RESEARCH ARTICLE

Perekonomian Madura Masa Kolonial : Mata Pencaharian, Usaha Garam, dan Transportasi

Wisnu Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya

Abstract

Before the arrival of Europeans, the distribution of the livelihoods of the Madurese was part of the duties of the kingdom. Before the VOC entered Madura, the result of agricultural products was not to raise the prosperity of the people but to strengthen the power and wealth of the king. The task of the people is only to take care of the king. People are subject to obligations, both in the family unit and the entire village gets certain tasks by being freed from compulsory work. These jobs include cutting trees in the forest, transporting the king's goods, or other royal dignitaries, providing food ingredients for accompanying heads, transporting the produce of the land, transporting the military, working in the garden gardeners, work in the kitchen and militia obligations. This article is important to observe, because the problems of the Madura economy can be known from the description of the development of the livelihoods of its people. Keywords: Madura, livelihood, economy, colonial

A. Pendahuluan bahwa ketika Majapahit runtuh tahun 1500-an, perdagangan Dalam sistem kerajaan tradisional, sebelum di wilayah pantai utara Jawa dan Madura masih kedatangan bangsa Eropa, pembagian mata pencaharian berlangsung. Ini menandakan bahwa mata pencaharian penduduk Madura merupakan bagian dari tugas-tugas perdagangan bagi penduduk Madura telah dilakukan cukup kerajaan. Hal ini dapat diketahui dari keterangan Van lama, dengan ditunjang pemanfaatan perahu-perahu Vollenhoven. Menurut Van Vollenhoven, sebelum VOC pengangkut komoditi yang diperdagangkan ke berbagai masuk ke Madura, produk pertanian hasilnya tidak untuk wilayah di seluruh pada periode itu. mengangkat kemakmuran rakyat melainkan untuk Keterangan yang lain dari Burger, bahwa memperkuat kekuasaan dan kekayaan raja. Tugas rakyat pengaruh kompeni VOC pada abad ke-17 meluas ke seluruh hanya untuk mengurus rajanya. Orang-orang dikenai daerah-daerah yang dikuasai. Monopoli terhadap komoditi kewajiban, baik dalam satuan keluarga maupun seluruh desa rempah-rempah di Maluku merugikan perdagangan di mendapat tugas-tugas tertentu dengan dibebaskan dari pulau-pulau lain, bahkan menyebabkan runtuhnya aktivitas pekerjaan-pekerjaan wajib. Pekerjaan-pekerjaan tersebut perdagangan di pulau-pulau di Indonesia. Madura termasuk antara lain menebang pohon di hutan, mengangkut barang- yang cukup kuat untuk tidak terpengaruh oleh monopoli barang raja, atau pembesar-pembesar kerajaan lainnya, perdagangan VOC, aktivitas perdagangan di pulau Madura menyediakan bahan-bahan makanan bagi pengiring kepala- tetap lancar tak terganggu. Hal itu juga dibuktikan dalam kepala yang sedang bepergian, pengangkutan hasil-hasil laporan G.J. Knaap, tentang aktivitas perdagangan di tanah, pengangkutan militer, bekerja di kebun-kebun, Madura yang memberitahukan bahwa pelabuhan Sumenep bekerja di dapur dan kewajiban milisi. Panembahan- telah didatangi 6.800 kapal yang terdiri dari 6.500 perahu panembahan di Madura memanfaatkan mereka. Atas non VOC dan 300 kapal VOC. Sementara untuk pelabuhan pekerjaan tersebut, mereka mendapat gaji dengan sistem Bangkalan 3.600 kapal terdiri dari 3.300 kapal non VOC apanage. Pada umumnya mereka adalah keluarga-keluarga dan 300 kapal VOC (Knaap, 1996). raja, pegawai keraton, dan pemerintah. Pada masa kompeni Walaupun tidak ada informasi secara jelas VOC, oleh pihak kompeni mereka diberi upah atas mengenai spesialisasi bidang mata pencaharian pada pekerjaan mereka. Upah ini tidak berupa apanage, masyarakat Madura pada periode 1600-1800, akan tetapi melainkan dalam bentuk tanah jabatan yang dikelola oleh dalam paparan G.J. Knaap, dapat dikatakan secara penduduk dengan kerja wajib (Burger, 1957). De Jonge gamblang bahwa mata pencaharian yang paling umum pada menegaskan, pemungutan pajak dan jasa tenaga kerja yang masyarakat Madura adalah perdagangan dan nelayan. dituntut oleh raja dan bangsawan, dilakukan juga oleh VOC. Dengan bukti-bukti aktivitas transportasi di laut yang telah Pemungutan pajak tersebut dilakukan dengan sistem cacah ditunjukkan, memberi gambaran bahwa masyarakat Madura (kepala keluarga) (Jonge, 1989). pada periode itu terlibat dalam mengusahakan penangkapan Khususnya di bidang mata pencaharian ikan dan berdagang. Namun demikian ada mata perdagangan, D.H. Burger memberikan informasi menarik, pencaharian yang tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan

17

sehari-hari penduduk Madura, yaitu pertanian. Informasi ekonomi subsisten di sana. mengenai mata pencaharian pertanian selama masa VOC Tanaman budi daya yang paling komersial di dapat diperoleh dari laporan pembayaran pajak yang harus Madura ialah tembakau. Tanah di pulau ini membantu disetorkan oleh para bupati kepada pihak VOC. Huub de menjadikan Madura sebagai produsen penting tembakau Jonge, mencatat bahwa hasil-hasil pertanian di Madura pada dan cengkeh bagi industri kretek domestik. Sejak zaman masa VOC dimanfaatkan untuk membayar pajak. Perintah kolonial Belanda, Madura juga telah menjadi penghasil dan ini berasal dari kesepakatan antara VOC dengan para raja di pengekspor utama garam. Selain komoditas tanaman di atas, Madura. Kabupaten-kabupaten di Madura merupakan satu- sejak akhir tahun 2012, Pusat Penelitian dan Pengembangan satunya wilayah yang memasok kacang-kacangan dan Gula Indonesia (P3GI) mencoba Pulau ini untuk dijadikan minyak kelapa, garam, dan asam dituntut untuk dikirimkan lahan pengembangan tebu di Jawa Timur. sebagai penyerahan wajib secara teratur. Pertanian dan perternakan merupakan mata Dalam memungut pajak, VOC mengadakan pencaharian utama, walaupun tanah di Madura sangat pemungutan pajak yang baru dengan mewajibkan para tandus. Sumenep sebagai daerah wisata juga menyimpan bupati setiap tahun untuk menyetorkan produk-produk banyak sumber daya alam berupa gas alam yang tertentu yang terdapat di wilayah mereka. Komoditi yang dieksplorasi untuk mensuplai kebutuhan gas industri yang disetorkan para bupati Madura bervariasi. Seperti dalam tersebar di wilayah Jawa Timur. Sumur-sumur gas sebagian Kontrak tanggal 30 April 1751, Sumenep diharuskan besar tersebar di daerah lepas pantai Sumenep. menyerahkan 80 koyang kacang hijau, 700 takar minyak Dari zaman VOC (1705-1799) berdasarkan catatan kelapa, 30 pikul gula jager, 20 pikul benang halus dari VOC, Madura secara ekonomis menempati posisi penting kapas, 30 pikul daging rusa yang dikeringkan, 1.000 ekor hingga mampu melakukan berbagai perlawanan dalam skala ikan steenbrasem besar yang berwarna merah dan dalam besar seperti dalam Perang Surabaya (1719-723), Perang keadaan kering. Informasi tersebut memberi pemahaman Trunojoyo (1677-1680), dan Perang Madura (1722-1723) bahwa mata pencaharian pertanian yang dilakukan petani Sebagai gambaran misalnya Sumenep pada abad sudah menjadi bagian dari pekerjaan penduduk Madura. XVIII masa Panembahan Natakusuma mengalami Namun demikian penjelasan mengenai bidang itu akan kemakmuran. Kondisi ini sesuai dengan laporan Francois semakin jelas pada periode selanjutnya atau abad ke-19 dan Valentijn (1660-1727), seorang pendeta Jezuit, sejarawan 20. yang pada 1706 di Japara bertemu dengan penguasa Madura Pangeran Cakraningrat II (1680-1707) menyatakan bahwa B. Metode Penelitian penguasa Madura itu auranya menyamai aura 1000 orang Tulisan ini merupakan kajian historis menggunakan biasa. Valentijn di dalam Oud en Nieuw in Oostindie tentang metode penelitian sejarah. Obyek penelitian dalam kemakmuran yang dicapai oleh Madura dan Sumenep padaa tulisan ini lebih mengandalkan penggunaan sumber- abad XVIII awal tercermin pada lima kota masing-masing sumber sejarah yang secara metodis diuraikan dengan dengan penduduknya yaitu : menggunakan pendekatan social ekonomi. Sumenep (6.000 kk), Sampang (8.000 kk), Pamekasan (1.000 kk), Maduratna (7.000 kk), dan Arosbaya C. Keadaan Ekonomi di Madura (600 kk). Kota-kota di Madura itu ternyata tidak jauh Sampai saat ini pertanian dan perternakan berbeda dengan beberapa kota di Jawa : Kediri (10.000 kk.), merupakan mata pencaharian utama, walaupun tanah di Tuban 5.000 kk), Panaraga (7.000 kk), Rembang (6.000 Madura, bagi kehidupan sehari-hari seluruhnya atau kk), dan Surabaya (10.000 kk) Momana:295-299). sebagian besar penduduk Madura tergantung pada Kemakmuran Madura secara keseluruhan dapat kegiatan-kegiatan agraris. Di daerah-daerah pantai terutama dikatakan setara dengan kemakmuran Surabaya dan di kepulauan Raas, Sapudi, Kagean, dll. Perikanan, Pekalongan, meskipun sumber kesejahteraan itu berasal dari kerajinan, pmbuatan garam, perdagangan dan pelayaran sumber yang berbeda-beda. Tingginya tingkat mempunyai arti penting dalamkonstelasi Sejarah Indonesia. perekonomian Madura pada awal abad XVIII itu tercermin Lebih dari itu sejak zaman kuno pencaharian dari sebagian data-data penyerahan wajib berupa uang kontan dan beras besar penduduk Madura masih bertumpu kepada pekerjaan dari wilayah Pesisir pada masa pemerintahan Pakubuwana I yang mereka lakukan di pulau-pulau lain di seberang laut. (1705-1719) Dalam daftar tersebut Madura dan Surabaya Berbeda dengan di Jawa karena kesuburan harus menyerahkan uang dalam jumlah paling besar, geografisnya memliki berbagai perusahaan dan industri, masing-masing Rds. (dolar Spanyol) 1.814,- kemudian maka di Madura hanya memiliki dua buah perusahaan disusul Gresik (728), Tuban (490) dan Sidayu (359). Kota perkebunan, yaitu perusahaan atau industri garam dan lain yang jumlah penyerahannya melebihi Madura dan tembakau. Surabaya adalah Pekalongan (Rds. 1.999 ) Pertanian subsisten (skala kecil untuk bertahan (Ricklefs,1986:13). Tabel berikut menggambrakan jumlah hidup) merupakan kegiatan ekonomi utama. Jagung dan penyerahan wajib yang harus dipenuhi oleh Madura kepada singkong merupakan tanaman budi daya utama dalam VOC dan Mataram. Jumlah itu memberikan gambaran pertanian subsisten di Madura, tersebar di banyak lahan ssecara umum kemampuan ekonominmadura khususnya kecil. Ternak sapi juga merupakan bagian penting ekonomi pada transisi abad XVII-XVIII. Betapa ramainya pertanian di pulau ini dan memberikan pemasukan pelabuhaan-pelabuhan di pesisir utara Jawa mendapat tambahan bagi keluarga petani selain penting untuk kegiatan kunjungan kapal setempat dan kapal-kapal VOC karapan sapi. Perikanan skala kecil juga penting dalam 18

menunjukkan kondisi perekonomian Madura setelah Mata Pencaharian Masyarakat Madura Abad XIX- Perang Madura 1743 seperti tergambar pada daftaR tahunan XX kapal-kapal yang berangkat dari 15 pelabuhan di pesisir Upaya mengkategorisasi mata pencaharian utara Jawa pada tahun 1774-1777. masyarakat Madura pada sejak awal Pemerintahan Hindia Belanda sulit dilakukan. Hal ini disebabkan sistem Tabel 1. pencatatan wajib pajak mata pencaharian penduduk Madura Daftar penyerahan wajib yang harus dipenuhi oleh daerah-daerah di ditulis tanpa pembedaan yang jelas. Kuntowijoyo, wilayah Pesisir Utara Jawa kepada Mataram dan VOC mengetengahkan persolan itu dengan memberikan bukti dari Uang Beras Harga catatan wajib pajak. Menurut Kuntowijoyo, yang Nama kontan Koyan Beras Total Prosentase mengaburkan tentang status mata pencaharian penduduk Daerah/Kota Rds (B) a. koyan A+C (E) Madura, karena ditemukan dalam catatan wajib pajak, (A) Rds 20 (D) (C) pekerjaan pedagang, pengusaha, dan penangkap ikan ditulis Brebes 24 6.0 120 144 0.0130 dengan status yang sama (Kuntowijoyo,2002:306). Tegal 578 29.75 595 1173 0.0838 Berdasarkan Kolonaal Verslag 1897, Bijlage A, Kuntowijoyo Pekalongan 999 50.0 1000 1.999 0.1428 membagi kelompok-kelompok pekerjaan pribumi di Madura Batang 248 12.75 255 503 0.0360 sebagai berikut. (1) petani (dengan ternak); (2) petani (tanpa Wiradesa 140 7.75 155 295 0.0211 ternak); (3) petani; (4) pegawai pemerintah; (5) administrator Kendal 206 10.5 210 416 0.0297 desa; (6) pemimpin keagamaan; (7) pendidik (agama/umum); Kaliwungu 256 12.75 255 511 0.0365 (8) pedagang; (9) pemilik kolam ikan; (10) Demak 487 25.0 500 987 0.0705 Jepara 268 13.5 270 538 0.0384 pemilik/pengemudi kereta; (11) transportasi laut; (12) pemilik Kudus 179 9 180 359 0.0256 industri; (13) buruh industri; (14) pelayan rumah (keluarga Pati 179 9.0 180 359 0.0256 Eropa); (15) pelayan rumah (keluarga Cina); (16) lain-lain Cengkalsewu 25 1.0 20 45 0.0032 non petani; (17) tidak bekerja. Juwana 171 3.73 75 246 0.0176 Pembagian pekerjaan ini sangat membantu untuk Lasem 179 9.0 180 359 0.0256 menentukan jenis mata pencaharian penduduk Madura. Tuban 240 12.5 250 490 0.0350 Petunjuk lain yang berguna untuk mengetahui mata Sidayu 179 9.0 180 359 0.0256 pencaharian penduduk Madura adalah laporan residen yang Gresik 358 18.5 370 728 0.0520 dimuat dalam Memorie van Overgave. Dalam setiap laporan Surabaya 894 46.0 920 1.814 0.1296 Madura 894 46.0 920 1.814 0.1296 tahunan yang dimuat pada Memori van Overgave, seringkali Total para residen melaporkan 5 bidang mata pencaharian Berdasarkan 6933 354.74 penduduk, yaitu : pertanian, perdagangan, perusahaan kontrak (pengusaha), peternakan, dan perikanan. Oleh karena itu Total Terkumpul 6941 353.00 7.060 14.001 100.1000 dalam uraian berikut, kelima bidang mata pencaharian Sumber : Gerrit J. Knaap, Shallow Waters Rising Tide (Leiden; KITLV Press, 1996), hlm. 45. tersebut akan dipaparkan ditambah dengan uraian tentang Tabel 2. usaha garam dan transportasi di Madura. Jumlah tahunan kapal –kapal yang berangkat dari 15 pelabuhan di pesisir utara Jawa tahun 1774-177 a. Pertanian Pelabuhan Private Foreign VOC Total Dalam menjelaskan mata pencaharian pertanian, European perlu dibahas mengenai petani, pertanian perkebunan dan Banyuwangi 163 ? 163 pertanian rakyat, jenis budidaya, dan hasil-hasil Pasuruan 144 ? 144 pertanian. Petani Madura sebagai pelaku bidang mata Sumenep 790 ? 790 pencaharian ini menarik untuk dibahas. Petani yang Bangkalan 529 ? 529 menggeluti bidang pertanian di Madura berdasarkan Surabaya 941 10 951 Koloniaal Verslag tahun 1895, dibedakan menjadi petani Gresik 959 11 970 (dengan ternak), petani (tanpa ternak), dan (3) petani. Rembang 985 18 1.003 Berdasarkan data itu, petani yang dengan ternak dan tanpa Juwana 859 15 874 ternak biasanya juga sebagai pemilik tanah. Mereka Jepara 139 13 152 tinggal di kota berjumlah 678 orang, dan di desa 236.029 Semarang 1.681 63 1.744 orang, khususnya untuk petani yang tidak memiliki tanah, Pekalongan 595 9 604 di kota jumlah mereka 98 orang, dan tinggal di desa Tegal 343 10 353 43.652 orang (Kuntowijoyo:306). Cirebon 671 9 680 Pada abad XIX, petani tanpa tanah jumlahnya Batavia 1.487 44 186 1.717 cukup besar. Di Pamekasan pada tahun 1871 dilaporkan ter- Banten 825 13 838 dapat 166 desa, enam di antaranya tidak mempunyai tanah Sumber : Gerrit J. Knaap, Shallow Waters Rising Tide (Leiden; KITLV pertanian. Dari jumlah penduduk 114.542 orang, terdapat Press, 1996), hlm. 45. 23.982 keluarga, termasuk 16.778 keluarga petani. Dari seluruh keluarga petani itu hanya 88 persen atau 14.793 keluarga yang memiliki tanah (Kuntowijoyo:379). Pada tahun 1895, banyak nonpetani yang menjadi 19

