Sabda, Volume // Nomor ?/ September 2004; 22-35 ISSN 1410-7910

BUDAYA BAHARI DAM TRADISI NELAYAN DI

Yunandar Fakuftas Peternakan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Abstract There are at least five phenomena which mark the complexity of maritime culture and fisherman tradition in Indonesia; social group of the maritime society, the development of economic sectors concerning sea products, social hierarchy in the daily maritime activities, the relationship between the elements of maritime culture and life sectors of the society, and the continuation and alteration of maritime culture's elements. In order to acquire a deep study on the complexity of maritime culture, there are several concepts used in this paper: Koentjaraningrat's concept of "three forms of culture", Sanjek's concept of "the dynamic culture and creation", and Vadya's concept of "contextual progressive explanatory method". The forms of maritime culture include the system of culture, belief, institution, and production technology. Meanwhile, the dynamics of maritime culture and fisherman tradition is determined not only by the internal factors but also the external forces, such as, innovation on technology, government policy, university interventions, nongovernmental organizations, donor institution, and regional, national, and even global market. Apparently, those external forces have brought negative impacts on the life of maritime society, marked by the decrease of economic prosperity, natural resources and sea environment. The negative impacts can be avoided by applying community- based management in the development of maritime culture. Key Words: maritime culture, fisherman tradition, community-based management. 1. Pendahuluan dan Sulawesi Tengah. Kelompok-kelompok sosial semacam itu bahkan bisa merupakan suatu Sejumlah studi, antara lain dilakukan negara atau kerajaan seperti Kerajaan Samudra oleh Firth (1975), Acheson (1977 dan 1981), Pasai (Masyhuri, 1996). dan Kesultanan Buton Andersen dan Wadel (1982), Ushijima dan (Schoorl, 1984). Kelompok-kelompok sosial yang Zayas (1994), Palsson (1991), dan Masyhuri ada di wilayah pesisir tidak hanya pelayar dan (1996), menunjukkan bahwa fenomena nelayan. Di negara-negara pantai di Eropa dan sosia) budaya bahari sangat kompleks. negara maju lain, dikenal berbagai kelompok Kompleksitas budaya bahari dicirikan oleh sosial seperti awak kapal pengeruk dasar sungai sedikitnya lima fenomena sebagai berikut. dan perairan pantai, olahragawan lautyang Pertama, kelompok-kelompok sosial beranggota para peselancar dan penyelam, kebaharian seringkali bukan sekedar marinir, dan organisasi pencinta lingkungan laut kelompok-kelompok kerja yang merupakan yang anggotanya berasal dari berbagai kota dan sub-sub komunitas desa. Mereka bisa bahkan dar" berbagai negara yang berlainan dikategorikan sebagai sub-sub etnis seperti (Ginkel dan Verrips, 1988). ditunjukkan oteh adanya desa-desa nelayan Kedua, munculnya berbagai kategori sosial Bugis, Mandar, , dan Madura di tersebut dikondisikan oleh perkembangan jenis- kawasan pesisir. Akan tetapi, bisa pula jenis usaha ekonomi yang terkait dengan laut, merupakan kelompok-kelompok etnis misalnya perikanan, pelayaran atau usaha sepenuhnya seperti tampak pada desa transportasi laut, pertambangan, pariwisata nelayan Bajo di Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan.

22 Sabda, Volume \, Nomor 1, September 2006: 22 - 35 bahari, dan jasa pengamanan wilayah taut dan kapal angkutan, komunitas pembuat perahu/ isinya. Para pelaku ekonomi kebaharian kapa), olahragawan laut, dan satuan marinir. menerapkan berbagai gaya manajemen baik Bahkan di antara kategori sosial yang sama bisa berupa ekstensifikasi dengan strategi diversifikasi pula mempunyai karakter budaya bahari yang usaha maupun intensifikasi dengan jenis usaha berlainan. Kefompok nelayan rumpon (Mandar), tunggal. Di Indonesia, pengembangan ekonomi nelayan bagang (Bugis), penyelam teripang kebaharian yang melibatkan pemerintah (Bajo, Bugis, Makassar) dan pemburu hiu (Bajo) seringkali mengacu pada kerangka yang semuanya berasal dari Sulawesi Selatan pengembangan terpadu yang diidealkan akan mempunyai karakter kebaharian yang berbeda- menguntungkan setiap sektor. Namun usaha itu beda. seringkali dilakukan secara parsial yang Kelima, kompleksitas fenomena menjurus pada gejala persaingan dan konflik kebaharian juga berkaitan dengan dinamika kepentingan, sehingga pada gilirannya sosial dan budaya bahari itu sendiri, baik akibat berdampak buruk terhadap perkembangan usaha perkembangan yang bertumpu baik pada faktor- kecil milik rakyat dengan manajemen tradisional, faktor internal maupun perkembangan yang Ketiga, selain pelaku dan pengguna didorong oleh kekuatan eksternal. Contoh proses langsung, terdapat kategori-kategori sosial lain perkembangan internal adalah perubahan tipe yang turut terlibat dalam setiap sektor ekonomi bagang tancap ke rakit/apung dan akhirnya kebaharian. Perikanan, misalnya, merupakan menjadi bagang perahu di kalangan komunitas sektor ekonomi yang cukup banyak jenisnya nelayan di Sinjai, Sulawesi Selatan. Dinamika sesuai dengan spesies sumberdaya laut, tipe kebaharian yang dipicu oleh faktor eksternal teknologi yang digunakan untuk mengekploi- misafnya adalah masuknya teknologi baru berupa tasinya, dan skala investasi modal usaha. Sektor mesin. Teknologi baru ini tidak hanya ini tidak hanya melibatkan kelompok nelayan, mengakibatkan lerjadinya motorisasi perahu yang tetapi juga memerlukan peran serta para menghilangkan fungsi layar dan dayung, tetapi pembuat perahu dan alat tangkap, pedagang, juga mendorong transformasi struktura) pengusaha dan rentenir, koperasi dan bank, kelompok-kelompok kerja nelayan dan jaringan pasar dan tempat pelelangan ikan, instansi pemasaran hasil tangkapan. Relasi antarbudaya pemerintah yang terkait, petugas keamanan laut, juga menjadi salah satu faktor yang peneliti dan praktisi, lembaga penyandang dan a, mempengaruhi dinamika kebaharian. Pengaruh dan organ isiasi nonpemerintah. Kelompok- tersebut dapat terjadi melalui difusi unsur-unsur kelompok sosial tersebut merupakan kekuatan budaya, seperti persebaran rumpon dari Majenne eksternal yang mempengaruhi atau bahkan (Sulawesi Selatan), biAudari Buton (Sulawesi menentukan tatanan dan dinamika kehidupan Tenggara), dan sebuah bentuk perahu tradisional sosial dan budaya kelompok sosia) kebaharian dari Kalimantan yang dimodifikasi menjadi perahu utama seperti nelayan dan pelayar. tipe/'o/toro'di Bira (Bulukumba) dalam dua dekade terakhir. Relasi antarbudaya seringkali juga diikuti Keempat, fenomena sosial budaya bahari usaha memanipulasi identitas etnis baik secara tidak hanya tampak pada aspek-aspek budaya, temporal maupun permanen. Hal semacam ini tetapi diperlihatkan pula oleh kategori dan hirarki dilakukan antara lain oleh sabagian besar sosial pendukLingnya yang berbeda-beda. masyarakat Bajo dalam rangka adaptasi sosial Fenomena budaya dari setiap kategori sosial mempunyai karakter kepribadian kebaharian budaya dan mempertahankan tradisi seperti masing-masing. Budaya bahari kelompok pengetahuan kelautan, pembuatan perahu, dan aturan bagi hasil. Kompleksitas fenomena sosial nelayan, misalnya, akan menunjuk-kan karakter budaya kebaharian di Indonesia juga berkaitan yang berbeda dari kelompok awak dengan adanya kontradiksi antara pandangan emik dan

