KONFLIK NELAYAN dalam Tiga Rezim KUTIPAN PASAL 72: Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta (UU No. 19 Tahun 2002)

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat(1) atau pasal 49 ayat(1) dan ayat(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). KONFLIK NELAYAN dalam Tiga Rezim

- Dr. Agus Subianto, M.Si -

an imprint of MIC Publishing

COPYRIGHT ©2014, Brilliant, ALL RIGHTS RESERVED an imprint of MIC Publishing

Konflik Nelayan dalam Tiga Rezim oleh Dr. Agus Subianto, M.Si

No. Anggota IKAPI 105 / JTI / 08

xviii + 394 hal, 14.8 x 21 cm Brilliant: 001-09-2014 ISBN 978-602-7862-19-7

COPYRIGHT ©2014, BRILLIANT, ALL RIGHTS RESERVED Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Cetakan pertama : September 2014

Editor : - Layouter : Ida Proofreader : Dwi Ariyani Cover Designer : Restimewa Budiarti

Diterbitkan oleh Brilliant PT Menuju Insan Cemerlang Landmark Modern Shop House A-17 Jl. Indragiri 12-18 Surabaya Hotline 08123039000 & 031-71928000 Fax. 031-5048958

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit PT Menuju Insan Cemerlang DAFTAR ISI

PROLOG xvii

BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Alam 9 C. Dasar-dasar Teoretis 12

BAB II SELAT MADURA 45 A. Historis, Ekologis, dan Geografis 45 B. Potensi dan Nilai Produksi Perikanan Laut 51 C. Nelayan Jawa Timur dan Selat Madura 54

BAB III EKOLOGI WILAYAH KONFLIK NELAYAN 59 A. Nelayan Tradisional Kwanyar, Bangkalan 59 B. Nelayan Modern Sampang dan Pasuruan 67 C. Nelayan Tradisional Kwanyar, Bangkalan 104 D. Nelayan Modern Camplong-Sreseh dan Lekok-Kraton 109 E. Konflik Nelayan Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan 127

BAB IV PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN LAUT 121 A. Penerapan Otonomi Daerah 121 B. Otonomi Daerah dalam Aspek Kewilayahan 131 C. Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut 143 D. Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Milik Bersama (Common Pool Resource/CPR) 190 E. Kesimpulan 192

v Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

BAB V KONFLIK PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN LAUT DI SELAT MADURA 197 A. Konflik Nelayan Era Orde Baru 197 B. Konflik Nelayan Era Otonomi Daerah 234 C. Perspektif Konflik Eksploitasi Sumber Daya Milik Bersama (CPR) 281 D. Kesimpulan 296

BAB VI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONFLIK PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN LAUT 301 A. Kontribusi Korporasi dan Negara dalam Aktivitas Nelayan 301 B. Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanf aatan Sumber Daya Milik Bersama 310 C. Penyelesaian Konflik Pemanfaatn Sumber Daya Milik Bersama (Common Pool Resource/CPR) 330 D. Kesimpulan 347

BAB VII PENUTUP 353 A. Konflik dalam Pemanfaatan Sumber Daya Milik Bersama (Common Pool Resource) 353 B. Resolusi Konflik 360 C. Implikasi Teoretis 368 D. Wacana Kebijakan 372

DAFTAR PUSTAKA 379

TENTANG PENULIS 393

vi DAFTARTABEL

Tabel 1.1 Konflik Nelayan di Provinsi Jawa Timur Tahun 1995-2005 6 Tabel 2.1 Keadaan dan Kepadatan Penduduk pada Kabupaten dan Kota di Perairan Selat Madura Tahun 2005 50 Tabel 2.2 Nilai Produksi dan Produksi ikan Perikanan Laut (Rp) Menurut Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2005 52 Tabel 2.3 Jumlah Nelayan dan Produksi Perikanan Laut Kabupaten dan Kota di Perairan Selat Madura Tahun 2005 54 Tabel 2.4 Perkembangan Jumlah Perahu/Kapal Ikan Kabupaten dan Kota di Perairan Selat Madura Tahun 1998 , 2000, 2001, 2004 dan 2005 (dalam Unit) 55 Tabel 2.5 Jumlah Nelayan, Perahu/Kapal Ikan dan Produksi Perikanan Laut pada Kabupaten Bangkalan, Sampang dan Pasuruan Tahun 2006 56 Tabel 3.1 Luas Wilayah dan Jarak Desa ke Pusat Kecamatan Kwanyar 2005 62 Tabel 3.2 Keadaan Wilayah menurut Penggunaan Tanah (Ha) Kecamatan Kwanyar Tahun 2005 63 Tabel 3.3 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Kwanyar Tahun 2005 64 Tabel 3.4 Keadaan Tingkat Keluarga menurut Tahapan Kesejahteraan Kecamatan Kwanyar, Tahun 2006 65 Tabel 3.5 Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Kwanyar Tahun 2000-2004 (orang) 66

vii Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 3.6 Keadaan Wilayah menurut Jenis Tanahnya (Ha) Kecamatan Camplong, Tahun 2005 71 Tabel 3.7 Persentase Luas Wilayah dan Jarak Desa ke Ibu kota Kecamatan Kecamatan Camplong Tahun 2005 72 Tabel 3.8 Persentase Luas Wilayah dan Jarak Desa ke Ibu kota Kecamatan Kecamatan Sreseh Tahun 2006 75 Tabel 3.9 Keadaan Wilayah menurut Jenis Tanahnya (ha) Kecamatan Sreseh Tahun 2005 76 Tabel 3.10 Perkembangan Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk, Kecamatan Camplong Tahun 1998 – 2006 77 Tabel 3.11 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk, Kecamatan Camplong Tahun 2006 78 Tabel 3.12 Keadaan Bangunan Tempat Tinggal menurut Jenis Bangunan Kecamatan Camplong Tahun 2006 79 Tabel 3.13 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Camplong Tahun 2004 80 Tabel 3.14 Perkembangan Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Sreseh Tahun 1998-2006 81 Tabel 3.15 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Kecamatan Sreseh Tahun 2006 82 Tabel 3.16 Keadaan Bangunan Tempat Tinggal menurut Jenis Bangunan Kecamatan Sreseh Tahun 2006 83 Tabel 3.17 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Sreseh Tahun 2004 (dalam orang) 84 Tabel 3.18 Luas Daerah, Banyaknya Desa, dan Penduduk Kabupaten Pasuruan Tahun 2006 87 Tabel 3.19 Keadaan Wilayah menurut Jenis Tanah (ha) Kecamatan Lekok Tahun 2004 89 Tabel 3.20 Luas Desa, Persentase terhadap Luas Kecamatan Kecamatan Lekok Tahun 2005 90

viii Daftar Tabel

Tabel 3.21 Keadaan Wilayah menurut Jenis Tanahnya (Ha) Kecamatan Kraton Tahun 2004 92 Tabel 3.22 Luas Desa dan Jarak Desa ke Ibu kota Kecamatan Kraton Tahun 2005 94 Tabel 3.23 Perkembangan Jumlah Penduduk, Rumah Tangga, dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Lekok Tahun 1998-2006 95 Tabel 3.24 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Kecamatan Lekok Tahun 2004 96 Tabel 3.25 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Lekok Tahun 2004 97 Tabel 3.26 Keadaan Penduduk menurut Jenis Mata Pencaharian Kecamatan Lekok, Tahun 2006 98 Tabel 3.27 Jumlah Keluarga menurut Tingkat Kesejahteraan di Kecamatan Lekok, Tahun 2004 (dalam Unit) 99 Tabel 3.28 Luas Desa, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Kraton Tahun 2004 100 Tabel 3.29 Keadaan Penduduk menurut Jenis Mata Pencaharian Kecamatan Kraton Tahun 2006 101 Tabel 3.30 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan, Tahun 2000-2004 (dalam orang) 102 Tabel 3.31 Perkembangan Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Kraton Tahun 1998-2006 102 Tabel 3.32 Keluarga menurut Tahapan Kesejahteraan di Kecamatan Kraton 2004 103 Tabel 3.33 Keadaan Penduduk Usia 15 ke Atas menurut Jenis Mata Pencaharian Kecamatan Kwanyar Tahun 2006 105 Tabel 3.34 Jumlah Nelayan Perikanan Laut, Perahu/Kapal Ikan dan Alat Tangkap Menurut Kecamatan di Kabupaten Bangkalan Tahun 2006 106 Tabel 3.35 Jumlah Nelayan Perikanan Laut, Perahu , Alat Tangkap di Wilayah Kecamatan Kwanyar Tahun 2005 107

ix Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 3.36 Jumlah Nelayan Perikanan Laut, Produksi Ikan dan Perahu di Kabupaten Sampang Tahun 1998-2006 110 Tabel 3.37 Jumlah Nelayan Perikanan Laut, Perahu/Kapal Ikan dan Alat Tangkap di Kabupaten Sampang, Tahun 2006 111 Tabel 3.38 Jumlah Nelayan Perikanan Laut, Perahu , Alat Tangkap di Wilayah Kecamatan Camplong Tahun 2006 112 Tabel 3.39 Jumlah Nelayan Perikanan Laut, Perahu , Alat Tangkap di Wilayah Kecamatan Sreseh Tahun 2006 112 Tabel 3.40 Perkembangan Jumlah Nelayan Perikanan Laut, Produksi Ikan dan Perahu di Kabupaten Pasuruan Tahun 1998-2006 113 Tabel 3.41 Jumlah Nelayan, Perahu/Kapal Ikan dan Alat tangkap di Kabupaten Pasuruan Tahun 2006 114 Tabel 4.1 Perbadingan Otonomi Daerah di Tahun 1945 - Sekarang 129 Tabel 4.2 Prinsip-prinsip Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut 148 Tabel 4.3 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia 151 Tabel 4.4 Alternatif Solusi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dalam Otonomi Daerah 166 Tabel 4.5 Perundang-undangan terkait Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Pada Masa Orde Baru 171 Tabel 4.6 Jalur-jalur Penangkapan Ikan Berdasar SK. Menteri Pertanian No. 607/1976 174 Tabel 4.7 Pembagian Jalur-jalur Penangkapan Ikan Khususnya pada Wilayah Daerah dan Provinsi (0 – 12 Mil Laut) Berdasar SK Menteri Pertanian No. 392/Kpts/IK.120/4/99 179 Tabel 4.8 Pengelolaan Wilayah Laut oleh Komunitas Nelayan Lokal 189 Tabel 5.1 Pihak Konflik Nelayan di Selat Madura Tahun 1993-1994 198 Tabel 5.2 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Laut Kec. Kwanyar - Kabupaten Bangkalan, Tahun 1996-1998 200 Tabel 5.3 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Laut Kecamatan Camplong-Kabupaten Sampang, Tahun 1997-1998 202 Tabel 5.4 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Laut Kecamaten Sreseh, Kabupaten Sampang, Tahun 1997-1998 202

x Daftar Tabel

Tabel 5.5 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Laut Kec. Lekok - Kabupaten Pasuruan, Tahun 1997-1998 203 Tabel 5.6 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Laut Kec. Kraton-Kabupaten Pasuruan Tahun 1997-1998 204 Tabel 5.7 Perbandingan Jumlah Penggunaan Alat Tangkap Perikanan Laut Nelayan Kwanyar – Kab. Bangkalan; Camplong dan Sreseh – Kab. Sampang; Lekok dan Kraton – Kab. Pasuruan – Jawa Timur Tahun 1997 –1998 205 Tabel 5.8 Perbandingan Jenis Alat Tangkap Perikanan Laut Antara Nelayan Bangkalan, Sampang dan Pasuruan Tahun 1993-1998 207 Tabel 5.9 Perbandingan Perkembangan Jumlah Nelayan Perikanan Laut Kec. Kwanyar , Kab. Bangkalan ; Kec. Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Kec. Lekok dan Kraton, Kab. Pasuruan, Jawa Timur Tahun 1997-1998 209 Tabel 5.10 Perbandingan Perkembangan Jumlah Perahu /Motor di Kec. Kwanyar , Bangkalan; Kec. Camplong dan Sreseh, Sampang; Kec. Lekok dan Kraton, Pasuruan – Jawa Timur Tahun 1997-1998 211 Tabel 5.11 Perbandingan Σ Hasil Tangkapan (dlm Ton) Nelayan Kwanyar, Kab. Bangkalan; Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Lekok dan Kraton, Kab. Pasuruan – Jawa Timur Tahun 1997-1998 212 Tabel 5.12 Perbandingan Jumlah Nilai Jual Hasil Tangkapan (dalam Ribuan Rupiah) Nelayan Kwanyar , Kab. Bangkalan; Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Lekok dan Kraton, Kab. Pasuruan – Jawa Timur Tahun 1997–1998 213 Tabel 5.13 Perbandingan Penggunaan Teknologi Penangkapan pada Nelayan yang Terlibat Konflik Era Orde Baru 215 Tabel 5.14 Perundang-undangan Terkait Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Era Orde Baru 217 Tabel 5.15 Bentuk Pelanggaran Nelayan pada Era Orde Baru Tahun 1995-1998 219 Tabel 5.16 Pengepul Ikan/Hasil Laut Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan Era Orde Baru 221 Tabel 5.17 Juragan/Pengepul Ikan/Hasil Laut Kecamatan Sreseh dan Camplong, Kab. Sampang-Era Orde Baru 224 Tabel 5.18 Kronologis Konflik NelayanTahun 1993-1998 228 Tabel 5.19 Kondisi Pihak yang Terlibat Konflik Nelayan Tahun 1993-1998 229

xi Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 5.20 Jumlah dan Jenis Alat Tangkap Kecamatan Kwanyar- Kabupaten Bangkalan Tahun 1998-2004 236 Tabel 5.21 Jumlah dan Jenis Alat Tangkap Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang Tahun 1998 - 2004 238 Tabel 5.22 Jumlah dan Jenis Alat Tangkap Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang Tahun 1998-2004 239 Tabel 5.23 Jumlah dan Jenis Alat Tangkap Kec. Lekok- Kabupaten Pasuruan Tahun 1998-2004 240 Tabel 5.24 Jumlah dan Jenis Alat Tangkap Kec. Kraton-Kabupaten Pasuruan Tahun 1998-2004 241 Tabel 5.25 Perbandingan Jumlah Penggunaan Alat Tangkap (Unit) Kec. Kwanyar , Kab. Bangkalan ; Kec. Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Kec. Lekok dan Kraton, Kab. Pasuruan, Jawa Timur Tahun 1998-2004 244 Tabel 5.26 Perbandingan Penggunaan Jenis Alat Tangkap Nelayan Bangkalan, Sampang dan Pasuruan Era Otonomi Daerah Tahun 1999-2004 246 Tabel 5.27 Perbandingan Perkembangan Jumlah Nelayan Perikanan Laut Kec. Kwanyar , Kab. Bangkalan ; Kec. Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Kec. Lekok dan Kraton, Kabupaten Pasuruan – Jawa Timur Tahun 1998-2004 247 Tabel 5.28 Perbandingan Perkembangan Jumlah Perahu /Motor Tempel Kec. Kwanyar , Kab. Bangkalan; Kec. Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Kec. Lekok dan Kraton, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur Tahun 1998-2004 249 Tabel 5.29 Perbandingan Jumlah Hasil Tangkapan (dlm Ton) Kec. Kwanyar , Kab. Bangkalan ; Kec. Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Kec. Lekok dan Kraton, Kab. Pasuruan, Jawa Timur Tahun 1998-2004 251 Tabel 5.30 Perbandingan Jumlah Nilai Jual Hasil Tangkapan (dlm Ribuan Rupiah) Kec. Kwanyar , Kab. Bangkalan; Kec. Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Kec. Lekok dan Kraton, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur Tahun 1998-2004 253 Tabel 5.31 Perbandingan Penggunaan Teknologi Penangkapan oleh Nelayan yang Terlibat Konflik Era Otonomi Daerah 254 Tabel 5.32 Perundang-undangan Terkait Pengelolaan Sumber Daya Laut Era Otonomi Daerah 258 Tabel 5.33 Bentuk Pelanggaran Nelayan Pasuruan dalam Melaut Pada Era Otonomi Daerah Kasus Tahun 2000-2001 260

xii Daftar Tabel

Tabel 5.34 Daftar Juragan/Pengepul Hasil Laut Di Kabupaten Bangkalan Era Otonomi Daerah 267 Tabel 5.35 Daftar Juragan/Pengepul Hasil Laut Di Kabupaten Sampang Era Otonomi Daerah 268 Tabel 5.36 Daftar Juragan/Pengepul Hasil Laut Di Kecamatan Lekok dan Kraton, Kabupaten Pasuruan Era Otonomi Daerah 270 Tabel 5.37 Kronologis Konflik Nelayan Era Otonomi Daerah - Tahun 2000-2004 274 Tabel 5.38 Pihak Korban Tewas maupun Luka-luka Konflik Nelayan di Selat Madura - Tahun 2000-2004 276 Tabel 5.39 Perbandingan Kondisi Pihak yang Terlibat Konflik Nelayan Tahun 1999 -2004 278 Tabel 5.40 Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanann Laut; Tahun 1993-2004 282 Tabel 5.41 Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Laut serta Tipe dan Sifat Konflik Nelayan Era Orde Baru, Reformasi dan Otodadi Perairan Selat Madura, Jawa Timur Tahun 1993 -2004 287 Tabel 5.42 Perbandingan Kepentingan, Teknologi Alat Tangkap Pemanfaat, Sumber Permodalan, dan Pola Distribusi Hasil Nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh) serta Pasuruan (Lekok dan Kraton) di Selat Madura Tahun 1993-2004 290 Tabel 5.43 Pola Hubungan Negara dan Masyarakat dalam Konflik Nelayan Pada Era Orde Baru, Reformasi dan Otonomi Daerah (1993-2004) 294 Tabel 6.1 Juragan Darat Besar dan Pengepul di Sampang dan Pasuruan Tahun 2007 302 Tabel 6.2 Ketentuan Daerah Provinsi Jawa Timur terkait Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut pada Era Orde Baru 315 Tabel 6.3 Ketentuan Daerah Provinsi Jawa Timur terkait Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut pada Era Otonomi Daerah 325 Tabel 6.4 Dinamika Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut Orde Baru – Otonomi Daerah 327 Tabel 6.5 Pihak Konflik, Sumber dan Solusi terhadap Konflik Nelayan Era Orde Baru Tahun 1993-1998 331

xiii Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 6.6 Tindakan Pemerintah Daerah dalam Penyelesaian Konflik Nelayan Di Selat Madura – Jawa Timur Tahun 1999-2000 333 Tabel 6.7 Pihak Konflik, Sumber dan Solusi terhadap Konflik Nelayan Era Otonomi Daerah - Tahun 2000-2004 334 Tabel 6.8 Tindakan Masyarakat dalam Penyelesaian Konflik Nelayan Di Selat Madura, Jawa Timur - Tahun 2001-2004 336 Tabel 6.9 Pos Kamladu (Keamanan Laut Terpadu)/Kamla (Keamanan Laut) pada Wilayah Konflik Nelayan di Selat Madura 338 Tabel 6.10 Pihak Penandatangan Kesepakatan Pasca konflik Nelayan “Islah” di Masjid Besar Sunan Ampel – Kota Surabaya Jum’at, 14 September 2001 341 Tabel 7.1 Perbandingan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Laut dalam UU No. 5 Tahun 1974; UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 361

xiv DAFTARGAMBAR

Gambar 2.1 Peta Selat Madura 47 Gambar 3.1 Peta Wilayah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan 60 Gambar 3.2 Peta Wilayah Kecamatan Camplong – Kabupaten Sampang 70 Gambar 3.3 Peta Wilayah Kecamatan Sreseh 74 Gambar 3.4 Peta Wilayah Kecamatan Lekok 88 Gambar 3.5 Peta Wilayah Kecamatan Kraton 91

xv xvi PROLOG

ajian yang dituangkan dalam buku ini merupakan penggalan dari hasil penelitian di tiga kabupaten pesisir di provinsi Jawa Timur, Ksejak tahun 2006 hingga 2008. Begitu besar bantuan penduduk Lekok dan Kraton Kabupaten Pasuruan, Camplong, dan Sreseh, Kabupaten Sampang serta Kwanyar Kabupaten Bangkalan. Tempat di mana pengumpulan data untuk kepentingan studi ini hingga terselesaikan. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada setiap orang yang telah bersedia menerima dan menjamu saya di wilayah tersebut, serta kepercayaan yang diberikan pada saya dan kesediaan untuk senantiasa menjawab pertanyaan dan berdiskusi hingga menyita waktunya. Demikian pula saya banyak berutang budi kepada Prof. Dr. Ichlasul Amal, M.A., Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA serta Prof. Dr. H. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.M., yang berkenan menjadi promotor. Beliau bertiga, dengan caranya masing-masing telah mendorong penulis untuk melaksanakan penelitian ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Miftah yang menimbulkan minat saya pada sentuhan otonomi daerah. Kepada Prof. Marsudi rasa terima kasih penulis sampaikan atas sarannya untuk mempertajam aspek sumber daya milik bersama (common property resource/CPR) dan Prof. Amal telah memberikan saran yang membangun tentang perspektif konflik dan pembahasannya merupakan bagian inspirasi penting. Tak lupa catatan penting dari Dr. Agus Pramusinto, MDA. Dr. Nanang Pamudji Mugasejati, serta Dr. Pudjo Semedi Hargo Yuwono, M.A. telah banyak memberikan masukan bagi penguatan konsep studi ini, saya ucapkan banyak terima kasih.

xvii Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Terima kasih saya pada teman-teman LSM di Bangkalan terutama Gus Sonhadji yang menyempatkan berdiskusi, R. Affan banyak membantu data lapangan dan penyediaan referensi. Pun kepada Ir. Abd. Rahman (Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Bangkalan), Kopka TNI-AL (M) Suwarno (Anggota Kamladu Kwanyar), Petinggi Desa Batah Barat Bp. Moh. Zaenal Arifin, KH. Drs. Badrus Soleh, KH. Hanan Nawawi (Pimpinan Ponpes Darul Fatwa-Kwanyar), R. KH. Nizar Effendy (Pimpinan Pesantren Al-Hidayah, Batah Barat), Bp. H. Abd. Karim dan Petinggi Kwanyar Barat Bp. Mudhofri yang telah menyempatkan waktu untuk berdiskusi. Sohib R. Affan telah banyak memberi dukungan dalam membantu data lapangan dan penyediaan berbagai referensi saya banyak berterima kasih. Demikian pula, saya ucapkan terima kasih kepada sejawat di FISIP Universitas Hang Tuah utamanya Prof. Dr. Sapto J. Poerwowidagdo, M.Sc., Prof. Dr. MRr. Liliek Ekowanti, M.S. serta Dr. Dhiana, SH.,L. LM dan Ir.Hari Subagyo, M.Si. yang banyak mendorong dan berdiskusi dalam penyelesaian penelitian ini. Tak lupa terima kasih pada tim penelitian Jurusan Administrasi Negara, Pondra, Maijun, Eko, Rina, Martha, Karlinda, Noor, Farisa dan Yulanda yang ikut terlibat di lapangan. Akhirnya ucapan terima kasih untuk isteriku tercinta Dra. Dwi Susilawati serta kedua putriku, Astrid Brilliantin dan Rizka Febrianti, yang banyak memberi dukungan dan doa demi studi saya. Ucapan terima kasih pada ibunda mertua Suniah Sundari dengan tulus ikhlas senantiasa mendoakan tiada putus hingga harapan telah terwujud. Semoga semua dukungan itu menjadi amal ibadah kepada Allah SWT dan mudah-mudahan sepenggal fenomena dari tulisan ini dapat menggugah kita akan pentingnya pemahaman eksistensi saudara-saudara kita di wilayah pesisir. Amin.

Surabaya, April 2013 Agus Subianto

xviii Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki panjang garis pantai sekitar 81.000 km (Wahyono dkk, 2001:v). Dalam wilayah itu terdapat 15.704 pulau (Mustafa,2006:12), yang terdiri dari pulau-pulau dan bagian pulau-pulau dengan 2/3 wilayahnya merupakan wilayah lautan yang meliputi laut pesisir, laut lepas, teluk, dan selat. (Nikijuluw, 2002:1). Oleh karenanya Indonesia merupakan salah satu dari 6 negara kepulauan (suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain) (Diantha, 2002:84). Kontribusi produksi perikanan di Indonesia 95% berasal dari perikanan rakyat yang menitikberatkan cara penangkapan tradisional (Rawis,2004:58). Jika dicermati di balik potensi di atas, tidak sedikit aktivitas yang ‘mengancam’ kelangsungan hidup organisme laut, seperti kondisi tangkap lebih (overfishing) yang menimpa stok ikan di antaranya: pantai utara Jawa, Selat Bali; degradasi fisik habitat pesisir utama (mangrove dan terumbu karang); dan abrasi pantai (Dahuri,1996:2), serta kerusakan kawasan pesisir khusus Delta Brantas-Kabupaten Sidoarjo secara ekonomi mencapai 255 juta dollar AS. (Kusumaatmadja, 1996:2). Hal ini disebabkan ketumpangtindihan masing-masing sektor di atas dan pengelolaan kewenangan pemerintah daerah dalam memanfaatkan potensi sumber daya laut. 1 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Dalam era otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004; kewenangan dalam mengelola laut dan sumber daya lautnya bagi kabupaten/kota didasarkan pada upaya untuk memberdayakan daerah, dan sekaligus memberi tanggung jawab kepada daerah untuk melakukan konservasi pada lingkungan pantai serta menyelesaikan konflik dalam masyarakat. Jika ada wilayah pantai dalam batas kewenangan daerah terdapat potensi sumber daya alam yang akan dikembangkan untuk kepentingan daerah, maka sudah seharusnya sumber daya tersebut menjadi kewenangannya untuk mengatur dan mengelolanya. (Gaffar dkk, 2002:xiv). Hal ini merupakan berkah sekaligus masalah bagi daerah. Berkah bagi daerah, disebabkan adanya kewenangan kebijakan yang lebih besar dan luas bagi daerah untuk menumbuhkan kemandirian dan profesionalismenya dalam mengelola potensi laut guna kemakmuran masyarakatnya, sedangkan masalah berupa tambahan beban dan tanggungjawab yang lebih besar bagi daerah sebagai konsekuensi atas kewenangan yang dimilikinya atas sumber daya laut. Otonomi daerah setidaknya membawa dampak terutama pada kegiatan perikanan di kawasan pesisir, mengingat 90% kegiatan perikanan Indonesia berada di pesisir (Nikijuluw, 2000:1), sektor kelautan Indonesia memiliki potensi lestari perikanan laut yang diperkirakan sebesar 6,26 juta ton/tahun yang terdiri dari potensi perairan Nusantara 4,4 juta ton/ tahun dan potensi lestari ZEEI 1,86 juta ton/tahun. Potensi ini baru dimanfaatkan sebesar 3,6 juta ton/tahun atau 57% (Baharuddin,2000:2), sedangkan data tahun 2000: nelayan di Indonesia berjumlah 2.486.456 orang yang tersebar dalam 475.392 buah Rumah Tangga Perikanan (Statistik Perikanan,2002:3). Hal ini ironi, jika Indonesia yang memiliki potensi kelautan cukup besar, akan tetapi sebagian besar masyarakatnya yang secara turun- temurun menggeluti mata pencaharian sebagai nelayan hidup miskin. Data menunjukkan sekitar 60% dari nelayan di desa pantai rata-rata pendapatannya hanya berkisar antara Rp35.000,-/kapita jauh di bawah kebutuhan minimumnya (Dahuri,1996:286). Nelayan (khususnya nelayan buruh dan nelayan tradisional) merupakan kelompok masyarakat yang

2 Pendahuluan dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin di antara kelompok masyarakat lain di sektor pertanian. (Nasution, 2005:24). Dalam kondisi kesenjangan sosial ekonomi yang semakin tajam (terpolarisasi), secara teoretis akan rentan dengan potensi konflik. Demikian halnya di provinsi Jawa Timur yang memiliki perairan sekitar 200.000 km² dengan panjang garis pantai 2.916 km, namun tahun 2000 kondisi sekitar 1,7 juta penduduk yang menekuni pekerjaan sebagai nelayan 70% masih tergolong miskin (6% atau 142.134 orang) yang tersebar di 18 kabupaten/kota pesisir (K: 29 April 2003), disebabkan tingginya jumlah nelayan. Hal ini diperkuat hasil penelitian Universitas Brawijaya tahun 2001 menunjukkan bahwa tingkat kepadatan nelayan di perairan Laut Jawa 1,6 nelayan/km², perairan Selat Madura 6,5 nelayan/ km², sedangkan untuk perairan Selatan Jawa Timur 0,85 nelayan/km². Fenomena nelayan diungkapkan Firth (dalam Satria dkk.,2002:44) bahwa komunitas ini rentan secara ekonomi terhadap timbulnya ketidakpastian yang berkaitan dengan musim produksi, meski terdapat perkembangan teknologi, secara sosial masih memiliki karakteristik relatif sama yang dapat dilihat dari sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, struktur sosial dan posisi sosial nelayan. Pada sisi lain, penyelesaian persoalan yang tidak tuntas dan melibatkan negara sebagai penengah konflik, kerap kali tidak independen menyebabkan munculnya konflik- konflik kecil di masyarakat. (Gautama. dkk,1999:132). Penerapan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 hingga digantikan dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menunjukkan bahwa adanya otonomi daerah bagi sektor kelautan dan perikanan di daerah paling tidak membawa dua implikasi. Pertama, daerah dituntut kemampuannya untuk mengidentifikasi potensi dan nilai ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan, yakni data tentang potensi sumber daya tersebut. Kedua, daerah juga dituntut untuk mampu mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara tepat dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Hal yang perlu dicermati bahwa sumber daya perairan pesisir tidak lagi bersifat terbuka (open access) akan tetapi menjadi terkontrol (controlled

3 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim access), dan pemerintah daerah beserta masyarakat lokal (termasuk nelayan) diharapkan mampu bertanggung jawab mengendalikan pengelolaan sumber daya laut tersebut sehingga kelestariannya tetap terjaga. Sejalan dengan hal itu, bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peranserta masyarakat. Pengelolaan dalam pemanfaatan sumber daya laut selain menitikberatkan pada aspek lingkungan, juga mendasarkan pada aspek ekonomi, kepastian hukum serta memperhatikan dan memberikan ruang bagi eksistensi budaya lokal (hak-hak komunitas lokal untuk mengelola sumber daya laut dan perairannya), sehingga tidak memicu munculnya konflik, baik dalam komunitas nelayan setempat maupun dengan nelayan pendatang (andon). Berdasarkan uraian di atas setidaknya ada dua pertimbangan politik ekonomi pentingnya otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan di sektor kelautan dan perikanan, yakni: (1) bahwa otonomi daerah diharapkan dapat menjadi pendekatan penting dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekaligus untuk memecahkan problem ketimpangan baik antar kawasan maupun kelompok masyarakat; (2) dengan otonomi daerah demokratisasi juga akan semakin terdorong mengingat makin dekatnya jarak sosial antara ruang negara (state sphare) dengan ruang masyarakat (civil sphare) (Satria, 2002:xiv). Pemberian ruang bagi keberadaan pengelolaan sumber daya laut oleh komunitas lokal membuktikan lestarinya sumber daya laut, seperti diakuinya keberadaan Panglima Laot (Tetua Adat Laut) di wilayah perairan Nangro Aceh Darussalam (NAD) yang bertugas membina nelayan di wilayahnya, di samping itu pula bahwa sistem pengelolaan sumber daya laut berbasis komunitas lokal terbukti efektif dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, seperti: Sistem Sasi di Maluku, Sistem Awig-awig di Lombok, Panglima Menteng di Sulawesi Selatan dan sebagainya. Pada sisi lain, hal yang perlu dipertimbangkan yakni pemberian hak-hak eksklusif terhadap kelompok/perusahaan tertentu untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan laut telah mendorong terjadinya

4 Pendahuluan over-eksploitasi yang dapat mengancam masa depan kehidupan masyarakat pesisir (Gautama dkk,1999:132), sehingga meningkatnya tekanan terhadap pemanfaatan sumber daya laut, yang pada gilirannya membawa dampak terhadap munculnya konflik baik secara horizontal maupun vertikal. Sementara itu, berbagai konflik telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia pada sekitar akhir 1990-an hingga sekitar tahun 2001. Konflik yang telah terjadi hingga 2001 saja telah menjadikan 1.081.314 orang mengungsi (Nitibaskara, 2002:5), pada masyarakat pesisir muncul konflik, seperti konflik antara nelayan Desa Kalibuntu Kraksaan dengan nelayan asal Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo ( JP: 20 April 1998). Meski demikian, juga pernah terjadi jauh sebelum itu, konflik sebelum diterapkannya Undang Undang Otonomi Daerah yang dikenal dengan Malapetaka 30 September 1974 telah menyebabkan munculnya konflik antara nelayan pendatang (baca: andon) dengan nelayan setempat di Muncar Kabupaten Banyuwangi (K: 3 Desember 2004), sedangkan konflik nelayan yang memiliki potensi konflik eksplosif di antaranya adalah di perairan Selat Madura dan perairan Gresik (Kusnadi, 2006:58). Menarik untuk dicermati bahwa persoalan konflik nelayan masih belum surut walaupun telah diterapkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 hingga hadirnya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Demikian halnya dalam persoalan sumber daya perikanan laut yang semakin terbatas, maka dalam pemanfaatannya memicu munculnya konflik akibat over-eksploitasi serta pertambahan jumlah nelayan dan berbagai faktor lainnya. Konflik antar nelayan di Selat Madura telah terjadi sebelum otonomi daerah maupun pasca penerapan otonomi daerah yang telah memberikan ruang kewenangan terhadap daerah kabupaten/kota yang berbatasan dengan laut untuk ikut terlibat dalam pengelolaan sumber daya laut. Sementara itu, beberapa tahun setelah jatuhnya rezim Orde Baru banyak terjadi kekerasan komunal atau konflik di Indonesia. Konflik-konflik tersebut muncul setelah jatuhnya rezim otoriter yang diikuti menurunnya legitimasi negara (Kaldor, 1999:82). Demikian halnya dalam persoalan

5 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim nelayan mengalami konflik-konflik serupa, secara khusus konflik nelayan pada wilayah perairan Provinsi Jawa Timur sejak tahun 1995-2005 sebagaimana tabel 1.1 berikut:

Tabel 1.1 Konflik Nelayan di Provinsi Jawa Timur Tahun 1995-2005

No Tanggal Lokasi Pihak Konflik Dampak

1 Juli 1995 Perairan Utara Nelayan Kenyamanan Pulau Madura Bangkalan dan melaut Lamongan terganggu

2 April 1998 Selat Madura Nelayan Kenyamanan Kraksaan dan melaut Pulau Gili terganggu Ketapang

3 Oktober Selat Madura Nelayan Alat tangkap 1998 Sampang dan dirampas Pasuruan dan dibuang, 9 perahu dibakar (senilai Rp/ 100 juta)

4 November Selat Madura Nelayan Kenyamanan 1998 Sampang dan melaut Pasuruan terganggu

5 Pebruari Selat Madura Nelayan 3 perahu 2000 Bangkalan dan nelayan Pasuruan dibakar 6 April Selat Madura Nelayan 1 perahu 2000 Bangkalan dan disandera Pasuruan 7 Mei 2001 Selat Madura Nelayan 2 perahu dan Bangkalan dan 4 nelayan Pasuruan disandera 8 Mei 2004 Selat Bali Nelayan 20 perahu Banyuwangi dan Tuban disegel Tuban polisi

9 Mei 2005 Perairan Laut Nelayan Perahu Jawa Lamongan dan disandera Gresik dan denda Sumber: Diolah dari berbagai sumber (Jawa Pos, Kompas, Surya, Tempo)

6 Pendahuluan

Berdasarkan tabel di atas berbagai konflik antar nelayan perikanan laut di Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa intensitas tertinggi kasus konflik nelayan di Selat Madura yakni melibatkan nelayan Kabupaten Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan. Konflik antarnelayan di Selat Madura telah terjadi sebelum otonomi daerah maupun pasca penerapan otonomi daerah yang telah memberikan ruang kewenangan terhadap daerah kabupaten/kota yang berbatasan dengan laut untuk ikut terlibat dalam pengelolaan sumber daya laut. Hal menarik terkait dengan persoalan konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut menunjukkan bahwa konflik terjadi sejak masa pemerintahan Orde Baru hingga Otonomi Daerah. Sementara itu, reformasi di tahun 1998 telah membawa perubahan besar dari aspek politik dengan adanya perubahan secara substansial yakni ditetapkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menggantikan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- pokok Pemerintahan di Daerah. Kehadiran Undang Undang No. 22 Tahun 1999, telah memberi ‘ruang’ berkembangnya demokrasi di tingkat lokal, namun ternyata belum mampu menghentikan ataupun menurunkan tingkat konflik nelayan. Konflik yang terjadi justru intensitas dan eskalasinya semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan konflik nelayan belum mampu diselesaikan melalui kehadiran otonomi daerah. Upaya menggali lebih mendalam akar dan latar historis terjadinya konflik nelayan menjadi penting guna mengungkap timbulnya konflik nelayan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan laut yang cenderung anarkis pada era otonomi daerah. Penelitian ini berusaha mendalami konflik nelayan yang terjadi terkait dengan pemanfaatan sumber daya perikanan laut dalam kerangka otonomi daerah, berdasarkan data empiris bahwa tingkat intensitas dan eskalasi konflik yang tinggi terjadi pada tiga daerah yang terlibat konflik yakni Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan di Jawa Timur. Penelitian ini mengkaji masalah utama yaitu: Mengapa kebijakan pengelolaan konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut dalam otonomi daerah justru mendorong timbulnya konflik terbuka dan anarkis?

7 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Untuk menjawab permasalahan utama dimaksud, secara khusus dijabarkan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk pemanfaatan sumber daya perikanan laut di Selat Madura oleh nelayan Bangkalan, Sampang dan Pasuruan pada Era Orde Baru hingga Otonomi Daerah? 2. Bagaimana format konflik nelayan pada periodesasi ‘rezim’ pemerintahan? 3. Bagaimana bentuk kebijakan pengelolaan konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut di Era Otonomi Daerah dan faktor- faktor apa yang menjadi ‘trigger’ atau ‘akselerator’ konflik nelayan menjadi konflik terbuka dan anarkis serta bagaimana strategi penyelesaiannya?

Selanjutnya penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kebijakan pengelolaan konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut dalam otonomi daerah yang selanjutnya dielaborasikan dalam tiga tujuan spesifik:(a) mendiskripsikan bentuk pemanfaatan sumber daya perikanan laut oleh nelayan Bangkalan, Sampang dan Pasuruan, Era Orde Baru hingga Otonomi Daerah; (b) mendiskripsikan format konflik nelayan pada periodesasi ‘rezim’ pemerintahan;(c) menganalisis kebijakan pengelolaan konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut di Era Otonomi Daerah dan faktor-faktor yang menjadi ‘trigger’ atau ‘akselerator’ konflik nelayan menjadi konflik terbuka dan anarkis serta bentuk strategi penyelesaiannya. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan pemahaman terhadap fenomena konflik nelayan, baik secara teoritik maupun secara praktis. Pada tataran teoritik diharapkan dapat memberikan penjelasan terhadap konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut sebagai sumber daya milik bersama (Common-Pool Resource/CPR) yang dalam pemanfaatannya telah menimbulkan ‘tragedy’ dari bentuk non- violent conflict menjadi ‘violent conflict’. Sedangkan bagi kepentingan yang lebih praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi

8 Pendahuluan terhadap berbagai pihak, utamanya pemerintah khususnya pemerintah daerah guna menemukan solusi yang adil dan mendasar terhadap persoalan konflik nelayan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan laut yang terus-menerus terjadi selama ini.

B. Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Alam

Penelitian konflik terkait pemanfaatan sumber daya alam telah banyak dilakukan, seperti penelitian Wolf (1969), Scott (1976), Azhar (1999), Mustain (2005), maupun Samuji (2005), namun penelitian tentang konflik tersebut berlatar belakang persengketaan terhadap pemanfaatan sumber daya alam di darat khususnya pemanfaatan terhadap tanah pertanian. Hasil penelitian menunjukkan konflik melibatkan rakyat dengan negara dan pemodal. Perlawanan yang dilakukan oleh petani dengan pertimbangan adanya ancaman terhadap nilai (norma dan tradisi), sumber-sumber ekonomi, peran pemimpin, serta adanya tekanan kekuasaan dan pemodal terhadap eksistensi kaum petani. Sejalan dengan penelitian konflik dengan setting perebutan sumber daya alam (tanah pertanian), hal ini juga ditemukan dalam penelitian konflik berlatar perebutan sumber daya perikanan laut dengan melibatkan nelayan (tradisional/buruh nelayan), negara (TPI), serta swasta (nelayan modern/juragan/pedagang/supplier). Kajian Bailey (1998) di Teluk San Miguel, Bicol, Filipina tentang kebijakan publik dan kemiskinan nelayan dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan yang merupakan kawasan terbuka. Kajian Bailey lebih fokus terhadap peran kebijakan publik dalam upaya pemberdayaan nelayan kecil, hasil penelitian menemukan bahwa kebijakan pemerintah dalam implementasinya bisa lebih memberikan keuntungan nelayan besar. Penelitian yang berlatar belakang konflik sumber daya alam khususnya sumber daya perikanan laut di Indonesia masih terbatas, di antaranya penelitian Emmerson (1976), kajian ini memfokuskan diri pada resistensi

9 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim nelayan tradisional atas kebijakan publik yang berniat memberdayakan mereka dari kekuatan dominan yakni juragan dan pengambek. Penelitian Mubyarto, dkk (1984) menunjukkan bahwa adanya benturan antara kedua kelompok nelayan dengan tingkat kemampuan yang berbeda. Penelitian ini menemukan adanya perbedaan kepentingan antara nelayan besar dengan nelayan tradisional, dan studi Husain Sawit (1986) tentang nelayan tradisional pantai utara Jawa menggambarkan pula adanya jarak antara kedua nelayan di atas. Selanjutnya Jonge (1985), mencermati masalah sumber modal usaha dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Menurutnya usaha penangkapan ikan merupakan jenis usaha ekonomi yang padat modal dan dalam melakukan aktivitasnya nelayan umumnya bermodal pinjaman, dan karenanya mereka kebanyakan tergantung kepada pedagang atau pemberi modal. Hal ini menyebabkan terjadinya monopoli pembelian hasil tangkapan, sehingga mengakibatkan adanya penumpukan modal, sehingga jika terjadi surplus tidak terjadi pada nelayan melainkan pada pemberi modal. Utsman (2002), menemukan bahwa solidaritas dan atau kekompakkan nelayan pesisir dalam melakukan tindakan kekerasan kolektif sama sekali tidak ada yang memimpin atau yang mengorganisasi kecuali atas proses gerakan komunal, tidak ada kepercayaan atau ideologi yang membenarkannya. Sedangkan intervensi negara sangat tidak memadai terhadap konflik nelayan, sehingga fakta sosial menunjukkan sedemikian parah (tidak ada tindakan hukum terhadap pelanggar ketentuan hukum yang berlaku, sehingga rakyat/nelayan mengambil tindakan hukum sendiri). Dengan demikian bahwa karakteristik konflik yang terjadi adalah kategori kekerasan kolektif primitif yang mengarah kepada kekerasan kolektif reaksioner dan tidak bersifat politis hanya dalam lingkup nelayan lokal. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, tidak mustahil akan meningkat menjadi kekerasan kolektif reaksioner dan pada akhirnya dapat menjadi kekerasan kolektif modern. Penelitian Siswanto (2008)

10 Pendahuluan menunjukkan bahwa perlawanan nelayan dilakukan pada saat nelayan terancam kecukupan rezekinya disebabkan adanya sistem bagi hasil yang tidak adil dari juragan dan sistem pasar yang tidak adil akibat dominasi pedagang dan rekayasa pengelola TPI. Keaslian penelitian ini (significance) mendasarkan pada perbedaan pendekatan teoritik terkait dengan analisis konflik, sumber daya milik bersama (common-pool resource/CPR), dan kebijakan otonomi daerah. Penelitian ini mengelaborasi keterkaitan perubahan rezim pemerintahan dalam pola relasi negara dengan masyarakat guna menjelaskan konflik yang terjadi dalam pemanfaatan sumber daya perikanan laut sebagai sumber daya milik bersama (common-pool resource/CPR) selama tiga periodesasi rezim pemerintahan. Penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kajian tentang konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut sebagai sumber daya milik bersama (common property), di mana persoalan konflik nelayan hingga saat ini masih sering terjadi di berbagai wilayah laut di Indonesia. Dalam hal ini, setidaknya ada beberapa kerangka teoretis yang dipergunakan untuk melihat fakta sosial konflik nelayan dan sebagai alternatif alat analisis, yaitu teori konflik dari George Simmel dan teori pola hubungan negara dan masyarakat dari Joel S. Migdal, teori Sumber daya Milik Bersama (Common Property) dari Garrett Hardin dan (Common-Pool Resource/CPR) dari Vincent dan Elinor Ostrom serta teori kebijakan publik. Teori konflik disajikan guna menjelaskan konflik nelayan yang telah terjadi selama lebih dari satu dekade, sedangkan teori peran negara dalam hubungannya dengan masyarakat dari Migdal dipergunakan untuk mengetahui peran keduanya dalam pola hubungan negara dan masyarakat selama terjadinya konflik. Adapun teori common property dari Hardin maupun common-pool resource/CPR dari Ostrom dipakai untuk menjelaskan terjadinya ‘tragedy’ dalam perebutan sumber daya milik bersama dalam sebuah ‘pool’. Kebijakan publik muncul di tengah konflik, yang sebagian

11 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim besar untuk mengatasi konflik yang telah, sedang dan yang akan terjadi, dalam hal ini kebijakan publik penting dikemukakan karena konflik menjadi terbuka dan anarkis ketika kebijakan pengelolaan konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut diterapkan pada masa pergantian rezim kekuasaan dari masa Orde Baru menuju Era Otonomi Daerah. Selanjutnya berdasarkan identifikasi dari berbagai sumber konflik (perbedaan teknologi penangkapan, bentuk pemanfaatan maupun latar politik rezim penguasa), peneliti berusaha mengeksplor berbagai upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pihak masyarakat, negara, maupun interaksi keduanya. Kajian dilakukan terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, serta memperhatikan proses resolusi yang telah dilakukan oleh negara (pemerintah).

C. Dasar-dasar Teoretis

1. Kebijakan Publik Menurut Lester dan Stewart (2000,18) bahwa wilayah yang dapat dikaji oleh kebijakan publik meliputi wilayah yang luas dan tidak lagi terpaku pada lembaga-lembaga formal pemerintahan. Chandler dan Plano (1988) mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah- masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya Chandler dan Plano beranggapan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang kontinum oleh pemerintah demi kepentingan orang-orang yang tidak berdaya dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan (1988:107).

12 Pendahuluan

Peterson (2003:1030) mengemukakan bahwa kebijakan publik secara umum dapat dilihat sebagai aksi pemerintah dalam menghadapi masalah, dengan mengarahkan perhatian terhadap “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana”. Sedangkan Harorl D. Lasswell dan Abraham Kaplan (1970:71) memberi arti kebijakan publik sebagai: “a projected program of goals, value and practices” (suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah). Menurut James Anderson (1979:3)) bahwa kebijakan publik itu adalah “A purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern” (serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu). Dalam hal ini lebih menekankan pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Lebih lanjut, Anderson mengemukakan karena itulah kebijakan publik memiliki beberapa implikasi. Pertama, kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan bukan perilaku secara serampangan. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan Undang-Undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur aktivitas publik dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Keempat, kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau negatif. Dalam artian positif, kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan pejabat-pejabat pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk tidak melakukan campur tangan dalam bidang-bidang umum maupun khusus. Kebijakan tidak campur tangan mungkin mempunyai konsekuensi-konsekuensi besar terhadap masyarakat atau kelompok- kelompok masyarakat (1979:4).

13 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Thomas R. Dye (1978) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “is whatever governments choose to do or not to do” (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan), selanjutnya dikemukakan bahwa menurut Dye bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya (obyektifnya) dan kebijakan itu harus meliputi semua “tindakan” pemerintah jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan publik. Hal ini disebabkan oleh “sesuatu yang tidak dilakukan” oleh pemerintah akan memberi pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan “sesuatu yang dilakukan” oleh pemerintah (1978:3). Menurut Peters (1986) bahwa kebijakan publik merupakan suatu keseluruhan aktivitas pemerintah yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung dan berpengaruh pada publik (masyarakat) baik secara individual maupun kelompok (dalam Winarno, 2007:251). Sejalan dengan hal tersebut, Islamy (1994:20) memberikan batasan kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Dengan demikian menurut Nugroho (2008) bahwa akar kebijakan publik adalah politik. Politik berkenaan dengan peran kekuasaan untuk melakukan alokasi sumber daya langka, dalam rangka pencapaian tujuan politik tertentu. Selanjutnya, Nugroho mengemukakan bahwa salah satu hakikat kebijakan publik adalah konflik, khususnya dalam rangka memperebutkan sumber daya politik pada suatu kawasan, baik sumber daya politik yang berasal dari ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Kebijakan publik muncul di tengah konflik, dan sebagian besar untuk mengatasi konflik yang telah, sedang dan yang akan terjadi (2008:267).

2. Teori Konflik Di dalam kehidupan masyarakat, konflik merupakan hal yang perlu dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Konflik, dalam sosiologi 14 Pendahuluan dapat dipahami melalui Teori Konflik yang merupakan salah satu teori dalam paradigma fakta. Paradigma (Ritzer,1992:3-4) adalah pandangan mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan paradigma fakta sosial merupakan salah satu paradigma dalam sosiologi yang memahami bahwa manusia pada prinsipnya tunduk atau mengikuti fakta sosialnya. Dalam hal ini, teori konflik merupakan antitesis dari teori fungsionalisme struktural. Oleh sebab itu, maka proposisi yang dibangun bertentangan dengan proposisi dalam teori fungsionalisme struktural. Teori fungsionalisme struktural menilai bahwa fakta atau realitas sosial adalah fungsional. Sementara itu, teori konflik memandang bahwa fakta sosial berupa wewenang dan posisi yang justru merupakan sumber pertentangan sosial. Wewenang dan Posisi merupakan konsep sentral dari teori konflik. Menurut teori ini, ketidakmerataan distribusi kekuasaan dan wewenang otomatis akan menempatkan masyarakat pada posisi yang saling berbeda. Perbedaan posisi tersebut pada akhirnya dapat memicu timbulnya konflik dalam masyarakat. Selanjutnya Wahyudi (1998:1) berkaitan dengan pandangan Ritzer (1992) tentang faktor-faktor penyebab timbulnya konflik di masyarakat, utamanya tentang perbedaan posisi dan wewenang, membuat analisis dari teori konflik sebagai berikut: 1. Konflik sosial bersumber dari adanya distribusi kekuasaan yang tidak merata, secara rasional tidaklah memungkinkan untuk dilakukan distribusi kekuasaan secara merata kepada seluruh anggota masyarakat. Oleh karena itu, maka konflik akhirnya menjadi suatu keniscayaan di dalam masyarakat. 2. Konflik juga dapat berasal dari tidak tunduknya individu — sebagai pihak yang dikuasai — terhadap sanksi yang diberikan oleh pihak yang sedang berada pada posisi menguasai. 3. Konflik merupakan fungsi dari adanya pertentangan antara penguasa dengan yang dikuasai, di mana penguasa senantiasa ingin mempertahankan ’set of properties’ yang melekat pada kekuasaannya, sementara yang dikuasai selalu terobsesi untuk

15 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

mewujudkan perubahan yang dianggapnya merupakan satu- satunya jalan untuk menggapai perbaikan posisi dirinya.

Ketersediaan sumber daya yang terbatas tidak sebanding dengan kebutuhan manusia yang senantiasa berkembang akan memicu munculnya konflik pada persoalan distribusi sumber-sumber daya tersebut. Konflik selalu melibatkan kehendak atau keinginan dua pihak atau lebih untuk saling memberikan sanksi negatif atau mengesampingkan atau meniadakan kepentingan pihak lain, atau perseteruan yang terjadi antara dua pihak atau lebih sebagai akibat adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan keterbatasan sumber daya (Blalock,1989; Webster,1993). Konflik menjangkau wilayah yang luas meliputi bentuk pertentangan atau bentrokan, persaingan, atau gangguan oleh kelompok secara fisik atau benturan antar kekuatan-kekuatan yang sulit didamaikan atau pertentangan- pertentangan dalam tataran kualitas (seperti: ide-ide, kepentingan- kepentingan atau kehendak-kehendak) (Suharto,2005:224). Dengan demikian, konflik adalah suatu bentuk pertentangan yang dihasilkan oleh individu atau kelompok, karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan (Liliweri,2005:249). Berdasarkan teori konflik yang ada dapat digolongkan dalam dua kelompok yakni pertama, teori konflik fungsional dan kedua, teori konflik kelas. Kedua kelompok teori ini berakar pada pemikiran dua tokoh yaitu George Simmel dan Karl Marx (dalam Coser, 1971:5). Pemikiran Simmel kemudian diikuti oleh Lewis Coser, sedangkan pemikiran Marx diikuti oleh Ralph Dahrendorf (dalam Affandi, 2004:135). Marx mengajukan asumsi sederhana bahwa: organisasi ekonomi, khususnya kepemilikan tanah (the ownership of property) akan menentukan organisasi yang ada dalam masyarakat. Maknanya, bahwa semakin terdapat ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber langka yang ada di dalam sistem, maka akan semakin besar terjadi konflik kepentingan antara segmen dominan dan subordinat. Semakin segmen subordinat menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya yang sesungguhnya,

16 Pendahuluan semakin cenderung mereka mempertanyakan legitimasi dari keberadaan pola distribusi sumber-sumber langka (dalam Andrianto,2000:16). Sejalan dengan pandangan Marx, Simmel (1955) memandang konflik sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Konflik dapat menjadi penyebab atau pengubah kepentingan kelompok- kelompok, organisasi-organisasi, kesatuan-kesatuan dan sebagainya. Dalam realitas, faktor disasosiatif seperti kebencian, kecemburuan, dan sebagainya memang merupakan penyebab terjadinya konflik. Dengan demikian, konflik ada untuk mengatasi berbagai dualisme yang berbeda, walaupun dengan cara meniadakan salah satu pihak yang bersaing. Selanjutnya Simmel (1955:18) mengembangkan beberapa proposisi. Dalam proposisinya tersebut, ditegaskan bahwa: Konflik sebagai suatu variabel yang menampilkan derajat intensitas interaksi. Oleh karena itu, kompetisi dan pertarunganpun disimpulkan sebagai ujung ekstrim dari kontinum interaksi sosial. Kompetisi menyertakan usaha keras pihak- pihak yang terlibat dalam cara-cara yang lebih teratur dan bersifat pararel demi mencapai tujuan eksklusif, sedangkan pertarungan lebih menunjuk pada pertikaian yang hampir tanpa aturan dan lebih bersifat saling berhadapan satu sama lain. Dalam hal konflik sosial, Simmel (1955) mengembangkan tiga perangkat proposisi yakni intensitas konflik, fungsi konflik bagi pihak yang terlibat, dan fungsi konflik bagi sistem keseluruhan. Dalam perangkat proposisi tentang intensitas konflik, Simmel mengemukakan bahwa: semakin tinggi derajat keterlibatan emosional pihak yang terlibat dalam suatu konflik, semakin kuat kecenderungan untuk mengarah pada kekerasan. Dalam konteks ini, ada korelasi positif antara solidaritas antar anggota dalam suatu kelompok konflik, dengan derajat keterlibatan emosional. Demikian pula ada korelasi positif antara harmoni awal antar anggota kelompok bertikai dengan derajat keterlibatan emosional mereka. Selanjutnya, semakin suatu konflik itu cenderung menjadi kekerasan. Akhirnya, semakin suatu konflik dipandang sebagai suatu cara pencapaian tujuan yang jelas, semakin menurun kemungkinan-kemungkinan konflik tersebut menjadi kekerasan (dalam Turner,1991:141).

17 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan proposisi Simmel (1955) tersebut, dapat diketahui bahwa kekerasan di dalam konflik itu dapat terjadi disebabkan beberapa hal: pertama, adanya keterlibatan emosional dari para anggota, di mana keterlibatan tersebut dipengaruhi oleh rasa solidaritas dan tingkat harmonitas yang tercipta sebelumnya; dan kedua, bahwa konflik dipersepsi sebagai suatu media untuk memperjuangkan kepentingan pribadi dari masing-masing anggotanya (dalam Andrianto, 2000:24). Menurut Barge (1946), dalam setiap konflik setidaknya terdapat beberapa unsur, yaitu (1) Ada dua pihak atau lebih yang terlibat. Jadi, ada interaksi antara mereka yang terlibat. (2) Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik. Tujuan itulah yang menjadi sasaran konflik. (3) Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan di antara pihak yang terlibat untuk mendapatkan atau mencapai tujuan/sasaran. (4) Ada situasi antara dua pihak yang bertentangan. Ini meliputi situasi antar-pribadi, antar- kelompok, dan antar-organisasi (dalam Liliweri, 2005:251-252). Konflik merupakan perbenturan dua atau lebih kekuatan yang disebabkan sejumlah perbedaan kepentingan. Pemahaman konflik sebagai perbedaan kepentingan lebih merupakan adanya perebutan kekuasaan (power), namun sebenarnya ’perebutan’ ini selalu dimulai dari permasalahan ekonomi yang didasari dari kenyataan adanya apa yang oleh Weimer (1962) sebagai ’politik kelangkaan’ (Politics of scarcity) (dalam Nugroho, 2008:268). Pemahaman ini didasari bahwa kehidupan manusia didasari oleh kebutuhan untuk mempertahankan dan mengembangkan hidup, dan sebagaimana pandangan teori Darwinisme, terjadi perebutan untuk menguasai sumber daya kehidupan yang langka (dan semakin meningkat kelangkaannya), dan pada akhirnya adalah survival for the fittest, hanya yang paling ’fit’ yang “survive”. Secara umum, dapat dikatakan bahwa teori konflik memahami konflik sebagai sebuah fakta yang terjadi dalam kehidupan bersama yang dipahami sebagai sebuah persaingan memperebutkan sumber daya dan kesemuanya disebabkan oleh adanya kelangkaan. Sebagaimana diuraian di atas, bahwa konflik horisontal di sini merupakan konflik antar warga

18 Pendahuluan masyarakat (antar nelayan) dalam memperebutkan sumber daya (sumber daya perikanan laut). Selanjutnya mencermati konflik tersebut, menurut Galtung (1996) bahwa pendekatan dalam konflik antara lain merujuk pada upaya deskripsi konflik, yang memuat tiga unsur utama yakni: (1) ketidaksesuaian di antara kepentingan, atau kontradiksi di antara kepentingan, atau diistilahkan sebagai suatu ketidakcocokan di antara nilai-nilai sosial dan struktur sosial; (2) perilaku negatif dalam bentuk persepsi atau stereotip yang berkembang di antara pihak yang berkonflik; dan (3) perilaku kekerasan dan ancaman yang diperlihatkan. Sedangkan, konflik berlaku dalam konteks kelangkaan: sumber daya, kekuasaan, status, dan sebagainya, sehingga konflik dalam suatu negara menjadi tak terhindarkan. Pada umumnya dalam penyelesaian konflik, menurut Fisher (2000:10) dikenal istilah: Pencegahan Konflik, Penyelesaian Konflik, Pengelolaan Konflik, Resolusi Konflik dan Transformasi Konflik. Pengelolaan Konflik adalah bertujuan untuk membatasi atau menghindari terjadinya kekerasan melalui atau mendorong perubahan pihak-pihak yang terlibat agar berperilaku positif. Konflik dapat dicegah atau dikelola manakala para pihak yang berkonflik dapat menemukan cara atau metode menegosiasikan perbedaan kepentingan dan menyepakati aturan main guna mengelola konflik. Untuk pengelolaan atau pemecahan masalah konflik, umumnya kehidupan sosial pada banyak tingkatan yang berbeda telah memperlihatkan siklus antara konflik dan kekompakkan, antara konflik dan perdamaian. Johnson (1986;173), mengemukakan bahwa Motivasi-motivasi untuk mengakhiri konflik bisa disebabkan telah bosan atau karena adanya keinginan untuk mencurahkan tenaganya untuk hal- hal lain. Kompromi dapat tercapai dengan memberikan suatu hadiah ’hiburan’ kepada pihak yang menderita kekalahan. Sesungguhnya konflik dapat di atasi oleh satu pihak dengan menyerahkan sesuatu yang bernilai sebagai pengganti benda yang disengketakan. Konflik sebenarnya kalau dikelola dengan baik akan menjadi peluang yang positif, akan tetapi bila sebaliknya kalau ’dibiarkan’ akan menjadi berbahaya dan bukan suatu yang

19 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim tidak mungkin akan menjadikan tindak kekerasan, tindakan amuk massa dan tindak kriminal, yang tentunya merugikan pihak-pihak terkait. Adapun penanganan konflik atau khususnya resolusi konflik, sangat ditentukan oleh struktur konflik (Galtung, 1996:21). Adapun resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dinamika siklus konflik (Widjajanto, 2004). Secara empirik, resolusi konflik dilaksanakan dalam empat tahap yaitu: Tahap pertama; masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Tahap kedua; memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses reintegrasi elit politik dari kelompok yang bertikai. Tahap ketiga; lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving approach; dan Tahap keempat; memiliki nuansa kultural yang kental, karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng (Rozi,dkk, 2006).

3. Otonomi Daerah Konsep pemerintahan daerah sebenarnya sudah ada cukup lama, dari berbagai literatur diketahui bahwa sistem pemerintahan daerah saat ini, pada dasarnya merupakan hasil dari kombinasi berbagai macam tradisi dan teknik penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang dalam perjalanannya banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya aspek sejarah, politik, ekonomi dan sosial. Namun demikian, terdapat tradisi-tradisi yang termasuk kategori sebagai pembawaan awal yang senantiasa memberi warna tersendiri pada jenis-jenis pemerintah daerah (Sarundayang, 1999). Menurut Thoha (2008), bahwa Pemerintahan Daerah (Local Government) di Inggris menunjukkan adanya kekuasaan (authority) dari unit pemerintahan yang berdiri sendiri, yang didirikan atas persetujuan

20 Pendahuluan parlemen untuk memberikan pelayanan dan yang mewakili kepentingan umum dari suatu wilayah tertentu di bawah kepemimpinan pemimpin daerah yang dipilih oleh rakyat. Jaringan hubungan antara instansi pemerintah dan organisasi swasta (public and private agencies) mempunyai kekuasaan yang luas untuk mendorong lahirnya keinginan dan kebutuhan- kebutuhan masyarakat. Keluasan kekuasaan dari jaringan tersebut, boleh dikatakan lebih luas ketimbang kekuasan yang ada di pimpinan daerah. Sistem pemerintahan lokal di Inggris tidak bisa dipisahkan dari penilaian terhadap sistem pemerintahan yang demokratis. Bahkan, penilaian tersebut dikatakan mempunyai porsi yang lebih besar daripada sistem demokrasi di pemerintahan daerah di manapun di dunia. Perbedaan itu di antaranya dalam upayanya untuk mendukung dan membantu pelayanan lokal. Lebih jauh dikemukakan bahwa Pemerintahan Daerah di Inggris dibentuk atas dasar Undang-Undang Parlemen. Hampir sebagian besar pemerintahan daerah di barat yang mengikuti demokrasi liberal disusun melalui perundangan daerah dan bukan atas dasar konstitusi nasional (2008:71-74). Menurut beberapa ahli ada beberapa batasan tentang Pemerintahan Daerah atau Pemerintahan Lokal (Local Government). Menurut Kaho (1988:20) bahwa Local Government adalah: “Bagian dari pemerintah suatu negara atau bangsa yang berdaulat yang dibentuk secara politis berdasarkan UU yang memiliki lembaga atau badan yang menjalankan pemerintahan yang dipilih masyarakat daerah tersebut, dan dilengkapi dengan kewenangan untuk membuat peraturan, memungut pajak serta memberikan pelayanan kepada warga yang ada di dalam wilayah kekuasaannya”.

Sementara ‘daerah’ dalam makna local state government adalah pemerintah di daerah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Sedangkan Desentralisasi adalah pelimpahan wewenang sehingga desentralisasi lebih dekat dengan otonomi daerah. Konsep desentralisasi dengan demikian memiliki ‘atribut’ pemahaman yang sama dengan otonomi daerah.

21 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Dalam suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang menganut prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal, dikenal istilah desentralisasi, yaitu membagi kewenangan kepada Pemerintah Daerah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan. Penerapan prinsip ini memunculkan adanya model pemerintahan daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraan kewenangan. Sejarah perekonomian mencatat bahwa desentralisasi telah muncul ke permukaan sebagai suatu paradigma baru dalam kebijakan dan administrasi pembangunan sejak dasa warsa 1970–an. Lebih lanjut menurut Kuncoro (2003) bahwa tumbuhnya perhatian terhadap desentralisasi tidak hanya disebabkan gagalnya perencanaan yang terpusat dan populernya strategi pertumbuhan dan pemerataan (growth with equity), tetapi juga adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah proses yang kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak mudah dikendalikan dan direncanakan dari pusat. Sedangkan Tuhepaly (2006:15) mengemukakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah kepada daerah otonom dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam pemerintahan yang demokratis terkait dengan pelaksanaan sistem desentralisasi. Suatu tata kepemerintahan yang baik itu bisa dicapai jika dipenuhi suatu tingkat desentralisasi, inovasi dan pembangunan pemerintah daerah yang memadai. Administrasi dan otonomi pemerintahan daerah bisa diwujudkan lebih efektif melalui peningkatan desentralisasi baik administratif maupun finansial, digitalisasi pemerintahan dan tata manajemen yang berdasarkan hasil. Ciri suatu pemerintahan yang demoktratis salah satunya ialah melakukan desentralisasi, memberikan kewenangan kepada rakyat daerah untuk mengatasi masalah-masalah daerahnya (Thoha, 2008:82-83). Selanjutnya Bryant (1987:11) menegaskan bahwa desentralisasi adalah transfer kekuasaan yang dapat dibedakan ke dalam desentralisasi administrasi dan desentralisasi politik. Desesentralisasi administrasi berarti pendelegasian wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat lokal. Ia bekerja dalam kapasitas yang telah ditentukan, baik dalam soal perencanaan maupun biaya. Namun juga

22 Pendahuluan memiliki kewenangan dan kekuasaan bervariasi untuk peraturan yang lebih substansial. Sedangkan desentralisasi politik adalah pemberian kewenangan dalam membuat keputusan dan pengawasan tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan Pemerintah Regional dan Lokal, dengan tujuan demi pemberdayaan lokal. Sementara desentralisasi atau mendesentralisasi pemerintahan tidak boleh dilihat sebagai akhir dari desentralisasi itu sendiri. Ia bisa menjadi alat untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang lebih terbuka, efektif, responsif serta untuk meningkatkan sistem representasional pengambilan keputusan tingkat masyarakat. Selanjutnya desentralisasi merupakan gejala kompleks yang melibatkan faktor geografis, pelaku, dan sektor-sektor sosial. Keseluruhan geografis meliputi: internasional, nasional, regional dan lokal. Pelaku sosial meliputi: pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil. Sektor-sektor sosial meliputi: semua bidang pembangunan politik, sosial, budaya dan lingkungan. Untuk merancang desentralisasi harus melibatkan tiga hal tersebut (GTZ, 2004:7). Menurut Gaffar, dkk. (2002:xvii), desentralisasi adalah sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan antara pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal. Dalam mekanisme ini pemerintahan nasional melimpahkan kewenangan kepada pemerintahan dan masyarakat setempat atau lokal untuk diselenggarakan guna meningkatkan kemaslahatan hidup masyarakat. Selanjutnya C.J. Franseen (1955) memberikan batasan Otonomi Daerah adalah: “Hak untuk mengatur urusan-urusan Daerah dan juga menyesuaikan peraturan-peraturan yang sudah dibuat dengannya” (dalam Jimung,2002:38). Sedangkan Wayong (1975:22) mendefinisikan Otonomi Daerah adalah ”Kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan”, namun kebebasan itu terbatas karena merupakan terwujudnya dari pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Otonomi daerah adalah proses bernegara yang tidak pernah tuntas dan akan mengalami perubahan terus-menerus baik karena adanya tuntutan baru sesuai kebutuhan, juga adanya koreksi atas kelemahan formulasi atau karena faktor perubahan lingkungan intern dan ekstern.

23 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Jadi desentralisasi adalah otonomi, sedangkan desentralisasi tidak sama dengan otonomi. Otonomi hanyalah salah satu bentuk desentralisasi. Desentralisasi bukan asas melainkan proses, dan yang asas ialah otonomi (Marbun, 2005:182). Hal lain yakni otonomi, dalam banyak persoalan tentang desentralisasi dan otonomi adalah kata yang saling bisa dipertukarkan. Otonomi bermakna memerintah sendiri. Selanjutnya, otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Secara prinsipil terdapat dua hal yang tercakup dalam otonomi, yakni hak dan wewenang untuk mengelola daerah, dan tanggung jawab untuk kegagalan dalam mengelola daerah. Otonomi Daerah sebagai penerapan dari konsep desentralisasi sebagaimana dikenal saat ini dapat dirujuk perkembangannya sebagaimana dikemukakan Ricklefs (2005) bahwa: “seorang penguasa pusat mempunyai tiga teknik utama yang dapat digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya. Pertama: dia dapat memberi otonomi yang cukup luas dan keuntungan-keuntungan langsung yang berbentuk kekayaan, martabat dan perlindungan kepada penguasa daerah, sebagai imbalan dukungan mereka kepadanya. Kedua, dia dapat memelihara kultus kebesaran mengenai dirinya dan istananya yang mencerminkan kekuatan-kekuatan ‘gaib’ yang mendukung dirinya. Ketiga, dia harus memiliki kekuatan militer untuk menghancurkan setiap oposisi” (2005:53). Otonomi daerah pada hakikatnya ditujukan berdasarkan atas empat aspek. Pertama, aspek politik; yaitu untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun guna mendukung politik dan kebijakan pemerintah dalam rangka pembangunan dan demokrasi. Kedua, aspek manajemen pemerintahan; untuk memberdayakan penyelenggara pemerintahan serta memberikan pelayanan kebutuhan masyarakat. Ketiga, aspek kemasyarakatan; meningkatkan partisipasi dan kemandirian masyarakat (empowerment).

24 Pendahuluan

Keempat, aspek ekonomi pembangunan; agar pelaksanaan program pembangunan dapat diikuti dengan tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat (Piliang,dkk., 2003:215). Dalam konteks otonomi daerah perlu diketahui perkembangan substansi kepentingan yang termuat dalam setiap perundang-undangan yang mengatur pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Selanjutnya, dipahami bahwa keberhasilan pembangunan suatu negara cukup banyak ditentukan oleh kapasitasnya dalam ’menanggung konflik’ dan kecakapan untuk ‘memanajemeni konflik’, karena mau tidak mau negara hidup bersama konflik. Ketersediaan sumber daya yang terbatas tidak sebanding dengan kebutuhan manusia yang senantiasa berkembang akan memicu munculnya konflik pada persoalan distribusi sumber-sumber daya tersebut. Konflik selalu melibatkan kehendak atau keinginan dua pihak atau lebih untuk saling memberikan sanksi negatif atau mengesampingkan atau bahkan meniadakan kepentingan pihak lain, atau perseteruan yang terjadi antara dua pihak atau lebih sebagai akibat adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan keterbatasan sumber daya (Blalock,1989; Webster,1993). Namun, dominasi konflik akan merugikan negara, karena kerugian besar dengan adanya konflik adalah memudarnya social capital (modal sosial) dari suatu bangsa, dan habisnya sumber daya secara sia-sia. Pada akhirnya, dampaknya adalah stagnasi pembangunan, baik tampak maupun tidak tampak. Pada dasarnya terdapat tiga pendekatan untuk memberi arah kebijakan manakala kebijakan publik hadir dalam konteks konflik (Nugroho, 2008:283). Pertama, pendekatan yang mengakar pada pendekatan demokratis, yaitu bahwa kebaikan bagi sebagian besar orang. Artinya, bahwa arah kebijakan yang disarankan untuk direkomendasikan atau diputuskan merupakan kebijakan yang memberikan manfaat bagi mayoritas publik daripada sebagian kecil publik; Kedua, pendekatan yang dalam memberikan arah kebijakan dalam konteks konflik adalah dengan menetapkan tingkat ketercapaian yang tertinggi atau risiko atau kegagalan yang paling rendah. Pendekatan ini

25 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim antara lain mempergunakan pendekatan cost, benefit, cost-benefit, risk- value, hingga pendekatan game. Pembenaran dari pendekatan ini yakni bahwa kebijakan publik harus berhasil. Kegagalan kebijakan publik akan mempunyai dampak yang sangat besar bagi kehidupan bersama – bukan sekedar menjatuhkan wibawa pemerintah dan kepercayaan publik kepada lembaga negara. Ketiga, pendekatan ini memberikan arah kebijakan dengan menetapkan kebijakan yang paling mungkin diterima oleh pihak yang berkonflik. Pendekatan ini antara lain diperkenalkan berkenaan dengan isu-isu konflik yang berhubungan dengan sumber daya ekonomi atau politik akan menjadi kebijakan yang dihasilkan dari proses tawar-menawar yang jauh dari pengutamaan kepentingan publik. Dengan demikian kebijakan publik sebagai serangkaian aksi pemerintah dalam menghadapi masalah, baik berupa keputusan- keputusan pejabat pemerintah dengan segala bentuk pelaksanaannya yang bersifat positif maupun negatif guna mengalokasikan sumber daya publik dengan memperhatikan aspek pengelolaan sumber daya perikanan laut sebagai sumber daya milik bersama (common-pool property) yang memiliki karakteristik berbeda dengan sumber daya alam lainnya dengan berbagai pendekatan yang paling memungkinkan untuk menjawab tuntutan pihak yang terlibat konflik. Hal ini didasarkan bahwa salah satu hakikat kebijakan publik adalah konflik (Nugroho,2008) khususnya dalam memperebutkan sumber daya politik baik yang berasal dari ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Mengingat kebijakan publik selalu mengandung tiga substansi yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik serta cara mencapai sasaran tersebut (Morgan, Shinn, dan Green, http://www.eli.pdx.edu/2002).

4. Sumber daya Milik Bersama (Common-Pool Resource/CPR). Sumber daya kelautan termasuk sumber daya perikanan bersifat common property (milik bersama). Istilah tersebut pertama kali digunakan dalam praktik penggunaan lahan di Inggris pada Abad Pertengahan, di

26 Pendahuluan mana masyarakat desa di Inggris menggunakan lahan secara bersama- sama untuk kepentingan mengembala dan mencari kayu untuk persiapan musim dingin. Lahan tersebut dimiliki secara bersama, menjadi milik bersama (common property), dan untuk kepentingan bersama. Sebetulnya, istilah common property saat ini mungkin tidak sama persis dengan kondisi pada masyarakat pedesaan di Inggris saat itu. Istilah hanya untuk masyarakat sekitar desa itu sendiri, sehingga masyarakat di luar tidak dapat memanfaatkannya (Satria. dkk,2002:6). Satria (2002) mengemukakan bahwa common property bagi sumber daya kelautan, saat ini lebih sebagai kepemilikan di bawah kendali pemerintah atau mengarah pada sumber daya yang bersifat public domain. Salah satu karakteristik dari sumber daya yang bersifat common property ialah ketidakdefinisiannya hak kepemilikan, sehingga cenderung menimbulkan gejala hilangnya rente sumber daya (dissipated resource rent) yang seharusnya dapat diperoleh dari optimalisasi pengelolaan sumber daya tersebut. Jika dicermati dari karakteristik sumber dayanya, maka terumbu karang, stok ikan di laut dan sebagainya merupakan sumber daya milik bersama (common-pool resources atau commons). Sumber daya ini sulit membatasi orang untuk memanfaatkannya atau biaya pembatasan (exclution cost) begitu tinggi. Dengan demikian, setiap individu berupaya menjadi penumpang bebas (free rider), memanfaatkan sumber daya tanpa bersedia berkontribusi terhadap penyediaannya atau pelestariannya. Pada hakikatnya terdapat 4 jenis property rights atas sumber daya yang sangat berbeda satu dengan yang lain, yakni : milik pribadi (private property), milik umum atau bersama (common property), milik negara (state property), tidak bertuan (open access). Dalam pandangan teori ekonomi, khususnya setelah dikemukakan konsep “tragedy of the commons” oleh Garret Hardin di mana sumber daya alam milik bersama akan cepat rusak (fugitive), maka sumber daya perikanan laut sebagai sumber daya publik (public goods) yang biasanya masuk dalam rezim hak “common property”, “state property” dan “open access” harus segera ditentukan siapa yang mempunyai hak atas sumber daya tersebut, agar para penumpang gratis (free rider) yang bersifat oportunis dapat dihindari. Hal yang terpenting

27 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim dari masalah property rights adalah masalah bagaimana penegakannya dapat dilakukan melalui sistem hukum formal (formal procedurs) dan penegakan aturan yang ada dalam masyarakat (social customs) (Taylor,1988). Namun, bila hal tersebut tidak dapat dilakukan, misalnya biaya enforcement atau exclution terlalu mahal dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh, maka sumber daya akan menuju ke “open access”. Sumber daya Perikanan Laut merupakan sumber daya milik bersama, meminjam istilah Elinor Ostrom (1977) sebagai Common- Pool Resource (CPR) sebagai pengganti istilah Common-Property Resources (Hardin,1968), hal ini didasarkan bahwa semua orang yang memanfaatkan sumber daya tersebut berada dalam satu kolam/tempat (pool), sehingga timbul kesulitan untuk membagi dan memilah sumber daya untuk setiap orang, dan aktivitas seseorang akan secara langsung dengan mudah berdampak pada keberadaan dan kesejahteraan orang lain dalam memanfaatkan sumber daya tersebut. Dalam hal pemanfaatan sumber daya perikanan laut, diketahui bahwa ikan merupakan sumber daya milik bersama (common property resource). Sumber daya tersebut bukan dimaknai sebagai sumber daya yang dimiliki secara bersama-sama, namun hak properti atas sumber daya tersebut dipegang secara bersama-sama, artinya bahwa sumber daya ikan merupakan properti bersama (Nikijuluw, 2002:47). Selanjutnya dikemukakan bahwa definisi ikan berbeda dengan definisi perikanan, sebagaimana Nikijuluw (2002:5) memberikan batasan bahwa perikanan adalah usaha manusia dalam memanfaatkan sumber daya ikan. Dalam konteks suatu usaha atau aktivitas ekonomi, perikanan dapat dimaknai sebagai sistem yang meliputi: unsur atau subsistem ikan, manusia, serta lingkungan atau habitat tempat ikan itu berada. Selanjutnya, guna memanfaatkan sumber daya ikan tersebut, manusia memerlukan teknologi, ketrampilan, dan modal. Adapun aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya ikan tidak hanya terbatas pada aspek penangkapan atau pengambilan sumber daya tersebut, namun menyangkut pula aspek perencanaan aktivitas pemanfaatan, penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan kegiatan pasca panen, pengolahan

28 Pendahuluan serta pemasaran. Dengan demikian, sumber daya perikanan laut meliputi sumber daya ikan, sumber daya lingkungan, serta segala sumber daya buatan manusia yang dipergunakan untuk memanfaatkan sumber daya ikan tersebut. Pengelolaan sumber daya perikanan laut mencakup penataan pemanfaatan sumber daya perikanan laut, pengelolaan lingkungannya serta pengelolaan aktivitas manusia. Pengelolaan sumber daya milik bersama yaitu sumber daya perikanan laut mengandung potensi tangkap lebih (over-fishing) serta menimbulkan kerusakan ekosistem sebagai akibat penggunaan alat tangkap yang merusak. Hal ini disebabkan individu berupaya memanfaatkan sumber daya bagi dirinya tanpa bersedia berkontribusi terhadap penyediaan atau pelestariannya, bahkan berpotensi sebagai penumpang bebas (free rider). Oleh sebab itu, diperlukan pembatasan dan aturan terhadap pemanfaatan sumber daya yang bersifat akses terbuka. Tesis ‘tragedi’ pengelolaan sumber daya milik bersama (The Tragedy of the Common) pertama kali dikenalkan oleh Garrett Hardin pada tahun 1968. Tesis ini merujuk pada suatu kerusakan lingkungan sebuah sumber daya alam milik bersama (laut, sungai, udara, hutan, dan sebagainya) akibat eksploitasi yang berlebihan. Sumber daya tersebut rentan terhadap eksploitasi yang berlebihan karena tidak dimiliki orang per orang sehingga tidak seorang pun yang punya kepedulian untuk melindunginya (Acheson,1989) (Lubis, 2000). Tesis Hardin (1968) tersebut menggambarkan tentang akan terjadinya kerusakan lingkungan bila banyak pihak menggunakan sebuah sumber daya yang terbatas secara bersama-sama. Untuk mendukung tesis tersebut, Hardin mengilustrasikan situasi sebuah padang penggembalaan yang “terbuka bagi semua orang”. Penggembala yang ‘rasional’ akan terdorong untuk terus menambah jumlah ternaknya, karena dia dapat mengambil manfaat langsung berupa rumput di padang penggembalaan tersebut, sementara risiko kerusakan padang pengembalaan akan ditanggung bersama dengan pengembala lain. Bila penggembala yang lain juga punya pandangan serupa, maka suatu saat akan terjadi kelebihan pengambilan rumput (overgrazing) pada padang penggembalaan yang luasnya tetap

29 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim dan terbatas tersebut. Pada situasi inilah, menurut Hardin (1968) akan terjadi sebuah tragedi, di mana setiap orang (baca: penggembala) terkunci pada sebuah sistem yang mendorong dia (mereka) untuk meningkatkan pengambilan tanpa batas, pada sebuah sumber daya yang terbatas tersebut. Dengan kata lain, bahwa sumber daya yang tidak ada aturan dalam pemanfaatannya akan berakibat terjadinya “tragedy of commons”. Pemikiran ini sejalan dengan analisis ekonomi sumber daya yang dikemukakan oleh Gordon (1954), bahwa sumber daya perikanan tangkap/laut tanpa suatu kepemilikan dan pembatasan akses akan mengakibatkan terjadinya inefisiensi ekonomi dan tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing). Sejalan dengan pemikiran di atas dalam perspektif konflik, Garrett Hardin’s dalam bukunya The Tragedy of the Common mengemukakan tentang konflik dalam pemanfaatan sumber daya milik bersama(common property resource/CPR), bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan laut sebagai sumber daya milik bersama dapat menimbulkan tragedi yang membawa kerusakan. Kerusakan terjadi bukan karena banyaknya pihak sebagai pemanfaat atau pemegang hak properti, namun lebih disebabkan oleh perwujudan moralitas yang kurang, etika yang buruk serta aspek perundang-undangan yang tidak mendukung. Selanjutnya Hardin (1968) menegaskan bahwa bentuk langkah atau tindakan yang dapat dilakukan berupa pengendalian terhadap populasi pemegang hak properti tersebut, karena bukan mustahil bahwa semakin banyaknya pihak pemanfaat akan menambah seriusnya tingkat persoalan yang bakal timbul. Bentuk kebijakan pengendalian tersebut dapat melalui cara penutupan wilayah penangkapan atau dikenal dengan Coastal belt atau Fishing belt yakni kawasan perairan dengan radius tertentu dari garis pantai hanya diperuntukkan bagi kelompok nelayan tertentu (dalam Ostrom,1990). Berkaitan dengan sumber daya yang diperebutkan oleh pihak yang terlibat konflik Hardin (1968), menegaskan bahwa sumber daya perikanan laut sebagai sumber daya yang memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dengan sumber daya lainnya semisal tanah sebagaimana pada penelitian Scott (1976). Sumber daya tersebut menurut Hardin

30 Pendahuluan disebut sebagai Sumber daya Milik Bersama (Common Property) yang pengelolaannya memerlukan pendekatan secara khusus. Dalam konteks itulah, maka kebijakan pengelolaan konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut dapat dicermati melalui pemikiran yang dikemukakan oleh Gordon (1954) dengan pemikirannya yang tertuang pada artikel “The Economic Theory of a Common-Property Resources: The Fishery”, yang dimuat dalam Journal of Political Economy pada tahun 1954. Gordon menggambarkan tentang properti milik bersama tersebut. Bahwa sumber daya perikanan laut sebagai sesuatu yang khas karena sifat properti bersamanya. Namun demikian, sifat properti bersama ini bukanlah merupakan sesuatu yang unik karena hal ini juga dimiliki oleh sifat sumber daya lainnya, seperti: menggembalakan ternak di padang penggembalaan, berburu, dan memasang perangkap untuk hewan liar. Namun sebagai properti bersama, sumber daya perikanan laut tidak membuat keadaan buruk nelayan serta tidak efisiennya produksi perikanan menjadi lebih baik. Kondisi ini semakin parah karena kerusakan dan kepunahan spesies ini mudah terjadi pada sumber daya perikanan laut dibandingkan dengan sumber daya alam lainnya di darat. Vincent dan Olinor Ostrom (1977) menggunakan istilah common- pool sebagai pengganti common-property, mengingat bahwa sumber daya alam yang termasuk kategori ini menimbulkan masalah khusus kepada manusia, yakni kesulitan dalam membatasi dan membagi-bagi sumber daya tersebut. Hal ini disebabkan semua orang yang memanfaatkan sumber daya ini berada dalam satu kolam/tempat (pool), sehingga timbul kesulitan untuk membagi serta memilah sumber daya untuk setiap orang. Selanjutnya aktivitas seseorang akan secara langsung dan dengan mudah berdampak pada keberadaan dan kesejahteraan orang lain dalam memanfaatkan sumber daya tersebut. Ketika suatu sumber daya alam secara fisik dan legal dapat dimasuki dan dimanfaatkan lebih dari satu orang, selanjutnya dapat dikatakan bahwa sumber daya tersebut bebas untuk dimasuki semua orang. Semua orang saling berkompetisi guna mendapatkan bagian yang lebih besar, sehingga pada akhirnya membawa dampak negatif bagi semuanya.

31 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Namun lebih parah lagi, umumnya tidak seorang pun yang bertanggung jawab atas kerusakan dan kemunduran mutu sumber daya tersebut, karena itu, sumber daya adalah milik semua orang yang sekaligus tidak dimiliki siapapun. Sumber daya properti bersama (res communes), berbeda dengan sumber daya yang tidak dimiliki (res nullius). Perbedaan tersebut seharusnya tampak pada cara-cara pengelolaan dan dampak yang ditimbulkan karena pengelolaan itu. Jika sumber daya properti bersama (res communes) tidak ada kebebasan bagi setiap orang untuk memanfaatkan sumber daya, namun pada sumber daya yang tidak dimiliki (res nullius), setiap orang bebas untuk memanfaatkan sumber daya itu. Dengan demikian, sumber daya yang tidak dimiliki bersifat terbuka (open acces) kepada semua orang. Sementara itu, sumber daya properti bersama tidak terbuka kepada semua orang kecuali anggota masyarakat yang terdefinisi dengan jelas, sehingga properti bersama belum tentu bersifat terbuka, artinya tidak semua orang boleh masuk dan memanfaatkannya. Bila benar bahwa suatu sumber daya adalah milik bersama, seharusnya secara bersama-sama pula setiap orang sebagai pemegang hak properti memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Dengan demikian. bila tanggung jawab tersebut dilakukan dengan konsekuen, maka seharusnya dampak negatif dari pemanfaatan sumber daya dimaksud dapat dicegah. Sebaliknya, suatu sumber daya yang tidak dimiliki, tidak ada yang bertanggung jawab atas keberlangsungan sumber daya tersebut, sehingga peluang untuk suatu sumber daya dimanfaatkan secara berlebihan justru terjadi pada sumber daya yang tidak dimiliki dan bukan pada sumber daya yang dimiliki secara bersama (Nikijuluw,2002:49). Sejalan dengan hal tersebut Hardin (1968) mengemukakan pemikirannya tahun dalam artikel: ”The Tragedy of The Commons”. Hardin’s menganalisis tentang adanya degradasi lingkungan sebagai akibat pemanfaatan berbagai pihak terhadap sumber daya alam yang langka sebagai milik bersama. Lebih jauh dikemukakan bahwa tragedi yang membawa kerusakan telah terjadi terhadap properti milik bersama

32 Pendahuluan bukan karena banyaknya orang sebagai pemegang hak properti, namun diakibatkan oleh perwujudan moralitas yang kurang, etika yang buruk, dan perundang-undangan yang tidak mendukung. Hardin’s mengajukan pemikiran perlunya analisis kebijakan terhadap tragedi properti bersama tersebut, bahwa diperlukan pengendalian terhadap populasi atau jumlah pemegang hak properti atas sumber daya milik bersama tersebut , karena semakin banyak jumlah pemanfaat, semakin kompleks dan serius masalah yang akan timbul. Berdasarkan pendapat Gordon (1954), Hardin (1968), Bishop (1975), Ostom (1977) bahwa sumber daya ikan (baca: perikanan laut) merupakan sumber daya milik bersama (Common-Pool Resource/CPR) karena memiliki sifat khas dan tidak biasa serta kepunahan dan kerusakan spesies ini lebih mudah dibandingkan sumber daya alam lainnya (Gordon,1954), di samping itu tidak bebas dan terbuka aksesnya bagi setiap orang. Dengan kata lain, bahwa masyarakat pemegang hak properti dapat dibedakan dari masyarakat lain atau yang memiliki perjanjian khusus dengan pemegang hak (Bishop,dkk, 1975) serta sulit dalam membatasi dan membaginya karena semua orang yang memanfaatkan sumber daya berada dalam suatu kolam/tempat (Pool) sehingga aktivitas seseorang secara langsung berdampak pada keberadaan dan kesejahteraan orang lain dalam memanfaatkan sumber daya tersebut (Ostrom,1977). Sumber daya milik bersama ini memiliki sifat khas yang sulit dijumpai pada sumber daya alam lainnya. Sumber daya tersebut setidaknya memiliki tiga sifat utama yaitu: (1) eksludabilitas, terkait dengan pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumber daya oleh karena sifat fisik sumber daya ikan yang dapat bergerak dan bermigrasi, serta luasnya perairan laut sehingga pengawasan dan pengendalian merupakan tugas yang sulit dan mahal. Dengan mudah seseorang dapat masuk ke dalam sumberdaya untuk memanfaatkannya. Namun pada sisi lain, sulit bagi otoritas manajemen untuk mengetahui serta memaksa mereka keluar dari aktivitas yang digelutinya. (2) Substraktabilitas adalah situasi ketika seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki orang lain. Meskipun para pemanfaat sumberdaya ini melakukan

33 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim kerjasama dalam pengelolaan, namun aksi seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia akan berpengaruh secara negatif pada kemampuan orang lain untuk memanfaatkan sumberdaya yang sama. Sifat inilah yang mengakibatkan adanya konflik antara rasionalitas individu dan kolektif. (3) Indivisibilitas merupakan fakta bahwa sumberdaya properti bersama sulit dibagi-bagi atau dipisahkan. Meskipun secara administratif pembagian dan pemisahan dapat dilakukan oleh otoritas manajemen, namun realisasinya tidak mudah dilakukan (Nikijuluw,2002:54-55). Bila dicermati dari karakteristik sumberdayanya, maka stok sumberdaya ikan di laut merupakan sumberdaya milik bersama (common-pool resource), sumberdaya ini sulit membatasi orang untuk memanfaatkannya atau biaya pembatasan (exclusion cost) begitu tinggi, sehingga setiap individu berupaya menjadi penumpang bebas (free rider) untuk memanfaatkan sumberdaya tanpa bersedia memberikan kontribusi terhadap kelestariannya. Selain itu, bahwa pengambilan suatu unit sumberdaya akan mengurangi ketersediaan bagi pihak lain untuk memanfaatkannya, atau dikenal dengan karakter substractibility atau rivalry, sehingga akibat karakter ini maka sumberdaya milik bersama rentan terhadap masalah eksploitasi berlebih atau kerusakan sumberdaya. Hal inilah yang dikatakan Hardin (1968) sebagai “The Tragedy of the Common”, bahwa sebenarnya tragedi bisa terjadi, jika tiada pembatasan atau aturan terhadap pemanfaatan sumberdaya, atau sumberdaya bersifat akses terbuka (open accsess). Pengendalian terhadap sumberdaya ini dapat dilakukan melalui cara penutupan wilayah penangkapan atau di beberapa negara berkembang dikenal dengan nama Coastal belt atau Fishing belt, yaitu kawasan dengan radius atau jarak tertentu dari garis pantai yang diperuntukkan bagi kelompok atau golongan nelayan tertentu. Bentuk kebijakan semacam ini merupakan kebijakan zonasi atau pembagian wilayah penangkapan ikan sesuai dengan kondisi sumberdaya perikanan lautnya dan teknologi yang dipergunakan dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut (Panayatou,1982).

34 Pendahuluan

Panthansali dan Jothy (1974), mengemukakan bahwa memberlakukan fishing belt bertujuan untuk melindungi nelayan skala kecil dari kompetisi yang tidak seimbang dengan nelayan ’trawl’, wilayah fishing belt atau daerah yang diperuntukkan bagi nelayan skala kecil yakni dalam radius 5 mil dari garis pantai. Wilayah ini diperuntukkan dan dijaga dengan ketat bagi kepentingan nelayan kecil yang menggunakan alat tangkap tradisional atau sederhana untuk tujuan komersil maupun bagi konsumsi keluarga. Nasir (2001) mengemukakan bahwa keberhasilan Malaysia dalam memberlakukan kebijakan ini karena adanya sistem hukum yang sangat baik dan dijalankan dengan sungguh-sungguh bagi siapapun yang melanggar hukum pasti dikenakan sanksi hukum. Sejalan dengan pemikiran di atas, Wang, dkk. (1992) memaparkan kebijakan fishing belt di Cina yang dalam hal ini perairan laut Cina dibagi menjadi tiga zona, yakni perairan dalam radius 12 mil laut dari garis pantai disebut zona bebas ‘trawl’, Perairan lepas pantai (offshore zone), dan perairan yang lebih jauh dari pantai (far-offshore zone). Menurutnya, zone bebas ’trawl’ dibagi ke dalam kawasan yang dikelola provinsi dan kota besar. Dalam hal ini dikemukakan bahwa pemerintah pusat sering mengambil kebijakan di atas wewenang yang dimiliki pemerintah provinsi dan kota besar. Hal inilah yang menjadi potensi bagi munculnya pelanggaran atas peraturan zonasi yang telah ditetapkan (1992:303-325).