pemilik-pemilik tanah. Banyaknya pemilik tanah nonpetani berarti. Bahkan Sultan Sumenep mengadakan eksperimen yang mengupah buruh upahan atau dengan bagi hasil dan dengan tanaman ini di kebun-kebun percobaannya. Namun bertambahnya petani-petani tanpa tanah telah membuka penaman secara komersial baru dilakukan pada paroh abad suatu pertumbuhan ke arah hubungan patron-klien antara ke-19, ketika petani memperoleh pemilikan tanah dan dapat pemilik-pemilik tanah nonpetani dengan petani-petani tanpa menguasai seluruh hasil panennya (Koloniaal Verslag tanah. Pada tahun 1895, enam belas persen dari semua 1892). petani adalah petani-petani tanpa tanah (kuntowijoyo:381). Dalam tahun 1861 tiga orang swasta Eropa Pada tahun 1900 jumlah petani adalah 305.338 dari mencoba menanam tembakau di Pamekasan, dan berhasil. total angkatan kerja 405.405, dan terdiri dari 251.420 Modal yang dikeluarkan sebanyak 30.000 gulden dan pemilik tanah dan 53.918 petani tanpa tanah. Dalam bentuk menerapkan sistem penanaman di Jawa. Produksi persentase, selama periode dari 1895 sampai 1900, petani tahunannya mencapai 300 pikul. Karena hasilnya kurang meningkat dari 72 persen menjadi 75 persen dari angkatan menguntungkan perkebunan tembakau itu kemudian dijual kerja, sedangkan persentase pemilik tanah dalam kelompok dan tidak berbekas. Namun penanaman tembakau rakyat itu menurun dari 84 persen menjadi 82 persen, adapun yang semakin meluas di seluruh Madura. Dalam tahun 1884 areal tanpa tanah naik dari 16 persen menjadi 82 persen. Pada tanaman tembakau rakyat menempati lahan seluas 1.448 ha. tahun 1905, jumlah angkatan kerja adalah 703.826;421.453 Pada tahun 1900, 1905, dan 1910 areal tersebut masing- masing seluas 2.593 ha, 6.294 ha, dan 4.551 ha. Luas areal merupakan petani, 279.104 adalah pemilik-pemilik tanah tanaman bertambah di tahun-tahun kemudian mengalami dan 142.349 petani tanpa tanah. Dalam bentuk prosentase, naik turun. Tercatat tahun 1915 seluas 6.039 ha dan tahun ;petani berjumlah 60 persen dari angkatan kerja, 66 1920 turun menjadi 3.551 ha. Pada tahun 1935 naik persennya adalah pemilik tanah dan 34 persen petani tanpa menjadi seluas 5.507 ha dan mencapai puncaknya tahun tanah. Pada tahun 1930, jumlah petani naik sampai 66,3 1939 menempati areal 12.736 ha (Jonge:152-155). persen dari angkatan kerja (Kuntowijoyo:383). Permintaan tembakau Madura setelah tahun 1900 Di Madura terdapat pertanian perkebunan dan terjadi secara konstan karena konsumsi di dalam maupun di pertanian rakyat. Namun sayangnya untuk pertanian luar negeri semakin meningkat. Posisi tembakau Madura perkebunan seperti tembakau di Madura sebelum tahun semakin penting ketika terjadi persaingan di antara para 1800 tidak ditemukan data-data yang berarti. Menurut de pemilik modal orang-orang Cina dan asing Eropa untuk Jonge kemungkinan penanamannya dilakukan dalam mendapatkan komoditi itu. Laporan residen Madura F.B. skala kecil untuk konsumsi sendiri, sebagaimana halnya Batten (1923), menyatakan bahwa tanaman tembakau di berbagai daerah di pulau-pulau lainnya di nusantara. merupakan tanaman yang sangat menguntungkan dan Menurut Raffles, tembakau dikirim ke Madura dari Puger termasuk tanaman perdagangan. Petani Madura dalam Jawa Timur. Dari berbagai tempat juga diimpor ke menanam tembakau menggunakan pupuk hijau dan bungkil, Madura seperti dalam laporan triwulan mengenai impor dan juga amoniak asam belerang. Hasil panen tembakau dan ekspor dari pelabuhan kota Sumenep pada setiap dikenal sebagai tembakau krosok dan diperdagangkan ke zaman pemerintahan Inggris, 1811-1817. Namun dari Jawa. keterangan tersebut tidak ada laporan tentang ekspor Berdasarkan laporan Residen Madura Timur tembakau ke luar Madura (Ikhtisar Madura, 1811-1816). W.H. Ockers (1930), hanya di kabupaten Sumenep Pada tahun 1830 di Madura dilakukan percobaan terdapat tanah hak guna usaha kecil yang dipergunakan penanaman tembakau. Namun residen Surabaya untuk pertanian dan perkebunan. Pada tahun 1929 memberitahukan kepada Gubernur Jenderal, bahwa Madura British American Tobacco Coy menyewa tanah sama sekali tidak cocok untuk penanaman tembakau. penduduk yang tidak begitu luas untuk mencoba Lahan-lahannya rendah penuh dengan batu-batu dan tanah- menanam tembakau Virginia. Pada saat itu percobaan tanah yang tinggi mengandung kapur. Lagi pula sangat penanaman tembakau tidak dilanjutkan, sebab tembakau kekurangan air, sehingga budidaya tanaman yang Virginia Madura tidak dapat diperdagangkan di pasar membutuhkan pengairan atau kelembaban, tidak akan Eropa. berhasil di sana (Ikhtisar Madura,1831). Sementara itu untuk pertanian rakyat, Residen Karena eksperimen dengan tanaman lain juga tidak Madura F.B. Batten (1923), menerangkan bahwa Orang berhasil, Sistem Tanam Paksa tidak diberlakukan di Madura masih kurang cakap bercocok tanam padi, Madura. Namun penduduk dapat mengenal penanaman meskipun pada tahun 1918-1919 nampak ada kemajuan. tembakau dengan cara lain. Banyak orang Madura Kalau menanam palawija mereka cukup mahir. Oleh memperoleh pekerjaan menanam tembakau di Jawa. Mereka karenanya, petani Madura banyak menanam jagung, ketela, bekerja sebagai kuli di gudang-gudang tembakau dan ubi jalar, dan berbagai kacang-kacangan. Hasil pertanian menggantikan para petani Jawa. Pengetahuan yang lain yang dapat diperdagangkan adalah kapok, kelapa, diperoleh dari Jawa, dipraktekkan di Madura. Sejak siwalan. pertengahan abad ke-19, para penyewa tanah, para mandor, Disebabkan kurangnya pengairan, petani Madura dan kuli-kuli yang kembali ke Madura, menanam tembakau banyak bercocok tanam dengan memanfaatkan air tadah dalam jumlah yang kecil bagi pasaran lokal. Walaupun hujan, sehingga setiap tahun banyak yang mengalami residen Surabaya pernah membuat ramalan yang suram, kegagalan panen. Kondisi tersebut pada tahun 1924 penanaman tembakau terutama di Madura Timur, cukup dilaporan F. Van Maurik (1924), dengan keterangannya, 20

bahwa di Sampang tidak ada waduk dan saluran air. dihasilkan di Madura Timur sendiri hanya mencukupi Rencana pembangunan waduk akan dilakukan di Distrik sebagian dari kebutuhan. Hasil bumi perdagangan yang Torjun yang merupakan daerah luas dan subur. Akan tetapi terpenting bagi kehidupan penduduk ialah: kelapa, hasil sayangnya rencana itu tidak diwujudkan. Petani di pohon siwalan, tembakau dan kapok. Dari daerah pegunungan menurut Maurik banyak bercocok tanam di Pamekasan ke timur kebun siwalannya lebih luas tegalan. Mereka mempunyai cara menggarap tanah yang daripada kebun kelapa. Di kepulauan Sapeken, Kangean baik, menggunakan pupuk dan bekerja keras. Hasil dan Sasapi kebun kelapa menjadi sumber penghidupan pertaniannya sangat baik, dan tanahnya setiap tahun selalu yang penting. Di kepulauan Sapudi dan Raas sebagian ditanami. besar dari kebun kelapa rusak karena hama kumbang Laporan landbouwconsulent tahun 1928 mengenai (Ockers,1930). perluasan tanaman kapok menjadi perhatian J.G. van Heyst Pohon siwalan menghasilkan nira yang dapat (1928). Ia menjelaskan bahwa kapok Madura mempunyai kualitas yang khas, terutama bila memetiknya tidak terlalu dijual sebagai legen atau laang dan sebagai tuak. Nira muda. Selain itu dilaporkan pula bahwa di Madura telah dapat juga dijadikan gula setelah airnya diuapkan. Hasil dimulai percobaan untuk menanam tembakau virginia. gula ini diperdagangkan ke Jawa dan ke luar Jawa. Selain Asisten residen Sumenep mengusulkan agar dikeluarkan diambil niranya pohon siwalan juga dapat dimanfaatkan larangan untuk memetik daun siwalan secara berlebihan, daunnya. Daun siwalan dapat dipergunakan untuk karena dapat merugikan hasil gulanya. membuat barang anyaman yang baik. Pada musim yang Sementara itu Residen Madura Timur, W.H. Ockers jelek daun itu juga dapat dipergunakan untuk memberi (1930), dalam laporan tahun 1929 menjelaskan mengenai makan hewan temak. Tangkai daun dapat dipergunakan kondisi tanah pertanian penduduk Madura. Menurutnya, sebagai bahan bakar atau sebagai bahan membuat tali. tanah pertanian di Madura pada dasarnya tergantung pada Dahulu daun siwalan juga dipergunakan sebagai kertas hujan, sedang pada musim kemarau yang panjang dan (rontal). Pohon siwalan betina, jika tidak diambil niranya, kering curah hujan hampir tidak ada. Selain itu air dari mata buahnya dipetik dan dijual di pasar sebagai makanan. air tidak cukup membawa lumpur yang berguna bagi tanah Nira siwalan itu juga dapat dipergunakan sebagai bahan pertanian, sebab air itu keluar dari tanah kapur. Penanaman pembuat cuka. Setiap pohon siwalan dapat menghasilkan cukup menebar benih secara langsung ataupun dengan nira yang bernilai f 7,- a f 8,75. Produksi gulanya setiap menggunakan persemaian. Setelah panen padi, biasanya pohon setiap tahun 70 Kg (ockers,1930). petani menanam jagung. Kelapa, tembakau dan kapok adalah hasilbumi Pemilikan tanah sebagian besar luasnya hanya ± perdagangan yang cukup banyak artinya. Tembakau 1/2 bau. Di beberapa pulau lebih luas seperti di Kangean Madura hanya diperdagangkan di pasar dalam negeri. ± 1 bau. Tanaman padi di pulau Kangean menempati Jika dibandingkan dengan petani Jawa, baik kerajinannya areal seluas (± 8.000 bau sawah) dan di pulau Raas (± maupun pengetahuannya bercocoktanam, petani Madura 800 bau sawah). Persawahan sebagian besar persawahan sebenarnya tidak kalah. Tanaman padinya memang tadah hujan, seringkali gagal panen bila musim kurang terpelihara, tetapi tanaman jagung dan ketelanya penghujannya terlalu pendek. Pada musim kemarau yang lebih terpelihara. Kebun buah-buahan. Hasil kebun buah- panjang dan kering pada tahun 1929 luas tanaman padi buahan memberi tambahan penghasilan yang lumayan yang gagal 5.398, 58/500 bau, sedang sawah yang tidak bagi orang Madura. Hasil kebun itu ialah: mangga, jeruk ditanami 1.513, 430/500 bau. Tanaman palawija sebagian keprok, nangka dan pisang, yang semuanya besar gagal dan tanah tegalan sama sekali tidak dapat diperdagangkan ke Jawa. ditanami(Ockers,1930). Dinas Penyuluh Pertanian. Di Pamekasan Hasil pertanian rakyat tidak banyak artinya, ditempatkan seorang ahli pertanian dan seorang ahli karena tanahnya tandus, iklim dan keadaan air kurang perkebunan. Ahli perkebunan ini sekarang sedang baik. Meskipun demikian pertanian bagi orang Madura membangun tempat percobaan menyilang pohon mangga tetap menjadi sumber penghasilan yang utama. Luas dan selain itu juga sedang menyelidiki pentingnya kebun tanah usaha milik penduduk seluruhnya berjumlah mangga di Madura. Buah mangga yang dikirim melalui 38.867, 30/500 bau sawah dan 259.138, 18/500 bau Madoera Stoomtrammaatschappij adalah sebagai berikut: tanah kering (tegalan, pekarangan dan kebun). Perluasan pada tahun: 1923: 900 ton. 1924: 907 ton. 1925: 1.128 hak milik tanah hanya dapat dilakukan secara terbatas di ton. 1926: 798 ton. 1927: 701 ton (MVO,1924-1928). kepulauan Kangean, karena di Madura Timur semua tanah yang dapat dipergunakan untuk pertanian sudah b. Perdagangan dihaki secara perorangan turun-temurun (Ockers,1930). Laporan Ockers(1930), menggambarkan bahwa, Produksi padi hasilnya sekitar antara 6 dan 25 perdagangan di Madura cukup ramai. Pasar cukup banyak, pikul per bau padi kering. Jagung antara 4 a 15 pikul per terutama pasar hewan. Perdagangan kecil di pasar-pasar bau. Padi dan jagung adalah bahan pangan yang utama. seluruhnya dikuasai oleh pedagang pribumi. Pasar yang Bahan pangan lainnya ialah: ketela, kacang dan ubi-jalar. besar adalah pasar milik Dewan Pemerintah Kabupaten, Setiap tahun didatangkan bahan pangan beras, jagung sedang pasar kecil adalah pasar milik desa. Berdasarkan dan gaplek dalam jumlah yang cukup besar, sebab yang catatan van Mourik (1924) terdapat 8 pasar Pemerintah 21