Budaya Bahari dan Jradisi Nelayan d! /ndbnesia {Yunandarf 23 Sabda, Vohme \, Nomor 1, September 2006: 22-35 etik. Di satu sisi mode eksploitasi sumberdaya menurut linguistik Eropa mengacu kepada laut oleh masyarakat setempat yang berlangsung kegiatan pelayaran, sedangkan istilah "budaya di bawah kendali nilai-nitai dan pengetahuan lokal marin" merujuk kepada aktivitas penangkapan dianggap merefleksikan kearifan lokal yang periu ikan semata (Nishimura, 1976). Jika kedua istilah dipertahankan. Di sisi lain arus komersialisasi tersebut diaplikasikan secara konsisten, kedua sumberdaya laut yang begitu deras mendorong wilayah studi itu akan menjadi eksklusif yang berlangsungnya aktivitas eksploitasi yang kurang berarti bagian-bagian tertentu dari kedua terkendali dan dapat berdampak negatif terhadap subjeknya tereduksi. Konsep budaya bahari kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir, mampu meliputi semua fenomena baik yang lingkungan, dan sumberdaya laut. Gejala tercakup di dalam konsep budaya maritim paternalisme yang melibatkan pemerintah, maupun budaya marin. Penentuan ruang lingkup kalangan akademisi, dan organisasi studi dapat ditakukan dengan memfokuskan nonpemerintah juga mempengaruhi tatanan dan kajian pada fenomena sosial budaya bahari dinamika sosial budaya lokal. tertentu. Dengan memperhatikan kompleksitas Untuk mendeskripsikan dan menganalisis budaya kebaharian di atas, kajian terhadap fenomena budaya bahari yang kompleks, kiranya fenomena sosial dan budaya bahari selayaknya cukup memadai bila digunakan konsep "tiga dilakukan secara muttidisipliner dan atau wujud kebudayaan" (sistem gagasan, sistem interdisipliner. Kajian yang demikian melibatkan sosial, dan budaya material) dari Koentjaraningrat bukan hanya antropologi atau ilmu-ilmu sosial daripada melakukan reduksi wujud kedua dan dan humaniora lainnya, tetapi juga ilmu-ilmu ketiga seperti dilakukan para antropolog kognitif eksak seperti perikanan, kelautan, biologi, (Goodenough, 1961: 522; ekologi, dan teknik perkapalan, yang relevan Keesing, 1994: 68) dan simbolik (Geertz dalam dengan subjek kajian. Hal lain yang tidak kalah Harris, 1968: 20) atau secara berlebihan penting adalah pemilihan konsep kebudayaan. menekankan pada pertimbangan rasional biaya metode koleksi data yang lebih aplikatif, dan dan keuntungan (cost-benefit considerations) model analisis yang empiris. Hal-hal tersebut seperti dilakukan para penganut materialisme merupakan fokus pembahasan tulisan ini. budaya (Harris, 1968:19). Detinisi kebudayaan Pembahasan metodologis mengacu pada bahan- yang secara jelas mencakup ketiga wujud bahan pustaka yang membicarakan tentang tersebut dikemukakan oteh Koentjaraningrat, konsep-konsep kebudayaan. Deskripsi tentang bahwa kebudayaan merupakan "keseluruhan wujud kebudayaan bahari didasarkan pada data sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya etnogratis tentang komunitas nelayan di manusia dalam rangka kehidupan yang dijadikan Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. milik diri manusia dengan belajar" (1980:193). 2. Budaya Bahari: Konsep dan Model Meskipun seringkali dikritik oteh para penganut kognitivisme dan simbolisme, karena Anatisis dinilai mencakup segalanya, tetapi konsep tiga Kompleksitas budaya bahari, khususnya wujud kebudayaan merupakan model analisis berkaitan dengan keragaman kategori sosial yang yang memadai. Pendapat ini pernah diungkapkan terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya laut dan Ignas Kleden dalam Kongres Asosiasi Antropologi keragaman mata pencaharian yang berhubungan Indonesia di Jakarta tahun 1996. Konsep tiga dengan (aut, menjadi alasan utama penggunaan wujud kebudayaan tercermin pula dalam istilah "budaya bahari", Istilah tersebut dirasakan pemahaman masyarakat lokal mengenai lebih tepat dibandingkan istilah lain, yaitu "budaya kebudayaan. Mengacu kepada konsep maritim" atau "budaya marin". Istilah "budaya kebudayaan tersebut, maka budaya bahari dapat maritim" dipahami sebagai sistem

Budaya Bahari dan Tradisi Nelayan di Indonesia (Yunandarf 24 Sabda, Vohme I, Nomor ], September 2006: 22 - 35 gagasan, perilaku dan tindakan, dan sarana tentang makna dan fungsi lingkungan tersebut dan prasarana tisik yang digunakan oleh bagi kehidupan mereka. Gagasan yang muncul masyarakat bahari untuk mengelola ialah perlunya kerja sama dan pembentukan sumberdaya alam dan merekayasa jasa-jasa lembaga untuk mengusahakan pemenuhan lingkungan laut bagi kehidupan mereka. Dengan berbagai keperluan dasar seperti sarana/ demikian, budaya bahari mengandung unsur- prasarana tisik berupa perahu/kapal, sarana unsur berupa sistem pengetahuan, eksploitasi sumberdaya, dan modal. Intinya, pola kepercayaan, nilai, norma, aturan, simbol pengelolaan sumberdaya dan jasa-jasa laut komunikatif, kelembagaan, teknologi, dan seni melibatkan sistem budaya, kepercayaan, yang berkaitan dengan laut. pranata, dan teknologi eksploitasi sumberdaya. Untuk mengungkapkan keberlanjutan dan perubahan budaya bahari dapat digunakan 3.1 Sistem Budaya Bahari konsep "kreasi dan dinamika" dari Sanjek dan 3.1.1 Pengetahuan tentang Biota Laut dan model penjelasan "kontekstual progresif" dari Musim Vayda (1992). Menurut Sanjek (dikutip Borofsky, 1994: 313), kebudayaan "is...under continuous Nelayan memiliki pengetahuan mencakup creation-fluid, interconnected, diffusing, antara lain pengetahuan tentang biota laut interpenetrating, homogenizing, diverging, bernilai ekonomi tinggi, lokasi dan sarang ikan, hegemonizing, resisting, reformulating, creolizing, musim, tanda-tanda (di laut, darat, dan open rather then closed, partial rather then total, angkasa/perbintangan), dan lingkungan sosial crossing its own boundaries, persisting where we budaya. Pengetahuan tentang biota laut bernilai don't espect it to, and changing where we do". ekonomi tinggi meliputi: spesies-spesies ikan, Tampaknya konsep dinamika budaya ini relatif udang, kepiting, cumi-cumi, gurila, penyu dan bisa mencakup semua sisi realitas sosial budaya, kerang/siput-siputan (gastropoda), teripang, akar sehingga perangkat-perangkat proses kreasi dan bahar, tali arus, rumput laut (seagrass), dan dinamika tertentu, kalau bukan sepenuhnya, bisa berbagai jenis karang. digunakan sebagai model untuk mendeskripsikan Menurut laporan Weivaartcommissie (1905: dinamika budaya bahari. Tidak menjadi masatah 44-46), pada awal abad XX nelayan Jawa dan apakah proses kreasi dan dinamika budaya yang Madura masing-masing telah mengenal 77 dan dimaksudkan Sanjek berada pada dimensi kognitif 83 jenis ikan. Sementara itu, nelayan Pulau atau simbolik, meliputi pikiran dan perilaku, atau Sembilan di Sulawesi Selatan mengenal kurang tiga wujud kebudayaan mencakup sistem lebih 40 jenis teripang, beberapa di antaranya jika gagasan, perilaku sosial, dan kebudayaan diurutkan dari yang harganya termahal adalah material. Memadukan berbagai kelebihan dari teripang jenis koro, buang kulit, tai kongkong, berbagai perspektif, termasuk yang saling batu, kassi, nenas, dan pandang. Di samping itu, beriawanan sekalipun. kalau memang relevan nelayan Pulau Sembilan juga mengena) berbagai dengan masalah yang sedang dikaji merupakan jenis kerang seperti mutiara, tola, batu laga, mata langkah penyelamatan jika tidak mau tujuh, kima; dan beberapa jenis ikan bernilai menanggung risiko dengan mengandalkan suatu ekonomi tinggi, seperti: ikan karang terutama perspektif teoritis tunggal (Bernard, 1994: jenis sunu (red snapper), kerapu (grouper), 174-175). faccukang/ fangkoe (napoleon), hiu (yang diambil 3. Wujud dan Karakteristik Budaya siripnya); Komunitas Nelayan dan udang//o£»ster jenis mutiara, bambu, kipas, dan setang. Spesies-spesies tersebut merupakan Hubungan manusia dengan lingkungan laut komoditas ekspor. Beberapa ikan pelagis, antara didasarkan pada pengetahuan dan gagasan lain: layang, cakalang/tongkol, dan banjara'/sarisi (sardin) merupakan komoditas yang laku di pasar lokal dan regional.