5. Pola Relasi Negara dengan Masyarakat dalam Resolusi Konflik Spektrum konflik cukup luas dan metode untuk penyelesaian pun beragam tergantung dari bagaimana akar yang kemudian menjadikan aras konflik sehingga ada yang berupa konflik kekerasan dan ada pula yang tidak disertai kekerasan. Dalam konteks di atas, dalam proses resolusi konflik tidak mungkin meniadakan peran negara dan masyarakat (dalam konteks sebagai pihak yang berkonflik itu sendiri), karenanya perlu mencermati peran mereka dan pola relasi negara dan masyarakat dalam resolusi konflik. Selanjutnya dalam hal tersebut digunakan matrik

35 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim hasil elaborasi teori Migdal (1988) yakni Strong Societies and Weak States (1988), sebagaimana dapat dilihat pada matrik berikut:

Matrik 1: Pola Hubungan Negara dan Masyarakat dalam Resolusi Konflik

State Role Society Role State – Society Relation (Peran Negara) (Peran Masyarakat) Pattern (Pola Relasi Negara- Masyarakat)

Strong (Kuat), Strong (Kuat) Trust (Saling Percaya) Dominan, Penetrasi Berdaya, Partisipatif, Domokratis, Civilized, dan Pelibatan Inisiatif, Volountary Sinergi-Maju Bersama (Kemandirian)

Strong (Kuat), Weak (Lemah) Pyramidal, Dominan, Penetrasi Sub-ordinat, Pasif Elitis dan Pelibatan

Weak (Lemah), Strong (Kuat) Diffused/Distrust Failure (Gagal) Berdaya, Partisipatif, (Saling Curiga) Inisiatif, Voluntary (Kemandirian)

Weak (Lemah), Failure Weak (Lemah), Anarchical/Distrust (Gagal) Subordinat, Pasif (Kacau, Saling Curiga), Ommision (Kekosongan) Sumber : Migdal (1988), Rozi,dkk, (2006).

Adapun indikator yang dipergunakan untuk mengukur kuat atau lemahnya peran negara dan masyarakat adalah kriteria positif dan negatif ada tidaknya: 1. Leadership/gaya kepemimpinan (otoriter, feodal atau kesederajadan, partisipatif demokratis) 2. State palnning/perencanaan negara (membuat kebijakan publik, regulasi, aturan main).

36 Pendahuluan

3. Capacities to penetrate/kemampuan hadir dan pelibatan masyarakat oleh negara. 4. Regulate social relationship/pengaturan hubungan sosial. 5. Extract resource and appropriate or use resources in determined ways/ pengelolaan sumberdaya.

Menurut Nordlinger (1994) karakter negara bisa diketahui dengan melihat bagaimana derajat otonomi negara (state autonomy) serta dukungan masyarakat terhadap negara (societal support for the state) tersebut, apakah tinggi, moderat, atau rendah. Selanjutnya Nordlinger menggolongkan empat tipe negara, yaitu negara kuat (strong state), negara independen (independent states), negara responsif (responsive states), dan negara lemah (weak states). Lebih lanjut, dikemukakan bahwa negara kuat adalah negara yang tingkat otonomi dan dukungan masyarakatnya tinggi. Negara bertindak berdasar preferensinya dan masyarakat selalu mendukung tindakan- tindakannya. Negara independen yaitu negara yang tingkat otonominya tinggi namun dukungan masyarakatnya rendah. Seringkali, negara dapat mewujudkan kepentingannya menjadi kebijakan publik, meskipun berbeda dengan preferensi dari masyarakatnya. Negara responsif yaitu negara yang derajat otonominya rendah akan tetapi dukungan masyarakatnya tinggi. Adapun negara lemah adalah negara yang derajat otonomi dan dukungan masyarakatnya rendah. Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik (Chanler and Plano,1988:107), atau keseluruhan aktivitas pemerintah yang dilakukan baik langsung maupun tidak langsung dalam menghadapi masalah dan mempunyai pengaruh pada publik (masyarakat) baik secara individual maupun kelompok (Peters,1986:143-144), sedangkan Peterson mengemukakan kebijakan publik merupakan aksi pemerintah dalam menghadapi masalah, dengan mengarahkan perhatian terhadap “siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana” (Peterson,2003:1030) yang mempunyai tujuan tertentu serta diikuti dan dilaksanakan oleh seorang

37 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu (Anderson,1979). Sementara itu, salah satu hakikat kebijakan publik adalah konflik khususnya dalam memperebutkan sumberdaya politik pada suatu kawasan – baik sumberdaya politik yang berasal dari ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain (Nugroho, 2008:267). Dalam perspektif konflik, bahwa semakin tinggi derajat keterlibatan emosional pihak yang terlibat dalam suatu konflik, semakin kuat kecenderungan untuk mengarah pada kekerasan, sehingga ada korelasi positif antara solidaritas antar anggota dalam suatu kelompok konflik, dengan derajat keterlibatan emosional. Ada korelasi positif antara harmoni awal antar anggota kelompok bertikai dengan derajat keterlibatan emosional mereka. Selanjutnya, semakin suatu konflik itu cenderung menjadi kekerasan. Akhirnya, semakin suatu konflik dipandang sebagai suatu cara pencapaian tujuan yang jelas, maka semakin menurun kemungkinan-kemungkinan konflik tersebut menjadi kekerasan (Simmel,1955; Turner,1991). Dalam konteks ini terjadi perebutan sumberdaya politik yang berasal dari ekonomi yaitu sumberdaya perikanan laut. Menurut Gordon (1954), sumber daya perikanan laut berdasar karakternya — khas dan tidak biasa, mudah punah, dan rusak dibanding sumber daya alam lainnya — merupakan sumberdaya milik bersama (common property) dan pemanfaatnya berada dalam satu kolam/tempat (Common-Pool Resource/CPR), sehingga aktivitas seseorang berdampak langsung pada kesejahteraan orang lain dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut (Hardin,1968; Ostrom,1977). Dalam pemanfaatan sumber daya tersebut sulit membatasi orang untuk memanfaatkannya atau biaya pembatasan (exclusion cost) begitu tinggi, sehingga setiap individu berupaya menjadi penumpang bebas (free rider) untuk memanfaatkan sumberdaya tanpa bersedia memberikan kontribusi terhadap kelestariannya. Selain itu, bahwa pengambilan suatu unit sumber daya akan mengurangi ketersediaan bagi pihak lain untuk memanfaatkannya, atau dikenal dengan karakter substractibility atau

38 Pendahuluan rivalry, sehingga akibat karakter ini maka sumberdaya milik bersama rentan terhadap masalah eksploitasi berlebih atau kerusakan sumberdaya. Selanjutnya Hardin (1968) menegaskan bahwa kerusakan sumberdaya milik bersama (common property), bukan karena jumlah pemanfaat pemegang hak properti, namun disebabkan moralitas yang kurang, etika yang buruk serta aspek perundang-undangan yang tidak mendukung, sehingga diperlukan pengendalian jumlah pemegang hak properti melalui kebijakan zonasi sesuai kondisi sumberdaya dan teknologi pemanfatan sumberdaya tersebut. Untuk itulah dalam penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan laut perlu mempertimbangkan kontribusi keberadaan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya tersebut selama terjadinya konflik nelayan. Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut sebagai sumberdaya milik bersama (CPR), dalam satu wilayah tangkap telah menimbulkan konflik antar nelayan, namun konflik nelayan dalam perebutan sumberdaya perikanan laut tersebut dalam perjalannya semakin mengeras. Pada sisi lain, kehadiran Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dalam realitasnya belum menjadi jawaban terhadap persoalan konflik di atas, bahkan bentuk konflik menjadi anarkis. Disadari bahwa sumberdaya perikanan laut sebagai sumberdaya milik bersama (CPR) merupakan obyek yang diperebutkan. Berdasarkan rumusan masalah serta tujuan penelitian sebagaimana dipaparkan di atas, maka perbedaan penelitian ini dengan yang telah dilakukan oleh Emmerson (1976), Bailey (1998), Mubyarto (1984), De Jonge (1985), Utsman (2002), dan Siswanto (2008) bahwa: penelitian berikut menelaah secara mendalam kebijakan pengelolaan konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan laut sebagai sumberdaya milik bersama (common property) sebelum otonomi daerah dalam penerapan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 hingga masa pelaksanaan otonomi daerah (Undang Undang No. 22 Tahun 1999). Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Kwanyar (Bangkalan), Kecamatan Lekok dan Kraton (Pasuruan) serta Kecamatan Camplong dan Sreseh (Sampang), provinsi Jawa Timur, menelaah secara mendalam

39 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim konflik horizontal yang terjadi antar nelayan tradisional dan nelayan modern dalam memperebutkan sumberdaya perikanan laut sebagai sumberdaya milik bersama (common-pool property/CPR) pada wilayah perairan Selat Madura yang menjadi bersifat anarkis dalam kerangka kebijakan otonomi daerah terkait perubahan kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah laut, utamanya sumberdaya hewani laut, dari kewenangan pusat menjadi kewenangan pengelolaan sumberdaya di wilayah laut oleh pemerintah daerah. Penelitian konflik nelayan ini, berlatar konflik horizontal yang terjadi pada rentang waktu periode 1993 – 2004 atau sebelum dan pasca penerapan Otonomi Daerah (Masa Orde Baru, Reformasi dan Otonomi Daerah). Penelitian mengambil setting pada 3 kabupaten yakni Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan didasarkan atas pertimbangan: (1) Kabupaten tersebut memiliki intensitas konflik nelayan tertinggi. (2) Kabupaten tersebut memiliki perbedaan dalam pemanfaatan maupun pengelolaan konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan laut. Adapun pertimbangan secara spesifik di antaranya: (a) Kabupaten Sampang memiliki jumlah nelayan urutan kedua terbanyak dari 11 kabupaten/kota pesisir di Jawa Timur mencapai 17,21% dari jumlah nelayan di Selat Madura, serta memiliki keterbatasan potensi sumberdaya alam, sehingga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut cenderung bersifat eksploitatif dengan menggunakan alat tangkap modern; (b) Kabupaten Bangkalan memiliki jumlah nelayan relatif rendah yakni urutan ketujuh di Jawa Timur atau hanya mencapai 4,10% dari jumlah nelayan di Selat Madura, sedangkan wilayah pesisirnya memiliki ketersediaan sumberdaya alam cukup besar, dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut lebih mempertahankan sifat keberlangsungan dengan tetap menggunakan alat tangkap tradisional; (c) Kabupaten Pasuruan memiliki jumlah nelayan cukup besar menempati urutan keenam atau 8,67% dari jumlah nelayan

40 Pendahuluan

di Selat Madura, sedangkan potensi sumberdaya alam relatif terbatas dan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut cenderung bersifat eksploitatif dengan menggunakan alat tangkap modern.

Selanjutnya guna menjabarkan masalah penelitian ini lebih mendalam dapat dilihat dalam rumusan fokus serta aspek-aspek yang dikaji meliputi: 1. Penggunaan teknologi penangkapan: jenis alat tangkap, jumlah perahu dan jumlah nelayan. 2. Bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan laut: bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan laut yang ditetapkan oleh pemerintah dan bentuk pemanfaatan sumberdaya perikanan laut oleh nelayan era orde baru hingga era otonomi daerah. 3. Pihak yang terlibat konflik: pemerintah (provinsi, kabupaten, desa, juragan, nelayan). 4. Bentuk dan akibat konflik: perkembangan konflik nelayan: era orde baru hingga era otonomi daerah. 5. Pola Relasi Negara dengan Masyarakat: Relasi negara dengan masyarakat era orde baru, era reformasi dan era otonomi daerah. 6. Keputusan formal (ketentuan hukum) yang mendasari pelaksanaan kewenangan pemerintah (pusat dan daerah) serta tindakan dalam pengelolaan konflik nelayan: dinamika kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut, UU No. 5/1974;UU No. 22/1999; UU No. 32/2004. 7. Bentuk dan penyelesaian konflik nelayan: strategi penyelesaian konflik nelayan.

Penelitian kualitatif ini dilakukan guna menggali lebih dalam akar penyebab konflik dan pemicu konflik nelayan menjadi terbuka dan anarkis dalam tiga periodisasi yakni Periode Orde Baru (1993-1998), Reformasi, dan Otonomi Daerah (1999-2004). Data konflik diperoleh melalui penelusuran dokumen dari instansi terkait serta didukung informasi wawancara mendalam pada informan selaku pihak terlibat

41 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim konflik (nelayan, tokoh masyarakat, pejabat instansi pemerintah terkait). Guna memperjelas data primer yang telah diperoleh, maka dilakukan diskusi terfokus (FGD) dengan pihak LSM dan nelayan yang secara terinci sebagai berikut: a. Juragan/supplier/pengepul/pedagang yang memiliki perahu untuk menangkap ikan, atau juragan yang membantu permodalan bagi nelayan menetap pada lokasi penelitian. b. Pandhiga (buruh nelayan) yang mengawaki perahu yang berdomisili dan penduduk asli pada lokasi penelitian. c. Tokoh masyarakat, meliputi: perangkat desa (Kepala Desa/ Petinggi/Klebun), pengurus paguyuban nelayan, ulama maupun sesepuh masyarakat.

Informan dalam penelitian ini dipilih secara purposive, yaitu dianggap representative mewakili semua anggota kelompok nelayan yang dilanjutkan pada informan lain yang dapat memberikan informasi lebih rinci dan melengkapi data yang dikumpulkan. Pemilihan informan secara purposive di maksudkan agar data yang diperoleh lebih akurat dengan karakteristik informan: a. Bukan warga pendatang yang bekerja dan berdomisili di lokasi penelitian. b. Pekerjaan utamanya sebagai nelayan dan memiliki atau tidak memiliki usaha lainnya ataupun bekas nelayan yang dahulu terlibat konflik nelayan. c. Menekuni bidang pekerjaan sebagai nelayan lebih dari 5 tahun serta pernah terlibat dalam konflik nelayan (tahun 1993 s/d 2004).

Selain itu informasi pendukung awal terhadap penelitian diperoleh dari: a. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi Jawa Timur beserta staf. b. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten serta staf.

42 Pendahuluan

c. Ka. Sub. Unit Pol. Airud/Kamladu (Keamanan Laut Terpadu) setempat. d. Petinggi/Klebun (Kepala Desa), Perangkat Desa, Camat di lokasi penelitian. e. Tokoh masyarakat yang dilibatkan dalam penyelesaian konflik nelayan.

Setting penelitian didasari pertimbangan bahwa Perairan Selat Madura merupakan wilayah perairan dengan kondisi tangkap lebih (over fishing), sedangkan tingkat intensitas konflik nelayan tertinggi terjadi antara nelayan Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan yang sebenarnya secara kultural memiliki persamaan etnik dan telah dilakukan langkah nyata untuk mendamaikan konflik berupaislah pada tempat yang dipandang ‘keramat’ untuk meredakan konflik atau mencegah terulangnya konflik kembali. Adapun teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini yakni analisis kualitatif.

43

Bab II Selat Madura

A. Historis, Ekologis, dan Geografis

Letak Geografis Selat Madura dari sebelah selatan dibatasi oleh wilayah Kabupaten Gresik; di sebelah barat dibatasi Kota Surabaya; hingga Kabupaten Situbondo di sebelah timur. Sedangkan pada sebelah utara bagian Barat dibatasi oleh Kabupaten Bangkalan hingga Kabupaten Sumenep di sebelah timur, yang merupakan wilayah selatan Pulau Madura. Kawasan Selat Madura di sebelah barat lebih sempit jika dibandingkan dengan kawasan perairan di sebelah Timur. Pulau Madura terletak di Provinsi Jawa Timur, selain Karapan Sapi, pulau yang didiami sekitar tiga juta jiwa juga dikenal sebagai Pulau Garam. Kadar garam yang cukup tinggi di Selat Madura telah melahirkan banyak petani garam. (Nurcahyono, 2005:34). Kelompok etnik pada masyarakat nelayan Jawa Timur terbagi dalam dua kelompok etnik dominan, yaitu Jawa Pesisiran dan Madura Pesisiran yang merupakan bagian dari kelompok etnik lebih besar yakni Jawa dan Madura. Masyarakat nelayan Jawa utamanya bermukim pada pedesaan nelayan dari daerah Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, dan Sidoarjo di wilayah Pantai Utara Jawa Timur dan sebagian Banyuwangi-Muncar, Jember, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, serta Pacitan di Pantai Selatan Jawa Timur. Masyarakat nelayan Madura umumnya bermukim di pesisir Pulau Madura dan

45 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim wilayah kepulauan; dari Pantai Utara Jawa Timur: Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, sebagian Banyuwangi-Muncar, Jember, dan Malang di Pantai Selatan Jawa Timur (Kusnadi, 2000:2-6). Nelayan dari kelompok etnik minoritas seperti: Mandar, Bugis, dan Bajo juga ditemukan di Madura Kepulauan dan Muncar-Banyuwangi. Adapun jejak-jejak desa pantai yang pernah dimukimi nelayan Bugis dan Mandar dapat dijumpai di Kawasan Weru Kompleks, Kecamatan Paciran, Lamongan dan di Kampung Mandaran, Desa Pesisir, Kecamatan Besuki, Situbondo. Siklus aktivitas bekerja masyarakat pesisir khususnya masyarakat Madura dalam kesehariannya senantiasa berotasi dari kedatangan mereka dari melaut hingga melaut kembali seperti berikut: deteng (datang dari mencari ikan di laut), tedung (beristirahat tidur), ngakan (makan), serta jêlên (berangkat mencari ikan di laut), dapat diartikan bahwa sebagian terbesar waktu para nelayan untuk aktivitas menyiapkan diri melaut dan menangkap ikan ketika masa melaut. Berdasarkan karakteristik sumberdaya perikanan, faktor oceanografi dan ekologis status pemanfaatan sumberdaya dan nelayan, maka pengelolaan perikanan di Provinsi Jawa Timur dikategorikan dalam 4 wilayah meliputi: 1. Wilayah Perairan Laut Jawa 2. Wilayah Perairan Selat Madura 3. Wilayah Perairan Selat Bali 4. Wilayah Perairan Samudera Indonesia

Khusus Wilayah Perairan Selat Madura meliputi : Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Kota Pasuruan dan Kota Probolinggo. Wilayah Perairan Selat Madura memiliki luas sekitar 65.537 km², dengan konfigurasi berbentukcorong yang menyempit pada bagian barat. Selat Madura menghubungkan Laut Jawa dengan Laut Bali. Moncongnya di barat laut, karena bentuknya disebut corong, agak dangkal dan lebarnya tidak lebih dari beberapa mil laut. Kondisi Selat Madura yang demikian paling tidak dimanfaatkan oleh nelayan dari 11 kabupaten/kota di Jawa

46 Selat Madura

Timur yang menghadap langsung ke Selat Madura, sebagaimana terlihat pada gambar 2.1 berikut:

Gambar 2.1 Peta Selat Madura; Sumber : (Jonge, 1989).

Sejak zaman dulu, corong-nya Selat Madura merupakan suatu daerah pelabuhan penting, secara mendalam F.A. Sutjipto memaparkan tentang perkembangan kota-kota pelabuhan di Selat Madura pada Abad XVII sampai dengan pertengahan Abad XIX, bahwa perdagangan laut merupakan faktor utama berkembangnya pemukiman multi etnik maupun multi bangsa di kota-kota pantai Selat Madura. Daerah- daerah itu, khususnya kota-kota pantai di kawasan sekitar Selat Madura sebagai kesatuan agama, ekonomi, dan budaya. Misalnya: Surabaya lebih sebagai kota bisnis daripada pemerintahan. Gresik merupakan kota bisnis sekaligus pusat agama. Kota-kota lain seperti: Pasuruan, Probolinggo, dan Besuki (kini bagian Kabupaten Situbondo) cenderung menjadi kota pemerintahan ketimbang bisnis (Zuhdi,2002:2-3). Di Jawa, pada muara Sungai Lamongan dan Brantas, terletak kota perdagangan tua, Gresik dan Surabaya. Di antara tahun 1400 dan 1600, kedua kota ini dengan Tuban, yang letaknya lebih ke barat, merupakan pusat perdagangan Jawa Timur dengan daerah seberang laut. Seperti, Surabaya merupakan pelabuhan ekspor, Gresik merupakan pangkalan perdagangan yang besar bagi rempah-rempah dari kepulauan Maluku.

47 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Dari pelabuhan ini pada paruh Abad XV, penyebaran agama Islam dimulai di Jawa dan Madura ( Jonge, 1989:3). Selat Madura merupakan perairan laut yang memisahkan kedua daratan antara Pulau Jawa dan Pulau Madura yang terletak di sebelah Timur Laut Pulau Jawa. Bentangan Selat Madura menjadi batas pembentuk Pulau Madura di sebelah barat dan selatan, sedangkan Laut Jawa berfungsi strategis sebagaimana Pulau Madura di wilayah bagian timur dan utara. Selat Madura kedalamannya tak lebih dari 100 meter, dan gunung yang tertinggi, Gunung Tembuku, tingginya hanya 471 meter (Kuntowijoyo, 1980:26). Di sebelah timur Surabaya, Selat Madura menjadi lebih besar dan lebih dalam. Antara Pulau Madura dan pantai di Jawa jarak Selat Madura itu bervariasi antara 30 sampai 40 mil laut ( Jonge, 1989:4). Menurut Rifai, Selat Madura merupakan selat dangkal kira-kira 4 km lebarnya di sebelah barat, yang semakin melebar di bagian selatannya hingga menjadi sekitar 55 km. Di sebelah Selatan Pulau Madura, terutama berbanjar ke sebelah Timur, dan juga memencar jauh ke arah Timur Laut, masih tertabur sekitar tujuh puluhan pulau yang lebih kecil-kecil lagi. Secara keseluruhan luas daratan pulau-pulau besar kecil tersebut mencapai 5300 km². Di beberapa tempat di depan pantai terdapat lumpur dan gundukan pasir yang agak melandai (2007:23). Perairan Selat Madura saat ini tidak terlalu banyak bagi lalu lintas pelayaran internasional yang modern. Namun, untuk tingkat nasional dan antar pulau, selat ini masih tetap penting bagi pelayaran utamanya perahu layar yang banyak merapat memasuki Sungai Kalimas yang bermuara di Ujung Selat Madura. Terutama di Musim Barat, kapal-kapal barang yang berlayar ke arah Kota Surabaya lebih menyukai teluk kecil memanjang dan terlindung ini dari pada Laut Jawa yang terbuka. Hal ini disebabkan keberadaan Pelabuhan Kamal, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, yang melayani angkutan penyeberangan feri ke Dermaga Ujung, Tanjung Perak, Kota Surabaya, pulang-pergi.

48 Selat Madura

Di tahun 2002, lalu lintas penyeberangan Ujung — Kamal dilayani oleh kapal-kapal penyeberangan (feri) yang beroperasi selama 24 jam. Jumlah armada feri lebih dari 16 unit kapal roll on roll off (roro) pada hari biasa dan menjadi 20 unit selama Lebaran (sumber: Gapasdap/Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan) hingga sehari mencapai 570 perjalanan Ujung — Kamal (Madura), dengan berbagai ukuran yang mampu menyeberangkan penumpang, barang maupun kendaraan roda dua hingga kendaraan besar. Jarak tempuh pelayaran Ujung — Kamal sekitar 30 menit (Wiyata, 2002:31). Pada tahun 2006 kapal feri dengan 12 unit mampu mengangkut 7.872.014 orang 1.442.214 kendaraan roda 2 dan 825.879 kendaraan roda 4 serta 1.728.283 bagasi (Data ASDP, 2007:5). Namun seiring dengan telah berfungsinya Jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Jawa (Kota Surabaya) dengan Pulau Madura (Kamal-Kabupaten Bangkalan) aktivitas kapal feri berkurang drastis dan saat ini (2011) hanya dilayani 3 Unit kapal feri setiap hari dan 5 Unit kapal feri saat liburan. Selat Madura selain dilayari untuk penyeberangan Ujung — Kamal di sebelah barat, namun di sebelah timur juga terdapat alur Selat Madura yang dipergunakan untuk penyeberangan yakni antara Situbondo (Besuki) — Sumenep (Kalianget). Pada alur penyeberangan dari Pelabuhan Jangkar (Situbondo) ke Pelabuhan Kalianget (Sumenep) pada masa kolonial banyak dimanfaatkan para migran Madura yang pergi ke maupun kembali dari daerah perkebunan kolonial di daerah Karesidenan Besuki (Subaharianto, 2004:13). Pada alur penyeberangan sebelah Timur, dari Pelabuhan Jangkar (Situbondo) hanya beroperasi sebuah kapal penyeberangan, dan hanya menyeberang sekali sehari pulang-pergi, selain itu masih ada beberapa pelayaran yang dilakukan perahu-perahu tradisional melalui pelabuhan di wilayah Pasuruan, Probolinggo, Besuki dan Panarukan (Wiyata, 2002:31). Provinsi Jawa Timur memiliki beberapa Kabupaten/Kota yang daerahnya berbatasan langsung dengan wilayah perairan Selat Madura yakni terdapat 11 Kabupaten/kota yaitu Kabupaten Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Sampang, Pamekasan, Bangkalan, Sumenep

49 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim serta Kota Pasuruan, Probolinggo, dan Surabaya. Adapun keadaan penduduk dan kepadatannya pada daerah yang memiliki wilayah pesisir secara terinci dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Keadaan dan Kepadatan Penduduk pada Kabupaten dan Kota di Perairan Selat Madura Tahun 2005

No. Kabupaten/Kota Luas Area Penduduk Kepadatan (km²) ( Jiwa) Penduduk 1 Kota Surabaya 326,36 2.698.972 8.270 2 Kab. Sidoarjo 634,39 1.787.771 2.818 3 Kab. Pasuruan 1.150,75 1.464.297 1.272 4 Kab. Probolinggo 1.599,03 1.059.322 662 5 Kab. Situbondo 1.638,81 631.382 385 6 Kab. Sampang 1.233,36 874.512 709 7 Kab. Pamekasan 792,30 768.587 970 8 Kab. Bangkalan 1.259,54 926.560 736 9 Kab. Sumenep 1.998,54 1.056.985 529 10 Kota Pasuruan 35,29 182.072 5.159 11 Kota Probolinggo 56,66 205.490 3.627 J u m l a h 10.725,03 11.655.950 10.868 Sumber: Diolah berdasar data provinsi Jawa Timur Dalam Angka 2006

Berdasarkan tabel di atas diketahui luas wilayah pada 11 daerah kabupaten/kota pesisir yang berbatasan langsung dengan Selat Madura memiliki luas 10.725,03 km² atau 23,10% dari luas Provinsi Jawa Timur, sedangkan jumlah penduduk pada daerah yang sama sebanyak 11.655.950 jiwa atau 31,44% dari penduduk Jawa Timur.

50 Selat Madura

B.Potensi dan Nilai Produksi Perikanan Laut

Potensi sumberdaya perikanan laut di provinsi Jawa Timur tercakup lima kategori perairan yaitu : (1) Kawasan Perairan Laut Jawa, dengan ciri perikanan pelagis kecil (tersebar mulai dari Tuban sampai Gresik, dan di perairan utara Pulau Madura). (2) Kawasan Perairan Selat Madura, dengan ciri perikanan ikan demersal atau ikan dasar. (3) Kawasan Perairan Madura Kepulauan dengan ciri perikanan karang. (4) Kawasan Perairan Selat Bali, dengan ciri spesies tunggal ikan lemuru. (5) Kawasan Perairan Selatan Jawa Timur, dengan ciri perikanan teluk (mangrove dan terumbu karang) dan laut lepas, yakni pelagis oceanic (Susilo, 2003:12). Selanjutnya diketahui bahwa dari kelima ketegori perairan tersebut yang dikategorikan dalam kondisi tangkap lebih (overfishing) yakni Perairan Laut Jawa ( Jawa Timur dan Madura Utara), Perairan Selat Madura, Perairan Madura Kepulauan, dan Perairan Selat Bali. Adapun perairan yang belum dalam kondisi tangkap lebih (overfishing) atau masih terbuka untuk dieksploitasi yakni Perairan Selatan Jawa Timur. Perairan Selat Madura termasuk kawasan perairannya tertutup karena diapit oleh Pulau Madura dan Pulau Jawa bagian timur. Provinsi Jawa Timur memiliki nelayan yang jumlahnya mengalami peningkatan dari 464.592 orang pada tahun 2004 menjadi 476.010 orang pada tahun 2005 atau meningkat 2,40 %, dari jumlah ini terbanyak nelayan/petani ikan yang bergerak di sub sektor perikanan laut. Nelayan perikanan laut di provinsi Jawa Timur tersebar pada 20 kabupaten/kota. Adapun persentase rumah tangga perikanan laut ditinjau dari jenis perahu penangkap ikan yakni tanpa perahu (2,56%), perahu tanpa motor (9,04%), dan perahu/kapal motor (88,40%). Penggunaan alat tangkap mencapai lebih dari 23 jenis : Payang, Dogol, Pukat Pantai, Pukat Cincin, Jaring Insang Hanyut, Jaring Klitik, Jaring Insang Tetap, Perahu, Bagan

51 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tancap Kelong, Serok, Jaring Angkat Lainnya, Tramel Net, Purseseine, Gill Net, Jaring Lingkar, Rawai Tetap/Tuna, Rawai Hanyut Selain Rawai Tuna, Pancing Yang Lain, Bubu, Alat Pengumpul Rumput Laut, Alat Pengumpul Kerang. Alat tangkap ikan laut terbanyak yang digunakan yakni bubu sebanyak 180.568 unit dan alat penangkap ikan di perairan umum yakni pancing sebanyak 24.364 unit. Adapun total produksi perikanan mengalami peningkatan sebesar 2,22% dari 489.622 ton pada tahun 2004 menjadi 500.492 ton pada tahun 2005. Dalam aspek nilai produksi perikanan meningkat 14,79% dari Rp.3.439.390 milyar pada tahun 2004 menjadi Rp3.982.509 milyar pada tahun 2005. Khusus perikanan laut total produksi pada tahun 2005 mencapai 322.291,7 ton dari tahun 2004 sebanyak 320.691,3 ton atau meningkat sebesar 0,50%. Produksi perikanan laut provinsi Jawa Timur jika dicermati dari aspek nilainya pada tahun 2005, maka Kabupaten Sumenep memiliki produksi terbesar yaitu 56.984,6 ton dengan nilai Rp543.504.000.000,- kemudian produksi pada urutan kedua yakni Kabupaten Lamongan dengan total produksi perikanan laut sebesar 37.691,7 ton atau senilai Rp190.925.000.000,-, sedangkan kondisi nilai dan produksi perikanan laut Jawa Timur terinci pada tabel 2.2 berikut:

Tabel 2.2 Nilai Produksi dan Produksi ikan Perikanan Laut (Rp) Menurut Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2005

No. Kabupaten/Kota Produksi Ikan Σ Nilai Produksi Ikan (Ton) (000.000 Rp)

1 Kab. Tuban 9.359,8 46.408

2 Kab. Lamongan 37.691,7 190.925

3 Kab. Situbondo 8.606,1 28.761

4 Kab. Jember 5.098,6 12.960

5 Kab. Banyuwangi 13.876,8 51863

52 Selat Madura

6 Kab. Sampang 10.729,0 93.406

7 Kab. Pamekasan 12.877,7 79.978

8 Kab. Bangkalan 23.110,1 164.786

9 Kab. Sumenep 56.984,6 543.504 10 Kab. Gresik 22.134,4 220.608

11 Kab. Probolinggo 8.824,3 49.378

12 Kab. Trenggalek 14.550,4 62.276 13 Kab. Pacitan 1.559,5 9.564 14 Kab. Tulungagung 5.667,6 33.549 15 Kab. Malang 8.275,5 52.523 16 Kab. Sidoarjo 5.791,8 24.561 17 Kab. Pasuruan 9.992,9 73.209

18 Kab. Blitar 125,2 1.819 19 Kab. Lumajang 2.345,6 12.526 18 Kota Surabaya 9.220,8 69.835 19 Kota Pasuruan 2.084,1 10.054

20 Kota Probolinggo 52.385,2 276.882

J u m l a h 322.291,7 2.108.707 Sumber : Jawa Timur Dalam Angka 2005

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa produksi perikanan laut terbesar di Jawa Timur yaitu Kabupaten Sumenep dengan total produksi 56.984,6 ton, sedangkan Bangkalan berada di urutan keempat dengan total produksi 23.110,1 ton, Sampang berada pada urutan kesembilan dengan total produksi 10.729,0 ton dan Kabupaten Pasuruan berada pada urutan kesepuluh dengan total produksi 9.992,9 ton. Hal tersebut menunjukkan bahwa di antara ketiga daerah konflik di Selat Madura

53 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim yang memiliki tingkat produksi dan potensi perikanan laut paling besar yakni Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang dan terakhir Pasuruan.

c. Nelayan Jawa Timur dan Selat Madura

Selanjutnya mencermati nelayan di Selat Madura pada 11 kabupaten dan kota dapat diketahui tentang jumlah nelayan dan tingkat produksi perikanan laut yang telah dimanfaatkan pada tahun 2005 secara terinci pada tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3 Jumlah Nelayan dan Produksi Perikanan Laut Kabupaten dan Kota di Perairan Selat Madura Tahun 2005

No. Kabupaten/Kota Jumlah Nelayan Perahu /Kapal Produksi (orang) Penangkap Ikan (ton) (Unit)

1 Kota Surabaya 1.821 1.151 9.220,8

2 Kab. Sidoarjo 1.777 1.369 5.791,8 3 Kab. Pasuruan 11.120 4.586 9.992,9

4 Kab. Probolinggo 11.372 2.542 8.824,3

5 Kab. Situbondo 14.810 2.472 8.606,1

6 Kab. Sampang 22.063 2.773 10.729,0

7 Kab. Pamekasan 12.148 1.884 12.877,7

8 Kab. Bangkalan 5.253 2.434 23.110,1

9 Kab. Sumenep 42.352 9.236 56.984,6

10 Kota Pasuruan 1.380 703 2.084,1

11 Kota Probolinggo 4.135 615 52.385,2

J u m l a h 128.231 29.765 200.606,6 Sumber: Diolah dari Jawa Timur dalam Angka 2006

54 Selat Madura

Berdasar tabel di atas dapat diketahui tentang jumlah nelayan dan produksi perikanan laut pada wilayah perairan Selat Madura pada tahun 2005 bahwa terdapat jumlah nelayan sebanyak 128.231 orang atau 57,14% dari jumlah nelayan perikanan laut di Jawa Timur, Sedangkan jumlah perahu/kapal ikan sebanyak 29.765 unit atau 56,87% dari jumlah perahu/ kapal ikan di Jawa Timur. Adapun jumlah produksi mencapai 200.606,6 ton atau 62,25% dari jumlah produksi perikanan laut di Jawa Timur. Hal ini menunjukkan kontribusi dan peran penting sektor perikanan laut di daerah kabupaten/kota pada wilayah perairan Selat Madura. Saat ini, perkembangan jumlah perahu/kapal ikan di Selat Madura. Adapun armada perahu secara terinci dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut:

Tabel 2.4 Perkembangan Jumlah Perahu/Kapal Ikan Kabupaten dan Kota di Perairan Selat Madura Tahun 1998 , 2000, 2001, 2004 dan 2005 (dalam Unit)

No Kabupaten/Kota 1998 2000 2001 2004 2005 1 Kota Surabaya 1.430 1.281 1.207 1.157 1.151

2 Kab. Sidoarjo 413 594 938 1.005 1.369

3 Kab. Pasuruan 1.728 2.558 2.273 4.585 4.586

4 Kab. Probolinggo 630 3.089 3.658 2.542 2.542

5 Kab. Situbondo 1.719 3.142 2.389 2.229 2.472

6 Kab. Sampang 2.136 1.892 1.905 2.821 2.773 7 Kab. Pamekasan 1.488 1.742 1.751 1.821 1.884

8 Kab. Bangkalan 2.132 2.196 2.196 2.258 2.434 9 Kab. Sumenep 6.079 2.196 12.061 9.569 9.236

10 Kota Pasuruan 200 813 827 673 703

11 Kota Probolinggo 1.583 841 877 690 615

Jumlah 19.538 20.345 29.082 29.350 29.765 Sumber: Diolah dari Jawa Timur dan Kabupaten/Kota Dalam Angka 1998, 2000, 2001, 2005 dan 2006

55 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas, pada tahun 2005 kota/kabupaten pada perairan Selat Madura yang memiliki jumlah perahu terbanyak yakni Kabupaten Sumenep dengan jumlah 9.236 unit kemudian Kabupaten Pasuruan memiliki perahu sebanyak 4.586 unit dan ketiga terbanyak yakni Kabupaten Sampang 2.773 unit perahu. Kondisi di atas secara mendalam dapat dicermati lebih khusus pada 3 daerah yang menjadi kajian dalam hal ini yakni Kabupaten Bangkalan, Sampang dan Pasuruan secara terinci pada tabel 2.5 berikut:

Tabel 2.5 Jumlah Nelayan, Perahu/Kapal Ikan dan Produksi Perikanan Laut pada Kabupaten Bangkalan, Sampang dan Pasuruan Tahun 2006

No Kabupaten Nelayan Perahu/kapal Ikan Produksi (Orang) (Unit) (Ton)

1 Bangkalan 5.253 2.699 23.088,67

2 Sampang 13.952 2.773 11.884,80

3 Pasuruan 11.279 4.586 9.817,50

J u m l a h 30.484 10.058 44.790, 97 Sumber: Diolah Peneliti dari Kabupaten dalam Angka 2007

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa di antara tiga daerah kajian menunjukkan jumlah nelayan terbanyak berada pada Kabupaten Sampang yakni sebanyak 13.952 orang, kemudian Kabupaten Pasuruan sebanyak 11.279 orang dan terakhir Kabupaten Bangkalan dengan 5.253 orang. Adapun jumlah perahu/kapal ikan terbanyak dimiliki Kabupaten Pasuruan dengan jumlah armada 4.586 unit, kemudian Kabupaten Sampang di urutan kedua, yakni 2.773 unit, dan terakhir kabupaten Bangkalan dengan jumlah armada 2.699 unit. Adapun hasil tangkapan atau produksi perikanan laut, jumlah terbesar berada pada Kabupaten Bangkalan 23.088,67 ton, kemudian di urutan kedua Sampang yakni 11.884,80 ton dan terakhir Kabupaten Pasuruan dengan jumlah produksi yaitu 9.817,50 ton. Berdasarkan keseluruhan pada 3 kabupaten di atas

56 Selat Madura menunjukkan jumlah nelayan sebanyak 30.484 orang atau 23,77% dari jumlah nelayan di Selat Madura, sedangkan jumlah perahu/kapal ikan sebanyak 10.058 unit atau 33,79% dari jumlah perahu/kapal ikan di Selat Madura dan jumlah produksi sebesar 44.790,97 ton atau 22,33% dari jumlah produksi perikanan laut di Selat Madura.

57 Bab III Ekologi Wilayah Konflik Nelayan Bab III Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

A.Nelayan Tradisional Kwanyar, Bangkalan

Kabupaten Bangkalan memiliki luas wilayah 1.260,14 km² di bagian paling Barat Pulau Madura, terletak di antara koordinat 112°40'06” - 113º08'04” Bujur Timur serta 6º51'39” - 7º11'39” Lintang Selatan. Jarak ke ibu kota Provinsi Jawa Timur sejauh 28 km. Adapun batas-batas wilayahnya sebagai berikut: • Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa • Sebelah tmur berbatasan dengan Wilayah Kabupaten Sampang • Sebelah selatan dan barat berbatasan dengan Selat Madura.

Ditinjau dari aspek topografi, Kabupaten Bangkalan berada pada ketinggian 2 – 100 m di atas permukaan air laut. Wilayah yang terletak di pesisir pantai, seperti: Kecamatan Sepulu, Bangkalan, Socah, Kamal, Modung, Arosbaya, Klampis, Tanjung Bumi, Labang, Burneh, dan Kwanyar mempunyai ketinggian antara 2-10 m di atas permukaan air laut. Sedangkan wilayah yang terletak di bagian tengah mempunyai ketinggian 19 –100 m di atas permukaan air laut, tertinggi yakni Kecamatan Geger ketinggian 100 m di atas permukaan air laut. Kabupaten Bangkalan mempunyai wilayah pesisir yang cukup luas, dengan panjang ± 124,1 km, dan memiliki potensi lahan tambak seluas ±

59 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

2.400 ha. Kabupaten ini memiliki 18 kecamatan, 10 di antaranya berada di wilayah pesisir. Keadaan lingkungan perairannya memiliki gradium kedalaman yang sama dengan perairan sepanjang pantai utara Pulau Jawa umumnya, sedangkan kondisi dasar perairan pada umumnya terdiri dari pasir Lumpur, pasir, karang lepasa dan koral. Kecamatan Kwanyar saat ini merupakan salah satu dari 18 kecamatan di Kabupaten Bangkalan atau 1 dari 11 kecamatan yang berada di pesisir Pulau Madura, dengan panjang pantai 11,80 km dan memiliki Hutan Pantai seluas 191,25 ha. Secara Administratif Kecamatan Kwanyar terbagi menjadi 16 Desa/ kelurahan, dengan luas wilayah 47, 81 km² atau 4.781,00 ha, berada pada ketinggian rata-rata 24 m di atas permukaan laut dan memiliki panjang pantai 11,80 km. Adapun batas-batas wilayahnya sebagai berikut: • Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tragah dan Tanah Merah • Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Modung • Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura • Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Labang. Adapun secara geografis Kecamatan Kwanyar dapat dilihat gambar berikut:

Gambar 3.1 Peta Wilayah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan

Sumber: Peta Administrasi Kabupaten Bangkalan 2000.

60 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Jarak Kwanyar dari pelabuhan penyeberangan Kamal sekitar 22 km relatif sama dibandingkan dengan jarak Kwanyar ke ibu kota kabupaten yakni sejauh 22 km. Kecamatan Kwanyar dapat dijangkau melalui 2 rute. Jalur pertama, dari Penyeberangan Kamal ke utara melalui Bangkalan, selanjutnya ke arah timur hingga pertigaan Poter menuju ke selatan melewati Kecamatan Tragah hingga Ketetang dan berakhir di Kwanyar. Jalur kedua, dari Penyeberangan Kamal menyusuri pesisir selatan Pulau Madura melewati Batuporon (Gudang Peluru TNI-AL), ke timur melewati Kecamatan Labang dilanjutkan ke timur melewati Sukolilo Timur ke arah timur melewati sisi timur penghubung Jembatan Suramadu hingga melewati Tebul dan berakhir di Kecamatan Kwanyar. Untuk menjangkau Wilayah Kecamatan Kwanyar dari Penyeberangan feri di Kamal dapat menggunakan kendaraan umum atau angkutan pedesaan (Colt) yang menyusuri tepian pesisir selatan Pulau Madura dari arah barat ke timur maupun dari arah barat melalui jalan provinsi ke arah Bangkalan hingga melewati Kecamatan Burneh hingga batas pertigaan Nyorondung ke arah Tenggara menuju Kecamatan Tragah sampai Kecamatan Kwanyar tepatnya di Pasar Kwanyar dan arah selatan sekitar 1 km berbatasan langsung dengan Selat Madura. Adapun tarif angkutan dari Kamal – Kwanyar Rp5.000,- sedangkan bila naik angkutan dari pertigaan Desa Nyorondung (Kecamatan Tragah) ke arah Kwanyar tarifnya Rp3.000,-. Namun, bila perjalanan dimulai dari Pasar Kecamatan Tanah Merah ke arah Kwanyar, tarif angkutan sebesar Rp2.000,-. Sepanjang perjalanan dari Kamal menuju Kwanyar melalui jalan provinsi keadaan jalan cukup baik dengan kondisi aspal hotmik hanya 6 kilometer selepas Kecamatan Tragah jalan aspal mulai mengelupas meski kondisi masih rata, sedangkan lebar jalan sekitar 6m dengan keadaan tanah di kiri kanan jalan membentang persawahan padi, jagung, kacang tanah, dan ketela pohon yang cukup subur ditunjang banyak pohon besar yang rindang, sedangkan kondisi tanah umumnya berwarna merah. Pemukiman penduduk sepanjang perjalanan ke arah Kecamatan Kwanyar relatif jarang umumnya berkelompok.

61 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Keadaan pasar Kwanyar cukup ramai untuk ukuran wilayah pelosok yang jauh dari jalan provinsi maupun ibu kota kabupaten. Di samping pasar umum juga berdampingan dengan pasar hewan, di luar pasar tersedia angkutan umum yang didominasi Colt untuk jurusan Kamal baik yang melewati jalan provinsi maupun yang menyusuri pesisir selatan Pulau Madura. Transportasi umum lainnya di antaranya Pick-Up, Ojek Sepeda Motor, maupun angkutan tradisional Dokar. Keadaan secara demografis Kecamatan Kwanyar terlihat pada tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1 Luas Wilayah dan Jarak Desa ke Pusat Kecamatan Kwanyar 2005

No. Desa Luas (km²) Persentase Jarak Desa thd. Luas ke Ibu kota Kecamatan (km) 1 Tebul 1,96 4,10 3,0 2 Kwanyar Barat 2,47 5,17 2,0 3 Pesanggrahan 3,32 6,94 1,5

4 Karang Anyar 1,83 3,83 4,0 5 Batah Barat 1,78 3,72 7,0 6 Batah Timur 3,50 7,32 8,0 7 Duwak Buter 3,94 8,24 6,5 8 Pandanan 3,00 6,27 5,0 9 Karang Entang 2,25 4,71 4,0 10 Janteh 4,21 8,81 2,5 11 Dlemer 2,75 5,75 0,5 12 Ketetang 3,88 8,12 0,5 13 Morombuh 2,95 6,17 3,0 14 Sumur Kuning 4,47 9,35 4,0 15 Paoran 2,34 4,89 4,5 16 Gunung Sereng 3,16 6,61 7,0

J u m l a h 47,81 100,030 - Sumber: Kecamatan Kwanyar dalam Angka 2005/2006

62 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa Desa Batah Timur (8,0 km) merupakan desa terjauh dari ibu kota kecamatan, dan disusul berikutnya Desa Batah Barat (7,0 km). Jumlah Penduduk Kwanyar pada tahun 2005 sebanyak 36.383 jiwa terdiri dari Laki-laki 17.078 jiwa dan Perempuan 19.305 jiwa, dan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun sebelumnya mengalami penurunan 0,03%. Terkait dengan luas wilayah, kepadatan penduduk pada tahun 2005 rata-rata 761 jiwa/km² semakin padat dibanding tahun sebelumnya. Kepadatan penduduk tertinggi atau terpadat berada di Desa Batah Barat dengan rata-rata 1.509 jiwa/km², sedangkan jumlah penduduk rata-rata terendah di Desa Pandanan rata- rata 337 jiwa/km². Lebih lanjut untuk mengetahui keadaan wilayah Kecamatan Kwanyar dari aspek pemanfaatan lahan dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.2 Keadaan Wilayah menurut Penggunaan Tanah (Ha) Kecamatan Kwanyar Tahun 2005

No. Desa/ Tanah Tanah Bangunan/ Lain- Jumlah Kelurahan Sawah tegalan Pekarangan lain

1 Tebul - 158,70 35,50 2,30 196,50

2 Kwanyar - 86,50 16,20 114,00 246,70 Barat

3 Pesanggrahan 190,00 47,00 45,00 50,30 332,30

4 Karang Anyar 97,00 54,70 25,50 6,00 183,20

5 Batah Barat 120,00 24,00 26,00 7,90 177,90

6 Batah Timur 75,00 232,00 39,00 4,00 350,00

7 Duwak Buter 112,00 240,00 39,00 3,30 394,30

8 Pandanan 186,00 84,20 28,50 0,80 299,50

9 Karang 121,50 70,20 33,00 0,30 225,00 Entang

10 Janteh 76,60 292,90 48,00 3,00 420,50

11 Dlemer 51,00 189,00 32,00 3,00 275,00

12 Ketetang - 288,00 88,50 11,50 388,00

63 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

13 Morombuh - 243,00 40,00 12,00 295,00

14 Sumur - 375,60 44,00 27,20 446,80 Kuning

15 Paoran - 190,00 34,00 10,00 234,00 273,00 16 Gunung - 40,00 3,20 316,20 Sereng

J u m l a h 1.029,10 2.848,80 614,20 288,80 4.780,90 Sumber: Kecamatan Kwanyar dalam Angka 2005/2006

Mencermati tabel di atas, diketahui bahwa lahan di Kecamatan Kwanyar seluas 4.780,90 Ha terbanyak yakni 2.848,80 berupa tanah tegalan atau 60%, dan seluas 1.029,10 ha atau 21,53% berupa tanah sawah. Untuk mengetahui jumlah penduduk dan tingkat kepadatannya sebagaimana tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Kwanyar Tahun 2005

No. Desa Luas Penduduk Kepadatan

(km²) ( Jiwa) Penduduk 1 Tebul 1,96 1.450 739.80

2 Kwanyar Barat 2,47 3.254 1.317.41

3 Pesanggrahan 3,32 3.622 1.090.96 4 Karang Anyar 1,83 1.725 942.62

5 Batah Barat 1,78 2.687 1.509.55 6 Batah Timur 3,50 2.808 802.29 7 Duwak Buter 3,94 2.080 527.92 8 Pandanan 3,00 1.011 337.00 9 Karang Entang 2,25 1.290 573.33 10 Janteh 4,21 1.589 377.43 11 Dlemer 2,75 1.408 512.00 12 Ketetang 3,88 2.791 719.33

13 Morombuh 2,95 3.190 1.081.36

14 Sumur Kuning 4,47 3.137 701.79

15 Paoran 2,34 1.149 491.03

16 Gunung Sereng 3,16 3.192 1.010.13

J u m l a h 47,81 36.383 760.99 Sumber: Kecamatan Kwanyar dalam Angka Tahun 2005/2006 64 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Tabel di atas, menunjukkan penduduk terbesar di Desa Pesanggrahan berpenduduk 3.622 jiwa, urutan kedua Desa Kwanyar Barat berpenduduk 3.254 jiwa. Dari tingkat kepadatannya maka desa terpadat penduduknya yaitu Desa Batah Barat dengan kepadatan 1.509.55 per km², kemudian kedua terpadat Desa Kwanyar Barat dengan tingkat kepadatan 1.317.41 per km². Selanjutnya keberadaan penduduk di Kecamatan Kwanyar ditinjau dari tingkat kesejahteraan keluarga dapat dilihat pada tabel 3.4 berikut:

Tabel 3.4 Keadaan Tingkat Keluarga menurut Tahapan Kesejahteraan Kecamatan Kwanyar, Tahun 2006

No Desa Pra Sejahtera Sejahtera Sejahtera

Sejahtera I II III, III+ 1 Tebul 162 223 56 77 2 Kwanyar Barat 276 555 165 136 3 Pesanggrahan 228 445 281 201 4 Karang Anyar 105 205 98 107 5 Batah Barat 110 337 218 225 6 Batah Timur 86 444 210 201 7 Duwak Buter 169 283 108 85 8 Pandanan 106 93 42 61 9 Karang Entang 85 105 56 66 10 Janteh 128 216 55 56 11 Dlemer 206 287 86 69 12 Ketetang 237 462 161 133 13 Morombuh 311 616 149 111 14 Sumur Kuning 233 661 96 132 15 Paoran 111 184 36 46 16 Gunung Sereng 287 393 237 183 J u m l a h 2.840 5.509 2.054 1.889 Sumber: Kecamatan Kwanyar dalam Angka 2007

65 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas pada tahun 2006 komposisi jumlah keluarga ditinjau dari tingkat kesejahteraannya menunjukkan didominasi Keluarga Sejahtera I, II, III dan III sebanyak 9.452 unit atau 69,95% dari keseluruhan jumlah keluarga di Kecamatan Kwanyar, sedangkan 2.840 unit tergolong Keluarga Pra Sejahtera atau 30,05%. Adapun aspek sosial lainnya dicermati dari tingkat pendidikan penduduk sebagaimana tabel 3.5 berikut:

Tabel 3.5 Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Kwanyar Tahun 2000-2004 (orang)

Tahun S1/akademi SMA/K/MA SMP/MTs SD/MI 2000 - 514 557 8.209 2001 - 439 588 11.978 2002 - 504 596 12.342 2003 - 514 641 15.172

2004 - 537 800 14.274 Sumber : Kabupaten Bangkalan dalam Angka 2000 – 2004.

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa perkembangan tingkat pendidikan rata-rata penduduk di Kecamatan Kwanyar menunjukkan bahwa sejak tahun 2000-2004 dari jumlah penduduk yang ada didominasi dengan penduduk yang berpendidikan setingkat SD/MI sederajad (SD Kecil maupun SD Pamong). Adapun persentase terbesar SD/MI dimaksud rata-rata di atas 90% dari keseluruhan penduduk yang berpendidikan. Namun demikian untuk penduduk yang berpendidikan di atas SD/MI jumlahnya relatif cukup banyak atau mendekati sebanding antara yang berpendidikan SMP/MTs maupun yang berpendidikan SMA/MA, pada tahun 2001 penduduk yang berpendidikan SMA/MA sebesar 4,52%, sedangkan di tahun 2004 yang berpendidikan SMA/MA meningkat menjadi sebesar 5,13%.

66 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

B. Nelayan Modern Sampang dan Pasuruan

1. Camplong, Sreseh, Kabupaten Sampang Kabupaten Sampang yang memiliki daerah daratan seluas 1.233,30 km² ini baru membentuk otonomi daerah awal Maret 2002, hal ini disebabkan tertundanya pelantikan bupati selama lebih dari satu tahun. Sampang resmi menjadi sebuah kabupaten sejak 1950. Kabupaten ini terletak pada 113º 08’ hingga 113º 39’ Bujur Timur dan 06º 05’ hingga 07º 13’ Lintang Selatan. Adapun jarak ke ibu kota Provinsi Jawa Timur yakni 90 km. Secara administratif Kabupaten Sampang dibagi menjadi 14 kecamatan yang terdiri dari: Kecamatan Sreseh, Torjun, Pangarengan, Sampang, Camplong, Omben, Kedungdung, Jrengik, Tambelangan, Banyuates, Robatal, Karang Penang, Ketapang, Sokobanah. Kabupaten Sampang juga memiliki 1 buah pulau yakni Pulau Mandangin/Kambing (Suyanto, Bagong, dan Septi A. (ed), 2002:4). Adapun batas-batas wilayahnya meliputi: • Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa • Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan • Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura • Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bangkalan.

Di Kabupaten Sampang terdapat sungai-sungai yang termasuk terbesar di Pulau Madura. Adapun sungai tersebut yakni Sungai Sodung memiliki panjang 22 km terletak di Kecamatan Ketapang, Sungai Kamuning memiliki panjang 20 km terletak di Kecamatan Omben dan Sungai Klampis memiliki panjang 14 km terletak di Kecamatan Torjun. Sungai Klampis memberi kontribusi terbesar bagi irigasi pertanian di Kabupaten Sampang dengan luas baku sawah lebih dari 2.600 hektar (Kabupaten Sampang dalam Angka 1999:4-5).

67 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Kabupaten Sampang dikenal karena kemiskinan dan ketertinggalannya jika dibandingkan dengan 38 kabupaten/kota lain di Provinsi Jawa Timur. Data BPS Jawa Timur tahun 2001, kabupaten yang terbagi dalam 14 kecamatan ini merupakan yang termiskin dengan jumlah penduduk miskin 342.725 jiwa atau 45,69%. Indikasi kemiskinan secara sederhana tercermin dari besarnya anak usia sekolah (6-15 tahun) yang tidak sekolah yakni 36%, artinya dari 128.790 anak usia sekolah di Kabupaten Sampang, 46.821 anak tidak sekolah. Penyebabnya bisa dipastikan karena masalah ekonomi berupa kendala biaya. Penduduk Kabupaten Sampang tahun 2004 sebanyak 787.641 jiwa, sedangkan tahun 2005 meningkat menjadi 794.914 jiwa. Ditinjau dari sebaran penduduk, yang pada umumnya jumlah penduduk memusat di pusat-pusat pemerintahan yang berada di ibu kota suatu wilayah, namun di Kabupaten Sampang pada tahun 2004 jumlah penduduk terbesar yakni 118.915 jiwa, bukan terdapat di Kecamatan Sampang sebagai ibu kota kabupaten, tetapi justru di Kecamatan Robatal yang jaraknya cukup jauh yakni 27 km dari ibu kota kabupaten, namun seiring dengan otonomi daerah sejak tahun 2007 kecamatan ini di pecah menjadi 2 kecamatan yakni Kecamatan Robatal dan Kecamatan Karangpenang. Setelah itu urutan kedua Kecamatan. Sampang dengan penduduk sebanyak 101.544 jiwa pada tahun 2004, tersebar dalam 6 Kelurahan dan 12 Desa. Kabupaten Sampang merupakan salah satu daerah yang berada di tengah Pulau Madura, kabupaten ini terletak di Pulau Madura selain 3 kabupaten lain yakni Kabupaten Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep. Di mata oréng Sampang, Kabupaten Sampang kerap dianggap ‘kalah kelas’ dibandingkan kabupaten lain di Pulau Madura seperti Pamekasan dan Sumenep apalagi Bangkalan yang lokasinya berdekatan dengan Kota Surabaya. Kegiatan ekonomi kebanyakan hanya berputar di ibu kota kabupaten, Kecamatan Sampang. Kecuali hari pasaran antar kecamatan, keramaian sehari-hari memang lebih terasa di kota itu. Sebagaimana wilayah lain di Pulau Madura, Kabupaten Sampang daerahnya rata- rata berupa tanah kering dan berupa perbukitan. Sampang merupakan wilayah paling miskin kekayaan alamnya, sebagian wilayahnya berupa

68 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan lahan yang tandus- khususnya bagian utara seperti Kecamatan Banyuates, Ketapang dan Sokobanah. Kondisi geografis semacam ini menjadikan potensi hasil pertanian yang dapat dikembangkan produk tegalan: jagung, kacang tanah, kedelai, atau ketela pohon. Kecamatan Camplong berjarak 10 km ke ibu kota Kabupaten Sampang. Kecamatan ini dapat dijangkau melalui jalan provinsi atau antar kabupaten dari Kamal kearah utara hingga Bangkalan ke arah timur melewati Tanah Merah, Galis, Blega menuju ke arah timur- selatan menuju Jrengik, Torjun melewati Sampang hingga Kecamatan Camplong yang berada di pesisir selatan Madura, karena letaknya pada jalur penghubung antara Sumenep dan Pamekasan menuju ke arah Bangkalan menyebabkan Camplong menjadi daerah yang cukup ramai bahkan sejak Hindia Belanda. Camplong dijadikan tempat persinggahan menuju Bangkalan dan sebaliknya. Camplong saat ini, dapat dijangkau dengan berbagai jenis angkutan umum antarkota, baik colt maupun bis dengan tarif sekitar Rp15.000,- dari Kamal. Lokasi kecamatan ini berada di perbatasan antara Kabupaten Sampang dan Pamekasan berada di tepi jalan provinsi. Secara administratif, Kecamatan Camplong terbagi menjadi 14 desa, dengan luas wilayah 69,94 km², merupakan wilayah terkecil di antara kecamatan yang ada di Kabupaten Sampang. Wilayah Kecamatan Camplong berada pada ketinggian antara 17-28 m di atas permukaan laut, enam dari empat belas desa termasuk desa pesisir yakni Desa Taddan, Banjartalela, Tamba’an, Dharma Camplong, Sejati, dan Dharma Tanjung. Kecamatan ini terbagi menjadi 75 dusun/lingkungan; 75 RW dan 183 RT. Beberapa desa di Kecamatan Camplong yang bukan desa pantai (baca: pesisir) yaitu Desa Prajjan, Batokarang, Rabasan, Banjar Tabelu, Anggersek, Madupat, Pamolaan dan Plampaan. Adapun batas-batas wilayahnya sebagai berikut:

• Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Omben • Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan • Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura • Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sampang.

69 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Kecamatan Camplong secara mendalam dari aspek geografis dapat dilihat pada gambar 3 berikut:

Gambar 3.2 Peta Wilayah Kecamatan Camplong – Kabupaten Sampang

Sumber: Peta Administrasi Kabupaten Sampang 2005

Kecamatan Camplong memiliki potensi wisata pantai yakni Pantai Camplong yang berada di tepi jalan provinsi arah Sampang menuju ke Pamekasan, serta penghasil jambu air Camplong berwarna hijau keputih- putihan yang terkenal manis dan banyak dijajakan di sepanjang perjalanan dari Sampang menuju Kabupaten Pamekasan di pesisir Selat Madura. Selanjutnya guna mengetahui keadaan wilayah ditinjau dari aspek lahan yang secara mendalam digambarkan pada tabel 3.6 berikut:

70 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Tabel 3.6 Keadaan Wilayah menurut Jenis Tanahnya (Ha) Kecamatan Camplong, Tahun 2005

No Desa/Kelurahan Tanah Sawah Tanah Kering Jumlah 1 Taddan 39.650 436.635 476.285 2 Banjar Talela 134.400 352.490 486.890

3 Tambaan 82.130 301.855 383.985

4 Prajjan - 46.150 46.150

5 Dharma Camplong 83.530 635.944 695.474 6 Batokarang 45.000 235.750 280.750 7 Sejati 107.750 444.500 552.250

8 Dharma Tanjung 26.000 164.000 190.000

9 Rabasan 38.000 1.007.470 1.045.470 10 Banjar Tabelu 418.850 446.950 865.800 11 Anggersek 124.620 119.190 243.810 12 Madupat 366.000 250.500 615.500 13 Pamolaan 294.350 305.350 599.700 14 Plampaan 199.000 288.500 487.500

J u m l a h 1.959.280 5.035.284 6.994.564 Sumber: Kecamatan Camplong dalam Angka 2005/2006

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari luas wilayah di Kecamatan Camplong yakni 6.994.564 ha, seluas 5.035.284 ha merupakan tanah kering atau dari jumlah tersebut mencapai 71,99% dari luas lahan di Kecamatan Camplong, sisanya berupa lahan sawah seluas 1.959.280 ha atau 28,01%. Keadaan lahannya banyak terdapat tambak udang maupun garam di wilayah pesisir menuju Kabupaten Pamekasan.

71 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Selanjutnya mengenai Luas Wilayah maupun Jarak tempuh desa dengan ibu kota kecamatan sebagaimana terinci dalam tabel 3.7 berikut:

Tabel 3.7 Persentase Luas Wilayah dan Jarak Desa ke Ibu kota Kecamatan Kecamatan Camplong Tahun 2005

No. Desa Luas (km²) Persentase Jarak Desa ke thd Luas Ibu kota (km) Kecamatan 1 Taddan 4,76 6,81 3,0 2 Banjar Talela 4,87 6,96 3,0

3 Tambaan 3,84 5,49 2,0

4 Prajjan 0,46 0,66 3,0

5 Dharma Camplong 7,19 10,28 3,0

6 Batokarang 2,81 4,02 7,0

7 Sejati 5,52 7,89 7,0

8 Dharma Tanjung 1,90 2,72 6,0

9 Rabasan 10,45 14,94 7,0

10 Banjar Tabelu 8,66 12,38 5,0 11 Anggersek 2,44 3,49 9,0 12 Madupat 6,16 8,81 8,0 13 Pamolaan 6,00 8,58 9,0

14 Plampaan 4,88 6,98 12,0

J u m l a h 69,94 100,00 - Sumber : Kecamatan Camplong dalam Angka 2005/2006

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa dari 14 desa yang ada di Kecamatan Camplong yang memiliki daerah terluas yakni Desa Rabasan dengan luas 10,45 km² atau 14,94% dari luas. Desa Plampaan merupakan desa terjauh yakni 12 km dari ibu kota kecamatan, kemudian desa terdekat adalah Desa Tambaan dengan luas 3,84 km² atau 5,49%

72 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan dari luas kecamatan merupakan desa terdekat dengan ibu kota kecamatan berjarak 2 km dari ibu kota kecamatan. Kecamatan Sreseh dalam dokumen demografis tahun 1892 termasuk dalam wilayah yang disebut Distrik Sampang Laut yang di daerahnya termasuk juga Camplong (sekarang) wilayahnya diapit oleh Distrik Balega dan Distrik Pamekasan (Bijlage B:32-35) (Kuntowijoyo, 2002:87). Kedua wilayah itu saat ini menjadi Kecamatan Blega dan Kabupaten Pamekasan. Sreseh merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sampang yang berlokasi pada pesisir Selatan Pulau Madura dengan jarak tempuh 43 km dari ibu kota Kabupaten Sampang. Sreseh tepat berada di sebelah barat kota Sampang, berbatasan dengan Kabupaten Bangkalan. Kecamatan ini dapat dijangkau dari Kamal ke arah utara menuju Bangkalan ke arah timur menuju Burneh, Tanah Merah, Galis hingga pertigaan Galis menuju ke arah selatan mendekati wilayah pesisir hingga Kecamatan Sreseh. Sreseh dapat juga ditempuh melalui pesisir selatan Pulau Madura dari Kamal ke arah timur melewati Sukolela lokasi Jembatan Suramadu di Pulau Madura, terus hingga Labang ke arah timur melewati Kwanyar ke arah tenggara melewati Modung hingga Kecamatan Sreseh. Jalur menyusuri pantai selatan Pulau Madura dari Kamal hingga Sreseh merupakan jarak yang lebih pendek. Namun, kondisi jalan yang tidak beraspal hotmik serta aspal yang mulai menipis menyebabkan pengendara harus ekstra hati-hati, sedangkan jalan hanya melewati pemukiman penduduk yang cukup berjauhan menyebabkan jalur ini lebih banyak dimanfaatkan pagi hingga sore hari. Keadaan wilayah ini didominasi dataran rendah dengan tanah tegalan jagung, kacang tanah, ketela pohon, dan beberapa tanaman perkebunan, juga dikembangkan lahan (tambak) untuk budidaya ikan, meskipun demikian terdapat lahan sawah namun tidak dominan. Secara administratif Kecamatan Sreseh meliputi 12 desa, luas wilayah 71,95 km². Dari 12 desa, terdapat 4 desa yang berlokasi pada wilayah pesisir yakni Desa Noreh, Labuhan, Taman, dan Sreseh sebagai ibu kota kecamatan, sedangkan 8 desa lainnya di wilayah dataran rendah

73 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim yakni Desa Disanah, Marparan, Klobur, Labang, Bundah, Bangsah, Plasah, dan Junoh. Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Sreseh sebagai berikut : • Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Jrengik • Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Torjun • Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura • Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bangkalan

Wilayah ini berada pada pada pesisir selatan dari perbatasan dengan Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan, memanjang ke arah timur hingga teluk bermuaranya Sungai Baliga. Selanjutnya, guna mengetahui Kecamatan Sreseh secara mendalam dari aspek geografis dapat dilihat pada gambar 4 berikut:

Gambar 3.3 Peta Wilayah Kecamatan Sreseh

Sumber : Peta Administrasi Kabupaten Sampang 2005

74 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Berdasarkan peta di atas nampak bahwa secara geografis wilayah Kecamatan Sreseh berada pada daerah perbatasan dengan Kabupaten Bangkalan dan sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan Selat Madura. Wilayah ini merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata- rata 1 meter dengan daerah tertinggi di Desa Sreseh pada ketinggian 3 meter di atas permuakaan laut. Kecamatan Sreseh dengan luas 71,95 km² terbagi dari 12 desa, yang meliputi 4 desa berbatasan dengan Selat Madura dan merupakan dataran rendah, sedangkan 8 desa lainnya berada pada dataran rendah tidak berbatasan dengan pantai. Adapun luas wilayah masing-masing desa serta jarak masing-masing desa ke pusat pemerintahan di ibu kota kabupaten dapat dilihat secara terinci dalam tabel 3.8 berikut:

Tabel 3.8 Persentase Luas Wilayah dan Jarak Desa ke Ibu kota Kecamatan Kecamatan Sreseh Tahun 2006

No. Desa Luas (km²) % thd Luas Jarak Desa ke

Kecamatan Ibu kota 1 Noreh 8,56 11,90 4,0

2 Labuhan 11,08 15,40 0 3 Taman 6,97 9,68 5,0 4 Sreseh 6,36 8,84 8,0

5 Disanah 10,53 14,64 11,0 6 Marparan 8,57 11,91 6,0 7 Klobur 2,98 4,14 6,0 8 Labang 3,93 5,46 9,0 9 Bundah 2,22 3,09 10,0 10 Bangsah 2,77 3,85 12,0 11 Plasah 4,04 5,61 13,0 12 Junok 3,94 5,48 14,0

Jumlah 71,95 100,00 - Sumber: Kecamatan Sreseh dalam Angka 2007

75 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa lokasi Desa Junok merupakan desa terjauh dari ibu kota kecamatan dengan jarak mencapai 14 km, dari 12 desa yang ada terdapat 4 desa berjarak lebih dari 10 km ke ibu kota kecamatan Sreseh yakni Desa Junok, Plasah, Bangsah dan Desa Disanah. Desa Labuhan memiliki wilayah terluas dengan luas wilayah desa sebesar 11,08 km² atau mencapai 15,40% dari luas wilayah kecamatan. Dalam hal ini terdapat 4 desa yang memiliki luas di atas 10% dari luas wilayah kecamatan yaitu: Desa Noreh, Labuhan, Disanah, dan Desa Marparan. Selanjutnya guna menegetahui tingkat pemanfaatan lahan pada wilayah Kecamatan Sreseh dapat dilihat pada tabel 3.9 berikut:

Tabel 3.9 Keadaan Wilayah menurut Jenis Tanahnya (ha) Kecamatan Sreseh - Tahun 2005

No Desa/Kelurahan Tanah Sawah Tanah Kering Jumlah

1 Noreh 101.870 754.306 856.176 2 Labuhan 159.290 949.043 1.108.333

3 Taman 60.130 636.036 697.066

4 Sreseh 25.250 611.137 636.387

5 Disanah 18.830 1.033.803 1.052.633

6 Marparan 286.690 570.589 857.279

7 Klobur 87.430 210.631 298.061

8 Labang 183.490 209.070 392.560

9 Bundah 84.940 137.237 222.177

10 Bangsah 197.280 79.409 276.689

11 Plasah 127.170 276.828 403.998

12 Junok 91.780 302.098 393.878

J u m l a h 1.424.150 5.770.187 7.195.237 Sumber: Kecamatan Sreseh dalam Angka 2005/2006

76 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa dari keseluruhan wilayah di Kecamatan Sreseh seluas 5.770.187 ha atau 80,21% merupakan tanah kering., sedangkan sawah hanya 19,79%. Kecamatan ini memiliki 4 desa pesisir yakni Desa Labuhan merupakan desa terluas wilayahnya memiliki luas 1.108.333 m² yang terdiri atas 85,63% berupa tanah kering dan 14,37% berupa tanah sawah. Desa pesisir lainnya yakni Noreh 88,10% berupa tanah kering dan 11,90% tanah sawah. Desa Taman 91,25% berupa tanah kering dan 8,75% berupa tanah sawah. Desa Sreseh 96,03% wilayahnya berupa tanah kering 3,97% berupa tanah sawah. Penduduk Kecamatan Camplong mengalami perkembangan yang semakin meningkat. Pada tahun 2005 jumlah penduduk di Kecamatan Camplong menempati urutan kedua terbanyak yakni 71.922 jiwa setelah Kecamatan Sampang dengan penduduk berjumlah 102.037 Jiwa. Keadaan penduduk Kecamatan Camplong terinci terlihat pada tabel 3.10 berikut:

Tabel 3.10 Perkembangan Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk, Kecamatan Camplong Tahun 1998 – 2006

Tahun Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk Jumlah Rumah ( Jiwa) (km²) Tangga

1998 63.633 909.95 13.509

1999 63.900 914 *

2000 71.746 917,07 *

2001 64.377 920.60 *

2002 70.936 1.014.39 *

2003 71.607 1.027.39 17.628

2004 71.746 1.023.98 18.496

2005 71.922 1.028.49 18.955

2006 72.134 1.028.67 * Sumber : Kabupaten Sampang dalam Angka 1998 – 2007 (*) Keterangan: Tidak Tersedia Data.

77 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa peningkatan jumlah penduduk tertinggi tahun 2000 dari 63.900 jiwa di tahun 1999 menjadi 71.746 jiwa pada tahun 2000 atau terjadi peningkatan penduduk sebesar 12,28%. Kemudian, penduduk kembali mengalami perubahan pada tahun 2001 menurun menjadi 64.377 jiwa atau turun sebesar 10,27% penurunan yang demikian drastis. Selanjutnya, pada 2002, kembali meningkat menjadi 70.936 jiwa atau meningkat sebesar 10,19% dan pada tahun berikutnya hingga saat ini tidak mengalami pertambahan penduduk yang mencolok. Penduduk Kecamatan Camplong tahun 1999 sebanyak 63.900 jiwa yang terdiri dari 30.894 jiwa laki-laki dan 33.006 jiwa perempuan, dengan kepadatan per km² yakni 914, sedang luas wilayah secara rinci terlihat pada tabel 3.11 berikut:

Tabel 3.11 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk, Kecamatan Camplong Tahun 2006

No. Desa Luas (km²) Penduduk Kepadatan ( Jiwa) Penduduk 1 Taddan 4,76 5.221 1.096.85 2 Banjar Talela 4,87 4.877 1001,44 3 Tambaan 3,84 4.177 1.087.76 4 Prajjan 0,46 2.631 5.719,57 5 Dharma Camplong 7,19 8.347 1.160.92 6 Batokarang 2,81 2.285 813.17 7 Sejati 5,52 5.582 1.011.23 8 Dharma Tanjung 1,90 6.178 3.251.58 9 Rabasan 10,45 5.717 547.08 10 Banjar Tabelu 8,66 9.342 1.078.75 11 Anggersek 2,44 2.420 991.80 12 Madupat 6,16 4.793 778.08 13 Pamolaan 6,00 5.566 927.67 14 Plampaan 4,88 4.809 985.45 Sumber : Kecamatan Camplong dalam Angka Tahun 2007

78 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa jumlah penduduk terbesar berada pada Desa Banjar Tabelu seluas 8,66 km² dengan penduduk sebanyak 9.342 jiwa, kemudian urutan kedua yakni Desa Dharma Camplong seluas 7,19 km² dengan penduduk sebanyak 8.347 jiwa. Jika ditinjau dari tingkat kepadatannya, desa terpadat penduduknya yaitu Desa Prajjan dengan kepadatan 5.719,57 per km², kemudian kedua terpadat yaitu Desa Dharma Tanjung dengan tingkat kepadatan 3.251,58 per km². Selanjutnya keadaan penduduk Kecamatan Camplong dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan keluarganya sebagaimana terlihat pada tabel 3.12 berikut:

Tabel 3.12 Keadaan Bangunan Tempat Tinggal menurut Jenis Bangunan Kecamatan Camplong Tahun 2006

No D e s a Rumah Setengah Gedek Tembok Tembok 1 Taddan 119 324 708 2 Banjar Talela 60 238 589 3 Tambaan 392 247 371 4 Prajjan 116 64 217 5 Dharma 414 441 807 Camplong 6 Batokarang 47 118 306 7 Sejati 65 312 959 8 Dharma 185 436 616 Tanjung 9 Rabasan 16 297 1.036 10 Banjar Tabelu 74 390 1.878 11 Anggersek 52 128 368 12 Madupat 70 263 762 13 Pamolaan 32 160 969 14 Plampaan 23 177 961 J u m l a h 1.665 3.595 10.556 Sumber: Diolah dari Kecamatan Camplong dalam Angka 2007

79 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa secara sosial dari keadaan bangunan tempat tinggal menunjukkan sebanyak 10.556 bangunan atau 66,74% dari bangunan yang ada di Kecamatan Camplong masih berupa bangunan gêdek, sedangkan yang berupa bangunan semi permanen/ setengah tembok sebanyak 3.595 bangunan atau 22,73% dan hanya 1.665 bangunan atau 10,53% berupa bangunan tembok. Selanjutnya dalam aspek sosial dapat diketahui keadaan penduduk dari tingkat pendidikannya di Kecamatan Camplong sebagaimana terlihat pada tabel 3.13 berikut:

Tabel 3.13 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Camplong Tahun 2004

No. Desa/ S1/ SMA/K/ SMP/MTs SD/MI Kelurahan Akademi MA

1 Taddan - - - 1303 2 Banjar Talela - - - 1180 3 Tambaan - - 87 1572 4 Prajjan - 127 249 1095 5 Dharma - 186 755 2200 Camplong 6 Batokarang - 74 67 629 7 Sejati - 87 284 2464 8 Dharma - - - 1795 Tanjung 9 Rabasan - - - 2044 10 Banjar Tabelu - - - 1472 11 Anggersek - - - 1152 12 Madupat - - 180 1536 13 Pamolaan - - - 2497 14 Plampaan - - - 1481 J u m l a h - 474 1622 22.423 Sumber: Diolah dari Kecamatan Camplong dalam Angka Tahun 2004

80 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa dari jumlah penduduk yang ada diketahui bahwa rata-rata penduduk yang berpendidikan didominasi tingkat pendidikan SD/MI meskipun masih terdapat yang berpendidikan SMP/MTS maupun yang berpendidikan SMA/MA, penduduk dengan tingkat pendidikan SMA/MA yakni 1,93%, sedangkan penduduk dengan tingkat pendidikan SD/MI sebesar 91,45% dari penduduk yang memiliki pendidikan. Pada sisi lain, keadaan perkembangan penduduk Kecamatan Sreseh secara lebih mendalam dalam kurun waktu tahun 1998 hingga tahun 2006 dari aspek jumlah, maupun tingkat kepadatan per km² dapat dilihat dari perkembangan penduduknya sebagaimana terlihat pada tabel 3.14 berikut:

Tabel 3.14 Perkembangan Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Sreseh Tahun 1998-2006

Tahun Σ KepadatanPenduduk Rumah Kepadatan Penduduk (km²) Tangga Rumah ( Jiwa) Tangga (km²) 1998 29.236 404 7.197 406,34 1999 29.029 403 7.197 403,46 2000 29.068 404 7.197 404,00 2001 29.197 405.80 7.197 405,00 2002 29.378 408.31 7.197 405,00 2003 29.333 407.69 7.197 407,69 2004 29.421 406.14 7.197 408,91 2005 29.262 404.53 7.236 404,53 2006 29.051 403.77 * 407,00 Sumber : Kabupaten Sampang dalam Angka 1998 – 2007 (*) Keterangan : Tidak tersedia data

81 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasar atas tabel di atas diketahui jumlah rumah tangga di Kecamatan Sreseh tidak mengalami pertambahan sejak tahun 1998 sampai 2004, namun baru tahun 2005 meningkat 39 rumah tangga, sedangkan jumlah penduduk selalu meningkat hingga tahun 2004, mengalami penurunan tahun 2005. Sedangkan luas wilayah dan kepadatan penduduk dapat dilihat pada tabel 3.15 berikut:

Tabel 3.15 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Kecamatan Sreseh Tahun 2006

No. Desa Luas (km²) Penduduk (jiwa) Kepadatan Penduduk 1 Noreh 8,56 5.194 607.00 2 Labuhan 11,08 6.030 511.00 3 Taman 6.97 3.620 519.00 4 Sreseh 6,36 3.197 503.00 5 Disanah 10,53 1.018 97.00 6 Marparan 8,57 1.610 188.00 7 Klobur 2,98 1.412 474.00 8 Labang 3,93 1.378 351.00 9 Bundah 2,22 1.866 840.00 10 Bangsah 2,77 1.587 573.00 11 Plasah 4,04 966 239.00 12 Junok 3,94 1.173 298.00 Sumber: Kecamatan Sreseh Dalam Angka Tahun 2007

Tabel di atas, menunjukkan bahwa jumlah penduduk terbesar berada pada Desa Labuhan dengan penduduk sebanyak 6.030 jiwa, kemudian urutan kedua yakni Desa Noreh dengan penduduk sebanyak 5.194 jiwa. Jika ditinjau dari tingkat kepadatannya, desa terpadat penduduknya yaitu Desa Bundah dengan kepadatan 840,00 per km² disebabkan luas wilayah

82 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan desanya yang tergolong sempit hanya seluas 2,22 ha, kemudian desa kedua terpadat yakni Desa Noreh dengan tingkat kepadatan 607,00 per km², desa ini merupakan desa pesisir tiga desa lainnya yakni Desa Labuhan, Desa Taman, dan Desa Sreseh. Desa pesisir tersebut memiliki jumlah penduduk sebanyak 18.041 jiwa atau 61,66% dari jumlah penduduk Kecamatan Sreseh. Keadaan bangunan yang dimiliki penduduk di Kecamatan Sreseh sesuai jenis bangunannya secara terinci dapat dilihat pada tabel 3.16 berikut:

Tabel 3.16 Keadaan Bangunan Tempat Tinggal menurut Jenis Bangunan Kecamatan Sreseh Tahun 2006

No D e s a Rumah Setengah Papan Gedek Tembok Tembok

1 Noreh 1.108 336 375 284 2 Labuhan 1391 405 28 571 3 Taman 596 218 179 141 4 Sreseh 691 195 219 240 5 Disanah 165 56 49 50 6 Marparan 244 143 132 151 7 Klobur 120 170 154 180 8 Labang 234 230 212 174 9 Bundah 386 201 181 160 10 Bangsah 130 148 132 130 11 Plasah 102 133 98 108 12 Junok 163 121 105 110 J u m l a h 5.325 2.356 1.864 2.299 Sumber: Diolah dari Kecamatan Sreseh dalam Angka 2007

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa keadaan bangunan yang dimiliki penduduk Kecamatan Sreseh didominasi bangunan Semi

83 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Permanen yang berupa bangunan dari setengah tembok, papan maupun gedek sebanyak 6.519 unit atau sebesar 55,05%. Selanjutnya dalam aspek sosial dapat dicermati dari tingkat pendidikannya, guna mengetahui lebih mendalam tentang tingkat pendidikan penduduk di Kecamatan Sreseh dapat dilihat pada tabel 3.17 berikut:

Tabel 3.17 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Sreseh Tahun 2004 (dalam orang)

No. Desa/Kelurahan SD/MI SMP/MTs. SMA/K/ S1/Akademi MA 1 Noreh 782 508 - - 2 Labuhan 785 76 67 - 3 Taman 809 674 208 - 4 Sreseh 537 95 - - 5 Disanah 136 - - - 6 Marparan 292 - - - 7 Klobur 297 - - - 8 Labang 188 - - - 9 Bundah 383 - - - 10 Bangsah 354 - - - 11 Plasah 112 - - - 12 Junok 185 - - - J u m l a h 4.860 1.353 725 - Sumber: Diolah dari Kabupaten dalam Angka Tahun 2004

Berdasarkan dari tabel di atas dapat diketahui bahwa penduduk Kecamatan Sreseh yang berpendidikan SD/Madrasah Ibtidaiyah (MI) merupakan jumlah terbanyak yakni 4.860 orang atau 70,05%, sedang yang berpendidikan SMP/Madrasah Tsanawiyah sebanyak 1.353 orang atau 19,50% dan berpendidikan SMA/Madrasah Aliyah hanya 725 orang

84 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan atau 10,45%. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Kecamatan Sreseh masih didominasi pendidikan tertinggi setingkat sekolah dasar (SD/MI) sederajad (SD Pamong dan SD Kecil).

2. Lekok dan Kraton, Kabupaten Pasuruan Kabupaten Pasuruan merupakan kabupaten yang berada di Pulau Jawa bagian timur sebagai 1 dari 79 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur yang lokasinya berada di persimpangan jalur regional Surabaya- Probolinggo-Malang yang sangat strategis. Sebagian wilayah kabupaten ini menghadap Selat Madura. Letak Geografis wilayah Kabupaten Pasuruan berada antara 112,30º — 113,30º Bujur Timur dan 7,30º — 8,30º Lintang Selatan. Adapun batas-batas wilayah sebagai berikut : • Sebelah utara: Kabupaten Sidoarjo dan Selat Madura • Sebelah timur: Kabupaten Probolinggo • Sebelah selatan: Kabupaten Malang • Sebelah barat: Kabupaten Mojokerto

Kabupaten Pasuruan secara geologis terbagi menjadi 3 bagian yaitu: A. Daerah pegunungan dan berbukit dengan ketinggian antara 180 m — 3000 m. Daerah ini membentang di bagian Selatan dan Barat meliputi: Kecamatan Lumbang, Puspo, Tosari, Tutur, Purwodadi, Prigen dan Gempol. B. Daerah Dataran Rendah dengan ketinggian antara 6 m — 91 m. Dataran rendah ini berada di bagian tengah dan merupakan daerah yang tanahnya subur. C. Daerah Pantai dengan ketinggian antara 2 m — 8 m di atas permukaan laut. Daerah ini membentang di bagian utara meliputi: Kecamatan Nguling, Rejoso, Lekok, Kraton, dan Bangil.