Daerah Madura dan 7 pasar desa. Pasar-pasar tersebut menyeberang ke Panarukan untuk mencari pekerjaan. terorganisasi baik. Barang-barang perdagangannya didatangkan dengan perahu dan kereta api. Barang yang Pedagang-pedagang Pribumi Madura dimaksudkan terutama beras dan tekstil. Barang yang Siapa saja yang dikategorikan pedagang pribumi dikeluarkan: kelapa, jeruk, telur, ikan dan lain-lain. Madura ? Pedagang pribumi Madura adalah orang-orang Perdagangan hewan ternak, kulit dan pupuk Madura yang memanfaatkan berbagai komoditas untuk menjadi salah satu sumber matapencaharian yang penting diperjualbelikan. Beberapa komoditas bahan dagangan yang bagi orang Madura. Perdagangan ini seluruhnya dikuasai sering diperjualbelikan antara lain produk pertanian, ikan, oleh orang Madura. Kulit sapi dan sapi potong dikirim ke garam, sembako, kayu, kain, barang purna pakai, dan Surabaya. Sapi potong dan sapi untuk pertanian dikirim ke beberapa bahan olahan, seperti makanan, mebeler, tikar, dan Besuki, Pasuruan, Jember, Sulawesi dan Kalimantan. berbagai anyaman baik untuk keperluan menangkap ikan Pelabuhan pengiriman hewan ternak yang terpenting ialah maupun untuk kurungan burung atau ayam, dan sebagainya. Kamal. Selain melalui Kamal juga dikirim melalui tempat- Dalam catatan Kuntowidjojo, peranan pedagang pribumi tempat di pantai selatan Madura, dari pulau Sapudi, dari Madura relatif tidak seberapa dibandingkan dengan pulau Puteran dan sebagainya. Perdagangan ikan menyebar pedagang Cina. Pedagang pribumi Madura kebanyakan di berbagai tempat di pesisir pulau Madura. Pada musim bergerak dalam bisnis eceran di warung-warung desa dan di panen ikan, jumlah tangkapan berlebih, dan ikan yang pasar-pasar lokal, sedangkan orang Cina bergerak di toko- berkelebihan diawetkan (dijadikan pindang, pedo, gereh dan toko mereka di kota-kota. trasi) dan hasilnya dikirim ke Jawa. Berdasarkan statistik, pada tahun 1871 rata-rata Perdagangan kelapa, kopra dan gula siwalan. penghasilan para pedagang pribumi Madura setiap tahunnya Perdagangan ini volumenya cukup besar. Barang-barang relatif kecil bila dibandingkan dengan pedagang Cina dan perdagangan tersebut dikirim dengan menggunakan perahu orang asing Asia lainnya. Disebutkan penghasilan pedagang layar ke Javtfa Timur dan ke daerah-daerah luar Jawa. pribumi Madura adalah f 85, pedagang Cina f 240, dan Perdagangan kapok. Hasil kapok dibeli oleh tengkulak- orang asing Asia lainnya f 215 (Kuntowijoyo:307). tengkulak Cina dan dikirim ke Surabaya. Kapok ini Ketimpangan ini disebabkan belum berkembangnya merupakan hasil bumi perdagangan pribumi yang ekonomi pribumi. Dalam laporan-laporan resmi pemerintah volumenya terus meningkat. Pohon yang menghasilkan dijelaskan bahwa persediaan barang-barang konsumtif di kapok ditanam di pekarangan dan di tepi-tepi jalan. pasar hampir-hampir tidak berkembang. Perdagangan buah-buahan. Perdagangan ini cukup penting, Pedagang-pedagang kecil Madura kebanyakan dari tetapi sebagai hasilbumi perdagangan kurang penting. mereka sebagai pengecer barang-barang konsumtif dan Perdagangan lain-lain, seperti perdagangan menyerahkan perdagangan besar kepada orang Cina. Para tembakau hanyalah perdagangan yang dilakukan petani pedagang kecil menggunakan cara ngalap nyaur atau ngalap tembakau pada tempat-tempat tertentu dan hanya untuk nglak, yakni membeli barang-barang dagangan itu dari para memenuhi konsumsi lokal, seperti tembakau krosok. pedagang Cina dengan cara kredit dan mereka melunasinya Perdagangan lain di Madura Timur ialah: perdagangan setelah barang-barang itu terjual. gerabah dan genting, tuak siwalan, barang-barang anyaman Pada dasawarsa pertama abad XX, ketika dari daun siwalan, batu merah dan batu kapur, buah asem, diadakan survei kesejahteraan pribumi, jumlah pedagang karung goni, kapur, ayam, telur, tripang, kaeang, besar pribumi Madura tidak sebanyak seperti tiga nyamplung, jarak dan minyak kesambi. Hasil hutan yang dasawarsa sebelumnya. Penurunan relatif itu sebagian dikumpulkan dari kepulauan Kangean dan yang karena faktor-faktor ekologis dan sebagian lagi karena diperdagangkan ialah tingi, kulit pohon soga, buah kesambi, faktor-faktor sosial. Pertanian subsisten kurang kenari dan kayu. Hasil bumi bahan pangan yang memberikan kesempatan untuk perkembangan didatangkan ialah beras, jagung, dan gaplek. Pada musim perdagangan produk-produk pertanian. Para pedagang paceklik jagung dan gaplek juga didatangkan oleh pribumi yang aktif menangani produk-produk pertanian pedagang-pedagang Madura. juga dipengaruhi oleh kondisi ekologi. Misalnya, para Sebagian dari penduduk Madura Timur hidup dari pengangkutan laut. Perahu-perahu pengangkut mereka pedagang besar bungkil (dadih kacang) sangat jarang melayari hampir semua lautan Indonesia dan mengangkut karena produksi kacang mengalami penurunan tajam akibat barang-barang perdagangan dari Jawa ke luar Jawa. kondisi tanah yang tandus (Kuntowijoyo:309). Pelayaran antara Madura dan Jawa cukup ramai. Orang Bagaimanapun, semangat kewiraswastaan di antara Madura dari Goa-Goa, Raas dan Sapeken, dengan orang Madura dilaporkan masih tetap kuat meski laporan menggunakan perahu atau perahu pelari atau Komisi Kesejahteraan tahun 1906 mencatat bahwa kelas perahu pedewak melayari pantai Jawa, Kalimantan, menengah sejati tidak pernah ada di Madura, meskipun Sulawesi, Nusatenggara dan Maluku. Mereka mengangkut partisipasi mereka tampak dalam perdagangan, perniagaan, dan memperdagangkan hasil dari daerah-daerah tersebut. dan industri. Kemungkinan, banyaknya pedagang dan Jumlah armada dagang yang mendapat ijin berlayar pengusaha yang tinggal di desa yang sekaligus menjadi tahunan dari Goa-goa 128 perahu, dari Raas 123 perahu, petani menyebabkan tidak munculnya kelas menengah kota dari Sapeken 55 perahu dan dari Sapudi 67 perahu. Sehabis yang sejati. Tidak seperti orang Cina atau orang Asia lain musim tanam setiap Minggu + 500 orang dari Sapudi yang hidupnya tergantung dari bisnisnya, pada umumnya orang Madura adalah separuh-pengusaha dan separuh- 22

petani. Pada tahun 1900, misalnya, pedagang (pemilik kerajinan merajut jala; perusahaan menggali batu kapur yang warung, pemilik toko, pedagang keliling, rentenir) yang keras untuk batu bangunan; perusahaan pembakaran kapur; terlibat dalam pertanian sebanyak dua kali lipat daripada kerajinan gerabah, genting dan batu merah; perusahaan minyak yang tidak terlibat. Namun, kecenderungan timbulnya kelas kelapa, minyak kaeang, minyak jarak, minyak nyamplung dan pedagang tersendiri, yang lepas sama sekali dari pertanian, minyak kesambi; pengolahan gula siwalan dan gula aren; mulai tampak pada tahun 1905. Pada waktu itu, kenyataan pandai besi dan kerajinan ukir kayu. tahun 1900 itu dibalik; mereka yang semata-mata menjadi Perusahaan yang terpenting dan yang paling pedagang berjumlah dua kali lipat dari mereka yang juga menguntungkan ialah perusahaan penggaraman dan perusahaan bertani (Kuntowijoyo:311). gula siwalan. Selanjutnya perusahaan pengawetan ikan Namun, tidak banyak indikasi perkembangan (pindang, pedo dan gereh), perusahaan omprongan tembakau ekonomi di antara masyarakat pribumi Madura. Jumlah pasar dan perusahaan tali dari sabut kelapa atau serat waru atau yang muncul pada peralihan abad itu, mulai merosot pada agave. Galangan kapal terdapat di Kertasada, Marengan dan perempat pertama abad XX. Pada tahun 1897 terdapat 176 pasar Sarokka. Di tempat-tempat nelayan yang besar terdapat di Madura; tahun 1900, 250 pasar; tahun 1905, 265 pasar; tahun galangan yang membuat perahu-perahu nelayan kecil. Selain di 1910, 278 pasar; tahun 1915, 259 pasar; dan pada tahun tempat-tempat tersebut galangan perahu terdapat pula di pulau 1921,237 pasar. Gambaran merosotnya jumlah pasar itu, selain Sapudi, Sapeken dan Kangean (Ockers,1930). kemungkinan akibat berubahnya konsep pasar dalam statistik, Terdapat pula kerajinan anyaman tikar yang menggunakan barangkali disebabkan oleh cepatnya pertumbuhan warung- bahan agel. Agel berasal dari daun pohon gebang. Perusahaan warung dan toko-toko; tempat-tempat belanja yang lebih yang sangat menguntungkan penduduk ialah perusahaan permanen di kota-kota, terutama milik pedagang-pedagang penggaraman. asing (Kuntowijoyo:312). Sekalipun begitu, sebuah laporan tahun 1904, dengan Pengusaha-pengusaha Pribumi Madura amat baik mencatat bahwa orang Madura di kota-kota pesisir Keberadaan pengusaha-pengusaha pribumi aktif dalam perniagaan dan perdagangan yang tingkatannya Madura pada masa kolonial yang bekerja di sektor industri dapat disamakan dengan pedagang-pedagang di Kudus, Jawa sulit ditemukan dalam catatan statistik. Informasi yang Tengah. Tetapi kegiatan itu sebenarnya hanya sepanjang didapat hanya pedagang-pedagang Madura yang dilaporkan, menyangkut komoditas-komoditas lokal. Modal para selebihnya tidak jelas. Mengapa demikian ? Alasan pedagang Madura diperoleh dari sumber-sumber keluarga dan pemaknaan sering menjadi pemicu. Seorang yang disebut uang pinjaman yang harus dikembalikan dengan bunga 20 sebagai nelayan misalnya, memiliki arti ganda, yakni pemilik sampai 40 persen setahun. Rentenir Cina, misalnya, aktif di prau dan awak kapal. Sehingga sulit dibedakan apakah ia wilayah perikanan, dan di sebutkan pula keberadaan rentenir seorang nelayan atau pengusaha pelayaran. pribumi di Sampang. Persaingan dengan pedagang-pedagang Berdasarkan catatan statistik tahun 1871, rata-rata asing, bagaimanapun, membatasi pedagang-pedagang penghasilan pengusaha pribumi adalah f 234,50, Cina f pribumi untuk hanya bergerak pada komoditas-komoditas 291,50, dan orang asing Asia lainnya f 79. Namun demikian, kecil dan pedagang eceran (Kuntowijoyo:312). pada sektor transportasi laut dan perikanan, para pengusaha Sementara itu, orang Cina dan Arab telah pribumi paling dominan. Mengenai rata-rata penghasilan menempatkan dirinya sebagai pengekspor barang-barang, pengusaha pribumi, Cina, dan orang asing Asia dari sektor padi dan linen, serta perdagangan di warung-warung dan transportasi laut ini, secara berurutan, adalah f 365, f 289, toko-toko. Hampir semua produk nonpertanian, seperti petro- dan f 107. Di sektor perikanan, yang dikuasai oleh pengusaha leum, barang-barang tenunan, minuman, dan korek api, pribumi Madura, rata-rata penghasilan mereka adalah f 378 berada dalam genggaman pedagang-pedagang asing. (Kuntowijoyo:307). Ockers (1930) melaporkan bahwa perdagangan Di lingkungan pengusaha pribumi, pengusaha- perantara dan perdagangan besar di ibukota-ibukota pengusaha Madura rupa-rupanya lebih baik nasibnya daripada hampir semuanya dikuasai oleh orang-orang Cina, Eropa pengusaha-pengusaha Jawa. Pada tahun 1870, misalnya, dan Arab. Mereka tidak hanya memperdagangkan hasil pengusaha Madura (termasuk para nelayan), membayar bumi, tetapi juga bahan sandang, bahan pangan dan pajak rata-rata f 2,82, sedangkan di Jawa rata-rata pajak barang-barang kelontong. Di beberapa tempat terdapat yang dibayarkan adalah f 2,25. Jika pajak itu dijadikan juga pedagang pribumi yang dapat dikatakan cukup ukuran untuk menunjukkan berbagai jenis usaha, niscaya besar. Keadaan itu juga dilaporan van Maurik (1924), perusahaan orang Madura lebih besar daripada Jawa. Kesan yang menerangkan bahwa pedagang-pedagang Cina itu itu kemudian didukung dengan adanya fakta bahwa pada tahun kegiatannya hanya terbatas pada usaha-usaha tertentu di 1901, para usahawan Madura rata-rata membayar pajak f 2,78, kontras dengan rata-rata di Jawa-Madura, f 1,51. Dalam ibukota dan di desa Banyualis, Batiok dan Ketapang. hal ini, menarik sekali bahwa pengusaha-pengusaha Madura Mereka mendapat saingan besar dari pedagang-pedagang tumbuh dan berkembang melampaui kawan-kawan mereka Madura kaya. orang Jawa, begitu juga pengusaha Cina di Madura berkembang pesat melampaui orang Cina di Jawa, kecuali Perusahaan Pribumi untuk Surabaya (Kuntowijoyo:308). Perusahaan penduduk pribumi di Madura Timur yang Pada tahun 1875, para pengusaha pribumi Madura terpenting ialah: perusahaan batik yang khas Madura; berpenghasilan sama, setingkat dengan orang Cina, dan lebih kerajinan anyaman tikar dan barang-barang lainnya; 23

