Detektif) Gagaklodra Tentang Masyarakat Cina

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Detektif) Gagaklodra Tentang Masyarakat Cina PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI IMAJINASI (DETEKTIF) GAGAKLODRA TENTANG MASYARAKAT CINA 1930-1953 TESIS Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Disusun oleh: Heri Kusuma Tarupay NIM: 146322017 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2018 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI IMAJINASI (DETEKTIF) GAGAKLODRA TENTANG MASYARAKAT CINA 1930-1953 Heri Kusuma Tarupay ABSTRAK Dua tahun sesudah Sumpah Pemuda 1928 dan dua puluh dua tahun setelah dibentuknya Budi Oetomo 1908, serial detektif Gagaklodra (1930) mulai diterbitkan. Serial yang terbit antara tahun 1930-1953 ini ditulis oleh seorang Cina peranakan bernama Njoo Cheong Seng (1902-1962). Njoo adalah juga wartawan, penulis novel dan pemain drama yang lahir dan hidup pada periode kolonial Hindia- Belanda, pendudukan Jepang dan Indonesia awal. Perannya sebagai wartawan dan novelis telah membantunya untuk lebih jeli melihat situasi dan kondisi masyarakat, menulis dan kemudian mengabarkan kepada para pembacanya. Hal yang paling spesial adalah keterlibatannya dalam dunia pertunjukan yaitu teater profesional, telah membawanya ke berbagai tempat di Hindia, India dan wilayah sekitarnya. Kehadirannya sebagai wartawan dan novelis di berbagai tempat, dalam berbagai konteks sosial dan politis dan keterlibatannya dalam peristiwa-peristiwa tertentu, telah membentuk pengalamannya untuk menghasilkan keterbayangan secara serialitas masyarakat nasionalis ideal seturut gagasan Benedict Anderson. Tulisan ini merangkaikan kehidupan Njoo Cheong Seng, dengan kondisi sosial, politik dan budaya yang memungkinkan ambivalensi Gagaklodra (detektif sekaligus kriminal) hadir di masyarakat. Merentang dalam periode kekuasaan Hindia Belanda (1930-1942), Jepang (1942-1945) dan Indonesia awal (1945-1953), Gagaklodra memperlihatkan permasalahan kriminal dalam masyarakat kolonial berupa struktur yang timpang, ambivalen, dan keterbayangan ironis yang membuat masyarakat Cina terus-menerus mengalami diskriminasi SARA hingga Indonesia kontemporer. Dalam konteks inilah, Gagaklodra menyuarakan nasionalisme kerakyatan sebagaimana muncul pada masa revoloesi pemoeda (1942-1946). Gagasan Nasionalisme kerakyatan inilah yang oleh Benedict Anderson dianggap mampu memberikan keterbayangan akan suatu bangsa yang disebutnya “sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka” (Anderson, 2008: 8). Pada titik inilah, Gagaklodra berusaha menunjukkan gagasan yang kreatif, alternatif atau revolusioner mengenai masyarakat plural berdasar nasionalisme kerakyatan. Kata Kunci: Njoo Cheong Seng, Gagaklodra, Kriminal, Detektif, Cina vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI THE IMAGINATION OF GAGAKLODRA (THE DETECTIVE) ABOUT CHINESE SOCIETY 1930-1953 Heri Kusuma Tarupay ABSTRACT Two years after Sumpah Pemuda (the Youth Pledge) in 1928 and twenty two years after Budi Utomo was established in 1908, the series of Gagaklodra detective (1930) was created. This serial story launched in 1930-1953 was written by a Chinese descendant Njoo Cheong Seng (NCS) (1902-1962). Besides being a writer, NCS is also a journalist, a novelist, as well as a theater actor who born and lived during Netherland-Indies colonization, Japanese occupation and early Indonesia. His role as a journalist and a novelist helped him to carefully observe the social conditions, which then written and shared to the readers. The most special thing is his involvement in the stage performance, which is a professional theater, that had brought him to many places in the Netherland Indies, India and its surroundings. His presence as a journalist and a novelist in many places, in lots of sociopolitical context and his involvement in the particular moments, had built his experiences to create series