perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commitv to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commitvi to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commitvii to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commitviii to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTO

“ Perjuangan semakin terasa jika paham sejauh mana sudah

melangkah, dan melihat kesalahan ada dimana, kemudian

segera memperbaikinya”

commitix to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSEMBAHAN

Skripsi ini ku persembahkan kepada :

 Ibunda dan Ayahanda Tercinta

 Adik – adik Ku Tersayang

 Kekasih Tersayang

commitx to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.WB.,

Alhamdulillah puji syukur hamba panjatkan ke hadirat Allah SWT

btelah melimpahkan rahmat, hidayah dan karuniaNya sehingga penulisan

skripsi ini dapat terselesaikan. selama proses penyusunan skripsi penulis banyak

mendapat bantuan dari berbagai pihak baik dalam bentuk materi maupun spiritual

yang tidak ternilai besarnya. Oleh karena itu, merupakan sebuah kewajuiban penulis

untuk mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa

yang telah memberikan fasilitas studi selama masa perkuliahan.

2. Drs. Tundjung WS, M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan

waktu bimbingan, pengetahuan, saran, dan pengaeahan sampai penulisan

skripsi ini selesai.

3. Dra. Sawitri Pri Prabawati, M.Pd selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas

Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan dukungan dalam penulisan

skripsi ini.

4. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan masukan dalam

penyelesaian skripsi ini.

commitxi to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5. Segenap dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang

telah memberikan bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman kepada penulis

selama masa perkuliahan.

6. Seluruh Staf Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS dan UPT

Perpustakaan Universitas Sebelas Maret.

7. Segenap petugas dan karyawan Arsip Nasional RI, Perpustakaan Nasional RI,

Sinematek , BPPN dan BPAD yang telah memberikan bantuannya

dalam penelusuran sumber penelitian skripsi ini.

8. Ayah, Bunda, Adik – adik ku ( Nazwa, Pipit dan Hasya ) yang senantiasa

memberikan support dan doa nya.

9. Kekasih tersayang Ahmad Rizky Juansyah yang selalu memberikan support,

perhatian dan doa nya.

10. Sahabat – sahabat kost filantropi, Selvia, Isni, Dian, Wiwit, Mba Dwi yang

senantiasa memberikan perhatiannya, dukungannya, doa, serta selalu menjadi

penyemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Sahabat – sahabat Sejarah Khususnya angkatan 2008, Felecia S, Novita

Wisma, Vera Yulyanti, Suyatmi Wijaya, Meylia, Jecken, Eko Andaru serta

teman – teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu . terima kasih

atas kebaikannya selama ini, untuk masukan – masukannya, untuk

perhatiannya, support dan doa nya.

12. Kakak – kakak tingkat, Kak Ginanjar, Kak Taufiq, Kak Ferry, dan Kak AG.

Azka Fahmi yang pernah menjadi sosok special di kehidupan ku, terima kasih

commitxii to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

untuk setiap bentuk perhatian yang diberikan, nasehat – nasehatnya, untuk

dukungannya, buku – buku yang telah diberikan sangat membantu, serta doa

nya.

13. Semua pihak yang sangat membantu dalam penyelesaiian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membantu kesempurnaan skripsi

ini sangat penulis harapkan. Akhirnya, penulis berharap karya tulisan ini

bermanfaat bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.,

Surakarta, 31 Juli 2012

Penulis

commitxiii to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

JUDUL...... i

HALAMAN PERSETUJUAN...... ii

HALAMAN PENGESAHAN...... iii

HALAMAN PERNYATAAN...... iv

HALAMAN MOTTO...... v HALAMAN PERSEMBAHAN...... vi KATA PENGANTAR...... vii DAFTAR ISI...... x DAFTAR TABEL...... xii DAFTAR LAMPIRAN...... xiii ABSTRAK...... xv BAB I. PENDAHULUAN...... 1 A. Latar Belakang Masalah...... 1 B. Rumusan Masalah...... 7 C. Tujuan Penelitian...... 7 D. Manfaat Penelitian...... 8 E. Tinjauan Pustaka...... 8 F. Metode Penelitian......

13 G. Sistematika Penulisan......

16

BAB II. SENI PERTUNJUKAN FILM DI BATAVIA AWAL ABAD XX...... 17

A. Awal Masuknya Seni Pertunjukan Film di Batavia...... 17

1. Faktor Demografi Penduduk Batavia Tahun 1900 – 1942...... 17 2. Pergeseran Seni Pertunjukan Tradisional ke Modern...... 23

B. Pertunjukan Film sebagai Gaya Hidup Masyarakat Kota Batavia...... 27

BAB III. PERKEMBANGAN FILM GENRE DI BATAVIA TAHUN 1900

1942...... 33

A. Karakteristik Film Genre di Batavia...... 40 B. Persaingan Industri Perfilman di Batavia Tahun 1900 -1942...... 65

commitxiv to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Fungsi Film sebagai Media Ekspresi Seniman di Batavia Tahun 1900 – 1942...... 85

BAB IV. BENTUK KONTROL PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI FILM

DI BATAVIA TAHUN 1900 - 1942………...... 105 A. Terbentuknya Ordonansi Film...... 105 B. Kebijakan Sensor Film...... 107

BAB V PENUTUP...... 112 DAFTAR PUSTAKA...... 117 LAMPIRAN...... 124

commitxv to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jenis Genre Film dari Tahun 1936 – Era Teknologi...... 44

Tabel 2. Jenis Film Fiksi di Hindia Beland………...………………………...... 46

Tabel 3. Jenis Film Drama di Hindia Belanda...... 47

Tabel 4. Jenis Film Laga di Hindia Belanda…………………………………...... 53

Tabel 5. Film film Komedi Hindia Belanda...... …………………….. 57

Tabel 6. Import Film di Hindia Belanda Tahun 1900 - 1942…………………….. 79

Tabel 7. Film – film Hollywood yang Diputar di Bioskop Hindia Belanda…….. 82

commitxvi to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto Fimuseum Catalogus...... 124

Lampiran 2. Iklan Bintang Betawi 1900...... 125

Lampiran 3. Surat Kabar Bintang Betawi 31 Desember 1900...... 126

Lampiran 4. Pengumuman Iklan Bintang Betawi 4 Desember 1900...... 127 Lampiran 5.Iklan Pengumuman Nederlandsche Bioscope Maatschappij dalam surat kabar Bintang Betawi 30 November 1900…...... 128 Lampiran 6. Artikel “Film sebagai Alat Pendidikan” Pertjatoeran Doenia dan Film...... 129 Lampiran 7. Artikel “Film dan Radio” Pertjatoeran Doenia dan Film...... 130 Lampiran 8. Artikel “Bermain Film dalam Lingkoengan Adat” Pertjatoeran Doenia dan Film...... 131 Lampiran 9. Artikel “Kesenia Film Indonesia” Pertjatoeran Doenia dan Film…. 132 Lampiran 10. Artikel “Pemoeda dan Pemoedi Kita dengan Peroesahaan Film” Doenia Film………...... 133 Lampiran 11. Artikel “Film adalah Barometer Masyarakat” Doenia Film...... 134 Lampiran 12. Artikel “ Film Melati van Agam-bagian penghabisan”…………………………………………………...... 135 Lampiran 13. Iklan Film “Nyai Dasima”…………………………...... 136

Lampiran 14. Iklan Bintang Betawi 1905...... 137

Lampiran 15. Iklan Film “Oedjan Djotosan”…………………...... 138

Lampiran 16. Iklan Film “”……………………………...... 139

Lampiran 17. Iklan Film “Eulis Atjih” koleksi Sinematek Indonesia...... 140

Lampiran 18. Iklan Film “ ” dan “Srigala Item”……………...... 141

Lampiran 19. Iklan Film “Tengkorak Hidoep”……………………………...... 142

Lampiran 20. Iklan Film “Melati van Agam”……………………………...... 143

Lampiran 21. Foto Buku “111 Tahun Kronika Perfilman Indonesia”...... 144

Lampiran 22. Staatsblad van Nederlandcsh-Indie No.377 ( 1919 )...... 145

Lampiran 23. Staatsblad van Nederlandcsh-Indie No.377 ( 1919 )...... 146 commitxvii to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Lampiran 24. Staatsblad van Nederlandcsh-Indie No.378 ( 1919 )...... 147

Lampiran 25. Staatsblad van Nederlandcsh-Indie No.51 & 356 ( 1920 )...... 148

Lampiran 26. Staatsblad van Nederlandcsh-Indie No.356 ( 1920 )...... 149

Lampiran 27. Staatsblad van Nederlandcsh-Indie No.356 ( 1920 )…...... 150

Lampiran 28. Lembaran Negara Hindia Belanda No.507 Tahun 1940 )...... 151

Lampiran 29. Majalah Filmland No.1 ( 1923 )...... 152 Lampiran 30. Film Januari – Juni dalam Majalah Filmland No.1 ( 1923 )...... 153 Lampiran 31. Film Juli – Desember dalam Majalah Filmland No.1 ( 1923 )... 154 Lampiran 32-34. Nieuw Weekblad v.d. Cinematografie No.41 ( 1925 )...... 155 Lampiran 35-37. Nieuw Weekblad v.d. Cinematografie No.52 ( 1925 )...... 158 Lampiran 38. Film en Muziek “ dalam Surat Kabar De Preanger Post 1926... 161 Lampiran 39. “ Filmcensuur “ dalam Surat Kabar Pewarta Soerabaia 1927... 162 Lampiran 40. “ Welkom Aan de Eerste Nederlandsch Indie Films “ Surat Kabar Vaderland Tanggal 1936...... 163 Lampiran 41. Terjemahan “ Welkom Aan de Eerste Nederlandsch Indie Films “ Surat Kabar Vaderland 1936...... 164 Lampiran 42-43. “ Nederlandsch Indie door Willy Mullens op de Film gebract “

Majalah Filmland N0.12 (1927 )...... 165

Lampiran 44. Film-Industrie di Indo “Majalah Panorama No.37 ( 1927 )...... 167

commitxviii to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Sari Wulan. C0508046. 2008. Sejarah Industri Perfilaman di Batavia Tahun 1900 – 1942. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana latar belakang munculnya seni pertunjukan film di Batavia. 2) Bagaimana perkembangan film genre di Batavia Tahun 1900 – 1942. 3) Bagaimana kontrol pemerintah koloniah terhadap industri film di Batavia Tahun 1900 – 1942

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1) latar belakang munculnya seni pertunjukan film di Batavia. 2) perkembangan film genre di Batavia Tahun 1900 – 1942. 3) kontrol pemerintah koloniah terhadap industri film di Batavia Tahun 1900 – 1942.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Metode tersebut digunakan untuk menggambarkan gejala – gejala masa lalu sebagai sebab dan keadaan atau kejadian masa sekarang sebagai akibatnya. Dengan metode tersebut peneliti dapat menjelaskan kejadian atau keadaan sebelum dan sesudah pesat nya industri perfilman di Batavia dengan melihat juga perkembangan jenis atau aliran film yang berkembang pada periode 1900 – 1942.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Sejarah Seni Pertunjukan di Batavia

Tahun 1900 – 1942 perkembangan film genre sangat pesat khususnya tahun 1900- 1930 an. Film – film Hollywood yang merupakan bentuk dari film genre ini sangat

digemari oleh semua kalangan terutama kalangan kelas atas yaitu orang Eropa dan

mereka yang intelek. Untuk kalangan kelas bawah lebih mendominasi film – film lokal karena teks yang digunakan mudah untuk dimengerti dibandingkan film – film

Hollywood yang membanjiri bioskop – bioskop di Batavia. Hal ini terjadi karena lemahnya kontrol pemerintah terhadap import film di Hindia Belanda.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah Industri Perfilman di

Btavia Tahun 1900 – 1928 banyak dibanjiri oleh film – film Hollywood. Film lokal mulai berkembang ketika film cerita pertama yaitu Loetoeng Kasaroeng merupakan

tonggak bagi lahirnya film lokal lainnya hingga meningkatnya produksi film lokal khusus nya yang ber-genre drama.

commitxix to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

SEJARAH INDUSTRI PERFILAMAN DI BATAVIA film lokal karena teks yang digunakan mudah untuk dimengerti TAHUN 1900 – 1942 dibandingkan film – film Hollywood yang membanjiri bioskop – bioskop di Batavia. Hal ini terjadi karena lemahnya kontrol pemerintah Sari Wulan1 terhadap import film di Hindia Belanda. Drs. Tunjung Wahadi Sutirto, M.Si2 Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah Industri Perfilman di Btavia Tahun 1900 – 1928 banyak dibanjiri oleh ABSTRAK film – film Hollywood. Film lokal mulai berkembang ketika film cerita 2008. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa pertama yaitu Loetoeng Kasaroeng merupakan tonggak bagi lahirnya Universitas Sebelas Maret Surakarta. film lokal lainnya hingga meningkatnya produksi film lokal khusus nya Masalah yang dibahas dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana yang ber-genre drama. latar belakang munculnya seni pertunjukan film di Batavia. 2) Bagaimana perkembangan film genre di Batavia Tahun 1900 – 1942. 3) Bagaimana kontrol pemerintah koloniah terhadap industri film di Batavia Tahun 1900 – 1942 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1) latar belakang munculnya seni pertunjukan film di Batavia. 2) perkembangan film genre di Batavia Tahun 1900 – 1942. 3) kontrol pemerintah koloniah terhadap industri film di Batavia Tahun 1900 – 1942. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Metode tersebut digunakan untuk menggambarkan gejala – gejala masa lalu sebagai sebab dan keadaan atau kejadian masa sekarang sebagai akibatnya. Dengan metode tersebut peneliti dapat menjelaskan kejadian atau keadaan sebelum dan sesudah pesat nya industri perfilman di Batavia dengan melihat juga perkembangan jenis atau aliran film yang berkembang pada periode 1900 – 1942. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Sejarah Seni

Pertunjukan di Batavia Tahun 1900 – 1942 perkembangan film genre sangat pesat khususnya tahun 1900-1930 an. Film – film Hollywood yang merupakan bentuk dari film genr e ini sangat digemari oleh semua kalangan terutama kalangan kelas atas yaitu orang Eropa dan mereka yang intelek. Untuk kalangan kelas bawah lebih mendominasi film –

1 Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah dengan NIM C0508046 2 Dosen Pembimbing

xv

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Batavia merupakan kota pusat pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1619

– 1942. Pada tahun 1620 diatas reruntuhan kota Jayakarta, Belanda membangun kota

baru yang diberi nama Batavia sebagai penghormatan atas kaum Batavieren suku

bangsa Eropa yang menjadi nenek moyang orang – orang Belanda. Kota Batavia

dianggap sebagai fase baru dalam perkembangan kota di Indonesia. Batavia pada

awalnya merupakan sebuah kota para kolonis yang secara fisik mirip dengan kota

Amsterdam dengan dinding muka atap rumah yang berbentuk tangga – tangga dan

juga kanal – kanal.1

Pada tahap awal Batavia ditata dengan menggunakan prinsip – prinsip sebagai

kota yang ideal. Batavia mempunyai karakter yang bersifat Indo atau Mestizo (

campuran ). Akulturasi budaya antara budaya Timur dan Barat berkembang begitu

pesat dan mendalam sehingga mengakibatkan munculnya sebuah gaya hidup baru

yang menuntut sebuah penataan lingkungan pemukiman di Batavia. Kota Batavia

yang selanjutnya menjadi pusat pemerintahan dan dengan segala infrastuktur kota nya

yang modern dan berkembang hingga menjadi wajah Batavia baru yaitu .

1 Lance Castle, 2007. Profil Etnik Jakarta. Jakarta : Masup Jakarta. Hal 13.

commit1 to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2

Batavia merupakan kota kolonial dengan arsitektur bangunan – bangunan

gaya Eropa dan Indis yang sangat mencolok dan mempunyai nilai historis yang kuat.

Ciri – ciri kota kolonial dapat terlihat yaitu dengan berorientasi ke Barat, mempunyai

fungsi sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan, pemisahan kelompok –

kelompok penduduk berdasarkan latar belakang etnis. Potret kehidupan inilah yang

masih terasa dan meninggalkan jejak – jejaknya dalam bentuk artefak dan non

artefak. Dalam hal ini sebuah kota tidak hanya meninggalkan sejarah peradabannya

yang masih dapat terlihat dari arsitektur bangunan – bangunan yang bernilai hiostoris

yang merupakan peninggalan dari sebuah perkembangan kota namun juga

menyisakan bekasnya melalui seni dan budaya seperti perkembangan seni

pertunjukan seperti seni pertunjukan gambar hidup ( film ) yang melahirkan banyak

sineas – sineas berbakat.

Tahun 1900 merupakan pertama kali munculnya film di Batavia. Melalui

peradaban budaya di Perancis, seni pertunjukan gambar hidup diadopsi dan

berkembang di Hindia Belanda sehingga menjadi hasil karya cipta manusia yang

berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan sehingga menghasilkan seni muatan lokal

yang sangat khas.

Wajah perfilman Indonesia telah melewati dimensi waktu yang panjang dan

berkembang hingga saat ini. Film merupakan media seni pertunjukan yang di

dalamnya terkandung nilai – nilai tentang realitas kehidupan. Film yang saat ini

banyak digemari masyarakat adalah produk dari perkembangannya bentuk film yang

di produksi hanya merupakan bentuk film yang bertujuan untuk menyenangkan dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3

menghibur penonton. Namun tidak mencerminkan kreativitas produser film. Hal ini

bisa terjadi karena sebagian besar penonton saat itu adalah anak muda dan kaum

papa. Mereka butuh suatu pertunjukan yang dapat menghibur dan menyenangkan

dengan menekankan aspek khayalnya untuk melupakan masalah – masalah yang

dihadapi sehari – hari. Disinilah peran film bernuansa Genre.2

Genre adalah suatu aliran yang muncul dari film – film hasil produksi

Amerika Serikat. Pada dasarnya aliran ini merupakan ramuan dari beragam hal

seperti gerak, bahasa, tata lampu ataupun suasana yang titik beratnya hanya untuk

menyenangkan penonton. Artinya, penonton disuguhkan pada hal – hal yang tidak

mengharuskan mereka untuk berfikir dan menelaah gerak, jalinan cerita, bahasa, tata

lampu, atau pun suasana yang ada dalam film tersebut.

Munculnya film genre yang merupakan film hasil produksi Amerika Serikat (

Hollywood ) yang pada dasarnya aliran ini merupakan bagian film popular, tergolong

dalam kebudayaan massa yang mampu meletakkan perannya sebagai penentu tingkah

laku “ massa “ atau masyarakat yang menyaksikannya dan titik beratnya hanya untuk

menyenangkan penonton ke dalam hal – hal yang membentuk daya khayalnya, seperti

penonton dibawa melihat adegan perkelahian, percintaan dan petualangan yang

bahkan belum pernah dialami dan dilihatnya sehari – hari.3

2 M. Sarief Arief, 2009. Politik Film di Hindia Belanda. Jakarta : Komunitas Bambu. Hal 5.

3 Salim Said, 1982. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers. Hal 2- 3.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4

Namun seiring perkembangannya film – film dengan nuansa genre justru

diminati sekali oleh masyarakat umum sampai saat ini karena pola film yang

mengikuti pasaran dunia lebih cenderung meniru film Barat ( Hollywood ) yang saat

ini menjadi center dari kemajuan suatu industri Perfilman Dunia.

Seni pertunjukan gambar hidup dengan bentuk film bisu merupakan babak

pertama perfilman diperkenalkan di Hindia Belanda. Film ini pada awal

kemunculannya tanpa menggunakan teknologi audio visual sehingga untuk menarik

penonton menyaksikan film bisu ini ditambahkan musik untuk mengisi backsound di

film. Selanjutnya berkembang film bicara pada tahun 1929 dengan mulai

menggunakan teknologi audio visual. Hal ini menarik penonton khususnya

masyarakat pribumi klas bawah. Sukses dan diminati oleh banyak penonton, film

bicara berkembang hingga saat ini. Film bicara yang berkembang seiring kemajuan

teknologi ini dimanfaatkan oleh orang – orang Tionghoa untuk menghasilkan nilai

ekonomis sehingga film – film yang disuguhkan tidak mengindahkan nilai seni

namun sudah bergeser menjadi sesuatu yang komersial. Hal tersebut ini lah yang

sampai saat ini banyak mengakar pada diri sineas – sineas film untuk meningkatkan

produksi dengan meniru film – film Barat. Bukan untuk menciptakan hasil karya seni

yang dapat melestarikan budaya bangsa namun menghilangkan identitas budaya yang

kaya akan seni muatan lokal.

Seni pertunjukan film pada hakikatnya merupakan sebuah proses sejarah atau

proses budaya suatu masyarakat yang disajikan melalui bentuk gambar hidup.

Melalui budaya yang ada film tidak hanya hasil karya manusia yang berkaitan dengan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5

berbagai aspek kehidupan namun juga berfungsi sebagai dokumen sosial karena

melalui film masyarakat dapat melihat secara nyata apa yang terjadi di tengah –

tengah masyarakat tertentu pada masa tertentu dalam wujud seni pertunjukan.

Sebuah gambar hidup ( film ) tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata

namun dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai acuan dalam mempelajari sejarah atau

budaya bangsa. Film sebagai fenomena atau gejala kehidupan modern sudah merasuk

jauh dan diterima sebagai produk budaya yang memiliki berbagai dimensi kekaryaan

dan keterampilan sehingga film telah menempati posisi tertentu dalam masyarakat

Indonesia. Film juga telah menjadi produk perdagangan yang sangat vital dan

menjadi lapangan kerja berbagai profesi.

Batavia sebagai kota koloni yang didominsi oleh imigran dari Eropa dihuni

sejak masa VOC. Berbagai suku bangsa yang berasal dari Nusantara dan wilayah

lainnya di Asia menjadi penduduk mayoritas kota Batavia. Hal tersebut inilah yang

menyebabkan penduduk Batavia selama abad ke – 17 dan 18 menjadi sangat

majemuk, terdiri dari beragam etnis dan secara sosial terbagi dalam suatu hirarki yang

4 mengacu pada kepentingan ekonomi dan politik Belanda di Asia hingga saat ini.

Berdasarkan latar belakang sosialnya, penduduk Batavia dapat dibagi menjadi

empat kategori yaitu : Pertama, para prajurit dari berbagai daerah di Nusantara yang

pernah atau masih bertugas dalam dinas kemiliteran VOC. Kedua, para budak

maupun bekas budak yang telah dibebaskan atau yang lebih dikenal dengan sebutan

4 Lance Castles.Op.cit,.hal 15.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6

Mardijker. Ketiga, para imigran bebas yang tertarik dating ke Batavia. Keempat,

terdiri dari orang Eropa dan Mestizo. Mestizo adalah orang – orang Eropa yang

menikah dengan penduduk pribumi. meskipun demikian secara sosial mereka

menempati kedudukan yang tinggi dan secara ekonomi mereka juga memainkan

peran yang penting . Semua jabatan yang ada di lembaga – lembaga pemerintahan

kota berada ditangan orang Eropa, sehingga wajar saja jika kepentingan –

kepentingan orang Eropa di Batavia selalu didahulukan.

Proses semakin mencairnya identitas etnis penduduk Batavia terlihat dari

terjadi banyaknya perkawinan campuran merupakan salah satu penyebab dari

semakin melemahnya identitas etnik. Batavia bukan hanya menjadi pusat administrasi

pemerintahan tetapi juga tempat meleburnya berbagai penduduk yang multi etnis dan

dengan segera melahirkan kebudayaan baru yang disebut kebudayaan Indis yaitu

percampuran kebudayaan pribumi dan Eropa.

Batavia merupakan gerbang bagi masuknya kebudayaan asing, modernisasi

yang muncul dengan cepatnya mengantarkan kota ini menjadi center dari berbagai

perkembangan teknologi. Periode 1900 merupakan babak pertama bagi Batavia

menerima teknologi baru dan melahirkan benda ajaib yang disebut gambar idoep.

Rentang waktu yang cukup panjang bagi Hindia Belanda khususnya Batavia untuk

merasakan teknologi modern ini ditengah – tengah seni pertunjukan tradisional yang

semakin tenggelam oleh perkembangan jaman yang semakin modern hingga awal

tahun 1942 yang merupakan masa peralihan kekuasaan dari Pemerintah Belanda ke

masa pendudukan Jepang. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

7

Berangkat dari penjelasan – penjelasan itulah dalam kajian sejarah seni

pertunjukan ini mengambil spasial di Batavia dengan periode kolonial 1900 – 1942.

Penulisan skripsi dengan judul Sejarah Industri Perfilman di Batavia Tahun 1900 -

1942 ini dimaksud agar dapat dijadikan salah satu bentuk pemahaman kesadaran yang

diwujudkan dalam penulisan karya ilmiah mengenai sejarah kebudayan pada masa

Hindia Belanda yang meninggalkan jejaknya melalui satu seni pertunjukan gambar

hidup yakni film.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka perumusan masalah dalam penelitian

ini adalah :

1. Bagaimana latar belakang munculnya seni pertunjukan film di Batavia?

2. Bagaimana perkembangan film genre dalam industri perfilman di Batavia

tahun 1900 – 1942 ?

3. Bagaimana kontrol pemerintah kolonial terhadap industri film di Batavia

tahun 1900 – 1942?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya seni pertunjukan film di

Batavia?

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

8

2. Untuk mengetahui perkembangan film genre dalam industri perfilman di

Batavia tahun 1900 – 1942.

3. Untuk mengetahui kontrol pemerintah kolonial terhadap industri film di

Batavia tahun 1900 – 1942.

D. Manfaat Penelitian

Maksud manfaat atau kegunaan penelitian adalah manfaat langsung ataupun

tidak langsung yang diperoleh dari penerapan penelitian. Manfaat tersebut adalah :

1. Bagi ilmu sejarah karya ini dapat berguna untuk memperkuat kajian tematis

tentang sejarah seni pertunjukkan terutama di bidang seni pertunjukkan yang

varian-variannya cukup unik dan penuh makna bagi kajian sejarah seni.

2. Bagi masyarakat seni karya ini bermanfaat untuk merefleksikan seni

pertunjukkan berdasar aspek kesejarahan.

3. Bagi kepentingan pragmatis dan praktis karya ini dapat berguna dalam rangka

memperbanyak khazanah penulisan tentang sejarah seni pertunjukan di

Indonesia.

E. Tinjaun Pustaka

Penelitian ini memakai beberapa pustaka yang penting agar tema penulisan ini

semakin jelas.

Widiatmoko ( 2011 ) Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS dalam judul Skripsi

Film sebagai Media Propaganda Politik di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

9

– 1945 ini diterangkan wilayah Jawa yakni yang menjadi kajian spatial tentang

perkembangan produksi film pada masa pendudukan Jepang, setelah koorporasi film

Jawa membuka studio mereka di Jatinegara, dan pada bulan April 1943 dilanjutkan

oleh Nichi – ei ( Perusahaan Film Jepang ).

Skripsi ini tentunya dapat dijadikan perbandingan dalam melihat

perkembangan film. Terutama dalam kajian film yang ditulis dalam skripsi yang

mengambil periode kolonial. Sehingga dapat dijadikan acuan perbandingan yang jelas

dalam melihat suatu perkembangan sesuai kurun waktu yang dikaji. Film pada skripsi

yang ditulis Widiatmoko ( 2011 ) mengabil periode Jepang, dimana pada masa itu

film berfungsi sebagai alat propaganda politik Jepang untuk menarik dukungan

penduduk membantu pemerintah Jepang dalam melawan sekutu. Sedangkan pada

masa kolonial film dijadikan sebagai dokumenter pemerintah Hindia Belanda

terhadap negeri jajahannya serta lahan bisnis yang menguntungkan.

Misbach Yusa Biran ( 2009 ) dalam bukunya berjudul Sejarah Film 1900 –

1950 bikin Film di Jawa dipaparkan bagaimana perkembangan Industri Perfilman di

bawah tangan perusahaan – perusahaan film lokal seperti Film Industri dan Tan

Film. Dengan produksi film – film yang ditangani perusahaan – perusahaan lokal

dan pada awal tahun 1940 para pemilik modal yang di dominasi orang – orang China

dan Tionghoa ini telah mengetahui bahwa usaha pembuatan film bukan saja

merupakan bisnis yang dapat menjanjikan keuntungan yang fantastik dan resep yang

merupakan unsur penentu adalah yang ditarik dari panggung tonil. Pada tahun –

tahun 1940 – 1942 merupakan ledakan pertama dalam perfilman. Perusahaan – commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

perubahan baru bermunculan. Penonton dari semua golongan menyukai jenis

romance. Dalam tulisan ini Miscbah mengambil fokus terhadap produksi film lokal

yang berkembang pada masa kolonial.