Secara administratif Kabupaten Pasuruan terbagi dalam 24 kecamatan dan 365 kelurahan/desa (341 desa dan 24 kelurahan). Menurut

85 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim data tahun 2006, wilayah ini terbagi dalam 1.694 dusun/lingkungan; 2.840 RW; 8.197 RT. Menelisik keberadaan penduduk etnik Madura di Kabupaten Pasuruan, sumber penelitian Huub de Jonge berdasarkan Werkschema Reboisatie Madoera tahun 1938; Bahwa orang-orang migran asal Madura ini menemukan suatu lingkungan yang mereka kenal di pantai Jawa. Seolah-olah Selat Madura ini merupakan suatu teluk bagi kebudayaan Madura. Mengenai orang-orang di Pasuruan, diketemukan bahwa arus urbanisasi dari Sampang, terutama ke jurusan Pasuruan, Probobolinggo dan Lumajang (De Jonge:1989:24). Hal tersebut diperkuat hasil penelitian Kuntowijoyo bahwa berdasarkan data tahun 1930 menunjukkan bahwa lebih dari separuh etnik Madura tinggal di Jawa, kebanyakan di pojok bagian timur. Di Karesidenan Pasuruan 45% penduduknya berasal dari Madura. Data memperlihatkan dari emigran Madura di Jawa Timur pada 1930 yang bertempat tinggal di Kabupaten Pasuruan dan Bangil (berdasarkan tempat kelahiran di Madura) terbesar, yakni 2.116 orang, berasal dari Kabupaten Sampang. Selebihnya, 157 orang dari Sumenep, 262 orang dari Pamekasan, dan 2.110 orang dari Bangkalan (Kuntowijoyo:2002:80-82). Di wilayah Kabupaten Pasuruan, mengalir enam sungai besar yang kesemuanya bermuara di Selat Madura, yaitu: Lawean, Rejoso, Gembong, Welang, Masangan, dan Kedunglarangan. Penduduk yang menekuni pekerjaan sebagai nelayan di Kabupaten Pasuruan pada tahun 2005 sebanyak 11.120 orang mengalami penurunan sebesar 0,08%, dibanding pada tahun 2004 yang berjumlah 11.110 orang. Namun penurunan cukup tinggi jika dilihat pada lima tahun terakhir, jumlah nelayan pada tahun 1999 sebanyak 12.054, yang berarti mengalami penurunan sebesar 7,75%. Kabupaten ini secara geografis terletak di pesisir Selat Madura, mudah dijangkau dengan kendaraan jalan darat dari Surabaya, Malang, Jember ataupun Banyuwangi, baik menggunakan bus antarkota, angkot (colt) umum maupun dengan menggunakan kereta api. Keadaan Kabupaten Pasuruan mulai dari luas, banyaknya desa, serta penduduk per kecamatan tampak pada tabel 3.18 berikut:

86 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Tabel 3.18 Luas Daerah, Banyaknya Desa, dan Penduduk Kabupaten Pasuruan Tahun 2006

No. Kecamatan Luas (km²) Desa/ Penduduk Kelurahan 1 Purwodadi 102,455 13 62.969 2 Tutur 86,300 12 51.415 3 Puspo 58,350 7 27.109 4 Tosari 98,000 8 18.218 5 Lumbang 125,550 12 33.155 6 Pasrepan 89,950 17 49.714 7 Kejayan 79,159 24/1 61.809 8 Wonorejo 47,300 15 53.019 9 Purwosari 59,870 14/1 75.443 10 Prigen 121,900 11/3 80.053 11 Sukorejo 58,180 19 76.911 12 Pandaan 43,270 14/4 94.578 13 Gempol 64,920 15 114.587 14 Beji 39,900 12 /2 76.434 15 Bangil 44,600 11 /4 84.045 16 Rembang 42,520 17 57.100 17 Kraton 50,750 25 87.272 18 Pohjentrek 11,880 9 26.882 19 Gondangwetan 26,250 19/1 49.857 20 Rejoso 37,000 16 42.002 21 Winongan 45,970 18 39.816 22 Grati 50,780 14/1 72.149 23 Lekok 46,570 11 65.596 24 Nguling 42,600 15 55.408 J u m l a h 1.474,015 341/24 1.455.536 Sumber: Kabupaten Pasuruan dalam Angka 2007

87 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa Kecamatan Kraton merupakan kecamatan dengan desa terbanyak, yakni 25 desa. Kecamatan Lekok adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Pasuruan, yang meliputi 11 desa: Desa Rowogempol, Gejugjati, Alastlogo, Balunganyar, Branang, Tampung, Tambaklekok, Jatirejo, Pasinan, Wates, Semedusari. Luas kecamatan: 49,19 km². Di wilayah Kecamatan Lekok mengalir dua sungai yang cukup panjang yaitu: Sungai Sekunder Lekok (panjang 4,60 km) dan Sungai Sekunder Lembu (panjang 2,80 km). Adapun batas administrasi wilayah Kecamatan Lekok sebagai berikut: • Sebelah utara berbatasan dengan Selat Madura • Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Nguling • Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Grati • Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Rejoso

Untuk mengetahui lebih jelas secara geografis Kecamatan Lekok dapat dilihat pada Gambar 3.4 berikut:

Gambar 3.4 Peta Wilayah Kecamatan Lekok

Sumber: Peta Kabupaten Pasuruan (2006)

88 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Kecamatan Lekok mudah dijangkau karena lokasinya di tepi jalan provinsi di wilayah timur. Wilayahnya dari tepi jalan provinsi ke arah pesisir Selat Madura dan berdekatan dengan batas wilayah Kabupaten Probolinggo dipisahkan oleh Kecamatan Nguling, Pasuruan. Lokasi Lekok dicapai dari jalan provinsi di wilayah Kecamatan Grati, untuk menuju kantor kecamatan dapat menggunakan angkutan pedesaan dengan tarif Rp1.500-Rp2.000.Namun, bila menggunakan dokar dikenakan tarif Rp2.000-Rp2.500,-.Untuk mengetahui keadaan wilayah secara mendalam digambarkan pada tabel 3.19 berikut:

Tabel 3.19 Keadaan Wilayah menurut Jenis Tanah (ha) Kecamatan Lekok Tahun 2004

No Desa/ Tanah Tanah Bangunan/ Tambak/ Lain – Kelurahan Sawah Tegalan Pekarangan Empang Lain

1 Rowogempol 150,710 134,000 37,290 - 7,730

2 Gejugjati 16,480 206,530 140,630 - 8,370

3 Alastlogo - 382,210 159,000 - 15,580

4 Balunganyar - 476,980 30,990 - 2,470

5 Branang - 82,790 71,000 - 5,000

6 Tampung 117,070 19,250 36,920 - 16,170

7 Tambaklekok 17,350 5,480 12,930 556,780 16,950 8 Jatirejo 64,550 135,290 17,530 - 6,480

9 Pasinan 42,450 447,660 307,240 - 16,500

10 Wates - 695,030 33,400 - 15,000

11 Semedusari - 397,000 25,000 - 7,110

J u m l a h 408,610 2.982,220 871,930 556,780 117,360

Sumber: Kecamatan Lekok dalam Angka 2005/2006

89 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas bahwa lahan terluas berupa tanah tegalan 2.982,220 ha atau 60,41%, sisanya berupa tanah sawah 408,610 ha atau 8,28%, sedangkan lahan untuk pemanfaatan lainnya mencapai 39,89% (pekarangan dan budidaya perikanan darat serta peruntukan lahan lainnya). Selanjutnya luas desa, jarak antara desa dengan ibu kota kecamatan terinci pada tabel 3.20 berikut:

Tabel 3.20 Luas Desa, Persentase terhadap Luas Kecamatan Kecamatan Lekok Tahun 2005

No. Desa Luas (km²) % thd Luas Jarak Desa ke Ibu Kecamatan kota 1 Rowogempol 3,30 6,71 4,0 2 Gejugjati 3,72 7,56 5,0 3 Alastlogo 5,57 11,32 10,0 4 Balunganyar 5,10 10,37 3,0 5 Branang 1,59 3,23 2,0 6 Tampung 1,89 3,84 1,0 7 Tambaklekok 6,10 12,40 0,5 8 Jatirejo 2,24 4,55 0,5 9 Pasinan 8,14 16,55 0,5 10 Wates 7,43 15,10 7,0 Sumber: Kecamatan Lekok dalam Angka Tahun 2005/2006

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa desa Alastlogo merupakan desa dengan lokasi terjauh dari ibu kota kecamatan yakni 10 km, sedangkan Wates memiliki jarak yang terjauh kedua dengan jarak 7 km dari ibu kota kecamatan. Keadaan yang tidak berbeda, Kraton sebagai salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Pasuruan yang memiliki 25 desa, yaitu Slambrit, Ngabar, Klampisrejo, Kebotohan, Pukul, Gambir Kuning, Mulyorejo, Tambaksari, Plinggisan, Dompo, Ngempit, Jeruk, Sidogiri, Karanganyar, Selotambak, Curahdukuh, Rejosari, Asemkandang, Tambakrejo, Kraton, Kalirejo, Semare, Pulokerto, Bendungan, dan

90 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Gerongan. Luas Kecamatan Kraton adalah 50,79 km², Adapun batas administrasi wilayahnya adalah sebagai berikut: • Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bangil • Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pohjentrek dan Kota Pasuruan • Sebelah selatan berbatasan dengan Kec. Wonorejo dan Kec. Kejayan • Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Rembang

Wilayah kecamatan Kraton berlokasi cukup jauh dari jalan provinsi antara Bangil-Kota Pasuruan. Kecamatan Kraton dapat dijangkau kendaraan bus Surabaya-Probolinggo hingga terminal Pasuruan lama, dilanjutkan menggunakan becak atau dari Pasar Kraton menggunakan dokar atau becak ke arah ibu kota Kec. Kraton dengan ongkos Rp 5.000,-, dapat pula dijangkau melalui jalan desa 50 m dari sentra kios buah di jalan Surabaya-Pasuruan secara geografis Kecamatan Kraton dapat dilihat pada Gambar 3.5 berikut:

Gambar 3.5 Peta Wilayah Kecamatan Kraton

Adapun keadaan penggunaan lahan di Kecamatan Kraton dapat dilihat pada tabel 3.21 berikut:

91 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 3.21 Keadaan Wilayah menurut Jenis Tanahnya (Ha) Kecamatan Kraton Tahun 2004

No Desa/Kelurahan Tanah Tanah Bangunan/ Lain – Jumlah Sawah Tegalan Pekarangan Lain

1 Slambrit 98,10 3,60 14,70 9,50 125,90 2 Ngabar 119,70 - 18,10 10,40 148,20 3 Klampisrejo 150,00 13,20 39,50 10,70 213,40 4 Kebotohan 147,00 2,40 79,50 10,30 239,20 5 Pukul 104,00 4,80 40,30 10,60 159,70

6 Gambir Kuning 130,70 10,60 21,60 10,10 173,00 7 Mulyorejo 154,00 - 40,30 10,40 204,70 8 Tambaksari 112,90 0,50 28,20 11,70 153,30 9 Plinggisan 82,00 0,50 27,10 5,50 115,10 10 Dhompo 96,60 2,80 18,50 4,70 122,60 11 Ngempit 87,00 - 20,30 9,10 116,40 12 Jeruk 124,60 - 19,00 5,60 149,20 13 Sidogiri 109,30 - 34,30 8,20 151,80 14 Karanganyar 152,00 12,30 26,50 8,20 199,00 15 Selotambak 97,00 0,30 126,80 9,20 233,30 16 Curahdukuh 16,00 291,40 18,00 14,30 339,70 17 Rejosari 100,00 - 172,50 34,20 306,70 18 Asemkandang 108,40 - 12,70 8,70 129,80 19 Tambakrejo 113,00 - 16,50 9,80 139,30 20 Kraton 119,10 - 13,90 8,60 141,60 21 Kalirejo 31,40 47,30 10,50 8,40 97,60 22 Semare 78,70 164,04 12,40 13,50 268,64 23 Pulokerto 120,00 309,23 39,00 24,80 493,03 24 Bendungan 75,20 44,80 41,50 42,20 203,70 25 Gerongan 26,00 403,40 12,30 11,50 453,20 Sumber: Kecamatan Kraton dalam Angka 2005/2006

92 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa dari keseluruhan lahan di Kecamatan Kraton yakni 5.078,07 ha. Adapun pemanfaatan lahan yakni lahan terluas berupa tanah tegalan 1.311,17 ha atau 25,82%, pekarangan dan lahan kering sebesar 13,91%, sedangkan lahan berupa tanah sawah seluas 2.552,70 ha atau 50,27% dari luas lahan yang ada di Kecamatan Kraton. Kecamatan Kraton dapat dijangkau dengan mudah karena lokasinya yang berbatasan dengan wilayah Kota Pasuruan. Wilayah ini berada sekitar 5 km dari Pasar Kraton yang berada di tepi jalan provinsi arah menuju Kota Probolinggo dari Bangil. Pada wilayah perbatasan memasuki Kecamatan Kraton di wilayah pesisir ditemukan hamparan sawah yang cukup subur dan selanjutnya daerah pemukiman nelayan. Wilayahnya membujur dari perbatasan Kecamatan Bangil hingga perbatasan Kota Pasuruan memanjang ke arah utara hingga Selat Madura. Untuk menuju ke wilayah ini dari jalan provinsi dapat menggunakan dokar dengan tarif berkisar antara Rp2.000,- hingga Rp2.500,-. Desa-desa pesisir di wilayah kecamatan ini merupakan pemukiman padat penduduk dengan lorong-lorong sempit sebagai penghubungnya dan jalan-jalan desa masih didominasi berupa jalan tanah. Pemukiman padat memenuhi pesisir hingga ke arah pantai yang didominasi rumah semi-permanen serta banyak dijumpai kambing/domba yang dilepas pemiliknya di sekitar pemukiman nelayan, karena sangat sedikit lahan terbuka yang ditumbuhi rerumputan, sehingga kondisi tersebut menambah kesan kumuh. Namun demikian juga dijumpai beberapa rumah permanen berlantai dua dan tidak sedikit yang dimiliki para juragan (pengepul ikan). Selanjutnya guna mengetahui lebih jauh tentang tentang jarak antara desa dengan pusat ibu kota kecamatan dapat dilihat pada tabel 3.22 berikut:

93 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 3.22 Luas Desa dan Jarak Desa ke Ibu kota Kecamatan Kraton Tahun 2005

No. Desa Luas % thd Luas Jarak ke Ibukota (km²) Kec. 1 Slambrit 1,26 2,5 10,8 2 Ngabar 1,48 2,9 9,0 3 Klampisrejo 2,13 4,2 10,0 4 Kebotohan 2,39 4,7 15,0 5 Pukul 1,60 3,1 13,7 6 Gambir Kuning 1,73 3,4 14,5 7 Mulyorejo 2,05 4,0 10,5 8 Tambaksari 1,53 3,0 9,0 9 Plinggisan 1,15 2,3 10,0 10 Dhompo 1,23 2,4 6,5 11 Ngempit 1,16 2,3 7,5 12 Jeruk 1,49 2,9 8,8 13 Sidogiri 1,52 3,0 7,8 14 Karanganyar 1,99 3,9 6,0 15 Selotambak 2,33 4,6 6,0 16 Curahdukuh 3,40 6,7 8,0 17 Rejosari 3,07 6,0 4,5 18 Asemkandang 1,30 2,6 2,8 19 Tambakrejo 1,39 2,7 1,5 20 Kraton 1,42 2,8 0,2 21 Kalirejo 0,98 1,9 2,0 22 Semare 2,69 5,3 1,5 23 Pulokerto 4,93 9,7 4,0 24 Bendungan 2,04 4,0 2,5 25 Gerongan 4,53 8,9 4,0 J u m l a h 50,78 100,00 - Sumber: Kecamatan Kraton dalam Angka Tahun 2005/2006

94 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Berdasar tabel di atas diketahui bahwa desa terjauh dari ibu kota kecamatan yakni Desa Kebotohan dengan jarak 15 km, sedangkan terjauh kedua yakni Desa Gambir Kuning sejauh 14,5 km. Penduduk di Kecamatan Lekok pada tahun 2004 sebanyak 65.611 jiwa atau mengalami pertambahan sebesar 1,07% dari sejumlah 64.911 jiwa pada tahun 2003. Bila ditinjau dari aspek jumlah penduduk, Desa Jatirejo didiami penduduk terbanyak yaitu 10.593 atau 16,15% dari jumlah penduduk di Kecamatan Lekok. Keadaan desa pesisir di wilayah Kecamatan Lekok umumnya padat dengan rumah-rumah kecil di gang-gang sempit terkesan kumuh dengan halaman dimanfaatkan untuk menjemur ikan atau untuk berdagang makanan. Tanaman yang terbanyak pohon bambu, waru serta tanaman untuk pakan ternak kambing. Pada wilayah ini juga terdapat penduduk yang bekerja membuat perahu (umumnya jenis perahu Golekan) tepatnya di Desa Jatirejo sebelah utara Masjid Jamik Jatirejo. Beberapa jalan desa banyak belum beraspal ataupun batu putih, sehingga menjadi agak sulit dilalui dimusim hujan. Selanjutnya guna mengetahui perkembangan penduduk dapat diketahui dalam tabel 3.23 berikut:

Tabel 3.23 Perkembangan Jumlah Penduduk, Rumah Tangga, dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Lekok Tahun 1998-2006

Tahun Σ Penduduk Kepadatan Penduduk (km²) Rumah Tangga (Orang) 1998 47.412 1.018,08 13.906 1999 47.629 965,30 13.979 2000 47.661 969 13.990 2001 61.473 1.250 13.990 2002 61.473 1.250 13.989 2003 64.911 1.394 16.907 2004 65.611 1.334 17.087 2005 65.582 1.408 17.079 2006 65.596 1.409 17.083 Sumber: Kecamatan Lekok dalam Angka 1998 – 2007

95 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan Tabel di atas diketahui bahwa perkembangan jumlah rumah tangga maupun jumlah penduduk mengalami peningkatan sejak tahun 1998 hingga 2006. Namun terdapat peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi dari 47.661 orang di tahun 2000 menjadi 61.473 orang pada tahun 2001 atau mengalami peningkatan sebanyak 13.812 orang atau meningkat 22,4%. Selanjutnya perkembangan jumlah penduduk dapat dicermati pada tabel 3.24 berikut:

Tabel 3.24 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Kecamatan Lekok Tahun 2004

No. Desa Luas Σ Penduduk Kepadatan (km²) (jiwa) Penduduk 1 Rowogempol 3,30 8.501 2.576 2 Gejugjati 3,72 6.069 1.631 3 Alastlogo 5,57 4.252 763 4 Balunganyar 5,10 6.152 1.206 5 Branang 1,59 4.134 2.600 6 Tampung 1,89 3.265 1.728 7 Tambaklekok 6,10 5.707 936 8 Jatirejo 2,24 10.593 4.729 9 Pasinan 8,14 7.404 910 10 Wates 7,43 7.189 968 11 Semedusari 4,11 2.345 571 Sumber: Kecamatan Lekok Dalam Angka Tahun 2005/2006

Tabel di atas, menunjukkan bahwa jumlah penduduk terbesar berada pada Desa Jatirejo dengan penduduk sebanyak 10.593 jiwa, kemudian urutan kedua yakni Desa Rowogempol dengan penduduk sebanyak 8.501 jiwa. Jika dicermati dari tingkat kepadatannya, desa dengan kepadatan per km² terpadat penduduknya adalah desa Jatirejo, dengan kepadatan 4.729 per km², kemudian desa terpadat kedua yaitu Labuhan Branang,

96 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan dengan tingkat kepadatan 2.600 per km². Ditinjau dari tingkat kepadatan penduduk per desa, Jatirejo merupakan desa yang memiliki kepadatan tertinggi yaitu 4.729 jiwa/km², sedangkan Semedusari adalah desa dengan penduduknya terendah, tingkat kepadatan yakni 571 jiwa/km². Selanjutnya, keadaan sosial penduduk Lekok dapat dicermati dari tingkat pendidikannya sebagaimana pada tabel 3.25 berikut:

Tabel 3.25 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Lekok Tahun 2004

No D e s a S1/ SMA/K/ SMP/ SD/ Tdk Akademi MA MTs. MI Tamat/ Sekolah 1 Rowogempol - 1 3 12 - 2 Gejugjati - 2 1 10 - 3 Alastlogo 1 - 2 8 - 4 Balunganyar - 3 2 7 - 5 Branang - 1 2 9 - 6 Tampung - 2 - 10 2 7 Tambaklekok - 2 2 11 - 8 Jatirejo - 2 4 11 1 9 Pasinan - 3 1 14 3 10 Wates - - 1 14 - 11 Semedusari 1 - - 10 - J u m l a h 2 16 18 116 6 Sumber: Kecamatan Lekok dalam Angka Tahun 2005/2006

Tabel di atas, menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk yang berpendidikan terbanyak yakni pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah sebanyak 116 orang atau 73,42%, sedangkan berpendidikan SMP/Madrasah Tsanawiyah sebanyak 18 orang atau 11,39% dan SMA/MA sebesar 10,53%. Hal ini menggambarkan bahwa sebagian terbesar penduduk berpendidikan rata-rata setingkat SD/MI (Madrasah

97 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Ibtidaiyah). Untuk mengetahui keadaan mata pencaharian penduduk dapat dicermati pada tabel 3.26 berikut:

Tabel 3.26 Keadaan Penduduk menurut Jenis Mata Pencaharian Kecamatan Lekok, Tahun 2006

No Mata Pencaharian Jumlah (Orang) % 1 Petani 24.084 36,72 2 Pegawai Negeri/PNS 119 0,18 3 TNI/POLRI 48 0,07 4 Pedagang 550 0,84 5 Swasta 838 1,28 6 Jasa-jasa 2.240 3,42 7 Lainnya 9.656 14,72 8 Tidak/Belum Bekerja 28.061 42,78 J u m l a h 65.596 100,00 Sumber: Diolah dari Kabupaten Pasuruan dalam Angka 2007

Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa jenis mata pencaharian penduduk terbanyak pada sektor pertanian sebesar 36,72% sedangkan sektor perikanan mencapai sekitar 14,72% dari keseluruhan jumlah penduduk bekerja di Kecamatan Lekok. Jumlah penduduk yang tergolong belum memiliki pekerjaan tetap atau tidak bekerja masih cukup tinggi mencapai 42,78% dari jumlah penduduk di Kecamatan Lekok. Selanjutnya keadaan tingkat kesejahteraan penduduk di Kecamatan Lekok terinci pada tabel 3.27 berikut:

98 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Tabel 3.27 Jumlah Keluarga menurut Tingkat Kesejahteraan di Kecamatan Lekok, Tahun 2004 (dalam Unit)

No D e s a Pra Sejahtera Sejahtera Sejahtera Sejahtera I II III 1 Rowogempol 310 369 988 558 2 Gedugjati 263 228 801 306 3 Alastlogo 294 230 693 10 4 Balunganyar 282 371 841 56 5 Branang 226 213 567 208 6 Tampung 255 161 436 105 7 Tambaklekok 274 191 658 311 8 Jatirejo 477 679 1.310 338 9 Pasinan 343 446 896 209 10 Wates 336 345 959 284 11 Semedusari 276 247 205 51 J u m l a h 3.236 3.480 8.354 2.436 Sumber: Kecamatan Lekok dalam Angka 2005

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa jumlah keluarga yang tergolong ke dalam kategori Pra Sejahtera sebanyak 3.236 keluarga atau 18,49% Keluarga Sejahtera I sebanyak 3.480 keluarga atau 19,88% sedangkan Keluarga Sejahtera II sebanyak 8.354 keluarga atau 47,72% dan Keluarga Sejahtera III sebanyak 2.436 keluarga atau 13,92%. Konsentrasi Keluarga Pra Sejahtera dari 3.236 keluarga terbanyak beada di Desa Jatirejo yakni 477 keluarga atau 14,74%, kemudian Desa Pasinan dengan 343 keluarga atau 10,60% dan Desa Wates dengan 336 keluarga atau 10,38%. Kecamatan Kraton memiliki kepadatan penduduk rata-rata 1.705 jiwa/km². Selanjutnya guna mengetahui keadaan penyebaran penduduk secara mendalam serta tingkat kepadatannya dapat dilihat pada tabel 3.28 berikut:

99 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 3.28 Luas Desa, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Kraton Tahun 2004

Kepadatan No. Desa Luas (km²) Penduduk( Jiwa) Penduduk 1 Slambrit 1,26 1.989 1.579 2 Ngabar 1,48 2.505 1.693 3 Klampisrejo 2,13 2.084 978 4 Kebotohan 2,39 3.293 1.378 5 Pukul 1,60 2.723 1.702 6 Gambir Kuning 1,73 2.760 1.595 7 Mulyorejo 2,05 3.191 1.557 8 Tambaksari 1,53 2.167 1.416 9 Plinggisan 1,15 2.634 2.290 10 Dhompo 1,23 2.081 1.692 11 Ngempit 1,16 2.266 1.953 12 Jeruk 1,49 2.088 1.401 13 Sidogiri 1,52 11.357 7.472 14 Karanganyar 1,99 2.833 1.424 15 Selotambak 2,33 3.417 1.467 16 Curahdukuh 3,40 4.804 1.413 17 Rejosari 3,07 3.306 1.077 18 Asemkandang 1,30 2.282 1.755 19 Tambakrejo 1,39 3.220 2.317 20 Kraton 1,42 2.952 2.079 21 Kalirejo 0,98 7.243 7.391 22 Semare 2,69 2.687 999 23 Pulokerto 4,93 3.004 609 24 Bendungan 2,04 5.485 2.689 25 Gerongan 4,53 4.239 936 Sumber: Kecamatan Kraton dalam Angka Tahun 2005/2006

100 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Tabel di atas menunjukkan bahwa konsentrasi penduduk terbesar berada pada Desa Sidogiri dengan penduduk sebanyak 11.357 jiwa. Kemudian urutan kedua adalah Desa Kalirejo dengan penduduk berjumlah 7.243 jiwa. Jika ditinjau dari tingkat kepadatannya maka desa terpadat penduduknya yaitu Desa Sidogiri dengan kepadatan 7.472 per km², kemudian kedua terpadat yaitu Desa Kalirejo dengan tingkat kepadatan 7.391 per km². Selanjutnya, jumlah penduduk ditinjau dari mata pencahariannya dapat dilihat pada tabel 3.29 berikut:

Tabel 3.29 Keadaan Penduduk menurut Jenis Mata Pencaharian Kecamatan Kraton Tahun 2006

No Mata Pencaharian Jumlah (Orang) % 1 Petani 34.057 39,02 2 Pegawai Negeri/PNS 89 0,10 3 TNI/POLRI 39 0,04 4 Pedagang 1.141 1,31 5 Swasta 1.195 1,37 6 Jasa 241 0,28 7 Lainnya 978 1,12 8 Tidak/Belum Bekerja 49.532 56,76 J u m l a h 87.272 100,00 Sumber: Diolah dari Kabupaten Pasuruan dalam Angka 2007

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk yang ada diketahui bahwa pekerjaan di sektor pertanian mendominasi aktivitas pekerjaan yakni sebanyak 34.057 orang atau 39,02%, sedangkan pekerjaan di sektor perikanan dan lainnya mencapai 978 orang atau 1,12%. Selanjutnya, sarana peribadatan yang ada dapat diketahui sebagaimana tabel 3.30 berikut:

101 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 3.30 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan, Tahun 2000-2004 (dalam orang)

T a h u n S1/Akademi SMA/K/MA SMP/MTs. SD/MI 2000 - - 458 8.118 2001 - - 459 8.484 2002 - 193 898 18.623 2003 - 375 1.068 18.826 2004 - 375 1.516 18.831 Sumber: Diolah dari Kabupaten Pasuruan dalam Angka Tahun 2000 - 2004

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa tingkat pendidikan penduduk Kraton terbesar berpendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yakni 18.831 orang atau 90,87% dari yang berpendidikan, sedangkan penduduk berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP/ MTs.) sebanyak 1.516 orang atau 7,32%. Penduduk yang berpendidikan SMA/Madrasah Aliyah atau sederajad mulai ada sejak tahun 2002 da tahun 2004 sebesar 1,81%. Hal ini menunjukkan pendidikan tertinggi rata-rata penduduk masih setingkat SD/MI. Adapun perkembangan jumlah penduduk, tingkat kepadatannya serta mengenai jumlah rumah tangga yang ada di Kecamatan Kraton dari tahun 1998 sampai tahun 2006 dapat dilihat pada tabel 3.31 berikut:

Tabel 3.31 Perkembangan Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Kraton Tahun 1998-2006

Tahun Σ Penduduk Kepadatan Penduduk Σ Rumah Tangga ( Jiwa) (Per km²) 1998 66.644 1.311,47 16.210 1999 66.804 1.316,33 16.235 2000 66.880 1.316.79 16.610 2001 81.560 * 19.612 2002 89.981 1.773..02 21.637 2003 86.327 2.079 20.748 2004 86.610 2.079 20.857 2005 86.920 1.713 20.936 2006 87.272 1.720 21.021 Sumber: Kecamatan Kraton dalam Angka 1998 - 2007 (*) Keterangan: Tidak tersedia data.

102 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Berdasarkan tabel di atas bahwa jumlah penduduk mengalami peningkatan pesat tahun 2001, yakni dari 66.880 jiwa pada tahun 2000 meningkat menjadi 81.560 jiwa di tahun 2001 atau meningkat sebesar 18%. Selama kurun waktu 1998 hingga 2006, jumlah penduduk terbesar tahun 2002 yakni sebanyak 89.981 jiwa dengan kepadatan rata-rata 1.773.02, sedangkan jumlah rumah tangga sebanyak 21.637. Selanjutnya, keadaan penduduk bila dicermati dari tingkat kesejahteraan keluarganya di Kecamatan Kraton sebagaimana pada tabel 3.32:

Tabel 3.32: Keluarga menurut Tahapan Kesejahteraan di Kecamatan Kraton 2004

No. Desa/Kelurahan Pra Sejahtera Sejahtera Sejahtera Sejahtera I II III, + 1 Slambrit 11 8 113 115

2 Ngabar - 103 258 176 3 Klampisrejo - - 75 113 4 Kebotohan 15 177 138 170 5 Pukul - - 156 247 6 Gambir Kuning 1 180 369 68 7 Mulyorejo 15 88 179 306 8 Tambaksari - 120 163 201 9 Plinggisan - 143 58 269 10 Dhompo 63 83 76 93 11 Ngempit - 6 282 192 12 Jeruk 101 102 98 74 13 Sidogiri - 6 469 30 14 Karanganyar - 58 304 217 15 Selotambak 113 132 144 90 16 Curahdukuh 109 311 371 84 17 Rejosari - 359 180 15 18 Asemkandang 5 193 137 1 19 Tambakrejo 32 127 87 369

103 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

20 Kraton 12 189 124 118 21 Kalirejo - - 473 177 22 Semare 36 66 84 296 23 Pulokerto 73 249 194 127 24 Bendungan 82 402 359 223 25 Gerongan 63 294 220 157 J u m l a h 801 3.396 5.111 3.298 Sumber: Kecamatan Lekok dalam Angka Tahun 2005/2006

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa keadaan keluarga di Kecamatan Kraton. Adapun dari keseluruhan keluarga yang ada yang terbesar yakni Keluarga Sejahtera II sebanyak 5.111 unit keluarga atau sebesar 40,54% dari seluruh jumlah keluarga, sedangkan Keluarga Pra Sejahtera sebanyak 801 unit keluarga atau sebesar 6,35% dari seluruh keluarga di Kecamatan Kraton.

C. Nelayan Tradisional Kwanyar, Bangkalan

Kondisi saat ini, aktivitas ekonomi masyarakat di sektor perikanan, perkebunan dan sejenisnya tidak sampai 10% dari keseluruhan aktivitas masyarakatnya. Aktivitas masyarakat didominasi sektor pertanian hingga mencapai 53% dan sektor perdagangan mendekati 22%, sedangkan secara rinci keadaan penduduk Kwanyar dari aspek mata pencahariannya sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3.33 berikut:

104 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Tabel 3.33 Keadaan Penduduk Usia 15 ke Atas menurut Jenis Mata Pencaharian Kecamatan Kwanyar Tahun 2006

No Mata Pencaharian Jumlah (Orang) % 1 Petani Tanaman Pangan 12.386 52,64 2 Perkebunan 135 0,57 3 Perikanan 2.111 9 4 Peternakan 35 0,15 5 Pertanian lainnya 170 0,72 6 Industri Pengolahan 208 0,88 7 Perdagangan 5.044 21,44 8 Jasa 1.765 7,50 9 Angkutan 814 3,46 10 Lainnya 861 3,66 J u m l a h 23.529 100 Sumber: Diolah dari Kabupaten Bangkalan dalam Angka 2007

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa penduduk usia 15 tahun ke atas terbanyak bermata pencaharian sebagai petani tanaman pangan yakni 12.386 orang atau sebesar 52,64% dari jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas. Mata pencaharian di sektor perikanan berada pada urutan ketiga dengan jumlah sebanyak 2.111 orang atau sebesar 9%. Berdasar keadaan di atas menunjukkan bahwa sektor pekerjaan perikanan masih cukup besar namun aktivitas pekerjaan penduduk lebih didominasi sektor pertanian tanaman pangan dan perdagangan. Industri pengolahan mendekati 1% meliputi pengolahan hasil perikanan laut : terasi, ikan asin, serta terbanyak pengolahan kerupuk. Keadaan sektor perikanan laut secara terinci pada kecamatan wilayah Kabupaten Bangkalan pada tahun 2005 sebagaimana terlihat pada tabel 3.34 berikut:

105 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 3.34 Jumlah Nelayan Perikanan Laut, Perahu/Kapal Ikan dan Alat Tangkap Menurut Kecamatan di Kabupaten Bangkalan Tahun 2006

No Kecamatan Nelayan Perahu /Motor Σ Alat Tangkap (Orang) Tempel (unit) (Unit) 1 Kamal 37 30 7 2 Labang 225 83 188 3 Kwanyar 644 428 467 4 Socah 690 355 74 5 Bangkalan 761 404 893 6 Arosbaya 628 313 120 7 Tanjung Bumi 870 310 420 8 Sepulu 427 185 647 9 Klampis 1.047 591 631 J u m l a h 5.372 2.699 3.447 Sumber: Kabupaten Bangkalan Dalam Angka 2007

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa di Kabupaten Bangkalan terdapat 9 kecamatan dari 18 kecamatan yang ada atau 50% nya memiliki wilayah berbatasan dengan pantai. Data di atas menunjukkan bahwa kecamatan yang memiliki jumlah nelayan terbanyak yakni Kecamatan Klampis dengan nelayan sebanyak 1.047 orang, kemudian di urutan kedua Kecamatan Tanjung Bumi dengan jumlah nelayan 870 orang dan urutan ketiga yaitu Kecamatan Bangkalan dengan jumlah nelayan 761 orang. Ketiga kecamatan tersebut berada pada wilayah sebelah utara dari Pulau Madura. Kecamatan yang berada di Selatan Pulau Madura atau pada wilayah perairan Selat Madura, dengan jumlah nelayan terbesar yakni Kecamatan Socah sebanyak 690 orang, kemudian Kecamatan Kwanyar dengan jumlah nelayan sebanyak 644 orang. Jumlah perahu/motor tempel terbanyak dimiliki Kecamatan Klampis di pesisir utara Pulau Madura yakni 591 unit, sedangkan urutan kedua Kecamatan Kwanyar di pesisir Selatan Pulau Madura atau berada di perairan Selat Madura dengan jumlah armada sebanyak 428 unit.

106 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Adapun kepemilikan alat tangkap terbanyak dimiliki nelayan Kecamatan Bangkalan sejumlah 893 unit, kemudian urutan kedua terbanyak alat tangkap dimiliki nelayan Kecamatan Sepulu yakni sebanyak 647 unit. Penduduk yang bermata pencaharian di sektor perikanan laut dapat diketahui dari aspek jumlah nelayan perikanan laut, perahu serta alat tangkap yang dipergunakan terinci pada tabel 3.35:

Tabel 3.35 Jumlah Nelayan Perikanan Laut, Perahu , Alat Tangkap di Wilayah Kecamatan Kwanyar Tahun 2005

No. Desa/Kelurahan Nelayan Perahu Alat Tangkap (Orang) (Unit) (Unit) 1 Tebul 33 14 49 2 Kwanyar Barat 231 172 312 3 Pesanggrahan 48 48 84 4 Karanganyar 28 18 54 5 Batah Barat 198 106 278 6 Batah timur 88 70 171 J u m l a h 640 428 948 Sumber: Kecamatan Kwanyar dalam Angka 2005/2006

Berdasarkan pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa pada tahun 2005 jumlah nelayan perikanan laut terbanyak berada di Desa Kwanyar Barat yakni 231 orang atau 36,09%, sedangkan urutan kedua berada di Desa Batah Barat yakni sebanyak 198 orang atau 30,94%. Di samping itu jumlah nelayan di Kecamatan Kwanyar hanya sebanyak 9% dari keseluruhan penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja, atau nelayan menempati urutan ketiga dari 10 jenis mata pencaharian yang ada. Meskipun pada urutan ketiga, namun persentasenya sangat kecil. Nelayan Kwanyar jumlahnya tidak dominan untuk ukuran sebuah wilayah kecamatan, dengan jumlah nelayan sebanyak 640 orang serta armada perahu/kapal penangkap ikan sebanyak 428 unit dengan 948 unit alat tangkap. Hal ini didukung oleh kondisi alam yang subur

107 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim sehingga memberi peluang berkembangnya sektor pertanian. Keadaan tersebut membawa implikasi terhadap tingkat pendidikan dan mobilitas penduduknya serta keadaan sosial ekonomi lainnya. Temuan menunjukkan bahwa nelayan Kwanyar mampu menjaga lingkungan laut dengan tetap menggunakan alat tangkap tradisional (jaring-jaring hanyut). Nelayan Kwanyar hingga saat melakukan aktivitas melaut menggunakan perahu motor kecil berawak 2 orang yang panjangnya tidak lebih dari 5 meter, tidak ada yang menggunakan perahu berkapasitas besar dan perahu yang ada diawaki maksimal 3 orang nelayan dengan alat tangkap tradisional berupa Jaring-jaring Hanyut. Selanjutnya, waktu melaut dilakukan pada pagi seusai subuh dan kembali sekitar zuhur atau melaut sekitar pukul 06.00 hingga pukul 14.00 WIB. Aktivitas melaut dengan waktu dan cara tetap seperti itu disebabkan lingkungan sosial-ekonomi serta sumber daya alam telah memberikan peluang untuk tetap terjaganya lingkungan laut. Hal ini di antaranya masih adanya ‘fishing ground’ atau tempat berkembang biaknya ikan dan biota laut di perairan sekitar Kwanyar, jumlah penduduk yang tidak padat, peran serta tokoh masyarakat melalui kepentingan politiknya ternyata berimplikasi positif pada berkembangnya kemandirian nelayan, di samping itu kondisi geografis seperti: potensi lahan tanah yang relatif subur dan cukup luas serta tingkat pendidikan dan kultur masyarat mampu mendorong berkembangnya sumber penghasilan alternatif masyarakat selain pada sektor perikanan. Aktivitas pendukung sektor perikanan yang berkembang cukup pesat yakni industri pengolahan udang dan ikan untuk bahan baku pembuatan terasi, ikan asin serta kerupuk. Kerupuk udang produksi Kwanyar telah dikenal luas di wilayah Madura dan sekitarnya dan menjadi pesaing kerupuk produksi Kapedi — Sumenep.

108 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

D.Nelayan Modern Camplong-Sreseh dan Lekok-Kraton

Penduduk Sampang dan Pasuruan memiliki hubungan historis yakni kesamaan etnik pada wilayah pesisir Pasuruan (Lekok dan Kraton), berdasarkan Werkschema Reboisatie Madoera tahun 1938 disebutkan bahwa orang migran asal Madura ini menemukan di pantai Jawa suatu lingkungan yang mereka kenal. Seolah-olah Selat Madura merupakan suatu teluk bagi kebudayaan Madura, mengenai orang-orang di Pasuruan diketemukan bahwa arus urbanisasi orang-orang dari Sampang terutama ke jurusan Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang ( Jonge, 1989:24). Sejalan dengan itu, diketahui bahwa pada tahun 1930 separuh dari etnik Madura tinggal di Jawa, di Karesidenan Pasuruan 45 persen berasal dari Madura. Etnik Madura yang bertempat tinggal di Pasuruan dan Bangil berdasarkan asal atau tempat kelahirannya berasal dari Sampang sebanyak 2.116 orang, selebihnya yakni 157 orang berasal dari Sumenep, 262 orang dari Pamekasan serta 2.110 orang dari Bangkalan (Kuntowijoyo, 2002:80- 82). Nelayan Camplong, Sreseh, Kabupaten Sampang, maupun Lekok dan Kraton Kabupaten Pasuruan dapat dikategorikan nelayan modern dilihat dari aspek alat tangkap yang dipergunakan waktu melaut ataupun sumber pembiayaan dan pemasaran hasil tangkapannya. Hal lain yang ikut mempengaruhi berkembangnya kondisi tersebut di antaranya sumber alternatif pekerjaan lain yang terbatas akibat keadaan alam, jumlah, serta tingkat pendidikan dan ketrampilan penduduknya. Perkembangan nelayan khususnya perikanan laut pada lima tahun terakhir mengalami kenaikan dari 7.037 orang pada tahun 2001 meningkat 49,56% menjadi 13.952 orang pada tahun 2005 yang secara terinci terlihat pada tabel 3.36 berikut:

109 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 3.36 Jumlah Nelayan Perikanan Laut, Produksi Ikan dan Perahu di Kabupaten Sampang Tahun 1998-2006

No Tahun Nelayan Perikanan Produksi Perahu/Kapal Laut Ikan Laut (Ton) Penangkap Ikan (Unit) 1 1998 12.344 16.518 1.902 2 1999 10.933 21.832 2.136 3 2000 11.325 24.004 1.892 4 2001 7.037 24.809,50 1.892 5 2002 9.199 18.842,20 1.928 6 2003 7.829 22.517,50 2.660 7 2004 13.952 15.363,00 2.781 8 2005 13.952 10.720,10 2.773 9 2006 13.952 11.884,80 2.773 Sumber: Kabupaten Sampang dalam Angka 1998 – 2007

Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah nelayan perikanan laut mengalami fluktuasi dari tahun 1998 hingga 2004. Pada tahun 1999 mengalami penurunan sebanyak 1.411 orang atau menurun 11,43% dari tahun 1998. Namun mengalami kenaikan jumlah nelayan di tahun 2000 sebanyak 392 orang atau 3,59% dari tahun 1999. Tahun 2001 jumlah nelayan menurun sebanyak 4.288 orang atau 37,86% dari tahun 2000. Jumlah nelayan kembali meningkat pada tahun 2004 yakni sebanyak 6.123 orang atau naik sebesar 78,21% dari tahun 2003. Keadaan nelayan, perahu dan alat tangkap di Kabupaten Sampang yang dimiliki secara terinci dapat dilihat pada tabel 3.37 berikut:

110 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Tabel 3.37 Jumlah Nelayan Perikanan Laut, Perahu/Kapal Ikan dan Alat Tangkap di Kabupaten Sampang, Tahun 2006

No Kecamatan Nelayan Perahu/Kapal Σ Alat Tangkap (Orang) Ikan (unit) (Unit) 1 Sreseh 790 280 280 2 Torjun - - 120 3 Pangarengan 348 120 * 4 Sampang 4.683 892 892 5 Camplong 1.520 389 389 6 Banyuates 2.002 409 409 7 Ketapang 2.718 310 310 8 Sokobanah 1.891 373 373 J u m l a h 13.952 2.773 2.773 Sumber: Kabupaten Sampang dalam Angka 2007 (*) Keterangan: Tidak tersedia data

Berdasarkan data pada tabel di atas menunjukkan bahwa nelayan terbanyak yang berada di Selatan Pulau Madura yakni Kecamatan Sampang dengan jumlah 4.683 orang, kemudian Kecamatan Camplong dengan jumlah nelayan 1.520 orang dan Kecamatan Sreseh dengan nelayan sebanyak 790 orang serta Kecamatan Pangarengan dengan nelayan sebanyak 348 orang, sedangkan di sebelah utara Pulau Madura yakni terbanyak di Kecamatan Ketapang, Kecamatan Banyuates dan Sokobanah. Selanjutnya keadaan penduduk yang bermata pencaharian di sektor perikanan laut dapat dicermati dari jumlah nelayan, perahu dan alat tangkap yang dimiliki, sebagaimana secara rinci pada tabel 3.38 berikut:

111 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 3.38 Jumlah Nelayan Perikanan Laut, Perahu , Alat Tangkap di Wilayah Kecamatan Camplong Tahun 2006

No. Desa/Kelurahan Nelayan Perahu/Kapal Alat Tangkap (Orang) Ikan (Unit) (Unit) 1 Taddan 26 18 * 2 Banjar Talela 26 22 * 3 Tambaan 113 113 * 4 Dharma Camplong 421 421 * 5 Sejati 99 83 *

6 Dharma Tanjung 686 686 * J u m l a h 1371 1343 389 Sumber: Kecamatan Camplong dalam Angka 2007 (*) Keterangan: Tidak tersedia data.

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa konsentrasi armada perahu berada di Desa Dharma Camplong sebanyak 153 unit atau 40,16% dari jumlah perahu di Kecamatan Camplong disusul Desa Dharma Tanjung sebanyak 145 unit atau 38,06% dari jumlah perahu di Kecamatan Camplong. Selanjutnya, guna mengetahui keberadaan nelayan, perahu serta jumlah alat tangkap yang dimiliki penduduk yang bermata pencaharian di sektor perikanan laut dapat dilihat pada tabel 3.39 berikut:

Tabel 3.39 Jumlah Nelayan Perikanan Laut, Perahu , Alat Tangkap di Wilayah Kecamatan Sreseh Tahun 2006

No. Desa/Kelurahan Nelayan Perahu/Kapal Alat Tangkap (Orang) Ikan (Unit) (Unit)

1 Noreh 402 210 * 2 Labuhan 414 207 * 3 Taman 211 99 *

4 Sreseh 270 136 * J u m l a h 1297 652 280 Sumber: Kecamatan Sreseh dalam Angka 2007 (*) Ketrangan: Tidak tersedia data

112 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa jumlah perahu terbanyak berada di Desa Labuhan sejumlah 414 unit atau sebanyak 32,45% dari jumlah keseluruhan perahu di Kecamatan Sreseh, disusul urutan kedua terbanyak berada di Desa Noreh sebanyak 402 unit atau 31,51% dari jumlah perahu di Kecamatan Sreseh. Nelayan terbanyak merupakan penduduk Desa Labuhan yaitu berjumlah 414 orang atau 31,92% dari jumlah nelayan Kecamatan Sreseh, urutan kedua terbanyak Desa Noreh dengan jumlah 402 orang atau 31% dari keseluruhan nelayan Kecamatan Sreseh. Nelayan Camplong dan Sreseh dapat dikategorikan berdasarkan aktivitas melaut dengan menggunakan alat tangkap dan tingkat sosial ekonominya, menunjukkan nelayan modern karena alat tangkapnya didominasi jenis alat tangkap yang lebih produktif untuk menghasilkan tangkapan. Selanjutnya, rincian perkembangan di sektor perikanan khususnya nelayan perikanan laut, produksi maupun jumlah perahu yang dioperasikan di Kabupaten Pasuruan dapat dilihat pada tabel 3.40 berikut:

Tabel 3.40 Perkembangan Jumlah Nelayan Perikanan Laut, Produksi Ikan dan Perahu di Kabupaten Pasuruan Tahun 1998-2006

No Tahun Nelayan Perikanan Produksi Ikan Perahu/Kapal Laut Laut (Ton) Penangkap Ikan (Unit) 1 1998 11.241 7.482 1.728 2 1999 12.054 10.246 2.303 3 2000 12.059 10.073 2.558 4 2001 12.084 10.063,2 9.268 5 2002 * 10.236,4 9.268 6 2003 11.087 9.964,9 9.927 7 2004 11.110 10.403,4 4.585 8 2005 11.120 9.992,9 4.586

9 2006 11.120 9.817,5 9.947 Sumber: Kabupaten Pasuruan dalam Angka 1998 - 2007 (*) Keterangan: Tidak tersedia data.

113 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan mengalami penurunan sebanyak 972 orang atau menurun 8,06% di tahun 2003 dibandingkan tahun 2000, dalam hal perolehan hasil tangkapan pada tahun yang sama justru mengalami penurunan sebesar 108,1 ton atau menurun 1,07%. Namun pada tahun yang sama jumlah armada mengalami peningkatan sangat besar yakni sebanyak 7.369 unit di tahun 2003 dibandingkan tahun 2000. Pada 2005, jumlah nelayan mengalami peningkatan sebanyak 33 orang atau meningkat 0,30% dibandingkan tahun 2001, akan tetapi jumlah armada perahu mengalami penurunan sangat besar yakni sebanyak 5.341 unit atau menurun 53,80% dibandingkan tahun 2003. Perolehan hasil tangkapan justru menunjukkan peningkatan sebanyak 28 ton atau meningkat 0,28% dibandingkan perolehan tahun 2003. Penyebaran nelayan, jumlah perahu dan alat tangkap di kecamatan yang ada di Kabupaten Pasuruan secara rinci dapat dilihat pada tabel 3.41 berikut:

Tabel 3.41 Jumlah Nelayan, Perahu/Kapal Ikan dan Alat tangkap di Kabupaten Pasuruan Tahun 2006

No Kecamatan Nelayan Perahu/Kapal Σ Alat Tangkap (Unit) (Orang) Ikan (Unit) 1 Beji 139 7 22 2 Kraton 2.710 806 739 3 Lekok 5.399 7.968 2.477 4 Nguling 2.762 1.166 989

J u m l a h 11.120 9.947 4.227 Sumber: Kabupaten Pasuruan dalam Angka 2007

Mencermati tabel di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2006 jumlah nelayan terbanyak berada di Kecamatan Lekok baik dari jumlah nelayan, perahu maupun alat tangkap. Adapun jumlah nelayan sebanyak 5.399 orang atau 48,55% dari jumlah nelayan di Kabupaten Pasuruan,

114 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan sedangkan jumlah armada perahu yakni 8.083 unit atau 81,26% dari jumlah perahu yang ada di Kabupaten Pasuruan, demikian pula dengan kepemilikan alat tangkap yakni 2.477 unit atau 58,60% dari keseluruhan alat tangkap di Kabupaten Pasuruan. Keadaan wilayah Kecamatan Kraton didominasi pemukiman penduduk yang padat di sepanjang pesisir Selat Madura. Pemukiman banyak terdapat rumah permanen cukup mewah untuk ukuran lingkungan nelayan tersebut, meski demikian jalan-jalan penghubung berupa gang- gang sempit dengan jalan berupa tanah padat diselingi jalan semen/plester ataupun berbatu putih. Pemukiman dipadati rumah tanpa ada pepohonan hanya ada beberapa pepohonan itupun di daerah pemakaman maupun fasilitas umum lainnya. Di perbatasan desa dengan kota terdapat sawah dan ladang penduduk. Di beberapa tempat terdapat tambak yang tidak seberapa luas dan beberapa usaha pegolahan hasil perikanan laut, seperti : rajungan, ikan asin/kering. Untuk menuju ke wilayah ini (Kecamatan Kraton) dapat pula ditempuh dari tepian wilayah Kecamatan Lekok dengan menyusuri pesisir, namun akan melewati wilayah kecamatan/desa dalam wilayah Kota Pasuruan. Fasilitas untuk aktivitas nelayan di Kecamatan Kraton relatif memadai seperti keberadaan Stasiun Pompa Solar, namun tidak pernah kunjung berfungsi. Di samping itu terdapat pula lahan percontohan budidaya ikan bantuan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasuruan pasca konflik nelayan (tahun 2004). Di beberapa teluk sekitar pesisir Kraton dijumpai hutan bakau. Keadaan aktivitas masyarakat secara umum terdapat masyarakat yang berusaha dalam pengolahan hasil laut seperti pengeringan ikan/ikan asin, pengolahan rajungan, dan sebagainya. Kecamatan Kraton dapat dijangkau dengan mudah karena lokasinya yang berbatasan dengan wilayah Kota Pasuruan. Wilayah ini berada sekitar 5 km dari Pasar Kraton yang berada di tepi jalan Provinsi arah menuju Kota Probolinggo dari Bangil. Pada wilayah perbatasan memasuki Kecamatan Kraton di wilayah pesisir ditemukan hamparan sawah yang cukup subur dan selanjutnya daerah pemukiman nelayan. Wilayahnya

115 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim membujur dari perbatasan Kecamatan Bangil hingga perbatasan Kota Pasuruan memanjang ke arah utara hingga Selat Madura. Untuk menuju ke wilayah ini dari jalan Provinsi dapat menggunakan dokar dengan tarif berkisar antara Rp2.000,- hingga Rp2.500,-. Desa-desa pesisir di wilayah kecamatan ini merupakan pemukiman padat penduduk dengan lorong-lorong sempit sebagai penghubungnya dan jalan-jalan desa masih didominasi berupa jalan tanah. Pemukiman padat memenuhi pesisir hingga ke arah pantai yang didominasi rumah semi-permanen serta banyak dijumpai kambing/domba yang dilepas pemiliknya di sekitar pemukiman nelayan, karena sangat sedikit lahan terbuka yang ditumbuhi rerumputan, sehingga kondisi tersebut menambah kesan kumuh, namun demikian juga dijumpai beberapa rumah permanen berlantai dua dan tidak sedikit yang dimiliki para juragan (pengepul ikan). Sistem produksi yang berlaku pada masyarakat nelayan di Kecamatan Lekok dan Kraton tidak jauh berbeda dengan sistem produksi di desa nelayan di Jawa maupun Indonesia pada umumnya, yakni meliputi pemilik modal, pedagang ikan, juragan, maupun nelayan. Pemilik modal adalah orang yang memiliki uang dan umumnya tidak bertempat tinggal di desa ini. Umumnya, mereka merupakan pemilik pabrik atau usaha pengolahan ikan yang tersebar di Pasuruan, Probolinggo hingga di Surabaya, sedangkan aktivitasnya dijalankan oleh para pedagang atau masyarakat setempat menyebut ‘supplier’, mereka ini pekerjaannya membeli ikan dari para juragan atau langsung pada nelayan yang mempunyai hubungan dengan juragan untuk selanjutnya ikan tersebut dijual ke pabrik tempat pedagang selama ini mendapatkan pinjaman uang sebagai modal. Para pedagang umumnya memiliki kehidupan ekonomi dan sosial yang cukup mapan. Kegiatan menangkap ikan di laut umumnya dilakukan oleh nelayan, baik berkelompok berjumlah lebih dari 3 orang maupun secara perorangan, dengan durasi melaut sekitar 12 jam dalam sehari semalam. Nelayan perorangan tidak ada batasan waktu berangkat melaut, di antaranya ada yang berangkat ketika selepas subuh pukul 05.00 dan kembali ke darat sekitar pukul 13.00-14.00 atau berangkat pukul 18.00-19.00 saat air laut surut dan kembali sekitar pukul 06.00-07.00 pagi, sedangkan nelayan

116 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan kelompok umumnya berangkat tengah malam sekitar pukul 24.00-02.00 malam dan sekitar pukul 13.00-15.00 siang nelayan kelompok biasanya telah sampai di darat kembali.

E. Konflik Nelayan Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan

Menurut F.J. Rothenbuhler bahwa migrasi penduduk ke Pulau Jawa merupakan bagian dari sejarah orang Madura, dan pada 1806 tercatat terdapat desa-desa orang Madura di Pojok Timur Karesidenan- karesidenan Jawa; di antaranya 25 desa di Pasuruan, sedangkan 22 desa di Puger ( Jember), dan 1 desa di Panarukan (Situbondo) (Kuntowijoyo, 2002:75). Nelayan-nelayan Madura yang berada di Pasuruan (termasuk Probolinggo dan Situbondo) secara historis merupakan masyarakat pendatang dari wilayah Selatan Pulau Madura. Berdasarkan aspek kedekatan jarak geografi, orang-orang Madura yang bertempat tinggal di Kabupaten Pasuruan berasal dari Kabupaten Bangkalan dan terbanyak berasal dari Kabupaten Sampang (Kusnadi, 2003:104), sebanyak 18.000 orang (Kuntowijoyo, 2002:78). Tiga daerah nelayan yakni Bangkalan dan Sampang serta Pasuruan merupakan daerah nelayan yang terlibat konflik, secara kultural nelayan yang terlibat konflik memiliki akar budaya yang relatif tidak jauh berbeda, meskipun nelayan Pasuruan merupakan etnik Madura perantauan dan Pendalungan dan mereka bermigrasi sebab tanahnya yang gersang dan secara geografis masih tidak jauh berbeda dari daerah asalnya serta menempati lahan yang memiliki karakteristik relatif sama gersang dan untuk aktivitas pertanian kurang memungkinkan, sehingga jiwa baharinya yang amat menonjol (Zein, 1986:7). Selanjutnya berdasar atas kondisi sosial ekonomi nelayan, bentuk aktivitas dalam melaut dan pemanfaatan hasil tangkapan pada tiga daerah nelayan yakni Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh)

117 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim serta Pasuruan (Kraton dan Lekok), menunjukkan bahwa di antara ketiga wilayah sentra nelayan memiliki karakteristik yang berbeda meskipun pada ketiga daerah tersebut merupakan etnik Madura, sekalipun Pasuruan secara geografis berada di Pulau Jawa namun secara historis sejak zaman Hindia Belanda terjadi migrasi penduduk dari Pulau Madura ke wilayah pesisir Jawa. Data sensus pemerintah Hindia Belanda menunjukkan bahwa penduduk etnik Madura yang bermigrasi ke wilayah Pasuruan (Bangil dan sekitarnya) didominasi etnik Madura yang berasal dari wilayah Sampang. Kondisi sosial ekonomi penduduk pesisir pada sentra nelayan di Sampang dan Pasuruan tidak jauh berbeda dengan tingkat pendidikan yang masih relatif terbatas serta jumlah penduduk yang cukup tinggi pada wilayah nelayan serta kondisi luas lahan yang terbatas serta tidak terlalu subur sebagai lahan pertanian, sehingga selain berladang mata pencaharian utama penduduk adalah melaut. Keterbatasan tingkat pendidikan dan permodalan membuat nelayan membangun hubungan dengan pemilik modal (Supplier, pedagang, maupunjuragan darat/laut). Sistem pemberian modal pada nelayan melalui cara ikut memberikan pinjaman sebagian modal pada pengadaan peralatan tangkap (perahu, mesin, alat tangkap) dan tanpa batas waktu pengembalian maupun tanpa dipungut bunga membawa implikasi pada keterlibatan ‘kepentingan’ pemilik modal terhadap aktivitas nelayan sepanjang waktu, sehingga pada kedua daerah nelayan di atas (Sampang dan Pasuruan) peran Supplier/ pedagang sangat dominan dalam mendukung aktivitas nelayan dalam melaut. Realitas di atas berbeda bila dibandingkan pada nelayan Bangkalan (Kwanyar) yang bermukim di wilayah pesisir yang cukup subur serta jumlah penduduk yang tidak sebanyak penduduk pada sentra nelayan Sampang dan Pasuruan tersebut. Kondisi ini memberikan peluang bagi penduduk untuk mengembangkan sektor pertanian, di samping itu jumlah nelayan tidak sepadat di Sampang ataupun Pasuruan. Dengan demikian, keberadaan nelayan Sampang dan Pasuruan dalam aktivitas melaut di perairan Selat Madura memiliki karakteristik

118 Ekologi Wilayah Konflik Nelayan yang relatif sama dari aspek kultural. Jumlah nelayan yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah nelayan Bangkalan, dan kedua daerah pesisir Sampang dan Pasuruan yang didominasi tanah/lahan gersang sehingga aktivitas penduduk pesisir yang lebih menonjol adalah di sektor perikanan laut. Hal ini berbeda bila mencermati jumlah nelayan maupun keadaan tanah di pesisir sentra nelayan Bangkalan. Mereka meskipun sebagai nelayan, namun masih dapat memanfaatkan lahan untuk aktivitas pertanian disebabkan lahan pesisir cukup subur untuk aktivitas di sektor pertanian dan jumlah penduduk tidak sepadat pada pesisir Sampang dan Pasuruan. Sebagaimana dalam intensitas melaut bagi nelayan Bangkalan tidak seintensif nelayan pada kedua daerah di atas. Kondisi ini ikut memberikan kontribusi terhadap pola aktivitas nelayan Bangkalan. Karenanya kondisi perairan di wilayah Bangkalan jauh lebih terjaga potensi perikanannya. Intensitas penangkapan ikan oleh nelayan Sampang dan Pasuruan pada wilayah perairan laut di daerahnya kondisinya jauh berbeda dari aspek potensi sumberdaya perikanan lautnya bila dibandingkan pada daerah Bangkalan. Keadaan demikian menyebabkan nelayan kedua daerah tersebut berusaha untuk ikut memanfaatkan potensi perikanan laut pada perairan wilayah Bangkalan. Dalam aktivitas melaut, masing-masing nelayan Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan tidak terlepas oleh pola aktivitas melaut yang selama ini mereka lakukan di daerah perairannya masing-masing, sehingga kondisi demikian telah menimbulkan konflik antar nelayan di perairan Selat Madura.

119

Bab IV Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

A. Penerapan Otonomi Daerah

Konsensus yang dicapai oleh para the founding fathers, sangat bijaksana yaitu membangun persatuan dan kesatuan bangsa dengan bingkai negara kesatuan melalui asas desentralisasi dan otonomi daerah sebagai elemen perekatnya. Hal tersebut dimaklumi mengingat kondisi geografis Indonesia sangat luas dengan segala kemajemukannya menyebabkan tuntutan kebutuhan untuk mengakomodasikannya dalam penerapan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan jawaban. Otonomi daerah merupakan sebuah persoalan atau problematika yang senantiasa berada di permukaan pada konteks pembahasan persoalan ketatanegaraan Indonesia hingga saat ini. Perdebatan substansial tersebut yakni menyangkut pilihan bentuk negara yang mendasari seluruh logika kontekstualitas penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. Perdebatan itu pula yang masih terjadi hingga detik-detik disahkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan kini menjadi Undang Undang Nomor 12 tahun 2008. Pemahaman lain dikemukakan Marbun (2005:28) tentang eksistensi daerah atau wilayah tertentu, namun relatif independen dan memiliki sistem pemerintahan lokal khas dan diteruskan hingga saat ini dapat

121 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim ditelusuri seperti: Desa di Jawa, Marga, Kuria, Huta, Nagari, Gampong (semuanya di Sumatera), dan nama lain lagi bagi beberapa kelompok tertentu yang tersebar di nusantara pada waktu dulu masih memungkinkan untuk ditelaah. Selanjutnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda, landasan yang dipakai adalah RR (Regerings Reglement) yang dibuat 1854 di Negeri Belanda yang di dalamnya tidak memuat adanya desentralisasi. Pemerintah Hindia Belanda secara langsung maupun tidak, tetap melaksanakan “politik devide et impera” dan kepada daerah-daerah tertentu diberikan kekhususan untuk mengatur diri sendiri dalam arti sempit yang tidak ada kaitannya dengan pengertian asas otonomi daerah sebagaimana dipahami saat ini. Sebelum 1903, Hindia Belanda dibagi dalam daerah (wilayah) administratif guna menerapkan dekonsentrasi yang lebih dikenal dengan sebutan gewesten, afdeling, dan onderafdelingan yang masing-masing daerah (wilayah) berada dibawah seorang Pamong Praja dengan sebutan Gubernur, Residen, Asisten Residen, Kontrolir. Di samping masih ada Kabupaten (Regent) yang dipimpin oleh Bupati dan daerahnya merupakan Swapraja, Kecamatan yang dulu disebut Onderdistrict, merupakan kesatuan wilayah administratif terkecil dan dikepalai oleh camat atau nama lain. Di tingkat desa yang merupakan daerah otonom dipimpin oleh kepala desa atau dengan nama lain untuk daerah tertentu sesuai penggelaran setempat. Pertumbuhan otonomi daerah di Indonesia sejak kemerdekaan diawali dengan dikeluarkannya Maklumat Nomor X tanggal 16 Oktober 1945. Namun, otonomi dalam masa pemerintahan parlementer ini harus berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Situasi ketatanegaraan 1945-1959 mengalami pasang-surut hal ini dapat dilihat dengan dikeluarkannya 3 Undang –undang yakni Undang Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang Undang Nomor 22 tahun 1948 dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1957. Dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang ditetapkan tanggal 23 November 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan

122 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

Komite Nasional Daerah, Undang-Undang ini memuat 6 pasal tanpa penjelasan, karena dalam praktek banyak yang belum jelas maka akhirnya diberi penjelasan pasal demi pasal (The Liang Gie: Kumpulan Pembahasan: 20-22). Lebih jauh, walaupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 sering dianggap terlalu singkat dan kurang lengkap (Marbuin, 2005:54), namun dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 merupakan Undang-Undang pertama yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Undang- Undang ini terutama mengatur kedudukan dan kekuasaan KND (Komite Nasional Daerah). Undang-Undang ini dapat dianggap sebagai peraturan desentralisasi yang pertama dari Republik Indonesia. Undang-Undang ini menetapkan adanya tiga jenis daerah yaitu karesidenan, kabupaten dan kota yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sebagaimana yang dimaksud Pasal 18 UUD 1945 dengan istilah “daerah besar dan kecil”. Selanjutnya, kekuasaan pemerintah daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 berupa dua macam, yaitu: (a) Pemerintahan Daerah yang didasarkan pada hak otonomi; dan (b) Pemerintahan Daerah yang didasarkan pada hak medebewind. Otonomi ialah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, sedangkan medebewind adalah hak menjalankan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat atau dari daerah yang tingkatannya lebih tinggi berdasarkan perintah pihak atasan itu.Lebih lanjut, mengenai perbedaan otonomi dan medebewind, Undang- Undang tersebut dalam penjelasannya menyebutkan sebagai berikut: “Pada pembentukan pemerintahan daerah yang hendak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri menurut Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah ini, maka oleh Pemerintah Pusat ditentukan kewajiban (pekerjaan) apa saja yang dapat diserahkan kepada daerah. Penyerahan ini ada dua bentuk yaitu: a. Penyerahan Penuh, artinya baik asas (prinsip-prinsipnya) maupun tentang caranya menjalankan kewajiban (pekerjaan) yang diserahkan itu diwenangkan semuanya kepada daerah (hak otonom), dan

123 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

b. Penyerahan Tidak Penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan saja, sedang prinsip-prinsipnya (asas- asasnya) ditetapkan oleh pemerintah pusat sendiri (hak medebewind)”.

Berbeda dengan UUD 1945 yang hanya memuat 1 pasal saja tentang pemerintahan daerah, yaitu pasal 18, maka UUD Sementara yang berlaku sejak 15 Agustus 1950. Sejak itu, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dengan Undang Undang Dasar yang cukup liberal dan penuh kompromi. Selanjutnya, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, yang terdiri dari 76 pasal dan terbagi dalam 9 bab. Adapun yang dimaksud dengan daerah dalam Undang-Undang ini ialah daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri yang disebut juga “Daerah Swatantra” dan “Daerah Istimewa”. Jika dalam Undang-Undang ini disebut “setingkat lebih atas”, maka yang dimaksudkan ialah: a. Daerah Tingkat I (termasuk Daerah Istimewa Tingkat I) bagi Daerah Tingkat II (termasuk Daerah Istimewa Tingkat II) yang terletak dalam wilayah Daerah Tingkat I itu. b. Daerah Tingkat II (termasuk Daerah Istimewa Tingkat II) bagi daerah tingkat III (termasuk Daerah Istimewa tingkat III), yang terletak dalam wilayah Daerah Tingkat II itu. c. Daerah Tingkat I (termasuk Daerah Istimewa Tingkat I) bagi Daerah Tingkat II (termasuk Daerah Istimewa Tingkat II) yang terletak dalam wilayah Daerah Tingkat I itu. d. Daerah Tingkat II (termasuk Daerah Istimewa Tingkat II) bagi daerah tingkat III (termasuk Daerah Istimewa tingkat III), yang terletak dalam wilayah Daerah Tingkat II itu.

Dalam penjelasan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1957 itu sendiri disebut bahwa sistem otonomi riil dinyatakan sebagai suatu sistem ketatanegaraan dalam lapangan penyelenggaraan desentralisasi yang berdasarkan keadaan dan faktor-faktor yang nyata, sesuai dengan

124 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut kebutuhan dan kemampuan yang nyata dari daerah-daerah mana pun. Dengan demikian, ternyata Undang Undang Nomor 1 Tahun 1957 tidak memuat ketentuan yang menetapkan secara tegas hal-hal manakah yang termasuk merupakan urusan rumah tangga masing- masing daerah dan hal manakah yang merupakan urusan pemerintah pusat. Hanya sebagai patokan ditentukan bahwa yang dimaksud dengan urusan pemerintah pusat ialah segala urusan yang menurut peraturan perundangan ditugaskan sendiri oleh pusat kepada dirinya sendiri untuk diatur dan diurus. Sedang urusan dan kepentingan pusat yang tidak secara tegas diatur dalam peraturan perundangan yang tertulis dimasukkan dalam pengertian kepentingan umum. Kepentingan umum itu berarti kepentingan nasional. Selebihnya, dari apa yang dipegang sendiri oleh pusat dan yang tidak termasuk kepada kepentingan umum itu merupakan urusan dan kepentingan rumah tangga daerah. Dalam situasi politik yang menghangat akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Republik Indonesia Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden yaitu kembali ke UUD 1945 sebagai Konstitusi RI yang resmi. Pada masa ini, dikeluarkanlah Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah dan kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang memuat 90 pasal. Pada tanggal 23 Juli 1974 diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 sebagai koreksi atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak mengatur secara rinci dan tegas tentang kewenangan Daerah. Namun, hanya disebut bahwa Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur rumah tangganya sendiri sesuai peraturan perundangan yang berlaku (pasal 7). Ketentuan ini merupakan “pasal karet” yang sewaktu-waktu bisa ditambah atau dikurangi sesuai kehendak pemerintah. Untuk memudahkan Pemerintah, diberlakukan prinsip: “Wewenang atau urusan yang diserahkan kepada Daerah, dapat ditarik kembali. Kewenangan yang tidak diserahkan kepada Daerah, berarti tetap wewenang Pemerintah Pusat”.

125 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 sesuai judulnya “Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah” bersifat limitatif (terbatas) dan dalam pemberian otonomi bersifat setengah hati yang diistilahkan “ekornya diberikan tetapi kepalanya tetap dipegang dan dikuasai sepenuhnya oleh Pusat”. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menggunakan 3 asas bersama-sama dengan seimbang dan serasi yakni: Asas Dekonsentrasi, Asas Desentralisasi, dan Asas Pembantuan. Penggunaan tiga asas ini dalam sistem pemerintahan secara sekaligus, maka hal ini mengaburkan makna otonomi daerah dan dalam prakteknya, Pemerintah Pusat lebih bertitik berat pada pelaksanaan asas dekonsentrasi. Hal ini nampak dalam hal: • Kewenangan menentukan kepala daerah provinsi adalah pada presiden, dan kepala daerah kabupaten/kotamadya adalah menteri dalam negeri. Peran DPRD hanya menentukan pilihan calon untuk disarankan diputuskan oleh pemerintah. • Tidak mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan tingkat desa, namun ketentuan ini diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979.

Dalam perjalanan pemerintahan di Indonesia hingga saat ini telah terjadi perubahan Konstitusi atau Undang Undang Dasar Republik Indonesia sebanyak 5 (lima) kali, yakni: 1. Undang-Undang Dasar 1945; penetapan berlakunya tanggal 18 Agustus 1945. 2. Konstistusi Republik Indonesia Serikat; tanggal 31 Januari 1950. 3. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia; tanggal 15 Agustus 1950. 4. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menetapkan berlakunya kembali UUD 1945. 5. Amandemen UUD 1945 oleh MPR yang ke 1, 2, 3, 4 pada tahun 1999, 2000, 2001, 2002.

Pada dekade terakhir sebelum reformasi, yakni periode Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di

126 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

Daerah sebenarnya telah mengatur hubungan kekuasaan pusat dan daerah pada bobot yang seimbang dalam arti kekuasaan yang dimiliki pusat dan daerah berada dalam titik keseimbangan (balance power sharing). Penyusun Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 telah belajar dari perjalanan pemerintahan daerah masa sebelum tahun 1974 yang terjadi tarik- menarik kewenangan di antara pusat dan daerah, pada periode tertentu bobot kekuasaan berada pada pemerintah pusat dan pada periode lainnya bobot kekuasaan berada pada pemerintah daerah. Penyususun Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1974 sadar untuk meletakkan bobot kekuasaan pada posisi seimbang yang dirumuskan dalam kalimat: bahwa “Asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi dan memberi kemungkinan pula bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan”. Dalam awal pelaksanaannya berjalan dengan baik, namun akibat paradigma dan cara pandang rezim Orde Baru yang menjadikan kebijakan otonomi daerah sebagai instrumen sentralisasi, eksploitasi, dan penyeragaman bagi daerah yang sangat beragam. Deviasi dan distorsi berimplikasi pada ketidakjelasan arah otonomi serta menciptakan ketergantungan daerah yang makin membesar terhadap pemerintah pusat. Dengan demikian, salah satu kelemahan dalam periode berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah adalah tidak konsisten dan konsekuennya pelaksanaan Undang-Undang tersebut. Karenanya faktor kunci pemerintahan daerah yang semakin demokratis tidak semata-mata terletak pada bagusnya pengaturan Undang-Undang, tetapi juga terhadap penafsiran dan penjabaran dari Undang-Undang tersebut dalam penyelenggaraan secara benar, baik di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah. Setidaknya desentralisasi merupakan wujud dari implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Menurut Sarundajang (1999), setidaknya ada empat dasar pertimbangan perlunya pemerintahan di daerah, yakni: Pertama, alasan historis mengenai eksistensi pemerintahan di daerah pada masa pemerintahan kerajaan serta yang pernah dipraktekkan di masa

127 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim penjajahan kolonial. Selain itu sistem kemasyarakatan yang memang ada di negeri ini, seperti nagari, kampong, dan sebagainya. Aspek kesejarahan juga memberikan hasil berupa peraturan ataupun Undang-Undang tentang Pemerintahan di Daerah, seperti: UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 44 Tahun 1950, UU No. 1 Tahun 1957, UU No.18 Tahun 1965, maupun UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 serta UU No. 12 Tahun 2008. Kedua, alasan situasi dan kondisi wilayah Indonesia yang merupakan gugusan kepulauan, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang memerlukan pengelolaan. Oleh karena itu adanya pemerintahan di daerah dipandang sebagai langkah efektif dan efisien dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Ketiga, alasan keterbatasan pemerintahan. Pemerintah tidak dapat menangani semua urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan masyarakat yang mendiami ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan perangkat pemerintahan di daerah. Keempat, alasan politis dan psikologis. Dalam kerangka negara kesatuan dan menjaga kekompakkan/keutuhan masyarakat di daerah atau wilayah, masyarakat perlu memilih pemerintahannya sendiri. Hal ini sekaligus dapat memberi kesempatan kepada daerah untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, sebagai perwujudan semangat dan jiwa demokrasi (Piliang dkk, 2003:214). Lebih lanjut menurut Gaffar (2000), bahwa ada beberapa karakteristik yang kemudian membedakan kebijakan desentralisasi kekuasaan pasca tahun 1998 dengan sebelumnya, yaitu: (1) Demokratis dan membawa misi demokratisasi, (2) Mendekatkan pemerintah dengan rakyat, (3) Sistem otonomi luas dan nyata, (4) Tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat, dan (5) No mandate without funding. Adapun konsep dasar Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yakni:

128 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

(1) Membesarnya kewenangan dan tanggung jawab daerah otonom (2) Keleluasaan daerah untuk mengatur/mengurus kewenangan semua bidang kecuali enam kewenangan (3) Kewenangan yang utuh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian (4) Pemberdayaan masyarakat, tumbuhnya prakarsa, dan inisiatif, meningkatnya peran masyarakat dan legislatif (Kaloh, 2007:61)

Selanjutnya perkembangan otonomi daerah di Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini sebagaimana terlihat dalam tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1 Perbadingan Otonomi Daerah di Indonesia Tahun 1945 - Sekarang

Periodisasi Konfigurasi Undang Undang Hakikat Politik Otonomi Otonomi

1945 –1949 Demokrasi UU No. 1 Tahun 1945 Otonomi Perjuangan UU No. 22 Tahun 1948 Luas Kemerdekaan

1950 –1959 Otonomi Pasca Demokrasi UU No. 1 Tahun 1957 Luas Kemerdekaan 1959 – 1965 Perpres No. 6 Tahun Otonomi Demokrasi Otoritarian 1959 Terbatas Terpimpin UU No. 18 Tahun 1965

1965 – 1998 Orde Baru Otoritarian UU No. 5 Tahun 1974 Sentralisasi

1998-sekarang UU No. 22 Tahun 1999 Otonomi Pasca Orde Baru Demokrasi UU No. 25 Tahun 1999 Luas UU No. 32 Tahun 2004 Sumber: Diolah dari Afan Gaffar, dkk (2002:118)

129 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Dengan demikian bahwa otonomi daerah berdasar Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 mengatur antara lain hal-hal sebagai berikut: Pertama; Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam daerah provinsi , daerah kabupaten dan daerah kota yang ketiganya berstatus otonom. Pada dasarnya daerah otonom tidak bertingkat, yang satu sama lain tidak mempunyai hubungan subordinasi. Dalam pembagian daerah otonom yaitu menjadikan daerah kabupaten dan daerah kota sebagai daerah otonom murni dan tidak merangkap sebagai daerah administratif. Kedua, di daerah kabupaten dan daerah kota dianut asas desentralisasi murni, asas dekonsentrasi tidak lagi digunakan di daerah kabupaten dan daerah kota kecuali di daerah provinsi. Asas tugas pembantuan dari pemerintah pusat, baik kepada daerah provinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota dan desa dimungkinkan dengan konsekuensi pembiayaan sarana dan prasarana dan sumberdaya manusia dari pemerintah yang menugasinya. Status kecamatan sebagai aparat dekonsentrasi beralih menjadi perangkat daerah otonom kabupaten dan perangkat daerah kota. Selanjutnya, pembantu gubernur dan pembantu bupati/walikota sebagai aparat dekonsentrasi dihapus. Ketiga, daerah provinsi di samping berstatus sebagai daerah otonom, juga sebagai daerah administrasi. Dalam hal sebagai daerah otonom, Provinsi mempunyai kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan lainnya yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten dan kota. Sedangkan sebagai daerah administrasi menyelenggarakan kewenangan di bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dalam rangka dekonsentrasi. Keempat, pemberian otonomi kepada daerah tidak lagi didasarkan pada banyaknya penyerahan urusan, melainkan pada pemberian kewenangan yang luas untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan di semua bidang pemerintahan, di mana pengaturan kewenagan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali

130 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter/fiskal, dan agama, serta kewenangan bidang lain. Kelima, kewenangan daerah tidak hanya di wilayah daratan, tetapi juga di wilayah lautan yang meliputi: (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan ke arah perairan kepulauan (kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut adalah sepertiga dari batas laut daerah provinsi; dengan demikian kewenangan daerah provinsi di wilayah laut hanya dua per tiga dari dua belas mil laut dimaksud; (b) pengaturan kepentingan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan (e) bantuan penegakan dan kedaulatan negara. Keenam, pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat menumbuhkan demokrasi, meningkatkan prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat serta dapat menentukan keputusan sesuai dengan kepentingan daerahnya.

B. Otonomi Daerah dalam Aspek Kewilayahan

Negara merupakan suatu organisasi besar yang tetap harus tunduk kepada falsafah dan mekanisme organisasi sebagai suatu sistem, maka sebagai konsekuensi logis apabila penataan (pengelolaan/manajemen) organisasi negara dibagi ke dalam tingkatan-tingkatan sesuai dengan besar- kecilnya organisasi tersebut. Adapun dalam negara kesatuan Republik Indonesia yakni negara besar, baik dari aspek luas wilayah maupun jumlah penduduknya, serta kompleksitas organisasinya. Untuk itulah menjadi cukup beralasan apabila struktur organisasinya mengenal pembagian kekuasaan serta adanya sistem pengendalian terpusat dan tersebar.

131 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Dalam upaya mengelola negara secara efisien dan efektif, maka wilayah/daerah negara Republik Indonesia dibagi ke dalam daerah provinsi, kabupaten dan kota sebagaimana termuat dalam BAB VI tentang Pemerintah Daerah, Pasal 18, Undang Undang Dasar 1945 (berdasar hasil Amandemen) sebagai berikut:

Ayat (1): “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang”. (*) (Perubahan kedua disahkan 18 Agustus 2000) Ayat (2): “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. (*) Ayat (5): “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. (*) Ayat (6): “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. (*) Ayat (7): “Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang”. (*)

Terkait dengan hal tersebut, selanjutnya pada Pasal 18 A diatur hal sebagai berikut: Ayat (2) : “Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang”. (*)

132 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

Sejalan dengan hal itu, selanjutnya pada Pasal 18 B diatur hal sebagai berikut: Ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”. (*)

Melengkapi hal tersebut, selanjutnya diatur pula dalam BAB IX A tentang Wilayah Negara, Pasal 25 A sebagai berikut:

“Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang”. (*): Perubahan kedua disahkan 18 Agustus 2000.

Penyerahan kekuasaan bukan saja dalam tataran horizontal, Cheema dan Rondenelli (1983) mengemukakan ada beberapa bentuk pelimpahan atau penyerahan otoritas yakni: 1. Dekonsentrasi; merupakan proses pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat/Nasional kepada Pemerintah-pemerintah Daerah/Subnasional untuk menjalankan tanggungjawab manajerial dan administratif pada saat menerapkan tugas-tugas Pemerintah Pusat/Nasional. 2. Delegasi; merupakan bentuk desentralisasi yang muncul ketika lembaga-lembaga pemerintah yang semi otonom atau badan usaha milik negara diberi tanggungjawab untuk mengelola atau menjalankan fungsi pelayanan sektor publik. 3. Devolusi; merupakan penyerahan atau pemberian kewenangan dan tanggung jawab secara politis kepada Pemerintah Daerah/ Subnasional. Proses ini biasanya diikutioleh transfer fiskal sehingga Pemerintah Daerah/Subnasional tidak hanya memiliki otonomi administrasi dan politik semata tapi juga memiliki otonomi finansial.

133 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

4. Privatisasi; pemerintah sebagai pemegang otoritas layanan barang-barang publik mendivestasikan tanggungjawab mereka kepada aktor-aktor non-negara (institusi swasta atau ornop) untuk menjadi provider dalam proses delivery pelayanan publik.

Sesuai dengan rumusan dan tafsiran Undang-Undang yang mengatur otonomi daerah di Indonesia, maka dikenal beberapa asas yakni: a. Asas desentralisasi; b. Asas dekonsentrasi; c. Asas tugas pembantuan (medebewind).

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas- luasnya, dalam arti bahwa daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan didi luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membentuk kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Terkait dengan prinsip dimaksud, dilaksanakan juga prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Nyata; berarti daerah telah memiliki potensi untuk merealisasikan isi dan jenis otonomi yang dilimpahkan sehingga isi dan jenis otonomi bagi tiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Otonomi yang bertanggung jawab; mengandung makna otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus sejalan dengan tujuan serta maksud dari pemberi otonomi (Marbun, 2005:9). Pembagian wilayah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, BAB II Pembagian Wilayah, Pasal 2 sebagai berikut:

“Dalam menyelenggarakan pemerintahan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah-Daerah Otonom dan Wilayah Adminsitratip”.

134 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

Selanjutnya pada BAB IV Wilayah Administratif – Bagian Pertama Pembentukan dan Pembagian, Pasal 72; disebutkan bahwa: (1) Dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Wilayah-wilayah Provinsi dan Ibukota Negara. (2) Wilayah Provinsi dibagi dalam Wilayah Kebupaten dan Kotamadya. (3) Wilayah Kabupaten dan Kotamadya dibagi dalam Wilayah- wilayah Kecamatan. (4) Apabila dipandang perlu sesuai pertumbuhan dan perkembangannya, dalam wilayah Kabupaten dapat dibentuk Kota Administratif yang pengaturannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan pada bagian lain yakni pada Pasal 74; disebutkan bahwa: (1) Nama dan batas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. (2) Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Kabupaten atau Kotamadya.

Penggalian potensi daerah merupakan suatu hal yang sangat penting guna menunjang pembangunan dan kemajuan daerah, karenanya potensi laut merupakan salah satu kekayaan potensial yang banyak dimiliki daerah di Indonesia yang tidak lain merupakan negara kepulauan, karenanya potensi laut perlu dikelola secara efektif agar dapat memberikan kemaslahatan kepada rakyatnya. Untuk itulah dalam Undang-Undang Otonomi Daerah memuat perangkat aturan yang digunakan sebagai pijakan guna mengelola wilayah dan sumberdaya laut secara bertanggung jawab. Seiring dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, maka diadakan perubahan ketentuan yang mengatur sistem pemerintahan di Indonesia terkait dengan pemerintahan daerah yang selanjutnya Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2001 setidaknya menunjukkan adanya hal-hal mendasar berupa perubahan yang dilakukan demikian besar. Perubahan substansial dimaksud yakni

135 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim penguatan masyarakat lokal dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi baik di tingkat lokal ataupun nasional, pengembalian martabat dan harga diri masyarakat daerah yang telah sekian lama dimarginalkan. Kekuasaan yang demikian dengan segala atributnya kemudian harus dibagi dengan masyarakat di daerah, tentunya hal ini tidak mudah dan kekuasaan tersebut harus direlakan untuk dibagi-bagi, sementara hal mendasar dari desentralisasi dan otonomi daerah adalah “devolusi” kekuasaan ke daerah. Mengingat kata kunci otonomi daerah adalah kewenangan, karena dengan kewenangan maka daerah akan menjadi kreatif untuk menciptakan kelebihan dan insentif aktivitas ekonomi dalam pembangunan daerah. Berlakunya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 di antaranya mengatur aspek kewilayahan, bahwa kewenangan daerah tidak hanya di wilayah daratan, namun juga di wilayah lautan, sebagaimana diatur dalam BAB II Pembagian Daerah, Pasal 3 yakni:

“Wilayah Daerah Provinsi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1), terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepaulauan” (1999:5)

Sedangkan dalam BAB IV Kewenangan Daerah pada Pasal 10 diatur: (1) Daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang- undangan. (2) Kewenangan daerah di wilayah laut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, koservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan ke arah perairan kepulauan (kewenangan daerah Kabupaten dan daerah Kota di wilayah laut adalah

136 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

sepertiga dari batas laut daerah provinsi; dengan demikian, kewenangan daerah provinsi di wilayah laut hanya dua per tiga dari dua belas mil laut dimaksud); b. pengaturan kepentingan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan e. bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara (1999:7-8).

Sejalan dengan hal tersebut, terdapat juga beberapa aspek penting yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, Undang-Undang ini mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan daerah dengan tujuan guna memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab serta mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggungjawab yang jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada tahun kelima implementasi Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, tepatnya tahun 2004 berbagai pertimbangan atas dampak pelaksanaan undang undang tersebut kemudian diadakan revisi sehingga diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, setidaknya untuk menyelaraskan dengan hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1, 5, 18 (butir a dan b), 20, 21, 22 (butir d), 23 (butir e ayat 2), 24 (ayat 1, 31 (ayat 1), 33 dan 34 serta sesuai amanat UUD 1945 (hasil amandemen) bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Untuk itu daerah diharapkan meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,

137 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim pemerataan dan keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 terdiri dari 26 bab, dan 240 pasal dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya, maka undang undang ini jauh lebih lengkap. Mencermati otonomi daerah dalam konteks Undang-Undang tentang pemerintahan daerah di atas, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang cukup mendasar, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih mengarahkan otonomi daerah guna melancarkan pelaksanaan pembangunan dan kestabilan politik, sedangkan otonomi dalam Undang- Undang Nomor 22 tahun 1999 lebih menekankan pada prinsip demokrasi, peranserta masyarakat dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah. Dalam hubungannya dengan aspek kewilayahan, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dituangkan pada Bab I Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-daerah Provinsi dan Daerah Provinsi itu di bagi atas Kabupaten dan Kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”.

Selanjutnya daerah-daerah dimaksud memiliki berbagai kewenangan, dalam hal ini kewenangan daerah dalam pengelolaan sumber daya laut. Untuk itu berikut kewenangan daerah yang termuat dalam Undang -Undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya dalam pengelolaan sumber daya laut yaitu pada Bab III Pasal 18 sebagai berikut: Ayat (1): “Daerah yg memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut”. Ayat (2): “Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Ayat (3): “Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah

138 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara”.

Ayat (4): “Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut, sebagaimana ayat (3) paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk Provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota”.

Ayat (5) “Apabila wilayah laut antara 2 provinsi kurang dari 24 mil, kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 provinsi tsb, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud”.

Ayat (6) “Ketentuan sebagaimana ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil”.

Tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahahan Daerah, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000. Adapun tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah guna peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan serta demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi daerah/ lokal. Untuk itu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa kewenangan provinsi sebagai daerah daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan. Dalam hal lintas kabupaten/kota serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dalam menentukan kewenangan tersebut adanya kriteria sebagaimana disebutkan dalam angka 1 dan 2 bagian

139 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

A penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, bahwa kewenangan provinsi dimaksud dikelompokkan dalam bidang yang pada dasarnya merupakan upaya untuk membatasi kewenangan pemerintah provinsi sebagai daerah otonom. Dengan demikian bahwa kewenangan untuk mengatur, membina serta mengawasi dan memanfaatkan potensi daerah sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah pada dasarnya merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Jadi pemberdayaan potensi dalam hal ini subsektor perikanan dan kelautan yang bukan dan atau tidak termasuk kewenangan provinsi sebagaimana yang tersebut dalam angka 1 dan 2 ayat 5 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 adalah jelas menjadi bagian dari kewenangan urusan kabupaten/kota. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- pokok Pemerintahan di Daerah, tidak memberikan kewenangan terhadap wilayah laut pada provinsi Daerah Tingkat I maupun Kabupaten/Kota Daerah tingkat II. Namun pascaruntuhnya kekuasaan Orde Baru, dengan hadirnya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan oleh Presiden B.J. Habibie pada tanggal 7 Mei 1999 memberikan landasan hukum bagi wilayah Daerah provinsi yang meliputi wilayah darat dan laut (Pasal 3), serta pemberian otonomi kepada daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Daerah Kota (Pasal 2, ayat 1) yang masing-masing berdiri sendiri tidak mempunyai hubungan hierarki (Pasal 4, ayat 2). Pada bagian lain juga memuat bahwa kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah provinsi (Pasal 10, ayat 3). Selanjutnya, dilakukan perubahan dengan dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 15 Oktober 2004. Dalam ketentuan ini memuat penegasan bahwa daerah provinsi dibagi atas Kabupaten dan Kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah (Pasal 2, ayat 1). Pada bagian lain juga memuat ketentuan bahwa daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang mempunyai wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di

140 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut wilayah laut (Pasal 18, ayat 1), dan kewenangan tersebut sejauh 12 mil laut dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota (Pasal 18, ayat 4), selanjutnya dapat dilihat perkembangan tersebut dalam matrik 3 berikut:

Matrik 3: Perbandingan Pembagian Kewilayahan dan Kewenangan Pada UU No. 5/1974; UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004

No Substansi UU No. 5/1974 UU No. 22/1999 UU No. 32/2004

1 Wilayah Daerah Daerah Provinsi, Daerah-daerah NKRI Otonom Daerah Prop., Provinsi dan Wilayah Kabupaten dan dibagi atas Administratif Daerah Kota Kabupaten (Pusat, Dati I, bersifat Otonom; dan Kota Dati II) (Psl. 2) Daerah Provinsi masing-masing juga sbg Wil. mempunyai Administrasi (Psl. pemerintah an 2 ayat 1 dan ayat daerah (Psl 2 ayat 2); masing-masing 1); pemerintahan mrpk. Daerah yg daerah dimaksud berdiri sendiri dan memiliki hub. tidak mempunyai dg. Pemerintah hubungan hierarki dan pemerintah (Psl. 4 ayat 1) daerah lainnya (Psl. 2 ayat 4) 2 Urusan Sentralisasi Otonomi Luas Otonomi Luas Pemerintahan 3 Wilayah Wil. Wilayah darat Wilayah darat Daerah Administratif dan wilayah laut dan kewenangan Provinsi (Psl. 2) sejauh 12 mil laut mengelola wil. (Psl. 3) laut sejauh 12 mil laut (Psl.18, ayat 4); Jika wil laut Prop. kurang dr 24 mil, dibagi sama jarak (Psl. 18, ayat 5) 4 Wilayah Wil. Wilayah darat Wilayah darat Daerah Administratif dan wilayah dan kewenangan Kabupaten/ (Psl. 2) laut sejauh 1/3 mengelola wil. Kota (sepertiga) dari laut sejauh 1/3 batas laut Daerah (sepertiga) dari Provinsi (Psl.10, wil. kewenangan ayat 3) Provinsi (Psl. 18 ayat 4) Sumber: Diolah oleh Peneliti

141 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan matrik 3 di atas, dapat diketahui bahwa ada pergeseran dalam beberapa substansi dalam Undang-Undang Nomor 5/1974 menjadi Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam hal otonomi pada UU Nomor 5/1974 titik berat otonomi ada pada Daerah Tingkat II (Dati II) Kabupaten maupun Kotamadya (Pasal 11), berbeda halnya dalam UU Nomor 22/1999 bahwa derah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota masing-masing adalah otonom dan berdiri sendiri bahkan tidak ada hubungan hierarki. Hal ini mengalami perubahan dalam UU Nomor 32/2004, bahwa daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang memiliki hubungan dalam pelaksanaan tugas pembantuan yaitu pelimpahan tugas dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota. Sementara itu, dalam hal wilayah daerah provinsi maupun kabupaten/ kota dalam UU Nomor 5/1974 merupakan wilayah administratif dalam arti Daerah Tingkat I (Dati I/Provinsi) maupun Daerah Tingkat II (Dati II/Kabupaten/Kotamadya) tidak memiliki kewenangan pada wilayah laut. Namun, dalam UU Nomor 22/1999 daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota memiliki wilayah laut bagi yang dalam wilayahnya berbatasan dengan laut dengan batasan wilayah laut pada daerah provinsi sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Daerah kabupaten maupun kota yang memiliki wilayah berbatasan dengan laut memiliki kewenangan di wilayah laut sejauh sepertiga dari batas laut daerah provinsi. Dalam perkembangannya UU Nomor 22/1999 direvisi menjadi UU Nomor 32/2004 dengan menghasilkan pembaharuan bahwa wilayah laut provinsi maupun Kabupaten/Kota bukanlah memiliki wilayah laut akan tetapi kewenangan untuk mengelola wilayah laut sejauh 12 mil bagi daerah provinsi dan sepertiga dari batas laut kewenangan provinsi merupakan kewenangan pengelolaan dari Kabupaten/Kota. Selanjutnya dalam konteks kewenangan pengelolaan wilayah laut tersebut, manakala jarak wilayah laut antar provinsi kurang dari 24 mil laut maka wilayah kewenangannya dibagi menjadi dua sama jarak.

142 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

C. Kebijakan Pengelolaan Sumber daya Perikanan Laut

Pengelolaan sumberdaya perikanan sebenarnya telah ada sejak zaman Mahabarata di India. Pengelolaan sumberdaya perikanan pada masa itu telah dikaitkan dengan dua isue penting yakni upaya mengurangi dampak buruk akibat kekurangan pangan dan keinginan mengkonservasi sumberdaya perikanan, yaitu dengan memberikan kesempatan pada populasi ikan itu untuk berproduksi sebagaimana dikemukakan Nikolskii. Pengelolaan terhadap sumber daya perikanan laut memiliki tujuan utama menjaga kelestarian produksi utamanya melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan (enhancement) guna meningkatkan kesejahteraan nelayan serta untuk memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut (Suadi dkk, 2006:3). Dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan, pihak yang berwenang mengelola harus mampu merancang, memberikan alasan yang kuat (secara politis), dan melaksanakan berbagai bentuk pengendalian (menyelenggarakan Undang-Undang) terhadap aktivitas pengangkapan. Dalam penerapannya, pihak pengelola harus mampu menentukan beberapa pilihan yang sulit dan bersifat kuantitatif. Misalnya: besaran perkembangan perikanan yang diijinkan, batas spesifik yang harus diletakkan berkaitan dengan hasil tangkapan (musim, ukuran ikan, hasil tangkapan total, lokasi penangkapan). Hal ini diperlukan untuk menentukan berbagai alternatif terbaik pengelolaan perikanan laut. Pemerintah di berbagai negara, terutama negara-negara berkembang memiliki otoritas penuh guna mengelola sumber daya perikanan. Oleh karena kewenangannya berada pada pemerintah sehingga semua tahapan dan komponen pengelolaan sumber daya perikanan mulai dari pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan, dan evaluasi dilaksanakan oleh pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah.

143 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Pengelolaan sumber daya perikanan tidak hanya memperhatikankan tingkat produktivitas yang tinggi, tetapi juga langkah-langkah pengendalian atas pemanfaatannya. Sumber daya perikanan laut di Indonesia meskipun dapat pulih (renewable) dalam pemanfaatannya harus dikelola dengan mengindahkan prinsip yang benar. Artinya, bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan laut mengarah pada tercapainya pemanfaatan seoptimal mungkin tanpa membahayakan kelestariannya. Karena tanpa pengelolaan (without management), maka kemungkinan terhadap sejumlah jenis ikan tertentu yang dieksploitasi dan dimanfaatkan melebihi kemampuan reproduksinya sehingga sumberdaya tersebut mengalami degradasi yang pada akhirnya mengalami kepunahan. Esensi dari pengelolaan sumberdaya perikanan yakni mencari keseimbangan antara upaya eksploitasi dan kemampuan reproduksi atau daya pulih sumberdaya. Jika keseimbangan dapat dicapai, maka meskipun dari satu sisi sumberdaya dieksploitasi secara terus menerus, di sisi lain sumberdaya tersebut masih memiliki kemampuan berkembang biak. Pentingnya mengelola sumberdaya perikanan secara empiris dapat ditunjukkan dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan saat ini. Di beberapa daerah masih ada peluang untuk pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Menurut prinsip pengelolaan konservasi, seluruh perairan di Indonesia sudah saatnya dilakukan penataan atau dikelola dengan baik guna keberlanjutan sumberdaya perikanan tersebut serta untuk tujuan-tujuan pembangunan. Untuk itulah sumber daya perikanan harus dikelola dan yang menjadi penanggung jawab adalah pemerintah. Dalam hal ini pemerintah bertindak selaku manajer atau pengelola sumber daya yang mengatur tata pemanfaatan sumber daya perikanan dimaksud. Mencermati pengelolaan sumber daya perikanan dalam pendekatan legal formal setidaknya mencakup beberapa ketentuan hukum: Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (UU No. 6/1996); Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU No. 31/2004) serta Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU No.31/2004). Selanjutnya dalam UU No.

144 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

6/1996 (Bab IV, Pasal 23) ditegaskan bahwa pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional. Dengan demikian diartikan bahwa pengelolaan lingkungan perairan Indonesia termasuk sumber daya perikanannya hendaknya dilakukan atas dasar peraturan nasional serta merujuk pada hukum internasional yang dalam hal ini yakni United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, yang juga telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Ketentuan dalam UNCLOS 1982 yang terkait dengan sumberdaya perikanan yang termuat dalam Pasal 61 – 68 di antaranya adalah:

1. Menjamin dan mengadakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga tidak terjadi penangkapan ikan secara berlebihan (61:2). 2. Mengembangkan penangkapan ikan dengan memperhatikan keberlanjutan sumberdaya (61:4) berdasarkan data yang dapat dipercaya (61:5) di antaranya untuk kebutuhan ekonomi masyarakat pesisir (61:3). 3. Melaksanakan tindakan pengelolaan perikanan dalam bentuk mengeluarkan izin penangkapan ikan (62:4a), penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap (62:4b), menentukan kuota penangkapan (62:4b) mengatur musim penangkapan ikan (62:4c), macam dan ukuran alat penangkapan ikan (62:4c), serta ukuran dan jumlah kapal ikan yang yang diizinkan (62:4c). 4. Mengumumkan dan memberitahukan sebagaimana mestinya tentang pengaturan konservasi dan pengelolaan yan berlaku di suatu negara (62:5).