tinggi dibandingkan orang asing Asia lainnya; dan pengusaha Peternakan yang paling disukai penduduk pribumi Madura membayar pajak f 6,67, sedangkan dua Madura adalah memelihara sapi yang berwarna kuning kelompok etnis lainnya membayar pajak f 6,68 dan f 3,94. kecoklat-coklatan. Pada tahun 1880, di Madura terdapat Pada tahun 1905, kemampuan membayar pajak orang Ma- 271.676 sapi, 55.966 kerbau, dan 20.720 kuda. Pada tahun 1900, dura mengalami penurunan, sedangkan perolehan orang Cina terdapat 567.922 sapi, 28.738 kerbau, 29.622 kuda. Dan pada tahun sedikit meningkat. Mengingat pembayar pajak meningkat 1930, jumlahnya 657.818 sapi, 17.065 kerbau, dan 12.000 kuda. Lihat hampir tiga kali lipat dari tahun 1875 sampai tahun 1905, total Tabel berikut. pajak usaha yang dibayar oleh penduduk pribumi hanya berubah sedikit, dari f 150.320,83 pada tahun 1875 menjadi f Tabel 3. 164.179,53 pada tahun 1905. Penyebab semakin Jumlah Ternak di Madura, 1885-1930 membengkaknya usahawan-usahawan kecil, kemungkinan Sapi Kerbau Kuda Total sama dengan proses "kemiskinan yang dibagi" (shared poverty) 1885 415.360 30.797 22.299 499.668 dalam pertanian. Alasan lainnya yaitu persediaan barang-barang 1890 473.000 27.900 26.200 527.100 konsumtif di pasar hampir tidak berkembang. Pengusaha- 1900 567.922 28.738 29.622 626.282 pengusaha kecil (yang membayar pajak f 1 dan f 1 ke bawah) 1906 581.413 bertambah dari 21,2 persen menjadi 62,7 persen selama tiga 1922 603.895 21.637 puluh tahun. Kebanyakan mereka sebagai pengecer barang- barang konsumtif dan menyerahkan perdagangan besar kepada 1930 657.818 17.065 12.000 686.883 orang Cina (Kuntowijoyo:309). Sumbe Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, 1850-1940, (Yogyakarta: Mata Peternakan Bangsa, 2002), hlm.369. Peternakan bagi orang Madura menjadi usaha yang menguntungkan dan menjadi sumber Dari jumlah seluruh sapi di Madura, pada tahun 1922 matapencaharian yang utama sesudah pertanian. Jumlah di Pamekasan tercatat terdapat 378 sapi per 1.000 penduduk, di hewan ternak di keresidenan Madura jauh lebih banyak Bangkalan hanya 285. Berdasarkan laporan van Maurik (1924) daripada jumlah hewan ternak di tiap keresidenan di pada tahun 1923 di Sampang, terdapat + 140.500 ekor sapi, Jawa. Ini menandakan bahwa peternakan di Madura ± 2.600 ekor kerbau, ±1.2.00 ekor kuda, ± 5.000 ekor diusahakan lebih intensif dari pada di Jawa. kambing dan ± 2.000 ekor domba. Anak sapi berjumlah ± Orang Madura dikenal sebagai peternak yang baik, 14.000 ekor. Menurut sensus tahun 1927 populasi hewan walaupun keadaan alamnya tidak cukup menunjang. Jarang ternak di Madura adalah sebagai berikut: Kuda : 11.000 ekor, ditemukan padang rerumputan di Pulau Madura, sebagaian kecil Sapi : 520.000 ekor, Kerbau : 17.000 ekor, Kambing : hanya ditemukan di Pulau Kangean (di bagian Timur Pulau 104.000 ekor, Domba : 900 ekor (Heyst,1928). Jumlah Madura). Di daerah ini banyak areal tegalan yang luas, dan hewan ternak di Madura Timur pada akhir tahun 1929 banyak dipelihara ternak. Penduduk Madura berternak di ladang- adalah 355.204 ekor sapi, 9.094 ekor kerbau, 9.297 ekor ladang miliknya, dan di rumah-rumah mereka. Mereka sangat kuda, 104.740 ekor kambing, 7.622 ekor domba dan 1.819 berhati-hati menjaga ternaknya, jika mereka membawa ke pasar ekor babi (Ockers,1930). untuk dijual, mereka memperlengkapi diri dengan senjata. Sapi yang dikirim ke luar dan yang dipotong setiap Pemeliharaan ternak seringkali dilakukan dengan tahun menurut laporan J.G. van Heyst tahun 1927 bernilai sistem angon. Pagi-pagi sekali, ternak peliharaan dibawa ke lebih dari 4 juta gulden (Heyst,1928). Nilai ini dianggap ladang-ladang atau ke mana saja yang ada jerami atau sebagai bunga dari modal yang tetap utuh. Belum lagi rumputnya. Pada siang harinya, proses seperti itu diulangi lagi. keuntungan yang diperoleh dari tanah yang mendapat pupuk Selama musim penghujan, bermacam-macam makanan kandang. Di Madura kotoran hewan ternak pada umumnya ternak, seperti rumput, daun jagung, daun kacang-kacangan, dikumpulkan untuk pupuk. dan dedaunan lainnya, mudah didapatkan. Selama musim Eksport sapi setiap tahun cukup banyak. Eksport kemarau, rumput sulit didapatkan, hanya terdapat daun- dilakukan pada hari-hari tertentu dan diawasi oleh dokter daun kering, tangkai kacang-kacangan, daun jagung, dan hewan di Madegan (kota Sampang) (Maurik,1924). Pada jerami padi. tahun 1926 jumlahnya 77.000 ekor dan pada tahun 1927 Jenis peternakan yang dikelola orang Madura 71.000 ekor. Pelabuhan eksport sapi yang terpenting adalah meliputi : peternakan sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, Kamal. Sapi itu dikirim ke ujung Jawa Timur dan ke dan ayam (unggas). Peternakan sapi di Madura menjadi Surabaya sebagai sapi potong. Pada tahun-tahun akhir ini mata pencaharian yang terpenting di samping pembuatan jumlah sapi potong yang dieksport tidak kurang dari 40.000 garam. Peternakan sapi banyak dilakukan oleh orang-orang ekor. Berhubung dengan jumlah eksport yang cukup besar itu Madura khususnya di distrik Sapudi (Batten,1923).. Di Pemerintah Daerah Madura menyediakan 3 los kandang dari kepulauan Sapudi, sapi yang diperdagangkan adalah sapi yang beton yang dilengkapi dengan air minum dan mampu masih kanak-kanak, karena di kepulauan tersebut menampung 250 ekor sapi. Pada tahun 1927 sapi yang persediaan makan ternaknya terbatas dan tidak cukup dibawa ke berbagai pasar berjumlah 430.000 ekor, sedang untuk membesarkan semua anak sapi menjadi sapi. Bila populasinya 620.000 ekor. Ini suatu bukti bahwa musim kemarau terlalu panjang pangan ternak terpaksa perdagangan sapi cukup besar dan pemilikan sapi itu tidak didatangkan dari Jawa. stasioner. Perdagangan sapi arahnya dari timur ke barat,

24

menuju ke Kamal. Selain itu juga ada yang ke arah selatan, dibeli 2 ekor kuda Sandel untuk pejantan di pulau yaitu ke Besuki dan Pasuruan. Sapi Madura itu juga Sepanjang dan Sabunten. Berhubung di antara kuda berina diperdagangkan ke Sulawesi dan Kalimantan (Ockers,1930). di pulau Sepanjang ada yang terkena penyakit, maka kedua Jumlah eksport hewan ternak dari Madura Timur ekor kuda pejantan tersebut dibawa ke Jawa. Di Jawa kedua dan Madura Barat ke Surabaya (sapi potong), Pasuruan, ekor kuda pejantan itu akhirnya mati karena terserang Probolinggo (sapi potong dan sapi ternak) dan ke luar penyakit surra (Ockers,1930). Jawa (sapi potong) pada tahun 1929 adalah sebagai Di beberapa tempat di Madura setiap tahun berikut: 61.891 ekor sapi, 9.544 ekor kambing, 2.072 ekor diadakan pameran ternak. Sapi, kambing dan domba yang kerbau, 2.452 ekor domba, 131 ekor kuda, 168 ekor babi. baik di pameran itu diberi premi. Dana yang disediakan Jumlah hewan ternak yang dieksport dari Madura untuk menyelenggarakan pameran setiap tahun + f 70.000, - seluruhnya pada tahun: 1926: 77.000 ekor. 1927: 71.694 . Pameran diadakan 3 a 4 kali setahun di beberapa tempat di ekor. 1928: 70.487 ekor. Khusus jumlah hewan ternak seluruh Madura. Sapi betina yang baik di pameran itu diberi yang dipotong di Madura pada tahun: 1927: 36.254 ekor. hadiah (Heyst,1928). Subsidi Pemerintah yang diberikan 1928: 44.365 ekor. 1929: 37.440 ekor (Ockers,1930). untuk menyelenggarakan karapan juga berpengaruh pada Pemotongan sapi dilakukan oleh 22 orang mantri usaha memperbaiki hewan ternak, terutama sapi. Hampir potong, 2 orang pembantu mantri dan 4 orang pejabat di setiap ibukota distrik diselenggarakan lomba karapan. mantri potong. Mereka ini tersebar di seluruh Madura. Setiap 3 tahun di Bangkalan diadakan karapan untuk Jumlah sapi yang dipotong secara resmi ± 36.000 ekor, memilih karapan yang terbaik di seluruh Madura. sedang yang dipotong secara gelap jumlahnya cukup Perlombaan karapan ini mendorong penduduk Madura banyak, mungkin sama dengan yang dipotong secara resmi. untuk memelihara sapi jantan yang baik dan yang dapat Hal ini tidak mengherankan, sebab harga sapi potong antara dibanggakan oleh desanya (Heyst,1928). f 15,- dan f 7,- seekor, sedang pajaknya f 7,-, yaitu f 6,- untuk Pemerintah dan f 1,- untuk Pemerintah Daerah Perikanan sebagai ongkos periksa. Pemerintah menyediakan premi Mata pencaharian perikanan di Madura dibedakan (hadiah) f 10,- kepada setiap pemilik sapi jantan yang baik antara perikanan darat dan perikanan laut. Perikanan darat dan yang disediakan untuk peternakan. Hadiah ini dinaikkan memanfaatkan lahan pertanian untuk pemeliharaan ikan dan menjadi f 30, -, tetapi dengan syarat selama satu tahun harus seringkali menggunakan tenaga kerja keluarga. Sementara itu, disediakan untuk peternakan dan tidak boleh dijual. Selain pada perikanan laut, menggunakan laut sebagai sarana itu Pemerintah juga memberi bantuan keuangan dan teknis produksi dan melibatkan tenaga kerja nonkeluarga. bagi setiap pembelian sapi pejantan yang menjadi milik desa. Informasi tentang perikanan darat tidak banyak Selain peternakan sapi, di Madura juga terdapat ditemukan. Sistem perikanan darat terkait dengan pemilikan peternakan kerbau. Peternakan kerbau paling banyak tanah yang oleh raja ditetapkan dengan sistem apanage. terdapat di kepulauan Kangean (Heyst,1928). Peternakan Selama abad XIX keterangan mengenai usaha perikanan darat kerbau, domba (di antaranya domba gibas), ayam dan lebih ditekankan pada biaya pajak yang harus dikeluarkan lainnya di Madura Timur tidak banyak artinya. pemiliknya. Namun demikian, hal yang menarik dari usaha ini Peternakan kambing dapat dikatakan berkembang. adalah raja-raja Madura banyak yang ikut memiliki usaha itu. Penduduk atas inisiatip sendiri mendatangkan kambing Usaha perikanan darat seringkali mengalami permasalahan Benggala (Etawa) sebagai bibit. Peternakan di Madura ketika harus dilakukan rotasi pemanfaatan lahannya. Pada saat memang diusahakan sebagai perdagangan, yaitu dieksport berlangsung budi daya ikan, raja menguasai hasilnya, akan dan dipotong. Eksport kerbau dilakukan dari kepulauan tetapi, setelah dipanen ikan, lahan kolam tersebut digunakan Kangean. Unggas dan telur dieksport terutama dari untuk mengolah garam dan diserahkan kepada penggarap Madura, Sapudi dan Kangean. Kambing dieksport dari (Kuntowijoyo:321). Sapudi. Karena daerah Madura merupakan daerah Perikanan laut mempunyai bermacam-macam peternakan, maka pasar hewan jumlahnya cukup banyak organisasi, dari yang menggunakan peralatan sederhana sampai (Ockers,1930). yang canggih, dan dari tingkat individual atau tenaga kerja Peternakan sapi, kerbau, kambing dan domba keluarga sampai perusahaan kapitalistis yang berskala besar. adalah sumber mata pencaharian yang kedua sesudah Terdapat dua tipe dasar perikanan laut. Pertama, perikanan di pertanian. Penghasilan setahun yang diperoleh dari tepi pantai atau perikanan kecil-kecilan dikerjakan dengan peternakan ini selama tahun 1929 seluruhnya adalah sebagai cara sederhana, yaitu menunggu ikan datang ke pantai pada berikut: a. dari eksport ± 40.000 ekor hewan ternak ± f saat air pasang naik, dengan menggunakan alat penangkap ikan 2.000.000,-, b. dari pemotongan ± 25.000 ekor hewan sederhana, seperti bubu (penangkap ikan terbuat dari bambu), ternak, termasuk perdagangan kulitnya ± f 600.000,-. Jumlah banjang (parit), dan jala tuangan (serok), serta lekes (tali yang keseluruhan ±f 2.600.000,-. Hasil tersebut dapat dianggap dibuat dari daun pisang). Kedua, jenis perikanan berskala besar di sebagai bunga dari kekayaan penduduk (hewan ternak) yang lepas pantai menggunakan jala yang beraneka macam, seperti tidak berubah. Hasil sampingan lainnya ialah susu payang (jala besar), jaring berderet, dan jaring berjangkar perahan dan pupuk (Ockers,1930). (Kuntowijoyo:322). Di samping itu juga terdapat peternakan kuda. Di Madura penangkapan ikan lepas pantai dengan Peternakan kuda hanya terdapat di pulau Sapudi, perahu dilakukan dengan teknik yang lebih baik Kangean, Raas dan Sepanjang. Pada tahun 1914 telah daripada di Pantai Utara Jawa, yaitu dengan sistem

25

jemputan dan ngadang. Sistem jemputan adalah teknik f.10.000 yang membawa ikan itu untuk kemudian dijual ke operasional penangkapan ikan yang membedakan antara Jawa dengan menggunakan prau miliknya. Sekembalinya dari tugas menanghkap ikan dengan pengangkutan ikan. Jawa, juragan-juragan darat itu membawa padi, tepung, dan Terdapat sejumlah nelayan yang terus bekerja melakukan keperluan-keperluan para nelayan lainnya (Kuntowijoyo:324). penagkapan ikan, dan beberapa nelayan dengan perahu Pemerintah kolonial mencoba mengembangkan khusus yang bertugas mengangkut hasil tangkapan ke industri perikanan. Ia membuat garam yang tersedia di depot- pusat-pusat penjualan ikan, sekaligus mensuplai bahan depot penjualan garam, juga mendirikan rumah-rumah makanan untuk nelayan-nelayan yang tetap berada di pengasinan di pusat-pusat perikanan. Pelabuhan-pelabuhan wilayah penangkapan ikan. Sementara sistem ngadang perikanan diperbaiki atau dibangun; satu di Pasongsongan, sama dengan yang pertama, hanya saja fungsi umpamanya, menelan biaya antara f 200.000 sampai f pengangkutran ikan hasil tangkapan dilakukan oleh orang 300.000. Tambahan lagi, pemerintah mendirikan bank lain, yakni oleh para pedagang ikan. Mereka mendatangi perkreditan untuk membatasi ruang gerak lintah darat, tetapi tempat-tempat penangkapan ikan di tengah lautan, membeli usaha ini hanya sebagian saja berhasil. ikan dan menjual kebutuhan untuk para nelayan di situ Nelayan memberikan pemasukan besar kepada (Masyhuri,1996). pemerintah, karena mereka merupakan pembayar pajak yang Organisasi perikanan lepas pantai melibatkan dua tertinggi per kapita. Pada tahun 1871, umpamanya, 16.265 sampai tiga kelompok orang; pemilik prau (juragan), pemilik nelayan membayar pajak masing-masing f 7,56, dibandingkan jaring penangkap ikan dan peralatan, dan awak kapal. Masing- dengan pedagang yang membayar pajak f 1,62, pengusaha masing mempunyai tanggung jawab khusus dan semuanya pabrik f 4,69, dan pengusaha transportasi pelabuhan laut f menjadi kesatuan yang saling berkaitan. Prau penangkap ikan 7,30. Separuh dari seluruh pembayar pajak usaha adalah sering kali amat besar. Komisi kesejahteraan pada tahun 1905 nelayan; pada tahun 1903, dari sejumlah 58.197 pembayar pajak, melaporkan bahwa prau-prau blatik di Sampang, khususnya ada 7.321 pemilik perahu dan 28.387 nelayan (Kuntowijoyo:325). dari Pulau Kambing, mempekerjakan 20 anggota awak kapal. Dalam pergantian abad, dari tahun 1895 sampai tahun Di dalam contoh ini, pembagian tangkapan sebagai berikut: 1 1903, jumlah keseluruhan prau untuk usaha perikanan laut sarah (bagian) untuk perahu sendiri, 1 untuk payang sendiri, 4 meningkat, lihat tabel berikut. untuk pemilik-pemilik perahu, dan 22 untuk awak kapal. Di Pamekasan, satu prau mayang dengan 14 anggota Tabel 4 awak kapal, pembagian tangkapan sama dengan cara itu: 1 sarah Jumlah Prau, Pemilik Prau, dan Awak Kapal Tahun 1895-1903 untuk pemilik perahu, 1 untuk tiap-tiap awak kapal, 2,5 untuk Kabupaten Jumlah Perahu perahu sendiri, dan 2,5 untuk payang. Dalam kedua kasus itu, nilai 1 sarah untuk penangkap ikan terbatas, berjumlah f 50 1895 1903 setiap tahun seorang. Di Bangkalan, dalam prau mayangan, Myg Lain2 Myg Lain2 pemilik mendapat 1/7 bagian, peralatan 1/7 bagian, dan awak Pamekasan 349 468 353 450

5/7 bagian. Untuk perahu yang lebih kecil pemilik 1/3 atau Sumenep 311 3.509 320 3.662

