PEREMPUAN TERBUNGKAM DALAM R.A. MOERHIA: PERINGETAN MEDAN 1929—1933 KARYA NJOO CHEONG SENG: SEBUAH KAJIAN SUBALTERN SPIVAK*) (Silenced Woman in Njoo Cheong Seng’s R.A. Moerhia: Peringetan Medan 1929— 1933: A Spivak’s Subaltern Study) Cahyaningrum Dewojati Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Indonesia Jalan Sosio Humaniora 1 Bulaksumur, Yogyakarta, 55281 Telepon penulis +628122733032 Pos-el: [email protected] Diterima: 19 Januari 2021, Disetujui: 9 Maret 2021 ABSTRAK Pada masa Hindia Belanda, perempuan bumiputra mendapatkan banyak penindasan sehingga mendorong mereka menjadi pihak subaltern. Subaltern merujuk kepada pihak yang berposisi inferior dan tunduk kepada pihak dari kelas berkuasa. Pihak subaltern tidak memiliki kemampuan untuk bersuara. Permasalahan tersebut dapat ditemukan dalam novel R.A. Moerhia: Peringetan Medan 1929—1933 karya Njoo Cheong Seng. Penelitian ini membahas subalternitas perempuan bumiputra pada masa Hindia Belanda dan berbagai bentuk penindasan yang dialami dalam novel R.A. Moerhia: Peringetan Medan 1929—1933 karya Njoo Cheong Seng melalui teori subaltern Spivak dengan metode deskriptif analitis. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat penindasan terhadap perempuan bumiputra sebagai pihak subaltern. Bentuk penindasan tersebut seperti ketidaksetaraan posisi yang menempatkan perempuan bumiputra sebagai nyai serta pelekatan stereotip buruk yang bersifat selayaknya barang, materialistis, dan digambarkan suka menggunakan hal irasional, misalnya sihir. Kata kunci: perempuan, bumiputra, subaltern, R.A. Moerhia ABSTRACT During the Dutch East Indies period, Indigenous women had an immense amount of oppression that classified them as the subalterns. Subaltern refers to people that is inferior and submits to people from the dominant class. The subalterns do not have the right to voice their opinions. This issue can be found in the novel, R.A Moerhia: Peringetan Medan 1929-1933 (R.A. Moerhia: Memories of Medan 1929-1933) by Njoo Cheong Seng. This research discusses the subalternity of Indigenous women in the Dutch East Indies as well as the different forms of oppression they endured, which are depicted in the novel, through Spivak’s subaltern theory utilising the analytical descriptive method. The results indicate that there is oppression towards Indigenous women as the subalterns. The form of oppression include inequality of positions that place Indigenous women as nyais and being stereotyped abysmally as being materialistic as well as portrayed as undertaking in acts that were irrational, e.g. magic. Keywords: women, Indigenous, subaltern, R.A. Moerhia PENDAHULUAN ini pada abad ke-20, stratifikasi rasial tetap menjadi landasan struktur Dalam sejarah kolonialisme di Hindia kolonial, baik di dalam aspek sistem Belanda, perempuan bumiputra sering hukum, layanan sipil, maupun berada dalam posisi yang pendidikan (Fasseur, 1995; bdk. termaginalkan di masyarakat. Mereka Locher-Scholten, 2000: 18). berada dalam posisi yang rentan Pemerintah kolonial Belanda pada dimanfaatkan oleh kelompok- dasarnya membentuk peraturan kelompok dominan, baik dalam tersebut dengan maksud tertentu, lingkup terkecil, seperti keluarga dengan tujuan memisahkan golongan- maupun lingkup terbesar yakni tatanan golongan ras di Indonesia agar ras masyarakat. Hal itu menyebabkan penguasa (orang-orang Belanda) lebih banyak perempuan bumiputra superior dibandingkan golongan ras terperangkap di dalam posisi sebagai lainnya dan adanya anggapan bahwa pihak yang tertindas dan kehilangan golongan-golongan lain yang kemampuan untuk membela diri atau diperintah bersifat inferieur atau tidak memperjuangkan posisi dirinya agar cakap dalam memerintah setara dengan yang lain. Posisi para (Onghokham, 2009; bdk. Dewojati, perempuan bumiputra tersebut 2018: 7). umumnya makin sulit dengan kondisi Keberadaan perempuan, baik masyarakat Hindia Belanda yang pada pribumi, Tionghoa, maupun Belanda saat itu tersegregasi berdasarkan ras. di Hindia Belanda saat itu terefleksi Seperti diketahui, pemerintah kolonial dengan jelas dalam karya sastra yang Belanda membentuk stratifikasi sosial ditulis oleh sebagian besar pengarang yang membagi masyarakat Hindia ke pada masa itu, termasuk pengarang dalam tiga golongan. Terdapat tiga peranakan Tionghoa. Karya-karya kelompok hukum yang berbeda yang seperti Peniti-Dasi Barlian (1922) diakui oleh hukum kolonial Belanda karya Tan King Tjan, Njai Isah (1931) pada abad ke-20. Kelompok-kelompok karya Sie Lip Lap, Kasopanan Timur tersebut meliputi orang-orang Eropa, (1932) karya Dahlia, dan Djeng orang-orang Timur Asing (Tionghoa Soepiah (1934) karya Sonja dan Arab), dan orang-orang bumiputra menghadirkan keberadaan perempuan- (Fasseur, 1995; bdk. Locher-Scholten, perempuan bumiputra, Tionghoa, 2000: 18). ataupun Belanda dengan berbagai Hal ini dilegitimasi secara resmi macam konflik yang menaungi para oleh perbedaan kebutuhan hukum perempuan tersebut. Salah satu karya sehingga menghasilkan suatu hal yang sastra yang ditulis oleh pengarang disebut sebagai ‘apartheid legal’, yang peranakan Tionghoa adalah R.A. menggunakan bentuk-bentuk berbeda Moerhia: Peringetan Medan 1929— di domain-domain yang berbeda. 