145 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Indonesia sebagai negara yang memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan laut, namun juga memiliki kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut, dengan pengaturan sebagai berikut:

1. Prinsip-prinsip Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Berbagai pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan setidaknya memiliki tujuan yang tidak jauh berbeda dengan tujuan pengelolaan perikanan laut. Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan bagi nelayan secara individual ibarat ‘... sink every other boat but mine’ (tenggelamkan setiap kapal lain kecuali milik saya) (Chusing,1977:21). Bagi nelayan yang terpenting bahwa pengelolaan tersebut memberikan hasil tangkapaan yang baik dengan harga yang tinggi. Tidak ada pola pengelolaan yang terlalu menyimpang dari prinsip tersebut, meski banyak di antaranya yang diberi muatan demi kepentingan nelayan maupun beragam kepentingan lainnya. Teknik yang sering dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut di antaranya dengan melakukan pelarangan terhadap penggunaan metode penangkapan baru, yang disertai alasan akan merusak persediaan sumberdaya perikanan. Hal ini tidak jarang mencerminkan kehendak nelayan yang telah ada untuk menolak teknik baru karena terdesaknya kepentingan mereka. Oleh karena mereka terpaksa harus mengeluarkan biaya untuk membeli peralatan baru, serta kesulitan dalam mempelajari penggunaan metode baru tersebut. Eksploitasi yang berlebihan atas sumberdaya perikanan yang bersifat open access akan mendorong munculnya berbagai regulasi guna mengendalikan tingkat upaya penangkapan. Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan yakni menyangkut pemanfaatan sumber daya perikanan dalam jangka panjang secara berkelanjutan. Oleh karenanya diperlukan pendekatan proaktif dan berusaha secara aktif menemukan cara untuk mengoptimalisasi keuntungan ekonomi dan sosial dari sumber daya yang tersedia. Penggunaan pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan semacam itu masih jarang dilakukan, mengingat

146 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut yang acapkali dilakukan adalah sebagian terbesar keputusan dibuat dan tindakan yang dilakukan semata-mata untuk merespons permasalahan atau situasi krisis saat itu. Sehingga keputusan menghadapi krisis tersebut biasanya dilakukan sekedar untuk memecahkan masalah yang muncul seketika tanpa mempertimbangkan perspektif yang lebih luas dan berbagai tujuan jangka panjang. Pendekatan semacam ini mungkin tidak akan berhasil dalam mewujudkan pemanfaatan yang terbaik atas sumberdaya perikanan laut yang dieksploitasi oleh aktivitas perikanan. Suadi, dkk mengemukakan bahwa pengelolaan terhadap sumber daya perikanan secara umum dapat dibagi dalam empat kelompok yakni biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial. Adapun pengelompokan dimaksud yaitu: (a) menjaga spesies target berada di tingkat atau di atas tingkat yang diperlukan untuk menjamin produktivitas yang berkelanjutan; (b) meminimalkan berbagai dampak penangkapan atas lingkungan fisik dan atas non-target (hasil tangkapan sampingan); (c) memaksimumkan pendapatan bersih bagi nelayan yang terlibat dalam perikanan (tujuan ekonomi); (d) memaksimumkan kesempatan kerja bagi mereka yang tergantung pada perikanan bagi kelangsungan kehidupan mereka (tujuan sosial) (2006:73-74). Penentuan tujuan seperti di atas sangat diperlukan, sebab dalam realitasnya salah satu penyebab kegagalan pengelolaan sumberdaya perikanan yakni ketiadaan tujuan yang ditetapkan secara jelas dan tepat. Penetapan tujuan sebagaimana dikemukan di atas memiliki keterbatasan, yakni: Pertama; tujuan tersebut memilki konflik dalam intensinya, misalnya: untuk meminimumkan dampak terhadap sumberdaya perikanan atas ekosistem dan secara simultan meningkatkan pendapatan secara ekonomi. Namun hal yang hampir sama, sangat mungkin bahwa strategi pengelolaan yang bertujuan memaksimumkan pendapatan bersih tidak akan memaksimumkan kesempatan kerja. Kedua; bahwa tujuan tersebut masih samar-samar untuk menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi pengelola. Contoh: dampak penangkapan hanya dapat ’diminimumkan’ dengan cara tidak melakukan

147 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim penangkapan sama sekali, yang pasti bukan yang dimaksudkan oleh para perumus tujuan tersebut. Jika memaksimumkan kesempatan kerja dapat berarti memperbolehkan sebanyak mungkin nelayan mengambil bagian, tanpa harus mempertimbangkan mereka masih dapat dari hasil perikanan atau tidak, atau memaksimumkan jumlah nelayan yang masih mungkin memperoleh pendapatan yang memadai. Dalam mengelola sumberdaya perikanan diperlukan keberanian para pengelola untuk mengambil keputusan. Namun, sejumlah prinsip dasar perlu diidentifikasi guna mendukung pengelolaan sumber daya perikanan yang efektif. Prinsip- prinsip dimaksud sebagaimana dalam tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Prinsip-prinsip Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut

No Prinsip-prinsip Fungsi Pengelolaan

1 Stok dan komunitas Potensi lestari perlu diestimasi dan ikan terbatas serta faktor biologi yang berpengaruh perlu produksi secara biologi diidentifikasi mempengaruhi potensi lestari dari suatu perikanan

2 a. produksi biologi dari a. target titik referensi perlu suatu stok merupakan ditentukan melalui koleksi data dan fungsi dari ukuran stok pengkajian stok b. fungsi lingkungan b. dampak lingkungan harus juga dipengaruhi oleh diidentifikasi, di monitor serta perubahan alamiah diperlukan strategi yang disesuaikan dengan respon terhadap perubahan lingkungan.

3 Kebutuhan konsumsi ikan Tujuan dan sasaran pengelolaan secara mendasar menimbulkan realistis perlu ditetapkan. Pencapaian konflik dg. berbagai upaya tujuan memerlukan kontrol atas upaya dalam menjaga kelestarian dan kapasitas sumber daya

4 Dalam sumberdaya Tujuan dan sasaran yang realistis perikanan multi-spesies perlu ditetapkan menurut ekosistem, di mana deskripsi sehingga dapat mengelola spesies dan mencakup seluruh interaksi antar perikanan. perikanan, tidak mungkin untuk memaksimumkan tangkapan dari semua sumber daya perikanan secara simultan

148 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

5 Ketidakpastian yg Pengkajian terhadap risiko dan menyertai pengelolaan pengelolaan harus dilakukan dalam sumberdaya perik. rangka mengembangkan dan menghambat pembuat mengimplementasikan rencana kepts. untuk dpt pengelolaan, tindakan dan strateginya. memperoleh informasi yg memadai. Semakin besar ketidakpastian hrs makin konservatif bentuk pendekatannya.

6 Ketergantungan jangka Sumber daya perikanan tidak dpt. pendek masy. atas Dikelola secara terpisah dan harus sumberdaya perikanan akan diintegrasikan ke dalam kebijakan menentukan prioritas tuj. pembangunan daerah pesisir, perenc. sosial dan/atau ekonomi dan kebijakan nasional. dalam kaitannya dg. pemanfaatan berkelanjutan

7 Perasaan memiliki dari pihak Suatu sistem hak akses yang efektif yg memiliki akses (individu, dan memadai harus ditetapkan dan komunitas, kelompok) sangat ditegakkan. kondusif guna menjaga sumberdaya perikanan yang bertanggung jawab

8 Kesungguhan partisipasi Komunikasi, konsultasi, dan dalam proses pengelolaan pengelolaan bersama (co-management) oleh pengguna yg harus mendasari semua langkah menerima informasi dg. pengelolaan . baik adalah konsisten dg. prinsip demokrasi, selain memfasilitasi identifikasi sistem pengelolaan yg dapat diterima dan mendorong kepatuhan thd. hukum dan perundang-undangan Sumber: Cochrane (dalam Suadi, dkk., 2006:48).

Dalam menjaga sifat terintegrasinya ekosisitem sumber daya perikanan maka beragam prinsip tersebut tidak dapat diperlakukan secara terpisah dalam mempertimbangkan pengelolaan yang baik karena implikasi dan konsekuensinya saling tumpang-tindih. Untuk itulah pengelolaan sumber daya perikanan memerlukan pertimbangan mendalam dan komprehensif agar diperoleh pendekatan yang bijaksana.

149 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

2. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut Sebagian besar dari beragam jenis ikan di dunia tidak berada sepenuhnya dalam yurisdiksi suatu negara, bahkan sering terjadi stok ikan tersebut dieksploitasi oleh sejumlah negara tertentu. Akibatnya, implementasi suatu tindakan pengelolaan tidak hanya melibatkan satu negara tertentu. Namun, memerlukan persetujuan dari negara-negara lain yang bersangkutan. Selanjutnya, lembaga pangan dunia (FAO) pada 1990-an, banyak terlibat dalam kegiatan pengelolaan perikanan laut. Dalam upaya pengumpulan data guna pengelolaan, FAO membagi wilayah pengelolaan perikanan laut menjadi 18 wilayah. Indonesia dalam hal ini termasuk ke dalam kode wilayah nomor 57 dan 71, yaitu daerah di wilayah Timur Samudera Hindia dan Barat Samudera Pasifik. FAO, walaupun tahun 1995 telah mengeluarkan kode etik bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang bertanggung jawab, nyatanya upaya tersebut masih belum bersifat mengikat karena tiap negara keterlibatannya hanya bersifat sukarela (Suadi,dkk., 2006:62-63) Indonesia dalam upaya pengelolaan perikanan secara nasional membagi wilayah pengelolaan ke dalam 9 Wilayah Pengelolaan Perikanan atau disingkat dengan WPP. Adapun kesembilan wilayah pengelolaan tersebut sebagaimana dalam tabel 4.3 berikut:

150 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

Tabel 4.3 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia

No. W i l a y a h P e r a i r a n Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 1 Selat Malaka, Zone Ekonomi Eksklusif I Indonesia (ZEEI) Selat Malaka

2 Laut Cina Selatan, Laut Natuna, Perairan II Natuna, Selat Karimata, ZEEI Laut Cina Selatan 3 Laut Jawa III

4 Laut Flores, Perairan Sulawesi Tenggara, IV Selat Makassar 5 Laut Banda V 6 Perairan Barat Daya Perairan Papua Barat, VI Perairan Papua Barat, Perairan Barat/ Selatan Papua Barat, Perairan Selatan Papua Barat, ZEEI Laut Arafura

7 Laut Maluku, Perairan Kabupaten Banggai VII dan Poso, Teluk Bintuni 8 Laut Sulawesi, Perairan Utara Papua Barat, VIII Samudera Pasifik, ZEEI Laut Sulawesi, ZEEI Samudra Pasifik 9 Samudera Hindia (Barat Sumatera, Selatan IX Jawa, Laut Sawu, ZEEI Samudera Hindia, ZEEI Samudera Hindia (Barat Sumatera Utara), ZEEI Laut Timor (Wilayah RI) Sumber: Suadi,dkk. (2006:62-63)

Sumber daya perikanan karena sifatnya yang unik maka perlu dikelola guna menjamin agar dimanfaatkan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab, serta potensi ekonominya tidak dihamburkan secara tidak efisien bahkan nilai keuntungan itu menjadi kecil sehingga tidak ada lagi. Produksi dan potensi sumberdaya perikanan pada kenyataannya dibatasi oleh sejumlah faktor yang dapat dikelompokkan dalam faktor biologi, ekologi dan lingkungan, teknologi, ekonomi, sosial dan kultural.

151 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim a. Pertimbangan Biologi Sumber daya perikanan sebagai suatu populasi atau komunitas yang hidup mampu memperbaharui dirinya dengan melalui proses pertumbuhan baik dalam ukuran (panjang) maupun massa (bobot/berat) individu selain pertumbuhan terhadap jumlah populasi atau komunitas melalui reproduksi (biasa disebut dalam sumberdaya perikanan sebagai rekrutmen). Dalam populasi yang tidak dieksploitasi, mortalitas total mencakup mortalitas alami yang terdiri dari proses-proses seperti: pemangsaan, penyakit, kematian dan lain-lain. Untuk populasi yang dieksploitasi mortalitas total terdiri dari mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Tugas utama pengelolaan sumberdaya perikanan yakni menjaga agar mortalitas penangkapan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam atau merusak kelestarian produktivitas dan populasi ikan yang sedang dikelola. b. Pertimbangan Ekologi dan Lingkungan Potensi dan dinamika populasi sumberdaya perikanan memiliki peranan penting, akan tetapi populasi aquatik tidak hidup dalam isolasi, namun merupakan bagian dari suatu ekosistem yang kompleks terdiri dari komponen biologi yang mungkin memangsa, dimangsa, atau berkompetisi dengan populasi tertentu. Komponen fisik ekosistem seperti: air itu sendiri, masukan air tawar dan proses non-biologi lainnya juga sangat penting. Lingkungan dari sumberdaya perikanan jarang yang bersifat statis dan kondisi lingkungan aquatik dapat berubah secara nyata sesuai waktu seperti pasang surut, suhu, dan sebagainya. Perubahan lingkungan dimaksud memengaruhi dinamika populasi sumber daya perikanan, pertumbuhan, rekrutmen, mortalitas alami atau kombinasi dari semua itu. Beberapa perubahan tersebut mungkin berada di luar kontrol manusia, meskipun demikian perlu dipertimbangkan dalam konteks pengelolaan sumber daya perikanan. c. Pertimbangan Ekonomi Kekuatan pasar mempengaruhi pengelolaan terhadap sumberdaya

152 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut perikanan. Selain itu pengelolaan sumberdaya perikanan juga sering kali dihadapkan pada persoalan sumberdaya perikanan akses terbuka (open access), di mana setiap orang diperbolehkan masuk ke dalam perikanan. Dalam keadaan demikian orang diperbolehkan masuk ke sektor perikanan sampai keuntungan dari perikanan sedemikian rendah sehingga tidak lagi menarik bagi pelaku usaha baru (new entrance). Akibat yang tidak dapat dihindari dari perikanan akses terbuka yakni hilangnya keuntungan sehingga mengarah kepada tidak efisien secara ekonomi, dan jika tidak ditegakkan tindakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang efektif, maka akan terjadi over exploitation. d. Pertimbangan Sosial, Budaya, dan Kelembagaan Populasi manusia yang bersifat dinamis serta adanya perubahan sosial yang berlangsung terus menerus yang diakibatkan oleh adanya perubahan cuaca, lapangan pekerjaan, konsumsi maupun faktor-faktor lainnya. Perubahan tersebut dapat mempengaruhi efektivitas dari strategi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan termasuk dalam hal ini yakni faktor sosial budaya yang dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sulit untuk dikuantifikasikan, sehingga menambah ketidakpastian dalam hal pengelolaan. Hal tersebut disebabkan masyarakat dan perilakunya tidak mudah untuk ditransformasikan. Komunitas nelayan tidak mudah untuk berpindah pada bidang pekerjaan lainnya atau ke daerah lain yang jauh dari tempat tinggalnya manakala terjadi surplus kapasitas, meskipun kualitas hidupnya akan menurun akibat semakin menipisnya potensi sumberdaya perikanan yang ada. Di samping itu, ketersediaan bidang pekerjaan lain bagi mereka tidak tersedia secara memadai.

3. Teknik Pengelolaan Perikanan Realitas menunjukkan bahwa hampir sebagian besar sumberdaya perikanan laut merupakan sumberdaya alam yang bersifat open access karenanya hal ini dalam kurun waktu tertentu akan menipis jumlahnya. Adapun teknik pengelolaan perikanan laut yang dapat dilakukan melalui :

153 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

a. Pengaturan ukuran mata jaring dari alat tangkap yang dipergunakan. b. Pengaturan batas ukuran ikan yang boleh ditangkap, didaratkan maupun dipasarkan. c. Kontrol terhadap musim penangkapan (open or closed season). d. Kontrol terhadap daerah penangkapan (opened or closed areas). e. Pengaturan terhadap alat tangkap serta perlengkapannya di luar pengaturan ukuran mata jaring (mesh size). f. Perbaikan dan peningkatan sumberdaya hayati (stock enhancement). g. Pengaturan hasil tangkapan total per jenis, kelompok jenis, atau bila memungkinkan per lokasi atau wilayah. h. Setiap tindakan langsung yang berhubungan dengan konservasi semua jenis ikan dan sumberdaya hayati lainnya dalam wilayah perairan tertentu.

Hal lain yang termasuk penting yang juga perlu dipertimbangkan di antaranya: Pengendalian langsung terhadap jumlah total penangkapan (misal: pembatasan terhadap jumlah perahu). Dalam melaksanakan teknik-teknik pengelolaan di atas perlu dianalisis terhadap pemenuhan kriteria yang meliputi efisiensi ekonomi, fleksibilitas, dan kelayakan untuk diimplementasikan. Pertimbangan sosial dalam arti pelibatan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam penetapan kebijakan pengelolaan sering menentukan keberhasilan dalam upaya pengelolaan dan tidak jarang terjadi kegagalan yang diakibatkan kurang mempertimbangkan aspek tersebut. Dalam konteks ini, hal penting yang perlu dipertimbangkan yakni Pengendalian upaya penangkapan terhadap sumberdaya perikanan laut. Untuk itu langkah yang berupa pembatasan terhadap armada perikanan, termasuk jumlah, ukuran serta kekuatan mesin kapal. Mengingat hal ini akan membawa pengaruh langsung terhadap upaya penangkapan ikan serta dapat memacu terjadinya proses pengembangan teknologi untuk peningkatan produktivitas dari kapal yang ada.

154 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

Bentuk lain upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut dapat dilakukan dengan regulasi untuk melindungi kepentingan dari kelompok nelayan tertentu, misalnya: larangan penggunaan alat tangkap jenis pukat harimau (trawl), untuk melindungi nelayan tradisional. Perlindungan terhadap nelayan tradisional skala kecil dapat dilaksanakan juga dengan cara pemberian hak pemanfaatan atas bagian tertentu dari perairan pantai, terhadap kelompok nelayan tertentu untuk usaha perikanan tangkap maupun budidaya (territorial use of right). Di samping itu perlindungan diperlukan untuk menghindari benturan antara kelompok nelayan skala kecil (tradisional) dengan skala besar maupun dengan usaha-usaha lain baik dengan bidang perikanan maupun non-perikanan. Pada akhirnya, kontrol sosial atas usaha penangkapan yang telah merupakan tradisi di beberapa daerah dengan beragam bentuknya, pada dasarnya berusaha untuk menjaga keseimbangan antara usaha penangkapan dengan daya dukung dari sumberdaya perikanan laut setempat.

4. Sistem Bagi Hasil Tangkapan Perikanan Laut Sistem bagi hasil yang mengacu pada besaran investasi yang ditanam pada pemanfaatan sumberdaya perikanan laut sebenarnya belum banyak dikenal dalam masyarakat nelayan yang masih menganut sistem kepemilikan komunal. Sistem bagi hasil tangkapan yang mempertimbangkan aset produksi dengan orang yang bekerja dalam proses produksi mulai dikenal setelah sistem mata pencaharian berkembang dan mengakui adanya hak milik perorangan, serta mempertimbangkan investasi perorangan dalam usaha penangkapan ikan (Wahyono, 2003). Namun dalam masyarakat nelayan yang masih menggunakan peralatan sederhana, kontribusi anggota kelompok penangkapan masih dimungkinkan terjadi. Menurut Saefuddin (1983) bahwa sistem bagi hasil (tata niaga hasil) perikanan memiliki sejumlah karakteristik di antaranya:

155 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

(a) Sebagian besar dari hasil perikanan yang dipasarkan diserap oleh konsumen akhir secara relatif stabil sepanjang tahun, sedangkan penawarannya sangat tergantung pada produksi yang sangat dipengaruhi cuaca. (b) Umumnya pedagang pengumpul (pengepul ikan) memberi kredit (advanced payment) pada produsen (nelayan) sebagai ikatan atau jaminan untuk dapat memperoleh bagian terbesar dari hasil perikanan dalam waktu tertentu. (c) Saluran tata niaga hasil perikanan pada umumnya terdiri dari: produsen (nelayan), pedagang perantara sebagai pengumpul (pengepul), grosir, pedagang eceran dan konsumen (industri pengolah/pabrik, konsumen akhir). (d) Pergerakan hasil perikanan berupa ikan dari produsen sampai konsumen pada umumnya meliputi proses: pengumpulan, penimbangan, dan penyebaran, di mana proses pengumpulan merupakan proses terpenting. (e) Kedudukan terpenting dalam tata niaga hasil perikanan terletak pada pedagang pengumpul (pengepul) dalam fungsinya sebagai pengumpul hasil karena daerah produksi yang terpencar-pencar, skala produksi kecil-kecil dan tergantung pada musim, hal ini terlihat pada perikanan laut (1983:2-3)

Menurut Mulyadi (2005) bahwa kecenderungan setiap investor dalam usaha perikanan tangkap melakukan monopoli keuntungan melalui penguasaan mesin kapal, perahu serta alat tangkap yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem pembagian hasil tangkapan dan hal ini merupakan potensi terjadinya konflik antara pemilik sarana alat tangkap dan buruh nelayan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa model relasi antara pemilik modal dengan buruh nelayan yang saling menguntungkan kedua pihak merupakan fenomena sosial yang kerap ditemukan dan terikat dalam kepentingan ekonomi (pemilik modal dan nelayan). Keterikatan kedua pihak selama ini, bergerak dalam bentuk “saling bergantungan antara kedua

156 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut pihak” meskipun realitasnya di berbagai komunitas nelayan menunjukkan bahwa pihak buruh nelayan berada pada posisi kurang menguntungkan diakibatkan pendapatan nelayan buruh sangat kecil (Mulyadi, 2005:75). Sistem bagi hasil merupakan alternatif yang umumnya dikembangkan masyarakat nelayan guna mengurangi risiko. Perubahan alat tangkap ikan membawa perubahan pada hubungan produksi seperti ditemukan Juwono (1998) di Kirdowono. Dalam mana salah satu aspek perubahan hubungan produksi itu yakni dalam hal sistem bagi hasil. Salah satu ciri umum hubungan produksi pada usaha perikanan laut/tangkap yaitu adanya sistem bagi hasil. Sebagai konsekuensi dari tingginya risiko usaha penangkapan. Sistem bagi hasil beragam dengan perbedaan didasarkan pada perbedaan karakteristik alat produksi dan karakteristik sosial ( Juwono, 1998) di Kirdowono, (Kusnadi, 2000) di Situbondo dan Satria (2001) di Pekalongan. Menurut Acheson (1981) dalam Mulyadi (2005:76) bahwa pada kenyataannya sistem bagi hasil lebih dapat meningkatkan motivasi nelayan buruh (awak kapal) dalam menangkap ikan di laut, di samping itu juga dapat mengurangi risiko bagi pemilik kapal serta menjaminnya, serta tidak memberinya upah yang memadai bilamana hasil tangkapan sedang buruk. Kondisi ini berlangsung disebabkan penghasilan nelayan buruh yang tidak dapat ditentukan kepastiannya, tergantung dari jumlah hasil tangkapan dan hasil penjualan yang dilakukannya. Beberapa hasil penelitian (Wagito, 1994; Masyhuri, 1996 dan 1998) menunjukkan bahwa distribusi pendapatan dari pola bagi hasil tangkapan sangatlah timpang yang diterima antara pemilik dan nelayan buruh. Pada umumnya hasil bersih yang diperoleh nelayan buruh dan pemilik kapal adalah separuh-separuh. Namun, bagian yang diterima nelayan buruh harus dibagi lagi dengan sejumlah awak yang terlibat dalam aktivitas kegiatan di kapal. Semakin banyak jumlah awak kapal, semakin kecil bagian yang diperoleh setiap awaknya. Sistem bagi hasil adalah sistem yang mengatur pembagian hasil tangkapan antara orenga dan pandhiga berdasarkan norma-norma yang berlaku (Kusnadi, 2000:105). Dengan persepsi bahwa perahu sebagai

157 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim unit produksi, sistem bagi hasil yang berlaku beragam karena tingkat kebutuhan akan jumlah pandhiga yang diperlukan, spesialisasi pekerjaan, dan biaya operasi atau pemeliharaannya. Dibandingkan jenis-jenis perahu yang lain, sistem bagi hasil pada perahu sleret relatif lebih kompleks. Pada umumnya, sistem bagi hasil perahu sleret adalah sistem bagi tiga (telon) dengan perincian: satu bagian untuk orenga dan dua bagian untuk pandhiga. Pada sistem bagi hasil telon, kerusakan dan kebutuhan peralatan perahu, payang dan kebutuhan bahan bakar besar atau kecil menjadi tanggungan orenga. Kebutuhan bahan bakar besar berkaitan dengan pembelian solar, sedangkan bahan bakar kecil berkaitan dengan pembelian minyak gas dan peralatan lampu strongking. Jika ada kerusakan mesin, pihak orenga dan pandhiga lah yang menanggungnya. Biaya perbaikan mesin ini diambil dari ngala’ tengah atau ngala’ kadhe’ (mengambil terlebih dahulu) hasil tangkapan sebelum dibagi antara orenga dan pandhiga. Kuantitas beban tanggung jawab pandhiga terhadap kerusakan dan pemeliharaan perahu meningkat dibandingkan pada masa perahu glatheh. Bahkan ada sebagian kecil pemilik perahu sleret yang memberikan beban sebagian biaya operasi kepada pihak pandhiga. Semua ini bisa terjadi karena beban biaya pemeliharaan dan operasi semakin tinggi sejalan dengan peningkatan kecanggihan peralatan tangkap. Sebaliknya, dalam sistem maron, pemeliharaan dan kerusakan perahu, payang, mesin dan kebutuhan bahan bakar sepenuhnya menjadi tanggungan orenga. Pandhiga tidak dibebani tanggung jawab apapun kecuali mengoperasikan perahu yang sudah dalam keadaan siap pakai. Sistem bagi hasil demikian dilakukan oleh orenga yang mampu. Menurut nelayan, jika hasil tangkapannya banyak maka sistem bagi hasil maron lebih menguntungkan orenga. Sebaliknya, jika hasil tangkapan sedikit atau tidak mendapatkan hasil dan mesin sering rusak, orenga akan menanggung beban kerugian yang relatif besar. Dalam sistem bagi hasil menunjukkan bahwa juragan darat (pemilik kapal) rata-rata menerima sekitar 65% dari jumlah keseluruhan hasil tangkapan. Namun sebaliknya nelayan buruh bagiannya masih harus

158 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut dibagi berdasarkan porsi keterlibatannya secara khusus sebagai awak. Semakin banyak jumlah awak, maka semakin kecil pula perolehan yang akan diterima setiap awak. Menurut Mubyarto,dkk., (1984) bahwa dalam pengoperasian kapal ikan yang menggunakan alat tangkap mini purse seine atau dikenal dengan sebutan mini korsen dengan awak kapal yang cukup banyak antara 20 sampai 24 orang, maka terdapat pembagian hasil tangkapan yang berbeda pula. Adapun pembagian hasil setelah dikurangi perbekalan dan cadangan kerusakan yakni seluruh hasil penjualan dibagi menjadi dua. Satu bagian untuk juragan dan satu bagian lagi untuk nelayan dengan perincian : Juru mudi/nahkoda 2 bagian, kempitan/wakil juru mudi 1,5 bagian, juru gidang 1,5 bagian, juru arus 1,5 bagian, juru batu 1,5 bagian dan juru kolor 1,5 bagian (1984:70-72). Untuk pengoperasian Jaring Payang yang dilayani 15 sampai 20 orang. Jaring ini untuk jenis ikan layang dan lemuru. Hasil tangkapan setelah dijual masih harus dipotong dahulu untuk biaya operasi, sisanya dibagi menurut bagiannya: Juragan 12 bagian, juru mudi 3 bagian, kempitan 2 bagian, juru arus 1,5 bagian, juru gidang 1,5 bagian, juru batu 1,5 bagian, juru payang 1,5 bagian jurag (buruh) biasanya masing-masing 1 bagian. Sedangkan untuk penggunaan alat tangkap Dogol (jaring besar yang terbuat dari serat goni, diutamakan untuk menangkap ikan teri/teri putih atau kendui dalam istilah Madura) dilayani oleh 15 sampai 20 orang dan digunakan dengan kapal ikan. Umumnya sistem pembagian hasil setelah dijual kemudian dipotong dengan bekal/sangu atau biaya operasi maka sisanya dibagi untuk bagian: juragan 10 bagian, juru mudi 2,5 bagian, kempitan 2 bagian, juru arus 1,5 bagian, juru gidang 1,5 bagian, juru batu 1,5 bagian, juru payang 1,5 bagian, jurag biasa masing-masing 1 bagian. Pada prinsipnya, ikan dan uang hasil penjualan ikan dibagi habis sesuai tugas dan tanggungjawab pemodal (juragan) dan pekerja (nelayan/ awak kapal). Pemodal memperoleh bagian yang lebih besar atas risiko kehilangan modalnya; nelayan memperoleh bagian lebih kecil atas risiko kehilangan nyawanya. Dalam hubungan kerja, juragan secara formal berhubungan dan menjalankan kontrak kerja dengan juru mudi. Juru mudi

159 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim memimpin awak kapal. Ia dibantu oleh sejumlah ABK yang dipilihnya sendiri. ABK berhubungan, menjalankan kerja dan bertanggung jawab kepada juru mudi. Juragan tidak ikut campur (Siswanto,2008:15). Pembagian uang hasil penjualan ikan dilaksanakan berkala, umumnya sebulan. Setelah dipotong biaya operasional, yaitu : solar, oli, kerusakan mesin dan lain-lain, hasil bersih dibagi 3 dengan bagian masing-masing sebagai berikut: (1) Juragan sebagai pemodal memperoleh 2/3 bagian. Juragan harus mengeluarkan 10% bagiannya untukjuru mudi sebagai “persenan”. (2) Nelayan (juru mudi plus ABK) memperoleh 1/3 bagian. Dalam posisi dan hubungan kerja itu, kedua pihak, (pihak pertama: juragan, pihak kedua: nelayan) melakukan perjanjian bagi hasil. Pola bagi hasilnya adalah 2: 1 (juragan: nelayan). Juru mudi berbagi dengan para ABK, dengan rincian sebagai berikut: (1) Juru mudi, juru pantau dan tukang johnson masing-masing 1,5 bagian, (2) Tukang ngolor (yang menarik tali kolor), tukang pelampung, tukang narik batu (pemberat) masing-masing 1,25 bagian; (3) sisa (1,75) bagian dibagi rata kepada semua. Selain itu juru mudi memperoleh bonus 10% (persen) dari hasil bersih penjualan ikan dalam satu bulan. ABK memperoleh uang lawuhan (uang lauk pauk atau uang makan) dari juragan jika berhasil memperoleh ikan. Realisasi bagi hasil (disebut totalan) dilakukan pada saat terang bulan. Ini adalah waktu jeda/sedang tidak melaut. Totalan artinya menghitung keseluruhan (total) hasil yang diperoleh dalam satu bulan kemudian membaginya sesuai dengan perjanjian bagi hasil. Pada saat totalan, nelayan mendapatkan hasil kerjanya selama satu bulan. Sedikit berbeda dengan itu, totalan antara juragan dengan juru mudi tidak selalu sebulan sekali (pada terang bulan). Totalan kadang dilakukan setelah satu siklus musim melaut kapal purse-seine berakhir pada tahun itu. Begitu pula bonus 10% untuk juru mudi dari juragan. Pola bagi hasil 2: 1 sudah berlangsung lama yakni sejak adanya kapal purse-seine di Prigi – Trenggalek. Pola bagi hasil tersebut dinilai cukup baik dan adil oleh nelayan dan pemilik kapal. Bagian juragan yang besar dianggap wajar karena mereka telah membeli

160 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut kapal dengan harga mahal, harus menanggung biaya operasional (BBM, oli) dan bekal (uang lawuhan) awak kapal (ABK) selama melaut. Dalam mengelola sumberdaya perikanan laut selain berhadapan dengan fugitive resources (merupakan sumberdaya yang bergerak terus), juga adanya kompleksitas biologi dan fisik perairan, serta dihadapkan pada rumitnya hak kepemilikan (common property resource). Interaksi faktor tersebut dapat memunculkan eksternalitas yang berujung pada terjadinya penangkapan berlebihan (exessive) sehingga pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya stok sumberdaya (Achmad.,2005:5). Jika mencermati pengelolaan terhadap sumberdaya alam selama ini didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, ayat 3, menegaskan bahwa secara ekstensif berada pada kewenangan pemerintah pusat. Bahwasanya tanah, air, dan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya dikelola oleh negara dan ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Perwujudan ayat yang memuat tentang pengelolaan sumberdaya alam tersebut memang masih kabur sehingga pengelolaan terhadap hampir seluruh sumberdaya alam cenderung bersifat sentralitis. Kebijakan yang bias sentralistis tersebut pada gilirannya akan mengabaikan kepentingan lokal, sehingga pada akhirnya menimbulkan degradasi terhadap berbagai sumberdaya alam. Sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan paling tidak telah membawa Indonesia ke dalam babak baru dalam mengelola pemerintahan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang lebih dikenal sebagai Undang Undang Otonomi Daerah. Desentralisasi tersebut tidak saja menyangkut penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi juga menjangkau tentang pengelolaan sumberdaya alam dalam yuridiksi wilayah pemerintahan lokal/daerah otonom. Setidaknya perubahan paradigma dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut memberi warna yang berbeda dalam pembangunan daerah otonom dibandingkan era sebelumnya yang realitasnya lebih bersifat sentralistis. Dikeluarkannya Undang-Undang otonomi daerah membuat penjabaran Pasal 33 yang menyangkut pengelolaan, kini dijabarkan

161 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim sebagai pemerintah pada tingkat regional. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya alam ‘didesentralisasikan’ kepada daerah. Dalam mana desentralisasi dimaknai sebagai seperangkat program dan kebijakan yang dirancang untuk menciptakan keseimbangan atas kewenangan (otoritas) dan tanggung jawab terhadap pengelolaan sumberdaya alam (Khan,2001). Persoalan di atas tidak akan muncul manakala menyangkut sumberdaya alam yang sifatnya tidak lintas batas karena juridiksinya reltif jelas. Namun terhadap sumberdaya perikanan laut yang sifatnya jelas-jelas lintas wilayah, tentunya memerlukan pendekatan tersendiri karena potensi timbulnya konflik sangat besar. Kiranya ada beberapa aspek positif dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya perikanan laut yang terkait dengan efektivitas pengaturan, efisiensi ekonomi, serta pemerataan distribusi. Selanjutnya sumberdaya perikanan laut yang berkembang dengan tanpa adanya regulasi perikanan secara memadai setidaknya akan menyebabkan beberapa hal: (1) laju hasil tangkapan yang rendah, (2) pendapatan rendah, dan (3) akumulasi modal secara berlebihan dalam industri perikanan. Penyebabnya bahwa sumberdaya perikanan laut pada umumnya bersifat common properties (milik bersama atau kepemilikannya bersifat milik bersama) dan open access (access = boleh mempergunakan, penggunaan secara terbuka atau bebas) (Suadi, dkk., 2006:64). Menurut Suadi,dkk. (2006:64) karakteristik sumber daya open access ditandai oleh tiadanya hak pemilikan. Keuntungan ekonomi bersifat sementara yang diperoleh para nelayan akan memikat pendatang baru (nelayan pendatang/Andon) ke dalam perikanan. Biasanya proses ini dalam perikanan terbuka berlanjut dan hingga melampaui titik yaitu profit total maksimum sehingga terjadi overcapacity, yakni melampaui kapasitas kemampuan menanggung dan mengakomodasikan tekanan eksploitasi yang pada gilirannya memunculkan penangkapan yang berlebihan (overfishing) terhadap sumberdaya perikanan laut tersebut. Fenomena pertama disebabkan oleh adanya persaingan di antara nelayan untuk mengeksploitasi produk yang menipis dan jarang. Kedua, banyak individu ikan yang tertangkap pada saat yang seharusnya dapat

162 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut tumbuh dan menghasilkan hasil tangkapan yang lebih tinggi di masa mendatang. Akibatnya, bahwa upaya penangkapan yang tinggi akan mengurangi keuntungan bagi seluruh nelayan, karena hasil tangkapan seorang nelayan sesungguhnya merupakan suatu hasil dari pengorbanan dari nelayan-nelayan lainnya. Pemanfaatan atas sumberdaya perikanan laut terdapat empat bentuk yakni (1) tanpa adanya pengaturan sama sekali atau seringkali disebut juga dengan akses terbuka (open access), (2) properti yang dimiliki secara komunal, (3) properti yang dimiliki negara, dan (3) properti yang dimiliki swasta (dalam hal ini, swasta dapat berbentuk perusahaan) (Nikijuluw, 2002:52-54). Sejalan dengan itu, Mc.Cay (1993) membedakan properti dengan tipe rezim pengelolaan sumberdaya. Dalam hal tipe properti terdiri dari: (1) properti swasta, (2) properti bersama, dan (3) akses terbuka. Sedangkan tipe rezim pengelolaan sumberdaya adalah: (1) laissez-faire, (2) regulasi pasar, (3) pengaturan oleh komunal, (4) pengaturan oleh pemerintah, dan pengaturan oleh internasional (Nikijuluw,2002:50). Berikut dijelaskan secara mendalam tipe rezim pengelolaan sumberdaya perikanan laut sebagai berikut:

1. Akses Terbuka atau Tanpa Pengaturan Dalam bentuk pengelolaan akses terbuka (open access) atau laissez- faire, hakikatnya tidak ada pengaturan oleh siapapun serta tidak ada regulasi pasar yang secara efektif menentukan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Jika sumberdaya perikanan mendapatkan tekanan yang besar akibat pemanfaatan oleh banyak orang, maka bentuk pengelolaan akan berakhir pada kepemilikan publik, yaitu kerusakan sumberdaya, penurunan produktivitas, serta kemiskinan. Prinsip laissez-faire mengisyaratkan bahwa tidak ada seorangpun yang mampu mengendalikan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut. Namun, setiap orang memiliki kebebasan memutuskan untuk masuk atau keluar dari bisnis tersebut. Di samping itu, bahwa setiap orang memiliki informasi yang sama, baik mengenai sumberdaya, tingkat pemanfaatannya, serta keuntungan yang dapat diraih.

163 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

2. Pengaturan oleh Komunitas/komunal Merupakan tipe pengelolaan sumberdaya perikanan yang sepenuhnya berada di tangan masyarakat lokal. Pengelolaan semacam ini sering disebut dengan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (community- based resource management). Sebagian besar, bila tidak keseluruhan aktivitas dan tindakan masyarakat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya merupakan aksi kolektif. Selain karena eksistensinya sudah ada sejak lama, umumnya bentuk pengelolaan sumberdaya ini muncul karena ketidaksesuaian pengelolaan sumberdaya melalui regulasi pasar, pengaturan oleh pemerintah atau swasta. Seringkali bentuk pengelolaan oleh komunal ini dipandang sebagai obat mujarab untuk mengobati kegagalan pengelolaan bentuk lain. Namun demikian, hal ini pun masih perlu dikaji lebih lanjut karena beberapa kelemahan bentuk pengelolaan oleh komunal ini. Salah satunya yakni karena sifatnya yang spesifik lokal dan terbatas pada kelompok masyarakat tertentu.

3. Pengaturan oleh Swasta atau Perusahaan Pengelolaan sumberdaya perikanan laut berdasarkan regulasi pasar dapat diartikan sebagai sumberdaya properti swasta disebabkan pihak swasta umumnya mengikuti mekanisme pasar sebagai upaya peningkatan efisiensi. Namun masalahnya bahwa kegagalan pasar mungkin akan terjadi akibat mekanisme pasar tidak berjalan, eksternalities, serta adanya gejala dan pengaruh ekologi dalam jangka panjang. Bila hal demikian terjadi, maka pemerintah perlu intervensi dengan tujuan agar sumberdaya dapat dimanfaatkan lebih baik. Jika intervensi dilakukan, maka pengelolaan berubah menjadi pengelolaan berdasarkan pengaturan pemerintah

4. Pengaturan oleh Negara Pengelolaan sumber daya perikanan laut melalui pengaturan oleh pemerintah (state governance) adalah bentuk pengelolaan sumberdaya yang dimiliki dan dipegang pemerintah (pemerintah pusat maupun pemerintah daerah). Bentuk pengaturan ini dapat dilakukan langsung oleh pemerintah atau melalui perusahaan pemerintah yang memang

164 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut dibentuk dan diberi hak untuk itu. Dalam hal ini dapat pula melibatkan peran publik atau masyarakat, tetapi pemerintah tetap memegang kendali.

5. Pengaturan oleh Internasional Rezim pengelolaan sumberdaya bersama ini melalui institusi internasional dirasakan penting pada abad 20 ketika manusia dihadapkan dengan kenyataan bahwa ekosistem dan sumberdaya laut yang dikandungnya sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, laut yang dulunya tidak dimiliki satu negara pun serta ikan- ikan yang berenang dan bermigrasi menembus batas-batas administratif negara perlu dikelola supaya dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Jika benar bahwa sumberdaya perikanan sebagai sumberdaya merupakan properti bersama, seharusnya secara bersama-sama pula setiap individu sebagai pemegang hak properti memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya tersebut, sehingga bila tanggung jawab ini dilakukan dengan konsekuen maka dampak negatif dari pemanfaatan sumberdaya dapat dicegah. Namun sebaliknya suatu sumberdaya yang tidak dimiliki, tidak ada yang bertanggung jawab atas keberlangsungannya. Jadi peluang untuk suatu sumberdaya dimanfaatkan secara berlebihan justru terjadi pada sumberdaya yang tidak dimiliki, bukan pada sumberdaya yang dimiliki secara bersama. Realitas menunjukkan bahwa banyak kesulitan yang dihadapi dalam mengelola sumberdaya properti bersama dan akhirnya justru muncul gejala pemanfaatan secara berlebihan dan perusakan sumberdaya. Selanjutnya Satria (2002) mengemukakan pemikiran dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dalam kerangka otonomi daerah sebagaimana tabel 4.4 berikut:

165 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 4.4 Alternatif Solusi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dalam Otonomi Daerah

Tingkatan Ruang Desentralisasi dan Otonomi Ruang Ruang Pemerintah Pasar Ruang Masyarakat Masyarakat Kebijakan ek. Pem Nelayan Penguatan yang memihak sebagai kelembagaan lokal masyarakat nelayan. penentu untuk meningkatkan Diperkuatnya harga partisipasi masy. eksistensi komoditi dan institusi lokal kelembagaan lokal perikanan. dalam pengelolaan dalam pengambilan melalui sumberdaya keputusan untuk penguatan perikanan. Pem- pengel. sumber daya. orgs.ek.nely berdayaan ek. masy. Mengembangkan aktv. nelayan berbasis ek non–perikanan komunitas/masy. pada musim paceklik. Kabupaten/ Penguatan institusi dan Kebijakan Diakomodasinya Kota aturan pengawasan dan Pemerintah institusi lokal dlm penegakan hukum. yang dan masyarakat Kebijakan peningkatan berorientasi dlm pengawasan kapasitas (aparat, pada pasar. dan pengelolaan nelayan) dan organisasi sumberdaya pengelolaan sumber perikanan. daya ikan; Penyiapan Pengembangan perangkat kelembagaan aturan lokal dan penunjang otoda penegakan hukum. di wilayah laut; Mewujudkan Memfasilitasi resolusi mekanisme konflik lokal; Kebijak- kelembagaan untuk an pem. ttg pengaturan mengkoordinasikan peng- gunaan tek. antara penangkapan ikan birokrasi dan nelayan. ramah lingkungan; Menetapkan zonasi pemanfaatan ruang laut. Antar Mengembangkan Memberdayakan Kabupaten/ mekanisme ke- kelembagaan Kota lembagaan koords. lokal antardaerah dan kerjasama dlm pengelolaan antar daerah dlm dan pengawasan pengel. Pemanfaatan, sumberdaya dan pengawasan perikanan. sumberdaya ikan; Menciptakan model Mewujudkan regulasi resolusi konflik ttg kewenangan wil. nelayan. laut antar daerah; Mewujudkan regu- lasi penggunaan tekn. ramah lingk.lintas kab/ kota;Memfasilita si upaya resolusi konflik nelayan antar daerah. Sumber : Diolah dari Satria (2002:177-178).

166 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

Pada pemikiran sebagaimana dalam di atas memberikan ruang terhadap upaya penguatan masing-masing pihak (pemerintah, swasta/ pasar dan masyarakat) untuk dapat terlibat dalam kapasitas yang lebih adil dan transparan sesuai kapasitas yang dapat dilakukan seiring dengan perkembangan demokrasi di Indonesia, karena demokrasi haruslah terwujud dalam aktivitas nyata guna mewujudkan peranserta masing- masing komponen di dalam masyarakat suatu negara. Sektor perikanan merupakan sumberdaya perikanan laut memang terbilang unik, hal ini disebabkan sumberdaya ini memiliki karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan sumberdaya lainnya seperti : pertambangan maupun pertanian. Untuk itulah dalam mengelolanya diperlukan pendekatan tersendiri. Hal ini dapat ditelusuri sejak zaman kolonial Belanda. Pemerintah Hindia Belanda sejak 1900-an mulai menaruh perhatian terhadap perikanan laut, sebagaimana ditunjukkan dengan menyiapkan kelembagaannya. Pada 1905, urusan perikanan dialihkan dari Departemen Dalam Negeri ke Departemen Pertanian dan di bawah lembaga ini didirikan Het Visscherij Station di Jakarta. Berikutnya didirikan Dinas Perikanan pada tahun 1914 (Masyhuri, 1996:179-180). Selanjutnya pada tahun 1931 pemerintah Hindia Belanda melakukan reorganisasi dengan memperluas lingkup Departemen Pertanian menjadi Departemen Pertanian dan Perikanan, reorganisasi ini dipengaruhi kedatangan ekspidisi ilmiah bidang kelautan dari Jerman ke Jawa tahun 1928 serta adanya penyelenggaraan Pan Pasific Science Congress setahun berikutnya (Masyhuri,1996:180). Persoalan perikanan oleh pemerintah Hindia Belanda telah diatur dengan dikeluarkannya beberapa ordonansi, akan tetapi peraturan perundang-undangannya masih bersifat parsial (terpisah), di antaranya:

1. Ordonansi Perikanan Mutiara dan Bunga Karang (Algemeene Regelen voo het Visschen naar Parelschelpen, Parelmoerschelpen, Teripang en sponsen binnen de afstand van neet meer dan drie engelschezeenijlen van dekusten van Nederlandsch Indie, Stbl. 1916

167 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Nomor 157): Mengatur pengusahaan siput mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga karang di perairan pantai dalam jarak tidak lebih dari 3 mil laut. 2. Ordonansi Perikanan untuk Melindungi Ikan (Visserij Bepaling ter Bescherming van Visschenstand, Stbl. 1920 Nomor 396): Mengatur larangan penangkapan ikan dengan menggunakan racun bius atau bahan peledak, kecuali untuk keperluan ilmu pengetahuan. 3. Ordonansi Penangkapan ikan Pantai (Kustvisserij Ordonantie, Stbl. 1927) Nomor 144) tentang Perikanan : a. Mengatur usaha perikanan di wilayah perairan Indonesia; b. Yang berhak melakukan usaha perikanan adalah Warga Negara Indonesia dengan menggunakan kendaraan air berbendera Indonesia; c. Bagi yang bukan Warga Negara Indonesia harus dengan izin Menteri Pertanian; d. Bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan tenaga asing harus dengan izin Menteri Pertanian. 4. Ordonansi Perburuan Ikan Paus (Algemeene Regelen vor Jacht op walvisschen binnen den afstand van drie zeemijlen van de kusten van Nederlandsch Indie, Stbl. 1927 Nomor 145): Mengatur perburuhan dan perlindungan ikan paus (Catatan: semua jenis ikan paus dilindungi dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 716/Kpts/Um/10/1980; kecuali usaha penangkapan paus oleh nelayan tradisional setempat untuk memenuhi hidupnya sehari-hari. 5. Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie, Stbl. 1939 Nomor 442): (1) Laut teritorial Indonesia adalah daerah laut yang membentang ke arah laut sampai sejauh 3 mil laut dari garis air surut, pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk wilayah Indonesia; (2) Menangkap ikan atau penangkapan ikan, adalah mengerjakan pada umumnya suatu kegiatan yang langsung atau tidak

168 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

langsung bertujuan untuk mengumpulkan, mendapatkan atau membunuh hasil-hasil laut; (3) Penangkapan ikan di lingkungan-lingkungan maritim boleh dilakukan oleh mereka yang termasuk penduduk bumi putera; (4) Kepada warga-warga negara Indonesia dapat diberikan izin untuk mengerjakan penangkapan ikan di lingkungan- lingkungan maritim; jika tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan maritim.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang dengan sendirinya terikut di dalamnya aspek sumberdaya perikanan laut, telah mendapatkan perhatian, namun dari aspek pengelolaan sumberdaya tersebut lebih menitikberatkan pada perlindungan dan penguasaan oleh negara. Selanjutnya dapat dicermati secara lebih dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, belum jelas mengatur sejauhmana wewenang Pemerintah Daerah terhadap otonomi daerah pesisir dan lautan. Namun dalam Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pesisir dan lautan mencakup ruangan daratan, ruang lautan dan ruang udara. Di dalamnya termuat pada Pasal 27 disebutkan bahwa Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, menyelenggarakan penataan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Tingkat II, artinya secara implisit Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan dalam mengelola sumberdaya laut. Selanjutnya dasar hukum bagi daerah guna mendapatkan kewenangan atas wilayah pesisir dan lautan tertentu yakni Undang Undang Nomor 4 Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, Undang Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, Undang Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (KHL), dan Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

169 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Adapun penjabaran rinci dari dasar hukum di atas sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 jo. Undang Undang Nomor 17 tahun 1985 telah memberi batasan bahwa basis otonomi daerah atau wilayah daratan adalah sampai garis air surut terendah (garis dasar normal). Hal ini berarti bahwa wilayah daratan dari suatu daerah akan menjadi wilayah laut pada saat air pasang. Di samping itu, daerah dapat juga mempunyai kewenangan otonomi atas perairan pedalaman (teluk, muara sungai, pantai yang berkelok-kelok) yang dapat ditutup dengan garis dasar lurus berdasarkan KHL. Jadi wilayah otonomi daerah meliputi wilayah daratan dan wilayah lautan yang dibatasi oleh garis dasar normal dan garis dasar lurus yang mengelilingi suatu pulau. b. Undang Undang Nomor 4 Prp tahun 1960 jo. Undang Undang Nomor 5 tahun 1974 jo. Undang Undang Nomor 17 tahun 1985 jo. Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 telah menegaskan gambaran bahwa: 1) Undang Undang Nomor 4 Prp tahun 1960 ; menyatakan bahwa laut adalah pemersatu wilayah nasional, dan oleh karena itu tidak dapat dibagi-bagi menjadi wilayah otonomi daerah. 2) Undang Undang Nomor 5 tahun 1974 ; tidak mengatur kewenangan otonomi daerah atas laut. 3) Namun, Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 ; memberi kewenangan kepada daerah untuk melakukan penataan ruang atas wilayah. 4) Berdasarkan KHL Undang Undang Nomor 17 tahun 1985 ; kewenangan daerah atas penataan wilayah laut tersebut identik dengan kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Pengelolaan pesisir dan sumberdaya laut sesuai ketentuan perundangan dapat dicermati pada berbagai ketentuan hukum yang telah ditetapkan pemerintah dan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut: 170 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

Tabel 4.5 Perundang-undangan terkait Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Pada Masa Orde Baru

No. Perundang-undangan Substansi 1 UU No. 1/1973 tentang Dasar laut dan tanah dibawahnya Landasan di luar perairan wil RI sampai Kontinen Indonesia kedalaman 200 m atau lebih 2 UU No. 5 Tahun 1983 tentang Jalur di luar dan berbatasan Zona Ekonomi Eksklusif dengan laut wilayah Indonesia Indonesia 3 UU No. 9 Tahun 1985 tentang Pengelolaan dan pemanfaatan Perikanan sumberdaya ikan 4 UU No. 17 Tahun 1985 tentang Hak dan yuridiksi negara pantai Pengesahan United Nations di luar laut teritorial lebarnya 200 Convention on the Law Of the Sea mil (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut)

5 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati Pengelolaan sumberdaya hayati dan Ekosistemnya dan lingkungannya 6 UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia : laut teritorial Perairan Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya 7 Peraturan Pemerintah No. 15 Perizinan Usaha Perikanan Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan; diganti dengan PP No. 46 Tahun 1993

8 Keputusan Presiden No. Menghindari munculnya konflik 39 Tahun 1980 tentang nelayan Penghapusan Jaring Trawl 9 Keputusan Presiden No. Mengimbangi tata cara 23 Tahun 1982 tentang penangkapan ikan yg tidak Pengembangan Budidaya Laut di terkendali Perairan Indonesia 10 Keputusan Presiden No. 85 Menjaga kelangsungan ekspor Tahun 1982 tentang Penggunaan udang nasional akibat pelarangan Pukat Udang penggunaan trawl Sumber: Diolah oleh Peneliti dari berbagai sumber

171 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasar tabel di atas, diketahui bahwa dalam pemerintahan Orde Baru selama kurang lebih 30 tahun telah dikeluarkan produk hukum perundang-undangan sekitar 35 peraturan perundang-undangan yang mengatur sumberdaya alam, pesisir dan laut. Produk ketentuan hukum dimaksud terbesar merupakan bentuk peraturan pelaksanaan seperti Keputusan Presiden maupun Keputusan Menteri (Satria,dkk, 2002:22). Setidaknya merupakan cerminan dari sistem politik era Orde Baru yang otoriter dan sentralistik, sehingga peran sistem hukum masyarakat lokal dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang berupa hukum adat sulit mendapatkan ruang.

I. ERA ORDE BARU Dalam periode Orde Baru pengelolaan sumberdaya laut tidak diatur dalam ketentuan perundang-undangan tersendiri. Dengan kata lain bahwa daerah tidak diberikan kewenangan otonom untuk mengelola wilayah laut atau perairan. Ketentuan perundangan yang ada secara spesifik hanya mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya laut sebagaimana dalam Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Selanjutnya dikeluarkan peraturan pelaksanaan seperti Keputusan Menteri Pertanian, Surat Keputusan Dirjen Perikanan. Dalam hal tertentu yang sifatnya lebih teknis dan spesifik kepala daerah mengeluarkan keputusan tersendiri. Pengaturan terhadap pengelolaan wilayah laut secara eksplisit tidak diatur dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah. Namun, ketentuan tersebut hanya mengatur tentang pembagian wilayah adminsitratif (daratan). Demikian halnya dalam ketentuan-ketentuan hukum lainnya, seperti: Undang Undang No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, yang disahkan tanggal 19 Juni 1985 meliputi 11 Bab dan 35 pasal. Pada prinsipnya menitikberatkan pada 2 (dua) hal yakni aspek pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan tugas penguasaan negara atas sumber daya ikan, dan aspek pemanfaatan yang mencakup kegiatan ‘penangkapan ikan’ dan

172 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

‘budidaya’ yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam ketentuan tersebut menunjukkan bahwa ruang wilayah perairan tidak diatur secara eksplisit dan hanya memuat pengaturan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan laut serta kegiatan penangkapan ikan. Dalam ketentuan pelaksanaan yang ada hanya sebatas mengatur hal-hal yang bersifat teknis untuk penangkapan bagi sumberdaya perikanan laut. Dalam pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut secara berkelanjutan pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan seperti: Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607/1976 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan. Dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607/1976 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan, yang di antaranya mengatur wilayah penangkapan. Pada Jalur Penangkapan dari 0-3 mil kearah laut lepas diperuntukkan bagi: Tertutup bagi Kapal Penangkapan ikan bermesin dalam, berukuran di atas 5 GT atau berkekuatan 10 DK; semua jenis jaring trawl, jaring pukat (purse seine), jaring lingkar (gill net), jaring hanyut tongkol (drift gill net) dan jaring (pukat) di atas 120 meter panjang rentangan (seine nets longer), secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut:

173 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 4.6 Jalur-jalur Penangkapan Ikan Berdasar SK. Menteri Pertanian No. 607/1976

Jalur Tertutup Bagi Penangkapan

I Kapal penangkapan ikan bermesin dalam (inboard) 0 – 3 Mil berukuran di atas 5 GT atau berkekuatan di atas 10 DK; semua jenis jaring trawl, jaring pukat (purse seine), jaring lingkar (gill net), jaring hanyut tongkol (drift gill net) dan jaring (pukat) di atas 120 m panjang rentan (seine nets longer) Kapal penangkapan ikan inboard berukuran di atas 25 GT II atau berkekuatan di atas 50 DK; jaring trawl dasar berpanel 3 – 7 Mil (otter board) yang panjang tali ris atas/bawahnya di atas 12 m, jaring trawl melayang (pelagic trawl), dan pukat cincin yang panjangnya di atas 300 m

III Kapal penangkap ikan inboard berukuran di atas 100 GT 7 – 12 Mil atau berkekuatan di atas 200 DK; Jaring trawl dasar dan melayang berpanel (otter board) yang panjang tali ris atas/ bawahnya di atas 20 m, pair trawl, dan pukat cincin yang panjangnya di atas 600 m

IV Pair trawl, kecuali di perairan Samudera Indonesia 12 – 200 Mil Sumber : Satria, dkk, (2002:23)

Selanjutnya mencermati penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut, membawa konsekuensi terhadap keseluruhan produk hukum (Ordonansi Belanda) yang bertentangan dengan perundang-undangan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, baik berbentuk Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Menteri Pertanian dan sebagainya, sebagaimana dituangkan dalam Bab XI Ketentuan Penutup Pasal 33. Dalam Pasal 33 tersebut dinyatakan bahwa: Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:

a. Algemeene regelen voor het visschen naar Parelschelpen, Parelmoerschelpen, Teripang en Sponsen binnen de afstand van niet

174 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

meer dan drie Engelschezeemijien van dekusten van Nederlandsch Indie (Staatsblad. 1916 Nomor 157): b. Visserij Bepaling ter Bescherming van Visschenstand ( Staatsblad. 1920 Nomor 396): c. Algemeene Regeling voor de Visscherij binnen het zeegebied van Nederlandsch Indie (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 144); d. Algemeene Regelen vor Jacht op walvisschen binnen den afstand van drie zeemijlen van de kusten van Nederlandsch Indie, (Staatsblad. 1927 Nomor 145): (1) Ketentuan mengenai perikanan dalam Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie ( Statsblad. 1939 Nomor 442): Kecuali ketentuan-ketentuan yang menyangkut acara pelaksanaan pengakuan hukum di laut; dengan segala perubahannya, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Adapun beberapa peraturan pelaksanaan dari ketentuan di atas di antaranya: a. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 473a/Kpts/ IK.250/6/1985: tentang Jumlah Tangkap Ikan yang Diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. b. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 815/Kepts/ IK.120/11/1990 tentang Perizinan Usaha Perikanan. c. Surat Keputusan Dirjen Perikanan Nomor IK.340/DJ.10106/97 tanggal 23 Oktober 1997 tentang Jaring Berkantong yang dimodifikasi.

II. Era Otonomi Daerah Pengelolaan sumber daya laut dalam perkembangannya telah mengalami perubahan mendasar dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diganti dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan terdapat di antaranya yang merupakan ko-manajemen yakni desentralisasi wewenang dan

175 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim tanggung jawab dari pusat kepada pemerintah yang berada di bawahnya. Pomeroy,dkk. (1997) dalam Nikijuluw (2002:167), menegaskan bahwa desentralisasi memang diperlukan karena pada kenyataannya pemerintah pusat selaku manajer yang bertanggung jawab dalam mengelola sumberdaya perikanan menyadari bahwa mereka sendiri tidak mampu secara efektif menjalankan tugas-tugasnya. Kenyataan tersebut didukung bukti di negara-negara kepulauan yang luas dan banyak daerah terisolasi, minim sarana transportasi dan komunikasinya, lemah sistem administrasi pemerintahannya, rendah kualitas sumberdaya manusianya, serta banyak rakyatnya yang menggantungkan nafkahnya pada sumberdaya perikanan. Reformasi yang dilancarkan setelah pemerintahan Orde Baru pada tahun 1997, menuntut pembaharuan dalam berbagai bidang dengan menerapkan azas-azas transparansi, akun tabilitas dan sebagainya. Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakatnya. Dalam kurun waktu pemerintahan Orde Reformasi (Pasca Orde Baru) ada dua kebijakan penting yang karenanya telah mengubah dasar hukum pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, yakni Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (ditetapkan pada masa Presiden Habibie) serta Keppres tentang Pembentukan Departemen Kelautan dan Perikanan (ditetapkan masa Pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid) ( Satria,2002:24). Penerapan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan mendasar terhadap sistem kewenangan. Dalam mana konsep sentralisasi yang telah dikembangkan berdasarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 telah digantikan dengan konsep desentraliasi. Hal tersebut tentunya membawa konsekuensi terhadap perubahan di berbagai aspek baik menyangkut adanya perubahan kewenangan, penataan kelembagaan maupun dalam hal keuangan daerah.

176 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

Jika dicermati dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, Pasal 3 menegaskan bahwa wilayah provinsi terdiri atas wilayah darat, dan wilayah laut sejauh 11 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Kewenangan Daerah Provinsi terhadap wilayah laut; sebagaimana dalam Pasal 10 ayat (2) meliputi:

(a) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; (yaitu 12 mil); (b) Pengaturan kepentingan administratif; (c) Pengaturan tata ruang; (d) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah dan (e) Bantuan penegakan keamanan kedulatan negara.

Dalam hal penangkapan ikan yang dilakukan secara tradisional, seperti pada penjelasan/ayat tersebut, tidak dibatasi dengan wilayah laut. Dari hal itu, mobilitas nelayan yang cukup tinggi karena mengejar/ memburu ikan; mengikuti migrasi ikan atau mencari daerah penangkapan (fishing ground) kerawanan akan timbul apabila mereka melampaui “kewenangan” daerah lain. Pemicu kerawanan menjadi lebih besar jika nelayan pendatang (nelayan Andon) menggunakan alat penangkap ikan yang lebih produktif dibandingkan nelayan asli/lokal. Selanjutnya pada ayat (3) ditetapkan bahwa:

“Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Provinsi”;

Hal di atas diartikan bahwa kewenangan tersebut adalah 4 mil laut. Daerah kabupaten/kota dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan di laut akan lebih mudah membuat kebijakan

177 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim setempat karena lebih memahami situasi dan kondisi serta tingkat sosial budaya masyarakatnya. Selanjutnya bentuk pengelolaan lain dilakukan dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan atau pengaturan kembali dan ketentuan sebelumnya yang diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607/Kpts/Um/9/1976 jo 608 / Kpts/Um/9/1976 dan Nomor 300/Kpts/Um/5/1978. Keputusan Menteri tahun 1999 di atas terdiri atas 14 Pasal yang ditetapkan pada tanggal 5 April 1999. Keputusan Menteri ini merupakan tindak lanjut dari Pasal 4 Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 yang memuat tentang pengaturan jalur-jalur penangkapan ikan. Ketentuan yang sama sebelumnya diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan. Substansi yang dimuat dalam ketentuan tersebut yakni Pembagian Jalur-jalur Penangkapan Ikan, bahwa Jalur Wilayah Perairan Penangkapan ikan di Indonesia dibagi dalam 3 (tiga) jalur yakni: Jalur Penangkapan Ikan I, II dan III. Adapun ketentuan tentang pembagian jalur-jalur penangkapan ikan terinci sebagaimana dalam tabel 4.7 berikut:

178 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

Tabel 4.7 Pembagian Jalur-jalur Penangkapan Ikan Khususnya pada Wilayah Daerah dan Provinsi (0 – 12 Mil Laut) Berdasar SK Menteri Pertanian No. 392/Kpts/IK.120/4/99

Jalur Wilayah Jenis Alat Tangkap Tanda-tanda

I 0 – 3 Alat Tangkap Menetap; Alat ¼ Lambung Kiri 0–6 Mil Mil Tangkap Tidak Menetap dan Kanan Warna Tidak Dimodifikasi, danPutih Kapal Ikan tanpa Motor panjang maksimal 10 m. 3 – 6 Alat Tangkap Ikan Tidak ¼ Lambung Kiri Mil Menetap Modifikasi; Kapal dan Kanan Warna Perikanan Tanpa Motor dan Merah atau bermotor tempel dg. uk. panjang maksimal 10 m; Kapal Perikanan Bermotor Tampel dan Bermotor Dalam dg. panjang maksimal 12 m atau ukuran maksimal 5 Gross Ton (GT) dan atau; Pukat Cincin (Purse Seine) panjang maksimal 150 m; Jaring Insang Hanyut (Drift Gill Net) panjang maksimal 1000 m. II Kapal Perikanan Bermotor ¼ Lambung 6 – 12 Dalam maksimal 60 GT; Kiri dan Kanan Mil Kapal Perikanan dg. Alat Warna Oranye tangkap berupa : Pukat Cincin (Purse Seine) panjang maksimal 600 m dg. Pengoperasian menggunakan 1 kapal (tunggal) yang bukan group atau maksimal 1000 m dengan cara pengoperasian menggunakan 2 kapal (ganda) yang bukan group; Tuna Long Line (Pancing Tuna) maksimal 1200 buah mata pancing; Jaring Insang Hanyut (Drift Gill Net) maksimal 2500 m

III Kapal Perikanan Berbendera ¼ Lambung Kiri 12- Indonesia ukuran maksimal dan Kanan Warna ZEE 200 GT, Kapal Perikanan Kuning dg Alat Tangkap Pair Trawl kecuali di Perairan Samudera Indonesia Sumber: Diolah berdasarkan Kep. Mentan No. 392/Kpts/IK.120/4/99

179 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa ketentuan tentang Jalur- jalur penangkapan ikan menunjukkan bahwa setiap orang atau pengusaha perikanan yang telah memiliki izin, bebas menangkap ikan di mana saja di seluruh wilayah Indonesia asalkan masih di dalam jalurnya. Namun meski dalam jalur tersebut masih dimungkinkan terdapat wilayah tradisional penangkapan ikan. Ketentuan inilah yang sering menimbulkan konflik antar nelayan. Meskipun masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid baru sebatas mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, yang di dalamnya secara terinci juga mengatur tentang pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan provinsi yang terkait dengan sumberdaya pesisir dan laut, namun sudah ada kemauan secara politik upaya untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh terhadap sektor pesisir dan laut melalui pembentukan Departemen Kelautan dan Perikanan. Kelembagaan yang dibentuk tersebut diharapkan menjadi pilar yang mampu mendorong berkembangnya sektor perikanan dan sumberdaya laut yang dimiliki Indonesia yang potensinya semakin besar sejak diterimanya konsepsi Negara Nusantara (Archipelagic State) oleh masyarakat dunia, di mana dalam konsep Wawasan Nusantara mengklaim bahwa di dalam wilayah perairan kepulauan Indonesia tidak terdapat laut internasional. Dengan kata lain bahwa kedaulatan laut Indonesia meliputi wilayah laut di sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia (Baiquni,2004:39). Selanjutnya konsepsi ini diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Dalam ketentuan di atas (PP No. 25 Tahun 2000), secara substansi yang terkait dengan konteks ini yakni menyangkut Pasal 3 ayat (5) tentang Kewenangan Provinsi di Bidang Kelautan tersurat sebagai berikut:

(1) konservasi dan pengelolaan plasma nutfah spesifik lokasi, serta suaka perikanan di wilayah laut kewenangan Provinsi. (2) pelayanan izin usaha pembudidayaan dan penangkapan ikan pada perairan di wilayah laut kewenangan Provinsi; dan (3) pangawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan Provinsi (Tribawono, 2002:185).

180 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

Mencermati kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah guna memberikan ruang partisipasi pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan wilayah laut melalui berbagai peraturan di antaranya dalam konteks otonomi daerah. Pada tahap awal, implementasi desentralisasi banyak menimbulkan kebingungan atau kerancuan sehubungan dengan ketidakjelasan interpretasi undang-undang itu sendiri. Ketidakjelasan tersebut menimbulkan banyak kontroversi atas hak pemilikan sumberdaya perikanan laut, sehingga sering menimbulkan persepsi bahwa desentralisasi dimaknai sebagai hak untuk melarang pihak lain atas akses sumberdaya perikanan laut di wilayah tertentu. Persoalan lain juga mulai mengemuka manakala daerah-daerah yang luas daratannya lebih sempit juga hanya memiliki wewenang pada wilayah lautnya sama dengan daerah yang memiliki luas daratan lebih luas, sehingga terkesan tidak proporsional bagi daerah yang lebih banyak menggantungkan sumberdaya laut sebagai sumber nafkah. Menurut Tuhepaly (2006:8) bahwa pemerintah pusat memukul rata semua provinsi dengan hanya memegang satu karakteristik dalam memberikan kewenangan mengelola wilayah laut. Konflik horizontal terhadap masalah demikian sudah dan akan sering terjadi. Hal ini disebabkan ketidakjelasan mekanisme institusional yang mengatur kewenangan sumberdaya serta masih lemahnya penegakan hukum utamanya yang menyangkut sumberdaya perikanan laut. Setidaknya dapat dipahami bahwa paradigma baru dalam sistem pemerintahan adalah dari sentralisasi ke desentralisasi (otoda). Selanjutnya menurut Adisasmita (2006:74) bahwa dalam pengelolaan sumberdaya perairan laut memiliki makna: (1) Pengelolaan berorientasi pada mekanisme pasar . (2) Pengelolaan berbasis sumberdaya dan masyarakat. (3) Pengelolaan tidak harus seragam tetapi harus sesuai kepentingan dan budaya masyarakat lokal. (4) Pengelolaan secara berkeadilan (harus memperhatikan kebutuhan dan kemampuan seluruh masyarakat.

181 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Paradigma baru tersebut dijabarkan dalam pendekatan pengelolaan sumberdaya perairan laut, di antaranya sebagai berikut: a. Pendekatan komprehensif (holistik), multi sektoral , dan terpadu b. Pendekatan secara spasial c. Pendekatan partisipatif d. Pendekatan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya dimaksud dalam konteks pembangunan di daerah sering di pandang sebagai suatu kesempatan untuk memanfaatkan sebesar-besarnya. Alhasil masyarakat setempat hanya mendapatkan manfaat yang minimal dengan peran yang marginal. Realitas menunjukkan bahwa pihak yang memanfaatkan (pemanfaat) baik berasal dari luar maupun yang bersala dari dalam masyarakat itu sendiri merasa telah memberikan banyak untuk membantu masyarakat sekitar dengan memberikan lapangan pekerjaan dan pendapatan. Namun masyarakat keseluruhan merasa tidak memperoleh dampak kemajuan yang berarti bahkan terjadi kerusakan lingkungan. Dalam hal tersebut, komunitas lokal mengharapkan agar pihak pemanfaat sumberdaya bersedia membantunya dalam mengatasi permasalahan mereka dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mengendalikan lingkungan. Sebaliknya, pihak pemanfaat sumberdaya berharap agar mereka mendapatkan perlakuan yang adil. Oleh karena itu jika hal tersebut dikaitkan dengan paradigma baru dalam reformasi, maka dalam hal pengelolaan sumberdaya perairan laut pendekatannya berorientasi kepada: (1) Pemanfaatan sumberdaya perairan laut berdasarkan mekanisme pasar, sehingga tidak terjadi pengrusakan. (2) Menerapkan prinsip 3E (ekonomis, efisien, dan efektif ) agar pemanfaatan sumberdaya perairan laut dilakukan secara optimal. (3) Pemanfaatan sumberdaya perairan laut berorientasi kepada masa depan untuk mewujudkan kesejahteraan dalam jangka panjang.

182 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

(4) Perencanaan dan pembangunan sumberdaya perairan laut dilakukan dari bawah agar benar-benar sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. (5) Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya perairan laut dilakukan secara terpadu, komprehensif, multi sektoral, spasial, partisipatif, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (Adisasmita, 2006:77).

Pada era Orde Baru, dalam realitas membuktikan bahwa selama itu sentralisme telah menghasilkan kegagalan pembangunan khususnya bidang perikanan dan kelautan, banyak produk regulasi yang kenyataanya sulit untuk diterapkan. Di antaranya penanganan pengeboman ikan, pembiusan ikan, serta praktik destructive fishing lainnya yang tidak tersentuh. Paling tidak aspek positif diterapkannya desentralisasi di bidang kelautan agar demokratisasi bisa tercipta. Desentralisasi akan semakin mendekatkan jarak sosial antara pihak pengambil keputusan dengan nelayan, sehingga diharapkan keputusan yang diambil semakin dekat dengan realitas yang sebenarnya, serta nelayan di daerah bisa langsung menyalurkan aspirasinya baik memberikan masukan maupun merespons suatu kebijakan (Satria, 2003:305). Di masa lampau, bahwa pemanfaatan sumberdaya hayati milik bersama belum membawa dampak yang berarti. Namun sejalan dengan semakin kompleksnya permasalahan akibat bertambahnya penduduk dan tuntutan kebutuhan hidup serta penggunaan teknologi modern hingga di tingkat desa termasuk pesisir membawa implikasi terhadap makna sumberdaya perikanan laut. Hasil kajian menunjukkan bahwa masyarakat memiliki anggapan bahwa eksistensi sumberdaya perikanan laut tidak berbeda dengan alat produksi yang lain, sehingga penguasaan terhadap sumberdaya perikanan laut merupakan langkah yang harus dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan sosial. Berbagai alasan lain juga dipakai untuk melakukan klaim atas sumberdaya itu (Kusnadi, 2003:122). Kewenangan mengelola wilayah laut telah diatur sejak diterapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

183 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim kemudian disempurnakan dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun hingga saat ini masih menyisakan ruang munculnya konflik. Selanjutnya dicermati secara khusus dalam hal otoritas pengelolaan laut sebagaimana dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah hanya diberi otoritas oleh pemerintah pusat untuk mengelola laut. Dari garis pantai daerah terluar hingga 12 mil. Keluar dari 12 mil merupakan kewenangan pemerintah pusat yang dikenal sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Otoritas terbatas yang dimiliki daerah telah menyebabkan maraknya pencurian ikan (illegal fishing), mengingat perangkat daerah tidak memiliki otoritas untuk terlibat dalam mengawasi zona “terlarang” tersebut. Hal ini diperkuat realitas bahwa fungsi kontrol dan pengawasan dari aparat penegak hukum masih terbatas, sehingga tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui sektor perikanan masih sulit dijangkau. Wilayah perairan Indonesia (Laut Teritorial) sejauh 12 mil dari garis pangkal ke arah laut lepas memuat di dalamnya beragam aktivitas di antaranya pemanfaatan wilayah laut oleh komunitas sosial tertentu secara turun temurun dengan jalan mengatur tingkat eksploitasi guna melindungi dari over exploitation, akan tetapi juga mengacu pada teknik- teknik penangkapan, peralatan yang digunakan (teknologi) atau bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan (Ary Wahyono, 2000: 10). Jadi keberadaan sistem pengelolaan wilayah laut secara tradisional oleh komunitas sosial masyarakat tertentu setidaknya mengatur tentang siapa yang menguasai wilayah laut, jenis sumberdayanya, teknologi yang dipakai dan tingkat eksploitasinya serta bagaimana menguasainya dan dengan cara apa. Pemahaman terhadap aspek wilayah dalam suatu pengaturan hak wilayah laut tidak hanya terbatas pada pembatasan luas wilayah semata akan tetapi juga eksklusivitas wilayah. Eksklusivitas ini dapat berlaku juga untuk sumberdaya laut, teknologi yang digunakan, tingkat eksploitasi maupun batasan-batasan yang bersifat temporal. Sementara mengenai unit pemegang hak, di tempat berbeda menunjukkan bahwa

184 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut unit pemegang hak (right-holding unit) beragam, mulai dari sifatnya yang individual, kelompok kekerabatan, komunitas desa sampai negara. Dalam otonomi daerah, bahwa jati diri kepribadian pemerintah daerah dengan segala dimensinya semakin dipertegas, utamanya bagi pemerintah kota/kabupaten. Demikian tegasnya, sehingga seolah-olah berdiri sendiri sebagai “miniatur” negara, keadaan ini semakin memicu persaingan. Namun sebagaimana umumnya persaingan, bisa juga terjadi penyimpangan yang kemudian mendatangkan konflik antara pihak-pihak yang terlibat dalam kompetisi. Sumber ketegangan antara pemerintah daerah yang terbanyak muncul dari penerapan Bab III Pembagian Urusan Pemerintahan pada Pasal 18 mengenai Wilayah Laut dan Kewenangan Daerah dalam Undang Undang Nomor 32/2004. Secara lengkap bunyi pasal yang memunculkan kontroversial sebagai berikut:

Pasal 18 sebagai berikut: (1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. (2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Kewenangan Daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : 1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut 2. Pengaturan administratif; 3. Pengaturan tata ruang; 4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; 5. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan 6. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. (4) Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk Provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupetan/kota.

185 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

(5) Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut di bagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud. (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. (7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang –undangan (2004:25).

Pasal dimaksud sejak munculnya Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999 hingga saat ini telah menimbulkan kontroversi dalam penerapannya, khususnya tentang pemberikan hak untuk mengelola sumberdaya laut kepada daerah terkait dengan aspek pengelola sumberdaya alam yang “didesentralisasikan” kepada daerah. Menurut World Resources Institute, desentralisasi mengandung makna seperangkat program dan kebijakan yang dirancang untuk mewujudkan keseimbangan atas kewenangan (otoritas) dan tanggung jawab terhadap pengelolaan sumberdaya alam (Fauzi,2001). Pada sumberdaya alam yang sifatnya tidak lintas wilayah, hal tersebut tidak banyak menimbulkan masalah, sebaliknya pada sumberdaya yang sifatnya lintas wilayah, seperti perikanan dan kelautan, hal tersebut perlu dicermati mengingat kemungkinan akan timbulnya konflik sangat terbuka. Demikian halnya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diketahui bahwa pertama; adanya ketentuan (Pasal 18 ayat 2) yang mengatur bahwa Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedua; ketentuan yang mengatur wilayah laut secara rinci tercantum dalam Pasal 18 ayat (4), (5) dan (6). Dalam konteks inilah muncul persoalan batas wilayah laut antar daerah, maupun perbedaan penggunaan alat tangkap, terlebih pada wilayah- wilayah tertentu yang telah berkembang secara turun-temurun melalui sistem pengelolaan wilayah laut yang dikelola oleh komunitas lokal.

186 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dikeluarkannya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, maka sejalan dengan itulah ditetapkanlah ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya perikanan laut dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Perikanan ini merupakan pengganti atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1985 yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan lingkungan strategis baru yakni globalisasi dan otonomi daerah. Dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang dimaksud dengan Penegelolaan Perikanan (termasuk perikanan laut) adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Hal substansial yang termuat dalam ketentuan dimaksud di antaranya amanat tentang pengelolaan sumberdaya perikanan regional dan internasional (Pasal 10 ayat 2) serta kearifan lokal pada Pasal 6 yang menegaskan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Namun beberapa pasal yang ada masih menyisakan ruang ketidakpastian, sebagaimana dalam Pasal 1 butir 11, disebutkan bahwa nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengertian ini tidak diberikan penjelasan kategori atau ukuran kecil dari makna nelayan kecil, sehingga apakah nelayan yang kapal ikannya bermesin dalam (inboard) berukuran 5 GT ke bawah atau perahu bercadik yang pengoperasiannya hanya memanfaatkan tenaga angin untuk berlayar. Terkait dengan hal tersebut juga dalam Pasal 61 butir 1, disebutkan bahwa

187 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Dalam konteks tersebut menunjukkan bahwa pemerintah (baca : DKP) tidak mengindahkan adanya kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan laut oleh masyarakat lokal di wilayah tertentu yang dikenal sebagai Hak Ulayat Laut sebagaimana diberlakukan di sebagian wilayah Indonesia yakni Hak Ulayat Laut yang masih berjalan serta memiliki kekuatan hukum seperti Panglima Laot di Aceh, Rompong di Selawesi Selatan, Awig-awig di Bali dan Lombok, Rumpon di Lampung, Sasi di Maluku dan Kelong di Riau. Adapun hak ulayat laut di antaranya di desa Endokisi: Ondoafi (Papua/Irian Jaya), Tonass (Sulawesi Utara). Pada bagian lain juga diakui adanya hak ulayat tersebut sebagaimana termuat dalam Pasal 6 ayat 2 yang menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan dan budidaya ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Hal ini mengandung potensi munculnya benturan horizontal antar nelayan. Dalam konteks tersebut, menyangkut ketentuan lokal (hukum adat) yang berlaku di wilayah penangkapan tertentu dapat dirujuk pendapat Dahuri (1996:255) bahwa kelembagaan dapat diartikan dalam dua bagian yakni pertama; kelembagaan sebagai institut adalah lembaga/ organisasi berbadan hukum untuk mengelola suatu kegiatan, dan kedua; pelembagaan nilai-nilai atau institutionalized. Kelembagaan sebagai institut dikembangkan melalui tiga aspek yaitu pertama, peningkatan kemampuan aparatur yang bekerja di lembaga tersebut, dan memobilisasi tenaga untuk bekerja pada lembaga tersebut. Kedua, menyediakan fasilitas ruang kantor, peralatan dan bahan serta fasilitas lainnya untuk mengoperasikan lembaga tersebut, dan ketiga, adalah penyediaan dana operasional dan pemeliharaan serta pembangunan untuk membiayai kegiatan lembaga tersebut.

188 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut

Pelembagaan nilai-nilai, dikembangkan dengan memasyarakatkan hasil-hasil yang dikerjakan oleh lembaga tersebut ke masyarakat yang menjadi target atau pengguna jasa lembaga tersebut. Nilai-nilai yang dilembagakan berupa peraturan perundang-undangan, peraturan daerah, petunjuk teknis dan bentuk-bentuk lainnya yang dihasilkan oleh lembaga tersebut. Di Indonesia bentuk pengelolaan komunal ini di antaranya diterapkan pada komunitas masyarakat nelayan di Irian Barat, Maluku dan Sulawesi Utara. Dalam bentuk pengelolaan sumber daya perikanan laut oleh komunitas lokal ini menyangkut pengaturan penguasaan atas wilayah laut, jenis sumberdayanya, teknologi yang dipakai, tingkat eksploitasinya serta cara menguasainya (Wahyono, dkk., 2000:5) yang secara terinci bentuk pengelolaannya dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut:

Tabel 4.8 Pengelolaan Wilayah Laut oleh Komunitas Nelayan Lokal

No Provinsi Tanda Batas Masyarakat Orgs. Nelayan Pengguna Pelaksana/ Tanda Batas Pemegang Hak

1 Irian Jaya/ Teluk, tanjung, Endokisi, Dewan Adat Papua gunung, pantai, Kampung Tobati sungai, batas dan Enggros, desa/ kampung, Demta dan Pemegang terumbu karang, Tablasufa serta Hak : Ondoafi pulau-pulau Kampung Kayu Batu dan Kayu Pulo

2 Maluku Bukit, sungai, Nolloth (Saparua), Kewang tanjung, gua, Haruku, Latuhalat, Pemegang patok, meti, Kei dan Ternate Hak : perairan dangkal, Kepala/ batas desa Masyarakat Desa

3 Sulawesi Teluk, jarak dua Salurang, Para, Komunitas Utara mil dari pantai Mahangentang, Nelayan (batas desa) Ratatotok Dua dan Pemegang Bentenan Hak: Tonaas Sumber: Wahyono, dkk (2000: 129 dan136)

189 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

D.Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Milik Bersama (Common-Pool Resource/CPR)

Sumber daya Perikanan Laut merupakan sumberdaya milik bersama, meminjam istilah Elinor Ostrom (1977) sebagai Common-Pool Resource (CPR) sebagai pengganti istilah Common-Property Resources (Hardin,1968), mengingat bahwa semua orang yang memanfaatkan sumberdaya tersebut berada dalam satu kolam/tempat (pool), sehingga timbul kesulitan untuk membagi dan memilah sumberdaya untuk setiap orang dan aktivitas seseorang akan secara langsung dengan mudah berdampak pada keberadaan dan kesejahteraan orang lain dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Kepemilikan terhadap sumberdaya ini sebagai sumberdaya milik bersama (common-pool resource) atau sumberdaya publik merupakan sumberdaya yang sarat dengan konflik, disebabkan di dalamnya terkait dengan berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda. Konflik yang beragam tersebut menyangkut aspek kepemilikan, tujuan dalam pemanfaatannya serta bentuk pengelolaan terhadap sumberdaya tersebut. Setidaknya persaingan di antara pihak tersebut guna memperebutkan tiga hal yakni kekuasaan, pengakuan dan sumberdaya (Alchian dan Demsetz, 1973). Dalam konteks itulah, maka kebijakan pengelolaan konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dapat dicermati melalui pemikiran yang dikemukakan oleh Gordon (1954) dalam Elinor Ostrom (2005) dengan pemikirannya tertuang pada artikel ”The Economic Theory of a Common-Property Resources : The Fishery”, yang dimuat dalam Journal of Political Economy. Gordon menggambarkan tentang properti milik bersama tersebut. Bahwa sumberdaya perikanan laut sebagai sesuatu yang khas karena sifat properti bersamanya. Namun demikian, sifat properti bersama ini bukanlah merupakan sesuatu yang unik karena hal ini juga dimiliki oleh sifat sumberdaya lainnya, seperti : menggembalakan ternak di padang penggembalaan, berburu dan memasang perangkap untuk hewan liar. Namun sebagai properti bersama, sumberdaya perikanan laut

190 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut tidak membuat keadaan buruk nelayan serta tidak efisiennya produksi perikanan menjadi lebih baik. Kondisi ini semakin parah karena kerusakan dan kepunahan spesies ini mudah terjadi pada sumberdaya perikanan laut dibandingkan dengan sumberdaya alam lainnya di darat (dalam Ostrom, 2005:3). Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa keterbatasan akan ketersediaan sumberdaya perikanan laut sebagai sumberdaya milik bersama (Common-Pool Resource/CPR) dalam pemanfaatannya akan menimbulkan benturan kepentingan antar pihak sehingga menimbulkan konflik. Dengan demikian, pengaturan aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan laut sebagai sumberdaya milik bersama (Common-Pool Resource) menjadi sangat penting disebabkan kunci keberhasilan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan bukan pada sumberdaya ikannya, namun lebih ditentukan oleh sumberdaya manusia yang memanfaatkannya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa manusia sebagai pihak pemanfaat atas sumberdaya ikan memiliki nilai, strategi, tujuan ataupun kepentingan baik sosial maupun ekonomi yang dapat mempengaruhi dan menentukan sikap dan tindakannya dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan laut tersebut, sebagaimana Hardin (1968) mengemukakan bahwa kerusakan dan kelebihan pemanfaatan sumberdaya properti bersama bukan karena banyaknya pemegang hak properti, namun lebih disebabkan oleh moralitas yang kurang, etika yang buruk serta perundang-undangan yang tidak mendukung. Untuk itulah pengaturan dalam bentuk kebijakan yang dipergunakan dalam mengelola sumberdaya perikanan laut sebagai sumberdaya milik bersama yang menjadi ’ranah publik’ menjadi bagian penentu dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama tersebut agar dapat memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut. Jika hal tersebut tidak tercermin dalam kebijakan yang diformulasikan oleh pemerintah bukan mustahil akan terjadi konflik yang berkepanjangan. Berkaitan dengan sumberdaya yang diperebutkan oleh pihak yang terlibat konflik Hardin (1968), menegaskan bahwa sumberdaya perikanan

191 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim laut sebagai sumberdaya yang memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dengan sumberdaya lainnya semisal tanah sebagaimana pada penelitian Scott (1976). Sumberdaya tersebut menurut Hardin’s (1968) disebut sebagai Sumberdaya Milik Bersama (Common Property) yang diistilahkan Common-Pool Resource/CPR oleh Vincent dan E. Ostrom (1977), pengelolaannya memerlukan pendekatan secara khusus. Sumberdaya yang tidak ada aturan dalam pemanfaatannya akan berakibat terjadinya apa yang disebut Hardin (1968) sebagai ”The Tragedy of the Common”, sejalan dengan analisis ekonomi sumberdaya yang dikemukakan oleh Gordon (1954) bahwa sumberdaya perikanan laut tanpa suatu kepemilikan dan pembatasan akses akan mengakibatkan terjadinya inefisiensi ekonomi dan tangkap lebih secara ekonomi (economic over-fishing). Hardin (1968) mengemukakan bahwa meskipun jumlah pemegang hak properti bukan menjadi sumber penyebab kerusakan sumberdaya properti, namun populasi pemegang hak properti atas sumberdaya milik bersama tersebut harus tetap dikendalikan, karena tidak menutup kemungkinan semakin banyaknya jumlah akan semakin kompleks dan serius masalah yang bakal muncul. Untuk itu diperlukan pengendalian terhadap jumlah pemegang hak properti. Bentuk kebijakan pengendalian tersebut dapat melalui cara penutupan wilayah penangkapan atau dikenal dengan coastal belt atau fishing belt yaitu kawasan perairan dengan radius tertentu dari garis pantai yang hanya diperuntukkan bagi kelompok nelayan tertentu.

E. Kesimpulan

Otonomi daerah pada hakikatnya bertujuan untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun guna mendukung politik dan kebijakan pemerintah dalam rangka pembangunan demokrasi; memberdayakan penyelenggara pemerintahan serta memberikan pelayanan kebutuhan

192 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut masyarakat; meningkatkan partisipasi dan kemandirian masyarakat, serta agar pelaksanaan program pembangunan dapat diikuti dengan tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hadirnya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah secara substansial memberikan otonomi pada daerah kabupaten/kota. Hal ini membawa implikasi khususnya terhadap kewenangan daerah Provinsi, Kabupaten/Kota untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut, di mana pada era Orde Baru (Undang Undang No. 5 Tahun 1974) kewenangan tersebut merupakan wilayah kewenangan pemerintah pusat. Perubahan atas kewenangan pengelolaan sumberdaya pada daerah kabupaten/kota tersebut sebagaimana termuat dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Bab IV Kewenangan Daerah, bahwa Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, agama serta kewenangan bidang lain (Pasal 7 ayat 1). Di samping itu dalam Undang-Undang Otonomi Daerah dimaksud ditegaskan pula bahwa Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota bersifat Otonom; Daerah Provinsi juga sebagai Wilayah Administrasi (Pasal 2 ayat 1 dan 2); masing-masing merupakan Daerah yang berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki (Pasal 4 ayat 1). Selanjutnya pada bagian lain ditegaskan bahwa kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan tertentu lainnya (Pasal 9 ayat 1) dan Daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang- undangan (Pasal 10 ayat 1). Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut juga secara tegas mengatur wilayah yang dimiliki oleh daerah, sebagaimana pada Bab II Pembagian Daerah bahwa Wilayah Daerah Provinsi, sebagaimana pasal 2 ayat (1), terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua

193 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim belasa mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan (Pasal 3), sedangkan Kewenangan Daerah di wilayah laut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, di antaranya meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan ke arah perairan kepulauan (kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut adalah sepertiga dari batas laut daerah Provinsi; dengan demikian daerah Provinsi di wilayah laut hanya dua pertiga dari dua belas mil laut dimaksud). Dasar ketentuan perundang-undangan dalam Undang-Undang Otonomi Daerah di atas merupakan pijakan bagi daerah dalam mengatur rumah tangganya, kenyataan tersebut sangat berbeda dibandingkan dengan dasar kewenangan yang dimiliki daerah Provinsi, kabupaten maupun kotamadya pada era Orde Baru (Undang-Undang Nomor 5/1974), sehingga adanya Undang-Undang Otonomi Daerah telah memberikan keleluasan pada daerah untuk mengelola daerahnya utamanya atas sumberdaya yang dimilikinya. Dalam hal ini terkait dengan kewenangan pengelolaan atas sumberdaya perikanan laut. Dalam hal kewenangan atas pengelolaan sumberdaya di wilayah daerah (kabupaten/kota) khususnya di wilayah laut telah menjadikan daerah kabupaten/kota merasa perlu mengambil tindakan nyata terhadap sumberdaya perikanan laut. Kewenangan dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan laut tanpa pemahaman yang kritis terhadap sumberdaya tersebut telah membawa implikasi terhadap munculnya persoalan dalam hal pemanfaatannya. Hal ini disebabkan pemanfaatan terhadap sumberdaya alam tersebut memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki sumberdaya alam lainnya, sehingga pengaturan yang bersifat teknis mutlak diperlukan guna menghindari munculnya konflik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut, sebagaimana pengaturan pemanfaatan sumberdaya tersebut oleh komunitas masyarakat lokal tertentu yang telah memiliki perangkat aturan yang diikuti oleh komunitas tersebut dan tak terkecuali pada masyarakat diluar komunitas tersebut. Pengaturan tersendiri sangat

194 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut diperlukan mengingat sumberdaya perikanan laut tersebut memiliki karakteristik spesifik yakniekskludabilitas , bahwa pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya merupakan tugas yang sulit dan mahal; Substraktabilitas, bahwa adanya situasi ketika seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki orang lain; Indivisibilitas, fakta menunjukkan bahwa sumberdaya tersebut sulit dibagi-bagi atau dipisahkan, meskipun secara administratif pembagian dan pemisahan dapat dilakukan oleh otoritas manajemen, namun realitasnya tidak mudah dilakukan. Dengan demikian, perubahan ‘rezim’ pemerintahan dari Orde Baru menuju Reformasi/Transisi hingga Era Otonomi Daerah telah membawa implikasi terhadap meluasnya ‘liberalisasi’ politik, sementara itu secara normatif penggantian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 secara substansi memuat kewenangan pada daerah provinsi, kabupaten/kota yang berbatasan dengan laut untuk mengelola sumberdaya di wilayah lautnya. Hal ini membawa perubahan bentuk pengelolaan atas sumber daya di wilayah laut dari ‘open access’ menjadi ‘closed access’ sehingga persoalan konflik nelayan yang telah ada semenjak Orde Baru yang bersifat tertutup kembali terjadi bahkan berubah menjadi konflik terbuka dan anarkis.

195

Bab 5 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

A. Konflik Nelayan Era Orde Baru

Konflik nelayan di perairan Selat Madura sebenarnya telah seringkali terjadi semenjak beberapa tahun silam sebelum otonomi daerah. Namun, konflik tersebut dalam eskalasi dan frekuensi yang terbatas. Konflik telah terjadi sejak tahun 1993-1998. Temuan kasus konflik nelayan sebelum otonomi daerah tersebut dikemukakan oleh Klebun/Petinggi/Kades Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan yang telah menjabat selama 20 tahun (1988-2008). Laporan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasuruan data konflik nelayan secara terinci dalam tabel 5.1 berikut:

197 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 5.1 Pihak Konflik Nelayan di Selat Madura Tahun 1993-1994

No Waktu Asal Nelayan Konflik Sumber Jenis Konflik Perlakuan 1 Tahun Kwanyar Perbedaan Alat Perampasan 1993 (Bangkalan) vs Kraton, Tangkap hasil (Pasuruan) tangkapan 2 4 s/d 5 Juni Desa Labuhan, Perbedaan Alat Perampasan 1994 Sreseh, Sampang vs Tangkap hasil Ds. Kalirejo, Kraton, tangkapan Pasuruan Dsn Gilli Perbedaan Alat Perampasan 3 6 s/d 7 Juni Padekan,Sreseh Tangkap hasil 1994 Sampang vs Ds. tangkapan Kalirejo, Kraton, Pasuruan Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian

Berdasarkan data pada tabel di atas terlihat bahwa konflik nelayan pernah terjadi beberapa kali sebagaimana dikemukakan beberapa informan maupun data laporan dari pihak berwenang (Paguyuban nelayan pada Dinas Kelautan dan Perikanan). Data di atas menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1993-1994 (masa Orde Baru) kejadian bentrok atau konflik antar nelayan yang disebabkan adanya perbedaan penggunaan alat tangkap. Konflik nelayan tersebut tidak mengarah pada bentuk konflik yang terbuka atau anarkis. Selanjutnya guna mendalami persoalan di atas berikut diuraikan temuan konflik nelayan dari tahun 1993 hingga 1998 (sebelum otonomi daerah diberlakukan). Untuk mengungkap lebih mendalam konflik nelayan yang terjadi di Selat Madura dapat dicermati terjadinya konflik sejak tahun 1993 hingga 1998 melalui beberapa aspek yang terkait sebagai berikut:

198 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

1. Perbedaan Penggunaan Teknologi Penangkapan, dapat ditelaah dari: a. Penggunaan jenis dan jumlah alat tangkap b. Perbandingan jenis alat tangkap yang dipergunakan c. Jumlah nelayan pemanfaat d. Produktivitas penggunaan alat tangkap

2. Bentuk Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut, ditelaah dari: a. Ketentuan formal terkait pengelolaan dan bentuk pemanfaatannya b. Jaringan permodalan dan distribusi hasil tangkapan

3. Konfigurasi Konflik Nelayan Masa Orde Baru dapat dilihat dari: a. Pihak yang terlibat konflik b. Bentuk perlakuan konflik

1. Perbedaan Penggunaan Teknologi Penangkapan Mencermati rangkaian konflik di atas menunjukkan bahwa sumber konflik nelayan disebabkan oleh adanya perbedaan dalam penggunaan teknologi penangkapan. Hal ini dapat dilihat dari alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan Kwanyar dengan nelayan Camplong, Sreseh, Lekok dan Kraton (Kab. Bangkalan, Kab. Sampang, dan Kab. Pasuruan) dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di perairan Selat Madura. Untuk itu berikut dipaparkan alat tangkap yang dipergunakan nelayan melaut sehingga di antara mereka terlibat konflik sebagaimana diuraikan berikut: a. Penggunaan Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Nelayan yang melaut di perairan Selat Madura dari Kabupaten Bangkalan, Sampang maupun Pasuruan berusaha untuk mempertahankan kehidupannya sebagai nelayan dengan cara yang berbeda. Untuk mengetahui secara mendalam aktivitas nelayan dalam melakukan eksploitasi sumberdaya perikanan laut dapat diketahui di antaranya melalui jenis alat tangkap yang dipergunakan dalam melaut.

