BUDAYA BAHARI DAM TRADISI NELAYAN DI INDONESIA Abstract
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Sabda, Volume // Nomor ?/ September 2004; 22-35 ISSN 1410-7910 BUDAYA BAHARI DAM TRADISI NELAYAN DI INDONESIA Yunandar Fakuftas Peternakan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Abstract There are at least five phenomena which mark the complexity of maritime culture and fisherman tradition in Indonesia; social group of the maritime society, the development of economic sectors concerning sea products, social hierarchy in the daily maritime activities, the relationship between the elements of maritime culture and life sectors of the society, and the continuation and alteration of maritime culture's elements. In order to acquire a deep study on the complexity of maritime culture, there are several concepts used in this paper: Koentjaraningrat's concept of "three forms of culture", Sanjek's concept of "the dynamic culture and creation", and Vadya's concept of "contextual progressive explanatory method". The forms of maritime culture include the system of culture, belief, institution, and production technology. Meanwhile, the dynamics of maritime culture and fisherman tradition is determined not only by the internal factors but also the external forces, such as, innovation on technology, government policy, university interventions, nongovernmental organizations, donor institution, and regional, national, and even global market. Apparently, those external forces have brought negative impacts on the life of maritime society, marked by the decrease of economic prosperity, natural resources and sea environment. The negative impacts can be avoided by applying community- based management in the development of maritime culture. Key Words: maritime culture, fisherman tradition, community-based management. 1. Pendahuluan dan Sulawesi Tengah. Kelompok-kelompok sosial semacam itu bahkan bisa merupakan suatu Sejumlah studi, antara lain dilakukan negara atau kerajaan seperti Kerajaan Samudra oleh Firth (1975), Acheson (1977 dan 1981), Pasai (Masyhuri, 1996). dan Kesultanan Buton Andersen dan Wadel (1982), Ushijima dan (Schoorl, 1984). Kelompok-kelompok sosial yang Zayas (1994), Palsson (1991), dan Masyhuri ada di wilayah pesisir tidak hanya pelayar dan (1996), menunjukkan bahwa fenomena nelayan. Di negara-negara pantai di Eropa dan sosia) budaya bahari sangat kompleks. negara maju lain, dikenal berbagai kelompok Kompleksitas budaya bahari dicirikan oleh sosial seperti awak kapal pengeruk dasar sungai sedikitnya lima fenomena sebagai berikut. dan perairan pantai, olahragawan lautyang Pertama, kelompok-kelompok sosial beranggota para peselancar dan penyelam, kebaharian seringkali bukan sekedar marinir, dan organisasi pencinta lingkungan laut kelompok-kelompok kerja yang merupakan yang anggotanya berasal dari berbagai kota dan sub-sub komunitas desa. Mereka bisa bahkan dar" berbagai negara yang berlainan dikategorikan sebagai sub-sub etnis seperti (Ginkel dan Verrips, 1988). ditunjukkan oteh adanya desa-desa nelayan Kedua, munculnya berbagai kategori sosial Bugis, Mandar, Makassar, dan Madura di tersebut dikondisikan oleh perkembangan jenis- kawasan pesisir. Akan tetapi, bisa pula jenis usaha ekonomi yang terkait dengan laut, merupakan kelompok-kelompok etnis misalnya perikanan, pelayaran atau usaha sepenuhnya seperti tampak pada desa transportasi laut, pertambangan, pariwisata nelayan Bajo di Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan. 22 Sabda, Volume \, Nomor 1, September 2006: 22 - 35 bahari, dan jasa pengamanan wilayah taut dan kapal angkutan, komunitas pembuat perahu/ isinya. Para pelaku ekonomi kebaharian kapa), olahragawan laut, dan satuan marinir. menerapkan berbagai gaya manajemen baik Bahkan di antara kategori sosial yang sama bisa berupa ekstensifikasi dengan strategi diversifikasi pula mempunyai karakter budaya bahari yang usaha maupun intensifikasi dengan jenis usaha berlainan. Kefompok nelayan rumpon (Mandar), tunggal. Di Indonesia, pengembangan ekonomi nelayan bagang (Bugis), penyelam teripang kebaharian yang melibatkan pemerintah (Bajo, Bugis, Makassar) dan pemburu hiu (Bajo) seringkali mengacu pada kerangka yang semuanya berasal dari Sulawesi Selatan pengembangan terpadu yang diidealkan akan mempunyai karakter kebaharian yang berbeda- menguntungkan setiap sektor. Namun usaha itu beda. seringkali dilakukan secara parsial yang Kelima, kompleksitas fenomena menjurus pada gejala persaingan dan konflik kebaharian juga berkaitan dengan dinamika kepentingan, sehingga pada gilirannya sosial dan budaya bahari itu sendiri, baik akibat berdampak buruk terhadap perkembangan usaha perkembangan yang bertumpu baik pada faktor- kecil milik rakyat dengan manajemen tradisional, faktor internal maupun perkembangan yang Ketiga, selain pelaku dan pengguna didorong oleh