1/4 bagian, pemilik jala 1/3 atau 1/4 bagian, dan awak 1/3 Bangkalan 511 1.852 557 1.801 bagian atau 1/2 bagian tangkapan. Untuk perahu yang sangat Sampang 453 844 490 941 kecil, metode maro (setengah-setengah) dari hasil tangkapan Total 1.624 6.673 1.720 6.854 digunakan di antara pemilik dan awak kapal. (Kuntowijoyo : 323). Jumlah Pemilik Jumlah Awak Kpl Penghasilan seorang nelayan biasa lebih besar Perahu Penangkap Ikan dibanding penghasilan petani kecil, oleh karenanya banyak 1895 1903 1895 1903 orang yang lebih suka pergi ke laut daripada bekerja keras di ladang. Tambahan pula, tersedia beberapa pekerjaan yang 943 724 2.812 2.987 berhubungan dengan perikanan, yakni dalam pengawetan 3.477 3.389 12.568 12.409 ikan dan pemasaran. Perekonomian di Pesisir Utara Madura 2.045 2.042 7.056 7.367 ramai sekali dengan perikanan, perkumpulan industri ikan, pe- 1.076 1.157 5.746 5.624 masaran ikan; perikanan di Pantai Selatan kebanyakan 7.341 7.312 28.182 28.387 hanya untuk konsumsi lokal. Sumb Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Di Pulau Sapeken, pada tahun 1908, perikanan dengan Agraris Madura, 1850-1940, (Yogyakarta: Mata payang didominasi oleh empat punggawa atau pengusaha besar Bangsa, 2002), hlm.327. yang memiliki armada perikanan dan jala. Mereka menyiapkan modal yang dibutuhkan oleh para pemilik pejala (perahu dan F.B. Batten, tanggal 5 Desember 1923 melaporkan, jala) kecil dan menyerahkan hasil tangkapan mereka kepada sejumlah besar ikan asin setiap tahun dikirim ke Jawa dan punggawa. Pemilik-pemilik pejala, juru mudi, dan anak buah Bali. Untuk memajukan perusahaan ikan asin di pantai utara kapal harus menjual 5/12 hasil tangkapan. Selanjutnya dan di Pulau Sapeken, pemerintah Belanda menyediakan punggawa bergantung kepada tauke. Di Klampis dan Sepulu tempat pengasinan. Selain itu juga menurunkan harga garam (Bangkalan) sampai tahun 1921 dilaporkan bahwa nelayan yang diperlukan untuk pengasinan. Dalam upaya penyediaan terikat dengan beberapa juragan darat, yakni pedagang- dana untuk usaha perikanan, nelayan seringkali pedagang ikan yang mem-punyai modal f. 500 sampai memanfaatkan peminjaman di koperasi-koperasi. Akan tetapi sayangnya, di antara koperasi penyedia modal tersebut 26

kondisinya tidak sehat, seperti laporan dalam Memori mereka lebih banyak dari pada yang mengerjakannya. Kontrolir Sampang, F. Van Maurick, 6 Mei 1924, yang Sebagai akibat dari berbagai jenis transaksi, banyak tanah menyebutkan bahwa koperasi nelayan di Darmacamplong yang dikerjakan oleh orang lain. Transaksi-transaksi itu dan Darmatunjung tidak dapat hidup dengan baik, dan mirip sekali dengan transaksi yang terjadi di tanah koperasi itu bubar pada tahun 1919. pertanian. Maro, atau metode bagi hasil, lazimnya berupa Sementara W.H. Ockers, 2 Mei 1930, melaporkan uang tunai setelah hasil produksi diantar dan dijual kepada bahwa pemerintah telah membangun tempat penggaraman, pemerintah. Biasanya pemilik merawat tambak. Sedangkan yang disediakan bagi nelayan yang akan mengawetkan hasil biaya-biaya lainnya dipikul bersama, pemilik dan pembuat ikannya, di desa-desa nelayan yang padat dan makmur di (panglako atau mantong)(Kuntowijoyo:415). Paseyan, Pasongsongan, dan Abunten, semuanya di pantai Pemilik tanah garam menjadi tuan-tuan tanah utara dan di Pulau Sapeken. Selain itu juga dibuka 4 tempat garam, seperti di Sumenep pada awal tahun 1869 terdapat penjualan garam pemerintah yang menyediakan garam orang-orang yang memiliki tanah garam 10,20, bahkan 30 murah khusus untuk mengawetkan ikan. Dengan cara ini plot. Sampai tahun 1920-an, hak pemilikan satu plot atau diharapkan pengusaha pengawet ikan akan mampu bersaing plot kecil tetap lebih banyak. Di Sumenep, hak milik satu dengan ikan yang sangat murah dari Siam dan juga dapat plot berjumlah 39 persen dari seluruh tanah; di Pamekasan mencegah pembuatan garam secara gelap. Pada musim 52,6 persen; dan di Sampang 68,8 persen. Pemilik besar penangkapan ikan sejumlah besar pindang dan gereh dikirim dengan 10 plot atau lebih hanya 11 orang di Sumenep, 4 ke Surabaya, Bali, dan Lombok dengan menggunakan orang di Pamekasan, dan 2 orang di Sampang. Hanya di perahu dan trem. Sumenep (12 persen) dan di Pamekasan (5 persen) tuan- Usaha perikanan di kepulauan Kangean selain tuan tanah memiliki sebagian besar tanah, sedangkan di menghasilkan ikan asin juga menghasilkan tripang, trasi, Sampang mereka tidak berarti. Pada tahun 1931, pola-pola penyu, mutiara, dan akar-bahar. Trasi dan penyu dikirim ke pemilikan tanah di Sumenep berubah sedikit dalam hal Bali, sedang tripang ke Singapura. Penangkapan tripang ini jumlah pemilik-pemilik tanah besar (18 orang) sedangkan di oleh nelayan-nelayan Madura dilakukan sampai di kepulauan Pamekasan jumlahnya merosot sampai tidak ada sama Paternoster dan kepulauan Postilon. Nelayan-nelayan yang sekali, dan di Sampang tetap hanya 2 orang. Total pemilikan mencari tripang ini biasanya berangkat pada waktu tanah secara luas adalah 6 persen dari semua plot, suatu menjelang musim penghujan dan kembali ke pangkalan gambaran yang tetap tidak berubah sampai tahun 1920. beberapa bulan kemudian. Mereka menggunakan perahu- Kecuali di Sumenep, akumulasi tanah-tanah garam perahu besar dan membawa perahu-perahu yang kemungkinannya masih jauh (Kuntowijoyo:413). akan digunakan untuk menangkap tripang. Di daerah garam ini dalam proses pembuatan Penyelam-penyelam Madura dan Brakas (Sapudi) garam, kedudukan pemilik kolam amat penting karena berlayar sampai ke kepulauan Enggano, Sulawesi dan mereka kecuali sebagai pemilik sekaligus sebagai Nusatenggara untuk mencari mutiara dan akar-bahar. Pada pembuat garam. Selain itu dalam pembuatan garam musim ikan layang, nelayan Madura mencarinya di daerah juga melibatkan para pekerja yang biasanya mereka pantai Bawean. Madura, Sapudi, dan Raas setiap tahun tidak memiliki kolam garam (Parwoto,1996). Pada saat mengirim nener (bibit ikan bandeng) dalam jumlah besar ke monopoli diberlakukan di masa kolonial, kolam-kolam Surabaya, Gresik dan sebagainya. garam itu wajib digunakan untuk pembuatan garam. Di beberapa tempat di pantai selatan Madura ada Sekalipun demikian para pemilik kolam itu dibebaskan nelayan-nelayan Madura yang menangkap ikan untuk orang- apakah mereka akan berminat untuk membuat garam di orang Cina. Orang-orang Cina ini memiliki perahu-perahu kolamnya itu atau tidak. Apabila mereka tidak berminat, yang dipergunakan oleh nelayan tersebut. Di pantai selatan maka ada keharusan untuk melepaskan kolamnya itu Madura, pengkapan ikan, udang, kepiting, dan kerang selama musim garam dan diserahkan kepada orang lain dilakukan dengan pancalan, pancing agung, pancing tengiri, yang telah ditunjuk oleh pemiliknya. Sebelum pancing rawe, dan pancing rawet. Untuk perikanan darat, pembuatan dimulai maka orang yang ditunjuk itu harus informasi menarik mengenai peternakan ikan. Dilaporkan memperoleh persetujuan dari aparat yang telah bahwa peternakan ikan dilakukan di tambak, dan usaha ini ditentukan. dilakukan oleh petambak-petambak di pantai selatan Madura. Sebaliknya apabila para pemilik itu yang mengerjakan maka mereka tidak bebas sama sekali Produsen Garam, Pusat-pusat Garam, dan Monopoli karena dalam proses pembuatan itu mereka harus Garam mentaati aturan-aturan yang telah ditetapkan baik aturan Produsen garam rakyat terdiri dari berbagai yang bersifat administratif maupun teknis. Pelanggaran kelompok partisipan: pemilik-pemilik ladang, pembuat ketentuan itu dalam merugikan kedua belah pihak garam, dan pekerja-pekerja garam. Kelompok pertama dan karena dengan pelanggarana itu mengakibatkan kedua, seringkali orang-orangnya sama. Produksi garam kualitas hasil produksi menjadi jelek sehingga ketika dibatasi oleh tempat dan jumlah orang-orang yang terlibat. akan diserahkan kepada pemerintah besar Secara garis besar pelapisan masyarakat produsen garam kemungkinannya garam itu di tolak, sedangkan bagi terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang pemerintah jika penolakan itu terjadi maka jumlah mempunyai tanah dan tidak mempunyai tanah. Jumlah produksi akan berkurang. pemilik tanah yang terdaftar yang tidak mengerjakan tanah Pembuat dan pemilik kolam biasanya orang- 27

orangnya sama. Lain halnya jika pemilik kolam garam itu sebesar antara 5 % hingga 6% per bulan, ketika menyerahkan kepada orang lain yang ditunjuk untuk waktunya telah tiba untuk mengembalikan pinjamannya, membuat garam seperti telah disebutkan di atas maka dan apabila pembuat garam belum siap mengembalikan dengan sendirinya pemilik kolam itu tidak terlibat uang itu, maka jalan yang sering ditempuh adalah dalam proses pembuatan garam. Penunjukkan seseorang dengan menjual kolam garam itu. Adapun biasanya para oleh pemilik kolam untuk membuat garam itu harus rentenir adalah pembelinya (Kemp:285). mendapat persetujuan dari kepala pembuatan garam atau Pemerintah telah berusaha mengatasi pengurus lainnya. apabila calon pembuat garam itu di permasalahan itu, dengan cara memberi pinjaman tolak, maka pengurus itu segera mengangkat orang lain kepada pembuat garam. Akan tetapi pinjaman itu baru yang akan membuat garam di kolam-kolam yang telah dapat diterima setelah garam itu sudah berada di kolam. di tentukan. Para pembuat garam yang didasarkan atas Jadi pinjaman itu dapat dikatakan sebagai uang muka, itu baik oleh pemilik kolam maupun pengurus monopoli voorschot. Tujuan lain, pinjaman itu diberikan untuk garam setempat sudah barang tentu di dasarkan atas mencegah munculnya para rentenir, akan tetapi sampai pengalaman yang dimiliki, sehinga tidak jarang para dimana tujuan itu terlaksana. Ternyata yang terjadi pembuat ini dapat mengerjakan beberapa kolam garam. adalah sebaliknya, pada tahun 1915 sering dijumpai Jadi mereka itu sifatnya menghimpun pembuatan garam para pembuat garam memperoleh pinjamam dengan kepunyaan para pemilik kolam garam yang tidak bunga yang lebih tinggi yakni antara 8 % hingga 20 % dikerjakan sendiri (Kuntowijoyo:379). per bulan (Parwoto:75). Ikatan perjanjian bagi hasil antara pemilik dan Pendapatan produsen garam pada umumnya pembuat garam di sebut mantong atau panglako. Di ditentukan oleh jumlah garam yang dihasilkan, selain itu Pamekasan dan Sumenep pembagian hasil, juga harga beli dari pemerintah. Disebabkan adanya mo menggunakan sistem maro yaitu setengah hasil nopoli berpengaruh terhadap pendapatan mereka. Sejak produksi disetorkan ke gudang-gudang pemerintah maka tahun 1861 setelah adanya krisis garam, pemerintah seketika itu pembuat garam menerima sejumlah uang merangsang dengan menaikkan harga garam dari f 3,50 hasil penjualan garam yang disetorkan. Setelah menjadi 10 setiap loyang (1825 kg). Hal itu dikurangi biaya tenaga kerja (buruh) maka hasil bersih menyebabkan banyak penduduk yang tertarik untuk penjualan garam itu dibagi dua, sebagian diserahkan membuat garam. Sekalipun tidak ditunjukkan kepada pemilik tanah dan sebagian lainnya menjadi penghasilan seorang pembuat garam per hari, akan milik pembuat garam. Lain halnya sistem pembagian tetapi dari segi fisik dapat disimpulkan bahwa kondisi yang berlaku di Sampang, para pembuat memperoleh sosial ekonomi pembuat garam lebih baik (Kemp:283). sepertiga, sedangkan pemilik tanah memperoleh dua Lain halnya terhadap para buruh yang bekerja pada pertiga dari hasil bersih (Kemp:286). pembuat garam, biasanya mereka adalah tenaga harian, Pembagian hasil di atas, pada umumnya dimana pendapatannya ditentukan oleh oleh jumlah hari dipraktekkan ketika berlaku monopoli garam (produk kerjanya. Pendapatan meraka relatif kecil yaitu setiap kebijakan Belanda). Produsen garam rakyat yang berada hari menerima antara f 0,3 hinga f 0,5. Padahal di luar sistem itu menggunakan sistem maro tanpa kerjanya pada kolam-kolam yang penuh lumpur dan di berhubungan dengan pabrik garam milik Belanda. bawah sengatan matahari. Air minum yang mereka Seperti yang sudah mentradisi sejak sebelum Belanda perlukan diperoleh dari tempat yang agak jauh karena masuk Sumenep, sistem maro seringkali dilakukan disekitar tempat itu airnya asin. Demikian pula mereka dengan pembagian hasil perbandingan yang bervariasi. terpaksa menggunakan air sungai yang begitu keruh Ada yang 50:50, pemilik hanya membiayai sebagian untuk keperluan mandi. Oleh karena itu tidak saja dari biaya produksi. Bila pembagian 40:60,atau mengherankan apabila sering terjangkit wabah penyakit 30:70, pemilik ladang garam akan mendapatkan 60 % (Kemp:286). Gambaran di atas menunjukkan keadaan sampai 70 % dengan catatan harus membiayai sejak yang memprihatinkan. awal hingga panen (Wisnu,2003). Bagaimanapun, para produsen garam terkenal Masuknya ekonomi uang mempengaruhi makmur. Rumah mereka semuanya beratap genting, kehidupan masyarakat terutama dalam kegiatan kebanyakan untuk melindungi kebakaran (karena di areal produksi garam di Sumenep. Dalam keadaan ini uang garam jarang air, tetapi juga karena jarangnya pepohonan di memainkan peranan, alat penukar dalam kegiatan daerah itu). Pintu-pinti dihias, ada tempat tidur di pendopo, produksi garam. Jadi bukan lagi prinsip tolong- membeli pakaian untuk pesta, perempuan mengenakan menolong seperti adanya pembagian hasil itu. berbagai perhiasan, dan jumlah sampan yang dimilikinya Pemakaian uang untuk pengelolaan produksi meningkat, semua itu adalah tanda kesejahteraan ekonomi memerlukan perencanan yang seksama. Diantara mereka. Selama periode panen mereka banyak permasalahan yang timbul sehubungan dengan menghambur-hamburkan uang, dan dilaporkan uang pemakaian uang itu adalah beberapa pembuat garam di sebanyak itu “ringan bagaikan kapok”. Jadi, meskipun Sumenep terjerat hutang kepada para rentenir. Jika banyak laporan pada umumnya menyatakan bahwa orang produksi garam gagal atau produksi jelek hasilnya, Madura berwatak hemat, ternyata produsen-produsen garam terpaksa para pembuat garam meminjam sejumlah uang adalah pemboros besar. Produsen garam di Sampang, kepada mereka. Bunga yang dikenakan dalam pinjaman khususnya di Torjun, terkenal sebagai pengisap candu dan