199 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Adapun alat tangkap yang dipergunakan selama kurun waktu sebelum otonomi daerah dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut oleh nelayan Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan terlihat pada tabel 5.2 berikut:

Tabel 5.2 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Laut Kec. Kwanyar - Kabupaten Bangkalan, Tahun 1996-1998

Tahun Jaring-jaring Hanyut Pancing Jaring Tetap Jumlah 1996 185 - - 185 1997 185 - - 185 1998 185 - - 185 Sumber: Kabupaten Bangkalan dalam Angka 1996 - 1998

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa nelayan Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan sebelum otonomi daerah menggunakan satu jenis alat tangkap yakni Jaring-jaring Hanyut dengan jumlah yang relatif tidak bertambah. Dominasi pemakaian jenis alat tangkap yang dipergunakan setidaknya menunjukkan bahwa aktivitas nelayan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan masih menggunakan alat tangkap tradisional dan hanya satu macam yakni Jaring-jaring Hanyut, selama masa konflik tersebut. Nelayan Kwanyar maupun Bangkalan pada umumnya hasil melaut kebanyakan jenis ikan yang ditangkap seperti: Tembang, Layang, Manyung, Petek, Tongkol, Teri, Cumi-cumi, Rajungan, Udang Rebon, Teripang, Ikan Gerot, Dorang. (sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Bangkalan tahun 2003). Wilayah perairan Kwanyar- Kabupaten Bangkalan ini kondisi perairannya masih lebih baik, hal ini ditunjukkan dengan alat tangkap nelayan masih tergolong tradisional akan tetapi cukup untuk memperoleh hasil tangkapan terutama udang sebagai bahan pembuatan krupuk di lingkungan rumah tangga nelayan (home industri). Hasil observasi lapangan menunjukkan wilayah Kwanyar terkenal sebagai sentra penghasil krupuk udang yang cukup dikenal selain dari Kabupaten Sumenep.

200 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Kondisi lingkungan laut sekitar perairan Bangkalan (Kwanyar) relatif masih terjaga sebagaimana dikemukakan oleh seorang nelayan yang bertempat tinggal di Desa Pesanggrahan, Kwanyar sebagai berikut :

“… di laut sekitar pantai Desa Pasanggrahan hingga Sungai Rongkang – Desa Tebul antara tahun 1970 – 1980-an udang banyak sekali karena di daerah itu ada rumpon menyerupai gua yang setiap sekitar empat bulan sekali diambil hasil lautnya seperti: udang, ikan pari, lele laut. Jadi wilayah sekitar Kwanyar dijaga supaya tidak rusak.”

Pernyataan menguatkan hal tersebut dikemukakan oleh Kyai Pondok Pesantren Darul Fatwa, Desa Kwanyar Barat, Kecamatan Kwanyar – Kabupaten Bangkalan, salah seorang saksi dalam islah, mengemukakan bahwa:

“Sekitar tahun 1958 memang ada penduduk/nelayan dari Desa Pesanggrahan, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan yang menaruh batu-batu untuk dijadikan rumpon hingga itu jadi miliknya, sehingga hingga kini nelayan tetap menjaganya”.

Kenyataan di atas merupakan salah satu pendukung bagi nelayan Bangkalan (Kwanyar) untuk tetap mengandalkan bentuk pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dengan menggunakan alat tangkap tradisional. Pada kurun waktu yang sama, nelayan Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang dalam melaut menggunakan alat tangkap yang jauh berbeda, artinya alat tangkap yang dipergunakan merupakan alat tangkap yang lebih modern dan beragam. Sedangkan waktu melaut selain pada pagi hingga sore hari, juga pada waktu malam hingga pagi hari terutama yang menggunakan alat tangkap modern dengan perahu yang berukuran besar (± 5 Gross Ton). Nelayan Camplong, Kabupaten Sampang dalam melaut selama kurun waktu tahun 1997-1998 menggunakan alat tangkap yang beragam serta mempunyai kemampuan untuk menangkap ikan cukup efektif, secara terinci alat tangkap dimaksud dapat terlihat pada tabel 5.3 berikut:

201 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 5.3 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Laut Kecamatan Camplong-Kabupaten Sampang, Tahun 1997-1998

Tahun Payang Gill Net TramelNet Purse seine Pancing Dogol Jumlah 1997 50 170 120 10 30 25 405 1998 46 120 170 10 21 2 369 Sumber: Kabupaten Sampang Dalam Angka 1997-1998

Berdasar atas tabel di atas diketahui jenis alat tangkap yang dipergunakan nelayan di Kecamatan Camplong sebelum otonomi daerah sebanyak 6 (enam) jenis yaitu Payang, Gill Net, Tramel Net, Purse Seine, Pancing dan Dogol. Jika dicermati nampak bahwa jenis alat tangkap Tramel Net mendominasi alat tangkap nelayan, pada tahun 1998 jumlah Tramel Net mencapai 46,07% dan Gill Net mencapai 32,52%, sedangkan selebihnya 5 (lima) jenis alat tangkap lainnya. Nelayan pengguna alat tangkap modern (purse seine dan lainnya) umumnya melaut pada sore selepas ashar dan akan kembali esok paginya. Demikian halnya dengan nelayan Kecamatan Sreseh dalam aktivitas melaut selama kurun waktu yang sama menggunakan alat tangkap sebagaimana pada tabel 5.4 berikut:

Tabel 5.4 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Laut Kecamaten Sreseh, Kabupaten Sampang, Tahun 1997-1998

Tahun Gill Net Tramel Net Jumlah 1997 200 211 411 1998 180 241 421 Sumber: Kabupaten Sampang Dalam Angka 1997-1998

202 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa jenis alat tangkap yang dipergunakan nelayan Sreseh sebelum otonomi daerah sebanyak 2 (dua) jenis yakni Gill Net dan Tramel Net. Meski hanya dua jenis alat tangkap yang dipergunakan, namun alat tangkap yang lebih modern (Tramel Net) jumlahnya lebih banyak daripada alat tangkap tradisional (Gill Net). Penggunaan alat tangkap pada nelayan Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan dalam aktivitas melaut tidak berbeda dengan nelayan Camplong maupun Sreseh, Kabupaten Sampang. Data menunjukkan selama kurun waktu sebelum otonomi daerah nelayan menggunakan beragam jenis alat tangkap, hal ini dapat dilihat pada tabel 5.5 berikut:

Tabel 5.5 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Laut Kec. Lekok - Kabupaten Pasuruan, Tahun 1997-1998

Tahun Payang Jaring Tramel Jaring Pancing Jaring Bagan/ Lain- Insang Net Insang Klitik Banjang lain Hanyut Tetap 1997 463 35 51 56 45 90 31 15 35 51 1998 463 56 45 93 31 15 Sumber : Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 1997 – 1998

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa nelayan Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan menggunakan lebih dari 8 (delapan) jenis alat tangkap yakni Payang, Jaring Insang Hanyut, Tramel Net, Jaring Insang Tetap, Pancing, Jaring Klitik, Bagan/Banjang, serta jenis alat tangkap lain di antaranya: alat pengumpul kerang. Penggunaan alat tangkap di atas didominasi alat tangkap jenis Payang, pada tahun 1998 penggunaannya mencapai 58,39%. Selanjutnya pada kurun waktu yang sama nelayan Kraton, Kabupaten Pasuruan dalam aktivitas melaut juga menggunakan alat tangkap yang tidak berbeda dengan nelayan Lekok, Camplong maupun Sreseh sebagaimana dapat dilihat terinci pada tabel 5.6 berikut:

203 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 5.6 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Laut Kec. Kraton-Kabupaten Pasuruan Tahun 1997-1998

Tahun Pancing Serok Tramel Jala/ Jaring Bagan/ Jarg. Jarg. Lain-

Net Anco Klitik Banjang Insg. Insg lain Tetap Hnyt 1997 45 - 196 - 150 94 - - 80 1998 45 10 196 11 151 94 - - 80 Sumber: Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 1997 – 1998

Berdasar atas tabel di atas diketahui bahwa nelayan perikanan laut di Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan, juga mempergunakan lebih dari 8 (delapan) jenis alat tangkap yakni Pancing, Serok, Tramel Net, Jala/ Anco, Jaring Klitik, Bagan/Banjang, ataupun jenis alat tangkap yang lain di antaranya: alat pengumpul kerang. Penggunaan alat tangkap nelayan Kraton didominasi jenis Tramel Net. Pada tahun 1998 penggunaan alat tangkap jenis ini mencapai 33,39%, sedangkan beragam alat tangkap lainnya sebesar 66,61% meliputi lebih dari 7 (tujuh) jenis alat tangkap. Dengan demikian berdasarkan tabel di atas alat tangkap yang dipergunakan nelayan Camplong dan Sreseh (Kabupaten Sampang), Lekok dan Kraton (Kabupaten Pasuruan) menunjukkan adanya penggunaan alat tangkap yang beragam dan jumlahnya jauh di atas kepemilikan alat tangkap dari nelayan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan. Nelayan Kwanyar (Bangkalan) hanya menggunakan 1 (satu) macam alat tangkap sedangkan nelayan Camplong memakai 6 (enam) macam alat tangkap, sedangkan nelayan Sreseh (Sampang) menggunakan 2 (dua) macam alat tangkap. Sedangkan nelayan Lekok dan Kraton (Pasuruan) memakai lebih dari 8 macam alat tangkap. Hal ini disebabkan beberapa hal, di antaranya karena penggunaan alat tangkap tradisional sebagaimana nelayan Kwanyar (Kabupaten Bangkalan), bagi nelayan Sampang maupun Pasuruan dirasakan sulit mendapatkan hasil tangkapan karena jumlah dan jenis ikan semakin langka dan semakin sulit didapatkan, di samping itu jumlah nelayan di

204 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura kedua daerah tersebut sangat banyak. Pada sisi lain aktivitas melaut bagi nelayan lebih merupakan sumber penghasilan satu-satunya atau paling utama, disebabkan sumberdaya alam yang lebih potensial adalah perikanan laut. Sumber mata pencaharian lain pada wilayah pesisir Camplong dan Sreseh serta Lekok dan Kraton keadaan sumberdaya alamnya terbatas. Dalam hal ini Camplong dan Sreseh (Sampang), bahwa lahan yang ada di wilayah Camplong hampir tiga perempat wilayahnya berupa tanah kering yakni 71,99% yakni 5.035,284 ha dan sisanya hanya 28,01% atau berupa tanah sawah, sedangkan Sreseh dari 7.195,237 ha tanahnya, 80,21% atau 5.770,187 ha berupa tanah kering dan hanya 19,79% yang berupa tanah sawah. Keadaan yang tidak jauh berbeda terlihat keadaan lahan di Lekok (Pasuruan) yang meliputi 60,41% atau 2.982,220 ha berupa tanah tegalan/ ladang, sedangkan tanah sawah hanya mencapai 8,28% atau 408,610 ha. b. Perbandingan Jenis Alat Tangkap yang Dipergunakan Selanjutnya untuk mengetahui tingkat penggunaan alat tangkap yang dipakai nelayan melaut di perairan Selat Madura, khususnya yang terlibat konflik dapat dicermati melalui perbandingan jumlah alat tangkap yang digunakan nelayan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan; Camplong dan Sreseh, Kabupaten Sampang; serta Lekok dan Kraton, Kabupaten Pasuruan sebagaimana terlihat pada tabel 5.7 berikut:

Tabel 5.7 Perbandingan Jumlah Penggunaan Alat Tangkap Perikanan Laut Nelayan Kwanyar – Kab. Bangkalan ; Camplong dan Sreseh – Kab. Sampang; Lekok dan Kraton – Kab. Pasuruan – Jawa Timur Tahun 1997 –1998

Tahun Σ Alat Tangkap (Unit) di Kecamatan – Kabupaten Kwanyar Camplong Sreseh Lekok Kraton Bangkalan Sampang Pasuruan 1997 185 405 411 786 485 1998 185 369 421 789 587 Sumber: Kecamatan Kwanyar, Camplong, Sreseh, Lekok dan Kraton dalam Angka 1997 – 1998.

205 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa jumlah alat tangkap yang dipergunakan nelayan Bangkalan (Kwanyar) tetap tidak meningkat. Namun jumlah alat tangkap yang dipergunakan nelayan Sampang (Camplong) mengalami penurunan dari 405 unit menjadi 369 unit pada tahun 1998 atau berkurang sebanyak 46 unit. Dalam hal alat tangkap yang dipergunakan nelayan Pasuruan (Lekok) selama kurun waktu 1997 – 1998 tidak mengalami peningkatan yang berarti karena hanya meningkat 3 unit, meski demikian jumlahnya tergolong tinggi bila dibandingkan jumlah alat tangkap nelayan lainnya. Jumlah alat tangkap nelayan Pasuruan (Kraton) meningkat sebanyak 367 unit atau meningkat 62,52% pada tahun 1998. Adapun tingginya kepemilikan alat tangkap di Pasuruan di antaranya disebabkan semakin langkanya sumberdaya perikanan laut akibat over-fishing/tangkap lebih. Hal ini disebabkan beragamnya alat tangkap, maupun banyaknya jumlah nelayan. Selanjutnya guna mendalami konflik di antara nelayan, maka dapat dicermati perbandingan penggunaan alat tangkap yang dioperasikan pada tahun 1997-1998 antara nelayan Bangkalan, Sampang dan Pasuruan sebagaimana terlihat pada tabel 5.8 berikut:

206 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Tabel 5.8 Perbandingan Jenis Alat Tangkap Perikanan Laut Antara Nelayan Bangkalan, Sampang dan Pasuruan Tahun 1993-1998

No U r a i a n Karakteristik Alat Tangkap Kwanyar Camplong dan Lekok dan Kraton Kab. Sreseh Kab. Pasuruan

Bangkalan Kab. Sampang 1 Jenis Alat Jaring-jaring Payang, Gill Payang, Jaring Tangkap Hanyut Net ( Jaring Hanyut, Tramel Insang), Purse Net, Jaring Insang seine ( Jaring Tetap, Jaring kantong), Tramel Klitik, Bagan, Net, Pancing. Pancing. 2 Cara Kerja Jaring Jaring Jaring diletakkan dg. dilingkarkan dilingkarkan pada alat pemberat pada gerombolan ikan. gerombolan ikan. 3 Jenis Hasil Ikan Gerot (Ikan dasar, (Ikan dasar, Tangkapan gerot, Udang pelagis kecil) : pelagis kecil): Putih, Udang Tongkol, Tengiri, Tongkol, Layang Windu, Layur, Cakalang, Cumi-cumi, Rajungan, Pari Kembung, Tengiri, Teri Nasi Dorang. Bambangan, Bawal, Kembung, Layur. Bambangan, Layur, Udang Putih, Udang Windu, Rajungan, Dorang. Sumber: Diolah oleh Peneliti

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa nelayan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dalam melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya perikanan laut menunjukkan masih menggunakan alat tangkap tradisional dalam arti jenis alat tangkap ikan yang relatif tidak produktif untuk memperoleh hasil tangkapan, namun sebaliknya nelayan Camplong dan Sreseh, Kabupaten Sampang maupun nelayan Lekok dan Kraton, Kabupaten Pasuruan dalam melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya

207 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim perikanan laut di perairan Selat Madura sangat efektif, terlihat dari jenis alat tangkap yang dipergunakan sangat beragam dan memiliki kemampuan tangkap jauh lebih produktif untuk mendapatkan hasil tangkapan (Purse seine, Tramel Net, Payang). Dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan laut di perairan di wilayah Bangkalan (Kwanyar), intensitas nelayan dalam melaut pada umumnya hanya sekali dalam sehari melaut yaitu mereka berangkat melaut pada pagi hari dan kembali siang atau sore hari. Sedangkan jadwal melaut umumnya disesuaikan dengan musim udang atau ikan tertentu. Aktivitas melaut nelayan dengan menggunakan perahu pancingan () dan alat tangkap tradisional dilakukan setiap hari, tetapi pada hari Jum’at tidak melaut. Demikian pula pada saat terang bulan dan musim angin barat, praktis nelayan tidak beraktivitas di laut sama sekali. Sejalan dengan penggunaan alat tangkap tradisional oleh nelayan Kwanyar juga dikemukakan oleh Petinggi. Nelayan Kwanyar melaut dengan menggunakan peralatan tradisional sebagaimana data di atas masih tetap dapat dipertahankan. Hal ini disebabkan, nelayan Kwanyar pada umumnya memiliki sumber penghasilan lain diluar aktivitas melaut di antaranya bertani baik menggarap lahan sendiri maupun menyewa tanah pertanian. Sektor pertanian di wilayah pesisir ini dapat berkembang didukung kondisi tanah yang cukup subur meliputi tanah tegalan/perladangan 60% dari luas tanah Kwanyar yakni 2.848,80 Ha dan 21,53% berupa tanah sawah yakni 1.029,10 Ha. Sumber nafkah lainnya dari keluarganya yang menjadi TKI di Saudi Arabia, Malaysia, Darussalam. Mencermati konflik penggunaan alat tangkap antara nelayan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan dengan nelayan Camplong dan Sreseh, Kabupaten Sampang maupun antara nelayan Kwanyar dengan Lekok dan Kraton, Kabupaten Pasuruan menunjukkan bahwa konflik antar nelayan di perairan Selat Madura memberikan gambaran sebagai bentuk konflik antara nelayan modern dengan tradisional. Hal ini didukung realitas bahwa nelayan yang menggunakan alat tangkap modern mayoritas mendapatkan dukungan sebagian biaya untuk pembelian perahu dan alat

208 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura tangkap dari para juragan/supplier. Peningkatan jumlah alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan di luar Kabupaten Bangkalan (Kwanyar) terjadi pada tahun 1998 dan jumlah kenaikan terbesar pada nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton) yakni meningkat sejumlah 105 unit. Kenaikan jumlah penggunaan alat tangkap ini disebabkan adanya pola kebiasaan yang berkembang pada masyarakat nelayan Pasuruan bahwa orang tua (nelayan) yang anaknya berkeluarga umumnya mereka menyiapkan pekerjaan untuk anaknya yang dari aspek tingkat pendidikannya relatif masih rendah karena mereka memahami tingkat kesulitan mencari pekerjaan di luar daerah dengan rendahnya ketrampilan dan pendidikannya. Untuk itulah bagi kalangan nelayan cara yang dapat ditempuh yakni dengan memberikan perahu yang permodalannya sebagian mendapatkan pinjaman dari juragan/ pengepul. c. Perkembangan Jumlah Nelayan Pemanfaat Perkembangan jumlah nelayan yang memanfaatkan sumberdaya perikanan laut ikut memberikan kontribusi terhadap munculnya konflik, mengingat banyaknya jumlah nelayan akan menyebabkan meningkatnya eksploitasi terhadap sumberdaya perikanan laut, serta secara tidak langsung akan mengurangi kemungkinan perolehan hasil tangkapan. Adapun perbandingan perkembangan jumlah nelayan sebagaimana terlihat pada tabel 5.9 berikut:

Tabel 5.9 Perbandingan Perkembangan Jumlah Nelayan Perikanan Laut Kec. Kwanyar , Kab. Bangkalan ; Kec. Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Kec. Lekok dan Kraton, Kab. Pasuruan, Jawa Timur Tahun 1997-1998

Σ Nelayan (Orang) di Kecamatan – Kabupaten Tahun Kwanyar Camplong Sreseh Lekok Kraton Bangkalan Sampang Pasuruan 1997 1.286 1.261 842 4.359 3.509 1998 1.286 1.261 842 4.359 3.510 Sumber: Kec.Kwanyar, Camplong, Sreseh, Lekok dan Kraton dalam Angka 1997-1998

209 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa selama tahun 1997-1998 perkembangan nelayan pemanfaat sumberdaya perikanan laut di perairan Selat Madura menunjukkan bahwa nelayan Bangkalan (Kwanyar) jumlahnya tidak mengalami peningkatan sebagaimana dengan jumlah nelayan Sampang (Camplong dan Sreseh) dan nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton), namun demikian jumlah nelayan Sampang dan Pasuruan tetap lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah nelayan Bangkalan. Sedangkan nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton) merupakan pemanfaat terbanyak. Nelayan Pasuruan Kecamatan antara tahun 1997-1998 merupakan nelayan pemanfaat terbanyak. Dengan demikian perubahan jumlah nelayan pada kurun waktu 1997 -1998 jumlah nelayan tidak mengalami peningkatan. Namun demikian masih dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan jumlah nelayan yang cukup besar di antara nelayan Bangkalan, Sampang dan Pasuruan. Jika dicermati lebih jauh, jumlah nelayan Pasuruan jauh lebih besar di antaranya disebabkan adanya kebiasaan atau budaya serta kondisi geografis yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan jumlah nelayan. Kondisi tersebut menumbuhkan kebiasaan masyarakat jika sudah menikah atau berkeluarga oleh orang tuanya diberi perahu yang sebagian modalnya diperoleh dari juragan, sekitar 90% nelayan terikat utang pada juragan. Pada tahun 1987-1988 penghasilan dari tegalan masih cukup untuk kebutuhan keluarga, kemudian tidak diizinkan lagi oleh TNI-AL untuk ditanami maupun pembangunan rumah, tegalan hasilnya tidak banyak, karena lahannya kering sehingga umumnya lelaki yang menetap bekerja sebagai nelayan. Untuk memahami lebih jauh tentang perkembangan perbandingan jumlah armada perahu/motor tempel nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh), serta Pasuruan (Lekok dan Kraton), maka berikut dapat dilihat secara rinci perkembangan jumlah armada perahu/motor tempel sebagaimana pada tabel 5.10 berikut:

210 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Tabel 5.10 Perbandingan Perkembangan Jumlah Perahu /Motor Tempel di Kec. Kwanyar , Bangkalan; Kec. Camplong dan Sreseh, Sampang; Kec. Lekok dan Kraton, Pasuruan – Jawa Timur Tahun 1997-1998

Tahun Σ Perahu/Motor Tempel (Unit) di Kecamatan – Kabupaten Kwanyar Camplong Sreseh Lekok Kraton Bangkalan Sampang Pasuruan 1997 454 385 683 * * 1998 454 374 665 1.236 321 Sumber: Kec.Kwanyar, Camplong, Sreseh, Lekok dan Kraton Dalam Angka 1997 – 1998

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa jumlah perahu/motor tempel yang dipergunakan nelayan Lekok – Pasuruan merupakan jumlah terbanyak. Sedangkan jumlah perahu Kwanyar tidak mengalami perubahan yakni sebanyak 454 unit, sedangkan jumlah perahu nelayan Camplong dan Sreseh mengalami penurunan pada tahun 1998 yakni Camplong berkurang sebanyak 11 unit dan Sreseh berkurang sebanyak 18 unit. Adapun jumlah perahu/motor tempel nelayan Lekok jumlahnya tercatat terbanyak di antara nelayan pada tahun 1998 sedangkan perahu yang dipergunakan nelayan Kwanyar umumnya jenis perahu tradisional dari kayu dengan ukuran panjang ±6 m dan lebar ±1 m dan diawaki oleh 1-2 orang dan “… perahu nelayan umumnya tidak terlalu besar dipakai 2 sampai 3 orang dan kebanyakan masih keluarga sendiri”.

Hal tersebut dikemukakan oleh seorang informan nelayan bahwa: “… nelayan ka’jê néka praona bênyak tape kéni’-kéni’ lanjêngna sekitar 7 meter pas mêléna 10 juta-an néka pon lengkap moso mesin jugên.” (“Nelayan sini banyak perahunya yang kecil-kecil … ya panjangnya sekitar 7 meter dulu belinya seharga 10 juta-an lengkap sama mesinnya.”)

211 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim d. Produktivitas Penggunaan Alat Tangkap Selanjutnya guna mencermati tingkat efektivitas perolehan hasil tangkapan atas penggunaan alat tangkap nelayan, maka dapat diketahui dari perbandingan teknologi penangkapan dari masing-masing nelayan terhadap tingkat perolehan hasil tangkapan pada nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh), Pasuruan (Lekok dan Kraton) sebagaimana pada tabel 5.11 berikut:

Tabel 5.11 Perbandingan Σ Hasil Tangkapan (dlm Ton) Nelayan Kwanyar , Kab. Bangkalan; Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Lekok dan Kraton, Kab. Pasuruan – Jawa Timur Tahun 1997-1998

Σ Hasil Tangkapan (Ton) di Kecamatan – Kabupaten Tahun Kwanyar Camplong Sreseh Lekok Kraton Bangkalan Sampang Pasuruan 1997 2.364.643 * * 3.020,76 2.013,84 1998 * 3.220,40 2.947,50 4.664,60 2.091,50 Sumber: Kecamatan Kwanyar, Camplong, Sreseh, Lekok dan Kraton dalam Angka 1997 – 1998; (*) Keterangan: Tidak tersedia data.

Berdasarkan data pada tabel di atas, diketahui bahwa jumlah hasil tangkapan nelayan pada tahun 1997 hingga 1998, bahwa pada tahun 1998 menunjukkan nelayan Sampang (Camplong dan Sreseh) mendapatkan hasil tangkapan lebih rendah daripada nelayan Pasuruan (Kraton dan Lekok) yakni tangkapan nelayan Pasuruan memperoleh 588,20 Ton lebih banyak daripada nelayan Sampang. Hal tersebut menunjukkan bahwa perolehan hasil tangkapan di antara ketiga wilayah nelayan di Selat Madura (Bangkalan, Sampang dan Pasuruan) didominasi nelayan Pasuruan. Mengacu pada tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan laut oleh nelayan Pasuruan disebabkan jumlah nelayan yang banyak serta adanya dukungan pinjaman modal dari juragan/pengepul /supplier, serta semakin sulitnya peluang untuk dapat memanfaatkan lahan/tanah

212 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura untuk ladang di sekitar pemukiman nelayan disebabkan adanya larangan pemanfaatan lahan “milik” TNI-AL. Selanjutnya tingkat efektivitas hasil tangkapan terhadap penggunaan alat tangkap dapat juga dicermati dari tingkat perolehan hasil tangkapan dengan membandingkan dari aspek nilai jual hasil tangkapan dari nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh), Pasuruan (Lekok dan Kraton). Sebagaimana diketahui pada tabel 69 di atas bahwa alat tangkap tertentu dapat menghasilkan jenis ikan atau hasil tangkapan pada jenis tertentu pula. Dalam hal ini hasil tangkapan dapat dilihat dari nilai jual hasil tangkapan secara ekonomis sebagaimana terlihat pada tabel 5.12 berikut:

Tabel 5.12 Perbandingan Jumlah Nilai Jual Hasil Tangkapan (dlm Ribuan Rupiah) Nelayan Kwanyar , Kab. Bangkalan; Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Lekok dan Kraton, Kab. Pasuruan – Jawa Timur Tahun 1997–1998

Tahun Nilai Jual Hasil Tangkapan (Ribuan Rp) di Kecamatan – Kabupaten Kwanyar Camplong Sreseh Lekok Kraton Bangkalan Sampang Pasuruan 1997 2.364.643 * * 4.556.4999,9 3.037.666,6 1998 2.364.643 21.753.081 16.314.812 * * Sumber : Kecamatan Kwanyar, Camplong, Sreseh, Lekok dan Kraton dalam Angka 1997 – 1998 ; (*) Keterangan: Tidak tersedia data

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa nilai jual hasil tangkapan nelayan Kwanyar tidak mengalami peningkatan dari tahun 1997 ke 1998. Sedangkan nilai jual hasil tangkapan nelayan Camplong dan Sreseh lebih besar dibandingkan nilai jual hasil tangkapan nelayan Kwanayar, bahkan masih lebih tinggi pula dibandingkan dengan nilai hasil tangkapan nelayan Lekok dan Kraton. Hal ini disebabkan bahwa totalitas jumlah hasil tangkapan nelayan Kwanyar (Bangkalan) paling sedikit

213 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim dibandingkan dengan hasil tangkapan nelayan Camplong dan Sreseh (Sampang) maupun nelayan Lekok dan Kraton (Pasuruan). Realitas tersebut menunjukkan bahwa nelayan Pasuruan maupun Sampang mendapatkan perolehan tangkapan lebih banyak disebabkan penggunaan alat tangkap yang jauh lebih produktif untuk mendapatkan ikan maupun jumlah nelayan yang melaut jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan nelayan Bangkalan. Selanjutnya kondisi nelayan Kwanyar – Kabupaten Bangkalan yang berada pada kondisi alam serta sumber nafkah yang jauh berbeda dengan nelayan lain (Sampang dan Pasuruan) itulah yang menyebabkan jumlah alat tangkap relatif tidak banyak bertambah dan jenisnya pun tidak berubah. Dalam hal sumber pendapatan bagi nelayan Batah Barat, Kwanyar diketahui adanya upaya membangun kemandirian yang digagas oleh Petinggi Desa Batah Barat di samping pemberian pinjaman modal kerja atau biaya melaut bagi nelayan tanpa kewajiban menjual hasil tangkapan kepadanya pada tahun 1990, juga pada tahun 1997 masyarakat dimotivasi untuk memanfaatkan lahan yang ada guna bercocok tanam sehingga tidak bergantung pada perikanan laut. Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dianalisis melalui perbandingan penggunaan teknologi penangkapan yang dipergunakan masing-masing baik nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh) maupun Pasuruan (Lekok dan Kraton) sebelum otonomi daerah atau pada masa orde baru terlihat pada tabel 5.13 berikut:

214 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Tabel 5.13 Perbandingan Penggunaan Teknologi Penangkapan pada Nelayan yang Terlibat Konflik Era Orde Baru

Karakteristik Penggunaan Teknologi Penangkapan No Uraian Bangkalan Sampang Pasuruan Tradisional Modern Modern 1 Jenis Alat Tangkap 2 Ragam Alat Tangkap yg Sejenis Beragam Jenis Beragam Jenis Dipergunakan (2 – 4 jenis) (5 – 8 jenis) 3 Jumlah Nelayan Pemanfaat < 1.300 orang > 2.000 orang > 8.000 orang 4 Produktivitas Penggunaan Tidak Produktif Produktif Alat Tangkap Produktif

Sumber : Diolah oleh Peneliti

Tabel di atas menunjukkan bahwa penggunaan alat tangkap oleh nelayan Bangkalan dengan nelayan Sampang dan Pasuruan terdapat perbedaan yang mencolok, dalam arti bahwa dalam aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Selat Madura terjadi ketidakseimbangan dalam penggunaan teknologi penangkapan. Nelayan Bangkalan (Kwanyar) sebagai nelayan tradisional dengan karakteristik yang dilihat dari aspek jenis, ragam dan tingkat efektivitas alat tangkap dalam perolehan hasil tangkapan yang dipergunakan telah terlibat konflik dengan nelayan Sampang (Camplong dan Sreseh) dan Pasuruan (Lekok dan Kraton), di mana kedua kelompok nelayan ini merupakan nelayan modern dengan karakteristik alat tangkapnya yang efektif untuk mendapatkan hasil tangkapan serta jumlah maupun jenis alat tangkapnya yang cukup banyak, sehingga dapat melaut disetiap musim ikan. Dari aspek jumlah pemanfaat, nelayan Sampang dan Pasuruan merupakan nelayan yang mendominasi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut, di mana jumlah nelayan Sampang di atas 2.000 orang bahkan nelayan Pasuruan jumlahnya di atas 8.000 orang. Hal ini berbeda jauh bila dibandingkan dengan jumlah nelayan Bangkalan yang kurang dari 1.300 orang.

215 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Dengan demikian, bila dicermati dari aspek pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Selat Madura pada wilayah konflik nelayan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah pemanfaat yang cukup tinggi antara nelayan Bangkalan dengan Sampang maupun Pasuruan. Menurut Hardin (1968), bahwa banyaknya jumlah pemanfaat (nelayan) sumberdaya bukan penyebab kerusakan sumberdaya, namun pertambahan jumlah nelayan tetap harus dikendalikan karena semakin banyak jumlah pemanfaat sumberdaya akan semakin kompleks dan serius masalah yang bakal muncul. Sementara itu, pemanfaat sumberdaya perikanan laut sebagai sumberdaya milik bersama (Common-Pool Resource/CPR) pada wilayah konflik menunjukkan tidak adanya kendali dalam penggunaan alat tangkap. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan alat tangkap yang jumlahnya cukup besar dan ragamnya juga cukup banyak sebagaimana dipergunakan oleh nelayan Sampang dan Pasuruan. Selain itu bahkan diketemukan alat tangkap yang dilarang masih banyak dipergunakan nelayan (seperti: mini trawl/wes-ewes) pada wilayah tangkap yang sama. Kenyataan inilah yang oleh Hardin (1968) disinyalir akan memunculkan “tragedy”, dikemukakan bahwa kerusakan dan kelebihan pemanfaatan sumber daya milik bersama lebih diakibatkan oleh moralitas yang kurang dan etika yang buruk dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut, dan masih lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Bentuk Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut Selanjutnya guna mengetahui lebih jauh terhadap konflik nelayan yang terjadi dapat ditelusuri dari ketentuan pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan laut serta bentuk pemanfaatan terhadap sumberdaya perikanan laut oleh nelayan selama kurun waktu sebelum otonomi daerah, baik nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh), maupun Pasuruan (Lekok dan Kraton). Dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut seharusnya didasarkan atas ketentuan yang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan laut agar pemanfaatannya dapat memberikan nilai keuntungan bagi semua pihak dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan

216 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura sumber daya itu sendiri. Dalam hal ini masing-masing sentra nelayan terdapat perbedaan, khususnya antara nelayan Bangkalan dengan nelayan Sampang maupun nelayan Pasuruan. a. Ketentuan Hukum terkait Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Nelayan dalam melakukan aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan laut seharusnya tetap mengikuti ketentuan pemerintah sebagaimana dalam perundang-undangan agar terjamin kelestarian sumberdaya laut serta mencegah menculnya konflik nelayan, ketentuan dimaksud dapat dilihat pada tabel 5.14:

Tabel 5.14 Perundang-undangan Terkait Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Era Orde Baru

Ketentuan Substansi Keterangan

Keppres No Penghapusan kegiatan Sejak 10/10/1980 39/1980 tentang penangkapan ikan dg tidak diizinkan Penghapusan Jaring _aying_ trawl dilaksanakan menggunakan Jaring Trawl bertahap, dg waktu I th Trawl di perairan sampai 1 Juli 1981, hanya Jawa dan Bali tinggal 1.000 unit

SK Menteri Pedoman bagi aparat Pencegahan Pertanian No. 503/ penegak hukum dan nelayan kesalah-pahaman Kpts/UM/7 /1980 kecil yang menggunakan dalam perbedaan ttg. Pelarangan alat tangkap ikan/udang penggunaan alat Pengoperasian Jaring berbentuk kantong dalam tangkap Trawl melaut

Inpres No 11/1982 Pasal 4 :Terhitung 1 Jan Berdampak pada ttg Pelaksanaan 1983 tidak diizinkan semua penurunan produksi Keppres No 39/1980 kapal perikanan di seluruh udang nasional Indonesia mengoperasikan Jaring Trawl.

Undang Undang Wilayah Perikanan (Bab II Ordonansi Belanda No 9/1985 tentang Psl. 2). yg bertentangan Perikanan Pengelolaan Sumberdaya dg. U U Perikanan Ikan (Bab III, Psl. 3, 8); dinyatakan tidak Pemanfaatan Sumberdaya berlaku. Ikan(Bab IV Psl. 9, 13).

217 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Kepts. Mentan. Wil.Perikanan RI dibagi Pengaturan No. 607/Kpts/ menjadi 3 (tiga) Jalur jalur seiring dg. Um/9/1976 Penangkapan Ikan (Psl. 2); Perkembangan tentang Jalur-jalur Jalur I 0-6 mil laut dibagi teknologi Penangkapan Ikan menjadi 0-3 dan 3-6 mil penangkapan ikan diperbaiki dg. laut)(Psl. 3); Jalur II di atas dengan tujuan Kepts. Menteri Jalur I hingga 12 mil ke arah melindungi nelayan Pertanian No. 392/ laut(Psl. 4) dan Jalur III di kecil Kpts/IK.120/4/99 atas Jalur II hingga ZEEI tentang Jalur-jalur (Psl. 5) dan masing-masing Penangkapan Ikan. kapal wajib mengecat lambung kapal minimal ¼ lambung kiri dan kanan sesuai ketentuan.

SK Dirjen Perikanan Pedoman sosialisasi alat Penjelasan Perbedaan No. IK.340/ tangkap berkantong yang Alat Tangkap Dj.10106 /97 dimodifikasi Berkantong kategori tentang Jaring Jaring Trawl maupun Ber- kantong yang bukan. Dimodifikasi Sumber : Diolah oleh Peneliti dari berbagai sumber

Berdasarkan tabel di atas telah diketahui bahwa ketentuan yang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan laut telah menjangkau aspek perlindungan terhadap kelestarian sumberdaya serta mencegah terjadinya konflik nelayan akibat kesalahpahaman alat tangkap yang diizinkan maupun tidak, seperti: pencegahan kesalahpahaman dalam perbedaan penggunaan alat tangkap, pengaturan jalur seiring dengan perkembangan teknologi penangkapan ikan guna melindungi nelayan kecil, serta pedoman alat tangkap berkantong yang dimodifikasi menyerupaitrawl. Namun dalam implementasinya diketemukan adanya pelanggaran terhadap ketentuan dimaksud, beberapa laporan hasil operasi oleh pihak berwajib (Kamladu /Keamanan Laut Terpadu) Pos Lekok serta DKP Kab. Pasuruan terhadap penggunaan alat tangkap maupun penggunaan bahan- bahan lain yang tidak diizinkan untuk menangkap ikan sebagaimana terlihat pada tabel 5.15 berikut

218 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Tabel 5.15 Bentuk Pelanggaran Nelayan pada Era Orde Baru Tahun 1995-1998

No Waktu Kejadian Asal Nelayan Bentuk Keterangan Pelanggaran

1 11 Juni 1995 Lekok, Penggunaan UU No. 9/1985 (Lap. Dinas Pasuruan Bahan ttg. Perikanan dan Kelautan dan Peledak UU No. 4/1992 Perikanan Kab. ttg Ketentuan Pasuruan) Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

2 24 Juni 1998 Lekok, Penggunaan SK Mentan (Lap. Kamladu Pasuruan Jaring No. 503 /Kpts./ Unit Lekok- Trawl Um/7/1980 Probolinggo) ttg. Pelarangan Pengoperasi an Jaring Trawl Sumber: Diolah oleh Peneliti dari data Pol. Air dan DKP

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa ketentuan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan laut belum mampu ditegakkan untuk menjaga kelestarian sumberdaya laut pada umumnya dan sumberdaya perikanan laut pada khususnya serta mencegah munculnya konflik nelayan. Dengan demikian diketahui bahwa ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya laut, khususnya UU No. 9/1985 dan UU No. 4/1992 maupun SK Mentan No 503/Kpts./Um/7/1980, yang dalam penerapannya di sentra nelayan Pasuruan (Lekok) masih belum sepenuhnya dapat dimplementasikan sebagaimana temuan data di atas yang dilaporkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pasuruan maupun Pos Kamladu–Lekok, Wilayah Probolinggo dan Pasuruan, sedangkan pada sentra nelayan Sampang dan Bangkalan tidak ditemukan kasus sebagaimana terjadi di Pasuruan.

219 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim b. Jaringan Permodalan dan Distribusi Hasil Tangkapan Pada setiap interaksi aktivitas melaut di sentra nelayan tangkap pada umumnya dijumpai adanya para pemilik modal (juragan), Pedagang ikan, maupun nelayan pekerja/buruh nelayan sebagai komponen dalam sistem produksi dan distribusinya. Sistem produksi pada masyarakat nelayan di tiga kabupaten yakni Bangkalan, Sampang dan Pasuruan pada masa sebelum otonomi daerah menunjukkan bahwa nelayan Sampang dan Pasuruan tidak terdapat perpedaan sebagaimana pada sentra nelayan umumnya, yakni dominasi para pemilik modal (juragan) maupun pedagang cukup tinggi, dan tentunya ditopang oleh banyaknya jumlah nelayan pada kedua wilayah tersebut. Pada komunitas nelayan Bangkalan (Kwanyar), pada waktu yang sama dengan Sampang dan Pasuruan sekitar tahun 1980-an terdapat beberapa Juragan, namun pada perkembangannya jumlah juragan semakin berkurang, seiring perubahan situasi dan kondisi mayarakat dan lingkungan, sosial-ekonominya. Sementara itu berkurangnya jumlah juragan setidaknya seiring dengan munculnya “pesaing” dalam penyediaan modal dari tokoh masyarakat putra Petinggi/Klebun/Kades Kwanyar yang dengan strateginya mampu merebut simpati nelayan yang sebagian terbesar merupakan penduduk Desa Kwanyar, untuk mendukung dan memilihnya menjadi Petinggi/Klebun menggantikan orang tuannya di awal tahun 1988, penelusuran menunjukkan bahwa pengepul/ juragan darat mulai berkembang tahun 1987. Perkembangan pengepul/juragan di Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan selama kurun waktu 1980-an hingga sekarang secara terinci dapat dilihat pada tabel 5.16 berikut:

220 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Tabel 5.16 Pengepul Ikan/Hasil Laut Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan Era Orde Baru

No. Nama Pengepul Hasil Laut Tahun Keterangan 1 H. Abd. Karim Ikan dan udang 1980 – 2007 2 Juzaf Ikan dan udang 1987 – 2006 3 Hj. Yati Ikan dan udang 1990 – sekarang Pengolahan krupuk 4 H. Zaenal Ikan dan udang 1990 – sekarang Pengolahan krupuk 5 Hj. Rachma Ikan dan udang 1990 – sekarang Pengolahan krupuk 6 H. Hasjir Kepiting/rajungan 1998 – 2004 Pengupasan Birsa 7 Sa’diyah Ikan dan Udang 1990 * 8 Suja’i Ikan dan Udang 1990 – sekarang 9 H. Ach. Bakar Ikan dan Udang 1990 * 10 H. Mahfud Ikan dan Udang 1990 * 11 Zaini Ikan dan Udang Pengolah Udang 12 Mustafa Ikan dan Udang Pengolah Udang Sumber : Diolah oleh Peneliti berdasarkan berbagai sumber (*) : Meninggal Dunia

Sementara itu, senada dengan temuan di atas bahwa pernah informan (Klebun/Petinggi) Desa Batah Barat – Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan), pada 1990-an merintis untuk memberikan pinjaman modal bagi nelayan agar mereka menjadi mandiri. Menurutnya ketika itu nelayan di wilayahnya hampir semua memiliki ikatan utang modal kerja atau biaya untuk melaut dengan para tengkulak /pengepul, sehingga nelayan harus menyetor atau menjual hasil tangkapan pada pengepul tersebut. Adapun sistem jaringan permodalan dan pola distribusi hasil tangkapan pada prinsipnya pada ketiga wilayah aktivitas nelayan baik di Kabupaten Sampang, Bangkalan maupun Pasuruan menganut pola yang sama, baik nelayan yang terikat utang dengan bakul/pengepul/juragan maupun nelayan yang tidak memiliki ikatan utang.

221 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Di Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang cukup banyak Juragan besar, pada umumnya mereka menjadi pengepul untuk jenis ikan tertentu, sebagaimana dikemukakan oleh informan nelayan dari Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang bahwa:

“Mon ka’jê jêragan néka bênyak, sé rajê bêdê … Haji Yusuf pas Hajah Hor nréma cêm macêm juko’, mon sé laén .. Hajah Imah, Haji Bakir (dêk Desa Labuhan) omomnah ngénjêmi otang pésé kanggui mêlé prao mosoh mesin sekitar 10 juta. Bêdê 2 jêragan sé laén néka dêk Desa Noreh pas gun nréma juko’ rajungan (senggih) kanggui é olah”. (… ada banyak juragan di sini, yang paling besar itu Haji Yusuf dan Hajah Hor menerima semua jenis ikan, lalu Hajah Imah, Haji Bakir (Desa Labuhan) … umumnya kalau pinjaman diberikan untuk beli perahu dan mesin itu sekitar 10 juta. Lalu masih ada 2 juragan di Desa Noreh yang khusus menampung jenis rajungan (senggih) untuk diolah.)

Dalam hal pembelian ikan hasil tangkapan, harga pembelian ditentukan oleh juragan yang tentunya di bawah hasrga pasar bahkan harga tersebut lebih rendah dibandingkan pembelian juragan terhadap ikan hasil tangkapan dari nelayan yang tidak memiliki ikatan utang. Kondisi tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Bapak M. Sistem bagi hasil nelayan pada tiga kabupaten (Bangkalan, Sampang dan Pasuruan menunjukkan bahwa ada perbedaan mendasar dalam hal pasca penangkapan terkait dengan sumber permodalannya. Nelayan yang permodalannya (pembelian perahu, mesin dan alat tangkapnya) mendapatkan sebagian pinjaman/utang modal dari juragan/pengepul), maka sebagai konsekuensinya perolehan hasil tangkapan wajib untuk disetorkan seluruhnya pada juragan (pengepul/supplier) sebagai bentuk keterlibatan/ investasi juragan pada nelayan. Bentuk ikatan semacam ini akan terus berlangsung tanpa ada batas waktu bahkan ketika nelayan meninggal dunia, maka ikatan utang akan dilanjutkan pada ahli waris yang menggunakan perahu tersebut. Kecuali keluarga nelayan tidak ada atau tidak ingin melanjutkan penggunaan perahu tersebut, maka oleh juragan akan dipindahkan ke nelayan lain yang menginginkan. 222 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Aspek permodalan untuk pembelian perahu, mesin, alat tangkap serta biaya melaut bagi nelayan, pada umumnya mendapat dukungan modal dari juragan/pengepul, namun besaran pinjaman yang relatif kecil (2 jt-3 jt) menyebabkan perahu dan alat tangkap yang berkembang berupa perahu/motor tempel yang tidak terlalu besar dan diawaki paling banyak 5 hingga 6 orang, bahkan tidak sedikit yang diawaki 1-2 orang sehingga terbangun pola aktivitas melaut malam berangkat hingga pagi/siang kembali keesokan harinya atau dikenal ‘one day fishing’. Selanjutnya bentuk ikatan nelayan dengan juragan cukup ketat, karena cukup banyak nelayan yang terikat utang dengan para juragan/pengepul dan mereka menjadi pengawas dari kepentingan juragan/pengepul. Adapun jaringan permodalan dan alur distribusi hasil tangkapan selama Orde Baru di sentra nelayan di Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan pada prinsipnya dikelompokkan menjadi dua yakni nelayan yang terikat dengan pengepul dan nelayan yang tidak memiliki ikatan dengan pengepul. Adapun jaringan tersebut digambarkan dalam bentuk bagan sebagaimana bagan 2 berikut:

Bagan 2 Sistem Jaringan Permodalan dan Distribusi Hasil Tangkapan Nelayan yang Terikat Utang dengan Bakul/Pengepul/Suplier

Nelayan

Bakul

Juragan/Pengepul

Pedagang Besar/Supplier

Pabrik/Restoran

Konsumen Sumber: Diolah Oleh Peneliti 223 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Bagan 2 di atas, menunjukkan alur distribusi hasil tangkapan dari nelayan hingga ke konsumen. Alur ini merupakan alur distribusi bagi nelayan yang memiliki utang dengan para bakul/pengepul. Bentuk jaringan tersebut banyak dijumpai di Sampang dan Pasuruan. Sebaliknya bagi nelayan yang tidak memiliki utang dengan para bakul, sistem jaringan seperti berikut banyak dijumpai di Bangkalan. Adapun jaringan distribusi hasil tangkapannya dapat dilihat pada bagan 3 berikut:

Bagan 3 Sistem Jaringan Permodalan dan Distribusi Hasil Tangkapan Nelayan yang Tidak Terikat Utang dengan Bakul/Juragan/Suplier

Nelayan

Pengepul/Pasar/Konsumen

Sumber : Diolah Oleh Peneliti

Juragan/Pengepul di sentra nelayan Sampang memiliki posisi penting khususnya dalam hal pemberian pinjaman modal pembelian perahu, alat tangkap, mesin perahu dan biaya melaut. Keberadaan juragan terlihat pada tabel 5.17:

Tabel 5.17 Juragan/Pengepul Ikan/Hasil Laut Kecamatan Sreseh dan Camplong, Kab. Sampang-Era Orde Baru

Nelayan No. Nama Juragan/Pengepul Tempat 1 H. Syukur Juragan Kapal “Fajar” Dharma Camplong 20 – 25 orang 2 H. Abdurrahman Juragan Kapal “Mulya” Dharma Camplong 20 – 25 orang 3 Seklet Juragan Kapal “Kramat” Dharma Camplong 20 – 25 orang 4 Zei Juragan Kapal “Sinar Laut” Dharma Camplong 20 – 25 orang Sumber : Diolah oleh Peneliti

224 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Pasuruan, menunjukkan bahwa penggunaan alat tangkap lebih banyak lagi ragamnya bila dibandingkan dengan nelayan Sampang maupun Bangkalan yang menggunakan alat tangkap tradisional. Mencermati penggunaan alat tangkap, bahwa nelayan Lekok umumnya tidak memiliki sumber penghasilan lain selain melaut sehingga nelayan yang jumlahnya mencapai ribuan orang tersebut harus pandai-pandai mencari waktu yang tepat serta menggunakan alat tangkap yang sesuai untuk mendapatkan ikan. Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa bentuk pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang dilakukan oleh nelayan sebelum otonomi daerah sebagai berikut:

(1) Nelayan Bangkalan dalam pemanfaatan terhadap sumberdaya perikanan laut menunjukkan adanya upaya tetap menjaga kelestarian sumberdaya laut, karenanya pola pemanfaatan terhadap sumberdaya perikanan laut oleh nelayan dilakukan dengan cara tetap tidak mengubah alat tangkap yang dipergunakan melaut, namun apabila musim tertentu sulit didapat ikan, maka mereka mengembangkan aktivitas pada sektor pertanian. Selain itu, mereka berusaha menjaga wilayah perairan Bangkalan (Kwanyar) dari penggunaan alat tangkap yang tidak sama dengan alat tangkap yang mereka pergunakan selama ini. Hal tersebut sekaligus untuk menjaga kelestarian tempat atau wilayah perairan yang dikenali sebagai pusat berkembang-biaknya sumberdaya perikanan laut, hal ini ditandai adanya rumpon yang pernah ditanam oleh masyarakat setempat dahulu sekitar tahun 1958 yang hingga saat ini membawa hasil menjadi temapat berkembang-biaknya ikan pari dan lain- lain. Tokoh masyarakat (Ulama/Kyai maupun Petinggi/Klebun/ Kades mendukung pola pemanfaatan tersebut, di antaranya upaya yang pernah dilakukan oleh Petinggi/Klebun Kwanyar dengan cara memberi pinjaman modal bagi nelayan tanpa ikatan dan memberikan solusi dengan cara mendorong dan mengembangkan

225 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

aktivitas pertanian terkait dengan potensi lahan yang cukup subur.

Pada sisi lain pada meskipun pada masa Orde Baru menunjukkan bahwa nelayan Bangkalan meskipun cukup banyak yang permodalannya di dukung atau memperoleh pinjaman modal dari para juragan. Namun seiring waktu dan realisasi janji dari tokoh masyarakat yang memegang jabatan Petinggi/Klebun, maka pada tahun 1990 jumlah nelayan yang terikat modal dengan juragan mulai berkurang hingga banyak yang mandiri, Hal ini disebabkan para nelayan (sekitar 200 orang) mendapatkan pinjaman modal tanpa ikatan pada Petinggi/Klebun yang meminjami modal, artinya bahwa hasil tangkapannya tidak harus dijual pada Petinggi/ Klebun selaku pemberi pinjaman modal –karena tidak terikat lagi-, namun dapat dijual pada juragan manapun yang dipandang mau membeli dengan harga yang menguntungkan nelayan, sehingga mereka memiliki kebebasan untuk menjual hasil tangkapannya, bahkan mereka dapat menjualnya langsung pada pedagang yang diinginkan maupun konsumen langsung. Adapun ikatan dengan pemberi modal dalam hal ini Petinggi/Klebun hanya sebatas pengembalian pinjaman modal menggunakan sistem angsuran sebagaimana pinjaman pada umumnya.

(2) Kondisi tersebut berbeda dengan nelayan Sampang (Camplong dan Sreseh) maupun Pasuruan (Lekok dan Kraton), karena selama masa Orde Baru atau sebelum Otonomi Daerah. Nelayan Sampang dan Pasuruan sebagian besar memiliki pinjaman modal tetap harus menjual hasil tangkapannya pada Juragan/Pengepul sebagai konsekuensi atas pinjaman modal yang diterima guna pembelian perahu, alat tangkap maupun mesin ataupun biaya untuk melaut. Kondisi tersebut mendorong nelayan untuk memperoleh hasil tangkapan sebanyak mungkin saat melaut agar perolehannya

226 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

meningkat, sehingga nelayan menggunakan alat tangkap yang efektif untuk mendapatkan hasil tangkapan manakala populasi jenis ikan tertentu semakin langka dan jumlah perolehan semakin menurun, sehingga menyebabkan nelayan melaut lebih jauh guna memperoleh hasil tangkapan.

3. Kronologis Konflik Nelayan Era Orde Baru Sebelum Otonomi Daerah diterapkan atau Era Orde Baru, nelayan di perairan Selat Madura seringkali terlibat konflik yang disebabkan berbagai faktor. Konflik nelayan terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut. Konflik melibatkan nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh) dan Pasuruan (Lekok dan Kraton), data menunjukkan telah terjadi konflik sejak tahun 1993-1998. Konflik nelayan tersebut dapat dicermati melalui beberapa aspek, berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten setempat, Kepolisian serta Peguyuban nelayan, maka dapat dipaparkan kasus konflik nelayan dari aspek pihak yang terlibat konflik maupun bentuk perlakuan yang timbul selama terjadinya konflik. Adapun kronologis konflik nelayan dapat dilihat dari: Waktu kejadian; Tempat asal nelayan yang terlibat konflik; Sumber penyebab konflik; Pihak konflik serta Bentuk perlakuan yang timbul selama konflik, sebagaimana terinci pada tabel 5.18 berikut:

227 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 5.18 Kronologis Konflik NelayanTahun 1993-1998

No Waktu Tempat Asal Sumber Pihak Berkonflik Jenis Perlakuan Nelayan Konflik Konflik 1 Tahun Kwanyar – Perbedaan Nelayan Hasil 1993 Bangkalan vs Alat Tradisional vs Tangkapan Kraton – Pasuruan Tangkap Modern ( Juragan) dirampas 2 4 s/d 5 Juni Desa Labuhan, Perbedaan Nelayan Peralatan 1994 Sreseh, Sampang Alat Tradisional vs melaut dan vs Desa Kalirejo, Tangkap Modern ( Juragan) Hasil tangkapan Kraton, Pasuruan dirampas serta dianiaya

3 6 s/d 7 Juni Gilli Padekan, Perbedaan Nelayan Peralatan 1994 Sreseh, Sampang Alat Tradisional vs melaut dan vs Desa Kalirejo, Tangkap Modern ( Juragan) Hasil tangkapan Kraton, Pasuruan dirampas serta dianiaya

4 26-10- Desa Wates Kec. Perbedaan Nelayan 9 unit perahu 1998 Lekok Pasuruan Alat Tradisional vs Lekok dibakar vs Kec. Sreseh – Tangkap Modern ( Juragan) (Kerugian Sampang 100 juta) Alat tangkap dibuang ke laut

5 01-11- Desa Wates, Lekok Perbedaan Nelayan Hasil tangkapan 1998 vs Kec. Camplong Alat Tradisional vs dirampas Sampang Tangkap Modern ( Juragan) Sumber: Diolah oleh Peneliti.

Berdasarkan atas tabel di atas diketahui bahwa konflik antar nelayan di perairan Selat Madura telah terjadi sejak sekitar tahun 1993. Konflik nelayan sebelum Otonomi Daerah diberlakukan dari tahun 1993-1998, telah terjadi konflik sebanyak 5 (lima) kali. Konflik nelayan tersebut terjadi masa penerapan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang melibatkan nelayan asal Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh) serta nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton). Data di atas menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1993-1994 (masa Orde Baru) kejadian bentrok atau konflik antar nelayan yang disebabkan adanya perbedaan alat tangkap, namun konflik nelayan tersebut tidak mengarah pada bentuk konflik yang terbuka atau anarkis.

228 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Berdasarkan kronologis konflik nelayan di atas pada masa sebelum Otonomi Daerah (1993-1998) dapat dicermati perbandingan kondisi nelayan yang terlibat dalam konflik terkait dengan Ragam/Jenis Alat Tangkap yang dimiliki, Sumber Modal yang mendukung aktivitas melaut serta Pola Distribusi Hasil Tangkapan nelayan (Bangkalan, Sampang dan Pasuruan) pada tabel 5.19 berikut:

Tabel 5.19 Kondisi Pihak yang Terlibat Konflik Nelayan Tahun 1993-1998

No U r a i a n Kondisi Pihak Konflik

Kwanyar Camplong Sreseh Lekok Kraton Bangkalan Sampang Sampang Pasuruan Pasuruan

1 Jumlah 1 jenis 4 jenis 2 jenis > 7 jenis > 5 jenis Jenis Alat tangkap

2 Sumber Mayoritas Mayoritas Mayoritas Mayoritas Mayoritas Permodalan Modal Modal dari Modal dari Modal dari Modal dari Sendiri Juragan Juragan darat Juragan Juragan darat darat darat

3 Jaringan Mayoritas Mayoritas Mayoritas Mayoritas Mayoritas Distribusi Nelayan - Nelayan – Nelayan – Nelayan – Nelayan – Hasil Konsumen Juragan - Juragan - Juragan – Juragan Pabrik Pabrik Pabrik -Pabrik

Sumber: Diolah peneliti berdasar Kecamatan dalam Angka Tahun 2000

Berdasarkan tabel di atas, diketahui kondisi dari pihak-pihak yang terlibat konflik yakni nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh), serta nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton). Dalam perbandingan di atas menunjukkan bahwa aspek jenis/ragam alat tangkapnya, sumber permodalannya serta jaringan distribusi yang ikut memberikan kontribusi terhadap eksisitensi nelayan.

229 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Nelayan Bangkalan (Kwanyar) memiliki kondisi pendukung lebih memberikan peluang untuk mempertahankan pola kebiasaan memanfaatkan sumberdaya perikanan laut dengan menggunakan alat tangkap tradisional disebabkan beberapa hal: (1) Jumlah nelayan relatif lebih sedikit daripada Sampang dan Pasuruan, sehingga tingkat eksploitasi terhadap sumberdaya perikanan lautnya tidak tinggi. Hal ini didukung dengan alat tangkap yang dipergunakan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan laut tergolong alat tangkap tradisional (satu jenis alat tangkap); (2) Perairan Bangkalan (Kwanyar) memiliki potensi Sumberdaya Perikanan Laut yang relatif terjaga disebabkan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, serta banyak nelayan memiliki sumber nafkah lain di antaranya lahan sawah dan tegalan disebabkan kondisi lahan cukup subur dan luas; (3) Sumber permodalan nelayan ditopang kemampuan sendiri, dengan kata lain mayoritas nelayan tidak terikat utang dengan juragan/pengepul; (4) Distribusi atau pemasaran sebagian besar nelayan tidak harus menjual hasil tangkapan pada pengepul. Bahkan tidak sedikit yang dikonsumsi sendiri sebagai bahan baku pembuatan kerupuk udang khas Kwanyar ataupun dijual langsung pada konsumen karena jarak lokasi pesisir dengan pasar kecamatan relatif dekat.

Keadaan tersebut jauh bertolak belakang dengan kondisi nelayan Sampang (Camplong dan Sreseh) serta Pasuruan (Lekok dan Kraton). Dalam penelusuran pada nelayan Sampang (Camplong dan Sreseh) dan Pasuruan (Lekok dan Kraton) terdapat pemahaman di kalangan nelayan, bahwa eksploitasi sumberdaya perikanan laut yang dilakukan selama ini pada prinsipnya tidak mengambil hak orang lain, karena sumberdaya perikanan laut merupakan rizki dari Allah.

230 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Penggunaan alat tangkap yang sangat efektif untuk mendapatkan hasil tangkapan banyak dipergunakan oleh nelayan Pasuruan sehingga ketika mereka melaut mendekati wilayah perairan Bangkalan seringkali muncul bentrok sebagai akibat perbedaan penggunaan alat tangkap dimaksud. Adapun kondisi penggunaan alat tangkap tersebut disebabkan beberapa hal di antaranya: (1) Jumlah nelayan yang cukup besar di wilayah Pasuruan sehingga mendorong nelayan untuk menggunakan alat tangkap yang efektif untuk mendapatkan tangkapan atau dengan cara memodifikasi alat tangkap tertentu agar lebih efektif mendapatkan hasil tangkapan. Besarnya jumlah nelayan setidaknya disebabkan: kondisi alam, keadaan lahan yang relatif tandus/kering serta luas lahan yang terbatas (tidak diizinkan mengolah lahan di sekitar pemukiman karena dipergunakan sebagai daerah basis latihan tempur Marinir (TNI-AL). semakin tidak mendukung untuk mendapatkan sumber nafkah di luar sektor perikanan; tingkat rata-rata pendidikan penduduk yang relatif rendah (Sekolah Dasar/SD/MI). Kondisi demikian menumbuhkan kondisi para orang tua untuk melibatkan anaknya yang memulai hidup berkeluarga untuk ikut dalam aktivitas melaut dengan modal sebagian didukung para juragan/pengepul. (2) Pola ikatan jaringan antara nelayan dengan juragan dalam hal permodalan dan distribusi hasil tangkapan. (3) Banyaknya jumlah juragan/pengepul, mereka memiliki kepentingan untuk tetap mampu memasok kebutuhan konsumennya (pabrik, restoran), sehingga mereka dengan senang hati memberikan pinjaman sebagian modal guna pembelian perahu beserta alat tangkapnya, maupun biaya melaut. Juragan/pengepul membangun ikatan dengan nelayan sepanjang waktu selama nelayan belum mampu mengembalikan pinjaman modalnya pada juragan/pengepul, sehingga nelayan terikat utang sebagai konsekuensinya semua hasil tangkapan nelayan tersebut harus disetor/dijual pada juragan/pengepul.

231 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Pada konflik nelayan yang terjadi pada tahun 1993 – 1994 tingkat kerugian yang dialami nelayan tidak terlalu besar, karena hanya mengakibatkan nelayan kehilangan hasil tangkapan serta alat-alat melaut (termos, selenger mesin perahu). Konflik nelayan yang melibatkan antara nelayan Bangkalan (Kwanyar), dengan nelayan Sampang (Camplong dan Sreseh), maupun nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton), maupun Kabupaten Pasuruan semasa Orde Baru (kasus konflik tahun 1993 – 1994) tidak menunjukkan ke arah bentuk konflik terbuka maupun anarkis, walaupun pada kenyataannya di antara nelayan yang terlibat konflik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Selat Madura menunjukkan adanya penggunaan alat tangkap yang sangat berbeda yakni nelayan Sampang dan Pasuruan menggunakan alat tangkap modern yang produktif dalam mendapatkan hasil tangkapan hingga mencapai lebih dari 6 (enam) jenis alat tangkap. Sedangkan nelayan Bangkalan hanya menggunakan 1 (satu) jenis alat tangkap tradisional. Konflik nelayan tersebut kalaupun manifes ke permukaan tidak sampai menjadi anarkis. Kondisi tersebut disebabkan situasi keamanan yang ‘stabil’ dalam arti bahwa rezim Orde Baru yang lebih mengutamakan pendekatan keamanan (militer) yang represif, sebagai bentuk peniadaan perbedaaan, dipandang efektif untuk menciptakan stabilitas. Karenanya konflik apapun dapat segera diatasi oleh pihak aparat berwenang. Perspektif yang dikembangkan pada era Orde Baru tidak lain stabilitas politik dan keamanan sebagai syarat keberlangsungan ‘pembangunanisme’, sehingga perbedaan menjadi barang ‘langka’ dalam kehidupan masyarakat. Strategi yang diterapkan pada era Orde Baru tersebut telah ‘menyembunyikan’ persoalan mendasar yang sebenarnya harus dicarikan solusinya, sehingga tindakan tersebut bagi pihak yang diperlakukan ‘tidak adil’ menjadi ‘terpaksa’ untuk menerima kenyataan dengan ketidakpuasan yang pada gilirannya menjadi terakumulasi sebagai persoalan ‘potensial’ yang menunggu waktu untuk ‘manifes’ ke permukaan. Implikasi dari persoalan yang dihadapi nelayan yakni nelayan tradisional (Kwanyar – Bangkalan) dengan alat tangkap sederhana dan kemampuan serba terbatas serta berharap akan keberlangsungan

232 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura subsistensinya menjadi terancam dengan keberadaan nelayan modern (Sampang dan Pasuruan) yang menggunakan alat tangkap produktif terhadap hasil tangkap berlangsung berkepanjangan tanpa ada tindakan yang memberikan ruang keadilan bagi nelayan tradisional. ‘Perlakuan’ yang terkesan ‘pembiaran’ disebabkan tidak adanya ‘law enforcement’ atau penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan alat tangkap dipandang sebagai ketidakadilan dan semakin me ‘marginalkan’ nelayan tradisional, bahkan bagi nelayan tradisional hal tersebut mengancam keberlangsungan sumber-sumber ekonominya dan masa depannya. Sementara itu, Orde Baru mengalami keruntuhan dengan jatuhnya Soeharto dari kekuasaannya pada 21 Mei 1998, banyak membawa perubahan di Indonesia. Menurut Ignas Kleden, masa transisi ini oleh banyak pihak dimaknai sebagai awal era transisi Indonesia (Tempo, 24 September 2000). Ketika rezim Orde Baru mulai melemah kekuasaannya dan negara (state) mulai kehilangan sebagian besar kontrolnya terhadap rakyat (society), maka pada periode pertengahan 1997, konflik horizontal telah terjadi di beberapa daerah yang sebelumnya terlihat “stabil” konflik berbentuk kekerasan ini terjadi hingga 2004 (Rozi, 2006:1). Demikian halnya dengan konflik nelayan di perairan Selat Madura yang terjadi pada Era Reformasi tepatnya 26 Oktober 1998, berupa konflik nelayan yang terbuka yakni berupa penangkapan terhadap nelayan serta pembakaran 9 (sembilan) unit perahu nelayan Pasuruan. Konflik nelayan ini ibarat ‘api dalam sekam’ yang terakumulasikan dan akhirnya menjadi manifes ke permukaan ketika rezim Orde Baru mengalami keruntuhan. ‘Pembangunanisme’ dalam rezim Orde Baru terbukti gagal, bahkan meningggalkan kekecewaan bagi sebagian pihak yang merasa ‘termarginalkan’ atau di ‘marginalkan’. Hembusan demokrasi pada era Reformasi (1998) seakan menjadi ‘amunisi’ untuk melawan ketidakadilan yang selama Orde Baru terpendam, dan memuncak menjadi termanifestasikan dalam konflik nelayan yang mengarah pada penyelesaian persoalan oleh komunitas nelayan itu sendiri. Konflik nelayan tahun 1998 yakni 26 Oktober 1998 dan 1 Nopember 1998 telah mengakibatkan kerugian yang cukup besar, karena menyangkut

233 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim pembakaran perahu, mesin dan alat tangkapnya serta keamanan nelayan dalam melaut terganggu selama beberapa hari. Konflik ini mengakibatkan kerugian yang dialami nelayan Pasuruan berupa 9 unit perahu dibakar dengan nilai kerugian mencapai Rp 100.000.000,- dan 9 unit alat tangkap dibuang ke laut ataupun dibakar. Bentuk perlawanan yang dilakukan nelayan tradisional terhadap ancaman nelayan modern terhadap subsistensinya berupa ‘pengadilan jalanan’ pada penghujung tahun 1998 dalam bentuk pembakaran sebanyak 9 ( sembilan) unit perahu beserta mesinnya serta membuang seluruh alat tangkap, sebagai puncak pelampiasan terhadap ‘ketidakadilan’ perlakuan terhadap nelayan tradisional selama ini, sehingga peristiwa pembakaran perahu nelayan tersebut merupakan media perwujudan ketidakpuasan akan persoalan yang dihadapi nelayan tradisional. Peristiwa tersebut pada kenyataannya tidak mendapatkan ‘respon’ yang cukup bahkan ada kecenderungan untuk mengabaikan persoalan konflik oleh pihak berwenang. Temuan menarik menunjukkan justru solusi yang diambil oleh pihak berwenang adalah ‘pemanfaatan’ persoalan konflik untuk ‘kepentingan’ masing-masing pihak, seperti : penggantian perahu yang terbakar beserta mesinnya oleh pemerintah provinsi. Tindakan pemerintah tersebut justru mendorong nelayan modern merasa mendapatkan ‘dukungan’ atau legalitas terhadap aktivitasnya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang telah ‘memarginalkan’ nelayan tradisional. Kebijakan yang ditempuh pemerintah provinsi telah menjadi ‘justifikasi’ aktivitas nelayan modern sehingga mereka merasa ‘perlu’ melanjutkan aktivitas yang sedari awal (tahun 1993) telah menimbulkan konflik horizontal tersebut, meskipun pada era Orde Baru tidak sampai muncul konflik terbuka.

B. Konflik Nelayan Era Otonomi Daerah

Masa Orde Baru mewarisi beragam persoalan yang membawa kekecewaan pada sebagian pihak yang merasa diperlakukan tidak pada tempatnya.

234 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Seiring dengan digulirkannya kebijakan otonomi daerah membawa implikasi terhadap peluang berbagai pihak untuk mengekspresikan kebebasannya yang selama rezim Orde Baru terbelenggu bahkan tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana yang seharusnya. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru membawa implikasi pula pada masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Implikasi tersebut justru berupa konflik nelayan yang menunjukkan adanya kecenderungan meningkat intensitas maupun bentuk eskalasinya, sebagaimana konflik nelayan yang terjadi pada wilayah perairan Selat Madura. Selanjutnya dapat dicermati konflik nelayan yang terjadi di perairan Selat Madura masa Otonomi Daerah yakni selama kurun waktu tahun 1999 - 2004 guna lebih mendalami akar penyebab konflik nelayan yang terjadi selama ini. Untuk mengungkap hal tersebut dapat dilihat melalui beberapa aspek yakni:

1. Perbedaan penggunaan teknologi penangkapan ditelaah dari : a. Penggunaan jenis dan jumlah alat tangkap b. Perbandingan jenis alat tangkap c. Perkembangan jumlah nelayan pemanfaat d. Produktivitas penggunaan alat tangkap 2. Bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan laut, ditelaah dari: a. Ketentuan formal terkait pengelolaan sumberdaya perikanan laut a. Jaringan permodalan dan distribusi hasil tangkapan 3. Konfigurasi konflik nelayan era reformasi dan otonomi daerah, ditelaah dari: a. Pihak yang terlibat konflik b. Bentuk perlakuan konflik

Selanjutnya perkembangan konflik nelayan masa otonomi daerah akan diuraikan dalam paparan berikut:

235 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

1. Perbedaan Penggunaan Teknologi Penangkapan Jika mencermati fenomena konflik nelayan dapat dilihat dari jenis dan jumlah alat tangkap yang dipergunakan dalam aktivitas melaut, komposisi jumlah alat tangkap yang dimiliki di antara nelayan yang terlibat konflik, perkembangan jumlah nelayan yang memanfaatakan sumberdaya perikanan laut pada tempat yang sama khsusnya di antara nelayan yang terlibat konflik, serta tingkat efektivitas perolehan hasil tangkapan maupun jenis ikan yang didapat dengan penggunaan alat tangkap yang dipergunakan melaut, berikut secara mendalam akan diuraikan secara terinci. a. Penggunaan Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Pada era otonomi daerah, nelayan di Kabupaten Bangkalan (Kwanyar), Kabupaten Sampang (Camplong dan Sreseh), dan Kabupaten Pasuruan (Lekok dan Kraton) tetap mempertahankan aktivitas melautnya sebagaimana era Orde Baru. Untuk mendapatkan hasil tangkapan, nelayan menggunakan alat tangkap yang tidak jauh berbeda dengan sebelum otonomi daerah. Adapun alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan sejak tahun 1998 hingga 2005 secara terinci terlihat pada tabel 5.20 berikut:

Tabel 5.20 Jumlah dan Jenis Alat Tangkap Kecamatan Kwanyar-Kabupaten Bangkalan Tahun 1998-2004

Tahun Jaring-jaring Pancing Jaring Lain-lain Jumlah Hanyut Tetap

1998 185 - - - 185 1999 185 - - - 185 2000 190 - - - 190 2001 190 - - - 190 2002 837 56 - - 893 2003 837 56 - - 893 2004 837 56 - - 893 Sumber: Kabupaten Bangkalan dalam Angka 1998 - 2005

236 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa jumlah alat tangkap yang dipergunakan nelayan Bangkalan (Kwanyar) mengalami perubahan relatif kecil pada tahun 2000 sebesar 5 unit, namun tahun 2002 meningkat sangat besar yakni sebanyak 647 unit atau meningkat empat kali lipat atau meningkat lebih dari 400%. Peningkatan jumlah alat tangkap pada tahun 2002 terkait dengan hadirnya pengungsi korban konflik Sambas (Kalimantan Tengah) yang mulai menekuni aktivitas sebagai nelayan. Data dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa pengungsi dari Kabupaten Sambas-Kalbar (tahun 1999) dan Sampit- Kalteng (tahun 2001) yang kembali ke Kabupaten Bangkalan sebanyak 41.047 jiwa (Cahyono, 2008:201), sedangkan dari Kotawaringin Barat pengungsi asal Madura yang kembali ke Jawa Timur sebanyak 20.000 jiwa dari 45.000 (Cahyono, 2008:286). Kondisi tersebut berlangsung hingga data terakhir tahun 2005. Adapun jenis atau ragam alat tangkap di Kwanyar tidak mengalami perubahan yang berarti yakni Jaring-jaring hanyut di tahun 2001 dan bertambah jenis alat tangkapnya berupa alat tangkap Pancing di tahun 2002 hingga tahun 2004. Alat tangkap yang dipergunakan nelayan Kecamatan Kwanyar sejak tahun 1999-2004 menunjukkan masih tetap didominasi peralatan tangkap jenis Jaring-jaring Hanyut mencapai 93,31%. Penggunaan jenis alat tangkap pada nelayan Bangkalan (Kwanyar) pada masa Otonomi Daerah tidak banyak perbedaan, artinya alat tangkap yang dipergunakan meskipun ada penambahan jenis alat tangkap lain, namun relatif tidak megubah peningkatan hasil tangkapan nelayan, karena jenis alat tangkap yang dipergunakan seluruhnya tidak tergolong produktif untuk menangkap udang maupun jenis ikan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa bagi nelayan Bangkalan (Kwanyar) melaut meskipun menjadi sumber penghasilan utama, namun mereka pada umumnya tidak terikat dengan para pedagang/pengepul sehingga mereka masih mempunyai banyak pilihan untuk menjual hasil tangkapannya. Selanjutnya tingkat penggunaan alat tangkap baik jenis maupun jumlahnya yang dipergunakan oleh nelayan Camplong, Kabupaten

237 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Sampang, dalam kurun waktu tahun 1998 – 2004 dapat dilihat secara terinci pada tabel 5.21 berikut:

Tabel 5.21 Jumlah dan Jenis Alat Tangkap Kecamatan Camplong-Kabupaten Sampang Tahun 1998 - 2004

Tahun Payang Gill Net Purse seine Pancing Tramel Dogol Jumlah Net 1998 46 120 10 21 170 2 369 - 1999 68 284 13 11 - 376 2000 68 284 13 11 - - 376 2001 68 284 13 11 - - 376 2002 51 - 15 - - - 66 2003 51 - 15 - - - 66 2004 54 259 11 65 - - 389 Sumber: Kabupaten Sampang Dalam Angka 1998 - 2004

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa alat tangkap yang dipergunakan pada tahun 1999 jumlahnya hanya mengalami sedikit peningkatan yakni meningkat sebanyak 7 unit, sedangkan di tahun 2002 terjadi penurunan jumlah alat tangkap yang cukup besar yakni sebanyak 310 unit atau turun sekitar 82%. Penurunan ini terkait dengan adanya pemulangan kembali pengungsi Madura asal Kabupaten Sambas dan Sampit untuk dimukimkan di Kalimantan Tengah. Hal ini terkait dengan pemulangan pengungsi dari Kabupaten Sampang sebanyak 257 jiwa ke beberapa daerah di Provinsi Kalimantan Tengah (Cahyono,2008:199). Namun pada tahun 2004 jumlah alat tangkap populasinya kembali meningkat seiring dengan hadirnya pengungsi pengganti yang masih belum di pulangkan oleh pemerintah, data Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur menunjukkan jumlah pengungsi eks Kalimantan Tengah di Kabupaten Sampang masih berjumlah 86.261 jiwa atau sebanyak 19.790 KK (Cahyono, 2008:201). 238 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Alat tangkap yang sebelumnya didominasi jenis Gill Net di tahun 2001 dengan ragam alat tangkap ada 4 jenis yakni Payang, Gill Net, Purse seine dan Pancing berjumlah 376 unit, namun tahun 2002 hingga 2003 alat tangkap yang dipergunakan hanya 2 jenis yaitu Payang dan Purse Seine. Adapun alat tangkap yang dipergunakan mengalami perubahan tahun 2004 dan 2005 yakni 4 jenis dan meningkat 389 unit alat tangkap. Selama kurun waktu di atas diketahui bahwa penggunaan alat tangkap jenis Gill Net dominan meskipun tahun 2002 dan 2003 sempat tidak dipergunakan. Sedangkan penggunaannya mencapai 75,53% tahun 2001. Demikian pula perkembangan penggunaan alat tangkap baik dari aspek jumlah maupun jenis alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang, secara rinci dapat dilihat pada tabel 5.22 berikut:

Tabel 5.22 Jumlah dan Jenis Alat Tangkap Kecamatan Sreseh-Kabupaten Sampang Tahun 1998-2004

Tahun Payang Gill Net Tramel Net Jumlah 421 1998 - 180 241 485 1999 - 485 - - 485 2000 - 485 - 485 2001 - 485 100 380 2002 - 280 100 335 2003 - 235 2004 120 14 146 280 Sumber: Kabupaten Sampang dalam Angka 1998-2004

Berdasar atas tabel 5.22 di atas diketahui bahwa jumlah alat tangkap yang dipergunakan nelayan Sreseh sebanyak 485 unit tidak ada perubahan hingga tahun 2001, akan tetapi jumlah tersebut menurun tahun 2002 sebanyak 100 alat tangkap dan di tahun 2004 turun kembali sebanyak 100 unit. Penurunan jumlah alat tangkap seiring dengan kembalinya sejumlah nelayan yang dikembalikan ke Kalimantan Tengah oleh Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur (Cahyono,2008:201).

239 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa nelayan Sreseh, Kabupaten Sampang pada tahun 2001 hanya mempergunakan jenis alat tangkap Gill Net, namun tahun 2002 dan 2003 menggunakan 2 jenis alat tangkap yakni Gill Net dan Tramel Net. Penggunaan alat tangkap Gill Net secara dominan antara tahun 2001-2003, sedangkan tahun 2002 mencapai 73,68% dan tahun 2003 mencapai 70,15%. Pada tahun 2004, nelayan Sreseh menggunakan 3 jenis alat tangkap yakni: Payang, Gill Net dan Tramel Net, namun alat tangkap yang banyak dipergunakan yakni Tramel Net dan Payang. Dengan demikian menunjukkan bahwa penggunaan alat tangkap oleh nelayan Camplong dan Sreseh, Kabupaten Sampang dari aspek jumlah masih lebih rendah jika dibandingkan dengan alat tangkap yang dipergunakan nelayan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, namun perbedaannya terletak pada kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil yang jauh lebih produktif alat tangkap nelayan Camplong dan Sreseh – Kabupaten Sampang. Selanjutnya mencermati alat tangkap yang dipergunakan nelayan Lekok, Kabupaten Pasuruan tahun 1999–2004 baik jumlah maupun jenis alat tangkap yang dipergunakan secara rinci terlihat pada tabel 5.23 berikut:

Tabel 5.23 Jumlah dan Jenis Alat Tangkap Kec. Lekok- Kabupaten Pasuruan Tahun 1998-2004

Tahun Payang Jr.Insng Tramel Jr Pancing Jaring Bagan/ Lain- Jumlah Hanyut Net Insng Klitik Banjang lain Tetap 1998 718 150 172 56 45 93 31 15 1250 1999 718 150 172 120 103 75 49 824 2211 2000 526 150 172 120 103 195 41 534 1841 2001 526 27 122 40 103 184 39 118 1159 2002 526 27 122 40 103 184 39 118 1159 2003 976 102 594 200 222 298 85 8 2485 2004 976 102 594 200 222 298 85 8 2485 Sumber: Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 1998 - 2004

240 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Tabel 5.23 di atas, menunjukkan bahwa jumlah penggunaan alat tangkap di awal otonomi daerah (tahun 1999) meningkat sebanyak 961 unit atau meningkat 76,88%, peningkatan jumlah pengggunaan seiring dengan hadirnya pengungsi eks Sambas-Kalbar dan Sampit-Kalteng sebanyak 1.012 jiwa. Namun di tahun 2003 terjadi peningkatan jumlah penggunaan alat tangkap sebanyak 1.326 unit, peningkatan penggunaan di samping jumlah pengungsi yang masih cukup banyak karena yang dipulangkan baru sebanyak 92 jiwa pengungsi (Cahyono, 2008:201). Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa selama tahun 2000 -2004 alat tangkap yang dominan dipergunakan nelayan Kecamatan Lekok yakni jenis Payang. Jika mencermati secara mendalam tahun 2001 penggunaan Payang sebanyak 526 unit atau mencapai 45,38%, Tramel Net mencapai 10,53%, sedangkan 44,09% meliputi lebih dari enam jenis alat tangkap lainnya. Pada tahun 2003 penggunaan alat tangkap jenis Payang dan Tramel Net meningkat, alat tangkap jenis Payang sebanyak 976 unit atau mencapai 39,28% dan jenis Tramel Net sebanyak 594 unit atau mencapai 23,90% dan lebih dari enam jenis alat tangkap lainnya sebesar 36,82%. Adapun penggunaan alat tangkap baik jumlah maupun jenisnya oleh nelayan Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan, dapat dilihat pada tabel 5.24 berikut: Tabel 5.24 Jumlah dan Jenis Alat Tangkap Kec. Kraton-Kabupaten Pasuruan Tahun 1998-2004

Tahun Pancing Jaring Payang/ Jaring Jaring Bagan/ Lain- Jumlah Insang Tramel Insang Klitik Banjang lain ( Jr. Tetap Net Hanyut AngkatJala/ Anco) 1998 45 - 196 - 151 94 101 587 1999 20 129 170 79 - 115 445 958 2000 20 129 170 - - 94 411 824 2001 20 62 101 13 48 91 22 357 2002 20 62 101 13 48 91 22 357 2003 30 310 110 59 150 - 40 699 2004 89 310 110 56 150 21 10 687 Sumber: Kabupaten Pasuruan dalam Angka 1998 - 2004 241 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasar data pada tabel 5.24 di atas, diketahui bahwa jumlah alat tangkap yang dipergunakan nelayan Kraton pada tahun 1999 sebanyak 958 unit atau meningkat sebanyak 371 unit, peningkatan jumlah tersebut disebabkan adanya pengungsi eks Sambas-Kalbar dan eks Sampit- Kalteng. Namun pada tahun 2001 penggunaan jumlah alat tangkap menurun sebanyak 467 unit disebabkan adanya sebagian pengungsi mengikuti program pemulangan ke Kalteng (Cahyono,2008:202). Alat tangkap yang dominan dipergunakan nelayan pada tahun 2000 - 2002 yakni jenis Tramel Net mencapai 28,29%, sedangkan 71,71% lainnya meliputi lebih dari enam jenis alat tangkap. Namun pada tahun 2003 dan 2004 menunjukkan perubahan jenis alat tangkap yang dominan dipergunakan yakni jenis Jaring-jaring Tetap mencapai 44,35% di tahun 2003 dan 41,55% pada tahun 2004. Adapun peningkatan penggunaan alat tangkap jenis Jaring Klitik meningkat tiga (tiga) kali lipat pada tahun 2003 hingga tahun 2004, sedangkan penggunaan alat tangkap jenis Payang/Tramel Net penggunaannya relatif tetap yakni 15,74% di tahun 2003 dan 14,75% pada tahun 2004. Nelayan Lekok dan Kraton Kabupaten Pasuruan pada masa otonomi daerah (2000-2004), menunjukkan penggunaan alat tangkap yang dominan yakni jenis Payang, Tramel Net, Jaring Klitik, Jaring Insang Tetap yang termasuk jenis alat tangkap modern dan produktif untuk mendapatkan hasil tangkap. Penggunaan jenis alat tangkap ini terkait dengan para juragan dalam membantu permodalan bagi nelayan di Kecamatan Lekok dan Kraton. Dengan demikian penggunaan alat tangkap pada sentra nelayan di Bangkalan, Sampang maupun Pasuruan sejak Otonomi Daerah diberlakukan pada tahun 1999 menunjukkan bahwa: (1) Alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan Bangkalan teknologinya yang dipakai relatif tidak banyak mengalami perubahan, akan tetapi mulai tahun 2002 jenis alat tangkap yang dipergunakan bertambah yakni pancing, meskipun demikian jenis alat tangkap tersebut masih tergolong tradisional dan tidak tergolong produktif dalam menghasilkan tangkapan.

242 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Hal yang perlu dicermati bahwa pada tahun 2002 tersebut terjadi peningkatan jumlah alat tangkap yang dipergunakan nelayan yakni meningkat sebesar 400% dan ragam alat tangkap yang dipergunakan bertambah menjadi dua jenis alat tangkap. Peningkatan penggunaan alat tangkap maupun bertambahnya jenis alat tangkap yang dipergunakan nelayan di antaranya disebabkan adanya nelayan baru yakni eks pengungsi akibat kerusuhan di Kalimantan Barat (Sambas) dan Kalimantan Tengah (Sampit) yang ditempatkan kembali di Kabupaten Bangkalan.

(2) Alat tangkap yang dipergunakan nelayan Sampang dan Pasuruan sejak diberlakukan otonomi daerah tahun 1999 menunjukkan adanya peningkatan yang cukup pesat, hal ini disebabkan kedua daerah menjadi tempat pemukiman sementara eks pengungsi Kalimantan Barat (Sambas) dan Kalimantan Tengah (Sampit). Peningkatan jumlah alat tangkap di Sampang sekitar 60 unit meski demikian alat tangkap tersebut tergolong alat tangkap yang cukup efektif untuk mendapatkan hasil tangkapan, sedangkan di Pasuruan penambahan mencapai sekitar 1500 unit dan termasuk alat tangkap yang produktif untuk mendapatkan hasil tangkapan. Namun jumlah alat tangkap kembali menurun di tahun 2002 baik di Sampang maupun Pasuruan sebagai akibat pemukiman kembali eks pengungsi kembali ke Kalimantan Tengah.

Penggunaan alat tangkap tersebut kembali meningkat di tahun 2004, di Sampang peningkatan mencapai 600% khususnya di Camplong, sedangkan pada tahun 2003 di Pasuruan telah terjadi peningkatan sebesar 200%. Peningkatan pada tahun 2003 maupun 2004 disebabkan sebagian pengungsi lainnya yang sebelumnya tidak ditempatkan pada lokasi pengungsian tersebut akhirnya ditempatkan pada lokasi yang sebelumnya yakni pada kawasan sentra nelayan baik di Sampang maupun

243 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Pasuruan sehingga mereka berupaya mencukupi kebutuhan keluarganya dengan berprofesi sebagai nelayan. b. Perbandingan Jenis Alat Tangkap yang Dipergunakan Selanjutnya guna mengetahui tingkat penggunaan alat tangkap yang dipakai nelayan dalam aktivitas melaut di peraian Selat Madura pada Masa Otonomi Daerah oleh nelayan Kabupaten Bangkalan (Kwanyar); Sampang (Camplong dan Sreseh), serta Pasuruan (Lekok dan Kraton), secara mendalam dapat diketahui melalui perbandingan jumlah penggunaan alat tangkap sebagaimana terlihat dalam tabel 5.25 berikut:

Tabel 5.25 Perbandingan Jumlah Penggunaan Alat Tangkap (Unit) Kec. Kwanyar , Kab. Bangkalan ; Kec. Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Kec. Lekok dan Kraton, Kab. Pasuruan, Jawa Timur Tahun 1998-2004

Tahun Σ Alat Tangkap (Unit) di Kecamatan – Kabupaten Kwanyar Camplong Sreseh Lekok Kraton Bangkalan Sampang Pasuruan 1998 185 369 421 789 587 1999 185 376 485 2.211 954 2000 190 376 485 1.841 954

2001 190 376 485 1.111 357 2002 893 366 380 * * 2003 893 389 380 1.576 629 2004 893 389 280 2.477 739 Sumber: Kec Kwanyar, Camplong, Sreseh, Lekok dan Kraton dalam Angka 1998-2004. Keterangan : (*) : Tidak tersedia data

244 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa penggunaan alat tangkap mengalami peningkatan. Kwanyar mengalami peningkatan jumlah alat tangkap kenaikan tahun 2002 sebanyak 703 unit atau 78,72% yakni dari 190 unit di tahun 2001 menjadi 893 unit pada tahun 2002 dan hingga tanhun 2005 jumlah alat tangkap relatif tetap. Nelayan Camplong juga demikian jumlah alat tangkap yang dipergunakan menurun sebanyak 10 unit atau sebesar 2,66% dan meningkat mulai tahun 2003 sebanyak 23 unit atau sebesar 5,91%, dan tidak mengalami penambahan hingga tahun 2006. Nelayan Sreseh menggunakan alat tangkap yang jumlahnya cenderung menurun sebanyak 105 unit atau 21,65% pada tahun 2002, dan tahun 2004 menurunan kembali sebanyak 100 unit atau sebesar 26,32%. Kondisi sebaliknya pada nelayan Lekok, di mana jumlah alat tangkap yang dipergunakan nelayan mengalami peningkatan sejak tahun 2001. Perkembangan alat tangkap cukup tinggi pada tahun 2004 meningkat sebesar 36,37%. Demikian halnya jumlah alat tangkap nelayan Kraton pada tahun yang sama mengalami peningkatan sebesar 35,51%. Dengan demikian, bahwa nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton) dalam penggunaan alat tangkap pada masa otonomi daerah (1999-2004) mengalami peningkatan cukup tinggi, sedangkan nelayan Bangkalan (Kwanyar) dan Sampang (Sreseh) jumlah alat tangkapnya bertambah di tahun 2002. Adapun tingkat efektivitas perolehan hasil tangkapan nelayan pada masing-masing daerah dapat dilihat dari perbandingan teknologi penangkapan yang dipergunakan sebagaimana terlihat pada tabel 5.26 berikut:

245 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 5.26 Perbandingan Penggunaan Jenis Alat Tangkap Nelayan Bangkalan, Sampang dan Pasuruan Era Otonomi Daerah Tahun 1999-2004

No Uraian Karakteristik Alat Tangkap

Kwanyar Camplong dan Lekok dan Kraton Kab. Sreseh Kab. Pasuruan Bangkalan Kab. Sampang

1 Jenis Alat Jaring Payang, Gill Net, Payang, Jaring Tangkap Hanyut, Purse seine. Insang Hanyut, Jaring Tetap, Tramel Net, Jaring Insang Tetap, Jaring Klitik, Bagan.