Budaya Bo/ron dan Trad'isi Nefayan di Indonesia (Yunandar) 25 Sofcdb, Vo/ume // Nomor L September 2004: 22 - 35 Nelayan juga mengetahui dengan baik tokasi tetapi didasarkan pula pada perilaku ikan. Ikan penangkapan (fishing ground) dan tetak sarang sunu6an kerapu, misalnya, akan muncul pada ikan. Nelayan pancing ikan karang Liang-liang di bulan 10-4 (Oktober-April). Oleh karena itu, Pulau Sembilan, misalnya, mempunyai nelayan di Pulau Sembilan menganggap bulan- pengetahuan tentang lokasi penangkapan dan bulan Oktober sampai dengan April sebagai masa sarang-sarang ikan sivnudi taka-taka (gugusan panen ikan sunu dan kerapu. Mereka menangkap karang) antara lain taka Malambere selatan, Pasi' kedua jenis ikan itu pada paruh kedua di setiap loangnge utara dan selatan, Pangami ujung timur, bulan musim karena mereka mengetahui bahwa Limpoge utara dan tengah. Lakaranga utara dan pada saat itulah ikan sunu dan kerapu muncul, selatan, Lagenda timur, Laborao timur, dan taka sedangkan selama 15 hari pertama dari setiap Alusie timur. bulan musim dikenal sebagai waktu bersembunyi Kegiatan penangkapan berbagai spesies ikan-ikan. biota laut juga harus didukung dengan Bagi para nelayan, pengetahuan mengenai pengetahuan tentang musim. Komunitas nelayan tanda-tanda selama mereka berada di laut seperti di perairan Nusantara sekurang" kurangnya bunyi kemudi perahu dan cahaya laut, serta mengetahui tiga pola musim yang menentukan tanda-tanda dari angkasa berupa kilat dan awan waktu-waktu intensif dan sepinya aktivitas hitam menjadi penting untuk menjamin pemanfaatan sumberdaya (aut dan peiayaran, keselamatan mereka. Tanda-tanda tersebut yaitu musim barat, musim timur, dan musim berhubungan dengan berbagai kejadian yang pancaroba. Musim barat berlangsung pada bulan mungkin dapat dialami selama mereka 12-6 (Desember-Juni). Bulan-bulan tersebut tidak menangkap ikan di laut, misalnya datangnya atau kurang memungkinkan berlangsungnya angin kencang, angin tornado, adanya batu aktivitas kenelayanan atau peiayaran rakyat yang karang, atau munculnya makhluk berbahaya intensif, karena pada musim sering barat terjadi seperti gurita. Pelayar atau nelayan Bugis dan hujan tebat, angin/badai besar, dan arus kuat dari Makassar mengandalkan kemampuan indra arah barat ke timur. Musim timur berlangsung pakkita (penglihatan), parengkalinga antara bulan 7-12 (Juli-Desember) yang ditandai (pendengaran), paremmau (penciuman), dengan angin dan arus agak (emah dari timur ke panedWng(firasat), dan tentuang (keyakinan) barat. Hal ini memberikan peluang besar bagi untuk menangkap tanda atau isyarat bahaya di nelayan dan peiayaran rakyat untuk beroperasi laut. Di samping itu, pengetahuan tentang musim secara intensif. Antara musim barat dan musim dan bahaya di laut juga didasarkan pada timur terdapat musim peralihan yang berlangsung pengetahuan tentang astronomi menurut tata selama kurang lebih tiga bulan, yaitu antara bulan letak bintang-bintang. Sebagai contoh adalah 5-7 (Mei-Juli). Selama musim peralihan keadaan bintang suto baiv/Fyang muncul di sebelah timur angin dan ombak tidak dapat diprediksi, sehingga dan menandakan akan datangnya angin timur; kadang-kadang kondisi perairan yang sen-Tula wara-waraE yang menandakan akan datangnya tenang tiba-tiba berubah ganas dan berbahaya panas terik; bagi kegiatan nelayan dan peiayaran rakyat. Di tanraE yang menandakan akan datangnya angin beberapa perairan terbuka di kawasan Indonesia kencang; manuE yang menandakan musim timur, termasuk Sulawesi Selatan, kecuali kemarau sudah datang; /ambaruEyang sebagian kecil Teluk Bone, sangat sulit dimasuki menandakan musim barat mulai datang; dan oleh nelayan selama musim peralihan tersebut. tellu-tellu yang dijadikan petunjuk untuk bertayar Pengetahuan tentang musim tidak hanya ke arah barat atau ke timur (Hamid, 2003). didasarkan pada "perilaku" angin dan ombak, Pengetahuan nelayan atau pelayar mengenai lingkungan sosial budaya dihasilkan oleh keterlibatan mereka dalam proses interaksi baik dalam bentuk kerja sama maupun persaingan memperebutkan peluang-peluang

Budaya Bahan dan Tradisi Nelayan di Indonesia (Yunandar) 26 Sabda, Volume '/ Nomor 1, September 2006: 22 - 35 penguasaan sumberdaya. Para pedagang apa saja tidak akan menghabiskan isi laut, hasil laut, pengusaha, pemiliK modal, TPI, kecuali hanya mengurangi populasinya, dan bakul merupakan pihak-pihak yang Usahakan dan manfaatkanlah rahmat/ berkah terlibat dalam kerja sama, transaksi, dan atau pemberian Yang Maha Pencipta seringkali juga bennusuhan dengan nelayan. tersebut. Janganlah memancing ikan-ikan Kelompok--kelompok nelayan lain yang kecil di pinggir laut, tetapi pergifah ke laut mengusahakan jenis tangkapan yang sama untuk menangkap ikan-ikan besar agar usaha juga diposisikan sebagai pesaing. Bagi berkembang" (Indar dan Lampe, 2002). nelayan Pulau Sembilan, kelompok-kelompok Gagasan tentang sumberdaya laut untuk sas/'di Maluku dan Papua serta personel semua, tetapi hanya sebagian oranQ yang bisa keamanan laut yang terdiri atas Jagawana, memanfaatkannya dianut antara lain oleh Babinsa, Minmas/KP3, dan Angkatan Laut di masyarakat nelayan Bugis, Makassar, Bajo, dan satu sisi merupakan pihak-pihak yang bisa Buton. Hal ini bisa ditunjukkan oleh sekurang- diajak bekerja sama. Namun di sisi lain kurangnya tiga kategori tentang akses nelayan Pulau Sembilan juga menghindari pemanfaatan sumberdaya laut yang dimiliki oleh atau sekurang-kurangnya membatasi diri kelompok-kelompok nelayan tertentu. Ketiga dalam berhubungan dengan pihak-pihak kategori tersebut adalah (1) masyarakat nelayan tersebut. tertentu bernasib baik dan mempunyai akses pada pemanfaatan sumberdaya laut; (2) akses 3.1.2 Gagasan tentang Laut sebagian masyarakat nelayan pada pemanfaatan Gagasan nelayan tentang laut cukup sumberdaya laut di lokasi-lokasi yang sulit dan bervariasi. Ada masyarakat nelayan yang dianggap keramat; dan (3) kontrol dan dorninasi menganggap laut mempunyai isi yang melimpah para ponggawa darat, pedagang lokal, dan dan diperuntukkan bagi semLia; pengusaha besar memungkinkan mereka sumberdaya laut untuk semua, tetapi hanya mendapatkan keuntungan jauh lebih banyak sebagian yang bisa memanfaatkannya; dan ada daripada yang didapatkan oleh keluarga-keluarga pula yang berpandangan bahwa laut itu luas, nelayan pada umumnya. tetapi tidak semua bagian bisa dimasuki. Isi laut Gagasan mengenai laut luas, tetapi tidak melimpah dan diperuntukkan bagi semua adalah semua bagian bisa dimasuki merupakan salah satu gagasan yang telah melekat dalam pandangan budaya yang dianut oleh sebagian pandangan sebagian besar masyarakat nelayan masyarakat nelayan Bugis, Makassar, dan Bajo. Bugis, Bajo, Makassar, Buton, Mandar, dan Pandangan tersebut tumbuh dari pengalaman mungkin juga Madura. Menurut Horridge (1986: mereka dalam berinteraksi dengan institusi- 3), masyarakat-masyarakat nelayan tersebut institusi pengelola sumberdaya laut, misalnya merupakan pewaris budaya maritim dari Melayu- kepemilikan individual, komunal, dan kontrol Pofinesia yang mempunyai keahlian khusus negara. sebagai pembuat dan sekaligus pecinta perahu sejak 2000 tahun yang lalu. Beberapa nelayan Daftar prioritas kebutuhan dalam budaya Bugis dari Pulau Sembilan mengungkapkan komunitas-komunitas nelayan turut gagasannya seperti berikut. memberikan dampak pada eksploitasi sumberdaya ikan. Dalam hal ini dapat disebutkan "Ikan di laut melimpah dan tidak akan habis bahwa keluarga-keluarga nelayan Pulau sepanjang/selama daun-daun pohon di darat Sembilan di Sulawesi Selatan lebih belum habis. Laut yang luas dengan segala mengutamakan pemenuhan kebutuhan isinya tidak ada orang tertentu yang subsisten, membayar utang, mengembangkan memilikinya. Ini diciptakan Allah untuk usaha, dan naik haji ke Mekkah. dimanfaatkan manusia dengan doa dan usaha keras. Dengan teknologi eksploitasi

