjukan seperti seni pertunjukan gambar hidup ( film ) yang melahirkan banyak
sineas – sineas berbakat.
Tahun 1900 merupakan pertama kali munculnya film di Batavia. Melalui
peradaban budaya di Perancis, seni pertunjukan gambar hidup diadopsi dan
berkembang di Hindia Belanda sehingga menjadi hasil karya cipta manusia yang
berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan sehingga menghasilkan seni muatan lokal
yang sangat khas.
Wajah perfilman Indonesia telah melewati dimensi waktu yang panjang dan
berkembang hingga saat ini. Film merupakan media seni pertunjukan yang di
dalamnya terkandung nilai – nilai tentang realitas kehidupan. Film yang saat ini
banyak digemari masyarakat adalah produk dari perkembangannya bentuk film yang
di produksi hanya merupakan bentuk film yang bertujuan untuk menyenangkan dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3
menghibur penonton. Namun tidak mencerminkan kreativitas produser film. Hal ini
bisa terjadi karena sebagian besar penonton saat itu adalah anak muda dan kaum
papa. Mereka butuh suatu pertunjukan yang dapat menghibur dan menyenangkan
dengan menekankan aspek khayalnya untuk melupakan masalah – masalah yang
dihadapi sehari – hari. Disinilah peran film bernuansa Genre.2
Genre adalah suatu aliran yang muncul dari film – film hasil produksi
Amerika Serikat. Pada dasarnya aliran ini merupakan ramuan dari beragam hal
seperti gerak, bahasa, tata lampu ataupun suasana yang titik beratnya hanya untuk
menyenangkan penonton. Artinya, penonton disuguhkan pada hal – hal yang tidak
mengharuskan mereka untuk berfikir dan menelaah gerak, jalinan cerita, bahasa, tata
lampu, atau pun suasana yang ada dalam film tersebut.
Munculnya film genre yang merupakan film hasil produksi Amerika Serikat (
Hollywood ) yang pada dasarnya aliran ini merupakan bagian film popular, tergolong
dalam kebudayaan massa yang mampu meletakkan perannya sebagai penentu tingkah
laku “ massa “ atau masyarakat yang menyaksikannya dan titik beratnya hanya untuk
menyenangkan penonton ke dalam hal – hal yang membentuk daya khayalnya, seperti
penonton dibawa melihat adegan perkelahian, percintaan dan petualangan yang
bahkan belum pernah dialami dan dilihatnya sehari – hari.3
2 M. Sarief Arief, 2009. Politik Film di Hindia Belanda. Jakarta : Komunitas Bambu. Hal 5.
3 Salim Said, 1982. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers. Hal 2- 3.
commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4
Namun seiring perkembangannya film – film dengan nuansa genre justru
diminati sekali oleh masyarakat umum sampai saat ini karena pola film yang
mengikuti pasaran dunia lebih cenderung meniru film Barat ( Hollywood ) yang saat
ini menjadi center dari kemajuan suatu industri Perfilman Dunia.
Seni pertunjukan gambar hidup dengan bentuk film bisu merupakan babak
pertama perfilman diperkenalkan di Hindia Belanda. Film ini pada awal
kemunculannya tanpa menggunakan teknologi audio visual sehingga untuk menarik
penonton menyaksikan film bisu ini ditambahkan musik untuk mengisi backsound di
film. Selanjutnya berkembang film bicara pada tahun 1929 dengan mulai
menggunakan teknologi audio visual. Hal ini menarik penonton khususnya
masyarakat pribumi klas bawah. Sukses dan diminati oleh banyak penonton, film
bicara berkembang hingga saat ini. Film bicara yang berkembang seiring kemajuan
teknologi ini dimanfaatkan oleh orang – orang Tionghoa untuk menghasilkan nilai
ekonomis sehingga film – film yang disuguhkan tidak mengindahkan nilai seni
namun sudah bergeser menjadi sesuatu yang komersial. Hal tersebut ini lah yang
sampai saat ini banyak mengakar pada diri sineas – sineas film untuk meningkatkan
produksi dengan meniru film – film Barat. Bukan untuk menciptakan hasil karya seni
yang dapat melestarikan budaya bangsa namun menghilangkan identitas budaya yang
kaya akan seni muatan lokal.
Seni pertunjukan film pada hakikatnya merupakan sebuah proses sejarah atau
proses budaya suatu masyarakat yang disajikan melalui bentuk gambar hidup.
Melalui budaya yang ada film tidak hanya hasil karya manusia yang berkaitan dengan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5
berbagai aspek kehidupan namun juga berfungsi sebagai dokumen sosial karena
melalui film masyarakat dapat melihat secara nyata apa yang terjadi di tengah –
tengah masyarakat tertentu pada masa tertentu dalam wujud seni pertunjukan.
Sebuah gambar hidup ( film ) tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata
namun dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai acuan dalam mempelajari sejarah atau
budaya bangsa. Film sebagai fenomena atau gejala kehidupan modern sudah merasuk
jauh dan diterima sebagai produk budaya yang memiliki berbagai dimensi kekaryaan
dan keterampilan sehingga film telah menempati posisi tertentu dalam masyarakat
Indonesia. Film juga telah menjadi produk perdagangan yang sangat vital dan
menjadi lapangan kerja berbagai profesi.
Batavia sebagai kota koloni yang didominsi oleh imigran dari Eropa dihuni
sejak masa VOC. Berbagai suku bangsa yang berasal dari Nusantara dan wilayah
lainnya di Asia menjadi penduduk mayoritas kota Batavia. Hal tersebut inilah yang
menyebabkan penduduk Batavia selama abad ke – 17 dan 18 menjadi sangat
majemuk, terdiri dari beragam etnis dan secara sosial terbagi dalam suatu hirarki yang
4 mengacu pada kepentingan ekonomi dan politik Belanda di Asia hingga saat ini.
Berdasarkan latar belakang sosialnya, penduduk Batavia dapat dibagi menjadi
empat kategori yaitu : Pertama, para prajurit dari berbagai daerah di Nusantara yang
pernah atau masih bertugas dalam dinas kemiliteran VOC. Kedua, para budak
maupun bekas budak yang telah dibebaskan atau yang lebih dikenal dengan sebutan
4 Lance Castles.Op.cit,.hal 15.
commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6
Mardijker. Ketiga, para imigran bebas yang tertarik dating ke Batavia. Keempat,
terdiri dari orang Eropa dan Mestizo. Mestizo adalah orang – orang Eropa yang
menikah dengan penduduk pribumi. meskipun demikian secara sosial mereka
menempati kedudukan yang tinggi dan secara ekonomi mereka juga memainkan
peran yang penting . Semua jabatan yang ada di lembaga – lembaga pemerintahan
kota berada ditangan orang Eropa, sehingga wajar saja jika kepentingan –
kepentingan orang Eropa di Batavia selalu didahulukan.
Proses semakin mencairnya identitas etnis penduduk Batavia terlihat dari
terjadi banyaknya perkawinan campuran merupakan salah satu penyebab dari
semakin melemahnya identitas etnik. Batavia bukan hanya menjadi pusat administrasi
pemerintahan tetapi juga tempat meleburnya berbagai penduduk yang multi etnis dan
dengan segera melahirkan kebudayaan baru yang disebut kebudayaan Indis yaitu
percampuran kebudayaan pribumi dan Eropa.
Batavia merupakan gerbang bagi masuknya kebudayaan asing, modernisasi
yang muncul dengan cepatnya mengantarkan kota ini menjadi center dari berbagai
perkembangan teknologi. Periode 1900 merupakan babak pertama bagi Batavia
menerima teknologi baru dan melahirkan benda ajaib yang disebut gambar idoep.
Rentang waktu yang cukup panjang bagi Hindia Belanda khususnya Batavia untuk
merasakan teknologi modern ini ditengah – tengah seni pertunjukan tradisional yang
semakin tenggelam oleh perkembangan jaman yang semakin modern hingga awal
tahun 1942 yang merupakan masa peralihan kekuasaan dari Pemerintah Belanda ke
masa pendudukan Jepang. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7
Berangkat dari penjelasan – penjelasan itulah dalam kajian sejarah seni
pertunjukan ini mengambil spasial di Batavia dengan periode kolonial 1900 – 1942.
Penulisan skripsi dengan judul Sejarah Industri Perfilman di Batavia Tahun 1900 -
1942 ini dimaksud agar dapat dijadikan salah satu bentuk pemahaman kesadaran yang
diwujudkan dalam penulisan karya ilmiah mengenai sejarah kebudayan pada masa
Hindia Belanda yang meninggalkan jejaknya melalui satu seni pertunjukan gambar
hidup yakni film.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1. Bagaimana latar belakang munculnya seni pertunjukan film di Batavia?
2. Bagaimana perkembangan film genre dalam industri perfilman di Batavia
tahun 1900 – 1942 ?
3. Bagaimana kontrol pemerintah kolonial terhadap industri film di Batavia
tahun 1900 – 1942?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya seni pertunjukan film di
Batavia?
commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8
2. Untuk mengetahui perkembangan film genre dalam industri perfilman di
Batavia tahun 1900 – 1942.
3. Untuk mengetahui kontrol pemerintah kolonial terhadap industri film di
Batavia tahun 1900 – 1942.
D. Manfaat Penelitian
Maksud manfaat atau kegunaan penelitian adalah manfaat langsung ataupun
tidak langsung yang diperoleh dari penerapan penelitian. Manfaat tersebut adalah :
1. Bagi ilmu sejarah karya ini dapat berguna untuk memperkuat kajian tematis
tentang sejarah seni pertunjukkan terutama di bidang seni pertunjukkan yang
varian-variannya cukup unik dan penuh makna bagi kajian sejarah seni.
2. Bagi masyarakat seni karya ini bermanfaat untuk merefleksikan seni
pertunjukkan berdasar aspek kesejarahan.
3. Bagi kepentingan pragmatis dan praktis karya ini dapat berguna dalam rangka
memperbanyak khazanah penulisan tentang sejarah seni pertunjukan di
Indonesia.
E. Tinjaun Pustaka
Penelitian ini memakai beberapa pustaka yang penting agar tema penulisan ini
semakin jelas.
Widiatmoko ( 2011 ) Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS dalam judul Skripsi
Film sebagai Media Propaganda Politik di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9
– 1945 ini diterangkan wilayah Jawa yakni yang menjadi kajian spatial tentang
perkembangan produksi film pada masa pendudukan Jepang, setelah koorporasi film
Jawa membuka studio mereka di Jatinegara, dan pada bulan April 1943 dilanjutkan
oleh Nichi – ei ( Perusahaan Film Jepang ).
Skripsi ini tentunya dapat dijadikan perbandingan dalam melihat
perkembangan film. Terutama dalam kajian film yang ditulis dalam skripsi yang
mengambil periode kolonial. Sehingga dapat dijadikan acuan perbandingan yang jelas
dalam melihat suatu perkembangan sesuai kurun waktu yang dikaji. Film pada skripsi
yang ditulis Widiatmoko ( 2011 ) mengabil periode Jepang, dimana pada masa itu
film berfungsi sebagai alat propaganda politik Jepang untuk menarik dukungan
penduduk membantu pemerintah Jepang dalam melawan sekutu. Sedangkan pada
masa kolonial film dijadikan sebagai dokumenter pemerintah Hindia Belanda
terhadap negeri jajahannya serta lahan bisnis yang menguntungkan.
Misbach Yusa Biran ( 2009 ) dalam bukunya berjudul Sejarah Film 1900 –
1950 bikin Film di Jawa dipaparkan bagaimana perkembangan Industri Perfilman di
bawah tangan perusahaan – perusahaan film lokal seperti Java Film Industri dan Tan
Film. Dengan produksi film – film yang ditangani perusahaan – perusahaan lokal
dan pada awal tahun 1940 para pemilik modal yang di dominasi orang – orang China
dan Tionghoa ini telah mengetahui bahwa usaha pembuatan film bukan saja
merupakan bisnis yang dapat menjanjikan keuntungan yang fantastik dan resep yang
merupakan unsur penentu adalah yang ditarik dari panggung tonil. Pada tahun –
tahun 1940 – 1942 merupakan ledakan pertama dalam perfilman. Perusahaan – commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10
perubahan baru bermunculan. Penonton dari semua golongan menyukai jenis
romance. Dalam tulisan ini Miscbah mengambil fokus terhadap produksi film lokal
yang berkembang pada masa kolonial.
M. Sarief Arief ( 2009 ) dalam bukunya yang berjudul Politik Film di Hindia
Belanda, penerbit Komunitas Bambu. Dalam buku ini dipaparkan mengenai fakta –
fakta menarik bagaimana pemerintah Hindia Belanda menjalankan politik film
dengan cara mempertajam dan mengarahkan gunting sensornya sensornya secara
serampangan, asal – asalan, tanpa aturan yang mengebiri film pada saat
pertumbuhannya. Disajikan dengan analisis setiap peraturan yang kritis, juga
memberikan contoh – contohnya dan menggunakan sumber – sumber sejaman.
Dalam buku ini dipaparkan bagaimana kebijakan pemerintah di bidang perfilman
pada masa Hindia Belanda. Dengan memberikan sudut pandang yang jelas tentang
bagaimana berbagai alasan mengenai perkembangan film dari sebab banyaknya
penonton film hasil produksi Amerika Serikat hingga kebijakan pemerintah Hindia
Belanda mengenai produksi Film di Hindia Belanda.
Pada perkembangan selanjutnya, terjadi dua hal di dalam perkembangan di
Hindia Belanda. Pertama, internal film sendiri. Film – film bisu yang masuk ke
Hindia Belanda merupakan film produksi Amerika Serikat yang bernuansa genre.
Salim Said ( 1982 ) dalam bukunya yang berjudul Profil Dunia Film
Indonesia, Jakarta: Grafitipers. Memberikan gambaran awal munculnya industri
perfilman yang lebih di dominasi oleh peran orang – orang Tionghoa yang dalam
commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11
prosesnya tidak memperhitungkan nilai pendidikan dan seni yang ada namun hanya
berdasarkan rugi laba dari adanya bisnis perfilman ini.
Hindia Belanda sedang berubah ketika film untuk pertama kalinya bisa
disaksikan di Batavia awal abad 20. Lepas dari kenyataan bahwa film sebagai
tontonan orang banyak memeng tidak selalu diterima oleh kalangan kaum terpelajar
di Indonesia sendiri nampaknya dua faktor penting yang memperlebar jurang antra
dunia film dan kaum terpelajar. Pertama, film buatan dalam negeri masa itu terlalu
berorientasi dagang tanpa perhitungan lain sama sekali ; kedua, hal demikian banyak
sedikitnya ditentukan oleh pemilik modal yang mengusai dunia film yakni orang –
orang Tiongho. Kenyataan bahwa pemilik modal berada sepenuhnya ditangan orang
orang yang memang Cuma dan semata – mata menggangap film sebagai barang
dagangan, harus diterima sebagai penjelasan terhadap suatu keadaan yang memang
tidak memungkinkan lahirnya film – film yang berorientasi kepada manusia dan
sekelilingnya pada waktu itu.
HM. Johan Tjasmadi ( 2008 ) dalam bukunya yang berjudul 100 Tahun
Bioskop di Indonesia 1900 – 2000 penerbit Megindo,Bandung. Dalam bukunya ini
belum mencoba menjelaskan mulai sejarah masuknya film di Hindia Belanda,
perkembangan film dari masa Hindia Belanda hingga Pasca Kemerdekaan, dan
membuat kesimpulan tentang hubungan film antara film dengan penonton ; film
dengan Industri Film, film dengan SDM, high Cost, Selera dan Cita Rasa hingga
klasifaksi film. Dalam buku ini dijelaskan secara detail berbagai aspek dari segi
commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12
ekonomi, politik, sosial dan budaya yang mempengaruhi film di Indonesia hingga
saat ini.
Dalam buku kumpulan esai Seni, Budaya, dan Sejarah Indonesia karya Fandy
Hutari ( 2011 ) berjudul Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal terbitan Yogyakarta:
INSIST Press. Buku ini bisa dikatakan merupakan sajian rekaman soal beberapa seni,
budaya dan sejarah yang ada di negeri ini.berisi 26 artikel yang dibagi kedalam lima
bagian utama. Lima bagian utama ini mengemukakan tentang sejarah sandiwara (
teater ), film, seni tradisional, riwayat orang yang “ bersetuhan “ dengan topik utama
buku, dan permainan masa lalu. Sebagaian besar esai pada buku ini tentang seni
pertunjukan, dari mulai masih berbentuk sandiwara, film bisu, hingga film modern
seperti sekarang ini.
Dalam tulisan karya Fandy Hutari ini, penulis menekankan aspek kebudayaan.
Dimana seni terkait erat dengan budaya yang ditinggalkannya. Hingga pergeseran
kebudayaan tradisional dan diganti dengan kebudayaan modern yang masuk.
Tinjauan Pustaka ini dijadikan refrensi dalam penulisan skripsi ini dan juga
dijadikan pembanding bahwa karya ilmiah ini berbeda dengan tinjauan pustaka yang
ada. Kajian yang lebih umum yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini sudah
banyak dikupas dalam buku – buku seperti karya Misbach Yusa Biran yang berjudul
Sejarah Film 1900 – 1950 bikin Film di Jawa . Dalam buku ini dipaparkan mengenai
hasil – hasil produksi film lokal yang ada pada masa tersebut. karya tersebut terlalu
umum apabila dikaji dari sejarah film 1900 – 1950 dan hanya menjelaskan film – film
lokal yang diproduksi oleh beberapa perusahaan film pada saat itu. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13
Sedangkan kajian – kajian lainnya seperti karya ilmiah Widiatmoko hanya
dijadikan pembanding dalam penulisan ini bahwa bagaimana perkembangan film
pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dengan masa Pendudukan Jepang.
Sedangkan buku karya M. Sarief dan Salim Said lebih menekankan kajian politik dan
sosial dari film periode kolonial.
Penulisan skripsi yang berbeda dengan tinjaun pustaka yang sudah dipaparkan
diatas, skripsi ini memfokuskan lebih khusus mengenai perkembangan film genre
yang belum banyak dikaji dalam refrensi – refresni buku ataupun karya ilmiah.
Spatial serta temporal yang digunakan dalam kajian penulisan ini lebih khusus ke
wilayah Batavia dengan periode 1900 - 1942. Kajian skripsi ini lebih menekankan
bagaimana perkembangan film dari jenis film yang ada yaitu genre yang tentunya
belum banyak dikupas oleh penulis – penulis lainnya. Titik fokus kedua dari
penulisan skripsi ini adalah fungsi film sebagai media ekspresi seniman dalam
industri perfilman.
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
sejarah. Manfaat metode tersebut adalah penelitian dapat memecahkan masalah
dengan menggunakan data masa lalu atau peninggalan – peninggalan, baik untuk
memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas
dari keadaan masa sekarang maupun untuk memahami kejadian atau keadaan dalam
hubungannnya dengan kejadian atau keadaan masa lalu. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14
Metode sejarah ini terdiri dari empat langkah yaitu :
1. Heuristik
Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan atau proses pengumpulan sumber
– sumber sejarah atau pengumpulan sumber data sebanyak – banyaknya yang
berhubungan dengan tema dan permasalahan penelitian. Pengumpulan sumber data
ini dilakukan dengan menetapkan sumber data dan membedakannya dalam kategori
data primer dan data sekunder yang harus dilakukan dengan sistem pencatatan yang
relevan antara lain:
a) Dokumen atau Arsip
Dokumen atau arsip yang menjadi sumber primer dalam skripsi ini diperoleh
dari Arsip – arsip Nasional RI antara lain arsip Staatsblad van Nederlandsch – Indie
Tahun 1919 ( No.37 dan 378 ), Tahun 1920 ( No.51, 358, dan 438 ), Tahun 1922
No.668, Tahun 1925 No.477, 1926 No.478, Tahun 1930 ( No. 447 dan 448 ), dan
Tahun 1940 No.507. serta artikel dan majalah yang sejaman.
b) Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan sumber sekunder sebagai pendukung dan pelengkap
serta sebagai kerangka dasar teori, maka penelitian ini digunakan sumber – sumber
pustaka berupa buku – buku karya ilmiah dan buku – buku pengetahuan. Selain itu
juga digunakan sumber – sumber lain yang berupa majalah, surat kabar, dan artikel –
artikel yang dapat memberikan informasi yang berkenaan dengan masalah yang
diteliti. Surat Kabar tersebut antara lain Bintang Betawi, Preanger Post, Pewarta
Soerabaia, Nieuw Weekblad, dan Vederland. Sedangkan majalah yang dijadikan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15
sumber skripsi ini antara lain Doenia Film, Panorama, Pertjatoeran Doenia dan Film,
Filmland, dan Pembangoenan.
Dalam penelitian ini studi pustaka dilakukan di UPT Perpustakaan Universitas
Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Nasional RI, Sinematek dan BPPN ( Badan
Pertimbangan Perfilman Nasional ).
2. Kritik Sumber ( Criticism of Data ) atau Penilaian Data
Pada tahap ini, penulis melakukan kritik atau verifikasi, disini di artikan penulis
menguji dan menilainya dari data sumber primer dan sekunder tersebut untuk di uji
dan di cari kebenaran faktanya, setelah sebelumnya sumber primer dan sekunder
data–data informasi tersebut terkumpul dan tersusun, kemudian di lakukan pengujian
terhadap sumber dan data-data secara teoritis maupun kritis.
3. Interpretasi
Tahap ini dilakukan untuk menafsirkan keterangan yang saling berhubungan
mengenai Sejarah Industri Perfilman di Batavia 1900 – 1942.
4. Historiografi atau Penulisan Sejarah
Tahap terakhir ini merupakan penyajian hasil penelitian dalam bentuk tulisan
baru berdasarkan bukti-bukti yang telah diuji Pada langkah ini disajikan hasil
penelitian yang berupa penyusunan fakta – fakta dalam suatu sintesa kisah yang baik.
commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16
G. Sistematika Penulisan
Sistematika dimaksudkan untuk lebih memudahkan memahami dan
mempelajari skripsi ini, yang akan diuraikan dalam bab – bab secara berurutan.
Bab I merupakan pendahuluan, berisi latar belakang, perumusan masalah,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II membicarakan latar belakang munculnya seni pertunjukan film di
Batavia berisi mengenai faktor demografi, pergeseran seni pertunjukan tradisional ke
modern dan pertunjukan film sebagai gaya hidup masyarakat kota Batavia.
Bab III membicarakan mengenai mengenai perkembangan film genre dalam
industri perfilman di Batavia tahun 1900 – 1942 berisi tentang pengertian
karakteristik film genre, munculnya film lokal dan persaingan industri perfilman di
batavia pada tahun tersebut.
Bab IV membicarakan tentang kontrol pemerintah terhadap industri film di
Batavia tahun 1900 – 1942.
Bab V merupakan Penutup. Berisi kesimpulan dari keseluruhan pembicaraan
yang telah dibahas.
commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB II
SENI PERTUNJUKAN DI BATAVIA AWAL ABAD XX
A. Awal Masuknya Seni Pertunjukan Film di Batavia
1. Faktor Demografi Penduduk Batavia
Pada abad XIX, menurut Raffles penduduk Batavia dalam tahun 1815
adalah 332.015 jiwa. Bila dibandingkan dengan data yang dilaporkan
Radermacher dan van Hogendorp, maka data yang dilaporkan Raffles masih lebih
akurat. Pada tahun 1846, Bleeker, yang tekun mempelajari demografi pulau Jawa,
mengumpulkan data tentang penduduk dan menyatakan tidak kurang dari 283.517
jiwa yang tinggal di Batavia dan sekitarnya.1 Peluang dan gejala dan asimilasi dari
penggambaran diatas, dapat dilihat dari konteks perkawinan. Di pihak lain, proses
migrasi di Batavia tetap berangsur terus, sehingga masing-masing identitas migran
baru akan tetap tampak menonjol terutama orang Sunda dan Jawa. Keadaan ini
semakin marak dengan pembangunan pelabuhan Tanjung Priok, akibatnya dengan
2 singkat merubah ciri Batavia menjadi “Melting Pot”.
Tingkat pertumbuhan penduduk Batavia tinggi, kemungkinan
berhubungan dengan kota Batavia sebagai pusat ekspansi urban. Batavia banyak
menerima imigran dari seluruh wilayah Hindia Belanda. Imigran itu banyak
1 Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen, 1987. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 26-28. 2 M. Fauzie Syuaib, 1996. Masyarakat Betawi dan Perkembangan Kota Jakarta, dalam Pontjo Sutowo, Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya Bangsa
di Jawa. Jakarta : Yayasan Festival Istiqlal. Hal 48. Melting Pot adalah tempat commit to user membaurnya suku bangsa. 17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id18
berasal dari wilayah Jawa Barat seperti Bogor, Bandung, dan Cirebon. Migrasi ini
berkaitan dengan faktor pendorong, yaitu semakin menyempitnya lahan pertanian
yang mereka miliki dan terjadinya konflik sosial di desa, ditambah lagi faktor
penarik, yaitu berkembangannya pembangunan di Batavia, yaitu misalnya,
pembagunan Pelabuhan Tanjung Priok, pembagunan trem kereta api, dan
ketersedian Batavia akan fasilitas umum.
Sejak awal, Belanda telah menerapkan pola kebijaksanaan pemisahan
yang tajam diwilayah jajahanya, yang melahirkan stratifikasi sosial yang
bertumpu pada garis warna kulit dan agama. Penduduk kota Batavia terdiri dari
bangsa Eropa dan non Eropa, antara Kristen dan non Kristen. Pembagian ini juga
tercermin di dalam praktek perlakuan hukum.
Penduduk asli sekarang dikenal sebagai orang Betawi, umumnya tinggal
dipinggiran Batavia, sedang yang tinggal di wilayah pusat Batavia adalah
penduduk pendatang. Jumlah penduduk asli Betawi menduduki urutan kedua dari
kelompok suku bangsa Sunda yang menjadi penduduk Batavia. Jika dibandingkan
dengan total penduduk, jumlah penduduk Batavia asli kurang dari seperempatnya.
Migrasi orang Sunda ke Batavia disebabkan jaraknya yang dekat dengan
Batavia. Penduduk lainnya yaitu orang Cina dan Tmur Asing lainnya menempati
urutan ketiga sesudah orang Sunda. Pada tahun 1911 diperkirakan sekitar 40%
penduduk Batavia adalah migran.