1933. Karya tersebut merupakan Meskipun terdapat beberapa kebijakan sebuah karya sastra Melayu Tionghoa etis yang berupaya menghapus sistem yang ditulis oleh Njoo Cheong Seng. 20 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021 Karya ini diterbitkan di Surabaya pada satu pengarang yang patut tahun 1934 melalui penerbit Tjerita diperhitungkan dalam kancah sastra Roman. R.A. Moerhia: Peringetan Melayu-Tionghoa. Njoo, sesuai Medan 1929—1933 kembali dengan deskripsi menurut Jedamski, diterbitkan dalam sebuah antologi merupakan salah seorang pengarang karya sastra Melayu-Tionghoa sastra peranakan Tionghoa yang berjudul Kesastraan Melayu Tionghoa paling terkenal, paling kreatif, dan dan Kebangsaan Indonesia Jilid 9 paling produktif pada abad ke-20. Di pada tahun 2005 bersama dengan samping sebagai pengarang ataupun karya-karya sastra Melayu-Tionghoa novelis, Njoo dikenal pula berprofesi lainnya. Karya ini memiliki ketebalan sebagai seorang jurnalis, penerjemah, sejumlah 73 halaman. dan editor. Selain itu, Njoo juga aktif Sebagai pengarang peranakan menulis naskah untuk pertunjukan Tionghoa, Njoo Cheong Seng teater dan film (Jedamski, 2009: 354). merupakan salah seorang pengarang R.A. Moerhia: Peringetan terkemuka pada zamannya dengan Medan 1929—1933, selanjutnya berbagai karya yang menarik. disebut R.A. Moerhia mengisahkan Produktivitas Njoo yang cemerlang dinamika kehidupan dari seorang dapat dilihat melalui berbagai karya perempuan Jawa bernama Raden yang berhasil dibuatnya. Beberapa Adjeng Moerhia. Sebagai anak dari judul karyanya, antara lain Menikah seorang pensiunan wedana, Raden dalem Koeboeran (1925), Gagal Adjeng Moerhia menghadapi (1925), Nona Ollanda sebagai Isteri permasalahan ketika ia menjalin Tionghoa (1925), Boeaja Soerabaja hubungan dengan seorang laki-laki (1926), Tjoe Kiat Liang; Djojobojo Belanda totok bernama Willy van ataoe Dari Mana Atsalnya Galen. Raden Adjeng Moerhia adalah Boemipoetra Djawa? (1926), Boeat salah satu tokoh novel yang ditulis Apa Ada Doenia (1929), dan Raden oleh Njoo Cheong Seng yang Adjeng Moerhia (1934) (Salmon, digambarkan memiliki pemikiran 1981; bdk. Setyautama, 2008: 254). ultramodern. Dalam novel ini, tokoh Njoo, yang juga memiliki nama ini digambarkan pengarangnya harus samaran Monsieur Amor atau menghadapi kenyataan bahwa sang Monsieur d‘Amor, lahir pada tanggal ayah, R.M. Hadikoesoemo dan sang 6 November 1902 di Malang, Jawa kakak laki-laki, Raden Soedjono Timur (Salmon, 1981; bdk. menentang keras hubungannya dengan Setyautama, 2008: 253). Selain Willy, lelaki beretnis Belanda karena dengan dua nama yang telah perbedaan ras. Selain itu, penentangan disebutkan, Njoo juga kerap tersebut juga dipengaruhi oleh menggunakan nama samaran lain pandangan mereka yang menolak seperti N.C.S atau N.Ch.S keras adat istiadat Barat. (Ensiklopedia Jakarta, 2012). Njoo Perbedaan ideologi dalam novel mendapatkan pengakuan sebagai salah ini yang digambarkan terlalu keras di Perempuan Terbungkam dalam R.A. Moerhia:... (Cahyaningrum Dewojati) 21 antara Raden Adjeng Moerhia dengan konteks kolonialisme Belanda di tanah keluarganya membuat perempuan itu Hindia, ketidakseimbangan relasi pada akhirnya menempuh jalan pintas kuasa tersebut dialami oleh pihak dengan memutuskan untuk kawin lari terjajah yang mengalami penindasan dengan kekasihnya. Namun, dari pihak penjajah. Pihak terjajah digambarkan dalam cerita ini, yang mengalami penindasan tersebut kebahagiaan dan suka cita pernikahan pada akhirnya sering kali terjebak ke yang dirasakan oleh Raden Adjeng dalam posisi sebagai subaltern. Moerhia itu menjadi antiklimaks. Subaltern dapat diartikan Ungkapan pihak keluarga Raden sebagai (seseorang atau kelompok) Adjeng Moerhia tentang kebiasaan yang berasal dari golongan yang lelaki Belanda digambarkan mulai inferior atau lebih rendah. Subaltern menjadi kenyataan ketika suatu saat merupakan istilah yang diadopsi oleh Willy berniat untuk kembali ke Antonio Gramsci dan merujuk kepada Belanda tanpa sepengetahuan sang kelompok-kelompok di dalam istri. Selain itu, meskipun keduanya masyarakat yang tunduk kepada berada dalam suatu ikatan perkawinan, hegemoni dari kelas penguasa. pandangan masyarakat terhadap Kelompok subaltern dapat terdiri atas pasangan tersebut tidaklah demikian. petani, pekerja, dan kelompok- Baik Raden Adjeng Moerhia maupun kelompok lainnya yang menolak akses Willy van Galen harus menerima ke
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages20 Page
-
File Size-