kekuatan eksternal. Contoh proses langsung, terdapat kategori-kategori sosial lain perkembangan internal adalah perubahan tipe yang turut terlibat dalam setiap sektor ekonomi bagang tancap ke rakit/apung dan akhirnya kebaharian. Perikanan, misalnya, merupakan menjadi bagang perahu di kalangan komunitas sektor ekonomi yang cukup banyak jenisnya nelayan di Sinjai, Sulawesi Selatan. Dinamika sesuai dengan spesies sumberdaya laut, tipe kebaharian yang dipicu oleh faktor eksternal teknologi yang digunakan untuk mengekploi- misafnya adalah masuknya teknologi baru berupa tasinya, dan skala investasi modal usaha. Sektor mesin. Teknologi baru ini tidak hanya ini tidak hanya melibatkan kelompok nelayan, mengakibatkan lerjadinya motorisasi perahu yang tetapi juga memerlukan peran serta para menghilangkan fungsi layar dan dayung, tetapi pembuat perahu dan alat tangkap, pedagang, juga mendorong transformasi struktura) pengusaha dan rentenir, koperasi dan bank, kelompok-kelompok kerja nelayan dan jaringan pasar dan tempat pelelangan ikan, instansi pemasaran hasil tangkapan. Relasi antarbudaya pemerintah yang terkait, petugas keamanan laut, juga menjadi salah satu faktor yang peneliti dan praktisi, lembaga penyandang dan a, mempengaruhi dinamika kebaharian. Pengaruh dan organ isiasi nonpemerintah. Kelompok- tersebut dapat terjadi melalui difusi unsur-unsur kelompok sosial tersebut merupakan kekuatan budaya, seperti persebaran rumpon dari Majenne eksternal yang mempengaruhi atau bahkan (Sulawesi Selatan), biAudari Buton (Sulawesi menentukan tatanan dan dinamika kehidupan Tenggara), dan sebuah bentuk perahu tradisional sosial dan budaya kelompok sosia) kebaharian dari Kalimantan yang dimodifikasi menjadi perahu utama seperti nelayan dan pelayar. tipe/'o/toro'di Bira (Bulukumba) dalam dua dekade terakhir. Relasi antarbudaya seringkali juga diikuti Keempat, fenomena sosial budaya bahari usaha memanipulasi identitas etnis baik secara tidak hanya tampak pada aspek-aspek budaya, temporal maupun permanen. Hal semacam ini tetapi diperlihatkan pula oleh kategori dan hirarki dilakukan antara lain oleh sabagian besar sosial pendukLingnya yang berbeda-beda. masyarakat Bajo dalam rangka adaptasi sosial Fenomena budaya dari setiap kategori sosial mempunyai karakter kepribadian kebaharian budaya dan mempertahankan tradisi seperti masing-masing. Budaya bahari kelompok pengetahuan kelautan, pembuatan perahu, dan aturan bagi hasil. Kompleksitas fenomena sosial nelayan, misalnya, akan menunjuk-kan karakter budaya kebaharian di Indonesia juga berkaitan yang berbeda dari kelompok awak dengan adanya kontradiksi antara pandangan emik dan Budaya Bahari dan Jradisi Nelayan d! /ndbnesia {Yunandarf 23 Sabda, Vohme \, Nomor 1, September 2006: 22-35 etik. Di satu sisi mode eksploitasi sumberdaya menurut linguistik Eropa mengacu kepada laut oleh masyarakat setempat yang berlangsung kegiatan pelayaran, sedangkan istilah "budaya di bawah kendali nilai-nitai dan pengetahuan lokal marin" merujuk kepada aktivitas penangkapan dianggap merefleksikan kearifan lokal yang periu ikan semata (Nishimura, 1976). Jika kedua istilah dipertahankan. Di sisi lain arus komersialisasi tersebut diaplikasikan secara konsisten, kedua sumberdaya laut yang begitu deras mendorong wilayah studi itu akan menjadi eksklusif yang berlangsungnya aktivitas eksploitasi yang kurang berarti bagian-bagian tertentu dari kedua terkendali dan dapat berdampak negatif terhadap subjeknya tereduksi. Konsep budaya bahari kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir, mampu meliputi semua fenomena baik yang lingkungan, dan sumberdaya laut. Gejala tercakup di dalam konsep budaya maritim paternalisme yang melibatkan pemerintah, maupun budaya marin. Penentuan ruang lingkup kalangan akademisi, dan organisasi studi dapat ditakukan dengan memfokuskan nonpemerintah juga mempengaruhi tatanan dan kajian pada fenomena sosial budaya bahari dinamika sosial budaya lokal. tertentu. Dengan memperhatikan kompleksitas Untuk mendeskripsikan dan menganalisis budaya kebaharian di atas, kajian terhadap fenomena budaya bahari yang kompleks, kiranya fenomena sosial dan budaya bahari selayaknya cukup memadai bila digunakan konsep "tiga dilakukan secara muttidisipliner dan atau wujud kebudayaan" (sistem gagasan, sistem interdisipliner. Kajian yang demikian melibatkan sosial, dan budaya material) dari Koentjaraningrat bukan hanya antropologi atau ilmu-ilmu sosial daripada melakukan reduksi wujud kedua dan dan humaniora lainnya, tetapi juga ilmu-ilmu ketiga seperti dilakukan para antropolog kognitif eksak seperti perikanan, kelautan, biologi, (Goodenough, 1961: 522; ekologi, dan teknik perkapalan, yang relevan Keesing, 1994: 68) dan simbolik (Geertz dalam dengan subjek kajian. Hal lain yang tidak kalah Harris, 1968: 20) atau secara berlebihan penting adalah pemilihan konsep kebudayaan.