Pada sisi lain, jumlah imigran Eropa, Tionghoa dan Arab meningkat pada
akhir abad ke-19. pembangunan pelabuhan Tanjung Priok, perluasan fungsi
pemerintah di bawah penaruh Politik Etis, dan pertambahan penduduk Jawa yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id19
cepat telah menyebabkan terjadinya gelombang pertama imigrasi secara besar-
besaran dari daerah pedalaman.
Di antara banyaknya suku bangsa di abad XX, Batavia mengalami
trasformasi yang paling menarik. C.S.W. van Hogendorp menyatakan bahwa
orang Makassar, Bali, dan penduduk pribumi lainnya meleburkan diri dengan
orang Jawa (Jawa dan Sunda). Mereka telah mengadopsi adat istiadat dan keadaan
setempat. Van der Aa menyatakan bahwa para imingran tersebut banyak
kehilangan cirri asli dari nenek moyangnya, melalui berbagai cara seperti kawin
campur, melebur menjadi satu bangsa.3
Pada tahun 1900 ada kurang lebih 70.000 orang Eropa di Jawa, yang
sebagian asli Eropa dan kebanyakan bekerja di pemerintahan. Dua kelompok etnis
lainnya yaitu Cina dan Arab. Orang Cina merupakan kelompok terbesar di jawa
kira – kira sekitar 280.000. posisi dan keadaan mereka di Hindia Belanda sangat
berpengaruh pada perekonomian kolonial, mereka lebih berjiwa dagang dan
berbisnis.
Orang Arab di Jawa kira – kira berjumlah 18.000 jiwa, kebanyaka dari
mereka adalah pedagang kecil, saudagar dan peminjaman uang. Keuntungan
utama mereka adalah karena ikatan keagamaan mereka dengan orang pribumi
yaitu Islam.
Orang Indonesia, di tahun 1900 dan sampai sekarang mengakui ada dua
tingkatan di dalam masyarakatmnya. Kelompok besar yang terdiri dari petani,
orang desa dan kampung dinamakan rakyat jelata. Administratur, pegawai
commit to user 3 Lance Castles, 2007. Profil Etnik Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta. Hal. 8 - 9. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id20
pemerinta dan orang – orang Indonesia yang berpendidikan dan berada di tempat
yang lebih baik, baik di kota maupun di pedesaan dikenal sebagai elit atau priyayi.
Secara teknis kaum ningrat juga merupakan kelompok terpisah, tetapi biasanya
orang Indonesia seenaknya memasukkan mereka ke dalam tingkatan priyayi. Jadi
priyayi adalah kelompok yang beridri diatas rakyat jelata yang dalam beberapa hal
memimpin, memberi pengaruh, mengatur, menuntun masyarakat Indonesia.
Kira – kira 90 % orang Jawa termasuk rakyat jelata dari mereka ini desa
merupakan penentu hidup mereka. Desa merupakan akar drai pola kehidupan
tradisional orang Indonesia dan di tahun 1900 dengan sebagian mata pencarian
sebagai petani. Kehidupan agraris ini tidak hanya mengatur selera dan gaya hidup,
mempertahankan buki pekerti tradisional, merupakan sarana bagi segi – segi
spritual dan agama dari kehidupan anggota – anggotanya (solidaritas).
Gelombang imigrasi tersebut telah merubah karakter penduduk, melipat
gandakan jumlahnya, dan menimbulkan situasi seperti yang tercermin dalam
laporan sensus tahun 1930. Pada tahun 1930 banyak wilayah Jakarta sekarang,
termasuk wilayah pinggiran Meester Cornelis (Djatinegara), yang tidak termasuk
wilayah kota Batavia. Wilayah Meester Cornelis baru dimasukkan kedalam
4 wilayah kota Batavia pada tahun 1935. Walaupun belum dilakukan penyesuaian
batas wilayah sebagaimana mestinya, wilayah pinggiran yang dimasukkan ke
dalam wilayah kota kurang lebih sama dengan wilayah sensus 1930 yang
ditunjukkan dalam Tabel 1
4 Ibid. hal 18. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id21
Tabel 1
Populasi Penduduk di Wilayah Pinggiran
Jakarta pada tahun 1930
Pribumi Tionghoa Lain-lain Jumlah
Distrik Mr. 12.174 503 127.484 Cornelis di luar kota wilayah kota Mr. Cornelis
Sub-distrik: 35 46.910 Tjengkareng 11 42.478 Kebajoran - 2.473 Duizen Eilanden 42.188 Kebondjeroek 41.227 60 31.703
2.473 Tanah-tanah - 2.764 partikelir 31.279 Tjilintjing,
Togeo Oost,
2.412 Togeo West,
Togeo Batoe
Bamboe
243.752 9.422 638 53.812
Sumber: . Lance Castles, 2007. Profil Etnik Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta. Hal 5 22.
Laporan sensus tidak memberikan gambaran sepenuhnya tentang
perbedaan etnis sampai ketingkat sub-distrik, tetapi menyediakan cukup data
untuk membuat perkiraan yang cukup akurat tentang komposisi penduduk di
commit to user 5 Ibid. hal 22. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id22
daerah pinggiran. Di distrik (kawedanan) Meester Cornelis, di luar wilayah kota,
terdapat 113.200 orang Betawi, 10.407 orang Sunda dan 2.613 orang dari suku-
suku lainya. Di wilayah Kepulauan Seribu (Duizend Eilanden) terdapat 1.923
orang Betawi, 268 orang Sunda, 243 orang Jawa dan 37 orang Melayu. Di distrik
Kebajoran, yang terdiri dari sub-distrik Kebondjeroek dan Kebajoran serta dua
sub-distrik lainnya yang sekarang tidak termasuk wilayah Jakarta, terdapat
143.221 orang Betawi dari keseluruhan penduduk yang berjumlah 145.505.
Distrik Tangerang (sub-distrik Tjengkareng termasuk di dalamnya)
terdapat 108.345 orang Sunda, 86.921 orang Betawi dan 1.667 orang-orang
lainnya. Karena Tjengkareng terletak di sebelah timur Tangerang ke arah Jakarta
dan seluruh wilayahnya berada di sebelah timur sungai Cisadane, dan secara
linguistik juga merupakan daerah perbatasan, sub-distrik tersebut kemungkinan
seluruh penduduknya merupakan orang Betawi. Wilayah Tjilintjing kemungkinan
besar mayoritas penduduknya adalah orang Betawi kecuali sebuah komunitas
kecil masyarakat Tugu yang berpenduduk 160 orang Kristen.
Berubahnya batas-batas wilayah, dengan berdasarkan hasil sensus 1930
akan sulit untuk menghitung secara tepat jumlah penduduk Djakarta Raya yang
lahir di luar daerah. Tetapi diperkirakan jumlah totalnya sekitar 172.200 orang
pribumi. Dari jumlah ini, 125 orang berasal dari Jawa Barat, 27.800 dari Jawa
Tengah dan 13.100 orang dari Pulau-Pulau Luar (Jawa). Hal ini berlawanan
dengan pola migrasi pada abad kedelapan belas. Migrasi penduduk yang berasal
dari pedalaman sekarang jauh mengalahkan migrasi dari daerah pantai. Selain itu,
commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id23
berbagai pulau-pulau luar sekarang memberikan konstribusi dalam perbandingan
yang berlawanan dengan konstribusi mereka dalam masa perdagangan budak.
Pada tahun 1930, orang Bali, Sumbawa dan Pampanger hampir tidak
tersisa. Orang Bugis dan Makasar masih ada, namun jumlahnya hanya sedikit.
Orang Melayu dan Ambon yang selalu ada dimana-mana menjembatani kedua era
ini, sementara orang-orang yang berasal dari pulau-pulau luar lainnya mulai
berdatangan. Secara berurutan mereka itu kurang lebih adalah; orang Manado
(yang sebagaimana orang Ambon Protestan, menjadi anggota tentara Hindia
Belanda), orang Minangkabau (terutama di bidang perdagangan dan pekerjaan
intelektual), serta Batak. Dilaporkan bahwa orang Batak pertama kali datang pada
tahun 1922.6 Jumlah imigrasi dari Pulau-pulau luar yang baru ini masih sangat
sedikit. Perbandingan antara orang Belanda dengan orang Minangkabau pada
tahun 1930 adalah sepuluh banding satu.
2. Pergeseran Seni Pertunjukan Tradisional ke Modern
Batavia sebagai kota pusat pemerintahan kolonial menjadikannya sebagai
pintu gerbang dari segala kemajuan dan kebudayaan yang masuk ke kota ini. Pada
mulanya seni pertunjukan yang berkembang sebelum abad ke 20 yaitu seni
pertunjukan panggung yang berupa tiruan opera yang bercerita mengenai
kehidupan raja – raja dan disisipkan dengan pertunjukan musikal. Pertunjukan
panggung lainnya yang popuker sebelum itu yaitu Wayang Cerita “ Siti Akbari “
yang dipimpin oleh orang Cina Lie Kim Hock. Dengan bentuk prosa bersajak
6 Ervantia Restulita L.Sgai, 2002. Pemukiman Dan Penyakit Kolera Di Batavia.
Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada commit to user Yogyakarta. Hal 97. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id24
yang mengisahkan kehidupan istana yang dikutip dari cerita 1001 malam.
Rombongan ini berkeliling dan bermain di pelataran dengan bentangan layar di
belakang. Musik pengiringnya adalah gambang kromong yang melodinya sangat
berbau musik Cina.
Pertunjukan panggung lainnya yang terkenal dan muncul pada tahun 1891
yaitu Komedi Stambul pertama kali didirikan di Surabaya oleh August Mahieu.
Perkumpulannya dibiayai oleh Yap Goan Thay. Kata” komedi “ disini bukan
diartikan sebagai cerita lucu, melainkan komedi dalam arti pertunjukan, seperti “
Komedi Kuda “ atau lebih dikenal dengan Sirkus. Pertunjukan ini awalnya
terinspirasi dari pertunjukan di Semenanjung Malaka, yang terkenal dengan nama
“ Abdul Muluk “. kelompok panggung ini menambahkan nuansa budaya Barat
dengan repertoar terdiri dari cerita 1001 malam dengan inovasi cerita lebih
modern,seperti Hamlet karya Shakespare.7
Kegandrungan pada cerita dengan setting Istambul inilah, yang kemudian
melahirkan sebutan baru bagi jenis pertunjukan ini, yaitu Komedie Stamboel. Dari
sini, lahir nama pelopor mereka yang legendaris yaitu Mahieu, Yap Goan Thay,
dan Cassim. Perkembangan seni pertunjukan panggung yang dibawa oleh
kelompok Komedi Stambul ini menjadi terkenal dan digemari terutama di
Batavia. Mereka yang terjun dalam kelompok panggung ini tercetak dalam
subkultur Anak Wayang, istilah tersebut digunakan hanya dikalangan orang
panggung itu sendiri. Seni pertunjukan panggung hingga awal abad 20 semakin
menancapkan kemajuannya, Miss Riboet dan Opera Dardanella adalah seni
7 Misbach Yusa Biran, 2009. Sejarah Film 1900 – 1950; Bikin Film di Jawa. commit to user Jakarta: Komunitas Bambu. Hal 4-5. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id25
panggung msih tetap berjalan melawan arus modernisasi teknologi yang semakin
canggih.
Pada penghujung abad XIX, teknologi pembuatan film, gambar yang bisa
bergerak, ditemukan di Prancis, Inggris dan Amerika. Pada waktu itu, negeri
Nusantara ini masih merupakan jajahan Belanda dengan nama Nederlands Indie
atau dalam bahasa Pribumi disebut Hindia Belanda. Dengan nama itu, negeri ini
dianggap sebagai bagian dari India yang jadi milik Belanda. Penduduk dari negeri
kepulauan yang oleh Douwes Deckere alias Multatuli disebut sebagai “ rangkaian
zambrut di khatulistiwa “, pada waktu itu hanya beberapa orang saja yang bisa
baca tulis huruf latin. Nama Indonesia belum dikenal, bahkan suku – suku yang
mendiami Nusantara belum merasa sebagai satu bangsa. Batavia sebagai kota
pusat pemerintahan kolonial menjadikannya sebagai pintu gerbang dari segala
kemajuan dan kebudayaan yang masuk ke kota ini.
Awal abad 20 ditandai dengan maju nya seni pertunjukan seiring dengan
perkembangan jaman yang semakin modern dan terbawa arus westernisasi yang
ada. Batavia yang merupakan pusat kota dari percampuran budaya Eropa dengan
budaya lokal dengan cepat merasakan arus modernisasi itu. Ketika orang – orang
sedang menikmati jenis hiburan panggung sebagai agen dari kemajuan jaman, tiba
– tiba muncullah kabar baru itu. Sebuah pertunjukan gambar idoep bakal
dipertontonkan. Sebuah keajaiban dari masa depan telah lahir. Ditemukannya
fotografi oleh Louis Daguerre ( Prancis ) di tahun 1895, yang langsung menyebar
keseluruh dunia dengan cepat memunculkan seni pertunjukan baru yaitu film.
commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id26
Pengertian Film menurut Kamur Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai
Pustaka ( 1990 ) , film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat
gambar negative ( yang akan dibuat potrait ) atau untuk tempat gambar positif (
yang akan di mainkan dibioskop ). Film juga diartikan sebagai lakon ( cerita )
gambar hidup.
Sedangkan pengertian yang lebih lengkap dan mendalam tercantum jelas
dalam pasal 1 ayat ( 1 ) UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dimana
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya
yang merupakan media komunikasi massa pandang – dengar yang dibuat
berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video,
piringan video dan/ atau bahan hasil penemuan teknologi isinya dalam segala
bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronika, atau proses
lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukan dan/ atau ditayangkan
dengan sistem mekanik, elektronik dan/atau lainnya. Sedangkan film maksudnya
adalah film yang secara keseluruhan diproduksi oleh diproduksi oleh lembaga
pemerintah atau swasta atau pengusaha film di Indonesia, atau yang merupakan
8 hasil kerja sama dengan pengusaha film asing.
Dari pengertian diatas mengungkapkan bahwa film adalah sebuah proses
sejarah atau proses budaya suatu masyarakat yang disajikan dalam bentuk gambar
hidup. Sebagai sebuah proses, banyak aspek yang tercakup dalam sebuah film.
Mulai dari pemain atau artisnya, produksi, bioskop, penonton, dan sebagainya.
8 Seri Perundang – undangan, 2010. Undang – Undang Perfilman 2009; Undang
– Undang RI No.33 Tahun 2009 Tentang Perfilman. Yogyakarta: Pustaka commit to user Yustisia. Hal 3-4. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id27
Film juga identik sebagai hasil karya seni kolektif yang melibatkan sejumlah
orang, modal, dan manajemen. Dalam proses pembuatannya, pada dasarnya film
merupakan komoditi jasa kreatif untuk dinikmati masyarakat luas. Dinilai dari
sudut manapun, film adalah acuan otentik tentang berbagai hal, termasuk
perkembangan sejarah suatu bangsa. Film merupakan karya cipta manusia yang
berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan.
B. Pertunjukan Film sebagai Gaya Hidup Masyarakat Kota Batavia
Batavia merupakan daerah kekuasaan pemerintah kolonial setelah
kekalahan Kesultanan Banten dalam mempertahankan pelabuhan Jakarta terhadap
serangan Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1619. Permusuhan yang terjadi oleh
Kerajaan Banten, menyebabkan VOC memindahkan kantor yang didirikannya di
Banten pada tahun 1603 ke Jayakarta. Pemindahan itu terjadi pada tahun 1619,
dan sejak itu nama Jayakarta berganti menjadi Batavia. 9
Dibawah kekuasaan Jan Pieterzoon Coen, pejabat Belanda yang
mempunyai wewenang atas kantor dagang VOC di Banten dan Jayakarta,
memutuskan bahwa benteng kompeni ( VOC ) di Batavia menjadi pusat
pertemuan kapal – kapal kompeni yang berlayar di Nusantara. Dengan demikian
maka pemusatan kegiatan VOC di Batavia itu menjadikan Batavia dalam
kenyatannya merupakan sebuah pusat kekuasaan. VOC telah menyusun birokrasi
yang didukung oleh kekuatan militer untuk suatu tujuan serempak berupa dagang,
9 Mona Lohanda, 2007. Sejarah Pembesar Mengatur Batavia. Jakarta: Masup. commit to user Hal 1. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id28
kolonisasi dan penyerahan. semakin lengkap kedudukannya sebagai pusat
kekuasaan setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799, dan Batavia menjadi
Ibukota sebuah negara jajahan yang dinamakan Nederland – Indie.
Dari waktu ke waktu kota Batavia itu diperluas. Segala fasilitas perkotaan
pun, senantiasa bertambah. Disamping parit – parit dibuat juga jalan – jalan.
Kemudian dilengkapi dengan jalur – jalur trem (jalur kereta ) dalam kota maupun
jalur kereta api ke luar kota. Penanggulangan pantai dan perbaikan pelabuhan pun
dilakukan.
Salah satu ciri dari suatu perkembangan kota adalah adanya tempat
pemukiman yang dihuni oleh sekelompok orang. Mereka tinggal di suatu
lingkungan di salah satu kawasan yang menjadi bagian dari kota. Di situ berbaur
berbagai etnis dengan karakteristik tersendiri mewarnai perkembangan kota.
Kota Batavia diwarnai oleh kehadiran empat kelompok ras yaitu, Belanda,
Indo-Eropa, Cina, Arab, serta Pribumi. Orang pribumi sebagian besar tinggal di
kampung dan menempati sebagian kecil areal perkotaan, semakin terdesak dengan
bangsa Eropa yang tinggal di kampung khususnya yang terletak pada jalan-jalan
utama. Akibatnya, perkembangan kota menjadi tidak teratur. Muncul
permasalahan seperti kekurangan air dan kurangannya perairan, kondisi
kehidupan tidak sehat, dan kurangnya rumah untuk tempat tinggal.
Perubahan mulai ditingkatkan oleh pemerintah kolonial untuk menata
negeri jajahannya dalam berbagai aspek kehidupan. Hal utama yang menjadi
sorotan melakukan perubahan yaitu representasinya dunia internasional yang pada
saat itu media massa gencar – gencarnya mengelurkan berita mengenai kondisi commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id29
Hindia Belanda yang hanya dipenuhi oleh kabar mengenai wabah epidemik,
meletusnya gunung berapi, amuk, santet dan perang antar penduduk. Hampir tidak
ditemukan berita mengenai segi keindahan dan tempat – tempat yang menarik di
Hindia.
Fenomena ini mulai berakhir sejalan dengan munculnya dorongan kuat
sesudah Revolusi Industri di Inggris akhir abad 19, dimana arus kedatangan orang
Eropa dan Amerika ke tanah – tanah jajahan tidak terbendung lagi. Pemerintah
Hindia Belanda dilain pihak merasa akan perlunya dorongan untuk merubah
persepsi negara – negara lain untuk berkunjung dan melakukan pendekatan yang
lebih diplomatis demi kepentingan Hindia Belanda.
Sebagai proses lanjutan yang muncul sesudah penaklukan secara politis,
representasi – representasi yang ada atas daerah kolonial tidak lain merupakan
suatu proses dimulainya penguasaan secara budaya. Pemerintah kolonial tampak
berperan penting mengajarkan bagi penduduk pribumi mengenai apa yang harus
dilihat dan bagaimanan harus melihat koloni. Secara tidak langsung hal ini telah
mengintegrasikan tidak saja aspek kewilayahan, tetapi juga menghubungkan
tempat – tempat dalam cara pandang Hindia Belanda yang diimajinasikan
mengenai konsep keindahan lanskap “ mooi indies “ atau Hindia molek, sejarah
10 budaya dan tradisi maupun stereotip tempat dan penduduk di Hindia Belanda.
Sementara Hindia Belanda masih dalam gejolak. Penjajahan baru saja
menerapkan kebijakan baru bagi penduduk negeri ini. Kebijakan itu dikenal
dengan sebutan politik etis ( etische politiek ) yaitu irigasi, emigrasi dan edukasi.
10 H.C.C Clockener Brousson, 2007. Batavia Awal Abad 20. Jakarta: Masup. commit to user Halaman 1. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id30
Kebijakan ini diambil setelah ada indikasi menurunnya tingkat kemakmuran
penduduk pribumi, hasil penelitian Mindere Welvaart Commisie,yaitu komisi
yang dibentuk untuk menyelidiki penurunan tingkat kesejahteraan penduduk.11
Bagi penduduk, kehadiran politik etis yang lahir sejalan dengan makin
menguatnya kelompok liberal dan melemahnya kelompok konservatif di parlemen
Belanda ini, disambut bagai karunia yang dinanti – nantikan. Ia seolah cahaya
yang menyembul dari kegelapan dan penderitaan. Intinya manjadikan kehidupan
yang lebih baik karena menitikberatkan pada perlindungan terhadap hak dan
kepentingan penduduk pribumi, dengan program utama memajukan irigasi,
edukasi dan migrasi.
Datangnya orang – orang Eropa merupakan awal penguasaan industri,
diikuti dengan orang – orang Cina yang unggul dalam segi perekonomian. Orang
–orang Eropa yang berdatangan di Batavia tidak hanya bekerja sebagai pegawai
pemerintahan tetapi juga memegang peran dalam perkembnagan industri –
industri dan perdagangan. Sistem kapitalisasi mulai berdiri tegak diatas kendali
penguasa – penguasa. Mereka orang Eropa yang merupakan kaum borjuis
memegang kekuasaan besar dan kontrol terhadap kaum buruh proletar.
Sejak 1900, awal masuknya tontonan film mulai bisa disaksikan oleh
masyarakat di kota – kota besar Hindia Belanda. Pada saat itu, Gubernur Jenderal
Van Heutz baru memperkenalkan pendidikan bagi orang jajahannya. Ia
mendirikan Volkshcool ( sekolah rakyat ) yang masa belajarnya hanya tiga tahun.
11 Haris Jauhari, 1992. Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal 2. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id31
Asal sekedar bisa menulis, membaca dan berhitung sederhana. Kemudian sekolah
lanjutannya didirikan lagi yakni, Vervolg School yang lamanya dua tahun.
Sekolah ini didirikan di kota kecamatan dan disediakan bagi anak lukusan sekolah
rakyat yang pandai dan orang tuanya mampu. Namun, untuk bisa sekolah ini
mungkin bisa bekerja dikelurahan atau bisa menjadi Mantri Polisi, Mantri Rumah
Sakit, Mantri Penajara, Mantri Pasar, yang semuanya disebut Juragan Mantri.
Status Mantri tinggi dimata rakyat jelata karena untuk mencapinya sulit.
Pada 1910, didirikan sekolah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda,
yakni HIS ( Hollandse Indische School ), sekolah pemerintah yang pada mulanya
diperuntukan bagi pribumi kelas atas. Mereka dipersiapkan untuk menjadi
pegawai gubernemen. Kalau bisa lulus HIS maka jalan sudah terbuka sebagai
pegawai atau meneruskan ke pendidikan lebih tinggi . Akan tetapi, anak yang
ingin masuk HIS orang tuanya harus mempunyai status tertentu di pemerintahan
atau di masyarakat. Jadi, orang yang tidak memiliki status terhormat di mata
Belanda mustahil masuk HIS. Dengan demikia, nasib orang hanya bisa diperbaiki
lewat Vervolg School saja dan mustahil bisa masuk ke sekolah menengah apalagi
bisa jadi sarjana. Rakyat 99, 9% adalah miskin sehingga tidak ada kemungkinan
untuk merubah keadaannya kecuali melalui berwiraswasta.
Sekolah menengah dan tingkat menengah atas baru didirikan antara tahun
1910 – 1930. Seperti sudah disebutkan untuk bisa melanjutkan ke sekolah
menengah harus terlebih dulu lulus dari HIS. Pada 1930, pribumi yang bersekolah
tingkat SMP dan SMA diseluruh Indonesia hanya 7.776 orang. Jumlah yang bisa
sampai lulus sekolah dari semua jenis sekolah pada 1939 / 1940 hanya 510.095 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id32
orang. Pada waktu itu, seluruh rakyat Hindia Belanda berjumlah 70 juta jiwa.
Sejak adanya sekolah, jumlah seluruh anak negeri yang bisa baca pada masa akhir
penjajahan Belanda di Indonesia, 1942, tidak sampai 5%. 12 Hal itu merupakan
gambaran masyarakat yang menjadi penonton film yang diproduksi di negeri ini
sejak 1926. Para pembuat film berusaha membuat film yang bisa digemari oleh
tingkat intelektual penonton itu. Namun demikian, sebelum menyaksikan film
buatan dalam negeri, selera mereka dipengaruhi oleh dua macam tontonan yang
sangat di gemari rakyat sejak 1900, yakni tontonan panggung, yang semula
dikenal dengan nama Opera Stamboel dan tontonan film buatan luar, terutama
yang penuh dengan adegan perkelahian.
Pada mulanya, tontonan panggung yang terus di gemari masyarakat kelas
bawah sejak akhir abad ke – 19 adalah berupa tiruan opera yang dijejali banyak
sisipan adegan hiburan. Ceritanya mengenai kehidupan raja – raja dengan pakaian
gemerlapan, sebagian dialognya diucapkan dengan dinyanyikan sebagaimana
lazimnya opera. Jumlah babaknya dibuat banyak sekali yang diselingi dengan
adegan nyanyian, lawak dan tari yang juga serba gemerlapan.
Salah satu bentuk kebijaksanaan ini ialah edukasi atau pendidikan. Tujuan
sebenarnya dari kebijaksanaan ini tidak lebih dari mendapatkan pekerja – pekerja
terlatih bagi perusahaan dagang yang makin meluas ke berbagai penjuru Hindia
Belanda. Tapi tanpa disadari oleh pemerintah Kolonial, sekolah yang ternyata
sanggup mempertinggi status seseorang itu ada pula menjadi salah satu faktor
dinamisator atau penggerak masyarakat.
commit to user 12 Misbach Yusa Biran. Op.cit. Hal 3. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id33
Salah satu hal nyata dari ada dan berkembangnya pendidikan masa itu
ialah terjadinya mobilitas vertikal – naiknya status sosial. Kebijakan dalam
bidang edukasi berakibat didirikannya sekolah – sekolah oleh pemerintah dan
swasta. Anak – anak pribumi yang merupakan anak bangsawan menjadi murid di
sekolah – sekolah ini. Anak – anak bangsawan ini dapat diterima menjadi murid
karena garis keturunan.