M. Sarief Arief ( 2009 ) dalam bukunya yang berjudul Politik Film di Hindia

Belanda, penerbit Komunitas Bambu. Dalam buku ini dipaparkan mengenai fakta –

fakta menarik bagaimana pemerintah Hindia Belanda menjalankan politik film

dengan cara mempertajam dan mengarahkan gunting sensornya sensornya secara

serampangan, asal – asalan, tanpa aturan yang mengebiri film pada saat

pertumbuhannya. Disajikan dengan analisis setiap peraturan yang kritis, juga

memberikan contoh – contohnya dan menggunakan sumber – sumber sejaman.

Dalam buku ini dipaparkan bagaimana kebijakan pemerintah di bidang perfilman

pada masa Hindia Belanda. Dengan memberikan sudut pandang yang jelas tentang

bagaimana berbagai alasan mengenai perkembangan film dari sebab banyaknya

penonton film hasil produksi Amerika Serikat hingga kebijakan pemerintah Hindia

Belanda mengenai produksi Film di Hindia Belanda.

Pada perkembangan selanjutnya, terjadi dua hal di dalam perkembangan di

Hindia Belanda. Pertama, internal film sendiri. Film – film bisu yang masuk ke

Hindia Belanda merupakan film produksi Amerika Serikat yang bernuansa genre.

Salim Said ( 1982 ) dalam bukunya yang berjudul Profil Dunia Film

Indonesia, Jakarta: Grafitipers. Memberikan gambaran awal munculnya industri

perfilman yang lebih di dominasi oleh peran orang – orang Tionghoa yang dalam

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

prosesnya tidak memperhitungkan nilai pendidikan dan seni yang ada namun hanya

berdasarkan rugi laba dari adanya bisnis perfilman ini.

Hindia Belanda sedang berubah ketika film untuk pertama kalinya bisa

disaksikan di Batavia awal abad 20. Lepas dari kenyataan bahwa film sebagai

tontonan orang banyak memeng tidak selalu diterima oleh kalangan kaum terpelajar

di Indonesia sendiri nampaknya dua faktor penting yang memperlebar jurang antra

dunia film dan kaum terpelajar. Pertama, film buatan dalam negeri masa itu terlalu

berorientasi dagang tanpa perhitungan lain sama sekali ; kedua, hal demikian banyak

sedikitnya ditentukan oleh pemilik modal yang mengusai dunia film yakni orang –

orang Tiongho. Kenyataan bahwa pemilik modal berada sepenuhnya ditangan orang

orang yang memang Cuma dan semata – mata menggangap film sebagai barang

dagangan, harus diterima sebagai penjelasan terhadap suatu keadaan yang memang

tidak memungkinkan lahirnya film – film yang berorientasi kepada manusia dan

sekelilingnya pada waktu itu.

HM. Johan Tjasmadi ( 2008 ) dalam bukunya yang berjudul 100 Tahun

Bioskop di Indonesia 1900 – 2000 penerbit Megindo,. Dalam bukunya ini

belum mencoba menjelaskan mulai sejarah masuknya film di Hindia Belanda,

perkembangan film dari masa Hindia Belanda hingga Pasca Kemerdekaan, dan

membuat kesimpulan tentang hubungan film antara film dengan penonton ; film

dengan Industri Film, film dengan SDM, high Cost, Selera dan Cita Rasa hingga

klasifaksi film. Dalam buku ini dijelaskan secara detail berbagai aspek dari segi

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

ekonomi, politik, sosial dan budaya yang mempengaruhi film di Indonesia hingga

saat ini.

Dalam buku kumpulan esai Seni, Budaya, dan Sejarah Indonesia karya Fandy

Hutari ( 2011 ) berjudul Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal terbitan :

INSIST Press. Buku ini bisa dikatakan merupakan sajian rekaman soal beberapa seni,

budaya dan sejarah yang ada di negeri ini.berisi 26 artikel yang dibagi kedalam lima

bagian utama. Lima bagian utama ini mengemukakan tentang sejarah sandiwara (

teater ), film, seni tradisional, riwayat orang yang “ bersetuhan “ dengan topik utama

buku, dan permainan masa lalu. Sebagaian besar esai pada buku ini tentang seni

pertunjukan, dari mulai masih berbentuk sandiwara, film bisu, hingga film modern

seperti sekarang ini.

Dalam tulisan karya Fandy Hutari ini, penulis menekankan aspek kebudayaan.

Dimana seni terkait erat dengan budaya yang ditinggalkannya. Hingga pergeseran

kebudayaan tradisional dan diganti dengan kebudayaan modern yang masuk.

Tinjauan Pustaka ini dijadikan refrensi dalam penulisan skripsi ini dan juga

dijadikan pembanding bahwa karya ilmiah ini berbeda dengan tinjauan pustaka yang

ada. Kajian yang lebih umum yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini sudah

banyak dikupas dalam buku – buku seperti karya Misbach Yusa Biran yang berjudul

Sejarah Film 1900 – 1950 bikin Film di Jawa . Dalam buku ini dipaparkan mengenai

hasil – hasil produksi film lokal yang ada pada masa tersebut. karya tersebut terlalu

umum apabila dikaji dari sejarah film 1900 – 1950 dan hanya menjelaskan film – film

lokal yang diproduksi oleh beberapa perusahaan film pada saat itu. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

Sedangkan kajian – kajian lainnya seperti karya ilmiah Widiatmoko hanya

dijadikan pembanding dalam penulisan ini bahwa bagaimana perkembangan film

pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dengan masa Pendudukan Jepang.

Sedangkan buku karya M. Sarief dan Salim Said lebih menekankan kajian politik dan

sosial dari film periode kolonial.

Penulisan skripsi yang berbeda dengan tinjaun pustaka yang sudah dipaparkan

diatas, skripsi ini memfokuskan lebih khusus mengenai perkembangan film genre

yang belum banyak dikaji dalam refrensi – refresni buku ataupun karya ilmiah.

Spatial serta temporal yang digunakan dalam kajian penulisan ini lebih khusus ke

wilayah Batavia dengan periode 1900 - 1942. Kajian skripsi ini lebih menekankan

bagaimana perkembangan film dari jenis film yang ada yaitu genre yang tentunya

belum banyak dikupas oleh penulis – penulis lainnya. Titik fokus kedua dari

penulisan skripsi ini adalah fungsi film sebagai media ekspresi seniman dalam

industri perfilman.

F. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

sejarah. Manfaat metode tersebut adalah penelitian dapat memecahkan masalah

dengan menggunakan data masa lalu atau peninggalan – peninggalan, baik untuk

memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas

dari keadaan masa sekarang maupun untuk memahami kejadian atau keadaan dalam

hubungannnya dengan kejadian atau keadaan masa lalu. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

Metode sejarah ini terdiri dari empat langkah yaitu :

1. Heuristik

Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan atau proses pengumpulan sumber

– sumber sejarah atau pengumpulan sumber data sebanyak – banyaknya yang

berhubungan dengan tema dan permasalahan penelitian. Pengumpulan sumber data

ini dilakukan dengan menetapkan sumber data dan membedakannya dalam kategori

data primer dan data sekunder yang harus dilakukan dengan sistem pencatatan yang

relevan antara lain:

a) Dokumen atau Arsip

Dokumen atau arsip yang menjadi sumber primer dalam skripsi ini diperoleh

dari Arsip – arsip Nasional RI antara lain arsip Staatsblad van Nederlandsch – Indie

Tahun 1919 ( No.37 dan 378 ), Tahun 1920 ( No.51, 358, dan 438 ), Tahun 1922

No.668, Tahun 1925 No.477, 1926 No.478, Tahun 1930 ( No. 447 dan 448 ), dan

Tahun 1940 No.507. serta artikel dan majalah yang sejaman.

b) Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan sumber sekunder sebagai pendukung dan pelengkap

serta sebagai kerangka dasar teori, maka penelitian ini digunakan sumber – sumber

pustaka berupa buku – buku karya ilmiah dan buku – buku pengetahuan. Selain itu

juga digunakan sumber – sumber lain yang berupa majalah, surat kabar, dan artikel –

artikel yang dapat memberikan informasi yang berkenaan dengan masalah yang

diteliti. Surat Kabar tersebut antara lain Bintang Betawi, Preanger Post, Pewarta

Soerabaia, Nieuw Weekblad, dan Vederland. Sedangkan majalah yang dijadikan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

sumber skripsi ini antara lain Doenia Film, Panorama, Pertjatoeran Doenia dan Film,

Filmland, dan Pembangoenan.

Dalam penelitian ini studi pustaka dilakukan di UPT Perpustakaan Universitas

Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Nasional RI, Sinematek dan BPPN ( Badan

Pertimbangan Perfilman Nasional ).

2. Kritik Sumber ( Criticism of Data ) atau Penilaian Data

Pada tahap ini, penulis melakukan kritik atau verifikasi, disini di artikan penulis

menguji dan menilainya dari data sumber primer dan sekunder tersebut untuk di uji

dan di cari kebenaran faktanya, setelah sebelumnya sumber primer dan sekunder

data–data informasi tersebut terkumpul dan tersusun, kemudian di lakukan pengujian

terhadap sumber dan data-data secara teoritis maupun kritis.

3. Interpretasi

Tahap ini dilakukan untuk menafsirkan keterangan yang saling berhubungan

mengenai Sejarah Industri Perfilman di Batavia 1900 – 1942.

4. Historiografi atau Penulisan Sejarah

Tahap terakhir ini merupakan penyajian hasil penelitian dalam bentuk tulisan

baru berdasarkan bukti-bukti yang telah diuji Pada langkah ini disajikan hasil

penelitian yang berupa penyusunan fakta – fakta dalam suatu sintesa kisah yang baik.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

G. Sistematika Penulisan

Sistematika dimaksudkan untuk lebih memudahkan memahami dan

mempelajari skripsi ini, yang akan diuraikan dalam bab – bab secara berurutan.

Bab I merupakan pendahuluan, berisi latar belakang, perumusan masalah,

tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II membicarakan latar belakang munculnya seni pertunjukan film di

Batavia berisi mengenai faktor demografi, pergeseran seni pertunjukan tradisional ke

modern dan pertunjukan film sebagai gaya hidup masyarakat kota Batavia.

Bab III membicarakan mengenai mengenai perkembangan film genre dalam

industri perfilman di Batavia tahun 1900 – 1942 berisi tentang pengertian

karakteristik film genre, munculnya film lokal dan persaingan industri perfilman di

batavia pada tahun tersebut.

Bab IV membicarakan tentang kontrol pemerintah terhadap industri film di

Batavia tahun 1900 – 1942.

Bab V merupakan Penutup. Berisi kesimpulan dari keseluruhan pembicaraan

yang telah dibahas.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

SENI PERTUNJUKAN DI BATAVIA AWAL ABAD XX

A. Awal Masuknya Seni Pertunjukan Film di Batavia

1. Faktor Demografi Penduduk Batavia

Pada abad XIX, menurut Raffles penduduk Batavia dalam tahun 1815

adalah 332.015 jiwa. Bila dibandingkan dengan data yang dilaporkan

Radermacher dan van Hogendorp, maka data yang dilaporkan Raffles masih lebih

akurat. Pada tahun 1846, Bleeker, yang tekun mempelajari demografi pulau Jawa,

mengumpulkan data tentang penduduk dan menyatakan tidak kurang dari 283.517

jiwa yang tinggal di Batavia dan sekitarnya.1 Peluang dan gejala dan asimilasi dari

penggambaran diatas, dapat dilihat dari konteks perkawinan. Di pihak lain, proses

migrasi di Batavia tetap berangsur terus, sehingga masing-masing identitas migran

baru akan tetap tampak menonjol terutama orang Sunda dan Jawa. Keadaan ini

semakin marak dengan pembangunan pelabuhan Tanjung Priok, akibatnya dengan

2 singkat merubah ciri Batavia menjadi “Melting Pot”.

Tingkat pertumbuhan penduduk Batavia tinggi, kemungkinan

berhubungan dengan kota Batavia sebagai pusat ekspansi urban. Batavia banyak

menerima imigran dari seluruh wilayah Hindia Belanda. Imigran itu banyak

1 Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen, 1987. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 26-28. 2 M. Fauzie Syuaib, 1996. Masyarakat Betawi dan Perkembangan Kota Jakarta, dalam Pontjo Sutowo, Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya Bangsa

di Jawa. Jakarta : Yayasan Festival Istiqlal. Hal 48. Melting Pot adalah tempat commit to user membaurnya suku bangsa. 17

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id18

berasal dari wilayah Jawa Barat seperti Bogor, Bandung, dan Cirebon. Migrasi ini

berkaitan dengan faktor pendorong, yaitu semakin menyempitnya lahan pertanian

yang mereka miliki dan terjadinya konflik sosial di desa, ditambah lagi faktor

penarik, yaitu berkembangannya pembangunan di Batavia, yaitu misalnya,

pembagunan Pelabuhan Tanjung Priok, pembagunan trem kereta api, dan

ketersedian Batavia akan fasilitas umum.

Sejak awal, Belanda telah menerapkan pola kebijaksanaan pemisahan

yang tajam diwilayah jajahanya, yang melahirkan stratifikasi sosial yang

bertumpu pada garis warna kulit dan agama. Penduduk kota Batavia terdiri dari

bangsa Eropa dan non Eropa, antara Kristen dan non Kristen. Pembagian ini juga

tercermin di dalam praktek perlakuan hukum.

Penduduk asli sekarang dikenal sebagai orang Betawi, umumnya tinggal

dipinggiran Batavia, sedang yang tinggal di wilayah pusat Batavia adalah

penduduk pendatang. Jumlah penduduk asli Betawi menduduki urutan kedua dari

kelompok suku bangsa Sunda yang menjadi penduduk Batavia. Jika dibandingkan

dengan total penduduk, jumlah penduduk Batavia asli kurang dari seperempatnya.

Migrasi orang Sunda ke Batavia disebabkan jaraknya yang dekat dengan

Batavia. Penduduk lainnya yaitu orang Cina dan Tmur Asing lainnya menempati

urutan ketiga sesudah orang Sunda. Pada tahun 1911 diperkirakan sekitar 40%

penduduk Batavia adalah migran.

Pada sisi lain, jumlah imigran Eropa, Tionghoa dan Arab meningkat pada

akhir abad ke-19. pembangunan pelabuhan Tanjung Priok, perluasan fungsi

pemerintah di bawah penaruh Politik Etis, dan pertambahan penduduk Jawa yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id19

cepat telah menyebabkan terjadinya gelombang pertama imigrasi secara besar-

besaran dari daerah pedalaman.

Di antara banyaknya suku bangsa di abad XX, Batavia mengalami

trasformasi yang paling menarik. C.S.W. van Hogendorp menyatakan bahwa

orang Makassar, , dan penduduk pribumi lainnya meleburkan diri dengan

orang Jawa (Jawa dan Sunda). Mereka telah mengadopsi adat istiadat dan keadaan

setempat. Van der Aa menyatakan bahwa para imingran tersebut banyak

kehilangan cirri asli dari nenek moyangnya, melalui berbagai cara seperti kawin

campur, melebur menjadi satu bangsa.3

Pada tahun 1900 ada kurang lebih 70.000 orang Eropa di Jawa, yang

sebagian asli Eropa dan kebanyakan bekerja di pemerintahan. Dua kelompok etnis

lainnya yaitu Cina dan Arab. Orang Cina merupakan kelompok terbesar di jawa

kira – kira sekitar 280.000. posisi dan keadaan mereka di Hindia Belanda sangat

berpengaruh pada perekonomian kolonial, mereka lebih berjiwa dagang dan

berbisnis.

Orang Arab di Jawa kira – kira berjumlah 18.000 jiwa, kebanyaka dari

mereka adalah pedagang kecil, saudagar dan peminjaman uang. Keuntungan

utama mereka adalah karena ikatan keagamaan mereka dengan orang pribumi

yaitu Islam.

Orang Indonesia, di tahun 1900 dan sampai sekarang mengakui ada dua

tingkatan di dalam masyarakatmnya. Kelompok besar yang terdiri dari petani,

orang desa dan kampung dinamakan rakyat jelata. Administratur, pegawai

commit to user 3 Lance Castles, 2007. Profil Etnik Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta. Hal. 8 - 9. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id20

pemerinta dan orang – orang Indonesia yang berpendidikan dan berada di tempat

yang lebih baik, baik di kota maupun di pedesaan dikenal sebagai elit atau .

Secara teknis kaum ningrat juga merupakan kelompok terpisah, tetapi biasanya

orang Indonesia seenaknya memasukkan mereka ke dalam tingkatan priyayi. Jadi

priyayi adalah kelompok yang beridri diatas rakyat jelata yang dalam beberapa hal

memimpin, memberi pengaruh, mengatur, menuntun masyarakat Indonesia.

Kira – kira 90 % orang Jawa termasuk rakyat jelata dari mereka ini desa

merupakan penentu hidup mereka. Desa merupakan akar drai pola kehidupan

tradisional orang Indonesia dan di tahun 1900 dengan sebagian mata pencarian

sebagai petani. Kehidupan agraris ini tidak hanya mengatur selera dan gaya hidup,

mempertahankan buki pekerti tradisional, merupakan sarana bagi segi – segi

spritual dan agama dari kehidupan anggota – anggotanya (solidaritas).

Gelombang imigrasi tersebut telah merubah karakter penduduk, melipat

gandakan jumlahnya, dan menimbulkan situasi seperti yang tercermin dalam

laporan sensus tahun 1930. Pada tahun 1930 banyak wilayah Jakarta sekarang,

termasuk wilayah pinggiran Meester Cornelis (Djatinegara), yang tidak termasuk

wilayah kota Batavia. Wilayah Meester Cornelis baru dimasukkan kedalam

4 wilayah kota Batavia pada tahun 1935. Walaupun belum dilakukan penyesuaian

batas wilayah sebagaimana mestinya, wilayah pinggiran yang dimasukkan ke

dalam wilayah kota kurang lebih sama dengan wilayah sensus 1930 yang

ditunjukkan dalam Tabel 1

4 Ibid. hal 18. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id21

Tabel 1

Populasi Penduduk di Wilayah Pinggiran

Jakarta pada tahun 1930

Pribumi Tionghoa Lain-lain Jumlah

Distrik Mr. 12.174 503 127.484 Cornelis di luar kota wilayah kota Mr. Cornelis

Sub-distrik: 35 46.910 Tjengkareng 11 42.478 Kebajoran - 2.473 Duizen Eilanden 42.188 Kebondjeroek 41.227 60 31.703

2.473 Tanah-tanah - 2.764 partikelir 31.279 Tjilintjing,

Togeo Oost,

2.412 Togeo West,

Togeo Batoe

Bamboe

243.752 9.422 638 53.812

Sumber: . Lance Castles, 2007. Profil Etnik Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta. Hal 5 22.

Laporan sensus tidak memberikan gambaran sepenuhnya tentang

perbedaan etnis sampai ketingkat sub-distrik, tetapi menyediakan cukup data

untuk membuat perkiraan yang cukup akurat tentang komposisi penduduk di

commit to user 5 Ibid. hal 22. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id22

daerah pinggiran. Di distrik (kawedanan) Meester Cornelis, di luar wilayah kota,

terdapat 113.200 orang Betawi, 10.407 orang Sunda dan 2.613 orang dari suku-

suku lainya. Di wilayah Kepulauan Seribu (Duizend Eilanden) terdapat 1.923

orang Betawi, 268 orang Sunda, 243 orang Jawa dan 37 orang Melayu. Di distrik

Kebajoran, yang terdiri dari sub-distrik Kebondjeroek dan Kebajoran serta dua

sub-distrik lainnya yang sekarang tidak termasuk wilayah Jakarta, terdapat

143.221 orang Betawi dari keseluruhan penduduk yang berjumlah 145.505.

Distrik Tangerang (sub-distrik Tjengkareng termasuk di dalamnya)

terdapat 108.345 orang Sunda, 86.921 orang Betawi dan 1.667 orang-orang

lainnya. Karena Tjengkareng terletak di sebelah timur Tangerang ke arah Jakarta

dan seluruh wilayahnya berada di sebelah timur sungai Cisadane, dan secara

linguistik juga merupakan daerah perbatasan, sub-distrik tersebut kemungkinan

seluruh penduduknya merupakan orang Betawi. Wilayah Tjilintjing kemungkinan

besar mayoritas penduduknya adalah orang Betawi kecuali sebuah komunitas

kecil masyarakat Tugu yang berpenduduk 160 orang Kristen.

Berubahnya batas-batas wilayah, dengan berdasarkan hasil sensus 1930

akan sulit untuk menghitung secara tepat jumlah penduduk Djakarta Raya yang

lahir di luar daerah. Tetapi diperkirakan jumlah totalnya sekitar 172.200 orang

pribumi. Dari jumlah ini, 125 orang berasal dari Jawa Barat, 27.800 dari Jawa

Tengah dan 13.100 orang dari Pulau-Pulau Luar (Jawa). Hal ini berlawanan

dengan pola migrasi pada abad kedelapan belas. Migrasi penduduk yang berasal

dari pedalaman sekarang jauh mengalahkan migrasi dari daerah pantai. Selain itu,

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id23

berbagai pulau-pulau luar sekarang memberikan konstribusi dalam perbandingan

yang berlawanan dengan konstribusi mereka dalam masa perdagangan budak.

Pada tahun 1930, orang Bali, Sumbawa dan Pampanger hampir tidak

tersisa. Orang Bugis dan Makasar masih ada, namun jumlahnya hanya sedikit.

Orang Melayu dan Ambon yang selalu ada dimana-mana menjembatani kedua era

ini, sementara orang-orang yang berasal dari pulau-pulau luar lainnya mulai

berdatangan. Secara berurutan mereka itu kurang lebih adalah; orang Manado

(yang sebagaimana orang Ambon Protestan, menjadi anggota tentara Hindia

Belanda), orang Minangkabau (terutama di bidang perdagangan dan pekerjaan

intelektual), serta Batak. Dilaporkan bahwa orang Batak pertama kali datang pada

tahun 1922.6 Jumlah imigrasi dari Pulau-pulau luar yang baru ini masih sangat

sedikit. Perbandingan antara orang Belanda dengan orang Minangkabau pada

tahun 1930 adalah sepuluh banding satu.

2. Pergeseran Seni Pertunjukan Tradisional ke Modern

Batavia sebagai kota pusat pemerintahan kolonial menjadikannya sebagai

pintu gerbang dari segala kemajuan dan kebudayaan yang masuk ke kota ini. Pada

mulanya seni pertunjukan yang berkembang sebelum abad ke 20 yaitu seni

pertunjukan panggung yang berupa tiruan opera yang bercerita mengenai

kehidupan raja – raja dan disisipkan dengan pertunjukan musikal. Pertunjukan

panggung lainnya yang popuker sebelum itu yaitu Wayang Cerita “

yang dipimpin oleh orang Cina Lie Kim Hock. Dengan bentuk prosa bersajak

6 Ervantia Restulita L.Sgai, 2002. Pemukiman Dan Penyakit Kolera Di Batavia.

Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada commit to user Yogyakarta. Hal 97. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id24

yang mengisahkan kehidupan istana yang dikutip dari cerita 1001 malam.

Rombongan ini berkeliling dan bermain di pelataran dengan bentangan layar di

belakang. Musik pengiringnya adalah gambang kromong yang melodinya sangat

berbau musik Cina.

Pertunjukan panggung lainnya yang terkenal dan muncul pada tahun 1891

yaitu Komedi Stambul pertama kali didirikan di oleh August Mahieu.

Perkumpulannya dibiayai oleh Yap Goan Thay. Kata” komedi “ disini bukan

diartikan sebagai cerita lucu, melainkan komedi dalam arti pertunjukan, seperti “

Komedi Kuda “ atau lebih dikenal dengan Sirkus. Pertunjukan ini awalnya

terinspirasi dari pertunjukan di Semenanjung Malaka, yang terkenal dengan nama

“ Abdul Muluk “. kelompok panggung ini menambahkan nuansa budaya Barat

dengan repertoar terdiri dari cerita 1001 malam dengan inovasi cerita lebih

modern,seperti Hamlet karya Shakespare.7

Kegandrungan pada cerita dengan setting Istambul inilah, yang kemudian

melahirkan sebutan baru bagi jenis pertunjukan ini, yaitu Komedie Stamboel. Dari

sini, lahir nama pelopor mereka yang legendaris yaitu Mahieu, Yap Goan Thay,

dan Cassim. Perkembangan seni pertunjukan panggung yang dibawa oleh

kelompok Komedi Stambul ini menjadi terkenal dan digemari terutama di

Batavia. Mereka yang terjun dalam kelompok panggung ini tercetak dalam

subkultur Anak Wayang, istilah tersebut digunakan hanya dikalangan orang

panggung itu sendiri. Seni pertunjukan panggung hingga awal abad 20 semakin

menancapkan kemajuannya, Miss Riboet dan Opera Dardanella adalah seni

7 Misbach Yusa Biran, 2009. Sejarah Film 1900 – 1950; Bikin Film di Jawa. commit to user Jakarta: Komunitas Bambu. Hal 4-5. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id25

panggung msih tetap berjalan melawan arus modernisasi teknologi yang semakin

canggih.

Pada penghujung abad XIX, teknologi pembuatan film, gambar yang bisa

bergerak, ditemukan di Prancis, Inggris dan Amerika. Pada waktu itu, negeri

Nusantara ini masih merupakan jajahan Belanda dengan nama Nederlands Indie

atau dalam bahasa Pribumi disebut Hindia Belanda. Dengan nama itu, negeri ini

dianggap sebagai bagian dari India yang jadi milik Belanda. Penduduk dari negeri

kepulauan yang oleh Douwes Deckere alias Multatuli disebut sebagai “ rangkaian

zambrut di khatulistiwa “, pada waktu itu hanya beberapa orang saja yang bisa

baca tulis huruf latin. Nama Indonesia belum dikenal, bahkan suku – suku yang

mendiami Nusantara belum merasa sebagai satu bangsa. Batavia sebagai kota

pusat pemerintahan kolonial menjadikannya sebagai pintu gerbang dari segala

kemajuan dan kebudayaan yang masuk ke kota ini.

Awal abad 20 ditandai dengan maju nya seni pertunjukan seiring dengan

perkembangan jaman yang semakin modern dan terbawa arus westernisasi yang

ada. Batavia yang merupakan pusat kota dari percampuran budaya Eropa dengan

budaya lokal dengan cepat merasakan arus modernisasi itu. Ketika orang – orang

sedang menikmati jenis hiburan panggung sebagai agen dari kemajuan jaman, tiba

– tiba muncullah kabar baru itu. Sebuah pertunjukan gambar idoep bakal

dipertontonkan. Sebuah keajaiban dari masa depan telah lahir. Ditemukannya

fotografi oleh Louis Daguerre ( Prancis ) di tahun 1895, yang langsung menyebar

keseluruh dunia dengan cepat memunculkan seni pertunjukan baru yaitu film.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id26

Pengertian Film menurut Kamur Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai

Pustaka ( 1990 ) , film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat

gambar negative ( yang akan dibuat potrait ) atau untuk tempat gambar positif (

yang akan di mainkan dibioskop ). Film juga diartikan sebagai lakon ( cerita )

gambar hidup.

Sedangkan pengertian yang lebih lengkap dan mendalam tercantum jelas

dalam pasal 1 ayat ( 1 ) UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dimana

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya

yang merupakan media komunikasi massa pandang – dengar yang dibuat

berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video,

piringan video dan/ atau bahan hasil penemuan teknologi isinya dalam segala

bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronika, atau proses

lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukan dan/ atau ditayangkan

dengan sistem mekanik, elektronik dan/atau lainnya. Sedangkan film maksudnya

adalah film yang secara keseluruhan diproduksi oleh diproduksi oleh lembaga

pemerintah atau swasta atau pengusaha film di Indonesia, atau yang merupakan

8 hasil kerja sama dengan pengusaha film asing.