28

penjudi (Kuntowijoyo:406). itu jumlahnya 1.110 orang. Para pemilik sampan (perahu Oleh karena kebanyakan produsen-produsen garam kecil) dan pemilik kuda beban jumlahnya lebih dari 1.000 mata pencahariannya tergantung pada pembuatan garam orang. Menurut perkiraan terakhir, orang-orang yang terlibat semata-mata, kegagalan produksi dirasakan berat sekali, di dalam produksi garam, pemrosesan, dan transportasi pada areal agaram biasanya tidak ada tanah pertanian yang baik. tahun 1894, menjadi 30.000 orang (Kuntowijoyo:397). Sebuah laporan tentang tanah pertanian di areal garam pada Gambaran itu tentu saja menjadi lerbih besar jika pekerja- tahun 1910 menunjukkan bahwa di areal garam di Sumenep, pekerja temporal atau angkatan kerja cadangan dimasukkan yakni di Maringanlaut, Kertasada, Palebunan, Mandung- dalam jumlah itu. Dalam bentuk persentase, produsen- Mandung, dan Pinggirpapas, tidak ada irigasi, sawah tadah produsen garam dan orang-orang yang terlibat dalam hujan dan tegal terbatas secara berturutan adalah 264,5 bau transportasi sebanyak delapan persen dari total angkatan dan 2 bau dengan jumlah penduduk 10.246. Dapat kerja. Dua puluh tiga tahun kemudian, yakni tahun 1917 dimengerti kalau produsen-produsen garam terperangkap diperkirakan jumlah itu mencapai 150.000 orang karena utang pada rentenir. Pada musim hujan sering kali ladang- mata pencaharian mereka banyak yang disandarkan pada ladang garam rusak dan untuk memulai produksi lagi pada produksi garam. Meskipun pada tahun 1917 diperkirakan musim kemarau banyak memerlukan uang untuk sektor itu dapat menyetrap para pemilik, pembuat, pekerja, memperbaiki tambak, pintu-pintu air, dan plot-plot. pengangkut, dan keluarga-keluarga mereka, namun luas dan Pemberian pinjaman keuangan dari pemerintah baru-baru jumlah ladang-ladang garam selama periode itu sebenarnya ini cukup untuk membantu pekerjaan persiapan. Oleh tetap. karena itu, uang yang telah dipinjam dari rentenir-rentenir Cina, Arab atau pribumi dapat dikembalikan dalam Pusat-Pusat Garam waktu lima bulan setelah musim garam, meskipun Pembuatan garam di Madura telah berlangsung dengan bunga tinggi. Pada tahun 1915, produsen- jauh di masa lalu. Pada masa VOC tempat-tempat produsen garam meminjam f 10, f 17, dan f 60, dan dimana orang-orang membuat garam sering dinamakan membayar kembali, secara berurutan, f 14, f 34, dan f zoutnegorizen, sedangkan pada masa Pemerintahan 100. Sering kali rentenir-rentenir itu bertindah secara Kolonial orang lebih banyak menyebutnya zoutlanden. licik sebagai pedagang yang membel;I garam dengan Akan tetapi dua istilah itu mempunyai arti yang sama harga rendah dari produsen dan menjualnya kepada yaitu untuk menyebut daerah garam. Nama daerah pemerintah dengan harga resmi. Pada tahun 1921, garam itu sering kali menunjuk kepada nama-nama daerah dimana pembuatan garam itu dilakukan yaitu di umpamanya, di subdistrik Pademayu, Pamekasan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. pedagang-pedagang tersebut membeli garam dengan Pembuatan garam di tiga daerah itu dan juga harga f 7 per koyang kemudian menjualnya kepada yang lain dalam pelaksanaanya sangat dipengaruhi pemerintah dengan harga standar f 10 oleh faktor musim. Madura memiliki dua musim yakni (Kuntowijoyo:407). musim hujan antara bukan Nopember hingga April dan Produksi garam lebih banyak memerlukan musim kemarau pada bulam Mei hingga Oktober. Pada penanaman modal uang atau tenaga kerja daripada musim kemarau itulah pada umunya para pembuat pertanian, yang juga cenderung mengembangkan semangat garam melakukan pembuatan garam. Sehubungan faktor kewiraswastaan di antara para produsen. Munculnya musim itu kegiatan pembuatan garam bertolak belakang pemilik-pemilik tanah besar di areal garam sudah barang dengan penanaman padi, karena selama musim garam tentu merupakan tanda bahwa semangat kapitalistik itu pada umumnya para petani meninggalkan sawah dan berkembang, meskipun kenyataannya bahwa monopoli ladangnya, untuk pergi ke Jawa untuk mencari kerja. pemerintah membatasi aktivitas produsen-produsen garam. Setelah musim penghujan tiba maka mereka pulang Produksi garam rakyat yang terpusat di Pantai guna mengerjakan sawahnya kembali. Sebaliknya pada Selatan pulau Madura, jumlah pekerjanya lebih kecil masa itu para pekerja garam pergi ke Jawa hingga dibanding pekerja pertanian. Sebuah laporan tahun 1885 musim hujan berakhir. Hal ini dapat dimengerti bila mencatat hanya 2.586 produsen garam, meskipun dalam dilihat dari segi tanahnya yang kebanyakan tandus kenyataannya hal itu berarti hanya pemilik-pemilik ladang sehingga tak mencukupi untuk penghidupan garam (Kuntowijoyo:397). Pada tahun 1894, jumlah yang penduduknya. terlibat seluruhnya dalam produksi garam diperkirakan Sehubungan faktor musim itu, W. Van Braam 24.600 orang: 4.000 orang di Sampang, 10.000 orang di menyatakan sebagai berikut: “ Kenyataan bahwa Pamekasan, dan 10.600 di Sumenep. Pembuat-pembuat kesempatan pembuatan garam di pula itu lebih baik dari garam yang betul-betul bekerja di ladang-ladang jumlahnya pada di daerah yang lebih ke barat karena musim 3.269 dengan perincian 815 di Sampang, 1.072 di kemaraunya makin ke timur semakin karakteristik” Pamekasan, dan 1.382 di Sumenep. Taksiran yang (Braam,1917). Berkaitan dengan faktor musim, daerah komprehensif untuk partisipan-partisipan produksi garam dimana orang membuat garam sering dilalui angin tidak hanya para pemilik, pembuat, dan pekerja saja, tetapi kering yang dinamakan gending. Angin itu berasal dari juga termasuk semua yang terlibat dalam transportasi. Pada Jawa Timur bagian timur, antara Gunung Semeru dan tahun 1894 terdapat 222 perahu yang terlibat dalam Gunung Tengger kemudian bergerak melalui daerah transportasi garam dengan perincian, 94 di Sampang, 38 di Probolinggo yang seterusnya ke utara ke daerah pantai Pamekasan, dan 90 di Sumenep, seluruh pekerja transportasi 29

bagian selatan Madura. Angin itu mempengaruhi bagian utara sepanjang 5 hingga 6 paal, kemudian keberhasilan pembuatan garam karena dapat berhenti di kota Sumenep. Di sana sungai-sungai itu memperpendek waktu pengkristalan. Selain beberapa bercabang-cabang membentuk anak sungai yang kurang faktor yang bersifat ekstrem itu, ada juga faktor intern berarti untuk kegiatan transportasi. Dari sungai Saroka yaitu adanya ketinggian kadar garam yang terkandung terdapat jalan dengan lebar 15 kaki membujur ke utara di dalam air laut hal itu menentukan terhadap kualitas melewati daerah-daerah garam kemudian berhubungan produksi garam yang ada. dengan jalan raya yang merupakan batas bagian utara Perkembangan produksi garam pada prinsipnya dari daerah garam di Sumenep. sedikit banyak juga harus ditunjang oleh faktor letak, Di sepanjang jalan ini terdapat depot-depot karena hasil produksinya membutuhkan alat dan jalur garam dari pabrik-pabrik setempat dan oleh karena itu transportasi yang lancar dan memadai. Mengenai faktor untuk pengapalan garam diangkut melalui jalan itu letak, Selat Madura itu sudah sejak beberapa abad yang kemudian dipindah ke perahu-perahu yang siap lalu dilalui oleh jalur perdagangan antara kawasan mengunggu di sungai Saroka. Kemudian di tepi sungai perdagangan antara perdagangan di Jawa Timur seperti Marengan juga terdapat depot-depot garam milik Tuban, Gresik, dan Surabaya dengan pusat rempah- perusahaan di Marengan. Sungai itu tidak saja berfungsi rempah di Maluku. Sebagai bukti adanya jalur sebagai sarana transportasi garam saja melainkan juga perdagangan itu, di Penarukan pernah terdapat pos sebagai sarana trasnportasi perdagangan dengan daerah- dagang milik Portugis (Jonge:3-5). daerah lainnya seperti Bali, Besuki, Probolinggo, Sebagaimana telah di kemukakan di atas bahwa Pasuruhan, Surabaya dan sebagainya. Dengan adanya ada tiga daerah tempat pembuatan garam yaitu jalur perdagangan dan pelayaran yang menghubungkan Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Setiap daerah dengan berbagai daerah itu maka menjadikan Sumenep garam itu terdiri dari suatu komplek empang garam, sebagai tempat penghentian perahu-perahu dagang dari yakni di Sampang ada 1.377 empang, Pamekasan 1.547 dan ke berbagai daerah tujuan. Potensi yang dimiliki empang, dan Sumenep 1.648 empang. Selain jumlah daerah ini mengakibatkan adanya gejala kepadatan empang itu masing-masing daerah di bagi menjadi penduduk. Hal ini memperkuat pendapat Cooley yang bagian-bagian, yang masing-masing bagian terdapat menyatakan bahwa di tempat mana ada dua garis lalu gudang-gudang sesuai dengan nama desa-desa yang ada. lintas yang saling potong-memotong di situ terdapat Sebagai contoh di Sampang ada bagian Ragung, gejala kepadatan penduduk (Polak,1997). Dapat Dangpandan, Pangarengan, dan Apaan. Di Pamekasan dipahami bahwa pada tempat semacam itu biasanya arus ada di bagian Mangunan dan Capak. Adapun di orang atau barang berhenti untuk keperluan pertukaran Sumenep ada bagian Marengan, Palehunan, barang atau pemindahan barang-barang ke alat Pinggirpapas dan Sarokka(Kemp,1919). transportasi lain. aktivitas semacam ini menarik Pusat produksi garam di Sumenep dianggap perhatian orang-orang untuk berdiam di tempat itu guna yang paling baik daripada di Pamekasan dan Sampang. memberikan pelayan orang atau barang dari perahu- Adapun gambaran daerah garam di Sumenep adalah perahu dagang yang sedang berlabuh di tempat itu. sebagai berikut: lokasi daerah pembuatan garam itu Dengan kondisi semacam itu maka tidaklah sekitar satu paal sebelah tenggra dari ibu kota afdelling. mengherankan bila kemudian. Van Goor menyebutnya Secara lebih tepatnya daerah itu antara daerah Kalianget bahwa Sumenep sebagai pusat perdagangan dan di sebelah utara dan Tanjung di sebelah selatan. Oleh pelayaran di pulau itu (Goor:196). karena itu daerah garam ini nampak membujur dari Monopoli Garam di Madura utara ke selatan dan berdekatan dengan teluk di Monopoli diartikan sebagai pemilikan dan Sumenep yang berada di sebelah timur. Tempat-tempat pengawasan atas hasil produksi atau jasa, karena itu pembuatan garam di Sumenep ada 7 tempat antara lain: juga harga dari padanya sebagai akibat dari kekuasaan di Marengan terletak di bagian utara, Kertosodo, atas persediaan produksi (Sadhily,1983). Robinson lebih Palabunan, Mundung-mundung, Pinggir Papas, menekankan pada pemegang kekuasaan tunggal Nembakor, dan Saroka terletak di bagian selatan. Dari mengenai pengawasan produksi itu (Hastings,1956). Hal utara ke selatan kurang lebih sepanjang 5 paal. Ukuran ini dengan sendirinya sudah termasuk dalam segi lebarnya dari masing-masing lokasi bervariasi mulai persediaan dan sekaligus pemasarannya, seorang dari setengah paal dan secara keseluruhan luas pemegang monopoli (hak tunggal) dapat menentukan pembuatan garam dari ketujuh lokasi itu ada 12 paal harga serta jumlah produksi dengan bebas (ENI,1990). persegi (Raffles,1978). Monopoli garam terbentuk karena adanya Kelangsungan produksi garam disana didukung perlindungan dari undang-undang. Ketentuan yang oleh sarana transportasi berupa jalan. Jalan yang biasa menyangkut adanya larangan pembuatan garam, kecuali digunakan adalah melalui laut dengan diangkut untuk daerah yang disebut seperti Jawa dan Madura, menggunakan perahu atau kapal. Jalan masuk ke lokasi pantai barat Sumatra dan seterusnya termuat dalam pembuatan garam yang dimaksud adalah sungai Saroka Staatblad van Nederlandsch-Indie nomor 73 tahun dan Sungai Marengan. Sungai Saroka berada di bagian 1882, ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: selatan yang menghubungkan antara pantai barat dan pantai selatan, sedangkan sungai Marengan berada di

30

Annmaak van zout, tenzii met vergunning en ten behoeve van Menurut perkiraan terakhir, orang-orang yang terlibat het Gouvernement van Nederlandsch-Indie, is behoudens dalam produksi garam, pemrosesan, dan transportasi, dengan uitzonderingan in het volgend artikel vermeld, pada tahun 1894 menjadi 30.000 orang. Pada tahun verboden: a) op Java en Madura; b) in het gouernement 1917 diperkirakan mencapai 150.000 orang, karena Sumatras’s westkust; c) in de residentien Benkoelen, mata pencaharian mereka banyak yang disandarkan pada Lampongxche districten, Pelembang, Oostkust van produksi garam (Kuntowijoyo:397). Sumatra, en onderhoorigheden, Wester-afdeeling Pada saat kemarau panjang tahun 1887 dan 1888 van Borneo en Zuideren Ooster afdeeling van Borneo; d) terjadi, banyak petani yang beralih ke produksi garam. In de assistant-residentie Biliton (Kemp,1894). Akibatnya muncul produksi-produksi gelap di masyarakat Madura. Pada tahun 1887, ditemukan 389 Terjemahan : Pembuatan garam dilarang kecuali : a) kasus produksi garam tidak resmi dan diusut, Jawa dan Madura; b) Di pemerintahan pantai barat melibatkan 509 orang dan 380 pikul garam disita. Pada Sumatra; c) Di Residensi Bengkulu, Distrik Lampung, tahun 1888, terdapat 746 kasus, melibatkan 1.106 orang Palembang, pantai timur Sumatra, Bangka, dan sekitarnya, dan 395 pikul garam. Tambahan pula, penduduk daerah bagian barat Borneo, dan bagian sebelah timur dan selatan Borneo; d) Di wilayah Asisten Resisdensi Biliton. mengambil kesempatan dengan menyimpan garam, lebih dari yang diperbolehkan untuk konsumsi keluarga. Di Alasan kebijaksanaan monopoli itu diselaraskan pulau Sapudi dan Kangean, penduduk secara tidak resmi dengan politik yang sedang berlangsung. Pemerintah nenproduksi garam dalam jumlah besar dan menjualnya Belanda memandang monopoli garam merupakan bagian ke Sulawesi. Akibatnya untuk beberapa waktu penjualan dari pelayanan kerja; semacam cultuurdiensten yang garam di toko-toko pemerintah menurun tidak seperti berlangsung di Jawa. Setelah pelayanan menanam di biasanya. hapus maka monopoli dipandang sebagai bagian dari Kondisi cuaca yang kurang menguntungkan sistem pajak yang setiap warga negara wajib juga menjadi masalah, terutama saat musim kemarau, melakukannya demi kepentingan-kepentingan umum. dimana hujan seringkali turun sewaktu-waktu. Peraturan monopoli itu sekaligus mewajibkan Akibatnya produsen garam merugi, seperti yang terjadi bagi pemilik kolam garam yang berada di daerah pada tahun 1909. Ladang-ladang garam di Sumenep monopoli, sebagaimana tersebut di atas membuat garam yang mampu memproduksi 32.000 koyang, hanya untuk keperluan pemerintah. Berkaitan dengan mampu menghasilkan 5 koyang dan 26 pikul, sedangkan monopoli garam ini, yang dimaksud pemegang tunggal di Sampang mampu produksi 23.500 koyang, hanya dalam penjualannya adalah pemerintah kolonial melalui 2.790 koyang, di Pamekasan mampu 10.000 koyang, birokrasi yang telah ditentukan. Sehubungan itu maka jadi 4.807 koyang. Secara keseluruhan penduduk pemerintah mewajibkan semua ladang-ladang garam di kehilangan 58.397 koyang yang dapat menghasilkan f Madura untuk dipergunakan pembuatan garam. 583.970,- tidak termasuk untuk upah kuli-kuli angkut. Dalam pelaksanaannya, pemerintah membuat Walaupun pada tahun 1910 pemerintah merencanakan suatu cara tertentu yakni setelah kolam-kolam garam itu perbaikan terhadap pasokan garam, yaitu diharapkan siap untuk pembuatan garam mka semua pemilik kolam produksi dapat mencapai 330.000 koyang, namun di panggil oleh kepala pembuatan garam ke kantor ternyata pada tahun itu hanya terpenuhi 143.000 koyang daerah garam setempat. Dengan disaksikan oleh (Kuntowijoyo:401-402). beberapa kepala desa dan kepala distrik, para pemilik kolam itu dipanggil satu persatu untuk melaporkan siapa Tabel 5. Keuntungan Bersih Monopoli Garam yang akan membuat garam di kolamnya itu. Sementara 1916–1920 itu semua kolam-kolam yang dipergunakan untuk Besar Keuntungan pembuatan garam dicatat dalam sehelai kartu yang Tahun (dalam Gulden) disusun secara teratur, pada kartu itu memuat semua 1916 9.220.205,09 data yang berhubungan dengan kolam seperti produksi 1917 9.958.217,69 garam yang dihasilkan dalam beberapa tahun 1918 10.274.753,37 sebelumnya, pemiliknya, pembiayaannya dan bahkan 1919 10.083.605,29 sebab-sebab berpindah tangan, bila itu terjadi. 1920 9.304.698,00 Pemanggilan para pemilik kolam garam oleh kepala Sumber: Parwoto, Monopoli Garam, hlm.23. pembuatan garam itu sering di sebut penaksiran. Bagaimana keadaan produksi garam setelah Kebijakan monopoli tersebut memaksa peraturan monopoli garam diberlakukan pada tahun pemerintah untuk tidak membuka ladang-ladang garam 1882? Produksi garam dibatasi oleh tempat dan jumlah baru sampai tahun 1910. Landasan dasar monopoli orang-orang yang terlibat. Sebuah laporan tahun 1885 garam adalah untuk melindungi produksi. mencatat hanya 2.586 produsen garam, meskipun dalam Kebijaksanaan monopoli garam dilaksanakan oleh kenyataannya mereka sebagai pemilik ladang garam. pemerintah, dengan pertimbangan bahwa hasil produksi Pada tahun 1894, jumlah yang terlibat seluruhnya itu merupakan sumber pendapatan yang penting untuk diperkirakan 24.600 orang: 4.000 orang di Sampang, pemerintah. Keuntungan yang diperoleh itu bukan 10.000 orang di Pamekasan, dan 10.600 di Sumenep. digunakan untu keperluan pemerintah kolonial. Dilihat 31