Keadaan ini menyebabkan kota – kota tertentu mengalami pertumbuhan
yang cepat, seperti Batavia. Di kota – kota besar banyak sekolah didirikan oleh
pemerintah dan swasta mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sekolah
yang didirikan oleh pemerintah kolonial di Batavia, seperti : KW III, Stovia, Recht
Hoge Scholl dan Niswo. Sedangkan sekolah swasta anatara lain dimiliki oleh
kalangan pergerakan nasional, seperti Taman Siswa di Kemayoran dan Tanah
Abang. 13
Melalui proses komunikasi, para murid sekolah ini bergaul dengan teman
– temannya, baik di sekolah atau pun di dekat tempat tinggalnya di lingkungan
penduduk Eropa. Dari sinilah banyak anak – anak pribumi ini mengenal budaya
barat. Terpampang dalam majalah Doenia Film tertanggal 8 Oktober 1941, bahwa
sendi – sendi dalam pembuatan film terjadi dari bermacam – macam bentuk,
corak dan ragam. Ada film yang berdasar sejarah dan mengandung wetenschap (
pengetahuan ) atau pendidikan. Film – film dengan corak seperti itu umunya
14 hanya disukai oleh golongan cabang atas, para cendikiawan atau intelektual.
13 M. Sarief Arief, 2009. Politik Film Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu. Hal 9. commit to user 14 A.Taruna, “ Pemoeda dan Pemoedi Kita Dengan Perusahaan Film “, Doenia perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id34
Sedikit sekali orang yang sadar bahwa di balik wajah kolonialisme yang
makin “ manusiawi “ itu, tersimpan niat kaum – kaum penjajah untuk lebih
menancapkan kukunya di negeri ini. Politik etis, menyimpan kepentingan
industrinya dengan memenuhi prasyarat birokrasi yang efisien dan tenaga yang
murah. Karena itu, politik etis tidak membuat surut perjuangan menentang
kekuasaan kolonial yang berlangsung mulai awal abad ke – 20. Ujung dari
perjuangan menentang kekuasaan kolonial ini ialah lahirnya kesadaran baru
kalangan penduduk pribumi, yang kemudian berproses menjadi semangat
Kebangkitan Nasional yang lahirnya ditandai oleh berdirinya Budi Utama, 20 Mei
1908.
Kelahiran Boedi Oetomo, dari sisi lain, mencerminkan munculnya lapisan
baru yaitu kaum terpelajar yang jumlahnya makin lama makin banyak, terutama
setelah Belanda menerapkan politik etisnya. Lapisan ini terus membesar. Mulanya
terbatas di kalangan ningrat, kemudian secara perlahan melahirkan kultur baru
seiring dengan perkembangan aspirasi dan kepentingan yang berbeda dari lapisan
masyarakat sebelumnya. Kultur ini identik dengan kota besar, hingga ia dapat
diistilahkan sebagai kultur kota besar.
Berkembangnya kultur baru ini, pada satu sisi memerlukan perangkat baru
pula, yaitu kebutuhan akan hiburan yang lebih canggih dan modern. Sejalan
dengan itu, lahirlah sebuah bentuk hiburan baru di Surabaya, sekitar tahun 1889.
Film, No.8 Oktober ( 1941 ), Hal 114. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id35
Toneel Melajoe, demikian orang menyebutnya, kelak merupakan cikal bakal yang
15 menentukan dalam perkembangan teater di Hindia Belanda.
Toneel Melajoe segera menjadi kegemaran dan bergengsi sebagai tontonan
modern. Ia menyajikan pertunjukan mirip sandiwara. Dengan cerita yang diadopsi
dari kisah – kisah asing, pertunjukan yang sangat mengandalkan improvisasi
karena pembagian babaknya yang amat longgar ini, sering terjadi satu cerita tidak
dapat diselesaikan dalam satu malam, hingga pertunjukan harus di sambung satu
atau dua malam berikutnya. Umumnya menggelar cerita sekitar dongeng 1001
malam.
Perasaan persatuan terbentuk dari rasa prihatin karena harus tunduk pada
kemauan orang asing dan sebagaian besar rakyatnya menganut agama Islam.
Disamping itu, masyarakat di kota – kota besar biasa berkomunikasi dalam bahasa
Melayu. Hal ini disebabkan bahasa itu digunakan dalam penyebaran buku – buku
agama Islam dan merupakan bahasa komunikasi resmi dikalangan pemerintah.
Pada waktu itu, penguasa Belanda berkomunikasi dengan Pribumi yang pegawai
pemerintahan dengan menggunakan bahasa Melayu. Meskipun pegawai pribumi
yang diajaknya bisa berbicara bahasa Belanda namun orang Belanda segan
menggunakan bahasa Belanda kepada bawahannya. Hal ini dirasakan mereka
merasa bahwa dengan berbicara dalam bahasa Belanda yang terhormat itu, si
Pribumi merasa dirinya sederajat dengan Belanda atasannya.
Gelombang transformasi menuju masyarakat modern menghantar Hindia
Belanda memasuki abad ke – 20. Penduduk yang masih dikuasai penjajah,
commit to user 15 Haris Jauhari. Op.cit. Hal 3. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id36
membuka kurun waktu ini dengan sebuah kejutan di akhir tahun 1900, melalui
ikrar yang tertera di surat kabar Bintang Betawi, 4 Desembar 1900.
Termuat disana kabar menggemparkan, Nederlandsche Biooscope
Maatschappij ( perusahaan bioskop Belanda ), mulai tanggal 5 menyelenggarakan
pertunjukan besar pertama yang akan berlangung tiap malam, mulai pukul 19.00,
disebuah rumah di Tanah Abang Kebondjae ( Manage ), sebelah pabrik kereta (
bengkel mobil Maatschappij Fuchss ).
Batavia gempar dan Orang menanti – nanti. Kegemparan ini adalah
puncak dari desas – desus yang menyebar sejak jauh hari sebelumnya, terutama
setelah Bintang Betawi tanggal 30 November tahun itu memuat iklan
persiapannya dengan kalimat yang cukup panjang.
De Nederlansche Bioscope Maatschappij ( Maatschppij Gambar Idoep ) memberi tahoe, bahoewa lagi sedikit lagi sedikit hari ija nanti kasi liat tontonan amat bagoes, jaitoe gambar – gambar idoep dari banyak hal jang belom lama telah kejadian di Eropa dan di Afrika Selatan seperti : masoeknya Sribaginda Maharadja Ollanda bersama Jang Moelia Hertog Hendrik ka dalam kota Den Haag roepa – roepa hal jang telah terdjadi di dalem peperangan di Transvaal. Lagi jaoeh ditontonkan juga gambarnya
barang – barang matjem baroe jang telah ada didalem Tentoonstelling di kota Parijs, gambar – gambar berwarna jang terdapat dari fotografie jang
dari sebab amat adjaibnja soeda ditonton pada saban sore oleh riboean orang roemah komidie Salle des Fetes dikota Parijs. Ini tontonan pasti dikasih lihat didalem roemah di sebelahnja Fabriek Kreta dari
Maatschappij Fucsh di Tanah Abang. Hari mulainya tontonan ini nanti dikasih taoe didalem tempo “.16
Penduduk di tanah jajahan menunggu – nunggu realisasi dari kabar ini.
Warung – warung kopi, pasar, dan tempat – tempat berkumpul ramai
membicarakan bayangan keajaiban ini. Orang – orang berdecak kagum
menantikan benda yang akan dipertontonkan itu, yang konon mampu
commit to user 16 Iklan dalam surat kabar Bintang Betawi ( Batavia ), 30 November 1900. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id37
memperlihatkan dengan nyata segala kejadian yang belum lama terjadi di Eropa
dan Afrika Selatan.
Kegemparan benda ajaib itu pertama kali diperkenalkan dan dipertunjukan
kepada publik secara luas pada tanggal 28 Desember 1895 oleh Lumiere
Bersaudara ( Louis dan Auguste ) di Grand Cafe, Boulvard, Prancis. Bagaikan
kekuatan sihir, segala yang sebelumnya tidak masuk akal, terjelma oleh
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sekitar sepuluh tahun setelah tontonan film bisa disaksikan di Hindia
Belanda, masyarakat di negeri ini juga sudah bisa menyaksikan adanya orang –
orang dari Eropa membuat perekaman film dokumenter untuk ditonton orang di
Negeri Belanda. Hal ini dilakukan agar masyarakat yang berada di Eropa bisa
melihat keadaan dari negeri jajahannya. Para pembuatnya adalah orang – orang
yang datang dari Eropa. Dilanjutkan oleh orang Belanda lokal yang terjun juga
dalam perekaman film. Dengan adanya orang Belanda lokal atau orang Belanda
yang berdomisili di Hindia Belanda, bisa mempercepat terciptanya film cerita di
negeri ini.
Pada masa itu, film dokumenter yang dibuat di negeri ini semacam
perekaman realita kehidupan masyarakat di Hindia Belanda khususnya di Batavia.
Pada tahun 1911 – an film yang dibuat hanya mendokumentasikan apa saja yang
nampak dengan cara perekaman yang masih sangat primitif. Seperti pembuatan
film dokumentasi perjalanan kereta dari Stasiun Kota ke Stasiun Gambir, dengan
cara meletakkan kamera di jendela kereta menghadap ke luar. Kemudian, ketika
kereta jalan kamera mulai dinyalakan. Sehingga gambar yang terekam hanya commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id38
kilasan kampung, sawah, kebun, jalan raya dan jembatan. Sedangkan film
rekaman lainnya yaitu Pasar Gambir, dilakukan dengan meletakkan kamera di atas
pagar . film - film masa itu masih tersimpan baik di Pusat Arsip Audio – Visual
di Amsterdam.
Pada awalnya, orang Eropa yang datang ke Hindia Belanda untuk
menangani pembuatan film dokumenter bukanlah orang Belanda, melainkan
tenaga ahli dari Perancis, perusahaan film Belanda masih mengandalkan bantuan
dari perusahaan Pathe. Kemudian, Koloniale Institute ( Lembaga Kolonial )
menggunakan perusahaan film Belanda, Nationale Film Fabriek, untuk membuat
film Onze Oost ( Timur Kita ) menceritakan tentang negeri jajahan mereka di
Timur sana yakni Hindia. tujuan pembuatan film tersebut adalah agar dapat
menarik orang Belanda yang berminat bekerja di Hindia Belanda. Namun film –
film dokumenter yang dipertunjukan untuk pertama kalinya di negeri Belanda
dirasa tidak banyak menarik orang Belanda untuk bekerja disana. Film yang
ditunjukan untuk pertama kali itu pada tahun 1919 menampilkan tentang upacara
adat suatu suku di Hindia Belanda, film tersebut banyak menampilkan adegan
pembunuhan korban kerbau dengan cara dibacok. Setahun setelah itu, Perusahaan
17 Nationale Film Fabriek di Belanda mengalami kebangkrutan.
Para pembuat film waktu itu, atau menurut istilah Belanda “ Operator Film
“, adalah seorang juru kamera yang merangkap segalanya. Tugas yang dilakukan
operator film terutama merekam keadaan alam tropis, hewan liar, keadaan
17 Henny Saptatia, dkk. 2011. 111 Tahun Kronika Perfilman Indonesia. Jakarta: Kementerian dan Ekonomi Kreatifcommit RI. Hal to 28. user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id39
pribumi, adat istiadat dan objek lainnya yang dianggap perlu ditampilkan dalam
bentuk film dokumenter.
Gagalnya pembuatan film dokumenter tersebut, maka orang – orang
Belanda yang berdomisili di Hindia tidak cepat tertarik untuk berusaha dibidang
pembuatan film. Apalagi kegagalan pembuat film dokumenter itu bukan hanya
terlihat dari mutu film yang dihasilkan, tetapi juga karena orang – orang di Negeri
Belanda kurang menaruh perhatian terhadap situasi jajahannya di daerah tropis.
Yang kemudian tertarik membuat film adalah Belanda yang berdomisili di Hindia,
anatara lain F. Carli dan seorang Indo bernama G. Krugers. Pada awalnya mereka
adalah juru foto. F. Carli mempunyai toko potret di Batavia dan Krugers di
Bandung. Karya film yang membuat namanya mencuat adalah rekaman atas
bencana akibat meletusnya Gunung Kelud. Ia kemudian mendapat order membuat
film propaganda oleh Bank Tabungan Pos.
Memasuki seperempat abad sejak masuknya film ke Hindia Belanda, di
Kota Bandung terjadi peristiwa penting yang merupakan tonggak sejarah
perfilman Hindia Belanda. Untuk pertama kalinya film cerita dibuat. Perusahaan
yang membuat film cerita pertama adalah N.V. Java Film Company yang
didirikan oleh L. Heuveldrop dari Batavia dan G. Kruger dari Bandung. Film yang
dibuat mereka merupakan cerita dongen masyarakat Sunda yaitu Loetoeng
Kasaroeng. Lahirnya film cerita pertama ini membuat perusahaan – perusahaan
lokal di Hindia Belanda memutar otak untuk menghasilkan film – film yang
diilhami dari film lokal pertama tersebut hingga perkembangan selanjutnya film –
film di Hindia Belanda akhir 1941 di dominasi oleh film local. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB III
PERKEMBANGAN FILM GENRE DI BATAVIA TAHUN
1900 – 1942
A. Karakteristik Film Genre di Batavia Istilah Movie, Cinema dan Film sebenarnya merupakan perkembangan
dari istilah bioskop. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani artinya melihat sesuatu
yang hidup atau seolah – olah hidup. Kemudian berlanjut dengan penemuan
teknologi “gambar hidup “, atau disebut juga” citra bergerak “, atau lebih populer
dengan sebutan film, yang penggunaan medianya yaitu dari film celluloid ke pita
elektronik.1
Sebagai seni yang terlahir terakhir, film tumbuh dengan menyerap
penemuan – penemuan yang telah maupun yang tengah terjadi, baik sains,
teknologi, dan estetika seperti fotografi, kinetografi dan fonograf. Hasil dari
beberapa penemuan itu terwujud dalam sinematograf, sebuah mesin yang
sekaligus bisa difungsikan sebagai kamera dan proyektor, sehingga
2 memungkinkan sebuah film bisa ditonton oleh banyak orang dalam satu waktu.
Apa yang tampak pada masa kelahiran produksi film di Hindia Belanda
tersebut, akan terus terlihat dalam perjalanannya, yaitu adanya suatu pendorong
dalam pembikinan film, yang dengan sendirinya melahirkan suatu aliran pula.
Aliran pada saat itu yang berkembang adalah genre.
1 Mukhlis Paeni, 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia; Seni Pertunjukan danSeni Media. Jakarta: Rajawali Pers.Hal 14. commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id41
Genre adalah suatu aliran yang muncul dari film – film hasil produksi
Amerika Serikat. Pada dasarnya aliran ini merupakan ramuan dari beragam hal
seperti gerak, bahasa, tata lampu ataupun suasana atribut yang titik beratnya hanya
untuk menyenangkan penonton. Artinya, penonton disuguhkan pada hal – hal
yang tidak mengharuskan mereka untuk berfikir dan menelaah gerak, jalinan
cerita, bahasa, tata lampu, atau pun suasana yang ada dalam film tersebut.3
Wujud genre ini lah yang membimbing penonton ke dalam hal – hal yang
membentuk daya khayalnya, seperti penonton dibawa melihat adegan perkelahian,
percintaan dan petualangan yang bahkan belum pernah mereka alami dan
dilihatnnya sehari – hari. Perkembangan aliran ini terjadi pada awal adanya
pertunjukan film di Amerika Serikat dengan penonton utamanya adalah anak
muda dan mereka yang papa ( tua ), ini dikarenakan harga karcis yang dipungut
dapat terjangkau oleh nereka ( relatif murah ). Karena pertunjukan film ini dapat
digandakan dan dipertunjukan di tempat terbuka, maka penduduk pribumi di
pedesaan pun dijangkaunya.
Film muncul di Hindia Belanda pada awal abad ke 20. Hal ini terbukti
dengan adanya sebuah iklan diharian Bintang Betawi pada 5 Desember 1900.
Pemberitan dalam iklan ini memperlihatkan untuk pertama kalinya bentuk seni
pertunjukan film atau gambar idoep, istilah masa itu, diadakan di Batavia
khususnya dan Hindia Belanda pada umumnya.
Pada 1900 adanya kebijakan baru yakni larangan pertunjukan wayang di
Batavia. Larangan ini keputusan dari Residen Batavia yang diberlakukan sejak 1
3 M. Sarief Arief, 2009. Politik Film Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu. commit to user Hal 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id42
April 1900 hingga akhir Maret 1902. Larangan ini dikarenakan pada saat itu
banyak orang Islam yang berpura - pura datang untuk menonton film tetapi
sebetulnya mereka bermain judi ( top ) yang pada dalam agama Islam adanya
larangan bermain judi.4
Di Hindia Belanda sejak pertama kalinya film bisu dokumenter
diperkenalkan. Keadaanya sangat berbeda dari keadaaan di Amerika Serikat.
Perbedaan ini terletak dari segi penontonnya. Film di Hindia Belanda khususnya
di Batavia, justru bukan di paket untuk mereka yang papa atau pun anak muda
saja. Untuk boleh tidaknya menonton, seseorang sangat tergantung pada
perbedaan golongan dalam masyarakat yang sesuai dengan hukum pembagian
penduduk. Ada bisokop yang filmnya hanya boleh di tonton oleh orang Eropa
saja, seperti Bioskop Oriental di Batavia. Ada juga bioskop yang memutar film
dengan pengaturan kursi penonton yang berbeda antara Pribumi dan Eropa.
Kemudian ada pula sebuah bioskop yang mengadakan perbedaan tempat duduk
pria dengan wanita.
Dari sejarah perfilman masa kolonial, terlihat ada nya suatu pola menonjol
dalam pembuatan film yaitu pola yang dipelopori oleh orang Tionghoa. Pola ini
berciri utama dagang. Pola dagang yang dimulai oleh orang Tionghoa itu bisa
ditemukan akarnya di Hollywood. Dalam literatur film produksi – produksi
hollywood yang digolongkan sebagai genre.
Genre sebagai bentuk lebih tua, mendapatkan bentuknya yang jelas pada
tahun 1918, ketika studio – studio Hollywood. Pada saat itulah lahirnya formula
4 Henny Saptatia, dkk. 2011. 111 Tahun Kronika Perfilman Indonesia. Jakarta: commit to user Kementerian dan Ekonomi Kreatif RI. Hal 27.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id43
pictures, suatu istilah yang kemudian dikenal di Indonesia sebagai “ ramuan “
atau “ resep “ untuk bikin film laku.
Keadaan seperti ini pun mempunyai arti penting dimana adanya hubungan
antara manusia dan kesenian. Waktu yang semakin sempit pada akhirnya
menyebabkan para pedagang dan pekerja di kota – kota semakin kekurangan
kesempatan untuk menikmati “ kesenian tinggi “ seperti dahulu. Mereka perlu
hiburan ringan yang tidak membutuhkan terlalu banyak tenaga dan pikiran untuk
menikmatinya. Perubahan yang cepat dan kontak yang makin meluas dengan
dunia industri di Barat membawa pengaruh besar terhadap kebudayaan dan
kesenian di Hindia Belanda. Film – film genre pun banyak membanjiri industri
perfilman di Hindia Belanda dan cukup menyedot banyak perhatian penonton.
Hal lain yang secara tidak langsung mendorong penyebaran pertunjukan
film ini adalah bentuk seni pertunjukan lain yang sifatnya menghibur seperti tonil,
komedi atau pun sandiwara. Seni pertunjukan ini selalu berpindah – pindah
tempat dan meninggalkan penggemarnya di Batavia untuk beberapa lama,
misalnya Komedi Sinar Hindia. Hal – hal diatas menyebabkan terjadinya
perkembangan pertunjukan film pada tahun – tahun berikutnya. Sampai 1905 di
Batavia tercatat ada tiga tempat pertunjukan film, yaitu Manage Kebondjae,
Manggabesar dan Kongsi Tan Boen Koei Glodok.
Dalam perkembangannya banyak film – film lokal yang ada di Hindia
Belanda merupakan saduran film cerita dari Amerika. Banyaknya film asing yang
masuk terutama film produksi Amerika menjadikan seniman – seniman film
mencari “ formula “ agar film lokal disukai penonton seperti film – film Amerika commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id44
yang dipertunjukan di bioskop – bioskop khususnya di kota – kota besar seperti
Batavia. Film – film genre yang berkembang di Hindia Belanda merupakan aliran
yang dibawa oleh film – film Hollywood. Adapun film – film genre dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu seperti tabel di bawah ini.
Tabel 1 Jenis Genre Film dari Tahun 1936 – Era Teknologi
TEMA JENIS CORAK KHUSUS FORMATIF
Anak – anak Drama Melodrama Dokumentasi Talk Show / Musikal Informasi bincang – Agama Pendidikan bincang Pelatihan Reality Show Iklan Kartun Komedi Satir FTV Quiz Cerdas Animasi Situasi Film Cerita Cermat Humor Lepas Sejarah Laga Kejahatan Seri Sport / Legenda Ketegangan Bersambung Olahraga Politik Kejutan Berdasarkan Social Welfair Kekerasan Petualangan Tokoh – tokoh / Kegiatan Peran Koboi Dalam Cerita Sosial Silat Entertainment Games Ketangkasana
Spionase Fiksi Fiksi Ilmiah Serial Fashion Show Dan Lain – lain Horror / Misteri Berseri / Peragaan Tahayul / Cerita Berdasarkan Busana
Setan Tema Cerita Kenik / Perdukunan Sumber : Tjasmadi, Johan HM. 2008. 100 Tahun Bioskop di Indonesia 1900 –
2000. Bandung:Megindo. Hal 54.
Tabel 1 di atas menunjukan bahwa film – film genre yang ada seiring
dengan pesatnya film – film produksi Amerika ini dapat dilihat sebagai suatu
aliran yang dapat dijadikan acuan bagi sineas – sineas lokal dalam menetapkan
genre film yang sesuai dengan cerita yang akan difilmkan. Terlihat pada tahun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id45
1936 genre yang berkembang di Hindia Belanda dikelompokan ke dalam
beberapa tema, jenis, khusus dan formatif.
Dalam genre tema di kelompokkan menjadi lima yaitu pertama, film anak
– anak dengan jenis drama dan terbagi lagi ke dalam tiga corak yaitu
melodrama,musikal dan agama. Pengkhususan tema film anak – anak ini seperti
dokumentasi,inforasi,pendidikan, pelatihan dan iklan yang bentuknya bisa dipecah
menjadi bincang – bincang ( talk show ) dan reality show.
Kedua, film dengan tema kartun animasi yang cenderung sifatnya komedi.
Corak tema film ini yaitu satir, situasi dan humor. Khsusus film dengan tema ini
seperti FTV, film cerita dan lepas yang dapat dipertunjukan dengan format kuis
cerdas cermat. Ketiga, tema film ( sejarah, legenda, politik, kekerasan dan peran )
yang termasuk ke dalam jenis film laga. Dengan corak film kejahatan,
ketegangan, kejutan, petualangan, koboi dan silat. Jika di khususkan film dengan
tema ini bisa berseri, bersambung dan berdasarkan tokoh – tokoh dalam cerita.
Bentuk dari genre film ini yaitu sport/olahraga, social welfair/kegiatan sosial,
entertainment dan games ketangkasan.
Tema yang terakhir yaitu film dengan tema spionase atau khayalan yang
terdiri dari jenis film fiksi. Corak yang dapat dari genre ini yaitu film fiksi ilmiah,
horror/misteri, tahayul/cerita setan, dan klenik/ perdukunan. Genre yang
berkembang dari tahun 1936 di Hindia Belanda dengan cerita film lokal dapat
dilihat dari tabel 2 ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id46
Tabel 2 Film – film Fiksi di Hindia Belanda
Tahun Judul Film Sutradara Perusahaan Film 1928 Berloemoer Tidak tercatat Tan Boen Soan Darah
1934 Doe Siloeman The Teng Chun Cino Motion Oelar Pictures 1936 Anak Siloeman The Teng Chun Java Industrial Film Oelar Poeti The Teng Chun Java Industrial Film Lima Siloeman The Teng Chun Java Industrial Film tikus Pembakaran Bio 1940 Matjan Berbisik Tan Tjoei Hock Java Industrial Film
1941 Boedjoekan Iblis Jo An Djien Populer Film Coy Elang Darat Inoe Perbatasari Jacatra Picture Garoeda Mas Lie Tek Swie Populer Film Coy Ikan Doejoeng Wong Bersaudara Standard Film Poetri Rimba Inoe Perbatasari Jacatra Film Coy Aladin Dengan Suska Tan’s Film Lampoe Wasiat Wong Bersaudara Action Film Tengkorak Hidup Tan Tjoei Hock Star Film Soera Berbisa Wu Tzun Action Film Srigala Item Tan Tjoei Hock
Sumber: JB Kristanto, 1995. Katalog Film Indonesia 1926 – 1995. Jakarta: Grafiasri Mukti. Hal 31. Berdasarkan tabel 2 di atas, Genre film Spionase dengan jenis film fiksi
khususnya pada tahun 1936 ini dengan jumlah empat film dengan corak film
tahayul seperti tabel diatas antara lain Film “Anak Siloeman”, “Oelar Poeti”,
“Lima Siloeman tikus”, dan pembakaran bio. Film dengan jenis ini cenderung
berseri. Film dengan tema ini di produksi oleh perusahaan Java Industrial Film
dibawah pimpinan sutradara The Teng Chun, dengan mengambil cerita legenda
asal Cina.