Buc/oyo Bo/ion c/on TrocA'Sf Nefayan c)i /ncfonesia (Yunandar) 27 $ahda. Volume \, Nomor }, September 2006: 22 - 35 3.2 Sistem Keyakinan atau Kepercayaan Berikut ini diberikan dua contoh pranata ekonomi masyarakat bahari yang berorientasi Nelayan di banyak tempat di dunia pada kerjasama dan hak pemanfaatan mempraktikkan keyakinan-keyakinan yang sumberdaya laut. bersumber dari agama atau kepercayaan yang dianutnya sebagai mekanisme pemecahan 3.3.1 Ponggawa-sawi persoalan-persoalan lingkungan fisik dan sosial yang dihadapi sehari-hari. Sebagian besar Dalam masyarakat nelayan, kelompok kerja nelayan Bugis, Bajo, Buton, Makasar, dan Madura pada umumnya juga berperanan mengatur yang beragama Islam percaya kepada kekuasaan berbagai kegiatan ekonomi baik dalam proses dan takdir Allah. Banyak sedikitnya hasil yang produksi, distribusi maupun konsumsi. Di mereka peroleh datam kegiatan penangkapan kalangan masyarakat nelayan Bugis. Makasar, ikan di laut senantiasa dikembalikan kepada dan Bajo kelompok kerja neiayan dikenal dengan takdir. Rintangan berupa ombak besar, dalamnya sebutan ponggawa-sawi laut yang diselami pencari teripang, dan Pengaturan tata-cara perekrutan tenaga kerja angkernya banyak tempat yang kaya dan pembagian kerja di antara kelompok- sumberdaya, semuanya dihadapi dan dilawan kelompok nelayan ditangani oleh ponggawa-sawi. dengan keyakinan tentang adanya suatu kekuatan Selain itu, ponggawa-sawijuga berperan yang lebih menentukan, yaitu Tuhan. Keberanian mengatur cara-cara nelayan memperoleh modal netayan Sulawesi Selatan dan Tenggara (berfungsi menyerupai koperasi), sebagai pasar, menjelajahi perairan Nusantara dikendalikan oleh mengatur penyelesaian urusan utang-piutang, keyakinan tersebut yang dipadukan dengan menetapkan aturan bagi hasil, jaminan sosial pengalaman dan keterampilan berlayar serta etos ekonomi nelayan, dan bahkan berperan sebagai ekonominya yang kuat. Sebagian besar wadah sosialisasi kelompok-kelompok nelayan. komunitas nelayan di NTT, Maluku, dan Papua Fungsi dan peranan ponggawa-sawi ini bisa mengandalkan upacara penyembahan roh-roh disejajarkan dengan juragan-pandega di Jawa halus dan praktik-praktik magis dalam rangka atau tanase-wasanaedi Maluku. memperoleh rezeki dari laut dan menghindari bahaya-bahaya di laut. Di Maluku, tanase-wasanae muncul sebagai respons masyarakat nelayan setempat terhadap 3.3 Sistem Kepranataan permintaan hasil-hasil fauf di pasar global sejak Di kalangan komunitas bahari dari negara- ratusan tahun silam (Zerner, 1994). Alasan yang negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, sama tampaknya berlaku bagi munculnya terdapat sekurang-kurangnya lima pranata ponggawa-sawi di Sulawesi Selatan. Lembaga ini tradisional (traditional institution) yang tetap lahir sebagai suatu bentuk tanggapan dari para bertahan, yaitu pranata kekerabatan pelaut dan nelayan terhadap kebutuhan hasil- (kinship/domestic institution), pranata agama/ hasil laut komoditas ekspor sejak abad ke-13 atau kepercayaan (religious institution), pranata ke-14. ekonomi (economic institution), pranata politik (political institution), dan pranata pendidikan 3.3.2 Hak Kepemilikan atas (educational institution). Pranata merupakan Sumberdaya dan Wilayah seperangkat aturan dalam kegiatan-kegiatan Perikanan tertentu yang difungsikan sebagai mekanisme penyesuaian diri dengan lingkungan dan untuk Lautan yang luas dengan kekayaan memecahkan persoalan sosial ekonomi yang sumberdaya hayati dan non-hayati yang mendesak. Dengan demikian, pranata menjadi dikandungnya merupakan faktor produksi bagian dari dan menandai gaya pengelolaan terpenting bagi pengembangan dan (management style).

Budaya Bahar! dan Trad'isi Nehyan di Indonesia iYunandar) 28 Sabda, Volume I, Nomor 1, September 2006: 22 - 35 bertahannya usaha ekonomi perikanan. c. Seperti di Jawa, sistem pengelolaan Pengaturan pemanfaatan faktor produksi tersebut pemanfaatan sumberdaya perairan pantai di didasarkan pada berbagai bentuk hak Aceh dan Sumatra Selatan secara komunal kepemilikian atau penguasaan sebagai berikut. a* bertahan hingga berakhirnya kekuasaan Hak milik bersama (common property Pemerinlahan Hindia-Belanda. light). b. Hak milik individu/keluarga d. Di Sulawesi, terutama Sulawesi Selatan, praktik (individual/family pemanfaatan sumberdaya laut dalam dan property right). pesisir pada umumnya diatur secara terbuka c. Hak milik pribadi (private property right) d. Hak (open access/use). Memang masih ada juga beberapa masyarakat di tingkat desa dan milik negara (state property right) ©. Praktik dusun di daerah Gorontalo, Teluk Banggai, pemanfaatan secara bebas/terbuka Danau Tempe, yang menguasai taka di gugusan karang di Bulukumba Barat (open access/use). berdasarkan hak kepemilikan komunal. Di Indonesia, berbagai bentuk hak Demikian halnya di Selayar, terdapat sebuah penguasaan wilayah dan sumberdaya laut wilayah komunal taut yang melibatkan seperti tersebut di atas dapat ditemukan di upacara komunal tahunan, beberapa tempat, antara lain: e. Usaha perikanan dengan teknik rumpon dan bagang yang dipraktikkan nelayan Bugis, a. Di Maluku, hak kepemilikan komunal atas Jawa, dan Madura di perairan NTT. Maluku, wilayah darat dan pantai yang disebut sas; Papua, dan Makassar, merupakan praktik dijumpai antara lain di pantai Ambon dan pemanfaatan secara individual. Haruku serta di desa-desa di Putau Saparua seperti Desa Nolloth, lhamahu, f. Di kawasan timur Indonesia berkembang Saparua, dan Porto. Institusi tersebut perusahaan-perusahaan perikanan tongkol telah dipraktikkan sejak kurang lebih 130 milik swasta yang mempunyai hak tahun falu, mendahului tumbuhnya penguasaan atas gugusan lokasi perairan kesadaran mengenai perlunya konservasi laut dalam berdasarkan lisensi dari laut di negara-negara Barat yang baru pemerintah. dimulai sekitar 105 tahun lalu. Institusi g. Sejak dekade 1980-an pemerintah Indonesia sas/'juga berlaku dan hingga kini masih menetapkan beberapa wilayah perairan bertahan di Papua. Namun kebijakan sebagai kawasan lindung, misalnya Taman pemerintah Indonesia sejak beberapa Laut Bunaken, Takabonerate, Pulau Seribu, dekade terakhir dan pertumbuhan dan wilayah perairan lain di Maluku dan ekonomi pasar cenderung mengikis dan Papua. Penetapan pemerintah terhadap melemahkan peranan institusi lokal suatu wilayah perairan sebagai kawasan tersebut (Zerner, 1984). lindung merupakan bentuk penguasaan b. Daerah-daerah di sepanjang pantai utara berdasarkan pemikiran bahwa wilayah Jawa dan Madura hingga periode terakhir tersebut merupakan hak milik negara, kotonialisme Belanda dieksploitasi Kawasan lindung terbagi ke dalam beberapa dengan menggunakan model zona. yaitu zona inti (sanctuary zone), zona pengelolaan yang didasarkan pada hak penyangga, zona pemanfaatan tradisional, dan zona pemanfaatan intensif yang berada kepemilikan komunat pada tingkat distrik di luar kawasan. Penguasaan negara seperti dan desa. Eksploitasi sumber daya laut ini dimaksudkan untuk menyelamatkan dengan model tersebut mampu menjamin ekosistem-ekosistem laut kelangsungan dan keseimbangan lingkungan pantai dan laut. Ironisnya, di masa Indonesia merdeka institusi tersebut justru mulai melemah dan mengarah pada kemusnahan.