2 Cara Kerja Jaring Jaring Jaring dilingkarkan diletakkan dilingkarkan pada gerombolan dg alat pada ikan pemberat gerombolan ikan (Purse seine) 3 Jenis Hasil Ikan Gerot- Manyung, Manyung, Tangkapan gerot, , Bambangan, Bambangan, Layur, Layur, Layur , Kuwe, Selar, Kembung, Rajungan, Selar, kembung, Udang Putih, Dorang, Tenggiri, Udang Windu, Udang. Tongkol, Bawal Hitam, Cakalang, Bawal Putih, Lemuru, Tengiri, Cumi- Belanak. cumi, Rajungan. Sumber: Diolah peneliti

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa selama otonomi daerah (2000 - 2004), jenis alat tangkap yang dipergunakan nelayan di masing- masing lokasi tidak mengalami perubahan mendasar sebagaimana sebelum otonomi daerah atau masa Orde Baru (1993-1998). Hal ini menunjukkan bahwa nelayan Bangkalan (Kwanyar), masih tetap menggunakan pendekatan tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan laut. Nelayan Sampang (Camplong dan Sreseh) serta nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton), meskipun menggunakan alat tangkap yang sama sebagaimana ketika sebelum Otonomi Daerah namun alat tangkap tersebut tergolong lebih modern dan produktif bila dibandingkan dengan

246 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura yang dipergunakan nelayan Bangkalan. Bahkan pada masa Otonomi Daerah penggunaan ragam alat tangkap pada nelayan Pasuruan bertambah satu jenis. Pendapat nelayan Lekok – Kabupaten Pasuruan, Bapak Muhaimin (38 tahun), pedagang pracangan (toko kebutuhan pokok) dahulu pekerjaannya nelayan mengemukakan: Dengan demikian dari uraian di atas menunjukkan bahwa tingkat efektivitas penggunaan alat tangkap dari masing-masing komunitas nelayan dapat diketahui nelayan Sampang (Camplong dan Sreseh) serta Pasuruan (Lekok dan Kraton) lebih efektif teknologi penangkapan yang dipergunakan jika dibandingkan dengan alat tangkap nelayan Bangkalan (Kwanyar). c. Perkembangan Jumlah Nelayan Pemanfaat Dalam hal perkembangan jumlah nelayan pada ketiga sentra nelayan yang terlibat konflik dapat dilihat dari perbandingan jumlah nelayan yang memanfaatkan sumberdaya perikanan laut dari tahun 1998-2004 sebagaimana tabel 5.27 berikut:

Tabel 5.27 Perbandingan Perkembangan Jumlah Nelayan Perikanan Laut Kec. Kwanyar , Kab. Bangkalan ; Kec. Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Kec. Lekok dan Kraton, Kabupaten Pasuruan – Jawa Timur Tahun 1998-2004

Tahun Σ Nelayan (Orang) di Kecamatan – Kabupaten

Kwanyar Camplong Sreseh Lekok Kraton Bangkalan Sampang Pasuruan 1998 1.286 1.261 842 4.359 3.510 1999 1.286 1261 842 5.979 2.940 2000 1.286 1.261 842 5.979 2.940 2001 1.286 1.261 842 5.966 2.940 2002 640 1.932 660 * * 2003 640 1.192 470 5.489 2.705 2004 640 1.520 790 5.499 2.710 Sumber: Kecamatan Kwanyar, Camplong, Sreseh, Lekok dan Kraton dalam Angka 1998 – 2004

247 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa nelayan Kwanyar mengalami penurunan sebanyak 646 orang atau 50,23% tahun 2001 yakni 1.286 orang menjadi 640 orang tahun 2002, dan tidak berubah hingga tahun 2006. Sedangkan nelayan Camplong tahun 2002 meningkat sebanyak 671 orang atau 53,21% dibandingkan tahun 2001. Adapun nelayan Sreseh menurun sebanyak 182 orang atau 21,62% di tahun 2002 dan menurun tahun 2003 sebanyak 190 orang atau 28,79%, namun meningkat tahun 2004 sebanyak 320 orang atau 68,09% dari tahun 2003. Pada tahun 2006 jumlah nelayan Lekok menurun 10,50% dibandingkan tahun 2001. Adapun nelayan Kraton tahun 2003 menurun sebanyak 235 orang atau 8,69% dibandingkan tahun 2001, dan tahun 2004 hingga 2005 kenaikan relatif kecil yakni 2,06%. Pada tabel diketahui bahwa jumlah nelayan pada 3 kabupten tersebut pada tahun 2002 terjadi penurunan jumlah, setidaknya dari data penungsi asal Sambas-Kalbar maupun Sampit-Kalteng yang dipulangkan ke provinsi asal menunjukkan bahwa dari Pasuruan sebanyak 862 jiwa, sedangkan Bangkalan sejumlah 38.248 jiwa, Sampang sebanyak 86.261 jiwa. Namun demikian, nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton) masih tetap memiliki jumlah nelayan terbanyak khususnya Lekok yakni mencapai 5.966 orang. Dengan demikian selama tahun 2001 – 2005 (masa otonomi daerah) jumlah nelayan cenderung menurun. Meskipun demikian, nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton) masih tetap memiliki jumlah nelayan terbanyak yakni Lekok mencapai 5.966 orang. Selanjutnya perkembangan jumlah armada perahu/motor tempel yang dipergunakan memiliki kontribusi terhadap timbulnya konflik nelayan. Untuk itu perlu dicermati perbandingan jumlah armada perahu/ motor tempel pada komunitas nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh) serta Pasuruan (Lekok dan Kraton) sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.28 berikut:

248 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Tabel 5.28 Perbandingan Perkembangan Jumlah Perahu /Motor Tempel Kec. Kwanyar , Kab. Bangkalan; Kec. Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Kec. Lekok dan Kraton, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur Tahun 1998-2004

Tahun Σ Perahu/Motor Tempel (Unit) di Kecamatan – Kabupaten Kwanyar Camplong Sreseh Lekok Kraton

Bangkalan Sampang Pasuruan 1998 454 374 665 1.236 321 1999 454 636 665 1.489 133 2000 298 376 665 1.945 407 2001 298 376 485 7.770 503 2002 410 376 280 * * 2003 410 376 280 8.049 416 2004 410 389 280 7.923 416 Sumber: Kec. Kwanyar, Camplong, Sreseh, Lekok dan Kraton dalam Angka 1998 – 2004.

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa jumlah perahu/kapal penangkap ikan Kwanyar pada tahun 2002 jumlahnya mengalami peningkatan sebanyak 112 unit atau 27,32% yakni dari 298 unit tahun 2001 menjadi 410 unit tahun 2002. Pada tahun 2005 jumlah perahu menurun sebanyak 28 unit atau turun 6,83%, namun di tahun 2006 terjadi peningkatan sebanyak 46 unit atau meningkat 10,47%. Untuk armada perahu nelayan Camplong cenderung meningkat, tahun 2004 meningkat sebanyak 13 unit atau 3,46%. Sedangkan jumlah armada perahu Sreseh menurun sebanyak 205 unit atau 42,27% pada tahun 2002 dan hingga tahun 2006 tidak mengalami perubahan. Namun jumlah perahu/motor tempel yang ada di Lekok cenderung meningkat hingga tahun 2003 jumlah perahu meningkat sebesar 3,47%, dan tahun 2004 hingga 2005 cenderung menurun. Perkembangan jumlah perahu Kraton sejak tahun 2002 cenderung menurun dan meningkat cukup tinggi tahun 2005 yakni 48,19%.

249 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Perahu/motor tempel yang dipergunakan melaut oleh nelayan Kwanyar tergolong tradisional sebagaimana alat tangkap yang dipergunakan yakni jenis Jaring-jaring Hanyut. Pada komunitas nelayan Sreseh, Sampang berbeda dengan komunitas nelayan di Pasuruan, bahwa juragan darat ikut terlibat dalam mendukung permodalan nelayan yang membeli perahu dan alat tangkap. Dengan demikian jika dicermati jumlah armada perahu nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong) serta Pasuruan (Lekok) pada awal masa otonomi daerah (1999) cenderung meningkat, sedangkan armada perahu Sreseh dan Kraton jumlahnya cenderung menurun. Namun kenaikan maupun penurunan jumlah armada memang relatif kecil. Jumlah armada perahu nelayan terbesar tetap di Pasuruan (Lekok) mencapai lebih dari 10 (sepuluh) kali dari jumlah armada perahu komunitas nelayan lainnya. Peningkatan jumlah armada perahu di Kwanyar yang cukup tinggi pada tahun 2002, pertambahan armada perahu mencapai sekitar 50%. Kecamatan Lekok pun juga mengalami peningkatan jumlah armada perahu yang cukup tinggi mencapai 300% dari tahun sebelumnya. Adapun faktor pendukung peningkatan jumlah armada perahu di antaranya disebabkan adanya sejumlah nelayan baru sebagai dampak kasus kerusuhan di Sampit dan Sambas (Kalbar dan Kalteng) yang kembali ke Jawa Timur dan Madura. Hal ini didukung data dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur pada tahun 2002 pengungsi yang ada di berbagai kabupaten/kota di Jawa Timur, menunjukkan bahwa pengungsi di Kabupaten Bangkalan dan Sampang termasuk kategori tertinggi yaitu Kabupaten Sampang sebanyak 88.501 jiwa dan Kabupaten Bangkalan sebanyak 41.047 jiwa, sedangkan Kabupaten Pasuruan meski tidak sebesar dua kabupaten tersebut, namun jumlah pengungsi masih cukup besar yaitu sebanyak 1.012 jiwa. (Heru Cahyono, 2008:2001). Para nelayan eks. pengungsi Sambas (Kalbar) dan Sampit (Kalteng) inilah yang ikut melakukan aktivitas di sektor perikanan tangkap, sehingga jumlah nelayan di Sampang tahun 1999 meningkat sebanyak lebih dari 700 orang, sedangkan jumlah nelayan Pasuruan juga

250 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura mengalami peningkatan sebanyak lebih dari 1.600 orang. Sedangkan jumlah nelayan Bangkalan berkurang 50% pada tahun 2002 dari tahun sebelumnya seiring dengan pemukiman kembali eks. Pengungsi Sambas dan Sampit ke Kalimantan Tengah. d. Produktivitas Alat Tangkap yang Dipergunakan Berdasarkan penggunaan jenis dan jumlah alat tangkap sebagaimana tabel 78-82 serta jumlah alat tangkap yang dipergunakan pada masing- masing komunitas nelayan selama tahun 1998-2004, dalam hal ini Bangakalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh), serta Pasuruan (Lekok dan Kraton), maka berikut ini dapat dilihat tingkat efektifitasnya penggunaannya baik dari aspek jumlah hasil tangkapan maupun nilai jual hasil tangkapannya secara mendalam dapat dilihat pada tabel 5.29 berikut:

Tabel 5.29 Perbandingan Jumlah Hasil Tangkapan (dlm Ton) Kec. Kwanyar , Kab. Bangkalan ; Kec. Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Kec. Lekok dan Kraton, Kab. Pasuruan, Jawa Timur Tahun 1998-2004

Tahun Σ Hasil Tangkapan (Ton) di Kecamatan – Kabupaten Kwanyar Camplong Sreseh Lekok Kraton Bangkalan Sampang Pasuruan 1998 * 3.220,40 2.947,50 4.664,60 2.091,50 1999 * 2.353,00 2.985,20 * * 2000 * 4.898,70 3.765,70 * * 2001 * 4.772,50 3.208,30 5.462,00 1.075,00 2002 * 3.014,80 2.261,10 5.800,00 1.080,80 2003 * 4.059,10 2.849,20 5.794,40 1.096,30 2004 * 2.304,50 1.997,20 5.768,20 1.082,80 Sumber: Kecamatan Kwanyar, Camplong, Sreseh, Lekok dan Kraton dalam Angka 1998 – 2004; (*) Keterangan : Tidak tersedia data

251 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas, diketahui jumlah hasil tangkapan nelayan Camplong (Sampang) tahun 2002 menurunan sebanyak 1.757,70 ton atau menurun 36,83%. Kemudian tahun 2003 meningkat sebanyak 1044,30 ton atau meningkat 34,64%. Pada tahun 2004 hasil tangkapan mengalami penurunan sebanyak 1.754,60 ton atau turun sebesar 43,23 % dibandingkan tahun 2003. Demikian halnya jumlah hasil tangkapan nelayan Sreseh (Sampang) pada tahun 2002 menurun sebanyak 947,20 ton atau turun 29,52% dari tahun 2001. Kemudian tahun 2003 meningkat jumlah tangkapan sebanyak 588,10 ton atau meningkat 26% bila dibandingkan tahun 2002. Pada tahun 2004 mengalami penurunan sebanyak 853 ton atau turun 29,94 % dibandingkan tahun 2003. Hasil tangkapan nelayan Lekok (Pasuruan) pada tahun 2002 meningkat sebanyak 338 ton atau meningkat 6,19% dibandingkan tahun 2001. Pada tahun 2003 jumlah hasil tangkapan menurun sebanyak 5,60 ton atau menurun 0,97% dibandingkan tahun 2002, perolehan hasil tangkapan tahun 2004 menurun sebanyak 26,20 ton atau turun 0,45% dibandingkan tahun 2003. Sedangkan jumlah hasil tangkapan nelayan Kraton (Pasuruan) tahun 2002 mengalami peningkatan sebanyak 5,80 ton atau naik 0,54% dibandingkan tahun 2001. Kemudian pada tahun 2003 hasil tangkapan meningkat sebanyak 15,50 ton atau meningkat 1,41% dibandingkan tahun 2002. Sedangkan tahun 2004 hasil tangkapan mengalami penurunan kembali sebanyak 13,50 ton atau turun 1,23% dibandingkan tahun 2003. Di samping aspek jumlah hasil tangkapan dapat pula dicermati secara mendalam dari nilai jual hasil tangkapan nelayan berdasarkan penggunaan alat tangkapnya pada komunitas nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh) sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.30 berikut:

252 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Tabel 5.30 Perbandingan Jumlah Nilai Jual Hasil Tangkapan (dlm Ribuan Rupiah) Kec. Kwanyar , Kab. Bangkalan; Kec. Camplong dan Sreseh, Kab. Sampang; Kec. Lekok dan Kraton, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur Tahun 1998-2004

Tahun Nilai Jual Hasil Tangkapan (Ribuan Rp) di Kecamatan – Kabupaten Kwanyar Camplong Sreseh Lekok Kraton Bangkalan Sampang Pasuruan 1998 2.364.643 21.753.081 16.314.812 * * 1999 2.396.954 14.959.438 17.260.890 * * 2000 * 16.739.236 22.826.232 * * 2001 2.396.954 * * * * 2002 2.088.670 22.843.768,00 17.132.826,00 * * 2003 2.088.670 44.527.658,00 37.106.381,00 * * 2004 2.551.830 18.714.109,50 16.218.894,90 * * Sumber: Kecamatan Kwanyar, Camplong, Sreseh, Lekok dan Kraton dalam Angka 1998 – 2004 ; Keterangan : (*) Tidak tersedia data.

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa nilai jual hasil tangkapan di Kwanyar pada tahun 2002 mengalami penurunan sebesar Rp308.284,- atau turun 12,86% adri tahun 2001. Namun pada tahun 2004 nilai jual hasil tangkapan meningkat sebesar Rp463.160,- atau naik 22,17% dibandingkan tahun 2003. Dengan demikian dapat dicermati bahwa dari aspek perolehan tangkapan menunjukkan bahwa nelayan Pasuruan (Lekok) masih paling besar jumlah hasil tangkapannya pada tahun 2001-2006 bila dibandingkan dengan perolehan hasil tangkapan nelayan Sampang apalagi jika dibandingkan dengan perolehan hasil tangkapan nelayan Bangkalan. Demikian pula bila dicermati dari aspek hasil jual dari tangkapan nelayan, bahwa hasil jual perolehan antara penggunaan alat tangkap tradisional dengan modern menunjukkan nilai hasil jual tangkapan jauh lebih tinggi diperoleh nelayan yang menggunakan alat tangkap modern (Sampang

253 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim dan Pasuruan), karena jumlah hasil maupun ragam jenis ikan yang didapat jauh lebih tinggi dengan jenis perolehan ikan yang bernilai ekonomis tinggi, (th. 2004: harga/kg): bawal putih (57.505), udang windu (71.417), udang putih (34.647), kakap (20.232), cumi-cumi (18.276), bambangan (11.322), tengiri (17.939), tongkol (9.405), bawal hitam (117.586), kembung (6.880), dan jenis ikan tersebut sebagian terbesar diperoleh nelayan Pasuruan dan Sampang yang menggunakan alat tangkap modern. Berdasarkan uraian di atas dapat dianalisis melalui perbandingan kondisi nelayan dari Aspek Penggunaan Teknologi Penangkapan dengan membandingkan: (1) Jenis Alat Tangkap; (2) Ragam Alat Tangkap yg Dipergunakan; (3) Jumlah Nelayan Pemanfaat; dan (4) Produktivitas Penggunaan Alat Tangkap, sebagaimana terlihat pada tabel 5.31 berikut:

Tabel 5.31 Perbandingan Penggunaan Teknologi Penangkapan oleh Nelayan yang Terlibat Konflik Era Otonomi Daerah

No Uraian Karakteristik Penggunaan Teknologi Penangkapan Bangkalan Sampang Pasuruan

1 Jenis Alat Tangkap Tradisional Modern Modern 2 Ragam Alat 2 Jenis Beragam Jenis Beragam Jenis Tangkap yang (2 – 4 jenis) (6 – 8 jenis) Dipergunakan 3 Jumlah Nelayan < 1.300 > 3.000 orang > 8.000 orang Pemanfaat orang 4 Produktivitas Tidak Produktif Produktif Penggunaan Alat Produktif Tangkap Sumber: Diolah oleh Peneliti

254 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Tabel di atas menunjukkan bahwa penggunaan alat tangkap oleh nelayan Bangkalan dengan nelayan Sampang dan Pasuruan terdapat perbedaan yang mencolok, dalam arti bahwa aktivitas nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Selat Madura terjadi ketidakseimbangan. Nelayan Bangkalan (Kwanyar) sebagai nelayan tradisional dengan karakteristik jenis alat tangkapnya, meskipun ada peningkatan jenis alat tangkap yang dipergunakan yakni menjadi 2 (dua) jenis, akan tetapi penambahan jenis alat tangkap berupa pancing yang memiliki tingkat kemampuan mendapatkan hasil juga relatif rendah. Perbedaan ragam alat tangkap tersebut telah mengakibatkan terjadinya konflik dengan Nelayan Sampang (Camplong dan Sreseh) dan Pasuruan (Lekok dan Kraton), di mana kedua kelompok nelayan ini merupakan nelayan modern dengan karakteristik alat tangkapnya yang sangat efektif untuk mendapatkan hasil tangkapan serta ragam alat tangkapnya yang bermacam-macam. Pada era Otonomi Daerah alat tangkap yang dipergunakan nelayan Sampang mencapai 4 jenis yang tergolong jenis alat tangkap modern dan efektif (Payang dan Purse seine), sehingga dapat melaut disetiap musim ikan. Sedangkan untuk penggunaan alat tangkap di Pasuruan lebih beragam lagi dan ragam alat tangkapnya mencapai lebih dari 8 jenis alat tangkap dan itupun sebagian terbesar termasuk alat tangkap modern. Temuan lain menunjukkan masih tidak sedikit nelayan yang juga secara terang-terangan menggunakan alat tangkap yang dimodifikasi dan sebenarnya termasuk yang juga tidak diizinkan untuk dipergunakan oleh nelayan. Selanjutnya dari aspek jumlah pemanfaat, jumlah nelayan Sampang dan Pasuruan merupakan nelayan yang mendominasi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut, di mana jumlah nelayan Sampang di atas 3.000 orang dan jumlah nelayan Pasuruan di atas 8.000 orang. Hal ini berbeda jauh bila dibandingkan dengan jumlah nelayan Bangkalan yang kurang dari 1.300 orang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Selat Madura pada wilayah konflik nelayan pada era

255 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Otonomi Daerah (1999-2004) menunjukkan terdapat beberapa perbedaan antara nelayan Bangkalan dengan Sampang dan Pasuruan, dalam hal penggunaan teknologi penangkapan yakni ragam alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan Bangkalan tergolong alat tangkap tradisional sedangkan Sampang dan Pasuruan menggunakan alat tangkap modern, di samping itu juga jumlah pemanfaat, di mana nelayan Bangkalan tidak lebih dari 1.300 orang sedangkan Sampang mencapai lebih dari 3.000 orang dan bahkan Pasuruan berjumlah lebih dari 8.000 orang. Realitas pada era Otonomi Daerah (1999-2004), menunjukkan bahwa menurut Hardin (1968), banyaknya jumlah pemanfaat (nelayan) sumberdaya properti bukan penyebab kerusakan sumberdaya, akan tetapi pertambahan jumlah nelayan tetap harus dikendalikan karena semakin banyak jumlah pemanfaat sumberdaya properti akan semakin kompleks dan serius persoalan yang bakal muncul. Pemanfaat sumberdaya perikanan laut sebagai sumberdaya milik bersama (Common-Pool Resource/CPR) pada wilayah konflik di atas, khususnya Sampang dan Pasuruan menggunakan beragam antara 4 (empat) hingga 8 (delapan) jenis alat tangkap modern yang cukup efektif untuk mendapatkan hasil tangkapan. Hal ini menunjukkan tidak terkendalinya penggunaan jenis alat tangkap oleh nelayan, bahkan banyak ditemukan penggunaan alat tangkap yang tidak dizinkan untuk dioperasikan , namun tetap digunakan (mini trawl/wes-ewes) serta dioperasikan pada wilayah tangkap yang sama. Kenyataan inilah yang oleh Hardin (1968) akan memunculkan “tragedy”, sebagaimana dikemukakan bahwa kerusakan dan kelebihan pemanfaatan sumberdaya properti bersama lebih diakibatkan oleh moralitas yang kurang dan etika yang buruk dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut, dan masih lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

256 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

2. Bentuk Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut Konflik nelayan yang terjadi selama kurun waktu otonomi daerah dapat ditelusuri dari penerapan dari berbagai ketentuan yang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan laut serta bentuk pemanfaatan terhadap sumberdaya perikanan laut baik oleh nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh), maupun Pasuruan (Lekok dan Kraton). Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut seharusnya didasarkan atas ketentuan yang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan laut agar pemanfaatannya dapat berkesinambungan dan memberikan nilai keuntungan bagi semua pihak dengan tetap memperhatikan aspek daya dukung lingkungan. a. Ketentuan Formal terkait Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Dalam hal melakukan aktivitas melaut sudah seharusnya para nelayan tetap mengikuti ketentuan sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan guna menjamin kelestarian sumberdaya laut serta mencegah munculnya konflik nelayan. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur secara teknis sepanjang belum diganti dengan yang baru maka masih tetap berlaku di antaranya: Keppres No. 39/1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl, SK Mentan No. 503/Kpts./UM/7/1980 tentang Pelarangan Pengoperasian Jaring Trawl, Kepts. Mentan No.392/Kpts./IK.120/4/99 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan, SK Dirjen Perikanan No. IK.340/Dj.10106/97 tentang Jaring Berkantong yang Dimodifikasi. Adapun ketentuan perundang- undangan terkait dengan hal di atas, khususnya pasca Reformasi dapat dicermati pada tabel 5.32 berikut:

257 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 5.32 Perundang-undangan Terkait Pengelolaan Sumberdaya Laut Era Otonomi Daerah

Peraturan Substansi

UU No. 22/1999 Wil. Daerah Provinsi, terdiri atas wil. darat dan wil. ttg. Pemerintahan laut sejauh 12 mil yg diukur dari garis pantai ke arah Daerah.; laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan (Psl. (Psl 3) dan (Psl. 10 3); Kewenangan di wil. laut, meliputi : (a) eksplorasi, ayat 2 dan 3) eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wil. Laut tsb, (b) pengaturan kepenting- an adm. (c) pengaturan tata ruang, (d) penegakan hukum terhadap peraturan yg dikeluarkan oleh daerah atau yg dilimpahkan kewenangannya oleh pem. dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan neg. (Psl. 10 ayat2); Kewenangan Daerah Kab dan Daerah Kota di wil. Laut adalah sejauh 1/3 dari batas laut Daerah Provinsi (Psl. 10 ayat 3).

UU Nomor Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan 31/2004 tentang perikanan RI dilakukan untuk kepentingan penangkapan Perikanan dan budidaya harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta peran serta masyarakat.

UU No. 32/2004 Daerah yg memiliki wil.laut diberikan kewenangan ttg. Pemerintah untuk mengelola sumber daya di wil. Laut (ayat 1); Daerah; Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan di (Psl.18 ayat 1, 3, 4, bawah dasar dan/atau di dasar laut (ayat 2); Kewenangan 5 dan 6) Daerah untuk mengelola sumberdaya di wil. Laut (ayat 3); Kewenangan mengelola sumberdaya di wil laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk Prop. dan 1/3 dr wil kewenangan Prop. Untuk Kab/ Kota (ayat 4); Apabila wil laut antara 2 Prop. kurang dari 24 mil, kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wil laut di bg sama jarak atau di ukur sesuai prinsip garis tengah dari wil antar 2 Prop tsb. dan untuk kab/ kota memperoleh 1/3 dari wilayah kewenangan Prop. Dimaksud (ayat 5); Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil (ayat 6). Sumber : Diolah oleh Peneliti

258 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa pada masa pasca reformasi atau setelah runtuhnya rezim Orde Baru, terjadi perubahan dalam hal pembagian kewenangan antara pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah (daerah otonom). Hadirnya Undang Undang Otonomi Daerah ditetapkan pada tanggal 7 Mei 1999 oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, maka ketentuan ini menjadi titik awal ‘dimilikinya’ oleh daerah kabupaten/kota ‘ruang ekspresi’ kreativitas, daimana hal ini merupakan kemustahilan pada era Orde Baru. Adapun ketentuan yang mengatur pelaksanaan pemerintahan di daerah yakni pada diterapkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan guna menopang pelaksanaannya ditetapkan pula Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, sehingga lengkaplah pemberian kewenangan pada daerah kabupaten/kota yang disertai pengaturan keuangannya. Dalam pada itu meskipun pelaksanaan otonomi daerah masih banyak menemukan kendala, namun melalui proses evaluasi bertahap mulai terwujud bentuk otonomi sebagai bagian dari demorasi yang diharapkan sesuai kebutuhan bangsa. Perjalanan panjang ketentuan otonomi daerah pada awalnya tidak sedikit memunculkan kesalahpahaman berbagai pihak. Bahkan perubahan iklim demokrasi yang seakan menyediakan ruang kebebasan tanpa batas bagi siapapun untuk mengekspresikannya, setidaknya kenyataan tersebut sebagai konsekuensi dari terhambatnya ruang publik pada era Orde Baru. Pada perkembangannya kebutuhan akan ruang otonomi bagi ‘publik‘ dalam kebijakan otonomi daerah sebagaimana dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam ketentuan tersebut diatur secara tegas tentang wilayah NKRI, di mana wilayah dimaksud dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing- masing bersifat otonom. Dalam ketentuan ini bahkan secara eksplisit menyebutkan bagian wilayah otonom daerah provinsi yang meliputi: wilayah daratan dan wilayah laut. Kemudian dalam hal Wilayah Laut Provinsi adalah sejauh 12 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sedangkan dalam hal

259 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim pengaturan kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut, sebagaimana dalam Pasal 10 ayat 2 adalah sejauh 1/3 dari batas laut daerah provinsi tertuang sebagaimana termuat dalam Pasal 10 ayat 3. Berdasarkan hal tersebut telah diketahui bahwa ketentuan hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya perikanan laut telah cukup menjangkau aspek perlindungan terhadap kelestarian sumberdaya serta mencegah terjadinya konflik nelayan akibat kesalahpahaman alat tangkap yang diizinkan maupun tidak. Namun dalam implementasinya diketemukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan terhadap ketentuan dimaksud, beberapa laporan hasil operasi oleh pihak berwajib (Kamladu /Keamanan Laut Terpadu) Pos Lekok serta DKP Kab. Pasuruan terhadap penggunaan alat tangkap maupun penggunaan bahan-bahan lain yang tidak diizinkan untuk menangkap ikan sebagaimana terlihat pada tabel 5.33 berikut:

Tabel 5.33 Bentuk Pelanggaran Nelayan Pasuruan dalam Melaut Pada Era Otonomi Daerah Kasus Tahun 2000-2001

No Waktu Kejadian Asal Kasus Keterangan Nelayan Pelanggaran

1 5 April 2000 Lekok, Penggunaan SK Mentan No.503/ (Laporan Polres Pasuruan Alat Tangkap Kpts/Um /7/80 Bangkalan) Bronjong tentang Pelarangan Trawl Pengoperasian Jaring Trawl, SK Dirjen Perikanan No.IK.340 / Dj.10106/97 ttg Jaring Berkantong yg Dimodifikasi. 2 27 April 2000 Lekok, Penggunaan SK Mentan No. 392/ (Laporan DKP Pasuruan Perahu Jurung Kpts. /IK.120/4/99 Kab. Pasuruan) tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan

3 21 Mei Lekok, Penggunaan SK Mentan No. 392/ 2000 (Lap. Pasuruan Perahu Jurung Kpts. /IK.120/4/99 Camat,Lekok tentang Jalur-jalur Pasuruan) Penangkapan Ikan

260 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

4 23 Mei 2001 Lekok, Penggunaan SK Mentan No. 392/ (Laporan DKP Pasuruan Perahu Jurung Kpts. /IK.120/4/99 Kab. Pasuruan tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan

5 7 Agustus 2002 Lekok, Penggunaan SK Mentan No.503/ (Laporan DKP Pasuruan Alat Tangkap Kpts/Um /7/80 Kab. Pasuruan) Mini Trawl tentang Pelarangan (Tongeb) Pengoperasian Jaring Trawl Sumber: Diolah oleh Peneliti dari berbagai sumber

Berdasarkan data tabel di atas, menunjukkan bahwa dari hasil operasi yang dilakukan oleh Tim Kamladu (Keamanan Laut Terpadu) menemukan beberapa pelanggaran. Pelanggaran terbanyak yakni menggunakan alat tangkap yang tidak semestinya, artinya alat tangkap tersebut seharusnya tidak digunkan pada wilayah sekitar pantai/pesisir atau seharusnya dipergunakan pad wilayah di atas 3 mil laut. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa implementasi ketentuan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya laut belum berhasil dilaksanakan. Kondisi nelayan di perairan Pasuruan dan sekitarnya yang cukup padat nelayan kecil ikut memberikan kontribusi munculnya penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai dengan ketentuan, bahkan seharusnya tidak dioperasikan pada wilayah perairan yang diperuntukkan nelayan kecil pengguna alat tangkap tradisional. Hal tersebut menjadi penyebab munculnya konflik nelayan. Selanjutnya bentuk pola pemanfaatan sumberdaya laut oleh nelayan di Kabupaten Sampang menunjukkan bahwa penggunaan alat tangkap mini Trawl masih dipakai. Dengan demikian, pada era Otonomi Daerah implementasi dari ketentuan terkait pengelolaan sumberdaya perikanan belum berhasil secara optimal, hal ini terbukti dengan dengan masih banyak nelayan penggunaan alat tangkap dalam aktivitasnya melaut baik yang tertangkap tangan ketika dilakukan operasi oleh petugas Kamladu maupun yang secara terang-terangan menggunakan alat tersebut dengan dalih sulitnya mendapatkan ikan bahkan nelayan juga beralasan meskipun telah

261 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim menggunakan alat tangkap yang dilarang hasil tangkapan tidak banyak bahkan tidak jarang mereka pulang tanpa memperoleh hasil apapun. b. Jaringan Permodalan dan Distribusi Hasil Tangkapan Beberapa nelayan di Desa Kwanyar Barat mengemukakan bahwa aktivitas nelayan umumnya usai melaut hasil tangkapannya langsung di jual ke pasar Kwanyar yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari penambatan perahu dan modal aktivitas mereka merupakan modal pribadi nelayan. Kondisi di atas berbeda dengan sentra nelayan Lekok dan Kraton, Kabupaten Pasuruan sebagai berikut: bahwa perolehan ikan hasil tangkapan nelayan berupa ikan segar umumnya dikonsumsi oleh pabrik pengolahan ikan baik skala rumah tangga (baca: home industry) maupun pabrik yang berlokasi di Kecamatan Lekok dan sekitarnya di Kabupaten Pasuruan maupun Probolinggo. Sedangkan hasil tangkapan nelayan yang dikonsumsi masyarakat lokal hanya sebagian kecil. Sebagian besar nelayan di Lekok memiliki ikatan/pinjaman modal dengan Juragan, sehingga karena mendapatkan pinjaman modal untuk pembelian perahu maupun mesin dan alat tangkap, maka hasil tangkapan harus dijual ke Juragan. Untuk nelayan yang tidak memiliki ikatan pinjaman/utang dengan Juragan, maka mereka memiliki kebebasan untuk menjual hasil tangkapannya baik ke pembeli langsung atau dapat juga di jual ke pengepul. Namun bagi nelayan kelompok ini umumnya akan mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam hal penjualan hasil tangkapan pada pengepul khusunya dalam hal penetapan harga beli. Maksudnya, bahwa harga ikan hasil tangkapan akan diberikan nilai beli lebih tinggi dari harga beli bagi nelayan yang memiliki ikatan pinjaman dengan Juragan/ Pengepul atau Harga beli untuk nelayan yang memiliki ikatan utang berbeda selisih lebih rendah bila dibandingkan dengan nelayan yang tidak memiliki ikatan utang pada Juragan. Dalam sistem bagi hasil nelayan pada tiga kabupaten (Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan menunjukkan bahwa ada perbedaan mendasar dalam hal pasca penangkapan terkait dengan sumber permodalannya.

262 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Nelayan yang permodalannya (pembelian perahu, mesin dan alat tangkapnya) mendapatkan sebagian pinjaman/utang modal dari juragan (pengepul/suplier), maka sebagai konsekuensinya perolehan hasil tangkapan wajib untuk disetorkan seluruhnya pada juragan (pengepul/suplier) sebagai bentuk keterlibatan/investasi juragan pada nelayan. Bentuk ikatan semacam ini akan terus berlangsung tanpa ada batas waktu bahkan ketika nelayan meninggal dunia, maka ikatan utang akan dilanjutkan pada ahli waris yang menggunakan perahu tersebut. Kecuali keluarga nelayan tidak ada atau tidak ingin melanjutkan penggunaan perahu tersebut, maka oleh juragan akan dipindahkan ke nelayan lain yang menginginkan. Dalam hal pembelian ikan hasil tangkapan, harga pembelian ditentukan oleh juragan yang tentunya di bawah hasrga pasar bahkan harga tersebut lebih rendah dibandingkan pembelian juragan terhadap ikan hasil tangkapan dari nelayan yang tidak memiliki ikatan utang. Aktivitas melaut nelayan dengan menggunakan perahu pancingan (jukung) dan alat tangkap jaring tradisional dilakukan setiap hari, namun pada hari Jum’at tidak melaut, demikian pula pada saat terang bulan dan musim Angin Barat praktis nelayan tidak beraktivitas di laut sama sekali. Nelayan Kwanyar melaut dengan menggunakan peralatan tradisional sebagaimana data di atas masih tetap dapat dipertahankan. Hal ini disebabkan, nelayan Kwanyar pada umumnya memiliki sumber penghasilan lain diluar aktivitas melaut di antaranya bertani baik menggarap lahan sendiri maupun menyewa tanah pertanian, sektor pertanian di wilayah pesisir ini dapat berkembang didukung kondisi tanah yang cukup subur meliputi tanah tegalan/perladangan 60% dari luas tanah Kwanyar yakni 2.848,80 ha dan 21,53% berupa tanah sawah yakni 1.029,10 ha (tabel 7). Sumber dukungan nafkah lainnya yakni dari keluarganya yang merantau di Saudi Arabia, Malaysia maupun Brunei Darussalam. Pemanfaatan sumber daya perikanan laut di Kabupaten Pasuruan, menunjukkan bahwa penggunaan alat tangkap lebih banyak lagi ragamnya bila dibandingkan dengan nelayan Sampang apalagi Bangkalan yang menggunakan alat tangkap tradisional. Nelayan Lekok umumnya

263 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim tidak memiliki sumber penghasilan lain selain melaut sehingga nelayan yang jumlahnya mencapai ribuan orang tersebut harus pandai-pandai mencari waktu yang tepat serta menggunakan alat tangkap yang sesuai untuk mendapatkan ikan ditengah-tengah persaingan mendapatkan ikan. Dalam hal pembagian hasil melaut para nelayan memiliki pola yang secara khusus dianut dalam komunitasnya. Jika dicermati sistem pembagian hasil tangkapan pada wilayah pesisir di Wilayah Pasuruan dalam hal ini Lekok maupun Kraton, bahwa pemberian hasil/upah ini tidak setiap hari, melainkan apabila para nelayan itu pergi melaut saja dan tergantung pada hasil yang mereka peroleh. Mereka dapat saja melaut karena nasib lagi tidak beruntung tidak mendapatkan ikan. Ini berarti para nelayan tersebut tidak memperoleh upah/hasil. Namun hal seperti ini jarang terjadi. Umumnya apabila nelayan melaut mencari ikan baik sedikit/banyak pasti memperolehnya. Adapun pembagian hasil/upah yang diterima oleh pencari ikan di laut menggunakan “sistem ramah”. Artinya perolehan secara keseluruhan itu dipotong terlebih dahulu untuk biaya perawatan mesin seperti: membeli minyak, oli, ataupun kerusakan onderdil mesin. Sisanya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu 50% untuk juragan darat (pemilik perahu dan jaring/payang) dan 50% untuk juragan laut beserta anak buahnya yang sesuai dengan besar kecilnya tanggungjawab. Berdasarkan keterangan beberapa juragan darat dan juragan laut, bahwa yang 50% itu terbagi menjadi 7,5 bagian, yang meliputi pengemudi 2 bagian, juru mesin 1,5 bagian, pengarampit 2 bagian dan pemasang serta penarik payang masing-masing 1 bagian. Selanjutnya pola distribusi hasil tangkapan dari nelayan sejak masa Orde Baru (sebelum Otonomi Daerah) hingga diterapkannya Otonomi Daerah (1999 – 2004) secara prinsip tidak banyak mengalami perubahan artinya bahwa Jaringan Permodalan yang diperoleh nelayan maupun pola pendistribusian hasil tangkapnnya tetap.

264 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Berdasarkan sistem jaringan yang berkembang pada lingkingan nelayan tersebut, maka nelayan dapat dibedakan dalam dua status nelayan berdasarkan sumber permodalannya yakni: Pertama: Nelayan Terikat, yakni nelayan yang terikat utang atau memiliki pinjaman modal pada juragan/pengepul, sehingga kondisi demikian menjadikan nelayan kelompok ini harus menjual semua hasil tangkapannya atau sebagian terbesar hasil tangkapannya pada juragan/ pengepul yang telah memberikan pinjaman modal guna menutup kekurangan ketika nelayan membeli perahu, mesin dan alat tangkap; Kedua: Nelayan Bebas, adalah nelayan yang tidak memiliki ikatan pinjaman modal dengan juragan/pengepul karena perahu, mesin dan alat tangkap yang dimiliki dibeli dengan modal pribadi atau mereka telah menyelesaikan pinjaman utang pada juragan/pengepul. Kondisi nelayan di Sampang dan Pasuruan sebagian terbesar atau mencapai lebih dari 90% nelayan memiliki ikatan pinjaman pada juragan/ pengepul, bentuk ikatan tersebut akan tetap berlangsung sekalipun nelayan yang bersangkutan meninggal dunia, sehingga nelayan yang mengambil alih peralatan tangkap tersebut menjadi pengganti untuk melanjutkan ikatan dengan juragan/pengepul yang bersangkutan. Juragan/pengepul lebih senang jika pinjaman modal tersebut tidak dilunasi dengan pengertian bahwa nelayan lebih diuntungkan dalam berbagai hal seperti: modal dana diperoleh tanpa agunan/jaminan, batas waktu pengembalian tanpa batasan waktu bahkan selamanya, tanpa ada bunga atas pinjaman, serta mereka tidak perlu harus mencari pembeli atas ikan hasil tangkapannya. Namun sebagai konsekuensinya nelayan diwajibkan untuk menjual hasil tangkapannya pada juragan/pengepul pemberi pinjaman modal. Adapun Sistem jaringan permodalan dan pola distribusi hasil tangkapan nelayan yang terikat utang pada juragan/pengepul/bakul/todê pada bagan 4:

265 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Bagan 4 Sistem Jaringan Permodalan dan Hasil Tangkapan

Nelayan yang Terikat Utang dengan Bakul/Pengepul/Juragan/Todê

Nelayan

Juragan/Pengepul/Bakul/Todê

Supplier

Pabrik/Restoran

Konsumen Sumber: Diolah Oleh Peneliti

Bagan 4 di atas, menunjukkan sistem jaringan permodalan yang berkembang pada sentra nelayan pada umumnya termasuk Bangkalan, Sampang dan Pasuruan bahwa selama ini nelayan yang mendapatkan pinjaman modal dari juragan juga mendistribusikan hasil tangkapannya sebagaimana nelayan mendapatkan sebagian pinjaman modalnya yakni pada juragan/pengepul. Bagi nelayan yang tidak memiliki pinjaman modal dari juragan umumnya mendistribusikan hasil tangkapannya dapat langsung ke konsumen, di jual ke pasar ataupun dijual ke pengepul manapun yang sekiranya memberikan penawaran tertinggi. Adapun jalur distribusi hasil tangkapan dari nelayan yang tidak memiliki pinjaman pada juragan/pengepul dapat dilihat pada bagan 5 berikut:

266 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Bagan 5 Sistem Jaringan Distribusi Hasil Tangkapan Nelayan yang Tidak Terikat Utang Modal

Nelayan

Pengepul/Pasar/Konsumen Sumber: Diolah Oleh Peneliti

Pada masa Otonomi Daerah di sentra nelayan Bangkalan (Kwanyar) masih ditemukan beberapa orang juragan yang tetap melakukan aktivitas, akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak pada 1990-an. Adapun juragan/ pengepul tersebut sebagaimana terinci pada tabel 5.34 berikut:

Tabel 5.34 Daftar Juragan/Pengepul Hasil Laut Di Kabupaten Bangkalan Era Otonomi Daerah

No Nama Juragan/ Tempat Keterangan Pengepul 1 H. Zaini Pengepul Ds. Pengolahan Pesanggrahan Udang 2 H. Mustafa Pengepul Ds. Kwanyar Pengolahan Barat Udang 3 H. Hasyir Pengepul Ds. Kwanyar Pengupasan Rajungan/ Barat Birsa - 2004 Kepiting 4 H. Abd. Karim Pengepul Ds. Batah 1974 – 2004 Barat 5 Hj. Yati Pengepul Ds. Batah Barat 6 Hj. Rohma Pengepul Ds. Batah Barat 7 H. Zaenal Pengepul Ds. Batah Barat 8 Suja’i Pengepul Ds. Batah Barat 9 Yusaf Pengepul Ds. Batah S/d tahun Barat 2006 Sumber: Diolah oleh Peneliti 267 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa keberadaan juragan/ pengepu/Todê semakin berkurang disebabkan tingkat kemandirian nelayan yang semakin tinggi, serta tidak sedikit nelayan beralih profesi atau pekerjaan lain termasuk menjadi TKI di luar negeri. Di Bangkalan terbanyak adalah pengepul ikan/udang dari hasil tangkapan nelayan setempat, sedangkan juragan kapal ikan tidak ada umumnya adalah perahu dengan kapasitas 2-3 orang nelayan, berbeda dengan kondisi di Sampang (Sreseh dan Camplong). Aktivitas masyarakat di sektor perikanan cukup tinggi, jumlah Juragan/todê di Kwanyar, Bangkalan, bahkan sekitar tahun 70-an juga jauh lebih banyak di banding tahun 1990-an. Adapun para juragan/pengepul di Sampang (Camplong maupun Sreseh) yang masih melakukan aktivitas usahanya dalam melakukan pembelian hasil tangkapan maupun mendukung permodalan bagi nelayan sejak era Orde Baru hingga penerapan Otonomi Daerah (1999 - sekarang), baik sebagai pengepul hasil laut sekaligus menyediakan permodalan bagi nelayan serta sebagai juragan kapal yang ikut mengawaki kapal ikan (Juragan Laut) maupun tidak ikut melaut (Juragan Darat). Data juragan/pengepul tersebut pada masa penerapan Otonomi Daerah (1999-sekarang) secara terinci dapat dilihat pada tabel 5.35 berikut: Tabel 5.35 Daftar Juragan/Pengepul Hasil Laut Di Kabupaten Sampang Era Otonomi Daerah

No. Nama Juragan/Pengepul Tempat Keterangan

1 H. Syukur Juragan Kapal Dharma Camplong 20 – 25 orang “Fajar” 2 H. Abdur Juragan Kapal Dharma Camplong 20 – 25 orang Rahman “Mulya”

3 Seklet Juragan Kapal Dharma Camplong 20 – 25 orang “Kramat” 4 Zei Juragan Kapal Dharma Camplong 20 – 25 orang “Sinar Laut”

268 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

5 H. Juragan Laut Desa Tambaan 2 Kapal Ikan Djakfar 10 GT 6 H. Zaini Juragan Darat Dharma 1 Kapal Ikan Camplong 10 GT 7 H. Sutar Juragan Darat Dharma 1 Kapal Ikan Camplong 10 GT

8 H. Salam Juragan Darat Dharma Camplong 1 Kapal Ikan 10 GT 9 H. Sanawi Juragan Darat Dharma Camplong 1 Kapal Ikan 10 GT 10 H. Wafa Juragan Darat Dharma Camplong 1 Kapal Ikan 10 GT 11 Hj. Hor/ Juragan/Pengepul Desa Labuhan- Pengepul H. Yusuf Sreseh semua jenis ikan 12 Hj. Imah Juragan/Pengepul Desa Labuhan- Pengepul Ikan Sreseh tertentu 13 H. Bakir Juragan/Pengepul Desa Labuhan- Pengepul Ikan Sreseh tertentu Sumber: Diolah oleh Peneliti

Berdasar tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah juragan/ pengepul di Sampang pada Era Otonomi Daerah jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan pada era Orde Baru. Peningkatan jumlah Juragan/pengepul di sampang setidaknya terkait bertambahnya jumlah nelayan dari eks pengungsi Sambas dan Sampit yang menekuni profesi nelayan sebagai mata pencaharian untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Keadaan tersebut berbeda dengan jumlah juragan yang ada di Bangkalan (Kwanyar) yang jumlahnya juragan semakin berkurang seiring semakin banyaknya nelayan yang tidak terikat dengan juragan dalam hal permodalan. Keadaan jumlah juragan/pengepul yang cukup banyak tersebut dapat dikategorikan ke dalam juragan yang ikut melaut bersama kapal ikan yang

269 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim dimiliki ataupun ada juragan yang tidak ikut melaut. Sedangkan perahu yang dimilik para juragan yang tergolong kapal ikan (besar) dengan bobot mati (10 GT) mencapai 10 unit dengan kapasitas awak perahu mencapai di atas 20 orang per kapal ikan, serta terdapat kapal ikan dalam ukuran lebih kecil sekitar 5 Gross Ton dan terbanyak perahu kecil dengan kapasitas 2-3 orang nelayan. Selanjutnya kondisi di Pasuruan tidak jauh berbeda dengan pada sentra nelayan di Sampang sebagaimana ditemukan pada sentra nelayan Lekok dan Kraton. Jumlah juragan /pengepul/pedagang di Pasuruan tergolong paling banyak jumlahnya bila dibandingkan dengan di Bangkalan maupun Sampang, Juragan/pengepul yang ada di Pasuruan dikelompokkan dalam bakul/pengepul kecil, juragan besar/supplier, mereka melakukan aktivitas beragam dan bertahap, seperti: bakul, melakukan pembelian beragam jenis ikan hasil tangkapan nelayan utamanya pada nelayan yang tidak memiliki ikatan modal dengan juragan, sedangkan juragan besar, menampung hasil dari pengepul kecil/bakul untuk selanjutnya dijual ke restoran/pabrik pengolahan, juragan besar/supplier pun ada yang menampung ikan jenis tertentu (rajungan/kepiting, ikan laut, cumi-cumi) sebagaimana secara terinci dapat dilihat pada tabel 5.36 berikut:

Tabel 5.36 Daftar Juragan/Pengepul Hasil Laut Di Kecamatan Lekok dan Kraton, Kabupaten Pasuruan Era Otonomi Daerah

No Nama Juragan/ Tempat Permodalan Pengepul 1 H. Mustajab Juragan 2 H. Sonhaji Juragan Pengaletan - 2 perahu Desa. Jatirejo 3 Sulam Juragan Lampean - 2 perahu Desa. Jatirejo 4 H. Ashari Juragan Payangan- 2 perahu Desa Jatirejo

270 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

5 H. Rifai Juragan Morngelen 5 perahu Desa Jatirejo 6 Hj. Fauziah Juragan Morngelen- 3 perahu Desa Jatirejo 7 Surudji Juragan Payangan- 2 perahu Desa Jatirejo 8 H. Sholeh Juragan Pengaletan- 2 perahu Desa Jatirejo 9 Sami’ Pengepul Desa Tambak Lekok 10 Hj. Yukyan Pengepul Desa Tambak Lekok 11 H. Bahri Supplier/ Keramean II, 10-50 nelayan Pedagang Tambak Lekok Besar 12 Hj. Hapsah Supplier/ Keramean I, 10-50 nelayan Pedagang Desa Wates Besar 13 H. Marno Supplier/ KerameanII, 10-50 nelayan Pedagang Tambak Lekok Besar 14 Hj. Kusnia Supplier/ Keramean I, 10-50 nelayan

Pedagang Desa Wates Besar 15 Hapsah Supplier/ Keramean I, 10-50 nelayan Pedagang Desa Wates Besar 16 H.Rifai Supplier/ Keramean II, Pedagang Desa Wates Besar 17 Hj. Rodiah Supplier/ Padegan- Pedagang Desa Jatirejo Besar 18 H. Hati Pengepul Padegan- Desa Jatirejo 19 H. Humaidi Pengepul Pengaletan- Desa Jatirejo 20 H. Rusdir Supplier/ Payangan Pedagang Timur Besar Ds.Jatirejo

271 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

21 H. Lutfi Supplier/ Payangan Pedagang Timur Besar Ds.Jatirejo 22 H. Achmad Pengepul Payangan Timur Ds.Jatirejo 23 H. Abd. Hadi Pengepul Desa Jatirejo Rajungan 24 H. Tajab Supplier/ Keramean I, Pedagang Desa Wates Besar 25 H. Isa Supplier/ Krajan -

Pedagang Desa Wates Besar 26 H. Rukuni Supplier/ Keramean II, Pedagang Tambak Lekok Besar 27 H. Ruum Supplier/ Keramean II, Pedagang Tambak Lekok Besar 28 Khotim Supplier/ Krajan - Pedagang Desa Wates Besar 29 Hj. Holifa Supplier/ Junggunung - Desa.Jatirejo Pedagang Besar 30 H. Masturi Pengepul Krajan - Desa Wates 31 H. Nur Pengepul Krajan - Desa Wates 32 Ima Pengepul Krajan - Desa Wates 33 H. Syaiful Pengepul Krajan - Desa Wates 34 Hj. Juriah Pengepul Keramean I, Desa Wates 35 H. Kadir Pengepul Krajan - Desa Wates Sumber: Diolah oleh Peneliti

272 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa Juragan/ Pengepul/ Pangambe’ pada sentra nelayan di Pasuruan jumlahnya sangat banyak, sehingga mereka memiliki peran cukup penting dalam aktivitas sosial- ekonomi komunitas nelayan tersebut. Pedagang besar atau sering disebut sebagai supplier berjumlah lebih dari 15 orang. Mereka umumnya melakukan aktivitas dengan cara membeli hasil tangkapan dari nelayan pada para juragan/ pengepul/Pangambe’ Para Pedagang besar ada yang memiliki hubungan atau ikatan dengan nelayan hingga berjumlah antara 10-50 nelayan dan mampu memberi pinjaman modal pada nelayan antara 5 juta hingga 10 juta. Juragan/pengepul ini jumlahnya sekitar 30 orang dan aktivitas juragan/ Pangambe’ tidak hanya mendukung permodalan bagi nelayan bahkan tidak sedikit mereka memiliki perahu/kapal ikan dan diawaki sendiri sekaligus mempekerjakan beberapa orang nelayan setempat berjumlah antara 4 hingga 6 orang nelayan, dan umumnya nelayan memiliki 2 alat tangkap. Para Pedagang besar/supplier selama ini memasok kebutuhan perusahaan atau pabrik pengolah ikan (teri nasi/kendui, tengiri dan sebagainya), restoran (cumi-cumi, bawal hitam/putih, bangbangan dan sebagainya) maupun ke para pedagang di pasar ikan (Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya, dan Malang).

3. Kronologis Konflik Nelayan Era Otonomi Daerah Pada Era Otonomi Daerah belum memberikan kedamaian bagi para nelayan di perairan Selat Madura. Hal ini terbukti dengan masih adanya konflik yang melibatkan nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh), serta Pasuruan (Lekok dan Kraton) di perairan Selat Madura. Bahkan bila dicermati lebih mendalam diketemukan bahwa konflik yang terjadi justru intensitasnya semakin tinggi dan bentuk eskalasi konfliknya cenderung semakin mengeras dan anarkis. Untuk mendalami konflik nelayan yang terjadi sepanjang Era Otonomi Daerah dapat diketahui dari kronologis konflik nelayan sejak tahun 1999-2004 dari aspek: Waktu terjadinya konflik; Daerah asal nelayan yang terlibat konflik; Sumber konflik; Pihak Konflik; Bentuk perlakuan yang timbul dalam konflik, secara terinci dapat dilihat pada tabel 5.37 berikut:

273 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 5.37 Kronologis Konflik Nelayan Era Otonomi Daerah - Tahun 2000-2004

No Waktu Daerah Sumber Pihak Bentuk Asal Konflik Konflik Perlakuan Nelayan Konflik

1 05/02- Kraton Perbedaan Nelayan 3 unit perahu 2000 Pasuruan vs Alat Tradisional nelayan Kraton Kwanyar, tangkap vs Nelayan dibakar Bangkalan Modern

2 04/04- Lekok Perbedaan Alat Nelayan 1 unit perahu 2000 Pasuruan vs tangkap Tradisional nelayan Lekok Kwanyar , vs Nelayan ditangkap Bangkalan Modern

3 27/04- Lekok Perbedaan Alat Nelayan 2 perahu dan 2000 Pasuruan tangkap Tradisional 2 unit alat vs Kwanyar, vs Nelayan tangkap nelayan Bangkalan Modern Lekok dibakar (Rp19.950.000)

4 20/05- Lekok Perbedaan Alat Nelayan 1unit perahu 2000 Pasuruan tangkap Tradisional Lekok dibakar vs Kwanyar, vs Nelayan (Kerugian 6 Bangkalan Modern juta) 5 06/11- Lekok Perbedaan Alat Nelayan 1 unit perahu 2000 Pasuruan tangkap Tradisional Lekok vs Sreseh vs Nelayan disandera Sampang Modern tebusan 1 juta. 6 28/03- Lekok Beda Alat Nelayan 2 nelayan 2001 Pasuruan tangkap dan Tradisional tewas 3 perahu vs Kwanyar Pelanggaran vs Nelayan Kwanyar , Kab. Wil. tangkap Modern disandera dan Bangkalan Nelayan Lekok ditangkap di Kwanyar

7 21/05- Kraton Beda Alat Nelayan 2 nelayan 2001 Pasuruan tangkap dan Tradisional Batah Barat vs Kwanyar Pelanggaran vs Nelayan tewas, 2 perahu Kab. Wil. tangkap Modern dan 4 nelayan Bangkalan Kwanyar di sandera nelayan Kraton

274 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

8 29/07- Kraton Beda Alat Nelayan 8 nelayan 2001 Pasuruan tangkap Tradisional Kraton dianiaya vs Kwanyar vs Nelayan (4 luka –luka) Kab. Modern Bangkalan 9 10/05- Kraton Beda Alat Nelayan 8 nelayan 2004 Pasuruan tangkap dan Tradisional Kraton dianiaya vs Kwanyar Pelanggaran vs Nelayan (4 luka –luka) Kab. Wil. Tangkap Modern Bangkalan 10 09/10- Lekok Beda Alat Nelayan 12 nelayan 2004 Pasuruan tangkap dan Tradisional Lekok, 2 vs Kwanyar, PelanggaranWil. vs Nelayan perahu dan Kab. tangkap Modern mesin disandera Bangkalan

11 28/10- Kraton Beda Alat Nelayan 3 nelayan 2004 Pasuruan tangkap dan Tradisional Kraton dan vs Kwanyar Pelanggaran vs Nelayan 1 nelayan Kab. Wil. tangkap Modern Kwanyar: Bangkalan tewas

12 29/12- Sreseh Beda Alat Nelayan 3 perahu Sreseh 2004 Sampang tangkap Tradisional ditahan dengan vs Kwanyar vs Nelayan tebusan uang Bangkalan Modern Sumber: Diolah Oleh Peneliti dari berbagai sumber

Berdasar pada tabel di atas diketahui bahwa selama tahun 1999 – 2004 terjadi sebanyak 12 (dua belas) kali konflik nelayan yang mengakibatkan timbulnya korban tewas maupun luka-luka, di samping kerugian materi seperti: 6 unit perahu dan alat tangkap dibakar/dibuang ke laut, 7 unit perahu disandera dengan sejumlah uang tebusan dan kerugian materi senilai Rp20.950.000,- mesin dan alat tangkap dibuang ke laut sehingga aktivitas mencari ikan dan kenyamanan dalam melaut menjadi terganggu akibat konflik tersebut. Jika dicermati konflik di atas memberi dampak berupa korban tewas, luka-luka serta hancur maupun rusaknya perahu, mesin dan alat tangkap di samping hasil tangkapan nelayan yang dibuang ke laut. Hancur maupun rusaknya perahu, mesin dan alat tangkap terbanyak diderita oleh nelayan Pasuruan berupa 6 unit perahu dan mesin dibakar serta 4 unit perahu harus disandera oleh nelayan Bangkalan harus

275 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim ditebus uang. Sementara itu 5 unit perahu nelayan Bangkalan disandera oleh nelayan Pasuruan, 3 unit perahu nelayan Sampang di sandera oleh nelayan Bangkalan. Berdasar kronologis konflik nelayan sejak 1999 hingga 2004, disebabkan oleh perbedaan alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan Pasuruan maupun Sampang, khususnya ketika jaring yang dipergunakan sama, namun cara kerja alat tangkap yang berbeda dengan nelayan setempat menjadi sumber konflik. Adapun secara terinci pihak yang menjadi korban konflik dapat dilihat pada tabel 5.38 berikut:

Tabel 5.38 Pihak Korban Tewas maupun Luka-luka Konflik Nelayan di Selat Madura - Tahun 2000-2004

No Korban Daerah Asal Waktu Pihak Kete- Konflik Korban Konflik Terlibat rangan Konflik

1 Mohammad Ds.Pasnggrahan, 28 Maret Bangkalan Tewas (40th) Kec. Kwanyar 2001 vs Pasuruan (Bangkalan)

2 Mr. X Ds.Pasnggrahan, 28 Maret Bangkalan Tewas (20th) Kec. Kwanyar 2001 vs Pasuruan (Bangkalan)

3 Misbar Ds.Batah Barat 21 Mei Bangkalan Tewas (40th) Kec. Kwanyar 2001 vs Pasuruan (Bangkalan)

4 Badrun Ds. Batah Barat 21 Mei Bangkalan Tewas (30th) Kec. Kwanyar 2001 vs Pasuruan (Bangkalan) 5 Sobar Ds.Kalirejo Kec. 28 Okt. Bangkalan Tewas (35th) Kraton 2004 vs Pasuruan (Pasuruan) 6 Ali Wafa Ds.Kalirejo Kec. 28 Okt. Bangkalan Tewas (65th) Kraton 2004 vs Pasuruan (Pasuruan)

276 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

7 Abd. Ds.Kalirejo Kec. 28 Okt. Bangkalan Tewas Rochim(42th) Kraton 2004 vs Pasuruan (Pasuruan) 8 Zali Ds. Batah Barat 28 Okt. Bangkalan Tewas (49th) Kec. Kwanyar 2004 vs Pasuruan (Bangkalan)

9 Nelayan Ds. Kalirejo Kec. 29 Juli Bangkalan 1 orang (Pasuruan) Kraton 2001 vs Pasuruan dianiaya

10 Nelayan Ds. Kalirejo Kec. 10 Mei Bangkalan 8 orang (Pasuruan) Kraton 2004 vs Pasuruan dianiaya Sumber: Diolah Oleh Peneliti dari berbagai sumber

Mencermati tabel di atas, menunjukkan bahwa akibat konflik nelayan di atas menunjukkan bahwa tingkat konflik semakin tajam/mengeras dengan bentuk konflik terbuka dan mengakibatkan masing-masing pihak menjadi korban hingga tewas maupun luka-luka akibat penganiayaan. Korban konflik sejak 1999-2004 terdiri dari 8 (delapan) orang tewas berasal dari Bangkalan 5 (lima) orang dan Pasuruan 3 (tiga) orang, dan 9 (sembilan) orang luka-luka akibat dianiaya berasal dari Pasuruan. Selanjutnya dalam mencermati pihak yang terlibat dalam konflik nelayan dapat dicermati dari aspek kondisi para pihak yang terlibat konflik; aspek perkembangan jumlah nelayan pemanfaat sumberdaya perikanan laut baik dari Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh) serta Pasuruan (Lekok dan Kraton); serta dari aspek perkembangan jumlah armada perahu/motor tempel yang ada di berbagai sentra nelayan tersebut. Adapun kondisi masing-masing komunitas nelayan yang terlibat konflik sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.39 berikut:

277 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Tabel 5.39 Perbandingan Kondisi Pihak yang Terlibat Konflik Nelayan Tahun 1999 -2004

No U r a i a n Kondisi Pihak Konflik

Kwanyar Camplong Sreseh Lekok Kraton Bangkalan Sampang Sampang Pasuruan Pasuruan

3 Jumlah 2 jenis 4 jenis 3 jenis > 8 jenis > 7 jenis Jenis Alat tangkap 4 Sumber Mayoritas Mayoritas Mayoritas Mayoritas Mayoritas Permodal- Modal Modal Modal Modal Modal an Sendiri dari dari dari dari Juragan Juragan Juragan Juragan darat darat darat darat 5 Jaringan Nelayan - Nelayan Nelayan Nelayan – Nelayan – Distribusi Konsumen – Juragan - Juragan Juragan Juragan Hasil – Pabrik/ – Pabrik/ – Pabrik/ – Pabrik/ Kons Kons Kons Kons Sumber: Diolah peneliti; Keterangan : SDPL (*) Sumber daya Perikanan Laut

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa aspek permodalan dan distribusi hasil tangkapan pada nelayan Pasuruan dan Sampang mayoritas dikuasai pengepul/supplier /juragan, di samping itu jumlah nelayan yang tinggi di kedua wilayah ini memaksa nelayan untuk menyesuaikan jenis alat tangkap baik dari segi jenis dan jumlah serta intensitas dalam melaut sehingga nelayan dapat melaut pada musim ikan apapun serta dapat meningkatkan hasil tangkapan seiring dengan semakin langkanya jenis ikan tertentu. Hal lain yang ikut menunjang berkembangnya alat tangkap modern selain disebabkan jumlah nelayan yang tinggi pada wilayah konflik yakni di Kabupaten Pasuruan (Kec. Lekok dan Kraton), juga terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian/tegalan karena status tanahnya menjadi “sengketa” dengan TNI– AL, sedangkan pada sentra nelayan Sampang selain kondisi lahan yang relatif tandus juga disebabkan tingkat pendidikan penduduk pada wilayah sentra nelayan relatif masih rendah.

278 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Konflik nelayan yang terjadi pada era Otonomi Daerah di perairan Selat Madura yang melibatkan nelayan Bangkalan, Sampang dan Pasuruan dalam kurun waktu 1999 – 2004 terjadi pada pasca Reformasi merupakan ‘titik balik’ dari ruang kebebasan publik dalam kerangka demokrasi di Indonesia, yang sebelumnya ‘tersekap’ oleh rezim otoriter. Berkuasaanya pemerintahan ‘pengganti’ rezim Orde Baru, pada Era Reformasi tahun 1998 belum mampu memulihkan kepercayaan rakyat pada institusi pemerintahan yang telah melemah sejak masa kejatuhan rezim Orde Baru tahun 1997. Rezim pasca Orde Baru yang mencoba mengusung ‘demokrasi’ mendapatkan dukungan luas, bahkan cenderung dimaknai terlalu jauh. Kebebasan dalam bingkai demokrasi dimaknai sebagai kemerdekaan dikonotasikan sekali merdeka, merdeka sekali utamanya bagi pihak yang merasa selama rezim Orde Baru ‘termarginalisasikan’. Pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah (UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada tanggal 7 Mei 1999) telah menjadi tonggak perubahan iklim demokrasi di Indonesia. Iklim kebebasan dalam bingkai demokrasi, setidaknya membuka ruang ekspresi terhadap perlakuan yang tidak adil di era Orde Baru untuk kembali menuntut hak-haknya. Dasar realitas itulah konflik nelayan semasa awal Reformasi telah menunjukkan gejala menjadi mengeras dan akibat euphoria demokrasi seolah lepas kendali dan bentuk konflik menjadi semakin anarkis. Konflik nelayan yang disebabkan nelayan tradisional ‘dimarginalkan’ dalam ‘perebutan’ sumber-sumber ekonomi menjadi terselesaikan dengan pendekatan dan ‘caranya’ sendiri. Mencermati Kebijakan Otonomi Daerah, dengan diterapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah menimbulkan banyak gejolak di berbagai tempat. Demikian pula pada komunitas nelayan, sehingga dengan ‘dalih’ dan ‘pemahaman’ terbatas terhadap ruang kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya laut di wilayahnya telah menjadi alat justifikasi untuk melarang pihak lain (nelayan) memasuki ‘wilayah laut’ nya. Sementara itu, melemahnya ‘peran’ negara (pemerintah) justru semakin menguatkan posisi ‘rakyat’ (masyarakat) untuk mewujudkan kebutuhannya akan hak-haknya untuk

279 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim membebaskan diri dari ancaman pihak lain yang memiliki posisi lebih kuat, dalam kasus konflik nelayan yakni nelayan modern dengan peralatan yang jauh lebih efektif untuk menadapatkan hasil tangkapan karena didukung oleh kekuatan pasar (Juragan, Pedagang Besar/Supplier, Pabrik). Implikasi dari kondisi melemahnya peran negara terhadap kasus konflik nelayan di Selat Madura yang disebabkan oleh perbedaan penggunaan alat tangkap serta cara pengoperasiannya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut antara nelayan tradisional (Kwanyar, Bangkalan) dengan nelayan modern Sampang (Camplong dan Sreseh) maupun nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton) membuat penyelesaian konflik telah ‘diambil alih’ oleh posisi ‘rakyat’ (nelayan) melalui ‘pengadilan jalanan’, celakanya ‘vonis’ sebagai bentuk penyelesaian semakin parah berupa: pembakaran perahu dan mesin, penganiayaan nelayan berujung ‘pembunuhan’ yang berlangsung sejak penghujung tahun 1998 (Era Reformasi) hingga akhir tahun 2004 (Masa Otonomi Daerah). Kebijakan Otonomi Daerah yang digulirkan sejak 1999, telah memberikan ruang kewenangan kepada pemerintah daerah terhadap wilayah laut. Kewenangan tersebut di era Orde Baru seluruhnya dikuasai pemerintah pusat. Namun seiring bergulirnya tuntutan akan perubahan pada era Reformasi yang menghendaki adanya pemberian ruang yang lebih besar bagi berkembangnya sistem demokrasi di Indonesia pada gilirannya membawa perubahan dengan diterapkannya otonomi daerah. Kewenangan mengelola sumberdaya di wilayah laut dari pemerintah pusat menjadi kewenangan daerah telah menjadi pemicu berubahnya bentuk konflik nelayan menjadi semakin mengeras dan anarkis. Bentuk konflik nelayan pada era Otonomi Daerah telah berujung menjadi pembakaran perahu di tahun 2000, kemudian berubah menjadi konflik anarkis di tahun 2001 dan 2004 yakni konflik nelayan berakhir dengan tewasnya beberapa orang nelayan.

280 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

C. Perspektif Konflik Eksploitasi Sumber Daya Milik Bersama (CPR)

Konflik nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut sebagai sumberdaya milik bersama (Common property) di perairan Selat Madura telah terjadi sejak 1993, meskipun konflik kala itu masih bersifat tertutup, artinya konflik dapat diselesaikan melalui perdamaian kekeluargaan. Namun konflik yang sama senantiasa timbul kembali hingga tahun 2004, akan tetapi ada pergeseran bentuk konflik. Konflik melibatkan nelayan dari Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan, setidaknya perlu dicermati lebih mendalam guna dicari akar masalahnya untuk diselesaikan. Konflik nelayan terjadi di perairan Selat Madura merupakan konflik yang terjadi pada sutu kolam/tempat (Pool) di mana sumber daya tersebut berada dan dimanfaatkan oleh banyak pihak, sehingga perebutan sumberdaya semacam itu oleh Ostrom (1977) dikenal sebagai konflik terhadap ‘Common-Pool Resource’ (CPR).

1. Konflik Nelayan Era Orde Baru, Reformasi, dan Era Otonomi Daerah Jika ditelaah lebih jauh bahwa pengelolaan terhadap sumberdaya laut (fishing right)pada era Orde Baru secara umum masih berbasis pemerintah pusat (government based management), kecuali pada beberapa daerah yang selama ini dikenal memiliki hukum adat/hak ulayat yang mengatur pengelolaan sumberdaya laut di daerah tersebut, seperti: Awig-awig di Lombok, Sasi di Maluku (Satria, 2002). Pada era Orde Baru, pemerintah memegang kendali pengelolaan sumberdaya tersebut baik perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasannya, sementara masyarakat pemanfaat hanya menerima informasi tentang produk kebijakan dari pemerintah. Kebijakan tersebut menyebabkan timbulnya persoalan penegakan hukum terkait dengan pelaksanaan dan pengawasan atas implementasi kebijakan

281 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

yang ditetapkan pemerintah disebabkan mahalnya biaya transaksi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, serta peraturan yang dibuat sulit ditegakkan karena kurang terinternalisasi pada masyarakat. Serangkaian persoalan tersebut setidaknya ikut mendorong timbulnya konflik nelayan, seperti: penggunaan alat tangkap yang tidak diizinkan oleh Undang- Undang dan sebagainya. Kronologis konflik nelayan yang telah berlangsung lebih dari satu dekade dan melibatkan nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh), serta Pasuruan (Lekok dan Kraton) dapat dicermati pada tabel 5.40 berikut:

Tabel 5.40 Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanann Laut; Tahun 1993-2004

No Waktu Pihak Konflik Sumber Konflik Peraturan Akibat Konflik

1 1993 Nelayan Perbedaan Alat U U Nomor Kenyamanan Pasuruan tangkap 5 melaut terganggu vs Bangkalan Tahun 1974

2 4 s/d 5-06 Nelayan Perebutan U U Nomor Kenyamanan 1994 Pasuruan vs SD Perikanan 5 melaut terganggu Sampang Laut Tahun 1974 3 6 s/d 7-06 Nelayan Perebutan SD U U Nomor Kenyamanan 1994 Pasuruan vs Perikanan Laut 5 melaut terganggu Sampang Tahun 1974 4 26-10- Nelayan Perebutan SD U U Nomor 9 perahu dibakar 1998 Pasuruan vs Perikanan Laut 5 dan alat dibuang ke Sampang Tahun 1974 laut (rugi 100 jt) 5 01-11- Nelayan Perebutan SD U U Nomor Kenyamanan 1998 Pasuruan vs Perikanan Laut 5 melaut terganggu Sampang Tahun 1974 6 05-02- Nelayan Beda Alat tangkap UU Nomor 3 perahu dibakar 2000 Pasuruan vs 22 Tahun Bangkalan 1999 7 04-04- Nelayan Beda Alat tangkap UU Nomor 1 unit perahu 2000 Pasuruan vs 22 Tahun disandera Bangkalan 1999

282 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

8 27-04- Nelayan Beda Alat tangkap UU Nomor 2 perahu dan alat 2000 Pasuruan vs 22 Tahun dibakar/rugi Bangkalan 1999 Rp19.950.000,- 9 20-05- Nelayan Beda Alat tangkap UU Nomor 1 unit perahu 2000 Pasuruan vs 22 Tahun dibakar/rugi 6 jt Bangkalan 1999 10 06-11- Nelayan Perebutan SD UU Nomor 1 unit perahu di 2000 Pasuruan vs Perikanan 22 Tahun ditebus 1 jt Sampang 1999

11 28-03- Nelayan Beda alat tangkap UU Nomor 2 tewas, 3 perahu 2001 Pasuruan vs Pelanggaran Wil. 22 Tahun dan nelayan Bangkalan 1999 disandera 12 21-05- Nelayan Beda alat tangkap UU Nomor 2 tewas, 2 perahu 2001 Pasuruan vs Pelanggaran Wil. 22 Tahun dan 4 nelayan Bangkalan 1999 disandera

13 23-06- Nelayan Beda alat tangkap UU Nomor 2 nelayan dan 2 2001 Pasuruan vs Pelanggaran Wil. 22 Tahun perahu disandera Bangkalan 1999 14 29-07- Nelayan Beda Alat tangkap UU Nomor 1 nelayan dianiaya 2001 Pasuruan vs 22 Tahun Bangkalan 1999 15 10-05- Nelayan Beda alat tangkap UU Nomor 8 nelayan diania-ya 2004 Pasuruan vs Pelanggaran Wil. 22 Tahun (4 luka-luka) Bangkalan 1999 16 09-10- Nelayan Beda Alat tangkap UU Nomor 12nelayan2perahu 2004 Pasuruan vs Pelanggaran Wil. 22 Tahun dan mesin Bangkalan 1999 disandera 17 28-10- Nelayan Beda Alat tangkap UU Nomor 4 nelayan tewas 2004 Pasuruan vs Pelanggaran Wil. 22 Tahun Bangkalan 1999 18 29-12- Nelayan Beda Alat tangkap UU Nomor 3 unit perahu 2004 Sampang vs 32 Tahun disandera/tebusan Bangkalan 2004

Sumber: Diolah Peneliti; SD : Sumberdaya

283 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa konflik antar nelayan di Selat Madura bersifat ‘laten’, artinya bahwa konflik nelayan masih akan terjadi lagi ketika ada sumber konflik yang belum terselesaiakan sehingga berpotensi konflik tersebut muncul kembali.. Hal ini ditunjukkan dengan rangkaian konflik nelayan dalam perebutan sumberdaya perikanan laut sebagai akibat adanya perbedaan penggunaan alat tangkap, sebagaimana analisis berikut ini: Pada 1993-1994 terjadi konflik perebutan sumberdaya perikanan laut (Bangkalan, Sampang dan Pasuruan) sebagai akibat penggunaan alat tangkap yang berbeda. Pada 1998 pun kembali muncul konflik antarnelayan yang sama seperti kejadian sebelumnya, akan tetapi konflik kali ini menunjukkan adanya perubahan bentuk konflik, bahwa ada perubahan bentuk konflik dari tertutup menjadi konflik terbuka. Pada tahun 2000-2004 konflik nelayan kembali terjadi dan melibatkan pihak nelayan dari daerah yang sama dan disebabkan sumber persoalan yang tidak berbeda dengan konflik-konflik sebelumnya, akan tetapi sumber konflik dipertajam dengan adanya pelanggaran terhadap wilayah tangkap seiring penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan dasar kewenangan daerah atas pengelolaan sumberdaya di wilayah laut (Pasal 3 dan 10). Kedua, terjadinya konflik selama kurun waktu 1993-2004 memiliki substansi yang sama: akibat sumberdaya perikanan laut yang langka, terdapat pihak yang menggunakan alat tangkap berbeda, karena perbedaan nilai/kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan laut serta pemanfaatan terhadap sumberdaya perikanan laut yang bersifat ‘open access’ Selanjutnya konflik tersebut menjadi konflik yang bersifat terbuka dengan kekerasan dipicu oleh situasi ‘euphoria’ Reformasi (1998) pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Pada 2000, hal serupa terulang kembali pada masa penerapan otonomi daerah. Konflik nelayan yang bersifat terbuka ini bahkan semakin mengeras disebabkan negara mengalami ‘delegitimasi’ rakyat di satu sisi seiring dengan liberalisasi politik yang telah ditempuh awal reformasi dengan memberikan ruang tumbuh dan berkembangnya

284 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura kebebasan, hak aszasi dan demokrasi sebagaimana lahirnya berbagai ketentuan hukum terkait hal tersebut, seperti: Undang-Undang Kepartaian (UU Nomor 2/1999), sistem pemilu (UU Nomor 3/1999), Pers (UU Nomor 40/1999), Otonomi Daerah (UU Nomor 22/1999), Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (UU Nomor 25/1999), Pemerintahan yang Bebas dari Penyelenggaraan KKN (UU Nomor 28/1999) dan sebagainya telah banyak membawa perubahan dalam meletakkan ‘peran’ negara dalam hubungannya dengan masyarakat. Hal substansial yang berbeda dalam penyelenggaraan pemerintahan dari aspek kewenangan daerah yakni lahirnya kebijakan otonomi daerah, di mana daerah yang berbatasan dengan laut memiliki kewenangan dalam mengelola wilayah laut, namun tidak diikuti aturan pelaksanaannya. Oleh sebab itu, konflik ini menjadi semakin mengeras akibat adanya pemahaman terjadi pelanggaran atas wilayah tangkap nelayan. Pada akhirnya, konflik menurun intensitas maupun tingkat kekerasannya dengan diberlakukannya revisi dari Undang-Undang otonomi daerah, khususnya tentang nelayan kecil yang tidak dibatasi dalam melakukan aktivitasnya pada wilayah laut, sepanjang tidak melanggar ketentuan penangkapan ikan di laut. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diundangkan pada tanggal 4 Mei 1999 pada masa pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie, yakni pasca pemerintahan Orde Baru atau pada masa ini lebih dikenal dengan Era Reformasi (1998) yakni setelah tumbangnya rezim Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Suharto dari tampuk kekuasaan pada tanggal 21 Mei 1998, setelah Suharto menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun lebih. Namun pergantian rezim dari Orde Baru ke rezim pemerintahan baru, sebagian pihak memandang bahwa pergantian rezim baru dimulai pada era pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pada Oktober 1999. Sebab pergantian dari Suharto ke B.J. Habibie, tidak dipandang sebagai era transisi karena BJ Habibie masih merupakan anasir dari

285 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim rezim Orde Baru. Pergantian kekuasaan tersebut menurut Manan (2005) bahwa masa pemerintahan B.J. Habibie – tahun 1998 merupakan era Transisi Awal, sedangkan pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri - tahun 1999 sebagai masa Transisi Lanjutan. Pada masa ini hampir semua persoalan yang berpotensi menimbulkan konflik muncul ke permukaan di semua wilayah seperti: Konflik Sambas – Kalbar (Pertengahan 1998), -Kalbar (Oktober 2000)(Mas’oed,2000); Poso (Desember 1998), Maluku (Januari 1999)(Rozi,2006); Sampit-Kalteng (Pebruari 2001)(Cahyono,2008); Cilacap (Agustus 1998), Kotawaringin Barat-Kalteng (Pebruari 1998) (Utsman,2007). Demikian halnya dengan konflik nelayan di Selat Madura, sebagaimana pada tabel 100 di atas menunjukkan adanya konflik yang semakin intens serta dan bentuk konfliknya semakin anarkis. Temuan data menunjukkan bahwa sumber konflik pada awalnya adalah adanya perbedaan alat tangkap antara nelayan tradisional (Bangkalan) berhadapan dengan nelayan modern (Sampang dan Pasuaruan), namun hal tersebut berubah menjadi konflik terbuka dan anarkis dengan adanya pergantian rezim atau runtuhnya rezim Orde Baru, pada tahap berikutnya bentuk konflik meluas dan meningkat dalam bentuk klaim atas wilayah laut (tahun 2001) dengan diberlakukannya Otonomi Daerah (UU Nomor 22 tahun 1999) yang baru diberlakukan tanggal 1 Januari 2001 pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Persoalan konflik nelayan menurun kembali intensitasnya pada pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Selanjutnya mencermati bentuk konflik nelayan tersebut berikut dianalisis dari aspek periodesasi waktu konflik hingga solusi yang telah diambil oleh pemerintah daerah dalam menyelesaikan kasus-kasus konflik tersebut sebagaimana tabel 5.41 berikut:

286 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Tabel 5.41 Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Laut serta Tipe dan Sifat Konflik Nelayan Era Orde Baru, Reformasi dan Otodadi Perairan Selat Madura, Jawa Timur Tahun 1993 -2004

No Periodisasi dan Pihak Sumber Bentuk Solusi Waktu Konflik Konflik dan Konflik Perlakuan/ Intensitas Akibat Konflik 1 Orde Baru : Pasuruan vs Perbedaan Perampasan Penyuluhan (1993-1994) Sampang ; Alat peralatan melaut 1993-an s/d ’94, Pasuruan vs Tangkap (termos dan alat (UUNo.5/1974) Bangkalan mesin perahu) 3 kali konflik

2 Era Reformasi Pasuruan Perbedaan 9 perahu dibakar, Santunan bagi (1998): vs Alat alat tangkap di keluarga korban, 26/10 - 1/11 ‘98 Sampang Tangkap buang ke laut, 1 Penyuluhan dan UUNo.5/1974) 2 kali perahu di sandera Ganti rugi perahu konflik (tebusan 1 juta). dan mesin perahu Kerugian senilai Rp156.950.000,-

3 OtonomiDaerah Pasuruan vs Beda Alat 6 perahu dan Tahun 2000: (2000 - 2004) Bangkalan ; Tangkap alat tangkap Penyuluhan UU No. 5 Pebruari 2000 Sampang dan dibakar, 1 perahu 9/1985, SK s/d 29/12/ 2004 vs Pelanggar- disandera. Mentan No. 392/ UU No.22/1999 Bangkalan an Kerugian ± Rp30 Kpts/Ik.120/4/99 dan 13 kali Wilayah juta tentang Jalur-jalur UU No.32/2004 konflik Tangkap Penangkapan Ikan; 9 perahu di Penggantian 3 mesin sandera (tebusan perahu, Perdamaian Rp 9 juta), di Bangkalan. 8 tewas, 9 dianiaya (4 orang Tahun 2001: luka-luka), 16 Bantuan Gub. Jatim orang disandera Rp 50 juta’ 14 Sept. 2001: Islah Nelayan PasuruanBangkalan di Ampel dan Penyuluhan Terpadu

Sumber : Diolah Oleh Peneliti.

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa: (1) Selama konflik nelayan yang terjadi era Orde Baru (1993-1994) dalam menghadapi persoalan konflik nelayan tidak ditemukan adanya solusi yang dibuat oleh pemerintah daerah (kabupaten) yang 287 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

memiliki kekuatan mengikat bagi masing-masing pihak di mana nelayannya terlibat konflik baik Pemerintah Kabupaten Bangkalan, Sampang, maupun Pasuruan), namun bentuk solusi hanya berupa sosialisasi peraturan-peraturan pemerintah terkait pengelolaan sumberdaya perikanan laut. (2) Dalam kurun waktu 1998 pada era Reformasi atau masa Transisi Awal (Manan, 2005), bentuk solusi yang dilakukan oleh pihak berwenang berupa: Rapat koordinasi antar instansi, penyuluhan dan pemberian santunan bagi keluarga korban tewas, serta pemberian ganti rugi. Dengan demikian adanya konflik nelayan yang bersifat terbuka di tahun 1998 pun, pemerintah daerah masing-masing juga tidak ada yang membuat kebijakan yang dapat mengikat masing- masing nelayan. (3) Pada konflik nelayan sejak diterapkannya Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah, bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh pihak berwenang yakni berupa penyuluhan hukum terpadu, perdamaian nelayan di Bangkalan, pemberian mesin perahu pengganti, pemberian bantuan Gubernur Jatim senilai 50 juta rupiah berupa 7 perahu beserta mesinnya dan islah antara nelayan yang terlibat konflik di Masjid Sunan Ampel di Surabaya.

Dalam serangkaian bentuk penyelesaian yang ditempuh pihak berwenang yakni langkah kongkrit yang ditempuh oleh pemerintah kabupaten di mana nelayannya terlibat konflik. Upaya perdamaian setelah terjadinya konflik nelayan yang mengakibatkan korban nelayan tewas sebanyak 2 orang tewas pada 21 Mei 2001 baru dapat direalisasikan pada tanggal 14 September 2001 di Masjid Sunan Ampel Surabaya dengan disepakatinya butir-butir perdamaian antara nelayan Bangkalan dan nelayan Pasuruan. Namun masih di era Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, terjadi konflik kembali pasca“islah ” Ampel 2001, dalam konflik dipenghujung pelaksanaan Undang-Undang tersebut yaitu 28 Oktober 2004, membawa korban 4 orang tewas.

288 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Serangkaian periode waktu pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di atas menggambarkan fakta sebagai berikut: 1. Konflik nelayan pada era Orde Baru, menunjukkan bahwa perebutan sumber daya ikan dan perbedaan dalam penggunaan alat tangkap menjadi konflik terbuka antar nelayan disebabkan pada masa itu terjadi euphoria reformasi tidak terkecuali pada komunitas nelayan di wilayah konflik sebagai akibat lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan alat tangkap. 2. Konflik nelayan era pelaksanaan otonomi daerah diberlakukan, menunjukkan bahwa perbedaan penggunaan alat tangkap dan pelanggaran wilayah laut menjadi konflik terbuka antar nelayan disebabkan oleh faktor yang sama dengan ketika sebelum otonomi daerah diberlakukan. Namun bentuk konflik terbuka menjadi bentuk kekerasan karena justru adanya otonomi daerah khususnya kewenangan daerah atas wilayah laut menjadi media menguatnya konflik nelayan. Seiring dengan direvisinya kebijakan otonomi daerah yang secara eksplisit menegaskan (pasca Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999) bahwa ketentuan tentang pembagian wilayah laut tidak berlaku bagi nelayan kecil, maka bentuk konflik kembali menurun (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004).

Dengan demikian konflik nelayan yang terjadi di wilayah perairan Selat Madura selama kurun waktu tahun 1993 hingga 2004 menunjukkan bahwa faktor penyebab munculnya konflik disebabkan belum ada solusi mendasar terhadap persoalan yang masih membelenggu nelayan yakni keterbatasan modal sehingga nelayan menjalin ikatan utang dengan juragan/pengepul/supplier; Kelangkaan sumber daya perikanan laut sehingga karena keterbatasan kemampuan perahu untuk melaut di laut lepas menyebabkan nelayan melaut dengan menggunakan alat tangkap yang dilarang dan bahkan dengan alat tangkap tersebut melaut di wilayah komunitas nelayan lain. Persoalan konflik sebagaimana dikemukakan diawal pembahasan, maka dalam konteks konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut di

289 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Perairan Selat Madura selama kurun waktu 1993 – 2004 yang melibatkan pihak-pihak yakni nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh) serta Pasuruan (Lekok dan Kraton). Untuk itu berikut ditunjukkan dalam bentuk perbandingan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut melalui aspek: Tujuan/Sasaran, Nilai, Metode/Teknik Pemanfaatan, serta Kondisi para pihak sebagaimana pada tabel 5.42 berikut:

Tabel 5.42 Perbandingan Kepentingan, Teknologi Alat Tangkap Pemanfaat, Sumber Permodalan, dan Pola Distribusi Hasil Nelayan Bangkalan (Kwanyar), Sampang (Camplong dan Sreseh) serta Pasuruan (Lekok dan Kraton) di Selat Madura Tahun 1993-2004

No Uraian Asal Nelayan yang Terlibat Konflik

Bangkalan Sampang Pasuruan 1 Kepentingan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan /Tujuan Sumberdaya Sumberdaya Sumberdaya Perikanan Perikanan Perikanan Laut untuk Laut untuk Laut untuk Pemenuhan Pemenuhan Pemenuhan Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan Hidup Hidup Hidup 2 Teknologi Mayoritas Mayoritas Mayoritas Alat tangkap Nelayan dengan Nelayan dengan Nelayan Pihak Alat Tangkap Alat Tangkap dengan Alat Pemanfaat Tradisional Modern Tangkap Modern 3 Sumber Mayoritas Modal Mayoritas Mayoritas Permodalan Sendiri (tidak Sebagian Modal Sebagian terikat dengan Pinjaman Modal Juragan) (terikat dengan Pinjaman Juragan) (terikat dengan Juragan) 4 Pola Nelayan – Nelayan – Nelayan – Distribusi Konsumen/Pasar Juragan/ Juragan/ Hasil (secara bebas) Pengepul – Pengepul Tangkapan Pabrik (terikat – Pabrik pola tetap) (terikat pola tetap) Sumber: Diolah oleh Peneliti

290 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa selama kurun waktu terjadinya konflik nelayan (1993-2004) menunjukkan bahwa pihak yang konflik memiliki tujuan yang sama yakni memanfaatkan sumber daya perikanan laut bagi kebutuhan hidup, namun ada perbedaan dalam cara pemanfaatannya yakni nelayan Sampang dan Pasuruan menggunakan peralatan modern, sedangkan nelayan Bangkalan cara pemanfaatannya mempergunakan alat tangkap tradisional sehingga aspek keberlangsungan sumberdaya laut di masa mendatang masih dapat dijamin karena alat tangkap tersebut ramah lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat intensitas pemanfaatan (waktu melaut, jumlah nelayan dan ragam/jenis alat tangkap) serta hasil tangkapan. Pola aktivitas melaut dari pihak nelayan yang terlibat konflik setidaknya disebabkan masing-masing pihak dipengaruhi oleh sistem permodalan dan pola distribusi hasil tangkapan serta kondisi lahan yang ada. Penggunaan alat tangkap tradisional oleh nelayan Bangkalan tidak lain dipengaruhi oleh sistem permodalan yang sebagian terbesar tidak terikat utang dengan juragan, semenjak adanya peran calon Klebun/ Kepala Desa yang dalam pemilihannya menjanjikan untuk memberikan modal tanpa ikatan pada nelayan (tahun 1990-an) dan terbukti mampu merealisasikannya, serta adanya peluang alternatif pekerjaan di luar perikanan yakni pertanian maupun sebagai tenaga kerja di luar negeri/ TKI. Hal inilah yang mendukung sumberdaya laut di bangkalan masih relatif lebih terjaga dibandingkan Sampang dan Pasuruan. Penggunaan alat tangkap modern oleh nelayan Pasuruan di antaranya dipengaruhi oleh kondisi lahan yang tidak memberi peluang untuk melakukan aktivitas di sektor pertanian. Hal ini disebabkan lahan tanah pada wilayah pemukiman nelayan menjadi “sengketa” dengan TNI- AL sejak tahun 1993. Hal ini ditambah lagi dengan jumlah nelayan yang cukup besar serta sumber permodalan nelayan sebagian terbesar didapat dengan ikatan utang pada juragan/supplier/pengepul. Kondisi demikian tidak berbeda jauh dengan nelayan Sampang dalam mempergunakan alat tangkap modern disebabkan selain peluang aktivitas di luar sektor

291 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim perikanan dihadapkan pada kondisi lahan yang tidak subur serta adanya ikatan pinjaman modal dengan juragan/pengepul. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa pada masa pasca reformasi atau setelah runtuhnya rezim Orde Baru, terjadi perubahan dalam hal pembagian kewenangan antara pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah (daerah otonom). Hadirnya Undang Undang Otonomi Daerah ditetapkan pada tanggal 7 Mei 1999 oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, maka ketentuan ini menjadi titik awal ‘dimilikinya’ oleh daerah kabupaten/kota ‘ruang ekspresi’ kreativitas, darimana hal ini merupakan kemustahilan pada era Orde Baru. Adapun ketentuan yang mengatur pelaksanaan pemerintahan di daerah yakni pada diterapkan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pada itu meskipun pelaksanaan otonomi daerah masih banyak menemukan kendala, namun melalui proses evaluasi bertahap mulai terwujud bentuk otonomi sebagai bagian dari demorasi yang diharapkan sesuai kebutuhan bangsa. Perjalanan panjang ketentuan otonomi daerah pada awalnya tidak sedikit memunculkan kesalahpahaman berbagai pihak. Bahkan perubahan iklim demokrasi yang seakan menyediakan ruang kebebasan tanpa batas bagi siapapun untuk mengekspresikannya, setidaknya kenyataan tersebut sebagai konsekuensi dari terhambatnya ruang publik pada era Orde Baru. Pada perkembangannya kebutuhan akan ruang otonomi bagi ‘publik‘ dalam kebijakan otonomi daerah sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Dalam ketentuan tersebut diatur secara tegas tentang wilayah NKRI, di mana wilayah dimaksud dibagi dalam daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang masing-masing bersifat otonom. Dalam ketentuan ini bahkan secara eksplisit menyebutkan bagian wilayah otonom daerah provinsi yang meliputi: wilayah daratan dan wilayah laut. Kemudian dalam hal wilayah laut provinsi adalah sejauh 12 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sedangkan dalam hal pengaturan kewenangan

292 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut, sebagaimana dalam Pasal 10 ayat 2 adalah sejauh 1/3 dari batas laut daerah provinsi tertuang sebagaimana termuat dalam Pasal 10 ayat 3.