Genre film yang paling digemari masyarakat Hindia Belanda yaitu film
dengan jenis drama, film yang paling populer dapat dilihat di tabel 3.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id47
Tabel 3 Film – film Drama di Hindia Belanda
Tahun Judul Film Sutradara Perusahaan Film
1927 Euis Atjih L. Heuveldorp Java Film Co.
1928 Lyli van Java Nelson Wong Taipan Surabaya
Njai Dasima I Lie Tek Swie Tan’s Film 1929
1930 Njai Siti/Des Ph. Carli Cosmos Film Steam das Bloed Corps
1930 Melati van Agam Lie Tek Swie Tan’s Film I, II Lie Tek Swie Tan’s Film Njai Dasima II, III
1931 Bung Roos van The Teng Chun Cino Motion Tjikembang The Teng Chun Pictures Sam Pek Eng Tay Cino Motion Pictures 1931 Indonesia Malaise Wong Bersaudara Halimoen Film
1932 Karina’s Ph. Carli Cinowerk Carli Zelfopoffering Bachtiar Effendy Tan’s Film Njai Dasima ( G. Krugers Krugers Film- bicara ) G. Krugers Bedrijf Raonah M.H. Schilling Krugers Film- Terpaksa Menikah Bedrijf ( bicara-music ) Haliomoen Film Zuster Theresia
1937 Gadis Jang The Teng Chun Java Industrial
Terjoeal Albert Balink Film Terang Boelan ANIF 1938 Fatima Joshua Wong Tan’s Film Oh Iboe The Teng Chun Java Industrial Tjiandjoer The Teng Chun Film Java Industrial
Film 1939 Impian di Bali Tidak Tercatat Djawa Film Siti Akbari Joshua Wong Tan’s Film 1940 Bajar Dengan R. Hu Union Film Co. Djiwa The Teng Chun Java Industrial Dasima R. Hu Film
Harta Berdarah Union Film Co. Kartinah 1941 Air Mata Iboe Njoo Cheong Seng Majestic Film Ayah Berdosa Wu Tzun Coy Asmara Moerni Rd. Arifien Star Film Djantoeng Hati Njoo Cheong Seng Union Film Coy Koeda Sembrani Wu Tzu Majestic Film Lintah Darat commit toTan user Tjoei Hock Coy
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id48
Matula Boen Kim Nam Tan’s Film Mega Mendoeng Jo An Djan Star Film Moestika Dari Anjar Asmara Action Film Djenar Wu Tzun Union Film Coy Noesa Panida Suska Populer Film Coy
Pah Wongso Njoo Cheong Seng New Java Tersangka Tidak Tercatat Industrial Film Panggilan Darah Henry L. Duarte Star Film Panjtjawarna Tan Tjoei Hock Oriental Film Poestaka Tan Tjoei Hock Oriental Film Terpendam Lie Tek Swie Tan’s Film Ratna Moetoe Yo Eng Sek New Java Manikam Rd. Arifien Industrial Film ( Djoela Djoeli Standard Film Bintang 3 ) Star Film Selendang Delima Action Film Si Gomar Action Film Singa Laoet Star Film Siti Noerbaya Union Film Tjoengwanara Wanita Satria 1942 Boenga Sembodja Moh. Said HJ Populer Film Coy Poelo Inten Tidak Tercatat Populer Film Coy 1001 Malam Wu Tzu Star Film Sumber: JB Kristanto, 1995. Katalog Film Indonesia 1926 – 1995. Jakarta: Grafiasri Mukti. Hal 30 - 32. Berdasarkan tabel 3 di atas, film dengan jenis drama memang produksi nya
semakin meningkat dari tahun 1927 sampai 1942. Setahun kemudian G. Krugers
mendirikan perusahaan film sendiri yang diberi nama Krugers Film Bedrijf.
Produksi film pertamanya, “ Eulis Atjih “. 5
Setelah film “Euis Atjih”, tidak ada lagi cerita mengenai usaha Heuveldorp
bersama Kruger. Meskipun percobaan mereka tidak mengecewakan, dipasaran
nampaknya mereka tidak berhasil dan karena modal memang tidak terlalu besar,
usaha itu terpaksa tidak bisa mereka lanjutkan.
“ Eulis Atjih ” dipertunjukan pada 1927 oleh Java Film Coy suatu drama
modern , bukan lagi cerita dongeng kuno. Menurut koran Pewarta Soerabaja,
5 M. Jusa Biran, 2009. Sejarah Film 1900 – 1950 Bikin Film di Jawa. Jakarta: commit to user Komunitas Bambu. Hal 12.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id49
pemain yang bernama Arsad dianggap mampu menghidupkan perananannya
dengan baik. Pembawa peranan Eulis Atjih terlihat cantik saat masih hidup senang
dan air mukanya berubah seperti orang desa sesudah jatuh miskin.
Ceritanya mengandung pengetahuan bagi orang Barat dan nasehat yang
berguna bagi pribumi. Jika ada seseorang pemuda boros, seperti Arsad
menyaksikan film ini, diharapkan akan berubah kelakuannya seperti yang
dilakukan tokoh dalam film tersebut. Pada masa tua, Arsjad kembali menjadi
orang baik karena sadar akan kesalahannya. Disamping itu, dalam film ini juga
disaksikan berbagai upacara adat pribumi seperti upacara kematian,pesta
perkawinan dan lain – lain.
Tiga hari sebelum pertunjukan Eulis Atjih berakhir, pewarta Soerabaja
melaporkan bahwa bioskop selalu dibanjiri penonton. Yang paling menarik yaitu
musik pengiring dari pertunjukan film ini bukan keroncong biasa, tetapi musik
pimpinan Tuan Kayoon. Masyarakat Cina, khususnya, sangat suka pada
permainan Kayoon. Bahkan tanpa film pun, pertunjukan musik ini sudah sangat
menarik, apalagi ditambah dengan pertunjukan film yang dimainkan oleh para
pemain bumiputra.
Orang –orang Tionghoa melihat peluang besar akan keuntungan berbisnis
perfilman. Wong bersaudara dengan nama perusahaannya Halimoen Film. Satu –
satu nya produksi perusahaan ini adalah film “ Lyli van Java “ yang sering juga
disebut “ Melati van Java “. Bermainnya Tionghoa peranakan dalam negeri ini,
dimungkinkan oleh kenyataan bahwa pasaran film syanghai di Hindia Belanda
memang sangat kuat. Dan karena keuntungan itu lah pula film yang mereka buat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id50
berkisar di sekitar orang Tionghoa, dengan teks Tionghoa disamping teks Melayu.
Pemainnya juga diambil drai kalangan Tionghoa.
Film Terang Boelan adalah film hiburan yang semata – mata berorientasi
pada selera publik pribumi. Film ini tidak berprestasi untuk membuat film seni
atau mengemban idealisme. Film ini merupakan adonan dari dunia pentas.
Rempah – rempah utamanya adalah romantisme, perkelahian, nyanyian dan
lawakan. Tujuannya untuk menghibur dengan baik, membawa penonton bermimpi
indah dan melupakan kesulitan hidup sehari – hari. Supaya takaran nyanyian,
lawak dan sebagainya pas, maka diangkat saja sebagian besar bahannya dari
panggung. Pemain utama wanita digunakan Roekiah, aktris yang besarnya
dipanggung dan penyanyi keroncong yang sedang mulai terkenal. Film yang
bercerita tentang percintaan muda – mudi itu langsung menjadi bintang yang
bersiar diseluruh pelosok. 6
Film “ Panggilan Darah “yang dibuat oleh Oriental Film, sedangkan
Majestik Film pada akhir 1941 sibuk menggarap Air Mata Iboe secara besar –
besaran. Dalam film ini Fifi Young diberikan kesempatan untuk memperlihatkan
kehebatan pemainnya. Film ini mengisahkan tragedi ibu yang disia – siakan. Film
ini berisi tidak kurang dari 11 lagu keroncong asli yang dinyanyikan oleh
penyanyi terbesar di Jawa, yakni, Soerip Soelami, Titing, Ning Nong dan
S.Poniman.
Film “Panggilan Darah” yang ditulis oleh Soeska adalah menceritakan
tentang dua anak yatim yang mandiri. Mencari penghidupan di kota dengan
commit to user 6 Ibid. Hal 203.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id51
menjadi pembantu rumah tangga yang dicaci maki, dipukul dan diperlakukan
tidak selaknya manusia. Ketika film tersebut diputar sejak Juni 1941, penonton
menengah ke atas sudah tidak suka pada film buatan dalam negeri. Sebaliknya
dikalangan penonton bawah, film Panggilan Darah ini segera menjadi
pembicaraan. Permainan Dahlia dan Soerip sangat disukai. Dahlia, yang lahir dan
besar di panggung, menaiknya produksi film secara drastis. Meskipun waktu
perkembangannya hanya sebentar dan tidak terlalu berhasil, namun adanya dialog
antara pembuat film dan golongan terpelajar juga terjadi. Suasana sosial politik
menambah kesadaran para pembuat film tentang fungsi nereka sebagai “ anak
bangsa “. Tapi dilain pihak, meski jumlah produksi film tumbuh subur, namun
para pembuat film juga sedang dalam masa “ trials and errors “ sekedar agar
dapat diterima oleh sebagian besar penonton bawah.7
Sejalan dengan perkembangan para kelompok Pribumi, berkembang pula
rumus pembuatan film dan cara untuk menarik perhatian mereka agar mau
menonton film. Rumus yang kemudian menjadi patokan selama beberapa tahun
adalah rumus yang ditiru dari keberhasilan film “Terang Boelan”. Film ini
menandai apa yang menjadi sebuah pramodel dari industri film dinegeri ini.
Bukan sekedar memperkenalkan sistem bintang, “Terang Boelan” berhasil
menciptakan pasangan dilayar yang kemudian menjadi wakil dari kisah romansa
ideal yang bisa dilihat sepanjang sejarah film Indonesia. Pasangan Raden Mochtar
– Roekiah ini menjadi bintang yang bersinar.
7 Ibid. Hal 270. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id52
Perkembangan menarik terjadi pada kelompok penonton pribumi, terutama
dengan pertumbuhan kaum intelektual sejak awal abad ke – 20 hingga dekade
1930 –an, kelompok terdidik sudah mengalami institusionalisasi, mereka sudah
memasuki dunia profesi, terlibat dalam diskusi publik mengenai bangsa,
mengelola media, mendirikan sekolah dan sebagainya. Mereka sudah menjadi
lapisan yang pelan – pelan mulai terbedakan dari perpanjangan birokrasi kolonial,
yaitu kelompok bangsawan. Kelompok terdidik ini berperan penting dalam
menentukan arah perkembangan film Indonesia kemudian.
Pertama, mereka menjadi tenaga kreatif yang menyumbang sangat besar
terhadap elemen artistik film. Generasi awal penulis cerita film ternyata berlatar
belakang wartawan dan sebagian juga terlibat dalam dunia panggung. Seperti
keberhasilan film “Terang Boelan”. Keterlibatan wartawan Saeroen sebagai
penulis cerita film ini dianggap sebagai formula tersendiri yang dikembangkan
dan digunakan terus oleh para produser film guna menciptakan film – film laris.
Maka, pra wartawan dan kritikus film cukup mendapat tempat dalam dunia film,
sekalipun mereka tidak berhasil mengubah karakter asli dunia film yang glamour
dan berkesan tidak.
Kedua, keberadaan kaum intelektual ini menarik hati para pekerja film.
Maka untuk mendapatkan pengakuan dari penonton kelompok ini, mereka
membuat film dengan menonjolkan aspek – aspek berbeda dengan film – film
yang semata ditunjukan bagin kelas pekerja. Usaha – usaha untuk menarik
penonton kelompok ini mulai dilakukan, sekalipun belum ada usaha yang
memperlihatkan hasil menggembirakan. Tingkat pendidikan ditonjolkan dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id53
harapan menarik perhatian kaum intelektual sekaligus mengubah kesan orang film
yang tidak intelek.
Dalam konteks seperti ini, baik kelas pekerja maupun kaum intelektual
Hindia Belanda adalah penonton yang sama – sama didekati oleh para pembuat
film yang berbeda – beda. Para pembuat film ini mencoba mencari cara sebaik –
baiknya agar para penonton dari kelas sosial berbeda bersedia mendatangi bioskop
dan menonton film yang memang diperuntukan bagi mereka. Namun kelompok
intelektual tidak kunjung berhasil dibujuk untuk masuk ke bioskop, sekalipun film
dibuat dengan elemen menarik yang dipromosikan dengan asumsi bisa memenuhi
ekspektasi mereka.
Tabel 4 Jenis Film Laga di Hindia Belanda
Tahun Judul Film Sutradara Perusahaan Film 1926 Loetoeng L. Heuveldorp Java Film Co. Kasaroeng 1928 Resia Nelson Wong Batavia Motion Boroboedoer Picture 1929 Si Tjonat Nelson Wong Batavia Motion
Rampok Preanger Nelsong Wong Picture Halimoen Film 1930 Si Ronda Lie Tek Swie Tan’s Film
1931 Si Pitoeng Wong Bersaudara Halimoen Film
1933 Delapan Djago The Teng Chun Cino Motion Pedang The Teng Chun Pictures Delapan Wanita Cino Motion Tjantik Pictures
1935 Aang Hai Djie The Teng Chun Java Industrial Pareh Albert Balink Film Tie Pat Kai The Teng Chun Java Pasific Film Kawin Tidak tercatat Java Industrial Poe Sie Giok Pa Film Loei Tay Yo Kim Tjan
1939 Alang – alang The Teng Chun Java Industrial Gagak Hitam Joshua Wong Film Resia Si Pengkor The Teng Chun Tan’s Film commit to user Java Industrial Film
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id54
1940 Kedok Tertawa Jo An Djan Union Film Co. Kris Mataram Njoo Cheong Seng Oriental Film Coy Mealati van Tan Tjoei Hock Java Industrial Agam Tidak Tercatat Film Pah Star Film
WongsoPendekar The Teng Chun Java Industri Film Boediman Joshua Wong Tan’s Film Rentjong Atjeh Joshua Wong Tan’s Film Roekihati The Teng Tjoen Java Industrial Sorga Ka Toejoeh Njoo Cheong Seng Film Sorga Palsoe Oriental Film Coy Zoebaedah Sumber: JB Kristanto, 1995. Katalog Film Indonesia 1926 – 1995. Jakarta: Grafiasri Mukti. Hal 32-33. Berdasarkan Tabel 4 di atas, film genre dengan jenis film action yang penuh
kekerasan seperti film Amerika jenis Cowboy, Eddie Polo sangat populer dengan
julukan “ Raja dari Segala Jago Seri “. Film action itu berseri. Maka melihat
perkembangan film action yang ada Pengusaha bioskop tidak mau bikin pusing
pelanggannya yang masih “ primitif “, cukup disebutkan judul yang menarik,
seperti serial Oedjan Djotosan. Jotosan artinya tonjokan. Film penuh perkelahian
yang berseri 12 film itu merupakan box office pada 1924. Para pemainnya
memang tukang jotosan, yakni James Jeffries, mantan juara tinju kelas berat.
Maka jotosan – jotosan dalam film itu jumlahnya seperti hujan adalah betul –
betul banyak. 8
Di samping film Cowboy dan bandit yang dipenuhi “ hujan jotosan “,
masih ada film action lainnya, yakni film aksi main anggar, seperti film Monte
Carlo, film tegang Adoe Mobil dan Radja Pemboeian.
Perkembangan film genre pun semakin banyak terlihat di Hindia Belanda
ketika film cerita dengan tema Legenda Jawa Barat dibuat oleh Heuveldop,
8 JB Kristanto, 1995. Katalog Film Indonesia 1926 – 1995. Jakarta: Grafiasri commit to user Mukti. Hal 34.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id55
seorang Belanda, yang oleh pemerintahnya ditugaskan untuk membuat film-film
dokumenter ternyata lebih tertarik untuk membuat film cerita yang tema, lokasi,
dan semua pemainnya adalah pribumi. Untuk mewujudkannya cita-cita itu, ia
bekerja sama dengan Kruger (seorang Jerman) di bawah bendera Perusahaan Java
Film Company di tahun 1926. Dampak positif dari pergelaran tersebut adalah
menjadi populernya kembali nyanyian – nyanyian Sunda lama. Orang memainkan
musik kecapai dan suling dimana – mana. Di setiap Kabupaten, ada lima sampai
enam perkumpulan musik Sunda. Sejalan dengan berkembangnya kesenian, maka
industri alat musik Sunda juga tumbuh dan dibuat lebih modern.
Permulaan pembuatan film cerita lokal membuka babak baru pada tanggal
27 Desember 1926 oleh L. Heuveldorp dan G. Krugers dibawah perusahaan milik
nya yaitu NV Java Film Company . Mereka membuat film cerita berdasarkan
cerita rakyat sunda “ Loetoeng Kasaroeng “. Heuveldorp yang menjadi sutradara
merangkap produser, sedangkan G. Krugers menjadi penata kamera. Film cerita
pertama ini diputar pertama kali di Elita dan Oriental Bioscoop, Bandung. 9
Menggunakan pemain Tionghoa kemudian juga terlihat lagi dalam film “
Si Tjonat “. Tontonan ini merupakan produksi pertama Batavia Motion Picture
Company. Perusahaan baru itu didirikan bersama Wong bersaudara dengan
seorang pemilik modal dari kalangan Tionghoa peranakan, Jo Eng Sek. Ini terjadi
setelah Wong bersaudara berpisah dengan David Wong akibat kegagalan film Lyli
van Java Tahun 1928, tiga bersaudara itu mencoba menghidupkan kembali
9 Ibid. Hal 39. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id56
Halimoen Film lewat film Rampok Parianger, film yang dibuat dengan resep “ Si
Tjonat “y ang sukses, ternyata berakhir dengan kegagalan.
Di tahun 1929 tiga perusahaan baru muncul. Tapi yang terpenting adalah
Tan’s Film. Sebuah perusahaan yang pada jaman film bersuara masih akan terus
membuat film. Nansing Film Corp, yang juga berdiri di tahun 1929, hanya
berhasil membuat sebuah film “ Resia Boroboedoer “, untuk kemudian bangkrut.
Ini lantaran biaya yang terlalu banyak, untuk mendapatkan seorang artis Sanghai,
Olive Young, untuk memegang peran utama.
Produksi film bicara di Hindia Belanda baru dimulai pada tahun 1931.
Salah satu pelopor yang memproduksi film bicara ialah seorang bernama Teng
Choen, yang memproduksi film bicara dengan cerita Sanghai yang bertema
Legenda. Dari perusahaan filmnya " Cino Motion Picture ". Teng Choen
menghasilkan film-film "Sam Pek Eng Tay" (1931), "Pat Bie Fo" (1932), "Pat
Kiam Hiap" (1933), "Oiw The Tjoa" (1934), "Lima Siloeman Tikoes" (1935), "See
You Ang Nai Djie" (1935), "Ouw The Tjoa II" (1936), dan "Hoa Lian" (1937).
Cino Motion Picture yang mengalami perkembangan mulai tahun 1935 namanya
10 diganti menjadi The Java Indus-trial Film Co (JIF) .
Adapun film “Zoebaida” yang dibuat pada tahun 1940 oleh perusahaan
Oriental Film Coy mengangkat cerita model Timoeriana karya Nyoong Cheong
Seng yang pernah sukses dipanggung, yakni cerita khayalan dalam lingkungan
suku primitif di daerah Kupang Timor. Nyoong Cheong Seng yang unggul dalam
10 Armijn Pane. 1953. Produksi Film Tjerita di Indonesia; Perkembangannja
sebagai Alat Masjarakat. Jakarta: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Hal 16. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id57
segi dialog dengan nuansa romantis dan puitis. Menurut penonton terpelajar
bahwa dialog film Cheong Seng itu berbau stambul. Sedangkan judul “Rentjong
Atjeh” yang dibuat pada tahun yang sama 1940 dengan sutradara Joshua Wong
bercerita tentang pusaka sakti yang dipakai untuk berkelahi dengan kepala Bandit.
Tokoh utama mengigit pisaunya, sperti tokoh Tarzan dalam film Amerika yang
sering mengigit pisaunya kalau sedang berayun atau berenang mengejar buaya.
Sedikitnya genre film komedi yang di produksi di Hindia Belanda hanya
dari tahun 1930 – 1931 sperti pada Tabel 5 dibawah ini.
Tabel 5 Film Komedi di Hindia Belanda
Tahun Judul Film Sutradara Perusahaan Film 1930 Karnadi Anemer G. Krugers Krugers Film– Bangkok Bedrijf
1930 Lari Ka Arab Wong Bersaudara Halimoen Film
1931 Atma De Visher ( G. Krugers Kruger Film Bedrijf bersuara )
1931 Sinjo Tjo’main di M.H. Schilling Halimoen Film Film
Sumber: JB Kristanto, 1995. Katalog Film Indonesia 1926 – 1995. Jakarta: Grafiasri Mukti. Hal 36.
Berdasarkan Tabel 5 di atas, film dengan jenis komedi tidak begitu pesat
produksinya. Sutradara Krugers yang dulu memelopori membuat film, di tahun
1929 muncul kembali dengan perusahaan miliknya sendiri, Krugers Film Bedrijf.
Tetapi baik filmnnya yang berjudul Atma de Visser ( 1931 ) maupun yang
berjudul Amat Tangkap Lodok ( 1930 ), semuanya tidak menghasilkan uang.11
11 JB Kristanto. Op.cit. Hal 36 – 37.commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id58
Film – film di Indonesia yang diputar pada paruh pertama 1941, umumya
buatan akhir 1940, dilecehkan begitu saja. Film dalam negeri mereka nilai
hanyalah tidak lebih dari hiburan murahan hasil tiruan. Dalam tulisan – tulisan
para tokoh pergerakan dan cendikiawan mengenai film Indonesia lewat tengah
tahun 1941, hampir tidak ada yang mengungkapkan kemajuan yang telah dicapai
oleh film – film Indonesia, meskipun hanya sebagai pendorong saja. Adapun
harapan – harapan yang mereka lontarkan semakin melambung ke balik awan. Ki
Hajar Dewantara menganjurkan agar film bisa menjadi media pendidikan.
Dipihak lain, mereka yang berada dalam dunia film seperti terperangkap
tidak berdaya dalam pola selera dan cara berfikir sub kultur orang panggung –
yang mendominasi dunia ini. Meskipun ada keinginan kuat untuk memenuhi
tuntutan kaum terpelajar, tetapi film yang mereka garap orientasinya lebih berat
kepada tingkat penonton panggung. Orang luar yang masuk dunia film seperti
terbius dalam perangkap subkultur orang panggung tersebut. 12 Keadaan seperti
itu jumlah produkasi film mengalami kenaikan yang berarti. dari keseluruhan film
yang diproduksi pada masa itu jelaslah bahwa ceritanya selalu berorientasi kepada
film-film asing.
Terpenting dari sejarah awal film Indonesia ini adalah usaha mendekati
penonton yang mulai referensi sekenanya mengingat para pelaku film pada masa
kolonial tidak banyak memiliki rujukan. Beberapa dari mereka pernah bekerja di
negeri asing atau bersekolah di sekolah film, tetapi pada dasarnya apa yang
dipakai untuk membuat film di Hindia Belanda ketika itu sepenuhnya coba – coba
12 Misbach Yusa Biran. Op.cit. Halcommit 260 – to261. user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id59
dengan harapan bisa mengena bagi penonton. Rumus atau formula mulai
ditemukan ketika sukses demi sukses terjadi. Semua pada dasarnya merupakan
usaha uji coba ( trial and error ) yang sambung menyambung demi untuk
mendatangkan penonton, baik penonton dalam pengertian ( masa sekarang )
sebagai konsumen yang datang membeli tiket maupun penonton dalam pengertian
publik yang datang karena tertarik pada gagasan yang dibawa oleh film.
Mengacu pada perkembangan film, tidak dapat terlepas dari keadaan
masyarakat kolonial saat itu, terutama di Batavia dengan struktur sosial
masyarakat dibagi ke dalam tiga golongan yaitu golongan Eropa, Timur Asing
dan Pribumi. Ketiga kelompok ini menjadi sasaran dari para pembuat film.
Masing – masing golongan didekati dengan cara berbeda. Salah satu nya adalah
dengan mengadaptasi cerita rakyat dan cerita populer, terutama untuk penonton
Pribumi dan penonton kalangan Cina.
Adapun untuk kelompok penonton Eropa, gambar – gambar eksotik dan
keindahan alam dijadikan unggulan. Beberapa film dibuat dengan mengincar
pasar orang Eropa yang berada Eropa. Maka, kehidupan sehari – hari dan
pemandangan pun di filmkan dengan harapan menarik perhatian orang Eropa
yang belum pernah melihat negeri jajahan. Namun pendekatan terakhir ini tidak
berhasil menarik perhatian penonton di Hindia Belanda, yang tidak bisa melihat
dimana letak daya tarik kehidupan sehari – hari dijadikan film.
Pada awalnya, film bagi kaum pribumi umumnya ditunjukan bagi kelas
pekerja, para pembuat film – selain mengambil cerita rakyat – menggunakan jurus
yang sudah dikenal ampuh bagi kelompok ini, yaitu mengadopsi pertunjukan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id60
panggung atau tonil. Cerita berasal dari tonil dari para bintang dari berbagai
kelompok tonil memenuhi layar film. Elemen – elemen yang ada dalam tonil
dipindahkan ke dalam film guna menjadi daya tarik utama bagi penonton kelas
pekerja. Musik, tarian dan perkelahian serta adegan – adegan sensasional menjadi
milik medium film – termasuk pemandangan indah dan eksotik adalah formula
yang digunakan berulang – ulang. Namun demikian, tidak seluruh film yang
menggunakan elemen – elemen panggung berhasil mendatangkan banyak
penonton. Rumus demi rumus terus dicari dan dikembangkan.
Dalam artikel yang ditulis oleh Danilah dalam majalah “ Pertjatoeran
Doenia dan film “ Tahun 1941 dengan judul “ Film sebagai Alat Pendidikan “,
menerangkan bahwa menilik film – film yang telah ada sesungguhnya ada
harapan akan diteruskannya faham Ketimuran yang pada saat itu menjadi
perhatian bagi kaum terpelajar. Sesungguhnya jika diusahan dengan baik maka
film bisa menjadi kesenian yang besar bagi bangsa kita. Bukan karena adanya
perusahaan film yang dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat
banyak, akan tetapi dapat dijadikan alat pendidikan rakyat. Hal ini didasarkan
terutama karena penduduk Hindia Belanda yang mayoritas penduduk pribumi asli
kalangan bawah tidak dapat membaca atau buta huruf. Oleh karena itu film dapat
dijadikan alat untuk menunjukan jalan terang untuk membuka wawasan dan
pengetahuan bagi mereka yang buta huruf dan tidak pernah mengenyam bangku
pendidikan.