Dari pengertian diatas mengungkapkan bahwa film adalah sebuah proses

sejarah atau proses budaya suatu masyarakat yang disajikan dalam bentuk gambar

hidup. Sebagai sebuah proses, banyak aspek yang tercakup dalam sebuah film.

Mulai dari pemain atau artisnya, produksi, bioskop, penonton, dan sebagainya.

8 Seri Perundang – undangan, 2010. Undang – Undang Perfilman 2009; Undang

– Undang RI No.33 Tahun 2009 Tentang Perfilman. Yogyakarta: Pustaka commit to user Yustisia. Hal 3-4. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id27

Film juga identik sebagai hasil karya seni kolektif yang melibatkan sejumlah

orang, modal, dan manajemen. Dalam proses pembuatannya, pada dasarnya film

merupakan komoditi jasa kreatif untuk dinikmati masyarakat luas. Dinilai dari

sudut manapun, film adalah acuan otentik tentang berbagai hal, termasuk

perkembangan sejarah suatu bangsa. Film merupakan karya cipta manusia yang

berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan.

B. Pertunjukan Film sebagai Gaya Hidup Masyarakat Kota Batavia

Batavia merupakan daerah kekuasaan pemerintah kolonial setelah

kekalahan Kesultanan dalam mempertahankan pelabuhan Jakarta terhadap

serangan Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1619. Permusuhan yang terjadi oleh

Kerajaan Banten, menyebabkan VOC memindahkan kantor yang didirikannya di

Banten pada tahun 1603 ke Jayakarta. Pemindahan itu terjadi pada tahun 1619,

dan sejak itu nama Jayakarta berganti menjadi Batavia. 9

Dibawah kekuasaan Jan Pieterzoon Coen, pejabat Belanda yang

mempunyai wewenang atas kantor dagang VOC di Banten dan Jayakarta,

memutuskan bahwa benteng kompeni ( VOC ) di Batavia menjadi pusat

pertemuan kapal – kapal kompeni yang berlayar di Nusantara. Dengan demikian

maka pemusatan kegiatan VOC di Batavia itu menjadikan Batavia dalam

kenyatannya merupakan sebuah pusat kekuasaan. VOC telah menyusun birokrasi

yang didukung oleh kekuatan militer untuk suatu tujuan serempak berupa dagang,

9 Mona Lohanda, 2007. Sejarah Pembesar Mengatur Batavia. Jakarta: Masup. commit to user Hal 1. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id28

kolonisasi dan penyerahan. semakin lengkap kedudukannya sebagai pusat

kekuasaan setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799, dan Batavia menjadi

Ibukota sebuah negara jajahan yang dinamakan Nederland – Indie.

Dari waktu ke waktu kota Batavia itu diperluas. Segala fasilitas perkotaan

pun, senantiasa bertambah. Disamping parit – parit dibuat juga jalan – jalan.

Kemudian dilengkapi dengan jalur – jalur trem (jalur kereta ) dalam kota maupun

jalur kereta api ke luar kota. Penanggulangan pantai dan perbaikan pelabuhan pun

dilakukan.

Salah satu ciri dari suatu perkembangan kota adalah adanya tempat

pemukiman yang dihuni oleh sekelompok orang. Mereka tinggal di suatu

lingkungan di salah satu kawasan yang menjadi bagian dari kota. Di situ berbaur

berbagai etnis dengan karakteristik tersendiri mewarnai perkembangan kota.

Kota Batavia diwarnai oleh kehadiran empat kelompok ras yaitu, Belanda,

Indo-Eropa, Cina, Arab, serta Pribumi. Orang pribumi sebagian besar tinggal di

kampung dan menempati sebagian kecil areal perkotaan, semakin terdesak dengan

bangsa Eropa yang tinggal di kampung khususnya yang terletak pada jalan-jalan

utama. Akibatnya, perkembangan kota menjadi tidak teratur. Muncul

permasalahan seperti kekurangan air dan kurangannya perairan, kondisi

kehidupan tidak sehat, dan kurangnya rumah untuk tempat tinggal.

Perubahan mulai ditingkatkan oleh pemerintah kolonial untuk menata

negeri jajahannya dalam berbagai aspek kehidupan. Hal utama yang menjadi

sorotan melakukan perubahan yaitu representasinya dunia internasional yang pada

saat itu media massa gencar – gencarnya mengelurkan berita mengenai kondisi commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id29

Hindia Belanda yang hanya dipenuhi oleh kabar mengenai wabah epidemik,

meletusnya gunung berapi, amuk, santet dan perang antar penduduk. Hampir tidak

ditemukan berita mengenai segi keindahan dan tempat – tempat yang menarik di

Hindia.

Fenomena ini mulai berakhir sejalan dengan munculnya dorongan kuat

sesudah Revolusi Industri di Inggris akhir abad 19, dimana arus kedatangan orang

Eropa dan Amerika ke tanah – tanah jajahan tidak terbendung lagi. Pemerintah

Hindia Belanda dilain pihak merasa akan perlunya dorongan untuk merubah

persepsi negara – negara lain untuk berkunjung dan melakukan pendekatan yang

lebih diplomatis demi kepentingan Hindia Belanda.

Sebagai proses lanjutan yang muncul sesudah penaklukan secara politis,

representasi – representasi yang ada atas daerah kolonial tidak lain merupakan

suatu proses dimulainya penguasaan secara budaya. Pemerintah kolonial tampak

berperan penting mengajarkan bagi penduduk pribumi mengenai apa yang harus

dilihat dan bagaimanan harus melihat koloni. Secara tidak langsung hal ini telah

mengintegrasikan tidak saja aspek kewilayahan, tetapi juga menghubungkan

tempat – tempat dalam cara pandang Hindia Belanda yang diimajinasikan

mengenai konsep keindahan lanskap “ mooi indies “ atau Hindia molek, sejarah

10 budaya dan tradisi maupun stereotip tempat dan penduduk di Hindia Belanda.

Sementara Hindia Belanda masih dalam gejolak. Penjajahan baru saja

menerapkan kebijakan baru bagi penduduk negeri ini. Kebijakan itu dikenal

dengan sebutan politik etis ( etische politiek ) yaitu irigasi, emigrasi dan edukasi.

10 H.C.C Clockener Brousson, 2007. Batavia Awal Abad 20. Jakarta: Masup. commit to user Halaman 1. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id30

Kebijakan ini diambil setelah ada indikasi menurunnya tingkat kemakmuran

penduduk pribumi, hasil penelitian Mindere Welvaart Commisie,yaitu komisi

yang dibentuk untuk menyelidiki penurunan tingkat kesejahteraan penduduk.11

Bagi penduduk, kehadiran politik etis yang lahir sejalan dengan makin

menguatnya kelompok liberal dan melemahnya kelompok konservatif di parlemen

Belanda ini, disambut bagai karunia yang dinanti – nantikan. Ia seolah cahaya

yang menyembul dari kegelapan dan penderitaan. Intinya manjadikan kehidupan

yang lebih baik karena menitikberatkan pada perlindungan terhadap hak dan

kepentingan penduduk pribumi, dengan program utama memajukan irigasi,

edukasi dan migrasi.

Datangnya orang – orang Eropa merupakan awal penguasaan industri,

diikuti dengan orang – orang Cina yang unggul dalam segi perekonomian. Orang

–orang Eropa yang berdatangan di Batavia tidak hanya bekerja sebagai pegawai

pemerintahan tetapi juga memegang peran dalam perkembnagan industri –

industri dan perdagangan. Sistem kapitalisasi mulai berdiri tegak diatas kendali

penguasa – penguasa. Mereka orang Eropa yang merupakan kaum borjuis

memegang kekuasaan besar dan kontrol terhadap kaum buruh proletar.

Sejak 1900, awal masuknya tontonan film mulai bisa disaksikan oleh

masyarakat di kota – kota besar Hindia Belanda. Pada saat itu, Gubernur Jenderal

Van Heutz baru memperkenalkan pendidikan bagi orang jajahannya. Ia

mendirikan Volkshcool ( sekolah rakyat ) yang masa belajarnya hanya tiga tahun.

11 Haris Jauhari, 1992. Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal 2. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id31

Asal sekedar bisa menulis, membaca dan berhitung sederhana. Kemudian sekolah

lanjutannya didirikan lagi yakni, Vervolg School yang lamanya dua tahun.

Sekolah ini didirikan di kota kecamatan dan disediakan bagi anak lukusan sekolah

rakyat yang pandai dan orang tuanya mampu. Namun, untuk bisa sekolah ini

mungkin bisa bekerja dikelurahan atau bisa menjadi Mantri Polisi, Mantri Rumah

Sakit, Mantri Penajara, Mantri Pasar, yang semuanya disebut Juragan Mantri.

Status Mantri tinggi dimata rakyat jelata karena untuk mencapinya sulit.

Pada 1910, didirikan sekolah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda,

yakni HIS ( Hollandse Indische School ), sekolah pemerintah yang pada mulanya

diperuntukan bagi pribumi kelas atas. Mereka dipersiapkan untuk menjadi

pegawai gubernemen. Kalau bisa lulus HIS maka jalan sudah terbuka sebagai

pegawai atau meneruskan ke pendidikan lebih tinggi . Akan tetapi, anak yang

ingin masuk HIS orang tuanya harus mempunyai status tertentu di pemerintahan

atau di masyarakat. Jadi, orang yang tidak memiliki status terhormat di mata

Belanda mustahil masuk HIS. Dengan demikia, nasib orang hanya bisa diperbaiki

lewat Vervolg School saja dan mustahil bisa masuk ke sekolah menengah apalagi

bisa jadi sarjana. Rakyat 99, 9% adalah miskin sehingga tidak ada kemungkinan

untuk merubah keadaannya kecuali melalui berwiraswasta.

Sekolah menengah dan tingkat menengah atas baru didirikan antara tahun

1910 – 1930. Seperti sudah disebutkan untuk bisa melanjutkan ke sekolah

menengah harus terlebih dulu lulus dari HIS. Pada 1930, pribumi yang bersekolah

tingkat SMP dan SMA diseluruh Indonesia hanya 7.776 orang. Jumlah yang bisa

sampai lulus sekolah dari semua jenis sekolah pada 1939 / 1940 hanya 510.095 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id32

orang. Pada waktu itu, seluruh rakyat Hindia Belanda berjumlah 70 juta jiwa.

Sejak adanya sekolah, jumlah seluruh anak negeri yang bisa baca pada masa akhir

penjajahan Belanda di Indonesia, 1942, tidak sampai 5%. 12 Hal itu merupakan

gambaran masyarakat yang menjadi penonton film yang diproduksi di negeri ini

sejak 1926. Para pembuat film berusaha membuat film yang bisa digemari oleh

tingkat intelektual penonton itu. Namun demikian, sebelum menyaksikan film

buatan dalam negeri, selera mereka dipengaruhi oleh dua macam tontonan yang

sangat di gemari rakyat sejak 1900, yakni tontonan panggung, yang semula

dikenal dengan nama Opera Stamboel dan tontonan film buatan luar, terutama

yang penuh dengan adegan perkelahian.

Pada mulanya, tontonan panggung yang terus di gemari masyarakat kelas

bawah sejak akhir abad ke – 19 adalah berupa tiruan opera yang dijejali banyak

sisipan adegan hiburan. Ceritanya mengenai kehidupan raja – raja dengan pakaian

gemerlapan, sebagian dialognya diucapkan dengan dinyanyikan sebagaimana

lazimnya opera. Jumlah babaknya dibuat banyak sekali yang diselingi dengan

adegan nyanyian, lawak dan tari yang juga serba gemerlapan.

Salah satu bentuk kebijaksanaan ini ialah edukasi atau pendidikan. Tujuan

sebenarnya dari kebijaksanaan ini tidak lebih dari mendapatkan pekerja – pekerja

terlatih bagi perusahaan dagang yang makin meluas ke berbagai penjuru Hindia

Belanda. Tapi tanpa disadari oleh pemerintah Kolonial, sekolah yang ternyata

sanggup mempertinggi status seseorang itu ada pula menjadi salah satu faktor

dinamisator atau penggerak masyarakat.

commit to user 12 Misbach Yusa Biran. Op.cit. Hal 3. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id33

Salah satu hal nyata dari ada dan berkembangnya pendidikan masa itu

ialah terjadinya mobilitas vertikal – naiknya status sosial. Kebijakan dalam

bidang edukasi berakibat didirikannya sekolah – sekolah oleh pemerintah dan

swasta. Anak – anak pribumi yang merupakan anak bangsawan menjadi murid di

sekolah – sekolah ini. Anak – anak bangsawan ini dapat diterima menjadi murid

karena garis keturunan.

Keadaan ini menyebabkan kota – kota tertentu mengalami pertumbuhan

yang cepat, seperti Batavia. Di kota – kota besar banyak sekolah didirikan oleh

pemerintah dan swasta mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sekolah

yang didirikan oleh pemerintah kolonial di Batavia, seperti : KW III, Stovia, Recht

Hoge Scholl dan Niswo. Sedangkan sekolah swasta anatara lain dimiliki oleh

kalangan pergerakan nasional, seperti Taman Siswa di Kemayoran dan Tanah

Abang. 13

Melalui proses komunikasi, para murid sekolah ini bergaul dengan teman

– temannya, baik di sekolah atau pun di dekat tempat tinggalnya di lingkungan

penduduk Eropa. Dari sinilah banyak anak – anak pribumi ini mengenal budaya

barat. Terpampang dalam majalah Doenia Film tertanggal 8 Oktober 1941, bahwa

sendi – sendi dalam pembuatan film terjadi dari bermacam – macam bentuk,

corak dan ragam. Ada film yang berdasar sejarah dan mengandung wetenschap (

pengetahuan ) atau pendidikan. Film – film dengan corak seperti itu umunya

14 hanya disukai oleh golongan cabang atas, para cendikiawan atau intelektual.

13 M. Sarief Arief, 2009. Politik Film Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu. Hal 9. commit to user 14 A.Taruna, “ Pemoeda dan Pemoedi Kita Dengan Perusahaan Film “, Doenia perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id34

Sedikit sekali orang yang sadar bahwa di balik wajah kolonialisme yang

makin “ manusiawi “ itu, tersimpan niat kaum – kaum penjajah untuk lebih

menancapkan kukunya di negeri ini. Politik etis, menyimpan kepentingan

industrinya dengan memenuhi prasyarat birokrasi yang efisien dan tenaga yang

murah. Karena itu, politik etis tidak membuat surut perjuangan menentang

kekuasaan kolonial yang berlangsung mulai awal abad ke – 20. Ujung dari

perjuangan menentang kekuasaan kolonial ini ialah lahirnya kesadaran baru

kalangan penduduk pribumi, yang kemudian berproses menjadi semangat

Kebangkitan Nasional yang lahirnya ditandai oleh berdirinya Budi Utama, 20 Mei

1908.

Kelahiran Boedi Oetomo, dari sisi lain, mencerminkan munculnya lapisan

baru yaitu kaum terpelajar yang jumlahnya makin lama makin banyak, terutama

setelah Belanda menerapkan politik etisnya. Lapisan ini terus membesar. Mulanya

terbatas di kalangan ningrat, kemudian secara perlahan melahirkan kultur baru

seiring dengan perkembangan aspirasi dan kepentingan yang berbeda dari lapisan

masyarakat sebelumnya. Kultur ini identik dengan kota besar, hingga ia dapat

diistilahkan sebagai kultur kota besar.

Berkembangnya kultur baru ini, pada satu sisi memerlukan perangkat baru

pula, yaitu kebutuhan akan hiburan yang lebih canggih dan modern. Sejalan

dengan itu, lahirlah sebuah bentuk hiburan baru di Surabaya, sekitar tahun 1889.

Film, No.8 Oktober ( 1941 ), Hal 114. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id35

Toneel Melajoe, demikian orang menyebutnya, kelak merupakan cikal bakal yang

15 menentukan dalam perkembangan teater di Hindia Belanda.

Toneel Melajoe segera menjadi kegemaran dan bergengsi sebagai tontonan

modern. Ia menyajikan pertunjukan mirip sandiwara. Dengan cerita yang diadopsi

dari kisah – kisah asing, pertunjukan yang sangat mengandalkan improvisasi

karena pembagian babaknya yang amat longgar ini, sering terjadi satu cerita tidak

dapat diselesaikan dalam satu malam, hingga pertunjukan harus di sambung satu

atau dua malam berikutnya. Umumnya menggelar cerita sekitar dongeng 1001

malam.

Perasaan persatuan terbentuk dari rasa prihatin karena harus tunduk pada

kemauan orang asing dan sebagaian besar rakyatnya menganut agama Islam.

Disamping itu, masyarakat di kota – kota besar biasa berkomunikasi dalam bahasa

Melayu. Hal ini disebabkan bahasa itu digunakan dalam penyebaran buku – buku

agama Islam dan merupakan bahasa komunikasi resmi dikalangan pemerintah.

Pada waktu itu, penguasa Belanda berkomunikasi dengan Pribumi yang pegawai

pemerintahan dengan menggunakan bahasa Melayu. Meskipun pegawai pribumi

yang diajaknya bisa berbicara bahasa Belanda namun orang Belanda segan

menggunakan bahasa Belanda kepada bawahannya. Hal ini dirasakan mereka

merasa bahwa dengan berbicara dalam bahasa Belanda yang terhormat itu, si

Pribumi merasa dirinya sederajat dengan Belanda atasannya.

Gelombang transformasi menuju masyarakat modern menghantar Hindia

Belanda memasuki abad ke – 20. Penduduk yang masih dikuasai penjajah,

commit to user 15 Haris Jauhari. Op.cit. Hal 3. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id36

membuka kurun waktu ini dengan sebuah kejutan di akhir tahun 1900, melalui

ikrar yang tertera di surat kabar Bintang Betawi, 4 Desembar 1900.

Termuat disana kabar menggemparkan, Nederlandsche Biooscope

Maatschappij ( perusahaan bioskop Belanda ), mulai tanggal 5 menyelenggarakan

pertunjukan besar pertama yang akan berlangung tiap malam, mulai pukul 19.00,

disebuah rumah di Tanah Abang Kebondjae ( Manage ), sebelah pabrik kereta (

bengkel mobil Maatschappij Fuchss ).

Batavia gempar dan Orang menanti – nanti. Kegemparan ini adalah

puncak dari desas – desus yang menyebar sejak jauh hari sebelumnya, terutama

setelah Bintang Betawi tanggal 30 November tahun itu memuat iklan

persiapannya dengan kalimat yang cukup panjang.

De Nederlansche Bioscope Maatschappij ( Maatschppij Gambar Idoep ) memberi tahoe, bahoewa lagi sedikit lagi sedikit hari ija nanti kasi liat tontonan amat bagoes, jaitoe gambar – gambar idoep dari banyak hal jang belom lama telah kejadian di Eropa dan di Afrika Selatan seperti : masoeknya Sribaginda Maharadja Ollanda bersama Jang Moelia Hertog Hendrik ka dalam kota Den Haag roepa – roepa hal jang telah terdjadi di dalem peperangan di Transvaal. Lagi jaoeh ditontonkan juga gambarnya

barang – barang matjem baroe jang telah ada didalem Tentoonstelling di kota Parijs, gambar – gambar berwarna jang terdapat dari fotografie jang

dari sebab amat adjaibnja soeda ditonton pada saban sore oleh riboean orang roemah komidie Salle des Fetes dikota Parijs. Ini tontonan pasti dikasih lihat didalem roemah di sebelahnja Fabriek Kreta dari

Maatschappij Fucsh di Tanah Abang. Hari mulainya tontonan ini nanti dikasih taoe didalem tempo “.16

Penduduk di tanah jajahan menunggu – nunggu realisasi dari kabar ini.

Warung – warung kopi, pasar, dan tempat – tempat berkumpul ramai

membicarakan bayangan keajaiban ini. Orang – orang berdecak kagum

menantikan benda yang akan dipertontonkan itu, yang konon mampu

commit to user 16 Iklan dalam surat kabar Bintang Betawi ( Batavia ), 30 November 1900. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id37

memperlihatkan dengan nyata segala kejadian yang belum lama terjadi di Eropa

dan Afrika Selatan.

Kegemparan benda ajaib itu pertama kali diperkenalkan dan dipertunjukan

kepada publik secara luas pada tanggal 28 Desember 1895 oleh Lumiere

Bersaudara ( Louis dan Auguste ) di Grand Cafe, Boulvard, Prancis. Bagaikan

kekuatan sihir, segala yang sebelumnya tidak masuk akal, terjelma oleh

kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sekitar sepuluh tahun setelah tontonan film bisa disaksikan di Hindia

Belanda, masyarakat di negeri ini juga sudah bisa menyaksikan adanya orang –

orang dari Eropa membuat perekaman film dokumenter untuk ditonton orang di

Negeri Belanda. Hal ini dilakukan agar masyarakat yang berada di Eropa bisa

melihat keadaan dari negeri jajahannya. Para pembuatnya adalah orang – orang

yang datang dari Eropa. Dilanjutkan oleh orang Belanda lokal yang terjun juga

dalam perekaman film. Dengan adanya orang Belanda lokal atau orang Belanda

yang berdomisili di Hindia Belanda, bisa mempercepat terciptanya film cerita di

negeri ini.

Pada masa itu, film dokumenter yang dibuat di negeri ini semacam

perekaman realita kehidupan masyarakat di Hindia Belanda khususnya di Batavia.

Pada tahun 1911 – an film yang dibuat hanya mendokumentasikan apa saja yang

nampak dengan cara perekaman yang masih sangat primitif. Seperti pembuatan

film dokumentasi perjalanan kereta dari Stasiun Kota ke Stasiun Gambir, dengan

cara meletakkan kamera di jendela kereta menghadap ke luar. Kemudian, ketika

kereta jalan kamera mulai dinyalakan. Sehingga gambar yang terekam hanya commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id38

kilasan kampung, sawah, kebun, jalan raya dan jembatan. Sedangkan film

rekaman lainnya yaitu Pasar Gambir, dilakukan dengan meletakkan kamera di atas

pagar . film - film masa itu masih tersimpan baik di Pusat Arsip Audio – Visual

di Amsterdam.

Pada awalnya, orang Eropa yang datang ke Hindia Belanda untuk

menangani pembuatan film dokumenter bukanlah orang Belanda, melainkan

tenaga ahli dari Perancis, perusahaan film Belanda masih mengandalkan bantuan

dari perusahaan Pathe. Kemudian, Koloniale Institute ( Lembaga Kolonial )

menggunakan perusahaan film Belanda, Nationale Film Fabriek, untuk membuat

film Onze Oost ( Timur Kita ) menceritakan tentang negeri jajahan mereka di

Timur sana yakni Hindia. tujuan pembuatan film tersebut adalah agar dapat

menarik orang Belanda yang berminat bekerja di Hindia Belanda. Namun film –

film dokumenter yang dipertunjukan untuk pertama kalinya di negeri Belanda

dirasa tidak banyak menarik orang Belanda untuk bekerja disana. Film yang

ditunjukan untuk pertama kali itu pada tahun 1919 menampilkan tentang upacara

adat suatu suku di Hindia Belanda, film tersebut banyak menampilkan adegan

pembunuhan korban kerbau dengan cara dibacok. Setahun setelah itu, Perusahaan

17 Nationale Film Fabriek di Belanda mengalami kebangkrutan.

Para pembuat film waktu itu, atau menurut istilah Belanda “ Operator Film

“, adalah seorang juru kamera yang merangkap segalanya. Tugas yang dilakukan

operator film terutama merekam keadaan alam tropis, hewan liar, keadaan

17 Henny Saptatia, dkk. 2011. 111 Tahun Kronika Perfilman Indonesia. Jakarta: Kementerian dan Ekonomi Kreatifcommit RI. Hal to 28. user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id39

pribumi, adat istiadat dan objek lainnya yang dianggap perlu ditampilkan dalam

bentuk film dokumenter.

Gagalnya pembuatan film dokumenter tersebut, maka orang – orang

Belanda yang berdomisili di Hindia tidak cepat tertarik untuk berusaha dibidang

pembuatan film. Apalagi kegagalan pembuat film dokumenter itu bukan hanya

terlihat dari mutu film yang dihasilkan, tetapi juga karena orang – orang di Negeri

Belanda kurang menaruh perhatian terhadap situasi jajahannya di daerah tropis.

Yang kemudian tertarik membuat film adalah Belanda yang berdomisili di Hindia,

anatara lain F. Carli dan seorang Indo bernama G. Krugers. Pada awalnya mereka

adalah juru foto. F. Carli mempunyai toko potret di Batavia dan Krugers di

Bandung. Karya film yang membuat namanya mencuat adalah rekaman atas

bencana akibat meletusnya Gunung Kelud. Ia kemudian mendapat order membuat

film propaganda oleh Bank Tabungan Pos.

Memasuki seperempat abad sejak masuknya film ke Hindia Belanda, di

Kota Bandung terjadi peristiwa penting yang merupakan tonggak sejarah

perfilman Hindia Belanda. Untuk pertama kalinya film cerita dibuat. Perusahaan

yang membuat film cerita pertama adalah N.V. Java Film Company yang

didirikan oleh L. Heuveldrop dari Batavia dan G. Kruger dari Bandung. Film yang

dibuat mereka merupakan cerita dongen masyarakat Sunda yaitu Loetoeng

Kasaroeng. Lahirnya film cerita pertama ini membuat perusahaan – perusahaan

lokal di Hindia Belanda memutar otak untuk menghasilkan film – film yang

diilhami dari film lokal pertama tersebut hingga perkembangan selanjutnya film –

film di Hindia Belanda akhir 1941 di dominasi oleh film local. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III

PERKEMBANGAN FILM GENRE DI BATAVIA TAHUN

1900 – 1942

A. Karakteristik Film Genre di Batavia Istilah Movie, Cinema dan Film sebenarnya merupakan perkembangan

dari istilah bioskop. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani artinya melihat sesuatu

yang hidup atau seolah – olah hidup. Kemudian berlanjut dengan penemuan

teknologi “gambar hidup “, atau disebut juga” citra bergerak “, atau lebih populer

dengan sebutan film, yang penggunaan medianya yaitu dari film celluloid ke pita

elektronik.1

Sebagai seni yang terlahir terakhir, film tumbuh dengan menyerap

penemuan – penemuan yang telah maupun yang tengah terjadi, baik sains,

teknologi, dan estetika seperti fotografi, kinetografi dan fonograf. Hasil dari

beberapa penemuan itu terwujud dalam sinematograf, sebuah mesin yang

sekaligus bisa difungsikan sebagai kamera dan proyektor, sehingga

2 memungkinkan sebuah film bisa ditonton oleh banyak orang dalam satu waktu.

Apa yang tampak pada masa kelahiran produksi film di Hindia Belanda

tersebut, akan terus terlihat dalam perjalanannya, yaitu adanya suatu pendorong

dalam pembikinan film, yang dengan sendirinya melahirkan suatu aliran pula.

Aliran pada saat itu yang berkembang adalah genre.

1 Mukhlis Paeni, 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia; Seni Pertunjukan danSeni Media. Jakarta: Rajawali Pers.Hal 14. commit to user

40

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id41

Genre adalah suatu aliran yang muncul dari film – film hasil produksi

Amerika Serikat. Pada dasarnya aliran ini merupakan ramuan dari beragam hal

seperti gerak, bahasa, tata lampu ataupun suasana atribut yang titik beratnya hanya

untuk menyenangkan penonton. Artinya, penonton disuguhkan pada hal – hal

yang tidak mengharuskan mereka untuk berfikir dan menelaah gerak, jalinan

cerita, bahasa, tata lampu, atau pun suasana yang ada dalam film tersebut.3

Wujud genre ini lah yang membimbing penonton ke dalam hal – hal yang

membentuk daya khayalnya, seperti penonton dibawa melihat adegan perkelahian,

percintaan dan petualangan yang bahkan belum pernah mereka alami dan

dilihatnnya sehari – hari. Perkembangan aliran ini terjadi pada awal adanya

pertunjukan film di Amerika Serikat dengan penonton utamanya adalah anak

muda dan mereka yang papa ( tua ), ini dikarenakan harga karcis yang dipungut

dapat terjangkau oleh nereka ( relatif murah ). Karena pertunjukan film ini dapat

digandakan dan dipertunjukan di tempat terbuka, maka penduduk pribumi di

pedesaan pun dijangkaunya.

Film muncul di Hindia Belanda pada awal abad ke 20. Hal ini terbukti

dengan adanya sebuah iklan diharian Bintang Betawi pada 5 Desember 1900.