imagination about an idealistic-nationalist society, as followed in Benedict Anderson’s concept. This writing intertwines the life of NCS by carrying social, cultural and political conditions which possibly overcomes the ambivalence of Gagaklodra (as a detective yet a criminal) in the society. Among the periods of Netherland Indies governance (1930-1942), Japanese occupation (1942-1945), and early Indonesia (1945-1953), Gagaklodra portrays criminal problems in the relation to colonialized society which have imbalanced social structures, ambivalence, and ironic imagination that dragged Chinese people continuously undergo the identity discrimination (ethnic, religion, and race) until the period of contemporary Indonesia. By this context, Gagaklodra echoes nationalism as it occurs in the time of youth revolution (1942-1945). This idea of Anderson’s Nationalism enables to provide imagination about a nation ‘it is imagined because the members of even the smallest nation will never know most of their fellow-members, meet them, or even hear of them, yet in the minds of each lives the image of their communion’ (Anderson, 1998: 6). At this point, Gagaklodra tries to convey a creative, alternative, and revolutionary ideas about plural society based on the nationalism. Keywords: Njoo Cheong Seng, Gagaklodra, Criminal, Detective, Chinese vii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KATA PENGANTAR Dengan selesainya tesis ini ditulis, selesai pula kewajiban terhadap institusi pendidikan tempat penulis menuntut ilmu selama lebih dari tiga tahun sejak diterima pertama kali menjadi mahasiswa di Program Studi Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma pada bulan Agustus 2014. Bahan untuk topik ini pertama kali diperkenalkan oleh Drs. Dias Pradadimara, MA., dosen selama menempuh pendidikan di tingkat S1 jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin dalam satu perbincangan di Ruang Jurnal Lensa Budaya, tempat penulis bekerja membantu beliau sehari-harinya setelah menyelesaikan pendidikan S1. Pada waktu itu yang dibayangkan adalah imajinasi terhadap kota kolonial saat serial ini mulai ditulis. Seperti juga yang sudah diulas oleh Doris Jedamski dalam penelitiannya mengenai serial detektif di Hindia. Setelah menemukan bahan lengkap tulisan Gagaklodra, yang melengkapi dua koleksi pertama penulis, yang dibantu oleh Umar (olehnya itu penulis berterima kasih), titik pandang ini berubah, dengan lebih melihat imajinasi mengenai masyarakat Cina. Perubahan pandangan ini, tidak akan bisa berjalan mulus, tanpa bantuan rekan-rekan angkatan 2014 IRB, dimana sebelum benar-benar diperbincangkan dalam mata kuliah formal untuk penulisan proposal, kami telah berdiskusi panjang lebar mengenai topik rekan- rekan seangkatan. Olehnya itu terima kasih kepada Abet, Bang Andreo, Cholis, Linda, Ben, Bang Riston, Pinto, Dalijo, Malcom, Bayu, Arman, Topan, Wawan, Frans, Ajay Can, Wisnu, Martha, Wahono untuk sumbangan pemikiran dan semoga persahabatan kita tetap terjaga. viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Rasa-rasanya sulit membayangkan bentuk tesis seperti yang ada saat ini, tanpa bimbingan dari Dr. Katrin Bandel selaku Pembimbing I dan Dr. Alb. Budi Susanto, S.J., selaku Pembimbing II. Keduanya telah memberikan masukan sesuai dengan bidangnya masing-masing terhadap penulis, untuk itu hormat dan terima kasih penulis sampaikan. Dosen di Ilmu Religi dan Budaya, Prof. Dr. Supratiknya, Dr. St. Sunardi, Dr. G. Budi Subanar, S.J., Dr. Baskara T. Wardaya, S.J., Dr. Y. Tri Subagya, Dr. Bagus Laksana, S.J., Dr. Yustina Devi Ardhiani, M. Hum., dan Dr. Phil. Vissia Ita Yulianto, dengan bidang ilmu masing-masing dan berbagai jenis mata kuliah telah memberikan ilmu baru, penulis sampaikan salam hormat dan terima kasih. Kepada para staf administrasi, Mbak Christina Desy Hapsari, Mbak Dwityas Anindita dan Pak Mulyadi Aloysius, terima kasih untuk bantuan pelayanan yang luar biasa