Buc/oyo Bahan dan Tradisi Nelayan di /ncfonesia (Yunandar) Sobc/o/ Vo/i/me // Nomor // September 2006: 22 - 35. khususnya terumbu karang yang spesies- yang menghasilkan atau menggunakannya. Oleh spesies utamanya mulai terancam. Di karena itu, dikenal tipe-tipe perahu nelayan samping itu Juga untuk menjamin tradisional seperti Bugis, Makasar, pemanfaatan sumberdaya laut secara Buton , Lam£>odan Pangkur serta berkelanjutan oleh masyarakat BagoMandar, Jolforo Bugis (tipe terbaru, penggunanya. akhir 1980-an), Janggolan Madura, Janggolan . Prau Jaring Madura, Nade Sumatera, dan Berdasarkan berbagai hasil survei dapat Lis'alis, , Leth\e\\, , dan Ju/o/ng diketahui bahwa kemerosotan sumberdaya biota Jawa. dan nonbiota serta kerusakan ekosistem laut sebagian besar disebabkan oleh praktik Salah satu ciri khas perahu tradisional di pemanfaatan secara terbuka/bebas. Jawa dan Bali ialah adanya ukiran dan gambar Penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya laut binatang yang memenuhi badan perahu dengan secara bebas dan juga private berkorelasi dengan menggunakan kombinasi warna yang pertumbuhan ekonomi, terutama peningkatan mengandung berbagai makna simbolik. Pinisi perminataan komoditas hasil-hasil laut di pasar merupakan salah satu tipe perahu Sulawesi regional dan global dewasa ini. Selatan yang mempunyai konstruksi bagus namun miskin hiasan baik yang berbentuk ukiran Aturan penguasaan dan pemanfaatan maupun gambar dengan berbagai motif dan sumberdaya laut secara terbuka (common warna. Konstruksi perahu Pinisi ini lebih property right/open use) menyebabkan suatu mengutamakan daya muat, keseimbangan, dan lokasi dieksploitasi secara bersama-sama. kecepatan. Sejak awal dekade 1970-an, perahu- Sebagai contoh adalah kawasan taka Pulau perahu tradisional di Sulawesi Selatan mulai Sembilan yang bukan hanya dieksploitasi oleh dilengkapi dengan motor dan motor dalam nelayan setempat, tetapi juga oleh kelompok- selain teknologi penangkapan ikan yang lain. kelompok nelayan dari desa-desa pantai di Teluk Bone seperti Sinjai, Bone, Luwu. dan Menurut van Kampen (1909), teknologi yang BulukumbaTimur. Sejaktahun 1990-an muncul digunakan dalam penangkapan ikan di kalangan kelompok-kelompok nelayan dari daerah lain yang masyarakat nelayan Nusantara pada umumnya turut mengekploitasi kawasan taka Pulau terdiri atas: (1) net atau jaring. Nelayan di Sembilan, yaitu: nelayan dari Makassar, Pangkep, Sulawesi Selatan menyebutnya dengan istilah dan Takalar, penyelam teripang dan mutiara dari panjak, gae, tanra, atau panambe; (2) pancing, Selayar, pencari kerang mata tujuh dari Buton dan yang di kalangan masyarakat nelayan di Sulawesi Palu, dan nelayan ikan hias serta pemburu penyu Selatan dibedakan menjadi pancing labuh, dari Bali. Jumlah kelompok yang mengeksploitasi pancing rintak, pancing tonda, dan pancing kedo- taka tersebut semakin bertambah banyak ketika kedo', (3) perangkap, yang oleh masyarakat sejak tahun 2000 hingga sekarang para penyelam nelayan di Sulawesi Selatan disebut dengan teripang dari Madura beroperasi di sana. nama bubu, sero, dan belle'; (4) alat tusuk, yang oleh nelayan di Sulawesi Selatan disebut sebagai 3.4 Sistem Teknologi Kebaharian tombak, pattek, dan ladung; dan (5) peralatan lainnya, misalnya adalah bahan peledak dan obat Bagi masyarakat pesisir di Nusantara, bius ikan. Jenis-jenis peralatan tangkap yang sektor ekonomi perikanan dan usaha telah disebutkan oleh van Kampen masih dapat transportasi/pelayaran masih menjadi andalan. dilengkapi dengan (6) linggis dan parang; Keberadaan sektor ini didukung oleh teknologi (7) menangkap atau memungut ikan dengan pelayaran dan penangkapan ikan tradisional, tangan; dan akhir-akhir ini nelayan di Sulawesi salah satunya adatah perahu. Perahu nelayan Selatan juga telah melengkapi peralatan tangkap tradisional di Indonesia pada umumnya menjadi mereka dengan (8) alat selam yang salah satu identitas dari kelompok etnis

Buc/oyo Bahan dan Tradisi Nelayan di Indonesia (Yunandar) 30 Sahda, Volume I, Nomor }, September 2006: 22 - 35 bertahannya usaha ekonomi perikanan. C. Seperti di Jawa, sistem pengelolaan Pengaturan pemanfaatan faktor produksi pemanfaatan sumberdaya perairan tersebut didasarkan pada berbagai bentuk pantai di Aceh dan Sumatra Selatan hak kepemilikian atau penguasaan sebagai secara komunal bertahan hingga berikut. a. Hak milik bersama (common berakhirnya kekuasaan Pemerintahan property right). Hindia-Belanda. b. Hak milik individu/keluarga d. Di Sulawesi, terutama Sulawesi Selatan, (individual/family praktik pemanfaatan sumberdaya laut property right). dalam dan pesisir pada umumnya diatur c. Hak milik pribadi (private property right) ct. secara terbuka (open access/use). Memang masih ada juga beberapa Hak milik negara (state property right) masyarakat di tingkat desa dan dusun di e. Praktik pemanfaatan secara bebas/terbuka daerah Gorontalo, Teluk Banggai, Danau (open access/use). Tempe, yang menguasai taka di gugusan Di Indonesia, berbagai bentuk hak karang di Bulukumba Barat berdasarkan penguasaan wilayah dan sumberdaya laut hak kepemilikan komunal. Demikian seperti tersebut di atas dapat ditemukan di halnya di Selayar, terdapat sebuah beberapa tempat, antara lain: wilayah komunal laut yang melibatkan upacara komunal tahunan. a. Di Maluku, hak kepemilikan komunal atas wilayah darat dan pantai yang disebut e. Usaha perikanan dengan teknfk rumpon sas/ dijumpai antara lain di pantai Ambon dan bagang yang dipraktikkan nelayan dan Haruku serta di desa-desa di Pulau Bugis, Jawa, dan Madura di perairan Saparua seperti Desa Nolloth, lhamahu, NTT, Maluku, Papua, dan Makassar, Saparua, dan Porto. Institusi tersebut merupakan praktik pemanfaatan secara telah dipraktikkan sejak kurang lebih 130 individual. tahun lalu, mendanului tumbuhnya f. Di kawasan timur Indonesia berkembang kesadaran mengenai perlunya konservasi perusahaan-perusahaan perikanan laut di negara-negara Barat yang barn tongkol milik swasta yang mempunyai dimulai sekitar 105 tahun lalu. Institusi hak penguasaan atas gugusan lokasi sas/juga berlaku dan hingga kini masih perairan laut dalam berdasarkan lisensi bertahan di Papua. Namun kebijakan dari pemerintah. pemerintah Indonesia sejak beberapa g. Sejak dekade 1980-an pemerintah dekade terakhir dan pertumbuhan Indonesia menetapkan beberapa ekonomi pasar cenderung mengikis dan wilayah perairan sebagai kawasan melemahkan peranan institusi lokal lindung, misalnya Taman Laut Bunaken, tersebut (Zerner, 1984). Takabonerate. Pulau Seribu, dan wilayah b. Daerah-daerah di sepanjang pantai utara perairan lain di Maluku dan Papua. Jawa dan Madura hingga periode terakhir Penetapan pemerintah terhadap suatu kolonialisme Belanda dieksploitasi wilayah perairan sebagai kawasan dengan menggunakan model lindung merupakan bentuk pengelolaan yang didasarkan pada hak penguasaan berdasarkan pemikiran kepemilikan komunal pada tingkat distrik bahwa wilayah tersebut merupakan hak dan desa. Eksploitasi sumber daya laut milik negara. Kawasan lindung terbagi ke dengan model tersebut mampu menjamin dalam beberapa zona, yaitu zona inti kelangsungan dan keseimbangan (sanctuary zone), zona penyangga, zona lingkungan pantai dan laut. Ironisnya, di pemanfaatan tradisional, dan zona masa Indonesia merdeka institusi pemanfaatan intensif yang berada di luar tersebut justru mulai melemah dan kawasan. Penguasaan negara seperti ini mengarah pada kemusnahan. dimaksudkan untuk menyelamatkan ekosistem-ekosistem laut