dari segi keuntungan, Pemerintah memperoleh Tambangan-Kalianget (1899), Kwanyar-Blega (1901), keuntungan bersih dalam setiap tahunnya dari tahun Tanjung-Sampang (1901), dan Sampang-Blega (1901). Jalur 1916 hingga 1920, rata-rata 9 juta gulden lebih (Lihat kereta api Madura itu memanjang dari Kamal via Tabel Keuntungan Bersih dari Monopoli Garam 1916 – Pamekasan sampai Kalianget. Panjang rel yang 1920). dipergunakannya pada tahun 1928 sepanjang 233 Km. Keretaapi Madura ini termasuk keretaapi kelas 2 dengan Transportasi di Madura kecepatan maksimum 30 Km. per jam (Ockers,1930). Kegiatan transportasi di Madura dilakukan dengan Pembangunan rel kereta api tersebut seiring dengan menggunakan transportasi darat dan transportasi laut. mulai diperkenalkan sarana transportasi modern di Madura pada Transportasi darat dengan menggunakan kendaraan baik akhir abad XIX oleh Madoera Stoomtram Maatschappij, sebuah tradisional maupun modern seperti delman, sado, cikar, perusahaan yang berpusat di Belanda dengan membangun sepeda, kereta api, mobil, dan sepeda motor. Kegiatan jaringan rel kereta api yang pertama pada tahun 1897. transportasi darat ini dilakukan di daratan di pulau Madura Pembangunan infrastruktur itu menghabiskan biaya sebesar f dan pulau-pulau di luarnya. Sementara itu transportasi laut 3.000.000 (Kuntowijoyo:313). dengan menggunakan kapal laut, perahu, sampan dan lain Pada tahun 1901, semua jalur kereta api di tempat- sebagainya yang menghubungkan antar daerah di pulau tempat penting di Pantai Selatan, memberikan kemudahan bagi Madura dan antar pulau-pulau di sekitarnya serta di luar pedagang-pedagang dalam transportasi dari timur sampai pulau Madura. bagian barat. Pedagang-pedagang Sumenep, misalnya, dapat melakukan perjalanan langsung ke Kamal dan Surabaya yang Transportasi Darat cukup ditempuh dalam satu hari. Kota kecil Kamal menjadi Transportasi darat pada mulanya dilakukan secara tempat yang amat penting karena banyak orang yang akan ke tradisional dan diusahakan oleh penduduk setempat, berupa Surabaya lebih senang bermalam di Kamal. Madoera cikar, dokar, gerobak, sepeda, sado, dan sebagainya. Stoomtram Maatschappij tidak hanya melayani jasa umum saja, Transportasi di daratan selain dilakukan dengan sarana tetapi ia juga mengadakan kontrak untuk transportasi garam tersebut juga menggunakan sarana yang lebih modern milik pemerintah. Sebenarnya, memang berdirinya Madoera seperti kereta api, mobil, dan sepeda motor. Stoomtram Maatschappij sendiri didorong oleh prospek Transportasi darat mengharuskan tersedianya sarana transportasi garam. jalan darat dan rel kereta api. Jalan-jalan desa pada umumnya Penting dicatat bahwa sebelum berdirinya Madoera sangat jelek dan hanya merupakan jalan setapak atau jalan Stoomtram Maatschappij, orang Cina telah menjadi kontraktor- kuda. Jalan desa khususnya di afdeeling Sampang hampir kontraktor pelaksana penjualan transportasi garam. Kontraktor semuanya tidak terpelihara baik dan hanya dapat Cina melayani pengangkutan garam dari gudang-gudang di dipergunakan untuk kendaraan tradisional yang berbobot ladang garam ke pabrik-pabrik, dan dari pabrik ke depot- ringan (Maurik,1924). depot dan toko-toko, baik itu di Madura maupun di Jawa. Jalan provinsi dan jalan kabupaten di Madura pada Sebelum Madoera Stoomtram Maatschappij memperoleh tahun 1920-an belum memenuhi syarat untuk lalu lintas monopoli tahun 1902, tender umum selalu dimenangkan oleh modern dan untuk kendaraan bermotor. Jalan-jalan itu kontraktor-kontraktor Cina. Pada tahun-tahun pertama setelah masih sempit dan lapisan kerasnya masih kurang. Jalan berdirinya Madoera Stoomtram Maatschappij, pemerintah Rapa-Karangpenang pada tahun 1924 baru selesai biasanya menawarkan kontrak itu terlebih dulu kepada diperbaiki. Demikian halnya jalan Karangpenang-Jelbung Madoera Stoomtram Maatschappij, kemudian kepada umum (Robatal), yang tahun-tahun sebelumnya tidak dapat untuk mencari biaya yang lebih murah. Rupa-rupanya, orang dipergunakan, pada tahun 1924 sudah diperbaiki. Jalan-jalan Cina mampu mempertahankan ongkos terendah mereka di Madura dipelihara oleh Dinas Pekerjaan Umum Daerah dengan memberikan persekot terlebih dulu kepada pemilik- (Maurik,1924). pemilik prau pribumi. Direktur Madoera Stoomtram Pada tahun 1930 jalan utama di Madura mulai Maatschappij memberitahukan kepada para pemegang saham diperbaiki. Jalan besar Kamal-Pamekasan-Kalianget bahwa tanpa perubahan kontrak, maka Madoera Stoomtram diperkeras, diaspal dan dilebarkan. Karena material Maatschappij tidak akan mampu bersaing dengan transportasi prau. pengeras kurang baik (batu kapur), maka perbaikan jalan Dengan diberlakukannya tender umum tahun 1908 itu, monopoli kerapkali dilakukan. Jalan Pamekasan-Waru via Pakong Madoera Stoomtram Maatschappij kalah oleh perusahaan bebas. telah diperbaiki. Jalan ini menjadi penghubung pantai Meskipun demikian, Madoera Stoomtram selatan dan pantai utara (Ockers,1930). Maatschappij tidak saja bertahan hidup, bahkan Madoera Sementara itu untuk jalan kereta api mulai Stoomtram Maatschappij memperluas pelayanan jasanya. Pada dibangun sejak masa pemerintahan kolonial Belanda di tahun 1922, Madoera Stoomtram Maatschappij membuka jasa akhir tahun 1800-an. Jalur KA antara Kalianget (Kab transportasi angkutan darat, dan pada tahun 1928 membuka Sumenep - Madura Timur) sampai dengan Kamal (Kab jasa angkutan bus yang dalam pengoperasian perdananya Bangkalan-Madura Barat) pertama kali dibuka Pemerintah dimulai dengan tiga belas bus. Pada tahun 1929, bus-bus itu Hindia Belanda bagian demi bagian antara tahun 1897 s/d melayani kota-kota bagian tenggara Madura dengan jalur 1901. Pembukaan jalur Kamal-Bangkalan (1897), dari Kamal-Bangkalan, Balega-Pamekasan, Pamekasan- Bangkalan-Tunjung (1899), Tunjung-Kwanyar (1900), Kalianget, Sumenep-Tembaru, dan Kamal-Kwanyar. Tanjung-Kapedi (1900), Kapedi-Tambangan (1900), Didirikannya jasa angkutan bus Madoera Stoomtram

32

Maatschappij pada dasarnya didorong oleh kesuksesan industri transportasi pribumi dengan diiringi merosotnya saingannya, yaitu orang Cina. Pada tahun 1927, Madoera kesejahteraan penduduk. Prau pribumi di wila-yah pantai dan Stoomtram Maatschappij mencatat bahwa jasa angkutan bus kendaraan darat yang ditarik binatang tidak akan sanggup orang Cina sangat menguntungkan, terutama untuk transportasi bersaing dengan transportasi mekanik milik Madoera jarak pendek. Madoera Stoomtram Maatschappij menanggapi Stoomtram Maatschappij dan milik orang Cina. Salah satu keadaan itu dengan meningkatkan jadwal kereta api dan alasannya adalah bahwa jasa transportasi tradisional lebih memantapkan angkutan bus. mahal dibanding transportasi modern. Madoera Stoomtram Pada tahun 1929 Madoera Stoomtram Maatschappij Maatschappij memperhitungkan bahwa sekali angkut dengan juga menyelenggarakan transmportasi bus untuk menyaingi mempergunakan kendaraan yang ditarik dengan kuda dari perusahaan-perusahaan bus milik orang Cina. Akibatnya Bangkalan ke Kamal akan menelan biaya 35 sen, sedangkan perkembangan jumlah bus di Madura terus menanjak. dalam rute yang sama dengan menggunakan jasa Madoera Berdasarkan laporan Residen W.H. Ockers (1930), sampai Stoomtram Maatschappij hanya 30 sen untuk kelas II dan /I untuk tanggal 15 April 1930 bus yang terdaftar dan dioperasikan kelas I, keduanya lebih murah dan lebih cepat. Akibat dari semua di Madura seluruhnya 53. Dari jumlah itu 25 dieksploatasi itu, hampir seluruh penumpang beralih ke Madoera Stoomtram oleh Madoera Stoomtram Maatschappij, 19 oleh Sam Lie Maatschappij atau ke perusahaan-perusahaan Cina. Kongsi dan sisanya oleh beberapa pengusaha. Mobil di seluruh Madura berjumlah 295, sepeda motor 128 dan mobil Transportasi Laut pengangkut 6. Aktivitas transportasi laut di Madura dilakukan Industri transportasi di Madura berkembang dengan oleh orang-orang pribumi, orang asing, dan Pemerintah pesat, tetapi semuanya milik usahawan-usahawan asing. Pada Hindia Belanda. Transportasi yang diusahakan oleh tahun 1931, Madoera Stoomtram Maatschappij memiliki seluruh penduduk menggunakan perahu. Perahu ini membawa orang jaringan rel kereta api sepanjang 223 km dan sarana transportasi dan barang di sepanjang pantai ke Jawa. Perahu-perahu laut 5 kapal uap, 6 kapal motor, 16 prau, dan 2 sampan orang-orang pribumi di pantai selatan menyelenggarakan (Kuntowijoyo:316). transportasi ke Probolinggo, Pasuruan dan Surabaya. Membengkaknya industri transportasi berarti Perahu-perahu di pantai utara yang membawa barang- kerasnya persaingan, dan pada tahun 1930-an mulai barang perdagangan (di antaranya dari Jawa), berlayar terganggu oleh adanya depresi ekonomi. Perusahaan bus sampai di pantai selatan Kalimantan. Penduduk kecil milik orang Cina, dengan lima bus, pada tahun 1931 menyelenggarakan komunikasi dengan perahu-perahu. menghentikan usahanya melayani jalur Kamal-Sampang. Madoera Komunikasi dengan pulau-pulau yang berdekatan dengan Stoomtram Maatschappij meminta kepada pemerintah agar daratan Madura diselenggarakan dengan perahu layar kecil menjamin kehidupannya dengan cara membujuk Cina dan perahu dayung (Maourik,1924). Kegiatan pelayaran saingannya itu untuk gulung tikar. Perusahaan itu akhirnya lenyap yang dilakukan orang Madura berada dalam satu jaringan pada tahun 1933, menyerahkan inventarisnya pada Madoera perdagangan di Laut Jawa. Stoomtram Maatschappij. Menurut Singgih Tri Sulistiyono (2003), sejak Usahawan-usahawan Cina tampaknya mempunyai jaman kolonial, jaringan pelayaran di Madura termasuk kesempatan-kesempatan lain. Transportasi baru mulai bagian dari jaringan perdagangan Laut Jawa. Dalam segi bermunculan; opelet atau mikrobus dengan penumpang aktivitas ekonomi dianggap sebagai jaringan terbuka dengan maksimum enam orang dan taksi. Madoera Stoomtram alasan aktivitas ekonominya dapat menembus batas-batas Maatschappij sendiri merencanakan penambahan jasa yang besifat non ekonomis termasuk jaringan dengan daerah angkutan kendaraan kecil dan dimulai pada tahun 1939 dengan luar, seperti Singapura. Pelabuhan Jakarta, Surabaya, lima mikrobus. Kendara-an-kendaraan kecil ternyata kuat Makasar, dan Singapura dianggap sebagai pelabuhan- bersaing khususnya untuk jasa angkutan jarak pendek. Sejak pelabuhan utama dalam system jaringan Laut Jawa. tanggal 1 Juli 1934 Madoera Stoomtram Maatschappij Pelabuhan-pelabuhan itu menjadi pusat pelayaran mengambil keputusan untuk mengedrop jasa angkutan bus internasional dan domestic (Zone Trapesium). Di zone ini

Sumenep-Temberu dan Pamekasan-Kalianget. Penyebab utama lalu lintas laut menyebar dari berbagai daerah dengan kesulitan-kesulitan Madoera Stoomtram Maatschappij membawa penumpang, barang dan modal ke seluruh menghadapi saingannya adalah biaya pengoperasian yang penjuru kepuluan Indonesia sebab setiap pelabuhan utama sangat tinggi, khususnya gaji personel Eropa. Seperti memiliki pelabuhan-pelabuhan penyangga masing-masing digambarkan oleh sebuah laporan, bahwa perusahaan Cina yang pada gilirannya dapat menembus ke daerah-daerah di dapat menikmati keuntungan bersih f 100 per bulan, luar kawasan Laut Jawa. sedangkan seorang Eropa Direktur Madoera Stoomtram Di kawasan Laut Jawa tersebut situasinya cukup Maatschappij saja dibayar f 500. Mengingat prospek Madoera ramai, seperti digambarkan Gerrit Knaap (1996), yang Stoomtram Maatschappij yang tidak menentu pada akhir tahun menjelaskan bahwa pada abad kedelapan belas (1774-1777) 1930-an, pemerintah merencanakan untuk menghentikan di Laut Jawa dipenuhi dengan berbagai macam kapal, baik dukungannya dengan menghapuskan kontrak itu, mengha- kapal swasta maupun milik pemerintah. Disebutkan dalam puskan subsidi, atau menarik lisensi (Kuntowijoyo:317). tulisan tersebut, setiap hari terjadi keluar masuk kapal Keadaan Madoera Stoomtram Maatschappij yang sebanyak 18 kali dengan 47 jenis kapal yang berbeda. demikian itu dijadikan sebagai sumber kecaman. Madoera Di antara jenis kapal yang paling sering nampak Stoomtram Maatschappij dituduh sebagai penyebab merosotnya adalah jukong dan paduwang. Jenis kapal itu merupakan