2. Hubungan Negara dan Masyarakat: Era Orde Baru – Era Otonomi Daerah Konflik nelayan yang menjadi fokus kajian ini berlatar perebutan sumberdaya perikanan laut sebagai sumber daya milik bersama atau ‘common resource’ (Hardin, 1968) oleh nelayan Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan. Konflik nelayan yang berlangsung demikian panjang rentang waktunya membawa pemahaman bahwa konflik nelayan di Selat Madura merupakan konflik yang bersifat ‘laten’, disebabkan berbagai bentuk penyelesaian yang telah ditempuh oleh pihak berwenang tetap saja belum mampu menjadikan konflik nelayan tersebut berakhir. Konflik nelayan di perairan Selat Madura yang berlangsung lebih dari satu dekade disebabkan akar konflik itu sendiri belum dapat diselesaikan. Sementara itu, konflik nelayan yang selama ini berkembang dengan intensitas yang semakin tinggi, bahkan bentuk konflik telah mengalami perubahan dari konflik tertutup menjadi konflik yang bersifat terbuka, bahkan konflik yang bersifat damai bergeser menjadi konflik kekerasan dan anarkis. Pada tahun 1990-an konflik nelayan cenderung tertutup dalam arti persoalan konflik nelayan tersebut dapat dengan mudah diselesaikan secara damai dan tidak sampai menimbulkan kerugian yang berarti bagi nelayan, sehingga nelayan tetap dapat melaut dengan rasa aman tanpa ada gangguan. Pada akhir 90-an perkembangan konflik menunjukkan konflik nelayan di menjadi konflik terbuka, dengan adanya konflik disertai pembakaran perahu beserta alat tangkap dan mesinnya. Konflik nelayan belum berhenti meskipun telah diterapkan Undang- Undang baru tentang otonomi daerah di tahun 1999, yang justru memberikan ruang bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk dapat berperan serta dalam pengelolaan sumberdaya laut pada daerah yang

293 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim memiliki perbatasan dengan wilayah laut. Pada tahun 2000, justru kembali timbul konflik nelayan yang tetap melibatkan tiga wilayah nelayan yakni Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan. Konflik kali ini telah berkembang menjadi konflik terbuka dan menjadi konflik yang anarkis, dengan menimbulkan korban nelayan tewas di tahun 2001 dan 2004. Dalam konteks tersebut, konflik berlangsung sejak tahun 1993 – 2004 seiring berjalannya waktu telah menunjukkan adanya perubahan bentuk konflik. Sementara itu, dalam kurun waktu terjadinya konflik tersebut telah terjadi perubahan dalam rezim pemerintahan dari rezim Orde Baru (1997), Era Reformasi (1998) hingga Era Otonomi Daerah (1999-sekarang). Untuk memahami lebih jauh kontribusi perubahan rezim tersebut pada perubahan bentuk konflik nelayan yang terjadi pada kurun waktu tersebut, maka perlu diketahui bagaimana hubungan yang terjadi antara negara dengan rakyat selama era Orde Baru, era Reformasi dan Masa Otonomi Daerah. Realitas demikian setidaknya dapat dicermati dalam bingkai hubungan antara negara dan masyarakat selama masa konflik nelayan berlangsung sebagaimana dalam tabel 5.43 berikut:

Tabel 5.43 Pola Hubungan Negara dan Masyarakat dalam Konflik Nelayan Pada Era Orde Baru, Reformasi dan Otonomi Daerah (1993-2004)

Periode konflik/ Negara Masyarakat Hubungan Rezim Negara - Masyarakat

1993 – 1994/ Strong (Kuat), Weak (Lemah), Pyramidal, Elitis Orde Baru Dominan, Sub- ordinat, Kasus Penetrasi, Pasif: Sedikit pelanggaran (Suharto) Pelibatan: Partisipasi penggunaan Otonomi Negara Masyarakat alat tangkap tetap Tinggi. dalam Politik. relatif tidak Bentuk: UU Masyarakat menimbulkan No. 5/1974: hanya sbg. konflik nelayan pengelolaan pemanfaat antar daerah sumberdaya di sumberdaya wil. laut mrpk. perikanan laut, kewenangan terjadi kerusakan pemerintah dan overfishing. pusat.

294 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

1998 Weak (Lemah), Strong (Kuat), Diffused/Distrust Era Reformasi / Failure (Gagal) Masyarakat (Saling Transisi dan kehilangan dominan Mencurigai) sebagian besar mengontrol (B.J. Habibie) kontrolnya negara, terhadap rakyat, Resistensi mengalami masyarakat delegitimasi oleh meningkat. Kasus rakyat. Nelayan pelanggaran Bentuk: UU ‘merasa’ perlu penggunaan alat No. 5/1974 menyelesaikan tangkap menjadi pengelolaan persoalan nya konflik terbuka. sumberdaya yang selama di wil. laut Orde Baru tidak merupakan diselesaikan kewenangan secara adil dalam pemerintah pemanfaatan pusat; diganti sumberdaya UU No. perikanan laut . 22 /1999: daerah kab./ kota memiliki kewenangan atas pengelolaan sumberdaya di wilayah laut.

2000-2004/ Weak (lemah) Strong (Kuat), Diffused/Distrust Otonomi pada gaya Berkembangnya (Saling Daerah kepemimpinan, Liberalisasi Mencurigai) (KH. Abdur- awal Politik, sehingga rahman Wahid, pemerintahan Masyarakat Megawati didukung dan Berdaya, Soekarnoputri) mendapat Partisipatif, legitimasi Inisiatif, politik. Namun Volountary/ Kasus kemudian Kemandirian. pelanggaran dukungan Nelayan merasa penggunaan alat melemah . ‘memiliki’ hak tangkap menjadi Bentuk: UU No untuk mengelola konflik terbuka. 22/ 1999 dan sumberdaya 2004: Pilpres perikanan laut . langsung dan menghasilkan pem. yg ‘legitimate’ hasil pilihan langsung oleh rakyat. Sumber: Periode 1984-1990 dikutip dari Jamie Mackie and Andrew Mac Intyre, “Politics”, dalam Hal Hill (ed), Indonesia’s New Order, the Dinamics of Socio-economic Transformation (Australia: Allen dan Unwin, 1994), hal. 5; Diolah oleh Peneliti dari J.S Migdal .1988.

295 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

D. Kesimpulan

Konflik antar nelayan Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan di perairan Selat Madura telah terjadi sejak era Orde Baru hingga Otonomi Daerah. Secara empirik menunjukkan bahwa konflik telah terjadi sejak tahun 1993 hingga 2004, sebagaimana dipaparkan sebagai berikut:

(1) Periode konflik antar nelayan tahun 1993-1994 di era Orde Baru; Pada era Orde Baru, negara memiliki kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan dengan membangun sistem hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah sebagaimana semua kewenangan pemerintahan dipegang oleh pemerintah pusat, sedangkan daerah hanya menerima pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi demikian telah menjadikan pemerintahan Orde Baru bersifat otoriter. Negara pada periode tersebut tergolong pemerintahan yang ‘kuat’, sebagaimana ditunjukkan dengan Suharto dapat tetap mempertahankan kekuasaannya lebih dari tiga dekade (32 tahun). Sebaliknya, posisi masyarakat justru ‘lemah’ karena sendi-sendi demokrasi terpasung oleh sistem politik yang dibangun oleh kekuasaan adalah demokrasi semu hanya untuk sarana kepentingan legitimasi kekuasaan. Dalam hal ini, hubungan negara dengan masyarakat merupakan hubungan yang bersifat Elitis/Pyramidal, dalam hubungan tersebut yang memperoleh kenikmatan hanya sebagian kecil masyarakat yakni kelompok pemegang kekuasaan. Demikian halnya dalam konteks konflik antar nelayan yang terjadi di Selat Madura pada era Orde Baru konflik dapat diselesaikan tanpa menimbulkan kerugian yang berarti walaupun faktor penyebab konflik disebabkan adanya perbedaan dalam penggunaan teknologi penangkapan. Dalam era ini nelayan modern menangguk/ memperoleh banyak keuntungan dalam memanfaatkan sumber daya

296 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

perikanan laut, sedangkan nelayan tradisional tidak dapat berbuat banyak terhadap situasi tersebut.

(2) Periode konflik tahun 1998; Dalam era ini, negara pada posisi lemah dan gagal. Hal ini ditunjukkan dengan keadaan ketidakpastian pada masa transisi rezim, sehingga menyebabkan gejala lemah dan gagalnya negara (weak state, failure state) dalam menegakkan aturan dan kontrol terhadap masyarakat (Cahyono, 2008). Sementara itu, kondisi sosial dan ekonomi yang buruk dalam tahun 1997-1998 ini akibat adanya krisis ekonomi, politik dan kepercayaan terhadap pemerintahan yang berkepanjangan mengakibatkan munculnya kerusakan di berbagai tempat di Indonesia (Mulkhan, 2001). Selanjutnya hadirnya keinginan penguasa, Presiden B.J. Habibie untuk meraih dukungan dari masyarakat berusaha mengakomodasikan semangat reformasi dan demokratisasi yang menjadi tuntutan sebagian terbesar masyarakat. Pemberian kebebasan berdemokrasi telah membuahkan kondisi masyarakat sangat dominan dalam melakukan kontrol pada negara pada satu sisi, sementara pemerintahan Habibie belum sepenuhnya mendapatkan dukungan publik. Dalam konteks tersebut hubungan negara dengan masyarakat menunjukkan hubungan yang saling mencurigai (Diffused/Distrust). Situasi konflik antar nelayan pada periode ini (1998), menunjukkan bentuk konflik antar nelayan yang berubah dari kondisi konflik ketika Orde Baru, bentuk konflik menjadi terbuka artinya nelayan tradisional memandang bahwa mereka selama pemerintahan Orde Baru tidak mendapatkan perlakuan yang adil ketika harus berhadapan dengan nelayan tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut pada wilayah perairan yang sama di Selat Madura, sehingga ketika situasi masa pemerintahan transisi yang dipandang tidak memiliki kepercayaan dari masyarakat maka mereka cenderung mengambil tindakan sendiri dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya, sebagaimana dalam konteks konflik antar nelayan

297 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

mereka mengekspresikan bentuk kekecewaannya terhadap kekuasaan secara terbuka dengan cara melakukan tindakan ‘pengadilan jalanan’ untuk menyelesaikan persoalan yang selama ini mereka hadapi.

(3) Periode konflik tahun 2000-2004, pada Era Otonomi Daerah; Era pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri pada awal pemerintahan, dukungan publik dan sebagian terbesar partai politik cukup kuat namun dukungan makin melemah seiring dengan gaya kepemimpinannya yang membawa kekecewaan berbagai kelompok masyarakat. Dalam periode ini, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) pemerintah kurang mampu menegakkan good governance, yang justru menuju pada bad governance, di antaranya: lambannya menangani kasus KKN; lemahnya koordinasi antar menteri, politisasi birokrasi dan BUMN; inkonsistensi kebijakan; tertundanya Letter of Intent (LoI); kelambanan dalam menangani konflik sosial; (Tempo, 30 Januari 2000). Konsentrasi masa pemerintahan Gus Dur lebih banyak terfokus pada upaya penyelesaian warisan persoalan masa lalu daripada mengupayakan terobosan baru kreasi pemerintannya. Di bidang politik, Gus Dur masih konsisten melanjutkan liberalisasi politik yang memberikan jaminan bagi hak-hak politik masyarakat, sebagaimana yang dipelopori Presiden B.J. Habibie, yaitu kebebasan mengemukakan pendapat secara lisan maupun tulisan, kebebasan berorganisasi, unjuk rasa dan lain-lain. Pada masa pemerintahan ini, kebebasan menjadi semakin luas dan leluasa. Masyarakat bukan hanya boleh melakukan demonstrasi di sekitar istana, akan tetapi juga dibiarkan berdemonstrasi sambil menghunus pedang sebagaimana yang dilakukan oleh Forum Komunikasi Ahlus Sunah wal Jamaah (FKAW) pada bulan April 2000 (Manan,2005). Hal ini menunjukkan bahwa pada periode konflik tahun 2000-2004 yang makin terbuka dan anarkis, setidaknya didukung oleh situasi sistem politik di Indonesia pada masa tersebut.

298 Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di Selat Madura

Pada pemerintahan BJ Habibie dan era pemerintahan Gus Dur, telah memberikan ‘ruang’ berkembangnya liberalisasi politik dan instalasi demokrasi sehingga menjadikan kehidupan politik di Indonesia menjadi relatif lebih demokratis. Situasi dan kondisi demikian serta adanya perubahan mendasar dalam hal pengelolaan sumber daya di wilayah laut sebagaimana tertuang dalam kebijakan otonomi daerah (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999) telah memberikan ruang kewenangan bagi daerah kabupaten/kota dan masyarakat daerah untuk terlibat dalam mengelola sumberdaya laut di wilayahnya, dimaknai dengan kewenangan luas termasuk dalam menyelesaikan kasus sengketa dalam hal perbedaan penggunaan teknologi penangkapan dan memasuki wilayah 4 mil laut dari garis pantai (sesuai UU No. 22/1999, Pasal 3 dan Pasal 10), terhadap ketentuan tersebut dipahami sebagai wilayah ‘miliknya’. Dalam menyelesaikan konflik antar nelayan dengan ‘setting’ otonomi daerah tersebut, dalam ‘euphoria’ demokrasi di era Otonomi Daerah pasca Orde Baru dan masa transisi tersebut, nelayan tradisional melakukan tindakan ‘pengadilan jalanan’ sebagai bentuk kekecewaannya atas ‘ketidakadilan’ selama ini ketika harus berhadapan dengan nelayan modern dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan laut di Selat Madura.

299 300 Bab VI Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

A. Kontribusi Korporasi dan Negara dalam Aktivitas Nelayan

Kegiatan kenelayanan telah tumbuh dan berkembang sejak lama di wilayah pesisir Kwanyar (Bangkalan), hal ini diperkuat laporan kejadian tanggal 1 Desember 1864, tentang perompakan pada seorang juragan, dua awak perahu dan delapan orang penumpang telah menunjukkan bahwa keberadan juragan telah berkembang luas. Di Madura, pembebanan pajak juga telah dikenakan pada “nelayan” yakni pemilik ‘prau’ dan awak kapal. Pengusaha pribumi (juragan) menguasai sektor perikanan, dengan rata-rata penghasilan f 378 (pajak f 7,56), sedangkan pemilik ‘prau’ di Sampang pada tahun 1895 sebanyak 1.076 unit (Kuntowijoyo,2002). Para Juragan merupakan orang-orang yang memiliki perahu maupun jaring atau mereka yang memiliki alat angkut ataupun alat tangkap. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang juragan adalah apabila mendapatkan hasil tangkapan harus dijual atau disetor kepada pemberi modal atau pedagang (pedagang besar/supplier). Apabila seorang juragan ikut melaut maka mereka disebut sebagai juragan laut, namun sebaliknya, bila tidak ikut melaut dikenal sebagai juragan darat. Apabila ada di antara juragan darat yang melanggar perjanjian dengan pedagang/ supplier, juragan darat harus mengembalikan modalnya dengan berlipat

301 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim ganda, karena itu jarang terjadi pelanggaran antara juragan darat dengan pedagang dan juragan darat pada umumnya merupakan penduduk asli setempat.

1. Juragan dalam Jaringan Permodalan dan Pemasaran Juragan darat itu ada yang melaut, namun umumnya para juragan darat tidak melaut karena keadaan ekonominya pada umumnya tergolong berhasil. Setiap juragan darat ada yang mempunyai 2 sampai 5 perahu, bahkan ada pedagang besar/supplier yang memiliki hingga 50 orang juragan darat dengan alat tangkap antara 2 hingga 4 alat tangkap, dan masing-masing perahu diawaki antara 3 hingga 6 orang untuk perahu dengan alat tangkap jurung. Kondisi tersebut terdapat di Sampang dan Pasuruan, mengingat posisi juragan demikian mengikat banyak nelayan, menyebabkan mereka umumnya disegani di kalangan nelayan, sebagaimana jumlah juragan/supplier secara terinci pada tabel 6.1 berikut:

Tabel 6.1 Juragan Darat Besar dan Pengepul di Sampang dan Pasuruan Tahun 2007

No N a m a Status Tempat Tinggal

1 H. Zaini/Zei Pemilik Kpl./5 Camplong – Sampang GT”Sinar Laut” 2 H. Sutar Pemilik Kapal 5 GT* Camplong –Sampang

3 H. Salam Pemilik Kapal 5 GT* Camplong – Sampang

4 H. Sanawi Pemilik Kapal 5 GT* Camplong – Sampang

5 H. Wafa Pemilik Kapal 5 GT* Camplong –Sampang

6 Sekelat Pemilik Kapal/5 Camplong – Sampang GT*“Kramat” 7 H.Syukur/ Pemilik Kpl./10 GT* Camplong – Sampang Djakfar ”Fajar”

302 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

8 Andun Pemilik Kapal 10 GT* Camplong –Sampang

9 H. Abdurrahman Pemilik Kapal/5 GT* Camplong – Sampang “Mulya” 10. Hj. Imah Pemberi Pinj. Modal Sreseh – Sampang 11 H. Rasjid Pemberi Pinj. Modal Sreseh – Sampang

12 H. Bakir Pemberi Pinj. Modal Sreseh – Sampang 13 Hj. Hor Pemberi Pinj. Modal/ Sreseh – Sampang Pengepul

14 H. Yusuf Pemberi Pinj. Modal/ Sreseh – Sampang Pengepul

15 H. Sonhaji Juragan Jatirejo – Lekok, Pasuruan 16 Sulam Juragan Jatirejo – Lekok, Pasuruan 17 H. Ashari Juragan Jatirejo – Lekok, Pasuruan

18 H. Rifai Juragan Jatirejo – Lekok, Pasuruan

19 Hj. Fauziah Juragan Jatirejo – Lekok, Pasuruan

20 H. Yukyan Juragan Jatirejo – Lekok, Pasuruan

21 H. Sholeh Juragan Jatirejo – Lekok, Pasuruan 22 H. Isa Supplier/Pedagang Jatirejo – Lekok, Besar Pasuruan

23 H. Rukuni Supplier/Pedagang Jatirejo - Lekok, Besar Pasuruan

24 H. Bahri Supplier/Pedagang Jatirejo – Lekok, Besar Pasuruan 25 Hj. Hapsah Supplier/Pedagang Jatirejo – Lekok, Besar Pasuruan

303 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

26 H.Rifai Supplier/Pedagang Jatirejo – Lekok, Besar Pasuruan 27 Hj. Rodiah Supplier/Pedagang Jatirejo – Lekok, Besar Pasuruan 28 H. Rusdir Supplier/Pedagang Jatirejo – Lekok, Besar Pasuruan 29 H. Lutfi Supplier/Pedagang Jatirejo – Lekok, Besar Pasuruan 30 H. Tajab Supplier/Pedagang Jatirejo – Lekok, Besar Pasuruan 31 Khotim Supplier/Pedagang Jatirejo – Lekok, Besar Pasuruan 32 Hj. Holifa Supplier/Pedagang Jatirejo – Lekok, Besar Pasuruan

33 H. Ruum Supplier/Pedagang Jatirejo – Lekok, Besar Pasuruan Sumber: Diolah Oleh Peneliti dari beberapa informan; (*) GT : Gross Ton

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa juragan Darat besar umumnya memiliki armada kapal ikan dengan bobot 5 GT atau lebih. Di Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang, terdapat 14 orang Juragan Darat besar (pemilik kapal purse seine). Selain data di atas di Kecamatan Noreh masih terdapat 2 orang juragan / pengepul yang khusus menampung jenis ikan tertentu seperti: rajungan. Kedua juragan tersebut menampung semua jenis ikan. Nelayan Camplong maupun Sreseh sebagian terbesar merupakan nelayan biasa, artinya, hanya memiliki perahu dengan ukuran tidak terlalu besar sekitar 5-7 meter. Meski perahunya tergolong tidak besar atau sedang akan tetapi sebagian besar memiliki ikatan utang dengan para juragan dalam pembelian perahu, alat tangkap dan mesin perahu bahkan juga terikat utang untuk pembiayaan keperluan melaut. Armada kapal ikan berupa perahu/motor tempel yang diawaki 3-5 orang serta kapal ikan yang besar 10 GT (Kapal Purse seine) diawaki antara 15-20 orang. Adapun perahu/kapal ikan yang berukuran sedang kebanyakan menggunakan alat tangkap gill net ataupun trammel

304 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut net maupun payang. Dengan demikian aktivitas melaut dari nelayan Camplong dan Sreseh menggunakan berbagai jenis alat tangkap yakni 4 jenis alat tangkap (gill net, tramel net, purse seine dan pancing). Kondisi tidak berbeda dengan di Lekok dan Kraton, Pasuruan sebagaimana tabel 105, menunjukkan bahwa jumlah juragan besar di Pasuruan dominan dalam aktivitas nelayan baik dalam hal mendikung permodalan maupun distribusi hasil tangkapan nelayan baik nelayan yang memiliki utang maupun tidak. Hal ini tidak lain disebabkan dalam pengadaan/pembelian alat tangkap dipengaruhi atau ditentukan oleh juragan, karena para juragan berkepentingan agar investasi/modal yang dipinjamkan pada nelayan tanpa bunga dan agunan/jaminan apapun tetap memberikan nilai keuntungan baginya. Dengan kata lain bahwa juragan berkepentingan nelayan setiap melaut akan memberikan keuntungan baginya karena alat tangkapnya cukup efektif untuk memperoleh hasil tangkapan dan hasil tangkapan harus dijual kepada supplier/pedagang besar yang memberikan pinjaman modal. Bagi juragan dengan tidak menarik modal pinjamannya dari nelayan yang memiliki utang sama artinya ada jaminan pasokan terus menerus dari setiap hasil tangkapan nelayan..

2. Petinggi dalam Penguatan Nilai pada Nelayan Tradisional Aktivitas di sektor perikanan yang ditekuni masyarakat Kwanyar bukan menjadi mata pencaharian utama penduduk, disebabkan lahan atau tanah yang subur meski berada di tepi pantai karena sumber air untuk air irigasi mendukung sektor pertanian menjadi berkembang lebih dominan mengingat untuk dapat memperoleh ikan atau udang dibutuhkan alat tangkap bahkan perahu yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun demikian, sektor perikanan mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat Kwanyar khususnya berkembangnya usaha rumahan atau home industri krupuk yang cukup dikenal di Kabupaten Bangkalan dan sekitarnya. Aktivitas nelayan Kwanyar hingga saat ini masih tergolong tradisional, mengingat alat tangkap yang dipergunakan

305 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim hanya mengandalkan jaring-jaring hanyut sedangkan yang lain berupa pancing maupun serok untuk mencari kerang. Melaut pun waktunya hanya beberapa jam, umumnya berangkat pagi usai subuh dan kembali sekitar pukul 11.00 siang hari (zuhur) — nelayan Kwanyar tidak banyak yang melaut di malam hari. Kecamatan Kwanyar memiliki hutan pantai seluas 191.25 ha yang tersebar di 4 desa yakni Desa Pesanggrahan, Karanganyar, Batah Barat, dan Batah Timur dan memiliki panjang pantai yaitu sepanjang 11,80 km. Sentra aktivitas perikanan laut di Kecamatan Kwanyar terpusat di sekitar pesisir Pesanggrahan. Nelayan Kwanyar bertempat tinggal tersebar pada 6 Desa dari 16 Desa yang ada di wilayah Kecamatan Kwanyar. Kondisi ekonomi nelayan Kwanyar tergolong cukup makmur dengan situasi pemukiman yang teratur. Keadaan ini ditunjang dengan kondisi alam (lahan) daratan yang cukup subur. Bahwasanya lahan di Kecamatan Kwanyar seluas 4.780,90 ha terbanyak yakni 2.848,80 ha berupa tanah tegalan sebagaimana keadaan wilayah di Pulau Madura penggunaan lahan/tanah didominasi sebagai tegalan serta penggunaan tanah untuk sawah seluas 1.029,10 ha atau 81,11%. Adapun sisanya seluas 903 ha lahan kering berupa bangunan, pekarangan dan lainnya. Keadaan umum pada tahun 2005, Kecamatan Kwanyar memiliki hutan pantai seluas 191.25 ha yang tersebar di 4 desa yakni Pesanggrahan, Karanganyar, Batah Barat dan Batah Timur dan memiliki panjang pantai yaitu sepanjang 11,80 km. Sejak sekitar tahun 80-an wilayah Kwanyar aktivitas perikanan didominasi oleh tiga orang juragan besar (juragan darat) yakni H. Sulkan, H. Achmad Bakar, H. Mahfud dan H. Abd. Karim (masih kerabat dari Klebun/Kades Batah Barat) serta beberapa pengepul (todê) yang hasilnya juga dijual pada juragan tersebut, yakni Hj. Yati, Sa’diyah, dan Suja’i. Aktivitas nelayan tidak terlepas dari peran juragan ataupun todê tersebut, karena mereka memberi pinjaman modal untuk melaut, dengan adanya pinjaman tersebut nelayan mengikat utang pada juragan sehingga hasil tangkapannya harus dijual pada juragan atau todê, dan merekalah yang menentukan harga dari ikan hasil tangkapan tersebut yang tentunya lebih

306 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut rendah dari harga pasar. Namun ikatan nelayan hanya dengan juragan darat (peminjam modal guna keperluan melaut, seperti: bahan bakar perahu, perbekalan, perbaikan perahu dan alat tangkap dan kebutuhan lainnya), sedangkan perahu dan alat tangkap umumnya milik sendiri. Keberadaan tokoh masyarakat termasuk pemimpin masyarakat yang memiliki pengaruh yang cukup kuat, sebagaimana falsafah urutan tangga kuasa Madura: bhu, pa’, bhabhu’, ghuru, rato (Ibu, Bapak, Sesepuh, Guru, Raja, pepatah ini cukup kuat dipegang orang Madura. Maknanya bahwa bagi orang orang Madura senantiasa menjunjung tinggi rasa hormat kepada Kedua Orang-tua, Tokoh Masyarakat dan Guru, serta Pemimpin. Pemimpin formal yang dikenal dengan sebutan Klebun atau Petinggi (Kepala Desa) di wilayah Kecamatan Kwanyar telah membuktikan peranannya terhadap dukungan pelestarian sumberdaya perikanan laut secara tidak langsung. Hal ini telah dilakukan oleh sosok Klebun di Desa Batah Barat, Kecamatan Kwanyar. Tokoh Petinggi atau Klebun dalam hal ini Bapak Moh. Zainal Arifin (55 tahun) adalah sosok pemimpin formal yang disegani, beliau terlahir dalam keluarga terpandang dalam keluarga yang memiliki status sosial tinggi. Ayahnya dahulu sekitar 20 tahun sebelum beliau menjadi petinggi, Bahkan di antara para juragan besar ada yang masih kerabat yaitu Bapak H. Abd. Karim. Ayah dari Bapak Moh. Zainal Arifin dulu adalah seorang Petinggi/Klebun (sekitar tahun 1950-an) sebuah jabatan terpandang di pedesaan, kemudian digantikan oleh Bapak H. Abd. Rofik (masih kerabat/sepupu dari Bapak Moh. Zainal Arifin). Kediaman Keluarga Petinggi ini berada di tepi rel kerata api Kamal-Kwanyar-Pamekasan sekitar 100 m dengan bentuk rumah gedung bergaya paduan Belanda – Madura ditumbuhi pepohonan besar dengan halaman luas sebagai bukti status sosialnya di masa itu. Bapak Moh. Zainal Arifin, sejak awal persiapan pemilihan atau pencalonan Petinggi/Klebun atau Kepala Desa di Batah Barat, telah melakukan strategi untuk mencari dukungan masyarakat khususnya nelayan dengan harapan bahwa apabila yang bersangkutan dipilih sebagai Klebun atau Kepala Desa, maka para nelayan akan diberikan kemudahan

307 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim mendapatkan modal dengan tanpa ikatan untuk wajib menjual hasil tangkapannya kepadanya. Tujuan lain yang diharapkan adalah menanamkan pemahaman bahwa apabila seseorang pinjam modal kerja untuk melaut tidak wajib menjual hasil tangkapannya kepada tengkulak/ juragan tersebut. Sumber dana yang menjadi andalan yakni lahan tanah yang dimiliki dengan cara diagunkan/dijaminkan pada bank guna memperoleh kredit untuk disalurkan pada nelayan di wilayahnya. Strategi calon Klebun tersebut membuahkan hasil dan yang bersangkutan meraih suara terbanyak dalam pemilihan petinggi/klebun tahun 1988. Cara yang dilakukan oleh Bapak Moh. Zainal Arifin dengan memberi pinjaman tanpa ikatan jual-beli hasil tangkapan nelayan dipandang telah mengganggu kepentingan para juragan, kenyataan tersebut bukan tanpa risiko di antaranya mendapatkan tekanan dari para juragan/pengepul yang ada di kala itu termasuk di antaranya kerabatnya yang juga sebagai juragan/pengepul. Tokoh Klebun di Batah Barat telah menjadi ‘agen perubahan’ terhadap sistem yang telah ada yakni ikatan antara juragan ataupun todê dengan nelayan. Hasilnya pengguliran modal dari Klebun yang diperoleh dari hasil menjaminkan sertifikat rumahnya dan memperoleh dana senilai Rp25 juta pada tahun 1990 dan dipinjamkan pada sekitar 100 perahu atau sekitar 300 orang nelayan di wilayah Batah Barat tanpa adanya ikatan dalam penjualan hasil tangkapan kepada Klebun. Aktivitas ini telah menjadikan banyak nelayan mandiri artinya tidak terikat utang dengan juragan/pengepul, sehingga nelayan makin memiliki kemampuan tawar (bargaining position) yang lebih baik karena tidak wajib menjual hasil tangkapan pada pihak tertentu karena tiadanya ikatan utang. Realitas ini telah memberi kontribusi pada peningkatan ekonomi nelayan, sehingga nelayan hingga saat ini masih tetap melaut dan tetap mempertahankan alat tangkap tradisional sebagai salah satu alat tangkap yang paling banyak dipergunakan nelayan Kwanyar.

308 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

Petinggi Moh. Zainal Arifin, pada tahun 1997 selanjutnya memberi contoh sekaligus memberi dorongan melalui bukti nyata untuk mencari sumber nafkah alternatif bagi nelayan selain melaut yakni bercocok tanam. Lahan percaton/bengkok yang menjadi bagiannya sebagai Klebun, lahan percaton diolah untuk sawah dan berhasil, sehingga banyak yang mengikuti jejaknya dengan mengolah lahan tanah yang ketika itu banyak yang diterlantarkan atau tidak dioptimalkan penggunaannya. Peristiwa konflik nelayan yang melibatkan nelayan Kwanyar, Bangkalan dengan nelayan Kraton maupun Lekok, Pasuruan telah menambah daftar panjang keterpanggilan posisinya sebagai pemuka desa. Mengingat hal itulah Petinggi Moh. Zainal Arifin berupaya memediatori untuk menyelesaikan bentrok yang berulang kali terjadi dengan nelayan Kraton, Pasuruan. Hal menarik yang dapat diambil dari peran Petinggi dalam komunitas atau masyarakat nelayan, menunjukkan bahwa dua bentuk tindakan yakni (1) memberikan pinjaman modal kerja untuk melaut tanpa ikatan penjualan hasil tangkapan sebagaimana umumnya; (2) memberikan alternatif sumber pendapatan lain yaitu bertani padi, selain melaut yang ketika itu hasil tangkapan melaut mulai menurun di antaranya disebabkan oleh penggunaan alat tangkap yang mengganggu habitat/lingkungan laut, dan (3) menjadi inisiator memediatori upaya mendamaikan antar nelayan yang bentrok bersama beberapa tokoh masyarakat Kwanyar. Bapak Moh. Zainal Arifin yang memilki posisi menentukan sebagai salah seorang perangkat desa (Klebun/Petinggi) dan secara sosial memiliki status cukup tinggi di lingkungannya, baik karena yang bersangkutan keturunan keluarga pemuka masyarakat mupun posisinya sebagai Klebun telah mampu menguatkan dan menjaga keberlangsungan nilai-nilai tradisional dalam aktivitas melaut maupun tekanan pihak berkepentingan lainnya seperti: Juragan/tengkulak maupun kerabat dekatnya.

309 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

B. Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Milik Bersama

Berkaitan dengan timbulnya konflik antar nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut diberbagai daerah di Indonesia, maka pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl, tertanggal 1 Juli 1980 menyangkut pelarangan beroperasinya alat tangkap Trawl di wilayah perairan Indonesia Barat serta ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 503/Kpts/Um/7/1980 tentang langkah-langkah pelaksanaan penghapusan jaring trawl tahap pertama. Ketentuan dimaksud menyangkut pelarangan pengoperasian jaring trawl (pukat harimau). Adapun jaring trawl yakni jaring alat penangkap ikan yang pengoperasiannya diseret oleh kapal bermotor dan pengoperasiannya di lapisan dasar, (bottom trawl), maka ikan-ikan yang tertangkap kebanyakan jenis ikan dasar. Umumnya pukat harimau mempunyai ukuran mata jaring yang kecil sehingga ikan-ikan yang tertangkap juga termasuk ikan yang masih kecil dan belum sempat berkembang biak Akibatnya akan menurunkan populasi penangkapan selanjutnya dan pada akhirnya daerah penangkapan tersebut akan rusak dan tidak subur lagi. Kebijakan di atas diambil bukan hanya karena aspek teknis dan ekobiologi, namun sebagai jawaban terhadap tingginya persoalan konflik antara nelayan kecil/tradisional dengan pemiliktrawl (Sarjono, 1980). Adapun substansi dari Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980 meliputi: a. Pasal 1 ayat 2: Dalam pengertian Jaring trawl termasuk alat penangkapan ikan yang dipersamakan, yang perinciannya akan ditetapkan lebih lanjut. b. Pasal 5 ayat 1: Kapal-kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl yang terkena penghapusan/pengurangan dalam ketentuan Keputusan Presiden ini dapat terus melakukan kegiatan

310 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

penangkapan ikan setelah mengganti alat/perlengkapannya menjadi bukan jaring trawl. c. Pasal 8: Kapal perikanan yang melanggar ketentuan dalam Keputusan Presiden ini dan peraturan pelaksanaannya dianggap melakukan kegiatan penangkapan ikan tanpa izin, sehingga dapat dituntut di muka pengadilan sesuai dengan pasal 15 Ordonansi Perikanan Pantai Staatsblaad Nomor 144 Tahun 1927.

Kebijakan tersebut membawa implikasi terhadap masyarakat nelayan khususnya nelayan kecil (tradisional). Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya penggunaan alat tangkap ikan jenis cantrang, dogol, dan arad, baik dalam bentuk asli maupun yang telah mengalami modifikasi dalam cara pengoperasikan, sehingga alat tangkap yang berkantong menjadi sangat beragam, yang sebelumnya tidak masuk dalam klasifikasi trawl menjadi masuk dalam klasifikasitrawl. Mengingat adanya perkembangan teknologi dalam upaya memodifikasi alat penangkap ikan yang dilatarbelakangi oleh kebutuhan pemenuhan sehari-hari dengan tujuan optimalisasi dan efisiensi penangkapan ikan. Berdasarkan situasi tersebut serta menghindari kesalahpahaman dalam perbedaan alat tangkap ikan berbentuk kantong yang termasuk jaring trawl dan klasifikasi bukan jaring trawl, serta guna memberikan pedoman pelaksana di lapangan, maka Direktur Jenderal Perikanan menerbitkan Surat Keputusan Nomor IK.340/DJ.10106/97 pada tanggal 23 Oktober 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan SK. Menteri Pertanian Nomor 503/Kpts/Um/7/1980 tentang Pelarangan Pengoperasian Jaring Trawl (Pukat Harimau). Dalam Keputusan Dirjen Perikanan dimaksud memuat beberapa substansi di antaranya: Pertama, jaring trawl merupakan jenis jaring berbentuk kantong yang ditarik oleh sebuah kapal bermotor dan menggunakan alat pembuka mulut jaring yang disebut gawang (beam) atau sepasang alat pembuka (otter board).

311 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Kedua, Jaring Trawl dimaksud dilarang penggunaannya, karena sudah dihapus. Ketiga, alat penangkap ikan berbentuk kantong yang telah dirubah/dimodifikasi, sehingga bentuk, komponen serta ukuran Alat Penangkap Ikan berbentuk kantong tersebut menyerupai Jaring Trawl tetapi tidak termasuk klasifikasi jaringtrawl , antara lain: Cantrang, Arad, Otok, Garuk Kerang, dan sejenisnya, hanya boleh digunakan oleh nelayan usaha kecil, yakni nelayan yang memiliki sebuah kapal tidak bermotor atau bermotor luar atau bermotor dalam ukuran tidak lebih dari 5 (lima) Gross Ton dan atau mesinnya berkekuatan tidak lebih dari 15 (lima belas) Daya Kuda (DK), kecuali Lampara Dasar dapat menggunakan kapal berukuran panjang tidak lebih dari 12 meter dan atau mesin berkekuatan tidak lebih dari 36 Daya Kuda (DK) dan ukuran panjang bentangan sayap tidak kurang dari 60 meter sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 769/Kpts/HK.210/10/1988. Dalam periode Orde Baru pengelolaan sumberdaya laut tidak diatur dalam ketentuan perundang-undangan tersendiri. Dengan kata lain bahwa daerah tidak diberikan kewenangan otonom untuk mengelola wilayah laut atau perairan. Ketentuan perundangan yang ada secara spesifik hanya mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya laut sebagaimana dalam Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Selanjutnya dikeluarkan peraturan pelaksanaan seperti Keputusan Menteri Pertanian, Surat Keputusan Dirjen Perikanan. Dalam hal tertentu yang sifatnya lebih teknis dan spesifik kepala daerah mengeluarkan keputusan tersendiri. Pengaturan terhadap pengelolaan wilayah laut secara eksplisit tidak diatur dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Namun ketentuan tersebut hanya mengatur tentang pembagian wilayah adminsitratif (daratan). Demikian halnya dalam ketentuan-ketentuan hukum lainnya, seperti: Undang-Undang No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, yang disahkan tanggal 19 Juni 1985 meliputi 11 Bab dan 35 pasal. Pada prinsipnya menitikberatkan pada 2 (dua) hal yakni aspek pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan tugas penguasaan negara atas sumberdaya ikan, dan aspek

312 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut pemanfaatan yang mencakup kegiatan ‘penangkapan ikan’ dan ‘budidaya’ yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam ketentuan tersebut menunjukkan bahwa ruang wilayah perairan tidak diatur secara eksplisit dan hanya memuat pengaturan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan laut serta kegiatan penangkapan ikan. Sedangkan dalam ketentuan pelaksanaan yang ada hanya sebatas mengatur hal-hal yang bersifat teknis untuk penangkapan bagi sumberdaya perikanan laut. Dalam pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut secara berkelanjutan pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan seperti: Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607/1976 tentang Jalur- jalur Penangkapan Ikan. Di beberapa daerah telah di bentuk lembaga pengawasan yakni Kamladu (Keamanan Laut Terpadu) seperti di Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan maupun Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan dan di Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang. Namun, realitas di lapangan masih sering terjadi konflik antar nelayan. Dalam pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut secara berkelanjutan pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan seperti: Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607/1976 tentang jalur-jalur penangkapan ikan. Selanjutnya, pemerintah daerah provinsi Jawa Timur dalam upaya mengatur aktivitas nelayan agar tidak muncul konflik pada wilayah perairan yang sama dapat dicermati melalui beberapa peraturan yang diterbitkan untuk menyelesaikan hal tersebut semasa Orde Baru maupun pada era Otonomi Daerah.

1. Pengaturan Nelayan Andon di Jawa Timur Pada era Orde Baru, Pemerintah provinsi Jawa Timur melakukan tindakan guna mencegah dan menyelesaikan persoalan konflik antar nelayan di Selat Madura. Adapun bentuk tindakan yang dilakukan yaitu mengeluarkan Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 9 Tahun 1983 tentang Pengaturan Nelayan Andon di Jawa Timur dengan tujuan untuk mengurangi tingkat ketegangan sosial di antara para nelayan.

313 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Gubernur Jawa Timur telah menetapkan langkah-langkah yang secara mendasar bertujuan untuk menjamin kelestarian sumberdaya hayati serta guna mengatur kegiatan pengkapan ikan oleh nelayan yang berpindah-pindah tempat (nelayan andon) pada musim ikan pada wilayah tertentu di perairan Jawa Timur, dalam hal ini termasuk pemasaran hasil tangkapan dengan mengeluarkan ketentuan yang dipandang perlu untuk mengadakan pengaturan bagi nelayan andon tersebut baik menyangkut wilayah operasi penangkapan, pemasaran hasil maupun pelunasan kredit. Ketentuan tersebut diatur dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 9 Tahun 1983 yang dikeluarkan pada tanggal 13 Januari 1983, dan sampai saat ini masih belum mengalami perubahan sehingga setiap nelayan yang melakukan penangkapan ikan di tempat lain harus mengikuti ketentuan tersebut. Dalam ketentuan umum disebutkan bahwa Nelayan Andon ialah nelayan yang berpindah-pindah tempat, baik dalam kegiatan operasi penangkapan maupun pemasaran hasil tangkapan pada wilayah dan waktu-waktu tertentu (BAB I Pasal 1 butir 5). Selanjutnya ditegaskan bahwa semua nelayan wajib untuk: Mengatur kegiatan penangkapan ikan pada musim dan waktu-waktu tertentu dengan menjaga kelestarian sumberdaya perikanan serta mengutamakan usaha penangkapan ikan pada Daerah dan Waktu yang ditentukan (BAB II Pasal 2 ayat (1) butir a). Pada bagian lain ditegaskan bahwa bagi nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan harus melengkapi diri dan dapat menunjukkan: Surat Pernyataan kesanggupan/ketaatan terhadap ketentuan yang berlaku di tempat nelayan melakukan kegiatan operasi. (BAB II Pasal 3 ayat (1) butir f ). Dalam ketentuan dimaksud juga ditegaskan bahwa Nelayan Andon dilarang: menggunakan alat tangkap yang karena sifatnya dapat mengganggu/ merusak kelestarian sumber perairan, serta melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan nelayan setempat (BAB II Pasal 5 ayat (1) butir a). Selanjutnya keputusan tersebut ditindaklanjuti dengan Instruksi Kepala Dinas Perikanan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor: 06/Inst/I/1983 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengaturan Nelayan Andon di Jawa Timur.

314 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

Dalam upaya mengatur aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di perairan laut serta menghindari terjadinya konflik nelayan serta ketegangan sosial di antara para nelayan di wilayah provinsi Jawa Timur pada masa pemberlakuan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasar perundang-undangan tersebut diterbitkan ketentuan teknis sebagaimana dalam tabel 6.2 berikut:

Tabel 6.2 Ketentuan Daerah Provinsi Jawa Timur terkait Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut pada Era Orde Baru

No Peraturan Substansi

1 Surat Keputusan Gubernur KDH Untuk menjamin kelestarian Tingkat I JawaTimur Nomor 9 sumberdaya hayati melalui Tahun 1983 tentang Pengaturan pengaturan wilayah, pemasaran Nelayan Andon di perairan Jawa dan pelunasan kredit Timur 2 Instruksi Kepala Dinas Perikanan Pengaturan Operasional Daerah Provinsi Jawa Timur penangkapan ikan, modernisasi, Nomor 06/Inst/I/1983 tentang jaminan pemasaran dan Petunjuk Pelaksanaan Pengaturan peningkatan peran KUD Mina Nelayan Andon di perairan Jawa Timur Sumber: Diolah oleh Peneliti

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa pemerintah daerah provinsi Jawa Timur melakukan upaya antisipasi guna mencegah munculnya bentrok nelayan antar kabupaten/kota di wilayah perairan Jawa Timur dengan menerbitkan Surat Keputusan Gubernur serta ditindaklanjuti dengan ketentuan teknisnya melalui Instruksi Kepala Dinas Perikanan Daerah Provinsi Dati I Jawa Timur tahun 1983. Ketentuan tersebut mengatur aspek teknis nelayan ketika melakukan aktivitas melaut di daerah lain dalam wilayah perairan Jawa Timur. Dalam upaya mengendalikan munculnya konflik horizontal antar nelayan diatur melalui Instruksi Kepala Dinas Perikanan, sehingga akan terwujud pemahaman di kalangan nelayan akan pentingnya menjaga

315 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim kelestarian sumberdaya perikanan laut dan ekosistemnya dengan cara mengatur aktivitas penangkapan sesuai musim dan waktu. Nelayan Andon ialah nelayan yang berpindah-pindah tempat baik dalam kegiatan operasi penangkapan maupun pemasaran hasil tangkapan pada wilayah dan waktu-waktu tertentu. Untuk itu dilakukan pendekatan melalui sosialisasi di daerah nelayan oleh kepala desa setempat serta KUD Mina. Selanjutnya setiap nelayan Andon wajib untuk mengatur kegiatan penangkapan ikan pada musim dan waktu- waktu tertentu dengan menjaga kelestarian sumber usaha penangkapan ikan pada daerah dan waktu yang ditentukan (Pasal 2 ayat 1 butir a); nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan harus melengkapi diri dan dapat menunjukkan: Surat Keterangan dari kepala desa dan kepala cabang dinas perikanan daerah tempat asal nelayan yang bersangkutan; serta hal yang substansial yaitu surat pernyataan kesanggupan/ketaatan terhadap ketentuan yang berlaku di tempat nelayan melakukan kegiatan operasi (Pasal 3 ayat 1 butir f ). Pada bagian lain ditetapkan bahwa nelayan Andon dilarang: menggunakan alat tangkap yang karena sifatnya dapat mengganggu/ merusak kelestarian sumber perairan, serta melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan nelayan setempat; menjual hasil tangkapan ikan di tengah laut; menggunakan alat tangkap purse seine untuk mengadakan penangkapan ikan di perairan Selat Bali (Pasal 5 ayat 1 a, b, c). Dalam petunjuk pelaksanaan tersebut juga diatur ketentuan bagi nelayan Andon agar melengkapi diri dengan surat keterangan dari: kepala desa asal nelayan yang memuat keterangan asal nelayan, daerah tujuan Andon, yang bersangkutan berkelakuan baik, serta surat keterangan dari Dinas Perikanan Daerah memuat keterangan di antaranya: sanggup mengikuti petunjuk/ketentuan peraturan yang berlaku, tertib dalam penangkapan, sanggup menjual ikan di TPI.

316 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

2. Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya ikan (FKPPS) di Laut Provinsi Jawa Timur Hadirnya otonomi daerah sebagaimana ditetapkan dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan diperbaiki menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, membawa perubahan dalam hal kewenangan untuk mengelola sumberdaya perikanan laut, di mana pada era Orde Baru hal tersebut merupakan kewenangan pemerintah pusat, sedangkan pada era Otonomi Daerah kewenangan tersebut menjadi bagian dari kewenangan daerah otonom untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Jika dicermati dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Pasal 3 menegaskan bahwa Wilayah provinsi terdiri atas wilayah darat, dan wilayah laut sejauh 11 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Kewenangan Daerah provinsi terhadap wilayah laut; sebagaimana dalam Pasal 10 ayat (2) meliputi: E Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; (yaitu 12 mil); F Pengaturan kepentingan administratif; G Pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah dan H Bantuan penegakan keamanan kedulatan negara.

Dalam hal penangkapan ikan yang dilakukan secara tradisional, seperti pada penjelasan/ayat tersebut, tidak dibatasi dengan wilayah laut. Dari hal itu, mobilitas nelayan yang cukup tinggi karena mengejar/ memburu ikan; mengikuti migrasi ikan atau mencari daerah penangkapan (fishing ground) kerawanan akan timbul apabila mereka melampaui “kewenangan” daerah lain. Pemicu kerawanan menjadi lebih besar jika nelayan pendatang (nelayan Andon) menggunakan alat penangkap ikan yang lebih produktif dibandingkan nelayan asli/lokal.

317 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Selanjutnya pada ayat (3) ditetapkan bahwa: “Kewenangan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah provinsi.”

Hal di atas diartikan bahwa kewenangan tersebut adalah 4 mil laut. Daerah Kabupaten/Kota dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan di laut akan lebih mudah membuat kebijakan setempat karena lebih memahami situasi dan kondisi serta tingkat sosial budaya masyarakatnya. Selanjutnya bentuk pengelolaan lain dilakukan dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan atau pengaturan kembali dan ketentuan sebelumnya yang diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607/Kpts/Um/9/1976 jo 608/ Kpts/Um/9/1976 dan Nomor 300/Kpts/Um/5/1978. Keputusan Menteri tahun 1999 di atas terdiri atas 14 Pasal yang ditetapkan pada tanggal 5 April 1999. Keputusan Menteri ini merupakan tindak lanjut dari Pasal 4 Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 yang memuat tentang pengaturan jalur-jalur penangkapan ikan. Ketentuan yang sama sebelumnya diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan. Substansi yang dimuat dalam ketentuan tersebut yakni Pembagian Jalur-jalur Penangkapan Ikan, yang dibagi dalam 3 (tiga) jalur yakni: Jalur Penangkapan Ikan I, II, dan III. Namun meski dalam jalur tersebut masih dimungkinkan terdapat wilayah tradisional penangkapan ikan. Ketentuan inilah yang sering menimbulkan konflik antar nelayan. Dalam ketentuan di atas (PP No. 25 Tahun 2000), secara substansi yang terkait dengan konteks ini yakni menyangkut Pasal 3 ayat (5) tentang Kewenangan Provinsi di Bidang Kelautan tersurat sebagai berikut:

318 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

(3) konservasi dan pengelolaan plasma nutfah spesifik lokasi, serta suaka perikanan di wilayah laut kewenangan Provinsi. (4) pelayanan izin usaha pembudidayaan dan penangkapan ikan pada perairan di wilayah laut kewenangan provinsi; dan (4) pangawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan provinsi (Tribawono,2002:185).

Mencermati kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah guna memberikan ruang partisipasi pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan wilayah laut melalui berbagai peraturan di antaranya dalam konteks otonomi daerah. Pada tahap awal, implementasi desentralisasi banyak menimbulkan kerancuan sehubungan dengan ketidakjelasan interpretasi Undang-Undang itu sendiri. Ketidakjelasan tersebut menimbulkan banyak kontroversi atas hak pemilikan sumberdaya perikanan laut, sehingga sering menimbulkan persepsi bahwa desentralisasi dimaknai sebagai hak untuk melarang pihak lain atas akses sumberdaya perikanan laut di wilayah tertentu. Persoalan lain juga mulai mengemuka manakala daerah-daerah yang luas daratannya lebih sempit juga hanya memiliki wewenang pada wilayah lautnya sama dengan daerah yang memiliki luas daratan lebih luas, sehingga terkesan tidak proporsional bagi daerah yang lebih banyak menggantungkan sumberdaya laut sebagai sumber nafkah. Menurut Tuhepaly (2006:8) bahwa pemerintah pusat memukul rata semua provinsi dengan hanya memegang satu karakteristik dalam memberikan kewenangan mengelola wilayah laut. Konflik horizontal terhadap masalah demikian sudah dan akan sering terjadi. Hal ini disebabkan ketidakjelasan mekanisme institusional yang mengatur kewenangan sumberdaya serta masih lemahnya penegakan hukum utamanya yang menyangkut sumberdaya perikanan laut. Setidaknya dapat dipahami bahwa paradigma baru dalam sistem pemerintahan adalah dari sentralisasi ke desentralisasi (otoda). Aspek positif diterapkannya desentralisasi di bidang kelautan agar demokratisasi bisa tercipta. Desentralisasi akan semakin mendekatkan jarak sosial antara pihak pengambil keputusan dengan nelayan, sehingga

319 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim diharapkan keputusan yang diambil semakin dekat dengan realitas yang sebenarnya, serta nelayan di daerah bisa langsung menyalurkan aspirasinya baik memberikan masukan maupun merespons suatu kebijakan (Satria, 2003:305). Di masa lampau, bahwa pemanfaatan sumberdaya hayati milik bersama belum membawa dampak yang berarti. Namun sejalan dengan semakin kompleksnya permasalahan akibat bertambahnya penduduk dan tuntutan kebutuhan hidup serta penggunaan teknologi modern hingga di tingkat desa termasuk pesisir membawa implikasi terhadap makna sumberdaya perikanan laut. Hasil kajian menunjukkan bahwa masyarakat memiliki anggapan bahwa eksistensi sumberdaya perikanan laut tidak berbeda dengan alat produksi yang lain, sehingga penguasaan terhadap sumberdaya perikanan laut merupakan langkah yang harus dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan sosial. Berbagai alasan lain juga dipakai untuk melakukan klaim atas sumberdaya itu (Kusnadi, 2003:122). Kewenangan mengelola wilayah laut telah diatur sejak diterapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Namun hingga saat ini masih menyisakan ruang munculnya konflik. Selanjutnya dicermati secara khusus dalam hal otoritas pengelolaan laut sebagaimana dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah hanya diberi otoritas oleh pemerintah pusat untuk mengelola laut. Dari garis pantai daerah terluar hingga 12 mil. Keluar dari 12 mil merupakan kewenangan pemerintah pusat yang dikenal sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Otoritas terbatas yang dimiliki daerah telah menyebabkan maraknya pencurian ikan (illegal fishing), mengingat perangkat daerah tidak memiliki otoritas untuk terlibat dalam mengawasi zona “terlarang” tersebut. Hal ini diperkuat realitas bahwa fungsi kontrol dan pengawasan dari aparat penegak hukum masih terbatas, sehingga tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui sektor perikanan masih sulit dijangkau. Wilayah perairan Indonesia (Laut Teritorial) sejauh 12 mil dari garis pangkal ke arah laut lepas memuat di dalamnya beragam aktivitas

320 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut di antaranya pemanfaatan wilayah laut oleh komunitas sosial tertentu secara turun temurun dengan jalan mengatur tingkat eksploitasi guna melindungi dari over exploitation, akan tetapi juga mengacu pada teknik- teknik penangkapan, peralatan yang digunakan (teknologi) atau bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan (Ary Wahyono, 2000: 10). Jadi keberadaan sistem pengelolaan wilayah laut secara tradisional oleh komunitas sosial masyarakat tertentu setidaknya mengatur tentang siapa yang menguasai wilayah laut, jenis sumberdayanya, teknologi yang dipakai dan tingkat eksploitasinya serta bagaimana menguasainya dan dengan cara apa. Pemahaman terhadap aspek wilayah dalam suatu pengaturan hak wilayah laut tidak hanya terbatas pada pembatasan luas wilayah semata akan tetapi juga eksklusivitas wilayah. Eksklusivitas ini dapat berlaku juga untuk sumberdaya laut, teknologi yang digunakan, tingkat eksploitasi maupun batasan-batasan yang bersifat temporal. Sementara mengenai unit pemegang hak, di tempat berbeda menunjukkan bahwa unit pemegang hak (right-holding unit) beragam, mulai dari sifatnya yang individual, kelompok kekerabatan, komunitas desa sampai negara. Dalam otonomi daerah, bahwa jati diri kepribadian pemerintah daerah dengan segala dimensinya semakin dipertegas, utamanya bagi pemerintah kota/kabupaten. Demikian tegasnya, sehingga seolah-olah berdiri sendiri sebagai “miniatur” negara, keadaan ini semakin memicu persaingan. Tetapi sebagaimana umumnya persaingan, bisa juga terjadi penyimpangan yang kemudian mendatangkan konflik antara pihak-pihak yang terlibat dalam kompetisi. Menurut World Resources Institute, Desentralisasi mengandung makna seperangkat program dan kebijakan yang dirancang untuk mewujudkan keseimbangan atas kewenangan (otoritas) dan tanggung jawab terhadap pengelolaan sumberdaya alam (Fauzi, 2001). Pada sumberdaya alam yang sifatnya tidak lintas wilayah, hal tersebut tidak banyak menimbulkan masalah, sebaliknya pada sumberdaya yang sifatnya lintas wilayah, seperti perikanan dan kelautan, hal tersebut perlu dicermati mengingat kemungkinan akan timbulnya konflik sangat terbuka. Dalam

321 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim konteks inilah muncul persoalan batas wilayah laut antar daerah, maupun perbedaan penggunaan alat tangkap, terlebih pada wilayah-wilayah tertentu yang telah berkembang secara turun-temurun melalui sistem pengelolaan wilayah laut yang dikelola oleh komunitas lokal. Dalam upaya mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan, maka dikeluarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 994/Kpts/KP.150/9/99 tentang Pembentukan Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS) di Laut. Selanjutnya mengingat sifat dari sumberdaya ikan yang senantiasa bergerak ti dak mengenal batas perairan atau batas provinsi maupun kabupaten/kota sehingga terjadi pemusatan penangkapan ikan pada musim ikan yang akan berakibat negatif, maka dalam upaya pengelolaan sumberdaya ikan di laut secara optimal dan berkelanjutan dan berhasil guna serta tetap terjaga kelestariannya dalam era otonomi daerah maka diperlukan koordinasi agar tidak menimbulkan konflik nelayan. Forum ini (FKPPS) secara nasional bertugas membantu menteri dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan di laut. Adapun wilayah FKPPS terdiri dari 9 FKPPS yang didasarkan pada daerah penangkapan ikan (Fishing Ground) yaitu: a. FKPPS Wilayah I meliputi: Perairan Selat Malaka; b. FKPPS Wilayah II meliputi: Perairan Laut Cina Selatan; c. FKPPS Wilayah III meliputi: Perairan Laut Utara Jawa dan Selat Sunda; d. FKPPS Wilayah IV meliputi: Perairan Selat Makasar dan Laut Flores; e. FKPPS Wilayah V meliputi: Perairan Laut Banda; f. FKPPS Wilayah VI meliputi: Perairan Laut Arafuru; g. FKPPS Wilayah VII meliputi: Perairan Laut Maluku dan Teluk Tomini; h. FKPPS Wilayah VIII meliputi: Perairan Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik; i. FKPPS Wilayah IX meliputi: Perairan Samudera Hindia, Selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

322 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

Mencermati FKPPS di atas menunjukkan bahwa wilayah perairan yang harus dikoordinasikan dalam hal pengelolaannya untuk provinsi Jawa Timur masuk dalam kategori 2 (dua) Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya ikan yakni FKPPS Wilayah III dan IX. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dikeluarkannya Undang-Undang tentang Otonomi daerah, maka sejalan dengan itulah ditetapkanlah ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya perikanan laut dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Perikanan ini merupakan pengganti atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1985 yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan lingkungan strategis baru yakni globalisasi dan otonomi daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang dimaksud dengan Penegelolaan Perikanan (termasuk perikanan laut) adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Hal substansial yang termuat dalam ketentuan dimaksud di antaranya amanat tentang pengelolaan sumberdaya perikanan regional dan internasional (Pasal 10 ayat 2) serta kearifan lokal pada Pasal 6 yang menegaskan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Namun beberapa pasal yang ada masih menyisakan ruang ketidakpastian, sebagaimana dalam Pasal 1 butir 11, disebutkan bahwa nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengertian ini tidak diberikan penjelasan kategori atau ukuran kecil dari makna nelayan kecil, sehingga apakah nelayan yang kapal ikannya bermesin dalam (inboard) berukuran 5 GT ke bawah atau perahu bercadik

323 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim yang pengoperasiannya hanya memanfaatkan tenaga angin untuk berlayar. Terkait dengan hal tersebut juga dalam Pasal 61 butir 1, disebutkan bahwa Nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Jika dicermati bahwa persoalan konflik pada komunitas nelayan dalam berbagai kasus lebih diakibatkan adanya perbedaan penggunaan teknologi penangkapan dan perebutan sumberdaya perikanan serta perbedaan memahami kewenangan terhadap wilayah laut, sedangkan dalam konteks perundang-undangan lebih mengantisipasi dalam hal potensi sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti : pertambangan dan gas bumi, namun terkait dengan wilayah laut tidak berlaku bagi nelayan kecil (Pasal 18 ayat 6). Keberadaan perundangan tersebut menjadi landasan hukum dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Pada dasarnya bahwa sumberdaya ikan tidak dapat dibatasi pola pergerakannya di wilayah laut sehingga pergerakan sumberdaya ikan tidak mengenal batas perairan sehingga dimungkinkan terjadi pemusatan ikan pada musim tertentu. Kondisi tersebut akan memunculkan potensi negatif dalam hal penangkapan. Selanjutnya guna menjaga kelestarian sumberdaya ikan di laut secara berkelanjutan serta menghindari timbulnya konflik nelayan maka Menteri Pertanian mengeluarkan keputusan yaitu Kepmentan Nomor 994/Kpts/KP.150/9/99 tentang Pembentukan Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya ikan (FKPPS) di Laut. Dalam perkembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Jawa Timur dalam hal ini di wilayah perairan Selat Madura menunjukkan intensitas yang tinggi baik dari aspek tingkat pemanfaatan maupun pihak pemanfaat atas sumberdaya tersebut. Kondisi tersebut telah menimbulkan konflik antar nelayan sejak era Orde Baru hingga Otonomi Daerah. Berdasarkan hal itu, selanjutnya pada era Otonomi Daerah terkait dengan kewenangan daerah otonom (kabupaten dan kota) untuk ikut serta dalam

324 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut mengelola sumberdaya perikanan laut sebagaimana dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 (Pasal 10), maka daerah menjadi mempunyai ruang kewenangan terhadap pengelolaan sumberdaya di wilayah laut. Sejalan akan hal tersebut, pemerintah provinsi yang juga memiliki wilayah laut berdasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada Pasal 3, maka guna menjaga kelestarian sumberdaya di wilayah laut serta menghindari dan menyelesaikan persoalan konflik antar nelayan. Gubernur Jawa Timur mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor: 188/234/SK/014/2000 tentang Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS) di Laut sebagaimana dalam tabel 6.3 berikut:

Tabel 6.3 Ketentuan Daerah Provinsi Jawa Timur terkait Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut pada Era Otonomi Daerah

No Peraturan Substansi

1 Surat Keputusan Gubernur Untuk optimalisasi daya guna Jawa Timur Nomor: 188/234/ dan hasil guna thd. Pemanfaatan SK/014/2000 tentang Forum sumberdaya perikanan laut agar Koordinasi Pengelolaan tidak menimbulkan konflik Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS) di Laut Jawa Timur

2 Surat Keputusan Gubernur Untuk mengelola dan Jawa Timur Nomor: 188/136/ memanfaatakan sumberdaya KPTS/013/2003 tentang ikan serta mencegah terjadinya Tim Pembina dan Pengawas konflik antar nelayan di Jawa thd. Pengelolaan Sumberdaya Timur Perikanan dan Kelautan Wilayah Kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur Sumber: Diolah oleh Peneliti

325 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Namun hadirnya ketentuan dimaksud dalam penerapannya belum mampu meredam terhadap munculnya konflik antar nelayan di Selat Madura. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya serangkaian konflik antar nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut sepanjang era otonomi daerah. Konflik nelayan yang terjadi pasca dikeluarkannya Keputusan Gubernur tersebut justru menunjukkan bentuk konflik yang semakin anarkis dengan bentuk konflik yang justru membawa korban jiwa sebanyak 8 orang dan 8 orang nelayan luka-luka sepanjang tahun 2000 hingga tahun 2004 dari 12 kali konflik nelayan serta kerugian 4 perahu beserta mesin dan alat tangkap dibakar, di samping itu 14 perahu berserta mesin dan alat tangkap disandera dengan uang tebusan.

3. Dinamika Kebijakan Pengelolaan Konflik Nelayan di Jawa Timur Sumberdaya perikanan laut sebagai kekayaan ekonomi potensial yang harus dikelola dan didayagunakan menjadi kekuatan ekonomi riil bagi kemaslahatan rakyat. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap pemanfaatan sumberdaya ikan tidak saja berorientasi pada peningkatan produksi semata, namun harus senantiasa ditujukan untuk kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan dapat berkelanjutan. Sementara itu, nelayan dalam melakukan aktivitasnya sering terlibat konflik antar nelayan sehingga mengganggu kelancaran aktivitas penangkapan ikan di laut. Dalam persoalan konflik nelayan antar daerah yang telah terjadi sejak pemerintahan Orde Baru hingga diterapkannya kebijakan Otonomi Daerah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Pemerintah provinsi Jawa Timur sebagaimana pada tabel 6.4 berikut:

326 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

Tabel 6.4 Dinamika Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut Orde Baru – Otonomi Daerah

No Peraturan Substansi Peraturan Substansi Pem. Pusat Pemerintah Provinsi

1 Kepts. Untuk Surat Keputusan Untuk mengurangi Presiden menghindari Gubernur KDH tingkat ketegangan Nomor : munculnya Tingkat I JawaTimur sosial antar 39 Tahun konflik Nomor: 9 Tahun nelayan, menjamin 1980 ttg nelayan 1983 tentang kelestarian Penghapusan Pengaturan Nelayan sumberdaya hayati, Jaring Trawl Andon di perairan termasuk pemasaran Jawa Timur dan pelunasan kredit 2 SK Mentan Pengaturan Surat Keputusan Untuk optimalisasi Nomor : wilayah/jalur Gubernur Jawa Timur daya guna dan 392 /Kpts/ penangkapan Nomor : 188/234/ hasil guna terhadap IK120/4/99 berdasar SK/014/2000 tentang Pemanfaatan sumber tentang Jenis Alat Forum Koordinasi daya perikanan Jalur-jalur Tangkap dan Pengelolaan laut agar tidak Penangkapan ukuran kapal Pemanfaatan menimbulkan Ikan. ikan Sumber daya Ikan konflik (FKPPS) di Laut Jawa Timur

3 Surat Keputusan Untuk mengelola Gubernur Jawa Timur dan memanfaatakan Nomor : 188/136/ sumber daya ikan KPTS/013/2003 serta mencegah tentang Tim terjadinya konflik Pembina dan antar nelayan di Pengawas terhadap Jawa Timur Pengelolaan Sumber daya Perikanan dan Kelautan Wilayah Kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur Sumber: Diolah oleh Peneliti

327 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Di samping upaya sosialisasi ketentuan tersebut, pemerintah kabupaten bekerja sama dengan isntansi berwenang membentuk Pos Keamanan Laut Terpadu (Pos Kamladu) pada tahun 1995 di Pasuruan, Sampang (Camplong) pada tahun 2000 dan Bangkalan (Kwanyar) tahun 2001. Pos Kamladu tersebut dalam melakukan aktivitas operasi pengamanan selain melibatkan Polisi Perairan (Polisi Airud), TNI Angkatan Laut, juga melibatkan unsur Dinas Perikanan serta Kesbanglinmas Kabupaten setempat. Selanjutnya terkait dengan upaya pemerintah daerah dimaksud, menunjuk kan bahwa kebijakan yang telah dilakukan selama ini masih sebatas pada langkah pencegahan konflik nelayan melalui sosialisasi peraturan pemerintah, operasi terhadap penggunaan alat tangkap yang dilarang, serta upaya penyelesaian terhadap akibat konflik dilakukan dalam bentuk pemberian santunan terhadap korban dan keluarga korban tewas. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah guna menyelesaikan konflik nelayan juga dilakukan melalui pendekatan kultural di tahun 2001, langkah tersebut diambil dengan pertimbangan merujuk pada kasus konflik yang pernah terjadi di Kabupaten Bangkalan diupayakan penyelesaian melalui islah mengingat pihak yang terlibat konflik secara etnik sama yakni etnik Madura. Demikian halnya dengan konflik nelayan yang terjadi di era Otonomi Daerah hingga membawa korban jiwa di tahun 2000, maka ditempuh upaya islah di Masjid Ampel Surabaya pada bulan September 2001. Islah diikuti oleh nelayan yang terlibat konflik dengan disaksikan para tokoh masyarakat, ulama, serta jajaran pimpinan Pemerintahan Kabupaten dan provinsi Jawa Timur. Dalam perkembangannya pada tahun 2004 kembali ‘pecah’ konflik nelayan hingga mengakibatkan nelayan tewas. Sejalan dengan hadirnya kebijakan otonomi daerah sejak tahun 1999, di mana termasuk daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; Pasal 10 yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 32

328 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

Tahun 2004; Pasal 18. Namun dalam implementasinya pemerintah kabupaten, di mana nelayannya terlibat konflik belum ada kebijakan yang secara khusus ditetapkan guna menghindari terjadinya konflik nelayan. Adapun bentuk program yang telah dilakukan dengan tujuan agar nelayan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan di antaranya pemberian bantuan (Kabupaten Sampang) pada nelayan berupa alat tangkap, namun upaya tersebut masih bersifat insidental. Sementara itu, pasca terjadinya konflik nelayan beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten (Pasuruan) seperti pemberian ganti rugi atas perahu dan mesin yang dibakar telah menjadi ‘preseden’ buruk bagi nelayan setempat. Nelayan ‘merasa’ bila terjadi konflik kembali yang membawa risiko sebagaimana kasus 1998, maka mereka akan memperoleh penggantian atas perahu dan mesin yang dibakar. Kebijakan pemerintah kabupaten yang bersifat mendasar terkait dengan sumber konflik nelayan yaitu penindakan yang tegas terhadap pelanggaran terhadap penggunaan alat tangkap serta wilayah operasi bagi kapal ikan dengan alat tangkap tertentu sesuai pembagian jalur-jalur penangkapan, terkendala oleh keterbatasan personil, armada kapal patroli, beaya operasi pengamanan terkait luasnya perairan dan banyaknya kapal yang harus diawasi, menyebabkan kondisi tersebut terkesan ada kebijakan ‘pembiaran’ terhadap persoalan yang sehurusnya pemerintah melakukan tindakan. Dengan demikian bahwa konflik nelayan yang terjadi di era Otonomi Daerah belum membawa implikasi bagi pemerintah kabupaten (Sampang dan Pasuruan) untuk membuat kebijakan terkait dengan pengelolaan konflik nelayan di wilayah perairannya. Namun tindakan yang dilakukan nelayan Bangkalan dengan tetap memanfaatkan sumberdaya perikanan laut seperti yang selama ini diterapkan (alat tangkap tradisional) menunjukkan bahwa wilayah perairan Bangkalan menjadi wilayah ‘controlled access’ oleh nelayan setempat. Adapun tindakan yang dilakukan oleh nelayan Sampang dan Pasuruan didasari atas semakin langkanya potensi perikanan laut di perairannya, sehingga dengan cara pengelolaan

329 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

‘open access’ diharapkan mereka dapat pula mengakses potensi sumberdaya yang sama di wilayah perairan lain yang relatif masih terjaga, seperti di perairan Bangkalan. Fakta empiris menunjukkan bahwa nelayan Sampang dan Pasuruan dengan kondisi persaingan antar nelayan cukup tinggi di wilayahnya dalam memperebutkan sumberdaya perikanan laut pada akhirnya ‘rentan’ terhadap timbulnya konflik.

C. Penyelesaian Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Milik Bersama (Common- Pool Resource/CPR)

Sumber daya Perikanan Laut sebagai sumber daya milik bersama (Common Resource), memerlukan pendekatan tersendiri yang jauh berbeda dengan sumber daya alam lainnya seperti: air, hutan dan sebagainya. Konflik yang muncul sebagai akibat pemanfaatan berlebih (over exploitation), sehingga merusakkan sumberdaya tersebut bahkan dapat menghancurkan sumberdaya tersebut dalam jangka panjang. Dalam hala ini, tentunya memerlukan pertimbangan yang bijaksana dengan mengakomodasikan sebanyak mungkin faktor yang memiliki potensi ikut berkontribusi terhadap kerusakan sumberdaya. Sumber daya milik bersama (common-pool resource), yang tidak dibatasi pemanfatannya akan menjadi terbuka untuk siapa pun (open access) cenderung menjadi tidak terkendali dalam pemanfaatannya, sehingga keberlangsungan sumberdaya tersebut semakin cepat rusak ataupun punah. Untuk itulah diperlukan pemetaan pemanfaat sumberdaya secara mendasar guna dicarikan solusinya secara komprehensif dan mendasar. Sumber daya perikanan laut sebagai sumberdaya milik bersama (common property), dalam pemanfaatannya telah menimbulkan konflik nelayan yang melibatkan antar pihak terhadap pemanfaat sumberdaya yang sama, serta adanya kecenderungan di masa datang berpotensi muncul

330 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut persoalan baru tidak hanya terbatas pada aspek pemanfaatan sumberdaya perikanan lautnya sebagai obyek konflik, namun juga pemanfaatan atas ‘pool’ atau kolam (Selat Madura) bagi beragam kepentingan. Berdasar atas pertimbangan itulah, pemerintah selaku otoritas pemegang kewenangan atas wilayah (darat, laut dan udara) diperlukan untuk dapat membuat regulasi yang secara substansi dapat memadukan beragam kepentingan bagi semua pihak baik akibat tuntutan dalam jangka pendek maupun kepentingan jangka panjang dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi, sosial-politik, lingkungan dan pertahanan.

1. Perspektif Masyarakat: Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Milik Bersama (Common-Pool Resource/CPR) Dalam menghadapi konflik nelayan peran negara sangat dibutuhkan guna meredam konflik agar tidak meluas. Adapun langkah tindakan yang ditempuh negara selaku pemegang otoritas sapanjang waktu selama konflik sebagaimana data konflik pada tabel 6.5 berikut:

Tabel 6.5 Pihak Konflik, Sumber dan Solusi terhadap Konflik Nelayan Era Orde Baru Tahun 1993-1998

No Waktu dan Pihak Sumber Konflik Solusi Konflik

1 1993: Kec. Kwanyar Perebutan Sumberda- Penyuluhan oleh Bangkalan vs Kec. ya Perikanan Laut Instansi terkait Kraton Pasuruan dan Beda Alat tangkap 2 4 s/d 5 –06- 1994: Perbedaan Alat Penyuluhan oleh Kec. Sreseh Sampang Tangkap Instansi terkait vs Kec. Kraton, Pasuruan 3 6 s/d 7 – 06- Perbedaan Alat Penyuluhan oleh 1994: Kec. Sreseh, Tangkap Instansi terkait Sampang vs Kec. Kraton, Pasuruan

331 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

4 26-10-1998: Kec. Perbedaan Alat Pemberian santunan Lekok Pasuruan vs Tangkap bagi korban, Kec. Sreseh Kab. himbauan untuk Sampang sementara tidak melaut 5 01-11-1998: Kec. Beda Alat tangkap Penyuluhan terpadu Lekok Pasuruan vs Payang Jorong dinas dan instansi Kec. Cam- plong, (Lekok) ; Kecapa Kab. Sampang (Camplong) Sumber: Diolah peneliti

Berdasarkan atas tabel di atas terkait dengan konflik antar nelayan pada kurun waktu antara 1993-1998 diketahui bahwa sumber konflik yakni: (1) adanya perbedaan alat tangkap (modern dengan tradisional) dalam hal ini antara nelayan Bangkalan (Kwanyar) dengan nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton); serta (2) adanya persaingan dalam memperebutkan sumberdaya perikanan laut yang langka (antara sesama nelayan pengguna alat tangkap modern), yang dalam hal ini antara nelayan Sampang (Camplong dan Sreseh) dengan nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton). Mencermati berbagai bentuk langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah sebagaimana di atas menunjukkan bahwa upaya tersebut tidak menjawab sumber penyebab terjadinya konflik akan tetapi lebih dititikberatkan pada penanganan akibat konflik, seperti: 1. Pemberian santunan bagi korban; 2. Pemberian ganti rugi bagi nelayan yang perahunya dibakar akibat konflik. 3. Himbauan untuk tidak melaut sementara waktu; 4. Sosialisasi dan penyuluhan terpadu oleh Instansi terkait Keppres 39/1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl, maupun pelarangan penggunaan bom ikan (bondet) 5. Pengawasan/Patroli Laut serta Oprerasi Laut oleh Pihak Pos Kamla/ Kamladu (Polisi Perairan, TNI-AL dan DKP); 6. Sosialisasi Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan; Ketentuan tentang Batas Jalur-jalur Penangkapan;

332 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

7. Nelayan diwajibkan untuk menggunakan alat tangkap sejenis dengan nelayan Kwanyar pada wilayah tangkap yang sama. 8. Membuat kesepakatan pihak yang terlibat konflik nelayan (termasuk islah)

Adapun langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah daerah dalam menyelesaikan konflik dapat diketahui secara terinci pada tabel 6.6 berikut:

Tabel 6.6 Tindakan Pemerintah Daerah dalam Penyelesaian Konflik Nelayan Di Selat Madura – Jawa Timur Tahun 1999-2000

No Waktu Bentuk Tindakan Tempat Peserta Hasil

1 16 Pertemuan Ged. DKP Kab/ Membangun Pebruari Pembinaan Pertemuan Kota, Kejati, kesepakatan 1999 Nelayan Se-Jatim Kanwil Polda, kelpk nelayan PU Jatim Lantamal untuk mematuhi III, Polairud peraturan Polda

2 10 – 11 Temu teknis dan Hotel DKP Kab/ Penyampaian Maret Ev. Cendana Kota materi dr DPK 2000 Pengawasan Usaha Surabaya Prop, Lantamal III, Perikanan Polda Jatim, Kejati

3 19 Des. Pemberian DKP Kab. Dinas Bantuan 3 unit 2000 Bantuan Pasuruan Kelautan mesin perahu 16PK dan bagi yg perahunya Perikanan dibakar krn konflik Kab. dan Nelayan Penerima bantuan dari Prop. Sumber: Diolah Oleh Peneliti

Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa langkah kongkrit yang telah dilaksanakan oleh instansi berwenang secara substansial yakni rapat koordinasi antar instansi penanggungjawab perikanan laut dan

333 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim keamanan, pemberian bantuan bagi nelayan yang dibakar perahunya akibat konflik serta meningkatkan pengawasan dan operasi terhadap pelanggaran ketentuan peruandang-undangan. Jika mencermati konflik antar nelayan pada kurun waktu antara 1999-2000 sebagaimana di atas diketahui bahwa sumber konflik yakni: (1) adanya perbedaan alat tangkap (modern dengan tradisional) dalam hal ini antara nelayan tradisional Bangkalan (Kwanyar) dengan nelayan modern Pasuruan (Lekok dan Kraton); serta (2) adanya persaingan dalam memperebutkan sumber daya perikanan laut yang langka (antara sesama nelayan pengguna alat tangkap modern), yang dalam hal ini antara nelayan Sampang (Camplong dan Sreseh) dengan nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton).

Berdasar bentuk tindakan yang dilakukan pemerintah daerah sebagaimana di atas menunjukkan bahwa upaya tersebut tidak menjawab sumber penyebab terjadinya konflik akan tetapi dititikberatkan pada penanganan akibat konflik. Demikian halnya dengan konflik nelayan yang terjadi tahun 2000-2004 maka dapat ditelaah langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah daerah atau instansi terkait sebagaimana dapat dilihat pada tabel 6.7 berikut:

Tabel 6.7 Pihak Konflik, Sumber dan Solusi terhadap Konflik Nelayan Era Otonomi Daerah - Tahun 2000-2004

No Waktu dan Pihak Sumber Konflik Solusi Konflik 05-02-2000: 1 Kec. Kraton Perbedaan Alat Penyuluhan, himbauan Pasuruan vs Tangkap sementara tidak melaut Kec. Kwanyar, Madura dan Patroli Bangkalan Kamladu

2 04-04-2000: Perbedaan Alat Sosialisasi UU No. 9/ Kec. Lekok Tangkap 1985 dan Batas Jalur-jalur Pasuruan vs Penangkapan Kec. Kwanyar, Bangkalan

334 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

3 27-04-2000: Perbedaan Alat Wajib alat tangkap sejenis Kec. Lekok Tangkap dengan Kwanyar dan Ganti Pasuruan vs rugi perahu yang dibakar Kec. Kwanyar, Bangkalan

4 20-05-2000: Perbedaan Alat Penyuluhan terpadu dinas Kec. Lekok Tangkap dan instansi Pasuruan vs Kwanyar, Bangkalan 5 06-11-2000: Perbedaan Alat Penyuluhan terpadu dinas Lekok Pasuruan vs Tangkap dan instansi Sreseh, Sampang 6 10-05-2004: Beda Alat Pengusulan bantuan Ke Ds. Kalirejo Kec. tangkap dan Provinsi Jawa Timur Kraton Pasuruan Pelanggaran vs Kec. Kwanyar Wilayah Bangkalan tangkap 7 09-10-2004: Beda Alat Penyuluhan pada komunitas Kec. Lekok tangkap dan nelayan Pasuruan vs Pelanggaran Kec. Kwanyar Wilayah Bangkalan tangkap

8 28-10-2004: Beda Alat Santunan bagi keluarga Ds. Kalirejo Kec. tangkap dan korban, Penyuluhan, Kraton Pelanggaran Pelatihan Pengolahan ikan Pasuruan vs Wilayah Kec. Kwanyar Tangkap Bangkalan

9 29-12-2004: Perbedaan Alat Musyawarah dg. kesepakatan Sreseh, Sampang Tangkap pembayaran tebusan atas vs Batah Barat, perahu yg disandera Kwanyar Bangkalan

Berdasar atas tabel di atas terkait dengan konflik nelayan pada masa pelaksanaan otonomi daerah (2000 – 2004) diketahui bahwa sumber konflik nelayan yakni:

335 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

(1) adanya perbedaan alat tangkap (modern dengan tradisional) dalam hal ini antara nelayan tradisional Bangkalan (Kwanyar) dengan nelayan modern Pasuruan (Lekok dan Kraton) maupun nelayan tradisional Bangkalan (Kwanyar) dengan modern Sampang (Camplong dan Sreseh); serta (2) adanya pelanggaran wilayah tangkap, yang dalam hal ini antara nelayan Bangkalan (Kwanyar) dengan nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton).

Adapun langkah lebih terinci yang dilakukan pemerintah daerah, dalam hal ini oleh instansi berwenang terkait persoalan konflik tersebut dapat diketahui secara terinci sebagaimana pada tabel 6.8 berikut:

Tabel 6.8 Tindakan Masyarakat dalam Penyelesaian Konflik Nelayan Di Selat Madura, Jawa Timur - Tahun 2001-2004

No Waktu Bentuk Tempat Pihak Hasil Tindakan

1 2001 Mediasi oleh Kampung Petinggi Batah Pembuktian Petinggi Kramat Barat, Kwanyar, damai dg. Batah Barat, dan Kisik, Ulama pelayaran dr Kwanyar Kalirejo, Bangkalan dan Kwanyar – Bangkalan Kraton Wakil Masy. Bangkalan Pasuruan Kwanyar; ke Kraton – Tokoh Pasuruan Masyarakat, Ketua BPD Kali- rejo, Wk. Masy. Kalirejo, Kraton 2 14 Sept. Kesepakatan Masjid Petinggi Tdk pakai 2001 Damai (islah) Sunan Batah Brt., alat tangkap Ampel, Pasanggrahan, yg dilarang Surabaya Kec. Kwanyar, ,bondet/ Wk. Nelayan, bom, surat Ulama bagi nelayan Bangkalan; pendatang/ Petinggi andon, tidak Kalirejo, Wk. main hakim Nelayan, Ulama sendiri, Pasuruan; nomer Sesepuh Jatim, lambung Gub.,Muspida perahu Prop dan Kab. Bangkalan, Pasuruan 336 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

3 2001 Kesepakatan Kec. Petinggi Menolak 5 Klebun/ Kwanyar Batah Brt, alat tangkap Petinggi di Batah Timur, bergerak, Kec. Kwanyar Kwanyar, bondet, Sukolilo Brt., Jaring Mini Pesanggrahan Trawl, Mendesak untuk diakomodir dalam Perda Prop./Kab./ Kota 4 2004 Pemasangan Di Ujung Nelayan Pemasangan Rambu-rambu Wilayah Kwanyar, rambu- laut dari Perairan Bangkalan rambu laut batang pohon Kwanyar, berdasar di ujung pinang pd. Bangkalan perhitungan batas wilayah Kedalaman alat GPS perairan 5 m Kwanyar, Bangkalan Sumber: Diolah Oleh Peneliti

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui berbagai langkah yang telah dilakukan oleh masyarakat sebagaimana di atas menunjukkan bahwa upaya –upaya tersebut tidak menjawab sumber penyebab terjadinya konflik, namun lebih menitikberatkan penanganan akibat konflik, adapun langkah dimaksud seperti: (1) Musyawarah dan tukar menukar sandera nelayan; (2) Pelatihan bagi nelayan di wilayah konflik; (3) Pemberian santunan pada keluarga korban tewas akibat konflik; (4) Kesepakatan damai atau islah. (5) Pelarangan penggunaan bondet/bom ikan; (6) Nelayan andon harus dilengkapi surat-surat dari tempat asal.

Dalam upaya penanganan konflik nelayan di Selat Madura di samping diambil masyarakat secara langsung berinisiatif untuk menyelesaikannya, namun langkah pencegahan juga dilakukan secara melembaga melalui pembentukan satuan keamanan yakni Pos Kamladu (Keamanan Laut Terpadu), untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya perikanan, serta dipergunakan untuk mencegah, mengatasi konflik antar nelayan. Adapun

337 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Pos Kamladu terkait dengan konflik nelayan tersebut terdapat di beberapa lokasi strategis rawan konflik baik di Kabupaten Bangkalan, Sampang dan Pasuruan terlihat pada tabel 6.9:

Tabel 6.9 Pos Kamladu (Keamanan Laut Terpadu)/Kamla (Keamanan Laut) pada Wilayah Konflik Nelayan di Selat Madura

No Kabupaten Lokasi dan Personil Sarana Instansi Dibentuk Pendukung

1 Bangkalan Ds. Batah 4 personil Kapal Pol. Airud/Polisi Barat, Kec. BKO* (2 org Patroli 2 Perairan, TNI- Kwanyar Polisi Perairan, unit (1 AL dan DKP* (2001) 2 org TNI- rusak) AL) dan DKP

2 Sampang Ds.Dharma 8 personil Kapal Pol. Airud/Polisi Camplong, BKO* (4 org Patroli 2 Perairan, TNI- Kec. Polisi Perairan, unit AL dan DKP* Camplong 4 org TNI- (2000) AL) dan DKP

3 Pasuruan Desa 20 personil Kapal Pol. Airud/ Jatirejo, (10 org Polisi Patroli 1 Polisi Perairan, Kecamatan Perairan, 2 unit dan 2 Satpol PP, Lekok org Satpol unit Speed Kesbanglinmas (1995) PP, 2 org boad dan DKP* Kesbanglinmas dan 6 org DKP) Sumber: Diolah dari hasil penelitian *) Keterangan : DKP : Dinas Kelautan dan Perikanan; BKO: Bawah Kendali Operasi.

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa di beberapa sentra nelayan didirikan Pos Kamladu (Keamanan Laut Terpadu) maupun Kamla (Keamanan Lingkungan) dengan melibatkan 3 instansi yakni TNI-AL, Kepolisian (Polisi Perairan/Polisi Airud) serta Dinas Kelautan dan Perikanan/DKP. Keterlibatan DKP secara teknis saat sweeping/ patroli terhadap penggunaan alat tangkap nelayan guna mencegah konflik dan menjaga kelestarian sumberdaya laut. Pos Kamladu diawaki aparat

338 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

TNI-AL dan Kepolisian/Polisi Perairan. Pos Kamladu di Camplong, Kabupaten Sampang masing-masing aparat keamanan memiliki pos tersendiri/terpisah antar Kamladu dan Polisi Perairan/Pol. Air.

2. Perspektif Kultural: Islah Nelayan di Masjid Sunan Ampel (Perjanjian Ampel) Beberapa tindakan yang ditempuh oleh pemerintah daerah selaku pengelola wilayah di antaranya menggunakan pendekatan kultural dan keagamaan. Hal ini dilakukan mengingat konflik nelayan yang melibatkan nelayan Pasuruan dan Bangkalan dipandang memiliki beberapa faktor kesamaan di antaranya: suku/etnik: Madura, agama: Islam, serta budaya/ aspek kultural. Di samping itu, berdasarkan beberapa bentuk penyelesaian yang telah diambil sebelumnya seperti: penyuluhan/sosialisasi peraturan, operasi penggunaan alat tangkap, maupun kasus konflik langsung yang telah dialami para nelayan belum mampu menghentikan konflik nelayan. Sementara itu, berdasarkan pengalaman yang pernah ditempuh pemerintah daerah dalam penyelesaian kasus konflik (Carok) di Bangkalan dan Sampang diselesaikan dengan pendekatan “islah” dan membuahkan hasil dengan tidak terulangnya konflik. Berdasarkan bentuk penyelesaian itulah, maka dalam penyelesaian konflik nelayan di Selat Madura yang melibatkan nelayan Bangkalan dan Pasuruan beretnik Madura, maka dilakukan langkah penyelesaian konflik dengan melakukan“islah”. Konflik nelayan di atas telah terjadi sepanjang kurun waktu sekitar satu dekade (1993 – 2000). Mencermati hal itulah, maka pada tahun 2001 diadakan suatu kepakatan bersama untuk melakukan“islah” bagi nelayan yang terlibat konflik yaitu nelayan Pasuruan dan Bangkalan dengan mengambil tempat yang disepakati berdasarkan musyawarah untuk “islah” di Masjid Besar Sunan Ampel di Kota Surabaya, yang lebih dikenal dengan Kesepakatan Ampel - 2001. Dalam konteks “islah” di masjid tersebut, bahwa Masjid merupakan tempat yang dianggap suci karena sebagai tempat melakukan ibadah, utamanya salat. Namun masjid bagi sekelompok orang ternyata tidak hanya mengandung dimensi tempat ibadah, sehingga perlu untuk

339 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim disucikan, akan tetapi lebih daripada itu yakni mengandung makna sakral, masjid menjadi tempat untuk beribadah, seperti: Salat wajib, Salat Jum’at, Salat rawatib, I’tikaf pada bulan Ramadhan dan pengajian-pengajian keagamaan, selain itu juga menjadi suci karena didirikan oleh orang suci (wali), seperti: Masjid Ampel, Masjid Giri, Masjid Bonang, dan sebagainya. Masjid menjadi tempat sakral karena yang mendirikan masjid adalah orang yang dijadikan oleh Allah sebagai hamba yang terpilih (Nur Syam, 2005:117). Masjid Ampel, sebagaimana masjid peninggalan para wali lainnya, juga banyak didatangi para peziarah terutama pada malam Jum’at Legi, disebabkan oleh keinginan masyarakat untuk salat dan I’tikaf di masjid peninggalan para wali. Latar historis umumnya masyarakat Madura menunjukkan bahwa Agama Islam telah masuk ke Pulau Madura khususnya Bangkalan sejak Abad XV dan akhirnya berkembang luas. Pada Abad XIX di Desa Kademangan (dekat kota Bangkalan) sudah berdiri sebuah Pondok Pesantren besar di bawah asuhan Kyai Haji Muhammad Khalil (Rahman, 1999 dalam Mien A.Rifai, 2007:42-43). Santri gemblengan pesantren ini di antaranya telah menjadi pemimpin pesantren besar di Nusantara yang berpengaruh luas antara lain: KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng-Jombang), KH. Maksum (Lasem), KH. Munawir (Krapyak-Yogyakarta), KH. Abdullah Mubarak (Tasikmalaya) dan lain-lain. Ketaatan orang Madura terhadap agamanya, tercermin dalam tata arsitektur kompleks huniannya, seperti: musala merupakan bagian integral setiap taneyan lanjhang atau kompleks rumah keluarga Madura (Zein M. Wiryoprawiro, 986:141). Demikian halnya, Masjid sebagai pusat peribadatan Islam juga mendapatkan perhatian istimewa dari umatnya, dalam hal ini masyarakat Madura. Islah adalah cara yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan dalam masyarakat muslim. Kesepakatan antar nelayan yang dilakukan di Masjid Besar Sunan Ampel, Kota Surabaya, pada masjid yang selama ini diyakini sebagai situs suci, sehingga di masjid ini mereka diminta bersumpah tidak akan mengulangi bentrokan nelayan di Selat Madura. Hal ini dilakukan sebagai cara efektif yang pernah dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur Mohammad Noer untuk mendamaikan kelompok masyarakat Bangkalan

340 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut dan masyarakat Sampang yang terlibat bentrok pada tahun 1970-an, dan pada waktu itu telah terbukti setelah islah hampir tidak ada lagi bentrokan besar di antara masyarakat Madura dari dua kabupaten di Pulau Madura tersebut. Bertolak dari hal itulah, pada hari Jum’at tanggal 14 September 2001 bertempat di Masjid Sunan Ampel Kota Surabaya diawali langkah penyelesaian konflik nelayan. Nelayan Bangkalan dan Pasuruan menyadari bahwa perairan laut di kawasan Jawa Timur baik potensi sumberdaya dan lingkungan serta produktivitasnya adalah milik bersama, maka mereka sepakat untuk menyelesaikan konflik secara“islah” , mengingat konflik telah mengarah pada bentuk kekerasan antar nelayan khususnya Bangkalan dan Pasuruan. Adapun para pihak yang mengikuti “islah” di Masjid Besar Sunan Ampel di Kota Surabaya, terdiri dari nelayan, tokoh masyarakat, ulama dari Desa Kalirejo, Kecamatan Kraton dan Desa Jatirejo dan Wates, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan dan Desa Batah Barat dan Pesanggrahan, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan sebagaimana terinci pada tabel 6.10 berikut:

Tabel 6.10 Pihak Penandatangan Kesepakatan Pasca konflik Nelayan “Islah” di Masjid Besar Sunan Ampel – Kota Surabaya Jum’at, 14 September 2001

No Penandatangan Alamat Pekerjaan

I KAB. BANGKALAN

1 Moh. Nizar Zahro, Kec. Kwanyar- Klebun/Petinggi/ SH Pesanggrahan Kades 2 H. Abd. Karim Kec. Kwanyar-Batah Juragan/Pengepul Barat Ikan 3 H. Zainal Kec. Kwanyar * 4 Muki Kec. Kwanyar_Batah Nelayan Barat

341 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Nelayan 5 Bidi (Rasidi) (Alm.) Kec. Kwanyar-Batah Barat 6 Sale Kec. Kwanyar-Batah Nelayan Barat 7 Dawi Kec. Kwanyar Nelayan 8 Mail Kec. Kwanyar Nelayan 9 Marlihat Kec. Kwanyar Nelayan 10 Moh. Zainal Arifin Kec. Kwanyar-Batah Klebun/Petinggi/ Barat Kades. II KAB. PASURUAN

1 Zaeni Kec. Nguling – Mlaten Pensiunan DKP Pasuruan 2 Abdurrahman Kec. Nguling * 3 H. Faisol Kec. Kraton – Kalirejo Petinggi/ Kades 4 Ach. Shola Kec. Lekok – Jatirejo PNS di DKP Jakarta 5 H. Sonhaji Kec. Lekok – Jatirejo Mantan Petinggi/ Kades 6 H. Muchdhor Kec. Lekok – Jatirejo Mantan Ka.KUD Lekok 7 Imron Kec. Kraton – Kalirejo Nelayan, Ketua RT Kisik 8 Madelan Kec. Kraton – Kalirejo Nelayan, Anggota BPD 9 H. Anam Kec. Kraton – Kalirejo Pedagang ikan,Anggt. BPD

10 Syafi’I Kec. Kraton – Kalirejo Pedagang, Anggota BPD 11 Ali Kec. Kraton – Kalirejo Nelayan

342 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

III SAKSI KAB. BANGKALAN

1 KH. Abdullah Sahal Kec. Bangkalan Pimp. Ponpes Saichona Cholil, Bangkalan 2 KH. Abd.Hanan Kec. Kwanyar Pimp.Ponpes Nawawi Darul Fatwa

3 KH. Amin Nawawi Kec. Kwanyar Mantan Angggota DPRD Kabupaten Bangkalan 4 KH.Drs.Badrus Kec. Kwanyar Pimp. Ponpes, Sholeh Kwanyar IV SAKSI KAB. PASURUAN

1 H.Abdullah Bafaqih Kec. Nguling Ustadz di Kec. Nguling 2 Ustadz Yasin Kec. Lekok Mantan Anggota DPRD Kabupaten Pasuruan 3 Ustadz Syarif Kec. Kraton – Kalirejo Ustadz di Kec. Kraton 4 H. Syarif Kec. Kraton – Kalirejo * Sumber: Diolah Oleh Peneliti; Keterangan : *) tidak didapat keterangan terinci

Adapun butir-butir yang menjadi kesepakatan bersama (islah) yakni: 1. Tidak akan menggunakan alat tangkap yang dilarang, seperti: Trawl/ Mini Trawl dan sejenisnya, kecuali alat tangkap yang diperbolehkan menurut Keputusan Dirjen Perikanan Nomor : IK.340/DJ.10106/97, yaitu alat tangkap ikan berbentuk kantong yang telah diubah/ dimodifikasi menyerupai jaringTrawl, tetapi tidak termasuk klasifikasi jaring Trawl yang boleh digunakan oleh nelayan usaha skala kecil (Cantrang Berpalang, Jaring Arad, Jaring Otok, dan Garuk Kerang); 2. Tidak akan mencari ikan dengan menggunakan alat tangkap ikan yang diperbolehkan menurut Keputusan Dirjen Perikanan Nomor IK.340/DJ.10106/97 (Cantrang Berpalang, Jaring Arad, Jaring

343 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Otok dan Garuk Kerang) pada jalur-jalur penangkapan ikan yang dilarang menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/Kpts/ IK.120/4/99, yaitu jalur penangkapan ikan I-a pada perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah sampai 3 (tiga) mil laut; 3. Tidak akan melakukan penangkapan ikan, udang atau biota laut lainnya dengan menggunakan bahan peledak (Bondet) dan atau alat/ bahan lain yang dapat merusak kelestarian sumber daya laut; 4. Untuk nelayan Andon akan melengkapi diri dengan dokumen yang telah diatur dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 9 Tahun 1983 tentang Pengaturan Nelayan Andon; 5. Akan melaporkan kepada aparat yang berwenang dan atau tidak bertindak menghakimi sendiri (seperti: merusak, membakar, menganiaya, menyandera, dan sebagainya) apabila menjumpai nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan bahan atau alat yang tidak diperbolehkan atau melanggar jalur penangkapan ikan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku; 6. Akan memberi Nomor Lambung dan Bendera sebagai tanda pengenal sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/Kpts/IK.120/4/99 (Warna Putih untuk Jalur I-a: 0–3 Mil, Warna Merah untuk Jalur I-b: 3–6 Mil; Warna Oranye untuk Jalur II: 6–12 Mil; Warna Kuning untuk Jalur III: di atas 12 Mil) untuk memudahkan identifikasi masing-masing perahu yang dimiliki nelayan; 7. Mengharap kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Cq. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur) untuk segera menindaklanjuti tentang Peraturan Jalur-jalur Penangkapan Ikan di Selat Madura; 8. Mengharap kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur hendaknya memberikan perhatian terhadap permasalahan konflik antar nelayan melalui kerja dengan Pemerintah Kabupaten dan aparat terkait (TNI- AL, POLRI dan POLAIRUD) 9. Akan menyebarluaskan hasil kesepakatan bersama ini kepada seluruh masyarakat nelayan;

344 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

10. Apabila dikemudian hari terjadi konflik antar nelayan, maka bersedia diselesaikan secara damai dan kekeluargaan melalui musyawarah mufakat dan apabila musyawarah mufakat tidak menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua-belah pihak maka kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui jalur hukum;

Kesepakatan bersama ini berlaku sejak ditandatangani dokumen ini dan wajib ditaati dan dilaksanakan oleh npara pihak yang melakukan kesepakatan. Dalam forum islah dihadiri para pihak dari perwakilan masyarakat nelayan masing-masing kabupaten (Bangkalan dan Pasuruan) yang terdiri dari: 10 orang tokoh masyarakat/nelayan, Saksi 3 orang Ulama serta ikut hadir menandatangani sebagai penguat mengetahui islah tersebut ada 9 orang yakni Gubernur Jawa Timur, Sesepuh Masyarakat Jawa Timur/ Madura (RP. H. Moh. Noer/Mantan Gubernur Jatim), Bupati Bangkalan, Bupati Pasuruan, Kapolres Bangkalan, Kapolres Pasuruan, Ka. Pol. Airud Surabaya, Kanit Pol. Airud Madura dan Kanit Pol. Airud Lekok. Mencermati isi Kesepakatan Ampel tersebut dapat dikemukakan beberapa substansi bahwa inti islah meliputi: Menjaga kelestarian laut sehingga nelayan dilarang menggunakan trawl/mini trawl, tidak akan menangkap ikan pada jalur penangkapan ikan yang dilarang, yakni 3 mil dari pinggir pantai, tidak menggunakan bahan peledak, dan apabila menjumpai nelayan yang melanggar tidak akan main hakim sendiri, seperti: merusak, atau membakar perahunya, tetapi akan dilaporkan kepada aparat keamanan. Jika terjadi konflik akan diselesaikan secara musyawarah, tetapi kalau tidak bisa, penyelesaiannya ditempuh melalui jalur hukum. Selanjutnya guna mempertegas dan mengefektifkan pelaksanaan isi dari kesepakatan (islah) tersebut beberapa kepala desa di Kecamatan Kwanyar (Kabupaten Bangkalan) yang terdiri dari 5 (lima) orang Klebun (Kepala Desa) yaitu: Kepala Desa Batah Barat (Moch. Zainal Arifin), Kepala Desa Batah Timur (Moh. Tamrin), Kepala Desa Kwanyar (H. Habsin), Kepala Desa Sukolilo Barat (Ajub) serta Kepala Desa

345 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Pesanggrahan (Moh. Nizar Zahro) menandatangi kesepakatan atas dasar aspirasi masyarakat nelayan, tokoh ulama serta tokoh masyarakat dari 3 (tiga) Kecamatan yakni Kecamatan Labang, Kecamatan Kwanyar dan Kecamatan Modung Kabupaten Bangkalan dengan isi pernyataan yang intinya sebagai berikut: 1. Menolak penggunaan alat tangkap yang pengoperasiannya ditarik perahu/perahu motor di wilayah perairan Labang, Kwanyar dan Modung dalam perairan 4 mil dari air surut (batas tong merah). 2. Melarang penggunaan bom ikan di wilayah di atas. 3. Perlunya peningkatan pengawasan oleh Polisi Perairan di wilayah tersebut. 4. Menolak penggunaan Jaring Semi Trawl ( Jaring Eret) beroperasi di Jalur I-a (0–3 mil). 5. Mendesak agar pertimbangan di atas diakomodasikan dalam Peraturan daerah provinsi maupun kabupaten/kota.