selama penulis menempuh pendidikan di IRB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan yang penulis temui saat menempuh pendidikan di IRB, yang karena keterbatasan ruang tidak dapat disebutkan satu- persatu. Terima kasih untuk Putri Ayu Rezkiyana persahabatannya selama beberapa bulan terakhir ini dan atas bantuannya membaca abstrak dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Selama menempuh pendidikan di Yogyakarta, penulis mendapat banyak bantuan dari keluarga Bu Bondan Hermani Slamet dan Bu Retno Murwanti, penulis ucapkan banyak terima kasih. Penulis sulit membayangkan untuk bisa sampai pada tahap ini, tanpa bantuan dari beliau. Untuk kedua kalinya, karya tulis yang penulis telah selesaikan, kupersembahkan kepada Papa Darius Tarupay, BA dan Mama Ranti S. Doda. ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Keduanya tidak pernah tahu topik yang penulis kerjakan, akan tetapi mereka selalu memberikan kebebasan dan dorongan untuk pendidikan penulis. Tidak ada yang lebih bernilai selain Papa dan Mama. Kepada ketiga saudara penulis, Benny Tarupay, Utami Dewi dan Aditya Tarupay, terima kasih untuk dorongannya selalu dan terima kasih sudah menggantikan tugas menjaga Papa dan Mama selama penulis menempuh pendidikan. Tidak ada nama-nama yang telah penulis sebutkan dalam kata pengantar ini yang bertanggungjawab terhadap kesalahan dalam
Recommended publications
  • Discourses Exploring the Space Between Tradition and Modernity in Indonesia
    In the 8th International Indonesia Forum Conference DISCOURSES EXPLORING THE SPACE BETWEEN TRADITION AND MODERNITY IN INDONESIA i Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). ii In the 8th International Indonesia Forum Conference DISCOURSES EXPLORING THE SPACE BETWEEN TRADITION AND MODERNITY IN INDONESIA Editorial Board: Hermanu Joebagio, Frank Dhont Pramudita Press iii In the 8th International Indonesia Forum Conference Sebelas Maret University, Solo, Indonesia 29 – 30 July 2015 Organized by: Sebelas Maret University and International Indonesia Forum DISCOURSES EXPLORING THE SPACE BETWEEN TRADITION AND MODERNITY IN INDONESIA Editorial Board: Hermanu Joebagio, Frank Dhont Paper Contributor:
    [Show full text]
  • An Annotated List of Chinese-Malay Publications Compiled by Tom
    THE “KWEE COLLECTION” AT THE FISHER LIBRARY (UNIVERSITY OF SYDNEY) An annotated list of Chinese-Malay publications Compiled by Tom Hoogervorst on the basis of library research carried out in October 2019, with financial support from a Sydney Southeast Asia Centre mobility grant CONTENTS Introduction .............................................................................................................................. 3 Abbreviations ............................................................................................................................ 6 1. Poetry ................................................................................................................................. 7 1.1. Han Bing Hwie ................................................................................................................ 7 1.2. “J.S.H.” ............................................................................................................................ 7 1.3. Jap King Hong ................................................................................................................. 7 1.4. Kwee Tek Hoay ............................................................................................................... 8 1.5. “Merk Tek Liong & Co” ................................................................................................. 8 2. Original Fiction ................................................................................................................. 9 2.1. Kwee Seng Tjoan ............................................................................................................