33

kapal nelayan Madura yang lalu lalang mengantar orang dan pada tahun 1903. Sedangkan jumlah pemilik perahu, pada barang dagangan dari dan ke Pulau Madura. Digambarkan tahun 1895 sebanyak 7.341 orang, bertambah pada tahun dalam tulisan Knaap, perahu Jukong seperti kano berukuran 1903 menjadi 7.312 orang. Demikian halnya jumlah awak besar. Sementara perahu Paduang ukurannya lebih besar dan kapal, dari 28.182 orang di tahun 1895, menjadi 28.387 banyak menggunakan papan. Apakah kedua jenis perahu orang tahun 1903 (Kuntowijoyo:317). Dalam rincian tersebut adalah jenis dan Jegong yang sering ditunjukkan dalam tabel berikut. digunakan nelayan Madura ? Perahu jenis Jukung dipergunakan oleh 3 orang Tabel 6. nelayan dalam satu kelompok kerja, dan menggunakan alat Jumlah Perahu, Pemilik Perahu, dan Awak Kapal penangkap ikan yang disebut jala yang dilemparkan dari Tahun 1895-1903 atas perahu ke kerumunan ikan di laut. Jenis perahu ini Jumlah Perahu Jumlah Jumlah Awak berukuran panjang 8 meter, lebar 0,80 sampai 1,70 meter, Pemilik dan dalam 0,60 meter. Sementara itu perahu jenis Jegong 1895 1903 1895 1903 1895 1903 ukuran badan perahu bervariasi antara sedang sampai yang Myng Lain2 Myng Lain2 besar. Ukuran sedang, panjang 6,65 meter, lebar 1,87 meter, Pmksan 349 468 353 450 943 724 2.812 2.987 Sumnep 311 3.509 320 3.662 3.477 3.389 12.568 12.409 dalam 0,60 meter. Tinggi depan, 1,42 meter, tinggi belakang Bngklan 511 1.852 557 1.801 2.045 2.042 7.056 7.367 0,90 meter. Digunakan 3 sampai 5 orang nelayan. Sampng 453 844 490 941 1.076 1.157 5.746 5.624 Dijalankan dengan dayung dan juga layar tajak. Jenis Total 1.624 6.673 1.720 6.854 7.341 7.312 28.182 28.387 jegong ukuran besar pada kedua sisi kanan dan kiri atas badan perahu terdapat punuk kanan dan kiri 4 buah sebagai Sumber : Diolah dari Kuntowijoyo, op. cit., hlm.327. tempat untuk pendayung, di atasnya diletakkan tangkai dayung. Di atas perahu terdapat baya-baya yaitu papan- Peranan transportasi antarpulau dipegang oleh papan dek. Di bagian belakang perahu atau buritan terdapat pribumi dengan menggunakan prau-prau mereka untuk gemi-gemi yaitu sepotong papan berbentuk segi empat sembarang keperluan, seperti mengangkut ternak ke pasar di panjang, dan di atasnya ditegakkan sumbi-sumbi yaitu Surabaya. Dalam soal ini, Madoera Stoomtram Maatschappij tempat tangkai kemudi diletakkan pada waktu berlayar, di mengalami kesulitan untuk bersaing, sebab para pemilik prau belakang sumbi-sumbi terdapat sanggan layar, yaitu tempat tetap memungut ongkos yang lebih rendah. Oleh karena itu, meletakkan layar yang belum terpakai (Wangania,1981). kapal-kapal milik Madoera Stoomtram Maatschappij hanya Jenis perahu sebagai armada angkutan laut di beroperasi di jalur-jalur ramai yang menghubungkan Madura- Madura tidak hanya kedua jenis di atas, melainkan masih Jawa dari Sumenep ke ujung timur Jawa dan dari bagian barat banyak yang lain seperti, perahu lesung, sampan, sope, Madura ke Surabaya. Kondisi tersebut tetap tidak berubah jegong, tembon, bondet, mayang, kolek, konting, jukung sampai tahun 1919. katir, prawean, lete, janggolan, , dan Pada tahun 1929 Pemerintah Karesidenan Madura (Wangania,1981). Perahu-perahu tersebut merupakan alat Timur mengeluarkan 784 pas (surat ijin) berlayar tahunan. transportasi yang sangat penting dan dikelola oleh orang- Komunikasi dengan kepulauan Kangean dan Sapudi orang pribumi. diselenggarakan dengan kapal api, kapal motor dan Perahu jenis lete, atau sering disebut leti dalam beberapa perahu layar milik Pemerintah (Departemen tulisan para sejarawan sangat menarik untuk dicermati, Perhubungan Laut). Pemerintah kabupaten Sumenep dengan karena perahu jenis ini sangat terkenal pada masa-masa bantuan subsidi dari Provinsi menyelenggarakan abad Abad XIVIII. Seperti dalam buku “Praus of penyeberangan dari Sarokka ke Kebundadap Timur dan dari Indonesia”, karya Clifford W. Hawkins, dijelaskan bahwa Kalianget ke Tlango di pulau Puteran. Penyeberangan ini “Jenis perahu-perahu milik orang pribumi Madura biasanya diselenggarakan dengan cuma-cuma (Ockers, 1930). berjenis leti. Jenis perahu ini sangat dikagumi oleh para W.H. Ockers, pada tahun 1930 melaporkan bahwa peneliti asing, karena keindahannya. Menurut William transportasi di perairan Madura diusahakan oleh Madoera- Maxwell Blake dan C.A. Gibson Hill, leti-leti Madura Stoomtrammaat-schappij. Alat transportasinya terdiri dari 6 merupakan yang paling menarik dari semua perahu yang kapal motor, 16 perahu dan 2 sampan. Madoera-Stoomtram beroperasi dan berdagang di Laut Jawa”(Hawkins,1982). adalah alat transport yang penting bagi Madura. Perusahaan Pemilik dan jumlah perahu di Madura tersebut juga kereta api ini juga membuka jaringan dengan Panarukan sangat banyak. Dalam catatan Masyhuri (1996), pada tahun dengan menggunakan kapal “Bodemeijer”. Komunikasi 1861 disebutkan di Bangkalan terdapat 12.436 nelayan dengan Surabaya dengan menggunakan kapal “Madoera”, dengan jumnlah perahu besar dan kecil sebanyak 3.096 Pandoera dan beberapa kapal lain. K.P.M. buah. Jumlah nelayan di Pamekasan dan Sumenep masing- menyelenggarakan hubungan Jawa Sumenep Bali bolak- masing ada 1.020 orang dan 2.789 orang, dengan jumlah balik setiap dua minggu. Selain itu juga menyelenggarakan perahu besar kecil yang ada di kedua daerah itu sebanyak hubungan setiap 2 minggu Surabaya Sumenep Banjarmasin 3.051 buah. beberapa pelabuhan di pantai utara Jawa. Komunikasi Jumlah tersebut kemudian berkembang pada tahun dengan pulau-pulau di sebelah timur dilakukan dengan 1895 sampai 1903. Pada tahun 1895, di Madura terdapat kapal pemerintah “Loewoek”. Pengangkutan garam 1.624 perahu mayang, dan 6.673 perahu jenis lain. dilakukan oleh Oost-Java Zeetransport” milik perusahaan Bertambah menjadi 1.721 perahu mayang, 6.854 jenis lain garam (Batten,1923). Kegiatan transportasi laut di Madura juga 34

dimanfaatkan sebagai sarana persinggahan oleh kapal-kapal memberikan pelajaran kepada kita, bahwa terdapat etos yang melalui wilayah itu, seperti dalam pengamatan kerja yang kuat pada masyarakat Madura untuk bangkit Wallace pada tahun 1935, yang menceritakan bahwa dari memperbaiki ekonominya, walaupun kondisi ekologinya Gresik perahu berlayar menuju Alas di pantai barat laut kurang mendukung. Hal ini ditunjukkan bagaimana orang Sumbawa untuk memuat beras dan pada pertengahan Madura menggeliat di berbagai bidang ekonomi untuk tidak Agustus tahun 1935 berangkat menuju Bawean di laut menyerah pada keadaan. Sebuah pembelajaran yang dapat Jawa. Ketika tiba di sana muatan segera dibongkar dan ditarik manfaatnya dalam menghadapi krisis-krisis ekonomi tanpa memboroskan waktu berangkat pada hari yang sama ke depan. dengan pelayaran lain di Sumbawa. Persinggahan dilakukan di Madura untuk mengambil air dan mencapai tujuannya DAFTAR PUSTAKA pada saat yang tepat pada 5 Oktober tahun 1935. Kapal- kapal yang singgah di Madura tidak mendapat gangguan A.N. Ikhtisar Madura, “Quarterly Statements of the Import dari perahu atau kapal-kapal orang Madura, walaupun orang and export of an Out Port of Sumenep, 1811- Madura telah menguasai wilayah sepanjang pantai utara 1816. pulau utama yang ditetapkan hanya untuk prau-prau pribumi. A.N., Ikhtisar Madura, “Surat Residen Surabaya Kepada Pada tahun 1935 pribumi menguasai transportasi Gubernur Jenderal di Batavia tanggal 30-8- laut di pelabuhan-pelabuhan Arosbaya, Sapulu, Ketapang, 1831. Pasongsongan, dan Ambunten. Transportasi prau pribumi tidak ANRI, “Memorie van Overgave Residen Madoera Timoer hanya mendominasi pelabuhan-pelabuhan di pantai utara saja, W.H.Ockers, 2 Mei 1930”. tetapi juga bertahan di pantai-pantai barat dan selatan. Sebuah ANRI, “Memorie van Overgave Residen Madura F.B. komisi yang mengadakan penyelidikan mengenai posisi Batten, 5 Desember 1923”. Madoera Stoomtram Maatschappij dan transportasi umum di ANRI,”Memorie van Oovergave van de Kontrolir Sampang Madura, melaporkan bahwa pada tahun 1937 transportasi prau F. Van Maurik, 6 Mei 1924”. di pelabuhan-pelabuhan Bangkalan, Sampang, Pamekasan, ANRI,”Memorie van Oovergave van de Resident Madoera Prinduan, dan Kertasada lebih besar dibanding milik Madoera J.G. van Heyst, 9 April 1928.” Stoomtram Maatschappij. Meskipun demikian, Madoera Babad Momana, koleksi Perpustakaan Sanabudaya, Stoomtram Maatschappij hampir sepenuhnya memegang kontrol Yogyakaarta s.3. PBE 100.173. pengangkutan komoditas-komoditas baru, seperti petroleum Braam, W. Van “ Een en Ander over den Zoutaanmaak dan pupuk. Pemerintah sebagian mendukung kegiatan Madoera derbevolking op Madoera” dalam Koloniale Stoomtram Maatschappij yang mengalami kerugian akibat Studien: 1916/1917. transportasi prau ini. Sebagai ilustrasi, sebuah laporan Burger, D.H. 1957. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, menunjuk-kan bahwa di Kamal-Surabaya terjadi diskriminasi Jakarta: Pradnya Paramita. birokratis, seperti selalu didahulukannya pemberian izin Madoera Chamberlis, Edward Hastings. 1956. The Theory of Stoomtram Maatschappij untuk meninggalkan pelabuhan, Monopolitic Competition,L ondon: Oxford sehingga transportasi prau selalu terlambat tiba di Surabaya dan University Press. tidak dapat menyesuaikan dengan jadwal pasar hewan di sana. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT. Cipta Adi Kemerosotan aktivitas pelayaran milik Madoera Stoomtram Pustaka, 1990. Maatschappij terjadi hingga tahun 1940. Everett S. Lee.1991. Teori Migrasi, Yogyakarta: Pusat Perkembangan sistem transportasi menunjukkan Penelitian Kependudukan Universitas Gajah transformasi sosial di Madura. Semakin bertambah pentingnya Mada. transportasi jarak pendek, mendorong munculnya kota-kota Goor, J. Van 1978. “Salt and Soldiers, Madura and The kecil sebagai pusat-pusat perdagangan. Sementara itu gangguan Ductch In The Beginning of The Nineteenth elemen-elemen baru dalam bentuk kapitalisme Eropa dan Cina Century”. On Madurese History At The serta monopoli negara merintangi tumbuhnya kelas menengah Dutch Indonesian Historical Conggress In pribumi. Pedagang-pedagang komoditas kecil-kecilan dan Noordwijkerhout 19-22 Mei 1976, Leiden: pedagang-pedagang kecil tidak akan sanggup bersaing dengan The Bereau of Indonesian Studies. pesaing-pesaingnya yang kuat. Cikar pribumi (sebuah Hassan Shadily, 1983. Ensiklopedi Indonesia , Jakarta: angkutan yang ditarik oleh kuda dengan dua atau empat roda) Icktiar Baru. dengan kecepatan dan jarak yang terbatas, yang hanya cocok Hawkins, Clifford W. 1982. Praus of Indonesia, , London: untuk transportasi jarak pendek, telah bersaing dengan opelet, Nautical Books. taksi, bus, dan jasa kereta api. Populasi kuda di Madura Jonge, Huub de. 1989. Madura Dalam Empat Zaman: mengalami kemerosotan. Hal itu terlihat dalam industri Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam: transportasi di mana masing-masing mempunyai kesempatan Suatu Studi Antropologi Ekonomi, Jakarta: yang berbeda-beda, dan jasa transportasi pribumi semakin lama Gramedia. menjadi terbatas, hanya untuk jarak pendek dan semakin Jopie Wangania, 1980/1981. Jenis-jenis Perahu di Pantai sempit wilayah operasinya. Utara Jawa Madura, Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan D. Penutup Dep. P & K. Dinamika ekonomi orang-orang Madura

35

Kemp, P.H. Van Der. 1894. Hand Boek tot de Kennis van ‘S Lands Zoutmiddel In Nederlandsch- Indie , Batavia’s: Gravenhage G. ‘Kolff & Co. Kemp, P.H. Van Der. 1919. Oost-Indies Geldmiddelen japansche En Chineesche Handel Van 1817 Op 1818, Gravenhage: Martinus Nijhoff. Knaap, Gerrit J. 1996. Shallow Waters, Rising Tide : Shipping and Trade in Java Around 1775, Leiden : KITLV Press. Koloniaal Verslag 1892, Bijlage C, No.22:1. Kumar, Ann. “Historiografi Jawa Menganai Periode Kolonian Studi Kasus” dalam Antony Reid dan David Marr. 1983. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Indonesia dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafiti Pers. Kuntowijojo, 2002. Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, 1850-1940, Yogyakarta: Mata Bangsa. ANRI,”Memori van Overgave, 1921- 1930”. Masyhuri, 1996. Menyisir Pantai Utara: Usaha dan Perekonomian Nelayan di Jawa dan Madura, 1850-1940, , Jakarta: Yayasan Pustaka Nusatama & KITLV. Memori Kontrolir Sampang F.van Maourik, 6 Mei 1924. Memori Residen Madura F.B. Batten, 5 Desember 1923 Memori Residen Madura Timur, W.H.Ockers, 2 Mei 1930. Parwoto, “Monopoli Garam di Madura, 1905-1920”. Thesis S2 Sejarah UGM, 1996. Polak, J. B. A. F. Mayor.1997. Sosiologi, Pengantar Ringkas, Jakarta: PT. Ichtiar Baru. Raffles, Thomas Stamford. 1978. The History of Java, Kuala Lumpur: Oxford University Press. Ricklefs, M.C. 1986. “Some Statistical Evidence Javanese Social Economic and Demographc History in the Later Seventeenth and Eighteenth Centuries”, dalam Modern Asia Studies, Vol. 20, Cambridge;Cambridge University Press. Schrieke, B. 1960. Indonesian Sociological Studies , Bandung: Sumur Bandung. Singgih Tri Sulistiyono, The Java Sea Network: Patterns in the Development of Interregional Shipping and Trade in the Process of National Economic Integration in Indonesia, 1870s-1970s. Proefschrift ter verkrijging van de graad van doktor aan de Universiteit Leiden, promoties te verdedigen op donderdag 6 Februari 2003. Valentijn, Francois. Oost en Nieuw in Oost Indien, Uitgegeven door Mr. S. Keijzer Deerde Deel, Amsterdam : Wed. Wisnu, 2003. Sejarah Pelopor Garam di Madura, Penulisan Keteladanan Tokoh Jawa Timur, Surabaya: Dinas P & K Propinsi Jawa Timur. Zoutaanmaak op Madura, dalam Indische Gids 1892 No. 2235. .

36