Budaya Bahan dan Trad'isi NeSayan di /ncfonesio (Yvnandar) Sdhda, Volume \. Nomor 1, September 2006: 22-35 khususnya terumbu karang yang spesies- yang menghasilkan atau menggunakannya. Oleh spesies utamanya mulai terancam. Di karena itu, dikenal tipe-tipe perahu nelayan samping itu juga untuk menjamin tradisional seperti Pinisi Bugis, Patorani Makasar, pemanfaatan sumberdaya laut secara Lambo Buton Sandeq, Lambodan Pangkur serta berkelanjutan oleh masyarakat BagoMandar, Bagan Jolloro Bugis (tipe terbaru, penggunanya. akhir 1980-an), Janggolan Madura, Janggolan Berdasarkan berbagai hasil survei dapat Ball, Prau Jaring Madura, Nade Sumatera, dan diketahui bahwa kemerosotan sumberdaya biota Lis-alis, Golekan, Lef/"leti, Mayang, dan dan nonbiota serta kerusakan ekosistem laut Jawa. sebagian besar disebabkan oleh praktik Salah satu ciri khas perahu tradisional di pemanfaatan secara terbuka/bebas. Jawa dan Bali ialah adanya ukiran dan gambar Penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya taut binatang yang memenuhi badan perahu dengan secara bebas dan juga private berkorelasi dengan menggunakan kombinasi warna yang pertumbuhan ekonomi, terutama peningkatan mengandung berbagai makna simbolik. Pinisi perminataan komoditas hasil-hasil laut di pasar merupakan salah satu tipe perahu Sulawesi regional dan global dewasa ini. Setatan yang mempunyai konstruksi bagus namun miskin hiasan baik yang berbentuk ukiran Aturan penguasaan dan pemanfaatan maupun gambar dengan berbagai motif dan sumberdaya laut secara terbuka (common warna. Konstruksi perahu Pinisi ini lebih property right/open use) menyebabkan suatu mengutamakan daya muat, keseimbangan, dan lokasi dieksploitasi secara bersama-sama. kecepatan. Sejak awal dekade 1970-an, perahu- Sebagai contoh adalah kawasan taka Pufau perahu tradisional di Sulawesi Selatan mulai Sembilan yang bukan hanya dieksploitasi oleh dilengkapi dengan motor tempel dan motor dalam nelayan setempat, tetapi juga oleh kelompok- selain teknologi penangkapan ikan yang lain. kelompok nelayan dari desa-desa pantai di Teluk Bone seperti Sinjai, Bone, Luwu, dan Menurut van Kampen (1909), teknologi yang BulukumbaTimur. Sejaktahun 1990-an muncul digunakan dalam penangkapan ikan di kalangan kelompok-kelompok nelayan dari daerah lain yang masyarakat nelayan Nusantara pada umumnya turut mengekploitasi kawasan taka Pulau terdiri atas: (1) net atau jaring. Nelayan di Sembilan, yaitu: nelayan dari Makassar, Pangkep, Sulawesi Selatan menyebutnya dengan istilah dan Takalar, penyelam teripang dan mutiara dari panjak, gae, lanra, atau panambe; (2) pancing, Selayar, pencari kerang mata tujuh dari Buton dan yang di kalangan masyarakat nelayan di Sulawesi Palu, dan nelayan ikan hias serta pemburu penyu Selatan dibedakan menjadi pancing labuh, dari Ball. Jumlah kelompok yang mengeksploitasi pancing rintak, pancing tonda, dan pancing kedo- taka tersebut semakin bertambah banyak ketika kedo', (3) perangkap, yang oleh masyarakat sejak tahun 2000 hingga sekarang para penyelam nelayan di Sulawesi Selatan disebut dengan teripang dari Madura beroperasi di sana. nama bubu, sero, dan belle'; (4) alat tusuk, yang oleh nelayan di Sulawesi Selatan disebut sebagai 3.4 Sistem Teknologi Kebaharian tombak, pattek, dan ladung; dan (5) peralatan lainnya, misalnya adaiah bahan peledak dan obat Bagi masyarakat pesisir di Nusantara, sektor bius ikan. Jenis-jenis peralatan tangkap yang ekonomi perikanan dan usaha Iran telah disebutkan oleh van Kampen masih dapat sportasi/pelaya ran masih menjadi andalan. dilengkapi dengan (6) linggis dan parang; Keberadaan sektor ini didukung oleh teknologi (7) menangkap atau memungut ikan dengan pelayaran dan penangkapan ikan tradisional, tangan; dan akhir-akhir ini nelayan di Sulawesi salah satunya adatah perahu. Perahu nelayan Selatan juga telah melengkapi peralatan tangkap tradisional di Indonesia pada umumnya menjadi mereka dengan (8) alat selam yang salah satu identitas dari kelompok etnis

30 Buc/oyo Bohari dan Trad'isi Nelayan di Indonesia (Yunandar) Sahda, Vo/ume ^/ Nomor ^ September 2006: 22 - 35 terdiri atas tabung dan kompresor. Berdasarkan keadaan tersebut maka dinamika budaya bahari, khususnya dalam komunitas Berbeda dari nefayan di Sulawesi Selatan, alat tangkap yang digunakan nelayan Jawa dan nelayan di kawasan timur Indonesia, dapat Madura terutama adalah pukat, Mereka dijelaskan dalam konteks internalnya. mengenal berbagai jenis pukat yang berbeda. Akan tetapi ketika dihadapkan pada berbagai Sebagai contoh adalah perahu payang yang gejala lain yang berkaitan dengan eksploitasi dilengkapi dengan tujuh jenis pukat, yaitu: pukat sumber daya laut, penjelasan semacam itu besar, peperek, krakat. arad, kopek, dedang, dan dirasakan belum cukup. Berbagai gejala seperti banton. Sebagian besar dari jenis-jenis pukat berkembangnya kemampuan nelayan lokal dalam tersebut masih digunakan oleh sebagian besar proses produksi sejalan dengan modernisasi alat nelayan di Jawa dan Madura hingga sekarang. tangkap dan penguasaan pengetahuan baru mengenai berbagai komoditas hasil laut yang Berdasarkan uraian dr atas dapat dinyatakan terkait dengan dan didorong oteh permintaan bahwa elemen tradisional masih bertahan dalam pasar, kemerosotan sumberdaya dan kerusakan budaya kebaharian pada berbagai masyarakat lingkungan laut yang telah menjadi isu yang nelayan di Indonesia dewasa ini. Sistem mendunia, dan merasuknya pengaruh organisasi pengetahuan, kepercayaan, pranata atau nonpemerintah (ornop) baik lokal, nasional, lembaga, dan teknologi eksploitasi tradisionat maupun internasional merupakan beberapa di tetap terpelihara dan berfungsi. Fenomena ini bisa antara serangkaian faktor yang membentuk ditunjukkan antara lain pada komunitas nelayan lingkungan eksternal. Faktor-faktor tersebut Liang-liang di Pulau Sembilan dalam pengelolaan menciptakan pengaruh yang tidak bisa diabaikan sumberdaya kawasan karang. Mereka tetap terhadap kehidupan masyarakat nelayan di mempertahankan lokasi-lokasi dan sarang-sarang tingkat lokal. Hal ini menjadi alasan mengapa ikan yang dimiliki sejak dahulu dan tetap penjelasan tentang dinamika budaya bahari akan menggunakan pancing labuh. Meskipun dikelilingi dapat dilakukan secara lebih baik dengan mellhat oleh kelompok-kefompok nelayan pengguna dan mengaitkan masyarakat bahari dalam bahan peledak dan bius serta para pengusaha konteks eksternalnya. dan agen eksportir ikan dan lobster segar dan hidup, namun mereka tetap mempertahankan Fenomena menyelam untuk mencari teripang sisteiTi-sistem tradisionalnya. di kalangan nelayan Bugis, Bajo, dan Makassar dari Sulawesi Selatan, sebagai contoh, sulit 4. DInamika Budaya Bahari dalam Konteks dipahami hanya dalam konteks sosial budaya Eksternal dan Modern lokal. Memang, pengetahuan dan praktik menyelam mencari teripang bagi mereka Deskripsi mengenai sistem budaya bahari bukanlah suatu yang baru, karena hal itu bisa memperlihatkan bahwa dinamika budaya bahari dilacak ke beberapa dekade bahkan beberapa terbentuk dari perilaku eksploitasi sumberdaya abad ke belakang (backward in time). Praktik laut dan jaringan pemasarannya. Aktivitas tersebul juga dapat dilacak dari jaringan pemancingan ikan, penggunaan bubu dan pukat perdagangan teripang ke luar (outward in space) serta pengelolaan bagang dan rumpon yang hingga melampaui batas-batas negara seperti ke sudah beriangsung fama dapat dilacak asal- Singapura, Hongkong, , RRC, Korea dan usulnya dan perkembangannya dalam lingkup Jepang. Semula nelayan tidak banyak tahu dan daerah, pulau, etnis, dan provinsi yang memperhatikan spesies teripang, karena berdekatan. Hal yang sama juga tampak dalam dianggap tidak bernilai. Biota ini mulai dicari pemasaran komoditas hasil laut yang terjadi ketika kapal-kapal dagang Cina yang ramai dalam lingkup pasar lokal dan regional. berlabuh di Pelabuhan Kota Somba Opu (pusat kota Kerajaan Makassar) di abad ke-17