Perkembang seni pertunjukan, film tidak hanya orang menyediakan cerita
yang menghibur penonton semata, namun dibalik itu banyak terkandung pelajaran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id61
- pelajaran yang baik. Melalui film ini mereka yang buta huruf dapat mengetahui
berbagai hal yang didapatkan dari sajian yang dilihatnya. Pengaruhnya film lebih
besar lebih besar daripada pengaruh buku – buku, karena apa yang dilihat itu lebih
dirasa dan diingat daripada apa yang dibaca. Sedangkan pengetahuan -
pengetahuan yang terdapat dalam buku hanya dapat diketahui oleh orang – orang
yang pandai membaca.
Bentuk pertunjukan seni, pengenalan budaya Barat ini mau tidak mau
membawa anak – anak pribumi melihat bentuk seni pertunjukan yang
meninggalkan kaidah – kaidah tradisional. Salah satu bentuk seni yang dikenal itu
adalah film. Seperti yang termuat dalam majalah “ Doenia Film “ tanggal 8
Oktober 1941 dibawah ini :
Manakala public, istimewa public bangsa kita soedah dapat moelai melihat dan berfikir dengan kritis ; dengan lain perkataan bangsa kita telah bisa memilih film jang cocok, pantas dan lajak untuk dipersaksikan, agar dapat meletakkan penghargaan itoe pada tempat yang selarasnja, maka kesanalah maksoed tulisan ini. Dengan demikian dapat dibedakan stimulans, soeatoe 13 alat baroe untuk takaran majoe moendoernja masjarakat “.
Bahwa film dapat dijadikan barometer atau pengukur masyarakat dalam
evolusinya. Orang telah mengerti bahwa setiap film yang dipertunjukan dihadapan
khalayak ramai, ada mempunyai kecenderungan dan wujud cerita tersendiri.
Sebanyak cerita film yang dipersaksikan diatas layar putih, sebanyak itu pula
penglihatan publik yang kemudian dapat mendatangkan kesan kepada mereka,
pengaruh – pengaruh positif dan negatif nya film yang disajikan.
13 Monami Ariva, “ Film adalah Barometer Masyarakat “, Doenia Film. No. 8 ( commit to user 1941 ), Hal 112.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id62
Kesempatan untuk menjadi penonton aktif di bioskop bagi para pribumi,
mulai dari beragam tingkatan sekolah ini terjadi karena kebutuhan akan tempat
hiburan saat malam hari. Ini dimungkinkan karena hubungan wanita dengan pria
ketika itu, di Batavia, tidak seketat di daerah lainnya. Pada setiap malam minggu
pertemuan remaja pria dan wanita sering daiadakan yang dilanjutkan dengan acara
menonton pertunjukan film di bioskop.
Hindia Belanda dimulailah suatu Era pembuatan film-film cerita yang
dipelopori oleh orang-orang Tionghoa yang memang sudah menguasai 85%
perbioskopan. Orang-orang Tionghoa itu melihat prospek yang dapat
menguntungkan, maka lahirlah film-film yang di antaranya ialah : "Lily van Java"
(1928) produksi Halimoen Film, "Naik Djadi Dewa" (1927), "Si Tjonat" produksi
Motion Picture, "Rampok Preanger". "Lari Ka Arab", "Atma de Visser" (1929),
dan "Amat Tangkap Kodok" (1930) produkasi Kruger Film Bedrijf, "Resia
Borobudur" (1929) produkasi Nancing Film Corp, "Nyai Dasima" (1929), "Nyai
Dasima II" (1930) keduanya produksi Tan's Film .14
Rupanya pembuatan film yang berasal dari cerita yang sudah dikenal
mulai dijadikan resep dalam menjaring penonton. Film “ Si Tjonat “ dan “ Nyai
Dasima “ berhasil menyedot penonton dalam jumlah yang banyak. “ Si Tjonat “
adalah cerita populer masa itu baik di kalangan peranakan maupun pribumi.
Film "Nyai Dasima", cerita ini sudah terkenal bahkan sudah dianggap
legenda di masyarakat. Cerita ini merupakan karya sastra baik dalam bentuk
prosa, novel, dan sudah ratusan kali di pentaskan di atas panggung.
commit to user 14 Salim Said. 1982. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers. Hal 28.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id63
Ciri yang paling dominan dari pembuatan film pada 1940 adalah berusaha
menggunakan resep “Terang Boelan” yang telah disukses dan tumbuhnya
keinginan agar film yang mereka buat bisa diterima juga oleh kalangan baik –
baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menyambut imbauan kemajuan yang
dituntut oleh perkembangan pergerakan nasional.
Produksi Star Film, yang disutradarai oleh produsernya sendiri, Yo Eng
Sek, diharapkan bisa menarik publik kelas atas melalui pemainnya L.V.
Wijnhamer Jr. Ceritanya adalah Pah Wongso Pendekar Boediman. Fim ini adalah
roman detektif modern pertama dalam di Hindia Belanda.
Pada waktu itu, film detektif buatan Amerika memang sedang populer
dengan tokoh utamanya, sang detektif, yang bernama Charlie Chan dan Mr.
Motto. Adapun L.V. Wijnhamer Jr. Adalah orang Indo Belanda yang terkenal
dengan nama samaran “ Pah “ ( maksudnya pak ) Wongso. Ia adalah pekerja
sosial yang banyak membantu anak – anak terlantar. Film ini bercerita tentang
penghianatan cinta yang tidak terbalas, cerita yang penuh rahasia, akal picik dan
penuh dengan perkelahian. Untuk membuat adegan perkelahian menjadi begitu
sengit dan nampak seperti sesungguhnya, maka disertakan sejumlah jago tinju,
gulat dan silat dibawah pimpinan Primo Oesman, yakni pegulat Indonesia yang
pernah mengembara ke negara – negara tetangga seperti Malaya. Pemasaran film
pertama dari Pah Wongso dan Elly Yunara itu mendapat sukses besar.
Beberapa film produksi 1940 tidak mencoba menarik perhatian
penontonkelas atas. Contoh dari film demikian ialah “Sorga ka Toedjoe” dan
Roekihati produksi Tan’S Film, “Kris Mataram” dan “Zoebaida” produksi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id64
Oriental Film serta “Rentjong Aceh” dan “Soerga Palsoe” keluaran JIF. Semua
itu tetap hanya ingin mendapat penonton pribumi kelas bawah.
Film “Roekihati” produksi Tan’s Film berpihak kepada orang kampung
dan mengkritik yang modern. Menurut film ini penting bagi seorang isteri adalah
kesetiaan, kecintaan dan budi luhur. Menekankan bahwa Roekihati gadis desa
yang tidak terpelajar, tapi ia punya budi pekerti yang halus dan kelakuan yang
lemah lembut, jujur dan bisa menunjukan sikap patuh terhadap mertua.
Produksi Oriental Film pada 1940, “Kris Mataram” dan “Zoebaida”,
semuanya mengandalkan popularitas Fifi Young di panggung dan sukses Nyoo
Cheong Seng sebagai pengarang cerita tonil. Penonton yang dituju hanya
pengegmar tonil saja, dengan sedikit tekanan pada khalayak cinta. Pada kedua
film itu, tidak ada yang ditonjolkan untuk menarik perhatian penonton atau
masyarakat kalangan atas.
Andalan Tan’s Film hanyalah Roekiah sang aktris yang ditunjang dengan
dengan Kartolo, sang suami. Mereka tidak melupakan resep TB, aeperti nyanyian,
pemandangan, perkelahian dan sebaiganya. Semua ini tidak diupayakan agar
terlihat lebih modern dari penyajiannya yang sudah – sudah.
Dalam film “Kris Mataram”, Cheong Seng sebetulnya menyinggung hal
yang mulai penting pada masa itu, yaitu pertikaian natara “ kolotisme “ dan “
modernisme “, “ kebaratan “ dan “ ketimuran “serta putra – putri modern lawan
ibu bapak kuno. Menceritakan gadis modern R.A. Rosmini yang dibawa lari oleh
kekasihnya Bachtiar karena hubungan mereka tidak disetujui oleh orang tua
Roosmini yang kolot. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id65
Seniman film telah berusaha keras untuk diterima penonton kelas atas,
yakni kalangan Pribumi terpelajar. Namun dimata penonton terpelajar, mutu film
buatan dalam negeri dinilai jauh dari harapan. Ukuran yang mereka gunakan
adalah film Barat yang sudah begitu maju. Sehingga mayoritas penonton film
dalam negeri adalah masyarakat lapisan bawah.
B. Persaingan Industri Perfilman di Batavia Tahun 1900 - 1942
Semenjak film diperkenalkan di Hindia Belanda , maka yang memegang
peranan utama dalam hal – hal perfilman adalah selalu orang asing. Mula – mula
didahului oleh beberapa orang Eropa kemudian diteruskan, terutama sekali oleh
orang – orang Tionghoa.
Munculnya Bioskop – bioskop di Batavia ini semakin memperlihatkan
kehidupan sosial masyarakat perkotaan di Batavia. Perkembangan kota yang
semakin maju dan kebudayaan asing yang semakin menyebar kedalam semua
kalangan masyarakat di Batavia.
Bertambahnya tempat pertunjukan film atau yang dikenal dengan nama
bioskop ini menyebabkan meningkatnya pula jumlah importir film. Pada tahun
1900 di Batavia baru terdapat satu importir film. Kemudian pada tahun 1905
berkembang menjadi tiga importir, yaitu American Animatography,
Nederlaandsch Indie Biograph Compagne dan The Royal Bioscoope sampai tahun
1920 –an pertunjukan film bisu berkembang dengan pesat yang didominasi oleh
film – film produksi Universal Hollywood Amerika Serikat. Keadaan ini
dimungkinkan karena perusahaan Universal adalah satu – satu nya perusahaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id66
yang mampu membuat film cerita bisu dan film dokumnter. Amerika Serikat
15 sangat kuat dalam peredaran film di Hindia Belanda.
Pada saat itu apa yang disajikan bioskop masih sangat sederhana dan
bahannya hanya itu – itu saja, yang berkali – kali diulang. Selain itu perhatian
orang terutama kalangan terpelajar, terhadap politik semakin tinggi dengan makin
berkembangnya proses Kebangkitan Nasional. Perang menentang kekuasaan
kolonial pun masih terus berlangsung dibeberapa wilayah.
Goyangnya tatanan masyarakat pribumi Jawa ini, menumbuhkan
kesadaran baru yang tersiram pula oleh lahirnya berbagai ketidakpuasan dibanyak
wilayah. Politik etis yang diterapkan Belanda pun, mulai ramai dikecam sejak
tahun 1914 sebagai telah gagal. Pemberontakan sebagai ekspresi ketidakpuasan
terhadap perbedaan kesahteraan yang sangat mencolok, antara golongan pribumi
dengan golongan asing, pecah dimana – mana. Keadaan kemudian bergerak ke
arah yang radikal, maka bioskop timbul tenggelam di tengah situasi yang tidak
menguntungkan itu.
Gambar idoep yang sering dipertunjukan di dalam bangunan berdinding
gedek beratap seng, yang didirikan di lapangan terbuka yang selalu berpindah –
pindah lokasi dan sering juga suatu bangunan difungsi gandakan sebagai tempat
pertunjukan film.
Orang cepat bosan karena gambar idoep yang ditampilkan tidak
mengandung cerita melainkan film dokumenter dan itu pun tidak dilengkapi
dengan media audio. Apalagi, harga tanda masuk kelas satu f2, kelas dua f1, dan
commit to user 15 M. Sarief Arief. Op.cit. Hal 16 – 17.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id67
kelas tiga f0.50, yang hanya dapat dijangkau kalangan menengah ke atas saja,
yaitu orang – orang cina dan kaum penjajah. Sedangkan bagi masyarakat kalangan
menengah ke bawah hal itu dirasa cukup berat.
Kehidupan ekonomi masyarakat Batavia pada tahun – tahun tersebut
terutama lapisan bawah merupakan ekonomi informal, yang lahir dari tradisi pasar
tradisional dimana kegiatan ekonomi dilakukan secara interaktif; dimana barang
atau jasa dijajakan di tempat strategis (kaki lima, persimpangan jalan atau di pusat
keramaian) atau dijajakan dari rumah ke rumah (asongan). Penduduk pribumi
mendapatkan penghasilan berdagang dari hasil bumi, produksi kerajinan, dan
pemberian pelayanan, seperti mengemudi sais atau kusir kereta sado, kuli,
penjahit, tukang sepatu, tukang kayu, pembatu rumah tangga, binatu/tukang cuci
pakaian, pembuat pelana dan pedati, buruh diindustri rakyat, yaitu memproduksi
topi dan kaset. Diantara mereka ada juga yang menjadi pegawai kantor rendahan,
seperti pengatar surat dan pegawai kantor, sedangkan yang lain melakukan usaha
sendiri, seperti pedagang keliling. Mereka ini biasanya tinggal dikampung yang
berdekatan dengan daerah tempat tinggal orang Eropa.
Pendapatan kalangan bawah ini tidak tetap, kerena pekerjaan mereka
serabutan dan hanya cukup untuk makan. Pendapatan mereka sering tidak
mencukupi untuk makan maka mereka terpaksa makan gandum, bongkol pisang
dicampur dengan pepaya muda untuk mengisi perut.16 Dapat dirasakan bahwa
pendapatan masyarakat kalangan bawah ini pun menjadi salah satu faktor sulitnya
16 Proyek Penelitian dan Pencatatancommit Kebudayaan to user Daerah, Sejarah DKI Jakarta 1957. Jakarta: Pendidikan dan Kebudayaan. Hal 155.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id68
hiburan seperti bioskop dijangkau oleh mereka yang penghasilannya pas – pasan
bahkan kurang untuk bisa memenuhi kebutuhan pokok.
Selain faktor tinggi nya harga tanda masuk yang sulit dijangkau
masyarakat kelas bawah, gambar yang disajikan pun belum dapat dinikmati secara
sempurna. Sering bergetar dan bergoyang, hingga membuat mata lelah dan sakit.
Akibatnya, bioskop pertama di Hindia Belanda ini dengan cepat kekurangan
penonton. Tingkat pendapatan penduduk yang sangat rendah, akhirnya memaksa
pengusaha bioskop ini mengelurakan iklan penurunan harga tanda masuk kurang
dari sebulan sejak pertama kali beroperasi. Tepatnya, 31 Desember 1900 yang
mengumumkan penurunan harga tanda masuk mulai 1 Januari 1901 bayarannya
dikurangin. Kelas satu f1.25, kelas dua f0.75 dan kelas tiga f0.25. disamping
pengumuman itu, terdapat pula tambahan pembayaran buat satu anak f0.25.17
Terjadinya penurunan harga tanda masuk itu, animo terhadap bioskop
sedikit meningkat, hingga dapat terus berjalan. Orang umumnya datang untuk
menyaksikan benda ajaib yang diiklankan dan menjadi buah bibir itu. Selain itu,
nonton bioskop termasuk bergengsi, terutama karena ini jenis hiburan baru dan
menjadi konsumsi orang berduit. Belum lagi, dengan nonton bioskop, para
inlander merasa naik harga karena bisa duduk bersama dengan sinyo dan noni –
noni yang waktu itu mempunyai kedudukan paling tinngi dalam starata sosial
masyarakat Hindia Belanda.
17 Haris Jauhari, 1992. Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal 5. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id69
Menyadari pembagian kelas ini bermanfaat untuk menjaring penonton
pribumi yang merupakan pasar paling potensial, Belanda kemudian
memapankannya dengan asumsi penonton dapat memilih tanda masuk yang
sesuai dengan kemampuan daya belinya. Namun, pembagian kelas ini tampaknya
membuat pengusaha bioskop agak pusing, mengingat kebanyakan penonton
memilih kelas yang lebih murah.
Setelah berjalan beberapa lama, formula baru ditemukan. Keluarlah iklan
The Rojal Bioscope di surat kabar Bintang Betawi tahun 1903. Pembagian kelas
bertambah. Mulai dari f2 kelas satu, f1 kelas dua dan kelas tiga ( buat orang Slam
dan Jawa saja ) f0.25. Dengan pembagian kelas yang bersifat rasial ini, pengusaha
memastikan tak ada lagi penduduk yang bukan orang Islam dan Jawa atau pribumi
yang duduk di kelas terendah. Orang Cina, Eropa, dan India, berdasar ketentuan
ini harus masuk di kelas dua ke atas. Dengan demikian, mereka yang berstatus
sosial dan pendapatan lebih tinggi, tentu akan memilih kelas yang lebih atas.
Ketentuan dalam pembagian kelas dan harga tanda masuk baru ini,
mengatrol pendapatan bioskop. Namun, bagi para kolonial, pembagian kelas
tersebut mereka restui tampaknya bukan semata – mata karena alasan ekonomi.
Lebih jauh, pembagian kelas tersebut mencerminkan usaha mereka memaparkan
pula susunan masyarakat jaman ini yaitu dengan meletakkan masyarakat Belanda
dan Eropa di puncaknya, kemudian masyarakat Timur Asing ( vreemde
18 oosterlingen ), dan bumiputra ( inlanders ) diposisi paling bawah.
commit to user 18 Ibid. Hal 7.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id70
Kalangan Timur Asing, terutama Cina, pada waktu ini memang telah
memiliki daya beli yang lebih baik dibandingkan bumiputra. Mereka umumnya
para saudagar yang sudah berperan dalam perekonomian Hindia Belanda,
terutama di Jawa sejak awal abad 19. Hal tersebut menyebabkan pembagian kelas
di bioskop, kaum Timur Asing tidak termasuk kategori yang patut disebut secara
khusus. Justru mereka harus membeli karcis yang lebih mahal dari kaum pribumi.
Formula ini dijalankan selama beberapa waktu dan membuat bioskop
dapat berkembang. Namun, perkembangan tersebut belum cukup memuaskan,
hingga dengan berbagai cara pengusaha bioskop mencoba meningkatkan
pendapatannya. Hal itu terlihat dari gencarnya iklan bioskop di surat kabar, yang
rata – rata berisi ajakan secara persuasif agar orang mau datang dan menonton.
Apalagi, kemudian datang pula saingan berupa berdirinya bioskop baru di tahun
1904. Biograph Compagnij, yang datang dari Bombai, membangun bioskopnya di
Tanah Lapang Manggabesar, dengan harga tanda masuk yang berbeda. Kelas satu
f1.50, kelas dua f0.75, dan kelas tiga f0.25. khusus anak umur 10 tahun ke bawah
dan militer berpangkat officer kelas satu f1 dan kelas dua f0.50.19
Setahun kemudian, American Animatograph hadir di gedong Kapitein Tan
Boen Koei di Kongsi Besar, dengan janji ambisisus menyajikan gambar idoep
paling bagus, paling terang, paling tetap ( tidak goyang, tidak bergetar ). Harga
tanda masuk ditentukan f0.25 untuk orang Cina dan f0.10 untuk orang Islam.
19 S.M. Ardan, 1992. Dari Gambarcommit Idoep toke userSinepleks . Jakarta: GPBSI. Hal 7.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id71
Lebih unik lagi, bioskop ini menjanjikan tidak mencampur tempat duduk
20 perempuan dan laki – laki.
Pemisahan tempat duduk ini memenuhi asumsi bioskop sepi karena
penonton pribumi yang menjalankan ajaran islam dengan ketat enggan datang ke
tempat yang mencampurkan lelaki dengan wanita yang bukan muhrimnya. Hal
tersebut sudah bukan rahasia umum lagi, pada waktu itu bioskop dianggap tempat
maksiat karena pria wanita duduk berdampingan di dalam ruang gelap.
Bertambahnya jumlah bioskop, munculah persaingan yang main ketat
untuk merebut jumlah penonton yang masih terbatas karena faktor ekonomi. The
Rojal Bioscope, sebagai perintis dan menjadi bioskop pertama di Hindia Belanda,
tidak mau kalah oleh para pendatang baru. Untuk itulah, di tahun 1905, ia
memperkenalkan gambar idoep yang bisa bicara.
Berbagai cara masih terus dilakukan para perintis perbioskopan negeri ini,
untuk dapat meletakkan dasar yang kokoh bagi perkembangan seterusnya. Namun
keterbatasan teknologi menjadi hambatan. Bioskop menjadi kurang mampu
menyedot jumlah penonton yang memenuhi syarat secara terus menerus, hingga
sering dipertunjukan tidak dilangsungkan selama beberapa waktu.
Kondisi seperti ini berlangsung terus hingga sekitar tahun 1919. Bioskop,
sampai masa itu, masih memperlihatkan wajah yang suram dan sulit berkembang.
Keadaan ini, sebaliknya memberi peluang pada toneel Melayu yang terus melaju,
hingga kadang ia dimainkan orang disebuah gedung bioskop, saat tidak ada
pemutaran film.
20 Ibid. Hal 7. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id72
Situasi perbioskopan memang terus muram hingga sekitar tahun 1919.
Pergolakan dalam negeri makin tajam dan hubungan dengan Eropa mulai
mengalami gangguan sejak Perang Dunia I pada tahun 1914 – 1918. Pada saat itu
bisnis perfilman tidak banyak dilirik. Selain teknologinya yang masih asing,
biayanya pun dianggap tidak layak untuk mendatangkan untung. Apalagi
kedudukan bioskop masih kalah jauh dengan tonil yang berkembang pesat karena
digemari masyarakat.
Tonil dan operet berkembang pesat mengarungi masa keemasannya.
Sedangkan bioskop terus berkutat untuk dapat bertahan hidup dan secara perlahan
mengembangkan diri pula. Beberapa bioskop baru didirikan orang di Batavia,
Surabaya, dan Semarang. Ia tetap berdiri sebagai barang tontonan yang mewah
dan bergengsi. Penontonnya memang hanya terbatas, terutama orang – orang
Eropa, Cina, dan kalangan orang – orang berduit, yaitu golongan priyayi dan
ningrat. Namun, lapisan ini makin lama makin meluas juga, hingga menjelang
tahun 1916, pemerintah Hindia Belanda mulai melihat adanya gejala pengaruh
bioskop terhadap masyarakat penontonnya.
Bagi kebanyakan penonton, gambar yang mereka saksikan di layar perak
adalah budaya asing yang lebih unggul, yang telah berhasil melebarkan sayap dan
menjajah Hindia Belanda. Kenyataan ini membuat cemas pemerintah.
Dikuatirkan, film akan mengubah perilaku penduduk pribumi. Selain perubahan
perilaku, pemerintah jajahan tampaknya mengkuatirkan pula pandangan
masyarakat jajahan terhadap diri mereka. Bioskop dan film secara tidak langsung
telah membuka mata penonton pribumi tentang sifat sifat asli bangsakulit putih. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id73
Hindia Belanda masih bergolak, saat perjanjian damai yang mengakhiri
Perang Dunia I ditandatangani di Versailles, 1919. Pengaruh langsung perang ini
memang tidak serta merta terasa di Hindia Belanda. Bioskop dan usaha perfilman
malah semakin berkembang. Masuknya modal Cina peranakan ke dunia bioskop
telah menggairahkan sektor ini, hingga dibeberapa daerah orang membangun
bioskop pula, seperti di Lampung dan Pekan Baru. 21
Setahun setelah itu , hiburan yang satu ini makin menggairahkan dengan
masuknya film – film Cina sebagai variasi, melengkapi film Amerika dan Eropa
yang sejak awal mendominasi bioskop. China Moving Picture alias China Film
Co. Pertama kali memperkenalkan Li Ting Lang yang diangkat dari cerita revolusi
di Tiongkok, Juli tahun itu. Sedang maraknya dunia film dan bioskop dinegeri ini,
perkembangan baru terdengar dari dunia luar. Amerika telah berhasil membuat
film bicara atau talking picture, yang dimulai dengan eksperimen lewat film Don
Juan tahun 1925 dan diputar di New York mulai 6 Agustus 1926.
Kruger dan Carli adalah salah satu pelopor yang telah berjasa, pendorong
orang – orang Tionghoa untuk bergerak dalam dunia film terutama karena
pertimbangan – pertimbangan komersial. Orang – orang Tionghoa kemudian
dengan cara lebih sadar menjadikan film sebagai barang dagangan. Hal ini pun
tidak mengherankan karena memang di Nederlansch - Indie pada umumnya usaha
– usaha baru dalam lapangan ekonomi dimulai oleh orang – orang Tionghoa.
Bukan saja mempunyai modal yang cukup, tetapi karena mereka mempunyai
hidung untuk segera mencium dimana untung bisa didapat dan tahu bagaimana
commit to user 21 Haris Jauhari. Op.cit. Hal 23.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id74
mengeksploitasikannya. Hal tersebut merupakan suatu yang khas bahwa hingga
tahun – tahun 1925 hampir semua tontonan ada ditangan bangsa Tionghoa.
Film – film permulaan buatan perusahaan – perusahaan Tionghoa dengan
sendirinya mengambil bahan cerita dari masyarakatnya sendiri, mula – mula cerita
dari tanah leluhur, kemudian juga dari masyarakat mereka di Hindia.
Penontonnya terutama tidak terdiri dari orang – orang Tionghoa, namun ternyata
penduduk lokal atau pribumi, cerita yang ditampilkan bersumber pada cerita –
cerita Tionghoa lama. Untuk menarik lebih banyak penonton, para pembuat film
lalu mulai mengambil cerita – cerita lokal masyarakat Batavia, meskipun
kebanyakan pemainnya masih dari golongan Tionghoa peranakan seperti Film “
Setangan Berloemoer Darah “ yang menggambarkan kehidupan sebagai
masyarakat Batavia itu, memang cocok untuk selera penonton golongan babah –
babah. Hal ini disebabkan oleh visi yang sama, yaitu visi kebanyakan sutradara di
Indonesia untuk menggunakan formula pictures dengan cerita – cerita film yang
membawa penonton kepada dunia fantasi dan imajinasi.22
Sampai saat itu, Hindia Belanda belum juga membuat film cerita sendiri.