Pemberitan dalam iklan ini memperlihatkan untuk pertama kalinya bentuk seni

pertunjukan film atau gambar idoep, istilah masa itu, diadakan di Batavia

khususnya dan Hindia Belanda pada umumnya.

Pada 1900 adanya kebijakan baru yakni larangan pertunjukan wayang di

Batavia. Larangan ini keputusan dari Residen Batavia yang diberlakukan sejak 1

3 M. Sarief Arief, 2009. Politik Film Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu. commit to user Hal 2.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id42

April 1900 hingga akhir Maret 1902. Larangan ini dikarenakan pada saat itu

banyak orang Islam yang berpura - pura datang untuk menonton film tetapi

sebetulnya mereka bermain judi ( top ) yang pada dalam agama Islam adanya

larangan bermain judi.4

Di Hindia Belanda sejak pertama kalinya film bisu dokumenter

diperkenalkan. Keadaanya sangat berbeda dari keadaaan di Amerika Serikat.

Perbedaan ini terletak dari segi penontonnya. Film di Hindia Belanda khususnya

di Batavia, justru bukan di paket untuk mereka yang papa atau pun anak muda

saja. Untuk boleh tidaknya menonton, seseorang sangat tergantung pada

perbedaan golongan dalam masyarakat yang sesuai dengan hukum pembagian

penduduk. Ada bisokop yang filmnya hanya boleh di tonton oleh orang Eropa

saja, seperti Bioskop Oriental di Batavia. Ada juga bioskop yang memutar film

dengan pengaturan kursi penonton yang berbeda antara Pribumi dan Eropa.

Kemudian ada pula sebuah bioskop yang mengadakan perbedaan tempat duduk

pria dengan wanita.

Dari sejarah perfilman masa kolonial, terlihat ada nya suatu pola menonjol

dalam pembuatan film yaitu pola yang dipelopori oleh orang Tionghoa. Pola ini

berciri utama dagang. Pola dagang yang dimulai oleh orang Tionghoa itu bisa

ditemukan akarnya di Hollywood. Dalam literatur film produksi – produksi

hollywood yang digolongkan sebagai genre.

Genre sebagai bentuk lebih tua, mendapatkan bentuknya yang jelas pada

tahun 1918, ketika studio – studio Hollywood. Pada saat itulah lahirnya formula

4 Henny Saptatia, dkk. 2011. 111 Tahun Kronika Perfilman Indonesia. Jakarta: commit to user Kementerian dan Ekonomi Kreatif RI. Hal 27.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id43

pictures, suatu istilah yang kemudian dikenal di Indonesia sebagai “ ramuan “

atau “ resep “ untuk bikin film laku.

Keadaan seperti ini pun mempunyai arti penting dimana adanya hubungan

antara manusia dan kesenian. Waktu yang semakin sempit pada akhirnya

menyebabkan para pedagang dan pekerja di kota – kota semakin kekurangan

kesempatan untuk menikmati “ kesenian tinggi “ seperti dahulu. Mereka perlu

hiburan ringan yang tidak membutuhkan terlalu banyak tenaga dan pikiran untuk

menikmatinya. Perubahan yang cepat dan kontak yang makin meluas dengan

dunia industri di Barat membawa pengaruh besar terhadap kebudayaan dan

kesenian di Hindia Belanda. Film – film genre pun banyak membanjiri industri

perfilman di Hindia Belanda dan cukup menyedot banyak perhatian penonton.

Hal lain yang secara tidak langsung mendorong penyebaran pertunjukan

film ini adalah bentuk seni pertunjukan lain yang sifatnya menghibur seperti tonil,

komedi atau pun sandiwara. Seni pertunjukan ini selalu berpindah – pindah

tempat dan meninggalkan penggemarnya di Batavia untuk beberapa lama,

misalnya Komedi Sinar Hindia. Hal – hal diatas menyebabkan terjadinya

perkembangan pertunjukan film pada tahun – tahun berikutnya. Sampai 1905 di

Batavia tercatat ada tiga tempat pertunjukan film, yaitu Manage Kebondjae,

Manggabesar dan Kongsi Tan Boen Koei Glodok.

Dalam perkembangannya banyak film – film lokal yang ada di Hindia

Belanda merupakan saduran film cerita dari Amerika. Banyaknya film asing yang

masuk terutama film produksi Amerika menjadikan seniman – seniman film

mencari “ formula “ agar film lokal disukai penonton seperti film – film Amerika commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id44

yang dipertunjukan di bioskop – bioskop khususnya di kota – kota besar seperti

Batavia. Film – film genre yang berkembang di Hindia Belanda merupakan aliran

yang dibawa oleh film – film Hollywood. Adapun film – film genre dapat

dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu seperti tabel di bawah ini.

Tabel 1 Jenis Genre Film dari Tahun 1936 – Era Teknologi

TEMA JENIS CORAK KHUSUS FORMATIF

Anak – anak Drama Melodrama Dokumentasi  Talk Show / Musikal Informasi bincang – Agama Pendidikan bincang Pelatihan  Reality Show Iklan Kartun Komedi Satir FTV  Quiz Cerdas Animasi Situasi Film Cerita Cermat Humor Lepas Sejarah Laga Kejahatan Seri  Sport / Legenda Ketegangan Bersambung Olahraga Politik Kejutan Berdasarkan  Social Welfair Kekerasan Petualangan Tokoh – tokoh / Kegiatan Peran Koboi Dalam Cerita Sosial Silat  Entertainment  Games Ketangkasana

Spionase Fiksi Fiksi Ilmiah Serial  Fashion Show Dan Lain – lain Horror / Misteri Berseri / Peragaan Tahayul / Cerita Berdasarkan Busana

Setan Tema Cerita Kenik / Perdukunan Sumber : Tjasmadi, Johan HM. 2008. 100 Tahun Bioskop di Indonesia 1900 –

2000. Bandung:Megindo. Hal 54.

Tabel 1 di atas menunjukan bahwa film – film genre yang ada seiring

dengan pesatnya film – film produksi Amerika ini dapat dilihat sebagai suatu

aliran yang dapat dijadikan acuan bagi sineas – sineas lokal dalam menetapkan

genre film yang sesuai dengan cerita yang akan difilmkan. Terlihat pada tahun

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id45

1936 genre yang berkembang di Hindia Belanda dikelompokan ke dalam

beberapa tema, jenis, khusus dan formatif.

Dalam genre tema di kelompokkan menjadi lima yaitu pertama, film anak

– anak dengan jenis drama dan terbagi lagi ke dalam tiga corak yaitu

melodrama,musikal dan agama. Pengkhususan tema film anak – anak ini seperti

dokumentasi,inforasi,pendidikan, pelatihan dan iklan yang bentuknya bisa dipecah

menjadi bincang – bincang ( talk show ) dan reality show.

Kedua, film dengan tema kartun animasi yang cenderung sifatnya komedi.

Corak tema film ini yaitu satir, situasi dan humor. Khsusus film dengan tema ini

seperti FTV, film cerita dan lepas yang dapat dipertunjukan dengan format kuis

cerdas cermat. Ketiga, tema film ( sejarah, legenda, politik, kekerasan dan peran )

yang termasuk ke dalam jenis film laga. Dengan corak film kejahatan,

ketegangan, kejutan, petualangan, koboi dan silat. Jika di khususkan film dengan

tema ini bisa berseri, bersambung dan berdasarkan tokoh – tokoh dalam cerita.

Bentuk dari genre film ini yaitu sport/olahraga, social welfair/kegiatan sosial,

entertainment dan games ketangkasan.

Tema yang terakhir yaitu film dengan tema spionase atau khayalan yang

terdiri dari jenis film fiksi. Corak yang dapat dari genre ini yaitu film fiksi ilmiah,

horror/misteri, tahayul/cerita setan, dan klenik/ perdukunan. Genre yang

berkembang dari tahun 1936 di Hindia Belanda dengan cerita film lokal dapat

dilihat dari tabel 2 ini.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id46

Tabel 2 Film – film Fiksi di Hindia Belanda

Tahun Judul Film Sutradara Perusahaan Film 1928 Berloemoer Tidak tercatat Tan Boen Soan Darah

1934 Doe Siloeman The Teng Chun Cino Motion Oelar Pictures 1936 Anak Siloeman The Teng Chun Java Industrial Film Oelar Poeti The Teng Chun Java Industrial Film Lima Siloeman The Teng Chun Java Industrial Film tikus Pembakaran Bio 1940 Matjan Berbisik Tan Tjoei Hock Java Industrial Film

1941 Boedjoekan Iblis Jo An Djien Populer Film Coy Elang Darat Inoe Perbatasari Jacatra Picture Garoeda Mas Lie Tek Swie Populer Film Coy Ikan Doejoeng Wong Bersaudara Standard Film Poetri Rimba Inoe Perbatasari Jacatra Film Coy Aladin Dengan Suska Tan’s Film Lampoe Wasiat Wong Bersaudara Action Film Tengkorak Hidup Tan Tjoei Hock Star Film Soera Berbisa Wu Tzun Action Film Srigala Item Tan Tjoei Hock

Sumber: JB Kristanto, 1995. Katalog Film Indonesia 1926 – 1995. Jakarta: Grafiasri Mukti. Hal 31. Berdasarkan tabel 2 di atas, Genre film Spionase dengan jenis film fiksi

khususnya pada tahun 1936 ini dengan jumlah empat film dengan corak film

tahayul seperti tabel diatas antara lain Film “Anak Siloeman”, “Oelar Poeti”,

“Lima Siloeman tikus”, dan pembakaran bio. Film dengan jenis ini cenderung

berseri. Film dengan tema ini di produksi oleh perusahaan Java Industrial Film

dibawah pimpinan sutradara The Teng Chun, dengan mengambil cerita legenda

asal Cina.

Genre film yang paling digemari masyarakat Hindia Belanda yaitu film

dengan jenis drama, film yang paling populer dapat dilihat di tabel 3.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id47

Tabel 3 Film – film Drama di Hindia Belanda

Tahun Judul Film Sutradara Perusahaan Film

1927 Euis Atjih L. Heuveldorp Java Film Co.

1928 Lyli van Java Nelson Wong Taipan Surabaya

Njai Dasima I Lie Tek Swie Tan’s Film 1929

1930 Siti/Des Ph. Carli Cosmos Film Steam das Bloed Corps

1930 Melati van Agam Lie Tek Swie Tan’s Film I, II Lie Tek Swie Tan’s Film Njai Dasima II, III

1931 Bung Roos van The Teng Chun Cino Motion Tjikembang The Teng Chun Pictures Cino Motion Pictures 1931 Indonesia Malaise Wong Bersaudara Halimoen Film

1932 Karina’s Ph. Carli Cinowerk Carli Zelfopoffering Bachtiar Effendy Tan’s Film Njai Dasima ( G. Krugers Krugers Film- bicara ) G. Krugers Bedrijf Raonah M.H. Schilling Krugers Film- Terpaksa Menikah Bedrijf ( bicara-music ) Haliomoen Film Zuster Theresia

1937 Gadis Jang The Teng Chun Java Industrial

Terjoeal Film Terang Boelan ANIF 1938 Fatima Joshua Wong Tan’s Film Oh Iboe The Teng Chun Java Industrial Tjiandjoer The Teng Chun Film Java Industrial

Film 1939 Impian di Bali Tidak Tercatat Djawa Film Siti Akbari Joshua Wong Tan’s Film 1940 Bajar Dengan R. Hu Union Film Co. Djiwa The Teng Chun Java Industrial Dasima R. Hu Film

Harta Berdarah Union Film Co. 1941 Air Mata Iboe Majestic Film Ayah Berdosa Wu Tzun Coy Asmara Moerni Rd. Arifien Star Film Djantoeng Hati Njoo Cheong Seng Union Film Coy Koeda Sembrani Wu Tzu Majestic Film Lintah Darat commit toTan user Tjoei Hock Coy

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id48

Matula Boen Kim Nam Tan’s Film Mega Mendoeng Jo An Djan Star Film Moestika Dari Anjar Asmara Action Film Djenar Wu Tzun Union Film Coy Noesa Panida Suska Populer Film Coy

Pah Wongso Njoo Cheong Seng New Java Tersangka Tidak Tercatat Industrial Film Panggilan Darah Henry L. Duarte Star Film Panjtjawarna Tan Tjoei Hock Oriental Film Poestaka Tan Tjoei Hock Oriental Film Terpendam Lie Tek Swie Tan’s Film Ratna Moetoe Yo Eng Sek New Java Manikam Rd. Arifien Industrial Film ( Djoela Djoeli Standard Film Bintang 3 ) Star Film Selendang Delima Action Film Si Gomar Action Film Singa Laoet Star Film Siti Noerbaya Union Film Tjoengwanara Wanita Satria 1942 Boenga Sembodja Moh. Said HJ Populer Film Coy Poelo Inten Tidak Tercatat Populer Film Coy 1001 Malam Wu Tzu Star Film Sumber: JB Kristanto, 1995. Katalog Film Indonesia 1926 – 1995. Jakarta: Grafiasri Mukti. Hal 30 - 32. Berdasarkan tabel 3 di atas, film dengan jenis drama memang produksi nya

semakin meningkat dari tahun 1927 sampai 1942. Setahun kemudian G. Krugers

mendirikan perusahaan film sendiri yang diberi nama Krugers Film Bedrijf.

Produksi film pertamanya, “ Eulis Atjih “. 5

Setelah film “Euis Atjih”, tidak ada lagi cerita mengenai usaha Heuveldorp

bersama Kruger. Meskipun percobaan mereka tidak mengecewakan, dipasaran

nampaknya mereka tidak berhasil dan karena modal memang tidak terlalu besar,

usaha itu terpaksa tidak bisa mereka lanjutkan.

“ Eulis Atjih ” dipertunjukan pada 1927 oleh Java Film Coy suatu drama

modern , bukan lagi cerita dongeng kuno. Menurut koran Pewarta Soerabaja,

5 M. Jusa Biran, 2009. Sejarah Film 1900 – 1950 Bikin Film di Jawa. Jakarta: commit to user Komunitas Bambu. Hal 12.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id49

pemain yang bernama Arsad dianggap mampu menghidupkan perananannya

dengan baik. Pembawa peranan Eulis Atjih terlihat cantik saat masih hidup senang

dan air mukanya berubah seperti orang desa sesudah jatuh miskin.

Ceritanya mengandung pengetahuan bagi orang Barat dan nasehat yang

berguna bagi pribumi. Jika ada seseorang pemuda boros, seperti Arsad

menyaksikan film ini, diharapkan akan berubah kelakuannya seperti yang

dilakukan tokoh dalam film tersebut. Pada masa tua, Arsjad kembali menjadi

orang baik karena sadar akan kesalahannya. Disamping itu, dalam film ini juga

disaksikan berbagai upacara adat pribumi seperti upacara kematian,pesta

perkawinan dan lain – lain.

Tiga hari sebelum pertunjukan Eulis Atjih berakhir, pewarta Soerabaja

melaporkan bahwa bioskop selalu dibanjiri penonton. Yang paling menarik yaitu

musik pengiring dari pertunjukan film ini bukan keroncong biasa, tetapi musik

pimpinan Tuan Kayoon. Masyarakat Cina, khususnya, sangat suka pada

permainan Kayoon. Bahkan tanpa film pun, pertunjukan musik ini sudah sangat

menarik, apalagi ditambah dengan pertunjukan film yang dimainkan oleh para

pemain bumiputra.

Orang –orang Tionghoa melihat peluang besar akan keuntungan berbisnis

perfilman. Wong bersaudara dengan nama perusahaannya Halimoen Film. Satu –

satu nya produksi perusahaan ini adalah film “ Lyli van Java “ yang sering juga

disebut “ Melati van Java “. Bermainnya Tionghoa peranakan dalam negeri ini,

dimungkinkan oleh kenyataan bahwa pasaran film syanghai di Hindia Belanda

memang sangat kuat. Dan karena keuntungan itu lah pula film yang mereka buat commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id50

berkisar di sekitar orang Tionghoa, dengan teks Tionghoa disamping teks Melayu.

Pemainnya juga diambil drai kalangan Tionghoa.

Film Terang Boelan adalah film hiburan yang semata – mata berorientasi

pada selera publik pribumi. Film ini tidak berprestasi untuk membuat film seni

atau mengemban idealisme. Film ini merupakan adonan dari dunia pentas.

Rempah – rempah utamanya adalah romantisme, perkelahian, nyanyian dan

lawakan. Tujuannya untuk menghibur dengan baik, membawa penonton bermimpi

indah dan melupakan kesulitan hidup sehari – hari. Supaya takaran nyanyian,

lawak dan sebagainya pas, maka diangkat saja sebagian besar bahannya dari

panggung. Pemain utama wanita digunakan , aktris yang besarnya

dipanggung dan penyanyi keroncong yang sedang mulai terkenal. Film yang

bercerita tentang percintaan muda – mudi itu langsung menjadi bintang yang

bersiar diseluruh pelosok. 6

Film “ Panggilan Darah “yang dibuat oleh Oriental Film, sedangkan

Majestik Film pada akhir 1941 sibuk menggarap Air Mata Iboe secara besar –

besaran. Dalam film ini diberikan kesempatan untuk memperlihatkan

kehebatan pemainnya. Film ini mengisahkan tragedi ibu yang disia – siakan. Film

ini berisi tidak kurang dari 11 lagu keroncong asli yang dinyanyikan oleh

penyanyi terbesar di Jawa, yakni, Soerip Soelami, Titing, Ning Nong dan

S.Poniman.

Film “Panggilan Darah” yang ditulis oleh Soeska adalah menceritakan

tentang dua anak yatim yang mandiri. Mencari penghidupan di kota dengan

commit to user 6 Ibid. Hal 203.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id51

menjadi pembantu rumah tangga yang dicaci maki, dipukul dan diperlakukan

tidak selaknya manusia. Ketika film tersebut diputar sejak Juni 1941, penonton

menengah ke atas sudah tidak suka pada film buatan dalam negeri. Sebaliknya

dikalangan penonton bawah, film Panggilan Darah ini segera menjadi

pembicaraan. Permainan Dahlia dan Soerip sangat disukai. Dahlia, yang lahir dan

besar di panggung, menaiknya produksi film secara drastis. Meskipun waktu

perkembangannya hanya sebentar dan tidak terlalu berhasil, namun adanya dialog

antara pembuat film dan golongan terpelajar juga terjadi. Suasana sosial politik

menambah kesadaran para pembuat film tentang fungsi nereka sebagai “ anak

bangsa “. Tapi dilain pihak, meski jumlah produksi film tumbuh subur, namun

para pembuat film juga sedang dalam masa “ trials and errors “ sekedar agar

dapat diterima oleh sebagian besar penonton bawah.7

Sejalan dengan perkembangan para kelompok Pribumi, berkembang pula

rumus pembuatan film dan cara untuk menarik perhatian mereka agar mau

menonton film. Rumus yang kemudian menjadi patokan selama beberapa tahun

adalah rumus yang ditiru dari keberhasilan film “Terang Boelan”. Film ini

menandai apa yang menjadi sebuah pramodel dari industri film dinegeri ini.

Bukan sekedar memperkenalkan sistem bintang, “Terang Boelan” berhasil

menciptakan pasangan dilayar yang kemudian menjadi wakil dari kisah romansa

ideal yang bisa dilihat sepanjang sejarah film Indonesia. Pasangan Raden Mochtar

– Roekiah ini menjadi bintang yang bersinar.

7 Ibid. Hal 270. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id52

Perkembangan menarik terjadi pada kelompok penonton pribumi, terutama

dengan pertumbuhan kaum intelektual sejak awal abad ke – 20 hingga dekade

1930 –an, kelompok terdidik sudah mengalami institusionalisasi, mereka sudah

memasuki dunia profesi, terlibat dalam diskusi publik mengenai bangsa,

mengelola media, mendirikan sekolah dan sebagainya. Mereka sudah menjadi

lapisan yang pelan – pelan mulai terbedakan dari perpanjangan birokrasi kolonial,

yaitu kelompok bangsawan. Kelompok terdidik ini berperan penting dalam

menentukan arah perkembangan film Indonesia kemudian.

Pertama, mereka menjadi tenaga kreatif yang menyumbang sangat besar

terhadap elemen artistik film. Generasi awal penulis cerita film ternyata berlatar

belakang wartawan dan sebagian juga terlibat dalam dunia panggung. Seperti

keberhasilan film “Terang Boelan”. Keterlibatan wartawan Saeroen sebagai

penulis cerita film ini dianggap sebagai formula tersendiri yang dikembangkan

dan digunakan terus oleh para produser film guna menciptakan film – film laris.

Maka, pra wartawan dan kritikus film cukup mendapat tempat dalam dunia film,

sekalipun mereka tidak berhasil mengubah karakter asli dunia film yang glamour

dan berkesan tidak.

Kedua, keberadaan kaum intelektual ini menarik hati para pekerja film.

Maka untuk mendapatkan pengakuan dari penonton kelompok ini, mereka

membuat film dengan menonjolkan aspek – aspek berbeda dengan film – film

yang semata ditunjukan bagin kelas pekerja. Usaha – usaha untuk menarik

penonton kelompok ini mulai dilakukan, sekalipun belum ada usaha yang

memperlihatkan hasil menggembirakan. Tingkat pendidikan ditonjolkan dengan commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id53

harapan menarik perhatian kaum intelektual sekaligus mengubah kesan orang film

yang tidak intelek.

Dalam konteks seperti ini, baik kelas pekerja maupun kaum intelektual

Hindia Belanda adalah penonton yang sama – sama didekati oleh para pembuat

film yang berbeda – beda. Para pembuat film ini mencoba mencari cara sebaik –

baiknya agar para penonton dari kelas sosial berbeda bersedia mendatangi bioskop

dan menonton film yang memang diperuntukan bagi mereka. Namun kelompok

intelektual tidak kunjung berhasil dibujuk untuk masuk ke bioskop, sekalipun film

dibuat dengan elemen menarik yang dipromosikan dengan asumsi bisa memenuhi

ekspektasi mereka.

Tabel 4 Jenis Film Laga di Hindia Belanda

Tahun Judul Film Sutradara Perusahaan Film 1926 Loetoeng L. Heuveldorp Java Film Co. Kasaroeng 1928 Resia Nelson Wong Batavia Motion Boroboedoer Picture 1929 Nelson Wong Batavia Motion

Rampok Preanger Nelsong Wong Picture Halimoen Film 1930 Lie Tek Swie Tan’s Film

1931 Si Pitoeng Wong Bersaudara Halimoen Film

1933 Delapan Djago The Teng Chun Cino Motion Pedang The Teng Chun Pictures Delapan Wanita Cino Motion Tjantik Pictures

1935 Aang Hai Djie The Teng Chun Java Industrial Albert Balink Film Tie Pat Kai The Teng Chun Java Pasific Film Kawin Tidak tercatat Java Industrial Poe Sie Giok Pa Film Loei Tay Yo Kim Tjan

1939 Alang – alang The Teng Chun Java Industrial Gagak Hitam Joshua Wong Film Resia Si Pengkor The Teng Chun Tan’s Film commit to user Java Industrial Film

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id54

1940 Kedok Tertawa Jo An Djan Union Film Co. Kris Mataram Njoo Cheong Seng Oriental Film Coy Mealati van Tan Tjoei Hock Java Industrial Agam Tidak Tercatat Film Pah Star Film

WongsoPendekar The Teng Chun Java Industri Film Boediman Joshua Wong Tan’s Film Joshua Wong Tan’s Film Roekihati The Teng Tjoen Java Industrial Sorga Ka Toejoeh Njoo Cheong Seng Film Sorga Palsoe Oriental Film Coy Zoebaedah Sumber: JB Kristanto, 1995. Katalog Film Indonesia 1926 – 1995. Jakarta: Grafiasri Mukti. Hal 32-33. Berdasarkan Tabel 4 di atas, film genre dengan jenis film action yang penuh

kekerasan seperti film Amerika jenis Cowboy, Eddie Polo sangat populer dengan

julukan “ Raja dari Segala Jago Seri “. Film action itu berseri. Maka melihat

perkembangan film action yang ada Pengusaha bioskop tidak mau bikin pusing

pelanggannya yang masih “ primitif “, cukup disebutkan judul yang menarik,

seperti serial Oedjan Djotosan. Jotosan artinya tonjokan. Film penuh perkelahian

yang berseri 12 film itu merupakan box office pada 1924. Para pemainnya

memang tukang jotosan, yakni James Jeffries, mantan juara tinju kelas berat.

Maka jotosan – jotosan dalam film itu jumlahnya seperti hujan adalah betul –

betul banyak. 8

Di samping film Cowboy dan bandit yang dipenuhi “ hujan jotosan “,

masih ada film action lainnya, yakni film aksi main anggar, seperti film Monte

Carlo, film tegang Adoe Mobil dan Radja Pemboeian.

Perkembangan film genre pun semakin banyak terlihat di Hindia Belanda

ketika film cerita dengan tema Legenda Jawa Barat dibuat oleh Heuveldop,

8 JB Kristanto, 1995. Katalog Film Indonesia 1926 – 1995. Jakarta: Grafiasri commit to user Mukti. Hal 34.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id55

seorang Belanda, yang oleh pemerintahnya ditugaskan untuk membuat film-film

dokumenter ternyata lebih tertarik untuk membuat film cerita yang tema, lokasi,

dan semua pemainnya adalah pribumi. Untuk mewujudkannya cita-cita itu, ia

bekerja sama dengan Kruger (seorang Jerman) di bawah bendera Perusahaan Java

Film Company di tahun 1926. Dampak positif dari pergelaran tersebut adalah

menjadi populernya kembali nyanyian – nyanyian Sunda lama. Orang memainkan

musik kecapai dan suling dimana – mana. Di setiap Kabupaten, ada lima sampai

enam perkumpulan musik Sunda. Sejalan dengan berkembangnya kesenian, maka

industri alat musik Sunda juga tumbuh dan dibuat lebih modern.

Permulaan pembuatan film cerita lokal membuka babak baru pada tanggal

27 Desember 1926 oleh L. Heuveldorp dan G. Krugers dibawah perusahaan milik

nya yaitu NV Java Film Company . Mereka membuat film cerita berdasarkan

cerita rakyat sunda “ Loetoeng Kasaroeng “. Heuveldorp yang menjadi sutradara

merangkap produser, sedangkan G. Krugers menjadi penata kamera. Film cerita

pertama ini diputar pertama kali di Elita dan Oriental Bioscoop, Bandung. 9

Menggunakan pemain Tionghoa kemudian juga terlihat lagi dalam film “

Si Tjonat “. Tontonan ini merupakan produksi pertama Batavia Motion Picture

Company. Perusahaan baru itu didirikan bersama Wong bersaudara dengan

seorang pemilik modal dari kalangan Tionghoa peranakan, Jo Eng Sek. Ini terjadi

setelah Wong bersaudara berpisah dengan David Wong akibat kegagalan film Lyli

van Java Tahun 1928, tiga bersaudara itu mencoba menghidupkan kembali

9 Ibid. Hal 39. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id56

Halimoen Film lewat film Rampok Parianger, film yang dibuat dengan resep “ Si

Tjonat “y ang sukses, ternyata berakhir dengan kegagalan.

Di tahun 1929 tiga perusahaan baru muncul. Tapi yang terpenting adalah

Tan’s Film. Sebuah perusahaan yang pada jaman film bersuara masih akan terus

membuat film. Nansing Film Corp, yang juga berdiri di tahun 1929, hanya

berhasil membuat sebuah film “ Resia Boroboedoer “, untuk kemudian bangkrut.

Ini lantaran biaya yang terlalu banyak, untuk mendapatkan seorang artis Sanghai,

Olive Young, untuk memegang peran utama.

Produksi film bicara di Hindia Belanda baru dimulai pada tahun 1931.

Salah satu pelopor yang memproduksi film bicara ialah seorang bernama Teng

Choen, yang memproduksi film bicara dengan cerita Sanghai yang bertema

Legenda. Dari perusahaan filmnya " Cino Motion Picture ". Teng Choen

menghasilkan film-film "Sam Pek Eng Tay" (1931), "Pat Bie Fo" (1932), "Pat

Kiam Hiap" (1933), "Oiw The Tjoa" (1934), "Lima Siloeman Tikoes" (1935), "See

You Ang Nai Djie" (1935), "Ouw The Tjoa II" (1936), dan "Hoa Lian" (1937).