    [Show full text]
  • Perempuan Terbungkam Dalam R.A. Moerhia: Peringetan Medan 1929—1933 Karya Njoo Cheong Seng: Sebuah Kajian Subaltern Spivak*)
    PEREMPUAN TERBUNGKAM DALAM R.A. MOERHIA: PERINGETAN MEDAN 1929—1933 KARYA NJOO CHEONG SENG: SEBUAH KAJIAN SUBALTERN SPIVAK*) (Silenced Woman in Njoo Cheong Seng’s R.A. Moerhia: Peringetan Medan 1929— 1933: A Spivak’s Subaltern Study) Cahyaningrum Dewojati Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Indonesia Jalan Sosio Humaniora 1 Bulaksumur, Yogyakarta, 55281 Telepon penulis +628122733032 Pos-el: [email protected] Diterima: 19 Januari 2021, Disetujui: 9 Maret 2021 ABSTRAK Pada masa Hindia Belanda, perempuan bumiputra mendapatkan banyak penindasan sehingga mendorong mereka menjadi pihak subaltern. Subaltern merujuk kepada pihak yang berposisi inferior dan tunduk kepada pihak dari kelas berkuasa. Pihak subaltern tidak memiliki kemampuan untuk bersuara. Permasalahan tersebut dapat ditemukan dalam novel R.A. Moerhia: Peringetan Medan 1929—1933 karya Njoo Cheong Seng. Penelitian ini membahas subalternitas perempuan bumiputra pada masa Hindia Belanda dan berbagai bentuk penindasan yang dialami dalam novel R.A. Moerhia: Peringetan Medan 1929—1933 karya Njoo Cheong Seng melalui teori subaltern Spivak dengan metode deskriptif analitis. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat penindasan terhadap perempuan bumiputra sebagai pihak subaltern. Bentuk penindasan tersebut seperti ketidaksetaraan posisi yang menempatkan perempuan bumiputra sebagai nyai serta pelekatan stereotip buruk yang bersifat selayaknya barang, materialistis, dan digambarkan suka menggunakan hal irasional, misalnya sihir. Kata kunci: perempuan, bumiputra, subaltern, R.A. Moerhia ABSTRACT During the Dutch East Indies period, Indigenous women had an immense amount of oppression that classified them as the subalterns. Subaltern refers to people that is inferior and submits to people from the dominant class. The subalterns do not have the right to voice their opinions. This issue can be found in the novel, R.A Moerhia: Peringetan Medan 1929-1933 (R.A.
    [Show full text]
  • The Role of Ethnic Chinese Minority in Developntent: the Indonesian Case
    Southeast Asian Studies. Vol. 25, No.3, December 1987 The Role of Ethnic Chinese Minority in Developntent: The Indonesian Case Mely G. TAN* As recent writIngs indicate, the term Introduction more commonly used today is "ethnic Chinese" to refer to the group as a Despite the manifest diversity of the whole, regardless of citizenship, cultural ethnic Chinese in Southeast Asia, there orientation and social identification.2) is still the tendency among scholars The term ethnic or ethnicity, refers to focusing on this group, to treat them a socio-cultural entity. In the case of as a monolithic entity, by referring to the ethnic Chinese, it refers to a group all of them as "Chinese" or "Overseas with cultural elements recognizable as Chinese." Within the countries them­ or attributable to Chinese, while socially, selves, as In Indonesia, for instance, members of this group identify and are this tendency is apparent among the identified by others as constituting a majority population in the use of the distinct group. terms "orang Cina," "orang Tionghoa" The above definition IS III line with or even "hoakiau."D It is our conten­ the use in recent writings on this topic. tion that these terms should only be In the last ten years or so, we note a applied to those who are alien, not of revival of interest In ethnicity and mixed ancestry, and who initially do ethnic groups, due to the realization not plan to stay permanently. We also that the newly-developed as well as the submit that, what terminology and what established countries In Europe and definition is used for this group, has North America are heterogeneous socie­ important implications culturally, so­ ties with problems In the relations cially, psychologically and especially for policy considerations.