Beberapa film dokumeter telah dibuat, utamanya mengenai berbagai hal tentang
Hindia Belanda, seperti keindahan alam, pertanian, perkebunan, untuk
dipertontonkan di Negeri Belanda. Gambaran tersebut juga dipaparkan dalam
Nieuw Weekblad No.52 yang sudah diterjemahkan tanggal 25 September 1925,
bahwa :
ruang muka sudah memperlihatkan ,bahwa yang dipertunjukan ialah sebuah film yang ada hubungannya dengan wilayah Timur kita. Tumbuh –
commit to user 22 Armijn Pane. Op.cit. Hal 16 – 17.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id75
tumbuhan palm, dan sarung – sarung kain dan garuda tembaga yang besar ditengah rauangan merupakan tanda – tanda dari hal itu.23
Kegairahan ini, secara bertahap membuka jalan pada pembuatan film di
Hindia Belanda, yang untuk pertama kalinya dicatat oleh surat kabar De
Locomotief edisi September 1926, sebagai film “ Loetoeng Kasaroeng “ yang
dibuat oleh L. Heuveldorp dari NV Java Film Company pimpinan G. Krugers dan
F. Carli.
Tahun berikutnya, dibuat film bicara yang lebih sempurna berjudul “ The
Jazz Singer “, dengan bintang utama Al Johson yang populer karena nyanyiannya
dalam film itu. Setahun setelah itu, Amerika memapankan dirinya sebagai
penghasil film, bicara yang pertama di dunia dengan membuat film Light of New
York yang diputar 6 Juli 1928 di kota dunia itu.
Bisnis hiburan film ini semakin menjanjikan jika dilihat dari segi
komersial. Apalagi, ketika dengan cepat menjalar kabar dari Surabaya, Bioskop
Luxor memutar film Fox Foolies yang bisa bicara, 26 Desember 1929. Batavia
tidak mau kalah jauh ketinggalan, menyusul dengan cepat lewat Rainbow Man
yang dimainkan bioskop Globe yang padat oleh penonton yang kepingin tau
menyaksikan film bicara.
Setelah itu, Batavia mengambilalih pimpinan dengan bioskop Capitol,
Decca Park, dan Kramat Theater menampilkan film bicara. Lahirlah trend baru
yang memunculkan embel – embel talkies dibelakang nama bioskop, yang
menunjukan menayangkan film bicara. Mulai dari Tropica Talkies di Bangkalan
Madura, National Talkies dan Sirene Talkies di Mojokerto, Thalia Talkies di
commit to user 23 Geo.K. “ Nieuw Weekblad v.d Cinematografi “. No.52. 25 September ( 1925 ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id76
Batavia , Djambi Talkies Theater di Jambi, sampai Olympia Talkies di
24 Singkawang, Kalimantan Barat.
Kehadiran film bicara ini dilain pihak menimbulkan masalah. Bioskop
terpaksa berhadapan dengan pilihan menggunakan teknologi canggih berupa
peralatan baru untuk film bicara, atau tetap menayangkan film bisu dengan resiko
kekurangan ekonomi masing – masing pengusaha, hinggga memasuki tahun 30-an
kita masih dapat melihat adannya dua golongan film dan bioskop, yaitu biasa dan
talkies.
Wabah film bicara menjalar dengan cepat dan membuat demam. Tapi,
orang tidak dapat menjadi sangat bergegas mengingat keterbatasan peralatan,
hingga sampai pertengahan tahun 1930 – an Hollywood sendiri masih membuat
film versi bisu dari versi bicara yang diutamakan. Masih lebih banyak bioskop
film bisu daripada film bicara. Dengan bangga bioskop – bioskop bermunculan
dan orang mulai pula membuat film bicara. Sejak tahun 1930, muncul film – film
bicara seperti “ Njai Dasima I, II, dan pembalasan Nancy ( Njai Dasima III ) “
yang dibuat Tan dan Wong bersaudara. Tahun 1931, muncul pula The Teng Chun
dengan Cina Motion Pictures dan membuat film bicara berjudul “ Boenga Roos
dari Tjikembang “.
Produk dalam negeri ini, umumnya lebih disukai karena jalan cerita tersaji
lengkap hampir tanpa potongan sensor. Para produser telah belajar dari film impor
yang terkena gunting komisi, hingga membuat film yang sesuai, tanpa adegan
perkelahian dan kemesraan berlebihan. Penonton pun lebih mudah mengikuti
24 S.M. Ardan, 1992. Dari Gambarcommit Idoep toke userSinepleks . Jakarta: GPBSI. Hal 15.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id77
jalan cerita karena disajikan dalam bahasa Melayu, dengan teks bahasa Cina dan
Melayu Tionghoa.
Film terus menanjak, tetapi udara mulai pengap untuk bioskop.
Kegemaran orang terhadap film bicara mengakkibatkan terjadi seleksi pada jenis
usaha ini. Situasi ekonomi kurang pula menguntungkan Dampak Perang Dunia I
mulai mencekam. Bioskop yang sedang berkutat menyesuaikan diri dengan
kemajuan teknologi film bicara, secara drastis dihadapkan pula pada kenyataan
jumlah penonton yang terus merosot akibat daya beli yang menurun drastis.
Pada jaman yang sulit itu, para pengusaha bioskop berkumpul dan
menyelenggarakan rapat di Batavia, 13 September 1934. Hasilnya terbentuklah
gabungan pengusaha bioskop hindia belanda dengan ketua Holthaus dari
Centraale Bioscoop, Buitenzorg ( Bogor ), sekretaris Liono, manajer perusahaan
film Remaco, bendahara Van der Ie dari Centraale Bioscoop, Batavia, dan dua
orang komisaris, yaitu Yo Heng Siang dari Globe Bioscoop dan Oey Soen Tjan
dari Cinema Palace, Batavia.
Gabungan pengusaha ini dibentuk untuk memperkuat barisan bioskop
mengahdapi jaman sulit dan kecenderungan sensor yang dianggap sembarangan.
Ditetapkan pula dalam pertemuan itu, iuran bioskop perbulan yang ditentukan
berdasarkan kelasnya. Yaitu, f15 untuk bioskop kelas I, f10 kelas II, dan f5 kelas
III. Diputuskan dalam pertemuan tersebut, membuat jalinan kerjasama dengan
gabungan imnportir film, dengan tujuan keduanya menjadi kekuatan yang
mempunyai suara menentukan. Tapi, kesulitan ternyata juga menimpa sector
impor film. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id78
Jumlah impor film pun mengalami penurunan, terutama dalam kondisi
paling parah di tahun 1931 hingga 1934. Film Amerika sejak awal mendominasi,
turun dari 69,1 persen di tahun 1931 menjadi 37, 3 persen di tahun 1934. Begitu
juga dengan film Cina yang mencapai 9,1 persen di tahun 1931, tinggal 1,8 persen
di tahun 1934. Film dalam negeri juga menurun. Dari 5, 2 persen di tahun 1931,
merosot ke angka 1, 0 persen di tahun 1934.25
Kemerosotan film impor, secara bertahap dipenuhi oleh produksi dalam
negeri. Mulai dari 2 film di tahun 1937, terus meningkat menjadi 5 film di tahun
1939, dan naik tajam pada tahun 1940 dengan produksi 14 film. Lebih tajam lagi
pada tahun 1941 dengan 30 judul film. Seperti yang ditunjukan pada Table 6
berikut.
25 Haris Jauhari.Op.Cit.Hal 31. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id79
Tabel 6
Film Import di Hindia Belanda Tahun 1900 - 1942
JUDUL FILM KETUA/ NEGARA PRODUKSI TAHUN REGIE /PRODUCTIE
Amsterdams Journaal Willy Mullens Nederland Willy Mullens 1900/1920 Een Heertje Zonder Willy Mullens Nederland Willy Mullens 1902 Pantaian in Zondvoort Le Voyage a travers George N. Frankrijk Star Film 1904 I’impossible De vergiffenis van Frankrijk Pathe 1907 grootvader Twee zeeuwse meisjes Maurits h. Nederland Hollandia film 1912 in zandvoort Binger Opofering Enner Nile Eylvair Frankrijk Éclair 1913 Pleegdochter Telegran Uit Mexico Maurits Nederland Hollandia Film 1916 Binger Het Geheim van de M. Habee Nederland Holland Film 1916 Vuurtoren Pro doma - fragment Theo frankel Nederland Amsterdam film 1918 co Heart of The World D.W. Griffith Art Craft – 1918 - Famous – Players Tasky Das Kabinet des Dr. Robert Wiene Duitsland Decla 1919 Callgan Toffe Jongens ondder Maurits H. Nederland 1919 de mobilisatie binger - De Zwarte Tulp F.A. Netherland Hollandia Film 1921
Richardson 72 menit Faits Divers Claude A. Frankrijk - 1922 Ballet Mecanique Fersand Legre Frankrijk 1923 and Dudley - Murphy
Der Letzte Mann F.W. Murnau Duitsland Universum 1924 Films A.G. Bet, de Koningin van Adriene Solser Nederland Holland-Belgiea 1924 den Jordaan Filmmij Opus 2,3 en 4 Walter Duitsland - 1924/1925 Ruttmann
Bij Louis Bouwmeester Nederland Pathe 1925 Thuis - Entr’acte Ballet R. Frankrijk - 1925 Pantserkruiser Sergei Rusland Lestudio van 1925 Potemkin – Fragment M.Eisenstein Coskino
Vormittagspuck - Duitsland Richter-New 1926 Film The Mother Vsevolod Rusland - 1926 Pudosvkin Metropolis Frits Langcommit Duitsland to user UFA 1926 Markt in Berlin Wilfried Basse Duitsland - 1926
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id80
Long Pants Frank Capra Amerika Herry Langdon 1927 Corp Die Liebe der Jeanne Georg Duitsland UFA 1927 Ney Wilhelm
Berlin Sinfonie einer Walter Duitsland Deutsche 1927 Grozstadt Rutmann Vereinse – Film Inflation Nans Richter Duitsland - 1927 La Coquille et le Germaine D. Frankrijk - 1927 Chergyman De Laatste Dagen van Veevolod U.S.S.R. Marshrabpom 1927
St. Peterslairg Voetbal Dick laan Nederland Multi film 1928 Ueberfall Erno M Duitsland Deutscher work 1928 film La passion de jeanne Carl theodore Frankrijk Societe generale 1928 d’arc de films Le Chute de la maison Jean Epstein Frankrijk Les Films Jean 1928 Usher Epstein De Burg Joris Ivens Nederland - 1928 Un Chapeau de paille Rene Clair Frankrijk Films Albatros 1928 d’Italie Indiscretions Jean Driville Frankrijk 1928 Cinegraphiques La Petite Marchande Jean Renoir Frankrijk Jean Renoir 1928 d’allumettes Etoile de Mer Man Ray Frankrijk - 1928 Branding Joris Ivens en Nederland 1929 Mannus - Franken Le Chien Andalou Luis Bunuel Frankrijk - 1929 Les Deux Timides Reng Clair Frankrijk - 1929 Generale Iijn S.M. Rusland Sovkino 1929 Eseinstein
Man Met de Camera Drifga Vertog Rusland VUFKU 1929 Regen Joris Ivens Nederland CAPI – 1929 amsterdam New Babylon Leonild Rusland Sovkino 1929 Trauberg Zhweigroschenzauber Mans Richter Duitsland - 1929
Menschen Am Sonntag Robert S Duitsland - 1929 Jagad Aulf Dich Ernest Angel Duitsland - 1930 Der Blaue Engel Josef von Duitsland - 1930 Stenberg A Propos de Nice Joan Vige Frankrijk Joan Vige 1930
Le Million Tobis Frankrijk Tobis 1931 Filmstudie Oskar F. Duitsland - 1931 In der Nacht Walter Duitsland - 1931 Rutmann De trekschuit Otto van Nederland - 1932
Neyenhoff en Mannus franken Terre sans pain Louis Bonuelcommit toSpanje user Ramon A 1932 Philips Radio Joris Ivens Nederland CAPI voor 1932
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id81
Philips Zero de Conduite Jean Vigo Frankrijk J.L. Nounea 1933 voor Arguifilms La Joie de Vivre Bectan Frankrijk - 1934
Noppin Tell Me It Hurts Richard M Engeland - 1934 Ure Nuit Sur le Mont Alexandre Frankrijk - 1934 Chauve Niewe Groden Joris Ivens Nederland CAPI 1934 Colour Box Engeland General Post 1935
Office The Birth of The Robot Gasparcolor Engeland Len Lye en 1936 en Shell Humphrey Jennings And So to Work Dr. Richard Engeland Dr. Richard 1936 Jidl mit n Fidl Joseph Green Polen Greenfilm 1936 Trade Tatto Len lye Engeland General post 1937 office Drawings That Walk Marie Eston Engeland British Film 1938 and Talk Institute The Warning Aubrey Baring Engeland Alliance Film 1939 Corp Boogie Dodle Norman Canada National Film 1940 Mclaren Board of Canada Target for tonight Ian dairyaple Engeland Crown film unit 1941 Marching The Colours Guy Glover Canada National Film 1942 Board of Canada Germany Calling Charlie Ridley Engeland - 1942 Flugten Jorgen Roos Denemarken - 1942 Hen Hop Norman Canada National Film 1942 Mclaren Board of
Canada Sumber : St. Ned. Filmuseum. Filmuseum; 16 mm Catalogus. St. Ned Filmuseum:
Amsterdam
Berdasarkan Tabel 6 di atas, banyaknya film – film impor yang masuk ke
Hindia Belanda menyebabkan jumlah importir film meningkat menjadi 17 buah
pada 1924. Perusahaan importir film terbesar saat itu adalah Pathe Theater
dengan pimpinanya L. Swemlaar. Banyaknya importir film pada 1920 – an ini
merupakan suatu pertanda bahwa pertunjukan film sudah luas penyebarannya.
Selain banyak kesempatan untuk lebih dulu menonton sebuah film baru
dibandingkan dengan di Negeri Belanda, orang Belanda dan Eropa lainnya yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id82
tergabung dalam perkumpulan – perkumpulan tertentu dapat pula menyewa
sebuah gedung bioskop untuk pertunjukan film yang sama sekali belum disensor.
Film yang masuk dari Amerika, selera pribumi terpelajar sudah dibentuk
dengan cukup tinggi. Maka, ketika pembuatan film dimulai di Hindia Belanda,
orang terpelajar sudah menggunakan ukuran tinggi dalam menilai film lokal. Film
– film Hollywood yang diputar di Biosjop Hindia Belanda pada tahun 1903 –
1942 dapat dilihat dari tabel dibawah ini.
Tabel 7
Film Hollywood – Amerika yang diputar di Bioskop Hindia Belanda Tahun 1903 - 1942
JUDUL FILM KETUA/ NEGARA PRODUKSI TAHUN REGIE /PRODUCTIE The Great Train Edwin S. Porter Amerika Edison 1903 Robbery Company The stage coach Tom Mix Amerika Selig Co 1913 driver and the girl Harold Llyod als Pathe Exchange Amerika Hal Roach 1915 Bioscoopdiricteur Teddy at The Clarence B. Amerika Mack Bennatt 1916 Throttie
The return of draw William S. hart Amerika Triangle film 1916 egan corp Salome Charlos bryant Amerika Allanasimova 1922 Safety Last Fred Nevmayer Amerika Pathe 1923 The Hunchbach of Wallace Amerika Super Jewel 1923
The Notre Dame Morsley The Covered James Cruse Amerika Famous F. 1923 Wagon The Phatom of The Robert julian Amerika Universal 1925 Opera
Tumbleweeds King Baggott Amerika United Artist 1925 dan William S. Hart The Jazz Singer Alan Crosland Amerika Warner Bros 1927 The Iron Mask Allan O. Amerika Douglas 1929 Fairbanke
Nanook of The Revillon Frares Amerika Revillon F. 1929 North A Midsummer Max Reinhardt Amerika Warner Bros 1935 Nights Dream commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id83
Angel with Dirty Michael C. Amerika Michael C. 1936 Faces Spanish Earth Joris Ivens Amerika Contemp 1937 Historian Isc
The River Pare lorents Amerika Farm security 1937 administration USDA Sumber : St. Ned. Filmuseum. Filmuseum; 16 mm Catalogus. St. Ned Filmuseum:
Amsterdam
Pada tahun 1936, sebuah film Amerika yang berjudul " The Jungle
Princiess " yang dibintangi oleh Dorothy Lamour sangat diminati oleh penonton
sehingga film ini laku keras di pasaran. Film yang berlokasi di tempat yang indah
(Hawai), diiringi nyanyian Hawaian, berisi petualangan cinta dan perkelahian seru
yang merupakan selera penonton pada masa itu. Oleh karena itu, Balink, Wong,
dan Saerun sepakat untuk membuat film yang dijiwai oleh unsur-unsur yang
terdapat dalam film The Jungel Princess tersebut.
Pada tahun itu juga, didirikan Perusahaan baru yang bernama "Aglemeene
Nederland Indie Film “ (ANIF) untuk memproduksi film dengan gaya “ The
Jungle Princess “. Dengan Saerun sebagai penulis skenario, Wong pada kamera,
dan Albert Balink sebagai sutradara lahirlah sebuah film yang berjudul "Terang
Boelan". Film ini mengambil lokasi dengan pemandangan yang indahdan eksotek
yang tidak kalah dengan Hawai. Pemain yang ganteng yaitu Raden Mochtar dan
supaya lebih menarik lagi direkutlah penari terkenal pada masa itu yaitu Roekijah.
Sedangkan sebagai ganti musik Ha-waian dipakai lah musik keroncong yang saat
itu memang sedang digemari.
Film "Terang Boelan" dipasarkan tahun 1937 dan mendapat sukses yang
besar. Impian para pembuat film untuk menjaring penonton sebanyak mungkin
dari berbagai kalangan tampaknyacommit mulai toberhasil, user dengan ditemukannya formula
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id84
yang dijiwai The Jungel Princess. Para produser berkesimpulan bahwa kriteria
sebuah film yang disukai oleh penonton haruslah memiliki unsur-unsur :
"pemandangan yang indah-indah, lagu-lagu yang merdu, perkelahian yang seru,
pemain yang terkenal di masyarakat, dan isinya harus menggambarkan
26 penderitaan sang tokoh sebelum akhirnya menang"
Tahun 1940 - 1942 merupakan “ ledakan “ pertama dalam perfilman.
Perusahaan – perusahaan baru bermunculan. Acuan yang dengan patuh digunakan
adalah resep yang diperkenalkan TB ( Terang Boelan ), yaitu menekankan pada
daya tarik bintang ( Roekiah dan Rd. Mochtar ) menjadi model sistem bintang.
Penonton dari semua golongan menyukai romance, pemandangan indah, sensasi,
perkelahian, lelucon dan selingan dengan “ nyanyian Melayu “. Semua itu resep
yang dipakai menurut selera dan gaya penyajian dari pertunjukan panggung.
Orang – orang belakang kamera semakin banyak pula yang diambil dari
panggung, terutama untuk pekerjaan artistik. Nyoo Cheong Seng, Rd. Ariffien –
wartawan yang juga aktif dipanggung – Soeska, Andjar Asmara dan Inoe
Perbatasari adalah contoh dari tokoh panggung yang ditarik ke dunia film. Jadi,
sejak 1940, dunia film telah didominasi oleh sub kultur panggung, meskipun para
penguasa tetap mendominasi. Selanjutnya, lahir produksi – produksi film dari
alam pikiran dan tingkat selera mereka. Pada masa ini, film – film di negeri ini
mendapat perhatian yang sangat luas. Hal ini disebabkan film telah sesuai dengan
tradisi dan penonton panggung yang terdapat disegala pelosok. Walaupun
dikalangan pribumi kelas intelektual belum mendapatkan perhatian besar. Namun
26 Ibid. Hal 43 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id85
mereka sudah dapat menilai sejauh mana mutu perfilman dalam negeri dan
mengaharapkan jauh lebih baik dari film – film yang beredar di Nederlandsch –
Indie ini.
C. Fungsi Film sebagai Media Ekspresi Seniman di Batavia
Tahun 1900 1942
Setiap kegiatan kesenian terdapat dua pihak yang terlibat di dalamnya,
yaitu seniman (disebut sebagai pihak pemberi) dan masyarakat penikmat (disebut
sebagai pihak penerima). Dari pihak yang memberi kepada pihak yang menerima
ada pesan yang ingin disampaikan. Pesan itu datangnya dapat dari pihak seniman
itu sendiri, tetapi ada kalanya ada pesan titipan yang harus disampaikan oleh
seniman kepada masyarakat penikmat. Seni berfungsi sebagai sarana atau alat
komunikasi yang harus membawa pesan. Dengan demikian seni itu mempunyai
beberapa fungsi yang dipandang dari beberapa segi.27
Dipandang dari segi seniman, maka seni berfungsi sebagai:
a. Alat ekspresi, yaitu menyampaikan pesan isi dari seniman.
b. Mata pencaharian yang dapat membiayai hidupnya.
Dipandang dari segi masyarakat penikmat, seni berfungsi sebagai alat
hiburan yang mampu melupakan, menghilangkan atau setidaknya mengurangi
kesusahan dan kesedihannya. Sedangkan jika dilihat dari segi siapa saja yang
27 TJohan HM Tjasmadi. 2008. 100 Tahun Bioskop di Indonesia 1900 – 2000. Bandung: Megindo. hal 44. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id86
berkepentingan, baik seniman sendiri, pemerintah atau pihak siapa saja yang
berminat terhadap seni, maka seni berfungsi sebagai:
a. Alat pendidikan dari pihak tertentu, misalnya pemerintah karena
kepentingan agama dan sebagainya untuk mengajak masyarakat penikmat
agar berbuat atau bersikap tertentu
b. Alat komunikasi, untuk menyampaikan pesan dari seseorang kepada orang
lain.28
Sedangkan seni pertunjukan film mempunyai fungsi antara lain :
a. Film sebagai medium ekspresi seni peran, tentu saja ini erat hubungannnya
dengan seni.
b. Film sebagai tontonan yang bersifat dengar – pandang ( audio visual ),
dengan sendirinya berhubungan dengan Hiburan.
c. Film sebagai piranti penyampaian pesan apa saja yang bersifat dengar –
pandang, oleh karenanya film berkaitan erat dengan Informasi.29
Batavia adalah kota mempesona dengan tata ruang kota yang dibangun
seperti Amsterdam. Sebagai kota pelabuhan, Batavia bercorak internasional sejak
masih disebut Sunda Kelapa. Orang dengan berbagai latar kebudayaan, ras dan
keyakinan agama yang berbeda – beda bertemu di bandar ini sejak berabad – abad
lama nya. Uraian tentang berbagai monumen dan bangunan yang bersejarah
berpangkal – tolak dari tempat bermulanya kota Batavia yakni ke kawasan kedua
tepi Ciliwung, sebelah selatan dari tempat yang kini disebut Pasar Ikan. Disitulah
28 Ibid. Hal 45. 29 Ibid. Hal 46. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id87
ditanam benih yang berkembang menjadi kota metropolitan Jakarta Raya yang
30 sekarang dihuni oleh berjuta – juta penduduk dari berbagai daerah.
Dari perkembangan kebudayaan yang sudah dikembangkan sejak abad –
abad yang lalu itu, kota Batavia menyisakan berbagai bangunan yang saat ini
masih kental dengan unsur indis nya. Salah satu sudut tempat di Batavia yang
sejak abad 20 merupakan saksi biksu lahirnya seniman – seniman yaitu kawasan
pasar Senen. Pasar kelas menengah bawah yang sejak awal abad ke – 20 telah
menjadi jantung kota dan bagian kota yang tidak pernah tidur. Disini orang bisa
mendapatkan apa saja. Termasuk tukang copet dan tukang jambret, yang dikenal
sebagai buaya senen. Pada akhir 1930 – an pasar senen telah menjadi tempat
bertemunya para intelektual muda, pejuang bawah tanah, seperti A.K. Gani dan
Chairul Saleh. Pada mulanya mahasiswa pejuang itu datang ke senen untuk
menjual buku ke toko loak “ Nasution “ dibelakang bioskop Grand atau membeli
buku dari situ. Akhirnya sekitar toko buku itu menjadi rendezvous ( tempat
pertemuan ) mereka.
Suasana pasar Senen sangat ramai dan dengan segala aktivitas jual
belinya. Kawasan pasar senen ini menjadi salah satu bagian dari kota di
Weltevreden yang tidak jauh dari bangunan cukup besar yaitu de Bataviansche
Schouwburg, yang oleh Gubernur Jenderal Daendels dihadiahkan kepada kota
Batavia. Di gedung ini lah tampil kelompok tonil Belanda pemusik terkenal,
kelompok – kelompok khusus atau pemain sandiwara. Dengan fasilitas yang
30 Adolf Heuken SJ. 1997. Tempat – Tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Hal 13. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id88
cukup mewah seperti ruang duduk yang cukup luas, kandang kuda taman bunga,
beranda depan dan samping. Dapat dipastikan bahwa hanya segolongan elit dan
kaum bangsawan saja yang dapat masuk karena harga tiket yang dipatok pun
cukup mahal apalagi bagi kalangan masyarakat menengah bawah. Karcis tanda
masuk dari f4.50, f3.50, f2.50, f1.50 dan f0.75. Tentu saja khusus untuk Gubernur
Jenderal anggota dari Raad van Indie, Residen serta para tamu penting lainnya
telah dipesankan tempat duduk. Dan sekarang menjadi gedung kesenian Jakarta.31
Perkembangan kota Batavia yang dapat dilihat pesat dengan tumbuhnya
berbagai perusahaan – perusahaan film dan bioskop – bioskop pun semakin
menjamur, seiring dengan itu muncul para seniman – seniman perfilman yang
mengadu nasib dan berkarya di kota ini. Berawal dari dunia panggung yang sering
berpindah – pindah tempat dari satu daerah ke daerah lain untuk mempertunjukan
kebolehan bersandiwara hingga masuknya para seniman panggung ke dalam
dunia perfilman yang dilihat dapat memberi udara segar bagi kehidupan yang
lebih baik lagi.
Kebudayaan – kebudayaan tradisional dengan segera tengelam dalam arus
modernisasi. Di mana kesenian tradisonal seperti seni pertunjukan wayang
maupun kesenian lainnya tergilas dalam kemajuan teknolgi yang berkembang
pesat setelah Revolusi Industri. Salah satu wajah baru dari seni pertunjukan
modern itu adalah Film. Dalam perkembangannya film dapat dipandang sebagai
bibit kepandaian Barat yang tertanam dinegeri ini, menjadi suatu tanda pertemuan
31 Ibid. Hal 16. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id89
Barat dan Timur, atau yang dengan istilah ilmu pengetahuan dikenal dengan
32 proses akulturasi.