Kesepakatan bersama yang telah dilakukan oleh kedua pihak yang terlibat konflik nelayan (Bangkalan dan Pasuruan) dalam bentuk “islah” ternyata masih belum mampu meredam konflik nelayan. Hal ini disebabkan di antara pihak yang terlibat konflik belum sepenuhnya mematuhi hal-hal yang telah dituangkan dalam kesepakatan tersebut. Setelah penandatanganan kesepakatan bersama (islah) pada 14 September 2001 di Masjid Sunan Ampel, kemudian muncul konflik kembali (28 Desember 2001). Namun setidaknya persoalan konflik di kalangan nelayan dapat dihentikan dengan kesepakatan yang dilaksanakan pada tempat yang diyakini dihormati oleh mereka yakni bertempat di Masjid Sunan Ampel, Kota Surabaya pada Hari Senin, tanggal 7 Januari 2002 dengan menghadirkan 25 orang wakil dari masyarakat Dusun Kisik dan 25 orang wakil dari masyarakat Dusun Kaligung, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Adapun kesepakatan ini dihadiri oleh Bupati, Dan Dim 0819 Pasuruan, Kapolres, Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, Kajari Pasuruan di Bangil, Danramil dan Kapolsek Kraton, Camat Kraton serta Kepala Desa dan Ketua BPD Desa Kalirejo.

346 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

Beberapa kali upaya kesepakatan dilakukan sebagaimana di atas, guna menghindari bentrok/konflik antar nelayan. Bahkan upaya solusi konflik antar nelayan melalui cara “islah” yang dipandang mampu meredakan para pihak yang terlibat konflik secara kultural dan pendekatan keagamaan dapat diselesaikan melalui jalan islah pada realitasnya tidak mampu melanggengkan perdamaian, bahkan dalam beberapa waktu masih tetap muncul konflik. Konflik semakin mengeras sifatnya seiring dengan kebijakan otonomi daerah. Bentuk konflik kembali mengeras pada bentrok tanggal 28 Oktober 2004 yang merenggut korban kedua pihak mencapai 4 orang nelayan tewas.

D. Kesimpulan

Konflik antar nelayan di wilayah perairan Selat Madura, Jawa Timur yang terjadi sepanjang kurun waktu tahun 1993-2004 pada pemerintahan era Orde Baru, Reformasi hingga Otonomi Daerah secara empirik disebabkan oleh adanya perbedaan dalam penggunaan teknologi penangkapan di antara ketiga nelayan dari Kabupaten Bangkalan, Sampang dan Pasuruan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah provinsi guna mencegah dan mengatasi konflik yang terjadi selama ini belum mampu menyelesaikan akar penyebab konflik antar nelayan. Pada era Orde Baru, pemerintah Jawa Timur tahun 1983 mengeluarkan ketentuan yang mengatur nelayan Andon atau bagi nelayan yang memanfaatkan sumberdaya perikanan laut di luar daerah asalnya sebagaimana Surat Keputusan Gubernur KDH Tk. I Jawa Timur Nomor: 9/1983. Ketentuan ini memuat kewajiban nelayan andon (nelayan yang berpindah-pindah tempat dalam mencari ikan maupun memasarkan tangkapannya) untuk melengkapi diri di antaranya yakni Surat Keterangan dari Kades dan Kacab. Dinas Perikanan Daerah asal nelayan, Surat Pernyataan kesanggupan/ketaatan terhadap ketentuan yang

347 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim berlaku di tempat nelayan melakukan kegiatan operasi/menangkap ikan. Dalam pelaksanaannya nelayan modern utamanya tidak mengindahkan ketentuan dimaksud. Namun aktivitas nelayan andon tidak sampai menimbulkan konflik terbuka. Konflik antar nelayan yang terjadi pada masa ini tidak sampai membawa kerugian besar dan dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Keberadaan nelayan dalam melakukan aktivitas melaut pada sentra nelayan pada umumnya dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal/supplier, pedagang dan juragan agar tetap dapat memasok kebutuhan ikan bagi pabrik, restoran (sea food) dan sebagainya. Hal ini ditemukan pada dua sentra nelayan yakni Sampang dan Pasuruan, keberadaan supplier, pedagang dan juragan sangat dominan, dalam arti mayoritas nelayan memiliki ‘ikatan’ utang dengan para juragan, pedagang, supplier. Ikatan hubungan tersebut menyebabkan nelayan terikat utang sepanjang waktu selama belum mampu menutup utangnya, sehingga nelayan tidak memiliki pilihan lain untuk menjual hasil tangkapannya selain pada pemberi pinjaman modal tersebut. Sementara itu, kondisi tersebut juga ditemukan pada sentra nelayan di Bangkalan, meskipun pada tahun 1980-an jumlah pedagang dan juragan tidak sebanyak pada sentra nelayan Sampang dan Pasuruan. Namun dalam perkembangannya kondisi demikian di Bangkalan berangsur- angsur mengalami perubahan, dan pada perkembangannya jumlah pedagang, juragan justru semakin berkurang hingga tinggal beberapa orang dan peranannya terhadap nelayan semakin kecil, karena nelayan semakin mandiri dari segi permodalan. Perkembangan menarik terjadi di Bangkalan, terkait dengan ‘setting’ lingkungan alam yang berbeda dengan Sampang dan Pasuruan. Di samping itu, kehadiran ‘tokoh’ masyarakat yang mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin desa (‘petinggi’), pada akhirnya membawa hasil kemandirian nelayan terlepas dari ikatan hubungan dengan para pedagang, juragan. Tokoh ‘petinggi’ mampu menjaga keberadaan nilai-nilai kearifan nelayan terhadap potensi sumberdaya perikanan laut berkelanjutan. Hal ini disebabkan ‘strategi’ pencalonan sebagai ‘petinggi’, sehingga pasca

348 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut terpilihnya sebagai ‘petinggi’ maka pada tahun 1990-an nelayan diberikan pinjaman modal tanpa ada ikatan keharusan untuk menjual hasil tangkapan pada ‘petinggi’ selaku pemberi pinjaman. Kemandirian nelayan setidaknya membawa implikasi terhadap keberadaan pedagang maupun juragan, sehingga jumlah juragan, pedagang pemberi modal menjadi semakin berkurang. Selanjutnya ‘petinggi’ di tahun 1997, mengembangkan sumber nafkah alternatif yakni pengolahan lahan untuk pertanian guna mendukung sekaligus menjadi sumber penghasilan tambahan bagi nelayan agar tetap mandiri. Strategi tokoh masyarakat untuk meraih posisi ‘petinggi’ dengan jaminan pemberian pinjaman modal bagi sebagian besar nelayan telah mampu menjadikan nelayan tidak bergantung pada pemilik modal, juragan sehingga nelayan mampu mempertahankan pola pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dengan cara tradisional. Ketika situasi ekonomi mulai menekan kehidupan nelayan, ‘petinggi’ mapu mengembangkan sumber pendapatan lain selain melaut, yakni mengolah lahan untuk pertanian. Selanjutnya dalam upaya mengelola konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan laut, pemerintah Provinsi Jawa Timur pada era Orde Baru mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 9 Tahun 1983 tentang Pengaturan bagi nelayan Andon di wilayah Jawa Timur. Namun ketentuan tersebut tidak banyak diindahkan oleh para nelayan Andon, sehingga muncul konflik antar nelayan. Namun konflik antar nelayan yang terjadi pada era Orde Baru tidak sampai menjadi konflik terbuka. Kejadian konflik antar nelayan serupa pasca Orde Baru (masa Reformasi), pada perkembangannya konflik menjadi berubah bentuknya yakni konflik antar nelayan yang bersifat terbuka dengan membawa kerugian berupa pembakaran perahu, mesin dan alat tangkapnya (tahun 1998) dan berkembang menjadi konflik terbuka (tahun 2000). Kondisi ini membuat pemerintah Provinsi Jawa Timur mengambil langkah dengan mengeluarkan Keputusan untuk membentuk FKPPS di Jawa Timur (Kepts. Gubernur Nomor 188/234/SK/014/2000) guna melakukan langkah-langkah koordinasi untuk mencegah dan menyelesaikan konflik

349 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim antar nelayan yang terjadi di wilayah Jawa Timur. Perkembangan konflik antar nelayan pasca dibentuknya FKPPS tidak banyak mengalami perubahan, sebagaimana terulangnya konflik antar nelayan di penghujung tahun 2000 hingga tahun 2001 bahkan konflik hingga mengakibatkan 4 orang nelayan Bangkalan tewas. Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 2001 yaitu melalui pendekatan kultural berupa islah berdasar atas realitas bahwa pihak yang terlibat konflik secara kultural memiliki kesamaan etnik Madura, di samping itu pengalaman yang pernah dilakukan terhadap persoalan konflik melibatkan etnik yang sama terbukti mampu menghentikan pertikaian. Namun dalam konflik antar nelayan tersebut menunjukkan bahwa langkah islah tidak dapat menyelesaikan persoalan yang menyebabkan terjadinya konflik antar nelayan Bangkalan, Sampang dan Pasuruan. Hal ini dibuktikan dengan konflik antar nelayan terulang kembali di tahun 2004 yang menimbulkan korban tewas. Selanjutnya pemerintah Provinsi Jawa Timur berupaya agar aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dapat dikendalikan, maka dibentuklah tim pengawas melalui Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor: 188/136/KPTS/013/2003. Namun kejadian konflik antar nelayan masih tetap terjadi hingga membawa korban tewas 3 orang dari Pasuruan dan 1 orang dari Bangkalan di tahun 2004. Dengan demikian berdasar analisis terhadap konflik antar nelayan di perairan Selat Madura Jawa Timur yang terjadi selama kurun waktu 1993 – 2004, serta berbagai langkah yang ditempuh oleh pemerintah Provinsi melalui Kebijakan Pengaturan Nelayan Andon di Jawa Timur, Pembentukan FKPPS di Laut Provinsi Jawa Timur pada tahun 2000, dan penyelesaian konflik dengan pendekatan kultural melalui islah antar nelayan yang terlibat konflik di tahun 2001 di Masjid Ampel serta pembentukan Tim Pembina dan Pengawas terhadap Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Wilayah Kewenangan Pemerintah provinsi Jawa Timur pada tahun 2003 menunjukkan bahwa langkah kebijakan tersebut belum mampu menyelesaikan akar masalah konflik nelayan di perairan Selat Madura Jawa Timur.

350 Kebijakan Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut

Berdasar hasil data empirik konflik antar nelayan yang terjadi menunjukkan bahwa konflik disebabkan adanya perbedaan penggunaan teknologi penangkapan antara nelayan tradisional (Bangkalan) dengan nelayan modern (Sampang dan Pasuruan), namun bentuk konflik yang bersifat tertutup pada era Orde Baru (1993-1994) menjadi konflik terbuka (1998) di era Reformasi dan berubah menjadi konflik anarkis pada era Otonomi Daerah (2000-2004). Perubahan bentuk konflik menjadi anarkis karena dipicu oleh hadirnya Kebijakan Otonomi Daerah pada tahun 1999 sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 10 ayat (1) (2) butir a serta ayat (3). Otonomi Daerah telah memberikan kewenangan pada daerah kabupaten/kota guna mengelola sumberdaya di wilayah laut dari yang sebelumnya di era Orde Baru merupakan kewenangan terpusat (pemerintah pusat) menjadi kewenangan daerah otonom. Berdasar atas kewenangan yang dimiliki daerah kabupaten/kota secara otonom tersebut itulah nelayan setempat (Bangkalan) memiliki kewenangan untuk menjaga dan mengelola sumberdaya perikanan laut di wilayah perairannya dari aktivitas pihak lain (Sampang dan Pasuruan) yang dipandang dapat merusak atau mengancam kelestarian sumberdaya perikanan laut. Keterlibatan nelayan (Bangkalan) secara emosional terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan laut oleh nelayan andon (Pasuruan maupun Sampang) yang menggunakan alat tangkap yang berbeda maupun sama akan tetapi cara pengoperasiannya berbeda menyulut munculnya konflik. Konflik tersebut menjadi semakin mengeras dan bersifat anarkis setidaknya disebabkan nelayan tradisional (Bangkalan) merasa terancam sumber-sumber ekonominya secara individual oleh kehadiran nelayan modern (Sampang dan Pasuruan).

351

Bab VII Penutup

A. Konflik dalam Pemanfaatan Sumber Daya Milik Bersama (Common-Pool Resource)

Konflik nelayan di perairan Selat Madura telah berlangsung selama lebih dari satu dekade (1993 – 2004), terjadi sebanyak 18 kali. Pada awalnya konflik nelayan hanya mengakibatkan hasil tangkapan nelayan dirampas hingga peralatan melaut dibuang ke laut, namun dalam perkembangannya bentuk perlakuan konflik semakin cenderung pada bentuk kekerasan. Konflik nelayan mengakibatkan 15 perahu beserta mesinnya dibakar dan alat tangkap dibuang ke laut, dengan kerugian mencapai lebih dari 186 juta rupiah. Pada perkembangannya konflik nelayan berubah menjadi anarkis hingga merenggut korban 8 orang tewas, serta 9 orang luka-luka dan aktivitas nelayan dalam melaut terganggu. Konflik yang melibatkan nelayan dari 3 kabupaten yakni Bangkalan, Sampang dan Pasuruan, menunjukkan bahwa konflik antar nelayan merupakan bentuk konflik yang masih berpotensi akan terjadi kembali, bahkan cenderung mengarah dalam bentuk konflik yang anarkis, apabila didukung oleh faktor yang dapat memicu timbulnya konflik terbuka. Konflik telah berlangsung sejak tahun 1993-2004, setidaknya disebabkan adanya perbedaan dalam penggunaan teknologi penangkapan oleh nelayan Sampang maupun Pasuruan yang menggunaan alat tangkap

353 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim modern, produktif dalam menghasilkan tangkapan. Di samping itu juga disebabkan adanya penggunaan alat tangkap yang relatif sama dengan nelayan setempat (nelayan tradisional Bangkalan) akan tetapi cara mengoperasikannya berbeda. Perubahan bentuk konflik menjadi bersifat anarkis karena ‘dipicu’ oleh adanya perubahan kewenangan atas pengelolaan sumberdaya di wilayah laut dari terpusat di era Orde Baru menjadi bagian kewenangan daerah pada era Otonomi Daerah. Kebijakan pengelolaan konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang telah diterapkan oleh pemerintah selama kurun waktu 1993 -2004 melalui berbagai bentuk pendekatan, yaitu sosialisasi berbagai peraturan pemerintah tentang pelarangan penggunaan alat tangkap tertentu, jalur-jalur penangkapan hingga berbagai bentuk penyelesaian konflik. Adapun langkah yang di tempuh Pemerintah Provinsi Jawa Timur di tahun 1983 melalui Kebijakan Pengaturan bagi Nelayan Andon (era Orde Baru) maupun Pelarangan Penggunaan Alat Tangkap Trawl (tahun 1995), sedangkan di era Otonomi Daerah melalui pembentukan FKPPS Jawa Timur (tahun 2000), pendekatan kultural yakni melaksanakan islah antara nelayan yang konflik di Masjid Ampel Surabaya (2001), serta pembentukan Tim Pembina dan Pengawas terhadap Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Wilayah Kewenangan Pemerintah provinsi Jawa Timur (2003). Namun berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah pada kenyataannya belum dapat menyelesaikan akar konflik nelayan secara mendasar, hal ini ditunjukkan dengan masih timbulnya konflik yang melibatkan nelayan dari daerah asal yang sama (Bangkalan, Sampang dan Pasuruan) di tahun 2004 bahkan bersifat anarkis. Sementara itu masih banyak ditemukan nelayan yang menggunakan alat tangkap yang dilarang maupun bentuk pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dengan cara-cara yang merusak lingkungan. Konflik nelayan yang terjadi pada wilayah tangkap yang sama, disebabkan adanya perbedaan penggunaan teknologi penangkapan sebagai manifestasi atas kepentingan masing-masing pihak. Perbedaan penggunaan alat tangkap pada masing-masing pihak diakibatkan beberapa faktor:

354 Kesimpulan dan Implikasi

Bagi nelayan modern Pasuruan (Lekok dan Kraton) maupun nelayan Sampang (Camplong dan Sreseh), yang menjadi pendorong penggunaan alat tangkap modern di antaranya: (1) Adanya ikatan utang antara nelayan dengan juragan/pengepul/ supplier. Nelayan di dua kabupaten (Sampang dan Pasuruan) tersebut sebagian terbesar terikat utang pada juragan/pengepul/ supplier, ketika nelayan membutuhkan modal untuk memenuhi kekurangan dalam pembelian perahu, mesin beserta alat tangkap. Nelayan yang terikat utang tersebut merupakan aset ‘investasi’ bagi juragan/pengepul/supplier selama nelayan belum menyelesaikan ikatan utang pada juragan. Bahkan juragan/pengepul/supplier enggan dilunasi utangnya, karena dengan adanya ‘ikatan’ tersebut setidaknya juragan/pengepul/supplier berharap agar nelayan ‘merasa’ diuntungkan. Nelayan mendapatkan pinjaman tanpa agunan/ jaminan apa pun dan nelayan masih tetap dapat menggunakan pinjamannya tanpa dibebani bunga atas pinjaman oleh juragan/ pengepul/supplier. Dalam hal itu, juragan /pengepul/supplier secara tidak langsung ikut berkepentingan terhadap aktivitas nelayan baik dari segi perahu, mesin serta alat tangkap agar senantiasa memberi hasil optimal guna menjaga ‘keberlangsungan’ juragan/supplier; (2) Sumber daya perikanan laut yang semakin langka pada wilayah perairannya. Hal ini ditunjukkan dengan semakin berkurangnya beberapa jenis sumberdaya hewani laut tertentu yang didapat nelayan di perairan Selat Madura sebagai akibat over-eksploitasi, serta hasil tangkapan semakin menurun jumlahnya bila dibandingkan beberapa tahun sebelumnya; (3) Peningkatan jumlah nelayan dan alat tangkap baik jumlah maupun jenisnya. Hal ini disebabkan adanya pengungsi eks Sambas dan Pontianak (Kalimantan Barat) maupun Sampit (Kalimantan Tengah) yang kembali dimukimkan di wilayah Sampang dan Pasuruan sehingga menambah tingkat kompetisi di antara nelayan setempat maupun dengan nelayan lain;

355 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

(4) Terbatasnya aktivitas di luar sektor perikanan laut, karena kondisi lahan yang gersang dan masih rendahnya tingkat pendidikan, ekonomi serta terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber alternatif pekerjaan maupun sumber pendapatan. Sementara itu bagi nelayan Pasuruan, hal ini juga disebabkan adanya ‘sengketa’ pemanfaatan lahan antara penduduk (Lekok) dengan TNI-AL (Puslatpur-Marinir) di Kecamatan Lekok dan Grati, Kabupaten Pasuruan, sehingga aktivitas dalam pemanfaatan lahan menjadi terbatas.

Bagi nelayan tradisional Bangkalan (Kwanyar), faktor yang menjadi penguat untuk tetap menggunakan alat tangkap yang bersifat tradisional di antaranya: (1) Sumberdaya perikanan laut dipandang sebagai sumber ekonomi bersama bagi nelayan Kwanyar (Bangkalan), karenanya sumberdaya itu harus dijaga dan dipertahankan keberadaannya bagi keberlangsungan hidup nelayan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan alat tangkap tradisional ( Jaring-jaring Hanyut dan Pancing) dan masih terpeliharanya ‘fishing ground’ pada perairan Kwanyar yang biasanya setiap empat bulan ‘dipanen’ hasilnya dari rumpon-rumpon yang dipasang oleh nelayan sejak sekitar tahun 1958. (2) Jumlah nelayan Bangkalan tidak sebanyak nelayan Pasuruan maupun Sampang, sehingga tingkat persaingan di antara nelayan ‘hampir’ tidak ditemukan, sebagaimana ditunjukkan dengan waktu melaut sebagian besar nelayan Kwanyar berangkat pada pagi hari (usai salat subuh) dan kembali sekitar zuhur dengan tetap menggunakan jenis alat tangkap tradisional, sehingga potensi sumberdaya perikanan laut di perairan Bangkalan relatif masih terjaga. Hal ini juga ditunjukkan dengan tingginya ‘minat’ nelayan luar (Sampang dan Pasuruan) untuk melakukan andon di perairan Bangkalan.

356 Kesimpulan dan Implikasi

(3) Nelayan Bangkalan pada umumnya tidak terikat utang baik pada juragan laut (umumnya perahu milik sendiri) maupun juragan darat/tengkulak. Kondisi demikian dimungkinkan karena adanya langkah-langkah yang ditempuh oleh elit desa petinggi/ klebun (Desa Batah Barat) dengan harapan terciptanya ‘kemandirian’ bagi para nelayan, sehingga langkah tersebut berhasil mengurangi sejumlah besar nelayan yang terikat pinjaman pada juragan darat/ supplier. Tindakan elit desa tersebut berimplikasi pada semakin kuatnya ‘legitimasi’ terhadap petinggi/klebun. Adapun bentuk langkah tersebut yakni: (a) tahun 1990, petinggi/klebun memberikan pinjaman modal kerja/biaya untuk melaut pada 100 unit perahu (sekitar 300 orang nelayan) tanpa adanya ikatan penjualan hasil tangkapan pada petinggi tersebut. (b) tahun 1997, ketika populasi ikan di wilayah perairan Kwanyar, yang menjadi sumber nafkah utama bagi nelayan mulai menurun, maka elit desa/petinggi mengupayakan alternatif sumber penghasilan nelayan dari sektor pertanian yakni mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lahan/tanah yang selama ini tidak diolah dengan baik, pada akhirnya aktivitas pertanian banyak diikuti oleh mayarakat (khususnya nelayan) sebagai sumber penghasilan tambahan. (c) tahun 2001, petinggi/klebun melakukan mediasi awal guna melakukan perdamaian dengan nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton) yang selama ini terlibat konflik.

Ketiga tindakan petinggi membawa implikasi terjaminnya keberlangsung pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di perairan Bangkalan dengan alat tangkap tradisional dari ancaman ‘penetrasi’ kepentingan ekonomi dari nelayan andon yang menggunakan alat tangkap modern. Konflik nelayan disebabkan oleh adanya perbedaan penggunaan alat tangkap, sebagai akibat perbedaan kepentingan ekonomi nelayan

357 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim yang terlibat konflik sebagaimana termanifestasikan dalam penggunaan alat tangkap masing-masing pihak guna mengeksploitasi sumberdaya perikanan laut di Selat Madura yang semakin langka (over-fishing). Pada satu pihak, nelayan Sampang dan Pasuruan yang memiliki keterbatasan sumber ekonomi alternatif dan memiliki ikatan utang dengan juragan/supplier lebih memilih menggunakan alat tangkap yang lebih produktif untuk memperoleh hasil tangkapan. Manifestasi kepentingan juragan/pengepul/supplier yakni dengan menanamkan modalnya (investasi) melalui mekanisme pemberian pinjaman modal guna pengadaan perahu, mesin dan alat tangkap maupun pinjaman biaya melaut/modal kerja pada nelayan. Pada pihak lain, nelayan Bangkalan yang jumlahnya relatif sedikit dibandingkan dengan nelayan Sampang dan Pasuruan, lebih memilih memanfaatkan sumberdaya perikanan laut dengan menggunakan alat tangkap tradisional yang dipandang dapat menjaga kelestarian sumberdaya perikanan laut di wilayah perairannya. Penggunaan alat tangkap tradisional bagi nelayan Bangkalan pada perkembangannya mampu dipertahankan seiring dengan semakin mandirinya nelayan terlepas dari ikatan utang dengan juragan maupun pedagang, di samping itu nelayan juga dapat melakukan aktivitas lainnya seperti di sektor pertanian ketika tidak musim ikan atau masa paceklik. Dengan demikian konflik nelayan telah ada sebelum otonomi daerah, namun bentuk konflik menunjukkan adanya perubahan bentuk dari konflik tertutup (tanpa disertai kekerasan) menjadi terbuka dan cenderung semakin mengeras dan anarkis yang ‘dipicu’ oleh adanya perubahan rezim (runtuhnya rezim Orde Baru) yang membawa implikasi terhadap lemahnya peran negara (pemerintah) pada Era Reformasi atau Awal Transisi (1998) dengan adanya pemberian ‘ruang’ bagi berkembangnya liberalisasi politik di Indonesia hingga memasuki era Otonomi Daerah masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri (2000-2004). Konflik nelayan justru menjadi semakin meningkat eskalasinya dan berubah menjadi anarkis dengan digulirkannya kebijakan Otonomi Daerah (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999) sebagaimana bentuk

358 Kesimpulan dan Implikasi konflik nelayan yang terjadi pada tahun 2000-2004 di era Otonomi Daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang telah mengubah bentuk kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah laut dari terpusat menjadi terdesentralisasi menjadi kewenangan otonom pada daerah kabupaten/ kota yang berbatasan dengan wilayah laut untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sejauh sepertiga dari batas laut daerah provinsi (12 mil laut), membawa implikasi pada eskalasi tingkat konflik yang cenderung semakin mengeras. Pemahaman yang berbeda terhadap otonomi daerah terhadap kewenangan yang dimiliki daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut ‘memperparah’ konflik nelayan, bahkan nelayan kecil pun dipandang tidak boleh memasuki wilayah perairan daerah kabupaten/kota lainnya. Kondisi tersebut ditunjang oleh melemahnya peran negara (state) atas kontrol terhadap masyarakat, sebagai akibat menurunnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah. ‘Euphoria’ Demokrasi pasca keruntuhan rezim Orde Baru yang dinikmati oleh masyarakat ikut menguatkan terjadinya ‘pengadilan jalanan’, sebagaimana kasus konflik di atas. Namun seiring pemberlakuan kebijakan otonomi daerah yang baru yakni Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang memuat secara tegas bahwa pembagian wilayah laut dimaksud tidak berlaku bagi nelayan kecil, serta hadirnya pemerintahan yang ‘legitimate’ melalui pemilu presiden langsung yang lebih demokratis di tahun 2004, secara bertahap mampu meredam munculnya konflik nelayan. Realitas tersebut menunjukkan bahwa konflik nelayan yang terjadi antara nelayan Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan merupakan fakta empiris, bahwa konflik diakibatkan adanya perbedaan alat tangkap dan cara pengoperasiannya. Besarnya jumlah nelayan meski bukan menjadi sumber masalah, namun tetap harus dikendalikan agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Berdasar analisis konflik di atas, sebagaimana tesis Hardin’s (1968), bahwa munculnya tragedy’ dalam pemanfaatan sumberdaya milik bersama (common property) bukan disebabkan banyaknya jumlah nelayan pemanfaat, akan tetapi lebih disebabkan moralitas yang kurang, etika yang buruk

359 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim serta aspek perundang-undangan yang tidak mendukung. Di samping itu, menurut Ostrom (1977) adanya kesulitan untuk membatasi, membagi sumberdaya properti bersama (common-pool resource/CPR), sedangkan semua pemanfaat common property berada dalam satu kolam (pool), dan aktivitas seseorang secara langsung berdampak pada kesejahteraan orang lain dalam pemanfaatan sumberdaya properti tersebut, sehingga umumnya tidak seorangpun yang bertanggung jawab atas kerusakan sumberdaya tersebut, sebagaimana ditunjukkan dalam banyaknya jumlah dan beragamnya jenis alat tangkap yang dipergunakan, maupun cara pengoperasian yang dilakukan oleh nelayan. Konflik nelayan yang mereda, belum menjamin bahwa konflik tidak akan terulang kembali bila ‘akar’ penyebab konflik belum diselesaikan secara mendasar. Selanjutnya analisis terhadap konflik antar nelayan di atas, dalam pandangan Blalock (1989) dan Webster (1993) bahwa ketersediaan sumberdaya yang terbatas tidak sebanding dengan tingginya jumlah nelayan yang memanfaatkan telah berkembang menjadi pemicu munculnya konflik pada persoalan distribusi sumber-sumberdaya tersebut. Di samping itu juga didorong oleh adanya upaya antar pihak pemanfaat sumberdaya untuk saling mengesampingkan kepentingan pihak lain sebagai akibat adanya perbedaan nilai maupun status serta keterbatasan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan.

B. Resolusi Konflik

Berdasar analisis di atas menunjukkan bahwa langkah penyelesaian terhadap konflik antar nelayan di Selat Madura telah dilakukan dengan berbagai bentuk kebijakan Gubenur Jawa Timur yaitu Kebijakan Pengaturan bagi Nelayan Andon (1983), Pelarangan Penggunaan Alat Tangkap Trawl (1995), Pembentukan FKPPS di Laut Provinsi Jawa Timur (2000), Pendekatan Kultural melalui Kesepakatan Bersama (islah) di Masjid Ampel Surabaya (2001), serta Pembentukan Tim Pembina

360 Kesimpulan dan Implikasi dan Pengawas terhadap Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Wilayah Kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (2003) masih belum mampu menghentikan munculnya konflik antar nelayan di Selat Madura, karena tahun 2004 muncul kembali konflik nelayan disertai kekerasan. Untuk itulah dalam konteks otonomi daerah perlu dicermati lebih jauh faktor ‘pemicu’ konflik nelayan yang terjadi pada tahun 2000 hingga 2004. Selanjutnya mencermati perkembangan kebijakan yang ada guna pengelolaan wilayah laut dapat dilihat pada tabel 7.1 berikut:

Tabel 7.1 Perbandingan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Laut dalam UU No. 5 Tahun 1974; UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004

No U r a i a n UU No. 5/1974 UU No. UU No. 32/2004 22/1999

1 Waktu 1993-1994 1998 2004 - sekarang Konflik/Era Orde Baru 2000-2004 Reformasi/ Transisi (Ephouria Demokrasi)

2 Paradigma Sentralisasi Otonomi Luas Otonomi Luas

3 Konfigurasi Otoritarian Demokrasi Demokrasi Politik

4 Tujuan Tidak diatur Efektifitas Efektifitas Pengaturan dengan Peranserta, Peranserta, Wil. Laut maksud untuk memperhatikan memperhatikan melancarkan potensi dan potensi dan pemb. dan keragaman keragaman stabilitas politik Daerah Daerah

5 Bentuk Tidak Pembagian wil Pembagian wil Pengaturan mengatur Wil. laut pd Daerah laut pd Daerah Wil. Laut Laut Prop, Kab. dan Prop, Kab. dan Kota Kota

361 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

6 Implikasi Tidak Wilayah Wil Laut sbg Pengaturan mengatur Laut sebagai milik Daerah Wil. Laut ke- wenangan ‘milik’ Daerah Prop. Kab. dan Daerah di Provinsi Kota. Wil. Laut. Kabupaten dan Laut menjadi wil Masyarakat/ Kota. yg dikelola oleh nelayan hanya Masyarakat/ Daerah. sebatas me- Nelayan Ketentuan ini manfaatkan menjadi ikut tidak berlaku sumber daya di ‘memiliki’ bagi nelayan wil laut. terhadap kecil sumberdaya di wil. Laut. Sumber : Diolah Oleh Peneliti

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah diundangkan pada tanggal 23 Juli 1974 pada masa Orde Baru. Kebijakan ini tidak mengatur tentang pembagian wilayah laut. Pembagian wilayah laut secara eksplisit mulai tercantum pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diundangkan pada tanggal 7 Mei 1999 di era Reformasi/Transisi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Dalam Undang-Undang tersebut secara jelas membagi wilayah laut dalam kewenangan daerah provinsi, kabupaten dan kota. Namun, peraturan pelaksanaan dari ketentuan yang secara khusus mengatur tentang pembagian wilayah laut, tata ruang maupun pengelolaannya belum pernah diatur. Hal inilah yang menyebabkan adanya beragam penafsiran di tingkat pelaksanaan dengan segala implikasinya yang dalam hal ini justru menjadi ‘pemicu’ konflik antar nelayan dalam kasus di atas. Selanjutnya ketentuan pembagian wilayah laut bagi daerah yang memiliki wilayah laut tetap dipertahankan, dalam arti tetap tercantum dalam Undang-Undang pemerintahan daerah yang baru yakni Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004 pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Namun dalam ketentuan tersebut secara eksplisit ditegaskan bahwa dalam hal pembagian wilayah laut tidak

362 Kesimpulan dan Implikasi berlaku bagi nelayan kecil (dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan “nelayan kecil” adalah nelayan masyarakat tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dan alat penangkapan ikan secara tradisional, dan terhadapnya tidak dikenakan surat izin dan bebas dari pajak, serta bebas menangkap ikan di seluruh pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia). Bila mencermati lebih jauh menunjukkan bahwa terjadinya konflik antar nelayan di Selat Madura pada tahun 1998 lebih disebabkan oleh situasi ‘euphoria’ demokrasi pasca jatuhnya rezim Orde Baru, hal ini diwujudkan dengan bentuk penyelesaian konflik yang tidak mengindahkan ketentuan hukum yang ada, seperti : pembakaran perahu, mesin dan alat tangkap bagi nelayan yang tidak menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, serta pada saat itu Undang-Undang otonomi daerah masih menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, di mana belum mengatur wilayah laut bagi daerah. Kondisi konflik di atas sebagaimana juga terjadi pada beragam kasus konflik yang muncul di berbagai wilayah di tanah air, seperti dikemukakan Ipong S. Azhar bahwa setelah rezim Orde Baru jatuh dan era Reformasi bergulir (1998-sekarang), hampir semua persoalan yang ditinggalkan rezim Orde Baru beserta potensi konflik tersebut mulai manifes ke permukaan di semua wilayah. (Azhar, S. Ipong, 1999:xix). Namun situasi menjadi berubah ketika pemerintah menerapkan Kebijakan Otonomi Daerah (UU No. 22 Tahun 1999) pada tahun 2001, yang mengatur secara eksplisit wilayah laut bagi daerah otonom yang berbatasan dengan laut, sehingga dasar ketentuan tersebut justru memfasilitasi menguatnya munculnya konflik atau bahkan bentuk konflik semakin mengeras. Pada tahun 2001 dan seterusnya, bentuk konflik antar nelayan tidak hanya mengakibatkan kerugian materiil, namun juga menimbulkan korban jiwa (tewasnya nelayan dari masing-masing pihak yang konflik). Mencermati bentuk solusi yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah (Dinas Kelautan dan Perikanan) merespon terhadap konflik antar nelayan sepanjang kurun waktu antara tahun 1998 hingga 2004,

363 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim menunjukkan bahwa langkah-langkah yang telah dilakukan belum memberikan penyelesaian terhadap akar atau sumber penyebab terjadinya konflik nelayan. Hal ini disebabkan bahwa penggunaan alat tangkap dari nelayan Pasuruan (Lekok dan Kraton) maupun nelayan Sampang (Camplong dan Sreseh) lebih disebabkan adanya dukungan pengadaan peralatan baik perahu/motor tempel (kapal purse seine) dari para juragan/ pengepul/suplier ,sehingga bagi nelayan yang terikat utang dengan juragan harus tetap melaut dengan peralatan yang dimiliki tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya, namun juga untuk mendapatkan hasil tangkapan yang wajib dijual pada juragan/supplier/pengepul sebagai bentuk pembayaran utang atas ikatan nelayan dengan penetapan harga oleh juragan dengan sistem bagi hasil sebagai bentuk upaya bagi juragan/ supplier agar tetap mampu memasok pada pihak pemberi modal/pabrik ataupun restoran. Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan laut di wilayah perairan Selat Madura secara prinsip tidak berbeda dengan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan laut lainnya di wilayah Indonesia. Dalam hal kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan laut (CPR) terkait dengan timbulnya konflik nelayan guna kepentingan analisis ini secara keseluruhan dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) periode, yaitu Periode Orde Baru (1993-1994); Periode Reformasi (1998); dan Periode Otonomi Daerah (1999-2004). Pada Periode Orde Baru dengan paradigma sentralisasi yang menitikberatkan pada stabilitas politik dan keamanan, dalam masa ini bentuk konflik antar nelayan tidak sampai muncul sebagai konflik terbuka, disebabkan pada karakteristik pendekatan masa Orde Baru yang bersifat reaktif dan represif. Selanjutnya pada Periode Reformasi yang ditandai dengan terbukanya ‘ruang’ kebebasan bagi publik untuk mengekspresikan pendapatnya dengan pijakan demokrasi pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain, bahwa runtuhnya rezim Orde Baru membawa implikasi terhadap menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi negara (pemerintah). Hal ini menyebabkan bentuk konflik nelayan menjadi manifes ke permukaan (konflik terbuka), sehingga

364 Kesimpulan dan Implikasi terjadi ‘pengadilan jalanan’, seperti: pembakaran perahu dan mesinnya, pembuangan alat tangkap ke laut. Periode Otonomi Daerah, bentuk konflik justru semakin mengeras (seperti: penyanderaan perahu, nelayan dan tuntutan uang tebusan atas pelanggaran wilayah hingga penganiayaan yang disertai pembunuhan nelayan). Kondisi tersebut selain disebabkan ‘euphoria’ demokrasi yang dikembangkan pada masa pemerintahan B.J. Habibie dan berlanjut pada pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid, di antaranya dengan hadirnya Kebijakan Otonomi Daerah (Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah), di mana secara eksplisit menegaskan adanya kewenangan Daerah/Kabupaten/ Kota dalam pengelolaan sumber daya di wilayah laut. Ketentuan tersebut menguatkan nelayan tradisional (Bangkalan) yang memiliki kewenangan atas wilayah laut di daerahnya dan merasa terancam eksistensi ekonominya terhadap nelayan modern (Sampang dan Pasuruan) untuk melakukan perlawanan. Menurut Simmel (1955), bahwa perlawanan nelayan tradisional tersebut merupakan manifestasi dari perjuangan kepentingan individunya, karena itu cenderung berlangsung semakin keras (anarkis). Menelusuri kondisi tersebut menunjukkan bahwa ‘akar’ persoalan konflik adalah terancamnya sumber-sumber subsistensi nelayan tradisional oleh nelayan modern yang menggunakan alat tangkap lebih produktif daripada alat tangkap nelayan tradisional. Berdasarkan hasil analisis dari temuan kasus konflik nelayan selama kurun waktu tahun 1993 hingga 2004 diketahui bahwa faktor penyebab konflik nelayan disebabkan adanya perbedaan penggunaan teknologi penangkapan sebagai akibat semakin berkurangnya persediaan atau potensi sumberdaya perikanan laut yang dapat dimanfaatkan oleh nelayan di Selat Madura dan nelayan modern melakukan aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang bersifat eksploitatif tersebut disebabkan mereka terikat pinjaman permodalan khususnya nelayan Sampang dan Pasuruan. Selanjutnya konflik terbuka terjadi disebabkan adanya perubahan rezim pemerintahan dari Orde Baru ke era Reformasi/ Awal era Transisi, dalam periode ini (1998) pemerintah transisi hadir dalam situasi ‘euphoria’

365 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim demokrasi. Perluasan demokratisasi yang telah menghadirkan ‘Euphoria’ itu setidaknya mewakili berlangsungnya liberalisasi politik di Indonesia (Manan, 2005) dan berlanjut hingga era Otonomi Daerah. Hal tersebut membawa implikasi terhadap perubahan kebijakan dalam kewenangan pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah tidak mengatur kewenangan daerah (provinsi, kabupaten maupun kotamadya) terhadap pengelolaan wilayah laut (termasuk sumberdaya laut dan perikanan), sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan laut menjadi kewenangan yang bersifat sentralistis atau dikelola oleh pemerintah pusat. Runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru sebagai akibat melemahnya ‘legitimasi’ rakyat tidak serta merta membawa perubahan kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya laut berpindah dari pusat kepada daerah. Pada era Reformasi (1998) bentuk konflik telah bergeser dari konflik tertutup menjadi konflik terbuka, konflik antarnelayan disertai kekerasan berupa pembakaran kapal dan penganiayaan terhadap nelayan. Perubahan bentuk konflik bukan disebabkan adanya otonomi daerah, namun lebih disebabkan oleh adanya ‘euphoria’ demokrasi dengan diberikannya ‘ruang’ berkembangnya ‘liberalisasi’ politik ketika pemerintah (negara) ‘lemah’ dan gagal dalam mengendalikan masyarakat karena tidak memperoleh dukungan dari masyarakat. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah memicu konflik terbuka menjadi bersifat anarkis (2000-2001). Konflik nelayan yang pada awalnya hanya disebabkan perbedaan teknologi penangkapan baik alat tangkap maupun cara pengoperasiannya menjadi dipertajam dengan adanya perubahan kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah laut, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah - Bab II, Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (2), (3) dan (4). Dalam arti bahwa bagi daerah kabupaten/kota yang berbatasan dengan laut pada era Otonomi Daerah menjadi memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut.

366 Kesimpulan dan Implikasi

Dengan demikian, konflik nelayan masih berpotensi untuk muncul kembali mengingat akar penyebab konflik antar nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya milik bersama (CPR) pada ‘pool’ Selat Madura belum dapat diselesaikan. Pemanfaatan yang berlebihan oleh satu pihak pemanfaat dengan menggunakan teknologi penangkapan yang berbeda telah menyebabkan pihak lain dirugikan hingga terancam keberlangsungannya untuk mendapatkan sumberdaya hewani di laut telah menimbulkan konflik. Sementara itu, perubahan terhadap kewenangan pengelolaan sumberdaya tersebut menjadi sumberdaya milik bersama (common property) di era Otonomi Daerah, atau dari ‘open access’ menjadi ‘controlled access’ sebagaimana Kebijakan Otonomi Daerah menjadikan nelayan setempat berkepentingan untuk ikut ‘memiliki’ kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya hewani di laut. Dengan demikian guna menghindari terulangnya kembali terjadinya konflik nelayan, maka faktor penyebab konflik secara substansi atau akar dari konflik antar nelayan tersebut harus diselesaikan. Selanjutnya resolusi yang dapat dilakukan guna menyelesaikan konflik nelayan yaitu: Pertama, dengan cara mandirikan nelayan, khususnya nelayan modern (Sampang dan Pasuruan), dari ikatan utang pada juragan/supplier, melalui peningkatan ketrampilan nelayan serta program pemberdayaan lainnya dalam lingkup sektor perikanan dan kelautan. Kedua, mengupayakan pemindahan penduduk atau relokasi/ resetlemen atau translok (transmigrasi lokal) dari wilayah Lekok, Pasuruan, ke wilayah lain di pesisir Selat Madura. Hal ini lebih memberikan peluang pemerataan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut tidak pada lokasi yang relatif berdekatan.

367 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

C. Implikasi Teoretis

Dalam implikasi teoritik ini, setidaknya ada empat implikasi teoretisnya. Pertama, berkaitan dengan kebijakan publik: Kedua, teori konflik; Ketiga berkaitan dengan hubungan negara dan mayarakat dalam resolusi konflik; Keempat berkaitan dengan teori sumber daya milik bersama (Common Pool-Resource/CPR), dan otonomi daerah. Implikasi terkait dengan kebijakan publik, sejalan dengan tesis Peterson (1983) bahwa kebijakan publik merupakan aksi pemerintah terkait dengan ‘siapa mendapatkan apa’. Analisis menguatkan pandangan tersebut bahwa berbagai ‘aksi’ atau tindakan yang dilakukan pemerintah ditujukan guna menyelesaikan konflik nelayan dalam Era Reformasi hingga Era Otonomi Daerah. Namun, kebijakan pemerintah masih sebatas mencari solusi akibat konflik dan secara normatif keputusan-keputusan yang ditetapkan belum menjamin penyelesaian konflik secara mendasar karena belum semua pihak memperoleh jaminan terhadap eksistensinya terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan laut sebagai common property (CPR), sebagaimana tesis Peterson (1983) belum terjangkau secara keseluruhan oleh kebijakan yang ditetapkan pemerintah, mengingat efektivitas dari pelaksanaan kebijakan terkait dengan sumberdaya perikanan laut sebagai ‘public goods’ masih jauh dari ketentuan normatifnya. Implikasi kedua, berkaitan dengan teori-teori konflik, temuan hasil penelitian mendukung perspektif Ritzer (1992) bahwa wewenang dan posisi justru merupakan sumber pertentangan sosial, di mana wewenang dan posisi sebagai konsep sentral dari Teori Konflik. Ketidakmerataan distribusi kekuasaan dan posisi akan menempatkan masyarakat dalam posisi yang saling berbeda, sehingga memicu timbulnya konflik dalam masyarakat. Konflik antar nelayan disebabkan adanya dua pihak yang memiliki posisi berbeda yaitu antara nelayan tradisional dan modern. Nelayan modern memiliki posisi yang jauh lebih baik dari berbagai aspek dibandingkan dengan nelayan tradisional.

368 Kesimpulan dan Implikasi

Fenomena empirik menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dalam konteks kebijakan otonomi daerah yang memberikan ‘ruang’ kewenangan pada daerah telah menempatkan nelayan tradisional (Bangkalan) pada posisi sebagai pihak yang ‘memiliki’ kewenangan atas potensi sumberdaya perikanan laut di ‘wilayahnya’, sedangkan nelayan modern (Sampang dan Pasuruan) sebagai nelayan andon (pendatang) yang ikut memanfaatkan sumberdaya perikanan laut pada ‘wilayah’ yang menjadi kewenangan nelayan tradisional pada era Otonomi Daerah telah menjadi ‘trigger/akseleration’ konflik menjadi terbuka dan anarkis. Hal disebabkan tidak tunduknya nelayan modern atas ketentuan yang diberlakukan oleh nelayan tradisional yakni penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan sebagaimana alat tangkap tradisional. Nelayan modern, semasa Orde Baru sebagai ‘penguasa’ yang ‘memiliki’ berbagai kemudahan (akses) terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan laut senantiasa ingin mempertahankan ‘set of properties’ yang melekat pada kekuasaannya, di samping itu mereka juga berkepentingan agar ‘wilayah’ perairan nelayan tradisional (Bangkalan) tetap terbuka bagi penggunaan alat tangkap modern (Sampang dan Pasuruan) sebagaimana ketika era Orde Baru. Pada sisi lain nelayan tradisional-pihak yang dikuasai-selalu terobsesi untuk mewujudkan ‘perubahan’ yang dianggap merupakan satu- satunya cara untuk menggapai perbaikan posisinya terkait dengan tingkat kompetisi dengan nelayan modern (Sampang dan Pasuruan) di ‘wilayah’ perairannya, maka hadirnya otonomi daerah menjadi peluang bagi nelayan tradisional untuk mewujudkan ‘obsesi’ terhadap perubahan tersebut. Selanjutnya dalam perspektif Simmel (1955), bahwa konflik nelayan cenderung menjadi semakin mengeras setidaknya disebabkan adanya keterlibatan emosional pihak yang terlibat konflik. Semakin tinggi derajad keterlibatan emosi pihak yang konflik, maka semakin kuat kecenderungan untuk mengarah pada kekerasan. Semakin suatu konflik dirasakan oleh anggota yang terlibat konflik sebagai sesuatu yang memperjuangkan kepentingan individu, maka semakin cenderung konflik akan berlangsung secara keras. Pihak konflik yakni nelayan tradisional

369 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

(Bangkalan) memiliki ikatan emosional dan tingkat kekerabatan yang tinggi. Konflik merupakan manifestasi atas ancaman nelayan modern terhadap sumber-sumber ekonominya secara individual, sehingga konflik tersebut cenderung berlangsung semakin keras karena sebagai sesuatu yang memperjuangkan kepentingan individu. Implikasi konflik terkait dengan hubungan negara dan masyarakat dalam resolusi konflik. Sejalan dengan tesis Migdal (1988) bahwa dalam proses resolusi konflik tidak mungkin meniadakan peran negara dan masyarakat terkait dengan peran mereka dalam pola relasi negara dan masyarakat. Hasil analisis konflik antar nelayan periode konflik 1993- 1994 pada era Orde Baru; menunjukkan adanya dominasi peran negara, sedangkan tingkat partisipasi masyarakat kecil sehingga masyarakat hanya sebagai pemanfaat atas sumberdaya perikanan laut. Dalam konteks pola relasi negara dan masyarakat bersifat pyramidal dan elitis sebagaimana terepresentasikan dalam kewenangan pengelolaan atas sumberdaya perikanan laut bersifat terpusat. Selanjutnya periode konflik 1998 pada era Reformasi/Transisi; menunjukkan bahwa negara mengalami ‘delegitimasi’ oleh rakyat, gagal dan kehilangan sebagian besar kontrolnya terhadap rakyat. Sebaliknya masyarakat dominan dalam mengontrol negara sebagai dampak ‘liberalisasi’ di bidang politik. Dalam hal ini pola relasi negara dan masyarakat menjadi saling mencurigai (diffused/distrust), karenanya timbul konflik terbuka. Pada periode konflik 2000-2004 di era Otonomi Daerah; menunjukkan bahwa ‘rezim’ yang berkuasa pada awal pemerintahan cukup memperoleh dukungan (strong) kuat, namun dalam perkembangannya dukungan politik melemah (weak) lemah, sedangkan peran masyarakat (strong) kuat, mandiri dan partisipatif. Dalam pola relasi negara dan masyarakat menunjukkan pada awal masih saling percaya (trust) sinergi, namun berkembang menjadi mencurigai (diffused/distrust). Dalam konteks konflik era Otonomi Daerah, sejalan perspektif relasi negara dan masyarakat sebagaimana tesis Migdal (1988), fakta empiris menunjukkan bahwa pemerintah yang mendapatkan dukungan masyarakat di awal pemerintahan pada perkembangannya bisa kehilangan ‘legitimasi’,

370 Kesimpulan dan Implikasi sementara itu masyarakat dalam situasi partisipatif dalam melakukan kontrol terhadap negara/pemerintah, sehingga pola relasi negara dan masyarakat menunjukkan ‘instabilitas’ artinya terjadi pola hubungan (diffused/distrust). Saling curiga, disebabkan pada masa ini merupakan masa transisi demokrasi. Implikasi ketiga; Mendukung perspektif Ostrom (1977) tentang teori sumberdaya perikanan laut sebagai sumberdaya properti bersama (Common-Pool Resource/CPR) karena memiliki sifat khas dan tidak biasa, sehingga sebagai sumberdaya properti bersama tidak lantas keadaan buruk nelayan serta tidak efisiennya produksi perikanan kemudian menjadi baik. Gordon (1954) bahwa kondisi semakin parah karena kerusakan dan kepunahan untuk spesies ini lebih mudah terjadi pada sumberdaya ikan dibandingkan sumberdaya alam lainnya di darat. Hardin (1968) bahwa kerusakan dan kelebihan pemanfaatan atas sumberdaya properti bersama bukan karena banyaknya jumlah pemanfaat/pemegang hak properti, namun lebih disebabkan moralitas yang kurang, etika yang buruk serta aspek perundang-undangan yang tidak mendukung. Untuk itu populasi pemegang hak properti atas sumberdaya bersama harus dikendalikan, karena semakin banyak jumlah pemanfaat properti bersama akan semakin kompleks dan serius masalah yang akan muncul. Hasil analisis menemukan bahwa ‘tragedy’ dalam istilah Hardin (1968), muncul tidak hanya disebabkan oleh moralitas yang kurang, etika yang buruk serta aspek perundang-undangan yang tidak mendukung saja, namun tingginya jumlah pemanfaat atau pemegang hak properti yang tidak dikendalikan ikut memberikan ‘kontribusi’ terhadap munculnya ‘tragedy’. Hal ini sejalan dengan perspektif Ostrom (1977) bahwa sumberdaya properti bersama (common-pool resource/CPR)) sulit dalam membatasi dan membaginya, karena semua orang yang memanfaatkan sumberdaya berada dalam suatu kolam/tempat (Pool) dan Aktivitas seseorang secara langsung berdampak pada keberadaan dan kesejahteraan orang lain dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut, sehingga umumnya tidak seorangpun yang bertanggungkjawab atas kerusakandan kemunduran mutu sumberdaya tersebut, sebagaimana

371 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim ditunjukkan semakin langkanya berbagai jenis sumberdaya hewani laut, serta berkurangnya perolehan hasil tangkapan meski menggunakan berbagai ragam alat tangkap. Di samping hal di atas sebagaimana tesis Gordon (1954), Hardin (1968) dan Ostrom (1977) melengkapi hal itu hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan kewenangan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan laut dari bentuk terpusat menjadi terdesentralisasi (‘open access’ menjadi ‘controlled access’) sehingga menjadi ‘trigger’ atau ‘akselerator’ munguatnya bentuk ‘tragedy’ dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut. Implikasi keempat, berkaitan dengan Otonomi Daerah menunjukkan bahwa perubahan ‘rezim’ pemerintahan tidak serta merta membawa perubahan yang ‘signifikan’ terhadap tujuan otonomi daerah yaitu hak dan wewenang mengelola daerah, dan tanggung jawab untuk kegagalan dalam mengelola daerah. Perubahan kewenangan dalam mengelola sumberdaya di wilayah laut dari kewenangan pemerintah pusat menjadi kewenangan daerah otonom dalam atmosfir era reformasi/transisi demokrasi ternyata membawa implikasi munculnya konflik horizontal antar nelayan. Kegagalan daerah dalam mengelola pemanfaatan sumberdaya di wilayah laut belum diselesaikan secara mendasar, sebagaimana makna otonomi daerah itu sendiri yaitu hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku.

D. Wacana Kebijakan

Konflik nelayan di Selat Madura (1993-2004) pada dasarnya merupakan konflik antara nelayan tradisional (Kwanyar, Kabupaten Bangkalan) berhadapan dengan nelayan modern (Camplong dan Sreseh, Kabupaten Sampang, maupun Kraton maupun Lekok, Kabupaten Pasuruan). Jika dicermati mendalam menunjukkan bahwa akar konflik disebabkan adanya ancaman terhadap keberlangsungan sumber nafkah/sumber kesejahteraan

372 Kesimpulan dan Implikasi

(subsistensi) bagi nelayan tradisional Kwanyar yang selama ini menjadi jaminan kehidupan nelayan setempat. Nelayan Kwanyar dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan laut selama ini dalam melakukan aktivitasnya melaut tetap menggunakan alat tangkap tradisional seperti: jaring-jaring hanyut serta pancing dengan harapan bahwa sumber-sumber ekonomi tetap dapat dijaga keberlangsungannya. Dalam kurun waktu yang sama nelayan Camplong, dan Sreseh, dan Lekok, serta Kraton menggunakan alat tangkap yang lebih produktif (modern) sebagai hasil ‘investasi’ para juragan/pengepul/ supplier yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut pada wilayah perairan yang sama. Hal tersebut tentunya bagi nelayan Kwanyar merupakan ancaman terhadap keamanan sumber-sumber ekonominya (subsistensinya). Penggunaan alat tangkap modern (produktif ) oleh Nelayan Sampang dan Pasuruan telah mengurangi secara langsung kesempatan perolehan hasil tangkapan bagi nelayan Kwanyar, karena yang menjadi obyek pemanfaatan oleh nelayan merupakan sumberdaya hewani laut yang pada dasarnya memiliki karakteristik tertentu atau memiliki sifat khas dan tidak biasa (Gordon,1954), dan sumberdaya yang ‘diperebutkan’ tersebut kondisinya semakin parah karena kerusakan dan kepunahan spesies lebih mudah terjadi pada sumberdaya hewani laut daripada jenis sumberdaya lainnya di darat. Banyaknya jumlah nelayan pemanfaat sumberdaya hewani di laut, khususnya Pasuruan maupun Sampang bukan menjadi sumber kerusakan dan kelebihan pemanfaatan (over fishing)(Hardin,1968), namun jumlah pemanfaat bila tidak dikendalikan akan memunculkan ‘tragedy’ yang kompleks dan serius, seperti serangkaian konflik nelayan yang terjadi sepanjang tahun 1993 hingga 2004. Sedangkan sumber kerusakan dan kelebihan pemanfaatan common property, lebih dikakibatkan oleh adanya moralitas yang kurang dan etika yang buruk seperti: penggunaan alat tangkap yang tidak diizinkan untuk dioperasikan yakni mini trawl (istilah lokal: wes e wes), pengoperasian alat tangkap tertentu yang seharusnya hanya dioperasikan pada wilayah tangkap di atas 4 mil laut dan sebagainya.

373 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Hal lain yang juga memberikan kontribusi terhadap kerusakan terhadap sumberdaya properti adalah aspek perundang-undangan yang kurang mendukung, dalam hal ini akibat lemahnya pengawasan terhadap penggunaan teknologi penangkapan dan wilayah pengoperasiannya sebagai akibat mahalnya biaya atas ‘transaksi’ ketentuan hukum tersebut. Dalam konteks itulah nelayan tradisional Kwanyar bereaksi menjadi bersikap menolak terhadap penggunaan alat tangkap modern oleh nelayan Kraton dan Lekok. Prinsip mendahulukan keselamatan inilah yang menjadi faktor utama penolakan dan perlawanan nelayan tradisional terhadap nelayan modern di Selat Madura, jika mereka dihadapkan pada tiadanya pilihan lain terhadap ancaman keamanan sumber-sumber ekonominya. Hal ini termanifestasikan dalam bentuk konflik nelayan di Selat Madura. Selanjutnya konflik nelayan berupa penolakan atau penolakan terhadap penggunaan alat tangkap modern di wilayah perairan Kwanyar tidak terlepas dari peran elit desa, Perlawanan atau penolakan terhadap perubahan atau penggunaan alat tangkap modern di Kwanyar dapat dihambat atau tidak terjadi karena kebijakan/ tindakan elit desa/petinggi untuk “melindungi” atau “menjaga” nilai-nilai nelayan tradisional dalam bentuk: (1) pinjaman modal kerja/biaya melaut bagi 100 perahu pada tahun 1990; (2) memberikan contoh nyata bagi nelayan untuk mendapatkan sumber ekonomi alternatif selain melaut berupa pemanfaatan lahan pertanian untuk tanaman padi; (3) menjadi pihak pertama melakukan mediator perdamaian pada nelayan Kraton (Pasuaruan) sehingga lahirlah islah antar nelayan yang terlibat konflik di Masjid Sunan Ampel (2001). Dengan berbagai langkah itulah nelayan tradisional Kwanyar hingga saat ini masih mampu bertahan dengan alat tangkapnya yang ramah lingkungan (tradisional). Namun hal tersebut dapat berubah seiring dengan peta politik kepentingan elit desa Kwanyar. Konflik nelayan yang terjadi tersebut diakibatkan oleh adanya perbedaan kepentingan sebagaimana perbedaan dalam penggunaan teknologi penangkapan dari masing-masing pihak yang terlibat konflik serta adanya perubahan rezim pemerintahan. Konflik yang terjadi tahun 1993-1994 antar nelayan meskipun terjadi karena ketidakadilan

374 Kesimpulan dan Implikasi perlakuan antara nelayan tradisional dan modern sebagaimana perbedaan penggunaan alat tangkap, namun tidak muncul ke permukaan (konflik tertutup). Hal ini disebabkan atmosfir politik masa Orde Baru sebagai negara yang ‘kuat’ (Mackie,1994) yang mengutamakan pendekatan keamanan dan bersifat represif. Namun konflik nelayan menjadi berbeda ketika tahun 1998-2004, di mana intensitas konflik nelayan semakin tinggi, bahkan bentuk konflik nelayan semakin mengeras, berupa: pembakaran perahu mencapai 15 unit, mesin dan alat tangkap, dan beberapa unit perahu disandera untuk mendapatkan tebusan senilai jutaan rupiah serta merenggut korban 8 nelayan tewas. Perlawanan nelayan (tradisional vs modern) dalam bentuk konflik terbuka terjadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru (1998), sehingga adanya masa transisi/reformasi menimbulkan situasi ‘euphoria’ demokrasi, hal ini membawa implikasi pada persoalan konflik nelayan menjadi konflik kekerasan sebagai akibat menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap negara (pemerintah) yang dipandang selama ini tidak bersikap adil terhadap pelanggaran penggunaan alat tangkap, bahkan ‘oknum aparat’ pemerintah dipandang berada ‘dibalik’ pelanggaran penggunaan alat tangkap itu sendiri. Konflik nelayan terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang memiliki karakteristik berbeda, karena sumberdaya perikanan laut merupakan milik bersama, meminjam istilah Garrett Hardin disebut sumberdaya milik bersama (common property), tentunya bentuk penyelesaiannya memerlukan pendekatan yang berbeda pula. Konflik dalam memperebutkan sumberdaya perikanan laut tersebut, dalam perspektif Simmel (1955) merupakan konflik yang melibatkan nelayan tradisional yang merasa terancam kepentingannya (individu) dalam hal mempertahankan sumber nafkah terhadap ancaman pihak nelayan modern, semakin cenderung berlangsung secara keras sebagaimana bentuk konflik menjadi terbuka dan anrkis. Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya milik bersama itu dapat ditunjukkan pada konflik nelayan di atas, di mana masing-masing pihak memiliki pemahaman yang berbeda atas pemanfaatan sumberdaya

375 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim perikanan laut. Dalam perspektif Hardin (1968) menunjukkan bahwa konflik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut sebagai milik bersama/common property lebih diakibatkan oleh rendahnya tanggungjawab terhadap ketersediaan sumberdaya perikanan laut bagi kepentingan bersama, hal ini ditunjukkan dengan nelayan modern menggunakan alat tangkap yang dapat mereka gunakan seberapa mereka mampu dan mau melakukannya tanpa ada batasan tertentu, sedang pada pihak lain, nelayan tradisional menggunakan alat tangkap tradisional, sehngga lebih dapat menjamin keberlangsungan sumberdaya perikanan laut untuk kepentingan komunitasnya dikemudian hari. Dengan demikian, berdasar atas tesis Hardin (1968) bahwa perebutan sumberdaya milik bersama (common property) di kolam atau perairan, sebagaimana dikemukakan Ostrom (1977) sebagai ‘pool’ Selat Madura yakni diakibatkan adanya benturan nilai moral yang dalam pemikiran Hardin disebut moralitas yang kurang, etika yang buruk, sebagaimana aktivitas melaut dari nelayan modern dengan menggunakan alat tangkap yang beragam dan bersifat eksploitatif serta intensitas melaut yang tinggi. Di samping itu, masih ditunjang ketiadaan perundang-undangan atau kebijakan yang mengatur kerja sama antar daerah guna mengendalikan nelayan dalam memanfaatkan sumber daya perikanan laut sebagai sumberdaya milik bersama (Common-Pool Resources). Kondisi di atas pada perkembangannya menimbulkan konflik hingga berujung pada kekerasan (anarkis) disebabkan adanya kondisi yang memungkinkan konflik menjadi eksplosif yaitu hadirnya kebijakan otonomi daerah serta lemahnya negara dalam konteks hubungan antara negara (pemerintah) dengan masyarakat (Mackie,1994), karena pemerintah atau negara (state) yang ‘delegitimate’ akan kesulitan mengendalikan masyarakatnya. Selanjutnya berdasarkan analisis fakta empirik menunjukkan bahwa perubahan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan laut dari terpusat menjadi kewenangan otonom daerah kabupaten/kota pada era Otonom Daerah belum sepenuhnya menjadikan daerah otonom memahami kewenangannya, sehingga sejalan dengan upaya pemerintah pusat untuk

376 Kesimpulan dan Implikasi menjadikan daerah kabupaten/kota dapat mengelola serta mencarikan solusi terkait dengan persoalan pemanfaatan sumberdaya di wilayah laut di daerahnya. Dalam kaitan itulah perlu adanya Kebijakan terhadap Pengelolaan konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut sebagai Sumber Daya Milik Bersama (Common Property Resources/CPR) di era Otonomi Daerah. Kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau bahkan meniadakan potensi konflik secara mendasar yakni: Pertama, perlunya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (integreted coastal zone manajemen) untuk wilayah perairan Selat Madura melalui pembentukan institusi yang mewadahi kerjasama antar kabupaten/ kota dalam pengelolaan sumber daya perikanan laut. Kedua, meningkatkan status keputusan gubernur menjadi peraturan daerah provinsi (Perda) tentang pengaturan nelayan Andon di Jawa Timur.

377 378 DAFTAR PUSTAKA

Acheson, James. M.1981. Antropology of Fishing, Annual Review of Antropology. Vol.10. Andrianto, Tuhana Taufiq. 2000. Konflik Maluku. Yogyakarta: Gama Global Media. Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Kelautan dan Kewilayahan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Anderson, J.E. 1979. Public Policy Making, New York: Holt, Rinehart and Winston. Affandi, Hakimul I. 2004. Akar Konflik Sepanjang Zaman: Elaborasi Pemikiran Ibn. Khaldun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Alchian, Armen A. And Harorld Demesetz. 1973. The Property Rights Paradigm, Journal of Economy History 33 (March). Arikunto, Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Arbaningsih, Dri dan HM Nasruddin Anshoriy, 2008. Negara Maritim Nusantara: Jejak Sejarah yang Terhapus. Yogyakarta: Tiara Wacana. Azhar, Ipong S. 1999. Radikalisme Petani Masa Orde Baru. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Untuk Indonesia. Baharuddin, Basri , H. 2000, Pemberdayaan Masyarakat Nelayan dalam Perspektif Otonomi Daerah, Makalah Lokakarya Nasional, Surabaya.

379 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Basrowi, H. Mohammad. 2004. Memahami Sosiologi, Lutfansa Mediatama, Surabaya. Basrowi dkk. 2003. Teori-teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif, Insan Cendekia, Surabaya. Basyar, Hamdan (ed.). 2003. Konflik Poso: Pemetaan dan Pencarian Pola- pola Alternatif Penyelesaiannya, P2P LIPI, Jakarta. Baiquni, M. 2004. Membangun Pusat-Pusat Di Pinggiran: Otonomi di Negara Kepulauan. Yogyakarta: ideAs dan PKPEK. Baley, Conner. 1998. “Mengelola Sumberdaya yang Terbuka: Kasus Penangkapan Ikan di Daerah Pantai” dalam David C. Korten dan Syahrir (ed). Pembangunan Berdemensi Kerakyatan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Burton, John. 1990. Conflict: Resolution and Provention. London: Mac Millan Press. Bertrand, Alvin L. 1980. Sosiologi (Terjemahan Sanapiah Faisal). Surabaya: Bina Ilmu. Bryant, Coralie dan White Louse G.1987. Manajemen Pembangunan untuk Negara berkembang. Jakarta: LP3ES. Cahyono, Heru. 2008. Konflik Kalbar dan Kalteng: Jalan Panjang Meretas Perdamaian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Chusing, David H and J.W. Horwood. 1977. Development of a Model of Stock and Recruitment, dalam J.H. Steele (ed) Fisheries Mathematics. New York: Acad. Press. Chandler, R.C. and J.C.Plano. 1988. The Public Administration Dictionary, Second Edition, Santa Barbara, CA: ABC-CLIO Inc. Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli (ed).1983. Decentralization and development: Policy Imolementation in Developing Countries, Beverly Hills/London/New Delhi: Sage Publication. Camara, Dom Helder. 1971. Spiral of Violence. London: Sheed and Ward. Ciriacy-Wantrup, S.V. and R.C. Bishop. 1975. Common Property as a Concept in Natural Resource Policy, Natural Resource Journal, 15:713-724.

380 Daftar Pustaka

Coser, Lewis A.,1971. Masters of Sociological Thought (Ideas in Historical and Social Contex). San Diego New York: Harcourt Brace Javanovich, Publishers. Dahrendorf, Ralph. 1986. Edisi Indonesia Terjemahan Alimandan, 1986. Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri, Sebuah Analisa- Kritik. Jakarta: CV. Rajawali. Dahuri, Rohmin. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Diantha, Made P. 2002. Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia: Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Bandung: Mandar Maju. Dirjen Perikanan Tangkap, 2002. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2000. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Dye, Thomas R..1978. Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall, Inc. Emmerson, Donald. K. 1976. Biting the Helping Hand: Modernization and Violence in an Indonesian Fishing Community, Land Tenur Center Newsletter, No. 51, January-March. Fauzi, Achmad. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis dan Gagasan, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum. Faisal, Sanapiah. 1990. Pendekatan Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasinya. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Gaffar, Afan. 2000. Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan di Masa Mendatang, Wacana, No V. Gaffar, Afan. dkk. 2002. Otonomi Daerah: Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Galtung, Johan.1996. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan Dan Peradaban, Terjemahan: Asnawi-Syafruddin. Surabaya: Pustaka Eureka. Gautama, Yaury dan Putra Titan El. 1999. Melawan Dominasi: Sketsa Perlawanan Nelayan Cilacap 1998 dalam Wacana Edisi 4 Tahun I 1999. Yogyakarta.

381 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Ginting, S.P. 1998. Implikasi Otonomi Daerah dalam Pengembangan Prasarana di Wilayah Pesisir dalam Jurnal Pembangunan Daerah, Ditjen Pembangunan Daerah. Depdagri, Jakarta. Gordon, H. Scott. 1954. The Economic Theory of Common Property Resource : The Fishery,Journal of Political Economics, 62 (2): 124-142. GTZ, 2004. Memahami Desentralisasi: Beberapa pengertian tentang Desentralisasi, Pembaruan, Yogyakarta. Habib, Achmad. 2004. Konflik Antar Etnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa, LkiS, Yogyakarta. Hadi, Sutrisno. 1983. Methodologi Research, Jilid I. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. Hanif, Hasrul. 2008. Mengembalikan Daulat Warga Pesisir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hardin, Garrett. 1968. The Tragedy of the Common, Science 162 (3859): 1242-1248. Husain Sawit, M. 1986. Nelayan Tradisional Pantai Utara Jawa: Dilema Milik Bersama, Masyarakat Indonesia, 15, 67-87. Lasswell, H.D. and Kaplan A.1970. Power and Society. University Press: New Haven: Yale. Islamy, Irfan.1994. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara,Jakarta. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980. Instruksi Kepala Dinas Perikanan Daerah provinsi Tk I Jawa Timur Nomor 06/Inst/I/1983 tertanggal 25 Januari 1983; Petunjuk Pelaksanaan Pengaturan Nelayan Andon di Jawa Timur. Johnson, Paul, Doyle.1986. Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspectives (Teori Sosiologi Klasik dan Modern –1). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Jonge, Hub de., Kapitaal en Verschulding in de Visserj op Madura, Antropogische Verkenningen, No. 4,1985; lihat pula Jonge, Huub de. 1989. Madura dalam empat zaman : Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam, Jakarta: PT Gramedia.

382 Daftar Pustaka

Jones, Charles O.1991. Pengantar Kebijakan Publik, (terjemahan), Jakarta: Rajawali Press. Jimung, Martin. 2005. Politik Lokal dan Pemerintah Daerah dalam Perspektif Otonomi Daerah. Yogyakarta. Kaloh. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Rineka Cipta, Jakarta. Kaho, Josef Riwu. 1988. Prospek Otonomi Daerah di Negara RI. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor: IK.340/DJ/10106/97 tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 503/Kpts/Um/7/1980. Keputusan Gubernur KDH Tk I Jawa Timur Nomor: 9 Tahun 1983 tentang Pengaturan Nelayan Andon di Jawa Timur. Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 523/41/6/67/46/1995 tentang Pelarangan Penggunaan Alat Tangkap Trawl. Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor: 188/234/SK/014/2000 tentang Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS) di Laut provinsi Jawa Timur. Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor: 188/136/KPTS/013/2003 tentang Tim Pembina dan Pengawas terhadap Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Wilayah Kewenangan Pemerintah provinsi Jawa Timur. Kasdi, Aminuddin. 2003. Perlawanan Penguasa Madura Atas Hegemoni Jawa. Yogyakarta: Jendela. Kaldor,M.1999. New and Old Wars.Organized Violence in a Global Era, Stanford: Stanford University Press. Keban, Yeremias T.2004. Enam Dimensi Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Gava Media. Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta: LkiS. ______.­­­­­­­ 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press.

383 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

______.­­­­­­­ 2006.Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Bandung: Humaniora Utama Press. Kusumaatmadja, Sarwono. 1996. ”Seminar Nasional Kelautan.” Surabaya: Universitas Hang Tuah. Khan, Benyamin, dan Akhmad Fauzi. 2001. Fisheries in the Sulu Sulawesi Seas: Indonesian Country Report. World Wide Fund for Nature (WWF)-Indonesia. Kuntowijoyo. 1980. Madura: Perubahan Sosial dalam masyarakat agraris 1850 – 1940. Jogyakarta: Mata Bangsa. Kuncoro, Mudrajad. 2003. Otonomi dan Pembangunan Daerah, Reformasi: Strategi dan Perencanaan. Lester, James P. and Joseph Stewart. 2000. Public Policy: An Evolutionary Approach. Australia: Wadsworth, Second Edition. Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik : Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara. Lubis, Zulkifli B. 2000. Menyelaraskan Pola dan Ruang Pengelolaan Sumber Daya Milik Komunal, dalam Seri Kajian Komuniti Forestri, tahun kedua, Februari. Mackie, Jamie dan MacIntyre, Andrew. 1994. “Politics” dalam Hal Hill. Indonesia’s New Order, The Dynamics of Socie-economic Transformation, Australia: Allen dan Unwin. Magnis, Frans S. 1999. Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia. Mas’oed, Mohtar dkk., 2000. Kekerasan Kolektif : Kondisi dan Pemicu, Yogyakarta: P3PK UGM. Mayer, Bernard. 2000. The Dynamics of Conflict Resolution. San Fransisco: Jossey-Bass Inc. Publishers. Mason, Philip. 1970. Pattern of Dominance. New York: Oxford University Press. Masyhuri, 1996. Menyisir Pantai Utara, Yayasan Pustaka Nusatama- Perwakilan KITLV, Yogyakarta. Masyhuri. 1999 Ekonomi Nelayan dan Kemiskinan Struktural dalam Masyhuri (ed.):Pemberdayaan Nelayan Tertinggal dalam Mengatasi

384 Daftar Pustaka

Krisis Ekonomi: Telaahan Terhadap Sebuah Pendekatan. Jakarta: Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan LIPI. Marbun, B.N. 2005. Otonomi Daerah 1945 – 2005: Proses dan Realita. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. McCay, B.J.1993. Management Regimes, Beijer Discussion Paper-No. 38. Beijer International Institute of Ecological Economics. The royal Swedish Academy of Science. Mien Achmad, Rifai. 2007. Manusia Madura : Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya. Yogyakarta: Pilar Media. Migdal, Joel S.1974. Peasant, Politics and Revolution. New Jersey: Princeton University Press. ______. 1988, Strong Societies and Weak States, New Jersey : Princeton University Press. Moleong, L. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Morgan, Douglas F., Shinn, Crig W., Green, Rick. 2002. Foundation of Public Service: Countiuities in Conflict.Http://eli.pdx.edu/erc/ foundationsbook/chap2 %20admindisc.pdf. Mustafa, Abubakar. 2006. Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Mulyadi. 2005. Ekonomi Kelautan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mubyarto, dkk. 1984. Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi Antropologi di Dua DesaPantai. Jakarta: Rajawali. Mustain. 2006. Peasant Movement in East Java Rural Areas During Reform Era: Peasant Reclaiming Movement towards Lands Occupied by PTPN XII in Kalibakar, South Malang, [email protected]. Post Graduate Airlangga University. Nawawi, Hadari. 1985. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Najib, Mochammad.1993. Karakteristik Sosial Budaya dan Masalah Perkoperasian Masyarakat Nelayan, dalam Masyarakat Indonesia. Nomor 1 (20).

385 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Nasution dkk, Arif, 2005. Isu-isu Kelautan: Dari Kemiskinan Hingga Laut. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nasir, M.T.K.2001.”Co-Management of Small-scale Fisheries in Malaysia”, Paper at Regional Consultation on Interactive Mechanism for Small-scale Fisheries Management, Bangkok,26-28 November 2001. Nikijuluw, Victor P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumber daya Perikanan. Jakarta: P3R dengan Pustaka Cidesindo. ______, Victor PH. 2000. “Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Dalam Perspektif Otonomi Daerah.” Makalah Lokakarya Nasional di Surabaya. Nitibaskara, Tubagus Ronny Rahman. 2002. Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah, M2 Print, Jakarta. Nugroho, Riant, 2008. Public Policy. Elex Media Komputindo, Jakarta. Ostrom, Elinor. 1990. Governing The Commons : The evolution of institutions for collective action, Cambridge University Press, New York. ______.1994. Self Organizing Resource Regims : A Brief Report on Policy Analysis, The Common Property Resource Digest, 31: 14-19. Ostrom, Elinor. 1977. Collective Action and the Tragedy of the Commons. Dalam Garrett Hardin dan John Baden (eds.) Managing the Commons. San Francisco : W.H. Freeman and Company. Peterson, S.A. 2003. Public Policy dalam Encyclopedia of Public Administration and Public Policy. Diedit oleh Jack Rabin. New York: Marcel Dekker. Peters, B. Guy. 1986. American Public Policy: Promise and Performance, Chatham, NJ: Chatham House. Piliang. dkk, Indra J. 2003. Otonomi Daerah : Evaluasi dan Proyeksi. Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa. Panayatou, T. 1992. Management Concept for Smal-scale Fisheries: Economic and Social Aspects. FAO Fish. Tech. Paper. Pomeroy, R.S. and F. Berkes.1997. Two to Tango: The Role of Government in Fisheries Co-management. Marine Policy, 21 (15): 465-480.

386 Daftar Pustaka

Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pegetahuan Berparadigma Ganda, (Disadur oleh Ali Mandan). Rajawali Press: Jakarta. Rawis, Jeffrey. 2004. Menjahit Laut yang Robek. Jakarta: Yayasan Malesung. Rozi, Syafuan dkk. 2006. Kekerasan Komunal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-P3 LIPI. Samuji, Achmad. 2005. Perebutan Hak Atas Tanah: Studi Konflik antara Petani, TNI-AU, dan Perhutani Atas Tanah Mbaon di Desa Senggreng, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga. Surabaya. Sarjono, I .1980. Trawlers Banned in Indonesia, ICLARM Newsletter, 3(4):3 Satria, Arief., dkk. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan, Cidesindo, Jakarta. Saefudin, AM. dan Hanafia, A.M. 1983. Tata Niaga Hasil Perikanan. Jakarta: UI-Press. ______. 2003. dalam Otonomi Daerah : evaluasi dan proyeksi, Indra J. Piliang dkk (ed.). Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa. Semedi, Pudjo, 2001. Otonomi Daerah di Sektor Penangkapan Ikan, Makalah Seminar pada Dinamika Politik Lokal di Indonesia, Pekanbaru. Scott, James.C.1976. The Moral Economy of Peasant. New Haven: Yale University Press. Siswanto, Budi. 2008. Kemiskinan dan Perlawanan Kaum Nelayan. Malang: Laksbang Mediatama. Simmel, George. 1955. Conflict and The Web of Group-Affiliations, Illinois: The Free Press. Singarimbun M. dan Sofian Effendi (ed). 1989.Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Suadi, dan J. Widodo. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut, Gadjah MadaUniversity Press, Yogyakarta. Subagyo, Joko. P. 2002. Hukum Laut Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Subagyo, Wisnu.dkk. 1996. Budaya Kerja Nelayan Indonesia di Jawa Timur. Jakarta: Dirjen Kebudayaan-Depdikbud.

387 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Subaharianto, Andang. 2004. Madura: Tantangan Industrialisasi (Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur). Malang: Bayumedia Publishing. Subarsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: Refika Aditama. Sutaryo. 1992. Dinamika Masyarakat dalam Perspektif Konflik, diktat Kuliah, Yogyakarta: Fisipol UGM. Sutarto, Ayu dan Setya Yuwana Sudikan, 2004. Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur. Jember: Kompyawisda dan Pemprov. Jatim. Sutarto, Ayu. dkk (ed.). 2004. Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Jawa Timur, Kerja sama Pemprov. Jatim dengan Kompyawisda, Jember. Suyanto, Bagong dan Septi A. (ed.). 2002. Rencana Implementasi Pengembangan Kepulauan Provinsi Jawa Timur. surabaya: Bappeda – Lutfansah Mediatama. Sunoto,. 1998. Resolusi Konflik Lingkungan Hidup, Makalah disampaikan pada Diskusi tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Resolusi Konflik, tanggal 13-14 Juli , Jakarta. Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Susilo, Edi. 2003. “Perlu Manajemen Perikanan Berkelanjutan di Jawa Timur: Tanggapan atas Tulisan Kusnadi dan Bagong Suyanto”. Dalam Kusnadi (penyunting) Polemik Kemiskinan Nelayan: Konflik Sosial, Pemberdayaan, dan Strategi Pembangunan Kawasan Pesisir Secara Terpadu, Lemlit. Universitas Jember, Jember. ______1987. Kedudukan Nelayan di antara Tengkulak dan Tempat Pelelangan Ikan: Suatu Tinjauan Teoritik, Universitas Brawijaya, Malang. Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 607/1976 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan.

388 Daftar Pustaka

Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 503/Kpts/Um/7/1980 tentang Langkah-langkah Pelaksanaan Penghapusan Jaring Trawl Tahap Pertama. Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 545/ Kpts/Um/8/1982 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 1982 Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta. Taubah, M. Alimin, 2005. ”Pengendalian Konflik Antar Nelayan di Jawa Timur.” Makalah Seminar Nasional, Surabaya. The Liang Gie, 1977. Kumpulan Pembahasan terhadap: Undang-Undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Indonesia. Yogyakarta: Karya Kencana, Thoha, Miftah. 1996. Perilaku Organisasi : Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. ______. 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Tuhepaly, Kutni Darul. 2002. Otonomi Khusus Bidang Kelautan: Suatu Pendekatan Multiaspek Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan di Maluku. Yogyakarta: Galang press. Turner, Jonathan H. 1991. The Structure of Sociological Theory. California: Wadsworth Publishing Company. Tribawono, Djoko. 2002. Hukum Perikanan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Undang-Undang Dasar 1945, Amandemen : Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Universitas Brawijaya, 2001. Laporan Hasil Penelitian Fakultas Perikanan, Malang.

389 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

Wahyono, Ary dkk. 2000. Hak Ulayat Laut Di Kawasan Timur Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo. Wahyono, Ary. 2003. Konflik Bagi Hasil Tangkapan Purse Seine di Prigi, Trenggalek, Jawa Timur dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya. Jakarta:PMB – LIPI. Wagito, 1994. ”Dampak Motorisasi Perahu Nelayan dan Penyempurnaan Alat tangkap terhadap Kesejahteraan Nelayan dan Ketersediaan Sumber Daya Ikan di Muncar, Banyuwangi”, dalam Jurnal Lingkungan dan Pembangunan Nomor 1 (4), 1994. Wayong, J.1975.Azas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Djambatan, Jakarta. Wang, D.H.S. and B. Zhan. 1992. Marine Fishery Resources Managemant in Mainland China.In Yamamoto and Short (eds.). International Perspectives on Fisheries Management with Special Emphasis on Community-based Managemant Systems Developed in Japan. Zengyoren and Japan International Research Society. Waters, Malcolm. 1994. Modern Sociological Theory, London: Sage Publicatons Ltd. Webster, 1993. Third New International Dictionary. Springfiled, Massachusetts: Merriam-Webster Inc. Publisher. Widjajanto, Andi. ”Empat Tahap Resolusi Konflik,” dalam tempointeaktif. com, 17 Juni 2004. Wiyata, A. Latief. 2002. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKIS. Winarno, Budi.2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo. Wolf, E.J. 1969. Peasant Wars of Twentieth Century. New York: Harper dan Rowy. Zuhdi, Susanto. 2002. Cilacap 1830-1942 : Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Zein, M.,Wiryoprawiro.1986. Arsitektur Tradisional Madura Sumenep dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif. Surabaya: Penerbit Laboratorium Arsitektur ITS.

390 Daftar Pustaka

Dokumen: Jawa Timur Dalam Angka Tahun 1997 s/d Tahun 2006. Bangkalan Dalam Angka Tahun 1998 s/d Tahun 2005 Sampang Dalam Angka Tahun 1998 s/d Tahun 2005 Pasuruan Dalam Angka Tahun 1998 s/d Tahun 2005 Kecamatan Kwanyar Dalam Angka Tahun 2000 s/d Tahun 2005 Kecamatan Sreseh Dalam Angka Tahun 1998 s/d 2005 Kecamatan Camplong Dalam Angka Tahun 1998 s/d Tahun 2005 Kecamatan Kraton Dalam Angka Tahun 2000 s/d 2004 Kecamatan Lekok Dalam Angka Tahun 2000 s/d Tahun 2004

Media Massa: Kompas, 30 Oktober 1996 Jawa Pos, 20 April 1998 Tempo, 24 September 2000 Kompas, 29 April 2003 Kompas, 27 Juli 2004 Kompas, 12 September 2004 Kompas, 21 September 2004 Surya, 2 Nopember 2004 Kompas, 10 Nopember 2004 Kompas, 3 Desember 2004 Tempo, 14 Desember 2008

391 Konflik Nelayanan dalam Tiga Rezim

392 TENTANG PENULIS

r. Agus Subianto, M.Si, Lahir di Surabaya, 1961 adalah dosen tetap Magister Administrasi Publik (MAP) Fakultas Ilmu Sosial Ddan Ilmu Politik (FISIP) serta peneliti pada Pusat Studi Pesisir dan Laut (PSPL) Universitas Hang Tuah Surabaya. Setelah menamatkan Sekolah Dasar hingga SMA di kota kelahirannya, melanjutkan studi di Fakultas Ilmu Administrasi, Jurusan Administrasi Negara, Universitas Brawijaya lulus tahun 1985. Pada tahun 1995 menamatkan S2 pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Gelar Doktor Ilmu Administrasi Negara diperoleh dari Universitas Gadjah Mada tahun 2009. Saat ini menjadi Ketua Departemen Pengembangan Organisasi IAPA Pusat (Indonesian Association for Public Administration), anggota HAPPI Jawa Timur (Himpunan Ahli Pengelola Pesisir Indonesia) tahun 2010 - 2013, Sekretaris LSM ISQc (Indonesian Society for Quality Concern) dan pengurus Konsorsium Mitra Bahari Jawa Timur.

393 394 -----rii-f"'

\ lIl t |llt

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

SURAT PENCATATAN CIPTAAN

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu Undang-Undang tentang perlindungan ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra (tidak melindungi hak kekayaan intelektual lainnya), dengan ini menerangkan bahwa hal-hal tersebut di bawah ini telah tercatat da.1am Daftar Umum Ciptaan: Nomor dan tanggal permohonan : C00201600618, 26 Februari 2016 II. Pencipta Nama Dr. AGUS SUBIANTO, M.Si. Alamat Taman Pinang Asri M-V17 Rt.032 Rw.005 Ke1. Lemah Putra, Kab. Sidoarjo, Jawa Timur. Kewarganegaraan Indonesia

III Pemegang Hak Cipta INDONESIAR; Nama UNIVERSITAS HANG TUAII Alamat Jalan Arif Rahman Hakim No. 150 Surabaya, Jawa Timur. Kewarganegaraan IV. Jenis Ciptaan Buku Judul Ciptaan KONFLIK NELAYAN DALAM TIGA REZIM Vi Tanggal dan tempat diumumkan 01 September 2014, di Surabaya untuk pertama kali di wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia MI. Jangka waktu perlindungan Berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. VIIL Nomor pencatatan 07a79t Pencatatan Ciptaan atau produk Hak Terkait dalam Daftar Umum Ciptaan bukan merupakan pengesahan atas isi, arti, mal

a.N. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL u.b. DIREKTUR HAK CIPTA DAN DESAIN INDUSTR] \

Dr. Dra" Erni yastari, Apt., M.Si. NiP. 19600318 199 1032001