    [Show full text]
  • Semester 1 Menentukan Karakter, Bloking, Tata Rias, Tata Busana, Tata Pentas, Tata Cahaya, Tata Usaha, Dan Lain-Lain
    Seni Budaya Buku ini menyajikan pembelajaran aktivitas berapresiasi, berkarya, (berekspresi, bereksperimen) dengan pendekatan saintifik. Di bidang seni rupa menyajikan aspek konseptual, visual, dan operasional dalam pemberdayaan unsur rupa (noktah, garis, warna, tekstur, volume, dan ruang) dengan memperhatikan Seni Budaya prinsip estetik seperti keselarasan, keseimbangan, proporsi, irama, penekanan dalam penciptaan seni rupa murni, dan desain sesuai dengan potensi kreatif yang dimiliki masing-masing peserta didik. Pendekatan saintifik di bidang tari menyajikan ragam gerak tari tradisional, analisis, dan pengembangan ragam gerak berdasarkan unsur tenaga (lemah, sedang, kuat), ruang (sempit, sedang, luas), dan waktu (lambat, sedang, cepat) untuk aktivitas upacara, tari untuk penyajian estetis, maupun tari untuk hiburan. Pendekatan saintifik teater mengacu pada lintasan sejarah teater barat (tragedi, komedi, dan satyr) teater tradisional Asia (Cina, India, Jepang) teater tradisional Nusantara (Lenong, Longser, Ketoprak, Ludruk, Arja, Kemidi, Rudat, Kondobuleng, Dulmuluk, Randai, dan Makyong). Persiapan pementasan teater menyajikan masalah aktor, ● SMA/MA/SMK/MAK Kelas XI Semester 1 menentukan karakter, bloking, tata rias, tata busana, tata pentas, tata cahaya, tata usaha, dan lain-lain. Pendekatan saintifik bidang musik menyajikan pembelajaran dan latihan kemampuan apresiasif (mendengar, membaca, dan menulis musik) untuk pencapaian Seni Budaya kemampuan kreatif ditempuh melalui menggubah musik dan mencipta kembali (rekreatif) melalui aktivitas pementasan musik. ZONA 1 ZONA 2 ZONA 3 ZONA 4 ZONA 5 HET SMA/MA/ Rp14.600 Rp15.200 Rp15.800 Rp17.000 Rp21.800 SMK/MAK KELAS ISBN: 978-602-427-142-8 (Jilid Lengkap) 978-602-427-145-9 (Jilid 2a) XI Semester 1 Seni Budaya SMA/MA/ SMK/MAK KELAS XI Semester 1 Hak Cipta © 2017 pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dilindungi Undang-Undang Disklaimer: Buku ini merupakan buku siswa yang dipersiapkan Pemerintah dalam rangka implementasi Kurikulum 2013.
    [Show full text]
  • Charles Coppel Boxes for Monash Library 2017
    Charles Coppel boxes for Monash Library 2017 Box A1 Tri Budaja; Madjalah bulanan dari Gabungan Sam Kauw Indonesia Djakarta Maret 1954-Djanuari 1955 (issues 2-12) bound into volume 1. Lacks first issue. Issue 12 is incorrectly bound in before issue 2. It was incorrectly printed as issue 1 on the cover. This has been corrected to issue 12. Februari 1955 - Februari 1956 (issues 13-25) bound into volume 2.Coppel Maret 1956 – Mei 1957 (issues 26-40) bound into volume 3. Lacks issues 36-37, Jan-Feb 1957 but these are bound into volume 11, see below. Djuni 1957-Djuli 1958 (issues 41-54) bound into volume 4. Augustus 1958 - Djuli 1959 (issues 55 - 66) bound into volume 5. Augustus 1959 - Augustus 1960; (issues 67 - 79) bound into volume 6. Box A2 September 1960 - September 1961 (issues 80 - 90) bound into volume 7. [marked 80-92] Nopember 1960 - Oktober 1962 (issues 93 – 105) bound into volume 8. Nopember 1962 - Nopember 1963 (issues 106 - 118) bound into volume 9. Desember 1963 - Maret 1965; (issues 119 - 134) bound into volume 10. [marked 119-135] Mei 1965-Pebruari 1966 (issues 136-145) bound into volume 11. Also contains Djanuari/Pebruari 1957 (issues 36/37) (see volume 3 above). * * * * * Box A3 Tan, G[ing] T[iong] [translator]. Kitab Soe Sie (Four Holy Books) This bound volume contains • Kitab Tay Hak (Ilmoe Kebatinan dan Pemerentahan Negri) Soerabaia: Verg. Khong Kauw Hwee; 1935. Translation of the "Daxue" or "The Great Learning". • Kitab Tiong-Yong Soerabaia: Verg. Khong Kauw Hwee; 1935 Translation of the "Zhongyong" or "The Doctrine of the Mean".