Di dalam fungsinya sebagai kesatuan bermacam – macam alat
penghubung masyarakat, khususnya dalam masyarakat Indonesia yang ada dalam
keadaan akulturasi, film tidak dapat dipisahkan dari keadaan dan perkembangan
lini – lini lain dalam kehidupan masyarakat, teristimewa dengan lapangan –
lapangan yang langsung bersambungan dengan pembuatan film. Khusus bagi
bangsa ini, tidak dapat terlepas dari perkembangan pergerakan nasional, namun
tidak hanya mengenai segi politik tetapi juga mengenai juga lapangan sosial,
kebudayaan dan ekonomi.
Hakiki seni merupakan topik perdebatan yang seakan tiada habis dalam
estetika atau filsafat seni. Ekspresivime merupakan aliran estetika yang
mendefinisikan seni dalam konteks emosi dan perasaan. Hal ini berbeda dengan,
aliran representasi yang mendefinisikan seni dalam konteks tiruan realitas dan
aliran formal yang mendefinisikan seni dalam konteks struktur karya seni.
Pandangan ini biasanya bertumpu pada asumsi bahwa seniman merupakan
seorang jenius yang bisa menggunakan sarana-sarana untuk mengekspresikan
perasaan dan emosinya; karya seni dianggap sebagai wujud dari perasaan dan
emosi dari sang seniman; dan audien seni merupakan orang-orang yang
menikmati karya seni dan tersentuh perasaannya. Sebagai suatu ekspresi perasaan
dan emosi seniman, seni merupakan pandangan yang telah lama berkembang
dalam wilayah estetika.
commit to user 32 Armijn Pane, 1953. Op.cit. Hal 8.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id90
Seni atau kesenian merupakan keahlian manusia dalam karyanya yang
bermutu, dilihat dari segi kehalusan atau keindahan. Kesenian tradisional,
khususnya seni pertunjukan rakyat tradisional yang dimiliki, hidup dalam
masyarakat, sebenarnya mempunyai fungsi penting. Terlihat dalam dua segi yaitu
daya jangkau penyebaran dan fungsi sosialnya. Dari daya jangkau penyebarannya,
seni pertunjukan rakyat memiliki wilayah jangkauan yang meliputi seluruh
lapisan masyarakat. Sedangkan dari segi fungsi sosialnya daya tarik pertunjukan
rakyat terletak pada kemampuannya sebagai pembangun dan pemelihara
solidaritas kelompok. Dengan demikian seni pertunjukan tradisional ini
mempunyai nilai dan fungsi bagi kehidupan masyarakat pemangkunya. 33
Di dalam setiap pementasannya, beberapa bentuk kesenian tradisional
selalu membawakan sebuah misi yang ingin disampaikan kepada para penonton
atau para pendengarnya. Dengan demikian sebagai sebuah pesan atau nilai – nilai
yang sesuai pada masanya. Secara garis besar nilai – nilai yang terkandung di
dalam seni pertunjukan tradisonal dapat digunakan sebagai media pendidikan,
media peneranagan, media hiburan atau tontonan.
Kebudayaan selalu berkembang seiring dengan kemajuan masyarakatnya,
kebudayaan mempunyai sifa elastis dan dinamis. Namun demikian dalam
perkembangan masyarakat, tidak semua unsur budaya itu dapat menyesuaikan
diri. Banyak dari unsur budaya yang pernah menghiasi kehidupan masyarakat. Hal
ini tidak lepas dari kemajuan masyarakatnya, sehingga mampu mengganti unsur
budaya yang sudah tidak dimanfaatkan lagi dengan unsur budaya lain yang
33Sujarno,dkk. 2003. Seni Pertunjukan Tradisional; Nilai, Fungsi dan commit to user Tantangannya. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Hal 49.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id91
dianggap lebih sesuai dengan jamannya. Dalam Seni pertunjukan tradisional
rupanya juga mengalami hal yang demikian. Didalam seni yang dimaksud
pertunjukan adalah seni yang dipentaskan dan dapat dilihat oleh berbagai
kalangan masyarakat atau orang banyak.
Seni pertunjukan digolongkan menjadi dua yaitu seni pertunjukan modern
dan tradisional. Seni pertunjukan modern lebih maju dan sarat dengan unsur asing
didalamnya. Sedangkan seni pertunjukan tradisional terdapat unsur tradisional
atau budaya lokal nya yang masih sangat dominan dan kental.
Meningkatnya daya beli masyarakat dan kemajuan teknologi yang
menghasilkan bentuk seni pertunjukan modern yang dimulai di Prancis oleh
Lumiere bersaudara, jauh sebelum seni pertunjukan baru itu masuk ke Hindia
Belanda pada tahun 1900. Ki Hajar Dewantara dalam artikel tulisannya di majalah
“ Pertjatoeran Doenia dan Film “ memaparkan kritikannya bahwa :
Datangnja film dan radio ditengah – tengah masjarakat kita adalah soeatoe peristiwa jang patoet diiperhatikan secoekoepnja oleh kaoem pendidik choesoesnja serta poela kaoem keboedajaan dalam oemoemnja. Di tanah
Eropah sendiri, tanah kelahiran doea bentoek keboedajaan modern itoe, soedah lama kaoem ethiei menjelidiki baik jahatnja film dan radio
terhadap bentoeknja boedi pekerti kanak – kanak poen joega terhadap berubahnja kebudajaannja lama karena pengaruhnja film dan radio, jang dalam sedikit waktoe dalam sementara tahoen sadja, dapat tempat 34 kedoedoekan jang teroetama didalam masjarakat itoe “.
Munculnya bentuk seni pertunjukan baru ini berpengaruh pula terhadap
perkembangan seni pertunjukan tradisional. Seni pertunjukan yang sarat akan nilai
kehidupan manusia, mengalami kesuraman masa depannya. Melemahnya
peningkatan kemampuan para pelaku seni dapat menciptakan sesuatu yang baru di
34 Ki Hajar Dewantara, “ Film dancommit Radio to“, Pertjatoeranuser Doenia dan Film. No.1 ( 1941 ). Hal 7.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id92
dalam seni sehingga dapat memperkaya dan memberi warna baru, hanya
menerima unsur asing sebagai pelengkap semata bukan sajian utama merupakan
formula baru bagi perkembangan seni pertunjukan di Indonesia.
Seorang seniman merefleksikan kegairahannya untuk menyatakan sesuatu
yang muncul dalam lubuk hati dan menjadi buah pemikiran, melontarkannya
keluar dengan caranya sendiri yang khas, beda dari orang lain dalam bentuk dan
ekspresi sesuai dengan bakat mereka masing – masing. 35Adanya dorongan itu
disebabkan oleh perasaan cinta, benci, kecewa, gembira, gambaran seketika
ataupun yang sudah mendalam lama. Sumbernya adalah pengalaman, lahiriah
ataupun batiniah seniman pribadi, meskipun pengalaman itu mungkin juga
dirasakan oleh banyak orang lain bersama dia. Tetapi pada diri seniman,
pengalaman itu dirasakan lebih hebat lebih mendalam, lebih intens.
Sumber perasaan dan pemikiran seniman adalah tanggapan yang murni
daripada kehidupan batiniah, lebih lagi dari kehidupan lahiriah, yaitu tanggapan
dari lubuk hati nurani yang terdalam, hingga tanggapan itu menjadi kegairahan
yang sangat untuk dilahirkan dan dilontarkan ke dunia lepas. Karya seni adalah
karya individu, meskipun kadang – kadang seniman memerlukan bantuan banyak
36 orang untuk mewujudkan karyanya itu dan menyempurnakannya.
Karya seniman adalah apa yang muncul dari apa yang dirasakan dan
dipikirkan serta dihayati dengan secara intensif tentang segala permasalahan
kehidupan dan penghidupan dalam bentuk – bentuk yang khas sesuai dengan
35 H. Usmar Ismail, 1983. Usmair Ismail Mengupas Film. Jakarta: Sinar Harapan Anggota IKAPI. Hal 17. commit to user 36 Ibid. Hal 18.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id93
bakat dan bawaan pribadinya. Permasalahan itu bisa hanya berkisar pada soal –
soal pribadi belaka, soal – soal perasaannya terhadap seorang wanita, terhadap
orang – orang sekelilingnya ataupun terhadap masyarakat dan dunia, tetapi juga
bisa mencakup persoalan di luar dirinya, pengamatannya dan penilaiannya
terhadap segala sesuatu yang berlangsung diluar dirinya, tetapi dirasakannya
sebagai tanggung jawab pribadi.
Maka semboyan – semboyan yang sering terdengar seperti “ seni untuk
seni “, seni untuk rakyat “, seni untuk revolusi “ , pada hakikatnya tidaklah pernah
akan mencakup pengertian yang sebenarnya dan tetap akan menjadi slogan –
slogan penghias argumentasi dan reaksi belaka. Seni adalah seni yang bernilai
adalah seni yang mengungkapkan nilai – nilai yang abadi yang dapat dijadikan
cermin dan perbandingan oleh seluruh umat manusia, dimana pun dia berada dan
di kurun jaman apa pun dia hidup.
Bagaimanapun seorang seniman selintas lalu tampak individualistis, tetapi
seorang seniman yang besar senantiasa akan mempersoalkan segi – segi
kehidupan dan penghidupan yang senantiasa mengasyikkan bagi yang melihat,
membaca dan memperhatikannya. “ Seni “ hiburan adalah hiburan, dan dimaksud
tidak lain hanyalah untuk menghibur tidak mempunyai pretensi sama sekali untuk
mencapai predikat seni. Ini tidaklah berarti, bahwa hasil karya seniman tidak
mungkin sekaligus juga memiliki nilai – nilai hiburan, justru kesenian yang baik
seharusnya dapat masuk ke dalam lubuk hati pembaca atau penontonnya dan
mengungkapkan pada mereka nilai – nilai yang tadinya disadarinya serta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id94
mengangkat jiwanya ke tingkat adanya pengertian pemahaman yang lebih
mendalam tentang persoalan - persoalan hidup dan kehidupan.
Hal ini juga menyangkut cabang – cabang seni hiburan lainnya seperti
bacaan, pertunjukan film dan lain – lain yang merupakan hasil karya kebudayaan
Barat. Kebudayaan Barat yang dihasilkan semenjak jaman kebangkitan Eropa (
ranaissance ) di abad ke – 15 oleh Sastrawan – sastrawan dan seniman – seniman,
serta ahli – ahli ilmu pengetahuannya. Bangkitnya Eropa dan dominasi yang
diperolehnnya dari seluruh dunia, baik politik, militer dan ekonomi adalah berurat
berakar pada tumbuhnya pemikiran – pemikiran baru dari filsuf – filsufnya, dan
kebangkitan Eropa pada hakikatnya adalah kebangkitan kebudayaan yang ditandai
oleh pengaruh kebangkitan individu serta perkembangan paham materialisme
dengan segala ekor – ekornya seperti kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme.
Tidak mengherankan bahwa, kehidupan kesenian khususnya dan
kebudayaan umumnya di daerah – daerah bagian dunia dewasa ini mengalami
kembali kelahiran baru yang dapat kita lihat dari perkembangannya, kesusastraan,
timbulnya pusat – pusat kegiatan keseian dan kebudayaan, munculnya gedung –
gedung pertunjukan baru, museum dan perpustakaan serta gedung pameran.
Perkembangan kebudayaan Barat tersebut, perlahan – lahan film merebut
tempatnya yang layak antara cabang – cabang kesenian lain. Dengan itu juga para
penonton perlahan – lahan menjadi kritis. Pada mulanya para penonton itu sudah
menunjukkan perhatiannya. Film yang baik pada dasarnya harus memenuhi syarat
– syarat struktur dramatis yang baik pula. Karena dapat pula dikemukakan bahwa
pada hakekatnya cerita – cerita yang baik dalam bentuk film yang baik harus commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id95
melingkupi publik yang lebih banyak dari film – film laku yang hanya
diperuntukan bagi penonton dengan pikiran anak 10 tahun. “ It Happaned One
Night”, Ninotchka “, “ Mrs. Minniver”, adalah sukses dengan baik sebagai hasil
kesenian, maupun sebagai pencari uang.37
Pada dasarnya penonton itu umunya tidak mau menonton film yang tidak
dimengertinya, yang tidak dapat diterima, maka bagi seorang seniman yang
bersungguh – sungguh tidak perlu timbul kekhawatiran bahwa tidak akan bisa
menciptakan sesuatu yang bernilai hasil kesenian. Dudley Nicholas mengatakan,
bahwa “ film itu adalah rantai raksasa”, dan semua orang yang ikut membuat
merasakan ikatan rantai itu.
Semenjak film diperkenalkan di Hindia Belanda, maka yang memegang
peranan utama dalam hal – hal perfilman adalah selalu orang asing. Mula – mula
didahului oleh beberapa orang Eropa kemudian diteruskan, terutama sekali oleh
orang Tionghoa. Meskipun dalam hubungannya ini nama – nama orang tidak
begitu penting, tetapi pemula – pemulanya seperti Kruger dan Carli terlalu banyak
jasa mereka untuk dilupakan begitu saja. Jelas yang menjadi pendorong mereka
untuk bergerak dalam film terutama adalah pertimbangan – pertimbangan
komersial disamping itu ada juga motif merintis jalan. Pada saat itu, pemain –
pemain mereka ( orang – orang Tionghoa ) kebanyakan peranakan Eropa, maka
dapat juga dicari hubungannya dengan Stambul dan Opera bangsawan yang juga
38 berkembang pada sekitar tahun 1925.
37 Haris Jauhari. Op.cit. Hal 31. commit to user 38 Ibid. Hal 26.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id96
Orang – orang Tionghoa kemudian dengan cara lebih sadar menjadikan
film sebagai barang dagangan. Hal ini pun tidak mengeherankan karena memang
di negeri ini pada umumnya usaha – usaha baru dalam lapangan ekonomi dimulai
oleh orang Tionghoa. Bukan saja karena mereka mempunyai modal yang cukup,
tetapi karena mereka memang punya hidung untuk segera mencium dimana
untung bisa didapat dan tahu pula mengeksploitasikannya. Merupakan suatu yang
khas bahwa hingga tahun – tahun terakhir ini hampir semua tontonan ada di
tangan bangsa Tionghoa. Tidak saja tontonan film, tetapi juga tontonan – tontonan
asli seperti wayang orang dan ketoprak.
Seniman – seniman film dari perusahaan – perusahaan Tionghoa dengan
sendirinya mengambil bahan cerita dari masyarakatnya sendiri, mula – mula cerita
dari tanah leluhur, kemudia juga dari masyarakat mereka di Hindia Belanda.
Orang – orang Tionghoa mulai mengambil cerita – cerita lokal masyarakat
pribumi, meskipun kebanyakan pemainnya masih dari golongan Tionghoa
peranakan.
Datangnya Mannus Franken , seorang sineas Belanda yang juga telah
mempunyai nama di negerinya, maka pada tahun 1934 dasar – dasar
komersialisme yang dapat dimanfaatkan atau dengan maksud lain yaitu
memperkenalkan cara – cara hidup masyarakat pribumi yang mungkin dapat
menarik perhatian orang luar, terutama para penonton di negeri Belanda. Memang
film Manus Fraken “ Pareh “ berbeda sekali corak dan gayanya dari film – film
keluarga The atau Tan. “ Pareh “ adalah suatu hasil yang khas dari tangan seorang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id97
seniman Barat tentang Indonesia, karena itu dalam beberapa hal mungkin
39 kelihatannya janggal bagi mata orang disini.
Albert Balink yang dianggap oleh sineas – sineas Perfilman lainnya telah
terpengaruh studio Tionghoa dalam visi pembuatan “ Terang Boelan“ yang
terinsipasi oleh sukses film – film Amerika ( terutama film Doroty Lamour ).
Albert memperkenalkan Miss Roekiah dilayar putih dengan berhasil, adalah
karena Roekiah pada waktu itu telah terkenal sebagai penyanyi orkes “Lief Java”.
Semenjak tahun 1937 pengaruh film – film Amerika membekas dengan
jelas pada hampir semua film – film pada masa tersebut adalah jiplakan – jiplakan
dari film – film Amerika itu. Saerun, seorang wartawan yang terkemuka pada saat
itu adalah orang pertama dalam pembikinan cerita film. Kemudian datang Anjar
Asmara, yang pada waktu itu juga wartawan dan telah meninggalkan dunia
sandiwara. Lalu berturut – turut Aridin, Suska Inu Perbatasari, ketiga – tiga nya
wartawan tetapi tidak asing lagi diatas panggung sandiwara. Dapat dikatakan
dengan masuknya tokoh – tokoh ini ke dalam dunia film, orang pribumi mulai
turut memegang peranan dalam proses pembuatan film, meskipun perusahaan –
perusahaan seluruhnya masih ditangan bangsa Tionghoa.
Mengalirnya tenaga – tenaga dari dunia sandiwara dan wartawan masuk ke
dunia film membawa pembaharuan terutama dalam cerita dan bahasa, dan
terutama kelihatan pada “ Nusa Penida “ Anjar Asmara, “ Panggilan Darah “
yang dua belakangan ini lebih terkenal lagi dengan memakai tenaga dari golongan
baik – baik dan terpelajar, yaitu Ariati dan A.K. Gani.
commit to user 39 Arjmin Pane. Op.cit. Hal 19.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id98
Terjunnya para pekerja panggung ke dunia perfilman merupakan babak
baru dalam perkembangan perfilman. Dimana film dipandanng sebagai suatu
pertunjukan yang akan menarik banyak perhatian orang untuk melihatnya. Para
seniman film ini mulai mencari “ formula “ untuk memajukan industri perfilman.
Ekspresi yang ditampilkan seorang seniman film yang berasal dari panggung tentu
nya berbeda dengan seniman lain yang memang dari awal terjun di dunia
perfilman. 40
Seniman film yang sejak awal sudah menggeluti dunia Perfilman, pada
awal perkembangan perfilman di Hindia Belanda mengangkat film cerita lokal
seperti film Loetoeng Kasaroeng merupakan dorongan yang datang dari Bupati
Bandung bertolak dari hasratnya untuk mengembangkan kesenian Sunda. Upaya
tersebut telah dirintis lewat pergelaran cerita Loetoeng Kasaroeng pada Kongres
Jawa ( Java Congres ) di Bandung pada 1921. Obsesi Wiranatakusumah rupanya
mulai tumbuh sejak menghandiri kongres – kongres Jawa, yang sebelumnya
diselengarakan di wilayah swapraja. Pada kesempatan itu, beliau selalu
menyaksikan pertunjukan wayang orang serta tari Serimpi. Tontonan itu telah
menumbuhkan tantangan dalam dirinya untuk bisa mengedepankan tontonan yang
41 khas sunda.
Meskipun pada 1926 kesenian Sunda itu dikatakan sudah berkembang,
namun semangat Bupati Wiranatakusumah masih tetap besar untuk mencapai
tingkat lebih tinggi dari kesenian Jawa yang berkembang di Kota Bandung.
40 Misbach Yusa Biran. Op.cit. Hal 245. commit to user 41 Ibid. Hal 9.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id99
Perkumpulan kesenian Jawa Mardi Beksa Irama yang didirikan di Bandung pada
1924 telah berkembang pesat. Jadi masuk akal kalau untuk kemajuan seni Sunda
Bupati Wiranatakusumah bersedia ikut menunjang biaya pembuatan film “
Loetoeng Kasaroeng ”, sedangkan film Tengkorak Hidup yang dibuat ooleh Tan
Tjoei Hock, merupakan cerita khayalan mengenai masyrakat primitif dan horor.
Salah satu sineas film Andjar Asmara menggarap film dengan cerita cinta
di Bali, Noesa Penida yang merupakan persoalan kasta. Andjar Merasa tertuntut
menghasilkan film yang dapat diterima kalangan terpelajar atau sesuai dengan
tuntutan kalangan pergerakan. Pemain utamanya adalah Ratna Asmara dan
Astam.
Suska seniman film yang sudah menjadi wartawan senior ikut bergabung
dengan Andjar Asmara ke JIF. Ia langsung menukik bikin film untuk kelas bawah
saja. Ia bukan saja membuat skenario Poetri Rimba ( Jungle Romance ) untuk
disutradarai R.Inoe Perbatasari, tetapi juga memfilmkan cerita khazanah
Stamboel, Ratna Moetoe Manikam. Ia dengan sadar menjauhi apa yang dituntut
oleh kalangan terpelajar dan pergerakan.
Suska yang tertarik menggarap film kuno, menjelaskan bahwa meskipun
zaman beredar dan kehidupan manusia bertukar, tapi ada satu kebutuhan yang
tidak berubah, yakni : romantik. Sebagai bukti dari pendapatnya itu ia menunjuk
suksesnya pemutaran film buatan Hollywood “ The Thief of Bagdad “, dipasaran
saat itu. Maka ia mengatakan kenapa di Indonesia orang tidak menampilkan
kembali cerita – cerita kuno dengan cara modern. Alasan lainnya adalah para
penonton kalangan bawah masih merindukan tontonan dengan menyuguhkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id100
bahan impian yang gemerlapan dan keindahan itu. Yang pasti, dengan cara ini
orang film terhindar dari kerewelan penonton atas yang telah menjauhi film
Indonesia dan semakin tidak sudi menontonnya.42
Wartawan R. Inoe Perbatasari sesudah ikut main dalam Kartinah, Ia
menjadi sutradara. Tetapi setelah 1941 itu, ia tidak lagi berminat untuk menggapai
perhatian kalangan terpelajar. Padahal, ia sendiri seorang wartawan progresif.
Karyanya Elang Darat yang dibuat mulai Juli 1941 adalah film aksi yang tidak
beda dengan produksi Action Film. Di Union Film, produser Ang Hock Lim tidak
bersungguh – sungguh lagi mempertahankan pemain Rd. Soekarno yang berdarah
biru, dan Ratna Djoewita, yang indo untuk filmnya Mega Mendoeng. Ia malah
memakai orang panggung seperti Boen Sofiati, wanita berdarah Arab.
Nampaknya, usaha orang film untuk bisa menggapai penonton terhormat
sudah optimal, menurut kemampuan yang mereka miliki. Meskipun sudah
ditempuh segala cara, namun usaha itu masih saja dipandang banyak kurangnya di
mata pihak penonton yang ingin dijangkau. Pada mulanya, perhatian dan harapan
dari kalangan terpelajar cukup besar. Akan tetapi, mereka tidak sabar melihat
43 lambatnya kemanjuan yang bisa dicapai oleh pembuat film.
Film Melati van Agam adalah karangan Swan Pen alias Parada Harahap,
tokoh wartawan. Meskipun pernah menjadi repertoar pentas sejak akhir tahun
1920 – an dan pernah difilmkan pada 1930, namun ini adalah karya seorang
wartawan, kalangan yang waktu itu banyak ambil bagian dalam pergerakan
42 Armijn Pane. Op.cit. Hal 10.
43 Misbach Yusa Biran. Op.cit. Halcommit 261. to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id101
kemerdekaan. Maka dalam publisitas ditekankan betul bahwa pengarangnya
adalah direktur dan pemimpin redaksi koran Tjahaja Timoer. Cerita ini telah
diubah demi kepuasan hati publik. Tekanan lain adalah pada para pemainnya yang
dipercayakan kepada. S. Soekarti, yang disebutkan sebagai wanita intelek yang
belum pernah main film atau tonil. Pemeran utama pria film ini adalah A. B.
Rachman yang tidak diekspos sebab orang panggung.
Populair’s Film bahkan menyertakan nama Nasroen A.S. sebagai
pengarang cerita Garuda Mas yang akan menjadi produksi pertamanya. Padahal
cerita tersebut bukan karangan Nasroen. Yo Kim Tjan, sang produser, bersedia
membayar Nasroen sebesar f100 untuk penggunaan namanya itu agar orang tahu
bahwa Garuda Mas itu dikarang oleh orang Intelek Indonesia. Nasroen adalah
pelukis karikatur dan skrip terkenal waktu itu.44
Pada awal 1938, peredaran film Terang Boelan ( TB ) secara mengejutkan
memperlihatkan kemampuan untuk menarik penonton. Jejak ini dilanjutkan oleh
film – film buatan Tan’s Film sampai akhir 1939. Pada awal 1940, para pemilik
modal telah mengetahui dua pelajaran. Pertama, usaha pembuatan film bukan saja
merupakan bisnis yang dapat dikerjakan, tetapi menjanjikan keuntungan fantastik.
Kedua, resep yang merupakan unsur penentu adalah yang ditarik dari panggung
tonil.
Fungsi seni sebagai alat ekspresi merupakan fungsi yang utama dari
kehadirannya. Pernah dalam suatu masa, fungsi ini merupakan fungsi yang sangat
ditonjolkan, bahkan mutlak, tidak dapat dicampuri oleh fungsi-fungsi yang lain.
commit to user 44 Ibid. Hal 273.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id102
Seakan-akan merupakan hal yang tabu bilamana seni itu dicampuri dengan soal
45 dan masalah lain.
Seni sebagai satu-satunya alat untuk mengekspresikan isi hati seniman,
agar dapat diterima oleh masyarakat penikmat, sejak kelahirannya yang pertama
hingga sekarang mengalami perkembangan. Dari mula-mula yang primitif hingga
sekarang seni modern. Dalam perkembangannya seniman film yang berasal dari
dunia panggung lalu terjun ke dunia perfilman mengangkat cerita kuno 1001
malam dan cerita lokal yang sudah sering dipentaskan. Para seniman perfilman
senantiasa mencari formula untuk mendapatkan perhatian dari kalangan terpelajar
yang notabennya lebih menyukai film – film dengan menampilkan budaya Barat.
Film Terang Boelan merupakan formula yang dapat dijadikan acuan bagi
para seniman lain yang ikut melihat kesuksesan film tersebut. Seniman film pada
masa 1900 – 1942 mengeksperisakan perasaannya melalui media film hanya
untuk memanjakan mata penonton yang melihatnya tanpa mengindahkan seni.
Sedikitnya karya seniman film yang mempertunjukan film cerita dengan ekspresi
seni yang sesungguhnya. Seni disini berfungsi sebagai hiburan semata yang
ditujukan bagi mereka yang bosan dengan segala rutinitas hidup. Butuhnya
hiburan akan suatu hal yang dapat membuat masyarakat penikmat lupa akan
segala kepenatan ini dituang dalam bentuk media seni film.
Dalam perkembangannya seniman film yang berasal dari dunia panggung
lalu terjun ke dunia perfilman mengangkat cerita kuno 1001 malam dan cerita
lokal yang sudah sering dipentaskan. Para seniman perfilman senantiasa mencari
45 Usmar Ismail. 1983. Mengupas commitFilm. Jakarta: to user Sinar Harapan, IKAPI. Hal 21.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id103
formula untuk mendapatkan perhatian dari kalangan terpelajar yang notabennya
46 lebih menyukai film – film dengan menampilkan budaya Barat.