Budaya Bahan dan Tradisi Nefayan di /ncfonesia (Yunandar) m Sobc/o/ Volume I, Nomor L September 2006: 22-35 mencari komoditas ekspor, termasuk hasil-hasil modern tersebut. Seiring dengan proses adopsi laut seperti teripang, agar-agar, sirip hiu, sarang alat selam modern, berlangsung motorisasi burung walet, penyu, dan biota lain yang biasa perahu nelayan melalui pemasangan motor ditukar langsung dengan pakaian, tembikar, tempel (outboard motor). Da tarn porselin, dan lilin (Macknight, 1976). Meskipun perkembangan febih lanjut dilakukan usaha untuk spesies teripang disebut dengan nanna-nama meningkatkan kapasitas muat perahu dan lokal namun permintaan pasarlah yang banyak kekuatan mesin yang dipasang pada bagian menyumbang kepada pengayaan nama-nama dalam badan perahu (inboard motor). Adopsi spesies teripang hingga mencapai tidak kurang inovasi teknologi dan peningkatan kapasitas muat dari 40 jenis. Pengetahuan masyarakat lokal perahu hanya dapat dilakukan dengan dukungan tentang cara menyortir teripang berdasarkan modal dalam skala yang lebih meningkat. tingkat nilai tukar dari yang tertinggi hingga yang Konsekuensi dari hai ini adalah terjadinya proses paling rendah juga dibentukoleh kondisi pasar. penetrasi kapital, transformasi struktural Dalam hal ini, para pedagang Cina yang kelompok ponggawa-sasi, dan kemerosotan berkepentingan dengan komoditas teripang populasi teripang secara drastis dari berbagai berperan besar dalam pembentukan pengetahuan spesies dan kerang (mutiara, /o/a) yang diambil dan kecakapan masyarakat setempat mengenai dari kawasan taka-taka Pulau Sembilan. jenis-jenis dan cara penyortiran teripang. Permintaan pasar yang tetap tinggi dan Para pedagang Cina juga mempunyai terkurasnya sumberdaya laut setempat lain pada kontribusi penting terhadap kemampuan nelayan akhirnya mendorong kelompok-kelompok untuk mengenali perilaku dan habitat teripang, penyelam dari Kambuno dan Kodingare terpaksa pengaktifan fungsi sarana tangkap tradisional, melakukan ekspansi area penangkapan ke pembentukan variasi baru dalam struktur tempat-tempat lainnya di Sulawesi Selatan dan kelompok kerja nelayan, hubungan-hubungan berbagai provinsi lain, terutama di kawasan Timur produksi, dan distribusi. Pedagang asing tersebut Indonesia. Mereka bahkan melakukan sebetulnya digerakkan oleh fungsi teripang bagi penyelaman sampai ke Australia di akhir 1980-an tubuh manusia- Teripang bagi orang Cina, selain hingga paruh pertama 1990-an. Ketika komoditas merupakan santapan yang enak, juga digunakan /obsterdan ikan hidup laku di pasar ekspor sebagai bahan ramuan untuk menjaga kesehatan, (Hongkong dan Singapura), sebagian terbesar nutrisi, vitalitas, memperpanjang umur, dan nelayan penyelam kembali lagi ke Pulau menambah keperkasaan laki-laki (Akimichi, 1996). Sembilan dan beralih ke usaha lobster dan ikan hidup, dan dimulailah sejarah budaya tentang Peningkatan jumlah konsumen dan pedagang /obsterdan ikan hidup seperti kerapu, sunu, baik dari dalam maupun luar negeri yang terlibat dan napoleon. dalam jaringan pemasaran komoditas tersebut mendorong terjadinya adopsi inovasi perangkat Kedua komoditas tersebut pada mulanya alat selam untuk mendukung kegiatan pencarian melimpah di taka-taka Pulau Sembilan, karena teripang. Sejak awal 1980-an para penyelam lobster dan ikan hidup tidak mempunyai nilai teripang dari Pulau Sembilan menggunakan tukar. Selain itu keduanya juga jarang tangki atau tabung gas, dan sejak 1990-an dikonsumsi, karena masyarakat setempat mereka mengganti tabung gas dengan mengangoapnya menjijikkan dan menjadi kompresor. Pada mulanya pengusaha Cina dari penyebab munculnya rasa malas. Hanya dalam Makassar membawa langsung pelatih selam dan waktu sekitar tujuh tahun populasi /obsterdan merekrut dua atau tiga pembantu lokal untuk beberapa jenis ikan hidup merosot tajam akibat dilatih menggunakan perangkat atat selam penangkapan yang dilakukan oleh nelayan setempat dan nelayan pendatang. Penyebabnya tidak lain adalah adanya

Budaya Bahari dan Trad'isi Nelayan di Indonesia (Yunandarj 32 Sabda, Volume I, Nomor 1, September 2006: 22 ' 35 permintaan lobster dan ikan hidup yang semakin tentang skala, lokasi, dan prosedur menangkap meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan itu napoleon wrasse. Amandemen peraturan berkaitan langsung dengan terjadinya perubahan tersebut juga bertujuan membatasi eksploitasi pola makan konsumen kelas elite di negara- berbagai spesies laut untuk komoditas ekspor. negara pengimpor. Mereka telah meninggalkan Beberapa spesies seperti teripang, kerang pola mengonsumsi hasil laut dalam kondisi segar (mutiara, /o/a), rumput laut, sirip hiu, telur ikan, yang sudah dihidangkan di meja restoran sea dan ikan serta lobster segar dan hidup hanya bisa food dan beralih ke pola baru dengan memancing dieksploitasi metalui keria sama dagang ikan atau lobster terlebih dahulu dari kolam-kotam antarnegara dan diperkuat dengan Surat Izin penampungan lalu diolah dan disajikan oleh para Usaha Perikanan (SIUP). pelayan. Cara ini selain dirasakan lebih Usaha untuk menyelamatkan- biota dan menyenangkan juga menjamin pengunjung lingkungan laut juga dilakukan oleh ornop. LP3M restoran untuk menikmati sea food sesuai dengan dan WWF adalah contoh dua ornop yang aktif selera mereka. Pola makan baru di restoran- melancarkan gerakan penyadaran lingkungan di restoran Cina seperti ini di samping terkait dengan kalangan nelayan Sulawesi Selatan, antara lain nilai kenikmatan santapan juga dapat memperkuat dengan cara menyebarkan poster-poster yang status sosial konsumennya (Akimichi, 1996). memuat jenis-jenis biota laut yang langka dan Pada akhirnya kebijakan pemerintah harus dilindungi di seluruh dunia. Keberhasilan disebut sebagai salah satu faktor yang kampanye LP3M dan WWF tampak dari memberikan kontribusi terhadap penurunan berhentinya kegiatan pengambilan batu karang populasi sumberdaya laut. Motorisasi perahu dan dan penangkapan ikan napoleon ukuran tertentu, adopsi gae (istilah Bugis) atau rengge (istilah penyu, kima, kerang mata tujuh, batu laga, dan Makassar), yaitu sejenis pukat apung raksasa ikan hias oleh nelayan setempat di kawasan (purse seine) yang merupakan teknologi andalan lindung Pulau Kapoposang (Pangkep) dan Taman untuk menangkap ikan pelagis, terutama ikan Nasional Taka Bonerate. Peningkatan kesadaran layang, dikenal nelayan Sulawesi Selatan melalui nefayan tokal dan pemerintah daerah terhadap promosi pemerintah pada 1970-an. biota dan lingkungan laut juga tampak dari penolakan mereka terhadap penggunaan Penurunan populasi sumberdaya laut yang teknologi penangkapan ikan yang menyerupai semakin parah dari waktu ke waktu telah pukat harimau mini. Peralatan tangkap ini bisa mendapatkan perhatian dari berbagai pihak yang berkompeten. Dalam hal ini pemerintah telah dengan cepat menguras berbagai jenis biota laut dan merusak kondisi dasar perairan. Akibat mengambil inisiatif untuk mengeluarkan berbagai penolakan tersebut, pada akhir Desember 2002 kebijakan guna menyelamatkan kelangsungan semua perahu nelayan cantram Galesong Utara sumberdaya dan lingkungan laut. Salah satu (Takalar) dari Sinjai yang dilengkapi dengan contohnya adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan pukat harimau mini ditarik kembali atau dilarang No.7 tahun 1999 tentang larangan pengambilan beroperasi (Osseweijer, 2001). dan perusakan terumbu karang di sepanjang Berbagai kebijakan pemerintah yang berisi perairan pantai Sulawesi Selatan dan cara-cara pelarangan kebanyakan mengacu kepada pengawasan oleh para penegak hukum di setiap rekomendasi yang dihasilkan melalui riset ilmiah wilayah tugas masing-masing. Pemerintah juga oleh para peneliti dari perguruan tinggi. Demikian telah melakukan amandemen terhadap Peraturan juga kebijakan yang berisi program Dirjen Perikanan No.HK.330/DJ.8259/95 pembangunan, misalnya kegiatan ekonomi baru bagi masyarakat nelayan seperti budidaya rumput laut, keramba penampungan ikan dan lobster hidup, budidaya teknik keramba, dan