    [Show full text]
  • Ethnic Chinese Film Producers in Pre-Independence Cinema Charlotte SETIJADI Singapore Management University, [email protected]
    CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk Provided by Institutional Knowledge at Singapore Management University Singapore Management University Institutional Knowledge at Singapore Management University Research Collection School of Social Sciences School of Social Sciences 9-2010 Imagining “Indonesia”: Ethnic Chinese film producers in pre-independence cinema Charlotte SETIJADI Singapore Management University, [email protected] Thomas BARKER National University of Singapore DOI: https://doi.org/10.1386/ac.21.2.25_1 Follow this and additional works at: https://ink.library.smu.edu.sg/soss_research Part of the Asian Studies Commons, and the Film and Media Studies Commons Citation SETIJADI, Charlotte, & BARKER, Thomas.(2010). Imagining “Indonesia”: Ethnic Chinese film producers in pre-independence cinema. Asian Cinema, 21(2), 25-47. Available at: https://ink.library.smu.edu.sg/soss_research/2784 This Journal Article is brought to you for free and open access by the School of Social Sciences at Institutional Knowledge at Singapore Management University. It has been accepted for inclusion in Research Collection School of Social Sciences by an authorized administrator of Institutional Knowledge at Singapore Management University. For more information, please email [email protected]. Asian Cinema, Volume 21, Number 2, September 2010, pp. 25-47(23) DOI: https://doi.org/10.1386/ac.21.2.25_1 25 Imagining “Indonesia”: Ethnic Chinese Film Producers in Pre-Independence Cinema Charlotte Setijadi-Dunn and Thomas Barker Introduction – Darah dan Doa as the Beginning of Film Nasional? In his 2009 historical anthology of filmmaking in Java 1900-1950, prominent Indonesian film historian Misbach Yusa Biran writes that although production of locally made films began in 1926 and continued until 1949, these films were not based on national consciousness and therefore could not yet be called Indonesian films.
    [Show full text]
  • Tjerita Di Indonesia
    Armijn Pane PRODUKSI FILM 4 TJERITA DI INDONESIA PERKEMBANGANNJA SEBAGAI ALAT MASJARAKAT y % ftU H o y ^ r 8 ^ lo t> , , . ! p H p S i I . .. ^ __MtK Tjetakan chusus madjalah „Indonesia”, no. 1—2, 1953 Peiierbit i Badan Musjawarat Kebudajaan NasionaL pv? 1 : •, \ K A *. N irM il.;,1. »:» ;~A*5Tj*A HAK PENGARANG PADA PENULIS KATA PENGANTAR Sebagai nornor Bali tahun dahulu, tahun ini djugapun kami ingin sekali-sekali menerbitkan nomor jang chusus membitjarakan salah suatu soal dalara lapangan kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat. Karena itulah nomor bulan Djanuari dan Februari tahun 1953 ini kami sediakan untuk suatu soal jang sekarang termasuk salah satu masaalah jang actueel, jaitu soal produksi tjerita film. Sdr. Armijn Pane memandang soal itu integral dengan lapangan-lapang- an kehidupan lainnja, karena menurut pendapatnja, film bukanlah sadja merupakan suatu hasil kesenian, melainkan djuga mendjadi hasil suatu industri. Sebagai hasil kesenian, film itu mendjadi penggabung bermatjam- matjam kesenian lainnja, serta djuga usaha karang-mengarang. Da- lam bentuknja sebagai hasil industri, film terpaut kepada soal-soal ekonomi dan keuangan, serta kepada soal perdagangan ataupun peredaran dan pertundjukan. Lain dari pada itu, film dia pandang sebagai suatu tehnik jang diperoleh dari dunia Barat, karena itu seolah-olah tanaman asing jang ditumbuhkan kepada bumi Indonesia, sebab itu djuga tum- buhnja banjak bergantung kepada ketjintaan dan perhatian si punja kebun. Mudah-mudahan karangan ini dapat mendjadi bahan untuk menggampangkan penjelesaian
    [Show full text]