Cino Motion Picture yang mengalami perkembangan mulai tahun 1935 namanya

10 diganti menjadi The Java Indus-trial Film Co (JIF) .

Adapun film “Zoebaida” yang dibuat pada tahun 1940 oleh perusahaan

Oriental Film Coy mengangkat cerita model Timoeriana karya Nyoong Cheong

Seng yang pernah sukses dipanggung, yakni cerita khayalan dalam lingkungan

suku primitif di daerah Kupang Timor. Nyoong Cheong Seng yang unggul dalam

10 Armijn Pane. 1953. Produksi Film Tjerita di Indonesia; Perkembangannja

sebagai Alat Masjarakat. Jakarta: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Hal 16. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id57

segi dialog dengan nuansa romantis dan puitis. Menurut penonton terpelajar

bahwa dialog film Cheong Seng itu berbau stambul. Sedangkan judul “Rentjong

Atjeh” yang dibuat pada tahun yang sama 1940 dengan sutradara Joshua Wong

bercerita tentang pusaka sakti yang dipakai untuk berkelahi dengan kepala Bandit.

Tokoh utama mengigit pisaunya, sperti tokoh Tarzan dalam film Amerika yang

sering mengigit pisaunya kalau sedang berayun atau berenang mengejar buaya.

Sedikitnya genre film komedi yang di produksi di Hindia Belanda hanya

dari tahun 1930 – 1931 sperti pada Tabel 5 dibawah ini.

Tabel 5 Film Komedi di Hindia Belanda

Tahun Judul Film Sutradara Perusahaan Film 1930 Karnadi Anemer G. Krugers Krugers Film– Bangkok Bedrijf

1930 Lari Ka Arab Wong Bersaudara Halimoen Film

1931 Atma De Visher ( G. Krugers Kruger Film Bedrijf bersuara )

1931 Sinjo Tjo’main di M.H. Schilling Halimoen Film Film

Sumber: JB Kristanto, 1995. Katalog Film Indonesia 1926 – 1995. Jakarta: Grafiasri Mukti. Hal 36.

Berdasarkan Tabel 5 di atas, film dengan jenis komedi tidak begitu pesat

produksinya. Sutradara Krugers yang dulu memelopori membuat film, di tahun

1929 muncul kembali dengan perusahaan miliknya sendiri, Krugers Film Bedrijf.

Tetapi baik filmnnya yang berjudul Atma de Visser ( 1931 ) maupun yang

berjudul Amat Tangkap Lodok ( 1930 ), semuanya tidak menghasilkan uang.11

11 JB Kristanto. Op.cit. Hal 36 – 37.commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id58

Film – film di Indonesia yang diputar pada paruh pertama 1941, umumya

buatan akhir 1940, dilecehkan begitu saja. Film dalam negeri mereka nilai

hanyalah tidak lebih dari hiburan murahan hasil tiruan. Dalam tulisan – tulisan

para tokoh pergerakan dan cendikiawan mengenai film Indonesia lewat tengah

tahun 1941, hampir tidak ada yang mengungkapkan kemajuan yang telah dicapai

oleh film – film Indonesia, meskipun hanya sebagai pendorong saja. Adapun

harapan – harapan yang mereka lontarkan semakin melambung ke balik awan. Ki

Hajar Dewantara menganjurkan agar film bisa menjadi media pendidikan.

Dipihak lain, mereka yang berada dalam dunia film seperti terperangkap

tidak berdaya dalam pola selera dan cara berfikir sub kultur orang panggung –

yang mendominasi dunia ini. Meskipun ada keinginan kuat untuk memenuhi

tuntutan kaum terpelajar, tetapi film yang mereka garap orientasinya lebih berat

kepada tingkat penonton panggung. Orang luar yang masuk dunia film seperti

terbius dalam perangkap subkultur orang panggung tersebut. 12 Keadaan seperti

itu jumlah produkasi film mengalami kenaikan yang berarti. dari keseluruhan film

yang diproduksi pada masa itu jelaslah bahwa ceritanya selalu berorientasi kepada

film-film asing.

Terpenting dari sejarah awal film Indonesia ini adalah usaha mendekati

penonton yang mulai referensi sekenanya mengingat para pelaku film pada masa

kolonial tidak banyak memiliki rujukan. Beberapa dari mereka pernah bekerja di

negeri asing atau bersekolah di sekolah film, tetapi pada dasarnya apa yang

dipakai untuk membuat film di Hindia Belanda ketika itu sepenuhnya coba – coba

12 Misbach Yusa Biran. Op.cit. Halcommit 260 – to261. user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id59

dengan harapan bisa mengena bagi penonton. Rumus atau formula mulai

ditemukan ketika sukses demi sukses terjadi. Semua pada dasarnya merupakan

usaha uji coba ( trial and error ) yang sambung menyambung demi untuk

mendatangkan penonton, baik penonton dalam pengertian ( masa sekarang )

sebagai konsumen yang datang membeli tiket maupun penonton dalam pengertian

publik yang datang karena tertarik pada gagasan yang dibawa oleh film.

Mengacu pada perkembangan film, tidak dapat terlepas dari keadaan

masyarakat kolonial saat itu, terutama di Batavia dengan struktur sosial

masyarakat dibagi ke dalam tiga golongan yaitu golongan Eropa, Timur Asing

dan Pribumi. Ketiga kelompok ini menjadi sasaran dari para pembuat film.

Masing – masing golongan didekati dengan cara berbeda. Salah satu nya adalah

dengan mengadaptasi cerita rakyat dan cerita populer, terutama untuk penonton

Pribumi dan penonton kalangan Cina.

Adapun untuk kelompok penonton Eropa, gambar – gambar eksotik dan

keindahan alam dijadikan unggulan. Beberapa film dibuat dengan mengincar

pasar orang Eropa yang berada Eropa. Maka, kehidupan sehari – hari dan

pemandangan pun di filmkan dengan harapan menarik perhatian orang Eropa

yang belum pernah melihat negeri jajahan. Namun pendekatan terakhir ini tidak

berhasil menarik perhatian penonton di Hindia Belanda, yang tidak bisa melihat

dimana letak daya tarik kehidupan sehari – hari dijadikan film.

Pada awalnya, film bagi kaum pribumi umumnya ditunjukan bagi kelas

pekerja, para pembuat film – selain mengambil cerita rakyat – menggunakan jurus

yang sudah dikenal ampuh bagi kelompok ini, yaitu mengadopsi pertunjukan commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id60

panggung atau tonil. Cerita berasal dari tonil dari para bintang dari berbagai

kelompok tonil memenuhi layar film. Elemen – elemen yang ada dalam tonil

dipindahkan ke dalam film guna menjadi daya tarik utama bagi penonton kelas

pekerja. Musik, tarian dan perkelahian serta adegan – adegan sensasional menjadi

milik medium film – termasuk pemandangan indah dan eksotik adalah formula

yang digunakan berulang – ulang. Namun demikian, tidak seluruh film yang

menggunakan elemen – elemen panggung berhasil mendatangkan banyak

penonton. Rumus demi rumus terus dicari dan dikembangkan.

Dalam artikel yang ditulis oleh Danilah dalam majalah “ Pertjatoeran

Doenia dan film “ Tahun 1941 dengan judul “ Film sebagai Alat Pendidikan “,

menerangkan bahwa menilik film – film yang telah ada sesungguhnya ada

harapan akan diteruskannya faham Ketimuran yang pada saat itu menjadi

perhatian bagi kaum terpelajar. Sesungguhnya jika diusahan dengan baik maka

film bisa menjadi kesenian yang besar bagi bangsa kita. Bukan karena adanya

perusahaan film yang dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat

banyak, akan tetapi dapat dijadikan alat pendidikan rakyat. Hal ini didasarkan

terutama karena penduduk Hindia Belanda yang mayoritas penduduk pribumi asli

kalangan bawah tidak dapat membaca atau buta huruf. Oleh karena itu film dapat

dijadikan alat untuk menunjukan jalan terang untuk membuka wawasan dan

pengetahuan bagi mereka yang buta huruf dan tidak pernah mengenyam bangku

pendidikan.

Perkembang seni pertunjukan, film tidak hanya orang menyediakan cerita

yang menghibur penonton semata, namun dibalik itu banyak terkandung pelajaran commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id61

- pelajaran yang baik. Melalui film ini mereka yang buta huruf dapat mengetahui

berbagai hal yang didapatkan dari sajian yang dilihatnya. Pengaruhnya film lebih

besar lebih besar daripada pengaruh buku – buku, karena apa yang dilihat itu lebih

dirasa dan diingat daripada apa yang dibaca. Sedangkan pengetahuan -

pengetahuan yang terdapat dalam buku hanya dapat diketahui oleh orang – orang

yang pandai membaca.

Bentuk pertunjukan seni, pengenalan budaya Barat ini mau tidak mau

membawa anak – anak pribumi melihat bentuk seni pertunjukan yang

meninggalkan kaidah – kaidah tradisional. Salah satu bentuk seni yang dikenal itu

adalah film. Seperti yang termuat dalam majalah “ Doenia Film “ tanggal 8

Oktober 1941 dibawah ini :

Manakala public, istimewa public bangsa kita soedah dapat moelai melihat dan berfikir dengan kritis ; dengan lain perkataan bangsa kita telah bisa memilih film jang cocok, pantas dan lajak untuk dipersaksikan, agar dapat meletakkan penghargaan itoe pada tempat yang selarasnja, maka kesanalah maksoed tulisan ini. Dengan demikian dapat dibedakan stimulans, soeatoe 13 alat baroe untuk takaran majoe moendoernja masjarakat “.

Bahwa film dapat dijadikan barometer atau pengukur masyarakat dalam

evolusinya. Orang telah mengerti bahwa setiap film yang dipertunjukan dihadapan

khalayak ramai, ada mempunyai kecenderungan dan wujud cerita tersendiri.

Sebanyak cerita film yang dipersaksikan diatas layar putih, sebanyak itu pula

penglihatan publik yang kemudian dapat mendatangkan kesan kepada mereka,

pengaruh – pengaruh positif dan negatif nya film yang disajikan.

13 Monami Ariva, “ Film adalah Barometer Masyarakat “, Doenia Film. No. 8 ( commit to user 1941 ), Hal 112.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id62

Kesempatan untuk menjadi penonton aktif di bioskop bagi para pribumi,

mulai dari beragam tingkatan sekolah ini terjadi karena kebutuhan akan tempat

hiburan saat malam hari. Ini dimungkinkan karena hubungan wanita dengan pria

ketika itu, di Batavia, tidak seketat di daerah lainnya. Pada setiap malam minggu

pertemuan remaja pria dan wanita sering daiadakan yang dilanjutkan dengan acara

menonton pertunjukan film di bioskop.

Hindia Belanda dimulailah suatu Era pembuatan film-film cerita yang

dipelopori oleh orang-orang Tionghoa yang memang sudah menguasai 85%

perbioskopan. Orang-orang Tionghoa itu melihat prospek yang dapat

menguntungkan, maka lahirlah film-film yang di antaranya ialah : "Lily van Java"

(1928) produksi Halimoen Film, "Naik Djadi Dewa" (1927), "Si Tjonat" produksi

Motion Picture, "Rampok Preanger". "Lari Ka Arab", "Atma de Visser" (1929),

dan "Amat Tangkap Kodok" (1930) produkasi Kruger Film Bedrijf, "Resia

Borobudur" (1929) produkasi Nancing Film Corp, "Nyai Dasima" (1929), "Nyai

Dasima II" (1930) keduanya produksi Tan's Film .14

Rupanya pembuatan film yang berasal dari cerita yang sudah dikenal

mulai dijadikan resep dalam menjaring penonton. Film “ Si Tjonat “ dan “ Nyai

Dasima “ berhasil menyedot penonton dalam jumlah yang banyak. “ Si Tjonat “

adalah cerita populer masa itu baik di kalangan peranakan maupun pribumi.

Film "Nyai Dasima", cerita ini sudah terkenal bahkan sudah dianggap

legenda di masyarakat. Cerita ini merupakan karya sastra baik dalam bentuk

prosa, novel, dan sudah ratusan kali di pentaskan di atas panggung.

commit to user 14 Salim Said. 1982. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers. Hal 28.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id63

Ciri yang paling dominan dari pembuatan film pada 1940 adalah berusaha

menggunakan resep “Terang Boelan” yang telah disukses dan tumbuhnya

keinginan agar film yang mereka buat bisa diterima juga oleh kalangan baik –

baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menyambut imbauan kemajuan yang

dituntut oleh perkembangan pergerakan nasional.

Produksi Star Film, yang disutradarai oleh produsernya sendiri, Yo Eng

Sek, diharapkan bisa menarik publik kelas atas melalui pemainnya L.V.

Wijnhamer Jr. Ceritanya adalah Pah Wongso Pendekar Boediman. Fim ini adalah

roman detektif modern pertama dalam di Hindia Belanda.

Pada waktu itu, film detektif buatan Amerika memang sedang populer

dengan tokoh utamanya, sang detektif, yang bernama Charlie Chan dan Mr.

Motto. Adapun L.V. Wijnhamer Jr. Adalah orang Indo Belanda yang terkenal

dengan nama samaran “ Pah “ ( maksudnya pak ) Wongso. Ia adalah pekerja

sosial yang banyak membantu anak – anak terlantar. Film ini bercerita tentang

penghianatan cinta yang tidak terbalas, cerita yang penuh rahasia, akal picik dan

penuh dengan perkelahian. Untuk membuat adegan perkelahian menjadi begitu

sengit dan nampak seperti sesungguhnya, maka disertakan sejumlah jago tinju,

gulat dan silat dibawah pimpinan Primo Oesman, yakni pegulat Indonesia yang

pernah mengembara ke negara – negara tetangga seperti Malaya. Pemasaran film

pertama dari Pah Wongso dan Elly Yunara itu mendapat sukses besar.

Beberapa film produksi 1940 tidak mencoba menarik perhatian

penontonkelas atas. Contoh dari film demikian ialah “Sorga ka Toedjoe” dan

Roekihati produksi Tan’S Film, “Kris Mataram” dan “Zoebaida” produksi commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id64

Oriental Film serta “Rentjong ” dan “Soerga Palsoe” keluaran JIF. Semua

itu tetap hanya ingin mendapat penonton pribumi kelas bawah.

Film “Roekihati” produksi Tan’s Film berpihak kepada orang kampung

dan mengkritik yang modern. Menurut film ini penting bagi seorang isteri adalah

kesetiaan, kecintaan dan budi luhur. Menekankan bahwa Roekihati

yang tidak terpelajar, tapi ia punya budi pekerti yang halus dan kelakuan yang

lemah lembut, jujur dan bisa menunjukan sikap patuh terhadap mertua.

Produksi Oriental Film pada 1940, “Kris Mataram” dan “Zoebaida”,

semuanya mengandalkan popularitas Fifi Young di panggung dan sukses Nyoo

Cheong Seng sebagai pengarang cerita tonil. Penonton yang dituju hanya

pengegmar tonil saja, dengan sedikit tekanan pada khalayak cinta. Pada kedua

film itu, tidak ada yang ditonjolkan untuk menarik perhatian penonton atau

masyarakat kalangan atas.

Andalan Tan’s Film hanyalah Roekiah sang aktris yang ditunjang dengan

dengan , sang suami. Mereka tidak melupakan resep TB, aeperti nyanyian,

pemandangan, perkelahian dan sebaiganya. Semua ini tidak diupayakan agar

terlihat lebih modern dari penyajiannya yang sudah – sudah.

Dalam film “Kris Mataram”, Cheong Seng sebetulnya menyinggung hal

yang mulai penting pada masa itu, yaitu pertikaian natara “ kolotisme “ dan “

modernisme “, “ kebaratan “ dan “ ketimuran “serta putra – putri modern lawan

ibu bapak kuno. Menceritakan gadis modern R.A. Rosmini yang dibawa lari oleh

kekasihnya Bachtiar karena hubungan mereka tidak disetujui oleh orang tua

Roosmini yang kolot. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id65

Seniman film telah berusaha keras untuk diterima penonton kelas atas,

yakni kalangan Pribumi terpelajar. Namun dimata penonton terpelajar, mutu film

buatan dalam negeri dinilai jauh dari harapan. Ukuran yang mereka gunakan

adalah film Barat yang sudah begitu maju. Sehingga mayoritas penonton film

dalam negeri adalah masyarakat lapisan bawah.

B. Persaingan Industri Perfilman di Batavia Tahun 1900 - 1942

Semenjak film diperkenalkan di Hindia Belanda , maka yang memegang

peranan utama dalam hal – hal perfilman adalah selalu orang asing. Mula – mula

didahului oleh beberapa orang Eropa kemudian diteruskan, terutama sekali oleh

orang – orang Tionghoa.

Munculnya Bioskop – bioskop di Batavia ini semakin memperlihatkan

kehidupan sosial masyarakat perkotaan di Batavia. Perkembangan kota yang

semakin maju dan kebudayaan asing yang semakin menyebar kedalam semua

kalangan masyarakat di Batavia.

Bertambahnya tempat pertunjukan film atau yang dikenal dengan nama

bioskop ini menyebabkan meningkatnya pula jumlah importir film. Pada tahun

1900 di Batavia baru terdapat satu importir film. Kemudian pada tahun 1905

berkembang menjadi tiga importir, yaitu American Animatography,

Nederlaandsch Indie Biograph Compagne dan The Royal Bioscoope sampai tahun

1920 –an pertunjukan film bisu berkembang dengan pesat yang didominasi oleh

film – film produksi Universal Hollywood Amerika Serikat. Keadaan ini

dimungkinkan karena perusahaan Universal adalah satu – satu nya perusahaan commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id66

yang mampu membuat film cerita bisu dan film dokumnter. Amerika Serikat

15 sangat kuat dalam peredaran film di Hindia Belanda.

Pada saat itu apa yang disajikan bioskop masih sangat sederhana dan

bahannya hanya itu – itu saja, yang berkali – kali diulang. Selain itu perhatian

orang terutama kalangan terpelajar, terhadap politik semakin tinggi dengan makin

berkembangnya proses Kebangkitan Nasional. Perang menentang kekuasaan

kolonial pun masih terus berlangsung dibeberapa wilayah.

Goyangnya tatanan masyarakat pribumi Jawa ini, menumbuhkan

kesadaran baru yang tersiram pula oleh lahirnya berbagai ketidakpuasan dibanyak

wilayah. Politik etis yang diterapkan Belanda pun, mulai ramai dikecam sejak

tahun 1914 sebagai telah gagal. Pemberontakan sebagai ekspresi ketidakpuasan

terhadap perbedaan kesahteraan yang sangat mencolok, antara golongan pribumi

dengan golongan asing, pecah dimana – mana. Keadaan kemudian bergerak ke

arah yang radikal, maka bioskop timbul tenggelam di tengah situasi yang tidak

menguntungkan itu.

Gambar idoep yang sering dipertunjukan di dalam bangunan berdinding

gedek beratap seng, yang didirikan di lapangan terbuka yang selalu berpindah –

pindah lokasi dan sering juga suatu bangunan difungsi gandakan sebagai tempat

pertunjukan film.

Orang cepat bosan karena gambar idoep yang ditampilkan tidak

mengandung cerita melainkan film dokumenter dan itu pun tidak dilengkapi

dengan media audio. Apalagi, harga tanda masuk kelas satu f2, kelas dua f1, dan

commit to user 15 M. Sarief Arief. Op.cit. Hal 16 – 17.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id67

kelas tiga f0.50, yang hanya dapat dijangkau kalangan menengah ke atas saja,

yaitu orang – orang cina dan kaum penjajah. Sedangkan bagi masyarakat kalangan

menengah ke bawah hal itu dirasa cukup berat.

Kehidupan ekonomi masyarakat Batavia pada tahun – tahun tersebut

terutama lapisan bawah merupakan ekonomi informal, yang lahir dari tradisi pasar

tradisional dimana kegiatan ekonomi dilakukan secara interaktif; dimana barang

atau jasa dijajakan di tempat strategis (kaki lima, persimpangan jalan atau di pusat

keramaian) atau dijajakan dari rumah ke rumah (asongan). Penduduk pribumi

mendapatkan penghasilan berdagang dari hasil bumi, produksi kerajinan, dan

pemberian pelayanan, seperti mengemudi sais atau kusir kereta sado, kuli,

penjahit, tukang sepatu, tukang kayu, pembatu rumah tangga, binatu/tukang cuci

pakaian, pembuat pelana dan pedati, buruh diindustri rakyat, yaitu memproduksi

topi dan kaset. Diantara mereka ada juga yang menjadi pegawai kantor rendahan,

seperti pengatar surat dan pegawai kantor, sedangkan yang lain melakukan usaha

sendiri, seperti pedagang keliling. Mereka ini biasanya tinggal dikampung yang

berdekatan dengan daerah tempat tinggal orang Eropa.

Pendapatan kalangan bawah ini tidak tetap, kerena pekerjaan mereka

serabutan dan hanya cukup untuk makan. Pendapatan mereka sering tidak

mencukupi untuk makan maka mereka terpaksa makan gandum, bongkol pisang

dicampur dengan pepaya muda untuk mengisi perut.16 Dapat dirasakan bahwa

pendapatan masyarakat kalangan bawah ini pun menjadi salah satu faktor sulitnya

16 Proyek Penelitian dan Pencatatancommit Kebudayaan to user Daerah, Sejarah DKI Jakarta 1957. Jakarta: Pendidikan dan Kebudayaan. Hal 155.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id68

hiburan seperti bioskop dijangkau oleh mereka yang penghasilannya pas – pasan

bahkan kurang untuk bisa memenuhi kebutuhan pokok.

Selain faktor tinggi nya harga tanda masuk yang sulit dijangkau

masyarakat kelas bawah, gambar yang disajikan pun belum dapat dinikmati secara

sempurna. Sering bergetar dan bergoyang, hingga membuat mata lelah dan sakit.

Akibatnya, bioskop pertama di Hindia Belanda ini dengan cepat kekurangan

penonton. Tingkat pendapatan penduduk yang sangat rendah, akhirnya memaksa

pengusaha bioskop ini mengelurakan iklan penurunan harga tanda masuk kurang

dari sebulan sejak pertama kali beroperasi. Tepatnya, 31 Desember 1900 yang

mengumumkan penurunan harga tanda masuk mulai 1 Januari 1901 bayarannya

dikurangin. Kelas satu f1.25, kelas dua f0.75 dan kelas tiga f0.25. disamping

pengumuman itu, terdapat pula tambahan pembayaran buat satu anak f0.25.17

Terjadinya penurunan harga tanda masuk itu, animo terhadap bioskop

sedikit meningkat, hingga dapat terus berjalan. Orang umumnya datang untuk

menyaksikan benda ajaib yang diiklankan dan menjadi buah bibir itu. Selain itu,

nonton bioskop termasuk bergengsi, terutama karena ini jenis hiburan baru dan

menjadi konsumsi orang berduit. Belum lagi, dengan nonton bioskop, para

inlander merasa naik harga karena bisa duduk bersama dengan sinyo dan noni –

noni yang waktu itu mempunyai kedudukan paling tinngi dalam starata sosial

masyarakat Hindia Belanda.

17 Haris Jauhari, 1992. Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal 5. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id69

Menyadari pembagian kelas ini bermanfaat untuk menjaring penonton

pribumi yang merupakan pasar paling potensial, Belanda kemudian

memapankannya dengan asumsi penonton dapat memilih tanda masuk yang

sesuai dengan kemampuan daya belinya. Namun, pembagian kelas ini tampaknya

membuat pengusaha bioskop agak pusing, mengingat kebanyakan penonton

memilih kelas yang lebih murah.

Setelah berjalan beberapa lama, formula baru ditemukan. Keluarlah iklan

The Rojal Bioscope di surat kabar Bintang Betawi tahun 1903. Pembagian kelas

bertambah. Mulai dari f2 kelas satu, f1 kelas dua dan kelas tiga ( buat orang Slam

dan Jawa saja ) f0.25. Dengan pembagian kelas yang bersifat rasial ini, pengusaha

memastikan tak ada lagi penduduk yang bukan orang Islam dan Jawa atau pribumi

yang duduk di kelas terendah. Orang Cina, Eropa, dan India, berdasar ketentuan

ini harus masuk di kelas dua ke atas. Dengan demikian, mereka yang berstatus

sosial dan pendapatan lebih tinggi, tentu akan memilih kelas yang lebih atas.

Ketentuan dalam pembagian kelas dan harga tanda masuk baru ini,

mengatrol pendapatan bioskop. Namun, bagi para kolonial, pembagian kelas

tersebut mereka restui tampaknya bukan semata – mata karena alasan ekonomi.

Lebih jauh, pembagian kelas tersebut mencerminkan usaha mereka memaparkan

pula susunan masyarakat jaman ini yaitu dengan meletakkan masyarakat Belanda

dan Eropa di puncaknya, kemudian masyarakat Timur Asing ( vreemde

18 oosterlingen ), dan bumiputra ( inlanders ) diposisi paling bawah.

commit to user 18 Ibid. Hal 7.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id70

Kalangan Timur Asing, terutama Cina, pada waktu ini memang telah

memiliki daya beli yang lebih baik dibandingkan bumiputra. Mereka umumnya

para saudagar yang sudah berperan dalam perekonomian Hindia Belanda,

terutama di Jawa sejak awal abad 19. Hal tersebut menyebabkan pembagian kelas

di bioskop, kaum Timur Asing tidak termasuk kategori yang patut disebut secara

khusus. Justru mereka harus membeli karcis yang lebih mahal dari kaum pribumi.

Formula ini dijalankan selama beberapa waktu dan membuat bioskop

dapat berkembang. Namun, perkembangan tersebut belum cukup memuaskan,

hingga dengan berbagai cara pengusaha bioskop mencoba meningkatkan

pendapatannya. Hal itu terlihat dari gencarnya iklan bioskop di surat kabar, yang

rata – rata berisi ajakan secara persuasif agar orang mau datang dan menonton.

Apalagi, kemudian datang pula saingan berupa berdirinya bioskop baru di tahun

1904. Biograph Compagnij, yang datang dari Bombai, membangun bioskopnya di

Tanah Lapang Manggabesar, dengan harga tanda masuk yang berbeda. Kelas satu

f1.50, kelas dua f0.75, dan kelas tiga f0.25. khusus anak umur 10 tahun ke bawah

dan militer berpangkat officer kelas satu f1 dan kelas dua f0.50.19

Setahun kemudian, American Animatograph hadir di gedong Kapitein Tan

Boen Koei di Kongsi Besar, dengan janji ambisisus menyajikan gambar idoep

paling bagus, paling terang, paling tetap ( tidak goyang, tidak bergetar ). Harga

tanda masuk ditentukan f0.25 untuk orang Cina dan f0.10 untuk orang Islam.

19 S.M. Ardan, 1992. Dari Gambarcommit Idoep toke userSinepleks . Jakarta: GPBSI. Hal 7.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id71

Lebih unik lagi, bioskop ini menjanjikan tidak mencampur tempat duduk

20 perempuan dan laki – laki.

Pemisahan tempat duduk ini memenuhi asumsi bioskop sepi karena

penonton pribumi yang menjalankan ajaran islam dengan ketat enggan datang ke

tempat yang mencampurkan lelaki dengan wanita yang bukan muhrimnya. Hal

tersebut sudah bukan rahasia umum lagi, pada waktu itu bioskop dianggap tempat

maksiat karena pria wanita duduk berdampingan di dalam ruang gelap.

Bertambahnya jumlah bioskop, munculah persaingan yang main ketat

untuk merebut jumlah penonton yang masih terbatas karena faktor ekonomi. The

Rojal Bioscope, sebagai perintis dan menjadi bioskop pertama di Hindia Belanda,

tidak mau kalah oleh para pendatang baru. Untuk itulah, di tahun 1905, ia

memperkenalkan gambar idoep yang bisa bicara.

Berbagai cara masih terus dilakukan para perintis perbioskopan negeri ini,

untuk dapat meletakkan dasar yang kokoh bagi perkembangan seterusnya. Namun

keterbatasan teknologi menjadi hambatan. Bioskop menjadi kurang mampu

menyedot jumlah penonton yang memenuhi syarat secara terus menerus, hingga

sering dipertunjukan tidak dilangsungkan selama beberapa waktu.