Budaya Bahan dan Tradisi Nelayan di /ncfonesia (Yunandar) Sabda, Vofume // Nomor ], September 2006: 22 - 35 penetasan telur serta pembesaran bibit bandeng 5. Simpulan dan udang, juga didasarkan pada hasil riset dan atau pengabdian kepada masyarakat yang Modernisasi dan globalisasi cenderung dilakukan ofeh peneliti dari perguruan tinggi. berdampak negatif terhadap kehidupan Berdasarkan kenyataan itu dapat dikatakan komunitas nelayan di berbagai tempat di bahwa perguruan tinggi sebagai penggagas dan Indonesia, misalnya berupa kemiskinan ekonomi inovator teknologi merupakan konteks eksternal sebagian terbesar masyarakat nelayan tradisional bagi proses dinamika sosial budaya masyarakat skala kecil, konflik di antara kelompok-ketompok bahari, khususnya komunitas nelayan. nelayan, pengurasan populasi sumberdaya laut, dan kerusakan ekosistem laut terutama terumbu Sejak dekade 1990-an dinamika sosial karang. Meskipun demikian, modernisasi dan budaya masyarakat nelayan mendapat pengaruh globalisasi belum sampai memusnahkan yang semakin kuat dari ornop seiring dengan beberapa bentuk kearifan lokal, di antaranya meluasnya kehadiran mereka di desa-desa adalah sas/di Maluku, panglima laut 6} Aceh, dan nelayan. Dengan paradigma communfty-based dan teknik rumpon nelayan Mandar serta pranata management, ornop mengembangkan visi dan ponggawa-sawi di Sulawesi Selatan. misi yang ditujukan untuk mencapai peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi, peningkatan Berbagai pihak yang berkompeten seperti sumberdaya manusia dan keterampilan pemerintah, akademisi, ornop, dan lembaga penduduk, penumbuhan jiwa demokrasi, dan donor perlu melakukan usaha-usaha untuk pelestarian lingkungan sosial budaya dan menemukan arah pengelolaan dan lingkungan fisik. Gagasan yang dibawa ornop pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan laut biasanya diramu dari ide-ide yang berasal dari secara berkelanjutan dengan memperhatikan masyarakat lokal, hasil riset peneliti dari kelestarian lingkungan, Tujuannya adalah agar perguruan tinggi, dan pemikiran-pemikiran yang muncul kesadaran bersama bahwa sumberdaya berkembang dalam wacana global, khususnya laut relatif rentan terhadap ancaman, terutama yang muncul dalam "dunia ornop" sendiri. Di yang bersumber dari perilaku manusia yang tidak kawasan Taka Bonerate, ornop bertaraf terkendali dalam mengeksploitasi hasil laut. internasional (WWF) menjalin kerja sama dengan Usaha itu dapat dilakukan melalui penguatan hak- ornop lokal (LP3M) untuk menggalang hak kepemilikan tradisional dan merevitalisasi masyarakat nelayan dari berbagai desa di sekitar lembaga-lembaga tradisional. Strategi itu kawasan tersebut. Tujuannya adalah untuk memungkinkan pengelolaan dan pemanfaatan melibatkan masyarakat nelayan dalam berbagai sumberdaya dan jasa-jasa laut dapat dilakukan program kegiatan meliputi penyadaran dengan tetap mempertahankan kelestariannya. lingkungan, pembentukan dan penguatan Pengembangan teknologi penangkapan, kelembagaan, pelatihan keterampilan, dan budidaya dan semi-budidaya, dan teknologi pembentukan serta pengelolaan zona-zona pascapanen serta pembangunan institusi pasar perlindungan terumbu karang dan biota-biota lokal, regional, nasional, dan global seharusnya langka berasosiasi karang. WWF juga menjalin juga tidak didominasi atau di bawah kendali - kerjasama dengan ornop lokal untuk kekuatan eksternal, Oleh karena masyarakat menyelamatkan kawasan-kawasan karang di bahari bersifat pragmatis, contoh nyata yang Maluku dan Biak (Osseweijer, 2001). memberikan makna praktis bagi mereka niscaya akan dinilai tinggi dan diperebutkan.

Budaya Bo/iori dan Tradisi Nelayan di Indonesia (Yunandar) N Sabda, Volume \, Nomor 1, September 2006: 22 • 35

DAFTAR PUSTAKA Acheson, James M. 1981. "Anthropology of Fishing", dalam Annual Review of Anthropology (editor Bernard J. Siegel, Alam R. Beals, dan Stephen A. Tyier). Vol. 10, him. 275-316. Akimichi, Tomoya. 1991. Coastal Foragers in Transition. Ethnological Studies Series No. 42. National Museum of Ethnology. Andersen, R. dan Cato Wadel. 1982. "North Atlantic Fishermen: Anthropological Essays on Modern Fishing", dalam Newfoundland Sociaf and Economic Research. Memorial University of Newfoundland. Bernard, H. Russel. 1994, Ffesearch Made in Anthropology. London: Sage Publications, Borofsky, Robert, ed.. 1994. Accessing Cultural Anthropology. New York: Me Graw-Hill. Firth, Raymond. 1975. Malay Fishermen: Their Peasant Economy. New York: W.W. Norton & Company Inc. Ginkel, Rob van dan Jojada Verrips. 1988. "Introduction", dalam Maritime Anthropological Study vol. 1 no. 2. Goodenough, Ward H.. 1994. 'Toward A Working Theory of Culture", dalam Accessing Cultural Anthropology (editor Robert Borofsky). New York: McGraw-Hill. Hamid.Abu. 2003. Pelestarian Budaya Kebaharian Masyarakat Sulawesi Selatan: Suatu Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Harris, Man/in. 1968. 7770 Rise of Anthropological Theory. New York: Crowell. Horridge, Adrian. 1986. Sailing Craft of Indonesia. Oxford: Oxford University Press. Indar, Nur dan Lampe. 2002. "Sistem-sistem Tradisional sebagai Institusi dalam Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya di Wilayah Pesisir". Laporan Penelitian. Kampen, P. N. van. 1909. "De Hulpmiddelen der Zeevisscherij op en Madoera in Gebruik", dalam Mededeelingen Uitgande van het Departement van Landbow no.9, Batavia: G. Coif & Co. Keesing, Roger M.. 1994. "Theory of Culture Revisited", dalam Accessing Cultural Anthropology (editor Robert Borofsky). New York: McGraw- Hill. Koentjaraningrat. 1980, Pengantar llmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Masyhuri, 1996. Menyisir Pantai Utara. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara. Osseweijer. Manon. 2001. Taken at the Flood: Marine Resource Use and Management in the Aru Islanders {Maluku, Eastern Indonesia). Leiden: Universiteit te Leiden. Palsson, Gisli. 1991. Coastal Economies, Cultural Accounts: Human Ecology and Icelandic Discourse. Manchester: Manchester University Press. Schoorl. J.W.. 1986. Power, Ideology, and Change in the Early State of Buton. Ushijima dan Cynthia Neri Zayas. 1991-1993. Fishers of the Visayas: Visayas Maritime Anthropological Studies. CSSP Publication. University of the . Vayda, Andrew P..1992. "Action and Consequences as Objects of Explanation in Human Ecology", dalam Environment. Technology, and Society vol 51, him 2-7. Welvaartcommissie. 1905. Overzicht van Uitkomsten der Gewestelijke Onderzoekingen naar de Vischteelt en Visscheren Daaruit Gemaakte Gevolgtrekkingen. Onderzoek naar Mindere Welvaart der Inlandsche evolking op Java en Madoera. Batavia: Landsdrukkerij. Zerner, Charles. 1994. Tracking Sasi: The Transformation of A Central Moluccan Reef Management Institution in Indonesia. Connecticut: West Hartford.

Budoyo Bohon dan Tradisi Ne/oyan di /ndonesia (Yunandar) 35