  • 10 Malang Mignon Cultural Expressions of the Chinese, 1940
    10 Malang mignon Cultural expressions of the Chinese, 1940-1960 Melani Budianta Malang, a hilly resort town in East Java, was from the 1950s to the 1960s a city alive with arts and cultural performances.1 Born in the 1950s and raised in a peranakan (culturally assimilated Chinese) culture that nurtured the taste for traditional dances and theatre, my three sisters and I were avid consumers of, and sometimes ama- teur participants in, the city’s cultural festivities.2 My father, as a board member of the Malang branch of an association of cigarette companies (Gabungan Perusahaan Rokok or GAPERO), often got free tickets to the best shows in town.3 Cigarette companies – along with other businesses owned by the Chinese – were regular patrons of such activities. There was a rich variety from which to choose, from our most favourite wayang orang Ang Hien Hoo, traditional Javanese theatre owned and played by the peranakan Chinese, to ludruk (a comic popular theatre form from East Java) and the Chi- nese puppet shows at the Malang Chinese temple. Modern and traditional dances from all parts of Indonesia, as well as ballet and folk dances from many countries were performed in cultural nights sponsored by the many competing political parties and cultural organizations. Towards the mid-1960s, however, when the ideological competi- tion between right-wing and left-wing politics was on the rise, we 1 I am indebted to Soebianto Hudyana (Liem Tiauw Bian), writer on Chinese Indonesian issues, for his encouragement and help in collecting research materials, checking the accuracy of my data, connecting me to resource persons, and for his assistance during interviews.
    [Show full text]
  • Lokasi Dan Kelompok Teater Indonesia 2001—2005 (Analisis Rubrik Teater Majalah Tempo)
    LOKASI DAN KELOMPOK TEATER INDONESIA 2001—2005 (ANALISIS RUBRIK TEATER MAJALAH TEMPO) Location and Indonesian Theater Group 2001—2005 (An Analysis on Tempo’s Theater Column) Nurhadi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, Tlp./Faks. 0274-548207, Pos-el: [email protected] (Makalah diterima tanggal 2 Februari 2010—Revisi tanggal 16 Mei 2010) Abstrak: Artikel ini bertujuan mendeskripsikan kelompok-kelompok teater yang berkecimpung dalam pementasan teater di Indonesia dan peta lokasi pementasan sebagaimana diulas dalam majalah Tempo tahun 2001—2005. Hasil penelitian ini menunjukan kelompok teater yang paling konsisten dalam mementaskan suatu naskah setiap tahunnya adalah Teater Koma. Kelompok teater berikutnya yang relatif banyak berkiprah dari tahun 2001—2005 berdasarkan artikel rubrik teater Tempo yaitu Teater Mandiri, Teater Garasi, dan Actors Unlimited Bandung. Kelompok teater pada jajaran berikutnya yang mementaskan lebih dari satu kali pada periode 2001—2005, yaitu Teater Gandrik, Bengkel Teater, dan Mainteater Jakarta. Lokasi pementasan teater selama 2001—2005 berdasarkan rubrik teater majalah Tempo sebagian besar berlang- sung di berbagai gedung teater di Jakarta. Perbandingan jumlah lokasi pertunjukannya adalah sebagai berikut: Jakarta (50 pementasan), Yogyakarta (6 pementasan), Surakarta (2 pementasan) dan Bandung (1 pementasan). Kata-Kata Kunci: lokasi pementasan teater, kelompok teater, majalah Tempo. Abstract: This article aims to describe the theater groups being active in theater performances in Indonesia and the performance location map as reviewed in Tempo magazine in 2001—2005. The research result has shown that the most consistent theater group in performing a script each year is Teater Koma. The next group which have relatively many performances in 2001—2005 according to Tempo’s articles are Teater Mandiri, Teater Garasi, and Actors Unlimited Bandung.