Kondisi seperti ini berlangsung terus hingga sekitar tahun 1919. Bioskop,

sampai masa itu, masih memperlihatkan wajah yang suram dan sulit berkembang.

Keadaan ini, sebaliknya memberi peluang pada toneel Melayu yang terus melaju,

hingga kadang ia dimainkan orang disebuah gedung bioskop, saat tidak ada

pemutaran film.

20 Ibid. Hal 7. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id72

Situasi perbioskopan memang terus muram hingga sekitar tahun 1919.

Pergolakan dalam negeri makin tajam dan hubungan dengan Eropa mulai

mengalami gangguan sejak Perang Dunia I pada tahun 1914 – 1918. Pada saat itu

bisnis perfilman tidak banyak dilirik. Selain teknologinya yang masih asing,

biayanya pun dianggap tidak layak untuk mendatangkan untung. Apalagi

kedudukan bioskop masih kalah jauh dengan tonil yang berkembang pesat karena

digemari masyarakat.

Tonil dan operet berkembang pesat mengarungi masa keemasannya.

Sedangkan bioskop terus berkutat untuk dapat bertahan hidup dan secara perlahan

mengembangkan diri pula. Beberapa bioskop baru didirikan orang di Batavia,

Surabaya, dan Semarang. Ia tetap berdiri sebagai barang tontonan yang mewah

dan bergengsi. Penontonnya memang hanya terbatas, terutama orang – orang

Eropa, Cina, dan kalangan orang – orang berduit, yaitu golongan priyayi dan

ningrat. Namun, lapisan ini makin lama makin meluas juga, hingga menjelang

tahun 1916, pemerintah Hindia Belanda mulai melihat adanya gejala pengaruh

bioskop terhadap masyarakat penontonnya.

Bagi kebanyakan penonton, gambar yang mereka saksikan di layar perak

adalah budaya asing yang lebih unggul, yang telah berhasil melebarkan sayap dan

menjajah Hindia Belanda. Kenyataan ini membuat cemas pemerintah.

Dikuatirkan, film akan mengubah perilaku penduduk pribumi. Selain perubahan

perilaku, pemerintah jajahan tampaknya mengkuatirkan pula pandangan

masyarakat jajahan terhadap diri mereka. Bioskop dan film secara tidak langsung

telah membuka mata penonton pribumi tentang sifat sifat asli bangsakulit putih. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id73

Hindia Belanda masih bergolak, saat perjanjian damai yang mengakhiri

Perang Dunia I ditandatangani di Versailles, 1919. Pengaruh langsung perang ini

memang tidak serta merta terasa di Hindia Belanda. Bioskop dan usaha perfilman

malah semakin berkembang. Masuknya modal Cina peranakan ke dunia bioskop

telah menggairahkan sektor ini, hingga dibeberapa daerah orang membangun

bioskop pula, seperti di Lampung dan Pekan Baru. 21

Setahun setelah itu , hiburan yang satu ini makin menggairahkan dengan

masuknya film – film Cina sebagai variasi, melengkapi film Amerika dan Eropa

yang sejak awal mendominasi bioskop. China Moving Picture alias China Film

Co. Pertama kali memperkenalkan Li Ting Lang yang diangkat dari cerita revolusi

di Tiongkok, Juli tahun itu. Sedang maraknya dunia film dan bioskop dinegeri ini,

perkembangan baru terdengar dari dunia luar. Amerika telah berhasil membuat

film bicara atau talking picture, yang dimulai dengan eksperimen lewat film Don

Juan tahun 1925 dan diputar di New York mulai 6 Agustus 1926.

Kruger dan Carli adalah salah satu pelopor yang telah berjasa, pendorong

orang – orang Tionghoa untuk bergerak dalam dunia film terutama karena

pertimbangan – pertimbangan komersial. Orang – orang Tionghoa kemudian

dengan cara lebih sadar menjadikan film sebagai barang dagangan. Hal ini pun

tidak mengherankan karena memang di Nederlansch - Indie pada umumnya usaha

– usaha baru dalam lapangan ekonomi dimulai oleh orang – orang Tionghoa.

Bukan saja mempunyai modal yang cukup, tetapi karena mereka mempunyai

hidung untuk segera mencium dimana untung bisa didapat dan tahu bagaimana

commit to user 21 Haris Jauhari. Op.cit. Hal 23.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id74

mengeksploitasikannya. Hal tersebut merupakan suatu yang khas bahwa hingga

tahun – tahun 1925 hampir semua tontonan ada ditangan bangsa Tionghoa.

Film – film permulaan buatan perusahaan – perusahaan Tionghoa dengan

sendirinya mengambil bahan cerita dari masyarakatnya sendiri, mula – mula cerita

dari tanah leluhur, kemudian juga dari masyarakat mereka di Hindia.

Penontonnya terutama tidak terdiri dari orang – orang Tionghoa, namun ternyata

penduduk lokal atau pribumi, cerita yang ditampilkan bersumber pada cerita –

cerita Tionghoa lama. Untuk menarik lebih banyak penonton, para pembuat film

lalu mulai mengambil cerita – cerita lokal masyarakat Batavia, meskipun

kebanyakan pemainnya masih dari golongan Tionghoa peranakan seperti Film “

Setangan Berloemoer Darah “ yang menggambarkan kehidupan sebagai

masyarakat Batavia itu, memang cocok untuk selera penonton golongan babah –

babah. Hal ini disebabkan oleh visi yang sama, yaitu visi kebanyakan sutradara di

Indonesia untuk menggunakan formula pictures dengan cerita – cerita film yang

membawa penonton kepada dunia fantasi dan imajinasi.22

Sampai saat itu, Hindia Belanda belum juga membuat film cerita sendiri.

Beberapa film dokumeter telah dibuat, utamanya mengenai berbagai hal tentang

Hindia Belanda, seperti keindahan alam, pertanian, perkebunan, untuk

dipertontonkan di Negeri Belanda. Gambaran tersebut juga dipaparkan dalam

Nieuw Weekblad No.52 yang sudah diterjemahkan tanggal 25 September 1925,

bahwa :

ruang muka sudah memperlihatkan ,bahwa yang dipertunjukan ialah sebuah film yang ada hubungannya dengan wilayah Timur kita. Tumbuh –

commit to user 22 Armijn Pane. Op.cit. Hal 16 – 17.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id75

tumbuhan palm, dan sarung – sarung kain dan garuda tembaga yang besar ditengah rauangan merupakan tanda – tanda dari hal itu.23

Kegairahan ini, secara bertahap membuka jalan pada pembuatan film di

Hindia Belanda, yang untuk pertama kalinya dicatat oleh surat kabar De

Locomotief edisi September 1926, sebagai film “ Loetoeng Kasaroeng “ yang

dibuat oleh L. Heuveldorp dari NV Java Film Company pimpinan G. Krugers dan

F. Carli.

Tahun berikutnya, dibuat film bicara yang lebih sempurna berjudul “ The

Jazz Singer “, dengan bintang utama Al Johson yang populer karena nyanyiannya

dalam film itu. Setahun setelah itu, Amerika memapankan dirinya sebagai

penghasil film, bicara yang pertama di dunia dengan membuat film Light of New

York yang diputar 6 Juli 1928 di kota dunia itu.

Bisnis hiburan film ini semakin menjanjikan jika dilihat dari segi

komersial. Apalagi, ketika dengan cepat menjalar kabar dari Surabaya, Bioskop

Luxor memutar film Fox Foolies yang bisa bicara, 26 Desember 1929. Batavia

tidak mau kalah jauh ketinggalan, menyusul dengan cepat lewat Rainbow Man

yang dimainkan bioskop Globe yang padat oleh penonton yang kepingin tau

menyaksikan film bicara.

Setelah itu, Batavia mengambilalih pimpinan dengan bioskop Capitol,

Decca Park, dan Kramat Theater menampilkan film bicara. Lahirlah trend baru

yang memunculkan embel – embel talkies dibelakang nama bioskop, yang

menunjukan menayangkan film bicara. Mulai dari Tropica Talkies di Bangkalan

Madura, National Talkies dan Sirene Talkies di Mojokerto, Thalia Talkies di

commit to user 23 Geo.K. “ Nieuw Weekblad v.d Cinematografi “. No.52. 25 September ( 1925 ).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id76

Batavia , Djambi Talkies Theater di Jambi, sampai Olympia Talkies di

24 Singkawang, Kalimantan Barat.

Kehadiran film bicara ini dilain pihak menimbulkan masalah. Bioskop

terpaksa berhadapan dengan pilihan menggunakan teknologi canggih berupa

peralatan baru untuk film bicara, atau tetap menayangkan film bisu dengan resiko

kekurangan ekonomi masing – masing pengusaha, hinggga memasuki tahun 30-an

kita masih dapat melihat adannya dua golongan film dan bioskop, yaitu biasa dan

talkies.

Wabah film bicara menjalar dengan cepat dan membuat demam. Tapi,

orang tidak dapat menjadi sangat bergegas mengingat keterbatasan peralatan,

hingga sampai pertengahan tahun 1930 – an Hollywood sendiri masih membuat

film versi bisu dari versi bicara yang diutamakan. Masih lebih banyak bioskop

film bisu daripada film bicara. Dengan bangga bioskop – bioskop bermunculan

dan orang mulai pula membuat film bicara. Sejak tahun 1930, muncul film – film

bicara seperti “ Njai Dasima I, II, dan pembalasan Nancy ( Njai Dasima III ) “

yang dibuat Tan dan Wong bersaudara. Tahun 1931, muncul pula The Teng Chun

dengan Cina Motion Pictures dan membuat film bicara berjudul “ Boenga Roos

dari Tjikembang “.

Produk dalam negeri ini, umumnya lebih disukai karena jalan cerita tersaji

lengkap hampir tanpa potongan sensor. Para produser telah belajar dari film impor

yang terkena gunting komisi, hingga membuat film yang sesuai, tanpa adegan

perkelahian dan kemesraan berlebihan. Penonton pun lebih mudah mengikuti

24 S.M. Ardan, 1992. Dari Gambarcommit Idoep toke userSinepleks . Jakarta: GPBSI. Hal 15.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id77

jalan cerita karena disajikan dalam bahasa Melayu, dengan teks bahasa Cina dan

Melayu Tionghoa.

Film terus menanjak, tetapi udara mulai pengap untuk bioskop.

Kegemaran orang terhadap film bicara mengakkibatkan terjadi seleksi pada jenis

usaha ini. Situasi ekonomi kurang pula menguntungkan Dampak Perang Dunia I

mulai mencekam. Bioskop yang sedang berkutat menyesuaikan diri dengan

kemajuan teknologi film bicara, secara drastis dihadapkan pula pada kenyataan

jumlah penonton yang terus merosot akibat daya beli yang menurun drastis.

Pada jaman yang sulit itu, para pengusaha bioskop berkumpul dan

menyelenggarakan rapat di Batavia, 13 September 1934. Hasilnya terbentuklah

gabungan pengusaha bioskop hindia belanda dengan ketua Holthaus dari

Centraale Bioscoop, Buitenzorg ( Bogor ), sekretaris Liono, manajer perusahaan

film Remaco, bendahara Van der Ie dari Centraale Bioscoop, Batavia, dan dua

orang komisaris, yaitu Yo Heng Siang dari Globe Bioscoop dan Oey Soen Tjan

dari Cinema Palace, Batavia.

Gabungan pengusaha ini dibentuk untuk memperkuat barisan bioskop

mengahdapi jaman sulit dan kecenderungan sensor yang dianggap sembarangan.

Ditetapkan pula dalam pertemuan itu, iuran bioskop perbulan yang ditentukan

berdasarkan kelasnya. Yaitu, f15 untuk bioskop kelas I, f10 kelas II, dan f5 kelas

III. Diputuskan dalam pertemuan tersebut, membuat jalinan kerjasama dengan

gabungan imnportir film, dengan tujuan keduanya menjadi kekuatan yang

mempunyai suara menentukan. Tapi, kesulitan ternyata juga menimpa sector

impor film. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id78

Jumlah impor film pun mengalami penurunan, terutama dalam kondisi

paling parah di tahun 1931 hingga 1934. Film Amerika sejak awal mendominasi,

turun dari 69,1 persen di tahun 1931 menjadi 37, 3 persen di tahun 1934. Begitu

juga dengan film Cina yang mencapai 9,1 persen di tahun 1931, tinggal 1,8 persen

di tahun 1934. Film dalam negeri juga menurun. Dari 5, 2 persen di tahun 1931,

merosot ke angka 1, 0 persen di tahun 1934.25

Kemerosotan film impor, secara bertahap dipenuhi oleh produksi dalam

negeri. Mulai dari 2 film di tahun 1937, terus meningkat menjadi 5 film di tahun

1939, dan naik tajam pada tahun 1940 dengan produksi 14 film. Lebih tajam lagi

pada tahun 1941 dengan 30 judul film. Seperti yang ditunjukan pada Table 6

berikut.

25 Haris Jauhari.Op.Cit.Hal 31. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id79

Tabel 6

Film Import di Hindia Belanda Tahun 1900 - 1942

JUDUL FILM KETUA/ NEGARA PRODUKSI TAHUN REGIE /PRODUCTIE

Amsterdams Journaal Willy Mullens Nederland Willy Mullens 1900/1920 Een Heertje Zonder Willy Mullens Nederland Willy Mullens 1902 Pantaian in Zondvoort Le Voyage a travers George N. Frankrijk Star Film 1904 I’impossible De vergiffenis van Frankrijk Pathe 1907 grootvader Twee zeeuwse meisjes Maurits h. Nederland Hollandia film 1912 in zandvoort Binger Opofering Enner Nile Eylvair Frankrijk Éclair 1913 Pleegdochter Telegran Uit Mexico Maurits Nederland Hollandia Film 1916 Binger Het Geheim van de M. Habee Nederland Holland Film 1916 Vuurtoren Pro doma - fragment Theo frankel Nederland Amsterdam film 1918 co Heart of The World D.W. Griffith Art Craft – 1918 - Famous – Players Tasky Das Kabinet des Dr. Robert Wiene Duitsland Decla 1919 Callgan Toffe Jongens ondder Maurits H. Nederland 1919 de mobilisatie binger - De Zwarte Tulp F.A. Netherland Hollandia Film 1921

Richardson 72 menit Faits Divers Claude A. Frankrijk - 1922 Ballet Mecanique Fersand Legre Frankrijk 1923 and Dudley - Murphy

Der Letzte Mann F.W. Murnau Duitsland Universum 1924 Films A.G. Bet, de Koningin van Adriene Solser Nederland Holland-Belgiea 1924 den Jordaan Filmmij Opus 2,3 en 4 Walter Duitsland - 1924/1925 Ruttmann

Bij Louis Bouwmeester Nederland Pathe 1925 Thuis - Entr’acte Ballet R. Frankrijk - 1925 Pantserkruiser Sergei Rusland Lestudio van 1925 Potemkin – Fragment M.Eisenstein Coskino

Vormittagspuck - Duitsland Richter-New 1926 Film The Mother Vsevolod Rusland - 1926 Pudosvkin Metropolis Frits Langcommit Duitsland to user UFA 1926 Markt in Berlin Wilfried Basse Duitsland - 1926

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id80

Long Pants Frank Capra Amerika Herry Langdon 1927 Corp Die Liebe der Jeanne Georg Duitsland UFA 1927 Ney Wilhelm

Berlin Sinfonie einer Walter Duitsland Deutsche 1927 Grozstadt Rutmann Vereinse – Film Inflation Nans Richter Duitsland - 1927 La Coquille et le Germaine D. Frankrijk - 1927 Chergyman De Laatste Dagen van Veevolod U.S.S.R. Marshrabpom 1927

St. Peterslairg Voetbal Dick laan Nederland Multi film 1928 Ueberfall Erno M Duitsland Deutscher work 1928 film La passion de jeanne Carl theodore Frankrijk Societe generale 1928 d’arc de films Le Chute de la maison Jean Epstein Frankrijk Les Films Jean 1928 Usher Epstein De Burg Joris Ivens Nederland - 1928 Un Chapeau de paille Rene Clair Frankrijk Films Albatros 1928 d’Italie Indiscretions Jean Driville Frankrijk 1928 Cinegraphiques La Petite Marchande Jean Renoir Frankrijk Jean Renoir 1928 d’allumettes Etoile de Mer Man Ray Frankrijk - 1928 Branding Joris Ivens en Nederland 1929 Mannus - Franken Le Chien Andalou Luis Bunuel Frankrijk - 1929 Les Deux Timides Reng Clair Frankrijk - 1929 Generale Iijn S.M. Rusland Sovkino 1929 Eseinstein

Man Met de Camera Drifga Vertog Rusland VUFKU 1929 Regen Joris Ivens Nederland CAPI – 1929 amsterdam New Babylon Leonild Rusland Sovkino 1929 Trauberg Zhweigroschenzauber Mans Richter Duitsland - 1929

Menschen Am Sonntag Robert S Duitsland - 1929 Jagad Aulf Dich Ernest Angel Duitsland - 1930 Der Blaue Engel Josef von Duitsland - 1930 Stenberg A Propos de Nice Joan Vige Frankrijk Joan Vige 1930

Le Million Tobis Frankrijk Tobis 1931 Filmstudie Oskar F. Duitsland - 1931 In der Nacht Walter Duitsland - 1931 Rutmann De trekschuit Otto van Nederland - 1932

Neyenhoff en Terre sans pain Louis Bonuelcommit toSpanje user Ramon A 1932 Philips Radio Joris Ivens Nederland CAPI voor 1932

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id81

Philips Zero de Conduite Jean Vigo Frankrijk J.L. Nounea 1933 voor Arguifilms La Joie de Vivre Bectan Frankrijk - 1934

Noppin Tell Me It Hurts Richard M Engeland - 1934 Ure Nuit Sur le Mont Alexandre Frankrijk - 1934 Chauve Niewe Groden Joris Ivens Nederland CAPI 1934 Colour Box Engeland General Post 1935

Office The Birth of The Robot Gasparcolor Engeland Len Lye en 1936 en Shell Humphrey Jennings And So to Work Dr. Richard Engeland Dr. Richard 1936 Jidl mit n Fidl Joseph Green Polen Greenfilm 1936 Trade Tatto Len lye Engeland General post 1937 office Drawings That Walk Marie Eston Engeland British Film 1938 and Talk Institute The Warning Aubrey Baring Engeland Alliance Film 1939 Corp Boogie Dodle Norman Canada National Film 1940 Mclaren Board of Canada Target for tonight Ian dairyaple Engeland Crown film unit 1941 Marching The Colours Guy Glover Canada National Film 1942 Board of Canada Germany Calling Charlie Ridley Engeland - 1942 Flugten Jorgen Roos Denemarken - 1942 Hen Hop Norman Canada National Film 1942 Mclaren Board of

Canada Sumber : St. Ned. Filmuseum. Filmuseum; 16 mm Catalogus. St. Ned Filmuseum:

Amsterdam

Berdasarkan Tabel 6 di atas, banyaknya film – film impor yang masuk ke

Hindia Belanda menyebabkan jumlah importir film meningkat menjadi 17 buah

pada 1924. Perusahaan importir film terbesar saat itu adalah Pathe Theater

dengan pimpinanya L. Swemlaar. Banyaknya importir film pada 1920 – an ini

merupakan suatu pertanda bahwa pertunjukan film sudah luas penyebarannya.

Selain banyak kesempatan untuk lebih dulu menonton sebuah film baru

dibandingkan dengan di Negeri Belanda, orang Belanda dan Eropa lainnya yang commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id82

tergabung dalam perkumpulan – perkumpulan tertentu dapat pula menyewa

sebuah gedung bioskop untuk pertunjukan film yang sama sekali belum disensor.

Film yang masuk dari Amerika, selera pribumi terpelajar sudah dibentuk

dengan cukup tinggi. Maka, ketika pembuatan film dimulai di Hindia Belanda,

orang terpelajar sudah menggunakan ukuran tinggi dalam menilai film lokal. Film

– film Hollywood yang diputar di Biosjop Hindia Belanda pada tahun 1903 –

1942 dapat dilihat dari tabel dibawah ini.

Tabel 7

Film Hollywood – Amerika yang diputar di Bioskop Hindia Belanda Tahun 1903 - 1942

JUDUL FILM KETUA/ NEGARA PRODUKSI TAHUN REGIE /PRODUCTIE The Great Train Edwin S. Porter Amerika Edison 1903 Robbery Company The stage coach Tom Mix Amerika Selig Co 1913 driver and the girl Harold Llyod als Pathe Exchange Amerika Hal Roach 1915 Bioscoopdiricteur Teddy at The Clarence B. Amerika Mack Bennatt 1916 Throttie

The return of draw William S. hart Amerika Triangle film 1916 egan corp Salome Charlos bryant Amerika Allanasimova 1922 Safety Last Fred Nevmayer Amerika Pathe 1923 The Hunchbach of Wallace Amerika Super Jewel 1923

The Notre Dame Morsley The Covered James Cruse Amerika Famous F. 1923 Wagon The Phatom of The Robert julian Amerika Universal 1925 Opera

Tumbleweeds King Baggott Amerika United Artist 1925 dan William S. Hart The Jazz Singer Alan Crosland Amerika Warner Bros 1927 The Iron Mask Allan O. Amerika Douglas 1929 Fairbanke

Nanook of The Revillon Frares Amerika Revillon F. 1929 North A Midsummer Max Reinhardt Amerika Warner Bros 1935 Nights Dream commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id83

Angel with Dirty Michael C. Amerika Michael C. 1936 Faces Spanish Earth Joris Ivens Amerika Contemp 1937 Historian Isc

The River Pare lorents Amerika Farm security 1937 administration USDA Sumber : St. Ned. Filmuseum. Filmuseum; 16 mm Catalogus. St. Ned Filmuseum:

Amsterdam

Pada tahun 1936, sebuah film Amerika yang berjudul " The Jungle

Princiess " yang dibintangi oleh Dorothy Lamour sangat diminati oleh penonton

sehingga film ini laku keras di pasaran. Film yang berlokasi di tempat yang indah

(Hawai), diiringi nyanyian Hawaian, berisi petualangan cinta dan perkelahian seru

yang merupakan selera penonton pada masa itu. Oleh karena itu, Balink, Wong,

dan Saerun sepakat untuk membuat film yang dijiwai oleh unsur-unsur yang

terdapat dalam film The Jungel Princess tersebut.

Pada tahun itu juga, didirikan Perusahaan baru yang bernama "Aglemeene

Nederland Indie Film “ (ANIF) untuk memproduksi film dengan gaya “ The

Jungle Princess “. Dengan Saerun sebagai penulis skenario, Wong pada kamera,

dan Albert Balink sebagai sutradara lahirlah sebuah film yang berjudul "Terang

Boelan". Film ini mengambil lokasi dengan pemandangan yang indahdan eksotek

yang tidak kalah dengan Hawai. Pemain yang ganteng yaitu Raden Mochtar dan

supaya lebih menarik lagi direkutlah penari terkenal pada masa itu yaitu Roekijah.

Sedangkan sebagai ganti musik Ha-waian dipakai lah musik keroncong yang saat

itu memang sedang digemari.

Film "Terang Boelan" dipasarkan tahun 1937 dan mendapat sukses yang

besar. Impian para pembuat film untuk menjaring penonton sebanyak mungkin

dari berbagai kalangan tampaknyacommit mulai toberhasil, user dengan ditemukannya formula

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id84

yang dijiwai The Jungel Princess. Para produser berkesimpulan bahwa kriteria

sebuah film yang disukai oleh penonton haruslah memiliki unsur-unsur :

"pemandangan yang indah-indah, lagu-lagu yang merdu, perkelahian yang seru,

pemain yang terkenal di masyarakat, dan isinya harus menggambarkan

26 penderitaan sang tokoh sebelum akhirnya menang"

Tahun 1940 - 1942 merupakan “ ledakan “ pertama dalam perfilman.

Perusahaan – perusahaan baru bermunculan. Acuan yang dengan patuh digunakan

adalah resep yang diperkenalkan TB ( Terang Boelan ), yaitu menekankan pada

daya tarik bintang ( Roekiah dan Rd. Mochtar ) menjadi model sistem bintang.

Penonton dari semua golongan menyukai romance, pemandangan indah, sensasi,

perkelahian, lelucon dan selingan dengan “ nyanyian Melayu “. Semua itu resep

yang dipakai menurut selera dan gaya penyajian dari pertunjukan panggung.

Orang – orang belakang kamera semakin banyak pula yang diambil dari

panggung, terutama untuk pekerjaan artistik. Nyoo Cheong Seng, Rd. Ariffien –

wartawan yang juga aktif dipanggung – Soeska, dan Inoe

Perbatasari adalah contoh dari tokoh panggung yang ditarik ke dunia film. Jadi,

sejak 1940, dunia film telah didominasi oleh sub kultur panggung, meskipun para

penguasa tetap mendominasi. Selanjutnya, lahir produksi – produksi film dari

alam pikiran dan tingkat selera mereka. Pada masa ini, film – film di negeri ini

mendapat perhatian yang sangat luas. Hal ini disebabkan film telah sesuai dengan

tradisi dan penonton panggung yang terdapat disegala pelosok. Walaupun

dikalangan pribumi kelas intelektual belum mendapatkan perhatian besar. Namun

26 Ibid. Hal 43 commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id85

mereka sudah dapat menilai sejauh mana mutu perfilman dalam negeri dan

mengaharapkan jauh lebih baik dari film – film yang beredar di Nederlandsch –

Indie ini.

C. Fungsi Film sebagai Media Ekspresi Seniman di Batavia

Tahun 1900 1942

Setiap kegiatan kesenian terdapat dua pihak yang terlibat di dalamnya,

yaitu seniman (disebut sebagai pihak pemberi) dan masyarakat penikmat (disebut

sebagai pihak penerima). Dari pihak yang memberi kepada pihak yang menerima

ada pesan yang ingin disampaikan. Pesan itu datangnya dapat dari pihak seniman

itu sendiri, tetapi ada kalanya ada pesan titipan yang harus disampaikan oleh

seniman kepada masyarakat penikmat. Seni berfungsi sebagai sarana atau alat

komunikasi yang harus membawa pesan. Dengan demikian seni itu mempunyai

beberapa fungsi yang dipandang dari beberapa segi.27

Dipandang dari segi seniman, maka seni berfungsi sebagai:

a. Alat ekspresi, yaitu menyampaikan pesan isi dari seniman.

b. Mata pencaharian yang dapat membiayai hidupnya.

Dipandang dari segi masyarakat penikmat, seni berfungsi sebagai alat

hiburan yang mampu melupakan, menghilangkan atau setidaknya mengurangi

kesusahan dan kesedihannya. Sedangkan jika dilihat dari segi siapa saja yang

27 TJohan HM Tjasmadi. 2008. 100 Tahun Bioskop di Indonesia 1900 – 2000. Bandung: Megindo. hal 44. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id86

berkepentingan, baik seniman sendiri, pemerintah atau pihak siapa saja yang

berminat terhadap seni, maka seni berfungsi sebagai:

a. Alat pendidikan dari pihak tertentu, misalnya pemerintah karena

kepentingan agama dan sebagainya untuk mengajak masyarakat penikmat

agar berbuat atau bersikap tertentu

b. Alat komunikasi, untuk menyampaikan pesan dari seseorang kepada orang

lain.28

Sedangkan seni pertunjukan film mempunyai fungsi antara lain :

a. Film sebagai medium ekspresi seni peran, tentu saja ini erat hubungannnya

dengan seni.

b. Film sebagai tontonan yang bersifat dengar – pandang ( audio visual ),

dengan sendirinya berhubungan dengan Hiburan.

c. Film sebagai piranti penyampaian pesan apa saja yang bersifat dengar –

pandang, oleh karenanya film berkaitan erat dengan Informasi.29

Batavia adalah kota mempesona dengan tata ruang kota yang dibangun

seperti Amsterdam. Sebagai kota pelabuhan, Batavia bercorak internasional sejak

masih disebut Sunda Kelapa. Orang dengan berbagai latar kebudayaan, ras dan

keyakinan agama yang berbeda – beda bertemu di bandar ini sejak berabad – abad

lama nya. Uraian tentang berbagai monumen dan bangunan yang bersejarah

berpangkal – tolak dari tempat bermulanya kota Batavia yakni ke kawasan kedua

tepi Ciliwung, sebelah selatan dari tempat yang kini disebut Pasar Ikan. Disitulah

28 Ibid. Hal 45. 29 Ibid. Hal 46. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id87

ditanam benih yang berkembang menjadi kota metropolitan Jakarta Raya yang

30 sekarang dihuni oleh berjuta – juta penduduk dari berbagai daerah.