Mereka yang biasa berkarya dipanggung kini terjun meramaikan industri
perfilman. Batavia menjadi center dari perkembangan tersebut, berbagai
perusahaan film menjamur. Formula yang sudah ditemukan lewat film Terang
Boelan yang sukses menarik hati para pemirsa yang menontonnya merupakan
tonggak dari derasnya film – film Hollywood yang dijadikan inspirasi dalam
pembuatan film cerita di Hindia Belanda. Cerita – cerita modern pun disajikan
dengan melihat berbagai jenis film yang sangat digemari pada saat itu, seperti film
laga, detektif dan percintaan. Dengan segera seni pertunjukan film pun
menempati hati pemirsa yang menikmatinya.
Seni untuk seni nyata nya dalam industri perfilman pada masa Hindia
Belanda nyata nya tidak dapat dirasakan seutuhnya. Film sebagai media ekspresi
seniman selalu mencari formula untuk menarik semua kalangan penonton. Apa
yang dirasakan seniman dan pengalamannya dalam menghasilkan film bermutu
tidak lepas dari apa yang berkembang pada saat itu, yakni film – film Hollywood
yang begitu digemari oleh semua kalangan. Film hasil produksi Amerika tersebut
menjadi inspirasi seniman – seniman lokal untuk membuat film dengan mutu
yang bagus dan dapat menarik mata yang melihatnya.
Namun fungsi utama film sebagai media ekpresi seniman tetap tidak
pernah berubah hingga saat ini karya seniman film tetap dirasakan. Seni
pertunjukan film semakin menapakkan kaki nya ke dalam lautan ekspresi si
commit to user 46 Ibid. Hal 24.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id104
pembuatnya. Semakin terampil dan berbakat seorang seniman menggunakan seni
untuk mengekspresikan isi hatinya, semakin tinggi dan bermutu seni yang ia
hasilkan dan semakin besar pula nama seniman itu. banyak nama-nama besar,
baik dalam bidang seni rupa, musik, tari, karawitan, pedalangan maupun sastra,
yang merupakan seniman dengan keterampilan dan bakatnya dalam
mengekspresikan jiwanya melalui seni. Jadi kebesaran para seniman itu selalu
terletak pada fungsi seni.
Manusia mengenal berbagai alat ekspresi. Alat ekspresi yang mengandung
unsur artistik itu adalah seni sedangkan yang tidak mengandung dan
mengutamakan unsur artistik adalah non seni. Demikianlah seni pertunjukan
sebagai alat ekspresi, telah membawa seniman ke puncak kebesarannya. Dan
sebaliknya, berkat seniman yang memanfaatkan seni untuk alat ekspresinya, maka
seni menjadi meningkat makin maju dan bermutu tinggi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB IV
BENTUK KONTROL PEMERINTAH KOLONIAL TERHADAP
INDUSTRI FILM DI BATAVIA TAHUN 1900 – 1942
A. Terbentuknya Ordonansi Film ( Film Ordonnantie )
Pada masa kolonial, Ordonansi Film ( Film Ordonnatie ) bertujuan untuk
menghapuskan citra buruk dan menjaga martabat orang – orang kulit putih tang
tampil dalam film – film impor juga film buatan Hindia Belanda dan mengawasi
materi pertunjukan.
Guna mengantisipasi hal ini, pemerintah untuk pertama kalinya
mengeluarkan undang – undang mengatur film dan bioskop melalui Ordonnantie
Bioscoope yang dibentuk pada tanggal 18 Maret 1916. Ordonansi ini memberikan
hak pemeriksaan film oleh komisi regional yang ditunjuk gubernur jenderal.1
Ordonansi film pertama tahun 1916 berisi tentang pembentukan Komisi
Penilaian Film No.276 dan pengawasan pertunjukan film di kota – kota besar
No.277 dan pembentukan Komisi Film ( Film Comissie ). Ordonansi kedua ( 1919
) bernomor 377 berisi pembentukan sub – sub komisi film di daerah. Ordonasi
Ketiga ( 1920 ) No. 356, berisi penghapusan sub – sub Komisi Pengawasan Film
di Batavia, Semarang, Surabaya dan Medan. Ordonansi keempat ( 1922 ) No.668
berisi tentang kewajiban membayar biaya penilaian film. Ordonansi kelima ( 1925
) No.477, terkait sentralisasi Komisi Penilaian Film. Ordonansi keenam tahun
1 Henny Saptatia, dkk. 2011. 111 Tahun Kronika Perfilman Indonesia. Jakarta: commit to user Kementerian dan Ekonomi Kreatif RI. Hal 27. 105
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id106
1926 No.478 merupakan penyempurnaan dari Ordonansi sebelumnya, dengan
penetapan anggaran untuk biaya operasional ( listrik, cetakan, dsb ). Ordonansi
ketujuh ( 1930 ) No.477 berisi Hak Pemilik Film mendapatkan keterangan ( ketika
pemilik film merasa dirugikan atau mengapa filmnya dilarang untuk diputar ).
Ordonansi yang terakhir tahun 1940 No.507, berisi penetapan tugas Komisi Film
yang salah satu nya, mengklasifikasi film sesuai usia penonton.
Ordonansi ini masih memberi peluang bagi bioskop untuk berkembang
dan mendatangkan film – film yang disukainya, mengingat peraturan lebih
bersifat pengawasan pada mekanisme perizinan sebelum film ditayangkan. Tidak
ada batasan yang jelas mengenai film yang diizinkan atau ditolak, hingga orang
cenderung menganggap Ordonansi ini memberi hak pemeriksaan film oleh komisi
regional yang ditunjuk gubernur jendral dan menganggap ordonansi pemerintah
hanya berkepentingan pada cukai impor dan pajak tontonan.
Peluang ini dilihat dengan jeli oleh para pengusaha bioskop. Ordonansi
tidak membatasi gerak mereka, sebaliknya merangsang perkembangan. Film –
film yang ditanyakan lebih beragam dan juga lebih cepat berganti prorgam dua
sampai tiga kali seminggu. Nieuw Weekblad vood de Cinematografie dalam
tulisannya tanggal 10 Juli 1925 menjelaskan bahwa bioskop di negeri ini
memutar film baru lebih cepat karena perputaran dan pergantian di bioskop lebih
cepat. Hampir setiap pekan ada film baru. Iklan di surat kabar ramai
mengumumkan diputarnya film – film baru dengan bumbu berbagai keajaiban dan
keheranan, hingga terus menarik minat penonton. Calon – calon penonton baru
pun berdatangan, bioskop makin marak. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id107
Bioskop sejalan dengan perkembangan tonil, makin menancapkan
jejaknya dan membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda.
Peraturan yang dibuat dan diterapkan secara longgar oleh pemerintah kolonial,
mengakibatkan banyak orang menganggap bioskop telah membawa pengaruh
buruk bagi rakyat pribumi. Termasuk merubah pandangan inlanders terhadap tuan
– tuan kulit putih yang berkuasa.
B. Kebijakan Sensor Film
Baru pada Ordonansi film 1925, yang diberlakukan 1 Januari 1926,
dilakukan pembaruan seputar masalah komisi film dengan meningkatkan sifatnya
yang regional menjadi sentral bagi seluruh Hindia Belanda. Komisi ini
beranggotakan 15 orang, termasuk 4 wanita Eropa, 1 wanita pribumi, 4 orang
berkebangsan bukan Eropa. Hak pengangkatan komisi ini berada ditangan
direktur pemerintahan dalam negeri.
Film yang masuk pun harus melalui kantor bea cukai Tanjung Priok untuk
diperiksa dan disensor komisi. Film yang ditolak dikembalikan ke bea cukai untuk
dipulangkan ke negara asal. Hanya yang lolos sensor yang diserahkan ke
importiruntuk diedarkan.
Sesuai dengan Staatsblad van Nederlandsch – Indie tahun 1940 No. 507
dilakukannya pencabutan “ Ordonansi Film 1925 “ dan penetapan peraturan baru
untuk memberantas bahaya – bahaya bagi kesusilaan dan bahaya – bahaya bagi
masyarakat yang berkaitan dengan pertunjukan – pertunjukan film. Sesuai dengan
penetapan Gubernur Jenderal Hindia Belanda atas nama Ratu, menganggap perlu commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id108
meninjau kembali peraturan – peraturan yang ada untuk pemberantasan bahaya –
bahaya kesusilaan dan bahaya – bahaya kemasyarakatan yang berkaitan dengan
pertunjukan film dan dengan maksud untuk mengadakan peraturan – peraturan
baru. Dengan mencabut ordonansi tanggal 9 September 1925 ( Lembaran Negara
2 477 ).
Dasar tindakan komisi , antara lain, pasal Ordonansi yang berbunyi film –
film yang oleh komisi pertunjukan dianggap bertentangan dengan keamanan
umum dan susila atau alasan – alasan lain yang bagi mereka berumur di atas tujuh
belas tahun dinilai dapat menimbulkan pengaruh yang menentang dan merusak,
diperiksa olehnya. Seperti tertera dalam
Komisi diberi kekuasaan dengan kriteria yang sangat luas, namun dalam
pelaksanaannya dituntut untuk memperhatikan perasaan – perasaan yang timbul
dari sudut politik, agama, atau sentimen kesukuan. Dari sudut ini, ordonansi
meperlihatkan keinginan campur tangan pemerintahan Hindia Belanda secara
politis dalam soal bioskop dan film, karena kekuatiran pengaruhnya bagi
kehidupan sosial politik yang sudah mapan dan berakar pada ideologi kolonial
yang rust en orde, yaitu mempertahankan keadaan aman tenteram negara
3 kolonial.
Dari latar belakang seperti itu lah, sudah dapat diduga hanya dalam waktu
singkat, setelah komisi menjalankan tugasnya dengan efisien, muncul masalah
2 Staatsblad van Nederlandsche – Indie 1940. No. 507. ( sumber yang sudah
diterjemahkan “ Lembaran Negara Hindia – Belanda “ 1940. No. 507 tentang “ Komisi Film “ ).
3 Haris Jauhari, 1992. Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: PT. commit to user Gramedia Pustaka Utama. Hal 20. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id109
akibat sensor yang dianggap kelewat ketat. Kerja komisi ini pun mendapat kritik
pedas seperti artikel yang dimuat Nieuw Weekblad voor de Cinematografie tahun
1925 sebagai berikut:
dan komisi film amat sinting pula cara kerjanya. Dia memiliki gunting besar
dan menggunting dengan seenaknya saja, apa yang menurut dia tidak dapat diloloskan .Gunting besar ditangan penguasa dan tak kenal kompromi, memang acap melahirkan situasi yang kurang menyenangkan. Film Madame Dubbary, misalnya, yang terutama tegang karena adegan tiang gantungnya, menjadi hambar dan mengecewakan karena seluruh bagian itu dipotong sensor.4
Importir film ini menanggung kerugian yang cukup besar karena filmnya
tidak laku. Para penonton Eropa , yang menjadi target pasar film tersebut, enggan
menonton karena bagian yang menarik sudah dibuang. Padahal, pembuangan
adegan tiang gantungan itu, menurut padra tukang sensor, justru agar kaum
pribumi tidak menyaksikan kejadian yang keji dan sadis yang dapat merusak citra
bangsa kulit putih. 5
Ramailah orang berpolemik mengenai sensor ini. Sebagian menyebutkan,
kenyatan tidak selamanya harus diungkap secara apa adanya di hadapan semua
orang. Ada orang yang cukup tahu garis besarnya saja karena berbagai
pertimbangan. Sebagian lagi menyatakan semua alasan bisa saja dipakai untuk
membenarkan tindakan komisi. Tetapi, itu adalah sejarah. Biar saja sebagaimana
adanya. Tak perlu sembunyikan dari mata siapa pun, termasuk kaum pribumi.
Puncak dari kesalahan orang pada komisi ini terangkai dalam kalimat di
Nieuw Weekblad tersebut. yang anehnya dari keadaan ini adalah, film yang
4 Geo. K. “ Nieuw Weekblad v.d. Cinematografie “. No.51. 41 Juli 10 ( 1925 ). Hal 3. commit to user 5 Ibid. hal 4. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id110
diperkirakan akan ditolak ternyata diloloskan, dan sebaliknya film – film yang
bermanfaat untuk pengetahuan ditolak atau dirusak sedemikian rupa.
Kecaman terus bergema dan Komisi Film tetap juga berjalan. Perhatian
orang kemudian lebih terarah pada persoalan dalam negeri yang tiap detik
merupakan peningkatan proses kebangkitan nasional, serta berita – berita sekitar
Perang Dunia I, yang secara tidak langsung mengguncang perekonomian Hindia
Belanda pula. Persoalan film dan bioskop tenggelam dalam masalah – masalah
besar itu. Para pengusaha bioskop yang terkena akibat peraturan ketat, mencari
jalan keluar sendiri dengan terobosan baru. Film – film lolos sensor yang kadang
menjadi terlalu pendek untuk diputar sebagai sebuah film cerita, di gabung dengan
film “ pendek “ lainnya, hingga menjadi gabungan beberapa film yang kemudian
terkenal dengan sebutan Sortie.
Sortie menjadi model pertunjukan baru yang diminati banyak orang. Hal
tersebut telah menyadarkan diri pada keutuhan cerita, karena merupakan bagian
dari gunting – guntingan sensor, tetapi hanya mengetengahkan bagian – bagian
yang seru dari film – film itu, seperti sejumlah adegan perkelahian disambung
dengan adegan – adegan lucu, lalu dilanjutkan dengan adegan – adegan romantis,
6 dan seterusnya.
Sejalan dengan makin bergairahnya dunia perfilman dan bioskop, kerja
komisi pun makin ketat dan membuat sejumlah bioskop protes dengan menolak
memutar film. Peristiwa ini menjadi salah satu dorongan bagi pemerintah berkali
6 Sarief M, Arief. 2009. Politik Film Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu. Hal 27. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id111
– kali menyempurnakan peraturan dengan mengeluarkan Ordonansi 1940 No.
507.
Banyak kritik pedas bermunculan terjadi akibat kebijakan Komisi Film
yang dianggap serampangan dalam melayangkan gunting besar nya terhadap film
– film yang dikehendaki nya. Respon tersebut sangat jelas sekali tergambarkan
oleh kritik – kritik akan kebijakan yang merugikan dan mengharapkan Komisi
Sensor dapat digantikan oleh suatu Komisi Film yang lebih bertanggung jawab
dan tepat untuk menjalankan tugas peninjauan serta pemeriksaan terhadap sebuah
film yang akan disensor
commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB V
PENUTUP
Diperkenalkannya bentuk hiburan film kepada penduduk di Batavia
khususnya dan di Hindia Belanda pada umumnya, film belumah dapat diterima
sebagai bentuk hiburan yang digemari penonton. Hal ini disebabkan beberapa hal.
Pertama, masih adanya bentuk – bentuk seni pertunjukan lain, seperti tonil Eropa,
Tonil Melayu, Sandiwara, Stambul. Kedua, bentuk pertunjukan film masih berupa
film dokumenter yang relative sedikit membawa penonton terhibur. Hal ini
disebabkan film dokumenter semata – mata memperlihatkan peristiwa yang
terjadi disuatu tempat tanpa mengajak penonton untuk terhibur dengan membawa
mereka ke dunia impian.
Ketika film cerita masuk ke Hindia Belanda dengan menampilkan
serangkaian cerita, actor serta membawa penonton ke dunia impian, maka menjadi
sejajarlah kedudukan film dengan bentuk – bentuk seni pertunjukan lainnya yang
sifatnya menghibur. Pada waktu inilah penduduk sudah mulai dapat memberikan
pilihannya terhadap bentuk seni yang ingin ditontonnya.
Sejalan dengan perkembangan film di Hindia Belanda terjadi pula
perkembangan kota – kota tertentu di Hindia Belanda seperti perkembangan kota
Batavia.. Perkembangan kota – kota tersebut untuk mencari pekerjaan dan
bersekolah. Pada kondisi demikian inilah masyarakat ingin menikmati
pertunjukan yang relatif singkat atau selesai pada waktu itu. Artinya satu jalinan
cerita dari awal hingga akhir dapatcommit diselesaikan to user dalam satu kali pertunjukan.
112
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id113
Kemudian dibutuhkan pula oleh penonton tempat untuk menonton pertunjukan
yang sifatnya menetap sehingga dapat secara teratur menyususn penonton untuk
melihat pertunjukan. Gedung bioskop bagi pertunjukan film disediakan untuk
penonton film dan pertunjukan film lah yang dapat memenuhi kebutuhan hiburan
penduduk di perkotaan ketika itu.
Film yang masuk ke Hindia Belanda umunya adalah film genre yang titik
beratnya membawa penonton ke dunia impian tanpa perlu mengajak penonton
untuk memikirkan mengenai adegan dan alur cerita yang ada di dalam film itu.
Karena sebagian film – film genre itu adalah film – film hasil produksi Barat (
Amerika Serikat dan Eropa ) maka hanya hasil produksi Barat itulah yang dilihat
oleh penonton. Film – film pada umumnya memperlihatkan gambar mengenai
perkelahian, pemerkosaan, percintaan dengan adegan seks maupun perilaku orang
Barat di dalam menyelesaikan suatu masalah tanpa melalui jalur hukum.
Dalam perkembangannya film – film yang dibuat di Indonesia, mengikuti
film – film Hollywood. Perkembangan genre semakin deras, seniman – seniman
lokal mulai menarik cerita dari panggung sandiwara sebagai formula untuk
menarik penonton. Selain itu film – film Hollywood yang masuk di bioskop –
bioskop besar seperti Batavia lebih diminati oleh kalangan kelas atas dan
menengah hal ini terjadi karena orang – orang Asing Eropa dan Intelektual di
Batavia khususnya menilai film dengan nuansa Budaya Asing ( Amerika ) lebih
mewakili citra orang – orang Eropa yang merasa mempunyai status sosial yang
lebih tinggi dibandingkan golongan lainnya.
commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id114
Pada tahun 1939 merupakan awal produksi film di Batavia membanjiri
industri perfilman dan perbioskopan. Film Terang Boelan yang banyak ditonton
dianggap mampu menarik perhatian banyak masyarakat pada waktu itu khususnya
mereka yang golongan kelas bawah. Dengan formula yang diambil dari dunia
panggung dan juga menggunakan aktris dan aktor dari dunia panggung yang
sudah terkenal. Maka para seniman perfilman mulai mengetahui resep dalam
pembuatan film. Hingga akhir 1942 film – film produksi seniman lokal
mengangkat cerita – cerita dari panggung sandiwara dan film – film yang disadur
dari film – film Hollywood.
Hal ini yang mengakibatkan pesatnya film – film genre membanjiri
industri perfilman tanah air. Para seniman yang mula nya berasal dari dunia
panggung dan jurnalis mulai melihat progress dari industri film yang bisa
dijadikan peluang bisnis. Film – film seperti produksi Amerika yang berjenis laga,
percintaan, horror dan detektif, mulai merasuk ke dalam film – film lokal. Film
Son of Zorro produksi Amerika telah mengilhami seniman Tan Tjoei Hock untuk
membuat film yang sama.
Pada waktu itu penduduk pribumi yang mengerti bahasa Belanda,
sehingga bukan alur cerita yang diperhatikan penonton pribumi melainkan gambar
dalam film itu saja yang menjadi pusat kecemasan di banyak penduduk Eropa.
Mereka takut citra “ negatif “ orang Barat dalam gambar film itu akan
menyadarkan penduduk pribumi dan menganggap bahwa derajat yang tinggi dari
orang Barat dalam gambar film itu akan menyadarkan penduduk pribumi.
commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id115
Kemudian pemerintah kolonial mengambil suatu kebijakan untuk
membentuk suatu komisi bagi pengguntingan gambar dalam film yang diberi
nama Komisi Sensor Film. Keberadaan komisi ini tidak dimaksudkan untuk
membatasi jumlah film Barat yang masuk ke Hindia Belanda, namun mencoba
memberikan kewenangan kepada anggota – anggota komisi itu untuk
menggunting gambar dari film – film impor yang menurut penafsiran anggota
komisi itu tidak baik untuk di tonton oleh penduduk di Hindia Belanda.
Kelemahan – kelemahan dalam peraturan perfilman tahun 1916 dicoba
diperbaiki dengan dikeluarkannya peraturan tahun 1919. Inti pokok dari
peraturan tahun 1919 itu adalah diberlakukannya pembentukan komisi sensor di
daerah – daerah yang diperkirakan peredaran film nya telah banyak. Kemudian,
dibuat pula tiga kriteria sebuah film sebagai hasil pemeriksan komisi sensor.
Kriteria itu adalah lolos sensor, lolos sementara dan tidak lolos sensor.
Tahun 1920 dan 1922 dikeluarkan lagi suatu kebijakan untuk menghapus
keterikatan sub – sub komisi daerah terhadap komisi sensor utama di empat kota
seperti yang diberlakukan dalam peraturan tahun 1919. Sejalan dengan itu pula
diadakan pembayaran bagi pemeriksaan sebuah rol judul film. Namun kebijakan
tahun 1920 dan tahun 1922 yang bertujuan mengefektifkan peraturan tahun 1919
itu ternyata tetap tidak dapat mengefektifkan kerja anggota komisi sensor.
Keadaan yang terjadi hingga tahun 1924 itu menyebabkan munculnya beragam
kritik terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Para importir film serta pemilik
gedung bioskop melihat kerja para anggota komisi sensor tidak menjadi efektif
karena mereka tidak bekerja secara tetap dalam komisi sensor yang berakibat commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id116
lamanya waktu pemeriksaan sebuah judul film. Apalagi biaya pemeriksaan, yang
dikenakan cukup tinggi semakin besar pula biaya yang akan dikenakan kepada
pemilik film.
Tahun 1925, pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan baru mengenai
perfilman. Kebijakan itu menghapus kriteria lolos, lolos sementara dan tidak lolos
sensor. Yang ada hanyalah lolosan dan tidak lolos sensor. Kemudian lembaga
komisi sensor film dimasukan dalam Departemen Dalam Negeri ( Departemen
Binnelands Bestuur ) serta diberikannya gaji tetap kepada ketua dan sekretaris
komisi sensor dan honor kepada anggota komisi sensor.
Adanya peraturan baru tahun 1925 - 1930 tidak ada peraturan baru dari
pemerintah kolonial. Ini dikarenakan adanya usaha untuk membuat film cerita
bisu di Hindia Belanda. Film yang mengetengahkan cerita dan aktor pribumi itu
diharapkan oleh pemerintah kolonial dapat mengimbangi citra negatif perilaku
orang barat dalam film – film impor.
Dari tahun 1930 hingga 1940 pemerintah kolonial tidak mengeluarkan
kebijakan baru mengenai perfilman. Ini disebabkan semakin banyaknya film –
film yang diproduksi di dalam negeri dan diharapkan mampu untuk mengimbangi
citra negatif perilaku orang Barat dalam film impor. Namun mahalnya biaya
produksi film di dalam negeri dan murahnya biaya pembelian film impor yang
beredar di Hindia Belanda. Untuk itulah pada tahun 1940 dibuat sebuah kebijakan
baru dalam bidang perfilman oleh pemerintah kolonial.
Kebijakan tahun 1940 dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah hasil film
dalam negeri. Untuk itu, hampir seluruh film produksi dalam negeri tidak commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id117
dikenakan batasan usia penonton yang akan menonton. Seperti diberlakukan
dalam kebijakan tahun 1940. Kemudian ditetapkan pula produsen film dalam
negeri utnuk mengekspor film produksinya ke luar negeri.
Masuknya Orang – orang Tionghoa yang sejak awal munculnya industri
film di Batavia, telah mendominasi semua usaha dari pemilik perusahaan film,
sutradara, penulis naskah, pemilik bioskop dan aktor / aktris. Produksi film – film
Tionghoa sekitar tahun 1920 – an telah membuktikan pengaruh nya kalangan
Tionghoa yang cukup besar dalam perkembangan dunia perfilman. Film – film
hasil produksi mereka lebih kearah film cerita kuno yang diambil dari cerita –
cerita legenda masyarakat Tionghoa. Film bagi mereka dianggap suatu barang
yang komersil untuk mencari keuntungan finansial. Seniman Tionghoa lebih
bertujuan untuk menarik minat penonton untuk suatu yang bersifat komersil
bukan berdasarkan ekspresi seni yang seutuhnya.
Pada tahun 1900 – 1942 memang industri perfilman mulai perlahan
bangkit, film lokal tetap berproduksi dan mencari formula untuk membuat film
laris dan banyak diminati kalangan intelektual. Para seniman panggung mulai
terjun ke dunia perfilman, mereka beralih profesi. Film yang saat itu memang
merupakan teknologi baru yang dianggap menjadi suatu seni pertunjukan baru
telah bertransformasi menjadi suatu bentuk bisnis yang semata – mata hanya
untuk sesuatu yang komersil. Batavia yang merupakan pusat perkembangan film
yang paling pesat, ditandai dengan menjamurnya bioskop – bioskop dan
perusahaan film yang kian hari kian meningkat produksinya. Saksi bisu dari
lahirnya suatu perkembangan kota yang menandai Batavia sebagai kota besar ( commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id118
Megapolitan ). Kultur yang dibawa oleh orang – orang Eropa di kota ini sangat
terlihat dari proses akulturasi nya disegala lini termasuk seni pertunjukan yang
berkembang setelah masuknya film – film impor Amerika. Seni yang pada
dasarnya merupakan suatu keindahan dan kreatifitas yang diluapkan oleh para
seniman ini ternyata tidak seutuhnya seni yang sebenarnya. Ekspresi sineas
perfilman didapat dari apa yang mereka lihat dan pengalaman dalam
menghasilkan film. Seniman – seniman ini senantiasa mencari formula untuk
tetap menarik semua kalangan penonton. Mereka lebih banyak terinsipasi oleh
cerita – cerita dari film – film Hollywood yang dianggap lebih menarik perhatian
dan lebih menjanjikan keuntungan. Aliran ini lah yang disebut genre menancap
kuat pada diri sineas – sineas film yang sampai sekarang ini banyak memproduksi
film hanya semata – mata bernilai komersil.
commit to user