    [Show full text]
  • Bab 2 Sekilas Perkembangan Perfilman Di Indonesia 2.1
    BAB 2 SEKILAS PERKEMBANGAN PERFILMAN DI INDONESIA 2.1 Awal Perkenalan Awalnya masyarakat Hindia Belanda pada tahun 1900 mengenal film yang sekarang kita kenal dengan sebutan gambar idoep. Istilah gambar idoep mulai dikenal saat surat kabar Bintang Betawi memuat iklan tentang pertunjukan itu. Iklan dari De Nederlandsche Bioscope Maatschappij di surat kabar Bintang Betawi menyatakan: “...bahoewa lagi sedikit hari ija nanti kasi lihat tontonan amat bagoes jaitoe gambar-gambar idoep dari banyak hal..”22 Selanjutnya pada tanggal 4 Desember surat kabar itu kembali mengeluarkan iklan yang berbunyi: “...besok hari rabo 5 Desember PERTOENJOEKAN BESAR JANG PERTAMA di dalam satoe roemah di Tanah Abang Kebondjae (MANEGE) moelain poekoel TOEDJOE malem..”23 22 Bintang Betawi. Jum’at, 30 November 1900. Universitas Indonesia Kebijakan pemeerintah..., Wisnu Agung Prayogo, FIB UI, 2009 Film yang dipertontonkan saat itu merupakan film dokumenter yang menceritakan tentang perkembangan terakhir pembangunan di Belanda dan Afrika Selatan. Film ini juga menampilkan profil keluarga kerajaan Belanda. Tahun 1910 sendiri tercatat sebagai tahun kegiatan pembuatan film yang lebih bersifat pendokumentasian tentang Hindia Belanda agar ada pengenalan yang lebih “akrab“ antara negeri induk (Belanda) dengan daerah jajahan.24 Industri pembuatan film di wilayah Hindia Belanda sendiri baru dimulai sejak tahun 1926 ketika sebuah film berjudul Loetoeng Kasaroeng dibuat oleh L.Hoeveldorp dari NV Java Film Company pimpinan G. Krugers dan F. Carli.25 Java Film Company kemudian
    [Show full text]
  • The Influence of Ethnicity on the Filmmakers of the Dutch East Indies (1926–1936) Christopher A
    Inside Gazes, Outside Gazes: The Influence of Ethnicity on the Filmmakers of the Dutch East Indies (1926–1936) Christopher A. Woodrich The first decade of the Indonesian film industry film industry was marked by competition between Chinese and European filmmakers to reach audiences by employing strategies—in film language, plotting, and casting—influenced by the customs of both their respective ethnic groups, and their target audiences. This paper explores the role of ethnicity in the first ten years of Indonesian film industry, beginning with L. Heuveldorp and G. Krugers’ 1926 production Loetoeng Kasaroeng [The Misguided Lutung], and ending with Albert Balink and Mannus Franken’s 1936 filmPareh [Rice]. Referring to concrete examples from the films produced in Indonesia during this period, the article concludes that filmmakers fell into one of four prominent categories: Europeans targeting European audiences, Europeans targeting indigene audiences, Chinese targeting Chinese audiences, and Chinese targeting indigene audiences. Keywords: Audiences, Indonesia, Ethnicity, Filmmaking, Cinema of Indonesia Introduction Though the act of filmmaking usually involves a large number of people fulfilling a variety of roles—sound recording, acting, editing, etc.—producers and directors have consistently been identified with the agency determining a film’s presentation, storytelling, and technique. They are credited as the creative forces behind films, and both scholars and the general public alike recognize and refer to their “creative vision” and directorial styles as having inalienable roles in shaping films. Even when industrial or institutional forces are assumed to have authored the work, and thus production and directorial influence are assumed to be minimal, films are frequently identified with their directors (cf.
    [Show full text]