Dari perkembangan kebudayaan yang sudah dikembangkan sejak abad –

abad yang lalu itu, kota Batavia menyisakan berbagai bangunan yang saat ini

masih kental dengan unsur indis nya. Salah satu sudut tempat di Batavia yang

sejak abad 20 merupakan saksi biksu lahirnya seniman – seniman yaitu kawasan

pasar Senen. Pasar kelas menengah bawah yang sejak awal abad ke – 20 telah

menjadi jantung kota dan bagian kota yang tidak pernah tidur. Disini orang bisa

mendapatkan apa saja. Termasuk tukang copet dan tukang jambret, yang dikenal

sebagai buaya senen. Pada akhir 1930 – an pasar senen telah menjadi tempat

bertemunya para intelektual muda, pejuang bawah tanah, seperti A.K. Gani dan

Chairul Saleh. Pada mulanya mahasiswa pejuang itu datang ke senen untuk

menjual buku ke toko loak “ Nasution “ dibelakang bioskop Grand atau membeli

buku dari situ. Akhirnya sekitar toko buku itu menjadi rendezvous ( tempat

pertemuan ) mereka.

Suasana pasar Senen sangat ramai dan dengan segala aktivitas jual

belinya. Kawasan pasar senen ini menjadi salah satu bagian dari kota di

Weltevreden yang tidak jauh dari bangunan cukup besar yaitu de Bataviansche

Schouwburg, yang oleh Gubernur Jenderal Daendels dihadiahkan kepada kota

Batavia. Di gedung ini lah tampil kelompok tonil Belanda pemusik terkenal,

kelompok – kelompok khusus atau pemain sandiwara. Dengan fasilitas yang

30 Adolf Heuken SJ. 1997. Tempat – Tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Hal 13. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id88

cukup mewah seperti ruang duduk yang cukup luas, kandang kuda taman bunga,

beranda depan dan samping. Dapat dipastikan bahwa hanya segolongan elit dan

kaum bangsawan saja yang dapat masuk karena harga tiket yang dipatok pun

cukup mahal apalagi bagi kalangan masyarakat menengah bawah. Karcis tanda

masuk dari f4.50, f3.50, f2.50, f1.50 dan f0.75. Tentu saja khusus untuk Gubernur

Jenderal anggota dari Raad van Indie, Residen serta para tamu penting lainnya

telah dipesankan tempat duduk. Dan sekarang menjadi gedung kesenian Jakarta.31

Perkembangan kota Batavia yang dapat dilihat pesat dengan tumbuhnya

berbagai perusahaan – perusahaan film dan bioskop – bioskop pun semakin

menjamur, seiring dengan itu muncul para seniman – seniman perfilman yang

mengadu nasib dan berkarya di kota ini. Berawal dari dunia panggung yang sering

berpindah – pindah tempat dari satu daerah ke daerah lain untuk mempertunjukan

kebolehan bersandiwara hingga masuknya para seniman panggung ke dalam

dunia perfilman yang dilihat dapat memberi udara segar bagi kehidupan yang

lebih baik lagi.

Kebudayaan – kebudayaan tradisional dengan segera tengelam dalam arus

modernisasi. Di mana kesenian tradisonal seperti seni pertunjukan wayang

maupun kesenian lainnya tergilas dalam kemajuan teknolgi yang berkembang

pesat setelah Revolusi Industri. Salah satu wajah baru dari seni pertunjukan

modern itu adalah Film. Dalam perkembangannya film dapat dipandang sebagai

bibit kepandaian Barat yang tertanam dinegeri ini, menjadi suatu tanda pertemuan

31 Ibid. Hal 16. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id89

Barat dan Timur, atau yang dengan istilah ilmu pengetahuan dikenal dengan

32 proses akulturasi.

Di dalam fungsinya sebagai kesatuan bermacam – macam alat

penghubung masyarakat, khususnya dalam masyarakat Indonesia yang ada dalam

keadaan akulturasi, film tidak dapat dipisahkan dari keadaan dan perkembangan

lini – lini lain dalam kehidupan masyarakat, teristimewa dengan lapangan –

lapangan yang langsung bersambungan dengan pembuatan film. Khusus bagi

bangsa ini, tidak dapat terlepas dari perkembangan pergerakan nasional, namun

tidak hanya mengenai segi politik tetapi juga mengenai juga lapangan sosial,

kebudayaan dan ekonomi.

Hakiki seni merupakan topik perdebatan yang seakan tiada habis dalam

estetika atau filsafat seni. Ekspresivime merupakan aliran estetika yang

mendefinisikan seni dalam konteks emosi dan perasaan. Hal ini berbeda dengan,

aliran representasi yang mendefinisikan seni dalam konteks tiruan realitas dan

aliran formal yang mendefinisikan seni dalam konteks struktur karya seni.

Pandangan ini biasanya bertumpu pada asumsi bahwa seniman merupakan

seorang jenius yang bisa menggunakan sarana-sarana untuk mengekspresikan

perasaan dan emosinya; karya seni dianggap sebagai wujud dari perasaan dan

emosi dari sang seniman; dan audien seni merupakan orang-orang yang

menikmati karya seni dan tersentuh perasaannya. Sebagai suatu ekspresi perasaan

dan emosi seniman, seni merupakan pandangan yang telah lama berkembang

dalam wilayah estetika.

commit to user 32 Armijn Pane, 1953. Op.cit. Hal 8.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id90

Seni atau kesenian merupakan keahlian manusia dalam karyanya yang

bermutu, dilihat dari segi kehalusan atau keindahan. Kesenian tradisional,

khususnya seni pertunjukan rakyat tradisional yang dimiliki, hidup dalam

masyarakat, sebenarnya mempunyai fungsi penting. Terlihat dalam dua segi yaitu

daya jangkau penyebaran dan fungsi sosialnya. Dari daya jangkau penyebarannya,

seni pertunjukan rakyat memiliki wilayah jangkauan yang meliputi seluruh

lapisan masyarakat. Sedangkan dari segi fungsi sosialnya daya tarik pertunjukan

rakyat terletak pada kemampuannya sebagai pembangun dan pemelihara

solidaritas kelompok. Dengan demikian seni pertunjukan tradisional ini

mempunyai nilai dan fungsi bagi kehidupan masyarakat pemangkunya. 33

Di dalam setiap pementasannya, beberapa bentuk kesenian tradisional

selalu membawakan sebuah misi yang ingin disampaikan kepada para penonton

atau para pendengarnya. Dengan demikian sebagai sebuah pesan atau nilai – nilai

yang sesuai pada masanya. Secara garis besar nilai – nilai yang terkandung di

dalam seni pertunjukan tradisonal dapat digunakan sebagai media pendidikan,

media peneranagan, media hiburan atau tontonan.

Kebudayaan selalu berkembang seiring dengan kemajuan masyarakatnya,

kebudayaan mempunyai sifa elastis dan dinamis. Namun demikian dalam

perkembangan masyarakat, tidak semua unsur budaya itu dapat menyesuaikan

diri. Banyak dari unsur budaya yang pernah menghiasi kehidupan masyarakat. Hal

ini tidak lepas dari kemajuan masyarakatnya, sehingga mampu mengganti unsur

budaya yang sudah tidak dimanfaatkan lagi dengan unsur budaya lain yang

33Sujarno,dkk. 2003. Seni Pertunjukan Tradisional; Nilai, Fungsi dan commit to user Tantangannya. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Hal 49.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id91

dianggap lebih sesuai dengan jamannya. Dalam Seni pertunjukan tradisional

rupanya juga mengalami hal yang demikian. Didalam seni yang dimaksud

pertunjukan adalah seni yang dipentaskan dan dapat dilihat oleh berbagai

kalangan masyarakat atau orang banyak.

Seni pertunjukan digolongkan menjadi dua yaitu seni pertunjukan modern

dan tradisional. Seni pertunjukan modern lebih maju dan sarat dengan unsur asing

didalamnya. Sedangkan seni pertunjukan tradisional terdapat unsur tradisional

atau budaya lokal nya yang masih sangat dominan dan kental.

Meningkatnya daya beli masyarakat dan kemajuan teknologi yang

menghasilkan bentuk seni pertunjukan modern yang dimulai di Prancis oleh

Lumiere bersaudara, jauh sebelum seni pertunjukan baru itu masuk ke Hindia

Belanda pada tahun 1900. dalam artikel tulisannya di majalah

“ Pertjatoeran Doenia dan Film “ memaparkan kritikannya bahwa :

Datangnja film dan radio ditengah – tengah masjarakat kita adalah soeatoe peristiwa jang patoet diiperhatikan secoekoepnja oleh kaoem pendidik choesoesnja serta poela kaoem keboedajaan dalam oemoemnja. Di tanah

Eropah sendiri, tanah kelahiran doea bentoek keboedajaan modern itoe, soedah lama kaoem ethiei menjelidiki baik jahatnja film dan radio

terhadap bentoeknja boedi pekerti kanak – kanak poen joega terhadap berubahnja kebudajaannja lama karena pengaruhnja film dan radio, jang dalam sedikit waktoe dalam sementara tahoen sadja, dapat tempat 34 kedoedoekan jang teroetama didalam masjarakat itoe “.

Munculnya bentuk seni pertunjukan baru ini berpengaruh pula terhadap

perkembangan seni pertunjukan tradisional. Seni pertunjukan yang sarat akan nilai

kehidupan manusia, mengalami kesuraman masa depannya. Melemahnya

peningkatan kemampuan para pelaku seni dapat menciptakan sesuatu yang baru di

34 Ki Hajar Dewantara, “ Film dancommit Radio to“, Pertjatoeranuser Doenia dan Film. No.1 ( 1941 ). Hal 7.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id92

dalam seni sehingga dapat memperkaya dan memberi warna baru, hanya

menerima unsur asing sebagai pelengkap semata bukan sajian utama merupakan

formula baru bagi perkembangan seni pertunjukan di Indonesia.

Seorang seniman merefleksikan kegairahannya untuk menyatakan sesuatu

yang muncul dalam lubuk hati dan menjadi buah pemikiran, melontarkannya

keluar dengan caranya sendiri yang khas, beda dari orang lain dalam bentuk dan

ekspresi sesuai dengan bakat mereka masing – masing. 35Adanya dorongan itu

disebabkan oleh perasaan cinta, benci, kecewa, gembira, gambaran seketika

ataupun yang sudah mendalam lama. Sumbernya adalah pengalaman, lahiriah

ataupun batiniah seniman pribadi, meskipun pengalaman itu mungkin juga

dirasakan oleh banyak orang lain bersama dia. Tetapi pada diri seniman,

pengalaman itu dirasakan lebih hebat lebih mendalam, lebih intens.

Sumber perasaan dan pemikiran seniman adalah tanggapan yang murni

daripada kehidupan batiniah, lebih lagi dari kehidupan lahiriah, yaitu tanggapan

dari lubuk hati nurani yang terdalam, hingga tanggapan itu menjadi kegairahan

yang sangat untuk dilahirkan dan dilontarkan ke dunia lepas. Karya seni adalah

karya individu, meskipun kadang – kadang seniman memerlukan bantuan banyak

36 orang untuk mewujudkan karyanya itu dan menyempurnakannya.

Karya seniman adalah apa yang muncul dari apa yang dirasakan dan

dipikirkan serta dihayati dengan secara intensif tentang segala permasalahan

kehidupan dan penghidupan dalam bentuk – bentuk yang khas sesuai dengan

35 H. , 1983. Usmair Ismail Mengupas Film. Jakarta: Sinar Harapan Anggota IKAPI. Hal 17. commit to user 36 Ibid. Hal 18.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id93

bakat dan bawaan pribadinya. Permasalahan itu bisa hanya berkisar pada soal –

soal pribadi belaka, soal – soal perasaannya terhadap seorang wanita, terhadap

orang – orang sekelilingnya ataupun terhadap masyarakat dan dunia, tetapi juga

bisa mencakup persoalan di luar dirinya, pengamatannya dan penilaiannya

terhadap segala sesuatu yang berlangsung diluar dirinya, tetapi dirasakannya

sebagai tanggung jawab pribadi.

Maka semboyan – semboyan yang sering terdengar seperti “ seni untuk

seni “, seni untuk rakyat “, seni untuk revolusi “ , pada hakikatnya tidaklah pernah

akan mencakup pengertian yang sebenarnya dan tetap akan menjadi slogan –

slogan penghias argumentasi dan reaksi belaka. Seni adalah seni yang bernilai

adalah seni yang mengungkapkan nilai – nilai yang abadi yang dapat dijadikan

cermin dan perbandingan oleh seluruh umat manusia, dimana pun dia berada dan

di kurun jaman apa pun dia hidup.

Bagaimanapun seorang seniman selintas lalu tampak individualistis, tetapi

seorang seniman yang besar senantiasa akan mempersoalkan segi – segi

kehidupan dan penghidupan yang senantiasa mengasyikkan bagi yang melihat,

membaca dan memperhatikannya. “ Seni “ hiburan adalah hiburan, dan dimaksud

tidak lain hanyalah untuk menghibur tidak mempunyai pretensi sama sekali untuk

mencapai predikat seni. Ini tidaklah berarti, bahwa hasil karya seniman tidak

mungkin sekaligus juga memiliki nilai – nilai hiburan, justru kesenian yang baik

seharusnya dapat masuk ke dalam lubuk hati pembaca atau penontonnya dan

mengungkapkan pada mereka nilai – nilai yang tadinya disadarinya serta

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id94

mengangkat jiwanya ke tingkat adanya pengertian pemahaman yang lebih

mendalam tentang persoalan - persoalan hidup dan kehidupan.

Hal ini juga menyangkut cabang – cabang seni hiburan lainnya seperti

bacaan, pertunjukan film dan lain – lain yang merupakan hasil karya kebudayaan

Barat. Kebudayaan Barat yang dihasilkan semenjak jaman kebangkitan Eropa (

ranaissance ) di abad ke – 15 oleh Sastrawan – sastrawan dan seniman – seniman,

serta ahli – ahli ilmu pengetahuannya. Bangkitnya Eropa dan dominasi yang

diperolehnnya dari seluruh dunia, baik politik, militer dan ekonomi adalah berurat

berakar pada tumbuhnya pemikiran – pemikiran baru dari filsuf – filsufnya, dan

kebangkitan Eropa pada hakikatnya adalah kebangkitan kebudayaan yang ditandai

oleh pengaruh kebangkitan individu serta perkembangan paham materialisme

dengan segala ekor – ekornya seperti kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme.

Tidak mengherankan bahwa, kehidupan kesenian khususnya dan

kebudayaan umumnya di daerah – daerah bagian dunia dewasa ini mengalami

kembali kelahiran baru yang dapat kita lihat dari perkembangannya, kesusastraan,

timbulnya pusat – pusat kegiatan keseian dan kebudayaan, munculnya gedung –

gedung pertunjukan baru, museum dan perpustakaan serta gedung pameran.

Perkembangan kebudayaan Barat tersebut, perlahan – lahan film merebut

tempatnya yang layak antara cabang – cabang kesenian lain. Dengan itu juga para

penonton perlahan – lahan menjadi kritis. Pada mulanya para penonton itu sudah

menunjukkan perhatiannya. Film yang baik pada dasarnya harus memenuhi syarat

– syarat struktur dramatis yang baik pula. Karena dapat pula dikemukakan bahwa

pada hakekatnya cerita – cerita yang baik dalam bentuk film yang baik harus commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id95

melingkupi publik yang lebih banyak dari film – film laku yang hanya

diperuntukan bagi penonton dengan pikiran anak 10 tahun. “ It Happaned One

Night”, Ninotchka “, “ Mrs. Minniver”, adalah sukses dengan baik sebagai hasil

kesenian, maupun sebagai pencari uang.37

Pada dasarnya penonton itu umunya tidak mau menonton film yang tidak

dimengertinya, yang tidak dapat diterima, maka bagi seorang seniman yang

bersungguh – sungguh tidak perlu timbul kekhawatiran bahwa tidak akan bisa

menciptakan sesuatu yang bernilai hasil kesenian. Dudley Nicholas mengatakan,

bahwa “ film itu adalah rantai raksasa”, dan semua orang yang ikut membuat

merasakan ikatan rantai itu.

Semenjak film diperkenalkan di Hindia Belanda, maka yang memegang

peranan utama dalam hal – hal perfilman adalah selalu orang asing. Mula – mula

didahului oleh beberapa orang Eropa kemudian diteruskan, terutama sekali oleh

orang Tionghoa. Meskipun dalam hubungannya ini nama – nama orang tidak

begitu penting, tetapi pemula – pemulanya seperti Kruger dan Carli terlalu banyak

jasa mereka untuk dilupakan begitu saja. Jelas yang menjadi pendorong mereka

untuk bergerak dalam film terutama adalah pertimbangan – pertimbangan

komersial disamping itu ada juga motif merintis jalan. Pada saat itu, pemain –

pemain mereka ( orang – orang Tionghoa ) kebanyakan peranakan Eropa, maka

dapat juga dicari hubungannya dengan Stambul dan Opera bangsawan yang juga

38 berkembang pada sekitar tahun 1925.

37 Haris Jauhari. Op.cit. Hal 31. commit to user 38 Ibid. Hal 26.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id96

Orang – orang Tionghoa kemudian dengan cara lebih sadar menjadikan

film sebagai barang dagangan. Hal ini pun tidak mengeherankan karena memang

di negeri ini pada umumnya usaha – usaha baru dalam lapangan ekonomi dimulai

oleh orang Tionghoa. Bukan saja karena mereka mempunyai modal yang cukup,

tetapi karena mereka memang punya hidung untuk segera mencium dimana

untung bisa didapat dan tahu pula mengeksploitasikannya. Merupakan suatu yang

khas bahwa hingga tahun – tahun terakhir ini hampir semua tontonan ada di

tangan bangsa Tionghoa. Tidak saja tontonan film, tetapi juga tontonan – tontonan

asli seperti wayang orang dan ketoprak.

Seniman – seniman film dari perusahaan – perusahaan Tionghoa dengan

sendirinya mengambil bahan cerita dari masyarakatnya sendiri, mula – mula cerita

dari tanah leluhur, kemudia juga dari masyarakat mereka di Hindia Belanda.

Orang – orang Tionghoa mulai mengambil cerita – cerita lokal masyarakat

pribumi, meskipun kebanyakan pemainnya masih dari golongan Tionghoa

peranakan.

Datangnya Mannus Franken , seorang sineas Belanda yang juga telah

mempunyai nama di negerinya, maka pada tahun 1934 dasar – dasar

komersialisme yang dapat dimanfaatkan atau dengan maksud lain yaitu

memperkenalkan cara – cara hidup masyarakat pribumi yang mungkin dapat

menarik perhatian orang luar, terutama para penonton di negeri Belanda. Memang

film Manus Fraken “ Pareh “ berbeda sekali corak dan gayanya dari film – film

keluarga The atau Tan. “ Pareh “ adalah suatu hasil yang khas dari tangan seorang

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id97

seniman Barat tentang Indonesia, karena itu dalam beberapa hal mungkin

39 kelihatannya janggal bagi mata orang disini.

Albert Balink yang dianggap oleh sineas – sineas Perfilman lainnya telah

terpengaruh studio Tionghoa dalam visi pembuatan “ Terang Boelan“ yang

terinsipasi oleh sukses film – film Amerika ( terutama film Doroty Lamour ).

Albert memperkenalkan Miss Roekiah dilayar putih dengan berhasil, adalah

karena Roekiah pada waktu itu telah terkenal sebagai penyanyi orkes “”.

Semenjak tahun 1937 pengaruh film – film Amerika membekas dengan

jelas pada hampir semua film – film pada masa tersebut adalah jiplakan – jiplakan

dari film – film Amerika itu. Saerun, seorang wartawan yang terkemuka pada saat

itu adalah orang pertama dalam pembikinan cerita film. Kemudian datang Anjar

Asmara, yang pada waktu itu juga wartawan dan telah meninggalkan dunia

sandiwara. Lalu berturut – turut Aridin, Suska Inu Perbatasari, ketiga – tiga nya

wartawan tetapi tidak asing lagi diatas panggung sandiwara. Dapat dikatakan

dengan masuknya tokoh – tokoh ini ke dalam dunia film, orang pribumi mulai

turut memegang peranan dalam proses pembuatan film, meskipun perusahaan –

perusahaan seluruhnya masih ditangan bangsa Tionghoa.

Mengalirnya tenaga – tenaga dari dunia sandiwara dan wartawan masuk ke

dunia film membawa pembaharuan terutama dalam cerita dan bahasa, dan

terutama kelihatan pada “ Nusa Penida “ Anjar Asmara, “ Panggilan Darah “

yang dua belakangan ini lebih terkenal lagi dengan memakai tenaga dari golongan

baik – baik dan terpelajar, yaitu Ariati dan A.K. Gani.

commit to user 39 Arjmin Pane. Op.cit. Hal 19.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id98

Terjunnya para pekerja panggung ke dunia perfilman merupakan babak

baru dalam perkembangan perfilman. Dimana film dipandanng sebagai suatu

pertunjukan yang akan menarik banyak perhatian orang untuk melihatnya. Para

seniman film ini mulai mencari “ formula “ untuk memajukan industri perfilman.

Ekspresi yang ditampilkan seorang seniman film yang berasal dari panggung tentu

nya berbeda dengan seniman lain yang memang dari awal terjun di dunia

perfilman. 40

Seniman film yang sejak awal sudah menggeluti dunia Perfilman, pada

awal perkembangan perfilman di Hindia Belanda mengangkat film cerita lokal

seperti film Loetoeng Kasaroeng merupakan dorongan yang datang dari Bupati

Bandung bertolak dari hasratnya untuk mengembangkan kesenian Sunda. Upaya

tersebut telah dirintis lewat pergelaran cerita Loetoeng Kasaroeng pada Kongres

Jawa ( Java Congres ) di Bandung pada 1921. Obsesi Wiranatakusumah rupanya

mulai tumbuh sejak menghandiri kongres – kongres Jawa, yang sebelumnya

diselengarakan di wilayah swapraja. Pada kesempatan itu, beliau selalu

menyaksikan pertunjukan wayang orang serta tari Serimpi. Tontonan itu telah

menumbuhkan tantangan dalam dirinya untuk bisa mengedepankan tontonan yang

41 khas sunda.

Meskipun pada 1926 kesenian Sunda itu dikatakan sudah berkembang,

namun semangat Bupati Wiranatakusumah masih tetap besar untuk mencapai

tingkat lebih tinggi dari kesenian Jawa yang berkembang di Kota Bandung.

40 Misbach Yusa Biran. Op.cit. Hal 245. commit to user 41 Ibid. Hal 9.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id99

Perkumpulan kesenian Jawa Mardi Beksa Irama yang didirikan di Bandung pada

1924 telah berkembang pesat. Jadi masuk akal kalau untuk kemajuan seni Sunda

Bupati Wiranatakusumah bersedia ikut menunjang biaya pembuatan film “

Loetoeng Kasaroeng ”, sedangkan film Tengkorak Hidup yang dibuat ooleh Tan

Tjoei Hock, merupakan cerita khayalan mengenai masyrakat primitif dan horor.

Salah satu sineas film Andjar Asmara menggarap film dengan cerita cinta

di Bali, Noesa Penida yang merupakan persoalan kasta. Andjar Merasa tertuntut

menghasilkan film yang dapat diterima kalangan terpelajar atau sesuai dengan

tuntutan kalangan pergerakan. Pemain utamanya adalah dan

Astam.

Suska seniman film yang sudah menjadi wartawan senior ikut bergabung

dengan Andjar Asmara ke JIF. Ia langsung menukik bikin film untuk kelas bawah

saja. Ia bukan saja membuat skenario Poetri Rimba ( Jungle Romance ) untuk

disutradarai R.Inoe Perbatasari, tetapi juga memfilmkan cerita khazanah

Stamboel, Ratna Moetoe Manikam. Ia dengan sadar menjauhi apa yang dituntut

oleh kalangan terpelajar dan pergerakan.

Suska yang tertarik menggarap film kuno, menjelaskan bahwa meskipun

zaman beredar dan kehidupan manusia bertukar, tapi ada satu kebutuhan yang

tidak berubah, yakni : romantik. Sebagai bukti dari pendapatnya itu ia menunjuk

suksesnya pemutaran film buatan Hollywood “ The Thief of Bagdad “, dipasaran

saat itu. Maka ia mengatakan kenapa di Indonesia orang tidak menampilkan

kembali cerita – cerita kuno dengan cara modern. Alasan lainnya adalah para

penonton kalangan bawah masih merindukan tontonan dengan menyuguhkan commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id100

bahan impian yang gemerlapan dan keindahan itu. Yang pasti, dengan cara ini

orang film terhindar dari kerewelan penonton atas yang telah menjauhi film

Indonesia dan semakin tidak sudi menontonnya.42

Wartawan R. Inoe Perbatasari sesudah ikut main dalam Kartinah, Ia

menjadi sutradara. Tetapi setelah 1941 itu, ia tidak lagi berminat untuk menggapai

perhatian kalangan terpelajar. Padahal, ia sendiri seorang wartawan progresif.

Karyanya Elang Darat yang dibuat mulai Juli 1941 adalah film aksi yang tidak

beda dengan produksi Action Film. Di Union Film, produser Ang Hock Lim tidak

bersungguh – sungguh lagi mempertahankan pemain Rd. Soekarno yang berdarah

biru, dan Ratna Djoewita, yang indo untuk filmnya Mega Mendoeng. Ia malah

memakai orang panggung seperti Boen Sofiati, wanita berdarah Arab.

Nampaknya, usaha orang film untuk bisa menggapai penonton terhormat

sudah optimal, menurut kemampuan yang mereka miliki. Meskipun sudah

ditempuh segala cara, namun usaha itu masih saja dipandang banyak kurangnya di

mata pihak penonton yang ingin dijangkau. Pada mulanya, perhatian dan harapan

dari kalangan terpelajar cukup besar. Akan tetapi, mereka tidak sabar melihat

43 lambatnya kemanjuan yang bisa dicapai oleh pembuat film.

Film Melati van Agam adalah karangan Swan Pen alias Parada Harahap,

tokoh wartawan. Meskipun pernah menjadi repertoar pentas sejak akhir tahun

1920 – an dan pernah difilmkan pada 1930, namun ini adalah karya seorang

wartawan, kalangan yang waktu itu banyak ambil bagian dalam pergerakan

42 Armijn Pane. Op.cit. Hal 10.

43 Misbach Yusa Biran. Op.cit. Halcommit 261. to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id101

kemerdekaan. Maka dalam publisitas ditekankan betul bahwa pengarangnya

adalah direktur dan pemimpin redaksi koran Tjahaja Timoer. Cerita ini telah

diubah demi kepuasan hati publik. Tekanan lain adalah pada para pemainnya yang

dipercayakan kepada. S. Soekarti, yang disebutkan sebagai wanita intelek yang

belum pernah main film atau tonil. Pemeran utama pria film ini adalah A. B.

Rachman yang tidak diekspos sebab orang panggung.

Populair’s Film bahkan menyertakan nama Nasroen A.S. sebagai

pengarang cerita Garuda Mas yang akan menjadi produksi pertamanya. Padahal

cerita tersebut bukan karangan Nasroen. Yo Kim Tjan, sang produser, bersedia

membayar Nasroen sebesar f100 untuk penggunaan namanya itu agar orang tahu

bahwa Garuda Mas itu dikarang oleh orang Intelek Indonesia. Nasroen adalah

pelukis karikatur dan skrip terkenal waktu itu.44

Pada awal 1938, peredaran film Terang Boelan ( TB ) secara mengejutkan

memperlihatkan kemampuan untuk menarik penonton. Jejak ini dilanjutkan oleh

film – film buatan Tan’s Film sampai akhir 1939. Pada awal 1940, para pemilik

modal telah mengetahui dua pelajaran. Pertama, usaha pembuatan film bukan saja

merupakan bisnis yang dapat dikerjakan, tetapi menjanjikan keuntungan fantastik.

Kedua, resep yang merupakan unsur penentu adalah yang ditarik dari panggung

tonil.

Fungsi seni sebagai alat ekspresi merupakan fungsi yang utama dari

kehadirannya. Pernah dalam suatu masa, fungsi ini merupakan fungsi yang sangat

ditonjolkan, bahkan mutlak, tidak dapat dicampuri oleh fungsi-fungsi yang lain.

commit to user 44 Ibid. Hal 273.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id102

Seakan-akan merupakan hal yang tabu bilamana seni itu dicampuri dengan soal

45 dan masalah lain.

Seni sebagai satu-satunya alat untuk mengekspresikan isi hati seniman,

agar dapat diterima oleh masyarakat penikmat, sejak kelahirannya yang pertama

hingga sekarang mengalami perkembangan. Dari mula-mula yang primitif hingga

sekarang seni modern. Dalam perkembangannya seniman film yang berasal dari

dunia panggung lalu terjun ke dunia perfilman mengangkat cerita kuno 1001

malam dan cerita lokal yang sudah sering dipentaskan. Para seniman perfilman

senantiasa mencari formula untuk mendapatkan perhatian dari kalangan terpelajar

yang notabennya lebih menyukai film – film dengan menampilkan budaya Barat.

Film Terang Boelan merupakan formula yang dapat dijadikan acuan bagi

para seniman lain yang ikut melihat kesuksesan film tersebut. Seniman film pada

masa 1900 – 1942 mengeksperisakan perasaannya melalui media film hanya

untuk memanjakan mata penonton yang melihatnya tanpa mengindahkan seni.

Sedikitnya karya seniman film yang mempertunjukan film cerita dengan ekspresi

seni yang sesungguhnya. Seni disini berfungsi sebagai hiburan semata yang

ditujukan bagi mereka yang bosan dengan segala rutinitas hidup. Butuhnya

hiburan akan suatu hal yang dapat membuat masyarakat penikmat lupa akan

segala kepenatan ini dituang dalam bentuk media seni film.

Dalam perkembangannya seniman film yang berasal dari dunia panggung

lalu terjun ke dunia perfilman mengangkat cerita kuno 1001 malam dan cerita

lokal yang sudah sering dipentaskan. Para seniman perfilman senantiasa mencari

45 Usmar Ismail. 1983. Mengupas commitFilm. Jakarta: to user Sinar Harapan, IKAPI. Hal 21.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id103

formula untuk mendapatkan perhatian dari kalangan terpelajar yang notabennya

46 lebih menyukai film – film dengan menampilkan budaya Barat.

Mereka yang biasa berkarya dipanggung kini terjun meramaikan industri

perfilman. Batavia menjadi center dari perkembangan tersebut, berbagai

perusahaan film menjamur. Formula yang sudah ditemukan lewat film Terang

Boelan yang sukses menarik hati para pemirsa yang menontonnya merupakan

tonggak dari derasnya film – film Hollywood yang dijadikan inspirasi dalam

pembuatan film cerita di Hindia Belanda. Cerita – cerita modern pun disajikan

dengan melihat berbagai jenis film yang sangat digemari pada saat itu, seperti film

laga, detektif dan percintaan. Dengan segera seni pertunjukan film pun

menempati hati pemirsa yang menikmatinya.

Seni untuk seni nyata nya dalam industri perfilman pada masa Hindia

Belanda nyata nya tidak dapat dirasakan seutuhnya. Film sebagai media ekspresi

seniman selalu mencari formula untuk menarik semua kalangan penonton. Apa

yang dirasakan seniman dan pengalamannya dalam menghasilkan film bermutu

tidak lepas dari apa yang berkembang pada saat itu, yakni film – film Hollywood

yang begitu digemari oleh semua kalangan. Film hasil produksi Amerika tersebut

menjadi inspirasi seniman – seniman lokal untuk membuat film dengan mutu

yang bagus dan dapat menarik mata yang melihatnya.

Namun fungsi utama film sebagai media ekpresi seniman tetap tidak

pernah berubah hingga saat ini karya seniman film tetap dirasakan. Seni

pertunjukan film semakin menapakkan kaki nya ke dalam lautan ekspresi si

commit to user 46 Ibid. Hal 24.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id104

pembuatnya. Semakin terampil dan berbakat seorang seniman menggunakan seni

untuk mengekspresikan isi hatinya, semakin tinggi dan bermutu seni yang ia

hasilkan dan semakin besar pula nama seniman itu. banyak nama-nama besar,

baik dalam bidang seni rupa, musik, tari, karawitan, pedalangan maupun sastra,

yang merupakan seniman dengan keterampilan dan bakatnya dalam

mengekspresikan jiwanya melalui seni. Jadi kebesaran para seniman itu selalu

terletak pada fungsi seni.

Manusia mengenal berbagai alat ekspresi. Alat ekspresi yang mengandung

unsur artistik itu adalah seni sedangkan yang tidak mengandung dan

mengutamakan unsur artistik adalah non seni. Demikianlah seni pertunjukan

sebagai alat ekspresi, telah membawa seniman ke puncak kebesarannya. Dan

sebaliknya, berkat seniman yang memanfaatkan seni untuk alat ekspresinya, maka

seni menjadi meningkat makin maju dan bermutu tinggi.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV

BENTUK KONTROL PEMERINTAH KOLONIAL TERHADAP

INDUSTRI FILM DI BATAVIA TAHUN 1900 – 1942

A. Terbentuknya Ordonansi Film ( Film Ordonnantie )

Pada masa kolonial, Ordonansi Film ( Film Ordonnatie ) bertujuan untuk

menghapuskan citra buruk dan menjaga martabat orang – orang kulit putih tang

tampil dalam film – film impor juga film buatan Hindia Belanda dan mengawasi

materi pertunjukan.

Guna mengantisipasi hal ini, pemerintah untuk pertama kalinya

mengeluarkan undang – undang mengatur film dan bioskop melalui Ordonnantie

Bioscoope yang dibentuk pada tanggal 18 Maret 1916. Ordonansi ini memberikan

hak pemeriksaan film oleh komisi regional yang ditunjuk gubernur jenderal.1

Ordonansi film pertama tahun 1916 berisi tentang pembentukan Komisi

Penilaian Film No.276 dan pengawasan pertunjukan film di kota – kota besar

No.277 dan pembentukan Komisi Film ( Film Comissie ). Ordonansi kedua ( 1919

) bernomor 377 berisi pembentukan sub – sub komisi film di daerah. Ordonasi

Ketiga ( 1920 ) No. 356, berisi penghapusan sub – sub Komisi Pengawasan Film

di Batavia, Semarang, Surabaya dan . Ordonansi keempat ( 1922 ) No.668

berisi tentang kewajiban membayar biaya penilaian film. Ordonansi kelima ( 1925

) No.477, terkait sentralisasi Komisi Penilaian Film. Ordonansi keenam tahun

1 Henny Saptatia, dkk. 2011. 111 Tahun Kronika Perfilman Indonesia. Jakarta: commit to user Kementerian dan Ekonomi Kreatif RI. Hal 27. 105

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id106

1926 No.478 merupakan penyempurnaan dari Ordonansi sebelumnya, dengan

penetapan anggaran untuk biaya operasional ( listrik, cetakan, dsb ). Ordonansi

ketujuh ( 1930 ) No.477 berisi Hak Pemilik Film mendapatkan keterangan ( ketika

pemilik film merasa dirugikan atau mengapa filmnya dilarang untuk diputar ).

Ordonansi yang terakhir tahun 1940 No.507, berisi penetapan tugas Komisi Film

yang salah satu nya, mengklasifikasi film sesuai usia penonton.

Ordonansi ini masih memberi peluang bagi bioskop untuk berkembang

dan mendatangkan film – film yang disukainya, mengingat peraturan lebih

bersifat pengawasan pada mekanisme perizinan sebelum film ditayangkan. Tidak

ada batasan yang jelas mengenai film yang diizinkan atau ditolak, hingga orang

cenderung menganggap Ordonansi ini memberi hak pemeriksaan film oleh komisi

regional yang ditunjuk gubernur jendral dan menganggap ordonansi pemerintah

hanya berkepentingan pada cukai impor dan pajak tontonan.

Peluang ini dilihat dengan jeli oleh para pengusaha bioskop. Ordonansi

tidak membatasi gerak mereka, sebaliknya merangsang perkembangan. Film –

film yang ditanyakan lebih beragam dan juga lebih cepat berganti prorgam dua

sampai tiga kali seminggu. Nieuw Weekblad vood de Cinematografie dalam

tulisannya tanggal 10 Juli 1925 menjelaskan bahwa bioskop di negeri ini

memutar film baru lebih cepat karena perputaran dan pergantian di bioskop lebih

cepat. Hampir setiap pekan ada film baru. Iklan di surat kabar ramai

mengumumkan diputarnya film – film baru dengan bumbu berbagai keajaiban dan

keheranan, hingga terus menarik minat penonton. Calon – calon penonton baru

pun berdatangan, bioskop makin marak. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id107

Bioskop sejalan dengan perkembangan tonil, makin menancapkan

jejaknya dan membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda.

Peraturan yang dibuat dan diterapkan secara longgar oleh pemerintah kolonial,

mengakibatkan banyak orang menganggap bioskop telah membawa pengaruh

buruk bagi rakyat pribumi. Termasuk merubah pandangan inlanders terhadap tuan

– tuan kulit putih yang berkuasa.

B. Kebijakan Sensor Film

Baru pada Ordonansi film 1925, yang diberlakukan 1 Januari 1926,

dilakukan pembaruan seputar masalah komisi film dengan meningkatkan sifatnya

yang regional menjadi sentral bagi seluruh Hindia Belanda. Komisi ini

beranggotakan 15 orang, termasuk 4 wanita Eropa, 1 wanita pribumi, 4 orang

berkebangsan bukan Eropa. Hak pengangkatan komisi ini berada ditangan

direktur pemerintahan dalam negeri.

Film yang masuk pun harus melalui kantor bea cukai Tanjung Priok untuk

diperiksa dan disensor komisi. Film yang ditolak dikembalikan ke bea cukai untuk

dipulangkan ke negara asal. Hanya yang lolos sensor yang diserahkan ke

importiruntuk diedarkan.

Sesuai dengan Staatsblad van Nederlandsch – Indie tahun 1940 No. 507

dilakukannya pencabutan “ Ordonansi Film 1925 “ dan penetapan peraturan baru

untuk memberantas bahaya – bahaya bagi kesusilaan dan bahaya – bahaya bagi

masyarakat yang berkaitan dengan pertunjukan – pertunjukan film. Sesuai dengan

penetapan Gubernur Jenderal Hindia Belanda atas nama Ratu, menganggap perlu commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id108

meninjau kembali peraturan – peraturan yang ada untuk pemberantasan bahaya –

bahaya kesusilaan dan bahaya – bahaya kemasyarakatan yang berkaitan dengan

pertunjukan film dan dengan maksud untuk mengadakan peraturan – peraturan

baru. Dengan mencabut ordonansi tanggal 9 September 1925 ( Lembaran Negara

2 477 ).

Dasar tindakan komisi , antara lain, pasal Ordonansi yang berbunyi film –

film yang oleh komisi pertunjukan dianggap bertentangan dengan keamanan

umum dan susila atau alasan – alasan lain yang bagi mereka berumur di atas tujuh

belas tahun dinilai dapat menimbulkan pengaruh yang menentang dan merusak,

diperiksa olehnya. Seperti tertera dalam

Komisi diberi kekuasaan dengan kriteria yang sangat luas, namun dalam

pelaksanaannya dituntut untuk memperhatikan perasaan – perasaan yang timbul

dari sudut politik, agama, atau sentimen kesukuan. Dari sudut ini, ordonansi

meperlihatkan keinginan campur tangan pemerintahan Hindia Belanda secara

politis dalam soal bioskop dan film, karena kekuatiran pengaruhnya bagi

kehidupan sosial politik yang sudah mapan dan berakar pada ideologi kolonial

yang rust en orde, yaitu mempertahankan keadaan aman tenteram negara

3 kolonial.

Dari latar belakang seperti itu lah, sudah dapat diduga hanya dalam waktu

singkat, setelah komisi menjalankan tugasnya dengan efisien, muncul masalah

2 Staatsblad van Nederlandsche – Indie 1940. No. 507. ( sumber yang sudah

diterjemahkan “ Lembaran Negara Hindia – Belanda “ 1940. No. 507 tentang “ Komisi Film “ ).

3 Haris Jauhari, 1992. Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: PT. commit to user Gramedia Pustaka Utama. Hal 20. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id109

akibat sensor yang dianggap kelewat ketat. Kerja komisi ini pun mendapat kritik

pedas seperti artikel yang dimuat Nieuw Weekblad voor de Cinematografie tahun

1925 sebagai berikut:

dan komisi film amat sinting pula cara kerjanya. Dia memiliki gunting besar

dan menggunting dengan seenaknya saja, apa yang menurut dia tidak dapat diloloskan .Gunting besar ditangan penguasa dan tak kenal kompromi, memang acap melahirkan situasi yang kurang menyenangkan. Film Madame Dubbary, misalnya, yang terutama tegang karena adegan tiang gantungnya, menjadi hambar dan mengecewakan karena seluruh bagian itu dipotong sensor.4

Importir film ini menanggung kerugian yang cukup besar karena filmnya

tidak laku. Para penonton Eropa , yang menjadi target pasar film tersebut, enggan

menonton karena bagian yang menarik sudah dibuang. Padahal, pembuangan

adegan tiang gantungan itu, menurut padra tukang sensor, justru agar kaum

pribumi tidak menyaksikan kejadian yang keji dan sadis yang dapat merusak citra

bangsa kulit putih. 5

Ramailah orang berpolemik mengenai sensor ini. Sebagian menyebutkan,

kenyatan tidak selamanya harus diungkap secara apa adanya di hadapan semua

orang. Ada orang yang cukup tahu garis besarnya saja karena berbagai

pertimbangan. Sebagian lagi menyatakan semua alasan bisa saja dipakai untuk

membenarkan tindakan komisi. Tetapi, itu adalah sejarah. Biar saja sebagaimana

adanya. Tak perlu sembunyikan dari mata siapa pun, termasuk kaum pribumi.

Puncak dari kesalahan orang pada komisi ini terangkai dalam kalimat di

Nieuw Weekblad tersebut. yang anehnya dari keadaan ini adalah, film yang

4 Geo. K. “ Nieuw Weekblad v.d. Cinematografie “. No.51. 41 Juli 10 ( 1925 ). Hal 3. commit to user 5 Ibid. hal 4. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id110

diperkirakan akan ditolak ternyata diloloskan, dan sebaliknya film – film yang

bermanfaat untuk pengetahuan ditolak atau dirusak sedemikian rupa.

Kecaman terus bergema dan Komisi Film tetap juga berjalan. Perhatian

orang kemudian lebih terarah pada persoalan dalam negeri yang tiap detik

merupakan peningkatan proses kebangkitan nasional, serta berita – berita sekitar

Perang Dunia I, yang secara tidak langsung mengguncang perekonomian Hindia

Belanda pula. Persoalan film dan bioskop tenggelam dalam masalah – masalah

besar itu. Para pengusaha bioskop yang terkena akibat peraturan ketat, mencari

jalan keluar sendiri dengan terobosan baru. Film – film lolos sensor yang kadang

menjadi terlalu pendek untuk diputar sebagai sebuah film cerita, di gabung dengan

film “ pendek “ lainnya, hingga menjadi gabungan beberapa film yang kemudian

terkenal dengan sebutan Sortie.

Sortie menjadi model pertunjukan baru yang diminati banyak orang. Hal

tersebut telah menyadarkan diri pada keutuhan cerita, karena merupakan bagian

dari gunting – guntingan sensor, tetapi hanya mengetengahkan bagian – bagian

yang seru dari film – film itu, seperti sejumlah adegan perkelahian disambung

dengan adegan – adegan lucu, lalu dilanjutkan dengan adegan – adegan romantis,

6 dan seterusnya.

Sejalan dengan makin bergairahnya dunia perfilman dan bioskop, kerja

komisi pun makin ketat dan membuat sejumlah bioskop protes dengan menolak

memutar film. Peristiwa ini menjadi salah satu dorongan bagi pemerintah berkali

6 Sarief M, Arief. 2009. Politik Film Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu. Hal 27. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id111

– kali menyempurnakan peraturan dengan mengeluarkan Ordonansi 1940 No.

507.

Banyak kritik pedas bermunculan terjadi akibat kebijakan Komisi Film

yang dianggap serampangan dalam melayangkan gunting besar nya terhadap film

– film yang dikehendaki nya. Respon tersebut sangat jelas sekali tergambarkan

oleh kritik – kritik akan kebijakan yang merugikan dan mengharapkan Komisi

Sensor dapat digantikan oleh suatu Komisi Film yang lebih bertanggung jawab

dan tepat untuk menjalankan tugas peninjauan serta pemeriksaan terhadap sebuah

film yang akan disensor

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB V

PENUTUP

Diperkenalkannya bentuk hiburan film kepada penduduk di Batavia

khususnya dan di Hindia Belanda pada umumnya, film belumah dapat diterima

sebagai bentuk hiburan yang digemari penonton. Hal ini disebabkan beberapa hal.

Pertama, masih adanya bentuk – bentuk seni pertunjukan lain, seperti tonil Eropa,

Tonil Melayu, Sandiwara, Stambul. Kedua, bentuk pertunjukan film masih berupa

film dokumenter yang relative sedikit membawa penonton terhibur. Hal ini

disebabkan film dokumenter semata – mata memperlihatkan peristiwa yang

terjadi disuatu tempat tanpa mengajak penonton untuk terhibur dengan membawa

mereka ke dunia impian.

Ketika film cerita masuk ke Hindia Belanda dengan menampilkan

serangkaian cerita, actor serta membawa penonton ke dunia impian, maka menjadi

sejajarlah kedudukan film dengan bentuk – bentuk seni pertunjukan lainnya yang

sifatnya menghibur. Pada waktu inilah penduduk sudah mulai dapat memberikan

pilihannya terhadap bentuk seni yang ingin ditontonnya.

Sejalan dengan perkembangan film di Hindia Belanda terjadi pula

perkembangan kota – kota tertentu di Hindia Belanda seperti perkembangan kota

Batavia.. Perkembangan kota – kota tersebut untuk mencari pekerjaan dan

bersekolah. Pada kondisi demikian inilah masyarakat ingin menikmati

pertunjukan yang relatif singkat atau selesai pada waktu itu. Artinya satu jalinan

cerita dari awal hingga akhir dapatcommit diselesaikan to user dalam satu kali pertunjukan.

112

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id113

Kemudian dibutuhkan pula oleh penonton tempat untuk menonton pertunjukan

yang sifatnya menetap sehingga dapat secara teratur menyususn penonton untuk

melihat pertunjukan. Gedung bioskop bagi pertunjukan film disediakan untuk

penonton film dan pertunjukan film lah yang dapat memenuhi kebutuhan hiburan

penduduk di perkotaan ketika itu.

Film yang masuk ke Hindia Belanda umunya adalah film genre yang titik

beratnya membawa penonton ke dunia impian tanpa perlu mengajak penonton

untuk memikirkan mengenai adegan dan alur cerita yang ada di dalam film itu.

Karena sebagian film – film genre itu adalah film – film hasil produksi Barat (

Amerika Serikat dan Eropa ) maka hanya hasil produksi Barat itulah yang dilihat

oleh penonton. Film – film pada umumnya memperlihatkan gambar mengenai

perkelahian, pemerkosaan, percintaan dengan adegan seks maupun perilaku orang

Barat di dalam menyelesaikan suatu masalah tanpa melalui jalur hukum.

Dalam perkembangannya film – film yang dibuat di Indonesia, mengikuti

film – film Hollywood. Perkembangan genre semakin deras, seniman – seniman

lokal mulai menarik cerita dari panggung sandiwara sebagai formula untuk

menarik penonton. Selain itu film – film Hollywood yang masuk di bioskop –

bioskop besar seperti Batavia lebih diminati oleh kalangan kelas atas dan

menengah hal ini terjadi karena orang – orang Asing Eropa dan Intelektual di

Batavia khususnya menilai film dengan nuansa Budaya Asing ( Amerika ) lebih

mewakili citra orang – orang Eropa yang merasa mempunyai status sosial yang

lebih tinggi dibandingkan golongan lainnya.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id114

Pada tahun 1939 merupakan awal produksi film di Batavia membanjiri

industri perfilman dan perbioskopan. Film Terang Boelan yang banyak ditonton

dianggap mampu menarik perhatian banyak masyarakat pada waktu itu khususnya

mereka yang golongan kelas bawah. Dengan formula yang diambil dari dunia

panggung dan juga menggunakan aktris dan aktor dari dunia panggung yang

sudah terkenal. Maka para seniman perfilman mulai mengetahui resep dalam

pembuatan film. Hingga akhir 1942 film – film produksi seniman lokal

mengangkat cerita – cerita dari panggung sandiwara dan film – film yang disadur

dari film – film Hollywood.

Hal ini yang mengakibatkan pesatnya film – film genre membanjiri

industri perfilman tanah air. Para seniman yang mula nya berasal dari dunia

panggung dan jurnalis mulai melihat progress dari industri film yang bisa

dijadikan peluang bisnis. Film – film seperti produksi Amerika yang berjenis laga,

percintaan, horror dan detektif, mulai merasuk ke dalam film – film lokal. Film

Son of Zorro produksi Amerika telah mengilhami seniman Tan Tjoei Hock untuk

membuat film yang sama.

Pada waktu itu penduduk pribumi yang mengerti bahasa Belanda,

sehingga bukan alur cerita yang diperhatikan penonton pribumi melainkan gambar

dalam film itu saja yang menjadi pusat kecemasan di banyak penduduk Eropa.

Mereka takut citra “ negatif “ orang Barat dalam gambar film itu akan

menyadarkan penduduk pribumi dan menganggap bahwa derajat yang tinggi dari

orang Barat dalam gambar film itu akan menyadarkan penduduk pribumi.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id115

Kemudian pemerintah kolonial mengambil suatu kebijakan untuk

membentuk suatu komisi bagi pengguntingan gambar dalam film yang diberi

nama Komisi Sensor Film. Keberadaan komisi ini tidak dimaksudkan untuk

membatasi jumlah film Barat yang masuk ke Hindia Belanda, namun mencoba

memberikan kewenangan kepada anggota – anggota komisi itu untuk

menggunting gambar dari film – film impor yang menurut penafsiran anggota

komisi itu tidak baik untuk di tonton oleh penduduk di Hindia Belanda.

Kelemahan – kelemahan dalam peraturan perfilman tahun 1916 dicoba

diperbaiki dengan dikeluarkannya peraturan tahun 1919. Inti pokok dari

peraturan tahun 1919 itu adalah diberlakukannya pembentukan komisi sensor di

daerah – daerah yang diperkirakan peredaran film nya telah banyak. Kemudian,

dibuat pula tiga kriteria sebuah film sebagai hasil pemeriksan komisi sensor.

Kriteria itu adalah lolos sensor, lolos sementara dan tidak lolos sensor.

Tahun 1920 dan 1922 dikeluarkan lagi suatu kebijakan untuk menghapus

keterikatan sub – sub komisi daerah terhadap komisi sensor utama di empat kota

seperti yang diberlakukan dalam peraturan tahun 1919. Sejalan dengan itu pula

diadakan pembayaran bagi pemeriksaan sebuah rol judul film. Namun kebijakan

tahun 1920 dan tahun 1922 yang bertujuan mengefektifkan peraturan tahun 1919

itu ternyata tetap tidak dapat mengefektifkan kerja anggota komisi sensor.

Keadaan yang terjadi hingga tahun 1924 itu menyebabkan munculnya beragam

kritik terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Para importir film serta pemilik

gedung bioskop melihat kerja para anggota komisi sensor tidak menjadi efektif

karena mereka tidak bekerja secara tetap dalam komisi sensor yang berakibat commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id116

lamanya waktu pemeriksaan sebuah judul film. Apalagi biaya pemeriksaan, yang

dikenakan cukup tinggi semakin besar pula biaya yang akan dikenakan kepada

pemilik film.

Tahun 1925, pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan baru mengenai

perfilman. Kebijakan itu menghapus kriteria lolos, lolos sementara dan tidak lolos

sensor. Yang ada hanyalah lolosan dan tidak lolos sensor. Kemudian lembaga

komisi sensor film dimasukan dalam Departemen Dalam Negeri ( Departemen

Binnelands Bestuur ) serta diberikannya gaji tetap kepada ketua dan sekretaris

komisi sensor dan honor kepada anggota komisi sensor.

Adanya peraturan baru tahun 1925 - 1930 tidak ada peraturan baru dari

pemerintah kolonial. Ini dikarenakan adanya usaha untuk membuat film cerita

bisu di Hindia Belanda. Film yang mengetengahkan cerita dan aktor pribumi itu

diharapkan oleh pemerintah kolonial dapat mengimbangi citra negatif perilaku

orang barat dalam film – film impor.

Dari tahun 1930 hingga 1940 pemerintah kolonial tidak mengeluarkan

kebijakan baru mengenai perfilman. Ini disebabkan semakin banyaknya film –

film yang diproduksi di dalam negeri dan diharapkan mampu untuk mengimbangi

citra negatif perilaku orang Barat dalam film impor. Namun mahalnya biaya

produksi film di dalam negeri dan murahnya biaya pembelian film impor yang

beredar di Hindia Belanda. Untuk itulah pada tahun 1940 dibuat sebuah kebijakan

baru dalam bidang perfilman oleh pemerintah kolonial.

Kebijakan tahun 1940 dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah hasil film

dalam negeri. Untuk itu, hampir seluruh film produksi dalam negeri tidak commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id117

dikenakan batasan usia penonton yang akan menonton. Seperti diberlakukan

dalam kebijakan tahun 1940. Kemudian ditetapkan pula produsen film dalam

negeri utnuk mengekspor film produksinya ke luar negeri.

Masuknya Orang – orang Tionghoa yang sejak awal munculnya industri

film di Batavia, telah mendominasi semua usaha dari pemilik perusahaan film,

sutradara, penulis naskah, pemilik bioskop dan aktor / aktris. Produksi film – film

Tionghoa sekitar tahun 1920 – an telah membuktikan pengaruh nya kalangan

Tionghoa yang cukup besar dalam perkembangan dunia perfilman. Film – film

hasil produksi mereka lebih kearah film cerita kuno yang diambil dari cerita –

cerita legenda masyarakat Tionghoa. Film bagi mereka dianggap suatu barang

yang komersil untuk mencari keuntungan finansial. Seniman Tionghoa lebih

bertujuan untuk menarik minat penonton untuk suatu yang bersifat komersil

bukan berdasarkan ekspresi seni yang seutuhnya.

Pada tahun 1900 – 1942 memang industri perfilman mulai perlahan

bangkit, film lokal tetap berproduksi dan mencari formula untuk membuat film

laris dan banyak diminati kalangan intelektual. Para seniman panggung mulai

terjun ke dunia perfilman, mereka beralih profesi. Film yang saat itu memang

merupakan teknologi baru yang dianggap menjadi suatu seni pertunjukan baru

telah bertransformasi menjadi suatu bentuk bisnis yang semata – mata hanya

untuk sesuatu yang komersil. Batavia yang merupakan pusat perkembangan film

yang paling pesat, ditandai dengan menjamurnya bioskop – bioskop dan

perusahaan film yang kian hari kian meningkat produksinya. Saksi bisu dari

lahirnya suatu perkembangan kota yang menandai Batavia sebagai kota besar ( commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id118

Megapolitan ). Kultur yang dibawa oleh orang – orang Eropa di kota ini sangat

terlihat dari proses akulturasi nya disegala lini termasuk seni pertunjukan yang

berkembang setelah masuknya film – film impor Amerika. Seni yang pada

dasarnya merupakan suatu keindahan dan kreatifitas yang diluapkan oleh para

seniman ini ternyata tidak seutuhnya seni yang sebenarnya. Ekspresi sineas

perfilman didapat dari apa yang mereka lihat dan pengalaman dalam

menghasilkan film. Seniman – seniman ini senantiasa mencari formula untuk

tetap menarik semua kalangan penonton. Mereka lebih banyak terinsipasi oleh

cerita – cerita dari film – film Hollywood yang dianggap lebih menarik perhatian

dan lebih menjanjikan keuntungan. Aliran ini lah yang disebut genre menancap

kuat pada diri sineas – sineas film yang sampai sekarang ini banyak memproduksi

film hanya semata – mata bernilai komersil.

commit to user